Anda di halaman 1dari 58

PENENTUAN BENTUK DAN DIMENSI PLOT CONTOH OPTIMAL

PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN


PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN PEGUNUNGAN BAWAH

MUHAMMAD ADLAN ALI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penentuan Bentuk dan
Dimensi Plot Contoh Optimal Pengukuran Keanekaragaman Spesies Tumbuhan
pada Ekosistem Hutan Hujan Pegunungan Bawah adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2018

Muhammad Adlan Ali


E351140256
RINGKASAN
MUHAMMAD ADLAN ALI. Penentuan Bentuk dan Dimensi Plot Contoh
Optimal Pengukuran Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Ekosistem Hutan
Hujan Pegunungan Bawah. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan YANTO
SANTOSA.

Bentuk dan dimensi plot pengamatan merupakan hal yang paling


fundamental dalam melakukan inventarisasi keanekaragaman hayati. Penentuan
bentuk dan dimensi plot untuk melakukan inventarisasi keanekaragaman spesies
tumbuhan didasarkan pada komposisi spesies tumbuhan dalam komunitas serta pola
distribusi dari setiap spesies dan individu dalam komunitas tersebut. Pola distribusi
tumbuhan secara alami berbeda-beda untuk setiap spesies dan individu.
Inventarisasi kekayaan spesies yang dilakukan baik menggunakan data yang
diambil berdasarkan plot area ataupun berdasarkan data jumlah individu dilapangan
tidak dapat diukur secara akurat karena selalu terjadi bias dalam mengukur jumlah
spesies dalam plot.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui penduga kekayaan
spesies yang paling responsif serta menentukan bentuk dan dimensi plot contoh
yang optimal untuk mengukur keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan hujan
pegunungan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dan Taman Nasional
Betung Kerihun (TNBK). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2015
sampai Maret 2016 di TNGC dan TNBK. Kajian inventarisasi kekayaan spesies
dikumpulkan di lima titik pengamatan berbeda dengan total plot pengamatan
sebanyak 50 plot contoh berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang dengan
empat dimensi berbeda. Analisis data yang digunakan yaitu penduga kekayaan
spesies nonparametrik serta uji-t untuk melihat signifikansi perbedaan bentuk dan
dimensi plot pada kedua lokasi pengamatan.
Penduga kekayaan spesies terbaik adalah penduga Chao 2 dengan nilai
ketepatan dan nilai sensitivitas yang terbaik dari semua penduga kekayaan spesies
tumbuhan yang digunakan. Bentuk plot optimal untuk inventarisasi tumbuhan di
hutan pegunungan di TNBK dan TNGC yaitu bentuk plot persegi panjang karena
bentuk plot tersebut menghasilkan jumlah spesies yang lebih banyak, varian antara
plot yang kecil, varian dalam unit contoh yang besar serta mencakup luasan gradient
lingkungan yang lebih luas. Dimensi plot yang paling optimal di TNBK adalah
dimensi 50x200 m2 karena memperoleh jumlah spesies yang lebih besar dan dapat
mencakup seluruh spesies dengan pola sebaran yang berbeda-beda. Sedangkan
bentuk plot optimal untuk inventarisasi tumbuhan di hutan pegunungan di TNGC
yaitu persegi panjang dengan dimensi 50x200 m2 dan 200x50 m2.

Kata Kunci: Bentuk dan Dimensi Plot, Penduga Kekayaan Spesies, Nonparametrik
SUMMARY

MUHAMMAD ADLAN ALI. Determining Optimal Shape and Dimensions of


Sampling Plot for Measuring Plant Biodiversity in Submontane Tropical Rain
Forest. Supervised by AGUS HIKMAT and YANTO SANTOSA.

The shape and dimensions of plot observation are the most fundamental in
biodiversity inventory. Determination of the shape and dimensions plot to inventory
plant species diversity based on the composition of plant species in the community
and the spatial distribution of plant species and individual in the community. The
spatial distribution of plants varied for each species and individual. An inventory
of species richness using plot areas data and abundace data in the field cannot be
measure accurately because there is always bias in measuring the number of
species.
The purpose of this study are to determine the most responsive species
estimator and determine the optimal shape and dimension of sample plots to
measure the diversity of plant species in submontane rainforest, cased study in
Gunung Ciremai National Park (TNGC) and Betung Kerihun National Park
(TNBK). This study conducted on August 2015 to March 2016 in TNGC and
TNBK. Inventory study of species richness collected in five different observation
points with a 50 total observation squares and rectangles plot with four different
dimensions samples. The data analysis used are nonparametric species richness
estimator and t-test to analyze the significance of differences of shape and
dimensions plots in both observation locations.
The best species richness estimator is Chao 2 estimator with the highest
accuracy and sensitivity values than all plant species richness estimators. The
optimal plot shape for plants inventory in submontane forests in TNBK and TNGC
is rectangular plot because that plot shape cover more species, has a small variants
between plots, high variants in sample units and cross more environmental
gradients. The most optimal plot dimensions in TNBK are 50x200 m2 because that
dimensions get a larger number of species and can cover all species with different
distribution patterns. While the optimal plot shape for plant inventory in
submontane forests in TNGC is a rectangle with 50x200 m2 and 200x50 m2
dimensions.

Keywords: Plot Shape and Dimension, Species Richness Estimator, Nonparametric


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENENTUAN BENTUK DAN DIMENSI PLOT CONTOH OPTIMAL
PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN
PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN PEGUNUNGAN BAWAH

MUHAMMAD ADLAN ALI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:Dr Ir Istomo MSi
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2015-Maret 2016 ini ialah
Inventarisasi tumbuhan, dengan judul Penentuan Bentuk dan Dimensi Plot Contoh
Optimal Pengukuran Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Ekosistem Hutan
Hujan Pegunungan Bawah. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF dan Bapak Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa,
DEA selaku pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan
penulis hingga penulisan tesis ini selesai.
2. Dr. Ir. Istomo MSi selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
masukan dan saran dalam perbaikan thesis.
3. Prof Dr Ir Yanto Santosa yang telah membiayai seluruh rangkaian
kegiatan penelitian ini.
4. Bapak Muhammad Ridwan dan Ibu Halimatussa’diah, orang tua tercinta
yang tidak henti mendoakan dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Kakak-kakak tersayang Irfan Amrillah, Husnul Khotimah, Khaerunniyah,
Hidayatillah, Siti Munawarah, dan Habibullah atas dukungan, bantuan
dan doanya.
6. Tim Survey Flora dan Fauna Taman Nasional Gunung Ciremai (teman-
teman dari UNIKU, Balai TNGC, dan IPB) yang telah membantu dalam
pengumpulan data vegetasi lapangan di Pulau Jawa.
7. Tim Survey Flora dan Fauna Taman Nasional Betung Kerihun (teman-
teman dari UGM, UNTAN, UNIKU, IPB, dan Balai TNBK) yang telah
membantu dalam pengumpulan data lapangan di Pulau Kalimantan.
8. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga,
sahabat Lab Konservasi Tumbuhan Obat Tropika, sahabat Nepenthes
rafflesiana 47, sahabat Fasttrack 47 (Anggita Puspitasari, Ventie Angelia
Nawangsari, Bangkit Maulana, Dimaz Danang Al-Reza, Dini Ayu
Lestari, Rahmi Nur Khairiah, Rahila Junika), Muhammad Ahda Agung
Arifian, Betti Septiana darsono, Meilati Ligardini Manggala, kak Intan
Purnama Sari, kak Yohana dalimunthe, keluarga besar HIMAKOVA,
sahabat KVT 2013 dan KVT 2014, serta seluruh staf pengajar, tata usaha,
laboran, mamang bibi, juga keluarga besar Departemen Konservasi
Biodiversitas Tropika dan Fakultas Kehutanan IPB atas segala doa, kasih
sayang, dan dukungannya.

Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2018

Muhammad Adlan Ali


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Kerangka Pemikiran 5
Hipotesis Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Tujuan Penelitian 6
2 METODE 6
Lokasi dan Waktu Penelitian 6
Alat dan Bahan 6
Jenis Data 7
Metode Pengumpulan Data 7
Analisis Data 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 12
Keanekaragaman Spesies Vegetasi 15
Penduga Kekayaan Spesies 18
Bentuk Plot 22
Dimensi Plot Optimal 25
4 SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
LAMPIRAN 32
RIWAYAT HIDUP 46
DAFTAR TABEL
1 10 spesies tumbuhan dengan kelimpahan tertinggi di TNGC 16
2 10 spesies tumbuhan dengan kelimpahan tertinggi di TNBK 17
3 Selang kepercayaan 95% hasil pengukuran kekayaan spesies di lapangan
(Sobs) dan hasil penduga kekayaan spesies 19
4 Hasil analisis koefisien determinasi penduga kekayaan spesies 22
5 Hasil uji signifikansi perbedaan nilai tengah jumlah spesies bentuk plot
persegi panjang dan bujur sangkar 23
6 Hasil uji signifikansi perbedaan jumlah spesies berdasarkan dimensi plot
pengamatan di TNGC 26
7 Hasil uji signifikansi perbedaan jumlah spesies berdasarkan bentuk plot
pengamatan di TNBK 26

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian 5
2 Bentuk dan ukuran plot awal pengamatan kajian inventarisasi kekayaan
tumbuhan di hutan pegunungan bawah. 8
3 Peta Ketinggian Tempat Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) 13
4 Peta Ketinggian Tempat Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) 14
5 Famili tumbuhan dengan kelimpahan spesies tertinggi di TNGC 15
6 Famili tumbuhan dengan kelimpahan spesies tertinggi di TNGC 16
7 Hasil analisis bias dan ketepatan penduga kekayaan spesies 20
8 Perbandingan jumlah spesies hasil pengamatan bentuk plot bujur sangkar
dan persegi panjang 23
9 Perbandingan jumlah sesies yang diperoleh pada berbagai dimensi plot
pengamatan di TNGC dan TNBK 25

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK 32
2 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNGC 42
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem merupakan suatu kesatuan habitat yang menyediakan kebutuhan


hidup untuk makhluk hidup (Fachrul 2008). Keberadaan ekosistem merupakan
sumber pemanfaaatan ekologi untuk kebutuhan energi, pangan, obat dan kebutuhan
lain untuk menunjang proses kehidupan manusia. Kebutuhan manusia yang tinggi
terhadap ekosistem menjadi sumber penurunan dan hilangnya keanekaragaman
hayati (Rivera et al. 2000) yang menyebabkan perubahan struktur eksosistem
bahkan komunitas ekologi (Fachrul 2008).
Penurunan dan hilangnya keanekaragaman hayati pada beberapa dekade
terakhir ini menjadi perhatian penting di bidang politik, ekonomi, serta lingkungan
(Dufour et al. 2006). Dewasa ini, penurunan dan hilangnya keanekaragaman hayati
banyak terjadi di hutan dataran rendah. Akibatnya, keanekaragaman spesies baik
tumbuhan dan satwa lebih banyak ditemukan di hutan pegunungan bawah.
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dan Taman Nasional Betung
Kerihun (TNBK) merupakan dua kawasan hutan yang ditetapkan sebagai area
konservasi karena memiliki karakteristik hutan pegungan di Pulau Jawa dan
Kalimantan. Kawasan Hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai Taman Nasional
berdasarkan Surat Keputusan Menteri kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004
tentang penunjukan dan perubahan kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai
menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Gunung Ciremai merupakan kawasan
dengan salah satu ekosistem unik karena memiliki ekosistem pegunungan yang
paling dekat dengan laut jawa dibandingkan dengan pegunungan lain yang terdapat
di Pulau Jawa.
Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) ditunjuk sebagai taman nasional
berdasarkan SK Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 476/Kpts-II/1995 tentang
perubahan fungsi dan penunjukan Cagar Alam Bentuang Karimun menjadi Taman
Nasional Bentuang Karimun. Kemudian pada Tahun 1999 melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 510/Kpts-II/1999 nama Taman Nasional
Bentuang Kerimun diubah menjadi Taman Nasional Betung Kerihun. Perubahan
nama ini berdasarkan kondisi di lapangan bahwa terdapat Gunung Betung di
wilayah barat dan Gunung Kerihun di bagian Timur.
Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kehilangan keanekaragaman
hayati maka perlu dilakukan pengelolaan pemanfaatan keanekaragaman hayati
secara berkelanjutan yang menerapkan asas konservasi keanekaragaman hayati.
Rencana konservasi yang efektif membutuhkan pendugaan yang akurat dari data
spesies dan ekosistem yang dikelola dan dilindungi (Hernandez et al. 2006). Condit
(1998) mengatakan bahwa data keanekaragaman hayati yang akurat diperoleh dari
sensus keanekaragama hayati yang terdapat dalam suatu ekosistem atau ekologi
tertentu. Akan tetapi luasnya wilayah sensus, keterbatasan dana, waktu dan
sumberdaya manusia yang tersedia untuk melakukan kegiatan tersebut menjadi
kendala (Cochran 1977). Oleh karena itu untuk memperoleh hal tersebut maka
diperlukan inventarisasi data keberadaan keanekaragaman hayati di dalam suatu
ekosistem atau komunitas tersebut melalui pencuplikan keanekaragaman hayati.
2

Potts et al. (2005) menjelaskan bahwa inventarisasi keanekaragaman


tumbuhan yang ideal harus menghasilkan data kekayaan spesies, persentase spesies
endemik dalam komunitas, dan kedekatan biogeografi dari spesies dalam
komunitas tumbuhan tersebut serta hubungan sistematis flora termasuk kekayaan
spesies di taksa yang lebih tinggi. Keeley dan Fotheringham (2005) menjelaskan
bahwa data empiris dari keanekaragaman hayati yang diperoleh dari inventarisasi
menggunakan desain pencuplikan yang berbeda menghasilkan keanekaragaman
spesies yang berbeda. Laurance et al. (1998) juga menjelaskan bahwa untuk
menghindari terjadinya bias keanekaragaman hayati dalam inventarisasi maka perlu
dilakukan modifikasi bentuk dan ukuran plot pencuplikan.
Laurance et al. (1998) melakukan inventarisasi tumbuhan dengan bentuk plot
bujur sangkar dan persegi panjang dengan ukuran (100x100 m2) dan (40x250 m2)
untuk melihat bias kekayaan spesies pada perbedaan bentuk plot pengamatan.
Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) melakukan inventarisasi tumbuhan dengan
menggunakan nested plot berbentuk plot bujur sangkar dengan luasan 8x8 m2.
Whittaker (1977) dan Shmida (1984) membuat plot standar untuk inventarisasi
keanekaragaman hayati berbentuk perdegi panjang dengan ukuran 20x50 m2.
Stohlgren (1994) menggunakan plot persegi panjang berukuran 10x100 m2 untuk
inventarisasi keanekaragaman tumbuhan, kemudian Stohlgren et al. (1995)
melakukan modifikasi plot Whittaker (1977) dan plot Stohlgren (1994) menjadi
plot berukuran 20x50 m2 dengan sub plot tambahan untuk pengamatan setiap
tingkat pertumbuhan tanaman. Chiarucci et al. (2001) menggunkan plot
pengukuran untuk analisis keanekaragaman tumbuhan pada skala spasial berbeda
dengan bentuk bujur sangkar yang memodifikasi sub plot pengamatan anakan
tumbuhan dan Baccaro et al. (2015) melakukan modifikasi bentuk persegi panjang
dan bujur sangkar dengan luasan 0.01 ha.
Penelitian bentuk dan ukuran plot yang sudah dilakukan tersebut menemukan
bahwa bentuk plot yang paling efektif untuk melakukan inventarisasi tumbuhan
adalah persegi panjang tetapi dimensi dari penempatan bentuk plot tersebut
dilapangan belum diketahui secara pasti. Selain itu, penelitian bentuk dan dimensi
plot yang sudah dilakukan tersebut diambil di daerah sub tropis, sedangkan untuk
daerah tropis Kusuma (2007) memperoleh bentuk dan dimensi plot optimal untuk
inventarisasi tumbuhan di hutan hujan dataran rendah Taman Nasional Kutai
berbentuk bujur sangkar dengan luas 1 600 m2 untuk tingkat pancang dan 12 800
m2 untuk tingkat pohon. Sedangkan untuk hutan hujan tropis pegunungan bawah
belum terdapat penelitian tentang bentuk dan dimensi plot standar untuk
inventarisasi tumbuhan. Menurut Whitmore (1986) karakteristik hutan hujan tropis
pegunungan bawah berada pada ketinggian 500-2500 dari permukaan laut. Oleh
karena itu maka perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut.

Perumusan Masalah

Inventarisasi keanekaragaman hayati di daerah tropis yang banyak dilakukan


oleh para peneliti belum memiliki standar plot optimal (Stohlgren 1994) padahal
banyak buku dan jurnal penelitian yang membahas tentang pentingnya
keanekaragaman hayati (Magurran 1988, Ludwig dan Reynold 1988, Krebs 1989).
Menurut undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1994 tentang
pengesahan United Nations Convention on Biologicaldiversity (CBD) serta
3

undang-undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 2006 tentang pengesahan


International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture
(Protocol Nagoya) bahwa Inventarisasi, pemantauan, dan penghitungan nilai
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup merupakan hal paling mendasar dan
paling penting untuk diperhatikan. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Kusuma
(2007) yang menyatakan bahwa pada berbagai simposium internasional
pembahasan tentang inventarisasi keanekaragaman hayati merupakan agenda
penting seperti yang dibahas dalam simposium internasional di Bangkok tentang
Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and Temperate Forests.
Penggunaan metode kurva akumulasi spesies sulit digunakan untuk
mengukur kekayaan spesies dalam suatu kawasan tertentu hal ini terjadi karena
pengukuran dengan metode kurva akumulasi spesies membutuhkan sampel
pengamatan yang luas atau jumlah individu yang sangat banyak. Selain itu
penyebaran spesies di lapangan sangat beragam (acak, stratified, dan homogen)
sehingga sering kali pengamatan yang dilakukan menemukan individu yang sama
dalam setiap pembuatan sampel pengamatan yang baru. Penggunaan metode kurva
akumulasi spesies lebih mudah dilakukan pada tipe hutan atau kawasan yang
memiliki penyebaran spesies yang homogen karena kurva yang digambarkan lebih
cepat mencapai titik asimtot. Sedangkan pada hutan yang heterogen lebih efektif
untuk melakukan pengamatan kekayaan spesies tumbuhan dengan menggunakan
plot tunggal.
Barnett dan Stohlgren (2003) dan Stohlgren (1998) menemukan bahwa
bentuk plot tunggal menghasilkan 45-79% spesies lebih banyak dibandingkan
metode transek ataupun plot majemuk. Plot tunggal juga memiliki kekurangan yaitu
plot tunggal tidak dapat menjangkau area spesifik dan gradient lingkungan berbeda
yang tidak masuk ke dalam plot pencuplikan (Barnett dan Stohlgren 2003)
Bentuk dan dimensi plot pengamatan merupakan hal yang paling fundamental
dalam melakukan inventarisasi keanekaragaman hayati menggunakan plot tunggal
(Krebs 1989, Laurance et al. 1998, Stohlgren et al. 1995). Penentuan bentuk dan
dimensi plot untuk melakukan inventarisasi keanekaragaman spesies tumbuhan
didasarkan pada komposisi spesies tumbuhan dalam komunitas serta pola distribusi
dari setiap spesies dan individu dalam komunitas tersebut. Pola distribusi tumbuhan
secara alami berbeda-beda untuk setiap spesies dan individu. Kershaw (1957)
menjelaskan bahwa telah banyak peneliti dan teknisi lapangan menyatakan dengan
jelas bahwa individu suatu spesies tumbuhan jarang terdistribusi secara acak dalam
komunitas nya, meskipun beberapa distribusi tumbuhan dapat dijelaskan dengan
karakter biologis dari spesies yang bersangkutan, tetapi terdapat banyak kasus yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan metode ini. Karakteristik pola distribusi
spesies dan individu tumbuhan yang berbeda menjadi dasar pentingnya melakukan
modifikasi dimensi plot sampling dalam melakukan inventarisasi keanekaragaman
spesies tumbuhan. Laurance et al. (1998) menjelaskan bahwa penentuan standar
plot optimal untuk melakukan inventarisasi keanekaragaman spesies tumbuhan
dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi dimensi, bentuk dan ukuran dari plot
inventarisasi.
Menurut Whitmore (1986) terdapat perbedaan karakteristik dan struktur
komunitas tumbuhan pada perbedaan ketinggian tempat dari permukaan laut.
Perbedaan tersebut juga berdampak pada perbedaan kekayaan keanekaragaman
hayati penyusun komunitas tersebut (Whitmore 1986). Variasi keanekaragaman
4

hayati pada perbedaan ketinggian tempat juga dapat dilihat dari phytostruktur
tumbuhan yang tersebar secara horizontal vertical (tegak lurus) ataupun (sejajar)
mengikuti garis kontur. Perbedaan komposisi komunitas tumbuhan yang berbeda-
beda tersebut haruslah bisa terukur dalam pengukuran keanekaragaman tumbuhan
sehingga perlu dilakukan percobaan berbagai dimensi plot pengamatan.
Bentuk plot yang berbeda dengan luasan yang sama memiliki keliling yang
berbeda (Kusuma 2007) yang disebut dengan edge effect (Krebs 1989). Kusuma
(2007) menyebutkan bahwa keanekaragaman spesies tumbuhan bervariasi menurut
ruang, waktu dan luas area pengamatan. Ulrich dan Buszko (2006) juga menyatakan
bahwa kekayaan spesies bergantung dari luas area sampling yang diamati. Selain
itu Whitmore (1986) menjelaskan bahwa pada hutan hujan tropis terdapat kekayaan
spesies yang sangat tinggi pada plot berukuran kecil apalagi jika luas plot sampling
diperbanyak. Sehingga dimensi, luas dan bentuk plot contoh lebih menjadi hal
penting dalam pengukuran keanekaragaman.
Ukuran keanekaragaman hayati dari hasil inventarisasi dapat dinyatakan
dalam bentuk indeks keanekaragaman hayati atau dengan nilai kekayaan spesies
yang terukur secara langsung. Pengukuran kekayaan spesies merupakan hal yang
paling mendasar dalam melakukan pengukuran keanekaragaman hayati (Ludwig
dan Reynolds 1988, Krebs 1989). Hal ini sesuai dengan pernyataan Colwell dan
Coddington (1994) yang menyatakan bahwa kekayaan spesies merupakan suatu hal
mendasar untuk berbagai bidang dalam ekologi komunitas. Pengukuran kekayaan
spesies pertama kali dilakukan dengan mengukur jumlah spesies dalam individu
(Colwell et al. 2012), tetapi banyak penelitian lain menggunakan pengukuran
kekayaan spesies berdasarkan sampling area atau plot area.
Inventarisasi kekayaan spesies yang dilakukan baik menggunakan data yang
diambil berdasarkan plot area ataupun berdasarkan data jumlah individu dilapangan
tidak dapat diukur secara akurat karena selalu terjadi bias dalam mengukur jumlah
spesies dalam plot (Colwell et al. 2004, Colwell et al. 2012, Gotteli dan Chao 2013).
Efek dari pengukuran yang bias dari pengukuran kekayaan spesies jelas tergambar
dalam kurva akumulasi spesies (Species accumulation curve) yang
menggambarkan hubungan antara jumlah individu sampel atau unit sampel yang
diambil dengan jumlah spesies yang diperoleh dari sampel yang diambil (Gotteli
dan Chao 2013). Bias yang terjadi umumnya disebabkan karena terdapat spesies
langka yang tidak ditemukan dalam plot (underestimate) (Colwell et al. 2004,
Colwell et al. 2012, Gotteli dan Chao 2013) dan kesalahan identifikasi spesies yang
dilakukan oleh pengamat (overestimate dan underestimate). Hal tersebut menjadi
konsen beberapa ekolog dalam menentukan beberapa estimator untuk
mengestimasi kekayaan spesies (Hulbert 1971, Colwell et al. 2004, Colwell et al.
2012, Gotteli dan Chao 2013), akan tetapi belum diketahui estimator terbaik dari
estimator tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian diantaranya:
1. Apakah terdapat perbedaan hasil nilai kekayaan spesies yang diperoleh dari
perbedaan bentuk plot pengamatan di hutan hujan pegunungan bawah?
2. Apakah terdapat perbedaan hasil nilai kekayaan spesies yang diperoleh dari
perbedaan dimensi plot pengamatan di hutan hujan pegunungan bawah?
3. Bagaimana cara menentukan kekayaan spesies sebenarnya yang diperoleh dari
hasil pengambilan contoh di lapangan?
5

Kerangka Pemikiran

Hasil dari perumusan masalah dapat digambarkan dalam suatu kerangka pikir
yang memperlihatkan alur penelitian (Gambar 1). Alur penelitian memperlihatkan
bahwa teori dasar penentuan dimensi plot didasarkan pada phytostruktur dan pola
distribusi spesies dan individu tumbuhan sedangkan teori dasar penentuan luas plot
didasarkan pada komposisi spesies dalam komunitas tumbuhan yang diamati.

Keanekaragaman Hayati
Tumbuhan Hal mendasar untuk berbagai
bidang dalam ekologi

Inventarisasi, pemantauan,
Penyediaan data dasar untuk
dan penghitungan nilai
aksi konservasi
keanekaragaman hayati

Menjaga keberlanjutan ekologi


dan pemanfaatannya

Pendugaan kekayaan spesies Pengukuran kekayaan spesies


menggunakan kurva spesies secara langsung dilapangan
area

Penduga tidak bias  Bentuk dan Dimensi plot belum jelas


Penduga sensitif  Identifikasi kekayaan spesies belum
Penduga terbaik tepat
 Komposisi keanekaragaman spesies
tumbuhan dalam komunitas yang
sangat tinggi dan beragam
 Pola distribusi tumbuhan tidak hanya
menyebar secara acak
 Variasi keanekaragaman spesies
tumbuhan berdasarkan phytostruktur
yang berbeda-beda

Penduga kekayaan spesies Bentuk dan dimensi plot optimal


yang paling baik inventarisasi keanekaragaman tumbuhan

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian


6

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:


1. Penduga Kekayaan spesies nonparametrik untuk menduga kekayaan spesies
tumbuhan adalah penduga spesies Chao 2.
2. Bentuk plot contoh optimal untuk inventarisasi keanekaragaman spesies
tumbuhan di Taman Nasional Gunung Ciremai dan Taman Nasional Betung
Kerihun adalah bentuk persegi panjang
3. Dimensi plot contoh optimal untuk inventarisasi keanekaragaman spesies
tumbuhan di Taman Nasional Gunung Ciremai dan Taman Nasional Betung
Kerihun adalah bentuk persegi panjang dengan dimensi 50x200 m2.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu metode baku dalam
pengukuran dan pemantauan keanekaragaman spesies tumbuhan di Taman
Nasional Gunung Ciremai dan Taman Nasional Betung Kerihun.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:


1. Untuk mengetahui penduga kekayaan spesies nonparametrik yang paling
responsif dan paling baik untuk menduga kekayaan spesies tumbuhan.
2. Menentukan bentuk plot contoh yang optimal untuk mengukur keanekaragaman
spesies tumbuhan di hutan hujan pegunungan Taman Nasional Gunung Ciremai
dan Taman Nasional Betung Kerihun.
3. Menentukan dimensi plot contoh yang optimal untuk mengukur
keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan hujan pegunungan Taman Nasional
Gunung Ciremai dan Taman Nasional Betung Kerihun.

2 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi pengambilan data dilakukan di Taman Nasional Ciremai, Kabupaten


Kuningan, Jawa Barat dan Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat. Kegiatan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli
2015-Maret 2016.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian ini antara lain Global Positioning
System (GPS) Garmin untuk menentukan koordinat wilayah pengamatan. Kamera
sebagai alat dokumentasi. Koran bekas untuk pembuatan spesimen herbarium
berupa daun dan herba tumbuhan bawah atau bagian tumbuhan lainnya yang belum
7

teridentifikasi di lapangan. Tally sheet untuk merekapitulasi data lapangan. Pita


diameter untuk mengukur diameter tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang dan
pohon. Label gantung sebagai penanda spesimen, alat tulis, tali tambang, serta tali
rafia untuk pembuatan plot dan subplot pengamatan. Sedangkan bahan yang
digunakan yaitu alkohol 70% sebagai bahan pengawet spesimen herbarium.

Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah: (1) data primer, yaitu jumlah
spesies dan individu tumbuhan di Taman Nasional Ciremai dan Taman Nasional
Betung Kerihun dan (2) data sekunder, yaitu data kawasan berupa sejarah, topografi
dan perkembangan pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan
Taman Nasional Betung Kerihun.

Metode Pengumpulan Data

Variabel yang dikumpulkan adalah jumlah individu dari spesies-spesies


tumbuhan pada tingkat pohon. Hidayat dan Hardiansyah (2012) membuat kriteria
tingkat Pertumbuhan pohon dengan diameter diatas 20 cm. Variabel tersebut diukur
pada setiap dimensi plot pengamatan kemudian di transformasikan ke dalam plot
kurva akumulasi spesies untuk melihat pertambahan spesies pada setiap
pertambahan luasan.

Bentuk dan Dimensi Unit Contoh Pengamatan


Kajian inventarisasi kekayaan spesies dikumpulkan di lima titik pengamatan
berbeda dengan total plot pengamatan sebanyak 50 plot contoh berbentuk bujur
sangkar dan persegi panjang dengan empat dimensi berbeda. Setiap dimensi plot
contoh yang diambil dilakukan 10 kali pengulangan untuk melihat pertambahan
jumlah spesies dalam setiap ulangan. Pada setiap plot besar terdapat lima subplot
kecil untuk mengumpulkan data pertumbuhan anakan dengan kriteria tingkat semai
pada sub plot 4 m2, tingkat pancang pada sub plot 25 m2, dan tingkat tiang pada sub
plot 100 m2.
Pengambilan plot contoh dari setiap dimensi dan luasan plot pengamatan serta
pengulangannya dilakukan pada ketinggian 150-1800 mdpl. Untuk ketinggian 150-
700 mdpl data diambil di TNBK sedangkan untuk ketinggian 700-1800 diambil di
TNGC. Bentuk dan ukuran plot pengamatan yang digunakan pada saat pengamatan
ditampilkan pada Gambar 2.

Analisis Data

Kekayaan Spesies
Penentuan penduga kekayaan spesies yang sesuai digunakan perbandingan
antara nilai kekayaan dilapangan dengan nilai kekayaan spesies harapan dari
keseluruhan penduga yang digunakan. Perbandingan dilakukan dengan membuat
hubungan regresi dari masing-masing estimator dengan nilai kekayaan spesies
observasi. Persamaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu (Sugiono 2013)
8

b
c

e
Keterangan: arah panah pada seluruh bentuk plot tegak lurus terhadap garis kontur

Gambar 2 Bentuk dan ukuran plot awal pengamatan kajian inventarisasi kekayaan
tumbuhan di hutan pegunungan bawah. a) Plot persegi panjang dengan
ukuran 250x40 m2. b) Plot persegi panjang dengan ukuran 200x50 m2. c)
Plot persegi panjang dengan ukuran 50x200 m2. d) Plot persegi panjang
dengan ukuran 400x25 m2 plot bujur sangkar dengan ukuran 100x100 m2.
e) Plot bujur sangkar dengan ukuran 100x100 m2.
9

𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏
Dimana y merupakan kekayaan spesies yang diperoleh dilapangan dan x
merupakan nilai kekayaan spesies harapan yang diduga dengan menggunakan
penduga kekayaan spesies. Penduga tidak bias kekayaan spesies yang paling
sensitif diperoleh dari perbandingan nilai P-value dan koefisien determinasi (R
Square) dari setiap persamaan regresi yang diperoleh. Selain itu, peubah lain yang
digunakan dalam menentukan penduga spesies terbaik adalah nilai bias, ketepatan
serta selang kepercayaan.
Penduga tidak bias kekayaan spesies yang digunakan pada penelitian ini
menggunakan 7 penduga kekayaan spesies. Keseluruhan penduga kekayaan spesies
yang digunakan merupakan penduga kekayaan nonparametrik. Penduga kekayaan
spesies nonparametrik merupakan penduga paling baik diantara penduga kekayaan
spesies lain (penduga ekstrapolasi asimtotik dan rarefraction) (Colwell dan
Coddington 1994, Gotelli dan Chao 2013). Penduga kekayaan spesies yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain Penduga penduga kekayaan spesies Chao
1, penduga kekayaan spesies Chao 2, penduga kekayaan spesies Jackknife orde 1,
penduga kekayaan spesies Jackknife orde 2, penduga kekayaan spesies Incidence-
based Coverage Estimator (ICE), penduga kekayaan spesies Abundance-based
Coverage Estimator (ACE), dan penduga kekayaan spesies Bootstrap.
Chao (1984) menggunakan f1 (singleton) dan f2 (doubleton) yang merupakan
spesies paling jarang ditemukan pada pengamatan untuk menduga nilai kekayaan
spesies dengan persamaan ŜChao1 (Chao 1984):
𝑓1 2
𝑆𝑜𝑏𝑠 + 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑓2 > 0
Ŝ𝐶ℎ𝑎𝑜1 = 2𝑓2 … … … … … … [1]
𝑓1 (𝑓1 − 1)
𝑆𝑜𝑏𝑠 + 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑓2 = 0
{ 2
Dengan penduga asosiasi variansnya (jika f2>0):
1 𝑓1 2 𝑓1 3 1 𝑓1 4
𝑣â𝑟(Ŝ𝐶ℎ𝑎𝑜1 ) = 𝑓2 [ ( ) + ( ) + ( ) ] … … … … … … [2]
2 𝑓2 𝑓2 4 𝑓2
Keterangan:
ŜChao1 : Penduga kekayaan spesies Chao 1
Sobs : Kekayaa spesies hasil pengamatan
f1 : Spesies unik yang hanya ditemukan berjumlah satu individu (singleton)
f2 : Spesies unik yang hanya ditemukan berjumlah dua individu (doubleton)
vâr(ŜChao1 ) : Varian penduga kekayaan spesies Chao 1

Untuk data insiden Chao (1987) menggunakan ŜChao2 untuk menduga nilai
kekayaan spesies dari frekuensi insiden terendah (Q1 dan Q2) pada plot sampel yang
(𝑅−1)
diamati dan menggunakan faktor koreksi untuk data ukuran sampel dengan 𝑅
(Chao 1987):
𝑅 − 1 𝑄1 2
𝑆𝑜𝑏𝑠 + [( ) ] 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑄2 > 0
𝑅 2𝑄2
Ŝ𝐶ℎ𝑎𝑜2 = … … … [3]
𝑅 − 1 𝑄1 (𝑄1 − 1)
𝑆𝑜𝑏𝑠 + [( ) ] 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑄2 = 0
{ 𝑅 2
Dengan penduga variansnya (jika Q2>0):
10

𝐴 𝑄1 2 2
𝑄1 3 1 2 𝑄1 4
𝑣𝑎̂𝑟(Ŝ𝐶ℎ𝑎𝑜2 ) = 𝑄2 [ ( ) + 𝐴 ( ) + 𝐴 ( ) ] … … … … [4]
2 𝑄2 𝑄2 4 𝑄2
Keterangan:
ŜChao2 : Penduga kekayaan spesies Chao 2
Sobs : Kekayaa spesies hasil pengamatan
Q1 : Spesies unik yang hanya ditemukan pada satu plot pengamatan (singleton)
Q2 : Spesies unik yang hanya ditemukan pada dua plot pengamatan (doubleton)
vâr(ŜChao2 ) : Varian penduga kekayaan spesies Chao 2
R : Jumlah plot pengamatan
(R-1)
A : faktor faktor koreksi untuk data ukuran contoh R .Untuk f2 = 0 pada data
kelimpahanŜChao1dan Q2 = 0 untuk data insidenŜChao2penduga varians untuk
keduanya serupa dengan varians pada persamaan [2] dan persamaan [4]
(Chao dan Sen 2010).

Pendugaan kekayaan spesies dengan metode ACE (Abundance-based


Coverage Estimator) di kembangkan oleh Anne Chao (Gotteli dan Chao 2013).
Chao (2005) merumuskan ŜACE seperti:
𝑆𝑟𝑎𝑟𝑒 𝑓1 2
Ŝ𝐴𝐶𝐸 = 𝑆𝑎𝑏𝑢𝑛 + + 𝛾̂ … … … … [5]
Ĉ𝑟𝑎𝑟𝑒 Ĉ𝑟𝑎𝑟𝑒 𝑟𝑎𝑟𝑒
Dimana 𝑆𝑎𝑏𝑢𝑛 = ∑𝑖>𝑘 𝑓𝑖 dianggap jumlah total spesies yang diamati pada
kelompok kelimpahan spesies, 𝑆𝑟𝑎𝑟𝑒 = ∑𝑘𝑖=1 𝑓𝑖 jumlah spesies yang diamati di
𝑓
dalam kelompok spesies yang jarang dan Ĉ𝑟𝑎𝑟𝑒 = 1 − 𝑛 1 merupakan dugaan
𝑟𝑎𝑟𝑒
proporsi dari total jumlah N individu di dalam komunitas yang direpresentasikan
ke dalam spesies yang terekam di dalam sampel. Dimana 𝛾̂ 2 𝑟𝑎𝑟𝑒 merupakan kuadrat
dari koefisien variasi penduga untuk kelimpahan relatif spesies:
𝑆𝑟𝑎𝑟𝑒 ∑𝑘𝑖=1 𝑖(𝑖 − 1)𝑓𝑖
2
𝛾̂ 𝑟𝑎𝑟𝑒 = 𝑚𝑎𝑥 { − 1.0} … … … … [6]
Ĉ𝑟𝑎𝑟𝑒 (∑𝑘𝑖=1 𝑖𝑓𝑖 )(∑𝑘𝑖=1 𝑖𝑓𝑖 − 1)
Untuk data insiden, Chao (2005) menggunakan pendugaan ICE (incidence-
based Coverage Estimator). Pada metode ini sama seperti ACE, 𝑆𝑓𝑟𝑒𝑞 =
∑𝑖>𝑘 𝑄𝑖 jumlah total spesies yang diamati pada kelompok yang sering dijumpai atau
dominan, 𝑆𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 = ∑𝑘𝑖=1 𝑄𝑖 jumlah spesies yang diamati di dalam kelompok yang
𝑄𝑖
jarang adalah dan Ĉ𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 = 1 − ∑𝑘 dugaan cakupan sampel dari kelompok
𝑖=1 𝑖𝑄𝑖
yang jarang. ICE dirumuskan seperti:
𝑆𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 𝑄1
Ŝ𝐼𝐶𝐸 = 𝑆𝑓𝑟𝑒𝑞 + + 𝛾̂ 2 … … … … [7]
Ĉ𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 Ĉ𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞
Dimana 𝛾̂ 2 𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 merupakan kuadrat dari koefisien variasi penduga untuk
kelimpahan relatif spesies:
𝑆𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 𝑅𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 ∑𝑘𝑖=1 𝑖(𝑖 − 1)𝑄𝑖
𝛾̂ 2 𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 = 𝑚𝑎𝑥 { − 1.0} … … … … [8]
Ĉ𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 (𝑅𝑖𝑛𝑓𝑟𝑒𝑞 − 1) (∑𝑘𝑖=1 𝑖𝑄𝑖 )(∑𝑘𝑖=1 𝑖𝑄𝑖 − 1)

Jackknife orde pertama di rumuskan dengan persamaan (Heltshe and


Forrester 1983, Colwell and Coddington 1994):
11

𝑅−1
Ŝ𝑗𝑘1 = 𝑆𝑜𝑏𝑠 + 𝑄1 … … … … [9]
𝑅
Keterangan:
Ŝjk1 : Penduga kekayaan spesies Jackknife orde 1
Sobs : Kekayaa spesies hasil pengamatan
Q1 : Spesies unik yang hanya ditemukan pada satu plot pengamatan (singleton)
R : Jumlah plot pengamatan

Jackknife orde kedua di rumuskan dengan persamaan (Heltshe and Forrester


1983, Colwell and Coddington 1994):
2𝑅 − 3 (𝑅 − 2)2
Ŝ𝑗𝑘2 = 𝑆𝑜𝑏𝑠 + 𝑄1 − 𝑄 … … … … [10]
𝑅 𝑅(𝑅 − 1) 2

Keterangan:
Ŝjk2 : Penduga kekayaan spesies Jackknife orde 2
Sobs : Kekayaa spesies hasil pengamatan
Q1 : Spesies unik yang hanya ditemukan pada satu plot pengamatan (singleton)
Q2 : Spesies unik yang hanya ditemukan pada dua plot pengamatan (doubleton)
R : Jumlah plot pengamatan

Penduga kekayaan bootstrap dapat dihitung dengan persamaan (Efron 1979,


Smith and van Belle1984, Colwell and Coddington 1994):
𝑆𝑜𝑏𝑠
𝑛
𝑆𝑏𝑜𝑜𝑡𝑠 = 𝑆𝑜𝑏𝑠 + ∑ (1 − 𝑝𝑗 ) … … … … … … [11]
𝑗=1
Keterangan:
Ŝboots : Penduga kekayaan spesies Bootstrap
Sobs : Kekayaa spesies hasil pengamatan
Pj : proporsi kuadrat dari spesies j
n : jumlah plot pengamatan

Pengujian Hipotesis
Untuk menentukan bentuk dan dimensi plot yang optimal untuk melakukan
inventarisasi kekayaan spesies tumbuhan di hutan pegunungan dilakukan pengujian
hipotesis dengan membandingkan rata-rata jumlah spesies kelima dimensi plot
contoh dan masing - masing luas plot contoh dari dimensi yang terpilih, dengan
persamaan (Walpole 1982, Jhonson dan Bhattacharyya 2010, Kent dan Coker
1992):
𝑥̅ − 𝑦̅
𝑡= … … … … … … [12]
𝑆𝑥 2 𝑆𝑦 2
√ +𝑛
𝑛
𝑥−1 𝑦−1

Derajat bebas yang digunakan (Walpole 1982):


12

2
𝑆 2 𝑆2 2
( 𝑛1 + )
1 𝑛2
𝑑𝑓 = 2 2 2 2
… … … … … … [13]
𝑆 𝑆
( 1 ) ( 2 )
𝑛1 𝑛2
+
𝑛1 −1 𝑛2 −1

Hipotesis diformulasikan dengan:


 H0 = 0, Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan sama pada
berbagai bentuk plot contoh dengan taraf uji a 5% (𝑡∝⁄2 = 0.025)
 H1 ≠ 0, Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan tidak sama pada
berbagai bentuk plot contoh dengan taraf uji a 5% (𝑡∝⁄2 = 0.025)
 H0 = 0, Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan sama pada
berbagai dimensi plot contoh dengan taraf uji a 5% (𝑡∝⁄2 = 0.025)
 H1 ≠ 0, Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan tidak sama pada
berbagai dimensi plot contoh dengan taraf uji a 5% (𝑡∝⁄2 = 0.025)
Kaidah keputusan ditentukan dengan menolak H0 jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 pada
taraf uji α 5 % (Walpole 1982, Jhonson dan Bhattacharyya 1987) yang berarti
bahwa kedua bentuk plot contoh, dan kedua dimensi plot contoh yang dibandingkan
memiliki keanekaragaman spesies yang berbeda.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Secara umum, kondisi umum kedua lokasi penelitian berada pada ketinggian
100 m – 3 078 m dpl diatas permukaan laut dengan kondisi topografi bergelombang,
berbukit dan bergunung. Kondisi iklim pada kedua kawasan menurut klasifikasi
Schmidt dan Fergusson berada pada tipe A, B, dan C dengan curah hujan 2 000 – 5
000 mm per tahun. Kondisi umum dari setiap lokasi penelitian dijelaskan lebih
lanjut pada sub-sub bab berikut

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)


Kawasan Hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai Taman Nasional
berdasarkan Surat Keputusan Menteri kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004
tentang penunjukan dan perubahan kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai
menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Gunung Ciremai merupakan kawasan
dengan salah satu ekosistem unik karena memiliki ekosistem pegunungan yang
paling dekat dengan laut jawa dibandingkan dengan pegunungan lain yang terdapat
di Pulau Jawa. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) tergolong kedalam
gunung aktif dengan kasifikasi A (strato). Selain itu, kawasan TNGC merupakan
kawasan penting bagi masyarakat di tiga kabupaten (Kuningan, Cirebon, dan
Majalengka) karena merupakan daerah tangkapan air bagi ketiga kabupaten
tersebut.
Secara fisik jenis tanah di TNGC berasal dari batuan vulkanik tua maupun
vulkanik muda yang terbentuk dari aktivitas vulkanik Gunung Ciremai. Topografi
kawasan termasuk bergeombang, berbukit, hingga bergunung dengan ketinggian
13

mencapai 3 078 m dpl (Gambar 3). Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson
kawasan TNGC masuk kedalam tipe iklim B dan C dengan curah hujan 2 000 - 4
000 mm per tahun dengan temperatur udara 18-22 oC. Kawasan TNGC kaya dengan
sumber daya air berupa sungai dan mata air dengan total 156 titik mata air, dan 147
mata air diantaranya mengalirkan air sepanjang tahun.
TNGC memiliki tiga tipe ekosistem yang relatif utuh yaitu tipe hutan dataran
rendah, hutan hujan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas. Kawasan
hutan TNGC memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi. Spesies
tumbuhan yang dapat dijumpai di TNGC antara lain pinus (Pinus merkusii),
Saninten (Castanopsis javanica), nangsi (Oreocnide rubescens), mahang
(Macaranga denticulata), pasang (Lithocarpus sundaicus), medang (Elaeocarpus
stipularis), dan beringin (Ficus sp.). Spesies satwaliar yang dapat dijumpai antara
lain macan kumbang (Panthera pardus), kijang (Muntiacus muntjak), landak
(Hystrix brachyura), babi hutan (Sus sp.), kera abu-abu (Macaca fascicularis),
surili (Presbytis comata), elang jawa (Spizaetus bartelsii), dan ular sanca (Phyton
sp.)

Gambar 3 Peta Ketinggian Tempat Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)

Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK).


Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) ditunjuk sebagai taman
nasional berdasarkan SK Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 476/Kpts-
II/1995 tentang perubahan fungsi dan penunjukan Cagar Alam Bentuang Karimun
menjadi Taman Nasional Bentuang Karimun. Kemudian pada Tahun 1999 melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 510/Kpts-II/1999 nama
Taman Nasional Bentuang Kerimun diubah menjadi Taman Nasional Betung
14

Kerihun. Perubahan nama ini berdasarkan kondisi di lapangan bahwa terdapat


Gunung Betung di wilayah barat dan Gunung Kerihun di bagian Timur.
Secara Fisik kawasan TNBK termasuk kedalam topografi berbukit dan
bergunung dengan ketinggian mencapai 2 000 m dpl (Gambar 4). Tipe ekosistem
yang terdapat di TNBK yaitu hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan
pegunungan. Sebagian besar kawasan TNBK memiliki kelerengan diatas 45%
(61.15% dari total kawasan) sedangkan sisanya berada pada kisaran kelerengan
25%-45% (Trimarsito 2010). Iklim di TNBK termasuk dalam tipe iklim A dalam
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan 2 683 - 5 517 mm per
tahun.
Kondisi ekositem TNBK yang berbukit menghasilkan banyak jaringan anak
sungai yang membentuk lima daerah aliran sungai (DAS) besar dikawasan tersebut
yaitu DAS Kapuas, DAS Sibau, DAS Mendalam, DAS Bungan, dan DAS Embaloh.
Berdasarkan pengamatan Trimarsito (2010), kawasan hutan di Taman Nasional
Betung Kerihun dapat dikelompokkan menjadi delapan tipe ekosistem. Kedelapan
tipe hutan tersebut adalah Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah (Low Land
Dipterocarp Forest), Hutan Aluvial (Alluvial Forest), Hutan Rawa (Swamp Forest),
Hutan Sekunder Tua (Old Secondary Forest), Hutan Dipterocarpaceae Bukit (Hill
Dipterocarp Forest), Hutan Berkapur (Limestone Forest), Hutan Sub-Gunung (Sub-
Montane Forest), dan Hutan Gunung (montane forest).

Gambar 4 Peta Ketinggian Tempat Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK)


Keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa di TNBK tergolong tinggi.
Spesies tumbuhan yang dominan dijumpai di TNBK yaitu spesies-spesies
Dipterocarpaceae dari genus Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea,
15

Shorea, Vatica. Spesies tumbuhan lain yang dapat dijumpai di kawasan TNBK
yaitu spesies-spesies dari Family Euphorbiaceae, Clusiaceae, dan Burseraceae.
Jenis satwa yang berada didalam kawasan yaitu sebanyak 48 spesies mamalia,
112 spesies ikan, 301 spesies burung, dan 103 spesies herpetofauna. Spesies
mamalia yang dapat dijumpai yaitu (Neofolis nebulosa), Kucing Hutan (Felis
bengalensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Kijang (Muntiacus muntjak),
Kijang Emas (Muntiacus atherodes), Rusa Sambar (Cervus sp), Kancil (Tragulus
napu), berang-berang (Lutra Sumatrana), orang utan (Pongo pygmaeus),
kelampiau (Hylobates muelleri), Hout (Presbytis frontata), kelasi (Presbytis
rubicunda), beruk (Macaca nemestrina), kera (Macaca fascicularis), dan tarsius
(Tarsius bancanus).

Keanekaragaman Spesies Vegetasi

Hasil pengamatan keanekaragaman spesies tumbuhan di TNGC memperoleh


100 spesies pohon dari 36 famili (Lampiran 2). Famili tumbuhan dengan
kelimpahan spesies tertinggi yaitu Famili Lauraceae 10 spesies; Moraceae sembilan
spesies; Fabaceae tujuh spesies; Euphorbiaceae, Meliaceae, Myrtaceae, dan
Rubiaceae masing-masing 5 spesies; serta Famili Malvaceae dan Primulaceae
sebanyak 7 spesies (Gambar 5).

12
10
Jumlah Spesies

8
6
4
2
0

Family

Gambar 5 Famili tumbuhan dengan kelimpahan spesies tertinggi di TNGC


Spesies tumbuhan dengan kelimpahan tertinggi di kawasan TNGC yaitu
Saninten (Castanopsis argentea), Ki bonteng (Dysoxylum arborescens), Pinus
(Pinus merkusii), Huru (Actinodaphne glomerata), Puspa (Schima walichii), Ki
pare (Syzygium zeylanicum), Kareumbi (Homalanthus populneus), Elaeocarpus
sp., Kedoya (Dysoxylum alliaceum), dan Huru muncang (Ostodes paniculata)
(Tabel 1). Spesies Pinus dan Kareumbi merupakan Spesies yang melimpah pada
ketinggian 700-1200 m dpl, karena kawasan ini merupakan kawasan hutan
terganggu akibat kebakaran lahan. Sedangkan Spesies lainnya melimpah pada
ketinggian diatas 1200 m dpl.
16

Tabel 1 10 spesies tumbuhan dengan kelimpahan tertinggi di TNGC


No Nama Lokal Nama Ilmiah Family Jumlah Individu
1 Saninten Castanopsis argentea Fagaceae 254
2 Ki bonteng Dysoxylum arborescens Meliaceae 155
3 Pinus Pinus merkusii Pinaceae 118
4 Huru Actinodaphne glomerata Lauraceae 94
5 Puspa Schima walichii Theaceae 84
6 Ki pare Syzygium zeylanicum Myrtaceae 62
7 Kareumbi Homalanthus populneus Euphorbiaceae 51
8 - Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae 49
9 Kedoya Dysoxylum alliaceum Myrtaceae 45
10 Huru muncang Ostodes paniculata Euphorbiaceae 31

Walaupun spesies-spesies yang telah disebutkan tergolong melimpah, diatas


ketinggian 1500 m dpl lebih banyak dijumpai spesies Podocarpus imbricatus dan
Dacrycarpus neriifloius. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Goltenbolth et al.
(2012) bahwa hutan-hutan pegunungan di Jawa Barat dicirikan ole empat spesies
pohon yaitu Podocarpus imbricatus, Dacrycarpus neriifloius, Altingia excelsa dan
Schima walichii.
Hasil berbeda diperoleh di TNBK, keanekaragaman spesies tumbuhan yang
diperoleh sebanyak 433 spesies pohon dari 71 Famili (Lampiran 1). Famili
tumbuhan dengan kelimpahan Spesies tertinggi yaitu Famili Dipterocarpaceae 52
spesies, Phyllanthaceae 30 spesies, Euphorbiaceae 26 spesies, Annonaceae 25
spesies, Fabaceae 21 spesies, Burseraceae 20 spesies, Malvaceae 18 spesies,
Anacardiaceae dan Meliaceae masing-masing 14 spesies, serta Famili Myrtaceae
sebanyak 13 spesies (Gambar 6).

60
50
40
Jumlah Spesies

30
20
10
0

Family

Gambar 6 Famili tumbuhan dengan kelimpahan spesies tertinggi di TNGC

Spesies tumbuhan dengan kelimpahan tertinggi di TNBK yaitu Kapur putih


(Chisocheton patens), Meranti Putih (Shorea parvifolia), Meranti (Shorea
brunnescens), Kapur Kuning (Aglaia leptantha), Meranti kuning (Shorea
17

beccariana), Keruing (Dipterocarpus caudiferus), Kelansau (Dryobalanops


oblongifolia), Ubah merah (Syzygium racemosum), Keladan (Hopea ferruginea),
Meranti merah (Shorea sagittata) (Tabel 2). Spesies-spesies tumbuhan Shorea spp.
dan Chisocheton sp. paling melimpah di sub das Kapuas hulu, sedangkan spesies
lain nya tersebar merata pada keseluruhan sub das yang diamati.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hamann et al. (1999) yang
melakukan penelitian dengan menggunakan plot persegi panjang dengan dimensi
500 x 20 m2 dan menemukan 92 Spesies tumbuhan di hutan pegunungam bawah
Filipina. Hamann et al. (1999) memperoleh spesies-spesies dominan dari suku
Dipterocarpaceae dan Euphorbiaceae, serta beberapa Spesies dari suku lain seperti
Lauraceae, Burseraceae, Sapotaceae, Rubiaceae, dan Myrtaceae.
Perbedaan komposisi dan struktur tumbuhan yang ditemukan di TNGC dan
TNBK menunjukkan perbedaan tipe ekosistem dari kedua lokasi tersebut. Terdapat
beberapa hal mendasar yang menyebabkan perbedaan hal tersebut menurut
Goltenbolth et al. (2012) yaitu peristiwa gunung berapi, umur tanah, efek
massenerhebung, dan zona kejadian permanen atau tidak.

Tabel 2 10 spesies tumbuhan dengan kelimpahan tertinggi di TNBK


Jumlah
No Nama Lokal Nama Ilmiah Family
Individu
1 Kapur putih Chisocheton patens Meliaceae 864
2 Meranti Putih Shorea parvifolia Dipterocarpaceae 456
3 Meranti Shorea brunnescens Dipterocarpaceae 386
4 Kapur Kuning Aglaia leptantha Meliaceae 277
5 Meranti kuning Shorea beccariana Dipterocarpaceae 264
6 Keruing Dipterocarpus caudiferus Dipterocarpaceae 224
7 Kelansau Dryobalanops oblongifolia Dipterocarpaceae 138
8 Ubah merah Syzygium racemosum Myrtaceae 130
9 Keladan Hopea ferruginea Dipterocarpaceae 110
10 Meranti merah Shorea sagittata Dipterocarpaceae 97

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa faktor peristiwa gunung


berapi dan pola distribusi asal spesies tumbuhan mempengaruhi perbedaan kedua
ekosistem TNGC dan TNBK. Umumnya Spesies-Spesies pegunungan di Jawa
termasuk ke dalam hutan pegunungan berapi (termasuk TNGC), sedangkan hutan
pegunungan di Kalimantan tidak termasuk pegunungan berapi (Goltenbolth et al.
2012). Van steenis (2006) menjelaskan spesies-spesies tumbuhan di Kalimantan
berasal dari dataran utama (mainland) Asia Tenggara dan Asia bagian selatan,
sedangkan spesies-sesies tumbuhan yang terletak di pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara berasal dari daratan Australo-Melanesia.
Persebaran spesies tumbuhan yang berasal dari daratan utama asia tenggara
menjadikan TNBK kaya spesies-spesies tumbuhan dari Famili Dipterocarpaceae.
Sedangkan, spesies-spesies tumbuhan di TNGC di dominasi oleh spesies-spesies
tumbuhan dari Famili Fagaceae, Lauraceae, dan Podocarpaceae pada areal hutan
yang tidak terganggu. Selain itu, pegunungan di Kalimantan hanya mencapai
ketinggian maksimum 2 000 mdpl sedangkan di Jawa dapat mencapai lebih dari 3
000 m dpl (Goltenbolth et al. 2012). Perbedaan ini berpengaruh pada temperatur
18

udara yang dapat mempengaruhi komposisi dan struktur spesie tumbuhan di kedua
lokasi.

Penduga Kekayaan Spesies

Selang Kepercayaan 100 (1-α)


Tabel 3 menunjukkan hasil pengukuran kekayaan spesies (Sobs) di 5 subdas
TNBK pada setiap strata pertumbuhan (semai, pancang, tiang, dan pohon) serta
hasil pendugaan kekayaan spesies menggunakan penduga kekayaan spesies non
parametrik. Berdasarkan tabel tersebut, penduga kekayaan spesies yang memiliki
selang kepercayaan yang paling pendek adalah penduga Jackknife orde 1,
sedangkan selang kepercayaan yang paling lebar adalah penduga Chao2.
Selang kepercayaan dari penduga ICE, ACE, Bootstrap dan Jackknife orde 2
tidak dapat dihitung sehingga penduga kekayaan spesies dengan tiga metode
tersebut hanya menggunakan hasil penduga titik. Nilai sebuah dugaan yang
menggunakan selang kepercayaan lebih akurat dibandingkan penduga titik. Sebuah
selang kepercayaan yang sangat lebar tidak dapat dipercaya (Krebs 1989). Krebs
(1989) juga menyebutkan bahwa selang kepercayan rata-rata yang paling sempit
menunjukkan hasil ketelitian yang paling tinggi.
Sprent (1991) menyebutkan bahwa selang kepercayaan 100 (1-α) merupakan
sebuah selang yang jika secara konsisten dibentuk selang tersebut untuk sampel-
sampel yang berulang-ulang dapat mencakup nilai rataan sebenarnya yang tidak
diketahui. Selain itu, Jhonson dan Bhattacharyya (2010) menyebutkan bahwa
interval atau selang kepercayaan dapat digunakan untuk menduga nilai sebenarnya
secara lebih akurat dibandingkan nilai penduga tunggal.
Tabel 3 juga menunjukkan hasil sensitifitas dari penduga kekayaan spesies
berdasarkan perubahan peubah yang terdapat pada setiap penduga. Penduga Chao2
merupakan penduga paling senditif. Perubahan satu spesies unik dalam plot
pengamatan dapat menyebabkan pertambahan 23 spesies dugaan. Sedangkan
penduga paling tidak sensitif adalah penduga Bootstrap.
Penduga Jackknife orde satu dan penduga Bootstrap merupakan penduga
kekayaan yang paling stabil dibandingkan penduga kekayaan spesies lainnya. Hal
ini terlihat dari perubahan peubah jumlah spesies pada setiap lokasi pengamatan
pada setiap strata pertumbuhan sebanyak 85% memperlihatkan selang keprcayaan
yang sempit. Sebanyak 70% dari hasil dugaan penduga Chao2 menunjukkan selang
kepercayaan yang lebar stabil pada seluruh perubahan spesies, sedangkan penduga
Chao1 menunjukkan hasil yang tidak stabil.

Bias dan Ketepatan


Hasil analisis bias dan ketepatan dari ketujuh penduga kekayaan spesies
ditampilkan pada Gambar 7. Bias terkecil yang diperoleh berdasarkan ketujuh
penduga kekayaan spesies yaitu penduga Bootstrap sebesar 0.205 sedangkan bias
terbesar yaitu penduga Chao2 sebesar 0.883.
Tabel 3 Selang kepercayaan 95% hasil pengukuran kekayaan spesies di lapangan (Sobs) dan hasil penduga kekayaan spesies
Sobs SChao1 SChao2 SJackknife1 Sjackknife2 SICE SACE SBootstrap
22 ± 6.47 58.00 ± 23.97 43.60 ± 15.42 32.80 ± 3.21 40.27 43.09 44.98 26.53
26 ± 3.86 30.50 ± 3.42 30.56 ± 3.42 34.10 ± 3.11 35.61 35.3 30.63 30.09
27 ± 6.11 36.00 ± 7.24 42.21 ± 9.74 38.70 ± 4.32 45.54 46.1 31.35 32.19
39 ± 3.96 55.00 ± 11.69 43.56 ± 3.42 47.10 ± 2.66 48.61 44.64 46.07 43.07
37 ± 8.09 56.60 ± 11.46 68.59 ± 20.99 53.63 ± 7.30 64.66 60.9 55.74 44.16
43 ± 7.51 61.00 ± 7.64 65.27 ± 10.37 62.09 ± 6.12 72.65 76.42 68.76 51.48
56 ± 9.40 93.50 ± 23.57 95.06 ± 22.38 77.88 ± 8.82 92.13 81.39 73.24 65.47
59 ± 7.95 67.00 ± 4.79 81.79 ± 12.21 80.88 ± 9.11 91.91 80.63 66.47 69.04
60 ± 9.91 80.06 ± 8.28 104.55 ± 18.98 85.46 ± 5.04 102.47 92.67 84.27 70.83
67 ± 12.81 107.50 ± 19.32 184.82 ± 52.66 99.73 ± 9.92 125.5 118.5 84 80.33
75 ± 9.79 103.57 ± 13.94 112.43 ± 16.62 107.38 ± 13.26 124.84 118.64 93.84 89.5
81 ± 13.58 177.15 ± 24.65 198.86 ± 34.85 129.92 ± 11.12 166.24 190.45 196.61 101.23
85 ± 14.76 201.03 ± 33.15 255.71 ± 62.01 142.78 ± 23.16 185.85 260.97 249.72 108.81
95 ± 13.52 145.00 ± 13.34 190.41 ± 24.47 151.31 ± 11.99 188.96 238.76 138.61 118.85
109 ± 14.09 173.65 ± 19.06 207.21 ± 30.51 159.00 ± 17.71 193.69 195.73 168.89 130.05
106 ± 13.27 162.33 ± 15.64 186.67 ± 24.94 164.67 ± 19.76 199.67 193.92 170.55 131.59
124 ± 14.43 306.25 ± 51.31 220.41 ± 24.25 182.15 ± 13.96 220.72 216 210.19 148.76
121 ± 16.55 182.36 ± 15.15 294.76 ± 41.59 194.85 ± 17.96 249.35 279.18 176.05 151.66
140 ± 16.60 238.00 ± 27.85 287.22 ± 40.49 220.89 ± 26.47 274.65 306.16 210.76 174.4
348 ± 25.67 634.08 ± 44.73 686.47 ± 63.54 524.89 ± 59.21 644.28 672.91 653.68 423.44
Keterangan: Sobs (kekayaan spesies hasil pengamatan), SChao1 (penduga kekayaan spesies Chao 1), SChao2 (penduga kekayaan spesies Chao 2),
SJackknife1 (penduga kekayaan spesies Jackknife orde 1), Sjacknife2 (penduga kekayaan spesies Jackknife orde 2), SICE (penduga kekayaan
spesies Incidence-based Coverage Estimator), SACE (penduga kekayaan spesies Abundance-based Coverage Estimator), dan SBootstrap

19
(penduga kekayaan spesies Bootstrap).
20

Walther dan Moore (2005) memperoleh hasil yang sama pada ringkasan
penelitian penduga kekayaan spesies dengan bias terendah yaitu penduga
Bootstrap. Sedangkan hasil penelitian Chiarucci et al. (2003) memperoleh hasil
yang berbeda yaitu bias terkecil dari penduga kekayaan spesies terdapat pada
Jackknife orde 1 pada lokasi Swale dengan ukuran plot yang besar dan pada plot
berukuran kecil bias yang terkecil ditemukan pada penduga Jackknife orde 2. Hal
yang serupa juga dinyatakan Palmer (1990) yang menemukan bahwa Jackknife
orde 1 merupakan penduga spesies yang memiliki bias terkecil. Sedangkan
Chiarucci et al. (2001) dan Palmer (1991) menemukan bias terkecil dihasilkan dari
penduga Jackknife orde 2.
Bias merupakan ukuran kesalahan yang konsisten dalam memperkirakan
sebuah nilai dugaan. Bainbridge (1985) menyatakan bahwa bias merupakan
perbedaan hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya atau nilai refrensi. Penduga
kekayaan spesies yang baik memiliki bias yang mendekati nol atau sama dengan
nol (Krebs 1989).
Nilai bias juga dapat dijadikan acuan sensitivitas dari penduga kekayaan
spesies. Artinya bahwa semakin bias nilai dugaan semakin sensitif penduga
kekayaan spesies tersebut terhadap perubahan peubah yang mempengaruhinya.
Pada Gambar 7 terlihat bahwa penduga Chao2 memiliki nilai bias tertinggi, artinya
bahwa penduga Chao sangat sensitif terhadap perubahan jumlah spesies dan jumlah
spesies unik yang ditemukan di lapangan.

1.2

1
Nilai Bias dan Ketepatan

0.8

0.6

0.4

0.2

0
Bootstrap Jackknife ACE Chao1 Jackknife ICE Chao2
orde 1 orde 2

Bias Ketepatan

Gambar 7 Hasil analisis bias dan ketepatan penduga kekayaan spesies

Penduga kekayaan spesies yang baik harus memiliki ketepatan yang tinggi
sehingga bisa mendekati nilai yang sebenarnya. Penduga kekayaan spesies dengan
ketepatan yang paling tinggi yaitu penduga Chao 2 dan penduga ICE, sedangkan
penduga dengan ketepatan yang paling rendah yaitu penduga Bootstrap (Gambar
7). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Chiarucci et al. (2001) yang
menemukan bahwa penduga Chao 2 merupakan penduga kekayaan spesies dengan
ketepatan paling tinggi. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dari
21

beberapa penelitian yang telah dilakukan. Penelitian Chiarucci et al. (2003)


memperoleh penduga Bootstrap menjadi penduga yang memiliki ketepatan
tertinggi baik pada plot berukuran besar maupun kecil pada lokasi Swale dan lokasi
Crest. Penelitian Walther dan Moore (2005) menemukan bahwa penduga Jackknife
orde 1 merupakan penduga dengan ketepatan tertinggi. Semakin bias dan kurang
tepat sebuah estimator, semakin buruk kemampuan keseluruhannya untuk membuat
penduga titik yang akurat (Walther dan Moore 2005). Palmer (1990) dan Palmer
(1991) memperoleh ketepatan penduga spesies nonparametric terbaik yaitu
penduga Bootstrap walaupun nilai ketepatan yang diperoleh dibawah 0.500.
Perbedaan nilai bias dan ketepatan dari penduga spesies disebabkan oleh
peubah nilai penduga kekayaan spesies itu sendiri. Terdapat dua peubah dasar yang
digunakan pada penduga kekayaan spesies nonparametric yaitu jumlah spesies hasil
pencuplikan serta jumlah spesies yang jarang ditemukan (spesies unik). Perbedaan
nilai yang diperoleh pada setiap penduga pada penelitian ini banyak dipengaruhi
oleh peubah spesies unik. Penentuan spesies unik pada penduga nonparametrik
dilakukan menggunakan data kelimpahan (penduga ACE dan Chao1) serta data
insiden atau frekuensi kehadiran spesies dalam pencuplikan data (Penduga Chao2,
Jackknife orde 1, Jackknife orde 2, Bootstrap dan ICE) (Gotelli dan Chao 2013).
Tedapat perbedaan peubah unik yang digunakan pada setiap penduga
kekayaan spesies. Penduga spesies Chao1, Chao2, dan Jackknife orde 2
menggunakan spesies singleton (spesies yang hanya memiliki satu individu pada
penduga dengan data kelimpahan; spesies yang hanya memiliki satu frekuensi
perjumpaan pada penduga dengan data insiden) dan doubleton (spesies yang hanya
memiliki dua individu pada penduga dengan data kelimpahan; spesies yang hanya
memiliki dua frekuensi perjumpaan pada penduga dengan data insiden). Penduga
Jackknife orde 1 hanya menggunakan spesies singleton, serta penduga ACE dan
ICE menggunakan spesies yang lebih besar dari singleton dan doubleton yang
mencapai batas k=10 (Gotelli dan Chao 2013). Sedangkan penduga Bootstrap
menggunakan seluruh data frekuensi perjumpaan setiap spesies pada setiap quadrat
pencuplikan data (Smith dan van Belle 1984). Hal tersebut menjelaskan bahwa
penduga Bootstrap hanya menduga kekayaan spesies berdasarkan jumlah spesies
pencuplikan.

Koefisien determinasi
Hubungan penduga kekaayan spesies dan sumber data yang digunakan untuk
menduga kekayaan spesies dijelaskan menggunakan koefisien determinasi (Tabel
4). Koefisien determinasi menjelaskan kemampuan semua peubah bebas (jumlah
spesies pencuplikan serta jumlah spesies unik) dalam menjelaskan varian dari
peubah terikatnya (Matjik 2013). Hasil penelitian memperoleh bahwa seluruh
penduga kekayaan nonparametric dapat dijelaskan oleh kekayaan spesies dan
spesies unik. Secara keseluruahan nilai koefisien determinasi dari penduga
kekayaan spesies yang diperoleh berada diatas 90%. Artinya bahwa semua peubah
bebas yang digunakan untuk menduga kekayaan spesies mampu menjelaskan
varian dari kekayaan spesies dugaan.
Nilai koefisien determinasi terbesar hubungan linier penduga kekayaan
spesies dengan peubah kekayaan spesies ditemukan pada penduga Bootstrap
sebesar 0.9990. Hal ini terjadi karena pada penduga Bootstrap informasi nilai
dugaan kekayaan spesies hanya berdasarkan jumlah spesies pencuplikan,
22

sedangkan informasi dari keberadaan spesies unik tidak dimasukkan dalam peubah
dugaan.

Tabel 4 Hasil analisis koefisien determinasi penduga kekayaan spesies


Penduga spesies R12 R22 R32
Chao2 0.9499 0.9961 0.9917
Chao1 0.9508 0.9944 0.9779
Jackknife orde 1 0.9959 0.9999 0.9875
Jackknife orde 2 0.9900 0.9998 0.9937
ICE 0.9480 0.9488 0.9487
ACE 0.9393 0.9629 0.9620
Bootstrap 0.9990 - -
Keterangan: R12 (koefisien determinasi hubungan linier penduga kekayaan spesies dengan
peubah kekayaan spesies), R22 (koefisien determinasi hubungan linier
penduga kekayaan spesies dengan peubah jumlah spesies dan jumlah spesies
yang jarang ditemukan), R32 (koefisien determinasi hubungan linier
penduga kekayaan spesies dengan peubah jumlah spesies yang jarang
ditemukan).

Koefisien determinasi terbesar hubungan linier penduga kekayaan spesies


dengan peubah jumlah spesies unik ditemukan pada penduga Jackknife orde 2
sebesar 0.9937 dan penduga Chao2 sebesar 0.9917. Nilai koefisien determinasi
yang tinggi pada dua penduga kekayaan tersebut disebabkan oleh tingginya jumlah
spesies yang ditemukan pada spesies singleton dan doubleton pada keseluruhan plot
pengamatan sedangkan jumlah spesies yang lebih besar dari singleton dan
doubleton yang ditemukan pada plot pengamatan hanya sedikit.
Hubungan linier penduga kekayaan spesies dengan dua peubah (peubah
jumlah spesies dan jumlah spesies unik) memperoleh nilai terbesar pada penduga
Jackknife orde 1, orde 2, dan Cha0 2 sebesar 0.9999, 0.9998 dan 0.9961. Hal ini
terjadi karena sebaran distribusi frekuensi data insiden lebih merata dibandingkan
data kelimpahan yang hanya berpusat pada spesies singleton dan doubleton,
sedangkan pada frekuensi diatas Q > 9 sangat rendah atau bahkan 0 sehingga
penduga spesies yang menggunakan informasi data kelimpahan spesies singleton
dan doubleton menjadi sangat besar.

Bentuk Plot

Jumlah spesies yang ditemukan pada plot bujur sangkar lebih rendah
dibandingkan dengan plot persegi panjang pada seluruh luasan plot pengamatan
(Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa plot persegi panjang menampung jumlah
spesies lebih banyak dibandingkan dengan bentuk bujur sangkar.
Hasil uji signifikansi perbedaan nilai tengah jumlah spesies pada setiap
perbedaan bentuk plot pengamatan baik di TNGC maupun TNBK menunjukkan
bahwa bentuk plot persegi panjang dan bujur sangkar berbeda secara signifikan
(Tabel 5). Perbedaan nilai tengah jumlah spesies yang ditemukan pada plot persegi
panjang lebih tinggi dibandingkan plot bujursangkar sebesar 50 spesies.
Berdasarkan hasil tersebut, bentuk plot optimal untuk inventarisasi tumbuhan
di hutan pegunungan di TNBK maupun di TNGC yaitu bentuk plot persegi panjang.
23

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya pada lokasi lain dengan tipe ekosistem yang berbeda.

400
350
300
Jumlah Speises (S)

250
200
150
100
50
0
0 2 4 6 8 10 12
Luas Plot (Ha)

Persegi Panjang Bujur Sangkar

Gambar 8 Perbandingan jumlah spesies hasil pengamatan bentuk plot bujur sangkar
dan persegi panjang

Campbell et al. (2002) menemukan bahwa jumlah spesies pada plot


Whittaker yang dimodifikasi (MWP) berbentuk persegi panjang lebih banyak 42.5
spesies dibandingkan dengan plot biodiversitas (BDP) berbentuk bujur sangkar.
Hasil yang sama diperoleh Kalkhan dan Stohlgren (2000) yang memperoleh
perebedaan rata-rata setiap spesies antara plot bujur sangkar dan plot persegi
panjang sebanyak 59 spesies. Kalkhan et al. (2007) juga menemukan hasil yang
sama bahwa plot MWP memperoleh jumlah spesies yang lebih banyak
dibandingkan dengan plot pixel nested (PN) yang berbentuk bujur sangkar.

Tabel 5 Hasil uji signifikansi perbedaan nilai tengah jumlah spesies bentuk plot
persegi panjang dan bujur sangkar
Variabel Plot Persegi Panjang Plot bujur sangkar
Rata-rata 84.55556 31.90909
Varian 248.7778 50.49091
Jumlah Pengamatan 11 11
Perbedaan nilai tengah 52.65
Derajat bebas 11
t Tabel 9.273105
P(T<=t) one-tail 7.82 x10-7
t Critical one-tail 1.795885
P(T<=t) two-tail 1.56 x10-6
t Critical two-tail 2.200985

Untuk daerah tropis, Rugayah et al. (2004) menyatakan bahwa bentuk plot
paling ideal untuk inventarisasi tumbuhan adalah plot persegi panjang, sedangkan
24

untuk pengamatan regenerasi tumbuhan lebih ideal menggunakan plot lingkaran.


Hasil yang berbeda ditemukan Kusuma (2007) yang melakukan penelitian di hutan
dataran rendah Kalimantan yang menemukan bentuk plot bujur sangkar
memperoleh jumlah spesies yang lebih banyak dibandingkan plot persegi panjang.
Laurance et al. (1998) yang melakukan penelitian di hutan dataran rendah di
amazon menemukan bahwa bentuk persegi panjang selalu memperoleh jumlah
spesies yang lebih tinggi dibandingkan bentuk bujur sangkar walaupun kedua
bentuk tersebut tidak memperlihatkan hasil uji signifikansi yang nyata. Keeley dan
Fotheringham (2005) juga memperoleh hasil yang sama, jumlah spesies yang
ditemukan pada plot persegi panjang lebih besar dari plot bujur sangkar walaupun
hasil tersebut tidak berbeda signifikan secara statistik.
Plot persegi panjang selalu memperoleh jumlah spesies yang lebih banyak
dibandingkan plot bujur sangkar karena plot persegi panjang dapat mencakup
perbedaan habitat yang lebih luas. Keeley dan Fotheringham (2005) menyebutkan
bahwa plot persegi panjang dapat mencakup perbedaan gradien lingkungan yang
lebih banyak. Krebs (1989) menyebutkan bahwa bentuk persegi panjang memiliki
hasil inventarisasi yang lebih baik dibandingkan bentuk lingkaran dan bujur
sangkar karena bentuk persegi panjang dapat mencakup banyak habitat yang
berbeda. Selain itu, perbedaan julah spesies yang diperoleh
Bormann (1953) menyatakan bahwa bentuk plot persegi panjang lebih efektif
digunakan untuk mengurangi variabilitas antar plot. Hal ini terjadi karena
penambahan panjang plot pengamatan dapat mengurangi heterogenitas tanah antar
plot. Mueller-Dumbois dan Ellenberg (2016) menyebutkan bahwa plot persegi
panjang meningkatkan variasi dalam unit cuplikan tetapi mengurangi variasi antara
cuplikan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah spesies pada setiap penambahan
luasan plot pengamatan yang berdampak pada pertambahan sisi panjang dari plot
persegi panjang.
Faktor lain yang menyebabkan hasil pencuplikan menggunakan plot persegi
panjang memperoleh hasil yang lebih tinggi dibandingkan plot bujur sangkar adalah
efek tepi. Efek tepi berpengaruh terhadap keliling dari setiap bentuk plot yang
digunakan. Krebs (1817) menyebutkan bahwa efek tepi pada bentuk plot
pengamatan terbesar dapat dijumpai paa bentuk persgi panjang. Hal ini
menyebabkan jumlah spesies yang dapat dicakup dalam plot pengamatan menjadi
lebih banyak karena spesies-spesies yang berada pada bagian tepi akan tercakup
lebih banyak.
Mueller-Dumbois dan Ellenberg (2016) menyatakan bahwa terdapat banyak
penelitian yang menemukan bentuk persegi panjang merupakan bentuk ideal dalam
melakukan inventarisasi tumbuhan dibandingkan bentuk lainnya. Bentuk ini lebih
efektif digunakan jika sumbu panjang dari persegi panjang memotong tegak lurus
vegetasi (Mueller-Dumbois dan Ellenberg 2016). Berdasarkan hal tersebut faktor
dimensi dari perbandingan sumbu panjang dan sumbu pendek dari bentuk persegi
panjang menjadi sangat penting dalam mempengaruhi jumlah spesies yang
diperoleh dalam pengukuran keanekaragaman hayati tumbuhan di hutan
pegunungan bawah.
25

Dimensi Plot Optimal

Terdapat perbedaan jumlah spesies yang ditemukan pada berbagai dimensi


plot yang didesain di TNGC dan TNBK (Gambar 9). Dimensi plot dengan jumlah
spesies tertinggi ditemukan pada dimensi 50x200 m2 dengan total 348 spesies di
TNBK sedangkan dimensi plot dengan jumlah spesies tertinggi di TNGC
ditemukan pada dimensi 200x50 m2.
Hasil uji signifikansi perbedaan nilai tengah jumlah spesies pada perbedaan
dimensi plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil tersebut memperlihatkan
terdapat perbedaan jumlah spesies yang diperoleh pada plot persegi panjang dengan
dimensi 50x200 m2 dan 200x50 m2 sebesar 7 spesies, tetapi perbedaan tersebut
tidak terlihat signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai P-Value sebesar 0.1829
(lebih besar dari 0.005) yang menunjukkan hasil uji signifikansi perbedaan nilai
tengah jumlah spesies pada perbedaan dimensi plot pengamatan di TNGC tidak
terdapat perbedaan yang signifikan.

400
348
350
Jumlah Spesies (S)

300
250
200
150 124
100
56 41 48
39
50
0
TNBK TNGC
50x200 200x50 25x400 250x40
Gambar 9 Perbandingan jumlah sesies yang diperoleh pada berbagai dimensi plot
pengamatan di TNGC dan TNBK

Hasil uji signifikansi perbedaan nilai tengah jumlah spesies berdasarkan


perbedaan bentuk plot pengamatan di TNBK disajikan pada Tabel 6. Dimensi plot
25x400 m2 memperlihatkan hasil yang tidak signifikan dengan plot 200x50 m2.
Dimensi plot 50x200 m2 memperlihatkan hasil yang signifikan dengan seluruh
bentuk plot lainnya dan memperoleh hasil signifikansi nilai tengah diatas 50 spesies
lebih tinggi dibandingkan dimensi plot lainnya. Artinya bahwa dimensi plot 50x200
m2 lebih optimal untuk inventarisasi tumbuhan pada berbagai spesies tumbuhan
dengan pola persebaran yang berbeda-beda.
Perbedaan bentuk dan dimensi plot optimal yang diperoleh di TNGC dan
TNBK dipengaruhi oleh bentuk habitat dan ekosistemnya. Tipe ekosistem dari
TNGC merupakan pegunungan tunggal dengan satu puncak gunung tertinggi,
sedangkan tipe ekosistem di TNBK merupakan tipe pegunungan majemuk dengan
puncak pegunungan yang beragam. Perbedaan ini menyebabkan spesies tumbuhan
yang tumbuh pada kedua tipe ekosistem sangat berbeda jauh.
26

Tabel 6 Hasil uji signifikansi perbedaan jumlah spesies berdasarkan dimensi plot
pengamatan di TNGC
Variabel Dimensi Plot 200x50 m2 Dimensi Plot 50x200 m2
Rata-rata 11.5 18.5
Varian 60.3 47
Jumlah Pengamatan 6 4
Perbedaan nilai tengah -7
Derajat bebas 8
t Tabel -1.45812
P(T<=t) one-tail 0.09146
t Critical one-tail 1.859548
P(T<=t) two-tail 0.182919
t Critical two-tail 2.306004

Selain itu perbedaan tersebut juga disebabkan oleh perbedaan garis lintang.
Ketinggian tempat dan Garis lintang merupakan faktor utama perbedaan jenis
vegetasi dan ekosistemnya (Odum 1971). Perbedaan vegetasi berdasarkan
ketinggian tempat dan garis lintang di TNBK dapat dijangkau oleh bentuk plot
persegi panjang dengan dimensi 50x200 m2, sedangkan perbedaan vegetasi
berdasarkan garis lintang dan ketinggian tempat di TNGC dapat dijangkau bentuk
plot persegi panjang baik pada dimensi 50x200 m2 maupun 200x50 m2.

Tabel 7 Hasil uji signifikansi perbedaan jumlah spesies berdasarkan bentuk plot
pengamatan di TNBK
Dimensi 200x50 25x400 250x40 50x200
200x50 TS S S
25x400 -1.45 S S
250x40 11.39 12.84 S
50x200 64.31 65.76 52.92

Krebs (1989) menyatakan bahwa tegakan vegetasi tidak selamanya seragam.


Pola sebaran vegetasi yang paling banyak dijumpai di hutan alam adalah bentuk
sebaran mengelompok (Greigh-Smith 1980 dalam Mueller-Dumbois dan Ellenberg
1974) serta pola sebaran acak. Pola sebaran ini mempengaruhi keberadaan suatu
spesies dan individu dalam suatu ekosistem (Poole 1974, Krebs 1989). Perbedaan
pola sebaran spasial tumbuhan mempengaruhi bentuk dan luasan dari plot yang
digunakan dalam inventarisasi tumbuhan (Odum 1971).
Hasil analisis data pola sebaran spasial tumbuhan di TNBK memperoleh pola
sebaran spasial spesies tumbuhan yang dominan adalah pola sebaran acak (50.81%)
dan pola sebaran mengelompok (49.19%) (Lampiran 1), sedangkan pola sebaran
seragam tidak ditemukan. Pola sebaran spasial tumbuhan yang dominan di TNGC
adalah pola sebaran mengelompok (58%) dan pola sebaran acak (42%) (Lampiran
2), sedangkan pola sebaran spasial seragam tidak ditemukan. Hasil ini
memperlihatkan bahwa pola sebaran spasial tumbuhan di TNBK umumnya acak
dan terdapat pola sebaran spasial yang mengelompok mengikuti garis lintang pada
berbagai perbedaan ketinggian, sedangkan pola sebaran spasial tumbuhan di TNGC
27

umumnya mengelompok mengikuti garis ketinggian tempat dan beberapa spesies


tumbuhan memiliki pola sebaran acak. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan
bentuk plot yang dapat digunakan dalam melakukan inventarisasi di kedua lokasi
tersebut.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:


1. Penduga kekayaan spesies terbaik adalah penduga Chao 2 dengan nilai kerapatan
dan nilai sensitivitas yang terbaik dari semua penduga kekayaan spesies
tumbuhan yang digunakan.
2. Bentuk plot optimal untuk inventarisasi tumbuhan di hutan pegunungan di
TNBK dan TNGC yaitu bentuk plot persegi panjang karena bentuk plot tersebut
menghasilkan jumlah spesies yang lebih banyak, varian antara plot yang kecil,
varian dalam unit contoh yang besar serta mencakup luasan gradient lingkungan
yang lebih luas.
3. Dimensi plot yang paling optimal di TNBK adalah dimensi 50x200 m2 karena
memperoleh jumlah spesies yang lebih besar dan dapat mencakup seluruh
spesies dengan pola sebaran yang berbeda-beda. Sedangkan bentuk plot optimal
untuk inventarisasi tumbuhan di hutan pegunungan di TNGC yaitu persegi
panjang dengan dimensi 50x200 m2 dan 200x50 m2.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka:


1. Perlu untuk melakukan penelitian bentuk dan dimensi plot pengamatan pada
berbagai tingkat pertumbuhan (tingkat semai, pancang dan tiang).
2. Pengkuran luas plot optimal untuk inventarisasi tumbuhan di hutan
pegunungan hutan hujan tropis penting untuk dilakukan sebagai
keberlanjutan dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Baccaro G, Rocchini D, Diekmann M, Gasparini P, Gioria M, Maccherini S,


Marcantonia M, Tordoni E, Amici V, Landi S, Torri D, Castello M, Altobellu
A, Chiarucci A. 2015. Shape matters in sampling plant diversity: evidence
from field. Ecological Complexity. 24: 37-45.
Barnett DT, Stohlgren TJ. 2003. A nested-intensity design for surveying plant
diversity. Biodiversity and Conservation. 12: 255–278.
Bormann FH. 1953. The Statistical Efficiency of Sample Plot Size and Shape in
Forest Ecology. Ecology. 34 (3): 474-487
Campbell P, Comiskey J, Alonso A, Dallmeier F, Nunez P, Beltran H, Baldeon S,
Nauray W, Colina RDL, Acurio L, Unvardy S. 2002. Modified Whittaker
Plots as an Assessment and Monitoring Tool for Vegetation in a Lowland
Tropical Rainforest. Environmental Monitoring and Assessment. 76: 19–41.
Chao A 2005. Species estimation and applications. In: Kotz S, Balakrishnan N,
Read CB, Vidakovic B (eds). Encyclopedia of Statistical Sciences, 2nd
edition. New York (US): Wiley, 7907–7916 pp.
Chao A. 1984. Nonparametric estimation of the number of classes in a population.
Scandinavian Journal of Statistics.11 : 265-270.
Chao A. 1987. Estimating the Population Size for Capture-Recapture Data with
Unequal Catchability. Biometrics. 43: 783-791
Chiarucci A, De Dominic V, Wilson JB. 2001. Structure and floristic diversity in
permanent monitoring plot forest ecosystems of Tuscany. Forest Ecology and
Management. 14: 201-210.
Chiarucci A, Enright NJ, Perry GLW, Miller BP, Lamont BB. 2003. Performance
of nonparametric species richness estimators ina high diversity plant
community. Diversity and Distributions. 9: 283–295.
Cochran WG. 1977. Sampling Techniques third edition. New York (US): John
Wiley & Sons. Inc
Colwell RK, Chao A, Gotelli NJ, Lin SY, Mao CX, Chazdon RL, Longino JT. 2012.
Models and estimators linking individual-based and sample-based
rarefraction, extrapolation and comparison of assemblages. Journal of Plant
Ecology. 5 (1): 3-21.
Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through
extrapolation. Philosophical Transactions of the Royal Society, Series B. 345:
101-118.
Colwell Rk, Mao CX, Chan J. 2004. Interpolating, extrapolating, dan comparing
incidence-based species accumulation curves. Ecology. 85(10):2717-2727.
Condit R. 1998. Tropical Gorest Census Plots. New York (US): Springer.
Dufour A, Gadallah F, Wagner HH, Guisan A, Buttler A. 2006. Plant species
richness and environmental heterogenity in mountain landscape: effects of
variability and saptial configuration. Ecography. 29: 573-584.
Efron B. 1979. Bootstrap Methods: Another look at Jackknife. The Annals of
Statistics. 7(1): 1-26
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Penerbit Bumi
Aksara
29

Goltenboth F, Timotius KH, Milan PP, Margaraf J. 2012. Ekologi Asia Tenggara
Kepulauan Indonesia. Pujiastuti P, Editor. Jakarta (ID): Penerbit Salemba
Teknika. Terjemahan dari: Ecology of Insular Southeast Asia The Indonesian
Archipelago.
Gotelli N, Chao A. 2013. Measuring and Estimating Species Richness, Species
Diversity, and Biotic Similarity from Sampling Data. Encyclopedia of
Biodiversity. 5: 195-211. Waltham (US): Academic Press.
Hamann A, Barbon EB, Curio E, Madulid DA. 1999. A botanical inventory of a
submontane tropical rainforest on Negros Island, Philippines. Biodiversity
and Conservation. 8: 1017–1031
Heltshe JF, Forrester NE. 1983. Estimating Species Richness Using the Jackknife
Procedure. Biometrics 39: 1-11
Hernandez PA, Graham CH, Master LL, Albert DL. 2006. The effect of sample size
and species characteristics on performance of different species distribution
modelling methods. Ecography. 29: 774-785.
Hurlbert SH. 1971. The nonconcept of species diversity:a critique and alternative
parameters. Ecology.52:577–586
Johnson RA, Bhattacharyya GK. 2010. Statistics Principle and Methods, Sixth
edition. New York (US): John Wiley & Sons.inc
Kalkhan MA, Stafford EJ, Stohlgren TJ. 2007. Rapid plant diversity assessment
using a pixel nested plot design: A case study in Beaver Meadows, Rocky
Mountain National Park, Colorado, USA. Diversity and Distributions. 13:
379–388
Kalkhan MA, Stohlgren TJ. 2000. Using multi-scale sampling and spatial cross-
correlation to investigate patterns of plant species richness. Environmental
Monitoring and Assessment. 64: 591–605
Keeley JE, Fotheringham CJ. 2005. Plot shape effects on plant species diversity
measurements. Journal of Vegetation Science. 16: 249-256
Kent M, Coker P. 1992. Vegetation Description and Analysis. London (GB):
Belhaven press.
Kershaw KA. 1957. The Use of Cover and Frequency in the Detection of Pattern in
Plant Communities. Ecology. 38 (2):291-299.
Krebs CJ. 1817. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row
Publisher.
Krebs CJ. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Second Edition. Harper International Edition. New York (US):
Harper and row Publishers.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology, Second edition. New york (US): Harper
and row Publishers.
Krebs CJ. 2014. Ecological Methodology 3rd ed. (in prep). [Internet]. [diakses pada
tanggal 10 juli 2018]. tersedia pada:
http://www.zoology.ubc.ca/~krebs/books.html
Kusuma S. 2007. Penentuan bentuk dan luas plot contoh optimal pengukuran
keanekaragaman spesies tumbuhan pada ekosistem hutan hujan dataran
rendah: studi kasus di Taman Nasional Kutai. Thesis. Bogor (ID):Institut
Pertanian Bogor.
30

Laurance WF, Ferreira LV, Rankin -de Merona JM, Hutchings RW. 1998.
Influence of plot shape on estimates of tree diversity and community
composition in Central Amazonia. Biotropica. 30 (4): 662 -665.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and
Computing. New York (US): Jhon Wiley and Sons Inc.
Magurran A. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (UK):
Croom Helm Limited
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2013. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab Jilid 1. Bogor (ID): IPB Press
McIntosh RP. 1967. An index of diversity and the relation of certain concepts to
diversity. Ecology. 4(3): 392-404
Mueller -Dombois D, Ellenberg H. 2016. Ekologi Vegetasi Tujuan dan Metode.
Kartawinata K, Abdulhadi R, Penerjemah. Jakarta (ID): LIPI Press dan
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Terjemahan dari: Aims and Method of
Vegetation Ecology.
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology.
New York (US): John Wiley & Sons .Inc
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Samingan T, Penerjemah;
Srigandono, Editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Terjemahan dari: Fundamental Ecology Third Eition.
Palmer MW. 1990. The Estimation of Species Richness by Extrapolation. Ecology.
71(3): 1195-1198.
Palmer MW. 1991. Estimating Species Richness: The Second-Order Jackknife
Reconsidered. Ecology. 72 (4): 1512-1513.
Poole RW. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. London (GB): McGraw-
Hill Kogakusha Ltd.
Potts MD, Kassim AR, Supardi MNN, Tan S, Bossert WH. 2005. Sampling tree
diversity in Malaysian tropical forests: an evaluation of pre-felling inventory.
Forest Ecology and Management. 205: 385-395.
Rivera L, Zimmerman J, Aide T. 2000. Forest recovery in abandoned agricultural
lands in a karst region of the Dominican Republic. Plant Ecology. 148: 115-
125.
Rugayah, Widjaja EA, Praptiwi. 2004. Pedoman Pengumpulan Keanekaragaman
Flora. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Shmida A. 1984. Whittaker's plant diversity sampling method. Israel Journal of
Botany. 33: 41-46.
Smith EP, van Belle G. 1984. Nonparametric estimation of species richness.
Biometrics. 40 : 119-129
Sprent P. 1991. Metode Statistik Nonparametrik Terapan. Osman ER, Penerjemah.
Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari: Applied Nonparametric Statistical
Methods .
Stohlgren TJ, Falkner MB, Schell LD. 1995. A modified-Whittaker nested
vegetation sampling method. Vegetatio.117 : 113-121.
Stohlgren TJ. 1994. Planning long-term vegetation studies at landscape scales, pp.
209-241. In: Ecological Time Series. New York (US): Powell, T.M. & Steele,
J.H. (Eds) Chapman & Hall.
Sugiono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung (ID): Penerbit Alfabeta.
31

Ulrich W, Buszko J. 2007. Sampling design and the shape of species area curve on
the regional scale. Acta Ecologia. 31: 54-59
van Steenis CGC. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Kartawinata JA, penerjemah.
Jakarta (ID): LIPI Press. Terjemahan dari: Mountain Flora of Java.
Walpole RE. 1982. Pengantar Statistika. Edisi ke 3. Sumantri B, Penerjemah.
Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Walther BA, Moore JL. 2005. The concepts of bias, precision and accuracy, and
their use in testing the performance of species richness estimators, with a
literature review of estimator performance. Ecography. 28: 815-829
Whitmore TC. 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. Oxford (GB): Oxford
university press
Whittaker RH. 1977. Evolution of species diversity on land communities.
Evolutionary Biology. 10: 1-67.
32

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
1 Actephila excelsa Phyllanthaceaea 1.328 Acak
2 Adinandra acuminata Pentaphylacaceae 1.000 Acak
3 Aganope heptaphylla Fabaceae 1.000 Acak
4 Derris heptaphylla Meliaceae 2.655 Kelompok
5 Aglaia foveolata Pannell Meliaceae 8.066 Kelompok
6 Aglaia leptantha Meliaceae 21.705 Kelompok
7 Aglaia silvestris Meliaceae 5.253 Kelompok
8 Aglaia spectabilis Meliaceae 1.000 Acak
9 Aglaia tomentosa Euphorbiaceae 1.640 Kelompok
10 Agrostistachys sessilifolia Cornaceae 0.980 Acak
11 Alangium havilandii Fabaceae 0.960 Acak
12 Albizia splendens Apocynaceae 1.000 Acak
13 Alstonia pneumatophora Annonaceae 1.000 Acak
14 Anaxagorea borneensis Melastomataceae 1.000 Acak
15 Anerincleistus setulosus Dipterocarpaceae 1.000 Acak
16 Anisoptera laevis Dipterocarpaceae 1.000 Acak
17 Anisoptera megistocarpa Phyllanthaceaea 1.000 Acak
18 Antidesma coriaceum Phyllanthaceaea 1.000 Acak
19 Antidesma leucopodum Phyllanthaceaea 6.894 Kelompok
20 Antidesma montanum Phyllanthaceaea 1.920 Kelompok
21 Antidesma neurocarpum Phyllanthaceaea 1.328 Acak
22 Antidesma stipulare Phyllanthaceaea 0.960 Acak
23 Antidesma tomentosum Phyllanthaceaea 1.450 Kelompok
24 Aporosa antennifera Phyllanthaceaea 1.000 Acak
25 Aporosa benthamiana Phyllanthaceaea 2.000 Kelompok
26 Aporosa confusa Phyllanthaceaea 0.980 Acak
27 Aporosa elmeri Phyllanthaceaea 1.450 Kelompok
28 Aporosa frutescens Phyllanthaceaea 1.000 Acak
29 Aporosa grandistipula Phyllanthaceaea 2.803 Kelompok
30 Aporosa lucida Phyllanthaceaea 1.450 Kelompok
31 Aporosa subcaudata Phyllanthaceaea 2.634 Kelompok
32 Aporosa symplocoides Phyllanthaceaea 2.000 Kelompok
33 Aporosa sp. Thymelaeaceae 0.980 Acak
34 Aquilaria malaccensis Fabaceae 1.000 Acak
35 Archidendron borneense Fabaceae 1.000 Acak
36 Archidendron clypearia Fabaceae 1.450 Kelompok
37 Archidendron microcarpum Fabaceae 1.000 Acak
38 Archidendron sp. Fabaceae 1.000 Acak
33

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
39 Archidendron sp.1 Fabaceae 1.000 Acak
40 Archidendron triplinervium Primulaceae 0.920 Acak
41 Ardisia korthalsiana Primulaceae 1.000 Acak
42 Ardisia macrophylla Primulaceae 2.000 Kelompok
43 Ardisia ochracea Primulaceae 1.450 Kelompok
44 Ardisia purpurea Annonaceae 2.000 Kelompok
45 Artabotrys hexapetalus Moraceae 1.640 Kelompok
46 Artocarpus anisophyllus Moraceae 1.334 Acak
47 Artocarpus glaucus Moraceae 0.980 Acak
48 Artocarpus integer Moraceae 1.000 Acak
49 Artocarpus sp. Moraceae 1.000 Acak
50 Artocarpus kemando Moraceae 3.787 Kelompok
51 Artocarpus odoratissimus Chrysobalanaceae 1.171 Acak
52 Atuna racemosa Picodendraceae 4.620 Kelompok
53 Austrobuxus nitidus Phyllanthaceaea 1.450 Kelompok
54 Baccaurea bracteata Phyllanthaceaea 1.000 Acak
55 Baccaurea javanica Phyllanthaceaea 1.000 Acak
56 Baccaurea lanceolata Phyllanthaceaea 2.046 Kelompok
57 Baccaurea macrophylla Phyllanthaceaea 3.378 Kelompok
58 Baccaurea motleyana Phyllanthaceaea 0.960 Acak
59 Baccaurea pubera Phyllanthaceaea 1.000 Acak
60 Baccaurea racemosa Phyllanthaceaea 3.333 Kelompok
61 Baccaurea sumatrana Lecythidaceae 0.980 Acak
62 Barringtonia sp. Melastomataceae 1.640 Kelompok
63 Bellucia pentamera Centroplacaceae 2.057 Kelompok
64 Bhesa paniculata Euphorbiaceae 1.463 Kelompok
65 Blumeodendron kurzii Euphorbiaceae 2.470 Kelompok
66 Blumeodendron tokbrai Anacardiaceae 2.860 Kelompok
67 Bouea oppositifolia Simaroubaceae 1.640 Kelompok
68 Brucea javanica Anacardiaceae 1.000 Acak
69 Buchanania arborescens Anacardiaceae 0.980 Acak
70 Buchanania sessilifolia Calophyllaceae 1.450 Kelompok
71 Calophyllum blancoi Calophyllaceae 2.470 Kelompok
72 Calophyllum dasypodium Calophyllaceae 6.689 Kelompok
73 Calophyllum gracilipes Calophyllaceae 2.046 Kelompok
74 Calophyllum lanigerum Calophyllaceae 3.000 Kelompok
75 Calophyllum teysmannii Anacardiaceae 1.000 Acak
76 Campnosperma auriculatum Burseraceae 1.000 Acak
77 Canarium denticulatum Burseraceae 1.000 Acak
78 Canarium hirsutum Burseraceae 2.000 Kelompok
79 Canarium littorale Burseraceae 3.374 Kelompok
34

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
80 Canarium megalanthum Burseraceae 0.980 Acak
81 Canarium odontophyllum Fagaceae 2.000 Kelompok
82 Castanopsis foxworthyi Fagaceae 5.077 Kelompok
83 Castanopsis megacarpa Fagaceae 1.000 Acak
84 Castanopsis motleyana Fagaceae 3.417 Kelompok
85 Castanopsis sp. Fagaceae 1.906 Kelompok
86 Castanopsis tungurrut Euphorbiaceae 12.119 Kelompok
87 Cephalomappa malloticarpa Oleaceae 13.280 Kelompok
88 Chionanthus lucens Oleaceae 2.000 Kelompok
89 Chionanthus oliganthus Oleaceae 0.980 Acak
90 Chionanthus pluriflorus Oleaceae 1.450 Kelompok
91 Chionanthus ramiflorus Meliaceae 1.356 Acak
92 Chisocheton ceramicus Meliaceae 1.000 Acak
93 Chisocheton macranthus Meliaceae 4.720 Kelompok
94 Chisocheton patens Meliaceae 77.138 Kelompok
95 Chisocheton pentandrus Euphorbiaceae 9.305 Kelompok
96 Chrozophora oblongifolia Lauraceae 0.980 Acak
97 Cinnamomum subcuneatum Euphorbiaceae 1.000 Acak
98 Claoxylon indicum Phyllanthaceaea 2.000 Kelompok
99 Cleistanthus bakonensis Phyllanthaceaea 4.467 Kelompok
100 Cleistanthus brideliifolius Phyllanthaceaea 0.980 Acak
101 Cleistanthus oblongifolius Phyllanthaceaea 1.747 Kelompok
102 Cleistanthus sp. Anisophylleaceae 0.980 Acak
103 Combretocarpus rotundatus Dipterocarpaceae 1.567 Kelompok
104 Cotylelobium melanoxylon Hypericaceae 4.711 Kelompok
105 Cratoxylum formosum Penaeaceae 1.000 Acak
106 Crypteronia cumingii Ctenolophonaceae 1.736 Kelompok
107 Ctenolophon parvifolius Burseraceae 1.000 Acak
108 Dacryodes costata Burseraceae 0.960 Acak
109 Dacryodes sp. Burseraceae 2.144 Kelompok
110 Dacryodes incurvata Burseraceae 3.585 Kelompok
111 Dacryodes longifolia Burseraceae 1.000 Acak
112 Dacryodes macrocarpa Burseraceae 1.000 Acak
113 Dacryodes rostrata Burseraceae 1.858 Kelompok
114 Dacryodes sp.1 Burseraceae 1.000 Acak
115 Dacryodes rubiginosa Burseraceae 0.980 Acak
116 Dacryodes sp.2 Fabaceae 0.960 Acak
117 Dalbergia cana Lauraceae 1.000 Acak
118 Dehaasia brachybotrys Lauraceae 1.000 Acak
35

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
119 Dehaasia incrassata Fabaceae 4.724 Kelompok
120 Derris elegans Fabaceae 1.450 Kelompok
121 Derris maingayana Fabaceae 1.000 Acak
122 Derris pachycarpa Fabaceae 1.000 Acak
123 Derris philippinensis Fabaceae 1.000 Acak
124 Desmos chinensis Annonaceae 3.211 Kelompok
125 Dialium sp. Fabaceae 5.000 Kelompok
126 Dillenia borneensis Dilleniaceae 1.000 Acak
127 Dillenia excelsa Dilleniaceae 2.000 Kelompok
128 Dillenia ovata Dilleniaceae 6.549 Kelompok
129 Dimocarpus longan Sapindaceae 2.613 Kelompok
130 Dimorphocalyx muricatus Euphorbiaceae 1.000 Acak
131 Diospyros borneensis Ebenaceae 11.370 Kelompok
132 Diospyros buxifolia Ebenaceae 1.000 Acak
133 Diospyros clementium Ebenaceae 0.960 Acak
134 Diospyros foxworthyi Ebenaceae 4.394 Kelompok
135 Diospyros sp. Ebenaceae 2.000 Kelompok
136 Diospyros wallichii Ebenaceae 1.000 Acak
137 Dipterocarpus caudiferus Dipterocarpaceae 25.887 Kelompok
138 Dipterocarpus cornutus Dipterocarpaceae 1.640 Kelompok
139 Dipterocarpus crinitus Dipterocarpaceae 2.000 Kelompok
140 Dipterocarpus sp. Dipterocarpaceae 6.860 Kelompok
141 Dipterocarpus gracilis Dipterocarpaceae 1.000 Acak
142 Dipterocarpus grandiflorus Dipterocarpaceae 1.000 Acak
143 Dipterocarpus kunstleri Dipterocarpaceae 1.000 Acak
144 Dipterocarpus sp.1 Dipterocarpaceae 2.046 Kelompok
145 Dipterocarpus sp.2 Dipterocarpaceae 1.432 Kelompok
146 Dipterocarpus sp.3 Dipterocarpaceae 1.000 Acak
147 Discospermum abnorme Rubiaceae 11.381 Kelompok
148 Dracontomelon dao Anacardiaceae 1.000 Acak
149 Drepananthus ramuliflorus Annonaceae 10.106 Kelompok
150 Drimycarpus luridus Anacardiaceae 1.450 Kelompok
151 Drynaria sparsisora Polypodiaceae 1.000 Acak
152 Dryobalanops lanceolata Ebenaceae 0.960 Acak
153 Dryobalanops oblongifolia Ebenaceae 4.153 Kelompok
154 Drypetes longifolia Putranjivaceae 1.450 Kelompok
155 Durio acutifolius Malvaceae 1.293 Acak
156 Durio graveolens Malvaceae 0.980 Acak
157 Durio sp. Malvaceae 0.980 Acak
158 Durio griffithiii Malvaceae 1.630 Kelompok
159 Durio testudinarius Malvaceae 4.076 Kelompok
36

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
160 Durio zibethinus Malvaceae 2.427 Kelompok
161 Dyera costulata Apocynaceae 1.840 Kelompok
162 Dyospyros borneensis Ebenaceae 4.415 Kelompok
163 Dysoxylum alliaceum Meliaceae 2.390 Kelompok
164 Dysoxylum flavescens Meliaceae 1.000 Acak
165 Dysoxylum macrocarpum Meliaceae 1.920 Kelompok
166 Elaeocarpus mastersii Elaeocarpaceae 6.287 Kelompok
167 Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae 1.640 Kelompok
168 Elateriospermum tapos Euphorbiaceae 7.446 Kelompok
169 Engelhardita serrata Junglandaceae 1.328 Acak
170 Erycibe borneensis Convolvulaceae 4.815 Kelompok
171 Erythroxylum cuneatum Erythroxylaceae 1.000 Acak
172 Eusideroxylon zwageri Lauraceae 1.000 Acak
173 Ficus aurata Moraceae 2.000 Kelompok
174 Ficus hispida Moraceae 0.980 Acak
175 Ficus lepicarpa Moraceae 1.000 Acak
176 Ficus sp. Moraceae 1.400 Acak
177 Fissistigma fulgens Annonaceae 1.000 Acak
178 Flacourtia rukam Salicaceae 0.960 Acak
179 Fordia sp. Fabaceae 1.640 Kelompok
180 Fordia splendidissima Fabaceae 1.000 Acak
181 Garcinia brevirostris Clusiaceae 2.470 Kelompok
182 Garcinia caudiculata Clusiaceae 0.980 Acak
183 Garcinia rigida Clusiaceae 7.668 Kelompok
184 Garcinia rostrata Clusiaceae 1.000 Acak
185 Garcinia sp. Clusiaceae 4.175 Kelompok
186 Garcinia vidua Clusiaceae 1.000 Acak
187 Gironniera nervosa Cannabaceae 0.980 Acak
188 Gironniera subaequalis Cannabaceae 1.640 Kelompok
189 Glochidion sp. Phyllanthaceaea 1.463 Kelompok
190 Gluta wallichii Anacardiaceae 5.095 Kelompok
191 Gnetum gnemonoides Gnetaceae 0.980 Acak
192 Gomphandra quadrifida Stemonuraceae 1.640 Kelompok
193 Gomphia serrata Ochnaceae 1.960 Kelompok
194 Goniothalamus malayanus Annonaceae 1.736 Kelompok
195 Goniothalamus ridleyi Annonaceae 1.000 Acak
196 Goniothalamus velutinus Annonaceae 0.980 Acak
197 Gonystylus borneensis Thymelaeaceae 1.636 Kelompok
198 Gonystylus brunnescens Thymelaeaceae 1.000 Acak
199 Gonystylus macrophyllus Thymelaeaceae 0.980 Acak
200 Gordonia borneensis Theaceae 2.000 Kelompok
37

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
201 Grewia cinnamomifolia Malvaceae 0.960 Acak
202 Gymnacranthera farquhariana Myristicaceae 1.000 Acak
203 Gymnacranthera forbesii Myristicaceae 1.000 Acak
204 Hancea griffithiana Euphorbiaceae 1.469 Kelompok
205 Hancea penangensis Euphorbiaceae 1.000 Acak
206 Helicia attenuata Proteaceae 1.000 Acak
207 Helicia excelsa Proteaceae 1.000 Acak
208 Helicia robusta Proteaceae 1.000 Acak
209 Helicia sp. Proteaceae 1.000 Acak
210 Heliciopsis lanceolata Proteaceae 2.452 Kelompok
211 Heritiera javanica Malvaceae 2.200 Kelompok
212 Heritiera sumatrana Malvaceae 1.328 Acak
213 Hopea beccariana Dipterocarpaceae 1.702 Kelompok
214 Hopea ferruginea Dipterocarpaceae 8.023 Kelompok
215 Hopea mengarawan Dipterocarpaceae 0.960 Acak
216 Hopea micrantha Dipterocarpaceae 3.000 Kelompok
217 Hopea sp. Dipterocarpaceae 6.557 Kelompok
218 Horsfieldia irya Myristicaceae 0.960 Acak
219 Horsfieldia pilifera Myristicaceae 1.580 Kelompok
220 Hydnocarpus anomala Achariaceae 0.960 Acak
221 Hydnocarpus castanea Achariaceae 0.980 Acak
222 Hydnocarpus kunstleri Achariaceae 1.450 Kelompok
223 Hydnocarpus polypetalus Achariaceae 2.470 Kelompok
224 Ixora blumei Rubiaceae 4.700 Kelompok
225 Ixora caudata Rubiaceae 1.000 Acak
226 Ixora salicifolia Rubiaceae 2.248 Kelompok
227 Ixora sp. Rubiaceae 0.980 Acak
228 Knema cinerea Myristicaceae 5.897 Kelompok
229 Knema glauca Myristicaceae 1.000 Acak
230 Knema hirtella Myristicaceae 1.000 Acak
231 Knema latericia Myristicaceae 20.655 Kelompok
232 Knema stenophylla Myristicaceae 1.000 Acak
233 Koilodepas sp. Euphorbiaceae 1.000 Acak
234 Koompassia malaccensis Fabaceae 4.890 Kelompok
235 Leptonychia heteroclita Malvaceae 0.980 Acak
236 Licania splendens Chrysobalanaceae 1.000 Acak
237 Lithocarpus sp. Fagaceae 0.940 Acak
238 Lithocarpus sp.1 Fagaceae 1.000 Acak
239 Lithocarpus sundaicus Fagaceae 1.000 Acak
240 Lithocarpus urceolans Fagaceae 0.980 Acak
241 Litsea oppositifolia Lauraceae 1.450 Kelompok
38

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
242 Litsea robusta Lauraceae 6.860 Kelompok
243 Lophopetalum beccarianum Celastraceae 1.542 Kelompok
244 Lophopetalum javanicum Celastraceae 0.980 Acak
245 Lophopetalum subobovatum Celastraceae 1.000 Acak
246 Maasia glauca Annonaceae 0.940 Acak
247 Maasia sumatrana Annonaceae 0.980 Acak
248 Macaranga bancana Euphorbiaceae 1.000 Acak
249 Macaranga sp. Euphorbiaceae 0.980 Acak
250 Macaranga gigantea Euphorbiaceae 1.000 Acak
251 Macaranga hypoleuca Euphorbiaceae 1.000 Acak
252 Macaranga lamellata Euphorbiaceae 2.940 Kelompok
253 Macaranga lowii Euphorbiaceae 1.545 Kelompok
254 Macaranga recurvata Euphorbiaceae 1.736 Kelompok
255 Macaranga sp.1 Euphorbiaceae 42.006 Kelompok
256 Macaranga tanarius Euphorbiaceae 0.980 Acak
257 Madhuca palembanica Sapotaceae 1.000 Acak
258 Madhuca sericea Sapotaceae 1.000 Acak
259 Magnolia borneensis Magnoliaceae 1.000 Acak
260 Mallotus blumeanus Euphorbiaceae 1.450 Kelompok
261 Mallotus macrostachyus Euphorbiaceae 1.000 Acak
262 Mallotus mollissimus Euphorbiaceae 1.000 Acak
263 Mallotus rufidulus Euphorbiaceae 2.489 Kelompok
264 Mammea acuminata Clusiaceae 1.328 Acak
265 Mangifera caesia Anacardiaceae 1.000 Acak
266 Mangifera rubropetala Anacardiaceae 0.960 Acak
267 Mangifera swintonioides Anacardiaceae 2.704 Kelompok
268 Maranthes corymbosa Chrysobalanaceae 0.980 Acak
269 Meiogyne virgata Annonaceae 2.820 Kelompok
270 Melicope accedens Rutaceae 1.640 Kelompok
271 Melicope hookeri Rutaceae 4.240 Kelompok
272 Memecylon amplexicaule Melastomataceae 1.580 Kelompok
273 Memecylon edule Melastomataceae 0.980 Acak
274 Memecylon myrsinoides Melastomataceae 4.674 Kelompok
275 Memecylon scutellatum Melastomataceae 1.000 Acak
276 Microdesmis caseariifolia Pandaceae 1.640 Kelompok
277 Mitrephora tomentosa Annonaceae 3.170 Kelompok
Moultonianthus
278 Euphorbiaceae 0.980 Acak
leembruggianus
279 Myristica maxima Myristicaceae 0.980 Acak
280 Myristica sp. Myristicaceae 2.655 Kelompok
281 Myristica sp.1 Myristicaceae 2.427 Kelompok
39

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
282 Nauclea orientalis Rubiaceae 0.980 Acak
283 Nauclea sp. Rubiaceae 0.980 Acak
284 Nauclea subdita Rubiaceae 1.000 Acak
285 Neonauclea gigantea Rubiaceae 1.328 Acak
286 Nephelium cuspidatum Sapindaceae 0.960 Acak
Nephelium cuspidatum var
287 Sapindaceae 1.000 Acak
Ophioides leeneh
288 Nephelium eriopetalum Sapindaceae 1.000 Acak
289 Nephelium juglandifolium Sapindaceae 4.097 Kelompok
290 Nephelium lappaceum Sapindaceae 5.570 Kelompok
291 Nephelium ramboutan-ake Sapindaceae 1.000 Acak
292 Nephelium uncinatum Sapindaceae 0.960 Acak
293 Nothaphoebe umbelliflora Lauraceae 5.498 Kelompok
294 Orophea corymbosa Annonaceae 0.980 Acak
295 Oxyspora exigua Melastomataceae 1.000 Acak
296 Palaquium calophyllum Sapotaceae 2.656 Kelompok
297 Palaquium dasyphyllum Sapotaceae 1.450 Kelompok
298 Palaquium sp. Sapotaceae 2.480 Kelompok
299 Palaquium eriocalyx Sapotaceae 1.450 Kelompok
300 Palaquium hexandrum Sapotaceae 0.980 Acak
301 Palaquium quercifolium Sapotaceae 1.000 Acak
302 Palaquium sericeum Sapotaceae 1.000 Acak
303 Parashorea smythiesii Dipterocarpaceae 2.200 Kelompok
304 Parishia insignis Anacardiaceae 1.000 Acak
305 Payena acuminata Sapotaceae 2.144 Kelompok
306 Pellacalyx axillaris Rhizophoraceae 1.000 Acak
307 Peltophorum pterocarpum Fabaceae 3.000 Kelompok
308 Pentace borneensis Malvaceae 0.980 Acak
309 Pentace laxiflora Malvaceae 2.470 Kelompok
310 Pentaspadon motleyi Anacardiaceae 1.000 Acak
311 Phaeanthus sp. Annonaceae 3.000 Kelompok
312 Phaeanthus splendens Annonaceae 1.000 Acak
313 Phanera foraminifera Fabaceae 1.000 Acak
314 Phoebe grandis Lauraceae 3.767 Kelompok
315 Phoebe sp. Lauraceae 1.000 Acak
Pimelodendron
316 Euphorbiaceae 3.089 Kelompok
griffithianum
317 Platea excelsa Icacinaceae 1.000 Acak
318 Podocarpus neriifolius Podocarpaceae 1.450 Kelompok
319 Polyalthia cauliflora Annonaceae 1.000 Acak
320 Polyalthia cf. cauliflora Annonaceae 0.960 Acak
40

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
321 Polyalthia insignis Annonaceae 1.000 Acak
322 Polyalthia lateriflora Annonaceae 1.000 Acak
323 Polyalthia rumphii Annonaceae 0.980 Acak
324 Polyalthia subcordata Annonaceae 0.960 Acak
325 Popowia fusca Annonaceae 0.980 Acak
326 Popowia pisocarpa Annonaceae 10.994 Kelompok
327 Prunus arborea Rosaceae 4.104 Kelompok
Prunus arborea var
328 Rosaceae 1.328 Acak
Stipulacea
329 Prunus beccarii Rosaceae 2.800 Kelompok
330 Prunus grisea Rosaceae 4.190 Kelompok
Pseuderanthemum
331 Acanthaceae 1.000 Acak
borneense
332 Pternandra caerulescens Melastomataceae 2.144 Kelompok
333 Pterospermum javanicum Malvaceae 0.900 Acak
334 Pterospermum sp. Malvaceae 1.000 Acak
335 Quercus subsericea Fagaceae 1.000 Acak
336 Rhaphidophora sylvestris Araceae 1.000 Acak
337 Rinorea horneri Violaceae 6.157 Kelompok
338 Rinorea lanceolata Violaceae 1.000 Acak
339 Rinorea longiracemosa Violaceae 2.260 Kelompok
340 Ryparosa javanica Achariaceae 1.450 Kelompok
341 Sandoricum koetjape Meliaceae 0.960 Acak
342 Santiria apiculata Burseraceae 0.980 Acak
343 Santiria laevigata Burseraceae 11.886 Kelompok
344 Santiria oblongifolia Burseraceae 3.576 Kelompok
345 Santiria pilosa Burseraceae 0.980 Acak
346 Santiria tomentosa Burseraceae 1.000 Acak
347 Sarcotheca sp. Oxalidaceae 1.000 Acak
348 Scaphium macropodum Malvaceae 2.439 Kelompok
349 Scorodocarpus borneensis Olacaceae 2.656 Kelompok
350 Semecarpus glauca Anacardiaceae 1.520 Kelompok
351 Shorea balangeran Dipterocarpaceae 2.000 Kelompok
352 Shorea beccariana Dipterocarpaceae 20.019 Kelompok
353 Shorea sp. Dipterocarpaceae 1.469 Kelompok
354 Shorea bracteolata Dipterocarpaceae 1.000 Acak
355 Shorea brunnescens Dipterocarpaceae 10.375 Kelompok
356 Shorea sp.1 Dipterocarpaceae 0.980 Acak
357 Shorea dasyphylla Dipterocarpaceae 7.668 Kelompok
358 Shorea faguetiana Dipterocarpaceae 0.980 Acak
359 Shorea fallax Dipterocarpaceae 1.000 Acak
41

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
360 Shorea gibbosa Dipterocarpaceae 1.821 Kelompok
361 Shorea hopeifolia Dipterocarpaceae 6.423 Kelompok
362 Shorea laevis Dipterocarpaceae 3.000 Kelompok
363 Shorea leprosula Dipterocarpaceae 7.444 Kelompok
364 Shorea macrophylla Dipterocarpaceae 1.625 Kelompok
365 Shorea macroptera Dipterocarpaceae 4.344 Kelompok
366 Shorea maxwelliana Dipterocarpaceae 17.425 Kelompok
367 Shorea parvifolia Dipterocarpaceae 32.388 Kelompok
368 Shorea parvistipulata Dipterocarpaceae 8.251 Kelompok
369 Shorea sp.2 Dipterocarpaceae 2.689 Kelompok
370 Shorea patoiensis Dipterocarpaceae 2.000 Kelompok
371 Shorea pauciflora Dipterocarpaceae 0.960 Acak
372 Shorea peltata Dipterocarpaceae 4.002 Kelompok
373 Shorea pinanga Dipterocarpaceae 6.608 Kelompok
374 Shorea sagittata Dipterocarpaceae 9.625 Kelompok
375 Shorea sp.3 Dipterocarpaceae 1.000 Acak
376 Shorea sp.4 Dipterocarpaceae 1.000 Acak
377 Spatholobus littoralis Fabaceae 1.000 Acak
378 Sterculia coccinea Malvaceae 0.980 Acak
379 Sterculia membranacea Malvaceae 1.640 Kelompok
380 Sterculia sp. Malvaceae 1.450 Kelompok
381 Swintonia elmeri Anacardiaceae 7.466 Kelompok
382 Symplocos adenophylla Symplocaceae 1.000 Acak
383 Symplocos fasciculata Symplocaceae 1.000 Acak
384 Symplocos sp. Symplocaceae 1.000 Acak
385 Symplocos odoratissima Symplocaceae 1.000 Acak
386 Syzygium acuminatissimum Myrtaceae 0.980 Acak
387 Syzygium antisepticum Myrtaceae 1.920 Kelompok
388 Syzygium arcuatinervium Myrtaceae 0.980 Acak
389 Syzygium barringtonioides Myrtaceae 2.655 Kelompok
390 Syzygium insigne Myrtaceae 5.513 Kelompok
391 Syzygium leptostemon Myrtaceae 2.150 Kelompok
392 Syzygium leucoxylon Myrtaceae 0.940 Acak
393 Syzygium lineatum Myrtaceae 7.905 Kelompok
394 Syzygium medium Myrtaceae 1.463 Kelompok
395 Syzygium muelleri Myrtaceae 1.000 Acak
396 Syzygium racemosum Myrtaceae 15.525 Kelompok
397 Syzygium sp. Myrtaceae 1.000 Acak
398 Syzygium sp.1 Myrtaceae 1.000 Acak
Teijsmanniodendron
399 Lamiaceae 2.868 Kelompok
sarawakanum
42

Lampiran 1 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNBK (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
Teijsmanniodendron
400 Lamiaceae 1.754 Kelompok
simplicifolium
401 Teijsmanniodendron sp. Lamiaceae 0.960 Acak
402 Terminalia subspathulata Combretaceae 1.000 Acak
403 Ternstroemia coriacea Pentaphylacaceae 6.676 Kelompok
404 Thea sp. Theaceae 2.000 Kelompok
405 Timonius flavescens Rubiaceae 1.000 Acak
406 Trema orientalis Cannabaceae 1.000 Acak
407 Trema tomentosa Cannabaceae 1.293 Acak
408 Trema sp. Cannabaceae 1.640 Kelompok
409 Trigoniastrum hypoleucum Trigoniaceae 3.217 Kelompok
410 Triomma malaccensis Burseraceae 1.370 Acak
411 Urophyllum arboreum Rubiaceae 1.640 Kelompok
412 Urophyllum hirsutum Rubiaceae 1.171 Acak
413 Urophyllum nigricans Rubiaceae 3.123 Kelompok
414 Uvaria lobbiana Annonaceae 1.450 Kelompok
415 Vaccinium varingiaefolium Ericaceae 2.036 Kelompok
416 Vatica endertii Dipterocarpaceae 0.960 Acak
417 Vatica nitens Dipterocarpaceae 34.120 Kelompok
418 Vatica pauciflora Dipterocarpaceae 2.634 Kelompok
419 Vatica rassak Dipterocarpaceae 12.555 Kelompok
420 Vatica sp. Dipterocarpaceae 16.430 Kelompok
421 Vatica sp.1 Dipterocarpaceae 1.328 Acak
422 Vatica vinosa Dipterocarpaceae 0.980 Acak
423 Vernonia arborea Asteraceae 1.450 Kelompok
424 Walsura pachycaulon Meliaceae 3.000 Kelompok
425 Xanthophyllum amoenum Polygalaceae 1.000 Acak
426 Xanthophyllum flavescens Polygalaceae 2.044 Kelompok
427 Xanthophyllum impressum Polygalaceae 1.000 Acak
428 Xanthophyllum neglectum Polygalaceae 1.000 Acak
429 Xanthophyllum pulchrum Polygalaceae 1.328 Acak
430 Xerospermum noronhianum Sapindaceae 0.980 Acak
431 Xylopia ferruginea Annonaceae 4.492 Kelompok
432 Ziziphus angustifolia Cannabaceae 2.823 Kelompok
433 Ziziphus suluensis Cannabaceae 1.067 Acak

Lampiran 2 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNGC


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
1 Acer laurinum Sapindaceae 6.115 Kelompok
2 Acronychia pedunculata Rutaceae 0.923 Acak
3 Acronychia trifoliata Rutaceae 1 Acak
43

Lampiran 2 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNGC (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
4 Actinodaphne glomerata Lauraceae 22.932 Kelompok
5 Agathis dammara Araucariaceae 1.342 Acak
6 Albizia lebbeck Fabaceae 1 Acak
7 Albizia procera Fabaceae 1 Acak
8 Antidesma montanum Phyllanthaceae 0.923 Acak
9 Aporosa arborea Phyllanthaceae 3 Kelompok
10 Archidendron jiringa Fabaceae 1 Acak
11 Ardisia crispa Primulaceae 6 Kelompok
12 Ardisia javanica Primulaceae 4 Kelompok
13 Ardisia marginata Primulaceae 4 Kelompok
14 Ardisia tulisinosa Primulaceae 0.923 Acak
15 Artocarpus elasticus Moraceae 1.564 Acak
16 Artocarpus heterophyllus Moraceae 1 Acak
17 Astronia spectabilis Melastomataceae 2.415 Kelompok
18 Beilschmiedia gemmiflora Lauraceae 31.854 Kelompok
19 Casearia glabra Salicaceae 43.789 Kelompok
20 Castanopsis argentea Fagaceae 28.364 Kelompok
21 Castanopsis javanica Fagaceae 1 Acak
22 Cinnamomum iners Lauraceae 3.559 Kelompok
23 Cryptocarya ferrea Lauraceae 31.861 Kelompok
24 Dacrycarpus imbricatus Podocarpaceae 6.373 Kelompok
25 Dalbergia latifolia Fabaceae 1.564 Acak
26 Dendrocalamus latifolius Poaceae 0.923 Acak
27 Dendrocnide stimulans Urticaceae 6.115 Kelompok
28 Dichrostachys cinerea Fabaceae 1 Acak
29 Dillenia beccariana Dilleniaceae 1.846 Acak
30 Dracontomelon dao Anacardiaceae 11.764 Kelompok
31 Dysoxylum arborescens Meliaceae 24.989 Kelompok
32 Dysoxylum cyrtobotryum Meliaceae 9.355 Kelompok
33 Dysoxylum densiflorum Meliaceae 5.154 Kelompok
34 Dysoxylum excelsum Meliaceae 24.515 Kelompok
35 Dysoxylum gaudichaudianum Meliaceae 1 Acak
36 Elaeocarpus acronodia Elaeocarpaceae 10.2 Kelompok
37 Elaeocarpus floribundus Elaeocarpaceae 8.638 Kelompok
38 Eriosolena composita Thymelaeaceae 11 Kelompok
39 Falcataria moluccana Fabaceae 1 Acak
40 Ficus ampelas Moraceae 1 Acak
41 Ficus fistulosa Moraceae 8.749 Kelompok
42 Ficus hispida Moraceae 0.923 Acak
43 Ficus melinocarpa Moraceae 13.981 Kelompok
44 Ficus microcarpa Moraceae 1 Acak
44

Lampiran 2 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNGC (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
45 Ficus septica Moraceae 5.154 Kelompok
46 Ficus sinuata Moraceae 1 Acak
47 Gaultheria leucocarpa Ericaceae 1 Acak
48 Gigantochloa apus Poaceae 1 Acak
49 Homalanthus populneus Euphorbiaceae 32.713 Kelompok
50 Hypobathrum racemosum Rubiaceae 2 Kelompok
51 Lithocarpus elegans Fagaceae 13.272 Kelompok
52 Litsea mappacea Lauraceae 4.805 Kelompok
53 Litsea oppositifolia Lauraceae 2.769 Kelompok
54 Litsea umbellata Lauraceae 1 Acak
55 Macaranga peltata Euphorbiaceae 6.538 Kelompok
56 Macaranga tanarius Euphorbiaceae 1.554 Acak
57 Macropanax dispermus Araliaceae 6 Kelompok
58 Macropanax olispermum Araliaceae 0.923 Acak
59 Magnolia glauca Magnoliaceae 1 Acak
60 Mallotus philippinensis Euphorbiaceae 0.923 Acak
61 Mangifera foetida Anacardiaceae 1 Acak
62 Melochia umbellata Malvaceae 2 Kelompok
63 Mycetia cauliflora Rubiaceae 2 Kelompok
64 Nauclea subdita Rubiaceae 1 Acak
65 Neolitsea javanica Lauraceae 6.595 Kelompok
66 Oreocnide rubescens Urticaceae 0.923 Acak
67 Ostodes paniculata Euphorbiaceae 6.379 Kelompok
68 Persea rimosa Lauraceae 19.944 Kelompok
69 Phaleria coccinea Thymelaeaceae 6 Kelompok
70 Phoebe macrophylla Lauraceae 1 Acak
71 Pinus merkusii Pinaceae 38.819 Kelompok
72 Pithecellobium dulce Fabaceae 3.277 Kelompok
73 Planchonella obovata Sapotaceae 1 Acak
74 Podocarpus neriifolius Podocarpaceae 4 Kelompok
75 Polyosma integrifolia Escalloniaceae 8.002 Kelompok
76 Prismatomeris javanica Rubiaceae 1 Acak
77 Pterospermum javanicum Malvaceae 2 Kelompok
78 Pyrenaria serrata Theaceae 5.213 Kelompok
79 Sambucus javanica Adoxaceae 13.279 Kelompok
80 Sambucus sp. Adoxaceae 1 Acak
81 Saurauia pendula Actinidiaceae 11.267 Kelompok
82 Schima walichii Theaceae 8.487 Kelompok
83 Spatodea campanulata Verbenaceae 1 Acak
84 Sterculia coccinea Malvaceae 1 Acak
85 Sterculia macrophylla Malvaceae 1 Acak
45

Lampiran 2 Tabulasi sebaran spesies tumbuhan di TNGC (lanjutan)


No Nama Ilmiah Family ID Pola Sebaran
86 Symplocos cochicnhinensis Simplocaceae 5 Kelompok
87 Symplocos junghuhnii Simplocaceae 2.385 Kelompok
88 Symplocos ramosissima Simplocaceae 3 Kelompok
89 Syzygium antisepticum Myrtaceae 3 Kelompok
90 Syzygium corymbosum Myrtaceae 2.077 Kelompok
91 Syzygium glomeratum Myrtaceae 10 Kelompok
92 Syzygium lincatum Myrtaceae 1.554 Acak
93 Syzygium zeylanicum Myrtaceae 5.237 Kelompok
94 Tetranthera angulata Dilleniaceae 1.846 Acak
95 Viburnum lutexcens Adoxaceae 13 Kelompok
96 Villebrunea rubescens Urticaceae 1.564 Acak
97 Weinmannia fraxinea Cunoniaceae 2 Kelompok
98 Wendlandia glabrata Rubiaceae 0.923 Acak
99 Wilkstroemia andresaemifolia Thymelaeaceae 5 Kelompok
100 Xanthophyllum lanceatum Polygalaceae 2 Kelompok
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Narmada, Lombok Barat pada tanggal 1 Januari 1992


sebagai anak bungsu dari 7 bersaudara pasangan Muhammad Ridwan dan
Halimatussa’diah. Penulis menempuh jenjang pendidikan di MI Quraniyah Batu-
Kuta tahun 1998-2004, kemudian melanjutkan ke Mts Quraniyah tahun 2004-2007,
dan melanjutkan ke jenjang menengah atas di MAN Insan Cendekia Gorontalo
tahun 2007-2010. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa di
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan. Tahun 2014 Penulis tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika dengan mengikuti program
Sinergi S1 –S2.
Selama menempuh masa studi di Program Tudi Konservasi Biodiversitas
Tropika, penulis mengikuti seminar internasional dengan tema “Internasional
Symposium Rafflesia and Amorphophallus 2015” dan Seminar Nasional Harimau
Kita. Penulis juga menjadi pembicara pada kegiatan seminar Nasional “Mengenal
Lebih Dekat Biodiversitas Indonesia Untuk Menanamkan Kepedulian Terhadap
Kelestarian Alam Negeri”
Beberapa artikel ilmiah yang diterbitkan penulis dalam bentuk jurnal selama
melaksankan studi di IPB yaitu IPB Biodiversity informatics (IPBiotics) for
Sustainability Development 2014-2015; Plant species richness estimation around a
Rafflesia (Rafflesia patma Blume) habitat using rarefaction, nonparametric
symptotic, and extrapolation methods of estimation; Study of Rafflesia (Rafflesia
patma Blume.) Habitat Characteristic in Bojonglarang Jayanti Nature Reserve,
Cianjur, Jawa Barat (Jurnal); Determining of Shape and Dimensions Optimal
Sampling Plot for Measuring of Plant Biodiversity in Highland Tropical Rain Forest
(Jurnal).
Untuk memperoleh gelar Magister Science IPB, penulis melakukan penelitian
Thesis dengan judul Penentuan Bentuk dan Dimensi Plot Contoh Optimal
Pengukuran Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Ekosistem Hutan Hujan
Pegunungan Bawah di bawah bimbingan Dr Ir Agus Hikmat MScf dan Prof Dr ir
Yanto Santosa DEA.

Anda mungkin juga menyukai