Anda di halaman 1dari 60

1

I PENDAHULUAN

1.1 Judul

PEMELIHARAAN LARVA UDANG VANNAME (Litopenaeus vannamei)


DI PT. SURI TANI PEMUKA UNIT HATCHERY DESA SELOGIRI
KECAMATAN KALIPURO KABUPATEN BANYUWANGI

1.2 Latar Belakang

Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) berasal dari Pantai Pasifik

Barat, Amerika Latin. Karakter spesifik dari udang Vanamei adalah mempunyai

kemampuan adaptasi yang relatif tinggi terhadap perubahan lingkungan seperti

perubahan suhu dan salinitas serta laju pertumbuhan yang relatif cepat

(Adiwidjaya dkk., 2001). Keunggulan udang vanname adalah tahan penyakit,

pertumbuhannya cepat, masa pemeliharaan 100-110 hari, sintasan selama

pemeliharaan tinggi dan nilai konversi pakan rendah. Udang vaname juga dapat

dipelihara dengan padat tebar yang lebih banyak dan pemeliharaan sampai panen

relatif lebih cepat dibandingkan udang windu (Poernomo 2002).

Udang diimpor oleh negara-negara Asia seperti Cina, India, Thailand,

Bangladesh, Vietnam, dan Malaysia, termasuk Indonesia. Berdasarkan data

statistik perikanan tahun 2014 Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2014)

menyatakan bahwa hasil produksi budidaya udang vaname mencapai 228.187 ton

dengan persentase capaian 91.94% dari yang ditargetkan. Sejak tahun 2009-2013,

jumlah ekspor Indonesia umumnya mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat

pada kegiatan budidaya udang vaname ini terdapat kegiatan pembenihan dan

pembesaran. Kegiatan pembenihan merupakan salah satu kegiatan on farm yang


2

sangat menentukan tahap kegiatan selanjutnya, yaitu kegiatan pembesaran

(Effendi 2004). Kegiatan pembenihan secara konvensional banyak dilakukan di

hatchery agar dapat menghasilkan benur yang berkualitas SPF (Specific Pathogen

Free). Kegiatan pembesaran (grow out) bertujuan untuk menghasilkan udang

yang berukuran konsumsi (Effendi 2004).

Perusahaan STP ini merupakan salah satu perusahaan yang sudah memulai

usaha pembenihan dan pembesaran udang vaname, memiliki ketersediaan sarana

dan prasarana produksi yang baik, serta didukung oleh sumber daya manusia yang

kompeten di bidang perikanan khususnya udang vanname. Perusahaan Suri Tani

Pemuka ini memiliki hatchery udang dan pembesaran udang yang berlokasi di

berbagai daerah seperti Singaraja, Banyuwangi, Cirata, Carita, Anyer, Indramayu.

Selain itu PT STP juga memiliki pabrik pakan yang berlokasi di Sidoarjo,

Banyuwangi, Cirebon, Lampung dan Medan. Sehingga perlu dilakukan Praktek

Kerja Lapang tentang pemeliharaan larva udang dalam bidang perikanan untuk

menambah wawasan dan informasi mengenai teknik pemeliharaan larva udang.

1.3 Tujuan

Pelaksanaan kegiatan PKL di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery ini

bertujuan untuk sebagai berikut:

1. Mengikuti dan melakukan kegiatan pemeliharaan larva udang vanname

(Litopenaeus vannamei) secara langsung di lokasi PKL.

2. Mengetahui permasalahan dan solusi dalam kegiatan pemeliharaan udang

vanname di lokasi PKL.


3

1.4 Manfaat

Manfaat Praktek Kerja Lapang ini adalah menambah pengalaman,

pengetahuan, dan keterampilan mengenai kegiatan pemeliharaan larva udang

Vannamei di lokasi. Meningkatkan dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan

mahasiswa di lapangan, khususnya mengenai teknik pemeliharaan larva udang

vanname dengan memadukan antara teori dengan praktek di lapangan, serta

mengetahui hambatan dan masalah dalam pemeliharaan larva udang vanname di

PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Kabupaten Banyuwangi.


4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang vanname (Litopenaeus vannamei)

2.1.1 Klasifikasi

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vanname sebagai berikut:

(Sumber: www.infoikan.com)

Kingdom : Animalia
Filum : Artrhopoda
Kelas : Malascrostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

2.1.2 Morfologi

Tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu

exopodite dan endopodite. Udang vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan

aktifitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Kepala

(Cephalotorax) udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua

pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang

maxiliped dan lima pasang kaki jalan (periopoda). Maxiliped sudah mengalami
5

modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Bentuk periopoda beruas –

ruas yang berujung di bagian dactylus (Haliman dan Adijaya, 2005).

Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki 1, 2, dan 3) dan tanpa capit kaki 4

dan 5. Perut (abdomen) terdiri dari enam ruas. Pada bagian abdomen terdapat lima

pasang kaki renang dan sepasang uropoda (mirip ekor) yang berbentuk kipas

bersama-sama telson. Udang vannamei mempunyai carapace yang transparan,

sehingga warna dari perkembangan ovariumnya jelas terlihat (Soleh, 2006).

2.1.3 Habitat

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) hidup di habitat laut tropis

dimana suhu air biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun dan akan

menghabiskan siklus hidupnya di muara air payau. Udang vannamei dewasa dan

bertelur di laut terbuka, sedangkan pada stadia postlarva udang vannamei akan

bermigrasi ke pantai sampai pada stadia juvenile (Kusumawardany dan Diatin,

2010).

2.1.4 Tingkah Laku

Udang vannamei bersifat nokturnal dan tahan terhadap salinitas tinggi dan

salinitas rendah atau biasa disebut eurihalyne. Udang vannamei akan memangsa

sesamanya (kanibalisme) apabila dalam pemberian pakan tidak tepat pada

waktunya. Udang vannamei mempunyai sifat pemakan lambat dan akan makan

secara terus menerus. Makanan yang akan dimakannya dicari dengan

menggunakan organ sensornya (Haliman dan Adijaya, 2005).


6

Udang vannamei menggunakan sinyal kimiawi dengan bantuan organ sensor

atau bulu-bulu di bagian kepala untuk mengidentifikasi makanan. Udang

vannamei akan mengalami proses pergantian kulit (moulting) yang dipengaruhi

oleh tingkat jenis dan umur. Udang vannamei akan melakukan moulting setiap

hari pada saat berumur muda. Nafsu makan akan turun 1-2 hari sebelum moulting

terjadi dan aktifitas udang vannamei akan berhenti secara total. Proses moulting

umumnya terjadi pada malam hari (Haliman dan Adijaya, 2006).

Udang vannamei melakukan pembuahan dengan cara memasukan sperma

lebih awal ke dalam thelycum udang betina selama memijah sampai udang jantan

melakukan moulting. Gonad udang betina pada awal perkembangannya berwarna

keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada

saat hari pemijahan. Induk betina akan mengeluarkan telur yang disebut dengan

pemijahan (spawning) setelah perkawinan. Perkawinan lebih bersifat open

thelycum, yaitu setelah gonad mengalami matang telur (Soleh, 2006).

2.1.5 Siklus Hidup

Perkembangan siklus hidup udang vannamei adalah dari pembuahan telur

berkembang menjadi naupli, mysis, post larva, juvenil, dan terakhir berkembang

menjadi udang dewasa. Udang dewasa memijah secara seksual di air laut

dalam. Udang vanname akan berpindah ke perairan yang lebih dangkal dimana

terdapat banyak vegetasi yang dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan pada

saat stadia larva (Samocha et al., 2002).


7

2.1.6 Perkembangan Larva Udang Vannamei

Kordi (2007) menyatakan bahwa naupli merupakan stadia paling awal pada

stadia larva udang vannamei. Kemudian berubah menjadi stadia zoea. Zoea

merupakan stadia kedua pada larva udang vannamei. Stadia mysis merupakan

stadia ketiga dari larva udang vannamei yang merupakan stadia terakhir pada

larva udang vannamei. Stadia mysis akan berakhir pada hari ke tiga atau hari

keempat, dimana selanjutnya akan bermetamorfosa menjadi post larva (PL). Pada

PL 10 sudah terlihat seperti udang dewasa. Perkembangan larva udang vannamei

setelah telur menetas adalah sebagai berikut :

a. Stadia Naupli.

Menurut Treece dan Fox (2000) bahwa ukuran pada stadia naupli yaitu

berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih

memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini benih

udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar. Larva akan mengalami

enam kali pergantian kulit (moulting) pada fase naupli dengan memiliki tanda-

tanda sebagai berikut.

Nauplius I: Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan tiga pasang.

Nauplius II: Pada ujung antena pertama terdapat seta (rambut), yang satu panjang

dan dua lainnya pendek.

Nauplius III: Furcal dua buah mulai jelas masing-masing dengan tiga duri(spine),

tunas maxilla dan maxilliped mulai tampak.

Nauplius IV: Pada masing-masing furcal terdapat empat buah duri, eksopoda pada

antena kedua beruas-ruas.


8

Nauplius V: Organ pada bagian depan sudah tampak jelas disertai dengan

tumbuhnya benjolan pada pangkal maxilla.

Nauplius VI: Perkembangan bulu-bulu semakin sempurna dari duri pada furcal

tumbuh makin panjang.

b. Stadia Zoea

Haliman dan Adijaya (2005) mengatakan stadia zoea terjadi setelah naupli

ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30

mm. Benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea

3, lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya

(mysis) sekitar 4-5 hari. Fase zoea terdiri dari tingkatan-tingkatan yang

mempunyai tanda-tanda yang berbeda sesuai dengan perkembangan dari

tingkatannya, seperti diuraikan berikut.

Zoea I: Bentuk badan pipih, carapace dan badan mulai nampak, maxilla pertama

dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi. Proses

mulai sempurna dan alat pencernaan makanan nampak jelas.

Zoea II: Mata bertangkai, pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri supra

orbital yang bercabang

Zoea III: Sepasang uropoda yang bercabang dua (Biramus) mulai berkembang

duri pada ruas-ruas perut mulai tumbuh

c. Stadia Mysis

Benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah

terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson) pada stadia mysis. Benih pada
9

stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran

larva sudah berkisar 3,50-4,80 mm. Fase mysis mengalami tiga perubahan dengan

tanda-tanda sebagai berikut :

Mysis I : Bentuk badan sudah seperti udang dewasa, tetapi kaki renang (pleopoda)

masih belum nampak.

Mysis II : Tunas kaki renang mulai nampak nyata, belum beruas-ruas.

Mysis III: Kaki renang bertambah panjang dan beruas-ruas.

d. Stadia Post Larva (PL)

Soleh (2006) menyatakan bahwa benih udang vannamei sudah tampak

seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari

pada stadia post larva. Misalnya, PL 1 berarti post larva berumur 1 hari. Stadia

post larva benih udang sudah dapat berenang ke depan menggunakan kaki renang

(pleopoda).

2.2 Persyaratan Lokasi

Briggs et al. (2004) mengatakan bahwa Lokasi yang paling tepat untuk

membangun hatchery pembenihan udang vannamei adalah jauh dari kota dan

lahan pertanian, serta muara sungai. Hatchery harus jauh dari fasilitas produksi.

Hatchery memerlukan akses ke prasarana standar industri untuk mengoprasikan

fasilitas yang ada. Air tawar dan air laut yang masuk dan kemungkinan

mengandung bahan pencemar harus dimonitor sesuai dengan cara budidaya ikan

yang baik. Tempat yang tepat untuk mendirikan hatchery adalah tempat yang

berpasir dan berbatu dimana tempat tersebut bersih, bebas dari cemaran, dan
10

mempunyai kualitas air yang bagus setiap tahunnya. Tempat yang sering terkena

banjir dan berlumpur kurang tepat untuk dijadikan hatchery karena pada waktu

terjadi hujan air akan menjadi sangat keruh.

Kungvankij et al. (1985) menambahkan bahwa lokasi yang tepat untuk

mendirikan hatchery adalah tidak berdekatan dengan muara sungai karena dapat

menurunkan salinitas secara mendadak, dimana hal tersebut sering terjadi pada

waktu hujan lebat. Keuntungan dari lokasi hatchery yang berpasir dan berbatu

adalah kualitas air laut menjadi bagus dan secara relatif mendekati garis pantai

sehingga mengurangi kerugian pada instalasi pemipaan dan kerugian pada

pemompaan. Lokasi hatchery juga harus bebas dari kontaminasi limbah pertanian

dan limbah industri. Parameter kualitas air yang tepat untuk kegiatan

pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2.1 Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Larva


Parameter Ukuran
Temperature 28 – 32°C
DO > 5 ppm
CO2 < 20 ppm
pH 7 – 8.3
Salinitas 25 – 35 ppt
ammonia (NH3) < 0.03 ppm
Nitrit (NO2) < 1 ppm
Nitrat (NO3) < 60 ppm
Hidrogen Sulfida (H2S) < 2 ppb
Sumber : Elovaara, A. Shrimp Farming Manual. Practical Technology For
Intensive Commercial Shrimp Production. United States Of America, 2001.
Chapter 4 hal 1-40.
11

Listrik adalah salah satu yang dibutuhkan untuk menjalankan peralatan

dan semua yang mendukung sistem di hatchery. Walaupun beberapa pompa air

laut dan aerator dapat dijalankan secara langsung oleh generator, hatchery dapat

dioprasikan tanpa adanya suplai listrik. Bagaimanapun, lebih ekonomis apabila

dijalankan di area dimana sumber listrik dapak diakses. Hatchery sebaiknya

bertempat di area dimana banyak petani udang beroperasi, jadi larva yang

diproduksi dapat dengan mudah dikirimkan dan disalurkan ke tambak. Pemilihan

tempat untuk pembangunan hatchery harus dapat diakses dari fasilitas komunikasi

dan transportasi (Treece dan Fox, 2000).

2.3 Fasilitas Pemeliharaan larva

Wardiningsih (1999) berpendapat bahwa fasilitas yang digunakan

untuk pemeliharaan larva terbagi menjadi dua, yaitu fasilitas pokok dan fasilitas

pendukung yang secara prinsip diperlukan untuk usaha pemeliharaan larva udang

vannameii adalah sebagai berikut :

2.3.1 Fasilitas Pokok

1. Bak Filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral,

pasir, arang, ijuk, dengan menggunakan waring sebagai pemisah komponen.

2. Bak tandon air tawar dan air laut, yaitu bak bak penampung air laut dan air

tawar yang terbuat dari beton dengan volume minimal 30% dari kapasitas total

bak pemeliharaan.

3. Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat dari

semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.


12

4. Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia

pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat dengan volume 20% - 40% dari

bak larva.

5. Penetasan kista artemia, yaitu untuk menetaskan telur artemia sebagai makanan

larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan volume 0,02 m3.

6. Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah

terkait.

7. Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa

yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30 % per hari dari total

volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benur, dan pompa air tawar

dengan kapasitas minimal 5 % dari total volume air bak atau sarana penyedia air

yang kemampuannya setara dengan kapasitas di atas.

8. Aerasi blower/hi blow, selang aerasi, batu aerasi.

2.3.2 Fasilitas Pendukung

1. Peralatan lapangan: seser, saringan pembuangan air, kantong saringan air, gelas

piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan, selang, saringan pakan,

alat sipon, peralatan panen.

2. Peralatan laboratorium: pengukur kualitas air (termometer, refraktometer, pH

meter atau kertas pH) dan mikroskop.

3. Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan tersebut

mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik PLN.
13

2.4 Kegiatan Pemeliharaan Larva

2.4.1 Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva

Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharaan larva sebelumnya

harus dibersihkan dan diberi desinfektan. Bak dibersihkan menggunakan air

bersih dan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak.

Pemebersihan dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak bertujuan

untuk membuang seluruh kotoran yang ada dalam bak pemeliharaan. Pemberian

desinfektan berupa hypochlorite sebanyak 20 – 30 ppm, dan dibilas menggunakan

air bersih untuk menghilangkan sisa dari chlorine, kemudian bak yang sudah

dibersihkan dijemur (Wyban, 1991).

Bak yang akan digunakan untuk tempat pemeliharaan larva dibersihkan

menggunakan bleaching powder, kemudian dibilas menggunakan air tawar dan

dijemur selama 24 jam. Sebagian dari bak pemeliharaan diisi air laut, selanjutnya

dilakukan pemasangan aerasi pada beberapa titik bak pemeliharaan. sebelum bak

pemeliharaan larva digunakan untuk siklus selanjutnya, bak harus dicuci

menggunakan larutan Hydrocloric Acid (HCl) kemudian dibilas menggunakan air

tawar atau air laut.

Air yang masuk ke unit pembenihan harus dibersihkan dan diberi

desinfektan berupa chlorin dan dilakukan proses filtrasi sebelum didistribusikan

ke area pembenihan seperti hatchery, kultur plankton, artemia, dan lain-lain. Air

yang digunakan untuk kegiatan pembenihan di hatchery harus difilter dan

ditreatmen untuk mencegah masuknya organisme yang membawa penyakit dan

patogen yang terbawa oleh air. Air yang akan digunakan, biasanya diberi
14

desinfektan berupa chlorin. Air disaring menggunakan filter bag dan terakhir

didesinfektan kembali menggunakan sinar ultraviolet (UV) atau ozon. air laut

dalam bak pemeliharaaan larva ditreatmen menggunakan EDTA sebanyak 10 ppm

dan trefflan sebanyak 0,1 ppm (Treece dan Fox, 2000).

2.4.2 Penebaran naupli

Subaidah dan Pramudjo (2008) menyatakan bahwa naupli ditebar setelah

persiapan bak dan media pemelihraan larva selesai dilakukan. Padat penebaran

naupli maksimal adalah 100 ekor per liter dengan ukuran naupli yaitu 0,5 mm.

Naupli yang akan ditebar pada bak pemeliharaan harus mempunyai kualitas yang

baik, berikut adalah ciri naupli yang mempunyai kualitas baik:

1. Warna coklat orange

2. Gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dibandingkan dari periode

diam

3. Kondisi organ tubuh lengkap, ukuran dan bentuk normal serta bebas patogen

4. Respon terhadap rangsangan bersifat fototaksis positif

Kepadatan larva yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva paling sedikit

adalah 75 ekor naupli per liter. Naupli yang ditebar dalam bak pemeliharan larva

mempunyai kepadatan 100 hingga 150 ekor naupli per liter atau atau 100.000

sampai dengan 150.000 ekor naupli per ton. Penebaran naupli dilakukan pada pagi

hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi dengan

cara aklimatisasi. Sebelum naupli ditebar pada bak pemeliharaan larva, harus

dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi yang dilakukan berupa penyesuaian suhu dan


15

salinitas air terhadap naupli. Proses aklimatisasi ini dilakukan hingga menunjukan

naupli sudah dapat beradaptasi dengan media air dalam bak pemeliharaan larva.

2.4.3 Pengelolaan Pakan

a. Pakan Alami

Pakan alami yang diberikan kepada larva udang vannamei adalah

fitoplankton dan zooplankton. Beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk

makanan larva udang adalah Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii,

Chaetoceros calcitrans. Nauplius artemia merupakan zooplankton yang banyak

diberikan pada larva udang. Nauplius artemia banyak mengandung nilai nutrisi

yang dibutuhkan oleh larva udang (Briggs et al., 2004).

Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros diberikan mulai dari stadia zoea

1 sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini

larva udang putih vannamei masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai

makanan. pada stadia naupli belum memerlukan makanan karena masih

mempunyai cadangan makanan berupa egg yolk selama 36 – 72 jam. Stadia zoea

larva udang vannameii diberi makanan Skeletonema sp., Chaetoceros sp.,

dan Thalassiosira. Pemberian algae berupa Chaetoceros dan Thallasiosiosirra

pada stadia naupli diberikan sebanyak 60.000 sel/ml, stadia zoea 1 sebanyak

80.000 sel/ml, pada stadia zoea 2 diberikan sebanyak 80.000 – 100.000 sel/ml,

stadia zoea 3 – mysis 1 diberikan sebanyak 100.000 sel/ml, dan pada stadia mysis

2 - 3 diberikan sebanyak 80.000 sel/ml.

Treece dan Fox (2000), menyatakan bahwa naupli artemia yang baru

menetas diberi aerasi. Hal ini dilakukan agar naupli dalam penampungan
16

sementara tetap dalam kondisi hidup. Naupli artemia diberikan menggunakan

beacker glass dengan cara ditebarkan secara merata. Pemberian pakan artemia

dilakukan enam kali dalam satu hari yaitu pada pukul 00.00, 04.00, 08.00, 12.00,

16.00, dan 20.00.

b. Pakan Buatan

Kalesaran (2010) berpendapat bahwa pakan buatan diperlukan sebagai

tambahan nutrisi terhadap pertumbuhan larva udang. Kriteria pakan buatan yang

berkualitas baik adalah sebagai berikut:

1. Kandungan gizi pakan terutama protein harus sesuai dengan kebutuhan ikan

2. Diameter pakan harus lebih kecil dari ukuran bukaan mulut ikan

3. Pakan mudah dicerna

4. Kandungan nutrisi pakan mudah diserap tubuh

5. Memilki rasa yang disukai ikan

6. Kandungan abunya rendah

7. Tingkat efektivitasnya tinggi

Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang vannamei adalah

pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel

sesuai dengan stadianya. Kandungan nutrisi pada pakan buatan larva udang

vannamei terdiri dari protein minimum 40% dan lemak maksimum 10%.

kandungan nutrisi pada pakan buatan larva udang vannamei terdiri dari protein 28

– 30%, lemak 6-8%, serat (maksimal) 4%, kelembaban (maksimal) 11%, kalsium

(Ca) 1,5-2%, dan fosfor (phosphorus) 1-1,5%.


17

Pakan buatan yang akan diberikan sebelumnya disaring menggunakan

saringan berukuran 10 – 80 mikron. Stadia mysis pakan buatan diberikan dengan

cara disaring menggunakan saringan berukuran 50 – 150 mikron. Pakan buatan

yang diberikan pada stadia PL 1 – PL 8 sebelumnya disaring menggunakan

saringan berukuran 200 – 300 mikron, sedangkan pada stadia PL 9 sampai dengan

panen sebelumnya disaring menggunakan saringan dengan ukuran 300 – 500

mikron. Ukuran partikel pakan buatan pada tiap stadia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.2 Ukuran Partikel Pakan Buatan Sesuai Stadia


No. Stadia Satuan Ukuran
1. Zoea mm 5 – 10
2. Mysis mm 10 – 20
3. Postlarva mm 20 – 30

Sumber: Standar Nasional Indonesia. (2006). Produksi Benih Udang Vanname


(Litopenaeus vanname) Kelas benih sebar. Badan Standarisasi Nasional (BSN).
01 -7252. 7hlm.

Frekuensi pemberian pakan dilakukan enam kali dalam satu hari,

dilakukan empat jam sekali dengan pemberian dilakukan secara berselang-seling

antara pakan alami dan pakan buatan. Pemberian pakan buatan sebelumnya

dilakukan proses penyaringan, hal tersebut dimaksudkan agar pakan buatan yang

tersaring sesuai dengan bukaan mulut dari larva udang pada setiap stadia (Edhy

dan Kurniawan, 2003).

2.4.4 Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air pada media pemeliharaan larva harus dilakukan pengelolaan air

yang baik. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan penyiponan dan pergantian

air. Sisa pakan yang tidak termakan dan hasil metabolisme yang berupa feses
18

dibuang dari dasar bak pada waktu tertentu (penggunan probiotik akan

mengurangi penyiponan). Endapan berupa kotoran atau sisa pakan yang terdapat

di dasar bak pemeliharaan harus segera dilakukan perose penyiponan atau

dibersihkan. Larva udang yang ikut tersedot saat proses penyiponan dapat disaring

pada jaring seser, kemudian dapat dikembalikkan pada bak pemeliharaan (Briggs

et al., 2004)

Pergantian air selama pemeliharaan larva perlu dilakukan tergantung dari

kepadatan larva, stadia larva, dan kondisi kualitas air pada bak pemeliharaan

larva. Pergantian air dilakukan untuk mempertahankan kondisi parameter kualitas

air dalam bak pemeliharaan agar tetap stabil. Air yang digunakan pada proses

pergantian air, harus mempunyai kualitas yang lebih baik dari air pemeliharaan

yang ada dalam bak. Air yang akan digunakan harus sama dengan temperatur,

salinitas, dan derajat keasaman (pH) untuk menghindari stress pada larva akibat

dari perubahan parameter secara mendadak (Treece dan Fox, 2000).

Bak pemeliharaan larva hanya diisi 50% dari kapasitas maksimal.

Penambahan air secara berangsur sekitar 10% per hari dari kapasitas maksimal air

yang baru (termasuk jumlah plankton yang digunakan) sampai bak terisi penuh

dan dilakukan hingga mencapai stadia mysis. Stadia zoea tidak dilakukan

pergantian air. Pada waktu masuk stadia mysis dilakukan pergantian air sebanyak

10 – 30 % per hari. Pada stadia awal larva, dilakukan pergantian air tetapi volume

pergantian air lebih besar daripada stadia sebelumnya, PL1-4 dilakukan

pergantian sebanyak 30-40% dan pada PL 5-8 dilakukan pergantian air sebanyak

40 – 50% (Elovaara, 2001).


19

2.4.5. Monitoring Pertumbuhan

Berdasarkan FAO (2003) yang menyatakan bahwa pengamatan

pertumbuhan larva udang dilakukan bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan

larva. Apabila pertumbuhan larva lambat dapat dipacu dengan pemberian pakan

yang berkualitas. apabila pakan yang diberikan berkualitas baik, jumlahnya

mencukupi, dan kondisi lingkungan mendukung, maka dapat dipastikan laju

pertumbuhan udang akan lebih cepat sesuai yang diharapkan. Sedangkan untuk

mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan

mikroskopis antara lain yaitu :

a. Pengamatan Makroskopis

Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil

sampel langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter beaker glass kemudian

diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, pigmentasi, usus, sisa

pakan kotoran atau feses dan butiran-butiran yang dapat membahayakan larva.

b. Pengamatan Mikroskopis

Pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengambil

beberapa ekor larva dan diletakkan di atas gelas objek kemudian diamati dibawah

mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk mengamati morfologi tubuh larva,

keberadaan parasit, pathogen yang menyebabkan larva terserang penyakit.


20

2.4.6 Pengendalian Penyakit

Keberadaan penyakit merupakan salah satu permasalahan yang

memerlukan penanganan secara khusus. Timbulnya penyakit dapat bersumber

dari berbagai aspek seperti air sebagai media pemeliharan, peralatan

pemeliharaan, pengaruh kontaminasi pakan, lingkungan, maupun sanitasi dari

masing-masing pelaksana produksi yang secara langsung berhubungan dengan

aktifitas pemeliharaan larva.

Vorticella merupakan salah satu jenis protozoa yang menyerang larva

dengan cara menempel pada permukaan tubuh larva atau insang pada semua

stadia dalam kegiatan pemeliharaan larva udang vannamei. Organ udang seperti

permukaan tubuh, alat gerak, atau insang yang banyak terdapat vorticella akan

menyulitkan larva dalam melakukan pergerakan, mensuplai makanan, moulting,

dan respirasi (Wahyudi, 2007).

Penyakit yang paling serius mempengaruhi stadia larva udang

vannamei disebabkan oleh jamur, vibrio, dan bakteria. Pengobatan harus segera

dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Bak pemijahan tidak

berada pada satu tempat dengan bak pemeliharaan larva, orang yang memijahkan

harus diberi desinfektan, dan penyaring air laut jumlahnya harus memadai agar

tidak terjadi penyebaran penyakit (Briggs et al., 2004).

Umumnya penyakit bakterial dapat dihilangkan menggunakan

erythromycin sebanyak 2-4 ppm, penyakit akibat jamur dapat dihilangkan

menggunakan malachite green sebanyak 0,0075 ppm dan infeksi akibat protozoa

dapat dihilangkan menggunakan formalin sebanyak 10 ppm apabila tingkat


21

kematian larva terlihat lebih banyak, larva harus diamati dengan cara mengambil

beberapa ekor larva untuk dijadikan sampel agar dapat diketahui penyebabnya.

Apabila teridentifikasi terdapat penyakit yang menyerang harus dilakukan

treatmen (Wyban and Sweeney, 1991).

2.5 Panen dan Pasca Panen

Subaidah (2008) menyatakan PL21-PL25 merupakan waktu yang tepat

untuk melakukan pemanenan dari bak pemeliharaan karena pada ukuran tersebut

dapat dengan mudah dipelihara pada tambak dan dapat dengan mudah untuk

dikirim. Larva yang ada pada bak pemeliharaan dipanen dengan cara mengurangi

1/3 air pada bak kemudian dikumpulkan pada bag net yang ditempatkan pada

ujung pipa pembuangan. Metode panen tersebut cukup efisien untuk

mmengumpulkan semua larva. Wyban and Sweeney (1991) menyatakan

normalnya pemanenan benur udang dilakukan pada saat mencapai stadia PL8

sampai dengan PL10.

Benur yang dipanen harus mempunyai kualitas yang baik. Ciri dari benur

yang siap untuk dipanen dan mempunyai kualitas yang baik adalah sebagai

berikut :

a) Mempunyai tubuh yang transparan dan usus tidak terputus.

b) Gerakan berenang aktif dan melawan arus dan kepala enderung mengarah ke

arah dasar.

c) Kondisi tubuh setelah mencapai PL 10 organ tubuh sudah sempurna dan ekor

mengembang, bebas virus.


22

d) Respon terhadap rangsangan sangat responsif, benur akan melentik dengan

adanya kejutan.

Postlarva dapat ditampung dalam bak plastik, bak fiberglass, atau kanvas

yang berukuran 500 – 1000 liter dan diberi aerasi. Suhu air dalam kantong plastik

diturunkan menggunakan es batu. Postlarva dengan kepadatan 200 – 500 per liter

dapat diangkut sampai 10 jam tanpa menimbulkan tingkat mortalitas yang tinggi.

Postlarva juga dapat diangkut menggunakan kantong plastik tipe polyethylene

yang diberi oksigen. Plastik berukuran 60 x 40 cm diisi 6 – 8 liter air tawar dan

air laut kemudian masukkan 3000 – 5000 postlarva. Kepadatan jumlah larva dapat

dikurangi jika dilakukan pengiriman dalam waktu lama atau jarak jauh. Setelah

kantong plastik terikat kencang, tempatkan dalam styrofoam atau ember plastik

(Standar Nasional Indonesia, 2006).

Suhu diturunkan sekitar 22 – 25°C menggunakan es dan serbuk kayu pada

dasar, sisi, dan atas styrofoam. Postlarva akan bertahan lebih dari 12 jam selama

pengiriman. Kepadatan benur dalam plastik packing pada stadia PL15 berkisar

antara 500-1200 per liter tergantung dari ukuran benur dan lamanya waktu

pengiriman. Dalam plastik tersebut diberi karbon aktif sebagai pengikat amoniak

selama proses pendistribusian. Pemberian HCl Buffer sebagai penstabil pH dan

naupli artemia sebanyak 15-20 ekor naupli per benur untuk mencegah terjadinya

kanibalisme selama proses pendistribusian (Subaidah dan Pramudjo, 2008).


23

III PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Waktu Dan Tempat

Praktek Kerja Lapang ini akan dilaksanakan di PT. Suri Tani Pemuka Unit

Hatchery Desa Selogiri Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi. Kegiatan

ini akan dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2017 hingga 18 Januari 2018

3.2 Metode Kerja

Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang adalah metode

deskriptif. Frick (2008) mengungkapkan metode deskriptif atau penguraian

empiris adalah metode yang paling sering digunakan yaitu metode yang

menggambarkan kejadian pada daerah tertentu. Tujuan metode deskriptif ini

adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual,

dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki (Nazir, 2011).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang diambil dalam Praktek Kerja Lapang ini

data primer berupa observasi, wawancara dan partisipasi aktif dan data sekunder

untuk melengkapi data yang dikumpulkan.

3.3.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dengan mengadakan

pengamatan langsung terhadap suatu obyek yang telah diselidiki baik dalam

situasi sebenarnya maupun situasi khusus. Data primer diambil secara langsung
24

dari sumbernya untuk pertama kali dan belum diproses sama sekali. Dalam

pengumpulan data primer dapat digunakan beberapa metode yaitu observasi,

wawancara dan partisipasi aktif maupun memakai instrument pengukuran tertentu

yang khusus sesuai dengan tujuan.

A. Observasi

Observasi adalah suatu studi yang dilakukan dengan sengaja atau

terencana melalui penglihatan atau pengamatan terhadap gejala-gejala spontan

yang terjadi saat itu (Indrawati, 2007). Observasi dilakukan dengan mengamati

secara langsung suatu obyek yang diteliti dan pencatatan secara sistematis

mengenai hasil pengamatan. Observasi pada Praktek Kerja Lapang ini dilakukan

terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan studi pemeliharaan larva udang

vannamei (Litopenaeus vannamei)

B. Wawancara

Wawancara adalah sebuah percakapan yang dilakukan oleh pewawancara

untuk memperoleh informasi dari orang yang diwawancarai (Liananda, 2011).

Komunikasi yang baik dan lancar diperlukan untuk mendapatkan data yang dapat

dipertanggung jawabkan secara keseluruhan. Wawancara dilakukan memberikan

petanyaan kepada pegawai pembimbing PKL mengenai latar belakang kegiatan

pemeliharaan larva udang vanname, struktur organisasi, tenaga kerja, jenis

kegiatan dan masalah apa saja yang dihadapi saat melaksanakan kegiatan

pemliharaan larva udang.


25

C. Partisipasi Aktif

Partisipasi aktif adalah keterlibatan secara langsung dan aktif pada suatu

kegiatan di lapangan (Rosidi, 2008). Kegiatan yang dilakukan adalah teknik

pemeliharaan larva udang vanname (Litopenaeus vannamei). Dimulai dari

penetesan naupli, kultur plankton sebagai pakan alami larva udang, persiapan alat-

alat dan bahan yang akan digunakan untuk pemeliharaan larva udang vanname,

pemberian pakan terhadap larva udang vanname, hingga pasca panen post larva

udang vanname di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Desa Selogiri Kecamatan

Kalipuro Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung dan

telah dikumpulkan serta dilaporkan oleh orang di luar dari penelitian itu sendiri

(Azwar, 1998). Pada umumnya data sekunder berupa data yang telah

dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain sehingga dapat digunakan oleh peneliti

untuk memberikan gambaran tambahan, lengkap atau untuk proses lebih lanjut.

Data ini dapat diperoleh dari data dokumentasi, lembaga penelitian dinas

perikanan, pustaka-pustaka, laporan-laporan pihak swasta, masyarakat dan pihak

lain yang berhubungan dengan pemeliharaan larva udang vanname di PT. Suri

Tani Pemuka Unit Hatchery.


26

3.4 Jadwal Kegiatan


Kegiatan Praktek Kerja Lapang ini akan dilaksanakan pada tanggal 18

Desember 2017 – 18 Januari 2018 dengan jadwal sebagai berikut :

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Praktek Kerja Lapang


No Kegiatan Waktu Pelaksanaan (hari)
1 Perijinan
1.1 Ijin 1
1.2 Survei Lapangan 3
2 Penyusunan Usulan PKL 10
3 Konsultasi Usulan PKL 10
4 Pelaksanaan PKL 30
5 Penyusunan Laporan PKL 25
6 Konsultasi Laporan PKL 20

Total Waktu Penyelesaian 99


27

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang

4.1.1 Sejarah Berdirinya dan Perkembangan

PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi merupakan unit

pelaksana proses produksi larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) yang

bertanggung jawab dibawah PT. Suri Tani Pemuka Tbk. PT. Suri Tani Pemuka

Unit Hatchery Banyuwangi secara resmi didirikan pada tanggal 1 Juli 2009.

Bangunan yang digunakan PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi

sebelumnya merupakan milik unit usaha UD. Benur Sakti dimana pada waktu itu

unit usaha tersebut mengalami krisis ekonomi perusahaan, kemudian unit usaha

tersebut dibeli oleh PT. Suri Tani Pemuka Tbk.

4.1.2 Luas, Tata Letak, Topografi dan Geografi

Lokasi PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi terletak di Jl.

Raya Banyuwangi – Watudodol km. 3 Desa Selogiri, Kecamatan Kalipuro,

Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Lokasinya berdekatan dengan

pesisir laut dan pemukiman warga. Hal itu menjadikan PT. Suri Tani Pemuka

Unit Hatchery sebagai penyedia lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Adapun batas-batas wilayah PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery

Banyuwangi dengan daerah dan wilayah di sekitarnya adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : UD. Benur Ndaru Laut

- Sebelah Selatan : Desa Selogiri


28

- Sebelah Barat : Desa Selogiri

- Sebelah Timur : Selat Bali

Secara geografis, PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi terletak

di tepi pantai Selat Bali dengan ketinggian tempat (Topografi) ± 2 m di atas

permukaan laut. PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi terletak pada

titik koordinat 111° 24’ hingga 112° 11’ BT dan 7° 53’ hingga 8° 34’ LS. Salinitas

air laut pada perairan Selat Bali berkisar antara 30-35ppt. Selat bali merupakan

sumber air sebagai media pemeliharaan memiliki dasar perairan yang berkarang

dan berpasir, hal tersebut merupakan salah satu syarat lokasi yang baik dalam

proses produksi larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei).

4.1.3 Visi dan Misi

PT. Suri Tani Pemuka memiliki visi dan misi berdasarkan perusahaan

pusat yaitu untuk menjadi penyedia terkemuka dan terpercaya di bidang produk

pangan berprotein terjangkau di Indonesia, berlandaskan kerjasama dan

pengalaman teruji dalam upaya memberikan manfaat bagi seluruh pihak terkait.

Adapun misinya adalah :

1. TERKEMUKA

a. Menjadi yang utama dan selalu diingat masyarakat

b. Menjadi panutan bagi industri sejenis

c. Berkembang melalui proses berkesinambungan

d. Selangkah lebih maju dalam persaingan


29

2. TERPERCAYA

a. Dapat diandalkan oleh segenap pemasok, konsumen, dan karyawan

b. Konsisten, aman, bekualitas baik, produk higienis

c. Bertanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan

3. TERJANGKAU

a. Mengutamakan masyarakat luas

b. Kualitas baik dengan harga terjangkau

c. Berperan aktif dalam menanggulangi keterbatasan pangan

4. PRODUK PANGAN BERPROTEIN

a. Mengembangkan usaha di bidang protein dari hewan ternak termasuk unggas

dan hewan laut

b. Termasuk usaha utama di bidang pakan, pembiakan & pemeliharaan ternak,

vaksin, dan lain-lain

c. Berujung pada produksi makanan olahan untuk konsumsi manusia

5. KERJASAMA

a. Bekerjasama dan saling membantu secara inisiatif

b. Koordinasi secara sempurna

c. Beroperasi sebagai satu kesatuan

4.1.4 Struktur Organisasi dan Tata Kerja

Organisasi dan manajemen merupakan faktor yang sangat penting bagi

setiap perusahaan dalam mencapai tujuannya. Susunan organisasi dan tata kerja

PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi dapat dilihat pada Lampiran 3.
30

Jumlah tenaga kerja yang ada di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery

Banyuwangi berjumlah 60 orang. Tugas dari tiap-tiap pegawai berbeda sesuai

dengan posisinya dan sudah ditetapkan sebelumnya. Susunan organisasi di IBAT

Punten terdiri dari :

1. Kepala Unit, mempunyai tugas memimpin, mengkoordinasikan, mengarahkan,

mengawasi dan mengendalikan pengembangan perusahaan secara tanggung

jawab.

2. HRD (Human Resource Development), mempunyai tugas melaksanakan

pengelolaan surat menyurat, urusan rumah tangga, kehumasan dan kearsipan.

Selanjutnya melaksanakan pengelolaan administrasi kepegawaian, administrasi

keuangan, administrasi dan perlengkapan kantor. Selain itu, sub bagian tata

usaha juga bertugas untuk menghimpun, menyusun, mengusulkan dan

mengevaluasi serta melaporkan kegiatan PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery

Banyuwangi.

3. Kepala bagian produksi, mempunyai tugas melaksanakan kebijakan akreditasi

lembaga sertifikasi, merencanakan dan melaksanakan kegiatan operasional

produksi, menyusun laporan evaluasi pelaksanaan kegiatan budidaya.

4. Kepala bagian pembelian, mempunyai tugas melaksanakan pengadaan barang

yang dibutuhkan untuk perusahaan, mencatat pengeluaran dan pemasukan

barang selama proses produksi.

5. Marketing atau pemasaran, melaksanakan tugas untuk mencari konsumen dari

berbagai daerah, menjalin hubungan kerjasama dengan unit usaha yang sejenis,

dan bertanggung jawab atas hak konsumen.


31

Karyawan yang ada di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi

memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang

pendidikan tersebut menyebabkan adanya pengelompokan jabatan yang

digolongkan dari tingkat pendidikannya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan

pembagian tugas sehingga pembagiannya merata dan adil serta sesuai dengan

kemampuan masing-masing pegawai. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada

lampiran.

4.2 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery sangat

menunjang bagi keberhasilan produksi larva udang vannamei. Sarana dan

prasarana yang dimaksud adalah perlengkapan baik itu media, alat, tempat dan

perlengkapan lain yang menunjang keberhasilan produksi larva udang vanname.

4.2.1 Sarana

a. Bak Pemeliharaan Larva

Kolam pemeliharaan larva berupa kolam semi intensif dilengkapi dengan

sistem saluran air masuk (inlet) dan keluar (outlet). Bentuk kolam pemeliharaan

induk berbentuk persegi panjang dengan volume 7 x 3 x 1,5 m3 sebanyak 40 buah.

Saluran pemasukan air dan pengeluaran air terbuat dari pipa dengan diameter

saluran pemasukan air 4 inchi dan diameter saluran pengeluaran air 2 inchi.

b. Bak Kultur Algae

Bak kultur algae digunakan untuk memproduksi algae skala outdoor dengan

dilengkapi sistem saluran air masuk (inlet) dan air keluar (outlet). Bak kultur
32

algae memiliki ukuran dengan volume 4 x 2 x 1,5 m3 sebanyak 5 buah. Saluran

pemasukan air terbuat dari pipa PVC berdiameteer 3 inchi.

c. Bak Artemia

Bak artemia memiliki bentuk seperti tabung dan mengkerucut dibagian

bawah dengan volume tampung air sebanyak 800 liter, terdapat saluran outlet

pada bagian bawah bak yang digunakan untuk pembuangan atau proses

pemanenan artemia. Bak artemia biasa digunakan untuk kultur artemia dan

perendaman alat instalasi produksi. Dalam menunjang kegiatan kultur artemia,

PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi memiliki bak kultur artemia

sebanyak ± 10 buah bak kultur artemia.

d. Bak Tandon

Wadah pengendapan (reservoir) untuk air yang berasal dari saluran inlet

yaitu air laut berupa kolam berbentuk persegi panjang dengan volume 9 x 9 x 4

m3. Kolam memiliki alur berbelok-belok, yang berfungsi sebagai pengendap

partikel-partikel tanah, lumpur, sampah, serta batu-batuan, sehingga air yang

keluar dari dalam reservoir lebih bersih. Di bagian sudut lain terdapat saluran

yang berfungsi untuk mendistribusikan air ke kolam-kolam pemeliharaan lainnya

yang ada di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi.

e. Aerasi

kegiatan produksi larva udang di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery

menggunakan blower sebagai sumber oksigen terlarut dalam bak pemeliharaan

larva. Blower tersebut berjumlah 5 buah dan diletakkan pada ruang blower. Proses

penyaluran udara dari blower ke area produksi menggunakan pipa PVC yang
33

berdiameter 4 inchi. Sedangkan untuk pipa aerasi sekunder yang berada di setiap

bak pemeliharaan larva memiliki diameter 2 inchi secara langsung terhubung

dengan selang aerasi, timah pemberat dan batu aerasi.

Tabel 4.1 Sarana Umum di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi
No Sarana Umum Jumlah

1 Bak Pemeliharaan Larva (7x3x1,5m3) 40 unit

2 Bak Kultur Algae (3x4x1,5m3) 10 unit

3 Bak Penampungan Air Laut (9x9x4m3) 10 unit

4 Bak Sand Filter (20x3x2m3) 1 unit

5 Holding Tank (250 liter) 5 unit

6 Bak Kultur Artemia (800 liter) 10 unit

7 Sumur Air Tawar (15 meter) 2 unit

8 Laboraturium Quality Control 1 unit

9 Pompa Air Laut 10HP 4 unit

10 Pompa Air Tawar 5HP 2 unit

11 Genset 125 KVA 1 unit

12 Bak sand filter (3x2x1,5m3) 5 unit

13 Blower 2 unit

14 Bak Penampungan Limbah (3x3x2m3) 4 unit

15 Gudang Pakan 1 unit

Sumber : Data PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi


34

4.2.2 Prasarana

Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama

terselenggaranya produksi. Prasarana yang digunakan dalam kegiatan produksi

larva udang di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi adalah sebagai

berikut :

a. Transportasi

Alat transportasi merupakan salah satu sarana penunjang yang penting

dalam menjalankan usaha kegiatan budidaya ikan koi. Alat transportasi yang

digunakan di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi adalah mobil pick

up dan mobil dinas. Mobil pick up berfungsi sebagai alat transportasi yang

berhubungan terhadap kegiatan produksi khususnya pembelian barang,

pengiriman, dan kegiatan yang mebutuhkan bantuan dengan kendaraan tersebut.

b. Pompa Air Laut

Pompa air laut digunakan untuk mengambil air laut guna memenuhi

kebutuhan air laut selama kegiatan produksi. Proses pengambilan air laut

menggunakan dua alat pompa bermesin diesel dengan mer EBARA dan NS-100

yang memiliki daya sebesar 15 KVA. Pompa tersebut diletakkan di dalam ruang

yang disebut pump house.

c. Tenaga Listrik

Sumber tenaga listrik di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi

berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memiliki daya total sebesar

135 KVA. Apabila terjadi masalah yang dapat mengganggu proses produksi
35

seperti pemadaman listrik, PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi

menggunakan sumber energi listrik pengganti yaitu satu buah genset yang

memiliki kapasitas total 125 KVA.

d. Komunikasi

Prasarana komunikasi yang terdapat di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery

Banyuwangi meliputi telepon, surat-menyurat, faximile, website dan email.

Prasarana ini digunakan untuk hubungan komunikasi antara pihak perusahaan

dengan pihak lain.

e. Bangunan

Bangunan-bangunan di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi

meliputi kantor, gudang pakan, gudang bahan, gudang mesin, pos jaga, asrama,

laboratorium, rumah dinas, karantina ikan dan mushola. Asrama terdiri dari

asrama besar dan asrama khusus putri yang berfungsi sebagai tempat tinggal bagi

mahasiswa yang praktek kerja lapang dan magang.

4.3 Kegiatan Pemeliharaan Larva Udang Vanname

Kegiatan pemeliharaan larva udang vanname di PT. Suri Tani Pemuka Unit

Hatchery Banyuwangi antara lain persiapan wadah dan media pemeliharaan,

penebaran nauplii, pengelolaan pakan, manajemen kualitas air, pengamatan

pertumbuhan larva, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pasca panen,

serta analisis usaha.


36

4.3.1 Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan

Persiapan Bak dan media pemeliharaan merupakan salah satu faktor penting

untuk menjaga kondisi lingkungan kolam agar dapat dimanfaatkan secara

berkelanjutan untuk proses produksi larva udang (Nurdjana dkk., 1989). Persiapan

bak pemeliharaan larva untuk pembenihan udang meliputi pencucian bak,

perendaman alat pemeliharaan, pengeringan, pemasangan sistem aerasi, dan

pemasukan air. Bak pemeliharaan larva udang vanname terbuat dari semen

(beton), memiliki bentuk persegi panjang pada bagian sudutnya dibuat tumpul

untuk menghindari penempelan dari kotoran dan mempermudah sirkulasi air.

a. Pencucian Bak Pemeliharaan dan Instalasi Pendukung

Pencucian bak pemeliharaan larva dilakukan dengan menggunakan deterjen

dan kaporit 600 ppm kemudian digosok menggunakan polyped pada bagian

dinding dan dasar bak pemeliharaan larva udang. Dinding dan dasar bak yang

telah digosok kemudian dibilas menggunakan air tawar. Proses ini dilakukan

untuk menghilangkan kotoran yang menempel dimana dapat menyebabkan

munculnya bakteri maupun jamur.

Instalasi yang digunakan dalam mendukung proses pemeliharaan larva

udang juga dibersihkan untuk membunuh bakteri dan jamur. Selang aerasi dan T

aerasi dicuci dengan cara direndam pada larutan HCl selama 24 jam, sedangkan

timah pemberat direndam menggunakan larutan formalin selama 24 jam. Gayung,

plastik penutup bak, beaker glass, dan heater dibersihkan dengan menggunakan

sabun cair kemudian dibilas dengan air tawar.


37

Gambar 4.1 Pencucian Bak Pemeliharaan Larva


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

b. Pengisian Air

Pengisian air laut dilakukan setelah bak dikeringkan dan instalasi terpasang

seluruhnya dengan benar. Air laut yang digunakan adalah air laut yang telah

tersedia di bak penampungan air dan telah dilakukan treatment air. Pengisian air

laut ke dalam bak pemeliharaan larva disalurkan melalui pipa inlet dengan

menggunakan catridge sebagai penyaring kotoran yang kemungkinan masih

terdapat dalam air laut. Bak pemeliharaan larva yang telah berisi air laut

kemudian dilakukan treatment air menggunakan sodium atau EDTA (Ethylene

Diamine Tetracetic Acid) sebanyak 10 ppm.

Gambar 4.2 Pengisian Air Laut ke dalam Bak Pemeliharaan Larva


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

4.3.2 Penebaran Nauplii


38

Stadia larva udang yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva adalah stadia

Nauplii V-VI. Nauplii dilakukan proses aklimatisasi terlebih dahulu selama 15

menit sebelum ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva. Proses aklimatisasi

bertujuan untuk menyamakan suhu pada media kantong nauplii dengan suhu

media pemeliharaan larva sehingga nantinya nauplii yang ditebar tidak mengalami

stress.

Perhitungan naupli sebelum ditebar dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Mengisi air laut sebanyak 10 liter ke dalam ember kemudian diberikan aerasi.

b. Nauplii dituangkan ke dalam ember yang telah diisi air laut dan diberi aerasi.

c. Mengambil sampel sebanyak 5 ml dan dihitung menggunakan handcounter

d. Perhitungan sampe diulangi sebanyak 3 kali.

Gambar 4.3 Proses Aklimatisasi Nauplii Gambar 4.4 Perhitungan Nauplii


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

4.3.3 Manajemen Pakan Larva

Pakan yang diberikan pada larva udang selama proses pemeliharaan adalah

pakan alami berupa fitoplankton dan pakan buatan (premix). Pengelolaan pakan

pada larva udang meliputi penentuan jenis pakan, dosis pakan, frekuensi

pemberian dan pengamatan. Pada stadia nauplii larva masih belum diberi pakan,
39

karena dalam tubuhnya masih terdapat persediaan makanan berupa kantong

kuning telur (Cahyaningsih, 2006).

a. Fitoplankton

1. Jenis

Fitoplankton yang diberikan sebagai pakan alami dalam pemeliharaan larva

udang vanname di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery adalah jenis Chaetoceros

mulleri. Pemberian pakan alami dilakukan sampai pemeliharaan stadia Mysis 3

atau PL-1, karena pada stadia larva (PL-1) larva sudah mulai diberikan pakan

alami yang lebih besar yaitu artemia.

2. Dosis Pakan

Sumeru dan Ana (1992) mengatakan bahwa Dosis pakan merupakan faktor

yang perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pakan karena akan memegang

peranan penting dalam efektifitas penggunaan pakan. Kepadatan fitoplankton

yang diberikan harus disesuaikan dengan stadia larva udang. Frekuensi pemberian

pakan alami akan mengalami penurunan pada saat stadia mysis. Dosis pemberian

pakan alami dapat dilihat pada lampiran.

Adapun cara perhitungan kepadatan fitoplankton dengan menggunakan alat

Haemocytometer adalah sebagai berikut :

1. Haemocytometer dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu dengan kertas

tissue.

2. Teteskan sampel fitoplankton pada Haemocytometer.

3. Menutup sampel dengan cover glass.

4. Mengamati kepadatan sampel dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.


40

5. Menghitung jumlah kepadatan fitoplankton pada kotak-kotak menggunakan

handcounter.

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) rumus yang digunakan yaitu :

Jumlah sel/ml = Jumlah total sel dalam kotak x 10.000/ml

3. Teknik Pemberian Pakan

Pengamatan dan perhitungan kepadatan fitoplankton harus dilakukan

sebelum diberikan pada larva udang. Kepadatan fitoplankton yang diberikan

disesuaikan dengan kebutuhan larva setiap hari. Teknik pemberian fitoplankton

dilakukan dengan cara menggunakan pompa air kemudian disalurkan melalui pipa

menuju bak pemeliharaan larva yang membutuhkan. Frekuensi pemberian

fitoplankton dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yaitu pukul 08.00 dan pukul

14.00. Dosis pakan fitoplankton untuk larva udang dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Dosis pakan fitoplankton


41

Chaetoceros
mulleri
STADIA
(sel/ml)

Nauplii 60.000

Zoea 1 80.000

Zoea 1-2 100.000

Zoea 2 100.000

Zoea 2-3 120.000

Zoea 3 120.000

Zoea-Mysis 120.000

Mysis 1 70.000

Mysis 1-2 60.000

Mysis 2 60.000

Mysis 2-3 50.000

Mysis 3 50.000

(Sumber : Data Primer PT.Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi)

b. Pakan buatan

1. Jenis

Pakan buatan dibutuhkan untuk melengkapi nutrisi sebagai proses

pertumbuhan dan perkembangan larva. Pakan buatan dapat mensuplai asam lemak

essensial seperti; Essential Fatty Acid (EFA), Fatty Acids (FA), Polyunsaturated

Fatty Acids (PUFA), Highly Unsaturated Fatty Acids (HUFA) yang tidak dapat

dibentuk di dalam tubuh udang (Gonzalez et al., 2002). Udang tidak mampu

mensintesis protein dan asam amino secara alami maka dibutuhkan asupan protein

yang berasal dari pakan buatan.


42

2. Dosis Pakan

Subaidah dkk., (2006) menyatakan bahwa pemberian pakan buatan biasanya

mulai diberikan apabila larva udang sudah mencapai stadia zoea. Pakan buatan

yang diberikan adalah pakan buatan berupa butiran halus yang bersifat melayang

di dalam air sehingga larva dapat memakannya. Setiap stadia larva udang

memiliki dosis pakan yang berbeda dan bergantung pada kondisi kesehatan larva

udang. Dosis pemberian pakan buatan untuk setiap stadia larva udang dapat

dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Dosis pakan buatan untuk setia stadia larva udang
PAKAN PAKAN ARTEMIA
STADIA CAIR BUBUK
ml/1juta gr/1juta gr/1juta
ekor ekor ekor
Zoea 1 4 ml x 4 5 gr x 8
Zoea 2 6 ml x 4 10 gr x 8
Zoea 3 8 ml x 4 15 gr x 8
Mysis 1 10 ml x4 20 gr x 8
Mysis 2 12 ml x 4 25 gr x 8
Mysis 3 14 ml x 4 30 gr x 8
PL 1 35 gr x 8
PL 2 40 gr x 8
PL 3 45 gr x 8
PL 4 50 gr x 8
PL 5 25 gr x 8
PL 6 30 gr x 8 2.500 gr
PL 7 35 gr x 8
PL 8 43 gr x 8
PL 9 51 gr x 8
PL 10 61 gr x 8
TOTAL 216 ml 4.160 gr 2.500 gr
(Sumber : Data Primer PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi)
43

3. Teknik Pemberian

Jumlah pemberian pakan buatan untuk larva udang selama proses produksi

menigkat sesuai dengan kebutuhan dan bertambahnya ukuran larva udang. Pakan

buatan yang diberikan mulai stadia zoea yaitu Mackay MP1, Epifeed LHF 1,

Frippak. Stadia Mysis dan Postlarva diberikan pakan buatan dengan merk EZ

Artemia, Mackay MP4, Frippak, Royal Caviar, dan Lanzy. Pemberian pakan

buatan dilakukan sebanyak 8 kali sehari yaitu pada pukul 07.00, 10.00, 13.00,

16.00, 19.00, 22.00, 01.00, dan 04.00.

4.3.4 Manajemen Kualitas Air

Selama proses pemeliharaan larva udang vanamei di PT. Suri Tani Pemuka

Unit Hatchery Banyuwang dilakukan pengelolaan dan pengamatan kualitas air

yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), dan kandungan amonia.

a. Suhu

Pengukuran suhu atau temperature air di dalam bak pemeliharaan larva

dilakukan setiap pukul 07.00 dan 16.00 dengan menggunakan thermometer

alcohol dengan cara sebagai berikut :

1. Mencuci thermometer dengan air tawar

2. Memasukkan thermometer ke dalam bak pemeliharaan larva

3. Melihat dan mencatat skala yang ditunjukkan oleh thermometer.

b. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan satu kali dalam sehari yaitu pada pukul

07.00 dengan menggunakan hand refraktometer yang terlebih dahulu dilakukan


44

kalibrasi untuk memperoleh hasil yang tepat saat pengukuran, kalibrasi dilakukan

dengan cara sebagai berikut :

1. Mencuci prisma refraktometer dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas

tissue.

2. Membuka penutup pada refraktometer.

3. Meneteskan air yang berada di dalam bak pemeliharaan larva di atas

permukaan kaca refraktometer.

4. Menutup penutup refraktometer kemudian mengamati nilai salinitas dengan

cara meneropong refraktometer kea rah cahaya terang

c. Oksigen Terlarut

Pengukuran kadar oksigen terlarut dalam bak pemeliharaan larva dilakukan

dengan menggunakan alat pengukur DO (Dissolved Oksigen). Pengukuran kadar

oksigen terlarut dilakukan pada pukul 09.00 dan pukul 16.00. adapun cara

menggunakan alat pengukur DO adalah sebagai berikut :

1. Menyalakan DO meter dengan menekan tombol on.

2. Membilas sensor dengan menggunakan air tawar

3. Memasukkan alat sensor pengukur DO ke dalam air bak pemeliharaan larva.

4. Membaca skala pada layar yang merupakan nilai kadar oksigen terlarut dalam

air.
45

4.3.5 Pertumbuhan Larva

a. Pengamatan Perkembangan dan Pertumbuhan Larva

Pengamatan perkembangan dan pertumbuhan larva dilakukan bertujuan

untuk mengetahui perubahan stadia larva dan mengetahui estimasi jumlah

populasi larva. Larva akan berkembang menjadi 4 stadia setelah menetas yaitu

nauplii, zoea, Mysis, dan postlarva. Larva akan berpindah tempat dari laut terbuka

bermigrasi menuju ke arah pantai dan estuari hingga berkembang menjadi dewasa

(Farchan, 2006).

1. Nauplii

Nauplii merupakan stadia paling awal dalam perkembangan siklus hidup

udang vannamei. Ukuran tubuh stadia nauplii sekitar 0,32mm – 0,58mm. Sistem

pencernaanya masih belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan

berpa yolk egg.

Gambar 4.5 Stadia Naupli dengan Mikroskop Perbesaran 100x


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

2. Zoea

Perkembangan stadia zoea memiliki 3 tahapan yaitu zoea 1, zoea 2, dan

zoea 3. Perbedaan dari setiap tahapan substadia zoea dapat dilihat pada segmen
46

abdomen dan perkembangan dari lateral dan dorsal. Stadia zoea sangat sensitive

terhadap cahaya yang kuat, ukuran tubuh pada stadia zoea yaitu 1,00mm -

3,00mm.

Gambar 4.6 Stadia Zoea dengan Mikroskop Perbesaran 100x


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

3. Mysis

Perkembangan stadia Mysis memiliki 3 tahapan substadia yaitu Mysis 1,

Mysis 2, dan Mysis 3. Perbedaan dari ketiga substadia Mysis dapat dilihat pada

perkembangan bagian kaki renang. Stadia Mysis memiliki ukuran tubuh yaitu

3,50mm – 5mm.

Gambar 4.7 Stadia Mysis dengan Mikroskop Perbesaran 100x


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

4. Postlarva

Stadia postlarva merupakan stadia yang bentuk tubuhnya sudah terlihat

seperti udang dewasa dan sudah bersifat bentik. Larva udang sudah mulai
47

bergerak aktif melawan arus dan mempunyai sifat karnivora. Stadia postlarva

dimulai dari postlarva 1(PL1) sampai ukuran panen (PL10-PL12).

Gambar 4.8 Stadia Postlarva engan Mikroskop Perbesaran 100x


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

b. Sampling dan Monitoring

Sampling populasi larva adalah kegiatan untuk mengetahui estimasi jumlah

populasi larva di dalam suatu bak pemeliharaan. Sedangkan monitoring

merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan

larva udang dalam bak pemeliharaan. Sampling dan monitoring dilakukan

sebanyak dua kali dalam sehari yaitu pukul 07.00 dan 13.00.

1. Secara Makroskopis

Pengamatan secara makroskopis dilakukan dengan menggunakan beaker

glass dan terdapat 4 parameter yang diamati yaitu aktifitas renang larva, kotoran,

moulting, dan variasi ukuran.

a. Aktifitas Renang Larva

Kegiatan renang larva memiliki perbedaan pada setiap stadia karena adanya

perubahan perkembangan dari masing-masing stadia. Stadia zoea larva cenderung

belum bias berenang dan mengikuti arus, stadia Mysis sudah mulai dapat

berenang mundur dengan menggunakan ekornya dan dapat mencari makan


48

dengan berenang, dan stadia postlarva merupakan stadia yag sudah sempurna

yaitu dapat berenang ke depan dan bersifat bentik.

b. Moulting

Moulting adalah suatu proses pergantian kutikula lama digantikan dengan

kutikula baru. Kutikula merupakan kerangka luar udang yang keras sehingga

untuk tumbuh menjadi besar udang biasanya akan melakukan moulting.

Pertumbuhan dari substadi ke substadia selanjutnya umumnya membutuhkan

waktu satu atau dua hari, apabila lebih dari waktu tersebut larva diduga sedang

dalam kondisi lemah.

c. Kotoran

Kotoran dapat terjadi akibat dari sisa pakan yang menumpuk maupun dari

feses larva. Kondisi tersebut dapat menyebabkan perubahan kualitas air menjadi

menurun, maka untuk menghindari kualitas air yang menurun perlu dilakukan

pemberian pakan secara efisien atau monitoring kualitas air. Pakan yang diberikan

pada larva udang akan menghasilkan 10% limbah padatan dan 30% limbah cair.

d. Variasi ukuran

Ukuran larva udang ditentukan dengan cara mengukur panjang setiap

individu minimal 20 ekor. Apabila didalam sampel terdapat larva udang yang

menunjukkan skala yang jauh berbeda dari standar deviasi maka larva udang

kemungkinan mengalami kelainan atau pertumbuhannya lambat. Pengamatan

variasi ukuran harus dilakukan setiap hari untuk mengetahui waktu pertumbuhan

larva.
49

2. Secara Mikroskopis

Monitoring secara mikroskopis yaitu kegiatan pengamatan larva udang

dengan cara menggunakan mikroskop, ada beberapa parameter yang dilihat dalam

melakukan pengamatan mikroskopis yaitu isi usus, bolitas, hepatopankreas, dan

GMR (Gut Muscle Ratio).

a. Isi Usus

Isi usus dapat diamati dengan adanya pakan yang terdapat di dalam usus.

Pemeriksaan pada saluran usus dilakukan untuk melihat tingkat nafsu makan

larva, usus yang kosong menandakan larva dalam tanda pertama penyakit. Usus

yang terdapat isinya dengan aktivitas peristaltic yang kuat menunjukkan larva

udang dala kondisi yang sehat.

b. Bolitas

Bolitas merupakan nama yang diberikan terhadap sinrom yang melibatkan

detasemen sel epitel dari usus dan hepatopankreas. Bolitas dapat dilihat sebagai

bulatan kecil di dalam saluran pencernaan. Penggunaan probiotik yang baik dapat

mencegah bolitas yang menyerang larva udang serta dengan menerapkan

manajemen pakan yang efisien.

c. Hepatopankreas

Hepatopankreas larva harus diperiksa sebagai kondisi yang umum,

pengamatan terhadap hepatopankreas dilihat pada jumlah vakuola lipid dan

ukuran secara keseluruhan. Hepatopankreas yang relative besar dengan jumlah

vakuola lipid yang banyak menandakan kesehatan yang baik bagi larva udang.
50

Hepatopankreas yang berwarna kuning gelap menunjukkan pemberian pakan yang

baik.

d. Gut Muscle Ratio (GMR)

Pemeriksaan dari ketebalan dari otot perut ventral dan usus harus dilakukan

untuk menentukan rasio kemapuan usus dalam mencerna makanan. Pengukuran

rasio otot pada usus sangat sulit dilakukan karena pergerakan udang yang lincah.

Apabila otot 50% lebih kecil dari lebar ekor maka ini menunjukkan gejalan

penyakit atau turunnya nafsu makan pada larva udang.

Gambar 4.9 Pengamatan Larva secara Mikroskopis


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

4.3.6 Pengendalian Hama dan Penyakit

Kegiatan pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan dalam kegiatan

pemeliharaan larva udang vannamei meliputi pengelolaan kualitas air, penerapan

biosecurity, dan sanitasi terhadap peralatan yang digunakan untuk menunjang

produksi. Aktfitas yang dilakukan dapat dicapai melalui pengelolaan yang

terintergrasi dengan baik. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk

mengantisipasi serangan hama dan penyakit adalah menerapkan system

biosecurity (Subaidah, 2006). Ada 3 upaya yang dilakukan dalam pengendalian

hama dan penyakit yaitu sebagai berikut :


51

1. Treatment Air

Bak pemeliharaan larva yang telah dilakukan pengisian air laut hingga

volume yang ditentukan akan diberikan treatment air. Perlakuan treatmen air

dengan diberikan sodium 10 ppm atau EDTA 10 ppm pada bak pemeliharaan

larva bertujuan untuk membunuh bakteri dan jamur yang terdapat dalam air.

Sodium hipoklorit merupakan desinfektan yang tinggi karena aktif terhadap

bakteri, virus, dan jamur (Nike, 2002)

2. Penyiponan

Kegiatan penyiponan merupakan salah satu upaya dalam pencegahan hama

dan penyakit, penyiponan dilakukan untuk membuang sisa pakan, larva udang

yang mati dan kotoran yang mengendap di dasar perairan. Penyiponan dilakukan

dengan menggunakan pipa modifikasi dengan selang sehingga mampu menarik

kotoran yang terdapat di dasar perairan. Proses penyiponan harus dilakukan

apabila kondisi air terlihat keruh pada dasarnya dan berbau tidak sedap (Subaidah,

2006).

Gambar 4.10 Penyiponan pada Bak Pemeliharaan Larva


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

3. Pemberian Probiotik
52

Pemberian probiotik merupakan bahan penggani dari antibiotic yang

berpotensi dapat meningkatkan resistensi pathogen penyebab penyakit. Pemberian

probiotik betujuan untuk memperbaiki kualitas air dan daya tahan tubuh larva

udang. Probiotik yang digunakan adalah mikroorganisme yang menguntungkan

bagi inangnya dan meningkatkan keseimbangan dalam pencernaan.

4. Penerapan Biosecurity

Penyebaran penyakit dapat terjadi secara vertical dari induk ke benih

maupun horizontal selama proses produksi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk

pencegahan hama dan penyakit adalah dengan menerapkan system biosecurity.

Penggunaan media air pemeliharaan yang bebas pathogen dan bahan kontaminan.

Seleksi induk yang bebas penyakit serta penggunaan benih yang tersertifikasi

untuk mengetahui status kesehatan dan system imun. Tindakan biosecurity selama

proses produksi terdapat di dalam SNI 8230:2016 seperti desinfeksi terhadap bak

inkubasi, bak pemeliharaan, peralatan kerja, dan personil yang terlibat dalam

proses produksi.

4.3.7 Sintasan Larva

Menurut Wyban dan Sweeny (1991) bahwa pertumbuhan udang vanname

tergantung pada dua factor yaitu frekuensi moulting dan peningkatan

pertumbuhan setiap moulting. Kecepatan pertumbuhan merupakan fungsi dari

kedua factor tersebut, namun pertumbuhan akan menurun apabila kondisi

lingkungan sedang buruk dan nutrisi yang diberikan tidak mencukupi.

Pertumbuhan dari stadi naupli hingga stadia postlarva yang paling baik adalah ±
53

50 %. Moulting merupakan proses pelepasan secara periodic cangkang yang

sudah tua dan pembentukan cangkang baru dengan ukuran yang lebih besar.

Sintasan atau tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai

perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan

jumlah organisme yang ditebar diawal pemeliharaan (Effendi, 2002).

Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran atau berat dalam

satuan waktu, sedangkan pertambahan populasi dengan satuan jumlah. Adapun

rumus yang digunakan untuk mengetahui sintasan adalah sebagai berikut:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑑𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑙𝑖ℎ𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛


Survival Rate (SR) = 𝑥 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑑𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙

4.3.8 Panen dan Pasca Panen Benur

Pemanenan dilakukan apabila larva udang sudah mencapai ukuran panen

adalah berumur (PL10) sampai (PL12). Berdasarkan SNI 01-7252 (2006) larva

udang vannamei yang berkualitas memiliki ciri yaitu warna tubuh transparan, usus

terisi tidak terputus, dan berenang secara aktif. Ada beberapa prosedur yang harus

dilakukan sebelum melakukan panen yaitu meliputi uji kualitas benur,

penyeseran, dan packing benur.

a. Uji Kualitas Benur

Pengujian kualitas benur penting dilakukan karena untuk mengetahui bahwa

benur layak untuk dipanen atau tidak layak dipanen. Pengujian kualitas benur

dilakukan oleh quality control dengan berdasarkan standar kualitas benur yang

sudah ditentukan. Pengujian kualitas benur dilakukan setiap hari selama minimal
54

3 hari menjelang panen. Ada dua syarat yang digunaka nsebagai standar untuk

menguji kualitas benur yaitu sebagai berikut :

1. Panen Ukuran PL Kecil

a. SR > 40% (padat tebar 120 ekor/liter)

b. Perjalanan produksi normal

c. Tidak ada bakteri atau luminescence

d. Lolos dari uji stress test minimal dua hari berturut-turut, SR > 95%. 100

ekor/liter diberi suhu air 18oC dan formalin 0,1ml/liter dengan salinitas

normal.

2. Panen Ukuran PL Besar

a. Panjang Tubuh minimal 8m

b. SR > 40% (padat tebar 120 ekor/liter)

c. Perjalanan produksi normal

d. Lolos uji stress test minimal dua hari berturut-turut, SR > 95%. 100

ekor/liter diberi aquades dan formalin 0,27 ml/liter dengan salinitas

20ppt.

1. Penyeseran Benur

Pemanenan dilakukan dengan cara mengurangi volume air di dalam bak

sebanyak ± 75% menggunakan pipa pembuangan yang sudah diberi saringan agar

benur tidak ikut terbuang. Pada ujung pipa pembuangan dipasang saringan untuk
55

menampung benur, kemudian benur disaring menggunakan seser dan dipindah ke

dalam bak atau ember yang telah berisi air. Benur dipindahkan ke dalam holding

tank yang terdapat di ruang packing benur sebelum dibungkus untuk

didistribusikan.

2. Packing

Benur ditampung di dalam holding tank yang berukuran 500 – 1000 liter

dengan diberi aerasi. Benur ditampung dalam plastic dengan kepadatan 200-500

ekor per liter, kemudian diberikan oksigen tambahan dengan dosis 20-25 ppm

untuk perjalanan dekat dan 30-35 ppm untuk perjalanan jauh. Kantong plastic

diikat menggunakan karet dengan kencang agar tidak terjadi bocor udara dalam

plastic, selanjutnya kantong plastic dimasukkan ke dalam styrofoam dan diberikan

es batu untuk menurunkan suhu air.

3. Pasca Panen

Pasca panen merupakan kegiatan yang dilakukan setelah pemanenan benur

selesai dilakukan, biasanya setelah pemanenan bak pemeliharaan larva serta

instalasi pendukung yang telah digunakan selama proses produksi dicuci

menggunakan sabun cair lalu dikeringkan selama 24 jam. Ruang panen yang

digunakan untuk packing benur dibersihkan dan dirapikan dengan kondisi sepeti

semula.
56

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil Praktek Kerja Lapang Pemeliharaan Larva Udang Vanname

(Litopenaeus vannamei) di PT. Suri Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi

dapat diambil kesimpulan yaitu :

1. Proses pemeliharaan larva udang dimulai dari stadia nauplii hingga stadia

postlarva (PL10) membutuhkan waktu selama 18 hari. Pemeliharaan larva

udang dilakukan di dalam bak beton dengan volume tampung sebesar 16

ton. Bak pemeliharaan larva terdapat instalasi blower yang digunakan

sebagai sumber oksigen dalam proses pemeliharaan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan pemeliharaan larva di PT. Suri

Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi adalah ketersediaan sarana dan

prasarana, kualitas air, pemberian pakan dan pengendalian serta pencegahan

penyakit.

3. Prospek usaha produksi larva udang vannamei yang dilakukan di PT. Suri

Tani Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi sangat menguntungkan dengan

keuntungan usaha Rp. 1.600.000.000 / satu siklus dengan payback 1 tahun

maka usaha produksi larva udang perlu dikembangkan.


57

5.2 Saran

Berdasarkan kegiatan pemeliharaan larva udang vannamei di PT. Suri Tani

Pemuka Unit Hatchery Banyuwangi, sebaiknya dilakukan perbaikan sarana

pemeliharaan larva udang vannamei agar produksi lebih dapat ditingkatkan serta

menjaga kondisi lingkungan proses produksi.


58

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, D., Kokarkin, C., Supito. 2001. Teknik Operasional Budidaya Udang
Ramah Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. BBPBAP Jepara. 29 hal.

Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 146 hal.

Briggs, M. Simon, F. S., Subasinghe, R and Phillips, M. 2004. Introduction and


Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and
Pasific. FAO UN. Bangkok.

Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan. Publik,


dan Ilmu sosial. Kencana Prenama. Jakarta

Edhy, W.A, Januar, P dan Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan PT. Central
Pertiwi Bahari. PT Central Pertiwi Bahari. Tulangbawang.

Effendi, Irzal. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Elovaara, A K (2001). Shrimp Farming Manual. Practical Technology For


Intensive Commercial Shrimp Production. United States Of America,
2001. Chapter 4 hal 1-40.

FAO. 2003. Health Management and Biosecurity Maintenance in White Shirmp


(Penaeus vannamei) Hatcheries in Latin America. Food and Agriculture
Organization Of The unietid Nations. P: 22-35

Frick, H. 2008. Pedoman Karya Ilmiah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.


http://books.google.co.id/books. 29 November 2016. 13 hal.

Gonzalez, Mayra, L. Dan Martin, P. V. 2002. Current Status of Lipid Nutrition of


Pacific White Shrimp (Litopenaeus vannamei). Departement de
Investigations Cientificas Tecnoligicas. Universidad de Sonora. Mexico

Haliman, R. W. Adijaya, D. S. 2006. Udang Vanname. Penebar Swadaya. Jakarta.

Indrawati, S. W., Herlina, dan Misbach. 2007. Handout Mata Kuliah


Psikodiagnostik (Observasi). Universitas Pendidikan Indonesia. 13 hal.

Isnansetyo, A. Kurniastuty. 1995. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme


Laut. Kanisius. Yogyakarta.

Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2014. Statistik Produksi Udang 2009-2013.


Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta.
59

Kordi, K. 2007. Pemeliharaan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Penerbit


Indah. Surabaya. 100 hlm.

Kalesaran, O.J., 2010. Post Larvae’s Maintenance (PL4-PL9) Vannamei shrimp


(Penaeus vannamei) in hatchery PT. BANGGAI Sentral Shrimp, Central
Sulawesi. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol VI (1): 58-62

Kungvankij, P., L.B. Tiro, Jr., B.J. Pudadera, Jr., I.O. Postestas, K.G., Corre., E.
Borlongan., G.A. Talean., L.F. Bustilo., E.T. Tech., A. Unggui., T.E.
Chua. 1986. Shirmps Heatchery Design, Opration and Management.
Network of Aquaculture Centres In Asia Regional Lead Centre in the
Philippines. Philippines. 39 PP

Kusumawardany, I. Diatin, U. 2010. Analisis Finansial Kelayakan Tambak


Budidaya Udang Vanname di Cantigi Indramayu. Program Studi Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB. Bogor.

Nurdjana, M. L. Kokarkin, C. dan Hastuti, S. W. 1992. Teknologi Pemeliharaan


Larva. Jaringan Informasi Perikanan Indonesia No. 30 1992. Direktorat
Jenderal Perikanan dan International Development Research Center.
Jakarta

Poernomo, A. 2002. Perkembangan Budidaya Udang Putih Vannamei


(Litopenaeus vannamei) di Jawa Timur. PT.Eureka Putra Mandiri. Jakarta.

Rosidi, I. 2008. Sukses Menulis Karya Ilmiah Suatu Pendekatan Teori dan
Praktik. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 128 hal.

Sangadji, E. M. dan Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian: Pendekatan Praktis


dalam Penelitian. Andi. Yogyakarta. hal 171, 172.

Samocha, T.M., L. Hamper, C.R. Emberson, A.D. Davis, D. McIntosh, A.L.


Lawrence, and P.M. Van Wyk. 2002. Review of some recent developments
in sustainable shrimp farming practices in Texas, Arizona and Florida.
Journal of Applied Aqua- culture 12(1):1-42.

Soleh, M. 2006. Biologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Balai Besar


Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.

Standar Nasional Indonesia. (2006). Produksi Benih Udang Vanname


(Litopenaeus vanname) Kelas benih sebar. Badan Standarisasi Nasional
(BSN). 01 -7252. 7hlm.

Subaidah, Siti dan Pramudjo, Susetyo. 2008. Pembenihan Udang Vaname. Balai
Budidaya Air Payau Situbondo.
60

Treece, G. D. Fox, J. M. 2000. Design, Operation, and Training Manual for an


Intensive Culture Shrimp Hatchery. Texas University. Texas.

Wahyudi, H. (2007). Teknik Pemeliharaan Larva Udang Windu (Penaeus


monodon Fab.) dan Analisa Usaha di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah. Karya Dmiah
Praktek Akhir. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.

Wardiningsih. 1999. Teknik Pembenihan Udang. Universitas Terbuka. Jakarta.

Wyban, J. A. Sweeney, J. A. 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The


Oceanic Institute. USA.

Anda mungkin juga menyukai