Anda di halaman 1dari 90

LAPORAN PENELITIAN SKRIPSI

PENGARUH PERIODE WAKTU PEMBERIAN DAN JENIS PAKAN ALAMI


BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP
LARVA IKAN GABUS HARUAN (Channa striata)

Oleh :

Muhammad Alfian Tsauri


1710712110008

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
LAPORAN PENELITIAN SKRIPSI
PENGARUH PERIODE WAKTU PEMBERIAN DAN JENIS PAKAN ALAMI
BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP
LARVA IKAN GABUS HARUAN (Channa striata)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Studi


Pada Program Studi Akuakultur Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Lambung Mangkurat

Oleh :

Muhammad Alfian Tsauri


1710712110008

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
BANJARBARU
2021
LEMBAR PENGESAHAN

i
PENGARUH PERIODE WAKTU PEMBERIAN DAN JENIS PAKAN ALAMI
BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP
IKAN LARVA GABUS HARUAN (Channa striata)

Muhammad Alfian Tsauri 1), Fatmawati2), Untung Bijaksana2)


1)
Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat
2)
Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat
Email: muhammadalfiantsauri@gmail.com1), fatmdi@yahoo.com2),
untung.bijaksana@ulm.ac.id2 )
Program Studi Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Lambung Mangkurat
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui periode waktu pemberian dan jenis
pakan alami yang terbaik dalam pemeliharaan larva terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva ikan gabus haruan (Channa striata). Penelitian dilakukan
menggunakan metode eksperimen dan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan A (Kuning telur hari ke 3 – 10, Artemia sp. hari
ke 5 – 14, daphnia. sp hari ke 9 – 18, cacing sutera hari ke 13 – 20 dan pelet hari ke 20 –
35), perlakuan B (Kuning telur hari ke 3 – 12, Artemia sp. hari ke 5 – 16, daphnia. sp hari
ke 9 – 20, cacing sutera hari ke 13 – 22 dan pelet hari ke 22 – 35), dan perlakuan C
Kuning telur hari ke 3 – 14, Artemia sp. hari ke 5 – 18, daphnia. sp hari ke 9 – 22, cacing
sutera hari ke 13 – 24 dan pelet hari ke 24 – 35),. Pakan diberikan 2 kali sehari (08.00 dan
17.00 WIB) selama 35 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eriode waktu
pemberian dan jenis pakan alami berbeda berpengaruh nyata terhadap laju
pertumbuhan panjang harian, pertumbuhan berat relatif dan kelangsungan hidup, tetapi
tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan berat harian larva ikan gabus ikan
gabus. Hasil terbaik didapat dari perlakuan A mampu menghasilkan laju pertumbuhan
bobot harian 6,34%, laju pertumbuhan panjang harian 6,38%, pertumbuhan bobot relatif
666,77% dan tingkat kelangsungan hidup 72,92%.

Kata Kunci : periode, pakan, pertumbuhan, kelangsungan hidup, Channa


striata.

Abstract
This study aims to determine the period of time and type of natural feed that is best in
larval rearing on growth and survival of snakehead fish (Channa striata) larvae. The
study was conducted using experimental methods and Completely Randomized Design
(CRD) with 3 treatments and 3 replications. Treatment A (Egg yolks on days 3-10,
Artemia sp. days 5-14, daphnia sp. days 9-18, silkworms on days 13-20 and pellets on
days 20-35), treatment B (Egg yolks days 3 - 12, Artemia sp. days 5 - 16, daphnia. sp
days 9 - 20, silk worms on days 13 - 22 and pellets on days 22 - 35), and treatment C
(Egg yolks on days 3 - 14 , Artemia sp. day 5 - 18, daphnia. sp on days 9 – 22, silk worms
on days 13 – 24 and pellets on days 24 – 35). Feed was given 2 times a day (08.00 and
17.00 WIB) for 35 days. The results showed that the period of time given and the type of
natural feed had a significant effect on the daily length growth rate, relative weight
growth and survival, but did not significantly affect the daily weight growth rate of
snakehead snakehead fish larvae. The best results obtained from treatment A was able to
produce a daily weight growth rate of 6.34%, a daily length growth rate of 6.38%, a
relative weight growth of 666.77% and a survival rate of 72.92%.

Keywords : period, feed, growth, survival rate, Channa striata

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunianya, Laporan Penelitian Skripsi dengan judul “Pengaruh Periode
Pemberian dan Jenis Pakan Alami Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Ikan Gabus Haruan (Channa striata)” ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui periode waktu pemberian dan
jenis pakan alami terbaik bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan
Gabus Haruan. Laporan penelitian ini ditulis berdasarkan Pedoman Penulisan
Tugas Akhir Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung
Mangkurat. Penamaan komoditas ikan Gabus Haruan dalam Laporan Penelitian
ini ditulis berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 18 tahun 2015 tentang Pelepasan Ikan Gabus Haruan. Tujuan
disusunnya laporan penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan program skripsi sarjana di Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Lambung Mangkurat
Dalam penyusunan laporan penelitian ini, penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Bapak Suriansyah (Ayah) dan Ibu Jumatin S.Sos (Ibu) penulis yang selalu
mendampingi, mendoakan, memberikan bantuan moral dan material dalam
pembuatan laporan penelitian ini.
2. Ibu Dr. Ir. Hj. Agustiana, M.P. selaku Dekan Fakultas Perikanan dan
Kelautan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.
3. Bapak Dr. Ir. H. Untung Bijaksana, M.P selaku Ketua Jurusan Akuakultur
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat
Banjarbaru.
4. Ibu Dr. Ir. Fatmawati, M.Si, selaku ketua pembimbing dan Bapak Dr. Ir. H.
Untung Bijaksana, M.P, selaku anggota pembimbing dalam Penelitian Skripsi
atas bimbingan, waktu, tenaga, arahan, serta saran dan kritik selama proses
pelaksanaan penelitian dan pembuatan laporan penelitian ini.

iii
5. Bapak Ir. H. Akhmad Murjani, M.S. selaku penguji dalam Ujian
Komprehensif atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk laporan
penelitian ini.
6. Ibu Dr. Siti Aisiah S.Pi, M.P yang telah berkenan meminjamkan peralatan
dalam penelitian.
7. Shofia Rihtazkia Saputri yang telah memberikan motivasi dan semangat serta
selalu membersamai selama penelitian.
8. Kawan-kawan semua (Andri Kharisma Wibawa, Riswanto, Muhammad Irfan
Naufal, Abu Bakar, Speniel Amsamsium, Aminah, Al Azhar, Wahyu Riko
Setiawan, Yuniar Dwiyanti, Hadad, Achmad Zaini Akbar, Tresia Ratna Sari,
Mas Akbar) yang membantu selama penelitian hingga penyusunan laporan,
kawan-kawan Mahasiswa Akuakultur angkatan 2017, serta Himpunan
Mahasiswa Akuakultur yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Dengan ditulisnya laporan penelitin ini semoga dapat bermanfaat bagi
semua pihak sebagaimana mestinya.
Banjarbaru, Juni 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. i
ABSTRAK .............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................ v
DAFTAR TABEL.................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... x
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 3
1.4. Hipotesis Penelitian ................................................................. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 4
2.1. Ikan Gabus (Channa striata) ................................................... 4
2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi ............................................. 4
2.1.2. Karakteristik .................................................................. 5
2.1.3. Reproduksi .................................................................... 5
2.1.4. Larva ............................................................................. 7
2.2. Pakan Alami ............................................................................ 7
2.2.1. Kuning Telur Ayam ...................................................... 7
2.2.2. Artemia sp. .................................................................... 8
2.2.3. Daphnia sp. ................................................................... 9
2.2.4. Cacing Sutera ................................................................ 10
2.3. Periode Pemberian Pakan Larva .............................................. 11
2.4. Pertumbuhan ............................................................................ 11
2.5. Kelangsungan Hidup ............................................................... 12
2.6. Bukaan Mulut .......................................................................... 12
2.7. Kualitas Air .............................................................................. 13
2.7.1. Suhu ............................................................................... 13
2.7.2. Derajat Keasaman ......................................................... 13

v
2.7.3. Oksigen Terlarut ........................................................... 14
2.7.4. Amonia ......................................................................... 14
BAB 3. METODE PENELITIAN ......................................................... 15
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................... 15
3.2. Teknik Pengambilan Data ....................................................... 15
3.3. Alat dan Bahan ......................................................................... 15
3.3.1. Alat ................................................................................ 15
3.3.2. Bahan ............................................................................. 16
3.4. Prosedur Penelitian .................................................................. 16
3.4.1. Rancangan Penelitian .................................................... 16
3.4.2. Rancangan Percobaan ................................................... 16
3.4.3. Percobaan Wadah .......................................................... 17
3.4.4. Pemijahan ...................................................................... 17
3.4.5. Persiapan Pakan Alami ................................................. 18
3.4.6. Penebaran dan Pemeliharaan Larva .............................. 18
3.4.7. Manajemen dan Cara Pemberian Pakan ........................ 19
3.4.8. Pengamatan ................................................................... 20
3.5. Parameter Uji ........................................................................... 20
3.5.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian .................................. 20
3.5.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian ............................... 21
3.5.3. Pertumbuhan Bobot Relatif ........................................... 21
3.5.4. Kelangsungan Hidup ..................................................... 21
3.5.5. Ukuran Bukaan Mulut ................................................... 22
3.5.6. Kualitas Air ................................................................... 22
3.5.7. Analisis Data ................................................................. 22
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 23
4.1. Hasil ......................................................................................... 23
4.1.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian .................................. 23
4.1.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian ............................... 24
4.1.3. Pertumbuhan Bobot Relatif ........................................... 25
4.1.4. Kelangsungan Hidup ..................................................... 26
4.1.5. Ukuran Bukaan Mulut ................................................... 27

4.1.6. Kualitas Air ................................................................... 28


v
i
4.2. Pembahasan ............................................................................. 28
4.2.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian .................................. 28
4.2.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian ............................... 31
4.2.3. Pertumbuhan Bobot Relatif ........................................... 32
4.2.4. Kelangsungan Hidup ..................................................... 34
4.2.5. Ukuran Bukaan Mulut ................................................... 36
4.2.6. Kualitas Air ................................................................... 37
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 39
5.1. Kesimpulan .............................................................................. 39
5.2. Saran ........................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 40
LAMPIRAN ............................................................................................ 41

v
ii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
2.1. Perbedaan Morfologi Ikan Gabus Jantan dan Betina .................... 8
3.1. Alat yang digunakan dalam Penelitian ......................................... 15
3.2. Bahan yang digunakan dalam Penelitian ...................................... 16
3.3. Perlakuan yang diberikan ............................................................. 17
3.4. Parameter Kualitas Air ................................................................. 22
4.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian Larva Ikan Gabus Haruan ....... 23
4.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian Larva Ikan Gabus Haruan .... 24
4.3. Pertumbuhan Berat Relatif Larva Ikan Gabus Haruan ................. 25
4.4. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Gabus Haruan .......................... 26
4.5. Persentase Ukuran Bukaan Mulut dari Panjang Total .................. 27
4.6. Kualitas Air .................................................................................. 28

viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Ikan Gabus (Channa striata) ......................................................... 5
2.2. Larva Ikan Gabus Berusia 1 jam .................................................. 7
2.3. Tahapan Penetasan Artemia sp. .................................................... 8
2.4. Morfologi Daphnia sp. ................................................................. 9
2.5. Morfologi Cacing Sutera .............................................................. 10
3.1. Penempatan Satuan Percobaan ..................................................... 17
4.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian Larva Ikan Gabus Haruan ....... 23
4.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian Larva Ikan Gabus Haruan .... 24
4.3. Pertumbuhan Bobot Relatif Larva Ikan Gabus Haruan ................ 25
4.4. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Gabus Haruan .......................... 26
4.5. Ukuran Bukaan Mulut Larva Ikan Gabus Haruan ........................ 27
4.6. Persentase Ukuran Bukaan Mulut Larva Ikan Gabus Haruan ...... 27

ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Pengukuran Panjang, Berat dan Jumlah Akhir................................. 48
2. Laju Pertumbuhan Bobot Harian...................................................... 49
3. Uji Normalitas Laju Pertumbuhan Bobot Harian ............................ 50
4. Uji Homogenitas Laju Pertumbuhan Bobot Harian. ....................... 51
5. Uji ANOVA Laju Pertumbuhan Bobot Harian ............................... 52
6. Laju Pertumbuhan Panjang Harian................................................... 53
7. Uji Normalitas Laju Pertmbuhan Panjang Harian............................ 54
8. Uji Homogenitas Laju Pertumbuhan Panjang Harian ...................... 55
9. Uji ANOVA Laju Pertumbuhan Panjang Harian ............................. 56
10. Uji Lanjutan BJND (5%) Laju Pertumbuhan Panjang Harian ....... 57
11. Pertumbuhan Bobot Relatif ........................................................... 58
12. Uji Normalitas Pertumbuhan Bobot Relatif ................................... 59
13. Uji Homogenitas Pertumbuhan Bobot Relatif ............................... 60
14. Uji ANOVA Pertumbuhan Bobot Relatif ...................................... 61
15. Kelangsungan Hidup ..................................................................... 62
16. Uji Normalitas Kelangsungan Hidup ............................................ 63
17. Uji Homogenitas Kelangsungan Hidup ......................................... 64
18. Uji ANOVA Kelangsungan Hidup ................................................ 65
19. Uji Lanjut BJND (5%) Kelangsungan Hidup ................................ 66
20. Ukuran Bukaan Mulut ................................................................... 67
21. Pengukuran Kualitas Air ............................................................... 68
22. Dokumentasi Kegiatan .................................................................. 69

xi
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan gabus merupakan salah satu ikan lokal Kalimantan Selatan yang
sangat digemari oleh masyarakat. Sebagai ikan lokal, ikan gabus memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Menurut survei yang dilakukan di pasar Rantau Provinsi
Kalimantan Selatan, harga ikan gabus pada bulan April –Juni berkisar antara Rp.
40.000 – Rp. 50.000 /kg, sedangkan pada bulan November – Desember 2020
berkisar antara Rp.60.000 – Rp.80.000 /kg.
Rendahnya stok ikan gabus haruan di pasaran disebabkan oleh produksi
ikan gabus haruan belum banyak dilakukan. Sampai saat ini, ketersediaan stok
ikan gabus di pasaran masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Selain itu,
teknologi budidaya khususnya pembenihan ikan gabus haruan juga belum banyak
ditemukan. Menurut Melianawati dkk, (2004) stadia larva merupakan fase yang
kritis pada proses pembenihan ikan gabus, dimana pada stadia larva, sistem
pencernaan dan fungsi enzimatik pencernaannya masih sangat sederhana dan
belum berkembang secara sempurna. Hal ini karena kemampuan larva untuk
mencerna pakan masih sangat terbatas.
Larva ikan gabus yang diberi pakan kuning telur, Menurut Mahardika
dkk, (2017), menghasilkan tingkat kelangsungan hidup sebesar 2,33%.
Kelangsungan hidup larva ikan gabus yang diberi pakan kuning telur masih sangat
rendah jika dibandingkan dengan kelangsungan hidup larva ikan gabus yang
diberi cacing sutera dengan tingkat kelangsungan hidup 97,67%. Rendahnya
kelangsungan hidup pada larva yang diberi kuning telur diduga karena aktivitas
enzim masih rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem saluran pencernaan
yang masih sederhana. Aktivitas enzim yang meningkat diiringi dengan sistem
pencernaan larva yang meningkat pula, sehingga pemberian pakan alami terus
menerus tidak memberikan peningkatan aktivitas enzim. Hal ini dikarenakan
sistem pencernaan telah baik untuk mencerna pakan dari luar,
sehingga tidak memacu larva untuk menghasilkan lebih banyak enzim
pencernaan. Setiap jenis ikan tingkat kemampuan untuk mencerna makanan
bertambah sesuai dengan pertambahan umur dan ukuran ikan serta bukaan mulut

2
3

ikan tersebut. Larva juga belum memiliki organ pencernaan yang sempurna
sehingga daya cerna larva sangat rendah (Yurisman dan Heltonika, 2010).
Menurut War dkk, (2014) bahwa semakin besar ukuran larva maka tingkat ukuran
pakan yang akan dikonsumsi akan semakin besar pula, sesuai dengan ukuran
bukaan mulut.
Terdapat kemungkinan larva dapat tumbuh lebih optimal dengan
pemberian pakan alami pada periode yang tepat sesuai dengan ukuran bukaan
mulut larva, apabila pemilihan jenis pakan yang diberikan tidak tepat dengan
bukaan mulut larva dapat menyebabkan larva tidak bias memakan pakan alami
yang diberikan sehingga pertumbuhan dan kelangsungan hidup menjadi rendah
(Mahardika dkk, 2017). Terdapat berbagai jenis pakan alami yang dapat diberikan
sebagai pakan larva ikan gabus, seperti kuning telur, Daphnia sp., Artemia sp.,
dan cacing sutera. Menurut Halver (1979), pergantian pakan dan waktu pemberian
pakan yang tidak tepat dapat menyebabkan pertumbuhan larva menjadi lambat,
karena larva membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan pakan yang baru.
Sehingga perlu diketahui periode yang terbaik dalam pergantian jenis pakan yang
diberikan pada larva ikan gabus.
Pemberian jenis pakan yang berbeda pada periode waktu pemberian yang
tepat sesuai dengan umur larva diharapkan mampu menunjang pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva ikan gabus pasca penyerapan kuning telur sehingga
perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh periode waktu pemberian dan jenis
pakan alami berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan
gabus.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah periode waktu


pemberian dan jenis pakan alami berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva ikan gabus haruan (Channa striata) ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh periode waktu


pemberian dan jenis pakan alami berbeda terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan larva ikan gabus (Channa striata).
4

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para pelaku


budidaya ikan gabus khususnya pembenihan tentang periode pemberian dan jenis
pakan alami yang terbaik pada pemeliharaan larva ikan gabus haruan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan larva ikan gabus haruan.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


H0 : Periode waktu pemberian dan jenis pakan berbeda tidak berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan gabus
H1 : Periode waktu pemberian dan jenis pakan berbeda berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan gabus
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Gabus (Channa striata)

Ikan gabus, (Channa striata) merupakan salah satu komoditas air tawar
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sementara ini pemenuhan kebutuhan hanya
bergantung pada hasilpenangkapan di alam. Bagi masyarakat suku Banjar, ikan
gabus merupakan ikan pilihan pertama untuk dikonsumsi (Bijaksana dkk, 2009).
Karakteristik khas jenis ikan adalah kemampuannya bertahan pada kondisi
perairan yang ekstrim seperti : kandungan oksigen yang rendah, pH rendah dan
tidak memerlukan air yang mengalir. Karakteristik yang demikian dimiliki oleh
perairan rawa sehngga hanya beberapa jenis ikan introduksi saja yang mampu
mengadaptasinya selebihnya adalah jenis-jenis ikan lokal. (Bijaksana, 2004).

2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Gabus

Ikan Gabus (Channa striata) atau yang lebih dikenali sebagai striped
snakehead, anggota genus Channa, merupakan ikan konsumsi yang populer di
Asia (Wee, 1982). Menurut Bloch (1793), klasifikasi ikan Gabus sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Channidae
Spesies : Channa striata
Secara morfologis, bentuk tubuh ikan memanjang, permukaan tubuh dan
kepala ditutupi oleh sisik tebal dan permukaannya kasar. Sirip punggung panjang
yang dasarnya mencapai pangkal ekor, permulaan sirip ini di atas atau sedikit di
belakang sisip dada. Kepala berbentuk seperti kepala ular. Antara dasar sirip
punggung dan linea lateralis terdapat 4 - 5 baris sisik, Dorsal 38 - 43, Anal 23–27
dan Linea lateralis (Lt) 52 – 57 (Saanin, 1986).

5
6

Gambar 2.1. Ikan Gabus


(Sumber: Dok. Pribadi, 2020)

2.1.2. Karakteristik Ikan Gabus Haruan


Ikan Gabus merupakan ikan labirin yang mampu bertahan di luar air,
karena mempunyai alat pernafasan tambahan yang berupa lipatan kulit tipis yang
berlikuliku seperti labirin. Ikan ini biasa hidup di sungai, danau, dan
kolam/tambak, serta biasa membuat sarang di daerah rawa-rawa atau diantara
belukar yang terdapat pada tepi tambak dan sungai. (Weber dan Beaufort 1922).
Ikan Gabus merupakan ikan karnivor yang cukup buas. Di tambak
pedalaman, yang salinitasnya lebih rendah/tawar, ikan Gabus merupakan hama
yang amat merugikan karena kebuasannya melebihi ikan kakap. Ikan ini tidak
hanya memangsa ikan bandeng, tetapi juga ikan-ikan liar lainnya (Soeseno, 1988).

2.1.3. Reproduksi Ikan Gabus Haruan

Ikan gabus melakukan reproduksi melalui pemijahan secara alami pada


musim penghujan. Faktor fisiologi dan lingkungan secara alami dapat dijadikan
isyarat untuk merangsang pemijahan pada jenis ikan teleos. Pada wilayah tropis
yang dapat merangsang ikan Gabus Haruan melakukan pemijahan disebabkan
oleh pergantian musim yang terjadi karena perubahan temperatur perairan dan
amplitude ketinggian permukaan air (Zairin, dkk, 2001).
Hasil penelitian dari Bijaksana (2006), menyatakan bahwa ikan gabus
yang tertangkap di awal musim kemarau sampai puncak musim kemarau, 75-80%
berada pada fase perkembangan gonad, ditambahkan pula oleh Bijaksana (2012),
pada waktu musim penangkapan (puncak musim kemarau) yang tertangkap
sebagian besar adalah ikan gabus dalam perkembangan kematangan gonad.
7

Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka ikan gabus yang tertangkap
akan semakin besar sizenya atau bahkan mungkin mengalami kepunahan.
Pemijahan ikan gabus dapat berlangsung 2-3 kali dalam satu musim
pemijahan bahkan masih terjadi pemijahan di akhir musim penghujan. Perubahan
ketinggian air (penurunan dan penaikan) dapat menjadi pemicu dalam
perkembangan gonad, ovulasi dan pemijahan ikan Gabus di dalam wadah
budididaya (Bijaksana, 2012).
Indukan ikan gabus yang domestikasi memerlukan waktu untuk
beradaptasi di lingkungan yang terkontrol sehingga kesesuaian lingkungan dan
pakan yang diberikan juga akan mempengaruhi diameter telur dan fekunditasnya.
Keberhasilan reproduksi ikan berkaitan dengan ketepatan waktu dan kualitas
pakan (Bijaksana, 2016).
Upaya domestikasi (penjinakan) ikan Gabus dari alam liar (perairan
umum) ke dalam lingkungan terkontrol (budidaya) sudah dilakukan, dengan
manipulasi ketinggian air 25 cm selama 15 hari kemudian menaikkan ketinggian
air hingga 50 cm selama 45 hari dapat menjadi ”trigger” ikan gabus dalam
perkembangan gonadnya (Bijaksana, 2012). Induk ikan Gabus biasanya berusia 9
bulan sampai lebih dari satu tahun. Perbedaan induk jantan dan betina ikan Gabus
dapat diketahui berdasarkan perbedaan morfologi pada saat ikan Gabus sudah
matang gonad. Perbedaan ikan Gabus jantan dan betina (Santoso, 2009), dapat
dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbedaan Morfologi Ikan Gabus Jantan dan Betina


Variabel Induk Jantan Induk Betina
Kepala Lonjong Membulat
Badan Tidak membulat Tebal membulat
Warna tubuh Lebih gelap Lebih terang
Alat genital Berwarna kemerahan Berwarna merah
Perut Ramping Membesar kearah anus
Bila perut dipijat Mengeluarkan cairan putih Tidak mengeluarkan sesuatu
Gerakan Lincah dan garang Lamban

2.1.4. Larva Ikan Gabus

Penetasan telur ikan gabus dapat dilakukan dalam waring pemijahan atau
dipindahkan dalam kolam terpal yang dibuat untuk media penetasan telur atau
8

dilakukan di dalam akuarium. Penetasan telur dalam akuarium lebih terkontrol


dan dapat dilakukan pengaturan suhu media. Suhu air media penetasan telur ikan
gabus adalah 28o C. Pendederan larva – benih ikan gabus dapat dilakukan dengan
media waring, atau dengan media kolam terpal. Padat penebaran larva ikan gabus
untuk pendederan dari umur 7 hari sampai 30 hari sebanyak 2 ekor/liter (Muslim
2013).

Gambar 2.2. Larva Ikan Gabus Berusia 1 jam


(Sumber : BPBAT Mandiangin, 2014)

2.2. Pakan Alami

2.2.1. Kuning Telur Ayam

Kuning telur berbatasan dengan putih telur dan dibungkus oleh suatu
lapisan yang disebut membran vitelin. Menurut Whitaker and Tannenbaum
(1977), membran vitelin tersusun oleh protein yang disebut keratin. Umumnya
kuning telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau oranye, terletak pada pusat
telur dan bersifat elastis. Warna kuning dari kuning telur disebabkan oleh
kandungan santofil yang berasal dari ransum ayam. .
Penggunaan kuning telur sebagai pakan larva sudah disampaikan oleh
Ivanchenko (1969) dan (Kurata, 1959 dalam Kinnie 1977). Kuning telur ayam
diberikan pada larva dengan dosis 8 mg / 100 ekor larva. Dosis ini digunakan oleh
Mahendra dan Supriadi (2019). Kuning telur telah diketahui secara luas
mempunyai komposisi asam amino esensial yang lengkap dan baik, disamping
mudah dijadikan partikel sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Penggunaan
pakan kuning telur ayam rebus (boiled chicken egg yolk) dihadapkan dengan
beberapa masalah sampingan, diantaranya kuning telor yang tidak termakan oleh
9

larva mudah membusuk sehingga menurunkan mutu air. Mutu air yang turun
memungkinkan berkembangnya bakteri dan mengakibatkan tingginya angka
kematian larva (Alawi dkk, 2014).

2.2.2. Artemia sp.

Artemia sp. diperjual belikan dalam bentuk telur dorman (istirahat) yang
disebut dengan Siste. Terdapat beberapa tahap (proses) penetasan Artemia sp.,
yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap
pengeluaran. Pada tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga siste yang
diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif melakukan
metabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang, disusul dengan
tahap payung yang terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar dari cangkang
(Wibowo dkk, 2013). Tahap penetasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Tahapan Penetasan Artemia sp.


(Sumber : Wibowo dkk, 2013)

Artemia sp. yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna


oranye, berbentuk bulat lonjong. Menurut Susanto dkk, (2000) Ukuran nauplius
artemia lokal dan impor saat menetas sekitar 0,40-0,48 mm dan ukuran instar dua
sekitar 0,6 mm. Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antenna.
Antenulla berukuran lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan antenna. Selain
itu, di antara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang
mandibulla 4 rudimenter terdapat di belakang antenna. Labrum (semacam mulut)
terdapat di bagian ventral.
10

Nilai nutrisi nauplius Artemia sp. yang baru menetas yaitu 40% - 50%
protein, 15% - 20% lemak dan 15% - 20% lemak (Panggabean 1984, dalam
Yusup dkk, 2015). Artemia sp. diberikan pada larva ikan gabus dengan dosis 500
individu/ikan per hari (War dan Altaff, 2014).

2.2.3. Daphnia sp.

Daphnia sp. adalah komponen utama zooplankton air tawar dengan


panjang tubuh antara 0,2 - 3,2 mm (Pennak, 1953). Daphnia sp. mempunyai
bentuk tubuh pipih bilateral.Tubuh ditutupi oleh cangkang dari kutikula yang
mengandung khitin transparan yang disebut karapaks (Djarijah, 1995). Pembagian
segmen tubuh Daphnia sp. hampir tidak terlihat. Daphnia sp. memiliki tubuh
transparan sehingga organ tubuh bagian dalam terlihat jelas. Pada bagian kepala
terdapat mata majemuk, ocellus, dan dua pasang antena yaitu antena pertama dan
antena kedua yang bercabang dengan panjang mencapai setengah atau lebih dari
panjang tubuh yang berfungsi untuk berenang, maxilla, dan mandibula (Ebert,
2005). Morfologi Daphnia sp. dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Morfologi Daphnia sp.


(Sumber : Surtikanti dkk, 2017)

Pennak (1989) menyatakan bahwa Daphnia sp. dapat tumbuh pada


lingkungan dengan kisaran pH antara 6,5 – 8,5, dimana kisaran pH optimum
antara 7,2 – 8,5,salinitas umumnya sekitar 1,5 ppt, sedangkan suhu optimum
untuk Daphnia sp. adalah 18 – 24 oC. Konsentrasi oksigen terlarut optimum yaitu
di atas 3,5 mg/l.Pada kandungan amoniak antara 0,35 – 0,61 ppm, Daphnia sp.
masih dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik (Mokoginta, 2003).
11

Kandungan nutrisi Daphnia sp. bervariasi menurut umur dan tergantung


jenis pakan yang dimakan oleh Daphnia sp. Nilai nutrisi dalam Daphnia sp. berat
basah adalah 4% protein, 0,54% lemak dan 0,67% karbohidrat (Lithner, 2009).
Daphnia sp. diberikan pada larva ikan gabus dengan dosis 500 individu/ikan per
hari (War dan Altaff, 2014).

2.2.4. Cacing Sutera

Cacing sutra memiliki warna tubuh yang dominan kemerah – merahan.


Ukuran tubuhnya sangat ramping dan halus dengan panjang individu berkisar
antara 2-4cm (Syafriadiman dan Masril, 2013). Cacing ini sangat senang hidup
berkelompok atau bergerombolan karena masing – masing individu berkumpul
menjadi koloni yang sulit diurai dan saling berkaitan satu sama lain (Khairuman et
al., 2008).

Gambar 2.5. Morfologi Cacing Sutera


(Sumber : Wijayanti, 2010)

Famili Tubificidae membuat tabung pada lumpur untuk memperoleh


oksigen melalui permukaan tubuhnya. Oksigen tersebut diperoleh dengan cara
tubuh bagian posterior menonjol keluar dari tabung dan bergerak secara aktif
mengikuti aliran air. Gerakan aktif bagian posterior Tubificidae dapat membantu
fungsi pernafasan (Rogaar, 1980 dalam Febrianti, 2004).
Kandungan nutrisi cacing sutera yaitu 57% protein, 13,30% lemak dan
2,04% karbohidrat (Madinawati dkk, 2011). Hasil penelitian Mahardika dkk,
(2017), enunjukkan bahwa penggunaan cacing sutera sebagai pakan awal larva
ikan gabus paling baik dibandingkan pakan alam lainnya. Cacing sutera diberikan
dengan jumlah 5 % dari biomassa/hari. (Cong dkk, 2008).
12

2.3. Periode Pemberian Pakan Larva

Periode pergantian jenis pakan mempengaruhi kelangsungan hidup dan


pertumbuhan larva ikan tambakan. Nauplii Artemia sp. yang diberikan pada larva
umur 4-11 hari, Moina sp. yang diberikan pada umur 10-16 hari, dan Pakan
buatan yang diberikan pada umur 15-35 hari (Perlakuan P4) menghasilkan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang terbaik (Agustina dkk, 2015).
Halver (1979), menyatakan pergantian pakan dan waktu pemberian
pakan yang tidak tepat dapat menyebabkan pertumbuhan larva menjadi lambat,
karena larva membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan pakan yang baru.
Menurut Djangkaru (1995) dalam Rabiati dkk, (2013), periode pemberian pakan
yang tepat pada larva ikan juga sangat berpengaruh terhadap kemampuan larva
untuk mengkonsumsi jenis pakan alami yang diberikan.
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) menyatakan bahwa ukuran pakan
harus disesuaikan dengan bukaan mulut larva ikan karena sangat menentukan
pakan tersebut dapat ditangkap atau ditelan oleh larva. Ukuran pakan yang sesuai
dengan bukaan mulut larva akan mengoptimalkan aktifitas dan jumlah biomassa
pakan yang dimakan. Tucker (1985),

2.4. Pertumbuhan

Menurut Effendie (2002), pertumbuhan adalah penambahan ukuran


panjang dan bobot ikan dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu pakan yang tersedia, ukuran ikan, kepadatan ikan, umur dan
kualitas air. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu tingkat kelangsungan
hidup ikan dipengaruhi oleh manajemen budidaya yang baik antara lain padat
tebar, kualitas pakan, kualitas air, parasit atau penyakit (Fajar, 1988).
Pertumbuhan merupakan parameter utama yang diamati yang merupakan
proses hayati yang terus menerus terjadi pada suatu organisme yang ditandai
dengan penambahan bobot, panjang dan volume. Pada umumnya, pertumbuhan
erat hubungannya dengan ketersediaan pakan atau efisiensi pakan. Pertumbuhan
ikan hanya terjadi bila makanan yang dikonsumsi ikan lebih banyak dari
kebutuhan dasar yang digunakan untuk metabolisme penyediaan energi untuk
menunjang aktivitasnya (Darson, 2002 dalam Priyono, 2013).
13

Pertumbuhan larva sangat dipengaruhi oleh kesesuaian ukuran pakan


alami dengan ukuran bukaan mulut larva serta sesuai dengan usia larva. Menurut
Priyadi et al. (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan larva ikan sangat
dipengaruhi oleh ukuran bukaan mulut dan nilai nutrisi pakan. Menurut Yurisman
dan Heltonika (2010), ikan akan tumbuh apabila nutrisi pakan yang dicerna dan
diserap oleh tubuh ikan lebih besar dari jumlah yang diperlukan untuk memelihara
tubuhnya (maintance). Menurut pendapat Elyana (2011), laju pertumbuhan ikan
akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar protein pakan. Pertumbuhan
ikan erat kaitannya dengan ketersediaan protein dalam pakan, karena protein
merupakan sumber energi bagi ikan dan protein merupakan nutrisi yang sangat
dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan (Anggraeni dan Abdulgani 2013).
Keterkaitan protein dengan pertumbuhan menurut Masitoh dkk, (2015)
Jika asupan protein pakan terlalu berlebih, maka hanya sebagian yang akan
diserap dan digunakan untuk pertumbuhan dan membentuk ataupun memperbaiki
sel-sel yang sudah rusak dan kelebihanya dieksresikan. Hal ini didukung oleh
Kardana dkk,(2012) menyatakan bahwa ikan memiliki keterbatasan dalam
menyimpan protein dan dampak kelebihan protein yang tinggi menyebabkan
meningkatnya kebutuhan energi untuk katabolisme protein yang salah satu
hasilnya adalah nitrogen yang akan dikeluarkan dalam bentuk amoniak melalui
ginjal. Hal ini dikarenakan katabolisme protein berlebihan ini akan meningkatkan
Specific Dynamic Action (SDA), yaitu penggunaan energi yang salah satunya
untuk merombak protein yang tidak digunakan sehingga energi untuk
pertumbuhan akan berkurang.

2.5. Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR) adalah persentase jumlah


ikan yang hidup dalam kurun waktu tertentu kelangsungan hidup organisme
dipengaruhi oleh padat penebaran dan faktor lainnya seperti, umur, pH, suhu dan
kandungan amoniak. Faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan 16
kelangsungan hidup ikan adalah tersedianya jenis makanan serta adanya
lingkungan yang baik seperti oksigen, amoniak, karbondioksida, nitrat, hidrogen
sulfida dan ion hidrogen (Effendie, 2002). Menurut Mudjiman (2004), tingkat
kelangsungan hidup adalah prosentase jumlah benih ikan yang masih hidup pada
14

akhir penelitian. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan


ikan, maka diperlukan makanan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Makanan
yang telah dimakan oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup dan
selebihnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Ikan akan hidup, tumbuh, dan
berkembang dengan baik pada habitat atau lingkungan dalam batas yang dapat
ditolelir oleh ikan. Menurut Rabiati dkk, (2013) Peningkatan kematian larva juga
dapat disebabkan oleh periode pergantian pakan larva yang sedang dalam masa
kritis yang menyebabkan larva terganggu sehingga nafsu makan larva berkurang
sementara larva pada fase awal membutuhkan energi yang tinggi untuk
pertumbuhan.
Keberhasilan kelangsungan hidup ditentukan oleh rangsangan ketika
makanan memiliki syarat nutrisi dalam hal ini kandungan protein, lemak,
karbiohidrat, vitamin dan mineral. Disamping itu juga memiliki aspek fisik yang
tidak kalah pentingnya yaitu bentuk dan ukuran makanan, teknik pemberian
makan dan frekuensi pemberian pakan. Hal ini disebabkan makanan yang dicerna
larva diabsorsi secara difusi, pengangkutan aktif dan beberapa partikel dari
makanan diabsorsi secara fagositosis. Disamping itu kerja enzim proteolitik yang
tinggi terdapat ketika ikan masih berukuran larva karena ususnya kecil. Oleh
sebab itu ikan harus diberikan pakan yang mengandug protein tinggi (Rachimi
dkk, 2016). Menurut Supriya et al. (2008), mortalitas dapat terjadi karena ikan
mengalami kelaparan yang berkepanjangan, akibat dari tidak terpenuhinya energi
untuk proses pertumbuhan dan mobilitas. Kandungan nutrisi pada pakan yang
diberikan tidak mencukupi kebutuhan larva.

2.6. Bukaan Mulut

Ukuran mulut larva ikan pada saat dimulainya pemberian pakan dapat
bervariasi antara 200-1000 mikron. Perbedaan ukuran bukaan mulut tergantung
pada makanan alami ikan. yaitu ikan larva yang memiliki ukuran mulut kecil,
seperti hypomesus, plecoglossus, ammodytes, sillago dan konosirus hanya
mengambil fitoplankton, protozoa dan nauplii dari copepoda kecil, tetapi larva
ikan yang memiliki ukuran mulut besar seperti thunnus, katsunoaus, soriolla,
girrella dan magil yang ditemukan dengan mudah mudah copepoda besar pada
fase larva (Shirota, 1970).
15

Ketika larva menetas, panjang larva berhubungan dengan diameter telur.


Namun, ukuran mulut dan panjang total larva ikan tidak berhubungan satu sama
lain. Ukuran mulut memiliki proporsi tetap dengan panjang total. Misal tuna,
bonito, mackerel dan yellow tail, memiliki ukuran mulut antara 15 - 25% dari
panjang tubuh ikan. Ikan mas, herring dan mackerel pike memiliki ukuran mulut
7,5 -8,5% dari panjang tubuh ikan. Ikan air tawar misalnya. ikan payau dan ikan
laut kecil lainnya bervariasi antara 3-5%. Kasus ikan dengan tingkat pertumbuhan
yang lebih besar misalnya. tuna, bonito, yellowtail, perch dan mackerel memiliki
ukuran mulut yang lebih besar pada saat dimulainya pemberian pakan (Shirota,
1970).
kesesuaian ukuran pakan alami dengan ukuran bukaan mulut sangat
mempengaruhi pertumbuhan larva. Menurut Priyadi et al. (2010) menyatakan
bahwa pertumbuhan larva ikan sangat dipengaruhi oleh ukuran bukaan mulut dan
nilai nutrisi pakan. Menurut Darti dan Iwan (2006), makanan yang mudah dicerna
dan bergizi tinggi sangat dibutuhkan karena saluran pencernaan dan organ tubuh
belum berkembang dengan baik. Jenis makanan yang baik dan pemberian
makanan yang tepat waktu merupakan kunci keberhasilan tersediannya benih
untuk usaha budidaya.

2.7. Kualitas Air

2.7.1. Suhu

Suhu merupakan salah satu parameter penting yang perlu diperhatikan


pada saat penebaran ikan. Jika suhu air lebih dingin atau lebih panas, harus segera
dilakukan penyesuaian. Suhu air yang lebih dingin umumnya disebabkan oleh
lokasi kolam yang tertutup pohon rimbun dan musim. Selain itu, kedalaman air
juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya suhu (Khairuman, 2008).
Setiap jenis ikan membutuhkan suhu yang optimal untuk
pertumbuhannya, suhu air sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme
makhluk hidup diperairan. Almaniar (2011), menyatakan bahwa suhu yang dapat
menunjang pertumbuhan ikan gabus berkisar antara 25,5 oC – 32,7 oC. Kenaikan
suhu air akan berakibat pada jumlah oksigen terlarut didalam air menurun,
kecepatan reaksi kimia meningkat, kehidupan ikan dan hewan air lainnya
16

terganggu dan suhu yang terlampau panas bisa mematikan ikan dan hewan air
lainnya. (Soetomo, 2000).

2.7.2. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion


hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar
tingkat keasaman atau kebasahan suatu perairan, perairan dengan nilai pH 7
adalah netral, < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 di
katakan kondisi perairan bersifat basah adanya karbonat, bikarbonat dan
hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral
bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan (Darmayanti dkk,
2012).
Nilai pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
produktifitas perairan. Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk
menyatakan baik buruknya suatu perairan (Asdak, 2007). Nilai pH yang dapat
ditoleransi oleh ikan gabus haruan berkisar antara 3-9 (Muflikhah dkk, 2008).

2.7.3. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut di butuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan,


proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Oksigen juga dibutuhkan untuk
oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama
oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan
hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam peraira tersebut (Salmin,
2000).Menurut Adriani, (1995) kandungan oksigen terlarut yang dapat ditoleransi
oleh ikan gabus haruan berkisar antara 2,0 – 3,7 mg/l-1.

2.7.4. Amonia (NH3)

Amonia mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi masuknya


oksigen yang disebapkan oleh rusaknya insang, mengganggu osmoregulasi dan
mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan. Menurut Pillay (2004), konsentrasi
amonia yang toksik dalam periode waktu yang singkat berkisar antara 0,6-2,0
17

mg/l. Adanya amonia dalam perairan, selain menyebabkan toksisitas tinggi,


konsentrasi amonia juga membahayakan bagi ikan. Pengaruh langsung dari kadar
amonia tinggi yang belum mematikan adalah rusaknya jaringan insang, yaitu
lempeng insang membengkak sehingga fungsinya sebagai alat pernafasan akan
terganggu (Rully, 2011).
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari – Mei 2021, bertempat


di Laboratorium Lapangan Desa Sungai Abit, Kecamatan Cempaka, Kota
Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan.

3.2. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data pimer berupa bobot dan panjang, jumlah serta ukuran bukaan
mulut larva ikan Gabus Haruan. Data sekunder berupa literatur yang berkaitan
dengan pertumbuhan dan kelangsungan larva ikan Gabus Haruan.

3.3. Alat dan Bahan

3.3.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam Penelitian.


No. Nama Alat Kegunaan
1. Baskom Wadah pemeliharaan larva
2. Blower Memompa udara untuk aerasi
3. Selang aerasi Mengalirkan udara untuk aerasi
4. Batu aerasi Output aerasi
5. Kolam Pemijahan Wadah pemijahan ikan haruan
6. Serok Mengambil larva
7. Selang Mengisi dan mengganti air
8. Kertas label Memberi label wadah pemeliharaan larva
9. Penggaris Mengukur panjang larva
10. Timbangan digital Mengukur bobot tubuh larva
11. Corong Menetaskan Artemia sp.
12. pH meter Mengukur pH air
13. DO meter Mengukur DO air
14. Termometer Mengukur suhu air
15. Refraktometer Mengukur salinitas air penetasan Artemia sp.

3.3.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2.

18
Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam Penelitian.
No. Bahan Kegunaan
1. Induk ikan gabus Menghasilkan larva ikan gabus
2. Larva ikan gabus Ikan uji dalam penelitian
3. Kuning telur ayam Pakan yang diberikan pada ikan uji
4. Artemia sp. Pakan yang diberikan pada ikan uji
5. Daphnia sp. Pakan yang diberikan pada ikan uji
6. Cacing sutera Pakan yang diberikan pada ikan uji
7. Air Media hidup larva dan pakan alami
8. Garam Menaikkan salinitas air media penetasan Artemia
sp.
9. Pupuk kandang Unsur hara media kultur Daphnia sp.
10. Probiotik EM4 Unsur hara media kultur Daphnia sp.
11. Enceng gondok Substrat pemijahan induk ikan Gabus

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode ekseperimen untuk mengetahui


sebab-akibat yang tercipta antar variabel. Metode eksperimen digunakan untuk
mengukur perubahan yang terjadi pada variabel dependen setelah dilakukan
manipulasi pada variabel independen, yaitu bagaimana perubahan yang terjadi
setelah perlakuan periode pemberian dan jenis pakan alami berbeda terhadap
pertumbuhan dan sintasan larva ikan gabus.

3.4.2. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3


perlakuan (A,B,C) dan 3 kali pengulangan (1,2,3) sehingga menghasilkan 9 unit
percobaan. Perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Perlakuan yang diberikan


Jenis Pakan (hari ke-)
Perlakuan
KT A D C P
Perlakuan A 3 – 10 5 – 14 9 – 18 13 – 20 20 – 35
Perlakuan B 3 – 12 5 – 16 9 – 20 13 – 22 22 – 35
Perlakuan C 3 – 14 5 – 18 9 – 22 13 – 24 24 – 35
Keterangan :
KT : Kuning Telur
A : Artemia sp.
D : Daphnia sp.
C : Cacing Sutera
P : Pelet

19
Penempatan tiap wadah perlakuan dan ulangan dilakukan secara acak
berdasarkan bilangan Nasir (1988), sehingga diperoleh bagan pengacakan yang
dapat dilihat pada Gambar 3.1.

1 2 3
A3 C1 B2
3 5 6
B3 A1 B1
7 8
C2 C3 9 A2

Gambar 3.1. Penempatan Satuan Percobaan

3.4.3. Persiapan Wadah

Media pemeliharaan pada penelitian ini menggunakan baskom bundar


diameter 40 cm dengan tinggi 30 cm. Baskom dicuci menggunakan air bersih
mengalir, kemudian dikeringkan selama satu hari. Lalu diberi label perlakuan.
Satu hari sebelum larva ditebar, baskom diisi air dengan ketinggian air 13 cm atau
16 liter dan diberi aerasi.

3.4.4. Pemijahan

Ikan gabus yang dipijahkan merupakan ikan hasil domestikasi.


Pemijahan dilakukan secara alami pada kolam terpal berukuran 3 x 4 m dengan
tinggi air 30 cm menggunakan perbandingan induk 1:1. Telur yang dihasilkan
dibiarkan menetas dalam bak pemijahan. Saat media pemeliharaan sudah siap,
larva dipindahkan ke media pemeliharaan.
3.4.5. Persiapan Pakan Alami

Telur yang digunakan yaitu telur ayam yang hanya diambil kuningnya
saja. Telur direbus hingga matang, kemudian diambil kuning telur nya. Kuning
telur dihaluskan hingga berbentuk emulsi dan diencerkan dengan air. Pengenceran
untuk 1 gram kuning telur menggunakan 10 ml air.
Penetasan kista Artemia sp. Dilakukan pada wadah penetasan berupa
botol plastik yang digunakan bagian atasnya. Botol plastik dilengkapi dengan
selang aerasi pada tutup botol untuk mengalirkan oksigen dan mengaduk air
media penetasan. Untuk meningkatkan salinitas pada air media penetasan,
ditambahkan garam curah hingga air mencapai salinitas 30 ppt. Kista Artemia sp.

20
dimasukkan kedalam air media yang sudah di aerasi kemudian dibiarkan selama
24 – 36 jam hingga menetas. Pemanenan dilakukan dengan membuka selang dari
input aerasi, kemudian Artemia sp. dibiarkan keluar dari botol melalui selang
tersebut. Naupli Artemia sp. ditampung dalam baskom kemudian siap dihitung
dan diberikan pada larva ikan gabus.
Kultur Daphnia sp. dilakukan pada kolam berukuran 1 x 1 m dengan
kedalaman air 40 cm. Bahan organik yang digunakan adalah pupuk kandang
dengan tambahan probiotik EM4. Pemupukan dilakukan dengan cara
memasukkan pupuk kedalam karung, kemudian mencelupkan karung yang berisi
pupuk tersebut pada air media. Starter Daphnia sp. diinokulasikan pada air media
dengan kepadatan 100 ind/L. Daphnia sp. dikultur selama 14 hari, pemanenan
dilakukan dengan menggunakan plankton net. Daphnia sp. yang dipanen siap
untuk diberikan pada larva ikan gabus.
Pemeliharaan cacing sutera pada penelitian ini menggunakan baskom
berdiameter 40 cm dengan kedalaman air 10 cm. Wadah baskom digunakan
sebagai tempat penampungan sementara cacing sutera sebelum diberikan pada
larva ikan gabus. Cacing sutra dibeli dari petani ikan setempat dengan harga Rp.
25.000/kaleng.

3.4.6. Penebaran dan Pemeliharaan Larva

Larva yang ditebar merupakan larva yang berumur 3 hari setelah


menetas. Larva ditebar pada media pemeliharaan yang menggunakan sistem
aerasi. Larva yang ditebar dalam satu baskom sebanyak 32 ekor dengan padat
tebar 2 ekor/liter (Hidayatullah dkk, 2015) Sebelum ditebar, diambil beberapa
ekor sampel larva untuk diukur berat dan panjang awal sebelum pemeliharaan.
Larva dipelihara selama 35 hari untuk mencapai ukuran calon benih. Air media
pemeliharaan diganti setiap 3 hari sekali untuk menjaga kualitas air tetap dalam
kondisi yang baik. Setelah 35 hari, benih dipanen dan dihitung jumlah serta diukur
berat dan panjang tubuh larva untuk keperluan data.

3.4.7. Manajemen dan Cara Pemberian Pakan

Kuning telur ayam diberikan pada larva dengan dosis 8 mg / 100 ekor
larva. Dosis ini digunakan oleh Mahendra dan Supriadi (2019), yang memberikan

21
kuning telur unggas pada larva ikan seurukan (Osteochillus vittatus). Pakan
diberikan dua kali sehari pukul 08.00 dan 18.00 WITA. Lama waktu pemberian
pakan diberikan disesuaikan dengan perlakuan yang sudah ditentukan. Cara
pemberian pakan dilakukan dengan meletakkan emulsi kuning telur ayam pada
saringan teh, kemudian meletakkan nya di tepi wadah pemeliharaan.
Artemia sp. diberikan pada larva ikan gabus dengan dosis 500
individu/ikan per hari (War dan Altaff, 2014). Sebelum diberikan pada larva,
Artemia sp. dihitung terlebih dahulu dengan cara mengambil sampel Artemia
sebanyak 1 ml. Jumlah Artemia sp. dalam satu ml air dikalkulasikan dengan
jumlah keseluruhan air dalam wadah penampungan Artemia sp. untuk
menentukan jumlah keseluruhan Artemia sp. sehingga diperoleh berapa ml
artemia yang harus diberikan pada larva ikan gabus. Artemia diberikan 2 kali
sehari yaitu pukul 08.00 dan 18.00 WITA. Cara pemberian pakan Artemia sp.
dilakukan dengan memasukkan Artemia sp. pada wadah pemeliharaan larva
menggunakan gelas ukur sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan.
Daphnia sp. diberikan pada larva ikan gabus dengan dosis 500
individu/ikan per hari (War dan Altaff, 2014). Cara pemberian pakan Daphnia sp.
sama dengan cara pemberian pakan Artemia sp. yaitu dengan menghitung terlebih
dahulu jumlah keseluruhan Daphnia sp. dalam wadah kultur, kemudian
mengambil Daphnia sp./ml air dan diberikan pada larva ikan gabus.
Cacing sutera yang didapat dari petani setempat dicuci terlebih dahulu
untuk memisahkan dari kotoran yang berpotensi sebagai patogen penyebab
penyakit. Cacing sutera diberikan dengan jumlah 5 % dari biomassa/hari. (Cong
dkk, 2008). Cacing sutera diberikan dengan menebarkannya secara merata pada
wadah pemeliharaan larva

3.4.8. Pengamatan

Pengamatan pada penelitian ini meliputi laju pertumbuhan harian,


pertumbuhan berat relatif, pertumbuhan panjang relative, kelangsungan hidup dan
ukuran bukaan mulut harian. Kelangsungan hidup diamati pada akhir penelitian
dengan menghitung jumlah ikan yang masih hidup. Pertumbuhan panjang dan
pertumbuhan berat serta ukuran bukaan mulut larva ikan gabus diamati setiap hari

22
dengan melakukan sampling 3 ekor larva, kemudian mengukur berat dan panjang
larva pada akhir penelitian.

3.5. Parameter Uji

3.5.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Laju pertumbuhan bobot harian dihitung menggunakan rumus Effendie


(2002) adalah sebagai berikut:
(ln Wt − ln W0)
LPBH = × 100%
t
Keterangan :
LPBH = Laju pertumbuhan bobot harian (%)
Wt = Bobot larva pada waktu ke-t (gr)
W0 = Bobot larva pada waktu ke-0 (gr)
t = Lama pemeliharaan (hari)

3.5.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian


Laju Pertumbuhan panjang harian dihitung menggunakan rumus Effendie
(2002) sebagai berikut :
(ln Lt − ln L0)
LPPH = × 100%
t
Keterangan :
LPPH = Laju pertumbuhan panjang harian (%)
Lt = Panjang larva pada waktu ke-t (cm)
L0 = Panjang larva pada waktu ke-0 (cm)
T = Lama pemeliharaan (hari)

3.5.3. Pertumbuhan Berat Relatif

Pertumbuhan relatif dihitung menggunakan rumus Effendie (1997),


sebagai berikut :
Wt − W0
H= × 100%
W0

23
Keterangan :
H = Pertumbuhan berat relative (%)
Wt = Berat akhir benih ikan gabus (gr)
W0 = Berat awal larva ikan gabus (gr)

3.5.4. Kelangsungan Hidup (Survival Rate)

Kelangsungan hidup dihitung menggunakan rumus Effendie (2002)


adalah sebagai berikut :
Nt
SR = × 100%
N0
Keterangan :
SR = Survival Rate (%)
Nt = Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (ekor)
N0 = Jumlah larva pada awal pemeliharaan (ekor)

3.5.5. Ukuran Bukaan Mulut

Ukuran bukaan mulut larva diukur dan dihitung menggunakan metode


Shirota (1970), sebagai berikut :

D = √2AB
Keterangan
D = Ukuran bukaan mulut (mm)
AB = Panjang rahang atas (mm)
Perbandingan ukuran bukaan mulut dengan panjang total larva dihitung
menggunakan rumus perbandingan sebagai berikut :
Ukuran bukaan mulut
Persentase bukaan mulut = × 100%
Panjang total ikan

3.5.6. Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Parameter Kualitas Air


No Parameter Satuan Alat Ukur

24
o
1. Suhu C Termometer
2. pH - pH meter
3. DO Mg/L DO test kit
4. Amonia (NH3) Mg/L Amonia test kit

3.5.7. Analisis Data

Data laju pertumbuhan panjang harian, pertumbuhan bobot harian dan


kelangsungan hidup dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA pada tingkat
kepercayaan 95% (Kursiningrum 2012). Uji lanjutan dengan menggunakan BJND
5% untuk mengetahui perbedaan nyata antar perlakuan. Data fisika kimia air yang
diperoleh dari setiap perlakuan berupa pH, suhu, oksigen, terlarut, dan amonia
dianalisis secara deskriptif. Alat bantu yang digunakan adalah Microsoft Office
Excel 2010 (Microsoft Corp).

25
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Hasil Perhitungan Laju Pertumbuhan Bobot Harian (LPBH) dalam


penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.1.

Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian Larva Ikan Gabus Haruan
LPBH
Perlakuan Rerata Bobot Akhir (mg) Rerata Bobot Awal (mg)
(%)
A 556.33 72.67 6.34
B 503.67 74.00 5.90
C 334.33 72.33 4.78

Hasil laju pertumbuhan bobot harian dilihat pada Tabel 4.1 menunjukkan
laju pertumbuhan bobot harian berkisar antara 4,78% – 6,34%. Hasil Uji
Normalitas terhadap persentase pertumbuhan berat menunjukkan bahwa data
menyebar normal di mana Lmaks (0,22) < Ltabel (0,27). Selanjutnya data diuji
kehomogenannya dengan uji homogenitas, hasilnya menunjukkan bahwa X2
hitung (0,15226) lebih kecil dari X2 tabel (15,507), berarti data tersebut homogen.
Hasil uji ANOVA dengan taraf 5% menunjukkan nilai F hitung < F tabel 5%
(5.07 < 5.14). Hasil tersebut menunjukkan bahwa periode waktu pemberian dan
jenis pakan berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot
harian larva ikan Gabus Haruan.

Laju Pertumbuhan Bobot Harian (%)

8.00
6.00
% 4.00
2.00
0.00
A B C
Perlakuan
Series1 6.34 5.91 4.78

Gambar 4.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian Larva Ikan Gabus Haruan
(Sumber : Data primer yang telah diolah, 2021)

26
Grafik nilai laju pertumbuhan bobot harian berdasarkan Gambar 4.1.
menunjukkan angka tertinggi pada perlakuan A yaitu 6,34%, berturut-turut diikuti
oleh perlakuan B yaitu 5,91%, dan perlakuan C dengan nilai 4,78%. Berdasarkan
hasil uji ANOVA, nilai laju pertumbuhan bobot harian ini tidak dipengaruhi oleh
periode waktu pemberian dan jenis pakan alami yang berbeda antar perlakuan, hal
ini dapat dilihat dari tidak signifikannya grafik yang ada pada Gambar 4.1.

4.1.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian

Hasil perhitungan Laju Pertumbuhan Panjang Harian (LPPH) dalam


penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2. dan Gambar 4.2.

Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian Larva Ikan Gabus Haruan
Rerata Panjang Akhir Rerata Panjang Awal LPPH
Perlakuan
(mm) (mm) (%)
A 46.66 6.05 6.38 c
B 31.04 6.05 5.10 ab
C 25.10 6.10 4.41 a

Hasil laju pertumbuhan panjang harian dilihat pada Tabel 4.2


menunjukkan laju pertumbuhan panjang harian berkisar antara 4,41% – 6,38%.
Hasil Uji Normalitas terhadap persentase pertumbuhan berat menunjukkan bahwa
data menyebar normal di mana Lmaks (0,15) < Ltabel (0,27). Selanjutnya data diuji
kehomogenannya dengan uji homogenitas, hasilnya menunjukkan bahwa X2
hitung (0,25217) lebih kecil dari X2 tabel (15,507), berarti data tersebut homogen.
Hasil uji ANOVA dengan taraf 5% menunjukkan nilai F hitung > F tabel 5 (31.07
> 5.14). Hasil tersebut menunjukkan bahwa periode waktu pemberian dan jenis
pakan berbeda berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan panjang harian larva
ikan Gabus Haruan. Hasil uji lanjut BNJD 5% didapatkan bahwa perlakuan A
berbeda nyata terhadap perlakuan B dan C, namun perlakuan B tidak berbeda
nyata dengan perlakuan C.

27
Laju Pertumbuhan Panjang Harian
(%)
8.00
6.00
% 4.00
2.00
0.00
A B C
Perlakuan
Series1 6.38 5.10 4.41

Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian Larva Ikan Gabus Haruan
(Sumber : Data primer yang telah diolah, 2021)

Grafik nilai laju pertumbuhan panjang harian berdasarkan Gambar 4.2.


menunjukkan angka tertinggi pada perlakuan A yaitu 6,38%, berturut-turut diikuti
oleh perlakuan B yaitu 5,10%, dan perlakuan C dengan nilai 4,41%. Berdasarkan
hasil uji ANOVA, nilai laju pertumbuhan panjang harian ini dipengaruhi oleh
periode waktu pemberian dan jenis pakan alami yang berbeda antar perlakuan, hal
ini dapat dilihat dari signifikannya grafik yang ada pada Gambar 4.2.

4.1.3. Pertumbuhan Berat Relatif

Hasil perhitungan pertumbuhan bobot relatif dalam penelitian ini dapat


dilihat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.3.

Tabel 4.3. Pertumbuhan Berat Relatif Larva Ikan Gabus Haruan


Rerata Berat Rerata Berat Pertumbuhan
Perlakuan
Akhir (mg) Awal (mg) Berat Relatif (%)
A 556.33 72.67 666.77 c
B 503.67 74.00 580.20 ab
C 334.33 72.33 362.19 a

Hasil pertumbuhan berat relatif dilihat pada Tabel 4.3 menunjukkan laju
pertumbuhan panjang harian berkisar antara 666,77% – 362,19%. Hasil Uji
Normalitas terhadap persentase pertumbuhan berat menunjukkan bahwa data
menyebar normal di mana Lmaks (0,23) < Ltabel (0,27). Selanjutnya data diuji
kehomogenannya dengan uji homogenitas, hasilnya menunjukkan bahwa X2
hitung (0,64807) lebih kecil dari X2 tabel (15,507), berarti data tersebut homogen.
Hasil uji ANOVA dengan taraf 5% menunjukkan nilai F hitung < F tabel 1%

28
(4,49 > 10.92). Hasil tersebut menunjukkan bahwa periode waktu pemberian dan
jenis pakan berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan berat relatif
larva ikan Gabus Haruan.

Pertumbuhan Berat Relatif (%)


800.00
600.00
%

400.00
200.00
0.00
A B C
Perlakuan
Series1 666.77 580.20 362.19

Gambar 4.3. Pertumbuhan Berat Relatif Larva Ikan Gabus Haruan


(Sumber : Data primer yang telah diolah, 2021)

Grafik nilai laju pertumbuhan panjang harian berdasarkan Gambar 4.3.


menunjukkan angka tertinggi pada perlakuan A yaitu 666,77%, berturut-turut
diikuti oleh perlakuan B yaitu 580,20%, dan perlakuan C dengan nilai 362,19%.
Berdasarkan hasil uji ANOVA, nilai laju pertumbuhan panjang harian ini tidak
dipengaruhi oleh periode waktu pemberian dan jenis pakan alami yang berbeda
antar perlakuan, hal ini dapat dilihat dari tidak signifikannya grafik yang ada pada
Gambar 4.3.

4.1.4. Kelangsungan Hidup

Hasil perhitungan kelangsungan hidup dalam penelitian ini dapat dilihat


pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Gabus Haruan


Perlakuan Jumlah Akhir (Ekor) Jumlah Awal (Ekor) KH (%)
A 23.33 32 72.92 c
B 8 32 25.00 ab
C 6 32 18.75 a

29
Hasil pertumbuhan berat relatif dilihat pada Tabel 4.3 menunjukkan laju
pertumbuhan panjang harian berkisar antara 18,75% – 72,92%. Hasil Uji
Normalitas terhadap persentase pertumbuhan berat menunjukkan bahwa data
menyebar normal di mana Lmaks (0,23) < Ltabel (0,27). Selanjutnya data diuji
kehomogenannya dengan uji homogenitas, hasilnya menunjukkan bahwa X2
hitung (0) lebih kecil dari X2 tabel (15,507), berarti data tersebut homogen. Hasil
uji ANOVA dengan taraf 1% menunjukkan nilai F hitung > F tabel 1% (34,69 >
10.92). Hasil tersebut menunjukkan bahwa periode waktu pemberian dan jenis
pakan berbeda berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup larva ikan Gabus
Haruan. Hasil uji lanjut BNJD 5% didapatkan bahwa perlakuan A berbeda nyata
terhadap perlakuan B dan C dan perlakuan B tidak berbeda nyata dengan
perlakuan C.

Kelangsungan Hidup (%)


80.00
60.00
40.00
%

20.00
0.00
A B C
Perlakuan
Series1 72.92 25.00 18.75

Gambar 4.4. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Gabus Haruan


(Sumber : Data primer yang telah diolah, 2021)

Grafik nilai laju pertumbuhan panjang harian berdasarkan Gambar 4.4.


menunjukkan angka tertinggi pada perlakuan A yaitu 72,92%, berturut-turut
diikuti oleh perlakuan B yaitu 25,00%, dan perlakuan C dengan nilai 18,75%.
Berdasarkan hasil uji ANOVA, nilai laju pertumbuhan panjang harian ini
dipengaruhi oleh periode waktu pemberian dan jenis pakan alami yang berbeda
antar perlakuan, hal ini dapat dilihat dari signifikannya grafik yang ada pada
Gambar 4.4.

30
4.1.5. Ukuran Bukaan Mulut

Hasil pengukuran bukaan mulut larva ikan gabus haruan berdasarkan


metode Shirota (1970), dapat dilihat pada Gambar 4.5

5
4.5
4
3.5
3
mm 2.5
2
1.5
1
0.5
0
3 9 13 22 35
Hari

Gambar 4.5. Ukuran Bukaan Mulut Larva Ikan Gabus Haruan


(Sumber : Data primer yang telah diolah, 2021)

Hasil pengukuran bukaan mulut larva ikan Gabus Haruan pada Gambar
4.5. ukuran bukaan mulut larva pada hari ke 3 atau hari pertama pengukuran
belum mencapai 1mm hingga hari ke 6. Bukaan mulut larva pada hari ke 5 saat
pemberian pakan Artemia sp. yaitu < 1mm. Bukaan mulut larva pada hari ke 9
saat pemberian pakan Daphnia sp. yaitu 2.02 mm. Bukaan mulut larva pada hari
ke 13 saat pemberian pakan cacing sutera yaitu 3.24 mm. Bukaan mulut larva
pada hari ke 22 saat pemberian pakan pelet yaitu 4.70 mm.
Perbandingan kesesuaian ukuran bukaan mulut dengan ukuran pakan
dapat dilihat pada tabel 4.5.
No. Hari Ke - Jenis Pakan Bukaan Mulut (mm) Ukuran Pakan (mm)
1 3 Kuning telur ≤1 -
2 5 Artemia sp. ≤1 0,40-0,48
3 9 Daphnia sp. 2,02 2
4 13 Cacing sutera 2,93 0,5

Berdasarkan perbandingan kesesuaian bukaan mulut dengan ukuran


pakan pada Tabel 4.5, ukuran pakan yang diberikan pada semua perlakuan
dianggap sudah sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva.

31
Persentase ukuran bukaan mulut berdasarkan metode Shirota (1970),
diukur dari perbandingan antara ukuran bukaan mulut dengan panjang total larva
dapat dilihat pada Tabel 4.5. dan Gambar 4.6.

Tabel 4.6. Persentase Ukuran Bukaan Mulut dari Panjang Total


Hari Bukaan Mulut (mm) Panjang Total (mm) Persentase BM
(%)
1 ≤1 6,02 16,61
10 2,08 8,87 23,45
19 3,24 18,71 17,32
28 3,93 22,95 17,12
35 4,70 33,88 13,87

Hasil pengukuran persentase bukaan mulut dari panjang total ikan dapat
dilihat pada Tabel 4.6. persentase dari hari 1 – 35 berkisar antara 13,87% -
23,45%., dengan ukuran bukaan mulut berkisar antara ≤1 – 4,70 mm. Persentase
terendah didapatkan pada pengukuran hari ke 35 dengan 13,87% dan persentase
tertinggi didapatkan dari pengukuran hari ke 10 dengan nilai 23,45%.

Persentase Bukaan Mulut Larva


25
20
15
%
10
5
0
1 10 19 28 35
Hari

Gambar 4.6. Persentase Ukuran Bukaan Mulut Larva


(Sumber : Data primer yang telah diolah, 2021)

Berdasarkan Gambar 4.6. Persentase ukuran bukaan mulut dari panjang


total meningkat pada awal kehidupan larva hingga hari ke 10, namun setelah hari
ke 10, persentase bukaan mulut dari panjang total menurun seiring dengan
bertambahnya usia dan bertambahnya panjang total larva.

32
4.1.6. Kualitas Air

Hasil pengamatan kualitas air selama masa penelitian disajikan pada


Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Kualitas Air


No. Parameter Perlakuan Awal Akhir Literatur
Pembanding
1. Suhu (oC) A 26,6 26,6
B 26,6 26,8 25,5-30,7℃
C 26,6 27 (Almaniar,2011)
2. DO mg/l A 2,1 3,05
B 2,1 3,05 2-3,7 mg/L
C 2,1 3,06 (Adriani,1995)
3. pH A 6,15 7,22 4-9
B 6,15 7,51 (Mukhflikhah et
C 6,15 7,54 al., 2008)
4. NH3 (mg/l) A 0,3 1,56 < 1 mg/L
B 0,3 2,31 (Yunita et al.,
C 0,3 2,64 2009)

Kualitas air merupakan salah satu faktor pendukung dalam pertumbuhan


dan kelangsungan hidup ikan yang dipelihara. Pengukuran kualitas air yang
dilakukan selama penelitian meliputi suhu, pH, DO, dan NH3. Suhu air selama
penelitian berkisar antara 26,6 oC - 27 oC. DO air selama penelitian berkisar antara
2,1 – 3,05 mg/l. pH air selama penelitian berada pada kisaran angka 6,15 – 7,54.
NH3 selama penelitian berkisar antara 0,3 – 2,64 mg/l.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama 32 hari


pemberian pakan alami berupa kuning telur, naupli Artemia sp., Daphnia sp., dan
cacing sutera menghasilkan laju pertumbuhan bobot dan panjang harian yang
berbeda antara perlakuan. Gambar 4.1. menunjukkan rerata laju pertumbuhan
bobot harian tertinggi terdapat pada perlakuan A, kemudian berturut-turut diikuti
oleh perlakuan B dan perlakuan C. berdasarkan hasil uji ANOVA menyatakan
bahwa periode waktu pemberian dan jenis pakan alami berbeda tidak berpengaruh
nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian larva.

33
Laju pertumbuhan bobot harian tertinggi pada perlakuan A (laju
pertumbuhan bobot harian sebesar 6,34% per hari) dengan waktu pemberian
pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur + Artemia sp. 5 –
8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 10; Artemia sp. + Daphnia sp. 11
– 12; Artemia sp. + Daphnia sp + cacing sutera 13 – 14; Daphnia + cacing sutera
15 – 18; cacing sutera saja 19 – 20; dan pelet pada hari 20 – 35. Hasil ini lebih
tinggi dari hasil penelitian Suprayogi dkk, (2016) yang menghasilkan laju
pertumbuhan bobot harian 6,30 % per hari. Hal ini menunjukkan bahwa periode
pemberian dan jenis pakan yang diberikan pada perlakuan A lebih sesuai dengan
kebutuhan pakan larva. Berbagai jenis pakan alami yang digunakan telah
diberikan dengan periode yang lebih tepat pada perlakuan A. Hal ini membuat
larva dapat memanfaatkan pakan alami yang diberikan dan berdampak pada rerata
laju pertumbuhan harian larva ikan Gabus Haruan.
Pertumbuhan larva sangat dipengaruhi oleh kesesuaian ukuran pakan
alami dengan ukuran bukaan mulut larva serta sesuai dengan usia larva. Menurut
Priyadi et al. (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan larva ikan sangat
dipengaruhi oleh ukuran bukaan mulut dan nilai nutrisi pakan. Menurut Yurisman
dan Heltonika (2010), ikan akan tumbuh apabila nutrisi pakan yang dicerna dan
diserap oleh tubuh ikan lebih besar dari jumlah yang diperlukan untuk memelihara
tubuhnya (maintance). Menurut Djangkaru (1995) dalam Rabiati dkk, (2013),
periode pemberian pakan yang tepat pada larva ikan juga sangat berpengaruh
terhadap kemampuan larva untuk mengkonsumsi jenis pakan alami yang
diberikan. Peningkatan kematian larva juga dapat disebabkan oleh periode
pergantian pakan larva yang sedang dalam masa kritis yang menyebabkan larva
terganggu sehingga nafsu makan larva berkurang sementara larva pada fase awal
membutuhkan energi yang tinggi untuk pertumbuhan (Rabiati dkk., 2013).
Rerata laju pertumbuhan bobot harian kedua didapat dari perlakuan B (
Laju pertumbuhan bobot harian sebesar 5,91% per hari) dengan waktu pemberian
pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur + Artemia sp. 5 –
8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 12; Artemia sp. + Daphnia sp +
cacing sutera 13 – 16; Daphnia + cacing sutera 17 – 20; cacing sutera saja 21 –
22; dan pelet pada hari 22 – 35. Hal ini terjadi diduga karena periode pemberian
pakan yang dilakukan masih kurang sesuai dengan kebutuhan pakan alami larva.

34
Menurut pendapat Elyana (2011), laju pertumbuhan ikan akan meningkat seiring
dengan meningkatnya kadar protein pakan. Pertumbuhan ikan erat kaitannya
dengan ketersediaan protein dalam pakan, karena protein merupakan sumber
energi bagi ikan dan protein merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan ikan untuk
pertumbuhan (Anggraeni dan Abdulgani 2013).
Rerata laju pertumbuhan bobot harian terendah didapat dari perlakuan C
(Laju pertumbuhan bobot harian sebesar 4,78% per hari) dengan waktu pemberian
pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur + Artemia sp. 5 –
8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 12; kuning telur + Artemia sp. +
Daphnia sp. + cacing sutera 13 – 14; Artemia sp. + Daphnia sp + cacing sutera 15
– 18; Daphnia + cacing sutera 19 – 22; cacing sutera saja 23 – 24; dan pelet pada
hari 24 – 35. Hal ini diduga karena pemberian jenis pakan alami yang diberikan
pada periode peralihan pada perlakuan C kurang sesuai dengan perkembangan
fisiologis larva dan ukuran pakan alami yang kurang sesuai dengan ukuran bukaan
mulut larva. Sehingga larva kurang dapat memanfaatkan pakan alami yang
diberikan secara optimal yang berdampak terhadap nilai rerata laju pertumbuhan
harian larva ikan gabus tersebut. Hal ini juga diduga karena pada perlakuan C,
setiap jenis pakan diberikan dalam periode waktu yang lebih lama dari pada
perlakuan A dan B.
Pada perlakuan C, periode pemberian setiap jenis pakan lebih lama dari
perlakuan A dan B. Hal ini memungkinkan terjadinya pemberian pakan yang
berlebihan dan dapat menyebabkan kelebihan protein pada pakan, sehingga
kelebihan tersebut dibuang karena tidak diperlukan oleh tubuh. Menurut Masitoh
dkk, (2015) Jika asupan protein pakan terlalu berlebih, maka hanya sebagian yang
akan diserap dan digunakan untuk pertumbuhan dan membentuk ataupun
memperbaiki sel-sel yang sudah rusak dan kelebihanya dieksresikan. Hal ini
didukung oleh Kardana dkk,(2012) menyatakan bahwa ikan memiliki keterbatasan
dalam menyimpan protein dan dampak kelebihan protein yang tinggi
menyebabkan meningkatnya kebutuhan energi untuk katabolisme protein yang
salah satu hasilnya adalah nitrogen yang akan dikeluarkan dalam bentuk amoniak
melalui ginjal. Hal ini dikarenakan katabolisme protein berlebihan ini akan
meningkatkan Specific Dynamic Action (SDA), yaitu penggunaan energi yang
salah satunya untuk merombak protein yang tidak digunakan sehingga energi

35
untuk pertumbuhan akan berkurang. Keterbatasan ikan dalam menyimpan protein
juga menyebabkan nitrogen yang dikeluarkan oleh ikan dalam bentuk amoniak
meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.7. dari tingginya kadar amoniak
pada perlakuan C. Tingginya kadar amoniak pada perlakuan ini menyebabkan
pertumbuhan menjadi lambat. Menurut Putra dkk, (2016), kadar amoniak dalam
perairan merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat pertumbuhan ikan.

4.2.2. Laju Pertumbuhan Panjang Harian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama 32 hari


pemberian pakan alami berupa kuning telur, naupli Artemia sp., Daphnia sp., dan
cacing sutera menghasilkan laju pertumbuhan panjang harian yang berbeda antara
perlakuan. Gambar 4.2 menunjukkan rerata laju pertumbuhan panjang harian
tertinggi terdapat pada perlakuan A, kemudian berturut-turut diikuti oleh
perlakuan B dan perlakuan C. Berdasarkan hasil uji ANOVA menyatakan bahwa
periode waktu pemberian dan jenis pakan alami berbeda tidak berpengaruh nyata
terhadap laju pertumbuhan bobot harian larva.
Rerata laju pertumbuhan panjang harian tertinggi terdapat pada perlakuan
A (laju pertumbuhan panjang harian sebesar 6,38% per hari) dengan waktu
pemberian pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur +
Artemia sp. 5 – 8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 10; Artemia sp. +
Daphnia sp. 11 – 12; Artemia sp. + Daphnia sp + cacing sutera 13 – 14; Daphnia
+ cacing sutera 15 – 18; cacing sutera saja 19 – 20; dan pelet pada hari 20 – 35.
Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Suprayogi dkk, (2016) yang
menghasilkan laju pertumbuhan panjang harian 6,30 % per hari.
Secara keseluruhan perlakuan A menghasilkan rerata laju pertumbuhan
bobot harian tertinggi diantara perlakuan B dan C. Hal ini diduga karena periode
waktu pemberian pakan yang dilakukan pada perlakuan A lebih sesuai dengan
kondisi fisiologis larva serta kebutuhan nutrisi larva dari pada perlakuan lainnya.
Jenis pakan alami yang berbeda juga diberikan pada waktu yang sesuai dengan
umur larva dan ukuran bukaan mulutnya. Selain itu, nutrisi yang terdapat dalam
pakan juga lebih sesuai dengan kabutuhan nutrisi larva. Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995) mengungkapkan bahwa protein berperan penting untuk

36
mempertahankan fungsi jaringan yang rusak dan pembentukan jaringan baru
sehingga protein berpengaruh terhadap pertumbuhan larva.
Rerata laju pertumbuhan panjang harian berikutnya terdapat pada
perlakuan B (laju pertumbuhan panjang harian sebesar 5,10% per hari) dengan
waktu pemberian pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur
+ Artemia sp. 5 – 8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 12; Artemia sp.
+ Daphnia sp + cacing sutera 13 – 16; Daphnia + cacing sutera 17 – 20; cacing
sutera saja 21 – 22; dan pelet pada hari 22 – 35. Rerata laju pertumbuhan panjang
harian yang didapat dari perlakuan B masih lebih rendah dari perlakuan A namun
masih lebih tinggi dari perlakuan C. Hal ini diduga karena pemberian pakan pada
perlakuan B masih belum sesuai dengan kebutuhan pakan alami larva seperti
kesesuaian ukuran pakan dengan bukaan mulut larva. Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995) menyatakan bahwa ukuran pakan harus disesuaikan dengan bukaan mulut
larva ikan karena sangat menentukan pakan tersebut dapat ditangkap atau ditelan
oleh larva. Ukuran pakan yang sesuai dengan bukaan mulut larva akan
mengoptimalkan aktifitas dan jumlah biomassa pakan yang dimakan. Tucker
(1985).
Rerata laju pertumbuhan panjang harian terendah terdapat pada
perlakuan C (laju pertumbuhan panjang harian sebesar 4,41% per hari) dengan
waktu pemberian pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur
+ Artemia sp. 5 – 8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 12; kuning telur
+ Artemia sp. + Daphnia sp. + cacing sutera 13 – 14; Artemia sp. + Daphnia sp +
cacing sutera 15 – 18; Daphnia + cacing sutera 19 – 22; cacing sutera saja 23 –
24; dan pelet pada hari 24 – 35. Rendahnya pertumbuhan panjang yang didapat
dari perlakuan C diduga karena periode pemberian pakan alami masih belum
sesuai dengan kebutuhan pakan alami larva. Menurut Darti dan Iwan (2006),
makanan yang mudah dicerna dan bergizi tinggi sangat dibutuhkan karena saluran
pencernaan dan organ tubuh belum berkembang dengan baik. Jenis makanan yang
baik dan pemberian makanan yang tepat waktu merupakan kunci keberhasilan
tersediannya benih untuk usaha budidaya.
Rendahnya laju pertumbuhan panjang harian pada perlakuan C juga
diduga karena suhu air pada perlakuan C lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya,

37
meskipun suhu pada perlakuan C masih sesuai dengan tingkat toleransi ikan
gabus, namun suhu yang lebih tinggi dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan.
Hal ini didukung oleh Madinawati, dkk (2011) yang menyatakan bahwa suhu air
yang sesuai dapat meningkatkan aktivitas makan ikan, sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan ikan.

4.2.3. Pertumbuhan Bobot Relatif

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama 32 hari


pemberian pakan alami berupa kuning telur, naupli Artemia sp., Daphnia sp., dan
cacing sutera menghasilkan pertumbuhan bobot relatif yang berbeda antara
perlakuan. Gambar 4.3. menunjukkan rerata pertumbuhan berat relatif tertinggi
terdapat pada perlakuan A, kemudian berturut-turut diikuti oleh perlakuan B dan
perlakuan C. berdasarkan hasil uji ANOVA menyatakan bahwa periode waktu
pemberian dan jenis pakan alami berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan berat relatif
Pertumbuhan berat relatif yang didapat dari penelitian ini dapat dilihat
pada gambar Gambar 4.3 berdasarkan hasil yang diperoleh, menunjukkan rerata
pertumbuhan berat relatif tertinggi terdapat pada perlakuan A (pertumbuhan berat
relatif sebesar 666,77%) dengan waktu pemberian pakan alami berupa kuning
telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur + Artemia sp. 5 – 8; kuning telur +
Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 10; Artemia sp. + Daphnia sp. 11 – 12; Artemia sp.
+ Daphnia sp + cacing sutera 13 – 14; Daphnia + cacing sutera 15 – 18; cacing
sutera saja 19 – 20; dan pelet pada hari 20 – 35, lebih tinggi dibandingkan hasil
penelitian dari Bungas, dkk (2017) dengan pertumbuhan berat relatif 601,74%.
Perbedaan signifikan yang terdapat pada perlakuan A dan perlakuan C
(pertumbuhanberat relatif sebesar 362,19%) dengan waktu pemberian pakan alami
berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur + Artemia sp. 5 – 8; kuning
telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 12; kuning telur + Artemia sp. + Daphnia sp.
+ cacing sutera 13 – 14; Artemia sp. + Daphnia sp + cacing sutera 15 – 18;
Daphnia + cacing sutera 19 – 22; cacing sutera saja 23 – 24; dan pelet pada hari
24 – 35, memperkuat pernyataan bahwa pemberian pakan dengan periode waktu
dan jenis yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan larva meskipun tidak
begitu signifikan. Hasil pengujian data juga memberikan gambaran bahwa pada

38
perlakuan A larva mengalami pertumbuhan yang lebih baik, sehingga dapat
dikatakan pemberian pakan dengan perlakuan A merupakan perlakuan yang lebih
sesuai dalam pemeliharaan larva ikan Gabus Haruan. Tinggi dan rendahnya
pertumbuhan yang dihasilkan antara perlakuan A dan C diduga dipengaruhi oleh
kesesuaian jenis pakan alami yang diberikan pada larva ikan. Menurut Halver
(1979), pergantian pakan dan waktu pemberian pakan yang tidak tepat dapat
menyebabkan pertumbuhan larva menjadi lambat, karena larva membutuhkan
waktu untuk beradaptasi dengan pakan yang baru. Selain adaptasi pakan,
kandungan nutrisi dalam pakan juga mempengaruhi pertumbuhan larva. Menurut
Sasanti dan Yulisman (2012), rendahnya pertumbuhan yang dihasilkan diduga
karena kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan ikan yang diberikan belum
dapat mencukupi kebutuhan energi ikan untuk tumbuh.
Rerata pertumbuhan berat relatif yang didapat dari perlakuan B
(pertumbuhan berat relatif 580,20%) dengan waktu pemberian pakan alami berupa
kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur + Artemia sp. 5 – 8; kuning telur +
Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 12; Artemia sp. + Daphnia sp + cacing sutera 13 –
16; Daphnia + cacing sutera 17 – 20; cacing sutera saja 21 – 22; dan pelet pada
hari 22 – 35. Nilai pertumbuhan berat relatif pada perlakuan B berada diantara
perlakuan A dan perlakuan C. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan pada
perlakuan B masih belum sesuai dengan kondsi fisiologis larva. Hal ini
dikarenakan larva sangat memerlukan jenis pakan yang tepat sesuai dengan usia
larva, baik kesesuaian bukaan mulut maupun nutrisi yang terkandung dalam
pakan. Menurut Alem dkk, (2016) Pakan alami sangat diperlukan dalam budidaya
ikan dan pembenihan, karena akan menunjang kelangsungan hidup benih ikan.
Pada saat embrio baru menetas larva masih memiliki cadangan makanan berupa
kuning telur yang dapat dimanfaatkan oleh larva selama beberapa hari. Pada larva
gabus haruan, kuning telur akan habis dalam waktu 3 hari setelah itu larva ikan
membutuhkan pakan dari luar yang berupa pakan alami. Pemberian pakan yang
tidak sesuai dengan bukaan mulut larva akan mengakibatkan larva tidak mampu
mengkonsumsi pakan tersebut sehingga dapat menyebabkan kematian.
Rendahnya pertumbuhan berat relatif pada perlakuan C diduga juga
dikarenakan tingginya kadar amoniak yang dihasilkan dari pemberian kuning telur

39
yang terlalu lama. Periode pemberian kuning telur yang terlalu lama menyebabkan
kuning telur yang tidak termakan dapat berubah menjadi amoniak. Kadar amoniak
yang tinggi pada perlakuan ini menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan untuk
memakan pakan lainnya, dan mengakibatkan menurunnya angka pertumbuhan.
Menurut Andrianto (2005), keberadaan amoniak dalam air dapat menyebabkan
berkurangnya daya ikat oksigen oleh butir-butir darah, hal ini akan menyebabkan
nafsu makan ikan menurun.

4.2.4. Kelangsungan Hidup

Nilai kelangsungan hidup berdasarkan hasil penelitian yang telah


dilaksanakan selama 32 hari pemberian pakan alami berupa kuning telur, naupli
Artemia sp., Daphnia sp., dan cacing sutera mendapatkan hasil yang berbeda
antara perlakuan. Gambar 4.4. menunjukkan rerata kelangsungan hidup tertinggi
terdapat pada perlakuan A, kemudian berturut-turut diikuti oleh perlakuan B dan
perlakuan C. berdasarkan hasil uji ANOVA menyatakan bahwa periode waktu
pemberian dan jenis pakan alami berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap laju
pertumbuhan bobot harian larva. Hal ini diduga karena larva sangat memerlukan
jenis pakan yang tepat sesuai dengan usia larva. Menurut Effendie (1997), apabila
dalam waktu relatif singkat ikan tidak dapat menemukan makanan yang cocok
sesuai dengan ukuran mulutnya, menyebabkan ikan menjadi kelaparan dan
kehabisan tenaga yang mengakibatkan kematian.
Nilai kelangsungan hidup pada perlakuan A lebih tinggi diantara
perlakuan lainnya diduga karena pemberian pakan alami dengan waktu pemberian
pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur + Artemia sp. 5 –
8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 10; Artemia sp. + Daphnia sp. 11
– 12; Artemia sp. + Daphnia sp + cacing sutera 13 – 14; Daphnia + cacing sutera
15 – 18; cacing sutera saja 19 – 20; dan pelet pada hari 20 – 35. Kelangsungan
hidup pada perlakuan A masih lebih tinggi dari hasil penelitian Hidayatullah dkk,
(2015) yang menghasilkan persentase kelangsungan hidup sebesar 63,83%. Hal
ini karena pemberian pakan dengan perlakuan A diduga lebih sesuai dengan
perkembangan sistem pencernaan dan ukuran bukaan mulut pada larva ikan gabus
haruan, sehingga larva dapat memanfaatkan pakan alami yang diberikan secara

40
optimal dan menghasilkan nilai kelangsungan hidup tertinggi dibandingkan pada
perlakuan yang lainnya. Menurut Rachimi dkk, (2016), keberhasilan kelangsungan
hidup ditentukan oleh rangsangan ketika makanan memiliki syarat nutrisi dalam
hal ini kandungan protein, lemak, karbiohidrat, vitamin dan mineral. Disamping
itu juga memiliki aspek fisik yang tidak kalah pentingnya yaitu bentuk dan ukuran
makanan, teknik pemberian makan dan frekuensi pemberian pakan. Hal ini
disebabkan makanan yang dicerna larva diabsorsi secara difusi, pengangkutan
aktif dan beberapa partikel dari makanan diabsorsi secara fagositosis. Disamping
itu kerja enzim proteolitik yang tinggi terdapat ketika ikan masih berukuran larva
karena ususnya kecil. Oleh sebab itu ikan harus diberikan pakan yang mengandug
protein tinggi.
Nilai kelangsungan hidup terendah didapat dari perlakuan C dengan
waktu pemberian pakan alami berupa kuning telur pada hari ke 3 – 4; kuning telur
+ Artemia sp. 5 – 8; kuning telur + Artemia.sp + Daphnia sp. 9 – 12; kuning telur
+ Artemia sp. + Daphnia sp. + cacing sutera 13 – 14; Artemia sp. + Daphnia sp +
cacing sutera 15 – 18; Daphnia + cacing sutera 19 – 22; cacing sutera saja 23 –
24; dan pelet pada hari 24 – 35. Rendahnya nilai kelangsungan hidup pada
perlakuan C diduga, pakan yang diberikan tidak sesuai dengan perkembangan
fisiologis larva pada saat itu, menyebabkan pakan alami yang diberikan tidak
mencukupi kebutuhan larva dan tidak termanfaatkan dengan baik pada saat umur
larva mulai bertambah untuk tetap tumbuh dan bertahan hidup. Menurut Supriya
et al. (2008), mortalitas dapat terjadi karena ikan mengalami kelaparan yang
berkepanjangan, akibat dari tidak terpenuhinya energi untuk proses pertumbuhan
dan mobilitas. Kandungan nutrisi pada pakan yang diberikan tidak mencukupi
kebutuhan larva.
Rendahnya kelangsungan hidup pada perlakuan C diduga juga
dikarenakan pemberian pakan kuning telur yang lebih lama dari perlakuan
lainnya, membuat kuning telur banyak yang tidak termakan, hal ini menyebabkan
kandungan amoniak dalam perairan meningkat. Berdasarkan hasil pengamatan
kualitas air, kadar amoniak pada perlakuan C di akhir penelitian berada pada
angka 2,64 mg/l, lebih tinggi dari kadar amoniak berdasarkan rekomendasi Yunita
dkk, (2009). Menurut Alawi dkk, (2014) kuning telur yang tidak termakan oleh

41
larva mudah membusuk sehingga menurunkan kualitas air. Kualitas air yang turun
memungkinkan berkembangnya bakteri dan mengakibatkan tingginya angka
kematian larva.

4.2.5. Bukaan Mulut

Berdasarkan hasil pengukuran bukaan mulut selalu bertambah seiring


dengan bertambahnya usia larva. Ukuran bukaan mulut larva ikan gabus haruan
baru dapat diukur ketika memasuki usia 6 hari, dimana mulut larva sudah
terbentuk sempurna dan dapat dibuka untuk diukur panjangnya. Saat ukuran
bukaan mulut dapat diukur, didapatkan ukuran bukaan mulut larva pada usia 6
hari yaitu 1,08 mm sehingga ukuran bukaan mulut sebelum usia 6 hari dianggap <
1 mm.
Ukuran bukaan mulut larva menjadi salah satu hal yang harus
diperhatikan dalam menentukan jenis pakan alami yang akan diberikan pada larva
ikan. Ukuran pakan yang terlalu besar melebihi besar ukuran bukaan mulut dapat
menyebabkan larva tidak dapat memakan pakan alami yang diberikan,
menyebabkan larva kelaparan dan berujung dengan terjadinya kematian. Menurut
Effendie et al. (1997), persyaratan pakan yang sesuai untuk larva ikan adalah
berukuran kecil, lebih kecil dari bukaan mulut larva. Menurut War dkk, (2011)
bahwa semakin besar ukuran larva maka tingkat ukuran pakan yang akan
dikonsumsi akan semakin besar pula, sesuai dengan ukuran bukaan mulut.
Pemberian pakan alami larva ikan Gabus Haruan dalam penelitian ini
diawali dengan kuning telur di usia 4 hari pada semua perlakuan. Pada usia larva 4
hari, bukaan mulut belum dapat diukur sehingga pemberian pakan dengan emulsi
kuning telur ayam dianggap sudah sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva.
Jenis pakan berikutnya yang diberikan adalah Artemia sp. pada usia 5 hari. Pada
usia ini, ukuran larva dianggap masih < 1 mm namun sudah mendekati 1 mm.
Menurut Susanto dkk, (2000) Ukuran nauplius artemia lokal dan impor saat
menetas sekitar 0,40-0,48 mm dan ukuran instar dua sekitar 0,6 mm dengan
demikian, pemberian pakan Artemia sp. pada usia 5 hari sudah sesuai dengan
ukuran bukaan mulut larva.
Jenis pakan berikutnya yang diberikan adalah Daphnia sp. pada usia 9
hari. Pada usia ini, ukuran bukaan mulut larva 2,02 mm. Menurut Surtikanti dkk,

42
(2017) Daphnia sp. memiliki ukuran tubuh sekitar 2 mm untuk jantan dan 3-5 mm
untuk betina dengan demikian, pemberian pakan Daphnia sp. pada usia 9 hari
sudah sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva. Jenis pakan berikutnya yang
diberikan adalah D. pada usia 13 hari. Pada usia ini, ukuran bukaan mulut larva
2,93 mm. Menurut Pennak, (1978) cacing sutera memiliki diameter rata-rata 0,5
dengan panjang 4 cm, dengan demikian, pemberian pakan cacing sutera. pada usia
13 hari sudah sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva.
Persentase ukuran bukaan mulut dari panjang total berdasarkan Gambar
4.5. bahwa persentase ukuran bukaan mulut dari panjang total pada awal
kehidupan hingga umur 10 hari. Hal ini diduga karena larva belum memiliki organ
tubuh yang sempurna, sehingga pada awal kehidupan, lebih banyak terjadi
perkembangan dari pada pertumbuhan. Menurut Effendi (2002), kehidupan larva
terbagi menjadi dua fase yaitu pro larva dan post larva. Pro larva adalah fase
dimana larva masih mengandalkan kuning telur, memiliki bentuk yang tidak
menyerupai ikan dewasa serta belum memiliki organ yang sempurna, seperti
mulut. Sedangkan post larva adalah fase dimana kuning telur sudah habis, organ
sudah mulai terlihat dan sudah mulai menyerupai ikan dewasa. Menurut Kohno
dkk, (1997), pada fase pro larva, terdapat beberapa proses perkembangan seperti
morfogenesis, organogenesis dan metamorfosis. Pada fase pro larva, belum
banyak terjadi pertumbuhan panjang dan berat karena seluruh energi yang didapat
dari pakan yang dikonsumsi pada fase pro larva lebih banyak digunakan untuk
ketiga proses tersebut. Sedangkan pada hari ke 10 dan seterusnya, larva sudah
berada pada fase post larva dimana organ tubuh larva sudah mulai terbentuk dan
sudah mulai menyerupai bentuk ikan dewasa, sehingga energi yang didapat dari
pakan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan panjang, hal ini menyebabkan
pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan bukaan mulut,
mengakibatkan menurunnya persentase ukuran bukaan mulut dari panjang total.
Persentase ukuran bukaan mulut larva ikan Gabus Haruan selama 35 hari
berkisar antara 13,87% - 23,45%. Persentase ini relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan ikan tunam bonito, mackerel, dan yellow fin yang memiliki
persentase ukuran bukaan mulut berkisar antara 15% - 25%. Persentase ukuran
bukaan mulut yang lebih besar diduga memang terjadi pada awal kehidupan.

43
Menurut Shirota (1970), terdapat beberapa kasus ikan dengan tingkat
pertumbuhan bukaan mulut yang lebih besar, ikan-ikan tersebut memiliki ukuran
mulut yang lebih besar pada saat dimulainya pemberian pakan.

4.2.6. Kualitas Air

Hasil pengukuran kualitas air pada awal dan akhir penelitian berdasarkan
Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa setiap perlakuan memiliki kualitas air yang
bervariasi pada akhir penelitian. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan
kondisi yang terjadi dalam setiap perlakuan membuat kualitas air berbeda-beda.
Suhu air pada penelitian ini berkisar antara 26,6 – 27 oC pada semua
perlakuan. Menurut Almaniar (2011) kisaran suhu dapat dinyatakan baik untuk
menunjang pertumbuhan ikan gabus yang dipelihara, yaitu pada 25,5-30℃.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa suhu air selama penelitian masih dalam
kondisi yang optimal untuk kehidupan ikan Gabus Haruan.
Kandungan oksigen (DO) air selama penelitian berkisar antara 2,1 – 3,06
mg/L pada semua perlakuan. Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor
pembatas, sehingga jika ketersediaanya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan
biota budi daya, segala aktivitas biota akan terhambat (Kordi, 2009). Menurut
Adriani (1995) Kandungan oksigen terlarut untuk pemeliharaan ikan gabus
berkisar antara 2,0-3,7 mg/L. Sedangkan menurut Kordi (2011) Oksigen terlarut
yang baik untuk budi daya ikan gabus, yaitu berkisar 3–6 mg, dari pernyataan
tersebut dapat dikatakan kadar DO dalam penelitian ini masih dapat memenuhi
kebutuhan hidup larva ikan Gabus Haruan.
pH air selama penelitian berkisar antara 6,15 – 7,54pada semua
perlakuan. Menurut Mukhflikhah et al. (2008) ikan gabus akan mengalami
pertumbuhan yang optimal pada nilai pH antara 4-9, dari pernyataan ini, dapat
dikatakan bahwa pH air selama penelitian masih dalam keadaan normal untuk
kehidupan larva ikan Gabus Haruan.
Kadar ammoniak (NH3) pada penelitian ini berkisar antara 0,3 – 2,64
mg/L. Pada akhir penelitian, kadar ammoniak pada perlakuan A yaitu 1,56 mg/L,
lebih rendah dari pada perlakuan B dan C yaitu 2,31 dan 2,64 mg/L. Tingginya
kandungan ammoniak diduga disebabkan oleh pemberian pakan kuning telur yang

44
terlalu lama sehingga tidak sesuai dengan periode pemberian pakan larva yang
baik. Kuning telur mengandung protein yang tidak termakan oleh larva. Azka
(2012) di dalam Siska (2018) menyatakan bahwa peningkatan kadar amoniak
berkaitan erat dengan masuknya bahan organik (protein) yang mudah terurai di
dalam perairan. Meskipun ikan gabus juga mampu mentolerir kandungan amonia
yang tinggi (Bijaksana, 2010).. Penggunaan pakan kuning telur ayam rebus
(boiled chicken egg yolk) dihadapkan dengan beberapa masalah sampingan,
diantaranya kuning telur yang tidak termakan oleh larva mudah membusuk
sehingga menurunkan mutu air. Mutu air yang turun memungkinkan
berkembangnya bakteri dan mengakibatkan tingginya angka kematian larva
(Alawi dkk, 2014).

45
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Periode waktu pemberian dan jenis pakan alami berbeda berpengaruh


nyata terhadap laju pertumbuhan panjang harian dan kelangsungan hidup larva
ikan gabus haruan namun tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan
berat harian dan pertumbuhan berat relatif larva ikan Gabus Haruan. Periode
waktu pemberian dan jenis pakan alami berbeda terbaik didapatkan dari perlakuan
A pada semua parameter dan terendah didapatkan dari perlakuan C pada semua
parameter.

5.2. Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah pakan
yang berbeda untuk mengetahui jumlah pemberian pakan yang tepat terhadap
larva ikan Gabus Haruan

46
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M. 1995. Kualitas Air Rawa, Fakultas Perikanan Jurusan Budidaya


Perairan Universitas Lambung Mangkurat.
Agustina, H., Yulisman, dan Fitrani, M. 2015. Periode Waktu Pemberian dan
Jenis Pakan Berbeda Untuk Meningkatkan Kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan Ikan Tambakan (Helostoma temminckii). Jurnal Akuakultur
Indonesia. 3(1) : 94-103.
Alawi, H., Ariyani, N. dan Asiah, N. 2014. Pemeliharaan Larva Ikan Katung
(Pristolepis grooti Bleeker) dengan Pemberian Pakan Awal Berbeda.
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2 (1): 24-42
Allington, N. L. 2002. Channa striata. Fish Capsule Report for Biology of Fishes.
Almaniar, S. 2011. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus
(Channa striata) pada pemeliharaan dengan padat tebar berbeda. Skripsi.
Universitas Sriwijaya.
Asdak, C. (2007). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Astuti, N. 2006. Potensi Albumin Ikan Gabus. Identitas Universitas Hasanuddin.
2 (1): 12-19.
Bijaksana, U. 2004. Ikan Haruan di Perairan Rawa Kalimantan Selatan. Makalah
Pengantar Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana S3. Institut Pertanian
Bogor. 5 hlm.
Bijaksana, U. 2006. Studi Pendahuluan Bio-Eko Reproduksi Snakehead di Rawa
Bangkau Propinsi Kalimantan Selatan. Simposium Nasional
Bioteknologi dalam Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor dan Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Bijaksana, U., Zairin, Jr., Djoko, D. dan Supriatna, I. 2009. Pengaruh Pemberian
Jenis Pakan yang Berbeda Terhadap Pematangan Gonad Ikan Gabus,
Channa striata Blkr Dalam Wadah Budidaya. LIMNOTEK. 16 (1).
Bijaksana, U. 2012. Dosmestikasi Ikan Gabus, Channa Striata Blkr, Upaya
Optimalisasi Perairan Rawa Di Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal
Lahan Suboptimal. 1 (1) : 92-101.

47
Bijaksana, U. 2016. Status Reproduksi Ikan Gabus Channa striata Blkr. Program
Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan UNLAM.
Bintaryanto, B. W. dan T. Taufikurohmah. 2013. Pemanfaatan Campuran Limbah
Padat (Sludge) Pabrik Kertas dan Kompos sebagai Media Budidaya
Cacing Sutra (Tubifex sp.). J. Universitas Negeri Surabaya. 2 (1) : 7 hlm.
Cong, N. V., Phuong, N. T., dan Bayley, M. 2008. Brain cholinesterase response
in the snakehead fish (Channa striata) after field exposure to diazinon.
Journal. Ecotoxicology and Environmental Safety. 71: 314-318.
Darmayanti, R.N. dan Supriadi, 2012, Adsorpsi Timabal (Pb) dan zink (Zn) dari
Larutannya Mengguanakan Arang Hayati(Biocharcoal) Kulit Pisang
Kepok Berdasarkan variasi pH,Jurnal Akademika Kimia, 1(4) pp.159-
165
Djarijah, A.S. 1995. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta : Kanisius.
Ebert D, 2005. Ecology, Epidemiology, and Evolution of Parasitism in Daphnia,
98. National Library of Medicine (US) – National Center for
Biotechnology Information, Bethesda.
Effendi, I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Fajar, M. 1988. Budidaya Perairan Intensif. Nuffic/ Unibraw/ Luw/ Fish. Fish
Project. Universitas Brawijaya Malang. Dalam Sukoso.2002.
Pemanfaatan Mikroalga dalam Industri Pakan Ikan. Agritek YPN.
Jakarta.
Febrianti, D. 2004. Pengaruh Pemupukan Harian dengan Kotoran Ayam terhadap
Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutera (Limnodrillus).
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. 46 hlm
Gam, L. H., Leow, C. Y., dan Baie, S. 2006. Proteomic analysis of snakehead fish
(Channa striata) muscle tissue. Malaysian Journal of Biochemistry and
Molecular Biology, 14(1): 25–32.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pengembangan Sekolah
Menengah Kejuruan. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan
Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Halver JE. 1979. Fish Nutrition. Academic Press. London. New York. 713 p.

48
Hidayatullah, S., Muslim, dan Taqwa, F. H. 2015. Pendederan Larva Ika Gabus di
Kolam Terpal dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal Perikanan dan
Kelautan. 20 (1) : 61-70.
Juliana, A. 2003. Pengaruh Tepung Terigu Dan Garam Terhadap Perubahan
Kualitas Air Dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Mas (Cyprinus Carpio
L). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 21 hlm (tidak diterbitkan)
Kadarini T. 2009. Pengaruh Salinitas dan Kalsium terhadap Sintasan dan
Pertumbuhan Benih Ikan Balashark Balantiocheilus melanopterus. Tesis.
Sekolah Paskasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Khairuman., K. Amri., dan T. Sihombing. 2008. Budidaya Cacing Sutra.
Agromedia. Jakarta.
Kinnie, O. 1977. Marine Ecology. John Wiley and sons, London, 1293 pp.
Kursiningrum, R. S. 2012. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press.
Universitas Airlangga. Surabaya
Lithner, D., Damberg, J., Dave, G dan Larsson, A. 2009. Leachates From Plastic
Consumer Product-screening for Toxicity Daphnia Magna.
Chemosphere. 74(9): 1195-1200.
Madinawati, Sediati, N. dan Yoel. 2011. Pemberian Pakan yang Berbeda
Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus). Media Litbang Sulteng.
Mahardika, S., Mustahal, Indrayanto, F. R., dan Saputra, A. 2017. Pertumbuhan
dan Sintasan Larva Ikan Gabus (Channa striata) yang diberi Pakan
Alami Berbeda. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 7 (1) : 82-92.
Mahendra dan Supriadi. 2019. Laju Pertumbuhan Larva Ikan Seurukan
(Osteochillus vittatus) Dengan Pemberian Kuning Telur Unggas. Jurnal
Akuakultura. 3 (1) : 13-20.
Mas’ud, F. 2011. Prevalensi dan Derajat Infeksi Dactylogyrus sp. Pada Insang
Benih Bandeng (Chanos chanos) di Tambak Tradisional, Kecamatan
Glagah, Kabupaten Lamongan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3
(1) : 27-38

49
Melianawati, R. dan Imanto, P. T. 2004. Pemilihan Pakan Alami Larva Ikan
Kakap Merah (Lutjanus argentimaculatus). Jurnal penelitian Perikanan
Indonesia. 10 (1) : 21-24.
Mudjiman, A. 1991. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
. 2004. Makanan Ikan. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta
Muflikhah, N., Suryati, N. K. dan Makmur, S. 2008. Gabus. Balai Riset Perikanan
Perairan Umum (BRPPU). Palembang.
Muslim dan Syaifudin, M. 2013. Perkembangan Gonad Ikan Gabus (Channa
striata) Hasil Domestikasi dalam Media Budidaya. Prosiding Seminar
Nasional Biologi. 28-30 Oktober 2013. Universitas Pandjajaran.
Bandung.
Muslim, M. 2007. Potensi, peluang dan tantangan budidaya ikan gabus (Channa
striata) di propinsi sumatera selatan. Prosiding Seminar Nasional Forum
Perairan Umum Indonesia IV (pp. 7–12). Palembang: Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Nakamura, R. dan Doi. 2000. Egg Proccessing. In: S. Nakai dan H. W. Modler
(Editor). Food Proteins: Processing Aplications. Wiley-VCH, Inc., New
York.
Nasution, S. H. dan Supranoto. 2004. Ikan Hias Air Tawar Kongo Tetra. Penebar
Swadaya. Jakarta. Hal 35.
Pennak RW. 1989. Coelenterata. Fresh-water Invertebrates of the United States:
Protozoa to Mollusca, 110-127, 3rd edition,. New York: John Wiley and
Sons, Inc
Pennak, R.W. 1953. Fresh-Water Invertebrates Of The United States. New York :
The Ronald Press Company.
Pillay T.V.R. 2004. Aquaculture and The Environment. Second Edition.UK :
Blackwell Publishing.
Priyono, A., Setiadharma, T., Priyono, B. dan Basuki, P.H., 2013. Model
Penerapan IPTEK Budidaya Bbandeng dengan Benih Unggul Hasil
Seleksi di Kabupaten Gresik, JawaTimur. Kementrian Kelautan dan
Perikanan.

50
Romanoff, A.L. dan A.F. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Wiley and
Sons. Inc., New York
Saanin, H. 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Jakarta.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara
Karang dan Teluk Banten.Dalam : Fora- minifera Sebagai Bioindikator
Pen-cemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang.
Santoso, A. H. 2009. Uji Potensi Ekstrak Ikan Gabus (Channa striata) Sebagai
Hepatoprotector pada Tikus yang Diinduksi Dengan Parasetamol.
[Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Sary. 2006. Bahan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Politehnik vedca. Cianjur.
Shirota, A. 1970. Studies on The Mouth Size of Fish Larvae. Freshwater
Biological Association. 99 ; 353-368.
Suprayogi, T., Sasanti, A. D. dan Yulisman. 2016. Perbedaan Waktu Peralihan
Pakan pada Pemeliharaan Post Larva Ikan Gabus (Channa striata).
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 4 (1) : 175-187
Syafriadiman dan Masril. 2013. Biomassa tubifex dalam media kultur yang
berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Pekanbaru. (Tidak diterbitkan). 52 halaman.
War, M. dan Altaff, K. 2014. Preliminary studies on the effect of prey length on
growth, survival and cannibalism of larval snakehead, Channa striatus
(Bloch, 1793). Journal Pakistan. 46 (1): 9-15.
Waterman, T. H. 1960. The Physiology Of Crustacea Metabolism And Growth.
Academic Press. New York San Fransisco London. 589 P.
Weber, M., dan de Beaufort, L. F. 1922. The fishes of the Indo-Australian
Archipelago, 4 E.J. Brill : 196 – 200 p.
Wee, K. L. 1982. The Biology and Culture of Snakeheads. Recent Advances in
Aquaculture, Westview Press, Boulder, Colorado.
Whitaker, J.R. dan S.R. Tannenbaum. 1977. Food Protein. AVI Publishing
Compani, inc., Westport, Connecticut.
Widiyanti, M. 2012. Frekuensi Pemberian Pakan Cacing Tubifex sp. Pada
Pertumbuhan Benih Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). [Skripsi].

51
Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Yurisman dan Heltonika B. 2010. Pengaruh kombinasi pakan terhadap
pertumbuhan dan kelulusan hidup larva ikan selais (Ompok
hypophthalmus). Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. 38(2): 80 – 94.
Yusup, W., Hasim dan Mulis. 2015. Pengaruh Pemberian Pakan Artemia sp.
Dosis Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Benih Ikan Sidat di
Balai Benih Ikan Kota Gorontalo.Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.
2(3):58-63.
Zairin, M. Jr., Furukawa, K. dan Aida, K. 2001. Induction of spawning in the
tropical walking catfish, Clarias batrachus by controlling water level and
temperature. Biotropia 16:18-27.

52
LAMPIRAN

53
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Panjang, Berat, Jumlah Akhir, dan
Ukuran Bukaan Mulut Larva Ikan Gabus Haruan

DATA AWAL PENELITIAN


Jumlah
P Berat rata-rata (mg) Panjang rata-rata (mm)
(ekor)
A1 32 72 6.02
A2 32 72 6.03
A3 32 74 6.09
Rata-rata 32 72.67 6.05
B1 32 73 6.04
B2 32 75 6.04
B3 32 74 6.07
Rata-rata 32 74 6.05
C1 32 72 6.10
C2 32 72 6.12
C3 32 73 6.08
Rata-rata 32 72.33 6.10
DATA HASIL AKHIR PENELITIAN
Jumlah
P Berat rata-rata (mg) Panjang rata-rata (mm)
(ekor)
A1 25 571 43.98
A2 20 625 50.34
A3 20 473 45.65
Rata-rata 21.67 556.33 46.66
B1 8 537 32.03
B2 5 624 33.88
B3 11 350 27.20
Rata-rata 8 503.67 31.04
C1 4 307 24.04
C2 4 355 23.19
C3 10 341 28.08
Rata-rata 6 334.33 25.10

54
Lampiran 2. Laju Pertumbuhan Bobot Harian

ln Wt - ln LPBH
Perlakuan Wt Wo Wo hari (%)
A1 571 72 2.07 32 6.47
A2 625 72 2.16 32 6.75
A3 473 74 1.86 32 5.80
Rata-rata 6.34
B1 537 73 2.00 32 6.24
B2 624 75 2.12 32 6.62
B3 350 74 1.55 32 4.86
Rata-rata 5.90
C1 307 72 1.45 32 4.53
C2 355 72 1.60 32 4.99
C3 341 73 1.54 32 4.82
Rata-rata 4.78

55
Lampiran 3. Uji Normalitas Laju Pertumbuhan Bobot Harian

S(z)-
No x z F(z) S(z) F(z)
1 4.53 -1.3022 0.09642 0.11111 0.01469
2 4.82 -0.9726 0.16539 0.22222 0.05683
3 4.86 -0.9271 0.17694 0.33333 0.15639
4 4.99 -0.7793 0.2179 0.44444 0.22654
5 5.80 0.14146 0.55625 0.55556 -0.0007
6 6.24 0.64163 0.73944 0.66667 -0.0728
7 6.47 0.90308 0.81676 0.77778 -0.039
8 6.62 1.07359 0.8585 0.88889 0.03039
9 6.75 1.22137 0.88903 1 0.11097
rata-
rata 5.6756
S 0.8797
L maks 0.22
L tab
5% 0.27

L maks < L tab = Data menyebar normal

56
Lampiran 4. Uji Homogenitas Laju Pertumbuhan Bobot Harian

PERLAKUAN (t)
ULANGAN
A B C
1 6.47 6.24 4.53
2 6.75 6.62 4.99
3 5.80 4.86 4.82
Jumlah 19.02 17.72 14.34
X rata-rata 6.34 5.91 4.78
S2 J 768.006 655.066 419.861
Log S2J 2.88536 2.81628 2.62311

Jumlah S2J 1842.93 Rerata 614.311


Jum. S2J Log
(log) 8.32475 rerata 2.78839
Log S2Jn 16.6495
X2 0.18609
db 2 2 2
jumlah db 6
FK 1.22222 X2 0.05 15.507
2 2
X hitung 0.15226 X 0.01 20.090

Kesimpulan
: Data homogeny

Kesimpulan
X2 hitung < X2 Tabel
:
Data Homogen

57
Lampiran 5. Uji ANOVA Laju Pertumbuhan Bobot Harian

PERLAKUAN = 3 A B C
ULANGAN = 3 t= 9

PERLAKUAN
NO ULANGAN JUMLAH RATA2
A B C
1 1 6.47 6.24 4.53 17.2400 5.7467
2 2 6.75 6.62 4.99 18.3600 6.1200
3 3 5.80 4.86 4.82 15.4800 5.1600

JUMLAH 19.0200 17.7200 14.3400 51.0800


RATA-
RATA 6.3400 5.9067 4.7800 5.6756

STDEV 0.4882 0.9261 0.2326


FK 289.90738

ANOVA
F Tabel
SK Db JK KT F Hitung
5%
Perlakuan 2 3.890755556 1.945377778 5.0743102 5.14
Galat 6 2.300266667 0.383377778
Total 8 6.191022222

KK 10.91 %
F Hitung < F Tabel : Menolak H1, menerima H0

58
Lampiran 6. Laju Pertumbuhan Panjang Harian

ln Lt - ln LPPH
Perlakuan Lt Lo Lo Hari (%)
A1 43.980 6.02 1.9886 32 6.215
A2 50.343 6.03 2.1221 32 6.632
A3 45.651 6.09 2.0144 32 6.295
Rata-rata 6.380
B1 32.030 6.04 1.6683 32 5.213
B2 33.880 6.04 1.7244 32 5.389
B3 27.195 6.07 1.4997 32 4.686
Rata-rata 5.096
C1 24.040 6.1 1.3714 32 4.286
C2 23.190 6.12 1.3322 32 4.163
C3 28.080 6.08 1.5301 32 4.781
Rata-rata 4.410

59
Lampiran 7. Uji Normalitas Laju Pertmbuhan Panjang Harian

S(z)-
No x z F(z) S(z) F(z)
1 4.163 -1.2484 0.10594 0.11111 0.00517
2 4.286 -1.1128 0.13289 0.22222 0.08933
3 4.686 -0.6719 0.25082 0.33333 0.08251
4 4.781 -0.5672 0.28529 0.44444 0.15915
5 5.213 -0.091 0.46375 0.55556 0.09181
6 5.389 0.103 0.54102 0.66667 0.12565
7 6.215 1.0135 0.84459 0.77778 -0.0668
8 6.295 1.10168 0.8647 0.88889 0.02419
9 6.632 1.47315 0.92964 1 0.07036
rata-
rata 5.2956
S 0.9072
L maks 0.09
L tab
5% 0.27

L maks < L tab = Data menyebar normal

60
Lampiran 8. Uji Homogenitas Laju Pertumbuhan Panjang Harian

PERLAKUAN (t)
ULANGAN
A B C
1 6.215 5.213 4.286
2 6.632 5.389 4.163
3 6.295 4.686 4.781
Jumlah 19.14 15.29 13.23
X rata-rata 6.38 5.10 4.41
S2 J 774.427 478.511 358.475
Log S2J 2.88898 2.67989 2.55446

Jumlah S2J 1611.41 Rerata 537.138


Jum. S2J Log
(log) 8.12333 rerata 2.73009
Log S2Jn 16.2467
X2 0.30821
db 2 2 2
jumlah db 6
FK 1.22222 X2 0.05 15.507
2 2
X hitung 0.25217 X 0.01 20.090

Kesimpulan
: Data homogen

Kesimpulan
X2 hitung < X2 Tabel
:
Data Homogen

61
Lampiran 9. Uji ANOVA Laju Pertumbuhan Harian

PERLAKUAN = 3 A B C
ULANGAN = 3 t= 9

PERLAKUAN
NO ULANGAN JUMLAH RATA2
A B C
1 1 6.215 5.213 4.286 15.7140 5.2380
2 2 6.632 5.389 4.163 16.1840 5.3947
3 3 6.295 4.686 4.781 15.7620 5.2540

JUMLAH 19.1420 15.2880 13.2300 47.6600


RATA-
RATA 6.3807 5.0960 4.4100 5.2956

STDEV 0.2213 0.3658 0.3271


FK 252.38618

ANOVA
F Tabel
SK Db JK KT F Hitung
5%
Perlakuan 2 6.004491556 3.002245778 31.0782552 5.14
Galat 6 0.579616667 0.096602778
Total 8 6.584108222

KK 5.87 %
F hitung > F Tabel : Menerima H1 Menolak H0

62
Lampiran 10. Uji Lanjutan BJND (5%)

√𝐾𝑇𝑔/𝑟
0.179446164
Tabel Duncan 5% 2 3
3.460 3.586
DMRT 0.620883729 0.643493946

perlakuan rata-rata rata-rata + DMRT simbol


C 4.4100 5.0309 a
B 5.0960 5.7395 ab
A 6.3807 c

Kesimpulan
B dan C Tidak Berbeda nyata
C dan A Berbeda nyata
A dan B Berbeda nyata

63
Lampiran 11. Pertumbuhan Bobot Relatif (%)

Pertumbuhan
Wt Wo
Perlakuan Bobot Relatif
(mg) (mg)
(%)
A1 571 72 693.06
A2 625 72 768.06
A3 473 74 539.19
Rata-rata 666.77
B1 537 73 635.62
B2 624 75 732.00
B3 350 74 372.97
Rata-rata 580.20
C1 307 72 326.39
C2 355 72 393.06
C3 341 73 367.12
Rata-rata 362.19

64
Lampiran 12. Uji Normalitas Pertumbuhan Bobot Harian

S(z)-
No x z F(z) S(z) F(z)
1 326.39 -1.1967 0.11571 0.11111 -0.0046
2 367.12 -0.9646 0.16737 0.22222 0.05485
3 372.97 -0.9313 0.17586 0.33333 0.15748
4 393.06 -0.8168 0.20703 0.44444 0.23742
5 539.19 0.01598 0.50638 0.55556 0.04918
6 635.62 0.56551 0.71414 0.66667 -0.0475
7 693.06 0.89285 0.81403 0.77778 -0.0363
8 732.00 1.11476 0.86752 0.88889 0.02137
9 768.06 1.32026 0.90663 1 0.09337
rata-
rata 536.39
S 175.477
L maks 0.04
L tab
5% 0.27

L maks < L tab = Data menyebar normal

65
Lampiran 13. Uji Homogenitas Pertumbuhan Bobot Harian

PERLAKUAN (t)
ULANGAN
A B C
1 693.06 635.62 326.39
2 768.06 732.00 393.06
3 539.19 372.97 367.12
Jumlah 2000.31 1740.59 1086.57
X rata-rata 666.77 580.20 362.19
S2 J 8692110 6793046 2425326
Log S2J 6.93913 6.83206 6.38477

Jumlah S2J 1.8E+07 Rerata 5970161


Jum. S2J Log
(log) 20.156 rerata 6.77599
Log S2Jn 40.3119
X2 0.79209
db 2 2 2
jumlah db 6
FK 1.22222 X2 0.05 15.507
2 2
X hitung 0.64807 X 0.01 20.090

Kesimpulan
: Data homogen

Kesimpulan
X2 hitung < X2 Tabel
:
Data Homogen

66
Lampiran 14. Uji ANOVA Pertumbuhan Bobot Harian

PERLAKUAN
NO ULANGAN JUMLAH RATA2
A B C
1 1 693.06 635.62 326.39 1,655.07 551.69
2 2 768.06 732.00 393.06 1,893.12 631.04
3 3 539.19 372.97 367.12 1,279.28 426.43

JUMLAH 2,000.31 1,740.59 1,086.57 4,827.47


RATA-
RATA 666.77 580.20 362.19 536.39

STDEV 116.68 185.82 33.61


FK 2,589,385.18

ANOVA
F Tabel
SK Db JK KT F Hitung
5%
Perlakuan 2 147,790.825 73,895.413 4.4991754 5.14
Galat 6 98,545.276 16,424.213
Total 8 246,336.101

KK 23.89 %
F Hitung < F Tabel : Menolak H1 Menerima Ho

67
Lampiran 15. Kelangsungan Hidup

Perlakuan Jumlah Akhir Jumlah Awal KH (%)


A1 25 32 78.13
A2 22 32 68.75
A3 23 32 71.88
Rata-rata 72.92
B1 8 32 25.00
B2 5 32 15.63
B3 11 32 34.38
Rata-rata 25.00
C1 4 32 12.50
C2 4 32 12.50
C3 10 32 31.25
Rata-rata 18.75

68
Lampiran 16. Uji Normalitas Kelangsungan Hidup

S(z)-
No x z F(z) S(z) F(z)
1 12.50 -0.9865 0.16194 0.22222 0.06028
2 12.50 -0.9865 0.16194 0.22222 0.06028
3 15.63 -0.8695 0.19228 0.33333 0.14105
4 25.00 -0.5193 0.30179 0.44444 0.14265
5 31.25 -0.2856 0.38758 0.55556 0.16797
6 34.38 -0.1686 0.43304 0.66667 0.23362
7 68.75 1.11614 0.86782 0.77778 -0.09
8 71.88 1.23315 0.89124 0.88889 -0.0024
9 78.13 1.46678 0.92878 1 0.07122
rata-
rata 38.89
S 26.7518
L maks 0.23
L tab
5% 0.27

L maks < L tab = Data menyebar normal

69
Lampiran 17. Uji Homogenitas Kelangsungan Hidup

PERLAKUAN (t)
ULANGAN
A B C
1 78.13 25.00 12.50
2 68.75 15.63 12.50
3 71.88 34.38 31.25
Jumlah 218.76 75.01 56.25
X rata-rata 72.92 25.00 18.75
S2 J 101440 13043.4 8554.69
Log S2J 5.00621 4.11539 3.9322

Jumlah S2J 123038 Rerata 41012.6


Jum. S2J Log
(log) 13.0538 rerata 4.61292
Log S2Jn 26.1076
X2 3.61485
db 2 2 2
jumlah db 6
FK 1.22222 X2 0.05 15.507
2 2
X hitung 2.9576 X 0.01 20.090

Kesimpulan
: Data homogen

Kesimpulan
X2 hitung < X2 Tabel
:
Data Homogen

70
Lampiran 18. Uji ANOVA Kelangsungan Hidup

PERLAKUAN = 3 A B C
ULANGAN = 3 t= 9

PERLAKUAN
NO ULANGAN JUMLAH RATA2
A B C
1 1 78.13 25.00 12.50 115.63 38.54
2 2 68.75 15.63 12.50 96.88 32.29
3 3 71.88 34.38 31.25 137.51 45.84

JUMLAH 218.76 75.01 56.25 350.02


RATA-
RATA 72.92 25.00 18.75 38.89

STDEV 4.78 9.38 10.83


FK 13,612.67

ANOVA
F Tabel
SK Db JK KT F Hitung
5%
Perlakuan 2 5,269.500 2,634.750 34.69 5.14
Galat 6 455.771 75.962
Total 8 5,725.271

KK 22.41 %
F Hitung > F Tabel : Menerima H1 Menolak H0

71
Lampiran 19. Uji Lanjut BJND (5%)

√𝐾𝑇𝑔/𝑟
5.031958237
Tabel Duncan 5% 2 3
3.460 3.586
DMRT 17.4105755 18.0446

Perlakuan Rata-rata Rata-rata + DMRT Simbol


C 18.75 36.1605755 a
B 25.00 43.04460224 ab
A 72.92 c

C dan B Tidak berbeda nyata


B dan A Berbeda nyata
C dan A Berbeda nyata

72
Lampiran 20. Ukuran Bukaan Mulut

DATA BUKAAN MULUT LARVA


H AB (mm) BM (mm)
1 <1 <1
2 <1 <1
3 <1 <1
4 <1 <1
5 <1 <1
6 <1 <1
7 1.12 1.58
8 1.23 1.74
9 1.43 2.02
10 1.47 2.08
11 1.51 2.14
12 1.61 2.28
13 1.69 2.39
14 1.76 2.49
15 1.82 2.57
16 1.98 2.80
17 2.18 3.08
18 2.23 3.15
19 2.29 3.24
20 2.34 3.31
21 2.41 3.41
22 2.48 3.51
23 2.51 3.55
24 2.57 3.63
25 2.63 3.72
26 2.69 3.80
27 2.72 3.85
28 2.78 3.93
29 2.83 4.00
30 2.88 4.07
31 2.93 4.14
32 2.97 4.20
33 3 4.24
34 3.18 4.50
35 3.32 4.70

73
Lampiran 21. Hasil Pengukuran Kualitas Air

No. Parameter Perlakuan Awal Akhir


1. Suhu (oC) A 26,6 26,6
B 26,6 26,8
C 26,6 27
2. DO mg/l A 2,1 3,05
B 2,1 3,05
C 2,1 3,06
3. pH A 6,15 7,22
B 6,15 7,51
C 6,15 7,54
4. NH3 (mg/l) A 0,3 1,56
B 0,3 2,31
C 0,3 2,64

74
Lampiran 21. Dokumentasi Kegiatan

1. Lokasi Penelitian 2. Pembuatan kolam terpal

3. Kolam Pemijahan 4. Kolam Kultur Daphnia sp.

5. Penimbangan Induk 6. Induk Jantan dan Betina

7. Telur Ikan Gabus Haruan 8. Pemindahan Larva

75
9. Larva Usia 2 Hari 10. Penebaran Larva

11. Tata letak Penelitian 12. Sampel Air

13. Pemeliharaan Larva 14. Pemberian Pakan

15. Pergantian Air 16. Sampling Berat Akhir

76
17. Sampling Ukuran Bukaan Mulut 18. Sampling Panjang Akhir

77
KALENDER PEMBERIAN PAKAN LARVA IKAN GABUS
Perlakuan I
Hari ke-
JP 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
KT
A
D
C
P

Perlakuan II
Hari ke-
JP 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
KT
A
D
C
P

Perlakuan III
Hari ke-
JP 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
KT
A
D
C
P
Keterangan : JP : Jenis Pakan, KT : Kuning Telur, A : Artemia sp., D : Daphnia sp., C : Cacing Sutera, P : Pelet

79
78
79
78
79

Anda mungkin juga menyukai