Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Laju sedimentasi yang sangat besar di Citarum Hulu ini ternyata membawa dampak
besar terhadap percepatan pengendapan di Waduk Sangguling. Hal ini mengigat waduk
tersebut adalah waduk paling hulu diantara waduk cascade di Sungai Citarum. Sebagaimana
diketahui bahwa Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur yang berfungsi
sebagai pembangkit listrik dan penyediaan air untuk jaringan irigasi untuk daerah
layanannya. Akan tetapi tahun 2008, sedimentasi di Waduk Saguling mencapai 84 juta m3 .
Laju sedimentasi di Waduk Saguling kini diperkirakan 4,2 juta m 3 per tahun atau 4.819.664
ton/tahun. Sedimentasi akan menurunkan fungsi bendungan dan mengganggu operasional
PLTA. Selain itu limbah industri dan domestik yang terbawa aliran sungai Citarum juga
memperburuk kondisi endapan yang ada di waduk Saguling.
Hal di atas membawa efek domino terhadap 2 waduk di hilirnya yaitu Waduk Cirata
dan Jatiluhur. Berdasarkan penelitian mengenai kualitas air waduk yang dilakukan Waduk
Cirata diketahui mengalami pencemaran berat dan juga sedimentasi. Hingga tahun 2000
endapan sedimentasi di waduk ini sudah mencapai 62,8 juta m 3. Sedangkan batas ekstrim
yang dirancang bagi endapan di waduk tersebut volumenya 79,3 juta m 3. Cepatnya laju
sedimentasi ini akibat dari penggundulan hutan di DAS Citarum terutama bagian hulu.
Kondisi tersebut menunjukan bahwa penanganan permasalahan sedimentasi di Sungai
Citarum memiliki peran penting dalam menjamin keberlangsungan fungsi waduk – waduk
yang ada di DAS Citarum, dimana waduk – waduk tersebut menunjang stabilitas ekonomi di
Provinsi Jawa Barat. Bukan hanya di Provinsi Jawa Barat, Sungai Citarum juga menyuplai air
baku untuk air minum untuk masyarakat di DKI Jakarta. Selain penyediaan air minum,
Sungai Citarum juga dimanfaatkan untuk perikanan, pertanian, peternakan, dan industri
sehingga Citarum merupakan penunjang perekonomian Indonesia sebesar 20% GDP (Gross
Domestic Product).
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah upaya penanganan serius dalam mengatasi
permasalahan sedimentasi di Sungai Citarum ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan dibangunnya bangunan Sabodam pada daerah DAS Citarum bagian hulu.
Tujuannya adalah mencegah efek domino dari masalah erosi dan sedimentasi ini.
1. Berapa besar angkutan sedimen yang terjadi pada DAS Citarum Hulu?
2. Dimana letak sabodam yang mempunyai kinerja optimal pada DAS Citarum Hulu?
3. Apa tipe sabodam yang cocok pada DAS Citarum Hulu?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui besar angkutan sedimen yang terjadi pada DAS Citarum Hulu
2. Menentukan letak sabodam yang mempunyai kinerja optimal pada DAS Citarum
Hulu
3. Menentukan tip sabodam yang cocok pada DAS Citarum Hulu
1.4. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi pemerintah, untuk mengetahui desain sabodam yang cocok pada DAS Citarum
Hulu
2. Bagi masyarakat, untuk mengetahui akibat dari tidak menjaga kelestarian hutan pada
DAS Citarum Hulu
3. Bagi CPNS, untuk mempelajari tahapan-tahapan perencanaan sabodam
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Umum
Dalam melakukan survey, ada 2 aspek yang diperlukan :
1. Fenomena alam
Hal ini mencakup karakteristik sedimen, struktur media, sumber sedimen, kondisi
hidrologi setempat, dan catchment area.
2. Tingkat efektifitas ekonomi wilayah
Hal ini mencakup efektifitas bangunan yang sudah ada sebelumnya dan bencana banjir
sedimen atau debris yang pernah terjadi.
Perencanaan sabo untuk mencegah bencana akibat aliran debris/sedimen yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga sungai yang bersangkutan dapat berfungsi secara
normal dan efektif ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu:
a. Pengendalian Banjir, dan
b. Rencana Pengembangan Sungai
Dasar perencanaan sabo yang dirumuskan untuk membuang sejumlah debris/sedimen
yang merusakkan pada suatu daerah sasaran. Jumlah yang merusakkan tersebut diatas berarti
sejumlah material debris yang mengalir sepanjang sungai di daerah hilir.
Titik Dasar (Basic Point) untuk perencanaan sabo ialah suatu titik batas untuk
menentukan jumlah debris/sedimen yang dibicarakan dan yang diijinkan. Titik dasar harus
diletakkan sedemikian agar supaya mudah untuk merumuskan perencanaan, yaitu:
a. Titik paling hilir pada suatu alur sungai,
b. Titik pertemuan sungai sampai sektor perbaikan sungai,
c. Titik tempat terdapat kekayaan dan lainnya yang bernilai,
d. Titik daerah transisi (daerah aliran debris dan daerah aliran sedimen).
Dalam menentukan bangunan sabo yang akan direncanakan, Dam Sabo terdiri dari 4
macam berdasarkan fungsinya, yaitu : (Haryono Kusumosubroto, 2009)
1. Check Dam
Menampung Sedimen (storage)
Mengontrol Sedimen (regulate)
Menahan Sedimen (restrain)
Menstabilkan Dasar Sungai
2. Dam Konsolidasi (< 5M)
Menampung Sedimen (kecil)
Mengontrol Sedimen (regulate)
Menahan Sedimen (restrain)
3. Ambang Dasar ( Groundsill )
Menampung Sedimen (kecil)
Mengontrol Sedimen (regulate)
Menahan Sedimen (restrain)
4. Dam Pengarah ( Dispersion DAM )
Mengontrol Arah Aliran
Mengarahkan Aliran ke Kantong Pasir
2.2 Tahapan
Tahapan pada laporan ini adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa data spasial, dan peta – peta yang
lainnya beserta data curah hujan.
2. Pengolahan data
Pengolahan data menggunakan aplikasi ArcGIS, Google Earth dan Microsoft Excel.
3. Analisa Sabo Survey dan Sabo Plan
Analisa ini akan mengidentifikasi jenis bencana sedimen, skala penanganan, karakteristik
DAS, menentukan titik control, menghitung volume sedimen rencana dan sasaran, jenis
bangunan pengendali.
4. Hasil Analisa
Hasil analisa dari laporan ini akan menampilkan sabo plan dalam matrik.
2.3 Bagan Alir
Mulai
1. Data Topografi
2. Data Geologi
3. Data Hidrologi & Sedimentasi
4. Data Bencana
Analisis Data
Hasil Analisis
Selesai
2.4 Metode Analisa
1. Analisa Sabo Survey
Dalam analisa sabo survey ini akan menganalisa dari berita bencana debris di
Citarum hulu dan data-data sekunder lainnya untuk menentukan titik prioritas yang
harus dilindungi. Berdasarkan
2. Analisa Sabo Plan
Dalam analisa ini menggunakan beberapa tahapan :
1. Identifikasi jenis bencana sedimen
Jenis bencana sedimen terbagi menjadi 2, yaitu :
a. Bencana Lahar
b. Tanah longsor dan erosi
4. Analisa Hidrologi
1. Curah Hujan Wilayah
Penentuan curah hujan rata-rata wilayah menggunakan Metode Poligon
Thiessen. Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang
mewakili luasan disekitarnya. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan
memperhitungkan daerah pengaruh dari setiap stasiun. Stasiun pencatat hujan
digambarkan pada peta DAS dan dihubungkan dengan membentuk segitiga-
segitiga yang mempunyai sisi dan panjang relatif sama.
Dengan:
R = Hujan rata-rata wilayah
R1, R2 ,... Rn = Hujan pada stasiun 1,2....,n
A1, A2 ,... An = Luasan daerah yang mewakili stasiun 1,2.....,n
Jenis Hasil
No. Syarat Keputusan
Distribusi Perhitungan
1 Normal Cs = 0 3,06 Tidak
Ck = 3 9,54 Tidak
2 Log Normal Cs = 0 Cv3 + 3Cv 2,21 2,75 Tidak
Ck = 3 Cv8 + 6Cv6 12,75 8,23 Tidak
+ 15Cv4 +
16Cv2 + 3
3 Gumbell Cs = 1,14 3,06 Tidak
Ck = 5,4 9,54 Tidak
4 Log Pearson Jika smua syarat tidak terpenuhi OK
Tipe III
Perencanaan bangunan air berupa sabo dam didasarkan pada debit banjir
rencana yang diperoleh dari analisis hujan-aliran tersebut, yang bisa berupa
banjir rencana dengan periode ulang tertentu. Selanjutnya diperlukan juga
hidrograf banjir rencana dengan periode ulang tertentu. Hidrograf banjir rencana
dapat diperoleh dengan menggunakan hidrograf satuan. Dalam hal ini data
masukan yang diperlukan adalah hyetograf hujan rencana.
Dalam analisis hidrograf banjir rencana dengan masukan hujan rencana
dengan periode ulang tertentu yang diperoleh dari analisis frekuensi, biasanya
parameter hujan seperti durasi dan pola distribusi tidak diketahui. Padahal
parameter tersebut sangat diperlukan. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan untuk menentukan distribusi hujan rencana, yaitu metode Tadashi
Tanimoto, Mononobe dan Alternating Block Method (ABM). Dalam
perencanaan ini metode yang digunakan adalah Alternating Block Method
(ABM).
Alternating Block Method (ABM) adalah cara sederhana untuk membuat
hyetograph rencana dari kurva IDF (Chow et al., 1988). Hyetograph rencana
yang dihasilkan oleh metode ini adalah hujan yang terjadi dalam n rangkaian
interval waktu yang berurutan dengan durasi ∆t selama waktu Td = n∆t. Untuk
periode ulang tertentu, intensitas hujan diperoleh dari kurva IDF pada setipa
durasi waktu ∆t, 2∆t, 3∆t, . . . . . Kedalaman hujan diperoleh dari perkalian
antara intensitas hujan dan durasi waktu tersebut. Perbedaan antara nilai
kedalaman hujan yang berurutan merupakan pertambahan hujan dalam interval
waktu ∆t. Pertambahan hujan tersebut (blok-blok), diurutkan kembali ke dalam
rangkaian waktu dengan intensitas hujan maksimum berda pada tengah-tengah
durasi hujan Td dan blok-blok sisanya disusun dalam urutan menurun secara
bolak-balik pada kanan dan kiri dari blok tengah.
Tp =Tg + 0.8 Tr
Tg =0.4 + 0.058 L untuk L>15 km
Tg =0.21 L0,7 untuk L<15 km
T0.3 = α Tg
Dengan:
Qp = Debit puncak banjir
A = Luas DAS (km2)
L = Panjang sungai utama (km)
Re = Curah hujan efektif (mm)
Tp = Waktu dari permulaan banjir sampai puncak hidrograf banjir (jam)
T0.3 = Waktu dari puncak banjir sampai 0,3 kali debit puncak banjir (jam)
Tg = Waktu konsentrasi
Tr = Satuan waktu dari curah hujan (jam)
5. Penentuan titik kontrol
Titik control di tetapkan di titik hilir sumber/produksi sedimen dan titik paling hilir
DAS guna penyeimbang agar tidak terjadi degradasi dan agradasi pada sungai.
Tahun
Bulan
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Jan 87.679 47.437 35.746 44.265 31.766 25.323 37.812 36.240 30.533 28.623 27.562 30.695 39.639 32.284
Feb 54.400 56.032 35.003 64.482 29.138 33.517 47.583 32.013 47.179 27.294 17.457 23.444 48.714 70.278
Mar 57.621 58.173 28.215 36.171 47.286 42.464 50.359 33.678 30.025 38.016 55.077 42.570 50.349 52.896
Apr 53.375 48.035 35.617 66.296 42.318 41.814 34.551 37.962 18.734 38.783 36.340 30.537 43.219 65.531
May 47.109 33.755 37.038 57.478 25.521 41.410 33.526 31.150 47.679 26.793 38.448 34.007 59.844 59.669
Jun 17.394 44.059 5.338 26.362 4.561 32.966 30.526 26.204 9.855 14.068 37.135 1.369 42.408 36.355
Jul 27.486 28.564 3.705 6.266 0.000 8.893 18.953 26.906 0.000 29.916 23.074 0.000 50.604 17.816
Aug 25.328 25.593 3.758 1.711 4.864 12.547 36.373 0.821 1.198 1.882 24.838 3.252 36.272 0.645
Sep 34.966 17.135 15.479 14.084 11.477 7.444 40.777 0.479 12.511 17.619 3.708 10.975 65.676 37.764
Oct 20.864 30.693 29.123 37.431 34.047 64.121 44.568 26.507 15.870 23.691 14.709 17.640 53.284 42.241
Nov 29.498 32.469 28.903 43.586 40.251 34.581 32.091 32.294 35.373 30.512 43.824 69.292 52.453 39.969
Dec 52.715 40.727 60.034 44.630 34.581 52.200 41.746 45.147 38.755 22.273 53.442 52.485 46.647 20.497
3.1.1.2 Curah Hujan Rencana
Tabel 3.3 Distribusi curah hujan rencana Metode Log Pearson III
Tabel 3.5 Perhitungan curah hujan rencana dengan metode Log Pearson III
Hidrograf Nakayasu
10
8
Debit m3/detik
Hidrograf Terkoreksi
4 Hidrograf Awal
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Waktu (jam)
600
Limpasan Langsung (m3/dt)
Periode 2 tahun
periode 5 tahun
400 periode 10 tahun
periode 25 tahun
periode 50 tahun
periode 100 tahun
200
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (Jam)
1 2 Tahun 416.249
2 5 Tahun 472.190
3 10 Tahun 504.150
4 25 Tahun 511.321
5 50 Tahun 565.199
6 100 Tahun 588.293
3.1.2 Debris
Tabel 3.10 Curah Hujan Rencana Periode Ulang
Curah hujan rencana
Periode tahun
(mm)
2 57.765
5 65.528
10 69.963
25 71.806
50 78.435
100 81.640
Gambar 3.4 Gradasi Butiran Sedimen
Volume Sedimen Rencana diambil nilai yang paling kecil dari moveable sediment
dan transportable sediment, yaitu sebesar 2,061,729.21 m3
Volume Sedimen Sasaran sebesar 90% dari Volume Sedimen Rencana yaitu
sebesar
1,855,556.29 m3
4.2 Saran
Dari hasil analisa ini penulis menyarankan untuk membangun bangunan SABO yang
ramah lingkungan dan spesifikasi bangunan sesuai dengan perencanaan agar bangunan sabo
yang dibuat tidak merusak biota atau ekosistem sekitarnya dan masyarakat sekitar bisa
menikmati manfaat dari bangunan pengendali sedimen.
Penulis juga menyarankan untuk membuat bangunan pengaman tebing sungai
(revetment) atau krib didaerah sungai yang terancam longsor sehingga membahayakan
masyarakat dan infrastruktur yang berada disekitar sungai serta penertiban garis sempadan
sungai sesuai peraturan yang berlaku.