Kelompok 1
1 Universitas Sriwijaya
BAB 1
PENDAHULUAN
2 Universitas Sriwijaya
2
1.1. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini ialah agar mahasiswa dapat mengetahui serta
memahami secara teknis budidaya ikan dengan sistem bioflok
3 Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4 Universitas Sriwijaya
3
dasar media air pemeliharaan, sehingga diperlukan proses dekomposisi. Jika tidak
terdekomposisi media pemeliharaan akan terurai secara anaerob oleh bakteri
anaerob kemudian membentuk gas-gas toksik seperti asam sulfida, nitrit, dan
amonia dan berdampak negatif bagi metabolisme organisme budi daya hingga
kematian. Untuk mengurangi limbah organik dan limbah yang akan terbuang ke
perairan umum, diperlukan pengelolaan kualitas air agar media pemeliharaan
tetap dalam kondisi baik. Salah satu upayanya adalah pendekatan biologis dengan
memanfaatkan aktivitas bakteri untuk mempercepat proses dekomposisi limbah
organik (Sutama et al., 2016).
Teknologi bioflok merupakan teknologi penggunaan bakteri baik
heterotrof maupun autotrof yang dapat mengonversi limbah organik secara
intensif menjadi kumpulan mikroorganisme yang berbentuk flok, kemudian dapat
dimanfaatkan oleh ikan sebagai sumber makanan. Di dalam flok terdapat beberapa
organisme pembentuk seperti bakteri, plankton, jamur, alga dan partikel-partikel
tersuspensi yang memengaruhi struktur dan kandungan nutrisi bioflok, namun
komunitas bakteri merupakan mikroorganisme paling dominan dalam
pembentukan flok dalam bioflok (Schryver et al., 2008). Proses pembentukan
flok terjadi oleh aktifitas enzim yang di ekresikan bakteri untuk mendekomposisi
bahan organik sebagai sumber energy bagi pertumbuhan sel, sel mengekresikan
senyawa-senyawa metabolit sekunder berupa lendir, bio polimer, peptide dan
lipid, yang terakumulasi di sekitar sel dan terikat membentuk kumpulan di sebut
flok yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme akuatik (Crab et al.,
2007).
5
2.3. Budidaya Sistem Bioflok
Teknologi Bioflok (BFT) adalah teknik untuk meningkatkan kualitas air
dalam budidaya dengan menyeimbangkan karbon dan nitrogen dalam sistem
akuakultur. Ini merupakan metode untuk mengontrol kualitas air secara
berkelanjutan, dengan nilai tambah berupa ketersediaan protein mikroba sebagai
sumber makanan. Dari proses ini, sistem BFT menyediakan akuakultur
berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek pembangunan lingkungan, sosial
dan ekonomi. Selain meningkatkan pertumbuhan bakteri heterotrofik, BFT
5 Universitas Sriwijaya
menyediakan protein bakteri untuk hewan, mengurangi permintaan suplemen
makanan, mengurangi biaya pakan hingga 30% untuk hewan air yang
dibudidayakan, dan juga mengurangi kadar nitrogen beracun dalam sistem dan
limbah budidaya. Kebutuhan untuk mengurangi dampak lingkungan yang
ditimbulkan oleh pembuangan nutrien dan limbah organik adalah hal mendasar
bagi akuakultur. Sistem BFT muncul sebagai alternatif dari sistem konvensional
untuk meminimalkan emisi efluen. Sistem BFT merupakan sistem yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan, meminimalkan dampak lingkungan dari
limbah organik dan pembuangan bahan organik, serta optimalisasi penggunaan air
sebesar 90%, mengetahui bahwa air adalah sumber akuakultur yang semakin
langka di Afrika (Suparno, 2016)
Sistem bioflok dikembangkan untuk meningkatkan kontrol lingkungan
terhadap produksi hewan akuatik. Dalam akuakultur, faktor yang berpengaruh
kuat adalah biaya pakan (terhitung 60% dari total biaya produksi) dan faktor yang
paling membatasi adalah ketersediaan air / lahan. Kepadatan stok tinggi dan
pemeliharaan hewan air memerlukan pengolahan air limbah. Sistem bioflok
adalah pengolahan air limbah yang menjadi sangat penting sebagai pendekatan
dalam budidaya. Prinsip dari teknik ini adalah menghasilkan siklus nitrogen
dengan mempertahankan rasio C: N yang lebih tinggi melalui stimulasi
pertumbuhan mikroba heterotrofik, yang mengasimilasi limbah nitrogen sehingga
dapat dimanfatkan oleh spesies budidaya sebagai pakan. Teknologi bioflok tidak
hanya efektif dalam mengolah limbah tetapi juga memberikan nutrisi kepada
hewan air. Penambahan sumber karbohidrat (molase) akan menjadi semakin
tinggi akibat terbentuknya C: N pada sistem bioflok dan kualitas air ditingkatkan
melalui produksi protein mikroba sel tunggal berkualitas tinggi. Dalam kondisi
seperti itu, mikroorganisme padat berkembang dan berfungsi baik sebagai
bioreaktor yang mengontrol kualitas air dan sumber makanan protein. Imobilisasi
spesies nitrogen beracun terjadi lebih cepat di bioflok karena laju pertumbuhan
dan produksi mikroba per unit substrat heterotrof sepuluh kali lebih besar
daripada bakteri nitrifikasi autotrofik. Teknologi ini didasarkan pada prinsip
flokulasi dalam sistem Teknologi bioflok telah diterapkan dalam budidaya udang
6 Universitas Sriwijaya
karena kebiasaan hunian dasarnya dan resistensi terhadap perubahan lingkungan6
(Nadya, 2016)
Teknologi bioflok ini dikenal dengan ramah lingkungan. Fakta tersebut juga
bisa menjadi catatan positif karena teknologi budidaya perikanan kini mengarah
pada konsep yang sudah dicanangkan dalam pembengunann keberlanjutan.
Bahkan, prihal tersebut menurut ketua I Assosiasi Pengusaha Catfish Indonesia
yaitu Iimsa Hemawan menyampaikan budidaya lele bioflok adalah usaha yang
mengandalkan teknologi, sehingga faktor kedisiplinan dalam penerapan prosedur
operasi standar (SOP) bisa menjadi sangat penting. Pendampingan teknologi yang
mempergunakan bioflok ini harus bisa dilakukan secara intens, dengan metode
yang memungkinkan masyarakat memahami dan mengadopsi secara mudah
(Diana, 2015)
7
2.4. EM4
Teknologi EM4 adalah teknologi budidaya pertanian untuk meningkatkan
kesehatan dan kesuburan tanah dan tanaman, dengan menggunakan
mikroorganisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. EM4 merupakan
kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan yang berasal dari
alam Indonesia, bermanfaat bagi kesuburan tanah, pertumbuhanan dan produksi
tanaman serta ramah lingkungan. EM4 mengandung mikroorganisme fermentasi
dan sintetik yang terdiri dari bakteri Asam Laktat (Lactobacillus Sp), Bakteri
Fotosentetik (Rhodopseudomonas Sp), Actinomycetes Sp, Streptomyces SP dan
Yeast (ragi) dan Jamur pengurai selulose, untuk memfermentasi bahan organik
tanah menjadi senyawa organik yang mudah diserap oleh akar tanaman.
Teknologi EM4 ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari
Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang, dan telah diterapkan secara luas di
negara-negara lain di seluruh dunia, seperti Amerika, Brasil, Taiwan, Korea
Selatan, Thailand, Srilanka, India, Pakistan, Selandia Baru, Australia dan lain-
lain. Selain untuk Pertanian kini tersedia untuk EM4 Peternakan, EM4 Perikanan
dan EM4 Pengolahan Limbah dan Toilet. EM4 ini mengandung Bakteri
Fermentasi, mulai dari Genus Lactobacillus, Jamur Fermentasi, Actinomycetes
Bakteri Fotosintetik, Bakteri Pelarut Fosfat, dan juga Ragi. Pemanfaatannya
7 Universitas Sriwijaya
sering diaplikasikan dalam pembuatan kompos, atau pupuk bokashi. Manfaat
yang dirasakan petani, peternak, atau perikanan dalam produk hasil dekomposisi
menggunakan mikroba 4. Produktifitas yang tinggi pada budidaya lele tanpa
didukung penguasaan teknologi bidang perikanan akan menimbulkan banyak
masalah seperti pertumbuhan yang tidak maksimal, bau tak sedap serta dapat
menimbulkan kematian pada ikan. Pengolahan yang baik itu salah satunya dengan
menggunakan teknologi EM4 yang berguna untuk meningkatkan bakteri pengurai
pada bahan organik, menekan pertumbuhan bakteri pathogen, menstimulasi enzim
pencernaan dan meningkatkan kualitas air (Kurniawan D, 2013)
Sehingga EM4 bermanfaat untuk Meningkatkan pertahanan tubuh ikan,
meningkatkan pertumbuhan dan size ikan. Meningkatkan imunostimulan atau
daya tahan ikan, meningkatkan daya tahan tubuh ikan sehingga mengurangi
pengunaan antibiotik. Efisiensi energi dan pengelolaan kualitas air,
memfermentasi sisa pakan, kotoran, di dasar air. Meningkatkan oksigen terlarut
(DO) dan air menjadi bersih sehingga tidak diperlukan penggantian air berulang-
ulang. Menguraikan gas-gas amoniak, metan dan hydrogen sulfide.
Mempertahankan kualitas lingkungan dan aman dan ramah lingkungan (Sundari,
2012)
8 Universitas Sriwijaya
2.6. Kualitas Air
2.6.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor dalam budidaya dimana suhu
mempengaruhi kehidupan ikan. Suhu yang optimal untuk budidaya ikan adalah
berkisar 28-32ᵒC (Arifin, 2016).
2.6.2. pH
Derajat keasaman suatu air menjadi faktor dalam kualitas air dimana bila
ph tidak sesuai dengan kebutuhan organisme yang dipelihara akan menghambat
pertumbuhan ikan. Ph untuk pertumbuhan yang optimal adalah berkisar 6-8.
Pertumbuhan ikan akan terhambat jika ph tidak sesuai dengan kebutuhan
organisme tersebut (Arifin, 2016)
2.6.3. Amonia
Amonia adalah hasil akhir dari adanya proses penguraian oleh protein
terhadap sisa pakan dan hasil metabolisme ikan yang mengendap didalam
perairan. Diperairan gas amonia (NH3) akan mudah larut dan membentuk
amonium hidroksida (NH40H) yang berdisosiasi menghasilkan ion ammonium
(NH3+) dan hidroksil (OH-). Amonium yang tidak berdisosiasi bersifat toksik
(racun), namun NH4+ hampir tidak membahayakan (Arifin, 2016).
9 Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODOLOGI PRAKTIKUM
10 Universitas Sriwijaya
.
1. Ikan Lele 300 ekor Objek yang diperhatikan
2. Nanas - Sumber karbon
3. Pisang ambon - Sumber karbon
4. Gula merah - Sumber karbon
5. Gula pasir - Sumber karbon
6. Ragi tape - Sumber mikroba
7. Ragi kue - Sumber mikroba
8. Yakult - Sumber mikroba
9. Kapur dolomite - Sebagai anti bakteri
10. Garam - Sebagai anti bakteri
11. Air - Media pemeliharaan ikan
10
11 Universitas Sriwijaya
dilarutkan ke udara. Larutan kapur, larutan gula merah sebanyak 50 ml, dan
probiotik sebanyak 50 mi ditambahkan ke kolam bulat Diamkan hingga 7 hari
untuk menumbuhkan bieflok sebagai persiapan penebaran benih ikan.
12 Universitas Sriwijaya
Wm = Wt - Wo
Keterangan :
Wm = Pertumbuhan berat mutlak (g)
Wt = Bobot rata-rata akhir (g)
Wo = Bobot rata-rata awal (g)
Pm = Pt - Po
Keterangan :
Pm = Pertumbuhan panjang mutlak (g)
Pt = Panjang rata-rata akhir (g)
Po = Panjang rata-rata awal (g)
3.4.4. FCR
Feed Convertion Ratio (FCR) adalah perbandingan antara jumlah pakan
yang diberikan dengan daging ikan yang dihasilkan. Menurut Effendi (2003),
FCR dapat dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
F
FCR =
(Wt−Wo)
Keterangan:
FCR : Feed Convertion Ratio
F : jumlah pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan (kg)
Wt : Biomassa akhir (kg)
W0 : Biomassa awal (kg)
13 Universitas Sriwijaya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Adapun hasil yang didapatkan selama praktikum pemeliharaan ikan lele
dengan sistem bioflok ini disajikan pada tabel-tabel dibawah ini:
Tabel 4.1 Data Hasil Sampling Selama Pemeliharaan
14 Universitas Sriwijaya
14
Kelompok Data
Nt (ekor) No (ekor) SR(%)
Kelompok 1 257 ekor 300 ekor 85,67%
15 Universitas Sriwijaya
Biomassa Awal 0,83 kg
Biomassa Akhir 2,16 kg
Rata-rata Panjang Awal 6,725 cm
Rata-rata Panjang Akhir 10,325 cm
Pertumbuhan Bobot Mutlak 1,33 kg
Pertumbuhan Panjang Mutlak 3,6 cm
Jumlah Pakan 0,8 kg
Survival Rate 85.67 %
Biomassa ikan mati 0,34 kg
FCR 0,4
16 Universitas Sriwijaya
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
1 9 15
Harike-
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari pratikum teknologi bioflok ini adalah
sebagai berikut :
17 Universitas Sriwijaya
1. Berdasarkan data praktikum pemeliharaan ikan lele dengan teknologi bioflok
dapat menurunkan FCR hingga mencapai 0,4 pada pemeliharaan 15 hari
2. Rata-rata panjang ikan lele meningkat dari 6,725 mencapai 10,325 pada akhir
pemeliharaan.
3. Pertumbuhan bobot mutlak mencapai 1,33 kg dan pertumbuhan panjang
mutlak 3,6 cm dengan kelangsungan hidup yang cukup tinggi yaitu mencapai
85,67 %.
4. Volume flok mengalami penurunan drastis dari 8,5 ml/L menurun menjadi 4
ml/L yang terjadi pada hari ke-15. Penurunan drastis volume flok ini terjadi
karena flok lebih banyak dikonsumsi oleh ikan sebagai pakan alami.
5. Pemberian dosis molase dari minggu pertama sampai minggu ketiga
mengalami penurunan.
5.2. Saran
Kepada para praktikan, agar lebih serius dan saling bekerja sama pada saat
melakukan praktikum. Keseriusan dan kerjasama sangat diperlukan dalam suatu
praktikum, karena dapat mempengaruhi hasil dari praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
17
Abulias, N., Utarini, S. dan Winarni, E., 2014. Manajemen Kualitas Media
Pendederan Lele(Clarias sp.) Pada Lahan Terbatas dengan Teknik
Bioflok. Jurnal MIPA[online], 37(1), 16–21.
Adharani, N., Soewardi, K., Syakti, A.D dan Hariyadi, S., 2016. Manajemen
Kualitas Air dengan Teknologi Bioflok: Studi Kasus Pemeliharaan Ikan
18 Universitas Sriwijaya
Lele (Clarias Sp.). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia[online], 21(1), 35-40.
Arifin, M. Y., 2016. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) Strain Merah dan Strain Hitam yang dipelihara pada Media
Bersalinitas. Jurnal Ilmiah Universitas Batang Hari Jambi. Vol 16 (1).
Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P. and Verstraete,W., 2007.
Nitrogen Removal Techniques In Aquaculture for a Sustainable
Production. Jurnal Aquaculture [online], 270(1), 1–14.
Crab, R., Defoirdt, T., Bossier, P. and Verstraete, W., 2012. Biofloc technology in
aquaculture: Beneficial effects and future challenges. Jurnal Aquaculture
[online], 351–356.
Pillay TVR. 1992 . Aquaculture and the Environment. Fishing News Book. 189
pgs.
19 Universitas Sriwijaya
Rusherlistyani., Sudaryati, D dan Heriningsih, S., 2017. Budidaya Lele Dengan
Sistem Kolam Bioflok[online].Yogyakarta: LPPM UPN VY.
Schryver, D., Crab, R., Defoirdt, T., Boon, N., Verstraete, W., 2008. The Basic of
Bio-floc technology: The Added Value for aquaculture. Journal
Aquaculture[online],277,(1), 125–137.
Suprapto, N.S. dan Samtafsir, L.S., 2013. Biofloc-165 Rahasia Sukses Teknologi
Budidaya Lele. Depok. AGRO-165 Press.
Sutama, G., Sasanti, A.D. dan Taqwa, F.H., 2016. Pemeliharaan Ikan Patin
(Pangasius sp.) dengan Teknologi Bioflok Pada Padat Tebar Berbeda.
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia[online], 4(1), 200-215.
LAMPIRAN
20 Universitas Sriwijaya
Pengukuran
kualitas air
Pengukuran Do
Pengukuran pH
21 Universitas Sriwijaya
Pengukuran Suhu
Pemberiaan
Pakan
22 Universitas Sriwijaya