Oleh:
KHALYLI RIMAKHUSSHOFA
NIM. 18620022
i
POLA DISTRIBUSI KRUSTASEA DI KAWASAN MANGROVE PANTAI
BAMA TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR
LAPORAN PKL
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2021/ 2022
Oleh:
NAMA: Khalyli Rimakhusshofa
NIM: 18620022
Mengetahui,
Dr. Evika
Sandi Savitri,M. P
NIP. 19741018 200312 2 002
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala ridho-Nya, penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian ini ditunjukkan untuk
memenuhi tugas Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang diselenggarakan oleh Prodi
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Penulis memahami tanpa bantuan do’a, bimbingan dari semua pihak yang terlibat
akan sulit untuk menyelesaiakan penelitian ini. Maka dari itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dan
telah membantu dalam memenuhi penelitian ini, khususnya kepada:
iii
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................v
DAFTAR TABEL.......................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................viii
ABSTRAK....................................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
2.2 Rumusan Masalah...........................................................................................4
2.3 Tujuan Penelitian............................................................................................4
2.4 Batasan Masalah............................................................................................4
BAB V PENUTUP.....................................................................................................45
5.1 Kesimpulan...................................................................................................45
5.2 Saran.............................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................47
LAMPIRAN................................................................................................................53
v
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Karakteristik Stasiun.............................................................................................29
3.2 Model tabel hasil Identifikasi dan cacah individu ...............................................32
4.1 Jumlah temuan spesies Krustasea .........................................................................38
4.2 Hasil Analisis Pola Distribusi menggunakan Indeks Morisita .............................42
4.3 Parameter Lingkungan ..........................................................................................44
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Morfologi umum Krustasea.....................................................................................8
2.2 Larva........................................................................................................................9
2.3 Sub Ordo Padocopa ..............................................................................................10
2.4 Cirripeda ..............................................................................................................11
2.5 Morfologi Kelomang ............................................................................................13
2.6 Model Zonasi Mangrove .......................................................................................18
2.7 Pola Distribusi Spesies di alam .............................................................................20
2.8 Peta Tutupan Lahan TN Baluran .........................................................................25
2.9 Peta Tutupan Zonasi TN Baluran .........................................................................25
2.10 Peta Tutupan Lahan Reosort Bama ....................................................................26
2.11 Peta Tutupan Lahan Lokasi Penelitian ...............................................................26
3.1 Kawasan Mangrove Pantai Bama .........................................................................27
3.2 Kawasan Mangrove Pantai Bama .........................................................................29
3.3 Foto Stasiun penelitian..........................................................................................30
3.4 Sketsa Design Transek yang digunakan ...............................................................31
4.1 Spesies 1 ...............................................................................................................35
4.2 Spesies 2................................................................................................................36
4.3 Spesies 3 ...............................................................................................................37
viii
Pola Distribusi Krustasea Di Kawasan Mangrove Pantai Bama Taman
Nasional Baluran Jawa Timur
ABSTRAK
Pantai Bama merupakan salah satu Resort dibawah kelola Taman Nasional
Baluran Pantai Bama memiliki banyak Keberagaman spesies Mangrove yang mendukung
ekosistem lainnya, termasuk mendukung habitat Krustasea. Krustasea secara ekologis
berperan sebagai sumber makanan penting bagi ikan dan predator lain, Ekosistem
mangrove berfungsi antara lain sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat
pembesaran (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis
hewan seperti: ikan, udang, dan kepiting. Berdasarkan Peta Tutupan Lahan Resort Bama
yang terlihat di Avensa Luasan Resort Bama adalah 5.462,62 Ha, sedangkan Luasan
keseluruhan Mangrove resort bama adalah 120,56 Ha, dari total luasan tersebut namun
penelitian terkait Pola Distribusi Krustasea belum pernah dilakukan. Sehingga hal inilah
yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tersebut guna bisa mengetahui
kondisi suatu Lingkungan Mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui Jenis-
Jenis Krustase dan Pola Distribusi Krustasea yang ditemukan di kawasan mangrove
pantai Bama Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan ketika
Pelaksanaan Praktik Kerja Lapang yaitu dimulai tanggal 5 Juli 2021 hingga 5 Agustus
2021. Jenis penelitian ini adalah Deskriptif Kuantitatif dengan pendekatan metode
observasi pengamatan secara langsung. Pengambilan data ditentukan dengan metode
Purpossive samipling yaitu dengan menggunakan Line transect sepanjang 50 meter
dengan masing-masing transek berisi 10 plot berukuran 1x1 m, dan jarak antar plot
adalah 4 m. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan 3 jenis spesies dari tiga family
yaitu family Dieginidae diwakili oleh Spesies Clibanarius sp. Family
Sesarmidae diwakili oleh spesies Perisesarma sp. dan family Ocypodidae
diwakili oleh spesies Uca sp. Pola distribusi Krustasea pada lokasi penelitian yang
dilakukan di 3 stasiun memiliki nilai Indeks dipersi Morisita (Id) >1 yang memiliki arti
Pola Distribusi mengelompok.
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Artinya: “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari
hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki
sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. An-Nur 24
:45)
َ ََوهّللا ُ خَ ل
Berdasarkan ayat diatas menegaskan pada bagian" ق ٌكلِّ دَابّ ٍة ِم ْن َما ٍء
" yang memiliki arti “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air”
Menurut Tafsir Al Amtsal ( Syirazi, 2015) ayat tersebut cukup membuktikan
bahwa Semua hewan di muka bumi ini berasal dari hewan-hewan pada zaman
Archeozoicum yang hidup di dalam air , kemudian dibagian penggalan ayat
يvم َم ْن يَ ْم ِشvُْع فَ ِم ْنهv
ٍ vَي عَلى أرْ بvشي عَلى ِرجْ لَ ْي ِن َو ِم ْنهُ ْم َم ْن يَ ْم ِش ْ َ َعلَى بyang
ْ طنِ ِه َو ِم ْنهُ ْم َّم ْن يَ ْم
memiliki arti “Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya
dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan
dengan empat kaki”, dari ayat tersebut menjelaskan pula bahwa Allah kemudian
menjadikan hewan-hewan itu beraneka jenis, potensi dan fungsi, ada yang hidup
1
di darat, dan juga ada yang hidup di air salah satunya adalah hewan dari Kelas
Krustasea .Sesungguhnya penciptaan binatang menunjukkan kekuasaan Allah,
sekaligus merupakan kehendak-Nya yang mutlak.
Krustasea merupakan suatu kelompok besar dari Arthropoda, terdiri dari
kurang lebih 52.000 spesies yang terdeskripsikan, dan biasanya dianggap sebagai
suatu subfilum. Kelompok ini mencakup hewan-hewan yang cukup dikenal
seperti lobster, kepiting, udang, udang karang, serta teritip. Mayoritas merupakan
hewan akuatik, hidup di air tawar atau laut, walaupun beberapa kelompok telah
beradaptasi dengan kehidupan darat, seperti kepiting darat. Mayoritas dapat bebas
bergerak, walaupun beberapa takson bersifat parasit dan hidup dengan
menumpang pada inangnya (Rianta, 2009). Krustasea secara ekologis merupakan
sumber makanan penting bagi ikan dan predator lain, sebaliknya krustasea juga
sering menjadi predator bagi makhluk kecil lainnya. Larva krustasea yang
merupakan komponen utama zooplankton sangat penting dalam rantai makanan
biota laut lainnya (Pratiwi, 2002).
َوجْ َع ْلنَا° ض َمدَد نَها َ َو ْالقَ ْينَا فِ ْيهَا َر َوا ِس َي َو اَ ْنبَ ْتنَا فِهَا ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َّموْ ُزوْ ٍن َ َْو االَر
َواِ ْن ِّم ْن َش ْي ٍء اِ الَّ ِع ْن َد نَا خَزَ ا ِء نُهُ اِالَّ بِقَ َد ٍر° َش َو َم ْن لَّ ْستُ ْم لَهُ بِ َرا ِز قِ ْين َ ِلَ ُك ْم فِ ْيهَا َم َعا ي
َّم ْعلُوْ ٍم
Artinya: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-
gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah
menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan
pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. Dan tidak ada sesuatu pun,
melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran tertentu” ( QS. Al Hijr : 19-21).
2
Ayat diatas pada bagian " ر َّم ْعلُوْ ٍم
ٍ َواِ ْن ِّم ْن َش ْي ٍء اِ الَّ ِع ْن َد نَا َخ َزا ِء نُهُ اِالَّ بِقَ َد
artinya “Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu”,
Menurut Tafsir Al Misbah (Shihab, 2007) Pada kalimat tersebut menjelaskan
bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran tertentu atau dalam
keadaan seimbang . Hal ini dapat diartikan Termasuk tumbuh- tumbuhan, mulai
dari fase semai tumbuhan bawah hingga mendukung pertumbuhan untuk ke fase
selanjutnya, sehingga dapat berfungsi sebagai habitat atau memiliki peranan yang
sangat penting lainnya. Dan diciptakan juga tumbuhan- tumbuhan secara
berkelompok hingga tampak suatu vegetasi yang beraneka ragam, atau sering
disebut dengan hutan, termasuk Hutan Mangrove. Ekosistem hutan mangrove
adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan selalu secara teratur
digenangi air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, daerah pantai dengan
kondisi tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir (Indriyanto, 2010).
Valiela et al (2001) menyatakan bahwa Hutan mangrove sangat berperan penting
dalam ekosistem pesisir, baik secara fisik, biologi. Ekosistem mangrove berfungsi
antara lain sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran
(nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis hewan
seperti: ikan, udang, dan kepiting. Sebagai daerah peralihan terestrial dan marin,
maka mangrove memiliki ciri khas fauna yang hidup di lingkungan tersebut
(Rahawarin, 2005).
Pola Distribusi merupakan pola sebaran (tata ruang) jenis atau individu
dalam suatu komunitas. Pola Distribusi dibagi menjadi tiga, yaitu: acak,
mengelompok dan seragam atau merata. Tiap- tiap jenis hewan, termasuk
Krustasea tentunya mempunyai pola sebaran yang berbeda- beda tergantung pada
model reproduksi dan lingkungan. Selain itu pola tersebut juga tergantung pada
Faktor biotik dan abiotiknya (Rahardjanto, 2001). Salah satu tempat yang
memiliki ekosisitem Mangrove adalah Taman Nasional Baluran Jawa Timur,
khususnya di Pantai Bama. Pantai Bama memiliki banyak Keberagaman spesies
Mangrove yang mendukung ekosistem lainnya, termasuk mendukung habitat
Krustasea, Berdasarkan Peta Tutupan Lahan Resort Bama yang terlihat di Avensa
Luasan Resort Bama adalah 5.462,62 Ha, sedangkan Luasan keseluruhan
3
Mangrove resort bama adalah 120,56 Ha, dari total luasan tersebut namun
penelitian terkait Pola Distribusi Krustasea belum pernah dilakukan. Sehingga hal
inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tersebut. Hasil
penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk Mengetahui suatu Kondisi Lingkungan
Mangrove.
4
4. Pengukuran dan pengamatan pada komponen fisika dan kimia habitat
Krustasea meliputi Suhu air, pH air, dan Substrat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Krustasea
2.1.1 Deskripsi Krustasea
Dalam bahasa Latin, crusta berarti cangkang. Sehingga Krustacea disebut
juga hewan bercangkang. Krustacea telah dikenal kurang lebih 26.000 jenis.
Jenis Krustasea yang paling umum adalah udang dan kepiting. Habitatnya
sebagian besar di air tawar dan air laut, hanya sedikit yang hidup di darat
(Lumenta, 2017). Selain itu, Hewan krustasea banyak ditemukan di ekosistem
mangrove terutama pada jenis udang dan kepiting. Organisme ini biasa hidup di
daerah pasang surut dan termasuk ke dalam kategori pemakan serasah mangrove
dan daun mangrove segar. Krustasea secara ekologis merupakan sumber
makanan penting bagi ikan dan predator lain, sebaliknya krustasea juga sering
menjadi predator bagi makhluk kecil lainnya. Larva krustasea yang merupakan
komponen utama zooplankton sangat penting dalam rantai makanan biota laut
lainnya (Pratiwi, 2002).
Krustacea memiliki system pecernaan yang sempurna, karena di tubuhnya
sudah ada mulut dan anus, sistem pencernaannya dimulai dari mulut ke
kerongkongan ke lambung lalu usus dan yang terakhir ke anus. Sistem
peredaran Krustasea adalah sistem darah terbuka, hewan ini mengalami
fertilisasi internal. Pada umumnya perkembangan Krustasea melalui fase larva,
Krustacea mempunyai 2 lubang kelamin dibelakang dada. Makanan Krustasea
berupa bangkai hewan-hewan kecil dan tumbuhan, pada umumnya, Krustacea
bernafas dengan insang, kecuali Krustacea yang bertubuh sangat kecil bernafas
dengan seluruh permukaan tubuhnya, hewan ini bersifat hemaprodit (Lumenta,
2017).
6
menyatu (sefalotoraks) dan perut atau badan belakang (abdomen). Bagian
sefalotoraks dilindungi oleh kulit keras yang disebut karapas dan 5 pasang kaki
yang terdiri dari 1 pasang kaki capit (keliped) dan 4 pasang kaki jalan. Selain itu,
di sefalotoraks juga terdapat sepasang antena, rahang atas, dan rahang bawah.
Sementara pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan di bagian
ujungnya terdapat ekor. Pada udang betina, kaki di bagian abdomen juga
berfungsi untuk menyimpan telurnya. Tubuh Krustasea bersegmen (beruas).
Pada bagian kepala terdapat beberapa alat mulut, yaitu: 2 pasang antena, 1
pasang mandi bula, untuk menggigit mangsanya, 1 pasang maksilla, 1 pasang
maksilliped . Maksilla dan maksiliped berfungsi untuk menyaring makanan dan
menghantarkan makanan ke mulut. Alat gerak berupa kaki (satu pasang setiap
ruas pada abdomen) dan berfungsi untuk berenang, merangkak atau menempel
di dasar perairan (Lumenta, 2017).
Krustasea menggunakan kaki - kakinya untuk bergerak. Terdiri dari lima
pasang kaki yang masing - masing untuk sepasang kaki paling depan dan paling
besar di gunakan untuk mencapit sesuatu, empat kaki sesudahnya di gunakan
untuk berjalan dan juga memiliki lima pasang kaki di bagian belakang yang
fungsinya untuk berenang (kaki renang). Serta ia juga menggunakan ekornya
untuk bergerak. Hewan ini bersifat hemaprodit. Alat reproduksi pada umumnya
terpisah, kecuali pada beberapa Krustasea rendah. Alat kelamin betina terdapat
pada pasangan kaki ketiga. Sedangkan alat kelamin jantan terdapat pada
pasangan kaki kelima. Pembuahan terjadi secara eksternal (di luar tubuh)
(Lumenta, 2017).
7
Gambar 2.1 Morfologi umum Krustasea (Sumber: Lumenta, 2017).
8
Gambar 2.2 Larva : A. Larva tipe branchiopoda dari Sub Ordo Anostracan B.
Branchinecta jantan dewasa C. Notostraca D. Spinicaudata E.
Cyclestherida F. Laevicaudata, (Sumber: Akatova, 1987)
b. Ostracoda
Ukuran tubuh juga mikroskopis, yaitu 1 mm atau beberapa mm. bergerak
menggunakan kedua antenna atau satu antenna hidup di dasar air tawar
dan laut.
1) Sub Ordo Myodocopa, cangkang berlekuk dan antena kedua birmus
serta pangkal antenna besar. Contoh: Sarsiella.
2) Sub Ordo Podocopa, Antena uniramus Mempunyai 2 pasang apendik
badan Di laut dan air tawar.
c. Copepoda
Cope= dayung; pous= kaki. Copepod adalah hewan kecil hapir tak
terlihat dengan mata telanjang. Mereka merupakan salah satu produsen
9
primer dalam komponen mata rantai seperti diatom. Badannya pipih kiri
ke kanan kakinya memendek dan ujungnya seperti pancing mulutnya
menyedot.
1) Sub Ordo Eucopepoda Tubuhnya memanjang. Hewan betina membawa
kantung telur. Mulut untuk memanah dan menghisap. Calanus adalah
marga yang sangat melimpah dalam populasi plankton.
d. Cirripeda
Cirripeda Cirripedia (Cirus=ikal) hamper mirip Krustasean karena jika
cangkang kapurnya dibuka maka bentuk khas Krustasean terlihat.
Tubuhnya terdiri dari beberapa ruas dan abdomennya tereduksi Cirripedia
adalah hewan menetap saat dewasa, karapaksnya mentupi seluruh tubuh
dan sebagin besar hemaprodit.
1) Sub Ordo Thoracica ini terdiri dari teritip (barnacle) dan hidup di laut.
Tubuhnya ditutupi Cagkang kapur. Ada enam pasang embelan dada.
Teritip adalah hemafrodit, mereka tidak membuahi telurmya sediri tetapi
menyampaikan spermanya kepada teritip lain mendekat melalui penisnya
yang dapat dijulurkan sampai beberapa inci. Telurnya dibuahi menetas
menjadi nauplius planktonic setelah ganti kulitnya beberapa kali menjadi
sipris (cypris).
2) Sub Ordo Acrothoracica Hewan parasite, tidak mempunyai cangkang
kapur dan tubuhnya ditutupi mantel besar. Contoh: Alcippe lampas. Jantan
kecil tak berkaki dan menempel pada betina. Melubang ke cangkang
Natica yang berisi kelomang.
3) Sub Ordo Rhizocephala Hewan parasite, tidak ada embelan tubuh ataupun
peruasasan pada hewan dewasa melekat dengan tangkai dengan akar-
akarnya menembus
10
Gambar 2.4 Cirripeda (sumber: Ghafor, 2018).
11
terutama di perairan hangat dengan kisaran suhu 20-30 C˚. Bangsa udang
atau macrura mempunyai bentuk tubuh yang memanjang terdiri dari
kepala-dada dan abdomen pada bagian kepala terletak dua pasang antena,
sepasang mata bertangkai dan lima pasang kaki-jalan sedangkan dekat pada
bagian ekor terletak enam pasang kaki renang, sepasang untuk tiap ruas,
sepasang untuk tiap ruas, sebuah telson dan dua pasang uropod”
(Romimohtarto dan Juwana, 2007).
2) Kelompok Anomura (Kelomang)
Kelompok anomura atau salah satu contoh spesiesnya adalah kelomang
merupakan salah satu hewan dari kelas Krustasea dan bangsanya adalah
decapoda yang berarti hewan berkaki sepuluh. Menurut Permana (2018)
Sub ordo Anomura, ialah hewan transisi antara macrurans dan brachyurans,
dalam hal abdomen lebih besar dari pada kelompok brachyurans Kelomang
mudah dikenali karena Kelomang itu selalu hidup di dalam cangkang
Molusca terutama kelas Gastropoda, pahatan kayu, bamboo atau spons
untuk melindungi tubuhnya yang lunak. Selain mudah dikenali Kumang
atau kelomang juga mudah ditemukan, terutama di ekosistem Pesisir dan
Mangrove. Secara morfologi struktur tubuh kelomang menurut Nontji
(2007) bahwa kelomang merupakan hewan yang memiliki tubuh lunak pada
bagian abdomennya dan abdomen nya sering kali melengkung. Untuk
bentuk kaki, dua kaki terakhir kumang tereduksi menjadi jauh lebih pendek
dari kakikakinya yang lain
12
.
3) Brachyura (Kepiting)
Kelas Krustasea berikutnya yang dapat dijumpai pada zona litoral pantai
adalah kelompok Brachyura atau kepiting. Kelompok hewan laut ini dapat
dikenal dari bentuknya yang melebar melintang dan memeiliki capit yang
besar. Struktur tubuh kepiting pada dasarnya mempunyai bagian-bagian
tubuh yang tidak berbeda dengan udang. Pada kelompok hewan ini, bagian
abdomennya tidak terlihat karena melipat ke dadanya. Kaki renangnya sudah
tidak berfungsi sebagai alat renang lagi dan tidak terdapat telson dan uropod.
Perbedaan antara jantan dan betina pada kepiting dapat dilihat dari bentuk
abdomen nya, bahwa bentuk abdomen pada kepiting yang jantan umumnya
sempit dan meruncing ke depan sedangkan bentuk abdomen betina melebar
setengah lonjong. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepiting memiliki abdomen
yang lebih besar dari pada hewan Krustasea lainnya (Romimohtarto dan
Juwana, 2007).
2.2 Mangrove
13
2.2.1 Deskripsi Mangrove
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah \Inggris ‘grove’, bila disatukan akan
menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau
komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh
pasang surut (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Hutan mangrove merupakan tipe
hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak di jumpai di
wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai.
Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar
dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah
pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak
optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar
dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya
pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya
(Nybakken, 1998).
Ekosistem mangrove terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang
surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan
mampu tumbuh dalam perairan asin/payau, Peristiwa pasang-surut yang
berpengaruh langsung terhadap ekosistem mangrove menyebabkan komunitas ini
umumnya didominasi oleh spesiesspesies pohon yang keras atau semak-semak
yang mempunyai manfaat pada perairan payau. Faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhi komunitas mangrove, yaitu salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut,
arus, kekeruhan, dan substrat dasar (Nybakken, 1998). Menurut (Romimohtarto
dan Juwana, 2001). ekosistem mangrove mempunyai ciri khusus karena lantai
hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta
fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut. Hutan
mangrove dikenal juga dengan istilah intertidal forestcoastal yang terletak di
perbatasan antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan sekitar muara
14
sungai yang dipengaruhi pasang surut. Menurut Kusmana et al. (1995) Ekosistem
magrove bersifat dinamis, labil, dan kompleks. Ekosistem mangrove bersifat
dinamis karena dapat terus tumbuh, berkembang, mengalami suksesi, dan
mengalami perubahan zonasi. Ekosistem mangrove bersifat labil karena mudah
sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali. Ekosistem mangrove bersifat kompleks
karena merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan salah
satunya makrozoobentos. Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai)
yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut
surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem
mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove.
15
berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang
mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas
tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan
ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada
bagian arah daratan (Kusmana et al, 1995).
16
4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini
sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir (sungai)
ke laut.
17
vegetasinya. Ekosistem hutan mangrove dengan sifatnya yang khas dan kompleks
menyebabkan hanya organisme tertentu saja yang mampu bertahan dan
berkembang (Supriharyono, 2007). Adaptasi pohon mangrove terhadap keadaan
tanah (lumpur) dan kekurangan oksigen dalam tanah adalah pembentukan
morfologi sistem perakaran yang berfungsi sebagai akar nafas (Pneumatofora) dan
penunjang tegaknya pohon. Menurut Bengen (2004), ada empat bentuk sistem
perakaran pada hutan mangrove, yaitu; Akar lutut, seperti yang terdapat pada
Bruguiera spp; Akar cakar ayam, seperti yang terdapat pada Sonneratia spp,
Avicennia spp, dan kadang-kadang Xylocarpus moluccensis; Akar
tongkat/penyangga, seperti yang terdapat pada Rhizophora spp; dan Akar papan
seperti yang terdapat pada Ceriops spp.
18
biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan
luasan hutan
4. Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat
dan air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya,
curah hujan, suhu, dan angin.
5. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri
dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk
kehidupannya
19
Gambar 2.7 Pola Distribusi Spesies di alam (Sumber: Michael, 1984)
20
luas, sesuai dengan hal tersebut distribusi dari hewan tidak memperlihatkan
keseragaman apapun. Hewan-hewan akan melimpah pada area yang telah
teradaptasi dan akan sedikit jumlahnya pada lingkungan yang tidak mendukung.
Bahkan dalam lingkungan yang mendukung hewan-hewan menunjukkan pola
distribusi yang berbeda. Substrat dasar perairan juga dapat menentukan distribusi
dalam suatu perairan karena di dalam substrat terdapat sumber makanan (Ode,
2017).
21
suhu rendah atau amat tinggi.
2) Air
Variasi drastis dalam ketersediaan air di antara habitat-habitat yang berbeda
merupakan sebuah faktor penting lain dalam distribusi spesies. Spesies yang
mampu beradaptasi dalam keadaan kekurangan air misalnya organisme
gurun. Organisme gurun akan melakukan berbagai adaptasi untuk
memperoleh dan mengonservasi air di lingkungan kering.
3) Salinitas
Kadar garam air di lingkungan mempengaruhi keseimbangan air organisme
melalui osmosis. Kebanyakan organisme akuatik hidup terbatas di air tawar
atau di air asin karena memiliki kemampuan terbatas untuk melakukan
osmoregulasi.
4) Sinar Matahari
Sinar matahari yang diserap organisme-organisme fotosintetik menyediakan
energi yang menjadi pendorong kebanyakan ekosistem, dan sinar matahari
yang terlalu sedikit dapat membatasi distribusi spesies fotosintetik. Di hutan,
naungan oleh dedaunan di pucuk pohon menjadikan kompetisi
memperebutkan sinar sangat ketat, terutama untuk semaian yang tumbuh di
lantai hutan. Terlalu banyak sinar juga dapat membatasi kesintasan
organisme. Atmosfer lebih sedikit di tempat yang lebih tinggi, sehingga lebih
sedikit menyerap radiasi ultraviolet, sehingga sinar matahari lebih mungkin
merusak DNA dan protein di lingkungan.
5) Bebatuan dan Tanah
pH, komposis mineral, dan struktur fisik bebatuan dan tanah membatasi
distribusi tumbuhan, dan berarti juga distribusi hewan pemakan tumbuhan.
Hal-hal tersebut turun berperan menciptakan ketidak seragaman di ekosistem
darat.
6) Iklim
Komponen-komponen iklim yaitu suhu, curah hujan, sinar matahari, dan
angin. Faktor-faktor iklim, terutama suhu dan ketersediaan air, memilki
pengaruh besar pada distribusi organsme darat.
22
2.4 Deskripsi Singkat Lokasi Penelitian
Taman Nasional Baluran merupakan Kawasan Konservasi yang memiliki
Keanekaragaman Satwa dan Habitat alamnya dengan berbagai tipe komunitas.
Berdasarkan letak Administratif pemerintahan, Taman Nasional Baluran berada
di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, sedangkan secara geofrafis
terletak pada 7˚29’10̎ sampai 7˚55̍̍ 55̎ Lintang Selatan dan 114˚29̍20̎ sampai
114˚39̍10̎ Bujur Timur. Berdasarkan Peta Tutupan Lahan yang telah dilihat di
Avensa Taman Nasional Baluran memiliki luas sekitar ± 29.739,00 Ha, Zonasi
pada Taman Nasional ada 7 diantaranya ada Zona Pemanfaatan, Zona Rimba,
Zona Rehabilitasi, Zona Perlindungan Bahari, Zona Inti, Zona Khusus dan
Zona Tradisional. Taman Nasional dibagi menjadi 2 Seksi Pengelolaan yakni
SPTN 1 wilayah Bekol dan SPTN Wilayah 2 Karangtekok. Lokasi Penelitian
yang dilakukan terletak di lokasi SPTN Wilayah 1 Bekol tepatnya di Pantai
Bama yang merupakan salah satu Resort dibawah kelola Taman Nasional
Baluran. Pantai Bama memiliki banyak spesies Mangrove yang mendukung
ekosistem lainnya Luasan Resort Bama adalah 5.462,62 Ha, sedangkan
Luasan keseluruhan Mangrove resort bama adalah 120,56 Ha. Kalitopo,
Dermaga Baru, Kelor, Manting, Tanjung Batu Sampan dan Popongan
merupakan kawasan RPTN Bama yang terdapat Mangrove dengan lebat, jenis-
jenis Spesies Mangrove di Resort Bama adalah Rizophora stylosa, Rizophora
apiculata, Rizophora mucronata, Phempis acidula, Ceriops tagal, Sinnoratia
alba, Bruguiera gymnorrhiza, Avvicenia (Sudarmadji, 2003). Lokasi
pengambilan sampel data Penelitian dilakukan di 3 stasiun. Stasiun 1 terdapat
di wilayah Manting pada posisi 07˚51̍03.0̎ S, 114˚27̍36.6̎ E. Sedangkan Stasiun
2 terdapat di wilayah Dermaga Baru pada posisi 07˚50̍46.6̎ S, 114˚27̍36.3̎ E dan
Stasiun 3 terdapat di wilaya Muara Kali Topo pada Posisi 07˚50̍24.0̎ S,
114˚27̍47.7̎ E.
23
Gambar 2.8 Peta Tutupan Lahan TN Baluran (Sumber: Avensa, 2021 yang di
Operasikan menggunakan ArcGIS 10.8)
24
Gambar 2.10 Peta Tutupan Lahan Reosort Bama (Sumber: Avensa, 2021 yang
di Operasikan menggunakan ArcGIS 10.8)
Gambar 2.11 Peta Tutupan Lahan Lokasi Penelitian (Sumber: Avensa, 2021
yang di Operasikan menggunakan ArcGIS 10.8)
25
BAB III
METODE PENELITIAN
26
adalah Kertas label, Kantong plastic dan sesies dari subfilum Krustasea yang
didapatkan.
No Stasiun Karakteristik
1. 1 Memiliki tipe substrat Berpasir, dekat dengan zona litoral,
didominasi Tumbuhan mangrove spesies Rizophora sp.
Avicennia sp. Senoretia sp, dan Bruguiera , sering
digunakan sebagai tempat mencari ikan oleh Masyarakat
27
Batangan, kerapatan akar mangrove dan knopi daun
Mangrove sedang
2. 2 Memiliki tipe substrat berlumpur, dekat dengan zona
litoral dan rawa, didominasi tumbuhan mangrove
homogen yaitu Rizophora apiculata, dan Rizophora
stylosa, Kerapatan akar mangrove dan knopi daun
Mangrove tertutup
3. 3 Memiliki tipe substrat lumpur berrpasir, merupakan
daerah yang dekat dengan muara, didominasi tumbuhan
Mangrove bermacam- macam, seperti Rizophora
mucronata, Rizophora stylosa, Cariops, Avicennia, serta
mangrove asosiasi lainnya. Kerapatan akar Mangrovedan
Knopi Daun Mangrove ada yang tertutup da nada yang
terbuka
a. c.b.
28
Gambar 3.3 Foto Stasiun: a. Stasiun 1 ( Manting), b. Stasiun 2 ( Dermaga Baru),
c. Stasiun 3 (Muara Kali topo) (Sumber: Dokumentasi pribadi)
1x1 m
4m
10 m
29
50 m
30
4.4.5 Identifikasi Krustasea
Krustasea yang ditemukan dilakukan identifikasi spesies menggunakan
acuan buku, jurnal- jurnal, serta beberapa web yang mendukung Identifikasi
Krustasea. kemudian hasil Identifikasi dan cacah individu dimasukkan kedalam
tabel dibawah ini:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1
2.
3.
4.
Id=
Keterangan:
31
Id = Indeks Dipersi Morisita
n =Jumlah total unit sampling/plot
N =Jumlah total individu yang terdapat dalam n plot
∑x² =Kuadrat jumlah individu per plot
Dengan Kriteria sebagai berikut:
Id=1= Menunjukkan pola sebaran random iatau acak (R)
Id>1=Menunjukkan pola sebaran Clumped atau mengelompok (C)
Id<1= Menunjukkan pola sebaran uniform teratur (U)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
32
Dieginidae, Sesarmidae dan Ocypodidae. Adapun temuan jenis- jenis spesies
Kruatasea adalah sebagai berikut:
1. Clibanarius sp.
Clibanarius sp. merupakan Kelomang Mangrove yang dapat ditemukan pada
substrat berlumpur dan berpasir, Cibanarius memiliki morfologi Panjang tubuh
sekitar ± 4 cm Kaki berjumlah 10 dengan warna abu- abu tua, hijau tua ada juga
yang berwarna hitam. Terdapat antenna, dan silia pada kaki- kakinya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Kusumadewi dkk (2013) Kaki Clibanarius berjumlah
10 dengan panjang tubuh rata- rata ± 6 cm. Pada Bagian carapace pada
Clibanarius terdapat shield , Clibanarisus lebih panjang dan bagian bawahnya
tidak simetris. Sesuai juga dengan pernyataan Rahayu (2003) Bahwa Genus
Clibanarius adalah sepsis yang mudah ditemukan pada ekosistem Mangrove di
permukaan- permukaan substrat, dia menggunakan cangkang Gastropoda untuk
melindungi dirinya dari serangan. Warna antennae, antenulle Clibanarius
biasanya berwarna hitam. Cheliped jantan pada bagian kiri lebih besar dari pada
bagian kanan. Setiap Periopod memiliki 4 ruas dengan warna hitam dan terdapat
bulu- bulu halus. Karapaks memberntuk lonjong berwarna kuning, pada ujung
kaki lancip.
Gambar Literatur
33
Gambar 4.1 Spesies 1 ; a. Clibanarius sp (Sumber: Dokumentas Pribadi), b. Foto
Literatur (Sumber: Kachia et al, 2017 ).
34
karakter dalam penentuan spesies Sedangkan kepiting betina memiliki 2 buah
capit yang berukuran kecil, sehingga dapat lebih mudah untuk makan dan mencari
makanan daripada kepiting jantan. Uca sp. sebagai anggota dari Famili
Ocypodidae secara umum adalah pemakan detritus organik lumpur. Aktivitas
hidupnya terganggu setiap hari dengan datangnya pasang surut. Uca sp.
merupakan jenis kepiting yang hidup dalam lubang atau berendam dalam subtrat
dan hanya ditemukan di hutan mangrove. Kepiting Uca sp akan selalu menggali
lubang dan berdiam di dalam lubang untuk melindungi tubuhnya terhadap
temperatur yang tinggi, karena air yang berada dalam lubang galian dapat
membantu mengatur suhu tubuh melalui evaporasi.
Gambar Literatur
Adapun Klasifikasi dari spesies Uca sp. Menurut Davie, dalam web GBIF (2021)
adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Phylum: Arthropoda
Class: Malacostraca
Order : Decapoda
Family : Ocypodidae
Genus: Uca
Species: Uca sp.
3. Perisesarma sp.
35
Perisesarma sp. mempunyai morfologi Karapas berbentuk Bulat hampir kotak,
Seluruh bagian tubuh Parasesarma berwarna hitam, kecuali pada bagian mata
berwarna hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ristiyanto dkk (2018)
Perisesarma adalah Kepiting dari family Sesarmidae, Kepiting dari jenis family
ini banyak ditemukan pada akar, batang a daun Mangroved dan bersembunyi
kedalam substrat yang terbuka. Carapace Perisesarma berbentuk bulat, memiliki
4 pasang kaki untuk berjalan, 2 Cheliped dengan ukuran yang sama digunakan
untuk menyerang musuh. Antena, dactylus, pollex,propodius, carpus dan merus.
Gambar Literatur
Adapun Klasifikasi dari spesies Perisesarma sp. menurut Jheng (2018) adalah
sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Phylum: Arthropoda
Subphylum: Crustacea
Superclass: Multicrustacea
Class: Malacostraca
Order: Decapoda
Infraorder:Brachyura
Family: Diogenidae
Genus: Perisesarma
Species: Perisesarma sp.
36
Tabel 4.1 Jumlah temuan spesies Krustasea
No Ordo Family Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
U1 U2 U1 U2 U1 U2
1 Decapod Dieginidae Clibanarius sp. 97 85 94 84 144 56
2 Sesarmidae Perisesarma - - - - 2 11
a sp.
3 Ocypodida Uca sp. 3 - 12 - 33 43
e
Jumlah 100 85 106 84 179 110
Total 185 190 289
37
Gastropoda, dan Bivalvia. Krustasea banyak ditemukan pada hutan mangrove
yang memiliki substrat lumpur dan berpasir karena kandungan organic yang
melimpah membuat ketersediaan makanan melimpah pula. Dikuatkan juga oleh
pendapat Pratiwi (2007) bahwa kepiting Uca spp. menyukai tempat-tempat yang
relatif terbuka dengan dasar pasir campur lumpur. Kepiting tersebut aktif pada
siang hari, mencari makan, menggali lubang dan mencari pasangan.
Sedangkan spesies Krustasea yang paling sedikit ditemukan adalah pada
lokasi stasiun 1, yakni ditemukan 2 jenis spesies Krustasea, dengan total 185
individu (Tabel 4.1) hal ini dikarenakan kondisi stasiun 1 memilki substrat
berpasir sehingga hanya bisa ditemukan spesies- spesies Krustasea yang menyukai
habitat substrat berpasir. Sedikitnya individu yang ditemukan pada stasiun ini
dikarenakan lokasi stasiun juga sering digunakan sebagai tempat memancing oleh
Masyarakat Desa Batangan, sehingga aktivitas manusia membuat keberadaan
spesies Krustasea terganggu dan menurun. Pernyataan ini sesuai dengan Sawitri
(2019) beberpa Uca seperti Uca lactea. hidup disekitar akar-akar tanaman bakau
dan disusbtrat yang mengandung pasir. Selaras juga dengan Pernyataan
Agustianingsih(2006) Sedikitnya Krustasea yang ditemukan karena tipe substrat
berpasir tidak mengandung bahan organic sebanyak substrat berlumpur.
Kemudian ditambah dengan pernyataan Dranilawati (2020) bahwa aktivitas
manusia yang berlebihan dapat mengganggu kelangsungan hidup biota laut.
Berdasarkan hasil diatas Jenis Spesies yang paling banyak ditemukan pada
lokasi penelitian baik dari satsiun 1, stasiun 2, maupun staisun 3 adalah spesies
dari genus Clibanarius hal ini dikarenakan pada lokasi stasiun 1 memiliki
substrat berpasir dan dekat dengan zona litoral sedangakan stasiun 2 memiliki
substrat berlumpur yang merupakan daerah dekat dengan rawa, sedangkan stasiun
3 memiliki substrat lumpur berpasir yang merupakan daerah muara kalitopo,
ketiga- tiganya merupakan daerah yang mudah tergenang air dan masih memiliki
tumbuhan mangrove yang begitu rapat dan lebat, sehingga hal tersebutlah yang
mendukung banyaknya genus Clibanarius ditemukan, hal ini sesuai dengan
pernyataan Pratiwi (2007) yang menjelaskan bahwa kelomang banyak ditemukan
pada area basah yang masih terdapat tumbuhan dan melekat pada daun maupun
38
akar. Pendapat ini juga didukung oleh Pratiwi (2013) bahwa Clibanarius sp.
adalah salah satu jenis kelomang yang banyak ditemukan di daerah ekosisitem
mangrove. Hewan ini banyak terdapat di batang dan akar pohon mangrove serta
substrat lumpur, berpasir, dan berbatu yang tergenang air dan bongkahan kayu
yang sudah lapuk. Kelomang merupakan pemakan bangkai dari hewan lain,
Kelomang mempunyai tubuh yang lunak dan dilindungi oleh cangkang luar,
cangkang tersebut berasal dari cangkang gastropoda yang juga banyak ditemukan
di daerah mangrove. Kelomang akan memilih ukuran cangkangnya sesuai dengan
ukuran tubuhnya. Cangkang tersebut berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus
sebagai tempat berlindung. Selain itu juga untuk melindungi kelomang dari
kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh hempasan ombak, gesekan pasir dan
batu karang.
Selanjutnya spesies yang paling sedikit ditemukan adalah spesies
Perisesarma sp. spesies ini hanya ditemukan di stasiun 3 dengan jumlah 13
individu (Tabel 4.1), hal ini dikarenakan spesies tersebut merupakan spesies yang
hanya menyukai tempat dengan tipe substrat berpasir dan terbuka, sedangkan pada
lokasi penelitian stasiun 1 dan stasiun 2 merupakan tempat yang memiliki
ekosistem mangrove yang masih sangat rapat dan lebat dibandingkan lokasi
stasiun 3 yang ekosistem mangrovenya ada bagian tajuk yang tidak rapat dan
masih terbuka, sehingga hal inilah yang mendukung ditemukannya spesies
Perisesarma di lokasi penelitian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pernyataan
Ristiyanto dkk (2018) Perisesarma adalah Kepiting dari family Sesarmidae,
Kepiting dari jenis family ini banyak ditemukan pada akar, batang a daun
Mangroved dan bersembunyi kedalam substrat yang terbuka.
Berdasarkan penjelasan di atas, terjadinya spesies jenis tertentu dapat
ditemukan di satu lokasi sedangkan jenis tertentu juga tidak dijumpai di lokasi
lain adalah disebabkan oleh beberapa factor. Menurut Ravichandran et al. (2001)
dan Steenis (1958) adalah Faktor – factor yang menyebabkan adanya “pemilihan
habitat”, sehingga jenis tertentu dapat ditemukan di satu lokasi sedangkan jenis
tersebut tidak dijumpai di lokasi lain adalah a) Faktor tanah (substrat): kering,
basah, lunak, keras, mengandung pasir, lumpur atau lempung (berhubungan erat
39
dengan pasang surut), b) Salinitas: variasi harian, berhubungan dengan frekwensi,
kedalaman dan jangka waktu genangan, c) Ketahanan jenis terhadap arus dan
ombak, d) Faktor makanan, e) Faktor perlindungan;
40
Pola Distribusi Mengelompok dapat terjadi dikarenakan tiap- tiap stasiun
penelitian memiliki kondisi lingkungan yang sesuai, adanya persediaan makanan
yang tinggi dan jenis substrat yang cocok bagi jenis krustasea. Hal ini dapat
dilihat memlalui ketebalan, kerapatan dan lebatnya Mangrove pada tiap- tiap
stasiun yang menyebabkan Krustasea memiliki ketersediaan makanan. Selain itu
tipe substrat berpasir, berlumpur, dan lumpur berpasir juga menyebabkan
Kepiting mudah menggali lubang serta kandungan organic pada substrat
meilmpah sehingga ketersediaan makananpun juga melimpah. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Rahyudin dkk (2020) Ekosistem mangrove berfungsi
sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis hewan
seperti kepiting. Substrat Berpasir dan berlumpur akan mempermudah kepiting
untuk membuat lubang dan disamping itu kandungan bahan organik untuk
hidupnya juga lebih melimpah. Substrat dasar perairan juga dapat menentukan
distribusi dalam suatu perairan karena di dalam substrat terdapat sumber makanan.
Selain itu selaras juga dengan pernyataan Pratiwi (2007) Pola sebaran yang
mengelompok adalah penyebaran organisme di suatu habitat yang hidup secara
berkelompok dalam jumlah tertentu, penyebaran berkelompok disebabkan oleh
faktor Kesesuaian habitat, ketersediaan makanan dan jenis subtrat yang umumnya
adalah lumpur halus, lunak dan berpasir. Ditambah dengan pernyataan Ode (2017)
Pola distribusi mengelompok disebabkan oleh sifat spesies bergerombol atau
adanya kesamaan habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat lain yang
terdapat banyak bahan makanan. Hal ini terjadi karena adanya pengumpulan
individu sebaga strategis dalam menanggapi perubahan cuaca dan musim serta
perubahan habitat dan proses reproduksi.
Selain penjelasan di atas pola distribusi mengelompok juga dapat terjadi
karena Spesies Krustasea mengalami adaptasi dari perubahan ekologis suatu
lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Junaidi (2010). Pola distribusi
mengelompok diduga merupakan cara beradaptasi dari krustasea untuk mengatasi
tekanan ekologis dari lingkungan dan kecenderungan untuk mempertahankan diri
dari predator dan faktor-faktor lain yang tidak menguntungkan, sehingga
organisme cenderung berkelompok pada daerah dimana faktor yang dibutuhkan
41
untuk hidupnya tersedia. Selain itu menurut Wahyudi dkk (2014) Kehidupan
berkelompok merupakan sifat dari sebagian besar struktur populasi di alam.
Penyebaran berkelompok juga mampu mengurangi kematian selama periode
kurang baik dibandingkan dengan individu yang hidupnya menyebar.
42
karena pengamatan pada tiap stasiun dilakukan pada waktu Siang hingga sore
hari. Suhu lingkungan yang didapatkan menunjukkan bahwa Suhu Lingkungan
dilokasi penelitian masih dalam kategori Normal dan mendukung Kehidupan
speseies Krustasea Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Sawitri (2019) bahwa
Baku mutu Suhu di ekosistem mangrove adalah 28 -32 ˚C. ditambahkan pula
pendapat Suprianto 2010 secara umum Krustasea hidup pada ekosistem
mangrove, dapat bertahan pada suhu 23-32°C.
Selanjutnya rata rata pH yang didapatkan pada lokasi tiap- tiap stasiun
adalah 7,75 . Perolehan pH tersebut masih bisa dikategorikan Normal dan
mendukung kehidupan Krustasea. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahayu
(2018) bahwa nilai pH antara7,00–9,00 hal ini dianggap pH normal atau disebut
dalam kategori perairan mesotrof, yaitu perairan yang paling banyak memiliki
aktivitas biologi yang tinggi dan juga memiliki kecerahan perairan yang baik. Dan
didukung pula oleh pernyataan Rizal dkk (2018) Derajat keasaman (pH)
mempengaruhi ketersediaan nutrisi dan akan membatasi kehidupan suatu
organisme yang tidak tahan terhadap asam. pH kisaran < 5 dan pH > 9 akan
menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan makrozoobentos
termasuk Crustaceae.
Kemudian Substrat, Pengukuran substrat pada stasiun satu didapati tipe
substrat berpasir, pada stasiun 2 didapati tipe substrat berlumpur, sedangkan pada
stasiun 3 didapati tipe substrat berpasir, berlumpur, berpasir dan berlumpur. Tipe
– tipe substrat yang bermacam- macam pada lokasi stasiun penelitian masih
mendukung kehiupan Krustasea. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustianingsih
(2006) Biota Mangrove yang sering ditemui adalah Krustasea, Gastropoda, dan
Bivalvia. Krustasea banyak ditemukan pada hutan mangrove yang memiliki
substrat lumpur dan berpasir karena kandungan organic yang melimpah membuat
ketersediaan makanan melimpah pula. Ditambahkan pula pernyataan Ramesh et
al. (2009) menyatakan ukuran butiran subtrat sangat menentukan sebaran kepiting
karena kepiting telah menunjukkan adaptasi morfologis terhadap kondisi subtrat,
serta berkaitan dengan lubang yang akan dibangunnya dan ketersediaan makana
43
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Bahwa Jenis- Jenis Krustasea yang ditemukan pada 3 Stasiun diperoleh
temuan sebanyak 3 jenis spesies dari tiga family yaitu family Dieginidae
diwakili oleh Spesies Clibanarius sp. Family Sesarmidae diwakili oleh
spesies Perisesarma sp. dan family Ocypodidae diwakili oleh spesies Uca sp.
b. Pola distribusi Krustasea pada lokasi penelitian yang dilakukan di 3 stasiun
memiliki Nilai Indeks dipersi (Id) Morisita lebih dari 1, pola distribusi
tersebut menunjukkan Pola Distribusi mengelompok. Hal ini dapat terjadi
44
karena tiap- tiap stasiun penelitian memiliki kondisi lingkungan yang sesuai,
adanya persediaan makanan yang tinggi dan jenis substrat yang cocok bagi
jenis krustasea
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan peneliti adalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini tidak mengitung kerapatan akar mangrove pada tiap plot
penelitian, maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk menghitung
kerapatan akar Mangrove tiap- tiap plot
b. Penelitian ini hanya mengidentifikasi sampai tingkat genus, maka untuk
penelitian selanjutnya diharapkan dilakukan identifikasi sampai tingkat
spesies.
DAFTAR PUSTAKA
45
Avensa Maps. 2021. Peta Tutupan Zonasi TN Baluran
Bengen D. G. 2004. Ekosisitem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Laut . Institut Pertanian Bogor
Brown, S. L., R. L.Chaney, J.S. Angleand, & A. J. M. Baker. 1995. Zinc and
Cadmium Uptake by Hyperacumulator Thlaspi caerulescens Grown in
Nutrient Solution. Soil Sci Soc Am. 2 (59):125-133
Campbell, A. N., & Recce, B. J., 2010 Biologi Edisi Kedelapan. Erlangga.
Jakarta.
Darnilawati. 2020. Pola Distribusi Kelomang Di Pantai Momong Kecamatan
Lhoknga Kabupaten Aceh Besar Sebagai Penunjang Praktikum Ekologi
Hewan. Skripsi. Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry Darussalam. Banda Aceh.
Davie, P.J.F., & Guinot. 2008. Systema Brachyurorumm: Part i. An Annotated
Checklist of The Extant Brachyura Crabs Of The Worls. The Raffless
Buletin Of Zoology. 17(2): 1-286.
Duarte, P. C., J. H. Christy, & R. A. Tankersleya. 2011. A Behavioral Mechanism
For Dispersal In Fiddler Crab Larvae (Genus Uca) Varies With Adult
Habitat, Not Phylogeny. Limnol Oceanogr. 56: 1879–1892.
Ghafor, & I. Mahmood. 2018. Crustacean. Univetsitet Of Sulaimani. Iraq.
Google Earth. https://earth.google.com. Diakses pada Tanggl 29 Agustus 2021.
Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
Jheng, J. L. 2018. A new Species of The Genus Prasesarma (Crustacea:
Brachyura: Sesarmidae) From Taiwan and the Philippines, and
rediscription pf P. Jamelense . Dataverse. 61(2): 633-639.
Junaidi, E. 2010. Kelimpahan Populasi dan Pola Distribusi Remis (Corbicula sp)
di Sungai Borang Kabupaten Banyuasin. Jurnal Penelitian Sains. 13 (03).
Kachhiya, P., Jafn R., Paresh P., & Rahul K. 2017. Diversity and new records of
Intertidal hermit crabs of the genus Clibanarius (Crustacea: Decapoda:
Diogenfdae) from Gujarat coast off the northern Arabian Sea, with two new
records for the mainland Indian coastline. Journal of Threatened Taxa.
9(6).
Kastawi, Y. 2005. Zoologi Avertebrata. UM Press. Malang.
Kastawi. 2009. Zoologi Avertebrata. UM Press. Malang.
Krabs, C. J. 1958. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and
Abudance. Happer and Row. New York.
Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Kusumadewi, I., Rudhi P., & Widianingsih. 2013. Biologi Krustasea di Tracking
Mangrove Kawasan Terusan Pulau Kemujan Kepulauan Karimunjawa.
Journal Of Marine Research. Volume 2 (4): 94 – 103
Lamaitre. 2021. Word List Of Marine Brachyura. https://www.marinespecies.org
Diakses pada Tanggl 27 Agustus 2021.
Lumenta, C. 2017. Avertebrata Air. Unsrat Press. Manado.
46
McLaughlin, P. A., D.L. Rahayu, T. Komai, & T. Chan. 2007. A Catalog of The
Hermit Crabs ( Paguroidea) Of Taiwan. National Taiwan Ocean
University.
Michael, 1984. Ecological system method for field and laboratory investigations,
New Delhi: Tata Mcgraw. Hill Publishing Company Limited. India
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nyabakken, W.J. 1998. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia.
Jakarta.
Ode, I. 2017. Kepadatan dan Pola Distribusi Kerang Kima (Tridacnidae) di
Perairan Teluk Nitanghahai Desa Morella Maluku Tengah. Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan (Agrikan Ummu-Ternate). 10(2).
Permana, A., Uus T., & Duhara. 2018. Pola Distribusi dan Kelimpahan Populasi
Kelomang Laut di Pantai Sindangkerta, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten
Tasikmlaya. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 10 (01): 87-98
Pratiwi, R. & Widyastuti, E. 2013. Distributional Patterns And Zonation Of
Crustaceans Mangrove In Lampung Bay. Zoo Indonesia. 22(1): 11-21.
Pratiwi, R. 2002. Studi Struktur Komunitas dan Beberapa Aspek Biologis
Makrobentos Krustasea di Komunitas Mangrove Pulau Ajkwa dan Pulau
Kamora, Kabupaten Mimika, Papua. Skrips.i Sarjana Ilmu Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.
Pratiwi, R. 2007. Studi Kepiting Mangrove di Delta Mahakam, Kalimantan
Timur. Jurnal Biota. 12 (2): 92-99.
Rahardjanto. 2001. Ekologi Tumbuhan. UNM Press. Malang.
Rahawarin, Y.Y. 2005. Komposisi Vegetasi Mangrove di Muara Sungai Siganoi
Sorong Selatan – Papua. Jurnal Biota. 10 (3): 134-140.
Rahayu, D. L. 2003. Hermit Crab Species Of The Genus Clibanarius ( Crustacea:
Decapoda: Diogenidae) From Mangrove Habitat In [Papua, Indonesia.
With Description Of a New Species. Memoirs Of Museum Cictoria. 60
(1):99-104.
Rahayu, S.M., Wiryanto, & Sunarto. 2018. Keanekaragaman Kepiting Biola di
Kawasan Mangrove Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Bioeksperimen.
4 (1): 53-63.
Rahyudin, E., Mohammad R., & Wanurgayah. 2020. Composition of Types And
Distribution Patterns of Crustaceans in the Mangrove Ecosystem in Laosu
Jaya Village District, Bondoala Regency, Konawe. Sapa Laut. 5(3): 193-
201.
Ramesh, S., Sankar, S., & Elangomathavan. 2009. Habitat Diversity of Hermit
Crab Clibanarius Longitarsus in Vellar Estuary, Southeast Coast of India
Recent. Research in Science and Technology. 1(4):161-168.
Ravichandran, S., Soundarapandian, P. & Kannupandi, T. 2001. Zonation And
Distribution Of Crabs In Pichavaram Mangrove Swamp, Southeast Coast
Of India. Indian Journal Fish., 48(2), 221-226.
Rianta, P. 2009. Komposisi Keberadaan Krustasea Di Mangrove Delta Mahakam
Kalimantan Timur. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta 14430. Indonesia . 13(1): 65-76.
47
Ristiyanto, A., Ali D., & Chrisna A. S. 2018. Korelasi Antara Kepiting dengan
Kerapatan Mangrove di Desa Bendono Kecamatan Sayung Kabupaten
Demak Jawa Tengah. Journal of Marine Species. 8(3
): 307- 313.
Rizal, M., Dewi F., Husna S., Wahyu D., & Hanum I. 2017. Struktur Komunitas
Uca Spp. Di Kawasan Hutan Mangrove, Bedul Utara, Taman Nasional
Alas Purwo, Jawa Timur. Jurnal Prameter. 29 (1).
Rumimiharto, K., Juwana S. 2007. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Djembatan. Jakarta.
Sawitri, N., Sunarto, & Prabang S., 2019. Keanekaragaman dan Preferensi Habitat
Kepiting Biola di Daerah Mangrove Pancer Cengkrong Kabupaten
Trenggalek, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan. 17 (1): 82-89.
Saxena, A., 2005. Text Book Of Crustacea. Discovery Publishing House. Delhi.
Shihab, M. Q. 2007. Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
vol. 7. Lentera Hati. Jakarta.
Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Institut
Pertanian Bogor Press. Bogor.
Sudarmadji. 2003. Profil Hutan Mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
Berk Penelitian Hayati. 9 (45-48).
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistemm Sumberdaya Hayati. Pustaka
Belajar: Yogyakarta.
Syirazi, S. N. M. 2015. Tafsir Al- Amtsal Kontenporer Aktual dan Populer. STFI
Sandra. Jakarta Seltan.
Valiela I. J., Bowen L., & York J.K., 2001. Mangrove Forest One Of The World’s
Threatenedmajor Tropical Environments. Bioscience. 40(2): 51 – 80.
Wahyudi, W., Ni L. W., & Deny S. Y. 2014. Jenis Dan Sebaran Uca Spp.
(Crustacea: Decapoda: Ocypodidae) Di Kawasan Hutan Mangrove
Benoa, Badung, Bali. Jurnal Program Studi Magister Ilmu Biologi,
Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Kampus Sudirman, Bali.
4(2): 13- 17.
48
LAMPIRAN
A. Cacah Individu sampel
Ulangan :1
49
No. Nama Spesies Plot Transek 2 Total
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius sp. 3 5 4 2 3 3 2 2 1 2 27
2 Uca sp. 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1
28
Ulangan :2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius striolatus 5 2 2 2 2 4 5 3 4 2 31
2 Uca lactea 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
31
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius striolatus 0 4 1 2 1 3 5 2 2 1 21
2 Uca lactea 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius striolatus 5 2 4 2 5 3 1 2 2 4
33
2 Uca lactea 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
33
Ulangan :1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius sp. 2 2 3 4 2 3 0 9 2 3 30
2 Uca sp. 1 1 1 0 0 1 2 0 1 1
8
38
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
51
1 Cilbanarius sp. 3 3 4 5 2 7 2 2 5 3 36
2 Uca sp. 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0
3
39
Ulangan :2
52
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius sp. 4 0 0 3 3 0 2 2 3 4 21
2 Uca sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
21
Ulangan :1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius sp. 4 4 4 3 5 8 7 12 4 6 56
5. Perisesarma sp. 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1
6. Uca sp. 2 3 4 0 2 1 0 1 2 3
18
75
53
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius sp 6 3 1 5 3 5 4 4 7 5 42
5. Perisesarma sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
6. Uca sp. 0 0 3 3 1 1 1 0 0 1
10
52
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius sp. 6 7 3 4 3 3 1 5 6 6 48
5. Perisesarma sp. 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1
6. Uca sp. 1 1 0 0 0 2 2 0 0 1
3
52
Ulangan :2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Cilbanarius sp. 2 3 2 1 1 3 2 2 3 3 22
5. Perisesarma sp. 0 0 0 2 0 0 0 0 1 1 4
6. Uca sp. 1 1 1 2 1 4 2 0 1 1 14
40
54
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Cilbanarius sp. 0 1 3 3 0 4 1 3 2 2 21
2.. Perisesarma sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
3. Uca sp. 1 1 0 3 1 1 2 1 0 5
15
36
B. Dokumentasi Spesies
No Gambar Keterangan
1. Dokumentasi temuan spesies
Clibanarius sp.
55
2. Dokumentasi temuan spesies
Perisesarma sp.
56
C. Dokumentasi Pengambilan sampel
No Gambar Keterangan
1. Pengambilan sampel Krustasea di Stasiun
1
57
5. Pengambilan data Suhu Air di Stasiun 2
58
10. Proses Identifikasi Spesies yang
ditemukan
59