Anda di halaman 1dari 120

ANALISA PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM

SERTA HUBUNGAN PERCEPATAN GETARAN TANAH DENGAN


INTENSITAS DI PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE
GUTENBERG RICHTER DAN METODE MUPHY O’BREIN

SKRIPSI

Disusun Oleh :

Rahmat Nurhidayat
115.040.011

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2011
HALAMAN PENGESAHAN

ANALISA PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM SERTA


HUBUNGAN PERCEPATAN GETARAN TANAH DENGAN INTENSITAS
DI PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER
DAN METODE MURPHY O’BREIN

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Teknik Program S-1
Progam Studi Teknik Geofisika Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta
Oleh
Rahmat Nurhidayat

115.040.011

Yogyakarta, 13 April 2011

Telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Agus Santoso, M.Si Nia Maharani, S.Si, M.Si


19530816.198803.1.001 280101002891
Mengetahui

Ketua
Jurusan Teknik Geofisika
Fakultas Teknologi Mineral
UPN “Veteran” Yogyakarta

Dr. Ir. H. suharsono, MT


19620923.199003.1001

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis diberi kesehatan serta kemampuan dalam menyelesaikan
skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan. Atas tersusunnya Skirpsi ini penulis
mengucapkan terimakasih terimakasih kepada :
1. Bapak Dr.Ir.H. Suharsono, MT selaku Ketua Prodi Teknik Geofisika UPN
“Veteran” Yogyakarta.
2. Bapak Ir. Agus Santoso, Msi selaku dosen pembimbing I dalam
penyusunan skripsi ini yang banyak memberikan masukan dan saran
kepada penulis
3. Ibu Nia Maharani, Msi selaku dosen pembimbing II dalam penyusunan
skripsi ini yang sudah meluangkan waktu serta memberikan masukan,
saran dan motivasi kepada penulis.
4. Seluruh Dosen Prodi Teknik Geofisika UPN “Veteran” Yogyakarta yang
telah banyak membagi ilmunya kepada penulis selama dibangku kuliah.
5. Staff Tata Usaha Prodi Teknik Geofisika UPN “Veteran” Yogyakarta yang
telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.
6. Teman-teman Geofisika 2004 Apin,Visi, Satria, Dedi, Banria, Memet,
Rico, Babe, dan temen-temen GF04 lainnya yang telah banyak
memberikan motivasi,dan dukungannya
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata penulis menyadari masih ada kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan Skripsi ini. Oleh karena itu penulis mohon maaf apabila ada kekurangan
atau pihak yang merasa dirugikan dalam penulisan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, April, 2011
Penulis
Rahmat Nurhidayat
115.040.011

iii
ANALISA PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM
SERTA HUBUNGAN PERCEPATAN GETARAN TANAH DENGAN
INTENSITAS DI PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE
GUTENBERG RICHTER DAN METODE MURPHY O’BREIN

Oleh :

Rahmat Nurhidayat
115.04.0011

Abstrak
Pulau Jawa merupakan bagian dari satuan seismotektonik busur sangat
aktif dan busur aktif. Guna mewaspadai bencana gempa bumi di kawasan ini perlu
dilakukan suatu kajian mendasar tentang analisa percepatan tanah maksimum,
serta menentukan wilayah-wilayah potensi gempa bumi serta bahaya yang
ditimbulkan. Terbatasnya peralatan jaringan accelerograf yang tidak lengkap dari
segi periode waktu maupun tempatnya menyebabkan penentuan nilai percepatan
getaran tanah maksimum lebih banyak menggunakan pendekatan formula empiris,
di antaranya yaitu dengan menggunakan Metode Guterberg Richter dan Metode
Murphy O’Brein.
Model berdasarkan titik pengukuran di setiap station pengukuran, grid
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0.25° x 0.25° atau sekitar 27.75 Km x
27.75 Km yang terdapat 615 titik pengukuran menggunakan data katalog gempa
dari USGS data gempabumi selama 37 tahun, yaitu dari tahun 1973 sampai
dengan tahun 2010 yang meliputi wilayah pulau jawa dan sekitarnya dengan
magnitudo lebih besar dan sama dengan 5.0 SR dengan kedalaman kurang dari 70
km serta dibatasi lintang 6.00° LS - 9.00° LS dan 105.00° BT - 115° BT.
Hasil yang diperoleh berupa peta percepatan getaran tanah maksimum dan
peta intensitas gempa di pulau jawa. Nilai percepatan getaran tanah maksimum
pada metode Guterberg Richter antara 0 -500 cm/sec2 dan pada metode Murphy
O’brein adalah 0 – 1200 Cm/Sec2. Sedangkan nilai intensitas maksimumnya
adalah antara I sampai dengan IX MMI pada metode Guterberg Richter dan IV
sampai dengan XI MMI pada metode Murphy O’brein. Selain lebih besar nilai
percepatan getaran tanah dan intensitas maksimumnya pada metode Murphy
O’brein ini sifat maupun karakteristik atenuasinya cenderung lebih kecil dan lebih
stabil dibandingjan dengan peta yang diolah dengan menggunakan metode
Gutenberg Richter, sehingga pada metode Murphy O’brein penyebaran tingkat
resikonya lebih luas dibandingkan dengan metode Gutenberg Richter.
Kata Kunci : PGA (peak ground acceleration), intensitas MMI, epicenter,
atenuasi, hubungan PGA dan MMI

iv
THE ANALYSIS PEAK GROUND ACCELERATION AND
RELATIONSHIP OF THE INTENSITY WITH PEAK GROUND
ACCELERATION IN JAVA USING METHODS GUTENBERG RICHTER
AND MURPHY O'BRIEN

By:
Rahmat Nurhidayat
115.040.011

Abstract

Java Island is part of the arc seismotectonic unit is very active and active
arc. In order to be aware of the devastating earthquake in this region need to be a
fundamental review of the analysis of maximum peak ground acceleration, and
determine areas of potential earthquakes and the danger posed. The limited
equipments of network accelerograf incomplete in terms of time period or place
cause determination of the peak ground acceleration values more empirical
formula approach, among them is by using the method of Richter and Methods
Guterberg Murphy O'Brien.

Models based on the measurement point at each station of measurement,


the grid is used in this study were 0.25° x 0.25° or approximately 27.75 km x
27.75 km that there are 615 measurement points using the earthquake catalog data
from the USGS earthquake data for 37 years, is that from 1973 to 2010 which
includes the island of Java and the surrounding area with magnitude greater and
equal to 5.0 SR with a depth of less than 70 km and is limited latitude S 6.00° –
9.00 ° S and 105.00 ° E – 115.00 ° E.

Results obtained in the form of PGA maps and map seismic intensity on
the island of Java. The maximum of peak ground acceleration values on the
Guterberg Richter method between 0 -500 cm/sec2 and on the method of Murphy
O'Brien is 0-1200 cm/sec2. While the value of maximum intensity is between I to
IX MMI on the Guterberg Richter method and IV to XI MMI on the method of
Murphy O'Brien. In addition to higher peak ground acceleration values and
maximum intensity on the method of Murphy O'Brien is the nature of its
attenuation characteristics tend to be smaller and more stable compared to maps
prepared by using the method of Gutenberg Richter, so that by the method of
Murphy O'Brien deployment risk level more broadly comparable with the method
of Gutenberg Richter.

Keywords: PGA (peak ground acceleration), MMI intensity, epicenter,


attenuation, the relationship PGA and MMI

v
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iii
ABSTRAK ........................................................................................................iv
ABSTRACT ......................................................................................................v
DAFTAR ISI .....................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................xiii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ................................................................1
1.2. Perumusan masalah ..........................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................2
1.4. Batasan Masalah...............................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kegempaan Pulau Jawa ....................................................................4
2.1. 1. Kondisi Tektonik Indonesia ................................................4
2.1.2. Tektonik Regional Pulau Jawa ............................................6
2.1.2.1. Tatanan Tektonik Jawa ............................................7
2.1.2.2. Kegempaan Regional Pulau Jawa ...........................10
2.1.2.3. Seismotektonik Regional Pulau Jawa......................12
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................13
BAB III. DASAR TEORI
3.1. Teori Gempa Bumi ...........................................................................18
3.1.1. Mekanisme Terjadinya Gempa ............................................19
3.1.2. Teori Tektonik Lempeng .....................................................20
3.1.3. Jenis-Jenis Gempabumi .......................................................22
3.1.4. Parameter Sumber Gempabumi ...........................................24

vi
3.1.4.1. Episenter................................................................24
3.1.4.2. Kedalaman Hiposenter ..........................................25
3.1.4.3. Magnitudo .............................................................25
3.1.4.4. Waktu kejadian gempa bumi (Origin time) ..........28
3.2. Gelombang Seismik .........................................................................28
3.1.1. Gelombang Badan................................................................28
3.1.2. Gelombang Permukaan ........................................................31
3.1.2.1. Gelombang Love .....................................................31
3.1.2.2. Gelombang Rayleigh ...............................................33
3.3. Intensitas Gempa Bumi ...................................................................35
3.4. Seismisitas Gempa Bumi .................................................................37
3.5. Percepatan Getaran Tanah Maksimum.............................................37
3.5.1. Metode Mc. Guirre R.K. ........................................................38
3.5.2. Metode Kawashumi (1950) ....................................................39
3.5.3. Metode Gutenberg and Richter (1942 ,1956).........................39
3.5.4. Metode Murphy dan O’Brein .................................................40
3.5.5. Metode Kanai .........................................................................40
3.6. Hubungan Percepatan Getaran Tanah dengan Intensitas
Gempa .............................................................................................42
3.6.1. Gutenberg and Richter (1942 ,1956) ......................................42
3.6.2. Kawasumi (1951) ...................................................................42
3.6.3. Neuman (1954) .......................................................................43
3.6.4. Hershberger (1956) ................................................................43
3.6.5. Medvedev dan Sponhouer (1968) ..........................................43
3.6.6. Ambrasseys (1974) .................................................................43
3.6.7. Trifumac dan Brady (1975) ....................................................44
3.6.8. Metode Murphy dan O’Brein .................................................44
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Daerah Penelitian .............................................................................45
4.2. Peralatan Penelitian ..........................................................................46
4.3. Deskripsi Data ..................................................................................46
4.4. Pengolahan Data ...............................................................................47

vii
4.4.1. Penyeragaman magnitudo gempa...........................................47
4.4.2. Perhitungan Intensitas Gempa Bumi ......................................48
4.4.3. Percepatan Getaran Tanah Maksimum ..................................49
4.4.4. Hubungan intensitas dengan percepatan getaran tanah
maksimum...............................................................................50
4.5. Interpretasi ........................................................................................50
5.6. Diagram Alir Penelitian ...................................................................51

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Percepatan Getaran Tanah Maksimum.............................................54
5.2. Intensitas Maksimum .......................................................................60
5.3. Perbedaan Pada Metode Gutenberg Richter dan Murphy O’brein ..64
5.3.1. Hubungan Nilai Percepatan Getaran Tanah
Dengan Intensitas ....................................................................64
5.3.2. Hungungan Intensitas Dengan Jarak Epicenter ......................66
5.3.3. Hubungan Percepatan Getaran Tanah Maksimum
Dengan Jarak Epicenter ..........................................................72

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan.......................................................................................74
6.2. Saran .................................................................................................75

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................76


LAMPIRAN .......................................................................................................80

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Peta tektonik Indonesia (BMG)........................................................ 4


Gambar 2.2.Tumbukan antar lempeng samudera dan lempeng benua ................ 5
Gambar 2.3 Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian
lempeng aktif ......................................................................................................... 6
Gambar 2.4.Tatanan tektonik regional Pulau Jawa .............................................. 8
Gambar 2.5.Blok diagram morfologi kedalaman gempa bumi lajur
penunjaman selatan Jawa – Bali ........................................................................... 10
Gambar 2.6. Peta rawan bencana gempa bumi Indonesia .................................... 11
Gambar 2.7. Peta Seismotektonik Jawa dan Bali .................................................. 13
Gambar 2.8. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther
wilayah Jawa Bagian Tengah ................................................................................ 14
Gambar 2.9. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther
wilayah Jawa Bagian Timur .................................................................................. 15
Gambar 2.10. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther
wilayah Jawa Bagian Barat ................................................................................... 15
Gambar 2.11. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy O’brien
wilayah Jawa Bagian Tengah ................................................................................ 16
Gambar 2.12. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy O’brien
wilayah Bagian Timur ........................................................................................... 16
Gambar 2.13. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy O’brien
wilayah Jawa Bagian Barat ................................................................................... 17
Gambar 3.1 Proses deformasi batuan yang mengakibatkan terjadinya
gempa bumi ........................................................................................................... 18
Gambar 3.2 Penjalaran Gelombang P ................................................................... 29
Gambar 3.3 Penjalaran Gelombang S ................................................................... 30
Gambar 3.4 Penjalaran Gelombang Love ............................................................. 32
Gambar 3.5 Terbentuknya Gelombang Love ........................................................ 33
Gambar 3.6 Penjalaran Gelombang Reyleigh ....................................................... 33

ix
Gambar 4.1 Peta daerah penelitian........................................................................ 45
Gambar 4.2 Peta sebaran episenter dan magnitudo gempa bumi......................... 47
Gambar 4.3 Peta kedalaman sumber gempa bumi ............................................... 47
Gambar 4.4 Posisi grid titik pengukuran .............................................................. 49
Gambar 4.5 Diagram Alir Penelitian .................................................................... 52
Gambar 4.6 Diagram Alir Pengolahan Data ......................................................... 53
Gambar 5.1 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
menggunakan metode Gutenberg Richter ............................................................. 54
Gambar 5.2 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
menggunakan metode Muphy O’brein.................................................................. 55
Gambar 5.3: Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Tengah menggunakan metode Gutenberg Richter.................................... 55
Gambar 5.4 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Tengah menggunakan metode Murphy O’brein ....................................... 56
Gambar 5.5 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Barat menggunakan metode Gutenberg Richter ....................................... 57
Gambar 5.6 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Barat menggunakan metode Murphy O’brein .......................................... 57
Gambar 5.7 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Timur menggunakan metode Guthrnburg Richter .................................... 59
Gambar 5.8 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Timur menggunakan metode Murphy O’brein ......................................... 59
Gambar 5.9 Peta intensitas maksimum dengan metode Gutenberg Richter
pada skala MMI Pulau Jawa ................................................................................. 61
Gambar 5.10 Peta intensitas maksimum dengan metode Murphy O’brein
pada skala MMI Pulau Jawa ................................................................................. 61
Gambar 5.11 Grafik hubungan perceptan getaran tanah maksimum dengan
intensitas (MMI) ................................................................................................... 65
Gambar 5.12a. Grafik hubungan intensitas maksimum dengan
jarak epicenter pada intensitas 8 MMI .................................................................. 67
Gambar 5.12b. Grafik hubungan intensitas maksimum dengan
jarak epicenter pada intensitas 8 MMI .................................................................. 67

x
Gambar 5.13. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak
epicenter .............................................................................................................. 71
Gambar 5.14. Grafik hubungan PGA dengan jarak epicenter .............................. 73

xi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Magnitudo, Efek Karakteristik, Frekuensi Dan Skala MMI


Gempa Bumi .................................................................................................... 35
Tabel 4.1 Tingkat resiko gempa bumi.............................................................. 51
Tabel 5.1. Tingkat resiko gempa bumi berdasarkan nilai
intensitas dan PGA ........................................................................................... 63
Tabel 5.2. Hubungan Intensitas Dengan PGA ................................................. 66
Tabel 5.3. Koreksi Intensitas Terhadap Jarak .................................................. 70

xii
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A DATA KATALOG GEMPA BUMI DARI USGS TAHUN


1973-2009
LAMPIRAN B PENYERAGAMAN MAGNITUDE GEMPA
MENGGUNAKAN MICROSOFT EXCEL 2007
LAMPIRAN C PERHITUNGAN PGA MENGGUNAKAN MICROSOFT
EXCEL 2007
LAMPIRAN D HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE
GUTENBERG RICHTER KE GRID 0.25° X 0.25°
LAMPIRAN E HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE
MURPHY O’BTRIN KE GRID 0.25° X 0.25°
LAMPIRAN F KOREKSI INTENSITAS MMI DENGAN JARAK
EPICENTER METODE MURPHY O’BREIN
LAMPIRAN G HASIL KOREKSI INTENSITAS MMI DENGAN JARAK
EPICENTER METODE MURPHY O’BREIN
LAMPIRAN H PETA SEISMISITAS PULAU JAWA TAHUN DATA USGS
1973-2010
LAMPIRAN I PETA KEDALAMAN GEMPA JAWA TAHUN DATA USGS
1973-2010
LAMPIRAN J TITIK STASIUN PENGUKURAN DI PULAU JAWA 0.25° X
0.25°
LAMPIRAN K PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN
METODE GUTENBERG RICHTER
LAMPIRAN L PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN
METODE MUPHY O’BREIN
LAMPIRAN M PETA INTENSITAS MAKSIMUM PULAU JAWA
MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER
LAMPIRAN N PETA INTENSITAS MAKSIMUM PULAU JAWA
MENGGUNAKAN METODE MUPHY O’BREIN

xiii
LAMPIRAN O TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN
NILAI INTENSITAS DAN PGA METODE GUTENBERG
RICTER
LAMPIRAN P TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN
NILAI INTENSITAS DAN PGA METODE MURPHY
O’BREIN

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Jawa merupakan wilayah Indonesia yang paling padat penduduk dan
infrastrukturnya. Berdasarkan tatanan seismotektoniknya, Pulau Jawa ini
merupakan bagian dari satuan seismotektonik busur sangat aktif dan busur aktif.
Guna mewaspadai bencana gempa bumi di kawasan ini perlu dilakukan suatu
kajian mendasar tentang analisa percepetan getaran tanah maksimum, serta
menentukan wilayah-wilayah potensi gempa bumi serta bahaya yang ditimbulkan.
Risiko bahaya gempa bumi sangat ditentukan oleh kepadatan penduduk dan
infrastruktur di suatu wilayah yang telah dinyatakan rawan bencana dan risiko
gempa bumi.

Dalam kegiatan analisa percepatan tanah ini terdapat dua kegiatan yaitu
pengambilan data dan pengolahan data. Kemajuan teknologi telah menghasilkan
data-data bawah permukaan yang dapat menampilkan gambaran bawah
permukaan dengan keakurasian yang tinggi berupa data-data seismisitas salah
satunya, sehingga dengan adanya data ini maka dapat digunakan untuk
mengetahui nilai percepetan tanah di wilayah Pulau Jawa.

Percepatan getaran tanah maksimum adalah nilai terbesar percepatan


tanah pada suatu tempat akibat getaran gempa bumi dalam periode waktu tertentu.
Percepatan getaran tanah maksimum merupakan salah satu parameter yang sering
digunakan dalam mengestimasi tingkat kerusakan tanah akibat goncangan gempa.
Percepatan tanah di suatu daerah dapat diukur langsung dengan accelerograf atau
strongmotion seismograf yang dipasang pada tempat tersebut atau dengan
pendekatan formula empiris. Terbatasnya peralatan jaringan accelerograf yang
tidak lengkap dari segi periode waktu maupun tempatnya menyebabkan penentuan
nilai percepatan getaran tanah maksimum lebih banyak menggunakan pendekatan
formula empiris, diantaranya yaitu dengan menggunakan Metode Gutenberg
Richter dan Metode Murphy O’Brein.

1
1.2. Perumusan Masalah

Pulau Jawa merupakan bagian dari satuan seismotektonik aktif dan terletak
di jalur subduksi sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya gempa bumi. Oleh
karena itu, dalam skripsi ini rumusan masalah yang dibahas adalah menentukan
besarnya nilai intensitas gempa bumi dan percepatan tanah maksimum di wilayah
Pulau Jawa dilihat dari besarnya nilai percepatan getaran tanah maksimum atau
PGA (Peak Ground Acceleration) di daerah tersebut berdasarkan parameter
gempa bumi berupa episenter, hiposenter dan magnitudo, serta bagaimana
hubungan nilai percepatan getaran tanah maksimum terhadap intensitas gempa
bumi menggunakan Metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy O’Brein.

1.3. Tujuan Penelitian


1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai percepatan getaran
tanah maksimum di tiap-tiap daerah rawan gempa serta tingkat resiko
akibat gempa bumi di pulau Jawa dengan menggunakan metode Gutenberg
Richter dan metode Murphy O’brein,
2. Mencari hubungan nilai percepatan tanah maksimum dengan intensitas
dalam skala MMI (Modified Mercalli Intensity), dan
3. Untuk menggali perbedaan pada kedua metode tersebut.

1.4. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa batasan masalah, yaitu:

1. Perhitungan PGA bersifat matematis dengan asumsi bahwa sumber gempa


bumi berupa point source, serta asumsi bahwa kondisi tanah adalah
bersifat homogen.
2. Model berdasarkan katalog gempa bumi dari USGS data gempa bumi 37
tahun terakhir, yaitu dari tahun 1973 sampai dengan tahun 2010 yang
meliputi wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya, dengan magnitudo lebih besar
dan sama dengan 5.0 SR, dengan kedalaman kurang dari 70 km serta
dibatasi lintang 6.00° LS - 9.00° LS dan 105.00° BT - 115° BT dengan
menggunakan metode Gutenberg Richter dan metode Murphy O’Brein.

2
3. Meneliti dan menganalisa hubungan percepatan getaran tanah maksimum
dengan intensitas pada skala MMI (Modified Mercalli Intensity) dengan
pendekatan menggunakan rumus empiris pada kedua metode tersebut.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kegempaan Pulau Jawa

2.1.1. Kondisi Tektonik Indonesia

Indonesia merupakan jalur pertemuan tiga lempeng besar (triple junction


plate convergence) yaitu Lempeng Indo-Australia, yang relative bergerak ke
utara, Lempeng Eurasia, yang relatif bergerak ke selatan, dan Lempeng Pasifik
yang relatif bergerak ke Barat Laut (gambar 2.1). Pertemuan antar lempeng
menyebabkan sering terjadi gempa bumi karena tumbukan atau pergeseran
lempeng (gambar 2.2). Oleh karena itu, Indonesia merupakan daerah yang secara
tektonik bersifat labil (terutama di wilayah Indonesia tengah) dan merupakan
kawasan pingir benua yang paling aktif di dunia.

Gambar 2.1. Peta tektonik Indonesia (BMG)

4
Gambar 2.2. Tumbukan antar lempeng samudera dan lempeng benua
(www.indogeoart.com).

Di bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang
disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan di bagian
timurnya atau sebelah barat terbentuk jalur punggungan lurus utara – selatan yang
disebut Ninety East Ridge (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur)
merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Bagian yang dalam membentuk
cekungan kerak samudera yang terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India
membentuk Bengal Fan hingga ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara
2.000 – 3.000 meter (Ginco, 1999). Daerah Pematang Tengah Samudra pada
Lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading
(Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir
dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5
cm/tahun (Katili, 2008).

Pada gambar 2.3 memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian


lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses penunjaman yaitu palung samudera
(trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc
ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan

5
cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunung api dan cekungan busur
belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007).

Gambar 2.3. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif

(Hamilton, 1979)

2.1.2 Tektonik Regional Pulau Jawa

Tektonik regional wilayah Pulau Jawa dikontrol oleh tektonik tunjaman


selatan Pulau Jawa. Akibat tunjaman tersebut terbentuk struktur-struktur geologi
regional di wilayah daratan Pulau Jawa. Struktur tersebut dapat diamati di daratan
Pulau Jawa bagian barat hingga bagian timur, diantaranya Sesar Banten, Sesar
Cimandiri, Sesar Citarik, Sesar Baribis, Sesar Citanduy, Sesar Bumiayu, Sesar
Kebumen – Semarang - Jepara, Sesar Lasem, Sesar Rawapening, Sesar Opak,
Sesar Pacitan, Sesar Wonogiri, Sesar Pasuruan, dan Sesar Jember.

6
2.1.2.1. Tatanan Tektonik Jawa

Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola


struktur geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di Pulau
Jawa memiliki pola-pola yang teratur. Secara geologi Pulau Jawa
merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran, perlipatan
dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari
waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu
arah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah
Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat (E-W).
Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut –
Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur – Barat (E-W) sejak era
Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di
Pulau Jawa yang sangat rumit, disamping mengundang pertanyaan
bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat
terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.

Pola meratus di bagian barat terekspresikan pada sesar cimandiri,


di bagian tengah terekspresikan dari pola penyebaran singkapan batuan
pra-tersier di daerah karang sambung. Sedangkan di bagian timur
ditunjukkan oleh sesar pembatas cekungan pati, “florence” timur,
“central deep”. Cekungan tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi
tinggian karimun jawa, tinggian bawean dan tinggian masalembo. Pola
meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.

Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih


dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.
Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas
Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada
Umumnya berupa struktur regangan. Pola Jawa di bagian barat ini diwakili
oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sesar-sesar dalam Cekungan
Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada
zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh
arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik. Dari data

7
stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola meratus merupakan pola
yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur kapur
sampai paleosen dan tersebar dalam jalur tinggian Karimun Jawa menerus
melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar
ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola
Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola
Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola meratus pada
eosen akhir hingga oligosen akhir.

Gambar 2.4. Tatanan tektonik regional Pulau Jawa


(www.lasonearth.files.wordpress.com)

Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh


pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan
bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.

Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan
persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu
pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam

8
Pulunggono, 1994 menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu
cekungan Jawa Utara bagian barat dan cekungan Jawa Utara bagian timur yang
terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa.

Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri


memanjang relative Utara-Selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar
dengan arah utara selatan dan Timur-Barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di
kelompok cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai geometri
memanjang timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat lebih
dominan.

Pada akhir cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah


Karang sambung menerus hingga pegunungan meratus di Kalimantan. Zona ini
membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah timur laut-barat daya.
Kemudian selama tersier pola ini bergeser sehingga zona penunjaman ini berada
di sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola ini struktur yang terbentuk berarah
timur-barat.

Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan


gaya utama kompresi Utara-Selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser
(oblique wrench fault) dengan arah barat laut-tenggara, yang kurang lebih searah
dengan pola pegunungan akhir cretasisus.

Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, Utara-


Selatan. Aktifitas tektonik periode ini menghasilkan pola struktur naik dan lipatan
dengan arah timur-barat yang dapat dikenali di Zona Kendeng. Meskipun secara
regional seluruh Pulau Jawa mempunyai perkembangan tektonik yang sama,
tetapi karena pengaruh dari jejak-jejak tektonik yang lebih tua yang mengontrol
struktur batuan dasar, khususnya pada perkembangan tektonik yang lebih muda,
terdapat perbedaan antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

9
2.1.2.2. Kegempaan Regional Pulau Jawa

Kegempaan regional wilayah Jawa dapat dibagi atas dua kelompok


kegempaan, yakni kegempaan lajur tunjaman selatan Jawa dan kegempaan lajur
sesar aktif Jawa. Gempa bumi lajur tunjaman Jawa dijumpai berkedalaman
dangkal hingga dalam (0 – 400 km) (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Blok diagram morfologi kedalaman gempa bumi Lajur penunjaman
selatan Jawa – Bali (Soehaimi, 2008).

Gempa bumi di lajur tunjaman ini umumnya tercatat berkekuatan >4 SR. Gempa
bumi berkekuatan besar di wilayah Jawa ini dapat mencapai 8,5 SR, terutama di
Jawa bagian barat, sedangkan yang berkekuatan 5 – 6 SR sering terjadi di wilayah
Jawa bagian selatan (NEIC, USGS, 2006). Wilayah Jawa ini merupakan daerah
rawan bencana gempa bumi Indonesia No. VI, VII, VIII, dan IX (Puslitbang
Geologi, 2004) (gambar 2.6). Gempa bumi lajur tunjaman ini umumnya
memperlihatkan mekanisme gempa bumi sesar naik, gempa bumi bermekanisme

10
sesar normal dapat juga terjadi pada lajur ini, terutama pada kedalaman >300 km
di sebelah utara Jawa. Gempa bumi dengan mekanisme normal tersebut
disebabkan oleh proses peregangan (extension) pada lajur di bawah rumpang
gempa bumi (seismic gap).

Gambar 2.6. Peta rawan bencana gempa bumi Indonesia (Soehaimi, 2008).

Gempa bumi berkedalaman dangkal (<30 km) yang berpusat pada lajur
sesar aktif memperlihatkan mekanisme sesar naik, geser, dan normal. Gempa
bumi bermekanisme sesar naik telah terjadi pada lajur Sesar Cimandiri pada
peristiwa gempa bumi Gandasoli Sukabumi (1982) dan gempa bumi Cibadak
Sukabumi (2000). Gempa bumi Majalengka 1990 bermekanisme sesar naik telah
terjadi pada lajur sesar naik Baribis. Gempa bumi bermekanisme sesar mendatar
menganan telah terjadi di lajur sesar geser Bumiayu pada peristiwa gempa bumi
Bumiayu (1995). Demikian pula halnya pada peristiwa gempa bumi Yogyakarta
(2006) yang memperlihatkan mekanisme sesar mendatar relatif ke kiri.

11
2.1.2.3. Seismotektonik Regional Pulau Jawa

Seismotektonik merupakan ilmu pegetahuan yang mempelajari tentang


hubungan antara tektonik, khususnya struktur geologi dengan kejadian gempa
bumi (seismogenetik) serta bahaya yang diikutinya (Pavoni, 1987). Berdasarkan
kondisi hubungan antara tektonik dan kegempaannya, Pulau Jawa dapat dibagi
menjadi dua lajur seismotektonik, yakni lajur seismotektonik tunjaman selatan
Jawa dan lajur seismotektonik sesar sesar aktif daratan Jawa (Gambar 2.7).
Karakteristik lajur seismotektonik tunjaman selatan Jawa ini merupakan bagian
dari lempeng tektonik Samudra Hindia – Australia yang menunjam di bawah
bagian lempeng tektonik Benua Asia – Eropa. Berdasarkan penampakan
morfologi kedalaman kegempaannya, lajur tunjaman selatan Jawa ini dapat dibagi
atas enam lajur, yakni Lajur Selat Sunda, Lajur Jawa Barat Bagian Barat, Lajur
Jawa Barat Bagian Timur - Jawa Tengah Bagian Barat, Lajur Jawa Tengah Bagian
Timur-Jawa Timur Bagian Barat, Lajur Jawa Timur Bagian Timur - Madura, dan
Lajur Bali. Batas antara lajur satu dengan lajur lainnya diperlihatkan oleh
perbedaan sudut kemiringan tunjamannya dari satu tempat ke tempat lainnya dan
disebut sebagai rumpang gempa bumi mendatar. Dari wilayah Jawa bagian barat
hingga Jawa bagian timur sudut tunjaman tersebut makin tegak. Rumpang gempa
bumi tegak pada lajur tunjaman ini juga dapat ditemui pada kedalaman bervariasi
antara 250 - 350 km. Lajur seismotektonik sesar aktif daratan Jawa berkaitan erat
dengan keberadaan struktur sesar aktif, diantaranya lajur seismotektonik sesar
aktif Banten, lajur seismotektonik sesar aktif Cimandiri, lajur seismotektonik
sesar aktif Citarik, lajur seismotektonik sesar aktif Baribis, lajur seismotektonik
sesar aktif Citanduy, lajur seismotektonik sesar aktif Bumiayu, Lajur
seismotektonik Kebumen – Semarang - Jepara, lajur seismotektoniksesar aktif
Lasem, lajur seismotektonik sesar aktif Rawapening, lajur seismotektonik sesar
aktif Opak, lajur seismotektonik sesar aktif Pacitan, lajur seismotektonik sesar
aktif Wonogiri, lajur seismotektonik sesar aktif Pasuruan, dan lajur
seismotektonik sesar aktif Jember.

12
Gambar 2.7. Peta Seismotektonik Jawa dan Bali (Soehaimi, 2005)

Skala 1 : 2.750.000

2.2. Penelitian Terdahulu

Perhitungan tingkat bahaya gempa bumi ditujukan untuk mengetahui


seberapa besar tingkat bahaya yang ditimbulkan jika terjadi gempa bumi
khususnya terhadap bangunan. Perhitungan ini melibatkan parameter-parameter
yang terkait dengan percepatan getaran tanah maksimum atau PGA (Peak
Ground Acceleration), ataupun intensitas gempa bumi. Perhitungan yang
dilakukan bisa dengan metode deterministik maupun probabilistik.

Perhitungan tingkat bahaya gempa bumi dengan metode probabilistik


pertama kali diperkenalkan oleh Cornell (1968). Metode ini lalu berkembang
cukup pesat dan banyak digunakan untuk menghitung tingkat bahaya gempa bumi
pada daerah yang memiliki bangunan vital seperti pembangkit tenaga listrik,
bendungan dan lain-lain. Mc Guirre (1976) membuat program komputer EQRISK

13
untuk menghitung bahaya gempa berdasarkan paper Cornell (1968). Beberapa
peneliti menggunakan metode probabilistik untuk memetakan tingkat bahaya
gempa bumi pada suatu area tertentu, misalnya Adnan et al. (2005) yang
menghitung PGA di semenanjung Malaysia. Suckale et al.(2005) juga
menggunakan metode probabilistik untuk menghitung nilai PGA di kepulauan
Republik Vanuatu.

Penelitian mengenai tingkat bahaya gempa bumi untuk Indonesia dan


khususnya Jawa sebelumnya telah dilakukan oleh PT. Reasuransi Internasional
Indonesia dan peneliti dari Badan Meteorologi dan Geofisika (2001) yang telah
melakukan perhitungan percepatan getaran tanah secara empiris dengan
menggunakan beberapa metode yaitu metode O’brien, metode Ricther. Hasil dari
penelitian tersebut diantaranya untuk metode Richter mendapatkan nilai
percepatan getaran tanah maksimum wilayah Jawa Tengah dan DIY sekitar 100 –
400 cm/sec2 (gambar 2.8), dan untuk wilayah Jawa Timur 200 – 300 cm/sec2
(gambar 2.9), serta 100 – 600 cm/sec2 pada wilayah Jawa Barat (gambar 2.10).
Dan hasil untuk nilai percepatan getaran tanah dengan menggunakan metode
O’Brein didapatkan nilai percepatan tanah maksimum 100 – 400 cm/sec2 pada
wilayah Jawa bagian tengah (gambar 2.11), dan 100 – 900 cm/sec2 pada wilayah
Jawa bagian timur (gambar 2.12) dan 100 – 1000 cm/sec2 pada wilayah Jawa
bagian barat (gambar 2.13).

14
Gambar 2.8. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther wilayah
Jawa Bagian Tengah
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jateng.html)

Gambar 2.9. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther wilayah
Jawa Bagian Timur
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jatim.html)

15
Gambar 2.10. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther wilayah
Jawa Bagian Barat (http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jabar.html)

Gambar 2.11. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy O’brien wilayah
Jawa Bagian Tengah
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jateng_obrien.html)

16
Gambar 2.12. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy O’brien wilayah
Bagian Timur
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jatim_obrien.html)

Gambar 2.13. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy O’brien wilayah
Jawa Bagian Barat
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jabar_obrien.html)

17
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1. Teori Gempa Bumi

Menurut Teori Elastic Rebound yang dinyatakan oleh Seismolog Amerika,


Reid, (Bullen, 1965; Bolt 1985) menyatakan bahwa gempa bumi merupakan
gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energi regangan elastis batuan, yang
disebabkan adanya deformasi batuan yang terjadi pada lapisan lithosfer.
Deformasi batuan terjadi akibat adanya tekanan (stress) dan regangan (strain)
pada lapisan bumi. Tekanan atau regangan yang terus-menerus menyebabkan
daya dukung pada batuan akan mencapai batas maksimum dan mulai terjadi
pergeseran dan akhirnya terjadi patahan secara tiba-tiba. Mekanisme gempa bumi
dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

Jika terdapat 2 buah gaya yang bekerja dengan arah berlawanan pada
batuan kulit bumi, batuan tersebut akan terdeformasi, karena batuan mempunyai
sifat elastis. Bila gaya yang bekerja pada batuan dalam waktu yang lama dan terus
menerus, maka lama kelamaan daya dukung pada batuan akan mencapai batas
maksimum dan akan mulai terjadi pergeseran. Akibatnya batuan akan mengalami
patahan secara tiba-tiba sepanjang bidang fault (gambar 3.1). Setelah itu batuan
akan kembali stabil, namun sudah mengalami perubahan bentuk atau posisi. Pada
saat batuan mengalami gerakan yang tiba-tiba akibat pergeseran batuan, energi
stress yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang kita kenal
sebagai gempa bumi.

18
Gambar 3.1. Proses deformasi batuan yang mengakibatkan terjadinya
gempa bumi (Bolt 1985).

Garis putus-putus merupakan garis imajiner yang menunjukkan posisi


batuan sebelum dan sesudah daya dukung batuan terlampaui. Garis merah
horizontal pada akhir proses deformasi merupakan bidang sesar yang terjadi (Bolt
1988).

3.1.1. Mekanisme Terjadinya Gempa

Gempa bumi tektonik terjadi dimulai dengan adanya proses akumulasi


energi yang diakibatkan oleh pergerakanm lempeng. Pada daearah pertemuan
lempeng timbul suatu tegangaan yang diakibatkan oleh tumbukan dan pergeseran
antar lempeng yang mempunyai sifat–sifat elastis batuan. Tegangan pada batuan
akan berkumpul terus–menerus sehingga pada suatu saat sesuai dengan
karekteristik batuannya akan sampai pada titik patah, pada saat tersebut energi yang
terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan berupa deformasi
batuan atau patahan. Energi yang dilepaskan ke segala arah berupa gelombang
gempa bumi.

Pada umumnya gempa bumi terjadi pada batas lempeng dan pada daerah
patahan aktif. Suatu titik di sepanjang sesar tempat mulainya gempa disebut fokus
atau hyposenter dan tititk di permukaan bumi yang tepat di atasnya disebut
episenter.

Gempa bumi adalah rangkaian gelombang getaran atau kejutan (shock


wave) yang berasal dari suatu tempat dalam mantel atau kerak bumi. Seorang
Seismolog Amerika, Reid (Bullen, 1965; Bolt 1985) mengemukakan suatu teori
yang menjelaskan mengenai bagaimana umumnya gempa bumi terjadi. Teori ini
dikenal dengan nama “Elastic Rebound Theory”. Menurut teori ini gempa bumi
terjadi pada daerah atau area yang mengalami deformasi. Energi yang tersimpan
dalam deformasi ini berbentuk elastis strain dan akan terakumulasi sampai daya
dukung batuan mencapai batas maksimum, hingga akhirnya menimbulkan rekahan

19
atau patahan. Mekanisme gempa bumi dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut:

Jika terdapat dua buah gaya yang bekerja dengan arah berlawanan pada
batuan kulit bumi, batuan tersebut akan terdeformasi, karena batuan mempunyai
sifat elastis. Bila gaya yang bekerja pada batuan dalam waktu yang lama dan
terus menerus, maka lama kelamaan daya dukung pada batuan akan mencapai
batas maksimum dan akan mulai terjadi pergeseran. Akibatnya batuan akan
mengalami patahan secara tiba-tiba sepanjang bidang fault (gambar 3.1). Setelah
itu batuan akan kembali stabil, namun sudah mengalami perubahan bentuk atau
posisi. Pada saat batuan mengalami gerakan yang tiba-tiba akibat pergeseran
batuan, energi stress yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang
kita kenal sebagai gempa bumi.

Dari penjelasan di atas (gambar 3.1) syarat terjadinya gempa bumi antara lain:

1. Distribusi stress

2. Pembangunan stress

3. Adanya pergerakan relatif bumi

3.1.2. Teori Tektonik Lempeng

Teori Tektonik Lempeng berasal dari hipotesis continental drift yang


dikemukakan Alfred Wegener tahun 1912. Dan dikembangkan lagi dalam
bukunya The Origin of Continents and Oceans terbitan tahun 1915. Ia
mengemukakan bahwa benua-benua yang sekarang ada dulu adalah satu bentang
muka yang bergerak menjauh sehingga melepaskan benua-benua tersebut dari inti
bumi seperti 'bongkahan es' dari granit yang bermassa jenis rendah yang
mengambang di atas lautan basal yang lebih padat. Namun, tanpa adanya bukti
terperinci dan perhitungan gaya-gaya yang dilibatkan, teori ini dipinggirkan.
Mungkin saja bumi memiliki kerak yang padat dan inti yang cair, tetapi
tampaknya tetap saja tidak mungkin bahwa bagian-bagian kerak tersebut dapat

20
bergerak-gerak. Di kemudian hari, dibuktikanlah teori yang dikemukakan geolog
Inggris Arthur Holmes tahun 1920 bahwa tautan bagian-bagian kerak ini
kemungkinan ada di bawah laut. Terbukti juga teorinya bahwa arus konveksi di
dalam mantel bumi adalah kekuatan penggeraknya.

Bukti pertama bahwa lempeng-lempeng itu memang mengalami


pergerakan didapatkan dari penemuan perbedaan arah medan magnet dalam
batuan-batuan yang berbeda usianya. Penemuan ini dinyatakan pertama kali pada
sebuah simposium di Tasmania tahun 1956. Mula-mula, penemuan ini
dimasukkan ke dalam teori ekspansi bumi, namun selanjutnya justeru lebih
mengarah ke pengembangan teori tektonik lempeng yang menjelaskan pemekaran
(spreading) sebagai konsekuensi pergerakan vertikal (upwelling) batuan, tetapi
menghindarkan keharusan adanya bumi yang ukurannya terus membesar atau
berekspansi (expanding earth) dengan memasukkan zona subduksi/hunjaman
(subduction zone), dan sesar translasi (translation fault). Pada waktu itulah teori
tektonik lempeng berubah dari sebuah teori yang radikal menjadi teori yang
umum dipakai dan kemudian diterima secara luas di kalangan ilmuwan. Penelitian
lebih lanjut tentang hubungan antara seafloor spreading dan balikan medan
magnet bumi (geomagnetic reversal) oleh geolog Harry Hammond Hess dan
oseanograf Ron G. Mason menunjukkan dengan tepat mekanisme yang
menjelaskan pergerakan vertikal batuan yang baru.

Seiring dengan diterimanya anomali magnetik bumi yang ditunjukkan


dengan lajur-lajur sejajar yang simetris dengan magnetisasi yang sama di dasar
laut pada kedua sisi mid-oceanic ridge, tektonik lempeng menjadi diterima secara
luas. Kemajuan pesat dalam teknik pencitraan seismik mula-mula di dalam dan
sekitar zona Wadati-Benioff dan beragam observasi geologis lainnya tak lama
kemudian mengukuhkan tektonik lempeng sebagai teori yang memiliki
kemampuan yang luar biasa dalam segi penjelasan dan prediksi.

Penelitian tentang dasar laut dalam, sebuah cabang geologi kelautan yang
berkembang pesat pada tahun 1960-an memegang peranan penting dalam
pengembangan teori ini. Sejalan dengan itu, teori tektonik lempeng juga

21
dikembangkan pada akhir 1960-an dan telah diterima secara cukup universal di
semua disiplin ilmu, sekaligus juga membaharui dunia ilmu bumi dengan
memberi penjelasan bagi berbagai macam fenomena geologis dan juga
implikasinya di dalam bidang lain seperti paleogeografi dan paleobiologi.

3.1.3. Jenis-Jenis Gempabumi

Menurut sumber terjadinya gempa, Hoernes (Subardjo, 2001)


mengelompokan menjadi :

1. Gempa bumi vulkanik (Volcanic Earthquake), ialah gempa bumi yang


terjadi karena adanya aktifitas vulkanik.

2. Gempa bumi terban/runtuhan (Collapse Earthquake), yaitu gempa bumi


yang terjadi karena adanya runtuhan atau longsoran dari massa batuan.

3. Gempa bumi buatan, yaitu gempa bumi yang terjadi karena adanya
ledakan dinamit atau ledakan nuklir.

4. Gempa bumi tektonik (Tectonic Earthquake), yaitu gempa bumi yang


terjadi karena adanya gejala tektonik alam misalnya adanya pergeseran
lempeng benua atau sesar.

Berdasarkan dalamnya sumber gempa, Howell (1969)


mengelompokan gempa bumi menjadi :

1. Gempa bumi dangkal, dengan kedalaman hiposenternya kurang dari


70 km di bawah permukaan bumi.

2. Gempa bumi menengah, dengan kedalaman hiposenter antara 70 –


300 km di bawah permukaan bumi.

3. Gempa bumi dalam, dengan kedalaman hiposenternya lebih dari 300 –


700 km di bawah permukaan bumi.

22
Berdasarkan kekuatan, Hagiwara (Subardjo, 2001)
mengklasifikasikan gempa bumi menjadi:

1. Gempa sangat besar, M > 8,0

2. Gempa besar, 7,0 < M < 8,0

3. Gempa sedang, 4,5 < M < 7,0

4. Gempa mikro, 1,0 < M < 4,5

5. Gempa ultra mikro, M < 1,0

Berdasarkan urutaan waktu terjadinya, Mogi (1967) membagi tipe


gempabumi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:

1. Tipe I
Yaitu gempa bumi utama dalam (mainshock) tanpa didahului gempa
permulaan (foreshock). Tetapi diikuti dengan banyak gempa bumi susulan
(aftershock). Gempa bumi tipe ini biasanya terjadi di daerah yang
mempunyai medium homogen dengan (stress) yang bekerja hamper
merata (uniform) sebagian besar gempa bumi tektonik yang terjadi di bumi
tergolong jenis ini.
2. Tipe II
Yaitu gempa bumi utama (mainshock) didahului gempa-gempa
pendahuluan (foreshock) kemudian diikuti gempa susulan (aftershock)
yang cukup banyak jumlahnya. Gempa bumi tipe ini terjadi pada daerah
dengan struktur batuan yang tidak seragamdengan distribusi (stress) yang
bekerja tidak seragam.
3. Tipe III
Yaitu gempa bumi yang tidak terdapat gempa utama (mainshock), biasa
disebut gempa bumi “swarm”. Gempa bumi tipe ini terjadi dalam daerah
yang terbatas, biasanya terjadi di daerah gunung api. Gempa bumi ini

23
terjadi pada daerah yang struktur mediumnya tidak seragam dengan stress
yang bekerja terkonsentrasi pada area yang terbatas.

3.1.4. Parameter Sumber Gempabumi

Hasil rekaman getaran permukaan tanah yang diakibatkan oleh


gempabumi baik analog maupun digital disebut seismograph. Hasil rekaman
tersebut dapat memberikan informasi parameter pokok mengenai gempabumi
yang terjadi di suatu tempat. Parameter pokok gempabumi tersebut meliputi:

1. Waktu kejadian gempabumi (origin time)


2. Posisi lintang dan bujur (latitude/longitude) episenter (titik pada
permukaan bumi yang terletak vertical diatas pusat gempa / hiposenter)
3. Kedalaman pusat gempabumi (kedalaman hiposenter). Sering disebut juga
dengan istilah focal depth.
4. Kekuatan gempabumi (magnitudo)

Parameter origin time, episenter, dan hiposenter disebut sebagai parameter


kinematik, karena untuk menentukannya hanya diperlikan waktu penjalaran
gelombang. Sedangkan parameter kekuatan gempa bumi (magnitudo) berkaitan
dengan energi yang dipancarkan oleh sumber gempa disebut sebagai parameter
dinamik, karena untuk menentukannya diperlukan pengukuran amplitudo dan
periode.

3.1.4.1. Episenter

Ada berbagai macam cara dalam penentuan posisi episenter yaitu:

1. Metode hiperbola. Metode ini menggunakan data waktu tiba gelombang P


ditiga stasiun. Parameter yang harus diketahui adalah kecepatan
gelombang harus konstan dan kedalamannya dianggap = 0 atau berada
dipermukaan.
2. Metode lingkaran. Metode ini menggunakan prinsip lingkaran untuk
menentukan posisi episenter, yaitu menggambar lingkaran dengan stasiun
sebagai pusatnya dan jarak episenter sebagai jari-jarinya. Dengan

24
menggunakan data waktu tiba dari tiga stasiun, maka akan didapatkan tiga
lingkaran yang berpotongan. Episenter didapatkan dari perpotongan antara
ketiga lingkaran tersebut disuatu titik.
3. Metode Galitzin. Metode ini memungkinkan penentuan posisi episenter
hanya dengan menggunakan data dari satu stasiun. Data yang digunakan
adalah data komponen horisontal (Utara-Selatan dan Timur-Barat) dan
komponen vertikal serta selisih waktu tiba gelombang P dan gelombang S.
4. Metode Richter. Metode ini sangat kuantitatif karena menggunakan data
waktu tiba gelombang P dari banyak stasiun.

3.1.4.2. Kedalaman Hiposenter

Kedalaman gempa atau hiposenter dapat ditentukan dengan


berbagai cara, antara lain :
1. Perbandingan antara amplitudo gelombang S dan gelombang P,
atau perbandingan antara amplitudo gelombang permukaan yang
ditimbulkannya dengan amplitudo gelombang P (kedua parameter
ini makin kecil bila gempanya makin dalam). Perhitungan ini hanya
untuk memperkirakan atau membedakan gempa dangkal dan
gempa dalam.
2. Dengan mengukur beda waktu tiba antara fase gelombang P
dengan fase gelombang pP, yang sering disebut sebagai pP-P.
Metode ini kurang akurat untuk gempa kurang dari 100 km karena
ralatnya yang terlalu besar.
Dengan menggunakan fungsi parameter penerima gelombang yang
diterima dari berbagai stasiun. Fungsi ini bersifat empiris yaitu
hasil riset atau eksperimen.

3.1.4.3. Magnitudo

Magnitudo adalah ukuran untuk menyatakan kekuatan gempabumi


berdasarkan energi yang dipancarkan pada saat terjadinya gempabumi dan
dinyatakan dalam Skala Richter. Magnitudo pertama kali dihitung oleh
Richter pada tahun 1935 untuk gempa lokal di California dengan alat

25
Standart Wood Anderson yang memperhitungkan nilai pergerakan tanah
yang terletak pada jarak tertentu pada pusat gempa. Magnitudo gempa
dapat dibedakan atas:

1. Magnitudo Lokal (MI), Magnitudo lokal pertama kali diperkenalkan


oleh Richter (1935) berdasarkan pengamatan gempa bumi di
California Selatan yang direkam menggunakan seismograf Wood-
Anderson. Secara umum Magnitudo lokal dirumuskan:

MI= log A + 3 log Δ - 2,92 (3.1)

Dengan :
MI = magnitudo lokal,
A = amplitudo maksimum getaran tanah (μm) dan
Δ = jarak episenter dengan stasiun pengamat (km), Δ<600 km.

2. Magnitudo Bodi (Mb), Magnitudo bodi berdasarkan amplitudo gelombang


P yang menjalar melalui bagian dalam bumi. Magnitudo ini digunakan
untuk menghitung kekuatan gempa-gempa dalam yaitu:

Mb = log (A/T) + f(Δ,h) + c (3.2)

Dengan:

Mb = magnitudo bodi,

A = amplitudo gelombang P (μm),

T = periode (sekon), f(Δ,h) adalah fungsi jarak dan kedalaman dan c


adalah koreksi stasiun.

26
3. Magnitudo Permukaan (Ms), Magnitudo permukaan berdasarkan
amplitudo gelombang permukaan. Magnitudo ini digunakan untuk
menghitung kekuatan gempa dengan jarak lebih dari 600 km, periode 20
sekon, dan gempa dangkal (h<60 km) dirumuskan:

Ms = log A + α log Δ + β (3.3)

Dengan:

Ms = magnitudo permukaan,

A = amplitudo maksimum (μm),

Δ = jarak episenter (km) dan α,β adalah konstanta.

4. Magnitudo Momen (Mw), Magnitudo momen merupakan magnitudo


berdasarkan harga momen seismik. Momen seismik adalah dimensi
pergeseran bidang sesar atau dari analisa gelombang pada broadband
seismograf. Magnitudo ini dirumuskan:

Mw = (log M0)/1,5 – 10,73 (3.4)

Dengan:

Mw = magnitudo momen dan

M0 = adalah momen seismik.

5. Magnitudo Durasi (Md), Magnitudo durasi merupakan jenis magnitudo


berdasarkan lamanya getaran gempa. Magnitudo ini berguna dalam kasus
amplitudo getaran sangat besar (off scale) yang dirumuskan:

Md = a log τ + b Δ + c (3.5)

27
Dengan:

Md = magnitudo durasi,

τ = lamanya getaran (sekon),

Δ = jarak hiposenter (km), a,b,c adalah konstanta.

3.1.4.4. Waktu kejadian gempa bumi (Origin time)

Waktu kejadian gempa bumi adalah waktu saat terlepasnya akumulasi


regangan (strain) yang berbentuk penjalaran gelombang gempa bumi dan
dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam , menit, detik dalam satuan
UTC (Universal Time Coordinated).

3.2. Gelombang Seismik

Gelombang seismik adalah gelombang elastic yang menjalar di dalam


medium bumi. Gelombang elastik yang menjalar di dalam medium seperti
gelombang suara, berdasarkan sifat-sifatnya, gelombang ini dapat dikategorikan
juga menjadi gelombang seismik. Gelombang seismik sering timbul akibat adanya
gempabumi atau ledakan. Gelombang seismik di ukur dengan mengunakan alat
seismometer. Gelombang seismik di bagi menjadi dua kelompok yaitu:

1. Gelombang badan .
2. Gelombang permukaan.

3.2.1. Gelombang Badan

Gelombang badan adalah gelombang yang merambat disela-sela


bebatuan di bawah permukaan bumi. Efek kerusakan yang ditimbulkan dari
gelombang ini cukup kecil. Gelombang badan di bagi menjadi dua bagian,
yaitu:

28
1. Gelombang P (Pressure Wave) atau Gelombang Longitudinal.
Gelombang ini dapat menjalar melalui segala medium (padat, cair dan
gas). Gerakan partikel medium yang dilewati gelombangini adalah
searah dengan arah penjalaran gelombang (Gambar 3.2). Karena
waktu penjalaran gelombang P lebih cepat diantara gelombang S,
maka gelombang P merupakan gelombang yang pertama tiba pada
detector gempa.

Gambar 3.2. Penjalaran Gelombang P (Bolt,1978)

Kecepatan penjalaran gelombang P dapat di kemukakan


dengan persamaan:
4
k 
Vp  3 (3.6)

Dengan :

Vp = Kecepatan gelombang P

μ = Modulus geser

ρ = Densitas material yang dilalui gelombang

Қ = Modulus Bulk

2. Gelombang S (Shear Wave) disebut juga sebagai Gelombang


Sekunder atau Gelombang Transversal.

29
Gelombang ini memiliki arah gerakan yang tegak lurus dengan
arah perambatan gelombang (Gambar 3.3). Gelombang S merambat
disela-sela bebatuan dan bergantung pada medium yang dilaluinya.
Gelombang ini hanya dapat mkenjalar melalui medium padat karena
cairan dan gas tidak punya daya elstisitas untuk kembali ke bentuk
asal. Waktu penjalaran gelombang S lebih lambat dari pada
gelombang P.

Gambar 3.3. Penjalaran Gelombang S (Bolt,1978)

Kecepatan gelombang S dapat diperlihatkan dengan persamaan:


Vs  (3.7)

Dengan:

Vs = Kecepatan gelombang S

μ = Modulus geser

ρ = Densitas material yang dilalui gelombang

30
Gelombang S dibagi menjadi dua bagian yaitu gelombang SV dan
gelombang SH. Gelombang SV adalah gelombang S yang gerakan partikelnya
terpolarisasi pada bidang vertical. sedangkan gelombang SH adalah gelombang S
yang gerakan partikelnya horizontal.

Kegunaan gelombang P dan S dalam ilmu kegempaan adalah untuk


menentukan posisi episenter gempa. Amplitudo gelombang P juga digunakan
dalam perhitungan magnitudo gempa.

3.2.2. Gelombang Permukaan

Gelombang permukaan adalah gelombang yang merambat dipermukaan


bumi, tidak menetrasi kedalam medium bumi. Mempunyai frekuensi lebih rendah
dari gelombang badan, sehingga sifat gelombang tersebut merusak. Amplitudo
gelombang permukaan akan mengecil dengan cepat terhadap kedalaman. Hal ini
diakibatkan oleh adanya dispersi pada gelombang permukaan, yaitu penguraian
gelombang berdasarkan panjang gelombangnya sepanjang permbatan gelombang.

Gelombang permukaan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Gelombang Love
2. Gelombang Reyleigh

3.2.2.1. Gelombang Love

Gelombang love adalah gelombang geser (S-wave) yang


terpolarisasi secara horizontal dan tidak menghasilkan perpindahan
vertical (Gambar 3.4) . Gelombang love diambil dari nama seorang
Geofisika Inggris Augustus Edward Hough Love (1863-1940). Gelombang
love merambat pada permukaan bebas medium berlapisdengan gerak
partikel seperti glombang SH. Kecepatan merambat gelombang love selalu
lebih kecil dari pada gelombang P, dan umumnya lebih lambat dari
gelombang S.

31
Gambar 3.4. Penjalaran Gelombang Love (Bolt,1978)

Kecepatan penjalaran gelombang Love dapat dikemukakan dengan persamaan :


2
1 1 
    2  2 
1
1 1  1 
VL  tan  H       
2 c
(3.8)
  1  2   1 1 
2

    2  2 
'

c 2 

dengan :
VL = kecepatan gelombang Love (m/s)
H = ketebalan lapisan (m)
ω = frekuensi angular (rad/s)
c = kecepatan sesaat (m/s)
β1 = kecepatan gelombang S pada medium 1 (m/s)
β2 = kecepatan gelombang S pada medium 2 (m/s)
µ = rigiditas medium 1 (N/m2)
µ’ = rigiditas medium 2 (N/m2)

Gelombang Love terbentuk karena adanya interferensi konstruktif dari


gelombang SH pada permukaan bebas. Awal gelombang terbentuk ketika
gelombang SH yang datang membentur permukaan bebas pada sudut poskritis
sehingga energi terperangkap pada lapisan tersebut. Sebagian besar energi
kemudian direfleksikan kembali menuju permukaan (SHR), sedangkan sebagian
kecil energi lainnya akan ditransmisikan melalui lapisan (SHT) seperti terlihat
pada Gambar 3.5.

32
SH SH
R

SH
T

Gambar 3.5. Terbentuknya Gelombang Love (Widigdo, 2006)

3.2.2.2. Gelombang Reyleigh

Diambil dari nama fisikawan Inggris Lord Reyleigh (1842-1919).


Gelombang reyleigh adalah gelombang yang menjalar di permukaan bebas
medium berlapis maupun homogeny dengan pergerakan menyerupai ellip
(Gambar 3.7). Karena menjalar di permukaan bumi, maka amplitude gelombang
reyleigh akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Pada saat gempabumi
besar, gelombang reyleigh terlihat pada permukaan tanah yang bergerak keatas
dan kebawah. Kecepatan merambat gelombang reyleigh lebih lambat dari pada
gelombang love.

Gambar 3.6. Penjalaran Gelombang Reyleigh (Bolt,1978)

Kecepatan penjalaran gelombang Rayleigh pada medium dapat diperlihatkan


dengan persamaan (3.9) :

33
1
 c2  2 
2
 c2  c2 
VR   2  2   41  2  1  2  (3.9)
 V 
 Vs   p   Vs 

Dengan :

VR = kecepatan gelombang Rayleigh (m/s)

Vp = kecepatan gelombang P (m/s)

Vs = kecepatan gelombang S (m/s)

c = kecepatan sesaat (m/s)

Terbentuknya gelombang Rayleigh adalah karena adanya interaksi antara


bidang gelombang SV dan P pada permukaan bebas yang kemudian merambat
secara parallel terhadap permukaan.

Gerakan pertikel gelombang Rayleigh adalah vertikal, sehingga


gelombang Rayleigh hanya ditemukan pada komponen vertikal seismogram.
Karena gelombang rayleigh adalah gelombang permukaan, maka sumber yang
lebih dekat dengan permukaan akan menimbulkan gelombang Rayleigh yang
lebih kuat di bandingkan sumber yang terletak di dalam bumi (Lay dan
Wallace,1995). Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang dispersif dengan
periode yang lebih panjang akan mencapai material yang lebih dalam dan sampai
sebelum periode pendek. Hal ini menjadikan gelombang Rayleigh sebagai alat
yang sesuai untuk menentukan struktur keras atas suatu area.

Gelombang Rayleigh yang menjalar pada permukaan medium homogen


(tidak berlapis) tidak mengalami dispersi, yaitu pemisahan gelombang di
sepanjang penjalarannya karena kecepatan sebagai fungsi frekuensi atau panjang
gelombangnya. Dalam hal ini gelombang dengan frekuensi rendah menjalar lebih
lambat dari pada kecepatan gelombang dengan frekuensi yang lebih tinggi,
sehingga gelombang akan mengalami dispersi akan berubah bentuk sepanjang
penjalarannya.

34
3.3. Intensitas Gempa Bumi

Intensitas gempa bumi adalah skala kekuatan gempa bumi berdasarkan


hasil pengamatan efek gempa bumi terhadap manusia, struktur bangunan, dan
lingkungan pada tempat tertentu. Parameter ini dinyatakan dengan skala intensitas
yang umumnya dalam MMI.

Intensitas merupakan hasil pengamatan visual pada suatu tempat,


sedangkan magnitudo adalah hasil pengamatan instrumental menggunakan
seismograf. Terdapat beberapa skala pengukuran intensitas. Skala tersebut adalah
skala intensitas Modified Mercalli Intensity (MMI) yang diakui sebagai standar
internasional, skala intensitas Medvedev-Sponheur-Karnik (MSK) yang sejak
1992 diubah menjadi European Macroseismic Scale (EMS) dan digunakan di
Eropa Timur, skala intensitas Japan Meteorological Agency (JMA) yang
digunakan di Jepang, dan skala intensitas Rossi-Forrel (RF) yang digunakan di
Cina. Besarnya intensitas gempa bumi di suatu tempat tidak hanya bergantung pada
kekuatan gempa bumi (magnitudo), namun juga kerusakan yang dirasakan.
Besarnya intensitas sangat tergantung dari besarnya magnitudo, jarak dari sumber
gempa, kondisi geologi, dan struktur bangunannya. Intensitas tinggi biasanya
terjadi pada daerah yang dekat sumber gempa dibandingkan tempat yang jauh dari
sumber gempa. Tingkat intensitas gempa bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1
berikut ini.

Tabel 3.1. Magnitudo, efek karakteristik, frekuensi dan skala MMI gempa bumi
(Skinner dan Porter 1992)

Efek karakteristik Skala Intensitas


Magnitudo(Skala Jumlah
Modified Mercalli
Richter) serta kerusakan yang ditimbulkan per tahun
(MMI)

<3,4 Hanya terekam oleh seismograf 800 I

3,5 - 4,2 Dirasakan oleh beberapa orang 30 II dan III

35
4,3 - 4,8 Dirasakan oleh banyak orang 4.8 IV

4,9 - 5,4 Dirasakan oleh setiap orang 1.4 V

5,5 - 6,1 Kerusakan bangunan kecil 500 VI dan VII

6,2 - 6,9 Kerusakan banyak bangunan 100 VIII dan IX

Kerusakan serius, jembatanjembatan


7,0 - 7,3 15 X
terpuntir, temboktembok retak

Kerusakan besar, bangunanbangunan


7,4 - 7,9 4 XI
ambruk

Kerusakan total, gelombanggelombang Satu kali


>8,0 terasa di permukaan tanah, benda-benda dalam 5- XII
terlempar 10 Tahun

Intensitas terkuat terjadi di daerah episenter. Intensitas gempa bumi yang


paling banyak digunakan adalah skala Mercally yang biasa disebut MMI
(Modified Mercally Intensity). Skala ini mempunyai 12 tingkatan akibat gempa
bumi, dimulai dari yang lemah sampai yang kuat (Tabel 3.1). Untuk mengetahui
besarnya intensitas dapat menggunakan persamaan Gutenberg Richter yang
menyatakan hubungan antara intensitas gempabumi dan magnitude yaitu:

I = 1,5 (M-0,5) (3.10)

Dengan :

I : adalah intensitas (MMI),

M : magnitudo gempa bumi (SR)

36
3.4. Seimisitas Gempa Bumi

Seismisitas adalah frekuensi dan distribusi gempa pada suatu daerah.


Seismisitas biasanya digambarkan pada peta dengan symbol-simbol tertentu pada
peta yang menggambarkan frekuensi dan intensitas gempa pada lokasi yang di
gambarkan pada peta. Peta yang dimaksud disebut peta seismic.

3.5. Percepatan Getaran Tanah Maksimum

Percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai


dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Untuk harga percepatan
terbagi menjadi 2 bagian yaitu percepatan tanah maksimum dan percepatan tanah
sesaat.

Percepatan tanah merupakan parameter yang perlu dikaji pada setiap


terjadinya gempabumi untuk dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang
efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya nilai percepatan tanah pada suatu tempat, antara
lain adalah magnitudo gempa, kedalaman hiposenter, jarak episenter, kondisi
tanah.

Percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA)


adalah nilai terbesar percepatan tanah pada suatu tempat akibat getaran
gempabumi dalam periode waktu tertentu. Sedangkan untuk harga percepatan
tanah minimum adalah pada saat terjadi gempa pada suatu titik tertentu. Nilai
percepatan tanah yang akan diperhitungkan sebagai salah satu bagian dalam
perencanaan bangunan tahan gempa adalah nilai percepatan tanah maksimum.

Nilai percepatan tanah dapat dihitung langsung dengan seismograph


khusus yang disebut strong motion seismograph atau accelerograph. Namun
karena begitu pentingnya nilai percepatan tanah dalam menghitung koefisien
seismik untuk bangunan tahan gempa, sedangkan jaringan accelerograf tidak
lengkap baik dari segi periode waktu maupun tempatnya, maka perhitungan
empiris sangat perlu dibuat. Oleh sebab itu untuk keperluan bangunan tahan

37
gempa harga percepatan tanah dapat dihitung dengan cara pendekatan dari data
historis gempabumi.

Pengukuran percepatan tanah dengan cara empiris dapat dilakukan


dengan pendekatan dari beberapa rumus yang diturunkan dari magnitudo gempa
atau data intensitas. Perumusan ini tidak selalu benar, bahkan dari satu metode ke
metode lainnya tidak selalu sama, namun cukup memberikan gambaran umum
tentang percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA).

Beberapa metode dalam perhitungan percepatan getaran tanah maksimum


secara empiris dengan menggunakan data historis gempa bumi diantaranya adalah
antara lain :

3.5.1. Metode Mc. Guirre R.K.

Log  = 472,3 10 0,278 M (R+25)-1,301 (3.11)

Dengan :

 = percepatan tanah pada permukaan (gal atau cm/sec2)

M = magnitudo permukaan atau Ms (SR)

R = jarak hiposenter (km)

R  2  h 2

∆ = jarak episenter (km)

h = kedalaman sumber gempa (km)

Pada model percepatan getaran tanah di atas menggunakan parameter-


parameter dasar gempa yaitu :

- Magnitudo (M)

- Kedalaman sumber gempa (h)

- Jarak Episenter (∆)

38
3.5.2. Metode Kawashumi (1951).

100 1
Log  M  5.45  0.00084 ( R  100 )  log . (3.12)
R 0.43429

Dengan :

M = Magnitudo gempa.

R = Jarak Hyposenter.

 = percepatan dalam gals.

Penggunaan rumus Kawashumi praktis, karena hubungan antara


percepatan permukaan setempat dan magnitudo.

Hal terpenting adalah, akibat yang ditimbulkan oleh gempa tidak sama
untuk setiap tempat, karena adanya faktor geometri dan struktur tanah. Untuk
daerah dengan struktur tanah yang lembek (perioda predominan besar dan faktor
pembesaran besar), akibat yang ditimbulkan semakin besar pula dibanding dengan
struktur tanah yang keras.

3.5.3. Metode Gutenberg and Richter (1942 ,1956)

log  = I /3 – 0.5 (3.13)

Dengan:

M = magnitudo gempa bumi (SR)

I = Intensitas dalam MMI.

 = percepatan tanah pada tempat yang dicari dalam satuan


cm/dt2 atau gal.

39
3.5.4. Metode Murphy dan O’Brein

log  = 0.14 IMM + 0.24 M - 0.68 log R + βk (3.14)

Dengan:

βWestern Ubited Satates = 0.60

βJapan = 0.69

βSouthern Europe = 0.88

 = percepatan tanah pada tempat yang akan dicari

IMM = intensitas gempa pada tempat yang akan dicari. ( dalam


standar MMI)

M = magnitudo

R = jarak episenter dalam km

βk = tetapan untuk sumber data dari stasiun pengukuran yang


terekam oleh seismograf (source data record)

2.5.5. Metode Kanai

Percepatan tanah di permukaan akibat gempa tergantung pada


karakteristik tanah di tempat tersebut. Besarnya percepatan tanah pada lapisan dan
permukaan tanah tergantung pada periode Predominan dan periode getaran
seismik. Model empiris percepatan tanah dari kanai adalah:

  G(T ).ao (3.15)

40
Dengan:

1
a .10 0.61Ms(1.66 3.60 / R ) log R  ( 0.1671.83 / R )
T (3.16)

1
G (T ) 
0,2
{1  (T / To ) 2  { (T / To ) 2
To
(3.17)

1 0.3
G (T )  1  {1  {T / To ) 2 }] 2  [{ (T / To )}] 2
1 C To
1 C (3.18)

dengan :

α = Percepatan tanah di lapisan permukaan (gal)

G(T) = Faktor perbesaran

T = Periode getaran seismik (detik)

To = Periode predominan (detik)

C = I mpedensi antara lapisan permukaan dan lapisan dasar

e1,e2 = Konstanta elastik lapisan permukaan dan lapisan dasar

ρ1,ρ2 = Rapat massa lapiasan permukaan dan lapisan dasar

ao = Percepatan tanah di lapisan dasar (gal)

Ms = Magnitudo gelombang di permukaan

R = Jarak hiposenter (km)

Faktor perbesaran G(T) tergantung dari rapat massa antara lapisan


itu. Apabila kontras antara kedua lapisan itu besar, maka besar pula faktor

41
perbesarannya. Percepatan tanah pada lapisan permukaan menjadi
maksimum apabila perioda getaran seismik yang merambat pada
permukaan sama dengan perioda predominan, harga periode predominan
tanah dapat dicari dengan melakukan pengukuran micro tremor

sehingga :

0.61Ms(1.663.60 / R ) logR ( 0.1671.83/ R )


5
g  10
To
(3.19)

3.6. Hubungan Percepatan Getaran Tanah Dengan Intensitas Gempa

Hubungan percepatan getaran tanah dengan intensitas gempa bumi dapat


di ketahui dengan pendekatan secara empiris mengunakan berapa metode di
bawah ini yang menyatan hubungan pecepatan getaran tanah dengan intensitas
dalam MMI.

3.6.1. Gutenberg and Richter (1942 ,1956)

log α = 0.333 IMM – 0.5 (3.20)

Dengan : α adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.2. Kawasumi (1951)

log α = 0.500 IJMA – 0.347 (3.21)

Dengan : α adalah percepatan tanah maksimum dan IJMA adalah


intensitas yang diukur dalam Agensi Meteorological Japanese

42
3.6.3. Neuman (1954)

Untuk jarak rata-rata 25 kilometer yaitu dengan persamaan :

log α max = 0.308 IMM – 0.041 (3.22)

Sedangakan untuk jarak rata-rata 160 kilometer menggunakan


persamaan :

log α max = 0.308 IMM – 0.429 (3.23)

Dengan : αmax adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.4. Hershberger (1956)

log α = 0.429 IMM - 0.900 (3.24)

Dengan : α adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.5. Medvedev dan Sponhouer (1969)

log amax = 0.301 IMM - 0.408 (3.25)

Dengan : αmax adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.6. Ambrasseys (1974)

log αh max = 0.36 IMM - 0.16 (3.26)

Dengan : αh max adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

43
3.6.7. Trifumac dan Brady (1975)

log α = 0,014 + 0,3 IMM (3.27)

Yang kemudian Wald (1999) merevisi persamaan menjadi :

IMM = 3,66 log α – 1,66 (3.28)

Dengan : α adalah Percepatan getaran tanah maksimum (gal), dan


IMM adalah Intensitas gempa dalam skala MMI

3.6.8. Metode Murphy dan O’Brein

log a = 0.25 IMM + 0.25 (3.29)

Dengan : α adalah Percepatan getaran tanah maksimum (gal), dan


IMM adalah Intensitas gempa dalam skala MMI

44
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Daerah Penelitian

Dalam penelitian ini daerah yang dijadikan area penelitan adalah wilayah
pulau Jawa yang meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Area penelitian terletak pada
koordinat 9° 00’ LS – 6 °00’ LS dan 105° 00’ BT – 115° 00’ BT seperti terlihat
pada Gambar 4.1

Gambar 4.1. Peta daerah penelitian (www. geospasial.bnpb.go.id)

45
4.2. Peralatan Penelitian

Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan sebagai penunjang dalam


pengolahan data adalah :

1. Komputer PC
2. Perangkat lunak yang terdiri dari :
a. Microsoft Windows XP Service Pack 3
b. Map Info Professional 9.0
c. Surfer 8
d. Microsoft Office 2007 (Word, Excel)

4.3. Deskripsi Data

Data gempa yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari database
situs resmi USGS (www.usgs.gov) dengan spesifikasi data sebagai berikut :

1. Data gempa yang terjadi antara tahun 1973 sampai dengan 2010 dari data
gempa USGS (United States Geological Survey) data gempa yakni
sebanyak 346 kejadian gempa bumi (Lampiran A).
2. Data gempa dari USGS (United States Geological Survey) kemudian
diklasifikasikan berdasarkan kriteria pencarian yaitu :
a. Koordinat lintang : 6°LS – 9°LS
b. Koordinat bujur : 105° BT – 115° BT
c. Magnitudo gempa : 5,0 – 9,0
d. Kedalam fokus gempa : 0 – 70 km ( gempa dangkal )

Sebaran episenter dan magnitudo gempa serta kedalamnya untuk wilayah


pulau Jawa yang dikumpulkan dari tahun 1973-2010 berdasarkan data gempa dari
USGS (United States Geological Survey) dapat dilihat pada Gambar 4.2. Jumlah
kejadian gempa yang dikumpulkan sebanyak 532 titik gempa kemudian
diklasifikasikan berdasarkan kriteria pencarian sehingga menjadi 302 titik gempa.

46
PETA SEISMISITAS PULAU JAWA TAHUN DATA USGS 1973-2010

PETA SEISMISITAS
TAHUN 1973 - 2010
-6

KETERANGAN

Magnitude (SR)
-7
Latitude

5.1 to 5.575
5.575 to 6.05
6.05 to 6.525
6.525 to 7.001

Propinsi Jawa Timur

-8 Propinsi Jawa Barat


Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta
-9 Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

105 106 107 108 109 110 111 112 113 114
Longitde
0 111 222 333
Kilometer

Gambar 4.2. Peta sebaran episenter dan magnitudo gempa bumi.

PETA KEDALAMAN GEMPA JAWA DATA USGS TAHUN 1973-2010

PETA KEDALAMAN SUMBER GEMPA


TAHUN 1973 - 2010
-6

KETERANGAN

Kedalaman (KM)
-7 3 to 19.75
19.75 to 36.5
Latitude

36.5 to 53.25
53.25 to 70

Propinsi Jawa Timur


Propinsi Jawa Barat
-8
Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta
-9 Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitde
0 111 222 333
Kilometer

Gambar 4.3. Peta kedalaman sumber gempa bumi.

4.4. Pengolahan Data

4.4.1. Penyeragaman magnitudo gempa

Data gempa yang didapat dari katalog USGS/ NEIC Dari katalog
kegempaan ini memuat berbagai tipe magnitudo, sehingga perlu dilakukan
penyeragaman data, penyeragaman ini dilakukan berdasarkan formulasi
(Scordilis 2006).

Mw = 0.67(±0.005) Ms + 2.07(±0.03) (4.1)

47
Dengan syarat : Nilai 3.0 ≤ Ms ≤ 6.1 hanya berlaku untuk data
katalog NEIC dan ISC.

Mw = 0.99(±0.02) Ms + 0.08(±0.13) (4.2)

Dengan syarat : Nilai 6.2 ≤ Ms ≤ 8.2 hanya berlaku untuk data


katalog NEIC dan ISC.

Mw = 0.85(±0.04) mb + 1.03(±0.23) (4.3)

Dengan syarat : Nilai 3.5 ≤ Mb ≤ 6.2 berlaku untuk data NEIC,


ISC, JMA dan IDC.

Dengan Mb, Ms, dan Mw adalah magnitudo gelombang


badan, magnitudo gelombang permukaan, dan magnitudo moment.

4.4.2. Perhitungan Intensitas Gempa Bumi

Perhitungan intensitas gempa bumi menggunakan persamaan


Gutterberg Richter (persamaan 3.10) yang menyatakan hubungan antara
intensitas gempabumi dan magnitudo. Sedangkan untuk mencari intensitas
pada suatu daerah titik pengukuran pada metode Gutenberg Richter
menggunakan fungsi atenuasi hubungan Intensitas terhadap jarak dari
persamaan Subardjo dan Prih Harjadi yang ditentukan berdasarkan gempa
Flores, 12 Desember 1992 yaitu :

I0 = I exp –0.0021 R (4.4)

Sedangkan fungsi atenuasi pada metode Murphy O’brein didapatkan dari


persaaman (3.14) dengan mengalikan fungsi atenuasi Murphy O’brein yaitu;

log a = 0.14 IMM + 0.24 M – 0.68 log R+βk

48
Dengan :

I = Intensitas gempa bumi (skala MMI)

I0 = Intensitas pada jarak episenter dengan titik pengukuran

R = Jarak pada episenter (km)

exp = Suatu bilangan atau logaritma natural =2.71828

βk = Tetapan untuk sumber data

4.4.3. Percepatan Getaran Tanah Maksimum

Dalam pembuatan kontur percepatan getaran tanah maksimum


langkah pertama yang terlebih dahulu dilakukan adalah dengan membuat
grid atau titik pengukuran. Ukuran untuk tiap-tiap grid yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 0.25° x 0.25° atau sekitar 27.75 Km x 27.75
Km seperti terlihat pada Gambar 4.4 yang terdapat 615 titik pengukuran.
Pemilihan ukuran grid 0.25° x 0.25° berdasarkan pertimbangan lokasi
daerah penelitian yang cukup luas dan ukuran grid tersebut sudah cukup
mewakili daerah-daerah di sekitar lokasi penelitian.

TITIK STASIUN PENGUKURAN DI PULAU JAWA 0.25° X 0.25°

TITIK STASIUN PENGUKURAN


DI PULAU JAWA 0.25° X 0.25°
-6

KETERANGAN
LATITUDE

-7 Titik Stasiun Pengukuran


Propinsi Jawa Timur
Propinsi Jawa Barat
Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
-8
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta

-9
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
LONGITUDE
0 111 222 333
Kilometer

Gambar 4.4. Posisi grid titik pengukuran

Dari 615 titik pengukuran kemudian dihitung nilai percepatan getaran


tanah maksimumnya tiap titiknya yang diakibatkan oleh 302 kejadian gempa bumi
yang terjadi di sekitar daerah penelitian. Perhitungan nilai percepatan getaran
tanah ini menggunakan metode Gutenberg Richter seperti yang terdapat pada

49
persamaan (3.13) dan metode Murphy O’brein pada persamaan (3.14). Pada
perhitungan ini menggunakan Microsoft Excel 2004 dengan membuat formula
matematisnya (Lampiran B). Parameter lainnya yang digunakan sebagai data
masukan formula perhitungan percepatan getaran tanah maksimum yakni data
gempa bumi dengan parameter lintang, bujur, kedalaman sumber gempa, dan
magnitudo gempa berupa gelombang badan (mb) yang kemudian dikonversi ke
gelombang permukaan(ms). Setelah di dapatkan nilai percepatan getaran tanah
maksimum tiap site atau titik pengukuran kemudian dibuat peta kontur percepatan
getaran tanah maksimum dengan menggunakan program Mapinfo dan Surfer.

4.4.4. Hubungan intensitas dengan percepatan getaran tanah


maksimum

Pencarian hubungan percepatan getaran tanah dengan intensitas gempa


bumi dapat diketahui dengan pendekatan secara empiris mengunakan persamaan
(3.20) pada metode Gutenberg Richter dan persamaan (3.29) pada metode
Murphy O’brein.

5.5. Interpretasi

Interpretasi dilakukan setelah mendapatkan hasil pengolahan data, yaitu


berupa nilai perhitungan percepatan getaran tanah maksimum dan nilai intensitas
gempa bumi. Nilai dari hasil perhitungan tersebut kemudian dipetakan sehingga
dapat dianalisis. Analisis dilakukan pada peta kontur percepatan getaran tanah
untuk mengetahui pola penyebaran nilai percepatan getaran tanah maksimum di
daerah penelitian. Sehingga dapat diperkirakan daerah-daerah mana saja yang
memiliki nilai percepatan getaran tanah maksimum yang tinggi sampai ke yang
rendah. Hal yang sama juga dilakukan pada peta intensitas gempa bumi, dengan
melakukan analisa pada pola penyebaran nilai percepatan getaran tanah
maksimum dan intensitas gempa. Kemudian dari Peta percepatan tanah
maksimum dan peta intensitas maksimum tersebut akan ditentukan daerah-daerah
mana saja yang mempunyai tingkat resiko paling besar sesuai dengan

50
pengklasifikasian menjadi 10 macam tingkat resiko berdasarkan percepatan tanah
maksimum dan intensitas seperti pada tabel 4.1

Tabel 4.1. Tingkat resiko gempa bumi (Fauzi ed.al, 2005).

Nilai Percepatan Intensitas


No Tingkat Resiko
(gal)
(MMI)
1 Resiko sangat kecil <25 <VI
2 Resiko kecil 25 – 50 VI – VII
3 Resiko sedang satu 50 – 75 VII – VIII

4 Resiko sedang dua 75 – 100 VII – VIII


5 Resiko sedang tiga 100 – 125 VII – VIII
6 Resiko besar satu 125 – 150 VIII – IX
7 Resiko besar dua 150 – 200 VIII – IX
8 Resiko besar tiga 200 – 300 VIII – IX
9 Resiko sangat besar satu 300 – 600 IX – X
10 Resiko sangat besar dua >600 >X

kemudian dilihat korelasi antara kedua peta tersebut bagaimana hubungan


antara intensitas dengan nilai percepatan getaran tanah maksimumnya, serta
bagaimana korelasi antara intensitas maksimum dengan jarak, dan bagaimana
korelasi percepatan getaran tanah maksimumnya dengan jarak epicenter pada
kedua metode tersebut.

5.6. Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian yang di tampilkan terbagi menjadi dua macam


yaitu diagram alir penelitian (Gamabar 4.5) yang menggambarkan secara garis
besar tahapan penelitian, sedangkan diagram alir kedua adalah diagram alir
pengolahan data (Gambar 4.6) yang menggambarkan tahapan pengolahan data.

51
Mulai
Mulai

Studi
Studi Pendahuluan
Pendahuluan
-- Studi
Studi Literatur
Literatur
-- Informasi
Informasi Geotektonik
Geotektonik
Dan Seismotektonik
Dan Seismotektonik

Penentuan
Penentuan Daerah
Daerah
Penelitian
Penelitian

Pengumpulan
Pengumpulan Data
Data

Pengolahan
Pengolahan Data
Data

Analisa
Analisa Hasil
Hasil Pengolahan
Pengolahan Data
Data

Kesimpulan
Kesimpulan

Selesai
Selesai

Gambar 4.5. Diagram Alir Penelitian

52
Data Base Gempa
Bumi

Dimasukkan Ke
Microsoft Excel

Mengkonversi
Magnitude Ke
Ms

Pemilahan
Event Gempa

Perhitungan Peta Intensitas Gempa


Pembuatan Grid
Nilai Intensitas Bumi
Area Penelitian
Gempa Bumi

Peta Percepatan Getaran Perhitungan


Tanah Maksimum Percepatan
Getaran Tanah

Hubungan Intensitas Dengan


Percepatan Getaran Tanah
Maksimum

Grafik Hubungan Perceptan Grafik Hubungan Intensitas Grafik Hubungan PGA


Getaran Tanah Maksimum
Dengan Jarak Epicenter Dengan Jarak Epicenter
Dengan Intensitas

Gambar 4.6. Diagram Alir Pengolahan Data

53
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Percepatan Getaran Tanah Maksimum

Berdasarkan hasil pengolahan data dan perhitungan nilai percepatan


getaran tanah maksimum di wilayah Pulau Jawa dengan menggunakan metode
Gutenberg Richter dan Murphy O’brein yang diolah menggunakan program
Microsoft Excel dan Surfer8 sesuai dengan persamaan (3.13) pada metode
Gutherburg Richter diperoleh nilai percepatan getaran tanah maksimum antara 0
cm/sec2 sampai dengan 450 cm/sec2 (gambar 5.1). Dan peta percepatan getaran
tanah maksimum yang diolah dengan menggunakan metode Murphy O’brein
dengan persamaan (3.14) diperoleh nilai percepatan getaran tanah maksimum
antara 0 cm/sec2 sampai dengan 1050 cm/sec2 pada Gambar (5.2). Besarnya nilai
percepatan getaran tanah pada kedua peta tersebut, metode Murphy O’brein
mempunyai nilai percepatan getaran tanah maksimum yang lebih besar nilainya
dibandingkan dengan peta yang diolah dengan menggunakan metode Gutenberg
Richter, tetapi pola kontur pada kedua peta tersebut keduanya sangat mirip baik
yang diolah dengan metode Gutenberg Richter maupun dengan metode Murphy
O’brein.
PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER
Cm/Sec2

450
425
-6 400
375
350
325
300
LATITUDE

-7 275
250
225
200
175
-8 150
125
100
Kilometer 75
50
0 111 222 333 25
-9
0
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
LONGITUDE

Gambar 5.1. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa menggunakan
metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)

54
PETA KONTUR PERCEPATAN GETARAN TANAH PULAU JAWA DENGAN METODE MURPHY O'BREIN
Cm/Sec2

1050
975
-6
900
825
750
675
Latitude

-7 600
525
450
375
-8 300
225
150
Kilometer
75
0 111 222 333
-9 0

105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitude

Gambar 5.2.Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa menggunakan


metode Muphy O’brein (interval kontur 75 cm/sec2)

Dari kedua gambar di atas dapat dianalisa satu persatu dalam tiga bagian
berdasarkan wilayahnya, yaitu wilayah Jawa Bagian Tengah, Jawa Bagian timur
dan Wilayah Jawa Bagian Barat.

PETA PGA PADA DAERAH JAWA BAGIAN TENGAH MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER
-6 Cm/Sec2

220
-6.25
205

-6.5 190
Jepara
175
Rembang
-6.75 Pati 160
Kudus
Brebes
Tegal Pekalongan
Pemalang Batang Demak 145
Kendal
Blora
LATITUDE

Semarang
-7
Purwodadi
130
Ungaran
115
-7.25
Temanggung Salatiga
Wonosobo 100
Purbolinggo Banjarnegara
Purwokerto Sragen
-7.5 Magelang 85
Boyolali
Surakarta
Karanganyar
70
Kebumen Sukoharjo
Cilacap Purworejo Sleman Klaten
-7.75 55
Yogyakarta
Wonogiri
Wates
Bantul 40
Wonosari
-8
Kilometer 25
0 27.75 55.5 83.25 10
108.5 108.75 109 109.25 109.5 109.75 110 110.25 110.5 110.75 111 111.25 111.5
LONGITUDE

Gambar 5.3. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian
Tengah menggunakan metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)

55
PETA KONTUR PGA JAWA BAGIAN TENGAH MENGGUNAKAN METODE O'BREIN
-6 Cm/Sec2

520
-6.25
495
470
-6.5 445
Jepara 420
Rembang 395
-6.75 Pati
Kudus 370
Brebes
Tegal Pekalongan
Pemalang Batang Demak 345
Kendal
Semarang Blora
-7 320
Latiitude

Purwodadi
Ungaran 295
-7.25
270
Wonosobo
Temanggung Salatiga 245
Purbolinggo Banjarnegara
Purwokerto Sragen 220
-7.5 Magelang
Boyolali
Surakarta
195
Karanganyar
170
Kebumen Sukoharjo
Cilacap Purworejo Sleman Klaten
-7.75 145
Yogyakarta
Wonogiri 120
Wates
Bantul
Wonosari 95
-8
70
Kilometer
45
0 27.7 55.4 83.1
20
108.5 108.75 109 109.25 109.5 109.75 110 110.25 110.5 110.75 111 111.25 111.5
Longitude

Gambar 5.4. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian
Tengah menggunakan metode Murphy O’brein (interval kontur 25 cm/sec2)

Dari peta kontur percepatan getaran tanah maksimum terlihat bahwa nilai
maksimum percepatan getaran tanah tersebar di Daerah Istmewa Yogyakarta
yakni Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul
(gambar 5.3). Nilai maksimum percepatan getaran tanah ini berkisar antara 145
cm/sec2 sampai dengan 220 cm/sec2pada metode Gutenberg Richter dan 220
cm/sec2 sampai dengan 520 cm/sec2 pada peta yang diolah dengan menggunakan
metode O’Brein (gambar 5.4). Tingginya nilai percepatan getaran tanah di sekitar
Daerah Istimewa Yogyakarta ini disebabkan oleh besarnya pengaruh gempa yang
terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 dengan magnitudo 6,3 SR
(USGS), hal ini dikarenakan posisi sumber gempa yang dekat dengan daerah
tersebut dan terletak pada kedalaman yang dangkal. Posisi episenter gempa
Yogyakarta terletak di darat tepatnya pada sekitar Sesar Opak. Beberapa gempa
besar juga sering terjadi di sekitar laut pantai selatan Yogyakarta tetapi tidak
sampai menyebabkan kerusakan yang parah dan terjadinya Tsunami. Hal ini
menggambarkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang
sangat rawan terjadinya gempa bumi.

56
PETA PGA PADA DAERAH JAWA BAGIAN TENGAH MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER
-5.5 Cm/Sec2

500
-5.75 475
450
-6 Cilegon 425
Serang
Tangerang Jakarta 400
-6.25 Bekasi 375
Pandeglang Karawang
Indramayu
Rangkas belitung 350
-6.5 325
Purwakarta Subang
LATITUDE

Bogor 300
Cirebon 275
-6.75
Cianjur
Sumedang Majalengka 250
Kilometer Sukabumi
-7 Kuningan 225
200
Garut 175
-7.25
Tasikmalaya
Ciamis 150
125
-7.5
100
75
-7.75
Kilometer 50
25
0 27.75 55.5 83.25
-8 0
105 105.25 105.5 105.75 106 106.25 106.5 106.75 107 107.25 107.5 107.75 108 108.25 108.5
LONGITUDE

Gambar 5.5. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Barat
menggunakan metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)

PETA KOMTUR PGA JAWA BAGIAN BARAT DENGAN MENGGUNAKAN METODE O'BREIN
Cm/Sec2
-5.5

1200
-5.75
1125
1050
-6 Cilegon
Serang 975
Tangerang Jakarta
-6.25 Bekasi 900
Pandeglang Karawang
Indramayu
Rangkas belitung
825
-6.5 750
Purwakarta Subang
Bogor
Latitude

Cirebon
675
-6.75
Cianjur 600
Sumedang Majalengka
Sukabumi
-7 Kuningan 525
450
Garut
-7.25 375
Tasikmalaya
Ciamis
300
-7.5
225

-7.75
150
Kilometer
75
0 27.7 55.4 83.1
-8 0
105 105.25 105.5 105.75 106 106.25 106.5 106.75 107 107.25 107.5 107.75 108 108.25 108.5
Longitude

Gambar 5.6. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Barat
menggunakan metode Murphy O’brein (interval kontur 75 cm/sec2)

57
Berdasarkan peta kontur percepatan getaran tanah pada wilayah Jawa
Bagian Barat yang meliputi Propinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat di
dapatkan nilai antara 0 cm/sec2 sampai dengan 500 cm/sec2 pada peta yang diolah
dengan menggunakan metode Gutenberg Richter (gambar 5.5) dan nilai 0 cm/sec2
sampai dengan 1200 cm/sec2 pada metode Murphy O’brein (gambar 5.6). Dengan
percepatan getaran tanah maksimum terbesar terdapat di daerah Kabupaten
Pandeglang, Propinsi Banten yaitu antara 225 cm/sec2 sampai dengan 325 cm/sec2
pada metode Gutenberg Richter dan 300 cm/sec2 sampai dengan 600 cm/sec2 pada
peta yang diolah dengan menggunakan metode Muphy O’brein.

Percepatan getaran tanah maksimum pada wilayah Jawa Bagian Barat di


pengaruhi oleh dua event gempa berkekuatan besar yaitu gempa yang terjadi pada
25 oktober 2000 dengan magnitudo 6.8 SR (USGS) yang bepusat pada kedalaman
38 km dan koordinat 6.55° LS - 105.63° BT sebelah Barat Daya atau 59 km dari
Kabupaten Pandeglang Banten. Berikutnya gempa bumi Jawa Barat 2 September
2009 yang lebih dikenal dengan Gempa Bumi Tasikmalaya dengan magnitudo 7.0
SR (USGS) pusat gempa berada di Samudera Hindia pada kedalaman 49 km dan
7.778° LS 107.328° BT sebelah Selatan Indramayu atau Barat Daya Tasikmalaya.
Pada event gempa 25 oktober 2000 mempengaruhi percepatan getaran tanah
maksimum di wilayah sekitar Propinsi Banten, sedangakan Gempa Bumi
Tasikmalaya 2009 mempengaruhi percepatan getaran tanah maksimum di wilayah
Propinsi Jawa Barat.

Berikutnya peta kontur percepatan getaran tanah maksimum pada wilayah


Jawa Bagian Timur tampak pada gambar di bawah ini (gambar 5.7 dan 5.8) yang
meliputi wilayah Propinsi Jawa Timur didapatkan nilai antara 20 cm/sec2 sampai
dengan 270 cm/sec2 pada peta yang diolah dengan menggunakan metode
Gutenberg Richter (gambar 5.7) dan nilai 20 cm/sec2 sampai dengan 420 cm/sec2
pada metode Murphy O’brein (gambar 5.8). Dengan percepatan getaran tanah
maksimum terbesar terdapat di daerah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa
Timur yaitu antara 20 cm/sec2 sampai dengan 145 cm/sec2 (dengan metode
Gutenberg Richter), dan 70 cm/sec2 sampai dengan 270 cm/sec2 (dengan metode
Murphy O’brein). Gempa yang mempengaruhi percepatan getaran tanah

58
maksimum pada daerah tersebut adalah gempa pada tahun 1976 dengan skala
gempa 6.5 SR (USGS) yang berpusat pada koordinat 8.17º LS dan 114.89º BT
pada kedalaman 40 km.

PETA PGA PADA DAERAH JAWA BAGIAN TIMUR MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER Cm/Sec2
-6.5

270
-6.75
Tuban
245
-7 Bangkalan Sumenep
Lamongan
Bojonegoro Gresik Pamekasan
Sampang
220
-7.25 Surabaya

Ngawi 195
Mojokerto Sidoarjo
-7.5
Jombang
LATITUDE

Nganjuk 170
MagetanMadiun Pasuruan
Besuki Situbondo
-7.75 Probolingo
Kediri 145
Ponorogo
Bondowoso
Malang
-8
Trenggalek
Tulungagung Blitar 120
Lumajang
Jember
Pacitan Banyu wangi
-8.25
95

-8.5 70

-8.75
Kilometer
45

0 27.75 55.5 83.25 20


-9
111 111.25 111.5 111.75 112 112.25 112.5 112.75 113 113.25 113.5 113.75 114 114.25 114.5 114.75 115
LONGITUDE

Gambar 5.7. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Timur
menggunakan metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)

PETA KONTUR PGA JAWA BAGIAN TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN METODE O'BREIN Cm/Sec2
-6.5
420
-6.75 395
Tuban 370
-7 Bangkalan Sumenep
345
Lamongan
Bojonegoro Gresik Pamekasan
Sampang 320
-7.25 Surabaya

Ngawi
295
Mojokerto Sidoarjo
-7.5 270
Jombang
Nganjuk
Latitude

MagetanMadiun Pasuruan 245


Besuki Situbondo
-7.75 Probolingo
Kediri 220
Ponorogo
Bondowoso
Malang 195
-8
Trenggalek
Tulungagung Blitar
Lumajang 170
Jember
Pacitan Banyu wangi
-8.25
145
120
-8.5
95
-8.75
Kilometer 70

0 27.7 55.4 83.1


45
-9
111 111.25 111.5 111.75 112 112.25 112.5 112.75 113 113.25 113.5 113.75 114 114.25 114.5 114.75 115 20

Longitude

Gambar 5.8. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Timur
menggunakan metode Murphy O’brein (interval kontur 72 cm/sec2)

59
Dari beberapa peta kontur PGA di atas baik yang diolah dengan
menggunakan metode Gutenberg Richter maupun metode Murphy O’brein
masing-masing peta menggambarkan daerah yang paling besar tingkat resiko yang
diakibatkan oleh gempa bumi adalah Propinsi Banten dan Jawa Barat, kemudian
berikutnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baik nilai percepatan getaran tanah maksimum yang diolah dengan


menggunakan metode Gutenberg Richter dan juga metode Murphy O’brein nilai
percepatan getaran tanah maksimumnya maupun pola konturnya sangat berbeda
dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh PT. Reasuransi Internasional
Indonesia dan peneliti dari Badan Meteorologi dan Geofisika menggunakan data
seismisitas tahun 1900 sampai dengan tahun 2000 yaitu untuk wilayah Jawa
Bagian Tengah antara 0 – 300 cm/sec2 pada metode Gutenberg Richter (gambar
2.8.) dan 0 – 400 cm/sec2 pada metode Murphy O’brein (gambar 2.11.), dan pada
wilayah Jawa Bagian Barat yaitu antara 0 – 400 cm/sec2 (gambar 2.10.) pada
metode Gutenberg Richter dan 0 – 700 cm/sec2 pada metode Murphy
O’brein(gambar 2.13.), sedangkan untuk wilayah Jawa Bagian Timur adalah 0 –
300 cm/sec2 (gambar 2.9.) pada metode Gutenberg Richter dan 0 – 400 cm/sec2
pada metode Murphy O’brein (gambar 2.12.). Suatu hal yang menyebabkan
perbedaan pada penelian ini dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh PT.
Reasuransi Internasional Indonesia adalah karena terdapatnya dua event gempa
bumi besar pada penelitian ini yaitu gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan
gempa bumi tasikmalaya tahun 2009.

5.2. Intensitas Maksimum

Nilai intensitas maksimum gempa didapatkan setelah melakukan


perhitungan nilai intensitas pada epicenter dengan memasukan parameter
percepatan getaran tanah maksimum sesuai dengan persamaan (4.4) Subarjo dan
Prih Harjadi (1993), maka dapat dibuat peta kontur intensitas gempa seperti
terlihat pada Gambar (5.9 dan 5.10), pada peta intensitas yang diolah dengan
metode Gutenberg Richter dan metode Murphy O’brein dengan persamaan (3.14)

60
PETA INTENSITAS MAKSIMUM PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBUERG RICHTER
MMI

9
-6 Jakarta

7
Latitude

Bandung
Semarang

-7 6
Surabaya

5
Yogyakarta

4
-8
3

Kilometer 2
0 111 222 333
-9 1
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitude

Gambar 5.9.Peta intensitas maksimum dengan metode Gutenberg Richterpada


skala MMI Pulau Jawa

Peta Intensitas Maksimum Pulau Jawa Menggunakan Metode Murphy O'brein MMI

11
10.5
-6 10
9.5
9
8.5
Latitude

-7 8
7.5
7
6.5
-8 6
5.5
Kilometer 5

0 111 222 333 4.5


-9 4
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitude

Gambar 5.10.Peta intensitas maksimum dengan metode Murphy O’breinpada


skala MMI Pulau Jawa

Berdasarkan peta kontur intensitas gempa bumi terlihat bahwa pola


konturnya hampir sama dengan peta kontur percepatan getaran tanah maksimum.
Nilai intensitas untuk daerah di Pulau Jawa pada peta yang diolah dengan metode
Gutenberg Richter (gambar 5.9) antara 1 sampai dengan 9 skala MMI (Modified
Mercalli Intensity), sedangka pada peta yang diolah dengan menggunakan metode
Murphy O’brein (gambar 5.10)) antara 4 sampai dengan 11 skala MMI (Modified
Mercalli Intensity). Dari peta kontur intensitas gempa bumi, daerah yang memiliki
nilai intensitas tinggi (gambar 5.9) adalah 6 sampai dengan 8 skala MMI

61
(Modified Mercalli Intensity) dan 4 sampai dengan 11 (gambar 5.10) yaitu Daerah
Istimewa Yogyakarta yang meliputi kota Yogyakarta, Bantul, serta sebagian dari
wilayah Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Sleman serta Kabupaten Pandeglang
Propinsi Banten. Besarnya nilai intensitas gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta
ini disebabkan pengaruh dari gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta (27 Mei
2006) karena letak sumber gempa yang berada dekat dengan daerah tersebut. Hal
ini juga sesuai dengan kenyataan di lapangan yang banyak terdapat kerusakan
bangunan rumah serta fasilitas-fasilitas pemerintahan dan juga banyak menelan
korban jiwa, kerusakan terparah terdapat pada daerah Bantul, Sleman, kota
Yogyakarta, Kulon Progo, dan Gunung Kidul (Media Center Gempa DIY, 2006).
Sedangkan nilai intensitas di daerah Kabupaten Pandeglang, Banten disebabkan
oleh gempa yang terjadi pada 25 oktober 2000 dengan magnitudo 6.8 SR (USGS)
yang berpusat pada kedalaman 38 km dan koordinat 6.55° LS - 105.63° BT.

Daerah dengan nilai intensitas gempa bumi sedang 6 sampai dengan 7


skala MMI (gambar 5.9) dan 6.5 sampai dengan 8.5 skala MMI (gambar 5.10)
berada di Propinsi Jawa Barat yaitu, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur,
Sukabumi. Nilai intensitas pada daerah ini dipengaruhi oleh gempa yang terjadi
pada gempa bumi Tasikmalaya pada tahun 2009 dengan magnitudo 7.0
SR(USGS).Untuk daerah dengan nilai intensitas gempa bumi rendah 4 sampai
dengan 5 skala MMI (gambar 5.9) dan 5.5 sampai dengan 7 MMI (gambar 5.10),
yakni daerah yang sebagian besar terdapat di bagian tengah propinsi Jawa Tengah
seperti Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung,
Purwodadi, Sragen, Karanganyar, Surakarta, sebagian daerah Sukoharjo dan
Boyolali dan beberapa kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur.

Dan selanjutnya untuk tingkat resiko pada tiap-tiap daerah rawan gempa di
Pulau Jawa berdasarkan besarnya nilai intensitas dan percepatan getaran tanah
maksimum dengan menggunakan metode Gutenberg Richter dan Murphy O’brein,
dari tingkat sedang hingga tingkat sangat besar dapat dilihat pada tabel 5.1.

62
Tabel 5.1. Tingkat resiko gempa bumi berdasarkan nilai intensitas dan PGA
Metode Gutenberg Richter Metode Murphy O'brein
No MM Zona Zona
KOTA PGA Kota MMI PGA
I Bahaya Bahaya
Resiko
Resiko
1 Bantul 8.4 206.814 besar tiga Bantul 9.3 373.863
sangat besar
satu
2 Wonosari 8.4 195.913 Wonosari 9.0 310.249
3 Pandeglang 8.3 190.478 Sukabumi 8.9 299.432
4 Yogyakarta 8.3 186.26 Yogyakarta 8.7 270.16
5 Sleman 8.1 162.042 Sampang 8.7 262.069
6 Wates 8.1 159.016 Magetan 8.5 234.012
resiko besar Resiko
7 Klaten 8.1 159.016 dua Pandeglang 8.4 221.29 besar tiga
8 Cilegon 8.1 155.995 Sleman 8.2 203.657
Rangkas
9 8.1 155.184 Kediri 8.2 202.821
belitung
10 Banyu wangi 8.0 149.443 Garut 8.2 202.079
11 Serang 8.0 149.126 Wates 8.2 197.447
12 Tasikmalaya 7.9 137.009 Klaten 8.2 197.447
13 Ciamis 7.9 134.428 resiko besar Cilegon 8.1 190.393
satu Rangkas
14 Boyolali 7.8 125.951 8.1 189.693
belitung
15 Sukoharjo 7.8 122.674 Bandung 8.1 189.33
16 Wonogiri 7.7 119.971 Serang 8.1 184.528
17 Purworejo 7.7 117.403 Cianjur 8.0 180.772
18 Magelang 7.7 114.657 resiko Tuban 8.0 177.854 Resiko
sedang tiga besar dua
19 Sukabumi 7.7 112.978 Bogor 8.0 176.979
20 Surakarta 7.7 112.34 Tasikmalaya 8.0 174.818
21 Bogor 7.6 109.562 Banyu wangi 8.0 173.624
22 Pacitan 7.5 102.912 Pacitan 7.9 168.661
23 Salatiga 7.5 98.82 Sumedang 7.9 164.728
24 Cianjur 7.4 94.68 Ciamis 7.8 162.303
25 Majalengka 7.3 82.717 Majalengka 7.8 154.502
26 Magetan 7.2 77.449 Purwakarta 7.7 152.84
Resiko
27 Kebumen 7.2 76.47 Boyolali 7.7 145.793
sedang dua Resiko
28 Tuban 7.1 74.843 Sukoharjo 7.6 141.811 besar satu
29 Sumedang 7.1 74.245 Tangerang 7.6 140.678

30 Garut 7.1 71.874 Kuningan 7.6 139.608

Tabel 5.1. di atas dapat dilihat bahwa wilayah yang paling besar tingkat
resikonya adalah Kabupaten Bantul kemudian Wonosari Daerah Istimewa
Yogyakarta baik pada metode Gutenberg Richter maupun metode Murphy

63
O’brein. Kemudian tingkat resiko paling besar ketiga adalah Kabupaten
Pandeglang, Propinsi Banten pada metode Gutenberg Richter dan Kabupaten
Sukabumi, Peopinsi Jawa Barat pada metode Murphy O’brein.

5.3. Perbedaan Pada Metode Gutenberg Richter dan Murphy O’brein

Hal mendasar yang membedakan pada kedua metode tersebut adalah


penulis mendapatkan beberapa parameter yang menyebabkan besarnya nilai
percepatan getaran tanah maksimum maupun nilai intensitas maksimum pada
metode Murphy O’brein lebih besar nilainya dibandingkan dengan metode
Gutenberg Richter. Untuk itu penulis menganalisa dari beberapa sudut pandang
diantaranya adalah:

1. Hubungan nilai percepatan getaran tanah dengan intensitas

2. Hubungan intensitas dengan jarak epicenter

3. Hubungan percepatan getaran tanah maksimum dengan jarak epicenter

5.3.1. Hubungan Nilai Percepatan Getaran Tanah Dengan Intensitas

Nilai percepatan getaran tanah maksimum pada suatu daerah dipengaruhi


oleh besarnya nilai intensitas gempa bumi. Semakin besar intensitasnya maka
semakin besar pula nilai percepatan getaran tanahnya, sehingga terdapat suatu
hubungan yang berbanding lurus antara nilai intensitas dengan nilai percepatan
getaran tanah maksimumnya. Hubungan percepatan getaran tanah maksimum
dengan intensitas MMI pada metode Murphy O’Brein dan metode Gutenberg
Richter dapat dilihat pada Gambar (5.11) dan tabel (5.2) di bawah ini yang
menyatakan hubungan nilai intesitas (MMI) gempa bumi dengan PGA (Peak
Ground Acceleration), yang terdapat suatu hubunngan yang berbanding lurus
antara nilai intensitas dengan PGA, artinya semakin besar nilai intensitasnya maka
semakin besar pula nilai PGA-nya. Pada metode Murphy O’Brein nilai percepatan
getaran tanah maksimumnya adalah sekitar 1778 gal (cm/sec2), sedangkan pada

64
metode Gutenberg Richter nilai percepatan getaran tanah maksimumnya adalah
sekitar 2884 gal (cm/sec2).

Dari gambar (5.11) grafik tersebut dapat dilihat bahwa secara umum dalam
skala 1 sampai dengan 12 MMI metode Gutenberg Richter memiliki nilai
percepatan getaran tanah maksimum lebih besar dibandingkan dengan metode
Murphy O’brein, namun kenyataannya jika dilihat dari beberapa peta kontur
percepatan getaran tanah maksimumnya di atas justru metode Murphy O’brein lah
yang memiliki nilai percepatan getaran tanahnya yang lebih besar. Hal ini karena
pada metode Murphy O’brein memiliki nilai PGA yang lebih besar dari
Guntenburg Richter pada sekala 1 sampai dengan 9 MMI, sedangkan pada skala
intensitas lebih dari 9 sampai dengan 12 MMI nilai PGA pada metode Guntenberg
Richter lebih besar dibandingkan metode Murphy O’brein.

Gambar 5.11. Komparasi hubungan percepatan getaran tanah maksimum dengan


intensitas (MMI) metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy O’brein

65
Tabel 5.2. Hubungan intensitas dengan PGA
Nilai PGA
MMI
Metode GutenbergRichter Metode Murphy O’brein
1 0.6761 3.1623
2 1.4454 5.6234
3 3.0903 10.0000
4 6.6069 17.7828
5 14.1254 31.6228
6 30.1995 56.2341
7 64.5654 100.0000
8 138.0384 177.8279
9 295.1209 316.2278
10 630.9573 562.3413
11 1348.9629 1000.0000
12 2884.0315 1778.2794

5.3.2. Hubungan Intensitas Dengan Jarak Epicenter

Nilai intensitas maksimum yang diakibatkan oleh gempa bumi akan


semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak atau semakin jauh dari episenter
gempa bumi. Sehingga menghasilkan suatu hubungan yang berbanding terbalik
antara nilai intensitas dengan jarak episenter.

Hubungan intensitas maksimum dengan jarak epicenter pada metode


Gutenberg Richter menggunakan persamaan (4.4) dan metode Murphy O’brein
menggunakan persamaan (3.14), menghasilkan suatu grafik di bawah ini (gambar
5.12a dan 5.12b).

66
Gambar 5.12a. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak
epicenter pada metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy O’brein pada
intensitas 8 MMI

Gambar 5.12b. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak


epicenter pada metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy O’brein pada
intensitas 8 MMI (kurva linier)

Pada metode Gunthenburg Richter hubungan intensitas maksimum


terhadap jarak episenter didapatkan dari fungsi atenuasi hubungan intensitas
terhadap jarak menurut Subardjo dan Prih Haryadi (1993) (Persamaan 4.4)

67
menghasilkan garis kurva linier dengan R2=1, artinya pada metode Guntenberg
Richter ini memiliki ketepatan nilai dengan data sebenarnya.

Sedangkan fungsi atenuasi pada metode Murphy O’brein didapat dari


persaaman (3.14) yaitu;

log a = 0.14 IMM + 0.24 M –0.68 log R+βk

Dengan :

I = Intensitas gempa bumi (skala MMI)

R = Jarak pada episenter (km)

M = Magnitudo gempa bumi (SR)

βk = Rekaman sumber data

menghasilkan suatu kurva yang unlininer (gambar 5.12a). Dan untuk


mendapatkan suatu kurva yang linier pada metode Murphy O’brein ini, nilai
intensitas di epicenter turun pada nilai 6.2 MMI dengan R2=0.91344.

Pada gambar 5.12b hubungan antara jarak dengan intensitas menhasilkan


suatu persamaan exponensial yaitu y = 8.008e-0.002x dengan standar deviasi R² = 1,
sedangkan pada metode Murphy O’brein untuk mendapatkan suatu nilai intensitas
8 MMI dan menghasilkan kurva yang linier maka nilai standar deviasinya adalah
R2 = 0.55831 sehingga didapatkan persamaan exponensialnya adalah
y = 8.e-0.00106x, dengan R2 adalah nilai simpangan baku atau deviasi standar
dengan data sebenarnya, y = intensitas MMI, x = jarak pada epicenter. Jadi pada
metode Guntenberg Richter hubungan jarak dengan intensitas untuk setiap jarak
tertentu dapat dipastikan nilai intensitasnya. Berbeda untuk hubungan intensitas
dengan jarak pada metode Murphy O’brein yang pada setiap jaraknya, nilai
intensitasnya lebih susah untuk diprediksi dikarenakan grafiknya yang unlinier.

Pada hubungan intensitas dengan jarak epicenter antara metode Gutenberg


Richter dengan Murphy O’brein terjadi pertemuan nilai intensitas yang sama yaitu
pada jarak epicenter R= 200 km. Gambar 5.12a dan 5.12b menghasilkan suatu

68
hubungan yang berbanding terbalik antara nilai intensitas dengan jarak episenter,
dengan semakin besar jaraknya pada epicenter maka semakin kecil nilai
intensitasnya.

Satu hal lagi yang menyebabkan nilai intensitas maksimum maupun


percepatan getaran tanah maksimumnya pada peta yang diolah dengan
menggunakan metode Murphy O’brein terlihat lebih besar dibandingan dengan
peta yang diolah dengan menggunakan metode Gutenberg Richter, hal ini
dikarenakan fungsi atenuasi dari metode Murphy O’brein apabila titik pengukuran
sangat berdekatan dengan jarak episenter (pada jarak kurang dari 10 Km
misalnya), maka nilai intensitasnya terlihat lebih besar dari nilai intensitas di
episenter atau pusat gempa bumi. Pada hubungan intensitas MMI dengan jarak
epicenter pada metode Murphy O’brein, setelah dilakukan pengukuran untuk
menentukan nilai saat intensitas maksimum sama nilai intensitasnya yang berada
di episenter (Lampiran E) dengan menggunakan contoh sample dengan intensitas
yang dimaksukkan adalah 8 MMI pada jarak epicenter yang lebih dari 17 Km dan
kurang 21.5 km nilai intesitasnya bersuaian dengan nilai intensitas yang berada di
epicenter (R=0 Km), sedangkan pada saat jarak epicenter kurang dari 17 km
hingga medekati di epicenter (R hampir = 0 km) nilai intensitasnya lebih besar
dari nilai intensitas yang ada di sumber gempa (R=0 km). Berbeda sekali pada
perhitungan nilai intensitas maksimum dengan metode Guthenberg Richter, yaitu
pada saat jarak tertentu dan bahkan hampir sangat berdekatan dengan episenter
nilai intensitas maksimumnya selalu di bawah nilai intensitas yang ada di
episenter.

Hubungan intensitas maksimum dengan jarak pada metode Murphy


O’brein setelah dilakukan analisa menghasilkan data tabel berikut (tabel 5.3) yang
menyatakan intensitas maksimum suatu titik pengukurannilainyaadalah sama pada
epicenter dan saat R=0 adalah sebagai berikut.

69
Tabel 5.3. koreksi intensitas terhadap jarak pada saat intensitas bersuaian
dengan intensitas di episenter
Pada Saat I(x) Sama Dengan Intensitas Di
Ms Intensitas (MMI)
Episenter (R =0Km)
1.15 1 5.5 km > R < 6.5 km
1.85 2 6.5 km > R < 7.5 km
2.5 3 7.5 km> R < 9 km
3.15 4 8.5 km > R < 10.5 km
3.85 5 10.5 km> R < 13 km
4.5 6 12 km > R < 15 km
5.15 7 14 km > R <17.5 km
5.85 8 17 km > R < 21.5 km
6.5 9 20 km> R < 25.5 km
7.15 10 23.5 km > R < 29.5 km
7.85 11 28.5 km> R < 36 km
>8.5 12 33 km > R < 42 km

Maka dari pengujian nilai intensitas maksimum pada metode Murphy


O’brein tidaklah tepat jika nilai intensitas maksimum pada jarak titik pengukuran
ke episenter nilai intensitasnya melebihi nilai intensitas yang ada di episenter atau
melebihi nilai intensitas yang dimasukkan dalam formula atenuasi Murphy
O’brein tersebut. Oleh karena itu perlu di lakukan suatu pengukuran intensitas
maksimum yang benar, sehingga menghasilkan suatu grafik hubungan nilai
intesitas maksimum dengan jarak pada epicenter yang linier dan berbanding
terbalik antara nilai intensitas dengan jarak episenter (gambar 5.13). Pada gambar
grafik tersebut (gambar 5.13) adalah kurva grafik suatu perbandingan nilai
intensitas terhadap jarak antara metode Gutenberg Richter dengan metode Murphy
O’brein yang telah dilinierkan kurva grafiknya dengan standar deviasi atau
simapangan bakunya adalah R² = 0.55831.

Maka dari grafik hubungan intensitas dengan jarak episenter pada metode
Murphy O’brein (kurva linier) dapat diambil suatu persamaan exponensialnya
untuk mencari nilai intensitas maksimum pada titik pengukuran terhadap jarak
episenter dengan melinierkan garis grafik (5.13) yaitu:

70
Imax = IMM exp-0.000107 R dengan deviasi standart R² = 0.55831

Sehingga pencarian suatu nilai percepatan getaran tanah maksimum pada


metode Murphy O’brein dapat dicari dengan persamaan hubungan percepatan
getaran tanah dengan intensitas yaitu :

log α = 0.25 IMaX + 0.25

Dengan :

α : percepatan getaran tanah maksimum

Imax : intensitas maksimum dari titik pengukuran

IMM : Intensitas MMI pada epicenter

R : jarak titik pengukuran dari epicenter

Gambar 5.13. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak epicenter

Pada gambar 5.13. jelas sekali perbedaannya antara metode Gutenberg


Richter, Murphy O’brein serta pada metode Murphy O’brein yang telah
dilinierkan kurva grafiknya. Baik pada metode Murphy O’brein yang unlinier

71
maupun yang telah dilinierkan kurva grafiknya, hubungan nilai intensitas terhadap
jarak lebih besar dan cenderung stabil redamannya dibandingkan dengan metode
Gutenberg Richter. Sehingga, fungsi atenuasi pada metode murphy O’brein ini
mempunyai efek resiko lebih luas radiusnya yang diakibatkan oleh suatu gempa,
dan kurang sesuai jika diaplikasikan untuk pendekatan atau pendugaan tingkat
resiko atau penentuan hazard map di Pulau Jawa ini, tetapi berbeda dan justru
lebih sesuai jika menggunakan fungsi atenuasi dari Subardjo dan Prih Haryadi
1993 yang ditentukan berdasarkan gempa Flores, 12 Desember 1992 pada metode
Gutenberg Richter untuk penentuan tingkat resiko atau hazard map di Pulau Jawa
ini. Karena mempunyai karakteristik kurva atenuasi terhadap jarak yang mirip dan
sesuai dengan kondisi kerusakan di lapangan yang diakibatkan oleh gempa bumi.

5.3.3. Hubungan Percepatan Getaran Tanah Maksimum Dengan


Jarak Epicenter

Pada grafik Hubungan PGA dengan jarak epicenter menggunakan


persamaan (3.13) pada metode dan persamaan (3.14) pada metode Murphy
O’brein menghasilkan suatu nilai percepatan getaran tanah maksimum yang
pada metode Murphy O’brein nilai percepatannya getaran tanah maksimumnya
lebih besar dari metode Gutenberg Richter (gambar 5.14). Pada gambar 5.14
tersebut hubungan antara nilai percepatan getaran tanah maksimum adalah
sama halnya dengan hubungan antara nilai intensitas dengan jarak, yaitu suatu
hubungan yang berbanding terbalik antara nilai intensitas dengan jarak
episenter.

72
Gambar 5.14. Grafik komparasi hubungan PGA dengan jarak epicenter (MMI=8
dan M=5.9)

Pada grafik hubungan PGA dengan jarak epicenter metode Murphy


O’brein nilai percepatan maksimum yang didapatkan lebih stabil dibandingkan
dengan metode Gutenberg Richter pada intensitas 8 MMI dan Magnitudo 5.9 SR,
pada jarak <825 Km nilai percepatan getaran tanah maksimum pada metode
Gutenberg Richter adalah 0 cm/sec2, sedangkan pada metode Murphy O’brein
nilai percepatan getaran tanahnya pada 12.69 cm/sec2 pada jarak 925 Km. Jadi,
pada metode Murphy O’brein efek resiko yang diakibatkan oleh gempa bumi
lebih luas dibandingkan efek yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan metode
Gutenberg Richter.

73
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari peta percepatan getaran tanah


maksimum, dan peta intensitas gempa bumi maka dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu :

1. Percepaan getaran tanah maksimum Pulau Jawa pada peta yang diolah
dengan menggunakan metode Gutenberg Richter antara 0 – 500 Cm/Sec2
dan pada peta kontur yang diolah dengan menggunakan metode Murphy
O’brein adalah 0 – 1200 Cm/Sec2. Sedangkan nilai intensitas maksimumnya
adalah 1 sampai dengan 9 MMI pada peta yang diolah dengan menggunakan
metode Gutenberg Richter dan 4 sampai dengan 11 MMI pada peta yang
diolah dengan menggunakan metode Murphy O’brein.
2. Berdasarkan besarnya tingkat resiko dan besarnya nilai percepatan getaran
tanah maksimum dan nilai intensitas maksimumnya, daerah yang menjadi
rawan bencana gempa bumi yaitu daerah, Kabupaten Bantul dan Wonosari
Propinsi Daearah Istimewa Yogyakarta, kemudian wilayah Kabupaten
Pandeglang Propinsi Banten dan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat,
kemudian berapa Kota/Kabupaten lain di Propinsi Daerah Isimewa
Yogyakarta, Propinsi Banten.
3. Dari hubungan intensitas 1 sampai dengan 12 MMI dengan percepatan
getaran tanah maksimum pada metode Gutenberg Richter secara umum
lebih besar nilai percepatan getaran tanahnya yaitu sampai dengan 2884
cm/sec2, sedangkan pada metode Murphy O’brein nilai percepatan getaran
tanah maksimum terbesarnya adalah 1778 cm/sec2.
4. Baik nilai percepatan getaran tanah maksimum maupun intensitas
maksimum pada peta yang diolah dengan menggunakan metode Murphy
O’brein lebih besar nilainya dibandingkan dengan metode Gutenberg
Richter, dikarenakan:

74
a. Dari hubungan percepatan getaran tanah maksimum dengan intensitas
pada metode Murphy O’brein, nilai percepatan getaran tanah
maksiumnya pada skala 1 sampai dengan 9 MMI lebih besar
dibandingkan dengan metode Gutenberg Richter.
b. Dari hubungan intensitas maksimum dengan jarak episenter pada
metode Murphy O’brein pada saat jarak yang dekat dengan pusat
gempa nilai intensitasnya melebihi nilai intensitas yang ada di pusat
gempa, Sedangkan pada metode Guntenberg Richter nilai intensitas
maksimumnya semakin mengecil sebanding dengan bertambahnya
jarak dari pusat gempa ke titik pengukuran.
c. Baik nilai intensitas maupun percepatan getaran tanah maksimum
pada metode Murphy O’brein radiusnya lebih luas dibandingkan
dengan metode Gutenberg Richter, sehingga tingkat resiko yang
diakibatkan oleh suatu gempa lebih luas radiusnya.

6.2. Saran

1. Pada daerah-daerah rawan gempa bumi yang mempunyai tingkat resiko


besar sebaiknya memperhatikan teknik serta konstruksi bangunan tahan
gempa sehingga dapat memberikan faktor pengamanan yang lebih tinggi
terhadap resiko gempa yang akan terjadi.
2. Untuk penelitian selanjutnya perlu dikaji lagi fungsi atenuasi yang sesuai
untuk kondisi lithologi maupun struktur geologi di Pulau Jawa untuk kedua
metode tersebut, khususnya pada metode MuphyO’brein, sehingga baik
nilai intensitas maupun nilai percepatan getaran tanah maksimumnya sesuai
dengan kondisi kerusakan yang diakibatkan oleh suatu gempa yang terjadi
di Pulau Jawa.

75
DAFTAR PUSTAKA

Ambraseys, N.N. 1974. “The Correlation Of Intensity With Ground Motion, In


Advancements In Engineering Seismology In Europe”, Trieste.
Azlan Adnan, Hendriyawan, Aminaton Marto, dan Masyhur Irsyam., 2005, “Seismic
Hazard Assasment For Peninsular Malaysia Using Gumbel Distribution
Method”, Jurnal Teknologi, 42(B),57-73.
Bath, M ., 1979, “Introduction To Seismology, Second/Revised Edition”, Birkhauser
Verlag, 428 pp
Bolt, B. A. 1978. “Earthquakes, A Primer. San Francisco”, W. H. Freeman.
Bullen, K. E. (1965), “Allowance for Seismic Velocity Gradient in a Horizontally
Layered Flat Earth”, Geophysical Journal of the Royal Astronomical
Society, 10: 45–49
Bullen, K.E. and B. Bolt, 1985. “An Introduction to the Theory of Seismology”.
Cambridge University Press, 4th Edition, 509 pp
Cornel, C. A., 1968, “Engineering Seismic Risk Analysis”, Bulletin Of The
Seismological Society Of America. Vol.58, No.5, pp.1583-1606.
Delfebriyadi., 2009 , “Peta Respons Spektrum Provinsi Sumatera Barat untuk
Perencanaan Bangunan Gedung Tahan Gempa”, Jurnal Teknik Sipil
Universitas Andalas, No.2 Vol.16.
Douglas, J., 2001, “Engineering Seismology and Earthquake Engineering”,
Imperical College of Science, Technology and Medicine, Civil engineering
Department, London.
Edwiza Daz dan Novita Sri, 2008,“Pemetaan Percepatan Tanah Maksimum Dan
Intensitas Seismik Kota Padang Panjang Menggunakan Metode Kanai”, No.
29 Vol.2 Thn. XV April 2008, Laboratorium Geofisika Jurusan Teknik Sipil
Unand
Edwiza Daz,2008, “Analisis Terhadap Intensitas Dan Percepatan Tanah Maksimum
Gempa Sumbar”, No. 29 Vol.1 Thn. XV April 2008, Laboratorium
Geofisika Jurusan Teknik Sipil Unand
Fauzi, Masturyono, Sulaiman Rasyidi, Nugroho Sindhu, Subardjo, Wandono, Adi
Rameo, Pasaribu Roberto, Mardiyono Rinto, Paritusta Rizkita, Guswanto,
Yuliana P.RR, Muzli, Iqbal, Karyono, R. Ariska, Gafur Abdul. 2005,
"Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Peta Bencana Alam Di
Indonesia”, PT. Reasuransi Internasional Indonesia

76
Ginco, 1999. “Geoscientific Investigations on the Active Convergence Between the
East Eurasian and Indo-Australian Plates Along Indonesia”, Cruise Report,
Sonne Cruise So-137 (Unpublished).
Gutenberg B. and Richter. CF., 1942, “Earthquake Magnitude, Intensity, Energy,
And Acceleration”(Second Paper), Bulletin Seismology. Soc. Amer. 32:
163-191.
Gutenberg B. and Richter. CF., 1956, “Earthquake Magnitude, Intensity, Energy,
And Acceleration (Second Paper)”, Bull. Seismology. Soc. Amer. 46: 105.
Gutenberg, B. And C.F. Richter, 1965. “Seismicity of the Earth and associated
phenomena”. Hafner Publishing Co., 310 pp.
Howell Benjamin F., JR. 1959, “Introduction to Geophysics.McGraw-Hill Book
Company” , Inc: The United States of America.
Hamilton, W., 1979, “Tectonic Of Indonesian Region”, Geological Survey
Professional Paper 1078, Washington.
Hersberger, j. 1956. “A comparison of earthquake accelerations with intensity
ratings”, bulletin seismology. Soc. Am. 46, 317
Katili, J.A., 1975. “Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island arcs”.
Tectonophysics, 26, 165-188.
Kawashumi, H. 1951. “Measure Of Earthquake Danger And Expectancy Of
Maximum Intensity Throughout Japan As Inferred From The Seismic
Activity In Historical Times”, Bulletin. Earthquake Res. Inst., Tokyo
University. 29,469.
Lay, T. and T.C. Wallace, 1995. “Modern Global Seismology”. Academic Press,
Incorporated, 521 pp.
Lubis S, Hutagaol P.J., and Salahuddin M, 2007. “Tectonic Setting in the Vicinity of
Subduction Zone off West Sumatera and South Java”. Proceeding
APRU/AEARU Research Symposium 2007, Jakarta.
Medvedev, a. v. and w.sponheuer 1969. “Scale of seismic intensity”, proc. World
conf. earthquake eng., 4th, Santiago, chilie.
Mogi, K., 1967, “Earthquake and Fracture”.Tectonophysics-Elsevier Publishing
Company, Amsterdam.

77
Murphy J. and O’Brien L., (1977), “The correlation of peak ground acceleration
amplitude with seismic intensity and other physical parameters”, Bulletin of
the Seismological Society of America, Vol 67,pp. 877-915.
Neumann, F. 1954. “Earthquake intensity and related ground motion”, university
press, seattle, Washington.
Richter C. F. (1935), “An instrumental earthquake magnitude scale”, Bull. Seism.
Soc. Am, 25,1-32.
Scordilis E 2006: “Empirical global relations converting Ms and mb to moment
magnitude”, Journal of Seismology 10: pp. 225-236.
Simanjuntak, T.O., Barber, A.J., 1996. “Contrasting tectonic styles in the
Neogeneorogenic belts of Indonesia”. Geol. Soc. London Spec. Pub., 106,
185-201.
Skinner, B. J. dan Porter, S. C. 1992. “The Dynamic Earth.An Introduction to
Physical Geology”, 2nd ed. xvi + 570pp. New York, Chichester, Brisbane,
Toronto, Singapore
Soehaimi A, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 2004, “Peta Rawan
Bencana Gempa Bumi”, Skala 1 : 10.000.000.
Soehaimi A, “Seismotektonik Dan Potensi Kegempaan Wilayah Jawa”, Jurnal
Geologi Indonesia, vol. 3 no. 4 Desember 2008: 227-240, Pusat Survei
Geologi, Badan Geologi, jl. Diponegoro no. 57, Bandung
Subardjo dan Prih Harjadi P.J., 1993, “Fungsi Attenuasi Intensitas Gempa Flores 12
Desember 1992”, Proceding PIT-HAGI
Subardjo., 2001, “Intensitas Seismik Maksimum dan Percepatan Tanah Untuk
Beberapa Kota di Indonesia”, Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Syahputra, H., 2007, “Perhitungan Percepatan Getaran Tanah Maksimum di
Wilayah Aceh dan Kepulauan Andaman Nicobar (India) Menggunakan
Metode McGuirre”, Skripsi Program Studi Geofisika UGM, Yogyakarta
Trifunac, M.D. and A.G. Brady, 1975, “On the correlation of seismic intensity scales
with the peaks of recorded strong ground motion”, Bulletin of the
Seismological Society of America,v.65, pp. 139-162.
Usman, E., 2006. “Eksplorasi Mineral di Daerah Oceanic Crust”, Peluang dan
Tantangan Lembaga Riset Kelautan Nasional, Jurnal Mineral & Energi vol.
4, no. 3, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Wald,D.J., 1999, “Relationships Between Peak Ground Acceleration, Peak Ground
Velocity, And Modified Mercalli Intensity In California”. USA

78
Widigdo Ferry Markus, 2006, “Perhitungan nilai percepatan getaran tanah
maksimum Daerah Istimewa Yogyakarta dengan metode Kanai”, MIPA.
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Undegraduate, January 2006 - June
www.geospasial.bnpb.go.id diunduh pada hari Senin, 14 November, 2010, pukul
9:22:16 PM
www.indogeoart.com__Lempeng-DiBUmi.jpg diunduh pada hari Rabu, 09 Februari,
2011, pukul 4:44:06 PM
www.lasonearth.files.wordpress.com/2010/01/geologi-pulau-jawa.pdf diunduh pada
hari Senin, 14 November, 2010, pukul 8:27:02 PM
www.migasnet08fajarramadhan8071.blogspot.com/2010/01/potensi-hidrokarbon-
pada-sub-cekungan.html diunduh pada hari Senin, 14 November, 2010
www.neic.usgs.gov/neis/epic/ epic_rect.html, NEIC, 2010, “Earthquake Data
Base”,diunduh pada 17 November 2010.

www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jabar_obrien.html diunduh pada hari Senin,


14 November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jateng_obrien.html diunduh pada hari
Senin, 14 November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jatim_obrien.html diunduh pada hari Senin,
14 November, 2010

www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jabar.html diunduh pada hari Senin, 14


November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jateng.htm diunduh pada hari Senin, 14
November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jatim.html diunduh pada hari Senin, 14
November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Reference/peta_gempa.htm diunduh pada hari Jum’at, 11
Desember, 2010, pukul12:18:48 PM

79
LAMPIRAN
LAMPIRAN A

DATA KATALOG GEMPA BUMI DARI USGS


TAHUN 1973-2009

NO YEAR MO DAY LAT LONG DEPT MAGNITUDE


1 1973 7 27 -8.97 106.93 61 5.5 mbGS
2 1973 10 14 -8.89 110.73 70 4.9 mbGS
3 1973 11 26 -6.76 106.59 62 4.9 mbGS
4 1974 4 23 -8.9 106.13 33 4.9 mbGS
5 1974 6 8 -6.01 105.46 59 5 mbGS
6 1974 9 19 -6.13 105.52 54 5.1 mbGS
7 1974 11 9 -6.5 105.34 51 6.1 mbGS
8 1974 11 28 -8.31 107.23 38 4.8 mbGS
9 1975 2 9 -6.69 106.68 27 5.6 MsGS
10 1976 2 14 -8.08 108.61 53 5.9 mbGS
11 1976 7 14 -8.17 114.89 40 6.5 MsGS
12 1976 7 14 -8.13 114.86 33 5.9 mbGS
13 1977 8 10 -8.17 107.64 52 5.7 mbGS
14 1977 8 14 -7.76 107.57 33 5.7 mbGS
15 1977 9 1 -7.75 111.36 68 4.8 mbGS
16 1978 5 30 -8.29 106.16 33 5.1 mbGS
17 1978 7 9 -7.79 107.01 65 4.9 mbGS
18 1978 9 12 -7.77 106.8 33 5.2 mbGS
19 1978 9 21 -6.67 105.58 63 5.5 mbGS
20 1978 11 11 -7.96 106.44 33 4.9 mbGS
21 1978 12 20 -6.59 105.34 51 5.4 mbGS
22 1979 3 19 -8.33 107.61 65 5.1 mbGS
23 1979 5 14 -7.67 111.2 37 5.1 mbGS
24 1979 5 27 -6.16 105.33 57 5.1 mbGS
25 1979 8 7 -8.71 108.86 69 5.6 mbGS
26 1979 10 10 -7.21 106.04 33 5.9 mbGS
27 1979 11 2 -7.66 108.25 62 6.1 mbGS
28 1979 12 22 -6.05 105.02 64 5.3 mbGS
29 1980 3 20 -7.04 106.17 33 5.3 mbGS
30 1980 3 31 -8.89 112.98 49 5.2 mbGS
31 1980 7 23 -7.57 106.39 33 5.3 mbGS
32 1980 8 13 -7.87 112.05 33 5 mbGS
33 1980 8 30 -6.27 105.33 33 4.9 mbGS
34 1980 11 3 -8.29 108.7 33 4.9 mbGS
35 1980 12 24 -8.95 112.04 63 5.6 mbGS
36 1981 1 28 -8.73 106.2 33 4.9 mbGS
37 1981 3 13 -8.76 110.43 51 5.6 mbGS
38 1981 10 23 -8.78 106.45 33 5.5 mbGS
39 1981 10 23 -8.81 106.46 33 5.7 MsGS
40 1982 2 10 -6.86 106.94 39 5.5 mbGS
41 1982 3 22 -8.54 105.95 33 4.8 mbGS
42 1982 3 22 -8.63 106.01 34 5.1 mbGS
43 1982 5 23 -6.94 106.86 57 5 mbGS
44 1982 9 13 -8.13 107.24 60 5.1 mbGS
45 1982 10 29 -8.09 107.18 33 5.2 mbGS
46 1982 10 31 -6.03 105.51 68 4.9 mbGS
47 1983 2 25 -7.29 107.17 68 5.1 mbGS
48 1983 5 2 -8.66 106.36 33 5.3 mbGS
49 1983 6 25 -7.24 106.02 64 4.9 mbGS
50 1983 7 29 -6.73 105.59 33 5.4 mbGS
51 1983 10 2 -8.14 105.54 33 5.1 mbGS
52 1983 11 13 -6.08 105.42 68 5 mbGS
53 1984 3 10 -7.64 106.96 52 5.7 mbGS
54 1984 3 15 -6.61 105.33 67 5.5 mbGS
55 1984 4 18 -7.02 106.14 49 5 mbGS
56 1984 5 13 -7.46 106.65 33 4.8 mbGS
57 1984 5 14 -6.42 105.33 33 4.8 mbGS
58 1984 7 20 -8.44 106.17 33 4.8 mbGS
59 1984 7 21 -8.21 106.22 33 5.2 mbGS
60 1984 8 3 -6.21 105.37 55 4.9 mbGS
61 1984 8 3 -7.85 114.76 38 5.1 mbGS
62 1984 8 19 -8.52 106.15 33 5.1 mbGS
63 1984 8 19 -8.5 106.16 33 4.9 mbGS
64 1984 8 19 -8.49 106.15 33 5.2 mbGS
65 1984 10 3 -6 105.66 33 5 mbGS
66 1984 11 8 -8.88 108.05 45 4.8 mbGS
67 1984 11 20 -7.55 106.52 33 5.2 mbGS
68 1984 12 15 -6.04 105.51 60 5.2 mbGS
69 1985 3 22 -6.58 105.42 69 5.7 mbGS
70 1985 4 2 -7.76 107.97 33 5.2 mbGS
71 1985 4 23 -8.75 111.33 33 5.4 mbGS
72 1985 6 8 -7.38 107.46 61 5.1 mbGS
73 1985 7 9 -8.5 110.31 58 5.5 mbGS
74 1985 9 11 -7.19 106.87 53 4.8 mbGS
75 1985 11 25 -8.65 108.5 67 5.1 mbGS
…317 2010 11 9 -8.14 107.24 54 5.1 MwRMT
LAMPIRAN B

PENYERAGAMAN MAGNITUDE GEMPA MENGGUNAKAN


MICROSOFT EXCEL 2007

penyeragaman ini dilakukan berdasarkan formulasi (Kanamori 1997 dan Scordilis


2006).
Mw = 0.67(±0.005) Ms + 2.07(±0.03) Dengan syarat : Nilai 3.0 ≤ Ms ≤
6.1 hanya berlaku untuk data katalog NEIC dan ISC.
Mw = 0.99(±0.02) Ms + 0.08(±0.13) Dengan syarat : Nilai 6.2 ≤ Ms ≤ 8.2
hanya berlaku untuk data katalog NEIC dan ISC.
Mw = 0.85(±0.04) mb + 1.03(±0.23) Dengan syarat : Nilai 3.5 ≤ Mb ≤ 6.2
berlaku untuk data NEIC, ISC, JMA dan IDC.
Rumus yang untuk penyeragaman magnitude menggunakan Microsoft
Excel 2007 adalah :
Mb ke mw = (0.85*I2) + 1.03

Mw 4 ems = (K2- 0.08)/0.99

Gambar B1. Penyeragaman magnitude gempa menggunakan Microsoft Excel


2007
LAMPIRAN C

PERHITUNGAN PGA MENGGUNAKAN MICROSOFT EXCEL 2007

Rumus Perhitungan Perhitungan metode Gutenberg Ricther menggunakan


Microsoft excel 2007 Pada Titik Pengukuran Pada Koordinat 5.5 LS dan 105.00
BT

Formula yang digunakan adalah :

Mencarian Jarak Epicenter =111*((((F2-105)^2)+(E2-


5.5)^2)^0.5)

Mencari Besar Intensitas Gempa =(1.5*(H2-0.5))

Mencari Inensitas Maksimum Suatu Daerah =J2*(2.7183^(-0.0021*I2))

Mencari Nilai PGA =10^((K2/3)-0.5)

Gambar C.1. Formula perhitungan percepatan getaran tanah maksimum dengan


metode Gutenberg Ricther menggunakan Microsoft excel 2007.
Rumus Perhitungan Perhitungan metode Murphy O’brein menggunakan
Microsoft excel 2007 Pada Titik Pengukuran Pada Koordinat 5.5 LS dan 105.00
BT

Formula yang digunakan adalah :

Mencarian Jarak Epicenter =111*((((F2-105)^2)+(E2-


5.5)^2)^0.5)

Mencari Besar Intensitas Gempa =(1.5*(H2-0.5))

Mencari Nilai PGA =10^((0.14*J2)+(0.24*H2)-


(0.68*LOG(I2))+0.6)

Mencari Inensitas Maksimum Suatu Daerah =(LOG(K2)-0.25)/0.25

Gambar C.2 Formula perhitungan percepatan getaran tanah maksimum


dengan metode Murphy O’brein menggunakan Microsoft excel 2007.
LAMPIRAN D

HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE


GUTHENBURG RICHTER

KE GRID 0.25° X 0.25°

GRID GRID
YEAR MO DAY LAT LONG MS d (ic) I0 Ix(ic) a max
x y
106 -5.5 1984 10 3 -6 105.66 5.3 67.116 7.1 6.2 36.6331
106 -5.75 1984 10 3 -6 105.66 5.3 46.844 7.1 6.5 45.0435
106 -6 1984 10 3 -6 105.66 5.3 37.740 7.1 6.6 49.5682
106 -6.25 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 52.874 9.4 8.4 205.8415
106 -6.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 41.443 9.4 8.6 240.9275
106 -6.75 1990 1 20 -6.65 105.91 5.5 14.934 7.5 7.3 84.6661
106 -7 1979 10 10 -7.21 106.04 6.0 23.729 8.3 7.9 134.3799
106 -7.25 1979 10 10 -7.21 106.04 6.0 6.279 8.3 8.2 168.4367
106 -7.5 1979 10 10 -7.21 106.04 6.0 32.495 8.3 7.7 120.3357
106 -7.75 2003 11 24 -7.56 106.2 5.4 30.621 7.3 6.9 60.9678
106 -8 2002 7 9 -8.05 105.8 5.1 22.883 6.9 6.5 48.1883
106 -8.25 1978 5 30 -8.29 106.16 5.3 18.307 7.3 7.0 67.2904
106 -8.5 1995 5 16 -8.61 106.01 5.4 12.260 7.4 7.2 79.3484
106 -8.75 2006 5 19 -8.69 105.98 5.3 7.020 7.1 7.0 69.4204
106 -9 1989 2 19 -8.85 105.96 5.2 17.232 7.0 6.8 56.2868
106.25 -5.5 1984 10 3 -6 105.66 5.3 85.844 7.1 6.0 30.4985
106.25 -5.75 1984 10 3 -6 105.66 5.3 71.127 7.1 6.1 35.2017
106.25 -6 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 91.996 9.4 7.8 123.4868
106.25 -6.25 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 76.453 9.4 8.0 150.5248
106.25 -6.5 2001 3 3 -6.78 106.34 5.3 32.646 7.1 6.7 52.3373
106.25 -6.75 2001 3 3 -6.78 106.34 5.3 10.530 7.1 7.0 66.7253
106.25 -7 2003 12 3 -6.96 106.27 5.4 4.964 7.3 7.2 81.5825
106.25 -7.25 1992 11 18 -7.27 106.19 5.5 7.020 7.5 7.4 92.9802
106.25 -7.5 2003 11 24 -7.56 106.2 5.4 8.669 7.3 7.2 78.1457
106.25 -7.75 1992 9 26 -7.66 106.31 5.1 12.006 6.9 6.7 54.1223
106.25 -8 1984 7 21 -8.21 106.22 5.4 23.547 7.4 7.0 69.7163
106.25 -8.25 1984 7 21 -8.21 106.22 5.4 5.550 7.4 7.3 85.8206
106.25 -8.5 1984 8 19 -8.49 106.15 5.4 11.155 7.4 7.2 80.3735
106.25 -8.75 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 21.808 8.2 7.8 125.3001
106.25 -9 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 30.621 8.2 7.7 112.2830
106.5 -5.5 1984 10 3 -6 105.66 5.3 108.508 7.1 5.7 24.6632
106.5 -5.75 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 106.236 7.9 6.3 40.4734
106.5 -6 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 79.153 7.9 6.7 53.7633
106.5 -6.25 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 52.769 7.9 7.1 72.0377
106.5 -6.5 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 29.051 7.9 7.4 95.0507
106.5 -6.75 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 21.061 7.9 7.6 104.6858
106.5 -7 1990 8 31 -6.98 106.37 5.2 14.600 7.0 6.8 57.9268
106.5 -7.25 1986 5 20 -7.3 106.49 5.8 5.660 7.9 7.8 126.6830
106.5 -7.5 1984 11 20 -7.55 106.52 5.4 5.978 7.4 7.3 85.3901
106.5 -7.75 1991 12 19 -7.8 106.54 5.1 7.107 6.9 6.8 57.0784
106.5 -8 1978 11 11 -7.96 106.44 5.2 8.004 7.0 6.9 62.2931
106.5 -8.25 1988 12 12 -8.35 106.67 5.2 21.893 7.0 6.7 53.5165
106.5 -8.5 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 33.959 8.2 7.6 107.7694
106.5 -8.75 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 8.669 8.2 8.0 148.1258
106.5 -9 1994 9 12 -8.91 106.48 5.7 10.234 7.8 7.6 107.9818
106.75 -5.5 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 132.318 7.9 6.0 31.2504
106.75 -5.75 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 104.629 7.9 6.3 41.1426
106.75 -6 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 76.983 7.9 6.7 55.0394
106.75 -6.25 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 49.454 7.9 7.1 74.8216
106.75 -6.5 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 22.476 7.9 7.5 102.8989
106.75 -6.75 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 10.234 7.9 7.7 119.6296
106.75 -7 1982 5 23 -6.94 106.86 5.3 13.908 7.1 6.9 64.2483
106.75 -7.25 1991 1 30 -7.32 106.73 5.3 8.081 7.1 7.0 68.5926
106.75 -7.5 1984 3 10 -7.64 106.96 5.9 28.015 8.0 7.6 105.6405
106.75 -7.75 1978 9 12 -7.77 106.8 5.4 5.978 7.4 7.3 85.3901
106.75 -8 1978 9 12 -7.77 106.8 5.4 26.126 7.4 7.0 67.7134
106.75 -8.25 1988 12 12 -8.35 106.67 5.2 14.215 7.0 6.8 58.1713
106.75 -8.5 1991 9 21 -8.52 106.69 5.3 7.020 7.3 7.2 76.5223
106.75 -8.75 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 34.855 8.2 7.6 106.5954
106.75 -9 1973 7 27 -8.97 106.93 5.7 20.256 7.8 7.4 96.1636
107 -5.5 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 136.782 7.9 5.9 29.9393
107 -5.75 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 110.220 7.9 6.3 38.8697
107 -6 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 84.426 7.9 6.6 50.8072
107 -6.25 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 60.391 7.9 7.0 66.0884
107 -6.5 2000 7 12 -6.68 106.85 5.4 26.008 7.3 6.9 64.1716
107 -6.75 1982 2 10 -6.86 106.94 5.7 13.908 7.8 7.5 103.8316
107 -7 1982 2 10 -6.86 106.94 5.7 16.907 7.8 7.5 100.1228
107 -7.25 1996 8 27 -7.29 107.07 5.1 8.949 6.9 6.7 55.9451
107 -7.5 1984 3 10 -7.64 106.96 5.9 16.162 8.0 7.8 122.3045
107 -7.75 2009 9 2 -7.78 107.3 7.0 33.466 9.7 9.1 334.7542
….115 …..-9 1996 7 20 -8.65 114.68 5.3 52.640 7.3 6.5 46.3461
LAMPIRAN E

HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE MURPHY


O’BTRIN KE GRID 0.25° X 0.25°

GRID GRID
YEAR MO DAY LAT LONG MS d (ic) I0 a max ix(ic)
x y
106 -5.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 123.574 9.4 133.9781 7.5
106 -5.75 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 97.838 9.4 157.0369 7.8
106 -6 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 73.579 9.4 190.6134 8.1
106 -6.25 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 52.874 9.4 238.6394 8.5
106 -6.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 41.443 9.4 281.6284 8.8
106 -6.75 1997 5 10 -6.8 105.94 5.2 8.669 7.0 152.1137 7.7
106 -7 1989 1 31 -7.02 105.94 5.1 7.020 6.9 160.6363 7.8
106 -7.25 1979 10 10 -7.21 106.04 6.0 6.279 8.3 461.0978 9.7
106 -7.5 2006 5 18 -7.47 106.09 5.1 10.530 6.9 121.9275 7.3
106 -7.75 2003 11 24 -7.56 106.2 5.4 30.621 7.3 79.9266 6.6
106 -8 2002 7 9 -8.05 105.8 5.1 22.883 6.9 71.9270 6.4
106 -8.25 1978 5 30 -8.29 106.16 5.3 18.307 7.3 109.3200 7.2
106 -8.5 1982 3 22 -8.54 105.95 5.1 7.107 6.9 159.2933 7.8
106 -8.75 1988 12 19 -8.7 106 5.1 5.550 6.9 188.4709 8.1
106 -9 1989 2 19 -8.85 105.96 5.2 17.232 7.0 95.3443 6.9
106.25 -5.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 135.352 9.4 125.9360 7.4
106.25 -5.75 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 112.346 9.4 142.9441 7.6
106.25 -6 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 91.996 9.4 163.7503 7.9
106.25 -6.25 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 76.453 9.4 185.7106 8.1
106.25 -6.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 69.043 9.4 199.0409 8.2
106.25 -6.75 2001 3 3 -6.78 106.34 5.3 10.530 7.1 145.6714 7.7
106.25 -7 2003 12 3 -6.96 106.27 5.4 4.964 7.3 275.4305 8.8
106.25 -7.25 1992 11 18 -7.27 106.19 5.5 7.020 7.5 250.6256 8.6
106.25 -7.5 2003 11 24 -7.56 106.2 5.4 8.669 7.3 188.5168 8.1
106.25 -7.75 1992 9 26 -7.66 106.31 5.1 12.006 6.9 111.5221 7.2
106.25 -8 1984 7 21 -8.21 106.22 5.4 23.547 7.4 100.6925 7.0
106.25 -8.25 1984 7 21 -8.21 106.22 5.4 5.550 7.4 269.0233 8.7
106.25 -8.5 1984 8 19 -8.49 106.15 5.4 11.155 7.4 167.3479 7.9
106.25 -8.75 1981 1 28 -8.73 106.2 5.2 5.978 7.0 195.8687 8.2
106.25 -9 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 30.621 8.2 143.6273 7.6
106.5 -5.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 151.359 9.4 116.7183 7.3
106.5 -5.75 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 131.191 9.4 128.6381 7.4
106.5 -6 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 114.249 9.4 141.3206 7.6
106.5 -6.25 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 52.769 7.9 83.0306 6.7
106.5 -6.5 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 29.051 7.9 124.5949 7.4
106.5 -6.75 1973 11 26 -6.76 106.59 5.2 10.051 7.0 137.5573 7.6
106.5 -7 1990 8 31 -6.98 106.37 5.2 14.600 7.0 106.7197 7.1
106.5 -7.25 1986 5 20 -7.3 106.49 5.8 5.660 7.9 378.9169 9.3
106.5 -7.5 1984 11 20 -7.55 106.52 5.4 5.978 7.4 255.7845 8.6
106.5 -7.75 1991 12 19 -7.8 106.54 5.1 7.107 6.9 159.2933 7.8
106.5 -8 1978 11 11 -7.96 106.44 5.2 8.004 7.0 160.5977 7.8
106.5 -8.25 1988 12 12 -8.35 106.67 5.2 21.893 7.0 81.0210 6.6
106.5 -8.5 1983 5 2 -8.66 106.36 5.5 23.599 7.5 109.8952 7.2
106.5 -8.75 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 8.669 8.2 338.7626 9.1
106.5 -9 1994 9 12 -8.91 106.48 5.7 10.234 7.8 230.5278 8.5
106.75 -5.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 170.409 9.4 107.6787 7.1
106.75 -5.75 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 152.777 9.4 115.9806 7.3
106.75 -6 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 76.983 7.9 64.2252 6.2
106.75 -6.25 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 49.454 7.9 86.7753 6.8
106.75 -6.5 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 22.476 7.9 148.3503 7.7
106.75 -6.75 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 10.234 7.9 253.2984 8.6
106.75 -7 1982 5 23 -6.94 106.86 5.3 13.908 7.1 120.5621 7.3
106.75 -7.25 1991 1 30 -7.32 106.73 5.3 8.081 7.1 174.4066 8.0
106.75 -7.5 1984 5 13 -7.46 106.65 5.1 11.955 6.9 111.8480 7.2
106.75 -7.75 1978 9 12 -7.77 106.8 5.4 5.978 7.4 255.7845 8.6
106.75 -8 2009 9 2 -7.78 107.3 7.0 65.753 9.7 253.6720 8.6
106.75 -8.25 1988 12 12 -8.35 106.67 5.2 14.215 7.0 108.6760 7.1
106.75 -8.5 1991 9 21 -8.52 106.69 5.3 7.020 7.3 209.7745 8.3
106.75 -8.75 1990 1 5 -8.8 106.44 5.9 34.855 8.2 131.5193 7.5
106.75 -9 1973 7 27 -8.97 106.93 5.7 20.256 7.8 145.6691 7.7
107 -5.5 2000 10 25 -6.55 105.63 6.8 191.596 9.4 99.4311 7.0
107 -5.75 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 110.220 7.9 50.3172 5.8
107 -6 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 84.426 7.9 60.3187 6.1
107 -6.25 1975 2 9 -6.69 106.68 5.8 60.391 7.9 75.7523 6.5
107 -6.5 2000 7 12 -6.68 106.85 5.4 26.008 7.3 89.3115 6.8
107 -6.75 1982 2 10 -6.86 106.94 5.7 13.908 7.8 188.1017 8.1
107 -7 1999 7 22 -6.98 106.93 5.1 8.081 6.9 145.9789 7.7
107 -7.25 1996 8 27 -7.29 107.07 5.1 8.949 6.9 136.1926 7.5
107 -7.5 2010 8 11 -7.49 107.06 5.4 6.752 7.3 223.4465 8.4
107 -7.75 1996 11 6 -7.76 106.98 5.4 2.482 7.3 441.2781 9.6
107 -8 2008 5 23 -7.98 106.95 5.2 5.978 7.0 195.8687 8.2
107 -8.25 2009 9 2 -7.78 107.3 7.0 61.892 9.7 264.3284 8.7
107 -8.5 1993 10 13 -8.44 106.82 5.3 21.061 7.3 99.3826 7.0
107 -8.75 1973 7 27 -8.97 106.93 5.7 25.626 7.8 124.1399 7.4
…115 ….-9 1976 7 14 -8.17 114.89 6.5 92.936 9.1 125.8398 7.4
LAMPIRAN F

KOREKSI INTENSITAS MMI DENGAN JARAK EPICENTER


METODE MURPHY O’BREIN

Koreksi nilai intensitas maksimum di mana saat nilai intensitas pada suatu
jarak sama dengan intensitas di episensenter. Pencarian nilai intenitas
maksimum pada suatu jarak dari episenter menggunakan rumus hubungan
Intensitas dengan PGA yaitu:

IMM= (log a - 0.25)/0.25

Di mana : α adalah Percepatan getaran tanah maksimum (gal), dan

IMM adalah Intensitas gempa dalam skala MMI

Sedangkan untuk mencari nilai PGA (Peak Ground Acceleration) pada jarak
episenter adalah

log a=0.14 IMM + 0.24 M - 0.68 log R + βk (3.14)

Di mana:
βWestern Ubited Satates = 0.60
βJapan = 0.69
βSouthern Europe = 0.88

a = percepatan tanah pada tempat yang akan dicari


IMM = intensitas gempa pada tempat yang akan dicari. ( dalam
standar MMI)
M = magnitudo
R = jarak episenter dalam km
β = tetapan untuk sumber data dari stasiun pengukuran yang
terekam oleh seismograf (source data record)
βk yang digunakan dalam perhitungan ini adalah βk= 0.6 karena menggunakan
data USGS (United States Geological Survey,

Formula yang dipakai untuk menghitung nilai PGA dengan Microsoft excel 2007
nilai intensitas pada episenter = 6 MMI dan Magnitudo = 4.5 SR adalah:

=10^((0.14*6)+(0.24*4.5)-(0.68*LOG(A2))+0.6)

Formula yang dipakai untuk menghitung nilai intensitas maksimum dengan


Microsoft excel 2007 adalah:

=(LOG(B2)-0.25)/0.25

Gambar F1. Pengujian intensitas MMI pada jarak epicenter menggunakan


Microsoft excel 2007
LAMPIRAN G

HASIL KOREKSI INTENSITAS MMI DENGAN JARAK EPICENTER


METODE MURPHY O’BREIN

Tabel G1. hubungan intensitas dengan jarak pada skala 12 MMI dan magnitude
8.5 Skala Richter
Jarak Nilai Nilai Jarak Nilai Nilai
epicenter (km) PGA intensitas epicenter (km) PGA intensitas
1.00 20893 16.3 21.00 2636 12.7
1.50 15858 15.8 21.50 2594 12.7
2.00 13041 15.5 22.00 2554 12.6
2.50 11205 15.2 22.50 2515 12.6
3.00 9898 15.0 23.00 2478 12.6
3.50 8913 14.8 23.50 2442 12.6
4.00 8140 14.6 24.00 2407 12.5
4.50 7513 14.5 24.50 2373 12.5
5.00 6994 14.4 25.00 2341 12.5
5.50 6555 14.3 25.50 2310 12.5
6.00 6178 14.2 26.00 2279 12.4
6.50 5851 14.1 26.50 2250 12.4
7.00 5563 14.0 27.00 2222 12.4
7.50 5308 13.9 27.50 2194 12.4
8.00 5080 13.8 28.00 2167 12.3
8.50 4875 13.8 28.50 2141 12.3
9.00 4689 13.7 29.00 2116 12.3
9.50 4520 13.6 29.50 2092 12.3
10.00 4365 13.6 30.00 2068 12.3
10.50 4223 13.5 30.50 2045 12.2
11.00 4091 13.4 31.00 2022 12.2
11.50 3969 13.4 31.50 2001 12.2
12.00 3856 13.3 32.00 1979 12.2
12.50 3751 13.3 32.50 1958 12.2
13.00 3652 13.3 33.00 1938 12.1
13.50 3559 13.2 33.50 1919 12.1
14.00 3472 13.2 34.00 1899 12.1
14.50 3391 13.1 34.50 1881 12.1
15.00 3313 13.1 35.00 1862 12.1
15.50 3240 13.0 35.50 1844 12.1
16.00 3171 13.0 36.00 1827 12.0
16.50 3105 13.0 36.50 1810 12.0
17.00 3043 12.9 37.00 1793 12.0
17.50 2984 12.9 37.50 1777 12.0
18.00 2927 12.9 38.00 1761 12.0
18.50 2873 12.8 38.50 1745 12.0
19.00 2821 12.8 39.00 1730 12.0
19.50 2772 12.8 39.50 1715 11.9
20.00 2725 12.7 40.00 1701 11.9
20.50 2679 12.7
LAMPIRAN H

PETA SEISMISITAS PULAU JAWA TAHUN DATA USGS 1973-2010

PETA SEISMISITAS
TAHUN 1973 - 2010
-6

KETERANGAN

Magnitude (SR)
-7 5.1 to 5.575
5.575 to 6.05
6.05 to 6.525
6.525 to 7.001

Latitude
Propinsi Jawa Timur

-8 Propinsi Jawa Barat


Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta
-9 Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

105 106 107 108 109 110 111 112 113 114
Longitde
0 111 222 333
Kilometer
LAMPIRAN I

PETA KEDALAMAN GEMPA JAWA DATA USGS TAHUN 1973-2010

PETA KEDALAMAN SUMBER GEMPA


TAHUN 1973 - 2010
-6

KETERANGAN

Kedalaman (KM)
-7 3 to 19.75
19.75 to 36.5
36.5 to 53.25
53.25 to 70

Propinsi Jawa Timur

Latitude
Propinsi Jawa Barat
-8
Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta
-9 Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitde
0 111 222 333
Kilometer
LAMPIRAN J

TITIK STASIUN PENGUKURAN DI PULAU JAWA 0.25° X 0.25°

TITIK STASIUN PENGUKURAN


DI PULAU JAWA 0.25° X 0.25°
-6

KETERANGAN

-7 Titik Stasiun Pengukuran


Propinsi Jawa Timur
Propinsi Jawa Barat

LATITUDE
Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
-8
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta

-9
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
LONGITUDE
0 111 222 333
Kilometer
LAMPIRAN K

PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER


Cm/Sec2

450
425
-6 400
375
350
325
300
-7 275
250
225
200

LATITUDE
175
-8 150
125
100
Kilometer 75
50
0 111 222 333 25
-9
0
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
LONGITUDE
LAMPIRAN L

PETA KONTUR PERCEPATAN GETARAN TANAH PULAU JAWA DENGAN METODE MURPHY O'BREIN
Cm/Sec2

1050
975
-6
900
825
750
675
-7 600
525

Latitude
450
375
-8 300
225
150
Kilometer
75
0 111 222 333
-9 0

105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitude
PETA INTENSITAS MAKSIMUM PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBUERG RICHTER
LAMPIRAN M

MMI

9
-6 Jakarta

7
Bandung
Semarang

-7 6
Surabaya

Latitude
Yogyakarta

4
-8
3

Kilometer 2
0 111 222 333
-9 1
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitude
Peta Intensitas Maksimum Pulau Jawa Menggunakan Metode Murphy O'brein MMI
LAMPIRAN N

11
10.5
-6 10
9.5
9
8.5
-7 8
7.5

Latitude
7
6.5
-8 6
5.5
Kilometer 5

0 111 222 333 4.5


-9 4
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Longitude
LAMPIRAN O

TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN NILAI


INTENSITAS DAN PGA METODE GUTENBERG RICTER
Intensitas
No KOTA max
PGA Zona Bahaya
1 Bantul 8.4 206.814 resiko besar tiga
2 Wonosari 8.4 195.913
3 Pandeglang 8.3 190.478
4 Yogyakarta 8.3 186.26
5 Sleman 8.1 162.042
6 Wates 8.1 159.016
resiko besar dua
7 Klaten 8.1 159.016
8 Cilegon 8.1 155.995
9 Rangkas belitung 8.1 155.184
10 Banyu wangi 8.0 149.443
11 Serang 8.0 149.126
12 Tasikmalaya 7.9 137.009
13 Ciamis 7.9 134.428 resiko besar satu
14 Boyolali 7.8 125.951
15 Sukoharjo 7.8 122.674
16 Wonogiri 7.7 119.971
17 Purworejo 7.7 117.403
18 Magelang 7.7 114.657
resiko sedang tiga
19 Sukabumi 7.7 112.978
20 Surakarta 7.7 112.34
21 Bogor 7.6 109.562
22 Pacitan 7.5 102.912
23 Salatiga 7.5 98.82
24 Cianjur 7.4 94.68
25 Majalengka 7.3 82.717
26 Magetan 7.2 77.449
27 Kebumen 7.2 76.47 Resiko sedang dua
28 Tuban 7.1 74.843
29 Sumedang 7.1 74.245
30 Garut 7.1 71.874
31 Sampang 7.1 71.484
32 Kediri 7.0 69.853
33 Bondowoso 7.0 68.825
Resiko sedang satu
34 Banjarnegara 7.0 66.778
35 Tangerang 7.0 66.624
36 Jakarta 7.0 66.324
37 Bojonegoro 6.9 62.224
38 Kuningan 6.8 60.045
39 Madiun 6.8 59.608
40 Karanganyar 6.8 59.159
41 Purwakarta 6.8 57.028
42 Sragen 6.8 56.99
43 Pamekasan 6.8 56.507
44 Ngawi 6.7 55.692
45 Tulungagung 6.7 55.017
46 Blitar 6.7 54.848
47 Malang 6.7 54.561
48 Subang 6.7 52.475
49 Semarang 6.7 52.103
50 Nganjuk 6.6 51.961
51 Ponorogo 6.6 51.149
52 Ungaran 6.6 49.436
53 Bekasi 6.6 48.944
54 Cilacap 6.5 47.953
55 Jombang 6.5 47.524
56 Cirebon 6.5 47.195
57 Trenggalek 6.5 47.038
58 Bandung 6.5 46.254
59 Indramayu 6.5 45.779
60 Lamongan 6.5 45.641
61 Pasuruan 6.5 45.135
62 Brebes 6.4 44.169
63 Tegal 6.4 43.92
64 Bangkalan 6.4 43.063
Resiko kecil
65 Karawang 6.4 41.787
66 Purwokerto 6.4 41.673
67 Gresik 6.3 41.25
68 Lumajang 6.3 40.663
69 Temanggung 6.3 40.49
70 Blora 6.3 40.127
71 Surabaya 6.3 40.094
72 Demak 6.3 39.867
73 Probolingo 6.3 39.167
74 Purbolinggo 6.3 38.924
75 Mojokerto 6.3 38.859
76 Pemalang 6.2 38.26
77 Purwodadi 6.2 37.625
78 Sidoarjo 6.2 36.184
79 Sumenep 6.2 35.784
80 Rembang 6.1 34.663
81 Wonosobo 6.1 32.914
82 Jepara 6.1 32.914
83 Batang 6.0 32.17
84 Kudus 6.0 31.826
85 Besuki 6.0 31.742
86 Situbondo 6.0 31.365
87 Pati 5.7 25.565
88 Jember 5.7 25.241
89 Kendal 2.9 2.984
Resiko sangat kecil
90 Pekalongan 2.9 2.838
LAMPIRAN P

TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN NILAI


INTENSITAS DAN PGA METODE MURPHY O’BREIN
Intensitas
No KOTA max
PGA Zona Bahaya
1 Bantul 9.3 373.863 Resiko sangat besar
2 Wonosari 9.0 310.249 satu
3 Sukabumi 8.9 299.432
4 Yogyakarta 8.7 270.16
5 Sampang 8.7 262.069
6 Magetan 8.5 234.012
Resiko besar tiga
7 Pandeglang 8.4 221.29
8 Sleman 8.2 203.657
9 Kediri 8.2 202.821
10 Garut 8.2 202.079
11 Wates 8.2 197.447
12 Klaten 8.2 197.447
13 Cilegon 8.1 190.393
14 Rangkas belitung 8.1 189.693
15 Bandung 8.1 189.33
16 Serang 8.1 184.528
17 Cianjur 8.0 180.772
18 Tuban 8.0 177.854
Resiko besar dua
19 Bogor 8.0 176.979
20 Tasikmalaya 8.0 174.818
21 Banyu wangi 8.0 173.624
22 Pacitan 7.9 168.661
23 Sumedang 7.9 164.728
24 Ciamis 7.8 162.303
25 Majalengka 7.8 154.502
26 Purwakarta 7.7 152.84
27 Boyolali 7.7 145.793
28 Sukoharjo 7.6 141.811
29 Tangerang 7.6 140.678
30 Kuningan 7.6 139.608
31 Wonogiri 7.6 138.635
Resiko besar satu
32 Purworejo 7.5 135.704
33 Karawang 7.5 135.478
34 Magelang 7.5 132.656
35 Bekasi 7.5 131.472
36 Surakarta 7.5 130.149
37 Cirebon 7.4 126.979
38 Jakarta 7.4 125.002
39 Cilacap 7.4 123.807
40 Indramayu 7.3 120.377
41 Karanganyar 7.3 119.78
42 Salatiga 7.3 116.565
43 Kendal 7.2 115.329
44 Purwokerto 7.2 112.307
45 Brebes 7.2 112.295
resiko sedang tiga
46 Situbondo 7.2 112.058
47 Temanggung 7.2 109.412
48 Tegal 7.2 109.28
49 Purbolinggo 7.1 107.4
50 Bondowoso 7.1 104.6
51 Pemalang 7.0 101.983
52 Subang 7.0 101.775
53 Sragen 7.0 101.265
54 Jember 7.0 99.081
55 Kebumen 7.0 98.751
56 Wonosobo 7.0 98.231
57 Banjarnegara 6.9 97.148
58 Ungaran 6.9 96.075
59 Besuki 6.9 94.554
60 Pekalongan 6.9 94.477
61 Semarang 6.9 93.579
62 Batang 6.9 93.159
63 Bojonegoro 6.8 87.702
64 Ponorogo 6.8 87.149 Resiko sedang dua
65 Malang 6.7 85.858
66 Purwodadi 6.7 85.809
67 Trenggalek 6.7 84.962
68 Demak 6.6 80.612
69 Pamekasan 6.6 79.719
70 Madiun 6.6 79.582
71 Lumajang 6.6 78.674
72 Ngawi 6.6 78.24
73 Probolingo 6.5 76.772
74 Surabaya 6.5 75.552
75 Tulungagung 6.5 74.887
76 Kudus 6.5 74.835
Resiko sedang satu
77 Jepara 6.5 74.73
78 Blitar 6.5 74.375
79 Pati 6.4 70.678
80 Blora 6.3 68.4
81 Pasuruan 6.3 68.352
82 Rembang 6.3 67.159
83 Nganjuk 6.3 66.56
84 Sidoarjo 6.2 63.614
85 Sumenep 6.2 62.728
86 Bangkalan 6.1 60.994
87 Gresik 6.1 60.515
88 Jombang 6.1 60
89 Mojokerto 6.1 58.888
90 Lamongan 6.1 58.273

Anda mungkin juga menyukai