Disusun oleh :
Kelompok 4/P1
Ririnjani J3H111046
Rijaldy Firzatullah J3H111009
Novita sari J3H111030
Arief Wahyudi J3H211064
M. Rizki D. J3H111032
Akhmad Bayhaki J3H111044
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mikroalga adalah salah satu jenis tumbuhan yang banyak tersebar baik di
perairan darat maupun laut (Burlew, J.S. 1995). Mikroalga memiliki jenis yang
beragam. Salah satu jenis mikroalga yang terkenal adalah Chlorella sp.
Klasifikasi Chlorella sp
Chlorella merupakan alga hijau yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcaales
Family : Chlorellacea
Genus : Chlorella
Menurut habitat hidupnya ada dua macam Chlorella, yaitu Chlorella yang
hidup di air tawar maupun yang hidup di air laut.
Pertumbuhan fitoplangkton ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel
atau bertambahnya jumlah sel. Chlorella merupakan salah satu jenis fitoplankton
yang digunakan dalam pemeliharaan larva kerapu bebek sebagai peneduh atau
penyangga kualitas air.(Anonim, 2011). Chlorella memiliki bentuk sel bulat atau bulat
telur, merupakan alga bersel tunggal, tetapi kadang-kadang dijumpai bergerombol.
Mikroalga Chlorella memiliki potensi sebagai pakan alami, pakan ternak,
suplemen, penghasil komponen bioaktif bahan farmasi dan kedokteran. Hal tersebut
disebabkan Chlorella banyak mengandung berbagai nutrient seperti protein,
karbohidrat, asam lemak tak jenuh, vitamin, klorofil, enzim, dll. Selain itu
Chlorella merupakan mikroalga yang sebagian besar hidup dilingkungan akuatik,
baik perairan tawar, air laut maupun air payau. (Prihantini et al., 2005).
Chlorella mengandung 50 % protein , lemak serta vitamin A, B, D, E, dan K.
Diameter selnya berkisar 2-8 mikron, Warna hijau pada alga ini disebabkan selnya
mengandung klorofil a dan b dalam jumlah yang besar, di samping karotin dan
xantofil (Volesky, 1970). Dinding selnya keras terdiri atas selulosa dan pectin. Sel ini
mempunyai protoplasma yang berbentuk cawan. Chlorella dapat bergerak tetapi
sangat lambat sehingga pada pengamatan seakan-akan tidak bergerak. (Sachlan,
1982)
Melihat potensi yang dimiliki Chlorella sp. sangat besar, makin banyak
penelitian dilakukan terhadap jenis mikroalga ini. Penelitian tentang pertumbuhan
mikroalga biasanya dilakukan dalam fotobioreaktor tertutup. Dalam pertumbuhan
mikroalga dalam fotobioreaktor, ada beberapa faktor yang harus dipenuhi
(Anonymous, 1992).
Pada skala laboratorium ,peningkatan volume kultur bertahap dari mulai
tabung reaksi bervolume 10 ml, erlenmeyer 100 ml,1000 ml sampai 5000 ml.Setelah
mencapai volume 5 liter, kultur mikroalga telah siap untuk digunakan sebai inokulan
bagi tahap intermediet.
Tahap intermediet umumnya dilakukan di luar laboratorium dengan
menggunakan wadah akuarium,galon atau plastik. Dalam tahap ini juga dilakukan
peningkatan volume kultur secara bertahap dari mulai 20 liter hingga 500 liter. Kultur
dengan volume lebih dari 50 liter umumnya dilakukan di dalam bak fiber yang
berwarna bening atau plastik yang berukuran besar dan tebal.
Setelah melalui tahap intermediet, volume kultur ditingkatkan lagi melalui
kulter massal. Pada skala ini, kultur dilakukan di dalam (indoor) atau diluar ruangan
(outdoor) dengan menggunakan wadah bak beton atau bak fiber.
Tahapan-tahapan dalam budidaya mikroalga pada skala intermediet dan
massal umumnya hampir sama dengan budidaya mikroalga pada skala laboratorium
kultur murni. Yang membedakan adalah metode sterilisasi dan sumber nutrien yang
digunakan.Karena pada skala intermediet dan skala masal, budidaya mikroalga
dilakukan dalam jumlah besar maka metode sterilisasi pada skala laboratorium
seperti Autoclave dan oven tidak mungkin dilakukan. Pada skala ini metode
sterilisasi yang digunakan umumnya adalah metode sterilisasi kimiawi dengan
menggunakan larutan klorin atau ozon. Metode yang lain juga umum digunakan
adalah dengan radiasi sinar Ultra Violet.
Chlorella bersifat kosmopolit yaitu dapat tumbuh dimana-mana, kecuali pada
tempat yang sangat kritis bagi kehidupan. Alga ini dapat tumbuh pada salinitas 0-35
ppt. salinitas 10-20 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan alga ini.
Alga ini masih dapat bertahan hidup pada suhu 40 0C, tetapi tidak tumbuh. Kisaran
suhu 25-300C merupakan kisaran suhu yang optimal. (Hirata, 1981).
Kehidupan Chlorella sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
dimana Chlorella tersebut berada. Faktor yang mempengaruhi kehidupan tersebut
adalah unsur hara, cahaya matahari, suhu, pH, CO 2, dan air. Unsur hara yang
dibutuhkan oleh Chlorella berupa unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur
hara makro terdiri dari N, P, K,S, Na, Si, dan Ca, sedangkan unsur hara mikro terdiri
dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, B dan lain-lain. Setiap unsur hara mempunyai
fungsi khusus bagi Chlorella tanpa mengabaikan pengaruh faktor lain. Unsur N,P,
dan S sangat penting dalam pembentukan dinding sel Chlorella. (Wirosaputro,
2002).
Cahaya matahari berperan penting untuk proses fotosintesis yang dibutuhkan
oleh Chlorella. Chlorellabanyak menyerap cahaya biru dan merah, keduanya bila
bergabung menjadi sinar ultraviolet yang memiliki daya penyembuh dan daya
pembersih. Suhu berperan di dalam memacu proses metabolisme dan untuk
Indonesia suhu yang optimum berkisar 25-30 0 C bagi Chlorella. Peranan pH dalam
budidaya sangat penting bila dikaitkan dengan kontaminan. kontaminan itu sangat
merugikan maka pH dapat diatur guna mengatasinya, yaitu dengan mengatur pH
menjadi asam tetapi Chlorella tidak terpengaruh olehnya, pH diusahakan menjadi
4,5-5,6. Ketika pH asam maka kontaminan tidak tahan hidup tetapi Chlorella tidak
terpengaruh kehidupannya, sehingga pencegahan kontaminan dapat dikendalikan.
(Wirosaputro, 2002).
Dalam pengkulturan Chlorella perlu di perhatikan sebagai pakan alami ikan
adalah: memiliki bentuk dan ukuran yang sesuai dengan mulut ikan, mempunyai nilai
gizi yang penting, isi sel padat dan dinding sel tipis, sehingga mudah diserap oleh
tubuh ikan, cepat berkembangbiak dan memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap
perubahan lingkungan, tidak mengeluarkan zat toksik, tidak bergerak aktif sehingga
mudah ditangkap. (Wirosaputro, 2002).
Alga ini berproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga
dapat dengan pemisahan autospora dari sel induknya. Menurut Cahyo (2011),
kepadatan sel digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan fitoplankton
melalui beberapa fase diantaranya sebagai berikut.
Pertumbuhan mikroalga secara umum dapat dibagi menjadi lima fase yang
meliputi fase lag (adaptasi atau istirahat), fase eksponensial, fase penurunan
kecepatan pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian. Pada fase lag
penambahan jumlah densitas mikroalga sangat rendah atau bahkan dapat dikatakan
belum ada penambahan densitas. Hal tersebut disebabkan karena sel-sel mikroalga
masih dalam proses adaptasi secara fisiologis terhadap media tumbuh sehingga
metabolisme untuk tumbuh manjadi lamban. Pada fase eksponensial terjadi
penambahan kepadatan sel mikroalga (N) dalam waktu (t) dengan kecepatan
tumbuh () sesuai dengan rumus eksponensial. Pada fase penurunan kecepatan
tumbuh pembelahan sel mulai melambat karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai
membatasi pertumbuhan. Pada fase stasioner, faktor pembatas dan kecepatan
pertumbuhan bersifat setimbang karena jumlah sel yang membelah dan yang mati
sama. Pada fase kematian, kualitas fisik dan kimia kultur berada pada titik dimana
sel tidak mampu lagi mengalami pembelahan (Fogg dan Thake, 1987 dalam Edhy et
al., 2003).
BAB III
METEDOLOGI
Berdasarkan dari tabel diatas dapat memberi informasi bahwa data yang
diperoleh selama seminggu pemeliharaan atas perlakuan
Upscalling : Budidaya pada wadah yang berurutan mulai dari yang kecil sampai ke
yang besar
4.2 Pembahasan
Mikroalga adalah jasad renik yang termasuk tumbuhan bersel tunggal,
berkembangbiak sangat cepat dengan daur hidup relatif pendek (Panggabean,
1998). Alga mikroskopis biasa disebut dengan phytoplankton yang merupakan
sumber rantai makanan dilaut. Alga mikroskopis berfotosintesis seperti tanaman
tingkat tinggi. Alga ini secara biokimia dapat memanfaatkan CO2, seperti tanaman
daratan, dengan adanya enzim Rubisco (Ribulose 1.5. carboxylic biphosphate).
Sintesa biologis dari gula dan lemak diawali dari Siklus Calvin.
Menurut Sheehan dkk (1998) dari departemen energi Amerika Serikat, ada 3
komponen zat utama yang terkandung dalam alga, yaitu Karbohidrat, Protein, dan
Triacyglycerols. Karbohidrat dapat difermentasikan menjadi alkohol, protein dapat
diolah menjadi produk makanan dan kecantikan, dan Triacyglycerols dapat diubah
fatty acid.
Chlorella sp. merupakan alga bersel tunggal dari golongan alga hijau
(Chloropyta) yang telah dimanfaatkan secara komersial karena gizinya yang tinggi
(Srihati dan Carolina, 1995). Chlorella sp. memiliki peranan dalam memenuhi
kebutuhan manusia diantaranya sebagai makanan tambahan atau suplemen karena
kandungan nutrisinya lengkap (Royan, dkk. 2010). Meningkatnya permintaan akan
Chlorella sp. merupakan peluang dilakukannya peningkatan kultur Chlorella sp.
Menurut Eyster (1978) menyatakan bahwa konsentrasi nutrien yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan Chlorella sp. Baik makronutrien dan mikronutrien ditetapkan
menjadi tiga yaitu konsentrasi minimum, maksimum, dan optimum. Eyster (1978)
mengemukakan bahwa nutrien yang dibutuhkan oleh Chlorella sp. Berupa
makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari, N, P, K, Si dan Ca
sedangkan mikronutrien terdiri dari Fe, Mo, Cu, Mn, Zn dan Co. Unsur yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan Chlorella sp. antara lain N (0,14-0,7 g/l) dan P
(0,015-0,62 g/l). Kebutuhan unsur makro nutrien dan mikro nutrien dalam kultur
Chlorella sp. Harus tercukupi untuk pertumbuhan yang optimal terutama unsur N
dan P yang berfungsi untuk pembentukan klorofil dan keperluan fotosintesis
(Sumarlinah, 2000).
Berdasarkan dari tabel diatas dapat memberi informasi bahwa data yang diperoleh
selama seminggu pemeliharaan atas perlakuan kultur Chlorella sp. skala intermediet dapat
dilihat dari nilai laju pertumbuhan spesifik pada hari ke-1 sebesar 36,41 x 104 sel/mL.Hal
tersebut menggambarkan bahwa dalam waktu satu hari Chlorella sp. memiliki adaptasi yang
baik terhadap lingkungan kultur. Fase lag pada pertumbuhan Chlorella sp. ini berlangsung
selama kurang lebih dari 24 jam. Pada hari ke-2, jumlah populasi mikroalga menurun yaitu
menjadi 24 x 104 sel/mL sehingga tidak memasuki fase pertumbuhan eksponensial
melainkan fase kematian yakni banyak Chlorella sp. mati karena tidak dapat beradaptasi
dengan baik. Salah satu faktor yang menentukan lamanya fase adaptasi adalah umur kultur
yang digunakan sebagai inokulum. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan yang disebutkan
oleh (Fogg dan Thake, 1987 dalam Prihantini et al., 2005) yang menyebutkan fase adaptasi
akan menjadi lebih singkat atau bahkan tidak terlihat apabila sel-sel yang diinokulasikan
berasal dari kultur yang berada dalam fase eksponensial. Sedangkan pada pernyataan lain
disebutkan bahwa Chlorella Vulgaris memiliki daya adaptasi yang cepat terhadap
lingkungan kultur yang baru sehingga menunjukkan daya adaptasi yang cukup singkat dan
langsung tumbuh dengan cepat dan mudah pada saat dikulturkan (Sutomo, 2005).
Fase adaptasi terlihat secara jelas pada media perlakuan intermediet ini yang
mungkin disebabkan oleh lambatnya kemampuan sel mikroalga menyesuaikan
dirinya terhadap media kultur yang baru, sehingga tidak mampu mampu tumbuh dan
berkembang dengan cepat. Pertumbuhan sel naik drastis pada hari ke-3 sebesar
105 x 104 sel/mL. Hal ini menggambarkan bahwa Chlorella sp. dapat beradaptasi
dengan baik terhadap lingkungan kultur. Fase ini dinamakan fase eksponential.
Terbukti dengan adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa pada fase
eksponensial terjadi penambahan kepadatan sel mikroalga (N) dalam waktu (t)
dengan kecepatan tumbuh () sesuai dengan rumus eksponensial (Fogg, 1965
dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009). Pada hari ke empat pertumbuhan
sel turun kembali yaitu dengan nilai menjadi sebesar 71 x 10 4 sel/mL. Hal tersebut
termasuk dalam fase penurunan kecepatan tumbuh pembelahan sel mulai melambat
karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai membatasi pertumbuhan. Sesuai dengan
penjelasan (Suantika, 2009). Pada fase stasioner terjadi pada hari ke-5, karena
jumlah sel yang bertambah seimbang dengan jumlah sel yang mati. Chlorella sp.
mulai memasuki fase kematian pada hari ke-7, ditandai dengan jumlah sel yang
menurun, karena menurunnya ketersediaan nutrien di dalam media kultur. Turunnya
laju pertumbuhan Chlorella sp. juga dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti
adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga sebagai hasil dari metabolisme yang
meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat
bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian tertentu saja yang memperoleh
cahaya.
Selanjutnya laju pertumbuhan meningkat relatif cepat di hari ke-4 sampai hari
ke-6. Hal tersebut menunjukkan sel mengalami fase adaptasi dengan baik terhadap
lingkungan kultur, sehingga pertambahan jumlah kepadatan sel relatif lebih cepat.
Hari ke-6, sel memasuki fase eksponensial, dengan laju pertumbuhan spesifik
mencapai 101 x 104 sel/mL dan terus meningkat. Pada hari ke-7, jumlah sel
mengalami penurunan. Penurunan jumlah sel ini diduga karena adanya
pemanfaatan nutrien yang berlebih dari hari-hari sebelumnya, sehingga
ketersediaan nutrien berkurang dari kebutuhan sel mikroalga untuk hari berikutnnya.
menurut (Annisa, 2005) fase deklinasi atau penurunan kecepatan petumbuhan dapat
terjadi karena nutrisi pada media kultur berkurang dan telah terbentuk senyawa
NH4+
dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk esktraseluler dari mikroalga yang
meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Chlorella sp. (Fogg,
1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009).
Mengenai pH pada hari pertama sebesar 8,1 pada hari kedua 6,7 kemudian
pada hari ke tiga sebesar 7,1 lalu pada hari ke empat 7,2 selanjutnya pada hari ke
lima 7,5 setelah itu hari keenam sebesar 7,6 serta pada hari ketujuh sebesar 7,7.
Hal demikian dikarenakan pada lingkungan netral yaitu derajat keasaman atau pH
digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen sesuai dengan pernyataan dari
(Reynolds, 1984 dalam Prihantini et al., 2005). Variasi pH dalam media kultur dapat
mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan kultur mikroalga antara lain
mengubah keseimbangan karbon anorganik, mengubah ketersediaan nutrien dan
mempengaruhi fisiologi sel. Kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9,
kisaran optimum untuk alga laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH
yang optimum untuk kultur mikroalga adalah antara 79.
Hal tersebut menyebabkan CO2 sebagai sumber karbon utama bagi proses
fotosintesis mikroalga cukup tersedia sehingga proses metabolisme dapat
berlangsung cepat dan kerapatan sel meningkat. Selain itu, jenis karbon anorganik
yang paling banyak terdapat pada media asam (pH 4-6) adalah asam karbonat
(H2CO3) (Goldman et al., 1983 dalam Prihantini et al., 2005).
Sel Chlorella sp. pada skala massal memiliki jumlah kepadatan sel dan laju
pertumbuhan spesifik yang berbeda tiap perlakuan. Kepadatan Chlorella sp. tertinggi
terdapat pada perlakuan ke 3, dengan dosis urea 1000 ppm, TSP 15 ppm, KCL 40
ppm, sedangkan kepadatan sel terendah terdapat pada perlakuan dengan jumlah
dosis urea 600 ppm. Kelompok kami menggunakan dosis urea sebanyak 800 ppm.
Pertumbuhan puncak kepadatan populasi sel Chlorella sp. mencapai 27X104 yang
terjadi pada hari ke tujuh.
Jumlah sel pada media Chlorella Sp perlakuan 2 dan perlakuan 3 memiliki jumlah
yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuaan ke 1. Karena jumlah dosis pupuk
urea yang di pergunakan serta faktor faktor lain yang mendukung pertumbuhan
Chlorella tidak berlangsung secara baik. populasi mikroalga terus meningkat hingga
memasuki fase pertumbuhan eksponensial. Salah satu faktor yang menentukan
lamanya fase adaptasi adalah umur kultur yang digunakan sebagai inokulum. Fase
adaptasi akan menjadi lebih singkat atau bahkan tidak terlihat apabila sel-sel yang
diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam fase eksponensial (Fogg dan
Thake, 1987 dalam Prihantini et al., 2005).
Derajat keasaman atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen.
Derajat keasaman pada grafik yang paling terendah 7,4 pada hari ke 4 sampai ke 7.
Sedangkan pada masa penebaran merupakan derajat keasaman paling tinggi. Yaitu
7,8. Variasi pH dalam media kultur dapat mempengaruhi metabolisme dan
pertumbuhan kultur mikroalga antara lain mengubah keseimbangan karbon
anorganik, mengubah ketersediaan nutrien dan mempengaruhi fisiologi sel. Kisaran
pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9, kisaran optimum untuk alga laut berkisar
antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang optimum untuk kultur mikroalga
adalah antara 79.
BAB V
KESIMPULAN DaN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa fitoplankton jenis chlorella sp dapat dikultur dengan skala intermediet dan
skala massal. Hal tersebut dapat terjadi apabila faktor pendukung seperti kandungan
nutrisi dan kondisi lingkungan dalam kondisi optimum.
5.2 Saran
Sebaiknya kegiatan pengkulturan Chlorella dilakukan sampai masa kematian
karena dengan begitu para mahasiswa dapat menerangkan dan memperkirakan
jumlah Chlorella yang dibutuhkan ketika dalam usaha budidaya. Serta seharusnya
untuk praktikum selanjutnya alat dan bahan yang akan digunakan sudah siap dan
tersedia sebelum praktikum dimulai, ketepatan waktu mulai dari awal hingga selesai
praktikum harus sesuai jadwal yang telah ditentukan jadi tidak ada lagi penggunaan
waktu diluar jam praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Annisa, 2005, Respon Chlorella pyrenoidosa terhadap Senyawa Klorporifos, Tesis.
Departemen Biologi, Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Anonim, 2011. Fitoplankton Alternatif Cocolite sp., Pacu Produksi Benih Kerapu
Bebek.http://Www.google.com. Diakses 27 Maret 2013.
Anonymous. 1992. Pedoman Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan Udang. Departemen
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Burlew, J.S. 1995. Algal Culture from Laboratories to Pilot Plant. Carnegie Institution of
Washington. Washington.
Cahyo A. D. 2011. Teknik Kultur Skeletonema costatum Sebagai Pakan Alami Udang
Vaname. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara Jawa Tengah.
Usulan PKL (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Kelautan Unair.
Surabaya.
Eyster, C. 1978. Nutrient Concentration Requirements for Chlorella sorokiniana. Available
from the author or the Mobile college Library, Mobile, Alabama 36613. 78-81.
Panggabean, Lily G. M. (1998). Mikroalgae: Alternatif Pangan dan Bahan Industri di Masa
Mendatang. Oseana Volume XXIII N0. 1: 19-26
Prihantini N H, Putri B, & Yuliati R. 2005. Pertumbuhan Chlorella Spp. Dalam Medium
Ekstrak Tauge (MET) Dengan Variasi pH Awal. Makara, Sains. Vol. 9(1) : 1-6
Royan, M. R., Khomaruddin., M. D. Arifi dan Minto. 2010. Chlo-Juice (Jus Chlorella) Sebagai
Minuman Multivitamin Berkhasiat, Berkalsium, Dan Berprotein Tingi Serta Sebagai Peluang
Usaha Multiprofit. PKMK. Universitas Airlangga. Surabaya. 16 hal.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Perternakan dan Perikanan Universitas Diponerogo.
Semarang.
Sheehan, J., T. Dunahay, J. Benemann, P. Roessler, (1998). A look Back at The U.S. Department
of Energys Aquatic Speciest
Srihati dan Carolina.1997. Pengaruh Berbagai Media Terhadap Kualitas Algae Bersel
Tunggal (Scenedesmus sp.) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.LIPI. Hal 877-
882.
Sumarlinah. 2000. Hubungan Komunitas Fitoplankton dan Unsur Hara N dan P di Danau
Sunter Selatan, Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hal.
Sutomo. (2005). Kultur Tiga Jenis Mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp.dan Chaetoceros
gracilis) dan Pemgaruh Kepadatan Awal Terhadap Pertumbuhan C. Gracilis di Laboratorium.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 37 :43-58. Pusat Penelitian Oseanografi.
Wirosaputro, S. 2002. Chlorella Untuk Kesehatan Global Teknik Budidaya Dan
Pengolahan Buku II.Gajah Mada University Press. Yogyakarta.