Anda di halaman 1dari 87

SKRIPSI

ANALISA FAST FOURIER TRANSFORM UNTUK PENENTUAN


CEKUNGAN DAN PEMODELAN 2.5D CEKUNGAN MENGGUNAKAN
METODE GRAVITY PADA DAERAH JAWA BARAT BAGIAN SELATAN

FAST FOURIER TRANSFORM ANALYSIS FOR BASIN ANALYSIS AND


MODELING 2.5D USING GRAVITY METHOD,
SOUTH AREA OF WEST JAVA

Oleh :

HIZKIA WICAQSONO
115 100 008

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
YOGYAKARTA
2015
i
SKRIPSI

ANALISA FAST FOURIER TRANSFORM UNTUK PENENTUAN


CEKUNGAN DAN PEMODELAN 2.5D CEKUNGAN MENGGUNAKAN
METODE GRAVITY PADA DAERAH JAWA BARAT BAGIAN SELATAN

FAST FOURIER TRANSFORM ANALYSIS FOR BASIN ANALYSIS AND


MODELING 2.5D USING GRAVITY METHOD,
SOUTH AREA OF WEST JAVA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Program Studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

HIZKIA WICAQSONO
115 100 008

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
YOGYAKARTA
2015
ii
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI

ANALISA FAST FOURIER TRANSFORM UNTUK PENENTUAN


CEKUNGAN DAN PEMODELAN 2.5D CEKUNGAN MENGGUNAKAN
METODE GRAVITY PADA DAERAH JAWA BARAT BAGIAN SELATAN

Telah dipersiapkan dan disusun oleh

HIZKIA WICAQSONO
115 100 008

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji


pada tanggal 5/Februari/2015

Susunan Tim Penguji


Pembimbing I Penguji I

Dr.Ir.H.Suharsono.MT Ir. Agus Santoso, M.Si.


NIP.19620923.199003.1.001 NIP.19530816.198803.1.001

Pembimbing II Penguji II

Wahyu Hidayat, S.Si., M.Sc. Indriati Retno Palupi,S.si.,M.si.


NIK. 2.84.03.12.0356.1 NIK.2.86.10.12.0355.1

Mengetahui,
Ketua Prodi Teknik Geofisika

Dr.Ir.H.Suharsono.MT
NIP.19620923.199003.1.001

iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya menyatakan bahwa judul dan keseluruhan isi dari skripsi adalah asli karya ilmiah
saya, dengan ini saya menyatakan bahwa dalam rangka menyusun, berkonsultasi dengan dosen
pembimbing hingga menyelesaikan skripsi ini, tidak melakukan penjiplakan (plagiasi) terhadap
karya orang atau pihak lain baik karya lisan maupun tulisan, baik secara sengaja maupun tidak
sengaja.
Saya menyatakan bahwa apabila di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini
mengandung unsur penjiplakan (plagiasi) dari karya orang atau pihak lain, maka sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya, diluar tanggung jawab Dosen Pemimbing. Oleh karenanya saya
sanggup bertanggung jawab secara hukum dan bersedia dibatalkan/dicabut gelar kesarjanaan
saya oleh Otoritas/Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dan
diumumkan kepada khalayak ramai.

Yogyakarta, 5 Februari 2015

Yang Menyatakan,

Materai Rp.6000,-

Hizkia Wicaqsono

Nomor Hp/ Telepon : 082221832806


Alamat e-mail : kikiyuw@gmail.com
Nama dan Alamat Orang tua : Magdalena, Cirebon Jawa Barat

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan semesta alam.
Hanya dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Syukur tak terkira dari penulis atas terselesainya skripsi dengan judul “ANALISA FAST

FOURIER TRANSFORM UNTUK PENENTUAN CEKUNGAN DAN


PEMODELAN 2.5D CEKUNGAN MENGGUNAKAN METODE GRAVITY
PADA DAERAH JAWA BARAT BAGIAN SELATAN”.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan kepada:

1. Dr.Ir. H.Suharsono, M.T, selaku Kepala Jurusan yang telah membimbing dan
mengarahkan dalam bidang akademik selama masa perkuliahan
2. Dr.Ir.H.Suharsono,M.T. selaku pembimbing I dan Wahyu Hidayat,S.Si.,M.Sc. selaku
pembimbing II.
3. Boko Nurdiyanto Suwardi selaku pembimbing di PT.Pertamina UTC
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Teknik Geofisika Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta.
5. Mamah tercinta yang tidak henti-hentinya memberikan pengorbanan, motivasi, kasih
sayang dan doanya selama ini.
6. Seluruh Keluarga yang yang selalu memberikan dukungan penuh selama penulis
melaksanakan studi.
7. Meyliani Yolanda Sovia selaku pembimbing teknis pada saat penulis mengerjakan
penelitian, terima kasih atas semua bantuan dan motivasinya.
8. Saudara-saudaraku seperjuangan Teknik Geofisika angkatan 2010 VOLCANOES atas
semua hal yang menjadi kesan tak terlupakan.

v
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu
dalam penyusunan laporan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala budi baik
mereka dengan rahmat yang lebih besar dari yang telah mereka berikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran akan menjadi masukan yang berarti bagi penulis. Penulis juga
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 5 Maret 2015

Hizkia Wicaqsono

vi
INTISARI

ANALISA FAST FOURIER TRANSFORM UNTUK PENENTUAN


CEKUNGAN DAN PEMODELAN 2.5D CEKUNGAN MENGGUNAKAN
METODE GRAVITY PADA DAERAH JAWA BARAT BAGIAN SELATAN

Oleh :
Hizkia Wicaqsono
115.100.008

Telah dilakukan pengukuran metode gravity pada daerah Jawa Barat bagian selatan yang
meliputi daerah administraftif Tasikmalaya hingga Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kontras perbedaan nilai densitas, hasil pengukuran metode gravity
ini didapatkan peta regional yang menunjukan perbedaan kontras densitas, kontras densitas ini
digunakan untuk menegetahui keberadaan cekungan.
Metode gravity adalah metode penyelidikan geofisika yang didasarkan pada variasi
percepatan gravitasi di permukaan bumi. Pengukuran gravity ini dimana adanya perbedaan kecil
dari medan gravitasi yang diakibatkan variasi massa di kerak bumi. Tujuan dari eksplorasi ini
adalah untuk mengasosiasikan variasi dari perbedaan distribusi rapat massa dan juga jenis
batuan.
Hasil yang diperoleh adalah berupa model sayatan bawah permukaan menunjukan
gambaran kondisi bawah permukaan pada beberapa daerah yang mewakili keseluruhan daerah
penelitian. Dengan litologi batuan dasar pada daerah penelitian didominasi oleh Breksi Gunung
api tua bersusunan andesit basal yang termasuk kedalam Formasi Jampang dengan kedalaman
kurang lebih 9 km yang memiliki rata-rata nilai densitas 2.8 mgal. sedangkan untuk batuan
sedimen berasal dari berbagai pola sedimentasi dan sumber dari suplai sedimentasinya dengan
rata-rata nilai densitasnya berkisar antara 2.2 mgal hingga 2.5 mgal.

Kata Kunci : gravity, anomaly bouger (BA), pemodelan, cekungan.

vii
ABSTRACT

FAST FOURIER TRANSFORM ANALYSIS FOR BASIN ANALYSIS AND


MODELING 2.5D
USING GRAVITY METHOD, SOUTH AREA OF WEST JAVA

By :
Hizkia Wicaqsono
115.100.008

Gravity method measurement has been done on the southern part of West Java area
which covers an area of up to administraftif Tasikmalaya until ciamis, West Java Province. This
study aims to determine the contrast difference of density, gravity is the result of the
measurement method obtained a regional map showing the difference density contrast, density
contrast is used to determine the existence of the basin.
Gravity method is a method of geophysical investigations based on the variation of the
acceleration of gravity at the Earth's surface. The gravity measurements where a small deviation
of the gravitational field caused by variations in the mass of the earth's crust. The purpose of this
exploration is to associate the variation of mass density distribution differences and also the type
of rock.
The results obtained are in the form of an incision below the surface of the model shows
a picture of subsurface conditions in some areas that represent the entire study area. With
bedrock lithology in the study area is dominated by an old volcano Breccia a structure andesite
basalt belonging to Jampang Formation at a depth of approximately 9 km which has an average
density value of 2.8 mgal. whereas for sedimentary rocks from different sedimentation patterns
and sources of supply with an average sedimentation density values ranging from 2.2 to 2.5 mgal
mgal.

Keywords : gravity, anomaly bouger (BA), modelling, basin.

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN iii


KATA PENGANTAR v
INTISARI vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL viii

BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
I.2. Rumusan Masalah...................................................................... 2
I.3. Maksud dan Tujuan ................................................................... 2
I.4. Batasan Masalah ........................................................................ 3
I.5. Lokasi danWaktu Penelitian ...................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


II.1. Geologi Reginal dan Fisiografi Daerah Penelitian ...................... 5
II.2. Stratigrafi Regional Daerah Penelitian ........................................ 8
II.3. Stratigrafi Daerah Penelitian ....................................................... 12
II.4. Struktur Daerah Penelitian........................................................... 14
II.4.1 Pola Sesar ……………………………………………... 14
BAB III. DASAR TEORI
III.1. Konsep Dasar Metode Gaya Berat ............................................. 16
III.2. Koreksi dalam Metode Gravity .................................................. 18
III.2.1.Koreksi Pasang Surut (Tidal) ......................................... 18
III.2.2. Koreksi Apungan (Drift) ............................................... 19

ix
III.2.3. Koreksi Lintang .....................................................................................20
III.2.4. Koreksi Udara Bebas (free-air correvtion) ............................................21
III.2.5. Koreksi Bouguer ....................................................................................22
III.2.6. Koreksi Medan (Terrain Corection) ......................................................23
III.3. Pemisahan Anomali Regional-Residual ..................................... 25
III.3.1. Metode Analisis Spektrum ....................................................................25
III.3.2. Metode Moving Average .......................................................................27
III.4. Pemodelan ke Depan ( Forward Modelling) .............................. 31
III.5. Klasifikasi Cekungan Sedimen .................................................. 33
III.5.1. Teknik Analisa Cekungan .....................................................................37

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN


IV.1. Diagram Alir Penelitian ............................................................. 39
IV.2. Pemrosesan Data Gravity ........................................................... 40
IV.2.1. Data Gravity ..........................................................................................40
IV.2.2. Anomali Bouguer Lengkap ...................................................................40
IV.2.3. Analisis Spektrum .................................................................................40
IV.2.4. Pemisahan Anomali Regional dan Residual .........................................42
IV.2.5. Deliniasi Subcekungan ..........................................................................42
IV.2.6. Modelling 2.5 D ....................................................................................42
IV.2.7. Interpretasi .............................................................................................43
IV.3. Peralatan yang Digunakan ......................................................... 44
IV.3.1.Perangkat Keras ......................................................................................44
IV.3.2. Perangkat Lunak ....................................................................................44

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN


V.1. Geologi Regional Daerah Penelitian ........................................... 45
V.2. Anomali Gravitasi ....................................................................... 46
x
V.3. Filtering ....................................................................................... 47
V.3.1. Analisis Spektrum ...................................................................................48
V.3.1.1. Lintasan 1.............................................................................................49
V.3.1.2. Lintasan 2.............................................................................................50
V.3.1.3. Lintasan 3.............................................................................................51
V.3.1.4. Lintasan 4.............................................................................................52
V.3.1.5. Lintasan 5.............................................................................................53
V.4. Anomali Regional........................................................................ 55
V.5. Anomali Residual ........................................................................ 56
V.6. Deliniasi Anomali Residual......................................................... 56
V.7. Pemodelan 2.5 D ......................................................................... 57
V.7.1. Sayatan A – B .........................................................................................58
V.7.2. Sayatan C – D .........................................................................................59

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN


VI.1. Kesimpulan ................................................................................ 60
VI.2. Saran........................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Lokasi daerah penelitian Jawa Barat bagian selatan


4
(googlemaps,2014)
Gambar II.1 Fisiografi Regional Jawa Barat (van Bemmelen,1949) Peta 6
Gambar II.2 Geologi Regional Jawa Barat Selatan (Bakosurtanal) 8
Gambar II.3 Kolom statigrafi pegunungan selatan Jawa Barat 11
(Gafoer,dkk,1992)
Gambar II.4 Lokasi daerah penelitian 12
Gambar II.5 Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta 13
geologi Majenang (Kastowo,1975)
Gambar II.6 Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta 15
geologi Karangnunggal (Kastowo,1975)
Gambar II.7
Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta 16
geologi Pangandaran (Kastowo,1975)
Gambar II.8 Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta 17
geologi Tasikmalaya (Kastowo,1975)
Gambar II.9 Peta Pola Struktur Regiolan Jawa Barat (Martodjojo,1984) 19
Gambar II.10 Peta Pola sesar Jawa Barat (Noeradi 1997) 19
Gambar III.1 Sketsa gaya tarik dua benda berjarak R 21
Gambar III.2 Skema gayaberat bulan di titik A di permukaan 24
bumi (Kadir,2000)
Gambar III.3 Pengambilan data gayaberat dengan rangkaian 25
Gambar III.4 tertutup Sketsa koreksi udara bebas 27
Gambar III.5 Sketsa koreksi bouguer 28
Gambar III.6 Hubungan antara bouguer slab dalam koreksi bouguer 29
dan efek topografi pada koreksi medan (Kadir,2000)
Gambar III.7 Grafik hubungan antara anomali residual, anomali 30
regional dan data gravity (Telford,1990).
Gambar III.8 Pembagian zona anomali melalui grafik lnA terhadap 32
Gambar III.9 k Ilustrasi metode moving average 36
Gambar III.10 Pemodelan gravitasi dua dimensi dari distribusi 37
massa bawah permukaan bumi (Lillie,1999)
Gambar III.11 Klasifikasi cekungan sederhana (Selley,1988) 38
Gambar III.12 Klasifikasi cekungan (Boggs,2001) 39
Gambar IV.1 Diagram alir pengolahan data. 44
Gambar IV.2 Grafik hubungan antara amplitude dan bilangan gelombang 46
Gambar V.1 Geologi Regional Jawa Barat Bagian 50
Selatan (Bakosurtanal)
Gambar V.2 Topografi Jawa Barat Bagian Selatan 51
xii
Gambar V.3 Peta Anomali Bouger. 51
Gambar V.4 Peta Anomali Bouger dan lintasan untuk analisis spektrum 53
Gambar V.5 Grafik K Vs ln A lintasan 1 54
Gambar V.6 Grafik K Vs ln A lintasan 2 55
Gambar V.7 Grafik K Vs ln A lintasan 3 56
Gambar V.8 Grafik K Vs ln A lintasan 4 57
Gambar V.9 Grafik K Vs ln A lintasan 5 58
Gambar V.10 Peta anomali regional 60
Gambar V.11 Peta anomali residual 61
Gambar V.12 Peta anomali residual dengan sayatan 62
Gambar V.13 Sayatan A-B 63
Gambar V.14 Sayatan C-D 64
Gambar V.15 Sayatan E-F 65

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel V.1 Tabel kedalaman bidang diskontinuitas lintasan 1-5 53


Tabel V.2 Tabel kedalaman bidang diskontinuitas lintasan 1-5 54

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Ketersediaan sumber daya energi seperti minyak bumi akan semakin
menipis seiring dengan berjalannya waktu dan tingkat penggunaannya yang
semakin meningkat. Sumber daya energi yang lain seperti gas alam
keberadaannya juga mengikuti minyak bumi karena bersifat tidak dapat
diperbaharui (non renewable). Oleh karena itu segala upaya penelitian dan
eksplorasi harus tetap dilakukan untuk terus mendapatkan cadangan-cadangan
baru yang dapat di eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan energi. Untuk
menemukan cadangan-cadangan baru yang dapat dieksploitasi terkadang kegiatan
eksplorasi mengalami kendala yang berasal dari kondisi lapangan,akan tetapi
seiring berkembangnya metode geofisika maka kegiatan eksplorasi dapat terus
berlanjut dengan pengukuran pengukuran yang menggunakan metode geofisika.
Geofisika adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dengan
menggunakan parameter-parameter fisika. Geofisika sendiri dapat dibagi menjadi
beberapa metode, yang tergantung pada parameter-parameter yang didapatkan
seperti metode seismik yang memanfaatkan sifat penjalaran gelombang seismik,
metode geolistrik yang memanfaat sifat resistivitas batuan, metode magnetik yang
memanfaatkan sifat suseptibilitas dari batuan, metode gravitasi yang
memanfaatkan sifat densitas batuan, dan metode elektromagnetik yang
memanfaatkan perpaduan antara gelombang magnetik dan gelombang listrik. Pada
kasus ini digunakan metode gravity karena memiliki kelebihan dalam survei awal
dan memberikan informasi yang cukup detail mengenai struktur geologi dan
kontras densitas batuan (Dobrin and Savit, 1988).
Metode gravity adalah metode penyelidikan geofisika yang didasarkan
pada variasi percepatan gravitasi di permukaan bumi. Pengukuran gravity ini
dimana adanya perbedaan kecil dari medan gravitasi yang diakibatkan variasi
massa di kerak bumi. Tujuan dari eksplorasi ini adalah untuk mengasosiasikan
variasi dari perbedaan distribusi rapat massa dan juga jenis batuan. Metode
gravity ini secara relatif lebih murah, tidak mencemari dan tidak merusak. Metode
1
ini juga tergolong pasif, dalam arti tidak perlu ada energi yang dimasukkan ke
dalam tanah untuk mendapatkan data sebagaimana umumnya pengukuran.
Pengukuran percepatan gravitasi memberikan informasi mengenai densitas batuan
bawah permukaan (Blackly, 1995). Pada penelitian ini dalam menggambarkan
keadaan bawah permukaan digunakan pemodelan 2.5 D yang mengasumsikan
bumi menjadi 2.5 dimensi yang berubah terhadap kedalaman (Z) dan juga
terhadap profilnya (X) yang bersifat tegak lurus terhadap arah strike. Namun
model ini tidak berubah terhadap arah strike nya (arah Y).

I.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah metode gravity
yang digunakan untuk menentukan batuan dasar dan cekungan dari daerah
penelitian. Respon dari nilai percepatan gravitasi di permukaan berdasarkan
variasi densitas batuan di bawah permukaan sehingga menunjukan kontras nilai
antara batuan dasar dari daerah penelitian dan juga cekungan yang terdapat pada
daerah penelitian.

I.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penyusunan tugas akhir ini diantaranya adalah
1. Mempelajari aplikasi metode geofisika khususnya metode gravity.
2. Aplikasi metode gravity sebagai survei awal untuk melakukan pemetaan
bawah permukaan.

Sedangakan tujuan dari penyusunan tugas akhir ini adalah :


1. Analisa spektum dengan menggunakan metode FFT (Fast Fourier
Transform).
2. Menentukan Basement dan sedimen pada daerah penelitian.
3. Membuat pemodelan bawah permukaan daerah Jawa Barat bagian selatan.

2
I.4 Batasan Masalah
Metode gravity bisa digunakan untuk merespon kontras densitas bawah
permukaan dan juga memodelkan kondisi bawah permukaan berdasarkan densitas
batuan. Batasan masalah dari metode penelitian tugas akhir ini adalah :
1. Penelitian membahas mengenai aplikasi metode gravity untuk mengetahui
gambaran bawah permukaan dan karakterisasi basement dan cekungan.
2. Target penelitian merupakan basement dan cekungan yang terdapat pada
daerah Jawa Barat bagian selatan.
3. Data gravity yang digunakan merupakan data sekunder dari akuisisi pada
tahun 2009.
4. Penggunaan analisis spectrum untuk penentuan nilai lebar jendela yg
digunakan dalam proses filtering. Dari hasil filtering yang dilakukan, maka
didapatkan peta anomali regional dan anomaly residual dalam pemrosesan
data gravity, serta pemodelan bawah permukaan 2.5 D untuk melihat
gambaran bawah permukaan.

3
I.5 Lokasi Penelitian
Daerah Jawa Barat bagian selatan meliputi daerah administratif
Tasikmalaya,Ciamis hingga perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah,seperti bisa
dilihat pada Gambar I.1.

Gambar I.1 Lokasi daerah penelitian Jawa Barat bagian selatan (googlemaps,2014)

Pengolahan data penelitian ini dilakukan di PT.Pertamina Upstream Technology


Center (UTC) Jakarta dimulai dari tanggal 1 Juli 2014 hingga 6 Agustus 2014.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Geologi Regional dan Fisiografi Jawa Barat Selatan


Geologi daerah penelitian merupakan suatu acuan untuk mengetahui kondisi
geologi daerah keseluruhan baik secara regional maupun lokal. Untuk itu,
sebeblum melakukan survei geofisika pemahaman terhadap kondisi geologi
daerah penelitian sangat diperlukan untuk mengetahui target yang akan dicari.
Geologi Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki daya tarik tersendiri. Aktifitas geologi yang telah berlangsung selama
berjuta-juta tahun di wilayah ini menghasilkan berbagai jenis batuan mulai dari
batuan sedimen, batuan beku (ekstrusif dan intrusif) dan batuan metamorfik
dengan umur yang beragam. Akibat proses tektonik yang terus berlangsung
hingga saat ini, seluruh batuan tersebut telah mengalami pengangkatan, pelipatan
dan pensesaran.
Berdasarkan sudut pandang ilmu kebumian, daerah Jawa Barat sangat
menarik untuk dipelajari karena geologi daerah ini dikontrol oleh hasil aktifitas
tumbukan dua lempeng yang berbeda jenis. Lempeng yang pertama berada di
bagian utara berkomposisi Granitis yang selanjutnya dinamakan sebagai Lempeng
Benua Eurasia, selanjutnya lempeng yang kedua berada di selatan berkomposisi
Basaltis yang selanjutnya dinamakan sebagai Lempeng Samudra Hindia-Australia.
Kedua lempeng ini saling bertumbukan yang mengakibatkan Lempeng Samudra
menunjam di bawah Lempeng benua. Zona Tumbukan (subduction zone),
membentuk morfologi menyerupai lembah curam yang dinamakan sebagai palung
laut (trench). Di dalam palung ini terakumulasi berbagai jenis batuan terdiri atas
batuan sedimen laut dalam (Pelagic sediment), batuan metamorfik (batuan
ubahan) dan batuan beku berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit).
Percampuran berbagai jenis batuan di dalam palung ini dinamakan sebagai batuan
bancuh (batuan campur aduk) atau dkenal sebagai batuan melange.
Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang
satu sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi dan struktur
geologinya. Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar
5
zona fisiografi, masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai
Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan (Gambar II.1).

Gambar II.1. Fisiografi Regional Jawa Barat (Bemmelen 1949)

 Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang


barat-timur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu hingga
Cirebon. Darah ini bermorfologi pedataran dengan batuan penyusun terdiri
atas aluvium sungai/pantai dan endapan gunungapi muda. 

 Zona Bogor menempati bagian selatan Zona Dataran Pantai Jakarta,
membentang mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang,
Majalengka dan Kuningan. Zona Bogor umumnya bermorfologi
perbukitan yang memanjang barat-timur dengan lebar maksimum sekitar
40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan
beku baik intrusif maupun ekstrusif. Morfologi perbukitan terjal disusun
oleh batuan beku intrusif, seperti yang ditemukan di komplek Pegunungan
Sanggabuana, Purwakarta. Bemmelen (1949), menamakan morfologi
perbukitannya sebagai antiklinorium kuat yang disertai oleh pensesaran. 

 Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki
lebar antara 20 km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu,
menerus ke timur melalui Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian 
6
besar Zona Bandung bermorfologi perbukitan curam yang dipisahkan oleh
beberapa lembah yang cukup luas. Bemmelen (1949) menamakan lembah
tersebut sebagai depresi diantara gunung yang prosesnya diakibatkan oleh
tektonik (intermontane depression). Batuan penyusun di dalam zona ini
terdiri atas batuan sedimen berumur Neogen yang ditindih secara tidak
selaras oleh batuan vulkanik berumur Kuarter. Akibat tektonik yang kuat,
batuan tersebut membentuk struktur lipatan besar yang disertai oleh
pensesaran. Zona Bandung merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat
yang kemudian runtuh setelah proses pengangkatan berakhir (Bemmelen,
1949).

 Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung.


Pannekoek, (1946), menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi
tersebut dapat diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan
bergelombang di Lembah Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona
Bandung berbatasan langsung dengan dataran tinggi (pletau) Zona
Pegunungan Selatan. Morfologi dataran tinggi atau plateau ini, oleh
Pannekoek (1946) dinamakan sebagai Plateau Jampang. 

7
II.2 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian
Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang
satu sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi dan struktur
geologinya. Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar
zona fisiografi, masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai
Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan (Gambar II.2).

Gambar II.2. Peta Geologi Regional Jawa Barat Selatan (Bakosurtanal)

Statigrafi regional memberikan gambaran umum beberapa formasi batuan


yang erat hubungannya dengan statigrafi daerah penelitian dan diuraikan dari
satuan batauan tertua ke satuan batuan termuda. Statigrafi zona pegunungan
selatan Jawa Barat dari batuan tertua ke batuan termuda.
- Formasi Jampang (Tmjg)
Formasi Jampang atas yang berumur Miosen Awal terdiri dari
batulumpur, tufa breksi, tufa dasit, lava dasit dengan batas batas satuan
batuan yang tidak selaras. Formasi Jampang bawah berumur Oligosen
terdiri dari satuan breksi vulkanik dan lava andesit. Keempat formasi
tersebut telah diterobos oleh tiga tubuh intrusi batuan andesit, basal dan
diorite kuarsa porifiri. Batuan tertua tersingkap pada zona pegunungan
selatan termasuk kelompok batuan vulkanik terdiri dari lava bersusunan
andesit terkekarkan dan breksi andesit yang mengandung hornblende,
sisipannya tuff hablur halus, secara lokal terpropilitikan dan terjadi
8
proses piritisasi pada sekitar kontak dengan batuan intrusi kuarsa diorit.
Satuan batuan ini termasuk dalam Formasi Jampang yang berumur
Miosen Bawah – Miosen Tengah, didominasi oleh breksi tufan dengan
sisipan batulempung tufaan dan lava andesit. Menurut Asikin (1974),
secara umum batuan yang tergolong dalam formasi ini mempunyai ciri-
ciri endapan gravitasi dengan sisipan lava dan kadang-kadang
memperlihatkan struktur bantal.
- Formasi Kalipucang (Tmkl)
tersusun oleh batugamping terumbu setempat batuapung klastik dan
pada bagian bawah diendapkan serpih bitumen. Selanjutnya secara tidak
selaras dibawah formasi ini diendapkan Formasi Waturanda dan
Anggota Tufa Formasi Waranda yang berumur Miosen Awal.
- Diorit kuarsa (Tmdi)
Batuan berikutnya adalah diorite kuarsa yang mengintrusi Formasi
Jampang. Warna kelabu kehijauan, agak lapuk, propilitik, masa dasar
kuarsa berukuran kasar, sebagian plagioklas terubah menjadi serisit dan
piroksen klorit. Disekitar kontak dijumpai mineral pirit berukuran
menengah-kasar dan terdapat gejala silifikasi.
- Formasi Bentang (Tmpb)
Foremasi Bentang ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Bentang
yang berumur Miosen Akhir hingga Pliosen Awal. Bagian bawah
Formasi Bentang terdiri dari konglomerat, batupasir tufa, tufa batuapung
bersisipan lempung, batulanau dan lignit. Bagian atas terdiri dari :
batupasir tufaan,tufa kaca halus batuapung bersifat gampingan dan
batugamping pasiran.
- Formasi Halang (Tmph)
Formasi ini tersusun oleh litologi perselingan batupasir, batulempung,
napal dan tufa dengan sisipan breksi, dipengaruhi oleh arus turbidit dan
pelengseran bawah air laut. Formasi ini berumur Miosen Akhir.
- Formasi Beser (Tmb)
Pada bagian utara dijumpai lava dan breksi tufaan yang tersusun dari
andesit, mengandung fragmen batuapung. Diduga batuan gunungapi

9
tersebut termasuk dalam Formasi Beser yang berumur Miosen Akhir.
Hubungannya dengan Formasi Bentang di daerah ini yaitu menunjukan
ketidak selarasan.
- Breksi tufan
Terdiri dari breksi tuf dan batupasir yang berumur Pliosen,menutupi
Formasi Bentang secara tidak selaras.
- Andesit
Intrusi andesit piroksen dan andesit hornblende, bertekstur pofiritik,
fenokrisnya berupa plagioklas, hornblende-piroksen dengan massa dasar
mikrolit feldspar dan mineral mafik. Batuan ini menerobos batuan Mio
Pliosen dan ditafsirkan berumur Pliosen.
- Batuan Gunungapi tua tak teruraikan
Terdiri dari tuff, breksi tuf dsan lava yang berumur Pliosen akhir
menutupi secara tidak selaras breksi tufan.
- Batuan Gunungapi muda
Batuan gunungapi tua ditutupi tidak selaras oleh batuan gunungapi
muda yang diduga berumur Plio-Pleistosen, terediri dari tuf hablur,
breksi tuf batuapung, breksi dan lava andesit. Endapan gunungapi
kuarter ini menutupi Formasi Bentang dan batuan gunungapi tua,
sedangkan mineralisasi diduga berumur Pliosen-Pleitosen. Batuan ini
dihasilkan dari Gunung Wayang dan Gunung Windu, Gunung
Papandayan, Gunung Cikuray, Gunung Masigit, Gunung Haruman.
Endapan vulkanik kuarter merupakan endapan piroklastik yang tersebar
mengikuti relief topografi sebelumnya yang terdiri dari satuan breksi
gunungapi dan pada bagian atas dijumpai tufa. Pada beberapa tempat
tertutup endapan aluivium.
- Endapan Kolovium,danau dan alluvium
Endapan yang paling muda tersusun atas endapan talus,endapan danau,
dan endapan sungai,yang berumur resen (Holosen). Endapan kolovium
terdiri dari endapan talus, rayapan dan runtuhan batuan gunungapi tua
berupa bongkah-bongkah batuan beku, breksi tuf dan pasir tuf. Endapan
danau tersusun atas lempung lanau, pasir halus-kasar dan kerikil bersifat

10
tufan. Endapan alluvium terdiri dari lempung,lanau, pasir halus-kasar
dan kerikil, bongkah bongkah batuan beku dan batuan sedimen. endapan
ini berumur Holosen.

Gambar II.3. Kolom statigrafi pegunungan selatan Jawa Barat (Gafoer,dkk,1992)

Secara umum Martodjojo (1984) membagi daerah Jawa Barat menjadi 3


mandala sedimentasi, yaitu :
1. Mandala Paparan Kontinen
Mandal ini terletak dipaling utara dan lokasinya sama dengan zona
dataran pantai Jakarta pada zona fisiografis Bermelen (1949). Mandala
ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batu
gamping, batulempung dan batupasir kuarsa, serta lingkungan
pengendapan umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen
mencapai 5000 m.
2. Mandala Cekungan Bogor
Mandala ini terletak di selatan mandala paparan kontinen yang meliputi
beberapa zona Bermelen (1949),yakni Zona Bogor, Zona Bandung dan
Zona pegunungan selatan. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh
11
endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku
dan batuan sedimen seperti andesit, basalt, tuf dan batugamping,
ketebalannya diperkirakan lebih dari 7000 m.

3. Mandala Banten
Mandal sedimentasi ini sebenarnya tidak begitu jelas,karena sedikitnya
data yang diketahui,pada umur Tersier Awal, mandala ini lebih
menyerupai mandala paparan kontinen, sedangkan pada Tersier Akhir
cirinnya sangat mendekati mandala cekungan Bogor.
II.3 Stratigrafi Daerah Penelitian

Gambar II.4. Lokasi daerah penelitian (Bemmelen 1949)

Sedangkan stratigrafi khususnya pada daerah penelitian Tasikmalaya


disusun oleh batuan gunungapi, batuan sedimen, batuan terobosan dan endapan
permukaan. Batuan-batuan tersebut mempunyai umur mulai dari Oligosen sampai
Holosen. Endapan permukaan berupa aluvium dan endapan pantai (Qa) yang
tersusun oleh kerikil, pasir dan lumpur yang terbentuk di dalam lingkungan
sungai, delta dan pantai.

12
Gambar II.5. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Majenang (Kastowo, 1975).

Batuan sedimen terdiri dari :


 Formasi Kalibiuk (Tpb) 

Bagian bawah terdiri dari batu lempung dan napal berfosil, bagian atas
mengandung lebih banyak sisipan tipis 

 Formasi Tapak (Tpt) 

Bagian bawah terdiri dari batu pasir kasar kehijauan yang ke arah atas
berangsur menjadi batu pasir sisipa napal 

 Formasi Kumbang (Tpk) 

Breksi gunungapi andesit, pejal dan tidak berlapis termasuk bebrapa aliran
lava dan retas yang bersusunan lama. 

13
 Formasi Kalipucang (Tmkl) 

Terdiri dari batugamping koral, pejal dan berongga. 

 Formasi Halang (Tmph) 
Terdiri dari endapan terbidit terdiri dari perselingan napal kalkarenit,
batupasir sela, konglomerat dengan sisipan batugamping dan batupasir.
Batuan Gunungapi terdiri dari :
 Hasil Gunungapi Tua (Qv) 

Terdiri dari breksi gunungapi, lava dan tuf bersusunan andesit sampai
basa. 

 Hasil Gunungapi Muda (Qvt) 

Terdiri dari breksi gunungapi, lahar dan tufa bersusunan andesit sampai
basal. 

 Batuan Terobosan (Tmda, Tmdi dan Tpa) 

Terdiri dari terobosan andesit, dasit dan diorit. Struktur geologi yang
terdapat di daerah penyelidikan berupa perlipatan dan pensesaran. Struktur
geologi tersebut banyak dijumpai di bagian tengah dan selatan daerah
penyelidikan. Gaya tektonik telah melipatkan dan mensesarkan batuan
yang berumur tua terutama yang berumur Miosen. 

14
Gambar II.6. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Karangnunggal (Kastowo, 1975).

Batuan sedimen terdiri dari :


 Formasi Bentang (Tmb) 

Batupasir gampingan, batupasir tufan, bersisipan serpih dan lensa-lensa
batugamping 

 Formasi Pamutuan (Tmpa) 

Batupasir kalkarenit, napal, tuf, batulempung dan batugamping 

 Anggota Batugamping Formasi Pamutuan (Tmpl)
Batugamping pasiran, kalsilutit dan napal 

 Formasi Kalipucang (Tmkl) 

Terdiri dari batugamping koral, pejal dan berongga. 

 Formasi Jampang (Tomj) 

Breksi aneka bahan dan tuf dengan sisipan lava 

15
Batuan Gunungapi terdiri dari :
 Hasil Gunungapi Tua (Qv) 

Terdiri dari breksi gunungapi, lava dan tuf bersusunan andesit sampai
basa. 

 Hasil Gunungapi Muda (Qvt) 

Terdiri dari breksi gunungapi, lahar dan tufa bersusunan andesit sampai
basal. 

Gambar II.7. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Pangandaran (Kastowo, 1975).

Batuan sedimen terdiri dari :


 Formasi Tapak (Tpt) 

Bagian bawah terdiri dari batu pasir kasar kehijauan yang ke arah atas
berangsur menjadi batu pasir sisipan napal. 

16
 Formasi Kumbang (Tpk) 

Breksi gunungapi andesit, pejal dan tidak berlapis termasuk bebrapa aliran
lava dan retas yang bersusunan lama. 

 Formasi Halang (Tmph) 

Terdiri dari endapan terbidit terdiri dari perselingan napal kalkarenit,
batupasir sela, konglomerat dengan sisipan batugamping dan batupasir. 

 Formasi Pamutuan (Tmpa) 

Batupasir kalkarenit,napal,tuf,batulempung dan batugamping 

 Formasi Jampang (Tomj) 

Breksi aneka bahan dan tuf dengan sisipan lava 

Gambar II.8. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Tasikmalaya (Kastowo, 1975).

Batuan sedimen terdiri dari :


 Formasi Tapak (Tpt) 

Bagian bawah terdiri dari batu pasir kasar kehijauan yang ke arah atas
berangsur menjadi batu pasir sisipan napal. 

17
 Formasi Halang (Tmph) 

Terdiri dari endapan terbidit terdiri dari perselingan napal kalkarenit,
batupasir sela, konglomerat dengan sisipan batugamping dan batupasir. 

 Formasi Bentang (Tmb) 

Batupasir gampingan,batupasir tufan,bersisipan serpih dan lensa-lensa
batugamping 

 Anggota Batugamping Formasi Kalipucang (Tmkl)
Batugamping pasiran,kalsilutit dan napal 

 Formasi Kalipucang (Tmkl) 

Terdiri dari batugamping koral, pejal dan berongga. 

 Formasi Jampang (Tomj) 

Breksi aneka bahan dan tuf dengan sisipan lava 
II.4 Struktur Daerah Penelitian
Struktur geologi regional Jawa Barat dibagi menjadi tiga pola utama yaitu
Pola Meratus, Pola Sumatera, dan Pola Sunda (Martodjojo, 1984) yang
diilustrasikan pada (Gambar II.9). Pola-pola tersebut merupakan hasil dari
aktivitas lempeng-lempeng yang bekerja di sekitar wilayah regional penelitian
dengan arah tegasan utama yang berbeda-beda yang diinterpretasikan sebagai
adanya perubahan rezim tektonik dari waktu ke waktu. Pola Struktur daerah Jawa
Barat dapat dilihat pada (Gambar II.9), sedangkan untuk deskripsinya dijelaskan
sebagai berikut,

Pola Meratus mempunyai arah timur laut-barat daya (NE-SW). Pola ini
tersebar di daerah lepas pantai Jawa Barat dan Banten. Pola ini diwakili oleh Sesar
Cimandiri, Sesar Naik Rajamandala, dan sesar-sesar lainya. Meratus lebih
diartikan sebagai arah yang mengikuti pola busur umur Kapus yang menerus ke
Pegunungan Meratus di Kalimantan (Katili, 1974, dalam Martodjojo, 1984).
Pola Sumatera mempunyai arah baratlaut-tenggara (NW-SE). Pola ini
tersebar di daerah Gunung Walat dan sebagian besar bagian selatan Jawa Barat.
Pola ini diwakili oleh Sesar Baribis, sesar-sesar di daerah Gunung Walat, dan
sumbu lipatan pada bagian selatan Jawa Barat. Arah Sumatera ini dikenal karena
kesejajaranya dengan Pegunungan Bukit Barisan (Martodjojo, 1984).

18
Pola Sunda mempunyai arah utara-selatan (N-S). Pola ini tersebar di
daerah lepas pantai utara Jawa Barat berdasarkan data-data seismik. Arah ini juga
terlihat pada Sesar Cidurian, Blok Leuwiliang. Arah sunda ini diartikan sebagai
pola yang terbentuk pada Paparan Sunda (Martodjojo, 1984).

Gambar II.9. Peta Pola Struktur Regiolan Jawa Barat (Martodjojo 1984)

II.4.1 Pola Sesar

Gambar II.10. Peta Pola sesar Jawa Barat (Noeradi 1997)

Berdasarkan hasil penafsiran foto udara dan citra indraja (citra landsat)
daerah Jawa Barat, diketahui adanya banyak kelurusan bentang alam yang diduga
merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-

19
timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara. Secara regional
struktur sesar berarah timurlaut-baratdaya dikelompokan sebagai Pola Meratus,
sesar berarah utara-selatan dikelompokan sebagai Pola Sunda dan sesar berarah
barat-timur dikelompokan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-
timur umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya
berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.
Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga
struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar
Baribis dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga
sekarang.
Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (umur Kapur), membentang
mulai dari Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri,
Cipatat-Rajamandala, Gunung Tangguban Prahu-Burangrang dan diduga menerus
ke timur laut menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah
timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar mendatar hingga oblique (miring). Oleh
Martodjojo (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Meratus.
Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik
dengan arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke
daerah Baribis di Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan jalur
Sesar Baribis dipandang berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo (1984),
menafsirkan jalur sesar naik Baribis menerus ke arah tenggara melalui kelurusan
Lembah Sungai Citanduy, sedangkan oleh Simandjuntak (1996), ditafsirkan
menerus ke arah timur hingga menerus ke daerah Kendeng (Jawa Timur). Penulis
terakhir ini menamakannya sebagai “Baribis-Kendeng Fault Zone”. Secara
tektonik Sesar Baribis mewakili umur paling muda di Jawa, yaitu
pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh Martodjojo
(1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Jawa.
Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang
kurang lebih 30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar
turun) dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi pedataran
(pedataran Lembang). Bemmelen (1949), mengkaitkan pembentukan Sesar

20
Lembang dengan aktifitas Gunung Sunda (G. Tanggubanprahu merupakan sisa-
sisa dari Gunung Sunda), dengan demikian struktur sesar ini berumur relatif muda
yaitu Plistosen.

21
BAB III

DASAR TEORI

III.1 Konsep Dasar Metode Gaya Berat


Adanya variasi medan gravitasi bumi ditimbulkan oleh adanya perbedaan rapat
massa (density) antar batuan. Adanya suatu sumber yang berupa suatu massa
(masif, lensa, atau bongkah besar) di bawah permukaan akan menyebabkan
terjadinya gangguan medan gaya berat (relatif). Adanya gangguan ini disebut
sebagai anomali gaya berat. Karena perbedaan medan gayaberat ini relatif kecil
maka diperlukan alat ukur yang mempunyai ketelitian yang cukup tinggi. Alat
ukur yang sering digunakan adalah Gravitymeter.
Teori yang mendasari Metode gravity adalah Hukum gravitasi yang dikemukakan
oleh Sir Isaac Newton (1642-1727), menyatakan bahwa gaya tarik-menarik antara
dua buah partikel sebanding dengan perkalian kedua massanya dan berbanding
terbalik dengan kuadrat jarak antara pusat keduanya, jadi semakin jauh jarak
kedua benda tersebut maka gaya gravitasi semakin kecil dan apabila jarak kedua
benda semakin kecil maka gaya gravitasi juga akan menjadi besar, (gambar III.1).

Gambar III.1. Sketsa gaya tarik dua benda berjarak R

(III.1)

Dari persamaan (III.1) di atas dapat dikombinasikan dengan Hukum Newton II


yang menyatakan bahwa gaya adalah perkalian antara massa dengan percepatan,
apabila percepatan berarah vertikal maka percepatan tersebut disebabkan oleh
gaya gravitasi.

22
(III.2)
Hasil subtitusi dari persamaan (III.1) dengan (III.2) akan menjadi :

(III.3)

Keterangan: F : gaya tarik antara dua massa (N)


M : massa benda 1 (kg)
m : massa benda 2 (kg)
R : jarak antara M dan m (meter)

G : konstanta gravitasi Nm2/kg2


: percepatan (m/s2)

Dengan harga konstanta gravitasi yaitu :

G = 6,673 x 10-8 dynecm2/g2.


= 6,673 x 10-11 Nm2/kg2.

Dari persamaan di atas terlihat bahwa besarnya gaya berat berbanding langsung
dengan massa penyebabnya, sedangkan massa berbanding langsung dengan rapat
massa ρ dan volume benda, sehingga besarnya gaya berat terukur akan
mencerminkan kedua besaran tersebut dimana volumenya akan juga berhubungan
dengan geometri benda, (Kadir, 2000).
Apabila dalam suatu sistem ruang tertentu terdapat massa, maka massa ini
akan menimbulkan medan potensial disekitarnya. Medan potensial untuk gaya
berat adalah medan (potensial) gaya berat dan, sesuai dengan sifat potensial skalar
secara umum, bersifat konservatif, yaitu bahwa usaha yang dilakukan dalam suatu
medan gaya berat tidak tergantung pada lintasan yang ditempuhnya, (Kadir,
2000). Sesuai persamaan berikut :
dan (III.4)

Dimana : U = Potensial skalar

23
Sesuai dengan persamaan (III.4), potensial gayaberat U dipermukaan, dengan
asumsi bumi bersifat homogen dan berbentuk bola dengan jari-jari R.

(III.5)

III.2 Koreksi Dalam Metode Gravity


Dalam pengolahan data gravity perlu dilakukan beberapa koreksi, koreksi-
koreksi ini dilakukan karena ada faktor – faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya harga gravitasi pada suatu titik pengamatan, faktor-faktor tersebut adalah
:
 
 Posisi garis lintang.
 
 Kedudukan matahari dan bulan terhadap bumi (pasang surut)
 
 Elevasi (ketinggian titik pengamatan)
 
 Keadaan topografi di sekitar titik pengukuran.
 
Variasi rapat massa batuan di bawah permukaan (anomali/target)

Setelah koreksi-koreksi dilakukan maka akan didapatkan suatu nilai anomali


bouguer lengkap. Berikut adalah koreksi-koreksi yang dilakukan saat pemrosesan
data gravity.

III.2.1 Koreksi Pasang Surut (Tidal)


Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan efek gayaberat benda-benda
diluar bumi, misalnya efek Matahari dan Bulan. Harga koreksi tidal tergantung
lintang dan waktu. Berikut contoh efek gaya berat bulan di titik A pada
permukaan bumi dengan kedudukan seperti pada gambar III.2, dan dengan
persamaan sebagai berikut :

(III.6)
24
Gambar III.2. Skema gayaberat bulan di titik A di permukaan bumi (Kadir, 2000)

Keterangan: Um : Potensial di titik A akibat pengaruh bulan


ϴm : lintang
B1 : Bumi
B2 : bulan
C : jarak rata-rata ke bulan
R : jarak rata-rata dari pusat bumi ke bulan
r : jari-jari bumi ke titik A

III.2.2 Koreksi Apungan (Drift)


Koreksi Apungan (Drift) adalah koreksi yang dilakukan karena terdapat
pembacaan yang berbeda pada setasiun pengukuran yang sama pada waktu yang
berbeda yang disebabkan guncangan pegas pada alat selama transportasi pada saat
pengukuran dari stasiun satu ke stasiun lainnya. Untuk menghilangkan efek ini
maka pengambilan data gravity didesain dengan rangkaian tertutup, (gambar
III.3), sehingga besarnya penyimpangan dapat diketahui dan diasumsikan linier
pada selang waktu tertentu. Berikut persamaan untuk melakukan koreksi apungan
:
(III.7).

Keterangan : gakhr : pembacaan gravitimeter pada akhir looping.


g0 : pembacaan gravitimeter pada awal looping.
takhr : waktu pembacaan pada akhir looping.
t0 : waktu pembacaan pada awal looping.
25
tn : waktu pembacaan pada stasiun n.

Gambar III.3. Pengambilan data gayaberat dengan rangkaian tertutup

Pengukuran awal dilakukan pada Base Stasion (BS), kemudian dilanjutkan


dengan pengukuran titik-titik amat sesuai rencana. Akhir pengukuran dalam suatu
hari kerja tersebut ditutup dengan pengukuran kembali ke BS.
Perbedaan hasil pengukuran terhadap BS pada awal dan akhir pengukuran
merupakan besarnya koreksi drift. Koreksi untuk masing-masing titik pengamatan
dilakukan dengan interpolasi terhadap waktu pengukuran.

III.2.3 Koreksi Lintang


Dari pengukuran geodetik dan penurunan dari satelit diketahui bentuk bumi
mendekati spheroid yang menggelembung di ekuator dan “flaten” di kutub. Bumi
tidaklah bulat sempurna tetapi agak tetap dikutubnya, akibatnya terdapat variasi
radius bumi. Akibat yang lain adalah perbedaan percepatan sentrifugal di kutub
dan di equator. Percepatan sentrifugal maksimum di equator dan nol di kutub.
Sehingga g di kutub lebih besar dibandingkan dengan g di equator. Sesuai
persamaan berikut

(III.8)

Dimana Re dan Rp masing-masing adalah jari-jari bumi di ekuator dan kutub,


sehingga sehingga pendekatan bentuk bumi disebut speroid referensi. Speroid
referensi adalah suatu elipsoid ‘oblate’ yang digunakan sebagai pendekatan untuk
26
muka laut rata-rata (geoid) dengan mengabaikan dan menghilangkan efek benda
di atasnya, (Kadir, 2000).
Pendekatan tersebut berbeda sekali dengan kenyataan yang sebenarnya,
dimana elevasi purata benua mencapai 500 meter, bahkan terdapat elevasi
penggunungan dan depresi air laut (palung) yang mencapai 9000 meter terhadap
level permukaan air laut (sea level). Untuk mengkompensasi efek undulasi ini,
para ahli geodesi mendefinisikan suatu bidang acuan yang disebut permukaan
mean sea level (equipotensial). Permukaan ini yang dikenal sebagai geoid yang
didefinisikan sebagai mean sea level (msl) pada seluruh permukaan air laut. Oleh
karena itu permukaan geoid dan ellipsoid tidak pernah akan berimpit. Permukaan
geoid akan lebih melengkung ke atas pada daerah kontinen akibat material
diatasnya, sebaliknya akan lebih melangkung kebawah pada daerah samudra.
Namun begitu perbedaan keduanya tidak akan lebih dari 50 meter, berikut
persamaan untuk koreksi lintang :

(III.9)

dimana sudut lintang dan persamaan di atas sering disebut dengan persamaan
GRS 80.

III.2.4 Koreksi Udara Bebas ( free-air correction )


Koreksi udara bebas merupakan koreksi akibat perbedaan ketinggian
sebesar h dengan mengabaikan adanya massa yang terletak diantara titik amat
dengan speroid referensi. Koreksi ini dilakukan untuk mendapatkan anomali
medan gravity di topografi. Untuk mendapat anomali medan gravity di topografi
maka medan gravity teoritis dan medan gravity observasi harus sama-sama berada
di topografi, sehingga koreksi ini perlu dilakukan. Koreksi udara bebas dinyatakan
secara metematis dengan rumus :

(III.10)

27
dimana h adalah beda ketinggian antara titik amat gravity dari speroid referensi
(dalam meter) gambar III.4.

Gambar III.4. Sketsa koreksi udara bebas

Setelah dilakukan koreksi tersebut maka akan didapatkan anomali udara bebas di
topografi yang dapat dinyatakan dengan rumus :

(III.11)

Keterangan :
g : anomali medan gayaberat udara bebas di topografi
(m.Gal)
gobs : medan gayaberat observasi di topografi (m.Gal)
gn : medan gayaberat teoritis pada posisi titik amat (m.Gal)
g fa : koreksi udara bebas (m.Gal)

III.2.5 Koreksi Bouguer


Koreksi Bouguer merupakan koreksi yang dilakukan untuk menghilangkan
perbedaan ketinggian dengan tidak mengabaikan massa di bawahnya. Perbedaan
ketinggian tersebut akan mengakibatkan adanya pengaruh massa di bawah
permukaan yang mempengaruhi besarnya percepatan gayaberat di titik amat.
Koreksi ini mempunyai beberapa model, salah satunya adalah model slab
horisontal tak hingga. Koreksi Bouguer slab horizontal mengasumsikan

28
pengukuran berada pada suatu bidang mendatar dan mempunyai massa batuan
dengan densitas tertentu, gambar III.5.

Gambar III.5. Sketsa koreksi bouguer

Koreksi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :


g B  2 Gh  0.04191 h (III.12)

Keterangan :
-9
G adalah konstanta : 6.67 x 10 cgs unit
3
 adalah densitas batuan : 2.67 gr/cm 

h adalah ketinggian antara titik amat gravity dengan suatu datum level tertentu.
Anomali medan gravitasi yang telah dikoreksi oleh koreksi Bouguer disebut
anomali Bouguer sederhana di topografi yang dapat dituliskan sebagai berikut :
g
BS
g fa  g B
(
III.14)

III.2.6 Koreksi Medan (Terrain Corection)

Koreksi ini diterapkan sebagai akibat dari pendekatan koreksi Bouguer dengan
slab horizontal tak hingga, sedangkan kenyataannya permukaan bumi tidak datar,
tetapi berundulasi sesuai dengan topografinya. Sehingga untuk daerah dengan
topografi kasar perlu dilakukan koreksi untuk menghilangkan efek topografi
tersebut. Secara umum hubungan antara koreksi Bouguer dan koreksi medan
29
diberikan oleh gambar III.6 dimana area A dan B adalah efek topografi yang harus
dikoreksi.

Gambar III.6. Hubungan antara bouguer slab dalam koreksi bouguer dan efek topografi
pada koreksi medan (Kadir, 2000).

Sesuai gambar III.6, efek blog area A dan B dalam SBA bersifat mengurangi,
sehingga dalam penerapan koreksi medan, efek koreksi medan blog A dan B
ditambahkan terhadap SBA, dengan demikian anomali gravity menjadi :

CBA = SBA + TC (III.13)

Dimana CBA adalah anomali Bouguer Lengkap (Complete Bouguer Anomaly)


dan TC adalah koreksi medan (Terrain Correction). Sehingga rumus untuk
mencari CBA adalah:

CBA = gobs-gn+0.3086h-0.04191ρh+TC (III.14)

Besar koreksi medan dihitung oleh Hammer yang dirumuskan seperti pada
persamaan berikut:

(III.15)

30
III.3 Pemisahan Anomali Regional – Residual

Anomali gravity yang didapat setelah proses koreksi sebenarnya adalah


penjumlahan dari semua kemungkinan sumber anomali yang ada di bawah
permukaan dimana salah satunya merupakan target dari eksplorasi (gambar III.7).

Gambar III.7. Grafik hubungan antara anomali residual, anomali regional dan data
gravity (Telford, 1990).

Sehingga anomali yang merupakan target harus dipisahkan untuk kepentingan


interpretasi. Apabila target dari eksplorasi adalah anomali residual maka anomali
lainnya adalah noise dan anomali regional. Dimana lebar dari anomali residual ini
lebih kecil daripada anomali regional dan lebih besar dari noise, sedangakan
kedalaman anomali regional lebih dalam dari anomali residual dan kedalaman
noise lebih dangkal dari anomali residual. Adapun metode yang digunakan untuk
pemisahan anomali ini adalah :

III.3.1 Metode Analisis Spektrum


Analisa spektrum dilakukan untuk melihat respon anomali yang berasal dari
zona regional, residual, dan noise, sehingga kedalaman dari anomali gravitasi
dapat diestimasi. Analisa spektrum dilakukan dengan mentransformasi Fourier
lintasan-lintasan yang telah ditentukan.

(III.16)

dimana k adalah bilangan gelombang, yang nilainya didapatkan dari persamaan


berikut:

31
(III.17)

Transformasi Fourier F(k)merupakan suatu fungsi kompleks yang terdiri dari


bilangan real dan imajiner, yaitu :

(III.18)

(III.19)
(III.20)

Spektrum diturunkan dari potensial gravitasi yang teramati pada suatu bidang
horizontal dimana transformasi Fouriernya menurut Blakely (1996) adalah:

(III.21)

Dengan:

(III.22)

Dimana:
U: potensial gravitasi (m²/s²)
G: konstanta gravitasi (m.Gal)
µ: anomali densitas (gr/cc)
r: jarak (m)
k: bilangan gelombang
z0 dan z’: ketinggian titik pengukuran dan kedalaman anomaly

(III.23)

Berdasarkan pada persamaan di atas, transformasi Fourier anomali


gravitasi yang diamati pada bidang horisontal adalah:

32
(III.24)

Dimana: A= Amplitudo
C= Konstanta

Dengan melogaritmakan spektrum amplitudo yang dihasilkan dari transformasi


Fourier, maka didapatkan hubungan langsung antara amplitudo (A) dengan
bilangan gelombang (k) dan kedalaman (z0-z’), sehingga memberikan hasil
persamaan garis lurus, yaitu:

(III.25)

Estimasi kedalaman tiap anomali dapat dilakukan dengan melakukan regresi


linear pada masing-masing zona, seperti yang terlihat pada Gambar dibawah.
Kedalaman regional akan didapatkan dengan melakukanregresi linear pada zona
regional, dan begitu juga dengan zona residual dan noise.

Gambar III.8 Pembagian zona anomali melalui grafik lnA terhadap k

III.3.2 Metode Moving Average


Transformasi Fourier adalah transformasi matematis yang digunakan
untuk mentransformasikan suatu sinyal dari domain tertentu kedalam kawasan
frekuensi. Transformasi Fourier untuk benda sembarang 2-D adalah (Blakely,
1996):

(III.26)
33
Untuk mendapatkan window yang optimal maka dilakukan transformasi fourier
dua dimensi untuk 1/r yang ditulis oleh Blakely, 1996.

(III.27)

Persamaan di atas dapat disederhanakan dengan asumsi fungsi 1/r


adalah simetris silinder terhadap sumbu z dengan mengkonversikan integral ke
dalam koordinat polar.

Maka transformasi dua dimensi untuk 1/r :

(III.28)

Bentuk integral ϴ jika diselesaikan dalam fungsi bessel orde ke nol menjadi :

(III.29)

Persamaan tersebut di subtitusikan kedalam transformasi Fourier


menghasilkan transformasi Hankel orde ke nol menjadi :

(III.30)
34
Solusi dari persamaan transformasi dua dimensi untuk 1/r ini terutama di
tulis oleh Bracewel.

(III.31)

Potensial gravitasi di suatu titik massa diberikan oleh rumus


dimana G adalah constanta gravitasi. Transformasi fourier dari potensial observasi
di suatu bidang datar diberikan oleh:

, (III.32)
Gerak vertikal gravitasi yang disebabkan suatu titik massa adalah vertikal
derivativ dari potensial gayaberatnya:

(III.33)

Hasil transformasi fouriernya adalah :

, (III.34)

Dalam kepentingan mencari lebar window yang optimal, spektrum


amplitudo yang dihasilkan transformasi tadi diln-kan.
35
(III.35)

Persamaan di atas dapat dianalogikan dengan persamaan garis lurus :


(III.36)

Dengan:

(m, atau ketebalan)

Dengan demikian gradien garisnya merupakan kedalaman bidang

diskontinuitas. Dimana sebagai sumbu x didefinisikan sebagai bilangan


gelombang sampling, yang besarnya 2π/ λ, dan λ adalah panjang gelombang,
hubungan λ dengan Δx diperoleh dari persamaan :
(III.37)

Dari persamaan di atas nilai λ sama dengan Δx, tentunya ada faktor lain pada Δx
yang disebut konstanta pengali, sehingga λ=c.Δx konstanta c didefinisikan sebagai
lebar window dan nilainya harus ganjil (Setyanta dan Setiadi, 2008).
Metode moving average atau metode perata-rataan bergerak ini pada dasarnya
hanya merata-ratakan data anomali gravity, dari metode ini akan didapatkan nilai
anomali regionalnya, dan untuk residualnya dapat didapat dari pengurangan antara
anomali gravity dikurangi dengan nilai anomali regionalnya. Berikut persamaan
moving average yang digunakan :

(III.48)

Keterangan : N = lebar jendela


n = (N-1)/2
gi = anomali gayaberat di titik i

36
Dari rumus di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Δgr= [(Δg1)+(Δg2)+...+(Δg25)]

Δg1 Δg2 Δg3 Δg4 Δg5


Δg6 Δg7 Δg8 Δg9 Δg10
Δg11 Δg12 Δg13 Δg14 Δg15
Δg Δg Δg Δg Δg
16 17 18 19 20

Δg21 Δg22 Δg23 Δg24 Δg25

Gambar III.9. Ilustrasi metode moving average

III.4 Pemodelan ke Depan (Forward Modelling)


Jika diketahui nilai parameter model bawah permukaan tertentu maka melalui
proses pemodelan ke depan (forward modelling) dapat dihitung data yang secara
teoritik akan teramati di permukaan bumi. Konsep tersebut digunakan untuk
menginterpretasi atau menafsirkan data geofisika. Jika respon suatu model cocok
(fit) dengan data maka model yang digunakan untuk memperoleh respon tersebut
dapat dianggap mewakili kondisi bawah permukaan tempat data diukur. Untuk itu
dilakukan proses coba-coba (trial and error) nilai parameter model hingga
diperoleh data teoritik yang cocok dengan data pengamatan. Seringkali istilah
pemodelan data geofisika dengan cara coba-coba tersebut. Dengan kata lain,
istilah pemodelan ke depan tidak hanya mencakup perhitungan respon model juga
proses coba-coba untuk memperoleh model yang memberikan respon yang cocok
dengan data.
Kecepatan dan keberhasilan metode pemodelan ke depan dengan cara coba-coba
sangat bergantung pada pengalaman subjektif seorang interprener dalam menebak
nilai awal parameter model serta dalam memperkirakan perubahan nilai parameter
model tersebut untuk memperoleh respon yang semakin dekat dengan data.
Semakin kompleks hubungan antara data dengan parameter model maka semakin
sulit proses coba-coba tersebut. Adanya informasi tambahan dari data geologi atau
data geofisika lainnya dapat membantu penentuan model awal. Secara umum
metode pemodelan ke depan membutuhkan waktu yang cukup lama karena
37
sifatnya tidak otomatis. Namun pada kasus-kasus tertentu pemodelan ke depan
cukup efektif untuk interpretasi data geofisika. Misal jika data mengandung noise
yang cukup besar sehingga metode yang sifatnya otomatis dan objektif akan
menghasilkan solusi yang tidak dikehendaki atau kurang layak secara geologi
(Lewerissa, 2011).
Menurut Lillie (1999) Pemodelan ke depan atau forward modelling dari suatu
distribusi massa merupakan alat yang sangat berguna untuk menggambarkan
anomali Bouguer dan udara bebas yang dihasilkan dari perbedaan struktur geologi
bawah permukaan bumi. Untuk aktivitas tektonik yang besar, pemodelan gravitasi
dapat lebih memberikan pengertian atau pertimbangan-pertimbangan dari fungsi
isostasi suatu wilayah.
Metode ini umumnya digunakan untuk pemodelan data gravitasi secara dua
dimensi (2D) yang dikembangkan oleh Talwani et al (1959). Anomali gravitasi
dihasilkan dari model komputasi sebagai jumlah dari distribusi suatu benda
dengan densitas (ρ) dan volume (V) dimana massa benda setara dengan ρ x V.
Benda dua dimensi dapat diperkirakan pada pempang melintang sebagai poligon,
ditunjukkan pada gambar III.

Gambar III.10. Pemodelan gravitasi dua dimensi dari distribusi massa bawah permukaan
bumi (Lillie,1999)

38
III.5 Klasifikasi Cekungan Sedimen
Pembentukan cekungan sedimen erat hubungannya dengan gerakan kerak dan
proses tektonik yang dialami lempeng. Ingersol dan Busby (1995) menunjukkan
bahwa cekungan sedimen dapat terbentuk dalam 4 (empat) tataan tektonik:
divergen, intraplate, konvergen dan transform). Menurut Dickinson, 1974 dan
Miall, 1999; klasifikasi cekungan sedimen dapat berdasarkan pada:
- Tipe kerak dimana cekungan berada
- Posisi cekungan terhadap tepi lempeng
- Untuk cekungan yang berada dekat dengan tepi lempeng,tipe interaksi
lempeng yang terjadi selama sedimentasi
- Waktu pembentukan dan basin fill terhadap tektonik yang berlangsung
- Bentuk cekungan
Selley (1988) memberikan klasifikasi cekungan sedimen secara sederhana seperti
dalam Gambar III.11 , sedang Boggs (2001) membagi cekungan sedimen lebih
rinci dan lebih komplit Gambar III.12.

PROSES PENYEBAB TIPE CEKUNGAN TATAAN TEKTONIK LEMPENG


TERBENTUKNYA

Crustal sag Cekungan Intrakraton Intra-plate collapse


Puntir (tension) Epicratonic downward rift Tepian lempeng pasif
(passive plate margin)
Gambar III.11. Klasifikasi cekungan sederhana (Selley,1988)

39
TATAAN TEKTONIK TIPE CEKUNGAN

Divergen Rift: terrestrial rift valleys; rift valleys

Antar lempeng
Cekungan beralaskan kerak benua/peralihan : cekungan
intrakraton, paparan benua, sembulan benua (continental
rises) dan undak, pematang benua.

Cekungan beralaskan kerak samudra : cekungan


samudra aktif, kepulauan samudra, datran tinggi dan bukit
aseismik.
Konvergen Cekungan akibat subduksi : palung, vekungan lereng
palung, cekungan busur depan, cekungan intra-busur,
cekungan busur belakang

Cekungan akibat tabrakan : cekungan retroac foreis,


peripheral foreland basin, cekungan punggung babi (piggy
back basin), broken foreland.

Transform Cekungan akibat sesar mendatar : cekungan


transextensional, transpressional, transrotaional.
Hybrid Cekungan akibat berbagai sebab : cekungan-cekungan
intracontinental, wrench,aucholagen,impactogen,
successor

Gambar III.12. Klasifikasi cekungan (Boggs,2001)

Pada pembahasan kali ini tidak membahas secara rinci semua jenis cekungan
sedimen, akan tetapi beberapa jenis cekungan yang dianggap penting di Indonesia
dan berkaitan dengan daerah penelitian akan dibahas secara singkat di bawah ini
(sebagian besar disarikan dari Boggs, 2001).
 Cekungan Intrakraton (Intracratonic Basin) 
Cekungan intrakraton umumnya cukup besar terletak di tengah suatu benua yang
jauh dari tepian lempeng. Subsiden pada cekungan jenis ini umumnya disebabkan
oleh penebalan mantel-litosfir dan bembebanan oleh batuan sedimen atau
gunungapi (Boggs, 2001). Beberapa cekungan intrakraton ini diisi oleh endapan
klastika laut, karbonat, atau sedimen evaporit yang diendapkan mulai dari laut
epikontinental sampai darat. Cekungan tua jenis ini di antaranya adalah Cekungan
Amadeus dan Carpentaria di Australia, Cekungan Parana di Amerika Latin, dan

40
Cekungan Paris di Perancis. Sedangkan contoh cekungan modern jenis ini adalah
Cekungan Chad di Afrika.
 Renggang (Rift) 
Cekungan akibat perenggangan ini umumnya sempit tetapi memanjang, dibatasi
oleh lembah patahan . Ukuran berkisar dari beberapa km sampai sangat lebar
seperti pada Sistem Renggangan Afrika Timur, dimana mempunyai lebar 30-40
km dan panjang hampir 300 km. Cekungan ini dapat terbentuk oleh berbagai
tataan tektonik, namun yang paling umum oleh divergen. Perenggangan lempeng
benua seperti antara Amerika Utara dan Eropa terjadi pada Trias menghasilkan
Punggungan Tengah Atlantik (Mid-Atlantic Ridge). Sistem renggangan pada
Afrika Timur merupakan contoh sistem renggangan modern.
 Aulakogen (Aulacogen) 
Aulakogen adalah jenis khusus dari renggangan yang menyudut besar terhadap
tepian benua, dimana umumnya dianggap sebagai renggangan tetapi gagal dan
kemudian diaktifkan kembali selama tektonik konvergen . Palung yang sempit
tapi panjang dapat menggapai sampai kraton benua dengan sudut besar dari lajur
sesar. Sedimen yang mengisi cekungan jenis ini dapat berupa sedimen darat
(misalnya kipas aluvium), endapan paparan, dan endapan yang lebih dalam seperti
endapan turbit. Contoh aulakogen di antaranya Renggangan Reelfoot yang
berumur Paleozoik dimana Sungai Misisipi mengalir dan Palung Benue yang
berumur Kapur dimana Sungai Niger membelahnya.
 Cekungan tepian benua 
Cekungan tepian benua dicirikan oleh kehadiran baji yang sangat besar dari
sedimen yang ke arah laut dibatasi oleh lereng landai dari benua dan sembulan.
Ketidakterusan struktur dijumpai di bawah sistem ini, antara kerak benua normal
dan kerak peralihan.Sedimen terendapkan pada sistem ini: pada paparan berupa
pasir neritik dangkal, lumpur, kabonat dan endapan evaporasi; pada lerengan
terdiri atas lumpur hemipelagik; dan pada sembulan benua berupa endapan turbit.
Cekungan renggangan (rift basin) dapat berhubungan dengan cekungan tepian
benua. Contoh yang baik dari cekungan jenis ini adalah pantai Amerika dan
bagian selatan-timur Kanada (Cekungan Blake Plateau, Palung Lembah Baltimor,
Cekungan George Bank dan Cekungan Nova Scotian) yang terbentuk pada akhir

41
Trias- awal Jura oleh renggangan dan terpisahnya Pangea. Beberapa cekungan itu
terpisahkan dari laut membentuk lapisan tebal dari endapan klastik arkosik dan
endapan lakustrin; berselingan dengan batuan gunungapi basa. Cekungan yang
lain berhubungan dengan laut, membentuk sedimen yang berkisar dari endapan
evaporit sampai delta, turbit, dan serpih hitam.
 Cekungan berhubungan dengan subduksi 
Subduksi ditunjukkan dengan aktifnya tepian benus yang mana umumnya
dicirikan oleh adanya palung laut dalam, busur gunungapi aktif, rumpang parit-
busur (arc-trench gap) yang memisahkan ke duanya Tataan subduksi terjadi lebih
banyak pada tepian benua dibandingkan pada besur samodra.
 Cekungan berhubungan patahan mendatar/transform 
Patahan yang dapat membentuk cekungan ini adalah patahan mendatar yang
menoreh dalam kerak sampai membatasai dua lempeng yang berbeda (transform
fault) dan patahan yang terbatas dalam suatu lempeng dan hanya menoreh bagian
atas kerak (Sylvester, 1988). Cekungan yang berhubungan dengan patahan
mendatar regional terbentuk sepanjang punggung pemekaran, sepanjang batas
patahan antar lempeng, pada tepian benua dan daratan dalam lempeng benua.
Gerakan sepanjang patahan mendatar regional dapat membentuk berbagai
cekungan nendatar (pull-apart basin). Cekungan yang dibentuk karena patahan
mendatar umumnya kecil, garis tengahnya hanya beberapa puluh kilometer,
walaupun ada beberapa yang sampai 50 km. Karena patahan mendatar terbentuk
pada berbagai tataan geologi, cekungan ini dapat diisi sedimen laut maupun darat.
Ketebalan sedimen cenderung sangat tebal, karena kecepatan sedimentasi yang
tinggi yang dihasilkan oleh erosi dari daerah sekitarnya yang berelevasi tinggi,
dan boleh jadi ditandai dengan banyaknya perubahan fasies secara lokal. Di
Indonesia Cekungan jenis ini banyak terdapat sepanjang Patahan Sumatra.

III.5.1 Teknik Analisa Cekungan


Sedimen yang mengisi suatu cekungan merupakan faktor yang sangat penting
untuk dipelajari dalam analisa cekungan sedimen yang bersangkutan. Sedimen
tersebut dipelajari bagaimana proses terbentuknya, sifat batuan dan aspek
ekonominya. Proses pembentukan sedimen meliputi pelapukan, erosi, transportasi

42
dan pengendapan, sifat-sifat fisik, kimia dan biologi batuan; lingkungan
pengendapan, dan posisi stratigrafi. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses
pengendapan dan sifat sedimen adalah:
1. litologi batuan induk, akan sangat mempengaruhi komposisi sedimen
yang berasal dari batuan tersebut.
2. topografi dan iklim dimana batuan induk berada, mempengaruhi
kecepatan denudasi yang menghasilkan sedimen yang kemudian
diendapkan dalam cekungan
3. kecepatan penurunan cekungan bersamaan dengan kecepatan
kenaikan/penurunan muka laut

4. ukuran dan bentuk dari cekungan.

Analisa cekungan merupakan hasil interpretasi yang berdasarkan pada proses


sedimentasi, stratigrafi, fasies dan sistem pengendapan, peleoseanografi,
paleogeografi, iklim purba, analisa muka laut, dan petrografi/mineralogi (Boggs,
2001). Penelitian sedimentologi dan analisa cekungan sekarang ini ditikberatkan
pada analisa fasies sedimen, siklus subsiden, perubahan muka laut, pola sirkulasi
air laut, iklim purba, dan sejarah kehidupan.
Model pengendapan semakin meningkat digunakan untuk mengetahui lebih baik
tentang pengisian cekungan dan pengaruh berbagai parameter pengisian cekungan
seperti pasokan sedimen, besar butir, kecepatan penurunan cekungan, dan
perubahan muka laut.
Sebagai bahan untuk analisa cekungan, dibutuhkan berbagai data, mulai data dari
singkapan sampai data bawah permukaan. Data tersebut termasuk data hasil
pemboran dalam, studi polarisasi magnetik dan eksplorasi geofisika. Pembahasan
berikut ini secara singkat akan diketengahkan teknik analisa cekungan yang
umum dilakukan.

43
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

IV.1 Diagram Alir Penelitian


Diagram alir dibawah (Gambar IV.1) merupakan proses pengolahan data
gravity yang dilakukan dalam penelitian ini.

Mulai

Pengumpulan data dan

Studi literatur
Proses
Koreksi

Anomali Bouger Lengkap (ABL)

Analisa Spektrum

Pemisahan Anomali Regional – Residual

Anomali Anomali
Regional Residual

Data
Deliniasi dan Analisa geologi

Pemodelan 2.5D

Intepretasi

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar IV.1. Diagram alir pengolahan data.

44
IV.2 Pemrosesan Data Gravity
Dalam pemrosesan data gravity pada penelitian ini melalui beberapa tahap,
tahapan-tahapannya sesuai dengan diagram alir di bawah ini:

IV.2.1 Data Gravity


Pada penelitian ini di gunakan data dari metode gravity dimana data ini
diambil pada tahun 2009. Data awal yang merupakan hasil dari skala pembacaan
dari alat gravitymeter yang telah mengalami proses pengolahan lebih lanjut
dengan proses konversi dan koreksi. Pengolahan hasil data di lapangan bertujuan
untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan pada data hasil
pengukuran dilapangan. Setelah melewati proses konversi dan koreksi tersebut
maka didapatkan nilai dari anomaly bouger (BA). Pengolahan data tersebut
dilakukan dengan menggunakan program Ms.Excel.
Pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan koreksi-koreksi yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya,terhadap data hasil pengukuran dilapangan.
Sebelum melakukan koreksi-koreksi tersebut,data hasil pengukuran di lapangan
terlebih dahulu di konversi senhingga didapatkan nilai dalam satuan mgal. Proses
selanjutnya adalah koreksi-koreksi yang diantaranya adalah koreksi apungan,
koreksi garis lintang, koreksi udara bebas, koreksi Bouger, dan koreksi topografi.

IV.2.2 Anomali Bouger Lengkap


Data yang digunakan untuk diolah lebih lanjut adalah data hasil
pengukuran dilapangan,yang telah diolah lebih lanjut dan sudah dihilangkan
pengaruh pengaruh yang tidak diingankan pada data hasil pengukuran dilpangan
dengan koreksi-koreksi yang sudah dijelaskan sebelumnya pada sub bab diatas.
Hasil akhir yang didapatkan setelah melakukan pengolahan data adalah nilai
gravity yang hanya disebabkan oleh pengaruh ketidak seragaman densitas
dibawah permukaan atau yang sering disbut dengan nilai Anomali Bouger
Lengkap (ABL).

45
IV.2.3 Analisis Spektrum
Analisa spektrum bertujuan untuk memperkirakan kedalaman suatu benda
anomali gravity di bawah permukaan (Widianto, 2008). Metode ini menggunakan
transformasi Fourier yang berguna untuk mengubah suatu fungsi dalam jarak atau
waktu menjadi suatu fungsi dalam bilangan gelombang atau frekuensi (Blakely,
1995).
Input untuk proses analisa spektrum adalah jarak antar titik pengukuran
dan nilai anomaly gravity hasil slice dari kontur anomali Bouger (BA) dengan
cara membuat slice pada setiap daerah-daerah pada peta kontur anomaly Bouger
(BA) yang kemudian dilakukan proses digitasi sehingga dari slice tersebut
didapatkan jarak antar titik pengukuran dan nilai anomali gravity. Proses slice dan
digitasi tersebut dilakukan dengan menggunakan program Geosoft Oasis Montaj.

Gambar IV.2 Grafik hubungan antara amplitude dan bilangan gelombang

Hasil dari slice tersebut kemudian dilakukan proses FFT (Fast Fourier
Transform). Proses ini menggunakan program matlab R2009, dari hasil FFT ini
maka didapatkan nilai real dan imaginer. Setelah itu dilakukan proses
penghitungan untuk mendapatkan amplitude dan ln amplitude. Bedasarkan nilai
frekuensi yang bias kita tentukan maka didapatkan nilai gelombang (k). setelah
didapatkan nilai ln amplitude (ln A) dan nilai gelombang (k) maka dibuat grafik k
vs ln A. dimana gradien dari fungsi garis pada grafik ini adalah kedalam
46
diskontinyu. Fungsi garis pada grafik mencerminkan anomali regional dan
anomali residual, nilai fungsi yang besar menggambarkan kedalaman dari anomali
regional dan nilai fungsi yang kecil menggambarkan kedalaman dari anomali
residualnya atau dapat diartikan sebagai batas antara basement dan sedimen.
Sedangkan perpotongan antara kedua gradien tersebut adalah Kc (bilangan
gelombang cutoff) dimana kc ini dapat digunakan untuk mencari lebar jendela
optimal pada saat moving Average.

IV.2.4 Pemisahan Anomali Regional dan Residual


Anomali Bouger merupakan suatu nilai anomali gaya berat yang
disebabkan oleh perbedaan densitas batuan pada daerah dangkal dan daerah yang
lebih dalam dibawah permukann. Efek yang berasal dari batuan pada daerah
dangkal disebut anomali residual ,sementara efek yang berasal dari daerah yang
lebih dalam disebut anomali regional. Proses ini bertujuan untuk memisahkan
antara anomali residual dan anomali regional yang terdapat pada anomali Bouger.
Selain itu hasil pemisahan residual dan regional berguna sebagai bahan untuk
intrepetasi kualitatif tentang kondisi bawah permukaann sebelum melakukan
pembuatan model struktur bawah permukaan (intrepetasi kuantitatif).
Pemisahan anomali residual dan regional dilakukan dengan menggunakan
filter High Pass dan Low Pas dengan menggunakan program Geosoft Oasis
Montaj. Filter ini memberikan batasan nilai pada anomali Bouger sehingga dapat
dipisahkan antara anomali residual maupun regional.

IV.2.5 Deliniasi Subcekungan


Deliniasi jika didefiniskan dalam bahasi Indonesia merupakan penarikan
batas pemisah antara suatu strata atau kelompok kelompok. Dalam hal ini adadlah
nilai dari anomali gravity residual untuk menentukan cekungan dan melakukan
pembatasan pada daerah-daerah yang dianggap sebagai cekungan dengan cara
melihat daerah yang mempunyai nilai anomali rendah pada peta anomali residual.

47
IV.2.6 Modeling 2.5 D
Pemodelan bawah permukaan dilakukan dengan cara pemodelan ke depan
(forward modeling). Pemodelan ke depan adalah suatu proses perhitungan data
yang secara teoritis akan teramati di permukaan bumi jika diketahui harga
parameter model bawah permukaan tertentu (Grandis, 2009). Dalam pemodelan di
cari suatu model yang cocok dan fit dengan data lapangan,sehingga model
tersebut dianggap mewakili kondisi bawah permukaan daerah pengukuran.
Pada penelitian ini dilakukan modeling 2,5D yang mengasumsikan bumi
menjadi 2.5 dimensi yang berubah terhadap kedalaman (Z) dan juga terhadap
profilnya (X) yang bersifat tegak lurus terhadap arah strike. Namun model ini
tidak berubah terhadap arah strike nya (arah Y). Pembuatan model dilakukan
dengan menggunakan program Geosoft Oasis Montaj dengan input yang
dimasukan adalah data topografi daerah pengukuran dan peta hasil filtering high
pass yang berupa peta residual. Setelah dilakukan input maka dilakukan proses
slice,proses slice ini bertujuan untuk menentukan bagian dari peta yang akan kita
modelkan. Setelah itu dilakukan pembuatan model dengan memasukan body yang
memiliki densitas tertentu sehingga menghasilkan respon yang cocok dengan data
dilapangan,ditambah dengan adanya informasi tambahan yang berasal dari peta
geologi regional daerah penelitian akan membantu proses pemodelan. Model
tersebut yang akan menjadi representasi kondisi bawah permukaan di daerah
penelitian dan menjadi bahan untuk melakukan proses intrepetasi selanjutnya.

IV.2.7 Interpretasi
Proses terakhir yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses
interpretasi. Proses intepretasi yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Dimana intepretasi kualitatif dilakukan dengan melakukan deliniasi subcekungan.
Sedangkan untuk interpretasi secara kuantitatif adalah melalui pemodelan 2.5D.

48
IV.3 Peralatan yang Digunakan
IV.3.1 Perangkat Keras
Dalam penelitian dan pengolahan data metode gravity ini digunakan
beberapa peralatan keras seperti dibawah ini :

 Laptop Lenovo V470c core i3 dengan system operasi Windows 7 ultimate


64-bit 

IV.3.2 Perangkat Lunak


Dalam penelitian dan pengolahan data metode gravity ini digunakan beberapa
peralatan lunak seperti dibawah ini:

 Geosoft Oasis Montaj (versi 6.4.2) yang digunakan untuk pengolahan data
Anomali Bouger (gridding, slicing, filtering,modeling). 

 Microsoft exel 2013, program ini digunakan untuk perhitungan manual
data gravity. 

 Microsoft word 2013, program ini untuk pembuatan laporan hasil
penelitian. 

 Matlab 7.1, program ini digunakan untuk melakukan proses FFT. 

 Surfer 10, program ini digunakan untuk membuka file yang di export dari
Geosoft dalam format (.csv) dan mengkonversinya ke format (.dat). 

49
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Geologi Regional Daerah Penelitian


Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung.
Pannekoek, (1946), menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut
dapat diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di
Lembah Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan
langsung dengan dataran tinggi (pletau) Zona Pegunungan Selatan. Morfologi
dataran tinggi atau plateau ini, oleh Pannekoek (1946) dinamakan sebagai Plateau
Jampang.

Gambar V.1. Geologi Regional Jawa Barat Bagian Selatan (Bakosurtanal, Mapsource)

Keadaan topografi Jawa Barat sangat beragam, yaitu disebelah utara terdiri
dari dataran rendah, sebelah tengah dataran tinggi bergunung-gunung dan
disebelah selatan terdiri dari daerah berbukit-bukit dengan sedikit pantai.

50
mGal

Gambar V.2. Topografi Jawa Barat Bagian Selatan

V.2 Anomali Gravitasi


mGal

Gambar V.3. Peta Anomali Bouger.

Setelah melakukan pengolahan koreksi pada data lapangan maka


didapatkan nilai anomali gravity (Bouger anomaly). Untuk melakukan proses

51
intrepetasi terhadap hasil pengolahan data,dilakukan gridding atau pembuatan
pola kontur berdasarkan nilai anomali gravity. Hasil pembuatan gridding nilai
anomali gravity ditunjukan pada Gambar V.3. proses pembuatan peta anomali ini
menggunakan program Geosoft Oasis Montaj. Dari peta tersebut, dapat kita lihat
bahwa semakin tinggi nilai anomali maka percepatan gravitasi pada daerah
tersebut makin besar, dan jika percepatan gravitasi besar maka yang berpengaruh
adalah batuan yang memiliki densitas yang besar.
Peta Anomali Bouger mempunyai rentang nilai anomali mulai dari 34.6
mGal 158.6 mGal. Dari rentang nilai tersebut, dapat dibagi menjadi 3 kelompok
nilai, yaitu nilai anomali bouger rendah, sedang, dan tinggi. Nilai anomali rendah
dapat ditunjukkan dengan nilai 34.6 mGal sampai dengan 53.4 mGal dimana nilai
ini diwakilkan dengan warna biru tua hingga biru muda. Untuk nilai anomali
sedang diwakilkan dengan warna hijau hingga oranye yang memiliki rentang nilai
55.3 mGal sampai dengan 117.9 mGal. Sedangkan untuk anomali tinggi
diwakilkan dengan warna merah sampai dengan merah muda dimana nilainya
adalah 119.6 mGal sampai dengan 158.6 mGal.

Berdasarkan hasil diatas maka dapat ditunjukkan bahwa nilai anomali


Bouger dengan rentang nilai rendah sangat dipengaruhi oleh batuan yang
memiliki densitas rendah, pada penelitian ini nilai rendah tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai batuan sedimen yang tebal. Untuk nilai anomali Bouger
dengan rentang nilai sedang,merupakan batuan sediman tetapi dengan ketebalan
yang tidak terlalu tebal dibandingkan dengan nilai rentang sedimen rendah.
Sedangkan untuk rentang nilai anomali bouger yang tinggi dapat dikatakan
basement pada daerah tersebut. Hasil dari peta anomali bouger ini belum dapat
diinterpretasikan dengan lebih lanjut, karena peta ini merupakan peta gabungan
dari Anomali Regional yang menggambarkan basement dari daerah penelitian dan
Anomali Residual yang menggambarkan daerah yang lebih dangkal atau sedimen.

V.3 Filtering
Pada penelitian ini, salah satu filtering yang dilakukan adalah dengan
menggunakan filter High Pass dan Low Pass pada program Geosoft Oasis Montaj.
Dengan input yang dimasukan berupa nilai estimasi lebar window yang dilakukan

52
pada saat analisis spektrum dan nilai anomali Bouger lengkap hasil pengolahan
awal dengan menggunakan program Ms.Excel.

V.3.1 Analisis Spektrum


Metode analisis spektrum pada penelitian ini menggunakan 5 lintasan
sample yang mewakili seluruh luasan dari daerah penelitian, seperti ditunjukkan
pada Gambar V.4. Dari kelima lintasan tersebut maka diproses menjadi lima
grafik K Vs ln A. Dimana grafik-grafik tersebut berfungsi untuk mengetahui lebar
jendela dan kedalaman anomaly baik itu anomali regional ataupun anomali
residual dari daerah penelitian.

mGal

Gambar V.4. Peta Anomali Bouger dan lintasan untuk analisis spektrum (nomor lintasan
dihitung mulai dari kiri ke kanan).

53
V.3.1.1 Lintasan 1

ln A

Gambar V.5. Grafik K Vs ln A lintasan 1.

Grafik di atas adalah grafik hubungan dari K Vs ln A lintasan 1


(gambar V.3), dimana terdapat dua gradien garis yang mencerminkan
anomali regional dan residual, fungsi dari garisnya adalah kedalaman rata-
rata pada lintasan 1. Kedalaman bidang diskontinuitas pertama adalah 18,875
km dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai bidang kerak bawah.
Sedangkan kedalaman bidang diskontinuitas kedua adalah 3,231 km,
kedalaman tersebut dapat diinterpretasikan sebagai batas antara basement
dengan sediment diatasnya. Perpotongan garis antara gradien garis pertama
dan kedua adalah kc, dimana nilai kc pada lintasan ini adalah 0.11 sehingga
dapat dihitung nilai N sebesar 11,09.

54
V.3.1.2 Lintasan 2

ln A

Gambar V.6. Grafik K Vs ln A lintasan 2.

Grafik di atas adalah grafik hubungan dari K Vs ln A lintasan 1


(gambar V.4), dimana terdapat dua gradien garis yang mencerminkan
anomali regional dan residual, fungsi dari garisnya adalah kedalaman rata-
rata pada lintasan 2. Kedalaman bidang diskontinuitas pertama adalah 12,86
km dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai bidang kerak bawah.
Sedangkan kedalaman bidang diskontinuitas kedua adalah 5,6km, kedalaman
tersebut dapat diinterpretasikan sebagai batas antara basement dengan
sediment diatasnya. Perpotongan garis antara gradien garis pertama dan
kedua adalah kc, dimana nilai kc pada lintasan ini adalah 0.14 sehingga dapat
dihitung nilai N sebesar 8,46.

55
V.3.1.3 Lintasan 3

Gambar V.7. Grafik K Vs ln A lintasan 3

Grafik di atas adalah grafik hubungan dari K Vs ln A lintasan 3


(gambar V.5), dimana terdapat dua gradien garis yang mencerminkan
anomali regional dan residual, fungsi dari garisnya adalah kedalaman rata-
rata pada lintasan 3. Kedalaman bidang diskontinuitas pertama adalah 19,46
km dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai bidang kerak bawah.
Sedangkan kedalaman bidang diskontinuitas kedua adalah 4,88km,
kedalaman tersebut dapat diinterpretasikan sebagai batas antara basement
dengan sediment diatasnya. Perpotongan garis antara gradien garis pertama
dan kedua adalah kc, dimana nilai kc pada lintasan ini adalah 0,09 sehingga
dapat dihitung nilai N sebesar 12,6.

56
V.3.1.4 Lintasan 4

Gambar V.8. Grafik K Vs ln A lintasan 4.

Grafik di atas adalah grafik hubungan dari K Vs ln A lintasan 4


(gambar V.6), dimana terdapat dua gradien garis yang mencerminkan
anomali regional dan residual, fungsi dari garisnya adalah kedalaman rata-
rata pada lintasan 4. Kedalaman bidang diskontinuitas pertama adalah 15,06
km dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai bidang kerak bawah.
Sedangkan kedalaman bidang diskontinuitas kedua adalah 2.986 km,
kedalaman tersebut dapat diinterpretasikan sebagai batas antara basement
dengan sediment diatasnya. Perpotongan garis antara gradien garis pertama
dan kedua adalah kc, dimana nilai kc pada lintasan ini adalah 0,16 sehingga
dapat dihitung nilai N sebesar 7,84.

57
V.3.1.5 Lintasan 5

Gambar V.9. Grafik K Vs ln A lintasan 5

Grafik di atas adalah grafik hubungan dari K Vs ln A lintasan 5


(gambar V.7), dimana terdapat dua gradien garis yang mencerminkan
anomali regional dan residual, fungsi dari garisnya adalah kedalaman rata-
rata pada lintasan 5. Kedalaman bidang diskontinuitas pertama adalah 17,77
km dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai bidang kerak bawah.
Sedangkan kedalaman bidang diskontinuitas kedua adalah 2.836 km,
kedalaman tersebut dapat diinterpretasikan sebagai batas antara basement
dengan sediment diatasnya. Perpotongan garis antara gradien garis pertama
dan kedua adalah kc, dimana nilai kc pada lintasan ini adalah 0.13 sehingga
dapat dihitung nilai N sebesar 9.43.
Dari kelima grafik diatas akan didapatkan table :
Tabel V.1. tabel kedalaman bidang diskontinuitas lintasan 1-5.
n (Lebar
No Lintasan kc Window)
1 Lintasan 1 (L1) 0.113245902 11.09090909
2 Lintasan 2 (L2) 0.148436364 8.461538462
3 Lintasan 3 (L3) 0.099157895 12.66666667
4 Lintasan 4 (L4) 0.160078431 7.846153846
5 Lintasan 5 (L5) 0.132846154 9.454545455

Rata-rata 0.130752949 9.903962704


58
Dari tabel bilangan gelombang dan lebar jendela (tabel V.1) didapatkan
bilangan gelombang rata-rata sebesar 0.13 dan lebar jendela optimal untuk
moving average sebesar 9.

Tabel V.2. tabel kedalaman bidang diskontinuitas lintasan 1-5.

Kedalaman Regional Kedalaman Residual


No Lintasan (m) (m)
1 Lintasan 1 (L1) 18.875 3.231
2 Lintasan 2 (L2) 12.861 5.605
3 Lintasan 3 (L3) 19.22 4.88
4 Lintasan 4 (L4) 15.016 2.986
5 Lintasan 5 (L5) 17.772 2.836
Rata-rata 16.7488 3.9076

Tabel kedalaman bidang diskontinuitas dari proses analisis spektrum (tabel


V.2) didapatkan dua kedalaman rata-rata bidang diskontinuitas yaitu kedalaman
anomali regional sekitar 16.7488 Km, dan kedalaman anomali residual sekitar
3.9076 km. Kedalaman diskontinuitas pertama adalah kedalaman bidang antara
kerak atas dengan kerak bawah, karena perbedaan material pembentuknya akan
memiliki kontras rapat massa yang berbeda. Sedangkan kedalaman bidang
diskontinuitas kedua adalah sebagai batas antara batuan dasar dengan sedimen.

59
V.4 Anomali Regional
mGal

Gambar V.10. Peta anomali regional

Peta Anomali Regional ini, dapat dibagi 3 kelompok nilai, yaitu nilai
anomali bouger rendah, sedang, dan tinggi. Nilai anomali rendah dapat
ditunjukkan dengan nilai 40.1 mGal sampai dengan 58.3 mGal dimana
ditunjukkan dengan warna biru tua hingga biru muda. Untuk nilai anomali sedang
ditunjukkan dengan warna hijau hingga oranye yang nilainya adalah 60.2 mGal
sampai dengan 114.5 mGal. Sedangkan untuk anomali tinggi ditunjukkan dengan
warna merah sampai dengan merah muda dimana nilainya adalah 118.2 mGal
sampai dengan 158.8 mGal.

Pada peta anomali regional di atas jika dilihat, pola yang terbentuk
tidaklah begitu berbeda dengan peta anomaly bouger. Hal tersebut dikarenakan
pengaruh zona subduksi yang berada pada bagian selatan daerah penelitian
sehinga menyebabkan tinnginya nilai pada daerah bagian selatan peta anomali
regional.

60
V.5 Anomali Residual
mGal

Gambar V.11. Peta anomali residual

Sama halnya dengan peta anomali Regional,pada peta anomali residual ini,
dapat dibagi 3 kelompok nilai, yaitu nilai anomali bouger rendah, sedang, dan
tinggi. Nilai anomali rendah dapat ditunjukkan dengan nilai -17.5 mGal sampai
dengan -9.9 mGal dimana ditunjukkan dengan warna biru tua hingga biru muda.
Untuk nilai anomali sedang ditunjukkan dengan warna hijau hingga oranye yang
nilainya adalah –8.3 mGal sampai dengan 6.0 mGal. Sedangkan untuk anomali
tinggi ditunjukkan dengan warna merah sampai dengan merah muda dimana
nilainya adalah 6.9 mGal sampai dengan 15.9 mGal.

V.6. Deliniasi Anomali Residual


Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara melakukan deliniasi tinggian,
deliniasi sesar, dan deliniasi sub cekungan gambar V.10. Delineasi tinggian sesuai
dengan gambar V.10 dapat diinterpretasikan bahwa terdapat beberapa rendahan
yang berupa basement high yang diintepretasikan sebagai cekungan dengan nilai
densitas rendah yang ditunjukan oleh warna biru tua. Pada pet residual daerah
tersebut terdapat pada beberapa bagian peta yaitu pada bagian utara,selatan dan
timur peta.

61
V.7 Pemodelan 2.5 D
Pemodelan bawah permukaan dilakukan dengan cara pemodelan ke depan
(forward modeling) dengan menggunakan peta anomali residual. Pada peta
anomaly residual dibuat 2 buah sayatan pada daerah yang merupakan target
berupa cekungan.

mGal

E
A B

Gambar V.12. Peta anomali residual dengan sayatan

Pada peta diatas ditarik dua buah sayatan pada daerah yang memiliki nilai
rendah yang diintepretasikan sebagai cekungan sedimen pada daerah penelitian.
Sayatan tersebut ditunjukan dengan garis berwarna putih.

62
V.7.1 Sayatan A – B

Gambar V.13. Sayatan A-B

Sayatan pertama yaitu sayatan A-B membentang dari barat ke timur


dengan panjang sayatan 28.7 km dan melewati nilai rendahan yang
diintrepetasikan sebagai cekungan pada daerah penelitian. Pada pemodelan diatas
menampilkan 3 buah formasi yaitu Formasi Jampang sebagai batuan
dasar,kemudian Formasi Halang sebagai sedimen yang menutup batuan dasar
tersebut dan yang terakhir adalah Formasi Tapak. Dengan rata rata nilai densitas
pada batuan sedimen Formasi Halang adalah 2.25 mGal yang merupakan
perselingan antara Batupasir,Batulempung dan Batullanau dengan sisipan breksi
dan Batupasir Gampingan. Sedangkan batuan dasar Formasi Jampang dengan
nilai densitas rata-rata 2.8 mGal yang merupakan Breksi Gunung api tua
bersusunan andesit basal dan Batugamping dengan umur Miosen bawah. Dan
yang terakhir adalah Formasi Tapak dengan rata-rata nilai densitas 2.2 mGal yang
merupakan Batupasir kasar dengan sisipan napal pasiran. Akibat adanya
perbedaan lithology Pada kedua sedimen tersebut maka dapat terlihat perbedaan
nilai densitasnya. Pemodelan diatas memiliki kedalaman hingga 4000 m.

63
V.7.2 Sayatan C – D

Gambar V.14. Sayatan C - D

Sayatan kedua yaitu sayatan C - D membentang dari barat laut ke tenggara


dengan panjang sayatan 33 km dan melewati nilai rendahan yang diintrepetasikan
sebagai cekungan pada daerah penelitian. Pada pemodelan diatas hanya
menunjukan 3 buah formasi yaitu batuan dasar yang merupakan Formasi Jampang
dengan nilai densitas rata-rata 2.8 mGal yang merupakan Breksi Gunung api tua
bersusunan andesit basal dan Batugamping dengan umur Miosen bawah. Formasi
kedua yaitu sedimen yang menutup batuandasar tersebut dengan rata rata nilai
densitas pada batuan sedimen adalah 2.5 mGal yang merupakan Formasi
Pamutuan dengan litologi Batupasir,Batulempung dan Batugamping.Pada bagian
barat laut dapat dijumpai sebagian dari Formasi Bentang yang menutupi Formasi
Jampang dengan nilai densitas rata-rata 2.45 mGal dengan litologi Batupasir
Gampingan dan Batupasir Tufan,sedangkan pada bagian Tenggara dapat dijumpai
Batugamping yang merupakan anggota dari Formasi Pamutuan dengan nilai rata-
rata densitas 2.59 mGal, Batugamping tersebut memiliki waktu pengendapan yang
sama dengan Formasi Pamutuan,dengan pola sedimentasi menjari pada kedua
litologi batuan tersebut. Pada pemodelan diatas memiliki kedalaman hingga 4000
m.

64
V.7.3 Sayatan E – F

Gambar V.15. Sayatan E – F

Sayatan ketiga yaitu sayatan E - F membentang dari utara ke selatan


dengan panjang sayatan 39 km dan melewati nilai rendahan yang diintrepetasikan
sebagai cekungan pada daerah penelitian. Pada pemodelan diatas menunjukan 4
buah formasi yaitu batuan dasar yang merupakan Formasi Jampang dengan nilai
densitas rata-rata 2.8 mGal yang merupakan Breksi Gunung api tua bersusunan
andesit basal dan Batugamping dengan umur Miosen bawah.Formasi kedua yaitu
sedimen yang menutup batuandasar tersebut dengan rata rata nilai densitas pada
batuan sedimen adalah 2.63 mGal yang merupakan Formasi Kumbang dengan
litologi Breksi gunung api andesit dan Formasi Halang dengan nilai densitas rata-
rata 2.25 mGal dengan batuan penyusun yang berupa Batuan Sedimen jenis
turbidit dengan struktur sedimen perlapisan bersusun.sedangkan pada bagian atas
hingga permukaan terdapat Formasi Linggopodo yang memiliki nilai densitas
rata-rata 2.56 mGal dengan litologi Breksi,tufa,endapan laharandesit hingga
alluvium.Pada sayatan ini dijumpai anomaly yang berupa sesar yang diidentifikasi
senagai Sesar Baribis yang termasuk kedalam jenis sesar naik,merupakan sesar
muda (Pliosen – Plistosen),berarah relative barat timur naik hingga barat laut
tenggara dan masih aktiof hingga sekarang.Pada pemodelan diatas memiliki
kedalaman hingga 4000 m.
65
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Dari tabel bilangan gelombang dan lebar jendela (tabel V.1) didapatkan
bilangan gelombang rata-rata sebesar 0.13 dan lebar jendela optimal untuk
moving average sebesar 9.
Tabel kedalaman bidang diskontinuitas dari proses analisis spektrum
(tabel V.2) didapatkan dua kedalaman rata-rata bidang diskontinuitas yaitu
kedalaman anomali regional sekitar 16.7488 Km, dan kedalaman anomali
residual sekitar 3.9076 km.
2. Batuan dasar pada daerah penelitian didominasi oleh Breksi Gunung api
tua bersusunan andesit basal yang termasuk kedalam Formasi Jampang
dengan kedalaman kurang lebih 9 km. sedangkan untuk batuan sedimen
berasal dari berbagai pola sedimentasi dan sumber dari suplai
sedimentasinya.
3. Model sayatan Bawah permukaan menunjukan gambaran kondisi bawah
permukaan pada beberapa daerah yang mewakili keseluruhan daerah
penelitian.
- Sayatan A – B
Sayatan pertama yaitu sayatan A-B membentang dari barat ke timur
dengan panjang sayatan 28.7 km. menampilkan 3 buah formasi yaitu
Formasi Jampang sebagai batuan dasar,kemudian Formasi Halang
sebagai sedimen yang menutup batuan dasar tersebut dan yang terakhir
adalah Formasi Tapak.
- Sayatan C – D
Sayatan kedua yaitu sayatan C - D membentang dari barat laut ke
tenggara dengan panjang sayatan 33 km. yang menunukan 3 buah
formasi yaitu Formasi Jampang sebgai bataun dasar, Formasi

66
Pamutuan, Pada bagian barat laut dapat dijumpai sebagian dari
Formasi Bentang, sedangkan pada bagian Tenggara dapat dijumpai
Batugamping yang merupakan anggota dari Formasi Pamutuan.
- Sayatan E – F
sayatan E - F membentang dari utara ke selatan dengan panjang
sayatan 39 km. menunjukan 4 buah formasi yaitu batuan dasar yang
merupakan Formasi Jampang, Formasi Kumbang, Formasi Halang,
sedangkan pada bagian atas hingga permukaan terdapat Formasi
Linggopodo. Pada sayatan ini dijumpai anomali yang berupa sesar
yang diidentifikasi senagai Sesar Baribis yang termasuk kedalam jenis
sesar naik,merupakan sesar muda (Pliosen – Plistosen)

6.2 Saran
Berdasarkan hasil dari pembahasan serta kesimpulan penelitian ini maka
dapat diberikan saran untuk penelitian selanjutnya diantaranya sebagai berikut.
1. Perlu adanya akuisisi data lebih lanjut dengan menggunakan metode
magnetic sehingga bisa didapatkan peta upward regional yang dapat
dibandingkan dengan peta filtering High Pass dan Low Pass pada
penelitian ini.
2. Perlu adanya akuisisi data lebih lanjut dengan menggunakan metode
aktif seperti seismic sehingga dapat menentukan struktur yang terdapat
pada daerah penelitian tersebut.
3. Dibutuhkannya sampel pengeboran/logging untuk mengetahui litologi
lebih lanjut pada daerah penelitian tersebut.

67
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S., 1979, Dasar – Dasar Geologi Struktur, Departemen teknik Geologi,
Institut Teknik Bandung

Bemmelen, van, RW., 1949, The Geology of Indonesia:General Geology of


Indonesia and Adjacent Archipelegoes, 2nd ed, Vol. 1A, Martinus
Nijhoff,The Haque

Blakey, R.C., 1979, Oil impregnated carbonate rocks of the Timpoweap Member
Moenkopi Formation, Hurricane Cliffs area, Utah and Arizona.

Blakely, R.j., 1995, Potential Theory in Gravity and Magnetic Applications,


Cambridge, Cambridge University Press.

Boggs, S., 2001, Principle of Sedimentology and Stratigraphy, 3rd ed., Prentice.

Boggs, Sam Jr, 1987, Principle of Sedimentology and Stratigraphy, Merril


Publishing Company, Columbus, Ohio, USA.

Dickinson, W. R., 1974. Plate Tectonic Evolution of Sedimentary Basins. Am.


Assoc. Petrol. Geol. Continuing Education Course Notes Series.

Dobrin, M. B., and Savit, C. H., 1988, Introduction to Geophysical Prospecting:


McGraw-Hill Book Co., New York.

Gafoer, dkk, 1992, Geologi Lembar Garut-Pamuengpuek, Jawa Barat, Pusat


Penelitian dan Pengembangan Geologi, Indonesia.

Grandis, H., 2009, Pengantar pemodelan inversi geofisika. HAGI,Jakarta.

Kadir, W.G.A., 2000. Diktat Kuliah: Eksplorasi Gayaberat & Magnetik. ITB.
Bandung.

Kastowo, 1975. Peta Geologi Lembar Majenang, skala 1:100.000. Direktorat


Geologi, Bandung.

Koesoemadinata, R.P., 1978, Geologi Minyak dan Gas Bumi. Jilid I Edisi kedua,
ITB, Bandung.

Lillie, R.J. 1999. Whole Earth Geophysics: An Intoductory Textbook for


Geologists and Geophysicists. Prentice-Hall Inc.New Jersey.

Martodjojo, S dan Djuhaeni., 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli


Geologi Indonesia (IAGI).
Martodjojo, S., 1984. Evolusi Cekungan Bogor. Unpublished Doctoral Thesis,
Institute Technology Bandung, Bandung.

66
Miall, A. D., Catuneanu, O., Vakarelov, B., Post, R., 2008.The Western Interior
Basin. In: Miall, A. D. (ed.), TheSedimentary Basins of the United
States and Canada:Sedimentary basins of the World, v. 5, K. J. Hsü,
Series Editor, Elsevier Science, Amsterdam, p. 329–362.

Pannekoek, A.J., 1946, Geomorphologische Waarnemingen op het Djampang


Plateau in West Java : Genootschap, Vol. LXIII, pt. 3, p. 340 - 367.

Parasnis, D.S., 1992, Principle of Applied Geophysical, Mc. Graw Hill Book
Company Inc. New York.

Roy, K.K. 2008. Potential Theory in Applied Geophysics. Springer. Berlin.

Selley, R.C. 1988. Applied Sedimentology. Academic Press. San Diego. 446 hlm.

Simandjuntak, T. O. & Barber, A. J. 1996. Contrasting Tectonic Styles in the


Neogene Orogenic Belts ofIndonesia. In: Hall, R. & Blundell, D. J.
(eds)Tectonic Evolution of SE Asia. Geological Society,London,
Special Publications, 106, 185–201.

Sudrajat, A., 1992, jawa Barat selatan sebagai potensi yang terpendam.
Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen
Pertambangan dan Energi,Jakarta.

Sylvester, A. G. 1988. Strike-Slip Faults. Geological Society of America Bulletin


100, 1666–1703.

Talwani, M., Worzel, J.L., Landisman, M., 1959 : Rapid gravity computations for
two-dimensional bodies with application to the Mendocino submarine
fracture zone. J. Geophys. Res 64, 49-59

Telford, W.M. Geldart, L.P. Sherifff, R.E., and Keys, D.A., 1990 Applied
Geophysics, Cambridge University Press, Cambridge.

Torkis, R., 2012, Analisa dan pemodelan struktur bawah permukaan berdasarkan
metode gaya berat di daerah prospek panas bumi gunung lawu.
Universitas Indonesia,Jakarta.

Widianto, E., 2008, Penentuan konfigurasi struktur batuan dasar dan jenis
cekungan dengan data gaya berat serta implikasinya pada target
eksplorasi minyak dan gas bumi di pulau jawa. Institut Teknologi
Bandung, Bandung.

67

Anda mungkin juga menyukai