SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Oleh :
Penulis
i
KATA PENGANTAR
ii
5. Bapak Alm. Joni Suraji, Ibu Kemiyem, Fian Anova
Febriana, Novita Yulia Meita Saroh serta seluruh
keluarga atas jerih payah, motivasi, dukungan dan
do’anya.
6. Anggota tim penelitian limbah Madra Maulana, Ika
Marsita, Ismatul Fajarwati, Moch. Afin Ardiansyah,
Imaddudin Abdul R., Syahda Dzin N., Effendi dan
Hamad Umardi yang telah bekerjasama selama
pelaksanaan penelitian.
Penulis berharap kritik dan saran untuk kesempurnaan
penulisan skripsi ini dan semoga hasil penelitian dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
iii
THE NUMBERS OF Escherichia coli and Salmonella sp.
ON THE COMPOST SLURRY AND SLUDGE ADDED
WITH DECOMPOSER HERBS AND ROTTED FRUIT
OF COMPOSTING TIME
iv
Salmonella sp. until composting gave the best results in
decreasing the number of Escherichia coli and Salmonella sp.
until 4th week.
Keywords: Escherichia coli, Salmonella sp., Slurry, sludge
v
JUMLAH BAKTERI Escherichia coli DAN Salmonella sp.
PADA KOMPOS BERBAHAN SLURRY DAN SLUDGE
DITAMBAH DEKOMPOSER NABATI DENGAN LAMA
PENGOMPOSAN YANGs BERBEDA
Fetri Ana Wuriyanti1), Pratiwi Tri Sunuwati2), Ita Wahyu
Nursita 2)
1
Mahasiswa Produksi Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, Malang
2
Dosen Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, Malang
Email : Fetrianawuriyanti@gmail.com
RINGKASAN
Pemeliharaan ternak akan menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik dan benar.
Limbah ternak sapi semakin hari akan terus meningkat seiring
berkembangnya populasi peternakan sapi. Hal ini menyebabkan
pencemaran lingkungan seperti bau busuk, sumber penyakit dan
menganggu pemandangan. Limbah kotoran ternak terdiri dari
urin dan feses. Feses ternak segar yang tercampur air
pembersihan kandang sering disebut sebagai slurry. Salah satu
upaya yang digunakan untuk mengurangi penumpukan limbah
ternak adalah dengan membuat gas bio. Namun pembuatan gas
bio masih menyisakan limbah yang disebut sludge. Slurry dan
sludge merupakan bahan yang sering digunakan sebagai bahan
baku dalam pembuatan kompos, dengan penambahan jerami
tebu untuk meningkatkan rasio C/N dan porositas. Penggunaan
slurry dan sludge ditambah dekomposer nabati sebagai bahan
pembuatan kompos yang dihubungkan dengan umur
pemanenan kompos dapat mempengaruhi jumlah bakteri
Escherichia coli dan Salmonella sp. yaitu dengan cara kerja
menekan bakteri patogen seiring lama pengomposan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh lama pengomposan dan bahan pembuatan kompos
yang terbaik ditinjau dari jumlah bakteri Escherichia coli dan
vi
Salmonella sp. pada kompos berbahan slurry dan sludge
ditambah dekomposer nabati. Hasil penelitian ini diharapkan
mendapatkan lama pengomposan yang tepat sehingga
didapatkan kompos yang berkualitas dan aman digunakan,
ditinjau dari jumlah bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp.
Memilih bahan terbaik diantara bahan pembuatan kompos
berbahan slurry dan sludge. Penelitian dilaksanakan pada
tanggal 20 Oktober - 20 November 2016 di Desa Wonokerto,
Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang dan Laboratorium
Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Materi penelitian meliputi kotoran ternak segar (slurry), lumpur
organik unit gas bio (sludge), jerami tebu, sayuran afkir, buah
afkir, empon-empon dan molasses. Metode penelitian ini adalah
eksperimental laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan
secara rundom pada setiap waktu pemanenan (1 kali/minggu)
dan perhitungan jumlah bakteri Escherichia coli dan
Salmonella sp. dilakukan menggunakan teknik Spread Plate
menggunakan metode Total Plate Count (TPC) dengan media
selektif MacConkey. Taraf perlakuan dibagi menjadi dua yaitu
bahan (slurry dan sludge) dan umur pemanenan (minggu ke-0
(P0), minggu ke-1 (P1), minggu ke-2 (P2), minggu ke-3 (P3)
dan minggu ke-4 (P4) dengan 4 kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pengomposan
memberikan pengaruh perbedaan yang tidak nyata terhadap
Escherichia coli pada kompos slurry, Escherichia coli pada
kompos sludge, Salmonella sp. pada kompos sludge, sedangkan
Salmonella sp. pada kompos slurry memberikan pengaruh
nyata. Rataan jumlah bakteri Escherichia coli pada setiap
minggu pengamatan adalah: Kompos berbahan slurry P0
1,5±0,41 105 CFU/ml, P1 2±0,82 105 CFU/ml, P2 3,75±1,44
105 CFU/ml, P3 6,33±2,52 105 CFU/ml dan P4 125,5±1,65 105
CFU/ml ; Kompos berbahan sludge P0 10,625±11,28 105
CFU/ml, P1 5,33±2,02 105 CFU/ml, P2 1,375±0,75
105 CFU/ml, P3 7,125±2,53 105 CFU/ml dan P4 3,83±2,75
105 CFU/ml. Hasil rataan jumlah Escherichia coli terendah
vii
pada kompos berbahan slurry pada pengamatan (P0) yaitu
1,5±0,41 105 CFU/ml dan kompos berbahan sludge pada
pengamatan (P2) yaitu 1,375±0,75 105 CFU/ml. Hasil rataan
jumlah bakteri Salmonella sp. pada setiap minggu pengamatan
adalah: Kompos berbahan slurry P0 2,25±1,50 105 CFU/ml, P1
41,5±38,37 105 CFU/ml ,P2 25±12,06 105 CFU/ml, P3
65,5±19,73 105 CFU/ml dan P4 7,25±1,55 105 CFU/ml;
Kompos berbahan sludge P0 16,25± 17,45 105 CFU/ml, P1
34,125±33,36 105 CFU/ml, P2 26,75±16,77 105 CFU/ml, P3
23,25±11,61 105 CFU/ml dan P4 10,875±5,76 105 CFU/ml.
Hasil rataan jumlah bakteri Salmonella sp. terendah pada
kompos berbahan slurry pada pengamatan (P0) yaitu 2,25±1,50
105 CFU/ml dan kompos berbahan sludge pada pengamatan
(P4) yaitu 10,875± 5,76 105 CFU/ml. Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa lama pengomposan menggunakan
bahan sludge dapat menurunkan jumlah bakteri Escherichia
coli dan Salmonella sp. terutama pada minggu ke-4. Lama
pengomposan menggunakan bahan slurry tidak dapat
menurunkan jumlah bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp.
hingga minggu ke-4.
viii
DAFTAR ISI
Isi Halaman
RIWAYAT HIDUP ...................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................. ii
ABSTRAK ..... .............................................................. iv
RINGKASAN .............................................................. vi
DAFTAR ISI .. .............................................................. ix
DAFTAR TABEL ........................................................ xi
DAFTAR GAMBAR .................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................xiii
DAFTAR SINGKATAN ............................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ......................................................... 1
1.2. Rumusan masalah .................................................... 3
1.3. Tujuan penelitian ..................................................... 3
1.4. Manfaat penelitian ................................................... 4
1.5. Kerangka pikir ......................................................... 4
1.6. Hipotesis... ............................................................. 6
ix
3.4.2. Prosedur pembuatan kompos slurry .............. 24
3.4.3. Prosedur pembuatan kompos sludge ............. 25
3.4.4. Prosedur perhitungan jumlah bakteri ............ 25
3.5. Variabel penelitian ................................................... 27
3.6. Analisa data .............................................................. 27
3.7. Batasan istilah........................................................... 29
BAB IV PEMBAHASAN
4.1.Jumlah bakteri Escherichia coli kompos sludge ....... 30
4.2. Jumlah bakteri Salmonella sp. kompos sludge ........ 34
4.3. Jumlah bakteri Salmonella sp. kompos slurry .......... 37
4.4. Jumlah bakteri Escherichia coli kompos slurry ....... 41
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Standar kualitas kompos.............................................. 17
2. Analisis ANOVA (Analysis of Varian) ..................... 28
3. Rataan bakteri Escheria coli kompos sludge ............ 30
4. Rataan bakteri Salmonella sp. kompos sludge .......... 34
5. Rataan nilai Salmonella sp. kompos slurry ................. 37
6. Rataan kandungan karbon, nitrogen, dan kadar air pada
kompos berbahan slurry ............................................. 39
7. Rataan nilai Escheria coli kompos slurry ................... 41
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pikir ............................................................ 6
2. Grafik rataan Escheria coli kompos sludge ................. 32
3. Grafik rataan Salmonella sp. kompos sludge .............. 35
4. Grafik rataan Salmonella spi kompos slurry ............... 39
5. Grafik rataan Escheria coli kompos slurry.................. 43
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Jumlah koloni hasil pengamatan ................................ 53
2. Uji homogenitas variansi lama pengomposan jumlah
Escheria coli kompos sludge .................................... 55
3. Uji homogenitas variansi lama pengomposan jumlah
Salmonella sp. pada kompos sludge .......................... 56
4. Uji homogenitas variansi lama pengomposan jumlah
Salmonella sp. kompos slurry ................................... 57
5. Uji homogenitas variansi lama pengomposan jumlah
Escheria coli kompos slurry ..................................... 58
6. Jumlah rataan bakteri (CFU105 /mL) Transfer Log ... 59
7. Hasil uji ANOVA Escheria coli kompos slurry ......... 61
8. Hasil uji ANOVA Salmonella sp. kompos slurry ...... 63
9. Hasil uji ANOVA Escheria coli kompos sludge......... 66
10. Hasil uji ANOVA Salmonella sp. kompos sludge ... 68
11. Suhu kompos ............................................................... 70
12. pH kompos .. ................................................................ 72
13. Kadar air kompos .. ...................................................... 74
14. Kadar nitrogen.. ............................................................ 76
15. Kadar karbon .. ............................................................. 78
16. Bahan pembuatan kompos dan dekomposer nabati .. .. 80
xiii
DAFTAR SINGKATAN
LOLT = Lumpor Organik Limbah Ternak.
LOUGB = Lumpur Organik Gas Bio
N = nitrogen
P = phospor
K = karbon
H = hidrogen
CH4 = metana
CO2 = Karbondioksida
MPN = Most Probable Number
gr = gram
sp = spesies
Mg = magnesium
Ca = kalsium
kkal = kilokalori
ᵒC = derajat Celcius
μm = mikrometer
db = derajat bebas
dkk = dan kawan-kawan
dll = dan lain- lain
et al = et alili
FK = Faktor Koreksi
JK = Jumlah Kuadrat
JND = Jarak Nyata Duncan
JNT = Jarak Nyata Terkecil
KT = Kuadrat Tengah
ANOVA = Analysis of variance
pH = potential Hydrogen
RAL = Rancangan Acak Lengkap
Sk = Sumber keragaman
SNI = Standar Nasional Indonesia
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan
memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik.
Sludge juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan
kompos dikarenakan sludge masih mengandung nutrisi yang
baik untuk digunakan sebagai bahan pupuk alam atau kompos.
Pada biogas terjadi proses yang lebih didominasi oleh reaksi
unsur C, H dan O membentuk CH4 dan CO2, sehingga hasil
proses pembentukan biogas menyisakan nutrien-nutrien dalam
padatan yang keluar dari reaktor dan memiliki nilai yang baik
sebagai bahan kompos. Menurut Marlina, Hidayati, Benito dan
Juanda (2013), sludge masih memiliki kekurangan apabila
langsung digunakan sebagai pupuk organik karena mempunyai
karakteristik dengan bau menyengat, tekstur kompak, dan
kandungan air yang masih tinggi. Kandungan lainnya yang ada
dalam slurry dan sludge selain nutrien yang baik adalah bakteri
Escherichia coli yang ada pada feses sapi (Suardana, 2016).
Bakteri Salmonella sp. juga ditemukan dalam limbah ternak
yang dapat menyebabkan penyakit dan mencemari lingkungan
serta perairan (Rachmawati, 2000).
Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh
faktor lingkungan seperti; suhu, pH, kelembaban, water activity
(wa), dan nutrisi bakteri (Desmarchelier dan Fegan, 2003).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) kompos (2004)
kandungan maksimum bakteri Escherichia coli yaitu 1000
MPN/gr dan Salmonella sp. yaitu 3 MPN/4gr. Escherichia coli
merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan
manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang
berbahaya maupun yang tidak berbahaya. Bakteri Escherichia
coli tersebut dominan terdapat dalam tinja. Bakteri dari genus
Salmonella sp. merupakan bakteri penyebab infeksi. Di
harapkan dengan proses pengomposan selama 4 minggu dapat
2
menurunkan bakteri patogen khususnya Escherichia coli dan
Salmonella sp. pada kompos berahan dasar slurry dan sludge.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh proses pengomposan terutama
jenis bahan dan lama pengomposan yang tepat untuk
mendapatkan kompos yang berkualitas dan aman untuk
digunakan, ditinjau dari jumlah bakteri Escherichia coli dan
Salmonella sp.
3
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Mendapatkan lama pengomposan yang tepat sehingga
didapatkan kompos yang berkualitas dan aman
digunakan, ditinjau dari jumlah bakteri Escherichia coli
dan Salmonella sp.
2. Memilih bahan terbaik diantara bahan pembuatan
kompos berbahan slurry dan sludge.
4
mikroba starter cenderung menurun seiring dengan lama waktu
inkubasi.
5
Feses sapi
-Sunaryo (2014)
menyatakan bahwa - sludge
mengandung 1,6 %
bahan organik mikro
Digester carbon, 0.10
yang terkandung (N,
nitrogen% dan
K, P,dll), organik 80% kadar air.
mikro (Mg, Ca, asam (Marlina dkk.,
amino, dll) 2013).
slurry sludge
-ditemukan - ditemukan
Escherichia coli +dekomposer Escherichia coli
(suardana, 2016) dan nabati dan jerami (suardana, 2016)
salmonella sp. tebu dan salmonella sp.
(Rachmawati,2000) (Rachmawati,2000
)
Kompos berbahan slurry Kompos berbahan sludge
Perubahan :
C/N, Kadar air,
aerasi, pH, suhu, dan
tekstur
Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
Gambar 1.
1.6 Hipotesis
Lama pengomposan pada kompos berbahan slurry dan
sludge ditambah dekomposer nabati dapat menurunkan jumlah
bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial (tidak
sempurna) atau seluruhnya dari bahan-bahan organik.
Pengomposan adalah proses penguraian bahan organik
secara biologis, khususnya oleh mikroba yang
memanfaatkan bahan organik yang berasal dari sisa
tanaman, kotoran hewan dan manusia yang mengandung
lebih dari satu jenis unsur hara (Yanqoritho, 2013).
Keberhasilan proses pengomposan bergantung pada
karakteristik bahan yang digunakan, aktivator
pengomposan yang digunakan dan metode pengomposan
yang dilakukan (Irvan dkk., 2014).
Proses pengomposan memerlukan beberapa
persyaratan untuk menghasilkan kualitas kompos yang
baik, yakni kandungan air, pH, dan ketersediaan nutrisi
yang tercermin dalam nisbah C/N. Hal ini berkaitan erat
dengan ketersediaan lingkungan yang optimal untuk
pertumbuhan mikroorganisme yang beperan dalam proses
degradasi bahan organik menjadi senyawa anoranik yang
siap diserap oleh tanaman (Marlina dkk., 2013). Menurut
Pathehar (2016) bahwa hasil dari pengomposan yang
memiliki bahan baku organik dinyatakan aman digunakan
apabila hasil dari pengomposan tersebut berlangsung
sempurna.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pengomposan antara lain : ukuran bahn, rasio C/N,
kelembaban dan aerasi, temperatur pengomposan, derajat
7
keasaman, jenis mikroorganisme yang terlibat. Proses
pengomposan tergantung pada :
a. Karakteristik bahan yang dikomposkan
b. Aktivator pengomposan yang diperlukan
c. Metode pengomposan yang dilakukan
( Irvan,2014 )
2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan
2.1.1.1 Bahan
a. Sludge
Husmy, Suradi dan Wirada (2008)
menyatakan bahwa lumpur organik unit gasbio
merupakan sisa-sisa hasil padatan dari
pembuatan gasbio yang masih memiliki bahan
organik yang belum terurai. Kandungan
sludge meliputi protein 13,3%, serat kasar
24,3%, dan energi 3651 kkal/kg.
Pengolahan feses sapi perah dapat
dilakukan dengan menggunakan metode
fermentasi anaerob, gasbio yang terbentuk
dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dan
lumpur hasil ikutan (sludge) dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk organik (Marlina
dkk., 2013). Lumpur Organik Unit Gas Bio
(LOUGB) merupakan produk samping yang
banyak mengandung zat nutrisi dan unsur hara
yang dapat digunakan sebagai pakan dan
pupuk tanaman (Junus, 2013). Sludge
memiliki komponen utama yang sama dengan
lumpur aktif yaitu berupa mikroorganisme.
Bakteri, jamur, protozoa, dan rotifera
8
merupakan komponen biologis, atau massa
biologis dalam lumpur aktif (Salmariza, 2012).
Sludge biogas merupakan materi berbentuk
lumpur yang telah mengalami fermentasi
sebagian dan memiliki potensi untuk dijadikan
pupuk organik (Marlina, 2009). Sludge
memiliki kandungan nutrisi yaitu protein 13,3
%, serat kasar 24,3 % dan energi 3651 kkal/kg
(Fajarudin, 2013). Menurut Marlina dkk.,
(2013) sludge biogas mengandung 1,6 %
karbon, 0,10 % nitrogen dan 80 % kadar air.
b. Slurry
Slurry merupakan kotoran ternak sapi
yang masih segar dan mengandung 1,8-2,4 %
nitrogen, 1,0-1,2 % fosfor, 0,6-0,8 %
potassium dan 50-75 % bahan organik.
Kandungan solid yang paling bagus untuk
proses anaerobik yaitu sekitar 8 %. Untuk
limbah kotoran sapi segar dibutuhkan
pengenceran menggunakan air dengan
perbandingan sebanyak 1:1. Apabila teknologi
pengolahan secara anaerob dilakukan dengan
sistem perencanaan yang matang maka dapat
digunakan sebagai energi berkelanjutan,
pupuk dan suplai nutrient tanah (Hayati,
2006). Hasil analisis menunjukkan bahwa
feses sapi mempunyai kadar air yang tinggi
yaitu 84,02% dan bahan kering yang rendah
yaitu 15,8% serta rasio C/N yang masih
9
rendah yaitu 22,12 (Saputra, Triatmojo dan
Pertiwiningrum, 2010).
Rahayu (2009) menyatakan bahwa
slurry merupakan pupuk organik yang sangat
kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
tanaman. Sunaryo (2014) menyatakan bahwa
kandungan unsur yang terdapat pada slurry
seperti protein, selulosa, lignin dan lain-lain
tidak dapat digantikan oleh pupuk kimia.
Bahan organik makro yang terkandung adalah
nitrogen (N), kalium (K), phosfor (P) dan
lainnya, sedangkan bahan mikro yang
terkandung adalah magnesium (Mg), kalsium
(Ca), asam amino dan lainnya. Pembuatan
pupuk dari slurry biogas sangat mudah yaitu
hanya dengan memisahkan antara padatan dan
cairan dari slurry biogas..
c. Dekomposer Nabati
Dekomposer merupakan kumpulan dari
beberapa macam mikroorganisme yang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
Manfaat dari dekomposer yaitu mempercepat
proses penguraian dan pengomposan,
menghilangkan bau limbah ternak dan
mengendalikan hama dan penyakit. Cara kerja
dekomposer yaitu menekan mikroorganisme
yang tidak menguntungkan bagi tanaman,
mempercepat proses fermentasi,
meningkatkan kandungan nitrogen dan
10
meningkatkan kandungan hara dan senyawa
organik (Mirwan dan Firra, 2010).
Murniyanto (2003) menyatakan bahwa
penambahan biostarter dengan konsentrasi
terbesar mampu meningkatkan jumlah
populasi bakteri pada tumpukan sampah
sehingga proses dekomposisi bahan organik
berjalan cepat dan panas yang dihasilkan juga
semakin tinggi. Biostarter in-situ dapat
meningkatkan kerja perombakan.
11
dipasok secara optimal untuk keperluan organisme
yang berupa karbon sebagai sumber energi dan
nitrogen sebagai sumber pembentukan protein. Pada
rasio C/N yang ideal, proses degradasi bahan organik
akan berjalan dengan baik. Mikroorganisme
mendapat kesempatan untuk mereplikasi diri dan
bekerja dengan optimal. Mikroba memecah senyawa
C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk
sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40
mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N
untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu
tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis
protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
12
2.1.1.4 Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam
kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara
alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan
suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan
udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan
kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan
kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi
terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang
akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi
dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan
atau mengalirkan udara di dalam tumpukan
kompos Aerasi yang terlalu kecil menyebabkan
suhu tidak dapat mencapai titik yang tinggi (Gao et
al., 2010)
2.1.1.5 Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam
tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan
mengukur volume rongga dibagi dengan volume
total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan
udara. Udara akan mensuplay oksigen untuk proses
pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air,
maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses
pengomposan juga akan terganggu (Widarti,
Wardhini dan Sarwono, 2015).
2.1.1.6 Suhu
Murbandono (2000), suhu optimum
pengomposan berkisar antara 35ᵒC-55ᵒC, akan tetapi
setiap kelompok mikroorganisme mempunyai suhu
13
optimum yang berbeda sehingga suhu optimum
pengomposan merupakan integrasi dari berbagai
jenis mikroorganisme. Pada pengomposan secara
aerobik, akan terjadi kenaikan suhu yang cepat
selama 3-5 hari pertama. Menurut Winarti (2015)
temperatur yang tinggi pada proses pengomposan
sagat penting untuk proses higienisasi, yaitu untuk
membunuh bakteri patogen dan bibit gulma.
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada
hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan
konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan
semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin
cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu
dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos.
Temperatur yang berkisar antara 30ᵒC-60ᵒC
menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat.
Suhu yang lebih tinggi dari 60ᵒC akan membunuh
sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik
saja yang akan tetap bertahan hidup.
14
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran
pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses
pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH
kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8 hingga
7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan
perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu
sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam,
secara temporer atau lokal, akan menyebabkan
penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi
amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal
pengomposan. pH kompos yang sudah matang
biasanya mendekati netral (Widaryi dkk., 2015).
2.1.1.8 Mikroorganisme
Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya
proses pengomposan akan berfluktuasi. Berdasarkan
kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme
yang terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri
dari dua golongan yaitu mesofilik dan termofilik.
Menurut anonim (2000) sumber bakteri adalah
bahan yang didalamnya sudah ada
mikroorganisme berupa bakteri. Bahan ini dapat
berasal dari keong, kulit buah-buahan
(misalnya tomat,pepaya,dll), lalu dapat juga dari
air kencing / seni, kotoran hewan atau apapun
yang mengandung sumber bakteri.
Mikroorganisme yang dapat bekerja secara efektif
dalam memfermentasikan bahan organik secara
global terdapat 5 golongan yang pokok yaitu: Bakteri
15
fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomycetes sp.,
Actinomycetes.
16
Tabel 1. Standar kualitas kompos
Parameter Satuan Minim Maks.
-
Kadar Air % 50
Temperatur - - Suhu air tanah
Warna - - Kehitaman
Bau - - Berbau tanah
Ukuran partikel Mm 0,55 25
Kemampuan ikat air % 58 -
PH - 6,80 7,49
Bahan asing % - 1,5
Bahan organik % 27 58
Nitrogen % 0,40 -
Karbon % 9,80 32
PHosfor % 0,10 -
C/N rasio - 10 20
Kalium (K20) % 0,20 -
Arsen mg/kg - 13
Cadmium (Cd) mg/kg - 3
Cobal (C0) mg/kg - 34
Chorium (Cr) mg/kg - 210
Tembaga (Cu) mg/kg - 100
Mercuri (Hg) mg/kg - 0,8
Nikel (Ni) mg/kg - 62
Timbal (Pb) mg/kg - 150
Selenium (Se) mg/kg - 2
Seng (Zn) mg/kg - 500
UNSUR LAIN
Calsium % - 25,50
Magnesium (Mg) % - 0,60
Besi (Fe) % - 2,00
Alumunium (AI) % - 2,20
Mangan (Mn) % - 0,10
BAKTERI
Fecal Coli MPN/gr - 1000
Salmonella sp. MPN/4 gr - 3
17
2.2 Escherichia coli
Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang
bersifat fakultatif anaerob dan memiliki tipe metabolisme
fermentasi dan respirasi tetapi pertumbuhannya paling
banyak di bawah keadaan anaerob, namun beberapa
Escherichia coli juga dapat tumbuh dengan baik pada
suasana aerob (Meng dan Schroeder, 2007). Suhu yang
baik untuk menumbuhkan Escherichia coli yaitu pada
suhu optimal 37°C pada media yang mengandung 1%
peptone sebagai sumber nitrogen dan karbon. Ukuran
sel dari bakteri Escherichia coli biasanya berukuran
panjang 2,0 – 6,0 μm dan lebar 1,1 –1,5 μm dengan
bentuk sel bulat dan cenderung ke batang panjang
(Melliawati, 2009). Semua spesies pada Escherichia coli
dapat meragi glukosa dengan membentuk asam dan gas
(baik aerob maupun anaerob). Escherichia coli yang
patogen dapat hidup pada suhu rendah sekalipun yaitu 7°C
maupun suhu yang tinggi yaitu 44°C, namun dia akan
lebih optimal tumbuh pada suhu antara 35°C-37°C, serta
dalam kisaran pH 4,4-8,5. Nilai aktivitas air minimal 0,95
lebih resistensi terhadap asam. Bakteri ini relatif sangat
sensitif terhadap panas dan inaktif pada suhu pasteurisasi
atau selama pemasakkan makanan (Suardana dan
Swarcita, 2009). Secara alamiah Escherichia coli adalah
penghuni umum dalam pencernaan manusia dan hewan
(Melliawati, 2009). Bakteri ini dominan dapat
ditemukan di dalam tinja manusia dan hewan. Bakteri
ini dikenal memiliki ratusan strain baik yang tidak
berbahaya maupun yang berbahaya. Salah satu strain yang
dikenal paling patogen yaitu Escherichia coli O157:H7
(Sanchez et al., 2002). Escherichia coli O157:H7
18
diketahui dapat menular ke manusia karena; interaksi
dengan hewan penderita misalnya para pekerja di
peternakan atau manusia yang bertempat tinggal dekat
dengan peternakan, melalui kotoran ternak atau feses
yang mencemari daging pada saat pemotongan, sumber
air minum yang tercemar bakteri Escherichia coli
O157:H7, dan sayuran atau buah yang tidak sengaja
tercemar karena menggunakan pupuk kandang pada saat
dilakukan pemupukan (Doyle et al.,2006).
Ketahanan panas dari Escherichia coli juga sangat
bergantung pada komposisi, pH, dan aktivitas air dari
makanan. Escherichia coli lebih tahan terhadap panas
pada saat berada dalam fase diam jika dibandingkan
pada fase pertumbuhan (Desmarchelier dan Fegan,
2003). Menurut Desmarcheller dan Fegan (2003) bakteri
E.coli tumbuh pada kisaran pH dari 4,4-10,0 dengan pH
optimun 6-7. Escherichia coli tumbuh pada suhu antara
10-45°C, dengan suhu optimum 37°C, PH optimum untuk
pertumbuhannya adalah pada 7-7,5 pH minimum 4 dan
maksimum pH 9. Nilai AW (Kadar air) minimum untuk
pertumbuhan Escherichia coli adalah 0,96 (Faridz, 2007).
Ehchericia coli bersifat mesofilik dengan suhu
pertumbuhannya dari 7°C-50°C dan suhu optimum sekitar
37°C (Adams dan Moss 2008). Escherichia coli dapat
tumbuh pada pH 4-9 dengan aktivias air 0,935. Laju
pertumbuhan Escherichia coli yaitu 25 jam/generasi pada
suhu 8°C (Forsythe, 2000) .
19
merupakan bakteri yang ditemukan di Amerika pada tahun
1899. Sakit yang disebabkan oleh Salmonella sp. disebut
salmonelosis. Penyakit ini terus meningkat dengan semakin
intensifikasinya produksi peternakan dan teknik
laboratorium yang semakin canggih. Bakteri dari genus
Salmonella sp. merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika
masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang
disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis yang paling
sering terjadi adalah gastroenteritis. Selain gastroenteritis,
beberapa spesies Salmonella juga dapat menimbulkan
gejala penyakit lainnya. Misalnya demam enterik seperti
demam tifoid dan demam paratifoid, serta infeksi lokal
(Brands, 2006).
Bakteri Salmonella sp. hidup dan tumbuh pada
temperatur 5ᵒC-45°C dan suhu optimum 35-37°C serta
pada pH 4,4 sampai 9,4. Bakteri Salmonella sp. akan
seperti filamen panjang ketika berada pada suhu ekstrim
seperti 4ᵒC-8°C atau pada suhu diatas 45°C (Jay et al.,
2005). pH berpengaruh terhadap pertumbuhan Salmonella
typhi invitro, dimana pH 3 tidak didapatkan pertumbuhan
dan tumbuh optimal pada pH 6-8 (Tyasrini,2005)
Bakteri Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus,
gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel
peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella sp.
tumbuh cepat dalam media yang sederhana, dan hampir
tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa,
membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa,
biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada
biakan agar koloninya besar bergaris tengah 2- milimeter,
bulat agak cembung, jernih, smooth, pada media Media
Blood Agar (BAP) tidak menyebabkan hemolisis, pada
20
media Mac Concey koloni Salmonella sp. tidak
memfermentasi laktosa (Jawetz et all, 1996).
21
BAB III
MATERI DAN METODE
22
4. Sayuran, buah afkir dan empon-empon.
Sayuran, buah afkir dan empon-empon yang
digunakan berasal dari sisa seleksi sayuran dan buah-
buahan yang tidak dapat digunakan. Bahan tersebut
diperoleh dari Pasar Gadang, Kecamatan Gadang,
Kota Malang. (Lampiran 12.)
5. Molases
Molases berasal dari bahan buangan pembuatan
gula yang didapat disekitar PG Krebet Baru,
Kecamatan, Bululawang.
23
P3 = Pengomposan telah terjadi selama 3 minggu
P4 = Pengomposan telah terjadi selama 4 minggu
24
3.3.3 Pembuatan Kompos Berbahan Sludge
a. Disiapkan kotoran, limbah organik unit biogas
(sludge), dekomposer nabati, jerami padi dan
air.
b. Ditumpuk jerami tebu sebanyak 20 kg.
c. Disiramkan 40 kg sludge diatas jerami tebu
dan dihomogenkan.
d. Disiramkan 1,5 liter dekomposer nabati diatas
sludge secara merata.
e. Diatas tumpukan pertama ditambahkan
kembali komposisi yang sama dengan
sebelumnya hingga pada kotak terisi secara
keseluruhan 40 kg jerami tebu, 80 kg sludge
dan 3 liter dekomposer nabati.
f. Tumpukan didiamkan hingga fase
pemanfaatan.
25
f. Diambil 1 ml kompos yang telah
direndam dengan aquades dari tabung
reaksi kemudian di masukan dalam
larutan pepton yang sebelumnya telah
dilakukan sterilisasi sebanyak 9 ml
begitu seterusnya sebanyak 5 kali
hingga didapatkan pengenceran ke-5
(105).
26
muda (Lubis, 2015) dengan
menggunakan Colony Counter,
perhitungan bakteri dilakukan dengan
cara mengkalikan jumlah koloni dengan
faktor pengencer.
27
Ti = Pengaruh perlakuan ke 0-4
eij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-
I dan ulangan ke1-4
Keterangan:
KT g = KT galat
r = Jumlah ulangan
28
3.6 Batasan Istilah
1. Sludge merupakan hasil samping pembuatan gas bio
yang memiliki kandungan air rendah.
2. Slurry merupakan feses sapi perah yang masih segar
yang bercampur dengan air pembersihan kandang ternak
3. Spread plate merupakan teknik menanam dengan
menyebarkan suspensi bakteri di permukaan agar, agar
diperoleh kultur murni.
4. Total Plate Count merupakan jumlah koloni bakteri
pada media biakan yang dapat dilihat langsung dan
dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop.
5. Dekomposer nabati merupakan dekomposer yang
berasal dari bahan-bahan organik seperti limbah
tanaman, limbah sayur dan buah.
6. Kompos merupakan hasil penguraian parsial/tidak
lengkap dari campuran bahan-bahan organik.
7. Pengomposan merupakan proses bahan organik
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh
mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik
sebagai sumber energi.
8. Bakteri koliform merupakan golongan mikroorganisme
yang lazim digunakan sebagai indikator, di mana bakteri
ini dapat menjadi sinyal untuk menentukan suatu
sumber air telah terkontaminasi oleh patogen ataukah
tidak.
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
30
Tabel 3. menunjukkan bahwa rataan jumlah bakteri
Escherichia coli pada kompos berbahan sludge pada P0
memiliki nilai tertinggi yaitu 10,625 dibandingkan dengan
perlakuan pada P1 (5,33), P2(1,375), P3(7,125) dan P4(3,83),
penyebab tingginya bakteri Escherichia coli pada kompos
berbahan sludge ini diduga karena pada proses pembentukan
biogas masih menyisakan nutrient dan mengandung kadar air
yang cukup tinggi yaitu sebanyak 52,3% sehingga bakteri
Escherichia coli dapat berkembangbiak didalam kompos
berbahan sludge. Winarni (2013) mengatakan air merupakan
suatu media yang sering digunakan oleh mikroorganisme
untuk melangsungkan hidupnya. Dimana ada air pasti akan
dijumpai berbagai macam organisme yang hidup didalamnya,
termasuk di antaranya adalah salah satu jenis bakteri
Escherichia coli. Penyebaran bakteri Escherichia coli setelah
keluar bersama feses akan tersebar bersama oleh air tanah.
sludge yang sudah berada dilingkungan dalam paparan lama
maka jumlah bakteri Escherichia coli yang berada
dilingkungan akan masuk kedalam sludge, hal inilah yang
menyebabkan kompos berbahan sludge memiliki kandungan
bakteri Escherichia coli yang tinggi pada lama pengomposan
minggu ke-0, penurunan jumlah bakteri Escherichia coli pada
perlakuan minggu ke-1, minggu ke-2, minggu ke-3 dan
minggu ke-4 diduga karena akibat penambahan dekomposer
nabati pada kompos yang sudah terurai. Agus (2014)
mengatakan bahwa kandungan mikroba bakteri Escherichia
coli dan Salmonella sp. dalam pupuk organik yang diberi
larutan mikroba starter cenderung menurun seiring dengan
lama waktu inkubasi. Peningkatan suhu pada minggu ke-1
hingga mencapai 40,1°C (terdapat pada lampiran. 7)
menyebabkan proses pengomposan mampu membunuh
31
bakteri yang bersifat termofilik dan patogen seperti bakteri
kelompok coliform yaitu Escherichia coli. (Rusdi dan
Kurnani, 1994). Hal tersebut sesuai dengan Francis J. Larney,
dkk. (2002) yang menyatakan penurunaan bakteri patogen
sejalan dengan meningkatnya waktu pengomposan.
10
8 7.125
5.33
6
3.83
4
1.375
2
0
P0 P1 P2 P3 P4
Lama Pengomposan
32
(2008) menjelaskan perubahan kondisi lingkungan akan
memengaruhi pertumbuhan dan kehidupan bakteri awal,
sehingga bakteri yang tidak mampu beradaptasi pada kondisi
tersebut akan mengalami kematian karena kondisi lingkungan
yang tidak mendukung proses metabolisme bakteri tersebut
(Supriatin, 2008).
Pada pengomposan minggu ke-3 (P3) bakteri Escherichia
coli pada kompos berbahan sludge mengalami peningkatan.
Peningkatan ini dikarenakan kadar air dari minggu ke-2 hingga
minggu ke-3 naik pada sludge (52,5 ke 55,5 %) terdapat di
Lampiran 9. naiknya kadar air ini menyebabkan jumlah bakteri
juga meningkat karena air merupakan media pertumbuhan
bakteri. Pada penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa air
merupakan komponen utama di dalam sel mikroba dan medium.
Fungsi air sebagai sumber oksigen untuk bahan organik sel pada
respirasi. Selain itu air berfungsi sebagai pelarut dan alat
pengangkut dalam metabolisme (Moat, dkk, 2002). Pada
pengomposan minggu ke-4 (P4) bakteri Escherichia coli pada
kompos berbahan sludge mengalami penurunan, hal ini
dikarenakan pada pengomposan dari minggu ke-3 hingga
minggu ke-4 jumlah karbon pada kompos sludge mengalami
penurunan yaitu (25,2 ke 17,4 %), penurunan jumlah karbon
dalam kompos ini akan menurunkan jumlah bakteri karena
semakin sedikit karbon maka bakteri yang ada dalam media
juga berkurang. Sumber karbon yang biasa digunakan adalah
karbohidrat berupa glukosa yang digunakan oleh bakteri dalam
pertumbuhannya. Menurut Hidayat et al., (2006), sumber
karbon dan nitrogen merupakan komponen yang utama dalam
suatu media kultur, karena sel-sel mikroba dan fermentasi
sebagian besar memerlukan sumber karbon dan nitrogen dalam
prosesnya.
33
4.2 Jumlah Bakteri Salmonella sp. pada Kompos
Berbahan Sludge
Hasil pengamatan jumlah bakteri Salmonella sp. pada
kompos berbahan sludge dapat diterangkan pada Lampiran 1.
Hasil analisis ragam atau ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan lama pengomposan tidak memberikan pengaruh
yang nyata (P>0,05) t e r h a d a p j u m l a h b a k t e r i
S a l m o n e l l a s p . pada kompos berbahan sludge dengan
penambahan dekomposer nabati. Ada pun rataan jumlah bakteri
Salmonella sp. kompos berbahan sludge seperti Tabel 4.
34
terpapar pada suhu lingkungan disekitar kandang yang cukup
lama sehingga terjadi kontaminan. Peningkatan jumlah bakteri
Salmonella sp. terjadi pada minggu ke-1 dikarenakan bakteri
Salmonella sp. masih dapat tumbuh dan berkembang pada suhu
40,1°C. Menurut direktorat kesehatan hewan (2002) bakteri
Salmonella sp. dapat hidup lama pada temperatur 4°C
dibandingkan dengan pada temperatur kamar, Salmonella
typhimurium dapat hidup didalam pakan dan litter selama
paling sedikit 18 bulan pada temperature 11°C, dan sekitar 40
hari dalam pakan dan 13 hari dalam litter pada temperatur 38°C,
Salmonella sp. dapat hidup berbulan-bulan di dalam kotoran
pada suatu lapangan terbuka alami. Bakteri Salmonella
typohimurium dapat hidup dengan baik di dalam tanah yang
mengandung material organik.
Gambar 3. Grafik rataan bakteri Salmonella sp. pada kompos
berbahan sludge
S al m on el l a sp . Pad a
Komp os B erb ah an S l u dge
40
35 34.125
30
26.75
25
23.25
20
15 16.25
10 10.875
5
0
P0 P1 P2 P3 P4
35
Berdasarkan gambar 3. menunjukkan bahwa rata-rata
jumlah bakteri Salmonella sp. pada kompos berbahan sludge
pada masing-masing perlakuan secara berturut-turut yaitu P0
(16.25), P1 (34.125), P2 (26.75), P3 (23.25) dan P4 (10.875).
Pada pengomposan minggu ke-1 (P1) hingga pengomposan
minggu ke-2 (P1) jumlah bakteri Salmonella sp. pada kompos
berbahan sludge mengalami penurunan hal ini diduga pada suhu
rata-rata perlakuan mengalami penurunan yang signifikan 40,1
ke 33,95°C. Penurunan hingga mencapi suhu 33.95°C
memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri
Salmonella sp. Menurut Tontora et al., (2001) menjelaskan suhu
pendinginan yang cepat cenderung menyebabkan mikroba
dorman tetapi tidak membunuhnya. Adam and Moss (2000)
menambahkan bahwa suhu memberikan pengaruh besar dalam
peningkatan maupun penurunan pertumbuhan mikroorganisme.
Knob dan Carmona, (2008) juga menjelaskan suhu sangat
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan mikrobia, kecepatan
sintesis enzim dan kecepatan inaktivasi enzim.
Pada pengomposan minggu ke-3 (P3) dan ke-4 (P4) bakteri
Salmonella sp. pada kompos berbahan sludge mengalami
penurunan,. Menurunnya jumlah bakteri Salmonella sp. pada
P3 dan P4 pada kompos berbahan sludge diduga karena terjadi
penurunan kandungan karbon pada kompos yaitu P2 (26.8%)
menjadi P3 (25.2%) dan P4 (17.4%). Menurut (Cappucino,
2014) nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme untuk
pertumbuhan meliputi karbon, nitrogen, unsur non logam
seperti sulfur dan fosfor, unsur logam seperti Ca, Zn, Na, K,
Cu, Mn, Mg, dan Fe, vitamin, air, dan energy, sehingga
menurunnya kandungan karbon pada kompos memberikan
pengaruh terhadap menurunnya jumlah bakteri Salmonella sp.
36
pada P3 dan P4 karena nutrisi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan telah berkurang.
37
pengomposan memberikan perbedaan nyata
(P<0,05) terhadap Salmonella sp.
38
Tabel 6. Rataan kandugan karbon, nitrogen dan kadar air pada
kompos berbahan slurry.
Perlakuan Kompos berbahan slurry
Lama
pengomposan Karbon Nitrogen Kadar Air
(minggu)
P0 (ke-0) 26.8±0.57 0.95± 0.06 54,25±6,15
P1 (ke-1) 25.3±1.56 1±0.00 68,35±4,74
P2 (ke-2) 28±0.57 1.635±0.12 55±1,41
P3 (ke-3) 25.5±1.56 1.77± 0.03 57,5±0,71
P4 (ke-4) 23.4±4.24 1.835±0.22 51,5±7,78
60
50 41.5
40
30 25
20
7.25
10 2.25
0
P0 P1 P2 P3 P4
39
Berdasarkan Gambar 4. menunjukkan bahwa rata-rata
jumlah bakteri Salmonella sp. pada kompos berbahan slurry
pada masing-masing perlakuan secara berurut-urut adalah P0
(2.25), P1 (41.5), P2 (25), P3 (65.5) dan P4 (7.25). Pada minggu
sebelum dilakukan pengomposan P0 pada kompos berbahan
slurry memiliki jumlah bakteri Salmonella sp. yang paling
rendah dibandingkan lama pengomposan pada perlakuan yang
lain, hal ini diduga bakteri pada perlakuan ini mengalami fase
peningkatan ukuran sel (lag) dengan kondisi lingkungan yang
mendukung bakteri untuk berkembang yaitu dari kandungan
nutrisi, pH, dan suhu kompos. Menurut Desmarchelier dan
Fegan (2003), pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh beberapa
faktor lingkungan seperti; suhu, pH, kelembaban, water activity
(wa), dan nutrisi bakteri (komposisi makanan)
Sedangkan jumlah bakteri Salmonella sp. pada kompos
berbahan slurry pada P1 ke P2 mengalami penurunan
dikarenakan pada suhu rata-rata perlakuan mengalami
penurunan yang signifikan 40,1 ke 33,95°C. Penurunan hingga
mencapi suhu 33.95°C memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan bakteri Salmonella sp. Menurut Tontora et al.,
(2001) menjelaskan suhu pendinginan yang cepat cenderung
menyebabkan mikroba dorman tetapi tidak membunuhnya.
Adam and Moss (2000) menambahkan bahwa suhu
memberikan pengaruh besar dalam peningkatan maupun
penurunan pertumbuhan mikroorganisme hal tersebut sesuai
dengan Knob dan Carmona, (2008) yang menjelaskan suhu
sangat memengaruhi kecepatan pertumbuhan mikrobia,
kecepatan sintesis enzim dan kecepatan inaktivasi enzim.
Sedangkan jumlah bakteri Salmonella sp. pada P3 mengalami
peningkatan dan penurunan pada P4 seiring dengan
meningkatnya kadar air rata-rata pada perlakuan P3 (55 ke
40
57.5%) dan menurun pada P4 (57.5 ke 51.5%). Hal tersebut
dikarenakan air pada organisme berfungsi untuk membantu
fungsi-fungsi metabolik dan merupakan salah satu nutrisi yang
dibutuhkan dalam pertumbuhannya.
41
Tabel 7. menunjukkan bahwa rataan jumlah Escherichia
coli pada kompos berbahan slurry mengalami peningkatan
jumlah bakteri hingga minggu ke-3. Hal ini diduga karena
pada kompos berbahan slurry bahan organik yang terkandung
masih dalam bentuk mentah, sehingga bakteri yang digunakan
untuk merombak bahan organik mengalami peningkatan
hingga minggu ke-3 kemudian bakeri Escherichia coli
mengalami penurunan pada minggu ke-4 dikarenakan bakteri
Escherichia coli mulai kekurangan nutrisi untuk melakukan
pertumbuhan dikarenakan bakteri Escherichia coli telah
mencapai puncak pertumbuhan sehingga bahan organik dalam
slurry telah diuraikan oleh mikroba kemudian menyebabkan
kadar air menurun. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya
kadar air (57.5% ke 51.5%). Hal tersebut sesuai dengan
(Rosmarkam dan Nasih, 2007), bahwa bahan organik
meningkatkan daya menahan. Pada P4 juga terjadi penurunan
karbon (25.5% ke 23.4%), dan pH (6.58 ke 6.44). Tingkat
keasaman atau pH merupkan salah satu faktor kritis bagi
pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses
pengomposan. Pengamatan pH pupuk organik berfungsi sebagai
indikator proses dekomposis pupuk organik. Mikroba akan
bekerja pada keadaan pH netral hingga sedikit asam dengan
kisaran 8-7. SNI: 19-7030-2004 menyebutkan bahwa pupuk
organik yang baik memiliki pH minimum 6,80 dan maksimum
7,49.
42
Gambar 5. Grafik rataan bakteri Escherichia coli pada kompos
berbahan slurry.
43
enzim. Enzim ini dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk
mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan
pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu medium atau
lingkungan tidak optimal maka akan mengganggu kerja enzim-
enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri
itu sendiri (Pelczar dan Chan, 2008).
Pada pengomposan minggu ke-3 (P3) Escherichia coli pada
kompos berbahan slurry mengalami peningkatan. Peningkatan
ini dikarenakan kadar air dari minggu ke-2 hingga minggu ke-3
mengalami kenaikan yaitu sebesar 2,5% (55% ke 57,5%) data
pada lampiran 9. naiknya kadar air ini menyebabkan jumlah
bakteri juga meningkat karena air merupakan media yang baik
untuk ditumbuhi mikroba. Aristyan (2014) mengatakan
pengaruh air terhadap pertumbuhan mikroorganisme
dinyatakan sebagai aktivitas air (Aw), yaitu jumlah air bebas
yang tersedia dan dapat digunakan untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Pada Aw yang rendah, mikroorganisme akan
mati karena sel-sel di mikroorganisme akan berdisfusi ke luar
sebagai akibat terjadinya proses kesetimbangan osmotik.
Dengan kata lain, selama konsentrasi solute diluar sel lebih
besar dibandingkan didalam sel, maka migrasi air akan terjadi
untuk menyeimbangkan konsentrasi. Migrasi air dari dalam sel
mati disebabkan oleh dehidrasi.
Pada pengomposan minggu ke-4 (P4) Escherichia coli pada
kompos berbahan slurry mengalami penurunan, hal ini
dikarenakan pada pengomposan dari minggu ke-3 hingga
minggu ke-4 jumlah karbon pada kompos slurry mengalami
penurunan yaitu (25,5 ke 23,4 %), penurunan jumlah karbon
dalam kompos ini akan menurunkan jumlah bakteri. Gazer
(2005) mengatakan mikroorganisme tumbuh baik dengan
banyaknya unsur C dan unsur lainnya.
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Lama pengomposan menggunakan bahan sludge
dapat menurunkan jumlah bakteri Escherichia
coli dan Salmonella sp. terutama pada minggu
ke-4.
2. Lama pengomposan menggunakan bahan slurry
tidak dapat menurunkan jumlah bakteri
Escherichia coli dan Salmonella sp. hingga
minggu ke-4
5.2 Saran
a. Sebaiknya penyimpanan bahan pembuatan
kompos ditempatkan pada tempat yang
tertutup agar tidak terkontaminasi bakteri
Escherichia coli dan Salmonella sp.
b. Sebaiknya perlu dilakukan pengadukan
kompos secara merata dan secara berkala agar
bakteri menyebar.
c. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai bakteri Escherichia coli dan
Salmonella sp. pada kompos lebih dari 4
minggu.
d. Sebaiknya perlu dilakukan manajemen
pembuatan kompos yang baik agar suhu dapat
mencapai >44,3°C.
45
DAFTAR PUSTAKA
46
Doyle, M. E. (2006). Veterinary drug Residues in
Processed Meats-Potential Health Risk. Reviews
of the scientific Literatur. Food Research Institute.
47
Hasil Tanaman Tomat Secara Hidroponik.
Floratek. 2: 63-68.
.RQHPDQ(.RQHPDQ¶V&RORU$WODVDQG7H[WERRNRI
Diagnostic Microbiology. Baltimore: Williamn and
Wilkins. Philadelphia.
48
.XPDU67H[ERRNVRI0LFURELRORJ\¶-D\SHH%URWKHUV
Medical Publisher (P) LTD. Dhaka-Bhangladesh.
49
Rumen Limbah Rumah Potong Hewan. Skripsi
Institut Pertanian Bogor.
50
Suardana, I.W., Putri, Apsari., dan Besung, Kerta., 2016.
Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli O157:H7
pada Feses Sapi di Kecamatan Petang, Kabupaten
Badung-Bali.
51
Kulit Pisang. Jurnal Integrasi Proses. Vol. 5, No. 2
(Juni 2015) 75-80.
52