Anda di halaman 1dari 55

RESPON PERTUMBUHAN STEK SALAM

(Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) TERHADAP


LAMA PENYUNGKUPAN DAN PEMBERIAN AUKSIN

Oleh:
NURUL MUAFIDAH
A34101002

PROGRAM STUDI AGRONOMI


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RESPON PERTUMBUHAN STEK SALAM
(Eugenia polyantha (Wight.) Walp.) TERHADAP
LAMA PENYUNGKUPAN DAN PEMBERIAN AUKSIN

Sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:
NURUL MUAFIDAH
A34101002

PROGRAM STUDI AGRONOMI


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Ringkasan

NURUL MUAFIDAH. Respon Pertumbuhan Stek Salam (Eugenia polyantha


(Wight.) Walp.) terhadap Lama Penyungkupan dan Pemberian Auksin (Di
bawah bimbingan ANI KURNIAWATI).

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan sistem perbanyakan dengan


cara vegetatif pada tanaman salam (Eugenia polyantha (Wight.) Walp.).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama penyungkupan dan konsentrasi
IBA serta interaksi kosentrasi IBA dan lama penyungkupan yang tepat untuk
pertumbuhan stek salam (Eugenia polyantha (Wight.) Walps.).
Dalam penelitian ini, dipergunakan rancangan petak terbagi (Split Plot
Design) dengan dua taraf perlakuan, yaitu lama penyungkupan dan pemberian
auksin dalam bentuk IBA. Perlakuan lama penyungkupan terdiri dari tanpa
penyungkupan, lama penyungkupan satu minggu, lama penyungkupan dua
minggu dan lama penyungkupan tiga minggu, sedangkan perlakuan IBA terdiri
dari tanpa IBA, IBA dengan konsentrasi 100 ppm, IBA dengan konsentrasi 200
ppm dan IBA dengan konsentrasi 300 ppm. Peubah yang diamati adalah
keberhasilan setek, tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, temperatur
dalam dan luar sungkup serta kelembaban baik dalam sungkup maupun luar
sungkup.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa keberhasilan stek pada perlakuan
lama penyungkupan tiga minggu lebih tinggi dibandingkan perlakuan
penyungkupan lainnya, yaitu keberhasilan stek sebesar 12.5 %.
Pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki pertambahan
tinggi tanaman yang lebih tinggi dan pertambahan jumlah daun yang lebih
banyak, sedangkan pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu memiliki
pertambahan jumlah cabang yang lebih banyak. Pada perlakuan konsentrasi IBA
200 ppm memiliki pertambahan tinggi tanaman yang lebih tinggi dan
pertambahan jumlah cabang yang lebih banyak, sedangkan pada perlakuan
konsentrasi IBA 100 ppm memiliki pertambahan jumlah daun yang lebih banyak.

Kata-kata kunci : salam, pertumbuhan, stek, lama penyungkupan dan auksin.


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1982 di Surabaya, Jawa


Timur. Penulis adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak
Tohirin dan Ibu Zubaidah (Alm.).
Taman Kanak-Kanak diselesaikan pada tahun 1989 di Taman Kanak-
Kanak Avia Dharma. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN I
Gedangan Sidoarjo, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada
tahun 1998 di SMPN 1 Gedangan Sidoarjo dan pendidikan lanjutan menengah
atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN 1 Prajekan Bondowoso.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Agronomi,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2001.
Selama masa studi, Penulis aktif dalam berbagai organisasi di kampus dan
luar kampus. Mulai tahun 2001-2008 Penulis aktif dalam Unit Kegiatan
Kemahasiswaan (UKM) KSR PMI Unit I IPB. Pada tahun 2003 Penulis menjadi
Sekretaris Umum IPB Crisis Centre (ICC) BEM KM IPB. Pada tahun 2005
Penulis aktif dalam Forum Komunikasi KSR PMI Perguruan Tinggi Nasional
Periode 2005-2007 sebagai Sekretaris Jenderal. Pada tahun 2007 Penulis menjabat
Dewan Pertimbangan Forum pada Kepengurusan Forum Komunikasi KSR PMI
Perguruan Tinggi Se-Indonesia periode 2007-2009.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan karunia
dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan
pertolongan-Nya serta Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah
SAW, keluarga, sahabat dan ummatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Respon Pertumbuhan Stek Salam (Eugenia polyantha
(Wight.) Walp.) terhadap Lama Penyungkupan dan Pemberian Auksin”.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan tulus yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Ani Kurniawati, SP., M.Si yang telah membimbing, mengarahkan, dan
membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi
serta memberikan dukungan moral dan spiritual.
2. Ir. Ketty Suketi, MSi sebagai dosen penguji dan Juang Gema Kartika, SP.
sebagai dosen penguji dan Wakil Panitia Urusan Skripsi. Terima kasih
masukan dan saran untuk perbaikan skripsi, serta dukungan moral.
3. Pak Komar dan Pak Milin (Kebun Percobaan Cikabayan) yang telah
memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian dan membantu pada
persiapan penelitian.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika
Fakultas Pertanian IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Agustus 2008

Penulis
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan karunia
dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan
pertolongan-Nya serta Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah
SAW, keluarga, sahabat dan ummatNya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penelitian yang berjudul “Respon Pertumbuhan Bibit Salam (Eugenia
polyantha (Wight.) Walp.) terhadap Lama Penyungkupan dan Pemberian Auksin”
dalam rangka tugas akhir bagi penulis di Departemen Agronomi dan Hortikultura.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan tulus kepada:
4. Ani Kurniawati, SP., MSi yang telah membimbing, mengarahkan, dan
membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi
serta memberikan dukungan moral dan spiritual.
5. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro, M.Agr selaku Pembimbing Akademik dan
Pembina KSR PMI Unit I IPB. serta Dr. Ir. Munif Gulamahdi, M.Si selaku
pengganti Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan moral
dan spiritual.
6. Ir. Ketty Suketi, M.Si sebagai dosen penguji dan Juang Gema Kartika, SP.,
selaku dosen penguji serta wakil Urusan Akademik. Terima kasih masukan
dan saran untuk perbaikan skripsi.
7. Pak Komar dan Pak Milin (Kebun Percobaan Cikabayan) yang telah
memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian dan membantu pada
persiapan penelitian.
8. Ibunda tercinta (Alm. Zubaidah), Ayahanda tercinta, kakak-kakakku (Mbak
Iin, Mbak Ifa, Mas Udin dan Mas Cholis), juga Adek-adekku (De’ Ifa dan De’
Guntur) beserta keluarga besarnya, yang banyak memberikan materi,
motivasi, kasih sayang dan doa yang tiada henti serta semua keponakanku
tercinta. Terima kasih atas keceriaan dan doanya.
9. Swissanto S. (IPB ’15) beserta Martha S. S. (IPB ‘19), Pak Iin Sholihin,
Teman-teman AGR (AGR ’38, ’39, ’40, ’41 dan ‘42), Rita Rahardiyanti,
S.Hut dan teman-teman Volunteer Direktorat Pengembangan Karier dan
Hubungan Alumni IPB serta seluruh staf Direktorat Pengembangan Karier
dan Hubungan Alumni IPB. Terima kasih doa, perhatian dan dukungannya.
10. Saepul Rizal, S.Pd serta teman-teman KSR PMI Unit I IPB (Angkatan 11, 12,
13, 14, 15, 16 dan 17) terima kasih atas dukungan dan kebersamaan serta
pengertiannya, terutama pada Yuyun (TIN ’41) dan Mery serta Bagus B.P.
(KSR ITT, Bandung).
11. Teman-teman KSR Perguruan Tinggi Se-Indonesia dan Pengurus Forum
Komunikasi KSR PMI Perguruan Tinggi Se-Indonesia Periode 2005-2007 dan
Periode 2007-2009.
12. Teman-teman dan adik-adik di Griya Salma (Chia, Ninik, Tati, Mada, Dian,
Umul, Tria, Citra, Yana dan Nurban) dan Wisma Sabrina (Tiwi, Anif, dll),
terima kasih atas perhatiannya dan segala dukungannya.
13. Corona Crew, terima kasih atas kesediaan dan ijinnya untuk menggunakan
internet gratis.
14. Langit K.H, Hilman, Ari Nur, Andrea Hirata dan Donny Dhirgantoro, kau
memberikan inspirasi dan relaksasi di saat otak ini lelah, serta pihak-pihak
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika
Fakultas Pertanian IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Agustus 2008

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Tujuan .................................................................................................. 3
Hipotesis .............................................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4


Botani Tanaman Salam ....................................................................... 4
Budidaya Tanaman Salam.................................................................... 5
Kegunaan Tanaman Salam .................................................................. 5
Perbanyakan Tanaman Salam .............................................................. 6
Penyungkupan ..................................................................................... 9
Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh untuk Perakaran .......................... 10
Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh ............................................................ 11
Media Tanam ...................................................................................... 13
Pembibitan ........................................................................................... 14

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ..................................................... 15


Waktu dan Tempat .............................................................................. 15
Alat dan Bahan .................................................................................... 15
Rancangan Penelitian .......................................................................... 15
Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 16
Pengamatan ......................................................................................... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 19


Hasil .................................................................................................... 19
Keadaan Umum ....................................................................... 19
Temperatur dan Kelembaban Udara ........................................ 20
Keberhasilan Setek ................................................................. 22
Tinggi Tanaman ...................................................................... 23
Jumlah Daun ............................................................................ 25
Jumlah Cabang ......................................................................... 26
Pembahasan .......................................................................................... 27
Temperatur dan Kelembaban Udara ........................................ 27
Keberhasilan Setek................................................................... 29
Tinggi Tanaman ....................................................................... 30
Jumlah Daun ........................................................................... 32
Jumlah Cabang ........................................................................ 33

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 36


Kesimpulan .......................................................................................... 36
Saran..................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 37


DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
Teks
1. Temperatur Udara dan Kelembaban Udara Rata-Rata pada Berbagai Taraf
Perlakuan Lama Penyungkupan................................................................... 20
2. Keberhasilan Setek yang Masih Hidup pada Akhir Pengamatan di Setiap
Perlakuan Lama Penyungkupan................................................................... 22
3. Pertambahan Tinggi Tanaman pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan
Konsentrasi IBA .......................................................................................... 24
4. Pertambahan Jumlah Daun pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan
Konsentrasi IBA .......................................................................................... 25
5. Pertambahan Jumlah Cabang pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan
Konsentrasi IBA........................................................................................... 26

Lampiran
1. Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM .............. 42
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
Teks
1. Buah Tanaman Salam .................................................................................. 4
2. Daun dan Batang Tanaman Salam .............................................................. 5
3. Kondisi Umum Lahan Percobaan (Perlakuan Tanpa Sungkup dan
Lama Penyungkupan Satu Minggu ............................................................. 19
4. Kondisi Umum Lahan Percobaan (Perlakuan Lama Penyungkupan
Dua Minggu dan Lama Penyungkupan Tiga Minggu.................................. 20
5. Temperatur Udara pada Berbagai Perlakuan pada Pengamatan Pagi Hari
dan Sore Hari ............................................................................................... 21
6. Kelembaban Udara pada Berbagai Perlakuan pada Pengamatan Pagi Hari
dan Sore Hari ....................................................................................... 22
7. Keadaan Setek Salam dari Perlakuan Tanpa Penyungkupan ...................... 23

Lampiran
1. Keadaan Stek Salam pada Perlakuan Lama Penyungkupan Satu Minggu 43
2. Keadaan Stek Salam pada Perlakuan Lama Penyungkupan Dua Minggu. 43
3. Keadaan Stek Salam pada Perlakuan Lama Penyunglupan Tiga Minggu . 43
4. Kondisi Stek Pada Perlakuan Tanpa Penyungkupan di Akhir
Pengamatan ............................................................................................... 44
5. Keadaan Stek stelah Penyungkupan Selama Satu Minggu ....................... 44
6. Keadaan Stek setelah Penyungkupan Selama Dua Minggu ...................... 44
7. Keadaan Stek setelah Penyungkupan Selama Tiga Minggu ..................... 45
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia memiliki beraneka ragam tanaman yang memiliki fungsi dan
manfaat yang bervariasi. Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan obat-
obatan, bahan pangan, bahan pakan, bahan baku pencampur minyak dan bahan
pembuat kosmestik. Tanaman yang dapat digunakan sebagai obat-obatan, antara
lain, tanaman temu-temuan (misalnya temu giring, kunyit, jahe), tanaman pagar
(misalnya mangkokan), bahkan tanaman yang biasanya digunakan sebagai bahan
masakan (culinary) termasuk daun salam.
Bukan hanya orang Indonesia, bangsa Inggris juga mengenal tanaman ini
dan menyebutnya salam leaf. Dalam beberapa literatur salam ditemukan dan
diteliti pertama kali oleh Pangeran Eugene dari Savoy, sehingga ada yang
menyebut Eugenia Polyantha. Tanaman salam ini ditemukan di Burma dan
tersebar luas di Malaysia Bagian Barat, kadang-kadang ditemukan di Asia
Tenggara.
Menurut Biro Hukum dan Humas dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(2004) daun salam merupakan salah satu tanaman dari sembilan tanaman obat
yang direkomendasikan oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan MUI.
Daun salam memiliki berbagai macam kegunaan yang sering digunakan oleh umat
manusia, terutama penduduk Indonesia yang digunakan sebagai bumbu dalam
masakan. Namun daun salam belum dibudidayakan dalam skala besar (Badan
Pengawas Obat-obatan dan Makanan MUI, 2004). Dalam penggunaannya di
dalam kehidupan sehari-hari daun salam digunakan sebagai campuran bahan-
bahan masakan (culinary). Selain itu daun salam digunakan sebagai bahan obat-
obatan tradisional, misalnya obat gatal, asam urat, obat luka dengan menggunakan
ekstrak tanin dari daun salam.
Perkembangbiakan tanaman salam ini menggunakan perbanyakan vegetatif
(stek dan cangkok) dan perbanyakan generatif (biji). Menurut Badan POM (2004)
tanaman salam dapat berkembang biak dengan menggunakan biji (benih) dan
cangkok. Perbanyakan dengan menggunakan stek memiliki beberapa keuntungan
2

diantaranya murah, pertumbuhan cepat, sederhana dan tidak memerlukan teknik


yang rumit (Hartmann et al., 1990). Menurut Rochiman dan Harjadi (1973)
pertumbuhan stek dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam
meliputi jenis bahan, adanya tunas dan daun pada bahan stek, umur bahan stek,
kandungan bahan makanan dan zat pengatur tumbuh. Faktor luar adalah
lingkungan dan pelaksanaan. Faktor lingkungan meliputi media pertumbuhan,
kelembaban, suhu, cahaya, sedangkan pelaksanaan meliputi waktu pengambilan
bahan stek dan perlakuan dengan zat pengatur tumbuh.
Penyungkupan akan mendorong pertumbuhan akar tanaman lebih cepat
dibandingkan tanaman yang tidak dilakukan penyungkupan. Penyungkupan
merupakan salah satu cara untuk menjaga kelembaban relatif agar tetap tinggi
selama pertumbuhan tanaman (Pierik, 1987). Suhu optimal untuk perakaran stek
menurut Hartmann et al. (1990) berkisar antara 21-27°C pada pagi hari dan siang
hari, sedangkan 15°C pada malam hari.
Menurut Pangaribuan (1999), teknik penyungkupan dapat dilakukan
bersama-sama ataupun satu persatu tanaman. Teknik penyungkupan tanaman
dengan satu tanaman dilakukan pada saat aklimatisasi tanaman dengan
menggunakan gelas plastik atau botol selai. Penyungkupan dengan teknik ini
memiliki kerugian, yaitu memerlukan biaya besar, tenaga banyak sehingga tidak
efisien. Teknik bersama ini dapat dilakukan di lapang, sehingga teknik ini dapat
mengurangi biaya yang besar dan tenaga yang diperlukan sedikit serta lebih
efisien dalam pelaksanaannya.
Kegiatan penyetekan dikatakan berhasil apabila bahan tanaman yang distek
mengalami perakaran. Proses pembentukan akar dapat dipercepat dan
ditingkatkan kualitasnya dengan cara pemberian zat pengatur tumbuh. Salah satu
zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar
pada stek adalah Rootone-F. Menurut Manurung (1987), pengujian Rootone-F
pada berbagai jenis tanaman telah dilakukan secara luas, mencakup tanaman
industri, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura dan tanaman hutan. Menurut
Afrizal (2002), bahan stek yang berasal dari tunas yang berumur 5 minggu dengan
ZPT IBA konsentrasi 100 ppm merupakan perlakuan yang paling baik digunakan
3

untuk kegiatan penyetekan Swietenia macrophylla King, yaitu menghasilkan


persentase hidup 100 % dan persentase berakar 80 % dibandingkan perlakuan lain
(umur 3 dan 7 minggu dan IBA dengan konsentrasi 0 dan 150 ppm).

Tujuan
Mengetahui respon stek salam (Eugenia polyantha (Wight .)Walp.) terhadap
perlakuan lama penyungkupan dan pemberian auksin.

Hipotesis
1. Terdapat waktu penyungkupan yang memberikan pengaruh terbaik pada
pertumbuhan stek salam.
2. Terdapat konsentrasi auksin yang memberikan pengaruh terbaik terhadap
pertumbuhan stek salam.
3. Terdapat waktu penyungkupan dan konsentrasi auksin yang memberikan
pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan salam.
TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Salam


Tanaman ini memiliki nama umum adalah Indonesian bay leaf (Bahasa
Inggris), salam blad (Bahasa Inggris), daun salam manting (Bahasa Indonesia),
serah, kelat samak (Bahasa Indonesia) dan Indonesische lorbeerblatt (Bahasa
Belanda). Tanaman salam memiliki famili yang sama dengan famili tanaman
cengkeh, tanaman jambu dan tanaman jambu biji.
Menurut Badan POM (2004) di Pulau Jawa dan Madura marga Eugenia
ditemukan 59 jenis. Menurut Heyne (1987) tanaman ini memiliki sistematika
taksonomi sebagai berikut: kingdom: Plantae, divisi: Antophyta, filum:
Angiospermae, ordo: Rosiidae, klas: Myrthales, famili: Myrthaceae, genus:
Eugenia dan spesies : Eugenia polyantha Wight (Syzygium polyanthum Wight.).
Pohon salam (Syzygium polyanthum Wight.) yang biasa tumbuh liar di hutan
dan di pegunungan dapat mencapai ketinggian 25 meter dan lebar pohon 1.3
meter. Tanaman salam merupakan tanaman yang tinggi dengan daun yang
berbentuk ovate yang sederhana. Daun salam yang rimbun memiliki panjang
berkisar 10-12 cm. Menurut Badan POM (2004), bunganya berwarna merah
jambu atau putih dan mempunyai bau yang wangi. Daun muda beraroma karena
kandungan persentase minyak atsiri dalam tanaman tersebut. Tanaman salam
tumbuh liar di hutan, di daerah pegunungan maupun ditanam di halaman rumah
sebagai tanaman bumbu. Tanaman salam ini berbatang besar dan tinggi. Bentuk
daun lonjong dan berujung runcing. Bila diremas mengeluarkan bau harum.
Buahnya keciI-kecil sebesar buni dan rasanya sedikit sepat. Ketika masih muda
buahnya berwarna hijau, kemudian kalau sudah tua berwarna merah kehitaman.
Menurut Badan POM (2004), buah salam berukuran 9-10 mm (gambar 1).

Gambar 1. Buah Salam Muda (warna hijau) dan Matang (warna merah)
5

Budi Daya Tanaman Salam


Menurut Mag (2001), tanaman salam dapat tumbuh dengan baik di dataran
rendah sampai dengan pegunungan dengan berketinggian 1800 m dpl dengan
temperatur 22-30°C. Tanaman salam membutuhkan intensitas matahari penuh
dengan drainase yang baik dan menghendaki iklim yang panas dengan curah
hujan cukup merata. Tanaman ini tidak tahan kekeringan sehingga tidak sesuai
ditanam pada lokasi dengan musim kemarau yang panjang.
Tanaman salam membutuhkan curah hujan 1500-4500 mm/tahun dengan
bulan kering (curah hujan kurang dari 60 mm/bulan) berturut-turut 2-3 bulan atau
tidak boleh lebih dari 3 bulan. Tanaman salam mudah kekeringan, terutama
tanaman salam muda. Pada tanaman salam dewasa, kekurangan air bisa
merontokkan bunga yang hampir matang petik. Daerah dengan curah hujan kira-
kira 2000 mm/tahun dan tersedia air irigasi yang cukup sangat ideal bagi tanaman
salam (Dalimartha, 2008).

Gambar 2. Daun dan Batang Tanaman Salam

Kegunaan Tanaman Salam


Bagian tanaman yang sering digunakan sebagai bahan obat-obatan dalam
kehidupan sehari-hari adalah daun, kulit batang, akar, buah, bagian rempah,
rimpang dan umbi. Menurut Dalimartha (2008), salam mengandung minyak asiri
(sitral, eugenol), tanin dan flavonoid. Tanaman salam mengandung astringent,
yaitu suatu zat untuk menciutkan luka. Tanaman salam dapat dimanfaatkan untuk
mengatasi asam urat, stroke, kolesterol tinggi, melancarkan peredaran darah,
radang lambung, diare, gatal-gatal, kencing manis, dan lain-lain.
Menurut Hanan (1999) daun muda sering digunakan sebagai makanan.
Potongan daging direbus dengan daun tersebut dan dapat dimakan bersamaan
6

dengan daun salam. Kulit kayu, akar dan daunnya digunakan untuk mengobati
beberapa penyakit oleh penduduk Malaysia. Selain daun yang digunakan sebagai
bumbu, kulit pohonnya biasa digunakan sebagai bahan pewarna jala atau anyaman
bambu.
Minyak daun salam digunakan sebagai bumbu (ramuan pelengkap bumbu)
dalam berbagai jenis produk pangan, terutama daging, sosis, sop kalengan, hasil
panggangan (baked good), kembang gula, dan sebagainya. Minyak daun salam
yang digunakan sebagai pengganti daun salam kering memiliki keuntungan,
karena minyak ini dapat ditakar lebih tepat dan memberikan hasil yang lebih
merata daripada daun kering (Guenther, 1990).

Perbanyakan Salam
Perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan dengan biji, cangkok atau stek.
Pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif dapat menghasilkan tanaman
yang sama dengan induknya secara genetik. Menurut Purnomosidhi et al. (2002),
perbanyakan vegetatif termasuk stek memiliki keuntungan, antara lain, lebih cepat
berbuah, sifat keturunannya sama dengan induknya dan dapat digabungkan
dengan sifat yang diinginkan.
Teknik perbanyakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara memisahkan
bagian akar, batang atau daun dari pohon induknya, dimana jika ditanam pada
kondisi yang menguntungkan akan muncul akar yang membentuk individu yang
sama dengan induknya (Hartmann et al. 1990). Hartmann et al. (1990) membagi
stek, antara lain, stek batang terdiri dari hardwood, semi hardwood, softwood dan
herbaceus; stek daun serta stek akar.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973) pertumbuhan stek dipengaruhi oleh
faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi jenis bahan, adanya tunas dan
daun pada bahan stek, umur bahan stek, kandungan bahan makanan dan zat
pengatur tumbuh. Faktor luar adalah lingkungan dan pelaksanaan. Faktor
lingkungan meliputi media pertumbuhan, kelembaban, suhu, cahaya, sedangkan
pelaksanaan meliputi waktu pengambilan bahan stek dan perlakuan dengan zat
pengatur tumbuh.
7

Bagian tanaman yang muda dan subur dapat digunakan sebagai bahan stek
karena bagian ini mempunyai jaringan yang belum terdiferensiasi sehingga
memudahkan terjadinya diferensiasi primordia akar serta mempunyai tunas yang
sudah atau siap terbentuk (Weaver, 1972).
Tunas diperlukan untuk mendorong terjadinya perakaran stek, pembentukan
akar tidak akan terjadi bila seluruh tunas dihilangkan atau dalam keadaan dorman.
Tunas berperan sebagai sumber auksin, terutama bila tunas tersebut mulai tumbuh
baik auksin yang dihasilkan oleh tunas maupun daun, bersama-sama dengan
rooting cofactor akan bergerak ke bawah atau basipetal dan menumpuk di dasar
stek (Hartmann et al. 1990).
Stek diambil dari bagian tanaman muda. Tetapi bila tanaman tersebut sangat
muda dan lunak maka transpirasi berlangsung cepat sehingga stek menjadi lemah
dan akhirnya mati (Rochiman dan Harjadi, 1973)
Bahan stek dengan rasio kandungan karbohidrat C/N tinggi akan menambah
akar. Rasio C/N rendah akan memproduksi akar sedikit tetapi menghasilkan tunas
yang kuat (Rochiman dan Harjadi, 1973).
Kelembaban udara optimum untuk stek berdaun adalah 90 % pada waktu
belum terbentuk perakaran dan minimal 75 % ketika mulai terbentuk akar
(Mahlstede dan Haber, 1978 dalam Susanti, 2003). Beberapa cara
mempertahankan kelembaban adalah menggunakan tutup kaca, tenda plastik atau
kain putih diatas bak stek. Hal ini dilakukan untuk menjaga temperatur daerah
perakaran yang berpengaruh pada hasil produksi tanaman.
Suhu yang paling baik bagi perakaran untuk hampir semua jenis tanaman
adalah 21-27°C pada siang hari dan 15°C pada malam hari (Hartmann et al.
1990). Hal ini yang berpengaruh pada RZT (Root-Zone Temperature = temperatur
daerah perakaran). RZT yang tinggi dapat menghasilkan dampak yang besar pada
pertumbuhan tanaman bagian ujung vegetatif, pembentukan buah, penyerapan air,
penyerapan mineral, proses asimilasi dan respirasi tanaman (Cooper, 1973;
Dodded et al., 2000; Tindall et al., 1990). Organ tanaman yang berbeda
memungkinkan menghasilkan perbedaan tingkat sensivitas akar pada RZT,
misalnya pertumbuhan tanaman tomat di rumah kaca yang RZT optimal untuk
hasil bobot kering bagian ujung akar adalah 24°C dan pada akar sebesar 26°C
8

(Tindall et. al., 1990). Dibawah kondisi lingkungan tumbuh yang dikendalikan,
pertumbuhan akar meningkat hampir berbanding lurus dengan peningkatan
temperatur dari temperatur minimum sampai temperatur optimum. Temperatur
daerah perakaran (RZT = Root-Zone Temperatur) minimum, optimum dan
maksimum pada pertumbuhan tanaman bervariasi antara spesies/jenis tanaman
(Cooper, 1973). Menurut penelitian mengenai RZT konstan mengindikasikan
bahwa RZT optimum untuk ketersediaan hara mineral dan pertumbuhan tomat
antara 26-34°C (Cooper, 1973; Gosselin and Trudel, 1983; Tindall et al., 1990).
Hasil penelitian Diaz-Perez dan Batal (2002) menunjukkan bahwa pada
musim gugur rata-rata RZT harian mengalami kemunduran dari 32°C pada masa
tanam menjadi 24°C pada masa panen, sedangkan pada musim semi rata-rata RZT
harian meningkat dari 20-29°C melebihi musim tanam. Menurut Conover (1930)
tanaman berdaun yang tumbuh pada suhu 29°C akan menggunakan fotosintesis
dua kali lebih banyak pada tanaman pada suhu 19°C.
Pada sebagian jenis tanaman, suhu udara yang rendah umumnya akan
mendorong perakaran, sedangkan suhu yang tinggi meningkatkan laju transpirasi
dan katabolisme yang terakumulasi dalam bentuk zat pati (Rochiman dan Harjadi,
1973). Karbohidrat sebagai salah satu pendukung metabolismenya tergantung
suhu, zat pati terkumulasi pada suhu 15°C, tetapi pada suhu 25°C tidak ditemukan
zat pati terakumulasi. Selanjutnya Nadiroh (2003) menambahkan suhu yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan stek Sentang berkisar 27.1-28.9°C dan
kelembaban berkisar 87.1-88.2%.
Menurut Briggs dan Calvin (1987), kelembaban relatif akan menurun pada
suhu tinggi. Kelembaban yang rendah menghambat pertumbuhan tanaman untuk
memproduksi fotosintat sehingga akan menyebabkan pertumbuhan tanaman
terganggu.
Secara umum tanaman akan tumbuh optimal pada kelembaban diatas 50 %.
Kelembaban media lebih berpengaruh ekstrim terhadap pertumbuhan stek
dibanding kelembaban ruangan. Penyiraman akan meningkatkan penguapan air di
permukaan tanah dan akan membantu meningkatkan kelembaban di sekitar daun
(Briggs dan Calvin, 1987).
9

Suhu
Suhu udara yang baik untuk merangsang pembentukan primordial akar
berbeda-beda berdasarkan jenis tanaman. Kisaran suhu yang baik untuk
merangsang pembentukan akar adalah 26-29°C untuk media perakaran (Hartmann
et al., 1990).

Kelembaban
Kelembaban yang tinggi sangat penting bagi pertumbuhan stek untuk
menghambatt laju transpirasi, mencegah stek dari kekeringan dan kematian stek
sebelum stek membentuk akar (Rochiman dan Harjadi, 1973). Kelembaban di atas
90 % terutama stek belum mampu membentuk akar. Jika kelembaban rendah akan
menyebabkan kekeringan dan kematian stek akibat kekurangan air.

Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya pada stek yang belum mampu berakar harus lebih rendah
dibandingkan dengan intensitas pada stek yang sudah mempunyai organ dan
jaringan lengkap. Intensitas cahaya penting untuk merangsang pembentukan
hormon dan pembelahan sel. Intensitas cahaya yang rendah akan meningkatkan
inisiasi akar pada stek. Menurut Hartmann et al. (1990), cahaya berkontribusi
dalam pembentukan akar dan tunas adventif untuk perakaran. Stek berkayu paling
baik di bawah radiasi rendah.

Penyungkupan
Penyungkupan merupakan salah satu cara untuk menjaga kelembaban relatif
selama pembibitan atau perbanyakan. Untuk mengurangi tingkat kegagalan
perbanyakan dibutuhkan kondisi lingkungan dengan kelembaban relatif yang
tinggi (50-90%) selama 2-3 minggu pertama, hal ini dimaksudkan untuk
melindungi bahan biakan dari desikasi dan proteksi dari serangan beberapa
patogen. Selain itu juga dibutuhkan media tumbuh yang bersifat porous dengan
aerasi dan drainase yang baik untuk perkembangan akar yang cepat (Hartmann et
al., 1990). Selanjutnya Pierik (1987) menambahkan bahwa penyungkupan dapat
10

meningkatkan kelembaban relatif udara sehingga mencapai keadaan yang ideal


dan kondusif bagi bahan setek untuk tetap tumbuh dan tidak cepat kering
Hasil penelitian Rosman et al. (2004) menunjukkan bahwa perlakuan
naungan 50 % signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah cabang, lebar tajuk, lingkar batang, berat basah dan berat kering daun serta
berat basah dan berat kering batang serta didukung oleh Salisbury dan Ross
(1995) bahwa daun tanaman akan mengubah morfologi dan komposisi sebagai
respon tanaman terhadap penyinaran.

Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh Untuk Perakaran


Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik selain hara yang dalam
konsentrasi rendah dapat mendorong atau menghambat proses fisiologi tanaman
(Tukey, 1954). Menurut Weaver (1972), pemakaian zat pengatur tumbuh pada
stek dapat menstimulasi akar, meningkatkan persentase perakaran dan
memberikan keseragamaan waktu perakaran.
Zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan untuk perbanyakan
tanaman secara stek adalah golongan auksin (Weaver, 1972). Auksin adalah
senyawa yang dicairkan dengan fungsi untuk pemanjangan sel pada pucuk dengan
struktur kimianya dicirikan oleh adanya indole ring dan senyawa organik yang
dapat mengatur bentuk pembentukan tanaman dan dapat aktif di luar titik
tumbuhnya dalam jumlah yang sangat sedikit. Auksin adalah salah satu hormon
tumbuh yang mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Abidin, 1983).
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), beberapa ZPT yang tergolong
auksin sintetik, yang sering digunakan untuk merangsang pembentukan akar
adalah Indole Acetic Acid (IAA) dan Naphthalene Acetic Acid (NAA). Perbedaan
aktifitas ZPT ini ditentukan oleh spesies yang dipakai, fisiologi stek dan keadaan
lingkungan. Auksin yang banyak digunakan adalah IAA (Indole Acetic Acid), IBA
(Indole Butyric Acid) dan NAA (Napthalene Acetic Acid). Untuk mendorong
pertumbuhan stek dari tanaman berkayu dan tanaman berbatang lunak banyak
digunakan auksin sintetik NAA dan IBA. Mekanisme kerja NAA dan IBA adalah
merangsang pembelahan sel (Wattimena, 1988).
11

Menurut Weaver (1972) zat pengatur tumbuh yang paling baik untuk
merangsang akar adalah IBA dan NAA. IBA memiliki aktivitas auksin yang
lemah, zat kimia bersifat stabil dan tetap berada pada daerah pemberian
perlakuan, translokasinya lemah berlangsung lebih lambat sehingga bahan
aktifnya akan tertahan didekat tempat aplikasinya. Auksin lain yang biasanya
digunakan sebagai pendorong perakaran adalah NAA. NAA memiliki sifat lebih
beracun daripada IBA dengan penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi harus
dihindari karena dapat menyebabkan pelukaan pada tanaman, dan didukung oleh
Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa pemberian auksin sintetik dengan
konsentrasi terlalu tinggi dapat merusak dasar stek dimana pembelahan sel dan
kerusakan berlebihan dapat menghambat tumbuhnya akar dan tunas.
Zat pengatur tumbuh dapat menstimulasi perakaran spesies tanaman yang
mudah berakar, tapi mungkin tidak dapat menginduksi spesies tanaman yang sulit
berakar. Senyawa berbeda memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kuantitas
dan kualitas perakaran yang diinduksi.Sebagai contoh tanaman Chrysanthemum,
Geranium, Verbena, Carnation, Begonia, African Violet, English Ivy, memiliki
respon yang baik terhadap perlakuan zat pengatur tumbuh (Weaver, 1972).
Auksin digunakan untuk pertumbuhan kalus, pemanjangan tunas dan
pembentukan akar. Dalam konsentrasi rendah akar memacu tunas adventif,
sedangkan konsentrasi tinggi mendorong terbentuk kalus (Pierik, 1987). Auksin
yang secara alami tidak terdapat dalam tumbuhan adalah Indole-3-Acetic Acid
(IAA). Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya ditentukan oleh tipe
pertumbuhan dan level auksin endogen. Kemampuan jaringan dalam sistem
auksin dan zat pengatur tumbuh lain yang ditambahkan tanaman. Auksin NAA
selang konsentrasi optimalnya sangat sempit untuk pertumbuhan, yaitu aktif pada
konsentrasi 0.001-10 mg/l tetapi NAA memiliki sifat yang lebih tahan, tidak
mudah terdegradasi dan lebih murah.

Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh


Metode perendaman adalah metode paling praktis yang paling awal
ditemukan dan sampai saat ini masih dipandang paling efektif. Pada stek berkayu
lembut (softwood, herbaceus) jumlah larutan yang diabsosrbsi tergantung pada
12

jumlah air yang diabsorbsi, karena itu merode perendaman sangat sesuai untuk
tanaman herbaceus guna mencegah terjadinya keracunan pada tanaman (Audus,
1963). Menurut hasil penelitian Susanti (2003), lama perendaman selama 2 jam
berpengaruh baik pada persentase stek hidup Anyelir sebesar 38.06 %, persentase
berakar lebih tinggi pada perlakuan IBA 300 ppm dibandingkan perlakuan
lainnya.
Avery dan Johnson (1947) menyatakan bahwa metode perendaman
dilakukan dengan cara merendam stek selama kira-kira 24 jam pada kedalam 1
inchi dengan konsentrasi auksin dipergunakan berkisar antara 25-100 ppm,
sedangkan menurut Hartmann et al. (1990) pada umumnya konsentrasi auksin
digunakan berkisar antara 20 ppm untuk spesies tanaman yang mudah berakar dan
200 ppm untuk spesies yang sulit berakar.
Untuk keberhasilan stek, jumlah dan konsentrasi hormon yang diberikan
haruslah tepat agar didapatkan waktu dan sistem perakaran yang baik (Yasman
dan Smith, 1988). Konsentrasi yang terlalu rendah akan mengakibatkan perakaran
lama, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi menyebabkan kemungkinan stek
tidak membentuk akar, melainkan kalus. Konsentrasi dan jumlah hormon ini
tergantung pada umur bahan stek, waktu atau lamanya pemberian hormon,
aplikasi hormon, jenis tanaman dan sistem stek yang digunakan. Semakin tua
umur bahan stek, maka diperlukan konsentrasi hormon yang semakin tinggi,
semakin banyak serat kayu pada batang, maka waktu yang diperlukan untuk
pemberian hormon, semakin lama dan begitu juga sebaliknya (Yasman dan Smith,
1988)
Pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke bawah dari auksin,
karbohidrat dan rooting cofactor (zat-zat yang berinteraksi dengan auksin yang
mengakibatkan perakaran) baik dari tunas ataupun dari dalam. Zat-zat ini akan
timbul dari dua sumber, yaitu dari jaringan kalus dan akar morfologi atau
primordial (Rochiman dan Harjadi, 1973).
Menurut Hartman et al. (1990) ada tiga proses pertumbuhan akar adventif
pada stek, yaitu:
a. Inisiasi sel-sel meristematis (akar pendahuluan).
13

b. Diferensiasi kelompok sel tersebut menjadi primordia akar yang dapat


dikenali.
c. Pemunculan dan perkembangan akar baru.

Media Tanam
Dalam pertumbuhan tanaman diperlukan media tanam yang sesuai dengan
jenias tanaman yang di tanam baik di lapangan maupun di rumah kaca. Media
tanam yang menggunakan tanah sebagai media tanam sangat dipengaruhi oleh
jenis tanah yang akan digunakan sebagai media tanam. Syarat media tanam
tumbuh yang baik adalah: (1) memiliki sifat fisik remah karena media yang remah
akan bersifat tidak padat secara keseluruhan sehingga akar tanaman mudah
berkembang dan dapt menembus tanah, selain itu, tanah remah akan baik dalam
hal aerasi dan drainase; (2) tidak mengandung bahan-bahan beracun yang dapat
menghambat pertumbuhan tanaman; (3) tingkat kemasaman baik; (4) tidak
mengandung hama atau penyakit; dan (5) memiliki daya pegang air yang cukup
(Baudendistel, 1982; Ismail, 1999). Selain itu syarat media tanam adalah mudah
didapatkan dengan biaya murah (Agnes, 1994).
Tanah merupakan hasil pelapukan dari batuan. Jenis tanah dibedakan
menjadi dua, antara lain, tanah mineral dan tanah organik. Tanah mineral adalah
tanah yang merupakan hasil pelapukan dari bahan-bahan mineral, sedangkan
tanah organik adalah tanah yang berasal dari hasil pelapukan bahan-bahan
organik. Tanah organik memiliki bahan organik dalam jumlah yang tinggi,
misalnya tanah gambut. Setiap jenis tanah memiliki sifat fisik dan sifat kimia
yang berbeda. Sebagai contoh tanah latosol memiliki sifat kimia yang kurang
baik. Tanah latosol memiliki KTK yang rendah disebabkan oleh bahan oranik
dalam jumlah sedikit dan memerlukan tambahan unsur N, P, K, Ca, Mg dan
beberapa unsur mikro. Tanah latosol mengandung hidro-oksida besi atau
aluminium. Menurut hasil penelitian Eris (2001) penggunaan tanah dalam
budidaya paku pohon memberikan hasil yang sama pada komposisi media tanam
yang lain.
Kompos sebagai salah satu bahan organik dan kandungan haranya
tergantung pada bahan tanaman yang dijadikan sebagai kompos tersebut (Rowll,
14

1995). Indranada (1986) menyatakan dalam pembuatan kompos kualitas bahan


sangat menentukan kelancaran dekomposisi. Nisbah C/N merupakan indikator
yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan organik. Keuntungan kompos
adalah bahan organik untuk memperbaiki kondisi tanah yang mengandung unsur
hara (N, P, K, Ca, Mg) (Lingga dan Marsono, 2001). Nisbah C/N optimal yang
digunakan dalam proses pengomposan adalah 30-40. Menurut hasil penelitian
Yulindaria (1998) bahwa jumlah rebung pada Bambu Betung sebanyak 0.621
pada perlakuan pupuk kandang ayam sebanyak 6 ton/ha.
Menurut hasil penelitian Robert et al. (2001) kepadatan akar lebih tinggi
untuk Bentgrass yang ditumbuhkan pada 8 bagian pasir + 1 bagian Com-Til + 1
bagian campuran vermiculite, composted bark fines, peat moss, processed bark
ash dan pasir yang telah dicuci, sedangkan menurut hasil penelitian Utami (1983),
penggunaan campuran 2 bagian tanah + 1 bagian pasir + 1 bagian kompos
menghasilkan pertumbuhan yang biak pada tanaman suplir (Adiantum tenerum; A.
cuneatum; A. peruviatum).

Pembibitan
Pengelolaan pembibitan yang baik akan menghasilkan bibit yang sehat dan
seragam. Pembibitan dapat dilakukan pada tanah bedengan atau dalam wadah.
Pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi kerugian
yang lebih berakibat pada kematian bibit. Apabila bahan tanaman langsung
ditanam di lahan penanaman.
Pembibitan hendaknya berdekatan dengan air supaya mudah menyiram di
saat-saat diperlukan. Tanah yang miring lebih baik daripada tanah datar. Tanah
yang miring sebelah timur dapat menerima banyak sinar matahari, lebih bdaik
daripada tanah yang miring sebelah barat (Hadiwijaya, 1980).
Pembibitan tanaman cengkeh menggunakan polibag memiliki keuntungan
dan kerugian. Keuntungan pembibitan dengan menggunakan polibag, antara lain,
(1) resiko kematian tanaman pada saat pemindahan sedikit; (2) dapat dipindahkan
ke lapangan lebih dari 2 tahun asalkan polibag cukup kuat; (3) tanaman lebih
kekar; dan (4) dapat dilakukan oleh siapa saja. Kerugian pembibitan di polibag,
antara lain, (1) memerlukan banyak biaya; (2) pemupukan dan penyiraman lebih
intensif; dan (30 polibag harus diperbaiki (Bintoro, 1986).
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu


Penelitian tersebut yang dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2007.
Penelitian tersebut dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan.

Bahan dan Alat


Alat yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah alat tulis, polybag
berukuran 20 × 15 cm, timba, cangkul, gunting stek, Psychrometer, plastik, kayu
atau bambu, pisau, alat penyiram, termometer tanah, gelas ukur dan ember.
Adapun bahan yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah bahan stek
berasal dari batang tanaman salam yang telah berumur ≥ 2 tahun dengan tinggi
sekitar 160 cm, kompos, tanah latosol Dramaga, auksin dan pupuk NPK.

Rancangan Penelitian
Rancangan lingkungan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design).
Bahan tanam berupa stek batang dengan menghilangkan setengah daun
dari pucuk dengan panjang 20 cm. Dalam penelitian tersebut, aspek perlakuan
yang dilakukan adalah perlakuan konsentrasi IBA yang terdiri dari R0 (tanpa
IBA), R1 (konsentrasi IBA 100 ppm), R2 (konsentrasi IBA 200 ppm) dan R3
(konsentrasi IBA 300 ppm). Ketiga perlakuan tersebut diacak dalam setiap
ulangan dan penempatannya di setiap unit percobaan terdiri dari W0 (tanpa
sungkup), W1 (lama sungkup 1 minggu), W2 (lama sungkup 2 minggu) dan W3
(lama sungkup 3 minggu). Setiap perlakuan ada 3 ulangan. Masing-masing
penyungkupan merupakan satu unit percobaan tersendiri, sehingga akan terdapat
tiga unit percobaan yang terpisah. Dengan demikian masing-masing unit
percobaan memiliki 16 satuan percobaan.
Sehingga seluruhnya ada 48 perlakuan. Setiap perlakuan terdapat 10
polybag. Setiap polibag terdiri dari 1 bibit tanaman, sehingga jumlah seluruhnya
480 tanaman. Semua satuan percobaan dilakukan pengamatan, yaitu 480 tanaman.
16
Persamaan respon atau model statistik yang digunakan dalam penelitian
ini adalah
Yijk = µ + αi + βj + γ k+ (αγ)jk + εijk
Keterangan:
Yij : respon pengamatan perlakuan konsentrasi auksin ke-i, ulangan ke-j dan
lama penyungkupan ke-k
µ : Nilai rataan umum
αi : pengaruh konsentrasi auksin ke-i
βj : pengaruh ulangan ke-j
γk : pengaruh lama penyungkupan ke-k
(αγ)jk : pengaruh interaksi antara konsentrasi auksin ke-i dan lama penyungkupan
ke-k
εijk : Nilai pengaruh galat percobaan perlakuan konsentrasi auksin ke-i, ulangan
ke-j dan lama penyungkupan ke-k
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SAS. Apabila berbeda
nyata, maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan
taraf 5 %.

Pelaksanaan
Kegiatan diawali dengan persiapan bahan stek. Bahan stek diambil dari
tanaman induk yang berasal dari Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB dengan
jumlah tanaman induk yang digunakan sebanyak 160 tanaman. Bahan stek tidak
diambil dari tanaman pinggir. Dari satu pohon induk diperoleh 3 cabang. Setiap
cabang diambil 2 stek.
Media tanam yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah campuran
tanah latosol dan kompos dengan perbandingan 2:1. Perbanyakan tanaman yang
digunakan adalah perbanyakan vegetatif berupa stek batang dari tanaman salam.
Pemotongan batang dilakukan pada jam 07.00-09.00 WIB. Batang dipotong
dengan ukuran sekitar 20 cm, kemudian dipotong miring agar luas permukaan
stek yang digunakan sebagai stek lebih luas dibandingkan pemotongan batang
tegak. Pemotongan setek tidak dilakukan dalam air. Setelah bahan stek siap
17
digunakan sebagai bahan tanam, direndam dalam air agar stek tidak mengalami
kekeringan pada saat penanaman.
Sebelum bahan stek ditanam, bahan stek yang telah dipotong dicelupkan
dalam IBA sesuai dengan perlakuan dengan cara perendaman selama 15 menit.
Stek tersebut ditanam sedalam 4 cm. Tahap selanjutnya tanaman disungkup
berdasarkan perlakuan lama penyungkupan. Sungkup dibuat dari bilah bambu
lentur dengan tinggi 80 cm. Rangka yang telah jadi ditutup dengan plastik mulai
dari bagian atas sampai ke bagian bawah. Penutupan dilakukan secara menyeluruh
sampai semua bedengan tertutup.
Pemeliharaan stek dilakukan dengan menyemprotkan air dengan
menggunakan sprayer pada perlakuan penyungkupan. Penyiraman dilakukan dua
kali/hari. Penyiraman dilakukan apabila media tanam mengalami kekeringan.

Pengamatan
Peubah pengamatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Keberhasilan stek
Dihitung pada akhir pengamatan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut.
Keberhasilan Stek = stek tanaman hidup × 100 %
Jumlah seluruh tanaman
b. Jumlah daun
Jumlah daun dihitung setiap minggu setelah tanam hingga akhir
pengamatan dengan dihitung daun yang telah terbuka dan dimulai pada 2
MST.
c. Jumlah cabang
Jumlah cabang dihitung pada 4-8 MST dengan menghitung jumlah
cabang yang tumbuh.
d. Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman diukur pada 1-8 MST dengan cara mengukur di atas
permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi.
18
e. Temperatur dan Kelembaban perlakuan dengan penyungkupan dan tanpa
penyungkupan
Temperatur dan kelembaban perlakuan dengan penyungkupan dan tanpa
penyungkupan, diukur pada 1-2 MST dengan menggunakan Pshycometer.
Pengamatan ini dilakukan pada setiap hari dengan pengukuran 2 kali
sehari (pagi dan sore). Temperatur dan kelembaban diukur pada
pertengahan antara permukaan tanah dengan plastik penyungkup dengan
cara menggantungkan Psychrometer di bagian tengah-tengah sungkup.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Umum
Pengolahan data pengamatan dilakukan dengan menggunakan software Excel.
Hal ini disebabkan data pengamatan yang diperoleh tidak memenuhi syarat secara
statistika untuk diolah menggunakan análisis ragam. Selain data pengamatan yang
tidak memenuhi secara statistika, stek yang diperbanyak mengalami kematian
dalam jumlah yang banyak, yaitu lebih dari 80 %. Hal ini dapat dilihat pada
lampiran 4, 5, 6 dan 7.
Pada awal penanaman berlangsung musim kemarau, kemudian memasuki
musim hujan. Musim kemarau tersebut yang menyebabkan udara panas di dalam
sungkup, sehingga penyiraman dilakukan pada awal penanaman sampai dengan 4
MST. Udara panas yang masuk ke dalam sungkup tersebut menyebabkan laju
transpirasi stek sangat tinggi pada awal penanaman, sedangkan akar pada stek
belum terbentuk. Kondisi umum pertanaman pada akhir pengamatan dapat dilihat
pada gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Kondisi Umum lahan Percobaan (pada perlakuan tanpa sungkup dan
perlakuan lama penyungkupan satu minggu)

Berdasarkan hasil pengamatan, gulma yang tumbuh di areal percobaan


adalah Boreira alata, Oxalis sp., dan lain-lain. Selama pengamatan tidak
ditemukan hama dan penyakit, sehingga tidak diperlukan pengendalian kimiawi
dengan pestisida. Keberhasilan stek memiliki persentase yang rendah.
20

Gambar 4. Kondisi Umum Lahan Percobaan (pada perlakuan lama penyungkupan


dua minggu dan perlakuan lama penyungkupan tiga minggu)

Temperatur Udara dan Kelembaban Udara


Pada awal pengamatan adanya perbedaan antara suhu udara dan kelembaban
udara di dalam dan di luar sungkup. Kelembaban udara rata-rata dan temperatur
udara rata-rata pada perlakuan tanpa penyungkupan lebih rendah dibandingkan
perlakuan penyungkupan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan letak sungkup
pada lahan percobaan.
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa temperatur udara pada
pagi hari berkisar 21°C, sedangkan temperatur udara pada sore hari berkisar 28°C
(tabel 1). Temperatur dalam sungkup pada pagi hari lebih rendah dibandingkan
temperatur tanpa sungkup, yang menyebabkan kelembaban udara rata-rata pada
perlakuan penyungkupan lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan
lainnya pada pagi hari dan sore hari (tabel 1).

Tabel 1. Temperatur Udara dan Kelembaban Udara Rata-Rata Pada Berbagai


Taraf Perlakuan Lama Penyungkupan

Perlakuan Temperatur Kelembaban Rataan harian


(°C) (%)
Pagi Sore Pagi Sore Temperatur Kelembaban
hari hari hari hari (°C) (%)
Tanpa Sungkup 20.8 27.5 91.4 86.3 24 88.9
Sungkup 1 minggu 20.9 28.1 91.6 88.9 24.5 88.9
Sungkup 2 minggu 20.9 28.7 91.7 86.4 24.8 90.2
Sungkup 3 minggu 20.9 28.2 93.9 88.8 24.5 90.9
21

Pada pengamatan perlakuan penyungkupan memiliki temperatur cenderung


merata pada pagi hari (gambar 5). Pada sore hari, perlakuan lama penyungkupan
dua minggu memiliki temperatur udara lebih tinggi dibandingkan temperatur
udara pada perlakuan penyungkupan lainnya (gambar 5), sedangkan temperatur
udara pada perlakuan tanpa penyungkupan lebih rendah dibandingkan perlakuan
penyungkupan lainnya.
Temperatur udara meningkat pada sore hari pada semua pengamatan
perlakuan lama penyungkupan, terutama pada perlakuan lama penyungkupan dua
minggu. Hal ini disebabkan perlakuan penyungkupan dua minggu menerima
cahaya matahari lebih banyak dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya
(gambar 5), yang disebabkan perlakuan sungkup pada lahan percobaan yang
menyebabkan perbedaan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh stek untuk
melakukan fotosintesis.
40

35

30
pagi hari pada W0
so re hari pada W0
Temperatur

25 pagi hari pada W1


so re hari pada W1
20 pagi hari pada W2
so re hari pada W2
15 pagi hari pada W3
so re hari pada W3
10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hari ke-

Gambar 5. Temperatur Udara pada Berbagai Perlakuan dengan Pengamatan


Pagi Hari dan Sore Hari

Pada pagi hari, perlakuan tanpa penyungkupan memiliki kelembaban udara


lebih tinggi dibandingkan kelembaban udara perlakuan lama penyungkupan
lainnya. Pada awal pengamatan, kelembaban udara pada perlakuan lama
penyungkupan dua minggu lebih rendah dibandingkan perlakuan penyungkupan
lainnya (gambar 6).
Kelembaban udara mengalami fluktuasi yang besar, terutama pada perlakuan
lama penyungkupan dua minggu. Penurunan kelembaban udara yang tajam terjadi
22

pada pengamatan hari ke-2, ke-5 dan ke-11 pada perlakuan lama penyungkupan
dua minggu (gambar 6).

120

Kelembaban Udara 100

pagi hari pada W0


80 so re hari pada W0
pagi hari pada W1
so re hari pada W1
60
pagi hari pada W2
so re hari pada W2
pagi hari pada W3
40
so re hari pada W3

20

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Hari ke-

Gambar 6. Kelembaban Udara pada Berbagai Perlakuan dengan Pengamatan Pagi


Hari dan Sore Hari

Keberhasilan Stek
Pada akhir pengamatan bahwa tidak ada stek yang dapat digunakan sebagai
bibit siap tanam. Hal ini disebabkan kuantitas akar yang belum mencukupi untuk
ditanam di lapang serta jumlah stek yang hidup sangat sedikit (tabel 2).
Keberhasilan stek pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 2.
Perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki keberhasilan stek lebih besar
dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (Tabel 2). Hal ini disebabkan
rendahnya temperatur dan tingginya kelembaban udara pada setiap perlakuan
lama penyungkupan, sehingga perlakuan lama penyungkupan tiga minggu
mengalami etiolasi lebih lama dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya.

Tabel 2. Keberhasilan Stek pada Akhir Pengamatan di Setiap Perlakuan


Penyungkupan

Perlakuan Keberhasilan Stek (%)


Tanpa Penyungkupan 2.50
Lama Penyungkupan Satu Minggu 2.50
Lama Penyungkupan Dua Minggu 3.33
Lama Penyungkupan Tiga Minggu 12.50
23

Pada perlakuan tanpa sungkup, keberhasilan stek lebih kecil dibandingkan


perlakuan penyungkupan lainnya. Hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari
yang diterima lebih banyak yang menyebabkan laju transpirasi lebih besar
dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya.
Perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki jumlah akar lebih
banyak dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (gambar lampiran 3). Hal
ini disebabkan kelembaban yang tinggi, yang mempengaruhi pembentukan akar
pada stek (tabel 1).

Gambar 7. Keadaan Setek dari Perlakuan Tanpa Penyungkupan

Tinggi Tanaman
Pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu memiliki pertambahan
tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan penyungkupan
lainnya, yaitu sekitar 1.2 cm (tabel 3). Hal ini disebabkan warna plastik sungkup
yang digunakan dan perbedaan lahan percobaan dalam menerima intensitas sinar
matahari. Peningkatan pertambahan tinggi tanaman terdapat pada hampir semua
pengamatan (tabel 3). Pertambahan tinggi tanaman ini disebabkan tingginya
kelembaban udara pada perlakuan penyungkupan yang mempengaruhi tinggi
tanaman. Tingginya kelembaban dapat dilihat pada tabel 1.
24

Tabel 3. Pertambahan Tinggi Tanaman pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan


Konsentrasi IBA (dalam cm)

Pengamatan (MST) Lama Penyungkupan (Minggu)


0 1 2 3
1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
2 1.8±0.0 0.0±0.0 0.4±0.0 0.0±0.0
3 1.8±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
4 1.0±0.8 2.4±0.7 1.9±0.8 2.1±0.2
5 0.5±0.3 1.2±0.5 2.3±0.9 1.6±0.3
6 0.0±0.0 1.0±0.4 1.7±0.5 2.7±2.5
7 0.0±0.0 2.1±0.8 1.3±0.2 2.5±0.5
8 1.4±0.0 0.9±0.2 1.3±0.2 1.4±0.9
Pengamatan (MST) Konsentrasi IBA (Minggu)
0 100 200 300
1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
2 0.0±0.0 0.8±0.0 0.7±0.0 0.0±0.0
3 0.0±0.0 0.0±0.0 1.8±0.0 1.7±0.0
4 2.1±0.6 2.7±0.8 1.5±0.8 1.6±0.1
5 1.5±1.1 1.2±0.4 1.8±0.0 2.1±0.3
6 2.3±0.4 2.1±1.6 2.1±1.3 3.5±0.0
7 2.4±0.8 1.8±0.1 1.1±0.2 0.0±0.0
8 1.2±0.3 2.8±0.1 1.7±0.9 0.4±0.0

Pada akhir pengamatan, perlakuan konsentrasi 200 ppm memiliki


pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan
lainnya (tabel 3), yaitu sekitar 1.3 cm. Pertambahan tinggi tanaman terjadi pada
hampir semua pengamatan. Pertambahan tinggi tanaman ini disebabkan respon
stek terhadap penggunaan auksin, yang mempengaruhi tinggi stek.
Dalam percobaan ini tidak adanya interaksi dari semua kombinasi perlakuan
percobaan yang dilakukan. Ketiadaan interaksi tersebut disebabkan oleh perlakuan
yang dilakukan, serta banyak stek yang mati pada tiap satuan percobaan. Hal ini
disebabkan persiapan membuat stek sebagai bahan tanam.

Jumlah Daun
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan lama penyungkupan tiga
minggu memiliki pertambahan jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan
perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 4), yaitu sekitar 3 helai daun. Peningkatan
jumlah daun terjadi pada hampir semua pengamatan pada perlakuan lama
25

penyungkupan. Hal ini disebabkan kelembaban udara yang tinggi dalam sungkup,
yang berpengaruh pada intensitas cahaya matahari yang diterima oleh stek.

Tabel 4. Pertambahan Jumlah Daun pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan


Konsentrasi IBA

Pengamatan (MST) Lama Penyungkupan (Minggu)


0 1 2 3
1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
2 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
3 0.0±0.8 1.8±2.1 1.8±4.1 1.9±3.1
4 1.0±0.5 1.7±1.5 0.8±1.5 0.9±1.8
5 1.9±0.7 0.0±1.0 0.2±1.0 0.9±2.2
6 0.5±0.3 0.8±1.0 0.9±1.0 1.2±2.7
7 1.2±0.9 1.3±1.4 1.3±1.4 1.8±2.1
8 0.5±0.4 1.2±1.0 1.4±1.0 1.4±2.7
Pengamatan (MST) Konsentrasi IBA (Minggu)
0 100 200 300
1 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
2 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
3 2.1±3.9 2.3±4.4 1.9±1.4 1.8±1.3
4 0.7±1.6 0.3±1.7 0.7±0.5 1.7±1.3
5 0.4±1.1 0.9±1.7 1.7±1.8 1.0±0.9
6 0.1±1.8 0.4±3.5 1.5±3.2 1.2±1.4
7 1.3±1.0 1.7±3.4 1.7±3.2 1.4±4.3
8 1.8±1.8 0.7±0.6 1.7±1.9 1.8±3.6

Pada perlakuan konsentrasi IBA 100 ppm memiliki jumlah daun lebih
banyak dibandingkan perlakuan konsentrasi IBA lainnya (tabel 4), yaitu sekitar 3
helai daun. Pertambahan jumlah daun terjadi pada hampir semua pengamatan. Hal
ini disebabkan kandungan IBA dalam stek yang berbeda-beda. Selain itu,
kandungan C dalam stek juga mempengaruhi pertumbuhan tunas pada stek.
Pertumbuhan tunas ini akan mempengaruhi pertumbuhan daun pada stek.
Dalam percobaan ini tidak adanya interaksi dari semua kombinasi perlakuan
percobaan yang dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya stek yang
mati pada tiap satuan percobaan. Hal ini disebabkan faktor pelaksanaan yang
dilakukan dalam mempersiapkan stek.
26

Jumlah Cabang
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan lama
penyungkupan tiga minggu memiliki pertambahan jumlah cabang lebih banyak
dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 5), yaitu sekitar satu cabang.
Pertambahan jumlah cabang terjadi pada hampir semua pengamatan. Hal ini
disebabkan kelembaban yang tinggi (tabel 1), yang mempengaruhi munculnya
tunas baru. Kelembaban yang tinggi menyebabkan intensitas cahaya matahari
yang diterima stek menjadi berkurang.

Tabel 5. Pertambahan Jumlah Cabang pada Perlakuan Lama Penyungkupan dan


Konsentrasi IBA

Pengamatan (MST) Lama Penyungkupan (Minggu)


0 1 2 3
4 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
5 1.1±0.7 0.7±0.7 1.3±3.0 0.5±0.0
6 0.0±0.0 0.0±0.0 0.4±0.6 0.3±0.0
7 2.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0
8 0.0±0.0 1.3±0.0 0.2±0.0 0.7±0.0
Pengamatan (MST) Konsentrasi IBA (Minggu)
0 100 200 300
4 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0 0.0±0.0
5 1.1±2.7 0.6±0.9 0.6±0.0 0.4±0.3
6 0.0±0.0 0.4±0.0 0.5±0.6 0.1±0.0
7 1.0±0.0 1.0±0.0 2.0±0.0 1.0±0.0
8 0.6±0.0 0.2±0.0 0.6±0.0 1.2±0.0

Pada perlakuan konsentrasi IBA 200 ppm memiliki pertambahan jumlah


cabang lebih banyak dibandingkan perlakuan konsentrasi IBA lainnya (tabel 5),
yaitu sekitar satu cabang. Peningkatan pertambahan jumlah cabang terjadi pada
hampir semua pengamatan. Hal ini disebabkan konsentrasi IBA yang berbeda
pada stek, yang berpengaruh pembentukan tunas.
Dalam percobaan ini tidak adanya interaksi dari semua kombinasi
perlakuan percobaan yang dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya
stek yang mati pada tiap satuan percobaan. Interaksi ini disebabkan prosedur
dalam mempersiapkan stek, terutama dalam perlakuan setelah pengambilan stek
27

dari tanaman induk. Selain itu, perlakuan sebelum pengambilan stek, yaitu
pengkeratan batang untuk memperoleh kandungan karbohidrat dalam stek.

Pembahasan
Perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan dengan biji, cangkok, atau stek.
Namun dalam prakteknya, perbanyakan tanaman salam yang dikerjakan secara
vegetatif dengan cara penyetekan (cutting) tidak memiliki keberhasilan stek yang
rendah. Keberhasilan stek dapat dilihat pada tabel 2. Selain itu Perbanyakan
tanaman salam banyak dikerjakan secara generatif, yaitu menggunakan biji.
Penyungkupan tanaman dengan cara setek ini dipengaruhi beberapa faktor,
yaitu faktor eksternal yang berasal dari lingkungan dan faktor internal yang
berasal dari dalam tanaman itu sendiri. Hal ini ditunjukkan pada keberhasilan
setek (tabel 2), yang didukung oleh Hartmann et al. (1990), faktor yang
mempengaruhi kemampuan pembentukan akar pada setek meliputi faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal, antara lain, spesies, juvenilitas, hormon,
pertumbuhan, fisiologi, periode pertumbuhan, provinansi dan teknik. Faktor
eksternal, antara lain, kelembaban, intensitas cahaya, temperatur, kondisi media,
fertilisasi, panjang hari dan aerasi.

Temperatur Udara dan Kelembaban Udara


Pada percobaan ini, dilakukan penyungkupan untuk menjaga kelembaban
udara dan temperatur udara agar tidak terjadi kekeringan dan pembentukan akar
lebih banyak. Penyungkupan dapat meningkatkan kelembaban relatif udara,
sehingga mencapai keadaan yang ideal bagi setek untuk tetap dapat tumbuh dan
tidak cepat kering (Pierik, 1987). Untuk menjamin keberhasilan berakarnya
tanaman, setek harus dijaga dari kekeringan sebelum terbentuknya akar dengan
cara penyungkupan. Hal ini ditunjukkan pada perlakuan lama penyungkupan tiga
minggu memiliki kelembaban udara lebih rendah dibandingkan perlakuan
penyungkupan lainnya pada siang hari, yaitu 90.9 %, sedangkan temperatur pada
perlakuan lama sungkup tiga minggu sebesar 24°C (tabel 1). Menurut Ashari
(1995), suhu udara harian antara 21-27°C untuk perakaran stek. Menurut
28

Rochiman dan Harjadi (1973), suhu udara optimal untuk pembentukan akar pada
kebanyakan jenis tanaman adalah 29°C dengan kelembaban udara 90 %, dan
didukung oleh Hartmann et al. (1990), suhu 15-21°C merupakan suhu ideal untuk
pembentukan tunas dan akar pada stek.
Pada percobaan ini dilakukan penyemprotan air di penyungkupan dengan
cara menyemprotkan air di sekitar tanaman yaitu menjaga agar stek terhindar dari
dehidrasi atau kekeringan selama stek diinduksi pada suhu tersebut. Penyiraman
akan meningkatkan penguapan air di permukaan tanah dan akan membantu
meningkatkan kelembaban di sekitar daun (Briggs dan Calvin, 1987).
Suhu yang terlalu rendah atau tinggi dapat menyebabkan stek mati. Hal ini
dapat dilihat pada rataan temperatur udara harian dapat dilihat pada tabel 1.
Kondisi iklim yang baik bagi tanaman adalah kelembaban optimal, suhu optimal,
kecepatan angin yang rendah, tanaman akan menggunakan air di dalam tanah
dalam keadaan normal.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), tekstur yang lunak serta daun yang
dimiliki stek pada keadaan suhu tinggi dan kelembaban yang rendah pada siang
hari dapat menyebabkan kehilangan air yang banyak karena proses transpirasi.
Stek akan layu dan kering sebelum membentuk akar. Hal ini terlihat pada gambar
lampiran 5 dan gambar lampiran 6.
Menurut Manaker (1981) suhu berpengaruh terhadap setiap proses fisiologi
tanaman. Suhu di atas 32-35°C akan merusak sel tumbuhan dan akan
menyebabkan menurunnya laju fotosintesis. Hal ini terlihat pada gambar lampiran
5 dan 6, dan didukung oleh Cooper (1973), Dodded et al. (2000) dan Tindall et al.,
(1990), RZT (Root Zone Temperature = Temperatur Daerah Perakaran) yang
tinggi dapat menghasilkan dampak yang besar pada pertumbuhan tanaman bagian
ujung vegetatif, pembentukan buah, penyerapan air, penyerapan mineral, proses
asimilasi dan respirasi tanaman.
Stek yang digunakan sebagai bahan tanaman memiliki daun yang digunakan
sebagai sink dalam proses fotosintesis. Daun yang tersisa pada bahan stek juga
membantu di dalam merangsang pertumbuhan calon akar karena mengandung
auksin yang ditranslokasikan dari daun menuju ke bawah. Peranan daun sangat
29

penting bagi stek karena keberadaan akan mempengaruhi tingkat fotosintesis yang
dilakukan, sehingga akan mempengaruhi tingkat karbohidrat yang dihasilkan.
Wudianto (1994) menyebabkan peranan daun pada stek cukup besar, karena daun
akan melakukan proses asimilasi dan hasilnya tentu mempercepat pertumbuhan
akar, tetapi jumlah yang tidak terlalu banyak justru menghambat pertumbuhan
akar stek, karena daun akan mengalami proses penguapan yang besar. Hal ini
dapat dilihat pada gambar lampiran 5, 6 dan 7.

Keberhasilan Stek
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada stek yang
dapat dijadikan bibit siap tanam di lapang. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan berakar pada stek dan kuantitas akar yang terbentuk belum maksimal,
dapat ditunjukkan pada keberhasilan stek pada masing-masing perlakuan
penyungkupan (tabel 2). Menurut Wattimena (1988) menyatakan bahwa inisiasi
akar didorong oleh suhu tetap pertumbuhan akar berikutnya sangat tergantung
pada ketersediaan karbohidrat dalam tanaman. Menurut Harjadi (1979)
kemampuan batang membentuk akar bertalian dengan tahap pertumbuhan juvenil.
Disamping itu posisi batang juga mempengaruhi perakaran dimana pucuk lateral
akan lebih mudah berakar dibandingkan pucuk terminal. Disamping itu, auksin
yang ada dalam tanaman dapat mendorong pembesaran dan pembelahan sel serta
inisiasi akar.
Pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu, keberhasilan stek
membentuk akar lebih besar dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya (tabel
2). Hal ini disebabkan adanya penggunaan IBA sebagai perangsang pembentukan
akar. Selain itu juga lingkungan tumbuh yang mendukung inisiasi akar pada stek,
termasuk temperatur dan kelembaban dan proses inisiasi juga akar dipengaruhi
oleh rasio C/N dan didukung oleh Hartmann et al. (1990) menyatakan bahwa ratio
C/N yang tinggi dapat meningkatkan inisiasi akar. Hubungan antara tingginya
C/N rasio dan perakaran dapat terjadi pada tingkat N yang rendah, akan
memproduksi akar sedikit tetapi menghasilkan tunas yang kuat (Rochiman dan
Harjadi, 1973). Selain C/N rasio, cahaya juga berpengaruh dalam pembentukan
30

akar dan tunas adventif untuk perakaran. Stek berkayu paling baik di bawah
radiasi rendah (Hartmann et al., 1990). Hal ini juga berhubungan dengan gambar
lampiran 1, 2 dan 3.
Hartmann et al. (1990) menyatakan bahwa tanaman sulit berakar
kemungkinan besar dipengaruhi oleh media perakaran. Media perakaran
merupakan faktor yang mempengaruhi terhadap keberhasilan perakaran. Selain itu,
perlakuan kontrol yang seharusnya menggunakan alkohol juga mempengaruhi
keseragaman pembentukan akar pada stek. Hal ini dapat dilihat pada keberhasilan
stek pada perlakuan tanpa sungkup dan penyungkupan selama satu minggu (tabel
2).
Selain penggunaan konsentrasi IBA, metode aplikasi IBA juga berpengaruh
pada peubah yang diukur. Hal ini dapat dilihat pada penelitian Goenawan (2006)
yang menyatakan bahwa metode aplikasi ZPT berpengaruh nyata terhadap
panjang tunas yang dihasilkan pada 2 MSP dan 4 MST terhadap jumlah daun
yang dihasilkan. Selanjutnya, posisi penanaman stek juga sangat mempengaruhi
terbentuknya akar pada stek. Menurut Suhaendi (2006), nilai konsentrasi IBA
yang optimal untuk persentase berakar stek tanaman Eukaliptus sebesar 2.776
ppm sedangkan konsentrasi IBA yang optimal untuk berat kering total sebesar
2.990 ppm.

Tinggi Tanaman
Pada perlakuan tanpa penyungkupan memiliki pertambahan tinggi tanaman
lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya, yaitu sekitar dua cm
(tabel 3). Hal ini disebabkan warna plastik sungkup yang digunakan dan
perbedaan lahan percobaan dalam menerima intensitas sinar matahari. Tinggi
tanaman dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang tinggi
menyebabkan tanaman pendek. Hal ini disebabkan auksin yang mempengaruhi
pemanjangan sel bekerja lebih aktif dalam kondisi gelap. Tinggi tanaman
merupakan usaha tanaman memperoleh cahaya (Gardner et al., 1991 dalam
Sulistyaningsih, 2005). Menurut hasil penelitian Sulistyaningsih (2005),
31

perubahan lingkungan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan dan


perkembangan caisin. Pemberian sungkup meningkatkan tinggi tanaman caisin.
Pada hasil pengamatan, pertambahan tinggi tanaman disebabkan kandungan
auksin pada stek. Upaya tanaman mendapatkan cahaya dapat dilihat pada
pertambahan tinggi tanaman (tabel 3).
Pada akhir pengamatan, perlakuan konsentrasi 200 ppm memiliki
pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan
lainnya (tabel 3), yaitu sekitar 2 cm. Pertambahan tinggi tanaman ini dipengaruhi
bahwa setiap jenis tanaman mempunyai tanggap yang berbeda-beda terhadap jenis
dan konsentrasi ZPT (Hartmann et al. 1990), dan didukung oleh Weaver (1972)
respon tanaman terhadap penggunaan ZPT dapat bersifat menguntungkan atau
bahkan merugikan tergantung pada konsentrasi, kondisi lingkungan dan keadaan
tanaman. Selain itu, faktor yang mempengaruhi kemampuan pembentukan akar
pada setek meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, antara lain,
spesies, juvenilitas, hormon, pertumbuhan, fisiologi, periode pertumbuhan,
provinansi dan teknik. Faktor eksternal, antara lain, kelembaban, intensitas cahaya,
temperatur, kondisi media, fertilisasi, panjang hari dan aerasi (Hartmann et al.,
1990).
Pertambahan tinggi tanaman terjadi pada hampir semua pengamatan.
Pertambahan tinggi tanaman ini disebabkan penggunaan auksin pada stek, yang
merangsang pemanjangan sel tanaman. Auksin sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan batang, formasi akar, menghambat terhadap pertumbuhan cabang
lateral, absisi pada daun dan buah, serta mengaktifkan kerja lapisan kambium
(Hartmann et al., 1990).
Menurut hasil penelitian Suhaendi (2006), nilai persentase berakar tertinggi
dicapai oleh media pasir dengan konsentrasi IBA 200 ppm, sedangkan berat
kering total tertinggi diperoleh pada media serabut kelapa dengan konsentrasi IBA
200 ppm dan rasio teras akar Eukaliptus tertinggi dicapai oleh media serabut
kelapa dengan konsentrasi IBA 400 ppm. Berdasarkan uji polinomial ortogonal,
konsentrasi IBA yang optimal untuk persentase berakar stek Eukaliptus sebesar
32

2.776 ppm, sedangkan konsentrasi IBA yang optimal untuk berat kering total
sebesar 2.990 ppm.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), faktor pelaksanaan mempengaruhi
stek membentuk akar. Faktor pelaksanaan meliputi perlakuan sebelum
pengambilan stek, waktu pengambilan stek, pemotongan stek, pelukaan,
penggunaan ZPT, kebersihan dan pemeliharaan. Faktor ini mempengaruhi tidak
adanya interaksi pada perlakuan lama penyungkupan dan konsentrasi IBA.

Jumlah Daun
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan lama penyungkupan tiga
minggu memiliki pertambahan jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan
perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 4). Hal ini disebabkan kandungan bahan
makanan pada stek. Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), kandungan bahan
makanan stek, terutama persediaan karbohidrat dan N, sangat mempengaruhi
perkembangan akar dan tunas stek. Pada umumnya N membantu perakaran,
kecuali dalam konsentrasi yang tinggi N menghambat perakaran. Kandungan N
yang tinggi dapat merangsang pertumbuhan akar pada stek. Selain itu,
penggunaan warna plastik sungkup. Menurut Sulistyaningsih (2005), sungkup
bening mampu meningkatkan jumlah daun, luas daun, laju asimilasi bersih, indeks
luas daun, laju pertumbuhan tanaman, dan berat segar serta berat kering tajuk dan
akar caisin.
Peningkatan pertambahan jumlah daun terjadi pada hampir semua
pengamatan. Peningkatan ini disebabkan kandungan auksin pada stek, yang
merangsang pertumbuhan daun dan tunas. Auksin berfungsi untuk pemanjangan sel,
pembesaran sel, pembentukan kalus dan pembentukan akar (Pierik, 1987) dan
mendorong pertumbuhan pucuk (Wattimena, 1988). Kalus adalah sekumpulan sel
yang aktif mengadakan pembelahan sel dan pertambahan plasma sehingga dapat
membesar dan membentuk massa sel yang tidak terorganisir. Kalus merupakan
pertumbuhan yang tidak normal yang berpotensi untuk membentuk akar, tunas dan
embrio yang dapat membentuk tanaman (Dodds, 1987 dalam Farid, 2003).
Pada perlakuan konsentrasi IBA 300 ppm memiliki jumlah daun lebih
banyak dibandingkan perlakuan konsentrasi IBA lainnya (tabel 4), yaitu sekitar 3
33

helai daun. Hal ini disebabkan pemberian IBA pada stek, terutama pada
konsentrasi, metode dan jenis ZPT yang digunakan. Selain itu, efektitas zat
pengatur tumbuh ditentukan oleh metode aplikasi dan konsentrasi yang diberikan
umumnya dalam membantu inisiasi akar, mempercepat pembentukan akar,
mempertinggi persentase stek berakar, menurunkan jumlah dan kualitas akar
(Hartmann et al. 1990). Hasil penelitian Lessy (2002) menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi NAA 250 ppm cenderung menghasilkan waktu mulai tunas
paling cepat, panjang tunas dan jumlah daun paling tinggi pada stek jambu
semarang gondrong. Perlakuan kombinasi IBA dan NAA 250 ppm cenderung
menghasilkan tunas, panjang akar dan jumlah akar paling tinggi. Pada seluruh stek
yang tidak diberi IBA dan NAA tidak terjadi pertumbuhan.
Menurut Rosman et al. (2004) naungan atau intensitas cahaya 50% signifikan
lebih baik dari pada 100% cahaya terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah
daun, jumlah cabang, lebar tajuk, lingkar batang, berat basah dan berat kering
daun serta berat basah dan berat kering batang serta didukung oleh Cooper (1973),
Dodded et al. (2000) dan Tindall et al. (1990) bahwa RZT (Root Zone
Temperature = temperatur daerah perakaran) tinggi dapat menghasilkan dampak
yang besar pada pertumbuhan tanaman bagian ujung vegetatif, pembentukan buah,
penyerapan air, penyerapan mineral, proses asimilasi dan respirasi tanaman. Hal
ini terlihat pada peningkatan jumlah daun terjadi pada hampir semua pengamatan
(tabel 4). Selain itu, juga perbedaan posisi tanaman dalam menerima cahaya
matahari serta konsentrasi, jenis ZPT dan metode aplikasi ZPT.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), faktor pelaksanaan mempengaruhi
stek membentuk akar. Faktor pelaksanaan meliputi perlakuan sebelum
pengambilan stek, waktu pengambilan stek, pemotongan stek, pelukaan,
penggunaan ZPT, kebersihan dan pemeliharaan. Hal ini dapat dilihat pada tidak
adanya interaksi dari semua kombinasi perlakuan percobaan yang dilakukan.

Jumlah Cabang
Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa pada perlakuan lama penyungkupan
satu minggu memiliki jumlah cabang lebih banyak dibandingkan dengan
34

perlakuan penyungkupan lainnya (tabel 5). Penyungkupan dapat meningkatkan


kelembaban relatif udara sehingga mencapai keadaan yang ideal dan kondusif
bagi bahan stek untuk tetap tumbuh dan tidak cepat kering (Pierik, 1987) dan
didukung oleh Sulistyaningsih (2005), sungkup bening mampu meningkatkan
jumlah daun, luas daun, laju asimilasi bersih, indeks luas daun, laju pertumbuhan
tanaman, dan berat segar serta berat kering tajuk dan akar.
Pada perlakuan konsentrasi IBA 300 ppm memiliki jumlah cabang lebih
banyak dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi IBA lainnya (tabel 5), yaitu
sekitar satu cabang. Hal ini disebabkan penggunaan konsentrasi IBA yang
berbeda-beda. Selain itu juga perbedaan posisi tanaman induk dalam menerima
cahaya matahari. Perbedaan ini berkaitan dengan kandungan auksin dan
karbohidrat dalam batang yang digunakan sebagai bahan stek. Menurut Wudianto
(1994), dengan pemberian hormon pembentukan kalus akan semakin cepat untuk
menutupi bagian luka bekas guntingan dari stek, sedangkan menurut Hartmann et
al. (1990) bahwa efektifitas zat pengatur tumbuh ditentukan oleh metode aplikasi
dan konsentrasi yang diberikan umumnya dalam membantu inisiasi akar,
mempercepat pembentukan akar, mempertinggi persentase stek berakar,
menurunkan jumlah dan kualitas akar. Kadar auksin pada masing-masing stek
bervariasi. Pengaruh aplikasi auksin ini juga dapat dilihat pada tidak adanya
interaksi perlakuan lama penyungkupan dan konsentrasi IBA dari semua
kombinasi perlakuan yang dilakukan.
Menurut Yasman dan Smith (1988) bahwa konsentrasi dan jumlah auksin
tergantung pada umur bahan stek, waktu atau lamanya pemberian hormon,
aplikasi hormon, jenis tanaman dan sistem stek yang digunakan. Semakin tua
umur bahan stek, maka diperlukan konsentrasi hormon yang semakin tinggi,
semakin banyak serat kayu pada batang, maka waktu yang diperlukan untuk
pemberian hormon, semakin lama dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat dilihat
pada peningkatan pertambahan jumlah cabang yang terjadi pada hampir semua
pengamatan. Selain itu, juga keragaman tanaman induk yang digunakan sebagai
bahan stek juga mempengaruhi pembentukan cabang, yang menyebabkan
kandungan asimilat dalam tanaman yang berbeda-beda. Pembentukan cabang juga
35

dipengaruhi oleh juvenilitas tanaman. Selain itu juga pengambilan bagian tanaman
yang digunakan sebagai stek. Menurut Soeseno (1985) dalam Darajat (2003), stek
yang diambil pada bagian tengah dan pangkal, kandungan hormon dan persediaan
makanannya lebih banyak dibandingkan dengan bagian ujung cabang.
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Keberhasilan stek pada perlakuan lama penyungkupan tiga minggu lebih
tinggi dibandingkan perlakuan penyungkupan lainnya, yaitu keberhasilan stek
sebesar 12.5 %.
Perlakuan lama penyungkupan yang menghasilkan pertambahan tinggi
tanaman yang lebih tinggi dan pertambahan jumlah daun yang lebih banyak
adalah perlakuan lama penyungkupan tiga minggu. Pertambahan jumlah cabang
lebih banyak didapatkan pada perlakuan lama penyungkupan dua minggu
Perlakuan konsentrasi IBA yang digunakan untuk menghasilkan
pertambahan jumlah cabang dengan jumlah lebih banyak dan pertambahan tinggi
tanaman yang lebih tinggi adalah perlakuan konsentrasi IBA 200 ppm.
Konsentrasi IBA yang digunakan untuk menghasilkan pertambahan jumlah daun
dengan jumlah lebih banyak adalah perlakuan konsentrasi IBA 100 ppm.

B. SARAN
Ukuran bahan stek harus diperhatikan karena menentukan pembentukan akar.
Selain itu keseragaman bahan stek dan pemeliharaan, terutama pemeliharaan
lingkungan tumbuh agar optimum, harus menjadi perhatian.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1993. Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur tumbuh. Penerbit


Angkasa, Bandung

Afrizal. 2002. Pengaruh Umur Bahan Stek dan Zat Pengatur Tumbuh IBA
terhadap Pertumbuhan Stek Mahoni (Swietenia macrophylla King.). Skripsi.
Jurusan Manajemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 40 hal

Agnes, D. 1994. Aneka Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. Penebar


Swadaya. Jakarta. 98 Hal

Anonim. 2005. Salam: Eugenia polyantha (Wight.)


www.asiamaya.com/jamu/isi/salam_eugeniapolyantha. [Tanggal 24 Juni
2005]

Ashari, S. 1995. Hortikultura. Aspek Budidaya. UI-Press.485 hal

Audus, L. J. 1953. Plant Growt Subtances. International Publ., Inc. New York.
465 p

Avery, G. S. and E. B. Johnson. Hormones and Horticulture. McGraw-Hill Book


Co., Inc. New York. 326 p

Badan POM. 2004. Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan
POM. www.beritabumi.or.id/artikel3. Tanggal 22 Jul 2004

Baudendistel, R. F. 1982. Horticulture A Basic Awareness Second Edition.


Reston Publishing Company, Inc. Virginia. 341 p

Briggs, G. B. dan C. L. Calvin. 1987. Indoors Plants. John Wiley and Sons. New
York. 516 p

Bintoro, M. H. 1986. Budidaya Cengkeh: Teori dan Praktek. Penerbit Lembaga


Sumberdaya Informasi. IPB. Bogor. 123 hal

Cisar, J. L. And G. H. Snyder. 1992. Sod Production on Solid-Waste Compost


Over Plastic. HortScience. 27: 219-222

Conover, C. A. 1992. Foliage Plant. In : R. A. Larson (ed). Introduction to


Floriculture. Second Ed. Acad. Press. USA. P 571-589

Cooper, A. J. 1973. Root Temperature and Plant Growth. A Riview.


Commenwealth Agr. Bureaux, Slough, U. K.
38
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tanaman Obat Indonesia.
www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=1024&tbl=alternatif. [Tanggal
6 Mei 2008]

Darajat, A. 2003. Respon Pertumbuhan Stek Batang dengan Tiga Spesies Murbei
(Morus sp.) terhadap Beberapa Jenis Media Pembibitan. Skripsi. Jurusan Budi
Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. 34 hal.

Diaz-Perez, J. C and K. D. Batal. 2002. Colored Plastic Film Mulches Affect


Tomato Growth and Yield Changes Root-Zone Temperature. America
Social Horticulture Science. University of Georgia. Georgia. 127 (1): 127-
136

Dodded, I. C., J. He, C. G. N. Turnbull, S. K. Lee and C. Critchley. 2000. The


Influence of Supra-Optimal root-Zone Temperature on Growth and Stomatal
Condusted in Capsicium annuum L. J. Expt. Bot. 51:239-248

Eris, F. R. 2001. Pengaruh Media Tumbuh dan Frekuensi Penyiraman terhadap


Pertumbuhan Tanaman Paku Pohon (Cythea contaminans (Hook) Copel).
Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. 32 hal

Farid, M. B. 2003. Perbanyakan Tebu (Saccharum officinarum L.) Secara In


Vitro Pada Berbagai Konsentrasi IBA dan BAP. Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Unhas. J. Sains dan Teknologi.
3 (3): 103-109

Goenawan, C. C. R. 2006. Pengaruh Induksi Suhu dan Metode Aplikasi Zat


Pengatur Rootone-F terhadap Induksi Akar dan Tunas Stek Dadap Merah
(Erythrina cristagalli). Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 64 hal.

Gosselin, A. and M. J. Trudel. 1983. Interaction between Air and Root


Temperature on Greenhouse Tomato: I. Growth, Development and Yeild. J.
Amer. Soc. Hort. 108: 901-905

Guenther, E. 1990. Minyak Atsiri Jilid IV A. S. Ketaren, penerjemah; Jakarta.


Penerbit Universitas Indonesia. Terjemahan dari The Essential Oils. Hal
230-234

Hadiwijaya, T. 1980. Cengkeh. Data dan Petunjuk ke Arah Swasembada. PT.


Gunung Agung. Jakarta. Hal 46-50

Hanan, A. 1999. Etnobotani Salam di Daerah Cirebon: Pemanfaatan sebagai


Bahan Penyedap Alami. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. The Journal on
Indonesian An Medicinal Plants. Vol. 5(3): 7-8. Balai Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Rempah, Bogor
39
Harjadi, S. S. 1979. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
193 hal

Hartmann, H. R., D. E. Kester, F. T. Davies and R. L. Geneve. 1990. Plant


Propagation Principles and Practice. Sixth Edition. Prentice Hall, Inc. New
Jersey. 559 p

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. LitBang Kehutanan,


Jakarta. Yayasan Wana Aksara Jaya, Jakarta

Indranada, H. K. 1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. PT Bina Aksar. Jakarta

Irwanto. 2001. Pengaruh Hormon IBA (Indole Butyric Acid) Terhadap Persen Jadi
Stek Pucuk Meranti Putih (Shorea Montigena). Skripsi. Jurusan Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon.
www.papuaweb.org/unipa/dlib-s123/skripsi-terbaru.html. [Tanggal 5 April
2008]

Ismail. 1999. Mempersiapkan Media Tanam. Hal: 29-62. Dalam Supari (ed.). Seri
Praktik Ciputri Hijau-Tuntunan Membangun Agribisnis. PT Elek Media
Computindo. Jakarta

Lessy, I. 2002. Pengaruh IBA (Indole butyric acid) dan NAA (Alpha-
naphthaleneacetic acid) terhadap Pertumbuhan Setek Cabang Jambu
Semarang Gondrong (Syzigium samarangenese (BI) Merr & Perry). Skripsi.
Fakultas Pertanian dan Teknologi. Universitas Pattimura. Ambon.
www.papuaweb.org/unipa/dlib-s123/skripsi-terbaru.html [Tanggal 31 Maret
2008]

Lingga, P dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Ed ke-12. Penebar


Swadaya. Jakarta. 150 hal

Mag, N. 2002. Daun Salam sebagai Obat Asam Urat. www.republika.co.id.


[Tanggal 27 Oktober 2004]

Manurung, S. O. 1987. Status dan Potensi Zat Pengatur Tumbuh serta Prospek
Penggunaan Rootone-F dalam Perbanyakan Tanaman. Direktorat Reboisasi
dan Rehabilitasi. Departemen Kehutanan. Jakarta

Nadiroh, 2003. Pengaruh Dosis Rootone-F dan Jenis media Stek terhadap
Pertumbuhan Stek Pucuk Sentang (Tripochitan scleroxylon). Skripsi jurusan
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. 66 hal

Najiyati, S dan Danarti. 2003. Budidaya dan Penanganan Pasca Panen Cengkeh.
Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 42
40
Pangaribuan, U. S. M. 1999. Pengaruh Penyungkupan dan Media Tanam pada
Aklimatisasi Tanaman Calla Lily (Zantedeschia rehmannii). Skripsi. Jurusan
Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 42 hal

Pierik, R.L.M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff


Publisher. Boston.

Purnomosidhi, P., Suparman, J. M. Rasbutko dan Mutawarman. 2002.


Perbanyakan dan Budidaya Tanaman Buah-buahan: dengan Penekanan pada
Durian, Mangga, Jeruk, Melinjo dan Sawo. Pedoman Lapang. Bekerja sama
dengan Balai Benih Induk-Hortikultura Pekalongan Lampung Timur, United
States Agency for International Development and United States
Departement of Agriculture for Service. International Research in
Agroforestry and Windrock International. Bogor. 41 hal

Roberts, B. R., S. D. Kohorst, H. F. Decker and K. A. Peterson. 2001. Biosolid


Residues As Soilless Media for Growing wildflower Sod. HortTechnoloy.
11: 6-11

Rochiman, K dan S. S. Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Departemen


Agronomi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 72 hal.

Rosman, R., Setyono dan H. Suhaeni, 2004. Pengaruh Naungan dan Pupuk Fosfor
Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Nilam (Pogostemon Cablin Benth.).
Buletin TRO. XV (1).

Salisbury, F. B and C. W. Ross. 1995. Fisilogi Tumbuhan. Jilid 1, 2 dan 3. Edisi


ke-4. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung

Sulistyaningsih, E., Budiastuti K. dan Endah K. 2005. Pertumbuhan Dan Hasil


Caisin Pada Berbagai Warna Sungkup Plastik. Ilmu Pertanian. 12 (1): 65-76.

Suhaendi, H. 2006. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IBA dan Media Tumbuh
terhadap Pertumbuhan Stek Eucalyptus Deglupta Blume. Prosiding Gelar Dan
Dialog Teknologi 2005. Hal. 215-222.

Susanti, D. 2003. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh NAA dan IBA serta
Lama Perendaman terhadap Perakaran Anyelir (Dianthus caryopyllus L.)
Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 39
hal

Tindall, J. A., R. B. Beverly and D. E. Radcliffe. 1990. The Effect of Root-Zone


Temperature on Nutrient Uptake of Tomato. J. Plant Nutr. 13: 939-956

Tukey, H. B. 1954. Plant Regulator In Agriculture. P. 1-13. John Wiley and Sons
Inc. New York. Chapman and Hall Ltd. London. 296 p
41
Utami, H. B. 1983. Pengaruh Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Suplir.
Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. 319 hal

Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh. Pusat Antar Universitas. Institut


Pertanian Bogor. Bogor. 145 hal.

Weaver, J. R. 1972. Plant Growth in Agriculture. University of California, Davis.


M. H. Freemna & Co, San Francisco. 594 p

Wudianto, R. 1994. Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. Penerbit PT. Penebar
Swadaya. Jakarta

Yasman, I and W. T. M. Smiths. 1988. Metode Pembuatan Stek


Dipeterocarpaceae. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan. Samarinda

Yulindaria, L. 1998. Pengaruh Pemupukan KCl dan Pupuk Kandang Ayam


Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Bambu Betung (Dendrocalamus asper
(Schults F.) Baker ex Heyne). Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal
42

Tabel Lampiran 1. Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM
No Nama Nama Latin Famili Bagian tanaman yg digunakan (simplisia) pada
umum penelitian (Nama Latin simplisia)
1 Sambiloto Andrographis paniculata Ness Acanthaceae Herba (Andrographidis Herba)
2 Jambu biji Psidium guajava L. Myrtaceae Daun/Folium (Psidii Folium)
3 Jati belanda Guazuma ulmifolia Lmk var. tomentosa K. Schum Sterculiaceae Daun/Folium (Guazumae Folium)
4 Cabe jawa Piper retrofractum Vahl. Piperaceae Buah/Fructus (Retrofracti Fructus)
5 Temulawak Curcuma xanthorrhiza Roxb. Zingiberaceae Rimpang/Rhizoma (Curcumae Rhizoma)
6 Jahe merah Zingiberis officinale Rosc. var Rubrum Zingiberaceae Rimpang/Rhizoma (Zingiberis Rhizoma)
7 Kunyit Curcuma domestica Val. Zingiberaceae Rimpang/Rhizoma (Curcumae domesticate Rhizoma)
8 Mengkudu Morinda citrifolia L. Rubiaceae Buah/Fructus (Morindae Fructus)
9 Salam Eugenia polyantha Wight (Syzygium polyantha) Myrtaceae Daun/Folium (Syzygii polyantha Folium)
Sumber: Biro Hukum dan Humas dari Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (Badan POM), 20041

1
www.beritabumi.or.id/artikel3.php?idartikel
43

Gambar Lampiran 1. Kondisi Setek pada Perlakuan Lama Penyungkupan Satu Minggu

Gambar Lampiran 2. Keadaan Setek Salam pada Perlakuan Lama Penyungkupan


Dua Minggu

Gambar Lampiran 3. Keadaan Setek Salam pada Perlakuan Lama Penyungkupan


Tiga Minggu
44

Gambar Lampiran 4. Kondisi Setek pada Perlakuan Tanpa Penyungkupan di


Akhir Pengamatan

Gambar Lampiran 5. Keadaan Stek setelah Penyungkupan Selama Satu Minggu

Gambar Lampiran 6. Keadaan Stek setelah Penyungkupan selama Dua Minggu


45

Gambar Lampiran 7. Keadaan Stek setelah Penyungkupan selama Tiga Minggu

Anda mungkin juga menyukai