Oleh:
LINDA APRILIANI
1610716120003
Oleh:
LINDA APRILIANI
1610716120003
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian skripsi
dengan judul “Kondisi dan Status Mangrove di Pesisir Sungai Rasau dan
Pesisir Kuala Tambangan – Tanjung Dewa Kabupaten Tanah Laut”.
Penulisan usulan penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi pada Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan
Kelautan Universitas Lambung Mangkurat. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Baharuddin S.Kel., M.Si selaku Ketua dan Bapak Nursalam,
S.Kel., M.S selaku Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulisan usulan penelitian ini dapat
diselesaikan.
Usulan penelitian ini telah ditulis sebaik-baiknya, namun penulis tetap
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sehingga
usulan ini dapat lebih baik lagi. Semoga usulan penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan dapat menjadi bahan rujukan dalam kegiatan penelitian
berikutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
ii
2.2.3.3. Landsat 8 .................................................... 30
2.2.3.4. Sentinel 2 .................................................... 32
2.2.3.5. SPOT 6 ....................................................... 33
2.2.3.6. ALOS ......................................................... 36
2.2.3.7. IKONOS ..................................................... 37
2.2.3.8. PLEIADES ................................................. 38
2.3. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................... 39
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ............................................... 42
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 42
3.2. Alat dan Bahan .................................................................... 42
3.3. Metode Perolehan Data ....................................................... 44
3.3.1. Persiapan ................................................................... 44
3.3.2. Inventarisasi Data Citra ............................................ 44
3.3.3. Pra Pengolehan Citra ................................................ 45
3.3.3.1. Koreksi Geometrik ....................................... 45
3.3.3.2. Koreksi Radiometrik ..................................... 45
3.3.4. Pengolahan Citra ....................................................... 46
3.3.4.1. Komposit Band ............................................. 46
3.3.4.2. Pemotongan Citra ......................................... 46
3.3.4.3. Klasifikasi Citra ............................................ 47
3.3.4.4. Klasifikasi NDVI ........................................... 47
3.3.4.5. Layout Peta ................................................... 48
3.3.5. Penentuan Titik Sampling ......................................... 48
3.3.6. Parameter Kektirisan Lahan Mangrove .................... 54
3.3.7. Pengambilan Data Lapangan .................................... 54
3.3.7.1. Jenis Penggunaan Lahan .............................. 54
3.3.7.2. Kerapatan Mangrove .................................... 54
3.3.7.3. Kerapatan Tajuk ........................................... 55
3.3.7.4. Lebar Jalur Hijau .......................................... 56
3.3.7.5. Tingkat Abrasi .............................................. 57
3.3.7.6. Parameter Lingkungan ................................. 57
3.4. Analisis Data ....................................................................... 57
iii
3.4.1. Analisis Data Mangrove ........................................... 57
3.4.2. Analisis foto Hemisphere .......................................... 58
3.4.3. Analisis Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove ........... 59
3.4.4. Analisis Kondisi dan Status Lahan Kritis Mangrove . 60
3.4.5. Uji Akurasi ................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 3.1. Alat yang digunakan pada pengukuran di lapangan ................ 42
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Jenis-jenis mangrove ......................................................................... 12
2.2. Pola umum zonasi mangrove di kawasan Asia .................................. 15
2.3. Zonasi mangrove berdasarkan elevasi ............................................... 15
2.4. Mangrove yang rusak akibat alam .................................................... 17
2.5. Mangrove yang sengaja ditebang ...................................................... 18
2.6. Konversi dan pemanfaatan mangrove di pesisir Kalimantan Selatan . 19
2.7. Konsep penginderaan jauh ................................................................ 21
2.8. Penginderaan jauh untuk sebaran MPT.............................................. 22
2.9. Terumbu karang ................................................................................ 23
2.10. Penginderaan jauh untuk terumbu karang ........................................ 24
2.11. Tampilan hasil mozaik citra di Pulau Sumatera dan Kalimantan ... 26
2.12. Tampilan Updating Mangrove di Indonesia Tahun 2013 ............... 26
2.13. Penginderaan jauh untuk analisis kesehatan mangrove .................. 27
2.14. Citra MODIS untuk menganalisis area terbakar ............................. 28
2.15. Citra MODIS .................................................................................... 29
2.16. Klasifikasi mangrove berdasarkan citra Landsat 8 ......................... 31
2.17. Karakteristik citra Sentiel 2 ............................................................. 32
2.18. Citra Sentinel 2................................................................................. 34
2.19. Citra SPOT 6 ................................................................................... 34
2.20. Citra SPOT 6 untuk perubahan luas mangrove ................................ 35
v
2.21. Citra ALOS ..................................................................................... 36
2.22. Citra ALOS untuk substrat dasar .................................................... 36
2.23. Citra IKONOS .................................................................................. 37
2.24. Citra Pleiades 1A ............................................................................. 38
2.25. Kondisi mangrove di Kurau ............................................................ 40
2.26. Kondisi mangrove di Tanjung Dewa ............................................... 41
3.1. Lokasi penelitian ............................................................................... 43
3.2. Peta lokasi sampling di pesisir Sungai Rasau ................................... 50
3.4. Peta lokasi sampling di pesisir Kuala Tambangan - Tanjug Dewa ... 51
3.6. Metode sampel plot ........................................................................... 55
3.7. Cara pengambilann foto hemisphere ................................................. 56
vi
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1
2
mangrove dalam beberapa tahun terakhir akibat adanya tekanan di alam. Tekanan
terhadap ekosistem mangrove dapat mencapai >50% karena semakin tingginya
aktivitas konversi lahan disekitarnya (Dinas Lingkungan Hidup Provinsi
Kalimantan Selatan, 2018). Berdasarkan hal tersebut, kondisi ini akan mengancam
keberadaan mangrove di Kabupaten Tanah Laut secara terus-menerus.
Sungai Rasau dan Kuala Tambangan sampai Tanjung Dewa termasuk
sebagai salah satu kawasan konservasi pesisir Kabupaten Tanah Laut menurut
Perda Kalsel No. 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP). Hal tersebut menandakan ekosistem mangrove
didalamnya juga merupakan kawasan yang dilindungi untuk mewujudkan
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Namun, aktivitas
pelayaran, alih fungsi lahan, pencemaran yang meningkat juga berpengaruh
terhadap kerusakan mangrove di beberapa wilayah tersebut. Penurunan kondisi
mangrove akan berdampak langsung terhadap kehidupan pesisir sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada karena mangrove kehilangan
fungsinya. Mengingat pentingnya peranan mangrove, maka diperlukan
pengelolaan dan juga penataan guna mempertahankan keseimbangan ekosistem
pesisir. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan sebagai
upaya awal sebelum menentukan arah kebijakan yang tepat.
Pemetaan tematik mangrove perlu dilakukan dengan identifikasi
klasifikasi atau derajat kedetilan informasi mangrove yang bersinergi dengan tiap
tingkat atau level pengelolaan dan kebutuhan stakeholder dan hal tersebut sangat
terkait dengan data geospasial (BIG, 2014). Perubahan kondisi lahan secara
spasial juga mempengaruhi kemutakhiran data spasial tematik yang ada sehingga
berdasarkan hal tersebut penelitian ini perlu dilakukan untuk memberikan data
dan informasi terbaru mengenai kondisi dan status mangrove di beberapa wilayah
tersebut. Pemantauan kondisi mangrove dapat dilakukan dengan melihat
perubahan luas mangrove dan juga menilai tingkat kekritisan lahan mangrove.
Perubahan luas mangrove dapat dilihat menggunakan citra dengan tahun
perekaman yang berbeda sedangkan penilaian tingkat kekritisan lahan dapat
dilakukan dengan menggunakan metode yang mengacu pada peraturan
Departemen Kehutanan tahun 2005. Penelitian yang akan dilakukan ialah dengan
menggabungkan metode survey lapangan dan penginderaan jauh yang selanjutnya
2
3
3
4
4
5
lahan mangrove dan faktor lingkungan yang mempengaruhi maka dapat diketahui
bagaimana kondisi dan status mangrove di beberapa wilayah tersebut.
1.3.1. Tujuan
1.3.2. Kegunaan
Kegunaan penelitian ini adalah dapat menjadi data time series dan informasi
terbaru mengenai kondisi dan status mangrove di pesisir Sungai Rasau dan pesisir
Kuala Tambangan sampai Tanjung Dewa Kabupaten Tanah Laut. Data tersebut
selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan suatu
kebijakan atau dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penelitian
selanjutnya.
Penelitian pesisir Sungai Rasau dengan luas total area mangrove ±989,66
Ha dan pesisir Kuala Tambangan – Tanjung Dewa memiliki luas area mangrove
sebesar ±666,89 Ha Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan.
5
6
6
7
Overlay
Overlay
Perubahan Luas
Mangrove Tingkat kekritisan lahan mangrove
Kondisi dan Status Mangrove di pesisir Sungai Rasau dan pesisir Kuala
Tambangan - Tanjung Dewa
7
8
2.1. Mangrove
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh pada tanah aluvial di daerah
pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Mangrove juga tumbuh pada pantai karang atau daratan terumbu karang yang
berpasir tipis atau pada pantai berlumpur (Ghufran, M. dan Kordi, K.M., 2012).
Sedangkan menurut Badan Informasi Geospasial (BIG) (2014) mangrove
merupakan tumbuhan yang memiliki keunikan karena hanya terdapat di daerah
pesisir pantai, muara sungai dan daerah dengan rentang salinitas yang tinggi.
Dahuri et al (2001) melaporkan bahwa ekosistem mangrove merupakan
kawasan ekoton antara komunitas laut dengan pantai dan daratan sehingga
memiliki ciri-ciri tersendiri. Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas laut,
namun tidak berbeda jauh dengan komunitas daratan dengan terbentuknya rawa-
rawa air tawar sebagai zona antara laut dan darat. Menurut Anggraini dkk, (2017)
perpaduan antara sifat-sifat tanaman daratan dan lautan menjadikan mangrove
berfungsi penting bagi keberadaan wilayah pesisir seperti menjaga stabilitas garis
pantai, melindungi pantai dan tebing sungai serta menahan banjir dan gelombang.
8
9
yang berwarna lebih gelap dan hanya sedikit teraerasi, dimana pada lapisan
ini terdapat sangat banyak materi organik. Bila tergali atau terbuka, tercium
bau yang sangat kuat, menunjukkan bahwa lapisan ini banyak mengandung
hidrogen sulfida sebagai hasil kerja bakteri anaerob pereduksi sulfur. Kondisi
substrat merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan
zonasi mangrove. Avicennia dan Sonneratia akan tumbuh dengan baik pada
substrat lumpur berpasir, Rhizophora tumbuh lebih baik pada substrat lumpur
yang kaya bahan organik, sementara Bruguiera lebih menyukai substrat
lempung yang sedikit mengandung bahan organik. Mangrove juga dapat
tumbuh pada pantai berpasir, berbatu atau bersubstrat pecahan karang,
misalnya jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba.
b. Salinitas
Kondisi salinitas (kadar garam) sangat mempengaruhi komposisi mangrove,
dimana berbagai jenis mangrove dapat mengatasi kondisi salinitas dengan
cara berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari
penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang
lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya.
Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada salinitas air payau antara 2 - 22‰
atau air asin dengan salinitas mencapai 38‰.
c. Oksigen
Kadar oksigen pada substrat lumpur biasanya sangat rendah, terkait dengan
sifat substrat yang sedikit porous. Pada lapisan subsoil hanya terdapat sangat
sedikit oksigen, sehingga organisme yang hidup hanya bakteri anaerob
pendegradasi bahan organik. Hasil pemecahan bahan organik ini
menghasilkan racun (setidaknya bagi manusia) yaitu hidrogen sulfida yang
membuat tanah berwarna hitam dan berbau tidak sedap seperti telur busuk.
d. pH
Kalsium yang terlarut dari pecahan karang dan cangkang Mollusca membuat
pH tanah menjadi basa. Akan tetapi tanah mangrove bersifat netral hingga
asam karena terdapat banyak bahan organik. pH berhubungan erat dengan
aktivitas dekomposer. Pada pH asam aktivitas dekomposer sangat rendah
sehingga perombakan bahan organik menjadi anorganik menjadi lamban.
9
10
10
11
pohon Waru, Cemara dan Ketapang sebagai tumbuhan asosiasi Drujon merupakan
tumbuhan berduri yang dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur sampai setinggi
2 meter. Tumbuhan ini dapat menjadi tumbuhan dominan di hutan mangrove yang
rusak. Berikut daftar inventarisasi tumbuhan mangrove di Kabupaten Tanah Laut:
Tabel 2.1. Daftar inventarisasi tumbuhan mangrove di Kabupaten Tanah Laut
11
12
12
13
13
14
14
15
Gambar 2.2. Pola umum zonasi mangrove di kawasan Asia (Sumber : Muzaki
dkk, 2019)
Gambar 2.3. Zonasi mangrove berdasarkan elevasi (Sumber : Noor dkk, 2003)
15
16
16
17
Gambar 2.4. Mangrove yang rusak akibat alam (Sumber : Asirwan, 2017)
17
18
18
19
diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti alih fungsi lahan untuk industri,
pelabuhan, perikanan, perkebunan dan pertambangan. Selain itu kerusakan juga
diakibatkan oleh pengaruh alam terutama gelombang. Pemanfaatan mangrove di
wilayah pesisir dapat dilihat pada Gambar 2.6.
19
20
20
21
21
22
Gambar 2.8. Penginderaan jauh untuk sebaran MPT (Sumber : LAPAN, 2015)
22
23
23
24
24
25
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti struktur daun internal, kadar klorofil,
umur daun dan tahap fisiologi. Nilai spektral reflektan akan berbaur dengan
adanya efek dari atmosfer seperti kelembaban, asap, debu, awan dan karbon
dioksida.
Vegetasi mangrove dan vegetasi terrestrial yang lain mempunyai sifat
optik yang hampir sama dan sulit dibedakan tetapi mengingat mangrove hidup
dekat dengan air laut maka biasanya antara keduanya dapat dipisahkan dengan
memperhitungkan jarak pengaruh air laut. Pada banyak kasus, kedua vegetasi ini
terpisah oleh lahan terbuka, padang lumpur, daerah pertambakan atau
permukiman sehingga memudahkan pemisahan antara keduanya. Dari
pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka deteksi luasan serta kerapatan
mangrove dapat dilakukan dengan melalui satelit (Susilo, 2000). Oleh karena itu,
pengolahan data citra akan berhubungan dengan saluran-saluran citra yang
memiliki kemampuan pembedaan objek-objek tersebut.
Substrat mangrove dapat dibedakan dengan objek vegetasi karena
memiliki perbedaan yang mencolok pada spektrum Red dan NIR. Pada spektrum
Red, respon pantulan substrat lebih tinggi daripada vegetasi dan sebaliknya pada
NIR respon pantulannya lebih kecil daripada vegetasi (Gambar 2.13). Substrat
mangrove juga dipengaruhi oleh adanya genangan air, karena berada pada zona
pasang surut air laut. Daerah dengan lahan basah tersebut sangat mudah
diidentifikasi dengan memanfaatkan spektrum NIR dan SWIR karena sifatnya
yang diserap oleh air (Du et al. 2016; Rokni et al. 2014; Sun et al. 2012). Semakin
besar serapan energi elektromagnetiknya, maka semakin besar kandungan airnya.
Gambar 2.11. Kurva respon pantulan tanah dan vegetasi (Sumber : Jensen, 2014)
25
26
Gambar 2. 12. Tampilan hasil mozaik citra di Pulau Sumatera dan Kalimantan
(Sumber : LAPAN, 2015)
26
27
Citra merupakan representasi dua dimensi dari suatu objek di dunia nyata.
Dalam penginderaan jauh, citra merupakan gambaran bagian permukaan bumi
sebagaimana terlihat dari ruang angkasa (satelit) atau dari udara (pesawat terbang)
(Prahasta, 2008). Data Penginderaan Jauh adalah liputan atau rekaman suatu
sensor berbentuk numerik yang merupakan gambaran dari suatu objek berupa
citra satelit/foto dan citra digital (LAPAN, 2015). Data citra satelit dengan
resolusi spasial yang tinggi (< 4 meter) seperti IKONOS (1 meter), WorldView
(0,5 meter), dan SPOT-6 (2 meter) merupakan contoh data citra satelit komersil.
Perolehan data citra satelit beresolusi menengah seperti Landsat 8 OLI dan
Sentinel-2 relatif cukup mudah karena dapat diakses secara gratis melalui internet
(LIPI, 2020).
2.2.3.1. MODIS
27
28
28
29
29
30
2.2.3.3. Landsat 8
30
31
2.2.3.4. Sentinel 2
Sentinel-2 adalah salah satu satelit penginderaan jauh dengan sensor pasif
buatan Eropa multispektal yang mempunyai 13 band, 4 band beresolusi 10 m, 6
band beresolusi 20 m, dan 3 band bereolusi spasial 60 m dengan area sapuan 290
km. Resolusi spasial yang dibilang tinggi, cakupan spektrum yang luas merupakan
langkah maju yang besar dibandingkan dengan multispektral lainnya. Tujuan dari
Sentinel-2 untuk menyajikan data untuk kepentingan monitoring lahan, dan
merupakan data dasar untuk penggunaan pada beragam aplikasi, mulai dari
pertanian sampai perhutanan, dari monitoring lingkungan sampai dengan
perencanaan perkotaan, deteksi perubahan tutupan lahan, penggunaan lahan,
pemetaan risiko bencana serta beragam aplikasi lainnya (Kawamuna et al., 2017).
Tabel 2.1. Karakteristik citra Sentinel 2
Band Panjang Resolusi
Gelombang Spasial
Band 1 - Coastal Aerosol 0,443 60
Band 2 – Blue 0,490 10
Band 3 – Green 0,560 10
Band 4 – Red 0,665 10
Band 5 - Vegetation Red Edge 0,705 20
Band 6 - Vegetation Red Edge 0,740 20
31
32
32
33
Gambar 2. 19. Spesifikasi citra Landsat dan Sentinel 2 (Sumber : LIPI, 2020)
Menurut Kawamuna dkk (2017) citra Sentinel 2 dapat digunakan dalam
penelitian analisis kesehatan mangrove dengan pendekatan indeks vegetasi NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index). Berdasarkan penelitiannya nilai hasil
prediksi citra Sentinel 2 dan hasil pengukuran lapangan berkolerasi sebesar 91 %.
Hasil analisis korelasi apabila ditinjau dari tingkat hubungan korelasi, hasil
penelitian termasuk korelasi sangat kuat (0,75–1,00). Koefisien korelasi bertanda
positif artinya nilai NDVI pada citra dengan nilai kerapatan jenis berhubungan,
sehingga jika nilai NDVI tinggi, maka nilai kerapatan tajuk juga semakin tinggi.
Menurutnya pengukuran dengan penginderaan jauh sudah tentu tidak akan seteliti
dengan pengukuran langsung di lapangan. Berdasarkan hasil validasi tersebut
dapat disimpulkan bahwa penggunaan NDVI pada citra satelit Sentinel-2 cukup
optimal untuk analisa kesehatan vegetasi mangrove.
33
34
2.2.3.5. SPOT 6
34
35
mangrove yang dihasilkan memiliki ketelitian akurasi yang baik dan dapat
dipercaya tingkat kebenarannya.
Gambar 2.22. Citra SPOT 6 untuk perubahan luas mangrove (Sumber : Irawan,
2016)
2.2.3.6. ALOS
ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit observasi
bumi yang diluncurkan pada bulan Januari 2006 oleh Japan Aerospace
Exploration Agency (JAXA). ALOS memiliki misi utama sebagai berikut:
Kartografi, Observasi regional, Monitoring bencana, Survey sumber daya,
Pengembangan teknologi observasi bumi. ALOS memiliki tiga sensor observasi
bumi yaitu Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping
(PRISM) untuk mendeteksi elevasi dengan presisi tinggi, Advanced Visible and
Near Infrared Radiometer type 2 (AVNIR-2) untuk observasi tutupan lahan, dan
Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk observasi
daratan siang dan malam tanpa memperhatikan kondisi cuaca (LAPAN, 2018).
35
36
Gambar 2. 24. Citra ALOS untuk substrat dasar (Sumber : Budimansyah, 2018)
36
37
2.2.3.7. IKONOS
2.2.3.8. PLEIADES
37
38
dilengkapi sensor yang dapat membuat gambar berwarna dengan resolusi spasial
50 cm. Masing-masing satelit memiliki resolusi temporal 2 hari dengan jenis orbit
heliosynchronous quasi-circular pada ketinggian orbit 694 km. Sensor resolusi
tinggi Pleiades membuat gambar dalam mode pankromatik dengan resolusi 70
cm, yang di-resample hingga 50 cm di permukaan tanah. Dalam mode
multispectral, kamera ini memotret gambar dengan resolusi 2.8 m yang
diresample hingga 2 m. Penggabungan kedua jenis produk ini menghasilkan
gambar berwarna dengan resolusi 50 cm. Produk Pleiades dapat diaplikasikan
pada pertahanan, pemetaan perkotaan, pertanian, dan infrastruktur (LAPAN,
2018).
38
39
39
40
40
41
Gambar 2.29. Kondisi mangrove di Tanjung Dewa (Sumber : Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Tanah Laut, 2016)
41
42
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2020 - Mei 2021. Waktu
tersebut meliputi identifikasi potensi terkait lokasi melalui studi literatur dan
analisis awal, konsultasi proposal, persiapan alat-alat turun lapangan lalu
dilakukan pengambilan data lapangan, re-interpretasi citra, konsultasi terkait
penelitian serta penyusunan laporan akhir. Penelitian ini berlokasi di pesisir
Sungai Rasau dan pesisir Kuala Tambangan - Tanjung Dewa Kabupaten Tanah
Laut, Provinsi Kalimantan Selatan (Gambar 3.1) Pengolahan dan analisis data
dilakukan di Laboratorium SIG dan Penginderaan Jauh, Program Studi Ilmu
Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat.
42
43
43
44
3.3.1. Persiapan
44
45
Koreksi radiometrik juga menjadi salah satu hal yang perlu dilakukan
dalam pra pengolahan citra. Koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki
nilai piksel dengan mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai
kesalahan utama. Koreksi radiometrik terbagi menjadi dua yakni kalibrasi
radiometrik dan koreksi amtosfer. Pada tahap ini pra pengolahan citra yang
dilakukan ialah koreksi atmosferik dan pemotongan citra. Koreksi atmosferik
dilakukan untuk membantu menghilangkan kesalahan-kesalahan atau pengaruh
atmosfer yang mungkin terjadi saat perekaman berlangsung. Koreksi atmosferik
bertujuan menurunkan nilai reflektan suatu objek yang direkam. Pada citra
Sentinel 2, koreksi atmosferik dilakukan dengan menggunakan software QGIS
3.10.
45
46
Pada tahap ini citra yang sudah terkoreksi dilakukan pengolahan agar
dapat dianalisis dan diinterpretasi untuk mendapatkan data citra. Pengolahan citra
yang dilakukan ialah komposit kanal, pemotongan citra dan klasifikasi
Unsupervised.
46
47
47
48
maka, nilai NDVI dengan menggunakan citra sentinel 2 dapat dihitung dengan
formula sebagai berikut:
𝐵𝑎𝑛𝑑 8 − 𝐵𝑎𝑛𝑑 4
𝑁𝐷𝑉𝐼 =
𝐵𝑎𝑛𝑑 8 + 𝐵𝑎𝑛𝑑 4
Selanjutnya, hasil NDVI dikelaskan menjadi lima kelas dengan klasifikasi kelas
kerapatan tajuk menggunakan rumus sebagai berikut (Sturgess,1925 dalam
Setiawan Heri, 2013):
𝑥𝑡 − 𝑥𝑟
𝐾𝐿 =
𝑘
Keterangan:
KL = Kelas interval
xt = nilai tertinggi
xr = nilai terendah
k = jumlah kelas yang diinginkan
Layout peta adalah tahapan terakhir yang dilakukan pada pengolahan data
citra. Citra yang telah diolah ditampilkan dalam bentuk peta yang selanjutnya
dibuat layout untuk menampilkan informasi penting mengenai peta tersebut. Pada
tahap ini pembuatan layout peta dilakukan dengan menambahkan beberapa atribut
seperti judul peta, grid peta, skala peta, legenda peta, tahun pembuatan peta dan
penerbitan peta serta sumber peta. Pembuatan layout peta dilakukan menggunakan
software ArcGIS 10.7.
48
49
49
50
50
51
Gambar 3.3. Peta lokasi sampling di pesisir Kuala Tambangan - Tanjung Dewa
51
52
Jenis penggunaan lahan (Jpl) dapat diukur dengan penginderaan jauh dan
secara visual dengan mengambil titik-titik dilapangan (Ground Control Point)
yang dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu:
1) hutan mangrove murni
2) hutan mangrove bercampur tegakan hutan lain
3) hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpangsari, atau areal tambak
tumpangsari murni
4) hutan mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non-vegetasi
(pemukiman, tambak non-tumpangsari, dsb), dan
5) areal tidak bervegetasi.
52
53
data pohon, pancang dan semai. Dengan sampel plot ukuran petak harus cukup
besar agar mewakili komunitas dan cukup kecil sehingga individu yang ada dapat
juga dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa pengabaian. Petak contoh (plot)
berukuran 10 x 10 meter untuk melakukan pengamatan pohon, selanjutnya
didalam plot tersebut dibuat sub plot berukuran 5 x 5 meter untuk mengamati
pancang dan sub plot sebesar 1 x 1 meter untuk pengamatan kategori semai (BIG,
2014). Pada plot tersebut dilakukan pengukuran secara visual dengan
mengidentifikasi spesies mangrove yang ada, jumlah individu setiap jenis dan
lingkar batang pohon mangrove. Data tersebut dicatat yang selanjutnya diolah
untuk melihat jumlah pohon dan permudaan dan menghitung kerapatan jenis,
frekuensi jenis, luas penutupan serta nilai penting spesies mangrove.
Pengambilan Ground Control Point (GCP) dilakukan dengan metode titik.
Metode ini dilakukan secara visual dengan jarak pandang 5 m di sekeliling
surveyor. Surveyor berada pada titik centroid dan jarak pandang sekeliling
(depan-belakang, kanan kiri) sejauh 5 m sehingga membentuk bujur sangkar dan
seolah-olah ukurannya sama dengan plot 10 m x 10 m (BIG, 2014).Metode
pengambilan petak contoh dapat dilihat pada Gambar 3.6. dibawah ini:
53
54
54
55
55
56
b. Frekuensi Jenis i (Fi) adalah peluang jenis i dalam plot dihitung dengan rumus:
ni Fi
Fi = dan RFi = x 100%
∑p ∑f
Dimana :
Fi = Frekuensi jenis i,
RFi = Frekuensi jenis relatif jenis i (%)
Pi = Jumlah plot yang ditemukan,
Ʃp = Jumlah total plot yang diamati,
Ʃf = Jumlah frekuensi seluruh jenis
c. Penutupan Jenis i (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam plot yang dihitung
dengan rumus :
∑BA Ci
Ci = dan RCi = x 100%
A ∑c
Dimana :
Ci = Penutupan jenis dalam satu unit area,
Rci = Penutupan reletif jenis i,
BA = Diameter batang,
A = Luas total plot (m2),
Ʃc = Jumlah penutupan dari semua jenis,
RCi = Penutupan relatif jenis i (%)
56
57
oleh kanopi dan jumlah seluruh piksel foto dan dikalikan 100%. Warna langit
yang kontras dengan kanopi, menyebabkan identifikasi pada piksel langit sangat
mudah dilakukan dengan analisis sederhana. Berikut rumus yang digunakan untuk
menilai persentase tutupan kanopi (LIPI, 2020):
57
58
3.4.4.1. Overlay
58
59
sepanjang 100 meter sebagai zona tumbuh mangrove lalu dihasilkan peta
kekritisan lahan mangrove. Tingkat kekritisan mangrove di pesisir Sungai Rasau
dan Kuala Tambangan - Tanjung Dewa. Dengan menggunakan kriteria tersebut,
untuk menentukan kriteria lahan kritis mangrove dengan menggunakan rumus
berikut:
TNS = ((Tppl x 28,6) + (N x 23,8) + (Np x 19) + (Kt x 14,3) + (L x 9,5) +
(TA x 4,8))
Berdasarkan total nilai skoring (TNS) tersebut, tingkat kekritisan lahan mangrove
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
• Nilai < 200 : rusak berat
• Nilai 200 – 300 : rusak
• Nilai > 300 : tidak rusak
Uji ketelitian dilakukan menilai sejauh mana tingkat kesesuaian antar hasil
klasifikasi yang telah dilakukan dengan kondisi lapangan yang sebenarnya. Uji
ketelitian dilakukan terhadap kelas-kelas kerapatan yang diperoleh dari olah citra
NDVI dengan menggunakan data hasil survey lapangan. Melalui uji ketelitian ini
dapat dihitung besarnya ketelitian seluruh hasil klasifikasi dengan tabel matriks
konfusi (confusion matriks). Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (K) adalah :
𝐽𝑃𝐵
K= x 100%
𝐽𝑆
Keterangan:
K = Ketelitian
JPB = Jumlah Pixel Benar
JS = Jumlah Pixel Sebenarnya
59
60
Mulai
Penetapan kriteria
penilaian
Peta lokasi
mangrove
Perancangan
pengambilan
sampel
Survey lapangan:
-Pengamatan kondisi umum
-Pengambilan sampel
-Pengukuran parameter lingkungan
Analisis kriteria
Re-interpretasi citra kekritisan lahan
(tabel skoring)
Revisi peta
Perhitungan luasan
dan perbandingan
luasan
Penyajian peta
kekritisan dan
perubahan luas Tabulasi
mangrove
Selesai
60
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, N., Marini, Yennie. Manoppo, Anneke K.S. 2017. Identifikasi Spektral
Reflektan Tanaman Mangrove di Pulau Pasighe Menggunakan Landsat 8. IPB.
Bogor.
Bang Day (2018) Mengenal Satelit Cuaca Himawari-8 - Belajar Cuaca Dan Iklim.
Available at: Http:// Www.Climate4life.Info/2018/07/ Mengenal-Satelit-Cuaca-
Mawari8.
Baharuddin. 2018. Modul Praktek Lapang: Pemetaan Sumberdaya Pesisir, Laut dan
Pulau-Pulau Kecil. Ilmu Kelautan.Universitas Lambung Mangkurat.Banjarbaru
Dahuri, Rokhmin. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. 2016. Identifikasi Dan
Inventarisasi Kerusakan Ekosistem Mangrove. Kabupaten Tanah Laut.
European Space Agency (ESA). 2015. Sentinel-2 User Handbook Revision 2. ESA
Communication, Noordwijk.
61
FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980-2005. FAO Publisher. Rome. Italy.
Ghufran, M. dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: potensi, fungsi, dan
pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.
Graha, Y.I., Hidayah, Zainul dan Nugraha, W.A. 2009. Penentuan Kawasan Lahan
Kritis Hutan Mangrove Kecamatan Modung Memanfaatkan Teknologi Sistem
Informasi Geografis Dan Penginderaan Jauh. Universitas Trinujoyo. Jawa
Timur.
Herwanda, Agita, S. 2016. Analisis Akurasi Citra Modis Dan Citra Landsat 8
Menggunakan Algoritma Normalized Burn Ratio Untuk Pemetaan Area
Terbakar (Studi Kasus : Provinsi Riau). IPB. Bogor.
Kawamuna, A., Suprayogi, A., & Wijaya, A. 2017. Analisis Kesehatan Hutan
Mangrove Berdasarkan Metode Klasifikasi Ndvi Pada Citra Sentinel-2 (Studi
Kasus : Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Geodesi Undip, 6(1),
277–284.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201. 2004. Kriteria Baku dan Pedoman
Penentua Kerusakan Mangrove. Jakarta.
62
LAPAN. 2018. Jenis Data Satelit Penginderaan Jauh. Available at: https://inderaja-
catalog.lapan.go.id/application_data/default/index.html.
LAPAN. 2015. Buku Pedoman Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat
8 Untuk Mangrove. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta.
Murti SH. 2012. Pengaruh resolusi spasial pada citra penginderaan jauh terhadap
ketelitian pemetaan penggunaan lahan pertanian di Kabupaten Wonosobo. Jurnal
Ilmiah Geomatika. 18(1): 84-94.
Noor, Y.R., Khazali, M., Suryadiputra, INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove.
Ditjen PHKA: Wetlands International, Indonesia Programme.
Onrizal et al. 2018. Mangrove loss drives global warming. Makalah akan disampaikan
pada Konferensi Internasional ICOSTEERR. https://www.mongabay.co.id/2018/
08/13/mangrove-ekosistem-penting-langka-yang-semakin-terancam/
Satellite imaging corp. 2014. Sensors Used in Satellite Imaging. Diakses 17 September
2020, dari https://www.satimagingcorp.com.
63
Saru, A. 2013. Mengungkap Potensi Emas Hijau di Wilayah Pesisir. Masagena Press,
Makassar.
Setiawan, Heri. 2013. Identifikasi Daerah Prioritas Rehabilitasi Lahan Kritis Kawasan
Hutan dengan Penginderaan Jauh dan SIG di Kabupaten Pati. Program Studi
Teknik Geodesi UNDIP. Semarang.
Siburian, Robert dan Haba, John. 2016. Konservasi Mangrove dan Kesejahteraan
Masyarakat. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Setyawan, A., D., Susilowati, A., dan Sutarno, 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan
Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas:Studi Kasus
Mangrove.Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Soenarmo, S., H., 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis
Untuk Bidang Ilmu Kebumiaan. Penetbit ITB Bandung.
Susilo, Setyo. Budi. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan. IPB. Bogor.
Toknok, dkk. 2014. Nilai Manfaat Hutan Mangrove Di Desa Sausu Peore Kecamatan
Sausu Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal. Jurusan Kehutanan Universitas
Tadulako.
Tuwo, A. 2011. Pengolahan Ekowisata Pesisir dan Laut. Penerbit Brilian Internasional.
Surabaya.
Unik, M. 2019 . Spesifikasi Citra Satelit. Analisis Citra Digital Untuk Pengelolaan
Sumber Daya Hutan. IPB. Bogor.
Wicaksono, P., Danoedoro, P., Hartono, & Nehren, U. 2016. Mangrove biomass carbon
stock mapping of the Karimunjawa Islands using multispectral remote sensing.
International Journal of Remote Sensing, 37(1).
Wijayanti, R.S. 2018. Citra Sentinel-2 Untuk Identifikasi Fase Pertumbuhan Padi
Dengan Analisis Pola Reflektan Di Kabupaten pCianjur. IPB. Bogor.
64
65
66
67