PROPOSAL SKRIPSI
OLEH
1913511077
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
Praktek Kerja Lapangan dengan judul “Struktur Komunitas Makroinvertebrata
Pada Ekosistem Mangrove Di Hutan Mangrove Pancer Cengkrong, Kabupaten
Trenggalek”. dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan
gelar sarjana.
Dalam penulisan proposal ini, penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini
masih belum sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik serta saran
yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan proposal ini. Pada
kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
serta rasa hormat kepada Bapak/Ibu selaku Dosen, serta pihak lainnya yang
membantu dalam penyusunan laporan ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
3.3.3 Pengambilan Data Lapangan ................................................................ 13
3.4 Analisi Data ................................................................................................. 16
3.4.1 Indeks Keanekaragaman ....................................................................... 16
3.4.2 Kelimpahan ........................................................................................... 17
3.4.3 Keseragaman......................................................................................... 17
3.4.4 Dominansi ............................................................................................. 18
3.4.5 Kerapatan Jenis Mangrove.................................................................... 18
3.4.6 Tutupan Kanopi .................................................................................... 19
3.4.7 Analisis Komponen Utama ................................................................... 19
3.4.8 Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Makroinvertebrata ............... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Saparinto (2007), sebagian besar kawasan mangrove saat ini berada
dalam kondisi rusak dan di beberapa daerah tercatat kerusaan mencapai 160-200
ribu ha pertahun. Kerusakan kawasan mangrove dapat menyebabkan struktur dan
komposisi dari vegetasi mangrove berubah dan merusak keseimbangan ekosistem,
serta kepunahan biota yang hidup di dalamnya (Polidoro et al., 2010). Berdasaran
hal tersebut, rehabilitasi mangrove perlu dilakukan (Suryawan, 2017).
1
Kawasan Hutan Mangrove Pancer Cengkrong, Kabupaten Trenggalek
memiliki luas sebesar 87 Ha (BPS, 2016). Pada tahun 2002 kawasan pantai ini
direhabilitasi tanpa mengetahui kesesuaian jenis lokasi dan terdapat faktor alam
yang membawa buah mangrove yang jatuh sehingga pertumbuhan menjadi tidak
sesuai, hal ini membuat ekosistem mangrove di Kawasan Hutan Mangrove Pancer
Cengkrong, Kabupaten Trenggalek ini mejadi tidak stabil (Mughofar et al., 2018).
Mengenai hal tersebut, tentu akan mempengaruhi struktur komunitas suatu biota
yang berasosiasi dengan mangrove, salah satunya adalah makroinvertebrata.
2
makroinvertebrata. Maka dari itu, penelitian tentang struktur komunitas
makroinvertebrata penting dilakukan untuk kepentingan penelitian selanjutnya
dan sebagai salah satu pertimbangan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove bila
terjadi kerusakan di masa mendatang.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :
3
2. Diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu sumber data bagi peneliti
lainnya yang melakukan penelitian tentang kawasan hutan mangrove
Pancer Cengkrong, Kabupaten Trenggalek.
3. Dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam kegiatan rehabilitasi
mangrove bila terjadi kerusakan di masa mendatang.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, menurut Elhaq & Satria (2011),
fungsi ekologis hutan mangrove adalah: Menjaga garis pantai dari erosi,
gelombang laut, dan angin topan; mengendalikan banjir; menjaga kestabilan tanah
dengan menerapkan endapan material dari darat yang terbawa air sungai ke laut;
sebagai tempat untuk pemijahan, pertumbuhan, dan makan oleh berbagai
organisme.
5
oleh komunitas sonneratia, dan mangrove pada zona daratan memiliki kekayaan
jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya (Noor et al., 2006).
Kanopi adalah suatu kondisi dimana daun pohon saling tumpang tindih
(rindang) yang terbentuk oleh cabang cabang (Permatasari, 2021). Menurut
Sadono Ronggo (2018), peran kanopi mangrove mempengaruhi proses
fotosintesis, semakin rapat kanopi makan semakin sulit ditembus cahaya matahari.
Untuk mengetahui tutupan kanopi dalam ekosistem mangrove digunakan metode
hemispherical photography.
2.3 Makroinvertebrata
2.3.1 Mollusca
Mollusca merupakan hewan invertebrata yang memiliki tubuh lunak, tidak
memiliki tulang belakang, dan berdarah dingin. Morfologi Mollusca terdiri dari
tiga bagian yaitu kepala, mantel, dan kaki otot (Ariani et al., 2019). Mollusca
memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi sehingga keberadaan mollusca
memberikan pengaruh pada suatu daerah. Dikarenakan kemampuan adaptasinya
yang tinggi, mollusca dapat hidup di berbagai lingkungan seperti puncak gunung
hingga dasar laut pada kedalaman tertentu (Yahya et al., 2018). Pada ekosistem
mangrove, mollusca biasa hidup pada bawah substrat, permukaan substrat atau
menempel pada mangrove (Arbi, 2014). Pada ekosistem mangrove, mollusca yang
hidup didominasi oleh filum Gastropoda dan Bivalvia (Yahya et al., 2018).
6
2.3.2 Crustacea
Crustacea merupakan subfilum dari Arthropoda (beruas-ruas) yang hidup
pada wilayah perairan (Kordi, 2009). Crustacea memiliki esoskeleton keras,
terdiri dari kitin yang berlendir, mempunyai sepasang antena, bentuk kepala
adalah persatuan segmen yang terkadang bersatu dengan dada membentuk
sefalotoraks (Brotowidjoyo, 1990). Di dalam crustacea terdapat lobster, udang,
kepiting, dan teritip (N.A. Campbell, 1993). Crustacea merupakan salah satu
bagian penting dalam ekosistem mangrove dan pesisir (Handayani et al., 2016).
Crustacea memiliki peran penting dalam daur ulang nutrisi. Makanan crustacea
adalah serasah mangrove dan bahan bahan organik lainnya (Harshith et al., 2016).
2.3.3 Polychaeta
Polychaeta adalah cacing yang masuk ke dalam filum anelida, polychaeta
bersifat kosmopolitan di berbagai ekosistem laut, dan memiliki tubuh yang
beruas-ruas (Nacorda et al, 1992; Sahidin and Wardiatno, 2016). Pada ekosistem
mangrove, polyhaeta memiliki peran penting dalam rantai makanan. Polychaeta
juga berfungsi sebagai pendaur ulang (Hutchings, 1998). Polychaeta memiliki
kemampuan beradaptasi dalam berbagai lingkungan, oleh karena itu polychaeta
dapat digunakan sebagai bio indikator yang baik (Jumars et al., 1977). Menurut
Holmer & Nielsen (1997), beberapa jenis polychaeta sifatnya sensitif dan sering
digunakan sebagai indikator dari suatu kondisi lingkungan.
2.4 Keanekaragaman
Keanekaragaman spesies merupakan parameter biologi utama yang
menunjukkan tingkat pencemaran suatu ekosistem perairan. Menghitung suatu
keanekaragaman spesies merupakan jumlah spesies yang beragam yang hidup
disuatu lokasi tertentu. Keanekaragaman didefinisikan sebagai jumlah spesies
yang ditemukan dalam komunitas (Schaal et al., 2012).
Indeks keanekaragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu penggambaran
secara sistematik yang menggambarkan struktur komunitas dan dapat
memudahkan proses analisa menganai macam dan jumlah organisme.
keanekaragaman biota dalam suatu perairan sangat tergantung pada banyaknya
spesies dalam komunitasnya. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka
keanekaragaman akan semakin besar (Wilhm & Dorris, 1986 ; Insafitri, 2010) .
7
Menurut Krebs (1985), juga menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota
individunya dan merata, maka indeks keanekaragaman juga semakin besar.
Indeks keanekaragaman (H') merupakan suatu angka yang tidak memiliki
satuan dengan kisaran 0-3. Tingkat keanekaragaman rendah jika nilai H'
mendekati 0 dan tinggi bila mendekati 3. Hal ini dapat menunjukan perairan
dalam kondisi baik atau tidak (Odum, 1993)
2.5 Kelimpahan
Menurut Campbell (2010), Kelimpahan adalah jumlah dari masing masing
jenis dalam suatu komunitas dan kelimpahan relatif adalah proporsi yang
direpresentasikan oleh suatu spesies dalam seluruh individu di suatu komunitas.
2.6 Parameter Lingkungan
Adapun keberadaan hewan pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh
berbagai kondisi lingkungan. Adapun faktor fisika dan kimianya adalah :
2.6.1 Suhu
Pada perairan, suhu merupakan salah satu factor yang sangat penting.
Semakin tinggi suhu perairan disebabkan oleh metabolisme dan pernapasan yang
meningkat pada biota (Patty, 2013). Organisme akuatik memiliki kisaran suhu
tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka
makin sedikit oksigen yang terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi
makrozoobenthos adalah yang ± 35°C (Marpaung, 2013).
2.6.2 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH merupakan logaritma dari kepekatan ion - ion H
(hidrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Angka indeks yang umum digunakan
mempunyai kisaran antara 0 hingga 14 dengan ketentuan, angka pH 7 merupakan
air bersifat netral, angka pH > 7 artinya air bersifat basa, angka pH < 7 artinya air
bersifat asam (Saru et al., 2017). Derajat keasaman merupakan faktor penting
yang berpengaruh pada fungsi fisiologis hewan yang berhubungan dengan
respirasi dan metabolisme.
2.6.3 Salinitas
Salinitas meruapkan jumlah rata – rata seluruh garam yang terdapat di dalam
air. Gambaran dominan lingkungan estuarin adalah berfluktuasinya salinitas.
Secara defenitif, suatu gradien salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu,
8
tetapi pola gradiennya bervariasi tergantung pada musim, topografi perairan dan
pasang surut (Nybakken, 1992). Nilai salinitas air laut di Indonesia umumnya
berkisar 28 ppm-35 ppm. Daerah pesisir pantai atau aliran sungai biasanya
memiliki salinitas yang tergolong rendah karena terjadi pengenceran (Patty,
2013). Salinitas mempengaruhi penyebaran organisme benthos. Kadar garam yang
terkandung, secara tidak langsung mengakibatkan perubahan komposisi
organisme dalam suatu ekosistem (Kalangi et al., 2012). Salinitas yang rendah
dapat membatasi keragaman Gastropoda karena Gastropoda akan mengalami
tekanan atau stress apabila salinitas terlalu rendah, biasanya terjadi pada saat
hujan lebat atau banjir (Schaal et al., 2012).
2.6.4 Standart Baku Mutu
Adapun standart baku mutu air laut untuk biota laut pada ekosistem mangrove
menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Kepmen LH) No 51
Tahun 2004 adalah :
Tabel 1. Baku Mutu Air Laut
No Parameter Satuan Baku Mutu
1. Suhu °C 28-32
2. Ph - 7-8,5
3. Salinitas %O s/d 34
9
BAB III
METODE PENELITIAN
10
dilihat pada gambar 2. Kemudian untuk identifikasi makroinvertebrata (dilakukan
di Laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas
Udayana.
11
3.3.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 2.
Tabel 2. Alat
No Nama Alat Jumlah Fungsi
1. GPS 1 buah Menandai titik pengambilan data
2. Plot Kuadran 1 buah Batas daerah pengambilan sampel
3. Roll Meter 1 buah Mengukur jarak dan luas ekosistem
4. Meteran Kain 1 buah Mengukur lingkar batang pohon
5. Sekop 1 buah Mengeruk tanah
6. Ayakan benthos mesh 1 buah Memisahkan benthos dengan sedimen
1 mm
7. Botol bekas 6 buah Wadah air untuk dititrasi
8. Multimeter com 600 1 buah Mengukur pH, Suhu, dan Salinitas
9. Plastik Ziplock 1 pack Menyimpan sampel yang didapatkan
10. Lup 1 buah Memudahkan identifikasi
11. Alat tulis 1 pack Mencatat data hasil pengamatan
12. Buku panduan Recent 2 buah Mengindentifikasi makrozoobenthos
& Fossil Indonesian
Shells dan
Encylopedia of
Marine Gastropods
13. Buku panduan 1 buah Mengidentifikasi jenis mangrove
mangrove (Frida
Sidik)
14. Sea Worms Of Qatar 1 buah Mengidentifikasi polychaeta
Marine Zone (Hussain
Najat, 2011)
15. Buku identifikasi 1 buah Mengidentifikasi crustacea
kepiting (Rahayu dan
Setiadi, 2009)
16. Kamera 1 buah Dokumentasi
12
Tabel 3. Bahan
No Nama Bahan Jumlah Fungsi
1. Alkohol 70% 1 botol Pengawetan sampel
2. Kertas label 1 pack Memberi tanda
3. Air Aquades 1 Liter Membersihkan dan kalibrasi
13
mangrove. Dalam menentukan semai, pancang, dan pohon menurut
Sahami Femy (2018), pohon adalah mangrove yang memiliki tinggi
lebih dari 1,5meter dengan diameter 10 cm atau lebih, kemudian
pancang adalah mangrove dengan tinggi 1,5meter dengan diameter 2-10
cm dan semai adalah mangrove dengan tinggi kurang dari 1,5 meter.
Untuk pengukuran diameter sendiri menurut Hairiah & Rahayu (2007),
dengan mengukur lingkar batang setinggi dada (girth at breast height)
atau 1,3 meter dari permukaan tanah dan nilai dari GBH akan
dikonversi menjadi DBH (Gambar 4).
Kemudian dilakukan perhitungan persentase tutupan menggunakan
metode hemisperichal photography dengan menggunakan lensa fish eye
menghadap keatas dengan sudut 180⸰ pada satu titik pengambilan foto
(Jennings et al., 1999; Korhonen et al., 2006; Dharmaji & Lestarina,
2019). Pengambilan foto dilakukan tegak lurus menghadap langit sesuai
dengan banyaknya tutupan kanopi dimana sebanyak 4 foto pada konsisi
padat, 5 foto kondisi sedang, dan 9 foto jika kondisi jarang (Gambar 5)
(Dharmawan dan Pramudji, 2017).
Kemudian diambil data jumlah sampah dan tebangan pohon sebagai
data pendukung untuk mengetahui kerusakan lingkungan di Kawasan
mangrove Pancer Cengkrong, Kabupaten Trenggalek.
b. Sampel Makroinvertebrata
Data diambil pada saat kondisi surut menggunakan lima sub-plot
kuadran berukuran 1 m x 1 m di dalam transek kuadran 10 m x 10 m
yang diletakan pada tiap pojok dan tengah, (Gambar 3). Sampel
makroinvertebrata yang diamati adalah makroinvertebrata yang hidup
berada pada permukaan dan dibawah sedimen. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara mengambil makroinvertebrata pada permukaan
substrat atau yang menempel pada mangrove dan dibawah substrat
dengan sedikit mengeruk substrat menggunakan sekop. Sampel yang
diambil disaring dengan saringan yang memiliki mesh size 1 mm.
Selanjutnya seluruh sampel makroinvertebrata dibersihkan dan
diawetkan dengan alkohol 70% di dalam botol sampel. Kemudian
14
sampel dihitung serta diidentifikasi di Lab Kelautan dan Perikanan
Universitas Udayana.
c. Parameter Lingkungan Kualitas Perairan
Pengambilan data parameter lingkungan dengan pengambilan
sampel air untuk mengetahui parameter kualitas perairan di Hutan
Mangrove Pancer Cengkrong, Kabupaten Trenggalek. Parameter yang
digunakan secara in-situ seperti suhu, salinitas, dan Ph. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan Multimeter com 600 water quality
tester kemudian mengikuti metode yang telah ditetapkan oleh (Marín-
Muñiz et al., 2015) dan (Dharmawan, 2016). Kemudian air yang
diambil yaitu pore water atau air pori pada kedalaman 0 – 30 cm yang
menjadi batas perakaran mangrove (Ashton dan Macintosh, 2002;
Sugiana et al., 2021). Pengambilan parameter kualitas air yaitu di tiap
pojok dan di tengah transek kuadran 10 x 10 m (Gambar 3).
15
Gambar 4. Posisi Pengukuran Lingkar Batang (Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan
Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove)
Keterangan :
H’ = indeks Keanekaragaman ShannonWienner
Pi = Ni/N
16
Ni = jumlah individu ke-i
N = jumlah total individu seluruh jenis
𝑛𝑖
𝐾𝑖 = (2)
𝐴
𝐻′
E = 𝐻𝑚𝑎𝑘𝑠 (3)
17
Keterangan :
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
S = Jumlah sampel
Hmaks = ln S
Tabel 6. Indeks Keseragaman
No Nilai Indeks Keseragaman Kriteria Kelimpahan
1. 0 Terdapat dominasi
2. 1 Jumlah Individu sama
3.4.4 Dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya dominasi,
menurut Odum (1993), rumus dominansi adalah :
𝐷 = ∑(𝑝𝑖 )2 (4)
Keterangan:
D = Nilai indeks dominan
Pi = Perbandingan jumlah individu ke-i (ni) terhadap jumlah total sampel (N) =
ni/N
Dimana :
18
Analisis kerapatan dihitung pada tiap jenis sebagai perbandingan individu
mangrove dengan luas seluruh plot penelitian, kemudian dikonversi menjadi per
satuan hektar (x 10.000). Adapun untuk kriteria kerapatan dapat dilihat pada table
8.
3.4.6 Tutupan Kanopi
Menurut Dharmawan (2017) tutupan kanopi adalah % tutupan mangrove =
p255/(∑P) x 100%
Dimana
P255 = jumlah pixel vegetasi
∑P = Total Pixel
Adapun kriteria kerapatan mangrove menurut Kepmen LH tahun 2004 adalah :
Tabel 8. Kriteria baku kerapatan dan tutupan mangrove
19
Dalam melakukan analisis factorial koresponden dilakukan dengan menggunakan
software excel stat pro (Akhrianti, 2014).
20
DAFTAR PUSTAKA
21
FITRIANA, Y. R. (2006). Diversity and abundance of macrozoobenthos in
mangrove rehabilitation forest in Great Garden Forest Ngurah Rai Bali.
Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 7(1), 67–72.
https://doi.org/10.13057/biodiv/d070117
Hairiah, K., & Rahayu, S. (2007). Pengukuran “Karbon Tersimpan” di Berbagai
Macam Penggunaan Lahan: Vol. 77 p. World Agroforestry Centre, ICRAF
Southeast Asia. www.worldagroforestrycentre.org/sea
Handayani, O. T., Ngabekti, S., & Martuti, N. K. T. (2016). Keanekaragaman
Crustacea di Ekosistem Mangrove Wilayah Tapak Kelurahan Tugurejo Kota
Semarang. Life Science, 5(2).
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/UnnesJLifeSci
Harshith, U. P., Apoorva, M. D., D’Silva, P., & D’Lima, A. D. (2016). CRAB
DIVERSITY IN MANGROVE ANDCOASTAL ECOSYSTEM. Lake,
560012. http://ces.iisc.ernet.in/energy
Holmer, M., & Nielsen, S. L. (1997). Sediment sulfur dynamics related to
biomass-density patterns in Zostera marina (eelgrass) beds. Marine Ecology
Progress Series, 146(1–3), 163–171. https://doi.org/10.3354/meps146163
Hutchings, P. (1998). Biodiversity and functioning of polychaetes in benthic
sediments. Biodiversity and Conservation, 7, 1133–1145.
Insafitri. (2010). DOMINANSI BIVALVIA DI AREA BUANGAN LUMPUR
LAPINDO MUARA SUNGAI PORONG. Jurnal KELAUTAN, 3(1).
Jennings, S. B., Brown, N. D., & Sheil, A. D. (1999). Introduction Assessing
forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover
and other measures. In Forestry (Vol. 72, Issue 1).
Jumars, P. A., Thistle, D., & Jones, M. L. (1977). Detecting Two-Dimensional
Spatial Structure in Biological Data *. In Oecologia (Berl.) (Vol. 28).
Kalangi, P. N. I., Masengi, K. W. A., Iwata, M., Pangalila, F. P. T., & Mandagi, I.
F. (2012). PROFIL SALINITAS DAN SUHU DI TELUK
MANADO PADA HARI-HARI HUJAN DAN TIDAK HUJAN. Jurnal
Perikanan Dan Kelautan Tropis, VIII–3.
Karimah. (2017). Peran Ekosistem Hutan Mangrove Sebagai Habitat Untuk
Organisme Laut. Jurnal Biologi Tropis, 17(2).
Korhonen, L., Korhonen, K. T., Rautiainen, M., & Stenberg, P. (2006). Estimation
of forest canopy cover: A comparison of field measurement techniques. Silva
Fennica, 40(4), 577–588. https://doi.org/10.14214/sf.315
Kusumaningrum, L. (n.d.). Jenis dan Fisiologi Mangrove.
Marín-Muñiz, J. L., Hernández, M. E., & Moreno-Casasola, P. (2015).
Greenhouse gas emissions from coastal freshwater wetlands in Veracruz
22
Mexico: Effect of plant community and seasonal dynamics. Atmospheric
Environment, 107, 107–117. https://doi.org/10.1016/j.atmosenv.2015.02.036
Marpaung, A. A. F. (2013). Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem
Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata.
Universitas Hasanuddin.
Martiningsih, N. Gst. Ag. E., Suryana, I. M., & Sutiadipraja, N. (2015). Analisa
Vegetasi Hutan Mangrove Di Taman Hutan Raya (Tahura) Bali. Agrimeta,
5(9), 1–69.
Mughofar, A., Masykuri, M., & Setyono, P. (2018). ZONASI DAN KOMPOSISI
VEGETASI HUTAN MANGROVE PANTAI CENGKRONG DESA
KARANGGANDU KABUPATEN TRENGGALEK PROVINSI JAWA
TIMUR. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of
Natural Resources and Environmental Management), 8(1), 77–85.
https://doi.org/10.29244/jpsl.8.1.77-85
Niapele, S., & Hasan, M. Hi. (2017). ANALISIS NILAI EKONOMI HUTAN
MANGROVE DI DESA MARE KOFO KOTA TIDORE KEPULUAN.
Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate) , 10(2).
Noor, Y. R., Khazali, M., & Suryadiputra, I. N. N. (2006). Panduan Pengenalan
MANGROVE di Indonesia.
Onrizal, Simarmata, F. S., & Wahyuningsih, H. (2009). Keanekaragaman
makrozoobenthos pada hutan mangrove yang direhabilitasi di Pantai Timur
Sumatera Utara. Jurnal Natur Indonesia, 11(2), 94-103. 11(2), 94–103.
Patty, S. I. (2013). Distribusi suhu, salinitas dan oksigen terlarut di Perairan
Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmuah Platax, 1(3).
Polidoro, B. A., Carpenter, K. E., Collins, L., Duke, N. C., Ellison, A. M., Ellison,
J. C., Farnsworth, E. J., Fernando, E. S., Kathiresan, K., Koedam, N. E.,
Livingstone, S. R., Miyagi, T., Moore, G. E., Nam, V. N., Ong, J. E.,
Primavera, J. H., Salmo, S. G., Sanciangco, J. C., Sukardjo, S., … Yong, J.
W. H. (2010). The loss of species: Mangrove extinction risk and geographic
areas of global concern. PLoS ONE, 5(4).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0010095
Rahayu, S., Harto, R., Meine Van Noordwijk, W., Suryadi, I., & Verbist, B.
(2009). WORLD AGROFORESTRY CENTRE MONITORING AIR.
Riry, K. Z., Prihatmo, G., & Kisworo. (2020). Keanekaragaman
Makroinvertebrata pada Ekosistem Mangrove di Dusun Lempong Pucung,
Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/psb/
Rochana, E. (2001). EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI
INDONESIA. www.irwantoshut.com
23
Sadono Ronggo. (2018). Predicting Crown-width of Dominant Trees on Teak
Plantation from Clonal Seed Orchards in Ngawi Forest Management Unit,
East Java Ronggo Sadono. Jurnal Ilmu Kehutanan, 12, 127–141.
https://jurnal.ugm.ac.id/jikkt
Sahami Femy. (2018). Penilaian kondisi mangrove berdasarkan tingkat kerapatan
jenis. Urnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan, 6(2).
Sahidin, A., & Wardiatno, Y. (2016). Distribusi Spasial Polychaeta di Perairan
Pesisir Tangerang, Provinsi Banten (Spatial Distribution of Polychaeta at
Tangerang Coastal Water, Banten Province). Jurnal Perikanan Dan
Kelautan p–IS, 6, 83–94.
Santoso, N., Nurcahya, B. C., Siregar, A. F., & Farida, I. (2005). Resep Makanan
Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah.
Saru, A., Amri, K., & Mardi, D. (2017). Mangrove Structural Vegetation
Connectivity with Acidity and Total Organic Materials on Sediments in
Wonomulyo District of Polewali Mandar Regency. Spermonde, 3(1), 1–6.
Sawitri, N., & Prabang Setyono, dan. (2019). Keanekaragaman dan Preferensi
Habitat Kepiting Biola di Daerah Mangrove Pancer Cengkrong Kabupaten
Trenggalek, Jawa Timur. Ilmu Lingkungan, 17(1), 82–89.
https://doi.org/10.14710/jil.17.1.81-89
Schaal, S., Matt, M., & Grübmeyer, S. (2012). Mobile Learning and Biodiversity–
Bridging the Gap between Outdoor and Inquiry Learning in Pre-Service
Science Teacher education. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 46,
2327–2333. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.05.479
Sidik, F., Kadarisman, H. P., & Widagti, N. (2018). Buku panduan mangrove
Estuari Perancak. https://www.researchgate.net/publication/333310292
Soemodihardjo, S., & Kastoro, W. (1977). NOTES ON THE TEREBRALIA
PALUSTRIS (GRASTROPODA) FROM THE CORAL ISLANDS IN THE
JAKARTA BAY AREA by. In Marine Research in Indonesia (Issue 18).
www.oseanografi.lipi.go.id
Sugiana, I. P., Faiqoh, E., Indrawan, G. S., & Dharmawan, I. W. E. (2021).
Methane Concentration on Three Mangrove Zones in Ngurah Rai Forest
Park, Bali. Jurnal Ilmu Lingkungan, 19(2), 422–431.
https://doi.org/10.14710/jil.19.2.422-431
Suryana. (2010). METODOLOGI PENELITIAN.
Suryawan, A. (2017). REHABILITASI MANGROVE DI PANTAI ALO
(PULAU KARAKELANG, TALAUD) MENGGUNAKAN PROPAGUL
Rhizopora mucronataLamk mucronata Lamk. Balai Penelitian Dan
Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Manado, 4(2), 69–78.
24
Tosiyana, V. R. (2019). STUDI KEANEKARAGAMAN MOLUSKA DI
KAWASAN HUTAN MANGROVE PANTAI CENGKRONG
KABUPATEN TRENGGALEK DIKEMBANGKAN SEBAGAI SUMBER
BELAJAR BIOLOGI (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah
Malang). In Studi Keanekaragaman Moluska Di Kawasan Hutan Mangrove
Pantai Pancer Cengkrong Kabupaten Trenggalek Dikembangkan Sebagai
Sumber Belajar Biologi.
Tuheteru, M., Notosoedarmo, S., & Martosupono, M. (2014). STUDI POPULASI
MAKROINVERTEBRATABENTIK YANG BERNILAI EKONOMIS DI
HUTAN MANGROVE MUARA SUNGAI GAMTA,DISTRIK MISOOL
BARAT, KABUPATEN RAJA AMPAT.
Widiyanto, J., & Sulistyarsi, A. (2016). BIOMONITORING KUALITAS AIR
SUNGAI MADIUN DENGAN BIOINDIKATOR
MAKROINVERTEBRATA. Jurnal LPPM, 4(1).
Wilhm, J. L., & Dorris, T. C. (1986). Biologycal Parameter for water quality
Criteria. BioScience, 375–402.
Yahya, N., Idris, I., Rosli, N. S., & Bachok, Z. (2018). POPULATION
DYNAMICS OF MANGROVE CLAM, Geloina expansa (MOUSSON,
1849) (MOLLUSCA, BIVALVIA) IN A MALAYSIAN MANGROVE
SYSTEM OF SOUTH CHINA SEA. Journal of Sustainability Science and
Management, 13.
25