Anda di halaman 1dari 36

KEANEKARAGAMAN DAN KEPADATAN CACING TANAH SEBAGAI

BIOINDIKATOR TANAH DI KAWASAN HUTAN PRIMER DAN AGRIKEBUN


DESA LAMONG KECAMATAN BADAS KABUPATEN KEDIRI

LAPORAN MINIRISET
BIOINDIKATOR

Dosen Penngampu:
Dr. Dwi Suheriyanto, S.Si., M.P

Oleh:
KHALYLI RIMAKHUSSHOFA
NIM. 18620022

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021

i
KEANEKARAGAMAN DAN KEPADATAN CACING TANAH SEBAGAI
BIOINDIKATOR TANAH DI KAWASAN HUTAN PRIMER DAN AGRIKEBUN
DESA LAMONG KECAMATAN BADAS KABUPATEN KEDIRI

LAPORAN MINIRISET
BIOINDIKATOR

Dosen Penngampu:
Dr. Dwi Suheriyanto, S.Si., M.P

Oleh:
KHALYLI RIMAKHUSSHOFA
NIM. 18620022

diajukan Kepada:
Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Untuk Memenuhi Tugas Penelitian Mata Kuliah Bioindikator

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021

ii
KEANEKARAGAMAN DAN KEPADATAN CACING TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR
TANAH DI KAWASAN HUTAN PRIMER DAN AGRIKEBUN DESA LAMONG
KECAMATAN BADAS KABUPATEN KEDIRI
Khalyli Rimakhusshofa, Dwi Suheriyanto
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Uiniversitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

ABSTRAK
Kerakteristik perbedaan tempat atau habitat tentunya mempengaruhi keberadaan fauna
didalamnya. Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya melainkan juga
pada ciri alami Hewan Tanah. Salah satu indikator kesuburan tanah adalah cacing tanah. Keberadaan
Cacing tanah dapat dijadikan sebagai bioindikator produktivitas dalam kesinambungan fungsi tanah.
Oleh karena itu , penelitian tentang keanekaragaman dan Kepadatan cacing tanah sangat penting
dilakukan sebagai bentuk usaha pelestarian ekosistem tanah. Serta melalui penelitian ini diharapkan
bisa mengetahui perbedaan tingkat kesuburan tanah baik di kawasan Hutan Primer maupun di
kawasan perkebunan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Penelitian ini
dilakukan pada Hari Senin, 24 Mei 2021 di Kawasan Hutan Primer dan Agrikebun Desa Lamong
Kecamatan Badas Kabupaten Kediri. Metode Teknik Pengambilan Sampel yang dilakukan adalah
metode handsorted ( metode pengambilan secara langsung) yakni dilakukan secara sistematis
menggunakan transek garis sepanjang 10 M , tiap- tiap 2 M dibuat plot kuadrat ukuran 25cm x 25 cm,
dan pada tiap plot tanahnya digali dengan menggunakan larutan alcohol. Tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah Untuk mengetahui Keanekaragaman dan Kepadatan Cacing Tanah di dua lokasi
yang berbeda. Hasil dar penelitian ini Indeks keanekaragaman dan kepadatan memiliki rata-rata yang
sama yakni keanekaragaman sedang dan kepadatan tidak melimpah. Tetapi Keeanekaragaman dan
Kepadatan tertinggi terdapat pada kawasan Hutan Primer daripada Agrikebun. cacing tanah yang
dapat hidup di semua lokasi penelitian yaitu Pontoscolex .

Kata Kunci: Keanekaragaman, Kepadatan, Cacing Tanah

iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Penelitian yang berjudul “Keanekaragaman dan Kepadatan Cacing Tanah Sebagai
Bioindikator Tanah di Kawasan Hutan Primer dan Agrikebun Desa lamong Kecamatan Badas
Kabupaten Kediri” dengan baik dan lancar. Tujuan dari adanya penyusunan Laporan
Penelitian praktikum ini adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Bioindikator. Penulis
menyadari bahwa keberhasilan penyusunan Laporan Penelitian ini tidak lepas dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Dwi Suheriyanto, S.Si., M.P. Yang telah membimbing dan memberi motivasi
serta bersedia mengoreksi Laporan Penelitian ini.

2. Orang Tua, Saudara, dan Teman- teman Seperjuangan yang selalu memberikan dukungan
penuh dan semangat dalam menyelesaikan Penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan Penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna memperbaiki dan menyempurnakan laporan ini. penulis berharap semoga
Laporan ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kediri, 30 Mei 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
ABSTRAK iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3Tujuan Penelitian 2
1.4 Hipotesis 2
1.5 Manfaat Penelitian 2
1.6 Batasan Masalah 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Kondisi Geografis Tempat Pengambilan Sampel 4
2.2 Bioindikator 5
2.3 Cacing Tanah 6
BAB III METODE PENELITIAN 12
3.1 Jenis Praktikum 12
3.2 Waktu dan Tempat 12
3.3 Alat dan Bahan 12
3.4 Prosedur Praktikum12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14
4.1 Hasil 14
4.2 Pembahasan 16
BAB V PENUTUP 22
5.1 Kesimpulan 22
5.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 25

v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman

4.1 Data Spesies Cacing Tanah yang di temukan di Hutan Primer 14

4.2 Indeks Keanekaragaman Shannon Wienner Cacing Tanah di Hutan Primer


…….............14

4.3 Kepadatan Cacing Tanah di Hutan Primer 15

4.4 Data Spesies Cacing Tanah yang ditemukan di Agrikebun 15

4.5 Indeks Keanekaragaman Shannon Wienner Cacing Tanah di Agrikebun


…….............15

4.6 Kepadatan Cacing Tanah di Agrikebun 16

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar
Halaman
2.1 Letak dan Titik Kordinat Tempat pegambilan Sampel 5
2.2 Anatomi Cacing Tanah. 8
3.1 Lokasi Pengambilan Sample 12
4.1 Temuan Genus Cacing Tanah di Lokasi Penelitian 17

vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah umumya tersusun oleh senyawa anorganik, senyawa organik, udara, air, dan
jasad hidup yang secara umum terdiri dari mikroorganisme. Masing masing ekosistem
mempunyai kombinasi makhluk hidup yang berfungsi mempertahankan aliran energi dan hara
yang berkesinambungan (Susilawati, 2013). Sedangkan Bioindikator adalah organisme hidup
seperti tanaman, plankton, hewan, dan mikroba, yang digunakan untuk menyaring kesehatan
ekosistem alami di lingkungan (Pourafrsyabi, 2014). Kesuburan tanah tidak hanya bergantung
pada komposisi kimiawinya melainkan juga pada ciri alami Hwan Tanah. Salah satu indikator
kesuburan tanah adalah cacing tanah. Keberadaan Cacing tanah dapat dijadikan sebagai
bioindikator produktivitas dalam kesinambungan fungsi tanah. Cacing tanah merupakan salah
satu fauna tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah dengan
menghancurkan secara fisik bahan organik menjadi humus, menggabungkan bahan yang
membusuk pada lapisan tanah bagian atas, dan membentuk kemantapan agregat antara bahan
organik dan bahan mineral tanah (Kartasapoetra dkk., 1991).
Kerakteristik perbedaan tempat atau habitat tentunya mempengaruhi keberadaan flora
dan fauna didalamnya. Kebun memiliki karakteristik tanah gembur, banyak mengandung
unsur organic, tidak mengeras setelah ditanami, punya kelembapan tinggi, bahkan dimusim
kemarau dan banyak disukai oleh serangga tanah. Serangga tanah yang biasa ditemukan pada
kebun adalah kelompok makrofauna dari golongan Annelida, Mollusca, Arthropoda ( Insecta,
Archida, Diplopoda, Chilopoda) serta beberapa vertebrata kecil. (Triwanto, 2019). Sedangkan
Menurut Hartati (2008) Karakteristik tanah di Hutan Primer Primer yaitu, tekstur tanah pada
kedalaman 0 cm – 30 cm dan 30 cm – 60 cm bertekstur lempung, struktur tanahnya granuler
kasar kecuali di lembah pada kedalaman 0 cm – 30 cm granuler sedang, bulk density pada
kedalaman 0 cm – 30 cm 1,2 g/cm3 (tinggi) dan kedalaman 30 cm – 60 cm1,5 g/cm3 (sangat
tinggi), porositas pada kedalaman 0 cm – 30 cm 54,5% (baik) dan kedalaman 30 cm - 60 cm
43,6% (kurang baik), permeabilitas pada kedalaman 0 cm – 30 cm 5,1 cm/jam (sedang) dan
kedalaman 30 cm – 60 cm 0,57 cm/jam (agak lambat), serta warna tanah coklat gelap
kekuning-kuningan, coklat kekuningan, dan coklat pekat, dan pH yang tidak terlalu masama
membuat baik makrofauna tanah maupun mesofauna tanah dapat hidup dan berkembangbiak
dengan baik.
Kehidupan hewan tanah sangat bergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan
kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah
itu. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah
1
disuatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik (Suin, 2006).
Allah berfirman dalam Al Qur’an Surah Al A’raf ayat 58, yang mempunyai arti:
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan
tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami
menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang
bersyukur” (Qs. Al A’raf:58).

Berdasarkan ayat di atas, dijelaskan bahwa tanaman yang tumbuh baik akan tumbuh
dari tanah yang baik, begitupun sebaliknya, tanaman yang tumbuh buruk, akan tumbuh dari
tanah yang buruk pula. Sehingga dengan dikajinya Cacing Tanah sebagai bioindikator tanah,
disini Cacing tanah tersebut bisa dipakai untuk tolak ukur tingkat kesuburan tanah, ketika
tanah subur maka tanaman juga akan tumbuh dengan baik. Oleh karena itu , penelitian tentang
keanekaragaman dan Kepadatan cacing tanah sangat penting dilakukan sebagai bentuk usaha
pelestarian ekosistem tanah. Serta melalui penelitian ini diharapkan bisa mengetahui
perbedaan tingkat kesuburan tanah baik di kawasan Hutan Primer maupun di kawasan
perkebunan.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dilakukannya Penelitian ini adalah Bagaimana Keanekaragaman
dan Kepadatan Cacing Tanah sebagai Bioindikator Tanah di Kawasan Hutan Primer dan
Agrikebun Desa Lamong Kecamatan Badas Kabupaten Kediri?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya Penelitian ini adalah untuk mengetahui Keanekaragaman dan
Kepadatan Cacing Tanah sebagai Bioindikator Tanah di Kawasan Hutan Primer dan
Agrikebun Desa Lamong Kecamatan Badas Kabupaten Kediri.
1.4 Hipotesis
Hipotesis dari Penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Terdapat Perbedaan Keanekaragaman dan Kepadatan Cacing Tanah sebagai Bioindikator
Tanah di Kawasan Hutan Primer dan Agrikebun Desa Lamong Kecamatan Badas
Kabupaten Kediri
2. Tidak terdapat Perbedaan Keanekaragaman dan Kepadatan Cacing Tanah sebagai
Bioindikator Tanah di Kawasan Hutan Primer dan Agrikebun Desa Lamong Kecamatan
Badas Kabupaten Kediri.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat diadakannya Penelitian ini adalah sebagai berikut:

2
1. Bagi Mahasiswa, dapat meningkatkan pengetahuan hasil belajar mata kuliah
Bioindikator khususnya tentang penyilangan melalui perbanyakan dan pemurnian.
2. Bagi Pembaca, dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
3. Bagi Instansi, hasil dari Penelitian ini dapat memberikan referensi dalam meningkatkan
kualitas pendidikan .
1.6 Batasan Masalah
Batasan Masalah dari Penelitian yang dilakukan adalah Objek penelitian yang
digunakan hanya Cacing Tanah yang berada di Kawasan Hutan Primer dan Agrikebun Desa
Lamong Kecamatan Badas Kabupaten Kediri, dengan metode teknik pengambilan
Handsorted di kedalaman 0- 10 cm, 10- 20 cm, dan 20 -30 cm saja.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Geografis Tempat Pengambilan Sampel

Cacing Tanah yang digunakan sebagai objek penelitian ini di ambil di Desa Lamong,
Kecamatan Badas Kabupaten Kediri Manurut Bappeda Jatim ( 2018) Wilayah Kabupaten
Kediri terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur yaitu terletak antara 1110 47’ 05” s/d
1120 18’ 20” Bujur Timur dan 70 36’ 12” s/d 80 0’ 32” Lintang Selatan, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara :Kabupaten Jombang & Nganjuk.


 Sebelah Selatan :Kabupaten Blitar & Tulungagung.
 Sebelah Timur :Kabupaten Malang & Jombang.
 Sebelah Barat :Kabupaten Nganjuk & Tulungagung.
Kediri dibagi menjadi 4 (empat) golongan dari luas wilayah, yaitu ketinggian di atas 0
meter – 100 meter dpl membentang seluas 32,45%, ketinggian di atas 100 meter – 500 meter
dpl membentang seluas 53,83%, ketinggian di atas 500 meter – 1.000 meter dpl membentang
seluas 9,98%, dan ketinggian di atas 1.000 meter dpl membentang seluas 3,73%. Kondisi
iklim pada wilayah Kabupaten Kediri pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah
lain di Indonesia yaitu secara umum beriklim tropis dengan dua musim. Kondisi iklim rata-
rata Kabupaten Kediri, yaitu : Suhu maksimum rata-rata 31,7 ºC pada musim kemarau dan
suhu minimum rata-rata 23,8ºC, sedangkan pada musim penghujan atau suhu rata-rata
setahunnya sebesar 27,2ºC. Kelembaban udara rata-rata 85,5% per tahun, sementara
kelembaban nisbi antara 74-86%. Kecepatan angin rata-rata pada musim kemarau antara 12-
13 knots dan pada musim penghujan rata-rata kecepatan angin sebesar 17-20 knots. Musim
kemarau berlangsung selama 6-7 bulan yaitu sekitar bulan Mei, Nopember, sementara musim
penghujan berlangsung selama 4-5 bulan yaitu pada bulan Desember-April setiap tahunnya.
Curah hujan rata-rata pertahunnya sebesar 130-150 mm, dengan jumlah hari hujan rata-rata
selama 6-15 hari ( Bapedda Jatim, 2018).

Desa Lamong merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Badas,
Kabupaten Kediri, adapun Ibu kota kecamatan terdapat di Kelurahan Badas dengan luas 2,28
Km, dilihat dari GPS essentiall Desa Lamong terletak -7.75 20’ 97’’ Lintang Selatan s/d
112.20 68’ 61’’ Bujur Timur. Sebalah selatan Barat dengan Desa Beringin, sebalah Selatan
berbatasan dengan Desa Tulong rejo Kecamatan Pare, sebalah Timur berbatasan dengan Desa
Canggu, dan sebalah Utara berbatasan dengan desa Mangiran.

4
Gambar 2.1 Letak dan titik koordinat Tempat pengambilan sampel.

2.2 Bioindikator

Bioindikator berasal dari dua kata yaitu bio dan indicator, bio artinya mahluk hidup
seperti hewan, tumbuhan dan mikroba. Sedangkan indicator artinya variable yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya
pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. jadi
bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang dijadikan sebagai indikator.
Bioindikator juga merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi,
kondisi alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena
aktifitas manusia (Pratiwi, 2014).
Bioindikator yang terjadi secara alami digunakan untuk menilai kesehatan lingkungan
dan juga merupakan alat penting untuk mendeteksi perubahan dalam lingkungan, baik positif
maupun negatif, dan dampak selanjutnya pada masyarakat manusia. Ada faktor-faktor tertentu
yang mengatur keberadaan Bioindikator di lingkungan seperti transmisi cahaya, air, suhu, dan
padatan tersuspensi. Melalui penerapan Bioindikator kita dapat memprediksi keadaan alami
suatu wilayah tertentu atau tingkat / tingkat kontaminasi (Khatri & Tyagi 2015).
Bioindikator dapat dibagi menjadi dua, yaitu bioindikator pasif dan bioindikator aktif.
Bioindikator pasif adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang
mampu menunjukkan adanya perubahan yang dapat diukur (misalnya perilaku, kematian,
morfologi) pada lingkungan yang berubah di biotop (detektor). Bioindikator aktif adalah suatu
spesies organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap polutan, yang mana spesies

5
organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu habitat untuk mengetahui dan memberi
peringatan dini terjadinya polusi.

Menurut Todar (2009), indikator biologi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Spesies indikator: kehadiran atau ketidakhadirannya mengindikasikan terjadi perubahan


di lingkungan tersebut. mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan
(stenoecious), bila kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi, maka spesies
tersebut merupakan indikator positif. Sebaliknya, ketidakhadiran atau hilangnya suatu
spesies karena perubahan lingkungannya, disebut indikator negatif.
b. Spesies monitoring: mengindikasikan terdapatnya polutan di lingkungan baik kuantitas
maupun kualitasnya. Monitoring sensitif, sangat rentan terhadap berbagai polutan, sangat
cocok untuk menunjukkan kondisi yang akut dan kronis. Monitoring akumulating,
merupakan spesies yang resisten dan dapat mengakumulasi polutan dalam jumlah besar
ke dalam jaringannya, tanpa membahayakan kehidupannya. Monitoring akumulating
dapat berupa indikator pasif, yaitu spesies yang secara alami terdapat di lingkungan yang
terpolusi, serta indikator aktif (eksperimental),. yaitu spesies yang sengaja dibawa dari
lingkungan alami yang tidak terpolusi ke lingkungan yang terpolusi (transplantasi).
c. Spesies uji, adalah spesies yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu,
sehingga sangat cocok untuk studi toksikologi.
Beberapa kriteria untuk menggunakan organisme sebagai bioindikator adalah :
1. Secara taksonomi. telah stabil dan cukup diketahui.
2. Sejarah alamiahh diketahui.
3. Siap dan mudahddisurvei dan dimanipulasi.
4. Taksa yang lebih tinggi terdistribusiisecara luas pada berbagai tipe habitat.
5. Taksa yang lebih rendah spesialiss dan sensitif terhadap perubahan habitat.
6. Pola keanekaragamann mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat
atau tidak.
7. Memiliki potensi ekonomi yang penting
2.3 Cacing Tanah
2.3.1 Klasifikasi Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan Invertebrata dari filum Annelida, kelas Chaetopoda
dan ordo Oligochaeta. Famili dari ordo ini yang sering ditemukan adalah (John, 2007):
a. Famili Moniligastridae, contoh genus: Moniligaster.
b. Famili Megascolidae,contoh genus: Pharetma, Peryonix, Megascolex.
c. Famili Acanthodrilidae,contoh genus: Diplocardia.
6
d. Famili Eudrilidae,contoh genus: Eudrilus.
e. Famili Glossoscolecidae,contoh genus: Pontoscolex corenthurus.
f. Famili Sparganophilidae,contoh genus: Sparganophilus.
g. Famili Tubificidae, contoh genus: Tubifex.
h. Famili Lumbricidae,contoh genusnya yaitu: Limbricus, Eisenella, Binatos,
Dendrobaena, Octalasion, Eisenia, Allobophora
Ada 3 kelompok cacing tanah yang dibedakan berdasarkan tipe ekologinya yaitu spesies
epigeik, spesies anesik, spesies endogeik (Hairiah et al., 2004).:
a. Spesies Epigeik
Cacing tanah yang hidupnya (tinggal dan memperoleh makanan) di permukaan tanah atau
di lapisan organik. Cacing tipe epigeik berperan dalam penghancuran seresah dan
transformasi bahan organik tetapi tapi tidak aktif dalam penyebaran seresah. Ciri lain dari
jenis ini adalah cacing tanah tidak membuat lubang di dalam tanah dan meninggalkan
casting
b. Spesies Anaesik
Cacing tanah pemakan seresah yang diperolehnya dipermukaan tanah dan dibawa masuk
kesegala lapisan dalam profil tanah, melalui aktifitas ini akan membentuk liang atau celah
yang memungkinkan sejumlah tanah lapisan dan bahan organik masuk dan tersebar ke
lapisan bawah. Cacing tanah tipe ini akan mempengaruhi sifat fisik tanah antara lain
struktur dan konduktifitas hidrolik
c. Spesies Endogenik
Cacing tanah yang hidup dan makan didalam tanah, makanannya yaitu bahan organik
termasuk akar-akar yang telah mati di dalam tanah, dan sering pula mencernakan
sejumlah besar mineral tanah. Kelompok cacing ini berperan penting dalam mencampur
seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang
dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya di dalam tanah. Kotoran cacing
ini lebih kaya akan karbon dan hara lainnya daripada tanah disekitarnya
2.3.2 Morfologi Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan hewan yang tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata).
Tubuhnya tersusun atas segnen-segmen yang terbentuk cincin (chaeta), yaitu struktur
berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan
atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya terdapat mulut dan beberapa
segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Edward & Lofty. 1997).

7
Gambar 2.2 Anatomi Cacing Tanah (Sumber : Edward & Lofty. 1997)
Hegner dan Engeman (1978) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai
kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut prostomium. Bagian
belakang mulut terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan klitelium yang
merupakan pengembangan segmen-segmen, biasanya mempunyai warna yang sedikit
menonjol atau tidak dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Cacing tanah juga tidak
mempunyai alat pendengar, tetapi peka sekali terhadap sentuhan dan getaran. Cacing tanah
juga tidak mempunyai mata, tetapi peka sekali terhadap sentuhan dan getaran, sehingga
dapat mengetahui kecendrungan untuk menghindari cahaya, selain itu cacing juga tidak
mempunyai gigi.

Beberapa cacing tanah yang hidup di air (Nadidae dan Lumbriculidae) mempunya
prostomium memanjang ke depan ke dalam proboscis. Kadangkala ada segmentasi yang
tidak normal di dekat anus. Pada bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya
tersusun atas setiap segmen dan berhubungan dengan alat ekskresi (nepredia) yang ada
dalam tubuh. Nepredia ini mengeluarkan zat-zat sisa yang telah berkumpul di dalam rongga
tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori adalah untuk menjaga kelembaban
kulit cacing tanah agar selalu basah karena cacing tanah bernafas melalui kulit yang basah
tersebut. Kulit luar (kutikula) selalu dibasahhi oleh kelenjar-kelenjar lendir (kelenjar mukus).
Lendir ini terus diproduksi cacing tanah untuk membasahi tubuhnya agar dapat bergerak dan
melicinkan tubuhnya (Rukmana, 1999).

Warna cacing tanah tergantung pada ada tidaknya dan jenis pigmen yang
dimilikinya. Sel atau butiran pigmen ini berada ini berada di dalam lapisan otot di bawah
kulitnya. Paling tidak sebagian warna juga disebabkan oleh adanya cairan kulomik kuning.
Warna pada bagian dada dan perut umumnya lebih muda dari pada bagian lainnya, kecuali

8
pada Megascolidae yang berpigmen gelap, berwarna sama. Cacing tanah tanpa atau
berpigmen sedikit, jika berkulit transparan biasanya terlihat berwarna merah atau pink.
Apabila kutikulanya sangat irridescent, seperti pada Lumbricus dan Dendrobaena maka
akan terlihat biru (Hanafiah, 2005).

Cacing tanah bersifat hermafrodit dan mempunyai alat atau lubang kelamin jantan
dan betina pada bagian luar badannya, seperti pada lubang pada punggung dan sebelah sisi
badannya. Pada Lumbricidae, lubang jantan terletak pada punggung samping di segmen
yang ke-13. Setiap lubang terletak pada lekukan yang pada beberapa spesies dibatasi oleh
bibir yang menonjol atau papillae grandular sering berkembang ke atas segmen yang di
sampingnya. Pada famili yang lain, umpamanya pada Megascolicidae, sering berasosiasi
dengan atau dua pasang lubang prostatic. Lubang-lubang ini merupakan bagian tambahan
dari alat reproduksi yang dikenal dengan nama prostates yang umumnya tidak ada pada
Lumbricidae. Kedua lubang jantan dan prostatik bisa pada papillae yang menonjol ataupun
pada tonjolan atau bisa terbuka pada permukaan. Lubang jantan dan lubang prostatik
kadang-kadang bersatu menjadi menjadi satu lubang tetapi bila terpisah, biasanya
dihubungkan oleh lekukan melintang pada kedua sisis punggung badannya (Anas, 1990).
2.3.3 Ekologi Cacing Tanah

Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana
cacing tanah itu berada. Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas kondisi-kondisi
fisik, kimia, botik dan makanan yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi populasi
cacing tanah (Satchell, 1967 dalam John, 2007). Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap populasi cacing tanah adalah: kelembaban, suhu, pH tanah, serta
vegetasi yang terdapat disana sebagai berikut:
a. Kelembaban
Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktifitas pergerakan cacing tanah karena
sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya
usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian
cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan
dengan cara berpindah ketempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricusterretris
misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70 % dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama
dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah. Cacing tanah menyukai
kelembaban sekitar 12,5-17,2 % (Rukhmana, 1999):
b. Suhu
Aktivitas, metabolisme, respirasi serta reproduksi cacing tanah dipengaruhi oleh

9
temperatur tanah. Temperatur yang optimum di daerah sedang untuk produksi cacing tanah
adalah 16 oC, sedangkan temperatur yang optimal untuk untuk pertumbuhan cacing tanah
adalah 10-20 oC. Di daerah tropika, temperatur tanah yang ideal untuk pertumbuhan cacing
tanah dan penetasan kokon berkisar antara 15-25 oC. Temperatur tanah di atas 25oC masih
cocok untuk cacing tanah tetapi harus diimbangi dengan kelembaban yang memadai.
Kesuburan cacing tanah di suatu habitat sangat dipengaruhi oleh perbesaran suhu,
contohnya jumlah kokon yang dihasilkan oleh Allolobophora caliginosa dan beberapa
spesies Lumbricus jumlahnya bertambah 4 kali lipat ada kisaran suhu 6-16 oC. Kokon dari
Allolobophora chlorotica menetas dalam waktu 36 hari pada suhu 29 oC, 49 hari pada suhu
15 0C dan 112 hari pada suhu 10 oC bila tersedia air yang cukup. Suhu yang ekstrim tinggi
atau rendah dapat mematikan cacing tanah.
c. pH
Tingkat keasaman tanah (pH) menentukan besarnya populasi cacing tanah. Cacing
tanah dapat berkembang dengan baik dengan pH netral, atau agak sedikit basah, pH yang
ideal adalah antara 6-7,2. Pada tanah-tanah Hutan Primer yang asam, keberadaan cacing
tanah digantikan oleh Enchytraeid yaitu cacing berukuran kecil yang hanya berfungsi
sebagai penghancur seresah. Enchytraid adalah oligochaeta yang paling kecil berkisar antara
1 mm sampai beberapa sentimeter saja
d. Bahan Organik
Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing
tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan
kehidupannya. Sumber utama materi organik tanah adalah serasah tumbuhan dan tubuh
hewan yang telah mati. Pada umumnya bahan organik ini banyak jumlahnya pada tanah
yang kelembabannya tinggi dibandingkan dengan yang rendah. Bahan organik juga
mempengaruhi sifat fisik- kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk
menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah.
2.3.4 Peranan Cacing Tanah
Secara umum peranan cacing tanah merupakan sebagai bioamelioran (jasad hayati
penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-
sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral,
sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah, 2005).
Cacing tanah dan organisme tanah lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu
komunitas yang memiliki beberapa peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai
makanan, jembatan transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkat tropik yang lebih
tinggi, membantu kegiatan metabolisme tumbuhan dengan menguraikan serasah daun-daun
10
dan ranting. Di samping itu cacing tanah juga dapat digunakan untuk mengestimasi kondisi
ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah juga dapat
mengubah kondisi tanah yang didiaminya melalui keunikan aktivitas dan perilakunya. Hewan
ini memakan tanah berikut bahan organik yang terdapat di tanah dan kemudian dikeluarkan
sebagai kotoran di permukaan tanah. Aktivitas ini menyebabkan lebih banyak udara yang
masuk ke dalam tubuh, tanah menjadi teraduk dan terbentuk agregasi- agregasi sehingga
tanah dapat menahan air lebih banyak dan menaikkan kapasitas air tanah. Cacing tanah juga
sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah (Kartasapoetra dkk., 1991).

11
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian yang berjudul “Keanekaragaman dan Kepadatan Cacing Tanah sebagai
Bioindikator Tanah di Kawasan Hutan Primer dan Agrikebun Desa Lamong Kecamatan
Badas Kabupaten Kediri” merupakan jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data
menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung
dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah Indeks
Keanekaragaman (H’), Kepadatan (K).

3.2 Waktu dan Tempat


Penelitian yang berjudul “Keanekaragaman dan Kepadatan Cacing Tanah sebagai
Bioindikator Tanah di Kawasan Hutan Primer dan Agrikebun Desa Lamong Kecamatan
Badas Kabupaten Kediri” dilakukan pada hari Senin, 24 Mei 2021 . Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Lamong Kecamatan Badas Kabupaten Kediri dengan titik koordinat-
7.75 20’ 97’’ Lintang Selatan s/d 112.20 68’ 61’’ Bujur Timur. Penelitian ini dilakukan di
dua kawasan, yakni kawasan Agrikebun dan Kawasan Hutan Primer Desa Lamong.
3.3 Alat dan Bahan
Alat – alat yang digunakan dalam pengamatan ini adalah meteran, pasak kayu, tali raffia,
plastic kecil, dan cetok. Sedangkan bahan yang digunakan dalam pengamatan ini adalah
alhohol 70 % dan Sample Tanah.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Observasi
Dilakukan untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian yaitu pada beberapa kondisi
lahan di di Desa Lamong yang nantinya dapat dipakai sebagai dasar dalam penentuan metode
dan teknik dasar pengambilan sampel.
3.4.2 Penentuan Pengambilan Lokasi
Berdasarkan hasil observasi, maka lokasi pengambilan sampel dilakukan secara
sistematis . Yang kemudian dibagi menjadi 2 Stasiun, yakni Stasiun 1 berada di kawasan
Hutan Primer, dan Stasiun 2 berada di kawasan Agrikebun .

12

a) b)
Gambar 3.1 Lokasi Pengambilan Sample: a) Hutan Primer , b) Agrikebun
3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Metode Teknik Pengambilan Sampel yang digunakan adalah metode hand sorting
( pengambilan secara langsung dengan tangan ) yaitu dengan prosedur sebagai berikut :

1. Dibuatlah garis transek sepanjang 10m, tiap 2m dibuat plot kuadrat berukuran
25cmX25cm.
2. Ditiap plot-plot, tanahnya digali dengan menggunakan cetok atau skop sampai
dengan kedalaman 0-10cm, 10- 20 cm, dan 20, 30 cm
3. Sampel tanah diletakkan di plastik putih atau di nampan yang telah disiapkan.
4. Kemudian tanah dipisahkan satu sama lain dengan menggunakan tangan (Hand
Sorting)
5. Hewan tanah yang ditemukan dan cacing tanah yang ditemukan dibersihkan dan
disimpan di plastik sampel yang telah diberi alkohol 70% dan telah diberi label atau
keterangan pada sampel.
6. Selanjutnya diulang tahap 2 sampai 5
7. Hewan tanah dan cacing tanah yang telah ditemukan dibawa foto kemudian dibawa
untuk diidentifikasi jenisnya.
8. Hasil pengamatan dimasukkan dalam tabel yang telah disediakan
3.4.4 Analisis Data

Setelah dilakukan Teknik Pengambilan data, selanjutnya adalah menganalisis Data.


Indeks Keanekaragaman yang dianalisis menggunakan rumus Shannon Wiener, yakni sebagai
berikut:
H’= -∑ pi ln pi
Pi= ni/N
Keterangan: H : Indeks keanekaragaman
ni : Jumlah suku yang diperoleh
N : Jumlah total suku yang diperoleh
Selanjutnya dilakukan Analisi Data Kepadatan (K) menggunakan Rumus:

n
K=
A

Keterangan: n = Jumlah total spesies (Individu)

A = Luas daerah yang disampling (m²)

13
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Hutan Primer
Tabel 4.1 Data Spesies Cacing Tanah yang di temukan di Hutan Primer

Plot Nama Kedalaman Jumlah


Genra
Total
0-10 10-20 20-30
cm cm cm

1 - - - - -

2 Pontoscole 1 1 - 2
x
- 1 - 1
Megascolex

3 Pantoscole 2 - - 2
x

4 Pantoscole 3 1 - 4
x

5 Pantoscolex 1 1 - 2

Mrgascolex - 2 1 3

Tabel 4.2 Indeks Keanekaragaman Shannon Wienner Cacing Tanah di Hutan Primer

Nama Genra Ni Pi= ¿ ln (Pi) Pi (ln (Pi) )


N
Pontoscolex 10 0.71 -0,34 -1.67

Megascolex 4 0.28 -1.27 -0.35


N = 14 ∑= -2.02

H’ = -∑ ( Pi (ln) Pi)

= - (-2.02)

= 2.02

H’= 2.02
14
= 1< H’<3 (Keankekaragaman sedang)

Tabel 4.3 Kepadatan Cacing Tanah di Hutan Primer

No Taksa Kedalaman Kepadatan Keterangan


(Individu/m²)
1 Pontoscolex 0-10 cm 0.00112 Tidak
10-20 cm 0.00024 melimpah
20-30 cm -
2 Megascolex 0-10 cm - Tidak
10-20 cm 0.00032 melimpah
20-30 cm 0.00053

4.1.1 Agrikebun
Tabel 4.4 Data Spesies Cacing Tanah yang ditemukan di Agrikebun

Plot Nama Kedalaman Jumlah


Genra
Total
0-10 10-20 20-30
cm cm cm

1 Pharetima 2 1 - 3

Pontascole - 1 - 1
x

2 Pontoscole - 2 - -
x
- - - 1
Drawida

3 Drawida - - 3 3

4 Perionyx 1 - - 1

5 Pharetima - 1 - 1

Pontoscole 1 - - 1
x
- - 1 1
Drawida

Tabel 4.5 Indeks Keanekaragaman Shannon Wienner Cacing Tanah di Agrikebun

Nama Genra Ni Pi= ¿ ln (Pi) Pi (ln (Pi) )


N

15
Pharetima 4 0.4 -0.91 -0.36

Pontoscolex 4 0.4 -0.91 -0.36

Drawida 5 0.5 -0,70 -0.37

Perionyx 1 0.1 -2.30 -0.23


N = 10 ∑= -1.3

H’ = -∑ ( Pi (ln) Pi)

= - (-1.3)

= 1.3

H’= 1.3

= 1< H’<3 (Keankekaragaman sedang)

Tabel 4.6 Kepadatan Cacing Tanah di Agrikebun

No Taksa Kedalaman Kepadatan Keterangan


(Individu/m²)
1 Pharetima 0-10 cm 0.00032 Tidak
10-20 cm 0.0008 Melimpah
20-30 cm -
2 Pontoscolex 0-10 cm 0.00016 Tidak
10-20 cm 0.00024 Melimpah
20-30 cm -
3 Drawida 0-10 cm - Tidak
10-20 cm - Melimpah
20-30 cm 0.00027
4. Perionyx 0-10 cm 0.00016 Tidak
10-20 cm - Melimpah
20-30 cm -

4.2 Pembahasan
Data Identifikasi berdasarkan penelitian yang dilakukan baik di Kawasan Agrikebun
maupun Kawasan Hutan Primer ditemukan Seluruhnya Cacing Tanah yakni dari tiga Famili
yaitu family Megascolidae diwakili oleh Genus Megascolex, Pheretima dan Peryonix. Dan
Famili Moniligastridae diwakili oleh Genus Drawida, serta Glossoscolecidae diwakili
oleh genus Pontoscolex. Menurut Brussard (1988) Salah satu makrofauna tanah yang
memiliki peranan penting dalam ekosistem tanah adalah cacing tanah. Cacing tanah
membantu proses humifikasi, memperbaiki aerasi tanah, mencampur material organik dan
menstabilkan pH tanah .Cacing tanah melalui aktivitasnya dapat mempengaruhi terbentuknya

16
pori makro tanah. Pori makro tanah dipengaruhi oleh diversitas makrofauna, tekstur tanah,
kandungan bahan organik tanah, dan aktivitas makrofauna penggali tanah.

a) b) c)

d) e)

c)
a)
b) Gambar 4.1 Temuan Genus Cacing Tanah di Lokasi Penelitian: a) Drawida , b) Perionyx, c)
Megascolex, d) Pharetima, e) Phontoscolex
e)
d)
Berdasarkan Perolehan data penelitian yang telah dilakukan di Kawasan Hutan
Primer pada plot 1 baik kedalaman 0-10 cm, 10- 20 cm, 20- 30cm tidak ditemukan spesies
Cacing Tanah sama sekali. Pada Plot 2 di kedalaman 0- 10 cm ditemukan 1 Cacing Tanah
dengan genus Pontoscolex, Pada Kedalaman 10- 20 cm ditemukan 1 spesies Cacing Tanah
dari Genus Megascolex, sedangkan pada kedalaman 20- 30 cm tidak ditemukan spesies
Cacing tanah. Pada Plot 3 dari berbagai macam kedalaman 0- 10 cm, 10- 20 cm, dan 20- 30
cm hanya ditemukan 2 spesies Cacing Tanah pada kedalaman 0- 10 cm dari genus
Pontoscolex. Sedangkan di Plot 4 pada kedalaman 0- 10 cm ditemukan 3 spesies Cacing
Tanah dan pada kedalaman 10- 20 cm ditemukan 1 spesies Cacing Tanah, Cacing Tanah
yang ditemukan ketiganya berasal dari genus Pontoscolex, Pada kedalaman 20 -30 cm tidak
ditemukan spesies Cacing Tanah. Selanjutnya Plot 5 pada kedalaman 0- 10 cm ditemukan
1spesies Cacing Tanah dari genus Pontoscolex, Pada kedalaman 10- 20 cm ditemukan 1
Spesies Cacing Tanah dari genus Pontoscolex juga, dan 2 Spesies Cacing Tanah dari genus
Megascolex, sedangkan pada kedalaman 20 – 30 cm juga ditemukan spesies Cacing Tanah
dari Genus Megascolex yang hanya berjumlah 1 spesies. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di kawasan Hutan Primer didapati bahwa total Indeks Nilai Keanekaragaman H’

17
adalah 2,02 yang mana nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat keanekaragamannya
sedang. Hal ini sesuai pernyataan Fahrul (2007), jika nilai indeks keanekaragaman (H’) < 1
dapat dikategorikan keanekaragaman rendah, jika nilai indeks keanekaragaman (H’) 1-3
dapat dikategorikan keanekaragaman sedang dan jika nilai indeks keanekaragaman (H’) > 3
dapat dikategorikan keanekaragaman tinggi. Berdasarkan penelitian Nilai Keanekaragaman
tertinggi yaitu spesies Cacing Tanah dari genus Pontoscolex dengan nilai indeks
keanekaragaman 1,67 hal ini dikarenakan genus Pontoscolex memang mudah beradaptasi di
berbagai tipe habitat dari pada spesies Cacing Tanah lainnya, Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat John ( 2007) bahwa Pontoscolex memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi
lingkungan, Pontoscolex dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat misalnya areal Hutan
Primer Homogen, Perkebunan, pertanian, semak belukar dan padang rumput.

Peranan Cacing Tanah sebagai Bioindikator Kesuburan Tanah, Untuk melihat banyak
sedikitnya populasi Cacing Tnah selain mengunakan perhitungan Indeks Nilai
Keanekaragaman (H’) Shannon Wienner maka dihitung juga Nilai Kepadatannya.
Kepadatan tertinggi terdapat di kedalaman 10 cm yakni 0.00112 yang mana diperoleh dari
genus Pantoscolex. Banyak ditemukan genus Pontoscolex pada kedalaman 0- 10 cm
dikarenakan Cacing Tanah dari genus Pontoscolex memang kerap suka hidup pada
permukaan Tanah yang tidak terlalu dalam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Qodratullah
dkk ( 2013) bahwa Genus Pontoscolex tergolong cacing bertipe aneksik yang aktif bergerak
dan memakan bahan organik dari permukaan ke bawah permukaan tanah dan banyak
dijumpai pada lapisan tanah tidak terlalu dalam. Sedangkan Kepadatan terendah terdapat
dikedalaman 20- 30 cm yakni 0.000053 yang mana diperoleh pada genus Megascolex. pada
Cacing Tanah bergenus Megascolex banyak ditemukan di kedalaman 10 – 20 cm karena
Menurut Coleman dan Crossley (1996) Genus Megascolex tergolong cacing bertipe
endogeik yaitu banyak hidup di kedalaman >10 cm dari permukaan tanah. Cacing ini
memakan bahan organik dan akar tanaman yang telah mati. Berdasarkan perhitungan diatas
total rata- rata perolehannya adalah ≠ 1 % sehingga Nilai Kepadatan Cacing Tanah dapat
dikategorikan Tidak melimpah, hal ini wajar karena lokasi Hutan Primer yang digunakan
sebagai tempat penelitian hanya seluas 10 m saja, sehingga hal ini juga mempengaruhi
kelimpahan Cacing Tanah yang diperoleh. Selain itu Banyak sedikitnya Makrofauna Tanah
bisa disebabkan oleh beberapa Faktor Fisika dan Kimia Tanah itu sendiri seperti factor suhu,
pH, Kelembapan dll. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suin ( 2006) bahwa Dengan perkataan
lain keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah disuatu daerah sangat
tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Faktor

18
lingkungan abiotik secara besarnya dapat dibagi atas faktor fisika dan faktor kimia. Faktor
fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas dan tekstur tanah. Faktor kimia antara lain
adalah salinitas, pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan
abiotik sangat menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat.
Faktor lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di
habitatnya seperti mikrofauna, mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan lainnya.
Pada komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi dan penyakit.

Selanjutnya, Berdasarkan Perolehan data penelitian yang telah dilakukan di Kawasan


Agrikebun pada plot 1 dikedalaman 0-10 cm ditemukan 2 spesies Cacing Tanah dari genus
Pharetima, Pada kedalaman 10- 20 cm ditemukan 1 spesies Cacing tanah dari genus
Pharetima juga dan 1 spesies Cacint Tanah dari Genus Pontoscolex. Pada plot 2 dikedalaman
0-10 cm tidak ditemukan spesies Cacing Tanah sama sekali, pada kedalaman 10- 20 cm
ditemukan 2 spesies Cacing Tanah dari genus Pontoscolex, pada kedalaman 20-30 cm
ditemukan 1 spesies Cacing Tanah dari genus Drawida. Pada Plot 3 dikedalaman 0-10 cm
dan 10- 20 cm tidak ditemukan spesies Cacing Tanah sama sekali, namun pada kedalaman 20-
30 cm ditemukan 3 spesies Cacing Tanah dari genus Drawida . Pada Plot 4 dikedalaman 0-10
cm ditemukan 1 Spesies acing Tanah dari genus Peryonix, sedangkan pada kedalaman 10- 20
cm dan 20- 30 cm tidak terdapat Cacing Tanah. Kemodian pada plot 5 dikedalaman 0-10 cm
ditemukan 1 spesies Cacing Tanah dari genus Ponthoscolex, pada kedalaman 10- 20 cm
ditemukan 1 spesies Cacing Tanah dari genus Pharetima, dan pada kedalaman 20-30 cm
ditemukan 1 spesies Cacing Tanah dari genus Drawida. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di kawasan Agrikebun didapati bahwa total Indeks Nilai Keanekaragaman H’
adalah 1,3 yang mana nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat keanekaragamannya masih
sedang. Hal ini sesuai pernyataan yang sama seperti diatas yakni dari Fahrul (2007), jika nilai
indeks keanekaragaman (H’) < 1 dapat dikategorikan keanekaragaman rendah, jika nilai
indeks keanekaragaman (H’) 1-3 dapat dikategorikan keanekaragaman sedang dan jika nilai
indeks keanekaragaman (H’) > 3 dapat dikategorikan keanekaragaman tinggi. Berdasarkan
penelitian Nilai Keanekaragaman tertinggi yaitu spesies Cacing Tanah dari genus Drawida
dengan nilai indeks keanekaragaman 0.37 hal ini dikarenakan genus Drawida Menyukai
tempat yang kondisi tanahnya mempunyai banyak serasah dengan vegetasi tinggi seperti
Kawasan Agrikebun yang digunakan sebagai lokasi penelitian. Hal ini sesuai Pernyataan
Qodratullah dkk ( 2013) bahwa Genus Drawida ini bertipe epigeik yang menyukai habitat
dengan masukan bahan organik yang beragam dan memiliki KOT yang tinggi. Cacing ini

19
tidak ditemukan di kawasan sumber serasah yang ada tidak beragam. tanaman kebun, semak
belukar dan rumputrumputan yang rapat terdapat Vegetasi beragam yang menyediakan jenis
serasah beragam sebagai sumber makanan cacing tanah. Menurut pernyataan Adianto (1983)
bahwa Drawida jenis Annelida cacing ini berperan sebagai penghancur seresah dalam masa
penelitian lapangan cacing tanah ini sering ditemukan pada seresah sisa-sisa daun yang mulai
membusuk. Haokip dan Singh (2012) menyatakan bahwa cacing Drawida hidup di habitat
dengan vegetasi beragam sebagai sumber serasah untuk makanannya dan jarang dijumpai di
kawasan vegetasi yang homogen. John (2007) menambahkan genus Drawida menyukai tanah
yang memiliki kandungan organik tinggi (1–2%), bahwa peningkatan masukan serasah dapat
meningkatkan kandungan bahan organik tanah.

Selanjutnya Nilai Kepadatan, Berdasarkan hasil data yang diperoleh Nilai Kepadatan
tertinggi terdapat di kedalaman 0-10 cm yakni 0.00036 yang mana diperoleh dari genus
Pharetima. Meskipun Nilai Keanekaragaman Pharetima lebih rendah daripada Drawida .
Namun kepadatan jenis pada Pharetima lebih cenderung seimbang. Menurut Suin (2007)
bahwa keragaman jenis suatu komunitas tidak hanya ditentukan oleh jumlah jenis, tetapi juga
oleh kepadatan dan kemerataan dari masing-masing jenisnya. Banyak ditemukan genus
Pharetima di Tanah bagian atas Menurut Adianto (1983) bahwa Cacing Pheretima tergolong
epigeik yaitu hidup pada tumpukan bahan organik di permukaan tanah. Serasah daun yang
banyak ditemukan di Agrikebun diduga menjadi habitat yang sesuai bagi keberadaan cacing
epigeik. Hal ini didukung oleh keberadaan cacing dari genus Peryonix yang juga tergolong
cacing epigeik. . Kemudian Nilai kepadatan terendah terdapat pada kedalaman 10- 20 cm
yakni 0,00016 yang mana diperoleh dari genus Peryonix dan Phontoscolex Cacing Tanah
bergenus Peryonix dan Phontoscolex banyak ditemukan di kedalaman 10 – 20 cm karena
Menurut Qodratullah dkk (2013) Genus Pontoscolex tergolong cacing bertipe aneksik yang
aktif bergerak dan memakan bahan organik dari permukaan ke bawah permukaan tanah dan
banyak dijumpai pada lapisan tanah bagian atas, dan menurut Edward dan Bohlen (1996)
menyatakan bahwa cacing epigeik hidup dan makan di tumpukan bahan organik di
permukaan tanah. Hal ini terbukti ditemukan genera Peryonix dan Pharetima yang termasuk
cacing epigeik. Berdasarkan perhitungan diatas total rata- rata perolehannya adalah ≠ 1 %
sehingga Nilai Kepadatan Cacing Tanah dapat dikategorikan Tidak melimpah, hal ini wajar
karena lokasi Agrikebun yang digunakan sebagai tempat penelitian hanya seluas 10 m saja,
sehingga tidak menyeluruh dan hal ini juga mempengaruhi kelimpahan Cacing Tanah yang
diperoleh.

20
Terlihat dari dua lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian, bahwa Tingkat
keanekaragaman dan Kepadatan tertinggi terdapat pada kawasan Hutan Primer daripada
Agrikebun. Meskipun Agrikebun lebih mempunyai banyak serasah, namun berdasarkan data
penelitian yang dilakukan, kawasan Hutan Primer tetap mempunyai Nilai Indeks
Keanekaragaman yang tinggi. Hal ini dikarenakan pengaruh dari kondisi kelembapan tanah.
Ketika dilakukan pengambilan data kondisi tanah Hutan Primer sedang dalam keadaan sedikit
basah akibat hujan. Sedangka ketika pengambilan data di Agrikebun kondisi Tanah dalam
keadaan kering akibat data diambil sebelum terjadinya hujan. Serta Agrikebun yang ditanam
telah dipengaruhi oleh sistem pertanian monokultur dan pemakaian pupuk dan bahan kimia
pertanian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buckman & Brady (1982) bahwa aktivitas hidup
cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti:
iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah
(temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara)
dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengelolaan tanah.
Ditambahkan Edward dan Bohlen (1996) bahwa Pemberian pupuk kimia, penyemprotan
insektisida dan herbisida dapat menurunkan kualitas tanah sehingga tidak mendukung bagi
kehidupan cacing tanah.

21
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat di Tarik berdasarkan hasil penelitian adalah hasil perhitungan
Indeks keanekaragaman dan kepadatan memiliki rata-rata yang sama yakni keanekaragaman
sedang dan kepadatan tidak melimpah. Tetapi Keeanekaragaman dan Kepadatan tertinggi
terdapat pada kawasan Hutan Primer daripada Agrikebun. Hal ini dikarenakan pengaruh dari
kondisi kelembapan tanah pada Hutan Primer lebih lembab daripada Agrikebun. Serta
Agrikebun yang ditanam telah dipengaruhi oleh sistem pertanian monokultur dan pemakaian
pupuk dan bahan kimia pertanian. Keanekaragaman dan kepadatan tertinggi pada lokasi
penelitian di kawasan Hutan Primer adalah dari genus Pontoscolex, sedangkan
Keanekaragaman tertinggi pada lokasi penelitian di kawasan Agrikebun adalah dari genus
Dwidra. Namun Kepadatan tertinggi adalah dari genus Pharetima. Cacing tanah yang dapat
hidup di semua lokasi penelitian yaitu Pontoscolex .

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu diharapkan identifikasi data penemuan hasil
penelitian diidentifikasi secara mendetail lagi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1983. Biologi Pertanian. Penerbit Alumni. Bandung.


Anas, Iswandi. 1990. Penuntun Praktikum Metoda Penelitian Cacing Tanah dan Nematoda.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Univesitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Bappeda Jawa Timur. 2018. Kondisi Kabupaten Kediri
Brussard, L. 1998. Soil Fauna, Guilds, Functional Groups, and Ecosystem Processes. Appl.
Soil Ecol. 9: 123-136.
Buckman, H.O. dan Brady, N.C. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Coleman, D.C., dan Crossley, D.A. 1996. Fundamentals of Soil Ecology :San Diego.
Academic Press
Edwards, C.A. dan Bohlen, P.J. 1996. Biology and ecology of earthworms. 3rd ed. Chapman
& Hall. London
Edwards, C.A. dan Lofty, J.R. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press Boo, John
Wiley & Sons. New York.
Fahrul, F. M. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksa
Hairiah, K., Widianto, Suprayoga, D., Widodo, R. H., Purnomosidi, P., Rahayu, S., dan
Noordwijk, V. 2004. Ketebalan Seresah Sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sehat. World Agroforestry Centre (ICRAF). Malang: Unibraw
Hanafiah KA. 2005. Biologi Tanah (Ekologi dan Mikrobiologi Tanah). Jakarta: PT Raja
Grafindo Soetjipta Persada
Hanafiah, K.A. 2005. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
Haokip, S. L. dan Singh, T. B. 2012. Diversity and Distribution of Earthworms in a Natural
Reserved and Disturbed Subtropical Forest Ecosystem of Imphal-West, Manipur, India.
International Multidisciplinary Research Journal. 2(2):28-34.
Hartati W. 2008. Evaluasi Distribusi Hara Tanah dan Tegakan Mangium, Sengon dan Leda,
Pada Akhir Daur Untuk Kelestarian Produksi Hutan Primer Tanaman di UMR Gowa PT
INHUTAN PRIMERI I Unit III Makassar. Hutan Primer dan Masyarakat 3 (2) : 111 –
234
23
Hegner, R.W. & J.G Engeman. 1978. Invertebrate Zoology. Mac Milan. NewYork. pp. 616.
John, A.H. 2007. Pengaruh Pemupukan dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ke Areal
Kebun Terhadap Cacing Tanah Untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis.
Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kartasapoetra., A.G.Kartasapoetra., Mulyani Sutedjo.. 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan
Air. Cetakan ke dua. Jakarta : Bina Aksara
Khatri N, Tyagi S. 2015. Influences of Natural and Anthropogenic Factors on Surface and
Groundwater Quality in Rural and Urban Areas. Front Life Sci. 8(1): 23-39.
Pourafrasyabi, M., Z. Ramezanpoor. 2014. Phitoplankton as Bio- Indicator of Water Quality
in Sefld Rud River- Iran (South Caspian Sea). Caspian Journal of Environmental
Sciences. 12(1): 38
Pratiwi. 2014. Bioindikator Kualitas Perairan Sungai. Artikel Jurusan Teknik Lingkungan,
Fakultas Arsitektur Landskap dan Teknologi Lingkungan, Universutas Trisakti, Jakarta,
Indonesia
Qudratullah, Harry., Tri Rima Setyawati , Ari Hepi Yanti. 2013. Keanekaragaman Cacing
Tanah (Oligochaeta) pada Tiga Tipe Habitat di Kecamatan Pontianak Kota. Jurnal
Protobiont. 2 (2): 56 – 62.
Risman & Al ikhsan. 2017. Penggambaran Makrofauna dan Mesofauna Tanah Dibawah
Rukmana, H.R. 1999. Budi Daya Cacing Tanah. Yogyakarta : Penerbit Kanisius (Anggota
IKAPI)
Suin, N. M. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta : Bumi Aksara
Suin, N.M. 2007. Ekologi Hewan Tanah. Bandung : Penerbit Bumi Aksara
Susilawati, Mustoyo, Eriandra Budhisurya. 2013. Analisis Kesuburan Tanah Dengan
Indikator Mikroorganisme Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Di Plateau
Dieng. Jurnal Fakultas Pertaian UNDIP. 4(2): 18-21
Triwanto, Joko. . 2019. Agroforesty. Malang: UMM Press

24
LAMPIRAN
1. Dokumentasi Pngambilan sampel di Hutan Primer

Gambar Keterangan
Lokasi Penelitian di Hutan Primer

Temuan Cacing Tanah di Plot 1

25
Temuan Cacing Tanah di Plot 2

Temuan Cacing Tanah di Plot 3

Temuan Cacing Tanah di Plot 4

26
Temuan Cacing Tanah di Plot 5

2. Dokumentasi Pengambilan Sampel di Agrikebun


Gambar Keterangan
Lokasi Penelitian di Agrikebun

27
Temuan Cacing Tanah di Plot 1

Temuan Cacing Tanah di Plot 2

Temuan Cacing Tanah di Plot 3

28
Temuan Cacing Tanah di Plot 4

Temuan Cacing Tanah di Plot 5

29

Anda mungkin juga menyukai