Anda di halaman 1dari 66

Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

MODUL 03

MODUL PENGELOLAAN BANJIR TERPADU

PELATIHAN PENGENDALIAN BANJIR

2017

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SUMBER DAYA AIR DAN KONSTRUKSI


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
pengembangan Modul Pengelolaan Banjir Terpadu sebagai materi inti/substansi
dalam Pelatihan Pengendalian Banjir. Modul ini disusun untuk memenuhi
kebutuhan kompetensi dasar Aparatur Sipil Negara (ASN) di bidang SDA.

Modul pengelolaan banjir terpadu disusun dalam 3 (tiga) bagian yang terbagi atas
Pendahuluan, Materi Pokok, dan Penutup. Penyusunan modul yang sistematis
diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan dalam memahami
pengelolaan banjir terpadu. Penekanan orientasi pembelajaran pada modul ini lebih
menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta.

Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Tim
Penyusun dan Narasumber, sehingga modul ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa terbuka
dan dimungkinkan mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan
yang terus menerus terjadi. Semoga Modul ini dapat memberikan manfaat bagi
peningkatan kompetensi ASN di bidang SDA.

Bandung, September 2017


Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Sumber Daya Air dan Konstruksi

Ir. K. M. Arsyad, M.Sc.


NIP. 19670908 199103 1 006

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi i


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
PETUNJUK PENGGUNAAN ................................................................................ vi
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Deskripsi Singkat ............................................................................................. 1
C. Tujuan Pembelajaran ...................................................................................... 1
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ................................................................ 2
E. Estimasi Waktu................................................................................................ 2
MATERI POKOK 1 PENGELOLAAN BANJIR TERPADU .................................... 3
1.1 Karakteristik Banjir di Indonesia ...................................................................... 3
1.1.1 Gambaran Teknis Sungai dan Pulau ................................................... 3
1.1.2 Kondisi Pulau-Pulau dan Karakter Banjirnya ....................................... 7
1.2 Perubahan Paradigma ................................................................................... 14
1.2.1 Pengendalian Banjir .......................................................................... 15
1.2.2 Manajemen Banjir ............................................................................. 16
1.2.3 Pengendalian Banjir ke Manajemen Banjir ........................................ 17
1.3 Kerugian Banjir .............................................................................................. 20
1.3.1 Umum ............................................................................................... 20
1.3.2 Perhitungan Ekonomi Banjir .............................................................. 22
1.3.3 Contoh Perhitungan Ekonomi Banjir .................................................. 26
1.4 Land Use Management ................................................................................. 30
1.4.1 Sempadan Sungai dan Danau .......................................................... 30
1.4.2 Daerah Aliran Sungai ........................................................................ 33
1.5 Pengelolaan Sumber Daya Air (Water Resources Management) .................. 38
1.5.1 Hulu, Tengah dan Hilir ....................................................................... 39
1.5.2 Manajemen Banjir Terpadu ............................................................... 43
1.6 Risk Management ......................................................................................... 46
1.6.1 Pengurangan Resiko Bencana .......................................................... 47

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi ii


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

1.6.2 Pengurangan Resiko Kerentanan ...................................................... 49


1.6.3 Pengurangan Resiko Keterpaparan .................................................. 50
1.7 Latihan .......................................................................................................... 51
1.8 Rangkuman ................................................................................................... 51
PENUTUP ............................................................................................................ 52
A. Simpulan ....................................................................................................... 52
B. Tindak Lanjut ................................................................................................. 52
EVALUASI FORMATIF ....................................................................................... 53
A. Soal ............................................................................................................... 53
B. Umpan Balik dan Tindak Lanjut ..................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
KUNCI JAWABAN

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi iii
Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 - 50 sungai terbesar di pulau-pulau (KepPres No. 12 Tahun 2012) ........ 5
Tabel 1.2 - Dari flood control menuju flood management ..................................... 19
Tabel 1.3 - Bencana banjir dengan kerugian jiwa 100 ribu atau lebih ................... 22
Tabel 1.4 - Uraian biaya river improvement .......................................................... 28
Tabel 1.5 - Pengumpulan data dan kompilasi data ............................................... 28
Tabel 1.6 - Perhitungan kerugian dan keuntungan ekonomi banjir ....................... 29
Tabel 1.7 - Hasil analisis manfaat dan biaya: B/C, B - C dan IRR ........................ 30
Tabel 1.8 - Karateristik DAS dan perannya dalam pengelolaan DAS ................... 36

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi iv


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 - DAS di Indonesia menurut KepPres No. 12 Tahun 2012 ................. 4
Gambar I.2 - 50 sungai dengan luas DAS terbesar sesuai .................................. 6
Gambar I.3 - Sungai Mamberamo yang terus berubah-ubah sepanjang waktu .. 13
Gambar I.4 - Pengertian dan definisi manajemen .............................................. 17
Gambar I.5 - Gambar banjir di Jawa yang dilukis oleh Raden Saleh .................. 21
Gambar I.6 - Ilustrasi suatu daerah untuk perhitungan ekonomi banjir ............... 27
Gambar I.7 - Skema daerah sungai ................................................................... 40
Gambar I.8 - Skema kondisi sungai ................................................................... 41
Gambar I.9 - Komponen-komponen Manajemen Banjir Terpadu ....................... 46

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi v


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

PETUNJUK PENGGUNAAN

Deskripsi
Modul pengelolaan banjir terpadu ini terdiri dari 1 (satu) materi pokok yang
membahas pengelolaan banjir terpadu.

Peserta pelatihan mempelajari keseluruhan modul ini dengan cara yang berurutan.
Pemahaman setiap materi pada modul ini diperlukan untuk memahami pengelolaan
banjir terpadu. Setiap materi pokok dilengkapi dengan latihan yang menjadi alat
ukur tingkat penguasaan peserta pelatihan setelah mempelajari materi pada materi
pokok.

Persyaratan
Dalam mempelajari modul ini, peserta pelatihan diharapkan dapat menyimak
dengan seksama penjelasan dari pengajar, sehingga dapat memahami dengan baik
materi yang merupakan materi inti/substansi dari Pelatihan Pengendalian banjir.
Untuk menambah wawasan, peserta diharapkan dapat membaca terlebih dahulu
materi yang berkaitan dengan pengelolaan banjir terpadu dari sumber lainnya.

Metode
Dalam pelaksanaan pembelajaran ini, metode yang dipergunakan adalah dengan
kegiatan pemaparan yang dilakukan oleh Pengajar/Widyaiswara/Fasilitator, adanya
kesempatan diskusi dan studi kasus.

Alat Bantu/Media
Untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran ini, diperlukan Alat Bantu/Media
pembelajaran tertentu, yaitu: LCD/projector, Laptop, white board dengan spidol dan
penghapusnya, bahan tayang, serta modul dan/atau bahan ajar.

Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran, peserta diharapkan mampu
memahami pengelolaan banjir terpadu.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi vi


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pegawai Negeri Sipil mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka
pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan semakin bertambahnya volume dan kompleksitas tugas-tugas
lembaga pemerintahan dan silih bergantinya regulasi yang begitu cepat perlu
upaya-upaya preventif untuk memperlancar tugas-tugas yang harus diemban oleh
Pegawai Negeri Sipil.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, Pegawai


Negeri Sipil harus memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan
peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal
tersebut dapat terwujud dengan melalui pembinaan yang dilaksanakan
berkelanjutan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 yang
dinyatakan bahwa manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan pembangunan secara berhasil guna dan berdaya guna.

B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membekali peserta pelatihan dengan pengetahuan/wawasan
mengenai sistem dan kegiatan pengelolaan banjir terpadu, melalui metode ceramah
interaktif, diskusi dan studi kasus. Keberhasilan peserta pelatihan dinilai dari
kemampuan memahami pengelolaan banjir terpadu.

C. Tujuan Pembelajaran
1. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran, peserta diharapkan mampu
memahami pengelolaan banjir terpadu.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 1


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta diharapkan mampu menjelaskan
sistem dan kegiatan pengelolaan banjir terpadu.

D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


Dalam modul pengelolaan banjir terpadu ini akan membahas materi:
1. Karakteristik banjir di Indonesia;
a. Gambaran teknis sungai dan pulau,
b. Kondisi pulau-pulau dan karakter banjirnya.
2. Perubahan paradigma;
a. Pengendalian banjir,
b. Manajemen banjir,
c. Pengendalian banjir ke manajemen banjir.
3. Kerugian banjir:
a. Umum,
b. Perhitungan ekonomi banjir,
c. Contoh perhitungan ekonomi banjir.
4. Land use management:
a. Sempadan sungai dan danau,
b. Daerah aliran sungai.
5. Water resources management:
a. Hulu, tengah dan hilir,
b. Manajemen banjir terpadu.
6. Risk management:
a. Pengurangan resiko bencana,
b. Pengurangan resiko kerentanan,
c. Pengurangan resiko keterpaparan.

E. Estimasi Waktu
Alokasi waktu yang diberikan untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk
mata pelatihan “Pengelolaan Banjir Terpadu” ini adalah 8 (delapan) jam pelajaran
(JP) atau sekitar 360 menit.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 2


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

MATERI POKOK 1
PENGELOLAAN BANJIR TERPADU

Indikator keberhasilan : setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan


mampu menjelaskan sistem dan kegiatan pengelolaan banjir terpadu.

Pengelolaan banjir terpadu adalah proses keterpaduan pengelolaan banjir melalui


pendekatan pengelolaan tanah dan sumber daya air, daerah pantai pesisir, dan
pengelolaan daerah bencana pada suatu DAS dengan tujuan memaksimumkan
keuntungan daerah bantaran banjir dan meminimumkan kehilangan nyawa dan
kerusakan harta benda dari banjir (Green dkk., 2004). Pengelolaan banjir terpadu
merupakan penanganan integral yang mengarahkan semua stakeholders dari
pengelolaan banjir sub-sektor ke sektor silang (Kodoatie & Sjarief, 2006).

Pengelolaan banjir tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah, tetapi


pengelolaan banjir harus dilaksanakan secara tersistem, menyeluruh dan terpadu
antara hulu dan hilir. Pengaruh perubahan tata guna lahan, urbanisasi dan
penebangan hutan sangat besar terhadap peningkatan kuantitas banjir.

1.1 Karakteristik Banjir di Indonesia


1.1.1 Gambaran Teknis Sungai dan Pulau
Seperti sudah disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan. Luas
tiap-tiap pulau juga bervariasi. Jumlah DAS sebelumnya adalah 5.590 (Direktorat
Sungai, 1994), baik berskala besar maupun kecil, yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke. Menurut KepPres No. 12 Tahun 2012, Indonesia terbagi dalam
131 Wilayah Sungai (WS) dengan jumlah DAS adalah 7983. Gambaran DAS di
seluruh Indonesia berdasarkan KepPres No. 12 Tahun 2012 ditunjukkan dalam
Error! Reference source not found.I.1.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 3


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Gambar I.1 - DAS di Indonesia menurut KepPres No. 12 Tahun 2012

Lima pulau besar dengan luas > 100.000 km2 memiliki sungai dengan luas DAS
bervariasi mulai dari yang kecil sampai yang besar. Contoh sungai dengan luas
DASnya yang besar di pulau-pulau besar tersebut adalah sebagai berikut :
 Sumatra: S. Singkil, S. Asahan, S. Aek Barumun, S. Rokan, S. Siak, S. Kampar,
S. Inderagiri, S. Batanghari, S. Musi, S. Tulang Bawang, S. Banyuasin, S.
Seputih, S. Mesuji
 Kalimantan: S. Kapuas, S. Kahayan, S. Barito, S. Mahakam, S.Kayan, S.
Sesayap, S. Katingan, S. Berau, S. Mentaya, S. Kotawaringin, S. Seruyan, S.
Pawan, S. Sambas, S. Jelai, S. Sebangan
 Jawa: S. Ciujung, S. Cisadane, S. Citarum, S. Cimanuk, S. Pemali, S. Serayu, S.
S. Progo, S. Serang, S. Bengawan Solo, S. Brantas.
 Sulawesi: S. Bila Walanae, S. Sadang, S. Karama, S. Lariang, S. Larona, S.
Lasolo, S. Bongka, S. Randangan, S. Paguyaman, S. Bolango Bone, S.
Lombagin.
 Papua: Kamundan, S. Sebyar, S. Omba, S. Wapoga Mimika, S. Mamberamo, S.
Tami, S. Apauvar, S. Noordwest, S. Einlanden, S. Digul, S. Bian, S. Kumbe, S.
Maro, S. Mapi, S. Beraur, S. Cemara

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 4


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Lima puluh (50) sungai dengan DAS terluas di Indonesia ditunjukkan dalam Error!
eference source not found..

Tabel 1.1 - 50 sungai terbesar di pulau-pulau (KepPres No. 12 Tahun 2012)


Luas DAS Luas DAS
No. Pulau Nama Sungai No. Pulau Nama Sungai
(km2) (km2)
1 Jawa Bengawan Solo 15.296 26 Papua Kamundan 5.964
2 Jawa Brantas 11.946 27 Papua Maro 5.539
3 Jawa Citarum 6.610 28 Papua Beraur 5.485
4 Kalimantan Kapuas 99.095 29 Papua Omba 5.360
5 Kalimantan Barito 79.082 30 Papua Cemara 5.290
6 Kalimantan Mahakam 76.829 31 Sulawesi Bila Walanae 7.778
7 Kalimantan Kayan 31.751 32 Sulawesi Lariang 7.241
8 Kalimantan Katingan 19.498 33 Sulawesi Konawe Eha 6.487
9 Kalimantan Sesayap 17.349 34 Sulawesi Sadang 6.447
10 Kalimantan Kahayan 16.512 35 Sulawesi Lasolo 5.984
11 Kalimantan Beraur 15.702 36 Sulawesi Larona 5.636
12 Kalimantan Mentaya 15.163 37 Sulawesi Karama 5.503
13 Kalimantan Kotawaringin 13.996 38 Sumatera Musi 54.969
14 Kalimantan Seruyan 13.940 39 Sumatera Batanghari 44.556
15 Kalimantan Pawan 11.539 40 Sumatera Kampar 25.773
16 Kalimantan Sambas 7.945 41 Sumatera Rokan 19.134
17 Kalimantan Jelai 7.686 42 Sumatera Indragiri 18.657
18 Kalimantan Sebangan 5.879 43 Sumatera Aek Barumun 13.414
19 Papua Mamberamo 79.115 44 Sumatera Banyuasin 13.302
20 Papua Einlanden 31.600 45 Sumatera Singkil 12.486
21 Papua Digul 30.618 46 Sumatera Siak 12.080
22 Papua Mapi 12.303 47 Sumatera Tulang Bawang 10.126
23 Papua Noordwest 10.432 48 Sumatera Asahan 8.293
24 Papua Bian 9.619 49 Sumatera Seputih 7.360
25 Papua Sebyar 6.320 50 Sumatera Mesuji 7.302

Bila dibuat rangking dari luas DAS yang paling besar ke yang paling kecil untuk 50
sungai besar dalam Error! Reference source not found. maka hasilnya dalam
entuk diagram ditunjukkan dalam Error! Reference source not found..

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 5


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

100 99

90
79 79 77
80

70

60 55

50 45

40
32 32 31
30 26
19 19 19 17
20 17 16 15 15
14 14 13 13 12 12 12
10

a. Sungai dengan luas DAS rangking 1 sampai 25 (1000 km2)

13
12
12 12

11 10
10
10 10

9 8
8 8 8
8 7 7 7
7 7 6 6 6
6 6 6
6 6 6 6 5 5 5
5
4
3
2
1
0

b. Sungai dengan Luas DAS rangking 26 sampai 50 (1000 km2)


Gambar I.2 - 50 sungai dengan luas DAS terbesar sesuai Tabel 1.1
(KepPres No. 12 Tahun 2012)

Sungai-sungai tersebut pada waktu musim penghujan akan mengalirkan debit yang
besar karena luas DAS yang besar. Terutama pada sungai dengan DAS > 10.000

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 6


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

km2 bilamana terjadi banjir di lokasi bagian hilir umumnya akan terjadi genangan
yang cukup luas dengan waktu genangan cukup lama (berhari-hari, berminggu-
minggu bahkan bisa bulanan). Dengan DAS yang luas proses peningkatan banjir,
erosi dan sedimentasi akan berlangsung gradual tidak instan maka untuk
karakteristik bencana sering disebut bencana merangkak (creeping disaster).

Namun yang perlu diperhatikan dan dipahami adalah bila kondisi sungai sudah
rusak dan kritis maka perbaikan atau peningkatan sungai akan sangat sulit dan
biaya yang dibutuhkan akan sangat mahal. Dengan kata lain apabila ratio Qmax
dan Qmin terlalu besar maka konsekuensinya bencana banjir akan terus terjadi dan
meningkat dari sisi luas, tinggi dan lama genangan. Dua penyebab utama rusaknya
DAS adalah penebangan hutan liar (illegal logging) dan penambangan. Illegal
logging ini disamping akan memperbesar debit puncak (Qmax) dan memperkecil
Qmin sekaligus juga akan meningkatkan erosi di hulu DAS dan sedimentasi di
sungai. Recovery (pemulihan) kondisi sungai akan memakan waktu yang lama dan
bahkan bisa terjadi tak bisa dipulihkan karena telah terjadi perubahan fluvial
geomorfology yang signifikan. Penambangan yang tidak berwawasan lingkungan di
samping akan meningkatkan run-off juga akan menyebabkan erosi DAS dan
sedimentasi sungai yang makin besar. Akibatnya sungai akan menjadi lebih
dangkal.

Sebaliknya sungai dengan luas DAS kecil namun di bagian hulunya mempunyai
kemiringan terjal maka akan terjadi banjir yang cepat (flash flood) dengan daya
rusak yang besar karena kuat arus (stream power) dari sungai-sungai tersebut
sangat besar. Waktunyapun relatif pendek (sesaat/instan).

Konflik ruang antara air dan manusia akibat pertumbuhan penduduk juga
menimbulkan peningkatan banjir yang signifikan. Umumnya yang terjadi adalah
berkurangnya kawasan lindung dan meningkatnya kawasan budidaya.

1.1.2 Kondisi Pulau-Pulau dan Karakter Banjirnya


Kota akan identik dengan pulau di tempat kota itu berada, atau kota juga merupakan
representatif dari pulau tempat kota itu berada dalam skala yang lebih kecil. Dengan

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 7


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

kata lain karakter banjir kota akan identik dengan karakter banjir pulau tempat kota
itu berada. Berdasarkan kejadian Indonesia secara geologis dan keberadaan
gunung api serta sesuai dengan kondisi geologis saat ini maka beberapa karakter
banjir beberapa pulau besar diuraikan berikut ini.

1. Sumatera dan Jawa


Karakter morfologi untuk DAS dan sistem sungai di Sumatra dan Jawa mirip.
Perbedaan mendasarnya adalah luas DAS dan panjang sungainya. Ada bukit
barisan dengan banyak gunung berapi memanjang di Barat Sumatra dan
Selatan Jawa. Perbandingan luas CAT dan Non-CAT juga mirip yaitu:
 Sumatra: Luas CAT dan Non-CAT terhadap total luas Sumatra berturut-turut
adalah 58% dan 42%.
 Jawa: Luas CAT dan Non-CAT terhadap total luas Jawa berturut-turut adalah
61% dan 39%.
 Hampir semua CAT di Sumatra dan Jawa merupakan komponen batuan
produk dari gunung api (yaitu bukit barisan) bersifat aluvial. Dengan demikian
DAS dan sistem sungainya di daerah ini juga bersifat aluvial. Sungai-sungai
yang mengalir bersifat regime flow. Pengertian regime flow adalah sungai
akan terus berubah sampai status seimbang tercapai. Perubahannya antara
lain meliputi: lebar, kedalaman aliran, kemiringan memanjang, gerusan
(scouring) dan pengisian (filling) (Schumm, 2005).
 Di daerah Non-CAT sungai yang mengalir bersifat non-regime flow. Hal ini
berarti kestabilan sungai lebih ditentukan oleh lapisan batuan dasar sungai
bisa bersifat confined atau constrained.
 Bagian Barat Sumatra dan Bagian Selatan Jawa umumnya pantainya
terjungkit karena pengaruh pertemuan lempeng subduksi antara Lempeng
Australia dan Lempeng Eurosia dan gempa sering terjadi.
 Genangan dan banjir yang terjadi bisa berlangsung sebentar sampai lama
tergantung dari luas DAS.
 Perubahan penampang sungai memanjang maupun melintang selain
dipengaruhi oleh dinamika aliran (terutama debit dan kecepatan aliran) juga
oleh kondisi litologi fluvial system (struktur geologi, jenis batuan dan
stratigrafi), faktor sejarah dan faktor kegempaan.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 8


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

2. Kalimantan
Karakter morfologi untuk DAS dan sistem sungai Kalimantan cukup unik karena
luas CAT dan Non-CAT terhadap total luas pulau berturut-turut adalah 34 %
dan 66 % dan juga dari sisi geologi Pulau Kalimantan adalah perisai benua
(craton) (KepPres No. 26 tahun 2011; Pusat Lingkungan Geologi 2007 dan
2009). Pengertian ini berarti umur batuan sudah tua yaitu antara tersier (58 - 2
tahun lalu) atau sebelumnya. Katili (1974) menyebutkan umur batuan di
Kalimantan antara tersier (2 juta tahun lalu) sampai permian (286 juta tahun
yang lalu) (Thompson & Turk, 1989). Dengan umur tersebut maka wilayah
Kalimantan pada bagian tengah tidak mempunyai CAT. Umumnya CAT
dominan terletak di sepanjang pantai Kalimantan. Di Kalimantan hampir tak ada
gunung api dan gempa juga hampir tidak ada.

Sungai di Kalimantan sangat bervariatif. Di bagian tengah umumnya sungai


mempunyai DAS yang sangat besar bahkan salah satu DAS di Kalimantan
adalah DAS dengan luas terbesar di Indonesia yaitu DAS Kapuas mempunyai
luas + 99.981 km2 atau  100.000 km2 (KepPres No. 12 Tahun 2012). Untuk
DAS yang sangat luas lihat Error! Reference source not found.. Sebaliknya
i bagian Selatan Kalimantan luas DAS-DAS cukup bervariasi. Sedangkan di
bagian Timur dan Tenggara luas DAS umumnya kecil.

Genangan dan banjir yang terjadi pada sungai-sungai dengan DAS yang besar
akan berlangsung dalam waktu yang cukup panjang (harian, mingguan bahkan
bisa bulanan).

3. Sulawesi
Gunung berapi di Sulawesi hanya ada beberapa di Sulawesi Utara, diantaranya:
G. Ambang, G. Soputan, G. Sempu, G. Lokon-Empung, G. Mahawu, G. Klabat
dan G. Tongkoko (Google Earth). Daerah Non-CAT sangat dominan yaitu
sebesar 80% dari seluruh Sulawesi sedangkan Daerah CAT hanya 20 % yang
umumnya di daerah pantai.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 9


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Data gempa mulai Tahun 1970 sampai sekarang berdasarkan data dari UGS
menunjukkan Sulawesi sering terjadi gempa dan hanya di Sulawesi Selatan
sedikit gempa yang terjadi. Gempa-gempa ini jelas mempengaruhi kondisi DAS
dan sungai di Sulawesi.

Luas DAS di Sulawesi sangat bervariasi dari yang paling kecil sampai yang
paling besar. Jumlah DAS Sulawesi paling banyak di Indonesia. Morfologi DAS
juga berbeda. Kondisi geologi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tengah, Gorontalo dan Sulawesi dipengaruhi oleh lengkung magma (magmatic
arc) berbeda dengan kondisi geologi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Tenggara dipengaruhi oleh zona subduksi (Katili, 1974). Sungai-sungai dengan
luas DAS yang kecil juga bervariasi sistem alirannya terutama pada waktu
banjir.

Sensitifitas aliran air terutama pada waktu banjir sangat tinggi dengan respon
kecepatannya cukup tinggi sehingga di sungai-sungai dengan DAS yang kecil
namun dengan kemiringan yang curam sering terjadi banjir bandang (flash
flood) dengan stream power yang besar dan dalam tempo yang relatif singkat.
Sering banjir bandang ini diikuti dengan erosi besar di DAS dan juga
sedimentasi yang besar di sistem jaringannya. Namun ada pula sungai dengan
luas DAS yang relatif besar dan bersifat Non-CAT yang bersifat sebaliknya
dibandingkan dengan sungai dengan DAS yang kecil.

4. Papua
Bagian Utara Papua, kondisi geologisnya terbentuk dari zona subduksi. Bagian
tengah Papua, kondisi geologisnya terbentuk dari magmatic arc (sebelah Utara)
dan zona subduksi (sebelah Selatan). Bagian mulai paling Selatan (yaitu
Merauke) lalu ke arah Barat Daya sampai ke Kabupaten Sorong merupakan
puncak benua Australia (Katili, 1974).

Di Pulau Papua sering terjadi gempa kecuali Papua bagian Selatan dan Barat
Daya. Di Bagian tengah ke Utara ada patahan besar yang membelah Papua.
Salah satu contohnya adalah Patahan Sorong yang terletak di Kepala Burung

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 10


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Papua. Daerah Selatan dan Barat Daya Papua merupakan CAT dan luasnya
yang paling besar. Bagian tengah sampai Utara CAT dan Non-CAT silih
berganti.

Salah satu dampak yang dapat dilihat adalah Sungai Mamberamo yang terus
berubah-ubah, terjadi banyak meander di bagian hulu dan bagian tengah
sungai. Perubahan sungai ini ditunjukkan dalam Error! Reference source not
ound..

a. DAS Mamberamo: sungai terus berubah-ubah

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 11


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

b. Detail A Gambar a.

c. Detail B Gambar b.: banyak meander (walau terletak di bagian tengah dan
hulu sungai), banyak bekas2 sungai lama dan oxbow lake

d. Bagian DAS Mamberamo yang sungainya terus berubah-ubah karena


geologinya berupa aluvial muda (umur holosen/kuarter).

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 12


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

e. Data gempa dari Tahun 1970 sampai sekarang, patahan, arah dan gerakan
lempeng. Secara hipotesis merupakan beberapa penyebab perubahan
sungai.
Gambar I.3 - Sungai Mamberamo yang terus berubah-ubah sepanjang
waktu (KepPres No. 12 Tahun 2012 dan Google Earth)

Gempa yang terjadi seperti dalam Error! Reference source not found.d saat
ni dan waktu yang akan datang masih akan terus berlangsung dan terjadi di
seluruh Indonesia karena adanya gerakan lempeng. Konsekuensinya secara
hipotesis gempa-gempa yang terjadi terus menerus merupakan salah satu
faktor utama dinamika serta perubahan sistem sungai yang ada.

5. Provinsi-Provinsi Bali, NTT, NTB, Maluku dan Maluku Utara


Pulau-pulau dalam provinsi-provinsi tersebut mempunyai luas dari yang sangat
kecil (luas di bawah 200 km2), kecil (luas di bawah 2.000 km2) sampai luas di
bawah 20.000 km2. Berdasarkan besaran luas pulau bisa dibuat hipotesis
seperti berikut:
 Untuk pulau-pulau kecil (< 2.000 km2) maka dasar kajian dapat dilihat dari
tipe sungai yaitu berdasarkan kondisi hidrologi dan kondisi unstable dari sisi
erosi dan sedimentasi. Dasar kajian bisa lebih didetailkan lagi yaitu:

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 13


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

- Pulau-pulau CAT dan pulau-pulau Non-CAT.


- Kondisi topografi: untuk kemiringan curam umumnya terjadi banjir dengan
tipe cepat dan sebentar (flash flood). Dalam kondisi ini juga terjadi erosi
dan sedimentasi yang besar maka disamping flash flood juga dapat terjadi
banjir bandang dengan angkutan sedimen yang sangat besar. Pada
kondisi ini stream power akan menjadi sangat besar karena massa aliran
air bercampur sedimen jauh lebih besar dibandingkan dengan mass aliran
air saja.
- Kondisi regolith (selimut batuan). Kondisi regolith lebih dominan sebagai
variabel kajian dibandingkan dengan litologi (batuan) ataupun kondisi
akibat dari kejadian secara geologis (sejarah)
 Untuk pulau-pulau dengan luas > 2.000 km2 namun < 20.000 km2 maka untuk
kajian fluvial system, faktor-faktor hidrologi, sejarah, litologi, CAT dan Non-
CAT mempunyai tingkat besaran analisis (order of magnitude analysis) yang
seimbang.

Dari uraian tersebut beberapa kesimpulan dapat dibuat, meliputi:


 Kajian fluvial system untuk DAS di pulau-pulau besar tidak sama dan tidak
bisa diseragamkan.
 Morfologi sungai tidak hanya tergantung dari DAS dan jaringan sungainya
namun juga kondisi geologi baik DAS dan jaringan sungainya.
 Karakter CAT dan Non-CAT mempunyai pengaruh yang besar terhadap
debit sungai karena daerah CAT mempunyai base flow sedangkan Non-CAT
tidak.

1.2 Perubahan Paradigma


Persoalan banjir menjadi masalah baik secara nasional maupun internasional.
Bencana banjir merupakan bencana terbesar dari sudut kerugian yang
ditimbulkannya dibandingkan dengan bencana-bencana lainnya. Banjir sebenarnya
dapat dikendalikan dan dimanajemen dengan upaya-upaya rekayasa di bidang
teknik sehingga dapat diminimalisir kerugiannya baik di masa sekarang maupun
masa yang akan datang. Dengan perubahan paradigma “Pengendalian Banjir
Menuju Manajemen Banjir”, dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 14


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

banjir dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk pengendaliannya, dan proses
menuju manajemen banjir secara terpadu.

1.2.1 Pengendalian Banjir


Definisi dari pengendalian banjir adalah upaya fisik atau struktur di sungai (on
stream) untuk mengatasi masalah banjir yang didasarkan pada debit banjir rencana
tertentu, (Siswoko, 2007). Debit/aliran air di sungai selalu berubah dan tidak
konstan, oleh karena itu besarnya debit di sungai selain dinyatakan berdasarkan
volume air yang mengalir per satuan waktu (m3/dt) juga dinyatakan menurut periode
ulangnya. Pengendalian banjir mengacu pada semua metode yang digunakan
untuk mengurangi atau mencegah efek merugikan dari air banjir.

Pada hakekatnya pengendalian banjir merupakan suatu yang kompleks. Dimensi


rekayasanya (engineering) melibatkan banyak disiplin ilmu teknik antara lain:
hidrologi, hidraulika, erosi DAS, teknik sungai, morfologi & sedimentasi sungai,
rekayasa sistem pengendalian banjir, sistem drainase kota, bangunan air dll. Di
samping itu suksesnya program pengendalian banjir juga tergantung dari aspek
lainnya yang menyangkut sosial, ekonomi, lingkungan, institusi, kelembagaan,
hukum dan lainnya. Politik juga merupakan aspek yang penting, bahkan kadang
menjadi paling penting. Dukungan politik yang kuat dari berbagai instansi baik
eksekutif (Pemerintah), legislatif (DPR/DPRD) dan yudikatif akan sangat
bepengaruh kepada solusi banjir kota.

Pada dasarnya kegiatan pengendalian banjir adalah suatu kegiatan yang meliputi
aktifitas sebagai berikut:
 Mengenali besarnya debit banjir.
 Mengisolasi daerah genangan banjir.
 Mengurangi tinggi elevasi air banjir.

Pengendalian banjir pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun
yang penting adalah dipertimbangkan secara keseluruhan dan dicari sistem yang
paling optimal.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 15


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Kegiatan pengendalian banjir menurut lokasi/daerah pengendaliannya dapat


dikelompokkan menjadi dua:
 Bagian hulu : yaitu dengan membangun dam pengendali banjir yang dapat
memperlambat waktu tiba banjir dan menurunkan besarnya debit banjir,
pembuatan waduk lapangan yang dapat merubah pola hidrograf banjir dan
penghijauan di Daerah Aliran Sungai.
 Bagian hilir : yaitu dengan melakukan perbaikan alur sungai dan tanggul, sudetan
pada alur yang kritis, pembuatan alur pengendali banjir atau flood way,
pemanfaatan daerah genangan untuk retarding basin dsb.

Sedangkan menurut teknis penanganan pengendalian banjir dapat dibedakan


menjadi dua yaitu:
 Pengendalian banjir secara teknis (metode struktur).
 Pengendalian banjir secara non teknis (metode non-struktur).

1.2.2 Manajemen Banjir


Dari beberapa kamus manajemen didefinisikan sebagai suatu aktifitas, seni, cara,
gaya, pengorganisasian, kepemimpinan, pengendalian, dalam mengelola dan
mengendalikan kegiatan (New Webster Dictionary, 1997; Echols dan Shadily, 1988;
Webster’s New World Dictionary, 1983; Collins Cobuild, 1988). Aktifitas dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, operasi dan pemeliharaan serta evaluasi
dan monitoring. Termasuk di dalamnya, pengorganisasian, kepemimpinan,
pengendalian, pengawasan, penganggaran dan keuangan. Oleh karena itu
manajemen dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain: dapat berupa ilmu
pengetahuan, berupa profesi atau keahlian, berupa sistem, pengaturan, proses,
metode, seni, sekelompok orang atau beberapa grup dengan tujuan tertentu.

Di sini untuk manajemen ada unsur-unsur perencanaan, pelaksanaan, pemantauan


dan evaluasi. Dalam teknik sipil ada singkatan yang cukup dikenal yaitu SIDCOM
yang merupakan kepanjangan kata-kata dalam Bahasa Inggris: survey,
investigation (investigasi), design (desain/perencanaan), construction (konstruksi),
operation (operasi) dan maintenance (pemeliharaan).

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 16


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Dari uraian tersebut cukup sulit untuk mendefinisikan manajemen dengan benar.
Namun berikut ini dicoba dirangkum pengertian manajemen dari berbagai sumber
tersebut seperti ditunjukkan dalam ilustrasi Gambar I.4.

Gambar I.4 - Pengertian dan definisi manajemen (Kodoatie & Sjarief, 2010)

1.2.3 Pengendalian Banjir ke Manajemen Banjir


Pada masa lalu metode struktur lebih diutamakan dibandingkan dengan metode
non-struktur. Namun saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian
banjir dengan lebih dulu mengutamakan metode non-struktur baru kemudian
metode struktur.

Dengan kondisi tata guna lahan yang sudah padat (adanya bangunan untuk
pemukiman, industri dll.) menyebabkan kenaikan run-off yang signifikan dan
pengurangan resapan air. Upaya perbaikan sungai dengan pelebaran akan

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 17


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

memberikan pengaruh maksimal dua kali lipat saja, itupun bila proses pelebaran
ataupun pengerukan sebesar dua kali lipatnya bisa berjalan lancar. Perlu
diperhatikan bahwa pelebaran sungai/drainase harus dipertahankan sampai ke
lokasi sungai paling hilir (di muara) artinya kajian morfologi sungai perlu dilakukan
secara menyeluruh.

Bilamana dilakukan pelebaran namun pada lokasi tertentu di bagian hilir tidak dapat
dilebarkan maka akan terjadi penyempitan alur sungai (bottleneck). Hal ini akan
menyebabkan daerah hulu yang sudah dilebarkan akan kembali ke posisi lebar
semua.

Di samping itu setelah dilebarkan potensi kembali ke lebar sungai semula cukup
besar akibat sedimentasi dan morfologi sungai yang belum stabil, demikian pula
kedalaman sungai yang dikeruk menjadi dua kali akan kembali ke kedalaman
semula akibat besarnya sedimentasi.

Oleh karena itu metode non-struktur harus dikedepankan lebih dahulu karena
pengaruh perubahan tata guna lahan mengkontribusi debit puncak di sungai
mencapai 5 sampai 35 kali debit semula. Metode struktur yang hanya memberikan
penurunan/reduksi debit jauh lebih kecil dibandingkan peningkatan debit akibat
perubahan tata guna lahan atau degradasi lingkungan. Istilah populer yang dipakai
adalah flood control toward flood management (Hadimuljono, 2005). Flood
management berarti melakukan tindakan manajemen yang menyeluruh yaitu
gabungan antara metode non-struktur dan metode struktur. Flood control lebih
dominan pada pembangunan fisik (atau dikenal dengan metode struktur). Hal ini
sebenarnya wajar apabila sebelumnya telah dilakukan kajian manajemen banjir
secara menyeluruh dengan salah satu rekomendasi adalah melakukan flood
control. Untuk lebih jelasnya metode tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.2. Apabila
perubahan tata guna lahan sudah bisa dipastikan sampai ke masa yang akan
datang, maka dapat diketahui debit rencana yang pasti melalui sungai tersebut.
Bilamana hal ini terjadi maka perbaikan sungai dengan metode struktur dapat
dilakukan.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 18


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Kementrian PU membuat suatu ketentuan kebijakan tentang debit sungai akibat


dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai tersebut yaitu dengan
menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan/diubah fungsi lahannya dengan zero
delta Q policy atau Q=0 (Lee, 2002; Kemur, 2004; Hadimuljono, 2005). Arti
kebijakan ini adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka debit sebelum dan
sesudah lahan berubah harus tetap sama. Misalnya, suatu lahan hutan diubah
menjadi pemukiman maka debit yang di suatu titik sungai harus tetap sama. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara kompensasi yaitu pada lahan pemukiman harus
disisakan lahan untuk penahan run-off akibat perubahan misal dengan cara
pembuatan sumur resapan, penanaman rumput atau semak-semak (tanaman)
yang lebat dan rendah, pembuatan embung, pembuatan tanggul-tanggul kecil
dalam sistem drainase dll.

Umumnya untuk mengurangi banjir atau genangan yang terjadi dilakukan perbaikan
penampang sungai (sering disebut dengan istilah normalisasi walaupun istilah ini
kurang tepat). Perbaikan sungai yang dilakukan umumnya dengan melebarkan
sungai atau memperdalam (pengerukan) sungai. Sesungguhnya istilah normalisasi
kurang tepat, karena sebenarnya sungai (alami) sudah normal lalu mengapa harus
dinormalkan. Secara alami sungai hampir selalu merubah kondisi fisiknya sesuai
dengan perubahan yang terjadi di sungai. Sebagai contoh perubahan debit sungai
akan diikuti dengan perubahan morfologi sungai. Pengertian ini lebih dominan
meluruskan sungai, melebarkan atau memperdalam penampang, agar aliran air
lebih cepat dan kapasitas sungai menampung air lebih besar.

Tabel 1.2 - Dari flood control menuju flood management


Skala
Metode
Prioritas
I Metode Non-Struktur
- Manajemen DAS -Penanganan kondisi darurat
- Pengaturan tata guna lahan -Peramalan banjir
- Pengendalian erosi -Peringatan bahaya banjir
- Pengembangan daerah banjir-Asuransi
- Pengaturan daerah banjir-Law Enforcement
II Metode Struktur: Bangunan Pengendali Banjir
- Bendungan (dam)
- Kolam Retensi
- Pembuatan check dam (penangkap sedimen)

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 19


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

- Bangunan pengurang kemiringan sungai


- Groundsill
- Retarding Basin
- Pembuatan Polder
III Metode Struktur: Perbaikan & Pengaturan Sistem Sungai
- Perbaikan sistem jaringan sungai
- Pelebaran atau pengerukan sungai (river improvement)
- Perlindungan tanggul
- Pembangunan tanggul banjir
- Sudetan (by-pass)
- Floodway

1.3 Kerugian Banjir


1.3.1 Umum
Daerah dataran merupakan suatu daerah yang mempunyai peranan penting dan
telah lama dikembangkan sesuai dengan peradaban dan kehidupan suatu bangsa.
Segala aktivitas manusia di daerah dataran tersebut untuk memenuhi kebutuhan
dan kemakmuran, terutama dikembangkan di bidang transportasi, kegiatan di
bidang industri, pemanfaatan sumber daya air, dan sebagainya. Hal itu seperti yang
telah lama dikembangkan di daerah dataran Sungai Brantas Pulau Jawa, Sungai
Huangho Cina dan sebagainya di seluruh dunia.

Selaras dengan perkembangan daerah tersebut, juga diimbangi dengan potensi


kerugian akibat banjir yang terus meningkat dan hal ini telah lama diidentifikasikan
atau dikenali serta merupakan pengalaman yang berharga. Sedangkan secara
umum permasalahan yang timbul merupakan kombinasi permasalahan phisik dan
sosial. Sejalan dengan permasalahan dan kerugian akibat banjir tersebut, telah
banyak dikeluarkan dana untuk pengendalian banjir. Namun dana pengendalian
banjir yang dikeluarkan dan kerugian akibat banjir tahunan, secara perlahan selalu
meningkat terus, sesuai dengan perkembangan aktivitas manusia di dataran banjir
dan populasi jumlah penduduk. Pengendalian banjir pada kenyataannya tak dapat
melindungi dengan sempurna, akibat potensi permasalahan dan kerugian yang
timbul meningkat dan berkembang terus. Dengan demikian potensi permasalahan
dan kerugian akibat banjir terus akan merupakan permasalahan yang selalu akan
mengancam di daerah dataran banjir, selama manusia menempati dan
melaksanakan kegiatan di daerah tersebut.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 20


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Kerugian akibat banjir pada umumnya relatif dan sulit diidentifikasi secara jelas,
dimana terdiri dari kerugian banjir akibat banjir langsung dan tak langsung. Kerugian
akibat banjir langsung, merupakan kerugian phisik akibat banjir yang terjadi, berupa
robohnya gedung sekolah, industri, rusaknya sarana transportasi dan sebagainya.
Sedangkan kerugian akibat banjir tak langsung berupa kerugian kesulitan yang
timbul secara tak langsung yang diakibatkan oleh banjir, seperti komunikasi,
pendidikan, kesehatan, kegiatan bisnis terganggu dan sebagainya. Analisis
kerugian, potensi maupun alokasi dana untuk pengendalian banjir diperlukan
kehati-hatian dan peninjauan secara keseluruhan. Banjir adalah suatu bencana
yang merugikan baik harta maupun jiwa. Raden Saleh melukiskannya dengan elok
seperti ditunjukkan dalam gambar berikut ini.

Gambar I.5 - Gambar banjir di Jawa yang dilukis oleh Raden Saleh
(Sumber: http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:
A_Flood_on_Java_1865-1876_Raden_Saleh.jpg&filetimestamp
=20090905034439)

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 21


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Tabel berikut menunjukkan banjir hebat yang menyebabkan kematian 100 ribu
jiwa atau lebih.

Tabel 1.3 - Bencana banjir dengan kerugian jiwa 100 ribu atau lebih
(http://en.wikipedia.org/wiki/Flood)

No. Kejadian Kematian Negara Tahun

1 Banjir Cina 1931 2,5 - 3,7 juta Cina 1931


2 Banjir Sungai Kuning (Huang He) 1887 900 ribu - 2 juta China 1887
3 Banjir Sungai Kuning (Huang He) 1938 500 - 700 ribu China 1938
Kegagalan Bendungan Banqiao akibat
Taifun Nina. Sekitar 86.000 tewas
4 231.000 Cina 1975
karena banjir dan 145.000 lainnya
karena penyakit akibat banjir.
5 Tsunami Samudra Hindia 230.000 Indonesia 2004
6 Banjir Sungai Yangtze 1935 145.000 Cina 1935
7 Banjir St. Felix, banjir badai 100.000+ Belanda 1530
Vietnam
8 Banjir Hanoi dan Delta Sungai Merah 100.000 1971
Utara

9 Banjir Sungai Yangtze 1911 100.000 Cina 1911

1.3.2 Perhitungan Ekonomi Banjir


Perhitungan kerugian banjir adalah kompleks dan sulit. Kerugian yang akan timbul
pada prinsipnya merupakan keuntungan atau manfaat (benefit) dari suatu proyek
pengendalian banjir bila dilaksanakan. Termasuk perhitungan ekonomi banjir
adalah keuntungan yang diperoleh setelah pengendalian banjir dilakukan. Kerugian
akibat banjir dapat dibagi menjadi 4, yaitu (Le Groupe AFH International, 1994;
Kodoatie, 1995):
 Kerusakan fisik yang langsung (direct physical lost)
 Kerugian tidak langsung (indirect lost)
 Kerugian tidak nyata (intangible lost)
 Keuntungan perluasan dan pengembangan tanah di masa dating

1. Kerusakan fisik yang langsung (direct physical lost)


Kerusakan fisik langsung akibat banjir yang terjadi di kota antara lain adalah
kerusakan yang terjadi diantaranya pada:

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 22


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

 Pemukiman (perdesaan/kampung dan perkotaan)


 Tempat pendidikan
 Tempat ibadah
 Rumah sakit
 Tempat wisata
 Tempat hiburan
 Rumah makan
 Perdagangan dan industri
 Taman
 Tanaman beririgasi maupun tanaman palawija
 Ternak dan kolam ikan atau tambak
 Struktur yang berhubungan dengan air seperti jembatan, gorong-gorong
 Alat transportasi, misal: mobil, kendaraan roda dua
 Alat di dalam rumah tangga, misal: tv, furniture, kursi, tempat tidur, meja
 Alat di dalam tempat-tempat yang lain, misal untuk tempat pendidikan: rak
buku, bangku sekolah
 Infrastruktur: seperti jalan, rel kereta api, listrik, bandara, terminal, pasar,
persampahan dan sanitasi, telekomunikasi, jaringan air bersih, jaringan
drainase dan jaringan pengendalian banjir

Tiap-tiap kerusakan fisik dapat diperkirakan dengan menggunakan hubungan


antara frekuensi - tinggi muka air - unit luas dan perkiraan kerusakan unit tempat
spesifik. Salah satu perhitungan jenis kerusakan banjir dapat dipakai contoh
berikut:
Kerusakan alat, misal tv = (unit harga) x (jumlah unit)
Rumah = (unit harga) x (tinggi genangan) x (jumlah unit)
Sawah = (unit harga) x (tinggi) x (jumlah hektar)
Perlu dicatat bahwa dengan data detail (misal survey langsung di daerah
bencana) kerusakan bisa dicari lebih akurat.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 23


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

2. Kerugian tidak langsung (indirect lost)


Penentuan ini lebih bersifat kualitatif karena setiap daerah yang terkena
banjir/genangan mempunyai karakteristik yang berbeda. Kerugian/kehilangan
tidak langsung terdiri antara lain gangguan lalu lintas (kemacetan), kehilangan
akibat gangguan pada produktivitas industri, kehilangan yang berasal dari
gangguan banjir dan genangan untuk kegiatan pelayanan, biaya operasi
mendadak, dan lain-lain. Karena waktu yang dibutuhkan untuk menganalisis
secara rinci kerugian langsung terlalu makan waktu, maka untuk studi banjir dan
genangan biaya-biaya ini akan diambil sebagai prosentasi tetap dari Kerugian
Fisik Langsung. Sebagai salah satu cara analisis yang dapat dipakai adalah
penelitian dari James & Lee (1971) yang menunjukkan nilai-nilai pengali untuk
kerugian tidak langsung kurang lebih adalah sebagai berikut:
 Pemukiman : 0,15
 Pertanian : 0,10
 Komersial : 0,37
 Industri : 0,45
 Bangunan Umum : 0,34
 Jalan raya : 0,25
 Jalan kereta api : 0,23

Angka-angka di atas masih dimungkinkan perubahannya karena karakteristik


daerah yang berbeda-beda. Untuk menentukan besarnya kerugian di suatu
daerah bencana penelitian kerusakan dengan data primer di daerah tersebut
direkomendasikan untuk dipakai. Dengan kata lain, bilamana suatu lokasi
sudah ada penelitian secara detail tentang kerugian akibat banjir maka dapat
dipakai angka-angka hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan angka-
angka tersebut.

3. Kerugian tidak nyata (intangible lost)


Kerugian ini antara lain terdiri dari kehilangan nyawa, kehilangan produktivitas,
kehilangan kualitas kehidupan yang diakibatkan langsung oleh adanya
stres/gelisah/sakit yang meningkat dari situasi yang ada atau situasi banjir dan
genangan potensial. Menurut studi awal dari Penning-Rowsell dkk., faktor 50%

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 24


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

dapat digunakan. Perkiraan berdasarkan pengalaman pada daerah yang dikaji


lebih direkomendasikan untuk penentuan faktor kerugian tidak nyata.

4. Keuntungan perluasan dan pengembangan tanah di masa datang


Hal ini merupakan keuntungan nasional potensial yang nyata diperoleh dari
perluasan dan pengembangan tanah di masa mendatang. Keuntungan ini
berhubungan dengan pertambahan penduduk yang dapat didukung pada suatu
daerah. Meskipun hal ini tidak cocok untuk daerah jarang penduduk, namun
untuk daerah padat penduduk di kota besar di Jawa adalah logis. Salah satu
cara perhitungan keuntungan nasional potensial yang nyata diperoleh dari
perluasan dan pengembangan tanah di masa mendatang adalah sebagai
berikut.
 Pertumbuhan GDP Nyata Tahunan = 5%
 Pertumbuhan populasi = 2%
 Pertumbuhan pendapatan per-kapita tahunan = 1%
 Intensifikasi = 2%
 Ektensifikasi (sisa) = 1%

Pendekatan di atas menunjukkan bahwa penduduk yang terkena dampak di


daerah rawan banjir adalah 1% dari pertumbuhan pendapatan nyata di masa
datang yang dapat ditemukan pada komponen pertumbuhan ekstensifikasi
sumber. Ukuran relatif dari potensi keuntungan potensial dari pengendalian
banjir per-kapita adalah sebagai berikut (menggunakan angka dari contoh di
atas).

Jumlah pendapatan per-kapita/tahun = Rp. 6.000.000,- /tahun


Keuntungan rata-rata tahunan/kapita = 1% x Rp.6 juta/tahun = Rp. 60.000,-
Keuntungan rata2/kapita/thn =  150 % x Rp.60.000,-
= Rp. 90.000/tahun
Penduduk yang terkena dampak = fungsi probabilitas banjir & daerah
genangan

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 25


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Suatu perkiraan sebesar Rp. 90.000/kapita adalah potensi keuntungan


representative nyata dalam tahun pertama setelah rencana pengendalian banjir
dilaksanakan. Tetapi karena nilai ini akan meningkat/tumbuh secara
eksponensial (compound annualy) harga rata-rata diperkirakan 1,5 x harga
dasar yang dipergunakan.

Catatan dalam kajian ini: pendapatan per kapita/tahun perlu disesuaikan


dengan waktu dan kondisi saat ini.

5. Keuntungan Gabungan
Merupakan jumlah dari 1. sampai 4. Keuntungan gabungan ini dapat disebutkan
sebagai manfaat adanya pengendalian banjir yang dilakukan. Manfaat ini dapat
dihitung berdasarkan nilai tahunan atau nilai sekarang (present value).

Perlu dicatat bahwa apabila proyek yang dilakukan hanya khusus untuk
pengendalian banjir maka keuntungan gabungan merupakan jumlah 1) dan 4)
seperti yang telah disebutkan. Namun bilamana di samping untuk pengendalian
banjir maka dimungkinkan proyek dipakai untuk manfaat lain. Misal untuk
pengendalian banjir perlu dibangun sebuah waduk maka ada manfaat lain yang
didapat seperti pariwisata, air minum, air irigasi, PLTA dll.

Dalam kasus tersebut maka manfaatnya menjadi meningkat (multi effect)


sehingga proyek dapat disebutkan proyek serba-guna (multi purpose project).

1.3.3 Contoh Perhitungan Ekonomi Banjir


Suatu daerah yang mengalami banjir rutin setiap tahun akan dilakukan proyek
pengendalian banjir. Sebagai ilustrasi diberikan suatu lokasi pemukiman yang
merepresentasi daerah yang mengalami banjir tersebut dan ditunjukkan dalam
Error! Reference source not found.

Untuk analisis, ilustrasi dalam Error! Reference source not found. bukan sebagai
okasi dasar perhitungan namun hanya contoh atau gambaran penggalan sungai
yang akan diperbaiki dan salah satu bagian dari daerah yang akan dilindungi.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 26


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Dengan kata lain hasil analisis hanya merupakan contoh bagaimana perhitungan
ekonomi banjir dibuat. Hasil analisis adalah sebagai berikut (Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik UNDIP, 2000):
 Kajian hidrologi dan hidrolika menyebutkan debit banjir rencana adalah debit
dengan periode ulang Q5.
 River improvement dilakukan dengan pelebaran dan pengerukan sungai.

Gambar I.6 - Ilustrasi suatu daerah untuk perhitungan ekonomi banjir

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 27


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Hasil analisis ekonomi dibagi dalam 3 bagian, yaitu:


 Perhitungan biaya.
 Perhitungan manfaat.
 Perhitungan ekonomi rekayasa.

1. Perhitungan biaya
Biaya yang diperlukan ditunjukkan dalam Error! Reference source not found.
Tabel 1.4 - Uraian biaya river improvement

No. Uraian Biaya Rp. Milyard


1 Biaya river improvement (Biaya Langsung) Rp. 8,18
- Biaya pelebaran
- Biaya pengerukan
- Biaya perbaikan sungai
2 Contigencies 5% * Biaya Langsung 1,23
3 Biaya Teknik (Desain + supervisi) 10% 0,82
4 Biaya Modal/Investasi (1 + 2 + 3 +) 10,22

2. Perhitungan manfaat
Hasil pengumpulan data dan kompilasi ditunjukkan dalam Error! Reference
ource not found.
Tabel 1.5 - Pengumpulan data dan kompilasi data
No. Uraian Jumlah Dimensi
1 Luas wilayah tergenang: 1800 * 1200 = 2.160.000 m2
2 Luas terbangun 80 % luas wilayah tergenang = 1.728.000 m2
Penduduk: Kelurahan A = 5639, Kel. B =5481 dan Kel. C =14382
3 25.502 orang
→ Total penduduk =
4 Jumlah KK A =1168, KK B= 1368 dan KK C = 2742, total = 5.278 KK
5 Penduduk yang tergenang 50% dari total = 12.751 orang
Total Kepala Keluarga (KK) yang tergenang dengan asusmsi 1
6 2.639 KK
KK = 5 orang:
7 Ceking: tiap KK berisi = jumlah penduduk dibagi jumlah kk  4,83 orang

Perhitungan manfaat identik dengan kerugian banjir yang ditimbulkan dengan


debit banjir rencana bila tidak dilakukan sesuatu. Kerugiannya meliputi:
a. Kerusakan fisik langsung
b. Kerugian nilai komersil tidak langsung

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 28


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

c. Kerugian tidak nyata non pasar


d. Keuntungan perluasan dan pengembangan tanah di masa datang
Detailnya ditunjukkan dalam Error! Reference source not found.
Tabel 1.6 - Perhitungan kerugian dan keuntungan ekonomi banjir
1 Kerusakan fisik langsung
Untuk Pereiode Ulang 5 tahun (probabilitas 20%)
- Tinggi genangan bervariasi antara 0,20-0,60 m diambil rata2 0,4 m
- Pemukiman: Jumlah KK = 2.639 = 2.639 rumah
- Besar kerusakan tiap rumah Rp 2 juta per 1 m = Rp 0,8 juta per 0,4 m
genangan genangan
- Total kerusakan di daerah pemukiman 2.111 juta rupiah
- Lain-lain 25 % dari total 528 juta rupiah
Total kerusakan fisik langsung 2.639 juta rupiah
2 Kerugian nilai komersil tidak langsung
- Permukiman 15% 396 juta rupiah
- Komersil 10% 264 juta rupiah
- Bangunan Umum 34% 897 juta rupiah
- Jalan Raya 25% 660 juta rupiah
- Jalan Kereta api 23% 607 juta rupiah
- Bandara 0%
Total kerugian nilai komersil tidak langsung 2.824 juta rupiah
3 Kerugian tidak nyata non pasar
Tingkat pendapatan per kapita 1,5 juta rupiah
Probabilitas 20% tinggi genangan 0,40 m
Populasi yang terkena dampak (tiap KK 2 orang yang bekerja) 5.278
Total kerugian tidak nyata non pasar 633 juta rupiah
4 Keuntungan perluasan dan pengembangan tanah di masa datang
Pendapatan perkapita 1,5 juta rupiah
Populasi yang terkena dampak 2.639 KK
Keuntungan rata-rata perkapita 5%
Keuntungan rata-rata 1,50
Keuntungan perluasan dan pengemb tanah di 297 juta rupiah
masa datang
Keuntungan gabungan (1+2+3+4) atau kerugian
5 yang bisa dihindari 6.393 juta rupiah

3. Perhitungan ekonomi rekayasa


Perhitungan ekonomi rekayasa umumnya merupakan analisis manfaat dan
biaya atau benefit cost analysis. Menurut Kuiper (1989 dan 1971), ada tiga
parameter yang sering dipakai dalam analisis manfaat dan biaya, yaitu :
 Perbandingan Manfaat dan Biaya (Benept/Cost atau B/C)
 Selisih Manfaat dan Biaya (Net Benefit) atau (B - C)

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 29


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

 Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate of Return/IRR) yaitu tingkat


suku bunga internal yang membuat manfaat dan biaya mempunyai nilai yang
sama atau B - C = 0 atau tingkat suku bunga yang membuat B/C = 1. Tingkat
suku bunga ini bukan tingkat suku bunga yang berlaku.

Dengan demikian suatu proyek dikatakan menguntungkan bila mana syarat


kondisi tiga parameter tersebut adalah:
 B/C > 1
 B – C > 0 atau positif
 IRR (%) lebih besar dengan tingkat suku bunga yang berlaku

Untuk contoh soal pengendalian banjir di atas hasil perhitungan ketiga


parameter tersebut ditunjukkan dalam Error! Reference source not found.
Tabel 1.7 - Hasil analisis manfaat dan biaya: B/C, B - C dan IRR
No. Uraian Hasil Satuan
1 Parameter dan data hasil analisis:
a Periode ulang adalah lima tahun (n) 5 n
b Tingkat suku bunga komersil i 15 %
c Biaya/Cost (present value) 10,22 milyard rupiah
d Operasi & Pemeliharaan 2,5 % 0, 26 milyard rupiah
e Manfaat/Benefit tahunan 6,39 milyard rupiah
2 Manfaat/benefit (present value) 21,43 milyard rupiah
3 Net Present Value (NPV) → B – C 11,21 milyard rupiah
4 Besarnya Benefit Cost Ratio B/C 2,1
5 Internal Rate of Return (IRR) 56 %

Berdasarkan Error! Reference source not found.7 dapat disimpulkan bahwa


royek pengendalian banjir tersebut menguntungkan dan layak secara ekonomi.

1.4 Land Use Management


1.4.1 Sempadan Sungai dan Danau
Garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang
ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai. Sedangkan sempadan danau
adalah luasan lahan yang mengelilingi dan berjarak tertentu dari tepi badan danau
yang berfungsi sebagai kawasan pelindung danau.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 30


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Berdasarkan Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2015, penetapan garis


sempadan sungai dan garis sempadan danau dimaksudkan sebagai upaya agar
kegiatan perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumber daya yang ada
pada sungai dan danau dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Penetapan
garis sempadan sungai dan garis sempadan danau bertujuan agar:
a. fungsi sungai dan danau tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di
sekitarnya;
b. kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang
ada di sungai dan danau dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus
menjaga kelestarian fungsi sungai dan danau; dan
c. daya rusak air sungai dan danau terhadap lingkungannya dapat dibatasi.

1. Penetapan Garis Sempadan Sungai


Sempadan sungai meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara garis
sempadan dan tepi palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau di antara
garis sempadan dan tepi luar kaki tanggul untuk sungai bertanggul. Garis
sempadan sungai ditentukan pada:
a. Sungai Tidak Bertanggul Di Dalam Kawasan Perkotaan
Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan,
ditentukan:
1) paling sedikit berjarak 10 (sepuluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari
atau sama dengan 3 (tiga) meter;
2) paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih
dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter; dan
3) paling sedikit berjarak 30 (tiga puluh) meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih
dari 20 (dua puluh) meter.
b. Sungai Tidak Bertanggul Di Luar Kawasan Perkotaan
Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud
dalam, terdiri atas:

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 31


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

1) sungai besar dengan luas daerah aliran sungai lebih besar dari 500 (lima
ratus) Km2; dan
2) sungai kecil dengan luas daerah aliran sungai kurang dari atau sama
dengan 500 (lima ratus) Km2
Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan,
ditentukan paling sedikit berjarak 100 (seratus) meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai. Garis sempadan sungai kecil tidak
bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditentukan paling sedikit 50 (lima
puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
c. Sungai Bertanggul Di Dalam Kawasan Perkotaan
Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditentukan
paling sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur
sungai.
d. Sungai Bertanggul Di Luar Kawasan Perkotaan
Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditentukan
paling sedikit berjarak 5 (lima) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang
alur sungai.
e. Sungai Yang Terpengaruh Pasang Air Laut
Penentuan garis sempadan sungai yang terpengaruh pasang air laut,
dilakukan dengan cara yang sama dengan penentuan garis sempadan
sungai yang telah dijelaskan sebelumnya yang diukur dari tepi muka air
pasang rata-rata.
f. Mata Air
Garis sempadan mata air, ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit
berjarak 200 (dua ratus) meter dari pusat mata air.

Penetapan garis sempadan sungai dilakukan oleh:


a. Menteri, untuk sungai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai
lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
b. Gubernur, untuk sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
c. Bupati/Walikota, untuk sungai pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 32


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Penetapan garis sempadan sungai dilakukan berdasarkan kajian penetapan


sempadan sungai. Dalam penetapan garis sempadan sungai harus
dipertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai, kondisi sosial budaya
masyarakat setempat, serta memperhatikan jalan akses bagi peralatan, bahan,
dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan operasi dan
pemeliharaan sungai.

2. Penetapan Garis Sempadan Danau


Garis sempadan danau ditentukan mengelilingi danau paling sedikit berjarak 50
(lima puluh) meter dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi. Muka air
tertinggi yang pernah terjadi menjadi batas badan danau. Badan danau
merupakan ruang yang berfungsi sebagai wadah air.

Penetapan garis sempadan danau dilakukan oleh:


a. Menteri, untuk danau yang berada pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
b. Gubernur, danau yang berada pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
dan
c. Bupati/Walikota, danau yang berada pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota.

Penetapan garis sempadan danau dilakukan berdasarkan kajian penetapan


sempadan danau. Kajian dilakukan berdasarkan pola pengelolaan sumber daya
air dan harus mempertimbangkan karakterisktik danau, kondisi sosial budaya
masyarakat setempat, dan kegiatan operasi dan pemeliharaan danau.

1.4.2 Daerah Aliran Sungai


Konsep daerah aliran sungai atau yang sering disingkat dengan DAS merupakan
dasar dari semua perencanaan hidrologi. Mengingat DAS yang besar pada
dasarnya tersusun dari DAS-DAS kecil, dan DAS kecil ini juga tersusun dari DAS-
DAS yang lebih kecil lagi. Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu
wilayah, yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung,
maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 33


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). Menurut kamus
Webster, DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang
menerima hujan, menampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan
seterusnya ke danau atau ke laut. Apapun definisi yang kita anut, DAS merupakan
suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara
faktor-faktor biotik, nonbiotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap
ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di
dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut.
Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan
keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang
berupa vegetasi, tanah dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai
prosessor.

Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi


perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan
ekosistem, misalnya perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, dapat
memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan fluktuasi debit air dan
kandungan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara
masukan dan keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menganalisis dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS
terhadap lingkungan, khususnya hidrologi.

Nilai tingkat kualitas suatu DAS atau sub-DAS, dapat diukur dari dua parameter
yang secara teoritis dan praktis dapat dianalisa untuk digunakan. Parameter
tersebut adalah tingkat erosi yang alami, dalam hal ini sedimen, dan fluktuasi debit
sungai yang mengalir dalam beberapa kondisi curah hujan yang berbeda.

Kedua parameter tersebut di atas, merupakan gambaran dari ekosistem dan


karakteristik suatu DAS. Ekosistem dalam hal ini adalah suatu interaksi antara
faktor- faktor sumber daya biotik, nonbiotik, dan sumber daya manusia dalam DAS,
sedangkan karakteristik adalah sifat, kondisi dan profil dari DAS tersebut.

1. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 34


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Berbagai karakteristik yang mempengaruhi fungsi DAS, yaitu menerima hujan


dan mengeluarkannya (debit), adalah sebagai berikut:
a. Ukuran DAS
Ukuran DAS mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap fungsinya.
Pada DAS kecil aliran sangat tergantung pada limpasan permukaan. Tata
guna lahan berperan kunci yang mempengaruhi limpasan permukaan.
Sementara pada DAS besar, limpasan permukaan tidak dominan, melainkan
aliran dasar. DAS besar dipengaruhi oleh simpanan DAS.
Ukuran DAS ditentukan berdasarkan peta topografi, atau aerial foto. Kadang-
kadang diperlukan cek lapangan untuk menentukan secara pasti daerah-
daerah yang berkontribusi, dan mana-mana daerah yang tidak memberikan
kontribusi terhadap limpasan permukaan atau aliran balik yang singkat.
b. Bentuk DAS
Secara umum bentuk DAS dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk,
diantaranya:
 Lingkaran
 Persegi
 Segitiga, dll.
Bentuk DAS dapat didefinisikan berdasarkan “indeks bentuk”, yang
dirumuskan sebagai berikut:
𝐿 𝐿2
𝑆𝑤 = =
𝑊 𝐴
dimana:
Sw = indeks bentuk
L = panjang DAS yang diukur searah dengan saluran utama, mulai dari
outlet sampai bagian paling hulu (km)
W = lebara rata-rata DAS (km) = A/L
A = luas DAS (km2)
c. Kemiringan DAS
Kemiringan rata-rata DAS dapat ditentukan dari peta topografi, dengan
menggunakan persamaan berikut:
𝑀×𝑁
𝑆= × 100%
𝐴

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 35


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

dimana:
S = kemiringan rata-rata DAS (%)
M = panjang total kontur dalam DAS (m) N = interval kontur (m)
A = luas DAS (m2)
Untuk DAS yang sangat kecil, kemiringan rata-rata dapat diambil sebagai
nisbah antara beda tinggi antara titik tertinggi pada DAS dan outlet, terhadap
panjang rata-rata DAS.
d. Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan oleh air yang
jatuh di titik terjauh dalam DAS untuk sampai ke outlet atau titik referensi
yang ditinjau. Waktu konsentrasi dapat diperkirakan dengan menggunakan
persamaan yang dikembangkan oleh Kirpich (1940):
𝐿1,15
𝑡𝑐 =
7,700𝐻 0,38
dimana:
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang DAS yang diukur searah dengan saluran utama, mulai dari
outlet sampai bagian paling hulu (feet)
H = beda elevasi antara titik tertinggi dalam DAS dan outlet.
Perlu diperhatikan dalam perhitungan H, perbedaan tinggi yang sangat
mencolok, misalnya tebing patahan/terjunan harus tidak dimasukkan dalam
perhitungan H.
Faktor lain yang berpengaruh meliputi (1) tanah dan penutup lahan, topografi,
geologi, orientasi DAS, hujan rata-rata tahunan, dan frekuensi sungai atau
kerapatan saluran.
Tabel 1.8 memperlihatkan karakteristik DAS dan pengaruhnya pada
pengelolaan DAS.

Tabel 1.8 - Karateristik DAS dan perannya dalam pengelolaan DAS


Parameter dasar yang
Peran karakteristik dalam
Karakteristik menggambarkan
pengelolaan DAS
karakteristik
Laju limpasan dan yil sedimen,
Fisiografi Kemiringan
rentan terhadap bahaya erosi

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 36


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Parameter dasar yang


Peran karakteristik dalam
Karakteristik menggambarkan
pengelolaan DAS
karakteristik
Identifikasi keaktifan proses
Geomorfologi Genesis tanah erosi dalam kaitannya denga
jenis tanah
Kerentanan terhadap erosi,
Geologi Tipe dan struktur infiltrasi air permukaan,
limpasan, rembesan, dll.
Produktifitas tanah, kerentanan
Tanah Tipe dan struktur
terhadap bahaya erosi
Laju dan volume limpasan, yil
Drainase Pola dan kerapatan
sedimen, dan air tanah
Laju dan volume limpasan, yil
Penutup lahan Jenis dan kerapatan
sedimen, bahaya erosi dll.
Laju limpasan, dan laju peningkatan
Bentuk Indeks bentuk
debit banjir
Ukuran Luas (km2, ha) Volume limpasan
Orientasi Lintasan hujan Laju limpasan
Laju dan volume limpasan, yil
Iklim Hujan, suhu, dll sedimen, bahaya erosi,
produktivitas lahan, dll.
Derajat Laju dan volume limpasan, yil
Rincian pengembangan
pengembangan sedimen, dan air tanah
Air tanah Kedalaman dan kualitas Potensi produktivitas

2. Fungsi Suatu Daerah Aliran Sungai


Bencana alam banjir dan kekeringan yang silih berganti yang terjadi di suatu
wilayah atau daerah merupakan salah satu dampak negatif kegiatan manusia
pada suatu DAS. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan manusia telah
menyebabkan DAS gagal menjalankan fungsinya sebagai penampung air hujan
yang jatuh dari langit, penyimpanan, dan pendistribusi air tersebut ke saluran-
saluran atau sungai.

Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh
faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi),
tanah, dan manusia. Apabila salah satu dari faktor-faktor tersebut mengalami
perubahan, maka akan mempengaruhi juga ekosistem DAS. Sedangkan
perubahan ekosistem, juga akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya
fungsi DAS, sehingga tidak sebagaimana mestinya.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 37


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Gangguan terhadap suatu ekosistem daerah aliran sungai bisa bermacam-


macam terutama berasal dari penghuni suatu DAS yaitu manusia. Apabila fungsi
dari suatu DAS terganggu, maka sistem hidroorologis akan terganggu,
penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat
berkurang, atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian tersebut
akan menyebabkan melimpahnya air pada musim hujan, dan sebaliknya sangat
minimumnya air pada musim kemarau. Hal ini, membuat fluktuasi debit sungai
antara musim kemarau dan musim hujan berbeda tajam. Jadi jika fluktuasi debit
sungai sangat tajam, berarti bahwa fungsi DAS tidak bekerja dengan baik,
apabila hal ini terjadi berarti bahwa kualitas DAS tersebut adalah rendah.

3. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS)


Kerusakan DAS disebabkan oleh kesalahan pemanfaatan dan pengelolaan.
Beberapa kegiatan di bawah ini merupakan beberapa sumber kerusakan DAS:
a. Kesalahan sistem pertanian, kesalahan manajemen hutan dan
penggembalaan
b. Kebakaran hutan
c. Penambangan dan penggalian
d. Alinyemen dan kontruksi jalan yang tidak tepat
e. Perluasan kegiatan industri
f. Kemalasan manusia, dll.

Kerusakan atau degradasi DAS dapat menyebabkan hal-hal buruk sebagai


berikut:
a. Menurunnya produksi biomassa
b. Menurunnya produksi pertanian, hutan, perkebunan, dll
c. Sedimentasi waduk, danau, sungai, muara, pantai, pelabuhan, dll
d. Penurunan kulaitas dan kuantitas air
e. Menimbulkan kemiskinan di wilayah yang bersangkutan

1.5 Pengelolaan Sumber Daya Air (Water Resources Management)


World water Vision (Visi air Dunia), di mana konsep integrated water resources
management (pengelolaan sumberdaya air terpadu) merupakan bagian penting dari

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 38


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

visi tersebut, telah dipresentasikan dalam the Second Word Water Forum (Forum
Air Dunai Kedua) dan Ministerial Conference (Konferensi Para Menteri) yang
diadakan di Den Haag Maret, Negeri Belanda 17-22 Maret 2000. Dalam forum
tersebut para menteri yang hadir (termasuk Indonesia) telah berhasil
menandatangani Deklarasi Den Haag yang disebut Ministerial Declaration of the
Hague on Water Security in the 21st Century. Dalam kesepakatan tersebut
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT) menjadi dasar dari langkah
pengembangan dan pengelolaan sumber daya air. Selanjutnya disepakati bahwa
masing-masing pemerintah negara penanda-tangan Deklarasi Den Haag
berkewajiban menindaklanjutinya dengan melaksanakan kerjasama untuk
mengubah prinsip-prinsip dasar yang disepakati menjadi program dan tindakan
nyata berdasarkan kemitraan dan sinergi antara Pemerintah, Masyarakat, dan
Stakeholder lainnya.

Pengelolaan banjir harus memperhatikan domain pengairan, kehutanan dan tata


ruang provinsi dan kabupaten dalam pengelolaan tanah dan air, juga peran serta
masyarakat. Pengelolaan banjir tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah,
tetapi pengelolaan banjir harus dilaksanakan secara tersistem, menyeluruh dan
terpadu antara hulu dan hilir. Pengaruh perubahan tata guna lahan, urbanisasi dan
penebangan hutan sangat besar terhadap peningkatan kuantitas banjir.

1.5.1 Hulu, Tengah dan Hilir


Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan
pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu hulu sampai muara, dengan
dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan (Peraturan Pemerintah RI No. 38
Tahun 2011).

Daerah sungai adalah bagian-bagian dari sungai yang meliputi alur sungai (bagian
sungai yang dibatasi oleh bibir-bibir sungai), bantaran, tanggul-tanggul dan
sebagainya. Beberapa batasan/pengertian yang berkaitan dengan daerah sungai
adalah sebagai berikut :
a. Zona 1 : Bagian sungai tempat air sungai mengalir sepanjang tahun dan
daerah tempat tumbuhnya rumput dan tumbuh-tumbuhan lainnya serta tempat

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 39


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

lainnya yang mirip dengan daerah atau bagian sungai tempat air sungai mengalir
secara terus menerus.
b. Zona 2 : Bagian sungai tempat dibangunnya tanggul.
c. Zona 3 : Tanah bantaran sungai.

Gambar I.7 - Skema daerah sungai

Secara teknis sungai mempunyai dua fungsi atau tugas utama yaitu :
a. Fungsi Hidrologis yaitu pematus akhir dari sistem hidrologi sebelum mengalirkan
air banjir kelaut.
Air hujan yang jatuh di permukaan tanah sebagian meresap ke dalam tanah
selebihnya akan menjadi larian. Air hujan ini kesemuanya akan menuju badan air
yang disebut dengan sungai. Kemudian air hujan yang terkumpul ini dengan sifat
sungai akan dialirkan ke laut dengan gaya gravitasi.
b. Fungsi morpologis sebagai pengangkut bahan-bahan pelapukan.
Sungai disamping mengalirkan air sering diikuti dengan sedimen. Bila kita lihat
aliran sungai saat ini airnya pasti tidak jernih. Apalagi bila di Daerah Aliran Sungai
kondisinya sudah rusak (gundul) dipastikan sedimen yang ikut dengan aliran
sungai bertambah.

Secara topografis sungai menurut kemiringan/landai dasar sungai dari hulu sampai
muara dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu :

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 40


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

a. Hulu (upstream)
b. Tengah (middle stream)
c. Hilir (downstream)

Gambar I.8 - Skema kondisi sungai

1. Hulu
Bagian atas adalah bagian hulu yang terletak di lereng gunung sehingga
kecepatan alirannya masih tinggi. Pada bagian ini kecepatan aliran banjir dapat
mencapai puluhan m/dt. Bahkan ada yang mencapai kecepatan + 40 m/dt.
Mengingat tanah dasar sungai terdiri dari macam-macam tanah, profil
memanjang sungai pada bagian ini sangat tidak beraturan ada yang curam, ada
yang landai, ada yang silih berganti antara datar dan curam. Oleh karena
kecepatan yang tinggi maka pada bagian ini terjadi pengikisan yang banyak,
benda-benda yang diangkut ke hilir (pada musim banjr) bukan hanya sedimen
tetapi juga batuan dan kerikil. Oleh karena pengikisan banyak maka bagian atas
(hulu) dari sungai disebut zona pengikisan.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 41


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Sebagai zona pengikisan menyebabkan perubahan penampang, penampang


menjadi besar akibat erosi dan longsornya tebing.

2. Tengah
Aliran sungai di bagian tengah sudah agak tenang meskipun kemiringan rata-
rata dasar sungai masih agak curam. Kecepatan aliran banjir masih dapat
mencapai 5 m/dt. Benda-benda besar dan kasar yang terkikis dari bagian atas
mulai mengendap di bagian tengah ini. Sedimen yang halus masih terangkut
terus ke hilir. Sebenarnya pada bagian ini terdapat pengendapan sedimen,
tetapi pengikisanpun selalu mengimbangi sedimentasi tersebut.

Karena bagian ini terjadi pengendapan dan pengikisan, maka pada bagian ini
sering disebut zone keseimbangan. Pengertian keseimbangan pada kondisi
sungai secara khusus atau dalam hidrologi secara umum tidak ada dalam arti
yang sebenarnya. Dalam hidrologi kita mengatakan seimbang jika dalam 1 - 2
generasi tidak kelihatan perubahan-perubahan yang nyata.

3. Hilir
Pada sungai di bagian bawah, kecepatan aliran adalah kecil. Kecepatan aliran
banjir-pun mungkin hanya sekitar 2 m/dt. Daerah sekitar sungai adalah dataran,
jadi tinggi muka air sungai tidak banyak berbeda dengan permukaan tanah
daerah sekelilingnya. Sehingga pada musim banjir airnya sering meluap di
sekitarnya. Pada bagian bawah ini arah sungai sudah tidak stabil, karena di
bagian ini sungai tersebut membentuk sendiri arah alirannya. Sungai kelihatan
berkelok-kelok yang disebut meandering.

Pada bagian bawah ini, pengendapan akan melebihi pengikisan, terutama jika
dibagian atas dan tengah terjadi erosi yang cukup besar. Disamping itu pada
bagian bawah ini sering dijumpai sungai Alluvial. Sungai Alluvial adalah sungai
yang mengalir di atas dasar (alluvial) yang dibentuk oleh sungai itu sendiri, Hal
ini terjadi karena dasar sungai merupakan hasil pengendapan sungai itu sendiri.
Sungai bagian bawah akhirnya bermuara dilaut. Muara sungai adalah
bertemunya suatu aliran dengan suatu badan/wadah penerima yang relatif

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 42


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

diam. Sebenarnya muara sungai itu dibedakan mejadi dua bagian pokok antara
lain.

a. Estuary
Secara Geomorphologis adalah tempat masuk air laut sejauh pasang.
Sedangkan secara Oceanografis adalah pasu setengah tertutup didaerah
pantai (semi enclosed coastal body of water) yang masih dipengaruhi oleh
air laut. Jadi estuary adalah tempat pencampuran air tawar dan air laut.
b. Inlet
Inlet adalah tempat keluar masuk pasang surut. Pada bagian ini sering terjadi
genangan air yang disebabkan oleh air pasang sering disebut dengan ROB.
Hal ini terjadi apabila muka tanah di daerah pantai lebih rendah dari muka air
laut saat pasang.

Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa kebanyakan persoalan mengenai


banjir, penanggulangan tebing, pengarahan aliran dan lain-lain terdapat di
bagian bawah dan sebagian di bagian tengah, sedangkan di bagian atas kita
dihadapkan pada persoalan pengekangan aliran supaya dapat
mengurangi/mengadakan pengikisan.

1.5.2 Manajemen Banjir Terpadu


Manajemen banjir terpadu adalah proses keterpaduan manajemen banjir melalui
pendekatan manajemen tanah dan sumber daya air, daerah pantai pesisir, dan
manajemen daerah bencana pada suatu DAS dengan tujuan memaksimumkan
keuntungan daerah bantaran banjir dan meminimumkan kehilangan nyawa dan
kerusakan harta benda dari banjir (Green dkk., 2004). Manajemen banjir terpadu
merupakan penanganan integral yang mengarahkan semua stakeholders dari
manajemen banjir sub-sektor ke sektor silang (Kodoatie & Sjarief, 2006).

Manajemen banjir terpadu memerlukan kerangka konsepsional, karena (GWP,


2001; Kodoatie & Sjarief, 2008 dan 2010 dengan modifikasi):
 Semua pihak menyadari bahwa masalah banjir adalah kompleks.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 43


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

 Wilayah banjir dapat berupa bagian dari pengembangan wilayah baik perkotaan
(urban) dan perdesaan (rural) serta dapat juga merupakan bagian regional
administratif (pusat, provinsi, kabupaten/kota).
 Adanya relasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan Pola
Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA), Rencana PSDA dan manajemen banjir.
 Adanya batas teknis (hidrologi), daerah aliran sungai (DAS) dan daerah aliran air
tanah atau cekungan air tanah/CAT (groundwater basin) dan daerah bukan CAT
(Non-CAT) yang pada kondisi wilayah tertentu bisa sama ataupun berbeda
dengan DAS.
 Batas teknis (hidrologi) bisa sama ataupun berbeda dengan batas administrasi.
 Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air
laut yang berada di darat.
 Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
 Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
 Untuk aliran permukaan pembagian bisa dilihat dari daerah aliran sungai (batas
hidrologi) dan bisa dilihat dari batas administrasi (provinsi, kabupaten/kota).
 Untuk air tanah pembagian wilayahnya terdiri atas CAT dan Non-CAT dan lebih
sulit imajinasinya karena terletak di dalam tanah dibandingkan dengan aliran
permukaan. Untuk CAT dibagi menjadi akuifer tertekan (confined aquifer) dan
akuifer bebas (unconfined aquifer).
 Untuk sumber daya air pembagian dilihat dari wilayah sungai.
 Manajemen banjir dapat dibagi dengan melihat alam (natural) atau buatan
manusia (man-made).
 Sistem manajemen banjir dapat dilihat sebagai bagian dari infrastruktur
khususnya infrastruktur keairan.
 Manajemen harus dipandang sebagai sesuatu yang integrated, comprehensive
and interdependency. John Muir (dalam Chesepeake Bay Program 1994)
menyimpulkan saling ketergantungan (interdependency) sebagai “When we try
to pick out anything by itself, we find it hitched everything else in the universe”

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 44


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

yang kira-kira artinya “apabila kita mencoba memilih/mengambil satu hal saja,
kita temui bahwa satu hal tersebut tertambat dan terikat pada semua hal”.

Global Water Partnership (GWP, 2001) menawarkan suatu kerangka konsep


keterpaduan untuk Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Konsep ini dapat
diimplementasikan pada manajemen banjir terpadu yang dapat dikelompokkan
dalam 3 elemen utama yaitu:
 The enabling environment adalah kerangka umum dari kebijakan nasional,
legislasi, regulasi, finansial dan informasi untuk manajemen banjir oleh
stakeholders. Fungsinya merangkai dan membuat peraturan serta kebijakan.
Sehingga dapat disebut sebagai rules of the games.
 Peran-peran institusi (institutional roles) merupakan fungsi dari berbagai
tingkatan administrasi dan stakeholders. Perannya mendefinisikan para pelaku
manajemen banjir.
 Alat-alat manajemen (management instruments) merupakan instrumen
operasional dan rekayasa untuk regulasi yang efektif, monitoring dan penegakan
hukum yang memungkinkan pengambil keputusan untuk membuat pilihan
aplikasi yang informatif di antara aksi-aksi alternatif. Pilihan-pilihan ini harus
berdasarkan kebijakan yang telah disetujui, sumber daya yang tersedia, dampak
lingkungan dan konsekuensi sosial dan budaya.

Ketiga komponen tersebut sangat tergantung adanya kesadaran populis dan


kemauan dari semua pihak untuk bertindak dengan sikap yang tepat dari semua
para-pihak (stakeholders). Uraian yang lebih detail dan terperinci dari tiga elemen
penting dalam Manajemen Banjir Terpadu ditunjukkan dalam gambar berikut (GWP,
2001; Kodoatie & Sjarief, 2008 dan 2010).

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 45


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Manajemen Banjir Terpadu

a. Kebijakan (Policy)
1. Penyiapan Kebijakan Manajemen Banjir Nasional
2. Kebijakan Yang Terkait Manajemen Banjir
3. Visi dan Misi Manajemen Banjir
A. Enabling Environment

b. Kerangka Kerja Legislatif


1. Reformasi Peraturan Yang Ada
2. Peraturan Tentang Manajemen Banjir
4. Penegakan Hukum (Law Enforcement)

c. Finansial
1. Pengertian Biaya dan Manfaat/Pendapatan
2. Kebijakan-Kebijakan Investasi
3. Pengembalian Biaya dan Kebijakan-Kebijakan Denda
4. Penilaian Investasi (Investment Appraisal)
5. Peran Sektor Swasta
a. Penciptaan Kerangka Kerja Organisasi
1. Organisasi Lintas Batas Untuk Manajemen banjir
2. Dewan Air Nasional (National Apex Bodies) Khusus Untuk Manajemen Banjir
3. Organisasi Daerah Aliran Sungai (River Basin Organisations)
B. Peran2 Institusi & Pelaku

4. Badan Pengatur dan Agen Penegak


5. Penyedia Pelayanan (Service Providers)

b. Peran Publik dan Swasta


1. Reformasi Institusional Sektor Publik
2. Institusi Masyarakat Umum dan Organisasi komunitas
3. Wewenang Lokal (Local authorities)
4. Peran Sektor Swasta
c. Pengembangan sumber daya manusia (Institutional Capacity Building)
1. Kapasitas Manajemen Terpadu pada profesi keairan
2. Kapasitas Pengaturan
3. Berbagi (Alih) Ilmu Pengetahuan
C. Instrumen Manajemen

a. Analisis Rekayasa dan Manajemen Banjir


b. Perancangan dan Perencanaan Manajemen Banjir Terpadu Terpadu
c. Pengelolaan Kebutuhan
d. Instrumen Perubahan Sosial
e. Resolusi konflik
f. Instrumen Pengatur
g. Instrumen Ekonomi
h. Pengalihan dan Pengelolaan Informasi

Gambar I.9 - Komponen-komponen Manajemen Banjir Terpadu


(GWP, 2001 yang dielaborasi)

1.6 Risk Management


Peristiwa banjir pada umumnya merupakan interaksi dari kejadian alam dan
pengaruh perbuatan manusia, merupakan sebuah dilema yang pada umumnya sulit
dipecahkan dan cenderung semakin meningkat, sejalan dengan tingkat
perkembangan masyarakat. Untuk mengurangi kerugian-kerugian yang ditimbulkan

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 46


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

oleh banjir diperlukan tindakan-tindakan penanganan banjir (flood damage


mitigation) baik yang bersifat phisik (structural measures) atau corrective measures
karena bersifat memperbaiki alam dan tindakan yang bersifat non fisik (non-
structural measures) atau preventive measures karena bersifat pencegahan
terjadinya kerugian/bencana (Volcanic Sabo Technical Centre, 1993).

Resiko yang terjadi akibat banjir perlu diidentifikasi dan dianalisis terutama yang
berkaitan dengan resiko yang berdampak luas, agar konskuensi yang terjadi akibat
banjir dapat diterima oleh berbagi pihak dalam batas-batas yang dapat ditolerir.
Definisi Resiko menurut ISO/IEC Guide 73 dalam Hinsa (2007) dijelaskan bahwa
resiko dapat didefinisikan sebagai kombinasi probabilitas suatu kejadian dengan
konskuensinya atau dengan akibatnya. Potensi kejadian dapat berupa keuntungan
(upside risk) atau bahaya terhadap keberhasilan (downside risk). Resiko dapat juga
didefinisikan sebagi pure risk dan speculative risk. Resiko murni (pure risk) adalah
kemungkinan terjadinya sesuatu yang jika terjadi pasti menyebabkan kerugian,
sedangkan resiko spekulasi, juga merupakan kemungkinan terjadinya sesuatu,
tetapi jika terjadi akibatnya mungkin rugi tapi mungkin juga untung.

Menurut pendapat Flanagan (1993) Manajemen resiko adalah sebuah sistem yang
bertujuan untuk mengidentifikasi seluruh resiko yang dilakukan dalam kegiatan
bisnis atau proyek yang dapat dipergunakan untuk mengatasi bagaimana mengatur
resiko, kerangka kerja proses management resiko memiliki beberapa tahapan mulai
dari identifikasi resiko, klasifikasi resiko, analisis resiko, tindakan mitigasi dan
pengelolaan resiko.

1.6.1 Pengurangan Resiko Bencana


Perencanaan penanggulangan bencana ditetapkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Penyusunan perencanaannya
dikoordinasikan oleh Badan baik BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) atau BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Perencanaan
penanggulangan bencana dilakukan melalui penyusunan data tentang resiko
bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi
yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 47


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Perencanaan penanggulangan bencana meliputi:


a. Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. Pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c. Analisis kemungkinan dampak bencana;
d. Pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e. Penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan
f. Alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.

Pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang


mungkin timbul. Kegiatan pengurangan resiko meliputi:
a. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. Pengembangan budaya sadar bencana;
d. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan
e. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan dilakukan


dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke
dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Setiap kegiatan pembangunan
yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana hendaknya dilengkapi dengan
analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana.
Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh BNPB.
Pemenuhan syarat analisis risiko bencana ditunjukkan dalam dokumen yang
disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. BNPB
melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan analisis risiko.

Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar
keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar. Pemerintah secara
berkala melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tata ruang
dan pemenuhan standar keselamatan.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 48


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang diatur tentang pengaturan mitigasi
bencana sebagai berikut :
 Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau terdiri dari ruang
terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
 Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% persen dari
luas wilayah kota.
 Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas
wilayah kota.
 Proporsi 30 % merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi (yang terkait dengan
mitigasi bencana hidroklimatologi) dan sistem mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih
yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika
kota.
 Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20% yang disediakan oleh
pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal
dapat lebih menjamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya
secara luas oleh masyarakat.
 Akibat dari bencana alam skala besar yang terjadi pada wilayah tertentu dapat
merubah rencana Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.

1.6.2 Pengurangan Resiko Kerentanan


Yang dimaksud dengan “pengurangan resiko kerentanan banjir” adalah upaya
mengurangi kerugian banjir dengan cara memperkecil jumlah kerugian jika terjadi
banjir, yaitu dengan pengelolaan dataran banjir dan perencanaan antisipatif
terhadap korban banjir. Dalam kegiatan pengurangan kerentanan terdapat empat
aktivitas yang harus dilakukan, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi risiko dan tingkat kerentanan.
Yang perlu diidentifikasi antara lain jenis atau sifat bencana, lokasi, berapa
besar tingkat kekuatannya (intensitas), jangka waktu dari bencana-bencana
sebelumnya untuk bisa melihat tingkat probabilitas atau frekuensi timbulnya
ancaman atau risiko bencana. Keadaan dan tingkat kerentanan dari

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 49


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

masyakarat dan sumber daya lainnya termasuk infrastruktur juga harus


diidentifikasi.
2. Mengkaji risiko dan tingkat kerentanan.
Dalam tahapan ini risiko yang ada harus dianalisa untuk melihat berapa besar
tingkat bahayanya, begitu pula tingkat kerentanannya harus dianalisa untuk
dapat mengetahui kapasitas dari masyarakat dan sumber daya yang tersedia
untuk mengurangi risiko atau dampak dari bencana.
3. Evaluasi.
Risiko dan tingkat kerentanan tersebut harus dievaluasi untuk menentukan
risiko mana yang memerlukan prioritas dan penanggulangan.
4. Pelaksanaan pengurangan kerentanan berdasarkan evaluasi yang dibuat.

1.6.3 Pengurangan Resiko Keterpaparan


Keterpaparan (Exposure) adalah penduduk, harta benda, sistem-sistem atau
elemen-elemen yang ada di kawasan ancaman bahaya yang oleh karenanya bisa
berpotensi mengalami kerugian/kehilangan.

Empat dasar pengelolaan kegawatan dan bencana, masing-masing memerlukan


program pengelolaan (strategi) :
 Pencegahan dan mitigasi
Peraturan dan persyaratan fisik untuk mencegah terjadinya bencana, atau untuk
mengurangi dampaknya.
 Persiapan
Perencanaan dan program, sistem dan prosedur, pelatihan dan pendidikan untuk
memastikan bahwa bila bencana terjadi, sumber daya dan tenaga dapat segera
dimobilisasi dan diberdayakan dengan hasil terbaik. Termasuk pengembangan
sistem peringatan dan kewaspadaan, perencanaan organisasional, pelatihan
dan pengujian petugas, peralatan, perencanaan dan prosedur, serta pendidikan
publik.
 Respons
Kegiatan yang diambil mendahului atau segera setelah dampak bencana untuk
meminimalkan akibat, dan untuk memberikan bantuan segera, memulihkan dan

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 50


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

mendukung masyarakat. Termasuk rescue, pemulihan dan dukungan terhadap


korban, informasi publik, pemberian makanan, pakainan dan tempat berlindung.
 Pemulihan
Pemulihan dan perbaikan jangka panjang atas masyarakat yang terkena.
Merupakan proses rumit dan lama.

1.7 Latihan
1. Jelaskan mengenai pengelolaan banjir terpadu yang anda ketahui!
2. Jelaskan perbedaan mengenai pengendalian banjir dan manajemen banjir!
3. Jelaskan mengenai karateristik banjir di Indonesia!

1.8 Rangkuman
Pengelolaan banjir terpadu adalah proses keterpaduan pengelolaan banjir melalui
pendekatan pengelolaan tanah dan sumber daya air, daerah pantai pesisir, dan
pengelolaan daerah bencana pada suatu DAS dengan tujuan memaksimumkan
keuntungan daerah bantaran banjir dan meminimumkan kehilangan nyawa dan
kerusakan harta benda dari banjir (Green dkk., 2004). Pengelolaan banjir terpadu
merupakan penanganan integral yang mengarahkan semua stakeholders dari
pengelolaan banjir sub-sektor ke sektor silang (Kodoatie & Sjarief, 2006).

Pengelolaan banjir tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah, tetapi


pengelolaan banjir harus dilaksanakan secara tersistem, menyeluruh dan terpadu
antara hulu dan hilir. Pengaruh perubahan tata guna lahan, urbanisasi dan
penebangan hutan sangat besar terhadap peningkatan kuantitas banjir.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 51


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

PENUTUP

A. Simpulan
Modul ini menjelaskan mengenai pengelolaan banjir terpadu. Pengelolaan banjir
terpadu adalah proses keterpaduan pengelolaan banjir melalui pendekatan
pengelolaan tanah dan sumber daya air, daerah pantai pesisir, dan pengelolaan
daerah bencana pada suatu DAS dengan tujuan memaksimumkan keuntungan
daerah bantaran banjir dan meminimumkan kehilangan nyawa dan kerusakan harta
benda dari banjir (Green dkk., 2004). Pengelolaan banjir terpadu merupakan
penanganan integral yang mengarahkan semua stakeholders dari pengelolaan
banjir sub-sektor ke sektor silang (Kodoatie & Sjarief, 2006).

Pengelolaan banjir tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah, tetapi


pengelolaan banjir harus dilaksanakan secara tersistem, menyeluruh dan terpadu
antara hulu dan hilir. Pengaruh perubahan tata guna lahan, urbanisasi dan
penebangan hutan sangat besar terhadap peningkatan kuantitas banjir. Pada
dasarnya kegiatan pengendalian banjir adalah suatu kegiatan yang meliputi aktifitas
mengenali besarnya debit banjir, mengisolasi daerah genangan banjir serta
mengurangi tinggi elevasi air banjir.

B. Tindak Lanjut
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan ini, peserta diharapkan mengikuti kelas lanjutan
untuk dapat memahami detail pengendalian banjir dan ketentuan pendukung terkait
lainnya, sehingga memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai
pengendalian banjir.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 52


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

EVALUASI FORMATIF

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan di akhir pembahasan modul


pengelolaan banjir terpadu pada pelatihan pengendalian banjir. Evaluasi ini
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta pelatihan
terhadap materi yang disampaikan dalam modul.

A. Soal
1. Berikut ini 4 (empat) macam kerugian banjir menurut Le Groupe AFH
International 1994, kecuali...
a. Kerusakan fisik yang langsung (direct physical lost)
b. Kerusakan fisik yang tidak langsung (indirect physical lost)
c. Kerugian tidak langsung (indirect lost)
d. Kerugian tidak nyata (intangible lost)
e. Keuntungan perluasan dan pengembangan tanah di masa datang
2. Berikut ini beberapa kegiatan yang merupakan sumber kerusakan daerah aliran
sungai (DAS), kecuali...
a. Kesalahan sistem pertanian, kesalahan manajemen hutan dan
penggembalaan
b. Penambangan dan penggalian
c. Alinyemen dan kontruksi jalan yang tidak tepat
d. Perluasan kegiatan industri
e. Pembangunan yang berwawasan lingkungan
3. Berikut ini merupakan karateristik banjir di Indonesia, kecuali...
a. Sungai-sungai besar pada waktu musim penghujan akan mengalirkan debit
yang besar karena luas DAS yang besar
b. Waktu genangan berlangsung cepat karena banyak daerah pegunungan
c. Bilamana terjadi banjir di lokasi bagian hilir umumnya akan terjadi genangan
yang cukup luas dengan waktu genangan cukup lama
d. Proses peningkatan banjir, erosi dan sedimentasi akan berlangsung gradual
tidak instan
e. Karakteristik bencana sering disebut bencana merangkak (creeping disaster)

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 53


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

4. Berikut ini 3 (tiga) elemen utama pada manajemen banjir terpadu berdasarkan
Global Water Partnership (GWP, 2001) adalah...
a. The enabling environment, Stakeholders, Institutional roles
b. The enabling environment, Stakeholders, Management instruments
c. Stakeholders, Institutional roles, Management instruments
d. The enabling environment, Institutional roles, Management instruments
e. The enabling environment, Institutional roles, Regulation
5. Yang merupakan pentetapan garis sempadan sungai pada sungai tidak
bertanggul di dalam kawasan perkotaan adalah...
a. Paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 (tiga)
meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter
b. Paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai
c. Paling sedikit berjarak 100 (seratus) meter dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai
d. Paling sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur
sungai
e. Ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit berjarak 200 (dua ratus) meter
dari pusat mata air

B. Umpan Balik dan Tindak Lanjut


Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta pelatihan terhadap materi yang di
paparkan dalam materi pokok, gunakan rumus berikut :

Jumlah Jawaban Yang Benar


𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑠𝑎𝑎𝑛 = × 100 %
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan :


90 - 100 % : baik sekali
80 - 89 % : baik
70 - 79 % : cukup
< 70 % : kurang

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 54


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Diharapkan dengan materi yang diberikan dalam modul ini, peserta dapat
memahami pengelolaan banjir terpadu. Proses berbagi dan diskusi dalam kelas
dapat menjadi pengayaan akan materi pengelolaan banjir terpadu. Untuk
memperdalam pemahaman terkait materi pengelolaan banjir terpadu, diperlukan
pengamatan pada beberapa modul-modul mata pelatihan terkait atau pada modul-
modul yang pernah Anda dapatkan serta melihat variasi-variasi modul-modul yang
ada pada media internet. Sehingga terbentuklah pemahaman yang utuh akan
pengendalian banjir.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi 55


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

DAFTAR PUSTAKA

Kodoatie R. J. dan Sugiyanto. 2001. Banjir. Pustaka Pelajar, Semarang.

Kodoatie R. J. dan Syarief R. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu. Andy,


Yogyakarta.

Kodoatie R. J. dan Syarief R. 2010. Tata Ruang Air.Andy, Yogyakarta.

Kodoatie, Robert J., 2012. Tata Ruang Air Tanah. xxvi + 514 = 540 Halaman.
Penerbit Andi, Yogyakarta.

Kodoatie, Robert J., 2013. Rekayasa Manajemen Banjir Kota. Penerbit Andi,
Yogyakarta.

Kodoatie R. J. dan Syarief R. 2013. Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu. Andy,
Yogyakarta.

Peraturan Presiden No. 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional


Penanggulangan Bencana.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 4 Tahun 2015
tentang Penetapan Wilayah Sungai.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 26 Tahun 2015
tentang Pengalihan Alur Sungai dan/atau Pemanfaatan Ruas Bekas Sungai.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 27 Tahun 2015
tentang Bendungan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 28 Tahun 2015
tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, dan Garis Sempadan Danau.

Suripin, 2001. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi Offset, Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

GLOSARIUM

Gradual : Berangsur-angsur; Sedikit demi sedikit.


Probabilitas : Kemungkinan.
Representatif : Dapat (cakap, tepat) mewakili; Sesuai dengan
fungsinya sebagai wakil

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

KUNCI JAWABAN

Berikut ini merupakan kumpulan jawaban atau kata kunci dari setiap butir
pertanyaan yang terdapat di dalam modul. Kunci jawaban ini diberikan dengan
maksud agar peserta pelatihan dapat mengukur kemampuan diri sendiri.

Adapun kunci jawaban dari latihan setiap materi pokok, sebagai berikut:
Latihan Materi Pokok 1
1. Pengelolaan banjir terpadu adalah proses keterpaduan pengelolaan banjir
melalui pendekatan pengelolaan tanah dan sumber daya air, daerah pantai
pesisir, dan pengelolaan daerah bencana pada suatu DAS dengan tujuan
memaksimumkan keuntungan daerah bantaran banjir dan meminimumkan
kehilangan nyawa dan kerusakan harta benda dari banjir (Green dkk., 2004).
Pengelolaan banjir terpadu merupakan penanganan integral yang
mengarahkan semua stakeholders dari pengelolaan banjir sub-sektor ke sektor
silang (Kodoatie & Sjarief, 2006).
2. Manajemen banjir berarti melakukan tindakan manajemen yang menyeluruh
yaitu gabungan antara metode non-struktur dan metode struktur, sedangkan
pengendalian banjir lebih dominan pada pembangunan fisik (atau dikenal
dengan metode struktur).
3. Karateristik banjir di Indonesia
Sungai-sungai besar pada waktu musim penghujan akan mengalirkan debit
yang besar karena luas DAS yang besar, bilamana terjadi banjir di lokasi bagian
hilir umumnya akan terjadi genangan yang cukup luas dengan waktu genangan
cukup lama (ber-hari2, ber-minggu2 bahkan bisa bulanan). Dengan DAS yang
luas proses peningkatan banjir, erosi dan sedimentasi akan berlangsung
gradual tidak instan maka untuk karakteristik bencana sering disebut bencana
merangkak (creeping disaster).
Sebaliknya sungai dengan luas DAS kecil namun di bagian hulunya mempunyai
kemiringan terjal maka akan terjadi banjir yang cepat (flash flood) dengan daya
rusak yang besar karena kuat arus (stream power) dari sungai-sungai tersebut
sangat besar. Waktunyapun relatif pendek (sesaat/instan).

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi


Modul 3 Pengelolaan Banjir Terpadu

Adapun kunci jawaban dari soal evaluasi formatif, sebagai berikut :


1. b (Kerusakan fisik yang tidak langsung (indirect physical lost))
2. c (Alinyemen dan kontruksi jalan yang tidak tepat)
3. b (Waktu genangan berlangsung cepat karena banyak daerah pegunungan)
4. d (The enabling environment, Institutional roles, Management instruments)
5. a (Paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 (tiga)
meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter)

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi

Anda mungkin juga menyukai