Anda di halaman 1dari 94

KARAKTERISTIK BAKTERI ASAL SEDIMEN MANGROVE

SEBAGAI AGEN BIODEGRADASI TOLUENA

SKRIPSI

CYNTHIA MUTIARA
NPM 230210130071

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR

2017
KARAKTERISTIK BAKTERI ASAL SEDIMEN MANGROVE SEBAGAI
AGEN BIODEGRADASI TOLUENA

SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Sidang Kolokium

CYNTHIA MUTIARA
NPM 230210130071

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR

2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Karakteristik


Bakteri Asal Sedimen Mangrove Sebagai Agen Biodegradasi Toluena” adalah
hasil karya saya dengan bimbingan dari komisi pembimbing. Sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya orang lain yang diterbitkan maupun
yang tidak telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Jatinangor, Juli 2017

Cynthia Mutiara
NPM. 230210130071
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : KARAKTERISTIK BAKTERI ASAL SEDIMEN


MANGROVE SEBAGAI AGEN BIODEGRADASI
TOLUENA
PENULIS : CYNTHIA MUTIARA
NPM : 230120130071

Jatinangor, 2017
Menyetujui :
Komisi Pembimbing Dekan,
Ketua,

M. Untung Kurnia Agung, S.Kel., M.Si Dr. Ir. Iskandar, M. Si.


NIP. 19830714 200604 1 004 NIP. 19610306 198601 1 001

Anggota,

Lintang Permatasari Yuliadi, S.Kom., M.Si.


NIP. 19820224 2008 12 2 001

iii
ABSTRAK

Cynthia Mutiara. 2017. (dibimbing oleh : M. Untung Kurnia Agung, dan


Lintang Permatasari). Karakteristik Bakteri Asal Sedimen Mangrove
Sebagai Agen Biodegradasi Toluena.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – Juni 2017 dengan melakukan
pengambilan sampel sedimen mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu dan
isolasi bakteri serta uji biodegradasi toluene di Laboratorium Bioteknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji kemampuan dan karakteristik bakteri asal sedimen mangrove di Pulau
Pramuka dalam mendegradasi senyawa toluena. Toluena merupakan senyawa
hidrokarbon aromatik yang terkandung dalam minyak kapal yang sering
mencemari pesisir khususnya wilayah mangrove dan mengganggu kehidupan
makhluk hidup dan ekosistem pesisir ataupun laut oleh karena itu diperlukan
proses biodegradasi untuk mengatasi pencemaran yang disebabkan oleh senyawa
ini. Penelitian ini menggunakan metode survei yang bersifat deskriptif eksploratif
dengan parameter pengamatan morfologi bakteri secara makroskopis dan
mikroskopis, gram bakteri, uji tantang dengan peningkatan konsentrasi toluena
dan analisis kuantitatif persentase toluene yang terdegradasi. Hasil penelitian ini
mendapatkan 27 isolat murni asal sedimen mangrove dari 4 titik pengambilan
sampel. Seluruh sampel memiliki gram negatif. Pada setiap isolat bakteri
dilakukan uji tantang dengan peningkatan konsentrasi toluena sehingga
didapatkan isolate terbaik yang dapat bertumbuh dan mendegradasi toluena.
Peningkatan konsentrasi yang dilakukan ialah 100 µl/l, 1000 µl/l, 2500 µl/l, dan
4000 µl/l. Pada konsentrasi 4000 µl/l bakteri tidak mengalami pertumbuhan, hal
ini dilihat dari nilai OD. Terdapat 2 isolat yang dapat bertumbuh di konsentrasi
2500 µl/l namun hanya 1 isolat yang dianalisis menggunakan GC/MS. Persentase
toluena dengan konsentrasi 2500 µl/l yang didegradasi oleh bakteri ialah 13.5%
dalam inkubasi 24 jam.

Kata kunci : Biodegradasi, Karakteristik Bakteri, Toluena

iv
ABSTRACT

Cynthia Mutiara. 2017. (Supervised by: M. Untung Kurnia Agung, Lintang


Permatasari). Characteristics of Bacteria from Mangrove Sediment as Agent
of Toluene Biodegradation .

This research was conducted in February - June 2017 by taking samples of


mangrove sediments in Pramuka Island, Kepulauan Seribu and bacterial isolation
and toluene biodegradation test at Marine Biotechnology Laboratory Faculty of
Fisheries and Marine Sciences. This research aims to study the ability and
characteristics of bacteria from mangrove sediments in Pramuka Island in
degrading the toluene compound. Toluene is an aromatic hydrocarbon compound
contained in ship oil that often contaminates the coastal area especially mangroves
and disrupts the life of living creatures and coastal or marine ecosystems therefore
it is necessary for biodegradation process to overcome the pollution that caused by
this compound. This research uses descriptive explorative survey method with
observation parameter of bacterial morphology as macroscopic and microscopic,
gram of bacteria, challenge test with increasing of toluene concentration and
quantitative analysis of degraded toluene percentage. The results of this study
obtained 27 pure isolates of mangrove sediments from 4 points of sampling area.
The entire sample has a gram negative. In each bacterial isolate, the challenge test
was done by increasing the toluene concentration to obtain the best isolate that
can grow and degrade toluene. Increased concentrations were 100 μl/l, 1000 μl/l,
2500 μl/l, and 4000 μl/l. At concentrations of 4000 μl/l bacteria can’t resist the
tolune and grow, it’s showed from the value of OD. There are 2 isolates that can
grow at 2500 μl /l concentration but only 1 isolate is analyzed using GC / MS. The
percentage of toluene with a concentration of 2500 μl/l degraded by bacteria was
13.5% in 24 hours incubation.

Keywords: Biodegradation, Bacterial Characteristics, Toluene

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga, sehingga dapat menyelesaikan usulan
penelitian yang berjudul “Karakteristik Bakteri Asal Sedimen Mangrove
Sebagai Agen Biodegradasi Toluena”
Selesainya penyusunan usulan penelitian ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. M. Untung Kurnia Agung, S.Kel., M.Si., selaku ketua komisi pembimbing
atas bimbingan, bantuan dan arahan kepada Penulis dalam menyusun usulan
penelitian ini.
2. Lintang Permatasari Yuliadi, S.Kom., M.Si., selaku wali dosen dan anggota
komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan, bantuan dan arahan
kepada Penulis.
3. Yeni Mulyani, S.Si., Msi., selaku dosen penelaah yang telah memberikan
masukan dan saran dalam usulan penelitian ini.
4. Dr. Ir. Iskandar, M.Si, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran.
5. Sri Astuty, M.Sc, Koordinator Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
6. Seluruh dosen dan staff Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah
memberikan bimbingan serta membantu dalam penyusunan skripsi ini.
7. Mama dan Bapak yang telah memberikan dukungan, materi, semangat, dan
doa kepada Penulis.
8. Pamontang Natanael, Angelina Kristin dan Sarah Devi yang selalu
memberikan dukungan, semangat, dan perhatian.
9. Aulia Gustal, Dannisa Ixora, Dinda Andiani, Hanana Dzakiyya, Justine
Ardelia, Mala Septiani, Puji Apriliantimaya, Putri Gita, Ririn Nurul Hasanah,
Vega Kharisma serta rekan-rekan mahasiswa Ilmu Kelautan 2013 dan

vi
mahasiswa FPIK lainnya yang senantiasa menemani, memberi semangat,
dukungan, dan doa.
10. Agus Tri Askar, Joana Viviani, Teh Dewi Oktaviani dan Teh Cyntia yang
telah membantu dan memberi semangat selama proses penelitian
11. Seluruh teman-teman ESU Unpad dan OSEANIK yang telah memberikan
dukungan dan pengalaman baru.
Serta semua pihak yang tidak bisa dituliskan satu persatu yang telah
membantu selama proses penyusunan usulan penelitian ini. Semoga Tuhan Yang
Maha Esa senantiasa memberkati dan membalas segala kebaikan yang telah
diberikan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu, kritik, saran, masukan dan perbaikan diperlukan agar
skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.

Jatinangor, 2017

Cynthia Mutiara

vii
DAFTAR ISI
BAB Halaman

DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix

I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah .............................................................................. 4
1.3 Tujuan ................................................................................................ 4
1.4 Kegunaan ............................................................................................... 4
1.5 Pendekatan Masalah .............................................................................. 4

II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 7


2.1 Kondisi Umum Pulau Pramuka ............................................................. 7
2.2 Pencemaran Laut oleh Hidrokarbon ...................................................... 8
2.2.1 Pencemaran Laut oleh Toluena ............................................................. 9
2.3 Hidrokarbon Aromatik ........................................................................ 10
2.3.1 Karakteristik Hidrokarbon Aromatik................................................... 11
2.3.2 Karakteristik Toluena .......................................................................... 12
2.4 Bakteri .............................................................................................. 13
2.4.1 Bakteri Hidrokarbonoklastik ............................................................... 14
2.5 Pertumbuhan Bakteri ........................................................................... 16
2.6 Biodegradasi Hidrokarbon................................................................... 18
2.6.1 Biodegradasi Hidrokarbon oleh Bakteri .............................................. 20
2.7 Isolasi Bakteri ...................................................................................... 22
2.8 Pewarnaan Gram.................................................................................. 23
2.9 Analisis Degradasi Menggunakan Gas Chromatography ................... 24

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................................. 27


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 27
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 28
3.2.1 Alat Penelitian ..................................................................................... 28
3.2.2 Bahan Penelitian .................................................................................. 29
3.3 Metode Penelitian ............................................................................... 29
3.4 Prosedur Penelitian ............................................................................ 30
3.4.1 Pengambilan Sampel Sedimen ............................................................ 30
3.4.2 Sterilisasi Alat dan Pembuatan Medium ............................................. 31
3.4.3 Isolasi Bakteri ...................................................................................... 31
3.4.4 Pengujian Gram Bakteri ...................................................................... 32
3.4.5 Analisis Efektivitas Kemampuan Bakteri Mendegradasi Toluena ...... 33
3.5 Parameter yang Diamati ...................................................................... 34

viii
3.5.1 Bentuk dan Warna Sel Bakteri ............................................................ 34
3.5.2 Luasan Puncak Area Biodegradasi Toluena ....................................... 35

IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 37


4.1 Kondisi Fisik dan Kimiawi Stasiun Pengambilan Sampel .................. 37
4.2 Isolasi dan Pemurnian Bakteri Asal Sedimen Mangrove .................... 39
4.2.1 Morfologi Isolat Bakteri Sedimen Mangrove ..................................... 40
4.3 Uji Biodegradasi Toluena ................................................................... 46
4.3.1 Uji Tantang Kemampuan Biodegradasi Toluena Pada Konsentrasi
Berbeda ............................................................................................... 46
4.3.2 Kurva Pertumbuhan Bakteri Pada Konsentrasi Toluena 2500µl/l ...... 51
4.3.3 Analisis Kuantitatif Penurunan Metil Siklopentana dengan GC/MS .. 54

V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 57


5.1 Simpulan ............................................................................................. 57
5.2 Saran .............................................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 59


LAMPIRAN ......................................................................................................... 63

ix
DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Perbedaan sifat gram positif dan gram negatif 14


2. Alat pengambilan sedimen 28
3. Alat isolasi dan kultur bakteri 28
4. Bahan isolasi dan kultur bakteri 29
6. Bahan pewarnaan gram uji tantang toluena pada bakteri 29
7. Parameter fisika dan kimia lokasi sampling 38
8. Morfologi makroskopis koloni bakteri 42
9. Morfologi mikroskopis sel bakteri 43
10. Nilai OD bakteri pada konsentrasi 100µl/l 47
11. Nilai OD bakteri pada konsentrasi 1000µl/l 48
12. Nilai OD bakteri pada konsentrasi 2500µl/l 49
13. Nilai OD bakteri pada konsentrasi 4000µl/l 50
14. Hasil kromatogram isolat bakteri pendegradasi 55

viii
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


1. Struktur kimia toluena 13
2. Reaksi degradasi hidrokarbon aromatik 16
3. Fase perumbuhan bakteri 17
4. Proses degradasi toluena 21
5. Metode inokulasi gores 22
6. Pewarnaan gram bakteri 24
7. Lokasi Pulau Pramuka 27
8. Alur penelitian 30
9. Teknik pengenceran bertingkat 32
10. Morfologi bakteri 35
11. Lokasi pengambilan sampel 37
12. Isolat bakteri hasil pemurnian kode T2P5M3.1 40
13. Hasil pewarnaan bakteri gram (-) 45
14. Kurva tumbuh isolat bakteri T2P5M3.1 konsentrasi 2500µl/l 53

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lingkungan laut merupakan suatu sistem yang sangat dinamis yang
berubah secara terus-menerus. Sifat laut yang dinamis inilah yang menjadi salah
satu komponen yang mendukung berbagai jenis makhluk hidup untuk tinggal di
wilayah pesisir dan laut. Daerah pesisir dan perairan Pulau Pramuka merupakan
salah satu daerah yang termasuk ke wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Lokasi Pulau Pramuka yang strategis dan tidak jauh dari Ibukota inilah yang
menyebabkan banyak masyarakat untuk datang berwisata ke pulau tersebut.
Kedatangan turis untuk berwisata ke Pulau Pramuka juga berpengaruh terhadap
padatnya jadwal kapal menuju ataupun meninggalkan pulau ini.
Tingginya aktivitas transportasi kapal di wilayah pesisir dan laut Pulau
Pramuka menyebabkan wilayah tersebut sering terkena limbah minyak yang
berasal dari buangan bahan bakar kapal. Selain transportasi kapal di Pulau
Pramuka lokasi pulau yang terletak di laut Jawa juga menyebabkan adanya
pencemaran minyak di Pulau Pramuka. Laut jawa merupakan salah satu perairan
yang tergolong dalam Arus Laut Kepulauan Indonesia wilayah I (ALKI I), ALKI
ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk
pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal internasional
diatas laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dengan cara normal. Kapal yang
biasa melalui alur ini merupakan kapal besar seperti kapal kargo yang bahan bakar
kapal tersebut juga mencemari lautan dan terbawa oleh ke pulau-pulau di laut
Jawa. Bahan bakar kapal yang merupakan berbagai jenis senyawa kimia dari
kelompok hidrokarbon aromatik dapat mencemari laut dan berdampak buruk pada
ekosistem. Limbah minyak dari transportasi kapal terbawa oleh arus dan
terakumulasi pada sedimen di pesisir Pulau Pramuka. Salah satu lokasi yang
terkena dampak dari pencemaran limbah minyak kapal ialah kawasan mangrove,

1
2

dimana kawasan mangrove menjadi susunan terdepan di pulau ini sehingga


sedimen yang berada di kawasan mangrove mendapat cemaran terlebih dahulu.
Website berita online beritapulauseribu.com (2016) dan infraindo.org
(2016) melaporkan terjadinya tumpahan limbah minyak mentah (tarbal) kembali
mengotori sepanjang pantai dan perairan laut Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau
Panggang, Kepulauan Seribu Utara, Senin 11 April 2016. Sepertiga dari keliling
Pulau Pramuka terkontaminasi oleh ggumpalan minyak yang terlihat menempel
dipasir maupun pohon mangrove. Berita ini menunjukkan Pulau Pramuka masih
sering terkena cemaran minyak yang berasal dari transportasi kapal yang menuju
Pulau Pramuka atau akibat pergerakan angin yang membawa limbah minyak dari
laut lepas menuju pesisir Pulau Pramuka. Selain dari transportasi kapal, limbah
minyak ini juga diperkirakan merupakan minyak yang berasal dari wilayah
operasional kilang minyak PT. CNOOC di Pulau Pabelokan
Salah satu senyawa dari kelompok hidrokarbon aromatik yang sering
ditemukan dalam limbah minyak pencemar di lautan ialah senyawa toluena.
Toluena adalah salah satu senyawa yang tergolong dalam kelompok hidrokarbon
aromatik, bersifat tidak dapat larut dalam air sehingga keberadaannya di
lingkungan sangat sulit dihilangkan. Senyawa ini berwujud cairan, tidak
berwarna, mudah terbakar dan dapat mengiritasi. Toluena memiliki aroma yang
manis, tajam, dan mirip aroma benzena.
Banyak cara yang dilakukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan
akibat limbah minyak, salah satunya adalah dengan melibatkan agen biologis
berupa mikroorganisme yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa
hidrokarbon yang terdapat di dalam minyak bumi menjadi mineral-mineral yang
lebih sederhana (Goenadi 2003).
Secara alamiah proses pemulihan oleh mikroorganisme di suatu media
tercemar sudah terjadi dengan sendirinya, namun proses pemulihan tersebut
terjadi sangat lambat karena pengaruh fisik, kimia dan biologis di lokasi
pencemaran yang kurang atau tidak mendukung aktivitas mikroorganisme dalam
mengurangi atau menghilangkan kadar bahan pencemar. Selain itu, jumlah dari
bahan pencemar juga melebihi kemampuan mikroorganisme tersebut sehingga
3

terjadi akulmulasi bahan pencemar. Teknik pemulihan lahan tercemar oleh


minyak bumi yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan mikroorganisme
dalam mendegradasi struktur hidrokarbon ini dikenal dengan istilah bioremediasi.
Bioremediasi banyak digunakan dalam pemulihan pencemaran lingkungan akibat
minyak bumi karena lebih efektif dan berwawasan lingkungan dibandingankan
dengan metode pemulihan lingkungan baik secara fisika maupun kimiawi (Gritter
et al. 1991 dalam Nugroho 2006). Mikroorganisme menggunakan kontaminan
sebagai sumber makanan dan mengubah kontaminan tersebut menjadi senyawa
yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Mikroorganisme yang digunakan untuk mendegradasi senyawa toluena
dalam penelitian ini diambil dari sedimen mangrove. Dalam sedimen mangrove
terdapat bakteri indigenous perombak hidrokarbon aromatik yang beragam
(Daane et al 2001; Diaz et al 2000), sehingga dimungkinkan untuk menemukan
konsorsium bakteri yang dapat merombak hidrokarbon aromatik. Keberagaman
bakteri pada ekosistem mangrove disebabkan karena tingginya aktivitas pesisir
pada ekosistem mangrove serta perakaran yang membenuk rhizosfer yang
teroksigenasi dan mengandung bermacam-macam substrat sehingga merupakan
zona yang baik bagi aktivitas mikroorganisme (Macek et al 2000).
Penelitian ini menggunakan bakteri pendegradasi toluena karena intensitas
senyawa tolueana yang dilepaskan ke lingkungan sangatlah tinggi berdasarkan
adanya tumpahan minyak dari kapal ataupun adanya kerusakan pipa yang
digunakan untuk menyalurkan minyak dari bawah laut. Selain itu juga senyawa
toluena sering mencemari lingkungan sebagai akibat dari kegiatan industri dan
pertanian seperti penggunaan pestisida (Jacob and Fawzi 2015). Keberadaan
senyawa hidrokarbon aromatik jika dibiarkan terus ada di lingkungan akan
menyebabkan kematian pada makhluk hidup, karena kurangnya oksigen,
keracunan langsung dari bahan berbahaya dan beberapa senyawa hidrokarbon
seperti naphthalen, anthrasen, serta phenanthren bersifat karsinogenik.
Jacob et al (2015) menyatakan beberapa mikroorganisme perombak
toluena telah berhasil diisolasi dari berbagai sumber: lingkungan air (sungai),
tanah, maupun lumpur aktif. Beberapa jenis bakteri yang terbukti dapat dijadikan
4

sebagai agen perombak toluena ialah Acinetobacter sp. Rhodobacter sp. dan
Pseudomonas sp.

1.2 Identifikasi Masalah


Identifikasi masalah yang dapat diidentifikasi berdasarkan latar belakang
di atas adalah bagaimana kemampuan dan keefektivitasan bakteri asal sedimen
mangrove Pulau Pramuka sebagai pendegradasi toluena serta mengetahui spesies
bakteri yang efektif untuk mendegradasi toluena.

1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan
isolat bakteri asal sedimen mangrove dan menguji kemampuan bakteri dalam
mendegradasi senyawa toluena.

1.4 Kegunaan
Kegunaan dari penelitian ini adalah dapat mengetahui kemampuan dan
spesies bakteri asal sedimen mangrove di Pulau Pramuka dalam mendegradasi
senyawa toluena sehingga dapat dijadikan informasi dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan laut Pulau Pramuka.

1.5 Pendekatan Masalah


Wilayah pesisir dan laut sering tercemar oleh limbah hidrokarbon yang
berasal dari buangan bahan bakar kapal ataupun berasal dari limbah industri yang
sengaja dibuang ke laut karena pola pikir yang masih menganggap laut sebagai
tempat akhir pembuangan limbah. Salah satu senyawa yang terkandung dalam
hidrokarbon yang berbahaya bagi ekosistem dan biota perairan ialah senyawa
toluena. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk dapat mendegradasi senyawa
tersebut.
Salah satu penanganan yang bersifat ekonomis dan ramah lingkungan
adalah bioremediasi, yang dimana memanfaatkan alam untuk meremediasi
lingkungan. Bioremediasi dapat digunakan untuk mendegradasi limbah minyak
yang mencemari wilayah pada kondisi geografis dan iklim tertentu. Saat ini
bioremediasi dianggap merupakan teknologi yang efektif untuk
5

mentransformasikan komponen-komponen toksik menjadi produk-produk kurang


toksik tanpa adanya gangguan terhadap lingkungan sekitarnya (Venosa 2002).
Mekanisme bioremediasi berlandaskan pada proses penguraian bahan
organik di biosfer yang dilakukan oleh kelompok mikroba perombak
(heterotrofik). Mikroba heterotrofik memiliki kemampuan memanfaatkan
senyawa organik, dalam hal ini minyak bumi sebagai substrat. Penguraian minyak
bumi akan menghasilkan CO2, CH4, air, biomassa mikroba, serta hasil samping
berupa senyawa yang lebih sederhana (Leisinger 1981). Secara umum terjadinya
proses biodegradasi suatu senyawa oleh mikroba disebabkan oleh produk-produk
enzim tertentu yang dihasilkan oleh mikroba itu sendiri, sehingga proses
degradasi bergantung pada jumlah mikroba yang cukup untuk mendegradasikan
minyak bumi melalui jalur metabolisme mikroba.
Penelitian mengenai bakteri pendegradasi senyawa toluena pernah
dilakukan oleh M. Genovese et al (2008) dengan menggunakan bakteri
Acinetobacter sp., Pseudomonas sp. and Rhodococcus sp. yang berasal dari tanah
yang terkontaminasi minyak di lokasi bekas penyimpanan minyak di Catania,
Italia. Penelitian tersebut membuktikan bahwa populasi mikroorganisme yang
menurunkan minyak mentah dapat menimbulkan adanya interaksi, interaksi yang
dihasilkan dari masing-masing kemampuan metabolisme mikroorganisme dapat
menjadi sinergis atau merugikan degradasi minyak lebih lanjut (Atlas 1984; Dean-
Ross et al 2002).
Pseudomonas putida merupakan salah satu bakteri yang mampu
mendegradasi senyawa Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) mampu
memanfaatkan naftalen, phenantren dan BTEX sebagai substrat. Pseudomonas
fluorescens selain mampu mendegradasi HAP juga mampu menghasilkan
biosurfaktan viscosin dan lipopeptide (Nida dkk 2011). Selain Pseudomonas
fluorescens, bakteri Bacillus insolitus dan Bacillus marinus juga merupakan
konsorsium bakteri yang berpotensi untuk dikembangkan dan diterapkan dalam
bioremediasi lahan tercemar minyak bumi
Putri dkk (2013) melakukan penelitian bioremediasi tanah yang
terkontaminasi senyawa kelompok BTEX dengan metode bioventing. Penelitian
6

tersebut membuktikan bahwa penambahan jenis bakteri Bacillus subtilis pada


proses bioremediasi dapat meningkatkan proses degradasi hidrokarbon pada tanah
yang terkontaminasi minyak bumi. Bakteri yang digunakan dalam mendegradasi
senyawa BTEX ialah bakteri aerobik sehingga bakteri akan menggunakan oksigen
untuk mengoksidasi substrat karbon. Penelitian ini memanfaatkan bakteri
indigenous dari sedimen mangrove di Pulau Pramuka karena kemungkinan akan
keberadaan bakteri yang dapat mendegradasi senyawa pencemar tepat di wilayah
yang tercemar lebih besar dibandingkan di wilayah lain yang tidak tercemar oleh
senyawa toluena.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Pulau Pramuka


Kepulauan seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 diantaranya yang dihuni
penduduk. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar
budaya dan peruntukan lainnya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108.000 ha,
terletak di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke
Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong
karang. Pulau Untung Jawa merupakan pulau berpenghuni yang paling selatan
atau paling dekat dengan jarak 37 mil laut dari Jakarta. Sedangkan kawasan paling
utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak sekitar 70 mil laut dari Jakarta.
Pulau Pramuka berada pada bagian tengah gugusan kepulauan seribu.
Secara administratif, Pulau Pramuka berada di kelurahan Pulau Panggang,
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta. Posisi
Pulau Pramuka dapat digambarkan secara umum melalui topografi dan batas
wilayah kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Memiliki topografi mendatar dengan
tingkat ketinggian dan permukaan laut antara 1 sampai dengan 2 meter, tanah
berpasir dengan tingkat kesuburan yang relatif rendah. Letak geografis Pulau
Pramuka 5°44’19”-5°45’05” LS dan 106°36’35-106°37’07” BT (Biro Pusat
Statistik 2006).
Secara umum, kondisi perairan Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta
dipengaruhi oleh empat musim yaitu Musim Barat yang mewakili Bulan
Desember-Februari, Musim peralihan Barat-Timur mewakili Bulan Maret-Mei,
Musim Timut mewakili Juni-Agustus dan Musim Peralihan Timur-Barat mewakili
Bulan September-November. Selama musim-musim tersebut terjadi perubahan
kondisi umum perairan Teluk Jakarta, baik dari aspek fisik, kimia maupun
biologis. Kondisi suhu air permukaan pada Musim Barat berkisar antara 28,5ºC -
30ºC, pada Musim peralihan Barat-Timur antara 29,5ºC - 30,7ºC, pada Musim
Timur suhu berkisar antara 28,5ºC - 31ºC dan pada Musim peralihan Timur Barat
berkisar antara 28,5ºC - 31ºC. Salinitas minimum di perairan Teluk Jakarta yang

7
8

berkisar antara 25‰ - 32,5‰ terjadi pada Musim Barat dengan kisaran 29 - 32‰.
Kondisi salinitas maksimum dijumpai pada Musim peralihan Barat-Timur yaitu
berkisar antara 28‰ - 32,5‰ serta pada Musim peralihan Timur-Barat berkisar
antara 28‰ - 32‰ (Ilahude 1995 dalam Paonganan 2008).

2.2 Pencemaran Laut oleh Hidrokarbon


Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan
manusia sehingga kualitas air laut menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu atau fungsinya
(PP RI No.19 tahun 1999). Salah satu sumber pencemaran laut adalah senyawa
hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi.
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara. Misran (2002) menggolongkan bahan pencemar dari segi
konservatif/non-konservatif:
1. Golongan non-konservatif terbagi menjadi tiga bentuk yaitu:
a. Buangan yang dapat terurai seperti lumpur dan sampah, buangan
dari industri pengolahan makanan, proses distilasi (penyulingan),
industri-industri kimia, dan tumpahan minyak;
b. Pupuk umumnya dari industri pertanian ;
c. Buangan dissipasi (berlebih), pada dasarnya adalah energy dalam
bentuk panas dari buangan air pendingin, termasuk juga asam dan
alkali.
2. Golongan konservatif terbagi dalam dua bentuk yaitu:
a. Partikulat, seperti buangan dari penambangan (misalnya: tumpahan
dari tmbang batubara, debu-debu halus), plastik;
b. Buangan yang terus-menerus (persistent waste) yang terbagi lagi
dalam tiga bentuk:
(1) Logam-logam berat (merkuri, timbal, zinkum);
9

(2) Hidrokarbon terhalogenasi (DDT dan pestisida lain dari


hidrokarbon terklorinasi, dan PCBs atau polychlorinated
biphenyl); dan
(3) Bahan-bahan radioaktif

2.2.1 Pencemaran Laut oleh Toluena


Di seluruh dunia, produksi tahunan toluena diperkirakan sekitar 10 juta
ton. Toluena setiap hari dilepaskan dalam jumlah banyak di lingkungan yang
diakibatkan oleh tumpahan minyak mentah baik hasil buangan transportasi kapal
ataupun kecelakaan kapal tanker minyak dan gangguan pipa. Toluena juga dapat
mencemarkan lingkungan karena penggunaan ekstensif dalam kegiatan pertanian
dan industri seperti cat produksi, pernis, thinner, pestisida, rokok, polimer, serta
dari bengkel mobil dan bengkel mobil dan lain-lain. Akibatnya, toluena dapat
terakumulasi di permukaan dan air tanah, garis pantai dan tanah. Bila toluena
memasuki tanah, sebagian akan menempel pada partikel tanah melalui proses
adsorpsi, dan beberapa di antaranya akan mencapai air tanah.
Paparan toluena dapat menyebabkan berbagai bahaya kesehatan yang
serius bagi manusia dan juga berbagai jenis hewan dan tumbuhan di laut. Paparan
secara terus menerus terhadap toluena dapat memberi efek mutagenik pada sel
yang terdapat pada hewan dan manusia karena ikatan kovalen dengan asam
nukleat, terutama DNA. Hal ini juga merupakan salah satu neurotoksin manusia
yang terkenal dan dapat menyebabkan leukoencephalopathy pada manusia pada
waktu paparan yang lama.
Toluena, benzene dan naftalena merupakan penyusun utama dalam
beberapa jenis minyak (Anderson et al 1974). Senyawa-senyawa tersebut sangat
mencemari lingkungan. Korn et al (1977) menyatakan bahwa toluena dapat
bersifat lebih toksik dibandingkan hidrokarbon aromatik lainnya seperti benzena.
Hidrokarbon aromatic seperti toluena bersifat lipid-soluble atau dapat menyerap
dalam lipid, sehingga dapat mempengaruhi membrane eritrosit (Gerarde 1960).
Berry (1980) menyatakan bahwa pengaruh yang diberikan toluena terhadap
10

eritrosit dapat menyebabkan ketidakcukupan penyebaran oksigen untuk


kebutuhan metabolisme pada jaringan yang dapat menyebabkan stress pada ikan.

2.3 Hidrokarbon Aromatik


Minyak mentah dan minyak olahan adalah senyawa kompleks hidrokarbon
yang mempunyai ribuan variasi senyawa. Minyak mentah mengandung senyawa
hidrokarbon sekitar 50–98 % dan selebihnya senyawa non-hidrokarbon (sulfur,
nitrogen, oksigen, dan beberapa logam berat). Minyak diklasifikasikan
berdasarkan kelarutan dalam pelarut organik, yaitu:
1. Hidrokarbon jenuh.
Termasuk dalam kelas ini adalah alkana. Hidrokarbon jenuh ini merupakan
kandungan terbanyak dalam minyak mentah.
2. Hidrokarbon aromatik.
Termasuk dalam kelas ini adalah monosiklik aromatik (BTEX) dan
hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP: naphtalene, anthracene, dan
phenanthrene).
3. Resin.
Termasuk di sini adalah senyawa polar berkandungan nitrogen, sulfur, oksigen
(pyridines dan thiophenes), sehingga disebut pula sebagai senyawa NSO.
4. Asphalt.
Termasuk di sini adalah senyawa dengan berat molekul besar dan logam berat
nikel, vanadium, dan besi.
Hidrokarbon Aromatik adalah senyawa organik yang tersebar luas di alam,
bentuknya terdiri dari rantai siklik aromatik dan bersifat hidrofobik. Senyawa
hidrokarbon aromatik mengandung cincin benzene, berasal dari pirolisis,
pembakaran yang tidak sempurna (pembakaran hutan, buangan motor, gunung
api), proses pembakaran yang menggunakan suhu tinggi pada pengolahan minyak
bumi, proses industri dan aktivitas manusia lainnya (FSAI 2009; GFEA, 2012).
Hidrokarbon aromatik adalah kelompok senyawa yang terdiri lebih dari 100
senyawa kimia berbeda yang terbentuk selama pembakaran tidak sempurna dari
batubara, minyak dan gas, sampah, dan zat organik lainnya (McGrath et al 2007).
11

Keberadaan hidrokarbon aromatik di alam dapat berasal dari dua sumber,


yakni sumber alami dan sumber antropogenik. Sumber alami meliputi; kebakaran
hutan dan padang rumput, rembesan minyak bumi, gunung berapi, tumbuhan yang
berklorofil, jamur dan bakteri, sedangkan sumber antropogenik meliputi; minyak
bumi, pembangkit tenaga listrik, insenerasi, pemanas rumah, batu bara, karbon
hitam, aspal dan mesin-mesin pembakaran (Lah 2011). Hidrokarbon aromatik
yang berasal dari proses alami umumnya lebih rendah dari sumber antropogenik
(Culoota et al 2006). Hidrokarbon aromatik merupakan kontaminan yang sering
dijumpai di laut (NRC 2003), dijumpai dalam sedimen pantai, muara, dan dasar
kontinen dalam konsentrasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan masukan
antropogenik (Nikolaou et al 2009). Umumnya kadar hidrokarbon aromatik yang
tinggi dijumpai dalam sedimen laut yang dekat dengan pantai. Hung et al. (2011)
dalam penelitiannya di Laut Cina Timur melaporkan tingginya kadar hidrokarbon
aromatik pada stasiun-stasiun yang berada dekat pantai. Senyawa hidrokarbon
aromatik yang mengendap ke dasar perairan bersifat racun bagi organisme
perairan.

2.3.1 Karakteristik Hidrokarbon Aromatik


Hidrokarbon aromatik dapat terbentuk selama temperatur lingkungannya
tinggi minimal 700 °C. Proses kimia dari bahan organik pada temperatur serendah
100-150 °C bisa menyebabkan produksi hidrokarbon aromatik (Blumer 1976
dalam Neff 1979). Hidrokrbon aromatik bisa terdegradasi dalam lingkungan
perairan melalui proses fotooksidasi, oksidasi kimia, dan transformasi biologis
oleh bakteri, jamur dan hewan akuatik. Hidrokarbon aromatik mampu bertahan
secara tak menentu pada basin air yang miskin oksigen atau sedimen anoxic.
Hidrokarbon aromatik yang mengalami degradasi dengan proses fotooksidasi
lebih sering didapati dengan adanya bantuan oksigen. Hidrokarbon aromatik juga
dapat terdegradasi secara anaerobik dengan bantuan reduksi dari sulfat dalam
perairan. Karakter reaksi kimia yang terdapat pada hidrokarbon aromatik ada 3
tipe yakni substitusi elektrofilik, oksidasi dan reduksi.
Karakter fisik dan kimia Hidrokarbon aromatik bervariasi dalam mode
reguler lebih atau kurang dengan berat molekulnya. Konsistensi tiap senyawa
12

hidrokarbon aromatik dalam peristiwa oksidasi dan reduksi cenderung berkurang


seiring dengan bertambahnya berat molekul. Tekanan uap dan kelarutan dalam air
berkurang secara logaritmik dengan bertambahnya berat molekul. Hidrokarbon
aromatik yang berat molekulnya rendah bersifat toksik secara akut terhadap
organisme perairan, dibandingkan dengan yang memiliki berat molekul lebih
tinggi. Selain itu, hidrokarbon aromatik dengan berat molekul yang rendah dapat
terdegradasi dengan cara evaporasi dan aktivitas mikroba. Sedangkan berat
molekul yang tinggi umumnya terdegradasi oleh sedimentasi dan fotooksidasi.
Penyebab relatif dari berbagai proses degradasi pada hidrokarbon aromatik adalah
karakter dari masing-masing senyawa hidrokarbon aromatik.
Hidrokarbon aromatik dalam lingkungan air diperkirakan lebih sensitif
terhadap fotooksidasi dibandingkan hidrokarbon aromatik di udara. Dengan
demikian, hidrokarbon aromatik akan lebih persisten di dalam air dibandingkan di
udara. Hidrokarbon aromatik yang masuk ke dalam perairan dari berbagai sumber
akan diserap menjadi bahan partikulat organik dan inorganik. Hidrokarbon
aromatik dalam bentuk partikulat lebih banyak mengendap ke dalam sedimen
dasar. Kemudian dengan mudahnya hidrokarbon aromatik diakumulasikan oleh
biota akuatik ke level lebih tinggi dari medium yang sebelumnya. Hidrokarbon
aromatik yang terdegradasi dalam tubuh organisme akuatik disebut dengan
biotransformasi. Dampak dari hidrokarbon aromatik tidak dapat dimetabolisme
oleh organisme akuatik, maka hidrokarbon aromatik hanya dapat diakumulasi dan
dilepaskan secara pasif oleh jenis-jenis hewan tertentu. Hidrokarbon aromatik
mengalami removal dari lingkungan akuatik dengan rute sebagai berikut:
fotooksidasi, oksidasi kimia, metabolisme mikrobial dan metabolisme metazoa
yang lebih tinggi (Neff 1979).

2.3.2 Karakteristik Toluena


Toluena adalah suatu senyawa tidak berwarna, cairan berbau aromatik
yang khas. Toluena secara umum diproduksi bersama dengan benzene, xylene,
dan senyawa aromatik C9 dengan pembentukan katalitik dari nafta. Hasil
pembentukan kasar ini diekstraksi, kebanyakan terjadi dengan sulfolane atau
tetraetilena glikol dan zat terlarut, ke dalam sumur campuran dari benzene,
13

toluena, xylena dan senyawa C9-aromatik dimana dipisahkan dengan cara


fraksinasi (Othmer & Kirk, 1989). Berat molekul 92, 14; titik didih 231,1ºF
(110,6ºC); titik lebur -139ºF (-95ºC); tekanan uap 28,4 mmHg pada 25ºC;
kerapatan uap 3,1 (udara: 1); kekentalan 0,59 cps pada 20ºC; berat jenis 0,866
(air: 1) Kelarutan: larut dalam dietil eter, etanol, benzene, kloroform, asam asetat
glasial, karbon disulfida dan aseton; praktis tidak larut dalam air dingin; kelarutan
dalam air: 0,561 g/L pada suhu 25oC.

Gambar 1. Struktur kimia toluena


(sumber: Fengel dan Wegener 1984)
2.4 Bakteri
Bakteri adalah makhluk hidup prokariotik yang khas, uniseluler, dan tidak
memiliki membran inti. Dinding sel bakteri merupakan strukur yang unik secara
biokimia. Dinding sel pada beberapa bakteri mengandung murein, yang dikenal
sebagai peptidoglikan atau mucopeptide. Lapisan peptidoglikan ini tidak
ditemukan pada organisme eukariotik (Atlas 1984). Berdasarkan bentuknya,
bakteri dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu bentuk kokus (bulat), bentuk
basil (silinder atau batang), dan bentuk spiral (batang melengkung atau
melingkar). Berdasarkan struktur dan dinding sel, bakteri dibedakan menjadi
bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Menurut Tortora et al. (1989)
perbendaan sifat bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif disajikan pada
tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Sifat Bakteri Gram positif dan bakteri Gram negative
Ciri-ciri Gram Positif Gram Negatif
Struktur Dinding Sel Tebal (15 – 80 nm) Tipis (10 – 15 nm)
Berlapis tunggal (mono) Berlapis 3 (multi)
Komponen dinding sel:
Kandungan lipid dan Rendah Tinggi
14

lipoprotein
Peptidoglikan Komponen utama (90% Jumlah sedikit (10%
dari dinding sel) dari dinding sel)
Kandungan Tebal (multilayer) Tipis (single layer)
lipopolisakarida (LPS)
Asam tekoat Tidak ada Tinggi
Toksin yang dihasilkan Kebanyakan ada, terutama Tidak ada, terutama
eksotoksin indotoksin
Ketahanan terhadap Tinggi Rendah
pengeringan
Ketahanan terhadap
gangguan fisik Tinggi Rendah

2.4.1 Bakteri Hidrokarbonoklastik


Bakteri hidrokarbonoklastik ialah bakteri yang mampu memecah minyak
sebagai bahan energinya. Lebih dari ratusan spesies bakteri menggunakan
komponen kimia dari minyak bumi untuk menunjang pertumbuhan dan
metabolismenya (Pavlova 2006). Berdasarkan penelitian Bossert (1984), terdapat
22 genera bakteri yang hidup di lingkungan minyak bumi, isolat yang
mendominasi terdiri dari beberapa genera yakni: Alcaligenes, Artrobacter,
Acinetobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, dan
Pseudomonas. Bakteri hidrokarbonoklastik memiliki kemampuan dalam
mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam wilayah tersebut (Davids
1967). Bakteri hidrokarbonoklastik memilik potensi genetik untuk mengikat,
mengemulsi, dan mendegradasi hidrokarbon. Karakteristik mikroorganisme
hidrokarbonoklastik adalah menghasilkan enzim oksigenase yang terikat
membrane dan memiliki mekanisme untuk mengoptimalkan kontak antara
permukaan sel mikroorganisme dengan hidrokarbon yang tidak larut dalam air
(Rosenberg et al 1992).
Sedangkan menurut Atlas 1976 bahwa kriteria bakteri hidrokarbonoklastik
yang digunakan dalam proses remediasi ialah mampu mendegradasi komponen
penyusun hidrokarbon, stabil secara genetis, tidak bersifat patogen maupun
menghasilkan senyawa toksik, memiliki viabilitas dan laju pertumbuhan yang
tinggi selama penyimpanan, memiliki aktivitas enzimatik dan pertumbuhan yang
tinggi di lapangan.
15

Pertumbuhan mikroorganisme dalam hidrokarbon sering diikuti dengan


pengemulsian sumber karbon yang tidak larut dalam medium kultur karena
adanya agen polimer ekstraseluler yang dibentuk selama fermentasi hidrokarbon
(Zajic et al. 1977). Dalam ekosistem terdapat mikroba yang mampu melakukan
biodegradasi sehingga kondisi lingkungan dapat bersifat lebih baik.
Penggunaan bakteri pendegradasi hidrokarbon pada lingkungan yang
tercemar minyak akan lebih efektif apabila bakteri tersebut berasal dari area
tercemar tersebut. Ada beberapa keuntungan yang didapat yaitu, antara lain
populasi alami bakteri tersebut sudah beradaptasi dan berkembang baik di
lingkungannya. Populasi bakteri ini terbentuk secara alamiah dan jumlahnya
cukup untuk mendegradasi lingkungan pencemarnya (Ghazali et al. 2004).
Pemanfaatan bakteri hidrokarbonoklastik yang diisolasi langsung dari habitatnya
(bakteri indigenous) sebagai agen pendegradasi hidrokarbon dapat mempersingkat
waktu bioremediasi (Yudono et al. 2013).

Proses degradasi hidrokarbon aromatik oleh bakteri hidrokarbonoklastik


dapat dilihat pada Gambar 2. Hidrokarbon aromatik terdiri dari kelompok
monocyclic aromatics (BTEX) dan hidrokarbon aromatik. Hidrokarbon aromatik
bersifat karsinogen atau dapat ditransformasi mikroba menjadi senyawa
karsinogen sehingga menjadi senyawa penting dalam penjagaan kualitas
lingkungan (Mangkoedihardjo 2005). Senyawa hidrokarbon berstruktur aromatik
adalah jenis hidrokarbon berantai pendek, ikatan tak jenuh atau bercabang sedikit
lebih sulit diuraikan oleh bakteri. Senyawa hidrokarbon aromatik ini digunakan
sebagai donor elektron secara aerobik oleh mikroorganisme seperti bakteri dari
genus Pseudomonas.
Proses biodegradasi senyawa aromatik dibagi menjadi dua tahapan yaitu
aktivasi struktur cincin dan membuka struktur cincin. Aktivasi dilakukan dengan
bantuan oksigen, yaitu dengan cara dihidroksilasi inti aromatik. Pada tahap ini
ditemukan enzim oksigenase. Dioksigenase mengkatalisa dengan bantuan dua
atom oksigen hingga membentuk struktur dihidrodiol. Dihidrodiol merupakan
prekursor untuk membuka struktur cincin.
16

Gambar 2. Reaksi degradasi hidrokarbon aromatik

2.5 Pertumbuhan Bakteri


Pertumbuhan bakteri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
pertambahan jumlah dalam satuan waktu. Sebagian besar bakteri berkembang
biak dengan cara membelah diri, dari induk yang sama dapat terbentuk dua sel
yang baru. Bakteri dapat tumbuh pada sistem tertutup, yang dikenal sebagai batch
culture atau pada sistem terbuka, dimana proses berlangsung secara kontinu. Pada
sistem terbuka, pertumbuhan dikontrol dengan menambahkan nutrient segar dan
membuang medium sisa dan sel-sel dari wadah pertumbuhan. Pertumbuhan
bakteri tidak berlangsung terus menerus, dikarenakan adanya keterbatasan
substrat, nutrient, dan volume reaktor (Srimariana 2000). Pertumbuhan bakteri
dapat dipengaruhi oleh nutrient yang tersedia maupun faktor lingkungan.
Pertumbuhan bakteri membutuhkan karbon sebagai sumber energi untuk
aktivitasnya, senyawa lainnya yaitu N dan P terutama untuk pertumbuhan dan
biosintesis unsur pokok bakteri (Udiharto 1995).
Pertumbuhan mikroorganisme dapat diamati dengan mengukur jumlah sel
atau konsentrasi biomassa. Perumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologis
17

yang saling mempengaruhi secara berurutan yang dapat ditandai dengan


peningkatan jumlah dan massa sel. Kecepatan pertumbuhan tergantung pada
lingkungan fisik dan kimianya. Berdasarkan laju pertumbuhannya,
mikroorganisme dapat dibagi tiga fase yaitu, fase pertumbuhan lambat (lag
phase), fase pertumbuhan eksponensial dan fase pertumbuhan stasioner. Laju
pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 3 Fase Pertumbuhan Bakteri


(Sumber: Pearson 2006)

Kurva pertumbuhan bakteri pada suatu media kultur dapat dibagi menjadi
beberapa fase (Pelczar dan Chan 1988), yaitu:

1. Fase pertumbuhan lambat (lag phase). Pada saat penambahan inokulum


dalam suatu media kultur, maka fase lag ini menggambarkan waktu yang
diperlukan oleh bakteri untuk menyesuaikan diri pada lingkungan baru.
2. Fase pertumbuhan logaritmik (log-growth phase). Selama periode ini sel
akan membelah diri pada kecepaan sesuai dengan kemampuan untuk
mengolah makanan (pertumbuhan berlangsung dengan kecepatan
konstan).
3. Fase Perbanyakan (Logaritma atau eksponensial)
Pada fase ini pembiakan bakteri berlangsung paling cepat. Jika kita ingin
mengadakan piaraan yang cepat tumbuh, maka bakteri dalam fase ini baik
sekali untuk dijadikan inokolum. Sel akan membelah dengan laju yang
18

konstan massa menjadi dua kali lipat dengan laju yang sama, aktivitas
metabolit konstan dan keadaan pertumbuhan yang seimbang.
4. Fase Statis/Konstan
Pada fase ini terjadi penumpukan produk beracun dan atau
kehabisan nutrien. Beberapa sel mati sedangkan yang lain tumbuh dan
membelah. Jumlah sel hidup menjadi tetap. Fase ini menunjukan jumlah
bakteri yang berbiak sama dengan jumlah bakteri yang mati, sehingga
kurva menunjukan garis yang hampir horizontal.
5. Fase Kematian
Pada fase ini sel menjadi mati lebih cepat dari pada terbentuknya
sel-sel baru, laju kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial
bergantung pada spesiesnya, semua sel mati dalam waktu beberapa hari
atau beberapa bulan.

2.6 Biodegradasi Hidrokarbon


Proses biodegradasi hidrokarbon ada dua hal yang mempengaruhi
kecepatan biodegradasi oleh mikroba pengoksidasi hidrokarbon tersebut, yaitu
adanya enzim spesifik oksigenase yang terikat pada membran dan mekanisme
untuk mengoptimalkan kontak antara mikroba dengan hidrokarbon. Mekanisme
untuk mengoptimalkan kontak antara mikroba dan hidrokarbon tersebut sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu keadaan fisik minyak bumi yang akan
diuraikan sebagai berikut :
1. Bentuk fisik minyak bumi.
Hidrokarbon yang dapat digunakan oleh bakteri adalah yang berbentuk cair,
sedangkan hidrokarbon padat hanya dapat didegradasi jika dilarutkan dalam
hidrokarbon cair (Atlas dan bartha 1985)
2. Luas permukaan minyak yang tersedia bagi kolonisasi bakteri pendegradasi
minyak.
Mikroba dapat diamati pertumbuhannya pada keseluruhan permukaan sebuah
tetesan minyak. Semakin besar luas permukaan tetesan, semakin banyak koloni
bakteri yang tumbuh sehingga biodegradasi akan semakin cepat. Luas
19

permukaan minyak yang tersedia bagi kolonisasi bakteri pendegradasi minyak


ditentukan oleh derajat penyebaran minyak. Minyak yang tersebar pada
temperatur rendah akan menyebabkan viskositas minyak tersebut meningkat
(Atlas dan Bertha 1985 dalam Leahy dan Conwell 1990).
3. Kelarutan minyak di dalam air.
Pada konsentrasi rendah hidrokarbon dapat larut di dalam air, sedangkan pada
konsentrasi yang tinggi, misalnya pada peristiwa tumpahan minyak di laut,
biodegradasi oleh mikroba menjadi sangat lambat karena adanya keterbatasan
pengambilan oksigen dan nutrien. Biodegradasi lambat tersebut dapat
membentuk pseudosolubilization atau mousse, yaitu emulsi minyak di dalam
air sebagai akibat dari fotooksidasi atau oksidasi oleh mikroba. Mousse yang
kecil dapat menyerupai tetesan, yaitu memiliki banyak permukaan yang luas
sehingga memudahkan biodegradasi oleh mikroba (Atlas dan Bartha 1985).
Selanjutnya adalah faktor temperatur, biodegradasi hidrokarbon dapat
terjadi pada kisaran temperatur yang luas karena bakteri yang psikrotrofik,
mesofilik dan termofilik telah banyak diisolasi. Pengaruh temperatur pada
kecepatan biodegradasi minyak bumi tergantung pada jenis fraksi hidrokarbon
minyak bumi. Temperatur rendah memperlambat penguapan hidrokarbon dengan
berat molekul rendah yang beberapa diantaranya bersifat toksik bagi mikroba
sehingga biodegradasi minyak secara keseluruhan menjadi sangat lambat. Pada
temperatur rendah hanya fraksi hidrokarbon tertentu yang didegradasi, sedangkan
pada temperatur hangat berbagai fraksi dapat didegradasi pada kecepatan yang
sama (Atlas dan Bartha 1985).
Kemudian faktor kadar oksigen, tahap awal katabolisme hidrokarbon
alifatik dan aromatik oleh bakteri terjadi secara aerob. Molekul oksigen
dibutuhkan dalam proses oksidasi substrat oleh oksigenase. Keterbatasan jumlah
oksigen diperkirakan merupakan faktor penghambat biodegradasi minyak bumi
(Atlas dan Bartha 1985). Berikutnya faktor tekanan. Pengaruh tekanan terhadap
biodegradasi minyak bumi terutama ditujukan pada biodegradasi di laut dalam
dan sumur minyak. Kecepatan biodegradasi pada tekanan sangat tinggi (hingga
mencapai 500 atm) terjadi sangat lambat dibandingkan dengan kecepatan
20

biodegradasi pada tekanan 1 atm (Leahy dan Conwell 1990). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa lambatnya laju biodegradasi di laut juga disebabkan
sedikitnya konsentrasi nitrogen dan fosfor di laut. Oleh karena itu biodegradasi
minyak bumi di lingkungan laut juga dapat dipercepat dengan pengaturan rasio
karbon/ nitrogen/ fosfor melalui penambahan nitrogen dan fosfor dalam bentuk
pupuk. (Atlas dan Bartha 1985). Sebagian besar biodegradasi oleh bakteri terjadi
pada pH netral. Nilai pH yang ekstrim pada periaran berpengaruh negatif terhadap
kecepatan degradasi hidrokarbon oleh bakteri. Hasil penelitian biodegradasi
minyak yang dilakukan oleh Dibble dan Bartha (1979) menunjukkan pH 7,8
menghasilkan biodegradasi yang mendekati optimum (Leahy dan Conwell 1990).

2.6.1 Biodegradasi Hidrokarbon oleh Bakteri


Lingkungan secara alami memiliki kemampuan untuk mendegradasi
senyawa-senyawa pencemar melalui proses biologis dan kimiawi. Namun,
seringkali beban pencemaran di lingkungan lebih besar dibandingkan dengan
kecepatan proses degradasi. Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi sehingga
dibutuhkan tindakan dan teknologi yang tepat untuk mengatasi pencemaran
tersebut (Nugroho 2006).
Proses biodegradasi adalah proses perpindahan massa dari media
lingkungan ke dalam massa mikroba (menjadi bentuk terikat dalam massa
mikroba) sehingga minyak hilang dari air. Hasil proses biodegradasi adalah
umumnya karbondioksida dan metana yang kurang berbahaya dibanding minyak
pada besaran konsentrasi yang sama (Mangkoedihardjo 2005). Bakteri yang
memiliki kemampuan mendegradasi senyawa hidrokarbon untuk keperluan
metabolisme dan perkembangbiakannya disebut kelompok bakteri
hidrokarbonoklastik (Nugroho 2006).
Minyak bumi dan hidrokarbon polisiklik aromatik merupakan senyawa
yang bersifat karsinogen dan mutagen. Proses pendegradasiannya lambat karena
kelarutannya dalam air rendah. Beberapa contoh bakteri yang dapat mendegradasi
senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik adalah Pseudomonas sp.,
Archromoacter sp., Arthrobacter sp., Mycobacterium sp., Flavobacterium sp.,
21

Coneybacterium sp., Aeromonas sp., Anthrobacter sp., Rhodoccus sp., dan


Acinetobacter sp. organisme.
Pendegradasian senyawa hidrokarbon oleh bakteri dapat dilakukan dengan
dua cara, cara pertama ialah dengan biodegradasi sempurna atau mineralisasi dan
cara kedua dengan biodegradasi tidak sempurna (kometabolisme). Mineralisasi
meliputi oksidasi dari senyawa hidrokarbon menjadi karbon dioksida dan air yang
dapat digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi sel. Masing-masing tahapan
dalam proses degradasi dikatalisis oleh enzim spesifik yang disintesis oleh sel
(Meier et al 2000)
Kometabolisme adalah peristiwa transformasi senyawa hidrokarbon oleh
mikroorganisme. Kometabolisme merupakan reaksi degradasi tidak sempurna.
Berbeda dengan mineralisasi, pada kometabolisme mikroorganisme tidak dapat
menggunakan hasil transformasi sebagai sumber karbon atau sumber energi unuk
mendukung pertumbuhan (Atlas and Bartha 1998).
Banyak senyawa hidrokarbon aromatik dapat digunakan sebagai elektron
donor pada kondisi aerob oleh mikroorganisme dan juga melalui reaksi yang
dikatalisis oleh enzim oksigenase (Madigan 2012). Metabolisme senyawa
hidrokarbon aromatik diawali dengan pembentukan protocatechuate atau catechol
atau senyawa lain yang memiliki struktur yang berhubungan. Protocatechuate
atau catechol dianggap sebagai substrat awal karena oksidasi dilakukan setelah
molekul aromatik yang besar diubah menjadi senyawa tersebut. Protocatechuate
atau catechol kemudian didegradasi lebih jauh menjadi senyawa yang dapat
masuk kedalam siklus asam sitrat (Madigan et al 2003).

Gambar 4 Proses degradasi toluena


(Sumber: Madigan 2010)
22

2.7 Isolasi Bakteri


Isolasi bakteri adalah proses mengambil bakteri dari medium atau
lingkungan asalnya dan menumbuhkannya di medium buatan sehingga diperoleh
biakan yang murni. Bakteri dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya harus
menggunakan prosedur aseptik. Aseptik berarti bebas dari sepsis, yaitu kondisi
terkontaminasi karena mikroorganisme lain. Bila tidak dijalankan dengan tepat,
ada kemungkinan kontaminasi oleh mikroorganisme lain sehingga akan
mengganggu hasil yang diharapkan.
Bakteri di alam umumnya tumbuh dalam populasi yang terdiri dari
berbagai spesies. Oleh karena itu, untuk mendapatkan biakan murni, sumber
bakteri harus diperlakukan dengan pengenceran agar didapat hanya 100-200
bakteri yang ditransfer ke medium. Ada beberapa metode untuk menginokulasi
bakteri sesuai dengan jenis medium tujuannya, yaitu:
1. Metode gores atau streak plate menggunakan jarum ose dan menggoreskannya
ke permukaan medium agar dengan pola tertentu dengan harapan pada ujung
goresan. Sel-sel bakteri tunggal ini akan membentuk koloni tunggal yang
kemudian dapat dipindahkan ke medium selanjutnya agar didapatkan biakan
murni.

Gambar 5. Metode inokulasi gores


(Sumber: Briliantoro 2013)

2. Metode tuang atau pour plate dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan
mencampur suspensi bakteri dengan medium agar pada suhu 50oC kemudian
menuangkannya pada petridisk atau dengan menyemprotkan suspensi pada
23

dasar petridisk, kemudian menuang medium agar keatasnya dan diaduk.


Setelah agar mengeras, bakteri akan berada pada tempatnya masing-masing dan
diharapkan bakteri tidak mengelompok sehingga terbentuk koloni tunggal.
3. Metode sebar atau spread plate dilakukan dengan menyemprotkan suspensi ke
atas medium agar kemudian menyebarkannya secara merata dengan trigalski.
Dengan ini diharapkan bakteri terpisah secara individual, kemudian dapat
tumbuh menjadi koloni tunggal.
4. Metode pemaparan pada udara terbuka adalah metode untuk mengisolasi
bakteri udara. Metode ini sangat simpel, yaitu dengan memaparkan medium
pada udara terbuka, dengan harapan ada bakteri yang menempel dan kemudian
akan tumbuh menjadi koloni (Harley dan Presscot 2002).
2.8 Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram merupakan pengecatan diferensial yang digunakan secara
luas dalam bakteriologi. Pengecatan gram memisahkan bakteri ke dalam dua
kelompok, yaitu gram negatif dan gram positif. Larutan yang digunakan dalam
pengecatan gram adalah larutan gentian violet, larutan lugol iodin, larutan aseton
dan larutan safranin. Keempat larutan tersebut memiliki fungsi masing-masing.
Larutan gentian violet berperan sebagai cat utama yang mewarnai sel
bakteri menjadi ungu. Larutan lugol iodin berfungsi sebagai mordan yang
meningkatkan interaksi antara sel bakteri dan cat utama. Larutan alkohol aseton
bertindak sebagai decolorizer yang akan mencuci kompleks gentian violet.
Bakteri gram positif akan tetap mempertahankan kompleks gentian violet,
sedangkan bakteri gram negatif akan menjadi tak bewarna. Larutan safranin
berperan sebagai counterstrain yang akan memberikan warna merah pada sel
bakteri. Safranin akan memberi warna pada bakteri gram negatif. Hasil akhir dari
pengecatan gram adalah gram positif berwarna ungu, sedangkan bakteri gram
negatif berwarna merah.
24

Gambar 6. Pewarnaan gram bakteri


(sumber: Hadioetomo 1988)

2.9 Analisis Degradasi Menggunakan Gas Chromatography


GC-MS merupakan metode pemisahan senyawa organik yang
menggunakan dua metode analisis senyawa yaitu kromatografi gas (GC) untuk
menganalisis jumlah senyawa secara kuantitatif dan spektrometri massa (MS)
untuk menganalisis struktur molekul senyawa analit. Gas kromatografi merupakan
salah satu teknik spektroskopi yang menggunakan prinsip pemisahan campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen penyusunnya.
Gas kromatografi biasa digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa
yang terdapat pada campuran gas dan juga menentukan konsentrasi suatu senyawa
dalam fase gas. Spektroskopi massa adalah suatu metode untuk mendapatkan
berat molekul dengan cara mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion
yang muatannya diketahui dengan mengukur jari-jari orbit melingkarnya dalam
medan magnetik seragam. Penggunaan kromatografi gas dapat dipadukan dengan
spektroskopi massa. Paduan keduanya dapat menghasilkan data yang lebih akurat
dalam pengidentifikasian senyawa yang dilengakapi dengan struktur molekulnya.
Kromatografi gas ini juga mirip dengan distilasi fraksional, karena kedua proses
memisahkan komponen dari campuran terutama berdasarkan pada perbedaan itik
didih (atau tekanan uap). Namun, distilasi fraksional biasanya digunakan untuk
25

memisahkan komponen-komponen dari campuran pada skala besar, sedangkan


GC dapat digunakan pada skala yang lebih kecil yaitu mikro (Pavia 2006).
Prinsip kerja Kromatografi gas (GC) merupakan jenis kromatografi yang
digunakan dalam kimia organik untuk pemisahan dan analisis. GC dapat
digunakan untuk menguji kemurnian dari bahan tertentu, atau memisahkan
berbagai komponen dari campuran. Dalam beberapa situasi, GC dapat membantu
dalam mengidentifikasi sebuah senyawa kompleks.
Pada metode analisis GC-MS (Gas Cromatography Mass Spectroscopy)
adalah dengan membaca spektra yang terdapat pada kedua metode yang digabung
tersebut. Pada spectra GC jika terdapat bahwa dari sampel mengandung banyak
senyawa, yaitu terlihat dari banyaknya puncak (peak) dalam spektra GC tersebut.
Berdasarkan data waktu retensi yang sudah diketahui dari literatur, bisa diketahui
senyawa apa saja yang ada dalam sampel. Selanjutnya adalah dengan
memasukkan senyawa yang diduga tersebut ke dalam instrumen spektroskopi
massa. Hal ini dapat dilakukan karena salah satu kegunaan dari kromatografi gas
adalah untuk memisahkan senyawa-senyawa dari suatu sampel.
Setelah itu, didapat hasil dari spektra spektroskopi massa pada grafik yang
berbeda. Informasi yang diperoleh dari kedua teknik ini yang digabung dalam
instrumen GC-MS adalah tak lain hasil dari masing-masing spektra. Dalam
spektra GC, informasi terpenting yang didapat adalah waktu retensi untuk tiap-
tiap senyawa dalam sampel. Sedangkan untuk spektra MS, bisa diperoleh
informasi mengenai massa molekul relatif dari senyawa sampel tersbut.
Tahap-tahap suatu rancangan penelitian GC-MS :
a. Sample preparation
b. Derivatisation
c. Injeksi
d. Separation
Campuran dibawa gas pembawa (biasanya Helium) dengan laju alir
tertentu melewati kolom GC yang dipanaskan dalam pemanas. Kolom GC
memiliki cairan pelapis (fasa diam) yang inert.
26

e. MS detektor
Aspek kualitatif : lebih dari 275.000 spektra massa dari senyawa yang
tidak diketahui dapat teridentifikasi dengan referensi komputerisasi.
Aspek kuantitatif : dengan membandingkan kurva standar dari senyawa
yang diketahui dapat diketahui kuantitas dari senyawa yang tidak
diketahui.
f. Scanning
Spektra massa dicatat secara reguler dalam interval 0,5-1 detik selama
pemisahan GC dan disimpan dalam sistem instrumen data untuk
digunakan dalam analisis.
27
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2017. Pengambilan
sampel sedimen dilakukan di kawasan mangrove di Pulau Pramuka Kab.
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 2). Isolasi bakteri dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Molekuler Fakultas Perikanan dan
Ilmu kelautan, Universitas Padjadjaran. Analisis GC/MS dilakukan di
Laboratorium Kimia Instrumen, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Gambar. 7 Lokasi Pulau Pramuka


(sumber: Pengolahan pribadi)

27
28

3.2 Alat dan Bahan


Penelitian ini menggunakan alat dan bahan yang akan sangat membantu
untuk mencapai tujuan dari penelitian. Adapun alat dan bahan yang diperlukan
terdapat pada subbab berikut.
3.2.1 Alat Penelitian
a. Alat yang untuk pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat Pengambilan Sedimen
No. Nama alat Keterangan
1. Alat tulis Penulisan data
2. Cool box Tempat preservasi sampel sedimen
sementara
3. Sekop Alat pengambil sampel sedimen
4. Plastik ziplock Penyimpan sampel sedimen
5. Label Penanda sampel
6. Kamera Dokumentasi
7. GPS (Global Positioning Menentukan titik koordinat
System) pengambilan sampel

b. Alat yang digunakan untuk isolasi bakteri sedimen tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Alat Isolasi dan Kultur Bakteri
No. Nama alat Keterangan
1. Alu dan mortar Menghaluskan sedimen
2. Cawan petri Wadah membiakkan bakteri
3. Tabung reaksi Tempat pengenceran sampel
4. Batang L Meratakan media agar
5. Gelas ukur Mengukur volume cairan yang
digunakan
6. Mikropipet Mengambil larutan dalam jumlah
sedikit
7. Pipet tetes Mengambil larutan dalam jumlah
banyak
8. Jarum ose Memindahkan koloni bakteri
9. Inkubator Menginkubasi kultur bakteri
10. Plastic wrap Menutup cawan petri
11. Autoklaf Sterilisasi alat dan medium
12. Bunsen Alat bantu aseptisasi
13. Timbangan analitik Menimbang sampel yang
digunakan
29

c. Alat yang digunakan untuk analisis kemampuan bakteri murni


dalam mendegradasi toluena adalah Gas chromatography (GC)
3.2.2 Bahan Penelitian
a. Bahan yang digunakan untuk isolasi bakteri dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 4. Bahan Isolasi dan Kultur Bakteri
No. Nama bahan
1. Air laut steril
2. Aquades
3. Alkohol
4. Toluena (C6H5-CH3)
5. Media Nutrient Agar (NA)

b. Bahan pewarnaan gram dan uji tantang toluena pada bakteri terdapat pada
Tabel 7.
Tabel 5. Bahan pewarnaan gram uji tantang toluena pada bakteri
No. Nama bahan
1. Reagen pewarna gram (safranin, lugol, dan air fuschin)
2. Media Nutrient Broth (NB)
3. Toluena (C6H5-CH3)

3.3 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksploratif
yang meliputi isolasi dan kultur bakteri, serta uji kemampuan bakteri dalam
mendegradasi senyawa toluena. Metode eksploratif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, sedangkan metode
deskriptif digunakan untuk mengkaji sesuatu seperti apa adanya (Irawan 2007).
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam
penentuan spesies bakteri dengan tahapan analisis bioinformatika pada bakteri.
Pengambilan sampel sedimen mangrove akan dilakukan pada 2 stasiun dimana
sampel diambil pada sedimen 2 jenis mangrove yang berbeda yakni Rhizopora sp.
dan Avicennia sp.
30

3.4 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian merupakan tahapan-tahapan yang akan dilakukan pada
penelitian. Sebelum dilaksanakannya penelitian, terlebih dahulu telah dilakukan
studi literatur sebagai tahapan awal sebelum melaksanakan penelitian ini. Alur
penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Pengambilan sampel sedimen

Sterilisasi alat dan pembuatan medium

Preparasi sampel

Kultivasi bakteri

Pengujian gram bakteri

Pengujian biodegradasi toluena

Analisis Data

Gambar 8. Alur Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel Sedimen


Sampel yang diambil adalah sedimen dari substrat mangrove di Pulau
Pramuka, Kep. Seribu. Penentuan dan pencatatan titik koordinat stasiun
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan bantuan GPS. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan sekop sebanyak masing-masing 1 sekop
pada 2 stasiun dimana pada tiap stasiun terdapat 2 titik pengambilan sedimen
mangrove yang berbeda. Pengambilan sedimen diambil pada permukaan sedimen
hingga kedalaman ±15 cm. Sampel sedimen dimasukan dalam ziplock plastic dan
diberikan label keterangan. Sampel sedimen disimpan dalam cool box yang berisi
es untuk menghindari terjadinya degradasi jumlah bakteri atau bahkan kematian
bakter sampel. Setelah itu sampel segera diperlakukan dengan tenggang waktu
tidak lebih dari 24 jam, meliputi tahap pengenceran sampai pengisolasian.
31

3.4.2 Sterilisasi Alat dan Pembuatan Medium


a. Sterilisasi Alat
Sterilisasi alat diperlukan untuk mencegah kontaminasi mikroba lain pada
alat yang akan digunakan. semua alat yang akan digunakan dengan cara dicuci
dan ditiriskan hingga kering, kemudian untuk bahan gelas dibungkus dengan
kertas dan disterilkan dengan sterilisasi basah yakni dengan menggunakan
autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 2 atm selama 15 menit untuk membunuh
kontaminan yang kemungkinan dapat mengkontaminasi alat.
b. Pembuatan Medium
Medium yang akan digunakan ada penelitian ini ialah medium Nutrient
Agar (NA). Komposisi pembuatan NA ialah peptone, ekstrak daging sapi/ ekstrak
ragi, dan agar. Komposisi yang digunakan ialah 20gram NA untuk dilarutkan
dalam 1liter air laut. Pembuatan NA dilakukan dengan tahapan pertama ialah
mencampurkan serbuk NA dengan air laut steril di dalam Erlenmeyer, kemudian
dipanaskan sampai semua bahan larut. Selama pencampuran dan pemanasan
medium dilakukan pengadukan dan dijaga jangan sampai meluap. Setelah
mendidih, media disterilkan didalam autoklaf dengan tekanan 2 atm pada suhu
1210C selama 30 menit.
3.4.3 Isolasi Bakteri
a. Inokulasi Bakteri
Tahapan kultivasi bakteri merujuk pada Colome (2001) dengan modifikasi
pribadi. Kultivasi bakteri dari sedimen dilakukan dengan menggunakan sampel
sedimen sebanyak 2 gr digerus dengan menggunakan alu dan mortar. Setelah itu 1
ml sampel dimasukkan ke dalam tabung pengenceran yang masing-masing berisi
9 mL aquadest. Kemudian dilakukan pengenceran sampel pada tabung lain
sampai 10-4, 10-5, dan 10-6 yang akan dilakukan tahapan seleksi selanjutnya,
proses ini dapat dilihat pada Gambar 2. Kemudian 0.5 ml biakan dipindahkan dari
tabung pengenceran ke atas media NA yang telah disiapkan di dalam cawan petri.
Kemudian diratakan dengan batang L sehingga bakteri dapat tumbuh diseluruh
permukaan medium. Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 30oC selama 1-2 hari.
32

Setelah terlihat ada pertumbuhan bakteri dilanjutkan ke proses


purifikasi/pemurnian bakteri.

Gambar 9. Teknik Pengenceran Bertingkat


(Sumber: Colome et al 1996)
b. Purifikasi Bakteri
Purifikasi bakteri dilakukan untuk mendapatkan kultur murni bakteri yang
telah diencerkan pada 10-4, 10-5, dan 10-6 dan ditebar pada cawan Pada masing-
masing isolat diambil bakteri yang telah dikultivasi menggunakan jarum ose,
kemudian koloni bakteri yang akan dipurifikasi diseleksi berdasarkan pada bentuk
dan warna koloni. Setelah itu memindahkan bakteri yang telah diambil ke cawan
petri yang berisi medium yang berisi medium NA. Selanjutnya cawan petri
ditutup dan dilapisi dengan plastic wrap.
Tahapan-tahapan diatas diulangi hingga mendapat isolat murni dimana
hanya terdapat koloni yang sama dalam isolat tersebut. Kemudian melakukan
proses pewarnaan untuk memastikan bakteri telah murni dan untuk mengetahui
bakteri tersebut termasuk dalam golongan bakteri gram positif atau negatif.
3.4.4 Pengujian Gram Bakteri
Pengujian gram bakteri dilakukan dengan membuat olesan tipis suspensi
dari isolat bakteri berumur 24 jam pada gelas objek yang bersih, kemudian
goresan dianginkan hingga kering. Setelah kering, apusan difiksasi dengan cara
melewatkan bagian bawah gelas objek diatas api bunsen. Selanjutnya apusan
bakteri ditetesi dengan larutan kristal violet selama 1 menit dan dibilas dengan
aquades. Kemudian ditetesi dengan larutan iodine dan dibiarkan selama 1 menit.
Apusan dibilas dengan air kran. Membilas dengan alkohol 96% selama 20 detik.
Apusan dibilas dengan aquades. Ditetesi dengan safranin selama 45 detik.
33

Kemudian dibilas dengan air kran, diletakkan di atas kertas serap. Pengamatan
hasil pewarnaan di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 x untuk
memperjelas morfologi sel bakteri ditetesi dengan minyak imersi di atas cover
glass. Sel bakteri Gram-positif akan berwarna ungu hingga biru, sedangkan
bakteri Gram-negatif akan berwarna merah (Cappucino dan Sherman 1987).

3.4.5 Analisis Efektivitas Kemampuan Bakteri Mendegradasi Toluena


a. Penyediaan Inokulum Biodegradasi
Isolat bakteri murni yang terpilih berdasarkan warna dan bentuk sebanyak
2-3 ose diinokulasikan ke dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi media cair
Nutrient Broth (NB) dan toluena sebanyak 10 µL. Bakteri diinkubasi selama 24
jam di shaker incubator 120 rpm.
b. Uji Biodegradasi Toluena
Dari setiap inokulum biodegradasi dalam media cair diinokulasikan ke
dalam media NB baru sebanyak 10% v/v, dimana 10 ml dari medium inokulum
biodegradasi dipindahkan ke 90 mL medium NB baru. Pengujian kemampuan
biodegradasi dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi toluena untuk
menyeleksi inoculum bakteri sehingga diakhir akan didapatkan 1 inokulum
terbaik yang dapat mendegradasi toluena. Pada konsentrasi uji pertama toluene
1000 µL/l ditambahkan pada medium yang kemudian di inkubasi dalam shaker
incubator 120 rpm selama 24 jam. Kemudian konsentrasi toluena ditingkatkan
menjadi 2500 µL/l dan akhirnya ditingkatkan hingga 400 µL.
c. Kurva Tumbuh
Pembuatan kurva tumbuh bakteri bertujuan untuk mengetahui waktu
panen yang tepat dari isolat bakteri yang ditumbuhkan. Pembuatan kurva tumbuh
bakteri ini dilakukan dengan metode turbidimetri yakni dengan mengukur optical
density (OD) dari bakteri menggunakan alat spektrofotometer. Sebanyak satu ose
bakteri diinokulaskan pada 100 ml medium cair, kemudian diinkubasi pada
incubator shaker dengan kecepatan 120 rpm pada suhu 37oC selama 24 jam.
Setelah 24 jam sebanyak 10 ml kultur bakteri dipindahkan pada 90 ml medium
NB baru dan diinkubasi kembali pada incubator shaker dengan kecepatan yang
34

sama. Selanjutnya setiap dua jam sekali kultur bakteri diukur arbsorbansinya
dengan panjang gelombang 600 nm (Cappucino dan Sherman 2002).
d. Pengukuran Kadar Sisa Toluena Menggunakan GC/MS
Analisis sisa toluena merujuk pada Yanisworo dkk (2008). Sisa toluena
dalam biakan cair dianalisis dengan cara menambahkan etil asetat pada biakan
cair (1:1), Phenantrene, sebagai internal standar, ditambahkan sehingga kadarnya
mencapai 200 ppm. Selanjutnya divortek selama satu menit. Fase bening etil
asetat dilewatkan pada kolom yang selanjutnya sebanyak 1 µl disuntikkan ke
dalam GC. Hasil yang akan didapatkan dari GC/MS ini ialah berupa spektra,
pada spektra GC jika terdapat bahwa dari sampel mengandung banyak senyawa,
yaitu terlihat dari banyaknya puncak (peak) dalam spektra GC tersebut. Data yang
diperoleh pada analisis dengan GC/MS ialah berupa berat molekul dan pola
fragmenasi yang menunjukkan jenis senyawa, dan intensitas peak dan luas area
yang menunjukkan kadar.

3.5 Parameter yang Diamati


3.5.1 Bentuk dan Warna Sel Bakteri
Bentuk bakteri diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Bentuk secara
makroskopis diamati dalam bentuk, ukuran, tepian, dan sudut elevasi koloni bakteri.
Bentuk sel bakteri dapat dilihat setelah dilakukan proses pewarnaan gram.
Pewarnaan bakteri akan mengidentifikasi bakteri berdasarkan bentuk dan jenis gram
hingga ke tingkat sel. Bentuk sel bakteri terdiri dari bulat (coccus), batang (basil),
dan spiral (spirilia). Bakteri Gram positif ditunjukkan dengan warna ungu dan
bakteri Gram negatif ditunjukkan dengan warna merah. Umur isolat saat dilakukan
pewarnaan antara 24- 48 jam.
35

(a) (b)
Gambar 10. Morfologi bakteri koloni (a) dan tingkat sel (b)
(Sumber: Schlegel 1994)

3.5.2 Luasan Puncak Area Biodegradasi Toluena


Menentukan luasan puncak area biodegradasi toluena yang terjadi dapat
diketahui dengan rumus berikut yg mengacu pada.

% Relatif = x 100%
Keterangan: %B = persentase biodegradasi
BMo = bobot toluena awal (mg)
BMn = bobot toluena akhir (mg)
36
36
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Fisik dan Kimiawi Stasiun Pengambilan Sampel


Mangrove di Pulau Pramuka didominasi dengan mangrove hasil
rehabilitasi bukan mangrove asli pulau Pramuka, namun juga ditemukan beberapa
pohon yang merupakan tumbuhan asli pulau Pramuka. Jenis mangrove yang
ditemukan saat dilakukan kegiatan pengambilan sampel ialah dari jenis Rhizopora
stylosa. Stasiun pengambilan sampel sedimen dilakukan pada ekosistem
mangrove buatan yang terletak di bagian timur dan utara pulau Pramuka.
Pengambilan sampel sedimen di timur pulau Pramuka berada di titik
koordinat 05.74568o S, 106.61587o U dan utara pulau Pramuka berada di
koordinat 05.74162o S, 106.61483o U. Terdapat 4 titik pengambilan sampel
sedimen yakni 2 titik di timur dan 2 titik di utara pulau Pramuka (Gambar 10).

(a)
(b)
Gambar 10. Lokasi pengambilan sampel di timur (a) dan di utara (b)

Pemilihan lokasi ini berdasarkan lokasi yang tercemar limbah minyak di


tahun 2016. Lokasi pengambilan sampel sedimen berada di pesisir sehingga
lapisan sedimen digenangi oleh air laut. Pada permukaan air laut di lokasi
pengambilan sampel terlihat lapisan minyak namun tidak terlalu pekat selain itu
ditemukan pada beberapa batang mangrove terdapat bekas limbah minyak yang
menempel. Sampel sedimen yang didapatkan dari lokasi bertekstur pasir sedang,
hal ini dikarenakan lokasi berada dekat dengan pesisir yang mana tekstur sedimen
akan semakin berpasir di wilayah pesisir. Pada lokasi pengambilan sampel selain

37
38

kondisi sedimen parameter lain yang diperhatikan ialah suhu, salinitas dan pH
pada titik pengambilan sampel yang disajikan pada tabel 9.

Tabel 7. Parameter fisika dan kimia lokasi sampling


No. Lokasi Suhu (oC) Salinitas (ppt) pH
1. Timur 30 28 9.37
2. Utara 26 29 9.1

Suhu di lokasi pengambilan sampel ialah 30 oC dan 26 oC. Taurusman


(2013) menyatakan kisaran suhu 29-30 oC merupakan suhu yang relatif normal
bagi perairan pesisir tropis dengan nilai yang mendukung proses fotosintesis
tumbuhan lamun dan mangrove yang sering ditemukan di daerah pesisir. Pada
kondisi normal, suhu diperairan lepas seperti di tengah laut lebih tinggi dibanding
suhu di pesisir karena daratan dapat menyerap kalor lebih baik dibanding laut.
Namun karena permukiman ataupun aktivitas manusia, suhu di pesisir dapat
meningkat melebihi suhu laut. Pada lokasi pengambilan sampel di Timur
kerapatan mangrovenya jarang menyebabkan intensitas sinar matahari
langsung menembus badan air dan menyebabkan suhu menjadi tinggi pada
siang hari, yaitu pada kisaran 30 ⁰C. Pada lokasi pengambilan sampel di Utara
kisaran suhu berada pada angka 26 ⁰C. karena kerapatan mangrove yang
bagus sehingga bisa menghambat sinar matahari untuk langsung menembus
badan air sehingga suhu di stasiun pengamatan ini lebih rendah.
Salinitas di lokasi pengambilan sampel ialah 28 ppt dan 29 ppt. Nilai
salinitas tersebut sesuai dengan karakteristik ekosistem mangrove yang baik
berdasarkan Kepmen LH No.51 tahun 2004 yakni berkisar pada 28-32 ppt.
Salinitas di daerah pesisir tidak terlalu tinggi karena daerah pesisir banyak
terkena pengaruh daratan seperti aliran air tawar dari pemukiman masyarakat
dan aliran sungai. Nilai pH di lokasi pengambilan sampel ialah 9.37 dan 9.
Nilai tersebut kondisinya masuk ke dalam tidak baik karena berdasarkan nilai
baku mutu pH di suatu perairan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup Indonesia yaitu berkisar 7-8,4 (KEPMENLH No. 51 Tahun 2004). Nilai
pH di lingkungan disebabkan oleh kadar bahan organik dan mineral pada
39

tanah sedimen, serta kandungan mineral dari air laut. Hal ini sependapat
dengan Kaswadji (1971) menyatakan bahwa pH dengan nilai 5,5 – 6,5 dan
>8,5 termasuk perairan yang kurang produktif, perairan dengan pH 6,5 – 7,5
termasuk dalam perairan yang produktif serta pH 7,5 – 8, 5 termasuk perairan
dengan produktivitas yang tinggi.
4.2 Isolasi dan Pemurnian Bakteri Asal Sedimen Mangrove
Isolasi bakteri sedimen dilakukan dengan metode pengenceran dan
diambil pada pengenceran 10-4, 10-5 dan 10-6 karena pada pengenceran 10-0
hingga 10-3 kepadatan bakteri yang tumbuh masih sangat tinggi (Cappucino
2008). Isolasi bakteri dilakukan menggunakan medium NA yang dicairkan
menggunakan air laut. Tujuan penggunaan air laut ialah untuk menyamakan
kondisi medium baru tempat bakteri hidup dengan lingkungan asal bakteri.
Setelah diinkubasi selama 1x24 jam pada medium NA terlihat lapisan
seperti bercak yang berwarna putih kekuningan dengan bentuk tidak
beraturan. Kondisi tersebut menunjukkan adanya koloni bakteri yang tumbuh
pada medium NA. Dari isolasi bakteri hasil pengenceran dilakukan pemurnian
dari setiap cawan petri dilakukan pemurnian ke medium NA baru. Bakteri di
alam ditemukan dalam populasi campuran hanya dalam keadaan tertentu saja
populasi ini ditemukan dalam keadaan murni untuk memperoleh biakan murni
bakteri, maka dilakukan proses pemurniaan bakteri. Pemurniaan bakteri yang
didapat dari sampel dilakukan dengan memisahkan bakteri satu dengan bakteri
lainnya dalam media berdasarkan karakteristik morfologinya.
Pemurnian dilakukan berdasarkan perbedaan yang ada baik dari
perbedaan warna, bentuk, bentuk tepian, ukuran ataupun sudut elevasi yang
diamati secara makroskopis (Gambar 11). Pemurnian dilakukan sebanyak 3
kali hingga didapatkan isolat bakteri yang murni atau seragam.
40

Gambar 12. Isolat bakteri hasil pemurnian kode T2 P5 M3.1


(sumber: dokumentasi penulis)

Isolat bakteri murni yang didapat dari sampel sedimen mangrove di


Pulau Pramuka ialah sebanyak 27 isolat. Jumlah ini lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah isolat yang ditemukan oleh Andina (2014)
sebanyak 19 isolat bakteri murni asal sedimen pantai karangsong. Beberapa
penyebab dari perbedaan jumlah isolat yang ditemukan ialah jumlah
pengenceran yang dilakukan sebelum isolasi, populasi bakteri di stasiun
sampel dan medium isolasi bakteri.

4.2.1 Morfologi Isolat Bakteri Sedimen Mangrove


Pemurnian yang telah dilakukan belum dapat dipastikan menghasilkan
isolat yang murni oleh karena itu dilakukan pengamatan morfologi baik secara
makroskopis maupun mikroskopis. Pengamatan morfologi secara makroskopis
dilakukan dengan pengamatan langsung koloni bakteri. Cappucino and
Sherman (1987) menyatakan hal-hal makroskopis yang dapat diamati ialah
ukuran, warna, bentuk, tepian, dan sudut elevasi dari setiap koloni bakteri di
setiap cawan petri.
Hasil pemurnian bakteri didapatkan 27 isolat bakteri yang diamati
morfologinya. Kode U dan T menunjukkan lokasi pengambilan sampel
sedimen di utara dan timur, P menunjukkan pengenceran ke-, M menunjukkan
pemurnian ke-. Ukuran koloni isolat yang didapatkan ialah small dan
moderate atau kecil dan sedang, ukuran koloni bakteri dipengaruhi oleh
41

beberapa faktor diantaranya ialah kondisi lingkungan seperti suhu, pH, dan
salinitas. Pengamatan makroskopis pada koloni bakteri berupa ukuran, warna,
bentuk, tepian, dan sudut elevasi dapat dilihat pada tabel 10.
Koloni bakteri hasil pemurnian yang diamati secara makroskopis
memiliki warna yang berbeda-beda yakni putih, putih kekuningan dan kuning.
Pada saat pengamatan tidak ditemukan warna koloni yang berbeda signifikan.
Hanya terdapat 2 isolat bakteri yang memiliki warna kuning yakni isolat
dengan kode T1 P6 M2.1 dan T1 P6 M2.2 sedangkan koloni isolat bakteri
yang lain berwarna putih kekuningan. Kode isolat bakteri dengan kode U2 P6
M3.1 dan U2 P6 M3.2 memiliki warna putih.
Hal lain yang diamati secara makroskopis ialah bentuk koloni isolat
bakteri. Betuk koloni bakteri didominasi oleh bentuk irregular yakni
berbentuk tidak beraturan dan memiliki lekukan. Selain bentuk irregular pada
beberapa isolat memiliki bentuk koloni circular yakni berbentuk beraturan,
dan juga bentuk spindle yakni berbentuk lurus pada isolat dengan kode T2 P5
M2.1. Bakteri berbentuk irregular dan circular karena bentuk tersebut
memudahkan bakteri untuk mengenali substrat yang ditinggalinya, hal ini
berkaitan dengan kapsul yang membentuk struktur bakteri tersebut untuk
menempel pada substrat dan sebagai perlindungan.
Tepian atau margin isolat koloni bakteri didominasi dengan tepian
entire yakni tepian koloni sangat rata tidak trdapat lekukan yang jelas, namun
pada isolat dengan kode U2 P4 M3.3, U2 P4 M3.4, U2 P6 M3.2 dan T2 P5
M3.1 memiliki tepian lobate yakni terdapat lekukan yang jelas pada tepian
koloni. Pada beberapa isolat juga ditemukan tepian serrate yang berarti koloni
tersebut memiliki tepian yang bergerigi. Tepian berbentuk serrate (bergerigi)
dan lobate (berlekuk) berhubungan dengan dinding sel yang memberi bentuk
pada sel dan sebagai perlindungan mekanis dari lingkungan yang berpindah-
pindah yaitu dapat di darat dan di laut.
Hal terakhir yang diamati pada koloni bakteri ialah sudut elevasi
koloni. Sudut elevasi dapat diamati dari sisi samping cawan petri dengan
melihat ketinggian atau sudut penonjolan pertumbuhan koloni bakteri. Sudut
42

elevasi pada isolat koloni bakteri didominasi oleh flat yakni ketinggian sudut
pertumbuhan koloni tidak terlihat jelas atau dapat dikatakan rata. Selain itu
ditemukan pada beberapa isolat dengan sudut elevasi raised yakni koloni
memiliki sedikit sudut ketinggian, convex yakni koloni memiliki sudut
ketinggian cembung dan umbonate yakni koloni memiliki sudut ketinggian
yang cembung namun di bagian tengah lebih menonjol.
Tabel 8. Morfologi makroskopis koloni bakteri
No. Kode isolat Ukuran Warna Bentuk Tepian Sudut
elevasi
1. U2 P4 M3.1 Small Putih Circular Entire Raised
kekuningan
2. U2 P4 M3.2 Small Putih Circular Entire Convex
kekuningan
3. U2 P4 M3.3 Moderate Putih Irregular Lobate Convex
kekuningan
4. U2 P4 M3.4 Moderate Putih Irregular Lobate Flat
kekuningan
5. U2 P6 M3.1 Moderate Putih Irregular Entire Umbonate
6. U2 P6 M3.2 Moderate Putih Circular Lobate Raised
7. U2 P6 M3.3 Moderate Putih Irregular Entire Flat
kekuningan
8. U2 P6 M3.4 Small Putih Irregular Entire Convex
kekuningan
9. T1 P4 M2.1 Small Putih Circular Entire Flat
10. T1 P4 M2.2 Moderate Putih Irregular Entire Umbonate
kekuningan
11. T1 P5 M2.1 Moderate Putih Spindle Serrate Flat
kekuningan
12. T1 P5 M2.2 Modeate Putih Circular Serrate Covex
kekuningan
13. T1 P6 M2.1 Small Kuning Circular Entire Flat
14. T1 P6 M2.2 Small Kuning Circular Entire Flat
15. T2 P4 M2.1 Small Putih Irregular Serrate Umbonate
kekuningan
16. T2 P4 M2.2 Small Putih Irregular Serrate Flat
kekuningan
17. T2 P4 M2.3 Small Putih Circular Entire Raised
kekuningan
18. T2 P4 M2.4 Moderate Putih Circular Entire Raised
kekuningan
19. T2 P5 M2.1 Small Putih Irregular Entire Umbonate
kekuningan
20. T2 P5 M2.2 Small Putih Irregular Entire Flat
kekuningan
21. T2 P5 M2.3 Moderate Putih Circular Entire Flat
22. T2 P5 M3.1 Moderate Putih Irregular Lobate Raised
43

23. T2 P5 M3.2 Small Putih Circular Entire Raised


kekuningan
24 T2 P5 M3.3 Moderate Putih Circular Serrate Flat
25. T2 P6 M2.1 Moderate Putih Irregular Serrate Flat
kekuningan
26. T2 P6 M2.2 Moderate Putih Circular Entire Flat
kekuningan
27. T2 P6 M2.3 Moderate Putih Circular Entire Flat
kekuningan

Tabel diatas menunjukkan data morfologi makroskopis koloni bakteri, dari


data tersebut dapat dilihat bahwa beberapa isolat dengan titik lokasi yang sama
dan pengenceran yang sama memiliki ukuran, warna, bentuk, tepian dan sudut
elevasi yang sama. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa disetiap
pengenceran sudah terdapat koloni yang seragam, namun untuk lebih memastikan
koloni bakteri pada isolat sudah murni dan seragam maka dilakukan pengamatan
mikroskopis dengan metode pewarnaan gram. Menurut Rostinawati (2008)
pewarnaan gram digunakan
untuk mengetahui morfologi sel bakteri serta untuk membedakan bakteri gram
positif dan gram negatif serta mengetahui bentuk seluler dari isolat bakteri.
Pewarnaan Gram dilakukan dengan menggunakan isolat bakteri segar
yang berumur 24-48 jam. Biakan segar akan mengurangi terjadinya
penyimpangan pewarnaan gram karena pada biakan tua, banyak sel yang
mengalami kerusakan pada dinding selnya sehingga bakteri gram positif dengan
dinding sel yang rusak tidak dapat lagi mempertahankan kompleks warna kristal
violet-iodium akan terlihat sebagai gram negatif (Waluyo 2010). Pengamatan
mikroskopis ini dilakukan untuk memastikan bahwa koloni bakteri memiliki
bentuk dan warna gram yang sama. Beberapa bentuk dasar bakteri yaitu coccus
atau bulat, bacillus atau batang dan spiral yaitu bentuk batang melengkung atau
melingkar-lingkar (Pratiwi 2008). Hasil pewarnaan gram pada isolat bakteri murni
dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 9. Morfologi mikroskopis koloni bakteri


No. Kode Isolat Bentuk Sel Warna dan Gram
1. U2 P4 M3.1 Streptobasil Merah (-)
44

2. U2 P4 M3.2 Streptobasil Merah (-)


3. U2 P4 M3.3 Streptobasil Merah (-)
4. U2 P4 M3.4 Basil Merah (-)
5. U2 P6 M3.1 Streptobasil Merah (-)
6. U2 P6 M3.2 Streptokokus Merah (-)
7. U2 P6 M3.3 Basil Merah (-)
8. U2 P6 M3.4 Streptobasil Merah (-)
9. T1 P4 M2.1 Streptokokus Merah (-)
10. T1 P4 M2.2 Diplokokus Merah (-)
11. T1 P5 M2.1 Streptobasil Merah (-)
12. T1 P5 M2.2 Streptobasil Merah (-)
13. T1 P6 M2.1 Streptobasil Merah (-)
14. T1 P6 M2.2 Diplokokus Merah (-)
15. T2 P4 M2.1 Streptokokus Merah (-)
16. T2 P4 M2.2 Streptobasil Merah (-)
17. T2 P4 M2.3 Streptobasil Merah (-)
18. T2 P4 M2.4 Diplokokus Merah (-)
19. T2 P5 M2.1 Streptobasil Merah (-)
20. T2 P5 M2.2 Basil Merah (-)
21. T2 P5 M2.3 Streptobasil Merah (-)
22. T2 P5 M3.1 Basil Merah (-)
23. T2 P5 M3.2 Diplokokus Merah (-)
24. T2 P5 M3.3 Basil Merah (-)
25. T2 P6 M2.1 Streptobasil Merah (-)
26. T2 P6 M2.2 Basil Merah (-)
27. T2 P6 M2.3 Streptobasil Merah (-)

Tabel diatas menunjukan data morfologi mikroskopis isolat bakteri asal


sedimen mangrove. Pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan
gram untuk mengetahui penyusun dinding sel sehingga dapat digolongkan
menjadi bakteri gram positif atau gram negatif. Bakteri gram positif akan
menunjukan warna ungu karena mampu mempertahankan zat warna utama dalam
pewarnaan gram yaitu gentian violet, sehingga nampak berwarna ungu saat
pengamatan dikarenakan dinding sel kelompok bakteri ini tersusun oleh sebagian
besar peptidoglikan yang mampu mengikat zat warna dan tidak rusak saat dicuci
dengan alkohol (Gosalam et al. 2008) sedangkan bakteri gram negatif akan
menunjukan warna merah setelah dilakukan pewarnaan.
Bentuk bakteri didominasi oleh streptobasil yakni bakteri berbentuk batang
yang berdempetan membentuk rantai. Pada isolat U2 P4 M3.4, U2 P6 M3.3, T2
P5 M2.2, T2 P5 M3.1, T2 P5 M3.3, dan T2 P6 M2.2 didapatkan bakteri berbentuk
basil yakni bakteri berbentuk batang atau silinder. Seluruh gram isolat bakteri
45

murni tergolong dalam gram negatif (Gambar 12). Stephen (2003) mengatakan
bahwa 44% dari isolat bakteri yang diisolasi dari perairan laut yang kadar
garamnya tinggi merupakan gram negatif. Bertrand dan Mille (1989) menemukan
bahwa 90% isolat bakteri yang dihasilkan dari Laut Mediteranian adalah gram
negatif. Demikian pula menurut Feliatra (1998) bahwa 55,6% isolat bakteri di
Dumai merupakan gram negatif. Beberapa penelitian tersebut dapat menegaskan
bahwa bakteri indigenous hidrokarbonoklastik yang hidup di perairan laut
biasanya berwarna merah dan memiliki gram negatif begitu pula dengan bakteri
asal sedimen mangrove pulau Pramuka yang mana lingkungan hidup bakteri
berada di pesisir dan memiliki salinitas dan juga terkena dampak dari proses fisik
ataupun kimia dari lautan.

Gambar 13. Hasil pewarnaan bakteri gram (-)


Bakteri laut tergolong bakteri gram negatif karena bakteri memiliki sistem
membran yang ganda dengan membran plasma bakteri dilindungi membran luar
permeabel, bakteri negatif juga memiliki dinding sel peptidoglikan di antara
membran luar dan membran dalam. Hal ini disebabkan karena dinamika laut yang
cukup tinggi selain itu air laut juga mengandung banyak unsur seperti garam dan
ion-ion senyawa lainnya.
Bakteri gram negatif memiliki komposisi dinding sel yang sebagian besar
tersusun dari lapisan lipid, sehingga pada saat pewarnaan kurang dapat
memperthankan zat warna utama terutama saat dicuci dengan alkohol (lipid rusak
saat dicuci dengan alkohol), akibatnya kelompok bakteri ini memberikan
kenampakan warna merah yang berasal dari zat warna safranin di akhir kegiatan
pewarnaan gram.
46

Isolat bakteri murni diseleksi kembali menjadi 8 isolat dari 27 isolat.


Seleksi isolat dilakukan berdasarkan pengamatan makroskopis dan
mikroskopis dengan mengambil beberapa perwakilan dari isolat yang memiliki
ukuran, bentuk, warna, tepian dan sudut elevasi. Seleksi isolat ini dilakukan agar
menggunakan agen biodegradasi yang berbeda jenis sehingga tiap jenis dapat diuji
kemampuan biodegradasinya. Hasil seleksi isolat bakteri ialah sebanyak 8 isolat
yang akan menjadi kandidat yang berpotensi mendegradasi toluena.
4.3 Uji Biodegradasi Toluena
4.3.1 Uji Tantang Kemampuan Biodegradasi Toluena Pada Konsentrasi
Berbeda
Proses biodegradasi toluena dilakukan pada seluruh isolat terpilih
sebanyak 8 kandidat isolat, yakni isolat dengan kode U2 P6 M3.1, U2 P6 M3.2,
U2 P6 M3.3, U2 P6 M3.4, T2 P4 M2.3, T2 P5 M2.3, T2 P5 M3.1, T2 P6 M2.2.
Uji biodegradasi toluena dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi toluena
dalam medium selama rentang waktu inkubasi 24 jam, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan kandidat isolat bakteri terbaik yang mampu tumbuh dan
mendegradasi toluena. Uji biodegradasi ini juga menggunakan kontrol positif dan
kontrol negatif. Kontrol positif merupakan medium NB yang ditambahkan isolat
terbaik yang mampu tumbuh dalam konsentrasi toluena yang paling tinggi.
Kontrol positif ini berfungsi sebagai pembanding pertumbuhan bakteri bila tidak
diberi toluena. Kontrol negatif merupakan medium yang ditambahkan toluena
tanpa adanya penambahan isolat bakteri. Kontrol negatif ini berfungsi untuk
memastikan bahwa pada saat inkubasi berlangsung tidak ada bakteri dari luar
yang menjadi kontaminan dan tumbuh dalam medium. Kedua kontrol tersebut
diukur nilai absorbansinya di awal sebelum inkubasi dan diakhir setelah inkubasi.
Nilai OD pada kontrol positif sebesar 1.378 menunjukkan bakteri dapat
tumbuh dengan maksimal dalam medium nutrient broth. LaBauve (2015)
menyatakan pertumbuhan bakteri dalam 24 jam berkisar pada nilai OD 0.6-1.5.
Kontrol negatif memiliki nilai OD akhir sebesar 0.098 nilai ini tidak bertambah
secara signifikan dari nilai OD awal, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
kontaminasi bakteri lain dari medium maupun incubator shaker.
47

Uji biodegradasi toluena diawali dengan penyediaan inokulum bakteri


biodegradasi dengan 100 ml medium NB, ditambahkan 1-2 ose isolat bakteri, dan
ditambahkan toluena dengan konsentrasi 100 µl/l. Penyediaan inokulum
biodegradasi ini bertujuan untuk menumbuhkan bakteri dengan kepadatan yang
tinggi dan juga mampu beradaptasi dengan penambahan toluena. Setiap isolat
diukur ODawal sebelum inkubasi shaker dan ODakhir setelah inkubasi shaker.
Nilai OD pada penyediaan inokulum bakteri biodegradasi dapat dilihat pada Tabel
12.
Tabel 10. Nilai OD bakteri pada konsentrasi 100 µl/l
No. Kode Isolat OD Pengamatan wujud

Awal Akhir Awal Akhir


1. U2 P6 M3.1 0.006 1.115 Medium Medium
berwarna berwarna
2. U2 P6 M3.2 0.012 1.173 kuning tua, keruh kuning
3. U2 P6 M3.3 0.051 1.155 terdapat keputihan,
cairan toluen tidak terlihat
4. U2 P6 M3.4 0.009 1.168 di permukaan cairan toluen
5. T2 P5 M2.3 0.007 1.145 di permukaan
6. T2 P4 M3.3 0.003 1.336
7. T2 P5 M3.1 0.004 1.119
8. T2 P6 M2.2 0.002 1.264
9. Kontrol (+) 0.013 1.378
10. Kontrol (-) 0.007 0.098
Pada tabel diatas menunjukan nilai ODawal pada setiap isolat masih
berkisar 0.002-0.051, nilai tersebut menunjukan bahwa sebelum diinkubasi
bakteri belum mengalami pertumbuhan dan masih dalam jumlah yang sedikit.
Proses pengadukan dengan incubator shaker dilakukan selama 24 jam dalam suhu
30oC dengan kecepatan 120 rpm. Pengamatan awal sebelum diinkubasi medium
berwarna kuning tua bening dan terdapat cairan toluena (seperti cairan minyak) di
permukaan medium, setelah diinkubasi terjadi perubahan warna medium menjadi
kuning muda keruh dan cairan toluena tidak terlihat di permukaan medium.
Perubahan warna menjadi keruh disebabkan oleh bakteri yang bertumbuh yang
menyebabkan peningkatan kepadatan bakteri pada medium. Hal tersebut dapat
48

dilihat dari nilai OD setelah inkubasi meningkat dibandingkan sebelum inkubasi,


nilai OD setelah inkubasi berkisar pada 1.115-1.336.
Peningkatan nilai absorbansi setelah inkubasi menunjukan isolat bakteri masih
mampu bertumbuh dan bertahan hidup pada konsentrasi 100 µl/l toluena. Pada semua
isolat bakteri mengalami peningkatan nilai absorbansi yang signifikan. Isolat bakteri
masih dapat bertahan dalam kondisi ini dapat disebabkan oleh kandungan toluena yang
tidak terlalu banyak sehingga bakteri masih dapat beradaptasi dan kandungan toluena
pada medium tidak menghambat pertumbuhan bakteri. Perlakuan berikutnya dilakukan
dengan mengambil 10 ml dari setiap medium lama yang kemudian ditambahkan kedalam
90 ml medium baru dan ditambahkan toluena dengan konsentrasi 1000 µl/l. Pada
konsentrasi1000 µl/l toluena semua isolat bakteri masih dapat bertahan hidup dan
bertumbuh, hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai OD. Nilai OD isolat bakteri
biodegradasi konsentrasi toluena 1000 µl/l dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 11. Nilai OD bakteri pada 1000µl/l toluena
No. Kode Isolat OD Pengamatan wujud

Awal Akhir Awal Akhir


1 U2 P6 M3.1 0.130 1.105 Medium Medium
berwarna berwarna
2 U2 P6 M3.2 0.391 1.183 kuning tua, kuning
3 U2 P6 M3.3 0.235 1.185 terdapat keruh, tidak
cairan toluen terlihat
4 U2 P6 M3.4 0.244 1.102 di cairan toluen
5 T2 P5 M2.3 0.358 1.042 permukaan di
6 T2 P4 M3.3 0.230 1.025 permukaan

7 T2 P5 M3.1 0.405 1.179


8 T2 P6 M2.2 0.496 1.187
Pada tabel diatas nilai ODawal tiap isolat tergolong besar dibandingkan nilai
ODawal isolat bakteri pada perlakuan sebelumnya, hal ini disebabkan karena medium
bakteri pada perlakuan ini mendapatkan kepadatan bakteri dari perlakuan sebelumnya
yakni dari pemindahan 10 ml medium lama ke 90 ml medium baru yang digunakan pada
perlakuan ini. Sebelum dilakukan inkubasi medium berwarna kuning tua dan terdapat
cairan toluen di permukaan yang lebih banyak dibandingkan perlakuan sebelumnya.
Setelah dilakukan inkubasi di incubator shaker selama 24 jam medium menjadi warna
kuning keruh dan tidak terlihat lagi cairan toluen di permukaan. Nilai ODakhir tiap isolat
masih cukup tinggi meskipun tidak setinggi nilai absorbansi pada perlakuan sebelumnya.
49

Kondisi seperti dapat terjadi karena bakteri tidak dapat bertumbuh secara maksimal
karena adanya senyawa toluena dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan
perlakuan sebelumnya, meskipun isolat bakteri dipindahkan ke medium baru yang mana
bakteri bisa mendapatkan nutrien dari medium tersebut namun kenyataannya bakteri tidak
dapat bertumbuh secara maksimal.
Perlakuan berikutnya dilakukan dengan tahapan yang sama, namun toluena yang
diberikan dalam medium memiliki konsentrasi 2500 µl/l. Nilai OD isolat bakteri
biodegradasi konsentrasi toluena 2500 µl/l dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 12. Nilai OD bakteri dengan 2500µl/l toluena
No. Kode Isolat OD Pengamatan wujud

Awal Akhir Awal Akhir


1 U2 P6 M3.1 0.236 0.081 Terdapat bau
toluena
2 U2 P6 M3.2 0.242 0.083 Terdapat bau
toluena
3 U2 P6 M3.3 0.335 0.933 Tidak
terdapat bau
Medium toluena
4 U2 P6 M3.4 0.291 0.096 berwarna Sedikit bau
kuning tua, toluena
5 T2 P5 M2.3 0.365 0.127 terdapat Sedikit bau
cairan toluen toluena
6 T2 P4 M3.3 0.441 0.231 di permukaan Terdapat bau
toluena
7 T2 P5 M3.1 0.348 1.094 Tidak
terdapat bau
toluen
8 T2 P6 M2.2 0.349 0.167 Terdapat bau
toluen
Nilai ODawal seluruh isolat masih menunjukan adanya kepadatan bakteri yang
didapatkan dari perlakuan sebelumya. Warna medium sebelum dilakukan inkubasi
ialah kuning tua dengan cairan toluena di permukaannya. Pada perlakuan ini
aroma toluena tercium cukup kuat sebelum dilakukan pengadukan dalam
incubator shaker. Hampir semua isolat memiliki nilai ODakhir yang menurun
dibandingkan ODawal hanya terdapat 2 isolat yang mengalami peningkatan nilai
ODakhir, yakni isolat dengan kode U2P6M3.3 dan T2P5M3.1. Kedua isolat
50

mengalami peningkatan nilai OD dari 0.335 menjadi 0.933 dan 0.348 menjadi
1.094.
Pengamatan akhir setelah inkubasi ialah terdapat isolat yang masih berbau
toluena dengan intensitas yang kuat, sedang dan tidak berbau. Isolat yang
memiliki internsitas bau toluena yang kuat ialah isolat dengan kode U2 P6 M3.1,
U2 P6 M3.2, T2 P4 M3.3, dan T2 P6 M2.2. Isolat yang masih terdapat bau
toluena menunjukan bahwa isolat tersebut tidak dapat mendegradasi senyawa
toluena selain itu isolat bakteri tersebut juga tidak dapat bertumbuh di lingkungan
yang mengandung toluena dengan konsentrasi 2500 µl/l sehingga kepadatan
bakteri tidak bertambah dan tidak menyebabkan kekeruhan pada medium. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari nilai absorbansi bakteri yang mengalami penurunan.
Pada isolat dengan kode U2 P6 M3.4 dan T2 P5 M2.3 memiliki intensitas bau
toluena sedang dimana bau toluena tidak begitu kuat dibandingkan dengan isolat
bakteri sebelumnya, namun masih terdapat bau. Setelah inkubasi isolat dengan
kode U2 P6 M3.3 dan T2 P5 M3.1 tidak memiliki bau toluena sama sekali. Kedua
isolat ini ialah isolat yang mengalami peningkatan nilai OD, hal ini dapat
menunjukkan bahwa isolat bakteri memiliki potensi untuk mendegradasi toluena.
Perlakuan berikutnya dilakukan dengan menambahkan toluena sebanyak
400 µl pada masing-masing isolat yang mengalami penurunan nilai OD. Nilai OD
isolat bakteri biodegradasi konsentrasi toluena 4000 µl/l dapat dilihat pada Tabel
15.
Tabel 13. Nilai OD bakteri dengan 4000µl/l toluena
No. Kode Isolat OD Pengamatan wujud

Awal Akhir Awal Akhir


1 U2 P6 M3.3 0.136 0.118 Medium Terdapat bau
berwarna toluena
2 T2 P5 M3.1 0.256 0.206 kuning tua, dengan
terdapat intensitas
cairan toluen kuat
di permukaan
Penurunan nilai OD setelah diinkubasi selama 24 jam menunjukan bahwa bakteri
mengalami kematian meskipun telah diinkubasi dalam medium yang mengandung
nutrisi pertumbuhan bakteri.
51

Kematian yang terjadi pada bakteri dapat disebabkan oleh faktor


diantaranya ialah berkurangnya atau tidak adanya aktivitas enzim yang digunakan
untuk memecah ikatan karbon dan cincin aromatik pada toluena. Selain enzim hal
lain yang mempengaruhi perumbuhan bakteri dalam mendegradasi toluena ialah
kebutuhan nutrien yang lain untuk meningkatkan aktivitas degradasi yang
dilakukan, nutrient yang dibutuhkan tidak dapat tersedia dengan baik di medium
nutrient broth. Kebutuhan akan nutrien ini dapat muncul karena kandungan
toluena yang terlalu banyak sehingga merusak sel-sel bakteri. Penyebab lain yang
dapat mempengaruhi proses biodegradasi toluena oleh bakteri ialah pH atau
derajat keasaman. pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju
pertumbuhan mikroba (Fletcher 1991). Kebanyakan bakteri pendegradasi
hidrokarbon dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral (6.5-7.5), sebagai
contoh, Pseudomonas aeruginosa mampu tumbuh optimum pada kisaran pH 6.6-7
dan mampu bertahan pada kisaran pH 5.6-8. Tingkat keasaman dapat berubah
selama pertumbuhan mikroba. Sehingga dari peningkatan konsentrasi toluena
yang telah diberikan pada bakteri dapat diketahui isolat bakteri terbaik dapat
hidup hingga konsentrasi 2500 µl/l.
4.3.2 Kurva Pertumbuhan Bakteri Pada Konsentrasi Toluena 2500µl/l
Pertumbuhan ialah pertambahan teratur semua komponen suatu
mikroorganisme. Pertumbuhan bakteri dapat diukur berdasarkan konsentrasi sel
(jumlah sel per satuan isi biakan) atau densitas sel (berat kering dari sel-sel
persatuan sel biakan). Mengetahui densitas sel bakteri dapat dilihat dari nilai
absorbansi suatu biakan (Khodijah dkk 2006). Isolat bakteri yang diukur
pertumbuhannya ialah bakteri dengan kode isolat T2 P5 M3.1. Isolat bakteri ini
menjadi isolat bakteri terbaik karena selalu mengalami peningkatan nilai OD di
setiap konsentrasi toluena yang diberikan hingga konsentrasi 2500µl/l. Pada
konsentrasi 2500µl/l terdapat 2 isolat yang mengalami peningkatan nilai OD yakni
isolat dengan kode T2 P5 M3.1 dan U2 P6 M3.3, namun isolat yang memiliki
peningkatan nilai OD yang lebih tinggi ialah isolat T2 P5 M3.1 dan juga di setiap
konsentrasi isolat ini selalu mengalami peningkatan. Oleh karena itu isolat dengan
kode T2 P5 M3.1 terpilih menjadi kode isolat terbaik Dalam penelitian
52

pertumbuhan bakteri yang disajikan dalam bentuk kurva pertumbuhan, yang


dibuat dengan cara mengukur nilai absorbansi bakteri tiap selang waktu 2 jam
selama 24 jam yang kemudian ditampilkan dalam sebuah grafik.
Penelitian ini mengukur pertumbuhan bakteri dengan melihat kekeruhan
isolat bakteri menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang
600nm. Menurut Febriyansari (2008) panjang gelombang 600-625 nm digunakan
untuk melihat tingkat kekeruhan untuk larutan yang berwarna kuning sampai
coklat. Pada saat penggunaan spektofotometer akan menembakan gelombang dan
bakteri yang hidup dalam sampel akan menyerap gelombang tersebut yang
kemudian sebagian dari gelombang masuk akan dipantulkan, dan sisanya
diteruskan. Nilai yang keluar dari cahaya yang diteruskan dinyatakan dalam nilai
absorbansi karena memiliki hubungan dengan konsentrasi sampel.
Kurva pertumbuhan dalam sejumlah medium terbatas akan mengalami
fase-fase berikut, fase lag (adaptasi), fase eksponensial, fase stasioner, dan fase
kematian. Pada fase lag bakteri yang dipindahkan ke medium akan mengalami
fase adaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan baru yang bukan
merupakan lingkungan asalnya. Lamanya fase adaptasi ini dipengaruhi oleh faktor
medium dan jumlah inokulum. Jika medium pertumbuhan sama seperti
lingkungan asalnya maka waktu adaptasi dapat berjalan cepat, namun bila nutrient
yang tersedia dan kondisi medium berbeda dengan lingkungan asalnya maka
diperlukan waktu penyesuaian yang cukup lama untuk mensintesis enzim-enzim
yang diperlukan bakteri. Pada penelitian ini medium yang digunakan dalam
mengukur pertumbuhan bakteri ialah medium nutrient broth yang dicairkan
menggunakan air laut sehingga kandungan air laut di lingkungan asal bakteri
dapat tersedia juga pada medium tumbuh yang baru. Jumlah inokulum juga
mempengaruhi fase lag pada pertumbuhan bakteri. Semakin tinggi jumlah awal
sel maka akan mempercepat fase adaptasi.
Pada grafik pertumbuhan bakteri asal sedimen mangrove disajikan pada
gambar 12. Fase lag pada grafik dapat dilihat berlangsung dari jam ke-0 hingga
jam ke-6. Pada fase ini bakteri bakteri baru memulai penyesuaian diri dengan
lingkungan baru yakni medium yang ditambah dengan toluena sehingga belum
53

terjadi pembelahan sel yang dapat memperbanyak jumlah bakteri. Akibat dari
jumlah bakteri yang belum mengalami peningkatan yang signifikan maka nilai
absorbansi yang dihasilkan juga belum mengalami peningkatan. Pada jam ke-8
hingga jam ke-14 bakteri mengalami fase log atau eksponensial. Pada fase ini
bakteri membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Pada
fase ini bakteri membutuhkan energi lebih banyak dari fase lainnya sehingga
dalam fase ini nutrient yang terdapat dalam medium banyak digunakan oleh
bakteri. Peningkatan jumlah bakteri dapat dilihat pada nilai absorbansi yang terus
meningkat.
Fase log ini bakteri menggunakan nutrient dari medium sebagai nutrisi
pertumbuhannya. Penggunaan senyawa toluena oleh bakteri juga terjadi dalam
fase ini dimana senyawa toluena didegradasi sehingga struktur toluena terurai
menjadi struktur yang lebih sederhana karena bakteri memanfaatkan unsur karbon
dalam toluena sebagai sumber nutrien bakteri. Akhir dari fase log dapat ialah
kecepatan pertumbuhan populasi menurun yang dikarenakan nutrient dalam
medium sudah berkurang banyak dan adanya hasil metabolisme bakteri yang
mungkin bersifat beracun atau dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

Gambar 14. Kurva Tumbuh Isolat Bakteri kode T2P5M3.1 dengan Konsentrasi 2500 µl/l

Fase berikutnya ialah fase stasioner, dalam penelitian ini bakteri


mengalami fase stasioner pada jam ke-16 hingga jam ke-20. Pada fase ini jumlah
54

populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang
mati. Selain itu terdapat kemungkinan ukuran sel pada fase ini menjadi lebi kecil
karena sel tetap membelah meskipun nutrient sudah sangat berkurang karena telah
digunakan pada fase log. Pada fase ini sel-sel lebih dapat bertahan dalam keadaan
ekstrim seperti panas, dingin, radiasi dan bahan-bahan kimia seperti senyawa
hidrokarbon aromatik.
Pada jam ke-22 hingga ke-24 bakteri mengalami fase kematian dimana
jumlah populasi bakteri mulai mengalami penurunan karena nutrient dalam
medium sudah habis, energi cadangan dalam sel juga habis serta meningatnya
produk metabolit. Pada fase ini proses lisis juga terjadi dimana nutrien yang
keluar dari sel-sel masih hidup dan tingkat reproduksi semakin menurun dan
menyebabkan jumlah kematian sel semakin meningkat. Kematian bakteri dapat
dilihat dari nilai absorbansi yang menurun secara drastis.

4.3.3 Analisis Kuantitatif Penurunan Metil Siklopentana dengan GC/MS


Isolat bakteri terbaik yang dianalisis sisa toluena dengan menggunakan
GC/MS ialah isolat dengan kode T2P5M3.1. Penentuan isolat tersebut ialah isolat
terbaik yang ditentukan berdasarkan dari peningkatan nilai OD setelah dilakukan
pengadukan di incubator shaker. Sampel yang dianalisis sebanyak dua sampel
dari isolat yang sama dimana satu sampel merupakan sampel bakteri dengan
peningkatan konsentrasi toluena menjadi 2500µl/l sebelum diinkubasi dan
sesudah inkubasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kandungan
toluena sebelum dan sesudah bakteri diinkubasi. Sampel dianalisis di laboratorium
kimia instrumen UPI, Bandung dengan menggunakan GC/MS shimadzu QP Ultra
2010. Preparasi sampel dilakukan menggunakan pelarut heksana. Pelarut heksana
digunakan dalam analisis menggunakan GC/MS karena heksana bersifat non-
polar sama seperti toluena yang juga bersifat non-polar. Pelarut yang digunakan
hanyalah heksana karena senyawa yang terkandung dalam sampel hanya toluena
sehingga tidak menggunakan pelarut lain yang memiliki tingkat kepolaran yang
berbeda.
55

Perlakuan uji semi kuantitatif GC/MS dengan mencari persentase


penurunan yaitu membandingkan luas area puncak kromatogram isolat
pendegradasi sebelum dilakukan inkubasi dengan isolat yang telah dilakukan
inkubasi menggunakan shaker incubator selama 24 jam. Data yang diperoleh
pada analisis dengan GCMS berupa berat molekul dan pola fragmentasi yang
menunjukkan jenis senyawa, dan intensitas peak yang menunjukkan kadar.
Tabel 14. Hasil kromatogram isolat pendegradasi
No. Retention time Senyawa Luas area Luas area Penurunan
kandungan kandungan luas
(sebelum (sesudah area/hari
inkubasi) inkubasi)
1. 1.600 Toluena 1700586 1469887 13.5%
1.597

Isolat bakteri pendegradasi toluena terbaik memiliki kemampuan menurunkan


luas area toluena sebanyak 13.5% dalam 1 hari menggunakan medium cair yang
dengan konsentrasi toluena sebanyak 2500 µl/l. Pada penelitian Segura (2007)
ditemukan bakteri laut yang dapat mendegradasi toluena pada konsentrasi 0-3%
(v/v). Penurunan kadar toluena ini tergolong sangat sedikit karena bakteri hanya
diinkubasi selama 24 jam, sebandingkan pada penelitian Jacob (2015) inkubasi
bakteri pendegradasi toluena dilakukan selama 144 jam atau 6 hari. Pada
penelitian ini isolat bakteri hanya diinkubasi selama 24 jam karena pada jam ke-
24 pertumbuhan bakteri semakin menurun atau memasuki fase kematian.
Penurunan pertumbuhan bakteri ini dapat disebabkan karena pengaruh pH yang
berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini dibutuhkan oleh beberapa bakteri
untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan pertumbuhan bakteri.
Apabila pH dalam suatu medium atau lingkungan tidak optimal maka akan
mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan
bakteri itu sendiri (Pelczar dan Chan, 1986). Mikroorganisme pada umumnya
tumbuh dengan baik pada pH antara 6.0 – 8.0. Sebagian besar bakteri
pendegradasi hidrokarbon dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral (pH
6.5 – 7.5). Jacob (2015) mendapatkan 4 spesies bakteri akan tumbuh cepat untuk
mendegradasi toluena dalam suhu 30oC dan pH 6.8. Pada proses biodegradasi
56

nilai pH medium/substrat akan terus menurun sejalan dengan berlangsungnya


proses biodegradasi.
Senyawa hidrokarbon aromatik seperti toluena digunakan sebagai elektron
donor pada kondisi aerob oleh mikroorganisme dan juga melalui reaksi yang
dikatalisis oleh enzim oksigenase. Selama proses biodegradasi berlangsung,
senyawa hidrokarbon baik alifatik, siklik dan aromatik akan dipecah menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga terbentuk asetil-KoA dan
selanjutnya masuk ke siklus asam trikarboksilat dan rangkaian reaksi tersebut
dihasilkan berbagai senyawa seperti asam-asam organik, metana, H2O dan CO2
(Madigan et al.1997). Senyawa hasil degradasi hidrokarbon yang bersifat asam
berperan pada penurunan nilai pH substrat. Pada pH tinggi urea akan berupa gas
sehingga akan segera dibebaskan ke udara dan hal ini berperan pula pada
penurunan pH. Hasil pada akhir percobaan masih menunjukkan kecenderungan
penurunan pH, hal ini diduga karena biodegradasi hidrokarbon masih terus
berlangsung dan belum semua proses telah mencapai fase akhir biodegradasi.
Selain pengaruh pH, hal lain yang dapat mempengaruhi proses biodegradasi
toluena oleh bakteri ialah diperlukannya enzim lain untuk meningkatkan aktivitas
biodegradasi. Pertumbuhan bakteri juga dapat menurun karena bakteri tersebut
bekerja sendiri tidak bersimbiosis dengan bakteri yang lain sehingga
menggunakan banyak energi untuk mendegradasi toluena.
Berdasarkan pengamatan morfologi secara makroskopis dan mikroskopis
maka didapatkan isolat bakteri dengan kode T2P5M3.1 tergolong bakteri aerob
yang memiliki gram negatif dan mampu bertahan hidup serta mendegradasi
toluena hingga konsentrasi 2500 µl/l.
57
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat 27 isolat bakteri murni asal
sampel sedimen mangrove di 4 titik sampling Pulau Pramuka. Seluruh isolat
merupakan gram negatif, berwarna merah, koloni berbentuk circular atau
irregular serta bentuk sel didominasi oleh streptobasil. Hasil uji tantang
peningkatan konsentrasi toluene didapatkan 1 isolat terbaik dengan kode T2 P5
M3.1 yang dapat tumbuh dan mendegradasi toluena pada konsentrasi 2500µl/l.
persentase toluena yang dapat didegradasi ialah 13.5% dengan inkubasi selama 24
jam.

5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian selanjutnya menggunakan senyawa hidrokarbon
aromatik jenis lain sehingga dapat diketahui kemampuan bakteri dalam
mendegradasi senyawa aromatik lainnya. Selain itu penelitian selanjutnya juga
dapat melakukan uji biodegradasi menggunakan konsorsium bakteri. Penelitian
selanjutnya juga diharapkan untuk dapat melakukan karakterisasi hingga tingkat
molekuler sehingga dapat mengetahui spesies bakteri yang dapat mendegradasi
senyawa toluena sehingga pengenalan akan jenis bakteri akan lebih spesifik.

57
58
DAFTAR PUSTAKA

Annette E. LaBauve and Matthew J. Wargo. 2015 Growth and Laboratory Maintenance
of Pseudomonas aeruginosa. ncbi.
Atlas RM. 1989. Microbiology Fundamentals and applications. New York: Macmillan.
879 hal.

Bossert, I. and R. Bartha (1984): The fate of petroleum in soil ecosystem. p. 435–473. In
Petroleum Microbiology, ed. by Atlas, Macmillan, New York, U.S.A.

Cappuccino, JG.& Sherman,N. 2000. Microbiology: A Laboratory Manual. The


Benjamin/ Cummings Publishing Company, Inc. California.

Colome, JS. 2001. Laboratory Exercises in Microbiology. West Publishing Company.


New York.

Culoota, L., C.D. Stefano, A. Gianguzza, M.R. Mannino, S. Groecchia. 2006. The PAH
composition of surface sediments from Stagnone coastal Logoon, Marsala (Italy).
Marine Chemistry, 99: 117-127.

Daane et al. 2001. Isolation and Characterization of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon-


Degrading Bacteria Associated with the Rhizosphere of Salt Marsh Plants.

Davids, J.B. 1967. Petroleum Microbiology. Elsevier Publishing Co., Amsterdam.

Diaz, M.P, and S.J.W Grigson. 2000. Isolation and characterization of novel
hydrocarbon-degrading euryhaline consortia from crude oil and mangrove
sediments.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan Jilid I. Jakarta: PT. Gramedia.

Fatchiyah, 2011. Modul Pelatihan Analisis Fingerprinting DNA Tanaman Dengan


Metode RAPD. Laboratorium Sentral Ilmu Hayati Universitas Brawijaya,
Malang.

Feliatra. 2007. Buku ajar mikrobiologi laut. Pekanbaru: UNRI press.

Fengel G, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin: Walter


de Gruyter
FSAI (Food Savety Authority of Ireland). 2009. Polcyclic aromatic hydrocarbon (PAHs)
in food. Toxicology Factsehhet Series. Issue No 1. May 2009. 9

Fukuda, K., Nagata, S., Taniguchi H. 2002. Isolation and characterization of dibnzofuran-
degrading bacteria. FEMS Microbiology Letters. Vol. 208: 179-185.

59
60

GFEA (German Federal Environment Agency). 2012. Polycyclic aromatic hydrocarbon.


Harmful to the environment, toxic, and inevitable. Press Office. Wörlitzer Platz 1,
D-06844 Dessau-Roßlau, Germany.

Ghazali FM, Rahman RNZA, Salleh AB, Basri M (2004). Biodegradation of


hydrocarbons in soil by microbial consortium. Int. Biodeterior. Biodegradation 54:
61-67.

Goenadi, D.H. & Isroi. 2003. Aplikasi Bioteknologi Dalam Upaya Peningkatan Efisiensi
Agribisnis Yang Berkelanjutan. Makalah Lokakarya Nasional Pendekatan
Kehidupan Pedesaan dengan Perkotaan dalam Upaya Membangkitkan Pertanian
Progresif, UPN. Yogyakarta.

Guo, C, L.,Zhou, H. W., Wong, Y.S. and Tam,N. F. Y. 2005. Isolation of PAH-degrading
Bacteria From Mangrove Sediments and Their Biodegradation Potential. Marine
Pollution Buletin.

Hadioetomo. 1988. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Jakarta.

Hung, Chang-Chin., Gwo-Ching Gong, Fung-Chi Ko, Hung-Jen Lee, Hung-Yu Chen,
Jian-Ming Wua, MinLan Hsu., Sen-Chueh Peng, Fan-Hua Nan, P.H. Santschi.
2011. Polycyclic aromatic hydrocarbons in surface sediments of the East China Sea
and their relationship with carbonaceous materials. Marine Pollution Bulletin, 63:
464–470

Lah, K. 2011. Polycyclic aromatic hydrocarbons.

Leahy, J.G., and Colwell, R.R. 1990. Microbial Degradation of Hydrocarbon in The
Environment.Microbiol. Rev. 54, 305-315

Leisinger. 1981. Microbial Degradation of Xenobiotic & Recalcitrant Compound.


Academic Press.

Macek, T., Mackova, M., and Kas, J. 2000. Exploitation of plants for removal of organic
in environmental remediation. Biotechnology Advances. 18:23-34

Madigan MT, Martinko JM, Parker J (2003). Brock biology of microorganism.


International edn. Prentice Hall Intern Ltd, London, pp 1020-1040

Mangkoedihardjo, A. 2005. Seleksi Teknologi Pemulihan untuk Ekosistem Laut


Tercemar Minyak. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan ITS
Surabaya.

Megharaj M, Wittich R-M, Blasco R, Pieper DH, Timmis KN. Superior survival and
degradation of dibenzo-p-dioxin and bibenzofuran in soil by soil-adapted and
61

nonadapted Sphingomonas sp. strain RW1. Appl Microbiol Biotechnol


1997;48:109–14

M. Genovese, R. Denaro, S. Cappello, G. Di Marco, G. La Spada, L. Giuliano, L.


Genovese, M.M. Yakimov Bioremediation of benzene, toluena, ethylbenzene,
xylenes-contaminated soil: a biopile pilot experiment.

Misran, E. 2002. Aplikasi Teknologi Berbasiskan Membran dalam Bidang Bioteknologi


Kelautan. Laporan Penelitian. Program Teknik Kimia Fakultas Teknik USU.
Medan. 17 hlm

McGrath, T.E., J.B. Wooten, C.W. Geoffrey, M.R. Hajaligol. 2007. Formation of
polycyclic aromatic hydrocarbons from tobacco: the link between low temperature
residual solid (char) and PAH formation. Food and Chemical Toxicology,
45(6):1039–1050.

Neff, J.M., 1979. Polycyclic aromatic hydrocarbons in the aquatic environment. Sources,
fates and biological effects. Applied Science Publishers, Barking.

National Research Council (NRC). 2003. Oil in the Sea III, inputs, fates, and effects. The
National Academies Press. Washington, D.C.

Nikolaou, M. Kastopoulou, G. Lofrano, S. Meric. 2009. Determination of PAHs in


marine sediments: analytical methods and environmental concerns. Global NEST
Journal, 11(4): 391-405.

Nugroho, A. 2006. Biodegradasi sludge Minyak Bumi Dalam Skala Mikrokosmos:


Simulasi Sederhana Sebagai Kajian Awal Bioremediasi land treatment. Makara
Teknologi, VOL. 10, NO. 2: 82-89.

Pelczar, Jr. M.J dan E.C.S. Chan. 1988. Dasar-dasar mikrobiologi. Penerbit Universitas
Indonesia. UI Press. Jakarta

Pavlova, E. 2006. Oil Fate During Oil Spill in the Marine Environment. Eco-Monitoring
Publishing. United States of America.

Poland, Alan, and C. Knutson Joyce. 1982. "2, 3, 7, 8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin and


related halogenated aromatic hydrocarbons: examination of the mechanism of
toxicity." University of Wisconsin.

Rosenberg, E., Legmann, R., Kushmaro, A., Taube, R., Adler, E., and Ron, E. Z. 1992.
Petroleum Bioremediation – A Multiphase Problem. Biodeg. 3, 213 – 226.

Schlegel, H.G. 1994. Mikrobiologi Umum. Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
62

Tortora GJ, Funke BR, Case CL, 1989. Microbiology An Introduction. California: The
Benjamin/Cummings.810 hlm

U.S EPA. 1994. Deposition of Air Pollutants to the Great Waters. First report to
Congress.Research Triangle Park. 453.

Venosa, A.D. 2002. National Response Team Fact Sheet on Bioremediation


Technologies. Cincinnati, Ohio: Environmental Protection Agency.

Srimariana, Endang.2000. Pengaruh Faktor Fisikokimia Terhadap Pembentukan Pigmen


Oleh Bakteri Laut Mesophilobacter sp. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Suryani, Ambarsari. Laksmi., Harahap. Efi. 2009. Amplifikasi gen 16s-rrna bakteri
termofilik dari sumber air panas, gunung pancar bogor. Jurnal Riset Kimia. Bogor

Udiharto, M. 1992. Aktivitas Mikroba Dalam Mendegradasi Crude Oil. Diskusi Ilmiah
VII. Hasil Penelitian Lemigas

Wittich, R.-M., Wilkes, H., Sinnwell, V., Francke, W. and Fortnagel, P. 1992 Metabolism
of dibenzo-p-dioxin by Sphingomonas sp. strain RW1. Appl. Environ. Microbiol.
58, 1005-1010.

Yudono B, Estuningsih SP, Said M, Sabaruddin, Napoleon A. 2013. Eksplorasi bakteri


indigen pendegradasi limbah minyak bumi di wilayah PT Pertamina UBEB Limau
Muara Enim. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013. 127-134

Zajic, J. E., Guignard, H., and Gerson, F. D. 1977. Emulsifying and Surface Active
Agents From Corynebacterium hydrocarbonoclatus. Biotechnology and
Bioengineering. 19, 1285 – 1301.
LAMPIRAN

63
64

64
Lampiran 1. Komposisi dan Prosedur Pembuatan Medium Tumbuh Bakteri

1.1 Medium Nutrient Agar


No. Bahan Kuantitas
1. Pepton 5 gram
2. Meat extract 3 gram
3. Agar-agar 12 gram
4. Air Laut steril 1 liter
Prosedur Pembuatan :
1. Bahan-bahan ditimbang sesuai kebutuhan untuk 1 liter medium agar
2. Bahan dilarutkan dalam erlenmeyer yang berisi air laut steril sambil dipanaskan
menggunakan hot plate hingga mendidih
3. Medium disterilisasi dalam autoklaf dengan tekanan 121 atm.
4. Medium siap digunakan
1.2 Medium Nutrient Broth
No. Bahan Kuantitas
1. Lab-Lemco Powder 1 gram
2. Yeast extract 3 gram
3. Peptone 5 gram
4. Sodium chloride 5 gram
5. Air laut 1 liter
Prosedur Pembuatan :
1. Bahan-bahan ditimbang sesuai kebutuhan untuk 1 liter medium broth
2. Bahan dilarutkan dalam erlenmeyer yang berisi air laut steril sambil dipanaskan
menggunakan hot plate hingga mendidih
3. Medium disterilisasi dalam autoklaf dengan tekanan 121 atm.
4. Medium siap digunakan

65
66

Lampiran 2.
2.1 Pengambilan Sampel Sedimen
67

2.2 Pengambilan data kualitas air


68

2.3 Pengenceran Sedimen


69

2.4 Penumbuhan bakteri asal sedimen


70

2.5 Pemurnian Bakteri


71

2.6 Hasil Pemurnian Bakteri

Isolat Bakteri Kode U2 P4 M3.1 Isolat Bakteri Kode U2 P4 M3.2

Isolat Bakteri Kode U2 P4 M3.3 Isolat Bakteri Kode U2 P6 M3.1

Isolat Bakteri Kode U2 P6 M3.2 Isolat Bakteri Kode U2 P6 M3.3

Isolat Bakteri Kode T1 P4 M2.2 Isolat Bakteri Kode T1 P5 M2.2


72

Isolat Bakteri Kode T2 P5 M3.1 Isolat Bakteri Kode T1 P6 M2.2

Isolat Bakteri Kode T2 P4 M2.3 Isolat Bakteri Kode T2 P6 M2.2


73

Lampiran 3
3.1 Pewarnaan Gram
74

Lampiran 4
4.1 Uji degradasi toluena

Anda mungkin juga menyukai