Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM ELEKTROMAGNETIK

VERY LOW FREQUENCY (VLF)

Oleh:
AGUNG FIKRI NAJATULLAH
115.210.022
KELOMPOK 8

LABORATORIUM GEOFISIKA
EKSPLORASI JURUSAN TEKNIK
GEOFISIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM ELEKTROMAGNETIK
VERY LOW FREQUENCY (VLF)

Laporan ini disusun sebagai syarat mengikuti Praktikum Elektromagnetik


selanjutnya, tahun ajaran 2022/2023, Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

Disusun Oleh:

AGUNG FIKRI NAJATULLAH


115.210.022
KELOMPOK 8

Yogyakarta, 29 Agustus 2023


Disahkan Oleh :
Asisten Elektromagnetik

Besse Nurul

LABORATORIUM GEOFISIKA
EKSPLORASI JURUSAN TEKNIK
GEOFISIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2023
ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr., wb.

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang telah memberikan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan laporan tugas praktikum
elektromagnetik “Very Low Frequency” ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Kepada pihak-pihak yang sudah membantu penyusunan laporan ini, khususnya asisten
Laboratorium Elektromagnetik yang sudah membimbing, peneliti ucapkan terimakasih
sebesar-besarnya karena atas bantuan dan bimbingannya peneliti dapat menyelesaikan
laporan praktikum Elektromagnetik ini.

Dalam penyusunan laporan tugas Elektromagnetik ini peneliti menyadari masih


terdapat banyak kekurangan-kekurangan baik dari segi isi maupun dalam sistematikanya,
oleh karena itu peneliti menerima saran serta masukannya agar peneliti dapat lebih baik
dalam kesempurnaan isi dan informasi pada laporan kedepannya.
Peneliti juga berharap semoga laporan yang dibuat ini dapat bermanfaat
menambah pengetahuan peneliti dan pembaca pada umumnya dan berguna untuk
perkembangan ilmu lainnya.

Yogyakarta, 29 Agustus 2023

AGUNG FIKRI NAJATULLAH

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................vi
DAFTAR TABEL...........................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.................................................viii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...............................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan........................................................................2

BAB I. PENDAHULUAN
2.1. Geologi Regional...........................................................................3
2.2. Geologi Lokal................................................................................5
2.3 Penelitian Terdahulu......................................................................6

BAB III. DASAR TEORI


3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Metode VLF...................................6
3.2. Perambatan Medan Elektromagnetik.............................................11
3.3. Segitiga Fase..................................................................................12
3.4. Polarisasi Elipt...............................................................................13
3.5. Rapat Arus Ekuivalen (RAE)........................................................14
3.6. Moving Average.............................................................................15
3.7. Karous Filter..................................................................................16

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN


4.1. Diagram Alir Pengolahan Data......................................................19
4.2. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data.................................20

iv
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tabel Perhitungan RAE Australia Lintasan X...............................26
5.2 Tabel Perhitungan RAE Jepang Lintasan X..................................27
5.3 Grafik Analisa Lintasan X.............................................................28
5.3.1 Grafik Tilt vs Elipr Australia Lintasan X.............................29
5.4 Pembahasan Penamoang................................................................29
5.5 Pembahasan Peta Per-Slice Kedalaman.........................................32

BAB VI. PENUTUP


6.1. Kesimpulan.......................................................................................36
6.2. Saran.................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LAMPIRAN A. GRAFIK KHFILT AUSTRALIA SEMUA LINTASAN
LAMPIRAN B. GRAFIK KHFILT JEPANG SEMUA LINTASAN
LEMBAR KONSULTASI
LEMBAR PENILAIAN

v
DAFTAR GAMBAR

vi
DAFTAR TABEL

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keberadaan Sesar Opak memang telah diperkirakan oleh para geolog dan
tertuang pada peta geologi lembar Yogyakarta keluaran P3G Bandung tahun 1977
dan diperbarui tahun 1995. Namun sesarr ini menjadi lebih populer setelah
kejadian gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006, karena
sebagian ahli kebumian (Sulaiman, C. dkk, 2008, Natawijaya, 2007) beranggapan
gempa tersebut penyebabnya adalah aktivasi dari Sesar Opak. Sesar Opak
merupakan sesar yang berada disekitar Sungai Opak, sesar Opak ini berarah timur
lautbarat daya kurang lebih U 235° T/80° , dimana blok timur relatif bergeser ke
utara dan blok barat ke selatan dengan lebar dari zona sesar ini diperkirakan
sekitar 2,5 km (Subowo, dkk., 2007). Berdasar hasil kajian deformasi koseismik
yang dilakukan oleh team peneliti dari Teknik Geodesi ITB dan UGM bekerja
sama dengan Nagoya University menyimpulkan bahwa sesar penyebab gempa
bumi 27 Mei 2006 sesar jenis sinistral dengan panjang 18 km lebar 10 km stike
480 dan dip 890 dan berada di sebelah timur 3-4 km dari lokasi sesar opak yang
biasa digambarkan pada peta geologi (Abidin dkk, 2007). Berdasarkan kajian after
sock yang datanya diambil selama 3 bulan dimulai hari ke empat setelah gempa,
sesar penyebab gempa berada kurang lebih 10 km-20 km disebelah timur dari
rendahan sesar opak (Walter, dkk 2008).

Dari uraian tersebut dijumpai permasalahan sesar Opak memang ada,


tetapi perkiraan lokasi tepatnya dimana sesar tersebut berada masih merupakan
kontraversi. Berangkat dari permasalahan tersebut penelitian mengenai Sesar
Opak perlu dilakukan. Pada kesempatan ini dilakukan penelitian dengan
pendekatan ilmu geofisika yaitu dengan menerapkan metode elektromagnetik
untuk menganalisa keberadaan sesar tersebut. Salah satu metode dalam
elektromagnetik yang dapat digunakan untuk menganalisa sesar tersebut adalah
metode VLF.
Metode VLF memanfaatkan medan elektromagnetik yang dibangkitkan
oleh pemancar radio berfrekuensi sangat rendah dengan daya besar yang biasa
digunakan untuk keperluan navigasi kapal selam. Besar nilai yang terukur
vii
i
tergantung dari benda konduktif bawah permukaannya. Adapun metode
resistivitas 2D yang dipakai di penelitian ini memanfaatkan sifat aliran listrik di
dalam bumi dengan cara mendeteksinya di permukaan bumi. Oleh karena itu
dilakukan pengukuran meliputi pengukuran potensial dan arus listrik yang terjadi,
baik secara alamiah maupun akibat injeksi arus di dalam bumi.

1.2. Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini yaitu agar peneliti memahami metode VLF
secara mendalam dan juga dapat melalukan pengolahan terhadap data akuisisi
elektromagnetik terlebih lagi metode VLF menggunakan software pengolahan
metode VLF seperti khffilt, surfer dan ms excel, dan dapat menganalisa hasil dari
pengolahan data tersebut.
Tujuan dari percobaan ini ialah agar peneliti dapat mengaplikasikan
metode VLF baik dalam pengolahan data yang akurat maupun penguasaan dalam
penggunaan software pengolahan metode elektromagnetik VLF.

ix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional


Geologi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah Bantul dan sekitarnya
tersusun oleh batuan tersier yang terdiri dari batuan sedimen klastik vulkanik,
batuan gunung api, dan sedimen klastik karbonatan, serta endapan permukaan
yang berumur Kuarter. Berdasarkan klasifikasi fisiografi di Jawa Tengah oleh
Van Bemmelen (1949), Dataran Bantul berada di bagian Timur Pegunungan
Kulon Progo. Pegunungan ini dapat dideskripsikan sebagai suatu kubah yang
besar dengan bentukan datar di bagian atasnya, bagian pinggir yang curam, serta
bagian Utara yang sudah mengalami proses denudasional dan terkubur oleh
endapan aluvial menjadi dataran.
Pegunungan Selatan terhampar barat - timur dan menempati bagian selatan
Pulau Jawa. Pada umumnya pegunungan ini dibentuk oleh batuan sedimen
klastika dan karbonat yang bercampur dengan batuan hasil kegiatan gunung api
yang berumur Tersier. Secara setempat seperti di Karangsambung (Kebumen) dan
Perbukitan Jiwo (Klaten), muncul batuan Pratersier.
Menurut Geologi Regional stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dibagi
menjadi tiga periode, yaitu :
1. Periode sebelum aktivitas intensif vulkanisme berlangsung, selanjutnya
disebut periode pravulkanisme. Satuan batuan yang terbentuk pada periode
pravulkanisme adalah batuan malihan yang ditindih tak selaras oleh
Kelompok Jiwo.
2. Periode kegiatan vulkanisme berlangsung secara intensif, selanjutnya disebut
periode vulkanisme, yang membentuk Kelompok Kebo-Butak yang secara
berurutan ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran.
3. Periode setelah kegiatan vulkanisme berakhir ketika organisme karbonat
tumbuh dengan subur; selanjutnya disebut periode pascavulkanisme atau
periode karbonat. Satuan batuan yang terendapkan pada periode ini adalah
Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan
Formasi Kepek.

x
Gambar 2.1 Stratigrafi daerah penelitian dan sekitarnya dari peneliti terdahulu
(Surono, Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta
Dan Jawa Tengah)
Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda
adalah sebagai berikut:
1. Formasi Wungkal-Gamping : Formasi ini terletak di Gunung Wungkal dan
Gunung Gamping, di Perbukitan Jiwo. Satuan batuannya terdiri dari
perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada
bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa
Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan
Hartono, 2001).
2. Formasi Kebo-Butak : Formasi ini disusun pada bagian bawah berupa
batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat,
dengan ketebalan lebih dari 650 meter.Bagian atasnya berupa perselingan
batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian
tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya
dijumpai breksi andesit.

xi
3. Formasi Semilir : Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah
selatan Klaten. Dengan ketebalan lebih dari 460 meter.Litologi penyusunnya
terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih.
Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di
bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di S. Opak, Dusun Watuadeg, Desa
Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran
lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).
4. Formasi Nglanggran : Pada formasi ini batuan penyusunnya terdiri dari breksi
gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit.
Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya
tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2
– 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi,
ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa
kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir
5. Formasi Sambipitu : Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada
jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari dengan ketebalan mencapai 230
meter. Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir
kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-
seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah
kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian
atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.
6. Formasi Oyo : Lokasi tipe formasi ini berada di Sungai Oyo. Batuan
penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan
ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan
batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit,
namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit
membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi
ini lebih dari 140 meter.
7. Formasi Wonosari : Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan
sekitarnya, dengan ketebalan lebih dari 800 meter. Formasi ini didominasi
oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping
terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat
di

xii
bagian timur.
8. Formasi Kepek : Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, tersebar
di hulu. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan
penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih
kurang 200 meter.

Gambar 2.2 Stratigrafi daerah penelitian (Surono, Litostratigrafi Pegunungan


Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Jawa Tengah)

xii
i
2.2 Geologi Lokal
Sesar Opak Bukit Mengger (SOBM) berada Kalurahan Trimulyo,
Kapanewon Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istim ewa Yogyakarta pada
koordinat 7° 53' 32" LS dan 110° 23' 44,1" BT. Jalan menuju kawasan ini dapat
dilalui dengan motor maupun mobil dengan jarak ± 15 km dari Kota Yogyakarta.
Jika akan ditempuh dengan kendaraan pribadi dari Yogyakarta, dapat dipilih rute
melalui Jalan Imogiri Barat, lokasi situs berada di sekitar Kompleks Perumahan
Pemda.
Pada penelitian ini terdapat di Bukit Mengger yang berada di Imogiri,
Trimulyo, Jetis, Bantul. Stratigrafi daerah tersebut tersusun oleh batuan tersier
yang terdiri dari batuan sedimen klastik vulkanik, batuan gunung api, dan sedimen
klastik karbonatan, serta endapan permukaan yang berumur Kuarter. Berdasarkan
sifat- sifat batuan dapat diperinci menjadi tujuh formasi yaitu Formasi Yogyakarta
(46%), Formasi Sentolo (18%), Formasi Sambipitu (3%), Formasi Semilir
Nglanggran (24%), Formasi Wonosari (8%), dan gumuk pasir (1%).

Gambar 2.3 Posisi Kawasan Sesar Opak Bukit Mengger dalam Peta Geologi
Kabupaten Bantul dan Sekitarnya, modifikasi dari Rahardjo dkk (1995) dan Surono dkk
(1992). Situs ini termasuk ke dalam Endapan Merapi Muda (Qmi).

xiv
Struktur geologi yang berkembang di daerah Opak Pleret adalah sesar geser
dan sesar normal. Di sepanjang Sungai Opak terdapat sesar normal yang berada di
sepanjang hampir 40 km dari pantai selatan Jawa di mulut sungai ke arah
Prambanan Kabupaten Klaten dengan arah 30 sampai 40 derajat ke timur laut.
Sesar Opak memotong Yogya Low dan Wonosari High dengan batuan andesit tua
(OAF) sebagai penyusun struktur pemotongan sesar, sedangkan di timur Opak
masih terdapat Formasi Semilir dan Nglanggran yang juga terlibat dalam sistem
sesar.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta yang disusun oleh Raharjo,
dkk. (1995) daerah penelitian tersusun oleh formasi semilir yang merupakan
perselingan tuff, breksi batuapung, tuffdasit dan tuff andesit, batu lempung tufan
dan serpih. Dari panjang patahan Opak yang mencapai ± 40km di Bukit Mengger
inilah, singkapan Sesar Opak dapat dilihat secara kasat mata yang mengarah utara
ke selatan sepanjang ± 200 meter. Kawasan Bukit Mengger terletak di Desa
Trimulyo, Jetis. Bukit ini memiliki tinggi 300 meter. Dikawasan bukit mengger
ditemukan 15 jejak sesar opak. Bukit Mengger merupakan bukti adanya
pergerakan tanah berupa pergeseran tanah pada saat Gempa Jogja tahun 2006.
Terdapat juga kenampakan batuan yang “sobek” akibat gempa tersebut.
Berdasarkan kajian geologi Tim Geoheritage UPN Veteran Yogyakarta,
SOBM ini merupakan lokasi dijumpainya sesar di bukit mengger merupakan
batuan sedimen Batupasir Tuff Formasi Semilir (Rahardjo, dkk. 1995). Batuan
sedimen ini berupa perlapisan batu pasir berbutir kasar berwarna hitam, batu pasir
berbutir kasar-sangat kasar, dan breksi batuapung berwarna abu-abu dimana
setempat terdapat fragmen litik lempung hijau dengan tebal mencapai 50 m.
Struktur geologi yang berkembang di daerah Opak adalah sesar geser dan
sesar normal. Sesar normal di sepanjang Sungai Opak berada di sepanjang hampir
40 km dari pantai selatan Jawa di mulut sungai ke arah Prambanan Kabupaten
Klaten dengan arah 30 sampai 40 derajat (timur laut-barat daya) dengan bidang
sesar mendatar dan kemiringan bidang relatif tegak. Sesar ini merupakan salah
satu segmen Zona Sesar Opak yang tersingkap. Kedudukan bidang sesar yang
memotong lapisan tanah dengan ketebalan sekitar 50 cm - 5 m mengindikasikan
bahwa sesar ini merupakan sesar aktif. Bukti-bukti sesar dapat diamati di
beberapa wilayah Kapanewon/ Kecamatan Jetis dan Pleret.

xv
Sesar Opak memotong Yogya Low dan Wonosari High dengan batuan
andesit tua (OAF) sebagai penyusun struktur pemotongan sesar, sedangkan di
timur Opak masih terdapat Formasi Semilir dan Nglanggran yang juga terlibat
dalam sistem sesar (Nurwidyanto, dkk. 2007). SOBM merupakan perbukitan
struktural yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh aktivitas sesar mendatar
Sesar Opak. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi batuan dasar berupa batuan
piroklastik gunungapi Formasi Semilir yang relatif keras.
Geosite ini merupakan bagian penting dari Yogyakarta karena di lokasi ini
tersingkap jejak dari Sesar Opak yang sangat ideal untuk mempelajari sesar yang
sampai sekarang masih aktif. Di lokasi ini pula menjadi pengingat tentang
kejadian Gempa Bantul yang terjadi tanggal 27 Mei 2006 yang digerakkan oleh
Sesar Opak. Sesar Opak Bukit Mengger berarah relatif utara-selatan sehingga
cocok sebagai destinasi geowisata untuk melihat sunrise-sunset. Sesar Opak Bukit
Mengger merupakan laboratorium alam pada bidang tektonik dan struktur
geologi, serta mitigasi bahaya gempa tektonik.

2.3 Penelitian Terdahulu


Judul Penelitian : Penyelidikan sebab terjadinya Suara Gemuruh Dalam Tanah
Menciran Kebonagung Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul,
dengan Metode Elektromagnetik, Very Low Frequency
Tahun Penerbit : 2007
Penulis : Agus Susanto
Jurnal : Jurnal Riset Daerah Vol 6 No 2

Indonesia merupakan wilayah yang didominasi oleh daerah pegunungan dan


berbukit – bukit yang membentuk lereng atau lahan miring. Bedeng Rejo, Merangin,
Jambi merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak perbukitan dan
berpotensi tanah longsor. Lokasi penelitian terletak pada koordinat -2° 2’ 16,23” LS dan
102° 23’ 35,7” BT sampai -2° 1’ 32,28” LS dan 102° 19’ 31,2” BT.
Desa Bedeng Rejo dikenal sebagai salah satu daerah yang berpotensi terjadinya
tanah longsor. Metode Very Low Frequency (VLF) digunakan untuk identifikasi bahaya
tanah longsor berdasarkan parameter konduktivitas batuan yang didukung kemiringan
lereng (slope). Penelitian ini dilakukan menggunakan alat ukur rasio gelombang
elektromagnetik T-VLF dengan panjang lintasan 200 meter, jarak antar titik ukur 10
xvi
meter dan frekuensi sumber primer sebesar 22200 Hz (Jepang). Jenis pengukuran VLF
yang digunakan yaitu mode tilt-angle. Ditemukan anomali konduktif yang berada pada
rentang 100 - 120 meter dan di bawah permukaan bumi pada kedalaman 10 - 40 meter
dan 170 - 190 meter dengan kedalaman 10 - 30 meter. Perhitungan kemiringan lereng
pada lintasan VLF, didapatkan pada jarak 100 – 120 meter sebesar 25% dan pada jarak
170 – 190 meter sebesar 12,5 - 16,67% merupakan lahan dengan kemiringan lereng
curam, yang rentan terhadap bahaya tanah longsor, dan mudah tererosi. Kata Kunci: very
low frequency; T-VLF; mode tilt-angle; slope.

xvi
i
BAB III
DASAR TEORI

3.1. Pengertian Dan Prinsip Dasar Metode VLF


Metode VLF-EM merupakan salah satu dari berbagai macam metode
geofisika yang memanfaatkan parameter frekuensi. Metode VLF-EM tergolong
metode geofisika pasif, karena prinsip kerjanya hanya menangkap sinyal satu 12
frekuensi dari stasiun-stasiun yang ada di seluruh dunia (Holt, 1967). Sama seperti
namanya, metode VLF-EM ini memanfaatkan medan elektromagnet yang
dibangkitkan oleh pemancar radio (transmitter) berfrekuensi sangat rendah yaitu
15
– 30 KHz dengan daya sangat besar. Karena frekuensinya rendah, gelombang ini
memiliki penetrasi yang cukup dalam (Febria, 2009).
Medan elektromagnet primer adalah medan elektromagnet dari transmitter
yang memiliki komponen medan listrik vertikal 𝑬𝑃𝑧 dan komponen medan
magnet horizontal 𝑯𝑃𝑦 yang tegak lurus terhadap arah perambatan pada sumbu x.
Medan elektromagnet yang dipancarkan oleh transmitter selanjutnya akan
diterima oleh stasiun penerima dalam tiga macam perambatan gelombang yaitu
gelombang tanah, gelombang langsung, dan gelombang pantul. Dalam hal ini
yang paling sering ditemui pada daerah survei adalah gelombang pantul (Telford
et al, 1990).
Pada jarak yang cukup jauh dari antena pemancar, komponen medan
elektromagnet primer dapat dianggap sebagai gelombang yang berjalan secara 13
horizontal. Jika di bawah permukaan terdapat suatu medium yang konduktif,
maka komponen medan magnet dari gelombang elektromagnet primer akan
menginduksi medium tersebut, sehingga akan menimbulkan arus induksi (Eddy
Current). Arus induksi tersebut akan menimbulkan medan elektromagnet baru
yang disebut dengan medan elektromagnet sekunder, yang mempunyai komponen
medan listrik vertikal
𝑬𝑠𝑧 dan komponen medan magnet horizontal 𝑯𝑠𝑥. Medan magnet ini mempunyai
bagian yang sefase (in-phase) dan berbeda fase (out-of-phase) dengan medan
primer. Distribusi medan elektromagnet sekunder sangat tergantung dari sifat
konduktivitas benda di bawah permukaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar
xvi
ii
3.1.

xix
Gambar 3.1. Distribusi Medan Elektromagnet Metode VLF di atas Medium
Konduktif (Bosch & Muller, 2001).
Terdapat dua jenis mode pengukuran menggunakan metode VLF-EM,
yaitu mode tilt angle dan mode resistivity (Nabighian, 1991). Mode tilt angle
mengukur polarisasi komponen medan magnet primer dan sekunder, sedangkan
mode resistivity mengukur polarisasi komponen medan magnet dan medan listrik.

3.2. Perambatan Medan Elektromagnetik


Penjalaran gelombang pada medan elektromagnetik dibagi menjadi 2
jenis, yaitu horisontal dipol dan vertical dipol, dimana yang membedakan ialah
kedalalaman penetrasi yang bisa didapat. Pada horisontal dipol penetrasi yang
didapat akan lebih dalam daripada vertikal dipol.

Gambar 3.2. Perambatan Medan elektromagnetik (Wibowo dan Indriarti, 2017

xx
Hal ini dikarenakan pada horisontal dipol ia tegak lurus terhadap arus magnet
bumi, sedangkan pada vertikal dipol akan sejajar dengan arah magnet bumi,
sehingga pembacaanya kearah samping sehingga mendapatkan hasil penetrasi
yang lebih dangkal.

3.3. Segitiga Fase


Metode VLF-EM dapat dijelaskan melalui perambatan gelombang
elektromagnet dari pemancar (transmitter) yang merupakan medan primer (P).
Saat gelombang elektromagnet masuk ke dalam medium, gaya gerak listrik (ggl)
induksi es akan muncul dengan frekuensi yang sama dan beda fase terhadap
medan primer sebesar 90° (Kaikonen, 1979). Medan primer mampu menginduksi
bawah permukaan hingga terjadi arus induksi (Eddy Current).
Andaikan 𝑍 = (𝑅 + 𝑖𝜔𝐿) adalah impedansi efektif sebuah konduktor
dengan hambatan R dan induktansi L, maka arus induksinya adalah 𝑰𝑠 = 𝒆𝑠 𝑍
yang akan menjalar ke dalam medium dan menghasilkan medan sekunder (S).
Medan sekunder memiliki beda fase ∅ yang besarnya bergantung pada sifat
kelistrikan medium. Besarnya ∅ ditentukan berdasarkan persamaan tan ∅ = 𝜔 .
Total beda fase antara medan P dan medan S akan menjadi 90𝑜 + ∅ atau dapat
ditulis dengan persamaan,
ωL
90 + tan−1
R
Hal ini menunjukkan bahwa, jika terdapat medium yang sangat konduktif yaitu
hambatannya bernilai nol (𝑅 → 0), maka beda fasenya mendekati 180o dan jika
terdapat medium sangat resistif yaitu hambatannya sangat besar sampai tak hingga
(𝑅 → ~), maka beda fasenya mendekati 90o . Hubungan vektor antara medan P
dengan medan S ditunjukkan pada Gambar 3.3.

xxi
Gambar 3.3. Hubungan Fase Medan Primer dan Medan Sekunder (Kaikonen,
1979)
Kombinasi antara medan P dan medan S membentuk resultan R.
Komponen R yang sejajar dengan medan P yaitu 𝑹cos 𝛼 disebut komponen real
(in-phase), sedangkan komponen R yang tegak lurus dengan medan P yaitu 𝑹sin 𝛼
disebut komponen imaginer (out-of-phase). Perbandingan antara komponen real
dan imaginer dinyatakan dalam persamaan berikut:
𝑅𝑒𝑎𝑙
= cot 𝑎
𝐼𝑚𝑎𝑔𝑒𝑟
dimana 𝛼 adalah sudut yang dibentuk oleh komponen R terhadap medan P.
Persamaan 16 menunjukkan bahwa semakin besar perbandingan real per imaginer
(𝛼 semakin kecil ) maka medium semakin bersifat konduktif. Begitu pula 17
sebaliknya, jika semakin kecil perbandingan komponen real per imaginer (𝛼
semakin besar) maka medium semakin bersifat resistif.

3.4. Polarisasi Elipt


Medan sekunder memiliki amplitudo yang lebih kecil daripada medan
primer dan memiliki beda fase lebih besar terhadap medan primer. Jika
gelombang elektromagnet memiliki frekuensi dan fase yang sama, maka akan
terjadi superposisi. Superposisi dari kedua gelombang tersebut membentuk
polarisasi ellips seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 3.4

xxi
i
Gambar 3.4 Polarisasi Ellips Akibat Benda Konduktif (Kaikonen, 1979)
Dalam metode VLF-EM dengan mode tilt angle, alat akan menghitung
parameter sudut tilt (𝛼) dan eliptisitas (𝜀𝑙) dari komponen in-phase maupun outof-
phase yang dinyatakan dalam satuan (%). Tilt (𝛼) adalah sudut yang dibentuk oleh
sumbu mayor terhadap sumbu horizontal polarisasi ellips dan besarnya kurang
lebih sama dengan perbandingan 𝑯𝑧 𝑯𝒙 dari komponen in-phase. Eliptisitas (𝜀𝑙)
adalah perbandingan antara sumbu minor terhadap sumbu mayor polarisasi ellips
yang besarnya kurang lebih sama dengan perbandingan komponen out-of-phase.
Jika medan magnet horizontal adalah 𝑯𝑥 dan medan magnet vertikal
adalah , maka besarnya tilt ditunjukkan pada persamaan berikut (Kaikonen, 1979)
𝐻𝑧
𝐻𝑥
𝑡𝑎𝑛 2𝑎 = ± [ 2 𝐶𝑜𝑠 ∆∅] × 100%
𝐻𝑧
1 − (𝐻𝑥 )

dan eliptisitas adalah


𝐻2 𝐻𝑧𝐻𝑥
𝜀𝑙 =
=[ 𝑠𝑖𝑛∆∅] × 100%
𝐻1 (𝐻1)
dimana 𝐻1 dan 𝐻2 adalah sumbu mayor dan sumbu minor polarisasi ellips,
sedangkan ∅𝑧 dan ∅𝑥 adalah fase komponen medan magnet vertikal dan
komponen medan magnet horizontal.

xxi
ii
3.5. Rapat Arus Ekuivalen (RAE)
Rapat arus merupakan aliran muatan pada luas penampang tertentu di
suatu titik penghantar (konduktor) yang disimbolkan dengan 𝑱. Rumus dari rapat
arus adalah:
𝐼
𝐽=
𝐴
dimana J adalah rapat arus (A/m2 ), I adalah kuat arus (A), dan A adalah luasan
(m2 ).
Rapat arus ekuivalen adalah arus yang menginduksi konduktor dan arus
yang terkonsentrasi dalam konduktor dari daerah sekelilingnya yang kurang
konduktif (Karous & Hjelt, 1983). Rapat arus ekuivalen dapat diperoleh dengan
asumsi bahwa medan magnet yang dihasilkan oleh rapat arus identik dengan
medan magnet yang diukur. Secara teori, kedalaman semu rapat arus ekuivalen
dapat memberikan gambaran indikasi variasi konsentrasi arus untuk tiap-tiap
kedalaman yang menandakan suatu bahan bersifat konduktif. Bahan yang
memiliki rapat arus tinggi adalah bahan yang memiliki konduktivitas tinggi pula.
Hubungan rapat arus dengan konduktivitas dan resistivitas ditunjukkan dengan
persamaan berikut:
𝐼 𝐸
𝐽= = = 𝜎𝐸
𝐴 𝜌
dimana 𝜌 adalah resistivitas (Ω m), E adalah medan listrik (V/m), dan 𝜎 adalah
konduktivitas (Ω −1m−1 ).
Resistivitas (𝜌) adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat arus
listrik dalam suatu penghantar. Semakin besar resistivitas suatu bahan maka
semakin kecil arus yang dapat melewati suatu konduktor. Konduktivitas adalah
kebalikan dari resistivitas yang nilainya merupakan perbandingan antara rapat
arus dengan medan listrik.

3.6. Moving Average


Filter Moving Average adalah filter yang digunakan untuk menghilangkan
noise yang bersifat lokal dengan memisahkan data yang mengandung frekuensi
tinggi dan rendah. Data yang mengandung frekuensi tinggi diasumsikan sebagai
sinyal, sedangkan data yang berfrekuensi rendah diasumsikan sebagai noise.
Metode ini dilakukan dengan cara merata-rata nilai anomalinya kemudian dibagi

xxi
v
dengan jumlah jendela yang digunakan, atau secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut (Nabighian, 1991):

𝑦[𝑖] = 1 ∑ (𝑀−1)/2 𝑥[𝑖 + 𝑗]


𝑚 𝑗=−(𝑚−1)/2
dimana 𝑦[𝑖] adalah sinyal output hasil Filter Moving Average, 𝑥[𝑖 + 𝑗] adalah sinyal
input, dan M adalah orde filter.

3.7. Karous Filter


Filter Karous Hjelt merupakan filter yang dikembangkan dari konsep
medan magnet yang berhubungan dengan aliran arus. Filter ini menghitung rapat
arus pada kedalaman tertentu yang umumnya dikenal sebagai Rapat Arus
Ekuivalen (RAE). Posisi rapat arus ini dapat digunakan untuk menginterpretasi
lebar dan kemiringan sebuah benda anomali dengan kedalaman tertentu (Karous
& Hjelt, 1983).
Hasil Filter Karous Hjelt memperlihatkan profil kedalaman dari rapat arus
yang diturunkan dari nilai komponen vertikal medan magnet pada setiap titik
pengukuran. Secara matematis Filter Karous Hjelt dapat ditulis dengan persamaan
sebagai berikut (Karous & Hjelt, 1983):
𝐻𝑜 = 0.102𝑀𝑛 − 0.059𝑀𝑛 + 1 + 0.561𝑀𝑛 + 2 − 0.561𝑀𝑛 + 4 + 0.059𝑀𝑛
+ 5 − 0.102𝑀𝑛 + 6
dimana 𝐻0 adalah sinyal output hasil Filter Karous Hjelt dan 𝑀𝑛 adalah data ke-n

xx
v
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Diagram Alir Pengolahan Data


Adapun diagram alir pengolahan data VLF menggunakan beberapa
software untuk menghasilkan output yang diinginkan yang terdapat pada Gambar
4.1 :

Gambar 4.1 Diagram Alir Pengolahan Data

xx
vi
4.2. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data
Dalam penelitian kali ini dilakukan beberapa langkah dalam melakukan
pengolahan data yaitu:
1. Analisa terhdadap data sekunder yang didapat berupa panjang lintasan,
nilai jarak (stasiun), frekuensi pemancar, koordinat XYZ, serta nilai Tilt
dan Elipt dengan berdasarkan tinjauan pustaka dari studi literatur terkait.
2. Menginput data yang sudah dianalisa untuk kemudian diolah Ms
Excel untuk kemudian didapatkan nilai Rapat Arus Ekuivalen (RAE),
nilai kedalaman yang didapat dari nilai jarak dan RAE, Tilt rata-rata,
Elipt rata-rata, MA Tilt dan MA Elipt berdasarkan rumus daripada
masing-masing perhitungan.
3. Membuat grafik dari hasil data yang sudah diolah tersebut.
4. menginput nilai Tilt dan Elipt ke Notepad dan menyimpannya dalam
format.txt
5. membuka file txt yang sudah disimpan pada software pengolahan
Khffilt untuk menghasilkan penampang RAE dan penampang MA
RAE.
6. Data yang didapat pada pengolahan excel digunakan pula untuk
membuat penampang secara manual pada software surfer yang dibuat
per-layer.
7. Output yang sudah diolah kemudian dianalisa.
8. Penelitian selesai.

xx
vii
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1

xx
vii
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:

5.2. Saran

xxi
x
DAFTAR PUSTAKA

8
9
10

Anda mungkin juga menyukai