Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH HAMA DAN PENYAKIT PENTING TANAMAN

Keragaman Arthropoda dan Hama


Pada Tanaman Kedelai

Oleh : Kelompok 7
Erni Kasanah 165040200111006
Damai Krissara 165040200111179
Adam Brahmantyo Y 165040201111076
Maratus Sholihatul A 165040207111053

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang
mempunyai peran dan sumbangan besar bagi penduduk dunia, salah satunya
Indonesia. Di Indonesia, tanaman kedelai merupakan salah satu komoditas
tanaman pangan yangpenting setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai dari
tahun ke tahun semakin meningkat karena banyaknya produk makanan yang
berbahan kedelai, seperti tempe, kecap, tauco, dan susu kedelai. Kebutuhan
rata-rata kedelai di Indonesia mencapai 2 juta ton per tahun, namun kebutuhan
tersebut tidak sejalan dengan produksi dalam negeri yang hanya 0,8 juta ton per
tahun. Oleh karena itu, Indonesia harus mengimpor kedelai dari negara lain agar
dapat mencukupi kebutuhan tersebut (Fatahuddin dan Bumbungan, 2011).
Rendahnya produktivitas kedelai di Indonesia salah satunya disebabkan
karena tingginya intensitas serangan hama pada tanaman kedelai. Pengendalian
hama ini biasanya dilakukan secara kimiawi oleh petani dengan menyemprotkan
berbagai jenis insektisida. Penggunaan insektisida disamping untuk mengontrol
hama dan penyakit pada tanaman, juga berdampak negatif berupa adanya
residu pestisida. Pestisida yang sering digunakan di Indonesia adalah golongan
organoklorin yang merupakan racun kronis dan sangat berbahaya bagi
lingkungan (Ohorella et al, 2013). Residu pestisida bukan hanya dari bahan,
namun juga berasal dari penyerapan akar dari dalam tanah. Selain itu,
penggunaan insektisida yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif,
baik terhadap pendapatan petani maupun lingkungan, seperti musnahnya musuh
alami dan serangga lain, serta munculnya gejala resistensi hama terhadap
insektisida juga dapat mengurangi kualitas tanaman (Sakung, 2004).
Dengan mempertimbangkan dampak negatif residu insektisida dan tingginya
intensitas penggunaan insektisida pada tanaman kedelai, maka diperlukan
adanya strategi pengendalian hama yang tepat sebelum menggunakan
insektisida sebagai alternatif terakhir.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya pengamatan hama pada tanaman kedelai
antara lain yaitu sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi berbagai hama dan hewan lain yang terdapat pada tanaman
kedelai.
2. Menganalisis penyebab timbulnya hama bagi tanaman kedelai.
3. Menentukan stategi pengendalian yang tepat terhadap hama tanaman
kedelai.

1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari pengamatan dan pembuatan laporan ini di
antaranya yaitu:
1. Menambah pengetahuan mengenai hama dan hewan lain yang terdapat
pada tanaman kedelai.
2. Mampu menentukan strategi pengendalian hama yang tepat bagi tanaman
kedelai.
BAB 2
Hasil Pengamatan Lapang

2.1 Lokasi, Waktu dan Kondisi Lahan


Pengamatan lapang yang telah dilakukan berletak di UPT Pengembangan
Palawija Jl Raya Malang – Surabaya No 120, Randuagung, Singosari, Malang,
Jawa Timur 65153. Lokasi ini terletak pada 7o52’06.6”LS dan 112o40’53.6”LT,
serta pengamatan dilaksanakan pada hari Sabtu, 7 Oktober 2017. Data
pengamatan didapatkan dari dua metode, wawancara dengan petani serta terjun
ka lahan kedelai secara langsung. Sejarah lahan, pada tahun 1970, digunakan
sebagai perkebunan hortikultura terutama buah – buahan. Terdapat banyak
varietas tanaman buah yang ditanam seperti jeruk, jambu dan lain – lain. Karena
dianggap kurang menguntungkan, dimana permintaan pasar serta petani buah
cukup besar, persaingan ekonomi juga akan semakin tinggi, akibatnya
penghasilan yang didapatkan tidak mampu menutupi pengeluaran yang
digunakan dalam budidaya. Karena alasan ini pula, pada tahun 1996, lahan
tersebut dirubah menjadi daerah penanaman palawija seperti kedelai, jagung,
kacang tanah. Lahan yang berada di daerah Singosari tersebut, juga merupakan
kepemilikan ex-Jepang, sehingga banyak peralatan atau mesin kuno jepang
untuk membantu pekerjaan dalam budidaya di lahan. Total luas dari lahan UPT
Pengembangan Palawija kurang lebih 6 ha, dimana sebagian besar digunakan
sebagai tempat budidaya kedelai.
2.2 Identifikasi Narasumber
No Nama Tempat Tinggal Jabatan
Narasumber
Ketua Kebun
Jl Dokter Cipto No 42 Pedali
Husni Tamrin Administrasi
1 Lawang
Pengawas Lapang
Jl Madura Sumberejo RT 6 /
Nimad Petani Penggarap
2 RW 2 Lawang

Berdasarkan tabel diatas, Bapak Husni merupakan ketua kebun yang


sekaligus merangkap jabatan sebagai petugas administrasi dan pengawas
lapang. Beliau tinggal di Jl Dokter Cipto No 42 Pedali Lawang. Untuk narasumber
kedua yaitu Bapak Nimad selaku petani pekerja lapang di UPT Pengembangan
Palawija. Beliau tinggal di Jl Madura Sumberejo RT 6 RW 2 Lawang. Dari kedua
narasumber diatas, kami selaku tim pengamat memperoleh informasi sebagai
bahan penulisan dalam laporan hasil pengatan ini. Dengan berbagai
pertimbangan dilakukan wawancara terhadap narasumber diatas, Bapak Husni
selaku ketua kebun dianggap memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai
keadaan lahan pada UPT Palawija Singosari, serta Bapak Nimad yang
diharapkan lebih menyasar pada pengetahuan pertanian dasar dari perwakilan
para petani pekerja di lahan tersebut.
2.3 Kedelai (Glycine max L)
2.3.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub-divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max L. (Kanaji et. al, 2013)
2.3.2 Botani Tanaman
Menurut Sofia (2007), erdapat dua tipe perakaran kedelai yaitu tunggang
dan serabut. Selain itu seringkali tumbuh akar adventif akibat adanya cekaman
tertentu seperti kadar air tanah yang terlalu tinggi. Biji kedelai berkeping dua
yang memiliki warna beragam dari kuning, hijau, coklat hingga hitam. Bentuk
dari biji sebagian besar bulat lonjong dan terkadang bulat agak pipih. Besar dan
berat biji sangat beragam bergantung variasi, untuk di Indonesia sendiri berat
kedelai berkisar 6 gr – 30 gr. Pertumbuhan batang kedelai bisa berupa
determinate dan indeterminate bergantung lokasi dari bunga. Selanjutnya
Adisarwanto (2005) menambahkan, bahwa bunga kedelai termasuk bunga
sempurna, dimana dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan dan betina.
Penyerbukan bunga terjadi saat masih kuncup, sehingga kemungkinan
menyerbuk silang sangat kecil berkisar 0,1%. Potensi tumbuhnya bunga pada
tiap tanaman kedelai berkisar 40 hingga 200 buah bergantung dari varietas.
2.3.3 Varietas
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan narasumber, bahwa varietas
kedelai yang ditanam ada 4 jenis, yaitu anjasmoro, wilis, grobogan, dan dipon.
Pemilihan varietas anjasmoro, wilis, dan grobogan, karena menurut narasumber
hasil panen dari ketiganya dianggap lebih tinggi dibanding varietas yang lain.
Sedangkan untuk varietas dipon masih dalam tahap uji coba untuk ditanam
pada UPT Pengembangan Palawija Singosari sehingga tidak begitu banyak
dibudidayakan.
Berdasarkan data yang diambil dari Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi (2016), diketahui bahwa sifat unggul ketiga varietas baik
anjasmoro, wilis dan grobogan adalah sebagai berikut :
a. Anjasmoro
Merupakan varietas yang dilepas pada 22 oktober 2001. Daya hasil kedelai
ini berkisar 2,03 – 2,25 t/ha dengan bobot 100 biji 14,8 – 15,3 gr, umur
berbunga berkisar 36 – 40 hari, dan protein berkisar 42%. Sifat ketahanan
yang dimiliki adalah moderat terhadap karat daun, sifat lainnya polong tidak
mudah pecah.
b. Wilis
Merupakan varietas yang dilepas pada 21 Juli 1983. Daya hasil kedelai
berkisar 1,6 t/ha dengan bobot 100 biji kurang lebih 10 gr,umur berbunga 39
hari, dan kadar protein berkisar 37%. Sifat ketahanan yang dimiliki adalah
tahan rebah, sedikit tahan terhadap karat dan virus.
c. Grobogan
Dilepas pada tahun 2008.daya hasil berkisar 2,8 t/ha dan dimungkinkan
hingga mencapai 3,4 t/ha dengan bobot 100 biji 18 gr, umur berbunga 30 –
32 hari, dan kadar protein berkisar 44%. Sifat ketahanan yang dimiliki adalah
polong yang tidak mudah pecah.
2.4 Sistem Pertanian dan Pola Tanam
Menurut Elisa (2011), sistem pertanian terbagi atas :
 Sistem pertanian sawah, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan pada
sebidang tanah yang dibatasi oleh pematang/galengan.
 Sistem pertanian ladang, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan di daerah-
daerah yang imbangan tanah dan penduduknya masih memadai. Biasanya
ladang ini dilaksanakan secara berpindah-pindah dan kembali ke tanah
semula setelah 5 atau 10 tahun.
 Sistem pertanian pekarangan, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan di
sekitar rumah, umumnya merupakan usaha samping/sambilan dengan hasil
berupa pangan tambahan, bumbu-bumbu, bahan bangunan, kayu bakar,
bahan kerajinan, keperluan pribadi.
 Sistem pertanian lahan kering, yaitu usaha pertanian yang dilaksanakan di
sebidang tanah tanpa batas pematang dan tidak mendapat pengairan kecuali
dari air hujan, biasanya curah hujannya hanya 250 mm/th.
 Sistem pertanian pasang surut, yaitu usaha pertanian yang diusahakan pada
sebidang tanah yang keadaan airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air
sungai atau laut. Jenis-jenis padi lokal pasang surut peka terhadap
fotoperiodisitas.
Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun
waktu tertentu atau merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam
satu periode atau satu tahun, dimaksud di dalamnya masa pengolahan tanah.
Pola tanam ini diterapkan dengan tujuan memanfaatkan sumber daya secara
optimal dan untuk menghindari resiko kegagalan (Harahap. 2015), Menurut Elisa
(2011), pola tanamterbagi atas monokultur, polikultur dan rotasi penanaman.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan narasumber bahwa sistem
pertanian yang digunakan pada UPT Pengembagan Palwija Singosari adalah
sistem pertanian sawah, dimana untuk pembatas masing – masing lahan terdapat
galengan sebagai jalan atau penghubung antar lahan. Selain itu ketika dating
musim hujan, pertanian dilangsungkan pada daerah tegalan yang memiliki sedikit
air, sehingga termasuk dalam sistem pertanian kering. Sedangkan untuk pola
tanam menggunakan pola monokultur. Dari cara penanaman kedelai, ditanam
serempak seluas 4 – 6 hektar per 3 hingga 4 bulan. Selama setahun,
dilaksanakan 3 kali penanaman kedelai yaitu pada MP, MKI dan MKII. Irigasi
lahan menggunakan air yang telah ditampung saat musim hujan dan
pengambilan jatah air yang didapat pukul 00.00 hingga 06.00 dari senin hingga
sabtu.
2.5 Aset Pertanian
Aset didefinisikan sebagai saham kekayaan dalam rumah tangga atau
unit lainnya (sherraden 2006). Definisi lain adalah bahwa aset merupakan yang
berguna atau berharga, berkualitas, orang atau hal yang merujuk pada kelebihan
atau sumber daya.
Menurut (Sajogyo, 1990) ada beberapa aset yang perlu untuk dipahami,
yaitu:
1. Aset Manusia (Human Capital)
Modal ini mewakili unsur pengetahuan, perspektif, mentalitas, keahlian,
pendidikan, kemampuan kerja, dan kesehatan.
2. Aset Fisik (Physical Capital)
Modal ini mewakili unsur bangunan dan infrastruktur yang merupakan sarana
pembantu.
3. Aset Finansial (Financial Capital)
Modal ini mewakili unsur sumber-sumber keuangan.
4.Aset Teknologi (Technological Capital)
Modal ini mewakili sistem atau peranti lunak (software) yang melengkapi
modal fisik.
5. Aset Lingkungan (Environmental Capital)
Modal ini mewakili sumber daya alam dan sumber daya hayati.
6. Aset Sosial (Social Capital)
Modal ini mewakili sumber daya sosial seperti jaringan sosial, dan
kepercayaan masyarakat.
Dari hasil wawancara dengan narasumber terdapat modal atau aset yang
dimiliki oleh UPT Pengembangan Palawija Singosari yang terdeskripsi sebagai
berikut :
Aset manusia : Terdapat 20 orang pekerja (masa tanam hingga panen)
Aset fisik : Bangunan dan kantor UPT ex-Jepang
Aset finansial : Bantuan dana dari APBN dan APBD
Aset teknologi : Peralatan dan alsintan ex-Jepang
Aset lingkungan : Tanah yang cukup subur, dengan sumber air yang lumayan
terjaga
Aset sosial : Tempat yang sudah dipercayai oleh kementrian pertanian
2.6 Benih Kedelai
Menurut Mulawarman dkk (2002), yang dimaksud dengan benih adalah suatu
bagian dari tanaman yang digunakan sebagai perbanyakan atau
perkembangbiakan yang dihasilkan dari suatu pohon atau tanaman baik secara
alami maupun dengan penanaman.Benih yang digunakan untuk kebun benih
berasal dari sumber benih yang baik yang jelas asal usulnya. Berdasarkan hasil
wawancara yang telah kami lakukan, benih yang ditanaman pada UPT
Pengembangan Palawija Singosari diperoleh dari kementrian pertanian untuk
dilakukan uji coba pengembangbiakan. Bila hasil yang didapat baik dan sesuai
standard mutu, maka benih yang sama akan dipasok terus menerus. Bila hasil
yang diperoleh tidak begitu memuaskan maka uji coba akan dihentikan. Varietas
tanaman kedelai yang berhasil dikembangbiakan di lahan tersebut selanjutnya
akan di rekayasa dalam pola tanam, dan hal – hal lain sehingga hasil produksi
bisa terus meningkat. Biji kedelai yang dihasilkan kemudian akan digunakan
sebagai benih kembali yang mana akan disebarkan kepada balitkabi di Indonesia
khususnya area Jawa Timur.
2.7 Pupuk dan Pemupukan
Dari hasil wawancara kami dengan narasumber, pemakaian pupuk yang
digunakan dalam budidaya kedelai adalah pupuk dasar NPK yang diaplikasikan
sekitar 14 hst dan merk pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk
phonska. Menurut Suwandi dan Sulistiyono (2017), bahwa kandungan pupuk
phoska adalah unsur majemuk NPK, dimana persentase N 15%, Fosfat (P2O5)
15%, Kalium (K2O) 15%. Selain itu pupuk ini mengandung unsur pengaya seperti
Sulfur sebanyak 10%.
2.8 Identifikasi Arthropoda
1. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)

(Razze et al., 2015)

A. Klasifikasi
Kingdom : Metazoa
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Uniramia
Class : Insecta
Order : Hemiptera
Suborder : Sternorrhyncha
Superfamily : Aleyrodoidea
Family : Aleyrodidae
Genus : Bemisia
Species : Bemisia tabaci (Roques, 2006)
B. Gejala Serangan
Di Indonesia, kutu kebul dianggap sebagai hama penting pada
tanaman kedelai karena telah menyebabkan kerugian yang besar.
Kehilangan hasil pada tanaman kedelai terserang kutu kebul dilaporkan
mencapai 80% (Tengkano et al. 1991). Kutu kebul merusak tanaman secara
langsung dengan cara mengisap cairan floem pada daun dan secara tidak
langsung, karena banyak mem- produksi embun madu yang merupakan
media tumbuh cendawan jelaga (Perring 2001, Hequet et al. 2007).
Cendawan jelaga selanjutnya akan menutup permukaan daun, menghalangi
proses fotosintesis dan akhirnya berpengaruh terhadap hasil tanaman
(Hequet et al. 2007). Selain itu kerusakan tanaman yang terserang kutu kebul
akan semakin parah karena kutu kebul bertindak sebagai vektor beberapa
penyakit virus (Morin et al. 1999; Briddon dan Markham, 2000; Hunter dan
Woolley, 2001; Fukuta et al. 2003; Valverde et al. 2004; Byamukama et al.
2004). Kutu kebul merupakan vektor utama penyakit virus dari golongan
geminivirus dan lebih dari 192 jenis virus kelompok ini ditularkan oleh kutu
kebul (Brown et al. 2011). Pada kedelai dan kacang- kacangan lain, kutu
kebul dapat menularkan virus Cowpea Mild Mottle Virus (CPMMV).
Di Jawa Timur terdapat enam strain virus yang menyerang tanaman
kedelai yaitu CPMMV, BICMV, BYMV, SSV, PStV dan SMV, dimana semua
virus tersebut ditransmisikan oleh vektor serangga, salah satunya adalah
kutu kebul. Infeksi virus pada tanaman kedelai pada umumnya menghasilkan
gejala yang serupa yakni klorosis, belang dan mosaik pada daun, daun
keriting sehingga sulit dibedakan (Saleh dan Hardaningsih, 2007).
Kompleksnya hama kutu kebul ini menyebabkan sulitnya cara pengendalian
yang benar- benar efektif untuk mengendalikan kutu kebul. Terlebih lagi di
Indonesia, informasi tentang kompleks hama kutu kebul sangat kurang
sehigga tindakan pengendalian yang dilakukan belum memberikan hasil yang
memuaskan.
Gejala kerusakan tanaman akibat serangan kutu kebul adalah
terdapatnya kutu-kutu berwarna pucat sampai kuning kehijauan pada bagian
bawah daun atau daun bagian pucuk. Kadang-kadang juga terdapat
cendawan jelaga yang hidup dari ekskreta kutu yang berupa embun madu.
Serangan berat menyebabkan daun tanaman tampak terhambat
pertumbuhannya, mengerupuk, dan lebih kaku
C. Bio-Ekologi Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae)

(Malumphy et. al, 2017)


Bemisia tabaci merupakan serangga berukuran kecil yang umum
disebut kutu kebul atau kutu putih. Hama ini disebut kutu kebul karena apabila
keberadaan imago pada tanaman terganggu (misalnya karena gerakan
tumbuhan oleh angin atau sentuhan manusia), maka imago tersebut akan
beterbangan seperti kebul (Indonesia : asap). Kutu kebul (kutu putih)
terdistribusi luas di daerah tropik dan subtropik serta di daerah temperate
ditemukan di rumah kasa. Bemisia tabaci bersifat polifagus dan memakan
tanaman sayuran di antaranya tomat, terung, tanaman di lapangan, dan
gulma. Kondisi kering dan panas sangat sesuai bagi perkembangan kutu putih,
sedangkan hujan lebat akan menurunkan perkembangan populasi kutu putih
dengan cepat. Hama ini aktif pada siang hari dan pada malam hari berada di
bawah permukaan daun.
Telur: Serangga betina umumnya meletakkan telur di bawah
permukaan daun di dekat venasi daun. Hama ini lebih menyukai permukaan
daun yang banyak berbulu untuk meletakkan telurnya lebih banyak. Seekor
betina selama hidupnya dapat meletakkan telur kira-kira 300 butir. Telur
berukuran kecil kira-kira 0,25 mm, bebentuk seperti buah pir, dan diletakkan di
bawah permukaan daun secara vertikal melalui pedicel. Telur yang baru
diletakkan berwarna putih dan kemudian berubah menjadi kecokelatan. Telur
tidak mudah dilihat dengan mata telanjang dan hanya dapat dilihat di bawah
mikroskop atau kaca pembesar. Fase telur berlangsung kira-kira 3 – 5 hari
pada musim panas dan 5 – 6 hari.
Nimfa: Setelah menetas larva instar pertama (nimfa) pindah dari
permukaan daun ke lokasi yang sesuai untuk dia makan. Nimfa stadia ini
disebut juga dengan crawler. Nimfa tersebut segera menusukkan mulutnya
dan menghisap cairan tanaman melalui phloem. Nimfa instar pertama sudah
mempunyai antene, mata, dan tiga pasang kaki yang sudah berkembang
dengan baik. Nimfa berbentuk oval, pipih, dan berwarna hijau kekuning-
kungan. Nimfa instar kedua dan ketiga tidak mempunyai kaki dan tidak
bergerak selama stadia ini. Stadia nimfa terakhir mempunyai mata yang
berwarna merah. Stadia ini kadang-kadang mirip dengan puparium walaupun
pada serangga Hemiptera merah tidak mempunyai stadia pupa yang nyata
(metamorphosis tidak sempurna). Lamanya periode nimfa berkisar antara 9 –
14 hari pada musim panas dan 17 sampai 73 hari (David, 2001). Serangga
dewasa keluar dari puparia melalui celah berbentuk huruf T, dan berada di
samping bekas kerabang kulit pupa atau eksuvi.
Dewasa: Serangga dewasa mempunyai tubuh yang lunak, berbentuk
seperti ngengat. Serangga dewasa diselimuti oleh lapisan lilin yang bertepung
dan tubuhnya berwarna kuning terang. Sayapnya terletak di atas tubuh
menyerupai tenda. Serangga jantan sedikit lebih kecil dibandingkan serangga
betina. Serangga dewasa hidup mengelompok dapat hidup selama 1 – 3
minggu. Jika populasi hama ini tinggi maka akan terlihat embun tepung yang
berasal dari sekresi serangga. Embun tepung merupakan tempat yang baik
untuk berkembangnya jamur jelaga pada daun tanaman sehingga akan
mengurangi efisiensi fotosintesis dari tanaman.

D. Pengendalian
Pada tanaman kedelai, komponen teknik pengendalian secara kultur
teknis yang dapat di lakukan adalah sebagai berikut:
 Mengatur waktu tanam dan panen
Mengatur waktu tanam dapat dilakukan dengan menanam lebih awal
atau menunda waktu tanam. Strategi ini dimaksudkan untuk menghindari
periode migrasi dan serangan yang lebih besar, tumpang tindihnya waktu
tanam, serta mengatur periode tidak adanya tanaman inang kutu kebul
(Stansly dan Natwick, 2010). Pada kedelai yang ditanam pada musim kema-
rau II, antara bulan Juli – November, populasi kutu kebul paling rendah
dibanding ketika kutu kebul di tanam pada musim hujan dan kemarau I.
Dengan mengatur waktu tanam sesuai pola perkembangan kutu kebul maka
kerusakan yang disebabkan oleh kutu kebul dapat dihindari. Penanaman lebih
akhir juga dapat dilakukan untuk menghindari serangan kutu kebul dikombinasi
dengan tindakan sanitasi lahan (Hilje et al. 2001).
Penanaman varietas umur genjah dapat menghindarkan tanaman dari
serangan kutu kebul. Kedelai varietas Grobogan, Malabar dan Tidar yang
mempunyai umur panen sekitar 74– 78 hari, dapat dijadikan salah satu usaha
untuk menghindarkan tanaman dari serangan hama, mengurangi kesesuaian
ekosistem dan meng- ganggu penyediaan makanan atau keperluan hidup
hama.
 Penanaman varietas tahan
Tanaman yang tahan terhadap investasi kutu kebul atau yang dapat
menghambat perkembangan nimfa kerena mengandung zat tertentu dapat
membatasi pertumbuhan popu- lasi kutu kebul, mengurangi kerusakan akibat
serangan kutu kebul dan mengurangi migrasi masal kutu kebul ke tanaman
lain (Stansly dan Natwick, 2010). Kutu kebul juga merupakan vektor virus bagi
penyakit yang bersifat tidak dapat disembuhkan, sehingga pencegahan
tersebarnya virus dengan varietas tahan kutu kebul menjadi komponen
pengendalian yang penting (Horowitz et al. 2011). Ketahanan varietas unggul
kedelai yang telah dilepas di Indonesia terhadap serangan kutu kebul ber-
variasi, namun varietas kedelai yang tahan terhadap kutu kebul hanya varietas
Tengger (Balitkabi, 2016), Gema, Detam I, Gepak Ijo, dan Kaba (Sulistyo dan
Inayati, 2014). Varietas Gepak Kuning, Gepak Ijo, Wilis, Kaba dan Argomulyo
termasuk toleran terhadap kutu kebul dengan hasil biji kering mencapai 1,3
t/ha pada serangan yang berat sedang varietas Anjasmoro termasuk varietas
rentan hanya mampu meng- hasilkan 0,15 t/ha. Dengan penanaman varietas
tahan, kehilangan hasil dapat ditekan sampai 80% (Inayati dan Marwoto,
2012). Upaya pera- kitan varietas kedelai yang tahan kutu kebul di Indonesia
penting dilakukan karena varietas tahan merupakan salah satu strategi penting
dalam upaya mencegah dan menanggulangi serangan hama karena dapat
dikombinasikan dengan teknik pengendalian lain (Sulistyo, 2014).
 Penanaman tanaman penghalang
Tanaman penghalang merupakan salah satu upaya untuk menghalagi
penyebaran, migrasi, dan membatasi mobilisasi hama ke tanaman. Tanaman
penghalang juga dapat berperan sebagai pelindung alami terhadap vektor
virus yang non persisten seperti aphis dan telah terbukti efektif melindungi
tanaman dari infeksi virus. Idealnya tanaman penghalang mengguna- kan
tanaman bukan inang dari hama target. Selain itu juga perlu pemahaman
tentang peri- laku hama seperti kebiasaan terbangnya dan bagaimana
tanaman penghalang mempengaruhi perilaku hama dan musuh alaminya.
Pemahaman yang baik tentang hal tersebut akan membantu dalam
merancang strategi pengendalian dengan manipulasi habitat hama yang
ramah lingkungan (Hooks dan Careres, 2006). Pemanfaatan tana- man
penghalang untuk mengendalikan kutu telah dilakukan, di antaranya penelitian
Moreau (2010) menunjukkan kombinasi tanaman perangkap dan yellow sticky
traps mampu menurunkan populasi kutu kebul pada pertanaman cabai sampai
53%. Pada pertanaman kedelai di KP Muneng Probolinggo, dengan tanaman
jagung yang ditanam rapat di sekeliling pertanaman kedelai menjadi
penghalang migrasi hama kutu kebul (Marwoto, 2017). Populasi kutu kebul
pada tanaman kedelai yang tidak diberi tanaman penghalang rata-rata 50%
lebih tinggi dibanding tanaman kedelai yang diberi penghalang sejak 35 hari
setelah tanam. Pada 63 HST, populasi kutu kebul pada petak dengan tanaman
penghalang hanya sepertiga dari populasi kutu kebul pada petak tanpa
penghalang. Tanaman jagung selain bermanfaat sebagai penghalang fisik
masuknya kutu kebul ke pertanaman kedelai juga dapat berfungsi sebagai
inang bagi serangga preda- tor bagi kutu kebul seperti kumbang Coccinellidae
(Menochilus sexmaculatus Fab.). Dengan adanya tanaman jagung di sekeliling
tanaman kedelai diharapkan juga dapat melestarikan dan meningkatkan
musuh alami yang telah ada dengan memanipulasi lingkung- an sehingga
menguntungkan kemampuan bertahan hidupnya. Penanaman jagung lebih
awal yaitu 3 minggu sebelum tanaman kedelai dapat mencegah masuknya
kutu kebul dari luar ke petak pertanaman kedelai.
 Sistem pengairan yang teratur
Ketersediaan air berpengaruh terhadap siklus hidup kutu kebul,
perkembangbiakannya, dan kemampuannya untuk bertahan hidup. Air yang
berlimpah serta aplikasi pupuk nitrogen memperparah serangan kutu kebul
pada tana- man kapas (Bi et al. 2005). Sejalan dengan penelitian Abd-Rabou
dan Simmons (2012) bahwa metode pengairan yang berbeda yaitu irigasi
tetes, sprinkler, dan penyiraman melalui saluran/got berpengaruh terhadap
populasi kutu kebul dan tersebarnya penyakit akibat virus yang ditularkan oleh
kutu kebul pada pertanaman sayur. Karena itu integrasi teknik pengairan
dengan cara pengendalian lain perlu untuk meningkatkan keberhasilan
pengenda- lian hama kutu kebul secara berkelanjutan. Telah banyak dilakukan
penelitian tentang pengaruh ketersediaan air disekitar pertanaman terhadap
populasi kutu kebul antara lain; (1) cekaman air di sekitar pertanaman menye-
babkan meningkatnya populasi kutu kebul (Flint et al. 1996 Byrne 1999), (2) air
hujan berlebih yang disertai angin dapat mengurangi populasi kutu kebul, (3)
pengairan yang kon- sisten dengan interval pengairan irigasi singkat sesuai
kebutuhan tanaman dapat membatasi perkembangan kutu kebul (Legget
1993, Flint et al. 1996), (4) pengairan tambahan dengan sprinkler dapat
mengurangi populasi dan serangan kutu kebul pada tanaman kapas dan tomat
(Castle et al. 1996, Hilje et al. 2001). Populasi B.tabaci berkurang secara
signifikan pada kapas yang diairi dengan sprinkler dibanding pada pengairan
dengan irigasi tanpa mengu- rangi populasi musuh alaminya (Gencsoylu et al.
2003). Penelitian Latheef et al. (2009) menggu- nakan pengairan dengan
sprinkler elektrostatik dipadukan insektisida dapat menekan populasi kutu
kebul karena dengan metode ini dapat me- ningkatkan efikasi insektisida yang
diaplika- sikan secara bersamaan untuk mengendalikan kutu kebul. Penelitian
pengairan dengan sprin- kler mampu menekan intensitas serangan kutu kebul
di KP Muneng, Probolinggo, meskipun tidak berpengaruh terhadap penekanan
populasi hama kutu kebul.
 Pergiliran tanam dan pengaturan pola tanam
Pergiliran tanaman dan pengaturan pola tanam dengan menanam
tanaman bukan inang dapat memutus kesinambungan penyediaan makanan
bagi kutu kebul di suatu tempat, dan mengurangi migrasi hama antarjenis
tanaman yang dapat mengurangi populasi awal hama di suatu tempat (Hilje et
al. 2001, Ellsworth dan Carillo 2001). Rotasi tanaman paling efektif untuk
mengendalikan hama yang memiliki kisaran makanan sempit dan kemampuan
migrasi terbatas terutama pada fase yang aktif makan. Mengingat luasnya
sebaran inang kutu kebul maka perlu perhatian pada tanaman yang akan
digunakan sebagai tanaman rotasi. Pada lahan sawah tadah hujan, rotasi
dengan tanaman padi dapat dilakukan karena padi tidak termasuk inang kutu
kebul, sedangkan untuk lahan kering pergiliran tanaman dapat di lakukan
dengan jagung. Pergiliran dengan tanaman hortikultura seperti cabai, tomat,
terong, dan melon serta kacang tanah tidak dianjurkan pada daerah endemik
kutu kebul karena kedua tanaman ini termasuk inang kutu kebul. Pengaturan
pola tanam dengan tumpang sari juga dapat dilakukan untuk memanipulasi
habi- tat dalam upaya mengendalikan kutu kebul. Tumpang sari ubikayu
dengan jarak pagar dan kapas secara signifikan menurunkan populasi kutu
kebul (telur, larva, dan dewasa) pada per tanaman ubikayu (Ewusie et al.
2010).
 Sanitasi sisa tanaman atau tanaman lain yang dapat dipakai sebagai inang
Teknik sanitasi atau pembersihan lahan pada areal bekas
pertanaman merupakan cara pengendalian bercocok tanam yang paling tua
dan cukup efektif menurunkan populasi hama. Banyak hama yang bertahan
hidup atau berdiapause di sisa- sisa tanaman. Dengan membersihkan sisa-
sisa tanaman dapat dikurangi laju peningkatan populasi hama dan ketahanan
hidup hama. Pada prinsipnya teknik sanitasi dilakukan dengan membersihkan
lahan dari sisa-sisa tanaman singgang, tunggul tanaman atau bagian-bagian
tanaman lain yang tertinggal setelah masa panen. Bagian tanaman tersebut
seringkali merupakan tempat berlindung hama, tempat berdiapouse, atau
tempat tinggal sementara sebelum tanaman utama kembali ditanam. Tindakan
sanitasi dapat dilakukan dengan penghancuran: (1) sisa-sisa tanaman yang
masih hidup, (2) tanaman atau bagian tanaman yang terserang hama, (3) sisa
tanaman yang sudah mati, (4) jenis tanaman lain yang dapat menjadi inang
pengganti, dan (5) sisa-sisa bagian tanaman yang jatuh atau tertinggal di
permukaan tanah seperti buah dan daun. Sanitasi lahan untuk pengendalian
hama kutu kebul telah memberikan hasil yang me- muaskan dan berhasil
mengurangi populasi kutu kebul yang ada di lapang (Stansly dan Schuster
1990, Hilje et al. 2001).
 Pengelolaan musuh alami

(Razze et al., 2015)..


Beberapa agen kontrol biologis termasuk parasitoid Encarsia formosa,
Encarsia luteola, dan Eretmocerus calrupicus telah cukup berhasil di rumah
kaca. Beberapa predator umum yang memangsa kutu kebul termasuk larva
lacewing yaitu Orius spp. dan Geocoris spp.. Kumbang koksi Delphastus
catalinae juga disebut sebagai kandidat kontrol biologis yang baik bagi kutu
kebul dan menjadi predator wajib dengan tingkat konsumsi mangsa yang
tinggi, tingkat reproduksi yang tinggi, dan umur dewasa yang panjang.
Delphastus catalinae, bila digunakan bersamaan dengan soba sebagai mulsa
hidup dapat membantu pengurangan kutu kebul dan mengurangi pengaruh
virus yang ditransmisikan oleh kutu kebul (Razze et al., 2015)..
2. Penggerek polong (Etiella zinckenella, E Hobsoni, Pod Borer, atau
Lima Bean Borer).

(Lotfalizadeh and Farnaz, 2014)

A. Klasifikasi
Class :Insecta
Order :Lepidoptera
Family :Pyralidae
Subfamily :Phycitinae
Genus :Etiella
Species :Etiella zinckenella

(Lotfalizadeh and Farnaz, 2014)


B. Gejala Serangan

( Chanty et al, 2010)

Gejala kerusakan tanaman akibat serangan hama ini adalah


terdapatnya bintik atau lubang berwarna cokelat tua pada kulit polong, bekas
jalan masuk larva ke dalam biji. Seringkali, pada lubang bekas gerekan
terdapat butir-butir kotoran kering yang berwarna coklat muda dan terikat
benang pintal atausisa-sisa biji terbalut benang pintal. Merusak biji dengan
menggerek kulit polong muda dan kemudian masuk serta menggerek biji,
sebelum menggerek larva baru menetas menutupi dirinya dengan selubung
putih hingga ada bintik coklat tua sebagai jalan masuk hama tersebut
(Chanty et al, 2010).

C. Morfologi dan biologi

(Lotfalizadeh and Farnaz, 2014)


Hama ini mempunyai panjang tubuhnya antara 8-11 mm, panjang
sayapnya antara 19-27 mm,sayapnya lebih panjang daripada abdomen.
Perkembangan telurnya antara 4-21 hari , larvanya antara 19-40
hari,sedangkan perkembangan pupanya antara 12-18 hari, umur imago lebih
kurang 20 hari, rata-rata imagonya bertelur antara 100-600 butir telur dan
perkembangannya tergantung pada suhu lingkungan. Ngengat hama ini
berwarna keabu-abuan pada bagian tepi sayap ada pembatas berwarna
kuning muda, rentangan sayapnya antara 24-27 mm. Telur berwarna putih
mengilap dan berubah menjadi kemerah-merahan larvanya berwarna putih
kekuningan. Kepala lebih besar dari pada badan dan berwarna coklat sampai
hitam. Penyebaran hama ini dominan pada daerah tropis. Hama ini umumnya
menyerang pada bulan mei hingga juni tetapi umumnya pada pada
pertengahan bulan juni. Selain pada kedelai, hama ini juga menyerang
Crotalaria striata, kacang tunggak, kacang kratok (Phaseolus lunatus),
Tephrosia candida, kacang hijau dan kacang tanah

Telur diletakkan berkelompok 4-15 butir di bagian bawah daun, kelopak


bunga atau pada polong. Telur berbentuk lonjong, diameter 0,6 mm. pada saat
diletakkan telur berbah kemerahan dan berwarna warna putih mengkilap,
kemudian berwarna jingga ketika akan menetas. Setelah 3-4 hari, telur
menetas dan keluar ulat berwarna putih kekuningan, kemudian berubah
menjadi hijau dengan garis merah memanjang . Ulat instar 1 dan 2 menggerek
polong daun, menggerek biji dan hidup di dalam biji. Setelah instar 2, ulat
hidup di luar biji. Dalam satu polong sering dijumpai lebih dari 1 ekor ulat. Ulat
instar akhir mempunyai panjang 13-15 mm dengan lebar 2-3 mm. Kepompong
berawarna coklat dengan panjang 8-10 mm dan lebar 2 mm, dibentuk dalam
tanah dengan terlebih dahulu membuat sel dari tanah. Setelah 9-15 hari,
kepompong berubah menjadi ngengat.
D. Pengendalian
 Pengendalian dengan musuh alami
Jenis predator yang banyak terdapat pada pertanaman kedelai dan
bertindak sebagai predator imago penggerek polong adalah Lycosa sp.,
Oxyopes sp., Carabidae, Vespidae, Mantidae, Asylidae, Tettigonidae, dan
Cycindelidae (Okada et al. 1988b). Penelitian di laboratorium menunjukkan
bahwa Oxyopes javanus Thorell, Lycosa pseudoannulata, dan Rhinocoris sp.
berpotensi dalam mengendalikan populasi imago E. zinckenella (Tengkano et
al. 2002; Tengkano dan Bedjo 2004; Tengkano et al. 2004), dan Paederus
fuscipes berpotensi mengendalikan larva instar 1 (Tengkano dan Suharsono
2002).

Parasitoid Telur. Beberapa spesies parasitoid telur Etiella spp., yaitu


Trichogramma bactraebactrae Nagaraja dan T. chilonis dikoleksi dari Bogor
dan Lampung, Trichogramma sp. A dari Bogor, dan Trichogramma sp. B dari
Palembang. Parasitoid Larva. Parasitoid larva, yaitu Phanerotama
hendecasisella Cam. dan Agathis sp., tersebar luas di Pulau Jawa. Dari sekian
banyak parasitoid larva, yang paling tinggi tingkat parasitasinya adalah P.
hendecasisella, yaitu 5-18%, sedangkan parasitoid lainnya hanya 5%
(Tengkano et al. 1991). Parasitoid Pupa. Parasitoid pupa penggerek polong
adalah P. hendecasisella, namun parasitoid ini sebenarnya bukan parasitoid
pupa, dan Antracephalus sp. (Chalcididae) yang juga diragukan sebagai
parasitoid pupa (Mangundojo 1958).

 Tanam serempak

Pada daerah dengan topografi yang sama dianjurkan untuk bertanam


serempak, dengan kisaran waktu tanam antar petani tidak lebih dari 14 hari,
sehingga kisaran umur tanaman kedelai tidak lebih dari 14 hari. Jika ada
petani yang melakukan tanam kedelai di luar kisaran tersebut, perlu dilakukan
pengamatan hama secara intensif, dan bila populasi mencapai ambang
kendali (2 ekor/tanaman) perlu dikendalikan dengan insektisida kimia efektif,
misalnya lamda sihalotrin dan deltametrin (Tengkano et al. 2007; Baliadi et al.
2008).

 Pergiliran tanaman dan pola tanam

Pergiliran tanaman dimaksudkan untuk memutus siklus hidup hama


dan menurunkan populasi awal sehingga tanaman kedelai terbebas dari
serangan E. zinckenella atau hanya menderita serangan rendah. Padi dan
jagung bukan merupakan tanaman inang penggerek polong sehingga dapat
ditanam secara bergilir dengan kedelai. Namun, hendaknya tidak melakukan
pergiliran tanaman padi atau jagung dengan kedelai secara tetap karena
keduanya memiliki hama yang sama yaitu Nezara viridula. Pergiliran tanaman
dengan padi cocok untuk daerah berpengairan teratur dan sawah tadah hujan.
Pada lahan kering, pergiliran tanaman dapat dilakukan dengan jagung, kubis,
wortel, ubi jalar atau ubi kayu. Pergiliran tanaman akan berhasil bila disertai
dengan bertanam serempak dan sanitasi Crotalaria sp.

 Tanaman perangkap

Untuk mengurangi penggunaan insektisida dalam pengendalian hama,


telah diteliti pemanfaatan tanaman inang untuk mengkonsentrasikan populasi
hama pada areal terbatas sehingga aplikasi insektisida hanya pada tanaman
perangkap (Newsom,1977). Menurut Tengkano et al. (2000), kedelai MLG
3023 lebih menarik E. zinckenella untuk bertelur sehingga dapat digunakan
sebagai tanaman perangkap telur penggerek polong. Selain itu, karena tahap
pertumbuhan tanaman mempengaruhi preferensi serangga untuk meletakkan
telur maka pertanaman awal juga berfungsi sebagai tanaman perangkap. Hal
ini berarti bahwa kedelai yang ditanam lebih awal pada suatu hamparan perlu
dipantau secara intensif.

 Insektisida nabati

Penggunaan insektisida nabati berkembang dalam tiga tahun terakhir.


Beberapa tanaman yang mengandung senyawa insektisida adalah biji mimba
(mengandung racun azadirachtin), biji srikaya (racun annonain), biji
bengkuang (racun pachyrhizin), dan daun pacar cina (Aglaia odorata Lour)
yang mengandung racun rokaglamida. Marwoto (2007) mengemukakan bahwa
ekstrak daun A. odorata 5% mampu menekan kerusakan biji kedelai akibat
serangan E. zinckenella dari 12% (kontrol) menjadi 2% dan mencegah
kehilangan hasil kedelai hingga 46%. Ekstrak bagian tanaman pacar cina
(alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin) selain dapat bersifat sebagai
insektisida juga mampu berperan sebagai antifidan dan penghambat
perkembangan hama.
 Varietas tahan

Pengendalian hama dengan varietas tahan merupakan cara yang


praktis, ekonomis, dan aman bagi lingkungan. Walaupun sumber gen tahan
terhadap penggerek polong telah ditemukan (Tengkano et al. 1992; Trijaka et
al. 1992; Djuwarso et al. 1994), hingga kini belum diperoleh varietas kedelai
yang tahan terhadap hama tersebut. Akib dan Baco (1985) melaporkan bahwa
varietas No. 29 dan Guntur lebih tahan terhadap penggerek polong disbanding
varietas Orba. Pertumbuhan larva E. zinckenella yang mendapat pakan polong
kedelai No. 29 terhambat, kematian larva dan pupa lebih tinggi, serta
keperidiannya rendah Penggunaan varietas tahan dimaksudkan untuk
menurunkan populasi awal dan selama pertumbuhan tanaman serta serangan
Etiella spp. Kedelai transgenik WP1 (varietas Wilis) dan AT1 (varietas Tidar)
memiliki ketahanan terhadap penggerek polong (Herman et al. 2001). Sutrisno
et al. (2003) dengan menerapkan bioasai melaporkan bahwa 10 tanaman
kedelai Wilis transgenik generasi R3 tidak tahan terhadap penggerek polong,
tetapi kedelai Wilis pinII generasi R3 (WP1-1-1) menunjukkan persentase
serangan polong dan biji rendah, masing-masing 52% dan 44%.

3. Uret (Lepidiota stigma F.)

(Lestari dkk, 2014) (Maa dkk, 2016)


A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Coleoptera
Super Famili : Scarabeidae
Famili : Melolothidae
Genus : Lepidiota
Spesies : Lepidiota stigma F. (Kalshoven, 1981)

Uret merupakan larva dari spesies kumbang – kumbangan dengan


superfamily Scarabaeodia. Saat ini telah diketahui bahwa hama tanaman
industri terutama dari jenis – jenis family Melolothidae dan juga Rutlidae.
Superfamili Scarabeidae juga seringkali dikenal dengan Lamellicornia
(Saragih, 2009)

B. Morfologi
Menurut Kalshoven (1981), kumbang dari superfamily Lamellicornia
memiliki tubuh yang gemuk, yang memiliki ciri penting 3 ruas antena terkahir
melebar ke satu arah. Bagian kepala dari larva superfamily ini memiliki
mandible yang kuat, selain itu bentuk tubuhnya membentuk huruf C, bagian
abdomennya berbentuk kantung – kantung dan berwarna putih.
Secara khusus, pada L. stigma memiliki warna putih coklat keabuan,
yang mana terdapat sisik – sisik renik yang mana bila lepas tubuh dari larva
tersebut akan berubah menjadi coklat mengkilap. Panjang dari uret L. stigma
bisa mencapai 7,5 cm. Panjang tubuh kumbang betina berkisar 4,3 – 5,3 cm
dengan lebar 2,2 – 2,7 cm. sedangkan panjang pada kumbang jantan adalah
4,2 - 5,3 cm dengan lebar 2,0 – 2,6 cm (Intari dan Natawiria, 1973)

C. Bioekologi
Menurut Tjahjadi (1989), ordo coleoptera atau kumbang – kumbangan
memiliki daur hidup holometabola (telur – larva – pupa – imago). Sebagian
hidupnya dihabiskan didalam tanah, bergantung dari jenis uret dan keadaan
lingkungan setempat. Menurut Intari dan Natawawiria (1973) siklus hidup uret
berlangsung kurang lebih satu tahun dan terdiri dari lima stadia yaitu telur,
larva aktif, larva pasif, pupa, dan imago. Fase larva aktif berkisar 5 – 9 bulan
dan hanya pada stadia kumbang yang muncul di atas permukaan tanah.

Berdasar data Direktorat Jendral Perkebunan (2010), stadia uret terbagi


atas

- Telur
Telur diletakkan dalam tanah sedalam 35 – 50 cm dan kumbang betina dapat
bertelur25 – 35 butir berwarna putih kekuningan dan stadium telur berlangsung
sekitar 2 minggu.
- Larva
Dianggap stadium paling merusak, dan berlangsung sekitar 9 bulan yang
terbagi atas 4 instar yang masing – masing berkembang 1 – 2 bulan.
- Pre-Pupa
Pada tahap ini larva instar terakhir membuat dinding keras dan licin dengan
kedalaman 15 – 50 cm. Stadium ini berkisar 12 hari.
- Pupa
Stadium ini berlangsung kurang lebih 1 bulan, pada kelembapan yang sesuai
kumbang akan keluar dari pupa pada awal musim hujan.
- Imago
Kumbang yang baru keluar dari pupa tidak akan segera langsung keluar dari
tanah, melainkan untuk beberapa saat masih tetap di dalam tanah. Keluarnya
kumbang dari tanah biasanya pada sore hari yang merupakan penerbangan
massal. Setelah keluar, kumbang akan memakan bagian daun – daun muda
tanaman. Fase imago berlangsung sekitar 1 bulan. Dan setelah peletakkan
telur tidak lama kumbang dewasa akan mati.
D. Gejala Serangan

Uret termasuk serangga polifag. Jenis tanaman yang diserangnya antara


lain adalah, tumbuhan semak, padi gogo, singkong, pohon kemenyan, karet,
tebu, jagung, kedelai dan kopi (Kalshoven, 1981). Uret yang masih muda
memakan bagian-bagian akar yang lunak, tetapi kerusakan yang
ditimbulkannya tidak begitu berarti. Semakin besar ukuran uret, jumlah
makanan yang diperlukan akan semakin banyak sehingga kerusakan yang
akan ditimbulkannya akan semakin besar. Uret dewasa dapat memakan kulit
akar sampai habis. Adanya kerusakan akar ini dapat menyebabkan terjadinya
kelayuan pada tanaman muda dan sering menimbulkan kematian (Intari dan
Natawiria, 1973)

E. Pengendalian

Menurut Direktorat Jendral Perkebunan, terdapat beberapa cara


pengendalian uret yang terdiri atas :

- Kultur Teknis
Dimana terdiri atas pemilihan dan pengolahan lahan yang lebih baik sebelum
penanaman komoditas. Selain itu bisa dilakukan rotasi tanam untuk memutus
rantai hidup dari uret. Untuk daerah dengan endemic uret, sebaiknya penanam
inang dihindari dan memilih untuk penanaman komoditas lain
- Mekanis
Pemasangan perangkap lampu di daerah sekitar pertanaman yang dimulai
sejak fase penerbangan. Setelah itu, imago atau kumbang yang terperangkap
bisa dikumpulkan dan kemudian dimusnahkan. Cara lain bisa dengan
melakukan gropyokan pada saat pembalikan tanah, larva diambil satu persatu
untuk kemudian dimusnahkan.
- Hayati
Pengendalian hayati uret dapat menggunakan nematoda patogen serangga
Steinernema sp. Serta cendawan Metarhizium sp. yang disebar di sekitar
tanah. Dari kedua agens tersebut, akan menyerang uret yang berada di dalam
tanah sehingga mampu menyebabkan mortalitas.
A B

C D
Gambar A merupakan NPS Steinerma sp. dan gambar B merupakan
cendawan Metarhizium sp. yang diisolasi menggunakan uret pada perlakuan
lab. Dari hasil yang di dapatkan terlihat pada gambar D, serangan dari
cendawan mampu menyebabkan kematian pada uret (Alfarizi dkk, 2011)
4. Ulat Penggulung Daun (Lamprosema indicata F)

Sumber: inpn.mnhn.fr

A. Klasifikasi hama penggulung daun menurut Kalsoven (1981) adalah


sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Divisio : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Pyralidae
Genus : Lamprosema
Spesies : Lamprosema indicata F.
B. Gejala Serangan
Gejala serangan hama ulat penggulung daun kedelai adalah adanya
daun-daun yang tergulung menjadi satu dan apabila gulungan dibuka, akan
dijumpai ulat atau kotorannya yang berwarna coklat hitam. Ulat ini membentuk
gulungan daun dengan merekatkan daun yang satu dengan yang lainnya dari
sisi bagian dalam dengan zat perekat yang dihasilkannya. Di dalam gulungan
daun, ulat memakan daun hingga tinggal tulang daunnya. Ngengat betina
berukuran kecil, berwarna coklat kekuningan dengan lebar rentangan sayap
sekitar 20 mm. Ngengat betina meletakkan telur secara berkelompok pada
daun-daun muda yang setiap kelompoknya terdiri dari 2-5 butir. Ulat yang baru
saja menetas berwarna hijau, licin, transparan dan agak mengkilap serta pada
bagian punggung (toraks) terdapat bintik hitam dan setelah tumbuh penuh
panjang tubuhnya sekitar 20 mm. Kepompong terbentuk di dalam gulungan
daun. Kadang-kadang ulat jenis Tortricidae dijumpai dalam gulungan daun.
Selain menyerang kedelai, ulat ini juga menyerang kacang hijau, kacang tolo,
kacang panjang, Calopogonium sp. dan kacang tanah.
C. Bioekologi
Ngengat bertelur dibawah permukaan daun. Telur diletakkan secara
berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 2-5 telur (Balitbang, 2006). Telur
menetas setelah 7-8 hari kemudian (Singh, 1990). Larva yang keluar dari telur
berwarna hijau, licin, transparan dan agak mengkilap. Pada bagian punggung
(toraks) terdapat bintik hitam. Panjang tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 20
mm (Balitbang, 2006). Stadia larva berlangsung selama 22-28 hari (Singh,
1990). Larva yang keluar dari telur berwarna hijau, licin, transparan dan agak
mengkilap. Pada bagian punggung (toraks) terdapat bintik hitam. Panjang
tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 20 mm (Balitbang, 2006). Stadia larva
berlangsung selama 22-28 hari (Singh, 1990). Ngengat berukuran kecil dan
sayapnya berwarna kuning kecoklatan dengan tiga garis coklat hitam. Panjang
rentangan sayap 20 mm (Rahayu, dkk, 2009).

Fase Bioekologi L. Indicata

D. Pengendalian
Pengendalian hama ulat penggulung daun pada tanaman kedelai telah
dilakukan melalui penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu
penerapan semua teknik atau komponen pengendalian secara kompatibel
yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Prinsip operasional dalam
PHT meliputi: 1) Budidaya tanaman sehat yaitu tana himan yang mempunyai
ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama. Penggunaan paket-
paket teknologi produksi dalam praktek budidaya harus diarahkan pada
terwujudnya tanaman sehat; 2) Pelestarian musuh alami (parasit, predator dan
patogen) yang merupakan faktor pengendalian hama yang perlu dilestarikan
dan dikelola agar mampu berperan secara maksimal dalam pengaturan
populasi hama di lapang; 3) Pemantauan ekosistem secara terpadu yaitu
pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif oleh petani. Hasil
pemantauan ini menjadi dasar analisis ekosistem untuk pengambilan
keputusan dan melakukan tindakan pengendalian; dan 4) Petani sebagai ahli
PHT yang berarti bahwa petani sebagai pengambil keputusan mempunyai
keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu menetapkan
keputusan pengendalian hama secara tepat.
Komponen pengendalian hama ulat penggulung daun kedelai adalah:

 Tanam serempak dengan selisih waktu kurang dari 10 hari;


 Pergiliran atau rotasi tanaman dengan beberapa varietas yang mempunyai
tingkat ketahanan berbeda atau jenis tanaman lain yang bukan inang.
Dengan pemutusan ketersediaan inang pada musim berikutnya, populasi
hama yang sudah meningkat pada musim sebelumnya akan dapat ditekan;
 Penggunaan cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii yang mampu
menginfeksi telur dan nimfa dengan tingkat mortalitas yang sangat tinggi
hingga mencapai 50%
 Penggunaan insektisida dengan bahan aktif klorfluazuron, betasiflutrin,
sipermetrin, alfametrin, carbosulfan, sihalotrin dan sipermetrin apabila
kepadatan populasi telah mencapai ambang kendali.
5. Penghisap Polong (Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae))

(Prayogo, 2005)

5.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Hemiptera
Super family : Coreoidea
Family : Alydidae
Genus : Riptortus
Species : Riptortus linearis (Fabricius, 1775)

5.2 Kehilangan Hasil

Di Indonesia terdapat tiga jenis hama pengisap polong kedelai, yaitu


Nezara viridula, Piezodorus hybneri, dan R. linearis (Tengkano et al. 1991).
Kehilangan hasil akibat serangan hama pengisap polong mencapai 79%
(Tengkano 1985; Tengkano et al. 1992). Hasil survei di Jawa Timur (Prayogo
dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan) dan Lampung (Tengkano et al. 2003,
tidak diterbitkan) menunjukkan bahwa R. linearis mempunyai daerah
penyebaran dan serangan yang paling luas dibandingkan dengan hama
lainnya.

5.3 Gejala Serangan

Nimfa maupun imago mampu menyebabkan kerusakan pada polong


kedelai dengan cara mengisap cairan biji di dalam polong dengan
menusukkan stiletnya. Tingkat kerusakan akibat R. linearis bervariasi,
bergantung pada tahap perkembangan polong dan biji. Tingkat kerusakan biji
dipengaruhi pula oleh letak dan jumlah tusukan pada biji. Serangan R. linearis
pada fase pertumbuhan polong dan perkembangan biji menyebabkan polong
dan biji kempes, polong tampak bintik-bintik hitam, mengering dan gugur.
Sedangkan pada biji akan tampak kehitam-hitaman, kosong dan gepeng
(Asadi, 2009).

5.4 Bioekologi

Siklus hidup R. linearis meliputi stadium telur, nimfa yang terdiri atas lima
instar, dan stadium imago. Imago (Gambar 1a) berbadan panjang dan
berwarna kuning kecokelatan dengan garis putih kekuningan di sepanjang sisi
badannya (Tengkano dan Dunuyaali 1976). Imago datang pertama kali di
pertanaman kedelai saat tanaman mulai berbunga dengan meletakkan telur
satu per satu pada permukaan atas dan bawah daun. Seekor imago betina
mampu bertelur hingga 70 butir selama 4– 47 hari. Imago jantan dan betina
dapat dibedakan dari bentuk perutnya, yaitu imago jantan ramping dengan
panjang 11–13 mm dan betina agak gemuk dengan panjang 13–14 mm. Telur
R. linearis berbentuk bulat dengan bagian tengah agak cekung, ratarata
berdiameter 1,20 mm. Telur berwarna biru keabuan kemudian berubah
menjadi cokelat suram (Gambar 1b). Setelah 6–7 hari, telur menetas dan
membentuk nimfa instar I selama 3 hari (Gambar 1c). Pada stadium nimfa, R.
linearis berganti kulit (moulting) lima kali. Setiap berganti kulit terlihat
perbedaan bentuk, warna, ukuran, dan umur. Rata-rata panjang tubuh nimfa
instar I adalah 2,60 mm, instar II 4,20 mm, instar III 6 mm, instar IV 7 mm, dan
instar V 9,90 mm (Tengkano dan Dunuyaali 1976). Nimfa maupun imago
mampu menyebabkan kerusakan pada polong kedelai dengan cara mengisap
cairan biji di dalam polong dengan menusukkan stiletnya. Tingkat kerusakan
akibat R. linearis bervariasi, bergantung pada tahap perkembangan polong
dan biji. Tingkat kerusakan biji dipengaruhi pula oleh letak dan jumlah tusukan
pada biji (Todd dan Turnipseed 1974). Serangan R. linearis pada fase
pembentukan polong menyebabkan polong kering dan gugur. Serangan pada
fase pertumbuhan polong dan perkembangan biji menyebabkan polong dan
biji kempes kemudian polong mengering dan akhirnya gugur. Serangan pada
fase pengisian biji menyebabkan biji berwarna hitam dan busuk, sedangkan
pada fase pematangan polong mengakibatkan biji keriput. Serangan pada
polong tua menjelang panen menyebabkan biji berlubang (Todd dan
Turnipseed 1974; Tengkano 1985).

5.5 Pengendalian

Pada umumnya, pengendalian hama masih mengandalkan insektisida


kimia. Penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menimbulkan
resistensi, resurjensi, musnahnya serangga berguna serta pencemaran
terhadap kesehatan dan lingkungan. Insektisida deltametrin adalah insektisida
golongan piretroid. Piretroid adalah senyawa sintesis kimia dari piretrum.
Nama kimia deltametrin adalah (S)–α cyano–3–phenoxybenzyl (1R, 3R)–3–
(2,2–dibromovinyl)–2,2 dimethylcyclopropanecarboxylate. Insektisida ini
bersifat racun kontak dan lambung. Pengurangan penggunaan insektisida di
areal pertanian menuntut tersedianya cara pengendalian lain yang aman dan
ramah lingkungan, di antaranya dengan memanfaatkan musuh alami dan
penggunaan insektisida nabati (Asadi, 2009).

5.5.1 Insektisida Nabati

Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber insektisida


nabati didasarkan bahwa terdapat mekanisme pertahanan dari tumbuhan.
Setiap jenis tumbuhan menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang
spesifik. Definisi minyak atsiri yang ditulis dalam Encyclopedia of Chemical
Technology adalah senyawa yang berwujud cairan, diperoleh dari bagian akar,
kulit, batang, daun, buah, biji maupun dari bunga dengan cara penyulingan
(Sastrohamidjojo, 2004). Insektisida memiliki fungsi sebagai repelan atau
menolak kehadiran serangga dengan bau yang menyengat, antifidan atau
mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot, menghambat
reproduksi serangga betina, racun syaraf dan mengacaukan sistem hormon di
dalam tubuh seranggga (Syakir, 2011). Insektisida nabati dibuat dari bahan
tumbuhan yang relatif mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan dan aman bagi manusia dan ternak, karena residunya mudah
hilang. Bahan aktif insektisida nabati mampu meracuni hama hingga 2-3 hari,
tergantung kondisi lapangan dan keadaan cuaca (Santosa, 2009). Lengkuas
(Languas galangal L.) Rimpang lengkuas besar dan tebal, berdaging,
berbentuk silindris, diameter sekitar 2 - 4 cm dan bercabang-cabang. Bagian
luar berwarna coklat agak kemerahan atau kuning kehijauan pucat,
mempunyai sisik-sisik berwarna putih atau kemerahan dan keras mengkilap.
Bagian dalam rimpang berwarna putih. Rimpang lengkuas mengandung lebih
kurang 1% minyak essensial terdiri atas metil-sinamat 48%, sineol 20-30%,
eugenol, kamfer 1%, seskuiterpen, galangin, galanganol dan beberapa
senyawa flavonoid (Setiawati et al., 2008). Riyanto (2009) menyatakan
insektisida berbahan ini bersifat toksik dan repelen. Serai merupakan tanaman
rumput-rumputan tegak, menahun dan mempunyai perakaran yang dalam dan
kuat. Batang membentuk rumpun, pendek dan bulat. Daun serai merupakan
daun tunggal dan pelepah daunnya silindris (Budiasih, 2011). Minyak atsiri
serai terdiri dari senyawa sitral, sitronela, geraniol, mirsena, nerol, farnesol
methyl heptenol dan dipentena. Kandungan yang paling besar adalah sitronela
yaitu sebesar 35% dan geraniol sebesar 35-40% (Setiawati et al., 2008).

5.5.2 Musuh Alami

Pengendalian hayati seperti pemanfaatan parasitoid, virus, predator dan


jamur entomopatogen mempunyai harapan besar di masa mendatang untuk
menggantikan insektisida kimia karena tidak mempunyai dampak negatif
terhadap kelestarian lingkungan. Jamur entomopatogen adalah komponen
pengendalian yang dapat memberi peluang cukup baik (Surtikanti dan Yasin,
2009). Pada awal pertumbuhan, koloni jamur berwarna putih, kemudian
berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni. Penggunaan
jamur untuk mengendalikan serangga hama dapat dilakukan dengan aplikasi
kontak langsung. Aplikasi ini memungkinkan konidia jamur langsung mengenai
tubuh serangga dalam jumlah banyak sehingga konidia dapat cepat melekat
(Desyanti et al., 2007). Mekanisme infeksi M. anisopliae yang pertama adalah
inokulasi, yaitu kontak antara propagul jamur dengan tubuh serangga.
Propagul jamur M. anisopliae berupa konidia. Tahap kedua adalah proses
penempelan dan perkecambahan propagul jamur pada integumen serangga.
Tahap ketiga adalah penetrasi dan invasi, jamur membentuk tabung
kecambah (appresorium) pada saat melakukan penetrasi menembus
integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan
mengeluarkan enzim. Kemudian destruksi pada titik penetrasi dan
terbentuknya blastospora yang selanjutnya beredar ke dalam haemolimfa dan
membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Pada umumnya
serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora. Enam senyawa enzim
dikeluarkan oleh M. anisopliae yaitu lipase, khitinase, amilase, proteinase,
pospatase dan esterase. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan
saprofit jamur dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan
pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan
tubuh serangga habis digunakan oleh jamur, sehingga serangga mati akan
mengalami perubahan warna menjadi coklat kehitaman, mengkerut, mengeras
seperti mumi dan ditumbuhi hifa jamur berwarna hijau (Prayogo et al., 2005;
Thalib et al., 2012). Menurut Santoso et al. (2009), faktor penting terjadinya
infeksi jamur entomopatogen pada serangga adalah populasi jamur
entomopatogen, populasi inang dan kondisi lingkungan. Umumnya unit infektif
dari jamur adalah spora. Banyaknya inokulum menentukan keberhasilan
infeksi jamur. Banyaknya inokulum dinyatakan sebagai banyaknya
spora/konidia per satuan volume larutan yang dikenal dengan kerapatan
spora. Insektisida Kimia Deltametrin Insektisida adalah suatu bahan khusus
yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama dengan dampak
seminimal mungkin bagi organisme lain (non-target).

2.9 Insektisida

Menurut Sonyaratri (2016), yang dimaksud dengan insektisida adalah jenis


pestisida yang digunakan untuk racun serangga. Berdasar cara masuknya terbagi
atas racun perut, racun kontak, dan fumigan. Berdasar hasil wawancara kami
dengan kedua narasumber, bahwa penggunaan insektisida diaplikasikan sekitar
21 hst, dimana pada waktu ini hama kedelai sudah mulai muncul. Insektisida
yang digunakan oleh petani adalah C1, C2 untuk intensitas serangan yang
rendah hingga sedang, dan B untuk intensitas serangan tinggi yang dianggap
akan merugikan hasil produksi kedelai baik kualitas dan kuantitas. Masing –
masing pestisida dilarutkan dalam air, dengan total 100 l untuk pemakain lahan
seluas 1 hektar. Serta jangka waktu penyemprotan sekitar seminggu sekali
bergantung dari jenis hama.
Menurut Purnamasari dkk (2016), bahwa insektisida C1 mengandung
senyawa imidacloporid 5%, yang mana berbentuk WP (wettable powder), dan
termasuk dalam insektisida sistemik. Imidacloporid berfungsi sebagai mimic dari
nikotin yang menyerang hama penusuk dan penghisap.
Menurut Irfandri (2002), bahwa insektisida C2 500 EC (Emulsible
Concentrate) merupakan insektisida cair pekat yang mengandung bahan aktif
profenofos 500g/l, termasuk dalam pestisida lambung atau racun perut, biasanya
digunakan dalam pembasmian hama ulat pada tanaman kacang.
Menurut Moekasan dkk (2014), insektisida B 25 EC termasuk pestisida
dengan kandungan bahan aktif beta slifutrin yang berbentuk pekatan dan
termasuk dalam pestisida kontak. Pada lahan UPT Palawija digunakan dalam
intensitas serangan hama yang tinggi, dan biasanya untuk pembasmian hama
pengerek polong dan penghisap.
2.9 Panen dan Pasca Panen
Ishaq (2009) menyebutkan bahwa panen merupakan kegiatan akhir dari
budidaya tanaman atau bercocok tanam, namun panen juga merupakan kegiatan
awal dari kegiatan pasca panen, dimana dalam kegiatan ini kita melakukan
persiapan pengelolaan, penyimpanan dan pemasaran sehingga komoditas yang
baru kita panen akan sampai ditangan konsumen melalui jalur pemasaran.
Menurut Ahmad (2013) pascapanen merupakan kegiatan untuk menjaga
kualitas buah dari kerusakan pada saat panen ataupun setelah pemanenan.
Dengan demikian penanganan pascapanen adalah kegiatan yang dilakukan sejak
panen hingga hingga produk akan dikonsumsi oleh konsumen atau produk akan
diolah oleh industri pengolahan pangan.
Berdasar hasil wawancara, pemanenan kedelai yang ditanam di lahan UPT
dilakukan sekitar 3 bulan sekali dengan hasil berkisar 1,7 – 1,8 ton sekali panen
dengan kriteria panen seluruh bagian tanaman berubah dari hijau menjadi kuning
kecoklatan. Untuk penangan pasca panen dilakukan penyortiran ukuran, berat,
warna dan bentuk polong, dan bila lolos sortir akan didistribusikan ke Balitkabi
daerah Jawa Timur untuk bahan tanam.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan lapang yang dilakukan di UPT Pengembangan


Palawija yang berlokasi di Singosari, ditemukan beberapa organisme yang berperan
sebagai hama, musuh alami, maupun serangga lain. Beberapa hama yang
ditemukan di lapang di antaranya yaitu kutu kebul, uret, belalang hijau, ulat
penggulung daun, dan kepik pengisap polong. Keberadaan hama-hama yang
menyerang tanaman kedelai ini diduga dikarenakan penggunaan lahan pertanian
dengan sistem monokultur kedelai yang terus menerus selama 20 tahun, sehingga
hama yang ada disana mulai endemik, disebabkan karena inang yang tersedia
setiap musim. Sedangkan musuh alami yang ditemukan di lapang yaitu tawon
predator. Selain itu, ditemukan pula serangga lain yang belum dapat teridentifikasi
dengan ciri-ciri yaitu bertubuh hitam seperti ngengat dengan corak berwarna orange.
Menurut keterangan petani, serangga tersebut tidak berpengaruh terhadap kedelai
yang dibudidayakan sehingga digolongkan ke dalam kelompok serangga lain.
Berbagai hama yang menyerang tanaman kedelai di lokasi pengamatan diatasi
menggunakan insektisida bermerek kompidor, Curaccron, dan bulldog. Insektisida
bulldog merupan insektisida paling keras yang digunakan ketika intensitas serangan
hama sudah cukup tinggi. Berdasarkan keterangan petani, hama yang paling banyak
menyebabkan kerugian yaitu kepik pengisap polong, sehingga kepik ini biasanya
dikendalikan menggunakan pestisida bermerek bulldog.

Dalam hal ini hama yang paling berbahaya adalah hama penghisap polong
yang menyebabkan kerugian terbesar dibandingkan hama-hama yang lain, dan
merupakan salah satu hama yang sulit untuk dikendalikan, dengan pertumbuhan
yang cepat serta fase imago yang cukup lama. Sehingga perlu adanya solusi dalam
mengendalikan hama ini agar meningkatkan hasil produksi kedelai. Dari
permasalahan hama penghisap polong ini dihasilkan sebuah pemikiran mengenai
pengendaliannya, yang menggunakan tanaman transgenic yang disisipi dengan
sebuah gen bakteri pathogen yang akan menginfeksi tubuh hama ketika hama
menyerang tanaman kedelai, sehinga tanaman kedelai mampu bertahan dari
serangan hama penghisap polong, serta mampu menigkatkan jumlah hasil produksi
tanaman kedelai. Peningkatan hasil produksi biji kedelai mampu menigkatkan
produktivitas dari UPT pengembangan palawija, karena UPT ini fokus pada
pengembangan biji-bijian. Selain itu, dapat pula dengan cara konservasi musuh
alami hama kedelai seperti Menochilus sp, Mantis sp, dan sebagainya sebagai
upaya pengurangan intensitas pemakaian insektisida.

3.2 Saran

Tanaman kedelai merupakan komoditas penting yang banyak digunakan


sebagai bahan pangan oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini memiliki hama
penting yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas hingga kegagalan panen.
Sampai saat ini, pengendalian hama tanaman kedelai masih banyak menggunakan
insektisida secara besar-besaran. Penggunaan insektisida ini selain dapat
mencemari lingkungan, dapat pula menciptakan resistensi terhadap hama yang
akan dibasmi. Oleh sebab itu, penggunaan tanaman transgenik,varietas tahan, dan
konservasi musuh alami dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengganti
insektisida.
DAFTAR PUSTAKA

Abd-Rabou, S. and A.M. Simmons. 2012. Effect of Three Irrigation Methods on


Incidences of Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) and Some Whitefly-
Transmitted Viruses in Four Vegetable Crops. Trends in Entomol. 8: 21–26.
Adisarwanto, T. 2005. Kedelai. Penebar Swadaya : Jakarta
Ahmad, U. 2013. Teknologi Penanganan Pascapanen Buahan dan
Sayuran.Yokyakarta: Graha Ilmu
Akib, W. dan D. Baco. 1985. Ketahanan Varietas Kedelai terhadap Penggerek
Polong Etiella zinckenella (Treitschke). hlm. 56-82. Prosiding Simposium
Hama Palawija. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung dan
Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
Alfarizi dkk. 2011. Pengendalian Hayati Uret Menggunakan Nematoda Patogen
Serangga (NPS) dan Metarhizium sp. Di Laboratorium. Fakultas Pertanian
Universitas Jember : Jember
Baliadi, Y., W. Tengkano, Bedjo, dan Purwantoro. 2008. Validasi Rekomendasi
Pengendalian Hama Terpadu Kedelai di Lahan Sawah dengan Pola Pergiliran
Tanaman Padi-Kedelai. Agritek 16(3): 492-500.
Balitkabi. 2016. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai. Kementrian Pertanian Indonesia
: Jakarta
Bi J.L., D.M. Lin, K.S. Lii, N.C. Toscano. 2005. Impact of Cotton Planting Date and
Nitrogen Fertilization on Bemisia argentifolii Populations. Insect Sci. 12:31–36.
Briddon, R.W. and P.G. Markham. 2000. Cotton Leaf Curl Virus Disease. Virus Res.
71: 151–159.
Brown, J.K. 2011. Family Geminiviridae. In King, A.M.Q. et al. (ed.). Virus
Taxonomy. 9th Report of the International Committee on Taxonomy of Viruses.
London: Elsevier Acad. Press: 351– 373.
Byamukama, E., R.W. Gibson, V. Aritua and E. Adipala. 2004. Within-Crop Spread
of Sweet Potato Virus Disease and The Population Dynamics of Its Whitefly
and Aphid Vectors. Crop Prot. 23: 109–116.
Chanty, Pol, Stephanie Belfield and Robert Martin. 2010. Insects of upland crops.
Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR).
David, BV 2001, Elements of Economic Entomology (Revised and Enlarged Edition),
Popular Book Depot, Chennai, India, 590 p.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2010. Pengenalan dan Pengendalian Hama Uret
(Lepidiota stigma F.). Kementrian Pertanian Indonesia : Jakarta
Djuwarso, T., D.M. Arsyad, Asadi, and A. Naito. 1994. Evaluation of Soybean
Resistance to Etiella pod borer. p. 21-32. In I. Prasadja, M.F. Muhadjir, N.
Sunarlim, L. Gunarto, dan U.G. Kartasasmita (Ed.). Effective Use of
Agricultural Materials and Insect Pest Control on Soybean. Central Research
Institute for Food Crops-JICA.
Elisa. 2011. Sistem Pertanian dan Teknik Budidaya Tanaman. UGM : Yogyakarta
Ellsworth P.C , J. L. Carrillob. 2001. IPM for Bemisia tabaci: A Case Study from
North America. Crop Prot. 20: 853–869.
Ewusie E.A., M.N. Parajulee, D.A. Adabie-Gomez, D. Wester. 2010. Strip Croping: A
Potential IPM Tool for Reducing Whitefly, Bemisia tabaci Gennadius
(Homoptera: Aleyrodidae) Infestations in Cassava. West African J. of Applied
Ecol. 17: 109–119.
Fatahuddin dan Bumbungan. 2011. Efektivitas Cendawan Entomopatogen
(Fusarium sp.) terhadap Aphis glycines dan Empoasca terminalis pada
Tanaman Kedelai. Makassar: Universitas Hasanuddin. J. Fitomedika. 7 (3):
186 – 190 (2011).
Flint H.M., Naranjo S.E., Leggett J.E., Henneberry T.J. 1996. Cotton Water Stress,
Arthropod Dynamics, and Management of Bemisia tabaci (Homoptera:
Aleyrodidae). J. Econ. Entomol. 89:1288–1300.
Fukuta, S., S. Kato, K. Yoshida, Y. Mizukami, A. Ishida, J. Ueda, M. Kanbe, Y.
Ishimoto. 2003. Detection of Tomato Yellow Leaf Curl Virus by Loopmediated
Isothermal Amplification Reaction. J. Virological Methods 112:35–40.
Gencsoylu, I., A.R. Horowitz, F. Sezgin and C. Ncuer, 2003. Methods on Bemisia
tabaci Populations in Cotton Field. Phytoparasitica, 31: 139–143.
Harahap, Desi. 2015. Pola Tanam Sequential Planting Tanaman Selada (Lactuca
Sativa L.) dan Brokoli (Brassica Olerecea Cv. Brocolli) Untuk Meningkatkan
Keuntungan di P4S Makin Makmur. Poltek Pertanian Payakumbuh :Tanjung
Pati
Hequet, O., Lee, Q. H., Moullet, I., Pauli, E., Salles,G., Espinouse, D., Dumontet,C.,
Thieblemont,C., Arnaud, P., Antal D.,, Bouafia, F., & Coiffier, B., 2007,
Subclinical Late Cardiomyopathy After Doxorubicin Therapy for Lymphoma in
Adults. Journal of Clinical Oncology, 22 (10).
Herman, M., S.J. Pardal, E. Listanto, T.I.R. Utami, dan Damayanti. 2001. Evaluasi
Ketahanan Kedelai Generasi R1 Hasil Transformasi dengan Gen Proteinase
Inhibitor II. In D.L. Weigman (Ed.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan
dan Bioteknologi Tanaman. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang
Bandung.
Hooks, C.R.R., and A. Fereres. 2006. Protecting Crops from non-persistently Aphid-
Transmitted Viruses: A review on the use of barrier plants as a management
tool. Virus Res. 120: 1–16.
Horowitz, A.R., Antignus, Y. and Gerling D. 2011. Management of Bemisia tabaci
Whiteflies. In W.M.O. Thompson (ed.), The Whitefly, Bemisia tabaci
(Homoptera: Aleyrodidae) Interaction with Geminivirus-Infected Host Plants,
Springer Dordrecht, p 293–322.
Hunter, M.S., Woolley, J.B., 2001. Evolution and Behavioral Ecology of
Heteronomous Aphelinid Parasitoids. Ann. Rev. Entomol. 46: 251–290.
Inayati, A. dan Marwoto. 2012. Pegaruh Kombinasi Aplikasi Insektiida dan Varietas
Unggul terhadap Intensitas Serangan Kutu Kebul dan Hasil Kedelai. J.
Penelitian Pertanian 31:13–21.
Intari, SE dan. Natawiria, D, 1973. Hama Uret pada Persemaian dan Tegakan Muda.
Laporan LPH No. 167. Bogor.
Irfandri. 2002. Kajian Insektisida Curacron 500 EC (profenofos) pada Bayam
(Amaranthus tricolor L.) di Daerah Simpang Tiga Pekanbaru. IPB Press :
Bogor
Ishaq, Iskandar. 2009. Petunjujuk Teknis Penangkaran Padi. Jawa Barat : Balai
Pengkajian teknologi Pertanian (BPTP)
Kalshoven, L. G. E., 1981.The Pest of Crops in Indonesia. Revised and Tranlated By
P.A. Van der laan. P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.
Latheef, M.A., J.B. Carlton, I.W. Kirk, W.C. Hoffmann. 2009. Aerial Electrostatic-
Charged Sprays for Deposition and Efficacy Against Sweet Potato Whitefly
(Bemisia tabaci) on Cotton, Pest Manag. Sci. 65: 744–752.
Lestari dkk. 2014. Tanggapan Klon Tebu (Saccharum officinarum L.) Terhadap
Serangan Uret Lepidiota stigma Fabricius. Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada : Yogyakarta
Maa, Ali dkk. 2016. Records of four species of subfamily Melolonthinae Macleay,
1819 from Malaysia (Scarabaeidae: Coleoptera). Faculty of Agriculture,
Universiti Putra Malaysia : Selangor
Malumphy, Chris et. al. 2017. Tobacco, Sweet Potato or Silver Leaf Whitefly. UK:
Department for Environment Food and Rural Affairs.
Mangundojo, R.S.G. 1958. Penyelidikan Mengenai Penggerek Polong Crotalaria
juncea L. di Djawa. Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta. Balai Besar
Penyelidikan Pertanian (153): 101 hlm.
Marwoto dan A. Inayati. 2012. Pengendalian Kutu Kebul B. tabaci Genn.
Menggunakan Kombinasi Tanaman Penghalang dan Insektisida Kimia. Pros.
Seminar Nasional Hasil Penelitian Kacangkacangan dan Umbi-umbian.
Puslitbangtan: 279–288.
Marwoto. 2007. Potensi Ekstrak Daun Aglaia odorata untuk Pengendalian Hama
Polong Kedelai. hlm. 396-404. Dalam D. Harnowo, A.A. Rahmiana,
Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi, Subandi, dan A.K. Makarim (Ed). Peningkatan
Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian
Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Mawan A. dan H. Amalia. 2011. Statistika Demografi Riptortus linearis F.
(Hemiptera: Alydidae) pada Kacang Panjang (Vigna sinensis L.). Perhimpunan
Entomologi Indonesia. Jurnal Entomologi Indonesia 8(1):8-16
Moekasan dkk. 2014. Cara Kerja dan Daftar Pestisida Serta Starategi Pergilirannya
pada Budidaya Tanaman Sayuran dan palawija. Wageningen UR : Belanda
Moreau, T. 2010. Manipulating Whitefly Behavior Using Plant Resistance, Reduced
Risk Spray, Trap Crops and Yellow Sticky Trap for Improved Control for Sweet
Paper Greenhouse Crops. Thesis for Ph.D. in The Univ. of British Columbia.
Vancouver. 114 p.
Morin, S., M. Ghanim et, al. 1999. A GroEL Homologue from Endosymbiotic Bacteria
of the Whitefly Bemisia tabaci is Implicated in the Circulative Transmission of
Tomato Yellow Leaf Curl Virus. Virology 256: 75–84.
Mulawarman dkk. 2002. Pengolahan Benih Pohon Sumber Benih, Pengumpulan,
dan Penganan Benih. International Centre For Research In Agroforestry.
Newsom, L.D. and D.C. Herzog. 1977. Trap Crops for Control Soybean Pest. La
Agric. 20(3): 14-15.
Ohorella, A., Daud, A., dan Anwar. 2013. Identifikasi Residu Pestisida Golongan
Organoklorin Bahan Aktif Lindan pada Wortel di Pasar Tradisional (Pasar
Terong) dan Pasar Modern (Swalayan Ramayana M’tos) Kota Makasar Tahun
2013. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (1) : 130 – 137.
Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988b. An Outline on Soybean Pests in
Indonesia in Faunistic Aspects. Seminar of Bogor Research Institute for Food
Crops, 6 December 1988. 37 pp.
Perring, T.M., 2001. The Bemisia tabaci species Complex. Crop Protection 20: 725–
737.
Prayogo dan Y. dan Suharsono. 2005. Optimalisasi Pengendalian Hama Pengisap
Polong Kedelai (Riptortus linearis) dengan Cendawan Entomopatogen
Verticillium lecanii. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian. Jurnal Litbang Pertanian 24(4):123-130
Purnamasari dkk. 2016. Efektivitas Insektisida Imidacloporin, Betacyflutrin,
Thiametoxam dan Metomil Terhadap Kutu Daun Myzus persicae Sulz. Pada
Tanaman Tembakau. Iniversitas Jember : Jember
Razze, J. M., O. E. Liburd and R. McSorley. 2015. Preference of Bemisia tabaci
biotype B on zucchini squash and buckwheat and the effect of Delphastus
catalinae on whitefly populations. Pest Manag Sci. doi: 10.1002/smj.2236.
Roques, Alain. 2006. Bemisia tabaci. Delivering Alien Invasive Spesies Inventaris for
Europe.
Sajogyo. 1990. Sosiologi Pedesaan Jilid 1. Jogjakarta: Gajah Mada University Press
Sakung, J. 2004. Kadar Residu Pestisida Golongan Organofosfat pada Beberapa
Jenis Sayuran. Jurnal Ilmiah Santina. 1 (4) : 520 - 525.
Saleh, N. dan S. Hardaningsih. 2007. Pengendalian penyakit terpadu pada tanaman
kedelai. Teknologi dan Pengembangan. Puslitbangtan. 319–344.
Saragih, Dora. 2009. Serangan Uret dan Cara Pengendaliannya pada Tanaman
Eucalyptus hybrid di Hutan Tanaman PT. Toba Pulp Lestari Sektor AEK NA
ULI Sumatera Utara. Fakultas Kehutanan Universitas Pertanian Bogor : Bogor
Sherraden M. 2006. Aset untuk Orang Miskin, Perspektif Baru Usaha Pengentasan
Kemiskinan. Jakarta: Raja GrafindoPersada
Sofia, Diana. 2007. Repon Tanaman Kedelai (Glycine max L) Pada Tanah Masam.
Universitas Sumatera Utara : Medan.
Sonyaratri, Desy. 2016. Kajian Daya Ekstrak Insektisida Ekstrak Daun Mimba
(Azadirachta indica A) dan Ekstrak Daun Mindi (Melia azaderach L.) terhadap
Perkembangan Serangga Hama Gudang Sitophilus zeamais Motsch. IPB
Press : Bogor.
Stansly P.A., and Eric T. Natwick. 2010. Integrated Systems for Managing Bemisia
tabaci in Protected and Open Field Agriculture in P.A. Stansly, S.E. Naranjo
(eds.), Bemisia: Bionomics and Management of a Global Pest. 467 p.
Stansly, P.A., Schuster, D.J., 1990. Update on Sweetpotato Whiteûy.In: Stall, W.M.
(Ed.). Proc. of the Florida Tomato Institute Vegetable Crops Special Series SS-
VEC-001. IFAS, Univ. of Florida, Gainesville, p. 41–59.
Sutrisno., S.J. Pardal et, al. 2003. Bioasai Tanaman Kedelai Transgenik Pinll
terhadap Hama Penggerek Polong (Etiella zinckenella, Treitschke). hlm.
167−172. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Tanaman. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung.
Suwandi dan Sulistiyono. 2017. Kajian Dosis Pupuk Phonska Pada Dua Varietas
Semangka Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Buah Semangka. UPN Jawa
Timur : Surabaya.
Tengkano, W. dan Bedjo. 2004. Potensi Oxyopes javanus Thorell (Oxyopidae:
Araneae) Memangsa Hama Utama Kedelai. Sainteks (Jurnal Pengembangan
Ilmu-ilmu Pertanian) XI(3): 165-174.
Tengkano, W. dan Suharsono. 2002. Kumbang Paederus fuscipes Curtis sebagai
Pemangsa Hama Kedelai. hlm. 153-160. Dalam M. Jusuf, J. Soejitno,
Sudaryono, D.M. Arsyad, A.A. Rahmiana, Heriyanto, Marwoto, I.K. Tastra,
M.M. Adie, dan Hermanto (Ed.). Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Tengkano, W., Bedjo, dan Suharsono. 2004. Kemampuan Oxyopes javanus Thorell
Memangsa Nimfa Instar 2 Pengisap Polong dan Imago Etiella zinckenella
Treit. pada Berbagai Tingkat Populasi. hlm. 434-443. Dalam. A.K. Makarim,
Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmiana, Heriyanto, dan I.K. Tastra (Ed.). Kinerja
Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Tengkano, W., Harnoto, M. Taufik, dan M. Iman. 1992b. Dampak Negatif Insektisida
terhadap Musuh Alami Pengisap Polong. Seminar Hasil Penelitian Pendukung
Pengendalian Hama Terpadu. Kerja Sama Program Nasional Pengendalian
Hama Terpadu-Bappenas dan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 29
hlm.
Tengkano, W., I. Okada, Suharsono, Bedjo, dan A. Basyir. 1991. Penyebaran dan
Komposisi Jenis Serangga Hama Kedelai di Provinsi Jawa Timur. hlm. 97-118.
Dalam S. Hardjosumadi, M. Machmud, S. Tjokrowidjoyo, D. Pasaribu, dan A.
Kurnia (Eds.). Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Bogor, 21-23
Februari 1990. Volume I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Tengkano, W., Suharsono, dan M. Arifin. 2002. Potensi Lycosa pseudoannulata
(Boesen berger and Styrand) dalam Memangsa Hama Utama Kedelai. hlm.
176-185. Dalam L. Hutagalung, Suprapto, B. Sudaryanto, W.S. Ardjasa,
Sudaryono, N. Saleh, dan Subandi (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Palawija. Buku 2. Hasil Penelitian dan Pengkajian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Tengkano, W., Supriyatin, dan Marwoto. 2000. Efektivitas penggunaan varietas dan
Luas Pertanaman Kedelai sebagai Perangkap Telur Etiella zinckenella Tr. hlm.
22-29. Dalam A.A. Rahmiana, J. Soejitno, D.M. Arsyad, Heriyanto, Sudaryono,
Suharsono, dan I.K. Tastra (Ed.). Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan
Hayati pada Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo, dan Purwantoro. 2007.
Status Hama Kedelai dan Musuh Alami di Lahan Kering Masam Lampung.
Iptek Tanaman Pangan 2(1): 93−109.
Tjahjadi, Nur. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius : Yogyakarta
Trijaka, Soegito, A. Osman, and C.C. van den Bogaert. 1992. Screening for
Resistance Against The Complex of Pod-Sucking Insects in Soybean, Muneng
MK II, 1991. Internal Technical Report of Soybean Breeding. MARIF-RTI. 40
pp.
Valverde, R.A , Jeonggu Sima, and Pongtharin Lotrakul. 2004. Whitefly transmission
of sweet potato viruses. Virus Research 100: 123–128.
Asadi. 2009. Identifikasi ketahanan sumber daya genetik kedelai terhadap hama
pengisap polong. Buletin Plasma Nutfah 15(1) : 27-31.
Desyanti, 2007, Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes sp. (Isoptera:
Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat
Lokal. Disertation Unpublish. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor
Hardjono Sastrohamidjojo, (2004). Kimia Minyak Atsiri.Yogyakarta: Penerbit: Gajah
Mada University Press. Hal 9, 10, 11
Prayogo Y, Suharsono. 2005. Optimalisasi pengendalian hama pengisap polong
kedelai (Riptortus linearis) dengan cendawan entomopatogen Verticillium
lecanii. J Litbang Pert 24(2): 123-130.
Riyanto. 2009. Potensi Lengkuas (Languas galangal L.), Beluntas (Pluchea indica
L.), dan Sirsak (Annona muricata L.) sebagai Insektisida Nabati Kumbang
Kacang Hijau Callosobruchus chinensis L. (Coleoptera : Bruchidae). 6(2):58-
66.
Setiawati, S. 2008. Proses Pembelajaran Dalam Pendidikan Kesehatan. Jakarta :
Trans Info Media
Sigit, Santosa.2009. Creative Advertising. Jakarta: Elex Media Computindo.
Surtikanti dan Yasin, M .2009.Keefektifan Entomopatogenik Beauveria bassiana
Vuill. dari Berbagai Media Tumbuh Terhadap Spodoptera litura F.
(Lepidoptera:Noctuidae) di Laboratorium. Prosiding Seminar Nasional Serelia.
Hlm. 358-362.
Syakir, M. 2011. Status Penelitian Pestisida Nabati. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan. Badan Litbang Pertanian. Dalam
Seminar Nasional Pestisida Nabati IV pada 15 Oktober 2011. Jakarta. 9-18
hal.
Tengkano, W. 1985. Tingkat kerusakan ekonomi pengisap polong, Riptortus linearis
F. (Hemiptera: Alydidae) pada tanaman kedelai Orba. Tesis, Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 105 hlm.
Tengkano, W. dan Bedjo. 2002. Potensi Oxyopes javanus Thorell (Oxyopidae:
Araneae) Memangsa Hama Utama Kedelai. Seminar Nasional Perkembangan
Terkini Pengendalian Hayati di Bidang Pertanian dan Kesehatan, Institut
Pertanian Bogor, 5 September 2002.
Tengkano, W. dan M. Dunuyaali. 1976. Biologi dan pengaruh tiga macam umur
polong kedelai terhadap produksi telur Riptortus linearis F. Laporan Kemajuan
Penelitian Seri Hama/Penyakit (4): 19−34.
Tengkano, W., B. Untearianto, A. Rauf, dan E.S. Ratna. 1991. Preferensi pengisap
polong,
Piezodorus hybneri F. (Hemiptera: Pentatomidae) pada berbagai tahap
pertumbuhan tanaman kedelai varietas Orba. Prosiding Seminar Biologi Dasar
II. Bogor, 14 Februari 1990. Biologi Dasar dalam Menunjang Produktivitas dan
Kualitas Hayati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi,
Bogor. hlm. 108−115.

Tengkano, W., M. Arifin, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan
pengendalian
hama pengisap dan penggerek polong kedelai. Dalam Marwoto, N. Saleh,
Sunardi,
dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu
Tanaman
Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Malang. hlm.117−153.

Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo, dan Purwantoro. 2003.


Status hama penyakit kedelai dan musuh alami di lahan kering masam.
Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian, Malang.
Todd, J.W. and S.G. Turnipseed. 1974. Effect of Southern green stink bug damage
on yield and quality of soybean. J. Econ. Entomol. (3): 421−426.

Anda mungkin juga menyukai