Oleh :
HIZKIA WICAQSONO
115 100 008
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Program Studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
HIZKIA WICAQSONO
115 100 008
HIZKIA WICAQSONO
115 100 008
Pembimbing II Penguji II
Mengetahui,
Ketua Prodi Teknik Geofisika
Dr.Ir.H.Suharsono.MT
NIP.19620923.199003.1.001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya menyatakan bahwa judul dan keseluruhan isi dari skripsi adalah asli karya ilmiah
saya, dengan ini saya menyatakan bahwa dalam rangka menyusun, berkonsultasi dengan dosen
pembimbing hingga menyelesaikan skripsi ini, tidak melakukan penjiplakan (plagiasi) terhadap
karya orang atau pihak lain baik karya lisan maupun tulisan, baik secara sengaja maupun tidak
sengaja.
Saya menyatakan bahwa apabila di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini
mengandung unsur penjiplakan (plagiasi) dari karya orang atau pihak lain, maka sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya, diluar tanggung jawab Dosen Pemimbing. Oleh karenanya saya
sanggup bertanggung jawab secara hukum dan bersedia dibatalkan/dicabut gelar kesarjanaan
saya oleh Otoritas/Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dan
diumumkan kepada khalayak ramai.
Yang Menyatakan,
Materai Rp.6000,-
Hizkia Wicaqsono
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan semesta alam.
Hanya dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Syukur tak terkira dari penulis atas terselesainya skripsi dengan judul “ANALISA FAST
1. Dr.Ir. H.Suharsono, M.T, selaku Kepala Jurusan yang telah membimbing dan
mengarahkan dalam bidang akademik selama masa perkuliahan
2. Dr.Ir.H.Suharsono,M.T. selaku pembimbing I dan Wahyu Hidayat,S.Si.,M.Sc. selaku
pembimbing II.
3. Boko Nurdiyanto Suwardi selaku pembimbing di PT.Pertamina UTC
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Teknik Geofisika Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta.
5. Mamah tercinta yang tidak henti-hentinya memberikan pengorbanan, motivasi, kasih
sayang dan doanya selama ini.
6. Seluruh Keluarga yang yang selalu memberikan dukungan penuh selama penulis
melaksanakan studi.
7. Meyliani Yolanda Sovia selaku pembimbing teknis pada saat penulis mengerjakan
penelitian, terima kasih atas semua bantuan dan motivasinya.
8. Saudara-saudaraku seperjuangan Teknik Geofisika angkatan 2010 VOLCANOES atas
semua hal yang menjadi kesan tak terlupakan.
v
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu
dalam penyusunan laporan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala budi baik
mereka dengan rahmat yang lebih besar dari yang telah mereka berikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran akan menjadi masukan yang berarti bagi penulis. Penulis juga
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat.
Hizkia Wicaqsono
vi
INTISARI
Oleh :
Hizkia Wicaqsono
115.100.008
Telah dilakukan pengukuran metode gravity pada daerah Jawa Barat bagian selatan yang
meliputi daerah administraftif Tasikmalaya hingga Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kontras perbedaan nilai densitas, hasil pengukuran metode gravity
ini didapatkan peta regional yang menunjukan perbedaan kontras densitas, kontras densitas ini
digunakan untuk menegetahui keberadaan cekungan.
Metode gravity adalah metode penyelidikan geofisika yang didasarkan pada variasi
percepatan gravitasi di permukaan bumi. Pengukuran gravity ini dimana adanya perbedaan kecil
dari medan gravitasi yang diakibatkan variasi massa di kerak bumi. Tujuan dari eksplorasi ini
adalah untuk mengasosiasikan variasi dari perbedaan distribusi rapat massa dan juga jenis
batuan.
Hasil yang diperoleh adalah berupa model sayatan bawah permukaan menunjukan
gambaran kondisi bawah permukaan pada beberapa daerah yang mewakili keseluruhan daerah
penelitian. Dengan litologi batuan dasar pada daerah penelitian didominasi oleh Breksi Gunung
api tua bersusunan andesit basal yang termasuk kedalam Formasi Jampang dengan kedalaman
kurang lebih 9 km yang memiliki rata-rata nilai densitas 2.8 mgal. sedangkan untuk batuan
sedimen berasal dari berbagai pola sedimentasi dan sumber dari suplai sedimentasinya dengan
rata-rata nilai densitasnya berkisar antara 2.2 mgal hingga 2.5 mgal.
vii
ABSTRACT
By :
Hizkia Wicaqsono
115.100.008
Gravity method measurement has been done on the southern part of West Java area
which covers an area of up to administraftif Tasikmalaya until ciamis, West Java Province. This
study aims to determine the contrast difference of density, gravity is the result of the
measurement method obtained a regional map showing the difference density contrast, density
contrast is used to determine the existence of the basin.
Gravity method is a method of geophysical investigations based on the variation of the
acceleration of gravity at the Earth's surface. The gravity measurements where a small deviation
of the gravitational field caused by variations in the mass of the earth's crust. The purpose of this
exploration is to associate the variation of mass density distribution differences and also the type
of rock.
The results obtained are in the form of an incision below the surface of the model shows
a picture of subsurface conditions in some areas that represent the entire study area. With
bedrock lithology in the study area is dominated by an old volcano Breccia a structure andesite
basalt belonging to Jampang Formation at a depth of approximately 9 km which has an average
density value of 2.8 mgal. whereas for sedimentary rocks from different sedimentation patterns
and sources of supply with an average sedimentation density values ranging from 2.2 to 2.5 mgal
mgal.
viii
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
I.2. Rumusan Masalah...................................................................... 2
I.3. Maksud dan Tujuan ................................................................... 2
I.4. Batasan Masalah ........................................................................ 3
I.5. Lokasi danWaktu Penelitian ...................................................... 4
ix
III.2.3. Koreksi Lintang .....................................................................................20
III.2.4. Koreksi Udara Bebas (free-air correvtion) ............................................21
III.2.5. Koreksi Bouguer ....................................................................................22
III.2.6. Koreksi Medan (Terrain Corection) ......................................................23
III.3. Pemisahan Anomali Regional-Residual ..................................... 25
III.3.1. Metode Analisis Spektrum ....................................................................25
III.3.2. Metode Moving Average .......................................................................27
III.4. Pemodelan ke Depan ( Forward Modelling) .............................. 31
III.5. Klasifikasi Cekungan Sedimen .................................................. 33
III.5.1. Teknik Analisa Cekungan .....................................................................37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
2
I.4 Batasan Masalah
Metode gravity bisa digunakan untuk merespon kontras densitas bawah
permukaan dan juga memodelkan kondisi bawah permukaan berdasarkan densitas
batuan. Batasan masalah dari metode penelitian tugas akhir ini adalah :
1. Penelitian membahas mengenai aplikasi metode gravity untuk mengetahui
gambaran bawah permukaan dan karakterisasi basement dan cekungan.
2. Target penelitian merupakan basement dan cekungan yang terdapat pada
daerah Jawa Barat bagian selatan.
3. Data gravity yang digunakan merupakan data sekunder dari akuisisi pada
tahun 2009.
4. Penggunaan analisis spectrum untuk penentuan nilai lebar jendela yg
digunakan dalam proses filtering. Dari hasil filtering yang dilakukan, maka
didapatkan peta anomali regional dan anomaly residual dalam pemrosesan
data gravity, serta pemodelan bawah permukaan 2.5 D untuk melihat
gambaran bawah permukaan.
3
I.5 Lokasi Penelitian
Daerah Jawa Barat bagian selatan meliputi daerah administratif
Tasikmalaya,Ciamis hingga perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah,seperti bisa
dilihat pada Gambar I.1.
Gambar I.1 Lokasi daerah penelitian Jawa Barat bagian selatan (googlemaps,2014)
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
II.2 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian
Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang
satu sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi dan struktur
geologinya. Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar
zona fisiografi, masing-masing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai
Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona Pegunungan Selatan (Gambar II.2).
9
tersebut termasuk dalam Formasi Beser yang berumur Miosen Akhir.
Hubungannya dengan Formasi Bentang di daerah ini yaitu menunjukan
ketidak selarasan.
- Breksi tufan
Terdiri dari breksi tuf dan batupasir yang berumur Pliosen,menutupi
Formasi Bentang secara tidak selaras.
- Andesit
Intrusi andesit piroksen dan andesit hornblende, bertekstur pofiritik,
fenokrisnya berupa plagioklas, hornblende-piroksen dengan massa dasar
mikrolit feldspar dan mineral mafik. Batuan ini menerobos batuan Mio
Pliosen dan ditafsirkan berumur Pliosen.
- Batuan Gunungapi tua tak teruraikan
Terdiri dari tuff, breksi tuf dsan lava yang berumur Pliosen akhir
menutupi secara tidak selaras breksi tufan.
- Batuan Gunungapi muda
Batuan gunungapi tua ditutupi tidak selaras oleh batuan gunungapi
muda yang diduga berumur Plio-Pleistosen, terediri dari tuf hablur,
breksi tuf batuapung, breksi dan lava andesit. Endapan gunungapi
kuarter ini menutupi Formasi Bentang dan batuan gunungapi tua,
sedangkan mineralisasi diduga berumur Pliosen-Pleitosen. Batuan ini
dihasilkan dari Gunung Wayang dan Gunung Windu, Gunung
Papandayan, Gunung Cikuray, Gunung Masigit, Gunung Haruman.
Endapan vulkanik kuarter merupakan endapan piroklastik yang tersebar
mengikuti relief topografi sebelumnya yang terdiri dari satuan breksi
gunungapi dan pada bagian atas dijumpai tufa. Pada beberapa tempat
tertutup endapan aluivium.
- Endapan Kolovium,danau dan alluvium
Endapan yang paling muda tersusun atas endapan talus,endapan danau,
dan endapan sungai,yang berumur resen (Holosen). Endapan kolovium
terdiri dari endapan talus, rayapan dan runtuhan batuan gunungapi tua
berupa bongkah-bongkah batuan beku, breksi tuf dan pasir tuf. Endapan
danau tersusun atas lempung lanau, pasir halus-kasar dan kerikil bersifat
10
tufan. Endapan alluvium terdiri dari lempung,lanau, pasir halus-kasar
dan kerikil, bongkah bongkah batuan beku dan batuan sedimen. endapan
ini berumur Holosen.
3. Mandala Banten
Mandal sedimentasi ini sebenarnya tidak begitu jelas,karena sedikitnya
data yang diketahui,pada umur Tersier Awal, mandala ini lebih
menyerupai mandala paparan kontinen, sedangkan pada Tersier Akhir
cirinnya sangat mendekati mandala cekungan Bogor.
II.3 Stratigrafi Daerah Penelitian
12
Gambar II.5. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Majenang (Kastowo, 1975).
13
Formasi Kalipucang (Tmkl)
Terdiri dari batugamping koral, pejal dan berongga.
Formasi Halang (Tmph)
Terdiri dari endapan terbidit terdiri dari perselingan napal kalkarenit,
batupasir sela, konglomerat dengan sisipan batugamping dan batupasir.
Batuan Gunungapi terdiri dari :
Hasil Gunungapi Tua (Qv)
Terdiri dari breksi gunungapi, lava dan tuf bersusunan andesit sampai
basa.
Hasil Gunungapi Muda (Qvt)
Terdiri dari breksi gunungapi, lahar dan tufa bersusunan andesit sampai
basal.
Batuan Terobosan (Tmda, Tmdi dan Tpa)
Terdiri dari terobosan andesit, dasit dan diorit. Struktur geologi yang
terdapat di daerah penyelidikan berupa perlipatan dan pensesaran. Struktur
geologi tersebut banyak dijumpai di bagian tengah dan selatan daerah
penyelidikan. Gaya tektonik telah melipatkan dan mensesarkan batuan
yang berumur tua terutama yang berumur Miosen.
14
Gambar II.6. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Karangnunggal (Kastowo, 1975).
15
Batuan Gunungapi terdiri dari :
Hasil Gunungapi Tua (Qv)
Terdiri dari breksi gunungapi, lava dan tuf bersusunan andesit sampai
basa.
Hasil Gunungapi Muda (Qvt)
Terdiri dari breksi gunungapi, lahar dan tufa bersusunan andesit sampai
basal.
Gambar II.7. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Pangandaran (Kastowo, 1975).
16
Formasi Kumbang (Tpk)
Breksi gunungapi andesit, pejal dan tidak berlapis termasuk bebrapa aliran
lava dan retas yang bersusunan lama.
Formasi Halang (Tmph)
Terdiri dari endapan terbidit terdiri dari perselingan napal kalkarenit,
batupasir sela, konglomerat dengan sisipan batugamping dan batupasir.
Formasi Pamutuan (Tmpa)
Batupasir kalkarenit,napal,tuf,batulempung dan batugamping
Formasi Jampang (Tomj)
Breksi aneka bahan dan tuf dengan sisipan lava
Gambar II.8. Korelasi satuan formasi daerah penelitian berdasarkan peta geologi
Tasikmalaya (Kastowo, 1975).
17
Formasi Halang (Tmph)
Terdiri dari endapan terbidit terdiri dari perselingan napal kalkarenit,
batupasir sela, konglomerat dengan sisipan batugamping dan batupasir.
Formasi Bentang (Tmb)
Batupasir gampingan,batupasir tufan,bersisipan serpih dan lensa-lensa
batugamping
Anggota Batugamping Formasi Kalipucang (Tmkl)
Batugamping pasiran,kalsilutit dan napal
Formasi Kalipucang (Tmkl)
Terdiri dari batugamping koral, pejal dan berongga.
Formasi Jampang (Tomj)
Breksi aneka bahan dan tuf dengan sisipan lava
II.4 Struktur Daerah Penelitian
Struktur geologi regional Jawa Barat dibagi menjadi tiga pola utama yaitu
Pola Meratus, Pola Sumatera, dan Pola Sunda (Martodjojo, 1984) yang
diilustrasikan pada (Gambar II.9). Pola-pola tersebut merupakan hasil dari
aktivitas lempeng-lempeng yang bekerja di sekitar wilayah regional penelitian
dengan arah tegasan utama yang berbeda-beda yang diinterpretasikan sebagai
adanya perubahan rezim tektonik dari waktu ke waktu. Pola Struktur daerah Jawa
Barat dapat dilihat pada (Gambar II.9), sedangkan untuk deskripsinya dijelaskan
sebagai berikut,
Pola Meratus mempunyai arah timur laut-barat daya (NE-SW). Pola ini
tersebar di daerah lepas pantai Jawa Barat dan Banten. Pola ini diwakili oleh Sesar
Cimandiri, Sesar Naik Rajamandala, dan sesar-sesar lainya. Meratus lebih
diartikan sebagai arah yang mengikuti pola busur umur Kapus yang menerus ke
Pegunungan Meratus di Kalimantan (Katili, 1974, dalam Martodjojo, 1984).
Pola Sumatera mempunyai arah baratlaut-tenggara (NW-SE). Pola ini
tersebar di daerah Gunung Walat dan sebagian besar bagian selatan Jawa Barat.
Pola ini diwakili oleh Sesar Baribis, sesar-sesar di daerah Gunung Walat, dan
sumbu lipatan pada bagian selatan Jawa Barat. Arah Sumatera ini dikenal karena
kesejajaranya dengan Pegunungan Bukit Barisan (Martodjojo, 1984).
18
Pola Sunda mempunyai arah utara-selatan (N-S). Pola ini tersebar di
daerah lepas pantai utara Jawa Barat berdasarkan data-data seismik. Arah ini juga
terlihat pada Sesar Cidurian, Blok Leuwiliang. Arah sunda ini diartikan sebagai
pola yang terbentuk pada Paparan Sunda (Martodjojo, 1984).
Gambar II.9. Peta Pola Struktur Regiolan Jawa Barat (Martodjojo 1984)
Berdasarkan hasil penafsiran foto udara dan citra indraja (citra landsat)
daerah Jawa Barat, diketahui adanya banyak kelurusan bentang alam yang diduga
merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-
19
timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara. Secara regional
struktur sesar berarah timurlaut-baratdaya dikelompokan sebagai Pola Meratus,
sesar berarah utara-selatan dikelompokan sebagai Pola Sunda dan sesar berarah
barat-timur dikelompokan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-
timur umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya
berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.
Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga
struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar
Baribis dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga
sekarang.
Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (umur Kapur), membentang
mulai dari Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri,
Cipatat-Rajamandala, Gunung Tangguban Prahu-Burangrang dan diduga menerus
ke timur laut menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah
timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar mendatar hingga oblique (miring). Oleh
Martodjojo (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Meratus.
Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik
dengan arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke
daerah Baribis di Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan jalur
Sesar Baribis dipandang berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo (1984),
menafsirkan jalur sesar naik Baribis menerus ke arah tenggara melalui kelurusan
Lembah Sungai Citanduy, sedangkan oleh Simandjuntak (1996), ditafsirkan
menerus ke arah timur hingga menerus ke daerah Kendeng (Jawa Timur). Penulis
terakhir ini menamakannya sebagai “Baribis-Kendeng Fault Zone”. Secara
tektonik Sesar Baribis mewakili umur paling muda di Jawa, yaitu
pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh Martodjojo
(1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Jawa.
Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang
kurang lebih 30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar
turun) dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi pedataran
(pedataran Lembang). Bemmelen (1949), mengkaitkan pembentukan Sesar
20
Lembang dengan aktifitas Gunung Sunda (G. Tanggubanprahu merupakan sisa-
sisa dari Gunung Sunda), dengan demikian struktur sesar ini berumur relatif muda
yaitu Plistosen.
21
BAB III
DASAR TEORI
(III.1)
22
(III.2)
Hasil subtitusi dari persamaan (III.1) dengan (III.2) akan menjadi :
(III.3)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa besarnya gaya berat berbanding langsung
dengan massa penyebabnya, sedangkan massa berbanding langsung dengan rapat
massa ρ dan volume benda, sehingga besarnya gaya berat terukur akan
mencerminkan kedua besaran tersebut dimana volumenya akan juga berhubungan
dengan geometri benda, (Kadir, 2000).
Apabila dalam suatu sistem ruang tertentu terdapat massa, maka massa ini
akan menimbulkan medan potensial disekitarnya. Medan potensial untuk gaya
berat adalah medan (potensial) gaya berat dan, sesuai dengan sifat potensial skalar
secara umum, bersifat konservatif, yaitu bahwa usaha yang dilakukan dalam suatu
medan gaya berat tidak tergantung pada lintasan yang ditempuhnya, (Kadir,
2000). Sesuai persamaan berikut :
dan (III.4)
23
Sesuai dengan persamaan (III.4), potensial gayaberat U dipermukaan, dengan
asumsi bumi bersifat homogen dan berbentuk bola dengan jari-jari R.
(III.5)
(III.6)
24
Gambar III.2. Skema gayaberat bulan di titik A di permukaan bumi (Kadir, 2000)
(III.8)
(III.9)
dimana sudut lintang dan persamaan di atas sering disebut dengan persamaan
GRS 80.
(III.10)
27
dimana h adalah beda ketinggian antara titik amat gravity dari speroid referensi
(dalam meter) gambar III.4.
Setelah dilakukan koreksi tersebut maka akan didapatkan anomali udara bebas di
topografi yang dapat dinyatakan dengan rumus :
(III.11)
Keterangan :
g : anomali medan gayaberat udara bebas di topografi
(m.Gal)
gobs : medan gayaberat observasi di topografi (m.Gal)
gn : medan gayaberat teoritis pada posisi titik amat (m.Gal)
g fa : koreksi udara bebas (m.Gal)
28
pengukuran berada pada suatu bidang mendatar dan mempunyai massa batuan
dengan densitas tertentu, gambar III.5.
Keterangan :
-9
G adalah konstanta : 6.67 x 10 cgs unit
3
adalah densitas batuan : 2.67 gr/cm
h adalah ketinggian antara titik amat gravity dengan suatu datum level tertentu.
Anomali medan gravitasi yang telah dikoreksi oleh koreksi Bouguer disebut
anomali Bouguer sederhana di topografi yang dapat dituliskan sebagai berikut :
g
BS
g fa g B
(
III.14)
Koreksi ini diterapkan sebagai akibat dari pendekatan koreksi Bouguer dengan
slab horizontal tak hingga, sedangkan kenyataannya permukaan bumi tidak datar,
tetapi berundulasi sesuai dengan topografinya. Sehingga untuk daerah dengan
topografi kasar perlu dilakukan koreksi untuk menghilangkan efek topografi
tersebut. Secara umum hubungan antara koreksi Bouguer dan koreksi medan
29
diberikan oleh gambar III.6 dimana area A dan B adalah efek topografi yang harus
dikoreksi.
Gambar III.6. Hubungan antara bouguer slab dalam koreksi bouguer dan efek topografi
pada koreksi medan (Kadir, 2000).
Sesuai gambar III.6, efek blog area A dan B dalam SBA bersifat mengurangi,
sehingga dalam penerapan koreksi medan, efek koreksi medan blog A dan B
ditambahkan terhadap SBA, dengan demikian anomali gravity menjadi :
Besar koreksi medan dihitung oleh Hammer yang dirumuskan seperti pada
persamaan berikut:
(III.15)
30
III.3 Pemisahan Anomali Regional – Residual
Gambar III.7. Grafik hubungan antara anomali residual, anomali regional dan data
gravity (Telford, 1990).
(III.16)
31
(III.17)
(III.18)
(III.19)
(III.20)
Spektrum diturunkan dari potensial gravitasi yang teramati pada suatu bidang
horizontal dimana transformasi Fouriernya menurut Blakely (1996) adalah:
(III.21)
Dengan:
(III.22)
Dimana:
U: potensial gravitasi (m²/s²)
G: konstanta gravitasi (m.Gal)
µ: anomali densitas (gr/cc)
r: jarak (m)
k: bilangan gelombang
z0 dan z’: ketinggian titik pengukuran dan kedalaman anomaly
(III.23)
32
(III.24)
Dimana: A= Amplitudo
C= Konstanta
(III.25)
(III.26)
33
Untuk mendapatkan window yang optimal maka dilakukan transformasi fourier
dua dimensi untuk 1/r yang ditulis oleh Blakely, 1996.
(III.27)
(III.28)
Bentuk integral ϴ jika diselesaikan dalam fungsi bessel orde ke nol menjadi :
(III.29)
(III.30)
34
Solusi dari persamaan transformasi dua dimensi untuk 1/r ini terutama di
tulis oleh Bracewel.
(III.31)
, (III.32)
Gerak vertikal gravitasi yang disebabkan suatu titik massa adalah vertikal
derivativ dari potensial gayaberatnya:
(III.33)
, (III.34)
Dengan:
Dari persamaan di atas nilai λ sama dengan Δx, tentunya ada faktor lain pada Δx
yang disebut konstanta pengali, sehingga λ=c.Δx konstanta c didefinisikan sebagai
lebar window dan nilainya harus ganjil (Setyanta dan Setiadi, 2008).
Metode moving average atau metode perata-rataan bergerak ini pada dasarnya
hanya merata-ratakan data anomali gravity, dari metode ini akan didapatkan nilai
anomali regionalnya, dan untuk residualnya dapat didapat dari pengurangan antara
anomali gravity dikurangi dengan nilai anomali regionalnya. Berikut persamaan
moving average yang digunakan :
(III.48)
36
Dari rumus di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Δgr= [(Δg1)+(Δg2)+...+(Δg25)]
Gambar III.10. Pemodelan gravitasi dua dimensi dari distribusi massa bawah permukaan
bumi (Lillie,1999)
38
III.5 Klasifikasi Cekungan Sedimen
Pembentukan cekungan sedimen erat hubungannya dengan gerakan kerak dan
proses tektonik yang dialami lempeng. Ingersol dan Busby (1995) menunjukkan
bahwa cekungan sedimen dapat terbentuk dalam 4 (empat) tataan tektonik:
divergen, intraplate, konvergen dan transform). Menurut Dickinson, 1974 dan
Miall, 1999; klasifikasi cekungan sedimen dapat berdasarkan pada:
- Tipe kerak dimana cekungan berada
- Posisi cekungan terhadap tepi lempeng
- Untuk cekungan yang berada dekat dengan tepi lempeng,tipe interaksi
lempeng yang terjadi selama sedimentasi
- Waktu pembentukan dan basin fill terhadap tektonik yang berlangsung
- Bentuk cekungan
Selley (1988) memberikan klasifikasi cekungan sedimen secara sederhana seperti
dalam Gambar III.11 , sedang Boggs (2001) membagi cekungan sedimen lebih
rinci dan lebih komplit Gambar III.12.
39
TATAAN TEKTONIK TIPE CEKUNGAN
Antar lempeng
Cekungan beralaskan kerak benua/peralihan : cekungan
intrakraton, paparan benua, sembulan benua (continental
rises) dan undak, pematang benua.
Pada pembahasan kali ini tidak membahas secara rinci semua jenis cekungan
sedimen, akan tetapi beberapa jenis cekungan yang dianggap penting di Indonesia
dan berkaitan dengan daerah penelitian akan dibahas secara singkat di bawah ini
(sebagian besar disarikan dari Boggs, 2001).
Cekungan Intrakraton (Intracratonic Basin)
Cekungan intrakraton umumnya cukup besar terletak di tengah suatu benua yang
jauh dari tepian lempeng. Subsiden pada cekungan jenis ini umumnya disebabkan
oleh penebalan mantel-litosfir dan bembebanan oleh batuan sedimen atau
gunungapi (Boggs, 2001). Beberapa cekungan intrakraton ini diisi oleh endapan
klastika laut, karbonat, atau sedimen evaporit yang diendapkan mulai dari laut
epikontinental sampai darat. Cekungan tua jenis ini di antaranya adalah Cekungan
Amadeus dan Carpentaria di Australia, Cekungan Parana di Amerika Latin, dan
40
Cekungan Paris di Perancis. Sedangkan contoh cekungan modern jenis ini adalah
Cekungan Chad di Afrika.
Renggang (Rift)
Cekungan akibat perenggangan ini umumnya sempit tetapi memanjang, dibatasi
oleh lembah patahan . Ukuran berkisar dari beberapa km sampai sangat lebar
seperti pada Sistem Renggangan Afrika Timur, dimana mempunyai lebar 30-40
km dan panjang hampir 300 km. Cekungan ini dapat terbentuk oleh berbagai
tataan tektonik, namun yang paling umum oleh divergen. Perenggangan lempeng
benua seperti antara Amerika Utara dan Eropa terjadi pada Trias menghasilkan
Punggungan Tengah Atlantik (Mid-Atlantic Ridge). Sistem renggangan pada
Afrika Timur merupakan contoh sistem renggangan modern.
Aulakogen (Aulacogen)
Aulakogen adalah jenis khusus dari renggangan yang menyudut besar terhadap
tepian benua, dimana umumnya dianggap sebagai renggangan tetapi gagal dan
kemudian diaktifkan kembali selama tektonik konvergen . Palung yang sempit
tapi panjang dapat menggapai sampai kraton benua dengan sudut besar dari lajur
sesar. Sedimen yang mengisi cekungan jenis ini dapat berupa sedimen darat
(misalnya kipas aluvium), endapan paparan, dan endapan yang lebih dalam seperti
endapan turbit. Contoh aulakogen di antaranya Renggangan Reelfoot yang
berumur Paleozoik dimana Sungai Misisipi mengalir dan Palung Benue yang
berumur Kapur dimana Sungai Niger membelahnya.
Cekungan tepian benua
Cekungan tepian benua dicirikan oleh kehadiran baji yang sangat besar dari
sedimen yang ke arah laut dibatasi oleh lereng landai dari benua dan sembulan.
Ketidakterusan struktur dijumpai di bawah sistem ini, antara kerak benua normal
dan kerak peralihan.Sedimen terendapkan pada sistem ini: pada paparan berupa
pasir neritik dangkal, lumpur, kabonat dan endapan evaporasi; pada lerengan
terdiri atas lumpur hemipelagik; dan pada sembulan benua berupa endapan turbit.
Cekungan renggangan (rift basin) dapat berhubungan dengan cekungan tepian
benua. Contoh yang baik dari cekungan jenis ini adalah pantai Amerika dan
bagian selatan-timur Kanada (Cekungan Blake Plateau, Palung Lembah Baltimor,
Cekungan George Bank dan Cekungan Nova Scotian) yang terbentuk pada akhir
41
Trias- awal Jura oleh renggangan dan terpisahnya Pangea. Beberapa cekungan itu
terpisahkan dari laut membentuk lapisan tebal dari endapan klastik arkosik dan
endapan lakustrin; berselingan dengan batuan gunungapi basa. Cekungan yang
lain berhubungan dengan laut, membentuk sedimen yang berkisar dari endapan
evaporit sampai delta, turbit, dan serpih hitam.
Cekungan berhubungan dengan subduksi
Subduksi ditunjukkan dengan aktifnya tepian benus yang mana umumnya
dicirikan oleh adanya palung laut dalam, busur gunungapi aktif, rumpang parit-
busur (arc-trench gap) yang memisahkan ke duanya Tataan subduksi terjadi lebih
banyak pada tepian benua dibandingkan pada besur samodra.
Cekungan berhubungan patahan mendatar/transform
Patahan yang dapat membentuk cekungan ini adalah patahan mendatar yang
menoreh dalam kerak sampai membatasai dua lempeng yang berbeda (transform
fault) dan patahan yang terbatas dalam suatu lempeng dan hanya menoreh bagian
atas kerak (Sylvester, 1988). Cekungan yang berhubungan dengan patahan
mendatar regional terbentuk sepanjang punggung pemekaran, sepanjang batas
patahan antar lempeng, pada tepian benua dan daratan dalam lempeng benua.
Gerakan sepanjang patahan mendatar regional dapat membentuk berbagai
cekungan nendatar (pull-apart basin). Cekungan yang dibentuk karena patahan
mendatar umumnya kecil, garis tengahnya hanya beberapa puluh kilometer,
walaupun ada beberapa yang sampai 50 km. Karena patahan mendatar terbentuk
pada berbagai tataan geologi, cekungan ini dapat diisi sedimen laut maupun darat.
Ketebalan sedimen cenderung sangat tebal, karena kecepatan sedimentasi yang
tinggi yang dihasilkan oleh erosi dari daerah sekitarnya yang berelevasi tinggi,
dan boleh jadi ditandai dengan banyaknya perubahan fasies secara lokal. Di
Indonesia Cekungan jenis ini banyak terdapat sepanjang Patahan Sumatra.
42
dan pengendapan, sifat-sifat fisik, kimia dan biologi batuan; lingkungan
pengendapan, dan posisi stratigrafi. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses
pengendapan dan sifat sedimen adalah:
1. litologi batuan induk, akan sangat mempengaruhi komposisi sedimen
yang berasal dari batuan tersebut.
2. topografi dan iklim dimana batuan induk berada, mempengaruhi
kecepatan denudasi yang menghasilkan sedimen yang kemudian
diendapkan dalam cekungan
3. kecepatan penurunan cekungan bersamaan dengan kecepatan
kenaikan/penurunan muka laut
43
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Mulai
Studi literatur
Proses
Koreksi
Analisa Spektrum
Anomali Anomali
Regional Residual
Data
Deliniasi dan Analisa geologi
Pemodelan 2.5D
Intepretasi
Selesai
44
IV.2 Pemrosesan Data Gravity
Dalam pemrosesan data gravity pada penelitian ini melalui beberapa tahap,
tahapan-tahapannya sesuai dengan diagram alir di bawah ini:
45
IV.2.3 Analisis Spektrum
Analisa spektrum bertujuan untuk memperkirakan kedalaman suatu benda
anomali gravity di bawah permukaan (Widianto, 2008). Metode ini menggunakan
transformasi Fourier yang berguna untuk mengubah suatu fungsi dalam jarak atau
waktu menjadi suatu fungsi dalam bilangan gelombang atau frekuensi (Blakely,
1995).
Input untuk proses analisa spektrum adalah jarak antar titik pengukuran
dan nilai anomaly gravity hasil slice dari kontur anomali Bouger (BA) dengan
cara membuat slice pada setiap daerah-daerah pada peta kontur anomaly Bouger
(BA) yang kemudian dilakukan proses digitasi sehingga dari slice tersebut
didapatkan jarak antar titik pengukuran dan nilai anomali gravity. Proses slice dan
digitasi tersebut dilakukan dengan menggunakan program Geosoft Oasis Montaj.
Hasil dari slice tersebut kemudian dilakukan proses FFT (Fast Fourier
Transform). Proses ini menggunakan program matlab R2009, dari hasil FFT ini
maka didapatkan nilai real dan imaginer. Setelah itu dilakukan proses
penghitungan untuk mendapatkan amplitude dan ln amplitude. Bedasarkan nilai
frekuensi yang bias kita tentukan maka didapatkan nilai gelombang (k). setelah
didapatkan nilai ln amplitude (ln A) dan nilai gelombang (k) maka dibuat grafik k
vs ln A. dimana gradien dari fungsi garis pada grafik ini adalah kedalam
46
diskontinyu. Fungsi garis pada grafik mencerminkan anomali regional dan
anomali residual, nilai fungsi yang besar menggambarkan kedalaman dari anomali
regional dan nilai fungsi yang kecil menggambarkan kedalaman dari anomali
residualnya atau dapat diartikan sebagai batas antara basement dan sedimen.
Sedangkan perpotongan antara kedua gradien tersebut adalah Kc (bilangan
gelombang cutoff) dimana kc ini dapat digunakan untuk mencari lebar jendela
optimal pada saat moving Average.
47
IV.2.6 Modeling 2.5 D
Pemodelan bawah permukaan dilakukan dengan cara pemodelan ke depan
(forward modeling). Pemodelan ke depan adalah suatu proses perhitungan data
yang secara teoritis akan teramati di permukaan bumi jika diketahui harga
parameter model bawah permukaan tertentu (Grandis, 2009). Dalam pemodelan di
cari suatu model yang cocok dan fit dengan data lapangan,sehingga model
tersebut dianggap mewakili kondisi bawah permukaan daerah pengukuran.
Pada penelitian ini dilakukan modeling 2,5D yang mengasumsikan bumi
menjadi 2.5 dimensi yang berubah terhadap kedalaman (Z) dan juga terhadap
profilnya (X) yang bersifat tegak lurus terhadap arah strike. Namun model ini
tidak berubah terhadap arah strike nya (arah Y). Pembuatan model dilakukan
dengan menggunakan program Geosoft Oasis Montaj dengan input yang
dimasukan adalah data topografi daerah pengukuran dan peta hasil filtering high
pass yang berupa peta residual. Setelah dilakukan input maka dilakukan proses
slice,proses slice ini bertujuan untuk menentukan bagian dari peta yang akan kita
modelkan. Setelah itu dilakukan pembuatan model dengan memasukan body yang
memiliki densitas tertentu sehingga menghasilkan respon yang cocok dengan data
dilapangan,ditambah dengan adanya informasi tambahan yang berasal dari peta
geologi regional daerah penelitian akan membantu proses pemodelan. Model
tersebut yang akan menjadi representasi kondisi bawah permukaan di daerah
penelitian dan menjadi bahan untuk melakukan proses intrepetasi selanjutnya.
IV.2.7 Interpretasi
Proses terakhir yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses
interpretasi. Proses intepretasi yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Dimana intepretasi kualitatif dilakukan dengan melakukan deliniasi subcekungan.
Sedangkan untuk interpretasi secara kuantitatif adalah melalui pemodelan 2.5D.
48
IV.3 Peralatan yang Digunakan
IV.3.1 Perangkat Keras
Dalam penelitian dan pengolahan data metode gravity ini digunakan
beberapa peralatan keras seperti dibawah ini :
Geosoft Oasis Montaj (versi 6.4.2) yang digunakan untuk pengolahan data
Anomali Bouger (gridding, slicing, filtering,modeling).
Microsoft exel 2013, program ini digunakan untuk perhitungan manual
data gravity.
Microsoft word 2013, program ini untuk pembuatan laporan hasil
penelitian.
Matlab 7.1, program ini digunakan untuk melakukan proses FFT.
Surfer 10, program ini digunakan untuk membuka file yang di export dari
Geosoft dalam format (.csv) dan mengkonversinya ke format (.dat).
49
BAB V
Gambar V.1. Geologi Regional Jawa Barat Bagian Selatan (Bakosurtanal, Mapsource)
Keadaan topografi Jawa Barat sangat beragam, yaitu disebelah utara terdiri
dari dataran rendah, sebelah tengah dataran tinggi bergunung-gunung dan
disebelah selatan terdiri dari daerah berbukit-bukit dengan sedikit pantai.
50
mGal
51
intrepetasi terhadap hasil pengolahan data,dilakukan gridding atau pembuatan
pola kontur berdasarkan nilai anomali gravity. Hasil pembuatan gridding nilai
anomali gravity ditunjukan pada Gambar V.3. proses pembuatan peta anomali ini
menggunakan program Geosoft Oasis Montaj. Dari peta tersebut, dapat kita lihat
bahwa semakin tinggi nilai anomali maka percepatan gravitasi pada daerah
tersebut makin besar, dan jika percepatan gravitasi besar maka yang berpengaruh
adalah batuan yang memiliki densitas yang besar.
Peta Anomali Bouger mempunyai rentang nilai anomali mulai dari 34.6
mGal 158.6 mGal. Dari rentang nilai tersebut, dapat dibagi menjadi 3 kelompok
nilai, yaitu nilai anomali bouger rendah, sedang, dan tinggi. Nilai anomali rendah
dapat ditunjukkan dengan nilai 34.6 mGal sampai dengan 53.4 mGal dimana nilai
ini diwakilkan dengan warna biru tua hingga biru muda. Untuk nilai anomali
sedang diwakilkan dengan warna hijau hingga oranye yang memiliki rentang nilai
55.3 mGal sampai dengan 117.9 mGal. Sedangkan untuk anomali tinggi
diwakilkan dengan warna merah sampai dengan merah muda dimana nilainya
adalah 119.6 mGal sampai dengan 158.6 mGal.
V.3 Filtering
Pada penelitian ini, salah satu filtering yang dilakukan adalah dengan
menggunakan filter High Pass dan Low Pass pada program Geosoft Oasis Montaj.
Dengan input yang dimasukan berupa nilai estimasi lebar window yang dilakukan
52
pada saat analisis spektrum dan nilai anomali Bouger lengkap hasil pengolahan
awal dengan menggunakan program Ms.Excel.
mGal
Gambar V.4. Peta Anomali Bouger dan lintasan untuk analisis spektrum (nomor lintasan
dihitung mulai dari kiri ke kanan).
53
V.3.1.1 Lintasan 1
ln A
54
V.3.1.2 Lintasan 2
ln A
55
V.3.1.3 Lintasan 3
56
V.3.1.4 Lintasan 4
57
V.3.1.5 Lintasan 5
59
V.4 Anomali Regional
mGal
Peta Anomali Regional ini, dapat dibagi 3 kelompok nilai, yaitu nilai
anomali bouger rendah, sedang, dan tinggi. Nilai anomali rendah dapat
ditunjukkan dengan nilai 40.1 mGal sampai dengan 58.3 mGal dimana
ditunjukkan dengan warna biru tua hingga biru muda. Untuk nilai anomali sedang
ditunjukkan dengan warna hijau hingga oranye yang nilainya adalah 60.2 mGal
sampai dengan 114.5 mGal. Sedangkan untuk anomali tinggi ditunjukkan dengan
warna merah sampai dengan merah muda dimana nilainya adalah 118.2 mGal
sampai dengan 158.8 mGal.
Pada peta anomali regional di atas jika dilihat, pola yang terbentuk
tidaklah begitu berbeda dengan peta anomaly bouger. Hal tersebut dikarenakan
pengaruh zona subduksi yang berada pada bagian selatan daerah penelitian
sehinga menyebabkan tinnginya nilai pada daerah bagian selatan peta anomali
regional.
60
V.5 Anomali Residual
mGal
Sama halnya dengan peta anomali Regional,pada peta anomali residual ini,
dapat dibagi 3 kelompok nilai, yaitu nilai anomali bouger rendah, sedang, dan
tinggi. Nilai anomali rendah dapat ditunjukkan dengan nilai -17.5 mGal sampai
dengan -9.9 mGal dimana ditunjukkan dengan warna biru tua hingga biru muda.
Untuk nilai anomali sedang ditunjukkan dengan warna hijau hingga oranye yang
nilainya adalah –8.3 mGal sampai dengan 6.0 mGal. Sedangkan untuk anomali
tinggi ditunjukkan dengan warna merah sampai dengan merah muda dimana
nilainya adalah 6.9 mGal sampai dengan 15.9 mGal.
61
V.7 Pemodelan 2.5 D
Pemodelan bawah permukaan dilakukan dengan cara pemodelan ke depan
(forward modeling) dengan menggunakan peta anomali residual. Pada peta
anomaly residual dibuat 2 buah sayatan pada daerah yang merupakan target
berupa cekungan.
mGal
E
A B
Pada peta diatas ditarik dua buah sayatan pada daerah yang memiliki nilai
rendah yang diintepretasikan sebagai cekungan sedimen pada daerah penelitian.
Sayatan tersebut ditunjukan dengan garis berwarna putih.
62
V.7.1 Sayatan A – B
63
V.7.2 Sayatan C – D
64
V.7.3 Sayatan E – F
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Dari tabel bilangan gelombang dan lebar jendela (tabel V.1) didapatkan
bilangan gelombang rata-rata sebesar 0.13 dan lebar jendela optimal untuk
moving average sebesar 9.
Tabel kedalaman bidang diskontinuitas dari proses analisis spektrum
(tabel V.2) didapatkan dua kedalaman rata-rata bidang diskontinuitas yaitu
kedalaman anomali regional sekitar 16.7488 Km, dan kedalaman anomali
residual sekitar 3.9076 km.
2. Batuan dasar pada daerah penelitian didominasi oleh Breksi Gunung api
tua bersusunan andesit basal yang termasuk kedalam Formasi Jampang
dengan kedalaman kurang lebih 9 km. sedangkan untuk batuan sedimen
berasal dari berbagai pola sedimentasi dan sumber dari suplai
sedimentasinya.
3. Model sayatan Bawah permukaan menunjukan gambaran kondisi bawah
permukaan pada beberapa daerah yang mewakili keseluruhan daerah
penelitian.
- Sayatan A – B
Sayatan pertama yaitu sayatan A-B membentang dari barat ke timur
dengan panjang sayatan 28.7 km. menampilkan 3 buah formasi yaitu
Formasi Jampang sebagai batuan dasar,kemudian Formasi Halang
sebagai sedimen yang menutup batuan dasar tersebut dan yang terakhir
adalah Formasi Tapak.
- Sayatan C – D
Sayatan kedua yaitu sayatan C - D membentang dari barat laut ke
tenggara dengan panjang sayatan 33 km. yang menunukan 3 buah
formasi yaitu Formasi Jampang sebgai bataun dasar, Formasi
66
Pamutuan, Pada bagian barat laut dapat dijumpai sebagian dari
Formasi Bentang, sedangkan pada bagian Tenggara dapat dijumpai
Batugamping yang merupakan anggota dari Formasi Pamutuan.
- Sayatan E – F
sayatan E - F membentang dari utara ke selatan dengan panjang
sayatan 39 km. menunjukan 4 buah formasi yaitu batuan dasar yang
merupakan Formasi Jampang, Formasi Kumbang, Formasi Halang,
sedangkan pada bagian atas hingga permukaan terdapat Formasi
Linggopodo. Pada sayatan ini dijumpai anomali yang berupa sesar
yang diidentifikasi senagai Sesar Baribis yang termasuk kedalam jenis
sesar naik,merupakan sesar muda (Pliosen – Plistosen)
6.2 Saran
Berdasarkan hasil dari pembahasan serta kesimpulan penelitian ini maka
dapat diberikan saran untuk penelitian selanjutnya diantaranya sebagai berikut.
1. Perlu adanya akuisisi data lebih lanjut dengan menggunakan metode
magnetic sehingga bisa didapatkan peta upward regional yang dapat
dibandingkan dengan peta filtering High Pass dan Low Pass pada
penelitian ini.
2. Perlu adanya akuisisi data lebih lanjut dengan menggunakan metode
aktif seperti seismic sehingga dapat menentukan struktur yang terdapat
pada daerah penelitian tersebut.
3. Dibutuhkannya sampel pengeboran/logging untuk mengetahui litologi
lebih lanjut pada daerah penelitian tersebut.
67
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S., 1979, Dasar – Dasar Geologi Struktur, Departemen teknik Geologi,
Institut Teknik Bandung
Blakey, R.C., 1979, Oil impregnated carbonate rocks of the Timpoweap Member
Moenkopi Formation, Hurricane Cliffs area, Utah and Arizona.
Boggs, S., 2001, Principle of Sedimentology and Stratigraphy, 3rd ed., Prentice.
Kadir, W.G.A., 2000. Diktat Kuliah: Eksplorasi Gayaberat & Magnetik. ITB.
Bandung.
Koesoemadinata, R.P., 1978, Geologi Minyak dan Gas Bumi. Jilid I Edisi kedua,
ITB, Bandung.
66
Miall, A. D., Catuneanu, O., Vakarelov, B., Post, R., 2008.The Western Interior
Basin. In: Miall, A. D. (ed.), TheSedimentary Basins of the United
States and Canada:Sedimentary basins of the World, v. 5, K. J. Hsü,
Series Editor, Elsevier Science, Amsterdam, p. 329–362.
Parasnis, D.S., 1992, Principle of Applied Geophysical, Mc. Graw Hill Book
Company Inc. New York.
Selley, R.C. 1988. Applied Sedimentology. Academic Press. San Diego. 446 hlm.
Sudrajat, A., 1992, jawa Barat selatan sebagai potensi yang terpendam.
Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen
Pertambangan dan Energi,Jakarta.
Talwani, M., Worzel, J.L., Landisman, M., 1959 : Rapid gravity computations for
two-dimensional bodies with application to the Mendocino submarine
fracture zone. J. Geophys. Res 64, 49-59
Telford, W.M. Geldart, L.P. Sherifff, R.E., and Keys, D.A., 1990 Applied
Geophysics, Cambridge University Press, Cambridge.
Torkis, R., 2012, Analisa dan pemodelan struktur bawah permukaan berdasarkan
metode gaya berat di daerah prospek panas bumi gunung lawu.
Universitas Indonesia,Jakarta.
Widianto, E., 2008, Penentuan konfigurasi struktur batuan dasar dan jenis
cekungan dengan data gaya berat serta implikasinya pada target
eksplorasi minyak dan gas bumi di pulau jawa. Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
67