Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu jenis ikan konsumsi
air tawar. Ikan patin merupakan salah satu komoditas unggulan yang sangat diminati
berbagai kalangan, baik dari kalangan menengah keatas maupum dari kalangan
menengah kebawah, karena ikan patin sangat dikenal dengan bentuk tubuh yang sangat
menarik sehingga ikan ini sangat digemari oleh masayarakat. Pada fase larva bentuk
tubuh ikan ini akan terlihat seperti ikan hias karena warna tubuh yang mengkilap seperti
perak dan terdapat garis hitam pada bagian tengah tubuh ikan patin sehingga membuat
ikan patin tampak terlihat seperti ikan hias, lebih menari lagi disimpan diaquarium.
Selain itu ikan patin memiliki harga jual yang tinggi ( Susanto dan Amir, 2002).
Ikan patin memiliki beberapa kelebihan seperti pertumbuhan cepat, mudah
dibudidayakn, dan dapat dipelihara pada perairan dengan kandungan oksigen rendah.
Keunggulan ini menyebabkan ikan patin diminati para pembudidaya untuk
dibudidayakan. Dalam dunia perikanan ikan patin dikenal sebagai komoditi yang
memiliki ekonomis tinggi dan prospek cerah untuk dibudidayakan. Rasa dagingnya
yang lezat dan gurih mengakibatkan harga jualnya tinggi. Selain itu ikan ini
mengandung protein yang sangat tinggi dan kolesterol yang rendah. (Hernowo, 2003).
Teknik pembenihan ikan patin ini merupakan salah satu peranan yang sangat
penting untuk dikembangkan, karena usaha pembenihan ikan patin ini merupakan salah
satu usaha yang komersil. Tidak membutuhkan biaya yang begitu besar dan waktu yang
digunakan relatif singkat, namun bisa menjanjikan keuntungan yang besar. Dalam
memijahkan ikan patin tidak terlalu sulit, namun membutuhkan ketelitian dan
keterampilan yang maksimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Keberhasilan
usaha pembenihan ikan patin dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain, faktor kualitas
air yang baik bagi pertumbuhan meliputi aspek fisika, kimia, dan biologi serta
kelengkapan sarana dan prasarana yang menunjang. Faktor teknis yang mutlak dikuasai
meliputi pengadaan dan penanganan induk, pemeliharaab dan pematangan gonad
induk, teknis pemijahan, proses pemijahan, proses penetasan telur, dan perawatan larva.

1
Teknologi pemijahan Induce breeding ini merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan hasil fekunditas dan fertilisasi yang
ditargetkan sesuai dengan permintaan pasar yang meningkat. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengambil judul “ Teknik pembenihan ikan patin (Pangasius
hypopthalmus) secara Induce breeding di Unit pelaksanaan teknis SUPM Negeri
Pontianak Anjungan Kabupaten Mempawah”.

1.2 Batasan Masalah


Batasan masalah yang akan dibahas dalam kegiatan Praktek Kerja Lapangan
(PKL II), merupakan ruang lingkup dari pembenihan ikan mas, meliputi:
1. Pemeliharaan induk
2. Persiapan wadah
3. Seleksi induk
4. Pemberokan
5. Pemijahan
6. Penetasan telur
7. Perawatan larva
8. Pendederan

1.3 Tujuan
Tujuan dari praktek kerja lapangan II ini adalah untuk mengetahui teknik
pembenihaan ikan Patin (Pangasius hypotalmus) secara Induced breeding yang di
lakukan di Unit Pelaksanan Teknis SUPM Negeri Pontianak Anjungan Kabupaten
Mempawah.

1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari praktek kerja lapangan 1 ini
adalah :
1. Dapat mengetahui teknik pembenihan ikan Patin (Pangasius hypotalmus) secara
Induced breeding.
2. Dapat mengetahui kendala-kendala pada teknik pembenihan ikan Patin
(Pangasius hypotalmus) secara Induced breeding..

2
3. Dapat meningkatkan ketrampilan dilapangan tentang teknik pembenihan ikan
Patin (Pangasius hypotalmus) secara Induced breeding.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Patin


2.1.1 Klasifikasi Ikan Patin
Menurut Suwarman (2011), klasifikasi ikan patin adalah sebagai berikut :
Filum : chordata
SubFilum : Vertebrata
Kelas : pisces
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies :Pangasius hypoptalmus

2.1.2 Morfologi Ikan Patin


Menurut Mahyudin (2010) ikan patin memiliki bentuk tubuh agak memanjang
dan pipih. Warna tubuh patin pada bagian punggung keabu–abuan atau kebiru-biruan
dan dibagian perut putih keperak-perakan. Kepala ikan patin berbentuk simetris, lebar
dan pipih, hampir mirip seperti ikan lele. Matanya terletak agak kebawah. Diperairan
umum panjang ikan patin bisa mencapai 120 cm. Tubuh ikan patin terbagi menjadi 3
bagian yaitu kepala, badan, ekor. Bagian kepala mulai dari ujung mulut sampai akhir
tutup insang. Bagian badan muulai dari akhir tutup insang sampai pangkal sirip anal.
Sementara bagian ekor mulai dari sirip anal sampai ujung ekor. Sirip ekor ikan patin
bentuknya seperti gunting (bercagak) dan simetris.
Ikan patin memiliki 5 sirip yaitu sirip dada , sirip perut, sirip punggung, sirip
dubur dan sirip ekor. Selain lima sirip tersebut patin juga memiliki sirip yang tidak
dimiliki ikan lain yaitu sirip tambahan yang terletak diantara sirip punggung dan sirip
ekor.

2.1.3 Habitat dan Tingkah Laku


Menurut Mahyudin (2010) Ikan patin banyak dijumpai pada hhabitat atau
lingkungan hidup berupa air tawar, yakni waduk, sungai-sungai besar, dan muara-muara

4
sungai.. Patin lebih banyak menetap didasar peraiaran daripada di permukaan. Di
Indonesia, patin tersebar di perairan pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa.
Di alam ikan patin bersifat karnivorra, tetapi ditempat pemeliharan (budidaya)
ikan patin bersifat omnivora atau pemakan segala.

2.1.4 Perkembangbiakan
Di alam, patin memijah diawal atau spanjang musim hujan. Hal ini berhubungan
erat dengan bertambahnya volume air yang biasanya terjadi pada musim hujan,
meningkatnya kualitas air, serta ketersediaan jasad renik (pakan alami), Pada musim
hujan, terjadi peningkatan kedalaman air yang dapat merangsang ikan patin memijah.
Pada kondisi demikian induk jantan dan betina yang telah matang gonad akan
bermigrasi mengikuti aliran sungai untuk melakukanperkawwinan dihulu-hulu sungai
atau sungai-sungai besar dan memijah ditempat yang terlindung atau teduh.
Perkembangbiakan patin terjadi secara ovivar (eksternal), yaitu terjadi diluar tubuh
(Mahyudin,2010)..
Patin yang dibudidayakan dikolam dapat dikawinkan sepanjang tahun, asalkan
dikelola dengan baik dan diperhatikan kematangan gonad dari induk jantan dan induk
betinanya. Diketahui bahwa induk patin jantan lebih cepat mencapai matang gonad dari
pada ikan betina, yakni sekitar umur 1,5 tahun seedangkan gonad pada induk betina
baru matang gonad pada umur 2,5 tahun. Kematangan gonad induk patin sangat
dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Sebagai contoh, perkembangan telur dan sperma
ikan patin yang hidup didaerah tropis akan lebih cepat dari pada patin yang hidup
didaerah subtropis. Pada musim hujan setiap 1 kg induk patin siam dapat menghasilkan
telur sebanyak 120.000 – 200.000 butir telur, sedangkan pada musim kemarau setiap
kilogram induk hanya menghasilkan telur sekitar 60.000 – 100.000 butir
(Mahyudin,2010).

2.1.5 Makanan dan Kebiasaan Makan


Menurut Mahyudin (2010) patin mempunyai kebiasaan makan didasar perairan
atau kolam. Berdasarkan jenis pakannya. Berdasarkan jenis pakannya patin digolongkan
sebagai ikan yang bersifat omnivora (pemakan segala). Namun pada fase larva ikan
patin cendrung bersifat karnivora. Pada fase larva ikan patin bersifat kanibalisme, yaitu

5
memiliki sifat memangsa jenisnya sendiri, jika kekurangan pakan larva patin tidak
segan-segan memangsa kawannya sendiri. Oleh karena itu, ketika masih dalam tahap
larva, pemberian pakan tidak boleh terlambat.
Pada kegiatan budidaya, makanan ikan patin akan berubah sejalan dengan
pertambahan umur dan perkembangannya. Larva patin yang berumur 0-2 hari belum
diberi pakan tambahan karena masih mempunyai cadangan makanan berupa kuning
telur (yolk) yang menempel diperutnya. Umur 2-7 hari larva patin diberikan pakan
artemia. Dihabitat aslinya patin memakan ikan-ikan kecil, cacing, udang-udangan,
moluska, dan serangga. Berdasarkan jenis pakannya yang beragam tersebut ikan pating
dikategorikan sebagai ikan pemakan segala.

2.2 Teknik Pembenihan Ikan Patin


2.2.1 Pemeliharaan Induk
Induk merupakan salah satu faktor penenti keberhasilan usaha pembenihan ikan
patin. Induk yang baik dan sehat tentu akan menghasilkan benih yang baik pula. Induk
yang akan dipijahkan dapat berasal dari alam atau induk-induk yang dipelihara sejak
kecil dikolam.
Induk-induk yang berasal dari alam tingkah lakunya masih liar dan kadang-
kadang memiliki banyak luka akibat meronta-ronta saat penangkapan. Karena itu induk
yang baik dipijahkan adalah induk yang telah dipelihara dikolam atau wadah lainnya,
seperti sangkar dan jaring.
Untuk mendapatkan induk patin yang baik selama pemeliharaan dikolam induk
diberi makanan tambahan yang cukup mengandung protein. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sub Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Palembang,
komposisi makanan untuk patin terdiri atas 35% tepung ikan, 30% dedak halus, 25%
menir beras, 10% tepung kedelai, serta vitamin dan mineral sebanyak 0,5%. Campuran
bahan makanan tersebut dibuat menjadi pasta dan diberikan 5 hari dalam seminggu.
Setiap hari pada hari pagi dan sore hari pakan yang diberikan sebanyak 3% dari bobot
induk. Untuk mempercepat kematangan gonad 2 kali seminggu induk patin perlu diberi
ikan rucah atau ikan-ikan yang tidak layak dikonsumsi manusia sebanyak 10% dari
bobot induk yang dipelihara (Khairuman, SP 2009).

6
2.2.2 Persiapan Wadah dan Media

Wadah merupakan suatu tempat baik untuk penetasan telur atau pemeliharaan
ikan. Wadah yang digunakan ada beberapa macam tergantung dari fungsinya.
a. Bak atau kolam pemeliharaan induk
Sebagai tempat untuk memelihara induk (merawat dan mematangkan telur dapat
berupa bak atau kolam). Bak atau kolam induk ini sebaiknya memiliki sumber
air yang baik. Luas atau ukuran kolam disesuaikan dengan jumlah induk yang
akan dipelihara. Kepadatan yang dianjurkan adalah 0,25 kilo per m². Adapun
kedalaman air disarankan 100 cm (Hernowo 2003).
b. Bak pemberokan
Bak pemberokan digunakan untuk menyimpan atau menempatkan induk hasil
seleksi dari kolam pemeliharaan induk. Sebaiknya kolam atau wadah tidak
terlalu besar dan tidak terlalu dalam karena fungsinya sebagai tempat
penyimpanan sementara. Misalnya berukuran 2m x 1m x 1m. Yang harus
diperhatikan adalah sifat ikan patin yang suka menabrak dinding bak atau kolam
ketika terkejut. Untuk itu dinding bak atau wadah pemberokan dibuat tidak kasar
dan dianjurkan diberi styrofoam atau busa (Hernowo 2003).
c. Bak inkubasi
Bak inkubasi merupakan bak untuk penyimpanan induk ketika mau disuntik,
sudah disuntik dan menunggu waktu ovulasi (pengeluaran telur). Bak ini
sebaiknya tidak terlalu luas agar memudahkan pengelolaan terhadap induk
karena pada tahap ini induk akan sering ditangkap untuk disuntik maupun untuk
diperiksa telurnya. Apabila areal sangat terbatas bak inkubasi tidak perlu dibuat
dan sebagai tempat untuk menyimpat induk dapat menggunakan bak
pemberokan (Hernowo 2003).
d. Aquarium
aquarium ini berfungsi sebagai tempat penetasan telur dan pemeliharaan larva
ikan patin. Aquarium yang dimaksud adalah aquarium beserta rak atau
dudukannya. Rak tersebut akan dibuat dari bahan besi. Untuk memudahkan
pengelolaan sebaiknya ukuran aquarium dianjurkan yaitu panjang 60 cm, lebar
40 cm dan tinggi 40 cm.

7
Apabila aquarium sulit diperoleh maka sebagai tempat penetasan telur ikan patin
dapat menggunakan waskom bulat bergaris tengah 50 cm. Adapun fungsi
sebagai wadah pemeliharaan larva ikan patin dapat ditanggulangi dengan
menggunakan bak semen berukuran 200 cm, lebar 100 cm dan tinggi 40 cm atau
membuat bak plastik sendiri dengan menggunakan plastik karpet atau plastik
terpal (Hernowo 2003).
e. Botol galon air mineral
Botol galon yang biasa digunakan di dispenser dapat digunakan sebagai wadah
penetasan telur artemia. Apabila wadah sulit diperoleh makan wadah dapat
diganti dengan toples plastik transfaran atau ember yang berwarna terang.
Ukuran toples yang digunakan adalah kapasitas volume minimal 5 liter,
berbentuk kerucut atau tabung yang bergaris tengah 20-30 cm (Hernowo 2003).

2.2.3 Seleksi Induk

Menurut Khairuman, SP (2009) Induk ikan patin yang akan dipijahkan diseleksi
terlebih dahulu, yaitu dengan memilih induk-induk betina dan jantan yang matang
gonad dan siap pijah. Penangkapan induk dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
stres. Penangkapan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan menggunakan jaring
dan menggunakan tangan.
Tabel 1. Ciri-ciri induk jantan dan induk betina yang siap dipijahkan
No Induk Betina Induk Jantan
1 Umur kurang lebih 2.5 tahun Umur minimum diatas 1,5 tahun
2 Berat minimum 3 kilo per ekor Berat minimum 2 kg per ekor
3 Perut membesar kearah anus Kulit perut lembek dan tipis
4 Perut tarasa empuk dan halus saat Alat kelamin atau urogenital
diraba membengkak dan berwarna merah tua
5 urogenital membengkak dan Keluar cairan sperma berwarna putih jika
berwarna merah tua distriping
6 Kulit dibagian perut lembek dan
tipis apabila di striping keluar
beberapa butir telur berbentuk
bundar dan berukuran seragam

Selain ciri-ciri diatas, induk ikan patin yang akan dipijahkan harus sehat secara
fisik, yaitu tidak terinfeksi penyakit dan farasit. Induk yang baik juga harus memiliki

8
sifat pertumbuhan relatif cepat serta rentan terhadap penyakit, mudah beradaptasi dan
responsif terhadap perubahan lingkungan dan makanan.
Seleksi induk tidak hanya memperhatikan bagian luar fisiknya karena yang
paling menentukan keberhasilan pemijahan adalah tingkat kematangan telur. Telur yang
sudah matang dapat dicek dengan cara sebagai berikut :
1. Ambil 1 ekor induk patin betina sedot telur menggunakan kateter, caranya
selang kateter dimasukan kedalam urogenital sedalam 3 cm, lalu ujung
selangnya disedot dengan mulut sampai tampak beberapa butir telur didalam
selang.
2. Telur didalam selang tadi disimpan dicawan, kemudian ditetesi larutan sera
(campuran formalin, alkohol dan larutan asetit dengan perbandingan 6:3:1 ).
Larutan ini berfungsi untuk mengetahui telur yang tekah matang. Telur yang
matang tampak bulat, warna putih kekuningan, inti telurnya terlihat jelas dan
terpisah dari cangkangnya.
3. Induk-induk patin yang telah matang telur disimpan dalam bak atau hapa, jantan
dan betina disimpan terpisah.

2.2.4 Pemberokan
Pemberokan adalah tahapan dalam pemijahan yang dilakukan dengan cara
dipuasakan (tidak diberi pakan), yakni saat induk patin selesai diseleksi dan sebelum
dipijahkan. Pemberokan dilakukan selama 1 hari.
Pemberokan berfungsi untuk membuang kotoran, mengurangi kandungan lemak
dalam gonad, dan meyakinkan hasil seleksi induk betina. Setelah diberok kematangan
gonad induk patin betina diperiksa kembali. Apabila perut induk patin betina kempes,
berarti buncitnya perut induk bukan karena adanya telur, tetapi karena pakan.
Sebaliknya apabila setelah pemberokan perut induk betina tetap buncit, pertanda perut
induk betina mengandung telur (Mahyudin 2010).

2.2.5 Pemijahan
Teknik pemijahan patin dilakukan dengan cara pemijahan secara induced
breeding, yaitu dengan penyuntikan hormon perangsang ketubuh ikan. Pemijahan
secara buatan dilakukan dengan bantuan manusia. Setelah induk patin disuntik, telur

9
dan sperma dikeluarkan dari induk dengan cara distriping atau diurut. Selanjutnya telur
dan sperma ditampung dan dicampurkan dalam 1 wadah (baki atau mangkuk) sehingga
terjadi pembuahan didalam wadah (Mahyudin 2010).
Menurut Susanto (2009) induced breeding dapat dilakukan menggunakan
kelenjar hypopisa ikan lain, seperti ikan mas. Selain itu dapat juga menggunakan
semacam kelenjar hypopisa buatan yang mengandung semacam hormon gonadotropin.
Dikenal dengan nama merk dagang ovaprim.

2.2.5.1 Penyuntikan
Penyuntikan menggunakan ovaprim dilakukan dibagian punggung secara
intramuscular (Khairuman, 2008 dalam Vina, 2013) dengan cara : induk ikan patin
diletakan dilantai, ditutupi kepala induk patin betina dengan kain agar ikan tidak
memberontak dan terhindar dari patil. Suntik induk dipunggung dengan kemiringan
jarum suntik 40-50º dan kedalaman jarum suntik ± 1 cm atau disesuaikan dengan besar
kecilnya tubuh ikan.
Menurut Dewi (2011) standar dosis ovaprim yang diberikan untuk induk betina
adalah 0,,5 ml/kg sedangkan untukn induk jantan adalah 0,2 ml/kg (bila diperlukan).
Interval waktu penyuntikan pertaman dan kedua sekitar 6-12 jam. Penyuntikan pertama
sebanyak 1/3 bagian dari dosis total dan sisanya bagian lagi diberikan pada penyuntikan
kedua. Setelah penyuntikan kedua, 6-8 jam kemudian dilakukan pengecekan ovulasi
induk, pengecekan ini akan menentukan saat pengeluaran telur untuk proses
pembuahan. Apabila pengeluaran telur dilakukan sebelum ovulasi (terlalu cepat waktu)
maka pengeluaran telur tidak akan pasti dan biasanya persentase keberhasilan
pembuahan akan rendah. Namun apabila terlalu lambat pembuahan biasanya juga gagal
karna air susah masuk kedalam kantung telur yang menyebabkan lubang mikropilpada
telur sudah tertutup. Pengecekan ovulasi dilakukan dengan cara pengurutan pada
bagiian dekat urogenital secara perlahan dan hati-hati. Ovulasi tercapai apabila sudah
ada sedikit teluryang keluar sehingga pengurutan secara keseluruhan dapat dilanjutkan
untuk proses pembuahan.
Menurut Hernomo (2001), waktu penyuntikan hormon atau kelenjar hipofisa
dapat diatur sesuai keinginan. Maksudnya kita dapat mengatur penyuntikan pertama dan
kedua disesuaikan dengan rencana akan melakukan pengeluaran telur. Selang waktu

10
penyuntikan pertama dan kedua adalah 12 jam, selang waktu ovulasi biasanya 12 jam
dari penyuntikan kedua. Jadi ovulasi biasanya akan diperoleh sekitar 24 jam dari
penyuntikan pertama. Dengan demikian kita dapat mengatur kapan mau mendapatkan
telur dan kapan penyuntikan harus dilakukan.

2.2.5.2 Striping dan Pembuahan

Menurut Khairuman, SP (2009) Ovulasi adalah puncak kematangan gonad. Saat


ovulasi, telur yang masak harus dikeluarkan dengan cara memijit bagian perut (striping)
patin betina. Urutan pekerjaan striping yaitu :
1. Sediakan wadah untuk menampung telur, berupa baskom plastik yang telah
bersih dan dalam keadaan kering
2. Induk betina yang akan distriping dipegang dengan kedua belah tangan, tang kiri
memegang pangkal ekor dan tangan kanan memegang perut bagian bawah.
Ujung kepala induk patin ditopangkan dipangkal paha. Kemudian perut diurut
secara perlahan-lahan dari bagian depan kearah belakang dengan menggunakan
jari tengah dan jempol, lalu telur-telur tersebut ditampung kedalam baskom.
3. Induk jantan ditangkap untuk diambil spermanya. Sperma dicampurkan dengan
telur-telur didalam baskom.
4. Pengurutan induk jantan sama saja dengan pengurutan induk betina
5. Agar terjadi pembuahan, yaitu telur dan sperma dapat tercampur dengan
sempurna, lakukan pengadukan dengan menggunakan bulu ayam kurang lebih
selama 0,5 menit. Pengadukan dilakukan perlahan-lahan didalam baskom
6. Untuk meningkatkan vertilisasi, kedalam campuran telur dan sperma tadi
ditambahkan larutan NACL, kemudian diaduk selama kurang lebih 2 menit
7. Untuk membuang kotoran berupa lendir dilakukan penggantian air bersih
sebanyak 2-3 kali.
8. Untuk menghindari terjadinya penggumpalan pada telur dilakukan pencucian
menggunakan larutan lumpur. Lumpur dapat membersihkan lendir-lendir yang
menempel dan memisahkan telur-telur yang menggumpal. Lumpur yang
digunakan berupa tanah dasar kolam yang dipanaskan pada suhu 100ºC

11
9. Telur-telur yang dibuahi akan mengalami pengembangan. Ukuran telur terlihat
lebih besar dan berwarna kuning penuh. Telur yang tidak dibuahi berwarna putih
dan mengendap dibawah.

2.2.6 Penetasan Telur


Penetasan telur pada dasarnya telur ditetaskan diaquarium atau bak fiber.
Sebelum digunakan sebaiknya bak atau aquarium dibersihkan dan keringkan untuk
menghindari timbulnya jamur makan ditambahkan larutan penghambat pertumbuhan
jamur dengan emolin dengan dosis 0,05 cc/liter. Selain itu airator ditempatkan pada
wadah penetasan agar keperluan oksigen untuk larva tercukupi.
Adapun aquarium yang umum digunakan antara lain berukuran 80 cm x 45 cm x
45 cm. Kepadatan penebaran 500 ekor per aquarium. Pada fase ini larva belum
diberikan makanan dari luar karna masih mempunyai cadangan makanan berupa yolk
sack atau kuning telur.
Menurut Mahyudin (2010) telur ikan patin menetas setelah 18-24 jam pada suhu
28-30ºc. Proses penetasan telur dan pemeliharaan larva ikan patin merupakan periode
masa kritis sehingga penanganannya harus dilakukan dengan hati-hati. Dengan
demikian penetasan telur dna pemeliharaan larva membutuhkan pengontrolan yang baik
karena angka kematian larva yang baru menetas sampai dengan umur 15 hari
tergolongan sangat tinggi.
Jika penetasan dilakukan dibak aquarium maka ketinggian air cukup 20-30 cm.
Untuk padat tebar per aquarium sekitar 10.000-30.000 butir. Telur yang menetas rata-
rata 76-85%. Selanjutnya larva dapat dipindahkan dan ditampung pada aquarium atau
bak fiber (Susanto 2009).

2.2.7 Perawatan Larva


Menurut Mahyudin (2010) pemeliharaan larva merupakan kegiatan yang paling
menentukan keberhasilan usaha pembenihan ikan patin. Tingkat kematian pada fase
larva sampai umur 15 hari sangat tinggi karena stadia larva merupakan fase yang paling
kritis dalam siklus hidupikan patin dan cenderung lebih sulit dari pada fase penetasan
telur itu sendiri.

12
Oleh karena itu penetasan telur dan pemeliharaan secara terkontrol merupakan
hal yang harus dilakukan. Pemeliharaan larva patin harus dilakukan diruangan tertutup
dan rapat dan terlindungi dari pengaruh perubahan suhu, cuaca, hujan, angin, dan hama
penyakit.
Larva patin mulai aktif makan pada jam ke 30-36 setelah menetas. Umur 0-2
hari larva belum diberi makan karna masih mempunyai cadangan makanan. Umur 2-7
hari larva diberi pakan artemia, yakni pada saat larva berumur ± 36 jam. Artemia
merupakan salah satu pakan alami yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam
usaha budidaya ikan dan udang khususnya dalam pembenihan. Telur artemia yang baru
menetas merupakan jenis pakan awal bagi larva patin sampai umur 7 hari. Kandungan
proteinnya cukup tinggi yaitu sekitar 55%. Adapun kandungan gizi atemia dapat dilihat
di tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Gizi Artemia
No Kandungan Nutrisi Pakan Artemia Jumlah (%)

1 Protein 55,00%

2 Lemak 18,90%

3 Serat kasar 3-4%

4 Kadar air 81,90%

5 Abu 7,20%
Sumber : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan, DEPTAN (1992)

Penyediaan pakan artemia untuk larva patin dimulai dengan penetasan telur
artemia meggunakan wadah yang bagian dasarnya berbentuk kerucut. Corong penetasan
artemia harus dilengkapi dengan aerasi yang baik agar penetasan telur berlangsung
sempurna. Media penetasan artemia harus disesuaikan dengan habitatnya, menggunakan
air laut (air asin) dengan salinitas 25-30%. Setelah menetas akan terbentuk organisme
baru yang disebut nauplius. Cara umum menetaskan telur artemia adalah sebagai
berikut :
a. Siapkan wadah penetasan dan aerasi untuk telur artemia, wadah harus berbentuk
kerucut.

13
b. Siapkan media untuk penetasan telus artemia berupa air laut dengan salinitas 25-
30 ppt. Jika air laut tidak tersedia bisa menggunakan air bersih dicampur dengan
garam secukupnya sehingga salinitas mencapai 25-30 ppt.
c. Masukan telur artemia kedalam wadah penetasan sampai terendam. Dosis telur
artemia 5 gram/liter air.
d. Selama proses penetasan berlangsung hidupkan selalu aerasi. Agar aerasi
berlangsung baik pasang dan letakan selang aerator pada dasar wadah.
e. Telur artemia akan menetas setelah 18-36 jam. Sebelum panen aerasi dihentikan
selama kurang 5-10 menit.

Frekuensi pemberian pakan berupa nauplius artemia sebanyak 5 kali dengan


interval waktu 4 jam sekali. Pada hari kedua dan ke 3 sebaliknya frekuensi pemberian
pakan ditingkatkan menjadi 6 kali dengan interval waktu 4 jam sekali. Sedangkan pada
hari ke 4 hingga ke 7 frekuensi pemberian pakan kembali diturunkan menjadi 5 kali
dengan interval waktu 4 jam sekali.
Adapun cara panen nauplius dengan mematikan aerasi kemudian diamkan 10
menit setelah itu cangkang cyste artemia akan mengapung ke permukaan sementara
nauplius akan mengendap didasar corong penetasan. Pemanenan nauplius artemia
dengan mengambil cangkang cyste artemia dengan menggunakan seser secara perlahan.
Nauplius artemia disaring dengan menggunakan saringan plankton. Setelah artemia
disaring lakukan pembilasan dengan air tawar bersih. Nauplius artemia kemudian
dilautkan dalam air tawar dan ditebar pada media pemeliharaan larva secara merata
(Dewi 2011).

2.2.8 Pendederan
Menurut Santoso (1993), pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan benih
sampai ukuran tertentu, biasanya luas kolam yang digunakan antara 200-500 m². Benih
lepas hapa (umur 5-7 hari) dalam pemeliharaan atau wadah penetasan yang relatif
sempit itu pasti tidak akan mengapung bagi pertumbuhan larva dalam waktu lama. Oleh
karena itu haru segera dipindahkan ke areal lebih luas lagi yakni kekolam pendederan.
Setelah 5 hari atau seminggu semenjak telur menetas benih ikan harus
dipindahkan kekolam pendederan. Pemindahan ini dilakukan dengan hati-hati. Sebelum
memindahkan benih, air diaquarium harus dikurangi terlebuh dahulu agar memudahkan

14
saat pemanenan larva. Kemudian setelah air kurang barulah dilakukan pemanenan larva
dengan mengambil larva-larva tersebut dengan serokan dan ditampung kedalam wadah
berupa ember atau baskom. Pemindahan ini harus dilakukan pada saat suhu air masih
rendah, yaitu pagi hari atau sore hari. Pemasukan benih dengan cara memasukan ember
plastik atau baskom tersebut kedalam air kolam, lalu secara perlahan gulingkan agar
airnya bercampur dengan benih dan benihnya akan keluar dengan sendirinya (Susanto
2006).

15
BAB 3. METODELOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktek Kerja Lapangan II (PKL II) ini dilaksanakan mulai tanggal 06 Januari
sampai 31 Januari 2019, di Unit pelaksanaan teknis SUPM Negeri Pontianak
Anjungan Kabupaten Mempawah.

3.2 Metode Penulisan


Metode penulisan adalah Rangkaian cara terstruktur atau sistematis yang
digunakan oleh para penulis dengan tujuan mendapatkan jawaban yang tepat atas apa
yang menjadi pertanyaan pada objek penulisan atau upaya untuk mengetahui sesuatu
dengan rangkaian sistematis Berikut beberapa metode penulisan yang digunakan dalam
proses pengambilan data :
a. Penelitian Langsung (Field Research) adalah melakukan peninjauan secara
langsung untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan tugas
akhir.
b. Observasi (Observation) adalah suatu cara untuk mengumpulkan data penelitian
dengan mempunyai sifat dasar naturalistik yang berlangsung dalam konteks
natural, pelakunya berpartisipasi secara wajar dalam interaksi (Supriyati, 2011).
Observasi adalah Teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila
dibandingkan dengan teknik yang lain. Observasi tidak terbatas pada orang,
tetapi juga obyek-obyek alam yang lain (Sugiyono, 2009).
c. Wawancara (Interview) adalah Suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaanpertanyaan pada
para responden. wawancara bermakna berhadapan langsung antara interview
dengan responden, dan kegiatannya dilakukan secara lisan (P. Joko Subagyo,
2011). Wawancara adalah Pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu
topik tertentu (Sugiyono, 2009). Wawancara adalah Cara yang umum dan
ampuh untuk memahami suatu keinginan atau kebutuhan.wawancara adalah

16
teknik pengambilan data melalui pertanyaan yang diajukan secara lisan kepada
responden (Supriyati, 2011).
d. Dokumentasi (Documentation) adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan
menelaah dokumen-dokumen yang terdapat pada perusahaan (Umi Narimawati
et al. 2010). Dokumentasi adalah barang-barang tertulis (Arikanto, 2011).
Dokumentasi adalah Catatan peristiwa yang sudah berlalu (Sugiyono, 2009).
e. Studi Pustaka (Library Research) adalah teknik pengumpulan data dari berbagai
bahan pustaka (Referensi) yang relevan dan mempelajari yang berkaitan dengan
masalah yang akan dibahas.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengambilan data yang digunakan pada Praktek Kerja Lapangan (PKL)
II ini adalah metode partisipasi, observasi dan wawancara.
a. Pengamatan atau observasi di lapangan adalah berbagai kegiatan pengamatan
yang dilakukan mahasiswa dalam praktek kerja lapangan yang meliputi berbagai
jenis objek yang dapat diamati sekama berada dilokasi praktek.
b. Wawancara adalah kegiatan untuk memperoleh informasi dari narasumber di
lapangan yang dinilai dengan memberikan informasi yang diperlukan dalam
menyusun laporan. Wawancara ini dilakukan dengan Teknisi yang menangani
dan berada langsung dilapangan.
c. Partisipasi dan aktivitas adalah sebagai jenis kegiatan yang dilakukan mahasiswa
dalam praktek kerja lapangan yang meliputi berbagai jenis kegiatan-kegiatan
dilapangan(Marzuki, 2000).

Jenis data yang di ambil pada Praktek Kerja Lapangan I terdiri dari data primer
dan data sekunder.

3.2.1 Data primer


Menurut Marzuki (2000),data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumbernya, diamati dan di catat langsung untuk pertama kalinya. Sedangkan
pengambilan data datanya dengan cara observasi, wawancra seta partisipasi. Dimana
data ini akan menjadi data seluler bila digunakan orang lain yang tidak berhubungan

17
dengan penelitian yang bersangkutan. Parameter utama yang diamati untuk dijadikan
sebagai data primer dalam kegiatan perawatan larva ikan patin adalah sebagai berikut :
1. Persiapan Wadah
No Uraian Alat yang Digunakan Cara Pengambilan Data
1 Jenis wadah Visual Mengindentifikasi jenis wadah
yang digunakan yang digunakan dengan cara
observasi dan partisipasi di
lapangan.
2 Ukuran Meteran Mengukur luasan media dengan
menggunakan meteran
3 Pembersihan Sikat dan Sabun Membersihkan bak dengan cara
Bak menyikat wadah yang akan
digunakan

2. Seleksi Induk
Uraian Alat yang Digunakan Cara Pengambilan Data

1. Jenis Induk Visual Wawancara dan Partisipasi


2. Asal Induk - Wawancara dan Partisipasi
3. Umur Induk Visual Wawancara dan Partisipasi
4. Kondisi Tubuh Visual Partisipasi
5. Berat Timbangan Partisipasi
6. Panjang Meteran Wawancara dan Partisipasi
7. TKG Visual

3. Penetetasan Telur
Uraian Alat yang Digunakan Cara Pengambilan Data

1. Jenis Wadah Visual Mengindentifikasi jenis wadah


yang digunakan dengan cara
observasi dan partisipasi di
lapangan

2. Ukuran Wadah Meteran Mengindentifikasi jenis wadah


yang digunakan dengan cara
observasi dan partisipasi di
lapangan

3. Bentuk Wadah Visual Mengindentifikasi jenis wadah


yang digunakan dengan cara
observasi dan partisipasi di
lapangan

4. Suhu Termometer Mengindentifikasi jenis wadah


yang digunakan dengan cara

18
observasi dan partisipasi di
lapangan

5. Tinggi Air Meteran Mengindentifikasi jenis wadah


yang digunakan dengan cara
observasi dan partisipasi di
lapangan

4. Perawatan Larva
No Uraian Perawatan Larva Cara Pengambilan Data

1 Jenis, Dosis, Frekuensi dan Wawancara dengan teknisis dan partisipasi


cara pemberian pakan melakukan pemberian pakan

2 Suhu Mengukur dan mencatat suhu air pada bak


perawatan larva dengan menggunakan
thermometer dan berwawancara dengan
teknisi

3 Ph Mengukur dan mencatat pH air


menggunakan pH meter dan melakukan
wawancara dengan teknisi

4 Survival Rate (SR) Dilakukan dengan membandingkan jumlah


larva yang hidup pada waktu pemanenan
sampai menjadi benih

No Uraian Pemanenan Larva Cara Pengambilan Data

1 Waktu Pemanenan Dengan cara menghitung rentang waktu


dari pembuahan hingga pemanenan larva

2 Suhu Air Mengukur dan mencatat hasil


wawancara dari teknisi

3 pH Air Melakukan wawancara kepada teknisi


dan mencatatnya

19
4 DO (Oksigen Terlarut) Melakukan wawancara kepada teknisi
dan mencatatnya

3.3.3 Data Sekunder


Data Sekunder adalah data yang sifatnya mendukung data primer, yaitu data
yang diperoleh dari hasil studi literature untuk melengkapi data primer. Pengambilan
data sekunder dilakukan dengan cara mengutip atau menjadikan buku literature sebagai
pelengkap data primer serta sebagai studi banding dan pengamatan. Data yang diperoleh
dari buku yang menjadi literature sebagai penunjang, biasanya dalam bentuk gambar,
tabel dan kutipan penyataan seorang penulis buku tersebut. Adapun data sekunder yang
diambil dapat dilihat pada Tabel berikut :
No Uraian Cara Pengambilan Data

1 Sejarah berdirinya lokasi Data diambil dengan melakukan


wawancara dengan teknisi kemudian
mencatat hasil wawancara

2 Struktur organisasi Data diambil dengan melakukan


wawancara dengan teknisi kemudian
mencatat hasil wawancara

3 Letak administratif Data diambil dengan melakukan


wawancara dengan teknisi kemudian
mencatat hasil wawancara

4 Sarana dan Prasarana Data diambil dengan cara mengamati


dan mengindentifikasi sarana dan
prasarana serta melakukan wawancara
dengan teknisi

3.4 Analisis Data


Jenis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam
suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar. Dari analisis data maka data yang diperoleh
ada dua yaitu :
3.4.1 Data kualitatif
Data kualitatif adalah data yang berhubungan dengan kategori berwujud
pertanyaan. Dalam proses analisa yang dilakukan yang pertama menganalisis dari awal
kegiatan pembenihan sampai proses pemanenan berakhir. Data kualitatif terdiri dar :
a. Pemeliharaan induk

20
b. Persiapan wadah dan media
c. Seleksi induk
d. Pemberokan
e. Pemijahan
f. Penetasan telur
g. Perawatan larva
h. Pendederan

3.4.2 Data kuantitatif


Data kuantitatif adalah data yang berwujud atau dipaparkan dalam bentuk
angka-angka. Bentuk dari hasil perhitungan atau angka-angkat yang diformat dalam
bentuk tabel.. data tersebut dibandingkan dengan literature penunjang atau pendapat
para ahli yang telah dipiblikasikan secara luas. Data kuantitatif terdiri dari
1. Jumlah Telur Yang Diovulasikan (Fekunditas)
Fekunditas menurut Murtidjo (2005) adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh
induk betina per ekor. Fekunditas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

F=Wxn
w
Keterangan : F = fekunditas
W= berat telur total (gr)
w= berat telur sampel (gr)
n= jumlah telur sampling
2. Derajat Pembuahan (Fertilisasi Rate)
Derajat pembuahan adalah persentase jumlah telur yang dibuahi dari telur yang
diovulasikan. Derajat pembuahan dapat di hitung dengan menggunakan rumus :
jumlah telur yang dibuahi
FR = x 100 %
jumlah telur yang diovulasikan
Keterangan :
FR = Derajat Pembuahan
Qt = Jumlah Telur yang Dibuahi
Qo = Jumlah Telur yang Diovulasikan

21
3. Derajat Penetasan (Hatching Rate)
Derajat penetasan adalah persentase jumlah telur yang menetas dari telur yang
dibuahi. Sampel telur yang digunakan untuk pengamatan derajat penetasan diambil dari
sampel telur yang dibuahi. Derajat penetasan dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
jumlah telur yang menetas(butir )
HR = x 100 %
jumlah total telur sampling(butir )

4. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)


Tingkat kelangsungan hidup larva adalah persentase jumlah larva yang hidup
setelah berumur 2 hari. Survival rate dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
nt
SR = x 100 %
no

Keterangan :
SR = Tingkat Kelangsungan Hidup (100%)
Nt = Jumlah Larva Hidup Setelah 2 Hari
No = Jumlah Total Larva Yang Menetas

22
DAFTAR PUSTAKA

Amir dan Susanto, 1999. “ Budidaya ikan Patin”. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Hernowo, 2001 “ Membenihkan ikan Patin” Penebar Swadaya. Jakarta.

Mahyuddin, 2005. “Budidaya Ikan Patin Biologi Pembenihan dan

Pembesaran.”Yayasan Pustaka Nusantara.

Khairuman, SP dan Dodi Suhenda, S. “Budidaya Patin Secara Intensif”. Agromedia

Pustaka. Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai