Anda di halaman 1dari 52

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Kampus: BinaWidya Km. 12,5SimpangBaruPekanbaru 28293
Telepon: (0761) 63273 Faksimile (0761) 63273 Laman: biologi.fmipa.unri.ac.id
E-mail: biology.fmipa@unri.ac.id

SEMINAR HASIL PENELITIAN

JUDUL : BAKTERI PENGHASIL BIOPLASTIK DARI TANAH GAMBUT RIAU:


ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PRODUKSI

NAMA/NIM : ANGGI MARLIANA / 1703110079

Pembimbing 1 : Dr. rer. nat. Delita Zul, M.Si

Pembimbing 2 :

Penguji 1 : Dr. Tetty Marta Linda, M.Si

Penguji 2 : Hari Kapli, M.Si

Pembahas 1 :

Pembahas 2 :

Hari/Tanggal :

Waktu :

Ruangan :
BAKTERI PENGHASIL BIOPLASTIK DARI TANAH GAMBUT RIAU:
ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PRODUKSI

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

OLEH

ANGGI MARLIANA
NIM. 1703110079

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
BAKTERI PENGHASIL BIOPLASTIK DARI TANAH GAMBUT RIAU:
ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PRODUKSI

Mengetahui, Disetujui oleh


Ketua Jurusan Biologi FMIA Dosen Pembimbing
Universitas Riau

Dr. Vanda Julita Yahya, M. Si Dr. rer. nat. Delita Zul, M. Si


NIP. 195907011990022001 NIP.196807111993032003

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga proposal
penelitian yang berjudul “Bakteri Penghasil Bioplastik dari Tanah Gambut
Riau: Isolasi, Seleksi dan Optimasi Produksi ” dapat penulis selesaikan dengan
baik.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada seluruh


pihak yang telah banyak membantu, bekerjasama, memberi kritik, dan dukungan
baik secara moril maupun materil selama penulis menjalani studi dan
mengerjakan tugas akhir. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada:

1. Ibu Dr. rer. nat. Delita Zul, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, motivasi,
pengetahuan, dorongan, kritik dan saran dalam menyelesaikan studi ini
terkhususnya dalam penyelesaian penelitian ini.
2. Ibu Dewi Indriyani Roslim, M.Si Selaku Dosen Pembimbing Akademis
yang telah memberikan ilmu, arahan, masukan dan saran demi
menyelesaikan studi.
3. Ibu Dr. Tetty Marta Linda, M.Si selaku Dosen Penguji I dan Bapak Hari
Kapli, M.Si selaku Dosen Penguji II.
4. Ibu Dr. Vanda Julita Yahya, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Riau, Bapak/Ibu Dosen pengajar dan Staff Admin Jurusan
Biologi FMIPA UNRI yang telah memberikan ilmu, nasihat dan
membantu kelancaran penulis selama menjalani perkuliahan, serta Kak
Neng, Bang Arman dan seluruh Laboran Jurusan Biologi.
5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Jainudin dan ibu Suwarni yang jasanya
takkan pernah terbalaskan, yang senantiasa memberikan do’a untuk
penulis di setiap detik kehidupan, memberikan motivasi dan dukungan
moril maupun materil, serta Abang dan Kakak tersayang Hanafi

iii
Darmawan dan Hana Suryani yang selalu menjadi semangat dan motivasi
penulis.
6. Mamita Squad (Mus, kiting, kurnut, funny, ipit, ocu dan kak susi) yang
telah membersamai dan membantu dalam menyelesaikan penelitian.
7. Tim Pengambilan sampel tanah gambut Bang Abbrar, Bang Sholeh, Mus,
Ocu, Kiting dan semua pihak yang sudah banyak membantu dalam
pengambilan sampel.
8. Sahabat-sabahatku Sista Pipyu (Kurnut, Cacing, Yory, Kiting, Noli dan
Nopi) yang selalu bersama penulis, yang selalu memberikan motivasi,
hiburan dan dukungan saat suka maupun duka.
9. Teman- teman seperjuangan magang (Yory, Kurnut, Cacing, Kiting,
Indah, Ipit, Funny, Yuda, Yozi, Mus dan Ocu) yang sudah banyak
memberikan kesan sedih dan senang selama dikontrakan.
10. Aziz Rafsanjani yang sudah memberikan semangat, perhatian serta
membantu selama penelitian ini.
11. Rekan-rekan Honey Bee 2017 yang telah memberikan banyak momen dan
kenangan tak terlupakan selama perkuliahan. Kakak/abang senior, adik-
adik, seluruh keluarga besar Jurusan Biologi.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini, yang tidak bisa disebut namanya satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan proposal penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk penulisan yang lebih baik berikutnya. Akhir
kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
semua pihak yang memerlukan.

Pekanbaru, Juli 2021

Anggi Marliana
NIM. 1703110079

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... viii
ABSTRACK.................................................................................................... ix
ABSTRAK....................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah............................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Plastik................................................................................... 5
2.2 Plastik Ramah Lingkungan.................................................. 6
2.3 Polihidroksialkanoat (PHA)................................................. 7
2.4 Bakteri Penghasil PHA......................................................... 9
2.5 Produksi PHA....................................................................... 10
2.6 Tanah Gambut...................................................................... 12
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat................................................................ 14
3.2 Alat dan Bahan Penelitian................................................... 14
3.3 Deskripsi Lokasi Pengambilan Sampel Tanah..................... 15
3.3.1 Sampel tanah gambut................................................... 15
3.3.2 Sampel LCPKS............................................................ 15
3.4 Desain Penelitian.................................................................. 15
3.5 Prosedur Kerja...................................................................... 16
3.5.1 Pengambilan Sampel.................................................... 16
3.5.2 Pembuatan Media dan Larutan.................................... 18
3.5.2.1 Pembuatan Garam Fisiologis...................... 18

v
3.5.2.2 Pembuatan Larutan Sudan Black................. 18
3.5.2.3 Pembuatan Nutrient Agar (NA)................... 18
3.5.2.4 Pembuatan Nutrient Broth (NB).................. 18
3.5.2.5 Pembuatan Mineral Salt Medium (MSM).... 19
3.5.2.6 Pembuatan Medium produksi yang mengandung
LCPKS......................................................... 19
3.5.3 Isolasi Bakteri Penghasil PHA................................... 19
3.5.4 Seleksi Bakteri Penghasil PHA................................... 20
3.5.5 Pembuatan Starter........................................................ 20
3.5.6 Uji Kemampuan Isolat dalam Menghasilkan PHA..... 20
3.5.7 Optimasi Produksi PHA.............................................. 21
3.5.8 Ekastraksi PHA........................................................... 21
3.5.9 Kuantifikasi Residu Biomassa dan Akumulasi PHA. 22
3.5.10 Analisis Data.............................................................. 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Isolasi dan Seleksi Bakteri Penghasil PHA........................... 23
4.2 Uji Produksi........................................................................... 27
4.3 Optimasi Produksi.................................................................. 29
4.4 Pengaruh sumber karbon terhadap PHA................................ 32
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan............................................................................. 35
5.2 Saran....................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 36

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Deskripsi lokasi pengambilan sampel........................................ 17


Tabel 4.1 Hasil isolasi dan seleksi bakteri dari sampel tanah gambut........ 24
Tabel 4.2 Berat kering sel, Berat kering PHA, Residu biomassa dan
Akumulasi PHA dari 10 isolat uji produksi...............................
28
Tabel 4.3 Berat kering sel, Berat kering PHA, Residu biomassa dan
Akumulasi PHA dari 10 isolat uji produksi...............................
30

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Umum PHA.................................................................. 8


Gambar 3.1 Skema rancangan tahapan penelitian......................................... 16
Gambar 4.1 Hasil isolasi, seleksi dan reseleksi.............................................. 26
Gambar 4.3 Hasil bubuk PHA........................................................................ 32
Gambar 4.4 Diagram Pengaruh sumber Karbon............................................ 33

viii
ABSTRACK

Synthetic plastic has the disadvantage of being difficult to decompose in nature,


causing environmental problems. To overcome the problem of accumulation of
plastic waste, the use of environmentally friendly plastics (bioplastics) is one
solution. Bioplastics are made from natural polymers such as starch, cellulose, and
fats. Polyhydroxyalkanoate (PHA) is one of the building blocks of bioplastics.
PHA is the result of microbial metabolism produced by bacteria as a response to
an unbalanced environment. Bacteria that have the ability to produce PHA can be
isolated from various sources such as industrial waste, agricultural waste and soil.
This study aims to isolate PHA-producing bacteria from peat soil, Bengkalis, Riau
and optimize PHA production through modification of production media. Peat soil
samples were taken from six types of locations with four replications, namely,
industrial plantation forest, restoration land, rubber plantation, secondary forest,
oil palm plantation and burnt land. Isolation was carried out using the spread plate
method and qualitative selection of PHA-producing bacteria was carried out using
suddan black dye. A total of 10 bacterial isolates had a high ability to produce
PHA which was indicated by the black color absorption. The highest
accumulation of PHA was 46.47% of HS4_8 isolates using 50% LCPKS enriched
medium.

Keywords: accumulation of PHA, bioplastic, LCPKS, peat soil,


polyhydroxyalkanoate.

ix
ABSTRAK

Plastik sintesis memiliki kelemahan sulit terurai di alam, sehingga menimbulkan


masalah lingkungan. Untuk mengatasi masalah penumpukan sampah plastik,
penggunaan plastik ramah lingkungan (bioplastik) menjadi salah satu solusi.
Bioplastik terbuat dari polimer alami seperti pati, selulosa, dan lemak.
Polyhydroksialkanoat (PHA) adalah salah satu bahan penyusun bioplastik. PHA
merupakan hasil metabolisme mikroba yang dihasilkan bakteri sebagai bentuk
respon dari lingkungan yang tidak seimbang. Bakteri yang memiliki kemampuan
menghasilkan PHA dapat diisolasi dari berbagai macam sumber seperti limbah
industri, limbah pertanian dan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi
bakteri penghasil PHA dari tanah gambut, Bengkalis, Riau dan optimasi produksi
PHA melalui modifikasi media produksi. Sampel tanah gambut diambil dari enam
tipe lokasi denggan empat ulangan yaitu, hutan tanaman industri, lahan restorasi,
kebun karet, hutan sekunder, kebun sawit dan lahan bekas terbakar. Isolasi
dilakukan dengan metode spread plate dan dilakukan seleksi bakteri penghasil
PHA secara kualitatif menggunakan pewarna suddan black. Sebanyak 10 isolat
bakteri memiliki kemampuan tinggi dalam menghasilkan PHA yang ditunjukkan
oleh serapan warna hitam. Akumulasi PHA tertinggi sebesar 46,47% dari isolat
HS4_8 yang menggunakan medium diperkaya LCPKS 50%.

Kata kunci: akumulasi PHA, bioplastik, tanah gambut, LCPKS,


Polihidroksialkanoat.

x
xi
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri polimer akhir-akhir ini mengalami peningkatan pesat yang

digunakan sebagai bahan baku plastik sintesis. Plastik sintesis memiliki

kelemahan sulit terurai di alam, sehingga penggunaannya dapat menimbulkan

masalah lingkungan dan merusak ekosistem (Pujawati dan Nawfa 2016).

Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan, Indonesia menghasilkan 67 juta ton

sampah pada tahun 2019 dengan komposisi sampah plastik mencapai 9 juta ton

(Kartika dan samsul 2018). Untuk mengurangi jumlah penumpukan sampah

plastik, maka penggunaan plastik yang ramah lingkungan menjadi salah satu

solusinya.

Plastik ramah lingkungan disebut juga bioplastik yang lebih mudah

didegradasi di lingkungan oleh mikroorganisme (Fachry dan Sartika 2012).

Bioplastik terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa dan lemak

(Kamsiati et al. 2017). Salah satu bahan penyusun bioplastik adalah

polihidroksialkanoat (PHA). PHA merupakan hasil metabolisme mikroba yang

terbentuk dari cadangan karbon dan energi intraseluler yang dihasilkan dari

beberapa jenis bakeri sebagai bentuk respon dari lingkungan yang tidak seimbang

(Pujawati dan Nawfa 2016). Bakteri yang memiliki kemampuan menghasilkan

PHA dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, seperti limbah industri, limbah

pertanian dan tanah.

Kresnawaty et al. (2014a) berhasil mengisolasi 10 bakteri penghasil PHA

melalui uji kualitatif dari tanah tempat pembuangan sampah dan limbah cair

1
pabrik kelapa sawit. Penelitian lain menyebutkan bakteri penghasil PHA dapat

diisolasi dari tanah, lumpur dan limbah detergen di Baghdad (Gatea et al. 2018).

Phanse et al. (2011) juga berhasil mengisolasi 22 bakteri penghasil PHA dari

limbah sungai, tempat pengolahan limbah, limbah industri, tanah industri, tanah

pertanian dan kompos.

Kustarianingsih dan Nawfa (2015) berhasil mengisolasi bakteri Ralstonia

pickettii dengan penambahan fruktosa sebagai sumber karbon dan mampu

memproduksi PHA sebesar 0,042 g/g sel kering (4,25%). Penggunaan media

minimal cair dan glukosa sebagai sumber karbon ternyata mampu meningkatkan

produksi PHA dari R. pickettii dengan akumulasi PHA sebesar 14,53% (Pujawati

dan Nawfa 2016) . Selain modifikasi komposisi medium, optimasi produksi PHA

juga dapat dilakukan melalui variasi waktu inkubasi.

Kresnawaty et al. (2014b) melakukan uji optimasi produksi PHA dari

bakteri Bacillus subtilis DO2 menggunakan variasi konsentrasi limbah cair pabrik

kelapa sawit (LCPKS) dengan konsentrasi 100, 50, 25, dan 15% dan waktu

inkubasi dengan variasi 5 dan 6 hari. Kondisi optimum untuk akumulasi PHA

tertinggi dari bakteri B. Subtilis DO2 adalah pada konsentrasi LCPKS 25% dan

waktu inkubasi 6 hari (1,53%). Studi lain untuk produksi optimum PHA oleh

Alcaligenes latus dilakukan oleh Kumalaningsih et al. (2011) dengan

menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon. Parameter yang digunakan untuk

optimalisasi produksi yaitu konsentrasi sukrosa awal (15 g/L, 20 g/L, dan 25 g/L)

dan waktu inkubasi (48 jam, 60 jam, dan 72 jam). Hasil produksi PHA maksimum

diperoleh pada konsentrasi sukrosa 25 gr/L dan waktu inkubasi 60 jam yang

menghasilkan PHA sebanyak 2,48 gr/L.

2
Provinsi Riau merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki

kawasan gambut. Sebagaimana diketahui luas lahan gambut di Provinsi Riau

sebesar 50% dari total luas Provinsis Riau yang tersebar hampir diseluruh

kabupaten. Total luas dari Provinsi Riau ± 9 juta hektar, lebih dari 4 juta

hektarnya merupakan lahan gambut dengan kedalaman yang bervariasi (Walhi

Riau 2018). Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada

cekungan atau rawa dimana akumuluasi bahan organik pada kondisi jenuh air,

anaerob menyebabkan perombakan bahan organik berjalan lambat sehingga

terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut. Sejauh ini belum

ada informasi mengenai isolasi bakteri penghasil PHA dari tanah gambut, padahal

tanah gambut kaya akan material organik.

1.2 Perumusan Masalah

Bahan baku dari plastik sintesis adalah minyak bumi. Menipisnya fosil

bahan bakar penyebab meningkatnya harga minyak bumi, serta penggunaan

plastik sintesis yang sulit terurai di lingkungan mengakibatkan timbulnya masalah

penumpukan sampah plastik. Perlu dicari alternatif pengganti plastik sintesis,

salah satunya dengan cara beralih menggunakan bioplastik. Bioplastik lebih

mudah terdegradasi di alam dan berbahan baku dari sumber yang dapat

terbaharukan. Banyak peneliti yang sudah melakukan isolasi bakteri penghasil

bioplastik, namun bioplastik yang dihasilkan masih memiliki kekurangan.

Kekurangan dari isolat yang diisolasi dari tanah adalah bioplastik yang dihasilkan

mudah robek. Tanah gambut Riau diketahui kaya akan mikroorganisme yang

beragam. Isolasi bakteri penghasil PHA dari tanah gambut Riau sudah pernah

dilakukan, tetapi produksi PHA yang dihasilkan relatif rendah. Oleh karena itu,

3
perlu dilakukan kembali isolasi bakteri penghasil bioplastik yang berpotensi dari

tanah gambut Riau dibeberapa lokasi yaitu hutan tanaman industri, hutan

sekunder, lahan restorasi, kebun karet, kebun sawit dan lahan bekas terbakar.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Isolasi bakteri penghasil PHA sebagai penyusun bioplastik dari tanah

gambut Bengkalis, Riau yaitu: hutan tanaman industri, hutan sekunder,

lahan restorasi, kebun karet, kebun sawit dan lahan bekas terbakar.

2. Optimasi produksi PHA dari isolat terseleksi melalui modifikasi media

produksi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat bakteri dari tanah

Gambut Bengkalis, Riau yang berpotensi menghasilkan PHA sebagai bahan baku

pembuatan bioplastik.

4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plastik

Plastik sintesis merupakan produk turunan minyak bumi yang tersusun

dari polimer rantai panjang yang berbahaya bagi kesehatan manusia karena

kandungan residu monomer vinil klorida sebagai unit penyusun polivinilklorida

(PVC) yang bersifat karsinogenik (Siswono 2008). Monomomer-monomer

penyusun plastik sintesis tersebut akan masuk ke dalam makanan dan selanjutnya

masuk ke dalam tubuh orang yang mengkonsumsinya. Penumpukan bahan kimia

yang masuk ke dalam tubuh tidak dapat larut di dalam air sehingga tidak dapat

dibuang keluar bersama urin dan feses. Penumpukan bahan kimia di dalam tubuh

dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan mengakibatkan kanker.

Plastik sintesis umumnya terbuat dari bahan sulit terurai oleh karena itu

penggunaan plastik perlu diperhatikan mengingat besarnya tumpukan limbah yang

dihasilkan. Kontribusi sampah plastik terhadap total produksi sampah nasional

mencapai 15% dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 14,7% per tahun dan

menempatkan sampah plastik sebagai kontributor terbesar kedua setelah sampah

organik (Wahyudi et al. 2018). Pengelolaan sampah plastik menjadi masalah

karena plastik merupakan material yang membutuhkan waktu cukup lama agar

dapat terdekomposisi secara sempurna. Plastik diperkirakan membutuhkan waktu

100 hingga 500 tahun untuk dapat terurai sempurna (Wahyudi et al. 2018).

Pengelolaan sampah plastik dengan cara pembakaran dapat menyebabkan

dampak negatif terhadap lingkungan berupa terjadinya pencemaran udara

khususnya emisi dioksin yang bersifat karsinogen. Asap yang dihasilkan dari

pembakaran plastik sintesis berbahaya karena mengandung gas beracun seperti

5
hidrogen sianida (HCN) dan karbon monoksida (CO) yang merupakan hasil dari

pembakaran yang tidak sempurna. Hal inilah yang menyebabkan sampah plastik

sebagai salah satu penyebab pencemaran udara dan mengakibatkan efek jangka

panjang berupa pemanasan global pada atmosfir bumi (Ahmann dan Dorgan

2007).

2.2 Plastik Ramah Lingkungan

Saat ini sudah dikembangan plastik ramah lingkungan, yaitu plastik yang

dapat terurai di lingkungan oleh mikroorganisme secara alami yang hasil akhirnya

berupa air dan karbondioksida untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya

plastik sintesis (Pranamuda 2009). Biasanya plastik sintesis berbahan dasar

petroleum, gas alam atau batu bara. Sementara bioplastik terbuat dari bahan yang

dapat terbaharui, yaitu senyawa-senyawa yang terdapat di alam misalnya selulosa,

kolagen, atau lipid yang terdapat pada hewan serta dari senyawa yang dihasilkan

oleh mikroorganisme.

Beberapa bahan alami dapat menjadi penyusun plastik ramah lingkungan

seperti polisakarida (selulosa, pati, kitin), protein (kasein, whey, kolagen) dan

lemak. Adapula bahan sintesis penyusun plastik ramah lingkungan seperti

Polyvinyl Alcohol (PVA), poli hidroksi alkanoat (PHA), dan polylactic acid

(PLA) (Maryam et al. 2018). Berdasarkan laporan Pranamuda (2009), dalam

penelitiannya menyatakan bahwa saat ini polimer plastik ramah lingkungan yang

sudah diproduksi umumnya dari polimer jenis poliester alifatik. Ada tiga

kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan bioplastik

kemasan, yaitu:

6
1. Campuran Biopolimer dengan Polimer Sintetis

Plastik jenis ini dibuat dari campuran grabula pati (5-20%) dan polimer

sintesis serta bahan tambahan (prooksidan dan autooksidan). Bahan ini

memiliki nilai biodegradabilitas yang rendah.

2. Polimer Mikrobiologi (Polyester)

Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologis atau fermentasi dengan

mikroba genus Alcaligenes. Biopolimer jenis ini diantaranya polihidroksi

butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat (polylactic acid)

dan asam poliglikoat (polyglycolic acid). Bahan ini dapat terdegradasi secara

penuh oleh bakteri jamur dan alga. Namun oleh karena proses produksi bahan

dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif

mahal.

3. Polimer Pertanian

Biopolimer ini tidak dicampur dengan bahan sintesis dan diperoleh secara

murni dari hasil pertanian. Polimer hasil pertanian mempunyai sifat

termoplastik sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak

menjadi plastik kemasan. Keunggulan polimer jenis ini adalah tersedia

sepanjang tahun dan mudah hancur secara alami.

2.3 Polihidroksialkanoat (PHA)

Polihidroksialkanoat (PHA) adalah poliester termoplastik dengan struktur

beragam yang diproduksi oleh mikroorganisme ketika pasokan nutrisi terbatas

seperti nitrogen, oksigen, fosfor dan sulfur (Raza et al. 2017). Pada kondisi nutrisi

yang terbatas, organisme mampu mengasimilasi sumber karbon dan

7
menyimpannya sebagai hidroksialkanoat (HA) yang selanjutnya dipolimerisasi

menjadi PHA (Anjum et al. 2016).

Struktur PHA yang beragam tergantung pada sumber karbon dan

mikroorganisme yang terlibat. Mayoritas PHA yang teridentifikasi terdiri dari (R)

-3-hidroksi asam lemak monomer yang dihubungkan oleh ikatan ester.

Konfigurasi-R disebabkan oleh kiralitas dan spesifisitas stereo dari enzim yang

terlibat dalam biosintesis. Atom karbon yang ada dalam unit monomer HA

menentukan panjang PHA (Akinmulewo dan Nwinyi1 2019). Struktur PHA

disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur Umum PHA. Istilah R mengacu pada panjang rantai samping sedangkan
tanda bintang menunjukkan pusat kiral blok penyusun PHA. R menentukan jenis
unit monomer HA
Sumber: Akinmulewo dan Nwinyi1 (2019)

Selain sebagai bagian dari komponen intraseluler sel, PHA adalah

senyawa cadangan dan sumber energi bagi organisme saat sumber karbon di

lingkungan habis (Raza et al. 2017). Organisme yang mengakumulasi PHA

mampu menahan kondisi stres seperti panas, guncangan osmotik, iradiasi

ultraviolet (Tan et al. 2014). Didalam sel bakteri, PHA diakumulasi sebagai bulir

(granul) yang dikelilingi oleh protein dan lemak. Protein dan lemak tersebut,

diperkirakan berperan penting, baik dalam produksi maupun degradasi senyawa

PHA dalam sel (Lu et al. 2009).

8
PHA adalah salah satu penyusun bioplastik yang memiliki sifat mirip

dengan plastik sintesis serta dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. PHA

memiliki berbagai aplikasi dalam beberapa industri seperti bidang biomedis

termasuk rekayasa jaringan, patch bio- implan, pengiriman obat, pembedahan dan

pembalut luka (Raza 2017).

Menurut Van Wegen et al. (1998), PHA mempunyai kekerasan dan

kekuatan yang baik, resisten terhadap kelembaban dan memiliki permeabilitas O 2

sangat rendah. Karena keunggulan tersebut PHA merupakan bahan campuran

yang paling banyak digunakan sebagai biopolimer dalam membuat plastik.

2.4 Bakteri Penghasil PHA

Sulitnya plastik sintesis untuk terdegradasi di alam mendorong

pengembangan plastik ramah lingkungan berbahan dasar PHA. Beberapa peneliti

telah melakukan isolasi mikroorganisme penghasil PHA dari berbagai sumber

dengan harapan akan memperoleh spesies baru dengan kemampuan produksi

PHA yang tinggi (Kresnawaty et al. 2014a). PHA merupakan senyawa

biodegradable dan secara alami diakumulasi oleh beberapa bakteri seperti

Alcaligenes, Pseudomonas, Bacillus, Rhodococcus, Cupriavidus dan beberapa

spesies bakteri fotosintetik dalam kondisi kekurangan nutrisi (Sangkharak dan

Prasertsan 2007).

Bakteri yang diketahui dapat memproduksi PHA diantaranya adalah

Ralstonia eutropha, Rhizobium sp., dan Pseudomonas mendocina (Kresnawaty et

al. 2014a). Penelitian lain menyebutkan bahwa bakteri Pseudomonas aeruginosa

dan Bacillus subtilis dapat menghasilkan PHA. PHA juga dapat dihasilkan dari

beberapa bakteri Alcaligenes latus, Pseudomonas oleoverans dan Eschericia coli.

9
Masing-masing bakteri akan menghasilkan PHA dengan komposisi yang berbeda.

Jenis substrat yang dikonsumsi bakteripun menentukan jenis dan jumlah PHA

yang di produksi (Hartati et al. 2009). Ilmuwan Prancis Maurice Limoges pertama

kali menemukan PHA di Bacillus megaterium dalam bentuk poli (3-

hidroksibutirat) (PHB) pada tahun 1926.

Kresnawaty et al. (2014a) berhasil mengisolasi 10 bakteri yang mampu

mengakumulasi PHA dari tanah tempat pembuangan sampah dan limbah cair

kelapa sawit dengan metode seleksi menggunakan pewarna Nile red. Pewarna

Nile red akan menghasilkan pendaran di bawah sinar ultraviolet (UV) pada

bakteri yang mengakumulasi PHA. Bakteri tersebut diidentifikasi sebagai

Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus subtillis. Bhuwal et al. (2013) berhasil

mengisolasi bakteri mengakumulasi PHA dari limbah pabrik kertas dan kardus.

Sebanyak 42 bakteri yang mengakumulasi PHA dengan pewarnaan Sudan Black

B dan juga 15 bakteri dari pewarnaan Nile Blue A, pewarnaan yang lebih spesifik

untuk granula PHA. Setelah dilakukan identifikasi bakteri tersebut adalah

Enterococcus sp., dan Brevundimonas sp.

2.5 Produksi PHA

Faktor pembatas yang sering dijumpai dalam memproduksi PHA dari

bakteri adalah biaya produksi yang mencapai hampir lima kali lipat dari ongkos

produksi plastik secara konvensional (Kresnawaty 2014b). Untuk

mengoptimalkan produksi PHA oleh bakteri, berbagai percobaan telah dilakukan

diantaranya adalah menggunakan variasi sumber karbon, suhu dan lama waktu

inkubasi.

10
Studi untuk mendapatkan kondisi optimum produksi PHA telah dilakukan

Kustarianingsih dan Nawfa (2015) dengan penambahan sumber karbon pada

media pertumbuhan. Produksi PHA dilakukan dengan metode fermentasi batch

menggunakan media minimal nutrisi dan penambahan fruktosa sebagai sumber

kabon, PHA yang diperoleh sebanyak 0,0425 g/g sel kering (4,25%). Penelitian

yang sama juga dilakukan Pujawati dan Nawfa (2016) dengan menggunakan

media minimal cair serta glukosa sebagai sumber karbon, didapatkan PHA seberat

0,0427 gram dengan persentase 14,53% berat sel kering.

Penelitian Asranudin (2014) terhadap bakteri R. pickettii menggunakan

media Nutrient Broth (NB) dengan penambahan glukosa menghasilkan PHA

sebesar 20%, sedangkan, Martha et al. (2010) telah melakukan penelitian tentang

produksi PHA dari isolat R. eutropha dengan menggunakan media minimal dan

penambahan asam asetat atau asam propionat menghasilkan akumulasi PHA

sebesar 8,40%.

Beberapa peneliti melakukan optimasi produksi menggunakan sumber

karbon rendah biaya. Chaudry et al. (2010) melakukan optimalisasi PHA dengan

menggunakan sumber karbon yang hemat biaya seperti minyak jagung dan limbah

industri gula (penggilingan, fermentasi dan bekas cucian). Dari beberapa sumber

karbon tersebut, minyak jagung menunjukkan berat kering sel tertinggi seberat

12,53 g /L dan mampu mengakumulasi PHA sebesar 35,36%. Penelitian

Aljuraifani et al. (2018) juga menggunakan sumber karbon rendah biaya seperti

dedak padi, kurma dan molase kedelai yang ditambahkan ke dalam media

produksi. Dari sumber karbon tersebut masing-masing akumulasi PHA adalah

90,95, 82,6% dan 91,6%.

11
Studi lain untuk mendapatkan kondisi optimum produksi PHA juga telah

dilakukan oleh Kumalaningsih et al. 2011 dengan bakteri Alcaligenes latus

menggunakan limbah cair tahu sebagai sumber karbon berbiaya rendah. Metode

permukaan respon dengan dua faktor yaitu variasi konsentrasi sukrosa (15 g/L, 20

g/L, dan 25 g/L) dan variasi waktu inkubasi (48 jam, 60 jam, dan 72 jam).

Rendemen diambil setelah inokulasi A. latus pada limbah cair tahu. Hasil yang

diperoleh dari studi dihitung. Kondisi optimum untuk produksi PHA yang baik

adalah konsentrasi sukrosa 25 g/L dan waktu inkubasi 60 jam 18 menit yang

menghasilkan 2,48 g/L PHA dan konsentrasi sel kering 66,56%. Gugus fungsi

granul PHA diidentifikasi sebagai C = O dengan Fourier Transforms Infrared

(FTIR).

2.6 Tanah Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik

yang sudah lapuk maupun belum. Gambut terdiri dari bahan organik yang

sebagian terurai bebas dengan komposisi lebih dari 50% karbon. Tanah gambut

terbentuk dari dekomposisi bahan bahan organik dalam keadaan anaerob. Menurut

Noor (2016) gambut adalah material atau bahan organik yang tertimbun secara

alami dalam keadaan basah atau jenuh air dan hanya sebagian yang mengalami

perombakan.

Tanah gambut atau Histosols adalah tanah yang mempunyai lapisan

bahan organik dengan ketebalan >40 cm dengan berat isi (BD) >0,1 g/cm3, atau

mempunyai ketebalan >60 cm apabila BD-nya <0,1 g/cm3 (Soil Survey Staff,

2010). Menurut tingkat dekomposisi atau kematangannya, tanah gambut dapat

dibedakan menjadi: gambut fibrik (mentah), gambut hemik (setengah matang) dan

12
gambut saprik adalah gambut yang sudah lapuk (matang). Gambut yang sudah

matang umumnya berwarna kelabu sangat gelap sampai hitam dan secara struktur

mendekati tanah mineral (peaty clay), sedangkan gambut yang masih mentah

berwarna kemerahan-merahan atau warna asli bahan endapan organik.

Kondisi air yang selalu menggenang, sehingga terjadi kurangnya oksigen

yang mengakibatkan terhambatnya mikroorganisme untuk melakukan

pembusukan tanaman atau hewan yang sudah mati secara cepat di tanah gambut.

Pembentukan gambut sangat lambat dan memerlukan waktu sekitar 10 tahun

untuk membentuk 1 cm gambut (Dion dan Nautiyal 2008). Lahan gambut

memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air lebih tinggi dibandingkan

tanah mineral. Komposisi dominan dari tanah gambut berupa bahan organik yang

menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi

(Elon et al. 2011).

Sebagian besar N, P, K total yang terkandung dalam gambut dalam bentuk

organik. Selain hara makro, lahan gambut juga memiliki unsur hara mikro seperti

Cu, Zn, Fe, Mn, B dan Mo. Kadar unsur Cu, Bo, dan Zn di lahan gambut

umumnya sangat rendah dan seringkali terjadi defisiensi (Mutalib et al. 1991).

Hal yang membedakan tanah gambut dengan tanah mineral terletak pada

kandungan C organik, struktur, berat isi, serta sebaran karbon di dalam profil.

Kandungan C organik tanah gambut berkisar 18-60%, tidak berstruktur, berat isi

berkisar 0,03-0,3 g/cm3 dan karbonnya tersebar ke seluruh permukaan, sedangkan

tanah mineral mengandung C organik berkisar 0,5-6%, berstruktur, berat isi 0,6-

1,5 g/cm3 serta kandungan karbonnya terkonsentrasi pada lapisan 0-30 cm dari

permukaan.

13
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2020 hingga Maret 2021

di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universias Riau. Sampel tanah gambut diambil dari

Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari: pancang, yellow

tip, blue tip, eppendof, jarum ose, spatula, drygladsky, tabung reaksi (Pyrex),

cawan petri (Pyrex), lampu bunsen, mikropipet 0,1 ml (Dumo), mikropipet 1 ml

(DragonLab), botol kaca gelap, sprayer, erlenmeyer (Pyrex), gelas ukur (Pyrex),

gelas beaker (Pyrex), rak tabung reaksi, timbangan analitik, vortex (Fisons),

waterbath, sentrifuges (WIFUG), microwave (SAMSUNG), oven sterilisasi

(COSMOS), autoklaf (GEA), shaker inkubator (LabTech), oven inkubator

(Heraeus), kamera dan alat tulis.

Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: karet gelang,

korek api, kertas label, aluminium foil, plastik kaca, plastik ziplock, sampel tanah

gambut, LCPKS, Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), aquades, Sudan Black

B, natrium klorida, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4, Na2HPO4.2H2O, sukrosa, amonium

nitrat, klorofom, alkohol 70%, spiritus, sodium hipoklorit, etanol, aseton, metanol

dan dietil eter.

14
3.3 Deskripsi Lokasi Pengambilan Sampel

3.3.1 Sampel Tanah Gambut

Pengambilan sampel tanah gambut dilakukan di Kabupaten Bengkalis,

Riau pada 6 tipe lokasi yang berbeda. Adapun lokasi tempat pengambilan sampel

meliputi hutan sekunder, hutan tanaman industri, kebun sawit, kebun karet, lahan

restorasi dan lahan bekas terbakar. Deskripsi masing-masing lokasi pengambilan

sampel tersebut disajikan pada Tabel 3.1

3.3.2 Sampel LCPKS

Pengambilan sampel LCPKS dilakukan di PT. Wira Karya Pramitra

Garuda Sakti KM 18, Desa Bencah Kelubi, Tapung, Kabupaten Kampar. Sampel

LCPKS yang diambil berasal dari bak sembilan. Pada bak sembilan ini sudah

terjadi fase tersier. LCPKS sudah tidak mengandung racun dan kaya akan sumber

karbon berantai pendek sehingga baik sebagai campuran medium optimasi.

3.4 Desain Penelitian

Pengambilan sampel tanah gambut dilakukan pada bulan November 2020,

lalu dilanjutkan isolasi dan seleksi bakteri penghasil PHA berdasarkan serapan

warna sudan hitam. Selanjutnya dilakukan optimasi produksi PHA dari isolat

terpilih, ekstraksi PHA dan kuantifikasi PHA. Data yang diperoleh selanjutnya

dianalisis untuk mengetahui potensi bakteri penghasil PHA dari tanah gambut.

Skema rancangan tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3.1.

15
Pengambilan sampel tanah gambut

Isolasi Bakteri

Seleksi bakteri penghasil PHA

Produksi dan Optimasi Produksi


PHA

Ekstraksi PHA

Kuantifikasi PHA

Analisis data

Gambar 3.1 Skema rancangan tahapan penelitian

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Pengambilan Sampel

Sampel tanah gambut diambil dari 6 lokasi yang berbeda. Setiap satu titik

lokasi terdapat 4 ulangan sampel sehingga diperoleh 24 sampel. Pengambilan

sampel tanah menggunakan metode purposive sampling. Tanah diambil

menggunakan sendok semen dengan kedalaman 0-20 cm. Sebelum diambil tanah

terlebih dahulu dibersihkan dari serasah yang terdapat di permukaan. Sampel

tanah diambil sebanyak 500 gram dan dimasukkan ke dalam plastik ziplock.

Selanjutnya setelah proses pengambilan, tanah disimpan pada suhu 4 oC dan

dibawa untuk pengujian di laboratorium. Untuk sampel LCPKS diambil dengan

mencelupkan jerigen ke dalam bak penyimpanan LCPKS hingga terisi penuh.

16
Kemudian sampel LCPKS dibawa ke laboratorium dan disimpan pada suhu ruang

untuk digunakan sebagai campuran medium optimasi produksi.

Tabel 3.1 Deskripsi lokasi pengambilan sampel


Lokasi Titik Koordinat Deskripsi Lokasi
Lokasi pengambilan sampel tanah dimulai 100 m dari
pinggiran hutan yang berupa tepian sungai. Kondisi
Hutan Sekunder N 01° 23' 22,0” tanah sangat berair dan semak.Vegetasi di sekitar
(HS) E 101° 51' 59,4'' antara lain pohon kelat (Cinnamomum spp.), kayu api
(Diospyros sp.), kempas (Koompassia malaccensis),
meranti (Shorea spp.).
Terletak di PT. Bukit Batu Hutani Alam (BBHA)
dengan luas lahan sekitar 22 Ha yang ditanami A.
crassicarpa. Lantai hutan terdapat liana dan paku-
HTI Akasia N 01° 29' 45,2''
pakuan tetapi tidak rimbun dan didominasi oleh
(HTI) E 101° 47' 47,3''
serasah akasia. Saat ini sudah rotasi IV dengan umur
tanaman saat ini 8 bulan. Perawatan yang sering
diakukan berupa pembabatan tanaman liar.
Terletak di Desa Sepahat, dengan kondisi tanah berair.
Kebun Sawit N 01° 28' 45,9'' Umur tanaman sawit ± 13 tahun dengan kondisi tidak
(KS) E 101° 55' 04,9'' terawat. Vegetasi tanah terdapat paku-pakuan,
senduduk, rumput, anakan karet dan liana.
Terletak di Desa Tanjung Leban dengan kondisi tidak
Kebun Karet N 01° 38' 07,4'' terawat dan tidak disadap. Umur karet ±7-8 Ttahun.
(KK) E 101° 44' 03,3'' Vegetasi yang ditemukan, liana, paku-pakuan, rumput
ilalang, dan didominasi anakan karet.
Terletak di Desa Tanjung Leban, luas lahan ini 2,5 Ha.
Sebelumnya merupakan hutan alam yang ditebang dan
dijadikan kebun sawit. Pernah terbakar pada tahun
2008 dan direstorasi pada tahun 2011. Tanaman yang
ditemukan antara lain jelutong (Dyera costulata),
Lahan Restorasi N 01°38' 31,6''
mahoni (Swietenia mahagoni), mahang (Macaranga
(RES) E 101° 44' 13,5''
sp.) balam (Palaquium obtusilofium), pulai (Alstonia
scholaris), tenggek burung (Euodia redleyi),
geronggang (Cratoxylon arborescens), gaharu
(Aquilaria malaccensis), kelat merah, resak (Vatica
sp.), meranti (Shorea spp.) dan kelat putih.
Lahan Bekas Lahan ini pernah terbakar pada akhir bulan juli 2019.
N 01° 36' 35,0”
Terbakar Vegetasi lahan ini adalah semak, ilalann dan paku
E 101° 42' 13,8''
(LBT) pakuan.

17
3.5.2 Pembuatan Media dan Larutan

3.5.2.1 Pembuatan garam fisiologi

Pembuatan larutan garam fisiologis (NaCl 0,85%) 1000 mL dengan

menimbang 8,5 gram NaCl, kemudia dilarutkan dengan 1.000 mL aquades steril

(Nurjana dan Ahmad 2010).

3.5.2.2 Pembuatan larutan Sudan Black B

Pembuatan larutan sudan sebanyak 0,5 gram bubuk Sudan Black B

dilarutkan dalam 100 ml etanol dan didiamkan selama dua hari. Setelah dua hari

larutan disaring menggunakan kertas saring. Pembuatan larutan buffer sebanyak

16 gram fenol, 30 ml etanol dan 0,3 gram Na2HPO4.2H2O. Ketiga bahan

dilarutkan dalam 100 ml aquades. Pembuatan larutan Sudan Black B untuk kerja

sebanyak 60 ml larutan Sudan Black B yang sudah disaring dicampur dengan 40

ml larutan buffer (Barros et al. 2012).

3.5.2.3 Pembuatan Nutrient Agar (NA)

Semua alat dan bahan disiapkan. Sebanyak 23 gram bubuk media Nutrient

Agar (NA) dilarutkan dengan aquades 1000 mL dalam erlenmeyer. Larutan

dipanaskan sampai bubuk benar-benar larut tetapi tidak sampai mendidih,

selanjutnya diukur pH hingga 7,4±2. Kemudian, disterilisasi dengan

menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu 121℃ dan tunggu media

hingga memadat (Lestari 2016).

3.5.2.4 Pembuatan Nutrient Broth (NB)

Sebanyak 8 gram bubuk NB dilarutkan dengan 1000 mL akuades dalam

erlenmeyer kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer. Setelah itu

18
medium NB dituang ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL dan disterilisasi

dengan autoklaf pada suhu 121C selama 15 menit (Hudaya et al. 2014)

3.5.2.5 Pembuatan Mineral Salt Medium (MSM)

Medium MSM dibuat dengan mencampur 5 gram NaCl, 1,5 gram

K2HPO4, 1,5 gram MgSO4, 5 gram sukrosa, 0,5 gram amonium nitrat kemudian

dilarutkan dengan 1000 mL aquades lalu dipanaskan sampai homogen dengan pH

medium 7±0,1. Selanjutnya medium dibagi sebanyak 90 mL ke dalam botol selai

dan disterilkan dengan memggunakan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan

15 psi selama 15 menit (Raj et al. 2014).

3.5.2.6 Pembuatan Medium Produksi yang Mengandung LCPKS

Medium LCPKS dibuat dengan komposisi yang sama dengan medium

MSM. Sumber karbon berupa sukrosa diganti dengan LCPKS konsentrasi 30%,

40% dan 50%. Komposisi medium LCPKS meliputi 5 gram NaCl, 1,5 gram

K2HPO4, 1,5 gram MgSO4, 0,5 gram amonium nitrat kemudian dilarutkan dengan

1000 mL aquades lalu dipanaskan sampai homogen dengan pH medium 7±0,1.

LCPKS yang ditambahkan ke dalam 1 liter medium sebagai pengganti sukrosa

adalah dengan konsentrasi 30% dan 50 % masing-masing sebanyak 300 mL dan

500 mL. Selanjutnya medium dibagi sebanyak 90 mL ke dalam botol selai dan

medium disterilkan dengan memggunakan autoklaf pada suhu 121oC dengan

tekanan 15 psi selama 15 menit (Sari 2017).

3.5.3 Isolasi bakteri penghasil PHA

Metode isolasi bakteri penghasil PHA yang digunakan mengikuti

Kresnawaty et al. 2014a. Akan tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan proses

19
purifikasi kultur untuk isolat yang diuji pada produksi, sehingga isolat yang

digunakan diduga masih berupa isolat campuran. Hanya saja, pada proses seleksi

dilakukan subkultur sebanyak 3 kali dengan metode totol. Sebanyak 1 gram

sampel tanah disuspensikan ke dalam 9 mL larutan garam fisiologis (NaCl 0,85%)

steril dan dilakukan seri pengenceran hingga pengenceran 10-4. Dua pengenceran

terakhir diambil sebanyak 0,1 mL untuk diinokulasikan secara spread plate pada

medium NA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Koloni bakteri yang

tumbuh pada isolasi lalu diinokulasi pada medium NA baru dengan cara totol dan

diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam.

3.5.4 Seleksi Bakteri Penghasil PHA

Sudan Black B digunakan untuk uji kualitatif produksi PHA. Medium NA

steril dituangkan ke dalam cawan petri. Setelah memadat, pelat diinokulasi

dengan isolat bakteri dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Larutan

Sudan Black B dituangkan pada petri yang berisi koloni hingga terendam dan

diinkubasi selama 30 menit. Untuk menghilangkan noda dari koloni, dibilas

dengan etanol 96%. Koloni yang berwarna biru gelap menandakan isolat tersebut

positif dalam memproduksi PHA (Gatea 2018). Secara kualitatif bakteri penghasil

PHA diseleksi berdasarkan kepekatan warna Sudan Black yang diserap. Kategori

tersebut dinilai dengan: + =biru (rendah), ++ = biru kehitaman (sedang), +++ =

hitam (kuat).

3.5.5 Pembuatan Starter

Isolat bakteri penghasil PHA yang terpilih berdasarkan serapan sudan

black dengan nilai +++ diinokulasikan pada 10 mL NB steril. Kultur diinkubasi

20
pada shaker incubator dengan agitasi150 rpm selama 24 jam (Kresnawaty et al.

2014b).

3.5.6 Uji Kemampuan Isolat Dalam Menghasilkan PHA

Untuk tahap produksi, medium yang digunakan adalah MSM yang

merupakan medium standar untuk produksi PHA. Starter bakteri terseleksi yang

sudah diinkubasi selama 24 jam divortex terlebih dahulu sebelum diinokulasi ke

dalam medium MSM. Campuran dari starter dan medium MSM kemudian

diinkubasi dengan agitasi 150 rpm pada suhu 37o C selama 144 jam dalam shaker

incubator.

3.5.8 Optimasi Produksi PHA

Untuk memacu optimasi produksi PHA dari isolat terseleksi, maka

dilakukan optimasi produksi menggunakan media LCPKS sebagai sumber karbon

melalui variasi konsentrasi LCPKS. Uji produksi dan optimasi produksi dilakukan

sejalan dengan tujuan untuk membandingkan. Dengan mengacu hasil penelitian

Kresnawaty et al. (2014b) maka konsentrasi LCPKS yang digunakan adalah 30%

dan 50% dengan waktu inkubasi 144 jam. Sebanyak 10 mL starter bakteri

penghasil PHA dari setiap isolat terseleksi terlebih dahulu divortex lalu

diinokulasikan ke medium LCPKS yang berkonsentrasi 30% dan 50% dengan

volume masing-masing adalah 90 mL. Kultur diinkubasi dalam shaker incubator

dengan agitasi 150 rpm pada suhu 37o C selama 144 jam (Du et al. 2001).

3.5.8 Ekstraksi PHA

Kultur bakteri dipanen dengan sentrifugasi pada 5000 rpm selama 10

menit. Supernatan dibuang dan pelet sel dipindahkan ke alumunium yang sudah

21
diketahui beratnya. Pelet sel selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC

sampai beratnya konstan. Berat kering pelet yang telah ditimbang dinyatakan

sebagai g/g berat kering sel. Pelet sel yang telah dikeringkan ditambahkan 5 ml

sodium hipoklorit 5% dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 jam. Campuran

tersebut selanjutnya disentrifugasi, supernatan dibuang, dan pelet dicuci dua kali

dengan 10 ml aquades steril dan disentrifugasi. Selanjutnya pelet dicuci dua kali

dengan aseton, metanol, dan dietil eter dengan rasio 1:1:1 dan disentrifugasi. Pelet

yang dihasilkan dilarutkan dengan kloroform dan dipanaskan pada suhu 65oC

menggunakan waterbath selama ±5 menit. Selanjutnya pelet dikeringanginkan

pada suhu ruang sehingga didapatkan bubuk kering PHA (Santhanam dan

Sreenivasan 2010).

3.5.9 Kuantifikasi Residu Biomassa dan Akumulasi PHA

Residu biomassa adalah perbedaan antara berat sel kering dan berat kering

PHA yang diekstraksi (Bhat et al 2017). Presentase akumulasi PHA intraseluler

dinyatakan sebagai jumlah PHA yang ada dalam sel. Residu biommasa dan

akumulasi PHA dihitung menggunakan formula:

Residu biomassa (g/L) = BK sel (g/L) - BK PHA (g/L)

BK PHA(g / L)
Akumulasi PHA (%) = x 100%
BK sel( g / L)

Keterangan: BK = berat kering

3.5.10 Analisis data

Data hasil dari isolasi bakteri, hasil seleksi isolat penghasil PHA dan

presentase akumulasi PHA disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Data-data

tersebut dianalisis secara deskriptif.

22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi dan Seleksi Bakteri Penghasil PHA

Sebanyak 200 isolat bakteri berhasil diisolasi dari 24 sampel tanah gambut

yang berasal dari 6 tipe lokasi sumber isolat. Tabel 4.1 menyajikan data hasil

isolasi dan seleksi bakteri dari 6 lokasi sumber isolat. Sebanyak 39 isolat diisolasi

dari hutan tanaman industri dan 32 isolat berhasil diisolasi berturut-turut dari

lahan restorasi, kebun karet dan hutan sekunder. Sementara isolasi dari kebun

sawit dan lahan bekas terbakar diperoleh 35 dan 40 isolat bakteri. Dari 200 isolat

yang berhasil diisolasi selanjutnya dilakukan seleksi kualitatif dengan penyiraman

sudan black.

Sebanyak 72 dari 200 isolat mampu menyerap warna hitam dari sudan

black dengan intensitas penyerapan rendah dengan warna koloni berwarna biru

(+) sebanyak 16 isolat, 24 isolat memiliki intensitas warna biru kehitaman (++)

dan 32 isolat dengan intensitas hitam (+++). Kemampuan dalam menyerap sudan

black menunjukkan isolat tersebut adalah kandidat isolat bakteri penghasil PHA

yang potensial. Untuk memastikan potensi dari 72 isolat tersebut dalam

menghasilkan PHA, maka dilakuan uji reseleksi sebanyak dua kali. Reseleksi

dilakukan dengan mengkulturkan isolat ke dalam medium NA yang baru dan

diinkubasi selama 24 jam lalu diwarnai dengan sudan black.

Hasil reseleksi pertama dari 72 isolat bakteri, hanya 56 isolat yang

memiliki kemampuan dalam menyerap sudan black dengan intensitas penyerapan

rendah sebanyak 15 isolat, sedang dan tinggi masing-masing 24 dan 17 isolat.

Selanjutnya dilakukan reseleksi, hanya 45 isolat yang mampu menyerap sudan

black. Dari 45 isolat ini, hanya 10 isolat saja yang menunjukan intensitas serapan

23
warna tinggi sedangkan selebihnya hanya menunjukkan intensitas rendah dan

sedang masing-masing sebanyak 18 dan 17 isolat.

Tabel 4.1 Hasil isolasi dan seleksi bakteri dari sampel tanah gambut
Jumlah Seleksi
Sumber Isolat Seleksi Awal Reseleksi 1 Reseleksi 2
Isolat kode   + ++ +++ + ++ +++ + ++ +++
Hutan HTI 1 8 - 1 - 1 - - 1 -
Tanaman HTI 2 8 - 1 - - 1 - - 1 -
Industri HTI 3 8 - 1 3 - 4 - - 2 2
HTI 4 15 3 4 - - 4 - 2 - -
Sub Total   39 3 6 4  0 10 0  2 4 2
Restorasi RES 1 8 - - 1 - - - - - -
RES 2 8 - - 1 - 1 - - 1 -
RES 3 8 - - 1 - - 1 - - 1
RES 4 8 1 - - - - - - - -
Sub Total   32 1  0 3  0 1 1  0 1 1
Kebun KK 1 8 - - 1 - 1 - - 1 -
Karet KK 2 8 - - 3 1 - 1 - 1 1
KK 3 8 1 1 1 2 - - 3 - -
KK 4 8 - - 5 - 4 1 - 2 1
Sub Total   32 1 1 10 3 5 2 3 4 2
Hutan HS 1 8 - 2 1 2 1 - 1 1
Sekunder HS 2 8 - 2 - - - - - - -
HS 3 8 - - 3 - - 3 - - -
HS 4 8 - 4 3 4 1 1 1 2 2
Sub Total   32  0 8 7 6 2 4 2 3 2
Kebun KS 1 4 - - 4 - - 2 1 - -
Sawit KS 2 8 4 - - 4 - - 4 - -
KS 3 8 - 2 2 1 2 - 1 2 -
KS 4 5 - 2 1 - 1 2 2 1
Sub Total   25 4 4 7 5 3 4 6 4 1
Lahan LBT 1 16 1 1 - - 2 - - - 2
Bekas LBT 2 8 2 - - - 1 - - - -
Terbakar LBT 3 8 4 1 - - - 4 3 1 -
LBT 4 8 - 3 1 1 - 2 2 - -
Sub Total   40 7 5 1 1 3 6 5 1 2
1
Total   200 16 24 32 15 24 17 8 17 10
72 56 45
Keterangan: HTI = Hutan Tanaman Industri, RES = Restorasi, KK = Kebun Karet, HS = Hutan
Sekunder, KS = Kebun Sawit dan LBT = Lahan Bekas Terbakar

24
Isolasi bakteri penghasil PHA dari tanah gambut sudah pernah dilakukan

sebelumnya oleh Maria (2020). Ia berhasil mendapat 43 bakteri yang memiliki

kemampuan menghasilkan PHA. Akan tetapi setelah dilakukan seleksi ulang dari

43 isolat tersebut, hanya 16 isolat yang menunjukkan konsistensi kemampuan

dalam menghasilkan PHA dengan kemampuan penyerapan sudan black intensitas

sedang.

Penelitian yang mengelompokkan bakteri berdasarkan kemampuannya

dalam menyerap sudan black juga dilakukan Desouky et al. (2014). Desouky et

al. (2014) mengkelompokkan bakteri menjadi: (–) untuk isolat yang tidak mampu

menyerap sudan black, (+) untuk bernoda buruk , (++) sedang, (+++) kuat dan (++

++) sangat baik. Ia berhasil mengisolasi 50 bakteri dari tanah yang tercemar

limbah industri, setelah dilakukan pewarnaan sudan black, hanya 12 isolat yang

mampu mengakumulasi PHA.

Seleksi bakteri penghasil PHA menggunakan metode penyiraman sudan

black juga sudah dilakukan beberapa peneliti. Raj et al. (2014) berhasil

mengisolasi 6 bakteri dari sampel lumpur dan tanah. Berdasarkan pewarnaan

sudan black dari 6 isolat bakteri hanya 3 isolat bakteri yang memiliki kemampuan

potensial dalam menghasilkan PHA. Phanse et al. (2011) berhasil mengisolasi 23

bakteri yang berpotensial sebagai produsen PHA setelah dilakukan penyiraman

sudan black.

Gambar 4.1 (A) menyajikan hasil isolasi bakteri dari 6 sampel tanah

gambut yang menunjukkan isolat tampak pada medium NA, (B) penumbuhan

ulang isloat bakteri dengan cara ditotol pada medium NA untuk dilakukan

perendaman dengan suddan black. (C) Hasil seleksi kualitatif pewarnaan sudan

25
black dengan intensitas penyerapan +++ (baik), ++ (sedang), + (lemah) dan –

(negatif).

Gambar 4.1 A. isolat campuran yang berhasil membentuk koloni tampak pada medium
NA, B. Subkultur Isolat yang akan di seleksi Sudan Black, C. Isolat yang
telah di seleksi dengan penyiraman Sudan Black,
= +++, = ++, = + dan = negatif
p

Bakteri penghasil PHA dapat terwarnai menjadi hitam karena Granula

PHA akan menyerap Sudan Black sehingga bakteri berwarna biru kehitaman

walaupun telah dilakukan pembilasan. Menurut Lay (1994) PHA membentuk

granula seperti lipid sehingga mampu terwarnai oleh zat pewarna yang mampu

larut dalam lipid seperti Sudan Black.

Isolasi bakteri penghasil PHA juga dapat dilakukan dengan metode seleksi

pewarnaan Nile Red. Kresnawaty et al. (2014a) berhasil mengisolasi 10 bakteri

yang mampu mengakumulasi PHA dari tanah tempat pembuangan sampah dan

26
LCPKS dengan metode seleksi menggunakan pewarna Nile Red. Pewarna Nile

Red akan menghasilkan isolat yang berpendar di bawah sinar ultraviolet (UV)

pada bakteri yang mengakumulasi PHA. Metode ini juga dilakukan Shrivastav et

al. (2010), yang berhasil mengisolasi 9 bakteri dari tanah lingkungan laut dengan

menggunakan uji pewarnaan Nile Red.

Seleksi bakteri penghasil PHA dengan metode pewaraan Nile Blue juga

pernah dilakukan beberapa peneliti. Redzwan dan Tan (1997) melakukan isolasi

bakteri pengakumulasi PHA dari kolam pertanian dan kolam LCPKS. Dengan

pewarnaan Nile Blue 50%, hanya 5 isolat yang diketahui mengandung PHA.

Bhuwal et al. (2013), berhasil mengisolasi 15 bakteri mengakumulasi PHA dari

limbah pabrik kertas dan kardus dengan pewarnaan Nile Blue. Gatea et al. (2018)

juga berhasil mengisolasi 9 bakteri yang mampu mengakumulasi PHA dari tanah,

lumpur dan limbah detergen dengan Nile Blue. Isolat bakteri yang menghasilkan

PHA akan menunjukkan fluorensi oren dibawah UV pada pewarnaan Nile Blue.

4.2 Uji Produksi

Untuk tahap uji produksi 10 isolat bakteri yang digunakan memang belum

dilakukan pengecekan dan analisis kemurniannya, sehingga diduga masih berupa

isolat campuran. Akan tetapi 10 isolat bakteri yang digunakan sudah disubkuktur

dengan cara ditotol sebanyak 3 kali. 10 isolat bakteri (HTI3_3, HTI3_5, LR3_2,

KK2_1, KK4_1, HS4_1, HS4_8, KS4_1, LBT1_1 dan LBT1_3) yang digunakan

memiliki koloni berwarna hitam dengan serapan sudan black cukup tinggi. Isolat

bakteri dengan serapan suddan black tinggi ditumbuhkan dalam medium standar

produksi kemudian diekstraksi untuk mendapatkan berat kering sel dan berat

27
kering PHA. Tabel 4.2 menyajikan data berat kering sel, berat kering PHA, residu

biomassa dan akumulasi PHA dari 10 isolat terpilih.

Berdasarkan Tabel 4.2, berat kering sel tertinggi sebesar 0,11 g/L dari

isolat LR3_2, HS4_8 dan LBT1_3. Untuk berat kering PHA tertinggi 0,025 g/L

dari isolat LBT1_3. Nilai tertinggi residu biomassa pada medium standar sebesar

0,096 g/L dari isolat LR3_2, sedangkan hasil akumulasi PHA tertinggi sebesar

22,86 % dari isolat HTI3_3.

Tabel 4.2 Uji produksi berat kering sel, berat kering PHA, residu biomassa dan
akumulasi PHA dari 10 isolat uji
BK SEL BK PHA Residu Biomassa Akumulasi PHA
Kode Isolat (g/L) (g/L) (g/L) (%)
HTI3*_3** 0,07 0,016 0,054 22,857
HTI3_5 0,09 0,009 0,081 10,000
LR3_2 0,11 0,014 0,096 12,727
KK2_1 0,09 0,004 0,086 4,444
KK4_1 0,1 0,01 0,09 10,000
HS4_1 0,06 0,01 0,05 16,667
HS4_8 0,11 0,021 0,089 19,091
KS4_1 0,06 0,013 0,047 21,667
LBT1_1 0,07 0,013 0,057 18,571
LBT1_3 0,11 0,025 0,085 22,727
Keterangan: HTI = Hutan Tanaman Industri, LR = Lahan Restorasi, KK = Kebun Karet,
HS = Hutan Sekunder, KS = Kebun Sawit, LBT = Lahan Bekas Terbakar,
*= Nomor ulangan sampel, **= Nomor isolat

Uji produksi kemampuan bakteri dalam menghasilkan PHA menggunakan

medium MSM juga telah dilakukan beberapa peneliti diantaranya, Raj et al.

(2014), menggunakan bakteri dari sampel lumpur dan tanah. Hasil akumulasi

PHA tertinggi yang didapat adalah 51,49%. Kustarianingsih et al. (2015)

melakukan uji produksi dengan medium produksi yang sama (MSM), akumulasi

PHA dari R. pickettii sebesar 4,25%.

28
Penelitian Kresnawaty et al. (2014a) yang mengisolasi bakteri penghasil

PHA dari tanah tempat pembuangan sampah dan LCPKS menggunakan medium

minimum produksi Ramsay yang komposisinya terdiri dari (NH4)2SO4,

Na2HPO4.7H2O, MgSO4.7H2O, Ammonium sitrat dan CaCl.2H2O dan trace

element, akumulasi PHA yang didapat lebih rendah yaitu 9,44%.

4.3 Optimasi Produksi

Optimasi produksi dilakukan dengan mengganti sumber karbon pada

medium standar (sukrosa) dengan LCPKS. Adapun LCPKS yang digunakan

konsentrasi 30% dan 50%. Tabel 4.3 menyajikan data berat kering sel, berat

kering PHA, residu biomassa dan akumulasi PHA dari 10 uji.

Tabel 4.3 menunjukkan berat kering sel tertinggi dari medium yang

diperkaya dengan LCPKS 30% ditunjukan oleh isolat HTI3_5 dan LBT1_1, serta

berat kering PHA tertinggi pada isolat LBT1_1. Residu biomassa tertinggi pada

KK2_1 dan akumulasi PHA tertinggi pada isolat LBT1_3 sebesar 41,43%. Berat

kering sel, berat kering PHA, residu biomassa dan akumulasi PHA tertinggi dari

medium yang diperkaya LCPKS 50% masing-masing pada isolat HS4_1, LR3_2,

HS4_1 dan HS4_8.

Dari penggunaan medium optimasi LCPKS 30 dan 50%, hasil akumulasi

PHA tertinggi pada medium LCPKS konsentrasi 50%, artinya kondisi optimum

PHA diperoleh pada konsentrasi 50%. Hal ini serupa dengan hasil yang diperoleh

Kresnawaty et al. (2014b) yang menggunakan strain bakteri Pseudomonas

aeruginosa dan Bacillus subtilis dengan sumber karbon LCPKS 25, 50 dan 100%.

Hasil akumulasi PHA tertinggi menggunakan medium LCPKS 50% yakni sebesar

61,28%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kondisi optimum produksi

29
PHA adalah pada konsentrasi LCPKS 25-50% yang mendukung akumulasi PHA

mengalami peningkatan.

Tabel 4.3 Berat kering sel. Berat kering PHA, residu biomassa dan akumulasi
PHA dari 10 isolat uji
Konsentrasi BK SEL BK PHA Residu Biomassa Akumulasi PHA
LCPKS Kode isolat (g/L) (g/L) (g/L) (%)
HTI3*_3** 0,04 0,012 0,028 30,000
HTI3_5 0,13 0,037 0,093 28,462
LR3_2 0,06 0,015 0,045 25,000
KK2_1 0,12 0,022 0,098 18,333
KK4_1 0,08 0,013 0,067 16,250
30%
HS4_1 0,07 0,024 0,046 34,286
HS4_8 0,1 0,025 0,075 25,000
KS4_1 0,06 0,014 0,046 23,333
LBT1_1 0,13 0,043 0,087 33,077
LBT1_3 0,07 0,029 0,041 41,429
HTI3*_3** 0,31 0,069 0,241 22,258
HTI3_5 0,4 0,072 0,328 18,000
LR3_2 0,22 0,096 0,124 43,636
KK2_1 0,23 0,057 0,173 24,783
KK4_1 0,36 0,065 0,295 18,056
50%
HS4_1 0,44 0,084 0,356 19,091
HS4_8 0,17 0,079 0,091 46,471
KS4_1 0,32 0,07 0,25 21,875
LBT1_1 0,19 0,056 0,134 29,474
LBT1_3 0,4 0,092 0,308 23,000
Keterangan: HTI = Hutan Tanaman Industri, LR = Lahan Restorasi, KK = Kebun Karet,
HS = Hutan Sekunder, KS = Kebun Sawit, LBT = Lahan Bekas Terbakar, *= Nomor
ulangan sampel, **= Nomor isolat

Menurut Kresnawaty et al. (2014b) LCPKS mengandung banyak senyawa

organik dan mineral anorganik. Limbah ini mengandung karbohidrat dan gula

yang tinggi, sedangkan kandungan nitrogen sangat rendah sehingga baik untuk

media mikroba penghasil PHA. Bakteri akan menghasilkan PHA jika keadaan

lingkungan kurang menguntungkan seperti kekurangan nitrogen. Adanya

30
kelebihan karbon yang ada dilingkungan akan digunakan bakteri untuk

membentuk PHA yang dapat dijadikan sebagai cadangan makanan.

Optimasi produksi menggunakan sumber karbon rendah biaya sudah

banyak dilakukan peneliti, salah satunya oleh Kumalaningsih et al. (2011) dengan

bakteri A. latus menggunakan limbah cair tahu sebagai sumber karbon rendah

biaya. Menggunakan metode dengan dua faktor yaitu variasi konsentrasi sukrosa

(15 g/L, 20 g/L, dan 25 g/L) dan variasi waktu inkubasi (48 jam, 60 jam, dan 72

jam). Kondisi optimum untuk produksi PHA yang baik adalah konsentrasi

sukrosa 25 g/L dan waktu inkubasi 60 jam 18 menit yang menghasilkan berat

kering PHA 2,48 g/L dan akumulasi PHA 66,56%.

Penelitian lain melakukan optimasi produksi PHA dari 9 isolat bakteri

hasil isolasi sampel tanah laut menggunakan minyak jarak pagar sebagai sumber

karbon. 2 isolat SM-P-1S dan SM-P-3M memiliki kemampuan dalam

memproduksi PHA sangat baik. Akumulasi PHA SM-P-1S dan SM-P-3M

masing-masing adalah 71,82 dan 75% (Shrivastav et al. 2010). Kustarianingsih

dan Nawfa (2015) mengoptimasi PHA dengan menambahkan fruktosa sebagai

sumber karbon pada media pertumbuhan. Produksi PHA dilakukan dengan

metode fermentasi batch, PHA yang diperoleh sebanyak 0,0425 g/g sel kering

(4,25%).

Gambar 4.3 menyajikan bubuk PHA yang berhasil di ekstraksi dari

beberapa isolat. Dari gambar dapat dilihat bahwa bubuk PHA yang dihasilkan

berwarna putih dan beberapa ada yang berwarna kekuningan dengan bentuk awal

menggumpal, sehingga untuk mendapatkan bubuk seperti pada gambar 4.2

31
dilakukan penggerusan. Bubuk PHA setelah penggerusan memiliki tekstur yang

halus dan ringan seperti bedak bayi.

A B C

Gambar 4.3 Bubuk PHA yang diekstraksi dari isolat A. LBT1_3, B. HTI3_5 C. KK4_1

4.4 Pengaruh Sumber Karbon Terhadap PHA

Keberadaan sumber karbon sangat penting dalam sintesis PHA. Gambar 4.3

menunjukkan pengaruh penggunaan LCPKS sebagai sumber karbon alternatif.

Berdasarkan Gambar 4.3, diagram batang menunjukkan akumulasi PHA tertinggi

oleh medium yang diperkaya LCPKS 50%, sementara itu medium LCPKS 30%

juga menunjukkan hasil relatif tinggi jika dibandingkan dengan medium standar.

Menurut Kresnawaty et al. (2014) LCPKS banyak mengandung senyawa

anorganik dan mineral organik. LCPKS baik digunakan sebagai media

pertumbuhan bakteri penghasil PHA karena kandungan gula dan karbohidrat

LCPKS dalam jumlah yang tinggi, sedangkan kandungan nitrogennya rendah.

Penggunaan media yang diperkaya dengan LCPKS 50% mampu

meningkatkan rata-rata akumulasi PHA sebesar 43,16%. Artinya LCPKS dapat

digunakan sebagai alternatif sumber karbon dengan kondisi optimum PHA pada

LCPKS rentang konsentrasi 30-50%. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Kresnawaty et al. (2014b) menyebutkan bahwa konsentrasi LCPKS yang

mendukung peningkatan akumulasi PHA adalah rentang 25-50% .

32
LBT1_3

LBT1_1

KS4_1

HS4_8

HS4_1
Kode Isolat

LCPKS 50%
KK4_1 LCPKS 30%
MSM
KK2_1

LR3_2

HTI3_5

HTI3_3

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
% Akumulasi PHA

Gambar 4.4 Perbandingan akumulasi PHA menggunakan medium standar dan


medium uji yang diperkaya LCPKS

Chaudhry et al. (2010) menggunakan limbah industri gula dan minyak

jagung sebagai sumber karbon. Ketika bakteri ditumbuhkan dalam medium yang

mengandung minyak jagung berat kering sel yang didapat cukup tinggi mencapai

12,53 g/L dan mengakumulasi PHA hingga 35,63%, sehingga minyak jagung

dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri penghasil

PHA.

Penelitian Aljuraifani et al. (2018) juga menggunakan sumber karbon

rendah biaya seperti dedak padi, kurma dan molase kedelai yang ditambahkan ke

dalam media produksi. Dari sumber karbon tersebut masing-masing akumulasi

PHA adalah 90,95, 82,6% dan 91,6%. Aznury et al. (2010) yang melakukan

33
penelitian terhadap R. eutropha dikultivasi dalam bioreaktor bach untuk

mengetahui pengaruh penggunaan glukosa dan fruktosa.

Aznury et al. (2010) berpendapat kandungan produksi dan bentuk PHA dari

R. eutropha kemungkinan dapat dipengaruhi oleh sumber karbon dan adanya

stimulator asam lemak volatil yang dapat membentuk kopolimer poli (3-

hidroksibutirat-cohidroksivalerat) P(3HB-co-3HV). Hasil penelitian menunjukkan

R. eutropha dengan substrat fruktosa dan asam lemak volatil sebagai stimulator

mempunyai kandungan PHA sebesar 32,78% lebih tinggi dari pemberian substrat

glukosa dan asam lemak volatil yang menunjukkan kandungan PHA sebesar

20,19%.

34
V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Diperoleh 10 isolat campuran bakteri dari lokasi hutan tanaman industri,

lahan restorasi, kebun karet, hutan sekunder, kebun sawit dan lahan bekas terbakar

yang menunjukkan hasil serapan baik pada koloni terhadap pewarnaan suddan

black. 10 isolat tersebut HTI3_3, HTI3_5, LR3_2, KK2_1, KK4_1, HS4_1,

HS4_8, KS4_1, LBT1-1 dan LBT1-3. Akumulasi PHA tertinggi sebesar 46,47%

dari isolat HS4_8 menggunakan medium yang diperkaya LCPKS 50%. LCPKS

dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbon optimasi PHA dengan rentang

konsentrasi 30-50%. Akan tetapi konsentrasi 50% mampu memicu produksi PHA

lebih tinggi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjut purifikasi dari 10 isolat uji dan dianalisis

kembai kemampuannya dalam menghasilkan PHA baik secara kualitatif mauoun

kuantitatif.

35
DAFTAR PUSTAKA

Akinmulewo AB dan Nwinyi1 OC. 2019. Polyhydroxyalkanoate: a biodegradable


polymer (a mini review). Journal of Physics: Conference Series.
1378(2019)042007.
Anjum A, Zuber M, Zia KM, Noreen A, Anjum MN dan Tabasum S. 2016.
Microbial production of polyhydroxyalkanoates (PHAs) and its copolymers:
a review of recent advancements. International Journal of Biological
Macromolecules. 89 : 161-174.

Ahmann D dan Dorgan JR. 2007. Bioenginering for pollution prevention thought
development of biobased energy and materials state of the science report.
Washington. EPA/600/R/-07/028: 76-78.

Asranudin SR. (2014). Efek penambahan PEG 400 pada plastik PHA yang
diproduksi dari Ralstonia pickettii. Prosiding Seminar Nasional Kimia,
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014.
Surabaya: Jurusan Kimia Universitas Negeri Surabaya.

Aznury, M, Setiadi, dan Pancoro A. 2010. Pengaruh sumber karbon terhadap


produksi bioplastik polihidroksialkanoat (PHA) dengan Ralstonia eutropha.
Jurnal Teknik Kimia Indonesia.1(9): 28-32.

Barros AG de A, Liu J, Lemieux GA, Mullaney BC dan Ashrafi K. 2012.


Caenorhabditis elegans: cell biology and physiology. ScienceDirect: RELX
Group.

Bhat S, Nichith K R, Kiran Y, Nagendra M, Pallavi S L, Shreya S, Pruthvi B dan


Dastidar M.G. 2017. Production of bioplastics from microorganisms. Int. J.
Adv. Res. 5(2), 2710-2716.

Bhuwal AK, Singh G, Aggarwal NK, Goyal V dan Yadav A. 2013. Isolation and
screening of polyhydroxyalkanoates producing bacteria from pulp, paper,
and cardboard industry wastes. International Journal of Biomaterial.
2013:10 halaman
Chaudhry, WN, Jamil N, Ali I, Ayaz MH dan Hasnain S. 2010. Screening for
polyhydroxyalkanoate (PHA)-producing bacterial strains and comparison of
PHA production from various inexpensive carbon sources. Ann Microbiol.
61: 623–629.
Desouky SE, El-Shiekh HH, Elabd MA dan Shehab AM. 2014. Screening,
optimization and extraction of polyhydroxyalkanoates (PHAs) from
Bacillus thuringienesis. Journal of Advances in Biology & Biotechnology.
1(1): 40-54.

36
Dion, P dan Nautiyal, CS. 2008. Microbiology of Extreme Soils. Soil Biology 13.
Berlin. Springer-Verlag Heidelberg.
Du G, Chen J, Yu J, dan Lun S. 2001. Produksi berkelanjutan poli-3-
hidroksibutirat oleh Ralstonia eutropha dalam sistem budaya dua tahap.
Jurnal Bioteknologi. 88 (1): 59–65.
Fachry AR dan Sartika A. 2012. Pemanfaatan limbah kulit udang dan limbah kulit
ari singkong sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradable. Jurnal
Teknik Kimia. 18 (3) : 1-9.

Gatea IH, Abbas AS, Abid AG, Halob AA, Maied SK dan Abidali AS. 2018.
Isolation and characterization of Pseudomonas putida producing bioplastic
(polyhydroxyalkanoate) from vegetable oil wastes. Pak. J. Biotechnol. 15
(2) :469-473.

Hartati I, Riwayati I dan Kurniasari L. 2009. Pembuatan polihidroksialkanoat dari


limbah cair industri terigu dalam sequencing batch reactor. Momentum.
5(1): 11-15

Hudaya A, Radiastuti N, Sukandar D dan Djajanegara I. 2014. Uji aktivitas


antibakteri ekstrak air bunga kecombrang terhadap bakteri E. coli dan S.
aureus sebagai bahan pangan fungsional. Jurnal Biologi. 7(1): 9-15.

Kamsiati E, Herawati H dan Purwani EY. 2017. Potensi pengembangan plastik


biodegradable berbasis pati sagu dan ubikayu di indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian. 36 (2): 67-76.

Kartika S dan Arif S. 2018. Pengaruh penambahan limbah plastik pada campuran
laston (AC-WC) terhadap karakteristik marshall. Di dalam: Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Di Industri 2018; ITN
Malang,3 Februari 2018. Teknik Sipil: Universitas Islam Lamongan.

Kresnawaty I, Prakoso HT, Eris DD dan Mulyatni AS. 2014a. Penapisan bakteri
penghasil bioplastik polihidroksi alkanoat dari tanah tempat pembuangan
sampah dan limbah cair pabrik kelapa sawit. Menara Perkebunan. 82(2):
25-31.

Kresnawaty I, Mulyatni AS, Eris DD dan Prakoso HT. 2014b. Karakterisasi PHA
yang dihasilkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus subtilis yang
ditumbuhkan dalam media limbah cair pabrik kelapa sawit. Menara
Perkebunan. 82(2): 57-63.

Kumalaningsih S, Hidayat N dan Aini Nur. 2011. Optimazion of


polyhydroxyalkanoates (PHA) production from liquid bean curd waste by
Alcaligenes latus bacteria. J. Agric. food. Tech. 1(5): 63-67.

37
Kustarianingsih, IW dan Nawfa R. 2015. Produksi polihidroksialkanoat oleh
bakteri Ralstonia pickettii dengan fruktosa sebagai sumber karbon. Jurnal
sains dan seni ITS. 4(.2): 2337-3520.

Lay, B. W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Lu J, Tappel R, Nomura C. 2009. Mini-Review: Biosynthesis of


poly(hydroxyalkanoates). Journal of Macromolecular ScienceR , Part C:
Polymer Reviews, 49:226–248.

Maria, S. 2021. Isolasi Bakteri Penghasil Polihidroksi Alkanoat dari Tanah


Gambut dan Tanah Tempat Pembuangan Akhir Sampah di Riau [Skripsi].
Pekanbaru : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Riau.

Martha A, Setiadi T dan Pancoro A. 2010. Pengaruh sumber karbon terhadap


produksi bioplastik polihidroksialkanoat (PHA) dengan Ralstonia eutropha.
Jurnal Teknik Kimia Indonesia. 1(9).

Maryam K, Novelina A dan Emriadi. 2018. Review : Teknologi preparasi pati


nanopartikel dan aplikasinya dalam pengembangan komposit bioplastik.
Majalah ilmiah Teknologi Industri 15(1). 36-56.

Mutalib, AA, Lim JS, Wong MH dan Koonvai, L. 1991. Characterization,


distribution and utilization of peat in Malaysia. Proc. International
Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak,
Malaysia.

Nurjana dan Ahmad F. 2010. Penentuan bakteri sulfat reducing bacteria (SRB)
dan sulfur oxidazing bacteria (SOB) dengan menggunakan pelarut yang
berbeda. Media Akuakultur. 5 (1): 47-50.

Phanse N, Chincholikar A, Patel B, Rathore P, Vyas P, Patel M. 2011. Screening


of PHA (polyhydroxyalcanoate) bacteria from various source. International
Journal of Biosciences (IJB) ISSN. 1 (6): 27-32.

Pujawati PSA dan Nawfa R. 2016. Studi produksi plastik pha dengan pengaruh
penggunaan media minimal cair dan glukosa oleh Ralstonia pickettii. Jurnal
sains dan seni ITS. 5(1) :2337-3520.
Raj A, Ibrahim V, Devi M, Sekar KV, Yogesh BJ dan Bharathi S. 2014.
Screening, optimization and characterization of poly hydroxy alkanoates
(pha) produced from microbial isolates. International journal of current
microbiology and applied science. 3(4): 785-790.

38
Raza AR, Abid S dan Banat IM. 2017. Polyhydroxyalkanoates: characteristics,
production, recent developments and applications. International
Biodeterioration & Biodegradation (126): 45-56.

Redzwan, G, Gan SN dan Tan IKP. 1997. Short Communication: Isolation of


polyhydroxyalkanoate-producing bacteria from an integrated-farming pond
and palm-oil mill effluent ponds. World Journal of Microbiology &
Biotechnology. 13: 1997.

Santhanam A dan Sreenivasan S. 2010. Microbial production of


polyhydroxyalkanotes (PHA) from Alcaligens sp. and Pseudomonas
oleovorans using different carbon sources. African Journal of
Biotechnology. 9(21) :3144-3150.

Sari, DR. 2017. Studi pemanfaatan lumpur sebagai sumber alternatif energi
dengan menggunakan microbial fuel cells (MFCs) [Repository]. Surabaya.
Institut Teknologi Sepuluh November.

Shrivastav, A, Mishraa SK, Shethiab B, Panchab I, Jain D, Mishraa S. 2010.


Isolation of promising bacterial strains from soil and marine environment
for polyhydroxyalkanoates (PHAs) production utilizing Jatropha biodiesel
byproduct. International Journal of Biological Macromolecules. 47: 283–
287.

Sangkharak K dan Prasertsan P. 2007. Optimization of polyhydroxybutyrate


production from wild type and two mutant strains of Rhodobacter
sphaeroides using statistical method. J Biotechnol: 331- 340.

Tan GY, Chen CL, Li L, Ge L, Wang L, Razaad I dan Wang JY. 2014. Start a
research on biopolymer polyhydroxyalkanoate (PHA): a review. Polymers.
6(3): 706-754.

Tannuwijaya, V.A. 2015. Produksi Penisilin oleh Penicillium chrysogenum


dengan Penambahan Fenilalanin. Jurnal Teknobiologi. Universitas Atma
Jaya: Yogyakarta.

Van Wegen RJ, Ling Y, Middelberg APJ. 1998. Industrial production of


polyhydroxyalkanoates using Eschericia coli: an economic analysis. Trans
IchemE.76(A): 417-426.

Wahyudi J, Prayitno HT, Astuti AD. 2018. Pemanfaatan limbah plastik sebagai
bahan baku pembuatan bahan bakar alternatif. Jurnal Litbang. XIV(1): 58-
67.

39
Walhi Riau. 2018. Refleksi 2018 dan harapan 2019 menuju keadilan ekologis di
Provinsi Riau. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah
Riau. Pekanbaru: WALHI Riau.

40

Anda mungkin juga menyukai