Anda di halaman 1dari 22

Filsafat Pendidikan Perennialisme

Dosen Pengampu:LAURENSIA MASRI P.S.Pd,M.Pd

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Nama :Putri Aisyah
NIM :4202121011
Nama Kelompok :Kelompok 4
Kelas :PSPF 20 Dik C

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


11 Oktober 2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, atas segala limpahan rahmat
dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Aliran Filsafat Pendidikan
Perennialisme ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Dorongan dari orang tua kami dan juga tidak lupa dukungan dan kerja sama dari
teman-teman kami yang begitu besar sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Makalah
Aliran Filsafat Pendidikan Perennialisme ini dengan tepat waktu. Sehingga penulis
mengucapkan banyak terimakasih untuk semuanya.
Kami berterima kasih kepada Ibu Dr. Wildansyah Lubis, M.Pd. Selaku dosen mata
kuliah Filsafat Pendidikan yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Semoga makalah
ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya dan menambahkan wawasan bagi
pembaca dan penulis . Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
di masa depan.

Aek Marbatu, 11 Oktober 2020

Putri Aisyah
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................
Daftar Isi..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1.1 Latar Belakang....................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................
1.4 Manfaat Penulisan...............................................................................
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................
2.1 Pengertian Perennialisme....................................................................
2.2 Sejarah Perkembangan Aliran Perennialisme......................................
2.3 Konsep Pemikiran Perenialisme........................................................
2.4 Tokoh-Tokoh Aliran Perennialisme...................................................
2.5 Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme.........................................
2.6 Pandangan-Pandangan Aliran Perenialisme......................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................
3.1 Kesimpulan.......................................................................................
3.2 Saran.................................................................................................
Daftar Pustaka.......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filsafat secara etimologi berarti cinta kebijaksanaan dalam arti yang sedalam-
dalamnya. Filsafat merupakan cinta dalam kebenaran. Dalam dunia pendidikan, filsafat
memiliki peranan yang sangat besar. Sebab, filsafat yang merupakan pandangan hidup itu
menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.
Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang erat, karena pada hakekatnya
pendidikan adalah proses pewarisan dari nilai-nilai filsafat dan filsafat itu adalah teori umum
dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Filsafat pendidikan
merupakan ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap
masalah-masalah pendidikan yang bersifat filisofis. Dalam memecahkan persoalan masing-
masing filosofis akan menggunakan teknik atau pendekatan yang berbeda, sehingga
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula. Dari perbedaan tersebut kemudian
lahirlah aliran-aliran atau sistem filsafat.
Aliran perennialisme merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada
dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat,
yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini
aliran perennialisme dalam filsafat pendidikan.
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau
“lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu
adalah aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perennialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Perennialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan
dan suatu yang baru. Perennialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacauan,
ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial
kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.

1.2 Rumusan Masalah


(1.) Apa pengertian aliran perennialisme?
(2.) Bagaimana sejarah aliran perennialisme?
(3.) Bagaimana aliran perennialisme pandangan terhadap pendidikan?
(4.) Siapa saja tokoh dalam aliran perenialisme ?
(5.) Seperti Apa Implimentasi Perenialisme dalam Pendidikan?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah Aliran
Filsafat Pendidikan Perennialisme dengan perumusan masalah di atas adalah :
1. Menjelaskanpengertian aliran perennialisme.
2. Menjelaskan sejarah perkembangan aliran perennialisme.
3. Menjelaskan aliran perennialisme pandangan terhadap pendidikan
4. . Untuk Mengetahui Implimentasi Perenialisme dalam Pendidikan

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok sebagai
bahan diskusi dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan . Serta menambah pengetahuan tentang
Aliran Filsafat Pendidikan Perennialismeyang diharapkan sangat bermanfaat bagi banyak
orang yang membaca makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perennialisme


Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau
“lasting for a very long time” – abadi atau kekal.[1]Dari makna yang terkandung dalam kata
itu adalah aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-
nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Istilah philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan untuk pertama
kalinya di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni
Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540.[2] Istilah tersebut dimasyhurkan oleh Leibniz
dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715 yang menegaskan pencarian jejak-jejak
kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap,
sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perenial.[3]
Sebagaimana diungkapkan oleh Leibniz filsafat perenial merupakan metafisika yang
mengakui realitas ilahi yang substansial bagi dunia benda-benda, hidup dan pikiran ;
merupakan psikologi yang menemukan sesuatu yang sama di dalam jiwa dan bahkan identik
dengan realitas ilahi. Unsur-unsur filsafat perenial dapat ditemukan pada tradisi bangsa
primitif dalam setiap agama dunia dan pada bentuk-bentuk yang berkembang secara penuh
pada setiap hal dari agama-agama yang lebih tinggi.[4]
Istilah perenial biasanya muncul dalam wacana filsafat agama dimana agenda yang
dibicarakan adalah pertama, tentang Tuhan, wujud yang absolut, sumber dari sagala sumber.
Kedua, membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga,
berusaha menelusuri akar-akar religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol
serta pengalaman keberagamaan.[5]
Ada perbedaan pandangan diantara para tokoh berkenaan dengan awal kemunculan
filsafat perenial. Satu pendapat mengatakan bahwa istilah filsafat perenial berasal dari
Leibniz, karena istilah itu digunakan dalam surat untuk temannya Remundo tertanggal 26
Agustus 1714, meskipun demikian Leibniz tidak pernah menerapkan istilah tersebut sebagai
nama terhadap sistem filsafat siapapun termasuk sistem filsafatnya sendiri.[6]
Kemudian pada pertengahan abad ini (1948) Adolf Huxley mempopulerkan istilah
filsafat perenial tersebut dengan menulis buku yang diberi judul The Perennial Philosophi.[7]
Pandangan lain yang menyangkal pendapat ini telah menunjukkan bukti bahwa jauh sebelum
tanggal tersebut Augustino Steucho (1490-1518) telah menerbitkan sebuah buku yang diberi
judul “De Perenni Philosophia” pada tahun 1540. Buku tersebut merupakan upaya untuk
mensintesiskan antara filsafat, agama, dan sejarah berangkat dari sebuah tradisi filsafat yang
sudah mapan. Karya Steuchus De Perenni Philosophia telah mempengaruhi banyak orang,
antara lain Ficino dan Pico. Bagi Ficino, filsafat perenial disebutnya sebagai filsafat kuno
yang antik (philosophia priscorium) atau prisca theologi, yang berarti filsafat atau teologi
kuno yang terhormat.[8]
Steuco menggunakan istilah perenni untuk menyebut sistemnya sendiri yang sudah
mapan dan kompleks. Dalam konteks ini istilah perenial dapat dipahami dalam dua arti :
pertama, sebagai suatu nama dari suatu tradisi filsafat tertentu, kedua, sebagai sifat yang
menunjuk pada filsafat yang memiliki keabadian ajaran, apapun namanya.[9]
Namun jika dilihat dari segi makna, sebenarnya jauh sebelum Steuchus atau Leibniz,
agama hindu telah membicarakannya dalam istilah yang disebut Sanatana Darma. Demikian
juga di kalangan kaum Muslim, mereka telah mengenalnya lewat karya ibnu Miskawaih
(932-1030), al-Hikmah al-Khalidah yang telah begitu panjang lebar membicarakan filsafat
perenial. Dalam buku itu, Miskawaih banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan
tulisan-tulisan orang orang suci dan para filosof, termasuk di dalamnya mereka yang berasal
dari Persia Kuno, India, dan Romawi.[10]
Meminjam istilah Sayyed Hussein Nasr, filsafat perennial juga bisa disebut sebagai
tradisi dalam pengertian al-din, al-sunnah dan al-silsilah. Al-din dimaksud adalah sebagai
agama yang meliputi semua aspek dan percabangannya. Disebut al-sunnah karena perennial
mendasarkan segala sesuatu atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasan turun-
temurun di kalangan masyarakat tradisional. Disebut al-silsilah karena perennial juga
merupakan rantai yang mengaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan
pemikiran di dunia tradisional kepada sumber segala sesuatu, seperti terlihat secara jelas
dalam dunia tasawuf. Dengan demikian filsafat perenial adalah tradisi yang bukan dalam
pengertian mitologi yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kanak-kanak,
melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil.[11]
Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman moderen telah
menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini
perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau”
regresive road to culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan
pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada
kebudayaan masa lampauyang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan nya.
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang terkiblat
dua, yaitu (a) perennialisme yang theologis – bernaung dibawah supremasi gereja katolik.
Dengan orientasipada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas – dan (b) perennialisme sekuler
berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.[12]

2.2 Sejarah Perkembangan Aliran Perennialisme


Aliran perennialisme lahir pada abad kedua puluh. Perennialisme lahir sebagai suatu
reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perennialisme memandang situasi dunia
dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan
moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan
ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-
prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa
tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.[13]
Perennialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Perennialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan
dan suatu yang baru. Perennialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacawan,
ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial
kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini. Teori atau konsep
pendidikan perennialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato yang merupakan bapak
edialime klasik, filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme klasik dan filsafat Thomas
Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) greja
katolik yang tumbuh pada zamannya (abat pertengahan).
Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan keemasan
filsafat perennialisme. Namun, mungkin saja kita bisa saja dengan terburu-buru melihat
perkembangan filsafat perenial ini hanya dalam kerengka sejalan pemikiran barat saja,
melainkan juga terjadi di wilayah lainnya . dan memang harus tetap diakui bahwasanya jejak
perkembanganfilsafat perenial jauh lebih tampak
Dalam konteks sejarah perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai jenis filsafat
khusus, filsafat ni mendafat eleborasi sistem dari para perenialis barat, seperti Agostino
Steunco. Namun, filsafat perenial atau yang sering disebut sebagai kebijaksanaan univeral,
disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks secara berangsur-angsur mulai rumtuh
menjelang akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang paling dimonan adalah perkembangan
yang pesat dari pilsafat materialis. Filsafat materialis ini membawa perubahan yang radikal
terhadap paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu.
Memasuki abad ke-18, karena pengaruh filsafat materialis, bayak aspek relita yang
diabaikan, dan yang tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat materialis ini begitu kuat
mempengaruhi pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16 hingga
akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sehingga pada tia-tiap
bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman kontemporer. Dan zaman
kontemporer inilah dapat dikatakan zama kebangkitan filsafat perennialisme.[14]

2.3 Konsep Pemikiran Perenialisme


Filsafat perenial dikatakan juga sebagai filsafat keabadian, sebagaimana dikatakan
oleh Frithjof Schuon “philosophi perennis is the universal gnosis wich always has existed
and always be exist” (filsafat perenial adalah suatu pengetahuan mistis universal yang telah
ada dan akan selalu ada selamanya).[15]
Filsafat Perenial sebagai suatu wacana intelektual, yang secara popular muncul
beberapa dekade ini, sepenuhnya bukanlah istilah yang baru.16 Filsafat Perennial cenderung
dipengaruhi oleh nuansa spiritual yang kental. Hal ini disebabkan oleh tema yang
diusungnya, yaitu “hikmah keabadian” yang hanya bermakna dan mempunyai kekuatan
ketika ia dibicarakan oleh agama. Makanya tidak mengherankan baik di barat maupun Islam,
bahwa lahirnya filsafat perennial adalah hasil telaah kritis para filosof yang sufi (mistis) dan
sufi (mistis) yang filosof pada zamannya.
Kemudian pada pertengahan abad ini (1948) Adolf Huxley mempopulerkan istilah
filsafat perenial tersebut dengan menulis buku yang diberi judul The Perennial Philosophi. Ia
menyebutkan, bahwa filsafat perenial mengandung tiga pokok pemikiran : 1) Metefisika yang
memperlihatkan sesuatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu. 2) Suatu psikologi
yang memperlihatkan adanya sesuatu yang ada dalam jiwa manusia. 3) Etika yang
meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat transenden.[16]
Tentang filsafat perenial atau Hikmah Abadi, sebagaimana yang telah dijelaskan
Huxley “Prinsip-prinsip dasar Hikmah Abadi dapat ditemukan diantara legenda dan mitos
kuno yang berkembang dalam masyarakat primitif di seluruh penjuru dunia. Suatu versi dari
kesamaan tertinggi dalam teologi-teologi dulu dan kini, ini pertama kali ditulis lebih dari dua
puluh lima abad yang lalu, dan sejak itu tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas terus-
menerus, dari sudut pandang setiap tradisi agama dan dalam semua bahasan utama Asia dan
Eropa.” Jadi, jelas, bahwa tema utama hikmah abadi adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi
yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam
bentuk ‘hakikat-hakikat eksoterik’ dengan bahasa yang berbeda-beda.
Kaum perenialis amat menekankan tradisi kesejarahan. Secara historis, perenialisme
lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme
memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada
usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kukuh, kuat dan teruji.

2.4 Tokoh-Tokoh Aliran Perennialisme


Para tokoh filsafat perenial tidak sepopuler filsuf-filsuf pada tradisi filsafat yang lain,
meskipun sesungguhnya pemikiran yang mereka sampaikan memberikan pengaruh besar
terhadap pemikiran masyarakat dan para filsuf lain pada saat itu.
1. Rene Guenon
Rene Guenon dan muridnya seperti Frithjof Schuon merupakan generasi baru
intelektual Barat yang telah tersadar dari kematian spiritual Barat, lalu mencoba
merumuskan metafisika yang sangat kreatif sebagai pandangan dunia alternatif bagi filsafat
materialistik Barat.
Rene Guénon (1886-1951) yang adalah tokoh filsafat perenial, masuk ke sekolah
Gérard Encausse di Prancis. Ia mendirikan Free School of Hermetic Sciences, sebuah
sekolah yang mengkaji tentang mistisisme. Selama berada di Prancis ia tidak hanya aktif
mengikuti berbagai kajian mistis, namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh
freemason[17], teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Karyanya antara lain
berjudul The Crisis Of The Modern Word, sebuah buku yang melukiskan krisis manusia
modern.[18]
Guenon menghidupkan kembali nilai-nilai hikmah, kebenaran abadi yang ada pada
tradisi lama. Ia menyebutnya sebagai primordial tradition (tradisi primordial). Guenon
awalnya katolik selanjutnya memeluk islam pada tahun 1912 nama Islamnya Abdul Wahid
Yahya. Namun begitu, selama kehidupannya di Prancis, Guenon tidak dikenal telah
mempraktekkan Islam.
Buah pemikiran Guenon antara lain adalah pendapatnya mengenai ilmu. Ia
berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang
lain harus dicapai juga namun ia hanya bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu
spiritual. Menurut Guenon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan
transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu ilmu tersebut tidak dibatasi oleh
suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua semua tradisi primordial.
Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan
kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya
yang unik untuk memahami realitas. Pengalaman spiritual Guenon dalam gerakan teosofi
dan freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki
kebenaran dan bersatu pada level kebenaran.[19]
2. Augustino Steuco
Augustino Steuco lahir di kota pegunungan Umbrian di daerah Gubbio antara tahun
1497 atau awal kelahirannya tahun 1512 atau 1513 dan menetap hingga tahun 1517.
Selanjutnya pada tahun 1518-1552 sebagian waktunya digunakan untuk mengikuti
perkuliahan di Universitas Bologna. Di situlah ia mulai tertarik pada bidang bahasa dengan
banyak belajar bahasa Aram[20],
Syiria, Arab dan Etiopia disamping bahasa Yunani. Steuco adalah sarjana al Kitab
dan seorang teolog. Dalam banyak hal ia mewakili sayap liberal teolog Katolik dan studi
skriptual abad XVI. Karya karya seperti Cosmopedia (1545) dan De Perenni Philosophia
jelas menunjukkan pandangan yang liberal, yang mencoba untuk mensejajarkan antara
berbagai tradisi filsafat pagan dengan tradisi ortodoks, akan tetapi disisi lain pandangan
konservatifnya juga tetap tampak dengan ketegarannya menolak ajaran Calvin, terutama
Martin Luther. Steuco menganggap ajaran tradisi agama-agama pagan dan non Kristen lebih
dapat diterima daripada ajaran pada pembaharu, Lutherianisme.
Karya paling termasyhur dari Steuco adalah De Perenni Philosophia, karya yang
mendapat sambutan hangat dikalangan pemikir hingga dua abad kemudian. Pada abad XVI
buku tersebut mendapat penghargaan yang sedemikian tinggi sehingga Kaspevon Barth
(1587-1658) menyebutnya sebagai “A Golden Book” dan Daniel George Marhof (1639-
1691) merujuknya sebagai “Opus Admirable” namun kemasyhuran itu berangsur angsur
mulai dilupakan hingga kemudian Willman menemukannya kembali pada akhir abad XIX.
Kunci pemikiran filsafat Steuco terlihat pada pandangannya bahwa terdapat “prinsip
tunggal dari segala sesuatu” yang satu dan selalu sama dalam pengetahuan manusia. Menurut
Steuco agama merupakan kemampuan alamiah manusia untuk mencapai kesejatian. Agama
merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk menjadi manusia, dan merupakan vera
philosophia (fisafat sejati), yaitu filasafat yang mengarah kepada kesalehan dan kontemplasi
pada Tuhan. Filsafat dan agama yang sejati selalu mendorong untuk menjadi subyek Tuhan
melakukan apa yang Tuhan inginkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, hingga
menjadi “seperti” Tuhan.
3. Frithjof Schuon
Frithjof Schuon dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1907 dan mendapat pendidikan di
Perancis. Semenjak tahun 1936 ia tercatat sebagai penulis tetap di jurnal berbahasa Perancis
Etades Traditionelles dan jurnal Connaisance des Religion, Comparative Religion. Karya-
karya Schuon yang terkenal antara lain adalah The Transenden
Unity of Religion, Islam and The Perennial Philosophy, Language of the Self[21],
juga Esoterism As Principle And As Way sebuah buku yang membahas tentang “Sophia
Perennis” kehidupan spiritual dan moral, serta tentang estetika dan sufisme, yang ia sebut
sebagai “agama hati”.
Frithjof Schuon berpendapat bahwa metafisika keagamaan atau filsafat Perenial tidak
terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi mata rantai tradisional termasuk dalam
realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio perenis,
agama yang bersifat abadi. Filsafat perenial memahami agama dalam realitasnya yang paling
transenden atau metafisika yang bersifat transenden historis, bukan hanya agama dalam
kenyataan faktual saja.
4. Ananda K. Coomaraswamy
Ananda K. Coomaraswamy, dilahirkan di Cylon (Srilanka) tahun 1877 dari seorang
ibu keturunan Inggris dan ayah Hindu. Ia dibesarkan dan mendapat pendidikan di Inggris
dan lulus dari Universitas London dibidang botani dan geologi. Seluruh hidupnya yang
didedikasikan untuk studi dan eksposisi dari India budaya dan seni.[22] Ia banyak meneliti
makna seni yang sakral dari Timur pada umumnya dan seni Hindu dan Budha pada
khususnya, lalu ia tulis dalam bahasa Inggris untuk konsumsi barat.
Coomaraswamy mengidentikkan philosophia perennis dengan tradisi. Tokoh ini
banyak melakukan serangan terhadap filsafat dalam berbagai segi, guna memberikan dasar
yang bersih bagi penghadiran metafisika sejati, serta mencegah adanya distorsi atau deviasi
kebingungan antara filsafat profan dengan pengetahuan sakral. Coomaraswamy memahami
istilah ad-din (ikatan) merupakan ikatan seorang manusia dengan Tuhannya, yang lebih
difahami sebagai tradisi dan karakter manusia primordial. Hanya kepada Tuhan manusia
pantas tunduk, oleh karena itu manusia adalah sebaik-baik ciptaan.[23]
Sebagai metafisikawan dan kosmolog, Coomaraswamy menghasilkan banyak buku,
yang ia gambarkan secara bebas dari Hindu, budha dan sumber sumber islam, begitu juga
dari Plato, plotinus, Sionisyus, Dante, Engena, Ekhart, Boehme, Blake dan wakil tradisi
Barat lainnya. Coomaraswamy menekankan kesatuan kebenaran yang terletak pada jantung
semua tradisi, yang ia tuangkan dalam Paths That Lead to the Same summit.
Karya-karya yang lain misalnya tentang tradisi Hindu dan Budha adalah “Hinduism
and Buddhism”. Karya metafisika secara murni adalah Recollection, Indian and platonic, on
the One and Only Transmigrant, dan lain sebagainya.
5. Sayyed Hossein Nasr
Sayyed Hossein Nasr adalah seorang filsuf dan mistikus yang dilahirkan pada tahun
1933 di Teheran, ia dikenal sebagai salah satu cendekiawan muslim yang mempunyai
wawasan sangat kaya tantang khasanah islam. Karyanya yang sangat terkenal adalah
“Science and Civilization in islam”, sebuah buku yang diangkat dari disertasinya tentang
sejarah sains.
Nasr mengatakan bahwa filsafat perenial adalah pengetahuan yang selalu ada dan
akan ada yang bersifat universal. “Ada” yang dimaksud adalah berada pada setiap jaman dan
setiap jaman dan setiap tempat karena prinsipnya yang universal. Pengetahuan yang
diperoleh melalui intelektualitas ini terdapat dalam inti semua agama dan tradisi. Realisasi
dan pencapaiannya hanya mungkin dilakukan melalui metode-metode, ritus-ritus, simbol-
simbol, gambar-gambar dan sarana-sarana lain yang disucikan oleh asal ilahiah atau (divine
original) yang menciptakan setiap tradisi.
Ketertarikannya kepada tradisi mulai muncul, ketika ia bertemu sejarawan sains
Giogio de Santillana, yang kemudian memperkenalkannya kepada literatur tentang
Hinduisme karya Rene Guenon. Dari Guenon, jalan ke para tradisionalis lain terbuka:
Coomaraswamy, Schuon, dan sebagainya.
Di Tehran ia menjumpai fukaha yang menganggap filsafat sebagai ilmu kafir. Di saat
inilah ia memutuskan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional Islam di madrasah. Ia menjalani
pendidikan ini selama 10 tahun, di bawah bimbingan beberapa ulama terkenal, di antaranya
Allamah Thabathaba’i. Hingga tahun 1978, belasan buku ditulisnya. Di antaranya yang telah
diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Sains dan Peradaban dalam Islam, Tiga Pemikir
Islam, dan Tasawuf Dulu dan Sekarang.
Dalam masa 20 tahun, karirnya pun menanjak cepat. Buku-buku monumental seperti
2 jilid Islamic Spirituality dan History of Islamic Philosophy, serta ratusan artikel lain telah
ditulisnya. Tak ketinggalan adalah kaset dan CD pembacaan puisi-puisi Rumi. Hingga
akhirnya, puncak pengakuan akan capaian filsafat Profesor Kajian Islam di Universitas
George Washington ini diperolehnya sebagai tokoh dalam The Library of Living
Philosophers.[24]
Tokoh-tokoh yang disebut diatas adalah tokoh-tokoh yang memiliki corak pemikiran
sejalan dengan filsafat perenial atau perenialisme. Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa Perenialisme bukan merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam
arti perenialisme bukanlah merupakan suatu bangunan pengetahuan yang menyususn filsafat
baru, yang berbeda dengan filsafat yang telah ada.
Secara maknawi teori perenialisme sudah ada sejak zaman filosof abad kuno dan
pertengahan. Seperti halnya dalam bidang pendidikan, konsep perenialisme dalam
pendidikan dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai bapak idealisme klasik,
filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme klasik, dan filsafat Thomas Aquinas yang
mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) Gereja Katolik yang
tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).[25]
1. Plato
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 sM. dan meninggal pada tahun 347 sM.
dalam usia 80 tahun. Ia dibesarkan dalam keluarga bangsawan Athena yang kaya raya[26],
sebuah keluarga Aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam politik
Athena.[27] Ayahnya Ariston mengaku keturunan raja Athena, ibu Plato, Periction, adalah
keturunan keluarga Solon[28], seorang pembuat undang-undang, penyair, pemimpin militer
dari kaum ningrat dan pendiri demokrasi Athena yang terkemuka.[29]
Plato adalah filsuf idealis, ia memandang dunia ide sebagai dunia kenyataan. Pokok
pikiran plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum
universal yang abadi dan sempurna. Yakni idea, sehingga ketertiban sosial hanya akan
mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan
pendidikan adalah ”membina pemimpin yang sadar” dan mempraktekkan asas-asas normatif
itu dalam semua aspek kehidupan.
Prinsip-prinsip Plato dalam Pendidikan nampak pada pemikirannya tentang tujuan
hidup adalah untuk mencari kebenaran universal. Sehingga tujuan pendidikan adalah
mengembangkan daya pikiran individu yang bermuara pada penemuan kebenaran bukan
ketrampilan praktis. Pemikiran in muncul karena Plato tidak sejalan dengan mayoritas kaum
sophis pada waktu yang –menganggap - pengajaran pada mahasiswa kurang tepat.[30]
Menurut Plato, manusia secara kodrati memilki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan
dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada tiga potensi itu dan juga kepada
masyarakat. Agar supaya kebutuhan yang ada pada masyarakat dapat terpenuhi.[31] Ketiga
potensi ini merupakan dasar kepribadian manusia. Karena itu struktur sosial didasarkan atas
dasar pandangan kepribadian ini. Dengan pertimbangan ketiga potensi itu tidak sama pada
setiap individu, berikut penjelasannya :
1. Manusia yang besar potensi rasionya, inilah manusia kelas pemimpin, kelas sosial
tertingi.
2. Manusia yang dominan potensi kemauannya, ialah manusia prajurit, kelas menengah.
3. Manusia yang dominan potensi nafsunya, ialah rakyat jelata, kaum pekerja.[32]
2. Aristoteles
Aristoteles lahir di Stageira ,suatu kota kecil di semenanjung Kalkidike di Trasia
(Balka) pada tahun 384 sM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 sM. Bapaknya bernama
Nichomachus, seorang dokter istana yang merawat Amyintas II raja Macedonia.[33] Sejak
kecil ia mendapat asuhan dan keilmuan langsung dari ayahnya sendiri sampai berumur 18
tahun. Setelah ayahnya meninggal ia pergi ke Athena dan belajar pada Plato di Akademia
selama 20 tahun.[34]
Ide-ide Plato dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan pada dunia
kenyataan. Aristoteles terutama menitikberatkan pembinaan berfikir melalui media
sciences.[35] Pandangan Aristoteles lebih realis dari pandangan Plato, hal ini dikarenakan
cara belajar kepada ayahnya yang lebih menekankan pada metode pengamatan.
Aristoteles menganggap pembinaan kebiasaan sebagai dasar. Terutama dalam
pembinaan kesadaran disiplin atau moral, harus melalui proses permulaan dengan kebiasaan
di waktu muda. Secara ontologis, ia menyatakan bahwa sifat atau watak anak lebih banyak
potensialitas sedang guru lebih banyak mempunyai aktualitas.[36] Bagi aristoteles tujuan
pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani,
emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.[37]
3. Thomas Aquinas
Thomas Aquinas atau Tomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca dekat
Napels, Italia. Lahir dari sebuah keluarga bangsawan.[38] Ia mempelajari karya-karya besar
Aritoteles dan ikut serta dalam berbagai perbedaan. Thomas merupakan seorang tokoh yang
sebagian ajarannya menjadi penuntun perenialisme.[39] Karyanya yang utama adalah Suma
Contra Gentiles dan Summa Theologiae.[40]
Seperti halnya Plato dan Aristoteles tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Thomas
Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi
aktualitas” aktif dan nyata. Tingkat aktif dan nyata yang timbul ini bergantung dari
kesadaran-kesadaran yang dimiliki oleh tiap-tiap individu.[41] Dalam hal ini peranan guru
mengajar dan memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi
yang ada padanya.
Aquinas juga mengakui potensi martabat manusia sebagai makhluk intelek sekaligus
sebagai makhlik susila. Manusia dapar melakukan reflective thinking tetapi juga manusia tak
mungkin menolak dogma sebagai divine truth yang tidak rasional, melainkan
supernasional.[42]

2.5 Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme


Dibidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh tokohnya: Plato,
Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan
sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi
ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah
“membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua
aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan
dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itudan kepada masyarakat, agar
supaya kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu
dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia kenyataan. Bagi
Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu,
maka aspek jasmani, emosi yang intelek harus dikenbangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, pendidikan yang dimaui oleh
Thomas Aquinas adalah sebagai ”Usaha mewujutkan kapasitas yang ada dalam individu agar
menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar – memberi
bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi
sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah
perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.[43]

2.6 Pandangan-Pandangan Aliran Perenialisme


a. Pandangan tentang realita (ontologis)
Peremialisme memandang bahwa realita itu bersifat universal dan ada dimana saja,
juga sama disetiap waktu. Inilah jaminan yang dapat dipenuhi dengan jalan mengerti wujud
harmoni bentuk-bentuk realita, meskipun tersembunyi dalam satu wujut materi atau pristiwa-
pristiwa yang berubah, atau pun didalam ide-de yang bereang.[44]
Relitas bersumber dan bertujuan akhir kepada relitas supranatural/tuhan (asas
supernatural). Relitas mempunyai watak bertujuan (asas teleologis). Substansi realitas adalah
bentuk dan materi (hylemorphisme). Dalam pengalaman, kita menemukan individual ting.
Contohnya, batu, rumput, orang, sapi, dalam bentuk, ukuran, warna dan aktivitas tertentu.
Didalam individual ting tersebut, kita menemukan hal-hal yang kebetulan (accident).
Contohnya, batu yang kasar atau halus, sapi yang gemuk, orang berbakat olahraga. Akan
tetapi, di dalam realitas tersebut terdapat sifat asasi sebagai identitasnya (esensi), yaitu wujud
suatu realita yang embedakan dia dari jenis yang lainnya. Contohnya, orang atau Ahmad
adalah mahluk berfikir. Esensi tersebutmembedakan Ahmad sebangai manusia dari benda-
benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang universal dimana pun ada dan sama disetiap
waktu.[45]
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl,
esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek
perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah benda sebagaimana
nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu,
rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun
aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang
penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka
berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya
partikular dan uni versal, material dan spiritual.[46]
b. Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan
kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang
menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya
adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian.
lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi
dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu
dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat
penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science
sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris
kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode
deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence
universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada
hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.Oleh karena itu, menurut
perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau
ditolak kebenarannya. Seperti pada prinsip-prinsip yang di kemukakan oleh Aristoteles
diatas.[47]
c. Pandangan tentang nilai (Axiologi)
Pandangan tentang hakikat nilai menurut perenialisme adalah pandangan mengenai
hal-hal yang bersifat spiritual. Hal yang absolut atau ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan
oleh karna itu nilai selalu bersifat teologis. Menurut perenialisme, hakikat manusia juga
menentukan hakikat perbuatannya, sedangkan hakikat manusia pertama-tama tergantung
pada jiwanya. Jadi persoalan nilai berarti juga persoalan spiritual.
Hakikat manusia adalah emansipasi (pancaran) yang potensial lang yang berasal dari
dan dipimpin oleh Tuhan, dan atas dasar inilah tujuan baik buruk itu dilakukan. Berarti dasar-
dasar yang didukung haruslah teologis.[48]
d. Pandangan tentang pendidikan
A. Pendidikan
Perenialisme memandang edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan
kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas
pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut,
dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal
tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga
bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan
mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah
kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan
dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
B. Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang
harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah
membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang
abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
C. Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui
kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah
adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun
kedalam kehidupan. Sekolah bagi perenialist merupakan peraturan-peraturan yang artificial
dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
D. Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran.
Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi, selain itumateri pelajaran
terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat
manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang
mempunyai “rational content” yang lebih besar.
E. Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah
membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang
dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
F. Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru
juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan
potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-
muridnya karena ia seorang propesional yang qualifiet dan superior dibandingkan muridnya.
Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.[49]

2.7 Implimentasi Perenialisme dalam Pendidikan


Perkembangan konsep-konsep perenialisme banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh
berpengaruh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.[38]
1. Menurut Plato, ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manipestasi dan hukum unversal
yang abadi dan ideal sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin di capai bila ide itu
menjadi tolak ukur yang memiliki asas normative dalam semua aspek kehidupan.
2. Menurut Psikologi Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yairu nafsu,
kemauan, dan akal. Ketiga potensi ini merupakan asa bagi bangunan kepribadian dan
watak manusia. Ketiga potensi ini tumbuh dan berkembang melalui pendidikan, sehingga
ketiganya berjalan secara berimbang dan harmonis.
3. Menurut Aristoteles orientasi pendidikan ditujukan kepada kebahagiaan, melalui
pengembangan kemampuan-kemampuan kerohanian seperti emosi kognisi, serta
jasmaniah manusia.
4. Menurut Thomas Aquinas bahwa tujuan pendidikan sebagai usaha untuk merealisasikan
kapasitas dalam tiap individu manusia sehingga menjadi aktualitas. Out-put yanh
diharapkan menurut perenialisme adalah manusia mampu mengenal dan
mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin menttal.
Karya inilah merupakan pemikiran para tokoh-tokoh besar pada zaman lampau.
Perenialisme dapat dikenali dengan mudah karena memiliki kekhasan, diantaranya
adalah:[39]
1. Perenialisme mengambil jalan regresif, yaitu kembali kepada nilai dan prinsip dasar
yang menjiwai pendidikan pada masa Yunani Kuno dan Abad pertengahan.
2. Perenialisme beranggapan bahwa realita itu mengandung tujuan.
3. Perenialisme beranggapan bahwa belajar adalah latihan dan disiplin mental, dan
4. Perenialisme beranggapan bahwa kenyataan tertinggi itu berada dibalik alam, penuh
kedamaian, dan transendental.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya
menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa
hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini dua aliran-aliran
dalam filsafat pendidikan.
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau
“lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu
adalah aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Perenialsme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan
dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacawan, ketikdak
pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural.
Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.

3.2 Saran
Keterbatasan informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi
sebab adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

a. Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI


AKSARA, 2008
b. Drs, Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan PeNA,
2009
c. Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka,
2010
d. Drs. Parasetya, filsafat pendidikan, (Bandung): Pustaka Setia, 2002
e. PROF. DR. A. Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan,
(Bandung):Pt Remaja Rosdakarya, 2008
f. http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2016/10/10/filsafat-pendidikan/
g. http://luphypamali.blogspot.com/2016/10/perenialisme.html
h. http://kukuhsilautama.wordpress.com/2016/10/10/aliran-perenialisme-dalam-
pendidikan/
i. http://sentangperkasa.yolasite.com/blog/pendidikan-menurut-pandangan-
perenialisme
j. http://dadanggani.blogspot.com/2016/10/aliran-esensialisme-dalam-
filsafat.html

Anda mungkin juga menyukai