Anda di halaman 1dari 36

TEKNIK PENETASAN PAKAN ALAMI Artemia salina

DAN MANAJEMEN PEMBERIANNYA PADA LARVA


UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei )
DI PT. SURI TANI PEMUKA BANYUWANGI
JAWA TIMUR

TUGAS AKHIR

Oleh:

MUTHIAH ASHILAH
1722010041

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIKANAN


JURUSAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERIKANAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE KEPULAUAN
2020
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tugas akhir/skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pangkep, juni 2020

Yang menyatakan

Muthiah Ashilah
RINGKASAN

MUTHIAH ASHILAH, 1722010041. Teknik penyediaan pakan alami Artemia


salina dan manajemen pemberiannya pada larva Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei ) Di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery banyuwangi Jawa Timur
di bimbing oleh Mulyati dan Irfani Baga

Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha


budidaya ikan dan udang, di indonesia belum ditemukan adanya artemia, sehingga
sampai saat ini Indonesia masih mengimpor artemia sebanyak 50 ton/tahun.
Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup
tersedia untuk larva ikan dan udang, namun artemia masih tetap merupakan bagian
yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang di unit pembenihan. Atemia
memiliki kandungan nutrisi yang tinggi dan dapat disimpan lama dalam bentuk kista.

Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk memperkuat penguasaan


tentang teknik penyediaan pakan alami A. Salina dan Manajemen pemberiannya pada
post larva udang vaname di PT. Suri Tani Pemuka Banyuwangi, Jawa Timur.
Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memperkuat wawasan dan
kempetensi keahlian dalam berkarya di masyarakat kelak khususnya pada teknik
penyediaan pakan alami A. Salina dan Manajemen pemberiannya pada post larva
udang vaname

Tugas akhir ini disusun berdasarkan kegiatan pengalaman kerja praktek


mahasiswa (PKPM) dilaksanakan dari tanggal 29 januari 2020 sampai 15 april 2020
di PT Suri Tani Pemuka (STP) Banyuwangi, Jawa Timur. Data yang dikumpulkan
dalam penulisan tugas akhir ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari metode observasi, metode partisipasi aktif dan metode
wawancara. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dengan cara penelusuran
pustaka yang ada hubungannya dengan tugas akhir ini.

Hasil pengamatan dari ke 5 tangki artemia diperoleh rata-rata nilai HR


64,56%. Keberhasilan telur untuk menetas dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang
mempengaruhi penetasan yaitu suhu, kelarutan oksigen, intensitas cahaya, pH dan
salinitas. SR larva udang vaname sampai akhir pemeliharaan adalah 79,5%. Setiap
stadia mengalami penurunan SR setiap harinya, rata-rata penurunan SR sebanyak 1%
dalam waktu pemeliharaan 20 hari. Faktor yang paling mempengaruhi tingkat
kelangsungan hidup larva udang vaname yaitu kualitas air pada media pemeliharaan
dan kualitas pakan. Hasil pengamatan kualitas air pada bak penetasan artemia yang
diperoleh, suhu 29,8oC, salinitas 20 ppt, pH 8,5 dan DO 5,5. Semua parameter
kualitas air berada pada kisaran optimal.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya, serta tidak lupa pula penulis mengirimkan shalawat dan salam kepada

junjungan Nabi besar Muhammad S.A.W. sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan tugas akhir ini. Keberhasilan penyusunan tugas akhir ini tidak terlepas

dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak lupa penulis

menyampaikan terima kasih banyak kepada :

1. Ibu Mulyati , S.Pi ., M.Si selaku pembimbing I, ibu Dr. Ir.Irfani Baga, M.P

selaku pembimbing ke II yang telah memberikan motivasi, arahan dan

bimbingan hingga penyususnan tugas akhir ini selesai,

2. Bapak Sangga Sulistyo S dan bapak Bli Wayan selaku pembimbing lapangan

di PT STP hathery Banyuwangi,

3. Bapak Dr. Ardiansyah, S.Pi, M.Biotec selaku Ketua Jurusan Budidaya

Perikanan,

4. Bapak Dr. Ir.Darmawan.M.P selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri

Pangkep,

5. Ke dua Orang Tua saya yang senantiasa memberikan dukungan serta

senantiasa mengiringi Do’a sehingga penulis dapat menyusun tugas akhir ini

dengan baik,

6. Teman-teman Jurusan Budidaya Perikanan atas partisipasinya dan bantuanya

dalam menyelesaikan tugas akhir ini


Terima kasih dengan tulus kepada semua staf PT STP Hathery Banyuwangi

yang tidak sempat disebutkan namanya , atas partisipasi dan bantuannya dalam

penyelesaian studi ini , penulis menyadari penyusunan tugas akhir ini masih banyak

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun.

Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi penulis dan berguna untu yang

memerlukannya

Pangkep, Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... iv
RINGKASAN.............................................................................................. v
KATA PENGANTAR................................................................................. vi
DAFTAR ISI................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL........................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... x

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Tujuan dan Manfaat..................................................................... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi udang vaname ................................. 3
2.1.1 Klasifikasi udang vaname........................................ 3
2.1.2 Morfologi udang vaname ........................................ 4
2.2 Habitat dan Penyebaran udang vaname....................................... 5
2.3 Makanan dan Kebiasaan Makan udang vaname.......................... 5
2.4 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup ..................................... 6
2.4.1 Pertumbuhan udang vaname ................................... 6
2.4.2 Kelangsungan Hidup udang vaname....................... 7
2.5 Klasifikasi Artemia...................................................................... 7
2.6 Morfologi Artemia....................................................................... 8
2.7 Habitat Artemia .......................................................................... 10
2.8 Reproduksi Artemia .................................................................... 11
2.9 Siklus Hidup Artemia.................................................................. 11
2.10 Toleransi terhadap Faktor Lingkungan........................................ 13

2.11 Penetasan Artemia....................................................................... 14

3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat....................................................................... 16
3.2 Alat dan Bahan............................................................................ 16
3.3 Metode Pengumpulan Data......................................................... 17
3.4 Metode Pelaksanaan.................................................................... 18
3.4.1 Persiapan wadah dan alat penetasan Artemia.......... 18
3.4.2 Penetasan Kista Artemia.......................................... 19

3.4.3 Panen Naupli Artemia.............................................. 20


3.4.4 Pemberian Naupli Artemia ke Larva Udang ........... 21
3.5 Parameter yang Diamati dan Analisis Data................................. 22
3.5.1 Jenis Parameter yang Diamati.................................. 22

3.5.2 Metode Analisis Data............................................... 23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Derajat Penetasan Kista Artemia................................................ 24
4.2 Pemberian pakan Artemia ke larva Udang Vaname ................. 25
4.3 Tingkat Kelangsungan Hidup PostLarva Udang Vaname.......... 28
4.4 Parameter Kualitas Air Pada Tangki Penetasan Artemia........... 30
4.4.1 Suhu......................................................................... 30
4.4.2 Salinitas ................................................................... 31
4.4.3 Derajat Keasamaan (pH) ……………………....… 32

4.4.4 Oksigen Terlarut (DO) ………………………....… 32

5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan …………………………………………………... 34

5.2 Saran ………………………………………………………….. 34

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..... 35

LAMPIRAN ……………………………………………………………... 36
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………… 43
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1 Alat yang digunakan pada Kultur Artemia ………………… 16

Tabel 3.2 Bahan yang digunakan pada Kultur Artemia ………………. 17

Tabel 4.1 Derajat Penetasan Telur Artemia (HR) ………………………….. 24

Tabel4.2 Jumlah pakan yang diberikan ke larva dan frekuensi 27


pemberiannya…………………………..…………………….....

Tabel 4.3 Hasil pengukuran kualitas air penetasan kista Artemia ………. 34
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 2.1 Morfologi udang vaname..... ……………………………………. 4

Gambar 2.2 Morfologi A. salina ............................................................. 9

Gambar 2.3 Siklus Reproduksi Artemia salina ..................................... 12

Gambar 3.1 Pembersihan tangki sebagai wadah penetasan Artemia ….. 18

Gambar 3.2 Persiapan Penetasan Kista Artemia ………………………… 19

Gambar 3.3 Proses pemisahan cangkang kista dan naupli Artemia…… 20

Gambar 3.3 Cara Pemberian Pakan Naupli Artemia ke Larva Udang 21


Vaname …………………………………………………...
Gambar 4.1 Survival Rate Larva Udang Vaname ……………………. 28
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran.1 Simulasi Pemberian Pakan Artemia Selama 1 Siklus …. 37

Lampiran.2 Hasil sampling HR setiap Tangki ………... 38


Lampiran.3 Perhitungan SR pada setiap bak pemeliharaan ……………… 39

Lampiran.4 Hasil pengukuran Kualitas Air Penetasan Kista Artemia 42


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha budidaya udang saat ini semakin banyak dilaksanakan dan terus

dikembangkan baik secara tradisional, semi intensif, intensif sampai superintensif.

Usaha budidaya tersebut dilakukan di perairan tawar, payau dan laut. Selain

pengembangan skala usaha, ikan yang di budidayakan semakin beragam jenisnya.

Salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan usaha budidaya udang adalah

ketersediaan pakan, di mana penyediaan pakan merupakan faktor yang begitu penting

disamping penyediaan induk. Pemberian pakan yang berkualitas dalam jumlah yang

cukup akan memperkecil persentase larva yang mati.

Zooplankton merupakan salah satu pakan alami digunakan secara luas di

dalam industri budidaya ikan dan udang. Salah satu zooplankton yang banyak

digunakan sebagai pakan utama dalam pembenihan ikan, udang dan kepiting adalah

Artemia. Artemia banyak digunakan karena ukurannya yang kecil sehingga sesuai

dengan bukaan mulut larva. Artemia sebagai pakan alami banyak digunakan dalam

pembenihan udang karena nilai gizinya yang tinggi. Nilai nutrisinya didapatkan dari

kandungan protein Artemia dewasa mencapai 60% (Sumeru dan Anna, 1992).

Salah satu keistimewaan Artemia adalah kemampuannya dalam beradaptasi

terhadap rentang salinitas yang luas. Salah satu keunggulan jasad renik ini adalah

kemampuannya, Artemia merupakan salah satu pakan alami yang sering digunakan di

tempat pembenihan udang (hatchery) atau budidaya udang. Artemia merupakan


organisme sejenis udang-udangan renik yang dikenal dalam bahasa inggris yaitu

brine shrimp. Artemia hidup secara planktonik di perairan yang mengandung garam

bersalinitas 15 – 300 per mill dengan suhu berkisar antara 26°C – 31°C dan pH antara

7,3 – 8,4. Organisme ini memiliki keistimewaan hidup yaitu dapat bertoleransi pada

perairan dengan kadar garam yang tinggi.

Salah satu hal yang menjadi kendala dalam keberhasilan pembenihan di

hatchery adalah ketersediaan pakan alami yang merupakan usaha penting dalam

menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang vaname sehingga

dibutuhkan keterampilan dalam teknik mengkultur pakan alami tersebut.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk memperkuat penguasaan

tentang teknik penyediaan pakan alami A. Salina dan Manajemen pemberiannya pada

post larva udang vaname di PT. Suri Tani Pemuka Banyuwangi, Jawa Timur.

Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memperkuat wawasan dan

kempetensi keahlian dalam berkarya di masyarakat kelak khususnya pada teknik

penyediaan pakan alami A. Salina dan Manajemen pemberiannya pada post larva

udang vaname
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi udang vaname

2.1.1 Klasifikasi udang vaname

Holthuis (1980) menyatakan bahwa pemberian nama ilmiah udang vaname

pertama kali dilakukan oleh Boone pada tahun 1931 dengan klasifikasi sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Bilateria

Infrakingdom : Protostomia

Superfilum : Ecdysozoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobranchiata

Superfamili : Penaeoidea

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei Boone


2.1.2 Morfologi udang vaname

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), tubuh udang vaname dibentuk oleh dua

cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vaname memiliki tubuh

berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik

(moulting).

Semua spesies udang penaeus mempunyai bentuk dasar tubuh yang sama,

mempunyai rostrum, sepasang mata sepasang antena, sepasang antenula bagian

dalam dan luar, 3 buah maxiliped, 5 pasang chelae (periopod), 5 pasang pleopod,

sepasang telson dan uropod. Tubuh udang sendiri dibagi menjadi 3 bagian, yaitu

bagian kepala yang tertutupi oleh carapaceae, 5 ruas bagian perut yang masing-

masing ruas mempunyai sepasang pleopod dan 2 ruas terakhir terdiri dari bagian ruas

perut dan bagian ruas telson serta uropod (Darmono, 1991). Morfologi dari udang

vaname terdapat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Morfologi udang vaname (Haliman dan Adijaya, 2005)


2.2 Habitat dan Penyebaran udang vaname

Daerah penyebaran L. vannamei meliputi pantai pasifik, Meksiko, Laut

Tengah dan Selatan Amerika. Sebuah wilayah dimana suhu air secara umum berkisar

diatas 20 °C sepanjang tahun. Disini merupakan tempat populasi L. vannamei

berada. Karena spesies ini relatif mudah berkembang biak dan dibudidayakan, maka

L.vannamei menjadi salah satu spesies andalan dalam budidaya udang dibeberapa

negara dunia (Direktorat, 2010).

Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari

setiap fase dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis dan hidup

pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang

lembut (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir. Udang putih

vanname sangat menyukai daerah dasar. Terutama di bawah garis pantai pada

kedalaman 72 m (Elovaara, 2001). Pada umumnya post larva ditemukan di sepanjang

pantai dan paling banyak di daerah hutan mangrove. Ekosistem ini

merupakan tempat yang sesuai untuk berlindung dan mencari makan (Wyban &

Sweeney, 1991).

2.3 Makanan dan Kebiasaan Makan udang vaname

Menurut Direktorat (2010), Udang penaeid digolongkan kedalam hewan

pemakan segala macam bangkai (omnivorus scavenger) atau pemakan detritus. Dari

hasil penelitian usus udang menunjukkan bahwa udang penaeid di alam adalah

karnivora yang memakan krustacea kecil, amphipoda, dan polychaeta. Secara alami,

L. vannamei merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari
makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam

substrat atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan

frekuensi lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.

L. vannamei membutuhkan makanan dengan kandungan protein sekitar 35%,

lebih kecil jika dibandingkan udang-udang Asia seperti Penaeus monodon dan

Penaeus japonicus yang membutuhkan pakan dengan kandungan protein hingga 45%.

Dan ini akan berpengaruh pada harga pakan dan biaya produksi (Direktorat, 2010).

2.4 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

2.4.1 Pertumbuhan udang vaname

Pertumbuhan udang merupakan proses pertambahan panjang dan berat yang

terjadi secara bertahap, dimana proses ini sangat dipengaruhi oleh frekuensi ganti

kulit (moulting). Moulting akan terjadi secara teratur pada udang yang sehat. Bobot

udang akan bertambah setiap kali mengalami moulting (Haliman dan Adijaya, 2005).

Kegiatan monitoring pertumbuhan udang vaname selama masa pemeliharaan

dilakukan untuk mengetahui kesehatan udang, berat rata-rata secara keseluruhan

dalam suatu populasi (Mean Body Weight), tingkat kelangsungan hidup (Survival

Rate), dan berat biomasa. Pertumbuhan merupakan ekspresi dari pertambahan

volume, panjang, serta bobot terhadap satuan waktu tertentu, Pengamatan ini dapat

dilakukan dengan menggunakan metode anco, pengamatan di anco dilakukan untuk

melihat populasi dan kesehatan setiap saat (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,

2010).
Menurut Wyban dan Sweeney (1991), pertumbuhan udang vaname pada wadah

terkontrol dengan kepadatan 100 ekor/m² adalah 2 gram/minggu sebelum berat udang

mencapai 20 gram, selanjutnya pertumbuhan udang 1 gram/minggu.

2.4.2 Kelangsungan Hidup udang vaname

Kelangsungan hidup adalah banyaknya udang yang berhasil hidup hingga

masa panen tiba, yang paling mempengaruhi kelangsungan hidup udang yang

dipelihara ialah kondisi lingkungan perairan tambak dan kondisi benur, terutama pada

waktu penebaran benur dilakukan. Selain itu terdapatnya predator di tambak juga

sangat mengancam kelangsungan hidup udang (Haliman dan Adijaya, 2005).

Menurut Fegan (2003), pada kondisi optimal tingkat kelangsungan udang vaname

dapat mencapai 85-90%.

2.5 Klasifikasi Artemia

Menurut Linnaeus, 1758 dalam Weekers (2002) klasifikasi Artemia

salina adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Bilateria

Infrakingdom : Protostomia

Filum : Anthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Crustacea

Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca

Subordo : Artemiina

Family : Artemidae

Genus : Artemia Leach, 1819

Spesies : Artemia salina

2.6 Morfologi Artemia

Artemia dewasa memiliki ukuran antara 10-20 mm dengan berat sekitar 10

mg. Bagian kepalanya lebih besar dan kemudian mengecil hingga bagian ekor.

Mempunyai sepasang mata dan sepasang antenulla yang terletak pada bagian kepala.

Pada bagian tubuh terdapat sebelas pasang kaki yang disebut thoracopoda.

Alat kelamin terletak antara ekor dan pasangan kaki paling belakang. Salah satu

antena Artemia jantan berkembang menjadi alat penjepit, sedangkan pada betina

antena berfungsi sebagai alat sensor. Jika kandungan oksigen optimal, maka Artemia

akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan

apabila mereka banyak mengkonsumsi mikroalga. Pada kondisi yang ideal seperti ini,

Artemia akan tumbuh dengan cepat.

Kista Artemia berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat

penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang

tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh

kekeringan, benturan keras, sinar ultra violet dan mempermudah pengapungan

(Mudjiman, 2008).
Cangkang kista Artemia dibagi dalam dua bagian yaitu korion (bagian luar)

dan kutikula embrionik (bagian dalam). Diantara kedua lapisan tersebut terdapat

lapisan ketiga yang dinamakan selaput kutikuler luar. Korion dibagi lagi dalam dua

bagian yaitu lapisan yang paling luar yang disebut lapisan peripheral (terdiri dari

selaput luar dan selaput kortikal) dan lapisan alveolar yang berada di bawahnya.

Kutikula embrionik dibagi menjadi dua bagian yaitu lapisan fibriosa dibagian atas

dan selaput kutikuler dalam di bawahnya. Selaput ini merupakan selaput penetasan

yang membungkus embrio (Mudjiman, 2008). Morfologi A. salina dapat dilihat pada

Gambar 2.1

ekor

Antena 2

anus
mata

gonad

thoracopoda
Antena 1 mulut

Gambar 2.2 Morfologi A. salina


Sumber : https://sciencesediment.com/units/brine-shrimp/
2.7 Habitat Artemia

Pada kondisi alamiah, Artemia hidup di danau–danau dan perairan

bersalinitas tinggi. Oleh karena itu, Artemia disebut juga udang renik asin (brine

shrimp). Secara fisik, Artemia tidak mempunyai pertahanan tubuh. Oleh karena itu,

kemampuan hidup di danau dengan salinitas tinggi merupakan sistem pertahanan

alamiah Artemia terhadap musuh-musuh pemangsanya. Artemia dapat hidup pada

temperatur 25-300C (Mudjiman, 1995).

A. salina memiliki resistensi luar biasa pada perubahan dan mampu hidup

pada variasi salinitas air yang luas dari air laut (2.9 - 3.5ppt) sampai danau garam

salinitas tinggi (25-35ppt), dan masih dapat bertoleransi pada kadar garam 50ppt

(jenuh). Beberapa ditemukan di rawa asin hanya pada pedalaman bukit pasir pantai,

dan tidak pernah ditemui di lautan itu sendiri karena di lautan terlalu banyak predator.

A. salina juga mendiami kolom-kolom evaporasi buatan manusia yang biasa

digunakan untuk mendapatkan garam dari lautan.

Insang membantunya agar cocok dengan kadar garam tinggi dengan absorbsi

dan ekskresi ion-ion yang dibutuhkan dan menghasilkan urin pekat dari glandula

maxillaris. Hidup pada variasi temperatur air yang tinggi pula, dari 6-37°C dengan

temperatur optimal untuk reproduksi pada 25°C (suhu kamar). Keuntungan hidup

pada lokasi berkadar garam tinggi adalah sedikitnya predator namun sumber

makanannya sedikit (Emslie, 2003).


2.8 Reproduksi Artemia

Menurut Soorgelos et al (1986) dalam Ramadhon et al (2013) Artemia sp.

mempunyai dua macam sistem reproduksi, yaitu secara aseksual dan seksual.

Artemia sp. bereproduksi secara aseksual dilakukan secara partenogenesis, yaitu

proses reproduksi proses reproduksi yang dilakukan oleh induk betina tanpa adanya

pembuahan oleh induk jantan. reproduksi seksual adalah proses perkawinan antara

induk jantan dan betina. Berdasarkan proses perkembangan Artemia, dapat dilakukan

secara ovipar dan ovovivipar. Perkembangan ovovivipar terjadi pada kondisi optimal,

yaitu diawali dengan menetasnya telur menjadi embrio yang menyelesaikan

perkembangannya berubah menjadi nauplii. Perkembangan ovipar terjadi pada

kondisi lingkungan perairan dengan salinitas tinggi dan bahan pakan sangat kurang,

serta fluktuasi oksigen sangat tinggi, hal ini menyebabkan terbentuknya cyste pada

telur.

2.9 Siklus Hidup Artemia

Menurut Harefa (2003) bahwa berdasarkan jenis kelaminnya, Artemia dapat

dibedakan antara individu yang berkelamin jantan dan betina. Dalam siklus hidupnya,

proses reproduksi atau perkembangbiakan dilakukan secara generatif. Dalam proses

generatif dihasilkan telur-telur atau kista yang berbentuk butiran-butiran halus.

Apabila berada ditempat kering atau di air yang bersalinitas tinggi maka kista tetap

dalam keadaan dorman atau tidur. Keadaan tersebut dikenal dengan istilah fase

cryptobiosis. Apabila kista tersebut direndam didalam air laut dengan salinitas 30- 35

ppt maka akan terjadi hidrasi.


Setelah 24 jam, membran luar akan pecah dan kista menetas menjadi embrio.

Beberapa jam kemudian, embrio berkembang menjadi nauplius dan mampu berenang

bebas di dalam air. Individu yang baru ditetaskan dikenal dengan instar I. Instar I ini

akan berganti kulit menjadi instar II, demikian seterusnya sampai 15 kali. Setiap

tahap pergantian kulit dinamai nomor instar pada tahap tersebut sehingga pergantian

kulit yang terakhir disebut instar XV. Selanjutnya Artemia berkembang menjadi

individu dewasa dengan ukuran 10-20 mm.

Perkembangan Artemia dari proses penetasan sampai menjadi individu

dewasa membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari. Pada saat telah menjadi dewasa,

Artemia siap untuk melakukan proses proses perkawinan. Proses perkawinan pada

Artemia ditandai dengan penempelan individu jantan pada tubuh individu betina

(riding position). Keadaan seperti ini berlangsung hingga telur masak. Siklus

Reproduksi A. salina dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.3 Siklus Reproduksi A. salina


Sumber : http://gintisa.blogspot.com/2018/09/siklus-hidup-dan-perkembangbiakan.html?m=1
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam kondisi lingkungan yang kurang

menguntungkan, misalnya salinitas air amat tinggi atau kadar oksigen rendah, telur

segera dibungkus oleh kulit luar yang disebut korion. Korion yang diproduksi oleh

kelenjar kulit ini cukup keras, tidak mudah pecah, ringan, dan berwarna coklat tua.

Dengan terbentuknya korion ini maka telur hanya mampu berkembang hingga fase

gastrula dan kemudian berlanjut kepada fase dormansi atau diapause. Pada saat

terbentuk korion, proses metabolisme menjadi terhenti. Telur kemudian disebut

dengan kista. Kista ini dilepas induknya kedalam air dan mengapung dibawa oleh

angin atau arus air karena beratnya yang sangat ringan. Proses pelepasan kista dari

induknya disebut dengan ovipar. Kista Artemia terbentuk bulat dan cukup keras

sehingga tidak mudah pecah. Dalam kondisi lingkungan yang baik dan salinitas

rendah, telur langsung menetas menjadi larva yang disebut nauplius. Larva ini akan

membebaskan diri dari induknya dengan berenang bebas didalam air. Proses

penetasan telur langsung menjadi larva ini disebut dengan ovovivipar.

2.10 Toleransi terhadap Faktor Lingkungan

A. salina ditemukan secara alami pada 80 habitat di lima benua. Di Asia

Tenggara hewan ini ditemukan secara alami karena hujan relative tinggi. A. salina

dapat hidup pada kisaran antara 5 – 300 ppt, dengan suhu optimal 230C, dan suhu

letalnya di atas 350C. Kista A. salina dapat bertahan bertahun-tahun lamanya selama

penyimpanannya pada tempat yang kering dan tanpa udara (Adisukresno, 1983)

dalam (Anita, 2017).


A. salina tidak tahan hidup pada kisaran suhu kurang dari 6 0C, hal ini sangat

tergantung dari ras dan kebiasaan hidup. Sedangkan suhu yang baik untuk

pertumbuhan adalah berkisar antara 250C – 300C (Mudjiman, 1988). Oksigen terlarut

yang baik untuk pertumbuhan A. salina sekitar 3 mg/l, sedangkan untuk salinitas 15 –

30 ppt (Mudjiman, 1984) dalam (Anita, 2017).

2.11 Penetasan Artemia

Harefa (1996) mengatakan bahwa penetasan kista Artemia dapat dilakukan

dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung dan penetasan dengan cara dekapsulasi. Cara

dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan

hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi

merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk

meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista

Artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan.

Langkah-langkah penetasan kista Artemia dengan cara dekapsulasi yaitu

dengan cara kista artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam,

kemudian kista disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dicuci bersih.

Tahap selanjutnya kista dicampur dengan larutan kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml

per 1 gram kista, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata, lalu kista

segera disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dibilas menggunakan

air tawar sampai bau klorin hilang, barulah siap untuk ditetaskan selanjutnya kista

akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan aerasi

untuk memisahkan cytae yang tidak menetas dengan naupli artemia (Harefa, 1996).
Purwakusuma (2008) kista hasil dekapsulasi dapat segera digunakan

(ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0-4 oC dan digunakan sesuai kebutuhan.

Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al (1990) mengatakan kista

setelah dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk

bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio yang aktif, sekitar 24 jam

kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang masih dibungkus dengan

selaput. Pada saat ini panen segera akan dilakukan.


III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil kegiatan Pengalaman Kerja Praktik

Mahasiswa (PKPM) yang telah dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan, mulai

tanggal 29 Januari sampai 15 April 2020 di PT. Suri Tani Pemuka Banyuwangi, Jawa

Timur.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penyediaan Artemia akan

dicatat secara terperinci, meliputi nama alat, spesifikasi dan fungsinya masing–

masing. Daftar peralatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. dan 3.2.

Tabel 3.1 Alat yang Digunakan pada Penetasan Artemia


No. Nama Alat Spesifikasi Kegunaan

1 Tangki fiber 500 l wadah penetasan

2 Aerator RESUN LP-100 penyuplai oksigen

3 Saringan mesh T 200 mikron menyaring cangkang

4 Selang benang 10 m penyuplai air

5 Ember 10 l penampungan naupli artemia

6 Gelas ukur plastik 2l


penakar dosis pakan ke larva
7 Scooringpad mencuci tangki

8 Lampu 2000 LUX sumber cahaya naupli artemia

9 Pipa panen pengaliran naupli artemia


Tabel 3.2. Bahan yang Digunakan pada Kultur Artemia

No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan

1 Kista rtemia 45gr pakan alami larva

2 Air laut Salinitas 20 ppt media kultur

3 Air tawar media kultur

4 Larutan Pembersih Cair membersihkan tangki

5 Sodium Mempercepat proses


pengikisan cangkang

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penulisan tugas akhir ini terdiri dari data

primer dan data sekunder. Data primer dengan menggunakan metode sebagai

berikut :

1. Metode observasi yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan

terhadap berbagai kegiatan operasional penyediaan Artemia

2. Metode partisipasi aktif yaitu metode pengumpulan data dengan mengikut secara

aktif kegiatan penetasan Artemia

3. Metode wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab

dengan pembimbing lapangan dan teknisi penetasan Artemia

Data sekunder diperoleh dari studi literatur yaitu metode pengumpukan data

dengan cara penelusuran pustaka yang ada hubungannya dengan tugas akhir ini
3.4 Metode Pelaksanaan

3.4.1 Persiapan Wadah dan Alat Penetasan Artemia

Sebelum tanki dan alat-alat digunakan dalam kegiatan penetasan Artemia

terlebih dahulu dilakukan pencucian. Tank kultur dicuci dengan menggunakan

sabun dan scooringpad dan disikat bagian dinding dan dasar tanki serta peralatan

aerasi, lalu bak dan peralatan aerasi dibilas dengan air tawar dan dikeringkan

selama 24 jam. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme

lain yang bersifat patogen yang dapat menghambat pertumbuhan plankton.

Wadah yang tidak steril dan kotor dapat menyebabkan tumbuhnya protozoa yang

dapat mengganggu pertumbuhan plankton. Pembersihan tangki yang akan

digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Pembersihan Tangki sebagai Wadah Penetasan Artemia


3.4.2 Penetasan Kista Artemia

Sebelum dilakukan penetasan Artemia, alat dan bahan disiapkan

lalu dilakukan penyediaan air laut. Pada tangki bervolume 500 liter , diisi

air laut sebanyak 450 liter dengan salinitas 20 ppt kemudian kista Artemia

perbandingan antara air dan kista Artemia adalah 1:10 , kista Artemia

yang akan ditetaskan diberikan campuran sodium fungsinya untuk

mempercepat pengikisan cangkang, setelah kista Artemia di tuang ke

dalam tank aerasi kemudian dihidupkan dan lampu dinyalakan tepat di

atas tank dan tunggu sampai 18-24 jam untuk panen. Persiapan penetasan

kista Artemia dapat dilihat pada Gambar 3.2

Pengisian air laut Pemasukan kista Artemia

Gambar 3.2 Persiapan Penetasan Kista Artemia


3.4.3 Panen Naupli Artemia

Sebelum panen dilakukan, alat dan bahan yang akan digunakan

sisiapkan. Aerasi dalam tangki penetasan dihentikan dan lampu dimatikan

kemudia permukaan tangki ditutup dengan tripleks dan didiamkan selama 15

menit. Setelah itu keran tangki pengeluaran dibuka dan dipasang saringan

mesh T 45 untuk memisahkan naupli dengan cangkan kista, naupli akan lolos

saringan dan akan dipindahkan ke dalam ember lalu ditambahkan air laut.

Naupli Artemia siap diberikan ke larva udang vaname. Panen naupli Artemia

dapat dilihat pada Gambar 3.3

Gambar 3.3 Kegiatan Pemisahan Cangkang dengan Naupli Artemia


3.4.4 Pemberian Naupli Artemia ke Larva Udang Vaname

Sebelum naupli Artemia diberikan ke larva, terlebih air media dalam

ember diaduk agar penyebaran naupli merata. Pemberian naupli Artemia

dilakukan dengan menggunakan gelas ukur plastik 1/2 L. Dosis pemberian

naupli Artemia disesuaikan dengan form pemberian Artemia. Pemberian

naupli Artemia disebar di atas permukaan bak larva dengan menentukan 3

titik, yaitu pinggir kanan bak, tengah bak dan pinggir kiri bak. Naupli

Artemia diberikan sebanyak tiga kali dalam sehari yaitu pada jam 08.30 ,

14.30 , dan 20.30 . Cara pemberian pakan naupli Artemia ke larva udang

vaname dapat dilihat pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Cara Pemberian Pakan Naupli Artemia ke Larva Udang vaname
3.5 Parameter yang Diamati dan Analisis Data

3.5.1 Parameter yang Diamati

Derajat Penetasan atau Hatching Rate (HR)

Derajat penetasan adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang

menetas, penetasan telur dapat disebabkan oleh faktor perubahan suhu,

intensitas cahaya, dan kadar oksigen terlarut

Menurut Effendi (1997), Derejat penetasan dapat dihitung

menggunakan rumus sebagi berikut:

jumlah telur yang menetas


HR X 100%
jumlah total telur
.

Tingkat Kelangsungan Hidup atau Survival Rate (SR)

Tingkat kelangsungan hidup udang dalam suatu proses budidaya dari

awal udang ditebar sampai udang di panen

Menuru Effendie (1997) tingkat kelangsungan hidup dapat dihitung

menggunkan rumus sebagai berikut:

Jumlah uda ng yan g dipanen


SR X 100%
Jumlah uda ng awal penebaran
Kualitas Air

Kualitas air adalah parameter lingkungan yang diukur, yaitu meliputi suhu,

salinitas, pH dan oksigen terlarut. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan

pengujian terhadap air, pengujian yang dilakukan adalah uji kimia, fisika dan biologi.

3.5.2 Analisis Data

Data yang dikumpulkan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar

kemudian dianalisis secara deskriptif

Anda mungkin juga menyukai