Anda di halaman 1dari 59

PENGAMATAN DAN PENGENDALIAN EKTOPARASIT

PADA BENIH BANDENG (Chanos chanos)


DI UNIT KERJA BUDIDAYA AIR LAUT (UK BAL) SUNDAK,
BALAI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERIKANAN
BUDIDAYA (BPTPB) KABUPATEN GUNUNKIDUL
YOGJAKARTA

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANG

ULFAH KHOIRUNNISA
NPM 230110160084

PROGRAM STUDI PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN

2018
PENGAMATAN DAN PENGENDALIAN EKTOPARASIT
PADA BENIH BANDENG (Chanos chanos)
DI UNIT KERJA BUDIDAYA AIR LAUT (UK BAL) SUNDAK
BALAI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERIKANAN
BUDIDAYA (BPTPB) KABUPATEN GUNUNGKIDUL
YOGYAKARTA

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANG

Diajukan untuk menempuh Ujian Praktik Kerja Lapang

ULFAH KHOIRUNNISA
NPM 230110160084

PROGRAM STUDI PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN

2018
JUDUL : PENGAMATAN DAN PENGENDALIAN EKTOPARASIT
PADA BENIH BANDENG (Chanos chanos) DI UNIT
KERJA BUDIDAYA AIR LAUT (UK BAL) SUNDAK,
BALAI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERIKANAN
BUDIDAYA (BPTPB) KABUPATEN GUNUNNG KIDUL,
YOGYKARTA.

PENULIS : ULFAH KHOIRUNNISA

NPM : 230110160084

Jatinangor, Desember 2018

Menyetujui
Dosen Pembimbing

Dr.Ir.Rita Rostika,MP.
NIP. 19650115 198902 2 001
ABSTRAK

Ulfah Khoirunnisa (Dibimbing oleh : Rita Rostika, 2018). Pengamatan Dan


Pengendalian Ektoparasit Pada Benih Bandeng (Chanos Chanos) di Unit
Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL) Sundak Balai Pengembangan Teknologi
Perikanan Budidaya (BPTPB) Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Praktik kerja lapangan ( PKL ) dilaksanakan Di Unit Kerja Budidaya Air Laut
sundak, Yogyakarta mulai tanggal 9 Juli 2017 hingga 9 Agustus 2017. Praktik
Kerja Lapang ( PKL ) bertujuan untuk memahami pengamatan dan pengendalian
ektoparasit pada benih bandeng (Chanos chanos) di Unit Kerja Budidaya Air Laut
(UK BAL) Sundak, Balai Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya
(BPTPB) ) Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode simple random sampling yaitu setiap anggota populasi
memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Benih bandeng hidup
sebanyak 15 ekor, benih bandeng sakit sebanyak 15 ekor dan benih bandeng mati
sebanyak 15 ekor dengan tiga kali pengambilan setiap kondisinya. Data dianalisis
secara deskriptif. Dari hasil penelitian ditemukan empat jenis ektoparasit pada
ikan bandeng hidup yaitu Apiosoma sp. (13,34 %), Cryptocaryon irritans (6,67
%), Epistylis sp. (6,67 %), dan Trichodina sp. (6,67 %), pada ikan bandeng sakit
ditemukan lima jenis ektoparasit yaitu Apiosoma sp. (26,67 %), Cryptocaryon
irritans (13,34 %), Epistylis sp. (6,67 %), Uronema sp. (13,34 %) dan
Trichodina sp. (20 %). Sedangkan pada ikan bandeng mati ditemukan tiga jenis
ektoparasit yaitu Apiosoma sp. (40 %), Uronema sp. (13,34 %) dan Trichodina
sp. (13,34 %). Intensitas dan prevalensi tertinggi terdapat pada ikan bandeng
dengan kondisi hidup yaitu sebesar 13 individu/ekor ikan dan 13,34 %. Intensitas
dan prevalensi ektoparasit tertinggi ditemukan pada ikan bandeng sakitar yaitu
sebesar 17,34 individu/ekor ikan dengan prevalensi 26,67 %. Intensitas dan
prevalensi tertinggi terdapat pada ikan bandeng dengan kondisi mati yaitu sebesar
121,167 individu/ekor ikan dan 40 %. Semakin besar ukuran ikan, intensitas dan
prevalensi ektoparasit yang menyerang ikan bandeng cenderung meningkat.

Kata Kunci: Ektoparasit, ikan bandeng, intensitas, prevalensi, Unit Kerja


Budidaya Air Laut Sundak
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahman dan
karunia - Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Praktik Kerja Lapang yang
berjudul Pengamatan Dan Pengendalian Ektoparasit Pada Benih Bandeng
(Chanos chanos) Di Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL) Balai
Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB) Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta. Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat menyelesaikan mata kuliah Praktik Kerja Lapang pada Program Studi
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.
Laporan ini disusun berdasarkan kegiatan Praktik Kerja Lapang yang
dilaksanakan dari tanggal 9 Juli 2016 sampai dengan 9 Agustus 2018 yang
bertempat di Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL) Sundak, Balai
Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB) Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta. Dalam penyusunan laporan Praktik Kerja Lapangan
ini, tentunya penulis mengalami hambatan. Namun berkat pertolongan dan ridho-
Nya serta bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan ini.
Terlepas dari itu semua, penulis banyak mendapat bantuan dan petunjuk dari
beberapa pihak. Oleh karena itu penulis dalam kesempatan ini ingin mengucpakan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan laporan ini kepada:
1. Dr.Ir. Rita Rostika,MP. selaku dosen wali yang telah memberikan motivasi,
saran, nasihat, arahan, dan bimbingan atas penyusunan laporan.
2. Dr. sc. Agr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.
3. DR. Asep Agus Handaka, S.Pi, MT.selaku Ketua Program Studi Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.
4. Bapak Suripto selaku Koordinator Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak
yang telah memberikan izin untuk melaksanakan PKL.

iii
5. Arga Kurniawan., S.Pi selaku Pembimbing lapanga yang telah banyak
memberikan bimbingan selama praktik kerja lapang berlangsung.
6. Seluruh staf karyawan, staf ashli Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak yang
telah mendukung kegiatan PKL di lapangan.
7. Ujang Asep Suryana dan Dedeh Hasanah selaku orang tua tersayang yang
selalu mendoakan, memotivasi, membimbing, dan mendukung selama
melaksanakan PKL ini.
8. Ilmi Amalia Fitriani dan Muhammad Irfan Saiful Mu’min selaku kakak dan
adik yang senantiasa mendoakan dan meberi semangat.
9. Adit, Arie ,Dela, Diki, Iqbal, Naufal, Omar, dan Yuandini selaku team selama
pelaksanaan Praktik Kerja Lapang di Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak
yang selama ini memberi dukungan dan semangat.
Penulis sudah menyusun laporan Praktik Kerja Lapang dengan sebaik-
baiknya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari seluruh pihak
sangat diharapkan untuk penyusunan laporan selanjutnya. Akhir kata, semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jatinangor, Desember 2018

Ulfah Khoirunnisa

iv
DAFTAR ISI

BAB Hal
DAFTAR TABEL ................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... ix
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Tujuan ............................................................................................. 3
1.3 Ruang Lingkup ................................................................................ 3
1.4 Tempat dan Waktu kegiatan ........................................................... 3

II PROFIL INSTANSI
2.1 Sejarah Unit Kerja Budidaya Air Laut (UKBAL) Sundak ............ 4
2.2 Keadaan Alam dan Letak Geografis Unit Kerja Budidaya Air
Laut (UK BAL ) Sundak .............................................................. 4
2.3 Struktur Organisasi ........................................................................ 5
2.4 Visi dan Misi .................................................................................. 5
2.4.1 Visi ................................................................................................. 5
2.4.2 Misi ................................................................................................ 6
2.5 Tugas Pokok dan Fungsi UK BAL Sundak ................................... 6
2.6 Sumberdaya Manusia ..................................................................... 6
2.7 Sarana dan Prasarana ...................................................................... 7
2.7.1 Produksi .......................................................................................... 7
2.7.2 Kantor dan Bangunan...................................................................... 7
2.8 Data Pembimbing Lapangan ........................................................... 8

III METODE PELAKSANAAN


3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... 9
3.2 Metode ............................................................................................ 9
3.3 Analisis Data ................................................................................... 10
3.3.1 Data Primer .................................................................................... 10
3.3.2 Data Sekunder ................................................................................ 12
3.4 Alat dan Bahan ................................................................................ 13
3.4.1 Alat ................................................................................................. 13
3.4.2 Bahan ............................................................................................. 14
3.5 Prosedur Kerja................................................................................. 14

IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Ikan Bandeng (Chanos chanos) ..................................................... 15
4.1.1 Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos) .................................... 15
4.1.2 Morfologi Ikan Bandeng (Chanos chanos)..................................... 15
4.1.3 Habita Ikan Bandeng (Chanos chanos) .......................................... 16

v
4.2 Hasil ................................................................................................ 17
4.2.1 Pengamatan Gejala Ikan Terserang Ektoparasit ............................. 17
4.2.2 Pengambilan Sample Ikan Terserang Ektoparasit .......................... 18
4.2.3 Pengamatan Ektoparasit .................................................................. 18
4.2.4 Identifikasi Jenis Ektoparasit .......................................................... 19
4.2.5 Analisi Data .................................................................................... 27
4.2.6 Gejala dan Penanggulangan Ektoparasit ......................................... 28
4.3 Pembahasan ..................................................................................... 30

V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 38
5.2 Saran ............................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 40
KESAN DAN PESAN ............................................................................. 42
LAMPIRAN ............................................................................................. 44

vi
DAFTAR TABEL

No Judul Hal
1. Tenaga Kerja / Pegawai di Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak ........ 6
2. Sarana Produksi Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak ........................ 7
3. Sarana Kantor dan Bangunan Lain Unit Kerja Budidaya Air Laut
Sundak ................................................................................................... 7
4. Katagori Prevalensi Infestasi Ektoparasit ............................................... 12
5. Katagori Intensitas Infestasi Ektoparasit ................................................. 12
6. Alat yang Digunakan dalam Pengamatan ............................................... 13
7. Bahan yang Digunakan dalam Pengamatan Ektoparasit ......................... 14
8. Hasil Pengamatan Ektoparasit Di Ikan Bandeng Berdasarkan
Ukuran ................................................................................................... 24
9. Jumlah Ektoparasit Pada Ikan Bandeng Hidup ....................................... 25
10. Jumlah Ektoparasit Pada Ikan Bandeng Sakit 25
11. Jumlah Ektoparasit Pada Ikan Bandeng Mati ......................................... 26
12. Prevalensi Dan Intensitas Ektoparsit Pada Ikan Bandeng Hidup ........... 27
13. Prevalensi Dan Intensitas Ektoparsit Pada Ikan Bandeng Sakit ............. 28
14. Prevalensi Dan Intensitas Ektoparsit Pada Ikan Bandeng Mati .............. 28
15. Gejala dan Penanggulangan Ektoparsit Pada Benih Bandeng ................ 29

vii
DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal
1. Lokasi Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak ........................................ 5
2. Peta Lokasi Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak ................................ 9
3. Prosedur Kerja ......................................................................................... 14
4. Ikan Bandeng (Chanos chanos) .............................................................. 15
5. Pegamatan Gejala .................................................................................... 17
6. Pengambilan Sampel ............................................................................... 18
7. Pengamatan Ektoparasit .......................................................................... 19
8. Identifikasi Jenis ekotoparasit 19
9. Trichodina sp. ......................................................................................... 20
10. Epistylis sp. ............................................................................................ 21
11. Uronema sp. ........................................................................................... 22
12. Apiosoma sp. .......................................................................................... 22
13. Cryptocaryon irritans sp. ....................................................................... 23

viii
DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal
1. Lokasi Balai ............................................................................................. 44
2. Alat dan Bahan ......................................................................................... 44
3. Dokumentasi kegiatan .............................................................................. 48

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan bandeng memiliki keunggulan yaitu mudah beradaptasi dan
mempunyai toleransi tinggi terhadap kadar garam 0–158 ppt (Lin dkk. 2001
dalam Fidyandii dkk. 2012) sehingga ikan bandeng dapat dibudidayakan di
perairan tawar, payau dan laut (Lin dkk. 2003 dalam Fidyandii 2012).
Budidaya ikan bandeng yang sudah dilakukan adalah budidaya di karamba
jaring apung laut dan di tambak. Seiring berkembangnya usaha budidaya ikan di
karamba jaring apung laut maupun di tambak terdapat pula beberapa masalah
yang sering mengganggu sehingga menghambat perkembangan usaha tersebut,
salah satunya adalah timbulnya penyakit yang disebabkan oleh parasit ikan
(Bunga 2008).
Dalam budidaya perikanan kewaspadaan terhadap penyakit perlu sekali
mendapat perhatian utama. Penyakit pada ikan dapat disebabkan oleh agen infeksi
seperti parasit, bakteri, dan virus, serta agen non infeksi seperti kualitas pakan
yang buruk, maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang bagi kehidupan
ikan (Afrianto dan Liviawaty 1992 dalam Kumalasari 2016).
Menurut laporan yang ada, serangan parasit pada ikan telah menyebabkan
kerugian mencapai 3 Milyar USD per tahun (Subasinghe dkk. 2001 dalam
Maulana 2017) sehingga menyebabkan jumlah produksi perikanan global (Hill
2005 dalam Maulana 2017). Berdasarkan hal tersebut tersebut sangat dibutuhkan
sebuah kegiatan pencegahan dini melalui pengelolaan kesehatan ikan. Salah satu
upaya awal yang perlu dilakukan adalah identifikasi parasit sehingga dapat
diambil langkah-langkah pencegahan yang efektif dan dapat mengurangi resiko
serangan dan kerugian (Adams dan Thompson 2006 dalam Maulana 2017).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme
lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk
berkembang biak (Subekti dan Mahasri 2010). Parasit dapat merugikan inangnya
karena mengambil makanan pada tubuh inangnya. Parasit mengambil makanan

1
2

dari lendir, darah, dan jaringan inang untuk keperluan metabolismenya (Grabda
1991 dalam Kurniawan 2015).
Berdasarkan letak organ yang terinfeksi oleh parasit (Kabupatenata 1985
dalam Idrus 2014) mengelompokkan parasit menjadi dua kelompok yang berbeda
yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang terdapat pada
bagian luar tubuh ikan atau di bagian yang masih mendapat udara dari luar.
Ektoparasit menyerang kulit, sirip, dan insang ikan, sedangkan endoparasit adalah
parasit yang hidupnya didalam tubuh inang, misalnya didalam alat pencernaan,
peredaran darah, atau organ dalam lainnya (Trimariani 1994 dalam Riko 2012).
Infeksi ektoparasit dapat menjadi salah satu faktor predisposisi bagi infeksi
organisme patogen yang lebih berbahaya. Kerugian non lethal lain dapat berupa
kerusakan organ luar (Handayani dkk. 2004 dalam Pramono dan Syakuri 2008)
pertumbuhan lambat, penurunan nilai jual, dan peningkatan sensitivitas terhadap
stressor. Tingkat infeksi ektoparasit yang tinggi dapat mengakibatkan kematian
akut, yaitu mortalitas tanpa menunjukkan gejala terlebih dahulu (Sommerville
1998 dalam Pramono dan Syakuri 2008). Parasit yang menyerang ikan bandeng
kebanyakan termasuk dalam golongan protozoa, nematoda, capepoda, dan
acanthocephala (FAO 2012).
Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL) Sundak memiliki sarana
prasarana yang cukup memadai untuk kegiatan budidaya air laut, khususnya
adalah untuk pembenihan ikan bandeng. Sehingga perlu adanya pengetahuan
jenis-jenis penyakit pada ikan bandeng. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis
termotivasi untuk melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapang yang berjudul
“Pengamatan dan Pengendalian Ektoparasit pada Ikan Bandeng (Chanos chanos)
di Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL) Sundak, Balai Pengembangan
Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB) Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta”
3

1.2 Tujuan
Adapun tujuan Praktik Kerja Lapang (PKL) adalah :
1. Mendapat tambahan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
kerja dari suatu objek kegiatan di bidang perikanan yang sesuai dengan
program studi, khususnya budidaya perairan di luar kegiatan perkuliahan
2. Mengetahui jenis-jenis ektoparasit pada ikan bandeng (Chanos chanos) di
Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL) sundak, Balai Pengembangan
Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB) Kabupaten Gunungkidul,
Yogyakarta .
3. Mengetahui tingkat prevalensi dan intensitas ektoparasit pada ikan
bandeng (Chanos chanos) di Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL)
Balai Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB) Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta.
4. Mengetahui gejala klinis ikan yang terinfeksi dan cara pengendalian
ektoparasit pada ikan bandeng di Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK
BAL) Balai Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB)
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

1.3 Ruang Lingkup


Ruang lingkup kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) yaitu bidang
akuakultur yang meliputi pengambilan sampel ikan dan ektoparasit, pengamatan,
identifikasi ektoparasit, perhitungan jumlah ektoparasit, analisis data prevalensi
dan intensitas, dan penulisan laporan.

1.4 Tempat dan Waktu Kegiatan


Praktik Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan di Unit Kerja Budidaya Air
Laut (UK BAL ) Sundak berlokasi di Desa Tepus, Kecamatan Tepus,
Kabupatenupaten GunungKidul, Provinsi DI. Yogyakarta, yang bisa ditempuh
melalui jalur darat, laut, ataupun udara dengan waktu tempuh yang berbeda-beda.
Waktu pelaksanaan PKL ini dimulai dari tanggal 9 Juli hingga 9 Agustus 2018.
BAB II
PROFIL INSTANSI

2.1 Sejarah Unit Kerja Budidaya Air Laut (UKBAL) Sundak


Secara Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak ini mulai dibangun tahun
1996/1997 melalui anggaran proyek APBN Departemen Pertanian Direktorat
Jenderal Perikanan Tahun Anggaran 1996/1997 oleh Dinas Perikanan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak dibangun
guna mendorong perkembangan perikanan budidaya air laut di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang memiliki potensi lahan cukup luas dan belum banyak
termanfaatkan. Dengan dibangunnya Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak,
Diharapkan mampu melayani penyediaan benih dan informasi teknologi budidaya
air laut sehingga pemanfaatan potensi dan pengolahan sumber daya ikan di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semakin meningkat dan berkembang. Unit
Kerja Budidaya Air Laut Sundak fokus pada produksi benih dan budidaya ikan
bandeng.

2.2 Keadaan Alam dan Letak Geografis Unit Kerja Budidaya Air Laut
(UK BAL) Sundak
Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak berada di pantai Trenggole dengan
ketinggian 5 mdpl dan termasuk dalam wilayah Desa Tepus, Kecamatan Tepus,
Kabupatenupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, peta
lokasi Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak dapat dilihat pada gambar 1. Luas
lahan mencapai 23.009 m2 dengan peruntukan terdiri dari bangunan umum,
bangunan perikanan dan sisanya berupa lahan kosong. Luas balai sekitar dari satu
per tiga dari luas daerah induknya, kabupatenupaten ini relatif mempunyai
kepadatan penduduk yang rendah jika dibandingkan dengan kabupatenupaten –
kabupatenupaten lain.

4
5

Gambar 1. Lokasi Unit Kerja Budidaya Air Laut (UK BAL ) Sundak
(Sumber: Google Earth)

Letak geografis Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak berada pada
koordinat 8°8'49"S dan 110°36'28"E. Unit Kerja Budidaya Air Laut ini
berbatasan dengan Kabupatenupaten Klaten dan Kabupatenupaten Sukoharjo di
bagian Utara, Kabupatenupaten Wonogiri di bagian Timur, Samudera Hindia di
bagian Selatan, serta Kabupatenupaten Bantul dan Kabupatenupaten Sleman di
bagian Barat. Sundak, Tepus, Gunung Kidul memerlukan 2 jam perjalanan dari
Kota Yogyakarta. Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak dan sekitarnya
merupakan daerah yang memiliki iklim tropis dengan musim hujan terjadi sekitar
bulan November – Maret, musim pancaroba terjadi sekitar bulan April – Juni, dan
musim kemarau terjadi sekitar bulan Juli – Oktober.

2.3 Struktur Organisasi


Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak saat ini didukung oleh 7 orang
pegawai yang diantaranya Kepala Balai, staf pengembangan teknologi UK BAL,
staf kultur fitoplankton, staf kultur zooplankton, staf hatchery dan pengelolaan
induk, staf pembesaran, serta staf pembantu umum.

2.4 Visi dan Misi


2.4.1 Visi
Mewujudkan kelautan dan perikanan yang berdaya saing, berkelanjutan,
berbudaya menuju masyarakat mandiri dan sejahtera.
6

2.4.2 Misi
1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.
2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan.
3. Meningkatkan dan memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan
sumberdaya kelautan dan perikanan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak
Tugas pokok dari UK BAL Sundak adalah sebagai berikut :
1. Melaksanakan rekayasa teknologi dan percontohan budidaya air laut.
2. Melaksanakan pelayanan teknis dan jasa.
3. Mengembangkan teknologi budidaya air laut.
4. Memanfaatkan sarana dan prasarana budidaya air laut.
5. Mengendalikan mutu benih ikan laut.
6. Memproduksi benih, induk / calon induk ikan laut bermutu.
7. Menyusun laporan bulanan, triwulan, dan tahunan.

2.6 Sumberdaya Manusia


Tenaga kerja / karyawan di UK BAL Sundak sebanyak 7 orang yang
meliputi 3 PNS dan 4 non PNS dengan tugas yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tenaga Kerja / Pegawai di Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak
No. Jabatan Jumlah Pendidikan Keterangan
1 Pimpinan 1 orang SMA PNS
Pengembangan Teknologi Nener
2 1 orang S1 Perikanan Non PNS
Bandeng
Pengembangan Teknologi Induk
3 1 orang S1 Perikanan Non PNS
Bandeng
Pengelola Pendederan dan
4 1 orang SMP PNS
Pembesaran
Pengelola Hatchery dan Pengolahan
5 1 orang SD PNS
Induk
6 Pengelola Kolam 1 orang SMP Non PNS
7 Penjaga Malam 1 orang SMA Non PNS
(Sumber: Laporan Akhir Tahun Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak)
7

2.7 Sarana dan Prasarana


2.7.1 Produksi
Operasional kegiatan Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak telah memiliki
beberapa sarana produksi yang tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Sarana Produksi Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak
No. Nama Barang Jumlah Keterangan
1 Diesel genset 4 buah 3 baik
2 Diesel pompa air 4 unit 1 rusak
3 Pompa air tawar 2 unit 3 baik
4 Blower 12 buah Baik
5 Tabung oksigen 2 unit 1 rusak
6 Lemari es 1 buah Baik
7 Serok 3 buah Baik
8 Meja dan kursi kantor 1 stel Baik
9 Bak fiber glass ton 10 buah Baik
10 Bak fiber glass besar 6 buah Baik
11 Ember transp.aran 4 buah Baik
12 Plankton net 2 unit Baik
13 Filter bag 5 buah 4 baik
14 Mikroskop 1 unit Baik
(Sumber: Laporan Akhir Tahun Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak)
2.7.1 Kantor dan Bangunan
Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak memiliki sarana kantor dan
bangunan yang masih difungsikan hingga saat ini yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sarana Kantor dan Bangunan Lain Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak
Volume
No. Jenis Kondisi
(Unit)
1 Rumah Jaga T.36 2 Baik
2 Rumah Jaga T.72 1 Baik
3 Rumah Pimpinan T.60 1 Baik
4 Kantor T.50 1 Baik
5 Rumah Genset T.21 1 Baik
6 Bak Bulat O 10 m 4 Baik
7 Kolam Pembesaran 750 m2 2 Baik
8 Kolam Pendederan 100 m2 3 Baik
9 Bak Fitoplankton 6 Baik
10 Bak Zooplankton 4 Baik
11 Hatchery dan Bak Larva 1 Baik
12 Bak Larva Luar 40 m2 1 Baik
13 Laboratorium T100 1 Baik
14 Laboratorium T45 1 Baik
15 Bak Reservoir 40 m2 1 Baik
16 Bak Kolektor 1 Baik
17 Sumur Air Laut 1 Baik
18 Sumur Air Tawar 2 Baik
8

(Sumber: Laporan Akhir Tahun Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak)
2.8 Data Pembimbing Lapangan
Nama Lengkap dan Gelar :Arga Kurniawan, S.Pi
NIP :-
Pangkat/Golongan :-
Instansi :Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak,
GunungKidul
Alamat :Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Kabupaten
GunungKidul, Provinsi DI. Yogyakarta
No.Telp/Fax/Email :081903729192
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Waktu dan Tempat


Praktik kerja Lapangan ini dilaksanakan di Unit Kerja Budidaya Air Laut
(UK BAL) Sundak Balai Pengembangan Teknologi Perikanan Budidaya (BPTPB)
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Kegiatan Praktik kerja lapangan dimulai
pada tanggal 9 Juli sampai dengan 9 Agustus 2018.

Gambar 2. Lokasi Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak


(Sumber: Laporan Akhir Tahun Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak)

3.2 Metode Kerja


Metode yang digunakan dalam Praktik Kerja Lapang (PKL) ini adalah
metode simple random sampling yaitu setiap anggota populasi memiliki
kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Di sini maksudnya adalah tidak
semua unit analisis dalam populasi diamati satu per satu, akan tetapi hanya
sebagian saja, yang diwakili oleh sampel. Proses pengambilan sampel dikenal
dengan teknik sampling. Ukuran sampel bisa beragam karena bergantung kepada
berbagai faktor dan pertimbangan, baik teknik maupun statistik.
Sampel dilakukan secara acak pada kolam pendederan ikan bandeng Unit
Kerja Budidaya Air Laut Sundak berdasarkan kondisi ikan yaitu benih bandeng
hidup, benih bandeng sakit dan benih bandeng mati. Total sampel ikan benih

9
10

bandeng yang terkumpul sebanyak 45 ekor dengan masing-masing kondisi 15


ekor. Ikan yang sudah ditangkap dimasukkan kedalam ember dan dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan ektoparasit. Pemeriksaan parasit
dilakukan secara mikrokopis dengan menggunakan metode preparat ulas (smear
method).

3.3 Analisis Data


Analisis data identifikasi, prevalensi, dan intensitas ektoparasit ikan
bandeng. Data hasil pengamatan disajikan secara deskriptif yaitu dalam bentuk
tabel dan gambar yang berfungsi untuk mendeskripsikan dan menggambarkan
suatu keadaan, mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana
variabel yang diteliti (menjelaskan dan menerangkan peristiwa) serta penyajian
fakta secara sistemik agar mudah untuk disimpulkan (Nawawi 1993 dalam Idrus
2014).

3.3.1 Data Primer


Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, seperti
hasil wawancara atau hasil pengisian kuisioner yang dilakukan oleh peneliti
(Siagian dan Sugiarto 2002 dalam Kumalasari 2016). Pengambilan data primer
dilakukan dengan cara pencatatan hasil observasi, partisipasi aktif dan wawancara.

A, Observasi
Observasi atau pengamatan secara langsung adalah pengambilan data
dengan menggunakan indera mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk
keperluan tersebut (Nazir 1988 dalam Kumalasari 2016). Observasi dalam Praktik
Kerja Lapang ini dilakukan terhadap berbagai hal yang terkait dengan
pemeriksaan ektoparasit pada benih bandeng (Chanos chanos).

B. Wawancara
Wawancara merupakan cara mengumpulkan data dengan cara tanya
jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan.
Dalam wawancara memerlukan komunikasi yang baik dan lancar antara penanya
11

dengan subjek sehingga pada akhirnya bisa didapatkan data yang dapat
dipertanggung jawabkan secara keseluruhan (Nazir 2011).
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dalam metode survei
yang menggunakan pertanyaan secara lisan kepada subjek. Teknik wawancara
dilakukan jika pewawancara memerlukan komunikasi atau hubungan dengan
responden. Teknik wawancara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui
tatap muka atau melalui telepon (Sangadji dan Sopiah 2010).

Wawancara dalam Praktik Kerja Lapang ini dilakukan dengan cara tanya
jawab dengan petugas mengenai latar belakang berdirinya Unit Kerja Budidaya
Air Laut Sundak, struktur organisasi, kegiatan dan objek yang bersangkutan
selama proses pengendalian penyakit ikan lele masamo.

C. Partisipasi aktif
Partisipasi aktif dilakukan dengan mengikuti secara langsung beberapa
kegiatan yang dilakukan di lapangan. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan
adalah pemeriksaan ektoparasit pada benih bandeng (Chanos chanos). Kegiatan
tersebut diikuti secara langsung oleh mahasiswa Praktik Kerja Lapang, beberapa
kegiatan yang dilakukan di lapangan berhubungan dengan pemeriksaan
ektoparasit pada benih bandeng (Chanos chanos).
Data yang diperoleh selama praktik kerja lapangan dianalisis secara
deskriptif dan ditabulasikan ke tabel untuk memberikan gambaran tentang
pengamatan ektoparsit ikan bandeng kemudian dicari penanggulangannya sesuai
dengan kenyataan di lapang yang mengacu pada literatur-literatur yang ada.

D. Parameter
Parameter utama yang diamati adalah jumlah prevalensi dan intensitas
parasit yang ditemukan pada benih bandeng (Chanos chanos). Identifikasi parasit
menggunakan kunci identifikasi. Perhitungan prevalensi dan intensitas
menggunakan rumus dan kategorinya menggunakan metode dari Williams and
Williams 1996 dalam Idrus 2014.
12

Prevalensi adalah persentase ikan yang terinfeksi parasit dibandingkan


dengan seluruh ikan sampel yang diperiksa, sedangkan intensitas merupakan
jumlah rata-rata parasit per ikan yang terinfeksi.

Prevalensi = Jumlah Sampel yang Terinfeksi Parasit X 100 %


Jumlah Keseluruhan Sampel yang di Periksa
Intensitas = Jumlah Total Parasit yang Menginfeksi
Jumlah Sampel yang Terinfeksi
Berikut ini Merupakan Tabel Kategori Prevalensi dan Intensitas:

Tabel 4. Kategori Prevalensi Infeksi Ektoparasit


NO. NILAI (%) KATEGORI
1. 100-99 Selalu
2. 98-90 hampir selalu
3. 89-70 Biasanya
4. 69-50 Sangat Sering
5. 49-30 Umumnya
6. 29-10 Sering
7. 9-1 kadang-kadang
8. < 1-0,1 Jarang
9. < 0,1-0,01 sangat jarang
10. < 0,01 hampir tidak pernah
Sumber: (Williams and Williams 1996 dalam Idrus 2014)

Tabel 5. Kategori Intensitas Infeksi Ektoparasit


1. <1 Sangat ringan
2. 1-5 Ringan
3. 6-50 kadang-kadang
4. 51-100 Berat
5. 100 + Sangat Berat
6. 1000 + Sangat Hebat
Sumber: (Williams and Williams 1996 dalam Idrus 2014)

3.3.2 Data Sekunder


Data sekunder dapat berupa data internal dan data eksternal. Data internal
adalah data yang berisi dokumen-dokumen akuntansi dan operasi yang
13

dikumpulkan, dicatat, dan disimpan dalam suatu organisasi. Sementara data


eksternal adalah data yang umumnya disusun oleh suatu identitas selain subjek
dari organisasi yang bersangkutan (Sangadji dan Sopiah 2010).
Data sekunder digunakan peneliti untuk memberikan gambaran tambahan
atau untuk proses lebih lanjut. Data ini dapat diperoleh dari laporan-laporan,
pustaka yang menunjang, data dokumentasi, data lembaga penelitian dan data dari
Dinas Perikanan yang berhubungan dengan pemeriksaan ektoparasit pada ikan
bandeng bandeng.

3.4 Alat dan Bahana


Alat dan bahan yang digunakan untuk Identifikasi ektoparasit adalah
sebagai berikut:

3.4.1 Alat

Berikut adalah daftar alat yang digunakan untuk identifikasi ektoparasit


yang dapat dilihat pada (Tabel 6)

Tabel 6. Alat yang Digunakan dalam Pengamatan Ektoparasit


No Nama Alat Fungsi
1 Mikroskop cahaya Berfungsi untuk mengamati parasit yang terdapat pada
organ-organ ikan
2 Kaca preparat Berfungsi untuk tempat untuk meletakkan preparat yang
akan diamati di bawah mikroskop
3 Gunting bedah Berfungsi untuk memotong bagian organ ikan yang akan
diamati
4 Pinset Berfungsi untuk menjepit dan mengambil bagian organ ikan
yang akan diamati
5 Scapel Berfungsi untuk mengerok lendir yang akan diidentifikasi
6 Pipet tetes Berfungsi untuk mengambil akuades saat pengamatan di
bawah mikroskop
7 Beaker glass Berfungsi untuk menyimpan air tawar
8 Alat tulis Berfungsi untuk mencatat hasil identifikasi
9 Millimeter blok/ penggaris Berfungsi untuk alat mengukur panjang sampel
10 Tisu Berfungsi untuk untuk mengeringkan alat-alat sebelum
maupun sesedah pengamatan.
11 Ember Berfungsi untuk meletakkan ikan yang sudah siap untuk
diidentifikasi
12 Scopnet Berfungsi untuk mengambil ikan dari kolam
13 Hand counter Berfungsi untuk menghitung jumlah parasit
14

3.4.2 Bahan

Berikut adalah daftar bahan yang digunakan untuk identifikasi pengamatan


yang dapat dilihat pada (Tabel 7)

Tabel 7. Bahan yang Digunakan dalam Pengamatan Ektoparasit


No Nama Bahan Fungsi
1 Ikan bandeng Berfungsi sebagai sampel untuk identifikasi parasit
hidup
2 Ikanbandeng sakit Berfungsi sebagai sampel untuk identifikasi parasit
3 Ikan bandeng mati Berfungsi sebagai sampel untuk identifikasi parasit
4 Akuades Berfungsi untuk membasahi preparat pada saat
mengamati parasit pada organ ikan agar preparat tidak
terlalu kering

3.5 Prosedur Kerja


Gambar 3. Prosedur Kerja

Ikan yang menujukan gejala terinfeksi ektoparasit diamati di dalam kolam

Ikan terinfeksi ektoparasit diambil sebagai sampel

Sampel ikan yang terinfeksi ektoparasit diamati

Jenis ektoparasit yang terdapat pada sampel ikan diidentifikasi

Analisis data dilakukan


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ikan Bandeng


Ikan bandeng yang dalam bahasa latin adalah Chanos chanos, bahasa
Inggris Milkfish, dan dalam bahasa Bugis Makassar Bale Bolu, pertama kali
ditemukan oleh seseorang yang bernama Dane Forsskal pada Tahun 1925 di Laut
Merah.

Gambar 4. Ikan Bandeng (Chanos chanos)

4.1.1 Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos)


Menurut Sudrajat (2008) taksonomi dan klasifikasi ikan bandeng adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Subkelas : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Sp.esies : Chanos chanos

4.1.2 Morfologi Ikan Bandeng (Chanos chanos)


Ikan bandeng memiliki tubuh yang panjang, ramping, padat, pipih, dan
oval, menyerupai torpedo. Perbandingan tinggi dengan panjang total sekitar 1 :
(4,0-5,2). Sementara itu, perbandingan panjang kepala dengan panjang total

15
16

adalah 1 : (5,2-5,5) (Sudrajat 2008). Ukuran kepala seimbang dengan ukuran


tubuhnya, berbentuk lonjong dan tidak bersisik. Bagian depan kepala (mendekati
mulut) semakin runcing (Purnomowati dkk. 2007 dalam Haryati 2011).
Sirip dada ikan bandeng terbentuk dari lapisan semacam lilin, berbentuk
segitiga terletak di belakang insang di samping perut. Sirip punggung pada ikan
bandeng terbentuk dari kulit yang berlapis dan licin, terletak jauh di belakang
tutup insang dan berbentuk segiempat. Sirip punggung tersusun dari tulang
sebanyak 14 batang. Sirip ini terletak persis pada puncak punggung dan berfungsi
untuk mengendalikan diri ketika berenang. Sirip perut terletak pada bagian bawah
tubuh dan sirip anus terletak di bagian depan anus. Di bagian paling belakang
tubuh ikan bandeng terdapat sirip ekor berukuran paling besar dibandingkan
sirip-sirip lain. Pada bagian ujungnya berbentuk runcing, semakin ke pangkal
ekor semakin lebar dan membentuk sebuah gunting terbuka. Sirip ekor ini
berfungsi sebagai kemudi laju tubuhnya ketika bergerak (Purnomowati dkk. 2007
dalam Haryati 2011).

4.1.3 Habitat Ikan Bandeng (Chanos chanos)


Ikan bandeng termasuk jenis ikan eurihalin, sehingga ikan bandeng dapat
dijumpai di daerah air tawar, air payau, dan air laut. Selama masa
perkembangannya, ikan bandeng menyukai hidup di air payau atau daerah muara
sungai. Ketika mencapai usia dewasa, ikan bandeng akan kembali ke laut untuk
berkembangbiak (Purnomowati dkk. 2007 dalam Haryati 2011). Pertumbuhan
ikan bandeng relatif cepat, yaitu 1,1-1,7 % bobot badan/hari (Sudrajat 2008), dan
bisa mencapai berat rata-rata 0,60 kg pada usia 5-6 bulan jika dipelihara dalam
tambak (Murtidjo 2002 dalam Haryati 2011).
Ikan bandeng mempunyai kebiasaan makan pada siang hari. Di habitat
aslinya ikan bandeng mempunyai kebiasaan mengambil makanan dari lapisan atas
dasar laut, berupa tumbuhan mikroskopis seperti: plankton, udang renik, jasad
renik, dan tanaman multiseluler lainnya. Makanan ikan bandeng disesuaikan
dengan ukuran mulutnya (Purnomowati dkk., 2007 dalam Haryati 2011). Pada
waktu larva, ikan bandeng tergolong karnivora, kemudian pada ukuran fry
17

menjadi omnivora. Pada ukuran juvenil termasuk ke dalam golongan herbivora,


dimana pada fase ini juga ikan bandeng sudah bisa makan pakan buatan berupa
pelet. Setelah dewasa, ikan bandeng kembali berubah menjadi omnivora lagi
karena mengkonsumsi, algae, zooplankton, bentos lunak, dan pakan buatan
berbentuk pelet (Aslamyah 2008).

4.2 Hasil
Hasil yang diperoleh dari kegitan praktik kerja lapangan pengamatan dan
pengendalian ektoparasit ikan benih bandeng di Unit Kerja Budidaya Air Laut
Sundak adalah sebagai berikut.

4.2.1 Pengamatan gejala


Pengamatan gejala dilakukan di kolam pendederan Unit Kerja Budidaya
Air Laut Sudak. Pengamatan gejala ikan bandeng yang terkena penyakit dapat
dilihat langsung oleh indra penglihatan yaitu dengan melihat tingkah laku atau
berenang ikan bandeng. Larva bandeng yang terkena ektoparasit mempunyai
gejala yaitu gerakan kurang aktif cenderung berputar putar, mendekati dan
menempel pada dinding kolam, dan lemas. Nener sampai gelondongan bandeng
yang terkena ektoparasit mempunyai gejala yaitu operkulum terus membuka,
gerakan tidak aktif, berada diatas dan mendekati pintu air, napsu maka menurun,
tubuh kurus dan lemas, terdapat spot putih ditubuh, serta sirip atau ekor rusak.

Gambar 5. Pengamatan Gejala


18

4.2.2 Pengambilan sampel ikan


Sampling merupakan kegiatan mengambil sampel dari suatu unit pupulasi
yang representatif. Sampling benih bandeng yang terserang ektoparasit dilakukan
selama 3 kali yaitu pada 12 Juli, 18 juli, dan 21 Juli 2018 di kolam pendederan
Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak. Teknik sampling dengan metode simple
random sampling yaitu setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama
untuk dijadikan sampel.
Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel ikan yang akan diamati
yaitu ember sebagai wadah untuk menyimpan sampel dan scoop net untuk
mengambil sampel dari kolam. Sampel benih bandeng yang terjangkit ektoparasit
yang diidentifikasi yaitu 15 ekor benih bandeng hidup, 15 ekor benih bandeng
sakit, dan 15 benih bandeng mati.

Gambar 6. Pengambilan sampel

4.2.3 Pengamatan ektoparasit


Pengamatan ektoparasit dilakukan di Laboratorium Pakan Alami Unit
Kerja Budidaya Air Laut Sundak. Pengambilan sampel ektoparasit dari kulit,
sirip yang terluka (eroded, frayed, lesion), dan insang benih bandeng.
Pengambilan sampel ektoparasit pada kulit dengan cara pengerokan (scraping)
mucosa kulit dari bagian pectoral ke arah ekornya mengunakan object glass, lalu
ditetesi aquades menggunakan pipet tetes dan ditutup menggunakan dengan cover
glass. Pengambilan sampel ektoparasit bagian sirip dorsalis, sirip caudalis, dan
insang dengan cara dipotong bagian tersebut menggunakan gunting preparat, lalu
ditetesi aquades, dan ditutup dengan cover glass.
19

Gambar 7. Pengamatan ektoparasit

4.2.4. Identifikasi jenis ektoparasit


Pemeriksaan ektoparasit benih bandeng menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 50 sampai 100 kali. Ektoparasit diidentifikasi jenisnya berdasarkan
morfologi dan anatominya. Jenis ektoparasit yang ditemukan selanjutnya dihitung
jumlahnya.

Gambar 8. Identifikasi jenis ektoparasit

Jenis ektoparasit yang ditemukan adalah sebagai berikut:


A. Trichodina sp.
Trichodina sp. merupakan protozoa berbentuk membundar bila dilihat dari
bawah dan berbentuk lonjong bila dilihat dari samping. Organel lokomotor terdiri
dari membranela posterior, terdapat girri dan velum yang berombak (Durborow
2003 dalam Kumalasari 2016). Tubuh Trichodina sp. berbentuk seperti piring
terbang. Bagian adoral atau anterior berbentuk cembung yang membentuk organ
pelekat yang kompleks yang disebut lempeng pelekat. Lempeng pelekat tersusun
20

atas tiga lingkaran yang konsentris yang berfungsi untuk mencengkeram inang
(Kabupatenata 1985 dalam Idrus 2014).
Trichodina sp. mudah diidentifikasi karena terdapat lingkaran bergerigi
dalam tubuhnya. Trichodina sp. bergerak secara tiba-tiba dan arahnya tidak
menentu (Klinger and Floyd 2013). Protozoa ini akan terlihat berbentuk lingkaran
transparan dengan menggunakan bantuan mikroskop dan sejumlah silia yang
menempel disekeliling lingkaran. Tubuh bagian bawah terdapat lingkaran pelekat
untuk melekatkan dirinya ke tubuh ikan atau benda lain (Durborow 2003 dalam
Kumalasari 2016).

Gambar 9. Trichodina sp.

B. Epistylis sp.
Epistylis sp. (sinonim Heteropolaria sp) berbentuk lonceng dengan tangkai
yang bercabang-cabang dan tidak berkontraksi. Parasit ini hidup berkoloni, sesil
dan melekat. Penyakit yang ditimbulkan disebut epistyliasis. Bagian anterior dari
Epistylis sp. terdapat silia yang terletak dibagian mulut (Hardi 2015).
Irvansyah dkk. (2012) mengemukakan bahwa Epistylis sp. memiliki
ukuran tubuh 45-49 μm dengan morfologi hidupnya soliter, berwarna keputih-
putihan, mempunyai makronukleus kecil, tidak berkontraktil, sel mampu
berkontaksi dan terdapat capsilia berpasangan. Zooid berbentuk memanjang yang
terdiri dari tangkai peristomial yang bersilia, vakuola makanan, mikronukleus dan
makronukleus. Protozoa kecil memiliki pegangan, terdapat 2-5 dalam koloni
(Saglam and Sarieyyupoglu 2002 dalam Idrus 2014).
21

Gambar 10. Epistylis sp.

C. Uronema sp.
Jenis dari Genus Uronema sp. yang dikenal dengan nama lain
Tetrahymena pyriformis di air tawar ini termasuk ke dalam Phylum Ciliophora
dan Ordo Scuticociliatida. Jenis ini berukuran 30-50 µm dan memulai siklus
hidupnya dari memakan sel darah dan cellular debris kadang ditemukan di ginjal
dan perut ikan. Faktor pendukung perkembangan protozoa ini adalah transportasi
selama 24-48 jam dalam air yang pH rendah, ammonia tinggi, dan bahan organik
DO rendah.( Hardi 2015).
Uronema sp. memiliki ukuran 90-100 x 25-35 µm tubuh memanjang,
berbentuk spindle dengan ujung anterior runcing, ujung posterior nyaris membulat
dan tertekan dengan jelas ditengan margin caudal dibagian bawah cilium caudal
bidang bucal sekitarr 40% dari panjang tubuh, bentuk bukan rongga sering
berubah dari falcarteshaped menjadi oval hingga melingkar. Pellicle sedikit
menjorok pada basis silia. Ekstrusi berbentuk spindle, sitoplasma tidak berwarna
sampa ke abu-abuan, vakuola kontraktil yang terletak di kaudal, kira kira 8 µm
selama diastole, berdenyut pada interval sekitar 30 detik. Silo somatic kira-kira 10
µm panjang, padat diatur, tunggal ciliym caudal kira-kira 30 µm panjang gerakan
dengan berenang saat berputar sumbu tubuh panjang tanpa jeda atau dengan
meluncur pada substrat (Nugroho 2015).
22

Gambar 11. Uronema sp.

D. Apiosoma sp.
Memiliki bentuk seperti lonceng dan tidak bertangkal ukuran 50 x 20µ.
Parasit ini memiliki satu baris silia pada peristoma. Parasit ini menyerang organ
bagian insang, kulit, dan sirip. Penyakit ini meyerang ketika kulit atau sirip ikan
telah terluka. Penyakit ini membentuk koloni yang tumbuh di seluruh sirip dan
kulit serta membentuk struktur seperti kapas yang terlihat seperti infeksi jamur.
(Nugroho 2015).
Keberadaan Apiosoma sp. dapat dijadikan indikator dari sanitasi dan
kualistas air yang buruk, kepadatan yang tinggi, kandungan amoniak yang tinggi
serta kandungan oksigen yang rendah (barbades 2008).

Gambar 12. Apiosoma sp.


23

E. Cryptocaryon irritans
Jenis dari Genus Cryptocaryon irritans ini termasuk dalam Phylum
Ciliophora, Class Oligohymenophora, Subclass Hymenostomata, Ordo
Hymenostomatida, Subordo Ophryoglenina, dan Family Ichthyophthiriidae.
Bentuk Theront yang menginfeksi berbentuk pipih ukuran 25-60µm panjangnya
memiliki 2 inti yaitu makro dan mikronuklei. Makronuklei trophont memilki 4
lobe yang masing-masing berukuran 10 µm panjang dan 8 µm lebar yang terdiri
dari 1 atau 2 nukleoli (Hardi 2015).
Cryptocaryon irritans berbentuk pyriform dengan panjang 25-60 µm,
memiliki makrobukleus dan beberapa mikronukleus. Tanda tanda klinis yang
disebabkan oleh Cryptocaryon irritans yaitu berbentuk cysta berwarna putih pada
permukaan tubuh dan terjadi mucus berlebihan pada ikan terinfeksi. Cryptocaryon
irritans dapat menyebabkan gangguan osmoregulasi dan kehilangan napsu makan
(Barbades 2008).
Parasit ini memiliki sifat obligat (parasit yang sangat ganas) dan memiliki
rentang kematian 100% dalam tempo beberapa hari.

Gambar 13. Cryptocaryon irritan.


24

Tabel 8. Hasil Pengamatan Ektoparasit Di Ikan Bandeng Berdasarkan Ukuran


Sampel Ukuran Organ yang Diteliti
Sirip Insang Kulit
Larva( < 14 mm) Epistylis sp. 0 0
(8 Individu)
Apiosoma sp.
( 6 Individu)
Nener (14mm-17mm) 0 0 0
Gelondongan I Cryptocaryon 0 Apiosoma sp.
Ikan ( 3 cm – 4 cm) irritans (1 idividu)
Hidup (13 individu)
Apiosoma sp.
(2 idividu)
Gelondongan II 0 0 0
(4 cm – 6 cm)
Gelondongan III 0 0 Trichodina sp.
(6 cm – 8 cm) (I individu)
Larva( < 14 mm) Cryptocaryon 0 Trichodina sp.
irritans (1 indivisu)
(2 individu) Uronema sp.
Apiosoma sp. (2 individu)
(10 idividu)
Nener (14mm-17mm) Uronema sp. 0 0
(1 Individu)
Gelondongan I Apiosoma sp. Apiosoma sp. Apiosoma sp.
( 3 cm – 4 cm) (7 individu) (18 individu) (1 individu)
Trichodina sp.
Ikan (50 individu)
Sakit
Gelondongan II Epistylis sp. Cryptocaryon Cryptocaryon
(4 cm – 6 cm) (2 individu) irritans irritans (8
Cryptocaryon (1 individu) individu)
irritans Apiosoma sp. Apiosoma sp.
(1 individu) (6 individu) (7 individu)
Apiosoma sp. Trichodina sp.
(2 individu) (1 individu)

Gelondongan III 0 0 0
(6 cm – 8 cm)
Larva( < 14 mm) Trichodina sp. 0 Uronema sp.
(3 individu) (2 individu)
Uronema sp.
(2 individu)
Nener (14mm-17mm) 0 0 0
Gelondongan I 0 0 0
Ikan ( 3 cm – 4 cm)
Mati Gelondongan II Apiosoma sp. Apiosoma sp. Apiosoma sp.
(4 cm – 6 cm) (693 individu) (11 individu) ( 17 individu)
Trichodina sp.
(1 individu)
Gelondongan III 0 Apiosoma sp. 0
(6 cm – 8 cm) (6 individu)
25

Tabel pengamatan ektoparasit ikan bandeng berdasarkan ukuran


menunjukan bahwa pada ikan bandeng hidup ektoparasit yang ditemukan
terbanyak adalah pada ukuran gelondongan I (3 cm- 4 cm) yaitu Cryptocaryon
irritans (13 individu) Apiosoma sp. (3 idividu) dan tidak terdapat parasit pada
ukuran nener dan gelondongan II. Pada ikan bandeng sakit ektoparasit yang
ditemukan hampir semua ukuran terdapat parasit, parasit terbanyak adalah pada
ukuran gelondongan I (3 cm- 4 cm) yaitu Apiosoma sp. ( 26 individu) Trichodina
sp. (50 individu) dan tidak terdapat parasit pada ukuran gelondongan III. Pada
ikan bandeng mati ektoparasit yang ditemukan terbanyak adalah pada ukuran
gelondongan II (3 cm- 4 cm) yaitu Apiosoma sp. (693 individu) Trichodina sp. (1
individu) dan tidak terdapat parasit pada ukuran nener dan gelondongan I.
Jumlah individu ektoparasit yang ditemukan pada organ kulit, insang, dan
sirip berbeda-beda dijelaskan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah Ektoparasit Pada Ikan Bandeng Hidup
No Jenis Ektoparasit Organ yang diteliti Total
Sirip Insang Kulit
1 Apiosoma sp. 8 0 1 9
2 Cryptocaryon irritans 13 0 0 13
3 Epistylis sp. 8 0 0 8
4 Uronema sp. 0 0 0 0
5 Trichodina sp. 0 0 1 1

Apiosoma sp. ditemukan sebanyak 9 individu dengan lokasi infeksi


terbanyak di sirip 8 individu dan tidak ditemukan di insang. Total Cryptocaryon
irritans yang ditemukan sebanyak 13 individu dengan lokasi infeksi seluruhnya
berada pada sirip dan tidak ditemukan di insang dan kuit. Epistylis sp. ditemukan
sebanyak 8 individu dengan lokasi seluruhnya berada pada sirip dan tidak
ditemukan pada bagian insang dan kulit. Tidak terdapat Uronema sp. Pada ikan
bandeng hidup. Dan hanya terdapat 1 individu Trichodina sp. di kulit.
Tabel 10. Jumlah Ektoparasit Pada Ikan Bandeng Sakit
No Jenis Ektoparasit Organ yang diteliti Total
Sirip Insang Kulit
1 Apiosoma sp. 19 24 8 51
2 Cryptocaryon irritans 3 1 8 12
3 Epistylis sp. 2 0 0 2
4 Uronema sp. 1 0 2 3
5 Trichodina sp. 0 1 51 52
26

Apiosoma sp. ditemukan sebanyak 51 individu dengan lokasi infeksi


terbanyak di insang 25 individu dan paling sedikit di kulit 8 individu. Total
Cryptocaryon irritans yang ditemukan sebanyak 12 individu dengan lokasi infeksi
terbanyak di kulit 8 individu dan paling sedikit di insang 1 individu. Epistylis sp.
ditemukan sebanyak 2 individu dengan lokasi seluruhnya berada pada sirip dan
tidak ditemukan pada bagian insang dan kulit. Terdapat total Uronema sp.
sebanyak 3 individu dengan lokasi infeksi terbanyak di kulit 2 individu dan tidak
terdapat di insang. Trichodina sp. ditemukan sebanyak 52 individu dengan lokasi
infeksi terbanyak di kulit 25 individu dan tidak terdapat parasit ini disirip.

Tabel 11. Jumlah Ektoparasit Pada Ikan Bandeng Mati


No Jenis Ektoparasit Organ yang diteliti Total
Sirip Insang Kulit
1 Apiosoma sp. 693 17 17 727
2 Cryptocaryon irritans 0 0 0 0
3 Epistylis sp. 0 0 0 0
4 Uronema sp. 2 0 2 4
5 Trichodina sp. 4 0 0 4

Apiosoma sp. ditemukan sebanyak 727 individu dengan lokasi infeksi


terbanyak di sirip 693 individu dan pada insang dan kulit memiliki jumlah yang
sam ayaitu 17 individu. Terdapat total Uronema sp. sebanyak 4 individu dengan
lokasi infeksi yang sama pada kulit dan sirip sebanyak 2 individu. Trichodina sp.
ditemukan sebanyak 4 individu dengan lokasi infeksi seluruhnya di sirip 4
individu dan tidak terdapat parasit ini di insang dan kulit.

4.2.5 Analisis data


Prevalensi merupakan persentase jumlah ikan yang terinfeksi parasit
dengan jumlah inang yang diperiksa. Intensitas merupakan perbandingan jumlah
individu parasit yang ditemukan dengan jumlah inang yang terinfeksi parasit
(Bush dkk199 dalam Kurniawan 2015). Menurut Diba (2009) rendahnya tingkat
prevalensi disebabkan oleh keadaan endemik suatu parasit, kemampuan adaptasi
parasit di tubuh inang dan kecocokan inang untuk kelangsungan hidup parasit dan
kualitas lingkungan. Selain itu padat tebar yang rendah juga mempengaruhi
keberadaan cacing ektoparasit karena ruang gerak dan makanan bagi ikan masih
27

dalam kondisi yang normal sehingga tidak terjadi kompetisi dalam hal mencari
makanan dan ruang gerak.
Prevalensi dan intensitas tiap jenis parasit tidak selalu sama karena
banyaknya faktor yang berpengaruh, yaitu umur ikan, jenis ikan, waktu, dan sifat
kimia perairan dimana parasit tersebut hidup (Susanti 2001 dalam Kurniawan
2015). Menurut Stromnes dan Andersen (2003) dalam Kurniawan (2015), tingkat
penularan suatu parasit dipengaruhi beberapa faktor, seperti jenis ikan, ukuran
ikan, umur ikan, jenis kelamin ikan, waktu, dan tempat serta kondisi perairan
tempat ikan itu berada. Menurut Dogiel dkk. (1961) dalam Kurniawan (2015), ada
beberapa faktor penting yang menentukan intensitas dan serangan parasit pada
inang, yaitu :
a. Adanya inang yang berumur panjang akan mengalami akumulasi
parasit dalam jumlah besar.
b. Ukuran inang besar memungkinkan akumulasi bermacam-macam
parasit.
c. Pergerakan individu ikan selama hidupnya dan besarnya ukuran daerah
yang sudah dilalui selama pergerakan dan hubungan dengan berbagai
kondisi lingkungan.
d. Kebiasaan dan lingkungan yang sama antara parasit dan inang yang
dapat mengakibatkan terjadinya kontak antar inang dan parasit.

Penelitian prevalensi dan intensitas berbagai ektoparasit yang menyerang ikan


budidaya laut dijelaskan pada Tabel 12, 13, dan 14.

Tabel 12. Prevalensi Dan Intensitas Ektoparsit Pada Ikan Bandeng Hidup
No Jenis Ektoparasit Prevalensi Intensitas
1 Apiosoma sp. 13,34 % 4,5
2 Cryptocaryon irritans 6,67 % 13
3 Epistylis sp. 6,67 % 8
4 Uronema sp. 0 0
5 Trichodina sp. 6,67 % 1

Berdasarkan Tabel 12 parasit yang ditemukan pada ikan bandeng hidup


memiliki tingkat prevalensi tertinggi 13,34% pada ektoparasit Apiosoma sp. ,
28

nilai prevalensi ektoparasit Cryptocaryon irritans, Epistylis sp. dan Trichodina


sp. tersebut sama yaitu sebesar 6,67 % sedangkan parasit dengan intensitas
tertinggi yaitu Cryptocaryon irritans sebesar 13 ind/ekor dan terendah yaitu
Trichodina sp. sebesar 1 ind/ ekor.
Tabel 13. Prevalensi Dan Intensitas Ektoparsit Pada Ikan Bandeng Sakit
No Jenis Ektoparasit Prevalensi Intensitas
1 Apiosoma sp. 26,67 % 12,75
2 Cryptocaryon irritans 13,34 % 6
3 Epistylis sp. 6,67 % 2
4 Uronema sp. 13,34 % 1,5
5 Trichodina sp. 20 % 17,34

Berdasarkan Tabel 13 parasit yang ditemukan pada ikan bandeng sakit


memiliki tingkat prevalensi tertinggi 26,67 % pada ektoparasit Apiosoma sp., dan
nilai prevalensi terendah sebesar 6,67 % pada ektoparasit Epistylis sp. Sedangkan
parasit dengan intensitas tertinggi yaitu Trichodina sp. sebesar 17,34 ind/ekor dan
terendah yaitu Uronema sp. sebesar 1,5 ind/ ekor.
Tabel 14. Prevalensi Dan Intensitas Ektoparsit Pada Ikan Bandeng Mati
No Jenis Ektoparasit Prevalensi Intensitas
1 Apiosoma sp. 40 % 121,167
2 Cryptocaryon irritans 0 0
3 Epistylis sp. 0 0
4 Uronema sp. 13,34 % 2
5 Trichodina sp. 13,34 % 2

Berdasarkan Tabel 14 parasit yang ditemukan pada ikan bandeng mati


memiliki tingkat prevalensi tertinggi 40% pada ektoparasit Apiosoma sp. , nilai
prevalensi ektoparasit Uronema sp. dan Trichodina sp. tersebut sama yaitu
sebesar 13,34 % sedangkan parasit dengan intensitas tertinggi yaitu Apiosoma sp.
sebesar 121,167 ind/ekor.

4.2.6 Gejala dan Penanggulangan Ektoparasit Benih Bandeng di Unit


Kerja Budidaya Air Laut Sundak
Infeksi ektoparasit dapat menjadi salah satu faktor predisposisi bagi
infeksi organisme patogen yang lebih berbahaya. Kerugian non lethal lain dapat
berupa kerusakan organ luar (Handayani dkk. 2004 dalam Pramono dan Syakuri
29

2008) pertumbuhan lambat, penurunan nilai jual, dan peningkatan sensitivitas


terhadap stressor. Tingkat infeksi ektoparasit yang tinggi dapat mengakibatkan
kematian akut, yaitu mortalitas tanpa menunjukkan gejala terlebih dahulu
(Sommerville 1998 dalam Pramono dan Syakuri 2008).
Penanggulangan ektoparasit ikan bandeng di Unit Kerja Budidaya Air
Laut Sundak dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 15. Gejala dan Penanggulangan Ektoparsit Pada benih Bandeng
No Jenis Gejala Penanggulangan
Ektoparasit
1 Apiosoma sp. Sering muncul kepermukaan Memperbaiki kualitas air, sering
air, susah bernafas, nafsu melakukan pergantian air.
makan menuru. Bentuk badan
kurus, warna kotor/buram.
2 Cryptocaryon Napsu makan menurun, kurus, Mepertahankan suhu agar selalu
irritans warna tubuh gelap, gelisah, >29 ̊C
lesu dan lemas Pemindahan populasi ikan yang
Menggosok-gosokan badan terinfeksi parasit ke air yang bebas
pada benda sekitarnya parasit sebanyak 2-3 kali dengan
Frekuensi pernapasan interval 2-3 hari
meningkat, mendekat ke air Pengobatan atau pemberantasan
masuk parasit dapat dilakukan melalui
Bintik-bintik putih atauperendaman dengan menggukanan :
kecoklatan disirip, kulit atau Air bersalinitas rendah (0-8 promil)
insang, produksi mucus selama beberapa jam, dipindahkan
berlebih dan sirip menguncup ke air yang bebas parasit dan
Pada infeksi berat bintik putihdiulang setiap 2-3 hari
Nampak seperti salju yang Larutan hydrogen peroxide (H2O2)
disertai pendarahan dan mata pada dosis 150 ppm selama 30
bura hingga menyebabkan menit, dipindahkan ke air yang
kebutaan bebas parasit dan diulang setiap 2
Infeksi sekunder oleh bakteri hari
akan memperparah kondisi Larutan kupri sulfat (CuSO4) pada
kesehatan hingga dosis 0,5 ppm selama 5-7 hari
mempercepat proses kematian dengan aerasi yang kuat dan air
harus diganti setiap hari
- Larutan formalin25-50
ppm selama 12-24 jam,
dilakukan peulangan setiap
2 hari
3 Epistylis sp. Gejala klinis akibat Epistylis Pencegaha terhadap penyakit ini
adalah berkurangnya tingkat dapat dilakukan dengan cara
pertumbuhan kepiting, memutuskan siklus hidupnya yaitu
pergerakan lambat dan kurang, dengan cara memindahkan iakn ke
mengakibatkanlesi pada epitel bak atau jarring yang parasit dengan
insang (Schuwerack dkk., interval waktu kurang lebih 3 hari.
2001) dalam idris 2014 Penggunaan bahan kimia seperti,
1. Nener kurus anti parasit Acriflavine neutral 5
2. Hemoragik pada kulit ppm, anti bakteri prefuran 0,2 ppm
3. Berenang pasif dan formalin 25 ppm, dengan cara
berada di perndaman selama kurang lebih 1-
30

No Jenis Gejala Penanggulangan


Ektoparasit
permukaaan air 24 jam
4. Napsu makan turun
4 Uronema sp. Ikan yang terserang Pencegahan terhadap Uronema sp.
menunjukkan tanda klinis dan dapat dilakukan dengan cara
patologi berupa memutuskan siklus hidupnya yaitu
bintik putih pada bagian tubuh dengan cara memindahkan iakn ke
yang terinfeksi dan menjadi bak atau jarring yang parasit dengan
luka, ulcer dipenuhi interval waktu kurang lebih 3 hari.
oleh cilia, serta peningkatan Pemindahan bertujuan untuk
produksi lendir. Sedangkan pemisahan ikan dari cysta tomon
gejala tingkah laku ikan sebelum menjadi theront yang akan
yang terserang umumnya menginfeksi ikan. Penggunaan
megap-megap, berenang di bahan kimia seperti, anti parasit
dekat permukaan air Acriflavine neutral 5 ppm, anti
dengan kesulitan bernafas, bakteri prefuran 0,2 ppm formalin
menggosokkan tubuh di 25 ppm, CuSO4 0,5 ppm,
dinding dan dasar aquarium, multivitamin 20 ppm selama kurang
nafsu makan menuru. Bentuk lebih 60 menit (Ansari dan
badan kurus, warna Haryanto 2013)
kotor/buram.
5 Trichodina sp. Gejala ikan yang terinfestasi Cara pencegahan terbaik adalah
ektoparasit ini biasanya nafsu menciptakan lingkungan yang tidak
makan hilang, ikan menjadi menguntungkan bagi parasit yaitu
sangat lemah, produksi lendir desinfeksi kolam, mencegah kodok
bertambah sehingga tubuh dan udang-udangan masuk ke
ikan tampak mengkilat, pada kolam, dan mengatur kepadatan
tubuh ikan luar sering terjadi ikan. Pengobatan dilakukan dengan
pendarahan, warna tubuh cara terapi menggunakan metoda
menjadi kusam, sering terlihat perendaman dalam larutan
ikan menggosokkan tubuhnya NaCl 2,5 % selama 3 jam dan
pada dasar atau dinding dilakukan 3 hari berturut turut.
kolam/tambak serta benda- Mempertahankan kualitas air
benda keras di sekitarnya terutama stabilisasi suhu air ≥ 29º C.
(Durborow, 2003 dalam Mengurangi kadar bahan organic
Kumalasari 2016) terlarut dan meningkatkan frekuensi
pergantian air. Bisa melakukan
perendaman pada air tawar selama
60 menit (lakukan pengulangan
setiap hari).

4.3 PEMBAHASAN
Jenis ektoparasit yang ditemukan dalam pemeriksaan kulit, sirip, dan
insang ikan bandeng di Unit Kerja Budidaya Ikan Laut (UK BAL) sundak adalah
Apiosoma sp. Cryptocaryon irritans, Epistylis sp., Uronema sp., dan Trichodina
sp.. Parasit yang terindentifikasi memiliki ciri khas masing-masing. Parasit
tersebut selalu ditemukan setiap periode sampling dengan jumlah yang berbeda-
beda. Sesuai dengan parasit yang menyerang ikan bandeng kebanyakan termasuk
31

dalam golongan protozoa, nematoda, capepoda, dan acanthocephala (FAO 2012).


Berbeda dengan Lee dkk (1986) dalam Fidyandii (2012), parasit yang menyerang
ikan bandeng yaitu Caligus patulus. dan Woo (2006) dalam Fidyandii (2012)
mengatakan bahwa ektoparasit yang menyerang ikan bandeng adalah Caligus
epidemicus, Caligus punctatus, Lernaea dan Dactylogyrus.
Apiosoma sp. merupakan protozoa bersilia non-motil pada tahap dewasa
dan melekat diri pada insang dan kulit ikan. Hal ini berbeda dengan pengamatan
di Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak yang ditemukan paling banyak
Apiosoma sp. pada benih bandeng hidup, sakit dan mati. Pada benih bandeng
hidup , Apiosoma sp. ditemukan sebanyak 9 individu dengan lokasi infeksi
terbanyak di sirip 8 individu dan tidak ditemukan di insang. Sedangkan pada
benih bandeng sakit, Apiosoma sp. ditemukan sebanyak 51 individu dengan
lokasi infeksi terbanyak di Insang, dan pada benih bandeng mati. Apiosoma sp.
ditemukan sebanyak 727 individu dengan lokasi infeksi terbanyak di sirip.
Penyakit ini menyerang ketika kulit atau sirip ikan telah terluka. Penyakit
ini membentuk koloni yang tumbuh di seluruh sirip dan kulit serta membentuk
struktur seperti kapas yang terlihat seperti infeksi jamur. Keberadaan Apiosoma
sp. dapat dijadikan indikator dari sanitasi dan kualitas air yang buruk, kepadatan
yang tinggi, kandungan amoniak yang tinggi serta kandungan oksigen yang
rendah (Barbades 2008).
Cryptocaryon irritans merupakan jenis protozoa yang dapat menginfeksi
berbagai jenis ikan-ikan laut yang dibudidaya. Protozoa ini menyerang ikan air
laut yang ditemukan pertama kali di Jepang pada tahun 1938. Bagian yang
diserang umumnya adalah insang yang kemudian menyebar ke bagian kulit, sirip
dan ginjal (Hardi 2015) Hal ini sesuai dengan pengamatan yang ditemukan pada
benih bandeng hidup, total Cryptocaryon irritans yang ditemukan sebanyak 13
individu dengan lokasi infeksi seluruhnya berada pada sirip dan tidak ditemukan
di insang dan kulit. Berdasarkan pengamatan pada benih bandeng, total
Cryptocaryon irritans yang ditemukan sebanyak 12 individu dengan lokasi infeksi
terbanyak di kulit dan tidak terdapat Cryptocaryon irritans pada benih bandeng
mati.
32

Siklus hidup dimulai dari trophont memakan ikan, lalu tomont


meninggalkan inang dan menghasilkan gelatin sebagai kista pelindung, tomont
menempel di substrat dan berkembang menjadi tomont dewasa, hingga tomit
berkembang dan berubah menjadi theront yang pecah dan menginfeksi inang dan
tomont berkembang secara budding. Faktor pendukung perkembangan adalah
trophont mampu bertahan pada ikan selama 3-7 hari dan pertumbuhannya optimal
pada suhu 23-30°C. Pecahnya kista terjadi dalam waktu 24 jam pada suhu 25°C,
(Hardi 2015).
Epistylis sp. merupakan jenis protozoa yang ditemukan pada benih
bandeng hidup sebanyak 8 individu dengan lokasi seluruhnya berada pada sirip
dan tidak ditemukan pada bagian insang dan kulit. Pada benih bandeng sakit
Epistylis sp. ditemukan sebanyak 2 individu dengan lokasi seluruhnya berada
pada sirip dan tidak ditemukan pada bagian insang dan kulit. Tidak terdapat
Epistylis sp. pada benih bandeng mati. Hal ini sesuai dengan (Hardi 2015) Ada
beberapa spesies Epistylis sp. yang hidup pada kulit, sirip dan insang ikan.
Organisme ini melekat pada inang dengan sebuah tangkai yang transparan dan
dalam jumlah kecil bersifat ektokomensal atau mutual.
Semua ikan air tawar terutama yang dibudidayakan pada dasarnya rentan
terhadap infestasi Epistylis sp.. Organisme ini umumnya adalah ektokomensal,
menimbulkan iritasi pada insang dan kulit ataupun kerusakan yang lebih parah
jika kondisi menguntungkannnya. Reproduksi dengan pembelahan longitudinal.
Epsitylis sp. biasanya hadir dalam jumlah kecil pada permukaan insang dan kulit
ikan sehat. Kepadatan yang tinggi dan malnutrisi bisa merubah kondisi kesehatan
ikan sehingga menguntungkan parasit. Epistylis sp. memakan sel-sel inang yang
lepas dan plankton. Polusi air diikuti dengan iritasi pada permukaan tubuh bisa
menyebabkan hiperplasia pada insang dan kulit serta peningkatan sel-sel pitel
yang lepas. Peningkatan suplai makanan akan diikuti dengan peningkatan tajam
populasi Epistylis sp.. Epistylis sp. yang melekat dalam jumlah besar pada kulit
menyebabkan iritasi. Akibatnya destruksi epitel insang dan kulit berlebihan yang
berakibat langsung pada kematian, invasi bakteri, jamur dan parasit lain. (Hardi
2015).
33

Trichodina sp. yang ditemukan pada benih bandeng hidup hanya terdapat
1 individu Trichodina sp. di kulit. Pada benih bandeng sakit Trichodina sp.
ditemukan sebanyak 52 individu dengan lokasi infeksi terbanyak di kulit 25
individu dan tidak terdapat parasit ini di sirip. Berdasarkan pengamatan pada
benih bandeng mati. Trichodina sp. ditemukan sebanyak 4 individu dengan lokasi
infeksi seluruhnya di sirip 4 individu dan tidak terdapat parasit ini di insang dan
kuiit. hal ini sesuai dengan Graetzek (1993) dalam Hardi (2015) Trichodina sp.
merupakan ektoparasit yang menginfeksi kulit dan insangikan. Parasit yang
menginfeksi kulit mempunyai rentang inang lebih luas dan berukuran lebih besar,
sedangkan yang menginfeksi insang bersifat inang khusus dan organ khusus serta
berukuran lebih kecil.
Uronema sp. merupakan parasit jenis protoza yang menyerang jenis ikan
ikan laut seperti kerapu macan, ikan bandeng, dan lain-lain. Hasil pengamatan
ektoparasit di Unit Kerja Budidaya Air Laut Sudak yaitu tidak terdapat Uronema
sp. pada ikan bandeng hidup. Pada benih bandeng Terdapat total Uronema sp.
sebanyak 3 individu dengan lokasi infeksi terbanyak di kulit 2 individu dan tidak
terdapat di insang pada benih bandeng mati. Total Uronema sp. sebanyak 4
individu dengan lokasi infeksi yang sama pada kulit dan sirip sebanyak 2
individu. Hal ini berbeda dengan (Hardi 2015) memulai siklus hidupnya dari
memakan sel darah dan cellular debris kadang ditemukan di ginjal dan perut ikan.
Faktor pendukung perkembangan protozoa ini adalah transportasi selama 24-48
jam dalam air yang pH rendah, ammonia tinggi, dan bahan organic DO rendah.
Siklus hidup langsung dan reproduksi secara aseksual dengan
pembelahan biner. Infeksi Trichodiniasis berat menunjukkan kualitas lingkungan
budidaya yang kurang baik, kepadatan tinggi, dan kurangnya sanitasi lingkungan.
Infeksi Trichodina sp. sering bersamaan dengan infeksi protozoa dan patogen lain.
Parasit ini mampu bertahan hidup sampai 2 hari tanpa ikan, beberapa bahkan bisa
hidup pada kaki katak dan krustase planktonis. Kondisi ini dapat menjadi sumber
infeksi bagi ikan. Trichodina sp. berkembang biak dengan pesat pada kolam yang
airnya tidak mengalir, terutama di panti benih dan kolam pembesaran dengan
populasi yang tinggi. Efek yang merugikan dari parasit ini terjadi karena
34

perpindahannya. Dentikel yang terbuat dari kitin akan mengikis epitel ketika dia
bergerak yang menyebabkan iritasi kulit. Selanjutnya epitel mengalami
hyperplasia, degenerasi (terkikis dan lepas), dan nekrosis diikuti oleh proliferasi
sel lendir. Gangguan proses pernafasan karena adanya parasit pada insang dan
kulit merupakan akibat yang paling serius dari trichodiniasis dan dapat mematikan
pada larva.
Pada pengamatan ektoparasit ikan bandeng berdasarkan ukuran
menunjukan bahwa pada ikan bandeng hidup ektoparasit yang ditemukan
terbanyak adalah pada ukuran gelondongan I (3 cm- 4 cm) yaitu Criptocarion sp.
(13 individu) Apiosoma sp. (3 individu) dan tidak terdapat parasit pada ukuran
nener dan gelondongan II. Pada ikan bandeng sakit ektoparasit yang ditemukan
hampir semua ukuran terjdapat parasit, parasit terbanyak adalah pada ukuran
gelondongan I (3 cm- 4 cm) yaitu Apiosoma sp. ( 26 individu) Trichodina sp. (50
individu) dan tidak terdapat parasit pada ukuran gelondongan III. Pada ikan
bandeng mati ektoparasit yang ditemukan terbanyak adalah pada ukuran
gelondongan II (3 cm- 4 cm) yaitu Apiosoma sp. (693 individu) Trichodina sp. (1
individu) dan tidak terdapat parasit pada ukuran nener dan gelondongan I karena
ikan kecil belum memiliki ketahanan tubuh yang kuat, ikan berukuran kecil
memproduksi lendir atau mukopolisakaridanya, sehingga ektoparasit banyak
menyerang ikan bandeng berukuran kecil.
Menurut Hassan (2008) keberadaan parasit di perairan payau lebih rendah
dibandingkan di perairan tawar dan laut, hal ini dikarenakan adanya pengaruh
perubahan salinitas yang berpengaruh terhadap perkembangan ektoparasit. Daya
tahan tubuh ikan mempengaruhi adanya banyaknya infestasi ektoparasit. Semakin
lemah daya tahan tubuh ikan maka semakin lemah pergerakan ikan tersebut,
sehingga semakin mudah parasit menyerang.
Sedikitnya jumlah ektoparasit yang ditemukan pada ikan bandeng ukuran
kecil maupun ikan bandeng ukuran besar diduga karena kegagalan parasit dalam
menyerang, menempel dan berkembang biak pada tubuh ikan bandeng. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Olsen (1974) dalam Riko (2012) bahwa inang akan
melakukan respon jika mendapat serangan dari parasit, jika parasit tidak mampu
35

melawan respon tersebut maka parasit tidak bisa menempel ke tubuh inang dan
tidak terjadi serangan. Selain itu juga dapat disebabkan karena memang populasi
kedua jenis ektoparasit sedikit diperairan tersebut. Nobel & Nobel (1989) dalam
Kurniawan (2015) bahwa semakin besar ukuran dan berat inang maka semakin
tinggi pula terinfeksi oleh parasit tertentu.
Penularan penyakit dan parasit dapat terjadi melalui beberapa mekanisme,
antara lain melalui kontak langsung antara ikan sakit dan ikan sehat, bangkai ikan
sakit maupun melalui air, penularan ini biasanya terjadi dalam satu kolam
budidaya. Mekanisme penularan lainnya adalah melalui peralatan dan melalui
pemindahan ikan dari daerah wabah dan ke daerah yang bukan wabah (Sunarto
2005 dalam jasmanindar 2011).
Prevalensi merupakan persentase jumlah ikan yang terinfeksi parasit
dengan jumlah inang yang diperiksa. Intensitas merupakan perbandingan jumlah
individu parasit yang ditemukan dengan jumlah inang yang terinfeksi parasit
(Bush dkk.1997 dalam Kurniawan 2015). Prevalensi dan intensitas menunjukkan
tingkat penularan dan infeksi parasit. Setiap parasit memiliki tingkat infeksi yang
berfluktuasi setiap periode sampling.
Pada ikan bandeng hidup memiliki tingkat prevalensi tertinggi yaitu
13,34% pada ektoparasit Apiosoma sp. . Berdasarkan kriteria prevalensi menurut
William (1996) dalam Yulanda (2017) nilai tersebut termasuk dalam kategori
sering yang berarti infeksi sering terjadi, dimana tingkat infeksi tersebut tidak
membahayakan. Sedangkan nilai prevalensi ektoparasit Cryptocaryon irritans ,
Epistylis sp. dan Trichodina sp. tersebut sama yaitu sebesar 6,67 % Berdasarkan
kriteria termasuk dalam kategori kadang-kadang yang berarti infeksi biasa dimana
tingkat infeksi tidak membahayakan bagi kehidupan benih bandeng hidup.
Adapun nilai intensitas tertinggi yaitu Cryptocaryon irritans sebesar 13 ind/ekor
termasuk dalam katagori kadang-kadang dan terendah yaitu Trichodina sp.
sebesar 1 ind/ ekor termasuk dalam katagori ringan.
Pada ikan bandeng sakit memiliki tingkat prevalensi tertinggi 26,67 %
pada ektoparasit Apiosoma sp., Berdasarkan kriteria prevalensi menurut William
(1996) dalam Yulanda (2017) nilai tersebut termasuk dalam kategori sering yang
36

berarti infeksi sering terjadi, dimana tingkat infeksi tersebut tidak membahayakan
sedangkan nilai prevalensi terendah sebesar 6,67 % pada ektoparasit Epistylis sp.
Berdasarkan kriteria termasuk dalam kategori kadang-kadang yang berarti infeksi
biasa dimana tingkat infeksi tidak membahayakan bagi kehidupan benih bandeng
hidup. Adapun nilai intensitas tertinggi yaitu Trichodina sp. sebesar 17,34
ind/ekor termasuk dalam katagori kadang-kadang dan terendah yaitu Uronema sp.
sebesar 1,5 ind/ eko termasuk dalam katagori ringan.
Pada ikan bandeng mati memiliki tingkat prevalensi tertinggi 40% pada
ektoparasit Apiosoma sp., Berdasarkan kriteria prevalensi menurut William
(1996) dalam Yulanda (2017) nilai tersebut termasuk dalam kategori umumnya
yang berarti infeksi biasa dimana tingkat infeksi tidak membahayakan sedangkan
nilai prevalensi ektoparasit Uronema sp. dan Trichodina sp. memiliki nilai yang
sama yaitu sebesar 13,34 % termasuk dalam kategori sering yang berarti infeksi
sering terjadi, dimana tingkat infeksi tersebut tidak membahayakan bagi
kehidupan benih bandeng. Adapun nilai intensitas tertinggi yaitu Apiosoma sp.
sebesar 121,167 ind/ekor termasuk dalam katagori sangat berat
Menurut Diba dalam Wiyatno dkk. (2012), menyatakan bahwa rendahnya
tingkat prevalensi disebabkan oleh keadaan endemik suatu parasit dan kualitas
lingkungan. Selain itu padat tebar yang rendah juga mempengaruhi keberadaan
ektoparasit. Rendahnya intensitas ektoparasit yang dibudidayakan di Unit Kerja
Budidaya Air Laut Sundak disebabkan karena area kolam tersebut tidak
bersubstrat, sesuai dengan pernyataan Nicolau dkk. (2005) dalam Yulanda (2017)
bahwa ektoparasit golongan protozoa banyak ditemukan pada daerah bersubstrat
dan perairan dengan kandungan organik yang tinggi.
Rendahnya tingkat prevalensi disebabkan oleh kemampuan adaptasi
parasit di tubuh inang dan kecocokan inang untuk kelangsungan hidup parasit dan
kualitas lingkungan. Menurut Velasque (1984) dalam Fidyandii (2012), ikan
bandeng relatif tahan terhadap serangan penyakit. Hal ini dikarenakan ikan
bandeng merupakan ikan yang aktif bergerak, tahan terhadap perubahan
lingkungan seperti suhu, pH dan DO (Bagarinao 1991 dalam Fidyandii 2012).
Sehingga perubahan lingkungan tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi
37

biologis ikan bandeng yang memudahkan ikan stres dan mudah terserang parasit.
Rendahnya intensitas diduga adanya infeksi bersama antara dua atau lebih spesies
parasit yang dapat mengurangi jumlah salah satu spesies parasit. Menurut Noble
dan Noble (1989) Dalam Kurniawan (2015) infeksi bersama antar spesies akan
menghambat perkembangan atau bahkan merugikan spesies yang lain. Selain itu
infeksi bersama juga dapat bersifat sinergistik atau saling menunjang kehidupan
masing-masing parasit. Rendahnya intensitas ektoparasit diduga ektoparasit
tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar sehingga tidak dapat
berkembak biak dengan baik.
Nilai prevalensi dan intensitas ektoparasit pada benih bandeng di Unit
Kerja Budidaya Air Laut Sundak berbeda-beda, nilai intensitas menunjukkan
bahwa benih bandeng mati di Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak lebih tinggi,
diduga karena benih telah terserang ektoparasit sebelum ditebar sehingga
ektoparasit ditularkan pada ikan lainnya dengan bersentuhan secara langsung dan
karena populasi di dalam kolam tinggi, sehingga memudahkan terjadinya
penularan ektoparasit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Giogertti (1989) dalam
Yulanda (2017) bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan parasit adalah
padat penebaran yang tinggi. Ektoparasit lebih mudah berpindah dari suatu inang
ke inang yang lain sehingga potensi penyebarannya lebih besar dalam suatu
perairan tertutup (Musyaffak dkk. 2010).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari Pengamatan Dan Pengendalian
Ektoparasit Pada Bandeng (Chanos Chanos) Di Balai Pengembangan Teknologi
Perikanan Budidaya (BPTPB) Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak adalah :
1) Pada ikan bandeng hidup ditemukan empat jenis ektoparasit yaitu
Apiosoma sp.. (13,34 %), Cryptocaryon irritans (6,67 %), Epistylis
sp. (6,67 %), dan Trichodina sp. (6,67 %), Intensitas dan prevalensi
tertinggi terdapat pada ikan bandeng dengan kondisi hidup yaitu
sebesar 13 individu/ekor ikan dan 13,34 %.
2) Pada ikan bandeng sakit ditemukan lima jenis ektoparasit yaitu
Apiosoma sp.. (26,67 %), Cryptocaryon irritans (13,34 %), Epistylis
sp.. (6,67 %), Uronema sp. (13,34 %) dan Trichodina sp. (20 %)
Intensitas dan prevalensi ektoparasit tertinggi ditemukan pada ikan
bandeng sakitr yaitu sebesar 17,34 individu/ekor ikan dengan
prevalensi 26,67% %.
3) Pada ikan bandeng mati ditemukan tiga jenis ektoparasit yaitu
Apiosoma sp. (40 %), Uronema sp. (13,34 %) dan Trichodina
sp.(13,34 %). Intensitas dan prevalensi tertinggi terdapat pada ikan
bandeng dengan kondisi mati yaitu sebesar 121,167 individu/ekor ikan
dan 40%
4) Cara penanggulangannya yaitu dengan sering melakukan pergantian
air, kemudian memeriksa parameter air kolam agar tetap stabil,
membersihkan kolam dari jentik-jentik nyamuk dan lumut. Melakukan
pemeriksaan pada ikan yang terkena penyakit atau parasit. Apabila
ditemukan ikan yang sudah terkena parasit ataupun virus bakteri, ikan
tersebut harus dipisah dengan ikan yang lain agar bakteri atau parasit
tidak menyebar ke ikan-ikan yang lain.

38
39

5.2 Saran
Pada kegiatan Pengamatan Dan Pengendalian Ektoparasit Pada Benih
Bandeng (Chanos Chanos) Di Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak,
Gunungkidul, Yogyakarta. Pemeriksaan ektoparasit sebaiknya tidak hanya
dilakukan secara sederhana, namun dengan pewarnaan sehingga parasit yang
ditemukan dapat diidentifikasi dengan mudah. Perlu memperhatikan aspek-aspek
lingkungan seperti memeriksa parameter dan kondisi air agar tetap stabil dan
selalu menjaga kebersihan kolam supaya kondisi ikan tetap sehat.
DAFTAR PUSTAKA

Aslamyah, S. 2008. Pembelajaran Berbasis SCL pada Mata Kuliah Biokimia


Nutrisi.
Bunga, M. 2008. Prevalensi dan Intensitas Serangan Parasit Diplectanum sp..
Pada Insang Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus, Forsskal) di
Keramba Jaring Apung. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin 18 (3) : 204-210
Diba, D.F. 2009. Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan
Hasil Analisis Feces Kura-kura Air Tawar (Caura amboniensis) di
Perairan Sulawesi Selatan. Institut Pertanian Bogor. Tesis.
FAO. 2012. Fisheries and Aquaculture Chanos chanos.
http://www.fao.org/fishery/cultured sp.ecies/Chanos_chanos/en (Online)
22 Juni 2012
Fidyandii, H.P., S. Subekti, dan Kismiyati. 2012. Identifikasi dan Prevalensi
Ektoparasit Pada Ikan Bandeng (Chanos chanos) yang Dipelihara di
Keramba Jaring Apung UPBL Situbondo dan Tambak Desa Bangunrejo
Kecamatan Jabon Sidoarjo. Journal of Marine and Coastal Science. 1: 91
– 112.
Ghufran, M.H. Kordi, K.A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan kualitas air dalam
budidaya perairan.Rineka Cipta, Jakarta
Hardi, E. H., 2015. Parasit Biota Akuatik. Mulawarman University Press.
Samarinda
Haryati (Ed) Pengaruh Tingkat Substitusi Tepung Ikan Dengan Tepung Maggot
Terhadap Retensi Dan Efisiensi Pemanfaatan Nutrisi Pada Tubuh Ikan
Bandeng (Chanos Chanos Forsskål). Skipsi.Ilmu Kelautan dan Perikanan
Budidaya Perairan UNHAS
Hassan, M. 2008. Parasits of Native and Exotic Freshwater Fishes in the
SouthWest of estern Australia. Thesis. Murdoch University. Perth,
Western Australia. 173 hal.
Idrus. 2014. Prevalensi Dan Intensitas Ektoparasit Pada Kepiting Bakau (Scylla
Serrata) Hasil Tangkapan Di Pesisir Kenjeran Surabaya. Skripsi. Fakultas
Perikanan Dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya
Irvansyah, M.Y.A. Nurlita dan M.Gunanti.2012. Identifikasi dan Intensitas
Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia Kepiting Muda di
Pertambakan Kepiting, Kecamatan Sedati, Kabupatenupaten Sidoarjo.
Jurnal Sains dan Seni ITS, 1(1):1-5. Departemen Perikanan, Fakultas
Perikanan Universitas Airlangga.
Klinger, R. and R.F. Floyd. 2013. Introduction to Freshwater Fish Parasits. The
Institute of Food and Agricultural Sciences (IFAS), University of Florida.
CIR716
Kumalasai N. 2016. Pemeriksaan Ektoparasit Pada Ikan Lele Masamo (Clarias
Sp..) Di Balai Pengembangan Teknologi Kelautan Dan Perikanan,
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

40
41

Kurniawan A. 2015. Prevalensi, Intensitas Dan Identifikasi Molekuler


Ektoparasit Pada Kerapu Di Karamba Jaring Apung Teluk Pegametan
Kabupatenupaten Buleleng. Skripsi Fakultas Pertanian.Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta
Maulana D M, Muchlisin Z A, Sugito S. 2017. Intensitas dan Prevalensi Parasit
Pada Ikan Betok (Anabas testudineus) dari Perairan Umum Daratan Aceh
Bagian Utara. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah.
Volume 2, Nomor 1: 1-11. Februari 2017, ISSN. 2527-6395
Musyaffak, M., I. W. Abida, F. F. Muhsoni. 2010. Analisa tingkat prevalensi dan
derajat infeksi parasit pada ikan kerapu macan (Ephinephilus
fuscoguttatus) di lokasi budidaya berbeda. Jurnal Kelautan, 3(1):82-90.
Pramono, T.B dan H. Syakuri. 2008. Infeksi Parasit Pada Permukaan Tubuh Ikan
Nilem (Osteochilus hasellti) yang Diperdagangkan Di PPI Purbalingga.
Berkala Ilmiah Perikanan. Vol. 3 No. 2, November.
Riko,Y.A, Rosidah, T,Herawati. (Ed) 2012 Intensitas Dan Prevalensi Ektoparasit
Pada Ikan Bandeng (Chanos Chanos) Dalam Karamba Jaring Apung
(Kja) Di Waduk Cirata Kabupatenupaten Cianjur Jawa Barat. Jurnal
Perikanan dan Kelautan. Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 231-241
Sangadji, E. M dan Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian (Pendekatan Praktis
dalam Penelitian). CV Andi Offset. Yogyakarta
Smith, S. and M. Schwarz. 2009. Commercial Fish & Shellfish Technology Fact
Sheet Dealing with Trichodina and Trichodina -like sp.ecies. College of
Agriculture and Life Sciences. Virginia Polytechnic Institute and State
University. 3hal.
Subekti, S dan G, Mahasri. 2010. Parasit dan Penyakit Ikan (Trematodiasis dan
Cestodiasis). Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.
Surabaya. 30-50 hal
Sudradjat, A. 2008. Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Penebar
Yulanda. .T.E, Dewiyanti I, dan Aliza D. 2017. Intensitas Dan Prevalensi
Ektoparasit Pada Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Di Desa Lubuk Damar,
Kabupatenupaten Aceh Tamiang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan
Perikanan Unsyiah. Volume 2, Nomor 1: 80-88. 2017
42

KESAN DAN PESAN

Kesan
Kesan selama melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di
Unit Kerja Budidaya Air Laut (Unit Kerja Budidaya Air Laut ) Sundak,
GunungKidul sangat berkesan karena mendapat banyak imu baru yang terdapat
dilapangan, bekerja secara langsung dilapanagn bersama staf balai, mengetahui
ruang lingkup bidang perikanan dariorang orang balai yang selalu ramah dan
asyik membuat kami nyaman selama melaksanakan pkl, teman teman tim pkl dari
fakultas juga memberikan saya pengalaman hidup yang takterlupakan. Penulis
mengucapkan banyak banyak terimakasih atas semua ilmu dan pengalaman yang
telahh didapat dari staf pkl dan teman teman tim pkl selama kegiatan pkl.

Pesan
Pesan kepada pegaiwai Unit Kerja Budidaya Air Laut Sundak
Gunungkidul untuk tetap menjaga silaturahmi dan keramahan kepada setiap orang
yang ada di lingkungan balai dan kepada orang-orang baru.
LAMPIRAN
44

Lampiran 1. Lokasi Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok

Lampiran 2. Alat dan Bahan


Alat

Objek glass
Mikroskop Cahaya
45

pinset Pisau bedah

Gunting bedah Milimeter blok

pipet Besker glass


46

tisu Hand Counter

ember Scoop net


47

Bahan

Ikan Bandeng (Chanos chanos) Akuades

Tempat Pengambilan dan Pengamatan Data

Laboratorium Kolam Pendederan


48

Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan

Kegiatan sampling Pengambialn organ yang diteliti

Pengamatan mengggunakan Perhitungan panjang tubuh ikan


mikroskop

Anda mungkin juga menyukai