Anda di halaman 1dari 39

ARTIKEL

REHABILITASI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN


PERPADUAN TERUMBU BUATAN DAN TRANSPLANTASI
KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN,
KOTA DENPASAR, PROVINSI BALI

OLEH

I WAYAN RESTU

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga “Artikel” yang berjudul “Rehabilitasi
Ekosistem Terumbu Karang dengan Perdaduan Terumbu Buatan (Artificial Reefs)
dan Transplantasi Karang di Pantai Sanur dan Serangan, Kota Denpasar, Provinsi
Bali” dapat terselesaikan. Artikel ini merupakan hasil kegiatan penelitian
eksperimental yang diharapkan bisa berguna bagi semua pihak, khususnya dalam
upaya pemulihan dan konservasi ekosistem terumbu karang dalam kerangka
perbaikan manajemen sumberdaya pesisir dan laut menuju pembangunan
berkelanjutan. Berhasilnya kegiatan ini dan tulisan artikel ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak : Pemerintah Kota Denpasar, Kelompok Nelayan Karya
Segara Serangan, CV. Bali Aquarium dan yang lainnya yang telah memberikan
fasilitas, bantuan teknis, financial, dan kerjasama sehingga semuanya bisa berjalan
dengan sangat lancar. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Penulis menyadari penulisan Artikel ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan koreksi dan saran yang sifatnya
membangun sebagai bahan masukan yang bermanfaat.

Bukit Jimbaran, Juli 2016

Penulis.

i
i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar belakang.................................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 3
1.3 Manfaat ............................................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
III. METODOLOGI ........................................................................................ 5
3.1 Tempat dan Waktu................................................................................ 19
3.2 Metode.................................................................................................. 19
3.2.1 Survei detail lokasi.......................................................................... 20
3.2.2 Pembibitan karang........................................................................... 20
3.2.3 Pembuatan Terumbu Buatan (Artificial Reef) ................................. 21
3.2.4 Pengangkutan dan Perakitan Terumbu Buatan................................ 22
3.2.5 Transplantasi Karang pada Terumbu Buatan................................... 22
IV. HASIL KEGIATAN.................................................................................. 23
4.1 Pembibitan Karang .............................................................................. 23
4.2 Pembuatan Terumbu Buatan................................................................ 27
4.3 Pengangkutan dan Perakitan Beton Bawah Laut.................................. 28
4.4 Penanaman Karang pada Terumbu Buatan........................................... 29
4.5 Pemeliharaan...................................... .................................................. 31
4.6 Hasil Kegiatan...................................................................................... 31
V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................... .................................. 32
5.5 Simpulan...................................... ......................................................... 32
5.5 Saran...................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA..................................... ................................................. 34

ii
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


2.1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang ................................18
4.1 Spesies karang yang umum ditransplantasi ...........................................................
23
4.2 Ukuran dan jumlah balok beton untuk satu unit terumbu buatan........ 27

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


2.1 Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform) ........................................................ 5
2.2 Penangkapan ikan dengan bahan peledak ............................................................. 14
2.3 Pengambilan/penggalian terumbu karang untuk bahan bangunan ........................ 15
3.1 Lokasi Rehabilitasi Terumbu Karang di Ujung Alur Utara
Pulau Serangan dan Palung Semawang Sanur ...................................................... 19
3.2 Bibit karang dari petak nursery dan potongan karang yang siap
disemai. .................................................................................................................
21
3.3 Dimensi Tampak Atas Terumbu Buatan Bentuk Piramida ................................... 21
3.4 Disain Detail Terumbu Buatan, Pembesian dan Jangkar Terumbu
Buatan ....................................................................................................................
22
4.1 Jenis-jenis terumbu karang yang ditransplantasi................. ........................................... 25
4.2 Rangkaian kegiatan pembibitan karang sebelum ditransplantasi ......................... 27
4.3 Rangkaian kegiatan pembuatan terumbu buatan ................................................... 28
4.4 Rangkaian pengangkutan dan perakitan terumbu buatan ...................................... 29
4.5 Rangkaian penanaman karang pada titik terumbu buatan ..................................... 30
4.6 Pertumbuhan karang pada terumbu buatan .......................................................... 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagous state) terbesar di dunia
terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dan luas laut
sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara)
dan ZEE seluas 2,7 juta km2. Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan lautan
sangat tinggi. Sumberdaya pesisir dan lautan memiliki arti yang sangat penting dan
strategis bagi pembangunan kehidupan masyarakat. Salah satu sumberdaya alam
pesisir yang penting peranannya ditinjau dari aspek produksi, konservasi, rekreasi
dan pariwisata adalah sumberdaya hayati di peraitan pantai. Nilai konservasi
ekosistem perairan pantai adalah perlindungan dan pemeliharaan proses-proses
ekologis, sistem penyangga kehidupan habitat berbagai jenis biota sehingga
berfungsi sebagai cadangan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah, keberadaan
terumbu karang, padang lamun berfungsi melindungi pantai dari bahaya erosi/abrasi,
penghasil pasir putih dan lain-lain. Ditinjau dari aspek produksi, keberadaan
ekosistem pantai telah memberi manfaat yang besar bagi pemenuhan kebutuhan
pangan dan industri serta menopang mata pencaharian masyarakat pesisir,
khususnya masyarkat nelayan. Berbagai produk dapat dihasilkan dari ekosistem
pantai seperti beragam ikan konsumsi, produk ornamental, bahan konstruksi,
ekstraksi natural products (senyawa bioaktif, untuk industri makanan dan minuman,
farmasi, kosmetika, bioenergi, dll) dan bahan baku industri lainnya Sementara itu
ditinjau dari aspek rekreasi dan pariwisata, sumberdaya alam di perairan pantai
menyediakan jasa-jasa menunjang industri wisata bahari bagi perolehan devisa
negara dan menyediakan lapangan pekerjaan dan lapangan usaha bagi masyarakat
lokal secara signifikan.

Pesatnya pembangunan di wilayah pesisir dan lautan pada sisi yang lainnya
menimbulkan ekses berupa permasalahan pendayagunaan sumberdaya alam dan
lingkungan yang tidak seimbang. Salah satu sumberdaya di wilayah pesisir laut yang
mendapatkan tekanan cukup besar adalah ekosistem terumbu karang (Corals reef),

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 1


dengan kecenderungan tingkat kerusakan terumbu karang semakin berat. Dievaluasi
kerusakan yang terjadi adalah akumulasi dampak negatif aktivitas manusia, baik
secara langsung maupun tidak langsung di wilayah pesisir (internal impact), dan di
luar wilayah pesisir (external impact). Disamping itu kerusakan disebabkan oleh
terjadi pencemaran, terutama pencemaran sampah dan sedimen.
Salah satu sumberdaya strategis di wilayah pesisir dan laut adalah “
ekosistem terumbu karang”, termasuk di wilayah pesisir dan lautan Kota Denpasar
memiliki kekayaan sumberdaya alam yang sangat strategis untuk mendukung
pembangunan di kawasan pesisir dan lautan, berupa hamparan kosistem terumbu
karang seluas 300.6 Ha yang tersebar di sepanjang pesisir Pantai Sanur dan Pulau
Serangan, yang berkembang di wilayah paparan benua dengan tipologi merupakan
terumbu karang penghalang (barrier reefs) dengan tubir karang yang relatif luas.
Kondisi terumbu karang di Kota Denpasar relatif masih baik, dengan ratio 58,1 %
tergolong baik (good), 38,0 % tergolong sedang, dan 3,8 % tergolong sudak rusak
(BLH, 2010).

Ekosistem terumbu karang di Kota Denpasar menghadapi permasalahan yaitu


tingginya tekanan dari pencemaran yang mendorong eutrofikasi di perairan pesisir.
Eutrofikasi menyebabkan melimpahnya pertumbuhan alga terutama alga hijau yang
dapat menutupi terumbu karang. Permasalahan lain yang mengganggu kelestarian
terumbu karang di kawasan tersebut adalah kerusakan karang yang disebabkan oleh
praktek-praktek penjangkaran dan gangguan oleh penyelam. Kerusakan terumbu
karang mempunyai implikasi dampak yang luas, seperti merosotnya
keanekaragaman hayati, berkurangnya sistem perlindungan alamiah daratan pantai
oleh bahaya erosi dan abrasi, memburuknya kualitas obyek dan daya tarik wisata,
dan lain sebagainya.

Upaya-upaya pelestarian ekosistem terumbu karang merupakan sesuatu hal


yang mendesak. Prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara
terpadu dipandang sangat relevan diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya
terumbu karang mengingat kompleksitas permasalahannya. Salah satu aspek penting
dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang yang mengalami degradasi adalah

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 2


melakukan penanggulangan, pemulihan, dan rehabilitasi terhadap kerusakan
ekoistem terumbu karang, agar sumberdaya ini dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Dalam kerangka tersebut di atas kegiatan uji coba“ Rehabilitasi
Ekosistem Terumbu Karang dengan Pengembangan Perdaduan Terumbu Buatan
(Artificial Reefs) dan Transplantasi Karang” sangat strategis dilakukan.

Dengan telah berkembangnya teknologi budidaya karang dengan teknik


propagasi maka upaya rehabilitasi karang dapat dilakukan dengan lebih efektif dan
efisien. Budidaya karang dengan teknik propagasi yang telah diakui ramah
lingkungan dan berkelanjutan oleh management authority (Departemen Kehutanan)
dan scientific authority (LIPI), dan dapat membantu menyediakan bibit-bibit karang
untuk menunjang rehabilitasi karang secara cepat dan memadai.

1.2 Tujuan
Kegiatan “Rehabilitasi Ekosistem Terumbu Karang dengan Pengembangan
Perdaduan Terumbu Buatan (Artificial Reefs) dan Transplantasi Karang di Pantai
Sanur dan Pantai Pulau Serangan ini bertujuan untuk :

 Mengetahui dan mendapatkan data tingkat pemulihan terumbu karang yang


mengalami kerusakan dalam upaya melestarikan ekosistem terumbu karang.
 Mengetahui permasalahan dan kendala teknis lapangan dalam kegiatan
penanggulangan kerusakan terumbu karang.
 Menumbuhkan kesadartahuan masyarakat pesisir dalam kegiatan
penangulangan kerusakan terumbu karang

1.3 Manfaat
Kegiatan Uji coba rehabilitasi ekosistem terumbu karang di Pantai Sanur
dan Pulau Serangan dengan “Pengembangan Perdaduan Terumbu Buatan (Artificial
Reefs) dan Transplantasi Karang” diharapkan mampu memulihkan dan
meningkatkan kualitas kondisi ekosistem terumbu karang, meningkatkan fungsinya
sebagai habitat, dan menumbuhkan kesadartahuan masyarakat dalam menjaga
kelestarian ekosistem terumbu karang.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 3


Upaya rehabilitasi karang tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan
tutupan karang hidup pada lokasi-lokasi terumbu karang yang mengalami kerusakan
tetapi juga mempunyai manfaat lain yaitu sebagai fish aggregate device (FAD)
sehingga memperkaya kelimpahan dan keanekaragaman ikan serta dapat digunakan
sebagai obyek wisata bawah air atau meningkatkan kualitas distinasi penyelaman.
Program rehabilitasi terumbu karang ini juga dapat dijadikan sebagai media
pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pelibatan masyarakat dalam melakukan
pembudidayaan karang yang akan digunakan untuk melakukan rehabilitasi serta
membangun bentuk ekonomi baru berbasis sumberdaya karang karena keran eksport
untuk terumbu karang sudah dibuka secara nasional.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Istilah terumbu (reef) sudah begitu melekat dengan karang (coral), padahal
tidak seluruhnya jenis karang hidup pada terumbu dan tidak semua terumbu dihidupi
oleh karang. Terumbu merupakan istilah yang mempunyai beberapa pengertian.
Kapten kapal mengertikan terumbu sebagai bagian laut dangkal yang dapat
mengganggu navigasi. Nelayan pada umumnya menggunakan istilah terumbu
sebagai batuan “submarine” dimana ikan-ikan biasanya bergerombol dan dapat
menyangkutkan jaring. Ada juga yang menyebutnya sebagai struktur batuan pada
perairan dangkal sampai supratidal yang dapat menyebabkan pecahnya gelombang.
Sementara itu, terumbu dalam pengertian biologi adalah suatu struktur kerangka
kerja organik yang dibentuk oleh organisme meliputi berbagai avertebrata dan alga,
seperti yang terdapat pada karang tertentu, alga koralin, tiram, dan beberapa cacing.
Dalam perkembangan selanjutnya, terumbu dibagi atas terumbu karang (coral reef)
dan terumbu bukan karang (non-coral reef). Terumbu bukan karang dapat berupa
terumbu tiram (oyster reef), atau terumbu cacing (worm reef). Tipe terumbu lainnya
juga kadang-kadang dikaitkan dengan dengan sistem akar mangrove dan kaitannya
dengan akumulasi sedimennya (Davis, 1990).

Struktur individu-individu polip karang merupakan kunci identifikasi karang,


baik pola formasi koloni maupun bentuk pertumbuhan koloni. Bentuk-bentuk
pertumbuhan koloni karang umumnya dibedakan atas karang masif (massive),
karang tonggak (columnar/digitate),
karang kerak (encrusting), karang
bercabang (branching), karang daun atau
bunga (foliaceous), dan karang
piringan/meja (laminar/tabulate), seperti
pada Gambar 2.1 (Veron, 1986).

Gambar 2.1. Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform)

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 5


Manfaat yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan
beragam. Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (2000), jenis manfaat yang terkandung
dalam ekosistem terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat
langsung dan tidak langsung. Manfaat ekosistem terumbu karang yang langsung
adalah habitat bagi sumberdaya ikan, batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan
pemanfaatan biota lainnya. Sedangkan termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung
adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai,
keanekaragaman hayati & cadangan plasma nutfah dan lain sebagainya.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem dengan potensi


sumberdaya alam yang dikelola manusia sejak lama sehingga telah menciptakan
suatu tradisi/budaya di masyarakat. Secara historis, ekosistem terumbu karang
merupakan “dapur” para nelayan di wilayah pesisir dan laut yang menjadikannya
gantungan mata pencaharian. Kontribusi ekosistem terumbu karang terhadap
perikanan ada tiga tipe yaitu : (i) penangkapan ikan langsung pada daerah terumbu
karang; (ii) penangkapan ikan di laut dangkal sekitar terumbu karang yang
menopang jaringan makanan, siklus hidup dan produktivitas; dan (iii) penangkapan
ikan di lepas pantai dimana produktivitas terumbu karang yang tinggi memberi
kontribusi untuk menopang melimpahnya ikan-ikan.
Menurut Clark (1995), potensi lestari seluruh ikan-ikan konsumsi, krustase
dan moluska di dalam ekosistem terumbu karang rata-rata 15 metrik ton per
kilometer persegi per tahun, hanya pada perairan dangkal kurang dari 30 m.
Letaknya yang mudah diakses dan tingginya nilai ekonomi sumberdaya
perikanan yang dikandungnya, telah menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai
daerah perikanan dengan tingkat pemanfaatan yang intensif. Kecenderungannya
adalah terjadinya overfishing terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang.
Menurut Pasaribu (1996) dalam Puslitbang Perikanan (1996), hampir di
seluruh Indonesia telah terjadi overfishing terhadap sumberdaya perikanan terumbu
karang khususnya untuk komoditi ikan karang. Tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikan terumbu karang di wilayah Bali dan NTT pada tahun 1996 telah mencapai
133% dari potensi lestarinya yang berjumlah 30.954 ton/th. Begitu juga halnya

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 6


dengan sumberdaya lobster sudah menunjukkan gejala overfishing. Sementara itu,
pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dalam menunjang industri farmasi mulai
berkembang, khususnya industri kosmetik dan obat-obatan antibiosis.
Garces (1992) mengemukakan bahwa terumbu karang sebagai salah satu
ekosistem pantai mempunyai nilai guna yang sangat signifikan baik ditinjau dari
aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan
laut dunia sekitar 10-15% dari total tangkapan. Terumbu karang tepi juga
memainkan peranan penting dalam memelihara stabilitas garis pantai. Disamping
itu, penampakan estetika, kekayaan biologi, air yang jernih dan aksesibilitas yang
relatif tinggi membuat terumbu karang menjadi daerah yang terkenal sebagai
kawasan pariwisata.
Ekosistem terumbu karang merupakan komponen lingkungan pantai yang
mempunyai keterkaitan fungsi-fungsi ekologis dan fungsi fisik sebagai habitat.
Migrasi fauna pada berbagai fase hidupnya berlangsung dari satu ekosistem ke
ekosistem lainnya untuk pencarian makanan dan tempat perlindungan. Ekosistem
terumbu karang juga berperan dalam proses-proses transpor nutrien, baik organik
dan anorganik di antara dua ekosistem pantai tersebut (Clark, 1992). Fungsi fisik
ekosistem terumbu karang lainnya, menurut Baker dan Kaeoniam (1986) adalah
sebagai filter air untuk menjaga kualitas air pantai, sebagai “shock absorber”,
perlindungan alamiah terhadap daratan pantai dan pulau-pulau, meminimumkan
erosi dan gangguan-gangguan di belakang terumbu, serta sebagai penghasil pasir
putih bagi pantai dan pulau-pulau.
Baker dan Kaeoniam (1986) dan Kenchington dan Hudson (1988),
menggolongkan dua bentuk utama pemanfaatan ekosistem terumbu karang, yaitu
pemanfaatan secara ekstraktif dan non ekstraktif. Pemanfaatan ekstraktif meliputi
pemanenan jenis-jenis konsumsi (seperti ikan, kepiting, lobster, keong, kerang,
gurita, bulu babi, dan penyu); pemanenan produk-produk ornamental (seperti
mutiara, ikan hias, karang, ekinodermata, moluska, dan penyu); dan pemanfaatan
produk-produk industri (seperti batu karang, sponge, dan kima). Rumput laut yang
tumbuh liar di dalam atau di belakang terumbukarang merupakan alga makro yang
beberapa diantaranya mempunyai nilai penting sebagai penghasil karaginan dan

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 7


ekstraksi agar-agar. Pemanfaatan non ekstraktif meliputi : rekreasi, ilmu
pengetahuan dan pendidikan, pariwisata, dan proteksi pantai.
Pariwisata sebagai salah satu industri kelautan yang banyak memanfaatkan
jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Hal ini perlu didorong perkembangannya
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Pemanfaatan
ekosistem pesisir seperti terumbu karang untuk ekoturisme merupakan terobosan
yang sangat rasional diterapkan di kawasan pesisir, karena menghasilkan manfaat
ekonomis langsung dari ekosistem tersebut tanpa langsung
mengeksploitasi/memanen, sehingga terjamin keberlanjutan pemanfaatannya.
Sebagai contoh, Bonaire Marine Park (BMP), sebuah pulau dengan luas 288 km2 di
Laut Karibia tiap tahunnya dikunjungi oleh 4.000 – 6.000 penyelam/ lokasi. Total
penerimaan dari pariwisata yang meliputi : diver fees, dive operation, restourants,
souvenir, car rentals, local air transport dan hotel berjumlah US$ 23,20 juta/tahun
(Cesar, 2000).
Moberg and Folk (1999) dalam Cesar (2000) mengemukakan bahwa
ekosistem terumbu karang mengandung berbagai sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan (Tabel 1). Sumberdaya alam yang tersedia di dalam ekosistem terumbu
karang dapat dibedakan atas sumberdaya alam pulih dan sumberdaya alam tidak
pulih. Sumberdaya alam pulih terdiri atas bahan pangan, bahan baku industri,
produk-produk ornamental, dan ikan hias. Sedangkan sumberdaya alam tidak pulih
yang terkandung di dalamnya berupa jenis bahan tambang. Jasa-jasa lingkungan
yang diberikan oleh ekosistem terumbu karang meliputi:
a. Jasa fisik, seperti sebagai perlindungan garis pantai, membantu perluasan
daratan, mendorong tumbuhnya mangrove dan padang lamun serta sebagai
penghasil pasir putih yang selanjutnya akan mengisi sedimen pantai.
b. Jasa biotik di dalam ekosistem, seperti penyedia habitat bagi berbagai
macam biota perairan, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan plasma
nutfah, memelihara dan mengatur proses-proses ekologis yang esensial, serta
memelihara kelentingan ekologi.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 8


c. Jasa biotik antar ekosistem, seperti mendukung migrasi hewan-hewan air
dari suatu habitat ke habitat lainnya, serta pertukaran nutrien dan
memperkaya jaringan makanan di laut.
d. Jasa kimia, seperti fiksasi nitrogen, Pengendali kapasitas CO2/Ca dan
asimilasi limbah.
e. Jasa informasi, seperti monitoring dan pencatat atau indikator pencemaran,
serta memberi informasi mengenai perubahan iklim.
f. Jasa sosial dan budaya, seperti menunjang rekreasi, nilai estetika dan sumber
inspirasi artistik, menjaga kelangsungan mata pencaharian penduduk, dan
menunjang budaya, agama dan nilai spiritual.
Dalam penghitungan Total Nilai Ekonomi ekosistem terumbu karang,
terdapat 6 kategori nilai yaitu:
a. Nilai penggunaan langsung (direct use value), yang diperoleh baik dari
pemanfaatan ekstraktif (perikanan, industri farmasi, dll.) maupun
pemanfaatan non-ekstrkatif. Nilai kegunaan langsung, yaitu nilai yang
diberikan oleh ekosistem melalui pemanenan secara langsung (pemanfaatan
ekstraktif) dan dipergunakan oleh orang-orang. Nilai ekonomi langsung
dapat dibagi lagi menjadi nilai kegunaan konsumtif (untuk produk-produk
yang dikonsumsi secara lokal dan tidak terlihat di dalam pasar, sehingga
tidak masuk dalam penghitungan GDP) dan nilai kegunaan produktif (dijual
di pasar).
b. Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan tidak
langsung yaitu jasa-jasa lingkungan ekosistem yang memberi keuntungan
tanpa memanen atau merusak selama penggunaannya (pemanfaatan non-
ekstraktif). Karena bukan dalam bentuk barang dan jasa dalam pengertian
ekonomi, keuntungan ini tidak tertulis dalam statistik ekonomi nasional,
seperti GDP contohnya adalah dukungan biologis dalam bentuk nutrien,
habitat ikan, dan perlindungan garis pantai. Menentukan nilai moneter jasa
ekosistem mungkin agak sulit, terutama pada tingkat global.
c. Nilai pilihan (option value), dapat dilihat dari nilai sekarang terhadap potensi
pemanfaatan masa depan baik secara langsung maupun tidak langsung.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 9


Banyak sekali spesies-spesies karang dan biota lain yang berasosiasi di
dalamnya belum teridentifikasi manfaatnya karena kurangnya riset yang
dilakukan, atau fungsinya baru kecil saja yang telah diketahui. Mungkin saja
spesies-spesies tersebut mempunyai potensi yang besar untuk digunakan di
masa depan dengan semakin berkembangnya IPTEK.
d. Jika salah satu spesies tersebut punah sebelum diidentifikasi, hal ini
merupakan kehilangan besar bagi ekonomi global. Nilai pilihan alternatif
(quasi-option), terkait dengan nilai pilihan di masa depan yang dapat diraih
dengan adanya upaya pencegahan terhadap kehilangan yang tidak dapat
pulih.
e. Nilai warisan (bequest value), terkait dengan pelestarian warisan alam bagi
generasi masa depan.
f. Nilai eksistensi (existence value). Nilai eksistensi ekosistem terumbu karang
didasarkan kepada jumlah uang yang akan dikeluarkan untuk melindunginya.
Di seluruh dunia orang-orang peduli terhadap kehidupan liar dan sangat
prihatin terhadap perlindungannya. Keprihatinan ini bisa diasosiasikan
dengan keinginan untuk mengunjungi habitat suatu spesies yang unik dan
melihatnya di alam bebas, atau ia hanya merupakan identifikasi abstrak.
Kekhawatiran masyarakat akan rusaknya ekosistem terumbu karang dan
diikuti oleh punahnya biota terumbu karang telah mendorong emosi untuk
melakukan upaya konservasi atau menyumbang ke organisasi konservasi
yang bekerja untuk melindungi keanakeragaman hayati terumbu karang dan
ekosistemnya. Jumlah uang yang dibelanjakan untuk pelestarian ekosistem
terumbu karang dan jumlah yang bersedia dibayarkan oleh orang-orang
untuk menghindari kepunahan spesies dan kehancuran habitatnya
menunjukkan nilai eksistensi ekosistem tersebut. Dengan kata lain, jika
diumpamakan keanekaragaman hayati adalah suatu buku pegangan
bagaimana menjalankan bumi secara efektif, hilangnya satu spesies adalah
seperti merobek satu halaman dari buku itu. Jika kita membutuhkan
informasi dari halaman tersebut untuk menyelamatkan kita atau dunia, maka
kita akan sadar bahwa informasi itu sudah hilang selamanya.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 10


Ada dua sumber ancaman terhadap terumbu karang di dunia yaitu ancaman
oleh faktor alam (natural threats) dan aktivitas manusia (anthropogenic threats).
Faktor-faktor alam yang menjadi ancaman terhadap terumbu karang antara lain
badai gelombang, pemanasan global dan predator karang dan erosi tanah.
Sedangkan ancaman oleh aktivitas manusia berupa ancaman langsung dan tidak
langsung serta sumbernya dapat berasal dari aktivitas di daratan dan aktivitas di
pesisir dan lautan.

Menurut Jameson et al. (1995) dalam Westmacott dkk. (2000), perkiraan


terakhir menunjukkan bahwa 10 % dari terumbu karang dunia telah mengalami
degradasi yang tak terpulihkan dan 30 % lainnya dipastikan akan mengalami
penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Analisis ancaman-
ancaman yang potensial bagi terumbu karang dari kegiatan manusia (pembangunan
daerah pesisir, eksploitasi berlebih, praktek perikanan yang merusak, pencemaran
darat dan erosi dan pencemaran laut) di tahun 1998 memperkirakan bahwa 27 % dari
terumbu karang di tingkat beresiko tinggi dan 31 % lainnya berada di tingkat resiko
sedang (Bryant et al., 1998). Ancaman-ancaman ini sebagian besar merupakan hasil
dari kenaikan penggunaan sumberdaya pesisir yang berkembang pesat, ditunjang
oleh kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat.

Pemanasan global dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang


mendorong peningkatan suhu air laut (lebih besar dari 33 oC) dapat membunuh alga
simbion karang (zooxanthellae) yang mengakibatkan karang memutih (bleaching)
dan akhirnya karang mengalami kematian. Perisitiwa El Nino yang terjadi pada
tahun 1997/1998 juga berdampak terdapat beberapa sebaran terumbu karang di Bali.
Terumbu karang yang umumnya terkena pengaruh peningkatan suhu dan mengalami
bleaching adalah jenis karang Acropora (baik Acropora branching maupun
Acropora tabulate) serta jenis-jenis karang lunak (soft coral). Terumbu karang di
Bali yang terkena pengaruh El Nino yang terjadi tahun 1997/1998 antara lain
terumbu karang yang terdapat di Bali utara dengan perairan yang relatif tenang dan
formasi terumbu dangkal seperti di Pulau Menjangan, Pemuteran, Celukan Bawang,
dan Teluk Jumeluk. Sedangkan terumbu karang di Bali selatan dengan pola

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 11


oseanografi yang relatif dinamis seperti di Nusa Penida dan Nusa Dua tidak terkena
pengaruh tersebut.

Crown-of Thorns atau sering disebut sebagai mahkota berduri (Acanthaster


plancii) adalah jenis bintang laut (ekinodermata) yang menjadi predator utama
Foto Mike Severns
karang di alam. Secara normal, binatang ini merupakan salah satu binatang
penghuni terumbu karang. Habitat yang disenangi oleh bintang laut ini adalah jenis-
jenis karang bercabang. Sepanjang pergerakan binatang ini akan meninggalkan
kematian karang di belakangnya karena dia menyerap atau memakan polip karang
selama pergerakannya. Populasinya di alam diatur oleh kesimbangan ekologis
dalam sistem jaringan makanan. Mahkota berduri sendiri mempunyai sejumlah
predator baik terhadap telur dan larvanya juga terhadap juvenil dan fase dewasanya.
Kerang terompet merupakan salah satu predator mahkota berduri. Aklan tetapi jenis
karang ini sudah sangat sedikit dijumpai di alam karena banyak diburu dan
diperdagangkan sebagai souvenir.

Jika populasinya mengalami peledakan, binatang ini dapat memusnahkan


terumbu karang dalam hamparan yang luas dalam waktu singkat. Peledakan
mahkota berduri di alam masih merupakan fenomena dengan beragam hipotesis.
Peristiwa peledakan mahkota berduri pernah terjadi di Bali yaitu di Pulau
Menjangan pada tahun 1997. Peledakan mahkota berduri di daerah ini telah
mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang cukup parah.

Erosi tanah akibat minimnya vegetasi penutup pada daerah lahan kritis
memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap kerusakan karang. Erosi tanah
yang masuk ke perairan pantai baik melalui aliran sungai maupun limpasan
permukaan menimbulkan sedimentasi di sekitar daerah terumbu karang dan dapat
menghambat proses fotosintesis dan menutupi polip karang secara langsung.
Terumbu karang di Bali yang rawan terhadap sedimentasi adalah sebaran terumbu
karang di pantai utara khususnya di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula mengingat
di wilayah ini banyak terdapat lahan kritis dan sangat berdekatan dengan daerah
pesisir.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 12


Aktivitas manusia yang mengancam terumbu karang dapat berasal dari dua
sumber yaitu aktivitas manusia di daratan (land-base activities) dan aktivitas di
lautan (marine-base activities).

a. Aktivitas di Daratan
Buruknya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) serta sistem pengelolaan
lahan pertanian dengan teknik konservasi lahan yang sangat minim merupakan salah
satu faktor yang mengakibatkan tingginya tingkat erosi tanah dan ikut menyumbang
peningkatan sedimentasi di wilayah perairan pantai.

Kegiatan pembangunan di sepanjang wilayah pesisir seperti reklamasi lahan


dan penambangan pasir merupakan salah bentuk ancaman terhadap terumbu karang.
Reklamasi lahan dengan sistem pengerukan dan penimbunan dapat meningkatkan
kekeruhan yang levelnya jauh di atas ambang dapat ditolerir oleh terumbu karang.

Sampah dan air limbah yang berasal dari kegiatan manusia di daratan
merupakan salah satu ancaman terhadap terumbu karang khususnya terumbu karang
yang penyebarannya relatif berdekatan dengan daerah pemukiman padat dan
industri. Buruknya sistem pengelolaan sampah dan air limbah di Bali dapat menjadi
ancaman yang sangat serius terhadap terumbu karang Bali. Sampah plastik yang
masuk ke laut dapat mematikan karang karena menutupi karang secara langsung.

b. Aktivitas di Lautan
Aktivitas manusia di lautan yang mengancam kelestarian terumbu karang
terbagi atas dua komponen utama yaitu kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem
terumbu karang dengan cara-cara yang tidak benar dan kegiatan lain di luar
pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.

1) Destructive Fishing dan Collecting


Sumberdaya ekosistem terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya
alam yang dikelola manusia dan bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhannya.
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di bidang perikanan
di Bali umumnya dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional dan seringkali bersifat
subsisten. Yang menjadi masalah adalah pemanfaatan sumberdaya tersebut

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 13


dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada sistem sumberdaya alamnya, seperti penangkapan ikan tidak ramah
lingkungan (PITRaL). Pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang sangat
mengancam kelestarian sumberdaya hayati ekosistemnya penangkapan ikan dengan
bahan beracun (potasium sianida), penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
peledak dan spearfishing. Tingkat ancaman terumbu karang tergantung pada
besarnya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya tersebut dan intensitas
pemanfaatannya.

Penangkapan ikan dengan bahan beracun biasanya ditujukan untuk


menangkap ikan hias dan ikan konsumsi dalam keadaan hidup. Oleh karena itu,
maraknya perdagangan ikan hias dan perdagangan ikan hidup merupakan ancaman
tersendiri bagi kelestarian terumbu karang mengingat alternatif cara pemanfaatan
yang bebas sianida masih belum berkembang. Penggunaan potasium sianida tidak
saja memusnahkan larva dan anak-anak ikan juga ikut mematikan polip karang.

Penangkapan ikan dengan bahan


peledak walaupun intensitasnya sudah
semakin berkurang di Bali tetapi praktek-
praktek perikanan ilegal tersebut masih tetap
berlangsung di beberapa lokasi. Penangkapan
ikan dengan bahan peledak ini menimbulkan
bencana ekologis yang sangat parah karena dapat memusnahkan kehidupan yang ada
di sekitar lokasi kejadian (Gambar 2.2). Terumbu karang Bali yang relatif jauh dari
pengawasan masyarakat dan aparat merupakan sasaran utama kegiatan destruktif
tersebut. Lokasi-lokasi terumbu karang di Bali yang rawan terhadap kegiatan
pengeboman antara lain terumbu karang di Kabupaten Karangasem, pantai barat
kabupaten Buleleng, pantai barat Kabupaten Jembrana dan Nusa Penida.

Spearfishing atau menangkap ikan dengan panah merupakan cara yang


umum dilakukan para nelayan untuk menangkap ikan-ikan konsumsi berukuran
relatif besar serta menangkap loster di daerah terumbu karang. Penangkapan ikan

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 14


dengan panah ini memang bersifat selektif tetapi caranya sangat merusak karena si
pelaku dapat mematahkan karang baik karena terinjak kaki maupun gerakan anak
panah dan ikan yang sekarat terkena panah tersebut.

Selain praktek-praktek perikanan ilegal, kegiatan collecting yaitu


pengambilan biota tertentu yang hidup di terumbu karang yang biasanya
dimanfaatkan sebagai produk ornamental dan souvenir juga dapat menjadi ancaman
bagi kelestarian ekosistem. Maraknya “industri” akuarium air laut tropis di dunia
juga sangat mengancam kelestarian terumbu karang karena akan mendorong
peningkatan pengambilan karang hidup dan spesimen lainnya untuk
diperdagangkan, baik secara lokal maupun untuk ekspor. Pengambilan karang hidup
dan spesimen lainnya tidak saja secara langsung akan mengurangi tutupan karang
tetapi diyakini bahwa cara-cara pengambilannya pun dapat menimbulkan kerusakan
karang yang bukan menjadi target pengambilan tersebut.

2) Pengambilan Batu Karang


Pengambilan batu karang untuk bahan bangunan merupakan salah satu
ancaman terhadap terumbu karang. Praktek-praktek pengambilan batu karang di
Bali dewasa ini sudah berkurang. Pengambilan batu karang walaupun sudah dalam
keadaan karang mati akan secara langsung mengurangi substrat keras sebagai tempat
penempelan larva karang.

Foto Sudiarta

Gambar 2.3 Pengambilan/Penggalian terumbu karang untuk bahan bangunan

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 15


3) Wisata Bahari dan Ancaman terhadap Terumbu Karang
Pemanfaatan jasa-jasa lingkungan ekosistem terumbu karang untuk
menunjang pariwisata khususnya wisata bahari sesungguhnya merupakan terobosan
yang baik dalam rangka memperoleh nilai guna yang lebih besar tanpa melakukan
pemanenan secara langsung terhadap sumberdaya alamnya. Akan tetapi,
perkembangan pemanfaatan ekosistem terumbu karang seiring dengan semakin
majunya perkembangan pariwisata di Bali masih mendapatkan berbagai sorotan,
yaitu masih rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat (komunitas) lokal dan adanya
praktek-praktek pemanfaatan yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan.

Kegiatan pariwisata bahari yang dapat menjadi ancaman bagi kelestarian


terumbu karang di Bali antara lain:

a. Pembangunan fasilitas konstruksi, seperti pembangunan dan penempatan


pontoon. Pembangunan pontoon di atas hamparan terumbu karang secara
langsung dan permanen dapat merusak karang. Pemasangan jangkar pontoon
paling tidak membutuhkan area seluas empat kali luasan pontoon. Sehingga
rantai pontoon akan membentang di dasar perairan sekeliling pontoon dan akan
mengalami pergerakan akibat pergerakan air (arus dan pasang surut). Kondisi
Foto WWF
ini dapat menimbulkan sentuhan dan memecahkan karang yang ada di
sekitarnya. Selain berdampak langsung, konstruksi pontoon dapat merubah pola
pergerakan air secara lokal dan membayangi terumbu karang sehingga dapat
mengganggu proses fotosintensis sehingga secara ekologis juga berdampak
terhadap ekosistem terumbu karang di sekitarnya.
b. Penjangkaran boat-boat pemandu wisata selam dan snorkeling. Saat ini lokasi-
lokasi rekreasi dan wisata air (snorkeling dan diving) di Bali sebagian besar
telah dilengkapi oleh fasilitas mooring bouys sebagai tempat penambatan boat.
Namun demikian, dibeberapa lokasi lego jangkar masih umum digunakan oleh
operator boat pada saat menunggu kliennya melakukan rekreasi dan
penyelaman. Jangkar yang tersangkut di karang dapat memecahkan koloni
Foto Weda
karang pada saat mengangkatnya. Mengingat intensitas dan jumlah operator

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 16


boat yang melakukan penjangkaran cukup tinggi maka, aktivitas ini merupakan
ancaman yang cukup serius bagi terumbu karang.
c. Kerusakan oleh penyelam. Para konsumen wisata selam tidak saja merupakan
para penyelam yang sudah berpengalaman (advance), tetapi juga dilakukan oleh
para penyelam pemula yang umumnya mempunyai pengetahuan yang minim
tentang kode etik penyelaman yang ramah lingkungan. Dalam kegiatan
penyelamannya, baik sengaja maupun tidak sengaja dapat saja menginjak
karang sehingga mematahkan koloni karang yang rapuh. Belajar menyelam
secara langsung di daerah terumbu karang juga berpotensi merusak karang.
d. Memberi makan ikan. Praktek-praktek memberi makan ikan secara rutin di
lokasi-lokasi rekreasi ditinjau dari aspek ekologis merupakan cara yang tidak
dibenarkan. Antara terumbu karang dan keberadaan ikan-ikannya merupakan
satu sistem ekologis yang saling menguntungkan. Ikan-ikan terutama ikan
herbivora secara kontinyu membantu membersihkan polip karang dari
penempelan alga. Jika ikan-ikan secara rutin diberi makan maka dapat merubah
perilaku makannya (feeding habits), sehingga kemampuan ikan dalam
membersihkan alga pada polip karang akan berkurang. Masifnya penempelan
alga pada substrat keras juga mengurangi kemampuan penempelan larva karang
untuk membentuk koloni baru.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 17


Sementara itu, menurut Bengen (2001) mengemukakan dampak berbagai
kegiatan manusia pada terumbu karang seperti pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang

Kegiatan Dampak Potensial


 Penambangan karang dengan  Perusakan habitat dan kematian masal
atau tanpa bahan peledak. hewan terumbu.

 Pembuangan limbah panas


 Penggundulan hutan di lahan  Meningkatkan suhu air 5-10oC di atas
atas suhu ambien, dapat mematikan karang
dan biota lainnya.
 Sedimen hasil erosi dapat mencapai
terumbu karang di sekitar muara sungai,
sehingga mengakibatkan kekeruhan yang
 Pengerukan di sekitar menghambat difusi oksigen ke dalam
terumbu karang. polip.

 Meningkatkan kekeruhan yang


 Kepariwisataan. mengganggu pertumbuhan karang.

 Peningkatan suhu air karena buangan air


pendingin dan pembangkit listrik
perhotelan.
 Pencemaran limbah manusia yang dapat
menyebabkan eutrofikasi.
 Kerusakan fisik karang oleh jangkar
 Penangkapan ikan hias dengan kapal/ boat.
menggunakan bahan beracun  Rusaknya karang oleh penyelam.
(misalnya kalium sianida).  Koleksi dan keanekaragaman biota
karang menurun.
 Penangkapan ikan dengan
bahan peledak.  Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan
karang dan biota avertebrata.

 Mematikan ikan tanpa diskriminasi,


karang dan biota avertebrata yang tidak
bercangkang (anemon).

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 18


BAB III
METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu

Kegiatan penelitian dan uji coba rehabilitasi ekosistem terumbu karang di


Pantai Sanur dan Pulau Serangan dengan “Pengembangan Perpaduan Terumbu
Buatan (Artificial Reefs) dan Transplantasi Karang” dilaksanakan mulai tahun
2010 sampai 2015 yang berlokasi di Palung Semawang Pantai Sanur dan di Palung
Pulau Serangan yaitu di palung antara Pantai Merta Sari Sanur dan Tanjung
Serangan), seperti disajikan pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Lokasi Rehabilitasi Terumbu Karang di Ujung Alur Utara


Pulau Serangan dan Palung Semawang Sanur

Penentuan tapak kegiatan rehabilitasi pada lokasi yang telah ditentukan


dilakukan dengan survei detil lokasi. Pemilihan tapak kegiatan rehabilitasi
memperhatikan faktor kedalaman, tingkat kecerahan perairan (transparansi), tipe
substrat dan kontur dasar perairan, gelombang dan aktivitas manusia.
Lokasi rehabilitasi terumbu karang di palung Tanjung Serangan yaitu ujung
timur alur utara merupakan “blank spot” dengan dasar perairan berupa pasir dan
topografi dasar laut relatif datar, berada pada kedalaman – 8 m MSL pada posisi S
08o 72’60,2” E115o25’04,0”.. Lokasi ini merupakan bekas pengerukan untuk

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 19


reklamasi Pulau Serangan. Jarak lokasi rehabilitasi dari terumbu karang alami lebih
kurang 40 m dan jarak dari pantai terdekat lebih kurang 300 m.
Lokasi rehablitasi terumbu karang di perairan Pantai Sanur berada pada
hamparan pecahan karang (rubble) bercampur pasir, pada kedalaman – 5 m MSL
pada posisi S 08o 72’07,6” E 115o25’09,6”. berada di kawasan Palung Semawang.
Pada kegiatan ini pelaksanaan rehabilitasi dilakukan pada jarak kurang lebih 400 m
dari tubir karang dan jarak dari pantai terdekat lebih kurang 850 m.

3.2 Metode

Rehabilitasi ekosistem terumbu karang di Pulau Serangan dan Pantai Sanur


menggunakan metode perpaduan antara terumbu buatan (artificial reef) dan
transplantasi karang hasil propagasi. Uraian komponen kegiatan meliputi :

3.2.1 Survei detail lokasi

Survei detail lokasi bertujuan untuk menentukan site spesifik areal terumbu
karang yang akan dilakukan rehabilitasi. Penentuan lokasi dilakukan pada areal
terumbu karang yang mengalami kerusakan dan arealnya ditetapkan koordinatnya
dengan alat GPS (Global Position System).

3.2.2 Pembibitan karang

Pembibitan karang yang bertujuan untuk menyediakan bibit untuk


ditransplantasikan pada areal yang akan direhabilitasi. Bibit karang dapat diambil di
lapangan dengan pendekatan kelestarian lingkungan. Sebaiknya bibit karang
didapatkan dari Institusi atau perusahan yang mempunyai lisensi untuk pengedaran
dan memperdagakan terumbu karang. Jumlah bibit yang akan disediakan untuk
transplantasi disesuaikan dengan aspek teknis dan biaya. Umumnya satu meja
dengan ukuran 2 m2 sebanyak 500 pcs. Jenis-jenis karang yang umumnya
dibudidayakan adalah dari jenis Acropora spp., Pocilopora spp., Montipora spp.,
Hydnophora spp., Seriatopora spp., dan Stylopora spp. Seperti disajikan pada
Gambar 3.2.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 20


Gambar 3.2 Bibit karang dari petak nursery dan potongan karang
yang siap disemai

3.2.3 Pembuatan Terumbu Buatan (Artificial Reef)

Terumbu karang buatan berupa balok-balok beton. Balok-balok beton


dicetak berupa beton bertulang dengan bahan berupa semen, pasir dan kerikil
dengan perbandingan 1 : 2 : 3. Pembesian balok beton berupa besi berukuran 10 K.
Setiap balok beton dibuat berlubang memanjang dengan pipa PVC berukuran 2
inchi. Lubang ini berfungsi sebagai tempat berlindungnya anak-anak ikan.
Dimensi satu unit terumbu buatan berukuran 5,5 m x 5,5 m dan tinggi 1,35 m
sebagimana disajikan pada Gambar 3.3 dan 2.4. Jumlah terumbu karang buatan
yang dibuat untuk ditanam sebanyak 2 (dua) unit masing-masing satu unit di Pulau
Serangan dan satu unit di Palung Semawang Sanur.

Gambar 3.3 Dimensi Tampak Atas Terumbu Buatan Bentuk Piramida

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 21


PIPA PV C 0.2 "

BESI d = 10 CM
BAU T d = 16 MM
BESI d = 6 CM
E BESI 4 d = 6 C M 0,05
LU BAN G BAU T d= 1 5 M M 0,20

0.5 0 PIPA d = 2" 0,04

0,24
D
0.2 0
0.0 4
D 0,20
0,20

0.2 4 1.0 0 PEMB ESIAN


C

0.2 0 DET AIL A


PIPA PV C 0.2 "

0.20
B

1,40
LU BAN G BAU T d= 1 5 M M BAU T d = 12 MM
TA B E L J A NG K A R D A N B A U T
1.00 0.50 B

A NO PAN JAN G JUM LAH KET ERANGAN


(M)
A
1 0,45 64 BAU T
2 0,50 4 BAU T
P 3 0,55 2 BAU T
0.20 0.50 LUB ANG BAUT d=15 MM
0.1 5 P
LUB ANG TRANSPLANTASI d=15 MM 4 0,60 8 BAU T
0.50
LUB ANG JANGKA R d=18 M M 5 1,40 20 JANGKAR PASIR

0.1 5
PIPA PV C 0.2 "

DET AIL C, D D AN E
LU BAN G BAU T d= 1 5 M M
0.2 0

NO PAN JAN G (M ) LEB AR (M) TI NG GI (M ) JUM LA H DE TA IL J ANG KAR DE TA IL B AUT


PIPA PV C 0.2 " DASAR PASIR
A 1,0 0 0,2 0 0,2 4 80
B 1,0 0 0,2 0 0,2 0 24
1.0 0
C 2,3 1 0,1 5 0,1 5 4
0.2 0
D 1,8 5 0,1 5 0,1 5 4

DET AIL B E 2,1 1 0,1 5 0,1 5 4

Gambar 3.4 Disain Detail Terumbu Buatan, Pembesian dan Jangkar Terumbu
Buatan

3.2.4 Pengangkutan dan Perakitan Terumbu Buatan

Pengangkutan beton dari darat ke lokasi rehabilitasi menggunakan perahu


motor berkapasitas 2 ton. Penurunan balok beton ke laut dilakukan dengan hati-hati
satu per satu pada lokasi yang telah diberi mooring bouy. Perakitan terumbu karang
buatan dilakukan di bawah air yang dilakukan oleh para penyelam profesional.

3.2.5 Transplantasi Karang pada Terumbu Buatan

Setelah terumbu buatan terpasang di dasar laut, selanjutnya karang hasil


pembibitan ditransplantasikan pada terumbu buatan. Setiap unit terumbu buatan
dilakukan penanaman karang sebanyak 500 pcs karang. Sebelum dilakukan
penanaman, bibit karang diadaptasikan di areal dekat penanaman selama 1 minggu,
untuk mendapatkan bibit karang yang benar-benar sehat untuk ditransplantasikan.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 22


BAB IV
HASIL KEGIATAN REHABILITASI
EKOSISTEM TERUMBU KARANG

4.1 Pembibitan Karang


Bibit terumbu karang yang umum dan sudah berhasil dibudidayakan terdapat
15 (lima belas) spesies karang. Sebagian besar adalah kelompok karang bercabang
dari kelompok Acropora dan Montipora dengan rincian seperti pada Tabel 4.1, dan
Gambar 4.1.
Tabel 4.1. Spesies karang yang umum ditransplantasi

No. Spesies Jumlah


1 Acropora parilis 100
2 Acropora formosa 100
3 Acropora loripes 50
4 Acropora tenuis 50
5 Acropora horrida 50
6 Acropora millepora 50
7 Acropora humilis 50
8 Montipora aequituberculata 50
9 Montipora capricornis 50
10 Montipora digitata 50
11 Hydnophora rigida 100
12 Pocillopora veruccosa 50
13 Pocillopora damicornis 50
14 Seriatopora hystrix 100
15 Stylophora pistilata 100
Total 1.000

Bibit yang digunakan sebagai bakalan berasal dari hasil persemaian yang
sudah diuji cobakan dalam tahun sebelumnya dari CV. Bali Aquarium dan
Kelompok Nelayan Karya Segara Pulau Serangan yang dalam kegiatan ini sebagai
mitra dan kelompok masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam kegiatan
konservasi ekosistem terumbu karang di Kota Denpasar,

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 23


Acropora formosa Acropora gemnifera red

Acropora horrida Acropora millepora

Acropora tenuis Acropora humilis

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 24


Montipora aequituberculata Montipora digitata

Seriatopora hystrix Pocillopora verucosa

Stylopora pistillata Hydnopora rigida

Gambar 4.1 Jenis-jenis terumbu karang yang ditransplantasi

Pembibitan karang meliputi beberapa kegiatan, yaitu: 1). pembuatan substrat


dasar anakan karang hasil propagasi (pemotongan) untuk tumbuh, dibuat dengan
bahan dasar pasir, semen, straoform dan lem dicampur halus kemudian dicetak pada
substrat pasir. Bentuknya tergantung keinginan kita, pada kegiatan ini dibuat

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 25


substrat berbentuk es kojong; 2) penyetekan karang ; bibit karang induks dipotong-
potong pada order /percabangan (minimal ada dua cabang), diusahakan karang yang
dipotong utuh, atau tidak pecah/retak yang selanjutnya ditanam/disetek pada
substrat yang sudah disiapkan. Untuk memegang kuat stek menggunakan lem
(perekat) sintetis khusus, langkah ke 3) adalah melakukan persemaian bibit-bibit
yang telah disiapkan tadi, waktu yang dibutuhkan dari penyetekan sampai
persemaian adalah semakin cepat semakin baik setelah tempelan lem (perekat)
kering, biasanya maksimum 1 jam. Setelah disemai adalah kegiatan pemeliharaan
semaian, yang dilakukan kontrol setiap hari berupa membersihkan bibit dari :
lumpur (sedimen), sampah, lumut, tutupan makroalgae dan gangguan hewan laut
seperti Gambar 4.2.

1) Pembuatan substrat karang 2) Penyetekan karang

3). Persemaian bibit karang


4). Pemeliharaan karang

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 26


5) Bibit-bibit karang hasil persemaian yang sudah
siap ditransplantasi di terumbu buatan

Gambar 4.2 Rangkaian kegiatan pembibitan karang sebelum ditransplantasi

4.2 Pembuatan Terumbu Buatan

Pembuatan terumbu buatan dilakukan dengan melibatkan Kelompok


Nelayan Karya Segara di Pulau Serangan. Jumlah balok beton dan ukurannya
setiap unit terumbu buatan sebagaimana disajikan pada Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Ukuran dan jumlah balok beton untuk satu unit terumbu buatan

No Panjang Lebar (cm) Tinggi (cm) Jumlah


(cm)
1 100 20 24 48
2 100 20 20 12
3 185 15 15 4
4 211 15 15 4
5 231 15 15 4

Balok-balok beton sesuai dengan ukuran yang direncanakan dicetak dalam


cetakan dari papan, pembesian juga disiapkan sebelumnya dan dilakukan secara
gotong royong. Balok-balok yang sudah tercetak dikeringkan selama lebih kurang 2
minggu selanjutnya dirakit di darat untuk pemberian penomoran sehingga nantinya
mempermudah perakitan di bawah laut. Ilustrasi sistematika pembuatan terumbu
buatan sebagai kerangka terumbu bawah laut disajikan pada Gambar 4.3

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 27


1) Pembuatan cetakan (bagesting) 2) Pencetakan beton

3) Pengeringan beton dan perakitan di darat

Gambar 4.3 Rangkaian kegiatan pembuatan terumbu buatan

4.3 Pengangkutan dan Perakitan Beton Bawah Laut


Setelah beton-beton benar-benar kering, selanjutnya beton tersebut diangkut
ke laut dengan menggunakan perahu kayu. Pada lokasi yang telah ditetapkan (diberi
tanda), balok-balok beton diturunkan ke dasar laut satu demi satu. Perakitan beton
menjadi tersusun seperti piramida dilakukan di bawah air oleh para penyelam
dengan bantuan peralatan scuba (scuba equipment), disajikan pada Gambar 4.4.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 28


1) Pengangkutan beton ke lokasi rehabilitasi

2) Perakitan beton di bawah laut

Gambar 4.4 Rangkaian pengangkutan dan perakitan terumbu buatan

4.4 Penanaman Karang pada Terumbu Buatan


Beton terumbu buatan telah dibuatkan lubang-lubang untuk ditanamkan
karang. Karang hasil pembibitan selanjutnya ditanamkan/ditransplantasikan pada
beton/terumbu buatan. Setiap unit terumbu buatan dilakukan penanaman karang
disesuaikan dengan luas area base rock yang ada dan daya dukung lingkungan
(sirkulasi air, arus, dan produksi primer) di lokasi tersebut. Jumlah karang yang di

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 29


tanam sangat tergantung lokasi. Sebelum dilakukan penanaman, bibit karang
diadaptasikan di areal dekat penanaman selama 1 minggu, untuk mendapatkan bibit
karang yang benar-benar sehat untuk ditransplantasikan. Alga yang menempel pada
substrat bibit karang juga dibersihkan supaya tidak berkembang pada terumbu
buatan dan mengganggu perkembangan karang hasil transplantasi. Teknis
penanaman karang adalah dengan memasukkan bibit karang hasil transplantasi ke
dalam lubang-lubang balok beton. Dengan demikian pekerjaan penanaman karang
pada terumbu buatan dilakukan dengan mudah dan cepat.
Kegiatan penanaman karang pada beton terumbu buatan dilakukan dengan
hati-hati dengan perlengkapan sarana penyelaman, untuk kenyamanan dan
keamanan kerja di bawah air, seperti disajikan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Rangkaian penanaman karang pada titik terumbu buatan

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 30


4.5 Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan bagian penting dari kegiatan rehabilitasi terumbu
karang. Kegiatan pemeliharaan dimaksud adalah melindungi areal rehabilitasi dari
kegiatan manusia yang dapat merusak karang seperti pemasangan jaring dan
membersihkan karang dari tutupan sampah yang mungkin menutupi karang pada
usia muda baik sampah yang berasal dari buangan manusia maupun sampah laut
yaitu potongan-potongan lamun. Disamping itu biasanya terjadi sedimentasi,
penempelan ganggang laut dari jenis Ulva sp, Gracillaria sp, Padina sp dan lainnya
Kegiatan rehabilitasi terumbu karang harus didukung oleh masyarakat
setempat, termasuk dalam hal pemeliharaannya. Dalam kegiatan ini masyarakat
Serangan yang tergabung dalam “kelompok nelayan karya segara” merupakan mitra
kerja yang setiap hari melakukan pemeliharaan dan pengamanan.

4.6 Hasil Kegiatan

Hasil evaluasi selama 4 tahun berjalan, rehabilitasi ekosistem terumbu


karang dengan pendekatan pengembangan perpaduan terumbu buatan dan
transplantasiStudi kasus di Pulau Serangan hasil Rehabilitasi Tahun 2004 dan 2006,
Pertumbuhan karang berjalan baik.

Gambar 4.6 Pertumbuhan karang pada terumbu buatan

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 31


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
 Pengembangan rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang sudah mengalami
degradasi khususnya di Pantai Sanur dan Pantai Tanjung Pulau Serangan dengan
pendekatan perpaduan terumbu buatan dengan transplantasi karang hasil
propagasi, didapatkan telah cukup berhasil mempercepat pemulihan dan
penanggulangan kerusakan ekosistem terumbu karang.
 Laju pertumbuhan dan persentase tutupan kembali (recovered) dengan teknik
perpaduan terumbu buatan dengan transplantasi karang hasil propagasi jauh
lebih cepat dibandingkan dengan teknik alami atau teknik “Biorock”.
 IPTEK sistem budidaya dan rehabilitasi terumbu karang dengan teknik
perpaduan terumbu buatan dengan transplantasi karang hasil propagasi dapat
dengan mudah dipahami oleh masyarakat nelayan, astek teknis pengerjaan juga
bisa didukung oleh sumberdaya lokal, baik sumberdaya manusia, teknologi,
finansial dan budaya sehingga bisa dilakukan tanpa hambatan atau kendala yang
berarti.
 Perpaduan kegiatan budidaya (persemaian/nursery) karang sudah mendesak
dilakukan untuk mencegah kerusakan/degradasi yang semakin meluas akibat
pengambilan langsung di lapangan. Belakangan pasar ekspor/perdagangan
terumbu karang semakin marak dan laju pertumbuhannya sangat cepat. Apabila
tidak dilakukan percepatan budidaya, maka pengambilan karang di alam akan
semakin tidak terkendali.
 Kegiatan rehabilitasi terumbu karang merupakan upaya penyeimbang dalam
rangka mempercepat pemulihan terumbu karang yang sudah rusak dan
meningkatkan keragaman hayati di suatu wilayah perairan.
 Bentuk-bentuk terumbu buatan yang disarankan di suatu wilayah hendaknya
dipilih disesuaikan dengan kondisi lokal, dan harus mempertimbangkan aspek
kearipan lokal dan aspek estetika lingkungan.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 32


 Dalam kegiatan budidaya dan rehabilitas karang kegiatan monitoring secara
kualitaitif merupakan syarat mutlak dilakukan karena sangat menentukan
keberhasilan perawatan dan pemeliharaan. Pertumbuhan dan perkembangan
terumbu karang sangat terganggu apabila banyak sampak, limbah dan terjadi
penutupan makro-algae pengganggu. Hilangnya terumbu karang hasil
pencangkokan disebabkan oleh arus dan gelombang sehingga perlu dikontrol.
 Pertumbuhan dan perkembangan terumbu buatan sudah cukup baik dan berhasil
dengan tingkat suksesi dan laju penutupan (recovery) berjalan cukup cepat.
Disamping itu keanekaragaman jenis karang juga sudah bertambah pesat,
khususnya munculnya anakan-anakan karang yang baru (selain yang
ditransplantasi) yaitu jenis Goniopora spp., dan Montipora spp. serta beberapa
jenis karang lunak dari jenis Euphylia sp dan Xenia sp.
 Berdasarkan penilaian secara kualitatatif, dengan apresiasi, partisipasi dan
dukungan sarana, mulai dari penyiapan bahan, konstruksi, pemasangan,
penanaman karang (coral transplantation) dan pemeliharaan dapat disimpulkan
bahwa kegiatan ini juga sudah berhasil menumbuhkan kesadartahuan dan
kepedulian masyarakat lokal dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem
terumbu karang.

4.2 Saran
 Kegiatan rehabilitasi, perlu dilakukan program pemantauan terhadap
kegiatan yang telah berlangsung dengan pendekatan kuantitatif seperti :
tingkat keberhasilan hidup (survive rate), laju pertumbuhan, laju penutupan,
dan keragaman jenis yang ada (exsisting), serta faktor-faktor yang
menghambat keberhasilan, yang diukur dengan metode-metode kuantitatif
dan ilmiah.
 Agar kegiatan ini dapat berjalan sinergis, perlu dukungan dan melibatkan
berbagai pihak, terutama dengan cara memberdayakan masyarakat dan
stakeholder lokal. Terutama masyarakat yang tidak berkepentingan langsung
tidak melakukan pengambilan terumbu karang di alam, yang secara kuantitas
jauh melebihi kemampuan recovery secara alami maupun hasil rehabilitasi.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 33


DAFTAR PUSATAKA

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. 2009. Status Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi Bali Tahun 2009. Denpasar.
Baker, I. and P. Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and
Management for Thailand. The Unesco MAP and COMAR Programmes.
Bangkok-Jakarta.
Barnes, R.S.K. and Hughes. 1990. An Introduction to Marine Ecology. Blackwell
Scientific Publisher. London.
Bengen, D.G. 2000. Tehnik Pengembilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jakarta.
Cesar, H.S.J. 2000. Coral Reefs: Their Fuctions, Threats and Economic Value. In
Cesar, H.S.J. (ed.). Collection Essays on The Economics of Coral Reef.
CORDIO, Dept. of Biology and Environmental Sciences, Kalmar University
Kalmar, Sweden.
Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO. 167 pp.
Clark, J.R. 1995. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Boca
Raton, New York, London, Tokyo.
Choat, J.H. 1991. The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reefs. In : Sale,
P.T. (ed.). The Ecological of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. New
York.
Davis, R. 1990. Oceanography. W.C. Brown Publisher. Florida.
Ditlev, H. 1980. A Field-guide to the Reef-building Coral of the Indo-Pacific.
Scandinavian Science Press Ltd. Klampenborg.
Effendi, F. 1997. Bahan Pecemar (Kimia ) dan Metoda Analisisnya pada Kawasan
Pesisir dan Laut Secara Terpadu, Surabaya
English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsvile.
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Jones, O.A. and R. Endean. 1973. Biology and Geology of Coral Reefs. Vol I:
Geology 1. Academic Press. New York.
Jones, O.A. and R. Endean. 1977. Biology and Geology of Coral Reefs. Vol IV:
Geology 2. Academic Press. New York.
Kenchington, R.A. and B.E.T. Hudson. 1988. Coral Reef Management Handbook.
Unesco Regional Office for Science and Technology for South-East Asia.
Jakarta.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 34


Lovelock, C. 1993. Field Guide to The Mangrove of Queensland. Australian
Instutute of Marine Science. Townsville.

Menteri Lingkungan Hidup. 2001. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4


tahun 2001, tentang Standar Baku Mutu Kerusakan Lingkungan Hidup.
Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Puslitbang Perikanan - Balitbang Pertanian Departement Pertanian. 1996.
Peningkatan Visi Sumberdaya Manusia Penelitian Perikanan Menyongsong
Globalisasi IPTEK. Prosiding Rapat Kerja Tenis Puslitbang Perikanan,
Serpong 19-20 November 1996.
Salm, B.V. and J.R. Clark. 1989. Marine and Coastal Protected Areas. IUCN and
Natural Resources Gland, Switzerland.
Sudiarta, I K. 2002. Status dan Profil Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Bali.
Lokakarya; Pembuatan Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan Bali Selatan.
Bappedalda. Bali Denpasar
Suharsono dan Sukarno. 1992. Coral Assemblages Around Pulau Genteng Besar.
Seribu Island Indonesia. Third ASEAN Science and Technoligy. Marine
Science : Living Coastal resources.
Suharsono. 1998. Condition of Coraf Reef resources in Indonesia. Journal Pesisir
& Lautan, Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (D.G. Veron,
J.E.N. 1986. Coral of Australian and the Indo-Pacific. University of Hawaii
Press. Honolulu.
Warner, G.F. 1984. Diving and Marine Biology, The Ecology of the Sublitroral.
Cambridge University Press. Cambridge.
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu
Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Swiss, dan
Cambridge.

REHABILITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PANTAI SANUR DAN SERANGAN 35

Anda mungkin juga menyukai