Anda di halaman 1dari 111

ANALISIS MIKROSKOPIS DAN KOMPONEN BIOAKTIF

TANAMAN GENJER (Limnocharis flava) DARI KELURAHAN


SITU GEDE BOGOR

Oleh:

RACHMAWATI RUSYDI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
RINGKASAN

RACHMAWATI RUSYDI. C34060003. Analisis Mikroskopis dan Komponen


Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede
Bogor. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan ASADATUN ABDULLAH.

Tanaman genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman air yang


termasuk famili Limnocharitaceae. Tanaman genjer menghasilkan beberapa
komponen bioaktif, diantaranya flavonoid, total fenolik, -karoten. Analisis
jaringan dari organ tanaman genjer adalah salah satu analisis yang tepat dalam
karakterisasi tanaman dan metabolit yang dihasilkan. Proses pengolahan tanaman
genjer diantaranya pengukusan yang dapat mengakibatkan perubahan zat gizi
tertentu dalam tanaman tersebut.
Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat mikroskopis jaringan tanaman
genjer, kandungan gizi tanaman genjer sebelum dan setelah proses pengukusan
serta komponen bioaktif tanaman genjer secara kualitatif. Metode penelitian ini
terdiri atas tahap pengukuran dimensi tanaman genjer, pembuatan preparat dan
pengamatan jaringan dengan metode parafin seri Johansen-TBA, analisis
fitokimia dan analisis proksimat serta total karoten dari tanaman segar dan setelah
pengukusan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan daun terdiri atas selapis
epidermis dan derivatnya berupa stomata bertipe parasitik, selapis parenkim
palisade, lapisan parenkima spons dengan sejumlah lakuna, dan stele beserta
seludang pembuluhnya. Daun bertipe amphistomatous. Jaringan batang memiliki
selapis epidermis dengan kutikula yang tipis, korteks mengandung kloroplas, pati
dan memiliki sistem lakuna, stele bertipe konsentris amfikribral. Jaringan akar
terdiri atas rhizodermis, korteks dengan sistem lakuna, endodermis berlapis
banyak, stele dengan susunan xilem tipe eksark dan kelompok protoxilem tipe
poliarch.
Sejumlah lakuna menyebabkan kadar air sangat tinggi dan menurunkan
persentase zat gizi lainnya. Komposisi gizi tanaman genjer segar bagian daun,
yaitu kadar air 91,76%, kadar abu 12,40%, kadar lemak 7,95%, kadar protein
22,96%, kadar serat kasar 11,93% dan kadar total karoten 219,01 g/g. Bagian
batang genjer memiliki kadar air sebesar 95,33%, kadar abu 16,38%, kadar lemak
5,62%, kadar protein 13,23%, kadar serat kasar 16,12%, kadar total karoten 92,99
g/g. Persentase kadar air, abu, dan serat kasar paling tinggi di bagian batang,
sedangkan persentase kadar lemak dan protein paling tinggi di bagian daun.
Proses pengukusan mengakibatkan persentase serat kasar tanaman menurun, tetapi
meningkatkan persentase mineral, lemak, dan protein. Penurunan kadar air genjer
kukus tidak signifikan dibandingkan genjer segar. Kadar total karoten daun
meningkat setelah pengukusan, namun total karoten menurun pada batang genjer.
Komponen bioaktif pada daun tanaman genjer adalah flavonoid, fenol
hidrokuinon, gula pereduksi, dan asam amino. Komponen bioaktif pada batang
tanaman genjer berupa flavonoid, gula pereduksi, dan asam amino. Flavonoid dan
gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada daun dan batang genjer.
ANALISIS MIKROSKOPIS DAN KOMPONEN BIOAKTIF
TANAMAN GENJER (Limnocharis flava) DARI KELURAHAN
SITU GEDE BOGOR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
RACHMAWATI RUSYDI
C34060003

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul : Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman
Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor
Nama : Rachmawati Rusydi
NRP : C34060003

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M
NIP. 195911271986011005 NIP. 198304052005012001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil


NIP. 195805111985031002

Tanggal Pengesahan: .
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Analisis


Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava)
dari Kelurahan Situ Gede Bogor adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, November 2010

Rachmawati Rusydi
C34060003
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya sekalian.
Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Mikroskopis dan
Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan
Situ Gede Bogor. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini, terutama kepada:
1) Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si,
M.S.M selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, arahan, nasihat,
dan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
2) Dr. Ir. Nurjanah, M.S selaku dosen penguji, atas segala saran dan arahan
yang telah diberikan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
3) Dra. Ella Salamah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, atas segala
perhatian dan bimbingannya yang diberikan kepada penulis selama penulis
menempuh pendidikan.
4) Dr. Ir. Dorly, MS selaku dosen yang membimbing penulis dalam
penelitian mengenai analisis jaringan tanaman genjer.
5) Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
6) Seluruh dosen dan staf administrasi THP yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
7) Ayah dan mama yang selalu memberikan motivasi, doa, nasihat, dukungan
moril maupun materil, serta kasih sayang yang tidak pernah putus kepada
penulis. Semoga harapan ayah dan mama dapat penulis wujudkan dengan
baik.
8) Bu Ema, Mba Lastri, dan Mba Silvi yang telah membantu penulis selama
melakukan penelitian.
v

9) Teman-teman yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan


kepada penulis (Ratih, Yesti, Ayes, Kak Desi, Kamel, Nico, Nanda, Tyas
Bio 43, Kak Goto Bio 42, Kak Ira S2 Bio, Deksu, UU).
10) Teman-teman THP 43 dan kakak THP 42 yang telah banyak memberikan
masukan dan informasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
11) Adik-adikku Ayu dan Razi, terima kasih atas semangat dan doanya kepada
penulis. Semoga kita menjadi anak yang dapat membahagiakan kedua
orang tua kita kelak.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi tentang Analisis Mikroskopis
dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ
Gede Bogor.

Bogor, November 2010

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Langsa, Provinsi Nanggroe


Aceh Darussalam, pada tanggal 24 April 1988 dari pasangan
Bapak Rusydi M. Daud dan Ibu Warsiti Asma sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal dimulai di
TK 5 Tamansiswa, Lhokseumawe dan lulus pada tahun
1994. Pada tahun 2000, penulis lulus dari sekolah dasar di
SD 3 Tamansiswa, Lhokseumawe. Pada tahun 2003, penulis
menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Yapena, Lhokseumawe.
Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMAN 2
Modal Bangsa, Aceh Besar. Di tahun yang sama, penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di
Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam
beberapa organisasi kemahasiswaan, antara lain organisasi Ikatan Keluarga
Muslim TPB (IKMT) sebagai anggota pada tahun 2006-2007. Selama periode
2007-2008, penulis menjadi anggota UKM FORCES. Penulis juga aktif dalam
kepengurusan Himpunan Profesi HIMASILKAN pada periode 2007-2008 dan
2008-2009. Penulis juga memiliki pengalaman mengajar menjadi asisten mata
kuliah Metode Statistika periode 2008-2009 dan 2009-2010, asisten mata kuliah
Biokimia Hasil Perairan pada tahun 2009, asisten Fisiologi Degradasi Metabolit
Hasil Perairan pada tahun 2009, dan asisten Biotoksikologi pada tahun
2009-2010.
Penulis melakukan penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul
Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis
flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor, di bawah bimbingan Dr. Ir. Agoes M.
Jacoeb, Dipl.-Biol dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN... xii
1 PENDAHULUAN.. 1
1.1 Latar Belakang....... 1
1.2 Tujuan Penelitian.... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA.. 4
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tanaman Genjer (Limnocharis flava)... 4
2.2 Komposisi Gizi Tanaman Genjer... 5
2.2.1 Protein.. 6
2.2.2 Lemak.. 7
2.2.3 Karbohidrat.. 8
2.2.4 Mineral. 9
2.2.5 Air.... 10
2.2.6 Vitamin A. 11
2.3 Anatomi dan Jaringan Tumbuhan.. 12
2.3.1 Akar.. 13
2.3.2 Batang.. 15
2.3.3 Daun. 18
2.3.3.1 Stomata... 20
2.4 Pemeriksaan Histologi Tumbuhan. 21
2.5 Persiapan Preparat dengan Metode Parafin.... 22
2.5.1 Fiksasi.. 22
2.5.2 Dehidrasi.. 23
2.5.3 Penjernihan, infiltrasi dan penanaman dengan metode parafin... 24
2.5.4 Penyayatan dan penempelan sayatan....... 25
2.5.5 Pewarnaan........ 26
2.6 Komponen Bioaktif........................................ 27
2.6.1 Terpenoid/steroid. 27
2.6.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya.. 28
2.6.3 Metabolit fenol. 30
2.7 Proses Pengukusan. 32
3 METODE PENELITIAN... 33
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.... 33
3.2 Bahan dan Alat....... 33
3.3 Prosedur Penelitian. 34
3.3.1 Pengukuran dimensi tanaman genjer... 35
viii

3.3.2 Pembuatan preparat dengan metode parafin dan


pengamatan jaringan.................................... 36
3.3.3 Analisis fitokimia tanaman genjer (Harborne 1987)....... 37
3.3.4 Analisis proksimat dan total karoten............ 41
1) Kadar air (AOAC 2007). 41
2) Kadar abu (AOAC 2007)... 42
3) Kadar protein kasar (AOAC 2007) 42
4) Kadar lemak kasar (AOAC 2007)...... 43
5) Kadar serat kasar (AOAC 2007) 44
6) Analisis total karoten (Parker 1996)...... 44
3.3.5 Pengolahan data dan pengujian hipotesis.... 45
4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 47
4.1 Anatomi dan Morfologi Tanaman Genjer (Limnocharis flava). 47
4.1.1 Deskripsi histologi daun.. 47
4.1.2 Deskripsi histologi batang.... 52
4.1.3 Deskripsi histologi akar... 55
4.2 Dimensi Tanaman Genjer (Limnocharis flava).. 57
4.3 Komposisi Kimia Tanaman Genjer Segar dan Kukus.... 60
4.3.1 Kadar air....... 62
4.3.2 Kadar abu. 64
4.3.3 Kadar lemak. 67
4.3.4 Kadar protein....... 69
4.3.5 Kadar serat kasar.. 71
4.4 Kadar Total Karoten... 73
4.5 Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava)....... 75
5 KESIMPULAN DAN SARAN... 81
5.1 Kesimpulan. 81
5.2 Saran... 81
DAFTAR PUSTAKA.. 83
LAMPIRAN. 89
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


1 Komposisi gizi tanaman genjer (Limnocharis flava). 6
2 Sistem jaringan, jaringan, dan jenis sel penyusun jaringan
tanaman.. 13
3 Komposisi rangkaian larutan dehidran TBA. 24
4 Subklasifikasi terpenoid................................................................. 28
5 Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya pada tanaman... 29
6 Klasifikasi bagian-bagian fenolik.. 31
7 Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian. 33
8 Pengamatan stomata daun genjer... 49
9 Hasil pengukuran tanaman genjer (Limnocharis flava). 57
10 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer segar.. 61
11 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer kukus. 61
12 Hasil pengujian hipotesis t-student dua populasi... 62
13 Kadar total karoten tanaman genjer segar dan kukus 73
14 Rendemen ekstrak kasar daun dan batang tanaman genjer
(Limnocharis flava) pada pelarut dengan tingkat kepolaran berbeda 76
15 Kandungan fitokimia daun dan batang genjer (Limnocharis flava).. 77
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


1 Tanaman genjer (Limnocharis flava).. 4
2 Struktur molekul vitamin A 12
3 Struktur anatomi akar pada tumbuhan Monocotyledoneae dan
Dicotyledoneae................................................................................... 15
4 Penampang batang monokotil. 17
5 Penampang jaringan daun... 20
6 Jenis-jenis stomata daun. 21
7 Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid..... 28
8 Beberapa penggolongan alkaloid.... 30
9 Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana. 31
10 Dandang pengukusan dan bagian dalamnya...... 32
11 Diagram alir prosedur penelitian 35
12 Diagram alir pembuatan preparat dengan metode parafin. 38
13 Diagram alir pembuatan ekstrak daun dan batang genjer.. 39
14 Morfologi tanaman genjer (Limnocharis flava). 47
15 Penampang melintang daun genjer (Limnocharis flava).... 48
16 Stomata daun epidermis atas.. 50
17 Stomata daun epidermis bawah.. 50
18 Irisan melintang batang genjer segar.. 52
19 Berkas pembuluh pada batang genjer beserta epidermis dan
korteks batang 54
20 Morfologi akar tanaman genjer (Limnocharis flava). 55
21 Penampang melintang akar tanaman genjer beserta berkas
pembuluhnya.. 56
22 Sebaran luas dan keliling daun tanaman genjer. 58
23 Sebaran panjang dan tebal batang tanaman genjer. 59
24 Sebaran panjang akar tanaman genjer 60
25 Perbandingan kadar air tanaman genjer. 63
26 Perbandingan kadar abu tanaman genjer 65
27 Perbandingan kadar lemak tanaman genjer 67
xi

28 Perbandingan kadar protein tanaman genjer.. 70


29 Perbandingan kandungan serat kasar tanaman genjer 71
30 Perbandingan kadar total karoten tanaman genjer. 74
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Data hasil pengukuran tanaman genjer.. 88
2 Komposisi larutan seri Johansen, larutan FAA, dan tahapan
pewarnaan jaringan. 89
3 Hasil analisis proksimat tanaman genjer segar dan kukus.. 90
4 Data hasil analisis total karoten tanaman genjer dan stomata daun 91
5 Data rendemen ekstrak kasar daun dan batang genjer... 92
6 Gambar proses pembuatan preparat jaringan dengan metode
parafin............................................................................................. 93
7 Gambar proses pengukuran tanaman beserta alat ukurnya 94
8 Gambar bahan dan alat analisis proksimat.. 95
9 Gambar hasil pengujian fitokimia daun dan batang genjer.... 96
10 Lokasi pengambilan sampel dan pemeliharaan sampel. 97
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari
siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Tanaman air tawar
merupakan salah satu biota yang hidup di lingkungan perairan tawar, baik yang
hidup liar maupun yang ditujukan untuk pengolahan.
Tanaman air memiliki karakteristik dengan vegetasi yang seluruhnya
tenggelam dan bunga yang mengapung, atau dengan daunnya yang mengapung
dan bunga yang mengapung, atau vegetasi yang muncul ke permukaan dan bunga
yang mengapung di air. Tanaman air memiliki banyak spesies. Salah satu keluarga
tanaman air yang termasuk dalam tanaman Angiospermae adalah Alismatales.
Beberapa jenis yang termasuk dalam ordo Alimatales adalah Alismataceae,
Butomaceae, Hydrocharitaceae, Limnocharitaceae, dan Najadaceae. Tanaman
genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman air yang termasuk spesies dari
famili Limnocharitaceae (Haynes dan Les 2004).
Pemanfaatan tanaman ini diantaranya sebagai sayuran, pakan ternak,
tanaman fitofiltrasi terhadap polusi air, tanaman penghias kolam, dan pupuk
(Abilash et al. 2009; Bergh 1994). Tanaman genjer diolah menjadi makanan oleh
masyarakat India dan sebagian besar Asia Tenggara dimana daunnya mengandung
protein 1-1,6%, sebagai alternatif dari tanaman bayam (Haynes dan Les 2004).
Selain itu, tanaman genjer termasuk tanaman liar yang menghasilkan beberapa zat
metabolit sekunder yang dikenal sebagai zat bioaktif. Salah satu zat bioaktif yang
terkandung di dalam tanaman ini adalah flavonoid. Penelitian Maisuthisakul et al.
(2008) menunjukkan bahwa Limnocharis flava di wilayah Thailand mengandung
total fenolik sebesar 5,4 mg GAE/g db dan total flavonoid sebesar 3,7 mg RE/ g
db. Penelitian Ogle et al. (2001), diacu dalam Flyman dan Afolayan (2006)
menunjukkan bahwa Limnocharis flava mengandung -karoten 50 g/g .
2

Tanaman genjer sebagai organisme tingkat tinggi memiliki penyebaran


fungsi vital untuk organ-organ dan jaringan yang terpisah. Fungsi-fungsi dari
jaringan dan organ tersebut merupakan hasil dari aktivitas sel-sel yang
terintegrasi. Keragaman jenis sel yang berbeda dapat menggambarkan keadaan
fisiologis tanaman termasuk karakteristik gen dan ekspresi protein. Selain itu,
komponen berberat molekul rendah, yakni lemak, karbohidrat, vitamin, maupun
hormon yang menjadi penyusun bagian-bagian sel juga memberikan informasi
tentang karakteristik tanaman tersebut. Oleh karena itu, analisis jaringan dari
bagian-bagian tanaman merupakan salah satu analisis yang tepat dalam
karakterisasi tanaman dan metabolit yang dihasilkan.
Analisis jaringan dapat dilakukan dengan analisis mikroskopis melalui
beberapa metode diantaranya metode beku, metode seloidin, metode parafin,
metode penanaman rangkap (Suntoro 1983). Metode parafin merupakan metode
yang sesuai bagi pemula dalam mempelajari jaringan dan memiliki prinsip-prinsip
pokok metode histologis. Menurut Suntoro (1983), kelebihan metode parafin
diantaranya irisan dapat jauh lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau
metode seloidin. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah
bila menggunakan metode ini dan prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan
dengan metode seloidin.
Pengolahan tanaman genjer di Indonesia dilakukan dengan cara
pengukusan, perebusan, maupun penumisan yang menghasilkan makanan berupa
tumisan, lalapan, pecel, campuran gado-gado, dan sayur bubur. Pengukusan
adalah proses pemanasan yang bertujuan menonaktifkan enzim yang akan
mengubah warna, cita rasa, maupun nilai gizi yang dilakukan pada suhu air lebih
dari 66 C, tetapi kurang dari 82 C (Romdhijati 2010). Pengaruh proses
pengukusan tanaman genjer dapat mengakibatkan penurunan atau peningkatan zat
gizi tertentu dalam tanaman tersebut. Oleh karena itu, kajian secara kuantitatif
kandungan gizi tanaman genjer setelah pengukusan perlu dilakukan dalam
meninjau pengaruhnya terhadap gizi, disamping menganalisa potensi komponen
bioaktif tanaman genjer.
3

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian tentang Analisis Mikroskopis dan Komponen
Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede adalah:
1) Menentukan sifat mikroskopis jaringan tanaman genjer meliputi jaringan daun,
batang, dan akar.
2) Menentukan kandungan gizi tanaman genjer sebelum dan setelah proses
pengukusan.
3) Menentukan komponen bioakif yang terkandung di dalam tanaman genjer
secara kualitatif dan menghubungkannya dengan manfaat zat bioaktif
berdasarkan teori.
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tanaman Genjer (Limnocharis flava)


Tanaman genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman asli wilayah
tropis dan subtropis Amerika, diperkenalkan ke Asia Tenggara lebih dari satu
abad lalu. Saat ini, tanaman genjer menjadi tanaman yang secara alamiah ada di
Indonesia (Jawa, Sumatera), Malaysia, Thailand, Burma, dan Sri Lanka. Tanaman
ini tumbuh di rawa-rawa, perairan dangkal misalnya sawah, kolam ikan, dan parit-
parit dengan ketinggian mencapai 1300 m (Bergh 1994). Morfologi tanaman
genjer dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun klasifikasi tanaman genjer adalah
(Plantamor 2008):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Alismatidae
Ordo : Alismatales
Famili : Limnocharitaceae
Genus : Limnocharis
Spesies : Limnocharis flava (L.) Buch

Gambar 1 Tanaman genjer (Limnocharis flava)


(Sumber: Suehiro 2007)

Tanaman genjer merupakan tumbuhan yang hidup bertahun-tahun, tegak,


laticiferous, tanaman akuatik hingga rawa-terestrial, memiliki ketinggian 20 cm
5

hingga 100 cm. Batang tanaman memiliki panjang 5-75 cm, tebal, berbentuk
segitiga dengan banyak ruang udara, terdapat pelapis pada bagian dasar. Helaian
daun bulat, luasan berbentuk bulat panjang atau bulat telur berukuran 5-30 cm x
4-25 cm, berwarna kuning-hijau, bergurat, 9-13 gurat utama dengan sejumlah
gurat paralel melintang yang bertindak sebagai gurat sekunder (Bergh 1994).
Bunga berjumlah 3 hingga 15, panjang ibu tangkai bunga mencapai 90 cm,
tegak ketika berbunga, melengkung bawah ketika berbuah, bunga di dalam axil
dari tanaman berselaput. Tangkai bunga memiliki panjang 2-7 cm, kelopak
berjumlah 3 dengan panjang 2 cm, mahkota berjumlah 3 dengan bentuk bulat telur
hingga bulat dan panjang 1,5-3 cm, berwarna kuning. Benang sari berjumlah lebih
dari 15 dan dikelilingi oleh lingkaran staminodia, indung telur berjumlah 10-20.
Komponen buah tersusun dari daun buah matang bersama globose atau benda
berbentuk elips yang lebar dan diameter 1,5-2 cm, tertutup oleh kelopak. Biji
berbentuk seperti sepatu kuda dengan panjang 1-1,5 mm, dilengkapi dengan
mahkota yang melintang, berwarna coklat gelap. Kotiledon memiliki panjang
8-11,5 mm (Bergh 1994).
Tanaman genjer dapat mereproduksi secara vegetatif dan dengan biji. Biji
yang terkandung dalam kapsul matang atau folikel merupakan biji yang ringan
dan dapat disebarkan oleh aliran air. Reproduksi secara vegetatif, yakni kapsul
yang menekuk ke arah air, menyediakan biji-biji untuk dilepas. Kapsul yang
kosong dapat berkembang menjadi tanaman vegetatif yang membentuk tanaman
inang atau mengapung untuk menetap di tempat lain. Tanaman ini selalu berbunga
sepanjang tahun di wilayah dengan kelembaban yang cukup. Namun, tanaman ini
dapat menjadi tanaman tahunan dimana kelembaban bersifat musiman
(Department of Primary Industries and Fisheries 2007).

2.2 Komposisi Gizi Tanaman Genjer


Pemanfaatan tanaman genjer (Limnocharis flava) dilakukan terhadap daun
muda dengan petiole dan buah yang belum terbuka yang dimakan sebagai
sayuran, di Indonesia terutama di Jawa Barat, di Malaysia, dan di Thailand.
Tanaman ini biasanya tidak dimakan mentah tetapi dipanaskan di atas api atau
dimasak untuk waktu yang singkat. Daun tua memiliki rasa yang pahit. Tanaman
ini dapat diberikan sebagai makanan hewan untuk babi atau ikan. Tanaman ini
6

juga dapat dijadikan tanaman penghias di kolam. Tanaman genjer juga sering
dijadikan pupuk hijau dalam pembajakan di sawah (Bergh 1994).
Daun dan bunga dari tanaman genjer (Limnocharis flava) berkhasiat
sebagai penambah nafsu makan. Kandungan kimia dari daun dan bunga tanaman
genjer diantaranya kardenolin, flavonoida dan polifenol. Pengolahan genjer
sebagai penambah nafsu makan adalah dengan pengukusan genjer segar hingga
setengah matang dan dikonsumsi sebagai lalapan (Anonim 2009). Komposisi gizi
tanaman genjer (Limnocharis flava) adalah:

Tabel 1 Komposisi gizi tanaman genjer (Limnocharis flava)


Komposisi gizi Jumlah/100 g bahan (a) Jumlah (b)
Energi 33 kkal 343,269,75 kJ/100 g
Protein kasar 1,7 g 0,280,01%
Lemak kasar 0,2 g 1,220,01%
Karbohidrat 7,7 g 14,560,14%
Abu - 0,790,03%
Kalsium 62 mg 770,87105,26 mg/100 g
Fosfor 33 mg -
Besi 2,1 mg -
Potasium - 4202,5292,37 mg/100g
Tembaga - 8,311,83 mg/100 g
Magnesium - 228,115,26 mg/100 g
Zinc - 0,660,05 mg/100 g
Natrium - 107,7217,15 mg/100 g
Vitamin A 3.800 mg -
Vitamin B1 0,07 mg -
Vitamin C 54 mg -
Air 90 g 79,340,15%
Serat kasar - 3,810,04%
B.D.D 70% -
Sumber:
(a) Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (1992), diacu dalam Astawan dan Kasih (2008)
(b) Saupi et al. (2009), jumlah dalam berat kering

2.2.1 Protein
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur
C, H, O, dan N serta mengandung fosfor dan belerang. Sebuah asam amino terdiri
dari sebuah gugus amino (-NH2), sebuah karboksil (-COOH), sebuah atom
hidrogen, dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai
karbon , serta gugus R merupakan rantai cabang. Protein berfungsi sebagai
enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis,
7

pertahanan tubuh, media perambatan impuls syaraf, dan pengendalian


pertumbuhan (Winarno 2008).
Protein tersusun atas 20 asam amino utama yang berbeda dan terhubung
dengan ikatan amida, tetapi beberapa protein tidak mengandung satu atau
beberapa dari 20 asam amino. Jenis-jenis asam amino penyusun molekul protein
tumbuhan terdiri atas kelompok alifatik, basik, asidik, mengandung belerang,
terhidroksil, heterosiklik, dan kelompok aromatik. Kelompok alifatik terdiri atas
glisin, alanin, valin, leusin, dan isoleusin. Kelompok basik adalah arginin dan
lisin. Kelompok asidik adalah asam aspartat, asam glutamat, asparagin, glutamin.
Kelompok yang mengandung belerang adalah sistein dan metionin. Kelompok
terhidroksil terdiri dari serin dan threonin. Kelompok heterosiklik terdiri dari
prolin, triptofan, histidin, sedangkan kelompok aromatik terdiri atas tirosin dan
fenilalanin. Asam amino yang tergolong alifatik dan aromatik lebih sukar larut
dalam air dibanding asam amino basik, asidik, dan terhidroksil (Lakitan 2007).
Tanaman dapat mensintesis asam amino protein dari komponen nitrogen
sederhana, misalnya nitrat dan amoniak. Asimilasi nitrat terjadi dalam dua tahap
proses yaitu perubahan nitrat (NO3-) menjadi nitrit (NO2-) yang dikatalisis oleh
enzim nitrat reduktase dan perubahan nitrit menjadi amoniak (NH4+) yang
dikatalisis oleh enzim nitrit reduktase. NO2- yang terbentuk akan berpindah ke
bagian kloroplas pada daun atau proplastida di akar (Chesworth et al. 1998).
Organel di dalam sel yang berfungsi mensintesis protein adalah ribosom. Ribosom
terdapat di dalam mitokondria dan kloroplas. Ribosom juga terdapat pada
sitoplasma. Protein yang disintesis oleh ribosom pada sitoplasma kemudian akan
diangkut ke mitokondria maupun kloroplas (Lakitan 2007).
2.2.2 Lemak
Lemak merupakan zat yang dibentuk dari unit-unit terstruktur dengan
suatu hidrofobisitas yang tegas, larut dalam pelarut organik tetapi tidak dalam air.
Komponen utama dari lemak adalah turunan asam lemak. Asam lemak dapat
digolongkan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak
jenuh dicirikan dengan tidak bercabang, rantai molekul lurus dengan jumlah atom
karbon genap yang dominan pada asam lemak ini. Asam lemak tak jenuh
8

memiliki ikatan ganda yang biasanya ditunjukkan sebagai jenis isolene atau asam
lemak non-konjugasi (Belitz et al. 2009).
Dalam tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol dengan tiga
molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam
proses respirasi. Proses pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi
tiga tahap, yaitu pembentukan gliserol, pembentukan asam lemak, kemudian
kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak. Lemak nabati
mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh
sehingga umumnya berbentuk cair (Winarno 2008).
Fraksi lipida terdiri atas minyak/lemak, malam (wax), fosfolipida, sterol,
hidrokarbon, dan pigmen. Pigmen yang termasuk dalam fraksi lipid diantaranya
klorofil, karotenoid, xantofil yang merupakan komponen penting dalam
penangkapan cahaya dan proses pengangkutan elektron dari fotosintesis (Winarno
2008; Murphy 1999). Lemak jarang terkandung dalam jaringan daun, batang, dan
akar, tetapi sering dijumpai pada biji dan kadang pada daging buah. Di dalam sel
tumbuhan, lemak disimpan dalam oleosom pada sitoplasma (Lakitan 2007).
Jenis asam lemak yang umum terkandung pada jaringan tumbuhan adalah
laurat, miristat, palmitat, stearat, oleat, linoleat, linolenat Pembentukan asam
lemak diawali oleh karboksilasi asetil Ko-A yang memiliki prekursor berupa
karbon dioksida. Dalam jaringan yang mendukung fotosintesis (berwarna hijau),
yaitu daun, karbon dioksida ditempatkan dalam stroma dari kloroplas untuk
membentuk triosa fosfat. Triosa fosfat kemudian diubah menjadi pirufat dan
membentuk asetil Ko-A oleh enzim glikolitik. Hal ini dapat menjelaskan bahwa
sintesis asetil Ko-A untuk pembentukan asam lemak terjadi di dalam kloroplas
(Murphy 1999).
2.2.3 Karbohidrat
Karbohidrat memiliki bentuk molekul yang dikesankan sebagai komposisi
unsur yang dinamakan Cx(H2O)y), yang mengandung atom karbon bersama
dengan hidrogen dan oksigen dalam rasio yang sama. Komponen karbohidrat
alami yang dihasilkan oleh organisme tidak dalam bentuk formula empiris yang
sederhana, melainkan dalam bentuk oligomer (oligosakarida) atau polimer
(polisakarida) dari gula sederhana (BeMiller dan Whistler 1996).
9

Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang


dapat berantai lurus atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim
yang spesifik kerjanya. Polisakarida dalam bahan makanan berfungsi sebagai
penguat tekstur (selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin) dan sebagai sumber energi
(pati, dekstrin, glikogen, fruktan). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan
ikatan -glikosidik dan terdiri atas dua fraksi yakni amilosa dan amilopektin.
Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedangkan
amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa. Pati di dalam
jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda sesuai
dengan bentuk, ukuran, letak hilum, dan sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi
(Winarno 2008).
Serat-serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-
buahan. Secara kimia, dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat
yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat, misalnya polimer lignin,
beberapa gumi, dan mucilage. Pada proses pematangan, penyimpanan, atau
pengolahan, komponen selulosa dan hemiselulosa mengalami perubahan sehingga
terjadi perubahan tekstur (Winarno 2008).
Komponen gula utama di dalam sayuran adalah glukosa dan fruktosa (0,3-
4%), seperti halnya sukrosa (0,1-12%). Pati banyak tersimpan pada sayuran akar
dan batang. Polisakarida berupa pektin memiliki peranan dalam kekokohan
tanaman (Belitz et al. 2009). Pektin terdapat di dalam dinding sel primer tanaman,
khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa pektin
diklasifikasikan menjadi asam pektat, asam pektinat (pektin), dan protopektin.
Asam pektat dapat membentuk garam dalam jaringan tanaman diantaranya
kalsium dan magnesium. Asam pektinat juga dapat membentuk garam yang
disebut garam pektinat (Winarno 2008).
2.2.4 Mineral
Mineral merupakan unsur pokok yang bersisa sebagai abu setelah
pembakaran dari jaringan tanaman maupun hewan. Mineral dibagi menjadi
elemen utama, trace element, dan ultra-trace element. Elemen utama terdiri atas
Na, K, Ca, Mg, Cl, P, merupakan elemen esensial bagi kehidupan manusia dalam
jumlah >50 mg/hari. Trace elements terdiri atas Fe, I, F, Zn, Se, Cu, Mn, Cr, Mo,
10

Co, Ni, esensial dalam konsentrasi < 50 mg/hari. Ultra-trace elements terdiri atas
Al, As, Ba, Bi, B, Br, Cd, Cs, Ge, Hg, Li, Pb, Rb, Sb, Si, Sm, Sn, Sr, Ti, W, Tl,
merupakan elemen yang pada dasarnya telah diuji dalam percobaan hewan lebih
dari beberapa generasi dan gejala kekurangannya telah ditemukan di bawah
kondisi ekstrim (Belitz et al. 2009).
Komposisi akhir dari bagian-bagian tanaman yang dapat dimakan
dipengaruhi dan dikontrol oleh kesuburan tanah, genetik tanaman, dan lingkungan
pertumbuhan tanaman. Mineral dalam abu merupakan bentuk metal oksida,
sulfida, fosfat, nitrat, klorida, dan halida lainnya. Mineral tidak dapat dirusak
dengan pemaparan panas, cahaya, zat pengoksidasi, pH ekstrim. Sejumlah mineral
memiliki kelarutan di dalam air. Secara umum, perebusan dalam air menyebabkan
hilangnya mineral lebih banyak pada sayuran daripada pengukusan (Miller 1996).
Sebagian besar unsur yang dibutuhkan tanaman diserap dari larutan tanah
melalui akar, kecuali karbon dan oksigen yang diserap dari udara oleh daun.
Penyerapan unsur hara secara umum lebih lambat dibandingkan dengan
penyerapan air oleh akar tanaman (Lakitan 2007). Unsur mineral terbanyak dalam
sayuran adalah potasium, selanjutnya kalsium, sodium, dan magnesium. Anion
mayor yang terkandung dalam sayuran adalah fosfat, klorida, dan karbonat (Belitz
et al. 2009).
2.2.5 Air
Air terikat merupakan istilah yang umum dipakai untuk air yang terdapat
dalam bahan makanan. Air terikat dianggap sebagai suatu sistem yang mencakup
air yang mempunyai derajat keterikatan berbeda-beda dalam bahan. Menurut
derajat keterikatan air, air terikat di dalam bahan dibagi atas empat tipe, yaitu
(Winarno 2008):
a) Tipe 1 adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu
ikatan hidrogen yang berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan
molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N. Air ini tidak
membeku pada proses pembekuan, tetapi sebagian air dapat dihilangkan
dengan pengeringan biasa.
b) Tipe 2 adalah molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih sukar
11

dihilangkan dan penghilangannya akan mengakibatkan penurunan Aw.


Penghilangan sebagian air tipe ini dapat mengurangi pertumbuhan mikroba dan
reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan.
c) Tipe 3 adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan, seperti
membrane, kapiler, serat. Air tipe 3 disebut dengan air bebas karena mudah
diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi
reaksi-reaksi kimiawi.
d) Tipe 4 adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni,
dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh
Air yang terkandung di dalam jaringan tanaman umumnya berkisar 80%
hingga 90% berat segar dari tanaman basah dan kurang dari 20% berat dari
tanaman kering. Pengaruh dari hilangnya air pada tanaman adalah tanaman
menjadi layu dan kehilangan berat serta secara tidak langsung menimbulkan
perubahan yang diinginkan ataupun yang tidak dinginkan (Fennema 1996).
2.2.6 Vitamin A
Vitamin A merupakan jenis vitamin yang aktif dan terdapat dalam
beberapa bentuk yaitu vitamin A alkohol (retinol), vitamin A aldehida (retinal),
vitamin A asam (asam retinoat), vitamin A ester (ester retinil). Vitamin A
termasuk dalam vitamin yang dapat larut dalam lemak (Winarno 2008). Senyawa
dengan aktivitas vitamin A yang terdapat dalam tanaman, termasuk kelompok
karotenoid akan diubah menjadi vitamin A pada proses metabolisme tubuh setelah
dikonsumsi oleh manusia dan hewan (Andarwulan dan Koswara 1992).
Karotenoid merupakan prekursor vitamin A disebut provitamin A.
Provitamin A yang paling potensial adalah -karoten yang ekuivalen dengan 2
vitamin A. Sumber provitamin A adalah sayuran atau buah-buahan yang berwarna
hijau atau kuning (Andarwulan dan Koswara 1992). Di antara ratusan karotenoid
yang terdapat di alam, hanya bentuk , , , dan kriptosantin yang berperan
sebagai provitamin A. -karoten adalah provitamin A yang paling aktif.
Karotenoid terdapat di dalam kloroplas tanaman dan berperan sebagai katalisator
dalam fotosintesis. Karotenoid paling banyak terdapat dalam sayuran berwarna
hijau tua (Almatsier 2006).
12

Provitamin A sangat sensitif terhadap oksidasi, ontooksidasi, dan cahaya,


tetapi stabil terhadap panas dalam atmosfer inert (bebas O2). Apabila terdapat
oksigen, kerusakan karotenoid terjadi lebih banyak dan dipacu oleh cahaya,
enzim, ko-oksidasi dengan hidroperoksida lemak. Pengukusan menghasilkan
kerusakan -karoten lebih sedikit dibandingkan perebusan. Hasil penelitian pada
pembuatan 20 jenis makanan menunjukkan bahwa karoten sangat stabil selama
pengolahan (Andarwulan dan Koswara 1992). -karoten dapat bertindak sebagai
antioksidan dengan cara menangkap radikal oksigen tunggal, hidroksil, dan
superoksida serta bereaksi dengan radikal peroksil ROO (Gregory 1996). Struktur
molekul dari vitamin A dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur molekul vitamin A


(Sumber: Winarno 2008)

2.3 Anatomi dan Jaringan Tumbuhan


Jaringan merupakan sekelompok sel yang mempunyai asal, struktur, dan
fungsi yang sama. Jaringan dewasa penyusun organ tumbuhan tingkat tinggi
antara lain jaringan pelindung (epidermis), jaringan dasar (parenkim), jaringan
penguat (penyokong), jaringan pengangkut (vaskuler), jaringan sekretoris. Organ
pada tumbuhan dibedakan menjadi organ vegetatif dan organ reproduksi. Organ
vegetatif meliputi batang, akar, dan daun, sementara organ reproduksi terdiri dari
bunga, buah, dan biji (Nugroho et al. 2006). Sistem jaringan, jaringan, dan jenis
sel penyusun jaringan dapat dilihat pada Tabel 2.
13

Tabel 2 Sistem jaringan, jaringan, dan jenis sel penyusun jaringan tanaman
Sistem jaringan Jaringan Jenis sel
Jaringan parenkima Sel-sel parenkima
Sistem jaringan Jaringan kolenkima Sel-sel kolenkima
dasar Jaringan sklerenkima Sel-sel sklerenkima (sklereid,
serat)
Xilem Trakeid, elemen pembuluh, sel
parenkima, serat
Sistem jaringan
Floem Elemen pembuluh saringan,
pengangkut
companion cells, sel-sel
parenkima, serat
Epidermis Sel-sel parenkima, sel-sel penjaga,
Sistem jaringan trikoma
pelindung Peridermal Sel-sel gabus, sel-sel kambium
gabus, parenkima gabus.
Sumber: Berg (2008)

2.3.1 Akar
Akar merupakan organ tanaman yang berfungsi untuk memperkuat
berdirinya tubuh tumbuhan, menyerap air dan unsur hara tumbuhan dari dalam
tanah, mengangkut air dan unsur hara ke bagian tumbuhan yang memerlukan, dan
tempat penimbunan zat makanan cadangan. Anatomi akar primer yang dipotong
membujur adalah tudung akar, epidermis akar, korteks, endodermis, dan stele
(Nugroho et al. 2006).
Akar tanaman Monocotyledoneae dewasa biasanya berupa akar serabut
dan berkembang dari batang. Umumnya, akar ini tidak mengalami penebalan
sekunder. Tipe paling umum akar pada Monocotyledoneae adalah sistem akar
serabut (Mulyani 2006). Gambaran anatomi akar primer adalah sebagai berikut.
a) Tudung akar, merupakan penutup ujung akar yang tersusun dari sel-sel
parenkima. Selain melindungi meristem, sel-sel tudung akar berfungsi dalam
pengaturan pertumbuhan (misalnya tanggapan gravitasi) dan dalam produksi
serta sekresi sejumlah getah. Tudung akar berasal dari aktivitas meristem
apikal akar dan terdiri atas sejumlah akar yang terletak di tengah, sel-sel
kolumela yang lurus longitudinal, dan sel-sel peripheral terluar. Kolumela
mengandung sekumpulan pati amiloplas, sedangkan sel peripheral
mengeluarkan getah yang disebut mucigel (Dickison 2000).
14

b) Epidermis (epiblem/lapisan piliferous). Sel-sel epidermis akar berdinding tipis


dan biasanya tidak mengandung kutikula. Rambut-rambut akar berkembang
dari sel-sel epidermis di daerah dekat ujung akar. Epidermis akar biasanya
dijumpai saat akar masih muda. Apabila akar sudah dewasa, epidermisnya
telah mengalami kerusakan dan fungsinya digantikan oleh lapisan terluar dari
korteks yang disebut eksodermis (Nugroho et al. 2006).
c) Korteks, umumnya tersusun atas sel-sel parenkim yang kadang-kadang
mengandung karbohidrat dan kadang mengandung kristal. Lapisan sklerenkim
umum dijumpai pada akar tumbuhan Monocotyledoneae. Lapisan terluar dari
korteks kadang berdiferensiasi menjadi lapisan eksodermis yang dinding sel-
selnya mengalami penebalan dengan zat suberin, lapisan terdalam dari korteks
biasanya berdiferensiasi menjadi endodermis (Nugroho et al. 2006). Sel
parenkim korteks tidak mempunyai klorofil, tetapi pada tumbuhan air, akar
udara, dan epifit terdapat klorofil (Fahn 1991; Mulyani 2006).
d) Endodermis, tersusun oleh satu lapis sel yang berbeda secara fisiologi, struktur,
dan fungsi dengan lapisan sel di sekitarnya. Endodermis primer mengalami
penebalan berupa titik-titik Caspary dari suberin dan kutin. Endodermis
sekunder mengalami penebalan berupa pita Caspary dari zat lignin.
Endodermis tersier mengalami penebalan membentuk huruf U yang
mengandung lapisan suberin dan selulose pada dinding radial dan tangensial
bagian dalam (Nugroho et al. 2006).
e) Stele. Lapisan terluar dari stele adalah perisikel/perikambium sehingga letaknya
di sebelah dalam dari endodermis dan di sebelah luar dari berkas pengangkut.
Sistem berkas pengangkut pada akar biasanya tersusun oleh jari-jari xilem
(trakea) yang jumlahnya bervariasi berselang-seling dengan floem. Pada akar,
xilem dan floem tidak terletak dalam radius yang sama. Xilem mungkin
membentuk sumbu sentral ataupun bagian tengah terisi oleh sel-sel parenkim
ataupun sklerenkim. Akar dapat terdiri dari 1, 2, 3, 4, 5 atau banyak jari-jari
xilem yang secara berurutan disebut monarch, diarch, triarch, tetrarch,
pentarch ataupun poliarch. Protoxilem akar berada di sebelah luar dari
metaxilem (Nugroho et al. 2006).
15

Pada Monocotyledoneae, biasanya tidak terjadi penebalan sekunder, tetapi


terjadi sklerifikasi pada sebagian atau seluruh perisiklus. Biasanya perisiklus
Angiospermae hanya selapis, tetapi pada kebanyakan Monocotyledoneae,
perisiklus terdiri atas beberapa lapisan sel. Akar tumbuhan air dan parasit tidak
terdapat perisiklus (Fahn 1991; Mulyani 2006). Struktur anatomi akar tumbuhan
Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur anatomi akar pada tumbuhan Monocotyledoneae dan


Dicotyledoneae
(Sumber: Arnett dan Braungart (1970), diacu dalam Nugroho et al. (2006))

2.3.2 Batang
Batang tanaman memiliki tiga fungsi utama, yaitu mendukung daun dan
struktur reproduksi, menyediakan pengangkut bagian dalam, dan menghasilkan
jaringan baru (Berg 2008). Perbedaan nyata antara penampang melintang batang
dan penampang melintang akar hanyalah ukuran unsur-unsur pengangkutan dalam
batang yang lebih besar dan lokasinya yang jauh dari pusat batang (Fisher dan
Dunham 1992). Pada organ batang terdapat tiga bagian pokok yang berkembang
dari jaringan protoderm, prokambium, dan meristem dasar, yaitu epidermis dan
derivatnya, korteks, dan stele (Nugroho et al. 2006).
a) Epidermis tersusun oleh satu lapis sel dan biasanya berbentuk rektanguler
tersusun rapat tanpa adanya ruang antar sel, dinding luar mengalami penebalan
dari zat kutin. Susunan ini menyebabkan terjadinya pengurangan transpirasi
dan melindungi jaringan di sebelah dalamnya dari kerusakan mekanik dan
16

serangan hama. Derivat epidermis adalah stomata, trikoma, sel silika, dan sel
gabus (Nugroho et al. 2006).
b) Korteks yang paling sederhana seluruhnya terdiri atas sel parenkim berdinding
tipis. Daerah di luar korteks yang berbatasan dengan epidermis terdiri atas
kolenkim atau serabut. Korteks batang ini dapat juga berisi sklereida, sel
sekretori, dan latisifer (Mulyani 2006). Beberapa tumbuhan memiliki parenkim
korteks bagian tepi yang mengandung kloroplas sehingga dapat berfotosintesis,
yang disebut klorenkim (Nugroho et al. 2006). Sel parenkim korteks juga dapat
menyimpan granula dan kristal pati (Berg 2008).
c) Stele merupakan daerah sebelah dalam dari endodermis yang terdiri atas
perikamium, parenkim, dan berkas pengangkut (Nugroho et al. 2006). Terdapat
dua tipe jaringan pembuluh, yaitu floem yang biasanya terletak di bagian luar
dan xilem yang biasanya terletak di bagian dalam. Xilem berfungsi untuk
mengangkut air dan mineral terlarut dari akar menuju batang, sedangkan floem
berfungsi mengangkut karbohidrat terlarut (sukrosa) dari daun menuju batang
(Berg 2008). Posisi xilem dan floem dalam berkas pembuluh dapat dibedakan
(Hidayat 1995):
1) Ikatan pembuluh kolateral, floem bertempat di sebelah luar xilem.
2) Ikatan pembuluh bikolateral, seperti kolateral namun terdapat floem di
sebelah dalam xilem sehingga ada floem eksternal dan floem internal.
3) Ikatan pembuluh konsentris amfikribral, floem mengelilingi xilem dan
sering terdapat pada paku.
4) Ikatan pembuluh konsentris amfivasal, xilem mengelilingi floem.
5) Ikatan pembuluh radial, letak berkas xilem bergantian dan berdampingan
dengan berkas floem.
Batang Monocotyledoneae memiliki tipe berkas pengangkut kolateral
tertutup, yakni bila di antara xilem dan floem tidak terdapat kambium, tetapi
terdapat parenkim penghubung. Sebagian besar Monocotyledoneae, sistem
pembuluh primer terdiri atas sejumlah berkas pengangkut yang tersebar tidak
beraturan sehingga tidak dapat dibedakan secara tegas batas antara korteks,
silinder pembuluh, dan empelur. Batang monokotil tidak mengalami pertumbuhan
sekunder dan berkas pengangkutnya mempunyai selubung sklerenkim. Penebalan
17

batang berasal dari pembelahan dan pembesaran sel parenkim dasar


(Mulyani 2006).
Batang tumbuhan air berisi suatu sistem ruang antar sel yang meluas
sehingga melalui ruang tersebut terjadi difusi gas secara bebas. Absorpsi gas juga
dipermudah karena dinding tipis epidermis dan jaringan di sebelah dalamnya.
Pada daun dan batang yang tenggelam dari tumbuhan air, kloroplas ada pada sel
epidermis. Kebanyakan hidrofit yang tenggelam, epidermis tidak berstomata
(Fahn 1991).
Pada korteks batang tumbuhan air dan jaringan dasar petiol dan mesofil,
terdapat ruang skizogen antar sel tempat berlangsungnya pertukaran udara lakuna.
Lakuna terjadi di tengah-tengah korteks batang. Korteks bagian luar terdiri atas
parenkima dan kolenkima yang padat. Bagian dalam korteks yang mengelilingi
silinder pembuluh juga terdiri atas kolenkima yang rapat. Lakuna dapat tersusun
dalam satu lingkaran atau beberapa lingkaran maupun dalam suatu pola retikulasi.
Lakuna dipisahkan sewaktu-waktu oleh lempengan atau diafragma, yang
memperkuat organ-organ dan dapat juga meniadakan bahaya penyumbatan air
melalui luka. Pada tumbuhan akuatik yang tidak tenggelam, ruang antar diafragma
dipenuhi parenkima berbentuk bintang (Fahn 1991). Penampang jaringan batang
monokotil dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Penampang batang monokotil


(Sumber: Berg 2008)
18

2.3.3 Daun
Daun biasanya tersusun oleh berbagai macam jaringan, tetapi secara garis
besar tersusun atas jaringan pelindung (epidermis dan derivatnya), jaringan dasar
(mesofil), jaringan pengangkut, jaringan penguat, jaringan sekretori. Sebagian
besar tumbuhan Monocotyledoneae dan beberapa jenis Dicotyledoneae memiliki
tipe daun isobilateral, yakni struktur daun dengan jaringan tiang yang seragam
antara permukaan atas dan bawah (Nugroho et al. 2006).
a) Epidermis daun beragam dalam jumlah lapisan, bentuk, struktur, susunan
stomata, munculnya trikoma dan susunannya, serta adanya sel khusus. Jaringan
epidermis permukaan daun dibedakan menjadi permukaan adaksial dan
permukaan abaksial. Permukaan adaksial adalah permukaan daun yang lebih
dekat dengan ruas di atasnya dan biasanya menghadap ke atas, sedangkan
permukaan bawah merupakan permukaan abaksial (Fahn 1991).
b) Mesofil daun terdiri atas jaringan parenkim yang terdapat di sebelah dalam
epidermis. Mesofil mengalami diferensiasi membentuk jaringan fotosintetik
yang berisi kloroplas. Kebanyakan tumbuhan terdapat dua tipe parenkim dalam
mesofil, yaitu parenkim palisade (jaringan tiang) dan parenkim spons (jaringan
bunga karang). Sel parenkim palisade memanjang dan pada penampang
melintangnya tampak berbentuk batang yang tersusun dalam deretan. Sel
palisade terdapat di bawah epidermis unilateral (selapis) atau multilateral
(berlapis banyak) (Mulyani 2006). Sel palisade tegak pada permukaan daun,
rapat satu sama lain, dan banyak mengandung kloroplas, berfungsi untuk
menangkap cahaya. Jaringan bunga karang tersusun oleh sel-sel yang tak
teratur, berdinding tipis, lepas, dan mengandung kloroplas dalam jumlah sedikit
(Nugroho et al. 2006).
c) Jaringan pengangkut pada daun sebagian besar tanaman adalah secara kolateral,
dengan susunan xilem pada posisi secara adaksial dan floem secara abaksial.
Xilem terdiri atas sejumlah sel-sel protoxilem dan metaxilem sedangkan floem
mengandung protofloem dan metafloem. Pembuluh daun monokotil biasanya
dicirikan oleh serangkaian pembuluh longitudinal yang memanjang sejajar
sejauh helaian daun. Pembuluh utama pada daun monokotil terhubungkan
dengan pembuluh yang melintang secara transversal (Dickison 2000).
19

d) Jaringan penguat daun berupa kolenkim dan sklerenkim. Kolenkim biasanya


terdapat dekat tulang daun yang besar tepat di bawah epidermis. Tumbuhan
Monocotyledoneae banyak dijumpai serat pada berkas pengangkut. Epidermis
dengan susunan sel yang kompak tanpa adanya ruang antar sel dan terdapat
kutikula pada permukaan luarnya akan berfungsi sebagai jaringan penguat daun
(Nugroho et al. 2006).
e) Jaringan sekretori berupa kelenjar dengan struktur berupa masa sel-sel
parenkim padat dan terdapat di ujung berkas-berkas pembuluh. Substansi
sekretori dapat pula dijumpai dalam idioblas. Sel resin dijumpai pada
tumbuhan suku Rubiceae dan Euphorbiaceae, sel tanin pada Anacardiaceae
(Nugroho et al. 2006).
Struktur tanaman hidrofit kurang beragam karena suhu, udara, konsentrasi
dan komposisi garam dalam air mempengaruhi struktur tumbuhan air. Tumbuhan
air memiliki sedikit jaringan penyokong dan pelindung, jumlah jaringan pembuluh
sedikit, xilem mengecil, dan mempunyai ruang udara (Mulyani 2006).
Epidermis tumbuhan air tidak berfungsi untuk perlindungan, tetapi untuk
pengeluaran zat makanan, senyawa air, dan pertukaran gas. Kutikula dan dinding
selnya sangat tipis. Sel epidermis berisi kloroplas. Daun yang mengapung
mempunyai stomata hanya pada permukaan atas daun. Daun yang tenggelam
biasanya tidak mempunyai stomata. Beberapa tumbuhan air yang tenggelam
mempunyai sekelompok sel yang disebut hydropotes, yang berfungsi untuk
memudahkan pengangkutan air dan garam ke luar dan ke dalam tumbuhan.
Hidrofit yang tenggelam mempunyai sangat sedikit sklerenkim atau bahkan tidak
mempunyai (Mulyani 2006).
Pada daun hidrofit terdapat ruangan udara yang berisi gas, bentuknya
beraturan, terdapat di seluruh daun. Ruangan udara ini adalah lakuna yang
biasanya dipisahkan oleh partisi tipis satu atau dua lapisan sel yang mengandung
kloroplas. Lakuna berisi diafragma yang merupakan lapisan tunggal sel-sel
dengan interselular yang kecil dan tampak sebagai pori, berfungsi membiarkan
laluan gas dan bukannya air (Fahn 1991). Penampang jaringan daun dapat dilihat
pada Gambar 5.
20

Gambar 5 Penampang jaringan daun


(Sumber: Davidson 2005)

2.3.3.1 Stomata
Stoma (jamak: stomata) adalah lubang atau celah yang terdapat pada
epidermis organ tumbuhan yang berwarna hijau, dibatasi oleh sel khusus yang
disebut sel penutup. Sel penutup dikelilingi oleh sel-sel yang bentuknya sama atau
berbeda dengan sel-sel epidermis lainnya dan disebut sel tetangga. Sel tetangga
berperan dalam perubahan osmotik yang menyebabkan gerakan sel penutup yang
mengatur lebar celah (Nugroho et al. 2006).
Sel penjaga atau sel penutup berperan mengatur pertukaran gas dari daun.
Pada malam hari pertukaran gas sedikit dibutuhkan sehingga celah stomata
hampir tertutup. Selain itu, suhu malam hari lebih rendah dibandingkan siang hari
sehingga kehilangan air dari daun dalam jumlah minimal (Scott 2008).
Keseluruhan bagian stomata umumnya dibatasi terhadap permukaan
bagian bawah dari lamina (lapisan terluar epidermis) disebut hypostomatous.
Stomata ada kalanya terletak di kedua lapisan bagian atas dan bawah epidermis
disebut amphistomatous atau stomata terbatas hanya pada lapisan atas yang
disebut epistomatous. Jenis-jenis stomata dari angiospermae berdasarkan
penampakan stomata dewasa adalah (Dickison 2000):
a) Anomositik, yaitu stoma dikelilingi oleh sejumlah sel yang ukuran, bentuknya
tidak terbedakan dari sel epidermis lainnya.
b) Anisositik, yaitu stoma yang dikelilingi oleh tiga tetangga yang salah satunya
lebih kecil dibandingkan dua sel lainnya.
21

c) Parasitik, yaitu stoma didampingi oleh satu atau lebih sel tetangga yang sejajar
terhadap sumbu panjang dari celah dan sel penjaga.
d) Diasitik, yaitu stoma yang ditutupi oleh sepasang sel tetangga, yang dinding
kedua sel tetangga tegak lurus terhadap sumbu panjang sel penjaga.
e) Tetrasitik, yaitu stoma dikelilingi oleh empat sel tetangga; dua lateral dan dua
terminal.
f) Aktinositik, yaitu stoma dikelilingi oleh sel tetangga yang melingkar atau
memanjang secara radial, membentuk suatu cincin pada setiap stoma.
g) Siklositik, yaitu stoma yang dikelilingi oleh empat atau lebih sel tetangga yang
membentuk cincin pada setiap stoma.
h) Heksasitik, stoma didampingi oleh enam sel tetangga yang terdiri dari dua
lateral berpasangan paralel terhadap sumbu panjang celah, dan dua terminal.
Gambar dari jenis-jenis stoma dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Jenis-jenis stomata daun


(Sumber: Dickison 2000)

2.4 Pemeriksaan Histologi Tumbuhan


Jaringan (merupakan kesatuan sejumlah sel, serupa dalam asal-usul dan
fungsi utama, bersifat terus-menerus. Ilmu yang mempelajari struktur internal
tanaman disebut histologi tanaman. Histologi tumbuhan umumnya dikaji melalui
teknik mikroskopis. Kajian objektif untuk mengidentifikasi histologi pada
tanaman diukur dalam gambaran mikroskopis. Morfologi sel digambarkan dengan
ukuran sel dan bentuk dan dengan ketebalan dinding sel (Guillemin et al. 2004).
22

Metode umum untuk mempelajari jaringan diantaranya metode beku,


metode seloidin, metode parafin, metode penanaman rangkap. Metode parafin
banyak digunakan karena hampir semua macam jaringan dapat dipotong dengan
baik bila menggunakan metode ini. Kelebihan metode parafin diantaranya irisan
dapat jauh lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin.
Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan
metode ini dan prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin
(Suntoro 1983).
Metode pembuatan preparat terlebih dahulu dilakukan sebelum
mempelajari histologi tanaman. Metode pembuatan preparat dapat dibagi menjadi
tiga macam, yaitu preparat segar, preparat utuh (whole mount), dan preparat yang
dilakukan proses penanaman (embedding). Pembuatan preparat segar dilakukan
dengan sayatan tipis melintang dan diletakkan pada gelas objek kemudian
diwarnai. Pembuatan preparat utuh merupakan metode pembuatan preparat
sampel secara utuh biasanya untuk tanaman dengan ukuran kecil. Tahapan untuk
preparat ini terdiri atas fiksasi bertahap, penggunaan xilol berseri, pewarnaan,
inkubasi, dehidrasi, dan perekatan ke gelas preparat, dan dilakukan penutupan.
Proses pembuatan preparat embedding terdiri atas gelatin embedding, paraffin
embedding, nitrocellulose embedding, double embedding, dan embedding pada
plastik (Kiernan 1990, diacu dalam Kristiono 2009).

2.5 Persiapan Preparat dengan Metode Parafin


Hal yang penting dalam persiapan jaringan adalah meningkatkan
kemampuan pewarnaan dari bagian-bagian jaringan dan mengubah indeks bias ke
arah jarak penglihatan yang ditingkatkan (Humason 1967). Tahapan dalam
persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi (dehydration), penjernihan (clearing),
infiltrasi, penanaman (embedding), penyayatan (sectioning), penempelan sayatan,
dan pewarnaan (staining).
2.5.1 Fiksasi
Fiksasi merupakan langkah awal dalam menyiapkan materi segar untuk
pengamatan mikroskopis. Tujuan fiksasi adalah mencegah efek post-mortem pada
jaringan, memisahkan fase solid protoplasma dari fase yang mengandung air,
mengubah bagian sel menjadi material yang tidak dapat larut selama perlakuan
23

selanjutnya, dan melindungi sel dari penyimpangan dan penyusutan. Larutan


fiksasi disebut fiksatif. Beberapa fiksatif yang digunakan adalah fiksatif Gomori
Susa, Zenker, Helly, Bouin, formalin, Carnoy, dan sebagainya (Humason 1967).
Waktu yang dibutuhkan untuk mematikan jaringan dan pengerasan
material sangat beragam dan hal tersebut ditentukan oleh karakteristik cairan
fiksatif yang digunakan. Salah satu jenis fiksatif yang banyak digunakan adalah
FAA. Formula FAA adalah (Sass 1951):
Etil alkohol (95%) : 55 cc
Glasial asam asetat : 5 cc
Formaldehid (37-40%) : 10 cc
Air : 35 cc
Fiksatif ini stabil dan memberikan pengerasan jaringan yang baik, material
dapat disimpan selama bertahun-tahun. FAA cocok untuk beragam objek
misalnya ranting berkayu, batang herbal, dan akar tua (Sass 1951). Formalin-aceto
(atau propiono)-alkohol merupakan fiksatif terbaik untuk beragam struktur
misalnya alga berfilamen dan batang berkayu, namun biasanya memberikan
fiksasi yang buruk terhadap kromosom dan melarutkan mitokondria. Lamanya
waktu fiksasi minimal 18 jam (Johansen 1940).
2.5.2 Dehidrasi
Jaringan yang telah difiksasi akan mempertahankan kandungan air yang
tinggi, suatu kondisi yang menjadi penghambat untuk proses selanjutnya,
sehingga jaringan perlu didehidrasi (penghilangan air). Cairan dalam jaringan
dapat menyebabkan jaringan lunak, berisi lumen atau celah cekung dan mudah
rusak oleh penyayatan. Penghilangan air dari jaringan biasanya dicapai dalam
suatu rangkaian larutan alkohol dengan persentase yang meningkat secara
bertahap. Perubahan konsentrasi bertahap, yakni 30%, 50%, 70%, 80%, 95% dan
alkohol absolut bertujuan mengurangi penyusutan pada jaringan. Jika tahap
dehidrasi tidak dilakukan dalam suatu rangkaian, maka dapat dilakukan dengan
langkah 30% dan 80% alkohol, dan penggantian tetap 50%. Waktu yang
dibutuhkan untuk setiap tahap bergantung pada ukuran objek, yakni jam hingga
2 jam, 3 jam untuk kasus yang ekstrim. Penggantian kedua dari alkohol absolut
24

harus dapat menghilangkan air dengan sempurna (Humason 1967). Sampel yang
difiksasi dengan FAA, mulai didehidrasi dalam alkohol 50% (Sass 1951).
Dehidrasi dengan Tertiary Butyl Alcohol (TBA) merupakan metode yang
lebih memuaskan. Rangkaian larutan dari air, etil, dan tertiary butyl alcohol dapat
dilihat pada Tabel 3 (Johansen 1940).

Tabel 3 Komposisi rangkaian larutan dehidran TBA


Tingkatan 1 2 3 4 5
Jumlah persentase alkohol 50 70 85 95 100
Air 50 30 15 - -
Etanol 95% 40 50 50 45 -
Tertiary butyl alcohol 10 20 35 55 75
Etanol 100% - - - - 25
Sumber: Johansen (1940)

Setiap tingkatan dari dehidran TBA membutuhkan waktu minimal selama


1 jam. Rangkaian tersebut kemudian diikuti dengan 100% TBA murni yang
dilakukan sebanyak 3 kali (Johansen 1940).
2.5.3 Penjernihan, infiltrasi, dan penanaman dengan metode parafin
Hidrokarbon benzena, toluena, dan xylene merupakan reagen yang
umumnya digunakan untuk tujuan penjernihan. Jika selama penjernihan, zat
penjernih (xylene, toluena, atau benzena) menjadi keruh, menunjukkan bahwa air
masih ada pada jaringan dan jaringan tidak terdehidrasi dengan sempurna dan
dapat dilakukan pengulangan ke dalam alkohol absolut. Penjernihan
menghilangkan atau menjernihkan jaringan yang tidak tembus cahaya menjadi
transparan (Humason 1967).
Infiltrasi merupakan tahapan dimana medium untuk menanam dimasukkan
ke dalam jaringan secara bertahap. Medium yang umum digunakan untuk
menanam adalah parafin. Parafin terdiri atas parafin lunak dan parafin keras. Titik
leleh parafin lunak berada pada kisaran 50-52 C atau 53-55 C, titik leleh parafin
keras berkisar 56-58 C atau 60-68 C. Pemilihan titik leleh bergantung pada
ketebalan jaringan yang akan disayat, parafin keras untuk jaringan keras dan
parafin lunak untuk jaringan lunak. Jika sayatan yang diinginkan mencapai
ketebalan 5-7 mikro maka menggunakan parafin dengan kisaran 56-58 C
25

(Humason 1967). Tujuan infiltrasi adalah membantu memudahkan pemotongan


dalam potongan-potongan jaringan yang sangat tipis (Maidie et al. 1974).
Material yang telah didehidrasi dengan serangkaian larutan TBA siap
untuk infiltrasi. Pemindahan material dari butyl alcohol ke parafin harus dilakukan
secara berangsur-angsur. Pemindahan dapat dilakukan ke dalam campuran minyak
parafin dan tertiary butyl alcohol dengan jumlah yang sama. Material diletakkan
di atas parafin beku yang ada di dalam wadah kemudian ditutupi dengan
campuran minyak parafin dan butyl alcohol. Kemudian wadah ditempatkan di
dalam oven parafin selama 1 jam. Kemudian, campuran tersebut diganti dengan
parafin murni dan dilakukan di dalam oven. Pengulangan dari pergantian parafin
dilakukan dua kali setiap 6 jam (Johansen 1940).
Jaringan, yang telah diinfiltrasi, ditempatkan dalam sebuah kotak kertas
yang telah diisi dengan lelehan parafin dan segera didinginkan dalam air. Saat
sejumlah kecil parafin siap memadat, parafin tersebut dapat didinginkan di dalam
air, lebih baik pada suhu 10-15 C. Blok parafin yang terbaik adalah parafin
dengan kristal yang berdekatan satu sama lain, tampak jernih dan homogen
(Humason 1967).
2.5.4 Penyayatan dan penempelan sayatan
Material siap disayat bila parafin telah membeku. Blok jaringan dipotong
dengan pisau tajam. Panjang blok kurang dari 2 cm dan dimensi blok dibedakan
dengan bentuk seperti empat persegi panjang. Blok parafin ditanamkan di atas
blok kayu (holder) (Johansen 1940). Faktor yang mempengaruhi penyayatan
adalah kualitas parafin, infiltrasi yang tepat, orientasi penempelan material,
kekakuan penempelan, suhu, kekerasan atau kerapuhan material. Pemotongan
menggunakan mikrotom (Sass 1951).
Sejumlah pita parafin ditempelkan pada setiap slide. Seluruh permukaan
slide diolesi dengan bahan perekat dan dialiri dengan air. Selanjutnya, pita parafin
yang panjang diletakkan di atas kaca tersebut menggunakan pisau bedah. Air yang
berlebihan pada slide dikeringkan, lalu preparat diamati dengan mikroskop.
Sayatan pada slide ditutup dengan kaca penutup dan ditempatkan di atas penangas
dengan suhu tidak lebih dari 43 C (Johansen 1940). Bahan perekat dalam
26

sebagian besar formula adalah gum arab, albumin, atau gelatin (Sass 1951). Bahan
perekat albumin dapat dibuat dengan campuran (Maidie et al. 1974):
1) Putih telur 50 cc
2) Gliserin 50 cc
3) Thymol atau Na-salicylat 1 gram
2.5.5 Pewarnaan
Sebelum sayatan dapat diwarnai, parafin harus dihilangkan dengan
menggunakan xilol. Slide ditempatkan pada rak dan dimasukkan dalam wadah
xilol selama 5 menit, xilol hendaknya dapat menutupi slide. Slide kemudian
dipindahkan ke dalam campuran etanol absolut dan xilol dengan jumlah yang
sama. Pemindahan selanjutnya dilakukan ke dalam campuran alkohol absolut dan
eter selama 5-10 menit. Slide lalu diangin-anginkan hingga sayatan menunjukkan
tanda keputih-putihan. Kemudian slide dicelupkan dalam serangkaian alkohol,
dimulai dengan 95%, 70%, 35% masing-masing 5 menit (Johansen 1940).
Safranin merupakan salah satu zat warna yang termasuk dalam golongan
azine. Golongan azine adalah golongan zat warna yang mengandung cincin
orthoquinonoid yang dihubungkan dengan bentuk cincin lainnya melalui 2 atom
N. Safranin adalah suatu chloride dan zat warna basa yang kuat, sangat cocok
untuk mewarnai kromatin dan terutama kromosom (Suntoro 1983). Kelarutannya
dalam air adalah 5,45% dan 3,41% dalam alkohol. Safranin digunakan untuk
morfologi dan sitologi. Setelah jaringan diwarnai dengan safranin, pewarna yang
berlebihan harus dicuci dengan air sehingga tidak meninggalkan sisa pada
jaringan (Johansen 1940).
Larutan baku safranin berkonsentrasi 3% di dalam alkohol 50%. Bila akan
digunakan, larutan baku diencerkan 1-4 kali dengan alkohol 50%. Pewarnaan
yang sangat insentif akan dapat diperoleh dengan mengencerkan satu volume
anilin aquosa (1 cc anilin dengan 20 cc akuades). Setelah menggunakan fiksatif
Flemming, zat warnanya dihilangkan dengan akuades dan selanjutnya
dideferensiasi dengan alkohol 70% hingga hanya ada warna merah yang tertinggal
di dalam sitoplasma selama 0,5-10 menit. Kemudian preparat didehidrasi dengan
cepat (Suntoro 1983).
27

Aniline blue bersifat sangat asam dan merupakan kelompok triamino-


trifenil metana. Anilin blue dapat mewarnai selulosa dinding sel dan gambar
achromatic, serta zat warna terbaik untuk filamentous dan chlorophyta. Selain itu,
zat warna ini dapat mewarnai sitoplasma. Aniline blue 1% harus disediakan dalam
alkohol 95% dan pengasaman sedikit dengan asam hidroklorida. Kombinasi
safranin dan aniline blue memberikan diferensiasi yang lebih akurat dibandingkan
dengan fast green (Johansen 1940).

2.6 Komponen Bioaktif


Tanaman menghasilkan tiga kelompok utama dari komponen yang
bertindak sebagai zat pertahanan, yaitu terpenoid, fenol, dan nitrogen yang
mengandung komponen organik (Scott 2008). Bentuk metabolit sekunder
menunjukkan sejumlah molekul yang sedikit penting terhadap tanaman dan
memiliki peranan utama dalam perlindungan tanaman dari tekanan lingkungan
atau dalam pengontrollan pertumbuhan tanaman (Harborne 1999). Tanaman
genjer (Limnocharis flava) yang berasal dari Thailand mengandung total fenolik
5,4 mgGAE/ g BDD, total flavonoid 3,7 mg RE/ g BDD, dan aktivitas antiradical
0,1/ EC50 (Maisuthisakul et al. 2008).
2.6.1 Terpenoid/steroid
Terpenoid atau isoprenoid dicirikan dengan biosintesis dari isopentenil dan
dimetilalil pirofosfat dan sifatnya yang secara umum lipofilik. Terpenoid adanya
di kelenjar trikoma daun, di pucuk exudates dan kayu damar. Secara kimia,
terpenoid pada dasarnya hidrokarbon tidak jenuh siklik, dengan derajat keragaman
oksigenasi dalam kelompok pengganti yang dilekatkan terhadap kerangka karbon
utama. Terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah 5-atom karbon (C5)
(Harborne 1999). Monomer aktif dari isoprenoid adalah isopentenilpirofosfat
(IPP) yang digunakan untuk membangun monoterpen (C10), sesquiterpen (C15),
dan diterpen (C20) (Edwards dan Gatehouse 1999).
Terpenoid memiliki potensi anti-inflamasi tidak hanya in-vivo pada sel
hewan, tetapi juga ex-vivo. Beberapa terpenoid bertindak sebagai hormon tanaman
yang mengatur fungsi fisiologis yang berbeda dan metabolit sekunder lainnya
berperan dalam pertahanan dan perlindungan tumbuhan/hewan dari patogen
(Heras et al. 2003). Subklasifikasi terpenoid dapat dilihat pada Tabel 4.
28

Tabel 4 Subklasifikasi terpenoid


Kelas terpenoid Deskripsi
Monoterpenoid Volatil, unsur minyak esensial
Lakton yang berasa pahit, biasanya dalam bentuk
Iridoid
glikosidik
Sesquiterpenoid Unsur minyak esensial yang tinggi titik didihnya
Sesquiterpen lakton Karakteristik dari famili Compositae
Diterpenoid Asam dammar dan giberelin
Triterpenoid saponin Glikosida hemolitik
Steroid saponin Glikosida hemolitik
Kardenolid dan bufadienolid Racun bagi jantung dan toxin
Fitosterol Unsur-unsur membrane
Cucurbitacin Pahit, terutama Cucurbitaceae
Nortriterpenoid Limonoid dan Quassinoid
Triterpenoid lainnya Lupanes, hapanes, ursanes, dsb
Karotenoid Pigmen kuning hingga merah
Sumber: Harborne (1999)

Komponen terpenoid yang menunjukkan aktivitas insektisidal adalah


steroid. Bentuk steroid dapat berupa komponen kardenolid dan saponin yang
dapat melawan herbivora mamalia. Kardenolid berasa pahit dan sangat beracun
serta dapat menyebabkan penyakit jantung. Saponin merupakan komponen yang
dapat larut di dalam air dan lemak, serta memiliki sifat seperti sabun (Scott 2008).
Struktur beberapa terpenoida dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid


(Sumber: Robinson 1995)

2.6.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya


Alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki sebuah atom
nitrogen sebagai bagian dari srukturnya, biasanya terkait ke dalam suatu sistem
29

siklik lima atau enam karbon. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat
tinggi, sekitar 20% dari spesies Angiospermae. Metabolit-nitrogen juga terbatas di
alam. Keterbatasan distribusi metabolit ini disebabkan oleh ketersediaan unsur
dari metabolit ini juga terbatas. Metabolit-nitrogen merupakan turunan dari satu
atau lebih asam amino protein (Harborne 1999).
Metabolit-nitrogen lainnya yang berperan penting adalah glukosinolat,
cianogenik glikosida, dan asam amino non-protein. Bentuk lebih lanjut dari
metabolit-nitrogen adalah betalain, pigmen tanaman. Asam amino lisin, ornitin,
fenilalanin, tirosin, triptofan, dan histidin merupakan sumber N dari mayoritas
alkaloid pada tanaman (Edwards dan Gatehouse 1999).
Alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang
bersifat asam lemah (HCl 1M atau asam asetat 10%), kemudian diendapkan
dengan amoniak pekat. Pemurnian selanjutnya dilaksanakan dengan ekstraksi
pelarut (ekstraksi cair-cair). Adanya alkaloid pada ekstrak nisbi kasar dapat diuji
dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid (Harborne 1987). Klasifikasi
alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya dapat dilihat Tabel 5. Struktur senyawa
alkaloid dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

Tabel 5 Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya pada tanaman


Metabolit Metabolit
Alkaloid: 11) Pirolizidin
1) Amaryllidaceae 12) Quinolin
2) Betalain 13) Quinolizidin
3) Diterpenoid (kadang beracun) 14) Steroidal
4) Indol 15) Tropana
5) Isoquinolin (kelompok terbesar
Asam amino non-protein
alkaloid)
6) Likopodium Amina
7) Monoterpen Cianogenik glikosida
8) Sesquiterpen Glukosinolat
Purin dan Pirimidin (termasuk kafein
9) Peptida
pada kopi dan teh)
10) Pirolidin dan piperidin
Sumber: Harborne (1999)
30

Gambar 8 Beberapa penggolongan alkaloid


(Sumber: Robinson 1995)

2.6.3 Metabolit fenol


Komponen fenol merupakan metabolit sekunder dengan molekul dasar
dari beragam jenis senyawa adalah struktur fenol yang merupakan kelompok
hidroksil pada sebuah cincin aromatik. Komponen fenol menunjukkan beragam
fungsi bagi tanaman termasuk pertahanan dari herbivor dan patogen, penyerapan
cahaya, penarik pollinator, penghambat pertumbuhan dari tanaman pesaing, dan
simbiosis dengan bakteri penyedia nitrogen (Wildman 2001).
Fenol turut andil dalam biosintetis dari fenilalanin, merupakan salah satu
dari tiga asam amino protein yang dibentuk dari sedoheptulosa melalui jalur
shikimate. Asam p-hidroksisinamik dibentuk dari fenilalanin melalui deaminasi
dan p-hidroksilasi, yang menempati peranan sentral dalam pembentukan beragam
kelas dari fenol tanaman (Harborne 1999).
Flavonoid merupakan kelompok polifenol yang paling dikenal, memiliki
rangka karbon yang sama dengan flavon atau 2-fenilbenzopiron dan terdiri dari
4000 struktur. Flavonoid dapat ditemukan di sebagian besar tanaman dan sama
dengan struktur fenilpropanoid dan asam hidroksibenzoat (Harborne 1999).
Flavonoid adalah turunan dari chalcones yang dibentuk dari shikimate dan
prekursor asetat (Edwards dan Gatehouse 1999).
Sebagian besar karakteristik dari fenolik adalah kemampuan untuk
mengionisasi. Beberapa polifenol memiliki kelompok catechol dan karena itu
memiliki kemampuan untuk mengkelat ion logam divalen atau trivalen. Beberapa
antosianin menjadi pengkelat terhadap magnesium atau besi. Fenol dengan
substitusi o- atau p-dihidroksi dapat teroksidasi sesuai dengan quinon dan
beberapa p-quinon (Harborne 1999). Klasifikasi bagian-bagian fenolik dapat
31

dilihat pada Tabel 6 dan struktur dari beberapa metabolit fenolik di tanaman dapat
dilihat pada Gambar 9.

Tabel 6 Klasifikasi bagian-bagian fenolik


Subkelas Deskripsi Subkelas Deskripsi
Umumnya ada
Pigmen merah hingga
Antosianin Lignan pada kayu dan
biru pada bunga
kulit kayu
Pigmen kuning pada Beberapa asam
Fenol dan asam
Antoklors bunga: chalcones dan yang umum pada
fenolik
aurones tanaman
Ada pada tumbuhan
Ada pada buah
Benzofuran tingkat tinggi dan Fenolik keton
hop dan pakis
lichen
Strukturnya
Kelompok kecil dari
Chromones Fenilpropanoid banyak, tersebar
zat pengobatan
luas
Lebih dari 700 Benzoquinon,
Kumarin struktur, tersebar luas Quinonoid naphthoquinon
pada tanaman dan anthraquinon
Minoritas Flavanon dan Termasuk
Stilbenoid
flavonoid dihidroflavonol dihidrofenantrin
Struktur banyak,
Flavon dan Kental dan dapat
terutama dalam Tanin
flavonol dihidrolisis
kombinasi glikosidik
Karakteristik dari Terutama pada
Isoflavonoid Leguminosae, dalam Xanton Gentianaceae
bentuk bebas dan Guttiferae
Sumber: Harborne (1999)

Gambar 9 Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana


(Sumber: Robinson 1995)
32

2.7 Proses Pengukusan


Pengukusan adalah proses pemanasan yang bertujuan menonaktifkan
enzim yang akan mengubah warna, cita rasa, maupun nilai gizi. Pengukusan
dilakukan dengan suhu air lebih tinggi dari 66 C, tetapi kurang dari 82 C.
Pengukusan dan perebusan adalah metode konvensional yang telah lama dikenal
untuk memasak (Romdhijati 2010). Pengukusan merupakan pemasakan bahan
makanan dengan uap dari air yang mendidih. Alat yang digunakan berupa
dandang, yaitu wadah perebusan yang terdiri dari dua bagian. Bagian bawah
digunakan untuk air pengukus, sedangkan bagian atas yang dilengkapi dengan
alas berlubang-lubang digunakan untuk tempat sayuran (Novary 1999).
Pengukusan akan mengurangi zat gizi, namun tidak sebesar pada proses
perebusan. Pemanasan pada proses pengukusan kadang tidak merata karena bahan
makanan di bagian tepi tumpukan biasanya mengalami pengukusan berlebihan,
sementara di bagian tengah mengalami pengukusan lebih sedikit. Pengukusan
juga sering dilakukan industri sebelum proses pengalengan, bertujuan untuk
menonaktifkan enzim, bukan untuk membunuh mikroba. Dalam kondisi enzim
tidak aktif, perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki
selama proses penimpanan dapat dicegah (Romdhijati 2010). Metode pengukusan
memberikan beberapa keuntungan, yaitu kandungan gizi tidak banyak berkurang;
rasa sayuran lebih enak, renyah, dan harum; serta kemungkinan sayuran hangus
hampir tidak ada (Novary 1999). Dandang pengukusan dapat dilihat pada Gambar
10 berikut.

Gambar 10 Dandang pengukusan dan bagian dalamnya


3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian mengenai Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif
Tanaman Genjer (Limnocharis flava) di Kelurahan Situ Gede, Bogor dilaksanakan
pada tanggal 17 April 2010 hingga 28 Agustus 2010. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Formulasi dan Diversifikasi Hasil Perairan; dan Laboratorium
Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan; Pusat Antar Universitas; Laboratorium Analisis dan
Keteknikan Pemanenan Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan; dan Laboratorium Mikroteknik, Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Tanaman genjer (Limnocharis flava) diperoleh dari wilayah Desa
Cilubang-Nagrak, Kelurahan Situ Gede, Bogor. Tanaman diambil dari dua sawah
yang berbeda di wilayah tersebut. Alat-alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian


Tahap
No Bahan Alat
penelitian
1) Tahap Akar, batang, daun tanaman Penggaris, jangka sorong,
pengukuran genjer planimeter, kurvimeter
2) Tahap Akar, batang, daun tanaman Botol film dan botol kaca
pembuatan genjer larutan FAA, etanol kecil, holder, kotak blok,
preparat dan absolut, TBA, minyak pinset, kuas, oven,
pengamatan parafin, parafin, xilol, larutan mikrotom Yamato RV-
jaringan Gifford, etanol 95%; 70%; 240, hot plate, gelas
50%; 30%, akuades, safranin obyek, rak pewarna,
2%, dan fast green 0,5%, mikroskop cahaya
aniline blue, entellan Olympus tipe CH20 dan
kamera mikroskop
Olympus DP12
34

Tabel 7 Lanjutan
3) Tahap analisis Ekstrak daun dan batang Tabung reaksi, beaker
fitokimia genjer, kloroform, amoniak, glass, kompor listrik, pipet
asam sulfat 2N, anhidrida tetes, pipet 1-10 ml, dan
asetat, HCl 2N, asam sulfat mortar
pekat, serbuk magnesium,
amil alkohol, alkohol, etanol
70%, FeCl3 5%, air panas,
pereaksi molisch, pereaksi
Dragendorf, Wagner, dan
pereaksi Meyer, pereaksi
Liebermen Burchad, pereaksi
biuret, serta ninhidrin 0,1%
4) Tahap analisis Sampel, akuades, K2SO4, Dandang, oven, cawan
proksimat dan selenium, H2SO4 pekat dan porselen, gegep, desikator,
total karoten 1,25%, H2O2, asam borat 4%, timbangan, tanur
NaOH, Na2S2O3, HCl 0,2 M, pengabuan, kertas saring,
n-heksan, alkohol, KOH 5% kapas, selongsong lemak,
dalam metanol, aseton, gas labu lemak, soxhlet,
N2, Na2SO4 erlenmeyer, gelas piala,
labu kjeldahl, alat destilasi,
biuret, gelas ukur, pipet
volumetrik, corong
Buchner, spektrofotometer

3.3 Prosedur Penelitian


Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu tahap pengukuran
anatomi luar tanaman, tahap pembuatan preparat dan pengamatan jaringan,
analisis fitokimia, serta analisis proksimat dan total karoten dari tanaman segar
dan setelah proses pengukusan. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat
pada Gambar 11.
Proses pengukusan untuk analisis proksimat tanaman genjer kukus
dilakukan pada suhu yang berkisar 65-86 C selama 10 menit. Lama waktu
pengukusan ditetapkan berdasarkan parameter pemasakan sayuran segar dan
sayuran beku (Loh 2004, diacu dalam Bernhardt dan Schlich 2005). Batang dan
daun genjer segar terlebih dahulu dibersihkan, dicuci dan dipisahkan dari akarnya,
kemudian dipotong menjadi bagian daun dan batang. Pengukusan daun dan batang
dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan dandang.
35

Tanaman
genjer

Pengukuran Analisis Analisis Analisis


anatomi luar fitokimia proksimat jaringan
(32 sampel): (3 ulangan): (4 ulangan) dan (2 ulangan):
1) Luas dan 1) Daun total karoten 1) Penampang
keliling 2) Batang (2 ulangan) daun
daun 2) Penampang
2) Panjang dan Sampel segar: batang (atas,
ketebalan 1) Daun tengah,
batang 2) Batang bawah)
3) Panjang akar 3) Penampang
Sampel kukus: akar
1) Daun
2) Batang

Karakteristik tanaman genjer:


1) Ukuran batang, daun, dan akar
2) Jaringan batang, daun, dan akar
3) Komponen bioaktif dalam daun dan batang
4) Kandungan gizi tanaman segar dan setelah pengukusan

Gambar 11 Diagram alir prosedur penelitian

3.3.1 Pengukuran dimensi tanaman genjer


Proses pengukuran tanaman genjer dilakukan terhadap daun, batang, dan
akar tanaman. Tanaman genjer yang diukur berjumlah 32 sampel dan diambil dari
wilayah Cilubang Nagrak, Kelurahan Situ Gede, Bogor.
Pengukuran daun meliputi luas permukaan dengan alat planimeter dan
keliling daun dengan alat kurvimeter. Daun terlebih dahulu digambar pada kertas
dengan perbandingan skala 1:1. Kemudian daun diukur luas dan kelilingnya
berdasarkan garis cetakan daun. Pengukuran batang tanaman dilakukan terhadap
panjang batang dan ketebalan batang. Panjang batang diukur dari ujung batang
dekat daun hingga pangkal batang dekat akar dengan menggunakan penggaris.
36

Ketebalan batang diukur dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran akar


tanaman dilakukan terhadap panjang akar menggunakan penggaris.
3.3.2 Pembuatan preparat dengan metode parafin dan pengamatan jaringan
Pengamatan jaringan tanaman diawali dengan pembuatan preparat
tanaman genjer (Limnocharis flava) kemudian pengambilan gambar objek pada
mikroskop. Pembuatan preparat dilakukan dengan metode parafin. Tahapannya
terdiri atas fiksasi, pencucian, dehidrasi dan penjernihan, infiltrasi, penanaman
dalam blok, penyayatan, perekatan, dan pewarnaan. Bagian tanaman genjer yang
diambil adalah daun, batang atas, batang tengah, batang bawah, dan akar.
Fiksasi dilakukan selama > 24 jam (5 hari) dalam larutan FAA, setelah itu
larutan fiksasi dibuang dan sampel dicuci dengan etanol 50% sebanyak 4 kali
dengan waktu penggantian masing-masing selama 30 menit. Kemudian dilakukan
dehidrasi dan penjernihan secara bertahap melalui perendaman dalam larutan seri
Johansen I-VII pada suhu ruang dengan perincian:
1) Johansen I selama 2 jam
2) Johansen II selama 24 jam
3) Johansen III selama 2 jam
4) Johansen IV selama 2 jam
5) Johansen V selama 2 jam
6) Johansen VI (TBA murni) selama 24 jam
7) Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam
8) Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam
9) Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam
10) Johansen VII selama 4 jam
Proses infiltrasi dimulai dari perendaman sampel dalam Johansen VII
(TBA : minyak parafin 1:1) dan 1/3 parafin beku dan disimpan pada suhu kamar
selama 4 jam yang dilanjutkan pengovenan pada suhu 58 C selama 18 jam.
Kemudian pergantian parafin dilakukan setiap 5 jam sekali sebanyak 4 kali
pergantian. Proses penanaman dilakukan dengan cara sampel dari tahap infilrasi
dimasukkan ke dalam blok kotak yang berisi parafin cair dan disimpan pada suhu
ruang hingga benar-benar membeku. Proses penyayatan dilakukan dengan
menggunakan mikrotom putar setebal 10 m. Blok parafin terlebih dahulu
37

dipotong dan dirapihkan kemudian ditempelkan pada holder lalu disayat. Hasil
sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan
ditetesi air. Gelas berisi pita parafin kemudian dipanaskan pada hot plate dengan
suhu 45 C selama 3-5 jam.
Proses pewarnaan dilakukan dengan safranin 2% dalam air dan fast green
0,5% dalam etanol 95% serta safranin 2% dan aniline blue dalam alkohol 88%.
Pewarnaan diawali dengan perendaman gelas obyek ke dalam larutan xilol 1 dan 2
masing-masing selama 15 menit, dilanjutkan perendaman dalam etanol absolut
(100%), 95%, 70%, 50%, dan 30% masing-masing selama 3 menit. Setelah itu,
obyek dibilas dengan akuades dan dimasukkan ke dalam safranin 2% selama 2
hari. Selanjutnya, gelas obyek dibilas ke dalam akuades dan dimasukkan ke dalam
etanol 30%, 50%, 70%, 95%, dan absolut masing-masing selama 3 menit.
Kemudian obyek dimasukkan ke dalam pewarna fast green 0,5% selama 10 menit
lalu etanol absolut 1 dan 2 selama 3 menit. Gelas obyek kemudian direndam
dalam xilol 1 dan xilol 2 selama 10 menit. Pewarnaan dengan aniline blue
dilakukan sebagai pengganti fast green. Gelas obyek dimasukkan ke dalam aniline
blue + alkohol 88% selama 10 menit, setelah etanol 70%. Kemudian obyek
dimasukkan ke dalam etanol 95% + HCl 2 tetes selama beberapa detik dan
dilanjutkan ke dalam etanol 95% selama 3 menit, seterusnya.
Proses selanjutnya adalah penutupan dengan pemberian entellan atau
canada balsam pada gelas obyek dan ditutupi dengan gelas penutup. Proses
pengambilan gambar dilakukan dengan mikroskop cahaya Olympus CH20 dan
kamera digital merek Olympus DP12. Diagram alir pembuatan preparat dapat
dilihat pada Gambar 12.
3.3.3 Analisis fitokimia tanaman genjer (Harbone 1987)
Analisis fitokimia tanaman genjer diawali dengan pembuatan ekstrak
genjer meliputi ekstrak daun genjer dan ekstrak batang genjer dengan
menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol. Proses ekstraksi
meliputi penghancuran sampel, maserasi, penyaringan, dan evaporasi. Diagram
alir pembuatan ekstrak daun dan batang genjer dapat dilihat pada Gambar 13.
38

Tanaman genjer

Pemotongan bagian tanaman

Fiksasi dengan FAA

Pencucian dengan etanol 50%

Dehidrasi dan penjernihan dengan larutan seri Johansen

Infiltrasi dengan parafin

Penanaman dalam parafin

Penyayatan blok parafin

Perekatan pada gelas objek

Pewarnaan dengan safranin 2% + fast green 0,5%


dan safranin 2% + aniline blue

Pengamatan dengan mikroskop

Gambar 12 Diagram alir pembuatan preparat dengan metode parafin


39

Sampel

Pencucian dan pencacahan

Penimbangan

Pemasukan dalam erlenmeyer

Maserasi

Maserasi dalam n-heksana (24 jam) + goyangan

Ampas
Filtrat n-heksana

Maserasi dalam etil asetat (24 jam) + goyangan

Ampas
Filtrat etil asetat

Maserasi dalam metanol (24 jam) + goyangan

Ampas
Filtrat metanol

Pengevaporasian dengan vacum


evaporator (30-40 C)

Ekstrak kasar n-heksana,


etil asetat, metanol

Gambar 13 Diagram alir pembuatan ekstrak daun dan batang genjer


(Sumber: Quinn 1988, diacu dalam Hardiningtyas 2007)
40

1) Alkaloid
Pengukuran kandungan alkaloid dilakukan dengan melarutkan ekstrak
sampel dalam beberapa tetes asam sulfat 2N kemudian diuji dengan tiga pereaksi
alkaloid, yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Sampel positif mengandung
alkaloid bila terbentuk endapan berwarna merah sampai jingga pada pereaksi
Dragendorff, endapan putih kekuningan pada pereaksi Meyer, dan endapan coklat
pada pereaksi Wagner.
2) Steroid/triterpenoid
Sejumlah ekstrak sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung
reaksi yang kering, lalu ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan
3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama
kali, kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.
3) Flavonoid
Sejumlah ekstrak sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan
0,4 ml amil alkohol (campuran HCL 37% dan etanol 95% dengan volume yang
sama) dan ditambahkan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya
warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya
flavonoid.
4) Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan
adanya saponin.
5) Fenol hidrokuinon
Sebanyak 1 gr sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang
dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl 3
5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa
fenol dalam bahan.
6) Uji molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml
H2SO4 pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu di antara dua
lapisan cairan.
41

7) Uji benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi
benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya warna
hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi.
8) Uji biuret
Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu
menunjukkan hasil positif adanya senyawa peptida.
9) Uji ninhidrin
Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambahkan beberapa tetes larutan
ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit.
Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan reaksi yang positif terhadap
adanya asam amino.
3.3.4 Analisis proksimat dan total karoten
Analisis proksimat dilakukan terhadap tanaman genjer segar dan tanaman
genjer setelah proses pengukusan dengan pembedaan bagian daun dan batang,
ulangan sebanyak 4 kali. Analisis proksimat terdiri atas kadar air, kadar abu, kadar
protein kasar, kadar lemak kasar, dan serat kasar.
1) Kadar air (AOAC 2007)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 C selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (15 menit) dan dibiarkan sampai
dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya
konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian
dikeringkan dengan oven pada suhu 105 C selama 5 jam. Setelah selesai proses,
cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan
selanjutnya ditimbang kembali. Perhitungan kadar air sampel adalah:

% Kadar air = x 100%


42

2) Kadar abu (AOAC 2007)


Preparasi sampel tanaman untuk zat mineral adalah dengan
menghilangkan seluruh bahan asing dari sampel, terutama tanah yang melekat
atau pasir, namun untuk mencegah terjadinya pelepasan, maka tidak mencuci
sampel secara berlebihan. Sampel segera dikeringkan untuk mencegah
dekomposisi atau kehilangan berat. Sampel sebanyak 2 gram ditimbang dalam
porselen dan tempatkan dalam suhu terkontrol dari tanur yang dipanaskan hingga
600 C. Pengabuan berlangsung selama 2 jam. Porselen segera dipindahkan ke
dalam desikator untuk didinginkan dan penimbangan berat akhir sampel.

% (w/w) abu = x 100%

3) Kadar protein kasar (AOAC 2007)


Tahap dalam analisis kadar protein terdiri atas destruksi, destilasi, dan
titrasi. Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sampel
sebanyak 0,7-2,2 gram dimasukkan ke dalam labu destruksi kemudian
ditambahkan 0,7 gram HgO atau 0,65 metallic Hg, 15 gram serbuk K2SO4 atau
Na2SO4 serta 25 mL H2SO4. Labu kemudian ditempatkan dalam posisi miring dan
dipanaskan secara perlahan hingga buih menghilang. Larutan sampel dididihkan
hingga larutan jernih pada suhu 410 C selama 2 jam.
Sampel didinginkan dan ditambahkan 200 mL H2O, 25 mL larutan sulfida
atau tiosulfat serta dicampurkan dengan percepatan Hg. Selanjutnya, sampel
ditambahkan sedikit bubuk Zn dan ditambahkan 15 gram NaOH. Kemudian, labu
dihubungkan ke pipa destilasi pada kondensor. Hasil destilasi ditampung dalam
erlenmeyer 125 yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung
indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbandingan
2:1. Erlenmeyer digoyangkan perlahan untuk mencampurkan hasil destilasi dan
labu dipanaskan hingga seluruh NH3 terdestilasi ( 150 mL hasil destilasi). Hasil
destilasi kemudian dititrasi dengan larutan standar NaOH atau standar HCl 0,2 N
hingga terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya.Volume titran
dibaca dan dicatat. Kadar protein saat HCl standar digunakan adalah:
43

%N=

Kadar protein saat H2SO4 standar digunakan adalah:

% N=

4) Kadar lemak kasar (AOAC 2007)


Sampel sebanyak 1-5 gram (S) yang mengandung 100-200 mg lemak
dimasukkan ke dalam selongsong selulosa. Banyaknya sampel berdasarkan
kandungan lemaknya:
Lemak kasar (%) Berat sampel (g)
<2 5
5 2-4
10 1-2
>20 1
Selongsong yang berisi sampel dikeringkan pada suhu 1022 C selama 2
jam. Pelarut dan sampel harus bebas dari air untuk mencegah ekstraksi komponen
yang larut air. Kapas bebas lemak dapat ditambahkan sebagai penutup selongsong
sebelum pengeringan. Ekstraktor dipanaskan dan kondensor pendingin
dinyalakan. Tabung ekstraksi kosong ditimbang sebagai T. Selongsong
dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi dan sejumlah pelarut heksan ditambahkan
ke dalam tabung ekstraksi hingga menutupi sampel. Tabung ekstraksi ditempatkan
di bawah kolom ekstraksi. Selongsong dibenamkan ke dalam pelarut dan
dididihkan selama 20 menit. Selongsong diangkat dari pelarut lalu diekstraksi
kembali selama 40 menit. Selanjutnya, pelarut dalam tabung didestilasi hingga
menjadi murni dan mencapai kondisi kering. Tabung ekstraksi dipindahkan dari
ekstraktor dan ditempatkan dalam proses penguapan untuk menyelesaikan
evaporasi pelarut pada suhu rendah.
Tabung ekstaksi kemudian dikeringkan dalam 1022 C selama 30 menit
untuk menghilangkan kelembaban. Selanjutnya, tabung ekstraksi didinginkan
pada suhu ruang dalam desikator dan ditimbang sebagai F.
44

% Lemak kasar (ekstrak heksan) = x 100%

5) Kadar serat kasar (AOAC 2007)


Ekstrak sampel sebanyak 2 gram (W1) dengan eter ataupun petroleum eter
dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml dan ditambahkan 0,25-05 gram bumping
granule, kemudian ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25% yang hampir mendidih.
Larutan dididihkan selama 30 menit dan digoyangkan secara berkala. Kemudian
larutan disaring dengan kertas saring dan bantuan corong Buchner lalu
divakumkan pada tekanan 25 mm Hg. Residu dibilas dengan air yang hampir
mendidih sebanyak 40-50 ml sebanyak 4 kali, kemudian disaring.
Residu dari kertas saring + corong Buchner dibilas dengan NaOH 1,25%
yang hampir mendidih ke dalam gelas piala dan direfluks selama 30 menit.
Kemudian larutan disaring dan divakum kembali. Residu dibilas kembali dengan
air yang hampir mendidih. Residu kembali dibilas dengan 25-30 ml H2SO4 1,25%
(hampir mendidih) sebanyak 1 kali dan dibilas dengan 20-30 ml air (hampir
mendidih) sebanyak 2 kali lalu. Residu beserta kertas saring dikeringkan pada
suhu 1302 C selama 2 jam atau semalam pada 110 C dan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang (W2). Residu + kertas saring diabukan pada suhu
55010 C selama 2 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W3).

Serat kasar % = x 100%

W2 : Bobot residu sebelum diabukan tanpa kertas saring dan cawan


W3 : Bobot residu setelah diabukan tanpa cawan
6) Analisis total karoten (Parker 1996)
Sampel sebanyak 10 gram ditimbang lalu ditambahkan 30 ml heksan dan
diaduk selama 15 menit. Ekstraksi karotenoid dilakukan dengan cara membilas
sampel menggunakan campuran heksan aseton (1:1) sebanyak 15 ml dengan dua
kali pengulangan. Larutan pengektrak tersebut dikumpulkan dan ditambahkan 10
ml akuades kemudian diaduk, lapisan atas (lapisan heksan) dipisahkan. Larutan
heksan dikeringkan dengan gas N2 dalam tabung reaksi tertutup sehingga
45

diperoleh lemak. Ekstraksi karotenoid dilakukan sebelum maupun sesudah


penyabunan.
Penyabunan dilakukan dengan menambahkan 5 ml KOH 5% dalam
metanol sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi yang berisi lemak kemudian
dipanaskan selama 30 menit pada suhu 60 C. Larutan kemudian didinginkan dan
ditambahkan akuades sebanyak 5 ml lalu divorteks. Selanjutnya, larutan tersebut
ditambahkan 5 ml heksan dengan pengulangan sebanyak 3 kali dan larutan heksan
dikumpulkan. Larutan heksan dicuci dengan 5 ml air kemudian lapisan heksan
dipisahkan dengan menyaringnya melewati Na2SO4 anhidrat. Heksan kembali
dikeringkan dengan gas N2 dan residu dilarutkan kembali dalam heksan 10 ml.
Absorbansi diukur pada panjang gelombang 450 nm. Rumus perhitungan total
karoten adalah:

Total karoten (g/g) =

3.3.5 Pengolahan data dan pengujian hipotesis


Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
software Minitab 15 dan Microsoft Excel 2007. Pendugaan terhadap penurunan
nilai gizi dan vitamin A dari tanaman genjer setelah proses pengukusan diperiksa
dengan menggunakan suatu uji hipotesis dua populasi melalui uji t-student.
Pengujian hipotesis dua populasi dilakukan terhadap nilai tengah dua populasi
dari nilai gizi tanaman segar (1) dan nilai gizi tanaman setelah pengukusan (2).
Adapun hipotesis yang diajukan adalah:
H0 : Komposisi gizi tanaman genjer setelah pengukusan (2) mengalami
peningkatan persentase atau sama dengan komposisi gizi tanaman genjer
segar (1) (1 2).
H1 : Komposisi gizi tanaman genjer setelah pengukusan (2) mengalami
penurunan persentase dibandingkan komposisi gizi tanaman genjer segar
(1) atau (1 > 2).
Asumsi:
1) Populasi nilai gizi dari tanaman segar dan setelah pengukusan menyebar
normal.
46

2) Ragam kedua populasi 1 dan 2 adalah sama.


Nilai statistik uji t-student adalah (Walpole 1992):

t=

v = n1 + n2 2, 1 = 2 tetapi tidak diketahui

s2 p =

Keterangan:
n1 : Jumlah contoh dari tanaman genjer segar
n2 : Jumlah contoh dari tanaman genjer setelah pengukusan
x1 : Nilai rataan dari komposisi gizi tanaman genjer segar
x2 : Nilai rataan dari komposisi gizi tanaman setelah pengukusan
d0 : Selisih dari x1 dan x2
s1 : Simpangan baku dari komposisi gizi tanaman genjer segar
s2 : Simpangan baku dari komposisi gizi tanaman genjer setelah pengukusan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Anatomi dan Morfologi Tanaman Genjer (Limnocharis flava)


Tanaman genjer ini diperoleh dari Desa Cilubang-Nagrak, Kelurahan Situ
Gede, Bogor dan diambil di wilayah persawahan seluas 300 m2 dan 1300 m2.
Morfologi tanaman genjer (Limnocharis flava) dapat dilihat pada Gambar 14
berikut.

Daun

Batang

Akar

Gambar 114 Morfologi tanaman genjer (Limnocharis flava)

Tanaman genjer memiliki daun berwarna hijau muda hingga hijau tua
dengan bentuk oval dan bulat telur. Tepi daun berombak dan daunnya merupakan
daun tunggal, yakni satu batang hanya memiliki satu daun. Daun memiliki urat-
urat halus yang memotong urat halus utama longitudinal. Batang tanaman
berbentuk hampir segitiga dan berwarna hijau muda. Batang juga menopang buah
dan bunga. Akar tanaman berupa akar serabut dan memiliki rambut-rambut halus.
Tanaman ini memiliki bunga dengan kelopak berwarna kuning dan buah yang
berbentuk bulat. Setiap buah terdiri atas selaput berlapis yang berisi biji berwarna
coklat.
4.1.1 Deskripsi histologi daun
Daun tanaman genjer tersusun atas jaringan epidermis, jaringan dasar
(mesofil), jaringan pengangkut, jaringan penguat berupa kolenkim dan
sklerenkim. Permukaan atas dan bawah daun genjer dilapisi oleh jaringan
48

epidermis. Menurut Berg (2008) bahwa jaringan epidermis terdiri atas sel-sel
parenkima, sel-sel penjaga, dan trikoma. Epidermis daun genjer tidak memiliki
trikoma yaitu struktur padat seperti tonjolan, struktur kelenjar, dan duri.
Sel-sel penyusun epidermis memiliki bentuk yang tidak seragam dan tidak
beraturan, tersusun rapat membentuk lapisan padat dan tidak terdapat ruang antar
sel. Lapisan epidermis bagian atas dan bawah daun terdiri atas satu lapis sel
tunggal. Dinding sel penyusun epidermis memiliki panjang sisi dinding bagian
atas lebih besar daripada di bagian bawah. Sisi dinding bagian samping dari sel
penyusun epidermis memiliki permukaan bundar dan berukuran lebih kecil
dibandingkan sisi dinding atas dan bawah dari sel tersebut. Panjang dinding suatu
sel epidermis sebesar 10 m. Ketebalan lapisan epidermis sebesar 2,5 m.
Penampang melintang daun genjer dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Penampang melintang daun genjer (Limnocharis flava) (10 x 10) [A:
epidermis atas, B: parenkim palisade, C: parenkim spons, D: berkas
pembuluh, E: seludang pembuluh, F: epidermis bawah]

Jaringan epidermis daun genjer memiliki derivatnya berupa stomata daun.


Stoma merupakan lubang atau celah yang terdapat pada epidermis organ
tumbuhan yang berwarna hijau, dibatasi oleh sel khusus yang disebut sel penutup
(Nugroho et al. 2006). Stomata pada daun genjer terdapat pada kedua sisi atas dan
bawah daun, dikategorikan sebagai daun amphistomatous. Jenis stomata yang
terdapat pada epidermis daun tanaman genjer berdasarkan penampakan stomata
dewasa adalah jenis parasitik, yaitu stoma yang didampingi oleh satu atau lebih
sel tetangga yang sejajar terhadap sumbu panjang dari celah dan sel penjaga
49

(Dickison 2000). Pengamatan stomata di bagian epidermis atas dan bawah daun
genjer dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Pengamatan stomata daun genjer


Kerapatan Ukuran stomata (m)
Indeks
Bagian daun Ulangan stomata
Panjang Lebar stomata
(per mm2)
1 91,5112,33 32,370,81 16,620,40 10,131,33
Epidermis
2 99,936,86 30,251,29 16,180,60 10,360,50
atas
3 68,6310,07 30,811,35 16,810,26 8,411,21
1 90,3011,26 32,930,52 17,370,95 10,411,08
Epidermis
2 107,169,89 30,871,81 17,500,38 11,420,84
bawah
3 69,8323,16 33,120,98 19,680,58 9,042,48

Kerapatan stomata merupakan jumlah stomata per mm2 area daun


(Mulyani 2006). Kerapatan stomata daun genjer pada bagian epidermis atas dan
bawah tidak jauh berbeda, yakni berkisar 90-107/mm2. Kerapatan stomata yang
kecil (ulangan 3) menunjukkan bahwa jumlah stomata yang sedikit per mm 2,
mengingat pengamatan kerapatan stomata dilakukan pada bidang pandang yang
dekat dengan gurat pembuluh daun. Mulyani (2006) menyatakan bahwa
kekerapan stomata menurun dengan menurunnya intensitas sinar. Intensitas sinar
matahari yang diterima oleh daun genjer diduga hampir sama di semua bagian
daun dan tegaknya daun hampir menyamai posisi vertikal, sehingga kerapatan
stomata daun bagian atas dan bawah tidak berbeda jauh.
Ukuran stomata daun genjer meliputi panjang dan lebar stomata. Panjang
stomata diperoleh dari pengukuran panjang celah ataupun sel penjaga stomata
yang berkisar 30-33 m. Lebar stomata merupakan gabungan lebar kedua sel
penjaga yang berkisar 16-19 m. Sel penjaga stomata daun genjer berbentuk
seperti ginjal dan melengkung ke dalam. Sel penjaga atau sel penutup berperan
mengatur pertukaran gas dari daun (Scott 2008). Indeks stomata menunjukkan
persentase jumlah stomata terhadap seluruh sel epidermis. Indeks stomata daun
genjer berkisar 8-11. Bentuk dan penyebaran stomata daun genjer dapat dilihat
pada Gambar 16 dan 17.
50

1 2

Gambar 16 Stomata daun epidermis atas (1: 40x10, 2: 10x10) [A, D: sel tetangga,
B: sel penjaga, C: celah stomata, E: inti sel tetangga]

1 2

Gambar 17 Stomata daun epidermis bawah (1: 40x10, 2: 10x10) [A, D: sel
tetangga, B: sel penjaga, C: celah stomata, E: inti sel tetangga]

Jaringan epidermis daun genjer dilapisi oleh suatu lapisan senyawa yang
dinamakan kutikula. Lapisan kutikula dibentuk dengan menempatkan kutin di
antara mikroserabut selulosa lapisan dinding paling luar, tempat terdapatnya
pektin dan hemiselulosa (Mulyani 2006). Daun genjer berkutikula tipis. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa epidermis tumbuhan air tidak berfungsi untuk
perlindungan, tetapi untuk pengeluaran zat makanan, senyawa air, dan pertukaran
gas. Kutikula dan dinding selnya sangat tipis (Mulyani 2006).
Mesofil daun genjer terdiri atas parenkim palisade dan parenkim spons.
Parenkim palisade terletak di bawah lapisan epidermis daun bagian atas. Parenkim
palisade pada penampang melintang jaringan daun genjer tampak tegak lurus dan
berbentuk seperti lobus yang bercabang, tersusun dalam deretan. Parenkim
palisade tersebut tersusun hanya selapis dan rapat satu sama lain. Parenkim
palisade ini terdapat di bagian atas penampang jaringan dan banyak mengandung
kloroplas. Kloroplas ditunjukkan oleh titik-titik yang tersebar di dalam parenkim
palisade. Menurut Nugroho et al. (2006), sel palisade tegak pada permukaan daun,
51

rapat satu sama lain, dan banyak mengandung kloroplas, berfungsi untuk
menangkap cahaya. Ketebalan parenkim palisade mencapai 25 m. Parenkim
palisade daun genjer membentuk ruang antar sel di antara lobus-lobus sel, yakni
tampak celah-celah di antara sel-sel parenkim palisade pada penampang melintang
daun, sehingga udara dapat menjangkau parenkim palisade.
Parenkim spons tanaman genjer terletak di bawah parenkim palisade dan
di atas epidermis bawah. Parenkim spons, pada penampang melintang daun
genjer, berbentuk seperti lobus yang berongga. Parenkim spons juga mengandung
kloroplas namun tidak sebanyak kloroplas pada parenkim palisade. Berdasarkan
teori bahwa, jaringan bunga karang (spons) tersusun oleh sel-sel yang tak teratur,
berdinding tipis, lepas, dan mengandung kloroplas dalam jumlah sedikit (Nugroho
et al. 2006). Rongga-rongga yang terbentuk dari lobus-lobus palisade dan spons
diduga merupakan rongga udara pada daun genjer. Rongga udara ini
menyebabkan daun genjer bersifat ringan dan mengapung jika diletakkan di atas
air. Menurut Fahn (1991), ruangan udara ini adalah lakuna yang biasanya
dipisahkan oleh partisi tipis satu atau dua lapisan sel yang mengandung kloroplas.
Lakuna berisi diafragma yang merupakan lapisan tunggal sel-sel dengan
interselular yang kecil dan tampak sebagai pori, berfungsi membiarkan laluan gas
dan bukannya air.
Berkas pembuluh pada penampang melintang daun genjer tampak
membentuk sistem yang berkaitan dan terkumpul di tengah penampang melintang
daun. Berkas pembuluh ini merupakan tulang daun genjer. Berkas pembuluh ini
terdiri atas xilem dan floem. Sel xilem pada berkas pembuluh daun genjer tampak
berukuran besar dan berbentuk tak beraturan. Xilem terletak dekat parenkim spons
dan parenkim palisade. Sel floem tampak berukuran kecil, tak beraturan, dan
tersebar di bawah pembuluh xilem. Berkas pembuluh dikelilingi oleh lapisan
seludang pembuluh yang terdiri atas sel-sel parenkim, disamping itu terdapat pula
perluasan seludang pembuluh. Perluasan seludang pembuluh terdapat di bawah
pembuluh floem. Menurut Dickison (2000) bahwa susunan xilem pada posisi
adaksial (dekat dengan ruas atas daun) sedangkan floem pada posisi abaksial
(dekat dengan ruas bawah daun).
52

4.1.2 Deskripsi histologi batang


Batang tanaman berperan dalam mendukung daun dan struktur reproduksi
tanaman, menyediakan pengangkut bagian dalam, dan menghasilkan jaringan baru
(Berg 2008). Deskripsi histologi batang tanaman genjer dibagi ke dalam tiga
bagian yaitu batang dekat daun, batang tengah, dan batang dekat akar. Batang
genjer berbentuk seperti segitiga dan terdapat banyak rongga udara yang
berbentuk segi enam. Dalam keadaan segar, irisan melintang batang genjer dapat
dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Irisan melintang batang genjer segar

Batang tanaman genjer berwarna hijau muda, diduga batang tanaman ini
memiliki stomata pada lapisan epidermisnya. Jaringan yang terdapat pada batang
genjer diduga adalah jaringan epidermis dan derivatnya, korteksnya, dan stele.
Lapisan terluar batang tanaman genjer adalah lapisan epidermis. Lapisan
epidermis batang dapat dilihat pada Gambar 19 Z.
Jaringan epidermis batang genjer terdiri atas satu lapis sel dan tersusun
rapat. Pada penampang melintang batang genjer, bentuk sel epidermis tidak
beraturan, umumnya hampir menyamai bentuk persegi panjang. Dinding sel
epidermis bagian atas berukuran lebih panjang daripada dinding sel bagian bawah.
Dinding sel sisi samping tampak tegak dan berukuran lebih kecil dibandingkan
dinding sel bagian atas. Dinding luar sel epidermis tampak tidak mengalami
penebalan dari zat kutin, diduga kutikula yang terdapat pada batang sangat tipis
sehingga penebalan yang terjadi tidak terlihat. Nugroho et al. (2006) menyatakan
bahwa susunan epidermis menyebabkan terjadinya pengurangan transpirasi dan
53

melindungi jaringan di sebelah dalamnya. Dalam hal ini, lapisan epidermis batang
genjer diduga tidak mendukung terjadinya pengurangan transpirasi, karena lapisan
kutikulanya sangat tipis dan memungkinkan transpirasi lebih banyak terjadi.
Derivat epidermis batang genjer adalah stomata.
Korteks batang tanaman genjer terdiri atas sel parenkim. Lapisan korteks
batang dapat dilihat pada Gambar 19 Z. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa sel-
sel parenkim pada korteks mengandung kloroplas yang ditandai dengan adanya
butiran hijau. Disamping itu, sel parenkim korteks juga diduga mengandung pati
yang ditandai oleh adanya butiran berwarna ungu pada sel parenkim tersebut. Di
antara sel-sel parenkim penyusun korteks terdapat ruang antar sel yang mencolok
besarnya, dan dikelilingi oleh sel-sel yang berukuran lebih kecil. Ruang antar sel
tersebut merupakan bagian dalam empelur.
Batang tumbuhan air berisi suatu sistem ruang antar sel yang meluas
sehingga melalui ruang tersebut terjadi difusi gas secara bebas (Fahn 1991). Sel-
sel parenkim pada korteks batang genjer juga berkembang menjadi sistem ruang
antar sel yang sangat luas. Ruang antar sel yang disebut lakuna tampak jelas
berbentuk seperti segi enam ataupun segi lima.
Lakuna ini mendominasi pada penampang melintang batang genjer.
Lakuna dipisahkan oleh diafragma yang tersusun atas satu lapisan sel-sel
parenkim. Sel-sel parenkim yang membentuk ruang antar sel disebut juga
aerenchym. Ruang antar sel ini berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
pertukaran udara (Fahn 1991). Ruang antar sel pada batang dekat daun berukuran
lebih kecil dibandingkan ruang antar sel pada batang tengah, sedangkan batang
dekat akar memiliki ruang antar sel lebih banyak dan berukuran lebih kecil
daripada batang dekat daun dan batang tengah. Jaringan batang dekat akar lebih
kompleks dibandingkan bagian batang lainnya, hal ini diduga karena batang dekat
akar merupakan bagian batang paling tua. Disamping itu, batang dekat akar
menjadi bagian tanaman yang pertama kali menerima serapan unsur hara dan
absorbsi gas dari akar untuk ditransportasikan hingga ke daun. Ruang-ruang antar
sel pada batang genjer dapat dilihat pada Gambar 19 berikut.
54

W X

Y Z

Gambar 19 Berkas pembuluh pada batang genjer beserta epidermis dan korteks
batang W: batang dekat daun (4 x 10), X: batang tengah (4 x 10), Y:
batang dekat akar (4 x 10), Z: lapisan epidermis dan korteks batang
genjer (10 x 10) [A: sel epidermis, B: korteks, C: lakuna, D:
diafragma, E: endodermis, F: floem, G: xilem].

Berkas pembuluh pada batang dekat daun dan batang tengah tersusun
tegak lurus terhadap penampang batang genjer yang berbentuk segitiga. Berkas
pembuluh pada batang dekat akar juga tersusun tegak lurus, namun terdapat pula
berkas pembuluh yang tersebar pada lengkungan batang tersebut sebagai
perpanjangan dari kedua sisi dari segitiga batang. Berkas pembuluh batang genjer
dikelilingi oleh sejumlah sel yang merupakan bagian endodermis. Berkas
pembuluh batang terbagi atas floem dan xilem. Floem terdiri atas sel-sel yang
berukuran kecil dan mengelilingi pembuluh xilem. Pembuluh xilem terdapat di
sebelah dalam dari pembuluh floem, yang terdiri atas protoxilem dan metaxilem.
Protoxilem tampak berukuran lebih kecil dibandingkan metaxilem dan tersusun
mengelilingi metaxilem. Metaxilem terletak di tengah berkas pembuluh dan
berukuran sangat besar dibandingkan pembuluh lainnya.
55

Sistem jaringan pembuluh pada batang tanaman genjer adalah tipe berkas
konsentris amfikribral, yaitu floem mengelilingi xilem (amfikribral). Menurut
Hidayat (1995), tipe sistem jaringan pembuluh ini sering ditemukan pada paku
dan sebagai ikatan pembuluh kecil pada bunga, biji, buah Angiospermae. Berkas
pembuluh batang genjer dapat dilihat pada Gambar 19 W, X, dan Y.
4.1.3 Deskripsi histologi akar
Anatomi akar tanaman genjer terdiri atas jaringan epidermis akar
(rhizodermis), korteks, endodermis dan stele. Akar tanaman genjer merupakan
akar serabut dan berkembang dari batang tanaman. Akar tanaman ini memiliki
rambut akar yang berfungsi menyerap air dan garam mineral. Menurut Mulyani
(2006) bahwa tumbuhan air tidak memiliki rambut akar. Tanaman ini menancap
pada substat lumpur di rawa-rawa maupun sawah yang berair, sehingga epidermis
akar membentuk tonjolan berupa rambut akar untuk mendukung fungsi akar.
Morfologi akar tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 120 Morfologi akar tanaman genjer (Limnocharis flava)

Lapisan epidermis akar merupakan lapisan terluar dari anatomi akar


genjer, yang disebut dengan rhizodermis. Lapisan rhizodermis tersebut terdiri atas
sel-sel parenkim yang berbentuk tidak beraturan. Sel-sel epidermis akar
berdinding tipis dan biasanya tidak mengandung kutikula (Nugroho et al. 2006).
Penampang melintang akar tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 21.
56

Gambar 21 Penampang melintang akar tanaman genjer (4 x 10) beserta berkas


pembuluhnya (10 x 10) [A: rhizodermis, B: ruang antar sel, C:
korteks, D: endodermis, E: floem, F: metaxilem yang dikelilingi
protoxilem]

Korteks, umumnya tersusun atas sel-sel parenkim yang kadang-kadang


mengandung karbohidrat dan kadang mengandung kristal. Pada korteks akar
sering terdapat ruang antar sel yang terbentuk secara skizogen. Korteks akar
Palmae sering terdapat saluran udara yang besar (Nugroho et al. 2006; Mulyani
2006). Bagian korteks akar tanaman genjer yang ditunjukkan oleh penampang
melintang akar terlihat lebar dan memiliki ruang antar sel. Sel-sel parenkim
penyusun korteks berbentuk tidak beraturan dan tidak memiliki kloroplas. Ruang
antar sel pada korteks tersebut diduga sebagai saluran udara pada akar.
Korteks akar tanaman genjer juga membentuk lapisan endodermis.
Endodermis tersebut tersusun oleh satu lapisan sel yang berbeda bentuknya.
Endodermis tersusun rapat dan menjadi pembatas antara lapisan korteks dan stele
akar. Menurut Nugroho et al. (2006), endodermis, tersusun oleh satu lapis sel
yang berbeda secara fisiologi, struktur, dan fungsi dengan lapisan sel di
sekitarnya. Endodermis terbagi menjadi endodermis primer, sekunder, dan
endodermis tersier. Lapisan endodermis akar genjer diduga terbagi menjadi
lapisan primer, sekunder, dan tersier sehingga terdapat beberapa lapisan yang
mengelilingi berkas pembuluh (stele).
Bagian stele akar tanaman genjer terdiri atas berkas pengangkut. Jaringan
pengangkut akar genjer yang tampak pada penampang melintang akarnya adalah
xilem dan floem. Berkas pengangkut xilem terdiri atas metaxilem yang berbentuk
57

bulat berukuran besar dan protoxilem yang berbentuk bulat berukuran sedang dan
mengelilingi metaxilem. Susunan xilem akar, dimana protoxilem terletak di
sebelah luar dari metaxilem disebut eksark (Mulyani 2006). Jumlah kelompok
protoxilem akar tanaman genjer termasuk poliarch, yaitu protoxilem berjumlah
banyak. Berkas pengangkut floem terdapat di sekitar protoxilem bagian luar.
Bentuk berkas floem tidak beraturan berukuran lebih kecil dibandingkan berkas
xilem.

4.2 Dimensi Tanaman Genjer (Limnocharis flava)


Sampel tanaman genjer yang diambil untuk pengukuran tanaman adalah
32 sampel yang diharapkan dapat mewakili seluruh sampel yang digunakan dalam
penelitian ini. Besaran yang digunakan dalam pengukuran tanaman genjer pada
penelitian ini adalah luas dan keliling daun, panjang dan tebal batang, serta
panjang akar. Secara umum, hasil pengukuran tanaman genjer dapat dilihat pada
Tabel 9.

Tabel 9 Hasil pengukuran tanaman genjer (Limnocharis flava)


Besaran Ukuran Ukuran
Satuan Selang ukuran
pengukuran minimal maksimal
Luas daun cm2 65,7513,88 38,20 94,13
Keliling daun cm 29,003,14 22,00 35,00
Panjang batang cm 21,652,76 15,90 30,00
Tebal batang cm 0,660,11 0,43 0,97
Panjang akar cm 10,253,69 6,00 22,40

Hasil pengukuran daun genjer yang diteliti meliputi luas dan keliling daun
menunjukkan bahwa luas daun genjer berkisar pada 65,7513,88 cm2 dengan
keliling daun berkisar 29,003,14 cm. Panjang batang genjer yang digunakan
menunjukkan selang ukuran sebesar 21,652,76 cm. Ketebalan batang tanaman
genjer mencapai 0,660,11 cm. Panjang akar tanaman berkisar 10,253,69 cm.
Ukuran dari daun, batang, dan akar tanaman genjer dapat menggambarkan
karakteristik morfologi tanaman genjer yang digunakan dalam penelitian ini.
Ukuran tanaman genjer yang diteliti dapat dilihat secara spesifik dalam diagram
box plot untuk masing-masing besaran dengan ukuran pemusatan adalah kuartil 1
(Q1), median (Q2), kuartil 3 (Q3), batas atas (BA), batas bawah (BB). Sebaran
58

hasil pengukuran terhadap luas dan keliling daun tanaman genjer dapat dilihat
pada Gambar 22 berikut.

Luas Daun Tanaman Keliling Daun Tanaman


100 36

BA BA
90 34

32
80 Q3

Keliling Daun (cm)


Luas Daun (cm2)

Q3 30
70 Q2
Q2 28
60
26 Q1
Q1
50
24

40
BB BB
22

Gambar 22 Sebaran luas dan keliling daun tanaman genjer (luas daun (cm2) Q1:
54,55; Q2: 66,15; Q3: 74,30; BA: 94,13; BB: 38,20 dan keliling daun
(cm) Q1: 26,50; Q2: 29,00; Q3: 31,37; BA: 35,00; BB: 20,00)

Sebaran nilai luas daun genjer menunjukkan bahwa sebanyak 75% daun
genjer yang digunakan dalam penelitian ini memiliki luas daun sebesar 74,3 cm2
dan ukuran luas daun ini bervariasi dengan simpangan baku 13,88 cm2. Ukuran
luas daun terpusat pada nilai 54,55 cm2 hingga 74,3 cm2. Rata-rata luas daun
genjer yang digunakan adalah 65,75 cm2.
Hasil pengukuran keliling daun genjer memperlihatkan bahwa sebanyak
75% dari sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki keliling daun
sebesar 31,37 cm. Rata-rata ukuran keliling daun genjer adalah 29 cm dengan
simpangan baku 3,14 cm. Keragaman nilai keliling daun yang kecil
menggambarkan bahwa ukuran keliling daun berukuran seragam. Nilai dari
ukuran keliling daun genjer ini terpusat pada 26,5 cm hingga 31,37 cm.
Luas daun tanaman genjer (total leaf area) dapat berguna untuk
mengetahui cakupan berat unsur mineral dalam sel, mengetahui kapasitas
asimilasi karbon dari daun, mengetahui pertumbuhan tanaman, dan
menggambarkan rasio dari fotosintesis (Heddy 2001). Luas daun yang diamati ini
didukung oleh data-data mengenai keliling daun yang dapat dicapai oleh daun
genjer selama perkembangannya. Selain itu, karakteristik tanaman genjer dalam
penelitian ini juga dijelaskan melalui ukuran batang genjer meliputi panjang dan
59

tebal batang. Distribusi data panjang dan tebal batang genjer dapat dilihat pada
Gambar 23.

Panjang Batang Tanaman Tebal Batang Tanaman


1.0
30.0

0.9
27.5

BA
Panjang Batang (cm)

BA 0.8

Tebal Batang (cm)


25.0

Q3 Q3
22.5 0.7
Q2 Q2
20.0 0.6
Q1 Q1

17.5 0.5
BB BB
15.0 0.4

Gambar 23 Sebaran panjang dan tebal batang tanaman genjer (panjang batang
(cm) Q1: 19,52; Q2: 21,90; Q3: 23,20; BA: 24,70; BB: 15,90 dan
tebal batang (cm) Q1: 0,60; Q2: 0,67; Q3: 0,73; BA: 0,81; BB: 0,43)

Hasil pengukuran terhadap panjang batang genjer menunjukkan bahwa


sebesar 75% dari sampel yang diukur memiliki panjang batang 23,2 cm. Ukuran
panjang batang dari sampel genjer ini seragam dengan simpangan baku yang kecil
yakni 2,76 cm. Nilai panjang batang genjer terpusat pada 19,52-23,2 cm. Rataan
panjang batang genjer adalah 21,65 cm. Ukuran maksimum panjang batang dari
sampel genjer adalah 30 cm yang merupakan nilai pencilan panjang batang.
Hasil pengukuran tebal batang tanaman genjer menunjukkan bahwa 75%
dari sampel genjer yang diukur memiliki ketebalan batang 0,73 cm. Ukuran
ketebalan batang genjer bervariasi dengan simpangan baku 0,11 cm. Nilai
ketebalan batang genjer terpusat pada 0,60 cm hingga 0,73 cm, sedangkan rata-
rata tebal batang genjer adalah 0,66 cm. Ukuran maksimum dari tebal batang
genjer adalah 0,97 cm yang merupakan ukuran pencilan dari ketebalan batang
genjer.
Sebaran panjang dan tebal batang tanaman genjer dapat memberikan
informasi mengenai karakteristik batang genjer dan dikaitkan dengan jaringan
batang yang diamati. Bila tanaman genjer memiliki panjang batang maksimum
maka jaringan semakin kompleks dan jaringan pengangkut yang terbentuk akan
60

menyesuaikan dengan panjang batang tersebut. Semakin besar ketebalan batang


maka diduga akan semakin banyak pula rongga udara yang terbentuk pada
jaringan batang yang diamati. Sebaran data mengenai panjang akar dapat dilihat
pada Gambar 24.

Panjang Akar Tanaman

22.5

20.0

17.5
Panjang Akar (cm)

BA
15.0

12.5
Q3
10.0
Q2
7.5 Q1
BB
5.0

Gambar 24 Sebaran panjang akar tanaman genjer (Q1: 7,32; Q2: 9,40; Q3: 12,00;
BA: 17,00; BB: 6,00)

Sebaran panjang akar tanaman genjer memperlihatkan bahwa 75% dari


sampel genjer yang diukur memiliki panjang akar 12 cm. Ukuran panjang akar
genjer sangat bervariasi dengan simpangan baku 3,69 cm. Ukuran panjang akar
genjer yang diteliti memiliki rata-rata 10,25 cm dan terpusat pada 7,32 cm hingga
12 cm. Ukuran panjang akar genjer terbesar adalah 22,4 cm yang merupakan
ukuran pencilan dari panjang akar genjer.
Akar tanaman berperan dalam pengambilan nutrien dan air dari tanah,
mengasimilasi nitrat, dan fiksasi nitrogen (Chesworth et al. 1998). Peranan organ
akar tanaman genjer sangat penting untuk kelangsungan hidup tanaman. Panjang
akar yang dimiliki oleh tanaman genjer membantu tanaman dalam pelekatan pada
substrat yang semakin kuat dan pencapaian akar terhadap sumber nutrien.

4.3 Komposisi Kimia Tanaman Genjer Segar dan Kukus


Pemanfaatan tanaman genjer sebagai sayuran terutama lalapan erat
kaitannya dengan zat gizi yang terkandung dalam tanaman genjer. Pengolahan
tanaman ini dilakukan dengan menggunakan panas atau pemasakan karena
61

masyarakat tidak mengonsumsinya dalam bentuk mentah (Bergh 1994). Analisis


zat gizi tanaman genjer dilakukan melalui uji proksimat dengan pembedaan
bagian tanaman antara daun dan batang dalam kondisi segar dan setelah
pengukusan. Komposisi kimia tanaman genjer segar dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer segar


Analisa Daun Batang
proksimat Berat basah Berat kering Berat basah Berat kering
Kadar air 91,760,14% 95,330,07%
Kadar abu 1,020,05% 12,400,84% 0,760,08% 16,381,72%
Lemak 0,650,01% 7,950,25% 0,260,00% 5,620,09%
Protein 1,890,03% 22,960,71% 0,610,01% 13,230,14%
Serat kasar 0,980,03% 11,930,23% 0,750,00% 16,120,23%

Proses pemasakan yang umumnya dilakukan terhadap komoditas sayuran


adalah pengukusan dan perebusan. Pengukusan adalah proses pemanasan yang
bertujuan menonaktifkan enzim yang akan mengubah warna, cita rasa, maupun
nilai gizi. Pengukusan dilakukan dengan suhu air berkisar 66-82 C. Pengukusan
dan perebusan adalah metode konvensional yang telah lama dikenal untuk
memasak. Pengukusan akan mengurangi zat gizi, namun tidak sebesar pada proses
perebusan (Romdhijati 2010). Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer
setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer kukus


Analisa Daun Batang
proksimat Berat basah Berat kering Berat basah Berat kering
Kadar air 91,060,13% 94,150,19%
Kadar abu 1,340,06% 15,291,42% 1,050,21% 18,542,83%
Lemak 1,300,40% 14,904,09% 1,080,12% 18,632,66%
Protein 2,390,31% 27,404,67% 0,900,04% 15,520,51%
Serat kasar 1,060,08% 11,300,91% 0,700,09% 12,091,01%

Dugaan penurunan atau peningkatan nilai gizi tanaman genjer setelah


pengukusan dapat dianalisis melalui uji statistika dengan cara pengujian hipotesis
memakai uji t-student. Uji hipotesis melalui uji t-student bertujuan untuk
memperkuat dugaan berdasarkan statistika, selain penyajian data secara deskriptif.
Pengujian hipotesis dilakukan terhadap dua populasi yaitu tanaman genjer segar
dan tanaman genjer yang telah dikukus yang diwakili oleh contoh dari masing-
62

masing populasi. Contoh dari populasi segar adalah masing-masing nilai


proksimat dari gabungan batang dan daun tanaman genjer segar. Contoh dari
populasi kukus adalah nilai proksimat dari gabungan batang dan daun genjer
kukus. Adapun hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil pengujian hipotesisi t-student dua populasi


Kadar Kadar Kadar
Variabel Kadar air Kadar abu
lemak protein serat kasar
t-stat 0,95 -1,82 -7,17 -1,01 2,35
t-critical one tail 1,78 1,78 1,78 1,78 1,78
Keputusan Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H1

4.3.1 Kadar air


Kadar air merupakan kandungan air yang terdapat dalam bahan makanan
dengan derajat keterikatan berbeda-beda dalam bahan (Winarno 2008). Air yang
terkandung di dalam jaringan tanaman umumnya berkisar 80% hingga 90% berat
segar dari tanaman basah (Fennema 1996). Tanaman ini memiliki kandungan air
yang sangat tinggi terutama pada bagian batang tanaman. Adapun kadar air
tanaman genjer di bagian daun adalah 91,760,14%, sedangkan pada bagian
batang sebesar 95,330,07%.
Berdasarkan hasil uji statistika terhadap kadar air tanaman genjer segar
dan setelah pengukusan menunjukkan bahwa kadar air tanaman genjer setelah
pengukusan (2) sama dengan kadar air tanaman genjer segar (1). Penurunan
kadar air setelah pengukusan tidak terlalu signifikan berbeda sehingga dianggap
sama dengan kadar air tanaman genjer segar.
Tanaman genjer merupakan tanaman yang hidup bertahun-tahun dan
tumbuh di rawa-rawa, perairan dangkal misalnya sawah, kolam ikan, dan parit-
parit dengan ketinggian mencapai 1300 m (Bergh 1994). Habitat perairan sebagai
tempat hidupnya menyebabkan kadar air tanaman genjer sangat tinggi. Jaringan
penyusun organ menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan membentuk sistem
ruang tempat terjadinya difusi gas secara bebas. Gas terdapat di udara dan larut di
dalam air. Difusi gas ke dalam sel-sel tanaman diduga berawal dari pengangkutan
sejumlah air oleh sistem pembuluh, kemudian terjadi penyerapan gas dengan tidak
mengikutsertakan air melalui diafragma dari ruang antar selnya. Oleh karena itu,
semakin banyak gas yang dibutuhkan oleh tanaman air maka semakin besar pula
63

persentase air yang dikandung tanaman. Perbandingan kadar air tanaman genjer
segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Gambar 25.

Jumlah dalam berat basah (%) 96 95,33


95 94,15
94
93
91,76
92 91,06
91
90
89
88
Daun Batang
Bagian tanaman genjer
Gambar 25 Perbandingan kadar air tanaman genjer [ : segar, : kukus]

Batang tumbuhan air berisi suatu sistem ruang antar sel yang meluas
sehingga melalui ruang tersebut terjadi difusi gas secara bebas. Pada korteks
batang tumbuhan air dan jaringan dasar petiol dan mesofil, terdapat ruang
skizogen antar sel tempat berlangsungnya pertukaran udara. Lakuna terjadi di
tengah-tengah korteks batang. Lakuna berisi diafragma, yakni lapisan tunggal sel-
sel interselular, berfungsi membiarkan laluan gas dan bukannya air (Fahn 1991).
Persentase kandungan air pada batang tanaman genjer lebih besar dibandingkan
pada bagian daun karena struktur jaringan batang tanaman genjer memiliki sistem
ruang antar sel yang lebih besar sesuai dengan besarnya ketebalan batang.
Kuantitas air yang terangkut pada batang lebih besar dan difusi gas dari air ke
dalam sel lebih banyak terjadi. Hal ini menyebabkan bobot batang yang ringan
oleh adanya gas namun mengandung banyak air.
Epidermis tumbuhan air tidak berfungsi untuk perlindungan, tetapi untuk
pengeluaran zat makanan, senyawa air, dan pertukaran gas. Kutikula dan dinding
selnya sangat tipis. Sel epidermis berisi kloroplas. Daun yang mengapung
mempunyai stomata hanya pada permukaan atas daun (Mulyani 2006). Sejumlah
air, yang diangkut oleh pembuluh xilem ke daun, dapat menguap saat terjadinya
pertukaran gas melalui stomata daun. Selain itu, epidermis daun juga berperan
64

dalam pengeluaran air dari tanaman sehingga kadar air yang ada pada daun lebih
rendah dibandingkan batang tanaman genjer.
Proses pengukusan menyebabkan kadar air tanaman genjer baik di bagian
daun maupun batang menurun. Pengukusan merupakan proses pemanasan dengan
suhu air 66-82 C (Romdhijati 2010). Pengaruh dari hilangnya air pada tanaman
adalah tanaman menjadi layu dan kehilangan berat serta secara tidak langsung
menimbulkan perubahan yang diinginkan ataupun yang tidak dinginkan (Fennema
1996). Kadar air daun segar 91,76% menurun menjadi 91,06% dan kadar air
batang segar 95,33% menurun menjadi 94,15%. Penurunan kadar air setelah
pengukusan dapat disebabkan oleh adanya proses pemanasan selama pengukusan
yang mengakibatkan sejumlah air dalam bahan, yaitu air terikat tipe 1, tipe 3
maupun tipe 4, mudah menguap. Pemasakan ini juga memacu pelunakan jaringan
tanaman atau tanaman menjadi layu sehingga tanaman genjer dapat dikonsumsi.
4.3.2 Kadar abu
Kadar abu merupakan salah satu analisa proksimat yang menunjukkan
kandungan mineral dari jaringan tanaman maupun hewan setelah pembakaran.
Mineral dibagi menjadi elemen utama, trace element, dan ultra-trace element
(Belitz et al. 2009). Kandungan air yang sangat tinggi pada tanaman genjer turut
mempengaruhi kandungan mineral yang menjadi lebih kecil jika dibandingkan
dengan sayuran lainnya. Hasil uji statistika terhadap kadar abu tanaman genjer
segar dan setelah pengukusan menunjukkan bahwa kadar abu tanaman genjer
setelah pengukusan (2) mengalami peningkatan persentase atau sama dengan
kadar abu tanaman genjer segar (1).
Hasil kajian dari Direktorat Gizi (1992), diacu dalam Astawan dan Kasih
(2008) serta Saupi et al. (2009) menunjukkan bahwa kadar abu tanaman genjer
segar di Malaysia dalam berat kering adalah 0,790,03% dengan komposisi
mineral penyusunnya adalah kalsium, fosfor, besi, potasium, tembaga,
magnesium, zinc, dan natrium. Penelitian Maisuthisakul et al. (2008)
menunjukkan bahwa kadar abu Limnocharis flava dari Thailand adalah 11,3
gram/100 gram bahan. Gambaran perbandingan kadar abu tanaman genjer segar
dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Gambar 26.
65

20 18,54

Jumlah dalam berat kering (%)


18 16,38
15,29
16
14 12,40
12
10
8
6
4
2
0
Daun Batang
Bagian tanaman genjer

Gambar 26 Perbandingan kadar abu tanaman genjer [ : segar, : kukus]

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase kadar abu tanaman


genjer dalam berat kering adalah 12,400,84% di bagian daun dan di bagian
batang 16,381,72%. Kandungan mineral tanaman genjer dari Kelurahan Situ
Gede, Bogor, lebih tinggi dibandingkan kandungan mineral tanaman genjer dari
Malaysia dan Thailand. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi habitat dan
kandungan mineral di dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Miller (1996), komposisi akhir dari bagian-bagian
tanaman yang dapat dimakan dipengaruhi dan dikontrol oleh kesuburan tanah,
genetik tanaman, dan lingkungan pertumbuhan tanaman.
Jenis mineral yang banyak terdapat di tanaman genjer diduga adalah
kalsium, potasium, magnesium, fosfor, dan besi. Hal ini didasarkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Saupi et al. (2009) serta Astawan dan Kasih (2008)
yang dapat dilihat pada Tabel 1 mengenai komposisi tanaman genjer
(Limnocharis flava), persentase mineral paling besar adalah kalsium dan
potassium. Hasil penelitian Maisuthisakul et al. (2008) menunjukkan jenis mineral
paling banyak adalah kalsium dan besi.
Kandungan mineral di bagian batang tanaman genjer lebih besar
dibandingkan bagian daunnya, dan berkaitan dengan berkas pengangkut batang
yaitu xilem dan floem. Pembuluh xilem melakukan pemindahan air dan ion-ion
hara, sedangkan pemindahan hasil-hasil fotosintesis dilakukan oleh pembuluh
floem. Perbedaan nyata antara penampang melintang batang dan penampang
66

melintang akar hanyalah ukuran unsur-unsur pengangkutan dalam batang yang


lebih besar dan lokasinya yang jauh dari pusat batang (Fisher dan Dunham 1992).
Mineral dari akar terlebih dahulu diedarkan ke seluruh bagian batang dan sisanya
diangkut ke bagian daun, diduga akumulasi mineral lebih tinggi di batang.
Mineral pada organ tanaman juga berkaitan dengan kandungan serat
penyusun dinding sel dari jaringan tanaman. Pektin terdapat di dalam dinding sel
primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa.
Senyawa-senyawa pektin diklasifikasikan menjadi asam pektat, asam pektinat
(pektin), dan protopektin. Asam pektat dapat membentuk garam dalam jaringan
tanaman diantaranya kalsium dan magnesium. Asam pektinat juga dapat
membentuk garam yang disebut garam pektinat (Winarno 2008). Penebalan
batang Monocotyledoneae berasal dari pembelahan dan pembesaran sel parenkim
dasar (Nugroho et al. 2006; Mulyani 2006). Oleh karena itu, penebalan dan
pembesaran mengakibatkan pembentukan dinding sel semakin banyak dan
komponen asam pektat dan pektin yang terbentuk juga semakin banyak sehingga
persentase garam mineral di bagian batang lebih tinggi daripada daun.
Elemen mineral tidak dapat dirusak dengan pemaparan panas, cahaya, zat
pengoksidasi, pH ekstrim maupun faktor lainnya yang mempengaruhi zat gizi
organik. Mineral dapat dihilangkan dengan pelepasan atau pemisahan secara fisik.
Sejumlah mineral memiliki kelarutan di dalam air. Secara umum, perebusan
dalam air menyebabkan hilangnya mineral lebih banyak pada sayuran daripada
pengukusan (Miller 1996).
Kandungan mineral tanaman genjer setelah pengukusan adalah
15,291,42% di bagian daun dan 18,542,83% di bagian batang. Kadar abu
tanaman genjer setelah pengukusan diduga tidak mengalami reduksi yang terlalu
besar, sejumlah mineral yang hilang hanya melalui penguapan air yang
terkandung dalam tanaman. Persentase air yang hilang dari tanaman genjer dalam
jumlah sedikit sehingga kehilangan mineral yang larut air juga sangat sedikit.
Peningkatan persentase kadar abu disebabkan oleh perubahan persentase kadar air
yang menurun sehingga menaikkan persentase abu dari tanaman genjer ini.
67

4.3.3 Kadar lemak


Lemak merupakan zat yang dibentuk dari unit-unit terstruktur dengan
suatu hidrofobisitas yang tegas, larut dalam pelarut organik tetapi tidak dalam air.
Komponen utama dari lemak adalah turunan asam lemak (Belitz et al. 2009).
Dalam tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul
asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses
respirasi (Winarno 2008). Kadar lemak tanaman genjer dalam basis kering adalah
7,950,25% pada bagian daun dan 5,620,09% pada bagian batang.
Kadar lemak tanaman genjer di wilayah Situ Gede ini lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar lemak tanaman genjer yang berasal dari Malaysia.
Hasil penelitian Saupi et al. (2009) bahwa kandungan lemak tanaman genjer
sebesar 1,220,01%. Perbedaan kadar lemak ini diduga karena perbedaan lokasi
tumbuh dan keadaaan alam antara wilayah Situ Gede dengan wilayah Malaysia.
Adapun perbandingan persentase lemak pada tanaman genjer dapat dilihat pada
Gambar 27 berikut.

20 18,63
Jumlah dalam berat kering (%)

18
16 14,9
14
12
10 7,95
8 5,62
6
4
2
0
Daun Batang
Bagian tanaman genjer

Gambar 27 Perbandingan kadar lemak tanaman genjer [ : segar, : kukus]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak daun genjer segar lebih
besar dibandingkan bagian batang genjer segar. Tahap awal dari pembentukan
asam lemak adalah karboksilasi asetil Ko-A yang memiliki prekursor berupa
karbon dioksida. Dalam jaringan yang mendukung fotosintesis (berwarna hijau),
yakni daun, karbon dioksida ditempatkan dalam stroma dari kloroplas untuk
membentuk triosa fosfat. Triosa fosfat kemudian diubah menjadi pirufat dan
68

membentuk asetil Ko-A oleh enzim glikolitik. Hal ini dapat menjelaskan bahwa
sintesis asetil Ko-A untuk pembentukan asam lemak terjadi di dalam kloroplas
(Murphy 1999). Menurut Ramadan et al. (2008) bahwa glikolipid merupakan
komponen lemak utama dari seluruh membran kloroplas dan membran
fotosintetik dari Cyanobacteria.
Fraksi lipida terdiri atas minyak/lemak, malam (wax), fosfolipida, sterol,
hidrokarbon, dan pigmen. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak
kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah sebenarnya (Winarno
2008). Lipid juga meliputi pigmen misalnya klorofil, karotenoid, dan xantofil
yang merupakan komponen penting dalam penangkapan cahaya dan proses
pengangkutan elektron dari fotosintesis (Murphy 1999). Semakin banyak
kandungan klorofil pada organ tanaman maka kandungan lemak juga semakin
besar. Daun genjer merupakan organ fotosintesis dan memiliki banyak organel
kloroplas yang dibuktikan oleh kepekatan warna hijau daunnya, sehingga hal ini
menjadi faktor penyebab tingginya persentase kadar lemak pada daun. Batang
genjer juga memiliki organel kloroplas namun tidak sebanyak kloroplas pada
daun. Warna hijau batang genjer yang lebih muda menunjukkan pigmen klorofil
yang lebih sedikit dibandingkan daun. Oleh karena itu, persentase kadar lemak
pada batang lebih rendah dibandingkan daun.
Hasil uji hipotesis dua populasi melalui uji t-student menunjukkan bahwa
kadar lemak tanaman genjer setelah pengukusan (2) mengalami peningkatan
persentase atau sama dengan kadar lemak tanaman genjer segar (1). Kadar lemak
tanaman genjer setelah pengukusan mengalami peningkatan persentase
dibandingkan dengan sebelum pengukusan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gokoglu et al.
(2004) yaitu pengaruh efek metode pemasakan terhadap komposisi proksimat dari
ikan air tawar Oncorhynchus mykiss adalah persentase lemak yang meningkat dari
ikan mentah menjadi ikan rebus. Selain itu, penelitian dari Bernhardt dan Schilch
(2005) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar trans -karoten dan cis -
karoten pada sayuran brokoli setelah pengukusan. -karoten merupakan prekursor
vitamin A yang larut dalam lemak.
69

Kadar lemak tanaman genjer setelah pengukusan dalam berat kering


adalah 14,904,09% di bagian daun dan 18,632,66% di bagian batang.
Peningkatan persentase kadar lemak tanaman ini dapat disebabkan oleh perubahan
persentase komposisi proksimat setelah pengukusan dimana komponen air
mengalami pelepasan dari bahan, didukung pula oleh tidak terjadinya perubahan
signifikan komponen lemak di dalam bahan. Berdasarkan penelitian Thanh et al.
(2005) bahwa pemanasan pada suhu 50 C selama beberapa minggu tidak
menunjukkan variasi yang signifikan dalam kandungan fitosterol dari minyak
bunga matahari, zaitun, dan campuran 4 jenis minyak.
4.3.4 Kadar protein
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur
C, H, O, dan N serta mengandung pula fosfor, belerang. Protein berperan penting
dalam proses metabolisme tanaman, hewan, dan manusia. Protein berfungsi
sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang
mekanis, pertahanan tubuh, media perambatan impuls syaraf, dan pengendalian
pertumbuhan. (Winarno 2008).
Kadar protein tanaman genjer segar dalam berat kering adalah
22,960,71% di bagian daun dan 13,230,14% di bagian batang. Hasil uji
hipotesis dua populasi, melalui uji t-student menunjukkan bahwa kadar protein
tanaman genjer setelah pengukusan (2) mengalami peningkatan persentase atau
sama dengan kadar protein tanaman genjer segar (1).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kadar protein tanaman
genjer lebih tinggi di bagian daun daripada di bagian batang. Salah satu unsur
protein yang membedakannya dari metabolit lainnya adalah nitrogen (N).
Tanaman dapat mensintesis asam amino protein dari komponen nitrogen
sederhana misalnya nitrat dan amoniak. Asimilasi nitrat terjadi dalam dua tahap
proses yaitu perubahan nitrat (NO3-) menjadi nitrit (NO2-) yang dikatalisis oleh
enzim nitrat reduktase dan perubahan nitrit menjadi amoniak (NH4+) yang
dikatalisis oleh enzim nitrit reduktase. NO2- yang terbentuk akan berpindah ke
bagian kloroplas pada daun atau proplastida di akar (Chesworth et al. 1998).
Perbandingan kadar protein tanaman genjer segar dan setelah pengukusan dapat
dilihat pada Gambar 28.
70

30 27,40

Jumlah dalam berat kering (%)


25 22,96
20
15,52
15 13,23

10
5
0
Daun Batang
Bagian tanaman genjer

Gambar 28 Perbandingan kadar protein tanaman genjer [ : segar, : kukus]

Pada dasarnya, organel yang berfungsi mensintesis protein adalah


ribosom. Ribosom tedapat di dalam mitokondria dan kloroplas. Ribosom juga
terdapat pada sitoplasma. Protein yang disintesis oleh ribosom pada sitoplasma
kemudian akan diangkut ke mitokondria maupun kloroplas (Lakitan 2007). Bila
organel kloroplas banyak terdapat pada salah satu organ tanaman, maka diduga
kandungan protein juga tinggi pada organ tersebut. Organel kloroplas lebih
banyak terdapat di daun genjer dibandingkan dengan batang genjer, sehingga
sintesis protein banyak terjadi di bagian daun. Proses asimilasi nitrat maupun
asimilasi komponen nitrogen sederhana lainnya dapat terjadi lebih banyak di
bagian daun oleh karena banyaknya organel kloroplas dan membentuk hasil akhir
berupa protein.
Metode pengukusan merupakan metode pemasakan sayuran yang
umumnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Pengukusan yang dilakukan
terhadap tanaman genjer menyebabkan persentase kadar protein meningkat
dibandingkan persentase kadar protein tanaman genjer segar. Adapun persentase
kandungan protein tanaman genjer setelah pengukusan meningkat dari
22,960,71% menjadi 27,404,67% pada bagian daun dan 13,230,14% menjadi
15,520,51% pada bagian batang. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Lewu et al. (2009) tentang efek pemasakan terhadap komposisi
proksimat dari herbal taro cocoyam (Colocasia esculanta), dimana kandungan
protein meningkat setelah perebusan pada suhu 100 C selama 5 menit.
71

Peningkatan kadar protein tanaman genjer setelah pengukusan diduga


karena adanya penguraian tanin pada daun maupun batang tanaman genjer. Tanin
merupakan senyawa polifenol yang dapat mengendapkan protein dari larutan.
Tanin mengandung gugus o-hidroksifenol yang dapat membentuk ikatan hidrogen
dan ikatan hirofobik dengan protein (Chesworth et al. 1998). Berdasarkan hasil
penelitian Lewu et al. (2009) bahwa tanin dapat membentuk suatu kompleks
dengan protein, sehingga menghambat ketersediaan protein.
4.3.5 Kadar serat kasar
Serat-serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-
buahan. Secara kimia, dinding sel tersebut terdiri dari selulosa, hemiselulosa,
pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan mucilage.
Serat pada bahan pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan
terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno
2008).
Kandungan serat kasar tanaman genjer segar berkisar 11,930,23% di
bagian daun dan 16,120,23% di bagian batang. Hasil uji hipotesis dua populasi,
dengan metode uji t-student menunjukkan bahwa kadar serat kasar tanaman genjer
setelah pengukusan (2) mengalami penurunan persentase dibandingkan kadar
serat kasar tanaman genjer segar (1). Penurunan persentase serat kasar jelas
terlihat pada batang tanaman genjer setelah pengukusan. Perbandingan kadar serat
kasar tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 29.

18 16,12
Jumlah dalam berat kering (%)

16
14 11,93 11,3 12,09
12
10
8
6
4
2
0
Daun Batang
Bagian tanaman genjer

Gambar 29 Perbandingan kandungan serat kasar tanaman genjer [ : segar, :


kukus]
72

Kandungan serat kasar banyak terdapat di bagian batang tanaman genjer


dibandingkan dengan daun genjer. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Popovic et al. (2001) tentang kandungan protein dan serat
pada daun dan batang tanaman Alfalfa, bahwa kandungan serat batang yang
dipotong pada tahun pertama lebih tinggi dibandingkan kandungan serat daun
yang dipotong pada tahun pertama. Persentase serat kasar di bagian batang genjer
lebih besar daripada daun genjer.
Batang memiliki epidermis yang tersusun satu lapis sel yang berbentuk
rektanguler dan tersusun rapat. Dinding luar mengalami penebalan dari zat kutin,
dimana penebalan batang Monocotyledoneae tersebut berasal dari pembelahan
dan pembesaran sel parenkim dasar (Nugroho et al. 2006; Mulyani 2006). Kadar
serat yang tinggi pada batang genjer diduga karena batang mengalami penebalan
dinding yang berasal dari pembelahan dan pembesaran sel parenkim. Pembelahan
dan pembesaran sel ini memungkinkan jumlah sel lebih banyak dan lebih sel lebih
besar, sehingga persentase komponen selulosa, hemiselulosa, pektin, dan
nonkarbohidrat juga mengalami peningkatan. Daun juga memiliki epidermis dan
susunan jaringan lainnya, namun dinding sel dari epidermis daun sangat tipis dan
dilapisi oleh kutikula. Oleh karena itu, persentase kadar serat, terutama pada
dinding selnya sedikit.
Selain faktor penyusun dinding sel, perbedaan persentase kadar serat pada
batang dan daun diduga karena tingkatan pertumbuhan dari batang dan daun yang
berbeda. Menurut Lemaire et al. (1994), diacu dalam Popovic et al. (2001) bahwa
interaksi pemotongan tingkat pertumbuhan memiliki pengaruh yang tinggi
terhadap kadar protein kasar dan serat pada daun dan batang. Kadar serat batang
dan daun alfalfa di tahun kedua menjadi meningkat di tahun keempat.
Pertumbuhan batang genjer lebih dahulu terjadi kemudian dilanjutkan dengan
pertumbuhan daun genjer dan perkembangannya. Tingkatan pertumbuhan batang
yang lebih dulu menjadi tua menyebabkan kadar serat batang genjer lebih besar
dibandingkan daun genjer.
Pemasakan dengan metode pengukusan menyebabkan penurunan kadar
serat tanaman genjer baik di daun maupun di batang. Penurunan kadar serat
tanaman genjer terjadi dari 11,930,23% menjadi 11,300,91% di bagian daun
73

dan 16,120,23% menjadi 12,091,01% di bagian batang. Hasil penelitian ini


identik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristiono (2009) bahwa
pengukusan tanaman semanggi air (Marsilea crenata) dapat menurunkan
persentase kadar serat tanaman tersebut.
Pada proses pematangan, penyimpanan, atau pengolahan, komponen
selulosa dan hemiselulosa mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan
tekstur (Winarno 2008). Penurunan kadar serat tanaman genjer setelah
pengukusan diduga karena adanya pemanasan mengakibatkan hilangnya sebagian
komponen air yang terikat dalam polimer penyusun dinding sel, sehingga
beberapa polimer selulosa, hemiselulosa, maupun pektin terhidrolisis dan
menghasilkan molekul karbohidrat yang lebih sederhana. Selain itu, pektin
memiliki sifat terdispersi dalam air dan bila dipanaskan di dalam air maka pektin
akan larut ke dalam air, sehingga jaringan tumbuhan akan menjadi lunak.

4.4 Kadar Total Karoten


Vitamin A merupakan jenis vitamin yang aktif dan terdapat dalam
beberapa bentuk yaitu vitamin A alkohol (retinol), vitamin A aldehida (retinal),
vitamin A asam (asam retinoat), vitamin A ester (ester retinil). Karotenoid
merupakan prekursor vitamin A (provitamin A), -karoten adalah provitamin
yang paling potensial dan ekuivalen dengan 2 vitamin A (Winarno 2008;
Andarwulan dan Koswara 1992). Dalam penelitian ini, kadar vitamin A
ditentukan melalui kadar total karoten. Kadar total karoten tanaman genjer segar
dan kukus dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Kadar total karoten tanaman genjer segar dan kukus


Bagian tanaman genjer Segar Kukus
Daun 219,01 g/g 260,40 g/g
Batang 92,99 g/g 77,61 g/g

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan total karoten lebih tinggi


pada bagian daun tanaman genjer dibandingkan di bagian batang. Total karoten
tanaman genjer segar adalah 219,01 g/g di bagian daun dan 92,99 g/g di bagian
batang. Berdasarkan teori, di antara ratusan karotenoid yang terdapat di alam,
hanya bentuk , , , dan kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. -
74

karoten adalah provitamin A yang paling aktif. Karotenoid terdapat di dalam


kloroplas tanaman dan berperan sebagai katalisator dalam fotosintesis. Karotenoid
paling banyak terdapat dalam sayuran berwarna hijau tua (Almatsier 2006).
Kloroplas paling banyak terdapat di bagian daun genjer dibuktikan dengan warna
hijau daun yang lebih tua dibandingkan dengan batang genjer. Oleh karena itu,
total karoten paling tinggi terdapat di bagian daun genjer. Perbandingan kadar
total karoten antara tanaman segar dan kukus dapat dilihat pada Gambar 30.

300
Jumlah dalam berat kering

260,4
250 219,01
200
(g/g)

150
92,99
100 77,61
50
0
Daun Batang
Bagian tanaman genjer

Gambar 30 Perbandingan kadar total karoten tanaman genjer [ : segar, :


kukus]

Proses pengukusan pada dasarnya dapat menurunkan total karoten dari


tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miglio et al. (2008) bahwa dampak
proses pengukusan terhadap sayuran wortel dan courgettes adalah menurunkan
kadar total karoten kedua sayuran tersebut, namun proses pengukusan
menyebabkan peningkatan total karoten dari sayuran brokoli. Pemasakan sayuran
segar berwarna hijau, telah dilaporkan, dapat meningkatkan pelepasan karoten
dari matriks yang menyebabkan gangguan dari kompleks karotenoid-protein. Hal
ini memacu kemampuan ekstraksi yang lebih baik dan konsentrasi karotenoid
yang lebih tinggi dalam sayuran yang dimasak. Pelepasan karotenoid, terutama
lutein dari sel-sel dapat secara sebagian berkontribusi untuk meningkatkan
karotenoid pada sampel yang dikukus dan direbus (Miglio et al. 2008).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengukusan dapat
meningkatkan kadar total karoten daun genjer, namun menyebabkan penurunan
75

total karoten pada batang genjer. Kandungan total karoten daun genjer segar
219,01 g/g meningkat menjadi 260,40 g/g, sedangkan batang genjer segar
memiliki total karoten 92,99 g/g menurun menjadi 77,61 g/g. Peningkatan total
karoten daun genjer setelah pengukusan diduga dapat disebabkan oleh terjadinya
pelepasan karotenoid dari suatu matriks yang mengganggu kompleks karotenoid-
protein dengan bantuan pemanasan.
Provitamin A sangat sensitif terhadap oksidasi, ontooksidasi, dan cahaya,
tetapi stabil terhadap panas dalam atmosfer inert (bebas O2). Apabila terdapat
oksigen, kerusakan karotenoid terjadi lebih banyak dan dipacu oleh cahaya,
enzim, ko-oksidasi dengan hidroperoksida lemak (Andarwulan dan Koswara
1992). Kandungan total karoten pada batang genjer menurun setelah pengukusan.
Penurunan total karoten diduga karena terjadinya oksidasi oleh oksigen yang
terjadi selama pengukusan. Selain itu, dehidrasi selama pengukusan lebih terlihat
pada bagian batang genjer dibandingkan daun genjer, misalnya penurunan
persentase kadar air batang genjer yang telah dikukus. Dehidrasi pada batang
genjer yang dikukus menyebabkan stabilitas karotenoid terganggu, sehingga total
karoten menurun. Berdasarkan hasil penelitian Miglio et al. (2008) bahwa
penurunan total karotenoid dapat disebabkan dehidrasi, kontak terhadap oksigen
dan cahaya yang berkepanjangan.

4.5 Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava)


Tanaman menghasilkan tiga kelompok utama dari komponen yang
bertindak sebagai zat pertahanan, yaitu terpenoid, fenol, dan nitrogen yang
mengandung komponen organik (Scott 2008). Fitokimia terdapat dalam beragam
bagian dari tanaman dan memiliki fungsi yang berbeda termasuk menentukan
kekuatan tanaman, menarik serangga untuk polinasi dan pembuahan, pertahanan
dari serangan predator, memperkuat warna (Ibegbulem et al. 2003, diacu dalam
Igwe et al. 2007). Komponen bioaktif dianalisis secara kualitatif melalui uji
fitokimia dengan menggunakan ekstrak kasar daun dan batang genjer. Ekstraksi
yang dilakukan adalah ekstraksi maserasi bertingkat termodifikasi dengan pelarut
secara berturut-turut adalah pelarut n-heksan (non polar), etil asetat (semipolar),
dan metanol (polar).
76

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair
dengan bantuan pelarut. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan hingga memenuhi standar baku yang
ditetapkan (Tavipiono 2010). Rendemen ekstrak kasar daun dan batang untuk
masing-masing pelarut dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Rendemen ekstrak kasar daun dan batang tanaman genjer (Limnocharis
flava) pada pelarut dengan tingkat kepolaran berbeda
Bagian tanaman Pelarut Rendemen (%)
N-heksan 5,32
Daun Etil asetat 11,62
Metanol 31,17
N-heksan 10,22
Batang Etil asetat 6,25
Metanol 31,09

Ekstrak kasar yang diperoleh dalam penelitian ini berupa ekstrak cair.
Rendemen ekstrak terbesar diperoleh dari ekstrak dengan pelarut metanol sebesar
31,17% dari daun segar dan 31,09% dari batang segar. Menurut hasil penelitian
Ahmad et al. (2010) bahwa pengekstrakan dengan metanol menghasilkan
rendemen dua kali lipat daripada n-heksan. Kuantitas ekstrak n-heksan
menghasilkan rendemen yang minimum. Besarnya kuantitas ekstrak metanol
dapat disebabkan oleh tingkat kepolaran pelarut yang dapat mengekstrak sebagian
besar komponen bioaktif yang terkandung pada tanaman genjer.
Penelitian Salamah et al. (2008) menunjukkan bahwa rendemen ekstrak
tertinggi dan sifat antioksidan paling baik diperoleh dari pelarut metanol. Metanol
merupakan pelarut polar yang dapat mengekstraksi zat aktif yang bersifat polar
juga. Rendemen ekstrak metanol paling besar diduga karena tanaman genjer lebih
banyak mengandung komponen yang bersifat polar, misalnya protein
dibandingkan komponen yang bersifat non polar di dalam selnya.
Keberadaan beberapa metabolit sekunder berkaitan dengan perbedaan
organ tumbuhan. Kandungan fitokimia tanaman genjer (Limnocharis flava) di
bagian daun dan batang dapat ditunjukkan oleh Tabel 15.
77

Tabel 15 Kandungan fitokimia daun dan batang genjer (Limnocharis flava)


Bagian Pelarut
Uji fitokimia
tanaman N-heksan Etil asetat Metanol
Alkaloid - - -
Steroid - - -
Flavonoid ++ - -
Saponin - - -
Daun Fenol hidrokuinon - ++ -
Molisch - - -
Benedict - ++ +
Biuret - - -
Ninhidrin - - ++
Alkaloid - - -
Steroid - - -
Flavonoid ++ - -
Saponin - - -
Batang Fenol hidrokuinon - - -
Molisch - - -
Benedict - - ++
Biuret - - -
Ninhidrin - - +
Keterangan :
- : Tidak teridentifikasi
+ : Teridentifikasi
++ : Teridentifikasi kuat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman genjer (Limnocharis flava)


mengandung sejumlah metabolit sekunder, baik di bagian daun maupun di bagian
batang. Metabolit sekunder yang terdapat di bagian daun tanaman genjer adalah
flavonoid, fenol hidrokuinon, gula pereduksi, dan asam amino. Bagian batang
tanaman genjer mengandung metabolit sekunder berupa flavonoid, gula
pereduksi, dan asam amino. Kandungan flavonoid pada daun dan batang tanaman
genjer menunjukkan hasil teridentifikasi kuat.
Uji flavonoid positif ditandai dengan terbentuknya warna jingga pada lapisan
amil alkohol. Flavonoid dapat diekstrak dalam pelarut n-heksan yang berarti
flavonoid merupakan senyawa yang bersifat non-polar. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Maisuthisakul et al. (2008) bahwa tanaman
genjer mengandung total flavonoid sebesar 3,7 mg RE/g BDD. Flavonoid
merupakan kelompok polifenol yang paling dikenal, memiliki rangka karbon yang
78

sama dengan flavon atau 2-fenilbenzopiron dan terdiri dari 4000 struktur
(Harborne 1999).
Flavonoid berperan sebagai bahan pemberi rasa dari rempah-rempah dan
sayuran. Selain itu, zat ini juga dapat memberi efek anti oksidasi pada hewan
(Enwere 1998, diacu dalam Ujowundu et al. 2008). Dalam hal ini, flavonoid yang
termasuk dalam komponen fenol menunjukkan fungsi bagi tanaman termasuk
pertahanan dari herbivor dan patogen, penyerapan cahaya, penarik pollinator,
penghambat pertumbuhan dari tanaman pesaing (Wildman 2001). Flavonoid
terdapat di kedua bagian, daun dan batang, sehingga dapat disimpulkan bahwa
komponen flavonoid merupakan komponen bioaktif utama yang dihasilkan oleh
tanaman genjer.
Komponen fenol hidrokuinon ditemukan pada bagian daun dari tanaman
genjer. Uji fenol hidrokuinon positif ditandai dengan terbentuknya warna hijau
kebiruan pada larutan uji. Fenol hidrokuinon juga termasuk dalam kelompok
metabolit fenol yang memiliki gugus o- atau p-dihidroksi substitusi yang mudah
teroksidasi sama seperti kuinon (Harborne 1999). Komponen fenol dapat
bertindak sebagai terminator oksidasi dengan cara menangkap radikal untuk
membentuk radikal stabil (Rice-Evans et al. 1997, diacu dalam Maisuthisakul et
al. 2008). Hasil penelitian Maisuthisakul et al. (2008) menunjukkan adanya total
fenol sebesar 5,4 mgGAE/ g BDD pada tanaman genjer. Komponen fenol
hidrokuinon diduga bersifat semi polar yang dapat terekstrak dalam pelarut etil
asetat.
Komponen fenol hidrokuinon yang terdeteksi dalam penelitian ini tidak
menjadi komponen bioaktif utama yang dapat disintesis oleh tanaman genjer,
karena komponen ini tidak terdapat di bagian batang dan hanya terdapat di daun
saja. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan protein pada daun yang lebih
tinggi dibandingkan pada batang, dimana sintesis komponen fenol dapat terjadi
melalui deaminasi asam amino protein yaitu fenilalanin. Tanaman genjer ini
diduga cenderung membentuk flavonoid daripada fenol hidrokuinon dalam
metabolisme sekundernya. Flavonoid juga termasuk dalam metabolit fenol yang
terbentuk dari asam amino protein melalui jalur shikimate. Menurut teori bahwa
fenol turut andil dalam biosintetis dari fenilalanin, merupakan salah satu dari tiga
79

asam amino protein yang dibentuk dari sedoheptulosa melalui jalur shikimate.
Asam p-hidroksisinamik dibentuk dari fenilalanin melalui deaminasi dan p-
hidroksilasi, yang menempati peranan sentral dalam pembentukan beragam kelas
dari fenol tanaman (Harborne 1999).
Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula lain yang mampu mereduksi
senyawa pengoksidasi (senyawa penerima elektron). Gula pereduksi akan
dioksidasi pada gugus karbonilnya, dan senyawa pengoksidasi menjadi tereduksi
(Lehninger 1982). Uji gula pereduksi dilakukan melalui uji benedict yang
memberikan reaksi positif berupa terbentuknya warna hijau pada larutan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa gula pereduksi terkandung pada daun dan batang
genjer. Gula pereduksi di bagian daun teridentifikasi kuat pada larutan etil asetat
dan teridentifikasi lemah pada larutan metanol. Bagian batang mengandung gula
pereduksi yang teridentifikasi kuat dalam larutan metanol. Gula pereduksi ini
memiliki sifat mudah dilarutkan dalam air karena memiliki molekul polar.
Adanya gula pereduksi merupakan hasil metabolisme primer berupa
karbohidrat, terutama glukosa dan gula-gula lainnya. Komponen gula yang
terkandung di dalam tanaman genjer berperan dalam menyediakan dan
metabolisme energi, menyediakan material untuk sintesis beberapa komponen
struktural pada tanaman, yakni struktur protein dan berikatan dengan komponen
fenolik yang terdapat pada dinding sel (Smith 1999). Sifat gula pereduksi yang
dapat mereduksi komponen pengoksidasi diduga berpotensi dalam mengurangi
senyawa pengoksidasi seperti hidrogen peroksida, ferisianida, atau ion kupri
(Cu2+).
Kandungan asam amino pada tanaman genjer teridentifikasi kuat pada
bagian daun, sedangkan di bagian batang dapat teridentifikasi namun diduga
memiliki kadar yang kecil. Uji kualitatif asam amino dilakukan melalui uji
ninhidrin dengan reaksi positif yang ditimbulkan berupa pembentukan warna ungu
pada larutan. Asam amino sebagai komponen bioaktif dari tanaman genjer diduga
merupakan asam amino non protein. Asam amino yang dapat terdeteksi pada
tanaman genjer memiliki sifat polar karena dapat terekstrak dalam pelarut metanol
yang bersifat polar. Hal ini berarti bahwa asam amino tersebut diduga memiliki
sifat hidrofilik (menyukai air). Berdasarkan teori bahwa gugus R dari asam amino
80

polar lebih larut di dalam air karena mengandung gugus fungsional yang
membentuk ikatan hidrogen dengan air (Lehninger 1982).
Selain itu, semakin tingginya aktivitas sintesis asam amino yang terjadi di
dalam daun memungkinkan aktivitas pembentukan metabolit sekunder yang
melibatkan asam amino juga semakin tinggi. Hasil penelitian Maisuthisakul et al.
(2009) memberikan gambaran bahwa hubungan antara kandungan total fenolik
dan komposisi kimia tanaman adalah komponen fenolik dihasilkan dari jalur
shikimic acid yang terjadi dalam respirasi tanaman. Komponen fenolik seperti
acid cinnamic, p-coumaric, caffeic, ferulic, chlorogenic, protocatechuic, dan
gallic acid merupakan turunan dari asam amino fenilalanin dan tirosin.
Komponen bioaktif alkaloid, steroid dan saponin tidak terdeteksi pada
tanaman genjer. Komponen alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki
sebuah atom nitrogen, biasanya terkait ke dalam suatu sistem siklik lima atau
enam karbon. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat tinggi, sekitar 20
% dari spesies angiospermae (Harborne 1999). Ketersediaan metabolit-nitrogen
seperti alkaloid umumnya sedikit pada tanaman diduga karena ketersediaan unsur
dari metabolit-nitrogen yang terbatas.
Komponen steroid dan saponin merupakan metabolit yang termasuk dalam
kelompok terpenoid. Steroid memiliki struktur sama dengan struktur lemak yang
mengandung suatu rangkaian triterpen siklik. Steroid tanaman dikenal dengan
fitosterol (Belitz et al. 2009). Kandungan lemak pada tanaman genjer baik di daun
maupun di batang lebih rendah dibandingkan komposisi gizi lainnya. Rendahnya
persentase lemak pada tanaman genjer diduga menyebabkan sintesis komponen
steroid sangat sedikit dan zat pembentuk steroid juga terbatas pada tanaman
tersebut.
Saponin terdiri atas suatu aglikon (sapogenin) dan satu atau dua gula.
Saponin banyak ditemukan dalam legume dan berperan dalam memberikan rasa
kacang kedelai (Belitz et al. 2009). Saponin merupakan komponen yang dapat
larut dalam air dan lemak dan memiliki sifat seperti sabun (Scott 2008).
Komponen saponin tidak dapat terdeteksi pada tanaman genjer diduga karena
unsur pembentuk saponin sangat terbatas pada tanaman genjer seperti aglikon.
5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan daun terdiri atas selapis
epidermis dan derivatnya berupa stomata bertipe parasitik, selapis parenkim
palisade, lapisan parenkima spons dengan sejumlah lakuna, dan stele beserta
seludang pembuluhnya. Daun bertipe amphistomatous. Jaringan batang memiliki
selapis epidermis dengan kutikula yang tipis, korteks mengandung kloroplas, pati
dan memiliki sistem lakuna, stele bertipe konsentris amfikribral. Jaringan akar
terdiri atas rhizodermis, korteks dengan sistem lakuna, endodermis berlapis
banyak, stele dengan susunan xilem tipe eksark dan kelompok protoxilem tipe
poliarch.
Sejumlah lakuna menyebabkan persentase kadar air sangat tinggi dan
menurunkan persentase zat gizi lainnya. Persentase kadar air, abu, dan serat kasar
paling tinggi di bagian batang, sedangkan persentase kadar lemak dan protein
paling tinggi di bagian daun. Proses pengukusan mengakibatkan persentase serat
kasar tanaman menurun, tetapi meningkatkan persentase mineral, lemak, dan
protein. Penurunan kadar air genjer kukus tidak signifikan dibandingkan genjer
segar. Kadar total karoten daun meningkat setelah pengukusan, namun total
karoten menurun pada batang genjer.
Komponen bioaktif pada daun tanaman genjer adalah flavonoid, fenol
hidrokuinon, gula pereduksi, dan asam amino. Komponen bioaktif pada batang
tanaman genjer berupa flavonoid, gula pereduksi, dan asam amino. Flavonoid dan
gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada daun dan batang genjer.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah pengujian lebih
lanjut terhadap aktivitas antioksidan dari komponen bioaktif, karotenoid, dan
mineral dari tanaman genjer segar maupun setelah pengukusan. Pengidentifikasian
berbasis DNA terhadap tanaman genjer dan penelitian tentang pemanfataan serat
tanaman genjer sebagai bahan fortifikasi dalam produk olahan perikanan
diharapkan dapat dilakukan dalam penelitian mendatang. Di samping itu,
pemanfaatan tanaman genjer sebagai pakan ikan komersil dapat dilakukan dalam
82

penelitian selanjutnya sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas gizi


ikan. Kajian tentang potensi tanaman genjer, terutama di wilayah Situ Gede,
sebagai fitofiltrasi polusi perairan perlu dilakukan untuk mengetahui kandungan
logam berat dari tanaman genjer yang dikonsumsi sehingga tidak melebihi batas
aman konsumsi manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Abilash PC, Pandey VC, Srivastava P, Rakesh PS, Chandran S, Singh N, Thomas
AP. 2009. Phytofiltration of cadmium from water by Limnocharis flava
(L.) Buchenau grown in free-floating culture system. Journal of
Hazardous Materials. Vol. 170: 791-797.
Ahmad A, Alkarkhi AF, Hena S, Siddique BM, Dur KW. 2010. Optimization of
soxhlet extraction of herba Leonuri using factorial design of experiment.
International Journal of Chemistry. Vol. 2 (1): 198-205.
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Andarwulan N dan Koswara S. 1992. Kimia Vitamin. Jakarta: Rajawali Pers.
Anonim. 2009. Umnocharis flava (L) Buch. www. warintek.ristek.go.id/
pangan_kesehatan/tanaman_obat/.../4-059.pdf [20 November 2009].
AOAC International. 2007. Official Methods of Analysis of AOAC International
18th Edition 2005 Revision 2. USA: AOAC International.
Astawan M dan Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Food Chemistry 4th Revised and
Extended Edition. German: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
BeMiller JN dan Whistler RL. 1996. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR,
editor. Food Chemistry. United States of America: Marcel Dekker, Inc.
hlm. 157-224.
Berg L. 2008. Introductory Botany Plants, People, and The Environment. United
States of America: Thomson Brooks Cole.
Bergh vdM.H. 1994. Limnocharis flava (L.) Buchenau. Di dalam: Siemonsma JS
dan Piluek K, editor. Plant Resources of South-East Asia. Bogor: Prosea.
hlm 192-194.
Bernhardt S & Schlich E. 2005. Impact of different cooking methods on food
quality: retention of lipophilic vitamins in fresh and frozen vegetables.
Journal of Food Engineering. Vol. 6 (40).
Chesworth JM, Stuchbury T, Scaife JR. 1998. Agricultural Biochemistry. London:
Chapman & Hall.
Davidson MW. 2005. Jaringan daun. http://micro.magnet.fsu.edu
/cells/leaftissue/images/leafstructurefigure1.jpg [24 Maret 2010].
Department of Primary Industries and Fisheries. 2007. Limnocharis: Limnocharis
flava. www.dpi.qld.gov.au [5 Januari 2010].
Dickison WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. United States of America:
Elsevier.
84

Edwards R dan Gatehouse JA. 1999. Secondary metabolism. Di dalam: Lea PJ


dan Leegood RC, editor. Plant Biochemistry and Molecular Biology.
England: John Wiley & Sons Ltd. hlm. 193-218
Fahn A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Ahmad Soediarto; penerjemah. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Anatomy.
Fennema OR. 1996. Water and ice. Di dalam: Fennema OR, editor. Food
Chemistry. United States of America: Marcel Dekker, Inc. hlm. 17-94.
Fisher NM & Dunham RJ. 1992. Morfologi akar dan pengambilan zat hara.
Tohari: penerjemah; Goldsworthy PR: editor. Fisiologi Tanaman
Budidaya Tropik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Flyman MV & Afolayan AJ. 2006. The suitability of wild vegetables for
alleviating human dietary deficiencies. South African Journal of Botany.
Vol. 72: 492-497.
Gregory JF. 1996. Vitamins. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry.
United States of America: Marcel Dekker, Inc. hlm. 531-616.
Gokoglu N, Yerlikaya P, Cengiz E. 2004. Effect of cooking methods on the
proximate composition and mineral contents of rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss). Journal of Food Chemistry. Vol. 8: 19-22.
Guillemin F, Devaux MF, Guillon F. 2004. Evaluation of plant histology by
automatic clustering based on individual cell morphological features.
Image Anal Stereol of Original Research Paper. Vol. 23: 13-22.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.
Harborne JB. 1999. Classes and function of secondary products from plants. Di
dalam: Walton NJ dan Brown DE, editor. Chemicals from Plants:
perspectives on plant secondary products. London: Imperial College
Press. hlm. 1-26.
Hardiningtyas SD. 2009. Aktivitas antibakteri ekstrak karang lunak
Sarcophyton sp. yang difragmentasi dan tidak difragmentasi di perairan
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Bogor: Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Haynes RR & Les DH. 2004. Alismatales (water plantains). www.els.net
[5 Januari 2010].
Heddy S. 2001. Ekofisiologi Tanaman : suatu kajian kuantitatif pertumbuhan
tanaman. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Heras BDL, Rodriguez B, Bosca L, Villar AM. 2003. Terpenoids: source,
structure elucidation and therapeutic potential in inflammation. Journal of
Medicinal Chemistry. Vol. 3 (2): 171-185.
Hidayat EB. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: Penerbit ITB.
Humason GL. 1967. Animal Tissue Techniques. San Fransisco: W. H. Freeman
and Company.
85

Igwe CU, Nwaogu LA, Ujuwondu CO. 2007. Assessment of the hepatic effects,
phytochemical and proximate compositions of Phyllanthus amarus.
African Journal of Biotechnology. Vol. 6 (6): 728-731.
Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York dan London: McGraw-Hill
Book Company Inc.
Kristiono SS. 2009. Analisis mikroskopis dan fitokimia semanggi air (Marsilea
crenata Presl (Marsileaceae) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Lakitan B. 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Maggy Thenawidjaja: penerjemah.
Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Lewu MN, Adebola PO, Afolayan AJ. 2009. Effect of cooking on the proximate
composition of the leaves of some accessions of Colocasia esculenta (L.)
Schott in KwaZulu-Natal Province of South Africa. Journal of
Biotechnology. Vol. 8 (8): 1619-1622.
Maidie MS, Budiarso IT, Rumawas W. 1974. Ilmu Penyakit Hewan Bagian
Ketiga: teknik histologi dan histopatologi. Bogor: Biro Penataran, Institut
Pertanian Bogor.
Maisuthisakul P, Pasuk S, Ritthiruangdej P. 2008. Relationship between
antioxidant properties and chemical composition of some Thai plants.
Journal of Food Composition and Analysis. Vol. 21: 229-240.
Miglio C, Chiavaro E, Visconti A, Fogliano V, Pellegrini N. 2008. Effect of
different cooking methods on nutritional and physicochemical
characteristics of selected vegetables. Journal of Agriculture and Food
Chemistry. Vol. 56 (1): 139-147.
Miller DD. 1996. Minerals. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry.
United States of America: Marcel Dekker, Inc. hlm. 617-649.
Mulyani S. 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Murphy DJ. 1999. Plant lipids their metabolism, function, and utilization. Di
dalam: Lea PJ & Leegood RC, editor. Plant Biochemistry and Molecular
Biology. England: John Wiley & Sons Ltd. hlm. 119-136.
Novary EW. 1999. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Jakarta: Penerbit
Swadaya.
Nugroho H, Purnomo, Sumardi I. 2006. Struktur dan Perkembangan Tumbuhan.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Parker RS. 1996. Absorption, metabolism, and transport of carotenoids. FASEB
Journal. Vol. 10: 542-551.
Plantamor. 2008. Genjer. http://www.plantamor.com/index.php?plant=777
[30 Januari 2010].
86

Presiden Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor


31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Popovic S, Stjepanovic M, Grljusic S, Cupic T, Tucak M. 2001. Protein and fiber
contents in alfalfa leaves and stems. Journal of American Society of
Agronomy. Vol. 27 (2): 81-99.
Ramadan MF, Asker MMS, Ibrahim ZK. 2008. Functional bioactive compounds
and biological activities of Spirulina platensis lipids. Czech Journal Food
Science. Vol. 26 (3): 211-222.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Kosasih
Padmawinata: penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: The
Organic Constituents of Higher Plants 6th Edition.
Romdhijati L. 2010. Olahan dari Kentang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen
bioaktif dari kijing Taiwan (Anodonta woodiana Lea.) sebagai senyawa
antioksidan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol. 11 (2):
119-133.
Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa State College Press.
Saupi N, Zakaria MH, Bujang JS. 2009. Analytic chemical composition and
mineral content of yellow velvetleaf (Limnocharis flava L. Buchenau)s
edible parts. Journal of Applied Sciences. Vol. 9 (16): 2969-2974.
Scott P. 2008. Physiology and Behaviour of Plants. England: John Wiley & Sons
Ltd.
Smith CJ. 1999. Carbohydrate biochemistry. Di dalam: Lea PJ & Leegood RC,
editor. Plant Biochemistry and Molecular Biology. England: John Wiley
& Sons Ltd. hlm. 81-118.
Suehiro S. 2007. (). http://www.botanic.jp/plants-
ka/kiomod_1.jpg [25 Januari 2010].
Suntoro H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Jakarta:
Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Tavipiono RM. 2010. Prinsip ekstraksi maserasi. http://kumpulilmu.blogspot.com
/2010/04/prinsip-ekstraksi-maserasi.html [ 28 September 2010].
Thanh TT, Vergnes MF, Kaloustian J, El-Moselhy T, Carlin MJA, Portugal H.
2005. Effect of storage and heating on phytosterol concentrations in
vegetable oils determined by GC/MS. Journal of The Science of Food and
Agriculture. Vol. 86 (2): 220-225.
Ujowundu CO, Igwe CU, Enemor VHA, Nwaogu LA, Okafor OE. 2008. Nutritive
and anti-nutritive properties of Boerhavia diffusa and Commelina
nudiflora Leaves. Journal of Nutrition. Vol. 7 (1): 90-92.
Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri: penerjemah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to
Statistics 3rd Edition.
87

Wildman REC. 2001. Classifying nutraceuticals. Di dalam: Wildman REC, editor.


Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. New York: CRC
Press. hlm 13-30.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press.
88

Lampiran 7 Data hasil pengukuran tanaman genjer


Luas daun Keliling daun Panjang batang Tebal batang Panjang akar
No
(cm2) (cm) (cm) (cm) (cm)
1 71,00 31,00 21,30 0,68 11,10
2 53,26 26,00 17,90 0,64 6,80
3 56,30 27,00 17,60 0,50 6,40
4 59,73 28,00 18,80 0,48 22,40
5 85,30 33,00 21,00 0,73 7,90
6 86,73 33,50 21,50 0,81 8,00
7 93,63 35,00 23,20 0,97 7,30
8 52,23 25,50 17,80 0,64 6,90
9 80,83 32,50 19,50 0,63 15,60
10 65,83 29,00 24,50 0,74 14,20
11 54,36 26,50 22,90 0,55 11,80
12 38,20 22,00 21,20 0,43 17,00
13 45,26 24,00 22,50 0,51 12,50
14 50,40 26,00 22,30 0,69 12,00
15 57,40 27,50 23,00 0,70 11,60
16 64,00 28,50 23,00 0,74 6,50
17 59,40 27,50 18,90 0,64 7,80
18 55,10 26,50 19,60 0,58 8,00
19 46,10 25,00 15,90 0,60 10,30
20 54,10 26,00 20,00 0,60 12,10
21 68,93 30,00 19,50 0,56 12,00
22 74,36 31,50 21,50 0,62 7,80
23 78,33 32,00 20,00 0,74 8,00
24 73,30 30,50 23,90 0,66 6,00
25 69,86 30,50 23,20 0,67 11,20
26 66,46 29,00 24,10 0,78 9,40
27 69,06 31,00 24,70 0,67 12,00
28 67,50 29,00 23,50 0,67 7,00
29 61,36 28,00 23,00 0,68 7,40
30 77,40 32,00 24,00 0,80 14,80
31 74,10 30,00 23,20 0,73 7,00
32 94,13 34,50 30,00 0,81 9,40
89

Lampiran 8 Komposisi larutan seri Johansen, larutan FAA, dan tahapan


pewarnaan jaringan

Komposisi larutan seri Johansen


Larutan Johansen
Komposisi larutan
I II III IV V VI VII
Air 50 % 30 % 15 % - - - -
Etanol 95 % 40 % 50 % 50 % 45 % - - -
Etanol absolut - - - - 25 % - -
Tertier butil alkohol 10 % 20 % 35 % 55 % 75 % 100 % 50 %
Minyak paraffin - - - - - - 50 %

Komposisi larutan FAA


Komposisi larutan Jumlah
Etanol 70 % 90 bagian
Asam asetat glacial 5 bagian
Formaldehyde 5 bagian

Tahapan pewarnaan jaringan


Jenis larutan 1 Waktu Jenis larutan 2 Waktu
Xilol 1 15 menit
Xilol 1 15 menit
Xilol 2 15 menit
Xilol 2 15 menit
Etanol absolut 3 menit (2 kali)
Etanol absolut 3 menit (2 kali)
Etanol 95 % 3 menit
Etanol 95 % 3 menit
Etanol 70 % 3 menit
Etanol 70 % 3 menit
Etanol 50 % 3 menit
Etanol 50 % 3 menit
Etanol 30 % 3 menit
Etanol 30 % 3 menit
Akuades 3 kali celup
Akuades 3 kali celup
Safranin 2 % 48 jam ( 2 hari)
Safranin 2 % 48 jam ( 2 hari)
Akuades 3 kali celup
Akuades 3 kali celup
Etanol 30 % 3 menit
Etanol 30 % 3 menit
Etanol 50 % 3 menit
Etanol 50 % 3 menit
Etanol 70 % 3 menit
Etanol 70 % 3 menit
Aniline blue + alkohol 88 % 10 menit
Etanol 95 % 3 menit
Etanol 95 % + HCl 2 tetes 1 kali celup
Fast green 0,5 % 10 menit
Etanol 95 % 3 menit
Etanol absolut 3 menit (2 kali)
Etanol absolut 3 menit (2 kali)
Xilol 1 10 menit
Xilol 1 10 menit
Xilol 2 10 menit
Xilol 2 10 menit
Larutan 1: Safranin + fast green
Larutan 2: Safranin + aniline blue
90

Lampiran 3 Hasil analisis proksimat tanaman genjer segar dan kukus


Hasil analisis proksimat tanaman genjer segar
Analisa Daun Batang
proksimat Berat basah (%) Berat kering (%) Berat basah (%) Berat kering (%)
91,90 95,26
91,88 95,27
Kadar air
91,64 95,39
91,65 95,41
1,04 12,84 0,88 18,57
1,08 13,30 0,72 15,22
Kadar abu
1,01 12,08 0,78 16,92
0,95 11,38 0,68 14,81
0,67 8,27 0,26 5,49
0,65 8,00 0,27 5,71
Kadar lemak
0,66 7,89 0,26 5,64
0,64 7,66 0,26 5,66
1,94 23,95 0,63 13,29
1,87 23,03 0,63 13,32
Kadar protein
1,88 22,49 0,60 13,02
1,87 22,40 0,61 13,29
0,94 11,60 0,75 15,82
0,97 11,95 0,76 16,07
Kadar serat kasar
1,01 12,08 0,75 16,27
1,01 12,10 0,75 16,34

Hasil analisis proksimat tanaman genjer kukus


Analisa Daun Batang
proksimat Berat basah (%) Berat kering (%) Berat basah (%) Berat kering (%)
91,22 94,03
90,99 94,04
Kadar air
90,99 94,38

1,41 16,91 1,30 21,81


1,33 14,76 0,95 16,91
Kadar abu
1,28 14,21 0,92 16,90

1,18 13,44 1,08 18,09


0,98 11,75 0,97 16,28
Kadar lemak
1,76 19,53 1,21 21,53

2,70 32,37 0,95 15,91


2,41 26,75 0,89 14,93
Kadar protein
2,08 23,09 0,86 15,72

0,97 11,05 0,74 12,40


1,11 10,54 0,77 12,92
Kadar serat kasar
1,11 12,32 0,60 10,97
91

Lampiran 4 Data hasil analisis total karoten tanaman genjer dan data stomata daun
Hasil analisis total karoten tanaman genjer
Total karoten (g/g)
No Sampel
I II
1 Batang kukus 77,6870 77,5350
2 Daun kukus 276,0240 244,7895
3 Daun segar 217,8497 220,1869
4 Batang segar 90,1122 95,8799

Data stomata daun genjer


Bidang Jumlah Jumlah sel Ukuran stomata
Preparat Koordinat
pandang stomata epidermis Panjang Lebar
1 128; 10,5 13 143 14;14;14;11 7;6,5;6;7
2 125,3; 14 17 134 12;14;13;12 7;6;6;7
Epidermis
3 127; 13,9 16 124 12;13;14;11 6,5;7;7;7
atas 1
4 127; 14 13 128 14;14;12;13 6;6;7;7
5 130; 13,5 17 146 15;13;13;11 6;7,5;6,5;7
1 139,5; 13,5 17 143 14;13;10;11 6,5;7;7;7
2 139,5; 12 18 145 13;13;13;11 6;6,5;6;7
Epidermis
3 140; 12,5 17 148 13;12;13;12 6;7;6;6
atas 2
4 140; 13 16 141 12;11;11;11 7;5;7;7
5 140;14,5 15 140 13;11;13;12 6;7;6;6,5
1 149; 15,5 11 132 14;11;13;11,5 7;7;6;7
2 148,5; 15 9 122 12;13;11;13 6,5;7;7;6
Epidermis
3 149; 13,5 13 120 12;14;13;13 7;7;7;6
atas 3
4 150; 13 11 122 10;12;12;12 6,5;7;7;7
5 150;17 13 124 14;13;12;11 6,5;7;7;6
1 140,5; 12 17 125 14;12;13;13 8;7;7;8
2 140; 9 14 127 14;13;13;13 7;7,5;7;6
Epidermis
3 141; 9 13 123 13;14;14;13 6;8;6;7
bawah 1
4 141; 8 17 136 12;14;14;12 6;6;7;7
5 142;9,5 14 133 12;15;13;12,5 7;7;7;7,5
1 146; 9,5 19 140 13;13;10,5;12 6;7;7,5;7,5
2 146; 11 15 136 14;14;15;10,5 6,5;6;7;8
Epidermis
3 146,5; 12 19 140 12;11;11;12 8;7;7,5;6,5
bawah 2
4 147,5; 11,5 18 137 14;11;13;13 7;7;7;7
5 145,5;12,5 18 136 13;11;11;13 7;7,5;7;6
1 133,5; 15 16 117 13;14;13;11 8;7;8;7
2 133,5; 13,5 10 119 14;13;15;11 8,5;7,5;8;8,5
Epidermis
3 132; 13,5 14 116 14;14;13;14 8;7;7,5;9
bawah 3
4 132,5; 13,5 6 99 13;14;13;14 7,5;8;8;8
5 150,5;13,5 12 122 14;13;13;12 8;8;8;8
92

Lampiran 5 Data rendemen ekstrak kasar daun dan batang genjer


Jenis Volume akhir Rendemen Rata-rata
Sampel Ulangan Berat awal (g)
pelarut (ml) (%) (%)
1 25,12 0,90 3,58
Daun 2 25,23 0 0 5,32
3 25,04 3,10 12,38
N-heksan
1 25,01 1,90 7,59
Batang 2 25,02 3,80 15,18 10,22
3 25,05 2,00 7,98
1 25,12 1,10 4,38
Daun 2 25,23 1,80 7,13 11,62
Etil 3 25,04 5,85 23,36
asetat 1 25,01 1,30 5,19
Batang 2 25,02 1,65 6,59 6,25
3 25,05 1,75 6,98
1 25,12 7,60 30,25
Daun 2 25,23 7,90 31,31 31,17
3 25,04 8,00 31,95
Metanol
1 25,01 8,00 31,98
Batang 2 25,02 7,75 30,97 31,09
3 25,05 7,60 30,34

Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar daun dan batang genjer :

Rendemen (%) = x 100%

= x 100%

= 3,58 %
93

Lampiran 6 Gambar proses pembuatan preparat jaringan dengan metode parafin


94

Lampiran 7 Gambar proses pengukuran tanaman beserta alat ukurnya


95

Lampiran 8 Gambar bahan dan alat analisis proksimat


96

Lampiran 9 Gambar hasil pengujian fitokimia daun dan batang genjer

Flavonoid daun Fenol daun

Benedict daun Hinhidrin daun

Flavonoid batang Benedict batang

Ninhidrin batang
97

Lampiran 10 Lokasi pengambilan sampel dan pemeliharaan sampel

Anda mungkin juga menyukai