SKRIPSI
Oleh:
Oleh:
SKRIPSI
Oleh:
Gebes Qutu Fuha Daniah
NIM.155050109111021
i
ii
EFFECT OF FEEDING FREQUENCY TOWARD
EGG WEIGHT, EGG SHAPE INDEX, AND
PERCENTAGES OF EGG COMPONENTS
ABSTRACT
The purpose of this research was to find the effect
of feeding frequency toward egg weight, egg shape
indeks, and percentages of egg components. Materials
used for this research were 100 quail age of 9 week.
They were subjected to a a completely randomized
design (CRD) with 4 treatment and 5 replication. P0 was
birds given twice feeding per day, P1 was birds givens
once time feeding per day. P2 was birds given feeding
once time per two days, and P3 was birds given once
time feeding per three days. Every quails was given the
same amount of feed 26 gram/bird/day. Collected data
were analyzed by using ANOVA on the excel program.
Anaysis of variance showed that there was no significant
effect of treatments on the egg weight, egg shape indeks,
yolk weight percentage, albumen weight percentage and
shell weight percentage based on feeding frequency.
iii
This research indicate that feeding every three days is
more efficient labour time saving and handy for farmer.
iv
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN
TERHADAP BERAT TELUR, INDEKS BENTUK
TELUR, DAN PERSENTASE BAGIAN-BAGIAN
TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica)
1)
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2)
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Email: fuhadaniah@gmail.com
RINGKASAN
v
mampu menunjang kelangsungan hidup maupun untuk
produksi telur.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh frekuensi pemberian pakan
terhadap berat telur, indeks bentuk telur, dan persentase
bagian-bagian telur puyuh. Manfaat penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan peternak mengenai frekuensi pemberian
pakan yang optimal dan pengaruhnya terhadap kualitas
telur puyuh, sehingga dapat meningkatkan efisiensi
dalam beternak puyuh.
Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa
Ampeldento, Kecamatan Karangploso Malang, mulai
dari tanggal 22 Mei - 22 Juni 2017. Analisis kualitas
telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah puyuh betina fase layer umur sembilan minggu
sebanyak 100 ekor, pakan, dan air minum. Pakan
komersil yang digunakan pada penelitian ini diproduksi
PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk dengan bentuk fine
crumbel. Peralatan yang digunakan dalam penelitian
antara lain: kandang baterai yang terdiri dari 20 bagian
dengan ukuran pada masing-masing unit panjang 30 cm,
lebar 30 cm, dan tinggi 10 cm yang diisi lima ekor
puyuh, tempat pakan dan minum, sekat, lampu 45 watt,
timbangan digital, termometer dan plastik. Peralatan
yang digunakan dalam analisis kualitas telur adalah
jangka sorong, timbangan analitik dengan ketelitian 0,01
gram, gelas plastik, gunting, alat tulis, dan peralatan lain
yang menunjang kegiatan penelitian. Metode penelitian
vi
ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan dibedakan
berdasarkan selang waktu pemberian pakan, yaitu: P0
(dua kali sehari), P1 (satu hari sekali), P2 (dua hari
sekali), P3 (tiga hari sekali). Setiap perlakuan
mendapatkan jatah pakan 26 g/ekor/hari dimana pakan
yang diberikan menyesuaikan dengan kebutuhan perhari.
Pengambilan sampel telur dilakukan sebanyak 10 kali
selama 1 bulan. Variabel yang diamati adalah berat telur,
indeks bentuk telur, persentase kuning, persentase putih
dan persentase kerabang telur puyuh.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
frekuensi pemberian pakan tidak berpengaruh (P>0,05)
terhadap berat telur, indeks bentuk telur, persentase
kuning telur, persentase putih telur, dan persentase
kerabang telur.
Ditinjau dari hasil kualitas telur tersebut, hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan
tiga hari sekali lebih efisien baik dari segi tenaga
maupun waktu. Oleh karena itu, pemberian pakan dapat
dilakukan tiga hari sekali.
vii
viii
DAFTAR ISI
RIWAYAT HIDUP........................................................i
KATA PENGANTAR....................................................i
ABSTRACT..................................................................iii
RINGKASAN.................................................................v
DAFTAR ISI.................................................................ix
DAFTAR TABEL.........................................................xi
DAFTAR GAMBAR..................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang .................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................ 3
1.3. Tujuan .............................................................. 3
1.4. Kegunaan ......................................................... 3
1.5. Hipotesis .......................................................... 3
1.6. Kerangka Pikir.................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Puyuh .............................................................. 7
2.2. Pakan ............................................................... 8
2.3. Frekuensi Pemberian Pakan ............................ 11
2.4. Sistem Pencernaan Puyuh ............................... 12
2.5. Berat Telur ..................................................... 14
2.6. Indeks Bentuk Telur ....................................... 15
2.7. Bagian-Bagian Telur ....................................... 17
2.7.1. Persentase Kuning Telur .......................... 17
ix
2.7.2. Persentase Putih Telur ............................... 18
2.7.3. Persentase Kerabang Telur ........................ 20
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Kegiatan ............................ 23
3.2. Materi Penelitian ............................................ 23
3.3. Metode Penelitian ........................................... 24
3.3.1. Pemberian Pakan dan Minum .................... 24
3.3.2. Analisa Kualitas Telur ............................... 25
3.4. Variabel Penelitian ......................................... 25
3.5. Analisis Data .................................................. 26
3.6. Batasan Istilah ................................................ 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh perlakuan terhadap berat telur .......... 28
4.2. Pengaruh perlakuan terhadap indeks bentuk telur
......................................................................... 32
4.4. Pengaruh perlakuan terhadap persentase putih
telur .................................................................. 39
4.5. Pengaruh perlakuan terhadap persentase
kerabang........................................................... 43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan .................................................... 47
5.2. Saran .............................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA..................................................48
LAMPIRAN.................................................................31
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xi
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Analisis ragam berat telur puyuh............................. 57
2. Analisis ragam indeks bentuk telur puyuh ............... 59
3. Analisis ragam persentase kuning telur puyuh ........ 61
4. Analisis ragam persentase putih telur puyuh .......... 63
5. Analisis ragam persentase kerabang telur puyuh .... 65
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1
kali, sehari sekali, dua hari sekali, dan tiga hari sekali.
Frekuensi pemberian pakan bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi baik dari segi tenaga maupun waktu. Tujuan
lainnya adalah mengurangi panas metabolik dari pakan
yang dikonsumsi ternak (Kusuma, Mukhtar, dan Dewanti
(2016). Unggas yang dibiasakan dalam frekuensi
pemberian pakan tentunya akan mempengaruhi kinerja
organ-organ pada sistem pencernaannya.
Sistem pencernaan unggas terdiri atas organ-organ
yang yang berperan untuk merombak makanan sehingga
makanan tersebut dapat diserap oleh tubuh. Salah satu
organ yang berfungsi untuk menyimpan makanan
sementara adalah tembolok. Menurut Zainuddin, Masyita,
Mulyana, dan Fitriani (2014), bila unggas dipuasakan
makanan pertama yang dimakan langsung masuk
proventrikulus (lubang ke tembolok tertutup), makanan
berikutnya disimpan dalam tembolok selama beberapa
menit sampai beberapa jam, tergantung pada
konsistensinya dan respons ventrikulus. Svihus (2015)
menyatakan bahwa unggas yang diberi pakan secara ad
libitum akan menyesuaikan kebiasaan membiarkan pakan
yang dikonsumsi melewati tembolok. Namun, ketika
unggas dilatih dengan frekuensi pemberian pakan akan
melibatkan tembolok untuk menyimpan jumlah pakan yang
besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa tembolok memiliki
peran penting dalam sistem pencernaaan makanan. Oleh
karena itu, dengan menerapkan program frekuensi
pemberian pakan diduga makanan yang dikonsumsi puyuh
mampu menunjang kelangsungan hidup maupun untuk
produksi telur.
Rata-rata sebagian besar peternak memberi pakan
puyuh fase produksi sehari sekali. Hal ini penulis ingin
2
mencoba melakukan penelitian dengan frekuensi
pemberian pakan, sehingga penelitian ini diharapkan dapat
memberi informasi mengenai frekuensi pemberian pakan
pada puyuh yang optimal dan pengaruhnya terhadap berat
telur, indeks bentuk telur, dan persentase bagian-bagian
telur puyuh.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap berat telur,
indeks bentuk telur, dan persentase bagian-bagian telur
puyuh.
1.4. Kegunaan
Kegunaan penelitian ini dapat memberikan informasi
yang dibutuhkan peternak mengenai frekuensi pemberian
pakan yang optimal dan pengaruhnya terhadap berat telur,
indeks bentuk telur, dan persentase bagian-bagian telur
puyuh.
1.5. Hipotesis
Frekuensi pemberian pakan tidak memberikan
pengaruh terhadap berat telur, indeks bentuk telur, dan
persentase bagian bagian telur.
3
1.6. Kerangka Pikir
Frekuensi pemberian pakan merupakan program
pemberian pakan dengan jumlah yang sama antar perlakuan
dan diberikan dengan selang hari tertentu serta dilakukan
secara konsisten. Penelitian yang dilakukan Svihus et al.,
(2010) menunjukkan bahwa pemberian pakan setiap empat
jam sekali memberikan hasil yang sama terhadap berat
badan ayam pedaging yang diberikan secara ad libitum.
Berdasarkan pernyataan tersebut, perbedaan dalam
pemberian pakan menunjukkan nilai yang sama pada berat
badan ayam pedaging. Frekuensi pemberian pakan dapat
menghasilkan nilai yang sama antara pemberian pakan
sehari dua kali dengan pemberian pakan tiga hari sekali.
Svihus (2015) menjelaskan bahwa tembolok,
proventrikulus, dan ventrikulus digunakan sebagai organ
penyimpanan makanan ketika disesuaikan dengan periode
kekurangan makanan yang lama, sehingga pakan yang
disimpan di dalam tembolok lebih besar dibanding secara
ad libitum. Atas dasar pemikiran tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh frekuensi
pemberian pakan pada puyuh, sehingga pada penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi untuk peternak
tentang pemberian pakan yang optimal dan pengaruhnya
terhadap kualitas telur. Kerangka pikir penelitian disajikan
pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Puyuh
Puyuh terdiri dari beberapa jenis, salah satunnya
adalah puyuh jenis Coturnix coturnic japonica. Jenis puyuh
ini yang paling populer diternakkan oleh masyarakat
sebagai penghasil telur dan daging (Subekti dan Hastuti,
2013). Menurut Maiorano (2013) burung puyuh memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Galiformes
Family : Phasianidae
Genus : Coturnix
Spesies : Coturnix coturnix japonica
7
cokelat muda terang, dihiasi bercak cokelat tua. Berat
tubuh puyuh betina lebih besar daripada berat puyuh jantan.
Puyuh dapat menghasilkan telur dengan jumlah yang cukup
sehingga dapat menunjang kebutuhan protein bagi
masyarakat. Kandungan protein telur burung puyuh cukup
baik bila dibandingkan dengan telur ayam ras. Menurut
Anonimus (2007), kandungan protein telur puyuh sekitar
13,05%, sedangkan telur ayam 12,58 gram.
Puyuh memiliki keistimewaan bila dibandingan
dengan ternak lain baik dari segi biaya, pemeliharaan,
maupun tempat. Menurut Vali (2008) puyuh memiliki
kelebihan antara lain (1) puyuh merupakan unggas dengan
ukuran tubuh terkecil yang diternakkan untuk
menghasilkan telur dan daging dengan rasa yang khas, (2)
memiliki produksi telur yang tinggi, (3) biaya pemeliharaan
murah karena memiliki ukuran yang kecil sehingga
memerlukan pakan dan tempat yang sedikit (4) selang
generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun) sehingga
memungkinkan memiliki generasi yang lebih banyak dalam
setahun, (5) resisten terhadap wabah dan penyakit unggas,
(6) dapat digunakan sebagai hewan percobaan. Anonimus
(2008) mengatakan bahwa puyuh merupakan salah satu
komoditi unggas sebagai penghasil telur dan daging yang
mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta
mudah didapat.
2.2. Pakan
Pakan merupakan kebutuhan utama dalam
pemeliharaan puyuh. Pakan berfungsi untuk menunjang
kelangsungan hidup dan produktivitas. Pakan perlu
memiliki kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan
puyuh, sehingga dalam pemberian pakan puyuh perlu
8
memperhatikan kandungan energi, protein, lemak, serat dan
mineral. Menurut Ketaren (2010), pakan yang baik
mengandung gizi yang dibutuhkan oleh ternak unggas
sesuai dengan jenis dan bangsa unggas, umur, berat badan,
jenis kelamin, dan fase produksi. Ternak unggas perlu
diberi pakan sesuai kebutuhan, pakan tidak berbau tengik,
tidak berjamur, bebas dari benda asing seperti plastik, besi,
kaca atau sejenisnya yang dapat membahayakan ternak.
Bahan-bahan yang tersusun menjadi pakan komplit
memiliki kandungan gizi yang dapat menunjang kebutuhan
ternak. Kandungan gizi tersebut berupa karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral. Menurut Anggorodi
(1985), fungsi utama karbohidrat dalam pakan unggas
adalah untuk memenuhi kebutuhan energi dan panas bagi
semua proses-proses tubuh. Menurut Widodo (2002),
fungsi protein meliputi banyak aspek seperti: 1) Sebagai
struktur penting untuk jaringan urat daging, tenunan
pengikat, kolagen, rambut, bulu, kuku dan bagian tanduk
serta paruh. 2) Sebagai komponen protein darah, albumin
dan globulin yang dapat membantu mempertahankan sifat
homeostatis dan mengatur tekanan osmosis ,dan 3) Sebagai
komponen fibrinogen dan tromboplastin dalam proses
pembekuan darah. Menurut Sinurat, Iskandar, Zainuddin,
Resnawati, dan Purba (2014), lemak atau minyak di dalam
bahan pakan berperan sebagai pembawa beberapa vitamin,
seperti vitamin A, D, E dan K, karena vitamin ini larut di
dalam lemak atau minyak. Menurut Anggorodi (1985),
vitamin merupakan senyawa organik yang esensial berguna
untuk metabolisme jaringan normal. Menurut Ketaren
(2010), mineral dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
mineral makro dan mikro. Mineral makro yang dibutuhkan
9
dalam jumlah relatif lebih banyak dari mineral lain adalah
kalsium (Ca) dan fosfor (P) untuk pembentukan tulang.
Kebutuhan setiap fase pada ternak berbeda-beda.
Apabila jumlah pakan yang diberikan terlalu banyak akan
memboroskan penggunaan pakan dan dapat meningkatkan
lemak yang mana dapat menghambat proses peneluran,
sedangkan jumlah pakan yang diberikan terlalu sedikit
dapat menyebabkan ternak defisiensi kandungan nutirisi
pakan. Anggorodi (1995) menyatakan bahwa pakan yang
diberikan pada ternak harus disesuaikan dengan umur
kebutuhan tenak, hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan
penggunaan pakan. Kebutuhan nutrisi puyuh disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi puyuh
Gizi Starter Grower Layer
Kadar air maksimal (%) 14,0 14,0 14,0
Protein Kasar min (%) 19,0 17,0 17,0
Lemak Kasar maks (%) 7,0 7,0 7,0
Serat Kasar maks (%) 6,5 7,0 7,0
Abu maks (%) 8,0 8,0 14,0
Kalsium (Ca) (%) 0,9-1,2 0,9-1,2 2,5-3,5
Fosfor total (P) (%) 0,6-1,0 0,6-1,0 0,6-1,0
Fosfor (P) min (%) 0,40 0,40 0,40
Energi metabolisme
(EM) (Kkal/kg) 2800 2600 2700
Total aflatoksin maks
(μg/kg) 40,0 40,0 40,0
Asam amino
Lisin minimal (%) 1,10 0,80 0,90
Metionin minimal (%) 0,40 0,35 0,40
Metionin+sistin min (%) 0,60 0,50 0,60
Sumber : SNI 01-3907 (2006)
10
2.3. Frekuensi Pemberian Pakan
Frekuensi pemberian pakan merupakan suatu
bentuk pembatasan pemberian pakan dengan selang waktu
tertentu, dimana puyuh dipuasakan setelah beberapa hari
diberi pakan sesuai dengan jumlah kebutuhannya.
Amrullah (2003) menyatakan bahwa unggas memiliki
kecenderungan untuk makan lebih banyak jika ada
kesempatan untuk makan seperti pada pemberian pakan ad-
libitum dan konsumsi pakan akan berkurang jika waktu
pemberian pakan dibatasi. Hal yang perlu mendapat
perhatian dari pemberian pakan adalah ketepatan waktu dan
kebutuhan setiap harinya. Menurut Karyono dan Novita
(2007), waktu pemberian pakan dipilih pada saat yang tepat
dan nyaman sehingga unggas dapat makan dengan baik dan
tidak banyak pakan yang terbuang.
Menurut Jackson dan Duke (1995), kinerja tembolok
akan meningkat sebagai penyimpan makanan ketika
menggunakan frekuensi pemberian pakan, namun kurang
berfungsi pada sistem pemberian pakan secara terus-
menerus. Nielsen (2004) yang mengamati ayam pedaging
komersial mengatakan bahwa pada pemberian pakan sistem
ad libitum menunjukkan bahwa kapasitas tembolok tidak
digunakan secara maksimal dengan kondisi tersebut.
Unggas menggunakan tembolok, proventriculus, dan
ventriculus, sebagai organ penyimpanan makanan ketika
disesuaikan dengan periode kekurangan makanan yang
lama (Svihus, 2015). Bila unggas dipuasakan makanan
pertama yang dimakan langsung masuk proventrikulus,
lubang ke tembolok tertutup, kemudian makanan
berikutnya disimpan dalam tembolok selama beberapa
menit sampai beberapa jam, tergantung pada
11
konsistensinya dan respons ventrikulus (Zainuddin dkk.,
2014). Jenis pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi
lama pakan yang disimpan di tembolok. Menurut
Anonimus (2008) dalam Zainuddin dkk., (2004) makanan
yang bersifat basah dan berbentuk halus akan cepat
diturunkan, sedangkan makanan kering dan berbentuk
kasar akan lebih lama disimpan di dalam tembolok.
Penelitian ayam broiler oleh Svihus, Hetland, Choct, dan
Sundby (2002) menunjukkan bahwa pakan pada tembolok
dapat ditemukan minimal empat jam setelah makan
terakhir.
12
karena perilaku broiler yang makan terus-menerus sehingga
tidak menampung makanan dalam jumlah banyak.
Sinurat dkk., (2014) menjelaskan bahwa tembolok
atau crop adalah kantong besar yang berada di ujung
kerongkongan dan letaknya berada di daerah leher.
Tembolok merupakan tempat penampungan sementara
pakan dan air yang dikonsumsi, yang kemudian disalurkan
pada saluran berikutnya, jika sudah memungkinkan atau
ada ruang untuk mencerna. Bila kondisi tembolok kosong
atau hampir kosong, maka akan dikirim sinyal ke susunan
saraf pusat yang menandakan bahwa unggas tersebut lapar.
Proses pencernaan di dalam tembolok sangat minim,
karena hanya merupakan tempat penyimpanan sementara.
Unggas bisa menelan makanannya dengan jumlah yang
banyak dan waktu yang singkat dalam keadaan terpaksa
atau terlatih.
Menurut Ketaren (2010), karbohidrat yang dapat
dicerna unggas akan dihidrolisis enzim amilase, dan
glukosidase menjadi glukosa yang dapat diserap dari
saluran pencernaan unggas sebagai sumber utama energi
ternak unggas. Protein dalam pakan yang dikonsumsi
unggas akan dicerna oleh pepsin di dalam proventriculus
dan gizzard, dan enzim proteolitik (tripsin dan
chimotripsin) di dalam usus halus yang menghasilkan
peptida dan asam amino. Asam amino di dalam protein
dibutuhkan ternak unggas untuk pembentukan sel,
mengganti sel mati, membentuk jaringan tubuh seperti
daging, kulit, telur, embrio, dan bulu.
Anggorodi (1985) menjelaskan bahwa unggas
mengonsumsi pakan dengan paruh kemudian ditelan dan
disimpan sementara di tembolok. Makanan tersebut menuju
proventrikulus dilunakan dan dicampur dengan getah
13
pencernaan kemudian digiling dalam empedal. Makanan
selanjutnya bergerak melalui lekukan usus yang disebut
duodenum yang sejajar dengan pankreas. Pankreas
berperan mengahasilkan getah pankreas dalam jumlah yang
banyak megandung amilolitik, lipolitik, dan proteolitik.
Enzim tersebut berguna untuk menghidrolisa pati, lemak,
proteosa dan pepton. Bahan makanan bergerak melalui
usus halus yang dindingnya mengeluarkan getah usus yang
mengandung erepsin. Erepsin dapat menyempurnakan
pencernaan protein, dan mengahasilkan asam-asam amino,
enzim yang memecah gula mengubah disakarida ke dalam
gula sederhana yang kemudian dapat diasimilasi tubuh.
Asam amino dalam tubuh akan digunakan untuk
kelangsungan hidup ternak maupun untuk bereproduksi.
14
telur sangat dipengaruhi oleh kandungan gizi yang
diberikan dan umur unggas, semakin banyak gizi yang
tersedia atau semakin tua umur unggas tersebut, maka akan
semakin berat telur yang dihasilkan. Menurut Jull (1978)
dalam Hermawan (2000), berat telur merupakan sifat
fenotip yang dapat diwariskan, maka telur yang dihasilkan
oleh setiap unggas mempunyai bentuk yang khas sesuai
dengan bentuk dan besar alat reproduksinya.
15
ditentukan oleh diameter lumen saluran reproduksi
(Yuwanta, 2010).
Shi, Wang, Dou, dan Yang (2009) mengatakan
bahwa berat telur yang meningkat akan diiringi dengan
meningkatnya nilai indeks bentuk telur. Banyak faktor
yang memengaruhi bentuk telur, salah satunya adalah
ketersediaan protein dalam pakan. Menurut Arif, Djunaidi,
dan Sjofjan (2013), nutrisi penting yangterdapat dalam
pakan adalah protein, karenaprotein berperan penting
dalam pertumbuhan sel-sel tubuh ternak. Menurut Diana
(2010), protein adalah zat yang paling penting dalam setiap
organisme dan juga merupakan pembangun bagian dari
semua sel hidup yang terbesar setelah air. Menurut
Anggorodi (1995), kekurangan protein dapat menyebabkan
indeks telur kecil. Namun, menurut Ardiansyah, Sujana,
dan Tanwirian (2016), kandungan protein pada pakan tidak
berpengaruh terhadap bentuk telur, karena paling besar
dipengaruhi oleh genetik. Hal yang sama dilaporkan oleh
Syamsir dkk., (1994) bahwa bentuk telur sangat
dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa, juga dapat
disebabkan oleh proses-proses yang tejadi selama
pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui
magnum dan isthmus. Melviyanti, Iryanti, dan Roesdiyanto
(2013) menyatakan bahwa berat tubuh induk juga
berpengaruh pada bentuk telur, semakin besar berat
tubuhnya memungkinkan ukuran isthmus yang semakin
lebar dan besar, sehingga telur yang diproduksi memiliki
bentuk yang cenderung bulat.
Indeks bentuk telur diperoleh dengan mengukur
lebar telur dan panjang telur dan dikali seratus persen.
Menurut Yuwanta (2004), rumus perhitungan indeks telur
adalah sebagai berikut.
16
Indeks bentuk telur : LT x 100%
PT
17
Kuning telur terletak dibagian tengah, berbentuk
bulat dan berwarna kuning. Warna kuning pada kuning
telur disebabkan oleh kandungan santrofil yang berasal dari
pakan. Pigmen lain yang banyak terdapat di dalamnya
adalah pigmen karotenoid (Koswara, 2009). Kuning telur
tersusun atas 44,8 % air, 17,7 % protein, 35,2 % lemak, 1,1
% karbohidrat dan 1,2 % abu (Romanoff dan Romanoff
1963). Menurut Sudaryani (2003), lemak pada telur terdiri
dari trigliserida (lemak netral), fosfolipida dan kolesterol.
Fungsi trigliserida dan fosfolipida umumnya menyediakan
energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari. Menurut
Yuwanta (2004), warna kuning telur dipengaruhi oleh
pakan yang mengandung karotenoid yang mempunyai
struktur seperti vitamin A, antara lain xantofil, lutein dan
zeaxantin pada jagung kuning.
Faktor yang mempengaruhi proporsi dan komposisi
kimia telur adalah umur unggas, pakan, temperatur,
genetik, dan cara pemeliharaan (Yuwanta, 2010). Hal yang
sama dilaporkan oleh Romanoff dan Romanoff (1963)
bahwa persentase berat putih telur dan kuning telur
dipengaruhi oleh umur unggas, pada unggas yang lebih
muda persentase putih telur lebih besar dari persentase
kuning telur. Temperatur lingkungan yang tinggi
menyebabkan menurunnya aktivitas hormonal dalam
merangsang alat-alat reproduksi dan berakibat pada
menurunnya kualitas putih telur ataupun kualitas dari
kuning telur (North dan Bell, 1990).
18
putih telur yang terletak dekat kuning telur lebih kental dan
membentuk lapisan yang disebut kalaza atau kalazaferous
(Koswara, 2009). Putih telur memiliki persentase terbesar
diantara komposisi telur. Menurut Yuwanta (2010),
persentase putih telur berkisar 52%-60% dari berat telur.
Shi et al., (2009) menyatakan bahwa berat telur memiliki
hubungan positif yang signifikan dengan persentase berat
putih telur.
Putih telur tersusun atas 86,8 % air, 11,3 % protein,
0,08 % lemak, 1 % karbohidrat, dan 0,8 % abu (Romanoff
dan Romanoff, 1963). Menurut Stadelman dan Cotterill,
1995) Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun
dari lapisan encer luar (23,2%), lapisan kental luar (57,3%),
lapisan encer dalam (16,8%), dan lapisan kental dalam
(2,7%). Hal yang sama dilaporkan oleh Indrawan, Sukada,
dan Suada (2012) putih telur terdiri dari empat bagian
yaitu berturut-turut dari bagian luar sampai bagian dalam
adalah lapisan putih telur encer bagian luar, lapisan putih
telur kental bagian luar, lapisan putih telur encer bagian
dalam dan lapisan calazaferous. Yuwanta (2004)
mengatakan bahwa karakter yang lebih spesifik pada putih
telur adalah kandungan protein (lisosim), yang berpengaruh
pada kualitas putih telur (kekentalan putih telur baik yang
kental maupun encer) yang merupakan pembungkus kuning
telur.
Menurut Amrullah (2003), kekurangan protein akan
mengakibatkan menurunnya besar telur dan jumlah
albumen telur, sehingga telur yang dihasilkan memiliki
berat dan persentase putih telur yang kecil. Faktor lain
yang mempengaruhi
19
proporsi dan komposisi kimia telur adalah umur unggas,
pakan, temperatur, genetik, dan cara pemeliharaan
(Yuwanta, 2010).
20
juga memiliki hubungan positif, dimana semakin tebal
kerabang maka akan semakin meningkat berat kerabang.
Menurut Harmayanda dkk. (2016) berat kerabang telur
sangat dipengaruhi oleh pakan yg dikonsumsi, berat telur
dan umur. Namun, menurut Shi et al. (2009) bahwa berat
telur yang meningkat maka berat kerabang akan turun,
karena unggas terbatas dalam mendepositkan kalsium dan
sebagai hasilnya jumlah kalsium yang sama tersebar di area
yang lebih luas.
Mineral yang dibutuhkan dalam penyusunan
kerabang adalah kalsium, karena komposisi utama pada
kerabang adalah kalsium. Menurut Ketaren (2010) mineral
adalah gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit akan
tetapi perannya sangat penting untuk pertumbuhan tulang,
pembentukan kerabang telur, keseimbangan dalam sel
tubuh, membantu pencernaan, sebagai sistem transportasi
gizi dalam tubuh, fertilitas, dan daya tetas telur. Suprijatna,
Umiyati, dan Ruhyat (2005) dalam mengatakan bahwa
mineral (terutama kalsium dan fosfor) berperan dalam
proses metabolisme, kebutuhannya sangat sedikit namun
sangat viral, terutama pada anak puyuh yang sedang
tumbuh dan untuk pembentukan telur untuk puyuh petelur.
21
22
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
23
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara
lain: kandang baterai yang terdiri dari 20 bagian dengan
ukuran pada masing-masing unit yaitu panjang 30 cm ,
lebar 30 cm, dan tinggi 10 cm, yang dilengkapi tempat
pakan dan minum, sekat, lampu 45 watt, timbangan digital,
termometer, dan plastik. Peralatan yang digunakan pada
analisis kualitas telur adalah jangka sorong, timbangan
analitik dengan ketelitian 0.01 gram, gelas plastik, gunting,
alat tulis, dan peralatan lain yang menunjang kegiatan
penelitian.
24
Puyuh P2, pakan 260 gram diberikan dua hari sekali
pada jam 7.00 WIB
Puyuh P3, pakan 390 gram diberikan tiga hari sekali
pada jam 7.00 WIB
Air minum diberikan secara ad libitum
25
c. Persentase putih telur diperoleh dengan
membandingkan berat putih telur dengan berat
telur dan dikali seratus persen (Djunu, 2012).
Yij = μ + τi + εij
Keterangan :
Yij =Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Galat percobaan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
27
4.1. Pengaruh perlakuan terhadap berat telur
11
10.9 10,92
10.8
10.7 10,68
10,63
10.6 10,58
10.5
10.4
P0 P1 P2 P3
28
untuk makan, keadaan ini menyebabkan sisa pakan dipagi
hari lebih banyak. Pemberian pakan dua kali sehari juga
diduga kurang efektif karena adanya aktivitas manusia saat
memberi pakan sehingga puyuh akan terganggu yang
kemungkinan juga menyebabkan stres.
Hasil analisis ragam didapatkan bahwa pemberian
pakan beselang tidak memiliki pengaruh yang nyata
(P>0,05) terhadap berat telur puyuh. Berdasarkan hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa pakan yang diberikan
tiga hari sekali mampu mencukupi kebutuhan puyuh
sehingga telur yang dihasilkan pun tergolong normal. Telur
yang dihasilkan puyuh P3 lebih besar kedua setelah puyuh
P1, hal tersebut disebabkan karena konsumsi pakan puyuh
P3 lebih banyak, sehingga sisa pakan sangat minim
diantara perlakuan lain.
Program frekuensi pemberian pakan akan
mempengaruhi kinerja organ pada saluran pencernaan
khususnya tembolok. Pakan yang dikonsumsi akan
disimpan di tembolok yang beberapa jam kemudian akan
didorong dengan gerakan peristaltik menuju
proventrikulus. Widodo (2002) menjelaskan bahwa di
dalam proventrikulus terjadi proses pencernaan hidrolitis
atau enzimatis. Proses pencernaan dimulai dengan
kontraksi otot proventrikulus yang akan mencampurkan
makanan dengan getah pencernaan yang terdiri atas HCl
dan pepsinogen (enzim yang tidak aktif). Apabila bereaksi
dengan HCl, pepsinogen akan berubah menjadi pepsin
(enzim aktif). HCl dan pepsin akan memecah protein
menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti polipeptida,
proteosa, pepton dan peptida. Ketaren (2010) juga
menerangkan bahwa protein dalam pakan yang dikonsumsi
unggas akan dicerna oleh pepsin di dalam proventriculus
29
dan gizzard, dan enzim proteolitik di dalam usus halus
yang menghasilkan peptida dan asam amino. Asam amino
di dalam protein dibutuhkan ternak unggas untuk
pembentukan sel, mengganti sel mati, membentuk jaringan
tubuh seperti daging, kulit, telur, embrio dan bulu.
Listiyowati dan Rospitasari (2003) mengatakan bahwa
fungsi protein sebagai materi penysun dasar dari semua
jaringan tubuh yang dibentuk berupa otot-otot sel darah,
kuku dan tulang, fungsi lainnya adalah untuk pertumbuhan
jaringan baru, pembuatan telur, dan sperma.
Penyerapan makanan dalam usus halus yang
menghasilkan asam amino akan diproses untuk
pembentukan telur. Proses pembentukan telur diawali
dengan pembentukan kuning telur di ovarium. Mushawwir
dan Latipudin (2013) menjelaskan bahwa ovarium unggas
terdiri dari dua lobus besar, di setiap lobus terdapat banyak
folikel yang menempel di tangkai-tangkai folikel. Folikel
tersebut terus berkembang hingga menjadi kuning telur,
kemudian akan berovulasi dan ditangkap oleh
infundibulum selama 15 menit. Proses selanjutnya, kuning
telur dari infundibulum akan menuju ke magnum dan
menetap selama tiga jam, di dalam magnum tersebut terjadi
proses pembentukan putih telur. Kuning telur yang telah
dikelilingi putih telur selanjutnya menuju isthmus, di sini
terjadi pembentukan membran sel cangkang yang tipis
selama 1 sampai 2 jam, selanjutnya di uterus selama 18
sampai 21 jam terjadi sintesis cangkang dengan komponen
berupa ion bebas kalsium, natrium dan kalium.
Jumlah pakan yang diberikan pada penelitian ini
sesuai dengan kebutuhan hariannya atau tidak ada
perbedaan antar perlakuan, maka nutrisi seperti protein
juga dikonsumsi dengan jumlah yang sama sehingga
30
kualitas telur yang dihasilkan pun tidak berbeda. Protein
merupakan nutrisi penting dalam pembentukan telur
sehingga keberadaannya dalam pakan sangat dibutuhkan.
Berat telur yang kecil disebabkan oleh konsumsi pakan
yang rendah, apabila konsumsi pakan rendah maka asupan
nutrisi juga rendah, sehingga protein dalam tubuh untuk
membentuk sebutir telur kurang maksimal. Amrullah
(2003) menyatakan bahwa kekurangan protein dapat
menyebabkan menurunnya berat telur. Menurut Wahju
(1985), pada unggas defisiensi protein atau defisiensi
sebuah asam amino esensial yang ringan hanya dapat
menyebabkan penurunan besar telur. Namun, jika
defisiensi tersebut terus meningkat dapat menyebabkan
produksi telur menjadi turun, kehilangan berat badan, dan
bulu yang hilang sulit untuk tumbuh kembali.
Menurut Wahju (1992), faktor-faktor yang
mempengaruhi berat telur adalah pengaruh lingkungan
kandang, besar tubuh induk, tahap kedewasaan, umur, obat-
obatan, jenis pakan, jumlah pakan, dan kandungan nutrisi
dalam pakan seperti kecukupan protein dan asam amino
linoleat sangat mempengaruhi berat telur yang dihasilkan.
Nasution dan Adrizal (2009) berpendapat bahwa berat telur
juga dipengaruhi oleh genetik unggas, dimana unggas yang
mempunyai kemampuan genetik rendah hanya mampu
menghasilkan berat telur sesuai dengan kemampuan
genetiknya. Faktor lain yang mempengaruhi berat telur
adalah suhu lingkungan. Menurut Stadelman (1995), suhu
280C akan menghasilkan telur dengan ukuran yang besar,
sedangkan suhu 300C akan menghasilkan telur yang kecil.
Suhu lingkungan penelitian berada pada kisaran 23-280 C,
sehingga telur yang dihasilkan pada penelitian ini tergolong
baik.
31
4.2. Pengaruh perlakuan terhadap indeks bentuk telur
78.80
78.60 78,60
78,48
78.40 78,35
78.20
78.00
77.80 77,82
77.60
77.40
P0 P1 P2 P3
32
telur yang lebih rendah karena pakan yang dikonsumsi juga
sedikit lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara berat telur dan indeks bentuk telur yang
memiliki nilai terendah. Shi et al. (2009) menyatakan
bahwa berat telur yang meningkat akan diiringi dengan
nilai indeks bentuk telur yang tinggi. Nilai indeks bentuk
telur puyuh pada penelitian ini memiliki nilai yang besar
sehingga bentuk telur yang dihasilkan lebih bulat. Menurut
Syamsir dkk., (1994) indeks bentuk telur puyuh lebih besar
dari pada indeks bentuk telur ayam, sehingga bentuk telur
puyuh cenderung lebih bulat dari pada bentuk telur ayam.
Nilai indeks bentuk telur diperoleh dari
perbandingan lebar dan panjang telur dan dikalikan seratus
persen. Nilai tersebut akan menentukan bentuk telur.
Indeks telur dibagi tiga bentuk yaitu lonjong, oval, dan
bulat. Romanoff dan Romanoff (1963) mengatakan bahwa
telur yang panjang dan sempit relatif akan mempunyai
indeks yang lebih rendah, sedangkan telur yang pendek dan
luas walaupun ukurannya kecil atau besar akan mempunyai
nilai indeks yang lebih besar. Menurut Yuwanta (2010),
telur berbentuk oval merupakan bentuk yang baik dalam
hal penetasan, kisaran indeks yang dimiliki adalah 72-74%.
Berdasarkan pernyataan tersebut, telur hasil penelitian ini
tergolong bulat karena indeks yang dihasilkan lebih dari
74%.
Keberadaan protein dalam pakan memang sangat
penting karena protein berperan besar dalam pertumbuhan
organ maupun produksi telur. Menurut Diana (2010),
protein adalah zat yang paling penting dalam setiap
organisme dan merupakan pembangun bagian dari semua
sel hidup terbesar setelah air. Nilai indeks pada penelitian
ini sangat dipengaruhi oleh konsumsi pakan. Hal ini sesuai
33
dengan pendapat Munir (2015), bahwa nilai indeks bentuk
telur yang rendah disebabkan oleh konsumsi pakan yang
lebih sedikit, sehingga telur yang dihasilkan lebih kecil dan
mengakibatkan rendahnya nilai indeks bentuk telur.
Konsumsi pakan yang rendah mengakibatkan kurangnya
asupan protein dalam tubuh sehingga akan berpengaruh
pada indeks telur. Menurut Anggorodi (1995), kekurangan
protein dalam pakan dapat menyebabkan indeks telur kecil.
Namun, tidak sepenuhnya indeks bentuk telur dipengaruhi
oleh konsumsi pakan. Faktor lain yang mempengaruhi
indeks bentuk telur adalah genetik dan umur induk.
Menurut Ardiansyah dkk., (2016) kandungan protein dalam
pakan tidak berpengaruh terhadap bentuk telur, karena
paling besar dipengaruhi oleh genetik. Nurwantoro dan
Mulyani (2003) mengatakan bahwa induk yang baru mulai
bertelur akan menghasilkan indeks bentuk telur yang
rendah, sedangkan induk yang lebih tua menghasilkan
indeks bentuk telur yang lebih besar. Hal ini dikarenakan
bahwa perkembangan organ reproduksi puyuh yang
semakin besar dapat meningkatkan nilai indeks bentuk telur
yang dihasilkan. Umur puyuh yang dipelihara pada
penelitian ini adalah sembilan minggu, umur tersebut tidak
terlalu muda dan tidak terlalu tua sehingga nilai indeks
bentuk telur yang dihasilkan pun tergolong sedang.
Faktor yang mempengaruhi bentuk telur menurut
Syamsir, dkk (1994) adalah sifat genetik, bangsa, juga
dapat disebabkan oleh proses-proses yang tejadi selama
pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui
magnum dan isthmus. Melviyanti (2013) mengatakan
bahwa berat tubuh induk juga berpengaruh pada bentuk
telur, semakin besar berat tubuhnya memungkinkan ukuran
isthmus yang semakin lebar dan besar, sehingga telur yang
34
dihasilkan memiliki bentuk yang cenderung bulat. Piliang
(1992) juga berpendapat bahwa indeks telur dipengaruhi
oleh lebar tidaknya diameter isthmus. Apabila diameter
lebar maka bentuk telur yang dihasilkan cenderung bulat,
apabila diameter isthmus sempit maka bentuk telur yang
dihasilkan cenderung lonjong.
30
29.8 29.84
29.6
29.49
29.4
29.34
29.2
29.09
29
28.8
28.6
P0 P1 P2 P3
35
yaitu 29,84±0,74. Berdasarkan Tabel 3., semakin besar
berat telur maka semakin rendah persentase kuning telur
yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shi et
al., (2009) bahwa berat telur yang lebih besar akan
memiliki nilai persentase berat kuning telur yang lebih
rendah, karena ukuran telur menyumbang sebagian besar
perbedaan proporsi kuning telur dan putih telur.
Hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa
frekuensi pemberian pakan tidak memiliki pengaruh yang
nyata (P>0,05) terhadap persentase kuning telur puyuh. Hal
ini diketahui bahwa pakan yang diberikan pada setiap
perlakuan mencukupi kebutuhan puyuh, sehingga kuning
telur yang dihasilkan tergolong normal. Hasil berat kuning
telur penelitian ini meningkat seiring dengan menurunnya
berat telur. Umumnya, bagian isi telur akan mengikuti
ukuran telur, dimana semakin meningkat berat telur akan
semakin meningkat pula bagian-bagian dalam telur.
Menurut Alfiyah, Praseno, dan Mardiati (2015), berat telur
dapat mempengaruhi kualitas bagian dalam telur, berat dari
bagian dalam telur lebih cenderung mengikuti pola
pertambahan berat telur. Faktor yang mempengaruhi
proporsi kuning telur menurut North (1984) bahwa ukuran
kuning telur dipengaruhi oleh waktu yang diperlukan untuk
pemasakan kuning telur di dalam ovarium. Waktu yang
semakin lama dalam pemasakan kuning telur akan
meningkatkan besar kuning telur dan waktu pemasakan
kuning telur yang lebih cepat akan menyebabkan ukuran
kuning telur menjadi lebih kecil. Menurut Manurung,
Praseno, dan Saraswati (2013), pertumbuhan dan
pemasakan folikel ovarium dan sekresi estrogen
dikendalikan oleh hormon gonadotropin yang terdiri atas
folicle stimulating hormone (FSH) dan Luteinizing
36
hormone (LH). Hormon FSH mempengaruhi pertumbuhan
folikel muda menjadi folikel masak. Menurut Ratnawati
dan Affandhy (2008), nutrisi pakan rendah akan
mempengaruhi hipofisis anterior sehingga produksi dan
sekresi hormon FSH dan LH rendah. Berdasarkan
pernyataan tersebut diduga bahwa waktu pemasakan
kuning telur yang lebih lama dipengaruhi oleh konsumsi
pakan yang lebih rendah sehingga mengurangi kinerja
hormon FSH dan LH.
Persentase kuning telur penelitian ini diperoleh dari
pemisahan kuning telur dan putih telur setelah telur
dipecahkan, kemudian kuning telur ditimbang, selanjutnya
membandingkan antara berat kuning telur terhadap berat
telur dan dikalikan seratus persen. Kuning telur memiliki
bentuk bulat terletak di tengah, berwarna kuning
disebabkan oleh kandungan pigmen karotenoid yang
berasal dari pakan. Muchtadi dan Sugiyono (1992)
mengatakan bahwa kuning telur diselubungi oleh membran
vitellin yang permeabel terhadap air dan berfungsi
mempertahankan bentuk kuning telur. Salah satu komposisi
pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung
kuning. Jagung kuning akan mempengaruhi warna kuning
telur. Menurut Yuwanta (2004), warna kuning telur
dipengaruhi oleh pakan yang mengandung karotenoid yang
mempunyai struktur seperti vitamin A, antara lain xantofil,
lutein dan zeaxantin yang ada pada jagung kuning.
Pembentukan kuning telur dibantu oleh asam amino
yang merupakan hasil akhir dari pencernaan protein.
Menurut Widodo (2002), produk akhir dari pencernaan
protein adalah asam amino dan peptida, lebih dari 60
persen protein dicerna di dalam duodenum sisanya dicerna
di dalam jejunum dan ileum. Suprijatna dkk., (2005)
37
menyatakan bahwa asam-asam amino yang diserap oleh
usus kemudian disintesis oleh hati dan masuk ke pembuluh
darah, hasil sintesis tersebut akan mempengaruhi juga
protein telur pada albumen yang disintesis di magnum.
Menurut Alfiyah dkk., (2015) protein akan disintesis setiap
hari sebanyak 2,5 g melalui hati, hasil sintesis tersebut akan
membentuk molekul kompleks bersama-sama dengan ion
kalsium, besi, dan zink yang mudah larut kemudian masuk
ke dalam kuning telur. Sumber protein ini akan
disekresikan pada kuning telur ketika kuning telur berada
di infudibulum. Menurut Suprijatna dkk., (2005) ovum
yang masuk infundibulum mengalami pemasakan selama
15 menit dan bergerak peristaltik ovum pada yolk akan
masuk ke magnum yang selanjutnya pembentukan putih
telur.
Menurut Yuwanta (2010), faktor yang
mempengaruhi proporsi dan komposisi kimia telur adalah
umur unggas, pakan, temperatur, genetik, dan cara
pemeliharaan. Tugiyanti dan iriyanti (2012) menyatakan
bahwa berat kuning telur dipengaruhi oleh perkembangan
ovarium, berat badan, umur saat mencapai dewasa kelamin,
kualitas dan kuantitas pakan, penyakit, lingkungan dan
konsumsi pakan. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963),
persentase kuning telur dipengaruhi oleh umur unggas,
pada unggas yang lebih muda persentase putih telur lebih
besar dari persentase kuning telur. Berdasarkan pernyataan
di atas, hasil persentase kuning telur pada penelitian ini
relatif sama antar perlakuan dikarenakan kuantitas pakan
yang diberikan adalah sama, selain itu jenis dan umur
puyuh yang dipelihara adalah sama sehingga kemungkinan
saat dewasa kelamin akan dicapai secara bersama.
38
4.4. Pengaruh perlakuan terhadap persentase putih
telur
61
60.8 60,78
60.6 60,67
60.4
60.2 60,25
60
59,89
59.8
59.6
59.4
P0 P1 P2 P3
39
Hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa
frekuensi pemberian pakan tidak memiliki pengaruh yang
nyata (P>0,05) terhadap persentase putih telur puyuh. Putih
telur memiliki nilai komposisi terbesar dibandingkan
dengan yang lainnya, nilai ini kurang lebih dua kali lipat
dari kuning telur. Salah satu faktor yang mempengaruhi
berat putih telur adalah konsumsi pakan. Nilai persentase
putih telur terbesar diperoleh puyuh P1, hal tersebut diduga
meskipun puyuh P1 mengonsumsi pakan terbanyak ketiga
setelah puyuh P2 dan P3, namun kebutuhan perharinya
selalu tercukupi karena pemberian pakan diberikan setiap
hari sekali dan dengan kondisi yang baru. Berbeda dengan
puyuh P2 dan P3 yang memiliki selang waktu lebih lama,
sehingga walaupun konsumsi pakan lebih banyak namun
kecukupan kebutuhan perharinya belum tentu seperti puyuh
P1 karena berkaitan dengan kualitas pakan dan selang
waktu yang terlalu jauh. Rata-rata puyuh P2 dan P3
menghabiskan pakan pada hari kedua. Keadaan itu
menunjukkan bahwa pakan yang diberikan tidak terlalu
lama berada di tempat pakan sehingga dapat mencegah
tumbuhnya jamur. Selain itu, tempat pemeliharaan puyuh
juga didukung dengan suhu dan kelembaban yang optimal
yaitu 23-28oC dan 40%-50%, sehingga kualitas pakan yang
diberikan tergolong baik. Jenis pakan yang akan diterapkan
pada program frekuensi pemberian pakan perlu
diperhatikan terutama kadar air dan lingkungan kandang.
Hal ini untuk mencegah tumbuhnya jamur yang mana dapat
membahayakan ternak. Anggorodi (1985) menyatakan
bahwa ada empat jamur yang dapat mengganggu unggas
salah satunya adalah jamur yang menulari campuran bahan
pakan dalam tempat pakan. Jamur tersebut adalah
40
aflatoksin yang dapat tumbuh bila kandungan air pakan di
atas 13-14 % dengan kelembaban di atas 50%.
Faktor yang mempengaruhi berat isi telur adalah
kandungan asam amino esensial pada pakan. Yuwanta
(2010) mengatakan bahwa ayam yang kekurangan
methionin akan menurunkan berat putih telur dan
kekurangan lisin dapat menurunkan berat kuning telur.
Menurut Sinurat dkk., (2014) asam-asam amino yang
sering kurang di dalam bahan pakan adalah metionin, lisin,
triptofan dan treonin. Keempat asam amino ini sudah
dibuat secara komersil dalam bentuk sintetis, sehingga bisa
ditambahkan di dalam campuran pakan untuk memenuhi
kebutuhan gizi unggas. Hasil penelitian ini telah
membuktikan bahwa persentase putih telur tergolong
normal, hal ini menunjukkan bahwa kandungan asam
amino esensial pada pakan komplit telah mencukupi
kebutuhan puyuh pada setiap perlakuan.
Komposisi putih telur sebagian besar adalah air, hal
inilah yang menyebabkan telur mudah rusak, sehingga telur
dikenal dengan makanan perishable. Menurut Indrawan
dkk., (2012) putih telur terdiri dari empat bagian yaitu
lapisan putih telur encer bagian luar, lapisan putih telur
kental bagian luar, lapisan putih telur encer bagian dalam
dan lapisan calazaferous. Warna putih telur pada penelitian
ini bening dan tekstur yang dihasilkan sedikit lebih encer
seperti gel. Koswara (2009) mengatakan bahwa putih telur
atau albumen merupakan bagian telur yang berbentuk
seperti gel, mengandung air, dan terdiri atas empat fraksi
yang berbeda-beda kekentalannya. Yuwanta (2004)
menyatakan bahwa karakter yang lebih spesifik pada putih
telur adalah kandungan protein lisosim yang berpengaruh
pada kualitas putih telur sebagai pembungkus kuning telur.
41
Proses pembentukan putih telur terjadi setelah
kuning telur dari infundibulum ke magnum. Kuning telur
yang menetap di magnum akan mengalami albumentasi
selama tiga jam. Putih telur dibentuk oleh susunan protein
yang berbeda-beda. Mushawwir dan Latipudin (2013)
mengatakan bahwa pembentukan struktur fisik putih telur
didukung oleh tiga protein putih telur, yaitu mucin dan
globulin sebesar 10 % dan albumin sebesar 90%,
komponen tersebut disintesis di dalam sel-sel jaringan
oviduk, yaitu sel-sel epitel dan sel kelenjar tubular.
Berdasarkan pernyataan tersebut, komponen utama
penyususnan putih telur adalah kandungan protein.
Kebutuhan protein pada setiap unggas berbeda-beda.
Menurut Widodo (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi
kebutuhan unggas akan protein antara lain suhu
lingkungan, umur, spesies/bangsa/strain, kandungan asam
amino, dan kecernaan. Suhu lingkungan yang semakin
meningkat menyebabkan unggas memerlukan energi yang
lebih sedikit, tetapi memerlukan protein yang lebih banyak.
Faktor tersebut juga dapat mempengaruhi konsumsi pakan.
Puyuh yang mengonsumsi pakan sedikit lebih rendah maka
asupan protein juga rendah sehingga menyebabkan
turunnya putih telur. Menurut Amrullah (2003),
kekurangan protein akan mengakibatkan menurunnya besar
telur dan jumlah albumen telur, sehingga telur yang
dihasilkan memiliki berat dan persentase putih telur yang
rendah.
42
4.5. Pengaruh perlakuan terhadap persentase kerabang
9.85
9,82
9.8
9.75
9,72
9.7 9,69
9.65
9,62
9.6
9.55
9.5
P0 P1 P2 P3
43
nyata (P>0,05) terhadap persentase kerabang telur puyuh.
Umumnya berat telur akan mengikuti ukuran telur, dimana
telur yang semakin berat akan menghasilkan kerabang yang
berat pula. Namun, nilai persentase kerabang penelitian ini
lebih berfluktuasi apabila dihubungkan dengan berat telur.
Fluktuasi pada persentase kerabang ini lebih condong pada
hubungan negatif, dimana semakin berat telur meningkat
akan menurun berat kerabang yang dihasilkan. Menurut
Harmayanda dkk., (2016) berat kerabang telur sangat
dipengaruhi oleh berat telur, pakan yang dikonsumsi, dan
umur unggas. Faktor utama yang mempengaruhi berat
kerabang menurut Shi et al., (2009) bahwa telur yang lebih
kecil memiliki kerabang yang lebih kuat dari pada telur
yang lebih besar, karena unggas memiliki kapasitas terbatas
untuk mendepositkan kalsium. Hal tersebut diduga puyuh
yang menghasilkan berat telur yang besar memiliki
kemampuan terbatas dalam mendepositkan kalsium untuk
pembentukan kerabang sehingga berat kerabang yang
dihasilkan sedikit lebih rendah.
Faktor yang mempengaruhi berat kerabang telur
adalah adanya ketersediaan kalsium dan posfor dalam
pakan. Peran kalsium sangat penting dalam pembentukan
kerabang, karena sebagian besar komposisi kerabang
adalah kalsium. Yamamoto et al., (2007) mengatakan
bahwa kerabang telur tersusun atas 95,1% garam-garam
anorganik (dengan kalsium sebanyak 98%) dan 3,3% bahan
organik terutama protein dan air. Faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas kerabang adalah umur induk. Gary,
Butcher, dan Miles (2009) mengatakan bahwa semakin tua
umur unggas maka semakin tipis kerabang telur yang
dihasilkan, karena unggas tidak mampu memproduksi
kalsium yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalsium
44
dalam pembentukan kerabang. Kualitas kerabang hasil
penelitian ini tergolong normal karena umur puyuh yang
dipelihara tidak terlalu tua, suhu lingkungan yang normal,
dan bebas dari penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapat
Suprijatna dkk., (2005) bahwa umur unggas, temperatur
lingkungan yang tinggi, penyakit, dan stres merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi kualitas kerabang.
Penyakit yang dapat mempengaruhi kualitas kerabang
menurut Anonim (2016) adalah ND dan IB, sedangkan
EDS (Egg Drop Syndrome) menyebabkan kerabang telur
sangat tipis.
Kalsium merupakan salah satu jenis mineral makro
yang dibutuhkan dalam jumlah besar. Menurut Ketaren
(2010), mineral dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
mineral makro dan mikro. Mineral makro dibutuhkan
dalam jumlah relatif lebih banyak dari mineral lain seperti
kalsium (Ca) dan fosfor (P) untuk pembentukan tulang;
natrium (Na), kalium (K), magnesium (Mg), dan klorida
(Cl) yang dibutuhkan untuk keseimbangan asam-basa
dalam proses osmosis tubuh. Mineral mikro adalah Cu, I,
Mn, Se, dan Zn dan Co . Suprijatna dkk., (2005)
mengatakan bahwa kebutuhan kalsium sangat tinggi bagi
induk yang sedang bertelur, kalsium yang diperoleh dari
pakan akan digunakan dalam pembentukan kerabang.
Kandungan kalsium dalam pakan penelitian ini
berkisar 2,5-3,0%. Walaupun jumlahnya sedikit, namun
fungsinya sangat bermanfaat khususnya pada pembentukan
kerabang. Ketaren (2010) menjelaskan bahwa kalsium
adalah gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit akan
tetapi peranannya sangat penting untuk pertumbuhan
tulang, pembentukan kerabang telur, keseimbangan dalam
sel tubuh, membantu pencernaan dan sistem transportasi
45
gizi dalam tubuh, fertilitas dan daya tetas telur. Bahan
pakan yang mengandung kalsium akan dicerna di dalam
saluran pencernaan unggas menjadi ion mineral yang dapat
diserap oleh tubuh unggas. Hasil penyerapan kalsium
selanjutnya akan dibentuk menjadi kerabang di dalam
uterus.
Kerabang memiliki peranan yang penting yaitu
melindungi isi telur dari kerusakan yang terjadi secara fisik
maupun biologis. Menurut Winarno dan Koswara (2002),
kerabang telur memiliki sifat keras, halus, dilapisi kapur
dan terikat kuat pada bagian luar dari lapisan membran
kulit luar, sehingga dengan susunan tersebut kerabang
sangat berperan dalam menjaga kualitas internal telur.
Menurut Gary et al., (2009) kualitas kerabang dipengaruhi
oleh kandungan nutrisi pakan, kesehatan, manajemen
pemeliharaan, dan kondisi lingkungan, kerabang telur
tersusun atas mineral sekitar 95% kalsium dalam bentuk
kalsium karbonat dan sisanya magnesium, fosfor, natrium,
kalium, seng, besi, mangan, dan tembaga. Kerabang pada
hasil penelitian ini memiliki permukaan yang bersih, halus,
dan kuat, sehingga frekuensi pemberian pakan ini mampu
memberikan telur dengan kualitas yang baik.
46
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
frekuensi pemberian pakan tidak mempengaruhi berat telur,
indeks bentuk telur, persentase kuning telur, persentase
putih telur, dan persentase kerabang telur. Kualitas telur
pada pemberian pakan satu hari sekali memiliki nilai yang
baik.
5.2. Saran
Penulis menyarankan bahwa pemberian pakan pada
puyuh fase layer dapat dilakukan satu hari sekali
47
48
DAFTAR PUSTAKA
49
Anonimus. 2013. Kandungan gizi telur.
http://www.psychologymania.com. Diakses tanggal
25 Oktober 2017
50
Gary D., D.V.M. Butcher, and R. Miles. 2009. Concepts of
Eggshell Quality.Veterinary Medicine-Large Animal
Clinical Sciences Department,Florida Cooperative
Extension Service, Institute of Food andAgricultural
Sciences, University of Florida.
51
Ketaren, P. 2002. Kebutuhan gizi itik petelur dan itik
pedaging.Wartazoa. 12(2) :37-46.
--------------- 2010. Kebutuhan giziternak unggas di
Indonesia. Wartazoa. 172-180
52
Munir, M. 2015. Pengaruh pola waktu pemberian pakan
jadi dan pakan campuran terhadap kualitas eksternal
telur burung puyuh (Coturnix coturnix japonica).
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
53
Romanoff, A.I. andA.J. Romanoff. 1963. The AvianEgg.
Jhon Willey and Sons. Inc. New York
54
Svihus, B., Hetland, H., Choct, M. and Sundby, F. 2002.
Passage rate through the anterior digestive tract of
broiler chickens fed on diets with ground or whole
wheat. British Poultry Science : 662-668.
Svihus, B. 2015. Optimizing gut function in broilers
through crop and gizzard manipulation. Departemen
of Animal and Aquacultural Sciences. Norwegian
University of Life Sciences.
Syamsir, E., Soewarno T, Soekarto,dan Mansjoer, S.S.
1994. Studi komparatif sifat mutu dan fungsional
telur puyuh dan telur ayam ras. Buletin Teknologi
dan Industri Pangan. Bogor. 5 (3). 34-38
55
Winarno, F.G. dan Koswara, S. 2002. Telur: Komposisi,
Penanganan, danPengolahannya. M-Brio Press.
Bogor.
56
Lampiran 1. Analisis ragam berat telur puyuh
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
1 2 3 4 5
P0 10,34 10,67 10,43 10,53 10,93 52,90 10,58
P1 11,15 10,66 11,54 10,70 10,55 54,61 10,92
P2 10,57 10,79 10,76 10,48 10,58 53,18 10,64
P3 10,33 11,07 10,40 10,87 10,76 53,42 10,68
Total 42,4 43,192 43,129 42,581 42,808 214,11
FK = (∑i . ∑j . Yij)2/txr
=(214,11)2
= 4x5
= (45843,09)2
20
= 2292,2
57
JK Galat = JK total – JK perlakuan
= 1,699 – 0,3369
= 1,3621
Analisis ragam
F F F
SK db JK KT hitung 0.05 0.01
Perlakuan 3 0,3369 0,112 1,319 3,24 5,29
Galat 16 1,362 0,085
58
Lampiran 2. Analisis ragam indeks bentuk telur puyuh
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
1 2 3 4 5
=(1566,31)2
= 4x5
= (2453336,41)2
20
= 122666,8
59
JK Galat = JK total – JK perlakuan
= 28,6876 - 1,78285
= 26,90471
F F F
SK db JK KT hitung 0.05 0.01
Perlakuan 3 1,782 0,594 0,353 3,24 5,29
Galat 16 26,904 1,681
60
Lampiran 3. Analisis ragam persentase kuning telur
puyuh
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
1 2 3 4 5
P0 30,77 29,49 30,05 30,15 28,79 149,24 29,849
P1 29,38 29,25 28,35 28,95 29,56 145,49 29,098
P2 29,49 29,46 28,37 30,01 30,14 147,46 29,493
P3 29,50 29,45 30,08 28,67 29,02 146,71 29,342
Total 119,13 117,65 116,84 117,78 117,50 588,91
FK = (∑i . ∑j . Yij)2/txr
=(588,91)2
= 4x5
= (346814,9881)2
20
= 17340,75
61
JK Galat = JK total – JK perlakuan
= 7,692527- 1,4801
= 6,2124
Analisis ragam
F F F
SK db JK KT hitung 0.05 0.01
Perlakuan 3 1,480 0,493 1,270 3,24 5,29
Galat 16 6,212 0,388
62
Lampiran 4. Analisis ragam persentase putih telur
puyuh
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
1 2 3 4 5
P0 58,99 59,95 59,53 59,83 61,17 299,46 59,89
P1 60,51 60,53 61,66 60,97 60,22 303,88 60,78
P2 60,08 60,13 61,96 59,62 59,45 301,23 60,25
P3 60,20 60,80 59,98 61,22 61,18 303,37 60,68
Total 239,7 241,39 243,12 241,648 242,01 1207,9
FK = (∑i . ∑j . Yij)2/txr
=(1207,965)2
= 4x5
= (1459179)2
20
= 72958,93
63
JK Galat = JK total – JK perlakuan
= 11,59893- 2,497778
= 9,101155
Analisis ragam
F F F
SK Db JK KT hitung 0.05 0.01
Perlakuan 3 2,497 0,832 1,463 3,24 5,29
Galat 16 9,101 0,568
64
Lampiran 5. Analisis ragam persentase kerabang telur
puyuh
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
1 2 3 4 5
P0 9,70 9,96 9,91 9,55 9,51 48,626 9,725
P1 9,58 9,80 9,54 9,58 998 48,475 9,695
P2 9,97 9,88 9,35 10,01 9,93 49,143 9,829
P3 9,78 9,50 9,62 9,80 9,41 48,119 9,624
Total 39,04 39,14 38,41 38,94 38,82 194,36
FK = (∑i . ∑j . Yij)2/txr
=(194,36)2
= 4x5
= (37777)2
20
= 1888,85
65
JK Galat = JK total – JK perlakuan
= 0,82922- 0,10843
= 0,72079
Analisis ragam
F F F
SK db JK KT hitung 0.05 0.01
Perlakuan 3 0,108 0,036 0,802 3,24 5,29
Galat 16 0,720 0,045
66