DIEN ANDINI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN
Dien Andini
NIM E44080074
ABSTRAK
Kata kunci: proses pemulihan vegetasi, sistem silvikultur, teknik silvikultur intensif
ABSTRACT
DIEN ANDINI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Penentuan Sistem Silvikultur Berbasis pada Proses Pemulihan
Vegetasi dalam Teknik Silvikultur Intensif (Studi Kasus di Areal
PT Sarpatim, Kalimantan Tengah)
Nama : Dien Andini
NIM : E44080074
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan berkat rahmat dan hikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Penentuan Sistem Silvikultur Berbasis pada
Proses Pemulihan Vegetasi dalam Teknik Silvikultur Intensif (Studi Kasus di
Areal PT Sarpatim, Kalimantan Tengah)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar
sarjana di Program Studi Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap agar
skripsi ini dapat berguna bagi kita semua khususnya kalangan civitas akademika
dan pengelola hutan.
Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan masukan, dukungan, dan semangat dalam
penyusunan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada
Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MScFTrop sebagai pembimbing yang telah
memberikan arahan, nasihat, serta dukungan dalam penyusunan skripsi ini,
keluarga yang telah memberikan semangat, nasihat, doa dan motivasi kepada
penulis, Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS selaku dosen penjamin mutu skripsi
Bagian Silvikultur, Ir Poltak Tampubolon sebagai pembimbing lapangan di PT
Sarpatim, pekerja PT Sarpatim yang telah membantu penelitian di lapangan,
sahabat-sahabat Silvikultur dan SMA 49 yang selalu memberikan motivasi dan
sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberi
semangat dan pengetahuan, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam
penelitian dan penulisan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Dien Andini
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Luasan hutan alam produksi dari tahun ke tahun semakin menurun. Tahun
2011 luasannya hanya mencapai 23 juta ha, sedangkan pada tahun 1992 luasannya
mencapai 61 juta ha. Penurunan tersebut dikarenakan hutan alam produksi telah
dikonversi menjadi hutan tanaman sebesar 9.6 juta ha, perkebunan sebesar 10 juta
ha, dan selebihnya menjadi kawasan HPH yang tidak dibebani hak atau terlantar
(Suparna 2012).
Produktifitas kayu yang dihasilkan oleh HPH pun mengalami penurunan.
Penurunan ini, kemungkinan dikarenakan kesalahan dalam mengimplementasikan
sistem silvikultur yang tepat kepada karakteristik hutan alam yang ada. Meskipun
demikian, penentuan sistem atau teknik yang tepat perlu dilakukan agar terjaganya
kelangsungan kuantitas dan kualitas tegakan. Indriyanto (2008) menyatakan
bahwa proses pemulihan vegetasi mempunyai peran yang sangat penting dalam
menjaga kelangsungan kuantitas dan kualitas tegakan pada waktu yang akan
datang.
Pemanfaatan hutan besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan sumber daya
kayu menjadi faktor terjadinya degradasi pada hutan alam. Degradasi hutan yang
terjadi terus menerus tanpa adanya waktu yang cukup untuk hutan tersebut
melakukan pemulihan, dapat mengakibatkan perubahan komposisi hutan. Hal ini,
dikarenakan adanya regenerasi dari jenis-jenis lain yang akhirnya mendominasi
(Geldenhuys 2010).
Perubahan komposisi di hutan alam dapat digambarkan sebagai berikut: (1)
komposisi jenis penyusun permudaan sama dengan tingkat kanopi; (2) komposisi
jenis penyusun permudaan tidak sama dengan tingkat kanopi. Selama ini,
konsekuensi ekologi dari permudaan hutan alam produksi masih sedikit mendapat
perhatian dari para peneliti ataupun pengambil kebijakan.
Keempat ulasan di atas sudah cukup menjadi alasan perlunya melakukan
penelitian tentang penentuan sistem silvikultur berbasis pada proses pemulihan
vegetasi dalam teknik silvikultur intensif di areal IUPHHK-HA PT Sarmiento
Parakantja Timber (Sarpatim), Kalimantan Tengah. Penelitian ini dilakukan pada
hutan bekas tebangan sehingga dapat dianalisis perubahan komposisi dan struktur
tegakan serta dapat dibandingkan dengan kesamaan komposisi antara tegakan
pohon dengan permudaannya.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menentukan sistem
silvikultur yang tepat. Penentuan tersebut didasarkan atas struktur tegakan dan
kesamaan komunitasnya pada masing-masing plot SILIN yang diamati di areal
IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah.
2
Manfaat Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Silvikultur
Pengayaan dilakukan pada poros jalur bersih dengan jenis unggulan dalam jarak
tanam 2,5 x 20 m.
SILIN merupakan sebuah teknik silvikultur yang bertujuan meningkatkan
produktivitas yang tercermin dari peningkatan riap dan potensi tegakan, menjaga
keseimbangan ekologi dengan mempertahankan keanekaragaman hayati, serta
memberikan jaminan kepastian hukum dan keamanan berusaha melalui
pengakuan tenurial dari berbagai pihak. Secara teknis, SILIN adalah teknik
silvikultur yang berusaha memadukan tiga elemen utama silvikultur yaitu
pembangunan hutan tanaman dengan jenis terpilih, melakukan pemuliaan jenis,
manipulasi lingkungan untuk mengoptimalisasi pertumbuhan, dan pengendalian
hama terpadu.
Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005
tanggal 3 Mei 2005, memutuskan bahwa penunjukan pada enam Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sebagai model sistem silvikultur
TPTII yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati, PT Sarpatim (Kalteng),
PT Suka Jaya Makmur (Kalbar), PT BFI, dan PT Ikani (Kaltim). Penjelasan lebih
rinci oleh Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI-
BPHA/2007 tanggal 10 April 2007 tentang penunjukan pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam sebagai model pembangunan
TPTII yang meliputi 25 pemegang IUPHHK pada hutan alam terdiri dari delapan
IUPHHK di Kaltim, delapan IUPHHK di Kalteng, Satu IUPHHK di Kalbar, satu
IUPHHK di Sumatera Barat, satu IUPHHK di Riau, dua IUPHHK di Papua, tiga
IUPHHK di Papua Barat, dan satu IUPHHK di Maluku utara.
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae unggulan yang disarankan
dan dapat merupakan pilihan adalah jenis-jenis dari hasil uji jenis yaitu Shorea
leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S. platyclados, S.
selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp. (Soekotjo et al. 2005).
Selama ini, PT Sarpatim menggunakan tiga jenis yaitu S. leprosula, S. parvifolia,
dan S. johorensis.
Kelebihan SILIN
SILIN memiliki kelebihan dan keunggulan dibandingkan dengan sistem
silvikultur terdahulu. SILIN memiliki tingkat produktivitas hutan lebih tinggi
dibandingkan dengan produktivitas TPTI. Hasil penelitian Persaki (2009)
menunjukan bahwa produksi pada akhir daur SILIN diprediksi mampu mencapai
225 m3 dengan potensi tegakan 320 m3, sehingga untuk memproduksi sejumlah
volume tertentu diperlukan luasan hutan yang lebih kecil dan sisanya dapat
difungsikan menjadi hutan konservasi.
Teknik SILIN mewajibkan melakukan enrichment planting jenis-jenis
unggulan. Oleh karena itu, dengan diwajibkannya hal tersebut maka penanaman
dilaksanakan segera setelah penebangan yaitu pada LOA yang berumur nol tahun
(ET+0), sehingga dapat memudahkan pengawasan pengelolaan (Indrawan 2010).
SILIN juga memberikan perbedaan yang nyata tentang kondisi fisik antara
tegakan alam dengan tegakan yang ditanam, hal ini berbeda dengan sistem TPTI
yang bersifat spot dan tersebar sehingga sulit membedakannya dengan tegakan
alam.
Kelebihan lainnya adalah kemampuannya untuk memperkokoh pengakuan
hak kawasan atau tenurial rights (hak pemilikan) perusahaan, terutama dari
4
METODE
Penelitian ini dilakukan pada hutan bekas tebangan yang dijadikan model
silvikultur teknik SILIN. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan
yaitu pada bulan April sampai dengan Mei 2012 dan dilakukan pada areal
IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah.
5
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan bekas
tebangan pada masing-masing plot SILIN. Alat yang digunakan antara lain: peta
kerja, golok, phi band, meteran jahit, kompas, tali tambang atau rapia, patok, tally
sheet, alat tulis, buku pengenal vegetasi, kamera, serta laptop dengan software
microsoft office excel 2007 dan minitab 16.
= titik tanaman
Tegakan Alam a b a s/d b = jalur bersih (3 m)
e c d
c s/d d = jalur antara (17 m)
f
e s/d f = jarak tanam (2,5 m)
23,5 m
17 m
b. pancang ( t>1,5 s/d d<10 cm)
c. tiang (10<d<20)
d b
d. pohon (d>20)
118 m
Struktur Tegakan
Struktur tegakan menunjukan nilai kerapatan (N/ha) pada kelas
diameternya. Jika sebaran diameter pada suatu komunitas mendekati J terbalik,
maka komunitas tersebut mendekati sebaran diameter hutan alam (Pamoengkas
2006). Model struktur tegakan yang digunakan adalah model eksponensial negatif
yang dinyatakan oleh Bruce dan Schumacher (1950), diacu dalam Wahjono
(2007). Rumusnya dapat dilihat di bawah ini:
Y = k e –aX
H’ = - pi ln pi
H’ = indeks keragaman
pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = total seluruh individu
7
Ordinasi
Metode ordinasi yaitu metode yang dapat menggambarkan vegetasi dalam
bentuk geometrik sehingga tegakan komunitas yang paling serupa berdasarkan
komposisi jenis beserta kemelimpahannya akan mempunyai posisi yang saling
berdekatan, sedangkan tegakan lainnya yang berbeda akan muncul saling
berjauhan (Mueller Eilenberg 1974). Perhitungan analisis ordinasi yang
dilakukan meliputi:
INP = KR + DR +FR
Kerapatan (R) = Jumlah individu suatu jenis
Luas areal sampel
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100%
Kerapatan seluruh jenis
Dominansi (D) = Jumlah LBDS suatu jenis
Luas areal sampel
Dominasi Relatif ( DR) = Dominansi suatu jenis x 100%
Dominansi seluruh jenis
Frekuensi = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Jumlah seluruh plot
Frekuensi Relatif ( FR) = Frekuensi suatu jenis x 100%
Frekuensi seluruh jenis
Pada tingkat pertumbuhan pancang dan semai nilai INP hanya berkisar
antara 0200. Hal ini disebabkan pada tingkat pancang dan semai tidak dilakukan
pengukuran diameter. Rumus tingkat pancang dan semai menjadi:
INP = KR +FR
IS = 2W x 100%
a+b
IS = indeks kesamaan
W = jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua spesies
berpasangan, yang ditemukan pada dua komunitas
a = total nilai penting dari komunitas A
b = total nilai penting dari komunitas B
ID = 100- IS
IS = indeks kesamaan
Penetapan sumbu X
X = L2 + (dA)2 – (dB)2
2L
Penetapan sumbu Y
kedekatan yang dipakai adalah jarak euclidean (euclidean distance) dan disajikan
dalam bentuk dendogram (Ariebowo 2011).
Analisis Biplot
Analisis biplot adalah analisis statistika yang digunakan untuk membentuk
plot yang secara simultan dapat menggambarkan data yang terdiri dari objek dan
peubah dalam dua dimensi. Plot ini selanjutnya dapat memberikan informasi
mengenai kedekatan antar objek, karakteristik atau peubah penciri setiap objek,
dan keterkaitan antara peubah (Adia 2008).
meliputi areal seluas 33.231 ha atau 15% dari luas areal konsesi; (5) daerah sangat
curam (> 40%), meliputi areal seluas 4.570 ha atau 2% dari luas areal konsesi.
Keadaan Geologi
PT Sarpatim berdasarkan Peta Geologi Lembar Tumbang Manjul
Kalimantan Tengah pada skala 1:250.000 terdiri dari batuan terobosan andesit
(tima), terobosan batuan komplek granit mandahan (Kgm) dan formasi kuayan
(Rvk). Besar areal didominasi oleh batuan terobosan komplek granit mandahan.
Andesit pada daerah ini terdiri dari plagioklas, orthoklas, homblende, serisit,
klorit, epidot, dan masa dasar. Batuan granit yang ada diduga berupa granit biolit,
terdiri dari orthokias, asam plagioklas, dan biotit. Formasi kuayan umunya terdiri
dari lava dasit dan lava riolit yang sebagian tidak terpisahkan. Bahan mineral yang
ditemukan berupa emas, muskovit dan kecubung. Emas diduga terdapat dalam
pasir di dasar sungai, muskovit terdapat di dalam pegmatit, sedangkan kecubung
berupa hancuran pegmatit.
Jenis Tanah
Jenis tanah yang mendominasi areal PT Sarpatim adalah dystropepts dan
tropudults. Tekstur tanah umumnya lempung, lempung berpasir, lempung
berdebu, dan lempung berliat. Luasan kedua jenis tanah ini dapat dilihat pada
Tabel 1.
Hidrologi
Areal PT Sarpatim yang mempunyai luasan 216.580 ha, secara hidrologi
memiliki tiga satuan wilayah sungai (SWS), yaitu SWS Seruyan seluas 183.321
ha, SWS Mentaya seluas 70.272 ha dan SWS Mentubar seluas 51.941 ha. Satuan
wilayah sungai (SWS) atau sering juga disebut daerah aliran sungai (DAS) yang
terdiri lagi atas beberapa sub-DAS, di mana untuk DAS Seruyan terdiri atas 10
sub-DAS, meliputi: (1) Sub-DAS Kaleh; (2) Sub-DAS Seruayan Hulu; (3) Sub-
DAS Tenkum; (4) Sub-DAS Kumpang; (5) Sub-DAS Bai; (6) Sub-DAS Purang;
(7) Sub-DAS Kuwung; (8) Sub-DAS SaHabu; 9) Sub-DAS Seruyan Hilir; (10)
Sub-DAS Rangga. DAS Mentaya terdiri atas dua sub-DAS, meliputi: (1) Sub-
11
DAS Mentaya Hulu; (2) Sub-DAS Mentaya Hilir. DAS Mentubar juga terdiri dari
dua sub-DAS yaitu Sub-DAS Kuayan dan Sub-DAS Tilap.
Pola dan morfometri DAS umumnya berpola lateral dan dendritik dengan
arah aliran dari utara ke selatan. Sungai-sungai tersebut umumnya bersifat
perennial stream (mengalir sepanjang tahun). Kecepatan arus tergolong lambat
sampai agak cepat. Dasar saluran umumnya berbatu dan mengandung pasir.
Karakteristik beberapa sungai yang mengalir di areal PT Sarpatim disajikan
seperti pada Tabel 2.
Kondisi Fauna
Laporan Amdal HPH PT Sarpatim (1986) menyatakan bahwa pada hutan
primer terdapat 32 jenis mamalia dan reptil. Jenis-jenis satwa liar yang melakukan
aktivitas di lapisan tajuk dan pemakan daun atau buah adalah owa-owa (Hylobetes
agilis), lutung (Presbytis cristata), orang utan (Pongo pygmaeus), burung
ramgkong/enggang (Bucerotidae sp.), dan beberapa jenis burung lainnya.
Jenis-jenis satwa yang melakukan aktivitas di darat antara lain: burung
haruai (Argusianus argus), ayam hutan (Lophura ignita), landak (Hystrix
brachyura), trenggeling (Mania javanicus), rusa (Cervus unicolour), kijang
(Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), dan babi hutan (Sus barbatus).
Jenis satwa liar yang melakukan aktivitas di lapisan pertengahan tajuk adalah
tupai (Tupaia sp.) dan bajing (Callozciurus sp.), sedangkan yang melakukan
aktivitas dari lantai hutan sampai dengan lapisan atas tajuk adalah bentuk
(Macaca nemestriana) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Satwa liar yang aktif pada malam hari adalah burung hantu (Ninox sp.),
musang (Paradoxurus hermaphrodites), macan dahan (Neofelis nebolusa), kucing
hutan (Fetis bengaiensis), kukang (Nycticebus coucang). Jenis satwa yang
melakukan aktivitas siang dan malam adalah rusa, kijang, kancil, babi hutan dan
beruang madu (Helarctos malayanus). Jenis satwa yang dapat dikategorikan satwa
indikator akan kondisi ekologis dari ekosistem hutan hujan tropis adalah burung
rangkong (Buceros rhinoceros), kuau (Argusianus argus) dan owa-owa.
Ketenagakerjaan
Jumlah tenaga kerja PT Sarpatim per periode Juni 2011 yaitu sebanyak
1.027 orang yang terbagi dalam tiap-tiap bidang serta penggolongan pengupahan
borongan. Jumlah tenaga teknis PT Sarpatim sebanyak 116 orang, dapat dilihat
pada Tabel 5.
Penduduk
Data yang tercantum dalam Kabupaten Seruyan Kotawaringan Timur pada
tahun 2003 dan Katingan pada tahun 2004 menyatakan bahwa jumlah penduduk
yang bermukim di dalam dan di sekitar areal PT Sarpatim berjumlah 107.300
jiwa. Jumlah penduduk tersebar di dalam 149 desa dengan jumlah kepala keluarga
sebanyak 22.058 jiwa seperti yang tertera pada Tabel 6.
Hasil
Hasil penelitian meliputi: nilai komposisi jenis dan struktur tegakan hutan,
nilai komposisi jenis permudaan hutan, indeks keanekaragaman jenis, ordinasi
yang ditunjukan oleh indeks nilai penting dan indeks ketidaksamaan komunitas,
analisis klaster, dan analisis biplot pada masing-masing lokasi penelitian. Di
bawah ini merupakan pemaparan dari hasil penelitian tersebut.
Tabel 8 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot SILIN dan hutan primer pada
tingkat pohon
Tabel 9 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot SILIN dan hutan primer pada
tingkat tiang
Gambar 3 Struktur tegakan pada seluruh plot penelitian (HP : hutan primer; TJ1 :
SILIN tahun pertama (RKT 2005); TJ2 : SILIN tahun ke-2 (RKT
2006); TJ3 : SILIN tahun ke-3 (RKT 2007); TJ4 : SILIN tahun ke-4
(RKT 2008); TJ5 : SILIN tahun ke-5 (RKT 2009 ); TJ6 : SILIN tahun
ke-6 (RKT 2010); TJ7 : SILIN tahun ke-7 (RKT 2011))
18
Tabel 10 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot SILIN dan hutan primer pada
tingkat semai
Tabel 11 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot SILIN dan hutan primer pada
tingkat pancang
Ordinasi
Ordinasi dianalisis untuk mengetahui penyebaran jenis satuan komunitas
dalam bentuk grafik yang mempunyai sumbu-sumbu ordinat. Jenis satuan
komunitas yang dianalisis yaitu tegakan (pohon) dan permudaan hutan. Sumbu
ordinat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ordinasi dua dimensi (X dan
Y) yang dikembangkan oleh Bray dan Curtis dan pengaturan ordinat berdasarkan
indeks ketidaksamaan (ID) (Mueller et al. 1974). Peubah yang digunakan untuk
menentukan ID adalah indeks nilai penting (INP). Analisis ordinasi perlu
diketahui untuk menentukan apakah komposisi penyusun permudaan di areal
SILIN mirip atau berbeda dengan komposisi penyusun kanopi pada masing-
masing plot pengamatan.
Tabel 13 Indeks nilai penting di atas 15% pada tingkat pohon di setiap petak
pengamatan
Indeks nilai penting
Nama jenis Grup
HP TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 TJ6 TJ7
Meranti merah 62,71 55,94 20,59 40,97 37,24 56,41 61,83
KD -
(S. parvifolia) (1)* (1) (5) (2) (2) (2) (1)
Nyatoh(Palaquiu 29,27
KD - - - - - - -
m gutta) (2)
Medang (Litsea 21,37 34,65 44,65 16,18 31,10
KND - - -
firma) (3) (3) (2) (6) (3)
Bunyu 17,82 20,25 18,93 26,39
KND - - - -
(Amoora sp.) (4) (6) (4) (2)
16,63
Cengkuang NK - - - - - - -
(5)
Ubar (Eugenia 45,69 49,49 59,90 65,79 43,24 19,47
KND - -
sp.) (2) (1) (1) (1) (1) (6)
Putat
17,98
(Barringtonia NK - - - - - - -
(7)
spicata)
Lasi (Adina 25,04
NK - - - - - - -
fagifolia) (4)
Langsat(Lansim 22,17 21,02 24,38
KND - - - - -
humale) (5) (3) (3)
21
Lanjutan Tabel 13
Indeks nilai penting
Nama jenis Grup
HP TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 TJ6 TJ7
Rengas 19,05
KND - - - - - - -
(Gluta renghas) (6)
Kayu bawang
16,56
(Dysoxylum KND - - - - - - -
(8)
alliaceum)
Mahang 16,04 97,59
KND - - - - - -
(Macaranga sp.) (9) (1)
Menjalin (Santiria 24,79
KND - - - - - - -
rubiginosa) (3)
Ulin
23,00
(Eusideroxylon NK - - - - - - -
(4)
zwager)
Kedondong 17,44
KND - - - - - - -
(Spandias dulcis) (7)
Pempaning 17,07 27,96 15,56
KND - - - - -
(Lithocarpus sp.) (8) (3) (6)
Mahawai 25,22 22,75
KND - - - - - -
(Mezettia sp.) (4) (3)
Bangkirai 16,25 16,68
KD - - - - - -
(5) (5)
Geronggang
15,40 28,87
(Cratoxylon KND - - - - - -
(7) (4)
arborescen)
Simpur (Dillenia 31,91
KND - - - - - - -
excelsa) (2)
Bintangur
17,17
(Callophylum KND - - - - - - -
(5)
soulatri)
Belanti NK - - - - - - - -
Terentang (Ficus 20,81
NK - - - - - - -
lyrata) (4)
Keruing 17,09
KD - - - - - - -
(Dipterocarpus) (5)
16,55
Selumbar KND - - - - - - -
(6)
Tengkawang 15,80
NK - - - - - - -
(S. pinanga) (7)
Meranti merah (S. 20,37
KD - - - - - - -
johorensis) (5)
Meranti kuning (S. 17,22
KD - - - - - - -
multiflora) (4)
Jumlah jenis 32 14 18 17 21 27 11 12
* : peringkat; KD : komersial Dipterocarpaceae; KND : komersial non-Dipterocarpacea; NK :
non-komersial; HP : hutan primer; TJ1 : SILIN tahun pertama (RKT 2005); TJ2 : SILIN tahun ke-
2 (RKT 2006); TJ3 : SILIN tahun ke-3 (RKT 2007); TJ4 : SILIN tahun ke-4 (RKT 2008); TJ5 :
SILIN tahun ke-5 (RKT 2009); TJ6 : SILIN tahun ke-6 (RKT 2010); TJ7 : SILIN tahun ke-7
(RKT 2011)
Tabel 14 Indeks nilai penting di atas 10% pada permudaan pohon di setiap plot
pengamatan
Indeks Nilai Penting
Nama jenis Grup
HP TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 TJ6 TJ7
Bunyu (Amoora 22,00 14,00 14,47 12,66
KND - - - -
sp.) (1)* (5) (6) (4)
Bayur
20,60
(Pterospermum KND - - - - - - -
(2)
javanicum)
Mahawai 17,46 10,23 18,40 17,02 15,29 13,25 13,11
KND -
(Mezettia sp.) (3) (8) (1) (3) (3) (4) (3)
Ubar (Eugenia 16,97 20,64 15,96 12,67 22,11 25,90 16,33 18,25
KND
sp.) (4) (2) (2) (3) (1) (1) (3) (1)
Banitan
16,25 12,71 10,39
(Polyalthia NK - - - - -
(5) (4) (8)
laterifolia)
Meranti merah (S. 11,47 11,77 22,46 12,98 16,27 32,71 10,97
KD -
parvifolia) (6) (5) (1) (7) (2) (1) (6)
Kempas
28,19 11,30
(Koompassia KND - - - - - -
(1) (7)
excelsa)
Medang (Litsea 17,50 15,15 15,11 11,33 11,47 11,39
KND - -
firma) (3) (3) (5) (5) (6) (5)
Rengas (Gluta 14,35 10,95 12,10 10,40
KND - - - -
renghas) (4) (8) (4) (8)
Keranji(Diallum 13,01 10,82
KND - - - - - -
indum) (6) (7)
Benuas (S. 13,01 19,78 21,89 12,27
KD - - - -
laevifolia) (7) (3) (2) (4)
Mahang 11,77 16,58 11,68 13,41
KND - - - -
(Macaranga sp.) (6) (4) (5) (2)
Meranti merah (S. 11,51
KD - - - - - - -
johorensis) (7)
19,94
Plantonia NK - - - - - - -
(2)
Tengkawang (S. 10,97
NK - - - - - - -
pinanga) (6)
Ulin
10,57
(Eusideroxylon NK - - - - - - -
(7)
zwageri)
Geronggang
21,57
(Cratoxylon KND - - - - - - -
(2)
arborescens)
Jumlah jenis 32 26 25 29 29 29 28 35
* : peringkat; KD : komersial Dipterocarpaceae; KND : komersial non-Dipterocarpacea; NK :
non-komersial; HP : hutan primer; TJ1 : SILIN tahun pertama (RKT 2005); TJ2 : SILIN tahun ke-
2 (RKT 2006); TJ3 : SILIN tahun ke-3 (RKT 2007); TJ4 : SILIN tahun ke-4 (RKT 2008); TJ5 :
SILIN tahun ke-5 (RKT 2009); TJ6 : SILIN tahun ke-6 (RKT 2010); TJ7 : SILIN tahun ke-7
(RKT 2011)
4,73 4,73
3,15 3,15
Dis t a nce
Jarak
1,58
1,58
0,00 0,00
HP TJ3 TJ5 TJ7 TJ6 TJ1 TJ2 TJ4
HP TJ3 TJ5 TJ7Observations
TJ6 TJ1 TJ2 TJ4
Plot
Gambar 4 Bagan kedekatan komunitas (HP : hutan primer; TJ1 : SILIN tahun
pertama (RKT 2005); TJ2 : SILIN tahun ke-2 (RKT 2006); TJ3 :
SILIN tahun ke-3 (RKT 2007); TJ4 : SILIN tahun ke-4 (RKT 2008);
TJ5 : SILIN tahun ke-5 (RKT 2009); TJ6 : SILIN tahun ke-6 (RKT
2010); TJ7 : SILIN tahun ke-7 (RKT 2011))
Gambar 5 menunjukkan perbedaan antara komunitas pohon dan komunitas
permudaannya. Plot yang memiliki komposisi kemiripan terdekat atau sama
antara keduanya yaitu plot TJ6, dapat dilihat dari jarak yang pendek dan terdapat
pada kuadran yang sama. Plot yang memiliki kemiripan terjauh adalah plot TJ3,
dapat dilihat dari jarak yang panjang dan terdapat pada kuadran yang berbeda.
2
TJ6_1
TJ2_2
TJ6_2
TJ1_ 1
1
TJ4_2
Komponen II (4 9 ,8 % )
HP_2
Komponen II (49,8%)
TJ5_2
0 TJ1_2
TJ3_1
TJ7 _1
TJ2_1
TJ7_2
TJ3_2 TJ5_1
-1 TJ4_1
HP_1
-2
-2 -1 0 1 2
Komponen I (50,2% )
Komponen I (50,2%)
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh plot SILIN yang diamati untuk
tingkat pohon, kelompok jenis komersial kerapatannya lebih banyak dibandingkan
dengan kelompok jenis non-komersial. Jenis komersial yang memiliki kerapatan
tertinggi yaitu kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae, tetapi bila
dibandingkan dengan hutan primer maka kerapatan kelompok jenis komersial dari
Dipterocarpaceae maupun non-Dipterocarpaceae mengalami penurunan.
Kondisi ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasanah
(2009) pada lokasi yang sama. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
kerapatan terendah dimiliki plot SILIN 2007 sebesar 68 individu/ha. Kondisi yang
sama juga ditemukan pada penelitian evaluasi terhadap SILIN di Kalteng oleh
Radiardi et al. (2008) yang menyatakan bahwa setelah dilakukan penebangan
maka terjadi penurunan jumlah jenis yaitu petak dengan kondisi rapat terjadi
penurunan sebesar 43% dan petak kondisi jarang sebesar 34%. Hal ini dapat
diartikan bahwa penurunan jumlah jenis di areal hutan yang telah dilakukan
penebangan pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat intensitas
penebangan atau kerusakan hutan. Walaupun mengalami penurunan, jumlah
pohon inti pada tiap plot pengamatan sudah mencapai 25 pohon/ha. Jumlah
tersebut adalah syarat kecukupan pohon inti dalam satu hektar (Departemen
Kehutanan 1993).
Proporsi pada plot SILIN dapat dikatakan tidak seimbang bila mengacu
kepada proporsi hutan primer yang memiliki presentase kelompok jenis
Dipterocarpaceae, non-Dipterocarpaceae, dan non-komersial berturut-turut
sebesar 34.3%, 43.5%, dan 22.2%. Proporsi jenis komersial Dipterocarpaceae
lebih sedikit dari kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae. Hal ini
kemungkinan dikarenakan penebangan dalam jumlah besar terhadap jenis-jenis
tersebut atau kematian pohon (potensial mortality) dari dampak penebangan yang
besar.
Kematian pohon dari dampak penebangan juga harus diperhatikan lebih
seksama. Kondisi ini sama dengan hasil penelitian Gunarso et al. (2009) yang
menyatakan bahwa proses penebangan dapat melukai pohon dengan diameter
antara 3050 cm. Luka terbuka pada pohon yang parah kita ketahui dapat
menyebabkan kematian pada pohon. Selain luka terbuka masih ada kerusakan-
kerusakan lainnya seperti: pohon roboh, batang pecah atau belah, tajuk rusak. Hal
tersebut juga dapat mengganggu perkembangan pohon atau bahkan kematian pada
pohon.
Kondisi tersebut juga ditemukan pada hasil penelitian Pamoengkas (2006)
yang menyatakan bahwa penurunan kelompok komersial Dipterocarpaceae
terjadi meskipun belum begitu nyata. Hasil penelitian menyatakan bahwa terjadi
penurunan jenis komersial Dipterocarpaceae pada seluruh plot SILIN kecuali
pada plot TJ7 yaitu sebesar 45,7%. Hal tersebut kemungkinan disebabkan
intensitas penebangan tidak terlalu besar.
Kerapatan dan proporsi pada tingkat tiang menunjukkan bahwa jenis
komersial non-Dipterocarpaceae memiliki nilai terbesar dibandingkan dengan
jenis lainnya. Kerapatan dari jenis komersial Dipterocarpaceae tidak mengalami
penurunan yang berarti bila dibandingkan dengan hutan primer, kecuali pada plot
26
TJ4. Bila diperhatikan lebih detail, kerapatan pohon dari jenis komersial pada plot
TJ4 dapat dikatakan rendah yaitu 15 pohon/ha.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya proses pemanenan kayu
dan dampaknya terhadap kerusakan vegetasi di sekitar lokasi pemanenan terutama
pada tingkat tiang. Gunarso et al. (2009) juga menyatakan bahwa proses
penyaradan menyebabkan kematian besar-besaran pada tingkat tiang. Menurut
Muhdi (2009), kegiatan pemanenan kayu menyebabkan perubahan struktur dan
komposisi tegakan pada tingkat tiang, pancang, dan semai. Namun, secara umum
areal SILIN memiliki kesempatan dalam hal penambahan pohon inti dalam
jumlah yang lebih banyak melalui pertumbuhan tiang (Pamoengkas 2006).
Distribusi struktur tegakan hutan pada hutan primer dan plot SILIN
memiliki kesamaan yaitu membentuk kurva J terbalik. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa hutan bekas tebangan yang dikelola dengan teknik SILIN mencerminkan
kondisi hutan bekas tebangan tidak seumur yang masih seimbang. Kondisi serupa
ditemukan pada hasil penelitian pertumbuhan dan riap tegakan tinggal pada
beberapa unit pengelolaan oleh Wahjono (2007), bahwa struktur tegakan hutan
normal membentuk J terbalik yang menunjukan kondisi tegakan setelah
penebangan tersebut masih cukup baik sebagai penyusun tegakan pada rotasi yang
akan datang.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa kerapatan tingkat semai pada seluruh
plot SILIN dari jenis komersial Dipterocarpaceae memiliki kerapatan yang lebih
besar dari hutan primer, kecuali pada plot tujuh tahun setelah penebangan (TJ1)
dan enam tahun setelah penebangan (TJ2). Hal ini dikarenakan, keterbukaan lahan
pada plot tersebut mulai tertutup tajuk kembali sehingga benih atau biji komersial
Dipterocarpaceae yang ada di lantai hutan tidak terstimulan untuk tumbuh.
Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa kerapatan tingkat semai pada plot
SILIN untuk kelompok jenis komersial Dipterocarpaceae jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan jenis non-Dipterocarpaceae. Hal ini, disebabkan anakan
meranti tidak tahan terhadap kekurangan air tanah dan kesulitan untuk
berkompetisi dengan jenis lain. Al Rasyid (1991) menyatakan bahwa pada tempat
terbuka kondisi permudaan semai umumnya berdaun kecil dan lemah dikarenakan
kurang tahan terhadap kekurangan air dan juga mempercepat tumbuhnya semak,
gulma, dan jenis lainnya yang menyebabkan persaingan air lebih ketat.
Namun, keadaan yang berbeda terjadi kepada plot TJ3 yang memiliki
kerapatan lebih tinggi dibandingkan dengan non-Dipterocarpaceae. Kemungkinan
hal tersebut dikarenakan pada plot TJ3 memiliki kerapatan naungan untuk semai
yang cukup (tidak ternaungi berat). Percobaan S. selanica dan S. leprosula pada
tahun 1951 di kebun percontohan Darmaga menunjukan hasil yang memuaskan
ketika tanaman tersebut dinaungi dengan tanaman sengon sampai umur dua tahun
dengan presentase hidup sebesar 75-80% (Al Rasyid 1991).
Percobaan lainnya yang serupa dilakukan oleh Irwanto (2006) selama 2
bulan, menyatakan bahwa presentase hidup Dipterocarpase di bawah naungan
pohon sebesar 100%. Hal ini jelas bahwa sebelum umur dua tahun jenis
Dipterocarpaceae memerlukan naungan, tetapi bila sudah mencapai umur
tersebut, jenis ini telah menjadi tahan atau bahkan memerlukan sinar yang lebih
banyak. Jenis tersebut hidup dalam masa tunggu, bila tidak ada cahaya yang
masuk ke lantai tanah setelah dua tahun maka semai tersebut akan mati. Hal ini
27
menyebabkan struktur tegakan meranti cukup semai namun sedikit pancang dan
tiang (Sutisna 1997; dalam Irwanto 2006).
Secara umum, sistem SILIN menstimulasi pertumbuhan permudaan semai
yang cukup besar bila dibandingkan dengan permudaan semai pada hutan primer,
sehingga jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong
di atas rata-rata jika mengacu kepada peraturan TPTI yang menyebutkan 1000
semai per ha sebagai syarat kecukupan (Departemen Kehutanan 1993). Namun,
perlu diperhatikan juga keberlangsungan hidup dari semai tersebut agar bisa
menjadi pancang dan kemudian menjadi tiang. Oleh karena itu perlakuan
silvikultur pada jalur antara hendaknya dipertimbangkan pada periode tersebut
untuk menghindari atau memperkecil kematian permudaan akibat kompetisi
(Pamoengkas 2006).
Sistem SILIN memberikan stimulus terhadap perbanyakan tingkat pancang.
Apabila mengacu kepada kerapatan pada hutan primer maka sistem SILIN
mempunyai kerapatan sangat besar. Kelompok jenis yang pertumbuhannya sangat
pesat yaitu kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae. Hal ini dikarenakan
kelompok jenis ini tahan terhadap masuknya cahaya ke lantai hutan dan dapat
lebih bersaing dengan tumbuhan sekitarnya. Namun, untuk jenis komersial
Dipterocarpaceae pada seluruh plot SILIN, permudaan tingkat pancangnya sudah
memenuhi persyaratan TPTI yaitu sebesar 240 pancang per ha.
Nilai keanekaragaman jenis untuk keseluruhan plot pada tingkat pohon
cukup tinggi. Hal ini bisa diartikan plot yang diamati memiliki stabilitas
komunitas yang cukup tinggi. Soegianto (1994) dalam Indriyanto (2008)
menyatakan bahwa keanekaragaman dapat digunakan untuk mengukur stabilitas
komunitas. Stabilitas komunitas tersebut yaitu kemampuan suatu komunitas untuk
menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-
komponen penyusunnya.
Keanekaragaman tertinggi dimiliki oleh plot hutan primer dan plot TJ5
dengan jumlah jenis berturut-turut pada tingkat pohon yaitu sebanyak 32 jenis dari
17 suku dan 26 jenis dari 17 suku. Plot yang memiliki keanekaragaman terendah
atau lebih homogen dimiliki oleh plot TJ6 dengan jumlah jenis sebanyak 11 dari 9
suku. Nilai keanekaragaman jenis untuk tingkat tiang, pancang, dan semai pada
semua plot SILIN dan hutan primer memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi.
Jenis meranti merah mendominisasi pada hutan primer pada tingkat pohon
dengan nilai mencapai 62,71%. Dua dari tujuh plot SILIN memiliki meranti
merah sebagai jenis yang mendominasi, plot lainnya didominasi oleh jenis ubar.
Jenis nyatoh dan cengkuang pada hutan primer yang memiliki nilai INP di atas
15% tidak ditemukan disemua plot SILIN. Dengan kata lain, dampak penebangan
mengakibatkan terjadinya pengurangan dan pergantian dominansi jenis. Jenis
Dipterocarpaceae yang berperan tetapi penyebarannya tidak merata antara lain
adalah bangkirai, keruing, meranti merah, dan meranti kuning. Oleh karena itu
penanaman jenis tersebut harus dilakukan selain jenis yang memang
diprioritaskan.
Jenis untuk tingkat permudaan yang masih mendominasi dari seluruh plot
pengamatan yaitu jenis ubar dan meranti merah. Hal ini, serupa dengan jenis yang
mendominasi tegakan pohonnya. Jenis-jenis yang mendominasi ini adalah jenis
pionir yaitu jenis yang mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik serta
28
mempunyai daya tahan hidup yang lebih baik jika dibandingkan dengan jenis
lainnya (Hasanah 2009).
Apabila mengacu pada nilai ID maka pada tingkat pohon sebagian besar
hubungan kesamaan komunitas antara plot satu dengan yang lainnya relatif
berbeda, kecuali ada beberapa yang relatif sama. Hal ini disebabkan nilai
kesamaan komunitasnya ≥50%. Hal serupa juga dilaporkan oleh Triyana (1995)
dalam penelitiannya yaitu evaluasi sistem silvikultur TPTI, menyatakan bahwa
untuk tingkat pohon keadaan komunitas tegakan tinggal relatif sama jika
dibandingkan dengan tegakan hutan primer ketika nilai ID ≤50% dan relatif
berbeda ketika nilai ID ≥50%.
Penelitian lainnya menyatakan bahwa indeks similaritas untuk ketiga lokasi
mempunyai kesamaan yang cukup tinggi yaitu sebesar 61,54% (Anonim 2010).
Ketidaksamaan antara plot SILIN dengan hutan primer terjadi dikarenakan pohon
yang ada sebagian sudah dieksploitasi atau ditebang, sehingga terjadi
pengurangan jenis dan perubahan komposisi tegakan.
Nilai ID untuk komunitas permudaan pada seluruh plot sebagian besar
memiliki nilai ID <50% dan dapat diartikan bahwa komunitas tersebut relatif
sama antar plotnya tetapi, ada pula yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh
dampak penebangan atau keterbukaan lahan yang diikuti pula perubahan
ketersedian air, iklim mikro, kesuburan tanah, dan interaksi antara tanaman.
sehingga mengakibatkan pergantian dominansi permudaan dan pengurangan jenis
pada plot SILIN.
Pernyataan tersebut didukung oleh Whitten (1987) dalam Mansyur (2003)
yang menyatakan bahwa vegetasi tertentu yang tumbuh di daerah tertentu
bergantung kepada faktor seperti kimia tanah, air tanah, iklim, jarak antara
permukaan laut (mdpl), dan jarak dari daerah yang mempunyai kondisi serupa.
Pergantian dominansi dan pengurangan jenis dapat mengubah komposisi tegakan.
Secara umum dari hasil penelitian ini, tidak ada trend yang konsisten antara
peningkatan umur dengan peningkatan kesamaan komunitas pada plot SILIN.
Pengelompokan plot berdasarkan kedekatan komposisi penyusunnya yaitu
nilai Euclidean distance yang berada pada 3,15 dibagi menjadi tiga bagian.
Kelompok pertama terdiri dari hutan primer yang memiliki kedekatan dengan TJ3,
TJ5, dan TJ7. Kelompok kedua terdiri dari TJ1, TJ2, dan TJ4 serta kelompok
ketiga yaitu TJ6 yang mempunyai komposisi penyusun tegakan paling berbeda
dari keseluruhan plot. Hal ini menunjukan bahwa kedekatan komposisi penyusun
tidak tergantung pada umur tegakan disebabkan oleh faktor yang disebutkan di
atas.
Grafik ordinasi menunjukkan posisi perbedaan antara komunitas pohon dan
komunitas permudaannya. Pembuatan grafik ini berdasarkan analisis biplot. Adia
(2008) menyatakan bahwa analisis biplot merupakan teknik statistika yang
digunakan untuk membentuk suatu plot secara simultan, dapat menggambarkan
data dari objek dalam dua dimensi, serta memberikan informasi mengenai
kedekatan antar objek.
Hasil penelitian pada Gambar 5 menunjukan bahwa pengelolaan di areal
bekas tebangan pada plot TJ6 memiliki jarak terdekat dan terdapat pada kuadran
yang sama antara kanopi dan permudaannya. Hal ini, dapat diartikan bahwa plot
TJ6 memiliki komposisi atau jenis penyusun pada permudaan sama dengan
29
Simpulan
1. Sistem silvikultur tebang pilih individu adalah sistem silvikultur yang tepat di
areal bekas tebangan pada plot SILIN RKT 2010 atau TJ6.
2. Sistem silvikultur tebang pilih kelompok adalah sistem silvikultur yang tepat
pada ke enam plot SILIN lainnya yaitu RKT 2005, RKT 2006, RKT 2007,
RKT 2008, RKT 2009 dan RKT 2011.
Saran
1. Perlakuan pemeliharaan yang intensif pada jalur antara perlu dilakukan untuk
memberikan ruang tumbuh anakan alam umur dua tahun ke atas.
2. Penanaman dilakukan pada plot-plot yang mengalami penurunan jumlah
jenis, khususnya jenis nyatoh, cengkuang dan jenis-jenis yang penyebarannya
tidak merata yaitu seperti bangkirai, keruing, meranti merah (S. johorensis),
dan meranti kuning.
3. Penelitian lebih lanjut tentang teknik SILIN khususnya vegetasi di jalur
antara pada tahun selanjutnya perlu dilakukan dan penambahan jumlah plot
SILIN yang diamati.
30
DAFTAR PUSTAKA
Lanjutan Lampiran 2
RIWAYAT HIDUP