KATA PENGANTAR
Modul 3 ini merupakan mata diklat pada Modul Pelatihan Perencanaan Bangunan Sabo,
yang menjelaskan tentang Analisis Hidrologi dan sedimen perencanaan Bangunan Sabo,
Analisis Hidrologi dan sedimen bangunan Sabo harus mengacu pada peraturan dan
kebijakan nasional, agar hasilnya tepat guna dan berdaya guna. Modul ini disusun untuk
memenuhi kebutuhan kompetensi dasar Aparatur Sipil Negara (ASN) di bidang Sumber
Daya Air.
Modul Analisis Hidrologi Dan Sedimen ini disusun dalam 2 materi pokok yang terbagi atas
Materi 1: Anilisis Hidrologi Bangunan Sabo, Materi 2: Analisis Sedimen Perencanaan
Bangunan Sabo,Penyusunan modul yang sistematis diharapkan mampu mempermudah
peserta pelatihan dalam memahami penyusunan kurikulum dan modul pelatihan
perencanaan bangunan Sabo. Penekanan orientasi pembelajaran pada modul ini
menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta.
Penyusunan modul yang sistematis diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan
dalam memahami Perencanaan Bangunan Sabo. Penekanan orientasi pembelajaran pada
modul ini menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta. Modul Pelatihan Perencanaan
Bangunan Sabo ini disusun oleh PT.Blantickindo Aneka dengan koordinator penyusun
Modul Atep Iman, S.Pd, M.Pd, serta berbagai Pihak baik itu dari para praktisi, akademisi
maupun birokrasi.
i
MODUL 3 – ANALISIS HIDROLOGI DAN SEDIMEN
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Deskripsi Singkat.............................................................................................. 1
1.3. Manfaat Modul .................................................................................................. 2
1.4. Hasil Belajar ..................................................................................................... 2
1.5. Indikator Hasil Belajar ...................................................................................... 3
1.6. Materi Pokok..................................................................................................... 3
PENUTUP ............................................................................................................................ 51
4.1. Kesimpulan ..................................................................................................... 51
4.2. Tindak Lanjut .................................................................................................. 51
DAFTAR TABEL
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi | iii
MODUL 3 – ANALISIS HIDROLOGI DAN SEDIMEN
DAFTAR GAMBAR
Modul pelatihan dan pendidikan perencanaan Bangunan Sabo disusun dalam 6 mata diklat
yang diurutkan secara sistematis dan saling terkait.
Untuk dapat mengerti, menjelaskan, dan merencanakan Bangunan Sabo, peserta Diklat
harus mempelajari dan memahami isi tiap modul secara berurutan, sesuai dengan nomor
mata Diklat.
Untuk dapat memahami dan melakukan analisis hidrologi dan sedimen. Peserta Diklat
harus sudah mengerti lokasi yang akan disurvey dan diinvestigasi mana saja yang
diperlukan dalam perencanaan bangunan Sabo, yang sudah dijelaskan dalam modul Mata
Diklat-2.
Analisis hidrologi dan sedimen yang diperlukan dan cara mendapatkannya dijelaskan
dalam modul-3.
Tahapan analisis hidrologi dapat dicermati pada bagan alir kerangka pikir yang ditampilkan
dalam Gambar 1.
KERANGKA BERPIKIR
PENDAHULUAN
Modul sejenis yang menguraikan tentang konsep bangunan pengendali sedimen telah ada
dan kemungkinan telah diterapkan dalam kegiatan kursus atau diklat pada beberapa waktu
sebelumnya. Modul yang sudah ada antara lain: Seri Buku Teknologi Sabo, 1) Petunjuk
Pekerjaan Sabo, untuk Pengenalan Bangunan Pengendali Sedimen (Sabo Introduction),
2) Petunjuk Pekerjaan Sabo, untuk Perencanaan Bangunan Pengendali Sedimen (Sabo
Plan) yang diterbitkan oleh Satuan Kerja Direktorat Sungai, Danau, Dan Waduk, Direktorat
Sungai Dan Pantai, Direktorat Jenderal SDA, Kementerian Pekerjaan Umum, Oktober
2010.
Modul-3 ini meliputi materi pokok analisis hidrologi dan sedimentasi, dan merupakan satu
bagian dari seri modul lain yang saling terkait. Materi pokok analisis hidrologi meliputi uraian
tentang: siklus hidrologi, data yang diperlukan dalam analisis, tahapan analisis hidrologi.
Adapun materi pokok analisis sedimen meliputi: pengertian sedimen dan sedimentasi,
sumber-sumber sedimen, tahapan analisis sedimen.
Modul-3 ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan peserta Diklat dalam menghitung
hidrologi dan sedimen guna pertimbangan dalam perencanaan bangunan sabo.
Hidrologi merupakan hal dasar dari semua perencanaan bangunan air yang harus dikuasi
oleh tenaga ahli dibidang bangunan air. Hidrologi mempunyai peranan sangat penting
dalam perencanaan bangunan sabo. Dalam modul ini diuraikan mengenai tahapan
perhitungan hidrologi hingga mendapatkan hujan periode ulang dan debit rencana.
Aliran sedimen pada umumnya merupakan kejadian yang sangat mungkin mengakibatkan
kerusakan dan korban harta maupun jiwa, maka perencanaan bangunan Sabo harus
didasarkan pada informasi yang akurat, terpercaya, dan serbacakup (comprehensive). Hal
ini juga disebabkan karena karakter dan kejadian banjir aliran sedimen tidak sama antara
tempat satu dan lainnya. Oleh sebab itu harus diketahui karakter sedimen, sehingga banjir
aliran sedimen dapat di tahan dan dilepaskan ke aliran tanpa menimbulkan daya rusak.
Dalam modul-3, konsep bangunan Sabo dibagi menjadi 2 kelompok materi, yaitu:
1. Analisis Hidrologi
2. Analisis Sedimen
MATERI POKOK I
ANALISIS HIDROLOGI
2.1 Keluaran
Seluruh perencanaan bangunan air pasti membutuhkan analisis hidrologi. Sebagaimana
kita ketahui, bahwa sabo dam merupakan bangunan air penahan sedimen/aliran debris.
Sehingga analisis hidrologi sangat diperlukan guna menentukan besarnya debit air yang
mampu membawa sedimen/partikel-partikel. Dasar perhitungan hidrologi adalah data
hujan. Data hujan yang digunakan merupakan data hujan dari stasiun hujan yang berada
disekitar lokasi yang sedang direncanakan atau ditinjau. Hasil dari analisis hidrologi berupa
hujan periode ulang, debit banjir rencana, dan debit andalan. Dalam perencanaan sabo
dam, analisis hidrologi diperlukan dalam menentukan hujan periode ulang dan debit banjir
rencana. Dengan mengetahui debit banjir rencana, maka kita bisa mendesain sabo dam
dengan tepat guna. Sehingga keluaran hasil analisis hidrologi untuk perencanaan sabo
dam adalah sebagai berikut:
1. Hujan periode ulang;
2. Debit banjir rencana.
Pengukuran dan pencatatan data hujan dilakukan dengan periode tertentu, sehingga
menghasilkan jenis data hujan yang bermacam-macam pula. Terdapat data hujan jam-
jaman, data hujan harian, data hujan bulanan, dan data hujan tahunan. Jika ada data hujan
jam-jaman, maka diperlukan setidaknya 2 tahun untuk analisis hidrologi. Namun bila data
hujan jam-jaman tidak tersedia bisa digunakan data hujan harian atau data hujan tahunan
setidaknya 10 tahun.
Selain data curah hujan, diperlukan pula data koordinat stasiun hujan, data morfologi
sungai (seperti panjang dan lebar penampang sungai), dan data luas daerah aliran sungai
(das). Apabila dijumpai stasiun hujan yang tidak memiliki koordinat, maka bisa dilakukan
pendekatan dengan menentukan lokasi stasiun hujan berdasarkan nama stasiun hujan dan
nama desa didaerah setempat. Panjang sungai bisa didapatkan dari survei lapangan atau
didapatkan dari data sekunder. Data sekunder morfologi sungai didapatkan dari
badan/instansi terkait, bisa juga dengan software.
Koordinat stasiun hujan akan sangat membantu dalam perhitungan hujan wilayah. Hujan
wilayah dapat dihitung dengan bermacam-macam metode, dan metode yang digunakan
menyesuaikan ketersediaan data koordinat stasiun hujan. Sedangkan data luas daerah
aliran sungai (das) akan sangat membantu dalam menghitung hujan wilayah dan debit
banjir rencana.
Contoh 1
Berikut dalam Tabel 2.1. adalah contoh data curah hujan harian di Stasiun Saradan pada
tahun 2016.
Jumlah 274 344 651 160 63 102 32 181 225 263 326 520
Periode 1 106 86 143 66 0 37 0 47 16 151 146 142
Periode 2 78 151 166 75 28 41 0 60 23 40 0 106
Periode 3 90 107 342 19 35 24 32 74 186 72 180 272
Maksimum 64 109 146 62 30 24 32 74 104 56 76 139
Minimum 5 5 9 5 5 5 32 47 7 14 7 5
Rata-rata 24.91 24.57 46.50 17.78 15.75 17.00 32.00 60.33 28.13 29.22 32.60 37.14
Hari Hujan 11 14 14 9 4 6 1 3 8 9 10 14
Berikut dalam Tabel 2.2. adalah contoh data hujan bulanan dan tahunan dari Stasiun
Saradan, Gemarang, dan Catur tahun 2007-2016 (10 tahun)
Daerah aliran sungai (das) juga dapat didefinisikan sebagai suatu daerah yang dibatasi
oleh topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir melalui
suatu sungai dan keluar melalui outlet pada sungai tersebut, atau merupakan satuan
hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan kegiatan
sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam.
Daerah aliran sungai (das) sangat membantu dalam menghitung hujan wilayah dan debit
banjir rencana. Luasan das adalah hal utama yang harus diketahui dalam analisis hidrologi.
Luasan ini digunakan sebagai salah satu parameter perhitungan hujan wilayah dan debit
banjir rencana. Luasan das dapat dianalisis menggunakan software arc-gis atau google
earth. Selain luasan, parameter das yang digunakan dalam analisis hidrologi adalah
kemiringan/gradien sungai yang bisa dihitung dengan rumus berikut:
∆𝒉
𝒈=
𝒍
Dengan:
g = gradien sungai;
∆h = beda tinggi antara hulu dan hilir sungai (m);
l = panjang sungai induk (m).
Contoh 2
Untuk contoh perhitungan, diambil data sungai widas, madiun.
Panjang sungai (l) = 40152 m;
H1 = 1490 m;
H2 = 103 m;
Luas DAS (a) = 87 km2.
Maka,
∆ℎ
g = 𝑙
1490−103
=
40152
= 0,00036
Tata guna lahan adalah sebuah pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kondisi eksisting
alam. Perlu diketahui pula tata guna lahan das yang ditinjau guna mendapatkan koefisien-
koefisien perhitungan hidrologi. Ilustrasi DAS ditunjukkan dalam Gambar II.2.
Batas DAS
Sungai utama
Kemiringan 0,00036
(a)
(b)
(Sumber : http://www.recycleworks.org/kids/water.html)
Gambar II. 2 - (a) Das Sungai Widas, Madiun, (b) Ilustrasi DAS Sungai Widas, Madiun
Nilai kumulatif ini nantinya akan di gambarkan pada sistem koordinat kartesian x-y, apabila
kurva yang terbentuk merupakan garis lurus berarti pencatatan di stasiun tersebut bisa
dikatakan konsisten. Apabila kurva yang terbentuk merupakan garis patah, berarti
pencatatan distasiun tersebut tidak konsisten dan perlu koreksi. Koreksi dilakukan dengan
mengalikan data setelah kurva berubah dengan perbandingan kemiringan setelah dan
sebelum kurva patah. Hasil analisis dengan metode lengkung massa ganda disajikan
dalam Gambar II.3.
Titik patah
Kemiringan = 0.9
Kemiringan = 1.2
Contoh 3
Berdasarkan data curah hujan tahunan stasiun saradan pada contoh 1, akan dilkukan uji
validitas data curah hujan tinjauan Stasiun Saradan sebagai berikut.
Hujan tahunan tahun 2007 sta. Saradan = 1922 mm;
Hujan tahunan tahun 2007 sta. Gemarang = 1711 mm;
Hujan tahunan tahun 2007 sta. Catur = 2338 mm;
1711+2338
Rerata sta gemarang dan catur =
2
= 2024,50;
Kumulatif sta. Saradan = 1922;
Kumulatif rerata sta.gemarang dan catur = 2024,50;
Setelah perhitungan selesai dilakukan, selanjutnya hasil kumulatif sta saradan dan
kumulatif rerata sta. Gemarang dan catur di gambarkan pada sistem koordinat kartesian x-
y seperti yang ditunjukkan dalam Gambar II.4.
Langkah-langkah perhitungan uji validitas data dengan Metode Raps adalah sebagai
berikut:
1. Menghitung hujan tahunan;
2. Menghitung rerata hujan tahunan;
𝜮𝑿𝒊
X =
𝒏
dengan:
𝑺𝒌∗ = 𝑲𝒐𝒎𝒖𝒍𝒂𝒕𝒊𝒇 ( Xi − 𝑿)
4. Menghitung sk**;
∗∗
𝑺𝒌∗
𝑺𝒌 =
𝑺𝒕𝒅𝒆𝒗
𝜮( Xi − 𝑿)²
𝑺𝒕𝒅𝒆𝒗 = √
𝒏
5. Menghitung qmaks dan rmaks;
𝑸 = 𝒎𝒂𝒌𝒔 (𝑺𝒌∗∗ )
𝑹 = 𝒎𝒂𝒌𝒔(𝑺𝒌∗∗ ) − 𝐦𝐢𝐧(𝑺𝒌∗∗ )
6. Menganalisis menggunakan Tabel 2.4. nilai kritik dari q dan r dengan syarat
(qmaks<qtabel) dan (rmaks<rtabel).
Untuk menghitung hujan wilayah diperlukan data curah hujan dari stasiun yang ditinjau,
data koordinat stasiun hujan atau peta stasiun hujan. Perhitungan curah hujan wilayah
dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:
Langkah perhitungan
Langkah perhitungan dari metode aljabar sangatlah sederhana, berikut penjelasannya.
1. Tentukan stasiun hujan yang ditinjau;
2. Carilah hujan harian maksimum dari masing-masing stasiun hujan;
3. Hitung hujan wilayah dengan rumus berikut:
𝒙𝟏 + 𝒙𝟐 + 𝒙𝟑 + ⋯ + 𝒙𝒏
p =
𝒏
dengan:
Contoh 4
Diketahui hujan harian maks di stasiun saradan, gemarang, dan catur pada tahun 2007-
2016 berturut-turut seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.5.
Tabel 2. 5 - Hujan harian maks Sta. Catur, Gemarang, dan Saradan tahun 2007-2016
H. Harian maks. H. Harian maks. H. Harian maks.
Tahun
Sta. Saradan Sta. Gemarang Sta. Catur
2007 133 105 110
2008 111 85 68
2009 108 115 48
2010 114 125 78
2011 118 85 55
2012 91 60 51
2013 116 146 80
2014 87 80 33
2015 118 95 60
2016 146 115 48
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai hujan wilayah pada tahun 2007 sebesar 116 mm.
Untuk tahun yang lain, nilai hujan kawasan bisa dilihat pada Tabel 2.6.
2007 116.00
2008 88.00
2009 90.33
2010 105.67
2011 86.00
2012 67.33
2013 114.00
2014 66.67
2015 91.00
2016 103.00
Metode ini dapat digunakan jika ada setidaknya 3 stasiun hujan yang ditinjau dan koordinat
stasiun hujan diketahui.
Langkah perhitungan
Metode ini diawali dengan membuat poligon dari masing masing stasiun hujan. Setelah
poligon terbentuk, maka dihitung koefisein Thiessen. Untuk lebih lengkapnya, berikut
adalah langkah perhitungan hujan wilayah metode Thiessen:
1. Tentukan stasiun hujan yang ditinjau;
2. Carilah hujan harian maksimum dari masing-masing stasiun hujan;
3. Plotting stasiun hujan sesuai koordinat stasiun hujan ke dalam peta;
4. Buatlah Poligon Thiessen;
5. Hitung luas daerah yang mewakili masing-masing stasiun;
6. Hitung hujan kawasan dengan rumus berikut:
𝑨𝟏 𝒙𝟏 + 𝑨𝟐 𝒙𝟐 + 𝑨𝟑 𝒙𝟑 + ⋯ + 𝑨𝒏 𝒙𝒏
p =
𝑨𝟏 + 𝑨𝟐 + 𝑨𝟑 + ⋯ + 𝑨𝒏
dengan:
Contoh 5
Diketahui hujan harian maks di Stasiun Saradan, Gemarang, dan Catur pada tahun 2007
berturut-turut sebagau berikut:
Hujan harian maks. Sta. Catur (x1) = 110 mm;
Hujan harian maks. Sta. Gemarang (x2) = 105 mm;
Hujan harian maks. Sta. Saradan (x3) = 133 mm;
Hujan harian maksimum Stasiun Catur, Gemarang dan Saradan tahun 2007-2016 disajikan
dalam Tabel 2.7.
Tabel 2. 7 - Data hujan harian maksimum
H. Harian maks. H. Harian maks. H. Harian maks.
Tahun
Sta. Saradan Sta. Gemarang Sta. Catur
2007 133 105 110
2008 111 85 68
2009 108 115 48
2010 114 125 78
2011 118 85 55
2012 91 60 51
2013 116 146 80
2014 87 80 33
2015 118 95 60
2016 146 115 48
Garis hitam menunjukkan Poligon Thiessen. Sedang titik hitam menunjukkan posisi stasiun
hujan. Luasan das yang masuk kedalam poligon, merupakan luasan yang mewakili masing-
masing stasiun hujan. Perhitungan prosentasi luas pengaruh tiap stasiun hujan disajikan
dalam Tabel 2.8.
Tabel 2. 8 - Menghitung luas daerah yang mewakili masing-masing stasiun
Saradan 3 0.03 3%
Gemarang 56 0.64 64%
Catur 28 0.32 32%
Jumlah 87 1.00 100%
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai hujan wilayah pada tahun 2007 sebesar 107,57 mm.
Untuk tahun yang lain, nilai hujan wilayah bisa dilihat pada Tabel 2.9
Tabel 2. 9 - Hujan wilayah
2007 107.57
2008 80.43
2009 93.20
2010 109.49
2011 76.48
2012 58.17
2013 123.72
2014 65.11
2015 84.53
2016 94.51
dengan:
∑𝐧𝐢=𝟏(𝐗 𝐢 − X )𝟐
𝐒= √
𝐧
dengan:
S : standar deviasi;
Xi : nilai varian ke i;
N : jumlah data.
𝐧 ∑𝐧𝐢=𝟏(𝐗 𝐢 − X )𝟑
𝐂𝐒 =
(𝐧 − 𝟏)(𝐧 − 𝟐)𝐒𝟑
dengan:
Cs : koefisien skewness,
Xi : nilai varian ke i
N : jumlah data,
S : simpangan baku.
N : jumlah data,
S : simpangan baku.
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan 4 jenis distribusi yang
sering digunakan dalam bidang hidrologi yaitu distribusi Normal, Log Normal, Log Pearson
Iii, dan Gumbel.
Berikut adalah rumus untuk mencari hujan periode ulang dengan metode distribusi nomal.
𝑿𝒕 = x + 𝑲𝒕 𝑺
dengan:
Xt : curah hujan periode ulang (mm/hari);
S : simpangan baku;
Kt : faktor frekuensi (nilai variabel reduksi gauss).
𝑿𝒕 = 𝟏𝟎𝐥𝐨𝐠 𝒙+ 𝑲𝒕 𝑺
Berikut adalah rumus untuk mencari hujan periode ulang dengan Metode Distribusi Log
Pearson III.
𝑿𝒕 = 𝟏𝟎𝐥𝐨𝐠 𝒙+ 𝑲𝑺
Berikut adalah rumus untuk menghitung hujan periode ulang metode Distribusi Gumbel.
(𝒀𝒕 − 𝒀𝒏 )
𝑿𝒕 = 𝐱 + 𝑺
𝑺𝒏
dengan:
Xt : curah hujan periode ulang (mm),
S : simpangan baku.
Yt : reduced variable,
Yn : reduced mean,
Sn : reduced standard deviasi.
Contoh 6
Diketahui data hujan wilayah seperti pada contoh 4. Hitunglah nilai standar deviasi,
koefisein skewness, dan hujan periode ulang 2 tahun dengan 4 metode tersebut.
Perhitungan standar deviasi dan koefisien skewness
Cara perhitungan standar deviasi dan koefisien skewness untuk metode distribusi normal
dan distribusi gumbel adalah sama. Sedangkan untuk metode distribusi log normal dan
metode Distribusi Log Pearson III memiliki cara yang sama.
1. Metode Distribusi Frekuensi Normal Dan Gumbel
∑𝑛
𝑖=1(𝑋𝑖 −𝑋𝑟𝑡)
2
Sd =√ 𝑛−1
2667,48
=√ 10−1
= 16,33
𝑛 ∑𝑛
𝑖=1(𝑋𝑖 −𝑋𝑟𝑡)
3
Cs = (𝑛−1)(𝑛−2)𝑆 3
10
= (10−1)(10−2) × −1,8817
= -0,26
2. Metode distribusi log normal dan Log Pearson III
Tabel 2. 15 - Distribusi frekuensi metode Log Normal dan Log Pearson III
∑𝑛
𝑖=1(𝑙𝑜𝑔 𝑋𝑖 −𝑙𝑜𝑔 𝑋𝑟𝑡)
2
Sd =√ 𝑛−1
0,0639
= √ 10−1
= 0.08
𝑛 ∑𝑛
𝑖=1(𝑙𝑜𝑔 𝑋𝑖 −𝑙𝑜𝑔 𝑋𝑟𝑡)
3
Cs = (𝑛−1)(𝑛−2)𝑆 3
10
= (10−1)(10−2) × −4,0872
= -0,568
Xt = x + 𝐾𝑡 𝑆
= 92,80 + 0 × 16,33
= 92,80 mm
log x + 𝐾𝑡 𝑆
Xt =10
= 101,96+0 ×0,08
= 91,20 mm
log x + 𝐾𝑆
Xt =10
= 101,96+1,97 × 0,08
= 92,97 mm
Metode yang sering digunakan dalam uji kecocokan adalah uji Chi-Kuadrat dan Smirnov-
Kolmogorov.
𝑮 = 𝟏 + 𝟑. 𝟑𝟐𝟐 𝑳𝒐𝒈 𝒏
𝑫𝑲 = 𝑮 − (𝑷 + 𝟏)
𝒏
𝑬𝒊 =
𝑮
𝑮 (𝑶𝒊 − 𝑬𝒊 )𝟐
𝑿𝟐𝒉 =∑
𝒊=𝟏 𝑬𝒊
dengan:
𝑋ℎ2 : parameter chi-kuadrat terhitung;
G : koefisien kurtosis;
2.7.2. Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan smirnov kolgomorov sering disebut juga uji kecocokan non parametrik,
karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi disribusi tertentu.
Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang
dari masing-masing data tersebut.
X1 = p(x1);
X2 = p(x2);
X3 = p(x3), dan seterusnya.
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih tersebarnya antar peluang
pengamatan dengan peluang teoritis.
𝐷 = 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 (𝑃(𝑋𝑛 ) − 𝑃′ (𝑋𝑛 ))
Contoh 7
Diketahui data hujan wilayah seperti pada contoh 4. Ujilah kecocokan distribusi
menggunakan metode Smirnov Kolmogorov.
(116−92,80)
=
17,21
= 1,3476
𝑀1
P’(x1) =
(𝑛−1)
1
=
(10−1)
= 0,1111
P’(x<) = 1 – p’(x1)
= 1 – 0,1111
= 0,8889
D = p(x<) – p’(x<)
= 0,0901 – 0,1111
= 0,0202
Setelah dilakukan perhitungan pada masing-masing data hujan, seperti pada Tabel 2.17.
Dmaks = 0,2020
Nilai dkritis didapatkan dari tabel 2. 6
Dengan derajat kepercayaan 5% dan n = 10
Maka,
Dkritis = 0,4100
Dapat diambil keputusan bahwa distribusi frekuensi data hujan diterima, karena nilai
dmaks<dkritis.
𝑿𝒆𝒇𝒇 = 𝑿𝒕 × 𝑪
Dengan:
Xeff : curah hujan periode ulang efektif (mm);
Xt : curah hujan periode ulang (mm/hari);
C : koefisien limpasan.
Contoh 8
Diambil curah hujan periode ulang dari metode distribusi normal sebesar 92,80 mm.
Diambil contoh, nilai c = 0,90 (daerah perdagangan, perkotaan (down town))
Maka,
Xeff = xt × c
= 92,80 × 0,90
= 83,52 mm
𝟎. 𝟔𝟎𝟔 𝒙 (𝑳𝒏)𝟎.𝟒𝟔𝟕
𝒕𝒄 =
𝑺𝟎.𝟐𝟑𝟒
Dengan:
Tc : waktu konsentrasi (jam);
L : panjang lintasan air dari titik terjauh sampai ke titik
yang ditinjau (km);
N : koefisien kekasaran (didapatkan dari tabel);
S : kemiringan rata-rata daerah lintasan air.
Contoh 9
Diketahui panjang sungai widas adalah 40,152 km dan memiliki kemiringan 0,00036. Das
sungai widas termasuk kedalam golongan tata guna lahan ”hutan dan sejumlah semak
belukar,” sehingga nilai n adalah 0,8.
L = 40,152 km
S = 0,00036
N = 0,8
0.606 𝑥 (𝐿𝑛)0.467
Tc =
𝑆 0.234
0.606 𝑥 (40,152 ×0,8)0.467
=
0,000360.234
= 20 jam.
Contoh 10
Diketahui curah hujan efektif sebesar 83,52 mm. Hitunglah intensitas hujan menggunakan
metode alternating block method (ABM).
R24 = xeff = 83,52 mm
Tc = 20 jam
T1 = 1 jam
Maka,
2
𝑅24 𝑡𝑐
I1 = [ 𝑡 ]3
𝑡𝑐
2
83,52 20
= [ 1 ]3
20
= 30,7690 mm
I t1 = i1 x t
= 30,7690 x 1
= 30,7690 mm
∆p adalah selisih dari i t n dengan i t n+1
Pada jam 1
∆p = i t1
= 30,7690 mm
∆p
Pt = × 100%
𝑋𝑒𝑓𝑓
30,7690
= × 100%
83,52
= 36,84 %
Nilai ABM didapatkan dari menyusun nilai p t secara selang-seling hingga didapatkan
urutuan nilai p t terbesar berada pada urutan tengah.
Perhitungan terus dilakukan hingga didapatkan nilai intensitas hujan jam ke-20 (sesuai nilai
tc). Perhitungan jam ke-2 sampai jam ke-20 disajikan pada Tabel 2.20
Grafik pola distribusi hujan dari perhitungan pada Tabel 2.20 disajikan dalam Gambar II.6.
𝑸 = 𝟎. 𝟐𝟕𝟖 × 𝑪 × 𝑰 × 𝑨
Dengan:
Q : debit (m³/detik);
C : koefisien limpasan;
I : intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi
(mm/jam);
A : luas daerah aliran (DAS) (km²).
Di wilayah perkotaan, luas daerah pengaliran pada umumnya terdiri dari beberapa daerah
yang mempunyai karakteristik permukaan tanah yang berbeda (sub area), sehingga
koefisien pengaliran pada wilayah tersebut dilakukan penggabungan dari masing-masing
sub area. Variabel luas sub area dinyatakan dengan aj dan koefisien pengaliran tiap sub
area dinyatakan dengan cj, maka untuk menentukan debit digunakan rumus:
𝑸 = 𝜮 𝑪𝒋 × 𝑨𝒋 × 𝑰
Dengan:
Q : debit (m³/detik);
Cj : koefisien limpasan;
I : intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi
(mm/jam);
Aj : luas daerah aliran (km²).
Contoh 11
Diketahui data sebagai berikut:
Luas das (A) = 87 km2
Koefisien aliran (c) = 0,90
Tc = 20 jam
2
𝑅24 24
I = [ 𝑡𝑐 ] 3
24
2
83,52 24
= [20]3
24
= 4 mm
Q = 0,278 x c x i x a
= 0,278 x 0,90 x 4 x 87
= 87 m3/detik.
Dari hasil perhitungan diketahui bahwa debit yang mengalir di sungai Widas adalah
87 m3/detik, dengan titik kontrol di hilir DAS.
atau tidak tersedia. Dalam kasus ini, hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data-data
sungai pada DAS terdekat yang mempunyai karakteristik sama (Suripin, 2004). Cara ini
dikenal dengan nama Hidrograf Satuan Sintetik (HSS). HSS merupakan hidrograf yang
mempergunakan parameter-parameter DAS untuk menentukan pengalihragaman hujan
menjadi banjir.
HSS Gama I terdiri dari empat variabel pokok yaitu waktu naik (time of rise-TR), debit
puncak (Qp), dan waktu dasar (TB), dan sisi resesi yang ditentukan oleh nilai koefisien
tampungan (K) yang mengikuti persamaan berikut:
𝐐𝐭 = 𝐐𝐩 × 𝐞−𝐭/𝐤
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam HSS Gama I adalah:
1. Waktu puncak HSS Gama I (TR)
𝑳
𝐓𝐑 = 𝟎, 𝟒𝟑 × ( ) + 𝟏, 𝟎𝟔𝟔𝟓 × 𝐒𝐈𝐌 + 𝟏, 𝟐𝟕𝟕𝟓
𝟏𝟎𝟎 × 𝑺𝑭
2.13 Rangkuman
Materi tentang Analisis Hidrologi dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Analisis hidrologi bertujuan untuk mendapatkan besaran hujan periode ulang dan
debit banjir rencana.
2. Hujan periode ulang sebagai dasar dalam perhitungan debit rencana, erosi, dan
angkutan sedimen.
3. Debit rencana dapat diturunkan dari data debit atau data hujan. Bila yan tersedia
adalah data hujan, maka debit rencana dapat diperoleh dari hujan periode ulang
melalui proses transformasi hujan menjadi debit menggunakan metode empiris.
4. Dalam analisis hujan menjadi debit diperlukan peta DAS, peta tataguna lahan, peta
kontur, dan bila ada peta tanah permukaan.
5. Data hujan yang digunakan harus diuji validitas dan distribusi frekuensinya. Uji
distribusi frekuensi dibutuhkan untuk mendapatkan pola distribusi hujan sebagai
dasar untuk prediksi hujan dalam kala ulang tertentu.
6. Dalam analisis hujan menjadi debit banjir yang diperlukan adalah data hujan harian
maksimum wilayah. Hujan harian maksimum selanjutnya dijabarkan untuk
mendapatkan intensitas hujan.
7. Harus dicermati hasil akhir analisis debit rencana, mengingat metodenya cukup
banyak dan tiap daerah memiliki karakter yang berbeda juga.
2.14 Latihan
Diketahui data-data sebagai berikut:
Data hujan bulanan Stasiun Saradan, Gemarang, dan Catur tahun 1997-2006.
Nama stasiun Saradan
Lokasi
Lintang Selatan 7˚31'13"
Bujur Timur 111˚43'44"
Bulan Hujan
Tanggal
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Tahunan
1997 182 414 383 330 27 0 0 0 0 0 151 336 1823
1998 411 768 838 865 132 336 208 0 80 68 512 491 4709
1999 612 435 557 237 53 0 0 0 0 0 0 86 1980
2000 305 230 289 275 47 3 0 0 0 325 271 109 1854
2001 301 390 349 220 21 104 43 0 0 0 26 237 1691
2002 318 218 408 230 94 0 0 0 0 0 138 382 1788
2003 433 406 180 44 193 6 0 0 0 130 246 337 1975
2004 467 488 404 14 69 12 10 0 23 0 301 334 2122
2005 384 272 144 242 0 17 34 0 32 112 77 476 1790
2006 207 179 263 318 225 0 0 0 0 0 0 457 1649
Data hujan harian maks Stasiun Saradan, Gemarang, dan Catur tahun 1997-2006
H. Harian Maks. H. Harian Maks. H. Harian Maks.
Tahun
Sta. Saradan Sta. Gemarang Sta. Catur
1997 118 103 35
1998 65 106 87
1999 117 95 79
2000 94 100 105
2001 73 150 115
2002 126 65 78
2003 79 75 81
2004 93 146 52
2005 170 100 72
2006 98 75 70
Koefisien Thiessen
Saradan 3 0.03 3%
Gemarang 56 0.64 64%
Catur 28 0.32 32%
Jumlah 87 1.00 100%
Panjang sungai (l) = 15000 m
H1 = 500 m
H2 = 10 m
Luas DAS (A) = 87 km2
Koefisien limpasan (C) = 0,60
Koefisien kekasaran (N) = 0,80
MATERI POKOK II
ANALISIS SEDIMEN
3.1. Keluaran
Keluaran hasil analisis sedimen adalah sebagai berikut :
1. Prediksi erosi;
2. Debit banjir rencana termasuk sedimen;
3. Debit aliran debris;
4. Kecepatan aliran dan tinggi aliran debris;
Contoh 12
Diketahui data sebagai berikut:
R = 33,37
K = 0,15 (sesuai dengan klasifikasi tanah yaitu tanah aluvial)
Ls = 1,40 (sesuai dengan kemiringan lereng yaitu 8 % - 15 %)
C = 0,90
P = 0,67
Maka,
Ea = r x k x ls x c x p
= 33,37 x 0,150 x 1,40 x 0,90 x 0,67
= 4,22 ton/ha/tahun
Dari hasil perhitungan, dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat bahaya erosi masih
digolongkan kedalam golongan erosi yang diijinkan.
Contoh 13
Diketahui data sebagai berikut:
Q = 87 m3/detik;
Cs = 7,867 mg/l (didapatkan dari hasil uji laboratorium);
Hitunglah debit banjir sedimen.
Qd =q x cs
= 87 x 7,867
= 684, 9765 kg/detik.
Contoh 14
Diketahui data sebagai berikut:
Q = 87m3/dt
C* = 0,60
Cd = 0,30
Hitunglah debit aliran debris metode Takahashi
𝐶∗
Qd = 𝑄
(𝐶∗−𝐶𝑑)
0,60
= 87
(0,60−0,30)
= 174 m3/dt
dengan:
V : volume sedimen rencana (m³).
Contoh 15
Diketahui data sebagai berikut:
N = 0,1
R =3m
Ө = 23o
Hitunglah kecepatan aliran debris !
2 1
1
U = 𝑥 𝑅 3 𝑥 (𝑠𝑖𝑛 ө)2
𝑛
2 1
1
= 𝑥 33 𝑥 (𝑠𝑖𝑛 23)2
0,1
= 13 m/dt
3.8. Rangkuman
Materi tentang Analisis Hidrologi dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Sedimen berasal dari vulkanik, tamah longsor, atau hasil erosi.
2. Aliran air dengan sedimen konsentrasi tinggi memiliki karakter yang sangat berbeda
dengan aliran air biasa. Aliran yang mengandung sedimen dengan konsentrasi
tinggi disebut sebagai aliran sedimen atau aliran debris
3. Angkutan aliran sedimen sangat bervariasi dari material yang halus hingga yang
sangat kasar. Semakin kasar amaterial yang diangkut oleh aliran sedimen, daya
rusaknya semakin tinggi.
4. Aliran sedimen hanya dapat dikendalikan. Pengendaliannya hanya bersifat
menahan material sementara dan mengarahkan arah aliran agar tidak
menimbulkan kerusakan
5. Kecepatan aliran dan besaran debit aliran sedimen harus diperhitungkan dengan
benar, sesui dengan karakter aliran sedimen yang terjadi
3.9. Latihan
Diketahui data-data sebagai berikut:
Diketahui data sebagai berikut:
R = 35
K = 0,15 (sesuai dengan klasifikasi tanah yaitu tanah aluvial)
Ls = 1,40 (sesuai dengan kemiringan lereng yaitu 8 % - 15 %)
C = 0,60
P = 0,67
Q = 147.5829 m3/detik
Cs = 8,367 mg/l (didapatkan dari hasil uji laboratorium)
C* = 0,60
Cd = 0,30
N = 0,1
R = 2,5 m
Ө = 23o
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Siklus hidrologi adalah proses kontinyu dimana air bergerak dari bumi ke atmosfer dan
kemudian kembali ke bumi lagi (bambang triatmodjo, 2009). Siklus hidrologi melalui
beberapa tahapan yaitu : kondensasi, presipitasi, evaporasi, intersepsi, perkolasi dan
infiltrasi.
Data yang diperlukan dalam analisis hidrologi adalah data curah hujan, data morfologi
sungai, data luas das. Keluaran hasil dari analisis hidrologi adalah hujan periode ulang dan
debit banjir periode ulang. Tahapan analisis hidrologi sangatlah panjang, sebagai berikut :
1. Uji validitas data;
2. Mencari hujan wilayah;
3. Melakukan analisis distribusi frekuensi dan hujan periode ulang;
4. Melakukan uji kecocokan distribusi;
5. Mencari hujan periode ulang efektif;
6. Mencari waktu konsentrasi hujan;
7. Mencari intensitas hujan;
8. Mencari debit hujan periode ulang.
Sedimen dapat didefinisikan sebagai material, batu, pecahan batu, pasir, atau longsoran
tebing yang mengendap pada suatu aliran.sedimentasi didefinisikan sebagai proses
mengendapnya material-material ke dasar suatu aliran. Sedimen berasal dari daerah
vulkanik dan lereng gunung (non-vulkanik). Keluaran hasil dari analisis sedimen adalah
prediksi erosi, debit banjir rencan termasuk sedimen, debit aliran debris, dan kecepatan
aliran serta tinggi aliran debris.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. (2006). Konservasi Tanah Dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak. (2002). Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press, Yogya
A'yunin, Q. (2008). Prediksi Tingkat Bahaya Erosi Dengan Metode USLE Di Lereng Timur
Gunung Sindoro. Universitas Sebelas Maret.
Badan Standar Nasional Indonesia. (2016). Tata Cara Perhitungan Debit Banjir Rencana.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Bambang, T. (2008). Hidrologi Terapan.Yogyakarta : Beta Offset.
Ponce, V. M. (1989), Engineering Hydrology Principles And Practices, Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Soewarno, (1995). Hidrologi Operasional Jilid Kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soemarto, C. D., (1987). Hidrologi Teknik. Usaha Nasional, Surabaya.
Supangat, A. B. (2014). Perhitungan Sedimen. Surakarta: Badan Penelitian Teknologi
Kehutanan Pengelolaan DAS.
Supriyadi, H. Y. (1996). Pengantar Hidrologi, Jilid II, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, H.
2, 14, 15.
Sri Harto, Br. (1993). Analisis Hidrologi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sri Harto, Br. (2000). Hidrologi Teori Masalah Penyelesaian. Nafiri Offset, Yogyakarta
Suripin, (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi Offset, Yogyakarta
GLOSARIUM
Aliran debris Campuran pasir, batu, kayu dan air bergerak kolektif dari
dasar sampai permukaan aliran, terjadi apabila kemiringan
dasar sungai lebih besar atau sama dengan kemiringan
dasar kritk aliran debris.
Curah hujan Ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang
datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir.
Debit Sejumlah besar volume air yang mengalir dengan
sejumlah sedimen padatan (misal pasir), mineral terlarut
(misal magnesium klorida), dan bahan biologis (misal alga)
yang ikut bersamanya melalui luas penampang melintang
tertentu.
Daerah aliran sungai Daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung
atau pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah
tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada suatu
titik (stasiun) yang ditinjau.
Debit hujan periode ulang Perkiraan hujan yang akan terjadi pada kala ulang tertentu.
Erosi Peristiwa pengikisan padatan akibat transportasi angin, air
atau es, karakteristik hujan, creep pada tanah dan material
lain di bawah pengaruh gravitasi.
Evaporasi Proses penguapan air laut.
Hujan periode ulang Hujan yang terjadi dengan waktu kala ulang tertentu.
Hujan wilayah Curah hujan rata-rata di seluruh daerah aliran sungai.
Infiltrasi Proses masuknya air hujan kedalam tanah.
Intensitas hujan Besarnya jumlah hujan yang turun yang dinyatakan dalam
tinggi curah hujan atau volume hujan tiap satuan waktu.
Intersepsi Air hujan yang turun diserap oleh tumbuhan.
Kondensasi Proses perubahan wujud suatu benda dari uap air menjadi
awan hujan.
Perkolasi Air hujan yang meresap kedalam tanah, lalu mengalir
didalam tanah.
Presipitasi Proses jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi
(turunya hujan).
Sedimen Benda padat berupa serbuk yang terpisah dari cairan dan
mengendap di dasar bejana.