Anda di halaman 1dari 51

EVALUASI SIFAT BIOLOGI TANAH PADA BEBERAPA TIPE

PENGGUNAAN LAHAN DI PTPN VIII GUNUNG MAS


CISARUA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

ITA KURNIA SARI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Sifat Biologi
Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di PTPN VIII Gunung Mas Cisarua,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbingan dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2019

Ita Kurnia Sari


NIM A14150023
ABSTRAK

ITA KURNIA SARI. Evaluasi Sifat Biologi Tanah pada Beberapa Tipe
Penggunaan Lahan di PTPN VIII Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Dibimbing oleh RAHAYU WIDYASTUTI dan FAHRIZAL HAZRA.

Keberadaan organisme tanah masih sedikit sekali dipertimbangkan sebagai


penilaian kesehatan tanah secara biologi. Padahal peranan organisme tanah cukup
baik sebagai bioindikator kesehatan tanah, karena memiliki respon yang sensitif
terhadap perubahan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari sifat-sifat
biologi tanah yang meliputi populasi dan keanekaragaman organisme tanah pada
tiga jenis penggunaan lahan. Pengambilan contoh tanah untuk mengumpulkan
fauna tanah diambil dengan metode simple random sampling pada kedalaman tanah
0-15 cm sebanyak 15 titik sampel masing-masing untuk lapisan serasah dan tanah
di setiap penggunaan lahan. Untuk isolasi mikrob, contoh tanah juga diambil
dengan metode simple random sampling dengan cara komposit pada kedalaman
tanah 0-10 cm sebanyak 5 titik sampel pada setiap jenis penggunaan lahan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setiap jenis penggunaan lahan memiliki populasi
dan keanekaragaman organisme tanah (mikrob dan fauna tanah) yang berbeda.
Populasi mikrob tanah tertinggi didominasi pada hutan sekunder yaitu total mikrob
(64 x 105 SPK/g), total fungi (1.76 x 105 SPK/g), Azotobacter (1.55 x 105 SPK/g),
dan mikrob pelarut fosfat (1.85 x 105 SPK/g), kecuali populasi mikrob pendegradasi
selulosa. Hasil keseluruhan dari populasi rata-rata individu fauna tanah tertinggi
juga pada hutan sekunder yaitu mencapai 3 436 individu/m2. Nilai indeks
keanekaragaman fauna tanah terbesar berada di kebun teh dengan kategori
keanekaragaman sedang. Populasi organisme tanah yang cukup merata dan
mendominasi pada tiga jenis penggunaan lahan adalah fungi (kelompok mikrob
tanah) dan Collembola (kelompok fauna tanah). Data ini dapat dijadikan sebagai
data base untuk penelitian selanjutnya atau sebagai bahan pertimbangan dalam
melalukan pengelolaan lahan, mengingat masih kurangnya informasi mengenai
potensi organisme tanah di lahan-lahan Indonesia.

Kata kunci: bioindikator, fauna tanah, keanekaragaman, mikrob tanah, populasi


ABSTRACT

ITA KURNIA SARI. Evaluation of Soil Biological Properties in Several Land Use
at PTPN VIII Gunung Mas Cisarua, Bogor, West Java Province. Supervised by
RAHAYU WIDYASTUTI and FAHRIZAL HAZRA.

The Existence of soil organisms is still less considered as a biological


assessment of soil health. Although the role of soil organisms is quite good as a bio-
indicator of soil health because it has a sensitive response to environmental changes.
The purpose of this research was to study the soil biological properties which
include soil organisms populations and diversity in three types of land use. Soil
sampling to collect soil fauna by using simple random sampling method at 0-15 cm
soil depth by 15 sample points for each of litter and soil layers in each type of land
use. For microbial isolation, soil sampling were also by using simple random
sampling method, compositely by 0-10 cm soil depth with done 5 sample points for
each type of land use. The result showed that each type of land use has a different
population and diversity of soil organisms (microbial and soil fauna). The highest
soil microbial population was dominated by secondary forests, such at total
microbial (64 x 105 SPK/g), total fungi (1.76 x 105 SPK/g), Azotobacter (1.55 x 105
SPK/g), and phosphate solubility microbes (1.85 x 105 SPK/g) except the higest
population of cellulose degradation microbes. The overall result of the highest
average individual soil fauna population was found in secondary forests of 3 436
individual/m2. The highest diversity index of soil fauna in the tea gardens was
moderate diversity’s category. The populations of dominant and fair even soil
organisms on three type of land use were group of fungi (soil microbial groups) and
Collembola (soil fauna groups). This data can be used as a base data for futher
research or as a material consideration in carrying out land management, given the
lack of information regarding the potential of soil organisms in Indonesia lands.

Keywords: bioindicator, soil fauna, diversity, soil microbial, population


EVALUASI SIFAT BIOLOGI TANAH PADA BEBERAPA TIPE
PENGGUNAAN LAHAN DI PTPN VIII GUNUNG MAS
CISARUA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

ITA KURNIA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
Pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2018 hingga Februari 2019 ini
ialah Evaluasi Sifat Biologi Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di PTPN
VIII Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi utama dan
Ir. Fahrizal Hazra, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi anggota yang
senantiasa telah memberikan bimbingan, saran, dan dorongan kepada
penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.
2. [PTPN] PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor yang sudah berkenan memberikan izin kepada penulis
dalam pengambilan sampel.
3. Ibu Sumiyati, Fifa Nurhafifah, Dilla Fadliyah, dan Rizky Kharomain, yang
tercinta atas segala do’a, dukungan, nasihat, motivasi, kasih sayang, dan
kesabaran kepada penulis.
4. Laboran Bioteknologi Tanah IPB atas segala masukan, saran, dan
bimbingannya.
5. Rekan sepembimbingan Aulia Rizki yang telah banyak memberikan
dukungan, bantuan, dan arahan selama proses penelitian hingga
pengumpulan data.
6. Deseriana Bria dan Alief Akbar yang senantiasa membantu penulis di
lapang dan juga bimbingan selama proses penelitian hingga penulisan
skripsi.
7. Rekan-rekan Divisi Bioteknologi Tanah 52 (Rista, Verra, Rifqi) yang telah
membantu dan memberikan motivasi.
Penulis harap skripsi ini memberikan manfaat bagi pihak yang membacanya,
khususnya bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian pada kajian yang sama.

Bogor, September 2019

Ita Kurnia Sari


NIM A14150023
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kaitannya dengan Organisme Tanah 2
Organisme Tanah 3
METODE 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Alat dan Bahan 7
Prosedur Penelitian 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Populasi Mikrob Tanah 12
Populasi Fauna Tanah 18
Hubungan Mikrob dan Fauna Tanah 24
SIMPULAN DAN SARAN 26
Simpulan 26
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 31
DAFTAR TABEL

1. Populasi rata-rata mikrob tanah di hutan sekunder, kebun teh, dan kebun
campuran 13
2. Nilai ketebalan serasah dan suhu tanah pada tipe penggunaan lahan berbeda 13
3. Jumlah C-organik, N-total, C/N rasio, dan pH tanah pada tipe penggunaan lahan
berbeda 14
4. Populasi rata-rata individu fauna tanah di hutan sekunder, kebun teh, dan kebun
campuran 19
5. Populasi rata-rata individu fauna tanah di lapisan serasah dan tanah pada setiap
penggunaan lahan 21
6. Nilai indeks keanekaragaman di hutan sekunder, kebun teh, dan kebun campuran
24

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi sebaran pengambilan titik sampel di PTPN VIII Gunung Mas Cisarua,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Sumber: Bria 2019) 6
2. Lokasi pengambilan contoh tanah pada beberapa tipe penggunaan lahan di PTPN
VIII Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 7
3. Ilustrasi pengambilan contoh tanah dengan metode komposit 8
4. Berlese Funnel Extractor untuk ekstraksi contoh tanah dan serasah 10
5. Populasi rata-rata mikrob tanah pada tipe penggunaan lahan berbeda 12
6. Populasi total mikrob pada tipe penggunaan lahan berbeda 14
7. Populasi total fungi pada tipe penggunaan lahan berbeda 15
8. Populasi Azotobacter pada tipe penggunaan lahan berbeda 16
9. Populasi mikrob pelarut fosfat pada tipe penggunaan lahan berbeda 17
10. Populasi mikrob pendegradasi selulosa pada tipe penggunaan lahan berbeda 17
11. Fauna tanah dominan pada setiap penggunaan lahan yang diteliti: Collembola,
Hymenoptera, dan Acari 22

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis statistika Anova pada tiga jenis penggunaan lahan terhadap populasi
total mikrob 31
2. Analisis statistika Anova pada tiga jenis penggunaan lahan terhadap populasi
fauna tanah 31
3. Kriteria evaluasi hasil analisis sifat kimia tanah 32
4. Gambar fauna tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian 33
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi Indonesia yang menyumbangkan


keanekaragaman hayati yang berlimpah, salah satu penyumbang terbesar adalah
ekosistem tanah. Ekosistem tanah merupakan komponen abiotik yang memiliki
keanekaragaman organisme yang tinggi. Walaupun total biomassa organisme tanah
lebih rendah jika dibandingkan fraksi humus dan mineral pada tanah, tetapi
aktivitas organisme berperan besar dalam menentukan kesehatan tanah. Pentingnya
peranan organisme tanah untuk dijadikan sebagai bioindikator kesehatan tanah
masih kurang dipertimbangkan, khususnya dalam ranah pertanian.
Setiap ekosistem dihuni oleh berbagai organisme tanah yang memiliki peran
tertentu. Secara umum peranan organisme tanah diantaranya adalah sebagai
dekomposer maupun pengendali hayati dan perekayasa lingkungan untuk menjaga
keseimbangan ekosistem (Coleman et al. 2004). Peranan tersebut bertujuan
memperbaiki serta mempertahankan kesuburan tanah (Buckman dan Brady 1982;
Wolters 1998), sehingga organisme tanah dapat dijadikan juga sebagai salah satu
bioindikator kesehatan tanah (Nurrohman et al. 2015). Namun, berdasarkan
kelangsungan hidup organisme tanah yang bersifat dinamis, dapat mengalami
perubahan terhadap ruang dan waktu, serta keberadaannya terus terancam akibat
transformasi ekosistem menyebabkan sulit dalam menetapkan dan mendapatkan
data status kualitas biologi tanah yang akurat. Oleh karena itu, data status biologi
tanah yang ada dapat dijadikan sebagai data base atau informasi tambahan yang
bisa menjadi pertimbangan dalam menerapkan praktek pengelolaan lahan yang
lebih berkelanjutan, khususnya dalam ranah pertanian (Loreau et al. 2001). Dalam
pengukuran organisme tanah diperlukan banyak kriteria yang diamati untuk dapat
dijadikan sebagai indikator kesehatan tanah, salah satunya adalah populasi dan
keanekaragaman organisme tanah.
Saat ini, dinamika perubahan ekosistem terus terjadi salah satunya adalah di
PTPN VIII Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor yang telah mengalami alih
fungsi lahan dari hutan menjadi kawasan budi daya. Daerah ini memiliki potensi
dan nilai ekonomi yang lebih mengguntungkan untuk dijadikan sebagai kawasan
budi daya seperti lahan pertanian, perkebunan, tempat wisata, dan pemukiman.
Namun, disisi lain perubahan penggunaan lahan menyebabkan semakin
berkurangnya ekosistem alami dan diikuti penurunan sumberdaya yang terkandung
di dalamnya. Akibatnya, banyak populasi dan biodiversitas organisme tanah
menjadi berkurang. Padahal keberlangsungan hidup organisme tanah sangat
bergantung dari bahan organik, sebab organisme tanah memiliki preferensi
terhadap jenis serasah yang dikonsumsinya dan tergantung pada serasah tersebut
(Sugiyarto et al. 2007). Pentingnya peranan organisme tanah dalam menjaga
keseimbangan ekosistem dan masih terbatasnya informasi mengenai potensi
organisme tanah di lahan-lahan Indonesia khususnya Jawa Barat menjadi alasan
penelitian ini dilakukan.
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari sifat-sifat biologi tanah yang meliputi


populasi dan keanekaragaman organisme tanah (mikrob dan fauna tanah) pada
beberapa tipe penggunaan lahan yang memiliki perbedaan tutupan vegetasi di
PTPN VIII Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan infomasi mengenai data biologi


tanah berupa populasi dan keanekaragaman organisme tanah (mikrob dan fauna
tanah) serta organisme tanah yang cukup merata dan mendominasi pada beberapa
tipe penggunaan lahan yaitu hutan sekunder, kebun teh, dan kebun campuran di
lahan PTPN VIII Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor. Selain itu, diharapkan
juga penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan pertimbangan untuk
pengelolaan lahan khususnya dalam ranah pertanian dari aspek biologi tanah.

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kaitannya dengan Organisme Tanah

Perkebunan Gunung Mas merupakan perusahaan gabungan dari dua


perusahaan perkebunan yaitu perusahaan milik perancis dan jerman. Penggabungan
dua perusahaan ini dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia menjadi PPN
Baru Kesatuan Jawa Barat I pada tahun 1958. Kemudian diubah menjadi PT
Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas pada tahun 1996, merupakan hasil dari
gabungan perkebunan Gunung Mas dengan perkebunan Cikopo di bawah
pengelolaan PT Perkebunan XII (Rinawati 2014).
Perkebunan di PTPN VIII Gunung Mas ini terkenal dengan perkebunaan
tehnya, karena termasuk ke dalam perkebunan teh terbesar di Indonesia berada di
kawasan Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Secara geografis terletak pada 06o42 LS dan 106o58 BT. Perusahaan ini memiliki
ketinggian mencapai 800-1200 mdpl dengan topografi berbukit dan memiliki luas
sekitar 1 703.65 ha (Rinawati 2014). Menurut Bria (2019), sebagian besar kawasan
perusahan ini telah mengalami alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi
kawasan budi daya, seperti menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, dan
area wisata. Transformasi ekosistem tersebut tentu akan mempengaruhi kondisi
lingkungan tanah dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Perbedaan penggunaan
lahan akan menyebabkan terjadi perbedaan tutupan vegetasi dan berhubungan
dengan ketersediaan bahan organiknya juga akan berbeda, baik jumlah maupun
jenisnya. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan tersebut akan mengalami
penurunan bahan organik, karena adanya aktivitas manusia di dalamnya yang
memanfaatkan sumberdaya hayati sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem
yang berpengaruh terhadap populasi dan keanekaragaman organisme tanah (Monde
2009).
3

Terkait dengan vegetasi di kawasan hutan milik PTPN VIII Gunung Mas
memiliki beragam vegetasi di dalamnya, baik pepohonan maupun tumbuhan
penutup tanah antara lain pohon silver oak (Grevillea robusta), tumbuhan paku
(Aspidium sp), harendong bulu (Clidemia hirta), dan rumput tapak burung
(Murdannia nudiflora), tumbuhan obat-obatan, dan jenis tumbuhan lainnya (Bria
2019). Kondisi tumbuhan di hutan sekunder termasuk rimbun dan memiliki
ketebalan serasah mencapai 1.8 - 3.6 cm. Kawasan hutan sekunder tersebut
memiliki luasan sebesar 203.66 ha dengan kelerangan curam (Rinawati 2014).
Selain kawasan hutan di PTPN VIII Gunung Mas dikenal memiliki
perkebunan tehnya. Luasan perkebunan teh yang diamati dalam penelitian adalah
kebun teh blok 4 seluas 4.87 ha dengan penanaman sebanyak 6 550 pohon
(Rinawati 2014). Sejak tahun 1988 atau sekitar 30 tahun menjadi perkebunan teh
hasil dari konversi kawasan hutan (Bria 2019). Kondisi lahan tersebut memiliki
kelerengan yang bergelombang dan ketebalan serasah mencapai 1.6 – 2.2 cm.
Ketebalan serasah tersebut merupakan hasil sumbangan dari kebun teh dengan
tanaman penutup tanah berupa rumput mutiara (Oldenlandia), tumbuhan paku
(Aspidium sp), harendong bulu (Clidemia hirta), namun tidak seluruh luasan lahan
kebun teh ditutupi dengan tanaman penutup tanah hanya pada bagian tertentu.
Kebun campuran di PTPN VIII Gunung Mas, memiliki teknik budidaya
tanamannya berupa tumpang sari. Kebun campuran tersebut merupakan kebun teh
yang kemudian diolah menjadi kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman.
Tanaman yang ditumpang sari tersebut adalah tanaman jeruk, nanas, sereh, dan
masih terdapat rerumputan sebagai tumbuhan penutup tanah, kecuali di sekitar
tanaman jeruk tidak ditutupi dengan rumput. Selain itu, pada kebun campuran juga
ditemukan tanaman jambu yang memiliki usia >25 tahun, pohon silver oak
(Grevillea robusta), albasia, sintrong (Crassocephalum crepidioides), bandotan
(Ageratum conyzoides), bathokan, dan jenis tanaman lainnya. Keragaman vegetasi
lebih banyak ditemukan pada kebun campuran dibandingkan pada kebun teh di
PTPN VIII Gunung Mas, sehingga mempengaruhi ketebalan serasah mencapai 1.0
– 2.3 cm (Bria 2019).

Organisme Tanah

Tanah memiliki berbagai manfaat salah satunya sebagai ekosistem yang di


dalamnya terdapat berbagai komponen biotik maupun abiotik yang saling berkaitan
satu sama lainnya. Komponen biotik yang dimiliki tanah seperti flora dan fauna
tanah. Organisme tanah adalah biota tanah atau semua makluk hidup baik fauna
(hewan) maupun flora (tumbuhan) yang seluruh atau sebagian dari fase hidupnya
berada dalam sistem tanah. Organisme tanah cukup baik sebagai bioindikator tanah
karena memiliki respon yang sensitif terhadap perubahan iklim dan praktek
pengelolaan lahan. Organisme tanah berkorelasi baik terhadap sifat tanah dan
fungsi ekologis yang menguntungkan seperti penyimpanan air, dekomposisi, siklus
hara, netralisasi bahan beracun dan penekanan organisme patogen yang berbahaya.
Fauna tanah diklasifikasikan berdasarkan makanannya menjadi 4 kelompok
yaitu, mikrofitik (pemakan spora, hifa, dan bakteri), saprofitik (pemakan bangkai
dan serasah yang membusuk), fisofagus (pemakan tumbuhan hidup), dan karnivora
(pemakan sesama) (Poerwowidodo 1992). Berdasarkan ukurannya fauna tanah
4

terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu mikrofauna dengan diameter tubuh 0.02-0.2
mm, mesofauna diameter tubuh sebesar 0.2-2 mm, dan makrofauna dengan
diameter tubuh 2-20 mm (Nurrohman et al. 2015).
Mikrob tanah tergolong kelompok flora tanah yang merupakan salah satu
faktor penting dalam suatu ekosistem, karena keberadaannya berperan dalam
ketersediaan dan siklus hara tanaman serta berpengaruh terhadap stabilitas struktur
tanah (Susilawati et al. 2013). Menurut pernyataan Purwaningsih (2009), bahwa
tanah yang dikategorikan menjadi tanah yang subur jika banyak mengandung
berbagai macam mikrob, namun secara umum dapat dikatakan bahwa tanah
tersebut memiliki sifat fisik dan kimia yang baik. Mikrob tanah berperan dalam
mempercepat dekomposisi bahan organik, memperbaiki struktur tanah, dan
ketersediaan hara bagi tanaman (Ma’shum et al. 2003). Populasi mikrob tanah yang
tinggi dipengaruhi adanya suplai makanan dan energi yang cukup (Rao 1994).
Terdapat berbagai jenis mikrob tanah seperti bakteri, fungi, aktinomycetes,
protozoa, dan algae. Bakteri merupakan kelompok prokariotik (tidak memiliki
membran inti) dan mempunyai dinding sel yang mengandung peptidoglikan
(Krisnanto 2012) dan sering dijumpai di dalam tanah. Peranan bakteri tanah sama
halnya dengan fungi karena merupakan satu dekomposer bahan organik dan sebagai
pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik menjadi organik.

Fungi Tanah
Fungi merupakan kelompok eukariotik yang berbentuk filamen, memiliki
peran penting dalam siklus nutrisi, agen penyakit, simbion yang menguntungkan,
dan terlibat dalam perekat agregat tanah (Ritz dan Young 2004). Menurut Gandjar
et al. (2000), fungi adalah heterotrof yang mendapatkan nutrisinya dari penyerapan
(absorpsi) molekul-molekul kecil dari medium di sekitarnya dan mencerna
makanannya di luar tubuhnya dengan cara mensekresikan enzim ekstra seluler.
Enzim tersebut berguna untuk menguraikan molekul kompleks menjadi sederhana
agar dapat diserap oleh fungi (Madigan et al. 2009). Keberadaan fungi memerlukan
senyawa organik untuk nutrisinya, kelembaban yang tinggi dan persediaan oksigen
untuk pertumbuhannya.

Azotobacter
Azotobacter adalah bakteri penambat N2 aerobik nonsimbiotik yang
melimpah di atmosfer dan mampu menghasilkan N2 dalam jumlah yang cukup
tinggi bagi tanaman, jumlahnya bervariasi ±2 - 15 mg N/gram sumber karbon.
Kemampuan ini tergantung pada sumber energi, keberadaan nitrogen yang terpakai,
mineral, reaksi tanah dan faktor lingkungan lainnya. (Rahmi 2014). Azotobacter
dapat digolongkan sebagai bakteri perangsang pertumbuhan tanaman (plant growth
promoting rhizobacteria/PGPR) (Rao 1994) yang mempunyai kemampuan dalam
memproduksi vitamin dan zat pengatur tumbuh seperti IAA, kinetin, dan giberelin
(Glick 1995). Selain itu, Azotobacter memiliki kemampuan dalam melindungi
bagian tanaman di atas tanah dari virus, bakteri, dan fungi (Kloepper 1983) atau
dikenal sebagai pengendali penyakit tanaman karena kemampuannya menghasilkan
antibiotik (Rahmi 2014). Menurut Agisti (2014), pertumbuhan Azotobacter ditandai
koloni bulat, tepian koloni utuh, permukaan koloni cembung, dan berwarna putih
bening.
5

Mikrob Pelarut Fosfat


Mikrob pelarut fosfat terdiri dari bakteri dan fungi mempunyai kemampuan
melarutkan P melalui sekresi asam-asam organik serta menghasilkan enzim
fosfatase yang mampu membebaskan P dari P organik (Kucey 1987). Enzim
fosfatase disekresi oleh mikrob pelarut fosfat jika ketersediaan fosfat sedikit di
dalam tanah dan enzim tersebut akan membebaskan P dari bahan organik menjadi
senyawa P anorganik yang digunakan untuk metabolisme mikrob (Flatian et al.
2016). Oleh karena itu, mikrob pelarut fosfat berperan dalam melarutkan fosfat
organik dan anorganik menjadi fosfat terlarut yang tersedia, sehingga dapat
digunakan oleh akar tanaman dan mikroba lainnya yang dapat memacu
pertumbuhan tanaman (Prayudyaningsih et al. 2015). Mikrob pelarut fosfat
menghasilkan asam-asam organik seperti asam sitrat, glutamate, suksinat dan
glioksalat yang dapat mengkhelat Fe, Al, Ca, dan Mg sehingga P yang terikat
menjadi larut dan tersedia bagi tumbuhan (Afandi et al. 2015).

Mikrob Pendegradasi Selulosa


Mikrob pendegradasi selulosa atau dikenal sebagai mikrob yang
menghasilkan enzim selulase (Nagaraju et al. 2009). Komponen enzim yang
dihasilkan oleh mikrob selulolitik akan mendegradasi mikrofibril-mikrofibril
penyusun selulosa (Lynd et al. 2002). Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri
dari rantai glukosa (1,4)-β-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen,
ditemukan pada dinding sel pelindung tumbuhan terutama pada bagian berkayu
(Lehninger 1982). Enzim selulase merupakan enzim yang banyak diaplikasikan
karena mempunyai potensi yang cukup besar dalam proses sakarifikasi
lignoselulosa menjadi gula yang dapat digunakan untuk produksi bioetanol, asam
laktat, dan single cell protein (Maki et al. 2009). Zona bening di sekitar koloni
bakteri dan fungi setelah digenangi Congo Red merupakan indikasi adanya aktivitas
hidrolisis selulosa yang dipengaruhi sekresi enzim selulase oleh mikrob selulolitik
(Ed-har et al. 2017).
6

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2018 hingga Februari 2019.
Lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan di tiga ekosistem berbeda yang
terletak pada wilayah PT Perkebunan Nasional (PTPN) VIII Gunung Mas
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penggunaan lahan yang diteliti
adalah hutan sekunder, kebun teh, dan kebun campuran. Isolasi mikrob tanah,
ekstraksi, dan identifikasi fauna tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi
Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Lokasi sebaran pengambilan titik sampel di PTPN VIII Gunung Mas
Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Sumber: Bria 2019)
7

A B

C
Gambar 2 Lokasi pengambilan contoh tanah di penggunaan lahan (A) kebun teh,
(B) hutan sekunder, (C) kebun campuran di lahan PTPN VIII Gunung
Mas Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga yaitu, alat-alat
untuk analisis mikrob tanah, ekstraksi dan pengawetan fauna tanah, dan
pengambilan sampel tanah. Alat untuk analisis mikrob tanah antara lain Laminar
Air Flow (LAF), autoclave, oven, stirrer, shaker, vortex, timbangan, bunsen,
tabung reaksi, cawan petri, micro pipet, microtip, dan erlenmeyer. Peralatan yang
diperlukan dalam ektraksi dan pengawetan fauna tanah adalah Berlese Funnel
Extractor, mikroskop stereo, microtube 2 ml, kain kasa ukuran 2 mm, kuas kecil,
cawan petri, botol semprot, dan buku identifikasi. Selanjutnya alat yang digunakan
dalam pengambilan sampel tanah antara lain Global Positioning System (GPS),
8

cangkul, sekop, termometer, penggaris, paralon, label, plastik, alat tulis, dan
kamera. Bahan yang digunakan untuk analisis mikrob tanah yaitu, sampel tanah,
larutan fisiologis, alkohol 70%, aquadest, spirtus, media Nutrient Agar (NA),
Martin Agar (MA), Nitrogen Free Media (NFM), Pikovskaya, dan Carboxy Methyl
Cellulose (CMC). Selanjutnya bahan kimia utama yang digunakan dalam ekstraksi
dan pengawetan fauna tanah adalah Ethylene Glycol dan alkohol konsentrasi 96%.

Prosedur Penelitian

Pengambilan contoh tanah


Pengambilan contoh tanah terbagi menjadi dua bagian, yaitu contoh tanah
untuk analisis mikrob tanah dan ekstraksi fauna tanah. Keduanya, diambil dari
penggunaan lahan: hutan sekunder, kebun teh, dan kebun campuran di lahan PTPN
VIII Gunung Mas Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengambilan contoh
tanah untuk pengumpulan fauna tanah menggunakan metode simple random
sampling. Untuk isolasi mikrob juga menggunakan metode simple random
sampling dengan cara komposit.
Pengambilan contoh tanah diawali dengan membersihkan vegetasi yang
menutupi titik pengambilan contoh dan dilakukan pengukuran ketebalan serasah
serta suhu tanah. Contoh tanah komposit diambil dari luasan tanah berbentuk bujur
sangkar yang berukuran 1m x 1m pada setiap titik contoh, diambil pada kedalaman
tanah 0-10 cm sebanyak 5 titik sampel untuk setiap penggunaan lahan. Pengambilan
contoh tanah tersebut dilakukan pada setiap titik di ujung-ujung dan tengah bujur
sangkar (Gambar 5), sehingga diperoleh lima contoh tanah. Kelima contoh tanah
tersebut dicampur dan diambil sebanyak 1 kg, lalu dimasukkan ke dalam plastik
dan diberi label yang selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk isolasi mikrob
tanah. Untuk pengumpulan fauna tanah, contoh tanah diambil dengan metode
simple random sampling menggunakan pipa paralon berukuran 20 x 20 cm2 yang
diambil pada lapisan serasah dan tanah hingga kedalaman 0-15 cm sebanyak 15
titik sampel untuk setiap penggunaan lahan. Kemudian sampel tersebut dimasukkan
ke dalam plastik, diberi label dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan
ekstraksi.

1m

1m

Gambar 3 Ilustrasi pengambilan contoh tanah dengan cara komposit, : titik


pengambilan contoh tanah
9

Sterilisasi alat dan bahan


Setiap alat dan bahan yang digunakan untuk proses isolasi terlebih dahulu
harus dipastikan steril agar hasil yang diperoleh tidak terdapat kontaminan.
Sterilisasi dilakukan mengunakan autoclave selama 20 menit dengan temperatur
120 ⁰Celcius tekanan 1 atm. Setelah proses sterilisasi selesai, alat dimasukan ke
dalam oven 60 ⁰Celcius untuk mempercepat proses pengeringan.

Isolasi mikrob tanah


Isolasi mikrob tanah meliputi isolasi total mikrob, total fungi, Azotobacter,
mikrob pelarut fosfat, dan mikrob pendegradasi selulosa. Masing-masing isolasi
tesebut menggunakan metode Total Plate Count dengan media yang berbeda-beda,
yaitu: media Nutrient Agar (total mikrob), Martin Agar (total fungi), NFM
(Azotobacter), Pikovskaya (mikrob pelarut fosfat), dan Carboxy Methyl Cellulose
(mikrob pendegradasi selulosa). Selanjutnya 10 gram tanah dimasukkan ke dalam
erlenmeyer yang berisi 90 ml larutan fisiologi steril (8.5 g NaCl per liter aquades),
kemudian dilakukan pengocokan secara homogen menggunakan shaker selama 30
menit dengan kecepatan 150 rpm. Setelah itu, 1 ml dari suspensi contoh tanah
tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis steril
dan dihomogenkan menggunakan vortex. Selanjutnya dibuat seri pengenceran
sampai 10-6.
Pengenceran yang digunakan adalah pengenceran 10-3 dan 10-4 (Azotobacter,
mikrob pelarut fosfat, dan mikrob pendegradasi selulosa), 10-4 dan 10-5 (total fungi),
serta 10-5 dan 10-6 (total mikrob). Sebanyak 1 ml dari masing-masing seri
pengenceran yang digunakan tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian
dituangkan media steril sebanyak ± 12 ml. Cawan tersebut digoyang secara
perlahan-lahan agar inokulan dengan media tercampur merata. Bila agar telah
memadat dilakukan inkubasi selama 7 hari dengan meletakkan cawan dalam posisi
terbalik agar uap air tidak menempel pada penutup cawan petri.

Pengamatan populasi mikrob


Pengamatan dilakukan pada periode 3 sampai 7 hari inkubasi tergantung pada
pertumbuhan mikrob yang akan diamati. Pertumbuhan mikrob ditandai dengan
terbentuknya koloni pada media. Azotobacter ditandai dengan koloni bakteri
berwarna bening, sedangkan untuk mikrob pelarut fosfat dan mikrob pendegradasi
selulosa ditandai dengan zona bening yang terbentuk di sekeliling koloni. Berbeda
halnya dengan pertumbuhan fungi yang ditandai dengan terbentuknya koloni hifa.

Perhitungan populasi mikrob


Perhitungan populasi mikrob tanah dihitung dengan metode cawan hitung
yang memiliki satuan SPK (Satuan Pembentuk Koloni)/g. Satuan tersebut diperoleh
dari hasil perkalian faktor pengenceran dengan rata-rata jumlah koloni mikrob per
cawan petri untuk mendapatkan jumlah mikrob total untuk setiap gram contoh tanah
kering mutlak.
Jumlah koloni 𝟏
Total Populasi (SPK/g) = x
BKM tanah 𝒇𝒑
Keterangan:
fp : faktor pengenceran
BKM : Bobot Kering Mutlak Tanah (g)
SPK : Satuan Pembentuk Koloni (SPK/g)
10

Ekstraksi fauna tanah


Contoh tanah dan serasah diekstraksi pada Berlese Funnel Extractor. Contoh
tanah dan serasah ditutupi pada bagian atas dengan kain penutup dan bagian bawah
ditutupi dengan kain kasa berukuran 2 mm, kemudian dimasukkan ke corong
plastik untuk diekstraksi. Sekitar 10 cm dari susunan paralon tersebut terdapat
lampu 60 watt sebagai sumber panas. Prinsip dari alat Berlese Funnel Extractor
adalah saat temperatur dinaikan mulai dari 30oC sampai 60 oC secara bertahap
selama 7 hari hingga contoh tanah mengering. Kemudian Fauna tanah akan
bergerak ke bawah menjauhi panas yang berasal dari lampu dan jatuh ke dalam
wadah koleksi yang berisi Ethylene Glyco atau alkohol 96%, sebagai bahan
pengawet. Fauna tanah tersebut kemudian disimpan dalam microtube 2 ml setelah
dipilah dan diindentifikasi di bawah mikroskop stereo.

Kain penutup

Paralon berisi tanah

Kain kasa 2 mm

Corong plastik

Berisi Ethylene Glycol

Gambar 4 Berlese Funnel Extractor untuk ekstraksi contoh tanah dan serasah

Pemilahan dan identifikasi fauna tanah


Proses pemilahan dilakukan dengan cara menuangkan hasil ektraksi berupa
fauna tanah ke dalam cawan sortir. Penuangan dilakukan secara kuantitatif artinya
seluruh isi dari botol vial dipindahkan tanpa meninggalkan sisa-sisa. Pemindahnya
dengan cara dikocok secara perlahan-lahan agar mengurangi adanya contoh fauna
yang menempel pada dinding botol vial. Alkohol 96% dapat disemprotkan ke dalam
botol vial sambil dituangkan ke cawan agar sisa-sisa fauna yang berada di dinding
tersebut dapat jatuh ke cawan sortir. Terlebih dahulu buat garis-garis dan nomor di
belakang cawan sortir untuk memudahkan dalam pengamatan fauna tanah.
Selanjutnya cawan sortir ditempatkan di atas meja pengamatan mikroskop stereo
untuk diamati. Pemindahan fauna dalam proses pemilahan dan indentifikasi fauna
tanah dilakukan menggunakan kuas dan pinset. Fauna yang telah ditemukan
dideterminasi sampai tingkat ordo berdasarkan Borror et al. (1992).
11

Analisis populasi dan keanekaragaman fauna tanah


Populasi fauna tanah dianalisis berdasarkan Meyer (1996):

IS
I.m-2 =
A

Keterangan:
IS : Rata-rata jumlah individu per sampel
A : Luas penampangan pengambilan contoh tanah cm2 (nilai kemudian
dikonversikan ke m2 )
I : Populasi fauna tanah (individu/m2)

Keanekaragaman fauna tanah ditetapkan berdasarkan Shannon’s Diversity


Index (Ludwig dan Reynolds 1988):

H’ = -∑𝒏𝒊=𝟏 (ni / n). ln (ni / n)

Keterangan:
H’ : Shannon’s Diversity Index
ni : Populasi ordo ke-i
n : total populasi individu

Nilai H’ menurut Magurran (1987), yaitu:


< 1.5 : Keanekaragaman rendah
1.5-3.0 : Keanekaragaman sedang
>3.0 : Keanekaragaman Tinggi
12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi Mikrob Tanah

Hasil penelitian menunjukkan populasi mikrob tanah memiliki nilai berbeda-


beda pada tiap penggunaan lahan (Tabel 1). Menurut Susilawati et al. (2013),
mikrob tanah merupakan salah satu faktor penting dalam ekosistem tanah, karena
mempengaruhi siklus dan ketersediaan unsur hara tanaman serta stabilitas struktur
tanah. Gambar 5 menyajikan populasi mikrob tanah yang didapatkan dari hasil
perhitungan rata-rata. Berdasarkan hasil tersebut populasi mikrob tanah paling
tinggi diperoleh di hutan sekunder meliputi total mikrob, total fungi, Azotobacter,
dan mikrob pelarut fosfat, sedangkan populasi mikrob pendegradasi selulosa
tertinggi terdapat di kebun campuran.
Tingginya populasi mikrob tanah di hutan sekunder diduga karena hutan
sekunder memiliki vegetasi yang berlimpah dan beragam, baik berupa pepohonan
maupun tanaman penutup tanah dalam jumlah yang banyak. Vegetasi yang
heterogen tersebut meningkatkan ketersediaan dan keanekaragaman bahan organik
menjadi tinggi. Menurut Iswandi et al. (1995), populasi mikrob tanah yang tinggi
diduga dari sifat tanahnya yang cocok bagi mikrob untuk berkembang dan aktif.
Salah satu faktor yang harus terpenuhi agar mikrob dapat tumbuh dan berkembang
adalah sumber energi (bahan organik) yang tersedia di lingkungannya. Bahan
organik dapat meningkatkan populasi mikrob pada tanah (Sukaryorini et al. 2016).
Keberadaan mikrob tanah menjadi salah satu indikator penentu kualitas tanah,
semakin tinggi populasi mikrob tanah maka semakin tinggi aktivitas biokimia
dalam tanah (Karlen et al. 2006).

9
8 a a
a
7 a
6 a a a
a b a
Log . SPK/g

b a
5 ab b b
Hutan Sekunder
4
Kebun Teh
3
Kebun Campuran
2
1
0
Total Mikrob Total Fungi Azotobacter Mikrob Pelarut Mikrob
Fosfat Pendegradasi
Mikrob Tanah Selulosa

Gambar 5 Populasi rata-rata mikrob tanah pada beberapa tipe penggunaan lahan
berbeda
13

Tabel 1 Populasi rata-rata mikrob tanah pada hutan sekunder, kebun teh, dan kebun
campuran

Penggunaan Lahan
Hutan Kebun Kebun
Mikrob Tanah
Sekunder Teh Campuran
--------------------- Log . SPK/g --------------------
Total Mikrob 6.81 a 6.32 a 6.70 a
Total Fungi 5.25 a 5.18 a 5.00 a
Azotobacter 5.19 a 4.32 b 5.08 a
Mikrob Pelarut Fosfat 5.27 a 4.52 b 4.98 a
Mikrob Pendegradasi Selulosa 4.52 b 4.58 b 4.85a
Huruf sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% dan
data diubah kedalam bentuk logaritma

Banyaknya ketersediaan bahan organik di hutan sekunder dibuktikan dari


hasil pengukuran ketebalan serasah di lapang, karena serasah sebagai salah satu
input bahan organik. Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa ketebalan
serasah di hutan sekunder memiliki nilai paling tinggi dan berbeda nyata
dibandingkan dengan kebun teh, yaitu sebesar 2.46 cm (Tabel 2). Tingginya
ketebalan serasah di hutan sekunder sesuai dengan hasil kandungan C-organik.
Hasil menunjukkan bahwa pada sampel tanah hutan sekunder memiliki nilai C-
organik tertinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Nilai C-organik tersebut
menunjukkan jumlah bahan organik yang terkandung di dalam atau permukaan
tanah (Hardjowigeno 2007). Berdasarkan hasil penelitian Bria (2019), kandungan
C-organik paling tinggi yang jumlah mencapai 5.44% terdapat di hutan sekunder,
dibandingkan kebun teh dan kebun campuran (Tabel 3).
Berdasarkan kriteria evaluasi sifat kimia tanah menurut Balai Penelitian
Tanah (2009), kadar C-organik di hutan sekunder termasuk ke dalam kategori
sangat tinggi, karena bernilai >5% (Lampiran 3). Tingginya kadar C-organik di
ekosistem tersebut diduga akibat dari ketebalan serasahnya yang tinggi, baik
serasah yang segar atau serasah yang mulai terhumifikasi. Serasah tersebut memicu
ketersediaan bahan organik menjadi berlimpah. Semakin tingginya bahan organik
maka semakin banyak sumber makanan dan energi bagi mikrob, sehingga
mendorong aktivitas mikrob menjadi tinggi dan diikuti dengan peningkatan
populasi mikrob. Menurut Priyadi et al. (2018), aktivitas mikrob tanah berkaitan
dengan jumlah populasinya.

Tabel 2 Nilai ketebalan serasah dan suhu tanah pada tipe penggunaan lahan
berbeda

Penggunaan Lahan Ketebalan Serasah Suhu Tanah


-------(cm)------- ----(⁰C)----
Hutan Sekunder 2.46 a 20 b
Kebun Teh 1.66 b 24 a
Kebun Campuran 2.09 ab 23 a
Huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
14

Tabel 3 Jumlah C-organik, N-total, C/N rasio, dan pH tanah pada tipe penggunaan
lahan berbeda

Penggunaan Lahan C-organik N-Total C/N pH


-------(%)------- -----(%)----- (H2O)
Hutan Sekunder 5.44 0.46 11.82 5.10
Kebun Teh 4.96 0.48 10.33 5.54
Kebun Campuran 5.28 0.47 11.23 5.46
Sumber: Bria (2019)

Populasi Total Mikrob


Berdasarkan hasil pengamatan total mikrob terlihat bahwa populasi bakteri
lebih banyak tumbuh dibandingkan dengan jumlah funginya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Mardigan et al. (2009), bahwa bakteri memiliki tingkat pertumbuhan
yang lebih cepat dibandingkan dengan fungi, karena dipengaruhi oleh kecepatan
dalam tingkat penyerapan nutrisi. Hasil menunjukkan bahwa populasi total mikrob
pada ketiga jenis penggunaan lahan tidak berbeda nyata (Lampiran 1). Populasi
tertingginya terdapat di hutan sekunder yang jumlahnya mencapai 64 x 105 SPK/g.
Tingginya populasi total mikrob tersebut mengindikasikan bahwa sampel tanah dari
hutan sekunder mengandung beragam jenis mikrob dengan jumlah banyak, yang
dapat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Hal ini sesuai dengan hasil populasi
yang diperoleh untuk jenis mikrob lainnya seperti total fungi, Azotobacter, dan
mikrob pelarut fosfat yang populasi tertingginya juga berada di hutan sekunder,
kecuali populasi mikrob pendegradasi selulosa.

10
a
8 a a
Log . SPK/g

6
4
2
0
Hutan Sekunder Kebun Teh Kebun Campuran
Penggunaan Lahan

Gambar 6 Populasi total mikrob pada tipe penggunaan lahan berbeda


Dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa hutan sekunder memiliki populasi
mikrob yang tinggi, tetapi penyebaran populasi mikrobnya terlihat tidak merata
yang ditujukkan dari tingginya standar deviasi. Penyebaran mikrob yang tidak
merata tersebut kemungkinan karena kondisi vegetasinya yang heterogen. Vegetasi
yang heterogen menyumbangkan pasokan serasah yang beragam dan berlimpah.
Serasah merupakan salah satu input bahan organik. Namun distribusi bahan
organiknya diduga tidak merata, mengingat sumber bahan organik pada hutan
sekunder terjadi secara alamiah tanpa adanya kegiatan manusia di dalamnya dalam
mengatur distribusi penambahan bahan organik ke tanah. Oleh karena itu, di hutan
sekunder variabilitas populasi mikrob tanahnya tinggi.
Berbeda halnya pada kebun teh dan kebun campuran merupakan lahan hutan
yang sengaja diubah menjadi lahan untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian
tersebut diduga sebagai faktor penyebab penurunan populasi mikrob tanah, karena
15

adanya aktivitas manusia yang dapat mengganggu habitat dan siklus rantai
makanan bagi organisme tanah. Kegiatan tersebut salah satunya adalah pengelolaan
lahan.
Pengelolaan lahan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan bahan organik
(Widianto 2004). Menurut Hairiah et al. (2004), alih guna lahan juga
mengakibatkan penurunan ketebalan serasah dan jumlah ruang pori makro tanah,
seperti perubahaan dari hutan menjadi lahan pertanian menunjukkan adanya
penurunan kadar C organik tanah. Lahan hutan memiliki kandungan bahan organik
tinggi karena adanya suplai bahan organik yang terus-menerus dari vegetasi hutan
sehingga terjadi penumpukan. Kondisi stabil tersebut memungkinkan dekomposisi
bahan organik berlangsung secara alami, sebaliknya pada lahan pertanian proses
dekomposisi berlangsung dengan cepat karena adanya pengelolaan dari petani
(Monde et. al 2008). Hal ini terbukti dari hasil pengukuran bahwa di lahan
perkebunan khususnya kebun teh memiliki ketebalan serasah yang berbeda nyata
dengan hutan sekunder, diikuti dengan jumlah C-organik lebih rendah. Ketebalan
serasah di kebun campuran lebih tinggi dibandingkan kebun teh, karena diversitas
tanamannya lebih tinggi tetapi tidak berbeda nyata. Diversitas tanaman yang tinggi
tersebut menyumbangkan berbagai jenis serasah, sehingga populasi total mikrob di
kebun campuran lebih tinggi dibandingkan kebun teh akibat ketersediaan sumber
makanan bagi mikrob berlimpah. Menurut Haei et al. (2011) bahwa aktivitas
organisme tanah dipengaruhi oleh sumber energi dan makanan di lingkungannya.

Populasi Total Fungi


Berdasarkan hasil penelitian pada beberapa tipe penggunaan lahan
menunjukkan adanya pertumbuhan fungi yang berasal dari tanah. Hasil populasi
total fungi menunjukkan hasil yang sama dengan total mikrob, bahwa populasi
tertinggi juga terdapat di hutan sekunder mencapai 1.76 x 105 SPK/g. Populasi fungi
pada ketiga penggunaan lahan tersebut terlihat populasinya tidak berbeda nyata
(Lampiran 1). Namun penyebaran populasi fungi berbeda pada tiap penggunaan
lahan yang dilihat dari standar deviasinya. Standar deviasi hutan sekunder paling
tinggi, artinya penyebaran populasi funginya paling tidak merata, walaupun jumlah
populasinya paling tinggi. Banyaknya populasi fungi di hutan sekunder tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor dari kondisi tanahnya.

8 a
a a
Log . SPK/g

6
4
2
0
Hutan Sekunder Kebun Teh Kebun Campuran
Penggunaan Lahan

Gambar 7 Populasi total fungi pada tipe penggunaan lahan berbeda


Menurut Hudi (2017) populasi fungi berada pada kondisi lingkungan yang
memiliki kelembaban yang tinggi, di tempat dengan substrat organik yang banyak,
dan dikondisi asam. Kondisi tersebut sesuai dengan kondisi lingkungan pada hutan
sekunder. Berdasarkan hasil pengukuran bahwa hutan sekunder memiliki suhu
tanah yang paling rendah yaitu sebesar 20⁰C. Suhu yang rendah tersebut diduga
16

menciptakan iklmi mikrob bagi pertumbuhan fungi. Hutan sekunder juga


mempunyai ketebalan serasah paling tinggi yang diikuti kadar C-organik sangat
tinggi, artinya mengandung substrat organik yang banyak. Selain itu, derajat
kemasaman tanah (pH) yang dimiliki hutan sekunder juga paling masam
dibandingkan penggunaan lahan lainnya yaitu 5.10. Tanah yang memiliki
kandungan bahan organik yang tinggi, kelembaban tanah yang tinggi dan pH tanah
masam diduga dapat mendukung pertumbuhan fungi lebih cepat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan menurut Tarr (1972) bahwa fungi pada umumnya memiliki
kemampuan bertahan hidup pada kondisi pH tanah berkisar 3-9.

Populasi Azotobacter
Hasil penelitian menunjukkan adanya pertumbuhan Azotobacter pada tiap
penggunaan lahan. Populasi Azotobacter paling tinggi juga ditemukan di hutan
sekunder mencapai 1.55 x 105 SPK/g, sedangkan populasi Azotobacter di hutan
sekunder dan kebun campuran tidak berbeda nyata. Hal ini diduga faktor
lingkungan seperti kandungan C-organik di hutan sekunder jumlah tidak jauh
berbeda dengan kebun campuran. Terbukti dari nilai ketebalan serasah di kebun
campuran tidak berbeda nyata dengan di hutan sekunder (Tabel 2). Dilihat dari
vegetasi yang ditemukan di kebun campuran juga ada yang berada di hutan
sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan bahan organik di hutan sekunder
tidak berbeda signifikan dengan kebun campuran.
Variabilitas populasi Azotobacter paling tinggi di temukan hutan sekunder,
dilihat dari standar deviasinya yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
persebaran populasi Azotobacter di hutan sekunder paling tidak merata. Umumnya
pertumbuhan optimum Azotobacter berada pada tanah yang memiliki pH netral
yang berkisar 7 - 7.5 (Agisti et al. 2014). Namun, pH tanah pada sampel penelitian
ini memiliki nilai berkisar 5.10 - 5.54 yang tergolong masam (Lampiran 3), tetapi
masih menunjukkan adanya pertumbuhan Azotobacter. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Ambarsari et al. (2016), bahwa pertumbuhan Azotobacter dapat tetap
berlangsung pada pH tanah 4.8 - 8.5.
8
a a
Log . SPK/g

6 b
4
2
0
Hutan Sekunder Kebun Teh Kebun Campuran
Penggunaan Lahan

Gambar 8 Populasi Azotobacter pada tipe penggunaan lahan berbeda


Kemasaman tanah memengaruhi aktivitas Azotobacter. Azotobacter akan
aktif aktivitasnya pada tanah dengan pH masam hingga netral (Rodrigues et al.
2018; Susanti 2015). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian bahwa populasi
Azotobacter di hutan sekunder cenderung tinggi (Gambar 8), karena pH tanah yang
masam mendukung dalam suplai nutrisi berupa transport asam-asam amino bagi
penambatan N2 oleh Azotobacter.
Banyaknya populasi Azotobacter juga diduga akibat banyaknya sumber
bahan organik yang berasal dari beragamnya vegetasi di hutan sekunder. Semakin
banyak bahan organik maka kebutuhan energi yang dibutuhkan Azotobacter untuk
17

menambat N2 juga semakin terpenuhi. Perbedaan eksudat akar juga menjadi


penyebab populasi bakteri penambat N, karena lingkungan perakaran menyediakan
senyawa karbon (C) yang berguna untuk kehidupan bakteri penambat N. Menurut
Bais et al. (2006) perbedaan eksudat akar akan menyebabkan sumber energi yang
dimanfaatkan bakteri penambat N juga berbeda, sehingga mempengaruhi aktivitas
dan populasinya.
Mikrob Pelarut Fosfat
Mikrob pelarut fosfat merupakan mikrob tanah yang mempunyai kemampuan
melepas fosfor dari ikatan Fe, Al, Ca, dan Mg, sehingga P yang tidak tersedia
menjadi tersedia (Rao 1994). Berdasarkan hasil populasi mikrob pelarut fosfat
menunjukkan adanya pertumbuhan yang berbeda-beda. Sama halnya dengan
populasi Azotobacter untuk populasi mikrob pelarut fosfat tertinggi juga terdapat di
hutan sekunder. Populasi mikrob pelarut fosfat di hutan sekunder berbeda nyata
dengan kebun teh. Hal ini diduga dari kandungan bahan organik yang tinggi, dilihat
dari nilai C-organik pada hutan sekunder.
8
a a
Log . SPK/g

6 b
4
2
0
Hutan Sekunder Kebun Teh Kebun Campuran
Penggunaan Lahan

Gambar 9 Populasi mikrob pelarut fosfat pada tipe penggunaan lahan berbeda

Jumlah populasi mikrob pelarut fosfat yang beragam dan fluktuatif diduga
dari pengaruh faktor lingkungannya. Menurut Widawati dan Suliasih (2005)
penyebab komposisi populasi dan aktivitas mikrob pelarut fosfat akan
beranekaragam karena adanya perbedaan sifat fisika-kimia tanah, iklim, dan
vegetasi yang berbeda.
Mikrob Pendegradasi Selulosa
Keberadaan mikrob pendegradasi selulosa pada suatu lahan sangat penting,
karena berkaitan dengan degradasi selulosa yang banyak terkandung pada bahan
organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi tertinggi untuk mikrob
pendegradasi selulosa yang ditemukan berbeda dengan hasil populasi jenis mikrob
tanah lainnya. Populasi tertinggi untuk mikrob pendegradasi selulosa ditemukan di
lahan perkebunan, jika dilihat di kebun teh dan kebun campuran populasinya
berbeda nyata. Kebun campuran memiliki populasi mikrob pendegradasi selulosa
tertinggi.
5
a
5
Log . SPK/g

b
5 b
5
4
4
Hutan Sekunder Kebun Teh Kebun Campuran
Penggunaan Lahan

Gambar 10 Populasi mikrob pendegradasi selulosa pada tipe penggunaan lahan


berbeda
18

Tingginya populasi mikrob pendegradasi selulosa di kebun campuran, diduga


akibat kondisi lahannya yang mengandung kotoran hewan yang berasal dari
penggunaan pupuk kandang. Menurut Lamid et al. (2011), bahwa populasi mikrob
pendegradasi selulosa banyak terdapat pada kotoran rumen. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Prihantoro et al. (2012), bahwa kotoran hewan rumen (sapi dan kerbau)
mengandung banyak selulosa. Banyaknya selulosa tersebut memicu terjadinya
peningkatan aktivitas hidrolisis selulosa oleh mikrob pendegradasi selulosa.
Menurut Jastrow et al. (2007), kualitas dan ketersediaan substrat mempengaruhi
aktivitas mikrob pendegradasi selulosa. Faktor yang menyebabkan laju degradasi
bahan organik oleh mikrob pendegradasi selulosa dalam tanah dipengaruhi oleh
kualitas substrat, sifat kimia substrat, kondisi lingkungan dan aktivitas mikrob
selulolitik (Xu dan Hirata 2005). Populasi mikrob tersebut juga dipengaruhi oleh
kondisi tanah (Soares 2012). Mikrob pendegradasi selulosa dapat ditemukan pada
tanah, pupuk, dan jaringan tumbuhan yang sudah membusuk (Ramadhani 2014).
Gambar 10 membuktikan bahwa populasi mikrob pendegradasi selulosa lebih
tinggi di kebun campuran dan berbeda nyata dengan hutan sekunder. Hal ini
menunjukkan dengan adanya penambahan pupuk kandang yang berasal dari
kotoran hewan dapat meningkatkan pertumbuhan mikrob pendegradasi selulosa.

Populasi dan Keanekaragaman Fauna Tanah

Populasi Fauna Tanah


Fauna tanah yang ditemukan dari ekstraksi menggunakan alat Berlese Funnel
Extractor menujukkan populasi dan keanekaragaman fauna tanah yang bervariasi
pada setiap penggunaan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga
jenis penggunaan lahan didapatkan sebanyak 22 ordo yang termasuk dalam 7 kelas
fauna tanah yang berbeda. Populasi fauna tanah di hutan sekunder tidak berbeda
nyata dengan kebun campuran (Tabel 4). Gambar fauna tanah yang ditemukan
terdapat pada Lampiran 2. Hasil yang beragam tersebut kemungkinan dipengaruhi
oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap ketersediaan
sumber makanan dan energi bagi fauna tanah. Faktor tersebut berupa vegetasi
(biotik), iklim (curah hujan, suhu, kelembaban) dan tanah (suhu, kelembaban, unsur
hara, pH) (Hakim et al. 1986; Suhardjono 2002).
Hasil penelitian menujukkan rata-rata populasi fauna tanah paling banyak
ditemukan pada hutan sekunder dengan nilai mencapai 3 436 individu/m2 dari 21
ordo yang berbeda (Tabel 4). Populasi tersebut didominasi oleh ordo Collembola,
Hymenoptera, dan Acari masing-masing mencapai 45.29%, 26.31%, dan 16.07%
dari seluruh total individu/m2 pada ekosistem hutan sekunder. Hasil tersebut
dipengaruhi oleh keberadaan fauna tanah yang sangat bergantung pada ketersediaan
sumber makanan dan energi di lingkungannya, seperti bahan organik dan biomassa
yang ada di tanah (Arief 2001).
Menurut hasil pengukuran karakteristik sifat kimia tanah terbukti, bahwa
hutan sekunder memiliki kandungan C-organik paling tinggi dibandingkan
penggunaan lahan lainnya (Bria 2019). Kandungan C-organik tersebut
menunjukkan banyaknya bahan organik yang terkandung di tanah, baik berupa
bahan yang sudah terhumifikasi maupun bahan organik yang masih segar. Serasah
merupakan salah satu input bahan organik, sehingga tingginya ketebalan serasah
19

yang diukur pada hutan sekunder, menjadi penyebab nilai C-organik di hutan
sekunder tinggi.

Tabel 4 Populasi rata-rata individu fauna tanah di hutan sekunder, kebun teh, dan
kebun campuran

Hutan Sekunder Kebun Teh Kebun Campuran


Taksa
------------------------- Individu/m2 ----------------------
Arachnida
Acari 552 480 384
Aranae 17 127 38
Pseuodoscorpionida 4 0 4
Opillionida 2 2 0
Chilopoda
Chilopoda 68 40 34
Diplopoda
Diplopoda 11 8 0
Hexapoda (Insecta)
Blattodea 0 8 2
Coleoptera 74 96 85
Coleoptera larvae 38 13 11
Collembola 1 556 879 1 796
Dermaptera 32 19 32
Diptera 2 2 34
Diplura 23 30 17
Hemiptera 8 55 85
Hymenoptera 904 501 673
Isoptera 2 0 23
Lepidoptera 14 2 11
Psocoptera 25 2 2
Tysanoptera 34 11 4
Malacostraca
Isopoda 11 505 110
Pauropoda
Pauropoda 2 23 0
Symphyla
Symphyla 57 55 64
Jumlah 3 436 a 2 858 b 3 409 a
Jumlah Taksa 21 20 19
* Huruf sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Adanya perbedaan pengunaan lahan menunjukkan adanya perbedaan tutupan


vegetasi pada masing-masing area. Vegetasi merupakan salah satu sumber bahan
organik yang dibutuhkan oleh fauna tanah. Bahan organik tersebut salah satunya
berasal dari bagian vegetasi yang jatuh ke tanah disebut sebagai serasah. Semakin
sedikit dan homogennya vegetasi yang menutupi tanah, maka semakin sedikit
sumbangan serasah, akibatnya ketersediaan bahan organik tanah juga menjadi
20

sedikit. Sebaliknya semakin banyak dan heterogennya vegetasi penutup tanah,


maka pasokan bahan organik semakin banyak. (Arsyad 2000; Handayanto dan
Hairiah 2007). Perbedaan pola tanam juga dapat mempengaruhi keadaan bahan
organik tanah (Susilawati 2013).
Hutan sekunder memiliki vegetasi yang beragam, seperti pohon silver oak
(Grevillea robusta), rumput gajah (Paitan), tumbuhan paku-pakuan, harendong
bulu (Clidemia hirta), rumput tapak burung (Murdannia nudiflora), tanaman obat-
obatan dan pepohonan yang lain. Beragamnya vegetasi tersebut menyumbangkan
jenis dan jumlah serasah yang banyak. Hal ini dibuktikan dari hasil pengukuran
ketebalan serasah bahwa hutan sekunder memiliki ketebalan serasah tertinggi dan
berbeda nyata dengan kebun teh, karena vegetasi yang ditemukan di kebun teh tidak
beragam dibandingkan dengan hutan sekunder.
Tingginya ketebalan serasah di hutan sekunder menggambarkan bahwa laju
pelapukan serasah lebih rendah dibandingkan dengan laju penumpukannya. Laju
penumpukan serasah yang tinggi menyebabkan sumber bahan organik di lapisan
serasah menjadi banyak. Sehingga populasi fauna tanah paling banyak ditemukan
pada lapisan serasah dibandingkan di lapisan tanah (Tabel 5). Banyaknya bahan
organik mengindikasikan bahwa semakin banyaknya makanan utama untuk
dekomposer fauna tanah, terutama Acari dan Collembola. Aktivitas fauna tanah
akan meningkat seiring bertambahnya serasah yang dihasilkan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Koboulewsky (2015), bahwa fauna tanah pada daerah tropis
sangat sensitif terhadap jumlah serasah dan perubahan kondisi habitat, karena kedua
hal tersebut memiliki peran penting dalam siklus rantai makanan di dalam tanah.
Vegetasi secara tidak langsung dapat menjaga kestabilan suhu tanah.
Penyebabnya adalah tajuk vegetasi dapat menghalangi sinar matahari, sebagai
sumber panas untuk tidak langsung mengenai permukaan tanah. Fluktuasi suhu juga
dipengeruhi oleh keadaan cuaca, topografi daerah, dan keadaan tanah (Suin 2012).
Fauna tanah sebagian besar temasuk golongan fauna mesofil yaitu organisme yang
dapat hidup pada suhu 10⁰C sampai 40⁰C (Yulianto 2019). Untuk suhu tanah
dilokasi penelitian berkisar 20⁰C - 24⁰C. Kondisi suhu tersebut menjadi pengaruh
keberadaan fauna tanah banyak ditemukan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa
suhu di hutan sekunder berbeda nyata dengan di lahan perkebunan, sedangkan di
kebun teh dan kebun campuran suhu tanahnya tidak berbeda nyata. Secara
keseluruhan beberapa fauna tanah lebih nyaman hidup di hutan, sebab hutan dapat
menjaga fluktuasi suhu dan kelembaban yang ekstrim akibat keberadaan
vegetasinya yang beragam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibowo dan
Wulandari (2014) bahwa tajuk yang rapat mampu menciptakan kondisi iklim mikro
yang sesuai untuk kehidupan organisme tanah.
Derajat kemasaman (pH) menjadi salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kehidupan fauna tanah. Sebagian besar fauna tanah lebih menyukai hidup
pada tanah kondisi pH netral atau setidaknya mendekati netral. Menurut Coyne dan
Thompson (2006), pada kondisi tanah pH netral memungkinkan mudahnya
mendapatkan sumber makanan dalam kondisi tersebut. Respon setiap fauna tanah
terhadap kemasaman tanah berbeda-beda, seperti beberapa pada jenis Collembola.
Ada Collembola yang mampu hidup pada tanah basa disebut sebagai karsinofil.
Ada juga sebagian Collembola yang dapat hidup pada tanah masam disebut sebagai
asidofil. Sebagian jenis Collembola lainnya ada yang dapat hidup pada kondisi
keduanya disebut golongan indifferen (Suin 2012). Menurut BPT (2009) nilai pH
21

tanah pada ketiga jenis penggunaan lahan yang diamati termasuk ke dalam kategori
tanah masam, yaitu pH bekisar antara 5.10 – 5.54. Hal ini dapat menjadi penyebab
nilai populasi fauna tanah menjadi berkurang, karena tidak semua jenis fauna tanah
dapat hidup dalam kondisi asam.

Tabel 5 Populasi rata-rata individu fauna tanah di lapisan serasah dan tanah pada
setiap penggunaan lahan

Hutan Sekunder Kebun Teh Kebun Campuran


Taksa Serasah Tanah Serasah Tanah Serasah Tanah
Individu/m2
Arachnida
Acari 374 178 310 170 280 104
Aranae 6 11 82 45 23 15
Pseuodoscorpionida 2 2 0 0 4 0
Opillionida 0 2 2 0 0 0
Chilopoda
Chilopoda 13 55 12 28 15 19
Diplopoda
Diplopoda 7 4 2 6 0 0
Hexapoda (Insecta)
Blattodea 0 0 2 6 0 2
Coleoptera 50 24 68 28 40 45
Coleoptera larvae 36 2 11 2 7 4
Collembola 1 191 365 554 325 1 531 265
Dermaptera 25 7 17 2 19 13
Diptera 2 0 2 0 26 8
Diplura 4 19 9 21 6 11
Hemiptera 6 2 42 13 25 60
Hymenoptera 240 664 216 285 291 382
Isoptera 2 0 0 0 23 0
Lepidoptera 12 2 2 0 11 0
Psocoptera 25 0 2 0 2 0
Tysanoptera 17 17 7 4 4 0
Malacostraca
Isopoda 7 4 418 87 61 49
Pauropoda
Pauropoda 0 2 23 0 0 0
Symphyla
Symphyla 4 53 17 38 19 45
Jumlah 2 023 1 413 1 798 1 060 2 387 1 022
Jumlah Taksa 19 18 20 15 18 14

Terdapat perbedaan jumlah individu pada setiap habitat walaupun dalam


berada di ekosistem yang sama, seperti di permukaan dan dalam tanah (Fatimah et
al. 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa fauna tanah memiliki penyebaran yang
22

berbeda-beda antara lapisan serasah dan tanah. Hasil menunjukkan bahwa populasi
fauna tanah paling banyak ditemukan pada lapisan serasah dibandingkan di lapisan
tanah, karena sumber makanannya lebih banyak tersedia di lapisan serasah. Pada
lapisan tanah semakin ke dalam maka semakin sedikit ditemukan fauna tanah,
karena ketersedian makanan dan oksigen semakin berkurang (Erniawati 2008).
Untuk populasi fauna tanah di lapisan serasah paling banyak ditemukan di kebun
campuran yang jumlahnya mencapai 2 387 individu/m2, sedangkan populasi di
lapisan tanah terbanyak ditemukan di hutan sekunder yaitu 1 413 individu/m2.
Jenis fauna tanah yang mendominasi antara lapisan serasah dan tanah
berbeda-beda. Penyebabnya adalah setiap jenis fauna tanah umumnya memiliki
aktivitas dan siklus menetap yang berbeda pada setiap fase hidupnya, untuk mencari
sumber makanan. Berdasarkan hasil penelitian dari setiap ekosistem di lapisan
tanah populasi fauna tanah yang paling banyak ditemukan adalah Hymenoptera,
Diplura, Chilopoda, dan Symphyla. Menurut Suheriyanto (2012), beberapa
serangga memiliki siklus menetap yang berbeda pada setiap fase, seperti pada fase
pupa hidup berada di dalam tanah dan ketika dalam fase larva aktif hidup di
permukaan tanah untuk mencari tumbuhan.
Berdasarkan hasil penelitian fauna tanah yang paling mendominasi di lapisan
serasah untuk tiga jenis penggunaan lahan adalah Collembola, diikuti Acari dan
Hymenoptera. Ketiga jenis fauna tanah ini juga banyak ditemukan di lapisan tanah.
Acari dan Collembola mempunyai tingkat populasi yang tinggi dan daerah
persebaran yang luas (Russel 1978), sedangkan Hymenoptera paling banyak
ditemukan di ekosistem terestrial (Fittkau dan Klinge 1973).

A A A
A 1 mm B 1.7 mm C 0.4 mm

Gambar 11 Fauna tanah dominan pada setiap penggunaan lahan yang diteliti:
(A) Collembola, (B) Hymenoptera, dan (C) Acari

Collembola berperan sebagai dekomposer bahan organik dan sering


digunakan sebagai pemantau (indikator) adanya perubahan keadaan tanah (Warino
et al. 2017). Collembola lebih menyukai bahan organik yang telah membusuk
dibandingkan bahan organik yang mentah, dikarenakan tekstur bahan organik yang
kasar menyulitkan untuk dikonsumsi. Menurut Suharjono et al. (2012) bahwa
Collembola tidak tahan terhadap kekeringan, baik di permukaan atau dalam tanah.
Hal ini terbukti dari hasil penelitian bahwa populasi Collembola juga banyak di
temukan pada hutan sekunder, dengan kondisi suhu tanah paling rendah dan kadar
air tanahnya paling tinggi, yang berarti kelembaban tanahnya tinggi. Kandungan air
tanah mengindikasikan kelembaban tanah. Kelembaban tanah memainkan peran
utama dalam menentukan distribusi Collembola.
Dilihat dari populasi Collembola tertinggi berada di kebun campuran. Hal ini
diduga karena populasi predator di kebun campuran lebih rendah dibandingkan
hutan sekunder. Menurut Manalu (2018), fauna tanah yang bersifat predator seperti
Aranae, Coleoptera, Dermaptera, Diptera, dan Pseudoscorpionidae memangsa
23

Acari, Collembola, dan Isopoda. Rendahnya beberapa populasi predator tersebut


menjadi penyebab populasi Collembola meningkat. Dilihat dari populasi
Coleoptera dan Dermaptera pada lapisan serasah kebun campuran memiliki
populasi lebih rendah dibandingkan pada hutan sekunder (Tabel 5).
Populasi Hymenoptera diperkirakan meningkat seiring bertambahnya bahan
organik pada suatu lahan, mengingat perannya sebagai ecosystem engineer. Semut
juga dapat berperan sebagai predator fauna tanah seperti rayap (ordo Isoptera) dan
Collembola. Tingginya populasi semut juga akan mempengaruhi populasi predator
fauna tanah lainnya seperti Aranae, Coleoptera, Pseudoscorpionidae, dan
Lithiobiomorpha (Coleman et al. 2004). Terbukti dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa populasi dari Araneae, Coleoptera, Pseudoscorpionidae memiliki jumlah
yang sedikit, karena sebagai pesaing predator bagi semut. Menurunnya populasi
semut secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi populasi fauna tanah
lainnya. Hal ini disebabkan aktivitas semut yang kompleks dan peranannya yang
banyak terjadi di dalam maupun di permukaan tanah.
Acari merupakan salah satu jenis mesofauna yang sensitif terhadap perubahan
lingkungan pada habitatnya, sehingga juga digunakan sebagai indikator kesuburan
tanah. Acari dari golongan Mesostigmata utamanya berperan sebagai predator
Nematoda, Collembola, dan larva serangga, sedangkan Acari dari golongan
Oribatida berperan sebagai dekomposer bahan organik (Koehler 1999). Hasil
penelitian menunjukkan kelimpahan Acari tertinggi berada di hutan sekunder
dibandingkan lahan perkebunan. Hal ini diduga akibat ketersediaan bahan organik.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Suharjono (2002), bahwa tingginya kelimpahan
Acari dapat dipengaruhi oleh banyaknya serasah, kemasaman tanah, dan curah
hujan.

Keanekaragaman Fauna Tanah


Keanekaragaman fauna tanah pada hutan sekunder, kebun teh, dan kebun
campuran masing-masing berjumlah 21 ordo, 20 ordo, dan 19 ordo. Adanya
penurunan jumlah ordo menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari perubahan
penggunaan lahan, dari hutan menjadi lahan perkebunan. Perubahan lahan tersebut
berdampak pada biodiversitas fauna tanah.
Hasil analisis dengan Shannon’s diversity index ditunjukkan pada Tabel 6.
Nilai indeks keanekaragaman dari ketiga penggunaan lahan tersebut memperoleh
nilai yang berbeda-beda. Nilai indeks tertinggi terdapat di kebun teh, baik di lapisan
serasah dan tanah, yang masuk dalam kategori keanekaragaman sedang (Magurran
1987). Sementara itu, indeks keanekaragaman fauna tanah paling rendah berada
pada lapisan serasah di kebun campuran dan hutan sekunder. Rendahnya nilai
indeks keanekaragaman fauna tersebut disebabkan karena mendominasinya
populasi dari satu jenis fauna tanah. Nilai indeks keanekaragaman di kebun teh
yang masuk dalam kategori keanekaragaman sedang menunjukkan jumlah populasi
antar jenis fauna tanahnya cukup merata, tidak terjadi dominasi populasi yang
signifikan dari satu jenis fauna tanah saja dan ditemukan jenis ordo fauna tanah
yang cukup beragam.
24

Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman di hutan sekunder, kebun teh, dan kebun
campuran

Indeks Keragaman (H')


Penggunaan Lahan
Serasah Tanah
Hutan Sekunder 1.40 1.56
Kebun Teh 1.92 1.90
Kebun Campuran 1.36 1.82
Keterangan: berdasarkan rumus Shannon’s Diversity Index

Keanekaragaman di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya


individu dari satu jenis spesies (Soerjanegara 1996), tetapi dianalisis berdasarkan
faktor-faktor persebaran jumlah individu dan populasi antar beberapa spesies pada
suatu komunitas tertentu. Jika suatu daerah hanya didominasi oleh satu jenis fauna
dengan jumlah yang banyak, maka daerah tersebut memiliki kategori
keanekaragaman yang rendah seperti pada lapisan serasah di hutan sekunder dan
kebun campuran. Hal tersebut disebabkan oleh mendominasinya populasi
Collembola dalam jumlah yang paling tinggi dibandingkan populasi antar jenis
fauna tanah lainnya.
Populasi fauna tanah dan jumlah ordo yang tinggi belum tentu menunjukkan
nilai keanekaragaman yang tinggi. Jika keanekaragaman rendah tetapi populasi
sangat tinggi, dapat diartikan penyebaran fauna tanah di ekosistem tertentu tidak
menyebar secara merata. Suatu komunitas dapat dikatakan mempunyai
keanekaragaman hayati yang tinggi, jika adanya kepadatan populasi yang
mendekati sama antara jenis yang ditemukan dan jumlah spesies yang semakin
beragam (Suheriyanto 2012). Sesuai dengan pernyataan Sugiarto (2000),
keragaman yang tinggi jika komunitas disusun oleh banyaknya jenis dengan
populasi yang sama atau mendekati sama. Tingginya nilai keanekaragaman
menunjukkan kemampuan fauna tanah yang tinggi dalam menghadapi gangguan
terhadap perubahan lingkungan dan aktivitas organisme tanah lainnya (Haneda et
al. 2012).

Hubungan Mikrob dan Fauna Tanah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah populasi organisme tanah yang


cukup merata dan mendominasi pada setiap penggunaan lahan adalah populasi
fungi (kelompok mikrob tanah) dan Collembola (kelompok fauna tanah). Namun,
hasil yang diperoleh dari populasi kedua organisme tanah tersebut memiliki nilai
yang berbeda-beda, hanya saja perbedaan nilai tersebut tidak signifikan pada ketiga
jenis penggunaan lahan. Kedua organisme tanah tersebut memiliki hubungan yang
saling terikat.
Collembola sebagai agen utama pembebasan hara yang diimmobilisasi oleh
mikroflora tanah, terlibat dalam proses dekomposisi bahan organik, dan pengaturan
kerapatan populasi mikroflora (Gupta dan Yeates 1997). Hal tersebut menunjukkan
bahwa keberadaan fungi dan Collembola memiliki hubungan yang saling terikat
untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Jika populasi fungi di dalam tanah
menurun, maka akan menekan kelangsungan hidup Collembola dan begitu
sebaliknya. Menurut Widyati (2013), Collembola termasuk ke dalam kelompok
25

fauna pengendali kehidupan yang menentukan populasi bakteri dan fungi, sebab
Collembola memangsa bakteri dan fungi untuk mengendalikan dan menekan
populasi patogen. Sesuai pada kondisi hutan sekunder yang secara rata-rata
memiliki populasi mikrob tanah tertinggi termasuk fungi dan jumlah
Collembolanya terbanyak setelah kebun campuran. Hal ini mengartikan bahwa
semakin banyak populasi mikroflora tanah maka menyebabkan keberadaan
Collembola juga ikut meningkat, sebab keduanya masuk ke dalam jaringan rantai
dan agen penyeimbang ekosistem. Apabila salah satu terjadi pelonjakan populasi
maka akan merusak keseimbangan ekosistem.
Hutan sekunder dan kebun campuran memiliki diversitas vegetasi, sedangkan
kebun teh hanya ada satu jenis tanaman saja. Hal ini dapat memengaruhi populasi
organisme tanah. Menurut Susilawati (2013), perbedaan pola tanam dapat
mempengaruhi populasi organisme tanah, karena pola tanam kaitannya dengan
keadaan bahan organik tanah. Keragaman vegetasi menyumbangkan beragam jenis
serasah dalam jumlah banyak, sehingga ketersediaan makanan untuk organisme
tanah juga meningkat. Keragaman vegetasi juga membuat suhu dan kelembaban
tanah ikut terjaga, karena radiasi sinar matahari tidak langsung mengenai
permukaan tanah tetapi terhalang oleh tajuk vegetasi. Hal ini menyebabkan
aktivitas organisme tanah tidak terhambat. Intensitas cahaya matahari yang tinggi
dapat mempengaruhi penurunan populasi organisme tanah, terutama fauna tanah
(Sugiyarto et al. 2007).
Berlimpahnya populasi fungi dan Collembola pada hutan sekunder diduga
karena faktor tanahnya, selain dari bahan organik. Kondisi hutan sekunder yang
memiliki suhu tanah paling rendah dan kadar air tanah paling tinggi, yang
mengindikasikan kelembaban tanahnya tinggi. Kondisi tersebut mendorong
aktivitas fungi dan Collembola. Kelembaban tanah mempunyai peran utama dalam
pola persebaran Collembola dan Fungi, sebab fungi cepat tumbuh di kondisi yang
lembab.
26

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tutupan lahan berupa hutan sekunder memiliki populasi mikrob tanah (total
mikrob, total fungi, Azotobacter, dan mikrob pelarut fosfat) tertinggi dibandingkan
kebun teh dan kebun campuran. Populasi tertinggi untuk fauna tanah juga
ditemukan di hutan sekunder, jumlahnya mencapai 3 436 individu/m2. Namun,
ekosistem kebun teh yang memiliki nilai indeks keanekaragaman terbesar yaitu
1.92, yang masuk dalam kategori keanekaragaman sedang. Secara keseluruhan
jumlah populasi organisme tanah yang cukup merata dan mendominasi dari ketiga
jenis penggunaan lahan adalah populasi fungi (kelompok mikrob tanah) dan
Collembola (kelompok fauna tanah).

Saran

Data penelitian ini dapat dijadikan sebagai data base untuk referensi
penelitian selanjutnya atau sebagai bahan pertimbangan dalam penerapan praktek
pengelolaan lahan khsususnya dalam ranah pertanian, mengingat masih kurangnya
informasi mengenai potensi organisme tanah di lahan-lahan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi FN, Bambang S, Yulia N. 2015. Pengaruh pemberian berbagai jenis


bahan organik terhadap sifat kimia tanah pada pertumbuhan dan
produksi tanaman ubi jalar di Entisol Ngrangkah Pawon Kediri. Jurnal
Tanah dan Sumberdaya Lahan 2 (2): 237-244.
Agisti A, Alami NH, Hidayati TN. 2014. Isolasi dan identifiasi bakteri penambat
nitrogen non simbiotik pada lahan restorasi dengan menggunakan metode
Legum Cover Crop di daerah Pasirian Lumajang Jawa Timur. Jurnal Sains
dan Seni Pomits 3(2): 2337-3539.
Ambarsari H, Udayani JE, Mulyuno, Akhadi DH. 2016. Pengaruh penambahan
inokulum Azotobacter sp. terhadap pertumbuhan tanaman Sorghum bicolor
untuk aplikasi fitoremediasi. Jurnal Teknologi Lingkungan 17(1): 1-6.
Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Jakarta (ID): Kanisius.
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.
Bais HP, Weir TL, Perry LG, Gilroy S, Vivanco JM. 2006. The role of root exudates
in rhizosphere interaction with plants and other organisms. Journal of Plant
Biology 57(2): 33-66.
[BPT] Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan
Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah.
Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
27

Bria D. 2019. Studi populasi Oribatida pada tiga ekosistem berbeda di PTPN VIII
Cisarua Bogor Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Buckman MH, Brady. 1982. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Bharata Karya.
Coleman DC, Cossley JDA, Hendrix PF. 2004. Fundamental of soil ecology 2nd
edition. London (GB): Elsevier Academic Press.
Coyne MS, Thompson JA. 2006. Fundamental Soil Science. Australia (AU):
Thomson Delmar Learning.
Ed-har AA, Widyastuti R, Djajakirana G. 2017. Isolasi dan identifikasi mikrob
tanah pendegradasi selulosa dan pektin dari Rhizosfer Aquilaria malaccensis.
Jurnal Bulletin Tanah dan Lingkungan 1(1): 58-64.
Erniawati. 2008. Fauna tanah pada stratifikasi lapisan tanah bekas penambangan
emas di Jampang Sukabumi Selatan. ZOO Indonesia Jurnal Fauna
Tropika 2 (17): 83-91.
Fatimah, Endang C, Suhardjono YR. 2012. Collembola permukaan tanah kebun
karet, Lampung. Zoo Indonesia 21: 17-22.
Fittkau EJ, Klinge H. 1973. On biomass and trophic structure of the Central
Amazonian Rain Forest Ecosystem. Biotropica 5: 2 – 14.
Flatian AN, Anas I, Sutandi A, Ishak. 2016. Kontribusi P berasal dari aktivitas
mikrob pelarut Fosfat Alam dan SP-36 yang ditemukan menggunakan teknik
Isotop 32P. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi 12(1): 57-68.
Gandjar I, Samson RA, Tweel-Vermeulen KVD, Oetari A, Santoso I. 2000.
Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Glick BR. 1995. The enhancement of plant growth by free-living
bacteria. Journal of Microbiology 41: 109-117.
Gupta VVSR, Yeates GW. 1997. Soil microfauna as bioindicators of soil
health. In C. Pankhurst, B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta (eds). London
(GB): Biological Indicators of Soil Health, CAB International.
Haei M, Rousk J, Ulrik I, Oquist M, Baat E, Laudon H. 2011. Effects of soil frost
on growth, composition and respiration of the soil microbial decomposer
community. Soil Biology & Biochemistry 43 : 2069-2077.
Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Dika MA, Hong GB, Bailley HH.
1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi
lahan agroforestri berbasis kopi: ketebalan seresah, populasi cacing tanah dan
makroporositas tanah. AGRIVITA 26 (1): 68-80.
Handayanto E, Hairiah K. 2007. Biologi Tanah : Landasan Pengelolaan Tanah
Sehat. Malang (ID): Pustaka Adipura.
Haneda NF, Sirait BA. 2012. Keanekaragaman fauna tanah dan peranannya
terhadap laju dekomposisi serasah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq).
Jurnal Silvikultur Tropika 3(3). 161 – 167.
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.
Hudi FA. 2017. Populasi bakteri dan fungi pada lahan reklamasi tambang PT. Bukit
Asam, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Husna SA, Hadi M, Rahardian R. 2016. Struktur komunitas mikroartropoda tanah di
lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Batur Kecamatan Getasan
Salatiga. Jurnal Bioma 18(2): 157-166.
28

Iswandi A, Santosa DA, Widyastuti R. 1995. Penggunaan Ciri Mikroorganisme dalam


Mengevaluasi Degradasi Tanah. Kongres Nasional VI HITI. 12-15 Desember
1995. Serpong, Indonesia.
Jastrow JD, Amonette JE, Bailey VL. 2007. Mechanisms controling soil carbon
turnover and their potential application for enhancing carbon sequestration.
Journal of Climate Change 80:5-23.
Karlen DL, Hurley EG, Andrews SS, Cambardella CA, Mee DW, Duffy DM,
Mallarino AP. 2006. Crop rotation effects on soil quality at three northern
corn/soybean belt locations. Agronomy Journal 98: 484–495.
Kloepper JW. 1983. Effect of seed piece inoculation with plant growth promoting
Rhizobacteria on populations of Erwinia carotovara on potato roots and
daughter. Phytapathology 73: 217-219.
Koehler H. 1999. Predatory mites (Gamasina, Mesostigmata). Agriculture,
Ecosistem & Environment Journal 74 : 395-396.
Korboulewsky N, Perez G, Chauvat M. 2015. How tree diversity affect soil fauna
diversity : A Review. Soil Biology & Biochemistry 94: 94 – 106.
Krisnanto A. 2012. Populasi mikrob tanah latosol Dramaga yang diinkubasi Soil
Conditioner berbahan kompos jerami padi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kucey RMN. 1987. Increased phosphorus uptake by wheat and field beans
inoculated with a phosphorus-solubilizing Penicillium biliji strain and with
vesicular-arbuscular mycorhizal fungi. Applied Environment Microbiology 53:
2699-2703.
Lamid M, Nugroho TP, Chusniati S, Rochiman K. 2011. Eksplorasi bakteri
selulolitik asal cairan rumen sapi potong sebagai bahan inokulum limbah
pertanian. Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan 4(1):37-42.
Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta (ID): Erlangga.
Loreau M, Naeem S, Inchausti P, Bengtsson J, Grime JP, Hector A, Hooper DU,
Huston MA, Raffaelli D, Schimid B, Tilman D, Wardle DA. 2001.
Biodiversity and ecosystem functioning: current knowledge and future
challenges. Journal of Science 294: 804-808.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical ecology: A Primer on methods and
computing. New York (US): John Wiley and Sons.
Lynd LR, Weimer PJ, Van Z, Pretorius IS. 2002. Microbial Cellulose utilization
fundamentals and biotecknology. Microbiology and Molecular Biology Reviews
66(3): 506-577.
Madigan, MT, Martinko JM, Parker J. 2009. Biology of Microorganism. Ed ke-9. New
Jersey (US): Prentice Hall.
Maki M, Leung KT, Qin W. 2009. The prospects of cellulase producing bacteria for
the bioconversion of lignocellulosic biomass. International Journal of Biological
Sciences 5(5): 500-516.
Magurran AE. 1987. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB):
Chapman and Hall.
Ma’shum MJ, Soedarsono LE, Susilowati. 2003. Biologi Tanah. Jakarta (ID): CPIU
Pasca IAEUP, Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia.
Meyer E. 1966. Endogenic Macrofauna. Berlin (DE): Springer Verlag.
Monde A. 2009. Degradasi stok Karbon (C) akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan
kakao di DAS Nopu, Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland 16(01): 110-117.
29

Monde A, Sinukaban N, Murtilaksono K, Pandjaitan N. 2008. Dinamika karbon (C)


akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Jurnal Agroland 15(1): 22-
26
Nagaraju M, Narasimha G, Rangaswami V. 2009. Influence of sugar industry
effluents on soil enzyme activities. Journal of Environmental Biology 15: 89-94.
Nurrohman E, Rahardjanto A, Wahyuni S. 2015. Keanekaragaman makrofauna
tanah di kawasan perkebunan coklat (Theobroma cacao L.) sebagai indikator
kesuburan tanah dan sumber belajar biologi. Jurnal Pendidikan Biologi
Indonesia 1(2): 2442-3750.
Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Surabaya (ID): Usaha Nasional.
Prayudyaningsih R, Nursyamsi, Sari N. 2015. Mikroba tanah bermanfaat pada
tanaman umbi di bawah tegakan hutan rakyat Sulawesi Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia 1(4): 954-959.
Prihantoro T, Toharmat D, Ewyernie, Suryani, Abdullah L. 2012. Kemampuan
isolate bakteri pencerna serat asal rumen kerbau pada berbagai sumber
hijauan pakan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 17(3): 189-200.
Priyadi, Kurniawati N, Nugroho PA. 2018. Aktivitas biologi tanah yang berasal dari
perkebunan karet pada berbagai kondisi kelengasan. Jurnal Environment
Science 2(1): 10-15.
Purwaningsih S. 2009. Populasi bakteri Rhizobium di tanah pada beberapa tanaman
dari Pulau Buton, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal
Tanah Tropika 14(1): 65-70.
Rahmi. 2014. Kajian efektifitas mikroba Azotobacter sebagai pemacu pertumbuhan
tanaman kakao (Theobroma Cacao L.). Jurnal Galung Tropika 3(2): 44-53.
Ramadhani AN. 2014. Dinamika populasi mikroorganisme rizosfer tanaman
kilemo (Litsea Cubeba L. Persoon) pada perlakuan pemangkasan dan
pemupukan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Rao NS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Ritz K, Young IM. 2004. Interactions between soil structure and fungi. Mycologist
18: 52-59.
Rinawati R. 2014. Strategi pengembangan agrowisata perkebunan Gunung Mas
PTPN VIII. Jurnal Fakultas Pertanian 1(4): 1-9.
Rodrigues MA, Ladeira LC, Arrobas M. 2018. Azotobacter-enriched organic
manures to increase nitrogen fixation and crop productivity. European
Journal of Agriculture 93: 88-94.
Russel EW. 1978. Soil Condition and Plant Growth. London (GB): The English
Language Book Society and Longmans Green.
Soares JR, Melo IS, Dias ACF, Andreote FD. 2012. Cellulolytic bacteria from soils
in harsh environments. Jurnal Microbiol Biotechnology 28: 2195-2203.
Soerjanegara I. 1996. Beberapa Pemikiran tentang Pengelolaan Hutan Lindung.
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sugiyarto. 2000. Keanekaragaman makrofauna tanah pada berbagai umur tegakan
sengon di Jatirejo, Kabupaten Kediri. Jurnal Biodiversitas 1(2): 47 – 53.
Sugiyarto, Efendi M, Mahajoeno E, Sugito Y, Handayanto E, Agustina L. 2007.
Preferensi berbagai jenis makrofauna tanah terhadap sisa bahan organik
tanaman ada intensitas cahaya berbeda. Jurnal Biodiversitas 7(4): 96 – 100.
30

Suhardjono YR. 2002. Keanekaragaman fauna tanah di Cikaniki, Taman Nasional


gunung Halimun. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia 9: 34-
43.
Suheriyanto D. 2012. Keanekaragaman fauna tanah di taman nasional Bromo Tengger
Semeru sebagai bioindikator tanah bersulfur tinggi. Sainstis 1(2): 29-38.
Suin MN. 2012. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Sukaryorini P, Fuad AM, Santoso S. 2016. Pengaruh macam bahan organik terhadap
ketersediaan amonium (NH4+), C-organik, dan populasi mikroorganisme pada
tanah entisol. Jurnal Plumula 5(2): 99-106.
Susanti WI. 2015. Kajian sifat kimia dan biologi tanah rizosfer bambu sebagai
disease suppressive soil [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Susilawati, Mustoyo, Budhisurya E. 2013. Analisis kesuburan tanah dengan indikator
mikroorganisme tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan di Plateau Dieng.
Jurnal Agriculture 25 (1): 64-72.
Tarr. 1972. The Principles of Plant Pathology. London (GB): The Macmillan Pr.
Warino J, Widyastuti R, Suhardjono YR, Nugroho B. 2017. Keanekaragaman dan
kelimpahan Collembola pada perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Bajubang
Jambi. Jurnal Entomologi Indnesia 14 (2): 51 – 57.
Wibowo C, Wulandari SD. 2014. Keanekaragaman insekta tanah pada berbagai
tipe tegakan di hutan pendidikan Gunung Walat dan hubungannya dengan
peubah lingkungan. Jurnal Silvikultur Tropika 5 (1): 33 – 42.
Widawati S, Suliasih. 2005 Populasi bakteri pelarut fosfat di Cikaniki, Gunung Botol,
dan Ciptarasa, serta kemampuannya melarutkan P terikat di media pikovskaya
padat. Jurnal Biodiversitas 7(2): 109-113.
Widianto, Noveras H, Suprayogo D, Widodo RH, Purnomosidhi P, Noordwijk MV.
2004. Konversi hutan menjadi lahan pertanian: apakah fungsi hidrologis hutan
dapat digantikan sistem kopi monokultur. Jurnal Agrivita 26 (1): 47-52.
Widyati E. 2013. Pentingnya keragaman fungsional organisme tanah terhadap
produktivitas tanah. Jurnal Tekno Hutan Tanaman 6(1): 29-37.
Wolters V. 1998. Functional aspect of animal diversity in soil introduction and
overview. Applied Soil Ecology 10:185-190.
Xu X, Hirata E. 2005. Decomposition patterns of leaf litter of seven common
canopy species in a subtropical forest: N and P dynamics. Jurnal Plant Soil
273:279-289.
Yulianto KB. 2019. Kelimpahan dan keanekaragaman fauna tanah pada enam
ekosistem yang berbeda di Kecamatan Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
31

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil sidik ragam pada tiga jenis penggunaan lahan terhadap populasi
mikrob tanah

Sumber Keragaman Db Jk Rjk F-hit F-tabel


(0.05)
Total Mikrob
Perlakuan 6 1.49 0.25 0.82 0.59
Galat 8 2.43 0.30
Total 14 3.92
Total Fungi
Perlakuan 6 8.92 1.49 0.67 0.68
Galat 8 17.75 2.22
Total 14 26.67
Azotobacter
Perlakuan 6 8.92 1.49 0.67 0.68
Galat 8 17.75 2.21
Total 14 26.67
Mikrob Pelarut Fosfat
Perlakuan 6 1.71 0.29 3.03 0.07
Galat 8 0.75 0.09
Total 14 2.46
Mikrob Pendegradasi Selulosa
Perlakuan 6 0.60 0.10 2.60 0.11
Galat 8 0.31 0.04
Total 14 0.91

Lampiran 2 Hasil sidik ragam pada tiga jenis penggunaan lahan terhadap populasi
fauna tanah

Sumber Keragaman Db Jk Rjk F-hit F-tabel


(0.05)

Fauna Tanah
Perlakuan 23 6853321.26 297970.49 16.16 0.001
Galat 42 689009.73 16404.99
Total 65 7542330.99
32

Lampiran 3 Kriteria evaluasi hasil analisis sifat kimia tanah

Nilai
Parameter tanah Sangat Sangat
Rendah Sedang Tinggi
rendah tinggi
C (%) <1 1-2 2-3 3-5 >5
N (%) <0.1 0.1-0.2 0.21-0.5 0.75 >0.75
C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25
P2O5 HCl 25%
<15 15-20 21-40 41-60 >60
(mg/100g)
P-Bray 1 (ppm P) <4 5-7 8-10 11-15 >15
P-Olsen (ppm P) <5 5-10 11-15 16-20 >20
K2O HCl 25 %
<10 10-20 21-40 41-60 >60
(me/100g tanah)
KTK/CEC (me/100g
<5 5-16 17-24 25-40 >40
tanah)
Susunan kation
Ca (me/100g tanah) <2 2-5 6-10 11-20 >20
Mg (me/100g tanah) <0.3 0.4-1 1.1-2 2.1-8 >8
K (me/100g tanah) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.5 0.6-1 >1
Na (me/100g tanah) <0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1 >1
Kejenuhan Basa (%) <20 20-40 41-60 61-80 >80
Kejenuhan
<5 5-10 11-20 21-40 >40
Aluminium (%)
Cadangan mineral
<5 5-10 11-20 21-40 >40
(%)
Salinitas/DHL
<1 1-2 2-3 3-4 >4
(dS/m)

Sangat Agak Agak


Masam Netral Alkalis
masam Masam Alkalis
pH H2O <4.5 4.5-5.5 5.5-6.5 6.6-7.5 7.6-8.5 >8.5
Sumber: Balai Penelitian Tanah (2009)
33

Lampiran 4 Gambar fauna tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian

Gambar Taksa
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Ordo : Acari
Perbesaran 4x

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Perbesaran 1.5x

1.5 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Ordo : Pseudoscorpionida
Perbesaran 4x
1 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Myriapoda
Kelas : Chilopoda
Perbesaran 0.67x

13 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Myriapoda
Kelas : Diplopoda
Perbesaran 2x
1.5 mm
34

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Blattode
Perbesaran 1.5x
2.7 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Collembola
Perbesaran 3.5x
1 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Coleoptera
Perbesaran 1.5x

1 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
2.4 mm Ordo : Coleoptera Larvae
Perbesaran 1.5x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Dermaptera
6 mm Perbesaran 0.80x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Perbesaran 2x
1.5 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
3 mm
Ordo : Diplura
Perbesaran 2x
35

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hemiptera
1.8 mm Perbesaran 2x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Isoptera
1 mm
Perbesaran 2x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
1.7 mm Perbesaran 2x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
1 mm Ordo : Psocoptera
2 mm Perbesaran 0.80x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
3 mm
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera (larvae)
Perbesaran 1.2x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Ordo : Thysanoptera
3 mm
Perbesaran 2.5x
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Isopoda
10 mm Perbesaran 1.5x
36

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Myriapoda
Kelas : Pauropoda
Perbesaran 2x

1 mm

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Myriapoda
Kelas : Symphyla
Perbesaran 1x
2.5 mm
37

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bulungan, Kalimantan Utara pada


tanggal 30 September 1997, merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara dari Bapak Sayidi dan Ibu Sumiyati. Penulis
memulai jenjang pendidikan awal di TK ISLAM AL-IKHLAS
Tanjung Selor pada tahun 2002-2003. Di awal tahun 2003
penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya di SD
Negeri 001 Tanjung Selor dari tahun 2003-2008, kemudian
pindah ke SD Negeri 1 Tukmudal untuk menyelesaikan
pendidikan sekolah dasar dari tahun 2008-2009. Penulis
melanjutkan pendidikan sekolah menegah pertama di SMP Negeri 1 Sumber pada
tahun 2009-2012 dan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Sumber
pada tahun 2012-2015. Kemudian penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) di tahun
2015 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa
Ilmu Tanah (HMIT) yang menjabat sebagai bendahara dalam divisi eksternal
(2016/2017), selain bergabung di dalam organisasi tersebut juga aktif dalam agenda
acara yang diadakan HMIT dan pernah mengikuti beberapa kepanitian. Di samping
itu, penulis juga bergelut dalam organisasi daerah yaitu Ikatan Kekeluargaan
Cirebon (IKC) dan juga bergabung dalam kepanitiaannya. Selain itu, penulis juga
pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Bioteknologi Tanah pada tahun
2018-2019 dan Biologi Tanah pada tahun 2019 di Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan.

Anda mungkin juga menyukai