Anda di halaman 1dari 51

PROPOSAL PENELITIAN

IDENTIFIKASI BAKTERI PATOGEN PADA BUDIDAYA


RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI PANTAI DAHI
AE SABU RAIJUA KECAMATAN RAIJUA

Sebagai salah satu syarat untuk melakukan Penelitian Tugas akhir

HERLINA LOBO BEHI


1606050109

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang berlimpah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena atas rahmat dan penyertaanNya yang diberikan kepada penulis, sehingga
penulisan proposal ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari betapa besarnya dukungan dari sesama yang membimbing


dan membantu penulis selama penyelesaian proposal ini. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan limpah terima kasih yang setulus-tulusnya dan rasa hormat
yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Hery Leo Sianturi, M.Si sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknik
beserta Civitas Akademika yang telah membantu selama penulisan proposal
ini.
2. Bapak Dr. Refli, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains
dan Teknik.
3. Ibu Adriani N. Momo S.Si M.P sebagai pembimbing I dan Ibu Ike Septa
F.M., S.Si, M.Sc sebagai pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk
menuntun penulis sejak awal dan pelaksanaan penelitian sampai penyusunan
dan penyelesaian proposal ini.
4. Ibu Dra. Theresia L. Boro, M.Si selaku penguji I, Ibu Dra. M. T. Danong,
M.Si selaku penguji II dan Ibu Dra. Maria T. L. Ruma, M.Si selaku penguji
III yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan saran
kepada penulis selama penyusunan dan penyelesaian proposal ini.
5. Ibu Ermelinda D. Meye, S.Si, M.Sc sebagai Dosen Penasehat Akademik, yang
selalu memberikan nasehat, motivasi, dan masukkan kepada penulis selama
penulisan proposal.
6. Seluruh staf dosen Program Studi Biologi yang telah memberikan bekal
pengetahuan kepada penulis selama mengikuti kuliah sehingga dapat
diaplikasikan dalam penyelesaian penulisan proposal ini.

ii
7. Seluruh staf kependidikan di Lingkungan FST Undana, khususnya Ibu Widya
Nenotek., SPd yang selalu siap sedia membantu kelancaran pengurusan
admitrasi terkait penyelesaian penyusunan proposal
8. Orang tua tercinta Bapak Reglius Lobo Behi dan Mama Damaris Bubu, dan
saudara tercinta Agustina, Marshelina, Imanuel, Bonifasius, Frans, Iron, ella
dan Irfin, Xavier yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam
menempuh pendidikan.
9. Teman-teman satu bimbingan penelitian proposal dan teman-teman angkatan
BIOISME 16 yang telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan
proposal penelitian ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proposal yang disusun masih memiliki


banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran yang
bersifat perbaikan dari pembaca. Atas bantuan dan kerjasama yang baik dari semua
pihak, penulis mengucapkan terima kasih.

Kupang, 19 Juli 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.......................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan masalah..............................................................................................4
C. Tujuan...............................................................................................................4
D. Manfaat.............................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................5
A. Kajian Pustaka.....................................................................................................5
1. Bakteri ............................................................................................................5
2. Bakteri Patogen Rumput Laut........................................................................6
3. Isolasi dan Identifikasi Bakteri.......................................................................6
4. Uji Biokimia Bakteri.......................................................................................7
5. Biologi Rumput Laut......................................................................................8
6. Morfologi Rumput Laut Eucheuma cottonii...................................................9
7. Klasifikasi Rumput Laut Eucheuma cottonii ...............................................10
8. Manfaat Rumput Laut ..................................................................................11
9. Habitat dan daerah penyebaran.....................................................................12
10. Penyakit ice-ice............................................................................................12
11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan
Rumput Laut Eucheuma................................................................................15
B. Penelitian Relevan.............................................................................................18
BAB III METODE PENELITIAN..........................................................................25
A. Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................................25
B. Alat dan Bahan..................................................................................................26
C. Desain Penelitian...............................................................................................27
D. Prosedur Penelitian............................................................................................27
1. Pengambilan Sampel....................................................................................27
2. Sterilisasi dan Pembuatan Media..................................................................28
3. Isolasi Bakteri/ Purifikasi (pemurnian bakteri).............................................28
4. Karakteristik morfologi dan fisiologi bakteri patogen..................................29
5. Uji Biokimia..................................................................................................30
E. Analisis Data…..................................................................................................31
ALUR KERJA PENELITIAN.................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................33

iv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
Tabel 2.1. Penelitian yang relevan dan sudah dilaksanakan.......................................18

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 2.1. Koloni Koloni Bakteri..............................................................................5
Gambar 2.2. Morfologi Sel Bakteri..............................................................................6
Gambar 2.3. Rumput Laut Eucheuma cottoni..............................................................7
Gambar 2.4. Thallus Eucheuma cottoni yang memutih disebabkan oleh ice-ice ......10
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian..............................................................................24

vi
DAFTAR LAMBANG

% Persen
0
Derajat
0
C Derajat Celcius
̄ Negatif
+ Positif
µm Mikrometer
dkk dan kawan-kawan
et al. et alii/ and others
CO2 Karbon Dioksida
ppt part per thousand
m meter
cm/s centi meter/ sekon

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumput laut adalah sumber daya hayati yang telah dimanfaatkan
masyarakat Indonesia sebagai mata pencaharian, bahkan sebagai mata
pencarian utama. Rumput laut merupakan salah satu komoditas sumberdaya
laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, mudah dibudidayakan serta
biaya produksinya rendah yang memicu banyak masyarakat Indonesia
melakukan budidaya rumput laut. Rumput laut juga merupakan salah satu
sumberdaya laut yang memiliki manfaat sebagai bahan baku produksi, salah
satunya sebagai bahan baku untuk kosmetik, farmasi karena rumput laut
menghasilkan agar, karaginan dan alginat, dan manfaat lain dalam bidang
industri makanan untuk produk pangan seperti kerupuk rumput laut, permen
rumput laut, campuran es, dan lain-lain (Mubarak et al.,1990).
Rumput laut atau dikenal dengan alga merupakan tumbuhan laut yang
tidak dapat dibedakan antara akar, daun dan batang, sehingga seluruh tubuhnya
disebut thallus. Berdasarkan kandungan pigmen yang terdapat dalam thallus
rumput laut, maka dapat dibedakan Chlorophyceae (alga hijau), Rhodophyceae
(alga merah) dan Phaeophyceae (alga coklat) yang mempunyai nilai ekonomis
penting karena kandungan senyawa kimianya. Eucheuma cottonii merupakan
salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi
Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi
kappa-karaginan yang banyak dibudidayakan karena mempunyai nilai
ekonomis penting yaitu sebagai penghasil karaginan. Luas lahan potensial
untuk budidaya rumput laut di provinsi NTT sebesar 51.870 ha atau 5% dari
panjang garis pantai, dengan potensi produksi sebesar 250.000 ton rumput laut
kering/tahun dengan produksi 1,7 juta ton rumput laut basah (Badan
Konservasi Perairan Nasional Kupang, 2012). Budidaya rumput laut di pesisir
pantai dikatakan memiliki hasil yang baik dipengaruhi rumput laut yang sehat

1
tanpa adanya hama yang menyerang baik saat proses pemeliharaan saat
dipanen agar didapatkan hasil yang baik pula.
Patogenis adalah proses berjangkitnya penyakit yang dimulai dari
terjadinya infeksi sampai timbulnya penyakit (Lacey, 1997). Patogenisitas
suatu bakteri ditentukan oleh kemampuan pelekatan pada sel inang serta
kemampuannya melakukan kolonisasi dan mengekspresikan faktor-faktor
virulensi. Respon inang terhadap infeksi yang ditandai dengan terganggunya
fungsi tubuh inilah yang disebut dengan penyakit. Bakteri merupakan
uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa yang fotosintetik dan
produksi aseksualnya secara pembelahan dan bakteri mempunyai ukuran sel
kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop.
Bakteri patogen pada biota yang dibudidayakan di laut tergolong mesofilik
dengan suhu optimum 10-30 °C, umumnya bersifat gram negatif dan berbentuk
batang namun, beberapa patogen batang atau bulat bersifat gram positif dan
beberapa diantaranya berbentuk batang tahan asam. Bakteri adalah jasad renik
yang terdapat di udara, air dan tanah maupun dalam tubuh manusia
(Austin,1993).
Penyakit ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang rumput
laut. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik / bercak-bercak putih pada
sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya
berangsur-angsur menjadi putih. Thallus menjadi rapuh dan mudah putus.
Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya
perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi putih pada
thallus dan membusuk (Largo et al.,1995).
Dampak dari serangan penyakit yang ditimbulkan maka perlu dilakukan
usaha penanggulangan, salah satunya adalah dengan pemilihan bibit unggul.
Akan tetapi perubahan lingkungan yang ekstrim dan serangan predator dapat
melemahkan kondisi fisik dan menyebabkan stres pada makro alga. Keadaan
tersebut memudahkan infeksi patogen, karena makro alga membebaskan
substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir, dan merangsang bakteri

2
tumbuh melimpah (Jailani et al., 2011).
Berdasarkan penelitian Supra Badefi (2016), bakteri patogen yang
ditemukan pada rumput laut di Pantai Kutuh merupakan bakteri patogen yang
berpotensi menyebabkan penyakit yaitu Vibrio sp dan Pseudomonas sp
Didukung penelitian Nally (2018), bakteri yang ditemukan menginfeksi thallus
rumput laut yang terserang penyakit ice-ice diperairan Maluku Tenggara
adalah bakteri pseudomonas stutzeri, aeromonas faecalis, vibrio alginolitycus,
pseudomonas fluorescena, actinobassilus sp dan didominasi oleh genus
pseudomonas dan vibrio. Menurut Penelitian Yani Fitrlan (2015), hama
penyakit ice-ice pada budidaya rumput laut studi kasus: maluku tenggara,
selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, serangan bakteri penyebab ice-ice
juga dipengaruhi oleh serangan predator atau biota penempel yang sering
mengganggu budidaya rumput laut, antara lain: hewan laut maupun alga yang
menempel atau menjadikan rumput laut sebagai makanan sehingga terdapat
luka yang memungkinkan bakteri laut tumbuh. Selain itu, Ketika rumput laut
mengalami stres akan memudah infeksi patogen. Pada keadaan stres rumput
laut akan membebaskan substani organik yang menyebabkan thallus berlendir
dan merangsang bakteri tumbuh melimpah.
Pulau Sabu termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sabu Raijua
yang telah di sahkan pemekarannya pada tanggal 26 November 2008 menjadi
Kabupaten otonom yang ke-21 di NTT. Secara geografis Pulau Sabu terletak
diantara Pulau Sumba, Pulau Rote dan Pulau Timur pada 121 0 45’ sampai 1220
4’ BT dan 100 27’ sampai 100 38’ LS (Riwu Kaho, 2000). Pulau ini secara
administrasi terbagi dalam enam kecamatan yaitu : Kecamatan Sabu Barat,
Sabu Tengah, Sabu Timur, Liae, Hawu Mehara dan Raijua.
        Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (2016)
Produksi diwilayah Sabu Raijua mengalami perubahan pada total produksinya.
Pada tahun 2014, total produksi rumput laut 74,720.55 ton mengalami
kenaikan pada tahun 2015 sebanyak 75,571.72 ton, tetapi pada tahun 2016
mengalami penurunan yang sangat drastis hingga mencapai 48,214.49 ton.

3
Penurunan ini dijelaskan Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang
(2019), adanya penyakit lumut hijau dan ice-ice pada rumput laut yang
dikarenakan suhu yang meningkat di perairan diakibatkan adanya aktivitas
masyarakat setempat.
Berdasarkan Data Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang
dari pengamatan dan hasil Wawancara, aktivitas masyarakat yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit pada rumput laut seperti membuang limbah,
transportasi kapal kecil, dijadikan sebagai tempat wisata, dan rumah warga
yang di pinggir pantai, mengakibatkan laut menjadi kotor akibat pembuangan
limbah rumah tangga dari rumah warga dan aktivitas lainnya. Dari aktivitas
yang dilakukan masyarakat setempat dapat memicu terjadinya penyakit
terutama pada rumput laut, dimana air laut akan menjadi kotor sehingga
memicu tumbuhnya bakteri patogen. Penyakit yang sering dijumpai pada
budidaya rumput laut adalah penyakit “ice-ice”. Tanda-tanda rumput laut yang
terserang penyakit yaitu perubahan pada thallus (berwarna putih), produksi
lendir berlebihan, patah dan terkelupas pada bagian thallus, pertumbuhan
lambat dan bentuk thallus tidak normal. Sehingga penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang Identifikasi Bakteri Patogen pada Budidaya
Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Pantai Dahi Ae Sabu Raijua
Kecamatan Raijua.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yaitu : Apa saja
jenis-jenis bakteri yang teridentifikasi penyebab penyakit ice-ice pada rumput
laut jenis Eucheuma cottonii di Pantai Dahi Ae Kabupaten Sabu Raijua
Kecamatan Raijua ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui jenis bakteri yang teridentifikasi penyebab penyakit
ice-ice pada rumput laut Eucheuma cottonii di pantai Dahi Ae Kabupaten
Sabu Raijua Kecamatan Raijua.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat terutama pembudidaya rumput
laut (Eucheuma cottonii) di Pantai Dahi Ae tentang Identifikasi Bakteri
Patogen Pada Rumput Laut.
2. Sebagai bahan informasi bagi para pembudidaya rumput laut (Eucheuma
cottonii) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan rumput laut.
3. Sebagai bahan untuk mengembangkan mata kuliah Biologi Laut dan
sebagai referensi untuk para peneliti selanjutnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka
1. Bakteri
a. Karakteristik Umum
Bakteri merupakan uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada
beberapa yang fotosintetik dan produksi aseksualnya secara pembelahan dan
bakteri mempunyai ukuran sel kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat
dengan bantuan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-
1,0 µm, dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bulat atau kokus, bentuk batang
atau Bacillus, dan bentuk spiral (Dwidjoseputro, 1985).
Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa, identifikasi jenis bakteri
berdasarkan sifat morfologi, biokimia, fisiologi, dan serologi adalah sebagai
berikut:
1) Bakteri Gram Positif
a) Kokus
1). Katalase positif: Staphylococcus
2). Katalase negatif: Staphylococcus, pediococcus
b) Batang
1). Anaerobik atau Fakultatif Anaerobik: Clostridium botulinum,
Lactobacillus, propionic bacterium.
2). Anaerobik: Bacillus.
2) Bakteri Gram Negatif
a) Fermentatif (batang): Proteus, Eschericiacoli, Enterobacter
b) Non Fermentatif (spiral/batang): Pseudomonas, Alcaligene.
Bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dibedakan atas dua
kelompok berdasarkan komposisi dinding sel serta sifat pewarnaanya, yaitu
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Selain perbedaan dalam sifat
pewarnaanya, bakteri gram positif dan bakteri gram negatif berbeda dalam

6
sentivitasnya terhadap kerusakan mekanis/fisis, terhadap enzim, desinfektan
dan antibiotik.
b. Karakteristik Morfologi
Karakteristik rmorfologi bakteri meliputi karakteristik koloni saat
tumbuh pada medium agar padat, morfologi sel bakteri saat diamati dengan
mikroskop yakni bentuk sel, reaksi uji Gram dan lainnya (Zourob, 2008).
1) Koloni
Koloni merupakan sekumpulan sel bakteri dalam jumlah besar
pada medium padat yang terlihat oleh mata telanjang sebagai satu
kesatuan (Prescott, 2002). Morfologi koloni bakteri meliputi bentuk,
elevasi, tepi, dan pigmentasi koloni (Engelkirk dan Duben-Engelkirk,
2008; Zourob, 2008). Warna (pigmentasi) koloni dipengaruhi oleh
berbagai pigmen yang dihasilkan oleh bakteri (Engelkirk dan Duben-
Engelkirk, 2008). Istilah standar untuk mendeskripsikan keseluruhan
morfologi bentuk, elevasi, dan tepi koloni dapat dilihat pada Gambar
2.1.

Gambar 2.1 Morfologi bakteri (Presccot, 2002)


2) Bentuk sel
Bentuk sel bakteri beragam, mulai dari bulat (sphere) hingga
batang (rod) dan spiral. Gambar 2.2 menununjukkan berbagai macam
bentuk sel bakteri. Bentuk sel tersebut dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam: batang (rod), bulat (sphere) dan spiral atau melengkung
(helical atau curved). Bakteri berbentuk batang dapat ditemukan dalam
berbagai macam bentuk: memiliki ujung kotak, membulat atau runcing,

7
motil ataupun non-motil. Bakteri berbentuk bulat atau coccus dapat
ditemukan dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, berantai atau pun
tidak beraturan. Sedangkan bakteri berbentuk spiral dan melengkung ada
yang dalam bentuk spiroseta, spiral atau pun batang melengkung
(bengkok) milik kelompok Vibrio (Benson, 2001).

Gambar 2.2. Morfologi Sel Bakteri (Benson, 2001)


3) Pewarnaan Gram
Pengamatan morfologi sel bakteri dilakukan dengan pewarnaan
Gram. 1-2 tetes aquades steril diletakkan di atas kaca objek, koloni bakteri
di ambil satu ose dari media diletakkan di atas aquades steril dan sebarkan
Adanya pertumbuhan pada tabung reaksi GB menunjukkan bakteri dapat
memfermentasikan glukosa yang ditandai dengan terbentuknya gelembung.
c. Karakteristik Biokimia
Bakteri menunjukkan berbagai karakter biokimia yang mencerminkan
aspek-aspek metabolisme yang terjadi di dalam sel. Sel amametabolisme,
beragam substrat digunakan dan berbagai hasil akhir terbentuk. Proses
metabolisme dikatalisis oleh suatu system enzim yang dikode secara genetis
dan spesifik untuk masing-masing individu spesies (Pommerville, 2011).
Sehingga karakter biokimia dan juga fisiologis yang diperoleh dari berbagai
hasil uji dapat digunakan dalam identifikasi bakteri (Zourob, 2008).

8
2. Bakteri Patogen Rumput Laut Euchema cottoni
Bakteri patogen pada organisme budidaya laut tergolong mesofilik
dengan suhu optimum 10-30 0C, umumnya bersifat gram negatif dan berbentuk
batang. Namun, beberapa patogen batang atau bulat bersifat gram positif dan
beberapa diantaranya berbentuk batang tahan asam. Bakteri yang mampu
menyebabkan penyakit (patogen) pada organisme perairan yang dibudidayakan
hampir selalu terdapat pada tubuh eksternal. Bakteri adalah jasad renik yang
terdapat, baik di udara, air dan tanah maupun dalam tubuh makhluk hidup
(Austin, 1993).
Bakteri patogen memicu serangan penyakit ice-ice pada rumput laut
Eucheuma cottonii ditandai dengan perubahan thallus, baik secara makroskopis
maupun mikroskopis. Serangan wabah penyakit ice-ice pada rumput laut
diawali dengan perubahan warna thallus yang memudar/ pucat (klorosis),
permukaan thallus kasar, berlendir dan berangsur-angsur menjadi putih,
keropos sehingga pada akhirnya thallus rumput laut menjadi patah.
Identifikasi beberapa jenis bakteri pada thallus rumput laut didapatkan
bakteri patogen penyebab penyakit ice-ice pada pengelolaan budidaya rumput
laut yakni bakteri Vibrio sp. (Largo, 2003). Hasil penelitian Yulianto (2002),
mendapatkan lima jenis bakteri dapat menimbulkan penyakit ice-ice yakni
Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, Vibrio granii, Bacilllus
cercus dan Vibrio agarliquefaciens. Penyebaran serangan penyakit ice-ice di
kawasan lokasi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii mempunyai dampak
yang sangat besar terhadap industri karaginan. Sehingga diperlukan teknik
deteksi penyakit ice-ice yang cepat dan akurat. Selama ini identifikasi dan
deteksi bakteri patogen dilakukan berdasarkan pengamatan gejala klinis,
riwayat kejadian penyakit di lokasi budidaya, karakteristik morfologi, fisiologi
dan biokimia bakteri.

9
3. Isolasi dan Identifikasi Bakteri
a. Isolasi
Pemisahan mikroorganisme seperti tumbuhan sangat diperlukan
untuk mengetahui jenis, mempelajari kultural, morfologi, fisiologi,
karakteristik mikroorganisme tersebut. Teknik pemisahan seperti ini sering
disebut isolasi yang disertai dengan pemurnian (Irianto, 2006). Isolasi
merupakan rangkaian proses pemisahan mikroorganisme agar didapatkan
kultur murni (isolat). Isolat-isolat tersebut kemudian ditumbuhkan pada
medium terpisah agar dapat tumbuh dengan baik.
Menurut Cappucino & Sherman (1987) teknik isolasi bakteri yang
digunakan yaitu dengan dilution methode. Dilution methode adalah
pengenceran bertingkat yang terbagi menjadi 3 macam teknik isolasi, yaitu:
1). Treak plate technique, merupakan metode isolasi kualitatif dengan
menggoreskan mikroorganisme yang diambil atau kultur bakteri diatas
permukaan medium padat dengan menggunakan jarum inokulasi.
2). Spread plate technique, merupakan teknik isolasi yang dilakukan
dengan cara meratakan enceran campuran mikroorganisme diatas
permukaan mediun padat secara seteril.
3). Pour plate technique, merupakan teknik isolasi yang dilakukan
dengan membuat pengenceran secara berturut-turut dengan
menggunakan jarum inokulasi dan pipet. Selanjutnya enceran
tersebut dicampurkan dengan medium agar dan dibiarkan sampai
padat.
b. Identifikasi
Identifikasi merupakan upaya untuk mengetahui nama suatu makhluk
hidup dalam suatu kelompok tertentu berdasarkan karakteristik persamaan
dan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing makhluk hidup.
Identifikasi mikroorganisme dilakukan dengan membandingkan ciri-ciri
yang ada pada satuan yang belum diketahui dengan satuan-satuan yang
sudah dikenal. Identifikasi mikroorganisme yang baru diisolasi memerlukan

10
perincian, deskripsi, dan perbandingan yang cukup dengan deskripsi yang
telah dipublikasikan untuk jasad-jasad renik lain yang serupa (Pelczar &
Chan, 1989).
Tahapan proses identifikasi dilakukan dengan cara pengamatan
terhadap organisme tersebut baik secara morfologi maupun fisiologi.
Pengamatan secara morfologi dapat meliputi bentuk koloni, struktur koloni,
bentuk sel, ukuran sel, bentuk flagel dan pewarnaan endospore dari bakteri.
Identifikasi bakteri juga dapat dilakukan dengan cara indentifikasi secara
genetik, yaitu dengan metode PCR (polymerase chain reaction) yaitu
dengan mengekstrak DNA bakteri kemudian di perbanyak dan
dielekroforesis. Hasil elektroforesis akan menunjukan karakteristik dari
DNA yang dimiliki (Suryanto, 2004).
1). Pengamatan morfologi dapat dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dapat dilakukan dengan
mengamati bentuk koloni yaitu berbentuk bulat, tak berbentuk, sperti
akar, dan filamen. Tepi koloni bakteri yang terdiri dari bentuk tepi
koloni utuh, halus, berombak dangkal, dan berombak dalam. Elevasi
koloni bakteri terdiri dari elevasi rata, cembung rendah dan cembung
tinggi dengan permukaan koloni halus atau kasar. Pengamatan
morfologi bakteri secara mikroskopis dapat dilakukan dengan
mengamati bentuk sel bakteri, ukuran bakteri, pewarnaan endospora,
dan pewarnaan Gram (Cappucino & Sherman, 1987).
2). Pengamatan fisiologi bakteri dilakukan dengan cara uji biokimia. Uji
biokimia yang biasa dilakukan yaitu pengujian fermentasi karbohidrat
(untuk mengamati kemampuan bakteri dalam memfermentasikan
karbohidrat), pengujian Metyl red (untuk mengetahui kemampuan
bakteri dalam menghasilkan asam), pengujian Vogest Paskauer (untuk
mengetahui kemampuan bakteri dalam menghasilkan acetumetyl
carbinol dan fermentasi glukosa), pengujian indol (untuk mengetahui
kemampuan bakteri dalam menghasilkan indol), pengujian oksidase

11
(untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam memproduksi enzim
oksidase), pengujian H2S (untuk mengatahui kemampuan bakteri dalam
memproduksi H2S), pengujian 6mylase (untuk mengetahui kemampuan
bakteri menghidrolisis amilum), pengujian katalase (untuk mengetahui
kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim katalase), pengujian
protease (untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam menghidrolisis
protein) ( Cappucino & Sherman, 1987).
4. Uji Biokimia Bakteri
Uji biokimia dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat fisiologis koloni
bakteri hasil isolasi. Biokimia bakteri berkaitan dengan proses metabolisme sel
bakteri. Identifikasi bakteri tidak dapat dilakukan dengan mengetahui sifat
mofologinya saja, namun harus mengetahui sifat fisiologis bakteri juga. Sifat
fisiologis bakteri sangat penting diketahui apabila melakukan identifikasi
bakteri karena sifat moroflogis bakteri dapat tampak serupa bahkan tidak
dikenal sehingga dengan melakukan uji biokimia terhadap koloni bakteri dapat
mengetahui sifat dan menentukan spesies bakteri. Uji biokimia yang dilakukan
menggunakan reagen test (Handayani, Ekowati, & Pakpahan, 2013).
a.Uji Katalase
Uji katalase berfungsi untuk mengetahui mampu atau tidaknya bakteri
memproduksi enzim katalase. Hasil uji katalase positif ditunjukkan dengan
adanya gelembung udara setelah bakteri ditetesi larutan H2O2 (katalase +)
(Handayani et al., 2013).
b. Uji Glukosa
Uji Glukosa atau fermentasi glukosa dengan uji MR berfungsi untuk
mengetahui ada tidaknya fermentasi asam campuran (metilen glikon) pada
koloni bakteri. Hasil uji MR dapat diketahui negatif (-) ditandai dengan
setelah penambahan methyl red, media tidak mengalami perubahan warna
menjadi merah. Apabila positif (+) ditandai dengan setelah penambahan
methyl red, media mengalami perubahan warna menjadi merah, dapat
diartikan bahwa asam campuran (metilen glikon) dihasilkan oleh bakteri

12
melalui proses fermentasi glukosa pada media methyl red (Rahayu &
Gumilar, 2017).
5. Biologi Rumput Laut
Rumput laut adalah salah satu jenis alga yang dapat hidup di perairan
laut dan merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan
susunan kerangka seperti akar, batang, dan daun. Rumput laut atau alga juga
dikenal dengan nama seaweed merupakan bagian terbesar dari rumput laut
yang tergolong dalam divisi Thallophyta. Ada empat kelas yang dikenal
dalam divisi Thallophyta yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae
(alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru
hijau). Alga hijau biru dan alga hijau banyak yang hidup dan berkembang di
air tawar, sedangkan alga merah dan alga coklat secara eksklusif ditemukan
sebagai habitat laut (Ghufran, 2010).
Jenis rumput laut di perairan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis
adalah kelas Rhodophyceae yang mengandung metabolit primer dan
metabolit sekunder. Metabolit primer pada rumput laut dapat dimanfaatkan
dalam bidang industri pangan, farmasi, fotografi, dan kosmetik. Sedangkan
kandungan metabolit sekundernya mampu menghasilkan senyawa bioaktif
yang berfungsi sebagai antibakteri, antiseptik, antivirus, antijamur, dan
sitotastik (Fattah dkk, 2012).
6. Morfologi Rumput Laut (Eucheuma cottonii)
Dari segi morfologi, rumput laut tidak memperlihatkan adanya
perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini
mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-
bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka. Morfologi Eucheuma
cottoni adalah, permukaan licin, Cartilogeneus thalli (kerangka tubuh
tumbuhan) bulat silindris atau gepeng, warnanya merah, abu-abu, hijau
kuning, dan hijau, bercabang berselang tidak teratur, Dichotomous atau
trikhoyomous, memiliki benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau
spines, dan substansi thalli “gelatinus “ dan “kartilagenus” (lunak seperti

13
tulang rawan). Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna
hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi
hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses
adaptasi kromatik yaitu penyusaian antara proporsi pigmen dengan berbagai
kualitas pencahayaan (Aslan, 1998).
Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai
kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang
dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan
batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal).
Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-
cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang
rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari
(Atmadja, 1996).
7. Klasifikasi Rumput Laut Eucheuma cottoni
Menurut Anggadireja (2011), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottoni
Gambar 2.1 Eucheuma cotton ( Anggadireja,
2011 )
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu
carragaenophtytes yaitu rumput laut penghasil karaginan, yang berupa
senyawa polisakarida. Karaginan dalam rumput laut mengandung serat
(dietary fiber) yang sangat tinggi. Serat yang terdapat pada karaginan
merupakan bagian dari serat gum yaitu jenis serat yang larut dalam air.
Karaginan dapat terekstraksi dengan air panas yang mempunyai
kemampuan untuk membentuk gel. Sifat pembentukan gel pada rumput laut

14
ini dibutuhkan untuk menghasilkan pasta yang baik, karena termasuk ke
dalam golongan Rhodophyta yang menghasilkan florin starch
(Anggadiredja, 2011).
Fotosintesis pada rumput laut berlangsung tidak hanya dibantu oleh
sinar matahari, tetapi juga oleh zat hara sebagai bahan makanannya. Tidak
seperti tumbuhan pada umumnya yang zat haranya tersedia di dalam tanah,
zat hara rumput laut diperoleh dari air laut sekitarnya. Penyerapan zat hara
dilakukan melalui seluruh bagian tumbuhan dan zat hara bukan menjadi
penghambat pertumbuhan rumput laut. Hal ini terjadi karena adanya
sirkulasi yang baik dari zat hara yang ada di darat dengan dibantu oleh
gerakan air (Farnani dkk, 2013).
8. Manfaat Rumput Laut (Eucheuma cottonii)
Rumput laut mengandung komponen-komponen metabolit penting
yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh, yaitu terdiri dari dua kelompok yaitu
primer dan sekunder. Komponen primer berupa vitamin, mineral, serat,
alginat, dan agar, sedangkan komponen metabolit sekunder dari rumput laut
berpotensi sebagai produser metabolit bioaktif yang beragam dengan
aktivasi yang sangat luas sebagai antibakteri, antivirus, antijamur, dan
sitotastik (Sulaiman dkk, 2015). Aktivitas antibakteri yang terkandung
dalam eucheuma cottonii yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin dan
saponin (Prabha et al., 2013).
Menurut Sulaiman dkk, (2015), tumbuhan rumput laut (Eucheuma
cottonii) mengandung senyawa aktif yang meliputi flavonoid, fenol, dan
tanin. Senyawa-senyawa ini dilaporkan memiliki daya hambat terhadap
mikroorganisme patogen. Flavonoid mengandung suatu senyawa fenol.
Pada konsentrasi tinggi fenol berkoagulasi dengan protein seluler. Aktivitas
ini sangat efektif ketika bakteri dalam tahap pembelahan, yaitu saat lapisan
fosfolipid di sekeliling sel sangat tipis, sehingga fenol dengan mudah
berpenetrasi merusak dinding sel dan menyebabkan kematian sel.

15
Menurut Kordi (2010), bahwa rumput laut banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat pesisir sebagai obat luar, salah satunya sebagai bahan antiseptik
alami. Hasil penelitian Pringgenies et al., (2011), menunjukkan potensi
rumput laut sebagai anti bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit
infeksi. Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi adalah infeksi pada
kulit. Bakteri Staphylococcus epidermidis merupakan kuman patogen yang
sering menyebabkan infeksi kulit pada manusia, sedangkan Micrococcus
luteus merupakan bakteri yang sering ditemukan menginfeksi kulit ikan
(Refdanita et al, 2004; Aydin et al, 2005).
9. Habitat dan Daerah Penyebaran
Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfir sampai batas
kedalaman 200 meter. Dikedalaman ini syarat hidup untuk tanaman air
masih memungkinkan. Jenis rumput laut ada yang hidup diperairan tropis,
subtropis, dan diperairan dingin. Di samping itu, ada beberapa jenis yang
hidup kosmopolit seperti Ulva lactuca, Hypnea musciformis, Colpomenia
sinuosa, dan Gracilaria verrucosa. Rumput laut hidup dengan cara meyerap
zat makanan dari perairan dan melakukan fotosintesis. Jadi pertumbuhannya
membutuhkan faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan air,
suhu, kadar garam, nitrat, dan fosfat serta pencahayaan sinar matahari
(Puncomulyo, 2006).
Beberapa jenis alga di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis yang
tinggi yaitu Eucheuma cottonii, salah satu jenis dari kelompok alga merah
terutama jenis alvarezii dan spinossum, terdapat di perairan Indonesia
seperti Bali, Pameungpeuk, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku
(Satari, 1998).
Aslan (1998), menambahkan bahwa pemanenan rumput laut dapat
dilakukan sekitar 1-3 bulan dari saat penanaman. Selanjutnya dikatakan
bahwa persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi bagi budidaya
Eucheuma adalah substrat stabil, terlindung dari ombak yang kuat dan
umumnya di daerah terumbu karang, tempat dan lingkungan perairan tidak

16
mengalami pencemaran, kedalaman air pada waktu surut terendah 30 cm,
perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang tahun, kecepatan arus
antara 30-37 ppt.
10. Penyakit ice-ice
a. Karakteristik Penyakit ice-ice
Warna dan tingkat pertumbuhan thallus seringkali dianggap sebagai
indikasi kesehatan pada rumput laut (Doty, 1987). Morfologi bagian
tumbuhan menjadi kuning mengindikasikan adanya penurunan vitalitas
pada rumput laut. Perubahan ini kadang-kadang dihubungkan dengan hasil
produksi gel yang tinggi ( Neish & Shacklock, 1971).
Rumput laut yang terinfeksi ice-ice dapat di identifikasi dengan
adanya pemutihan percabangan tanaman kemudian permukaan pembusukan
jaringan yang diikuti dengan pelembekan thallus atau bagian dari thallus
(Largo, 2002). Lama kelamaan, rumput laut akan dipenuhi dengan bintik-
bintik putih dari jaringan yang mati. Hal ini menyebabkan fragmentasi
thallus dan menurunnya biomassa rumput laut (Trono, 1974; Uyenco,
1981). Rumput laut yang telah terkena penyakit tidak dapat melakukan
fotosintesis secara maksimal dan kandungan pigmen akan menurun (Ganzon
Fortes, 1993). Perbedaan thallus rumput yang terserang penyakit ice-ice
ditandai dengan adanya thallus yang mulai memutih dan pucat.

Gambar 2.2. Thallus Eucheuma cottonii yang memutih disebabkan oleh


ice-ice (Shabrina, 2014)

17
Budidaya Eucheuma cottonii tidak terjadi secara alami dan penyebab
ice-ice ini tidak selalu dikarenakan oleh tidak cocoknya hidup pada subtrat
yang tersedia (Doty, 1987). Efek gabungan dari stres dan agen biotik,
seperti bakteri patogen Oportunistik merupakan faktor utama dalam
pengembangan ice-ice (Largo, 1999). Faktor abiotik ini meliputi adanya
perubahan kondisi lingkungan secara tiba-tiba, misalnya perubahan
temperatur, salinitas, pH, dan aliran air yang menyebabkan rumput laut
menjadi stres (Doty, 1987; Mtolera, 1995; Hurtado, 2008; Israel, 2010;
Maria, 2014). Rumput laut dalam kondisi stress akan membebaskan
substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang
bakteri tumbuh melimpah (Vairappan, 2006). Kelompok bakteri patogen
Vibrio dan Cytophaga-Flavobacterium merupakan bakteri yang dapat
menginduksi ice-ice. Ditumbuhkan dalam kondisi tercekam (Largo, 1995;
Hurtado, 2013). Selain kedua kelompok bakteri tersebut, bakteri lain seperti
Pseudomonas, Xanthomonas, dan Halomonas ditemukan pada rumput laut
yang terserang ice-ice (Uyenco, 1981). Tipe bakteri penyebab ice-ice yang
telah diidentifikasi antara lain V. alginoliticus, V. granii, V.
agarliquefaciens, P. nigricaciens, P. fluorescens, P. cepacia, P. diminuta,
dan Flavobacterium meningosepticum (Yulianto, 2002; Aris, 2011).
b. Proses Terjadinya ice-ice
Penyakit ice-ice disebabkan oleh kondisi kesehatan rumput laut
menurun atau kondisi lingkungan yang kurang mendukung, sehingga rumput
laut mengalami stress, dan menyebabkan penurunan kemampuan rumput
laut untuk mempertahankan diri dari penularan infeksi penyakit (Lobban and
Horrison 1994). Hal ini dapat dipengaruhi oleh ketidakseimbangan interaksi
kompleks yang terjadi antara kondisi lingkungan, rumput laut dan
patogenitas mikroorganisme oportunistik. Interaksi antara rumput laut
dengan bakteri terjadi secara dinamis sehingga penyakit yang timbul
tergantung pada beberapa faktor termasuk keadaan rumput laut, potensi

18
patogen bakteri (yaitu kemampuan untuk mengekspresikan faktor virulensi
yang relevan) dan pengaruh parameter lingkungan atau stressor (Egan et al.,
2014). Interaksi antara rumput laut, kondisi lingkungan dan bakteri patogen
oportunistik dalam menyebabkan penyakit pada rumput laut.

11. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan


Rumput Laut (Eucheuma cottonii).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut
antara lain adalah: kecerahan, arus, suhu, salinitas, derajat keasaman (pH),
Oksigen terlarut (DO), arus dan gerakan air.
a. Kecerahan, adalah ukuran besarnya penetrasi cahaya yang menembus
kedalaman perairan. Kondisi seperti ini dibutuhkan agar cahaya matahari
dapat mencapai tanaman untuk proses fotosintesis (Anggadiredja dkk,
2006). Hidayat (1994) menyatakan bahwa kejernihan air laut yang baik
untuk pertumbuhan rumput laut adalah sampai kedalaman 7-10 m. Untuk
budidaya rumput laut Eucheuma cottoni, keadaan perairan sebaiknya
relatif jernih dengan tingkat kecerahan tinggi dan jarak pandang
kedalaman dengan alat sechidisk mencapai 2-5 m.
b. Arus, menurut Yusuf (2004), mengatakan bahwa berdasarkan kecepatan
arusnya, perairan dikelompokkan menjadi lima yaitu berarus sangat cepat
(>100 cm/s), cepat (50 - 100 cm/s), sedang (25 – 50 cm/s), lambat (10 -
25 cm/s) dan sangat lambat (<10 cm/s). Namun kecepatan arus 0,21 –
0,51 m/s ternyata dapat meningkatkan produktifitas rumput laut. Rumput
laut merupakan organisme yang memperoleh makanan (nutrien) melalui
aliran air yang melewatinya. Arus dapat mengalirkan unsur hara yang
akan mensuplai nutrien yang dibutuhkan rumput laut. Pergerakan arus
juga dapat membersihkan kotoran yang menempel pada tanaman
sehingga pertukaran CO₂ dengan O₂ dapat terjadi dengan baik. Dengan
kondisi seperti ini, akan mempermudah pergantian dan penyerapan unsur
hara yang diperlukan oleh tanaman.

19
c. Suhu, sangat penting dalam proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Perubahan suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme organisme
perairan. Suhu air laut sebenarnya sering menghambat pertumbuhan
rumput laut, terutama dikarenakan adanya perbedaan temperatur antara
siang dan malam hari yang terlalu besar temperatur suhu yang optimal
untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottoni berkisar 26 – 30°C
(Anggadiredja. dkk 2006).
d. Salinitas, di alam Eucheuma cottonii tumbuh berkembang dengan baik
pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar
dari sungai dapat menyebabkan memicu factor stress dari rumput laut
Eucheuma cottonii. Salinitas yang cocok untuk pertumbuhan rumput laut
berkisar 28-33 ppt (WWF, 2014).
e. Derajat Keasaman (pH), adalah salah satu faktor lingkungan kimia air
yang turut menentukan baik buruknya pertumbuhan rumput laut.
Fluktuasi pH dalam air biasanya berkaitan erat dengan aktivitas
fitoplankton dan tanaman air lainnya dalam menggunakan CO₂ dalam air
selama berlangsungnya proses fotosintesis. Siang hari biasanya pH air
cenderung meningkat dan konsentrasi CO₂ menurun, sedangkan pada
malam hari, pH menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi CO₂
(Boyd, 1989). Yusuf (2004) menyatakan bahwa rumput laut tumbuh pada
kisaran pH 6,5-8,5 dan nilai pH yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut
berkisar 6-9, pada perairan yang relatif tenang dengan substrat pasir
berlumpur, lumpur, dan karang batu.
f. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang sangat
penting bagi organisme air. DO biasanya dijumpai dalam konsentrasi
tinggi pada lapisan permukaan karena adanya proses difusi oksigen dari
udara ke dalam air. Organisme fotosintetik seperti fitoplankton juga
membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan
permukaan diwaktu siang hari.

20
Effendi (2003), menjelaskan bahwa hubungan antara kadar oksigen
terlarut jenuh dengan suhu berbanding terbalik, semakin tinggi suhu
maka kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan
meningkatnya salinitas. Sehingga kadar oksigen terlarut di laut
cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar.
Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1˚C akan
meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%.
Sulistijo dan Atmadja (1996), menyatakan bahan baku mutu DO
untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l. Hal ini berarti jika oksigen
terlarut dalam perairan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut
dapat berjalan dengan optimal.
g. Arus dan gerakan air
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat
disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, dan pasang
surut yang bergelombang panjang dari laut terbuka (Nontji, 1987). Arus
mempunyai peranan penting dalam penyebaran unsur hara di laut
(Nazam, 2004). Arus ini sangat berperan dalam perolehan makanan bagi
alga laut karena arus dapat membawa nutrien yang dibutuhkannya. Selain
itu, jika pergerakan air lambat dalam budidaya rumput laut maka
beberapa patogen, terutama bakteri, sangat motil dan dapat dengan
mudah menyerang permukaan rumput laut sehingga menyebabkan ice-ice
(Largo,1997). Arus juga dapat mengatasi kenaikan air suhu yang ekstrim.
Salah satu syarat untuk menentukan lokasi budidaya Eucheuma cottonii
adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33-0,66 m/detik (Sulistijo, 1994).

21
B. Penelitian Yang Relevan
Tabel 2.1. Penelitian yang relevan dan sudah dilaksanakan
No Penelitian Judul Penelitian Hasil atau Kesimpulan
Penelitian
1. Apri Arisand, Dampak infeksi Ice-ice Hasil pengamatan secara
2013 dan Epifit terhadap morfologis menunjukkan
pertumbuhan Eucheuma bahwa, sebaran infeksi
cottonii tampak nyata setelah masa
pemeliharaan 30 hari. Epifit
pada E.cottonii didominasi
oleh Chaetomorpha crassa.
Bentuk C. Crassa menyerup
ai benang dan menggumpal
menutupi hampir seluruh
thallus sehingga mengalami
penetrasi cahaya dan
menjadi kompetitor E.
cottonii dalam menyerap
nutrin. C. crass juga
menjadi habitat yang tepat
untuk kehidupan bakteri.
Thallus menjadi sangat
rapuh apa bila telah di
tempeli oleh epifit sehingga
mudah patah dan mati.
( Djokosetyanto et al, 2008)
2. Supra Badevi Identifikasi Bakteri Bakteri patogen yang
2016 Pada Rumput Laut ditemukan pada rumput laut
Euchema spinosum di pantai kutuh merupakan
yang Terserang bakteri patogen yang
Penyakit Ice-ice berpotensi menyebabkan
Diperairan Pantai penyakit yaitu Vibrio sp dan
Kutuh. Pseudomonas sp. Parameter
dan uhu yang meningkat
akan berpengaruh pada
pertumbuhan rumput laut.
Salinitas rata-rata diperairan
adalah 26-29 ppm yang
dimana dekat dengan
daratan sehingga
dipengaruhi oleh kegiatan
daridarat suhu air yang
tinggi dan penurunan
salinitas yang terjadi

22
perairan akibat air tawar
yang mauk akan
menyebabkan pertumbuhan
rumpur laut menjdai tidak
normal. Ketika rumput laut
mengalami stres akan
memudah infeksi patogen.
Pada keadaan stres rumput
laut akan membebaskan
substani organik yang
menyebabkan thallus
berlendir dan merangsang
bakteri tumbuh melimpah.
3. Asrul Ismail, Isolasi Dan Identifikasi Berdasarkan hasil penelitian 
2010 Mikroba Endofit yang telah dilakukan maka d
Penghasil Antibiotika apat disimpulkan bahwa:
Pada Alga Merah 1. Isolasi mikroba endofit
Eucheuma cottonii Asal dari alga E. cottonii mengha
Rapao Kabupaten silkan 6 isolat bakteri dan 5
Banteng. isolat jamur yang memiliki
aktifitas antibiotika terhadap
beberapa mikroba uji.
2. Fermentat memberikan
aktifitas antibiotika pada
beberapa mikroba uji,antara 
lain E.coli, Staphylococcus
aureus Vibrio sp,Bacillus
 subtilis, Pseudomonas auro
ginosa, Staphylococcus epid
ermidis, Salmonella typhi
dan Candida albicans.
3. Semua isolat bakteri
merupakan bakteri Gram ne
gatif. Isolat IB1,IB3,IB4,dan 
IB6 berbentuk kokus, sedan
gkan isolat IB2 dan IB5
berbentuk basil.
4 Nally, 2018 Identifikasi Bakteri Bakteri yang ditemukan
Pada Rumput Laut menginfeksi thallus rumput
Kappaphycus alvarezii laut yang terserang penyakit
Berdasarkan Musim ice-ice diperairan maluku
Tanam Diperairan tenggara adalah bakteri
Maluku Tenggara. pseudomonas stutzeri,
aeromonas faecalis, vibrio
alginolitycus, pseudomonas

23
fluorescena, actinobassilus
sp dan didominasi oleh
genus pseudomonasdan
vibrio. Pada musim tanam
ke III-IV periode april-juli
bakteri banyak ditemukan
menginfeksi rumput laut
pada lokai sathean,
sedangkan pada musim
tanam VI-VI periode
oktober-desember.
5. Supatno, 2010 Populasi Bakteri Eucheuma cottonii yang
Pada Rumput Laut terinfeksi penyakit ice-ice
(Eucheuma cottonii) pada lokasi dan waktu
Yang Terserang yang berbeda dengan
Penyakit Ice-ice menggunakan uji angka
lempeng total (alt) dapat
disimpulkan bahwa:
1. Lokasi tiga memiliki
tingkat populasi bakteri
yang paling tinggi
yaitu 18060 koloni/gr
dan terendah 7278
koloni/gr pada lokasi
dua.
2. Minggu ketiga tingkat
populasi bakteri paling
tinggi yaitu rata-rata
17514 koloni/gr dan
terendah pada minggu
peretama yaitu 6500
koloni/gr.
3. Parameter kualitas air
pada suhu, kecepatan
arus dan kedalaman
perairan ada yang
menunjukkan kisaran
dibawah optimum.
6 Yani Fitrlan, Hama Penyakit (Ice- Hasil penelitian tentang
2015 Ice) Pada Bidaya hama penyakit ice-ice pada
Rumput Laut Studi budidaya rumput laut studi
Kasus Maluku kasus: maluku tenggara,
Tenggara selain dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, serangan
bakteri penyebab ice-ice

24
juga dipengaruhi oleh
serangan predator atau biota
penempel yang ering
mengganggu budidaya
rumput laut, antara lain:
1. Ikan baronang yang
menjadikan rumput laut
sebagai makanan
segingga dari beka luka
gigitannya bisa
terinfeksi bakteri;
2. Ubur-ubur, secara tidak
langsung dapat
mengganggu kegiatan
kontrol para petani
rumput laut;
3. Tiram yang menempel
pada tali ris dan bambu
dari rakit merupakan
hama yang paling
mengganggu dari
kegiatan budidaya
rumput laut;
4. Alga yang menempel
pada thallus dapat
menyebabkan kematian
secara perlabanlaban
karena dapat
mengbalangi rumput
laut untulc memperoleh
makanan atau cabaya
matabari untuk
melakukan fotosintesis,
karena menempel erat
pada thallussehingga
saat dibersihkan banyak
thallus yang patah atau
terluka.
Sehingga menyebabkan
penurunan produksi rumput
laut yang cukup signitikan.
7 Karina Patria Identifikasi dan Hasil penelitian menunjukan
Soedjatmiko karakterisasi bakteri bahwa:
pada reaktor wetland Bakteri yang sudah diisolasi
dari wetland dimurnikan

25
dan diamati untuk
mengetahui sifat dari bakteri
tersebut. Dari bakteri yang
sudah didapat, seluruh
bakteri tersebut bersifat
Gram negatif dan berbentuk
batang atau batang pendek.
Bakteri yang didapat berasal
dari genus yang beragam,
yaitu Aeromonas,
Moraxella, Pseudomonas,
Empedobacter,
Stenotrophomonas,
Ralstonia, Vibrio, dan
Brevundimonas. Seluruh
bakteri ini dapat ditemukan
pada tanah dan/atau
lingkungan perairan,
sehingga wajar ditemukan
pada reaktor wetland pada
penelitian ini. Kurva
tumbuh yang dibuat
menunjukkan bahwa dua
bakteri, B3 dan B7, tidak
memiliki waktu lag atau
waktu lag bakteri ini sangat
cepat. Hal ini dapat
disebabkan karena waktu
lag terjadi dalam satu jam
pertama, bakteri yang
diinokulasi masih dalam
keadaan log atau dalam
keadaan yang tidak rusak,
atau bakteri dapat cepat
beradaptasi dengan media.
Dari nilai K, g, dan µ yang
didapat, B7 terhitung juga
memiliki nilai g (mean
doubling time) yang paling
singkat. Hal ini
menunjukkan bahwa B7
dapat bereproduksi dengan
cepat di dalam media. Dari
uji konfirmasi dengan
inokulasi bakteri pada air

26
limbah domestik, dapat
dilihat bahwa bakteri B5
memiliki kemampuan paling
baik menguraikan zat
organik yang terdapat dalam
air. Pada seluruh inokulasi
bakteri ditemukan
penurunan zat organik, yang
menunjukkan bahwa bakteri
tersebut dapat hidup dengan
baik dalam air yang serupa
dengan air limbah domestik
8. Sri Nurhidayat Deteksi bakteri patogen Adapun hasil penelitian men
2015 yang berasosiasi dengan  yimpulkan bahwa yang
kappaphycus alvarezii( dapat diambil dari penelitian
doty) bergejala penyakit ini adalah terdapat 28 isolat
ice-ice bakteri yang berasosiasi
dengan Kappaphycus alvare
ziiyang
bergejala iceice. Hasil uji pa
togenesitas ke-28 isolat
tersebut diperoleh satu isolat
bakteri yang mampu
menyebabkan gejala ice-ice
yaitu isolat K25.
9 Arif Pengujian antibakteri Berdasarkan penelitian yang
Muhamad, ekstrak daun kirinyuh telah dilakukan dapat
2017 terhadap pertumbuhan disimpulkan bahwa:
bakteri vibrio sp. yang 1. Bakteri Vibrio sp.dapat
menyebabkan penyakit diisolasi dari rumput laut
ice-ice pada rumput laut Eucheuma cottoni yang
Eucheumacottoni terserang penyakit ice-ice
yang dapat dilihat dari
perubahan warna media
selektif TCBS yang awalnya
berwarna hijua menjadi
kuning.
2. Pemberian ekstrak kasar
daun kirinyuh berpengaruh
cukup baik dalam
menghambat pertumbuhan
bakteri Vibrio sp. pada
setiap perlakuan dalam
pengujian in vitro

27
menggunakan metode difusi
agar dengan paper disk.
Hasil pengujian secara in
vitro dengan menggunakan
metode difusi agar dengan
paper disk menunjukan
bahwa perlakuan dengan
konsentrasi 100%
menghasilkan zona hambat
yang tergolong kuat
dibandingkan dengan zona
hambat yang dihasilkan
pada perlakuan dengan
konsentrasi 20%, 40%,
60%, dan 80%.

28
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


1. Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April 2022.
2. Tempat
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan di Pantai Dahi Ae,
Desa Ledeunu Kabupaten Sabu Raijua, Kecamatan Raijua, Nusa Tenggara
Timur (NTT). Sampel di isolasi dan di  identifikasi  di  Laboratorium  Ilmu
Pendidikan UKAW.

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian ( dokumen pribadi)

B. Alat dan Bahan Penelitian


1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Refrakrometer, meter,
Termometer, plastik Siplock, Coolbox, Kamera, Alat tulis, Petridish, Jarum
ose, Bunsen, Erlenmeyer, Tabung reaksi, Timbangan analitik, Spreader,
Autoclave, Hot plate, Vortex, Shaker, Inkubator, Mikroskop, Mikropipet
dan tip, Beker gelas, Rak rabung, Jas, masker dan gloves.

2. Bahan

29
Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu: rumput laut
Euchema cottoni, air laut, media marine agar (ma) dan aquades, larutan,
NaCl, alkohol 70%, larutan kristal violet, larutan safranin, dan hydrogen
peroksida (H2O2) dengan pengujian meliputi pembuatan isolat uji, uji
biokimia, uji katalase, uji glukosa.
C. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pengambilan
sampel menggunakan teknik purposive sampling. Pengambilan sampel
Eucheuma cottonii dan air laut di Pantai Dahi Ae dengan panjang lokasi 20 m
dan luas lokasi pengambilan sampel Euchema cottoni 2 ha, selanjutnya
pengujian sampel rumput laut dan air laut meliputi uji isolat dan uji biokimia
(Dwi dkk, 2017).
D. Prosedur penelitian
1. Pengambilan sampel
a. Wawancara responden pembudidaya rumpu laut
Dipilih 10 responden untuk mengatahui jenis rumput laut, umur dan
cara pembudidayan agar diketahui rumput laut yang diduga terkena
penyakit Ice-ice.
b. Sampel Rumput Laut
Sampel rumput laut diambil secara acak dari 10 responden dari total
tempat pembudidaya rumput laut lalu diambil 3 sampel rumput laut dari
jarak masing-masing 1 meter dan diambil sebanyak 3 kali pengulangan
dengan total 6 sampel yang diduga terkena penyakit dan masing-masing
sampel diambil sebanyak 100 gram kemudian sampel tersebut
dimasukkan ke dalam plastic ziplock kemudian disimpan dalam coolbox
(Wilis dan Subagiyo, 2012). Lamanya waktu yang digunakan dari lokasi
hingga sampai ke laboratorium yaitu sekitar 24 jam. Sampel lalu di
isolasi di Laboratorium Mikrobiologi di Laboratorium Universitas
Kristen Artha Wacana Kupang.
c. Sampel Air Laut

30
Sampel air laut diambil dari lokasi sekitar tumbuhnya rumput laut
sebanyak 10 ml diambil dari masing-masing titik lokasi budidaya dengan
jarak 1 m di lakukan ulangan gabungan 3 titik lokasi tempat
pembudidaya dengan total 6 sampel air laut. Sampel dimasukkan
kedalam botol kemudian disimpan dalam coolbox (Wilis dan Subagiyo,
2012). Lamanya waktu yang digunakan dari lokasi hingga sampai ke
laboratorium yaitu sekitar 24 jam. Sampel lalu di isolasi di Laboratorium
Mikrobiologi di Laboratorium Universitas Kristen Artha Wacana
Kupang.
2. Sterilisasi dan pembuatan media
Alat dan bahan disteril menggunakan autoclave. Sterilisasi pada
autoclave menggunakan suhu 121°C dengan durasi waktu 15 (Pelczar dan
Chan, 1986).
Media marine agar dan aquades digunakan sebagai media isolasi
bakteri. Pembuatan media diawali dengan menimbang 2.94 gram media
marine agar. Kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer ditambah aquades
sebanyak 105 mL, selanjutnya dipanaskan menggunakan hot plate dengan
magnetic stirrer untuk menghomogenkan media. Media yang sudah
homogen disterilisasi menggunakan autoclave dengan suhu 121°C kemudian
di tuang ke dalam petridish sebanyak 15 mL sampai media tersebut menjadi
agar (Wilis dan Subagiyo, 2012).
3. Isolasi bakteri
a. Isolasi bakteri pada Rumput Laut
Diambil bagian thallus Eucheuma cottonii yang bergejala penyakit
ice-ice dipotong dan dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak satu
gram. Selanjutnya dilakukan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, dan
10-6 menggunakan NaCl fisiologis. Sebanyak 0,1 mL diambil dari tiga
seri pengenceran (10-4, 10-5, 10-6) ditanam pada media marine agar (MA)
dengan teknik agar dengan metode stread plate, untuk meminimalisir

31
terjadinya kontaminasi maka petridish dilapisi dengan plastik wrap
diinkubasi kurang lebih 2x24 jam. (Dwi,2017).
Setelah bakteri tumbuh dilakukan purifikasi dengan metode streak
plate (goresan). Purifikasi dilakukan dengan mengambil satu koloni
Pengambilan koloni ini didasari pada karakterisasi morfologi dari koloni
bakteri yaitu berupa bentuk, tepian, permukaan dan warna. Pengambilan
bakteri menggunakan jarum ose, kemudian digoreskan pada permukaan
media dan dilapisi plastic wrap untuk mencegah kontaminasi, selanjutnya
diinkubasi pada suhu 26°C sampai bakteri tersebut tumbuh. Ketika
bakteri sudah tumbuh, diamati pertumbuhan koloni bakteri apakah telah
menjadi kultur murni, jika belum maka dilakukan pemurnian ulang
(Sulistiyani dkk., 2015).
b. Isolasi bakteri pada Air Laut
Sampel air laut diambil sebanyak 10 ml, lalu dimasukkan
kedalam larutan fisiologis (NaCl 1%) untuk memperoleh pengenceran 10-
1
sampai 10-6. Serial pengenceran dari sampel dilakukan dengan
menggunakan 1% NaCl. Kemudian pada pengenceran 10-4, 10-5 dan 10-6
diambil sebanyak 5 µl dan ditumbuhkan pada media padat Nutrien Agar
(NA). Media yang ditumbuhkan bakteri diinkubasi selama selama 2x24
jam pada suhu 28-300C di dalam inkubator dengan posisi cawan petri
terbalik. Semua tahapan dilakukan secara aseptis.
Koloni bakteri yang tumbuh direinokulasi secara berulang hingga
didapatkan isolat murni. Pemurnian bakteri dilakukan dengan metode
goresan (Streak plate). Masing-masing cawan petri dari hasil penanaman
bakteri diambil beberapa koloni bakteri yang menampakkan morfologi
yang berbeda. Koloni bakteri tersebut digoreskan pada permukaan media
NA, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 1x24 jam. Setelah
masa inkubasi diamati pertumbuhannya, jika masih belum diperoleh
kultur murni maka pemurnian dengan metode goresan kembali
dilakukan(Sulistiyani dkk., 2015).

32
4. pengamatan morfologi
Isolat bakteri yang diperoleh kemudian dikarakterisasi sifat
morfologinya secara visual (makrosopis) mencakup warna koloni dan
bentuk koloni. Identifikasi morfologi bakteri patogen dilakukan dengan
mencocokkan koloni bakteri yang muncul dengan ciri-ciri pada buku
identifikasi. Sementara karakterisasi fisiologis dengan melakukan
pewarnaan bertingkat (pewarnaan gram) untuk membedakan kelompok
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif ( Nally, 2008 ).
a. Makroskopik adalah pengamatan bentuk pertumbuhan koloni pada
medium padat (Prescott,2002).
1). Bentuk koloni
2). Permukaan koloni
3). Tepi koloni
b. Mikroskopik adalah pewarnaan bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif dalam bentuk sel bakteri.
1).Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram dilakukan dengan cara gelas objek dibersihkan
dengan alkohol 70% dan diberi aquades, kemudian dipanaskan diatas
nyala api, diambil secara aseptik 1 ose biakan bakteri, diratakan pada
kaca objek dan di fiksasi di atas bunsen, kemudian ditetesi dengan
larutan kristal violet, dan didiamkan selama 1 menit lalu dicuci
dengan aquades mengalir dan di keringkan. Selanjutnya ditetesi
dengan larutan iodine dan dibiarkan selama 1 menit, lalu dicuci
dengan aquades mengalir dan dikeringkan. Kemudian dicuci dengan
aseton alkohol selama 30 detik, dicuci dengan aquades mengalir dan
dikeringkan. Setelah itu ditetesi dengan larutan safranin atau zat
penutup dan didiamkan selama 2 menit, kemudian dicuci dengan
aquades mengalir dan di keringkan. Selanjutnya diamati dengan
menggunakan mikroskop. Indikasi pewarnaannya yaitu bakteri gram

33
positif akan bewarna violet dan bakteri gram negatif akan berwarna
merah.
Diamati pula dari sel bakteri tersebut apakah bulat (coccus),
batang (basil), maupun bergelombang(spiral)(Jutono,1973).
2).Identifikasi Bakteri Ice-ice
Diidentifikasi jenis bakteri yang menyerang rumput laut dan
sampel air laut yang telah diisolasi menggunakan petunjuk idntifikasi
menurut Cowan. S. T (1981) dan Krieg, N. R dan Jhon. G. Hold
(1984).
5. Uji biokimia
Uji biokimia dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat fisiologis koloni
bakteri hasil isolasi. Biokimia bakteri berkaitan dengan proses metabolisme sel
bakteri. Uji biokimia yang dilakukan menggunakan reagen test (Handayani,
Ekowati, & Pakpahan, 2013).
a. Uji Katalase
Uji katalase dilakukan dengan menempatkan satu ose koloni pada kaca
obyek kemudian teteskan 1-2 hydrogen peroksida, amati terbentuknya
gelembung untuk hasil positif dan tidak terbentuk gelembung untuk hasil
negatif.
b. Uji glukosa
Uji glukosa dilakukan dengan cara memindahkan sebanyak 1 ose dari
tiap koloni ke media Natrium Agar (NA) dalam tabung reaksi dan
diinkubasi pada suhu 28°C selama 24 jam. Adanya pertumbuhan pada
tabung reaksi menunjukkan bakteri dapat memfermentasikan glukosa
yang ditandai dengan terbentuknya gelembung.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif, menggunakan analisis
deskriptif kualitatif. Analisis deskripsi meliputi karakteristik morfologi
makroskopis meliputi uji bentuk koloni sel, permukaan sel, tepi koloni dan
mikroskopis meliputi pewarnaan gram serta kualitatif meliputi uji biokimia

34
yang meliputi uji katalase dan uji glukosa (Afif, 2014). Data yang diperoleh
ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

35
BAB IV
PENUTUP
A. Alir Penelitian

Mulai

Persiapan Alat dan Bahan

Pemilihan bibit rumput laut yang terinfeksi penyakit


dan air laut

Pengambilan sampel rumput laut Eucheuma cottonii


dan sampel air laut

Pembuatan media diawali dengan menimbang 2.94


gram.

Isolasi bakteri / purifikasi

Pengamatan morfologi makroskopis meliputi uji bentuk


koloni sel, permukaan sel, tepi koloni dan mikroskopis
meliputi pewarnaan gram serta kualitatif meliputi uji
biokimia.

36
DAFTAR PUSTAKA

Afif, N. S. 2014. Isolasi Bakteri Proteolitik Termofilik Dari Sumber Air Panas
Pacet Mojokerto Dan Penguji Aktivitas Enzim Protease. Skripsi. Fakultas
Sains Dan Teknik Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri Malang.

Anggadireja JT., Zatnika A., Purwoto H., dan Istini S. 2011. Rumput


Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Aris, M., Sukenda, Enang, H., M.F. Sukadi, M. Yuhana. 2013. Identifikasi
Molekuler Baketri Patogen dan Desain Primer PCR. Budidaya Perairan
September 2013 vol.1 No. 3:43-50.

Arisandi, A., Akhmad, F., Eva, A, W., Siti, R. 2013. Dampak Infeksi Ice-ice dan
Epifit terhadap Pertumbuhan Eucheuma cottonii. Ilmu Kelautan 18(1)1–6.

Aslan, L.M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius.Yogyakarta.

Aslan, L.M. 1998. Budidaya rumput laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Asrul I., 2010. Isolasi Dan Identifikasi Mikroba Endofit Penghasil Antibiotika


Pada Alga Merah Eucheuma cottonii Asal Rappoa Kabupaten Bantaeng.
Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar. Makassar.

Atmadja,W.S., A. Kadi, Sulistijo dan R.Satari. 1996. Pengenalan Jenis-jenis


Rumput Laut di Indonesia. Jakarta.

Austin B. & Austin (eds). 1993. Bacterial fish pathogen: Disease in Farmed and
Will Fish. Departement Biological Sciences. Heriot-Watt

Aydın, B. Akbulut, E. Kucuk, M. Kumlu. 2015. Effects of temperature, fish size


and dosage of clove oil on anaesthesia in turbot (Psetta
maxima Linnaeus). Journal of Fisheries and Aquatic Science.

37
Sci, 15 (2015), pp. 899-904.

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2016. Industri Pengolahan
Rumput Laut. https://ntt.bps.go.id/searchengine/result.html

Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang. 2019. Potensi Sumberdaya


Kelautan Dan Perikanan NTT. http://https//kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang

Djokosetiyanto, D., I. Effendi & K.I. Antara. 2008. Pertumbuhan Kappaphycus


alvarezii Varitas Maumere, Varitas Sacol dan Eucheuma denticulatum di
Perairan Musi, Buleleng. Ilmu Kelautan, 13 (3): 171-176.

Doty, M. S., Caddy., S. f., Santelices, B. 1987. Production and the use of
eucheuma ln Doty, M. S., Caddy., S. f., Santelices, B: (Eds). Case Studies
of Seven Commercial Seaweed Resources. FAO Fish Technical Paper. 28I:
123-161

Dwi dkk, 2006. Uji Aktivitas Senyawa Antioksidan Dari Rumput Laut Halymenia
harveyana Dan Eucheuma ottonii. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan.

Dwi dkk, 2017. Jenis-Jenis Bakteri Rizosfer Kawasan Tanah Mangrove Avicennia
Di Kelurahan Terusan, Kecamatan Mempawah. Jurnal Protobiont.
Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Hilir,Kalimantan Barat.

Dwidjoseputro, D. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisisus. Yogyakarta hal 155

Egan dkk, 2014. Bacterial pathogens, virulence mechanism and host defence in
marine macroalgae. Environ Microbiol, 16(4), 925-938.
doi:10.1111/1462- 2920.12288.

Farnani dkk, 2011. Pengaruh Kedalaman Tanam Pertumbuhan Eucheuma


spinosum Pada Budidaya dengan Metode Rawai. Jurnal Kelautan volume
4, No.2 ISSN: 1907-9931

Fattah dkk, 2013. Efektifitas Alga Merah (Eucheuma soinosum) Sebagai

38
Antibakteri Patogen Pada Organisme Budidaya Pesisir dan Manusia.
Jurnal Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin
Makasar.

Ganzon dkk, 1988. Philippine Seaweeds. National Book Store. Inc Publishers
Metro Manila. Philippines.

Ghufran, 2010. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut dan Tambak. Lily


Publisher, Yogyakarta.

Hamsah dan Patadjai, R. S. Identifikasi Vibrio sp. Yang Diisolasi Dari Rumput
Laut Kappaphycus alvarezii Yang Terserang Penyakit Ice-Ice.
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128.

Hidayat A. 1994. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. 

Indriani dkk, 2003. Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Jailan dkk, 2011. Laju Kecepatan Penyerangan Ice-ice Pada Rumput Laut
Eucheuma cottonii di Perairan Bluto Sumenep Madura. Fakultas
Pertanian Universitas Trunojoyo.

Jutono dkk, 1973. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Umum untuk Perguruan


Tinggi. Departemen Mikrobiologi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada. Yokyakarta: 232 hlm.

Kamlasi. 2012. Kajian Ekologis dan Biologi Untuk Pengembangan Budidaya


Rumput Laut K.alvarezii di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang
NTT [Tesis]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institusi
Pertanian Bogor. 120 hal.

Kordi K. 2010. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut dan Tambak. Lily
Publisher. Yogyakarta.

Lacey LA. 1997.Manual of techniques in insect pathology. Academic Press

Largo D.B, Fukami K, Adachi M, Nishijima T. 1995. Immunofluorescent

39
detection of iceice Disease Promoting Bacterial Strain Vibrio sp. P11of
the Farmed Macro Alga, Kappaphycus alvarezii of Aquatic Environmental
Science (LAQUES). Departement of Aquaculture, Faculty of Agriculture,
Kochi University. Japan.

Largo, D. B., Fukami, K., & Nishijima, T. 1997. Occasional pathogenic bacteria
promoting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae
Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae,
Gigartinales, Rhodophyta).Journal of Applied Phycology,7(6): 545-554.

Largo, Danilo. B. 2002. Recenet developments in seaweed diseases. In: A.Q.


Hurtado, N.G. Guanzon, Jr., T.R. de Castro-Mallare, & M.R.J. luhan
(Eds.) Proceedings of the National Seaweed Planning Workshop held on
August 2-3, 2001, SEAFDEC Aquaculture Departement.

Lobban, C. S., Horrison, P. J. 1994. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridge


Univ. Press New York.

Mubarak, H., S. llyas, W. lsmail, LS. Wahyuni, S.T Hartati' E. Pratiwi, Z.


Jangkaru, dan R.Arifudin. 1990. Petunluk Teknis Budidaya Rumput Laut.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta, 93 pp

Nally.Y.G.F.E, 2018. Identifikasi Bakteri Rumput Laut Kappaphycus alvarezii


Berdasarkan Musim Tanam di Perairan Maluku Tenggara. Akuatika
Indonesia, jurnal.unpad.ac.id
Nazam, M.P. dan Surahman A. 2004. Dampak Pengkajian Budidaya Rumput Laut
di Nusa Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.
Nusa Tenggara Barat.

Neish, A.C. and Shacklock P.F. 1971. On The Propagation of Strain T-4 of Irish
Moss. Tech. Rep. Ser. Atl. Reg. Lab. Natl. Res. Counc. Can., (14):25 P

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta

Pelczar dan Chan, 1986, Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid I, diterjemahkan oleh

40
Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutami, Sri Lestari, Universitas

Indonesia, Jakarta, 116-117

Prabha, V., Prakash, D. J., and Sudhra, P. N. 2013. Analysis of Bioactive


Compounds and Antimicrobial Activity of Marine Algae Kappaphycus
alvarezii Using Three Solvent Extracts. 4(1):306-310.

Pratiwi, A. 2008. Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Sifat Fisik dan Kimia
pada Pembuatan Minuman Kombucha dari Rumput Laut Sargasssum sp.
Maspari Journal, 2012, 4(1), 131-136

Prescott, H.Y. 2002. Laboratory Exercise Microbiology 5th Ed. New York:
McGraw-Hill Company.

Pringgenies D, Ghofur A, Azizah R, Ridlo A. 2013. Effect of red seaweed


(Eucheuma cottonii) powder administration to the quantity and quality of
spermatozoa of Allethrinexposed house mice (Mus musculus).
International Seminar of Fisheries and Marine (2nd ISFM 2013): 59–64.

Puncomulyono, T.. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput laut. PT Agro Media
Pustaka. Jakarta Selatan.

Refdanita, Maksum R, Nurgani A, Endang P. 2004. Faktor yang mempengaruhi


ketidaksesuaian penggunaan antibiotika dengan uji kepekaan di ruang
intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001- 2002. Makara
Kesehatan. 8(1): 21-26.

 Riwu Kaho. 2000. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. PT


Raja Drafindo Persada. Jakarta.

Salyers AA & Whitt DD. 1994. Disease without colonization: food-borne


toxinose caused by Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, and
Clostridium perfringens in Bacterial pathogenesis a molecular approach.
American Society for Microbiology, Washington, DC 20005. pp. 130-140.

Satari R., Atmadja, WSA Kadi, Sulistijo 1998. Pengenalan Jenis-Jenis

41
Rumput Laut Indonesia . Puslitbang Oseonologi-LIPI. Jakarta.

Shabrina, N., Isdiantoni, Koentjoro, M.P., dan Prasetyo, E.N. 2014. Ice-Ice
Disease: Present Status and Future Perspectives. Seminar 2nd
International Biology Conference.

Sulaiman, Dede M., Huda Bachtiar, and Ahmad Taufiq. 2015. Beach profile
changes due to low crested breakwaters at Sigandu Beach North Coast of
Central Java, Proceedings of 8th International Conference on Asian and
Pacific Coasts 2015. IIT Madras. India.

Sulistijo. 1996. Penelitian Budidaya Rumput laut (Alga makro/Seaweeds) di


Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta.

Sulistiyani., Wahjono H., Radjasa O.K., Sabdono A., Khoeri M.M and Karyana
E. 2015. Antimycobacterial Activities From Seagrass Enhalus Sp.
Associated Bacteria Against Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR
TB) Bacteria. Procedia Environmental Sciences. Basic Researches In The
Tropical And Coastal Region Eco Development. Vol 23:253-59.
Suprabadevi A. Saraswati, 2016. Identifikasi Bakteri pada Rumput Laut Euchema
spinosum yang terserang penyakit Ice-ice di Perairan Pantai Kutuh.
Journal of Marine and Aquatic Sciences 2 (2016) 11–15

Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta 

Trono, GC.Jr. 1974. Eucheuma farming in the Philippines. Universityof The


Philippines and Natural Science Research Center. Quezon City.
Philippines.

Uyenco F.R., L.S. Saniel dan G.S. Jacinto. 1981. The “ice-ice” problem in
seaweed farming. 10th international seaweed symposium. Walter de
gruyter, New York. pp: 625-630.

Vairappan, C.S. 2006. Seasonal Occurrences of Epiphytic Algae on The

42
Commercially Cultivated Red Alga Kappaphycus alvarezii (Solieriaceae,
Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phycology, 18: 611-617.

Wilis A.S., Subagiyo. 2012. Isolasi Dan Seleksi Bakteri Penghasil Enzim

Ekstraseluler (Proteolitik, Amilolitik, Lipolitik Dan Selulolitik) Yang

Berasal Dari Sedimen Kawasan Mangrove. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol.

17(3):164-168. (ISSN 0853-729). Www.Ijms.Undip.Ac.Id.

Wilis, A. S., Ridlo, A., Subagiyo, & Oktaviaris, Y., Pramesti, R., Susanto, A. B.
2016. Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut di Perairan Teluk.
Jurnal Kelautan Tropis, 19(2), 81–94.

Yulianto H. 2002. Pemetaan sebaran spasial kualitas air unsur hara perairan
teluk lampung. Jurnal ilmu perikanan dan sumberdaya perairan. Vol. 01
(1): 113-118.
Yusuf M.I. 2004. Produksi, Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput
Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) yang Dibudidayakan Dengan Sistem
Air Media dan Tallus Benih Yang Berbeda. Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Hasanudin, Makassar. Hlm 13-15.
Zourob dkk, 2008. “ Principles Detection: Biosensors, Recognition Receptors And
Microsystem”. Springer, New York.

43

Anda mungkin juga menyukai