Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENELITIAN SKRIPSI

STUDI RAMAH LINGKUNGAN ALAT PENANGKAPAN IKAN


BERDASARKAN CODE OF CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES
DI KECAMATAN ALUH - ALUH KABUPATEN BANJAR

Oleh :
DELLA AMELIA SANDRI
171071322003

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,


RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
LAPORAN PENELITIAN SKRIPSI
STUDI RAMAH LINGKUNGAN ALAT PENANGKAPAN IKAN
BERDASARKAN CODE OF CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES
DI KECAMATAN ALUH - ALUH KABUPATEN BANJAR

Oleh :
DELLA AMELIA SANDRI
171071322003

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,


RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Atas
berkat rahmat dan karunia-Nya dapat menyelesaikan Laporan Penelitian Skripsi
yang berjudul “Studi Ramah Lingkungan Alat Penangkapan Ikan Berdasarkan
Code Of Conduct For Responsible Fisheries Di Kecamatan Aluh –Aluh
Kabupaten Banjar”. ”. Laporan Penelitian Skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung
Mangkurat.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kesulitan dan kendala yang
dihadapi dalam penyusunan laporan penelitian skripsi ini. Namun, berkat dukungan
dan bantuan dari banyak pihak maka laporan penelitian skripsi ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada orangtua penulis, Sandodie Ritam dan Sri Mastuti serta adik
penulis,Denovan Avila Sandri atas semangat, dukungan dan doanya sehingga
laporan penelitian skripsi dapat disusun hingga selesai. Ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya juga penulis berikan kepada Bapak Ir. Iriansyah, M.Si. sebagai
Ketua Tim Pembimbing Skripsi dan Bapak Ir. Irhamsyah M.Si. sebagai Anggota
Tim Pembimbing Skripsi atas ilmu, arahan, dukungan serta saran yang diberikan dari
awal penyusunan hinga akhir penulisan laporan penelitian skripsi. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Hj. Agustiana, MP. selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Lambung Mangkurat,
2. Bapak Eka Anto Supeni, S.Pi., M.Si. selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah
memberikan saran serta masukan dalam penyusunan laporan penelitian skripsi ini,
3. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Perikanan Tangkap atas ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di bangku kuliah,

4. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Perikanan dan Kelautan ULM yang telah banyak
membantu dalam pengurusan kelengkapan administrasi dari awal perkuliahan hingga
tahap penyelesaian laporan penelitian skripsi,
5. Bapak-bapak nelayan di wilayah kecamatan Aluh-Aluh atas keramahan serta
kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan informasi selama penulis
melakukan penelitian skripsi,
6. Sahabat penulis, Khairunnisa dan Rahmalinda Izany yang telah memberikan
bantuan dan kerjasama selama penulis melakukan penelitian

iv
7. Teman-teman Program Studi Perikanan Tangkap Angkatan 2017 dan HIFASURIN
yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu atas segala bantuan, pengalaman,
pembelajaran dan kebersamaan yang berarti bagi penulis,
8. I want to thank me for believing in me, doing all the hard work and never quitting,
10. Seluruh pihak yang tidak dapat dicantumkan satu-persatu yang telah memberikan
saran, bantuan, doa dan motivasi dalam penulisan laporan penelitian skripsi ini.

.
Banjarbaru, Desember 2021

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................. iv
DAFTAR ISI............................................................................................ v
DAFTAR TABEL.................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR............................................................................... vii
BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian....................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian..................................................................... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 4
2.1. Kriteria Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan....................... 4
BAB 3. METODE PENELITIAN.......................................................... 8
3.1. Waktu dan Tempat..................................................................... 8
3.2. Alat dan Bahan.......................................................................... 8
3.3. Metode Penelitian...................................................................... 8
3.4. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 9
3.5. Jenis Data................................................................................... 9
3.6. Analisis Data.............................................................................. 10
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................. 16
4.1. Hasil .......................................................................................... 16
4.1.1. Identifikasi Alat Tangkap................................................ 16
4.1.2. Hasil Skoring Kriteria Alat Tangkap Ramah
Lingkungan ..................................................................... 20
4.2. Pembahasan............................................................................... 24
4.2.1. Selektifitas....................................................................... 24
4.2.2. Alat Tangkap................................................................... 28
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 33
5.1. Kesimpulan................................................................................. 33
5.2. Saran........................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
vi
Nomor Halaman
3.1. Rencana Pelaksanaan Kegiatan Penelitian.................................... 8
3.2. Alat................................................................................................ 8
3.3. Kriteria Tingkat Keramahan Lingkungan CCRF/FAO 1995........ 14
4.1. Lampara (trawl net)....................................................................... 21
4.2. Rawai (longline)............................................................................ 21
4.3. Togo (filter net)............................................................................. 22
4.4. Jaring Insang (Gillnet)................................................................... 22
4.5. Standarisasi Fungsi Nilai Alat Tangkap Di Kecamatan
Aluh-Aluh Kabupaten Banjar........................................................ 23

DAFTAR GAMBAR

vii
Nomor Halaman
3.1. Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Aluh-Aluh
Kabupaten Banjar.......................................................................... 8
4.1. Lampara Dasar (Mini trawl).......................................................... 16
4.2. Rawai (longline)............................................................................ 17
4.3. Togo (filter net)............................................................................. 19
4.4. Jaring Insang (gillnet).................................................................... 20

viii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Banjar terletak antara 2 49’55” sampai dengan 3 93’38” dan


11430’20” sampai 115 35’37” Bujur Timur, serta terletak pada ketinggian 0
sampai dengan 250 m dari permukaan laut. Topografinya terdiri dari dataran
rendah (bagian barat), berbukit-bukit (bagian tengah) dan pegunungan (sebelah
timur) yang merupakan gugusan pegunungan Meratus. Wilayah dataran rendah
sebagian besar terdiri dari wilayah berawan dan sedikit rawa pantai. Wilayah
Kabupaten Banjar 4.529.85 km2, secara administratif dibagi menjadi 17
kecamatan ditambah 2 kecamatan baru yang selanjutnya dibagi dalam 288
kelurahan/desa (Dinas Perikanan Kabupaten Banjar, 2019 ).
Kabupaten Banjar mempunyai sumberdaya perikanan dan kelautan yang
sangat potensial untuk dikembangkan. Kabupaten Banjar juga termasuk salah satu
kabupaten di Kalimantan Selatan yang mempunyai potensi perairan yang lengkap,
yaitu perairan umum dan perairan laut kawasan pesisir. Potensi ini telah
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan penangkapan dan budidaya.
Kegiatan penangkapan yang dilakukan masyarakat meliputi kegiatan penangkapan
di perairan laut dan perairan umum (Rupawan Dhariyati , Asyari , M.A. Rifai,
2012).
Alat penangkapan ikan sebagai sarana utama dalam usaha perikanan
tangkap diatur sedemikian rupa sehingga tidak berdampak negatif pada pengguna
sumberdaya perikanan dan lingkungan perairan serta pengguna jasa perairan
lainnya. Penggunaan alat penangkapan ikan harus memperhatikan keseimbangan
dan meminimalkan dampak negatif bagi biota lain (Putri, 2019).
Aluh – aluh adalah kecamatan yang berada di Kabupaten Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki total populasi sebanyak 29,706 jiwa
dan memiliki luas 82,48 km2 dan memiliki 19 desa.
Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan Kabupaten Banjar data
penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Banjar pada tahun 2019 yaitu Lampara
Dasar sebanyak 337unit, Rawai Dasar sebanyak 148 unit, Togo sebanyak 379
unit. Jumlah nelayan di Kabupaten Banjar yang berkerja penuh sebagai nelayan

1
2

sebanyak 1,085 jiwa, sedangkan nelayan yang pekerjaan utamanya bukan nelayan
sebanyak 593 jiwa (Dinas Perikanan Kabupaten Banjar, 2019 )
Berdasarkan data yang di dapat mengenai alat penangkapan yang ada di
wilayah Kecamatan Aluh- aluh Kabupaten Banjar sehingga perlu dilakukan
penelitian mengenai tingkat keramahan lingkungan alat penangkapan ikan yang
ada di Kecamatan Aluh- Aluh Kabupaten Banjar.
Penggunaan alat tangkap ikan ramah lingkungan sangat penting untuk
diterapkan dalam proses penangkapan ikan. Hal ini perlu dilakukan sebagai
upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya ikan di masa
yang akan datang. Oleh sebab itu, untuk mewujudkannya maka perlu adanya
penilaian tingkat keramah lingkungan dari suatu alat tangkap.
Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) atau tata laksana
perikanan yang bertanggungjawab dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan
kegiatan perikanan secara bertanggung jawab. Pedoman ini memberi kelengkapan
bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya
laut yang lestari dan berkelanjutan. Sasaran dari CCRF ditujukan bagi para
pengambil keputusan dalam otoritas pengelolaan perikanan, termasuk perusahaan
perikanan, organisasi nelayan, serta organisasi non pemerintah yang peduli
terhadap kelestarian sumberdaya laut dan perikanan (Dahuri , 1993)
Alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan merupakan suatu alat
penangkapan ikan yang tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan,
yaitu sejauh mana alat tersebut tidak merusak dasar perairan, kemungkinan
hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Factor lain adalah
dampak terhadap biodiversity dan target resources yaitu komposisi hasil
tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda (Arimoto, et al.,
1999).
Monintja, (2001) menyebutkan bahwa kriteria teknologi penangkapan
ikan memiliki beberapa aturan penting, yaitu: selektifitas yang tinggi, tidak
membahayakan nelayan, tidak destruktif terhadap nelayan, produksinya
berkualitas, produknya tidak tidak membahayakan konsumen, ikan buangan
minimum, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah,
dampak minimum terhadap keanekaragaman hayati dan dapat diterima secara
3

sosial. Merujuk kepada pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa operasi


penangkapan ikan dapat dikatakan berjalan lancar apabila suatu usaha perikanan
memiliki beberapa kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

1.2. Rumusan Masalah

Cara lain untuk meningkatkan hasil tangkapan tanpa merusak kelestarian


sumber daya hayati perikanan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah
lingkungan di mana alat tersebut dioperasikan. Berdasarkan latar belakang diatas
maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Apa saja jenis alat tangkap ikan yang ada di Kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten
Banjar?
2. Bagaimana status alat penangkapan ikan yang ada di Kecamatan Aluh-Aluh
Kabupaten Banjar berdasarkan kriteria alat tangkpa yang ramah lingkungan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :


1. Mengidentifikasi jenis alat tangkap di Kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten
Banjar?
2. Mengetahui tingkat keramahan alat tangkap yang digunakan nelayan di
Kecamatan Aluh –Aluh Kabupaten Banjar.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:


1. Sebagai sumber referensi ataubahan informasi bagi pemerintah dan instansi
terkait, sehubungan dengan pengelolaan dan pengembangan tentang alat
tangkap ramah lingkungan, dan dapat memberi solusi menggantikan alat
tangkap yang tepat dan tidak merusak lingkungan
2. Diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk masyarakat dalam upaya
pemahaman dan pengetahuan tentang alat tangkap yang ramah lingkungan,
agar sumberdaya ikan dapat berkelanjutan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kriteria Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan

Evaluasi dampak pengoperasian alat penangkap ikan minimal harus


mampu menjawab tiga dampak utama yaitu: (1) dampak terhadap lingkungan, (2)
dampak terhadap kelimpahan sumber daya dan (3) dampak terhadap target
sumber daya ikan (Wiyono, 2005).
Indikator dari alat penangkapan ikan ramah lingkungan berdasarkan
petunjuk teknis Dirjen Perikanan Tangkap (2005) sebagai acuan dalam penelitian
ini, yaitu:
a. Tidak menangkap di daerah terlarang, jika tidak mengoperasikan alat tangkap
di daerah yang dilarang oleh pemerintah secara resmi seperti kawasan
konservasi.
b. Tidak membahayakan nelayan: jika dalam pengoperasiannnya tidak
membahayakan jiwa dan keselamatan nelayan.
c. Tidak menangkap spesies yang dilindungi: jika frekuensi tertangkapnya
spesies yang dilindungi relatif kecil atau tidak sama sekali
d. Mempertahankan keanekaragaman hayati: jika tidak menurunkan
keanekaragaman hayati perairan dengan tidak menangkap secara berlebihan
pada suatu spesies tertentu yang akan mengancam keberadaannya.
e. Tidak merusak fisik perairan: jika tidak merusak habitat ikan seperti terumbu
karang, alga, lamun, dan habitat fisik perairan lainnya.
f. Tangkapan berkualitas tinggi: jika secara fisik hasil tangkapan kualitas dan
mutu yang baik, seperti insang yang berwarna merah dan segar, daging masih
utuh, segar dan padat.
g. Hasil tangkapan sampingan rendah: jika hasil tangkapan sampingan yang
tertangkap bersamaan dengan hasil tangkapan utama sangat kecil atau tidak
ada.
Departemen Kelautan dan Perikanan (2006), dengan mengacu pada FAO
(Food Agricultur Organizaiton) pada tahun 1995, mengeluarkan suatu tata cara
bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code Of Counduct For
Resposible Fisheries - CCRF). Ada sembilan keriteria yang ditetapkan CCRF

4
5

yang digunakan pada teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan,yaitu:


a. Alat Tangkap Harus Memiliki Selektifitas yang Tinggi.
Alat tangkap yang selektifitas tinggi adalah diupayakan hanya dapat
menangkap ikan/biota lain yang menjadi target penangkapan saja dan ada dua
macam selektifitas yang menjadi kriteria, yaitu selektifitas ukuran dan selektifitas
jenis. Pada kriteria ini terdiri dari yang paling rendah hingga paling tinggi: Alat
menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran berbeda jauh, alat tangkap
memperoleh paling banyak tiga jenis dengan ukuran berbeda jauh, alat tangkap
memperoleh kurang dari tiga jenis dengan ukuran yang kurang lebih sama, dan
alat tangkap memproleh satu jenis saja dengan ukuran yang kurang lebih sama.
b. Tidak Membahayakan Nelayan (Penangkap Ikan).
Keselamatan nelayan menjadi syarat utama penangkapan ikan, hal ini
dikarenakan keselamatan nelayan merupakan bagian penting bagi
keberlangsungan perikanan yang produktif. Penilaian resiko diterapkan
berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan
dari rendah tinggi; Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat
kematian pada nelayan, alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat
cacat menetap (permanen) pada nelayan, alat tangkap dan cara penggunaannya
dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementaraa dan alat tangkap
aman bagi nelayan.
a. Menghasilkan Ikan yang Bermutu Baik.
Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan
secara morfologis (bentuknya). Penilaian dari rendah hingga tinggi: ikan kondisi
mati busuk, ikan mati, segar cacat fisik, segar dan ikan hidup. Hasil yang
tangkapan yang tidak membahayakan kesehatan konsumen karena ikan yang
ditangkap dengan peledakan bom, pupuk kimia, atau racun sianida beresiko
tercemar oleh racun. Penilaian kriteria ini dari rendah hingga tinggi yang
ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang akan dialami konsumen yang harus
menjadi pertimbangan adalah: menyebabkan kematian konsumen, berpeluang
menyebabkan gangguan kesehatan konsumen, menyebabkan terjadi gangguan
kesehatan konsumen, aman dan bagi konsumen.
6

b. Hasil tangkapan yang Terbuang Minimum


Alat tangkap yang tidak selektif dapat menangkap ikan atau biota yang
bukan sasaran penangkapan (Non-target). Menggunakan Alat yang tidak selektif
akan meningkatkan hasil tangkapan sampingan, karena banyaknya jenis non-
target yang ikut tertangkap. Dimana hasil tangkapan non-target nantinya akan ada
yang dapat dimanfaatkan dan ada yang tidak. Penilaian kriteria ini ditetapkan
berdasarkan dari yang rendah hingga tinggi: Hasil tangkapan sampingan (By-
catch) terdiri dari beberapa jenis biota yang tidak laku dan ada beberapa jenis
yang laku dijual di pasar. Hasil tangkapan sampingan (By-catch) kurang dari tiga
jenis laku dijual di pasar dan berharga tinggi di pasar.
c. Alat Tangkap yang Digunakan Harus Memberikan Dampak Minimum
Terhadap Keanekaan Sumber Daya Hayati (Biodiversity).
Persyaratan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan adalah
meminimalisasi dampak terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati perairan
sebagai akibat penangkapannya. Adapun penilaian kriteria ini ditetapkan dari
yang rendah hingga tinggi; (1) Alat tangkap dan pengoprasiannya menyebabkan
kematian semua mahluk hidup yang merusak habitat, (2) pengoperasian alat
tangkap yang dapat menyebabkan kematian beberapa jenis biota dan berdampak
merusak habitat, (3) pengoprasian alat tangkap yang menyebabkan kematian
beberapa jenis biota tetapi tidak merusak habitat, aman bagi keanekaan
sumberdaya hayati yangbekelanjutan.
d. Tidak Menangkap Jenis Biota yang Dilindungi Undang-Undang atau
Terancam Punah.
Alat tangkap terhindar dari larangan dan bahayanya menangkap
ikan/biota yang dilindungi undang-undang ditetapkan seperti berikut: ikan yang
dilindungi undang-undang sering tertangkap alat, beberapa kali tertangkap,
pernah tertangkap dan tidak pernah tertangkap.
e. Diterima secara sosial
Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat
tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Ada
beberapa kriteria alat tangkap yang mudah diterima secara sosial oleh masyarakat
nelayan apabila; (1) pengoperasian yang murah, (2) secara ekonomi
7

menguntungkan, (3) tidak bertentangan dengan budaya setempat, (4) tidak


bertentangan dengan peraturan yang ada. Penilaian kriteria ditetapkan dengan
menilai dari yang rendah hingga yang tinggi; alat tangkap memenuhi satu dari
empat persyaratan di atas, alat tangkap memenuhi dua dari empat persyaratan di
atas, alat tangkap memenuhi tiga dari empat persyaratan di atas, dan alat tangkap
memenuhi semua persyaratan diatas.
Martasuganda (2005), merincikan beberapa hal penting yang harus
diperhatikan, agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang
ramah lingkungan, antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan seleksi terhadap ikan yang akan dijadikan target penangkapan atau
layak tangkap baik dari segi jenis dan ukurannya dengan membuat desain dan
kontruksi alat tangkap yang sesuai dengan jenis dan ukuran dari habitat
perairan yang akan dijadikan target tangkapan. Dengan demikian diharapkan
bias memininumkan hasil tangkapan sampingan yang tidak diharapkan dari
spesies perairan yang dilindungi.
2. Tidak memakai ukuran mata jaring yang dilarang (berdasarkan SK. Menteri
Pertanian No.607/KPB/UM/1976 butir 3) yang menyatakan bahwa mata jaring
di bawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan dimana-
mana perairan.
3. Tidak melakukan kegiatan usaha penangkapan di daerah penagkapan ikan yang
sudah dinyatakan over fishing, di daerah konservasi yang dilarang, di daerah
penangkapan yang dinyatakan tercemar baik dengan logam maupun bahan
kimia lainnya.
4. Tidak melakukan pencemaran yang akan mengakibatkan berubahnya tatanan
lingkungan sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya. Sebagai contoh tidak membuang jaring bekas atau
potongan-potongan jaring serta benda-benda lain yang berupa bahan bakar
bekas pakai seperti pelumas mesin.
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu Dan Tempat

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Aluh-Aluh


Kabupaten Banjar
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan yaitu dimulai pada bulan Mei
2021 hingga Juni 2021 di Kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten Banjar Provinsi
Kalimantan Selatan.
Tabel 3.1. Rencana Pelaksanaan Kegiatan Penelitian

3.2. Alat

Alat yang digunakan dalam pengambilan data saat berada dilapangan


seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Alat
No. Alat Kegunaan
1. Lembar kuisioner Panduan dan sarana melakukan
wawancara
2. Pulpen Alat tulis untuk mencatat jawaban yang
diperoleh

8
9

3. Alat Tangkap Objek penelitian


4. Laptop Untuk menginput data
5. Kamera Untuk mendokumentasikan
6. Roll meter Mengukur panjang alat tangkap
7. Penggaris Mengukur mesh size

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


menggunakan teknik nonprobability sampling dengan metode sampling insidental
untuk menentukan sampel penelitian
Nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak
memberikan peluang/kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel. Insidental sampling adalah teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja secara
kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel,
bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok dengan sumber data
(Sugiyono, 2018).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


metode survey dan wawancara. Metode survey digunakan untuk mendapatkan
data dari tempat tertentu yang alamiah, tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam
pengumpulan data, misalnya denganmengedarkan kuesioner, test, wawancara
terstruktur dan lain sebagainya (Sugiyono, 2014).
Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan umtuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil tatap muka antara si pewawancara
dengan responden menggunakan alat yang dinamakan interview guide/ panduan
wawancara (Nazir, 1988)
Teknik pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunderdengan
cara; (1) Observasi lapangan (survei) guna mencari informasi danmelihat alat
tangkap yang di gunakan oleh responden, (2) Penggunaan kuisioner semi terbuka
sebagai panduan dan sarana untuk melakukan wawancara dengan responden, (3)
Pengumpulan data dan informasi dari instansi terkait. Kemudian data yang sudah
10

di kumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan teknik analisis data deskriftif


kualitatif.
3.5 Jenis Data

Pengambilan data pada kegiatan penelitian ini adalah dilakukan dengan


mengambil data primer yaitu hasil observasi terhadap suatu benda, kejadian atau
kegiatan sedangkan data sekunder adalah data penilitian yang diperoleh secara
tidak langsung melalui perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain).
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti
secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli
atau data baru. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkan
secara langsung (Suryana, 2010).
2. Data Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber data yang diperoleh dengan cara
membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber dari
literatur, buku-buku,serta dokumen (Sugiyono, 2012).

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan selama penelitian, akan di analisis


dengan menggunakan cara dekskriptif, kualitatif, yaitu metode penelitian yang
bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal seperti apa adanya. Metode
ini dilakukan dengan cara menceritakan data yang diperoleh dari lapangan yang
kemudian dengan teori yang ada (Prasetya, 1999).
Dalam menentukan tingkat keramahan alat tangkap yang ada di
Kecamatan Aluh-Aluh dalam menunjang perikanan yangbertanggungjawab maka
dilakukan penentuan kriteria perikanan yangramah lingkungan seperti yang
dikemukakan dalam Code of Conduct forResponsible Fisheries, FAO (1995),
Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan, DKP (2005) dan
Monintja (2000). Kriteria tersebut kemudian diberikan skor. Pemberian bobot
(skor) dari masing-masing alat tangkap terhadap kriteria ialah 1 sampai 4. Untuk
memudahkan penilaian maka masing-masing kriteria utama dipecah menjadi 4
11

sub-kriteria (Najamuddin, 2004, Sudirman, 2004 yang dimodifikasi). Kriteria


tersebut sebagai mana berikut :
a. Selektifitas
Suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektifitas yang tinggi,apabila
alat tersebut di dalam operasionalnya hanya menangkap sedikitspesies ikan
dengan ukuran panjang/lebar yang seragam (range 0 -10cm). Selektifitas alat
tangkap ada 2 macam yaitu selektif terhadap spesiesdan selektif terhadap
ukuran ikan yang tertangkap.Semakin selektif alat tangkap maka skor yang
diberikan semakin besar
(1) Menangkap > 5 spesies ikan dengan variasi ukuran beda
(2) Menangkap > 5 spesies ikan dengan variasi ukuran seragam
(3) Menangkap < 5 spesies dengan ukuran beda
(4) Menangkap < 5 spesies dengan ukuran seragam
b. Dampak terhadap habitat
Pemberian bobot (skor) tingkat keramahan alat tangkap terhadaphabitat
didasarkan pada luasan dan tingkat kerusakannya. Merusak habitat apabila
dalam pengoperasian alat tangkap mencapai dasar perairan dan terlihatnya ciri-
ciri dasar perairan terkeruk pada alat tangkap ketika hauling. Wilayah
kerusakan luas apabila luasan wilayah operasi alat mencapai lebih dari 10 Km.
Semakin kecil dampak kerusakan terhadap habitat maka semakin besarskor
yang diberikan;
(1) Merusak habitat pada wilayah luas
(2) Merusak habitat pada wilayah sempit
(3) Merusak sebagian habitat pada wilayah sempit
(4) Aman bagi habitat
c. Kesegaran hasil tangkapan
Untuk menentukan tingkat kualitas ikan yang tertangkap olehberbagai
jenis alat tangkap didasarkan pada kondisi hasil tangkapan yang teridentifikasi
secara morfologis. Kondisi ikan dominan apabila jumlahnyalebih dari
50%.Semakin baik kualitas (kesegaran) ikan yang ditangkap maka skor yang
diberikan makin besar;
(1) Dominan ikan mati dan busuk
12

(2) Dominan ikan mati, segar, cacat fisik


(3) Dominan ikan mati dan segar
(4) Dominan ikan hidup
d. Keamanan bagi nelayan
Tingkat bahaya/resiko yang diterima oleh nelayan dalam mengoperasikan
alat tangkap sangat tergantung pada jenis alat tangkap dan keterampilan yang
dimiliki oleh nelayan dan didasarkan pada dampakyang mungkin diterima.
Semakin aman bagi nelayan maka skor yang diberikan semakin besar;
(1) Dapat berakibat kematian nelayan
(2) Dapat berakibat cacat permanen
(3) Gangguan kesehatan bersifat sementara
(4) Aman bagi nelayan
e. Hasil tangkapan sampingan
Suatu spesies dikatakan hasil tangkapan sampingan apabilaspesies
tersebut tidak termasuk dalam target penangkapan. Hasil tangkapan
sampingan ada yang dapat dimanfaatkan dan ada pula yang dibuang ke laut
(discard). Semakin sedikit by catch dan semakin memiliki nilai fungsi yang
tinggimaka skor yang diberikan semakin besar;
(1) By catch > 3 spesies, tidak laku dijual
(2) By catch > 3 spesies, dan ada jenis yang laku dijual
(3) By catch < 3 spesies, tidak laku dijual
(4) By catch < 3 Spesies, dan ada jenis yang laku dijual
f. Dampak bagi biodiversity
Dampak buruk yan diterima oleh habitat akan berpengaruh burukpula
terhadap biodiversity yang ada dilingkungan tersebut. Hal ini tergantung dari
bahan yang digunakan dan metode operasinya. Semakin kecil dampak
terhadap biodiversity maka semakin besar skoryang diberikan;
(1) Menyebabkan kematian semua spesies atau merusak habitat
(2) Menyebabkan kematian beberapa spesies, merusak habitat
(3) Menyebabkan kematian beberapa spesies, tidak merusak habitat
(4) Aman bagi biodiversity
g. Keamanan bagi spesies ikan yang dilindungi
13

Suatu alat tangkap dikatakan berbahaya terhadap spesies yang dilindungi


apabila alat tangkap tersebut mempunyai peluang yang cukup besar untuk
menangkap spesies yang dilindungi. Semakin aman bagi ikan yang dilindungi
maka semakin besar skor yang diberikan;
(1) Ikan dilindungi sering tertangkap
(2) Ikan dilindungi beberapa kali tertangkap
(3) Ikan dilindungi pernah tertangkap
(4) Ikan dilindungi tidak pernah tertangkap
h. Penerimaan secara sosial (Investasi rendah, menguntungkan, tidak
berpotensi konflik dan legal)
Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap tergantung pada
kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Suatu alat tangkap
dapat diterima secara sosial oleh masyarakat apabila investasi rendah,
menguntungkan, tidak berpotensi konflik, dan legal. Investasi rendah apabila
jumlah investasi untuk pengoperasian satu unit alat < Rp. 25.000.000,-. Alat
tangkap menguntungkan apabila B/C ratio untuk pengoperasian satu unit alat
tangkap > 1. Tidak berpotensi konflik dilihat dari sikap dan perilaku antar
pengguna alat tangkap atau actor pemanfaat sumberdaya. Suatu alat tangkap
legal apabila dalam pengoperasian alat tangkap sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Semakin banyak kriteria terpenuhi maka skor yang diberikan
semakin besar;
(1) Memenuhi 1 dari 4 kriteria
(2) Memenuhi 2 dari 4 kriteria
(3) Memenuhi 3 dari 4 kriteria
(4) Memenuhi semua kriteria
Analisis tingkat keramahan lingkungan dilakukan dengan beberapa
materi pertanyaan dalam wawancara mencakup kriteria tingkat keramahan
lingkungan yang berjumlah 9 kriteria dan 36 sub kriteria yang dapat
dikuantifikasikan untuk nilai skoringnya. Berikut penilaian keramahan lingkungan
menurut Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) FAO (1995) dapat
dilihat pada Tabel 3.3
14

Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Keramahan Lingkungan CCRF/FAO 1995.


No. Kriteria Sub Kriteria Skor
1 Mempunyai selektivitas Menangkap > dari 3 varian ukuran 1
yang tinggi berbeda jauh
Menangkap 3 spesies ikan dengan 2
varian ukuran berbeda jauh
Menangkap < 3 dengan ukuran 3
yang relative seragam
Menangkap ikan satu spesies 4
dengan ukuran yang relative
seragam
2 Tidak merusak habitat Menyebabkan kerusakan habitat 1
pada wilayah yang luas
Menyebabkan kerusakan habitat 2
pada wilayah yang sempit
Menyebabkan kerusakan seabgian 3
pada wilayah yang sempit
Aman bagi habitat 4
3 Menghasilkan ikan Ikan mati dan busuk 1
berkualitas Ikan mati, segar dan cacat fisik 2
Ikan mati dan segar 3
Ikan hidup 4
4 Tidak membahayakan Bisa berakibat kematian pada 1
nelayan nelayan
Bisa berakibat cacat permanen 2
pada nelayan
Hanya bersifat gangguan 3
kesehatan yang bersifat sementara
Aman bagi nelayan 4
5 Produksi tidak Berpeluang besar menyebabkan 1
membahayakan konsumen kematian pada konsumen
Berpeluang menyebabkan 2
gangguan kesehatan pada
konsumen
Relatif aman bagi konsumen 3
Aman bagi konsumen 4
6 By-catch rendah By-catch ada berapa spesies dan 1
tidak laku di jual di pasar
By-catch ada berapa spesies da 2
nada jenis yang laku di pasar
By-catch < dari 3 spesies dan 3
mempunyai harga yang tinggi
By-catch kurang dari tiga spesies 4
dan mempunyai harga yang tinggi
7 Dampak ke biodiversitas Menyebabkan kematian semua 1
mahluk hidup yang merusak
habitat
15

Menyebabkan kematian beberapa 2


spesies dan merusak habitat
Menyebabkan kematian beberapa 3
spesies tetapi tidak
merusakhabitat
Aman bagi biodiversitas 4
8 Tidak membahayakan ikan Ikan yang dilindungi sering 1
yang di lindungi tertangkap
Ikan yang di lindungi beberapa 2
kali tertangkap
Ikan yang dilindungi pernah 3
tertangkap
Ikan yang dilindungi tidak pernah 4
tertangkap
9 Diterima secara sosial Biaya investasi murah 1
Menguntungkan 2
Tidak bertentangan dengan budaya 3
setempat
Tidak bertentangan dengan 4
peraturan yang ada
Total 36

Untuk menentukan hasil nilai akhirnya maka digunakan analisis


standarisasi fungsi nilai. Unit-unit penangkapan ikan di analisis berdasarkan aspek
keramahan lingkungan dengan 8 kriteria. Nilai yang diperoleh dari masing-masing
kriteria berupa nilai skor, dimasukkan kedalam fungsi nilai sesuai dengan yang
digunakan dalam penilaian berbagai kriteria.Menurut Mangkusubroto & Trisnadi
(1987) metode fungsi nilai yang dirumuskan :
X-X0
V(x) = Xi-X0
n
V(A) = Vi(Xi)
i=1
Dimana:
V(x) = Fungsi nilai dari variabel X
X = Variabel X
X0 = Nilai terburuk pada kriteria X
Xi = Nilai terbaik pada kriteria X
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A
Vi(Xi) = Fungsi nilai dari alternative pada kriteria ke-i
16

Xi = Kriteria ke -i
Kriteria keramahan lingkungan alat tangkap ditentukan berdasarkan total
standar nilai dari sejumlah variabel yang digunakan. Kriteria ramah lingkungan
dalam penelitian ini ditetapkan dalam 3 kategori (Najamuddin, 2004 yang
dimodifikasi), yaitu:
 Tidak ramah lingkungan, nilai < 2,66
 Kurang ramah lingkungan, 2,66 = nilai = 5,32
 Ramah lingkungan, nilai > 5,32 dari total nilai
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Identifikasi Alat Tangkap

Adapun hasil survey lapangan yang dilakukan terdapat 7 alat tangkap yang
terdapat di kecamatan Aluh-Aluh yaitu lampara (trawl mini), bubu, togo (trap
net), jaring kantong (trammel net), rawai (long line), jala (cast net), jaring insang
(gill net).
7 alat tangkap tersebut terdapat 4 alat tangkap yang mendominasi di
wilayah kecamatan Aluh-Aluh yaitu alat tangkap Lampara (mini trawl), Rawai
(longline), Jaring insang (gillnet) dan Togo (trap net) sedangkan 3 alat tangkap
lainya yaitu bubu, jaring kantong, jala tidak bisa memenuhi dari 15 sampel yang
diperlukan dikarenakan ada berbagai macam alasan seperi nelayan yang jarang
menggunakan alat tangkap tersebut, rusak nya alat tangkap akibat tidak digunakan
lagi, berpindahnya nelayan dari menggunakan alat tangkap bubu menjadi rawai,
tidak mendapatkan hasil ketika melakukan proses penangkapan. Berdasarkan
factor tersebut, hanya 4 dari 7 alat tangkap yang ada di Kecamatan Aluh – Aluh
yang bisa dilakukan penelitian karena dapat memenuhi 15 sampel yang
dibutuhkan.

Adapun hasil penelitian mengenai alat tangkap yang ada di wilayah


Kecamatan Aluh – Aluh sebagai berikut :

1. Lampara (Mini trawl)

Gambar 4.1. Lampara (Mini trawl)

16
17

Lampara (Mini trawl) adalah alat penangkap ikan berbentuk kantong


yang terbuat dari jaring dan terdiri dari 2 (dua) bagian sayap pukat, bagian square
dan bagian badan serta bagian kantong pukat. Lampara (Mini trawl) termasuk
dalam klasifikasi pukat hela dasar berpapan (bottom otterboard trawl). Lampara
termasuk dalam jenis pukat hela (trawl) dan dikenal dengan alat tangkap yang
mana hasil tangkapan utama nya adalah udang.
Lampara memiliki tali selambar yang panjangnya 108 meter dengan
ukuran otter board 1,25 x 0,6 meter. Pada badan lampara memiliki ukuran mesh
size 1,5 (3,8 cm) inch dan pada bagian kantong lampara memiliki ukuran mesh
size yang lebih kecil yaitu dengan ukuran mesh size 1 inch. Panjang total pukat
merupakan hasil penjumlahan dari panjang bagian sayap/kaki, bagian badan dan
bagian kantong pukat yang manamemilikiukuran yang bervariasi mulai dari
panjang 45-90 meter dan lebar (dalam jaring) antara 11–36 meter.
Cara pengoperasian alat tangkap lampara adalah di awali dengan
penurunan alat tangkap (Setting) yang mana dimulai dengan mengikatkan
kantong lampara pada papan otter board di sisi kanan dan kiri kemudian dilakukan
penurunan alat tangkap yang mana dilakukan di bagian buritan. Kemudian
Penghelaan pukat (Towing), yang mana dilakukan dengan kecepatan 1-2 knot
selama 2-3 jam pengoperasian dengan menelusuri dasar perairan. Pengangkatan
Pukat (Hauling), Pengangkatan lampara dasar modifikasi dilakukan dari buritan
kapal dengan menarik tali penarik. Setelah tali penarik ditarik, kemudian pukat
lampara dasar diangkat keatas geladak kapal.
Daerah pengoperasian Lampara berjarak sekitar 1-3 mil dari fishing base.
jenis hasil tangkapan lampara adalah udang windu (Panaeus monodon), Udang
Jerebung (Fenneropenaeus merguiensis) Udang Dogol (Metapenaeus
monoceros). Ikan yang tertangkap adalah Ikan Sebelah (Psettodeserumeri),
Gulamah (Jtrachycephalus), Kwee (Carangoides ciliarius), Selar Lazor (Mene
maculata), Alualu (Spyraena jello) Kapas-kapas (Gerresfilamentosus), Kurisi
(Nemipterus hexodon), Peperek (Leiognathus equulus) dan Ikan Kuro
(Elautheronema tetradactylum), Selar Kuning (Selaroides leptolepis).

2. Rawai (Longline)
18

Gambar 4.2. Rawai (longline)

Rawai merupakan alat tangkap yang bersifat pasif yang terdiri dari tali
utama (main line), pelampung (buoy), Tali-tali cabang (branch line), bendera
(sign flag), mata pancing (hook) dan jangkar. Pengoperasian alat tangkap rawai
dilakukan oleh seorang nelayan dan biasanya 2 – 3 kali pengoperasian dalam satu
hari. Hasil tangkapan satu kali operasi ± 3 kg dan jumlah rata-rata hasil tangkapan
dalam satu hari berkisar ± 15 kg. Jika tepat pada musimnya pengoperasian alat
tangkap rawai ini dilakukan 3 – 4 kali pengoperasian dan biasanya hasil
tangkapan mencapai 30 kg.
Alat tangkap rawai yang digunakan nelayan di kecamatan Aluh-Aluh
Besar, merupakan jenis rawai yang dipasang di dasar perairan secara tetap dalam
jangka waktu tertentu. Tali utama terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan
panjang 410 meter dengan diameter 3 mm. Tali-tali cabang (branch line) terbuat
dari nilon monofilament dengan panjang 1 meter dengan diameter 1 mm. Tali tali
cabang (branch line) dikaitkan pada tali utama dengan jarak satu sama lain 2
meter dan diujung tali cabang diikatkan mata pancing (hook). Mata pancing yang
digunakan bernomor 7 dengan jumlah mata pancing 200 mata per unit rawai.
Pelampung (bouy) yang digunakan adalah jeregen bekas terbuat dari bahan
plastik. Untuk satu unit rawai digunakan 2 pelampung (buoy) yang berfungsi juga
sebagai pelampung tanda atau ketika malam hari nelayan membawa bendera
sebagai tanda. Pemberat (sinker) terbuat dari tanah yang diisi ke dalam plastik
seberat 1 kg dan diikatkan pada tali pemberat sepanjang 3 meter, dimana satu unit
rawai menggunakan 4 pemberat.
Dalam kegiatan pengoperasian rawai (longline) di Kecamatan Aluh-Aluh
metode pengoperasian rawai di mulai dari penyetingan rawai ketika sudah tiba di
19

lokasi pengoperasian (fishing ground) di awali dengan penurunan jangkar dan


pelampung yang diberi bendera , dilanjutkan dengan pemasangan umpan yaitu
udang jerbung dan penurunan umpan ketika semua umpan sudah terpasang
dengan cara perlahan dan satu persatu . Selanjutnya dilakukan kegitan soaking
(perendaman alat tangkap) perendaman dilakukan selama 2-4 jam ketika di rasa
sudah cukup di lakukan kegiatan terkahir yaitu hauling (penarikan alat tangkap)
hauling rawai secara berturut- turut dimulai dari penaikan tiang bendera,
pelampung, tali pelampung beserta pemberat diangkat ke atas geladak kapal, tali
utama kemudian tali cabang beserta mata pancing, sampai keseluruhan satuan
pancing terangkat ke atas geladak kapal. Satu persatu ikan hasil tangkapan yang
diperoleh dilepaskan dari mata pancing kemudian di masukkan kedalam cool box
atau ember.

3. Togo (Filter Net)

Gambar 4.3. Togo (Filter net)

Togo (Filter Net) adalah Alat tangkap yang bersifat pasif sehingga tidak
membutuhkan banyak nelayan saat pengoperasiannya. Togo (Filter Net) memiliki
bentuk yang terdiri dari sayap, badan, dan kantong. Dua buah sayap di kanan dan
kiri diikatkan pada bambu yang ditancapkan. Konstruksi alat tangkap togo (Filter
Net) adalah Jaring berbentuk kerucut dengan bukaan mulut jaring yang lebar,
memiliki ukuran mata jaring cukup besar, tetapi pada umumnya ukuran mata
20

jaring tidak ditentukan secara khusus, karena hasil tangkapan dapat berbeda-beda
atau tidak tentu sama
Metode pengoperasian alat tangkap togo tegantung dari tempat nelayan
togo meletakkan tiang togonya, yaitu ada 2 metode: Memanfaatkan air turun dan
Memanfaatkan air pasang. Prinsip dari alat ini adalah pasang kemudian ditunggu
beberapa jam. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap togo terdiri dari 1
orang, dan membutuhkan lama waktu pada saat pengoperasian adalah 2-3 jam,
menunggu saat air sampai tenang.
Jumlah tiang togo yang ada di Kecamatan Aluh-Aluh sekitar 3-6 tiang,
jenis dari tiang togo adalah dari batang nyiur. Setiap 1 nelayan menggunakan 2
tiang untuk pengoperasian alat tangkap togo. Pengoperasian alat tangkap togo di
mulai dari jam 2-3 dini hari untuk menurunkan alat tangkap togo, setelah itu di
diamkan selama 2-3 jam, kemudian alat tangkap togo di angkat sekitar jam 5-6
pagi , pengangkatan hasil tangkapan dilakukan 2-3 kali,setelah air sudah tenang
alat tangkap togo di bersihkan dengan cara membalik jaring dan menngantung di
tiang togo selama 1 jam.Hasil tangkapan yang di dapat lebih dominan dengan
jenis udang yaitu Udang Papai Dan Udang Bajang.
4. Jaring Insang (Gillnet)

Gambar 4.4 Jaring Insang (Gillnet)

Gillnet adalah jaring yang berbentuk persegi panjang, terdiri dari tali ris
atas, tali pelampung, badan jaring, tali ris bawah, dan tali pemberat. Alat tangkap
Gillnet di Kecamatan Aluh-Aluh rata-rata memiliki ukuran mata jaring atau mesh
size dari 4 -5 inchi. Panjang alat tangkap gillnet 30 meter, dengan lebar 5 meter.
Bahan pembuatan jaring berasal dari nilon.
21

Daerah penangkapan ikan gillnet berjarak 3 mil dan memerlukan waktu


tempuh ± 2 jamdari Fishing base ke lokasi pengoperasiannya (fishing ground) di
laut Muara Banjar.
Cara pengoperasian alat tangkap Gillnet di mulai dari Setting, yaitu proses
penebaran jaring yang di awali dari penurunan pelampung tanda kemudian di
lanjutkan dengan penurunan tali ris bawah (pemberat). Setelah itu dilakukan
penebaran jaring, setelah semua jaring telah di turunkan, kapal berputar menuju
pelampung tanda pertama untuk tahap drifting (menunggu). Proses drifting
memerlukan waktu sekitar 3 – 4 jam. Setelah 3 – 4 jam dilakukannya proses
drifting maka selanjutnya adalah tahap penarikan (hauling), penarikan di lakukan
dengan memposisikan kapal sesuai arah angin, arah arus dan posisi jaring agar
proses hauling dapat berjalan lancar.

4.1.2 Hasil Skoring Kriteria Alat Tangkap Ramah Lingkungan

Adapun hasil scoring kriteria alat tangkap ramah lingkungan yang berada
di kecamatan Aluh – Aluh sebagai berikut :

Tabel 4.1 Lampara (Trawl Net)


Sampel Rata -
rata
No. Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 Selektifitas 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

2 Dampak terhadap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
habitat
3 Kesegaran hasil 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
tangkapan
4 Keamanan terhadap 3 4 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3,2
nelayan
5 Produk tidak 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
membayakan konsumen
6 By catch 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

7 Dampak terhadap 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
biodiversity
8 Keamanan terdahap 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
ikan yang dilindungi
22

9 Diterima secara sosial 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Tabel 4.2. Rawai (Longline)


Sampel Rata
No. Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 15 –
4 Rata
1 Selektifitas 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

2 Dampak terhadap 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
habitat
3 Kesegaran hasil 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
tangkapan
4 Keamanan terhadap 3 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3,8
nelayan
5 Produk tidak 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
membayakan
konsumen
6 By catch 3 2 2 3 3 3 3 2 2 3 3 2 2 2 2 2,2

7 Dampak terhadap 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
biodiversity
8 Keamanan terdahap 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
ikan yang dilindungi
9 Diterima secara sosial 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Tabel 4.3. Togo (Filter Net)


Sampel Rata

No. Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15
Rata
0
1 Selektifitas 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2 1,4

2 Dampak terhadap 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
habitat
3 Kesegaran hasil 3 3 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3,1
tangkapan
4 Keamanan terhadap 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3,1
nelayan
5 Produk tidak 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
membayakan
konsumen
23

6 By catch 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 2 2 2 2 2 3,2

7 Dampak terhadap 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
biodiversity
8 Keamanan terdahap 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
ikan yang
dilindungi
9 Diterima secara 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
sosial

Tabel 4.4. Jaring Insang (Gillnet)


Sampel Rata
No. Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 –
Rata
1 Selektifitas 3 3 3 4 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3,2

2 Dampak terhadap 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
habitat
3 Kesegaran hasil 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
tangkapan
4 Keamanan 3 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3,7
terhadap nelayan
5 Produk tidak 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
membayakan
konsumen
6 By catch 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

7 Dampak terhadap 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
biodiversity
8 Keamanan 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
terdahap ikan
yang dilindungi
9 Diterima secara 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
sosial

Hasil total standarisasi fungsi nilai dari jumlah variable yang digunakan
adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Standarisasi Fungsi Nilai Alat Tangkap Di Kecamatan Aluh Aluh
Kabupaten Banjar
Variabel Jumlah
No. Alat
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 V(A)
Tangkap
V1(X2) V2(X2) V3(X3) V4(X4) V5(X5) V6(X6) V7(X7) V8(X8) V9(X9)
24

1 1 3 3,2 4 2 2 4 3
1 Lampara
0 0 0 0,142 0 0 0 0 0 0,142

3 4 3,7 3,8 4 2,2 4 4 4


2 Rawai
0,909 1 0,636 1 0 0,167 1 1 1 6,712

1,4 3 3,1 3,1 4 3,2 3 4 4


3 Togo
0,18 0,67 0 0 0 1 0,5 1 1 3,9

3,2 4 3 3,7 4 2 4 4 3
4 Gillnet
1 1 1,14 0,875 0 0 1 1 0,5 6,775
Hasil standarisasi fungsi nilai alat tangkap ramah lingkungan yang ada di
Kecamatan Aluh-Aluh adalah sebagai berikut :
 Lampara = 0,142
 Rawai = 6,712
 Gillnet = 6,775
 Togo = 3,9

Dari hasil tebel fungsi standarisasi nilai di atas diperoleh bahwa alat
tangkap yang ada di Kecamatan Aluh- Aluh yang termasuk dalam alat tangkap
ramah lingkungan adalah alat tangkap jaring insang dan Rawai, dimana kedua
alat tangkap tersebut memperoleh nilai > 5,32 dari total nilai. Alat tangkap yang
termasuk dalam kategori alat tangkap kurang ramah lingkungan adalah togo
dimana memperoleh index nilai 2,66 = x = 5,32. Alat tangkap yang masuk dalam
golongan alat tangkap tidak ramah lingkungan adalah alat tangkap Lampara,
dimana alat tangkap tersebut memperoleh nilai < 2,66.

4.2 Pembahasan

Status alat penangkapan ikan yang ada di Kecamatan Aluh- Aluh dikaji
berdasarkan kriteria yang sudah dikemukakan dalam Code of Conduct
forResponsible Fisheries (CCRF) yaitu berdasarkan selektifitas, dampak terhadap
habitat, kesegaran hasil tangkapan, keamanan terhadap nelayan, produk tidak
membahayakan konsumen, by catch, dampak terhadap biodiversity, keamanan
terhadap ikan yang dilindungi dan diterima secara sosial.
25

4.2.1. Selektifitas
Selektifitas yang tinggi bisa diartikan bahwa alat tangkap tersebut hanya
menangkap ikan atau organisme yang menjadi sasaran penangkapan saja. Sub
penilaian selektifitas yaitu berdasarkan ukuran dan jenis tangkapan. Alat
penangkapan ikan rawai dan jaring insang memiliki tingkat selektifitas yang sama
yaitu hasil tangkapan lebih dari 3 spesies dengan ukuran yang hampir seragam.
Menurut Nikijuluw (2002). Alat tangkap selektif merupakan alat tangkap yang
dapat menangkap ikanyang sudah layak tangkap, baik dari segi umur maupun
ukuran. dapatmeloloskan ikan ikan yang tidak layak tangkap, ikan yang
dilindungi, dan ikan yangtidak diinginkan tanpa melukai atau membunuhnya
(Martasuganda, 2008).
ikan yang tertangkap pada alat tangkap jaring insang ialah ikan yang
sesuai dengan ukuran mata jaring sehingga ikan yang berukuran lebih kecil dari
mata jaring dapat lolos dari alat penangkapan nya, sedangkan alat tangkap rawai
ikan yang tertangkap ialah ikan dengan bukaan mulut yang besar dsari ukuran
mata pancingnya dan ikan yang memilki bukaan mulut yang lebih kecil dari
ukuran mata pancing akan lolos dari penangkapanya. Jaring insang memiliki
ukuran mata jaring 8cm dan alat tangkap rawai menggunakan ukuran mata
pancing 11 .
Alat penangkapan ikan yang memiliki tingkat selektifitas yang rendah
yaitu alat tangkap togo dan alat penangkapan lampara dasar, karena alat
penangkapan tersebut menangkap lebih dari 3 jenis spesies tetapi dengan ukuran
yang berbeda hal ini dikarenakan oleh konstruksi alat tangkap, seperti ukuran
mata jaring yang kecil, memiliki kantong dan cara penangkapan nya yang bersifat
aktif. Alat tangkap lempara dikatakan tidak selektif karena bersifat aktif dan
memilki prinsip penangkapan yaitu dengan cara di tarik serta kontruksi jaring
yang memiliki ukuran mata jaring yang sangat kecil, sehingga dapat dipastikan
ikan yang tersapu dengan alat tangkap lampara akan tertangkap.
1. Dampak Terhadap Habitat
Alat tangkap yang digunakan tidak mengakibatkan rusaknya suatu
habitat ikan yang berada di perairan tersebut, seperti kerusakan ekosistem,
termasuk lingkungan, sumberdaya perikanan dan lainya. Alat tangkap rawai , togo
26

dan jaring insang dinyatakan aman bagi habitat, karena hanya dioperasikan di
permukaan saja sehingga mempunyai kemungkinan yang sangat kecil dapat
merusak karang.
Alat tangkap yang dinyatakan dapat merusak habitat adalah alat tangkap
lampara, karena alat tangkap lampara merupakan alat tangkap yang dioperasikan
dengan cara ditarik sampai menyentuh dasar perairan, dikarenakan target
penangkapannya adalah udang. Maka dapat dipastikan habitat dasar laut akan
tersapu dengan alat tangkap lampara.
2. Kesegaran Hasil Tangkapan
Kesegaran hasil tangkapan dapat dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu
penangkapan ikan, penanganan ikan dan proses pembusukan. Ikan juga dapat
dinyatakan mati segar, hidup ,ikan mati busuk , dan ikan mati segar dan cacat fisik
bisa di lihat dari keadaan tubuhnya.
Hasil tangkapan yang memilki nilai tertinggi yaitu pada alat tangkap
rawai, karena hasil tangkapan rawai ada di dominasi dengan ikan mati segar dan
ada juga hasil tangkapan yang masih hidup, sedangkan alat tangkap jaring insang
didominasi oleh hasil tangkapan ikan yang mati, segar dan cacat karena cara
pengoperasinya yang cukup lama sehingga ikan yang tertangkap dalam keadaan
mati, segar dan ikan yang tertangkap oleh jaring insang terlilit di daerah
operculum maka ada beberapa hasil tangkapan yang mengalami cacat fisik,
Alat tangkapan lampara juga di dominasi dengan hasil tangkapan yang
mati tetapi segar karena proses penanganan ketika di atas kapal yang
menyebabkan hasil tangkapan masih terlihat segar.
3. Keamanan Terhadap Nelayan
Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan diharapkan tidak
melukai nelayan baik itu gangguan kesehatan, cacat fisik maupun kematian ketika
melakukan proses penangkapan ikan.
Alat penangkapan rawai termasuk alat penangkapan yang bisa dikatakan
alat yang aman terhadap nelayan tetapi ada pula nelayan yang terluka ketika
melakukan proses penurunan branch line rawai karena tersangkut mata pancing.
Alat tangkap lampara, jaring insang dan togo termasuk alat tangkap yang memilki
dampak terhadap kesehatan nelayan yang bersifat sementara seperti terluka,
27

terkilir. Menurut Radarwati et al (2010) menyatakan bahwa tingkatan bahaya


yang dapat diterima oleh nelayan ketika melakukan proses pengoperasian alat
tangkap tergantung pada jenis alat tangkap dan keterampilan yang dimilki oleh
nelayan dan didasarkan pada dampak yang mungkin diterima.
4. Produk Tidak Membahayakan Konsumen
Ikan yang ditangkap dengan cara yang illegal seperti menggunakan bahan
peledak dan racun kemungkinan hasil tangkapan akan tercemar oleh racun.
Produk tidak membahayakan konsumen diartikan bahwa tidak terdapat dampak
yang ditimbulkan ketika konsumen mengkonsumsi hasil tangkapan ikan.
Hasil tangkapan jaring insang, rawai, togo dan lampara dapat dinyatakan
aman bagi konsumen karena nelayan setempat tidak menggunakan alat tangkapan
dengan menggunakan bahan kimia peledak dan racun.
5. Hasil Tangkapan Sampingan (by catch)
Menurut Sadili et al (2015), by catch adalah bagian dari hasil tangkapan
yang bukan target penangkapan utama. By catch meliputi seluruh biota yang
bukan menjadi tujuan utama penangkapan. Alat tangkap yang tidak selektif dapat
menangkap ikan yang bukan merupakan sasaran utamanya. Ikan yang tertangkap
terdiri dari beberapa spesies, dari beberapa spesies ada yang dapat dijual dan ada
pula yang tidak laku.
Hasil tangkapan sampingan dari alat tangkap togo ada yang laku dijual
tetapi ada beberapa spesies yang tidak laku dijual dan memilki by catch kurang
dari 3 spesies. Sedangkan alat tangkap rawai, jaring insang dan lampara memilki
tangkapan sampingan lebih dari 3 spesies dan ada yang laku untuk dijual selain
dari target utama.
6. Dampak Terhadap Biodiversity
Penangkapan ikan diharapkan tidak merusak atau mengganggu
keanekaragaman sumberdaya hayati lainya atau merusak habitat tempat tinggal
ikan yang dapat mempengaruhi hilangnya suatu spesies di perairan tersebut.
Alat tangkap rawai termasuk dalam golongan alat tangkap yang aman
bagi keanekaragaman sumberdaya hayati dan juga tidak merusak habitat, dikarena
teknik pengoperasian alat tangkap nya yang tidak sampai kedasar dan merusak
habitat suatu spesies. Alat tangkap lampara, togo dan jaring insang termasuk alat
28

tangkap yang dapat menyebabkan kematian pada beberapa spesies dan dapat
menyebabkan kerusakan pada habitat, hal ini dikarenakan alat tangkap tersebut
memilki tingkat selektifitas yang rendah sehingga banyak spesie lainya diluar
hasil tangkapan utama yang tertangkap dan juga dilihat dari cara pengoperasi alat
tangkap nya yang ditarik dan menggeruk dasar laut karena tangkapan utama dari
alat tangkap lampara adalah ikan demersal.
7. Keamanan Terhadap Ikan yang Dilindungi
Keamanan terhadap ikan yang dilindungi yang di maksud adalah tidak
menangkap ikan yang dilindungi dalam undang/undang ataupun hewan yang
terancam punah. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di sebutkan beberapa
spesies atau biota air yang dilindungi pemerintah.
Berdasarkan dampak terhadap keamanan ikan yang dilindungi, dari hasil
wawancara dengan nelayan di kecamatan Aluh-Aluh. Alat penangkap seperti
rawai,jaring insang, togo dan lampara dasar tidak pernah menangkap spesies yang
dilindungi.
8. Diterima Secara Sosial
Alat tangkap dikatakan diterima secara sosial oleh masyarakat bila biaya
investasinya murah menguntungkan secara ekonomi tidak bertentangan dengan
budaya setempat, tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, serta tidak
berpotensi untuk menimbulkan konflik antara nelayan.
Alat penangkapan ikan lampara dan jaring insang memenuhi 3 sub
kriteria dari 4 sub kriteria yang ada, alat tangkap lampara dan jaring insang
merupakan alat tangkap dengan biaya investasi yang rendah karena nelayan ketika
melakukan kegiatan penangkapan memerlukan biaya sekali melaut sekitar 5-8 juta
yang berupa bahan bakar minyak, dan perbekalan ketika melakukan
pengoperasian. Karena hal tersebut bisa dikatakan alat tangkap lempara termasuk
dalam subkriteria alat tangkap dengan biaya investasi yang rendah karena biaya
yang diperlukan < Rp.25.000.00 dan untuk alat tangkap yang menguntungkan,
alat tangkap lempara termasuk menguntungkan secara ekonomi bagi nelayan yang
menggunakan alat tangkap tersebut, untuk sub kriteria tidak bertentangan dengan
budaya setempat ketika dilakukan survey kelapangan dan melakukan wawancara
29

terhadap 15 nelayan jaring insang di dapat bahwa 3 dari nelayan jaring insang
pernah bersinggungan dengan nelayan lempara dikarenakan nelayan jaring insang
beranggapan hasil tangkapan mereka semkain sedikit dikarenakan nelayan
lempara yang melakukan penangkapan secara berlebihan dan tidak bertentangan
dengan peraturan yang ada atau tidak illegal. Sedangkan alat tangkap seperti rawai
dan togo memenuhi 4 kriteria dari 4 sub kriteria yang ada karena Alat tangkap
rawai dan togo memiliki investasi yang rendah yaitu hanya sebesar 60 ribu untuk
biaya bahan bakar kapal rawai sedangkan untuk togo tidak memperlukan bahan
bakar dikarena mereka menggunakan kapal dayung, untuk sub kriteria
menguntungkan terhadap nelayan alat tangkap togo dan rawai menguntungkan,
dan untuk tidak berpotensi konflik antara sesama nelayan dan tidak bertentangan
dengan peraturan yang ada atau tidak illegal alat tangkap togo maupun rawai
termasuk dalam sub kriteria alat tangkap yang tidak berpotensi konflik sesama
nelayan dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
4.2.2. Alat Tangkap
1. Lampara
Lampar memiliki tingkat selektivitas yang rendah yaitu dengan nilai skor
satu. Hal ini dikarenakan lampara dasar memiliki ukuran mata jaring yang sangat
kecil sehingga hasil tangkapan yang didapat lebih daripada tiga spesies dengan
ukuran yang berbeda. Lampara juga merupakan alat tangkap yang berpotensi
menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas dengan nilai skor 1
dikarenakan pengoperasian lampara dasar umumnya dilakukan pada dasar
perairan yang berpasir atau berlumpur dengan cara ditarik menggunakan
kapal .hasil tangkapan lampara memiliki mutu yang cukup baik yaitu dengan skor
3, hal ini dikarenakan cara pengoperasian lampara yang tidak terlalu lama
sehingga ikan yang didapat akan hidup tetapi ada pula yang mati .
Pengoperasian alat tangkap lampara dasar dapat menyebabkan gangguan
kesehatan yang sifatnya sementara dengan nilai skor 3,2 , yaitu nelayan dapat
mengalami luka dan terkilir. Hasil tangkapan lampara tidak membahayakan
konsumen dengan skor 4, karena cara pengoperasian alat tangkap lampara yang
tidak menggunakan bahan-bahan kimia ketika melakukan proses penangkapan
ikan, sehingga ikan hasil tangkapan lampara aman untuk dikonsumsi oleh
30

konsumen. Lampara memiliki hasil tangkapan sampingan lebih dari 3 spesies dan
laku dijual dengan skor 2. Cara pengoperasin lampara dapat menyebabkan
kematian bagi beberapa spesies dan merusak habitat karena cara pengoperasian
nya dengan cara ditarik sampai menyentuh dasar perairan, karna target tangkapan
lampara dasar adalah udang, sehingga diberikan skor 2.
Lemparan tidak pernah menangkap ikan atau biota laut yang dilindungi
dengan skor 4. Alat tangkap lampara dasar dapat diterima secara skor sosial
dengan nilai skor 3 dari empat sub kriteria karena alat tangkap lampara dasar
merupakan alat tangkap dengan biaya investasi sekali pengoperasian alat tangkap
nya kurang dari Rp 25.000.00, sehingga termasuk dalam alat tangkap yang
memenuhi sub kriteria alat tangkap dengan biaya investasi rendah . Kedua
menguntungkan, lampara menguntungkan secara ekonomi bagi nelayan yang
menggunakan alat tangkap tersebut. Ketiga lampara tidak berpotensi konflik, tidak
bertentangan dengan budaya setempat dan yang keempat alat tangkap lampara
dasar tidak bertentangan atau tidak illegal.
2. Jaring insang
Jaring insang memiliki selektivitas cukup tinggi yaitu dengan skor 2,7
hal ini dikarenakan hasil tangkapan yang tertangkap pada jaring insanglebih dari 3
spesies dengan ukuran yang seragam dan ada juga yang kurang dari 3 spesies
dengan ukuran yang seragam. Ukuran mata jaring dan bukaan mata jaring
mempengaruhi kemampuan alat tangkap gillnet dalam menyeleksi ikan yang
tertangkap karena ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang sesuai dengan
ukuran mata jaring (mesh size) dan bentuk tubuh yang sesuai dengan ukuran
bukaan mata jaring (hanging ratio) dengan begitu ikan yang memiliki ukuran
lebih kecil dari mata jaring dan bentuk tubuh yang lebih kecil dari bukaan mata
jaring memilki kemungkinan yang sangat kecil untuk tertangkap .
Jaring insang merupakan alat tangkap yang tidak merusak habitat
sehingga diberi skor 4 dikarenakan jaring insang dioperasikan pada
permukaan(surface) sehingga memiliki kemungkinan yang sangat kecil dapat
merusak karang ataupun padang lamun. Hasil tangkapan jaring insang diberi skor
3 hal ini dikarenakan hasil tangkapan yang didapat dominan ikan mati, segar,
dikarenakan jaring ikan melakukan pengoperasian sekitar lebih dari 1-3 jam yang
31

memungkinkan ikan yang tertangkap akan mati segar dan juga dikarenakan dari
segi konstruksi/ bentuk alat tangkap yang dapat melukai. Jaring insang saat
pengoperasiannya mendapat skor 3,7 yaitu dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan yang sifatnya sementara pada nelayan yang melakukan pengoperasian
jaring insang seperti mengalami luka dan terlilit ataupun terkilir hal ini terjadi
karena alat tangkap jaring insang masih dioperasikan secara manual (tenaga
manusia).
Hasil tangkapan jaring insang tidak membahayakan konsumen sehingga
diberi skor 4 dikarenakan pengoperasian jaring insang tidak menggunakan bahan-
bahan yang dapat membuat konsumen tidak dapat mengkonsumsi hasil
tangkapannya. Jaring insang memiliki hasil tangkapan sampingan lebih daripada 3
spesies dan laku untuk dijual dengan skor 2, hasil tangkapan jaring insang
memilki nilai ekonomis. Jaring insang pengoperasiannya dapat menyebabkan
beberapa spesies mengalami kematian tetapi tidak merusak habitat sehingga diberi
skor 3 karena jaring insang dioperasikan secara pasif sehingga apabila telah
selesai digunakan jaring akan diangkat kembali ke atas kapal, sehingga tidak akan
mengakibatkan kematian pada ikan atau menjadi ghost fishing dan dapat
berakibat kematian spesies secara terus menerus. Jaring insang tidak pernah
menangkap biota laut yang dilindungi sehingga diberi skor 4. Jaring insang dapat
diterima secara sosial dengan skor 3 karena jaring insang memenuhi 3 kriteria dari
4 kriteria yang ada yaitu jaring insang menguntungkan secara ekonomi bagi
nelayan yang menggunakan alat tangkap tersebut, jaring insang tidak bertentangan
dengan budaya setempat, tidak bertentangan dengan peraturan yang ada atau
lega,l dan tidak menimbulkan konflik antara nelayan setempat tetapi jaring insang
memiliki investasi yang sangat tinggi.
3. Rawai
Alat tangkap rawai memiliki selektivitas yang cukup tinggi yaitu dengan
skor 3. Hal ini dikarenakan bahwa ikan yang tertangkap kurang dari 3 spesies
tetapi dengan ukuran yang seragam. Tingkat selektivitas alat tangkap rawai dilihat
dari ukuran mata pancingnya, karena Menurut nikijuluw (2002) ikan yang
tertangkap dengan alat tangkap rawai ialah ikan yang memiliki bukaan mulut
yang lebih besar dari ukuran mata pancing dan ikan yang mempunyai bukaan
32

mulut lebih kecil dari ukuran mata pancing akan lolos dari penangkapan. Rawai
merupakan alat tangkap yang tidak merusak habitat sehingga diberikan skor 4, hal
ini dikarenakan alat tangkap rawai pada dasarnya tidak dapat dioperasikan pada
daerah yang berkarang ataupun daerah padang lamun karena dapat menyebabkan
mata pancing akan tersangkut .
Ikan hasil tangkapan rawai memiliki mutu yang tinggi dan didominasi
dengan ikan mati, segar namun ada pula ikan yang tertangkap masih hidup tetapi
ketika dimasukan di dalam penyimpanan akan mati mati karena tertindih ikan
lainya, sehingga diberikan skor 3.Pengoperasian rawai tidak membahayakan
nelayan,tetapi ada juga yang dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya
sementara seperti terkilirketika melakukan pengangkatan di branch line atapun
terkait mata pancing sehingga diberikan skor 3,8. Hasil tangkapan ikan dari alat
tangkap rawai tidak membahayakan konsumen sehingga diberikan skor 4. Hal ini
dikarenakan ketika melakukan pengoperasian penangkapan ikan dengan rawai
tidak menggunakan bahan kimia yang dapat menyebabkan hasil tangkapan ikan
aman untuk dikonsumsi. Rawai memiliki hasil tangkapan sampingan dengan skor
2,2 yaitu hasil tangkapan sampingan lebih dari 3 spesies dan ada yang laku untuk
di jual.
Hasil tangkapan sampingan didefinisikan sebagai hasil tangkapan yang
insidental yaitu hasil tangkapan yang tidak diperkirakan sebelumnya akan
tertangkap dan ketika melakukan operasi penangkapan ikan tetapi tertangkap
secara sepintas atau kebetulan atau insidental menurut rasa (Rasdani dkk, 2001).
Alat tangkap rawai aman bagi keanekaragaman sumber daya hayati karena alat
tangkap rawai tidak menyebabkan kematian terhadap beberapa spesies dan tidak
merusak habitat dan juga hal ini disebabkan karena pengoperasian alat tangkap
yang aman terhadap habitat dan spesies yang tertangkap pula merupakan spesies
yang biasa ditemui. Alat tangkap rawai tidak pernah menangkap ikan yang
dilindungi sehingga diberikan skor 4, alat tangkap rawai dapat diterima secara
sosial dan diberikan skor 4 karena memenuhi seluruh subkriteria alat tangkap
rawai memiliki nilai investasi yang rendah menguntungkan dan tidak
menimbulkan potensi konflik dan legal.
33

4. Togo
Alat tangkap togo memiliki tingkat selektivitas yang cukup tinggi yaitu
dengan skor 1,4 hal ini dikarenakan sebagian nelayan mengatakan bahwa ikan
yang tertangkap lebih dari pada 3 spesies dengan ukuran yang berbeda. Togo
merupakan alat tangkap yang dapat menyebabkan kerusakan sebagian habitat
pada wilayah yang sempit sehingga diberian skor 3, hal ini dikarenakan cara
pengoperasian alat tangkap togo. Ikan hasil tangkapan togo memiliki skor yang
tinggi yaitu 3,1 hal ini dikarenakan ikan yang tertangkap masih dalam keadaan
mati, segar. Togo saat pengoperasiannya dapat membahayakan nelayan sehingga
diberikan hasil atau skor 3,1 karena cara pengoperasian alat tangkap togo menurut
nelayan dapat beresiko terjadi kecelakaan atau gangguan kesehatan ketika
melakukan pemasangan alat tangkap togo yang dilakukan secara manual dengan
cara nelayan harus berenang ketika melakkan pemasangan jaring togo kepada
bambu. Hasil tangkapan togo tidak membahayakan konsumen sehingga diberikan
skor 4, hal ini dikarenakan pengoperasian alat tangkap togo tidak menggunakan
bahan kimia atau hal-hal yang dapat menyebabkan hasil tangkapan tidak layak
konsumsi. Togo memiliki hasil tangkapan sampingan kurang dari 3 spesies dan
ada yang laku dijual sehingga diberikan skor 3,2. Togo aman bagi
keanekaragaman sumber daya hayati sehingga diberikan skor 4 karena alat
tangkap togo tidak menyebabkan kematian beberapa spesies dan tidak merusak
habitat. Togo tidak pernah menangkap ikan atau biota laut yang dilindungi
sehingga diberikan skor 4 togo dapat diterima secara sosial dengan skor 4 yaitu
memenuhi seluruh sub kriteria, karena alat tangkap togo merupakan alat tangkap
dengan biaya investasi yang rendah, menguntungkan secara ekonomi bagi nelayan
yang menggunakan alat tangkap togo, dan tidak bertentangan dengan budaya
setempat tidak juga bertentangan dengan peraturan yang ada atau legal dan tidak
menimbulkan konflik antara nelayan setempat.
BAB 5. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang di dapat dari hasil penelitian skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Alat tangkap yang terdapat di kecamatan Aluh-Aluh ada 7 macam yaitu
lampara (trawl mini), bubu, togo (trap net), jaring kantong (trammel net),
rawai (long line), jala (cast net), jaring insang (gill net) dari 7 alat tangkap
tersebut terdapat 4 alat tangkap yang mendominasi di wilayah kecamatan Aluh-
Aluh yaitu alat tangkap Lampara (mini trawl), Rawai (longline), Jaring insang
(gillnet) dan Togo (trap net) sedangkan 3 alat tangkap lainya tidak bisa
memenuhi dari 15 sampel yang diperlukan karena ada berbagai macam alasan
seperi nelayan yang jarang menggunakan alat tangkap tersebut, tidak
mendapatkan hasil ketika melakukan proses penangkapan sehingga bisa
dikatakan 3 alat tangkap seperti bubu, jaring kantong, jala tidak bisa dilakukan
penelitian .
2. Status alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan di dapatkan hasil bahwa
alat tangkap rawai dan jaring insang (gillnet) termasuk dalam kategori alat
tangkap yang ramah lingkungan karena memenuhi criteria alat tangkap yang
memiliki tingkat selektivitas yang tinggi, aman terhadap habitat, ikan yang
tertangkap mati segar atau dominan hidup, hasil tangkapan aman terhadap
konsumen, hasil tangkapan sampingan (by catch) rendah, tidak pernah
tertangkap ikan yang dilindungi, aman bagi keanekaragaman hayati (aman bagi
biodiversity) dan dapat diterima secara sosial. Hasil perhitungan dari
standarisasi fungsi nilai dengan nilai didapatkan bahwa alat tangkap rawai dan
jaring insang memiliki skor >5,32 yaitu sebesar 6,712 untuk rawai dan 6,775
untuk jaring insang (gillnet) sehingga dapat dikatakan alat tangkap tersebut alat
yang ramah lingkungan. Sedangkan alat tangkap togo masuk dalam kategori
alat tangkap yang kurang ramah lingkungan karena memperoleh skor 2,66 <
(X) < 5,32 yaitu sebesar 3,9. Alat tangkap yang masuk dalam kategori tidak
ramah lingkungan adalah lampara dengan memperoleh skor <2,66 yaitu
sebesar 0,014.
5.2 Saran

33
Adapun saran yang di dapat dari hasil penelitian skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Alat tangkap yang masuk dalam kategori kurang ramah lingkungan dan tidak
ramah lingkungan di harapkan dapat dilakukan perbaikan, atau modifkasi serta
inovasi agar dapat terciptanya alat tangkap yang ramah lingkungan.

34

Anda mungkin juga menyukai