Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM

METODE PENGUMPULAN DATA KONDISI TERUMBU KARANG


MENGGUNAKAN TEKNIK UNDERWATER VISUAL CENSUS

OLEH
KHAIRUW WAFA
1804124113

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat dan kasih-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan pratikum ini

mempelajari “Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang

Menggunakan Teknik Underwater Visual Census”. Laporan pratikum ini dibuat

sebagai salah satu tugas dari mata kuliah penyelaman riset kelautan jurusan ilmu

kelautan pada Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Riau.

Ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada dosen

pembimbing mata kuliah penyelaman riset kelautan atas saran dan bimbingannya

dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan praktikum ini.

Penulis dalam laporan ini masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

keberhasilan penulisan berikutnya. Sehingga penulisan berharap laporan ini dapat

berguna bagi kita semua.

Pekanbaru, Mei 2021

Khairuw Wafa

i
DAFTAR ISI

Isi Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................ iii

DAFTAR TABEL ................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR............................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... v

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat .................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Terumbu Karang....................................................................... 4
2.2. Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang. ........... 7
2.3. Ancaman Terumbu Krang ........................................................ 14
2.4. Penyakt Karang......................................................................... 14

III. METODE PRAKTEK


3.1. Waktu dan Tempat.................................................................... 15
3.2. Bahan dan Alat ......................................................................... 15
3.3. Metode Praktek ......................................................................... 15
3.4. Prosedur Pratikum .................................................................... 15
3.4.1. Transek Sabuk Ikan ................................................... 16
3.4.2. Transek Sabuk Avertebrata........................................ 16
3.4.3. Transek Sabuk Substrat ............................................. 16
3.5. Analisis Data............................................................................. 17
3.5.1. KomposisiSubstrat Dasar........................................... 17
3.5.2. Kategori Penentu Kondisi Terumbu Karang ............. 17
3.5.3. Kelimpahan Ikan indikator dan Avertebrata.............. 18

IV. HASIL dan PEMBAHASAN


4.1.Deskripsi Lokasi Praktikum ................................................... . 19
4.2.Kondisi Terumbu Karang d Periran Beras Basah ..................... 19
4.2.1. Kondisi terumbu Krang Pada Stasiun 1..................... 20
4.2.2. Kondisi terumbu Krang Pada Stasiun 2..................... 21
4.2.3. Kondisi terumbu Krang Pada Stasiun 3..................... 22
4.3.Kondisi Megabenthos ............................................................... 23

ii
V. KESIMPULAN dan SARAN
5.1. Kesmpulan ................................................................................ 24
5.2. Saran ......................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kelebihan Dan Kekurangan Transek Garis .......................................... 8


2. Kelebihan Dan Kekurangan Transek Kuadrat...................................... 10
3. Kelebihan Dan Kekurangan Metode Manta Tow................................. 12
4. Uraian Kegiatan Magang Kelebihan dan Kekurangan Metode TransekSabuk 14
5. Standar baku mutu Katagori Kondisi Terumbu Karang Sesuai Keputusan
Menteri Lingkungan hidup ................................................................... 18

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Cara pencatatan data koloni karang pada metode transek garis......... 9


2. Koloni karang masif berukuran besar dianggap dua data, CM, apabila garis
meteran melewati algae persis diatas koloni tersebut ........................ 9
3. Kategori dan persentase tutupan karang untuk menilai berapa persentase
karang hidup, karang mati, karang lunak, pasir dan kerikil ............... 12
4. Rincian dari papan manta tempat tabel data seta rincian katergori diletakkan
yang akan memudahkan pengamat dalam pencatatan data................ 13
5. Design Pengambilan Data Reef check................................................ 17
6. Tutupan substrat pada stasiun 1. ........................................................ 20
7. Tutupan substrat pada stasiun 2 ......................................................... 21
8. Tutupan substrat pada stasiun 3 ......................................................... 22

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lokasi Praktek ...................................................................................... 28


2. Kegatan Praktek ................................................................................... 29

vi
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring perjalanan waktu, manusia semakin serakah dalam

mengeksploitasi sumberdaya alam. Penggunaan bahan peledak (bom) yang

ditemukan sejak revolusi industri menjadi alat canggih untuk memperoduksi

hasil dari ekosistem terumbu karang sebanyak-banyaknya dengan waktu yang

singkat. Artinya, pemanfaatan yang lestari atau dikenal dengan istilah konservasi

sebenarnya telah ada sejak dahulu kala.

Oleh karena saat ini degradasi sumberdaya alam khususnya pada terumbu

karang semakin memperihatinkan kondisinya, maka Pemerintah Indonesia

kembali menyerukan kepada semua pihak untuk melakukan pengelolaan secara

berkelanjutan agar terumbu karang dengan ekosistemnya yang produktif tidak

menjadi sebuah legenda oleh anak cucu kita suatu hari nanti.

Betapa tidak, sejak 1998 kemudian di tahun 2000, 2010 dan terakhir pada

tahun 2016 telah terjadi pula fenomena alam yaitu kenaikan suhu permukaan laut

(SPL) yang mengakibatkan kerusakan secara luas terhadap terumbu karang.

Zooxanthella yang hidup di dalam jaringan tubuh karang menganggap keadaan

ini sebagai ancaman, sehingga tidak jarang koloni karang yang ditinggalkannya

menjadi putih. Kejadian ini biasanya lebih dikenal dengan istilah coral bleaching.

Jika saja suhu permukaan laut tersebut bertahan lama maka hewan karang akan

terancam mati.

Sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang

dengan beragam biota asosiatif dan keindahan yang mempesona, memiliki nilai
2

ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari

hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga sebagai tempat mencari

makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar, serta tempat pemijahan bagi berbagai

biota laut. Ekosistem terumbu karang menghasilkan produktivitas primer yang

sangat tinggi sebagaimana memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi pula.

Terumbu karang merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan

(nursery ground), pembesaran (rearing ground), dan tempat mencari makan

(feeding ground) serta menjadi habitat ribuan biota. Selain itu, terumbu karang

juga berfungsi sebagai pelindung pantai (Kordi 2010), dimanfaatkan manusia

sebagai sumber protein, fishing ground, bahan bangunan, objek wisata, cindera

mata dan obat-obatan.

Menurut Obura dan Grimsdith (2009), terumbu karang menyediakan

sumber pangan dan mata pencaharian bagi jutaan penduduk pesisir. Besarnya

potensi terumbu karang tersebut mengakibatkan pemanfaatan yang berlebihan

sehingga mempengaruhi kondisi terumbu karang. Besarnya potensi terumbu

karang membuat aktivitas eksploitasi besar-besaran dengan berbagai cara dan

bentuk sehingga menyebabkan kerusakan terumbu karang yang terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun (Burke dkk. 2004).

1.2. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari pratikum “Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu

Karang dan Kepadatan Megabenthos” Adalah untuk mengetahui metode dalam

mengetahui kondisi terumbu karang dan kepabadan dari megabenthos.


Manfaat dari pratikum “Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu

Karang dan Kepadatan Megabenthos” Adalah dapat menambah wawasan dan

ilmu pengetahuan dalam mengetahui metode pengumpulan data kondisi terumbu

karang serta dapat sebagai referensi untuk penelitian dalam menggunakan metode

pengumpulan data dondisi terumbu karang.


4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang

Indonesia sebagai negara kepuauan yang memiliki wilayah pesisr yang

kaya danberagam akan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan. Negara

kepulauan yang meiliki garis pantai sepanjang 81.000km termasuk negara kedua

yang memliki garis pantai. Wilayah laut negeri Indonesia, temasuk perempatnya

dari luas keselurusan wilayah Indonesia (Dahuri, 1996).

Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang

penting, karena menjadi sumberkehidupan bagi biota laut. Ekosistem terumbu

karang dapat terbentuk dari 480 spesies karang, dan didalamnya hiduplebh dari

1.650 spesies kan, molusca, crustacea, sponge, algae dan seagrass (Buddemier et

al., 2004). Fungsiutama terumbu karang adlaah sebagai tempat memijah daerah

asuhan biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah (Oceana, 2006). Terumbu

karang adalah endapapan masif yang berupa kalsium karbonat, dihasilkan oleh

hewan karang CnidariaI yang bersimbiosis dengan Zooxanthella.karang memiliki

variasi bentuk pertumbuhan koloni ang dipengaruhi oleh kondisilngkungan

perairan, seperti intensitas cahaya matahari, hydrodinamis (gelombang dan arus),

ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure dan faktor genetik

(English et al., 1994).

Populasi karang yang mendominasi di suatu habitat sangat dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan, sehingga jika kondisi lingkungan sesuai engan spesies

karang tertentu maka dalam suatu habitat dapat didominasi spesies karang

tersebut. Daerah retaan terumbu biasanya didominasi oleh karang kecil yang

umumnya masif dan submasif. Leren terumbu biasanya ditumbuhi karang-karang


5

bercbang,sedangkan karang masif lebih banyak mendominasi di terumbu terluar

yang berarus. Oleh karena itu inventarisasi terumbu karang dapat dilakukan

dengan mengumpulkan data berupa persentase penutupan karang hidup, lifeform,

dan jumlah karang. Kelimpahan ikan karang dan kondisi perairan kepulauan yang

terdapat ekosistem terumbu karang yang bsa menjadi dasar untuk mendukung

kesesuaian suatu wilayah untuk dijadikan objek wisata bahari.

Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode

tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian peneliti, dan

ketersediaan sarana dan prasarana. Agar hasil survei dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka perlu diperhatikan cara pemilihan

keterwakilan lokasi, panjang transek (sampling) yang diambil dan banyaknya

ulangan yang diperlukan.

Meskipun telah banyak metode survei pada saat ini, namun masing-

masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dapat dikatakan belum ada

suatu metode yang memuaskan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan sulitnya

menggambarkan suatu kondisi terumbu karang dengan metode survei yang ada

saat ini (Suharsono, 1994), antara lain:

1. Terumbu karang yang tumbuh di tempat geografis yang berbeda

mempunyai tipe yang berbeda.

2. Ukuran individu atau koloni sangat bervariasi dari beberapa centimeter

hingga beberapa meter.

3. Satu koloni karang dapat terdiri beberapa individu sampai jutaan individu.

4. Bentuk pertumbuhan sangat bervariasi seperti bercabang, masif, merayap,

seperti daun, dan sebagainya.


5. Tata nama jenis karang masih relatif belum stabil dan adanya perbedaan

jenis yang hidup pada lokasi geografis yang berbeda, serta adanya variasi

morfologi dari jenis yang sama yang hidup pada kedalaman yang berbeda

maupun tempat yang berbeda.

Degradasi terumbu karang juga dipengaruhi oleh tekanan alami seperti

tsunami, pemangsaan oleh COT, kompetisi dengan alga, dan ancaman

perubahan iklim yang telah menjadi tekanan terbesar bagi terumbu karang

dunia saat ini, salah satunya ialah melalui fenomena pemutihan karang.

Menurut Simarangkir (2015), pasca kejadian pemutihan karang, tutupan

karang keras hidup mengalami penurunan. Penurunan karang keras hidup

biasanya disertai dengan peningkatan makroalga yang merupakan kompetitor

bagi karang. Meningkatnya tekanan tersebut dapat mengancam

keberlangsungan terumbu karang sehingga diperlukan upaya untuk

melestarikan terumbu karang. Salah satu upaya tersebut ialah tersedianya

data yang memadai mengenai kondisi terumbu karang sehingga dapat

menjadi dasar dalam pengelolaan yang tepat.

Pulau Beras Basah merupakan salah satu kawasan dengan nilai

penting terumbu karang yaitu dimanfaatkan masyarakat sekitarnya sebagai

kawasan wisata bahari dan daerah penangkapan ikan. Pemanfaatan tersebut

sangat mempengaruhi kondisi terumbu karang, oleh karenanya peneliti

tertarik melakukan penelitian di Pulau Beras Basah guna menganalisa

kondisi terkini terumbu karang.


2.2. Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang

Penggunaan metode survei dalam menggambarkan kondisi terumbu

karang biasanya disajikan dalam bentuk struktur komunitas yang terdiri dari data:

persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan karang mati, jumlah marga,

jumlah jenis, jumlah koloni, ukuran koloni, kelimpahan, frekuensi kehadiran,

bentuk pertumbuhan, indeks keanekaragaman jenis (Suharsono, 1994).

Beberapa metode yang umum digunakan oleh peneliti dalam

menggambarkan kondisi terumbu karang adalah:

1. Metode Transek Garis


2. Metode Transek Kuadrat
3. Metode Manta Tow
4. Metode Transek Sabuk (Belt transect)

1. Metode Transek garis

Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas

karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat

(pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Spesifikasi karang yang

diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang (life form) dan

dibolehkan bagi peneliti yang telah memiliki keahlian untuk mencatat karang

hingga tingkat genus atau spesies.

Pemilihan lokasi survei harus memenuhi persyaratan keterwakilan

komunitas karang di suatu pulau. Biasanya penentuan ini dilakukan setelah

dilakukan pemantauan dengan metode Manta Tow.

Peralatan yang dibutuhkan dalam survei ini adalah rol meter, peralatan

scuba, alat tulis bawah air, tas nilon, palu dan pahat untuk mengambil sampel

karang yang belum bisa diidentifikasi, dan kapal.


Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih ditemukan terumbu

karang batu (± 25 m) sampai di daerah pantai mengikuti pola kedalaman garis

kontur. Umumnya dilakukan pada tiga kedalaman yaitu 3 m, 5 m dan 10 m,

tergantung keberadaan karang pada lokasi di masing-masing kedalaman. Panjang

transek digunakan 30 m atau 50 m yang penempatannya sejajar dengan garis

pantai pulau. Pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian mendekati

centimeter. Dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu

koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati

maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua

koloni atau lebih tumbuh di atas koloni yang lain, maka masing-masing koloni

tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Panjang tumpang tindih koloni dicatat

yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa kelimpahan jenis. Kondisi

dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masif dan biota lain

yang ditemukan di lokasi juga dicatat.

Tabel 1. Kelebihan Dan Kekurangan Transek Garis


Kelebihan Kekurangan
 Akurasi data dapat diperoleh dengan  Membutuhkan tenaga peneliti yang
baik banyak
 Data yang diperoleh juga jauh lebih  Survei membutuhkan waktu yang lama
baik dan lebih banyak  Dituntut keahlian peneliti dalam
 Penyahian struktur komunitas seperti identifikasi karang, minimal life form
persentase tutupan karang dan sebaliknya genus atau spesies
hidup/karang mati, kekayaan jenis,  Peneliti dituntut sebagai penyelam
dominasi, frekuensi kehadiran, ukuran yang baik
koloni dan keanekaragaman jenis  Biaya yang dibutuhkan juga relatif
dapat disajikan secara lebih lebih besar
menyeluruh
 Struktur komunitas biota yang
berasosiasi dengan terumbu karang
juga dapat disajikan dengan baik
Gambar 1. Cara pencatatan data koloni karang pada metode transek garis
(English et al, 1994).

Gambar 2. Koloni karang masif berukuran besar dianggap dua data, CM,
apabila garis meteran melewati algae persis diatas koloni tersebut (English et al,
1994).

Metode lain yang mengacu pada Prinsip transek garis ini yaitu point

transect, salah satu contoh aplikasinya sering gunakan pada program Reef

Check. Pengamatan dilakukan pada setiap 0.5 meter terhadap karang keras,

karang lunak, karang mati, alga dan biota lain.

2. Metode Transek Kuadrat

Metoda transek kuadrat digunakan untuk memantau komunitas

makrobentos di suatu perairan. Pada survei karang, pengamatan biasanya


meliputi kondisi biologi, pertumbuhan, tingkat kematian dan rekruitmen karang

di suatu lokasi yang ditandai secara permanen. Survei biasanya dimonitoring

secara rutin. Pengamatan didukung dengan pengambilan underwater photo

sesuai dengan ukuran kuadrat yang ditetapkan sebelumnya. Pengamatan laju

sedimentasi juga sangat diperlukan untuk mendukung data tentang laju

pertumbuhan dan tingkat kematian karang yang diamati.

Peralatan yang dibutuhkan adalah kapal kecil, peralatan scuba, tanda

kuadrat 1 m x 1 m dan sudah dibagi setiap 10 cm, kaliper, GPS dan underwater

camera. Data yang diperoleh dengan metoda ini adalah persentase tutupan

relatif, jumlah koloni, frekuensi relatif dan keanekaragaman jenis.

Tabel 2. Kelebihan Dan Kekurangan Transek Kuadrat


Kelebiha Kekurangan
N
 Data yang diperoleh lengkap  Proses kerjanya lambat dan

dengan mengambar posisi biota membutuhkan waktu lebih lama.

yang ditemukan pada kuadrat,  Peralatan yang digunakan tidak praktis

dengan bantuan underwater dan susah bekerja pada lokasi yang

photo berarus

 Sumber informasi yang bagus  Metode ini cocok hanya pada luasan

dalam pemantauan laju perairan yang kecil

pertumbuhan,  Sedimen trap tidak bisa ditinggal dalam

tingkat kematian, laju waktu lama dan tidak efektif pada

rekruitmen daerah yang berarus


3. Metoda Manta Tow

Penelitian menggunakan metoda manta tow bertujuan untuk mengamati

perubahan secara menyeluruh pada komunitas bentik yang ada pada terumbu

karang, termasuk kondisi terumbu karang tersebut. Metode ini sangat cocok untuk

memantau daerah terumbu karang yang luas dalam waktu yang pendek, biasanya

untuk melihat kerusakan akibat adanya badai topan, bleaching, daerah bekas bom

dan hewan Acanthaster plancii (Bulu seribu). Teknik ini juga sering digunakan

untuk mendapatkan daerah yang mewakili untuk di survei lebih lanjut dan lebih

teliti dengan metoda transek garis.

Pelaksanaan di lapangan, metode manta tow ini dengan cara menarik

peneliti dengan menggunakan perahu selama dua menit dengan kecepatan tetap 3-

5 km/jam atau seperti orang yang berjalan lambat. Apabila ada faktor lain yang

menghambat seperti arus yang kencang, maka kecepatan perahu dapat ditambah

sesuai dengan tanda dari si pengamat yang berada di belakang perahu. Peneliti

akan mengamati beberapa objek sepanjang daerah yang dilewati dan persentase

penutupan karang hidup (karang keras dan karang lunak) dan karang mati. Data

yang diamati dicatat pada tabel data dengan menggunakan nilai kategori atau

dengan nilai persentase bilangan bulat. Untuk tambahan informasi yang

menunjang pengamatan, dapat pula memasukkan penutupan pasir, patahan

karang, objek lain (Tridacna, Diadema dan Acanthaster) sebagai objek yang

diamati, semua tergantung tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Peralatan yang digunakan dalam metode Manta Tow ini adalah kaca mata

selam (masker), snorkel, fin, perahu motor minimal 5 PK, papan manta yang

berukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tebal dua cm, tali yang panjang 20
m dan berdiameter satu cm, pelampung kecil, alat tulis bawah air, stop watch

dan GPS.

Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Metode Manta Tow


Kelebihan Kekurangan
 Daerah yang luas dapat di survei dalam  Survei secara tidak sengaja bisa

waktu yang singkat dilakukan pada lokasi di luar terumbu

 Metodenya sederhana dan mudah karang (pasir, perairan yg dalam.

dipraktekkan  Peneliti sering lupa bila terlalu banyak

 Biaya yang dibutuhkan tidak begitu objek yang di ingat

mahal  Kemungkinan ada objek (binatang)

 Peneliti tidak terlalu lelah untuk survei yang terlewatkan.

areal yang luas  Metode tidak cocok bila visibility

rendah (kurang dari 6 m)

Gambar 3. Kategori dan persentase tutupan karang untuk menilai berapa


persentase karang hidup, karang mati, karang lunak, pasir dan kerikil (English et
al, 1994; Sukmara dkk, 2002).
Gambar 4. Rincian dari papan manta tempat tabel data seta rincian katergori
diletakkan yang akan memudahkan pengamat dalam pencatatan data (English,
1994; Sukmara dkk, 2002).

4. Metoda Transek Sabuk (Belt Transect)

Transek sabuk digunakan untuk mengambarkan kondisi populasi suatu

jenis karang yang mempunyai ukuran relatif beragam atau mempunyai ukuran

maksimum tertentu misalnya karang dari genus Fungia. Metoda ini bisa juga

untuk mengetahui keberadaan karang hias (jumlah koloni, diameter terbesar,

jumlah jenis) di suatu daerah terumbu karang.

Panjang transek yang digunakan ada 10 m dan lebar satu m, pengamatan

keberadaan karang hias yang pernah dilakukan oleh lembaga ICRWG (Indonesia

Coral Reef Working Group) menggunakan panjang transek 30 m dan lebar dua

meter (satu m sisi kiri dan kanan meteran transek). Pencatatan dilakukan pada

semua individu yang menjadi tujuan penelitian, yang berada pada luasan transek.

Metode lain yang merupakan pengembangan dari metode sabuk (belt transect)

dan juga digunakan peneliti saat ini adalah video belt transect, metode ini
menggunakan video untuk merekam sepanjang transek dan luasan yang dilalui.

Kemudian hasil rekaman diputar ulang untuk pencatatan dan identifikasi jenis

karang untuk mendapatkan persentase karang hidup dan kriteria lain seperti pada

metoda yang lainnya. Keuntungan metode ini, waktu kerja di laut bisa lebih

efisien, tidak membutuhkan tenaga dan biaya banyak. Hanya saja peralatan

underwater video yang masih tergolong mahal bagi peneliti di Indonesia.

Tabel 4. Kelebihan dan kekuranan metode Transek sabuk


Kelebihan Kekurangan

 Pencatatan data jumlah individu lebih  Membutuhkan keahlian untuk

teliti mengidentifikasi karang secara

 Data yang diperoleh mempunyai langsung dan dibutuhkan penyelaman

akurasi yang cukup tinggi dan dapat yang baik

mengambarkan struktur populasi karang  Waktu yang dibutuhkan cukup lama

2.3. Ancaman Terumbu Karang

Ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia antarana

adalah pembangunan pesiisr, penangkapan ikan dengan bahan peledak,

pembuangan limbah, reklamasipantai, dan lain-lain (Westmacott et al.,2000)

2.4 Penyakit Karang

Karang dapat digolongkan sehat, memuth, terinfeksi penyakit, atau

mengalami gangguan kesehatan, penykit karang yang umum dijumpaimenurut

Willis et al., (2004) adalah Black Band Disease, Skeletal Eroding Band, White

Syndrome, brown Band,Tumor,blackNecrosing syndrome, and Pigmen Spots.


15

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2016 di Perairan Pulau Beras

Basah dengan tiga stasiun penelitian.

3.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini tali, dan kamera

underwater, SCUBA, pipa palaron, roll meter, kertas newtop, buku identifikasi

karang.

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ialah data-data

pengukuran kualitas air laut, dan data lainnya.

3.3. Metode Praktikum


Metode yang dipakai dalam praktikum ini yaitu metode pengamatan yang

dilakukan secara langsung oleh praktikan, dimana data dan informasi yang

dibutuhkan dapat diperoleh dengan mempraktekan langsung sehingga mengetahui

cara penggunan metode underwater visual census dalampengamatan konisi

terumbu karang.

3.4. Prosedur Praktikum


Metode pengambilan data yang digunakan ialah reef check. Data

yang diambil dalam penelitian ini ialah substrat, ikan indikator, dan

avertebrata. Transek garis sepanjang 100 m digunakan dalam metode reef

check. Transek garis tersebut diletakkan sejajar garis pantai. Pada metode

reef check terdapat kombinasi beberapa metode pengambilan data.

Pendataan substrat menggunakan metode point intercept transect (PIT) dan


16

pendataan ikan indikator serta avertebrata menggunakan metode underwater

visual census (UVC). Design pendataan reef check

3.4.1 Transek Sabuk Ikan

Pendataan ikan merupakan yang pertama dilakukan setelah

penggelaran transek garis dilakukan. Ikan yang didata hanya yang

merupakan ikan indikator reef check yaitu jenis ikan target penangkapan

nelayan dan kolektor akuarium. Metode yang digunakan ialah underwater

visual census (UVC), ikan didata sepanjang 4x20 m dengan areal selebar 5 m

(2.5 m di sebelah kanan trasek garis dan 2.5 m di sebelah kiri transek garis),

dan tinggi 5 m. Ikan merupakan survei pertama yang dilakukan, selanjutnya

survei avertebrata.

3.4.2 Transek Sabuk Avertebrata

Avertebrata yang didata merupakan target konsumsi atau koleksi

untuk souvenir. Metode yang digunakan ialah underwater visual census

(UVC), avertebrata didata sepanjang 4x20 m dengan areal selebar 5 m.

Pendataan avertebrata dilakukan dengan teliti hingga ke dalam celah-celah

karang. Saat pendataan avertebrata, dampak terumbu juga didata sepanjang

transek sabuk yang sama.

3.4.3 Transek Garis Substrat

Substrat didata pada transek garis yang sama seperti transek sabuk

ikan dan avertebrata, namun pendataan dilakukan dengan metode point

intercept transect (PIT) yaitu pengambilan data titik (point sampling) tiap

interval 0.5 m di sepanjang transek untuk menentukan kategori substrat pada

terumbu. Transek yang digunakan ialah sepanjang 100 m dengan 4 segmen


pendataan. Setiap segmen sepanjang 20 m diberi interval 5 m antar

segmennya, dimana interval 5 m tersebut tidak dilakukan pendataan

Gambar 5. Design Pengambilan Data Reef check (Hodgson


dkk. 2006).

3.5 Analisis Data

3.5.1 Komposisi Substrat Dasar

Data yang dihasilkan dari komposisi substrat dasar adalah penutupan


karang keras, alga dan parameter lainnya. Perhitungan dilakukan dengan
menjumlahkan setiap titik dari 100 m transek. Persentase tutupan substrat
dasar dihitung berdasarkan persamaan English dkk. (1994):
jumlah tiap koMponen kategori karang
% tutuean substrat = ×
100 % (1)
totaS titik pengaNatan
3.5.2 Kategori Penentuan Kondisi Terumbu Karang

Data yang diperoleh kemudian diolah untuk memperoleh kategori


kondisi terumbu karang yang sesuai dengan kriteria baku kerusakan terumbu
karang pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 4 tahun 2001.
Tabel 5. Standar baku mutu Katagori Kondisi Terumbu Karang Sesuai
Keputusan Menteri Lingkungan hidup.

Kategori Persentase (%)


Buruk 0 – 24
Sedang 25 – 49,9
50 – 74,9
Baik
Baik Sekali 75 - 100

3.5.3 Kelimpahan Ikan Indikator dan Avertebrata

Kelimpahan ikan indikator dan avertebrata dihitung dengan rumus (Odum 1971):

N = ni/A

Keterangan:

N = kelimpahan (individu/luasan area) ni = jumlah individu jenis ke-i

A = luasan area sensu


19

IV. HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Praktikum


Pulau Beras Basah merupakan satu di antara pulau yang berada
dalam wilayah administratif Kotamadya Bontang. Adapun batasan wilayah
Pulau Beras Basah sebagai berikut :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Pulau Kedindingan
 Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makasar
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Makasar
 Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Panjang
Pulau Beras Basah memiliki pantai berpasir putih, perairannya terdapat

ekosistem padang lamun, terumbu karang dan berbagai jenis ikan. Tipe terumbu

karang yang terdapat di Perairan Pulau Beras Basah ialah terumbu karang tepi

(fringing reef). Data untuk penelitian ini diambil pada tiga stasiun di perairan

Pulau Beras Basah.

Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bontang No 112 Tahun 2011,

kawasan Pulau Beras Basah sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi

kotamadya Bontang. Berdasarkan PERMEN Kelautan dan Perikanan No 17

Tahun 2008 tentang kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,

kawasan Pulau Beras Basah telah dijadikan zona pemanfaaatn terbatas, dengan

peruntukan sebagai perlindungan habitat dan populasi ikan, perikanan

berkelanjutan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan dan/atau

pendidikan.

4.2 Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Beras Basah

Terumbu karang merupakan sumberdaya penting di Pulau Beras Basah.


Terumbu karang dimanfaatkan sebagai objek wisata bahari dan daerah
penangkapan ikan. Pemanfaatan tersebut sangat mempengaruhi kondisi terumbu
20

karang, ditambah dengan kondisi lingkungan yang tidak ideal dapat menjadi
tekanan bagi terumbu karang di Perairan Pulau Beras Basah.
4.2.1 Kondisi Terumbu Karang Pada Stasiun 1

Hasil penelitian menunjukkan tutupan karang keras hidup di stasiun 1

ialah 34.38% (Gambar 3). Berdasarkan KEPMENLH 04/2001, persentase tersebut

dikategorikan sedang. Adapun persentase komponen penyusun substrat pada

stasiun 1 sebagai berikut: HC 34.38, SC 24.38, NIA 3.75, SP 1.88, RC 3.13, RB

13.76, dan SD 18.76%

Gambar 6 . Tutupan substrat pada stasiun 1.

Kondisi terumbu karang berkaitan dengan biota asosiasinya


diantaranya ialah ikan dan avertebrata. Seperti dijelaskan Choat dan
Bellwood (2001) bahwa adanya hubungan antara ikan karang dan habitatnya
terkait kebutuhan makanan. Jenis Ikan indikator reef check yang ditemukan
di stasiun 1 ialah butterflyfish, snapper, barramundi cod, grouper, dan
parrotfish. Jenis avertebrata indikator reef check yang ditemukan di stasiun 1
ialah diadema urchin, sea cucumber, giant clam, dan lobster. Khusus stasiun
1 masih ditemukan giant clam berukuran 40-50 cm.

Secara umum kerusakan di perairan Pulau Beras Basah dikarenakan


aktivitas manusia dan alami. Kerusakan pada terumbu karang di stasiun 1
diduga dominan dikarenakan pengaruh besarnya pecahan ombak dan
aktivitas wisata pada lokasi tersebut seperti pembuangan jangkar kapal
wisata. Hal ini dapat dilihat dari persentase rubble sebesar 13.76%.
Terdapatnya karang yang mengalami pemutihan juga berkontribusi terhadap
kerusakan karang.
4.2.2 Kondisi Terumbu Karang Pada Stasiun 2

Hasil penelitian menunjukkan tutupan karang keras hidup di stasiun 2

ialah 12.50% (Gambar 4). Berdasarkan KEPMENLH 04/2001, persentase

tersebut dikategorikan rusak. Adapun persentase komponen penyusun

substrat pada stasiun 2 sebagai berikut: HC 12.50, SC 2.50, NIA 6.25, SP

1.25, RC 19.38, RB 13.75, SD 29.38, SI 7.5, dan OT 7.5%.

Gambar 7. Tutupan substrat pada stasiun 2

Kondisi terumbu karang berkaitan dengan biota asosiasinya diantaranya


ialah ikan dan avertebrata. Seperti dijelaskan Choat dan Bellwood (2001) bahwa
adanya hubungan antara ikan karang dan habitatnya terkait kebutuhan makanan.
Jenis Ikan indikator reef check yang ditemukan di stasiun 2 ialah butterflyfish,
snapper, barramundi cod, grouper, dan parrotfish. Jenis avertebrata indikator
reef check yang ditemukan di stasiun 2 ialah diadema urchin dan giant clam.

Secara umum kerusakan di perairan Pulau Beras Basah dikarenakan


aktivitas manusia dan alami. Kerusakan pada terumbu karang di stasiun 2 diduga
dominan dikarenakan pengaruh besarnya pecahan ombak, aktivitas wisata tak
berwawasan lingkungan pada lokasi tersebut, dan tertutupnya polip karang oleh
silt/sand. Menurut Nybakken (1992), sedimen dapat menjadi ancaman bagi
terumbu karang. Terdapatnya karang yang mengalami pemutihan juga
berkontribusi terhadap kerusakan karang.

4.2.3 Kondisi Terumbu Karang Pada Stasiun 3


Hasil penelitian menunjukkan tutupan karang keras hidup di stasiun 3

ialah 45.63% (Gambar 5). Berdasarkan KEPMENLH 04/2001, persentase

tersebut dikategorikan sedang. Adapun persentase komponen penyusun substrat

pada stasiun 3 sebagai berikut: HC 45.63, SC 6.88, RKC 6.88, NIA 7.5, RC

7.5, RB

15.63, dan SD 8.75%.

Gambar 8. Tutupan substrat pada stasiun 3

Kondisi terumbu karang berkaitan dengan biota asosiasinya diantaranya


ialah ikan dan avertebrata. Seperti dijelaskan Choat dan Bellwood (2001) bahwa
adanya hubungan antara ikan karang dan habitatnya terkait kebutuhan makanan.
Jenis Ikan indikator reef check yang ditemukan di stasiun 3 ialah butterflyfish
dan parrotfish. Jenis avertebrata indikator reef check yang ditemukan di stasiun 3
ialah diadema urchin dan sea cucumber

Secara umum kerusakan di perairan Pulau Beras Basah dikarenakan


aktivitas manusia dan alami. Kerusakan pada terumbu karang di stasiun 3
diduga dominan dikarenakan pengaruh besarnya pecahan ombak dan aktivitas
wisata pada lokasi tersebut seperti pembuangan jangkar kapal wisata.
Terdapatnya karang yang mengalami pemutihan juga berkontribusi terhadap
kerusakan karang.
4.3 Kepadatan Megabenthos

Kondisi lingkungan atau habitat megabentos sangat memengaruhi


kepadatan megabentos. Apabila kepadatan megabentos tinggi artinya habitat
atau lingkungan tersebut merupakan tempat yang sesuai unt15k keberlangsungan
megabentos itu sendiri begitu pula sebaliknya apabila kepadatan megabentos
rendah berarti habitat tersebut tidak sesuai dengan keberlangsungan hidup
megabentos tersebut.

Nilai kepadatan megabentos yang didapatkan berkisar antara 0,029-0,095


ind/m². Nilai kepadatan megabentos yang didapatkan di Perairan Pulau Beras Basah
ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan megabentos di Daerah
Perlindungan Laut (DPL) yang mendapatkan kepadatan megabentos berkisar antara
8,27- 11,82 ind/m² (Aswad, 2014).

Tingginya kepadatan megabentos yang terdapat di stasiun 3 diduga


dipengaruhi oleh persentase kelimpahan relatif karang yang termasuk dalam kategori
tinggi sehingga dapat diasumsikan bahwa stasiun 3 merupakan habitat yang sesuai
dengan keberlangsungan hidup dari megabentos yang berasosiasi di dalamnya.
Kepadatan megabentos di stasiun 3 juga di dominasi oleh A. planci serta bulu babi.

Kepadatan bulu babi tertinggi terdapat pada stasiun 3, lokasi pada stasiun ini
memiliki banyak batuan dan substrat keras. Stasiun ini juga memiliki persentase
tutupan terumbu karang yang paling tinggi dari dua stasiun yang diamati. Banyak
bulu babi yang bersembunyi pada lubang- lubang yang ada pada batu tersebut. Letak
stasiun ini lebih menjorok kearah laut. Diduga hal tersebut menyebabkan pada
stasiun ini memiliki kepadatan yang lebih tinggi karena tempat hidup yang sesuai
dan lebih jauh dari jangkauan masyarakat serta wisatawan yang berkunjung di
pantai.
24

V. KESIMPULAN dan SARAN

5.1. Kesimpulan

Secara umum, kondisi terumbu karang pada Perairan Pulau Beras Basah

termasuk dalam kategori rusak hingga sedang, hal ini ditunjukkan oleh tutupan

karang pada tiga stasiun pengambilan data yaitu dengan kisaran 12.50-45.63%.

Kerusakan terumbu karang di perairan Pulau Beras Basah dikarenakan aktivitas

manusia dan alami, yaitu dominan dikarenakan pecahan ombak, tertutupnya

polip karang dengan sedimen, aktivitas wisata tak ramah lingkungan, dan

pembuangan jangkar kapal wisata. Ikan indikator yang ditemukan di Perairan

Beras Basah ialah butterflyfish, snapper, barramundi cod, grouper, dan

parrotfish, sedangkan avertebrata yang ditemukan ialah diadema urchin, giant

clam, lobster, dan sea cucumber.

5.2 Saran

Untuk peneltian selanjutnyadi harapkan harus memiliki sertifkat jika ngin

mengambil sampel dan menghitung serta mengetahui kondisi terumbu karang, dan

harus lebih menguasai teknik-teknik dalam pendataan terumbu karang.


25

DAFTAR PUSTAKA

Aswad. 2014. Keanekaragaman dan Kepadatan Megabentos pada Terumbu


Karang Daerah Perlindungan Laut (DPL) Pasi Dadawi Kelurahan Majapahit
Kecamatan Batauga Kabupaten Buton. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Halu Oleo. Kendari
Buddemeier, R. W., Baker, A. C., Fautin, D. G.,& Jacobs, J. R. (2004). The
Adaptve Hypothesis of Bleanching. Proceeding of The Coral Health and to
Desease Meeting Held in Israel 23-29April 2003. Israel. 25 pp.
Burke L, Selig E, Spalding M. 2004. Terumbu karang yang terancam di asia
tenggara. Ringkasan untuk indonesia. Kerjasama WRI, UNEP, WCMC,
ICLARM dan ICRAN
Choat, JH, Bellwood DR. 2001. Reef Fishes: Their History and Evolution. The
Ecology of Fish on Coral Reef. Academic press. San Diego
Dahuri, R, dkk. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
secara terpadu. P.T. Pradnya Paramtha, Jakarta, 305 hlm
Dinas Perikanan, Kelautan, dan Pertanian Kota Bontang. 2011. DKP Kota
Bontang. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual For
Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science.
Townsville
English, S., Wilkinson,C., & Baker, V., (1994). Survey Manual for Tropical
Marine Resources. ASEAN – Australia MarineScience Project Living
Coastal Resources. Australia.
Hodgson G, Hill J, Kiene W, Maun L, Mihaly J, Liebeler J, Shuman C, Torres R.
Reef check Instruction Manual: A Guide to Reef check Coral Reef
Monitoring. Reef check Foundation, Pacific Palisades, California, USA,
2006
Kordi KMGH. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Rineka Cipta. Jakarta MENLH
04. 2001. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
oleh Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S. 1992.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Obura DO, Grimsdith G. 2009. Resilience Assessment of Coral Reef-Assessment


Protocol for Coral Reef, Focusing on Coral Bleaching and Thermal Stress.
IUCN Working group on Climate Change and Coral reefs. IUCN, Gland

Oceana. (2006). The Corals of The Mediterranean. FondazioneSegna. Italia.86 pp.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology, third edition. Philadelphia: WB


26

Sanders and Co Simarangkir OR, Yulianda F, Boer M. 2015. Pemulihan


Komunitas Karang Keras Pasca Pemutihan Karang di Amed Bali. JIPI Vol
20, 2:158-163
Suharsono, 1994. Metode penelitian terumbu karang. Pelatihan metode penelitian
dan kondisi terumbu karang. Materi Pelatihan Metodologi Penelitian
Penentuan Kondisi Terumbu Karang: 115 hlm.
Suharsono, 1996. Jenis-jenis karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembagan
Oseanologi. Proyek penelitian dan Pengembangan daerah Pantai: 116 hlm.

Sukmara, A., A.J. Siahainenia & C. Rotinsulu. 2002. Panduan Pemantauan


Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan Metode Manta Tow.
Departemen Kelautan dan Perikanan & Coastal Resources Center
University of Rhode Island.
27

LAMPIRAN
28

Lampran 1. Lokasi praktek


Lampiran 2. Kegiatan Praktek

Anda mungkin juga menyukai