Anda di halaman 1dari 96

KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR

KUALITAS UDARA
(Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan
Tegakan Mahoni Cikabayan)

Oleh:
MUNGKI EKA PRATIWI
E34101066

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR
KUALITAS UDARA
(Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan
Tegakan Mahoni Cikabayan)

Oleh:

MUNGKI EKA PRATIWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
Mungki Eka Pratiwi. E 34101066. Kajian Lumut Kerak sebagai Bioindikator
Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum
Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan). Dibawah bimbingan: Ir. Siti
Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si.

Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara baik


secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia. Pencemaran udara yang
disebabkan oleh aktivitas manusia dapat berasal dari kegiatan transportasi dan
industri, hal tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan berupa
polusi udara. Udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik pada atmosfer
yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan. Polusi udara dapat
mempengaruhi kondisi tumbuhan termasuk lumut kerak secara fisiologis.
Beberapa jenis lumut kerak dilaporkan dapat menjadi bioindikator yang peka
terhadap pencemaran udara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
keberadaan lumut kerak dihubungkan dengan lokasi tertentu dengan kualitas
udara yang diduga berbeda, dengan ruang lingkup mengkaji jenis-jenis morfologi
lumut kerak, jenis tanaman dan beberapa faktor lingkungan (suhu, kelembaban
udara dan kandungan polutan).
Penelitian dilakukan pada kawasan industri Pulo Gadung, arboretum
Cibubur Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Lokasi-lokasi tersebut diduga
sebagai memiliki kualitas udara relatif tercemar (kawasan industri Pulo Gadung
dan arboretum Cibubur) dan relatif tidak tercemar (tegakan mahoni Cikabayan).
Pengamatan talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan terhadap tiap unit
contoh pohon. Ciri-ciri makroskopik talus yang diamati antara lain adalah warna,
bentuk, dan keadaan talus serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman
yang terletak pada jarak 5 meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran
kualitas udara. Pengambilan data pertumbuhan lumut kerak juga diamati pada
kedua sisi batang pohon (menghadap dan membelakangi titik pengukuran
kualitas udara ambien).
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3
jenis lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan Dirinaria cf. picta). Pada
arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp.,
Graphidaceae, Heterodermia sp. dan Parmelia cf.austrosinensis). Pada tegakan
mahoni Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp.
dan Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.).
Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah
dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan
rendah). Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak tidak
teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose).
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus
lumut kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak
terlalu berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena dalam jarak yang diambil
terlalu dekat. Rata-rata luas talus D. cf.picta pada jarak pengamatan 5 meter dari
titik pengukuran kualitas udara dengan titik pengamatan membelakangi titik
pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2, memiliki nilai
yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan
kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2). Hal tersebut diduga karena
pengaruh polutan yang ada.
Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai
yang relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga
karena umur ukuran keliling batang tanaman yang lebih besar dibanding dengan
lokasi lainnya, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan pada tegakan
mahoni Cikabayan lebih bervariasi.
2

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum


Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran
kelembaban udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan
90%, dengan suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo
Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara
25,8-30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, tipe morfologi talus
crustose lebih mudah ditemukan bila dibanding dengan tipe morfologi foliose.
Strigula sp. dapat ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal
tersebut menggambarkan bahwa jenis tersebut mampu bertahan hidup pada
segala kondisi kualitas udara ambien. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur
memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang
berada di tegakan mahoni. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai
lumut kerak dari kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur
dan tegakan mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia
meskipun frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar
di tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri Pulo Gadung, D. cf picta
ditemukan dengan nilai frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding
dengan jenis lumut kerak lainnya dan sebelumnya telah dilaporkan bahwa jenis
ini sebagai bioindikator udara kotor. Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi
pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, dimana telah dilaporkan sebelumnya
bahwa jenis lumut kerak ini sebagai bioindikator udara bersih.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari


1984 dari pasangan Prakoso dan St.Rukiyah. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMUN 54
Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk
IPB melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Program
Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi anggota
HIMAKOVA dan Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Prenjak”. Pada bulan Juni-
Agustus 2004 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di BKPH Rawa
Timur-KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet-KPH Banyumas Timur
serta praktek pengelolaan hutan di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pada
bulan Februari-April 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul “Lumut
kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo
Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan)” dibawah
bimbingan Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana M.Si.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia yang telah diberikan, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Skripsi ini berjudul “Lumut kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi
Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni
Cikabayan)”.
Dengan penuh rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si dan Ibu Ir.
Elis Nina Herliyana M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan
pengarahannya selama penulis menyelesaikan skripsi. Selama penyusunan
skripsi ini tidak dapat dipungkiri banyak sekali hambatan yang penulis hadapi.
Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini
dapat penulis selesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat, penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna.
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.

Bogor, Juni 2006

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat izin-
Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini dapat penulis
selesaikan. Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si selaku
pembimbing yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan kearifan
serta memotivasi penyelesaian skripsi ini.
2. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen HasiL
Hutan dan Dr. Ir. Nurhaeni Wijayanto, MS, selaku dosen penguji Departemen
Silvikultur.
3. Bapak dan Mama yang senantiasa penuh kasih sayang dan doa agar penulis
tetap tegar sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini serta adik tercinta,
yang selalu menghibur penulis dalam suka dan duka.
4. Bapak Ir. Ali Hambali dan Ibu Ir. Fida yang telah mengizinkan penulis untuk
melakukan penelitian di kawasan industri Pulo Gadung.
5. Bapak Agus Syafii yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan
penelitian di arboretum Cibubur.
6. Pihak Herbarium Bogorensis, khususnya Ibu Ida Haerida, S.Si atas bantuan
dan informasinya.
7. Insan Kurnia, S.Hut yang telah memberikan bantuan, dukungan dan
arahannya selama penyusunan skripsi.
8. Monic, Wisye, Ernest, Boni dan Tommy atas dukungan dan bantuan selama
penyusunan skripsi. I can’t made it with out u guys.
9. Mbak Eka, Mbak Rita, Berny, Mba Eko, Purie, Mirna, Catur (untuk kamera)
dan Mas Ajie atas semangat, bantuan dan dukungannya selama penyusunan
skripsi. Maaf sudah merepotkan kalian.
10. Bapak dan Ibu di KPAP DKSHE, Ibu Evan, Ibu Titin, Ibu Eti, Ibu Tuti, Bapak
Acu dan Teh Sri yang telah membantu penulis dalam administrasinya.
11. Seluruh mahasiswa DKSHE angkatan 38 terimakasih atas kebersamaannya
dalam suka dan duka selama ini.
12. Semua pihak lainnya yang telah banyak membantu penulis.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................... ii


DAFTAR TABEL.............................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................... vi

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian .................................................................... 2
C. Manfaat Penelitian ................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Klasifikasi Lumut Kerak ........................................................... 3
B. Morfologi Lumut Kerak ............................................................ 4
1. Talus Crustose ................................................................... 5
2. Talus Foliose ...................................................................... 5
3. Talus Fruticose................................................................... 5
4. Talus Squamulose.............................................................. 5
C. Anatomi Lumut Kerak .............................................................. 6
1. Korteks atas ....................................................................... 6
2. Lapisan Alga ...................................................................... 6
3. Medulla .............................................................................. 7
4. Korteks Bawah .................................................................. 7
D. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak ..................................... 7
E. Pengaruh Lingkungan terhadap Lumut Kerak.......................... 9
1. Faktor Lingkungan.............................................................. 9
2. Bioindikator Kualitas Udara ................................................ 10

III. METODOLOGI PENELITIAN


A. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 13
B. Bahan dan Alat Penelitian ...................................................... 13
C. Metode.................................................................................. 13
1. Pemilihan Lokasi Contoh .................................................... 13
2. Jenis Data .......................................................................... 14
3. Prosedur Pengambilan Data............................................... 14
Halaman
3. Analisis Data ...................................................................... 15
D. Kerangka Pemikiran ................................................................ 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
1. Karakteristik Tempat Hidup Lumut Kerak
a. Kawasan Industri Pulo Gadung ...................................... 18
b. Arboretum Cibubur ......................................................... 19
c. Tegakan Mahoni Cikabayan Kampus IPB Dramaga ...... 21
2. Karakteristik abiotik
a. Kualitas Udara Ambien ................................................... 21
b. Suhu dan Kelembaban Udara ........................................ 23
3. Jenis-jenis Lumut Kerak
a. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan ...................... 23
b. Tipe Morfologi Talus Lumut Kerak .................................. 24
c. Penggunaan Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat
Lumut Kerak ................................................................... 26
4. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak
a. Bentuk Talus secara Umum ............................................ 28
b. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum....................... 30
5. Ciri Mikroskopik Lumut Kerak .............................................. 32
6. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak ........ 33
a. Frekuensi Perjumpaan Jenis Lumut Kerak .................... 33
b. Luas Talus Lumut Kerak ................................................ 34

B. Pembahasan
1. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan ........................... 36
a. Morfologi Talus Lumut Kerak .......................................... 36
b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum ..................... 36
c. Warna Talus secara Umum ............................................ 37
d. Ciri Mikroskopik Talus Lumut Kerak ............................... 39
e. Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat ........................ 42
f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak..... 42
3

Halaman

2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan


Lumut Kerak .............................................................................. 45
a. Kualitas Udara Ambien ................................................... 45
b. Suhu dan Kelembaban Udara ........................................ 47
c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara .......... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 51
A. Kesimpulan ............................................................................ 51
B. Saran ..................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian ........................... 13


2. Kandungan Udara Ambien................................................................ 22
3. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan di Tiga Lokasi Pengamatan ..... 23
4. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Pulo Gadung ............ 25
5. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ... 25
6. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni
Cikabayan ......................................................................................... 25
7. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman
sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri
Pulo Gadung..................................................................................... 26
8. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman
sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ...... 27
9. Bentuk Talus Lumut Kerak secara Umum ........................................ 28
10. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum ......................................... 30
2
11. Luas Talus Lumut Kerak (cm ) pada Ketinggian Batang Tanaman
hingga 150 cm dari Permukaan Tanah ............................................ 34
2
12. Luas Talus Rata-rata (Cm ) per Jarak Pengamatan ......................... 35
13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang
Ditemukan ........................................................................................ 49
DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Bentuk Lobus pada Tipe Morfologi Talus ......................................... 5


2. Morfologi Talus Lumut Kerak ........................................................... 6
3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran........................................................ 17
4. jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Kawasan Industri
Pulo Gadung..................................................................................... 18
5. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung .......... 19
6. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ................. 20
7. Kondisi Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur .............................. 20
8. Kondisi Lokasi Pengamatan di Tegakan Mahoni Cikabayan ........... 21
9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata .......................................... 23
10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe
Morfologi Talus ................................................................................. 24
11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III .......... 26
12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum ..................... 32
13. Warna Talus Spesies II .................................................................... 38
14. Warna Talus Spesies IV ................................................................... 39
15. Struktur Talus pada Tipe Talus Foliose ............................................ 40
16. Rizoid pada Tipe Talus Foliose ........................................................ 41
DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan ........................................ 57


2. Hasil Analisis Pengukuran Kualitas Udara Ambien ........................... 58
3. Rekapitulasi Data Iklim Mikro (Suhu dan Kelembaban Udara) ......... 59
4. Struktur Makroskopis dan Mikroskopis Talus Lumut Kerak............... 60
2
5. Rekapitulasi Luas Talus Lumut Kerak (Cm )..................................... 69
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 .................................. 81
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah


satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain,
pembangunan pusat-pusat industri juga dapat menimbulkan berbagai dampak
negatif seperti penurunan kualitas lingkungan berupa polusi udara, polusi air,
tanah dan suara. Dalam aktivitas produksinya, industri tersebut menyebabkan
timbulnya polutan-polutan yang dibebaskan dalam udara yang dapat
menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran udara adalah masuknya zat
pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia
(Ryadi, 1982; Soedomo, 2001). Aktivitas manusia tersebut dapat berupa
meningkatnya kendaraan bermotor.
Menurut Ryadi (1982), udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik
pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan.
Polusi udara dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan secara fisiologis, sehingga
menyebabkan adanya tingkatan kepekaan, yaitu sangat peka, peka dan kurang
peka (resisten). Oleh karena itu, tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator
yang akan menunjukan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan akan
memberikan reaksi sebagai dampak perubahan kondisi lingkungan yang akan
memberikan informasi tentang perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan
(Kovacs, 1992). Lumut kerak merupakan tumbuhan indikator yang peka
terhadap pencemaran udara, dengan pertumbuhan kerak tidak hanya mengalami
kemunduran di daerah yang terkena polusi berat tetapi menjadi langka atau
menghilang (Alexopoulos & Mims, 1979; Treshow ,1989).
Lumut kerak adalah hasil simbiosis antara fungi dan alga. Simbiosis
tersebut menghasilkan keadaan fisiologi dan morfologi yang berbeda dengan
keadaan semula sesuai dengan keadaan masing-masing komponen
pembentuknya (Ahmadjian, 1967). Lumut kerak dapat mempengaruhi komponen
ekosistem lain dan juga keberadaannya sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan, seperti mempunyai kemampuan dalam menyerap bahan-bahan
beracun di udara dan menampilkan gejala yang khas untuk bahan beracun
tertentu. Hampir sebagian besar spesies lumut kerak sangat sensitif terhadap
2

gas belerang dioksida (SO2) dan gas buang lainnya yang berasal dari industri
maupun dari kendaraan bermotor (Suwarso, 2004).
Penelitian terhadap jenis-jenis lumut kerak yang dapat menjadi bioindikator
pencemaran udara masih kurang, diantaranya adalah hasil penelitian
Soedaryanto et al. (1992) yang menemukan 3 jenis lumut kerak pada daerah
yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada daerah kontrol di Denpasar,
Bali. Pada penelitian ini akan dikaji tentang jenis-jenis lumut kerak pada kawasan
industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan
Kampus IPB Bogor, sebagai daerah yang diduga relatif tercemar dan relatif tidak
tercemar.

B. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi keberadaan lumut kerak dihubungkan dengan lokasi
tertentu dengan kualitas udara yang diduga berbeda, yaitu kawasan industri Pulo
Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni. Adapun ruang lingkup
penelitian adalah mengkaji jenis-jenis morfologi lumut kerak, jenis tanaman dan
beberapa faktor lingkungan (suhu, kelembaban udara dan kandungan polutan).

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis-


jenis lumut kerak yang tumbuh dengan kondisi kualitas udara tertentu yang dapat
dijadikan biondikator kualitas udara.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Lumut Kerak

Menurut Fitting et al. (1954) diacu dalam Ronoprawiro (1989); Noer (2004);
Tjitrosoepomo (1981), lumut kerak merupakan tumbuhan rendah yang temasuk
dalam divisi Thallophyta yang merupakan tumbuhan komposit dan perpaduan
fisiologik dari dua makhluk, yakni antara fungi dan alga.
Menurut Dharmaputra et al. (1989), fungi merupakan salah satu organisme
heterotrof yang tidak termasuk tumbuhan maupun hewan, yaitu termasuk dalam
regnum fungi. Fungi dapat hidup sebagai saprob atau parasit. Saprob
merupakan organisme yang hidup dari bahan organik mati, sedangkan parasit
adalah organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan mengambil
makanan darinya.
Keberadaan simbiosis antara dua organisme ini masih diperdebatkan.
Lumut kerak seharusnya termasuk dan diklasifikasikan dengan fungi sejati
(Bessey, 1950; Martin, 1950; Alexopoulos, 1956 diacu dalam Pandey & Trivendi,
1977). Namun, menurut Smith (1955) diacu dalam Pandey & Trivendi (1977)
menerangkan bahwa lumut kerak harus berada pada kelompok yang terpisah
dari alga dan fungi.
Dua organisme tersebut hidup berasosiasi satu sama lain, sehingga
muncul sebagai satu organisme. Penyusun komponen fungi disebut mycobiont
yang pada umumnya berasal dari kelas Ascomycetes dan dua atau tiga genus
termasuk kelas Basidiomycetes, sedangkan penyusun komponen alga disebut
phycobiont, berasal dari divisi alga biru-hijau (Chyanophyceae) atau alga hijau
(Chlorophyta). Tercatat bahwa terdapat 12 genus dari divisi alga biru-hijau
(Chyanophyceae) dan 21 dari alga hijau (Chlorophyta). Pada umumnya genus
yang termasuk dalam Cyanobacteria adalah Nostoc, Gloeocapsa dan Rivularia,
sedangkan yang termasuk alga hijau diantaranya Protococcus, Trentepohlia dan
Cladophora (Pandey & Trivendi, 1977).
Menurut Misra & Agrawal (1978), menyatakan bahwa klasifikasi lumut
kerak berdasarkan komponen fungi terbagi menjadi tiga tipe, yaitu:
1) Ascolichens
Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak berasal dari
kelas Ascomycetes. Tipe ini terbagi dalam dua bagian yaitu Gymnocarpae
4

yang memiliki tubuh buah berupa apotesium dengan struktur terbuka,


contohnya Parmelia. Sedangkan pada bagian Pyrenocarpae, memiliki tubuh
buah berupa peritesium dengan struktur tertutup, contohnya Dermatocarpon.
Komponen alga dari Ascolichen termasuk dalam Myxophyceae di antaranya
Scytonema, Nostoc, Rivularia, Gleocapsa. Pada Chlorophyceae di antaranya
adalah Protococcus, Trentepohlia, Cladophora.
2) Basidiolichens
Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari kelas
Basidiomycetes. Basidioliches memiliki komponen alga yang termasuk dalam
kelas Myxophyceae, berupa filamen (Scytonema) atau non-filamen
(Chroococcus).
3) Lichen Imperfecti
Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari kelas
Deuteromycetous dengan contoh antara lain Cystocoleus, Lepraria,
Leprocanlon, Normandia. Fink (1961), menambahkan bahwa golongan ini
tidak dapat membentuk spora fungi dan talus tersusun dari hifa atau massa
padat yang seringkali terlihat menyerupai serbuk atau bubuk pada substrat
yang ditumbuhinya.
Menurut Pandey & Trivendi (1977), simbiosis antara alga dan fungi,
memberikan dua penafsiran yang berbeda, yaitu :
1) Disebut simbiosis mutualisme, bila dipandang ke dua simbion dapat
memperoleh keuntungan dari hidup bersama. Pada simbiosis tersebut alga
memberikan hasil fotosintesisnya, terutama yang berupa karbohidrat kepada
fungi, dan sebaliknya fungi memberikan air dan garam-garam kepada alga.
2) Disebut helotisme, bila keuntungan yang timbal balik itu hanya sementara,
yaitu pada permulaannya saja, tetapi pada akhirnya alga akan diperalat oleh
fungi.

B. Morfologi Lumut Kerak

Menurut Fink (1961), bagian utama lumut kerak adalah talus yang
merupakan jaringan vegetatif. Keberadaan talus dapat terangkat atau tegak lurus
dari substratnya, terjumbai, tergantung atau talus juga dapat terlihat tubuh secara
rapat atau jarang pada substrat. Menurut Dharmaputra et al. (1989), talus
adalah merupakan istilah umum untuk bagian vegetatif tumbuh-tumbuhan tak
berpembuluh (non-vascular).
5

Lumut kerak dapat dikelompokkan dalam tiga tipe berdasarkan morfologi


talusnya yaitu crustose, foliose, dan fruticose. Pengelompokan itu berdasarkan
pada organisasi jaringan tubuh dan perlekatan talus pada substratnya, yaitu:

1. Talus Crustose

Ukuran talus crustose bermacam-macam dengan bentuk talus rata, tipis,


dan pada umumnya memiliki bentuk tubuh buah yang hampir sama. Talus
berupa lembaran tipis atau seperti kerak yang permukaan bawahnya melekat
pada substrat. Permukaan talus biasanya terbagi menjadi areal-areal yang agak
heksagonal yang disebut areole (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania
1995; Moore, 1972; Hale, 1979).

2. Talus Foliose
Talus foliose bertingkat, lebar, besar, kasar dan menyerupai daun yang
mengkerut dan melipat. Permukaan talus foliose bagian bawah dan atas
berbeda, pada permukaan bawah berwarna lebih terang atau gelap dan pada
bagian tepi talus biasanya menggulung ke atas (Vashishta 1982, diacu dalam
Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979).

Gambar 1. Bentuk Lobus Tipe Talus Foliose (Hale, 1989)

3. Talus Fruticose
Talus fruticose merupakan tipe talus kompleks dengan cabang-cabang
yang tidak teratur. Talus ini memiliki bentuk cabang silinder atau pita. Talus
hanya menempati bagian dasar dengan cakram bertingkat. Lumut kerak fruticose
ini memperluas dan menunjukan perkembangannya hanya pada batu-batuan,
daun, dan cabang pohon (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995;
Moore, 1972).
6

4. Talus Squamulose

Talus ini memiliki bentuk seperti talus crustose dengan pingiran yang
terangkat ke atas di atas tempat hidupnya. Talus ini memiliki bentuk seperti sisik
yang tersusun oleh banyak cuping (lobes) yang kecil tetapi tidak memiliki rizin
(Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979; Noer,
2004).

Gambar 2. Morfologi Talus (www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens)

C. Anatomi Talus Lumut Kerak

Secara umum anatomi jaringan talus lumut kerak tersusun atas beberapa
lapisan diantaranya sebagai berikut :

1. Korteks Atas
Lapisan teratas disebut sebagai lapisan hifa fungi. Lapisan ini tidak
memiliki ruang antar sel dan jika ada maka ruang antar sel biasanya diisi oleh
gelatin. Pada beberapa jenis lumut kerak yang bergelatin, kulit atas juga
kekurangan satu atau beberapa sel tipis. Namun, permukaan tersebut dapat
ditutupi oleh epidermis (Misra & Agrawal, 1978). Alga sangat penting bagi untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi lumut kerak, karena alga dapat melakukan
fotosintesis (Moore, 1972). Secara umum, lapisan atas alga diketahui dapat
menerima cahaya sinar matahari. Simbiosis yang terjadi mengakibatkan kedua
komponen tersebut saling tergantung satu sama lain. Lumut kerak dapat
mengabsorbsi air dari hujan, aliran permukaan, dan embun.

2. Lapisan Alga
Lapisan ini berada di bawah lapisan cortex atas yang terdiri atas lapisan
gonidial. Lapisan ini merupakan jalinan hifa fungi yang bercampur dengan alga.
Berdasarkan penyebaran lapisan alga pada talusnya, lumut kerak telah
diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu homoiomerus dan heteromerous.
7

Pada homoimerus, sel alga tersebar merata pada jaringan longgar hifa fungi
sedangkan pada heteromerus sel-sel alga terbatas pada lapisan atas talus
(Misra & Agrawal, 1978).

3. Medulla
Menurut Misra & Agrawal (1978), lapisan medulla terdiri dari jalinan
longgar hifa-hifa. Lapisan ini akan memberikan kekuatan dan penghubung antara
lapisan bawah dan atas atau bagian luar dan dalam talus. Menurut Fink (1961),
lapisan ini menyerupai parenkim bunga karang seperti pada jaringan daun.
Pembagian atau pemisahan antara lapisan alga dan lapisan medula tidak selalu
terjadi secara sempurna. Pada lapisan ini hanya sedikit terdapat sel-sel alga, dan
pada umumnya lapisan ini relatif tebal dan tidak berwarna atau transparan.

4. Korteks Bawah
Menurut Fink (1961), lapisan korteks bagian bawah sangat mirip dengan
lapisan cortex bagian atas. Pada lapisan ini akan terbentuk rizoid yang
berkembang masuk ke substrat. Jika rizoid tidak ada, maka fungsinya akan
digantikan oleh hifa-hifa fungi yang merupakan perpanjangan hifa dari lapisan
medulla.
Menurut Meler & Chapman (1983) diacu dalam Ronoprawiro (1989)
menyatakan bahwa hubungan fungi dan alga merupakan simbiosis dan
hubungan ini terjadi melalui houstoria, yaitu terjadi pelekatan yang erat benang
fungi pada alga. Pada lumut kerak, terdapat dua tipe houstoria, yaitu houstoria
intramembran yang hanya masuk ke dalam dinding sel alga dan tidak banyak
yang melewatinya dan houstoria intrasel, masuk jauh ke dalam sel alga
(Pevelling, 1973; Fitting et al., 1954 diacu dalam Ronoprawiro, 1989). Lumut
kerak yang memiliki struktur talus yang jelas pada umumnya hanya mempunyai
houstoria intramembran (Tschermak, Geitler, Plessl, cit Pevelling, 1973 diacu
dalam Ronoprawiro, 1989).

D. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak

Lumut kerak hidup sebagai tidak hanya menjadi tumbuh pada pohon-
pohonan, tetapi juga di atas tanah, terutama pada daerah tundra di sekitar kutub
utara. Lokasi tumbuhnya dapat di atas maupun di dalam batu dan tidak terikat
pada tingginya tempat di atas permukaan laut. Lumut kerak dapat ditemukan dari
tepi pantai sampai di atas gunung-gunung yang tinggi. Tumbuhan ini tergolong
dalam tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam pembentukan tanah.
8

Beberapa jenis dapat masuk pada bagian pinggir batu-batu, yang biasa disebut
sebagai bersifat endolitik (Tjitrosoepomo, 1981). Lumut kerak juga dapat hidup
dan tumbuh pada habitat yang agak kering (Polunin, 1990).
Menurut Fink (1981), lumut kerak yang ada pada pohon umumnya tumbuh
pada batang atau bagian batang yang lebih rendah. Menurut Pandey & Trivendi
(1977); Misra & Agrawal (1978), habitat lumut kerak dapat dibagi menjadi 3
katagori, yaitu :
1) Saxicolous adalah jenis lumut kerak yang hidup di batu. Menempel pada
substrat yang padat dan di daerah dingin.
2) Corticolous adalah jenis lumut kerak yang hidup pada kulit pohon. Jenis ini
sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang sebagian besar
kondisi lingkungannya lembab.
3) Terricolous adalah jenis lumut kerak terestrial, yang hidup pada permukaan
tanah.
Menurut Pandey & Trivendi (1977); Fitting et al. (1954) diacu dalam
Ronoprawiro (1989); Misra & Agriwal (1978), penyebaran koloni lumut kerak
dapat terjadi secara vegetatif yaitu dengan cara fragmentasi, soredia, dan isidia
serta secara seksual. Penyebaran secara vegetatif secara tidak langsung dapat
dibawa oleh air, angin, serangga atau satwa (Moore, 1972). Air hujan sangat
penting dalam penyebaran soredia, meskipun dengan angin juga dapat terjadi
penyebaran.
Menurut Pandey & Trivendi (1977), fragmentasi merupakan salah satu cara
penyebaran secara vegetatif yang paling umum dijumpai. Lumut kerak yang
kering dengan kondisi yang sangat rapuh, bila terpisah dari talus utamanya maka
potongan talus tersebut akan terbawa oleh angin atau air sehingga akan jatuh
pada tempat yang baru. Pada tempat yang baru, potongan talus tersebut akan
tumbuh menjadi talus yang baru. Soredia merupakan struktur berbentuk bubuk
yang berwarna putih keabuan atau hijau keabuan, yang biasanya terletak pada
permukaan talus atau pinggiran talus. Soredia akan disebarkan oleh angin atau
air hujan dalam mencari substrat yang sesuai sehingga dapat berkembang
menjadi talus baru. Isidia merupakan struktur yang memiliki bentuk seperti
karang yang terdapat pada permukaan atau pinggiran talus.
Untuk reproduksi seksual terbatas untuk pasangan fungi yang terdapat
pada lumut kerak, sebab sebagian besar komponen fungi pada lumut kerak
termasuk dalam golongan Ascomycetes. Reproduksi ini meliputi pembentukan
9

askokarp dalam struktur khusus yang disebut dengan asci, tumbuh pada
apotesium atau peritesium. Banyak jenis fungi pada lumut kerak membentuk
askokarp, tergantung pada golongannya.
Menurut Vashishta (1982) diacu dalam Januardania (1995), menyebutkan
bahwa ada beberapa faktor yang membantu penyebaran lumut kerak.
Penyebaran secara vegetatif merupakan cara efisien membantu penyebarannya,
hal tersebut juga didukung oleh sifat lumut kerak yang memiliki ketahanan
terhadap suhu dan kelembaban yang ekstrim.

E. Pengaruh Faktor Lingkungan bagi Lumut Kerak

1. Faktor Lingkungan

a. Suhu udara
Pertumbuhan lumut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara
lain suhu udara, kelembaban udara dan kualitas udara. Lumut kerak memiliki
kisaran toleransi suhu yang cukup luas. Lumut kerak dapat hidup baik pada suhu
yang sangat rendah atau pada suhu yang sangat tinggi. Lumut kerak akan
segera menyesuaikan diri bila keadaan lingkungannya kembali normal. Salah
satu contohnya alga jenis Trebouxia tumbuh baik pada kisaran suhu 12-24°C,
dan fungi penyusun lumut kerak pada umumnya tumbuh baik pada suhu 18-21°C
(Ahmadjian, 1967).

b. Kelembaban udara
Walaupun lumut kerak tahan pada kekeringan dalam jangka waktu yang
cukup panjang, namun lumut kerak tumbuh dengan optimal pada lingkungan
yang lembab (Ronoprawiro, 1989).

c. Kualitas Udara
Menurut Kristanto (2002), udara adalah suatu campuran gas yang berada
pada lapisan yang mengelilingi bumi, dengan komposisi campuran gas tersebut
tidak selalu konstan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999;
Soedirman (1975) diacu dalam Ryadi (1982); Kozak & Sudarmo (1992) diacu
dalam Purnomohadi (1995), pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain berupa debu, uap air, bau,
asap, dan berbagai jenis gas lainnya yang dalam jumlah konsentrasi, sifat dan
lama waktu keberadaannya di atmosfer, sehingga mutu udara ambien turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat
10

memenuhi fungsinya dan dapat menyebabkan gangguan terhadap lingkungan


disekitarnya baik terhadap gangguan kesehatan, kerusakan pada kualitas
barang/benda tertentu atau kenyamanan makluk disekitarnya.
Kemampuan lumut kerak untuk merespon perubahan yang ditimbulkan
oleh kondisi lingkungan menyebabkan lumut kerak dapat dipakai sebagai
bioindikator untuk pencemaran udara (Galun, 1988 diacu dalam Noer, 2004). Hal
tersebut dijelaskan oleh Woodruff (1996) diacu dalam Simonson (1996) yang
menyatakan bahwa berdasarkan objek penelitian yang telah dilakukan beberapa
jenis lumut kerak dapat menjadi indikator dalam waktu pendek karena
pertumbuhannya yang lambat dan di dalam sel terdapat bahan campuran dari
polusi yang telah telah ada.

2. Biondikator Kualitas Udara.

Alexopolous & Mims (1979) menyatakan bahwa pusat kota dengan polusi
industri beratnya tidak ditemukan atau jarang ditemukan lumut kerak. Populasi
lumut kerak secara bertahap bertambah pada jarak semakin jauh dari pusat kota
tersebut. Dengan demikian lumut kerak dapat digunakan sebagai petunjuk
didalam program mengukur kualitas lingkungan, dimana bahwa tidak ada
organisme lain yang lebih peka terhadap sulfur dioksida (SO2) daripada lumut
kerak.
Sulfur dioksida (SO2) merupakan hasil samping pembakaran batubara (dan
juga minyak bumi pada batas-batas tertentu) dan bentuk sulfur lainnya, dimana
hasil-hasil tersebut akan mempengaruhi banyak tumbuh-tumbuhan khususnya
lumut kerak (Lubis, 1996).

Menurut Noer (2004), jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh di daerah


tercemar berat antara lain adalah Desmococcus viridis, L. conizoides, Lepraria
incana, B. punctata, Diploicia canescens, L. expallens, Xanthoria parietina,
Cladonia coniocraea, C. macilenta, dan L. dispersa. Untuk jenis–jenis lumut
kerak yang tumbuh pada daerah yang tercemar sedang antara lain Hypogymnia
physodes, Ramalina farinacea, Evernia prunastri, Physia adscendens, Physia
tenella, Lecanora chlarotera, Foraminella ambigua, Platismatia glauca, Lecidella
elaeochroma, P. sulcata, P.saxatilis, P. glabratula. Jenis–jenis lumut kerak yang
tumbuh di daerah tercemar ringan adalah Pseudevernia furfuracea, Bryria
fuscescens, Physconia distorta, Physconia enteoxantha, Phaeophysia
orbicularis, Physia aipolia, Opegrapha varia, P. cerperta, P.a acetabulum, G.
11

scripta, G. elegans, dan Anaptychia ciliaris. Jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh
di daerah yang bersih adalah Usnea rubicunda, U. subfloridana, U. florida, U.
articulata, Teloschistes flavicans, Lobaria pulmonaria, P. perlata, Lobaria
scrobiculata, R. fastigiata, R. fraxinea, R. calicaris, Pannaria rubiginosa, dan
Degelia plumbea.
Menurut Clark et al. (1999) diacu dalam Wijaya (2004), ada beberapa sifat
lumut kerak yang ideal sebagai bioindikator antara lain :

1) Secara geografis penyebarannya luas


2) Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim
3) Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan logam serta
mineral diserap oleh lumut kerak
4) Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara
5) Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun
Menurut Kovacs (1992), lumut kerak sangat peka terhadap emisi pencemar
bila dibanding dengan tumbuhan tinggi. Adapun kepekaan tersebut dikarenakan
adanya perbedaan fisiologis dan morfologi, yaitu :
1) Kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju
fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi yang
terbatas.
2) Tidak adanya kutikula, maka pencemar dapat dengan mudah masuk ke
dalam talus.
3) Lumut kerak golongan corticolous, dapat menyerap air dan nutrien langsung
dari udara.
4) Keseimbangan air di dalam lumut kerak hampir sepenuhnya untuk menjaga
kelembaban atau presepitasi, sehingga menyebabkan kesempatan untuk
asimilasi dan regenerasi menjadi terbatas.
5) Lumut kerak dapat mengakumulasi berbagai macam bahan tanpa melakukan
seleksi.
6) Sekali bahan pencemar diserap, maka akan diakumulasikan dan tidak
dieksresikan.
7) Terjadi perubahan warna talus, akibat adanya bahan pencemar.
Kadar tertentu zat pencemar udara akan mampu menghambat
pertumbuhan lumut kerak, tetapi logam-logam berat tidak banyak mempengaruhi
pertumbuhan lumut kerak. Lumut kerak dan Bryophyta akan mampu menimbun
12

logam-logam berat yang dipancarkan ke udara lebih cepat daripada tanaman


tinggi (Noer dan Bonito, 1982 diacu dalam Soedaryanto et al., 1992).
Menurut Garty (2000) diacu dalam Wijaya (2004), berdasarkan daya
sensitivitasnya terhadap pencemar udara maka lumut kerak dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: sensitif, merupakan jenis yang sangat peka terhadap
pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini tidak akan
dijumpai; toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap pencemaran
udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar; pengganti
merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas lumut kerak
yang asli rusak karena pencemaran udara.

Menurut Noer (2004), terdapat beberapa parameter yang dapat


dipergunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur adanya pencemaran
udara :

1) Keanekaan ; jumlah jenis yang terdapat di setiap substrat yang diamati. Pada
daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan
jenis-jenis yang peka sekali akan hilang.
2) Pertumbuhan ; diamati dengan melihat keadaan morflogi dan warna
talusnya. Lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya kurang
baik, warnanya pucat atau berubah.
3) Kesuburan ; dilihat ada tidaknya alat berkembangbiak yaitu soredia, isidia,
lobules, chypellae dan chepaloidia. Pada daerah tercemar, lumut kerak yang
ada kurang subur dan alat berkembang biak tidak ada.
4) Frekuensi ; penyebaran dan pengelompokan lumut kerak pada setiap
substrat yang diamati, sedangkan frekuensi adalah kehadiran lumut kerak
pada setiap pohon contoh di masing-masing stasiun pengamatan.
5) Persentase penutupan (density) ; diukur dengan menghitung luas penutupan
lumut kerak pada substrat atau habitat yang diamati.
III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur
Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Pengambilan data di lapangan,
dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2005.

B. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan dan alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian


No Nama Fungsi

Bahan
1 Peta lokasi Melihat lokasi penelitian
2 Plastik transparan Menggambar lumut kerak
3 Amplop Menyimpan sampel lumut kerak
4 Akuades, laktofenol-analin blue, Membuat preparat
tissue
Alat
5 Pita meteran Mengukur keliling batang pohon
6 Kape, pahat, dan martil Mengambil sampel lumut kerak
7 Termometer bola basah dan bola Mengukur suhu (ºC) dan kelembaban
kering udara (%)
8 Planimeter Mengukur luas lumut kerak
9 Imvinger dan dust sampler Mengukur kualitas udara
10 Alat tulis dan tally sheet Mencatat hasil
11 Kamera Dokumentasi
12 Object glass, cover glass, pinset, Melihat ciri-ciri mikroskopik
pipet, pisau silet, dan mikroskop

C. Metode
1. Pemilihan Lokasi Contoh
Lokasi contoh pengamatan pada masing-masing lokasi ditentukan secara
purposive/sengaja yaitu dengan kriteria lokasi merupakan habitat tumbuhnya
lumut kerak dengan dugaan memiliki kondisi kualitas udara yang berbeda.
Pemilihan lokasi pengamatan yaitu di kawasan industri Pulo Gadung (A) dan
arboretum Cibubur (B) dan tegakan mahoni Cikabayan (C) merupakan daerah
relatif tidak tercemar.
14

2. Jenis Data
Talus lumut kerak yang diamati terbagi secara makroskopik dan
mikroskopik. Pengamatan secara mikroskopik mencakup bentuk, keadaan serta
warna talus lumut kerak, luas talus lumut kerak serta frekuensi perjumpaan serta
melakukan komposisi jenis (melalui pendekatan tipe morfologi talus lumut kerak).
Pengamatan secara mikroskopik dilakukan untuk melihat struktur jaringan
penyusun talus lumut kerak.
Jenis data faktor biotik yang diperoleh adalah jenis tanaman sebagai
substrat bagi lumut kerak dan keliling batang atas tanaman, sedangkan jenis
data faktor abiotik yang diperoleh adalah iklim mikro, terdiri dari suhu dan
kelembaban udara rata-rata serta kandungan udara ambien.

3. Prosedur Pengambilan Data


a. Data Lumut Kerak
Membuat lokasi contoh pengamatan berbentuk lingkaran seluas 0,1 ha,
kemudian melakukan pengamatan secara makroskopik terhadap tiap unit contoh
pohon. Ciri-ciri yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan keadaan talus
serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang terletak pada jarak 5
meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran kualitas udara. Pengambilan
titik pengamatan data lumut kerak yang tumbuh pada kedua sisi batang pohon
(menghadap dan membelakangi titik pengukuran kualitas udara ambien).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengukur luas lumut kerak
sebagai berikut :
1) Mengukur lingkar batang bawah pohon pada ketinggian 150 cm dari
permukaan tanah dan lingkar batang pohon pada tepat di atas permukaan
tanah.
2) Menggambar luas lumut kerak tersebut pada batang pohon bagian bawah
pada plastik transparan.
3) Menghitung luas lumut kerak pada setiap pohon dengan menggunakan
planimeter.

Contoh talus yang diambil adalah yang tumbuh pada batang tanaman pada
ketinggian 0-150 cm di atas permukaan tanah. Contoh talus disimpan dalam
amplop, kemudian diberi label/keterangan. Contoh talus tersebut akan di
identifikasi di Herbarium Bogorensis dan dilakukan pengamatan secara
mikroskopik.
15

Pengamatan secara mikroskopik dilakukan pada beberapa jenis lumut


kerak. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui struktur internal jaringan talus
lumut kerak. Lumut kerak diiris setipis mungkin dengan menggunakan silet. Irisan
diletakkan di atas gelas objek, kemudian diberi beberapa tetes air dan diberi
gelas penutup lalu diamati strukturnya dengan menggunakan mikroskop. Setelah
mendapatkan struktur lumut kerak yang jelas, baru ditambahkan laktofenol-analin
blue dengan cara meneteskannya disamping gelas penutup dan kelebihan
larutan diserap dengan menggunakan tissue (Trisusanti, 2003).
b. Faktor Abiotik
Melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara dengan digantungkan
pada ketinggian sekitar 120 cm di atas permukaan tanah (Pukul 07.30; 13.30;
dan 17.30 WIB). Pengukuran dilakukan dalam kurun waktu satu bulan dan
kemudian melakukan pengukuran kandungan polutan (NO2, CO2, SO2, dan
debu) di udara dengan menggunakan satu set alat pengukur kualitas udara
(impvinger dan dust sampler).

4. Analisis Data
a. Luas Talus Lumut Kerak
Menentukan luas suatu jenis lumut kerak dengan menggunakan
planimeter. Luas areal yang diamati sampai setinggi 150 cm pada setiap pohon
contoh dihitung berdasarkan rumus trapesium sebagai berikut (Noer, 2004):
Luas areal yang diamati = ½ x (A+B) x C
Keterangan :
A = Keliling batang atas pohon
B = Keliling batang bawah pohon
C = Tinggi batang pohon sampai setinggi 150 cm
b. Frekuensi Perjumpaan Lumut Kerak
Perjumpaan lumut kerak digunakan untuk melihat penyebaran jenis lumut
kerak pada tiap lokasi. Rumus yang digunakan dalam analisis ini adalah :

Jumlah titik pengamatan ditemukan suatu jenis lumut kerak


Perjumpaan jenis =
Jumlah seluruh titik pengamatan

c. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak


Analisis ciri talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan secara
deksriptif kualitatif yaitu dengan melihat bentuk, keadaan serta warna talus lumut
kerak pada masing-masing lokasi.
16

d. Ciri Mikroskopis Lumut Kerak


Analisis ciri-ciri mikroskopis terhadap lumut kerak dilakukan secara
deskriptif kualitatif yaitu dengan melihat jaringan-jaringan yang menyusun talus
lumut kerak tersebut.

e. Suhu Udara Harian Rata-rata


Suhu udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan
pengukuran 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 WIB, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

(2 x T pagi) + ( T siang) + (T sore)


Suhu Udara (T) =
4

f. Kelembaban Udara Harian Rata-rata


Kelembaban udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian
dilakukan pengukuran 3 kali sehari. Rumus yang digunakan untuk menghitung
kelembaban udara harian adalah:

(2 x KU pagi) + ( KU siang) + (KU sore)


Kelembaban udara (KU) =
4

g. Kandungan Udara Ambien


Analisis hasil kandungan udara ambien dilakukan secara deskriptif
kualitatif, kemudian membandingkan dengan peraturan pemerintahan yang ada
yaitu Peraturan Pemerintahan No. 41 Tahun 1999.

D. Kerangka Pemikiran
Udara merupakan penunjang utama kehidupan. Pada saat kondisi normal,
udara yang terdiri atas campuran berbagai gas dan debu memiliki komposisi
yang relatif konstan dan udara normal ini berkualitas baik. Namun, bila terjadi
kontaminan pada konsentrasi yang sudah melebihi ambang batas maka
komposisi udara tersebut dapat berubah dan kualitasnya pun akan turun.
Menurut Noer (2004), apabila batas tersebut dilampaui akan timbul
berbagai kerugian karena terjadi perubahan keseimbangan ekosistem. Batas
toleransi tersebut sulit untuk diketahui, akan tetapi beberapa tumbuhan dan
hewan yang mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat
17

dipakai sebagai petunjuk secara dini untuk mengetahui adanya pencemaran


udara. Tumbuhan yang peka tersebut dapat digunakan sebagai indikator biologi.
Adapun pengetahuan tentang jenis-jenis lumut kerak dalam hal ini pada batang
pohon (corticolous) dan respon tumbuhnya, hubungannya dengan tingkat
pencemaran udara merupakan hal dasar untuk mempelajari kepekaan suatu
jenis lumut kerak dan peranannya sebagai indikator biologi.

Kualitas udara Polutan

Lumut kerak corticolous

Luas koloni lumut kerak Jumlah jenis lumut kerak


pada batang pohon pada batang pohon

Bioindikator

Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Karakteristik Tempat Hidup Lumut Kerak
a. Kawasan Industri Pulo Gadung
Kawasan industri Pulo Gadung ditetapkan melalui Surat Keputusan
Gubernur No. 1b.3/2/35/69 pada tanggal 20 Mei 1969 dengan luas 415 ha serta
Surat Keputusan No. 424 tanggal 29 April 1988 dan revisi Surat Keputusan No.
519 tanggal 14 Maret 1988 dengan tambahan luas 183 ha. Pada saat ini terdapat
± 420 unit perusahaan, yang dalam komponen kegiatannya dapat berpotensi
menimbulkan perubahan lingkungan (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi,
2005).
Kawasan industri Pulo Gadung merupakan daerah yang datar dengan
curah hujan sedang (2000-2300 mm) per tahun dan dengan ketinggian dari
permukaan laut berkisar 7-14 m (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi, 2005).
Tanaman yang ada pada lokasi pengamatan terdiri atas 5 jenis yaitu
mahoni (Swietenia sp.), johar (Cassia siamea), angsana (Pterocarpus indicus),
tanjung (Mimosops sp.) dan saga (Adenanthera pavonina) dengan keliling
batang bagian atas berkisar antara 13-58 cm. Pada lokasi pengamatan,
persentase jenis tumbuhan berturut-turut dari yang terbesar johar (51%), mahoni
(24%), tanjung (16%), saga (7%), dan angsana (2%) (Gambar 4; Gambar 5;
Lampiran 1a).

2% 7% Adenanthera pavonina
24% 16%
Mimosops sp.
Cassia siamea
Swietenia sp.
Pterocarpus indicus
51%

Gambar 4. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung


19

(a) (b)

(c)

Gambar 5. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung. (a)


Lokasi Pengamatan (b) Aktivitas Transportasi (c) Kondisi Tanaman

b. Arboretum Cibubur
Arboretum wanawisata pramuka Cibubur dibangun oleh Departemen
Kehutanan dengan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka berdasarkan surat No.
229/OA/K/KM/1981 pada tanggal 24 Februari 1981 dan Departemen Pertanian
berdasarkan surat perjanjian No. 1/Mentan/KS/VI/8/089/1981. Secara
administratif bumi perkemahan Cibubur berada di daerah Cibubur Jakarta Timur
(Departemen Kehutanan, 1991).
Area ini memiliki arboretum seluas 20 ha dengan topografi datar sampai
landai serta bagian tengah yang cekung pada ketinggian ± 30 meter dari
permukaan laut. Daerah ini memiliki jenis tanah latosol warna merah coklat, serta
memiliki pengaruh curah hujan mencapai 2.800 mm per tahun, dengan 147 hari
yang hampir merata setiap tahunnya, serta suhu berkisar 22-32°C (Departemen
Kehutanan, 1991).
20

Pengamatan di arboretum Cibubur mencakup 0,2 ha. Jenis tanaman


yang terdapat pada lokasi pengamatan terdiri atas angsana, mahoni, krey
Payung (Filicium desipiens), saga, tanjung, karet (Hevea sp.), ki putri
(Podocarpus nerifolii), sapu tangan (Maniltoa grandiflora), kayu manis
(Cinnamomum sp.) dan jamuju (Podocarpus imbricata). Jenis tanaman yang
berada pada lokasi pengamatan memiliki keliling batang bagian atas (pada
ketinggian 150 cm dari atas permukaan tanah) berkisar antara 22-227 cm. Pada
lokasi pengamatan di arboretum Cibubur, persentase jenis tumbuhan berturut-
turut dari yang terbesar mahoni (26%), karet (19%), krey payung (15%), angsana
(11 %), tanjung (11%), ki putri (11%), saga (9%), jamuju (2%), sapu tangan (2%)
dan kayu manis (2%) (Gambar 6; Gambar 7; Lampiran 1b).

2% Pterocarpus indicus
2% Filicium desipiens
2% Adenanthera pavonina
11% Swietenia sp.
17% 13% Podocapus nerifolii
Mimosops elingi
.. Hevea sp.
11% 9%
Podocapus imbricata
11% 22% Cinnamomum sp.
Maniltoa grandiflora

Gambar 6. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur

(a) (b)

Gambar 7. Kondisi Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur. (a) dan (b) Kondisi
Lokasi Pengamatan
21

c. Tegakan Mahoni Cikabayan Kampus IPB Dramaga


Kampus IPB Darmaga terletak di Desa Babakan, Kecamatan Darmaga
Kabupaten Bogor, yang berjarak kurang lebih 10 km ke arah Barat dari Kota
Bogor. Secara geografis terletak antara 6°30’-6°45’ LS dan 106°45’-106°50’ BT.
Tipe curah hujan di areal ini termasuk tipe A menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson, dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3500 mm per tahun
dan dengan jumlah hari hujan 187 per tahun. Kelembaban nisbi rata-rata per
tahun 88% dan suhu rata-rata sepanjang tahun sebesar 20-30°C. Taman Hutan
blok Cikabayan terletak di sebelah barat laut kampus IPB Darmaga, berjarak
kurang lebih 1 km dari Kampus Fakultas Kehutanan. Areal ini berada di dekat
dua pertemuan sungai, perbatasan antara kampus dan daerah persawahan dan
permukiman penduduk, jauh dari keramaian dan dekat dengan suasana alami,
dengan batas-batasnya yaitu di sebelah Utara dibatasi oleh areal pusat studi
Biofarmaka dan Sungai Cisadane, sebelah Timur Sungai Ciapus, sebelah
Selatan Perumahan Dosen IPB (Jl. Lengkeng 2) dan sebelah Barat areal praktek
Fakultas Pertanian. Jenis tanaman dominan yang ada di lokasi pengamatan
adalah jenis Swietenia sp. dengan keliling batang atas tanaman yang diamati
berkisar antara 28–53 cm (Gambar 8).

Gambar 8. Lokasi Pengamatan Tegakan mahoni Cikabayan

2. Karakteristik abiotik
a. Kualitas Udara Ambien
Pengambilan sampel udara dilakukan pada saat musim hujan yaitu sekitar
tanggal 19 Desember 2005. Pada kawasan industri Pulo Gadung, pengambilan
sampel udara ambien dilakukan pada pukul 08.52-09.52 WIB dengan suhu udara
berkisar 29,5-31,8°C dan kelembaban udara berkisar 64,2-74,9%. Pada kawasan
22

industri Pulo Gadung terdapat beberapa pabrik yang dalam kegiatan produksinya
dan kegiatan transportasi diduga akan memberikan kontribusi pada udara
ambien pada lingkungan sekitarnya.
Pada arboretum Cibubur, pengambilan sampel udara ambien dilakukan
pada pukul 11.13-12.13 WIB dengan suhu udara berkisar 32,6–34,2°C dan
kelembaban udara berkisar 53,4-68,2%. Pada tegakan mahoni Cikabayan
dilakukan pengambilan sampel udara ambien pada pukul 14.04-15.04 WIB
dengan suhu udara berkisar 28,2-30,0°C dan kelembaban udara berkisar 69,3-
76,7%.
Pengukuran nilai kandungan sampel udara ambien dengan parameter
debu, karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2)
masih jauh berada di bawah ambang batas baku mutu udara menurut Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 1999.
Berdasarkan hasil pengukuran, lokasi yang memiliki kandungan udara
ambien berturut-turut dari yang tertinggi adalah kawasan industri Pulo Gadung,
arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan.
Dengan rincian, pada kawasan industri Pulo Gadung didapatkan
kandungan CO2 sebesar 342 ppmv, debu sebesar 61 μg/Nm3, NO2 sebesar 21
μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 12 μg/Nm3/Jam. Pada arboretum Cibubur
didapatkan kandungan CO2 sebesar 336 ppmv, debu sebesar 45 μg/Nm3, NO2
sebesar 15 μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 8 μg/Nm3/Jam. Kemudian, pada
tegakan mahoni Cikabayan didapatkan kandungan CO2 sebesar 325 ppmv, debu
sebesar 22 μg/Nm3, NO2 sebesar 15 μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 6
μg/Nm3/Jam (Tabel 2; Lampiran 2).

Tabel 2. Kandungan Udara Ambien


Parameter Lokasi Peraturan
Pemerintah No 41
Kawasan Arboretum Tegakan Tahun 1999
Industri Cibubur Mahoni
Pulo Cikabayan
Gadung
Debu (μg/Nm3) 61 45 22 230 (μg/Nm3)
Karbon dioksida 342 336 325 -
(CO2) (ppmv)
Nitrogen dioksida 21 15 10 400 (μg/Nm3/Jam)
(NO2)
(μg/Nm3/Jam)
3
Sulfur dioksida 12 8 6 900 (μg/Nm )
(SO2)
(μg/Nm3/Jam)
23

b. Suhu dan Kelembaban Udara


Kondisi iklim mikro pada lokasi pengamatan kawasan industri yang terdiri
atas suhu udara rata–rata berkisar antara 29,4-31,8ºC dan kelembaban udara
rata-rata berkisar antara 69-75%. Pada arboretum Cibubur Jakarta memiliki suhu
udara rata–rata berkisar antara 25,8–30,0ºC dengan kelembaban udara rata–rata
berkisar antara 78-95%, sedangkan pada tegakan mahoni Cikabayan memiliki
suhu udara rata–rata berkisar antara 25,3–27,8ºC dengan kelembaban udara
rata–rata berkisar antara 84–95% (Gambar 9; Lampiran 3).

100 90
86
90
80 72
70
60 Kelembaban udara (%)
50
Suhu udara (°C)
40 30,46 27,4 26,1
30
20
10
0
A B C

Keterangan:
A = Kawasan industri Pulo Gadung
B = Arboretum Cibubur
C = Tegakan mahoni Cikabayan

Gambar 9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata

3. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan

a. Jenis Lumut Kerak yang ditemukan pada tiga lokasi pengamatan


Jenis lumut kerak yang ditemukan selama penelitian sebanyak 12 jenis.
Lumut kerak yang tidak teridentifikasi terdiri atas 3 jenis lumut kerak, terdiri atas
2 jenis lumut kerak dengan tipe morfologi crustose dan 1 jenis lumut kerak
dengan tipe morfologi foliose (Tabel 6).
24

Tabel 3. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan pada Tiga Lokasi Pengamatan
No Kode Jenis lumut kerak Lokasi
A B C
1 Spesies I Phaeographis sp. v - v
2 Spesies II Strigula sp. v v v
3 Spesies III Dirinaria cf. picta v - -
4 Spesies IV Heterodermia sp. - v v
5 Spesies V Parmelia cf autrosinensis - v -
6 Spesies VI - - v v
7 Spesies VII Verrucaria sp. - v v
8 Spesies VIII Parmelia sp. - - v
9 Spesies IX - - - v
10 Spesies X - - - v
11 Spesies XI Grapidaceae - - v
12 Spesies XII Grapidaceae - v v
Keterangan:
A : Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung
B : Lokasi pengamatan arboretum Cibubur
C : Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan
v : hadir/ditemui

b. Tipe Morfologi Talus Lumut Kerak


Jenis lumut kerak berdasarkan tipe morfologi talus, pada masing-masing
lokasi pengamatan terdiri atas tipe talus crustose dan foliose. Jenis lumut kerak
dengan tipe morfologi crustose lebih banyak ditemukan dibanding dengan tipe
morfologi foliose (Gambar 10).

8 7

6
Crustose
4 3 3
Foliose
2 2
2 1

0
A B C

Keterangan:
A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung
B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur
C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan

Gambar 10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe
Morfologi Talus
25

Pada lokasi pengamatan kawasan industri ditemukan 3 jenis lumut kerak


yaitu Spesies I, Spesies II dan Spesies III (Tabel 4). Dengan tipe morfologi talus
terdiri atas 2 tipe crustose dan 1 tipe foliose. Jumlah yang ditemukan pada jalur
pengamatan 5 meter dari sumber polutan ditemukan sebanyak 1 jenis, 10 meter
dari sumber polutan sebanyak 2 jenis dan jarak 25 meter dari sumber polutan
sebanyak 2 jenis.

Tabel 4. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo


Gadung
No Suku Jenis Tipe morfologi talus
1 Graphidaceae Spesies I (Phaeographis sp.) Crutose
2 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crutose
3 Physiceace Spesies III (Dirinaria cf. picta) Foliose

Pada lokasi pengamatan di arboretum Cibubur ditemukan sebanyak 6 jenis


lumut kerak, terdiri atas 4 tipe talus crustose dan 2 tipe talus foliose (Tabel 5).
Pada lokasi pengamatan jarak 5 meter ditemukan 6 jenis lumut kerak, pada jarak
10 meter dari titik pengukuran dapat ditemukan 5 jenis lumut kerak dan pada
jarak 25 meter dapat ditemukan 3 jenis lumut kerak.

Tabel 5. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur


No Suku Jenis Tipe morfologi talus

1 Parmeliaceae Spesies IV (Heterodermia sp.) Foliose


2 Parmeliaceae Spesies V (Parmelia cf austrosinensis) Foliose
3 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crustose
4 - Spesies VI (Tidak teridentifikasi) Crustose
5 Verrucariacae Spesies VII (Verrucaria sp.) Crustose
6 Graphidaceae Spesies XII (Graphidaceae) Crustose

Pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis lumut kerak yang ditemui cukup
banyak dengan warna yang bervariasi. Jenis-jenis lumut kerak yang ditemukan,
yaitu terdiri atas 10 jenis lumut kerak, dengan rincian 7 jenis merupakan tipe
talus crustose dan 3 jenis lumut kerak merupakan tipe talus foliose (Tabel 6).
26

Tabel 6. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan


No Suku Jenis Tipe morfologi talus

1 Graphidaceae Spesies I (Phaeographis sp.) Crustose


2 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crustose
3 Parmeliaceae Spesies IV (Heterodermia sp.) Crustose
4 Graphidaceae Spesies VI (Tidak teridentifikasi) Foliose
5 Verrucariaceae Spesies VII (Verrucaria sp.) Crustose
6 Parmeliaceae Spesies VIII (Parmelia sp.) Foliose
7 - Spesies IX (tidak teridentifikasi) Foliose
8 - Spesies X (tidak teridentifikasi) Crustose
9 Graphidaceae Spesies XI (Graphidaceae) Crustose
10 Graphidaceae Spesies XII (Graphidaceae) Crustose

c. Penggunaan Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat Lumut Kerak


Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, tercatat bahwa jenis Spesies
III cenderung untuk menggunakan kulit batang jenis tanaman tanjung sebagai
substrat (Tabel 7).

Tabel 7. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai
Substrat pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung
No Jenis tanaman Jenis lumut kerak
Spesies I Spesies II Spesies III
1 Tanjung (Mimosops sp. ) - - v
2 Angsana (Pterocarpus indicus) v - -
3 Johar (Cassia siamea) v v -
4 Mahoni (Swietenia sp.) v v -
Keterangan:
v = hadir/ditemui

Gambar 11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III
27

ada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, jenis tanaman yang diamati


diantaranya adalah angsana dan mahoni. Dengan jenis lumut kerak yang
ditemukan antara lain jenis Spesies II, Spesies IV, Spesies V dan Spesies VII.
Jenis lumut kerak yang ditemukan pada substrat kulit batang tanaman (Tabel 8).

Tabel 8. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai
Substrat pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur
No Jenis tanaman Jenis lumut kerak

Spesies Spesies Spesies Spesies Spesies


Spesies IV V VI VII XII
II
1 Angsana v v v v v -
(Pterocarpus
indicus)
2 Mahoni v v - v v -
(Swietenia sp.)
3 Saga v v - v v -
(Adenanthera
pavonina)
4 Tanjung v - - - v v
(Mimosops elingi)
5 Karet v - - - v -
(Hevea sp.)
6 Kiputri v - - - v -
(Podocarpus
nerifolii)
7 Jamuju v - - v -
(Podocarpus
imbricata)
8 Kayu Manis v - - v v -
(Cinnamomum
sp.)
9 Krey Payung v V - v v -
(Filicium
desipiens)
Keterangan:
v = hadir/ditemui

Dari hasil pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa terdapat beberapa


spesies yang hanya menggunakan jenis pohon tertentu sebagai substratnya,
yaitu Spesies V hanya menggunakan kulit batang pohon angsana sebagai
substratnya dan Spesies XII dengan jenis kulit tanaman tanjung sebagai
substratnya.
28

Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB


Darmaga, jenis lumut kerak yang menggunakan batang kulit jenis tanaman
mahoni sebagai substrat terdiri atas Spesies I, Spesies II, Spesies IV, Spesies
VI, Spesies VII, Spesies VIII, Spesies IX, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII.

4. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak.

a. Bentuk Talus secara Umum


Pengamatan dilakukan secara makroskopik dengan melihat bentuk dan
warna talus. Berdasarkan morfologi talus lumut kerak, lumut kerak yang
ditemukan tergolong ke dalam kelompok crustose dan foliose. Menurut
Januardania (1995), ciri-ciri makroskopik yang paling mudah diamati dan
dibedakan adalah bentuk dan warna talus. Hal tersebut memungkinkan talus
lumut kerak dapat dianalisis secara deskriptif. Talus lumut kerak secara
makroskopik disajikan pada Lampiran 4.
Bentuk talus secara umum ditemukan beragam, ada yang memiliki bentuk
lonjong (memanjang), lingkaran serta bentuk yang tidak teratur (Tabel 9; Gambar
12).

Tabel 9. Bentuk Talus Lumut Kerak secara Umum


No Jenis lumut Bentuk Talus
kerak
Cenderung Memanjang Memanjang Tidak
membulat vertikal horisontal beraturan
A B C A B C A B C A B C
1 Spesies I v - - - v - v - - - - -
2 Spesies II v v v - - - - - - - - -
3 Spesies III v - - - - - - - - - - -
4 Spesies IV - - v - - - - - - - v -
5 Spesies V - - - - - - - - - - v -
6 Spesies VI - - - - v - - - - - v v
7 Spesies VII - v v - - - - - - - - -
8 Spesies VIII - - v - - - - - - - - -
9 Spesies IX - - v - - - - - - - - -
10 Spesies X - - v - - - - - - - - -
11 Spesies XI - - - - - - - - - - - v
12 Spesies XII - - - - - - - - - - v v
Keterangan:
A = Lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung
B = Lokasi pengamatan di arboretum Cibubur
C = Lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB Darmaga
v = hadir/ditemui
29

Spesies I ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu lokasi kawasan


industri dan tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri, sebagian besar
bentuk talus Spesies I dengan mahoni sebagai substrat memiliki bentuk
memanjang horisontal. Namun, dengan angsana sebagai substrat memiliki
bentuk yang cenderung membulat. Pada tegakan mahoni, beberapa koloni
spesies I ditemukan dalam bentuk memanjang horisontal.
Menurut Wolsely & Hudson (1994), apotesia merupakan tubuh buah yang
biasa terdapat pada permukaan atas talus, dapat dalam bentuk memanjang
(elongated) dan lirella (lip-like). Berdasarkan hal tersebut, spesies I
(Phaeographis sp.) memiliki apotesia dalam bentuk lirella.
Spesies II dapat ditemukan pada tiga lokasi pengamatan. Jenis ini memiliki
koloni dengan batas talus yang cukup jelas, sehingga mudah untuk dilakukan
pengukuran luas koloni talus. Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose
non-lirella. Pada kawasan industri, bentuk talus cenderung membulat dengan
ukuran yang relatif kecil. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, kehadiran
lumut kerak ini cenderung untuk bergerombol atau berkelompok. Pada tegakan
mahoni Cikabayan, memiliki kondisi bentuk talus hampir sama dengan lokasi
pengamatan di kawasan industri yaitu dalam memiliki kondisi yang tidak
bergerombol atau mengelompok.
Spesies III ditemukan dengan bentuk talus yang cenderung membulat
dengan batas koloni talus yang kurang tegas. Namun, memiliki keadaan yang
cenderung menggerombol atau mengelompok. Pada spesies ini dapat terlihat
soredia berupa serbuk halus pada permukaan talus.
Spesies IV ditemukan pada dua lokasi yaitu, arboretum Cibubur dan
tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki ukuran lobus atau cuping yang
relatif kecil bila dibanding Spesies IV dan Spesies V. Pada arboretum Cibubur,
spesies ini berkembang pada tanaman angsana dan saga dalam bentuk talus
yang relatif tidak beraturan dan pecah-pecah. Pada tegakan mahoni Cikabayan
dengan tanaman mahoni sebagai substrat koloni lumut kerak ini, memiliki bentuk
yang relatif cenderung membulat, meskipun tidak teratur.
Jenis lumut kerak Spesies V, pada penelitian ini hanya ditemukan pada
lokasi pengamatan di arboretum Cibubur. Jenis ini cenderung ditemukan dalam
bentuk membulat dengan ukuran lobus atau cuping yang relatif lebih besar dari
jenis Spesies IV. Jenis lumut kerak ini ditemukan pada batang tanaman angsana.
30

Jenis lumut kerak Spesies VI ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu
pada arboretum cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Bentuk talus Spesies
VI pada arboretum Cibubur, cenderung memiliki bentuk talus yang memanjang
(lonjong) secara vertikal dan dengan kondisi pecah-pecah, khususnya pada
tanaman mahoni. Bentuk talus cenderung dalam bentuk yang tidak teratur dan
pecah-pecah (pada kulit tanaman angsana, saga dan krey payung). Pada
tegakan mahoni, secara umum koloni spesies ini berkembang dalam bentuk
yang tidak teratur. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, warna talus
pada bagian batang 0-50 cm dari permukaan tanah terlihat lebih tebal dan pada
beberapa pohon dapat terlihat jelas apotesianya.
Jenis Spesies VII ditemukan pada dua lokasi pengamatan, yaitu pada
arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Jenis ini memiliki tipe
morfologi talus crustose lirella. Bentuk talus spesies ini memiliki bentuk yang
relatif mirip dengan spesies II dengan warna talus yang relatif sama, yaitu
memiliki warna hijau kebiruan.
Jenis Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi foliose. Spesies
VIII ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan dengan
bentuk talus cenderung menyerupai lingkaran (membulat). Spesies IX ditemukan
pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki bentuk
talus yang cenderung membulat dengan batas talus jelas.
Jenis spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose non-lirella. Pada
lokasi pengamatan yaitu pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis ini memiliki
bentuk yang relatif mirip dengan spesies II dan VII.
Jenis spesies XI dan XII ditemukan pada tegakan mahoni Cikabayan dan
arboretum Cibubur. Jenis lumut kerak ini memiliki tipe morfologi talus crustose
non-lirella, dengan apotesia pada permukaan talus. Bentuk talus ini cenderung
dalam bentuk yang tidak beraturan, namun sering ditemukan memanjang secara
horisontal pada batang tanaman.
b. Warna talus lumut kerak secara umum
Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus
yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar
(Tabel 10; Gambar 12).
31

Tabel 10. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum


No Jenis lumut Warna Talus
kerak
Hijau tua Hijau Hijau Putih Putih
muda keabuan/kusam keabuan
A B C A B C A B C A B C A B C
1 Spesies I - - - - - - - - - - - - v - v
2 Spesies II v v v v - - - - - - - - - - -
3 Spesies III v - - - - - v - - - - - - - -
4 Spesies IV - - v - - - - v - - - - - - -
5 Spesies V - - - - - v - v - - - - - - -
6 Spesies VI - - - v v - - - - - - - - -
7 Spesies VII - - - - - - - - - - v v - v -
8 Spesies VIII - v - - - - - - - - - - - - -
9 Spesies IX - - v - - v - - - - - - - - -
10 Spesies X - - - - - v - - - - - - - - -
11 Spesies XI - - - - - - - - - - - - - - v*
12 Spesies XII - - - - - - - - - - - - - - v*
Keterangan:
A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung
B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur
C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan
v* = Permukaan talus tidak terlihat jelas

Spesies I memiliki warna talus putih kusam atau abu-abu. Perbedaan


warna pada lokasi pengamatan yang berbeda tidak ditemukan, hal tersebut di
duga karena tipe morfologi talusnya yang melekat pada substrat.
Spesies II mempunyai talus berwarna hijau tua dengan warna putih perak
melingkar pada bagian pinggir talus, sehingga terlihat seperti batas talus. Pada
lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni ditemukan bulatan kecil
berwarna kuning kemerahan di tengah talus (apotesia).
Spesies III memiliki kisaran warna talus hijau tua hingga hijau kusam.
Spesies IV memiliki warna lebih tua pada lokasi tegakan mahoni Cikabayan
dibanding dengan spesies yang berkembang pada arboretum Cibubur.
Sedangkan, Spesies V memiliki warna talus hijau keabuan hingga hijau muda.
Spesies VI, spesies VII, dan spesies X memiliki tipe morfologi talus yang
sama namun memiliki warna talus yang berbeda. Spesies VI memiliki warna
putih pada semua bagian talusnya, Spesies VII memiliki warna talus hijau muda,
dan Spesies X memiliki warna talus hijau. Adapun, persamaan antara spesies II
dan Spesies VII adalah memiliki batas berwarna keperakan yang melingkar pada
pinggir koloni talus. Namun, pada Spesies X tidak ditemukan batas yang
melingkari koloni talus.
32

Spesies VIII dan Spesies IX secara makroskopik memiliki tipe talus foliose,
akan tetapi memiliki warna yang relatif berbeda. Pada spesies VIIII talus
berwarna hijau tua hingga hijau muda, sedangkan Spesies IX memiliki warna
talus hijau tua hingga hijau muda keputihan dengan keadaan tengah talus
terdapat bulatan berwarna putih.
Spesies XI dan XII merupakan tipe morfologi crustose lirella dengan warna
talus yang kurang jelas sehingga akan sulit untuk menentukan batas koloni talus.
Adapun perbedaan antar dua spesies ini adalah pada warna apotesia, pada
spesies XI memiliki warna hitam dan spesies XII memiliki warna putih tipis.

(a)

(b)
(a)

(c)
(d)

Gambar 12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum. (a) Bentuk
Cenderung Membulat serta Talus Berwarna Hijau Tua pada Talus
Tipe Morfologi Foliose (b) Bentuk Tidak Beraturan serta Talus
Berwarna Hijau Keabuan pada Tipe Morfologi Talus Foliose (c)
Bentuk Cenderung Membulat serta Warna Talus Hijau Muda pada
Talus Tipe Morfologi Crustose (d) Bentuk Memanjang Horisontal
serta Warna Putih Keabuan pada Talus Tipe Morfologi Crustose

5. Ciri Mikroskopik Lumut Kerak


Spesies I memiliki tipe morfologi crustose lirella, dengan struktur
mikroskopis yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus
sederhana. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada
talus. Lapisan sederhana ini biasa disebut dengan homomerous, yaitu struktur
yang menyusun talus sederhana, jaringan hifa dan sel-sel alga menyebar secara
merata.
33

Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur talus


homomerous. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni
ditemukan apotesia berbentuk bulatan kecil berwarna kuning kemerahan. Secara
mikroskopis dapat dilihat hymenium dan askus.
Pada Spesies III terdapat lapisan yang menyusun talus, namun tidak dapat
terlihat dengan jelas. Akan tetapi, pada jenis ini ditemukan rizoid yaitu struktur
yang terbentuk dari kumpulan fungi yang berfungsi untuk melekatkan talus pada
substrat. Pada Spesies IV memiliki ciri mikroskopis talus adanya lapisan yang
menyusun talus, diantaranya terlihat korteks lapisan atas, lapisan medulla, serta
ditemukannya rizoid.
Spesies VII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Pada
pengamatan secara mikroskopik pada irisan penampang melintang apotesia
dapat terlihat askokarp dan ascospora.
Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi talus foliose. Hasil
pengamatan secara mikroskopis terlihat lapisan-lapisan yang menyusun talus
yaitu terlihatnya lapisan korteks bagian atas dan lapisan medula dan terlihat
rizoid, sehingga jenis ini memiliki struktur talus heteromerous. Namun, pada ciri
mikroskopis Spesies IX ditemukan bagian yang menyerupai klostesium
Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII memiliki tipe morfologi crustose.
Spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur mikroskopis
yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus sederhana. Hal
tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada talus. Spesies
XI dan XII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Struktur mikroskopis talus
ini, tidak terlalu terlihat jelas, namun pada irisan penampang melintang
apotesium terlihat ascocarp, hymenium dan askospora.

6. Luas Talus Lumut Kerak dan Frekuensi Perjumpaan


a. Frekuensi Perjumpaan Jenis Lumut Kerak
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung dengan 90 titik
pengamatan didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar
yaitu Spesies I (24,4 %), Spesies II (8,89 %) dan Spesies III (6,67%).
Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur diantara 86 titik
pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar
yaitu Spesies II (73.25%), Spesies VI (63,95%), Spesies VII (60,46%), Spesies
IV (19,77%), Spesies V (10,46%) dan spesies XII (1,16%).
34

Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan diantara 56 titik


pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar
yaitu: Spesies IV (73,21%), Spesies VI (73,21%), Spesies IX (58,93%), Spesies
VII (57,14%), Spesies XI (44,64%), Spesies XII (39,28%), Spesies II (32,14%),
Spesies I (28,57%), Spesies X (28,57%) dan Spesies VIII (16,67%).

b. Luas Talus Lumut Kerak


Pengetahuan tentang talus dalam hubungannya dengan tingkat
pencemaran udara merupakan hal dasar dalam mengetahui respon
perkembangan talus lumut kerak (Tabel 11).

Tabel 11. Luas Talus Lumut Kerak (Cm2) pada Ketinggian Batang Tanaman
hingga 150 Cm dari Permukaan Tanah
No Jenis Luas talus lumut kerak (cm2)
Kawasan industri Pulo Arboretum Cibubur Tegakan
Gadung mahoni
Cikabayan
1 Spesies I 6,4891 - 3,12321
2 Spesies II 0,39 189,9012 7,750
3 Spesies III 1,8367 - -
4 Spesies IV - 8,4732 12,09
5 Spesies V - 1,6709 -
6 Spesies VI - 100,8860 19,9232
7 Spesies VII - 40,1105 29,0786
8 Spesies VIII - - 11,275
9 Spesies IX - - 22,7125
10 Spesies X - - 12,57
11 Spesies XI - - 20,0589
12 Spesies XII - 0,1814 16,0686
Jumlah rata-rata 8,7158 341,2232 154,65
Keterangan:
1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh
2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh
3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh

Secara rinci, rekapitulasi luas talus lumut kerak disajikan pada Lampiran 5
dan Tabel 16.
35

Tabel 12. Luas Talus Rata-rata (cm2) per Jarak Pengamatan


Lokasi Jarak luas Bagian Luas Talus (cm2)
batang
tanaman SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
(cm2)
Kawasan 5 3727,5 D 0,00 0,00 0,01 - - - - - - - - -
industri B 0,00 0,00 16,52 - - - - - - - - -
Pulo 10 1823,33 D 11,10 0,79 0,00 - - - - - - - - -
Gadung1) B 10,65 0,44 0,00 - - - - - - - - -
25 3104,17 D 5,48 0,54 0,00 - - - - - - - - -
B 5,84 0,22 0,00 - - - - - - - - -
Arboretum 5 6623,86 D - 20,26 - 395,25 9,74 236,72 31,81 - - - - -
Cibubur2) B - 252,16 - 6,24 4,63 144,15 75,14 - - - - -
10 7068,75 D - 359,24 - 330,45 0 56,83 44,50 - - - - -
B - 198,76 - 0,62 0 103,86 90,85 - - - - -
25 6030,86 D - 185,83 - 0 0 52,53 28,52 - - - - -
B - 344,30 - 0 0 30,95 33,72 - - - - -
Tegakan 5 2970,83 D 4,93 0,67 - 7,83 - 13,11 10,66 39,96 19,26 19,17 70,19 34,21
mahoni B 1,53 7,71 - 17,17 - 8,53 8,53 9,28 51,46 12,83 34,10 29,64
Cikabayan3) 10 3183,33 D 4,23 13,31 - 3,44 - 9,1 42,32 4,24 5,96 21,92 6,39 28,94
B 8,73 19,90 - 9,92 - 76,32 76,32 8,70 19,56 24,16 3,00 10,09
25 4016,25 D 0,00 2,68 - 5,06 - 7,17 8,83 1,23 14,3 0 3,27 0,83
B 0,00 2,93 - 28,13 - 29,96 29,96 5,95 26,29 0,1 2,14 1,45
Keterangan :
D: Pengamatan pada bagian kulit batang menghadap titik pengukuran kualitas udara
B: Pengamatan pada bagian kulit batang membelakangi titik pengukuran kualitas udara
1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh
2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh
3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh

35
B. Pembahasan
1. Jenis lumut Kerak yang ditemukan
a. Morfologi Talus Lumut Kerak
Berdasarkan morfologi talus, pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo
Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak yang terdiri atas 2 jenis memiliki morfologi
talus crustose (Spesies I dan Spesies II) dan 1 jenis lumut kerak talus foliose
(Spesies III). Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur ditemukan 2 jenis lumut
kerak yang memiliki tipe morfologi talus foliose (Spesies IV dan Spesies V) dan 4
jenis lumut kerak tipe crustose (Spesies II, Spesies VI, Spesies VII dan Spesies XII).
Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan, ditemukan 10 jenis lumut
kerak dengan 3 jenis lumut kerak yang tergolong kelompok foliose (Spesies IV,
Spesies VIII dan Spesies IX) dan 7 jenis tipe morfologi talus crustose (Spesies I,
Spesies II, Spesies VI, Spesies VII, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII).
Beberapa jenis lumut kerak belum semua dapat teridentifikasi, karena lumut
kerak tersebut belum memiliki struktur alat reproduksi yaitu tubuh buah. Hal tersebut
didukung oleh pernyataan Purvis (2000) bahwa lumut kerak mempunyai rata-rata
pertumbuhan yang lambat pada masing-masing habitatnya sehingga kebanyakan
lumut kerak yang ditemukan belum memiliki alat reproduksi (tubuh buah).
Menurut Baron (1999), tipe talus crustose memiliki ciri-ciri bentuk seperti
kerak yang yang melekat pada substratnya. Tipe talus foliose memiliki ciri-ciri
dengan talus mudah terkelupas dari substratnya. Perbedaan tipe morfologi talus
lumut kerak dapat dilihat dan ditentukan secara makroskopis.

b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum


Bentuk talus yang ditemukan beragam, terdiri atas bentuk lonjong
(memanjang), melingkar/membulat serta bentuk yang tidak teratur. Bentuk talus
lumut kerak dengan jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang sama dapat
berbeda. Hal tersebut ditentukan oleh faktor tempat tumbuh seperti keadaan
permukaan tempat tumbuh. Pada kulit permukaan batang tanaman yang tidak
pecah-pecah, pertumbuhan talus lumut kerak dapat utuh dan batas antar koloni
terlihat dengan jelas. Secara umum perkembangan talus lumut kerak akan
cenderung membulat. Pada kulit batang pohon yang pecah-pecah, perkembangan
bentuk talus lumut kerak cenderung akan mengikuti pola pecahan permukaan kulit
batang pohon tersebut.
Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, permukaan kulit batang angsana
relatif tidak pecah-pecah sehingga memungkinkan untuk talus berkembang ke
segala arah, sedangkan pada tanaman mahoni di lokasi arboretum Cibubur memiliki
kulit batang yang pecah–pecah. Hal tersebut akan mempengaruhi bentuk talus
lumut kerak, sehingga bentuk dan keadaan talus ditentukan oleh keadaan tempat
tumbuh yaitu umur dan sifat tanaman itu sendiri sebagai faktor substrat.
Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, bentuk talus yang
ditemukan cenderung memiliki bentuk yang relatif membulat (untuk tipe talus
foliose) dan pada tipe talus crustose juga cenderung membulat, akan tetapi
terkadang memiliki bentuk yang tidak beraturan.
Fink (1961) menyatakan bahwa bentuk talus khususnya untuk tipe talus
crustose, akan ditemukan dalam bentuk yang tidak tetap serta beberapa jenis lumut
kerak memiliki bentuk talus yang cenderung berbentuk menyerupai lingkaran tetapi
juga dapat ditemukan pada keadaan tidak beraturan. Keadaan yang tidak beraturan
dapat tumbuh pada permukaan batang kayu, kayu yang sudah lapuk dan batu.
Keadaan talus terlihat dalam berbagai macam keadaan, diantaranya
ditemukan utuh, pecah-pecah dan saling tumpang tindih antar satu jenis talus
dengan jenis lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pada lokasi
arboretum Cibubur dan tegakan mahoni beberapa koloni Spesies VI ditemukan
tertindih oleh jenis Spesies IV, akan tetapi keadaan sebaliknya tidak ditemukan. Dari
keadaan tersebut, terlihat kemungkinan kolonisasi pada permukaan kulit batang
tanaman dimulai dari jenis Spesies VI, kemudian jenis Spesies IV. Namun tidak
harus selalu demikian, karena jenis Spesies IV juga dapat ditemukan langsung
tumbuh pada permukaan kulit batang.

c. Warna talus secara Umum


Warna talus tidak hanya dapat terjadi pada jenis lumut kerak yang berbeda,
namun dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang
berbeda. Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus
yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar.
Spesies II di lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung memiliki
warna lebih muda bila dibanding dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut
selain diduga pertumbuhannya kurang baik akibat faktor lingkungan juga
dikarenakan umur tanaman di kawasan industri Pulo Gadung lebih muda dibanding
dengan umur tanaman yang berada pada lokasi pengamatan lainnya. Warna talus
dapat semakin menggelap seiring dengan bertambahnya umur serta khasnya akan
mengikuti tempat kondisi dari tempat tumbuhnya (Fink, 1961) (Gambar 13).

(a) (b)

(c)

Gambar 13. Warna Talus Spesies II. (a) Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo
Gadung (b) Arboretum Cibubur (c) Tegakan Mahoni Cikabayan

Berbeda halnya dengan Spesies IV (tipe morfologi foliose), spesies ini pada
arboretum Cibubur memiliki warna talus yang lebih muda dibanding dengan di lokasi
pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Hal tersebut diduga karena pengaruh
faktor kualitas udara. Umur tanaman sebagai substrat Spesies IV lebih tua
dibanding dengan umur tanaman di lokasi tegakan mahoni Cikabayan, sehingga hal
tersebut diduga disebabkan pengaruh faktor kualitas udara. Noer (2004)
menyatakan bahwa lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya akan
kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah (Gambar 14).
Perubahan warna dapat terjadi karena adanya perubahan kadar klorofil pada
talus lumut kerak, yang disebabkan gas-gas yang bersifat racun/pencemar (Kovaks,
1992; Hawksworth & Rose, 1976 diacu dalam Wijaya, 2004). Hal tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan Wijaya (2004), bahwa jenis P. wallichiana (tipe
morfologi foliose) di wilayah Alun-alun, Jamika, Mohamad Toha dan Antapani yang
memiliki talus berwarna hijau pucat keabuan sampai putih dan abu-abu keputihan
nampaknya sudah terpengaruh oleh pencemar yang berasal dari kendaraan
bermotor dan industri kecil maupun besar.

(a) (b)

(c )

Gambar 14. Warna Talus Spesies IV. (a) Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur
(b) dan (c) Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan

d. Ciri mikroskopik talus lumut kerak


Menurut Baron (1999), sebagian besar elemen fungi menyusun jaringan talus
lumut kerak dengan sel-sel alga menyusun sekitar 5-15% dari talus. Pada lumut
kerak, penyatuan cabang hifa fungi membentuk hubungan benang seperti rambut
yang merupakan bagian terbesar dalam menyusun talus. Benang-benang hifa akan
terbagi dalam bentuk sekat atau dinding pemisah, namun dapat menyalurkan
substansi sel dari satu sel ke sel lainnya. Menurut Dharmaputra et al. (1989), hifa
adalah satuan struktur pada fungi (Gambar 15).
Gambar 15. Jalinan Hifa pada Tipe Talus Foliose

Aspek mikroskopik dilakukan untuk mengetahui lapisan-lapisan yang


menyusun talus lumut kerak. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis yang
dilakukan, sebagian besar tipe morfologi talus lumut kerak yang ditemukan
termasuk ke dalam jenis talus crustose dan 3 jenis diantaranya termasuk crustose
lirella. Pengamatan secara mikroskopis pada tipe morfologi talus crustose sulit
untuk dilakukan, karena talusnya yang tipis dan melekat pada substrat. Ahmadjian &
Hale (1973) menyatakan pada umumnya tipe talus crustose hanya terbagi ke dalam
lapisan korteks atas, lapisan alga, dan medula; tidak pernah memiliki lapisan
korteks bawah sehingga pelekatan dengan substratnya langsung menggunakan
medula; bersifat homoiomerous, artinya tidak memiliki stratifikasi pada lapisan-
lapisan tersebut, miselium menyebar di atas substrat berupa filamen tipis kusut
yang menyelubungi alga. Adapun ciri-ciri struktur mikroskopis pada masing-masing
jenis lumut kerak yang ditemukan disajikan pada Lampiran 3.
Salah satu jenis lumut kerak yang ditemukan saat pengamatan diantaranya
adalah dari marga Graphidaceae (Spesies I, Spesies XI dan Spesies XII) dan dari
suku Pyrenorales (Spesies II dan Spesies VII). Menurut Trisusanti (2003), Fissurina,
Graphis, Phaeographis, Graphina, dan Phaeographina memiliki apotesium tunggal
dengan memiliki ukuran yang pendek sampai panjang.
Apotesia pada kelompok crustose lirella dapat berada dalam bentuk tunggal
atau berkelompok (mesokarp). Pada pengamatan terhadap jenis lumut kerak
crustose lirela yang ada termasuk ke dalam bentuk apotesium tunggal. Menurut
Dharmaputra et al. (1989); Misra & Agriwal (1978), apotesia merupakan badan buah
yang berbentuk seperti mangkuk yang menonjol di permukaan atas talus, terdapat
askokarp dengan hymenium terbuka pada waktu askospora menjadi matang.
Menurut Trisusanti (2003); Fink (1961), spesies I memiliki apotesium tunggal
dengan ukuran pendek sampai panjang; askospora berwarna kecokelatan dengan
tipe askospora berupa fragmospora (askospora dengan sekat melintang); dan
menurut spesies ini memiliki phycobiont Trentepohlia yang termasuk kedalam
kelompok alga hijau (Chlorophyta), phycobiont ini banyak ditemukan di daerah
tropis.
Tipe talus foliose secara makroskopis memiliki bentuk seperti lembaran daun,
sedangkan secara mikroskopis tipe talus ini memiliki batasan antar lapisan tidak
terlalu terlihat jelas. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Fink (1961), yang
menyatakan bahwa lapisan dermis pada kebanyakan tipe talus foliose tidak dapat
dibedakan dengan lapisan atasnya. Namun, pada tipe talus ini terlihat adanya rizoid,
yaitu struktur yang terbentuk dari kumpulan hifa fungi yang berfungsi untuk
memperkuat kedudukan talus sehingga dapat melekat pada substrat. Meskipun
struktur ini mirip akar, akan tetapi tidak berperan penting sebagai penyalur bahan
mineral seperti fungsi akar (Fink, 1961; Baron, 1999).
Menurut Baron (1999), pada tipe talus foliose terbentuk rizoid yang terdiri dari
kumpulan hifa yang dapat berbentuk bercabang maupun sederhana. Akan tetapi
tidak semua jenis lumut kerak pada tipe talus foliose memiliki rizoid (Gambar 16).

Rizoid

Gambar 16. Rizoid pada tipe talus foliose

Hasil identifikasi terhadap jenis–jenis lumut kerak yang ditemukan yaitu


menurut Fink (1961), untuk jenis P. cf austrosinensis Zahllar, Parmelia sp. dan
Heterodermia sp. termasuk ke dalam kelas Ascolichens, subkelas Gymnocarpeae,
marga Parmeliaceae, sedangkan Graphidaceae dan Pheographis sp. termasuk ke
dalam kelas Ascolichens subkelas Gymnocarpeae, marga Graphidaceae.
Sedangkan Strigula sp. termasuk ke dalam bangsa Pyrenocarpaceae, suku
Strigulaceae.
Menurut Baron (1999), untuk mengidentifikasi jenis alga pada lumut kerak,
khususnya sampai tingkat jenis cukup sulit. Menurut Fink (1960), ciri-ciri
mikroskopis beberapa golongan lumut kerak adalah sebagai berikut :
1. Kelas Ascolichens ; memiliki ciri–ciri yang membedakan dari kelas lainnya yaitu
spora yang dihasilkan dalam askus.
2. Bangsa Lecanorales ; ciri utama adalah hymenium yang dihasilkan dalam
struktur yang terbuka, yang menyerupai bentuk cawan.
3. Suku Parmeliaceae (Lecanorales) ; ciri yang paling membedakan dari suku lain
yang ada pada bangsa Lecanorales adalah bahwa suku Parmeliaceae
merupakan lumut kerak bertalus foliose dan inang alga termasuk golongan
Chlorophyceae. Ciri lain yaitu struktur talus berlapis, pada permukaan bawah
terdapat rizoid, yang berfungsi untuk melekatkan pada substrat, cyphella atau
penutup padat yang merupakan jalinan hifa fungi padat yang berwarna gelap
serta spora tidak bersepta.

e. Kulit batang tanaman sebagai substrat


Pada penelitian ini lumut kerak yang diamati adalah lumut kerak yang
menempel pada kulit pohon (corticolous), sehingga kulit pohon tersebut akan
menjadi substrat bagi lumut kerak. Sifat dan kondisi dari kulit batang tanaman
secara langsung akan mempengaruhi bentuk dan keadaan talus yang berkembang.
Menurut Boiret (1921) diacu dalam Tophan (1977) diacu dalam Januardania (1995),
menyatakan bahwa perbandingan antara garis tengah mendatar dan tegak pada
bentuk talus dipengaruhi oleh jenis tempat tumbuh dalam hal ini adalah permukaan
kulit pohon.
Dari hasil penelitian ditemukan, Spesies V (Parmeliaceae) dan Spesies IV
(Parmeliaceae) dapat tumbuh pada kulit batang tanaman angsana. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wijaya (2004) yang menggunakan jenis
lumut kerak P. wallichiana (Parmeliaceae) yang menjadikan tanaman jenis rasamala
dan angsana sebagai substrat.

f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak


Luas talus dihitung berdasarkan luas koloni talus yang menempel pada
batang tanaman dengan ketinggian sampai 150 cm dari permukaan tanah. Pada
Tabel 12, terlihat bahwa lokasi pengamatan arboretum Cibubur memiliki rata-rata
luas talus lumut kerak yang relatif lebih besar. Hal tersebut dikarenakan umur
tanaman yang berada pada lokasi pengamatan yang akan mempengaruhi ukuran
talus lumut kerak. Menurut Fitting et al. (1954) & Ryan (1986) diacu dalam
Ronoprawiro (1989), bahwa talus lumut kerak memiliki pertumbuhan yang pada
umumnya sangat lambat, hanya kurang dari 1 cm dalam setahun dan tubuh buah
fungi baru dapat terbentuk setelah bertahun-tahun.
Adanya perbedaan antara luas talus lumut kerak pada batang pohon dengan
letak dan jarak tempat tumbuh yang berbeda selain karena adanya pengaruh
sumber polutan pada kawasan industri dan arboretum Cibubur diduga juga
disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti tingkat kelembaban udara, umur pohon,
dan jenis tanaman sebagai substrat.
Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies I merupakan spesies yang
memliki penyebaran talus yang relatif lebih sering dijumpai dibanding dengan jenis
lainnya yang berada pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung. Hal
tersebut dapat dilihat pada frekuensi perjumpaan talus dan rata-rata luas talus
berturut-turut dari yang terbesar yaitu Spesies I sebesar 24,4 % dengan rata-rata
luas talus 6,489 cm2. Spesies II memiliki frekuensi perjumpaan sebesar 8,89 %
dengan rata-rata luas talus 0,39 cm2 dan Spesies III memiliki frekuensi perjumpaan
sebesar 6,67 % dengan rata-rata luas talus 1,8367 cm2.
Pada 5 meter dari titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) jenis lumut
kerak yang ditemukan adalah Spesies III, akan tetapi pada Lampiran 6 dapat dilihat
bahwa rata-rata luas talus Spesies III pada titik pengamatan membelakangi titik
pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2 , memiliki nilai
yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan
kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2 (Tabel 12). Hal tersebut diduga
tejadi karena pengaruh zat pencemar.
Pada jarak 10 meter hanya ditemukan 2 jenis lumut kerak. Spesies I tidak
memiliki perbedaan nilai rata-rata talus talus yang berbeda jauh antara
membelakangi dan menghadap titik pengukuran kualitas udara. Demikian pula
dengan jenis Spesies II memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif lebih besar
pada titik pengamatan yang menghadap jalan raya meskipun tidak terlalu berbeda
jauh.
Pada jarak 25 meter, Spesies I memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif
lebih besar pada titik pengamatan yang membelakangi jalan raya yaitu sebesar
5,8412 cm2. Sedangkan Spesies II, memiliki nilai rata-rata luas talus pada titik
pengamatan yang menghadap jalan raya sebesar 0,5412 cm2 dan yang titik
membelakangi jalan raya 0,2235 cm2.
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut
kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu
berbeda jauh. Hal tersebut diduga karena dalam kawasan industri yang memiliki
sumber polutan titik dan bergerak (transportasi) akan memberi pengaruh pada
lingkungan sekitar dan tidak hanya memberikan pengaruh pada tanaman yang
berada pada jarak 5 m, 10 m dan 25 m.
Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang
relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur
tanaman yang akan mempengaruhi ukuran keliling batang tanaman sehingga
diduga akan meningkatkan luasan talus lumut kerak.
Frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas koloni talus lumut kerak berturut-
turut dari yang tertinggi: Spesies II (73,25%) dengan rata-rata luas talus 189,9012
cm2, Spesies VI (63,95%) dengan rata-rata luas talus 100,8860 cm2 dan Spesies VII
(60,46%) dengan rata-rata luas talus 40,1105 cm2.
Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, Spesies IV dan Spesies V
memiliki nilai luas talus yang lebih tinggi pada bagian atau letak batang pohon yang
menghadap jalan. Rata-rata luas koloni talus berturut-turut pada Spesies IV dan
Spesies V, yaitu Spesies IV (395,25 cm2); Spesies V (330,45 cm2) pada bagian
batang yang menghadap titik pengukuran kandungan udara ambien dan Spesies IV
(6,24 cm2); Spesies V (0,62 cm2) pada bagian batang yang membelakangi titik
pengukuran kandungan udara.
Nilai luas talus yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak dari
jalan. Hal tersebut terjadi diduga karena faktor substrat, yaitu kulit tanaman
angsana. Kulit batang tanaman tersebut memiliki kemampuan untuk menyerap air
lebih besar bila dibanding dengan jenis tanaman lainnya yang berada pada jarak 10
meter dan 25 meter. Terlihat pada keadaan batang tanaman yang basah dan
dengan kulit yang cukup lunak. Hal tersebut didukung oleh pernyataan berbagai
jenis pohon memiliki sifat kimia dan fisika yang berbeda (LeBlanc & De Sloover,
1970 diacu dalam Lubis, 1996), sebagaimana juga diungkapkan oleh Hale (1983)
diacu dalam Lubis (1996) yang menyatakan bahwa tiap jenis pohon memiliki
kemampuan menyimpan air yang berbeda-beda, sangat tergantung pada porositas
dan tekstur batang. Pada pohon yang memiliki kulit lunak, kapasitas penyimpanan
air lebih dan laju penguapan lebih lambat, bila dibandingkan dengan pohon yang
berkulit keras. Akibat faktor-faktor tersebut, setiap jenis lumut kerak lebih menyukai
jenis-jenis pohon yang kondisinya sesuai untuk pertumbuhannya.
Pada tegakan mahoni Cikabayan, nilai luas talus pada tiap jenis tidak terlalu
berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena tempat tumbuh pada tiap letak dan jarak
yang dipilih untuk pengamatan memiliki keadaan yang relatif sama untuk
perkembangan talus. Meskipun rata-rata luas talus pada batang kulit tanaman tidak
sebesar di arboretum Cibubur, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan
lebih bervariasi.

2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak

a. Kualitas Udara Ambien


Menurut Soedomo (2001), pengukuran udara ambien dilakukan untuk
mengetahui tingkat pencemaran udara di suatu daerah, dengan mengacu kepada
ketentuan dan peraturan mengenai kualitas udara yang berlaku dan baku mutu
udara yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999, terlihat
bahwa semua parameter masih berada di bawah ambang batas baku mutu
(Lampiran 8). Akan tetapi, pada hasil analisis tiga lokasi tersebut terlihat bahwa
kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran yang relatif lebih tinggi
pada semua parameter.
Pencemaran udara tersebut baik berupa gas maupun partikel dapat
menyebabkan kerusakan pada tumbuhan secara fisiologik, termasuk lumut kerak.
Menurut Chamberlain (1986) diacu dalam Karliansyah (1997), masuknya pencemar
tersebut kedalam jaringan tumbuhan sangat tergantung pada karakteristik
tumbuhan tersebut dan sifat pencemar secara alami yang kadang-kadang
dipengaruhi oleh faktor cuaca.
Lumut kerak dapat tumbuh dengan baik pada kondisi udara yang bersih.
Faktor-faktor tersebut diduga akan mempengaruhi fotosintesis lumut kerak, yang
akan dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil. Hale (1983) diacu dalam Lubis
(1996) menyatakan bahwa pertumbuhan lumut kerak ditentukan oleh faktor iklim
(40%) dan substrat (60%). Serta didukung oleh pernyataan Seaward (1977) diacu
dalam Noer (2004) bahwa distribusi lumut kerak dipengaruhi oleh morfologi dan
respon fisiologi lumut kerak terhadap pengaruh kondisi ekstrim, iklim, substrat dan
pencemaran udara.
Menurut Treshow (1989); Jeran et al. (2000) diacu dalam Wijaya (2004),
lumut kerak dapat menyerap seluruh nutrien dalam bentuk berupa endapan basah
ataupun kering dari atmosfer. Fungi dapat menyediakan kebutuhan utama dari
lumut kerak, termasuk tempat jaringan alga berada, menerima air dan melindungi
dari pengaruh lingkungan yang buruk. Hal tersebut didukung oleh keadaan lumut
kerak yang tidak memiliki kutikula atau pelindung, sehingga lumut kerak akan
menyerap semua unsur-unsur termasuk polutan yang berbahaya tanpa adanya
penyeleksian melalui permukaan talus dan diakumulasikan dalam talusnya.
Akumulasi logam-logam tersebut tidak pernah diseksresikan sehingga terus
ditimbun oleh talus lumut kerak. Hal tersebut yang memungkinkan pemakaian lumut
kerak untuk pemantauan pencemaran udara akibat logam-logam yang diemisikan
oleh sumber-sumber pencemar (Kovacs, 1992).
Lumut kerak merupakan simbiosis dari dua organisme. Untuk kelangsungan
hidupnya, salah satu organisme melakukan fotosintesis yaitu alga. Menurut
Soedaryanto et al. (1992), lumut kerak sebagai tumbuhan fotosintetik membutuhkan
CO2 sampai batas tertentu. Jika kadar CO2 telah melampaui batas yang
dibutuhkan, justru akan menurunkan laju fotosintesis. Fotosintesis lumut kerak
dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil dan proses tersebut dipengaruhi oleh
kelembaban udara, sinar matahari, temperatur udara dan karbon dioksida. Jika
faktor-faktor tersebut tidak optimal bagi masing-masing spesies maka fotosintesis
tidak maksimal.
Pada hasil pengukuran kualitas udara ambien, lokasi pengamatan kawasan
industri Pulo Gadung memiliki nilai kandungan SO2 yang relatif lebih tinggi
dibanding lokasi pengamatan lainnya, meskipun relatif tidak terlalu jauh. SO2 dapat
bereaksi dalam tubuh lumut kerak yaitu dapat membuat talus menjadi asam dan
merusak klorofil menjadi phaeophytin, sehingga lumut kerak tidak dapat
melanjutkan proses fotosintesis. Klorofil dapat kembali normal hanya bila pengaruh
SO2 tidak terlalu lama dan lingkungan memungkinkan untuk kembali normal (Cooke,
1977; Hale, 1963). Menurut Connel & Miller (1995) bahwa SO2 dan hujan asam
mempunyai bermacam-macam hubungan timbal balik dengan fisiologi dan biokimia
tanaman (Varshney & Garg, 1979 diacu dalam Connel & Miller, 1995).
Menurut Fardiaz (1992), pengaruh partikel terhadap tanaman antara lain,
dalam bentuk debunya dan jika debu tersebut bergabung dengan uap air atau air
hujan akan membentuk kerak tebal pada permukaan. Lumut kerak corticolous
merupakan lumut kerak yang menjadikan kulit batang pohon sebagai substratnya.
Lapisan kerak tersebut diduga dapat mengganggu proses fotosintesis karena akan
menghambat masuknya sinar matahari dan dapat mencegah pertukaran CO2
dengan atmosfer.
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan lumut kerak. Pencemaran udara sebagai salah satu faktor lingkungan
diduga dapat mempengaruhi iklim mikro suatu tempat. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan Soedaryanto et al. (1992), yang menyatakan dengan meningkatnya SO2
dan CO2 di udara akan meningkatkan suhu udara di sekitar lingkungan dan dengan
suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju fotosintesis.
Jika hal tersebut terus menerus berlangsung, akan menyebabkan kematian pada
lumut kerak (Soedaryanto et al., 1992).

b. Suhu dan Kelembaban Udara


Kondisi iklim mikro yang diukur adalah kelembaban dan suhu udara. Hal
tersebut diharapkan menggambarkan kondisi lingkungan sekitar. Pada kawasan
industri memiliki suhu udara rata-rata yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan
dengan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan adanya aktivitas industri dan
kurangnya vegetasi penghijauan. Menurut Dahlan (2004), tumbuhan yang tinggi
dan luasan yang cukup akan dapat mengurangi efek pemanasan. Namun, dengan
semakin berkurangnya lahan yang tertutup pepohonan sebagai akibat dari
pembangunan, maka lingkungan kota menjadi semakin panas.
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum
Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban
udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%,
sedangkan menurut Noer (2004), menyatakan bahwa lumut kerak menyukai tempat
yang kering dengan kelembaban 40% sampai 69 %. Hal tersebut, menggambarkan
bahwa pertumbuhan dan perkembangan talus lumut kerak pada suatu wilayah tidak
hanya ditentukan oleh faktor kelembaban udara. Pertumbuhan dan perkembangan
talus lumut kerak diduga juga dipengaruhi oleh tingkat pencemaran udara.
Pengukuran suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo
Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,8-
30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Menurut
Lubis (1996); Baron (1999), suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan
menurunkan laju fotosintesis. Jika hal tersebut terus berlangsung akan
menyebabkan kematian pada lumut kerak. Pengambilan, penahanan, dan
pengeluaran air merupakan hal yang sangat penting dalam lumut kerak, karena
lumut kerak dapat mengabsorbsi air hujan, air larian, dan air embun sehingga
mampu menciptakan kelembaban yang diperlukan (Landecker, 1996 diacu dalam
Rahmatia, 2003).
c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara
Menurut Noer (2004), pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah
jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang. Hal tersebut
juga didukung oleh hasil penelitian Soedaryanto et al., (1992) yang menemukan 3
jenis lumut kerak pada daerah yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada
daerah kontrol di Denpasar, Bali. Cahyono (1987) diacu dalam Herlinda (1990),
menyatakan bahwa lumut kerak dapat dijadikan sebagai tumbuhan indikator untuk
pencemaran udara dari kendaraan bermotor, dimana dengan adanya pencemaran
udara akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan lumut kerak dan penurunan
jumlah jenis dengan beberapa marga yang dapat dijadikan indikator polusi yaitu
Parmelia, Hypogymnia dan Strigula. Menurut Boonpragob (2003) di Thailand,
dengan memilih 20 pohon pada masing-masing lokasi didapatkan pada daerah
yang terpolusi ditemukan 7 jenis lumut kerak yaitu: Buelia punctata, Laurera
bengaulensis, Lecanora paliida, D. picta, Trypethelium tropicum, Graphis liberta,
Cryptothecia sp.
Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung hanya ditemukan 3
jenis lumut kerak, pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak dan pada
tegakan mahoni Cikabayan sebagai daerah yang diduga memiliki tingkat
pencemaran yang rendah, ditemui 10 jenis lumut kerak (Tabel 13).

Tabel 13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang Ditemukan
Parameter Lokasi Pengamatan
Kawasan industri Arboretum Tegakan mahoni
Pulo Gadung Cibubur Cikabayan
Debu (μg/Nm3) 61 45 22
Karbon dioksida (CO2) 342 336 325
(ppmv)
Nitrogen dioksida (NO2) 21 15 10
(μg/Nm3/Jam)
Sulfur dioksida (SO2) 12 8 6
(μg/Nm3/Jam)
Jumlah lumut kerak yang 3 6 10
ditemukan

Daerah kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran kandungan


udara ambien yang konsentrasinya relatif lebih tinggi bila dibanding dengan lokasi
lainnya (Tabel 2; Tabel 13). Hal tersebut dikarenakan pada kawasan industri telah
mengalami perubahan kondisi lingkungan yang diduga karena adanya pencemaran
udara akibat emisi buangan yang berasal dari kegiatan industri dan transportasi
berupa CO2, SO2, NO2, dan debu. Pada kawasan industri, unsur-unsur tersebut
secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan beberapa hal yang
dapat menghambat pertumbuhan maupun keberadaan lumut kerak.
Daerah arboretum Cibubur memiliki kadar kandungan udara ambien yang
sedang pada semua parameter, hal ini dikarenakan lokasi pengamatan merupakan
daerah luas yang cukup untuk konservasi dan menyerap pencemar udara. Keadaan
ini yang memungkinkan terjadinya penurunan kadar kandungan udara ambien
sehingga terukur rendah, walaupun daerah ini terdapat aktivitas transportasi.
Tegakan mahoni Cikabayan memiliki kadar pencemaran yang sangat rendah,
karena daerah ini merupakan daearah dengan pencemaran yang ada hanya
dihasilkan oleh sepeda motor yang tidak terlalu banyak.
Pengaruh kadar masing-masing zat pencemar terhadap talus lumut kerak
secara khusus belum dapat diketahui, akan tetapi diharapkan respon dari kondisi
lingkungan tersebut dapat terlihat dari morfologi talus yang dapat dilihat secara
makroskopik. Pertumbuhan lumut kerak di kawasan industri dan Cibubur tidak
memiliki pertumbuhan sebaik di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB.
Pertumbuhan lumut kerak diduga akan kurang baik salah satunya apabila
daerahnya telah tercemar.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, Spesies II dapat ditemukan
pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis
tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien.
Berdasarkan atas nilai frekuensi perjumpaan Spesies II, berturut-turut mulai dari
yang terbesar adalah lokasi pengamatan arboretum Cibubur, tegakan mahoni
Cikabayan dan kawasan industri Pulo Gadung. Hal tersebut diduga dapat terjadi
karena adanya pengaruh umur tanaman, pada arboretum umur tanaman lebih tua
dibanding dengan tegakan mahoni Cikabayan.
Spesies IV ditemukan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni
Cikabayan. Dengan nilai frekuensi perjumpaan Spesies IV di arboretum Cibubur
tidak sebesar pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan yaitu sebesar
73,21 %. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari
kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan
mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun
frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan
mahoni Cikabayan.
Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies III ditemukan dengan nilai
frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak
lainnya. Menurut Boonpragob (2003), Dirinaria picta dapat ditemukan di daerah
yang tercemar di Thailand.
Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa lumut kerak dengan tipe morfologi
talus crustose memiliki frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas talus yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan tipe foliose. Hal tersebut mengambarkan bahwa tipe
talus crustose mudah tumbuh. Boonpragob (2003) mengatakan bahwa tipe talus
crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus
lainnya. Hal tersebut terjadi karena lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose
terlindung dari potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat
tipe ini memiliki sifat melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus
homoiomerous, yaitu keadaan dimana phycobiont (alga) berada di sekitar hifa
(Baron, 1999).
Tipe talus foliose memiliki tipe jaringan talus heteromerous, sehingga talus ini
terdiri dari beberapa lapisan. Tipe talus ini dapat memelihara kelembaban, yang
dilakukan pada lapisan medula. Menurut Baron (1999), meskipun lumut kerak tidak
dapat mengendalikan kadar air, seperti tumbuhan tingkat tinggi namun tidak berarti
bahwa tidak ada variasi dalam genus dan spesies lumut kerak yang berbeda dalam
mengabsorbsi dan melepaskan air. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab
yang memungkinkan tipe talus ini mampu hidup dengan kondisi lingkungan yang
berbeda. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Prasetyo & Hastuti
(1992), yang menunjukan hasil penelitiannya terhadap lumut kerak dengan tipe
morfologi talus foliose dapat mengabsorbsi kation-kation logam dengan senyawa
kimia yang berbeda.
Menurut Ahmadjian (1967) diacu dalam Soedaryanto et al. (1992),
mengatakan bahwa pada umumnya lumut kerak tahan terhadap perubahan
temperatur dan kekeringan, tetapi ada juga yang tidak tahan serta terdapat
beberapa jenis lumut kerak yang mampu hidup di daerah industri serta kota besar.
Sehingga jenis lumut kerak yang ada pada kawasan industri Pulo Gadung dengan
kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang merupakan
jenis yang mampu hidup dengan kondisi kandungan polutan relatif memiliki nilai
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut
dapat dilihat pada hasil pengukuran kualitas udara ambien pada masing-masing
lokasi pengamatan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis


lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan D. cf picta). Pada arboretum
Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp.,
Graphidaceae, Heterodermia sp dan P. cf austrosinensis). Pada tegakan mahoni
Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan
Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.).
2. Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak belum
teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose).
3. Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah
dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan
rendah).
4. Tipe morfologi talus crustose lebih mudah ditemukan dibanding dengan tipe
morfologi foliose. Strigula sp. diduga mampu bertahan hidup pada kondisi
kualitas udara ambien yang ada.
5. D. cf picta hanya ditemukan pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo
Gadung dan Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan
mahoni Cikabayan.
6. Pada kawasan industri Pulo Gadung, lumut kerak yang ditemukan hanya terdiri
atas satu tipe morfologi talus dalam batang tanaman. Pada arboretum Cibubur
dan tegakan mahoni, tipe morfologi talus yang ditemukan dapat lebih dari satu
tipe morfologi talus. Bentuk talus lumut kerak dipengaruhi oleh faktor substrat
yaitu umur dan jenis tanaman. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur
memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang
berada di tegakan mahoni.
B. Saran
Hal–hal yang harus diperhatian pada penelitian selanjutnya, adalah :
1. Penelitian ini hanya membahas lumut kerak sebagai bioindikator dengan melihat
bentuk fisiknya saja, sehingga salah satunya perlu dilakukan penelitian dengan
melihat kandungan zat pencemar yang diterima oleh lumut kerak.
2. Pengelompokan berdasarkan marga masih sangat terbatas terhadap spesies
yang ditemukan, sehingga diperlukan penelitian selanjutnya untuk melakukan
identifikasi pada beberapa sampel lumut kerak yang belum diketahui.
3. Memperhatikan lokasi penelitian dengan kondisi yang relatif sama, diantaranya
adalah jenis tanaman/substrat, umur tanaman dan kondisi iklim mikro.
4. Kajian lumut kerak sebagai bioindikator perlu diteliti lebih lanjut dengan
memperluas daerah penelitian dan stasiun pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulos, C.J & C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology, Third Edition. John
Wiley and sons, Inc. New York.

Ahmadjian, V. 1967. The Lichen Symbiosis. Blaisdell Publishing Company Waltham,


Massachusetts.Toronto-London.

Ahmadjian, V & Hale, M.E. 1973. The Lichens. Academic Press, A Subsidiary of
Harcourt Brace Javanovich. New York.

Baron, G. 1999. Understanding Lichens. The Richmond Publishing Co.ltd. England.

Boonpragob, K. 2003. Using Lichens as Bioindicator of air pollution.


http://www.nfofile.pcd.go.thair31_LichenAcidDep.pdf. [11 Mei 2006].

Cook, R. 1977. The Biology of Simbiotic Fungi. John Wiley and Sons. Chichecter.
New York

Connel & Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Koestoer,Y (terj).
Universitas Indonesia. Jakarta .

Dahlan, E.N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City), Bernuasa Hutan Kota.
IPB Press. Bogor.

Departemen Kehutanan. 1991. Arboretum Wanawisata Pramuka, Cibubur Jakarta.


Kantor Wilayah Departemen Kehutanan DKI Jakarta. Jakarta.

Dharmaputra, O.S; Wydia, A & Nampiah, G. 1989. Penuntun Praktikum Mikologi


Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Dobson, F.S. Lichens: An Illustrated Guide to British and Irish Species, Morphology.
http://www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens/lichenmm.html [30 Agustus
2005]

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Fink, B. 1961. The Lichen Flora of The United States. Ann Harbor, The University of
Michigan. United State of America.

Hale, M.E. 1979. How to Know The Lichens, Second Edition. WCB McGraw-Hill.
Boston.

Herlinda, M. 1990. Identifikasi Lumut Kerak dari Gunung Tangkuban Perahu


sebagai Studi Pendahuluan. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu
Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada Tegakan
Pinus dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Karliansyah, N.S.W. 1997. Kerusakan Daun Tanaman sebagai Bioindikator
Pencemaran Udara (Studi Kasus : Tanaman Peneduh Jalan Angsana dan
Mahoni dengan Pencemaran Udara NOX dan SO2). Tesis. PascaSarjana
Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta.

Kovacs, M. 1992. Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood. New York.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI. Yogyakarta.

Lubis, H. 1996. Tingkat Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Medan,
Analisa Lumut Kerak. Laporan Penelitian. Jurusan Teknik Mesin. Fakultas
Teknik Industri. Institut Teknologi Medan. Medan.
Misra, A & Agrawal, R.P. 1978. Lichens (A Preliminary Text).Oxford & IBH
Publishing. India.

Moore, E. 1972. Fundamental of The Fungi, 4th Edition. Landecker Prentince Hall
International Inc.

Noer, I.S. 2004. Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran
Udara. Forum Komunikasi Lingkungan III, Kamojang. Bandung.

Pandey, S.N & Trivendi, P.S. 1977. A Text Book of Botany (Algae, Fungi, Bacteria,
Hycoplasma, Viruses, Lichens and Elementary Plant Pathology), Volume I.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 41 Tahun 1999 Tentang


Pengendalian Pencemaran Udara.

PT. Persero JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. 2005. Pemantauan Pelaksanaan


RKL dan RPL di Kawasan Industri Pulo Gadung. Laporan akhir. PT. Persero
JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. Jakarta.

Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan beberapa Ilmu Serumpun.


Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Prasetyo, T.I & Hastuti , U.S. 1992. Lichens sebagai salah satu alternatif dalam
penanggulangan polusi logam berat. Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP
Malang. Makalah disajikan pada pertemuan ilmiah tahunan perhimpunan
Mikrobiologi Indonesia.Bandung.

Purnomohadi, S. 1995. Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Pengendalian Kualitas


Udara di DKI Jakarta. Disertasi. PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Purvis, W. 2000. Lichens. Smithsonian Institution Press. Washington. D.C.
Rahmatia, D. 2003. Hubungan Mikroklimat dan pH Substrat di Hutan Pinus, Hutan
Transisi dan Hutan Campuran Gunung Tangkuban Perahu terhadap Kadar
Asam Usnat Lumut kerak Usnea. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu
Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Ryadi, S. 1982. Pencemaran Udara. Usaha Nasional. Surabaya.

Ronoprawiro, S. 1989. Gulma Lumut dan Lumut Kerak terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Teh (Camellia sinensis.L). Disertasi. Universitas Gajah Mada.
Yogjakarta.

Simonson, S. 1996.Lichen and Lichen-Feeding Moths (Arctiidae: Lithosiinae) as


Bioindicators of Air Pollution in the Rocky Mountain Front Range.
http://www.colostate.edu/Depts/Entomology/courses/en570/papers_199
6/simonson.html. [05 Agustus 2005].

Soedaryanto; Hardini, Y; Proborini, M.W & Yusuf, D.S. 1992. Lichens Sebagai
Bioindikator Pencemaran Udara di Jalan Pb. Sudirman, Denpasar. Laporan
Penelitian. Universitas Udayana. Bali.

Soedomo, M. 1999. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. ITB.


Bandung.

Suwarso, W.P. 2004. Lichens, Tanaman Suku Rendah yang Berkhasiat sebagai
Obat. http://www.Sinar Harapan.co.id. [30 Agustus 2005].

Tjitrosoepomo, G. 1981. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Thallophyta,


Bryophyta, Pteridopyta. Bhantara Karya Aksara. Jakarta.

Treshow, M. 1989. Plant Stess From Air Pollution. John Wiley & Sons Ltd. Britain.
Inggris.

Trisusanti, D. 2003. Inventarisasi Liken Krustos Lirela Asal Jawa Barat dan
Pengenalan Bentuk Kristalnya. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wijaya, L.F. 2004. Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam Mempergunakan


Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul Buruz Bandung. Skripsi.
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Padjajaran. Bandung.
Lampiran 1a. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo
Gadung
No Nama Imiah Nama lokal Famili Jumlah

1 Mimosops sp. Tanjung Fabaceae 7


2 Cassia siamea Johar Fabaceae 23
3 Adenanthera pavonina Saga Fabaceae 3
4 Swietenia sp. Mahoni Meliaceae 11
5 Pterocarpus indicus Angsana Fabaceae 1

Lampiran 1b. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur


No
Nama Imiah Nama lokal Famili Jumlah
1 Pterocarpus indicus Angsana Fabaceae 5
2 Filicium desipiens Krey payung Sapindaceae 6
3 Adenanthera pavonina Saga Fabaceae 4
4 Swietenia sp. Mahoni Meliaceae 10
5 Podocapus nerifolii Ki putri Podocarpaceae 5
6 Mimosops elingi Tanjung Fabaceae 5
7 Hevea sp. Karet Euphorbiaceae 8
8 Podocapus imbricata Jamuju Podocarpaceae 1
9 Cinnamomum sp. Kayu manis Lauraceae 1
10 Maniltoa grandiflora Sapu tangan Fabaceae 1
Lampiran 2. Hasil Analisis Pengukuran Kualitas Udara Ambien
Lampiran 3a. Rekapitulasi Suhu Udara Rata-Rata (°C)

No Suhu Udara Rata - Rata (ºC)


A B C
1 31.8 27.8 25.5
2 31.0 28.8 25.5
3 31.3 27.0 26.6
4 29.8 28.3 25.8
5 31.0 27.3 25.5
6 29.4 26.0 26.0
7 29.8 25.8 27.8
8 31.3 27.8 26.5
9 29.8 28.3 25.4
10 29.8 26.5 26.9
11 26.5 24.8
12 26.3 25.7
13 30.0 25.3
14 27.0 27.6
15 27.0 26.5
16 28.8
17 26.5
Rata - Rata 30.5 27.4 26.1

Lampiran 3b. Rekapitulasi Kelembaban Udara Rata-Rata (%)


No Kelembaban Udara Rata - Rata (% )
A B C
1 70 83 87
2 71 80 92
3 74 79 86
4 74 84 93
5 72 85 89
6 69 92 91
7 74 88 89
8 70 85 92
9 75 85 89
10 73 87 95
11 83 86
12 89 92
13 85 91
14 95 92
15 90 84
16 78
17 86
Rata - Rata 72 86 90
Keterangan :
A : Kawasan industri Pulo Gadung
B : Arboretum Cibubur
C: Tegakan m ahoni Cikabayan
Lampiran 4. Struktur Makroskopik dan Mikroskopik Talus Lumut Kerak

Gambar 17. Koloni Spesies I (Phaeographis sp.)

Gambar 18. Jaringan Talus Spesies I (Phaeographis sp.) (perbesaran 400x)


Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 19. Koloni Spesies II (Strigula sp.)

Gambar 20. Penampang Melintang Apotesia Strigula sp. (perbesaran 100x)


Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 21. Koloni Spesies III (Dirinaria cf. picta)

Gambar 22. Jaringan Talus Dirinaria cf. picta (perbesaran 100x)


Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 23. Koloni Spesies IV (Heterodermia sp.)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 24. Jaringan Talus Heterodermia sp. (perbesaran 100x) (a) dan
(b)Jaringan Talus (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 25. Koloni Talus Spesies VI (Tipe Talus Crustose)

Gambar 26. Struktur Mikroskopis Spesies VI (perbesaran 400x)


Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 27. Koloni Spesies VII (Verrucaria sp.)(tipe talus crustose)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 28. Lapisan Talus Verrucaria sp. (perbesaran 400x) (a) Bentuk Apotesium
(perbesaran 100x) (b) Askospora (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 29. Koloni Spesies VIII (Parmelia sp.)

(a) (b)

(c)

Gambar 30. Jaringan Talus Parmelia sp. (perbesaran 100x) (a) Jaringan Talus
(perbesaran 400x) (b) Jaringan Talus (perbesaran 400x)
Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 31. Jenis Spesies IX (tipe talus foliose)

Gambar 32. Jaringan Spesies IX (tipe talus foliose)


Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 33. Koloni Spesies XII (Graphidaceae) (Crustose lirella)

(a)

(b) (c)
Gambar 34. Penampang Melintang Apotesia Graphidaceae (pembesaran 100x). (a)
dan (b) Jaringan Talus (perbesaran 400x)
Lampiran 5a. Rekapitulasi Luas Koloni Lumut Kerak (cm2) pada Bagian Menghadap Titik Pengukuran

Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah


A 5 1 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Tanjung 0 0 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1
10 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 0,1
Rata-rata 0,01
10 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 Angsana 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 Johar 14,6 10,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24,8
12 Johar 120,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 120,4
13 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 Johar 30,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30,2
16 Mahoni 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4
17 Mahoni 24,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24,4
18 Johar 10,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10,2
Jumlah 199,8 14,2
Rata-rata 11,1 0,78889

69
Lanjutan

Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah


A 25 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Johar 34,6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 34,6
10 Johar 0 7,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7,7
11 Johar 3,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,5
12 Johar 1,6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,6
13 Johar 0 1,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,5
14 Johar 9,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9,4
15 Mahoni 7,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7,7
16 Mahoni 0,12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,12
17 Mahoni 36,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36,2
Jumlah 93,12 9,2
Rata-rata 5,4776 0,54118

70
Lanjutan
Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
B1 5 1 Angsana 0 0 0 20,3 56,1 229,1 34,1 0 0 0 0 0 339,6
2 Angsana 0 6,3 0 4,4 7,2 164 56,5 0 0 0 0 0 238,4
3 Angsana 0 2 0 4,7 6,3 22,7 26,2 0 0 0 0 0 61,9
4 Angsana 0 5,8 0 4,5 6,4 12,8 20,9 0 0 0 0 0 50,4
5 Angsana 0 0 0 21,4 98,4 0 0 0 0 0 0 119,8
Jumlah 14,1 33,9 97,4 527 137,7
Rata-rata 2,82 6,78 19,48 105,4 27,54

10 1 Krey Payung 0 2530,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2530,2


2 Krey Payung 0 592,8 0 0 0 0 99,6 0 0 0 0 0 692,4
3 Krey Payung 0 1244,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1244,5
4 Krey Payung 0 2507,7 0 32,3 0 0 2,5 0 0 0 0 0 2542,5
5 Krey Payung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Krey Payung 0 53,5 0 0 0 3,5 4,1 0 0 0 0 0 61,1
7 Mahoni 0 336,5 0 37,1 0 54,3 46 0 0 0 0 0 473,9
8 Mahoni 0 67,8 0 0 0 128,3 48,5 0 0 0 0 0 244,6
9 Mahoni 0 89,9 0 3,3 0 113,1 553,5 0 0 0 0 0 759,8
10 Saga 0 61,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 61,9
11 Mahoni 0 33,2 0 0 0 699 53,5 0 0 0 0 0 785,7
Jumlah 7518 72,7 998,2 807,7
Rata-rata 683,455 6,60909 90,7455 73,4273

25 1 Mahoni 0 3,1 0 0 0 85,7 55,7 0 0 0 0 0 144,5


2 Mahoni 0 22,1 0 0 0 0,6 19,4 0 0 0 0 0 42,1
3 Mahoni 0 8,3 0 0 0 0 26,1 0 0 0 0 0 34,4
4 Mahoni 0 81,7 0 0 0 23,8 51,1 0 0 0 0 0 156,6
5 Mahoni 0 17,7 0 0 0 47,2 8,1 0 0 0 0 0 73
6 Mahoni 0 69,7 0 0 0 0 14,3 0 0 0 0 0 84
7 Kyu manis 0 16,8 0 0 0 87,5 107,2 0 0 0 0 0 211,5
8 Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 219,4 244,8 281,9
Rata-rata 24,3778 27,2 31,3222

71
Lanjutan
Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
B2 5 1 Saga 0 61,2 0 301,4 0 1563,7 138 0 0 0 0 0 2064,3
2 Ki putri 0 0 0 0 73,3 0 0 0 0 0 73,3
3 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Ki putri 0 0 0 0 13,3 0 0 0 0 0 13,3
5 Saga 0 68,7 0 247,2 0 780 25,2 0 0 0 0 0 1121,1
6 Tanjung 0 41,4 0 0 0 99,9 0 0 0 0 0 0 141,3
7 Tanjung 0 92,6 0 0 0 132,7 2,8 0 0 0 0 0 228,1
Jumlah 263,9 548,6 2576,3 252,6
Rata-rata 37,7 78,3714 368,043 36,0857

10 1 Karet 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Ki putri 0 114 0 0 0 111,3 20,8 0 0 0 0 0 246,1
3 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Tanjung 0 12,7 0 0 0 1,3 47,2 0 0 0 0 0 61,2
5 Tanjung 0 48,4 0 0 0 2 9,9 0 0 0 0 0 60,3
Jumlah 175,1 114,6 77,9
Rata-rata 35,02 22,92 15,58

25 1 Tanjung 0 300,9 0 0 0 18,8 0 0 0 0 0 0 319,7


2 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Ki putri 0 122,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 122,5
4 Ki putri 0 57,6 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 75,6
5 Ki putri 0 189 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 189
6 jamuju 0 225,2 0 0 0 35,7 0 0 0 0 0 260,9
7 Karet 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 895,2 54,5 18
Rata-rata 127,886 7,78571 2,57143

72
Lanjutan
Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
C 5 1 Mahoni 7,1 0 0 9 0 29 0 344,5 69,4 0 0 0 459
2 Mahoni 0,8 0 0 36,4 0 19,8 0 0 0 0 0 0 57
3 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Mahoni 0 0 0 6,1 0 19,4 75,7 0 5,5 0 0 3,4 110,1
5 Mahoni 36,5 0 0 12,7 0 17,7 6,4 15,1 85,4 0 177,5 77,4 428,7
6 Mahoni 0 0 0 0 0 28,8 0 0 0 121,3 344,9 211,8 706,8
7 Mahoni 0 0 0 0 0 3,3 0 0 13 51,2 109,3 4,7 181,5
8 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Mahoni 0 6 0 6,3 0 0 13,8 0 0 0 0 10,6 36,7
Jumlah 44,4 6 0 70,5 0 118 95,9 359,6 173,3 172,5 631,7 307,9
Rata-rata 4,9333 0,66667 7,83333 13,1111 10,6556 39,95556 19,2556 19,16667 70,18889 34,21111

10 1 Mahoni 13,6 0 0 13,8 0 22,8 0 0 0 0 1,1 3,9 55,2


2 Mahoni 0 0 0 10,9 0 0 0 38,2 11,2 0 0 0 60,3
3 Mahoni 0 14,6 0 0 0 3,4 141,9 0 13,9 83,4 18,8 226,8 502,8
4 Mahoni 0 23,8 0 0 0 16,3 64,4 0 0 44,7 11,6 2,8 163,6
5 Mahoni 0 78,4 0 3,6 0 20,3 130,9 0 4,1 24,2 15,2 22,4 299,1
6 Mahoni 5,2 3 0 1,1 0 1,6 26,4 0 15,6 3,1 10,8 4,6 71,4
7 Mahoni 10,9 0 0 1,6 0 17,5 0 0 8,8 0 0 0 38,8
8 Mahoni 8,4 0 0 0 0 0 0 0 0 41,9 0 0 50,3
9 Mahoni 0 0 0 0 0 0 17,3 0 0 0 0 0 17,3
Jumlah 38,1 119,8 0 31 0 81,9 380,9 38,2 53,6 197,3 57,5 260,5
Rata-rata 4,2333 13,3111 0 3,44444 0 9,1 42,3222 4,244444 5,95556 21,92222 6,388889 28,94444

73
Lanjutan
Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
25 1 Mahoni 0 0 0 6 0 18 2,1 0 0 0 0 0 26,1
2 Mahoni 0 0 0 5,8 0 13,3 9,7 0 0 0 0 0 28,8
3 Mahoni 0 0 0 2,3 0 0 11,1 0 0 0 0 0 13,4
4 Mahoni 0 11,9 0 1,4 0 4,5 0 0 0 0 0 0 17,8
5 Mahoni 0 13,2 0 27,8 0 8,4 25 12,3 52,4 0 9,5 0 148,6
6 Mahoni 0 0 0 1,4 0 3,7 21,5 0 36,3 0 0 0 62,9
7 Mahoni 0 1,7 0 0,2 0 8,2 3,5 0 4,5 0 4,5 2,6 25,2
8 Mahoni 0 0 0 2,1 0 3,2 0 0 44,9 0 16,2 4,2 70,6
9 Mahoni 0 0 0 3,6 0 12,4 15,4 0 4,9 0 2,5 1,5 40,3
10 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 0 26,8 0 50,6 0 71,7 88,3 12,3 143 0 32,7 8,3
Rata-rata 2,68 5,06 7,17 8,83 1,23 14,3 3,27 0,83

Keterangan :
A : Kawasan industri Pulo Gadung
B1 : Arboretum Cibubur I
B2: Arboretum Cibubur 2
C: Tegakan mahoni Cikabayan
JT : Jenis tanaman

74
Lampiran 5b. Rekapitulasi Luas Koloni Lumut Kerak (cm2) pada Bagian Membelakangi Titik Pengukuran
LOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
A 5 1 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Tanjung 0 0 150,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 150,9
7 Tanjung 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
8 Tanjung 0 0 6,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6,1
9 Tanjung 0 0 1,8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,8
10 Tanjung 0 0 3,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,4
Jumlah 165,2
Rata-rata 16,52
10 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 Angsana 51,3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 51,3
11 Johar 23 2,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25,7
12 Johar 44,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 44,1
13 Johar 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8
14 Johar 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16
15 Johar 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25
16 Mahoni 0 2,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2,5
17 Mahoni 24,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24,4
18 Johar 0 2,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2,7
Jumlah 191,8 7,9
Rata-rata 10,6556 0,43889

75
Lanjutan
LOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
25 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Johar 19,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19,9
10 Johar 0 3,8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,8
11 Johar 74,3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 74,3
12 Johar 5,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5,1
13 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 99,3 3,8
Rata-rata 5,84118 0,22353

76
Lanjutan
LOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
B1 5 1 Angsana 0 0 0 42,4 14,7 91,1 158,4 0 0 0 0 0 306,6
2 Angsana 0 13,4 0 3,3 0 428,2 55,4 0 0 0 0 0 500,3
3 Angsana 0 0 0 8,8 6,7 39,1 15 0 0 0 0 0 69,6
4 Angsana 0 2,8 0 0 8,8 200,3 32,9 0 0 0 0 0 244,8
5 Angsana 0 4,8 0 7,9 16,1 104,4 70,4 0 0 0 0 0 203,6
Jumlah 21 62,4 46,3 863,1 332,1
Rata-rata 4,2 12,48 9,26 172,62 66,42

10 1Krey Payung 0 1961 0 0,5 0 0 3,4 0 0 0 0 0 1964,9


2Krey Payung 0 86,3 0 0 0 0 274,8 0 0 0 0 0 361,1
3Krey Payung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4Krey Payung 0 936,7 0 2,1 0 0 0 0 0 0 0 0 938,8
5Krey Payung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6Krey Payung 0 0 0 0 0 0 26,4 0 0 0 0 0 26,4
6 Mahoni 0 52,4 0 0 0 810,1 59,1 0 0 0 0 0 921,6
7 Mahoni 0 45,1 0 7,2 0 367,5 120,2 0 0 0 0 0 540
8 Mahoni 0 0 0 0 0 270,1 124,8 0 0 0 0 0 394,9
9 Saga 0 95,1 0 0 0 12,4 0 0 0 0 0 107,5
10 Mahoni 0 37,6 0 0 0 350,3 219,3 0 0 0 0 0 607,2
Jumlah 3214,2 9,8 1798 840,4
Rata-rata 321,42 0,98 179,8 168,08

25 1 Mahoni 0 41 0 0 0 35,2 70,4 0 0 0 0 0 146,6


2 Mahoni 0 14,3 0 0 0 153,1 25,7 0 0 0 0 0 193,1
3 Mahoni 0 169,7 0 0 0 68,8 19,7 0 0 0 0 0 258,2
4 Mahoni 0 26,5 0 0 0 0 33,6 0 0 0 0 0 60,1
5 Mahoni 0 38,2 0 0 0 194,5 43,2 0 0 0 0 0 275,9
6 Mahoni 0 95,1 0 0 0 73,4 253,8 0 0 0 0 0 422,3
7 Kyu manis 0 2,9 0 0 0 1,5 14,1 0 0 0 0 0 18,5
8Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 387,7 526,5 460,5
Rata-rata 43,0778 58,5 51,167

77
Lanjutan
LOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
B2 5 1 Saga 0 1805,3 0 0 0 323,4 0 0 0 0 0 0 2128,7
2 Ki putri 0 14 0 0 0 0 51,2 0 0 0 0 0 65,2
3 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Ki putri 0 0 0 0 0 0 5,9 0 0 0 0 0 5,9
5 Saga 0 1612,3 0 0 0 454,8 0 0 0 0 0 0 2067,1
6 Tanjung 0 13,6 0 6 0 28,2 1,6 0 0 0 0 0 49,4
7 Tanjung 0 55,7 0 0 0 3,4 0 0 0 0 0 0 59,1
Jumlah 3500,9 809,8 58,7
Rata-rata 500,129 115,69 8,3857

10 1 Karet 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Ki putri 0 173,8 0 0 0 133,6 68,1 0 0 0 0 15,6 391,1
3 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Tanjung 0 147,5 1,3 0 6 0 0 0 0 0 0 154,8
5 Tanjung 0 59,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 59,2
Jumlah 380,5 1,3 139,6 68,1
Rata-rata 76,1 0,26 27,92 13,62

25 1 Tanjung 0 5,5 0 0 0 0 1,6 0 0 0 0 0 7,1


2 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Ki putri 0 1190,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1190,4
4 Ki putri 0 36,2 0 0 0 14,3 0 0 0 0 0 0 50,5
5 Ki putri 0 321 0 0 0 0 31,4 0 0 0 0 0 352,4
6 jamuju 0 219,2 0 0 0 9,5 77,6 0 0 0 0 0 306,3
7 Karet 0 32,4 0 0 0 0 3,3 0 0 0 0 0 35,7
Jumlah 1804,7 23,8 113,9
Rata-rata 257,814 3,4 16,271

78
Lanjutan
LOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
C 5 1 Mahoni 1,3 0 0 8,5 0 63,5 7,7 0 0 0 7,2 0 88,2
2 Mahoni 9,7 0 0 90,6 0 47,3 25 0 65,9 0 0 0 238,5
3 Mahoni 2,8 0 0 0 0 6,8 0 0 0 0 0 7,5 17,1
4 Mahoni 0 39,9 0 16 0 101,9 12,3 83,5 169,6 1,9 0 8,7 433,8
5 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Mahoni 0 14,8 0 4,5 0 0,7 5,1 0 0 22,5 114 0 161,6
7 Mahoni 0 0 0 14,7 0 68,4 23,2 0 25,3 5,2 16,6 1 154,4
8 Mahoni 0 4,9 0 13,3 0 173,3 3,5 0 120,1 78,5 153,1 222,5 769,2
9 Mahoni 0 9,8 0 6,9 0 51,3 0 0 82,2 7,4 16 27,1 200,7
Jumlah 13,8 69,4 0 154,5 0 513,2 76,8 83,5 463,1 115,5 306,9 266,8
Rata-rata 1,53333 7,71111 17,1667 57,022 8,5333 9,27778 51,4556 12,83333 34,1 29,64444

10 1 Mahoni 55 0 0 69,3 0 130,5 384,6 0 0 0 2,8 48,9 691,1


2 Mahoni 0 0 0 6,5 0 0 0 61,9 5,1 0 0 0 73,5
3 Mahoni 0 4,4 0 3,9 0 3,5 56,2 0 39,5 0 12 9,5 129
4 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Mahoni 0 120,5 0 0 0 144 129 0 29 0 0 32,4 454,9
6 Mahoni 14,4 55 0 0,7 0 0 0 0 24,2 22,8 10,8 0 127,9
7 Mahoni 0,7 0 0 3,3 0 7,5 0 16,4 71,9 0 0 0 99,8
8 Mahoni 3,9 0 0 0 0 7,8 0 0 0,8 122,6 0 0 135,1
9 Mahoni 4,6 0 0 5,6 0 1,4 117,1 0 5,5 72 1,4 0 207,6
Jumlah 78,6 179,9 0 89,3 0 294,7 686,9 78,3 176 217,4 27 90,8
Rata-rata 8,73333 19,9889 9,92222 32,744 76,322 8,7 19,5556 24,15556 3 10,08889

79
Lanjutan
LOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah
C 25 1 Mahoni 0 0 0 15 0 4,2 101,1 34,6 105,5 0 0 0 260,4
2 Mahoni 0 0 0 37,7 0 3,4 0 0 115,2 0 0 0 156,3
3 Mahoni 0 0 0 4,6 0 8,1 94,7 0 10,5 0 0 0 117,9
4 Mahoni 0 11 0 3,9 0 4,3 0 0 1,4 0 0 0 20,6
5 Mahoni 0 0 0 190,6 0 0 8,5 0 0 0 0 0 199,1
6 Mahoni 0 9,5 0 12 0 6 66,3 0 0 0 2,7 0 96,5
7 Mahoni 0 0 0 3,8 0 0 10,4 0 7,1 1 1,7 1,6 25,6
8 Mahoni 0 8,3 0 6,8 0 5,1 1,5 24,9 16,7 0 4 11,3 78,6
9 Mahoni 0 0,5 0 6,9 0 5,1 17,1 0 6,5 0 13 1,6 50,7
10 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 0 29,3 0 281,3 0 36,2 299,6 59,5 262,9 1 21,4 14,5
Rata-rata 2,93 28,13 3,62 29,96 5,95 26,29 0,1 2,14 1,45
Keterangan :
A : Kawasan industri Pulo Gadung
B1 : Arboretum Cibubur I
B2: Arboretum Cibubur 2
C: Tegakan mahoni Cikabayan
JT : Jenis tanaman

80
81
81

Lampiran 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : 41 TAHUN 1999
TANGGAL : 26 MEI 1999

BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL

No. Parameter Waktu Baku Mutu Metode Peralatan


Pengukuran Analisis

1 SO2 1 Jam 900 ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofotometer


3
(Sulfur 24 Jam 365 ug/Nm
Dioksida)
3
1 Thn 60 ug/Nm

2 CO 1 Jam 30.000 ug/Nm3 NDIR NDIR Analyzer


3
(Karbon 24 Jam 10.000 ug/Nm
Monoksida)

1 Thn -

3 NO2 1 Jam 400 ug/Nm3 Saltzman Spektrofotometer


3
(Nitrogen 24 Jam 150 ug/Nm
Dioksida)

1 Thn 100 ug/Nm3


3
4 O3 1 Jam 235 ug/Nm Chemiluminescent Spektrofotometer
3
(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm

5 HC 3 Jam 160 ug/Nm3 Flame Ionization Gas

(Hidro Karbon) Chromatogarfi


3
6 PM10 24 Jam 150 ug/Nm Gravimetric Hi - Vol

(Partikel < 10
um )
3
PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm Gravimetric Hi - Vol
3
(Partikel < 2,5 1 Thn 15 ug/Nm Gravimetric Hi - Vol
um )

7 TSP 24 Jam 230 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol


3
(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm
82

Lampiran 6 (Lanjutan)

3
8 Pb 24 Jam 2 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol

(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm3 Ekstraktif

Pengabuan AAS

9. Dustfall 30 hari

(Debu Jatuh ) 10 Gravimetric Cannister


Ton/km2/Bulan

(Pemukiman)

20
2
Ton/km /Bulan

(Industri)

10 Total Fluorides 24 Jam 3 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau


(as F)
3
90 hari 0,5 ug/Nm Electrode Countinous
Analyzer

11. Fluor Indeks 30 hari 40 u g/100 cm2 Colourimetric Limed Filter


dari kertas
limed filter Paper
3
12. Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm Spesific Ion Impinger atau

Khlorine Electrode Countinous


Dioksida Analyzer

13. Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO3/100 Colourimetric Lead


3
cm

Dari Lead Peroxida Candle


Peroksida

Catatan :
Nomor 10 s/d 13 Hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar
Contoh : - Industri Petro Kimia
- Industri Pembuatan Asam Sulfat.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBI

Anda mungkin juga menyukai