Anda di halaman 1dari 140

PENERAPAN METODE RADON TRANSFORM

UNTUK REDUKSI GELOMBANG MULTIPLE SEISMIK 2D DI


PERAIRAN BARAT SUMATRA

I GEDE MAHENDRA WIJAYA

SKRIPSI

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

PENERAPAN METODE RADON TRANSFORM UNTUK REDUKSI


GELOMBANG MULTIPLE SEISMIK 2D DI PERAIRAN BARAT
SUMATERA

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam
publikasi ilmiah dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua
sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 18 Februari 2013

I Gede Mahendra Wijaya


C54080004
RINGKASAN

I GEDE MAHENDRA WIJAYA. PENERAPAN METODE RADON


TRANSFORM UNTUK REDUKSI GELOMBANG MULTIPLE SEISMIK
2D DI PERAIRAN BARAT SUMATERA.
Dibimbing oleh HENRY MUNANDAR MANIK.

Metode seismik adalah suatu metode dalam geofisika yang digunakan


untuk mempelajari struktur dan strata bawah permukaan bumi dengan
memanfaatkan perambatan, pembiasan, pemantulan gelombang gempa. Salah satu
pekerjaan penting dalam pekerjaan pengolahan data seismik adalah
mengidentifikasi dan menekan keberadaan multiple. Salah satu jenis multipel
yang harus direduksi dalam pengolahan data seismik adalah multipel permukaan.
Multiple permukaan atau lebih tepatnya multiple yang berhubungan dengan
permukaan adalah suatu kejadian yang memiliki paling sedikit satu refleksi
downward yang dimulai di permukaan. Dalam penelitian ini penulis melakukan
pengolahan data seismik yang diharapkan dapat mereduksi multiple pada data
seismik 2D SUME23.31 daerah survey yang berada di perairan barat pulau
Sumatra.
Banyak metode yang telah dikembangkan untuk menekan keberadaan
multiple. Salah satunya adalah menggunakan metode transformasi Radon. Prinsip
kerja dari Radon transform ini adalah mengubah domain data dari T-X (Time-
Offset) menjadi τ- ρ (intercept time-ray parameter) dengan ray parameter ρ~1/v,
maka event primary akan dipetakan sekitar ρ=o dan event multiple pada daerah
dengan ρ>0. Sehingga dalam muting radon, multiple dan primary akan dipisahkan
dengan batas muting yang telah didapatkan berdasarkan hasil dari Interactive
Radon/Tau-P Analysis.
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang didapatkan dari penelitian ini dan
terkait kepada tujuan awal, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan Radon
Transform dapat mereduksi multiple dari data seismik SUME23.31, namun tidak
secara keseluruhan. Sebab dari data, pada near offset masih terdapat sedikit
multiple. Sedangkan pada far offset, metode ini dapat menghilangkan efek bowtie.
Pengaruh offset merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap data.
Kekurangan ini dapat diminimalisir apabila dalam geometri dilengkapi dengan
data UKOAA. Meskipun demikian untuk mendapatkan suatu data seismik suatu
lintasan dengan feather angle 00 sangatlah sulit, karena terkait faktor lingkungan
di saat perekaman data di lapangan. Semakin sempit desain muting multiple,
semakin besar kemampuan mereduksi multiple dan tereduksinya data primer akan
semakin besar serta begitu pula sebalinya.
© Hak cipta milik I Gede Mahendra Wijaya tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.
PENERAPAN METODE RADON TRANSFORM UNTUK REDUKSI
GELOMBANG MULTIPLE SEISMIK 2D DI PERAIRAN BARAT
SUMATERA

I GEDE MAHENDRA WIJAYA

C54080004

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013
SKRIPSI
.
.
Judul Penelitian : PENERAPAN METODE RADON TRANSFORM
UNTUK REDUKSI GELOMBANG MULTIPLE
SEISMIK 2D DI PERAIRAN BARAT SUMATRA

Nama Mahasiswa : I Gede Mahendra Wijaya

Nomor Pokok : C54080004

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

.Dosen Pembimbing

Dr. Henry M Manik, S.Pi, MT.


NIP. 19701229 199703 1 008

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.


NIP. 19640801198903001

Tanggal Ujian : 8 Februari 2013


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Shang Hyang Widhi Waca atas

segala karunia dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dengan judul “Penerapan Metode Radon Transform Untuk Reduksi

Gelombang Multiple Seismik 2D di Perairan Barat Sumatra”.

Penelitian ini tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak, oleh karena itu

penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada,

 Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai dosen pembimbing dalam penelitian

skirpsi ini atas segala saran, bimbingan dan nasehatnya selama penelitian

berlangsung dan selama penulisan skripsi ini.

 Ibu Puji yang bukan hanya sebagai dosen penulis juga sebagai orang tua

asuh selama kuliah di ITK dan telah memberikan semangat dan motivasi

besar dan sangat menginspirasikan penulis.

 Dr. Udrekh, Ibu Trevi Puspitasari dan Ibu Sumira di Laboratorium NEO-

Net, P3TISDA serta Balai Teknologi Survey Kelautan – BPPT yang telah

memberikan saran, masukan serta sarana dan prasarana dalam pengolahan

data seismik untuk penulisan skripsi ini.

 Bapak Susilo, Pak Reza Rahardian, Pak Tumpal, Pak Subarsyah, Pak

Andrian Wilyan, Pak Kris Budiono, Ibu Yulinar dari pihak Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPPGL) Bandung yang telah

memberikan masukkan dan saran serta dukungan dalam penyelesaian

skripsi ini.

 Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Orang Tua penulis

untuk segala hal yang telah diberikan, baik motivasi dan semangat penuh
yang begitu berharga , serta telah memberikan pelajaran luhur dan segala

doa serta kerja kerasnya kepada penulis dari awal hingga akhir

penyusunan skripsi ini.

 Marsya, Buncay, Nano, Fahmi, Pitoy, Reffa, Kijah, Joni, dan teman-teman

congers (ITK45) di departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB atas

sumbangsihnya serta motivasi dalam penyelesaian tugas akhir ini.

 Mbak Besta, Bang Aris Jamady, dan Kang Aad atas segala masukkan dan

bantuannya selama penulis mengerjakan tugas akhir ini.

 Seluruh staff pengajar dan administrasi mayor Ilmu dan Teknologi

Kelautan-IPB (Mbak Mayang) atas bantuannya.

 Netie dan Teguh yang telah membantu persiapan sebelum seminar.

 Sharifa Ayu Raisa Magis yang telah menyemangati dalam sidang.

Semoga penelitian ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat. Penulis

menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu

apabila terdapat kesalahan dalam hal penulisan, penulis mohon maaf. Kritik dan

saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi penyempurnaan

penelitian ini

Bogor, 18 Februari 2013

I Gede Mahendra Wijaya


DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiv

1. PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1 Konsep Dasar Metode Seismik ................................................... 4
2.1.1 2D Seismic Marine Acquisition ......................................... 4
2.1.2 Sistem Perekaman Seismik ................................................ 5
2.1.3 Prosedur Operasional Seismik Laut ................................... 7
2.2 Tipe Gelombang Elastik ............................................................. 8
2.2.1 Hukum-Hukum yang Mendasari Penjalaran Gelombang .. 12
2.2.2 Efek Medium Pada Penjalaran Gelombang ....................... 16
2.2.3 Pembagian Energi Pada Suatu Batas Lapisan .................... 18
2.3 Atenuasi ...................................................................................... 18
2.3.1 Mekanisme Atenuasi .......................................................... 19
2.4 Pemrosesan Data Seismik ........................................................... 19
2.4.1 Format Rekaman dan Input Data ....................................... 19
2.4.2 Geometry............................................................................ 22
2.4.3 Editing dan Filtering .......................................................... 22
2.4.4 True Amplitude Recovery ................................................... 23
2.4.5 Deconvolution .................................................................... 25
2.4.6 Analisa Kecepatan ............................................................. 27
2.4.7 Normal Moveout (NMO) Correction ................................. 31
2.4.8 Stacking .............................................................................. 32
2.5 Gangguan pada Data Seismik ....................................................... 33
2.5.1 Noise .................................................................................. 33
2.5.2 Gelombang Multiple .......................................................... 34
2.6 Radon Transform ........................................................................ 37
2.6.1 Radon Transform Parabolic .............................................. 40
2.6.2 Transformasi Radon Slant-Stack ....................................... 42
2.6.3 Transformasi Radon Hiperbolik ........................................ 43
3. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 45
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 45
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 45
3.3 Metode Pengolahan Data ............................................................ 46
3.3.1 Input Data dan Reformatting Data Berdomain SEG-D ...... 48
3.3.2 Sorting Data ....................................................................... 50
3.3.3 Geometry ............................................................................ 52
3.3.4 Trace editing ...................................................................... 62
3.3.5 Bandpass Filter dan Spectral Analysis .............................. 64
3.3.6 True Amplitude Recovery 1 ................................................ 66
3.3.7 Penentuan Deconvolution Gate.......................................... 69
3.3.8 Tes Parameter 2.................................................................. 71
3.3.9 Preprocessing .................................................................... 73
3.3.10 Velocity Analysis 1 ........................................................... 76
3.3.11 Stack ................................................................................. 85
3.3.12 Pengolahan Data Seismik (Radon Demultiples) .............. 87
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 92
4.1 Analisis Spektral ......................................................................... 92
4.2 Parameter Test dalam True Amplitude Recovery ........................ 96
4.3 Velocity Analysis ......................................................................... 98
4.4 Prepocessing ............................................................................... 101
4.4.1 Hasil Prepocessing............................................................ 103
4.5 Stack ............................................................................................ 107
4.5.1 Brute Stack ........................................................................ 109
4.6 Penerapan Filter Radon Tranform ............................................. 110
5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 118
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 118
5.2 Saran ........................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 120
LAMPIRAN ............................................................................................ 122
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................. 123
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Pengolahan Data ................ 45


DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Proses Perekaman Data Seismik Laut (Agus Abdulah, 2011) ........... 4


2. Penampang Hydrophone .................................................................... 6
3. Diagram Metode Penembakan Refraksi (a) dan Refleksi (b) ........... 7
4. Pergerakan Gelombang Permukaan dan Gelombang Badan di
Medium a) Gelombang P, b) Gelombang S, c) Gelombang Rayleigh,
d) Gelombang Rayleigh Pada Arah Horizontal, e) Gelombang Love,
f) Gelombang Love Pada Arah Horizontal ...................................... 9
5. Ilustrasi Trayektori Gerakan Partikel dari (a) Gelombang Pressure
(Longitudinal), (b) Gelombang Transversal. ................................... 10
6. Ilustrasi Trayektori Gerakan Partikel dari (a) Gelombang Rayleigh,
dan (b) Gelombang Love ................................................................. 12
7. Ilustrasi Prinsip Hyugens ................................................................... 13
8. Refleksi Gelombang Pada Bidang Batas Lapisan .............................. 13
9. Refraksi Gelombang pada Bidang Batas Lapisan .............................. 15
10. Ilustrasi Difraksi Gelombang ............................................................. 16
11. Pembagian Energi Pada Bidang Batas. .............................................. 18
12. Prinsip Demultiplexing ....................................................................... 20
13. Fenomena Perambatan Gelombang Seismik...................................... 26
14. Sketsa Traveltime ............................................................................... 31
15. Geometri Akuisisi Data Seismik dan Refleksi Primary .................... 35
16. Plot Semblance,Kiri (Mutiple dan Primary), Tengah (Multiple), Kanan
(Primary) ......................................................................................... 35
17. Water-Column Reverberation. ........................................................... 36
18. Peg-Leg Multiples. ............................................................................. 37
19. Interbed Multiples .............................................................................. 37
20. Pemetaan Event dari Domain T-X ke Domain τ- ρ. ........................... 40
21. Parabolic Radon Transform .............................................................. 40
22. Even Linear dan Hiperbolik dalam CDP Gather dan Transformasi
Slant-Stack ....................................................................................... 43
23. Even Hiperbolik dalam Domain CMP (a) yang Dipetakan Pada Titik
yang Fokus dalam Domain Radon (b) dengan Transformasi
Radon Hiperbolik............................................................................. 44
24. Parameter-Parameter dalam Akuisisi Data di Lapangan ................... 53
25. Flow Chart Pengolahan Data Menggunakan Promax ........................ 47
26. Ruang Kerja Area di dalam Promax .................................................. 47
27. Ruang Kerja Line dalam Promax ....................................................... 48
28. Ruang Kerja Flow dalam Promax ...................................................... 48
29. Flow Input Data ................................................................................. 49
30. Parameter Masukkan Dalam Input Data ............................................ 49
31. Disk Data Output ............................................................................... 49
32. Pengurutan Data Berdasarkan Source Number 900 dan 1000 ........... 50
33. Pengurutan Data Berdasarkan Source dan Chanenel Number ........... 50
34. Pengurutan Data Berdasarkan CDP Number ..................................... 51
35. Cara Menampilkan Penampang Near Offset ...................................... 52
36. Flow Chart Geometry ........................................................................ 53
37. Geometri Data Seismik Laut 2D ........................................................ 53
38. Setup Parameter ................................................................................. 54
39. Auto 2D Parameter............................................................................. 55
40. SIN Ordered Parameter spreadsheet ...................................................... 56
41. Pattern Parameter ............................................................................... 57
42. Penyocokan Pattern dan Source ............................................................ 58
43. Binning dan Penomoran CDP ............................................................... 59
44. Finalisasi Geometry .............................................................................. 59
45. Trace QC ............................................................................................ 60
46. Penggabungan Data Seismik dan Desain Geometry .......................... 60
47. Flow Penggabungan Data Seismik dan Desain Geometri ................. 61
48. Pengubahan Config-File untuk dapat Mengatur File Penyimpanan
Hasil Geometry ................................................................................ 61
49. Pengecekan Database Hasil Geometry .............................................. 62
50. Flows untuk Menampilkan Data dengan Automatic Gain Control.... 63
51. Tampilan Data untuk Proses Pengeditan ........................................... 63
52. Picking Top Mute ............................................................................... 64
53. Flow Chart Bandpass Filter dan Spectral Analysis .................................... 64
54. Flow Spectral Analysis....................................................................... 65
55. Flow Aplikasi Bandpass Filter .......................................................... 65
56. Flow Chart True Amplitude Recovery (TAR).................................... 66
57. Flows Tes Parameter 1 ....................................................................... 67
58. Tes Parameter untuk TAR.................................................................. 68
59. Tampilan Tes Parameter untuk TAR1 1/dist (Atas), TAR2
1/(time*vel**2) (Bawah) ................................................................. 69
60. Flows Penentuan Deconvolution Gate ............................................... 69
61. Penentuan Time Gate Deconvolution ................................................. 70
62. Flows dalam Test Parameter 2 ........................................................... 71
63. Spiking/Predictive Decon ................................................................... 72
64. Tes Parameter untuk Dekonvolusi ..................................................... 73
65. Flow Preprocessing ........................................................................... 74
66. Koreksi NMO ..................................................................................... 75
67. Flow Chart Velocity Analysis ............................................................ 76
68. Flow Velocity Analysis ................................................................................ 77
69. Parameter Precomputed ..................................................................... 78
70. Flow dalam Analisa Kecepatan I ....................................................... 79
71. Supergather Formation ...................................................................... 79
72. Velocity Analysis Precompute ............................................................ 80
73. Pembuatan Trace Header sg_cdp dalam Disk Data Input.................. 82
74. Velocity Analysis ................................................................................ 82
75. Picking Kecepatan dalam Analisa Kecepatan .................................... 83
76. Volume Viewer/Editor ........................................................................ 83
77. Volume Viewer/Editor untuk Kontrol Kualitas Hasil
Analisa Kecepatan............................................................................ 84
78. Flow Pembuatan Brute Stack ............................................................. 85
79. CDP/Ensemble Stack.......................................................................... 86
80. Hasil Brute Stack ................................................................................ 87
81. Flow Radon Demultiples .................................................................... 87
82. Interactive Radon/Tau-P Analysis ..................................................... 88
83. Proses Muting dalam Analisa Radon/Tau-P. Sebelum Muting (kiri)
dan Sesudah Muting (kanan). ............................................................. 89
84. Parameter dalam Radon Filter ........................................................... 90
85. Sebelum Dilakukan Bandpass Filter ................................................. 92
86. Setelah Dilakukan Proses Bandpass Filter ........................................ 93
87. Kisaran Nilai Frekeunsi Kurang dari 75 Hz...................................... 94
88. Data a) Sebelum di-Mutting dan b) Sesudah di-Mutting ................... 95
89. Perbedaan Penggunaan spherical Divergence Corrections
(atas) 1/dist, dan (bawah) 1/(time*vel**2) ...................................... 97
90. Picking Velocity Terhadap Semblance dengan Nilai Kecepatan yang
Tinggi Ditunjukkan dengan Warna Merah ...................................... 99
91. Manipulasi Hasil Picking Velocity Menggunakan Volume
Viewe /Editor.................................................................................... 101
92. Hasil Prepocessing ............................................................................. 104
93. Spiking Menggunakan Phase Correction Only .................................. 105
94. Spiking Menggunakan Zero Phase Spiking ....................................... 105
95. Spiking Menggunakan Minimum Phase Predictive ........................... 106
96. Spiking Menggunakan Minimum Phase Spiking ................................ 106
97. a) Sebelum di-NMO (Hiperbola Refleksi), b) Setelah di-NMO ........ 108
98. Hasil Brute Stack ................................................................................ 109
99. Parameter Masukkan Dalam Radon Filter......................................... 111
100.Analisa Radon yang Mengelompokkan Multipel dan Sinyal dari Data
Seismik Berdasarkan Perbedaan Moveout-nya Sebelum Dilakukan
Radon Velocity Filter ....................................................................... 112
101.Analisa Radon yang Mengelompokkan Multipel dan Sinyal
Berdasarkan Moveout-nya Sesudah Dilakukan Filter Radon .......... 112
102. Perbandingan Hasil (a) Sebelum dan (b) Sesudah Radon Filter ..... 113
103. Variasi Muting dalam Domain τ-p .................................................. 115
104. Data Seismik Domain T-X Hasil Transformasi Balik ..................... 115
105. Perbandingan Velocity Semblance a) Sebelum Dikenakan Radon
Filter dan b) Setelah Dikenakan Radon Filter ................................ 116
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Observer Log SUME.23.31 ........................................................ 122


1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Metode seismik merupakan salah satu bagian dari sistem seismologi

eksplorasi yang dikelompokkan dalam metode geofisika, dimana pengukuran dan

perekaman data dilakukan dengan menggunakan sumber seismik berupa palu,

ledakan dynamit, airgun. Metode seismik adalah suatu metode dalam geofisika

yang digunakan untuk mempelajari struktur dan strata bawah permukaan bumi.

Metode ini memanfaatkan perambatan, pembiasan, pemantulan gelombang

gempa.

Penggunaan metode ini akan memudahkan pekerjaan eksplorasi

hidrokarbon karena dengan metode seismik dapat digunakan untuk menyelidiki

batuan yang diperkirakan mengandung hidrokarbon atau tidak. Dalam eksplorasi

hidrokarbon, para ahli geofisika menggunakan metode seismik untuk

mendapatkan informasi bawah laut sehingga dapat memprediksi jebakan-jebakan

struktur (stratigrafi) reservoir hidrokarbon yang terdapat di bawah lapisan dasar

dengan jarak secara vertikal yang relatif jauh.

Survey laut merupakan sesuatu yang mahal dan membutuhkan biaya yang

begitu mahal. Dalam proses perekaman data seismik laut seringkali membutuhkan

kemampuan teknologi dan user yang baik. Hal ini berguna untuk meningkatkan

akurasi dari interpretasi data di lapangan. Dalam survei seismik, suatu trace

seismik yang ideal mestinya hanya berisi signal data yaitu sederetan spike TWT

yang berkaitan dengan reflektor di dalam bumi. Namun pada kenyataannya dalam
trace seismik tersebut juga terdapat noise. Analisis trace diperlukan untuk

mengindentifikasi signal dan noise dalam gather.

Signal merupakan data yang diharapkan dalam trace seismik yang berisi

informasi reflektifitas lapisan bumi sedangkan noise dalam trace seismik

merupakan gangguan terhadap data yang tidak diinginkan. Pengamatan yang

cermat sangat diperlukan dalam tahap analisis trace, misalnya dengan menduga

adanya daerah kemenerusan event refleksi (reflektor) pada trace gather,

amplitudo sinyal seismik dan polaritas pada setiap trace. Polaritas pulsa terpantul

memiliki koefesien refleksi (R) antara -1 dan +1. Bila R = 0, berarti tidak terjadi

pemantulan.

Secara garis besar noise dapat dikategorikan menjadi dua, yakni koheren

dan inkoheren. Noise koheren memiliki pola keteraturan dari trace ke trace

sementara noise inkoheren atau acak atau random terdiri dari noise-noise yang

tidak memiliki pola teratur. Random noise biasanya mempunyai frekuensi yang

lebih tinggi dan fasanya tidak sama sedangkan pada noise koheren frekuensi dan

fasanya sama dengan sinyal seismik.

Salah satu akibat yang disebabkan oleh noise saat perekaman di lapangan

adalah terjadinya multiple. Multiple ini dapat terjadi karena sepanjang perambatan

gelombang akustik di air laut, gelombang tersebut banyak terperangkap

(teratenuasi) oleh air laut atau terperangkap dalam lapisan batuan lunak.

Sehingga untuk dapat menajamkan interpretasi sinyal digital seismik

dibutuhkan pengolahan atau pemrosesan sinyal untuk dapat mengurangi efek

multiple yang terjadi. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan

meningkatkan signal- to-noise-ratio (SNR). Sebab gelombang multiple masih


menjadi permasalahan serius dalam pengolahan data seismik terutama pada data

marine karena sulitnya dibedakan dari gelombang utama dan seringkali energi

utama tidak fokus dengan masih adanya energi multiple. Penelitian ini ditujukan

untuk mengetahui efek penggunaan Radon Transform untuk mengurangi efek

multiple gelombang seismik yang terjadi.

1.2 Tujuan

Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk menganalisa efek diterapkannya

metode Radon Transform pada data real time terhadap efek multiple yang

terjadi selama proses perekaman data seismik di perairan Barat Sumatera.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Metode Seismik

2.1.1 2D Seismic Marine Acquisition

Akuisisi data seismik laut 2D dilakukan untuk memetakan struktur geologi

di bawah laut dengan menggunakan peralatan yang cukup rumit seperti: streamer,

air-gun, perlengkapan navigasi. Skema akuisisi marine 2D dapat dilihat pada

gambar 1.

Gambar 1. Proses Perekaman Data Seismik Laut (Abdulah, 2011).

Dalam prakteknya akuisisi seismik laut terdiri atas beberapa komponen:

kapal utama, gun, streamer, GPS, kapal perintis dan kapal pengawal dan kadang-

kadang perlengkapan gravity (ditempatkan di dalam kapal) dan magnetik yang

biasanya ditempatkan 240 meter di belakang kapal utama (3 meter di dalam air).

Di dalam kapal utama terdapat beberapa departemen : departemen

perekaman (recording), navigasi, seismic processing, teknisi peralatan, ahli

komputer, departemen yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan


kerja, departemen lingkungan, dokter, juru masak, dan kadang-kadang di lengkapi

dengan departemen survey gravity dan magnetik, dll. Jumlah orang yang terlibat

dalam keseluruhan operasi berjumlah sekitar 40 orang.

Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, selama operasi ini disertai

pula dua buah kapal perintis (chase boat) yakni sekitar 2 mil di depan kapal

utama. Selain bertanggung jawab membersihkan lintasan yang akan dilewati

(membersihkan rumpon, perangkap ikan, dll) , kapal perintis bertugas untuk

menghalau kapal-kapal yang dapat menghalagi operasi ini. Selain itu di belakang

streamer, terdapat juga sebuah kapal pengawal. Operasi akuisisi data seismik

memakan waktu dari mulai beberapa minggu sampai beberapa bulan, tergantung

pada kesehatan perangkat yang digunakan, musim, arus laut, dll.

2.1.2 Sistem Perekaman Seismik

Tujuan utama akuisisi data seismik adalah untuk memperoleh pengukuran

travel-time dari sumber energi ke penerima. Keberhasilan akusisi data bisa

bergantung pada jenis sumber energi yang dipilih. Sumber energi seismik dapat

dibagi menjadi dua yaitu sumber impulsif dan vibrator. Sumber impulsif adalah

sumber energi seismik dengan transfer energinya terjadi secara sangat cepat dan

suara yang dihasilkan sangat kuat, singkat dan tajam. Sumber energi impulsif

untuk akuisisi data seismik yang digunakan untuk akusisi data seismik di laut

adalah air-gun.

Sumber energi vibrator merupakan sumber energi dengan durasi beberapa

detik. Panjang sinyal input dapat bervariasi. Gelombang outputnya berupa

gelombang sinusoidal. Seismik refleksi resolusi tinggi menggunakan vibrator

dengan frekuensi 125 Hz atau lebih.


Perekaman data seismik melibatkan detektor dan amplifier yang sangat

sensitif serta magnetic tape recorder. Alat untuk menerima gelombang-gelombang

refleksi untuk survei seismik di laut adalah hydrophone. Hydrophone merespon

perubahan tekanan. Hydrophone terdiri atas kristal piezoelectric yang

terdeformasi oleh perubahan tekanan air. Hal ini akan menghasilkan beda

potensial output. Elemen piezoelectric ditempatkan dalam suatu kabel streamer

yang terisi oleh kerosin untuk mengapungkan dan insulasi. Model Hydrophone

seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Penampang Hydrophone.

Hampir semua data seismik direkam secara digital. Karena output dari

hydrophone sangat lemah dan output amplitude decay dalam waktu yang sangat

singkat, maka sinyal ini harus diperkuat. Amplifier bisa juga dilengkapi dengan

filter untuk meredam frekuensi yang tidak diinginkan (Sanny, 2004).

2.1.3 Prosedur Operasional Seismik Laut

Kapal operasional seismik dilengkapi dengan bahan peledak, instrumen

perekaman serta hydrophone , dan alat untuk penentuan posisi tempat

dilakukannya survey seismik seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Menurut


Prihadi (2004), terdapat dua pola penembakan dalam operasi seismik di laut yaitu

a) Profil Refleksi, pola ini memberikan informasi gelombang-gelombang

seismik sebagai gelombang yang merambat secara vertikal melalui

lapisan-lapisan di bawah permukaan. Teknik ini melakukan tembakan

disepanjang daerah yang disurvei dengan kelajuan dan penembakan yang

konstan. Jarak penembakan antara satu titik terhadap lainnya disesuaikan

dengan informasi refleksi yang diperlukan, seperti yang diperlihatkan pada

Gambar 1.

b) Profile Refraksi, Pola ini memberikan informasi gelombang-gelombang

seismik yang merambat secara horizontal melalui lapisan-lapisan di bawah

permukaan. Pada teknik ini kapal melakukan tembakan pada titik-titik

tembak yang telah ditentukan (Gambar 3).

Gambar 3. Diagram Metode Penembakan Refraksi (a) dan Refleksi (b).

2.2 Tipe Gelombang Elastik


Gelombang seismik diilhami oleh gelombang elastik yang merambat pada

waktu terjadi gempa bumi. Seismik berasal dari kata seismos yang berarti gempa

bumi. Jika terjadi gempa bumi, pada stasiun penerima akan diperoleh bentuk

gelombang yang digambarkan dalam amplitudonya. Ada beberapa bentuk

gelombang yang dapat dikenal (gambar 4), yang datang paling awal disebut

gelombang kompresi atau gelombang primer yang biasa disebut sebagai

gelombang P. Gelombang ini akan bergerak searah dengan arah perambatan

gelombangnya. Berikutnya terdapat gelombang shear atau gelombang sekunder

yang biasa disebut gelombang S. Gelombang ini merambat tegak lurus terhadap

arah perambatannya. Gelombang P dan gelombang S disebut sebagai gelombang

badan atau body waves. Gelombang rayleigh dan gelombang love disebut sebagai

gelombang permukaan atau surface waves.

Gelombang elastik dapat dibagi dua tipe berdasarkan medium

penjalarannya, yaitu gelombang tubuh (body wave) dan gelombang permukaan

(surface wave). Gelombang tubuh merupakan gelombang yang energinya

ditransfer melalui medium di dalam bumi, sedangkan gelombang permukaan

merupakan gelombang yang transfer energinya terjadi pada permukaan bebas.

Pada gelombang permukaan transfer energy terjadi akibat free surface dan

menjalar dalam bentuk ground roll.


a b

c d

e f

Gambar 4. Pergerakan Gelombang Permukaan dan Gelombang Badan di Medium


a) Gelombang P, b) Gelombang S, c) Gelombang Rayleigh, d)
Gelombang Rayleigh Pada Arah Horizontal, e) Gelombang Love, f)
Gelombang Love Pada Arah Horizontal.

1. Gelombang tubuh

Berdasarkan sifat gerakan partikel mediumnya, maka gelombang tubuh

dibagi menjadi dua, yaitu gelombang P dan gelombang S. Gelombang Pressure

(P) disebut juga sebagai gelombang kompresi atau gelombang longitudinal.

Gerakan partikel pada gelombang ini searah dengan arah penjalaran gelombang.

Persamaan 1 gerak gelombang P diperlihatkan pada persamaan adalah sebagai

berikut. Kecepatan penjalarannya ditunjukkan pada persamaan 1.

Vp = √ (1)

Dimana :

Vp : Kecepatan Primer

: Modulus Bulk
 : Konstanta Lame

 : Densitas

Gelombang shear disebut juga gelombang sekunder yang kecepatannya

lebih rendah dari gelombang P. Gelombang ini disebut juga gelombang S atau

transversal; memiliki gerakan partikel yang berarah tegak lurus terhadap arah

penjalaran gelombang.

Jika arah gerakan partikel merupakan bidang horisontal, maka gelombang

S tersebut gelombang S horisontal (SH), dan jika pergerakan partikelnya vertikal,

maka gelombang tersebut disebut gelombang S vertikal (SV). Trayektori gerakan

partikel dari gelombang P dan S diperlihatkan pada Gambar 5a dan b.

(a)

(b)

Gambar 5. Ilustrasi Trayektori Gerakan Partikel dari (a) Gelombang Pressure


(Longitudinal), (b) Gelombang Transversal.
Kecepatan penjalarannya ditunjukkan pada persamaan 2.

VS = √ (2)

Dimana :

VS : Kecepatan Gelombang Sekunder

 : Konstanta Lame

 : Densitas

2. Gelombang Permukaan

Gelombang permukaan merupakan gelombang yang memiliki amplitudo besar

dan frekuensi rendah yang menjalar pada permukaan bebas (free surface).

Kecepatan penjalarannya berkisar antara 500 m/detik dan 600 m/detik.

Berdasarkan sifat gerakan partikel mediumnya maka gelombang permukaan

dibagi 2 yaitu gelombang Rayleigh dan gelombang Love. Gelombang Rayleigh

merupakan gelombang permukaan yang gerakan partikelnya merupakan

kombinasi gerakan partikel gelombang P dan S, yaitu berbentuk ellips. Sumbu

mayor ellips tegak lurus dengan permukaan dan sumbu minor sejajar dengan arah

penjalaran gelombang. Kecepatan gelombang Rayleigh dapat dituliskan sebagai

berikut :

VR = 0.09194 √

= 0.09194 Vs (3)

Dimana :

VR : Kecepatan Gelombang Rayleigh

 : Konstanta Lame

 : Densitas
Gelombang Love merupakan gelombang permukaan yang menjalar dalam

bentuk gelombang transversal. Gerakan partikelnya mirip dengan gelombang S.

Kecepatan penjaralannya bergantung dengan panjang gelombangnya dan

bervariasi sepanjang permukaan. Trayektori gerakan partikel gelombang rayleigh

dan love diperlihatkan pada gambar 6a dan b.

(a)

(b)

Gambar 6. Ilustrasi Trayektori Gerakan Partikel dari (a) Gelombang Rayleigh,


dan (b) Gelombang Love.

Berdasarkan arah gerak partikel dan propagasi pada gelombang P dan S

dapat dilihat bahwa kedua gelombang tersebut independent satu dengan lainnya.

Gelombang S yang mengalami polarisasi dengan arah gerak partikel membentuk

bidang vertikal disebut gelombang S vertikal (SV), sedangkan gelombang S yang

mengalami polarisasi dengan arah gerak partikel membentuk bidang horisontal

disebut gelombang S horizontal (SH).

2.2.1 Hukum-hukum yang mendasari penjalaran gelombang

Prinsip Huygens menjelaskan bahwa setiap titik pada muka gelombang


merupakan sumber dari gelombang baru yang menjalar dalam bentuk bola

(spherical). Jika gelombang bola menjalar pada radius yang besar, gelombang

tersebut dapat diperlakukan sebagai bidang. Garis yang tegak lurus dengan muka

gelombang tersebut disebut wave path atau rays.

Gambar 7. Ilustrasi Prinsip Hyugens.

Gambar 7 Mengilustrasikan sebuah gelombang datang miring terhadap

bidang permukaan dua medium elastik yang memiliki kecepatan longitudinal VL1

dan VL2, kecepatan gelombang transversal VT1 dan VT2, serta memiliki densitas ρ1

dan ρ2.

Gambar 8. Refleksi Gelombang Pada Bidang Batas Lapisan.


Gelombang yang datang pada AB, titik A merupakan pusat pembentuk

gelombang baru baik untuk transversal maupun longitudinal. Jika gelombang

yang kita perhatikan hanya yang kembali ke medium atas, saat sinar gelombang

melewati B menuju permukaan (titik C) dan berjarak x dari B, gelombang bola

longitudinal dari A juga berjalan sejauh X dan gelombang transversal berjarak

(VT1/VL1)X. Sudut refleksi yang terjadi merupakan tangen titik C ke permukaan

bola pertama, yang memiliki nilai sama dengan sudut datang. Tangen untuk

lingkaran yang lebih kecil (mempresentasikan gelombang transversal yang

terpantul) membentuk sudut yang ditentukan melalui hubungan

sin rt = x sin i (4)

Untuk kasus normal insiden (i=0), perbandingan dari energi refleksi gelombang

longitudinal dapat dituliskan sebagai berikut.


= (5)

Akar dari persamaan di atas merupakan koefisien refleksi. Dari hubungan di atas

dapat terlihat energi refleksi tergantung pada kontras dari densitas dan kecepatan

pada batas medium. Energinya berkurang sejalan dengan pertambahan sudut I,

mencapai minimum dan bertambah perlahan pada sudut kritis dan kemudian

bertambah cepat. Untuk gelombang yang menjalar pada medium ke dua

perhatikan Gambar 9.
Gambar 9. Refraksi Gelombang pada Bidang Batas Lapisan.

Dari gambar 9 terlihat gelombang longitudinal pada medium yang lebih rendah

menjalar sepanjang AD, sementara muka gelombang berjalan pada medium atas

dari titik C ke B yang berjarak x, dan gelombang yang mengalami refraksi dan

membentuk sudut RL dengan bidang batas. Dari gambar tersebut dapat dilihat

bahwa :
(6)
sin I = sin RL = =

(7)
sehingga =

Persamaan 6 merupakan hukum Snellius, untuk gelombang transversal


(8)
=

Bila sin i = VL1/VL2, maka sin RL sama dengan satu, karena membentuk sudut

900. Pada kasus ini gelombang refraksi tidak menjalar pada medium, tetapi pada

bidang batas atau


(9)
sin i0 = sin-1
dimana i0 merupakan sudut kritis untuk gelombang longitudinal. Untuk nilai i

yang lebih besar dari sudut kritis, maka tidak ada gelombang yang direfraksikan

ke medium dua. Sudut kritis ini sangat penting untuk seismik refraksi, dimana

gelombang yang datang dengan sudut kritis pada permukaan lapisan yang

memiliki kecepatan tinggi menjalar horisontal sepanjang permukaan, kemudian

direfraksikan kembali ke permukaan bumi dengan sudut yang sama.

Gelombang seismik mengalami difraksi jika gelombang tiba pada sudut

yang membuatnya sebagai sumber baru beradiasi kembali ke permukaan seperti

gambar di bawah berikut :

Surface Source

Gambar 10. Ilustrasi Difraksi Gelombang.

Selain prinsip dan hukum yang telah disebutkan di atas, prinsip Fermat

mengatakan bahwa :

Sinar gelombang bergerak dari satu titik ke titik yang lain akan menempuh

lintasan sedemikian rupa, sehingga bila dibandingkan dengan lintasan lain

didekatnya, waktu yang dibutuhkan adalah minimum.

2.2.2 Efek Medium Pada Penjalaran Gelombang

Salah satu yang penting dari penjalaran gelombang adalah masalah energi

yang berasosiasi dengan gerak medium pada saat gelombang melewatinya.


Biasanya orang tidak tertarik pada energi total, tetapi pada energi pada sekitar titik

pengamatan. Densitas energi didefinisikan sebagai energi persatuan volume

disekitar titik pengamatan. Suatu gelombang bola harmonis gelombang P

memiliki diplacement radial sebesar :


(10)
u = Δ cos (ωt + γ)

dimana λ adalah amplitudo dan γ adalah sudut fasa. Karena displacement

bervariasi dengan waktu, maka setiap elemen dalam medium memiliki kecepatan

sebesar û = ∂u/∂t, yang berasosiasi dengan energi kinetik. Energi kinetik δEk

didapatkan dalam setiap elemen volum δV sebesar δEk = ½(ρδV) û2. Energi per

unit volume adalah :


(11)
δEk / δV = 1/2pû2 = 1/2ρω2 Δ2 sin2 (ωt + γ)

Jika gelombang mengandung energi kinetik maksimum, maka energi

potensialnya mendekati 0 dan sebaliknya. Karena energi total sama dengan energi

kinetik maksimum, maka densitas energi untuk gelombang harmonik adalah :

E = 1/2ρω2 Δ2 = 2π2 ρυ2 Δ2 (12)

Sedangkan pengertian intensitas adalah kuantitas energi yang mengalir

melalui suatu unit bidang normal terhadap arah propagasi dalam suatu unit waktu.

Ambil suatu silinder tak hingga dengan penampang δϑ, dimana sumbernya paralel

dengan propagasi gelombang dan panjangnya sama dengan jarak yang dilalui

dalam waktu δt. Energi totalnya adalah EVδtδϑ. Besarnya intensitas sama dengan

energi total dibagi dengan δϑ, dan dengan interval waktu δt, adalah :

I=EV (13)

Untuk gelombang harmonis,


(14)
I = 1/2ρVω2 A2 = 2π2 ρVυ2 Δ2
2.2.3 Pembagian Energi Pada Suatu Batas Lapisan

Mode konversi terjadi akibat deformasi partikel oleh gelombang kompresi

pada saat menemui bidang batas. Deformasi ini akan dapat menimbulkan dua

model deformasi akibat dua jenis tipe stress yang bekerja, yakni deformasi

kompresi – dilatasi dan deformasi shear (geser). Sifat dari dua medium dapat

dibedakan atas dasar densitas dan kecepatan. Bila sinar gelombang melewati suatu

batas lapisan, maka ada empat persamaan yang dihasilkan dari kondisi syarat

batas untuk gelombang datang P atau SV, refleksi dan transmisi. Untuk

gelombang datang SH, hanya akan terdapat gelombang refleksi dan transmisi

gelombang SH. Pembagian energi gelombang P pada bidang batas lapisan

diperlihatkan pada gambar berikut ini :

Gambar 11. Pembagian Energi Pada Bidang Batas.

2.3 Atenuasi

Dalam bumi yang homogen dan elastik sempurna, berkurangnya

amplitudo gelombang seismik dalam penjalarannya disebabkan oleh efek

geometrical spreading, yakni berkurangnya amplitudo disebabkan oleh faktor


jarak. Pada batuan inelastik, berkurangnya amplitudo selain oleh faktor jarak, juga

disebabkan oleh sifat internal batuan yang menyebabkan energi gelombang

tersebut terdisipasi. Peristiwa berkurangnya energi gelombang yang disebabkan

oleh faktor ini lazim disebut sebagai peristiwa atenuasi. Pada peristiwa ini yang

terjadi sebenarnya bukan semata-mata berkurangnya amplitudo gelombang, tetapi

juga terjadi absorpsi (penyerapan) selektif terhadap frekuensi yang terkandung

dalam gelombang seismik.

2.3.1 Mekanisme Atenuasi

Beberapa teori telah dikembangkan untuk menjelaskan mekanisme

atenuasi, antara lain sebagai berikut :

Dalam batuan yang kering, mekanisme yang terpenting adalah gesekan

antar butir dan relaksasi antar butir dalam batuan (Sanny, 1998). Keberadaan

fluida di dalam batuan juga berpengaruh terhadap atenuasi. Beberapa teori telah

diusulkan dalam hal ini, seperti aliran dari fluida terhadap matriks batuan, yang

disebut sebagai biot flow dan berbagai jenis dari aliran dalam rekahan atau

squirting mechanism (Triyoso, 1991). Dalam kondisi batuan real di lapangan,

atenuasi dapat disebabkan oleh sejumlah mekanisme, mana yang lebih dominan

sangat tergantung pada kondisi fisik dari batuan tersebut.

2.4 Pemrosesan Data Seismik

2.4.1 Format Rekaman dan Input Data

Gelombang seismik yang terpantul beserta noise dan gelombang lainnya

diterima oleh geophone masih berupa analog. Gelombang analog ini dicuplik

menjadi digital dengan menggunakan multiplexer pada interval tertentu di saat

perekaman (Talagapu, 2005).


Biasanya data seismik dari lapangan (field tape) masih ada dalam format

multiplex dan ditampilkan dalam bentuk common shot gather, oleh karena itu

perlu dilakukan perubahan dari format urutan waktu (time sequential) ke urutan

trace (trace sequential).

Gambar 12. Prinsip Demultiplexing.

Tahapan ini dilakukan karena data seismik yang direkam dalam media

penyimpanan pada umumnya masih dalam format multiplexer sehingga

menyebabkan data yang diperoleh bukan lagi gelombang-gelombang menurut

trace akan tetapi berupa gelombang-gelombang menurut sampel.

Dalam notasi matriks, data seismik yang berupa amplitudo gelombang

seismik yang direkam oleh saluran 1 sampai saluran ke-n yang terdiri dari sampel

ke-1 sampai sampel ke-m dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :

 a11 a12 a13 ... a1n 


a a 22 a 23 ... a 2 n 
 21
Aij   a 31 a 32 a 33 ... a 3n 
 
 ... ... ... ... ... 
a m1 am2 a m3 ... a mn 

di mana :
i = 1 sampai m, menyatakan nomor sampel,

j = 1 sampai n, menyatakan nomor trace,

n menyatakan jumlah trace (jumlah channel dipakai saat diaktifkan)

Dalam hal ini m menyatakan jumlah sampel di dalam setiap trace

Baris dalam persamaan tersebut menyatakan amplitudo dari gelombang

seismik pada nomor sampel yang sama akan tetapi nomor trace yang berlainan,

maka data dalam bentuk seperti yang dituliskan sesuai dengan format multiplexer.

Proses demultiplexing pada hakekatnya adalah memutar (mentranspose) data

multiplex menjadi data demultiplex.

Demultiplexing adalah mengubah Aij menjadi Aji

Demultiplexing = (Aij)T

Data Demultiplex = Aji

Dengan diterapkannya proses demultiplexing ini, maka kita mempunyai

 a11 a21 a31 ... am1 


a a22 a32 ... a2 n 
 12
A ji   a13 a23 a33 ... a3n 
 
 ... ... ... ... ... 
a1n a2 n a3n ... amn 

Dalam hal ini baris pertama menyimpan sampel nomor 1 sampai m untuk

saluran nomor 1 saja. Baris kedua menyimpan sampel nomor 1 sampai m dari

saluran nomor 2, sampai saluran nomor m di baris ke-n.


2.4.2 Geometry

Koreksi geometri dilakukan untuk menggabungkan dan mencocokkan

paramater lapangan dari observer log, yaitu besaran di permukaan dengan besaran

bawah permukaan. Besaran-besaran di permukaan adalah nomor trace, jarak antar

shot point dan nomor stasiun, dll. Besaran-besaran di bawah permukaan adalah

banyaknya fold coverage, dll. Pada dasarnya koreksi geometri berusaha

mencocokkan antara file number (terdapat di observer report) dengan data

seismik yang direkam dalam 1 shot (dalam pita magnetik atau media

penyimpanan yang lain).

2.4.3 Editing dan Filtering

Tahapan ini memiliki tujuan untuk memunculkan sinyal-sinyal refleksi,

sehingga sinyal-sinyal yang tidak mencerminkan refleksi akan dianggap sebagai

informasi yang tak perlu ditampilkan sehingga dapat dihilangkan. Proses yang

dilakukan dalam tahap ini meliputi muting dan editing.

Muting adalah proses untuk membuang sinyal-sinyal gelombang langsung

dan gelombang refraksi. Parameter muting menentukan kemiringan suatu garis

lurus dalam koordinat x-t yang menjadi batas antara sinyal-sinyal langsung dan

sinyal refraksi terhadap sinyal-sinyal yang lain.

Editing berbeda dengan muting. Kalau muting beroperasi dalam dua

dimensi (x-t) sekaligus, maka editing beroperasi dalam satu dimensi dan bersifat

sangat lokal. Editing berusaha mengedit atau mengoreksi amplitudo-amplitudo

yang dianggap jelek yang ada pada setiap trace seismik yang terekam. Bila

amplitudo-amplitudo gelombang di dalam suatu trace ternyata jelek semua maka


editing berusaha menjadi killing artinya semua amplitudo yang tidak bernilai nol

di dalam trace tersebut diset menjadi nol. Hal ini tidak akan mempengaruhi hasil

akhir karena pada saat stacking, ada berpuluh-puluh trace seismik yang

dijumlahkan.

2.4.4 True Amplitude Recovery

Tujuan dari True Amplitude Recovery (TAR) adalah untuk memunculkan

amplitudo-amplitudo gelombang seismik yang lemah setelah faktor penguatan

oleh amplifier diangkat (Gain Removal). Pengangkatan faktor penguatan ini

diperlukan dalam upaya mendapatkan amplitudo yang lebih representatif di

daerah penyelidikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya amplitudo gelombang

seismik (Priyono, 2006), yaitu :

1. Kekuatan sumber ledakan dan kopling antara sumber ledakan dengan medium.

2. Divergensi bola (spherical divergence) yang menyebabkan energi gelombang

terdistribusi dalam volume bola.

3. Variasi koefisien refleksi terhadap sudut datang gelombang atau terhadap

offset.

4. Atenuasi dan absorpsi.

5. Pantulan berulang atau multiple oleh lapisan-lapisan tipis.

6. Hamburan gelombang oleh struktur-struktur yang runcing.

7. Interferensi dan superposisi oleh gelombang-gelombang yang berbeda

asalnya.

8. Ketergantungan arah dari sistem pengaturan penerima (array directivity).


9. Sensitivitas dan kopling antara geophone dengan tanah.

10. Superposisi dengan noise.

11. Pengaruh instrumen (instrument balance).

Dalam praktek TAR terdiri atas :

1. Gain Removal.

2. Koreksi Divergensi Bola.

3. Koreksi Atenuasi.

Gain removal adalah proses membuang penguatan yang dilakukan oleh

amplifier. Karena setelah penguatannya dibuang sinyal-sinyal refleksi akan

menjadi demikian lemah, maka penguatan amplifier ini digantikan oleh penguatan

lain yang nilai-nilainya didapat dari experimental gain curve yang dianggap lebih

cocok untuk daerah yang diselidiki.

g nt  : amplitudo trace seismik yang direkam dengan n = 1 s/d m (jumlah

sampel).

t : interval sampel

T : interval sampel

N : 1,2,3,...,m (jumlah sampel pada setiap trace)

Gnt  : sampel-sampel dari gain amplifier yang direkam bersamaan dengan

amplitudo trace seismik.

maka :

g nt  (15)
Gain Removal =  g ' nt 
Gnt 
g ' nt  merupakan trace seismik dengan amplitudo yang sangat lemah untuk

waktu yang semakin membesar.

Setelah kurva-kurva koreksi divergensi bola dan koreksi atenuasi berhasil

didapatkan, kurva-kurva ini kemudian dikalikan dengan g ' nt  dalam upaya

untuk mengangkat amplitudo sinyal agar kembali muncul.

Proses True Amplitude Recovery secara singkat dapat dirumuskan :

  20
t t1 
 1 
hnt   g nt 
  
 
 v.nt 10
  20B 
 10  (16)
 G n t    

di mana :

hnt  adalah amplitudo yang telah mengalami TAR

g nt  adalah amplitudo trace seismik yang direkam

Gnt  adalah besarnya gain amplifier

 adalah koefisien atenuasi

B adalah suatu konstanta eksperimental

2.4.5 Deconvolution

Dekonvolusi adalah suatu proses untuk menghilangkan wavelet seismik

sehingga yang tersisa hanya estimasi dari reflektifitas lapisan bumi. Dekonvolusi

berguna untuk meningkatkan resolusi temporal dari data seismik dengan

mengkompres wavelet seismik dasar. Gelombang seismik yang dikirim ke dalam

bumi mengalami proses konvolusi (filtering). Dalam hal ini bumi bersikap sebagai
filter terhadap energi seismik tersebut. Akibat efek filter bumi, maka bentuk

gelombang seismik (wavelet) yang semula tajam dan tinggi amplitudonya (dalam

kawasan waktu), menjadi lebih lebar dan menurun amplitudonya (melar /

streching).

Fenomena perambatan gelombang seismik yang dipakai dalam seismik eksplorasi

dapat didekati dengan model konvolusi. Trace seismik dapat dianggap sebagai

hasil konvolusi antara deret koefisien refleksi dengan sinyal seismik (wavelet).

Gambar 13. Fenomena Perambatan Gelombang Seismik.

Dekonvolusi bertujuan untuk :

 Menghilangkan ringing

 Meningkatkan resolusi vertikal

 Memperbaiki penampilan dari stacked section sehingga menjadi lebih mudah

untuk diinterpretasi

 Seismic section menjadi lebih mirip dengan model geologi

 Menghilangkan multiple

Metoda-Metoda Dekonvolusi

Secara garis besar metoda dekonvolusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu

deterministik dan statistik (Cary, 2001). Dekonvolusi deterministik adalah

dekonvolusi menggunakan operator filter yang sudah diketahui atau didesain

untuk menampilkan suatu bentuk tertentu. Contoh dekonvolusi deterministik

adalah spiking deconvolution. Sementara jika disain filter tidak kita ketahui, kita
dapat memperolehnya secara statistik dari data itu sendiri. Metoda ini disebut

dekonvolusi statistik. Contoh dekonvolusi statistik adalah dekonvolusi prediktif.

 Dekonvolusi Prediktif

Dekonvolusi prediktif dilakukan dengan cara mencari bagian - bagian

yang bisa diprediksi dari trace seismik untuk kemudian dihilangkan. Dekonvolusi

prediktif adalah suatu filter yang berusaha menghilangkan efek multiple.

Dekonvolusi prediktif biasanya dipergunakan untuk :

1. Prediksi dan eliminasi event-event yang berulang secara periodik seperti

multiple perioda panjang maupun pendek.

2. Prediksi dan eliminasi „ekor‟ wavelet yang panjang dan kompleks.

 Dekonvolusi Spike

Spiking deconvolution bertujuan untuk menghasilkan keluaran yang spike

sehingga sesuai dengan deret reflektifitas. Proses spiking deconvolution sendiri

adalah peminimuman selisih antara masukan, yang berupa konvolusi antara deret

reflektifitas dan wavelet sumber, dan keluaran yang diinginkan, yaitu deret

reflektifitas yang berbentuk spike. Spiking deconvolution biasanya dipergunakan

untuk eliminasi multiple perioda pendek dan wavelet sumber.

2.4.6 Analisa Kecepatan

Sifat elastis batuan di bumi sangat bervariasi. Pada jenis batuan yang

samapun dapat memiliki sifat elastis yang berbeda, misalnya disebabkan tingkat

kekompakan dari batuan tersebut (Rahadian, 2011). Pengukuran di lapangan

menunjukkan bahwa faktor petrologi dan geologi sangat berpengaruh terhadap

kecepatan penjalaran gelombang seismik.


Kecepatan gelombang seismik dalam formasi bawah permukaan adalah

salah satu informasi penting yang akan digunakan untuk konversi data seismik

dari domain waktu ke kedalaman. Sumber data kecepatan yang paling akurat

didapat dari pengukuran check-shot sumur tetapi metoda tersebut hanya dapat

dilakukan pada area yang sangat dekat dengan lokasi sumur, pada kenyataannya

interpretasi dilakukan pada area-area yang jauh dari lokasi sumur. Masalah

lainnya adalah adanya struktur geologi yang kompleks sehingga menimbulkan

variasi kecepatan terhadap kedalaman. Hal-hal tersebut dapat menimbulkan

masalah dalam penentuan posisi struktur dan masalah pada waktu dilakukan

proses migrasi. Oleh karena itu analisa kecepatan adalah suatu proses yang sangat

penting dalam tahapan pemrosesan data seismik.

Kecepatan seismik yang sering digunakan dalam pekerjaan eksplorasi

terdiri dari :

1. Kecepatan interval, dirumuskan sebagai

z (17)
VI 
t

dimana Δt adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan penjalaran sejauh

Δz, VI merupakan kecepatan interval.

2. Kecepatan rata-rata, dirumuskan sebagai


n

VI I t1  VI 2 t 2  ....VI n t n VI t i i


V   i 1 (18)
t1  t 2 .....t n n

 t
i 1
i

yaitu kecepatan interval sepanjang suatu section geologi ketika puncak dari

interval adalah datum referensi untuk pengukuran seismik

3. Kecepatan instantaneous, dirumuskan sebagai berikut

z dz (19)
VE  Lim 
t 0 t dt
1
 VRMS nTon  VRMS
2 2
n 1 Ton 1  2
(20)
VIDn 1,n   
 To n Ton 1 
yaitu kecepatan yang diukur dengan log kecepatan

4. Kecepatan Root Mean Square (RMS), dirumuskan sebagai

1
 n 2
  VI i t i 
2
(21)
V RMS   i 1 
 n 
  t i 
 i 1 
yaitu akar kuadrat rata-rata (root mean square) dari kecepatan interval.

Kecepatan RMS selalu lebih besar daripada kecepatan rata - rata kecuali untuk

kasus satu lapisan.

5. Kecepatan NMO, dirumuskan sebagai

X
VNMO  (22)
T X  T
2 2

1
 X X 2  X 12 2
VNMO 
 T 2 T 2


 X 0  (23)

yaitu kecepatan yang diperlukan untuk melakukan proses NMO dengan benar.
6. Kecepatan interval Dix, dirumuskan sebagai

1
 VNMO nTon  VNMO
2 2
Ton 1 
n 1
2
VIDn 1,n    (24)
 To n Ton 1 
karena VNMO ≈ VRMS

7. Kecepatan rata - rata Dix, dirumuskan sebagai pendekatan terhadap kecepatan

VID1 T1  VID2 T2  VIDn Tn (25)


VD 
T1  T2   Tn
rata-rata menggunakan rumus kecepatan interval Dix menjadi

Untuk perumusan - perumusan di atas, t didefinisikan sebagai waktu searah

(one-way time) dan T didefinisikan sebagai waktu dua arah (two-way time).

Faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap penjalaran gelombang

seismik antara lain adalah sebagai berikut (Abdulah, 2007):

1. Sifat elastis dan densitas batuan

2. Porositas

3. Tekanan, baik akibat dari tekanan luar (efek over burden) atau tekanan

pori

4. Temperatur, dimana sifat elastis berubah karena batuan mencair atau

akibat pengaruh kedalaman

5. Sejarah terjadinya, seperti pengaruh tektonik, pengaruh kimiawi atau

termal yang menyebabkan batuan berubah, pengaruh pelapukan,

transportasi dan sedimentasi


6. Umur batuan. Batuan yang berumur tua umumnya sangat kompak,

porositas kecil, densitas besar dan umumnya mempunyai kecepatan lebih

besar dibandingkan batuan sejenis yang lebih muda.

2.4.7 Normal Moveout (NMO) Correction

Apabila pada gambar 14 adalah model kecepatan konstan, maka travel-

time t(x) dari CMP gather sepanjang jalur perambatan dari source ke D kemudian

kembali ke receiver masing-masing didefinisikan sebagai berikut.


(26)
t2 (x) = t02 + x2/v2

dimana x adalah offset, yaitu jarak antara masing-masing source dan receiver, v

adalah kecepatan (velocity) dari medium di atas reflector dan t0 adalah waktu

bolak-balik vertikal (Two-Way Travel-Time) sepanjang MD atau two-way travel-

time pada zero-offset. Untuk reflektor yang flat seperti gambar 14. Perbedaan two-

way travel-time t(x) pada offset x dan t0 pada zero offset disebut normal moveout

atau NMO.

Gambar 14. Sketsa Travel-Time.

Waktu rambat gelombang untuk satu titik di sub-surface akan terekam

oleh sejumlah geophone sebagai garis lengkung (hiperbola). Di dalam CDP

gather koreksi NMO diperlukan untuk mengoreksi masing-masing CDP-nya agar


garis lengkung tersebut menjadi horisontal, sehingga pada saat stack diperoleh

sinyal yang maksimal.

Kecepatan NMO tidak bernilai konstan tetapi bergantung pada jarak

(offset) antara sumber dan penerima. Karena hasil dari koreksi NMO sensitif

terhadap kecepatan yang digunakan maka fenomena ini dapat digunakan untuk

menentukan kecepatan yang sesuai. Kecepatan NMO yang sesuai akan

memberikan hasil event refleksi yang segaris sehingga ketika di-stack akan

memberikan hasil refleksi yang paling besar.

Sebelum dilakukan proses NMO data sebaiknya sudah melalui proses

pemfilteran untuk menghilangkan efek noise koheren dan acak terhadap event

seismik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan reliabilitas perkiraan event seismik

sehingga hasil proses NMO bisa optimal.

2.4.8 Stacking

Stacking adalah penggabungan dua atau lebih trace menjadi satu trace

atau disebut dengan gather data. Dalam pengolahan data digital, amplitudo dari

trace dinyatakan sebagai angka sehingga stacking dapat dilakukan dengan

menambahkan angka-angka tersebut. Tujuan utama dalam merekam data multi

kelipatan adalah untuk stacking semua trace secara bersama-sama. Stacking tidak

efektif dalam menekan multiple dan difraksi. Sebelum akhir stacking semua

koreksi NMO, DMO, static corrections dilakukan. Umumnya sebelum

deconvolution dan analisa kecepatan, gather di-stack agar memiliki gambaran

kasar tentang perbedaan horizontal, noise yang besar dan sebagainya. Stack ini

disebut juga Brute Stack (Talagapu, 2005).


2.5 Gangguan pada Data Seismik

2.5.1 Noise

Dalam survei seismik, suatu trace seismik yang ideal merupakan trace

yang hanya berisi sinyak data yaitu sederetan spike TWT yang berkaitan dengan

reflektor di dalam bumi. Namun pada kenyataannya pada trace seismik tersebut

juga terdapat noise di dalamnya. Sinyal merupakan data yang kita harapkan

dalam trace seismik, yang berisi informasi reflektifitas lapisan bumi.

Sedangkan noise merupakan sinyal atau gangguan yang tidak diinginkan.

Pengamatan yang cermat sangat diperlukan dalam tahap analisis trace, misalnya

dengan menduga adanya daerah kemenerusan reflektor pada trace gather,

amplitudo sinyal seismik dan polaritas pada setiap trace. Polaritas pulsa terpantul

memiliki koefesien refleksi (R) antara -1 dan +1. Bila R = 0, berarti tidak terjadi

pemantulan. Secara garis besar noise dapat dikategorikan menjadi dua, yakni

koheren dan inkoheren.

Noise koheren memiliki pola keteraturan dari trace ke trace sementara

noise inkoheren atau acak atau random terdiri dari noise-noise yang tidak memiliki

pola teratur. Noise acak biasanya mempunyai frekuensi yang lebih tinggi dan

fasanya tidak sama, sedangkan pada noise koheren frekuensi dan fasanya sama

dengan sinyal seismik (Ekasapta, 2008). Menurut Yilmaz (1987), jenis-jenis

noise yang biasanya ditemui dalam trace gather antara lain sebagai berikut :

1. Direct wave, yaitu gelombang yang langsung merambat dari sumber getar ke

receiver tanpa mengalami peristiwa refleksi.

2. Gelombang bias atau refraksi, yaitu noise koheren di daerah first arrival.
3. Ground-roll, yaitu noise koheren berfrekuensi rendah sering dijumpai pada

data darat.

4. Noise electro-static, trace yang mengandung noise ini biasanya berfrekuensi

tinggi.

5. Multiple, yaitu noise koheren dimana event seismik mengalami lebih dari satu

kali refleksi dari posisi reflektor primernya.

6. Noise reverse polarity, yaitu pembalikan polaritas trace seismik yang

disebabkan oleh kesalahan penyambungan konektor pada kanal detektor.

7. Slash, yaitu gangguan pada trace seismik yang disebabkan oleh konektor

antar kabel yang kurang baik.

8. Noise instrumen, yaitu noise yang muncul karena kerusakan kanal selama

akuisisi berlangsung.

2.5.2 Gelombang Multiple

a) Refleksi Multiple dan Primary

Data seismik diperoleh dengan menggunakan sumber energi yang

menghasilkan gelombang elastik dan direfleksikan kembali oleh lapisan bawah

permukaan ke receiver yang ada di permukaan. Refleksi gelombang utama

(Primary) memberikan sebuah informasi penting seperti kecepatan dan

identifikasi struktur bawah permukaan. Teknik penggambaran penampang seismic

dibuat berdasarkan atas refleksi gelombang utama (Primary).


Gambar 15. Geometri Akuisisi Data Seismik dan Refleksi Primary.

Bagaimanapun pada refleksi gelombang utama yang pertama, receiver

merekam juga refleksi multiple yang direfleksikan antara reflektor bawah

permukaan lebih dari satu kali sebelum sampai ke permukaan. Refleksi multiple

sering mengganggu refleksi primary dan membuat jelek visualisasi penampang

seismik.

Gelombang primary dan multiple dibedakan dengan menganalisa

keduanya pada spektrum kecepatan (semblance) seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 16. Plot Semblance,Kiri (Mutiple dan Primary), Tengah (Multiple),


Kanan (Primary).
b) Penyebab Terjadinya Gelombang Multiple

Gelombang multiple terjadi karena adanya kontras penurunan kecepatan

atau dengan kata lain terjadinya koefesien negatif (Van Der Kruk, 2001).

Sehingga dengan adanya penurunan kecepatan, maka akan terjadi refleksi selain

refleksi gelombang utama sebelum energy diterima oleh receiver.

Sebagai contoh pada data seismic marine, refleksi gelombang multiple

banyak terjadi disebabkan adanya kontras impedansi yang tinggi antara

permukaan lapisan air dan udara. Koefesien refleksi air-udara mendekati -1. Jika

di bagian bawah air padat, maka lapisan air akan menjebak energi antara

permukaan air dan bagian bawahnya. Pada kasus ini, refleksi multiple bisa lebih

kuat dari pada refleksi primary.

Energi multiple yang terperangkap tersebut mencakup water-column

reverberations (gambar 17) dan peg-leg multiples (gambar 18). Tipe utama

lainnya adalah interbed multiple (gambar 19) yang terjadi sebagai contoh akibat

pengaruh salinitas atau lingkungan yang ada garam (Abdullah, 2007).

Gambar 17. Water-Column Reverberation.


Gambar 18. Peg-Leg Multiples.

Gambar 19. Interbed Multiples.

2.5 Radon Transform

Teknik untuk menekan multiple pada pengolahan data seismik yang

dikerjakan dalam tugas akhir ini adalah dengan menggunakan radon transform.

Prinsip dari radon transform adalah mengubah data dari domain waktu t(x) ke τ-ρ

sehingga dengan mute yang tepat bisa memisahkan gelombang utama (primary)

dan multiple (Rahadian, 2011).

Radon transform dilakukan untuk menekan keberadaan longpath multiple

yang diakibatkan oleh dasar laut. Data seismik yang merupakan data dengan

domain waktu (T) dan jarak (X) ditansformasikan secara linier ke dalam domain

waktu pada jarak nol/time intercept (τ) dan slowness (p). Dalam domain inilah

data seismik dimuting untuk menghilangkan multiple.


Data seismik masukkan dalam radon transform berupa data seismik CMP

gather yang sudah dilakukan koreksi NMO sehingga multiple dalam domain T-X

yang terlihat memiliki gradient negative akan memiliki kenampakan yang berubah

dalam domain τ-p yaitu gradient akan menjadi positif. Hal ini dikarenakan nilai

kecepatan yang beragam dan mengecil dari multiple. Sedangkan reflektor dalam

domain T-X yang terlihat datar akan memiliki kenampakan berupa titik yang

berada pada nilai p sekitar nol karena nilai kecepatan pada reflektor akan

mendekati tak hingga.

Selanjutnya dilakukan muting pada domain τ-p untuk menghilangkan

multiple. Muting pada domain τ-p dilakukan dalam beberapa variasi untuk

dibandingkan dan dianalisa agar menghasilkan CMP gather yang terbaik bebas

dari multiple dan tidak menghilangkan efek AVO (Kumar, 2004).

Pada tahap pre-conditioning, untuk memudahkan analisa digunakan satu

CMP. Sebelumnya di bandpass filter untuk menghilangkan groundroll, lalu pada

data yang telah dikoreksi NMO dikenakan radon transform. Multiple akan

mengalami atenuasi setelah berubah dari domain t(x) ke domain τ-ρ. Pada domain

τ-ρ dilakukan koreksi NMO, event primary akan menjadi flat tetapi multiple

memiliki residual moveout yang naik berdasarkan offset. Dan karena memiliki

perbedaan moveout, primary dan multiple akan tampak pada daerah yang berbeda

pada domain τ-ρ. Kemudian dilakukan mute terhadap daerah ρ>0 yang dianggap

sebagai multiple. Sehingga energy primary dipisahkan dari energy multiple yang

memiliki kecepatan lebih rendah dibandingkan kecepatan primary pada

semblance.
Radon transform merupakan teknik secara matematika yang telah luas

digunakan dalam pengolahan data seismic. Terdapat tiga jenis radon transform

yang biasa digunakan untuk menekan multiple, yaitu slant-stack atau τ-ρ

transform hiperbolik dan radon transform parabolic (Cao Zhihong, 2006). Radon

transform hiperbolik dan parabolik yang diterapkan untuk mengatenuasi multiple

berdasarkan perbedaan moveout antara gelombang utama (primary) dan multiple.

Radon transform yang digunakan pada penghilangan efek multiple pada data

seismik adalah bertipe parabolik.

Radon transform pertama dibuat oleh Johan Radon (1917). Deans (1983)

mendiskusikan teori matematikanya dan Durrani serta Bisset (1984) menguji sifat

dasar dari Radon transform ini. Thorson dan Claerbout (1985) menggunakan

Radon transform hiperbolik sebagai dasar penggunaan velocity analysis tools, dan

Radon transform parabolic pertama kali digunakan dalam teknik mengatenuasi

multiple oleh Hampson (1986). Sejak saat itu Radon transform menjadi salah satu

pendekatan yang banyak digunakan untuk mengatenuasi multiple (Verschnuur,

1997).

Prinsip kerja Radon transform dengan merubah data dari domain t-x (time-

offset) menjadi domain τ- ρ (intercept time-ray parameter) seperti pada gambar

20. Radon transform dikenakan pada data CMP gather yang sudah terkoreksi

NMO atau pada common shot gather. Dengan ray parameter ρ~1/v, maka event

primary akan dipetakan sekitar ρ=o dan event multiple pada daerah ρ>0 (Mustoin,

2000).
Gambar 20. Pemetaan Event dari Domain T-X ke Domain τ- ρ.

Radon transform memiliki kekurangan yaitu tidak menangani energi multiple

pada near-offset dan tidak bisa menahan amplitude dari primary sehingga ada

kebocoran energi primary.

2.6.1 Radon Transform Parabolic

Rahadian (2011) menunjukkan bahwa refleksi multiple pada CMP gather

yang sudah terkoreksi NMO bisa diperkirakan dengan melihat sebagai parabolik.

Radon transform parabolic bisa dikenakan pada CMP gather yang sudah

terkoreksi NMO dengan menjumlahkan data sepanjang jalur stacking yang

didefinisikan dengan persamaan t = τ + qx2 dengan q= ρ.

Gambar 21. Parabolic Radon Transform.

Sebuah kurva parabolic yang tepat pada CMP domain bisa dipetakan

secara teori pada satu titik yang terfokus pada Radon transform parabolic. t = τ +

qx2 dapat dianggap sebagai satu event dengan two-way travel-time pada zero-
offset t0 dan kecepatan RMS Vrms. jika event ini dikoreksi dengan satu kecepatan

Vc, maka event tersebut akan tampak pada time T(x) dimana :

(27)

Persamaan yang diturunkan dalam deret Taylor didapatkan :

(28)

Kecepatan residu Vr bisa ditemukan dengan :

(29)

Persamaan bisa dituliskan juga sebagai :

(30)

Jika (x/(Vrt0)) << 1, maka rumus dengan orde lebih tinggi bisa dihentikan.

Sehingga pada tingkat persamaan tersebut (persamaan 30) adalah benar. Event

yang terkoreksi NMO pada input bisa dilihat kira-kira sebagai parabolik dan

dipetakan pada titik dalam domain Radon Transform oleh persamaan :

(31)
Dengan q=1/2t0Vr2 sebagai event yang mempunyai selisih dengan bentuk ideal

parabolik, amplitudo yang tidak bisa diperkirakan dalam radon dan event yang

dipisahkan menjadi lebih tegas. Tricahyono (2000) mempunyai definisi berbeda

tentang Radon Transform parabolik yaitu didefinisikan pada t2-stretched CMP

atau shot gather karena hiperbola pada domain CMP menjadi betul-betul parabola

setelah peregangan t2 pada sumbu time. Anggapan bahwa event pada CMP gather

dengan travel-time hiperbola didefinisikan oleh :

(32)

kemudian dilakukan peregangan (stretching) pada arah waktu (time) dengan

menentukan t‟=t2 dan t0‟=to2. Selanjutnya persamaan 32 menjadi berbentuk :

(33)

Yang didefinisikan sebagai parabola. Sehingga Radon Transform parabolik bisa

didefinisikan pada t2-stretched CMP atau shot gather.

2.6.2 Transformasi Radon Slant-Stack

Transformasi slant-stack adalah salah satu jenis dari transformasi radon.

Istilah lain dari transformasi tersebut adalah transformasi radon atau transformasi

= τ-ρ linier. Hal itu didefinisikan dengan menjumlahkan data pada domain time-

offset sepanjang lintasan linier :

S (τ,ρ) = ∑xd(t = τ + ρx,x) (34)

Disini S (τ,ρ) merepresentasikan sebuah gelombang bidang ; d(t,x) adalah

shot, CMP (Commom Mid Point) atau CSP (Common Scatter Point) gahter ; τ

adalah two-way intercept traveltime ; t adalah two-way traveltime ; x adalah offset


ρ adalah parameter ray yang didefinisikan sebagai ρ = sinɵ/v dimana kecepatan

jalar gelombang v dan sudut datang ɵ.

Secara teori, sebuah event dengan linear moveout dalam domain time-

offset dapat dipetakan menjadi sebuah titik dengan transformasi slant-stack dan

event hiperbolik, seperti sebuah even primer atau sebuah multipel, dapat dipetakan

menjadi sebuah elipse dalam domain τ-ρ seperti pada gambar di bawah ini

(Rahadian 2011).

Gambar 22. Event Linear dan Hiperbolik dalam CDP Gather dan Transformasi
Slant-Stack.

2.6.3 Transformasi Radon Hiperbolik

Formula umum dari transformasi Radon telah didefinisikan pada

persamaan 35. Sebuah titik pantul pada lapisan horizontal menghasilkan even

hiperbolik ke dalam titik yang fokus pada domain Radon, transformasi Radon

Hiperbolik sepanjang CMP gather didefinisikan sebagai :

(35)
U (τ,q) = ∑x d(t=√

q = 1/v2rms (36)
Penjumlahan lintasan didefinisikan sebagai t = √ yang

menyatakan sebuah kurva hiperbolik. Secara teori definisi ini memetakan event

hiperbolik dalam domain ruang-waktu ke sebuah domain Radon seperti yang

ditunjukkan pada gambar 23.

Time Time

Offset q (s2m-2)

Gambar 23. Even Hiperbolik dalam Domain CMP (a) yang Dipetakan Pada Titik
yang Fokus dalam Domain Radon (b) dengan Transformasi Radon
Hiperbolik.
3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengolahan data ini dilakukan di Laboratorium Prosesing data Seismik

BPPT, Jakarta pada bulan Juli hingga bulan Agustus 2012. Daerah yang dijadikan

sebagai objek penelitian adalah di daerah laut Sumatra bagian Barat. Data ini

merupakan data yang didapat dari hasil survey BPPT dengan kerjasama pihak

Jerman pada bulan Juli tahun 2008. Data lintasan SUME23.31 merupakan

sequence no 31 dengan shot point awal 92001 hingga 92696.

3.2. Alat dan Bahan

Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Pengolahan Data

No Alat Bahan
PC berbasis intel core 2 duo: Hardisk 1 Terabyte ; Data SEG-D
1
RAM 8 GB SUME23.31
Landmark Promax R5000 : software pengolah data
2
seismik 2D dan 3D
3 VM-Ware Workstation 7

3.2.1 Parameter Data Lapangan

Data yang digunakan dalam pengolahan data seismik ini merupakan data

seismik laut 2D satu lintasan dengan konfigurasi bentangan kabel Off-End Spread.

Parameter-parameter yang digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 24).

 Area = SUME23.31
 Line = Line23
 Receiver Interval = 12.5 m
 Shoot Point Interval = 25 m
 Shot Line Azimuth = 25°
 Source Depth =8m
 Receiver Depth = 20 m
 Number of Channels = 696
 Near Offset = 100 m
 Far Offset = 1650.8 m
 Number of Shots = 1070
 FFID Range = 12384 s/d 13453

Off-end Spreads

8m
8m
Channel 192 Channel 1
50 m

12.5 m
100 m

1650.8 m

Gambar 24. Parameter-Parameter dalam Akuisisi Data di Lapangan.

Jumlah total lintasan yang terdiri atas 24 line dan yang dijadikan sebagai

kajian dalam penelitian ini adalah pada line 23. Jarak antara bagian belakang

kapal hingga ke channel pertama adalah 150 meter. Source (Gun) berada di

kedalaman 8 meter di bawah permukaan laut dan streamer di kedalaman 10 meter

di bawah permukaan laut. Jumlah channel sebanyak 192 buah dengan spasi antar

channel adalah 12.5 meter.

3.3 Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Promax dengan

alur sebagai berikut (Gambar 25).


CDP Gather

Deconvolution
Velocity Analysis
Prepocessing

NMO
Brute Stack

Radon Transform

Radon Stack

Gambar 25. Flow Chart Pengolahan Data Menggunakan Promax.

Pembuatan Ruang Kerja ProMAX

1). Pembuatan ruuang kerja area, proses pembuatan ruang kerja area

dipilih perintah Add pada jendela ruang kerja area dengan Mouse Botton 1

(MB1), kemudian diketik nama dari area tersebut, dan diakhiri dengan menekan

[ENTER]. Pada tahap ini telah terbentuk ruang kerja area (Gambar 26).

Gambar 26. Ruang Kerja Area di dalam Promax.

2). Pembuatan ruang kerja line, area yang telah dibuat pada tahap

sebelumnya diklik dengan MB1, kemudian user akan masuk ke jendela ruang

kerja line. Dipilih perintah Add pada jendela ruang kerja line dengan MB1, lalu
diketik nama dari lintasan seismik, dan diakhiri dengan menekan [ENTER]. Pada

tahap ini telah telah terbentuk ruang kerja line (Gambar 27).

Gambar 27. Ruang Kerja Line dalam Promax.

3). Pembuatan ruang kerja flows, untuk memasuki ruang kerja flows,

diklik MB1 pada nama lintasan yang telah dibuat pada tahap sebelumnya. Pada

ruang kerja flows, dipilih perintah Add, lalu diketik nama dari processing flows

yang akan dilakukan, dan diakhiri dengan menekan [ENTER]. Sampai dengan

tahap ini telah terbentuk processing flows (Gambar 28).

Gambar 28. Ruang Kerja Flow dalam Promax.

3.3.1 Input Data dan Reformatting Data Berdomain SEG-D

Input data merupakan proses pemasukkan data kedalam software dan

reformatting data ke dalam format software (seg-d  promax). Data dengan domain

SEG-D pada umumnya adalah data digital hasil rekaman langsung dari akuisisi data

dilapangan. Data dalam format SEG-D pada awalnya merupakan data rekaman seismik

per tembakan atau shot kemudian digabungkan menjadi satu kelompok dalam setiap line

yang biasa disebut dengan shot gather. Selanjutnya data inilah yang kemudian
dimasukkan dan di-reformating kedalam format ProMAX untuk pengolahan data

selanjutnya (Gambar 29, 30, dan 31).

Gambar 29. Flow Input Data.

Gambar 30. Parameter Masukkan Dalam Input Data.

Gambar 31. Disk Data Output.


3.3.2 Sorting Data

Penyortiran data ini penting dilakukan karena merupakan salah satu bagian

terpenting sebelum menyocokan data terhadap geometri di lapangan. Terdapat

beberapa pilihan penyortiran data, yaitu :

a) Mengurutkan Data Berdasarkan Source Number

Gambar 32. Pengurutan Data Berdasarkan Source Number 900 dan 1000.

Pengurutan ini dilakukan dengan menggunakan pilihan select primary

trace header entry berupa pilihan source yang akan membaca data dengan

ensemble order shot. Pada pilihan secondary digunakan none yang berarti tidak

ada pengurutan trace dalam ensemble. Pengubahan nilai source dapat dirubah

tergantung pada pemilihan awal. Pada flow di atas, terlihat bahwa pemilihan

source number yang terbaca pada 900 dan 1000.

b) Mengurutkan Data Berdasarkan Source dan Channel Number

Gambar 33. Pengurutan Data Berdasarkan Source dan Channel Number.

Flow chart yang digunakan ini dimaksudkan untuk mengurutkan data

berdasarkan source dan channel number. Pilihan CHAN untuk secondary trace
header entry akan mengurutkan setiap ensemble SOURCE oleh channel number,

dan juga membatasi banyaknya channel untuk diproses. Pengubahan nilai sort

order list for dataset menjadi 900-1000(10):1-60 berarti bahwa :

 900-1000 merupakan batas source yang diproses

 (10) merupakan pemilihan setiap 10 source di dalam batas sebelumnya

 Tanda “ : ” memisahkan primary sort order dan secondary sort order

 1-60 merupakan pemilihan 60 channel pertama di dalam setiap SOURCE

c) Pengurutan Data Berdasarkan CDP Number

Gambar 34. Pengurutan Data Berdasarkan CDP Number.

Pilihan primary trace header entry dengan menggunakan pilihan CDP bin

number adalah untuk membuat gather CDP dari input dataset. Selanjutnya untuk

pilihan secondary trace header entry dipilih offset yang dimaksudkan untuk

mengurutkan trace di dalam setiap gather CDP oleh header offset. Dalam

parameter sort order for dataset digunakan input nilai 900-1000(25):*/ berarti

bahwa :

 900-1000(25) merupakan pemilihan setiap 25 CDP antara 900-1000

 * merupakan sebuah tanda khusus untuk membaca semua batas offset.

d) Menampilkan Penampang Near Offset

Penggunaan kemampuan sorting data dalam disk data input, akan dengan

mudah menampilkan sebuah penampang near offset dengan memilih channel


pertama dalam setiap shot. Sebuah penampang near offset akan memberi sebuah

gambaran umum geologi pada suatu lintasan seismik.

Gambar 35. Cara Menampilkan Penampang Near Offset.

Pilihan primary trace header entry menjadi CHAN (Recording Channel

Number) yang secara kasar sama dengan offset. Selanjutnya untuk tanda *:* ini

berarti bahwa pembacaan data akan memilih semua channel dari semua shot yang

dimulai dari channel pertama.

3.3.3 Geometry

Pada flow ini dilakukan pendefinisian geometri dari data yang telah di-

loading, sesuai dengan geometri penembakan pada saat pengambilan data di

lapangan (Jusri, 2004). Informasi mengenai geometri akan menjadi suatu identitas

(header) dari trace seismik yang terekam, dan akan menjadi suatu atribut yang

sangat vital dalam pengolahan data seismik tersebut selanjutnya. Geometry adalah

proses penggabungan data parameter akuisisi dengan data seismik. Hal ini

dilakukan karena data seismik hasil rekaman di lapangan hanya akan mengandung

data SOU_SLOC, FFID, dan channel. SOU_SLOC menunjukkan nilai station,

FFID menunjukkan nomor tembakan, dan channel menunjukkan channel yang

aktif dalam perekaman data seismik. Untuk mempermudah penyajian data dalam

pengolahan data parameter akuisisi lain perlu di tambahkan dalam data seismik

seperti koordinat shot point, koordinat receiver, koordinat CDP, penomoran CDP,
offset, dan lainnya. Langkah dalam proses geometry adalah sebagai berikut

(Gambar 36).

Gambar 36. Flow Chart Geometry.

1. Memasukkan parameter akusisi

Parameter-parameter geometri didefinisikan ke dalam database. Dipilih proses

2D Marine Geometry Spreadsheet* . Kemudian diklik perintah Execute. Selanjutnya

muncul jendela 2D Marine Geometry Assignment (Gambar 37).

Gambar 37. Geometri Data Seismik Laut 2D.

Parameter akuisisi dimasukkan untuk membangun skema geometry. Parameter yang

dimasukkan antara lain source depth, stremer depth, azimuth/ship direction, receiver

interval, shot interval, near channel, far channel, offset, first station, station increment,

dan channel increment.

a) Selanjutnya dipilih perintah Setup dan pada jendela Geometry Setup yang keluar

diisi dengan data akuisisi dari Observer Report. Informasi dalam dimasukkan ke

dalam menu Setup ini akan digunakan dalam Quality Control (Gambar 38).
Gambar 38. Setup Parameter.

 Assign Midpoint By

Pada parameter ini dipilih Matching pattern number in the SIN

and PAT spreadsheets. Sebagai metode yang digunakan untuk

mendefinisikan nomor pola dari nomor source index dengan pattern

spreadsheets.

 Untuk nilai nominal pada Station Intervals diisi sesuai dengan

laporan observer.

 Satuan yang digunakan dalam meter.

 Selanjutnya diklik OK.

b) Selanjutnya pada menu utama dipilih Auto-2D. Menu ini akan menampilkan

jendela Auto Marine 2D Geometry. Informasi dalam spreadsheet ini akan

dihitung dan hasil perhitungannya menjadi informasi masukan dalam source and

pattern spreadsheets (Gambar 39).


Gambar 39. Auto 2D Parameter.

 Near Channel merupakan nomor channel terdekat dengan vessel

diisi 1

 Far Channel merupakan channel terjauh dari vessel diisi dengan 192

 Chan Increment yaitu penambahan nomor channel diisi dengan 1

karena channel bertambah satu-satu hingga channel terjauh.

 Minimum offset yaitu jarak sepanjang azimuth streamer dari lokasi

antena hingga channel terdekat diisi dengan 110.

 Perpendicular offset yaitu jarak prependikular ke azimuth streamer

dari lokasi source ke channel terdekat diisi dengan 0.

 Group interval yaitu interval receiver dalam meter diisi dengan 12.5.

 Number of shot yaitu jumlah tembakan diisi dengan 696.

 First shot station yaitu nomor stasiun untuk tembakan pertama

adalah 92001 atau dapat diisi dengan 1.

 Sail line azimuth yaitu arah azimuth pengukuran relatif utara ke

timur dari lintasan adalah 25 (derajat).


 Shot interval yaitu jarak antara tembakan adalah 25 meter

 X and Y koordinat shot pertama yaitu koordinat X dan Y dari

tembakan yang pertama diisi dengan 0, karena parameter lapangan

tidak dilengkapi, sehingga koordinat dikosongkan.

 Diklik OK.

c) Tabel Source

Tabel source digunakan untuk memeriksa parameter yang telah dimasukkan.

Table ini mengacu pada source, termasuk koordinat X dan Y.

Dipilih menu Sources kemudian muncul jendela SIN Ordered Parameter

spreadsheet (Gambar 40). Jendela ini digunakan untuk memasukkan,

mengimport, dan mengedit informasi source (ProMAX, 2011).

Gambar 40. SIN Ordered Parameter spreadsheet.

 Source diisi dengan nomor source mulai dari 1,2,3,…dst

 Beberapa kolom pada spreadsheet ini akan terisi secara otomatis

setelah kita mengeksekusi jendela Auto-2D pada tahap sebelumnya.


 H2O Depth yaitu kedalaman air diisi dibiarkan begitu saja

mengikuti hasil yang ada.

 FFID adalah Field File Identification Number diisi mulai dari

91000 hingga 91695 dengan peningkatan sebanyak 1 file nomor.

Hal ini sesuai dengan laporan observer.

 Src Pattern diisi dengan 1 karena menggunkan pola penembakan

satu saja yaitu pola Off-End.

 Selanjutnya dipilih menu File kemudian Exit

d) Pattern

Dipilih menu Patterns kemudian akan muncul jendela PAT Ordered Parameter

File. Menu ini menampilkan spreadsheet untuk memasukkan, mengedit, atau

mengimpor informasi mengenai pola receiver dan source pada saat penembakan.

Pattern merupakan pola yang dimiliki oleh airgun maupun streamer (Gambar

41).

Gambar 41. Pattern Parameter.

e) Binning

Binning merupakan proses perhitungan CDP number, koordinat, dan lainnya

sampai dapat terbangun database dalam ProMAX. Tahap ini dilakukan dalam 3

tahap, antara lain terdapat pada gambar 42, 43, dan 44.
Gambar 42. Penyocokan Pattern dan Source.

 Pada binning Sequence, dipilih Assign midpoints by: Matching

pattern number in the SIN and PAT spreadsheets. Selanjutnya

diklik OK

 Setelah proses selesai, dipilih Binning pada Binning Sequence tadi,

dengan metode Midpoints, default OFB parameters.

 Source station Tie to CDP Number diisi dengan 1

 CDP number Tie to Source Station diisi dengan 0

 Distance between CDPs diisi dengan 6.25 m

 Diklik OK.

 Langkah terakhir adalah dipilih Finalize database, dan selanjutnya

diklik OK.
Gambar 43. Binning dan Penomoran CDP.

Gambar 44. Finalisasi Geometry.

f) Trace QC

Dipilih menu TraceQC maka akan membuka jendela TRC Ordered Parameter

File. Spreadsheet ini digunakan untuk mengontrol kualitas dari pendefinisian

geometri data. Salah satu cara untuk meng-QC hasil geometri kita sudah benar

atau belum adalah dengan menampilkan penampang antara CDP* dan Offset*

(Gambar 45).
Gambar 45. Trace QC.

Perintah yang dilakukan adalah View lalu View All dan XY Graph. Apabila

tampilan penampang tersebut telah menunjukkan pola yang sesuai dengan pola

penembakan di lapangan, maka alur pengolahan data seismik dapat dilanjutkan.

Apabila masih ada kesalahan maka dapat dicek dan dikoreksi dari spreadsheet

ini.QC dilakukan untuk mengevaluasi apakah data yang kita masukkan sudah

benar (Gambar 46).

Gambar 46. Penggabungan Data Seismik dan Desain Geometry.

2. Gambar 47 menunjukkan flow penggabungan kedua data tersebut. Data seismik

yang dimasukkan merupakan data seismik yang sudah disortir berdasarkan first dan last

good shot point pada observer log.


Gambar 47. Flow Penggabungan Data Seismik dan Desain Geometri.

 Disk data input dipilih data berdasarkan hasil input data pada flow

sebelumnya, yaitu 00 Raw

 Selanjutnya Inline Geom Header Load dibiarkan default

 Disk data output dipilih nama output yang akan digunakan, yaitu

geometry

Pengolahan data dengan menggunakan software under-windows dilakukan

pula dengan setingan terhadap hasil OPF dan beberapa parameter geometry pada

shared folder yang diatur pada etc-config file. Setingan ini dimaksudkan untuk

dapat mengatur partisi penyimpanan hasil processing agar di saat inline geometry

tidak terjadi error. Script yang dirubah adalah pada secondary disk yang dipilih

sesuai media shared yang digunakan (Gambar 48).

Gambar 48. Pengubahan Config-File untuk dapat Mengatur File Penyimpanan


Hasil Geometry.

Selanjutnya untuk mengecek hasil secara keseluruhan dalam geometry

dilakukan pengecekan melalui database (Gambar 49).


Gambar 49. Pengecekan Database Hasil Geometry.

3.3.4 Trace Editing

Editing trace merupakan proses membuat data-data yang dianggap rusak

ataupun dapat mengganggu dalam proses pengolahan data selanjutnya. Editing

trace dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Trace Muting

Trace muting merupakan proses menghilangkan nilai amplitude gelombang yang

dianggap akan mengganggu proses pengolahan data selanjutnya seperti

gelombang langsung dan gelombang refraksi. Proses trace muting ini adalah

dengan mengalikan amplitudo gelombang yang terpilih dengan nol.

2. Trace Killing

Trace killing merupakan proses menghapus 1 atau lebih trace yang dianggap

error pada saat akuisisi dilakukan. Seperti receiver yang terlalu noisy. Proses

trace killing ini sama dengan proses trace muting yaitu mengalikan amplitudo

gelombang dengan nol.

Pada proses ini dilakukan pengeditan data. Proses yang dilakukan meliputi

trace muting dan kill trace. Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah :

1). Dataset “geometry” digunakan sebagai input pada Disk Data Input.
2). Data ditampilkan dengan menggunakan proses Trace Display dan

sebagai penguat amplitudo untuk tampilan digunakan proses Automatic Gain

Control (Gambar 50).

Gambar 50. Flows untuk Menampilkan Data dengan Automatic Gain Control.

3). Setelah flow tadi di Execute, maka muncul display (Gambar 51).

Gambar 51. Tampilan Data untuk Proses Pengeditan.

Dipilih perintah Picking. Selanjutnya dipilih perintah untuk editing pada

kasus ini dipilih perintah Pick Top Mute. Hasil picking diberi nama “TestMute”.

Kemudian dilakukan picking pada data seismik sesuai pada gambar 52.
Gambar 52. Picking Top Mute.

3.3.5 Bandpass Filter dan Spectral Analysis

Dengan menggunakan perangkat lunak ProMAX 2D ver. 5000.0.0.0 (Landmark

Graphic Co.), pembangunan rentang frekuensi bandpass filter dilakukan dengan

menggunkan flow sebagai berikut (Gambar 53).

Shot gather Spectral Bandpass Shot gather


(seg-d) Analysis Filter (seg-d)

Gambar 53. Flow Chart Bandpass Filter dan Spectral Analysis.

1. Data

Data yang dijadikan input adalah shot gather yang sudah dilakukan geometry

sebelumnya dan belum dilakukan editing agar dapat melihat seluruh kandungan

frekuensinya.

2. Spectral Analysis

Spectral analysis dilakukan untuk melihat kandungan frekuensi dalam

data. Dari spectral analysis ini kita dapat melihat frekuensi dominan yang
terkandung, frekuensi yang bersifat noise, sehingga dapat menentukan

desain frekuensi yang akan dipergunakan. Pada umumnya rentang

frekuensi pada data marine berkisar 10 – 80 Hz, besar ini akan sangat

bergantung pada kekuatan source dan kondisi bawah permukaannya.

Berikut flow untuk melakukan spectral analysis (Gambar 54).

Gambar 54. Flow Spectral Analysis.

Hal yang perlu adalah dalam pengisian „number of traces per analysis

location‟ sebesar banyaknya channel yang aktif saat akuisisi.

3. Bandpass filter

Setelah desain bandpass dibangun, aplikasikan bandpass dengan flow

sebagai berikut (Gambar 55).


Gambar 55. Flow Aplikasi Bandpass Filter.
3.3.6 True Amplitude Recovery 1

True amplitude recovery merupakan proses pengembalian energi yang

hilang akibat atenuasi gelombang pada saat penjalaran gelombang. Dalam proses

ini akan mengembalikan amplitudo yang hilang seiring dengan kedalaman dengan

menggunakan dB/sec correction (Murdianto, 2009). Berikut adalah flow chart

true amplitude recovery (TAR) (Gambar 56).

Input data Parameter test TAR Output data

Gambar 56. Flow Chart True Amplitude Recovery (TAR).

1. Input data

Data yang menjadi masukkan adalah data seismik yang sudah dilakukan editing

dan filtering.

 Parameter Test

Parameter test dilakukan untuk mencari nilai parameter yang paling optimal

untuk diaplikasikan pada data. Nilai parameter yang optimal adalah yang mampu

memunculkan reflector pada layer bagian bawah namun tidak membahkan noise.

1. Tes Parameter 1

Tes Parameter 1 dilakukan untuk mencari parameter yang sesuai dalam

proses True Amplitude Recovery, yaitu proses yang bertujuan untuk

mengembalikan amplitudo yang melemah akibat hilangnya energi gelombang

seismik karena terserap oleh filter bumi. Tahap-tahap yang dilakukan adalah

membuat flows seperti gambar 57.


Gambar 57. Flows Tes Parameter 1.

1). Input data yang digunakan adalah “geometry”.

2). Pengeditan pada data menggunakan proses Trace Muting dengan

masukan hasil picking “TestMute”.

3). Tahap selanjutnya dipilih proses Reproduce Trace untuk menghasilkan

beberapa trace pada ensembles yang digunakan sebagai pembanding.

4). Proses Parameter Test diisi dengan parameter-parameter berapa saja

yang akan di test. Parameter yang akan dites adalah 8,6, dan 4 dB/s.

5). Pada proses True Amplitude Recovery diisi masukan sebagai berikut

(Gambar 58).
Gambar 58 Tes Parameter untuk TAR.

 Apply spherical divergence corrections? Diisi dengan Yes, dengan basis

for spherical spreading adalah 1/dist untuk tes TAR 1 dan dipilih

1/(time*vel**2) untuk tes TAR 2. Proses ini untuk menghitung koreksi

karena amplitudo yang hilang sebagai dampak adanya efek pemekaran

gelombang (Spherical Spreading).

 Select velocity parameter file dipilih tabel kecepatan yang diperoleh pada

saat akuisisi data di lapangan yaitu “Tar1”.

 Pada dB/sec correction constant diisi dengan 99999 dengan tujuan agar

nilai-nilai parameter pada Parameter Test dapat diaplikasikan pada tes

TAR ini.

6). Selanjutnya dikeluarkan tampilan dengan proses Trace Display. Pada

proses ini, dipilih display 4 ensemble/screen, dan 2 display panel, serta trace

scaling diganti menjadi entire screens

 Flows dijalankan dengan perintah Execute, sehingga diperoleh tampilan

(Gambar 59).
Gambar 59. Tampilan Tes Parameter untuk TAR1 1/dist (Atas), TAR2
1/(time*vel**2) (Bawah).

7). Parameter TAR yang akan digunakan berdasarkan tampilan parameter

tes sebelumnya (dengan catatan bahwa pemilihan nilai ini dilihat berdasarkan

hasil tampilan trace display yang paling mendekati dengan paramater awal dan

penghilangan sejumlah noise) adalah :

Basis for spherical divergence digunakan 1/dist

dB/sec correction constant dipilih -2.5 dB/sec

3.3.7 Penentuan Deconvolution Gate

Pada tahap ini dilakukan pembuatan Time Gate yang akan digunakan

dalam proses dekonvolusi. Tahap-tahap yang dilakukan adalah membuat flows

sebagai berikut (Gambar 60).

Gambar 60. Flows Penentuan Deconvolution Gate.


 Input data yang digunakan adalah “geometry”.

 Mengaplikasikan hasil editing dengan proses Trace Muting dan Trace

Kill/Reverse

 Mengaplikasikan proses True Amplitude Recovery dengan parameter-

parameter yang telah diperoleh pada langkah Parameter Test 1

 Menampilkan penampang seismik menggunakan proses Trace Display

 Dipilih menu Picking kemudian submenu Pick Miscellaneous Time

Gates… untuk membuat Time Gate, yang selanjutnya diberi nama

“Decon Gate”.

 Kemudian dilakukan picking sesuai gambar 61.

Gambar 61. Penentuan Time Gate Deconvolution.

 Setelah dilakukan picking untuk puncak untuk Time Gate Decon, dibuat

layer baru dengan mengklik MB3 dan dipilih New Layer untuk melakukan

picking bagian bawah dari Time Gate Decon.

 Tahap terakhir dipilih menu File kemudian Save Pick dan kemudian

Exit/Stop Flow .
3.3.8 Test Parameter 2

Test Parameter 2 dilakukan untuk mencari parameter yang sesuai dalam

proses Dekonvolusi, yaitu proses yang bertujuan untuk mengembalikan frekuensi

yang hilang karena terfilter oleh bumi sehingga diperoleh traces yang lebih spike

dan kontinyu. Tahap-tahap yang dilakukan adalah membuat flows seperti gambar

62.

Gambar 62. Flows dalam Test Parameter 2.

1). Input data yang digunakan adalah “geometry”.

2). Pengeditan pada data menggunakan proses Trace Muting dengan

masukan hasil picking “TestMute”

3). Mengaplikasikan proses True Amplitude Recovery dengan parameter-

parameter yang telah diperoleh pada langkah Parameter Test 1.

4). Proses Parameter Test diisi dengan parameter-parameter berapa saja

yang akan di test. Parameter yang akan dites adalah 30, 80, 120, 160, dan 200 s.

5). Pada proses Spiking/Predictive Decon diisi masukan sebagai berikut

(Gambar 63).
Gambar 63. Spiking/Predictive Decon.

 Type of deconvolution dipilih Minimum phase spiking

 Pada Decon operator length(s) diisi dengan 99999 dengan tujuan agar

nilai-nilai parameter pada Parameter Test dapat diaplikasikan pada tes

dekonvolution ini.

 Operator ‘white noise’ level(s) dipilih 0.1, operator ini menunjukkan

presentasi white noise yang dikombinasikan ke respon spike yang asli.

 Window rejection factor dipilih 2, parameter ini digunakan untuk

mengeliminasi desain jendela dengan sedikit sampel yang aktif dari faktor

waktu panjang operator tersebut.

 Time gate reference dipilih Time 0, untuk mendapatkan referensi Time

gate.

 Get decon gates from the DATABASE, dipilih Yes, dan parameter decon

gate yang dipilih adalah “Decon Gate”.

6). Selanjutnya dikeluarkan tampilan dengan proses Trace Display. Pada

proses ini, dipilih display 6 ensemble/screens.

 Flows dijalankan dengan perintah Execute, sehingga diperoleh tampilan

(Gambar 64).
Gambar 64. Tes Parameter untuk Dekonvolusi.

7). Parameter Dekonvolusi yang akan digunakan berdasarkan tampilan

parameter tes sebelumnya adalah Decon operator length(s) dipilih 120 s

3.3.9 Preprocessing

Dalam tahap preprocessing ini dilakukan beberapa proses yaitu Input data,

Editing data, TAR, Dekonvolusi, Normal Move Out. Semua proses ini dilakukan

dalam satu flow. Tahap-tahap dalam flow ini adalah :

1). Dibuat flow sesuai gambar 65.


Gambar 65. Flow Preprocessing.

2). Input dataset yang dipilih adalah “geometry”

3). Mengaplikasikan editing menggunakan proses Trace Muting, dengan

masukan hasil picking „TestMute”

4). Mengaplikasikan proses True Amplitude Recovery dengan

parameter-parameter yang telah diperoleh pada flow Parameter Test 1, yaitu :

Basis for spherical divergence digunakan 1/dist

dB/sec correction constant dipilih 4 dB/sec

5). Mengaplikasikan proses Spiking/Predictive Decon dengan parameter-

parameter yang telah diperoleh pada flow Parameter Test 2, yaitu Decon

operator length(s) dipilih 120 s dan Time Gate yang dipilih adalah “Decon

Gate”.

6). Mengeluarkan dataset dengan nama “Deconvolution” menggunakan

proses Disk Data Output. Dataset ini digunakan sebagai masukan dalam proses

analisis kecepatan I.
7). Setelah dilakukan Analisa Kecepatan, yang akan dijelaskan pada

subbab Processing selanjutnya, diperoleh tabel kecepatan Velan 1. Tabel

kecepatan ini digunakan sebagai masukan dalam proses NMO.

8). Melakukan proses Normal Moveout Correction (Gambar 66), proses

yang bertujuan mengoreksi data yang terekam berupa garis lengkung (hiperbola)

menjadi garis yang lurus, sehingga pada saat stack diperoleh sinyal yang

maksimal, dengan dataset masukan hasil proses dekonvolusi, yaitu

“Deconvolution”. Pada proses ini, parameter-parameter yang dipakai adalah :

 Direction for NMO application dipilih FORWARD

 Stretch mute percentage dipilih 30, menunjukkan persentasi stretch untuk

trace output setelah koreksi kecepatan diaplikasikan.

 Long offset correction? Dipilih NONE, untuk aplikasi hiperbolik NMO

yang merupakan standar NMO yang biasa dipakai.

 Anisotropy correction parameter eta dipilih 0 menunjukkan asumsi tidak

ada anisotropi.

 Apply partial NMO? Dipilih No. Parsial NMO digunakan untuk

mengoreksi data dengan non-zero offset.

 Velocity parameter file yang dipilih adalah tabel kecepatan terbaru yaitu

Velan 1.

Gambar 66. Koreksi NMO.


9). Mengeluarkan dataset dengan nama “Preprocessing” menggunakan

proses Disk Data Output.

3.3.10 Velocity Analysis 1

Velocity analisis merupakan tahapan processing yang paling penting

karena merupakan faktor yang paling menentukan dari hasil (penampang) yang

akan dihasilkan (Rahadian, 2011). Velocity analisis merupakan tahapan

processing untuk mendapatkan penampang kecepatan bawah permukaan.

Kecepatan ini kemudian dapat dipakai untuk berbagai macam proses seperti true

amplitude recovery, NMO correction, dan migrasi. Tahapan velocity ini dapat

dilakukan berulang-ulang sehingga mendapatkan penampang kecepatan yang

terbaik. Banyak metoda untuk melakukan velocity analisis diantaranya constan

velocity analysis, coherency, dan semblance. Metoda yang digunakan dalam

pengolahan data ini adalah metoda semblance. Dengan menggunakan perangkat

lunak ProMAX 2D ver. 5000.0.0.0 (Landmark Graphic Co.), berikut flow velocity

analisis (Gambar 67).


Data (seg-y) Supergather Velocity Velocity
Analysis Section
Gambar 67. Flow Chart Velocity Analysis.

 Data

Data yang menjadi masukkan dalam process velocity analisis haruslah data

hasil preprocessing terbaik sehingga tidak ada keambiguan saat

menentukan nilai kecepatan. Data hasil preprocessing terbaik adalah data

yang sudah dilakukan geometry, editing (muting, trace edit), true

amplitude recovery, bandpass, dekonvolusi sehingga data akan bebas dari

ambient noise serta multiple jarak pendek.


 Supergather

Data hasil preprocessing terbaik tadi kemudian diubah dalam bentuk

supergather untuk kemudian dipakai dalam perhitungan semblance yang

menjadi dasar velocity analysis (Gambar 68).

Gambar 68. Flow Velocity Analysis.

Perlu diperhatikan, nilai maximum fold harus disesuaikan pada data yang

dapat dilihat pada database dan nilai minimum dan maksimum CDP

disesuaikan dengan data.

 Velocity analysis

Sebelum melakukan picking velocity, diperlukan perhitungan semblance

terlebih dahulu yang parameternya disesuaikan dengan keadaan data.

Perhitungan itu disebut precomputed. Sebelum precomputed data seismik

di AGC untuk meratakan nilai semblance, sehingga mempermudah saat

picking velocity.

Terdapat beberapa parameter yang perlu untuk disesuaikan antara lain

(Gambar 69).

- Absolute offset of first bin center = near offset (m)

- Maximum offset = (jarak antar rec x jumlah rec) + near offset (m)
- Minimum semblance analysis value = di bawah kecepatan air laut (data

laut), bawah kecepatan lapisan pertama (data darat) (m/s)

- Maximum semblance analysis value = di atas kecepatan tertinggi lapisan

(data laut/darat) (m/s).

Gambar 69. Parameter Precomputed.

Analisa kecepatan merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menghasilkan

tabel parameter kecepatan yang akan digunakan dalam proses pengolahan seismik

yang lain. Dengan analisis ini, akan didapatkan informasi-informasi yang tepat

mengenai kondisi perlapisan di bawah permukaan daerah survei. Dataset yang

harus dipersiapkan dalam melakukan Analisa Kecepatan harus belum menerima

koreksi NMO, diurutkan berdasarkan CDP, dan merupakan data prestack yang

sebaiknya telah diaplikasikan filter standar, penguatan, maupun proses whitening.

Sebelum dijalankan proses analisa kecepatan, dilakukan proses Supergather

Formation* yang sangat membantu dalam menganalisa data dengan fold

(kelipatan) rendah atau Signal to Noise Ratio yang rendah.


Analisa Kecepatan I dilakukan pada saat Preprocessing, dengan tujuan

untuk menghasilkan tabel kecepatan yang digunakan dalam proses koreksi NMO

(Gambar 70 dan 71).

1). Membuat flows sebagai berikut :

Gambar 70. Flow dalam Analisa Kecepatan I.

2). Membentuk formasi CDP Supergather

Formasi CDP Supergather digunakan sebagai input dalam analisa

kecepatan dan kontrol kualitas. Proses ini menggunakan Supergather Formation.

Proses ini akan mengumpulkan CDP-CDP dengan trace header sg_cdp.

Gambar 71. Supergather Formation.

 Select dataset dipilih Deconvolution, yaitu data prestack hasil proses

dekonvolusi.

 Maximum CDP fold dipilih 30, menunjukkan fold CDP terbanyak.

 Minimum center cdp number dipilih 200, yaitu nomor CDP minimum

yang akan dianalisa.


 Maximum center cdp number dipilih 4000, yaitu nomor CDP maksimum

yang akan dianalisa.

 Cdp increment dipilih 100, yaitu interval analisa kecepatan per CDP.

Analisa kecepatan dilakukan tiap 100 CDP, atau 100 x 12.5 = 1250 meter,

dimana interval CDP sebesar 12.5 m.

 Cdps to combine dipilih 9, yaitu jumlah CDP yang dikombinasikan

sebagai supergather CDP.

3). Melakukan standar filter dan penguatan dengan menggunakan proses

Bandpass Filter dan Automatic Gain Control. Parameter yang digunakan bernilai

default.

4). Menyiapkan data sebagai masukan dengan Velocity Analysis

Precompute (Gambar 72).

Gambar 72. Velocity Analysis Precompute.

 Number of CDPs to sum into gather dipilih 9, sesuai pendefinisian pada

proses Supergather Formation.

 Absolute offset of first bin center dipilih 200 sebagai offset absolut dari

pusat offset bin pertama.


 Bin size for vertically summing offsets dipilih 12.5, sebagai ukuran bin

untuk membentuk supergather, nilainya yaitu interval grup receiver.

 Minimum semblance analysis value dipilih 1400, sebagai nilai nilai

minimum dari kecepatan stack.

 Maximum semblance analysis value dipilih 7500, sebagai nilai nilai

maksimum dari kecepatan stack.

 Number of semblance calculation dipilih 50, yaitu jumlah scan semblance

yang dilakukan antara jangkauan kecepatan minimum dan maksimum.

 Semblance sample rate dipilih 20, sebagai jeda antara pusat jendela

analisis semblance.

 Semblance calculation window dipilih 10, sebagai ukuran dari jendela

perhitungan semblance.

 Number of stack velocity function dipilih 17, sebagai jumlah fungsi

kecepatan stack.

 Number of CDPs per stack strip dipilih 9, yaitu jumlah CDP yang akan

ditampilkan dalam panel stack.

 Velocity guide function table name dipilih Initial velocity, yaitu tabel

kecepatan yang diperoleh pada saat akuisisi data di lapangan.

5). Mengeluarkan dataset hasil Velocity Analysis Precompute dengan

nama “Velocity Precompute”, menggunakan Disk Data Output. Kemudian proses

ini di-execute.

6). Input data yang digunakan dalam analisa kecepatan adalah Velocity

Precompute menggunakan Disk Data Input, dengan primary trace header entry
menggunakan sg_cdp yaitu trace header yang dibuat sendiri oleh user (Gambar

73).

Gambar 73. Pembuatan Trace Header sg_cdp dalam Disk Data Input.

7). Digunakan proses Velocity Analysis untuk melakukan analisa

kecepatan (Gambar 74).

Gambar 74. Velocity Analysis.

 Table to store velocity picks dipilih Velan 1, untuk menyimpan tabel

kecepatan yang baru.

 Velocity guide function table name dipilih Tar 1, yaitu tabel kecepatan

yang digunakan sebagai petunjuk dalam analisa kecepatan.

8). Flow dijalankan dengan menggunakan perintah Execute.

9). Dilakukan picking kecepatan seperti gambar 75.


Gambar 75. Picking Kecepatan dalam Analisa Kecepatan.

10). Setelah semua CDP dilakukan picking, simpan hasil picking tersebut.

11). Execute proses Volume Viewer/Editor* (Gambar 76).

Gambar 76. Volume Viewer/Editor.

 Select input volume dipilih Velan 1

 Select poststack data file dipilih Brute Stack, yaitu dataset yang

digunakan sebagai petunjuk dalam koreksi hasil analisa kecepatan.


Gambar 77. Volume Viewer/Editor untuk Kontrol Kualitas Hasil Analisa
Kecepatan.

Bagian terpenting dalam velocity analysis adalah picking velocity.

Terdapat beberapa aturan mendasar untuk melakukan picking ini. Picking yang

dilakukan adalah pemilihan nilai Vrms bukan Vint (Rahadian, 2011).

- Picking harus memiliki gradient yang negatif, yaitu velocity bertambah besar

seiring bertambahnya waktu.

- Picking dilakukan pada reflektor bukan pada multiple (pada kasus data marine,

multiple akan memiliki kecepatan +/- 1500 m/s pada waktu 2x lipat waktu

seabed).

- Picking velocity tidak selalu berada di-semblance yang paling tinggi, yang

terpenting adalah velocity yang di-picking dapat meluruskan reflektornya yang

sudah di koreksi NMO.

- Usahakan nilai interval velocity naik berdasarkan kedalaman. Namun, dalam

beberapa kasus lebih penting picking velocity yang dapat meluruskan reflektor

daripada picking untuk mendapatkan velocity interval yang lebih tinggi dari

lapisan di atasnya.

3.3.11 Stack
Proses stack merupakan proses penjumlahan dari beberapa trace pada

setiap CDP, yang bertujuan meningkatkan Signal to Noise Ratio. Karena dataset

yang digunakan hanya mengalami proses Preprocessing saja, maka hasil stack ini

biasa dinamakan dengan Brute Stack (Gambar 78).

Gambar 78. Flow Pembuatan Brute Stack.

1). Dataset masukan yang digunakan pada Disk Data Input adalah

“Preprocessing”. Dataset ini diurutkan berdasarkan CDP. Pada Select primary

trace header entry, dipilih CDP bin number.

2). Dipilih proses CDP/Ensemble Stack untuk melakukan stacking

(Gambar 79).
Gambar 79. CDP/Ensemble Stack.

 Sort order of input ensembles dipilih CDP, menunjukkan primary sort

order yang dipakai dalam data input.

 METHOD for trace summing dipilih Mean, menunjukkan metode

penjumlah trace seismik pada setiap ensemble untuk menghasilkan suatu

keluaran jejak seismik. Mean berarti seluruh sampel dijumlahkan dan

dibagi jumlah sampel.

 Root power scalar for stack normalization dipilih 0.5, nilai ini digunakan

untuk menghindari adanya amplitudo yang besar pada stack dengan waktu

dangkal.

 Has NMO been applied? Dipilih Yes, karena NMO telah diaplikasikan

pada data masukan.

3). Dipilih proses Trace Display Label, untuk memberikan label pada hasil

stacking.

4). Mengeluarkan data menggunakan Disk Data Output dengan nama

“Brute Stack” (Gambar 80).


5). Menampilkan hasil stacking dengan menggunakan Trace Display.

Gambar 80. Hasil Brute Stack.

3.3.12 Pengolahan Data Seismik (Radon Demultiples)

Radon demultiples merupakan proses untuk mereduksi atau

menghilangkan efek multiple dengan menerapkan Radon Filter pada data seismik.

Tahap-tahap dalam proses ini adalah sebagai berikut :

1). Dibuat flows seperti gambar 81.

Gambar 81. Flow Radon Demultiples.


2). Input dataset yang digunakan adalah dataset yang telah diaplikasikan

“prepocessing”, diurutkan (Sort) berdasarkan CDP.

3). Sebelum dilakukan Radon Filter, maka dijalankan terlebih dahulu

proses Interactive Radon/Tau-P Analysis, untuk mendapatkan parameter muting

yang akan digunakan dalam Radon Filter (Gambar 82).

Gambar 82. Interactive Radon/Tau-P Analysis.

 Number of P-values dipilih 35, yaitu jumlah trace dalam ruang Radon

transform. Biasanya bernilai antara 20 hingga 40.

 Minimum and Maximum P-value of interest (ms) dipilih -100 dan 400.

yaitu nilai default pada proses ini. Nilai yang sebenarnya tergantung pada

kondisi geografis di lapangan, kecepatan dari multiple, dan offset yang

digunakan pada perekaman data.

 Minimum and Maximum time of interest (ms) dipilih 300 dan 2000 ms,

yaitu nilai minimum dan maksimum data yang akan difilter, data di luar

nilai ini tidak berubah.

 Minimum and Maximum frequency of interest dipilih 6 dan 120, yaitu

nilai frekuensi yang akan terfilter. Nilai di luar ini tidak akan berubah.
 Type of transform to perform dipilih Parabolic, yaitu tipe dari radon

transform. Parabolic atau Hyperbolic biasanya digunakan dalam

mereduksi multiple.

 Damping for radon solution dipilih 0.1, yaitu nilai fraksional dari proses

damping untuk menstabilkan solusi matriks pada radon space dari data

input.

 Sparseness parameter dipilih 0.1, yaitu nilai sparseness yang diukur

sebagai fraksi pada diagonal matriks utama.

 Sparseness stability parameter dipilih 0.01. parameter ini mencegah

terjadinya pembagian oleh nol.

 Dipilih menu Edit kemudian Select Mutes, Top Mutes. Kemudian

dilakukan picking mute (garis kuning) seperti tampak pada gambar di atas.

 Diklik ikon Paintbrush untuk melakukan Quality control hasil picking.

 Hasil muting disimpan sebelum keluar dari jendela Radon/Tau-P Analysis

(Gambar 83).

Gambar 83. Proses Muting dalam Analisa Radon/Tau-P. Sebelum Muting (kiri)
dan Sesudah Muting (kanan).
4). Setelah diperoleh tabel mute pada domain radon, maka langkah selanjutnya

adalah melakukan Radon Filter, dengan parameter sebagai berikut :

Gambar 84. Parameter dalam Radon Filter.

 Nilai-nilai parameter pada Radon Filter ini harus sama dengan nilai-nilai

pada Radon/Tau-P Analysis.

 Mute the data in the radon domain? Dipilih Yes, karena telah dibuat

parameter mute sebelumnya.

 Type of mute dipilih Top, sesuai dengan picking mute pada Radon/Tau-P
 Analysis.

 Get mute file from the DATABASE? dipilih Yes, yaitu parameter mute yang

dipilih adalah “Radon”.

5). Mengeluarkan dataset hasil Radon Filter dengan nama “Radon

Demultiples”, dengan menggunakan proses Disk Data Output.

6). Kemudian dilakukan stacking data Radon Demultiples dengan

menggunakan proses CDP/Ensemble Stack. Sebelumnya dataset ini diurutkan

berdasarkan CDP.

7). Mengeluarkan dataset hasil stacking dengan Disk Data Output dengan

nama “Radon Stack”.


4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Spektral

Spesifikasi dari parameter Interactive Spectral Analysis menggunakan

metode pemilihan data yang digunakan adalah simple. Pemilihan data dengan

simple akan menerima trace secara langsung untuk dianalisis. Display data yang

digunakan adalah trace yang berarti bahwa data dikontrol dengan menggunakan

nomor dari trace yang memungkinkan subset dari trace dapat dianalisis.

Interactive Spectral Analysis dapat menghitung spektrum dari subset data

yang dapat diperoleh secara interaktif. Terdapat tiga cara untuk memilih subset

dari data, yaitu simple selection, single selection, dan multiple subset selection.

Tampilan dari setiap Analysis Spectral tersebut akan berbeda-beda. Trace-trace

yang diamati merupakan sejumlah trace yang diapat pada waktu yang sama.

Sebagai pembanding adalah kita melihat hasil spectral sebelum dan setelah di

filter (Gambar 85 dan 86).

Gambar 85. Sebelum Dilakukan Bandpass Filter.


Sebagai pembanding terhadap data frekuensi dan phase dilakukan

perbandingan terhadap data sebelum dan sesudah filter. Hasil pada gambar di atas

merupakan hasil sebelum di filter. Pada data tersebut terlihat nilai intensitas lebih

kecil dari -20 dB pada rentang frekuensi hingga 100 Hz. Data tersebut

menunjukkan indikasi dari adanya multiple ataupun noise terhadap data.

Gambar 86. Setelah Dilakukan Proses Bandpass Filter.

Sedangkan setelah dilakukan bandpass filter maka akan terlihat pola yang

lebih jelas. Bahwa pada kisaran frekuensi 0-100 Hz terlihat adanya peningkatan

nilai intensitas (dB) yang berbeda pada data awal sebelum dilakukan bandpass

filter. Kisaran frekuensi yang digunakan sebagai dasar pembanding adalah <100

Hz karena pola dari phase yang didapatkan pada data >100 Hz memiliki pola

yang tidak teratur karena dominasi phase pada rentang >100 Hz ada beberapa titik

dengan nilai maksimum (+) dan nilai minimum (-). Nilai intensitas menjadi > -20

dB (Gambar 87).
Gambar 87. Kisaran Nilai Frekeunsi Kurang dari 75 Hz.

Frekuensi yang kurang dari 75 Hz terlihat pola phase yang relatif konstan

pada cakupan -150 s/d 150. Semakin besar frekuensi yang digunakan, maka akan

terjadi penurunan tenaga yang semakin besar pula.

Pada pemilihan bandpass filter dan automatic gain control (AGC)

diperlukan sejumlah input nilai yang disesuaikan dengan hasil tampilan pada trace

display. Hal ini bermaksud untuk menjelaskan apakah penggunaan AGC dan

bandpass telah dapat mereduksi noise atau belum. Penggunaan nilai ini dilakukan

secara tetap dengan besaran yang sama. Untuk nilai bandpass digunakan 3-5-60-

120 (merupakan tetapan yang digunakan dan merupakan acuan dari data

lapangan). Penggunaan ini sangat berpengaruh sekali terhadap hasil selanjutnya,

baik pada saat deconvolution ataupun stack. Oleh sebab itu, penggunaan bandpass

filter dan automatic gain control ini harus mempertimbangkan data dari hasil

tampilan trace display, apakah setelah di perkuat, apakah noise sudah semakin

berkurang atau malah sebaliknya data kita yang justru berkurang (dilihat dari hasil

trace display).

Tahap selanjutnya adalah editing yaitu dengan Pick Top Mute (Gambar

88a dan 88b). Pada tahap ini data yang kualitasnya jelek dibuang atau di-mute,
biasanya berupa gelombang refraksi atau noise gelombang yang melewati medium

air laut. Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai data pada bagian atas

penampang seismik hilang ikut terpotong karena jangan-jangan data ini

merupakan seabed atau seafloor. Juga digunakan Kill Mute untuk menghilangkan

trace yang rusak.

a)

b)

Gambar 88. Data a) Sebelum di-Mutting dan b) Sesudah di-Mutting.


4.2 Parameter Test dalam True Amplitude Recovery

Penentuan parameter test dalam True Amplitude Recovery (TAR)

merupakan salah satu tahap yang bertujuan untuk mengembalikan amplitudo dan

frekuensi yang melemah akibat hilangnya energi gelombang seismik karena

terserap oleh filter bumi. Parameter nilai intensitas yang digunakan sebagai

pembanding adalah pada kisaran -3, 2, 4, 6, dan 8 dB/sec (nilai ini merupakan

nilai pembanding dalam interpretasi dari trace display). Hal ini dapat dilakukan

dengan nilai yang dapat lebih kecil tergantung pada hasil tampilan awal dari data

(apakah data tersebut sudah dapat melingkupi atau menunjukkan sedikit gambaran

kasar atau mendekati gambar asli). Sedangkan pada parameter spherical

divergence menggunakan nilai basis sebesar 1/dist dan 1/(time*vel**2). Kedua

input ini merupakan nilai basis for spherical divergence yang digunakan untuk

menghitung koreksi karena amplitudo yang hilang sebagai dampak adanya efek

pemekaran gelombang (Spherical Spreading). True amplitude recovery (TAR)

dapat dilakukan atau tidak tergantung dari hasil tampilan dari trace display.

Apabila ternyata data awal yang di-input mengalami gambaran interpretasi yang

tidak begitu jelas atau memperburuk hasil tampilan, maka sebaiknya TAR ini

tidak dilakukan, begitu pula sebaliknya.

Proses TAR ini terdiri atas 4 parameter penting, meliputi :

1. Apply spherical divergence corrections

2. Apply inelastic attenuation corrections, parameter ini biasa digunakan

dalam koreksi statik pada data seismik darat yang terkait pada koreksi

lapisan lapuk.
3. Apply dB/sec corrections, nilai dB/sec sebagai masukkan yang sangat

sensitif dan memberikan pengaruh pada data secara signifikan.

4. Apply time raised to a power corrections, parameter ini merupakan tetapan

yang digunakan dan default.

Karena penelitian ini tidak mengutamakan QC pada hasil, maka parameter

yang dirubah hanya pada parameter 1 dan 3. Dengan input yang didapat dari

pembanding nilai test parameter masukan dalam test TAR (Gambar 89).

Gambar 89. Perbedaan Penggunaan spherical Divergence Corrections (atas)


1/dist, dan (bawah) 1/(time*vel**2).

Proses pembanding ini akan menghasilkan 2 display, dimana masing-

masing dari display di atas menggunakan semua parameter yang sama, namun

berbeda dalam input spherical divergence corrections. Hal ini menjelaskan bahwa

spherical divergence corrections yang tepat akan semakin memperjelas reflector,

bukan multiple. Berdasarkan hasil uji dengan beberapa kali iterasi, maka
didapatkan penggunaan nilai 1/(time*vel**2) lebih dapat memperjelas reflektor

tanpa memotong penampang seismik pada far offset. Sebab beberapa dari data

tersebut, data-data yang terdapat pada far offset setelah diberikan TAR justru

hilang terutama pada reflektornya.

4.3 Velocity Analysis

Menurut Victor (2010), analisis velositas dilakukan untuk membenarkan

kecepatan agar berada di posisi yang sebenarnya. Hal ini ditunjukkan dengan

meluruskan sinyal yang bengkok seperti yang ditunjukkan pada gambar 90.

Picking yang dilakukan adalah berdasarkan kecepatan yang ditampilkan pada

display semblance yang menunjukkan kisaran kecepatan pada setiap batas lapisan.

Picking yang dilakukan tidak hanya dengan melihat kisaran kecepatan pada

semblance, namun diperkirakan juga kisaran yang tepat pada titik picking yang

dapat meluruskan reflektor. Jadi meskipun interpretasi warna pada semblance

tinggi (menunjukkan gradasi warna yang semakin besar sesuai dengan kisaran

yang digunakan) belum tentu dilakukan picking pada titik tersebut. Selain itu,

dalam picking velocity data yang dianggap sebagai multiple sebaiknya tidak di

picking. Multiple yang didapatkan pada data SUME23.31 ini terdapat pada kisaran

kedalaman 12000-13000 ms-1, sedangkan seabed berada pada kisaran kedalaman

5000-6000 ms-1 (untuk data pada CDP 1-1000).

Sinyal seismik yang terbentuk merupakan sinyal seismik positif. Hal ini

dibuktikan dengan terbentuknya trough pada penampang seismik. Setelah

dilakukan analis kecepatan ini, maka akan didapatkan nilai kecepatan interval.
Gambar 90. Picking Velocity Terhadap Semblance dengan Nilai Kecepatan yang
Tinggi Ditunjukkan dengan Warna Merah.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi estimasi kecepatan dengan

memakai data seismik CDP gather, antara lain

1. Geometri pengukuran, terutama yang terkait dengan offset jauh karena makin

jauh bentangan pengukuran maka makin baik koreksi NMO yang dihasilkan

sehingga perbedaan reflektor dan multiple menjadi lebih jelas

2. Keberulangan dalam stacking fold karena dapat mengurangi noise acak atau

random

3. Rasio sinyal-noise atau dengan kata lain kualitas data

4. Pemotongan atau muting data seismik untuk menghilangkan noise

Muting yang benar adalah tidak memotong reflektor (sebaed), karena di

saat stack akan terlihat bentuk event yang tidak tepat sehingga hasil brute stack
meskipun telah berjalan dengan normal, tetapi belum dapat digunakan sebagai

hasil yang valid dalam pendefinisian geologi dari area survey yang diamati.

Berdasarkan apa yang telah dilakukan, iterasi pada velocity analysis

dilakukan beberapa kali hingga didapatkan kisaran kecepatan yang lebih baik

pada penampang seismik yang diamati. Dalam picking pada semblace di velocity

analysis harus memperhatikan beberapa hal utama, yaitu:

 Kecepatan RMS (Vrms) bertambah besar dengan bertambahnya waktu

vertikal pada penampang seismik,

 Kecepatan bertambah besar dengan bertambahnya kedalaman,

 Kecepatan bertambah dengan kekompakan batuan.

Metode yang dipakai adalah constant velocity gather. Proses analisa

kecepatan dilakukan dengan mem-pick kecepatan-kecepatan yang ada pada event

yang dianggap jelas sebagai reflektor dan memiliki harga velocity semblance yang

tinggi. Untuk menghindari kesalahan, picking yang dilakukan harus mengalami

pertambahan nilai kecepatan seiring dengan bertambahnya two way traveltime

(TWT). Sehingga kemungkinan melakukan picking pada nilai kecepatan multiple

dapat dihindari. Selain itu, picking yang dilakukan juga harus memperhatikan

CDP gather akan menjadi datar setelah di-aplly NMO apabila picking yang

dilakukan tepat. Sehingga tampilan CDP gather bisa dijadikan acuan untuk

melihat benar atau salahnya picking kecepatan yang dilakukan.

Hasil picking velocity juga mengalami beberapa kali manipulasi (Gambar

91). Hal ini disebabkan karena pada CDP tertentu terdapat kesulitan picking sebab

sulit untuk memisahkan data antara reflektornya.


Gambar 91. Manipulasi Hasil Picking Velocity Menggunakan Volume Viewer /
Editor.

Kelemahan dalam pengolahan data seismik menggunakan laptop adalah

terkait dalam proses running data. Oleh sebab itu, maka dalam velocity editing ini

data hasil picking velocity tidak dapat ditampilkan bersama dengan hasil post-

stack. Hal ini tentunya akan mengurangi keakuratan dalam interpolasi kecepatan

lapisan. Hal ini disebabkan, karena dengan dapat menampilkan hasil post-stack

secara bersamaan di saat melakukan velocity editing akan dapat mengetahui

kisaran kedalaman yang diperkirakan merupakan reflektor.

4.4 Prepocessing

Prepocessing merupakan tahap awal pengolahan data seismik dan

merupakan salah satu tahap yang sangat menentukan berhasil tidaknya penerapan

metode filter yang digunakan, dalam hal ini metode yang diujicobakan adalah
radon tansform. Jika tahap prepocessing kurang tepat atau salah, maka hasil akhir

setelah diberikan radon dan di stack juga belum dikatakan berhasil.

Saat dekonvolusi diperoleh deret pseudo refleksi yang berupa deretan

paku-paku (spikes), dimana panjang paku menggambarkan harga amplitudonya.

Dengan kata lain adalah proses mengompres wavelet agar dapat memberikan daya

pisah terhadap adanya lapisan batuan dalam bumi pada penampang seismik.

Dekonvolusi merupakan suatu cara untuk merekonstruksi fungsi refleksi

dengan mengekstrak wavelet dari gelombang seismik hasil rekaman. Sinyal

seismik yang terekam dapat dianggap sebagai hasil dari konvolusi dari sinyal

sumber dengan instrumen-instrumen, hydrophone dan respon bumi.

Gelombang seismik selalu mengalami penurunan amplitudo terhadap jarak

karena faktor offset, maka terjadi peredaman pada amplitudo dan frekuensi

gelombang seismik oleh lapisan batuan yang tidak elastik, maka dari itu

diperlukan proses true amplitude recovery (TAR).

Parameter penting dalam dekonvolusi seperti misalnya operator length

dan prediction distance. Pemilihan hasil autokorelasi dan proses parameter test

dari CDP gather dan data hasil stack. Untuk menentukan nilai prediction distance

dilakukan proses autokorelasi terhadap input seismogram yang kita miliki

kemudian nilai time pada saat second zero crossing dari hasil autokorelasi adalah

besarnya nilai prediction distance yang kita pilih. Untuk menentukan nilai

operator length terbaik biasanya dilakukan dengan melihat perbandingan CDP

gather data yang belum didekonvolusi dan CDP gather yang sudah didekonvolusi

dengan menggunakan nilai operator length yang berbeda-beda dan nilai

prediction distance tetap.


Operator length diambil dari zona transient autokorelasi karena zona ini

merepresentasikan zona yang tidak dipengaruhi multiple. Nilai operator length ini

akan mempengaruhi energi pada gelombang. Semakin besar operator length maka

semakin kecil energi yang terbuang, sebaliknya semakin kecil nilai operator

length semakin besar energi yang terbuang. Pemilihan operator length haruslah

optimal sehingga tidak meninggalkan energi yang besar. Beberapa nilai operator

length yaitu 75, 128, 156, 198, 242, 288, dan 330 ms kemudian dibandingkan dan

dianalisa parameter yang paling sesuai. Penentuan nilai operator length yang

paling tepat juga bisa dilakukan dengan melihat hasil stack dari dekonvolusi

dengan menggunakan nilai masukan operator length yang berbeda-beda dan

prediction distance yang tetap. Pada hasil ujicoba tersebut didapatkan bahwa

decon operator length dengan kualitas data yang bagus adalah pada 128 s dan

operator prediction distance adalah 250 s.

Dari keadaan geologi dan interpretasi dasar laut, perairan ini tergolong

perairan dalam dengan daerah sepanjang gunung bawah laut. Oleh sebab itu

diasumsikan pada kasus ini, nilai kecepatan pada setiap layer adalah bervariasi

terhadap kedalaman ataupun offset. Bandpass filter dapat diterapkan kembali

apabila hasil awal pada trace display dirasa belum cukup menunjukan penampang

yang baik. Namun hasil tersebut dapat kita perbandingkan sebelum dan sesudah di

stack agar dapat melihat perbandingan yang dihasilkan.

4.4.1 Hasil Prepocessing

Pada gambar di bawah ini merupakan hasil dari prepocessing

dengan menggunakan aplly partial NMO menggunakan absolute value of offset.

Hasil prepocessing ini dapat dimanipulasi dengan mengatur pengaturan di dalam


spiking sebelum di-NMO. Hal ini disebabkan, terdapat perbedaan output yang

dihasilkan. Karena meskipun dari awal pengerjaan data, parameter spiking telah

ditentukan dari data pengerjaan di lapangan, namun belum dapat meminimalkan

multiple dari data. Oleh sebab itu manipulasi dari spiking sangat diperlukan untuk

memperoleh pengeliminasian multiple (Multiple terlihat pada kisaran time 13000

ms) secara maksimal. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui gambar 93 s/d 97

sebagai pembanding dan dilakukan beberapa kali iterasi (dengan catatan bahwa

data dengan parameter TAR tetap, dan parameter decon operator length tetap,

yaitu 128 s).

Gambar 92. Hasil Prepocessing.


a) Phase Correction Only

Gambar 93. Spiking Menggunakan Phase Correction Only.

b) Zero Phase Spiking

Gambar 94. Spiking Menggunakan Zero Phase Spiking.


c) Minimum Phase Predictive

Gambar 95. Spiking Menggunakan Minimum Phase Predictive.

d) Minimum Phase Spiking

Gambar 96. Spiking Menggunakan Minimum Phase Spiking.


Berdasarkan pada hasil iterasi pada masing-masing parameter spiking

terlihat bahwa penggunaan dari beberapa jenis spiking akan menunjukkan

keefektifitasan eliminasi multiple dari data tersebut. Meskipun menurut Rahadian

(2011), bahwa data yang akan digunakan sebagai input dalam radon adalah data

yang menggunakan spiking predictive, sebab beberapa elemen tersebut merupakan

parameter tetapan yang digunakan di saat perekaman di lapangan. Namun dari

hasil di atas terlihat bahwa di saat menggunakan zero phase spiking, multiple

sedikit lebih berkurang dibandingkan dengan hasil spiking lainnya.

4.5 Stack

Sebelum dilakukan stacking, trace-trace pada CDP harus dikoreksi

terhadap perbedaan waktu yang disebabkan oleh perbedaan jarak source dan

receiver. Hal yang dimaksud adalah pada saat pemasukan parameter dalam NMO,

karena NMO ini berfungsi untuk meluruskan gelombang refleksi primer sebelum

ditambahkan (Stacking). Sedangkan gelombang multiple menjalar dengan

kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan gelombang primer

(Memiliki NMO yang lebih besar). Dengan melakukan koreksi NMO terhadap

gelombang primer, maka gelombang multiple belum menunjukkan kurva yang

lurus seperti gelombang primer, sehingga multiple akan teratenuasi pada proses

CDP stacking.

Setelah koreksi NMO dilakukan terhadap semua CDP, seluruh data di-

stack sehingga diperoleh penampang seismik stack. Proses ini seolah-olah

menjadikan source dan receiver pada suatu posisi, yaitu zero offset.

Stacking ini terdiri atas penjumlahan trace-trace dari suatu CDP gather

yang menghasilkan suatu komposit trace. Posisi ini di permukaan adalah sama
dengan titik tengah bersama antara source dan receiver. Penjumlahan trace dari

CDP akan memperbaiki signal to noise ratio (SNR) dengan asumsi bahwa

common reflection point (CDP) refleksi primer dalam satu fase dan memperkuat

sinyal secara konstruktif, dimana ambient noise dan sinyal seismik lain yang tidak

satu fase akan saling menghilangkan.

b) b)

Gambar 97. a) Sebelum di-NMO (Hiperbola Refleksi), b) Setelah di-NMO.

Proses stacking dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa

besar tingkat keberhasilan metode radon dalam menekan keberadaan multiple.

Pekerjaan stacking dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada data awal prepocessing

dan hasil dari Radon. Manipulasi data dilakukan dengan merubah tahap Radon

terbaik yang digunakan. Jadi dalam pembagian tersebut dilakukan dengan melihat

perbedaan apakah radon filter sebaiknya dilakukan sebelum stacking atau setelah

stacking (Brute stack).

Pada saat stacking pertama tentunya masih ditemukan multiple permukaan

dengan jelas. Pada stacking selanjutnya diharapkan multiple tersebut yang saat
stacking awal masih terlihat jelas dapat berkurang dan hilang setelah dikenai filter

radon.

4.5.1 Brute Stack

Gambar 98. Hasil Brute Stack.

Pada gambar 98 terlihat bahwa saat stack, multiple periode pertama masih

muncul pada kedalaman 13000 ms-1. Efek bowtie yang sebelumnya saat

prepocessing masih terlihat, namun setelah di stack telah hilang. Seperti terlihat

pada gambar di atas, bahwa di sekitar puncak pertama, terdapat beberapa data

yang terfilter, hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor muting atau parameter

TAR, spiking yang menyebabkan hal ini. Saat di-NMO data di sekitar puncak

pertama terdapat beberapa trace yang sedikit hilang.


4.6 Penerapan Filter Radon Transform

Proses filter Radon umumnya dilakukan untuk menghilangkan multiple

periode panjang. Teknik yang digunakan adalah dengan memisahkan multiple dan

sinyal primer pada data seismik berdasarkan moveout-nya. Filter radon dengan

domain time vs moveout akan menampilkan nilai-nilai residual moveout dimana

nilai dibagian sebelah kanan (lebih besar dari nol) merupakan indikasi adanya

energi multiple. Bagian yang dianggap multiple tersebut kemudian dipotong dan

dipisahkan dari data primer. Masukan dari proses ini adalah data yang telah

dilakukan proses NMO dengan header berupa CDP gather dan header

sekundernya berupa absoulute value of offset (AOFSET), karena penentuan

residual moveout tersebut bergantung pada hasil NMO. Jadi reflektor yang telah

di-NMO akan mempunyai nilai moveout nol sedangkan multiple akan mempunyai

moveout yang lebih besar dari nol.

Sinyal multiple akan terlihat pada daerah yang mempunyai moveout lebih

besar dari pada nol yakni multiple yang mengalami undercorrected. Tipe radon

yang digunakan adalah radon hiperbolic dan parabolic untuk membandingkan

hasil yang didapatkannya setelah stack. Pada parameter number of P-value diisi

oleh angka yang lebih besar dari fold maksimum. Pada data ini fold maksimum

berada pada kisaran 60 (dapat dilihat pada saat QC geometry). Parameter P-value

of interest biasanya diisi dengan nilai nominal -100, hal ini untuk mengatasi

refleksi primer yang mengalami overcorected (baik saat muting atau NMO),

sedangkan parameter maximum P-value of interest kurang dari nilai maksimum

offset dibagi dengan kecepatan RMS minimum (Vrms). Karena data ini

merupakan data marine, maka kecepatan RMS minimum adalah kecepatan air.
Multiple akan terlihat muncul pada bagian yang memiliki nilai moveout lebih

besar daripada nol. Hasil tersebut dapat dilihat perbedaanya pada gambar di

bawah ini.

Tipe filter Radon yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis Radon

Hiperbolik. Tipe Radon Hiperbolik ini lebih cocok digunakan pada kasus laut

dalam. Filter Radon diterapkan untuk menghilangkan multiple periode panjang,

termasuk multiple permukaan yang terdapat pada data yang digunakan dalam

penelitian ini (Gambar 99, 100, dan 101).

Gambar 99. Parameter Masukkan Dalam Radon Filter.


Gambar 100. Analisa Radon yang Mengelompokkan Multiple dan Sinyal dari
Data Seismik Berdasarkan Perbedaan Moveout-nya Sebelum
Dilakukan Radon Velocity Filter.

Gambar 101. Analisa Radon yang Mengelompokkan Multiple dan Sinyal


Berdasarkan Moveout-nya Sesudah Dilakukan Filter Radon.

Hasil proses filter Radon diharapkan dapat memberikan resolusi yang

lebih baik dibandingkan dengan data yang belum mengalami proses filter Radon,
karena proses ini merupakan salah satu metode untuk menghilangkan multiple

sehingga data seismik kita menjadi bebas multiple dan akan memberikan

informasi geologi yang semakin valid (Gambar 102).

a)

b)

Gambar 102. Perbandingan Hasil (a) Sebelum dan (b) Sesudah Radon Filter.
Hasil di atas menunjukkan bahwa multiple pada kedalaman antara 12000-

14000 ms-1 telah berhasil direduksi menggunakan radon filter parabolik.

Meskipun belum seluruh multiple dapat dihilangkan, namun noise terhadap data

pada far offset (efek bowtie) dapat diminimalkan secara optimal. Hal tersebut

terlihat pada lingkaran merah dimana noise tersebut telah hilang. Radon transform

efektif dalam menghilangkan multiple yang berada di offset jauh, karena dengan

offset yang cukup maka perbedaan moveout antara refleksi primer dengan multiple

akan lebih jelas terlihat.

Pada area offset dekat, filter radon sulit untuk melihat perbedaan moveout

antara refleksi primer dan multiple karena kelengkungan hiperbolik dari refleksi

primer dan multiple masih berupa garis lurus sehingga ketika ditransformasikan

ke dalam domain radon akan terlihat sama. Oleh sebab itu, untuk memaksimalkan

fungsi dari radon ini, maka dapat dilakukan dengan kombinasi filter seperti

surface related multiple elimination (SRME), karena menurut Rahadian (2011)

SRME lebih efektif digunakan untuk mengeliminasi multiple pada daerah near

offset. Metode SRME ini lebih efektif pada near offset karena dalam reduksi

multiple tidak bergantung pada moveout.

Adanya perbedaan amplitudo dan fase semakin besar antara model

prediksi multiple dengan multiple sebenarnya ke arah offset jauh adalah

kemungkinan disebabkan oleh adanya feather angle dari streamer pada saat

akusisi data. Dan ini ditambah pula dengan tidak adanya data file UKOAA yang

dibutuhkan sebagai data navigasi dan positioning streamer dan gun array dalam

tahap geometri. Dengan adanya feather angle dan tidak digunakannya data

UKOAA, maka nilai offset yang terekam dalam database dan diolah dalam
prediksi multiple adalah bukan offset sebenarnya. Ketika di offset dekat, posisi

streamer relatif lurus sehingga offset-nya masih tepat dan sebaliknya semakin ke

arah far offset perbedaan offset-nya menjadi semakin besar dengan offset

sesungguhnya (Gambar 103).

Gambar 103. Variasi Muting dalam Domain τ-p.

Proses muting dalam domain τ-p ini akan sangat mempengaruhi energi

yang terkandung dalam gelombang. Efeknya semakin besar area muting yang

dilakukan maka akan semakin kecil nilai amplitude yang dihasilkan saat

ditransformasi kembali ke domain T-X. Gambar 104 menunjukkan hasil

transformasi balik hasil muting pada domain τ-p.

Sebelum a) b) c) d)
Mute

Gambar 104. Data Seismik Domain T-X Hasil Transformasi Balik.


Dari Gambar 104 gambar (A) dinilai merupakan hasil muting terbaik yang

dapat menghilangkan multiple, namun tetap menjaga keaslian amplitude. Hasil

muting (B), (C) dan (D) mampu menekan keberadaan multiple, namun tidak dapat

mempertahankan keaslian multiple.

a) b)

Gambar 105. Perbandingan Velocity Semblance a) Sebelum Dikenakan Radon


Filter dan b) Setelah Dikenakan Radon Filter.

Perbandingan Velocity Semblance menggunakan nilai contrast noise factor

adalah 0.2 dan contrast power factor adalah 1.8 (nilai ini merupakan nilai

konstanta yang dapat dimanipulasi untuk mendapatkan hasil tampilan yang

terbaik). Sebelum dikenakan Radon Filter (Gambar 105a) terlihat bahwa pada

garis vertikal di zona kecepatan 1600 ms-1 pada kedalaman 13000 ms noise

terhadap data (multiple) masih terlihat jelas dengan nilai kecepatan yang rendah,
karena seharusnya dengan semakin bertambahnya kedalaman, nilai kecepatan

yang didapatkan seharusnya memiliki nilai yang semakin besar.

Perbandingan selanjutnya setelah dikenakan Radon Filter (Gambar 105b),

pengecekan pada titik kedalaman yang sama (time 13000 ms) didapatkan bahwa

multiple yang tadinya memiliki zona kecepatan yang rendah di time 13000 ms

menjadi hilang dan pola peningkatan kecepatan yang di-picking menjadi semakin

baik dan menghasilkan tampilan dari data yang telah terbebas dari multiple.
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang didapatkan dari penelitian

ini dan terkait kepada tujuan awal, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan

Radon Transform dapat mereduksi multiple dari data seismik SUME23.31. Pada

near offset masih terdapat sedikit multiple, sedangkan pada far offset, metode ini

dapat menghilangkan efek bowtie. Pengaruh offset merupakan hal yang sangat

berpengaruh terhadap data. Kekurangan ini dapat diminimalisir apabila dalam

geometri dilengkapi dengan data UKOAA (United Kingdom Offshore Operators

Association). Meskipun demikian untuk mendapatkan suatu data seismik suatu

lintasan dengan feather angle 00 sangatlah sulit, karena terkait faktor lingkungan

di saat perekaman data di lapangan. Semakin sempit desain muting multiple,

semakin besar kemampuan mereduksi multiple dan tereduksinya data primer akan

semakin besar serta begitu pula sebalinya.

Data seismik memerlukan pengolahan geometri, true amplitude recovery

(TAR), deconvolusi, prepocessing, brute-stack, dan radon stack. Iterasi atau

pengulangan terhadap hasil yang didapatkan pada masing-masing tahap harus

dilakukan dengan beberapa kali pengulangan sehingga diharapkan dapat

meningkatkan kualitas data yang dihasilkan.

5.2. Saran

Proses dekonvolusi belum sempurna dalam menghilangkan efek noise

serta multiple. Diperlukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode lain

yang lebih efektif dalam menghilangkan seluruh multiple seperti SRME (Surface
Related Multiple Elimination) atau dengan menggunakan kombinasi lain dengan

beberapa filter. Pemilihan data sebaiknya menggunakan data survey yang lengkap,

karena terkait koreksi dan input data dalam geometri yang sangat berpengaruh

terhadap proses selanjutnya dalam pengolahan data seismik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 2007. Ensiklopedia Seismik Online.


http://ensiklopediseismik.blogspot.com/ [Diunduh : 21 Juli 2012]
Cao, Z. 2006. Analysis and Application of The Radon Transform. University of
Calgary : USA.
Cary, PW. 2001. Seismic Deconvolution : Assumptions, Concerns and
Convictions. Sensor Geophysical Ltd.
Dewar, D. 2006. Seismic and Seeing What’s There. Calgary : USA.
Ekasapta, A. 2008. Wavelet Seismik. http://asyafe.wordpress.com/ [Diunduh :
11 Maret 2011].
Jusri, T.A. 2004. Panduan Pengolahan Data Seismik Menggunakan ProMAX.
Laboraturium Seismik Program Studi Geofisika Departemen Geofisika dan
Meteorologi Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Kumar, Lavendra. 2008. Effectiveness of Radon Filter in Multiple Attenuation: An
Analysis on Real and Synthetic Data. 7th International Conference &
Exposition on Petroleum Geophysics. Seismic Processing and Interpretation
Centre, ONGC, Panvel : Mumbai. Page 314.
Murdianto, B. 2009. Workshop Pengolahan Data Seismik Menggunakan SU :
Volume 1 Reformat Data – Dekonvolusi. Universitas Indonesia.
Mustoin, Ahmad. 2012. Pereduksian Multiple Data Seismik 2D Offshore
Menggunakan Metode Radon. Institut Teknologi Surabaya : Surabaya.
Prihadi, S. 2004. Interpretasi Seismik Geologi. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Priyono, A. 2006. Petunjuk Praktikum Metode Seismik II. ITB : Bandung.
ProMAX 2D Version 5000. 2011. Promax Reference. Landmark Graphics
Corporation. Houston.
Rahadian. 2011. Penerapan Metode Surface Related Multiple Elimination dalam
Optimalisasi Pengolahan Data Seismik 2D Marine. ITB : Bandung.
Sanny , TA. 1998. Seismologi Refleksi. Dept. Teknik Geofisika, ITB, Bandung :
31 hal.
Sanny , TA. 2004. Panduan Kuliah Lapangan Geofisika Metode Seismik Refleksi.
Dept. Teknik Geofisika, ITB, Bandung : 34 hal.
Talagapu, K.K. 2005. 2D and 3D Land Seismic Data Acquisition and Seismic
Data Processing. Departement of Geophysics, College of Science and
Technology Andhra University. Andhra Pradesh.
Tricahyono, Wahyu. 2000. Eliminasi Multipel Dengan Menggunakan
Transformasi Radon Parabola. Institut Teknologi Surabaya : Surabaya.
Triyoso, W. 1991. Konsep-Konsep Dasar Seismologi. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Van der Kruk 2001. Reflection Seismik 1, Institut für Geophysik ETH, Zürich : 86
pp.
Verschnuur, DJ and Bekhnout AJ. 1997. Estimation of Multiple Scatering by
Iterative Inversion. Part I : Theorretical Considerations : Geophysics. Vol
62 No 5.
Yan, Y. 2002. Suppresion of Water Column Multiples by Combining Components
of Ocean-Bottom Seismic Surveys. Calgary : USA.
Yilmaz, O. 2001. Seismic Data Analysis. Society of Exploration Geophysicists :
Volume 1.
Yilmaz, O. 1987. Seismic Data Processing. Society of Exploration Geophysicists
: USA. Volume 1.
LAMPIRAN

1. Data Observer Log SUME.23.31


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ternate, Maluku Utara pada

tanggal 4 Mei 1990 dari ayah I Made Ludra dan Ibu

Henderika Sungi. Penulis adalah anak pertama dari dua

bersaudara.

Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah

Atas Negeri 1 Semarapura, Klungkung-Bali. Pada tahun 2008 penulis diterima

sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu Kelautan

melalui jalur USMI (Undangan Resmi).

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis mendapatkan banyak

pengalaman menulis dan kepemimpinan, sosial, budaya, dan politik. Penulis aktif

dalam Indonesian Marine and Fisheries Socio-Economics Research Network

tahun 2012 dan beberapa seminar nasional di Indonesia. Prestasi terbaik penulis

selama di IPB adalah peraih 104 Inovasi Indonesia Prospektif tahun 2012 oleh

Menteri Negara Riset dan Teknologi-Republik Indonesia dan peraih 5 besar Karya

Tulis terbaik dalam Oil Spill Combat Team Indonesia tahun 2012. Penulis juga

aktif dalam Badan Dharma Dana Nasional sebagai anggota dari tahun 2008-2013,

KMHD IPB hingga tahun 2013, Brahmacarya hingga tahun 2013, dan Unit

Kegiatan Mahasiswa Tarung Derajat IPB hingga tahun 2013.

Untuk menyelesaikan studi di fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Penerapan Metode Radon

Transform untuk Reduksi Gelombang Multiple Seismik 2D di Perairan Barat

Sumatera”.

Anda mungkin juga menyukai