Anda di halaman 1dari 53

STUDI PEMBIAKAN VEGETATIF

Intsia bijuga (Colebr.) O.K. MELALUI GRAFTING

RISNA TRISNAWATI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Studi pembiakan vegetatif
Intsia bijuga (Colebr.) O.K. melalui grafting

Oleh :
Risna Trisnawati, Andi Sukendro, dan Irdika Mansur.

Pembiakan vegetatif dengan cara grafting merupakan suatu alternatif untuk


pemuliaan pohon merbau [Instia bijuga (Colebr.) O.K]. Salah satu keuntungan
dari grafting ialah banyak digunakan untuk produksi bibit yang akan ditanam di
kebun benih dan bermanfaat untuk penyelamatan kandungan genetik tanaman
merbau. Metode grafting yang dipakai adalah Top Cleft Grafting dan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktorial. Faktor
pertama adalah perlakuan rootstock berdiameter 4-6 mm dan rootstock
berdiameter 6.1-8 mm. Faktor kedua adalah perlakuan jenis fase scion yang
mengalami fase dorman dan fase aktif. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui
bahwa perlakuan rootstock dan perlakuan jenis fase scion tidak berpengaruh nyata
terhadap persentase keberhasilan sambungan Merbau dan persentase ketahanan
penyakit. Tetapi interaksi perlakuan rootstock dan jenis fase scion berpengaruh
nyata terhadap persentase ketahanan penyakit. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa rata-rata persen keberhasilan sambungan Merbau adalah 21.67%.

Kata Kunci : Grafting, merbau, pembiakan vegetatif, rootstock, scion.


Study of vegetative propagation
Intsia bijuga (Colebr.) O.K. by grafting

By :
Risna Trisnawati, Andi Sukendro, dan Irdika Mansur.

Vegetative propagation by grafting is an alternative method for merbau


[Instia bijuga (Colebr.) O.K] breeding. One of the advantages of grafting is
mostly used in seed producing that will be planted in seed orchard and it is useful
for saving of merbau genetics. The research used Top Cleft Grafting method and
completely randomized design with two factors. The first factor is rootstock
treatment which has diameter between 4-6 mm and 6.1-8 mm. The second factor
is a scion phase type treatment which has dormant type and active type. Based on
ANOVA, known that the rootstock and scion phase type treatments do not have
significant influence on survival percentage and disease resistance percentage.
But, interaction between them have a significant influence on a disease resistance
percentage. According to the result of research, known that the average of survival
percentage of Merbau grafting is 21.67 %.

Keywords : Grafting, merbau, rootstock, scion, vegetative propagation.


STUDI PEMBIAKAN VEGETATIF
Intsia bijuga (Colebr.) O.K. MELALUI GRAFTING

RISNA TRISNAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi Pembiakan
vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K melalui Grafting adalah hasil karya saya
sendiri dibawah bimbingan dosen pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Risna Trisnawati
E44051775
Judul Penelitian : Studi Pembiakan Vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K. Melalui
Grafting
Nama : Risna Trisnawati
NIM : E44051775

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Ir. Andi Sukendro, M.Si.) (Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.)


NIP. 19620505 1987 031 004 NIP. 19660523 1990 021 001

Menyetujui
Ketua Departemen Silvikultur

(Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr.)


NIP 19641110 1990 021 001

Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi yang berjudul Studi Pembiakan vegetatif Intsia bijuga
(Colebr.) O.K melalui Grafting. Penelitian ini mencakup kegiatan
penyambungan (grafting) antara batang bawah (rootstock) tanaman merbau yang
mempunyai ukuran diameter 4-8 mm dengan batang atas (scion) yang berasal dari
tanaman dewasa. Pada pelaksanaannya parameter yang diamati adalah persen
hidup tanaman hasil sambungan yang diharapkan dapat menjadi ukuran
keberhasilan sambungan pada Intsia bijuga (Colebr.) O.K. Skripsi ini disusun
dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada
proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis dibimbing oleh Ir. Andi
Sukendro, M.Si. dan Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc. selaku pembimbing
penelitian.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir
kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Bogor, Januari 2010

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 17 November 1986


sebagai anak terakhir dari enam bersaudara pasangan Iri Sahri dan Rosmayati.
Pada tahun 1993 sampai tahun 1999 penulis menempuh pendidikan dasar di SDN
Paas 1. Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 melanjutkan pendidikan di
SLTPN 1 Pameungpeuk. Pendidikan tingkat menengah atas ditempuh penulis di
SMAN 1 Pameungpeuk dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis lulus
seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Masuk IPB
(USMI). Penulis memilih jurusan Silvikultur di Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan
akademis maupun non-akademis. Di bidang akademis, penulis berkesempatan
menjadi asisten di mata kuliah Silvikultur (2008). Di bidang non-akademis,
penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Badan Pengurus
Harian (BPH) Tree Grower Community (TGC) tahun 2007-2008. Penulis juga
bergabung dalam berbagai kepanitiaan di setiap kegiatan Himpro TGC
diantaranya Seminar Jabon sebagai Pengganti Sengon, Seminar Jamur Tiram, Go
Green Bekasi Planting, Belantara 43, dan lolos dalam Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan yang didanai oleh Dikti dengan PKMK
yang berjudul Sayur Jamur Tiram Kering sebagai Pelengkap Makanan Bergizi.
Selain itu penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH)
di Linggarjati-Indramayu, Praktek Pembinaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan
Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat, dan Praktek Kerja Profesi (PKP) di Hutan
Rakyat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Studi Pembiakan vegetatif Intsia bijuga (Colebr.) O.K
melalui Grafting dibimbing oleh Ir. Andi Sukendro, M.Si. dan Dr. Ir. Irdika
Mansur, M.For.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini banyak sekali
kendala dan hambatan yang dihadapi. Namun berkat dukungan dan bantuan dari
semua pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ir. Andi Sukendro, M.Si. dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. atas segala
arahan, petunjuk dan bimbingannya.
2. Bapak dan Ibu atas doa dan kasih sayangnya yang diberikan selama ini. Untuk
kakak-kakakku yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam segala
hal dan penyemangat dalam menggapai cita.
3. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku dosen penguji wakil dari Departemen
Manajemen Hutan, Ir. Edhi Sandra, M.Si. selaku dosen penguji wakil dari
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, dan Dr. Ir.
Nyoman J Wistara, MS. selaku dosen penguji wakil dari Departemen Hasil
Hutan.
4. Staf Pengajar di Departemen Silvikultur dan Fakultas Kehutanan IPB serta
seluruh guru yang telah memberikan segenap ilmu dengan penuh keikhlasan.
5. Staf TU Departemen Silvikultur atas bantuan dan dukungannya.
6. Feri Andry Susantho, A.Md. beserta keluarga atas dukungan dan rasa cinta
yang telah diberikan.
7. Tim Penelitian Grafting yang membantu selama penelitian (Weri, Fidry,
Maretha, Tatik, Hilda, Rifa, Rima, Tomi, Yogi, Fa’i, Bramas, dedi dan
Doddy). Teman-teman Silvikultur 42, Chandra, Ajeng, Sambang, Yohana,
Devi, Asep, Fifi, Kiki, Ghina, Yuli, Farah, Rifki, Benny, Agha dan semuanya
yang tidak bisa penulis sebut satu-persatu atas perjuangan dan dukungan
selama menjadi mahasiswa.
8. Teman-teman kos Citra Islamic 1, Susan, Amel, Dini, Alin dan adik-adik
kelas atas perhatian, bantuan dan dukungannya. Teman-teman PPEH, PPH,
dan PKL atas kerjasama dan kebersamaannya.
9. Serta pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR TABEL ................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................. 4
1.3 Hipotesis ............................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Intsia bijuga (Colebr.) O.K. ......... 5
2.1.1 Taksonomi dan tatanama ............................................. 5
2.1.2 Deskripsi botani .......................................................... 5
2.1.3 Penyebaran dan habitat ............................................... 6
2.1.4 Silvikultur .................................................................... 6
2.1.5 Kegunaan dan manfaat ................................................ 7
2.2 Tinjauan Umum tentang Pembiakan Vegetatif .................... 8
2.2.1 Definisi dan macam pembiakan vegetatif ................... 8
2.2.2 Alasan dilakukannya pembiakan vegetatif .................. 9
2.3 Pembiakan Vegetatif Grafting ............................................. 10
2.3.1 Pengertian .................................................................... 10
2.3.2 Faktor penentu keberhasilan sambungan .................... 12
2.3.3 Proses pertautan pada grafting .................................... 12
2.3.4 Pengaruh batang bawah terhadap batang atas ............. 14
2.3.5 Perbanyakan batang bawah ......................................... 14
2.3.6 Aplikasi teknik grafting pada tanaman kehutanan ...... 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 16
3.2 Bahan dan Alat ..................................................................... 16
3.3 Metode Penelitian ................................................................. 16
3.3.1 Pemilihan batang bawah (rootstock) ........................... 16
3.3.2 Pemilihan batang atas (scion) ...................................... 16
3.3.3 Pelaksanaan sambungan .............................................. 17
3.3.4 Pemeliharaan ............................................................... 17
3.3.5 Pengamatan ................................................................. 18
3.3.6 Rancangan percobaan .................................................. 19
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ..................................................................................... 20
4.1.1 Keberhasilan grafting (sambungan) ............................ 20
4.1.2 Kerentanan terhadap penyakit ..................................... 21
4.1.3 Kesegaran bahan sambungan ...................................... 22
4.2 Pembahasan .......................................................................... 23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .......................................................................... 30
5.2 Saran ..................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 31
LAMPIRAN ............................................................................................ 33
DAFTAR TABEL

No Halaman
1. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh besar diameter 20
dan fase scion terhadap parameter bibit merbau ...........................
2. Uji lanjut Duncan rata-rata persentase kerentanan terhadap 21
penyakit tanaman merbau ..............................................................
DAFTAR GAMBAR

No Halaman
1. Histogram persen keberhasilan grafting akhir pengamatan .......... 21
2. Tanaman hasil grafting terserang penyakit (jamur) ...................... 22
3. Grafik kesegaran tanaman selama 10 minggu ............................... 23
4. Tanaman merbau hasil grafting...................................................... 23
DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman
1. Rekapitulasi hasil pengamatan tanaman grafting merbau ............. 34
2. Pengamatan kesegaran tanaman .................................................... 35
3. Pengaruh batang bawah terhadap ketahanan hama dan penyakit .. 35
4. Pengolahan data ............................................................................. 36
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembiakan vegetatif adalah suatu metode perbanyakan tanaman dengan
menggunakan bagian tanaman (bagian-bagian vegetatif yakni akar, batang dan
daun) itu sendiri dan tanpa melibatkan proses pembuahan sehingga sifat tanaman
induk dapat dipertahankan dan diturunkan ke tanaman anakan (Hartman dan
Kester 1983). Salah satu teknik pembiakan vegetatif adalah grafting, yaitu suatu
seni menyambung bagian dari satu tanaman (sepotong pucuk) ke bagian tanaman
lain (rootstock) sedemikian rupa sehingga tercapai persenyawaan dan kombinasi
ini terus tumbuh membentuk tanaman baru (Mahlstede dan Haber 1957; Hartman
dan Kester 1978). Bagian bawah dari sambungan yang akan berkembang menjadi
sistem perakaran dari tanaman sambungan disebut batang bawah
(stock/rootstock), sedangkan potongan kecil dari tunas yang mengandung dua atau
beberapa mata tunas dorman, yang ketika disambungkan batang bawah akan
menjadi bagian atas dari tanaman yang akan tumbuh menjadi ranting dan cabang
dari tanaman sambungan tersebut disebut batang atas (scion).
Pembiakan vegetatif dengan grafting memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan pembiakan generatif. Salah satu keuntungan dari grafting
ialah banyak digunakan untuk produksi bibit yang akan ditanam di kebun benih
dan bermanfaat untuk penyelamatan kandungan genetik tanaman. Selain itu,
keuntungan dari pembiakan vegetatif dengan grafting ini ialah anakan yang
dihasilkan mempunyai sifat dan penampakan yang lebih baik dibanding induknya
karena merupakan pnggabungan dua atau lebih sifat unggul dari tanaman berbeda,
pembiakan vegetatif dengan grafting juga dapat digunakan untuk membangun
kebun pangkas guna mendapatkan bibit yang mempunyai kualitas yang unggul.
Selain itu, metode ini tidak dibatasi oleh waktu, yang berarti pembiakan
vegetatif melalui grafting dapat dilakukan kapan saja. Dengan grafting ini juga,
tanaman yang disambungkan mempunyai potensi memperpendek periode juvenil,
sehingga dapat berbuah dan menghasilkan biji lebih cepat daripada tanaman yang
berasal dari biji. Tanaman hasil grafting mempunyai sistem perakaran yang
2

dalam, tanaman lebih kuat karena batang bawahnya tahan terhadap keadaan tanah
yang tidak menguntungkan, temperatur rendah, atau gangguan-gangguan lain
yang terdapat di dalam tanah serta tanaman yang dihasilkan merupakan gabungan
dari dua sifat unggul dengan membuang dua sifat yang tidak diinginkan.
Grafting dalam dunia kehutanan tidak dimaksudkan untuk perbanyakan
tanaman dalam arti bibit untuk penanaman skala luas, melainkan untuk
menyelamatkan genetik pohon unggul. Oleh karena itu, keberhasilan grafting
akan mendukung pembangunan kebun benih klonal.
Dewasa ini, beberapa tanaman kehutanan telah dieksploitasi sehingga
ketersediaan tanaman tersebut di alam semakin menurun, bahkan terancam punah.
Salah satu jenis tanaman yang menjadi perhatian saat ini adalah merbau (Intsia
bijuga [Colebr.] O.K.), yang populasinya semakin terbatas di alam karena adanya
eksploitasi dan kesulitan dalam perbanyakan generatif di alam. Selain itu, jenis ini
memiliki banyak kegunaan yaitu sebagai bahan bangunan, lantai, alat-alat rumah
tangga, papan, bantalan, tiang listrik dan telepon, perkapalan dan jembatan.
Melihat banyaknya manfaat dan kegunaan yang diberikan tanaman merbau
dan semakin kompleksnya kebutuhan manusia, bukan tidak mungkin untuk tahun-
tahun kedepan permintaan akan kayu merbau akan semakin meningkat juga. Peta
hasil olahan Greenpeace menunjukkan bahwa dari seluruh luas hutan yang saat ini
menjadi tempat pertahanan terakhir populasi merbau di Pulau Papua 83 % sudah
dibalak atau dialokasikan untuk pembalakan komersial, sehingga tinggal 17 %
habitat merbau yang masih tumbuh asli dan belum dirusak atau ditebang.
Diperkirakan populasi merbau di Indonesia akan punah dalam waktu 35 tahun
mendatang, bahkan bisa lebih cepat.
Oleh karena itu, merbau telah dimasukkan dalam daftar "menghadapi resiko
kepunahan tinggi di alam bebas dalam waktu dekat" oleh Badan Konservasi
Dunia (WCU). Menurut the World Conservation Union (IUCN) merbau
digolongkan sebagai spesies yang rentan terancam kepunahan (vulnerable),
sementara the World Conservation Monitoring Centre menggolongkan kayu
merbau Indonesia sebagai spesies yang terancam (threatened). Dan akibat tekanan
perdagangan telah menyusutkan populasi kayu ini di alam, sehingga sejak tahun
1992 jenis ini telah diusulkan untuk diatur perdagangannya melalui Apendiks II
3

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Untuk itu,


penanaman pohon jenis merbau dalam pembangunan hutan tanaman harus
dijadikan sebagai suatu prioritas.
Penggunaan metode pembiakan vegetatif melalui grafting sebagai alternatif
untuk penyelamatan genetik tanaman merbau (Instia bijuga [Colebr.] O.K),
diharapkan kebutuhan akan tanaman merbau yang berkualitas dan jumlah yang
mencukupi dalam rangka mendukung program pemuliaan pohon antara lain untuk
pembangunan kebun pangkas elit dan kebun benih klonal.
Dalam teknik menyambung terdapatnya pengaruh batang atas (scion) dan
batang bawah (rootstock), yang mempengaruhi pada keberhasilan sambungan,
kesegaran bahan sambungan dan kerentanan terhadap penyakit. Oleh karena itu,
ketiga hal tersebut dijadikan sebagai parameter dalam penelitian pembiakan
vegetatif tanaman merbau melalui grafting. Adapun pengaruh perlakuan yang
digunakan untuk mengukur ketiga parameter tersebut adalah pembedaan
perlakuan pada bahan rootstock dan jenis fase untuk bahan scion. Bahan rootstock
yang digunakan adalah bibit merbau yang berumur antara 8-12 bulan dengan
perlakuan besar diameter 6-8 mm. Sedangkan untuk bahan scion diambil dari
pohon yang berumur 10 tahun dengan perlakuan fase aktif dan fase dorman.
Diharapkan dari pembedaan pengaruh perlakuan untuk scion dan rootstock
tersebut dapat memberikan pengaruhnya terhadap keberhasilan sambungan.
Selain itu, untuk parameter kerentanan terhadap penyakit pengaruh besar
diameter rootstock dan jenis fase scion akan memperlihatkan pengaruhnya pada
tanaman yang sudah di grafting, karena akan adanya timbul penyakit pada
tanaman yang di grafting akibat faktor dalam maupun faktor luar yang
menentukan keberhasilan dari grafting sehingga harus dijadikan sebagai perhatian
dalam melakukan perbanyakan tanaman merbau melalui grafting.
Oleh karena itu, penelitian mengenai studi pembiakan vegetatif pada merbau
(Intsia bijuga [Colebr.] O.K.) melalui grafting dilakukan untuk melihat pengaruh
perbedaan perlakuan besar diameter rootstock dengan jenis fase scion terhadap
keberhasilan sambungan.
4

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pembedaan
diameter untuk bahan rootstock dan jenis fase untuk bahan scion terhadap
keberhasilan pembiakan vegetatif tanaman Merbau (Intsia bijuga [Colebr.] O.K.)
melalui grafting.

1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Tanaman Merbau (Instia bijuga [Colebr.] O.K) dapat dikembangbiakkan
melalui grafting.
2. Perbedaan besarnya ukuran diameter bahan rootstock berpengaruh terhadap
persen keberhasilan grafting dan kerentanan terhadap penyakit.
3. Perbedaan fase jenis scion akan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberhasilan grafting.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Grafting digunakan untuk memperbanyak Merbau secara vegetatif.
2. Grafting bermanfaat untuk penyelamatan keragaman genetik Merbau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Intsia bijua (Colebr.) O.K.


2.1.1 Taksonomi dan tatanama
Merbau termasuk kedalam famili Caesalpiniaceae. Di Indonesia jenis ini
mempunyai nama daerah marbau, merbo, taritih (Jawa); marbon, merbau asam,
merbau darat, merbau pantai (Sumatera); alai, anglai, ipil, jumelai, maharau,
merbau (Kalimantan); bayam, gefi, ipi, ipil, langgiri, ogifi (Sulawesi); aisele,
dowora, falai, ipi, ipil, kayu besi (Maluku); doma, fimpi, ipi, ipir (NTT); bau,
kayu besi, pas, sekka (Irian Jaya) (Martawijaya et al. 1989). Nama dagang dari
jenis ini adalah Merbau dan Bajan.
Berikut tata nama dari jenis merbau :
Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Caesalpinia
Famili : Caesalpiniaceae
Genus : Intsia
Jenis : Intsia bijuga (Colebr.) O.Ktze.

2.1.2 Deskripsi botani


Pohon merbau berbentuk lurus, tegak, dapat mencapai tinggi 45 m dengan
panjang batang bebas cabang 4-30 m, diameter sampai 100 cm, tinggi banir
sampai 4 m dengan lebar sampai 4 m, bergaris tengah 150-180 cm dan bagian
bawahnya dilengkapi dengan akar papan. Warna kulit luarnya kelabu cokelat.
Daun tersusun majemuk, terdiri atas 4-6 anak daun yang berbentuk bundar atau
bundar telur. Perbungaannya berbentuk malai, tersusun dari bunga-bunga kecil
yang berwarna putih dan berbau harum. Tangkai utama 5-18 cm, dan panjang
tajuk bunga 1,5-2,5 cm. Buah merbau berbentuk polong, bulat atau berbentuk
agak panjang lebih kurang 8,5-23 cm, lebar buah 1-8 benih. Polongnya biasanya
6

mengandung 3-8 biji. Benih merbau berbentuk bulat pipih dan berwarna cokelat
tua kemerah-merahan (Sutisna et al. 1998).
Bunga mekar pada bulan November sampai Januari dan buah tua pada bulan
Mei sampai Agustus. Benih siap dipanen setelah masak fisiologi yang ditandai
dengan warna buah cokelat tua sampai kehitam-hitaman, kulit buahnya sudah
keras dan benih sudah berwarna cokelat tua kemerahan (Sutisna et al. 1998).
Kayu teras merbau berwarna sangat bervariasi dari kelabu, cokelat, dan
kuning cokelat sampai cokelat merah cerah atau hampir hitam. Kayu gubal
berwarna kuning pucat sampai kuning muda, tebal 5-7,5 cm dan dapat dibedakan
dengan jelas dari kayu teras. Tekstur kayu kasar dan merata dengan arah serat
kebanyakan lurus, kadang-kadang tidak teratur dan terpadu. Permukaan kayu licin
dan mengkilap indah (Sutisna et al. 1998).

2.1.3 Penyebaran dan habitat


Penyebaran jenis merbau di Indonesia adalah Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Timor dan Irian Barat. Selain itu, tersebar di Asia Tenggara,
yaitu kepulauan Andaman, Thailand, dan Malaysia. Tempat tumbuh di hutan
primer lahan kering, pada tempat yang tidak atau sewaktu-waktu digenangi air,
diatas tanah pasir atau berbatu-batu, pada lapangan yang rata atau miring, hidup
tersebar pada ketinggian 0-50 m diatas permukaan laut. Dalam hutan asli pada
tanah liat atau tanah berpasir yang tidak terlampau basah. Jenis ini memerlukan
iklim basah sampai iklim kering dengan tipe curah hujan A-D (Sutisna et al.
1998).

2.1.4 Silvikultur
Permudaan alam pohon merbau jarang terdapat karena biji yang jatuh ke
tanah sukar berkecambah, kecuali jika jatuh di atas tanah yang baik dan mendapat
cahaya penuh. Permudaan buatan belum banyak dilakukan. Biji harus disemaikan
di bawah sinar matahari penuh. Sebelum ditanam bagian kulit biji dekat lembaga
harus di kikir dan bijinya direndam dalam air dingin selama 4 x 24 jam. Daya
kecambah biji merbau ini mencapai 75 %. Anakan yang telah mencapai tinggi 30
cm dapat dipindahkan ke lapangan dengan jarak tanam 3 m x 2 m. Dapat juga
7

dilakukan dengan stump yang berukuran panjang batang 30 cm, panjang akar 20
cm dan diameter batang 0,5-1,5 cm. Penanaman merbau dengan stump
menghasilkan persen tumbuh di atas 90 % (Martawijaya et al. 1989).
Musim bunga dan buah merbau terjadi pada bulan Juni-Oktober. Buahnya
merupakan polong yang berbiji besar dan gepeng. Jumlah biji 354 butir per kg
atau 200 butir per liter. Biji disimpan setelah dikeringkan di udara selama 10 hari.
Biji yang telah kering dan disimpan dalam tempat yang tertutup dapat tahan
sampai satu tahun. Hama penyakit pada tanaman muda merbau dimakan pelanduk
dan kijang, sedang buah muda di makan kera, kalong dan tupai (Martawijaya et
al. 1989).

2.1.5 Kegunaan dan manfaat


Kayunya bernilai tinggi terutama digunakan sebagai bahan bangunan, lantai,
alat-alat rumah tangga, papan, bantalan, tiang listrik dan telepon, perkapalan dan
jembatan. Kayu terasnya berwarma merah tua, mempunyai berat jenis 0.84 dan
digolongkan dalam kelas kekuatan I-II dan kelas keawetan I-II. Selain itu, pohon
merbau menghasilkan pepagan yang mengandung tanin dan dimanfaatkan sebagai
zat pewarna cokelat untuk kertas dan kain (Martawijaya et al. 1989).
Kayu merbau umumnya tidak sulit digergaji, dapat diserut, di bor, di buat
lubang persegi, dibentuk dan diamplas dengan mesin sampai halus dan dapat
dipelitur dengan memuaskan tetapi dengan pembubutan akan memberikan hasil
yang buruk. Namun jenis kayu ini biasanya pecah jika dipaku dan dapat
menimbulkan noda hitam jika berhubungan dengan besi atau terkena air. Kayu
merbau umumnya digunakan untuk balok, tiang, dan papan pada bangunan
perumahan dan jembatan. Selanjutnya dapat dipakai untuk bantalan dan juga baik
untuk perkapalan (lunas, gading-gading dan dek), lantai, panil, mebel, karoseri
dan barang bubutan (Martawijaya et al. 1989).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa proses pengeringan pada kayu merbau
dilakukan menggunakan jadwal pengeringan untuk mencapai kadar air 10 %
dengan tahapan pengeringan yaitu break-up, warming-up, drying, equalizing atau
conditioning, dan cooling down. Faktor lebar papan merbau yang akan
dikeringkan akan mempengaruhi besarnya nilai kadar air sedangkan faktor tebal
8

papan merbau tidak akan mempengaruhi besarnya nilai kadar air pada papan
yanga akan dihasilkan setelah proses pengeringan. Dari hasil pengamatan dalam
penelitian terhadap mutu hasil proses pengeringan pada merbau hanya didapatkan
cacat bentuk berupa cacat membusur (bowing), cacat tersebut termasuk ke dalam
cacat membusur kelas ringan (Kurniawan 2008).
Selain itu, hasil penelitian lain menjelaskan bahwa keawetan alami kayu
merbau disebabkan oleh kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu tersebut.
Kayu merbau tergolong kayu berkomponen ekstraktif tinggi dimana mengandung
ekstrak terlarut aseton sebanyak 196.47 gr atau 10.904 % berdasarkan berat kering
oven. Ekstraktif kayu merbau terutama ekstrak fraksi n-heksana dapat
meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap kayu kering. Konsentrasi
larutan ekstrak kayu merbau berpengruh nyata terhadap retensi dan kehilangan
berat. Retensi larutan ekstrak kayu merbau akan semakin meningkat sejalan
dengan peningkatan konsentrasi (Malau 1995).

2.2 Tinjauan Umum tentang Pembiakan Vegetatif


2.2.1 Definisi dan macam pembiakan vegetatif
Pembiakan vegetatif merupakan perbanyakan tanaman tanpa melibatkan
proses perkawinan dan dengan cara ini sifat-sifat tanaman dapat dipertahankan
(Darmawan dan Baharsjah 1983). Sedangkan menurut Hartman dan Kester (1983)
menyebutkan bahwa pembiakan vegetatif atau asexual propagation adalah
perbanyakan dari bagian-bagian vegetatif tanaman, dimungkinkan terjadinya
setiap sel tanaman mempunyai informasi genetik yang diperlukan untuk
membentuk individu tanaman yang lengkap. Perbanyakan dapat terjadi melalui
bakal akar, batang, daun, dan tunas atau melalui penyatuan bagian vegetatif
seperti grafting dan okulasi.
Harahap (1972) menyatakan bahwa secara garis besar, pembiakan vegetatif
dibagi dua, yaitu :
a. Allovegetative propagation, yaitu pembiakan vegetatif dari dua jenis genotif
yang berbeda seperti pada sambungan okulasi.
b. Autovegetative propagation, yaitu pembiakan vegetatif dari genotif yang sama
seperti stek dan cangkok.
9

Pembiakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek (cutting), cangkok


(layering), tempelan (budding), dan sambungan (grafting) (Soerianegara dan
Djamhuri 1979).

2.2.2 Alasan dilakukannya pembiakan vegetatif


Menurut Rochiman dan Haryadi (1973), sebab utama dilakukannya
pembiakan vegetatif adalah banyak tanaman yang tidak akan menyerupai
induknya bila dibiakkan dengan biji. Penyebab lainnya adalah :
a. Tanaman tidak atau sedikit menghasilkan biji
b. Tanaman menghasilkan biji tetapi sukar untuk berkecambah
c. Beberapa tanaman lebih resisten terhadap hama dan penyakit bila mereka
timbul pada akar-akar yang berhubungan dengan tanaman tersebut
d. Beberapa tanaman lebih tahan terhadap suhu dingin bila disambungkan pada
batang lain jenis
e. Tanaman akan lebih kuat bila disambungkan
f. Tanaman akan lebih ekonomis bila dibiakkan secara vegetatif
Dalam rangka pemuliaan tanaman pohon hutan, Wright (1962) dalam
Rinaldo (2007) mengemukakan tujuan dilakukannya pembiakan vegetatif, yaitu :
a. Untuk tujuan pembiakan secara besar-besaran
b. Mempermudah dan memperlancar pelaksanaan penyerbukaan terkendali
(control pollination)
c. Untuk mempercepat produksi buah
d. Untuk memperoleh jenis-jenis hibrid
e. Untuk menentukan varisai genetik melalui clonal test
f. Untuk menyimpan germplasma yang tunggal
g. Untuk memperoleh tanaman baru yang mempunyai genotipa yang identik
dengan induknya
Supriyanto (1997) menyatakan bahwa pembiakan vegetatif memiliki
beberapa keuntungan, antara lain :
a. Secara genetik bibit yang dihasilkan memiliki sifat keturunan yang sama
dengan induknya
b. Tidak tergantung musim
10

c. Cepat berbuah
d. Dapat diperbanyak dalam jumlah besar
e. Dapat dilakukan berbagai kombinasi

2.3 Pembiakan Vegetatif Grafting


2.3.1 Pengertian
Grafting atau Sambungan adalah suatu seni, proses dan perlakuan
menggabungkan suatu tanaman ke bagian tanaman lain sedemikian rupa, sehingga
terjadi persenyawaan dan dapat melanjutkan pertumbuhannya sebagai satu
individu tanaman (Mahlstede dan Haber 1957). Menurut Ashari (1995) terdapat 2
metode penyambungan, yaitu sambung tunas dan sambung mata tunas.
1. Sambung Tunas/Grafting
Agar persentase jadi dapat memuaskan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
a. Batang atas dan batang bawah harus kompatibel
b. Jaringan kambium kedua tanaman harus bersinggungan
c. Dilakukan saat kedua tanaman berada pada kondisi fisiologis yang tepat
d. Pekerjaan segera dilakukan sesudah entris diambil dari pohon induk
e. Tunas yang tumbuh pada batang bawah (wiwilan) harus dibuang setelah
penyambungan selesai agar tidak menyaingi pertumbuhan tunas batang atas
Metode yang dikembangkan adalah sambung lidah (tongue grafting),
sambung samping (side grafting), sambung celah (cleft grafting), sambung susu
(approach grafting), dan sambung tunjang (inarching).
2. Sambung Mata Tunas/Okulasi (Budding)
Masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan teknik ini menurut Ashari
(1995) adalah sukarnya kulit kayu batang bawah dibuka, terutama pada saat
tanaman dalam kondisi pertumbuhan aktif, yakni pada saat berpupus atau daun-
daunnya belum menua. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisiologis tanaman.
Sebaiknya okulasi dilakukan saat tanaman dalam kondisi dorman. Budding dapat
menghasilkan sambungan yang lebih kuat, terutama pada tahun-tahun pertama
daripada metode grafting lain karena mata tunas tidak mudah bergeser. Budding
11

juga lebih ekonomis menggunakan bahan perbanyakkan, tiap mata tunas dapat
menjadi satu tanaman baru (Hartmann et al., 1997).
Metode budding yang sering digunakan antara lain okulasi sisip (chip
budding), okulasi tempel dan sambung T (T-budding). Pemilihan metode
tergantung pada beberapa pertimbangan, yaitu jenis tanaman, kondisi batang atas
dan batang bawah, ketersediaan bahan, tujuan propagasi, peralatan serta keahlian
pekerja (Ashari, 1995).
Menurut Hartman et al. (1997), grafting merupakan suatu seni menyambung
dua potong jaringan tanaman yang hidup sedemikian rupa sehingga kedua
jaringan tersebut bersatu, tumbuh dan berkembang menjadi tanaman. Bagian
bawah dari sambungan yang akan berkembang menjadi sistem perakaran dari
tanaman sambungan disebut batang bawah (stock/rootstock), sedangkan potongan
kecil dari tunas yang mengandung dua atau beberapa mata tunas dorman, yang
ketika disambungkan batang bawah akan menjadi bagian atas dari tanaman yang
akan tumbuh menjadi ranting dan cabang dari tanaman sambungan tersebut
disebut batang atas (scion).
Pada pengertian lain, grafting atau ent adalah menggabungkan batang atas
dan batang bawah dari tanaman yang berbeda sedemikian rupa sehingga tercapai
persenyawaan. Kombinasi ini akan terus tumbuh membentuk tanaman baru.
Tujuan dari grafting ini adalah membuat bibit tanaman unggul, memperbaiki
bagian-bagian pohon yang rusak, dan juga untuk membantu pertumbuhan
tanaman (Wudiyanto 1994).
Secara terperinci juga dijelaskan keuntungan pembiakan vegetatif melalui
sambungan, yaitu :
a. Mengekalkan sifat-sifat klon yang tidak dilakukan oleh pembiakan vegetatif
lainnya seperti stek, cangkok dan lainnya
b. Bisa memperoleh tanaman yang kuat karena batang bawahnya tahan terhadap
keadaan tanah yang tidak menguntungkan, temperatur yang rendah, atau
gangguan-gangguan lain yang terdapat di dalam tanah
c. Memperbaiki jenis-jenis tanaman yang telah tumbuh, sehingga jenis yang
tidak diinginkan diubah dengan jenis yang dikehendaki
d. Dapat mempercepat berbuahnya tanaman
12

2.3.2 Faktor penentu keberhasilan sambungan


Hartman dan Kester (1983) mengemukakan lima hal penting yang
menentukan keberhasilan sambungan, yaitu :
a. Kompabilitas (kesesuaian) antara batang bawah dan bahan sambungan dan
kemampuan menyatukan diri
b. Daerah kambium dari batang bawah dan bahan sambungan harus saling
menempel sehingga memungkinkan terjadinya kontak langsung
c. Pelaksanaan sambungan harus dilaksanakan pada saat batang dan bahan
sambungan berada dalam kondisi fisiologis yang layak. Umumnya ini
diartikan bahwa tunas-tunas pada bahan sambungan berada dalam keadaan
dorman (istirahat)
d. Segera setelah pelaksanaan sambungan selesai semua permukaan
luka/potongan harus dilindungi dari kekeringan. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberi penutup kain, menutup dengan lilin atau meletakkan tanaman
di tempat lembab
e. Diperlukan pemeliharaan selama periode waktu tertentu, guna mencegah
kerusakan sambungan
Selain faktor-faktor dari dalam tumbuhan sendiri, faktor luar juga
berpengaruh pada keberhasilan sambungan. Salah satu diantaranya adalah
temperatur dan kelembaban selama proses penyambungan (Hartman dan Kester,
1983).
Wright (1962) dalam Rinaldo (2007) menyatakan bahwa teknik sambungan
juga mempengaruhi berhasil tidaknya sambungan. Dalam hal ini penggunaan
pisau sambungan harus setajam mungkin, agar kambium tidak mengalami
kerusakan.

2.2.3 Proses pertautan pada Grafting


Proses pertautan sambungan diawali dengan terbentuknya lapisan nekrotik,
pada permukaan sambungan yang membantu menyatukan jaringan sambungan
terutama didekat berkas vaskular. Pemulihan luka dilakukan oleh sel-sel
meristematik yang terbentuk antara jaringan yang tidak terluka dengan lapisan
nekrotik. Lapisan nekrotik ini kemudian menghilang dan digantikan oleh kalus
13

yang dihasilkan oleh sel-sel parenkim (Hartmann et al, 1997). Menurut Ashari
(1995) sel-sel parenkim batang atas dan batang bawah masing-masing
mengadakan kontak langsung, saling menyatu dan membaur. Sel parenkim
tertentu mengadakan deferensiasi membentuk kambium sebagai kelanjutan dari
kambium batang atas dan batang bawah yang lama. Pada akhirnya terbentuk
jaringan/pembuluh dari kambium yang baru sehingga proses translokasi hara dari
batang bawah ke batang atas dan sebaliknya dapat berlangsung kembali.
Agar proses pertautan dapat berlanjut, sela atau jaringan meristem antara
daerah potongan harus terjadi kontak untuk menjalin secara sempurna, Ashari
(1995) mengemukakan bahwa hal ini hanya mungkin jika kedua jenis tanaman
cocok (kompatibel) dan irisan luka rata, serta pengikatan sambungan tidak terlalu
lemah dan tidak terlalu kuat, sehingga tidak terjadi kerusakan jaringan.
Dalam melakukan grafting atau budding, perlu diperhatikan polaritas batang
atas dan batang bawah. Untuk batang atas bagian dasar entris atau mata tunas
harus disambungkan dengan bagian atas batang bawah. Jika posisi ini terbalik,
sambungan tidak akan berhasil baik karena fungsi xylem sebagai penghantar hara
dari tanah maupun floem sebagai penghantar asimilat dari daun akan terbalik
arahnya (Ashari, 1995).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyambungan adalah kompabilitas.
Pengertian kompabilitas merupakan kemampuan dua jenis tanaman yang
disambung untuk menjadi tanaman baru. Bahan tanaman yang disambung akan
menghasilkan persentase kompabilitas yang tinggi jika dalam satu spesies atau
satu klon, atau bahkan satu famili, tergantung jenis tanaman masing-masing
(Ashari, 1995).
Menurut Hartmann et al. (1997) inkompatibilitas antara jenis tanaman yang
disambung dapat dilihat dari kriteria sebagai berikut :
1. Tingkat keberhasilan sambungan rendah
2. Pada tanaman yang sudah berhasil tumbuh, terlihat daunnya menguning,
rontok dan mati tunas
3. Mati muda pada bibit sambungan
4. Terdapat perbedaan laju tumbuh antara batang bawah dan batang atas
5. Terjadinya pertumbuhan berlebihan baik batang atas maupun batang bawah
14

2.2.4 Pengaruh batang bawah terhadap batang atas


Menurut Ashari (1995) pengaruh batang bawah terhadap batang atas antara
lain (1) mengontrol kecepatan tumbuh batang atas dan bentuk tajuknya, (2)
mengontrol pembungaan, jumlah tunas dan hasil batang atas, (3) mengontrol
ukuran buah, kualitas dan kemasakan buah, dan (4) resistensi terhadap hama dan
penyakit tanaman. Pengaruh batang bawah terhadap batang atas juga sangat nyata.
Namun pada umumnya efek tersebut timbal balik sebagaimana pengaruh batang
bawah terhadap batang atas.

2.2.5 Perbanyakan batang bawah


Batang bawah ada yang berasal dari semai generatif dan dari tanaman
vegetatif (klon). Batang bawah asal biji (semai) lebih menguntungkan dalam
jumlah, umumnya tidak membawa virus dari pohon induknya dan sistem
perakarannya bagus. Kelemahannya yaitu secara genetik tidak seragam. Variasi
genetik ini dapat mempengaruhi penampilan tanaman batang atas setelah ditanam.
Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi secermat mungkin terhadap batang bawah
asal biji (Ashari, 1995).

2.2.6 Aplikasi teknik grafting pada tanaman kehutanan


Secara meluas sambungan dan okulasi (budding) dipakai oleh ahli-ahli
holtikultur untuk membiakkan pohon buah-buahan dan tanaman hias, sebab stek
dari beberapa jenis tertentu tidak berakar dengan baik dan juga bijinya kurang
mempunyai sifat yang baik. Ahli-ahli kehutanan lambat sekali memakai metoda
ini secara intensif, tetapi sekarang cara penyambungan telah mulai menjadi alat
yang penting dalam program pemuliaan pohon hutan.
Grafting secara luas dipakai dalam pembuatan kebun benih dan untuk
keperluan lainnya. Menurut Loekito Darjadi dalam Husaeni (1970), Balai
Penyelidikan Kehutanan memulai penyelidikan pembiakan vegetatif jenis jati
pada tahun 1951, untuk pembuatan kebun benih dengan percobaan okulasi di
daerah hutan Blitar dan Suradan. Langkah pembuatan kebun benih di Indonesia
dimulai oleh Ir. W.G. Van der Kloot. Dengan berhasilnya okulasi jati (80 % di
kebun LPPK dan 60 % di lapangan) meyakinkan untuk berhasilnya okulasi jati
15

secara besar-besaran. Untuk jenis pinus sambungan paling banyak dipakai untuk
mengembangkan klon. Percobaan dengan bootle grafting telah berhasil
memuaskan. Selanjutnya dengan cara bootle grafting LPPK telah memperluas
kebun benih Pinus merkusii sampai seluas 10 ha.
Metoda penyambungan dipakai pula untuk membiakkan jenis-jenis pohon
untuk keperluan penelitian. Menurut Kramer dan Kozlowski dalam Husaeni
(1970) telah mengemukakan bahwa jenis-jenis exotik yang tidak tumbuh baik
pada lingkungan yang tersedia, sering dapat ditumbuhkan dengan cara
penyambungan dengan stek lokal. Inarching adalah cara yang lebih mudah untuk
jenis pinus di daerah semi arid California. Pemakaian teknik budding untuk
mengintroduksi bentuk-bentuk pohon unggul ke dalam hutan dan dengan
demikian memperbaiki tegakan yang berkualitas rendah.
Ahli-ahli patologi telah menemukan cara sambungan sebagai alat yang
berguna dalam mempelajari penyakit pohon. Banyak dari penyakit virus pada
pohon dapat dipindahkan dengan cara menyambung dengan pohon yang di infeksi
seperti ranting, dahan, batang, bagian kulit atau akar kepada pohon yang sehat.
Menurut Kramer dan Kozlowski dalam Husaeni (1970) telah mendapatkan
inarching atau bridge grafting sangat berguna dalam menyelamatkan pohon
chesnut yang berpenyakit. Sambungan telah pula dipergunakan untuk
memproduksi pohon-pohon yang kuat dan tahan terhadap penyakit. Batang pohon
peach dapat disambung pada rootstock yang tahan terhadap nematoda.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Persemaian Departemen Silvikultur, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang dilakukan pada bulan Juni 2009 hingga
bulan September 2009.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah bibit Merbau dengan diameter 4-8 mm yang
ditanam dalam polybag sebagai rootstock, sedangkan untuk scion digunakan
pohon induk Merbau berumur 10 tahun yang berada di Persemaian Silvikultur.
Selain itu juga digunakan alkohol 70% untuk mensterilkan alat grafting.
Peralatan yang digunakan yaitu cutter, kertas koran, kantong plastik bening,
plester paralon, sprayer, gunting, higrometer, termometer maksimum minimum,
alat tulis, kalkulator, kamera, dan alat penyiram.

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Pemilihan batang bawah (rootstock)
Batang bawah merupakan batang yang berfungsi sebagai batang bagian yang
masih memiliki sistem perakaran. Batang bawah ini berasal dari bibit Merbau
yang berasal dari biji dan telah berumur sekitar 8-12 bulan atau diameter bahan
stock antara 4-8 mm. Bibit yang berasal dari benih ini dimaksudkan supaya
perkembangan sistem perakaran lebih kuat dan dalam, karena memiliki akar
tunggang, sehingga relatif tahan terhadap kekeringan. Batang bawah yang dipilih
mempunyai batang yang lurus, tidak banyak percabangan dan pertumbuhannya
baik dan sehat.

3.3.2 Pemilihan batang atas (scion)


Batang atas sambungan berasal dari pohon induk, yaitu pohon yang
pertumbuhannya baik, batang lurus, berdiameter besar, tinggi dan bertajuk
ramping serta bebas dari hama penyakit. Pohon induk ini berada di Persemaian
17

Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Dari pohon tersebut diambil ranting terminal
yang mempunyai panjang sekitar 30 cm sampai 40 cm dengan diameter maksimal
1 cm.

3.3.3 Pelaksanaan sambungan


Metode sambungan yang dipakai adalah dengan metode Top Cleft Grafting
(Sambungan pucuk dengan metode Cleft) yaitu penyatuan pucuk sebagai calon
batang atas dengan batang bawah yang berasal dari anakan, sehingga terbentuk
tanaman baru yang mampu saling menyesuaikan diri secara kompleks. Hal ini
dimulai dengan pemotongan batang bawah 5 cm sampai 10 cm dari permukaan
tanah dengan bidang pemotongan berbentuk huruf V sedalam lebih kurang 1 cm,
setelah itu dilakukan pemotongan batang atas dengan panjang 8 cm sampai 10 cm
dan bagian pangkal batang atas ini memiliki panjang sama seperti bagian ujung
pada batang bawah, yaitu lebih kurang 1 cm.
Batang atas disisipkan ke belahan batang bawah sesuai dengan teknik
grafting masing-masing, sehingga kambium keduanya bisa bertemu. Setelah itu
sambungan diikat dengan plester paralon serapat mungkin. Tanaman yang sudah
di grafting ini diberi sungkup dari plastik bening dan diikat dengan benang atau
tali rafia untuk mengurangi penguapan. Kemudian sungkup plastik tersebut di
buka setelah scion bertunas. Sambungan ini dibuka setelah sambungan benar-
benar menyatu.

3.3.4 Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan berupa penyiraman, pengaturan suhu dan
kelembaban serta penyiangan. Penyiraman dilakukan dua kali setiap harinya yaitu
sekitar pukul 07.00 dan pukul 17.00. sedangkan pengaturan suhu dan kelembaban
pada saat kondisi suhu dan kelembaban diperkirakan sedang ekstrim yaitu antara
pukul 11.00 sampai dengan pukul 15.00. Sedangkan untuk kelembaban udara
diatur supaya tetap berada diatas 90%. Untuk itu dilakukan dengan
menyemprotkan air serta memberikan naungan paranet 70%. Penyiangan
dilakukan untuk menjaga kesehatan tanaman, maka diperlukan pembersihan
media tumbuh dari tanaman pengganggu.
18

3.3.6 Pengamatan
Beberapa parameter yang diamati dan diukur dalam penelitian ini adalah :
a. Kesegaran bahan sambungan
Pengamatan terhadap kesegaran bahan sambungan dilakukan setiap minggu
selama 10 minggu pengamatan.
Persentase indeks kesegaran bahan sambungan dihitung menggunakan rumus:

Indeks kesegaran = Σ bahan sambungan segar pada akhir penelitian X 100%


Σ bahan sambungan pada awal penelitian

b. Keberhasilan sambungan
Persentase keberhasilan sambungan dihitung dengan membandingkan antar
jumlah sambungan yang masih segar sampai akhir penelitian dengan jumlah
sambungan pada awal penelitian. Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai
akhir penelitian.
Persentase keberhasilan sambungan dihitung dengan menggunakan rumus:

Persentase keberhasilan = Σ sambungan berhasil pada akhir penelitian X 100%


Σ sambungan pada awal penelitian

c. Kerentanan terhadap penyakit


Pengamatan terhadap kerentanan terhadap penyakit dilakukan setiap minggu
selama 10 minggu pengamatan. Persentase tanaman yang terserang penyakit dapat
dihitung dengan membandingkan jumlah tanaman yang berpenyakit pada akhir
penelitian dengan jumlah tanaman pada awal penelitian.
Persentase tanaman terserang penyakit dihitung dengan menggunakan rumus:

Persentase penyakit = Σ tanaman terserang penyakit akhir penelitian X 100%


Σ tanaman pada awal penelitian
19

3.3.7 Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan yang diulang
sebanyak 3 kali dan setiap ulangan perlakuan terdiri dari 5 bibit. Dengan demikian
terdapat 60 bibit yang di grafting. Bibit yang digunakan sebagai bahan rootstock
berumur 8-12 bulan, sedangkan bahan scion berasal dari pohon induk yang sudah
berbuah. Kombinasi perlakuan yang diujicobakan ialah :
A 1 = Rootstock berdiameter antara 4-6 mm
A 2 = Rootstock berdiameter antara 6.1-8 mm
B 1 = Scion dalam fase dorman
B 2 = Scion dalam fase aktif
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang
diamati, dilakukan analisis keragaman yang diperoleh dari pengolahan data
dengan menggunakan program SPSS. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang
berbeda dalam masing-masing perlakuan dilakukan Uji Berganda Duncan pada
taraf kepercayaan 95 %.

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + ε ijk

Dimana :
Yijk : Nilai pengamatan karena karena pengaruh bersama dari faktor ukuran
diameter taraf ke-i dan faktor jenis scion taraf ke-j serta ulangan ke-k.
μ : Nilai rata-rata umum.
Ai : Pengaruh faktor ukuran diameter taraf ke-i.
Bj : Pengaruh faktor jenis scion taraf ke-j.
(AB)ij : Pengaruh interaksi antara ukuran diameter taraf ke-i dan faktor jenis
scion taraf ke-j.
ε ijk : Pengaruh kesalahan percobaan dari ukuran diameter taraf ke-i dan
faktor jenis scion taraf ke-j serta ulangan ke-k.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah keberhasilan sambungan,
kerentanan terhadap penyakit, dan kesegaran bahan sambungan. Untuk
mengetahui respon pengaruh besar diameter dan fase scion terhadap parameter
bibit merbau, maka dilakukan analisis sidik ragam. Untuk mengetahui adanya
pengaruh yang berbeda dalam masing-masing perlakuan maka dilakukan Uji
Berganda Duncan. Hasil analisis sidik ragam untuk parameter yang diukur
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh besar diameter dan fase
scion terhadap parameter bibit merbau
F Hitung
Perlakuan Besar P Fase P Interaksi P
Diameter Scion antara
(D) (S) D dan S
Persentase Keberhasilan 0.111 tn 1.000 tn 0.111 tn
Sambungan

Persentase Ketahanan 3.000 tn 0.333 tn 16.333 *


Penyakit
Keterangan: tn : tidak nyata; * :nyata : (p<0.05), pada selang kepercayaan 95 %

4.1.1 Keberhasilan sambungan (grafting)


Dari hasil pengamatan selama 10 minggu, Berdasarkan analisis sidik ragam
pada Tabel 1, diketahui bahwa perlakuan fase scion dan perlakuan rootstock tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen keberhasilan sambungan pada
selang kepercayaan 95 %. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai Fhit yang
diperoleh pada selang kepercayaan 95 % (Tabel 1).
Adapun hasil pengamatan selama 10 minggu diketahui bahwa persentase
keberhasilan sambungan pada perlakuan A1B1 dan A2B1 sebesar 26.67 %,
dimana kedua perlakuan tersebut menggunakan fase scion yang sama yaitu scion
dengan mata tunas dorman. Sedangkan untuk persentase keberhasilan sambungan
pada perlakuan A1B2 sebesar 20 % dan A2B2 sebesar 13.33 % yang merupakan
perlakuan menggunakan fase scion mata tunas aktif (Gambar 1).
21

Perbedaan persentase keberhasilan sambungan sampai akhir pengamatan


berdasarkan perlakuan yang disajikan pada Gambar 1.

30

25
n

20
rhasila

15
%kebe

10

0
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
Pe rla kua n

Gambar 1 Histogram persen keberhasilan grafting akhir pengamatan.

4.1.2 Kerentanan terhadap penyakit


Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa interaksi perlakuan
rootstock dan perlakuan fase scion memberikan pengaruh nyata terhadap
kerentanan terhadap penyakit diketahui Fhit sebesar 16.333 pada selang
kepercayaan 95% sehingga perlu dilakukan Uji Berganda Duncan (Tabel 2).
Tabel 2 Uji lanjut Duncan rata-rata persentase kerentanan terhadap penyakit
tanaman merbau
Perlakuan Rata-rata persentase penyakit (%)
A1B2 33.33a
A2B1 26.67ab
A2B2 13.33bc
A1B1 0c
Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%

Pengaruh batang bawah (rootstock) terhadap persen penyakit pada perlakuan


rootstock diameter 4-6 mm dengan fase scion dorman (A1B1) mempunyai
persentase terserang penyakit sebesar 0 %, perlakuan rootstock diameter 4-6 mm
dengan fase scion aktif (A1B2) mempunyai persentase terserang penyakit sebesar
26.67 %, perlakuan rootstock diameter 6.1-8 mm dengan fase scion dorman
(A2B1) mempunyai persentase terserang penyakit sebesar 33.33 % dan perlakuan
22

rootstock diameter 6.1-8 mm dengan fase scion aktif (A2B2) mempunyai


persentase terserang penyakit sebesar 13.33 % (Tabel 2).
Adapun Gambar 2 merupakan tanaman hasil grafting yang terserang
penyakit (jamur) yang menyerang bagian batang yang disambung dan
mengakibatkan batang atasnya kering.

(a) (b)
Gambar 2 Tanaman hasil grafting terserang penyakit (jamur)
(a) Tanaman hasil grafting yang kering, (b) adanya hifa pada
bagian yang disambung.

4.1.3 Kesegaran bahan sambungan


Pengamatan terhadap kesegaran bahan sambungan dilakukan setiap minggu
selama 10 minggu pengamatan. Gambar 3 merupakan grafik kesegaran tanaman
merbau selama 10 minggu pengamatan, dimana terlihat adanya penurunan yang
signifikan terhadap perlakuan A1B2 dan A2B2 dengan persen kesegaran tanaman
sebesar 20 % dan 13.33 %. Sedangkan untuk perlakuan A1B1 dan A2B1
mengalami penurunan yang sama dengan persen kesegaran tanaman sebesar 26.67
% seperti terlihat pada Gambar 3.
Adapun Gambar 4 merupakan hasil grafting tanaman merbau yang berhasil
tumbuh selama 10 minggu pengamatan.
23

120

100
INDEKS KESEGARAN
A1B1

80 A1B2
A2B1
60 A2B2

40

20

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
MINGGU KE-

Gambar 3 Grafik kesegaran tanaman selama 10 minggu.

(a) (b)
Gambar 4 Tanaman merbau hasil grafting
(a) tampak dari depan, (b) tampak dari atas.

4.2 Pembahasan
Berdasarkan analisis sidik ragam pada Tabel 1 diketahui bahwa perlakuan
diameter batang bawah (rootstock) dan fase scion tidak berpengaruh nyata
terhadap persentase keberhasilan sambungan maupun persentase kerentanan
terhadap penyakit. Sedangkan untuk interaksi antara besar diameter dengan fase
scion berpengaruh nyata terhadap persentase kerentanan terhadap penyakit.
Persentase keberhasilan sambungan tidak berpengaruh nyata disebabkan
oleh sedikitnya jumlah tanaman yang tumbuh (hasil grafting), dimana rata-rata
persen hidup yang berhasil dari semua perlakuan adalah 21.67 %. Hal tersebut
24

diakibatkan adanya pengaruh bahan tanaman untuk dijadikan scion yang diambil
dari pohon induk serta keahlian dalam melakukan penyambungan. Menurut
Saptarini et al. (2002) batang atas untuk bahan sambungan diambil dari cabang
atau ranting pohon induk yang telah terbukti memiliki sifat-sifat unggul, yaitu
telah menghasilkan buah 2-3 musim berturut-turut. Batang atas yang akan
digunakan sebagai bibit sambung dipilih dari cabang atau ranting berumur sedang
(tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda), memiliki ukuran atau diameter yang
sama dengan batang bawah (Wudiyanto 1994).
Menurut Hartman et al. (1997), penggabungan batang atas dan batang
bawah dapat terbentuk dengan cara membuat batang atas sedemikian rupa
sehingga terjadi hubungan pada lapisan kambium antara batang atas dan batang
bawah sehingga menghasilkan sel parenkim yang disebut kalus. Sel-sel parenkim
dari batang atas dan batang bawah jalin-menjalin akan tetapi masing-masing sel
tidak melebur. Kemudin kalus berdiferensiasi membentuk kambium baru yang
mengkait dengan kambium asli. Sel-sel parenkim baru membentuk jaringan
vaskular baru yaitu xylem dan floem sekunder. Sel-sel parenkim (kalus)
memeperbanyak diri dalam 1-7 hari, parenkim tersebut berasal dari sel pembuluh
tapis dan xylem muda, lapisan kambium hanya berperan kecil dalam
perkembangan awal dari kalus.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan sambungan adalah
inkompatibilitas spesies tanaman yang digunakan, teknik grafting yang dilakukan,
kondisi lingkungan yaitu kelembaban dan suhu udara, aktifitas batang bawah,
pelaksanaan sambungan, penyakit, zat pengatur tumbuh dan terbentuknya kalus
pada penyambungan. Selain itu faktor yang menunjang keberhasilan sambungan
adalah adanya keseimbangan tertentu antara karbohidrat, nitrogen, kofaktor yang
dapat mempercepat proses penyembuhan luka, auksin, dan umur batang yang
digunakan (Hartman et al. 1997).
Tanaman hasil grafting yang masih hidup atau berhasil dapat dilihat dengan
ciri-ciri daun dari scion masih berwarna hijau dan segar, pada bagian batang tidak
mengalami perubahan warna menjadi cokelat atau hitam. Berdasarkan hasil
pengamatan (Gambar 1) diketahui bahwa rata-rata persentase keberhasilan
sambungan sampai akhir pengamatan (10 minggu setelah melakukan sambungan)
25

sebesar 21.67 %. Pada perlakuan sambungan dengan ukuran diameter rootstock 4-


6 mm dan fase scion dengan mata tunas dorman mempunyai persen keberhasilan
sebesar (A1B1) 26.67 %, ukuran diameter batang bawah 4-6 mm dan fase scion
dengan mata tunas aktif (A1B2) sebesar 20 %, ukuran diameter batang bawah
6.1-8 mm dan dan fase scion dengan mata tunas dorman (A2B1) sebesar 26.67 %,
ukuran diameter batang bawah 6.1-8 mm dan dan fase scion dengan mata tunas
aktif (A2B2) sebesar 13.33 %.
Perbedaan persentase keberhasilan ini disebabkan oleh kemampuan tanaman
untuk melakukan penyambungan yang berbeda-beda serta keahlian dalam
melakukan penyambungan. Tanaman yang mempunyai kompatibilitas antara
batang bawah dan scion yang tinggi akan lebih mudah melakukan penyambungan
(Hartman et al 1997). Dalam hal ini berdasarkan rata-rata persen keberhasilan
sambungan, untuk perlakuan batang bawah (rootstock) dan scion pada perlakuan
A1B1 dan A2B1 lebih bersifat kompatibel dibandingkan dengan perlakuan A1B2
dan A2B2.
Hasil yang berbeda dari penelitian yang telah dilakukan, menurut Harimurti
2008 penelitian grafting pada tanaman damar (Agathis loranthifolia) memiliki
rata-rata persentase keberhasilan sambungan sebesar 70.83 %, dimana faktor scion
berpengaruh nyata terhadap keberhasilan sambungan. Hal tersebut disebabkan
oleh pengambilan bahan scion serta pemilihan fase scion dorman untuk tanaman
damar lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tanaman merbau. Dalam
penelitiannya, jenis scion dalam fase dorman mempunyai persen keberhasilan
lebih tinggi dibandingkan dengan scion pada fase aktif.
Kemudian uji lanjut duncan untuk rata-rata persentase kerentanan terhadap
penyakit pada Tabel 2 diketahui bahwa antara perlakuan A1B2 dan A2B2, serta
perlakuan A2B1 dan A1B1 menunjukkan pengaruh yang berberbeda nyata pada
selang kepercayaan 95 %. Hal ini berarti keberhasilan sambungan pada penelitian
ini sangat dipengaruhi oleh adanya kerentanan terhadap penyakit yang disebabkan
oleh adanya interaksi antara kedua perlakuan tersebut (batang bawah dan fase
scion), dimana besarnya nilai peluang pada interaksi perlakuan batang bawah
(rootstock) dengan fase scion tersebut berpengaruh nyata pada selang kepercayaan
95 % dan nilai peluangnya lebih kecil dari 0.05 yaitu 0.004.
26

Gejala yang timbul pada tanaman yang terserang penyakit yaitu tanaman
yang digrafting menjadi kering akibat terkena jamur pada bagian batang yang
disambung. Terlihat adanya bercak hitam dan hifa yang menempel pada
sambungan plester paralonya dan bagian batang yang disambung berwarna
kecokelatan atau hitam. Hal tersebut diakibatkan ketika dalam proses
menyambung, terdapat celah diantara batang bawah dengan batang atas sehingga
memungkinkan terserang penyakit dan bagian batang yang dilukai terkontaminasi
alat grafting. Akibatnya tanaman yang disambung rentan terserang hama penyakit.
Tanaman-tanaman yang terserang penyakit ini dapat disebabkan oleh
berbagai hal yaitu kesterilan alat bahan grafting, oleh karena itu kondisi alat dan
bahan harus dijaga kesterilannya agar mendapatkan hasil yang maksimal. Hal
yang dapat dilakukan untuk menjaga kesterilan alat dan bahan yaitu
membersihkan alat dengan alkohol 70 % serta membersihkan bahan grafting
menggunakan air bersih.
Batang bawah atau rootstock merupakan bagian bawah dari tanaman hasil
grafting yang nantinya akan berkembang menjadi akar untuk tanaman baru.
Batang bawah yang hendaknya memiliki sifat : 1) Mempunyai daya adaptasi yang
luas terhadap sifat tanah yang jelek, tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
2) Mempunyai batang yang kuat serta mempunyai kecepatan tumbuh yang sesuai
dengan batang atas, agar dapat hidup bersama (Hartman dan Kester 1978). Batang
bawah atau rootstock yang terserang penyakit ini memiliki ciri antara lain : mata
tunas scion berjamur, mata tunas scion berwarna hitam, batang scion berjamur,
sambungan berjamur dan batang scion berwarna kecokelatan dan kering (Gambar
2). Menurut Semangum (1994) dalam Harimurti (2008), hama dan penyakit yang
sering menyerang tanaman grafting yaitu Trips (Thrips tabacci) dan kutu putih
(Pseudococcus lapellegi). Trips dan kutu putih banyak menyerang pucuk tanaman
dan flush yang baru muncul.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 10 minggu, tanaman hasil
sambungan yang berdiameter batang bawah antara 4-6 mm terserang penyakit
sebanyak 4 tanaman, sedangkan tanaman hasil sambungan dengan ukuran
diameter 6.1-8 mm terserang penyakit sebanyak 7 tanaman. Oleh karena itu,
diketahui bahwa rata-rata persentase tanaman terserang penyakit pada batang
27

bawah atau rootstock berdiameter 4-6 mm sebesar 13.34 %, sedangkan tanaman


yang berdiameter 6.1-8 mm rata-rata persentase tanaman terserang penyakit
sebesar 23.33 %. Secara keseluruhan rata-rata persentase tanaman hasil
sambungan yang terkena penyakit yaitu sebesar 18.34 %.
Persen keberhasilan dan pecahnya mata tunas pada perlakuan fase scion
diduga sangat dipengaruhi oleh kandungan cadangan makanan yang terkandung
dalam tanaman (scion) serta kompatibilitas tanaman. Rifa’i (2003) menyatakan
bahwa munculnya flush dan pecahnya mata tunas dapat terjadi karena cadangan
karbohidrat yang cukup dalam batang atas atau scion. Selain itu juga, fase
perkembangan dalam mata tunas itu sendiri. Mata tunas dalam fase aktif
mempunyai kecenderungan untuk melakukan pembelahan sel yang lebih
dibandingkan mata tunas dorman.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), tanaman yang diambil untuk batang
atas sebaiknya: 1) Diambil dari pohon yang kuat serta bebas dari keabnormalan
tumbuh dan hama penyakit. 2) Diambil dari batang yang lurus serta berdiameter
kurang lebih dari 1 cm bila untuk budding dan berupa batang yang lurus pula bila
untuk grafting. 3) Berasal dari tanaman yang telah dewasa (menghasilkan buah
atau berbunga) serta berkualitas tinggi dengan sifat-sifat yang diinginkan.
Hartman dan Kester (1978) menyatakan bahwa, scion atau batang atas merupakan
suatu bagian kecil dari tanaman lain yang terdiri beberapa titik tumbuh yang
dorman dimana ketika disambungkan dengan rootstock akan menjadi bagian atas
dari individu baru hasil sambungan yang akan tumbuh menjadi batang, cabang,
dan daun.
Hartman dan Kester (1978) mengemukakan lima hal penting yang
menentukan keberhasilan sambungan, yaitu:
a. Kompatibilitas (kesesuaian) antara batang bawah dan bahan sambungan dan
kemampuannya menyatukan diri
b. Daerah kambium dari batang bawah dan bahan sambungan harus saling
menempel sehingga memungkinkan terjadinya kontak langsung
c. Pelaksanaan sambungan harus dilaksanakan pada saat batang bawah dan
bahan sambungan berada dalam kondisi fisiologis yang layak
28

d. Segera setelah pelaksanaan sambungan selesai semua permukaan luka/


potongan harus dilindungi dari kekeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan
memberi penutup kain, menutupnya dengan lilin atau meletakkan tanaman di
tempat lembab
e. Diperlukan pemeliharaan selama periode waktu tertentu, guna mencegah
kerusakan sambungan
Umumnya tanaman yang mempunyai hubungan secara botani yang dekat,
akan memberikan kemungkinan berhasilnya sambungan. Tetapi hal ini tidak
selamanya demikian karena klasifikasi botani didasarkan pada sifat-sifat
reproduksinya, sedangkan penyambungan berhubungan dengan sifat-sifat
vegetatif dari tanaman (Rochiman dan Harjadi, 1973). Secara keseluruhan hasil
sambungan mempunyai persen keberhasilan kurang baik yaitu 21.67 %. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh pemilihan batang atas atau scion yang diambil dari
pohon induknya serta kurang baiknya dalam melakukan teknik penyambungan.
Teknik penyambungan ini berpengaruh terhadap keberhasilan sambungan, dimana
akan mempengaruhi proses terjadinya pertautan antara batang atas dan batang
bawah pada sambungan yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu
sambungan.
Menurut Hartman et al. (1997), Proses pertautan sambungan diawali dengan
terbentuknya lapisan nekrotik, pada permukaan sambungan yang membantu
menyatukan jaringan sambungan terutama didekat berkas vaskular. Pemulihan
luka dilakukan oleh sel-sel meristematik yang terbentuk antara jaringan yang tidak
terluka dengan lapisan nekrotik. Lapisan nekrotik ini kemudian menghilang dan
digantikan oleh kalus yang dihasilkan oleh sel-sel parenkim. Sel-sel parenkim
batang atas dan batang bawah masing-masing mengadakan kontak langsung,
saling menyatu dan membaur. Sel parenkim tertentu mengadakan deferensiasi
meembentuk kambium sebagai kelanjutan dari kambium batang atas dan batang
bawah yang lama. Pada akhirnya terbentuk jaringan/pembuluh dari kambium yang
baru sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas dan
sebaliknya dapat berlangsung kembali (Ashari, 1995).
Menurut Rifa’i (2003), rata-rata pembentukan kalus tanaman grafting yaitu
pada umur 4 minggu setelah melakukan sambungan dan kemudian pada umur 8
29

minggu setelah melakukan sambungan kalus-kalus tersebut telah berdiferensiasi


membentuk kambium baru dan bersatu dengan kambium asli scion dan rootstock,
floem dan xylem sekunder muda telah terbentuk sehingga proses fisiologi tanaman
dapat berlangsung dengan baik. Kambium merupakan jaringan tanaman yang
terletak diantara kulit dan kayu. Sel-selnya bersifat meristematik, artinya mampu
membelah diri dan membentuk sel baru. Apabila pertemuan kambium dari batang
atas dan batang bawah dalam penyambungan semakin banyak, maka
penyambungan yang dilakukan akan semakin berhasil (Hartman et al. 1997).
Kesegaran tanaman yang diamati selama 10 minggu cenderung mengalami
penurunan. Tanaman hasil sambungan yang mempunyai tingkat kesegaran yang
tinggi yaitu pada perlakuan jenis scion dalam fase dorman. Grafik kesegaran
tanaman selama 10 minggu disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa perlakuan A1B1 dan A2B1
mengalami penurunan tingkat kesegaran hingga 26.67 %. Sedangkan perlakuan
A1B2 dan A2B2 masing-masing mengalami penurunan tingkat kesegaran hingga
20 % dan 13.33 %. Perlakuan A1B1 dan A2B1 merupakan perlakuan tanaman
yang menggunakan jenis scion dalam fase dorman. Hal ini menunjukkan bahwa
jenis scion dalam fase dorman memberikan pengaruh positif terhadap kesegaran
tanaman serta keberhasilan sambungan.
Pada Gambar 3 diketahui bahwa pada minggu kelima terjadi penurunan
yang signifikan terhadap perlakuan A1B2 dan A2B2. Penurunan tingkat
kesegaran ini disebabkan oleh kondisi cuaca, dimana penelitian ini dilakukan pada
saat musim kemarau dan keseimbangan suhu mengalami penurunan dan
peningkatan yang signifikan, sehingga tanaman hasil sambungan mengalami stres
air meskipun dilakukan penyiraman sebanyak 3 kali dalam satu hari dan dilakukan
pengaturan suhu dan kelembaban menggunakan higrometer, tetap saja tanaman
ada yang mengalami kekeringan dan terkena jamur. Menurut Hartman dan Kester
(1978), suhu optimal untuk perkembangan kalus suatu tanaman dalam melakukan
sambungan yaitu 80-90ºF atau 26.5-32ºC. Oleh karena itu, perlu dilakukannya
pengaturan suhu di tempat menyimpannya tanaman hasil sambungan, agar
kelembaban terjaga.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan, hasil analisis dan pembahasan maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Tanaman merbau (Intsia bijuga [Colebr.] O.K.) dapat dikembangbiakkan
secara vegetatif dengan metode grafting, namun persen keberhasilan grafting
masih rendah (20 % sampai 30 %).
2. Besarnya ukuran diameter bahan rootstock (4-8 mm) tidak berpengaruh nyata
terhadap persen keberhasilan grafting dan ketahanan penyakit tanaman
merbau.
3. Kondisi scion pada fase dorman maupun aktif tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap tingkat keberhasilan grafting tanaman merbau.

5.2 Saran
1. Perlunya optimasi teknik grafting untuk meningkatkan keberhasilan dan
menurunkan serangan penyakit.
2. Perlunya dibangun kebun benih klonal atau kebun pangkas untuk menjamin
bahan scion yang berkualitas sehingga terjamin keberlangsungan grafting.
3. Penelitian anatomi bidang penyambungan pada hasil grafting perlu dilakukan
untuk mengetahui perkembangan kalus, kambium, xylem dan floem sekunder.
DAFTAR PUSTAKA

Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta : UI Press.

Darmawan J, Baharsjah J. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. Semarang : PT.


Suryandaru Utama.

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2001. Informasi Singkat Benih. Bandung :


Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Harahap RMS. 1972. Percobaan Orientasi Vegetatif Beberapa Jenis Pohon.


Laporan LPH No.155. Bogor : Lembaga Penelitian Hutan.

Harimurti D. 2008. Studi pembiakan vegetatif pada Agathis loranthifolia


Salisb.melalui grafting. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut
Pertanian Bogor.

Hartman HT, Kester DE. 1978. Plant Propagation Principle and Practice. Second
edition. New Jersey : Pentice Hall. Inc. Englewood.

Hartman HT, Kester DE. 1983. Plant Propagation Principle and Practice. Fourth
edition. New Jersey : Pentice Hall. Inc. Englewood.

Hartman HT, Kester DE, Davies FT, Geneve RL. 1997. Plant Propagation
Principle and Practice. Sixth edition. New Jersey : Pentice Hall. Inc.
Englewood.

Husaeni EA. 1970. Pembiakan vegetatif dalam bidang kehutanan. [Skripsi].


Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Kurniawan D. 2008. Perngaruh kualitas kayu gergajian, cara pemupukan, dan


proses pengeringan terhadap mutu kayu merbau (instia bijuga O.Ktze.), matoa
(Pometia pinnata Forst.), dan Bakata (Trichadenia philippinensis Merr.)
(Studi kasus di PT Henrison Iriana Arar Sorong, Papua). [Skripsi]. Fakultas
Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Mahlstede JP, Heber ES. 1957. Plant Propagation. New York : John wiley and
Sons, Inc.

Malau A. 1995. Pengujian epikasi ekstrak kayu merbau (instia bijuga O.Ktze.)
terhadap rayap kayu kering (Ryptotermes cynocephalus Light.). [Skripsi].
Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas


Kayu Indonesia. Jilid II. Bogor : Lembaga Penelitian Hutan.
32

Rifa’i F. 2003. Pengaruh batang bawah dan jenis bibit serta studi anatomi bidang
penyambungan pada bibit grafting Duku (Lansiumdomesticum corr.).
[Skripsi]. Fakultas Pertanian. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Rinaldo. 2007. Studi pembiakan vegetatif pada Agathis loranthifolia Salisb.


melalui stek pucuk. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian
Bogor.

Rochiman K, Harjadi SS. 1973. Pembiakan Vegetatif. Bogor : Departemen


Agronomi Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Saptarini N, widayati E, Sari L, Sarwono B. 2002. Membuat Tanaman Cepat


Berbuah. Jakarta : Penebar Swadaya.

Soerianegara I, Djamhuri E. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Bogor : Departemen


Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Supriyanto. 1997. Teknik Tanaman Stek Pucuk Aspek Fisiologis. Materi Pelatihan
Stek Pucuk di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Serang.

Sutisna U, Kalima T, Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di


Indonesia. N Wulijarni, Seotjipto, Soekotjo, editor. Bogor : Yayasan PROSEA
Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan Sumber Daya Manusia Kehutanan.

Wudiyanto R. 1994. Membuat Stek, Cangkok, dan Okulasi. Jakarta : Penebar


Swadaya.
Lampiran
34

Lampiran 1 Rekapitulasi hasil pengamatan tanaman grafting merbau


Pengamatan Perlakuan
(Minggu) A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 MP 1 1 1 2
GD 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1
BJ 1
2 MP 1 1 1 1 1 2 1 1
BK 1 2
BJ 1 1 1
3 MP 1 2 1 1
BJ 1 2 1 1 3 1 2 1
BK 1 1 1 3
MTJ 1 1 2
4 BK 3 1 1 2
BJ 1 1 1
MP 1
5 BK 2 1
SB 1 1
MTJ 1
BJ 1 1
MP 1
6 BK 1 1 1
SB 1
7 BJ 1
BK 2 1 1 1
SB 1 1
MP 1
8 SB 1 1
BK 1
9 -
10 -

Ket : Perlakuan A1B1 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Dorman
Perlakuan A1B2 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Aktif
Perlakuan A2B1 : Diameter 6.1-8 mm dan Mata Tunas Scion Dorman
Perlakuan A2B2 : Diameter 4-6 mm dan Mata Tunas Scion Aktif
MP : Mata Tunas Pecah (bertunas)
GD : Gugur Daun
MTJ : Mata Tunas Berjamur
BJ : Batang Scion Berjamur
BK : Batang Scion Kering
SB : Sambungan Berjamur

Tanaman grafting merbau hidup : 13


Tanaman grafting merbau mati : 3
Tanaman grafting merbau kering, berjamur dan merana : 44

NB : Pengamatan Dilakukan per Minggu


Lampiran 2 Pengamatan kesegaran tanaman
Pengamatan Perlakuan
Per minggu A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
(%) 1 2 3 Rata- 1 2 3 Rata- 1 2 3 Rata- 1 2 3 Rata-
rata rata rata rata
1 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
3 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
5 100 100 100 100 50 100 100 83.33 100 100 100 100 50 100 75 75
6 50 75 75 66.67 25 50 50 41.67 75 75 50 66.67 0 50 20 23.33
7 25 75 75 58.33 25 50 50 41.67 75 75 0 50 0 20 20 23.33
8 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33
9 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33
10 0 40 40 26.67 20 20 20 20 40 40 0 26.67 0 20 20 13.33

Lampiran 3 Pengaruh batang bawah terhadap ketahanan penyakit


Diameter batang bawah (rootstock)
Tanda-tanda penyakit
4-6 mm 6.1-8 mm
Mata Tunas Berjamur 0 2
Sambungan Berjamur 1 3
Batang scion Berjamur 3 2
  36

Lampiran 4 Pengolahan data

Analisis sidik ragam pengaruh diameter dan jenis fase scion terhadap keberhasilan
sambungan

Analisis Ragam Univariasi


Antara Faktor Subjek

Diameter 1 6

2 6
Scion 1 6

2 6

Statistik Deskripsi
Peubah tak bebas: persenhidup

Std.
Diameter Scion Mean Deviation N

1 1 26.6667 23.09401 3

2 20.0000 0.00000 3

Total 23.3333 15.05545 6

2 1 26.6667 23.09401 3

2 13.3333 11.54701 3

Total 20.0000 17.88854 6

Total 1 26.6667 20.65591 6

2 16.6667 8.16497 6

Total 21.6667 15.85923 12


  37

Uji Levene dari Persamaan Ragam error


Peubah tak bebas: persenhidup

F df1 df2 Sig.

6.519 3 8 0.015

Uji hipotesis nol yang ragam error dari


peubah tak bebas adalah sama dengan
kelompok bertaut.
a. Persamaan: Intercept + Diameter + Scion
+ Diameter * Scion

Uji Antara Pengaruh Subjek

Peubah tak bebas: persenhidup

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 366.667 3 122.222 0.407 0.752
Intercept 5633.333 1 5633.333 18.778 0.003
Diameter 33.333 1 33.333 0.111 0.747
Scion 300.000 1 300.000 1.000 0.347
Diameter * Scion 33.333 1 33.333 0.111 0.747
Error 2400.000 8 300.000
Total 8400.000 12
Corrected Total 2766.667 11
a. R Squared = ,133 (Adjusted R Squared = -,193)

Rataan Marginal yang Diharapkan


Grand Mean
Peubah tak bebas: persenhidup
95% Confidence Interval
Lower
Mean Std. Error Bound Upper Bound
21.667 5.000 10.137 33.197
  38

Analisis sidik ragam pengaruh diameter dan jenis fase scion terhadap ketahanan
penyakit

Analisis Ragam Univariasi


Antara Faktor Subjek

Diameter 1 6

2 6
Scion 1 6

2 6

Statistik Deskripsi
Peubah tak bebas: persenpenyakit

Std.
Diameter Scion Mean Deviation N

1 1 0.0000 0.00000 3

2 1.3333 0.57735 3

Total 0.6667 0.81650 6

2 1 1.6667 0.57735 3

2 0.6667 0.57735 3

Total 1.1667 0.75277 6

Total 1 0.8333 0.98319 6

2 1.0000 0.63246 6

Total 0.9167 0.79296 12


  39

Uji Levene dari Persamaan Ragam error


Peubah tak bebas: persenpenyakit

F df1 df2 Sig.

5.333 3 8 0.026

Uji hipotesis nol yang ragam error dari


peubah tak bebas adalah sama dengan
kelompok bertaut.
a. Persamaan: Intercept + Diameter + Scion
+ Diameter * Scion

Uji Antara Pengaruh Subjek


Peubah tak bebas: persenpenyakit

Type III Sum Mean


Source of Squares df Square F Sig.
a
Corrected Model 4.917 3 1.639 6.556 0.015
Intercept 10.083 1 10.083 40.333 0.000
Diameter 0.750 1 0.750 3.000 0.122
Scion 0.083 1 0.083 0.333 0.580
Diameter * Scion 4.083 1 4.083 16.333 0.004
Error 2.000 8 0.250
Total 17.000 12
Corrected Total 6.917 11
a. R Squared = ,711 (Adjusted R Squared = ,602)

Rataan Marginal yang Diharapkan


Grand Mean
Peubah tak bebas: persenpenyakit
95% Confidence Interval
Lower
Mean Std. Error Bound Upper Bound
0.917 0.144 0.584 1.250

Anda mungkin juga menyukai