Anda di halaman 1dari 92

INTERAKSI GENOTIP X LINGKUNGAN TERHADAP

PENAMPILAN VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA


CALON VARIETAS JAGUNG KETAN
(Zea mays L. var. Ceratina Kulesh) DI JAWA TIMUR

Oleh:
JAATSIYA INSAN BARI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2020
INTERAKSI GENOTIP X LINGKUNGAN TERHADAP
PENAMPILAN VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA
CALON VARIETAS JAGUNG KETAN
(Zea mays L var. Ceratina Kulesh) DI JAWA TIMUR

Oleh:

JAATSIYA INSAN BARI


165040201111189

MINAT BUDIDAYA PERTANIAN


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2020
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam penulisan skripsi ini
merupakan hasil penelitian saya sendiri dan dengan bimbingan komisi
pembimbing. Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar di
perguruan tinggi selain Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Karya atau
pendapat orang lain yang tertera dalam penulisan skripsi ini telah jelas
ditunjukkan rujukannya dan telah tertulis dalam daftar pustaka.

Malang, Agustus 2020

Jaatsiya Insan Bari

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Interaksi Genotip X Lingkungan Terhadap Penampilan


Vegetatif dan Generatif Beberapa Calon Varietas
Jagung Ketan (Zea mays L Var. Ceratina Kulesh) Di
Jawa Timur
Nama Mahasiswa : Jaatsiya Insan Bari
NIM : 165040201111189
Program Studi : Agroekoteknologi
Minat : Budidaya Pertanian

Disetujui,
Pembimbing Utama,

Prof. Ir. Arifin Noor Sugiharto M.Sc., Ph.D


NIP. 196204171987011002

Diketahui,
Ketua Jurusan Budidaya Pertanian

Dr. Noer Rahmi Ardiarini., SP., M.Si.


NIP. 19701118 199702 2 001

Tanggal Persetujuan :

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Mengesahkan
MAJELIS PENGUJI

Penguji I Penguji II

Prof. Arifin Noor Sugiharto, M.Sc., Ph.D Dr. Budi Waluyo, SP., MP.
NIP. 196204171987011002 NIP. 19740525 199903 1 001

Penguji III

Afifuddin Latif Adiredjo, SP., M.Sc., Ph.D


NIP. 198111042005011002

iii
Tanggal Lulus:

iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Jaatsiya Insan Bari dilahirkan di Pati, Kota
Juwana, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Maret 1998 sebagai putra pertama
dari Bapak Karso dan Ibu Nunuk Lestari Usadayanti.
Penulis menempuh Pendidikan Dasar di SD Negeri 09 Kramat Pela,
Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan pada tahun 2004 hingga 2010.
Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di SMP Ibnu Hajar Boarding School
Cibubur Jakarta Timur pada tahun 2010 hingga tahun 2013. Jenjang pendidikan
selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 29 Jakarta Selatan pada tahun 2013 hingga
2016. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa aktif Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya minat Budidaya Pertanian (Pemuliaan Tanaman) melalui jalur
SNMPTN pada tahun 2016 hingga sekarang.
Penulis melakukan kegiatan Magang Kerja untuk mengetahui dunia kerja
dalam ruang lingkup Pertanian di CV Blue Akari, Batu, Malang, Jawa Timur
dibawah bimbimbingan Prof. Ir. Arifin Noor Sugiharto, M.Sc., Ph.D. Penulis juga
melakukan penelitian yang dibimbing langsung oleh Ir. Arifin Noor Sugiharto,
M.Sc., Ph,D.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
Proposal Skripsi ini. Proposal ini berisikan tentang “Interaksi Genotip X
Lingkungan Terhadap Penampilan Vegetatif dan generatif Beberapa Calon
Varietas Jagung Ketan (Zea mays L. Var. Ceratina Kulesh) Di Jawa
Timur”. Diharapkan proposal ini dapat memberikan informasi dan menambah
wawasan kepada pembaca.

Penulisan proposal ini juga tak lepas dari doa, dukungan, dan bantuan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada Dr. Noer Rahmi Ardiarini, S.P., M.Si. selaku Ketua Jurusan Budiaya
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Prof. Ir. Arifin Noor
Sugiharto M.Sc., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing skripsi, Dr. Budi Waluyo, S.P.,
M.P. selaku dosen pembahas, dan Afifudin Latif Adiredjo S.P., M.Sc., Ph.D.
selaku majelis penguji. Ir. Karso dan Nunuk Lestari Usadayanti S.E,. selaku orang
tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan moral maupun materil yang
tiada henti, seluruh teman-teman di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya,
serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan skripsi
ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
yang telah dilakukan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Malang, Juli 2020

Penulis

i
ii
RINGKASAN
JAATSIYA INSAN BARI. 165040201111189. Interaksi Genotip X Lingkungan
Terhadap Penampilan Vegetatif dan Generatif Beberapa Calon Varietas Jagung
Ketan (Zea mays L. Var. Ceratina Kulesh) Di Jawa Timur. Dibawah bimbingan
Prof. Ir. Arifin Noor Soegiharto. M.Sc., Ph.D.

Jagung ketan merupakan tanaman C4 yang memiliki penyebaran belum


merata di seluruh kawasan Indonesia dikarenakan salah satu alasannya adalah
nilai produksi yang rendah, yaitu sekitar dua ton per hektar. Penyebaran jagung
ketan hanya terpusat pada wilayah timur bagian Indonesia seperti Nusa Tenggara,
Sulawesi, dan beberapa daerah di wilayah Papua dan masih menggunakan varietas
lokal bersari bebas. Jagung ketan memiliki kandungan amilopektin tinggi yaitu
mendekati 100% yang membuat jagung tersebut memiliki tekstur pulen yang enak
untuk dijadikan bahan baku konsumsi. Jagung ketan memiliki gen waxy (wx +)
yang terletak pada lengan kromosom pendek pada nomor ke 9 sebanyak 3178 gen.
Gen waxy bersifat epistatis terhadap seluruh gen mutan dengan tujuan untuk
membentuk amilosa dan amilopektin. Tujuan dari penelitian tersebut adalah
mengetahui interaksi antara genotip dan lingkungan pada karakter pertumbuhan
jagung ketan di dua lokasi di Jawa Timur.

Penelitian dilakukan pada dua lokasi yang berbeda, yaitu di Jatimulyo,


Kota Malanf (288m dpl, dataran rendah) dan Suru Ponorogo (545m dpl, dataran
medium). Penelitian menggunakan seperangkat alat pertanian dan alat ukur,
menggunakan genotip jagung ketan dari CV. Blue Akari (JPM 01, 02, 03, 04, 05,
06), dan Kumala. Pupuk kimia serta pestisida. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan jarak tanam 0.7m x 0.3m. Tanaman sampel sebanyak sepuluh
tanaman per genotip per ulangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan
taraf 0.05 pada variabel pengamatan tinggi tanaman, diameter batang, tinggi letak
tongkol, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, panjang malai, umur silking,
anthesis silking interval, dan umur panen.

Pertumbuhan jagung ketan pada dua lokasi dapat dikatakan baik dan hanya
memiliki beberapa kendala ringan yang dapat dilakukan pencegahan, seperti
serangan OPT, dan curah hujan yang tinggi. Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ
0.05, mayoritas variabel pengamatan terbaik berada pada genotip JPM 03,
sehingga genotip tersebut dapat dijadikan sebagai kandidat varietas baru yang
memiliki karakter beradaptasi luas. Berdasarkan hasil analisis homogenitas ragam
menggunakan nilai kuadrat tengah, hanya variabel lebar daun, jumlah daun,
panjang malai, umur silking, umur panen yang memiliki potensi terdapat interaksi
GxE. Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa hanya variable lebar
daun, panjang malai, umur silking, dan umur panen yang memiliki interaksi antara
genotip dan lingkungan.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat inreraksi


GxE pada variable pengamatan lebar daun, panjang malai, umur silking,dan umur
panen. Sedangkan genotip yang dapat dijadikan sebagai kandidat varietas adalah
JPM 03 berdasarkan hasil lapang pada dua lokasi. Interaksi GxE diharapkan

iii
memiliki nilai yang rendah dengan tujuan agar didapatkan varietas yang memiliki
sifat beradaptasi luas.

iv
SUMMARY
Jaatsiya Insan Bari. 165040201111189. Interaction between Genotype and
Environment on Vegetative and Generative Appearances Several Candidates
Waxy Mays Varieties (Zea mays L. Var. Ceratina Kulesh) on Jawa Timur.
Supervised By Prof. Ir. Arifin Noor Soegiharto. M.Sc., Ph.D.

Waxy mays is a C4 plant that has an uneven distribution on all part of


Indonesia because one of the reasons is the low production value, which is around
two tons per hectare. The distribution of waxy mays in Indonesia only centered in
eastern Indonesia such as Nusa Tenggara, Sulawesi, and some areas in Papua and
still uses local varieties with free-range. Waxy mays has a high amylopectin
content that is almost 100% transfer which makes this corn has a good fluffier
texture for consumption raw material use. Waxy mays has a waxy gene (wx +)
located on the short chromosome arm at number 9 as many as 3178 genes. Waxy
genes are epistatic against all mutant genes with the aim of making amylose and
amylopectin. The purpose of this study was to study the interaction between
genotype and environment on the character of waxy mays growth in two locations
in East Java.

The study was conducted at two different locations, first Jatimulyo Malang
regency (288 m above sea level, lowland) and second is Suru Ponorogo (545 m
above sea level, mediumland). The study uses a set of agricultural tools and
measuring instruments, using genotype of waxy mays from CV. Blue Akari (JPM
01, 02, 03, 04, 05, 06), and also Kumala. Chemical fertilizers and pesticides. The
study was conducted using a spacing of 0.7 mx 0.3 m. Plant samples were ten
plants per genotype per repetition. Data analysis was performed using a
Randomized Block Design (RBD) and further tests of Honestly Significant
Difference (HSD) with a level of 0.05 on plant observation are variables height,
stem diameter, height of cob location, leaf length, leaf width, number of leaves,
panicle length, age of silking, silking interval of blooming flowers, and age of
harvest.

Growth of waxy mays on two locations can be approved and only has a
few abundant that can be done against, such as Plant Disturbing Organism attacks,
and high rainfall. Based on the results of the 0.05 BNJ test, the best observation
variable is JPM 03 genotype, so that the genotype can be used as a candidate for a
new variety that has broad character. Based on the results of the analysis of
homogeneity of variances using the middle square value, only the variable width
of the leaf, number of leaves, panicle length, silking age, and age of harvest have
the potential to contain GxE interactions. The combined analysis of variance
shows that only leaf width, panicle length, silking age, and harvest age have
interactions between genotype and environment.

Based on the results of the study, it can be concluded that there is GXE on
the observed variables of leaf width, panicle length, silking age, and harvest age.
While the genotype that can be used as a candidate variety is JPM 03 based on
field results at two locations. GxE interactions must have a low value in order to
obtain varieties that have broad properties.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
RINGKASAN..........................................................................................................ii
SUMMARY............................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................viii
1. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................3
1.3 Hipotesis.........................................................................................................3
2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................4
2.1 Karakteristik Umum Tanaman Jagung Ketan................................................4
2.2 Variasi Genetik Tanaman Jagung Ketan........................................................7
2.3 Adaptabilitas Tanaman Jagung Ketan............................................................9
2.4 Iklim dan Lingkungan Jawa Timur..............................................................11
2.5 Interaksi Genotip dan Lingkungan...............................................................13
3. METODOLOGI DAN PELAKSANAAN.........................................................16
3.1 Tempat dan Waktu.......................................................................................16
3.2 Alat dan Bahan.............................................................................................16
3.2 Metode Penelitian.........................................................................................16
3.4 Pelaksanaan Penelitian.................................................................................17
3.5 Variabel Pengamatan....................................................................................20
3.6 Analisis Data................................................................................................21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................23
4.1 Hasil Penelitian.............................................................................................23
4.2 Pembahasan..................................................................................................37
5. PENUTUP......................................................................................................44
5.1 Kesimpulan...................................................................................................44
5.2 Saran.............................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................45

vi
LAMPIRAN...........................................................................................................50

vii
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Daftar Genetik Perlakuan Percobaan.................................................................17
2. Analisi Ragam Satu Lokasi................................................................................21
3. Analisis Ragam Satu Musim dalam Beberapa Lokasi.......................................22
4. Rekapitulasi Analisis Ragam Seluruh Variabel di Desa Candipuro..................25
5. Nilai Rerata Karakter Pertumbuhan Beberapa Genotip Lokasi Desa Candipuro
...........................................................................................................................28
6. Rekapitulasi Analisis Ragam Seluruh Variabel di Desa Suru...........................29
7. Nilai Rerata Karakter Pertumbuhan Beberapa Genotip Lokasi Desa Suru.......31
8. Analisis KT Galat Percobaan pada Dua Lokasi.................................................32
9. Analisis Ragam Gabungan pada Dua Lokasi Pengamatan................................33
10. Perbandingan Rerata Lebar Daun pada Dua Lokasi........................................34
11. Perbandingan Rerata Panjang Malai pada Dua Lokasi....................................35
12. Perbandingan Rerata Umur Silking pada Dua Lokasi.....................................36
13. Perbandingan Rerata Umur Panen pada Dua Lokasi.......................................37

viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Grafik (A) (B) Tidak Ada Interaksi, (C) Tidak Ada Interaksi Antar Lingkungan,
(D) (E) (F) Ada Interaksi Antar Lingkungan (Baye et al., 2011)......................15
2. (a) Lokasi Penelitian di Candipuro, (b) Lokasi Penelitian di Sooko.................24
3. Kondisi Awal Tanaman. (a) Lokasi Candipuro, (b) Lokasi Sooko...................24
4. Vase Generatif Tanaman. (a) Lokasi Candipuro, (b) Lokasi Sooko..................24

ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks
Halaman
1. Denah Petak Penelitian......................................................................................50
2. Deskripsi Varietas..............................................................................................51
3. Deskripsi Calon Varietas Hibrida......................................................................52
4. Perhitungan Kebutuhan Pupuk...........................................................................53
5. Dokumentasi Lapang.........................................................................................54
6. Analisis Ragam..................................................................................................55
7. Analisis Ragam Gabungan.................................................................................59

x
1

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Jagung ketan merupakan tanaman C4 yang memiliki penyebaran belum


merata di Indonesia. Pengembangan dapat dilakukan untuk membentuk varietas
unggul sebagai bentuk diversifikasi pangan maupun sebagai bahan baku industri.
Peningkatan produksi jagung ketan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
pemuliaan tanaman dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman dengan karakter
unggul serta dapat beradaptasi luas, sehingga dapat memberikan potensi hasil
maksimal (Muhammad et al., 2009).

Jagung ketan memiliki kandungan amilopektin yang tinggi yang


berpotensi mendekati 100% (Suarni dan Subagio, 2013) sehingga menyebabkan
jagung tersebut menjadi pulen dan lunak, sehingga jagung tersebut memiliki rasa
yang enak untuk dijadikan bahan baku konsumsi. Penyebaran hanya berpusat di
Nusa Tenggara, Sulawesi, dan beberapa wilayah di daerah papua yang masih
menggunakan varietas lokal bersari bebas (Suarni et al., 2019). Wilayah lain
jarang ditemukan banyak budidaya jagung ketan dikarenakan hasil panen yang
rendah sekitar 2 ton ha-1 (Rouf et al., 2010) sehingga untuk mencukupi kebutuhan
ekonomi masyarakat lebih memilih untuk membudidayakan jenis jagung pakan
dengan potensi hasil hingga 12 ton ha-1. Upaya peningkatan produksi jagung ketan
adalah menggunakan teknik pemuliaan tanaman melalui penggabungan karakter
terbaik dari keberagaman genetik jagung ketan (Azrai, 2017).

Kandungan amilopektin mendekati 100% (Suarni dan Subagio, 2013)


menjadikan keunggulan utama jagung ketan untuk dapat dibudidayakan secara
luas di seluruh kawasan Indonesia, termasuk pulau Jawa, Kalimantan, dan
Sumatera. Kandungan amilopektin tersebut yang dapat membuat jagung memiliki
tekstur pulen dan lunak, sehingga jagung tersebut cocok untuk dijadikan sebagai
salah satu diversifikasi pangan. Pemerintah melalui Balitsereal telah
mengembangkan jagung dengan jenis waxy melalui penelitian dan menghasilkan
dua varietas yang berpotensi panen tinggi. Varietas tersebut adalah URI-1 dan
URI 2 dengan potensi hasil diatas 9 ton ha -1.. Kesadaran masyarakat terkait mutu
2

gizi merupakan momentum tepat untuk mengembangkan jagung ketan sebagai


diversifikasi pangan. Produk hasil yang dapat dipanen secara bervariasi dapat
menjadikan jagung ketan sebagai bahan diversifikasi dan industri pangan yang
prospektif (Suarni, 2014)

Jawa Timur memiliki peluang yang cukup besar untuk meningkatkan


produksi jagung ketan, karena memiliki sumber daya alam maupun lingkungan
yang mendukung. Termasuk Kota Malang dan Ponorogo sebagai daerah
penelitian. Kedua daerah tersebut memanglah bukan sentra produksi jagung ketan
yang dibuktikan dengan tidak adanya petani local yang melakukan usahatani
jagung ketan yang dijadikan mata pencaharian. Namun, pada kedua lokasi
tersebut memiliki potensi bagus untuk pengembangan varietas jagung ketan.
Kedua lokasi tersebut memiliki kondisi iklim yang sesuai dengan pertumbuhan
tanaman jagung ketan seperti ketinggian tempat, intensitas curah hujan, dan
klimatologi pertumbuhan jagung yang lainnya. Selain agroekologi yang
mendukung, Jawa Timur memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif
baik sebagai substitusi impor maupun promosi ekspor. Diperlukan kebijakan
untuk dapat merealisasikan peluang tersebut melalui pengembangan sarana dan
prasarana usahatani, ekonomi, teknologi, serta pascapanen. Sehingga nilai
efisiensi terus meningkat untuk mencapai tujuan swasembada jagung ketan.

Penampilan suatu tanaman (fenotip) merupakan resultante dari adanya


perbedaan faktor genetik, lingkungan, maupun interaksi antara keduanya (Adie et
al., 2014). Percobaan tentang interaksi genetik dan lingkungan calon varietas
jagung hibrida merupakan tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan varietas
hak pelepasan varietas tanaman (PVT). Salah satu penelitian dibawah naungan
Maize Research Center (MRC) yang dilakukan oleh Fiddin, F. N., Yulianah, I.,
dan A. N. Sugiharto (2018) dengan tujuan untuk mengetahui keseragaman
karakter pada masing-masing galur jagung ketan S4, menduga nilai heritabilitas
arti luas, serta mendapatkan galur yang berpotensi sebagai tetua dalam
pembentukan varietas hibrida. (Fiddin et al., 2018). Penelitian tersebut dapat
dikembangkan hingga mendapatkan varietas jagung ketan. Penelitian lain yang
dilakukan oleh (Sugiharto et al., 2012) tentang pengembangan benih unggul
3

jagung manis dengan sifat adaptable, adoptable, dan marketable juga perlu
diaplikasikan pada jenis jagung ketan ini dengan tujuan untuk mendapatkan status
perlindungan varietas tanaman (PVT), publikasi ilmiah jurnal internasional,
artikel, dan lain sebagainya. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh (Sugiharto et
al., 2018) mengenai pengembangan varietas jagung di Indonesia akibat
meningkatnya permintaan jagung manis di Indonesia. Permintaan meningkat
lantaran penggunaan jagung sebagai bahan biofuel juga meningkat. Penelitian
serupa juga dapat dikembangkan pada calon varietas jagung ketan. Sehingga
mendapatkan varietas yang unggul guna menjawab tantangan permintaan jagung
ketan yang semakin meningkat tiap tahunnya.

Pengujian yang telah dilakukan diatas menunjukkan bahwa adanya


spesifikasi dalam memilih genetik pada lingkungan uji. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui interaksi calon varietas jagung
ketan hibrida di lokasi uji.
1.2 Tujuan

1. Mengevaluasi interaksi antara genotip dan lingkungan terhadap penampilan


vegetatif dan generative pada calon varietas jagung ketan pada dua lokasi di
Jawa Timur.
2. Mengetahui genotip unggul pada dua lokasi di Jawa Timur.
1.3 Hipotesis

1. Terdapat interaksi antara genotip dan lingkungan terhadap penampilan


vegetatif dan generatif pada calon varietas jagung ketan pada dua lokasi di
Jawa Timur.
2. Terdapat genotip unggul pada dua lokasi di Jawa Timur.
4

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Umum Tanaman Jagung Ketan

Jagung ketan merupakan bahan konsumsi yang populer pada kawasan China
dan Asia Tenggara. Kawasan Indonesia merupakan salah satu kawasan yang
cocok untuk pertumbuhan tanaman jagung, termasuk jagung ketan. Namun
kendala dari produksi jagung ketan adalah lokasi yang masih terpusat pada
Indonesia bagian timur dengan nilai produksi yang rendah. Jagung ketan
merupakan tanaman hortikultura yang tergolong tanaman C4, memiliki reputasi di
dunia dan memiliki kemampuan beradaptasi pada berbagai kondisi iklim secara
luas dibandingkan dengan tanaman budidaya yang lainnya. Jagung secara umum
merupakan tanaman sereal yang menduduki peringkat tiga terbesar di dunia
diantara tanaman sereal utama yang lainnya (Ibeawuchi, et al, 2008). Berbeda
dengan jagung pada umumnya, jagung ketan merupakan tanaman yang berpotensi
untuk dikembangkan di seluruh kawasan nusantara karena kemampuannya untuk
beradaptas secara luas. Permasalahan utama pada jagung ketan adalah nilai
produksi yang relatif rendah berkisar antara dua ton ha-1 (Rouf et al., 2010).
Jagung ketan memiliki potensi besar untuk di budidayakan sebagai bahan pokok
pangan alternatif serta dapat dijadikan untuk bahan baku industri. Jagung ketan
memiliki prospek untuk dijadikan bahan pangan karena memiliki kandungan gizi
baik yang diperlukan oleh manusia, diantaranya terdapat kalori, protein, lemak,
karbohidrat, kalsium, pospor, vitamin a, vitamin b, air, serta hampir 100%
terdapat amilopektin (Suarni dan Subagio, 2013), yang membuat jagung ketan
memiliki tekstur pulen dan lunak.

Jagung jenis ketan ini ditemukan di China pada awal tahun 1900 dengan
tampilan menyerupai warna lilin (waxy) yang disebabkan oleh adanya gen tunggal
wx yang bersifat resesif epistasis pada kromosom ke sembilan. Sehingga dari
tampilan warna jagung ini dapat dibedakan dengan mudah dari jagung yang
umum dibudidayakan di Indonesia. Jagung ketan memiliki kandungan
amilopektin tinggi yang dapat dibuktikan dengan adanya warna merah kecoklatan
setelah diberi larutan iodine. Kegunaan jagung ketan diantaranya dapat digunakan
sebagai bahan pangan, bahan baku industry seperti campuran bahan baku kertas,
5

tekstil, dan industry perekat. Jagung ketan cocok untuk dijadikan bahan baku
konsumsi dikarenakan memiliki daya cerna pati yang rendah, sehingga jagung ini
cocok dikonsumsi bagi penderita diabetes yang membutuhkan karbohidrat namun
tidak dicerna sempurna menjadi glukosa.

Suhu pertumbuhan jagung ketan berkisar antara 8°C hingga 40°C, namun
dalam suhu ekstrim yaitu mendekati batas yang tercantum dapat menimbulkan
pertumbuhan jagung yang kurang optimal sehingga nilai produksi tidak dapat
mencapai angka maksimal. Suhu rata-rata yang diperlukan oleh tanaman jagung
untuk dapat tumbuh dengan optimal adalah 24°C selama periode pertumbuhan
(Muhadjir, 2018). Nilai produksi jagung ketan dapat berbeda jika di tanam pada
daerah yang berbeda, hal tersebut dipengaruhi oleh iklim seperti suhu dan curah
hujan, perbedaan kesuburan tanah, ketersediaan air, komoditas tanam pada lahan
yang sama sebelum budidaya jagung, hingga varietas jagung yang di tanam.
Variasi dari lingkungan tumbuh jagung dapat mengakibatkan adanya interaksi
genotip dan lingkungan (Iriany et al., 2009). Jagung ketan dalam klasifikasi
termasuk dalam kingdom: Plantae; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Liliopsida;
Ordo: Cyperales; Famili: Poaceae; Sub-famili: Panicoideae; Genus: Zea; Spesies:
Zea mays L. Var. Ceratina Kulesh) (Muhadjir, 2018).

Produksi tanaman jagung ketan memiliki kesamaan dengan tanaman jagung


pada umumnya, hal tersebut dikarenakan jagung ketan memiliki karakteristik
yang sama dengan jagung pada umumnya. Jagung ketan memiliki sistem
perakaran serabut. Ketika benih jagung mulai berkecambah akar primer mulai
muncul dari radikula embrionik. Akar primer dapat tumbuh memanjang dengan
cepat seiring dengan masuknya vase vegetative tanaman serta terus membentuk
akar lateral. Akar utama tanaman jagung dapat bertahan sepanjang daur hidup
tanaman (Hochholdinger et al., 2004). Tanaman yang sudah memasuki usia
dewasa membentuk akar adventif yang keluar dari permukaan tanah yang
menyebar luas, sementara akar primer tetap tumbuh di dalam tanah untuk
menyerap air dan unsur hara dalam pemenuhan nutrisi tanaman.
Batang tanaman jagung ketan memiliki tinggi yang bervariasi tergantung
dari varietas yang di tanam. Tinggi tanaman jagung bervariasi mulai dari 0.6meter
6

hingga lebih dari 5 meter (dalam kasus yang ekstrim). Bentuk batang jagung ketan
adalah silinder, padat, dan terbagi dalam beberapa ruas-ruas yang berkisar antara 8
hingga 21 ruas dalam satu batang tanaman. Setiap ruas pada batang tanaman
jagung memiliki Panjang sekitar 3 cm hingga 9 cm. Bagian tengah batang terdiri
dari sel-sel parenkim dengan seludang pembuluh yang diselubungi oleh kulit yang
keras di mana termasuk lapisan epidermis (Plessis, 2003).
Daun pada tanaman jagung ketan mencapai 20 yang tersusun secara spiral
pada ruas-ruas batang tanaman dan muncul dalam satu hingga dua baris secara
berlawanan pada ruas-ruas batang. Jagung merupakan tanaman C4 dengan bentuk
daun merumput yang terdiri dari selubung, ligula, daun telinga, dan bilah daun.
Terdapat tulang daun pada tanaman jagung yang menonjol sepanjang daun
tanaman jagung dan terdapat bulu dalam daun. Stomata berada paling banyak
pada bagian permukaan daun daripada diatas permukaan atas daun. Dalam kondisi
kekurangan air, sel cepat kehilangan turgor yang dicirikan dengan melengkungnya
permukaan daun ke bagian dalam dengan tujuan untuk memperkecil penguapan
(Plessis, 2003).

Jagung ketan merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dimana letak


bunga jantan terpisah dengan bungan betina pada satu tanaman. Bunga jantan
terletak pada ujung batang sedangkan bunga betina terletak pada pertengahan
batang. Tanaman jagung bersifat protandry, dimana bunga jantan umumnya
tumbuh 1-2 hari sebelum munculnya rambut (style) pada bunga betina. Selama
periode 7-21 hari, tassel menghasilkan 2-5 juta serbuk sari dari anther berarti
2000-5000 serbuk sari ditumpahkan ke silk. Bunga betina muncul dari tunas
axillary yang memanjang dari dalam kelobot. Masing-masing silk tumbuh
memanjang dari dalam tongkol hingga reseptif siap dikawinkan (AGOTR, 2008).

Jagung ketan merupakan tanaman monokotil yaitu memiliki tipe biji


(kernel) berkeping tunggal. Biji jagung terdiri dari endosperma, embrio, pericarp,
dan ujung penutup biji. Endosperma pada biji mengandung karbohidrat utama,
embrio pada bijij jagung berisi bagian-bagian yang dapat menumbuhkan generasi
berikutnya, sedangkan pericarp dan ujung penutup biji jagung menutupi seluruh
biji jagung. Biji terdiri dari protein sekitar 10%, karbohidrat 70%, serat kasar
7

2,3% dan 1,4% mineral. Selain itu juga terdapat sumber vitamin A dan E,
riboflavin dan nikotinat. Bagian pati dari kernel digunakan sebagai cadangan
makanan (Plessis, 2003) .Serta juga memiliki kandungan amilopektin yang tinggi
yang membuat jagung menjadi pulen dan lunak (Suarni dan Subagio, 2013)

Budidaya jagung ketan dapat dilakukan dengan pemilihan bahan benih yang
baik, melakukan perawatan untuk mengurangi persaingan antara tanaman dengan
organisme pengganggu tanaman (OPT), dan melakukan panen dan pascapanen
dengan baik. Agroekologi tanaman jagung dalam kegiatan budidaya sangat
bervariasi dari dataran tinggi, dataran medium, hingga dataran rendah dengan
berbagai jenis tanah, tipe iklim, dan berbagai macam pola tanam. (Iriany et al.,
2009).
2.2 Variasi Genetik Tanaman Jagung Ketan

Variasi genetika dapat terjadi ketika keturunan menerima gen unik dan
kromosom dari kedua induknya melalui reproduksi seksual. Gen tersebut
dipertukarkan antar kromosom. Kombinasi akan terbentuk Ketika kromosom dari
kedua indukan tersebut menyatu untuk membentuk individu baru dengan genetika
yang unik. Pada suatu sisi mutase merupakan materi dasar dari variasi genetik,
namun yang sebenarnya berfungsi meningkatkan potensi variasi genetika adalah
proses reproduksi seksual yang berfungsi mengatur ulang alel secara acak
sehingga timbul kombinasi yang berbeda. Fenotip seperti tinggi tanaman,
diameter batang, jumlah daun, dan lain sebagainya akan muncul sebagai hasil
perwujudan atau ekspresi genotip pada lingkungan terkait, semua tingkat variasi
genetik ini akan berkontribusi pada kemampuan populasi untuk beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan. Spesies tanaman yang tidak tersebar luas akan
mudah punah pada kondisi lingkungan yang berubah (Indrawan et al., 2012).

Jagung ketan merupakan tanaman hortikultura yang pertama kali di


temukan di China pada tahun 1908 dan terus menyebar ke seluruh kawasan asia,
khususnya asia tenggara (Fan et al., 2009). Jagung ketan memiliki kandungan
amilopektin tinggi yang terdapat pada endosperma, hal tersebut menjadi alasan
bahwa jenis jagung tersebut dapat dijadikan bahan baku konsumsi. Jagung ketan
memiliki susunan genetik yang luas dalam sifat agronomis seperti tinggi tanaman,
8

umur panen, ketahanan terhadap hama dan penyakit tumbuhan, hingga komponen
hasil. Menurut hasil penelitian tentang genotip tanaman yang berinteraksi dengan
lingkungan tertentu, jagung ketan dianggap berasal dari mutan gen jagung batu
(Tian et al., 2009). Fenotip yang ditampilkan oleh jagung ketan didapatkan dari
pengurangan dalam proses sintesis amilosa akibat telah terjadinya mutasi genetik
yang menempatkan pada kromosom ke sembilan. Penelitian yang dilakukan oleh
(Zheng et al., 2013) dengan menggunakan analisis SSR menunjukkan terdapat
keragaman genetik yang luas dalam aksesi jagung ketan, baik jagung hasil seleksi
yang telah di budidayakan (landraces) maupun inbrida.

Jagung ketan memiliki gen tipe resesif tunggal yang terletak pada lengan
kromosom pendek ke sembilan. Berdasarkan pengurutan DNA, jagung ketan
memiliki struktur lokus wildtype waxy (wx +) yang memiliki 3178 gen. Gen waxy
tersebut memiliki sifat epistatis untuk semua gen mutan dengan tujuan
membentuk amilosa dan amilopektin. Gen tersebut dapat mengikat gula dan
polisakarida yang larut dalam air sehingga dapat mengurangi pati yang
terkandung dalam jagung tersebut.

Budidaya jagung ketan memiliki kesamaan dengan jagung pada umumnya,


namun memiliki langkah tambahan dengan tujuan untuk memaksimalkan
produksi dari fenotip yang diharapkan. Gen waxy memiliki sifat resesif, sehingga
perlu isolasi baik jarak ataupun waktu untuk melakukan budidaya. Hal tersebut
bertujuan untuk meminimalisir terjadinya penyerbukan silang. Perkembangan
jagung ketan di seluruh kawasan Indonesia sangat mungkin untuk dilakukan,
dikarenakan memiliki iklim tropis yang cocok untuk ditanam tanaman C4 seperti
jagung. Pemanfaatan amilopektin yang terdapat pada jagung lilin dapat
dimanfaatkan untuk bahan pangan, terkhusus bagi penderita diabetes.

Jagung ketan merupakan tanaman yang tidak banyak dibudidayakan di


Indonesia, namun memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi varietas
unggul. Jagung ketan memiliki kesamaan dari aspek budidaya dengan jagung lain
pada umumnya, namun juga memiliki variasi genetik dari jagung pada umumnya.
Karakter pulut yang terdapat dalam jagung ketan diatur oleh gen resesif wx (waxy
corn). Penelitian yang dilakukan oleh (Binti dan Samdas, 2013) mengenai variasi
9

genetik pada jagung octora, lamuru, bonanza, jaya 2, kumala, dan pulut lokal.
Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui variasi genetik
berdasarkan karakter fenotipik tongkol yang telah dibudidayakan di desa Jono
Oge. Penelitian menggunakan karakter kualitatif dan kuantitatif dengan analisis
data menggunakan PFE, UPGMA, dan MVSP. Hasil menunjukkan pada karakter
kuantitatif selalu menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh banyak gen
sebagai penyusun fenotipiknya yang berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan
karakter kualitatif menunjukkan adanya kesamaan antar varietas yang juga
disebabkan oleh adanya interaksi antara genotip dan lingkungan.

Pengujian selanjutnya dengan menggunakan Multivarian Statistical


Package (MVSP) menghasilkan indeks similaritas bahwa varietas pulut lokal
merupakan varietas yang memiliki indeks kesamaan yang paling rendah diantara
varietas yang lain, yaitu 62.8%. hal tersebut dapat disimpulkan bahwa jagung
ketan lokal memiliki nilai kekerabatan yang jauh dibandingkan dengan varietas
yang lainnya yang menyebabkan tingkat variasinya tertinggi dibandingkan dengan
yang lainnya. Jauhnya nilai kekerabatan ini dikarenakan jagung pulut lokal
merupakan jagung lokal yang masih belum mengalami perkembangan melalui
rekayasa genetika. Sedangkan varietas lainnya merupakan jagung F1 yang telah
mengalami perkembangan rekayasa genetika. Oleh karena itu, jagung pulut lokal
akan menampilkan fenotip aslinya.
2.3 Adaptabilitas Tanaman Jagung Ketan

Tanaman dapat melakukan adaptasi sesuai dengan syarat tumbuhnya.


Tanaman memiliki cara yang dapat digunakan dalam mempertahankan diri.
Tanaman dapat beradaptasi secara luas maupun spesifik. Artinya tanaman yang
memiliki adaptasi luas dapat tetap tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang
luas, sebaliknya tanaman yang memiliki adaptasi yang spesifik hanya akan
tumbuh pada lingkungan yang spesifik juga dan akan punah jika berada pada
kondisi non optimum (Indrawan et al., 2012). Adaptasi baik dalam melakukan
kegiatan produksi jagung ketan ditujukan untuk mendapatkan karakter hasil yang
maksimal dalam suatu lingkungan tumbuh. Lingkungan yang dimaksut adalah
semua kondisi fisika, kimia, maupun biologi baik makro ataupun mikro pada
10

sekitar tanaman budidaya. Lingkungan harus dapat menunjang kehidupan


tanaman dimulai pada vase penanaman hingga tahap akhir yaitu kegiatan panen.
(Belfield dan Brown, 2008) menyatakan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat
memengaruhi tumbuh kembang jagung ketan, diantaranya adalah suhu, atmosfer
dan tingkat kelembaban tanah, pergerakan angin, intensitas cahaya matahari, jenis
dan kesuburan tanah, serangan, serta kompetisi.

Jagung ketan memiliki dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan


yang sesuai dengan syarat tumbuhnya. Jagung ketan dapat tumbuh dengan baik
pada dataran rendah, medium, hingga tinggi dengan kondisi air yang tidak
melimpah. Tanah yang baik untuk budidaya jagung ketan adalah tanah yang
gembur dan subur serta pengolahan yang tepat, karena dalam pertumbuhannya
memerlukan drainase dan airasi yang baik agar tidak terjadi genangan. Jagung
ketan dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan suhu 21 - 34°C, dengan pH
berkisar 5.6 hingga 7.5. Jagung ketan memiliki kebutuhan air tidak terlalu banyak,
hanya berkisar antara 100 – 140 mm per bulan. Jagung ketan membutuhkan tanah
yang subur dengan kandungan nutrisi yang lengkap, dikarenakan tanaman ini
memerlukan sejumlah unsur dengan jumlah besar seperti unsur nitrogen, pospor,
dan kalium. Indonesia dengan kondisi tropis memiliki iklim dan cuaca lingkungan
yang sesuai dengan syarat tumbuh jagung ketan. Oleh karena itu, budidaya
tanaman tersebut dapat dikembangkan dengan luas di seluruh wilayah nusantara,
karena sentra jagung ketan hingga saat ini masih terdapat pada Indonesia bagian
timur. Perbedaan lokasi tanam dapat memengaruhi potensi hasil pada budidaya
jagung ketan. Hal tersebut disebabkan oleh iklim mikro yang berbeda, sehingga
syarat tumbuh tidak terpenuhi dengan maksimal (Agustian, 2014).

Pengujian multilokasi perlu untuk dilaksanakan dengan maksut untuk


mendapatkan satu varietas tanaman yang dapat beradaptasi dengan luas. Beberapa
varietas unggul tanaman jagung sudah memiliki daya adaptasi yang luas, namun
pada agroekologi yang spesifik beberapa varietas tersebut perlu untuk diuji lebih
lanjut untuk melihat respon terhadap agroekologi yang spesifik tersebut, termasuk
salah satunya jagung ketan. Jagung dengan jenis waxy ini dapat dikatakan minim
dalam hal pengembangan, sehingga varietas yang sudah sah dilepas ke masyarakat
11

juga masih sedikit. Perlu dilakukan uji pada berbagai lokasi dengan tujuan
membentuk varietas yang lebih baik dan memiliki sifat beradaptasi dengan luas.
Hal tersebut sesuai dengan (Mejaya et al., 2010) bahwasanya varietas jagung hasil
perbaikan genetika tetuanya perlu dilakukan uji pada daerah penanaman dengan
agroklimat yang berbeda untuk mengetahui respon uji dari genetik terhadap
lingkungan uji.

Perkembangan jagung ketan yang beradaptasi luas saat ini masih meliputi
kawasan Indonesia bagian timur saja, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi, dan beberapa wilayah di daerah papua. Wilayah
tersebut merupakan wilayah kering yang cukup cocok untuk perkembangan
tanaman jagung yang tidak terlalu membutuhkan banyak air (Agustian, 2014).
Secara keseluruhan Indonesia berada pada wilayah iklim tropis yang memiliki ciri
iklim yang berbeda namun tidak terlalu melonjak. Hal tersebut dapat dijadikan
landasan bahwasanya seluruh wilayah di Indonesia dapat dikembangkan untuk
menjadi wilayah sentra jagung ketan. Melalui serangkaian uji di wilayah-wilayah
potensial di Indonesia, harapannya dapat meningkatkan nilai produksi dan
produktivitas jagung ketan. Kebijakan pemerintah yang tepat mengenai
pengembangan perlu untuk diterapkan agar terciptanya varietas jagung ketan
unggul dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.
2.4 Iklim dan Lingkungan Jawa Timur

Jawa Timur merupakan salah satu wilayah sentra Jagung. Jawa Timur
memiliki dua tipe lahan yaitu lahan kering dan lahan basah. Lahan kering dapat
diartikan sebagai suatu hamparan yang tidak tergenang atau digenangi air pada
sebagian besar waktu dalam kurun satu tahun atau sepanjang tahun. Indonesia
memiliki kawasan lahan kering sekitar 13% dari total daratan (sekitar 25 juta ha)
yang berpotensial dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan,
salah satu tanaman yang cocok tumbuh pada lahan kering adalah tanaman jagung.
Jagung merupakan tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak air dalam
stadium hidupnya, kebutuhan air digunakan untuk reaksi fisiologis pada vase
vegetative, dan membutuhkan sedikit air untuk melanjutkan vase generative.
Lahan kering dapat dikatakan cocok untuk produksi suatu tanaman budidaya
12

adalah lahan yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal


(ditinjau dari segi biofisik seperti topografi, iklim, sifat fisika, kimia, serta biologi
tanah). Apabila lahan tersebut dikelola dengan baik maka tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan dan kelestarian sumberdaya.

Iklim Jawa Timur tahun 2019 berdasarkan (BPS, 2020) memiliki suhu
rerata 28.2°C, kelembaban rerata 76%, kecepatan angin rerata 5.2 meter per detik,
tekanan udara rerata 1011.6 mb, jumlah curah hujan 1862 mm, jumlah hari hujan
101 hari. Berdasarkan data dari (Sukarman dan Suharta, 2010), Kota Malang
merupakan kawasan yang tergolong lahan kering beriklim kering, dan kabupaten
Ponorogo merupakan kawasan lahan kering yang beriklim basah. Lahan kering di
Indonesia hingga sekarang banyak dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya
pertanian dan penggunaan lainnya seperti pemukiman, Kawasan industri,
infrastruktur, dll. Ketersediaan dan kebermanfaatan lahan kering di Indonesia
dibidang pertanian masih tergolong minim, hal tersebut dikarenakan semakin
meluasnya infrastruktur untuk kegiatan industry maupun pemukiman masyarakat.
Kendala yang ditimbulkan ketika lahan kering tersebut digunakan untuk kegiatan
budidaya adalah kesuburan tanah yang dapat dilihat dari biofisik tanah seperti
sifat kimia, fisika, dan biologi tanah.

Lahan kering merupakan lahan yang kurang baik dalam penggunaannya di


bidang pertanian secara umum, namun lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk
memproduksi tanaman tertentu yang secara fisiologis tidak membutuhkan air
terlalu banyak seperti tanaman C4. Salah satu contoh tanaman C4 yang dapat
diproduksi di lahan kering adalah tanaman jagung. Tata kelola yang tepat seperti
menyediakan jalan air (irigasi dan drainase), pengolahan tanah yang disesuaikan
dengan kebutuhan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat meningkatkan
produktivitas tanaman budidaya pada lahan tersebut

Karakteristik suatu lahan yang dapat dikatakan lahan kering, menurut


(Gliessman, 2014) adalah sebagai berikut.

1. Lahan tersebut secara komulatif tidak tergenangi oleh pada sebagian waktu (9
bulan atau lebih) dalam kurun waktu satu tahun. Lahan kering bukan berarti
13

lahan yang tidak memiliki air, air yang tersedia pada umumnya diperoleh dari
hujan, aliran air sungai yang kedalam lahan melalui irigasi.
2. Lahan tersebut memiliki kekerasan kontur yang cukup konsisten, hal tersebut
dikarenakan jumlah air yang tersedia tidak merusak agregat tanah.
3. Lahan tersebut pada umumnya memiliki lokasi yang berdekatan dengan
pemukiman warga baik di dataran rendah, sedang, maupun medium yang
memiliki ketinggian kurang dari 700 mdpl.
4. Kawasan tersebut memiliki curah hujan yang relative rendah, yaitu kurang
dari 1500 mm/tahun.

Lingkungan tempat tumbuh menjadi salah satu factor penting dan penentu
keragaman dari suatu populasi yang ada pada suatu daerah tertentu. Seperti
ketinggian tempat, curah hujan, suhu, kelembaban, hal tersebut akan
memengaruhi karakter morfologi dan fisiologi dari jenis tanaman tertentu. Selain
itu lingkungan juga dapat memengaruhi pertumbuhan berbagai fungsi tanaman
seperti absorpsi mineral, unsur, serta air (Yusran & Maemunah, 2011).
2.5 Interaksi Genotip dan Lingkungan

Variasi genetik merupakan syarat mutlak kegiatan pemuliaan tanaman


terutama dalam kegiatan seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi
besar, ini menunjukkan individu dalam populasi beragam sebagai peluang untuk
memperoleh genotip yang diharapkan besar. Sedangkan pendugaan nilai
heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor pengaruh genetik lebih besar
terhadap penampilan fonotip bila dibandingkan dengan lingkungan. Untuk itu
informasi sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor genetik atau faktor
lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan
pada generasi berikutnya dan seberapa besar hasil interaksi antara genotipe
dengan genotipe galur yang diujikan. (Sudarmadji et al., 2007)

Jagung hibrida merupakan hasil perkawinan antara dua jenis tetua masing-
masing galur murni dari tanaman tersebut (inbread line), sehingga terjadi
perpaduan sifat unggul (Tengah et al., 2017). Varietas hibrida mempunyai potensi
hasil yang tinggi, daya adaptasi luas, pertumbuhan dan hasil tanaman lebih
seragam, tahan penyakit bulai dan karat daun. Setiap hibrida menunjukkan
14

pertumbuhan dan hasil yang beragam sebagai akibat dari pengaruh genetik dan
lingkungan yang diujikan. Pengaruh genetik merupakan pengaruh keturunan yang
dimiliki oleh setiap galur sedangkan pengaruh lingkungan adalah pengaruh yang
ditimbulkan oleh habitat dan kondisi lingkungan (Haris dan Kuruseng, 2008).

Heritabilitas digunakan untuk menduga perbaikan harapan dari suatu konsep


seleksi, maka untuk menduga heritabilitas suatu sifat pada suatu populasi
diperlukan parameter genetik yang digunakan berupa variasi sifat fenotip dan
genotipe yang diwariskan kepada keturunannya. Pendugaan nilai heritabilitas
dapat didasarkan pada individu tanaman, petak tunggal, petak berulangan dengan
satu atau dua lingkungan atau lebih. Sedangkan meterial genetik yang digunakan
berkisar pada sejumlah genotipe atau populasi tanaman F2 sampai keturunan Fn,
yang dilakukan secara persilangan backcross dan berdasarkan struktur
kekerabatannya dari suatu galur (Sari et al., 2013).

Penampilan tanaman merupakan hasil dari estimasi genotip, lingkungan,


maupun interaksi antara keduanya. Sebagai pemulia tanaman, mengetahui
interaksi antara keduanya merupakan hal yang penting. Apabila interaksi genotip
dan lingkungannya tinggi, maka genotip tersebut dapat dijadikan sebagai varietas
yang memiliki sifat spesifik lokasi, dan sebaliknya apabila interaksi antar
keduanya rendah atau bahkan tidak terdapat interaksi, maka genotip tersebut dapat
dijadikan varietas yang beradaptasi luas(Syukur et al., 2015)

Menurut (Baihaki & Wicaksana, 2005), dalam menentukan pilihan genotip


tanaman yang disebarkan atau dilepaskan, ataupun untuk digunakan dalam
estimasi komponen varians suatu karakter tertentu dibutuhkan data tanda-tanda
dan hasil pengamatan suatu penelitian yang terkait dengan ada dan tidak adanya
interaksi antara genotipe dan lingkungan (GxE). Penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan interaksi antara (GxE) yang dapat mempengaruhi kemajuan seleksi
dan sering menggangu dalam seleksi genotipe-genotipe unggul. Karena adanya
variasi lingkungan tumbuh tanaman tidak menjamin suatu genotipe/varietas
tanaman dapat tumbuh baik dan memberikan hasil panen yang tinggi di semua
wilayah dalam kisaran spatial yang luas, atau sebaliknya.
15

Interaksi (GxE) banyak dikaitkan dengan kemampuan adaptasi yang


dimiliki oleh suatu individu atau populasi tanaman pada lingkungan tertentu.
Untuk tanaman pertanian, analisis untuk menduga adanya interaksi (GxE) banyak
dilakukan pada tanaman semusim (annual) yang ditanam pada beberapa lokasi
sebagai variasi lingkungan yang umumnya bersifat spatial. Untuk tanaman
perkebunan yang umumnya merupakan tanaman tahunan (perennial) analisis
varian lingkungan yang digunakan umumnya bersifat sekuensial, dilihat dari
waktu bulan ke bulan, tahun ke tahun (Mangoendidjojo, 2000). Secara umum
terdapat tiga tipe interaksi antara genetike x lingkungan (gambar 1), yaitu tidak
ada interaksi, tidak ada interaksi antar lingkungan, dan terdapat interaksi antar
lingkungan (Yan & Tinker, 2006).

Gambar 1. Grafik (A) (B) Tidak Ada Interaksi, (C) Tidak Ada Interaksi Antar
Lingkungan, (D) (E) (F) Ada Interaksi Antar Lingkungan (Baye et al., 2011).
Tipe interaksi antara genotipe dan lingkungan menurut Baye et al (2011),
tidak adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan (Gambar 1a) merupakan
sebuah interaksi yang terjadi ketika suatu genotipe konsisten menunjukkan
keragaan yang baik dibandingkan dengan genotip uji lain pada seluruh lingkungan
uji. Tipe interaksi tidak ada interaksi antar lingkungan (Gambar 4c) merupakan
suatu interaksi yang terjadi ketika terdapat peningkatan hasil melebihi genotip uji
yang lain (mengalami peningkatan pada semua genotip uji) pada seluruh lokasi
uji. Sedangkan tipe terdapat interaksi antara genotip dan lingkungan (Gambar 4d,
4e, 4f) merupakan perbedaan respon dari seluruh genotip uji yang mengalami
perubahan pada kondisi lingkungan yang berbeda. Evaluasi interaksi genotip dan
16

lingkungan memberikan kesempatan kepada pemulia tanaman dengan tujuan


untuk identifikasi adaptabilitas suatu genotip pada lingkungan tertentu dan
stabilitas pada berbagai lingkungan yang berbeda (Sreedhar et al., 2011). Seleksi
akan lebih mudah dilakukan apabila memiliki nilai ragam lingkungan tidak
berbeda nyata (Kan, et al 2010).
17

3. METODOLOGI DAN PELAKSANAAN


3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian lapang dilaksanakan pada 12 Oktober – 25 Desember 2020.


Penelitian dillaksanakan pada dua lokasi yaitu Desa Jatimulyo, Kecamatan
Jatimulyo, Kota Malang dan Desa Suru, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo.
Berdasarkan citra Google Earth, lokasi pengamatan di desa Jatimulyo berada pada
ketinggian 288 meter dpl yang dapat diklasifikasikan kedalam kelompok dataran
rendah. Lokasi penelitian tersebut memiliki nilai kelerengan 4% hingga 8% yang
dapat berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Wilayah penelitian memiliki sumber
air yang cukup. Desa Jatimulyo termasuk kedalam geologi batuan alluvium
dengan jenis tanah regosol coklat kelabu. Lokasi penelitian kedua berada pada
wilayah desa Suru, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan citra
Google Earth lokasi penelitian berada pada ketinggian 545 meter dpl yang dapat
diklasifikasikan kedalam kelompok dataran tinggi dengan kelerengan 15% hingga
40%, sumber air cukup dengan tanah berwarna coklat kemerahan.
3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi seperangkat alat pertanian


dan alat ukur. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah merupakan calon
varietas jagung ketan hibrida asal CV. Blue Akari Batu yaitu J X R, UBW – OP,
UBW – KDS, UBW – 1, UBW – W2, UBW – W1, serta varietas hibrida Kumala.
Pupuk yang digunakan adalah urea, KCl, SP-36, dan NPK. Racun hama yang
digunakan meliputi Curacron 500 EC (insektisida), Regent 50 SC (insektisida),
Furadan (insektisida), Tortora 50 WP (fungisida) dan Nordox 56 WP (fungisida).
3.2 Metode Penelitian

Tabel 1, merupakan bahan genetik yang digunakan dalam penelitian lapang.


Genetik yang digunakan merupakan koleksi dari CV. Blue Akari Batu dengan
standart tujuan akan dilakukan uji multilokasi untuk mendapatkan hak
perlindungan varietas tanaman (PVT).
18

Tabel 1. Daftar Genetik Perlakuan Percobaan

No Kode Kode Genetik


1. JPM 01 JXR
2. JPM 02 UBW – OP
3. JPM 03 UBW – KDS
4. JPM 04 UBW – 1
5. JPM 05 UBW – W2
6. JPM 06 UBW – W1
7. Kumala Kumala
Penelitian ini menggunakan metode RAK (Rancangan Acak Kelompok)
dengan empat kali ulangan. Perlakuan yang digunakan dalam percobaan adalah
genotip dan lokasi. Genotip tersebut meliputi JPM 01, JPM 02, JP 03, JPM 04,
JPM 05, JPM 06, Kumala, dan lokasi percobaan meliputi Candipuro, Lumajang
dan Suru, Ponorogo. Terdapat tujuh genotip dan tiga kali ulangan sehingga
terdapat 21 satuan percobaan tiap lokasi. Setiap satuan percobaan terdapat empat
baris tanaman, masing-masing baris terdapat 20 tanaman sehingga terdapat 80
tanaman perplot. Sampel pengamatan diambil dari petak panen sebanyak 10
tanaman. Bahan tanam yang digunakan berasal dari persilangan beberapa galur
koleksi dari CV. Blue Akari. Plot percobaan memiliki ukuran masing-masing 3m
x 5m yang terdiri dari empat baris dengan 20 lubang tanam setiap barisnya dengan
jarak tanam antar baris 0,7 m x 0,3 m.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan Lahan

Pengolahan tanah dilakukan dengan pembajakan lahan sawah menggunakan


hewan ternak dan dikerjakan selama dua hari berturut-turut. Pembuatan plot
ulangan dilakukan dengan ukuran 3m x 5m. Jarak antar plot dan ulangan adalah
0,5 m dan bibatasi menggunakan selokan drainase. Jarak antar plot dibatasi
dengan parit berukuran 0,5 m sebagai alur drainase. Plot penanaman dibuat
dengan jumlah yang sama dengan jumlah total plot yang digunakan yaitu
sebanyak 28 plot.
19

3.4.2 Penanaman

Penanaman bibit jagung yang sudah disemai sesuai dengan lubang tanam
yang telah dibuat dengan jarak tanam 0,7 m × 0,3 m kedalaman berkisar 3 cm dari
permukaan tanah. Bibit yang telah berumur 17 HSS dipindah sejumlah dua bibit
per lubang tanam. pengaplikasian insektisida berbahan aktif carbofuran dilakukan
pada satu hari sebelum pindah tanam dengan tujuan untuk mengendalikan hama
tanah. Penutupan lubang tanam yang telah ditanam bibit dengan menggunakan
pupuk kandang.

3.4.3 Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan dengan tujuan agar tanaman jagung dapat tumbuh


dengan optimal sesuai dengan vase pertumbuhannya. Pemeliharaan yang
dilakukan saat penelitian adalah penyulaman, penyiangan, pengairan,
pembumbunan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit.

a. Penyulaman
Penyulaman dilaksanakan ketika tanaman budidaya tidak menunjukkan
tanda-tanda pertumbuhan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada 7 HST
dengan cara menanam tanaman jagung dengan nomor genetik yang sama tiap
plot yang membutuhkan kegiatan penyulaman. Kegiatan tersebut dilakukan
pada waktu yang bersamaan dengan tujuan memiliki umur panen yang relatif
sama.
b. Penyiangan

Penyiangan dilakukan cara mencabut gulma yang berada diatas ambang


batas ekonomi dengan tujuan untuk menghilangkan keberadaan gulma
sehingga tidak menimbulkan hambatan dalam pertumbuhan tanaman
budidaya. Pencabukan dilakukan secara fisik yaitu langsung mencabut
dengan menggunakan tangan. Penyiangan dilakukan ketika keberadaan gulma
sudah mencapai ambang batas ekonomis. Penyiangan gulma juga dapat
dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan pembumbunan.

c. Pengairan
20

Pengairan yang dilakukan selama penelitian menggunakan sistem


irigasi tadah hujan (tidak terdapat irigasi teknis sepanjang musim), hal
tersebut dilakukan dikarenakan pada saat penelitian berlangsung terdapat
curah hujan yang tinggi di dua lokasi. Pembuangan air dilakukan melalui
parit yang telah dibuat saat pengolahan lahan dengan tujuan agar tanaman
tidak tergenang air sehingga menyebabkan munculnya berbagai jenis
hambatan dalam kegiatan budidaya, seperti batang tanaman yang membusuk,
muncul macam hama dan penyakit pada tanaman jagung, dan lain
sebagainya.

d. Pembumbunan

Pembumbunan dilakukan dengan tujuan untuk meninggikan permukaan


tanah, sehingga tanaman tetap berdiri kokoh diatas permukaan tanah.
Pembumbunan dilakukan ketika terdapat akar yang muncul diatas permukaan
tanah. Pengaplikasian pembumbunan dapat dilakukan secara bersamaan
dengan pengaplikasian pupuk (pemberian pupuk sesuai rekomendasi dan
dilanjutkan dengan pembumbunan sehingga puput tidak mengalami
penguapan), dan kegiatan penyiangan yaitu membersihkan gulma dengan
menggunakan cangkul pada permukaan tanah yang tidak ditanam tanaman
jagung.

e. Pemupukan

Kegiatan pemupukan dilakukan dengan tujuan mencukupi kebutuhan


nutrisi tanaman. Kegiatan pemupukan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada
saat tanaman berumur 7 HST dengan pupuk Urea dan ZA dosis rendah (75
Kg/ha Urea, dan 25 Kg/Ha ZA), 28 HST dengan pupuk NPK (250 kg/ha), dan
Urea 150 kg/ha, KCl 50 Kg/Ha kemudian pada 45 HST dengan pupuk Urea
(150 kg/ha.) Pengaplikasian pupuk anorganik pertama diaplikasikan dengan
21

cara ditugal, sedangkan pemupukan anorganik kedua dan ketiga diaplikasikan


bersamaan dengan kegiatan pembumbunan.

f. Pengendalian Hama dan Penyakit


Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman budidaya dilakukan
secara mekanis, yaitu dengan mengambil OPT yang mengganggu kegiatan
budidaya. Pengendalian secara kimiawi dilakukan apabila serangan OPT
sudah berada diatas ambang ekonomis dengan menggunakan pestisida.
Pengendalian mekanis dilakukan pada saat tanaman menunjukkan gejala dan
tanda telah terserang OPT sedangkan pengendalian kimiawi dilakukan
dengan pengaplikasian fungisida Tortora 50WB (dimetomorf 50%) dengan
dosis 2 g/liter pada kedua lahan. Aplikasi Amistartop 325 SC. dengan dosis
5ml/10 liter air.

3.4.4 Panen

Pemanenan dilakukan ketika buah sudah mencapai masak fisiologis.


Kriteria panen dapat dilihat secara visual diantaranya klobot telah berwarna coklat
atau mengering, silk telah kering, dan biji jagung telah mengeras dicirikan dengan
tidak membekas saat ditekan. Pemanenan dilakukan secara manual dengan cara
mengambil tongkol dan dikelompokkan per plot kemudian dilakukan perhitungan
jumlah dan bobot tongkol per plot.
3.5 Variabel Pengamatan

Variabel yang diamati dalam penelitian ini ialah variabel pada karakter
pertumbuhan. Pengamatan dilakukan melalui pengambilan sepuluh sampel
tanaman tiap plot untuk seluruh variabel. Pengamatan dilakukan saat tanaman
sudah memasuki vase generative yang dicirikan telah munculnya bunga jantan
dan bunga betina pada tanaman jagung. Uraian dari masing-masing variabel
pengamatan yang diamati ialah sebagai berikut. Berdasarkan (Efendi, 2013)
panduan pengamatan tanaman jagung karakter pertumbuhan:
22

1. Tinggi tanaman, pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi dari


permukaan tanah hingga bagian daun bendera atau sebelum pangkal petiole
bunga jantan (tassel) (cm).
2. Diameter batang, diamati saat tanaman jagung telah memasuki vase
generative. Pengamatan diameter batang dilakukan pada batang yang berada
diatas silk atau letak tongkol tanaman jagung.
3. Tinggi letak tongkol, pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi dari
permukaan tanah hingga bagian pangkal tongkol utama (tongkol teratas)
(cm).
4. Panjang daun, mengamati Panjang daun dilakukan pada saat tanaman sudah
memasuki vase generative dimana bunga jantan dan bunga betina telah
muncul. Pengamatan dilakukan pada daun yang telah membuka sempurna
yang berada diatas silk (pada tongkol jangung) dari ujung hingga pangkal
daun.
5. Lebar daun, mengamati lebar daun pada sepertiga bagian ujung daun dengan
menggunakan penggaris pada saat tanaman memasuki usia generative.
6. Jumlah daun, pengamatan dilakukan pada saat tanaman telah memasuki vase
generative dengan cara menghitung jumlah daun produktif yang terdapat
diatas tongkol utama.
7. Panjang malai, mengamati panjang malai dengan menggunakan penggaris
saat tassel sudah muncul sempurna.
8. Umur silking, pengamatan dilakukan dengan menentukan umur 90% dari
populasi tanaman per entri (plot) telah memiliki bunga betina yang reseptif
(ditandai dengan panjang silk (±2-3 cm) (HST).
9. Anthesis silking interval, pengamatan dilakukan dengan mengurangi umur
berbunga betina dengan umur berbunga jantan 50% dari jumlah tanaman.
10. Umur panen, pengamatan dilakukan dengan menentukan umur 90% populasi
tanaman yang telah siap panen ditandai dengan kondisi masak fisiologis
berupa silk mengering dan biji tidak membekas saat ditekan dengan kuku.
23

3.6 Analisis Data

Prosedur analisis data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya


analisis ragam, analisis KT galat dua lokasi, dan analisis ragam gabungan
berdasarkan (Syukur et al., 2015) sebagai berikut.

3.6.1 Analisis Ragam

Analisis ragam dilakukan berdasarkan rancangan acak kelompok tiap lokasi.


Analisis ragam bertujuan untuk mengetahui perbedaan antar genotip yang diuji.
Apabila nilai F-hitung berbeda nyata maka dapat dilakukan uji lanjut.
Tabel 2. Analisi Ragam Satu Lokasi
Sumber Ragam Db JK KT Fhit
Ulangan (r) r-1 JK(r) KT(r)
Genetik (p) p-1 JK(p) KT(p) KT(p)/KT(g)
Galat (r-1) (p-1) JK(g) KT(g)
Total rp-1

Keterangan: (Db) Derajat bebas, (JK) Jumlah Kuadrat, (KT) Kuadrat Tengah (FHit) F
Hitung.
Uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05 dengan tujuan untuk menguji
perbandingan nilai rerata penampilan antara hibrida uji dengan varietas
pembanding dalam rangka mengetahui adanya nilai keunggulan dari hibrida uji
yang bersangkutan.

Rumus (Leblanc, 2004) :

2
BNJ = Q0,05(p:db galat ) x s
√r

Keterangan :

Q = Nilai BNJ 5%

s2 = Kuadrat Tengah Galat (KTG)

p = Genetik
24

r = Ulangan

3.6.2 Analisis KT Galat Dua Lokasi

Analisis KT Galat (Homogenitas ragam dua lokasi) dilakukan untuk


memastikan dua atau lebih kelompok data memiliki variansi yang sama (Hanief,
2017). Uji homogenitas dua ragam dilakukan dengan menggunakan uji F pada
setiap karakter yang diamati. Karakter yang memiliki nilai dua ragam homogen
dapat dilakukan analisis ragam gabungan. Prosedur analisis uji homogenitas ialah
dengan mengikuti rumus menurut (Hanief, 2017) berikut.

KT besar
F hitung =
KT kecil

Keterangan

S = Varian

KT = Kuadrat Tengah

3.6.3 Analisis Ragam Gabungan

Analisis ragam gabungan dilakukan menggunakan Uji-F untuk mengetahui


interaksi genetik lingkungan.
Tabel 3. Analisis Ragam Satu Musim dalam Beberapa Lokasi

Sumber Ragam db JK KT Fhit


Genetik (G) a-1 JK(A) KT(A) KT(A)/KT(G)
Lokasi (L) b-1 JK(B) KT(B) KT(B)/KT(K|B)
Ulangan b(n-1) JK(K|B) KT(K|B) KT(K|B)/KT(G)
JK(A*B) KT(A*B) KT(A*B)/KT(G
GxL (a-1)(b-1)
)
Galat A(a-1)(n-1) JK(G) KT(G)
Total abn-1

Keterangan: (Db) Derajat bebas, (JK) Jumlah Kuadrat, (KT) Kuadrat Tengah (FHit) F
Hitung.
25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Kondisi Umum Penelitian

Penelitian dilakukan pada dua lokasi lahan yang berbeda dan berada di
Provinsi Jawa Timur. Lokasi penelitian pertama berada pada wilayah Desa
Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang yang merupakan lahan dengan
penggunaan lahan sawah. Komoditas utama dalam wilayah tersebut adalah padi,
jagung, tanaman palawija seperti cabai, timun, dan lain sebagainya. Lokasi
penelitian kedua berada di Desa Suru, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo.
Pada kawasan tersebut mayoritas penggunaan lahan adalah sebagai lahan
pertanian dan perkebunan. Penelitian tentang interaksi genotip dan lingkungan ini
dilaksanakan pada bulan Oktober 2020 hingga Desember 2020. Berdasarkan citra
Google Earth, kedua lokasi diklasifikasikan pada ketinggian yang berbeda. Desa
Candipuro berada pada ketinggian 288meter dpl yang dapat diklasifikasikan
kedalam dataran medium. Sedangakan desa Suru berada pada ketinggian
545meter dpl yang diklasifikasikan pada dataran tinggi. Selain ketinggian tempat,
kedua lokasi menunjukkan perbedaan kelerengan yang cukup signifikan.
Jatimulyo memiliki kelerengan berkisar antara 4% - 8%, sedangkan Suru
memiliki kelerengan berkisar antara 15% - 40%. Kelerengan terseut akan
berdampak terhadap kesuburan tanah, material yang mengandung bahan organic
tinggi akan terlimpas ke bagian lereng apabila terjadi limpasan permukaan
(Sahara, 2014). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwasanya lokasi desa Suru
memiliki nilai kesuburan tanah yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah
desa Jatimulyo.

Penelitian yang dilakukan di desa Jatimulyo (Gambar 2.a) dilakukan pada


area pertanaman tanaman padi, sehingga pengolahan lahan yang dilakukan untuk
keperluan penanaman jagung berbeda, yaitu pengolahan lahan tanpa
menggunakan air, pembuatan aliran drainase, dan pembatasan plot areal
pertanaman. Sehingga lahan yang digunakan sesuai dengan syarat tumbuh jagung
dengan tujuan tanaman jagung dapat tumbuh dengan optimal. Penelitian yang
dilakukan. Lokasi kedua penelitian ini (Gambar 2.b) dilakukan di desa Suru
26

Kabupaten Ponorogo yang bertepatan pada lahan untuk komoditas tanaman


jagung.

a. b.

Gambar 2. (a) Lokasi Penelitian di Jatimulyo, (b) Lokasi Penelitian di Sooko

Penelitian dimulai dengan penanaman bahan tanam yang dilakukan pada


bulan Januari dengan kondisi kedua lokasi bertepatan dengan musim hujan
sehingga menggunakan sistem irigasi tadah hujan. Pertumbuhan tanaman jagung
pada kedua lokasi cukup baik sesuai dengan vase pertumbuhan tanaman jagung
menurut (Ransom, 2020). Penanaman pada dua lokasi dilakukan dengan
memberikan dua biji jagung yang sudah dilakukan treatment dengan
menggunakan insektisida pada setiap lubang tanam. Pertumbuhan awal (Gambar
3) dapat dikategorikan baik dengan ditandai dengan sedikitnya kegiatan
penyulaman yang dilakukan.

a. b.

Gambar 3. Kondisi Awal Tanaman. (a) Lokasi Jatimulyo, (b) Lokasi Sooko.

Vase generative tanaman jagung pada dua lokasi yang berbeda (Gambar 4)
menunjukkan fenotip tanaman juga berbeda seperti tinggi tanaman, panjang daun,
27

lebar daun, serta karakter pertumbuhan yang lainnya. Hal tersebut diakibatkan
oleh perbedaan genotip serta lokasi penelitian yang digunakan.

a. b.

Gambar 4. Vase Generatif Tanaman. (a) Lokasi Jatimulyo, (b) Lokasi Sooko

Pertumbuhan tanaman jagung pada vase R10 hingga V2 (Ransom, 2020)


mendapat hambatan besar yaitu curah hujan tinggi setiap hari, sehingga ditemukan
beberapa tanaman yang roboh dikarenakan pangkal batang bagian bawah
membusuk. Gangguan lain saat proses penelitian dilakukan diakibatkan oleh
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti hama dan gulma. Pada
dua lokasi yang berbeda, hama yang ditemui adalah belalang (Valangan
nigricornis), ulat tentara (Spodoptera spp), serta ulat tanah (Agrotis ipsilon),
namun kondisi serangan rendah. Penanganan dilakukan dengan cara mengambil
ulat pada pagi hari pada sekitar daun tanaman, serta melakukan pengaplikasian
pestisida dalam kurun waktu satu hingga dua kali dalam satu minggu (disesuaikan
dengan tingkat serangan). Gulma yang ditemukan pada dua lokasi penelitian
didominasi oleh Cleome rutidosperm, Digitaria adscendes, dan Cyperus rotundus

4.1.2 Analisis Sidik Ragam pada Masing-Masing Lokasi Penelitian

Analisis sidik ragam dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan


antar galur yang diuji. Analisis dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung
dengen F table pada taraf 0.05 dan 0.01. Analisis tersebut dilakukan pada semua
variabel pertumbuhan pada tanaman jagung, pada table 4 sebagai berikut.
Tabel 4. Rekapitulasi Analisis Ragam Seluruh Variabel di Desa JAtimulyo
Variabel Pengamatan F Hitung F Tabel 0.05 CV (%)
dan 0.01
28

Tinggi Tanaman (cm) 362.11 ** 1.89


Diameter Batang (cm) 9.28 ** 5.63
Tinggi Letak Tongkol (cm) 564.52 ** 3.96
Lebar Daun (cm) 63.27 ** 4.41
Panjang Daun (cm) 107.29 ** 2.99 dan 4.82 2.35
Jumlah Daun 10.28 ** 4.16
Panjang Malai (cm) 13.80 ** 5.46
Silking (hst) 186.64 ** 1.31
Anthesis Silking Interval (hari) 14.68 ** 9.55
Umur Panen (hst) 2.52 tn 0.28

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata, (*) berbeda nyata pada taraf 0.05, (**) berbeda
nyata pada taraf 0.01

Data analisis sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan variabel pengamatan


yang diamati di desa Jatimulyo, Kota Malang menunjukkan berbeda nyata pada
taraf 0.05 dan 0.01, kecuali variabel umur panen yang menunjukkan tidak berbeda
nyata. Nilai CV menggambarkan besarnya keragaman pada masing-masing
variabel pengamatan yang dinyatakan dalam persentase, dan nilai CV untuk suatu
percobaan adaptasi tanaman memiliki nilai dibawah 20 persen (Kwanchai &
Gomez, 1995). Dari data yang telah di tampilkan bahwa seluruh variabel dalam
pengamatan memiliki nilai CV dibawah 20% dengan nilai tertinggi pada variabel
diameter batang (5.63%) dan terendah pada variabel umur panen (0.28%).

Pengamatan seluruh karakter pertumbuhan dilakukan ketika tanaman


sudah memasuki vase generative yaitu Ketika tanaman berumur 58 – 62 HST,
karena seluruh kegiatan pertumbuhan di fokuskan untuk karakter hasil. Sifat
variabel pada vase generatif sudah stagnan dan tidak dapat berkembang.
Pengamatan variabel tinggi tanaman di Lokasi desa Jatimulyo dilaksanakan saat
tanaman berumur 58 HST dikarenakan seluruh tanaman percobaan telah
mengalami vase silking. Nilai rerata dari keseluruhan calon varietas uji, JPM 03
memiliki nilai rerata tertinggi (279.53 cm) jika dibandingkan dengan genotip yang
lain (Tabel 5) dan varietas Kumala memiliki nilai rerata terendah (163.1 cm)
daripada genotip uji yang lain.

Pengamatan diameter batang dilakukan dengan cara mengukur diameter


pada batang bagian atas silk atau tongkol jagung. Berdasarkan nilai rerata pada
diameter batang seluruh genotip uji (Tabel 5), JMP 03 memiliki nilai rerata
29

diameter yang terbesar (3.87 cm) dan JPM 02 memiliki nilai rerata diameter yang
terendah (3.02 cm).

Pengamatan tinggi letak tongkol dilakukan dengan cara mengukur tinggi


posisi tongkol pada batang tanaman jagung. Berdasarkan nilai rerata pada tinggi
letak tongkol seluruh genotip uji (Tabel 5), JMP 03 memiliki nilai rerata tinggi
letak tongkol yang terbesar (167.6 cm) dan JPM 05 memiliki nilai rerata tinggi
letak tongkol yang terendah (54.93 cm).

Pengamatan lebar daun, panjang daun, dan jumlah daun dilakukan pada
saat tanaman telah memasuki vase generative dan dilakukan pada daun produktif
yang berada diatas silk atau tongkol tanaman jagung. Berdasarkan nilai rerata
pada lebar daun seluruh genotip uji (Tabel 5), JMP 03 memiliki nilai rerata lebar
daun terbesar (10.63 cm) dan genotip Kumala memiliki nilai rerata lebar daun
terendah (6.18 cm). Berdasarkan nilai rerata pada panjang daun seluruh genotip
uji (Tabel 5), JMP 03 memiliki nilai rerata panjang daun tertinggi (98.23 cm) dan
genotip JPM 05 memiliki nilai rerata lebar daun terendah (68.80 cm). Jumlah
daun pada JPM 03 memiliki nilai jumlah terbesar (16.87) dari seluruh genotip uji,
sedangkan genotpi JPM 02 merupakan genotip yang memiliki nilai jumlah daun
terendah (13.60) dari seluruh genotip uji.

Pengamatan Panjang malai dilakukan Ketika tanaman sudah serentak


berbunga, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung nilai panjang (cm) pada
bunga jantan. Berdasarkan nilai rerata pada panjang malai seluruh genotip uji
(Tabel 5), JMP 03 memiliki nilai panjang malai yang terbesar (42.27 cm) dan
JPM 06 memiliki nilai rerata panjang malai yang terendah (30.67 cm).

Pengamatan silking dan anthesis silking interval dilakukan pada saat


tanaman telah memasuki vase generative dan dilakukan perhitungan munculnya
bunga jantan dan bunga betina pada masing-masing genotip tanaman.
Berdasarkan nilai rerata pada silking seluruh genotip uji (Tabel 5), JMP 03
memiliki nilai rerata waktu terbesar (56.93 hst) dan genotip JPM 06 memiliki nilai
rerata waktu terendah (49.03 hst). Berdasarkan nilai rerata pada anthesis silking
30

interval seluruh genotip uji (Tabel 5), JMP 03 memiliki nilai rerata waktu terbesar
(5.30 hst) dan genotip JPM 06 memiliki nilai rerata waktu terendah (3.03 hst).

Kegiatan panen diakukan pada saat tongkol sudah memasuki vase masak
segar. Jagung memasuki vase tersebut dalam waktu lebih kurang 22 hari setelah
polinasi. Pengamatan waktu panen dilakukan dengan cara menghitung waktu
panen setelah pembungaan dan dilakukan pengecekan isi tongkol. Berdasarkan
nilai rerata pada umur panen seluruh genotip uji (Tabel 5), JMP 03 memiliki nilai
rerata umur panen yang terbesar (80 hst) dan JPM 01 serta kumala memiliki nilai
rerata umur panen yang terendah. Variabel yange memiliki nilai F hitung berbeda
nyata pada (Tabel 4) dilakukan uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05 dengan
tujuan untuk mengetahui genotip yang memiliki sifat maupun potensi unggul
dibandingkan dengan genotip lainnya pada masing-masing lokasi.

Tabel 5. Nilai Rerata Karakter Pertumbuhan Beberapa Genotip Lokasi Desa


Jatimulyo

No Genotip TT DB TLT LD

1. JPM 01 204.97 c 3.16 a 56.33 ab 10.46 c

2. JPM 02 166.2 a 3.02 a 63.97 bc 7.64 b

3. JPM 03 279.53 d 3.87 b 167.60 d 10.63 c

4. JPM 04 196.67 c 3.13 a 68.77 c 7.38 b

5. JPM 05 170.33 a 2.92 a 54.93 a 7.66 b

6. JPM 06 183.20 b 3.09 a 60.27 abc 7.64 b

7. Kumala 163.10 a 3.06 a 55.43 ab 6.18 a


31

Keterangan: TT: Tinggi Tanaman, DB: Diameter Batang, TLT: Tinggi Letak
Tongkol, LD: Lebar Daun

No Genotip PD JD PM US ASI

1. JPM 01 87.47 c 16 bc 33.37 a 50.00 bc 3.07 a

2. JPM 02 77.03 b 13.6 a 35.60 a 51.27 c 4.03 a

3. JPM 03 98.23 d 16.86 c 42.27 b 56.93 d 5.30 b

4. JPM 04 92.90 cd 14.93 ab 32.67 a 56.20 d 4.00 a

5. JPM 05 66.80 a 14.73 ab 30.83 a 50.17 bc 3.30 a

6. JPM 06 70.70 a 14.76 ab 30.67 a 49.03 b 3.03 a

7. Kumala 80.75 b 13.8 a 32.87 a 41.03 a 3.53 a

Keterangan: PD: Panjang Daun, JD: Jumlah Daun, PM: Manjang Malai, US:
Umur silking, ASI: Anthesis Silking Interval,

Pengamatan seluruh variabel pertumbuhan dilakukan pada saat tanaman


telah memasuki vase generative. Data pengamatan yang telah di lakukan di lokasi
desa Jatimulyo Kota Malang (Tabel 5) menunjukkan bahwa mayoritas genotip
JPM 03 memiliki nilai keunggulan dari keseluruhan karakter pertumbuhan,
sehingga genotip JPM 03 merupakan genotip teradaptif yang dapat tumbuh di
daerah Jatimulyo Kota Malang. Genotip JPM 03 memiliki keunggulan dari segi
pertumbuhan seperti tinggi tanaman, diameter batang, tinggi letak tongkol, lebar
daun, panjang daun, jumlah daun, panjang malai, serta anthesis silking interval
yang lebih besar dibandingkan dengan genotip uji yang lain. Umur silking
memiliki kesamaan dengan genotip JPM 04.
32

Tabel 6. Rekapitulasi Analisis Ragam Seluruh Variabel di Desa Suru


Variabel Pengamatan F Hitung F Tabel 0.05 CV (%)
dan 0.01
Tinggi Tanaman (cm) 82.44 ** 4.19
Diameter Batang (cm) 51.16 ** 3.80
Tinggi Letak Tongkol (cm) 110.62 ** 6.01
Lebar Daun (cm) 3.37 * 5.66
Panjang Daun (cm) 30.48 ** 2.99 dan 4.82 3.74
Jumlah Daun 9.19 ** 3.80
Panjang Malai (cm) 33.97 ** 3.76
Silking (hst) 96.17 ** 1.49
Anthesis Silking Interval (hari) 3.15 * 16.60
Umur Panen (hst) 1.29 tn 7.81

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata, (*) berbeda nyata pada taraf 0.05, (**) berbeda
nyata pada taraf 0.01

Data analisis sidik ragam (Tabel 6) menunjukka variabel pengamatan yang


diamati di desa Suru Kabupaten Ponorogo menunjukkan berbeda nyata pada taraf
0.05 kecuali variabel umur panen yang menunjukkan tidak berbeda nyata.
Terdapat dua variabel yang tidak berbeda nyata pada taraf 0.01 yaitu variabel
lebar daun dan anthesis silking interval. Dari data yang telah di tampilkan bahwa
seluruh variabel dalam pengamatan memiliki nilai CV dibawah 20% dengan nilai
tertinggi pada variabel anthesis silking interval (16.60%) dan terendah pada
variabel silking (1.49%).

Pengamatan variabel tinggi tanaman di Lokasi desa Suru dilaksanakan saat


tanaman berumur 60 HST dikarenakan seluruh tanaman percobaan telah
mengalami vase silking. Nilai rerata dari keseluruhan calon varietas uji, JPM 03
memiliki nilai rerata tertinggi (276.24 cm) jika dibandingkan dengan genotip yang
lain (Tabel 7) dan varietas Kumala memiliki nilai rerata terendah (163 cm) dari
seluruh genotip uji.

Pengamatan diameter batang dilakukan dengan cara mengukur diameter


pada batang bagian atas silk atau tongkol jagung. Berdasarkan nilai rerata pada
diameter batang seluruh genotip uji (Tabel 7), JMP 03 memiliki nilai rerata
33

diameter yang terbesar (2.12 cm) dan JPM 06 memiliki nilai rerata diameter yang
terendah (1.43 cm).

Pengamatan tinggi letak tongkol dilakukan dengan cara mengukur tinggi


posisi tongkol pada batang tanaman jagung. Berdasarkan nilai rerata pada tinggi
letak tongkol seluruh genotip uji (Tabel 7), JMP 03 memiliki nilai rerata tinggi
letak tongkol yang terbesar (156.64 cm) dan JPM 05 memiliki nilai rerata tinggi
letak tongkol yang terendah (61.12 cm).

Pengamatan lebar daun, panjang daun, dan jumlah daun dilakukan pada
saat tanaman telah memasuki vase generative dan dilakukan pada daun produktif
yang berada diatas silk atau tongkol tanaman jagung. Berdasarkan nilai rerata
pada lebar daun seluruh genotip uji (Tabel 7), JMP 01 memiliki nilai rerata lebar
daun terbesar (8.82 cm) dan genotip JPM 06 nilai rerata lebar daun terendah (7.71
cm). Berdasarkan nilai rerata pada panjang daun seluruh genotip uji (Tabel 7),
JMP 03 memiliki nilai rerata panjang daun tertinggi (105.58 cm) dan genotip JPM
05 memiliki nilai rerata lebar daun terendah (80.61 cm). Jumlah daun pada JPM
03 memiliki nilai jumlah terbesar (16.43) dari seluruh genotip uji, sedangkan
genotp Kumala merupakan genotip yang memiliki nilai jumlah daun terendah
(13.10) dari seluruh genotip uji.

Pengamatan Panjang malai dilakukan Ketika tanaman sudah serentak


berbunga, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung nilai panjang (cm) pada
bunga jantan. Berdasarkan nilai rerata pada panjang malai seluruh genotip uji
(Tabel 7), JMP 01 memiliki nilai panjang malai yang terbesar (48.88 cm) dan
JPM 06 memiliki nilai rerata panjang malai yang terendah (35.46 cm).

Pengamatan silking dan anthesis silking interval dilakukan pada saat


tanaman telah memasuki vase generative dan dilakukan perhitungan munculnya
bunga jantan dan bunga betina pada masing-masing genotip tanaman.
Berdasarkan nilai rerata pada silking seluruh genotip uji (Tabel 7), JMP 03
memiliki nilai rerata waktu terbesar (58.63 hst) dan genotip Kumala memiliki
nilai rerata waktu terendah (46.10 hst). Berdasarkan nilai rerata pada anthesis
silking interval seluruh genotip uji (Tabel 7), JMP 03 memiliki nilai rerata waktu
34

terbesar (5.20 hst) dan genotip JPM 06 memiliki nilai rerata waktu terendah (3.13
hst).

Kegiatan panen diakukan pada saat tongkol sudah memasuki vase masak
segar. Jagung memasuki vase tersebut dalam waktu lebih kurang 22 hari setelah
polinasi. Pengamatan waktu panen dilakukan dengan cara menghitung waktu
panen setelah pembungaan dan dilakukan pengecekan isi tongkol. Berdasarkan
nilai rerata pada umur panen seluruh genotip uji (Tabel 7), JMP 03 memiliki nilai
rerata umur panen yang terbesar (84 hst) dan kumala memiliki nilai rerata umur
panen yang terendah (73 hst), serta genotip yang lain dilakukan pemanenan pada
saat berumur 74 HST. Variabel yange memiliki nilai F hitung berbeda nyata pada
(Tabel 6) dilakukan uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05 dengan tujuan
untuk mengetahui genotip yang memiliki sifat maupun potensi unggul
dibandingkan dengan genotip lainnya pada masing-masing lokasi.
Tabel 7. Nilai Rerata Karakter Pertumbuhan Beberapa Genotip Lokasi Desa Suru

No Genotip TT DB TLT LD

1. JPM 01 203.98 c 1.93 c 92.93 b 8.82 b

2. JPM 02 167.87 ab 1.47 ab 70.98 a 8.04 ab

3. JPM 03 276.24 d 2.12 d 156.64 c 8.48 ab

4. JPM 04 186.60 bc 1.50 ab 108.16 b 8.15 ab

5. JPM 05 155.80 a 1.54 ab 61.12 a 8.31 ab

6. JPM 06 171.09 ab 1.43 a 74.67 a 7.71 ab

7. Kumala 163,00 a 1.65 b 70.60 a 7.35 a

Keterangan: TT: Tinggi Tanaman, DB: Diameter Batang, TLT: Tinggi Letak
Tongkol, LD: Lebar Daun,

No Genotip PD JD PM US ASI

1. JPM 01 97.37 cd 14.93 bc 48.88 b 48.03 ab 3.27 a

2. JPM 02 80.97 ab 14.60 ab 38.54 a 53.23 d 4.30 ab

3. JPM 03 105.58 d 16.43 c 37.33 a 58.63 e 5.20 b


35

4. JPM 04 77.63 a 14.70 b 47.68 b 54.43 d 4.30 ab

5. JPM 05 80.61 a 14.83 b 39.50 a 51.00 c 4.23 ab

6. JPM 06 81.32 ab 14.36 ab 35.64 a 48.43 b 3.17 a

7. Kumala 90.05 bc 13.1 a 44.45 b 46.10 a 4.00 ab

Keterangan: PD: Panjang Daun, JD: Jumlah Daun, PM: Manjang Malai, US:
Umur silking, ASI: Anthesis Silking Interval.

Pengamatan karakter pertumbuhan yang dilakukan di lokasi desa Suru


Kabupaten Ponorogo memiliki kesamaan karakter dengan lokasi desa Candipuro
kabupaten Lumajang dilihat dari karakter pertumbuhan. Genotip JPM 03 memiliki
nilai keunggulan pada beberapa variabel uji dibandingkan genotip uji yang lain.
Keunggulan variabel uji tersebut seperti tinggi tanaman, diameter batang, tinggi
letak tongkol, panjang daun, jumlah daun, umur silking, serta anthesis silking
interval.

4.1.3 Analisis KT Galat Dua Lokasi

Uji homogenitas ragam pada dua lokasi dilakukan dengan menggunakan


nilai KT Galat pada dua lokasi penelitian. Pengujian KT Galat dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui variabel mana yang dapat dilakukan analisis ragam
gabungan dua lokasi untuk mengetahui interaksi genotip, lingkungan, maupun
keduanya. Ketidak homogenan ragam galat pada suatu variabel pengamatan
timbul akibat nilai galat pada masing-masing lokasi menunjukkan perbedaan yang
nyata. (Hanief, 2017) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai uji homogenitas
ragam, maka perbedaan variabel pada suatu data disebabkan oleh perlakuan
percobaan. Analisis kehomogenan ragam galat disajikan pada tabel berikut.
Tabel 8. Analisis KT Galat Percobaan pada Dua Lokasi.
Variabel Pengamatan F Hitung F Tabel
Tinggi Tanaman 4.63 tn
Diameter Batang 7.50 tn
Tinggi Letak Tongkol 3.33 tn
Lebar Daun 1.61 *
Panjang Daun 3.39 tn 2.99
Jumlah Daun 1.22 *
Panjang Malai 1.39 *
Umur Silking 1.31 *
36

Anthesis Silking Interval 3.75 tn


Umur Panen 1.00 *

Keterangan: (tn) tidak homogen pada kedua lokasi, (*) homogen pada kedua
lokasi

Analisis kehomogenan ragam galat pada dua lokasi dilakukan dengan


menggunakan uji F. Hasil uji (Tabel 8) menyatakan bahwa hanya variabel lebar
daun, jumlah daun, panjang malai, umur silking, dan umur panen yang memiliki
ragam galat homogen pada dua lokasi, sehingga hanya kelima variabel tersebut
yang dapat dilanjutkan untuk analisis ragam gabungan pada dua lokasi penelitian.
Variabel pengamatan yang lain seperti tinggi tanaman, diameter batang, tinggi
letak tongkol, panjang daun, dan anthesis silking interval menunjukkan bahwa
variabel tersebut tidak homogen pada kedua lokasi. Hal tersebut diakibatkan
karena nilai galat pada lokasi tanam Candipuro dan lokasi tanam Suru
memperlihatkan perbedaan nyata.

4.1.4 Analisis Ragam Gabungan Dua Lokasi

Analisis ragam gabungan pada dua lokasi dapat dilakukan pada variabel
yang memiliki perbedaan nyata atas uji homogenitas ragam galat percobaan.
Variabel tersebut meliputi lebar daun, panjang malai, umur silking, dan umur
panen. Data analisis ragam gabungan dua lokasi yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 9. Analisis Ragam Gabungan pada Dua Lokasi Pengamatan.


Variabel G L G×L CV
Pengamatan KT(g) Fhitung KT(g) Fhitung KT(g) Fhitung (%)
LD 6.61 38.51** 0.11 0.64 tn 2.45 14.26** 5.07
JD 6.22 17.74 ** 0.64 1.83 tn 0.65 1.85 tn 3.99
PM 51.31 17.31** 615.09 207.52** 80.34 27.10** 4.54
US 130.70 252.63** 5.86 11.34** 9.13 17.66** 1.40
UP 45.21 2.38 tn 17.35 9.16** 9.35 4.93** 5.73
F Tabel 0.05 2.50 4.25 2.50
F Tabel 0.01 3.66 7.82 3.66
37

Keterangan: G: Genotip, L: Lingkungan, G×L: Genotip × Lingkungan. CV:


Coefficient of Variation, KT: Kuadrat Tengah, LD: Lebar Daun, PM: Panjang
Malai, US: Umur Silking,UP: Umur Panen, (*): berbeda nyata pada taraf 0.05,
(**) berbeda nyata pada taraf 0.01, (tn): tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Hasil analisis ragam gabungan (Tabel 9) menunjukkan bahwa genotip


berpengaruh sangat nyata terhadap variabel lebar daun, jumlah daun, panjang
malai, dan umur silking, serta tidak berpengaruh nyata pada variabel umur panen.
Lingkungan berpengaruh sangat nyata pada variabel panjang malai, umur silking,
dan umur panen, serta tidak berpengaruh nyata pada variabel lebar daun dan
jumlah daun. Interaksi antara genotip dan lingkungan berpengaruh sangat nyata
pada variabel lebar daun, panjang malai, umur silking, dan umur panen, serta
tidak berbeda nyata pada variabel jumlah daun. Nilai koefisien keragaman (CV)
pada berbagai variabel berkisar pada rentang 1.40% pada variabel umur silking
hingga 5.73% pada variabel umur panen. Variabel yang memiliki nilai F hitung
berbeda nyata pada (Tabel 9) dilakukan uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05
dengan tujuan untuk mengetahui genotip yang memiliki sifat maupun potensi
unggul dibandingkan dengan genotip lainnya pada masing-masing lokasi.

Tabel 10. Perbandingan Rerata Lebar Daun pada Dua Lokasi


Genotip Uji Lokasi Uji
Jatimulyo, Malang Suru, Ponorogo
JPM 01 10.46 B 8.82 A
38

(c) (c)
JPM 02 7.64 A 8.04 A
(b) (abc)
JPM 03 10.63 B 8.48 A
(c) (bc)
JPM 04 7.38 A 8.15 B
(b) (abc)
JPM 05 7.66 A 8.31 A
(b) (abc)
JPM 06 7.64 A 7.71 A
(b) (ab)
KUMALA 6.18 A 7.35 B
(a) (a)
CV (%) 5.07
BNJ 2.50

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf besar merupakan hasil uji lanjut
(BNJ 0.05) antar lokasi, sedangkan angka yang diikuti dengan huruf kecil
merupakan hasil uji lanjut (BNJ 0.05) tiap lokasi
Hasil uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05 pada karakter lebar daun,
panjang malai, umur silking, dan umur panen menunjukkan nilai 2.50 dengan nilai
kofisien keragaman 5.07. berdasarkan hasil (Tabel 10), JPM 01 dan JPM 03
menunjukkan lebar daun tertinggi dibandingkan dengan genotip yang lainnya
pada lokasi Candipuro. JPM 01 menunjukkan lebar daun tertinggi pada lokasi
Suru. Pada lokasi yang berbeda, JPM 02, JPM 05, JPM 06 tidak menunjukkan
nilai beda nyata. JPM 01 dan JPM 03 di lokasi Jatimulyo memiliki nilai rerata
lebar daun yang lebih tinggi dibandingkan lokasi Suru, serta JMP 04 dan Kumala
di lokasi Suru menunjukkan nilai rerata lebar daun yang lebih tinggi dibandingkan
lokasi Jatimulyo.

Tabel 11. Perbandingan Rerata Panjang Malai pada Dua Lokasi


Genotip Uji Lokasi Uji
39

Jatimulyo, Malang Suru, Ponorogo


JPM 01 33.37 A 48.88 B
(ab) (b)
JPM 02 35.60 A 38.54 B
(b) (a)
JPM 03 42.27 B 37.33 A
(c) (a)
JPM 04 32.67 A 47.68 B
(ab) (b)
JPM 05 30.83 A 39.50 B
(a) (a)
JPM 06 30.67 A 35.64 B
(a) (a)
KUMALA 32.87 A 44.45 B
(ab) (b)
CV (%) 4.54
BNJ 2.50

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf besar merupakan hasil uji lanjut
(BNJ 0.05) antar lokasi, sedangkan angka yang diikuti dengan huruf kecil
merupakan hasil uji lanjut (BNJ 0.05) tiap lokasi
Hasil uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05 pada karakter lebar daun,
panjang malai, umur silking, dan umur panen menunjukkan nilai 2.50 dengan nilai
kofisien keragaman 5.07. Berdasarkan hasil (Tabel 11), JPM 03 menunjukkan
rerata panjang malai tertinggi dibandingkan dengan genotip yang lainnya pada
lokasi Jatimulyo. JPM 01, JPM 04, dan Kumala menunjukkan rerata panjang
malai tertinggi pada lokasi Suru. Pada lokasi yang berbeda, seluruh genotip uji
kecuali JPM 03 menunjukkan nilai rerata panjang malai tertinggi pada lokasi
Suru, sehingga pertumbuhan berdasarkan karakter panjang malai terbaik berada
pada lokasi Suru.
40

Tabel 12. Perbandingan Rerata Umur Silking pada Dua Lokasi


Genotip Uji Lokasi Uji
Jatimulyo, Malang Suru, Ponorogo
JPM 01 50.00 B 48.03 A
(bc) (b)
JPM 02 51.27 A 53.23 B
(c) (d)
JPM 03 56.93 A 58.63 B
(d) (e)
JPM 04 56.20 A 54.43 B
(d) (d)
JPM 05 50.17 A 51.00 A
(bc) (c)
JPM 06 49.03 A 48.43 A
(b) (b)
KUMALA 41.03 A 46.10 B
(a) (a)
CV (%) 1.40
BNJ 2.50

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf besar merupakan hasil uji lanjut
(BNJ 0.05) antar lokasi, sedangkan angka yang diikuti dengan huruf kecil
merupakan hasil uji lanjut (BNJ 0.05) tiap lokasi
Hasil uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05 pada karakter lebar daun,
panjang malai, umur silking, dan umur panen menunjukkan nilai 2.50 dengan nilai
kofisien keragaman 5.07. Berdasarkan hasil (Tabel 12), JPM 03 dan JPM 04
menunjukkan rerata umur silking tertinggi dibandingkan dengan genotip yang
lainnya pada lokasi Jatimulyo. JPM 03 menunjukkan rerata umur silking tertinggi
pada lokasi Suru. Pada lokasi yang berbeda, JPM 05 dan JPM 06 tidak
menunjukkan beda nyata. JPM 02, JPM 03, JPM 04,dan Kumala pada lokasi Suru
menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan dengan lokasi Jatimulyo, dan JPM 01
memiliki nilai rerata umur silking tertinggi dibandingkan lokasi Suru, sehingga
pertumbuhan berdasarkan karakter umur silking terbaik berada pada lokasi Suru.
41

Tabel 13. Perbandingan Rerata Umur Panen pada Dua Lokasi


Genotip Uji Lokasi Uji
Jatimulyo, Malang Suru, Ponorogo
JPM 01 75 B 74 A
(a) (b)
JPM 02 75 B 74 A
(a) (b)
JPM 03 80 A 84 B
(c) (c)
JPM 04 77 B 74 A
(b) (b)
JPM 05 77 B 74 A
(b) (b)
JPM 06 77 B 74 A
(b) (b)
KUMALA 75 B 73 A
(a) (a)
CV (%) 5.73
BNJ 2.50

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf besar merupakan hasil uji lanjut
(BNJ 0.05) antar lokasi, sedangkan angka yang diikuti dengan huruf kecil
merupakan hasil uji lanjut (BNJ 0.05) tiap lokasi
Hasil uji lanjut dengan menggunakan BNJ 0.05 pada karakter lebar daun,
panjang malai, umur silking, dan umur panen menunjukkan nilai 2.50 dengan nilai
kofisien keragaman 5.07. Berdasarkan hasil (Tabel 13), JPM 03 menunjukkan
rerata umur panen tertinggi dibandingkan dengan genotip yang lainnya pada
lokasi Jatimulyo dan Suru. Pada lokasi yang berbeda, seluruh genotip uji kecuali
JPM 03, lokasi Jatimulyo memiliki nilai rerata umur panen lebih tinggi
dibandingkan dengan Suru.
4.2 Pembahasan

4.2.1 Keragaan Karakter Pertumbuhan Tanaman pada Dua Lokasi

Percobaan dilakukan pada dua lokasi dengan kriteria ketinggian yang


berbeda, lokasi desa Jatimulyo dengan klasifikasi ketinggian dataran rendah, dan
desa Suru dengan klasifikasi ketinggian sedang. Terdapat tujuh genotip uji pada
masing-masing lokasi (JPM 01 – JPM 06, dan Kumala). Terdapat Sembilan
variabel pengamatan pada karakter pertumbuhan tiap lokasi percobaan.

4.2.1.1 Tinggi Tanaman


42

Variabel tinggi tanaman pada lokasi desa JAtimulyo dan desa Suru,
genotip JPM 03 memiliki nilai keunggulan dengan memampilkan tinggi tanaman
tertinggi dibandingkan dengan genotip uji yang lain. Genotip uji JPM 03 memiliki
nilai rerata tinggi tanaman tertinggi pada wilayah Jatimulyo, sehingga JPM 03
lebih cocok ditanam pada daerah dengan kondisi agroekologi seperti di Jatimulyo.
JPM 0 menampilkan karakter terendah pada lokasi Suru, dan Kumla menampilkan
karakter tererendah pada lokasi Jatimulyo. Variabel tinggi tanaman pada kedua
lokasi uji tidak menunjukkan adanya kehomogenan data, sehingga variabel
tersebut tidak memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan. Genotip uji
tersebut dapat ditanam pada dua lokasi tersebut dikarenakan faktor lingkungan
dianggap tidak memiliki pengaruh. Lokasi Jatimulyo juga memiliki nilai rerata
tinggi tanaman tertinggi dari seluruh genotip uji. Tinggi tanaman pada kedua
lokasi uji sudah cukup ideal dan stabil, dikarenakan tanaman tidak mudah
mengalami kerebahan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan (Murdolelono et al.,
2001) bahwa penampilan suatu varietas jagung yang baik adalah tinggi tanaman
yang pendek (sesuai dengan deskripsi varietas masing-masing) dan tahan terhadap
rebah.

4.2.1.2 Diameter Batang.

Variabel diameter batang yang ditampilkan oleh ke-tujuh genotip uji pada
dua lokasi yang berbeda menunjukkan bahwa gentotip uji JPM 03 memiliki
keunggulan dengan rerata tertinggi merupakan genotip uji yang di tanam pada
lokasi Jatimulyo, sehingga genotip tersebut lebih cocok dibudidayakan pada lokasi
dengan agroekologi seperti Candipuro. JPM 05 memiliki nilai diameter batang
terendah pada lokasi Jatimulyo, dan JPM 06 memiliki nilai diameter terendah
pada lokasi Suru. Variabel diameter batang juga tidak menunjukkan adanya
kehomogenan data pada dua lokasi, sehingga tidak terdapat interaksi antara
genotip dan lingkungan. Sehingga seluruh genotip uji termasuk JPM 03 dapat
ditanam dengan baik pada kedua agroekologi tersebut dikarenakan tidak adanya
pengaruh lingkungan. Lokasi Jatimulyo juga memiliki nilai rerata diameter batang
tertinggi dari seluruh genotip uji. Diameter batang pada lokasi Jatimulyo memiliki
nilai kekuatan lebih besar dibandingkan dengan lokasi Suru. Hal tersebut
43

dikarenakan nilai diameter lebih tinggi, sehingga dapat menopa kehidupan yang
berada diatasnya seperti daun, silk, tassel, hingga tongkol jagung. Tanaman
jagung yang baik adalah tanaman yang memiliki diameter batang yang relative
besar serta memiliki letak tongkol yang ideal, yaitu berada pada tengah bagian
batang (Hamidah, 2011)

4.2.1.3 Tinggi Letak Tongkol

Variabel pengamatan tinggi letak tongkol memiliki kesamaan dengan


variabel tinggi tanaman dan diameter batang, dari kedua lokasi uji tidak terdapat
kehomogenan data, sehingga tidak terjadi interaksi antara genotip dan lingkungan.
Sehingga seluruh genotip uji dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada
agroekologi seperti kedua lokasi. Pengamatan variabel tinggi letak tongkol
menggunakan tujuh genotip uji yang menunjukkan bahwa JPM 03 memiliki nilai
rerata timggi letak tongkol tertinggi pada kedua lokasi dibandingkan dengan
genotip uji yang lain. Lokasi Jatimulyo memberikan tampilan tinggi letak tongkol
tertinggi pada varietas JPM 03 dibandingkan dengan lokasi Suru, sehingga
genotip tersebut lebih baik ditanam pada lokasi dengan agroekologi seperti pada
desa Jatimulyo. Kumala memiliki rerata terendah di wilayah Ponorogo dan JPM
05 memiliki nilai rerata terendah pada lokasi Jatimulyo. Namun secara
keseluruhan nilai rerata tinggi letak tongkol, desa Suru memiliki rerata tertinggi.
Data lapang menunjukkan rerata tinggi letak tongkol berada pada tengah batang
hingga bawah batang (kecuali JPM 03) sehingga tanaman lebih tahan terhadap
serangan cuaca seperti hujan badai. JPM 03 memiliki letak tongkol yang
mayoritas berada pada atas tengah batang, sehingga tanaman mudah roboh, namun
mudah terserbuk oleh polen secara alami, selain hal tersebut juga lebih sedikit
serangan dari OPT. hal tersebut sesuai dengan pernyataan (Hamidah, 2011),
bahwa pada tanaman jagung, posisi tongkol teraik berada pada tengah batang
dengan tujuan agar tanaman tidak mudah rebah. Sedangkan apabila letak tongkol
jagung berada diatas setengah tinggi batang, dapat mencegah terjadinya serangan
OPT.

4.2.1.4 Lebar Daun


44

Variabel pengamatan lebar daun melibatkan tujuh genotip dua lokasi uji
yang berdeda, dari ketujuh genotip uji tersebut, JPM 03 dan JPM 01 memiliki
nilai rerata lebar daun tertinggi masing-masing di lokasi Jatimulyo dan Suru, serta
Kumala memiliki nilai rerata lebar terendah di kedua lokasi uji. Namun lokasi
Suru memiliki rerata lebar daun genotip kumala tertinggi dibanding lokasi
Jatimulyo. Desa Jatimulyo juga memberikan tampilan rerata lebar daun tertinggi
dari seluruh genotip uji dibandingkan dengan lokasi Suru. Nilai rerata lebar daun
pada masing-masing lokasi menunjukkan adanya kehomogenan data serta
memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan, sehingga nilai lebar daun
berubah tergantung lokasi budidaya.

4.2.1.5 Panjang Daun

Variabel panjang daun tidak memiliki kehomogenan data pada kedua


lokasi uji, sehingga variabel tersebut tidak memiliki interaksi antara genotip dan
lingkungan. Sehingga seluruh varietas uji dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik pada agroekologi seperti lokasi pengamatan. JPM 03 memiliki rerata panjang
daun tertinggi di kedua lokasi, namun pada lokasi Suru nilai reratanya lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi Candipuro. JPM 05 memiliki rerata panjang terendah
di kedua lokasi, namun pada lokasi Suru nilai reratanya lebih tinggi dibandingkan
dengan lokasi Jatimulyo. Serta lokasi Suru memiliki nilai rerata terbesar pada
seluruh genotip uji, sehingga genotip uji lebih baik dibudidayakan pada lokasi
dengan agroekologi seperti desa Suru. Semakin tinggi nilai panjang, lebar, dan
jumlah daun, memungkinkan jumlah klorofil semakin banyak sehingga proses
fotosintesis berlangsung dengan cepat dan sempurna (Parolin, 2010). Pernyataan
tersebut menjelaskan bahwa JPM 03 dan JPM 01 memiliki panjang daun dan lebar
daun tertinggi daripada genotip uji yang lain, sehingga kemungkinan besar
genotip tersebut memiliki jumlah klorofil banyak, sehingga proses fotosintesis
dapat berjalan dengan cepat dan efektif yang dapat memengaruhi karakter hasil.

4.2.1.6 Jumlah Daun

Variabel pengamatan jumlah daun melibatkan tujuh genotip dua lokasi uji
yang berdeda, dari ketujuh genotip uji tersebut, JPM 03 memiliki nilai rerata lebar
45

daun tertinggi pada kedua lokasi uji, serta JPM 02 dan Kumala memiliki nilai
rerata jumlah daun terendah masing-masing pada lokasi Jatimulyo dan Suru.
Lokasi Jatimulyo juga memberikan tampilan rerata jumlah daun tertinggi dari
seluruh genotip uji dibandingkan dengan lokasi Suru. Nilai rerata panjang daun
pada masing-masing lokasi menunjukkan adanya kehomogenan data, namun tidak
memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan, sehingga jumlah daun pada tiap
genotip akan menunjukkan nilai yang sama pada setiap lokasi.

4.2.1.7 Panjang Malai

Variabel panjang malai memiliki nilai homogenitas pada kedua lokasi


serta memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan. Sehingga nilai panjang
malai bergantung sesuai dengan lokasi budidaya. JPM 03 dan JPM 01 memiliki
nilai rerata tertinggi masing-masing pada lokasi Jatimulyo dan Suru. Dan JPM 06
memiliki tampilan panjang malai terendah pada kedua lokasi uji, namun lokasi
Suru memiliki nilai rerata tertinggi dibandingkan dengan lokasi Jatimulyo. Lokasi
Suru juga menampilkan rerata panjang malai tertinggi pada seluruh genotip uji.
Malai merupakan organ jantan pada tanaman jagung yang berisi pollen. Semakin
dekat malai dengan tongkol jagung, maka tingkat keberhasilan persilangan secara
alami juga semakin tinggi (Hamidah, 2011).

4.2.1.8 Umur Silking

Variabel umur silking memiliki homogenitas pada kedua lokasi uji serta
memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan, sehingga nilai umur silking
berbeda dan tergantung pada lokasi pengamatan. JPM 03 dan Kumala memiliki
nilai umur silking masing-masing tertinggi dan terendah pada kedua lokasi uji.
Namun secara keseluruhan, desa Suru memiliki nilai rerata umur silking tertinggi
pada seluruh genotip uji. Umur silking yang semakin pendek maka dapat
menentukan umur panen yang semakin genjah (Wibowo, 2010). Dari pernyataan
tersebut, maka pada lokasi Jatimulyo memiliki umur panen yang lebih genjah
daripada lokasi Suru.

4.2.1.9 Anthesis Silking Interval


46

Variabel anthesis silking interval melibatkan ketujuh genotip pada dua


lokasi uji yang berbeda. Data analisis menunjukkan bahwa genotip JPM 03 dan
JPM 06 masing-masing memiliki nilai rerata anthesis silking interval tertinggi dan
terendah pada dua lokasi dibandingkan dengan genotip uji yang lain. Namun
secara keseluruhan, lokasi Suru memiliki nilai rerata tertinggi dari seluruh genotip
uji dibandingkan dengan lokasi Jatimulyo. Anthesiss silking interval pada dua
lokasi yang berbeda tidak menunjukkan terjadinya kehomogenan data, sehingga
tidak memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan. Besarnya nilai anthesis
silking interval tidak tergantung oleh lokasi budidaya.

4.2.1.10 Umur Panen

Variabel umur panen memiliki homogenitas pada kedua lokasi uji serta
memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan, sehingga nilai umur silking
berbeda dan tergantung pada lokasi pengamatan. JPM 03 merupakan genotip
dengan umur panen tertinggi pada dua lokasi uji, namun pada lokasi Jatimulyo
panen dilakukan lebih awal daripada lokasi Suru. Pemanenan dilakukan saat
jagung memiliki umur genjah, oleh karena itu pengamatan karakter hasil
dilakukan saat jagung berumur genjah. Menurut (Surtinah, 2008), hasil panen
semakin meningkat dan stabil sesuai dengan meningkatnya umur panen. Dari
pernyataan tersebut karakter hasil dapat dinyatakan kurang stabil sesuai dengan
deskripsi varietas dan calon varietas.

4.2.2 Analisis Interaksi Genotip dan Lingkungan pada Dua Lokasi

Interaksi antara genotip dan lingkungan sangat perlu untuk diketahui utuk
melihat karakter suatu varietas tanaman. Apabila terdapat interaksi tinggi antara
keduanya, maka varietas tersebut beradaptasi site specific, namun apabila nilai
interaksi antara genotip dan lingkungannya rendah bahkan tidak terjadi interaksi,
maka varietas tersebut dapat dikembangkan sebagai varietas yang beradaptasi luas
(Syukur et al., 2015). Hasil analisis ragam gabungan yang dilakukan untuk
menganalisis interaksi genotip dan lingkungan, menunjukkan adanya interaksi
nyata pada empat variabel pengamatan, diantaranya lebar daun, panjang malai,
umur silking, dan umur panen. Sehingga keempat variabel tersebut dapat
47

memberikan dampak terhadap penampilan fisik tanaman maupun karakter hasil


yang disesuaikan dengan lingkungan budidaya. Hal tersebut terjadi dikarenakan
lingkungan ikut andil dalam peran pertumbuhan pada suatu tanaman. Pernyataan
tersebut sesuai dengan (Kuswanto et al., 2006), bahwa apabila terdapat interaksi
antara genotip dan lingkungan (bernilai nyata) maka pada tiap-tiap genotip
memberikan tampilan yang berbeda sesuai dengan lokasi budidayanya.

Serluruh genotip uji yang telah dilaksanakan pada dua lokasi yang
berbeda, JPM 03 dapat memberikan fenotip atau tampilan yang lebih unggul pada
variabel pengamatan yang memiliki interaksi antara genotip dan lingkungan. Hal
tersebut berarti bahwa genotip tersebut memiliki kemungkinan bahwa genotip
tersebut memiliki sifat stabil dan adaptif pada semua lokasi uji. Dalam
membuktikan kebenarannya, harus dilakukan pengujian lanjut seperti uji BUSS
untuk mengetahui sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kesetabilan sifat
yang dijadikan syarat dalam pembentukan varietas baru sebagai hak perlindungan
varietas (PVT).

Berdasarkan hasil analisis ragam gabungan seluruh variabel pada dua


lokasi yang berbeda, terdapat interaksi antara keduanya pada karakter lebar daun,
panjang malai, umur silking, dan umur panen yang dapat diartikan adanya
perbedaan respon dalam dua lokasi percobaan tersebut. Hasil penelitian yang telah
dilakukan ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hemarredy
(2016) bahwasanya telah ditemukan interaksi antara genotip dan lingkungan pada
karakter pertumbuhan tanaman jagung. (Makumbi et al., 2015) menyebutkan
bahwa apabila terdapat perbedaan budidaya tanaman dalam segi lokasi (perbedaan
agroekologi) maka menghadirkan adanya interaksi antara genotip dan lingkungan.
Keberadaan interaksi tersebut menunjukkan adanya korelasi yang lemah antara
faktor genotip tanaman dan lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh (Cucolotto et al., 2007) mengatakan bahwa


adanya perbedaan respon yang ditampilkan oleh setiap genotip menunjukkan
adanya GxE terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, serta
memberikan dampak penampilan yang tidak stabil pada berbagai lingkungan. Hal
tersebut terbukti dalam bebegara genotip uji yang telah dilakukan pengujian pada
48

lokasi yang berbeda, bahwasanya terdapat perbedaan rerata tiap variabel


pengujian, penampilan tanaman yang dihasilkan dari kedua lokasi juga
menunjukkan perbedaan, dan berbagai fenotip lainnya yang berbeda akibat
adanya faktor lingkungan.

Interaksi genotip dan lingkungan ini dapat digunakan untuk mengetahui


respon genotip atas dasar lingkungan yang berbeda, serta dapat digunakan untuk
menentukan genotip yang tumbuh baik dan adaptif pada lingkungan tertentu.
Galur yang dikembangkan untuk menjadi varietas unggul penting untuk dilakukan
seleksi secara simultan pada beberapa lokasi dengan tujuan untuk mengetahui
tanaman tersebut bersifat site specific atau bersifat beradaptasi luas, baik dalam
karakter pertumbuhan maupun karakter hasil.
49

5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2020


dengan menggunakan tujuh genotip uji (JPM 01 – 06, Kumala) dan dua lokasi
yang berbeda (Jatimulyo, Malang dan Soko, Ponorogo) dapat disimpulkan bahwa
terdapat interaksi antara genotip dan lingkungan (p < 0.05) pada empat variabel
pengamatan, diantaranya lebar daun, panjang malai, umur silking, dan umur
panen. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya perbedaan yang signifikan pada nilai
kuadrat tengah pada kedua lokasi penelitian.

Genotip uji JPM 03 memiliki keunggulan dari beberapa variabel


pengamatan yang diuji pada dua lokasi yang berbeda, hal tersebut menjadi
pertanda bahwa genotip JPM 03 dapat dikembangkan menjadi varietas baru yang
memiliki sifat hybrid vigor. Tujuan utama pembuatan varietas adalah
meningkatkan hasil panen, sehingga dapat meningkatkan taraf ekonomi para
petani di Indonesia.
5.2 Saran

Kegiatan budidaya dapat dilakukan pada musim yang sesuai, dengan


tujuan untuk menghindari busuk pada pangkal batang akibat tingginya curah
hujan yang dapat menimbulkan kerobohan pada tanaman budidaya.

Kegiatan budidaya dilakukan pada musim yang berbeda (untuk penelitian


selanjutnya), terkhusus pada genotip JPM 03, sehingga dapat mengetahui
kemampuan tanaman dalam beradaptasi dalam multimusim. Hasil penelitian
tersebut dapat dijadikan suatu langkah untuk pembuatan PVT sebagai salah satu
syarat dilakukannya pelepasan varietas tanaman.
50

DAFTAR PUSTAKA

Adie, M. M., Krisnawati, A., & Wahyu A.S., G. (2014). Assessment of Genotype
× Environment Interactions for Black Soybean Yield using Ammi and GGE
Biplot. International Journal of Agriculture Innovations and Research, 2(5),
2319–1473.

AGOTR. (2008). The Biology of Zea mays L. ssp mays (Maize or Corn). The
Biology of Zea Mays L. Ssp Mays (Maize or Corn), September, 81.

Agustian, A. (2014). Analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi pada


usaha tani jagung di kabupaten garut, provinsi jawa barat. Panel Petani
Nasional: Mobilisasi Sumber Daya Dan Penguatan Kelembagaan Pertanian,
2007, 191–205.

Azrai, M. (2017). Penampilan Varietas Jagung Unggul Baru Bermutu Protein


Tinggi di Jawa dan Bali. Buletin Plasma Nutfah, 10(2), 49.
https://doi.org/10.21082/blpn.v10n2.2004.p49-55

Baihaki, A., & Wicaksana, N. (2005). Interaksi Genotip X Lingkungan,


Adaptabilitas, Dan Stabilitas Hasil,Dalam Pengembangan Tanaman Varietas
Unggul Di Indonesia. Zuriat (Jurnal Pemuliaan Indonesia), 16(1)(0853–
0808), 1–8.

Baye, T. M., Abebe, T., & Wilke, R. A. (2011). Genotype-environment


interactions and their translational implications. Personalized Medicine, 8(1),
59–70. https://doi.org/10.2217/pme.10.75

Belfield, S., & Brown, C. (2008). Field Crop Manual : Maize A Guide to Upland
Production in Cambodia. Scientist. https://doi.org/978 0 7347 1882 2

Binti, G., & Samdas, N. (2013). Variasi Genetik Jagung ( Zea mays L .)
Berdasarkan Karakter Fenotipik Tongkol Jagung yang Dibudidaya di Desa
Jono Oge. 1, 33–41.

BPS. (2020). Pengamatan Unsur Iklim di Stasiun Pengamatan Badan Meteorologi


Klimatologi dan Geofisika 2019. In Badan Pusat Statistik Jawa Timur (p. 1).

Cucolotto, M., Pípolo, V. C., Garbuglio, D. D., Fonseca, N. D. S., Destro, D., &
Kamikoga, M. K. (2007). Genotype x environment interaction in soybean:
Evaluation through three methodologies. Crop Breeding and Applied
Biotechnology, 7(3), 270–277. https://doi.org/10.12702/1984-
7033.v07n03a06

Efendi, R. (2013). Manual Cara Pengamatan Tanaman Jagung Balai Penelitian


Tanaman Serealia. 274, 1–13.

Fan, L., Bao, J., Wang, Y., Yao, J., Gui, Y., Hu, W., Zhu, J., Zeng, M., Li, Y., &
Xu, Y. (2009). Post-domestication selection in the maize starch pathway.
51

PLoS ONE, 4(10). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0007612

Fiddin, F. N., Yulianah, I., & Sugiharto, N. (2018). Keragaan Beberapa Galur
Jagung Ketan ( Zea Mays L . Ceratina K .) Pada Generasi Keempat ( S 4 )
Performace Of Several Lines Of Waxy Corn ( Zea Mays L . Ceratina K .) In
4 Th Generation ( S 4 ). 6(2), 178–187.

Gliessman, S. R. (2014). No TitleAgroecology: The Ecology of Sustainable Food


Systems, Third Edition (3rd Editio). CRC Press.
https://books.google.co.id/books?id=AVi3BgAAQBAJ&dq=Agroecology.
+The+Ecology+of+Sustainable+Food+System&lr=&hl=id&source=gbs_nav
links_s

Hamidah, D. N. (2011). Peranan Karakter Komponen Produksi Terhadap


Produksi Jagung Dalam Upaya Memperoleh Karakter Penyeleksi. In Journal
Of Controlled Release (Vol. 156). Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Jember.

Hanief, Y. N. (2017). Statistik Pendidikan. In Statistik Pendidikan Indonesia


2019/2020 (Issue February).

Haris, K., & Kuruseng, M. A. (2008). Pertumbuhan dan Produksi Berbagai


Varietas Tanaman Jagung Dua Dosis Pupuk Urea. Jurnal Agrisistem Juni
2008, 4(ISSN-1858-4330).

Hochholdinger, F., Woll, K., Sauer, M., & Dembinsky, D. (2004). Genetik
dissection of root formation in maize (Zea mays) reveals root-type specific
developmental programmes. Annals of Botany, 93(4), 359–368.
https://doi.org/10.1093/aob/mch056

Indrawan, M., Primack, R. B., & Supriatna, J. (2012). Biologi Konservasi: Edisi
Revisi. https://books.google.co.id/books?
id=FYfkdv4VGQgC&dq=variasi+genetik+terhadap+lingkungan&hl=id&sou
rce=gbs_navlinks_s

Iriany, N. R., Yasin, M. H. G., & Takdir, a. M. (2009). Asal, Sejarah, Evolusi,
dan Taksonomi Tanaman Jagung. Jagung: Teknik Produksi Dan
Pengembangan, 1–15.

Kuswanto, Basuki, N., & Rejeki, E. S. (2006). UJI ADAPTASI KACANG


PANJANG (Vigna sesquipedalis L. Fruwirth) GALUR UNIBRAW. Habitat,
XVII (2)(2), 103–117.

Kwanchai, A., & Gomez, A. (1995). Prosedur statistik untuk penelitian pertanian.
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Leblanc, D. C. (2004). Statistics: Concepts and Applications for Sciences.

Makumbi, D., Diallo, A., Kanampiu, F., Mugo, S., & Karaya, H. (2015).
Agronomic performance and genotype × environment interaction of
52

herbicide-resistant maize varieties in Eastern Africa. Crop Science, 55(2),


540–555. https://doi.org/10.2135/cropsci2014.08.0593

Mejaya, M. J., Azrai, M., & Iriany, R. N. (2010). Pembentukan Varietas Unggul
Jagung Bersari Bebas. c, 55–73.

Muhadjir, F. (2018). Karakteristik Tanaman Jagung. Karakteristik Tanaman


Jagung, 13.

Muhammad, A. T., Sunarti, S., & Mejaya, M. J. (2009). Pembentukan Varietas


Jagung Hibrida. M. Takdir, Andi Sunarti, Sri and Mejaya, Made J., 74–95.

Murdolelono, B., Silva, H. da, Bora, C. Y., & Azrai, M. (2001). Uji
Galur/Varietas Jagung Hibrida Umur Genjah Di Nusa Tenggara Timur. 1–8.

Parolin, P. (2010). Morphology and Anatomy of Leaves. Amazonian Floodplain


Forests, 210(January 2010), 179–202. https://doi.org/10.1007/978-90-481-
8725-6

Plessis, J. du. (2003). Maize production. https://doi.org/10.1787/8cb9bd05-en

Ransom, J. (2020). Corn Growth and Management Quick Guide. Cereal Crops,
NDSU Extension; Gregory Endres, Extension Cropping Systems Specialist,
NDSU Carrington Research Extension Center.
https://www.ag.ndsu.edu/publications/crops/corn-growth-and-management-
quick-guide

Rouf, A. A., Zubair, A., Walangadi, D., & Yusuf, M. (2010). Pengkajian
Pemurnian Benih Jagung Pulut di Provinsi Gorontalo. 978–979.

Sahara, M. (2014). Kajian Kemiringan Lereng dan Curah Hujan Terhadap Tingkat
Kerawanan Longsor dia Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas.
Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Geografi.

Sari, L. W., Nugrahaeni, N., Kuswanto, & Basuki, N. (2013). Interaksi Genotipe
X Lingkungan Galur-Galur Harapan Kedelai ( Glycine max L. ) Genotype X
Environment Interaction Of Expected Lines Soybean ( Glycine max ( L )).
1(5), 434–441.

Suarni, Aqil, M., & Subagio, H. (2019). Potensi Pengembangan Jagung Pulut
Mendukung Diversifikasi Pangan / Potency of Waxy Corn Development to
Support Food Diversification. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian, 38(1), 1. https://doi.org/10.21082/jp3.v38n1.2019.p1-12

Suarni, & Subagio, H. (2013). Potensi Pengembangan Jagung Dan Sorgum


Sebagai Sumber Pangan Fungsional. Potensi Pengembangan Jagung Dan
Sorgum Sebagai Sumber Pangan Fungsional, 32(2), 47–55.
https://doi.org/10.21082/jp3.v32n2.2013.p47-55

Sudarmadji, Mardjono, R., & Sudarmo, H. (2007). Variasi Genetik , Heritabilitas ,


53

Dan Korelasi Genotipik Sifat-Sifat. 13(3), 88–92.


https://doi.org/10.1348/014466501163454

Sugiharto, A. N., Basuki, N., Aini, L. Q., Aini, N., Soegianto, A., Nugroho, A.,
Sumarni, T., & Kendarini, N. (2012). Riset Pengembangan Industri
Unggulan Universitas Berbasis Benih Yang Adaptable, Adoptable Dan
Marketable. Ketahanan Pangan.

Sugiharto, A. N., Nugraha, A. A., Waluyo, B., & Ardiarini, N. R. (2018).


Assessment of combining ability and performance in corn For yield and yield
components. Bioscience Research, 15(2), 367–374. Corn, Combining
Ability, Diallel, Heterosis, Inbred Lines

Sukarman, & Suharta, N. (2010). Kebutuhan Lahan Kering untuk Kecukupan


Produksi Bahan Pangan Periode 2010–2050. Analisis Sumberdaya Lahan
Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan, October 2009.

Surtinah. (2008). Waktu Panen Yang Tepat Menentukan Kandungan Gula Biji
Jagung Manis ( Zea mays saccharata ). Jurnal Ilmiah Pertanian, 4, 5–7.

Syukur, M., Sujiprihati, S., & Yunianti, R. (2015). Teknik Pemuliaan Tanaman
(Edisi Revisi). Jakarta: Penebar Swadaya.

Tengah, J., Tumbelaka, S., & Toding, M. M. (2017). Pertumbuhan Dan Produksi
Jagung Pulut Lokal (Zea mays ceratina Kulesh) Pada Beberapa Dosis Pupuk
NPK. Cocos, 1(1).

Tian, M., Tan, G., Liu, Y., Rong, T., & Huang, Y. (2009). Origin and evolution of
Chinese waxy maize: evidence from the Globulin-1 gene.
https://link.springer.com/article/10.1007/s10722-008-9360-8

Wibowo, P. (2010). Pertumbuhan Dan Produktivitas Galur Harapan Padi ( Oryza


Sativa L .) Hibrida Di Desa Ketaon Kecamatan Banyudono. Pertumbuhan
Dan Produktivitas Galur Harapan Padi (Oryza Sativa L.) Hibrida Di Desa
Ketaon Kecamatan Banyudono Boyolali.

Yan, W., & Tinker, N. A. (2006). Biplot analysis of multi-environment trial data:
Principles and applications. Canadian Journal of Plant Science, 86(3), 623–
645. https://doi.org/10.4141/P05-169

Yusran, & Maemunah. (2011). Karakterisasi Morfologi Varietas Jagung Ketan Di


Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Tojo Una-Una Morphology
Characterization of Waxy mays Varieties in Ampana Kota Sub District of
Tojo Una-una Regency. 18(April), 36–42.

Zheng, H., Wang, H., Yang, H., Wu, J., Shi, B., Cai, R., Xu, Y., Wu, A., & Luo,
L. (2013). Genetik Diversity and Molecular Evolution of Chinese Waxy
Maize Germplasm. PLoS ONE, 8(6), 19–22.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0066606
54
55

Sukarman dan N. Suharta.


2010. Kebutuhan lahan
kering untuk kecukupan
produksi
pangan tahun 2010 - 2050.
Dalam Analisis Sumberdaya
Lahan Menuju Ketahanan
Pangan Berkelanjutan. Badan
Penelitian dan
Pengembangan Pertanian,
Kementerian
Pertanian. Hal 111 - 124.
Sukarman dan N. Suharta.
2010. Kebutuhan lahan
56

kering untuk kecukupan


produksi
pangan tahun 2010 - 2050.
Dalam Analisis Sumberdaya
Lahan Menuju Ketahanan
Pangan Berkelanjutan. Badan
Penelitian dan
Pengembangan Pertanian,
Kementerian
Pertanian. Hal 111 - 124.df
57

LAMPIRAN

Lampiran 1. Denah Petak Penelitian


58

Lampiran 2. Deskripsi Varietas

DESKRIPSI JAGUNG MANIS VARIETAS KUMALA

Asal : East West Seed Thailand

Silsilah : GLT 2589 F x GLT 2576 M

Golongan varietas : hibrida silang tunggal

Umur mulai berbunga : 43 – 45 hari setelah tanam

Umur panen : 62 – 67 hari setelah tanam

Bentuk tanaman : tegak

Tinggi tanaman : 220 – 250 cm

Kekuatan perakaran : kuat

Ketahanan thd kerebahan : tahan

Bentuk batang : silindris

Bentuk batang : bulat

Diameter batang : 1,9 – 2,2 cm

Warna batang : hijau

Bentuk daun : pita

Ukuran daun : panjang 85 – 94 cm, lebar 8,0 – 9,3 cm

Tepi daun : rata

Bentuk ujung daun : runcing

Warna daun : hijau tua

Permukaan daun : kasap

Bentuk malai : terbuka

Warna malai : putih bening

Warna rambut : hijau muda

Ruas pembuahan : 5 – 6 ruas


59

Warna kulit/kelobot : hijau

Penutupan kulit/kelobot : menutup dengan baik

Bentuk tongkol : silindris

Ukuran tongkol : panjang 17,0 – 19,0 cm, diameter 4,2 – 4,6 cm

Berat per tongkol : 240 – 270 g

Jumlah tongkol per tanaman : 1 – 2 tongkol

Baris biji : lurus dan rapat

Jumlah baris biji : 11 – 12 baris

Warna biji : putih

Tekstur biji : halus

Rasa biji : manis

Kadar gula : 12, 0 – 15,5 o brix

Kepulenan biji : pulen

Berat 1.000 biji : 150 – 159 g

Hasil : 12,5 – 15,0 ton/ha

Daya simpan pada suhu kamar : 5 – 7 hari setelah panen

Ketahanan terhadap penyakit : agak tahan terhadap penyakit Downey mildew

Keterangan : beradaptasi dengan baik di dataran rendah dengan altitude 20 – 50 m


dpl pada musim kemarau dan peralihan
60

Lampiran 3. Perhitungan Kebutuhan Pupuk

1. Jarak Tanam = 0.7 x 0.35 meter

10.000 m ²
2. Populasi per Hektar = =40.816 tanaman
0.7 m x 0.35 m

3. Luas Petar Penelitian = 5m × 4m = 20 m²

4mx 5m
4. Populasi tanam per petak = =80tanaman
0.7 m x 0.35 m

5. Pemupukan 1

a. SP-36

1. Dosis Anjuran = 200 Kg/Ha

200 Kg
2. Dosis Pertanaman = =4.9 gram/tanaman
40.816 tan

b. KCl

1. Dosis Anjuran = 50 Kg/Ha

50 Kg
2. Dosis Pertanaman = =1.2 gram/tanaman
40.816 tan

6. Pemupukan 2

a. NPK

1. Dosis Anjuran = 250 Kg/Ha

250 Kg
2. Dosis Pertanaman = =6.1 gram/tanaman
40.816 tan

b. Urea

1. Dosis Anjuran = 300 Kg/Ha


61

300 Kg
2. Dosis Pertanaman = =7.3 gram/tanaman
40.816 tan

7. Pemupukan 3

Urea

1. Dosis Anjuran = 300 Kg/ Ha

300 Kg
2. Dosis Pertanaman = =7.3 gram/tanaman
40.816 tan
62

Lampiran 4. Dokumentasi Lapang


No Dokumentasi Keterangan
1. Lokasi
Pengamatan
Jatimulyo,
Kota Malang

2. JPM 01
JPM 02
JPM 03
JPM 04
JPM 05
JPM 06
KUMALA

Lokasi
Jatimulyo Kota
Malang.

3. Lokasi
Pengamatan
Suru, Kabupaten
Ponorogo

4.
63

Lampiran 5. Analisis Ragam

1. Analisis Ragam Lokasi Jatimulyo, Kota Malang


1.1 Tinggi Tanaman

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

3.02268
Blocks 82.16 2 41.08 7

29527.7 4921.29 362.111 7.62E-


p 6 6 4 3 13

Residua 163.086 13.5905


l 7 12 6

29773.0 1488.65
Total 1 20 1    
1.2 Diameter Batang

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.0641 0.0320 1.0003


Blocks 98 2 99 39

1.7882 0.2980 9.2882 0.0006


p 41 6 4 08 23

Residua 0.3850 0.0320


l 56 12 88

2.2374 0.1118
Total 95 20 75    
1.3 Tinggi Letak Tongkol

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

1.24571 0.62285 0.06972


Blocks 4 2 7 7

5042.81 564.524 5.39E-


p 30256.9 6 7 5 14

Residua 107.194 8.93285


l 3 12 7
64

30365.3 1518.26
Total 4 20 7    
1.4 Lebar Daun

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.00715 0.00357 0.02708


Blocks 2 2 6 1

50.1342 8.35571 63.2749 2.2E-


p 7 6 1 7 08

Residua 1.58464 0.13205


l 8 12 4

51.7260 2.58630
Total 7 20 3    
1.5 Panjang Daun

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.73441
Blocks 5.46 2 2.73 9

2392.96 398.827 107.291 1.02E-


p 5 6 5 8 09

Residua 44.6066 3.71722


l 7 12 2

2443.03 122.151
Total 1 20 6    

1.6 Jumlah Daun

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.2314
Blocks 0.18 2 0.09 29
65

24.004 4.0007 10.287 0.0003


p 76 6 94 76 86

Residua 4.6666 0.3888


l 67 12 89

28.851 1.4425
Total 43 20 71    
1.7 Panjang Malai

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

7.80666 3.90333 1.12885


Blocks 7 2 3 6

286.469 47.7449 13.8079 9.13E-


p 5 6 2 8 05

Residua 41.4933 3.45777


l 3 12 8

335.769 16.7884
Total 5 20 8    
1.8 Umur Silking

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.97190 2.18016
Blocks 1.94381 2 5 7

499.236 83.2060 3.9E-


P 2 6 3 186.647 11

Residua 5.34952 0.44579


l 4 12 4

506.529 25.3264
Total 5 20 8    
1.9 Anthesis Silking Interval

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.19190 1.49259
Blocks 0.38381 2 5 3
66

11.3257 1.88761 14.6814 6.7E-


P 1 6 9 8 05

Residua 1.54285 0.12857


l 7 12 1

13.2523 0.66261
Total 8 20 9    
1.10Umur Panen

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

Blocks 0 2 0 0

52.285 8.7142 2.52E+ 6.92E-


perl 71 6 86 13 78

Residua 4.14E- 3.45E-


l 12 12 13

52.285 2.6142
Total 71 20 86    
2. Analisis Ragam Lokasi Suru, Kabupaten Ponorogo
2.1 Tinggi Tanaman

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.66650
Blocks 83.9544 2 41.9772 4

31154.9 5192.49 4.74E-


p 9 6 9 82.4453 09

Residua 755.773 62.9811


l 6 12 3

31994.7 1599.73
Total 2 20 6    

2.2 Tinggi Letak Tongkol

EFFEC
T SS DF MS F ProbF
67

3.39220
Blocks 0.02724 2 0.01362 4

1.23270 0.20545 51.1696 7.43E-


p 8 6 1 1 08

Residua 0.04818 0.00401


l 1 12 5

1.30812 0.06540
Total 9 20 6    
2.3 Tinggi Letak Tongkol

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

81.5282 40.7641 1.37008


Blocks 7 2 3 8

19749.0 110.628 8.51E-


p 6 6 3291.51 1 10

Residua 357.035 29.7529


l 1 12 2

20187.6 1009.38
Total 2 20 1    
2.4 Lebar Daun

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

1.92482 0.96241 4.54760


Blocks 9 2 4 6

4.29011 0.71501 3.37861 0.0345


p 4 6 9 3 1

Residua 2.53957 0.21163


l 1 12 1

8.75451 0.43772
Total 4 20 6    
2.5 Panjang Daun

EFFEC
T SS DF MS F ProbF
68

15.7687 7.88437 0.73247


Blocks 5 2 6 7

1968.66 328.110 30.4822 1.37E-


p 4 6 6 6 06

Residua 129.167 10.7639


l 8 12 9

Total 2113.6 20 105.68    


2.6 Jumlah Daun

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

0.3495 0.1747 0.5581


Blocks 24 2 62 75

17.271 2.8785 9.1939 0.0006


p 43 6 71 16 54

Residua 3.7571 0.3130


l 43 12 95

21.378 1.0689
Total 1 20 05    
2.7 Panjang Malai

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

12.6792 6.33960 2.56642


Blocks 1 2 5 3

503.504 83.9173 33.9717 7.5E-


p 2 6 7 5 07

Residua 29.6425
l 2 12 2.47021

545.825
Total 9 20 27.2913    

2.8 Umur Silking

EFFEC SS DF MS F ProbF
69

2.40666 1.20333 2.04339


Blocks 7 2 3 6

339.804 56.6341 96.1711 1.93E-


p 8 6 3 6 09

Residua 7.06666 0.58888


l 7 12 9

349.278
Total 1 20 17.4639    
2.9 Anthesis Silking Interval

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

1.2295 0.6147 1.3485


Blocks 24 2 62 38

8.6266 1.4377 0.0428


p 67 6 78 3.1539 07

Residua 5.4704 0.4558


l 76 12 73

15.326 0.7663
Total 67 20 33    
2.10Umur Panen

EFFEC
T SS DF MS F ProbF

Blocks 0 2 0 0

268.28 44.714 1.29E+ 3.83E-


p 57 6 29 14 82

Residua 4.15E- 3.46E-


l 12 12 13

268.28 13.414
Total 57 20 29    
70

Lampiran 6. Analisis Ragam Gabungan


1. Tinggi Tanaman

EFFECT SS DF MS F ProbF

329.44 329.44 8.6049


lokasi 8 1 8 56

ulangan(loka 166.11 41.528


si) 44 4 6

60307. 10051. 262.53 1.16E-


genotip 55 6 26 2 20

genotip x 375.20 62.533 1.6333 0.1812


lokasi 17 6 61 35 85

918.86 38.285
Residual 03 24 84

62097. 1514.5
Total 18 41 65

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


2. Diameter Batang

EFFECT SS DF MS F ProbF

24.107 24.107 1336.5


lokasi 44 1 44 91

ulangan(loka 0.0921 0.0230


si) 9 4 48

2.7147 0.4524 25.085 3.17E-


genotip 57 6 6 76 09

genotip x 0.3079 0.0513 2.8460 0.0308


lokasi 95 6 33 35 17

0.4328 0.0180
Residual 76 24 37

27.655 0.6745
Total 26 41 18

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


3. Tinggi Letak Tongkol
71

Prob
EFFECT SS DF MS F F

2489.8 2489.8 128.72


lokasi 72 1 72 26

ulangan(loka 82.769 20.692


si) 61 4 4

47189. 7864.9 406.60 6.53E


genotip 99 6 98 84 -23

genotip x 2814.6 469.10 24.252 4.46E


lokasi 54 6 91 22 -09

464.23 19.342
Residual 04 24 93

53041. 1293.6
Total 52 41 96

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


4. Lebar Daun

Prob
EFFECT SS DF MS F F

0.1100 0.1100 0.6404


lokasi 6 1 6 68

ulangan(loka 1.9319 0.4829


si) 81 4 95

39.715 6.6193 38.519 3.65E


genotip 82 6 04 61 -11

genotip x 14.708 2.4514 14.265 7.05E


lokasi 56 6 26 54 -07

4.1242 0.1718
Residual 19 24 42

60.590 1.4778
Total 64 41 2

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


5. Panjang Daun
72

Prob
EFFECT SS DF MS F F

342.62 342.62 48.473


lokasi 86 1 86 6

ulangan(loka 20.520 5.1301


si) 75 4 88

3526.0 587.67 83.141 7.3E-


genotip 32 6 21 28 15

genotip x 851.79 141.96 20.084 2.87E


lokasi 26 6 54 65 -08

169.64 7.0683
Residual 05 24 55

4910.6 119.77
Total 15 41 11

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


6. Jumlah Daun

EFFECT SS DF MS F ProbF

0.6438 0.6438
lokasi 1 1 1 1.83

ulangan(loka 0.5295 0.1323


si) 24 4 81

6.2266 17.740 9.44E-


genotip 37.36 6 67 19 08

genotip x 3.9161 0.6526 1.8595 0.1296


lokasi 9 6 98 82 87

8.4238 0.3509
Residual 1 24 92

50.873 1.2408
Total 33 41 13

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


7. Panjang Malai

EFFECT SS DF MS F Prob
73

615.09 615.09 207.52


lokasi 84 1 84 35

ulangan(loka 20.485 5.1214


si) 88 4 69

307.91 51.319 17.314 1.19E


genotip 97 6 94 46 -07

genotip x 482.05 80.342 27.106 1.45E


lokasi 4 6 34 11 -09

71.135 2.9639
Residual 86 24 94

1496.6 36.504
Total 94 41 73

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


8. Umur Silking

Prob
EFFECT SS DF MS F F

5.8688 5.8688 11.344


lokasi 1 1 1 17

ulangan(loka 4.3504 1.0876


si) 76 4 19

784.20 130.70 252.63 1.82E


genotip 14 6 02 83 -20

genotip x 54.839 9.1399 17.667 9.82E


lokasi 52 6 21 1 -08

12.416 0.5173
Residual 19 24 41

861.67 21.016
Total 64 41 5

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


9. Anthesis Silking Interval

EFFECT SS DF MS F ProbF
74

1.3752 1.3752 4.6555


lokasi 38 1 38 62

ulangan(loka 1.6038 0.4009


si) 1 4 52

21.836 3.6394 12.320 2.56E-


genotip 67 6 44 53 06

genotip x 0.6680 0.1113 0.3769 0.8864


lokasi 95 6 49 48 03

7.0895 0.2953
Residual 24 24 97

32.573 0.7944
Total 33 41 72

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    


10. Umur Panen

Prob
EFFECT SS DF MS F F

17.357 17.357 9.16E+


lokasi 14 1 14 13

ulangan(loka
si) 0 4 0

271.28 45.214 2.39E+ 4.5E-


genotip 57 6 29 14 164

genotip x 56.142 9.3571 4.94E+ 7.3E-


lokasi 86 6 43 13 156

4.55E- 1.89E-
Residual 12 24 13

344.78 8.4094
Total 57 41 08

YEARS/LOCATIONS: fixed effect    

Marı
75

´a Victoria Alarco
´n, Pedro G. Lloret, and Julio
nhjhjsbjbsjfw

Anda mungkin juga menyukai