INSTRUMEN MOTIWALI
ANUGRAH ADITYAYUDA
SKRIPSI
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan didalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
dibagian akhir Skripsi ini.
ANUGRAH ADITYAYUDA
C54070081
RINGKASAN
ANUGRAH ADITYAYUDA
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS
NIP. 19610410 198601 1 001 NIP. 19660706 199212 1 002
Mengetahui,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam Allah SWT
kakak dan adik tercinta Dimas Pratama Yuda dan Dendi Ahmad Patria Yuda
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. dan Dr.Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS.
3. Ibu Dr. Ir. Yuli Naulita, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang telah
5. Klub MIT (Khasanah, Rizqi Rizaldi, Erik Munandar, Hollanda, dan Iman)
6. Keluarga besar ITK 44 (Arief, Dinno, Iqbal, dan Aldelanov) dan seluruh
warga ITK yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman hidup kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
kritik dan saran yang sifatnya membangun akan bermanfaat bagi penulis dalam
Anugrah Adityayuda
DAFTAR ISI
Halaman
1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian .................................................................... 2
LAMPIRAN ...................................................................................... 46
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
7. MOTIWALI ........................................................................................ 53
xii
1. PENDAHULUAN
permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan
matahari (Zakaria, 2009), serta adanya gaya gravitasi oleh bumi (Dronkers, 1964).
sehari-hari, pasang surut sangat penting dikaji untuk keperluan seperti bidang
pertanian, serta pengembangan energi pasut. Pengukuran pasang surut air laut
didalamnya terdapat komponen elektronik (tide gauge) dan tide staff, berupa
alternatif lain yang lebih mudah yaitu dengan menggunakan gelombang akustik
yaitu dapat dilakukan pada kondisi udara terbuka (IOC, 1994; 2000; dan 2006).
pada konsentrasi partikel terlarut di udara, jarak antara sumber suara dan objek
suara, kondisi meteorologi seperti variasi suhu dan angin, penyerapan suara oleh
atmosfer, kontur dan jenis permukaan, serta penghalang seperti bangunan dan
tanaman.
1
2
surut berbasis gelombang akustik dan pengaruh dari suhu udara. Suara di udara
dipengaruhi oleh suhu udara itu sendiri. Semakin tinggi suhu udara, maka akan
menghasilkan kecepatan suara yang tinggi pula, walaupun tidak bersifat linier
di udara, maka untuk mendapatkan hasil pengukuran pasang surut yang akurat
transduser dan permukaan air serta sensor suhu sebagai pengoreksi. Instrumen
mudah, serta ringan sehingga sangat cocok untuk pengukuran jangka pendek dan
panjang.
jarak untuk pengolahan data pasang surut dari instrumen MOTIWALI, dan
Tide gauge merupakan alat atau instrumen yang digunakan untuk mengukur
tinggi pasut. Instrumen pengukur pasang surut yang umum digunakan diantaranya
adalah tide staff, floating tide gauge, dan pressure tide gauge (Djaja, 1987).
a) Tide staff, merupakan alat pengukur pasang surut yang paling sederhana
berupa papan mistar memiliki ketebalan antara 1 sampai 2 inchi dengan lebar
4 sampai 6 inchi, dan dengan pembagian skala yang umumnya dalam sistem
meter, sedangkan panjangnya harus lebih besar dari tunggang pasut (tidal
ukuran papan skala ini harus lebih dari 2 m gauge (Djaja, 1987).
b) Floating tide gauge. Prinsip kerja alat ini berdasarkan gerakan naik turunnya
dengan alat pencatat. Pengukuran tinggi muka air oleh alat ini dilakukan
dengan mendeteksi pergerakan naik turun dari air. Perubahan tinggi pada
pelampung dan penahan beban diikat dengan kabel dan dihubungkan dengan
sebuah katrol yang terdapat pada enkoder, sehingga gerakan pelampung dapat
menjadi suatu sinyal digital dan ditransfer ke unit data logger melalui kabel
transduser. Di dalam data logger unit sinyal listrik tersebut diproses sehingga
c) Pressure tide gauge. Prinsip kerjanya sama dengan floating tide gauge,
hanya saja gerakan naik turunnya permukaan laut dapat diketahui dari
4
5
perubahan tekanan yang terjadi di dalam laut. Seberapa besar tekanan yang
diterima oleh sensor akan diubah dalam bentuk kedalaman yang telah
dirancang sedemikian rupa, sehingga diperoleh tinggi muka air dari nilai ini
Selain ketiga alat ukur yang digunakan di atas, IOC (2006) membagi
instrumen pengukur pasut menjadi empat bagian yaitu stilling well tide gauges,
a) Stilling well tide gauges, merupakan pipa yang ditempatkan secara vertikal di
pasut dibeberapa stasiun. Bagian bawah dari sumur tertutup kecuali untuk
masukan, satu untuk masukan di bawah dan lainnya dengan pipa masukan
yang terhubung ke bagian lebih rendah dari sumur. Cara kerja dari alat ini
6
sama dengan floating tide gauge. Contoh gambar dari alat ini dapat dilihat
pada Gambar 2.
b) Acoustic tide gauges. Alat atau intrumen pengukur pasang surut yang
penerima (receiver). Contoh untuk alat ukur acoustic tide gauges dapat
diterima kembali oleh radar. Sistem radar ini dapat mengukur ketinggian
radar di atas permukaan laut dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa
Gambar 4. Uji coba OTT Kalesto (radar gauge) di Liverpool (IOC, 2006)
merupakan alat pengukur pasang surut atau level air yang dapat digunakan untuk
pengukuran yang bersifat mobile atau bergerak maupun stasiun tetap dengan
sensor dengan permukaan air dan sensor suhu sebagai pengoreksi data (Iqbal dan
Jaya, 2011). Berdasarkan pembagian alat pengukur pasang surut menurut IOC
(e)
(a)
(c) (b)
(d)
(f)
(e) (b)
(a)
(j) (g)
(h)
(i)
(k)
Keterangan:
a = Kotak utama elektronik
b = Tiang penghubung transduser dan kotak elektronik
c = Pipa ¼ inchi penghubung transduser dan tiang
d = Kotak transduser
e = Antene GSM/Radio
f = Penyangga tiang transduser
g = Soket eksternal (1) power luar, (2) RS232, (3) device control
h = Tempat peralatan elektronik
i = Pintu
j = Tempat accu internal
k = Gagang pintu
10
overflow pada setiap 1/40000 detik dan sinyal 16-bit tersebut kemudian dapat
diakses pada pin OCR1A dan OCR1B pada mikrokontroler (Iqbal dan Jaya,
2011).
beberapa hal yang harus diatur dalam file ini seperti pada Tabel 1. Terlihat 9
variabel yang dapat diatur oleh pengguna melalui file ini. Variabel tersebut
alarm atau pengiriman data GSM, pengguna harus menambahkan modem GSM
jika pengguna ingin mendapatkan peringatan jika air sudah memenuhi jarak
atau mengirimkan SMS pemberitahuan ke nomor tertentu (Iqbal dan Jaya, 2011).
Cara kerja perangkat lunak MOTIWALI yaitu pada saat mulai dinyalakan
belum siap, mikrokontroler akan mengulang kembali pada tahap awal proses, jika
hingga mendapat sinyal balik dan mengukur waktu pada saat mulai transmit
Data kemudian disimpan pada modul SD/MMC Card (Iqbal dan Jaya, 2011).
Perangkat elektronik terdiri atas beberapa bagian utama yaitu catu daya
yang diambil dari accu dengan opsi catudaya luar DC 12 Volt, mikrokontroller
sebagai pusat pengendali dan pengolah data, modul transduser dengan frekuensi
dan modul data logger sebagai penyimpan dan backup data menggunakan
Cara kerja sensor ultrasonik terdiri dari sensor pengirim yang dikendalikan
Resistor pull-up dimaksudkan untuk menyamakan arus serap yang dimiliki sensor
dan pin mikrokontroler. Dari hasil uji coba resistor pull-up yang dapat digunakan
yaitu antara 4.7 – 10 KΩ. Semakin besar impedansi kabel yang digunakan maka
semakin besar resistansi resistor pull-up yang dihasilkan (Iqbal dan Jaya, 2011).
Pada Gambar 6 dapat dilihat proses dari cara kerja perangkat lunak MOTIWALI.
Gambar 6. Diagram alir perangkat lunak MOTIWALI (modifikasi dari Iqbal dan
Jaya, 2011)
13
data dilakukan untuk mengindari bias dari suatu data, sehingga kesalahan dari
perhitungan dapat diperkecil. Menurut Betzler (2003), ada beberapa alasan dan
grafik menjadi lebih baik, mendeskripsikan data dengan prinsip fisik yang mudah,
dan menetukan formula untuk hubungan antara data fisik yang berbeda.
(least squares fitting method). Metode ini dapat dilakukan dengan mudah bila
bentuk dari kurvanya telah diketahui dan sederhana (Lasijo, 2001). Menurut
pembatasnya adalah jumlah kuadrat jarak vertikal setiap titik dalam data terhadap
kurva regresi menjadi minimum. Kurva dengan derajat terkecil dapat berupa garis
lurus, polynomial, atau polynomial berderajat tinggi maupun kurva jenis lainnya.
Pasang surut air laut merupakan proses naik dan turunnya permukaan air
laut secara periodik yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik menarik dari benda-
benda angkasa, yang terutama sekali disebabkan oleh gaya tarik matahari dan
gaya tarik bulan terhadap massa air di permukaan bumi (Zakaria, 2009).
pasut adalah benda-benda atmosfer, tetapi dari semua benda angkasa hanya
matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga gerakan utama. Ketiga
Interaksi pasang surut bulan dan matahari dibagi menjadi dua, yaitu pasang
surut purnama dan pasang surut perbani. Pasang surut purnama merupakan
pasang surut dimana posisi bumi bulan dan matahari sejajar. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pasang naik lebih tinggi dan surut lebih rendah. Pasang
surut ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani
merupakan pasang surut yang terjadi pada saat bulan, bumi dan matahari
membentuk sudut 90º dan 270 º. Bulan dikatakan dalam keadaan perempat
bagian ketika pasang surut perbani terjadi (Supangat dan Susanna, 2003). Gambar
7 merupakan gambar pasang purnama dan pasang perbani yang dibentuk oleh
Gambar 7. a) spring tide (pasut purnama), b) neap tide (pasut perbani) (Hicks,
2006)
Pada umumnya pasang surut memiliki empat tipe, yaitu (Wyrtki, 1961):
1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide). Merupakan pasut yang hanya
terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di
Selat Karimata.
2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide). Merupakan pasut yang
terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam
Diurnal). Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan
16
satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut
yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan
4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi
Diurnal). Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai
Rotasi bumi, revolusi bumi terhadap matahari dan revolusi bulan terhadap
bumi meyebabkan resultan gaya penggerak pasang surut yang rumit dapat
yaitu tengah harian, harian dan periode panjang (Pariwono, 1987). Beberapa
Dari komponen harmonik yang didapat, tipe pasang surut di suatu perairan
bilangan Formzhal (Pugh, 1987) dan klasifikasi dari tipe pasang surut berdasarkan
𝐻 𝑘1 + 𝐻𝑂1
𝐹= ……………………. (1)
𝐻𝑀 2 + 𝐻𝑆2
Pengamatan naik turunnya muka laut atau pasang surut yang selama ini
recording system. Manual recording merupakan alat ukur yang dibuat dari kayu
atau bahan anti karat yang diberi skala ukur dengan panjang tidak lebih dari 10
pressure gauge atau tide gauge adalah alat ukur yang merekam secara otomatis
dan datanya disimpan dalam media penyimpanan data digital (Cahyadi, 2007).
Menurut Djaja (1987), pencatatan pasang surut dapat dilakukan secara non
tinggi pasut dari papan ukur yang disebut tide staff, atau pengukuran secara self
registering, yaitu pencatatan pasut secara otomatik dengan alat automatic gauge
yang berfluktuasi sehingga dapat diketahui trend dari data tersebut. Filtering data
average merupakan metode untuk merata-ratakan data yang dekat dengan data
yang jauh tetapi masih berhubungan (Riley dan Lutgen, 1999). Secara umum
moving average dapat ditulis dengan persamaan berdasarkan Gencay dan Stengos
1 𝑛−1
𝑀𝐴𝑡 = 𝑖=0 𝑋𝑡−1 …………………….. (2)
𝑛
dimana n adalah periode waktu dan t adalah nilai-nilai yang akan dijumlahkan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan penelitian
lapang dilakukan pada 9-11 Maret 2012 yang bertempat di perairan Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI. Jakarta pada titik koordinat 106,61372º BT dan
5,74260º LS.
3.2. Data
3.2.1. Akuisisi data laboratorium
udara manual dan data yang didapat dari instrumen MOTIWALI. Pengambilan
data MOTIWALI di atur setiap 1 menit selama 1 hari. Pengukuran data suhu
manual dilakukan setiap 1 jam sekali selama 1 hari. Data yang didapat dari
intrumen MOTIWALI berbentuk file dalam format *.txt yang didalamnya terdapat
data waktu, jarak, dan suhu (Lampiran 5). Untuk data suhu manual didapat data
waktu dan suhu udara. Pengambilan data suhu udara manual bertujuan untuk
mengkoreksi suhu udara yang didapat dari instrumen MOTIWALI yang dilakukan
dengan menggunakan termometer air raksa dengan skala 1 ºC. Selain data dari
instrumen MOTIWALI dan data suhu manual, pada pengukuran ini diperoleh data
acuan jarak sebesar 173 cm yang diukur menggunakan meteran dengan skala 1
19
20
data pengukuran pasang surut manual menggunakan mistar pasut dengan skala
diatur untuk pengambilan data setiap 5 menit. Pengukuran pasang surut manual
average filtering setiap lima deret data agar data yang dihasilkan menjadi lebih
halus (smooth). Pemilihan perata-rataan setiap lima deret data didasari pada mean
absolute percentage error (MAPE) yang paling kecil, dengan nilai sebesar
suhu udara yang dihasilkan oleh MOTIWALI dikoreksi dengan suhu udara
menggunakan metode fitting linear least square, didapat persamaan suhu dalam
bentuk Y = aX+b (Persamaan 1), dimana Y adalah suhu udara manual dan X adalah
suhu udara MOTIWALI, serta a dan b adalah konstanta. Selanjutnya, suhu udara
Untuk melihat pengaruh suhu terhadap kecepatan suara, sesuai dengan teori
0,6θ (Persamaan (2)), dimana C merupakan kecepatan suara dalam satuan m/s dan
θ adalah suhu udara dalam satuan ºC, sehingga menghasilkan kecepatan suara
menyebabkan penambahan kecepatan suara sebesar kurang lebih 0,6 m/s. Setelah
tempuh yang dibutuhkan suara untuk terdeteksi oleh sensor untuk mengetahui
jarak terkoreksi.
suara dengan pembagian antara jarak yang didapat MOTIWALI dengan kecepatan
Weir (2001) sebesar 343 m/s. Kecepatan suara ini berada pada suhu 20ºC
dan pada tekanan udara 1 atm (untuk kecepatan suara pada suhu yang berbeda
dapat dilihat pada Lampiran 3). Jarak yang sudah terkoreksi dapat diperoleh
waktu yang didapat dari Persamaan (3). Persamaan (2) merupakan turunan dari
hubungan antara densitas, tekanan dan kecepatan suara di udara (Lampiran 4).
𝑌 = 𝑎𝑋 + 𝑏 ……………………………….…. (1)
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑀𝑂𝑇𝐼𝑊𝐴𝐿𝐼
𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 = ………………………………….. (3)
𝐶 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖
Keterangan:
Y = Suhu udara pengukuran termometer (ºC)
X = Suhu udara pengukuran MOTIWALI (ºC)
a = Konstanta (0,9985)
b = Konstanta (3,539)
C = Kecepatan suara terkoreksi (m/s)
θ = Suhu udara terkoreksi (ºC)
C teori = Kecepatan suara di udara (343 m/s)
23
suhu manual karena sudah ada persamaan untuk mengetahui suhu udara
laboratorium. Akan tetapi, untuk data lapang tidak perlu lagi pencocokan data
24
terhadap kecepatan suara berdasarkan teori (lihat Persamaan (3)). Dari proses ini
Keterangan:
c = Jarak yang terukur oleh MOTIWALI (cm)
b = Jarak dari dasar perairan ke permukaan sensor MOTIWALI (cm)
Analisis data dibagi menjadi dua yaitu analisis data untuk koreksi suhu dan
manual) dengan cara analisis regresi linear menggunakan curve fitting tool yang
ada pada software MATLAB. Hasil akhir dari analisis ini berupa persamaan
regresi linear. Analisis ini dilakukan dengan memplotkan nilai kedua suhu
25
mencari nilai rata-rata dari selisih antara jarak acuan dan jarak koreksi suhu
(Persamaan (6)).
𝑘
𝑖 (𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐴𝑐𝑢𝑎𝑛 −𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐾𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 )
𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝑛
................... (6)
Keterangan:
i = Data pertama
k = Data ke-k
n = Jumlah data
ditempatkan dengan cara diikatkan ke badan darmaga secara tegak lurus. Untuk
mengarah ke permukaan air laut (Gambar 10). Sensor transduser yang dimiliki
Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya
dimana X adalah suhu udara yang terukur oleh MOTIWALI dan Y adalah suhu
baik MOTIWALI maupun manual. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dari
data suhu manual yang ada, sehingga suhu MOTIWALI disesuaikan dengan suhu
manual. Oleh karena suhu manual dan MOTIWALI tidak memiliki waktu
dengan melihat waktu pengukuran yang terdekat dari waktu pengambilan data
27
28
suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC. Suhu MOTIWALI sebesar 23,6 ºC suhu
udara sebenarnya memiliki nilai 27,1 ºC. Sehingga dapat diketahui bahwa antara
suhu MOTIWALI dan suhu udara sebenarnya memiliki perbedaan sebesar 4,5 ºC.
parameter fitting, diantaranya adalah (r-square) (r2) dan root mean square error
(rmse). Nilai r-square (r2) atau dalam Walpole (1993) disebut koefisien
determinasi contoh dari hubungan antara suhu MOTIWALI dan suhu manual
sebesar 0,6107 yang berarti 61,07% dari nilai-nilai suhu manual (sumbu-y) dapat
Mengacu pada acuan nilai r2, data-data tersebut memiliki kecenderungan sebesar
0,3893 atau 38,93% tidak dapat dijelaskan berdasarkan hubungan linearnya. Dari
0,7814. Nilai root mean square error (rmse), semakin mendekati nilai nol maka
persamaan fitting yang digunakan akan semakin baik. Nilai rmse dari hubungan
suhu MOTIWALI dan manual adalah 0,4264. Berdasarkan nilai rmse yang
diperoleh dapat dikatakan bahwa persamaan yang didapat masih belum baik.
pengukuran.
menggunakan jarak tetap sebagai acuan sebesar 173 cm. Pada Gambar 12, data
29
suhu (garis warna merah) dan jarak MOTIWALI (garis biru) serta jarak acuan
(garis coklat).
Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa suhu dan jarak memiliki hubungan
yang berkebalikan sesuai dengan teori Branconi (1740) in Bohn (1988), yang
udara. Dengan demikian, pada jarak yang tetap (fix) akan ditempuh dalam waktu
yang lebih singkat. Data jarak memiliki bentuk grafik yang sangat rapat karena
waktu pengambilan data (sampling) yang singkat. Pada lingkaran warna hitam
terdapat pencilan data yang diduga terjadi akibat kesalahan elektronik. Kesalahan
ini terjadi bias disebabkan karena tegangan masukan yang tidak seimbang,
sehingga menyebabkan adanya delay berlebih pada saat penerimaan sinyal balik
(echo) dari objek. Dugaan lain adalah terjadi efek Dopler yang menyebabkan
nilai dari pantulan bertambah. Bertambahnya nilai pantulan ini karena ada lebih
dari satu echo yang terdeteksi oleh sensor. Untuk mengurangi kesalahan data
30
akibat data pencilan ini, sebaiknya data tersebut dihilangkan atau di sortir terlebih
dahulu. Keterangan statistik dari data yang diperoleh data dilihat pada Tabel 3.
dan terkecil sebesar 168,2 cm dan memiliki nilai rata-rata sebesar 169,1 cm,
sedangkan suhu terbesar yaitu 23,8 ºC dan terkecil sebesar 21,6 ºC dengan rata-
rata nilai suhu sebesar 22,5 ºC. Ketelitian data MOTIWALI untuk pengukuran
rentang data setiap lima data dan data suhu dikoreksi menggunakan persamaan
yang didapat dari koreksi suhu (Persamaan (1)). Pemilihan perata-rataan setiap
lima data didasari pada mean absolute percentage error (MAPE) yang paling
tiga maupun sepuluh data, dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861
dan 0,087431. Jarak hasil koreksi ini sudah meminimalisir pengaruh suhu udara
didapat mendekati jarak sebenarnya atau jarak acuannya. Data suhu ditunjukkan
oleh garis warna merah, dan jarak ditunjukkan dengan garis biru, sedangkan jarak
Berdasarkan Gambar 13, jarak hasil koreksi suhu lebih halus dibandingkan
dengan jarak sebelum dikoreksi akibat proses smoothing. Terlihat bahwa secara
umum pola garis yang dibentuk oleh jarak berlawanan dengan pola suhunya,
artinya jarak akan sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu. Adanya pola garis
jarak yang mengikuti pola garis suhu diduga karena faktor yang mempengaruhi
Nilai jarak tertinggi sebesar 171,7 cm dan jarak terendah sebesar 170,6 cm
(Tabel 4). Apabila mengacu pada jarak tetap yang diketahui, yaitu 173 cm, maka
terkoreksi adalah 171,2 ± 0,1 cm. Data suhu yang telah dikoreksi memiliki nilai
tertinggi sebesar 27,3 ºC dan terendah sebesar 25,1 ºC dengan nilai rata-rata
32
sebesar 26,0 ºC. Ketelitian dari nilai suhu setelah dikoreksi adalah 26,0 ± 0,5 ºC
(Tabel 4).
Pada Gambar 14, ditunjukkan perbandingan nilai jarak yang didapat dari
keluaran MOTIWALI (garis warna biru) dengan jarak yang sudah terkoreksi
dengan suhu udara (garis warna merah) dan jarak acuan (garis warna coklat).
Dengan nilai jarak acuan atau jarak tetap sebesar 173 cm, nilai jarak yang
dihasilkan dari hasil koreksi memiliki nilai yang semakin mendekati jarak acuan
33
tersebut yaitu sebesar 171,7 cm. Apabila dibandingkan dengan jarak keluaran
sebelum dilakukan pengkoreksian terhadap suhu udara yang memiliki nilai jarak
sebesar 171,4 cm, maka jarak terkoreksi menjadi lebih akurat. Grafik jarak hasil
koreksi, memiliki pola yang lebih halus dibandingkan dengan grafik jarak
lingkaran warna hitam (awal dan akhir susunan data), menunjukkan bahwa pada
suhu di atas 26,0 ºC (Gambar 13) diduga menyebabkan salah yang besar terhadap
Persamaan (6) dengan menentukan rata-rata dari selisih jarak tetap dikurangi
dengan jarak koreksi. Keterangan statistik data jarak dapat dilihat pada Tabel 5.
dengan jarak terkoreksi (garis biru). Nilai jarak setelah dikoreksi memiliki
standar deviasi sebesar 0,1 (Tabel 5). Apabila membandingkan ketelitian antara
jarak keluaran MOTIWALI dan jarak koreksi didapat perbedaan yaitu jarak
MOTIWALI memiliki rentang yang lebih besar, 3,2 cm, sedangkan jarak koreksi
34
sebesar 1,1 cm, sehingga ketelitiannya menjadi semakin tinggi setelah dikoreksi.
Rata-rata dari selisih antara jarak tetap dikurangi dengan jarak terkoreksi suhu
udara adalah sebesar 1,8 cm, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata akurasi
ketika digunakan pada pengukuran sebenarnya. Selain untuk menguji kinerja alat,
pengukuran lapang pasang surut juga bertujuan untuk mengetahui secara visual
pola pasang surut yang terbentuk selama pengukuran. Pengukuran pasang surut
dihubungkan data suhu MOTIWALI (garis merah) dan jarak MOTIWALI (garis
biru).
Grafik jarak pada Gambar 16 adalah hasil pengukuran jarak dari permukaan
sensor (transduser) ke permukaan muka air laut, sehingga pola dari grafiknya
berkebalikan dengan pola gerakan naik turunnya muka air laut sebenarnya. Tanda
yang didapat dari hasil pengukuran berturut-turut adalah 108,5 cm dan 54,3 cm,
dengan jarak rata-rata sebesar 84,6 cm. Untuk suhu tertinggi sebesar 30,5 ºC dan
terendah sebesar 24,5 ºC, dengan suhu rata-rata sebesar 26,7 ºC.
36
melihat perbedaan pada peningkatan nilai jarak pada jarak setelah dikoreksi.
Berdasarkan Gambar 17, setelah jarak ditapis dan dikoreksi, jarak menjadi
semakin halus dan mengalami peningkatan nilai sebesar 1,1 cm. Jarak yang
sebesar 50,9 cm. Selang (range) data dari kedua jarak tersebut juga berbeda.
Jarak MOTIWALI memiliki selang data sebesar 57,7 cm, sedangkan jarak koreksi
memiliki selang data sebesar 54,2 cm. Dari selang data ini diketahui bahwa
termasuk dalam wilayah Laut Jawa. Laut Jawa merupakan perairan dangkal
Ikeda, 2008). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan dua alat ukur, yaitu
Grafik pasang surut pada Gambar 18 dibagi berdasarkan hari yang diberi
keterangan pada bagian atas gambar tersebut. Hari ke-1 memiliki nilai tertinggi
sebesar untuk MOTIWALI dan Manual, masing-masing 11,2 cm dan 13,4 cm,
dan Manual. Hari ke-2 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada Hari
ke-1 yaitu sebesar 30,2 cm untuk MOTIWALI dan 30,9 cm untuk Manual. Nilai
terendah dari MOTIWALI dan Manual pada Hari ke-2 sebesar -15,7 cm dan -16,6
cm. Untuk lebih jelas, nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Penyebab
karena terjadi paralaks mata. Selain itu, skala yang digunakan kurang teliti yaitu
hanya sebesar 1 cm. Namun demikian, dengan perbedaan yang kecil ini, dapat
dikatakan bahwa MOTIWALI sudah baik untuk mengukur pasang surut air laut.
39
MOTIWALI dan mistar pasut memiliki perbedaan yang terlihat dari grafik
ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5
grafik pasang surut pada Hari ke-1, terlihat bahwa pasang tertinggi terjadi pada
waktu malam hari mendekati waktu pergantian hari antara pukul 18:00:00 WIB
sampai pukul 00:00:00 WIB. Selanjutnya diikuti dengan dua kali surut dan satu
kali pasang yang tidak terlalu tinggi pada selang waktu antara pukul 06:00:00
Hari ke-2 terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, surut pertama terjadi
antara pukul 12:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB. Selang waktu antara
pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 06:00:00 WIB terjadi pasang yang lebih tinggi
dibandingkan Hari ke-1 dengan puncak mendekati pukul 00:00:00 WIB. Surut
kedua terjadi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul
dangkal memiliki waktu dari surut ke pasang yang lebih kecil dibandingkan
40
dengan dari pasang ke surut. Hal ini dapat dilihat pada garis hitam (surut ke
pasang) dan garis hijau putus-putus (pasang ke surut) pada Gambar 18.
pasang dan surut yang terjadi. Tidal Range adalah selisih antara pasang tertinggi
dan surut terendah. Pasang 1-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada
Hari ke-1, sedangkan Pasang 2-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada
Hari ke-2. Begitu juga dengan surut, Surut 1-1 menjelaskan surut pertama yang
terjadi pada Hari ke-1, Surut 2-1 adalah surut pertama pada Hari ke-2.
Jika melihat pola pasang surut yang terjadi dalam satu hari secara visual,
maka pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka masuk ke
yang dilakukan Pariwono (1987), perairan Laut Jawa didominasi oleh tipe pasang
surut harian tunggal, khusus di perairan Kepulauan Seribu tipe pasang surutnya
41
campuran condong harian tunggal merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu
kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua
Pasang 1-1 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 23,1 cm dan 25
cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 1-2 ke Surut 1-1
memiliki tunggang pasut sebesar 13,8 cm dan 15 cm. Hari ke-2 memiliki nilai
tunggang pasut lebih besar dibandingkan dengan Hari ke-1. Hal ini disebabkan
karena pada saat pengukuran terjadi gelombang yang cukup besar disekitar
perairan Pulau Pramuka, sehingga menyebabkan permukaan air laut menjadi lebih
tinggi. Nilai tunggang pasut dari Pasang 2-1 ke surut 2-1 sebesar 45,9 cm dan
47,5 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 2-1 ke Surut 2-2
pada sifat dari perambatan pasang surut dari laut perbatasan. Pasut semi-diurnal
yang memasuki Laut Jawa lemah karena efek dari pembelokan gelombang pasut
yang menuju ke utara dari Samudera Hindia di Laut Flores. Selain itu, bagian
terkecil dari gelombang yang dibelokkan merambat jauh sampa ke Selat Makasar
dan bertemu dengan gelombang yang berasal dari Samudera Pasifik. Dilain sisi,
gelombang pasut diurnal yang lebih kuat dari Samudera Pasifik mampu masuk
sampai ke Laut Flores dan bertemu gelombang dari Samudera Hindia melewati
5.1. Kesimpulan
3. Pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka secara visual
5.2. Saran
akan lebih baik jika lamanya waktu pengambilan data diperpanjang, sehingga
menghasilkan data yang lebih baik. Pengambilan data pasang surut di lapang
surut, sehingga dapat dilakukan analisis lebih lanjut. Pengukuran pasang surut
paralon, agar data yang didapat tidak dipengaruhi oleh gelombang lain selain
pasang surut, Selain itu, konfigurasi penempatan alat memperhatikan titik ikat di
42
DAFTAR PUSTAKA
Callegaro, A. 2010. Forcasting methods for spare parts demand. Tesis. Corso
Di Laurea In Ingegneria Gestionale. Dipartimento Di Tecnica E
Gestione Dei Sistemi Indrustriali. Facolta’ Di Ingegneria. Universita’
Degli Studi Di Padova. Padova.
Gencay, R. dan Stengos T. 1998. Moving average rules, volume and the
predictability of security return with feedforward network. Journal of
Forecasting. 17(5-6):401-414.
43
44
Iqbal, M. dan I. Jaya. 2011. Pengembangan dan uji coba instrumen pasang surut
menggunakan gelombang ultrasonik. Laboratorium Instrumentasi dan
Telemetri Kelautan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pugh, D. T. 1987. Tides, surges, and mean sea level. John Wiley & Sons Ltd.
Wiltshire.
45
Suyarso. 1987. Muka laut rata-rata dan aplikasinya dalam jaring geodesi. In O.
S. R. Ongkosongo dan Suyarso (Ed.), Pasang-surut. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanografi. Jakarta. Hal. 192-200.
Wyrtki, K. 1961. Phyical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga
Report Vol. 2. Scripps Institution Oceanography. La Jolla. California.
Zakaria, A. 2009. Dasar teori dan aplikasi program interaktif berbasis web untuk
menghitung panjang gelombang dan pasang surut. Bahan Kuliah
Rekayasa Pantai. Jurusan Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Univeritas
Lampung. Bandar Lampung.
LAMPIRAN
46
47
1 00:00
2 00:15
3 00:30
4 00:45
5 01:00
6 01:15
7 01:20
. .
. .
. .
.
. .
dst dst
48
Harian (Diurnal)
- Luni-solar diurnal K1 23,9 58
- Principal lunar O1 25,8 42
diurnal P1 24,1 19
- Principal solar Q1 26,9 8
diurnal
- Larger lunar elliptic
Periode Panjang
(Long - Period)
- Lunar fortnightly Mf 328,0 17
- Lunar monthly Mm 661,0 9
- Solar semi-annual Ssa 2191,0 8
Sumber : Pond dan Pickard (1983)
49
𝑃𝑜
𝐶= 𝛾 (1)
𝜌
karena udara utamanya tersusun dari molekul diatomic, maka nilai γ dari udara
𝑃𝑜
𝐶= 1.4 (2)
𝜌
dan PV = RT dan definisi dari densitas (ρ) adalah massa per unit volume, jadi
𝑅𝑇
𝐶= 1.4 (3)
𝑀
𝑇
𝐶𝑜 (4)
273
dimana T merupakan suhu dalam Kelvin dan Co setara dengan kecepatan suara
𝑡
𝑐 ≔ 331.45 1 + (5)
273
(sengpielaudio.com, 2011).
Keterangan:
Mulai
tidak
Cek MMC, Sensor
Kirim SMS /
ya Waktu Pengiriman Data
Modul RF
Kondisi Baik
ya
ya
Kirim data diset=1
ya
Nyalakan Relay
Simpan Data
Transmit
i>10 Sinyal
Waktu=0
ya
Terima Sinyal
Jumlah Jarak
Waktu=t
Hitung rata-
rata Jarak
Lampiran 7. MOTIWALI
Sensor Suhu
Sensor
Transduser
(SPMB) dengan program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
(MIT) Club sebagai mahasiswa peneliti. Penulis juga aktif menjadi asisten
Umum 2010, Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut 2010-2011 dan 2011-2012, serta
Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan