Anda di halaman 1dari 31

PERKEMBANGAN EMBRIO, PENETASAN TELUR,

PEMELIHARAAN LARVA & BENIH


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknologi Produksi Benih Ikan
Tahun Akademik 2021/2022

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Reggieta aulia dwi oktaviani 230110180131
Ervira Octaviola K 230110180155
Aginta Primana T. 230110180157
Mohammad Badai Putra S 230110180162

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2021
Kata Pengantar

Segala Puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang PERKEMBANGAN EMBRIO,
PENETASAN TELUR, PEMELIHARAAN LARVA & BENIH dengan tepat
waktu. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Teknologi
Produksi Benih Ikan. Pengetahuan tentang Produksi benih ikan sangat diperlukan
terutama untuk mahasiswa program studi Perikanan. Permintaan ikan cenderung
meningkat setiap tahunnya, Ketersediaan benih ikan pun sangat terbatas. Oleh
sebab itu Agar ketersediaan ikan selalu ada, diperlukannya upaya perbenihan guna
mendapatkan benih yang unggul agar ketersediaan benih selalu ada dan dapat lebih
maju.
Penulis telah berusaha sebaik mungkin menyelesaikan makalah, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan dalam perbaikan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada siapa
saja yang membacanya.

Jatinangor, Februari 2021

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................................... i


Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3. Tujuan.......................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1 Ikan Mas ...................................................................................................... 3
2.1.1 Klasifikasi.................................................................................................... 4
2.1.2 Morfologi .................................................................................................... 4
2.1.3 Habitat ......................................................................................................... 5
2.1.4 Reproduksi .................................................................................................. 5
2.2 Perkembangan Embrio ................................................................................ 6
2.2.1 Cleavage ...................................................................................................... 6
2.2.2 Stadia Morula .............................................................................................. 8
2.2.3 Stadia Blastula ............................................................................................. 8
2.2.4 Stadia Grastula ............................................................................................ 9
2.2.5 Organogenesis ........................................................................................... 10
2.3 Inkubasi Telur ........................................................................................... 11
2.3.1 Inkubasi dalam Air Menggenang .............................................................. 12
2.3.2 Inkubasi dalam corong-corong resirkulasi (MacDonald jar) .................... 14
2.4 Penetasan Telur ......................................................................................... 20
2.5 Pemeliharaan Larva dan Benih Ikan Mas ................................................. 22
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Awal pembentukan makhluk hidup dimulai dengan embriogenesis.
Embriogenesis merupakan proses perkembangan telur hingga menjadi larva,
embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi dimulai dari proses pembelahan
sel telur (cleavage), morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan dilanjutkan dengan
organogenesis. Kemudian penetasan telur menjadi tahap terakhir pada masa
pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari
cangkangnya. Untuk meningkatkan daya tetas telur, biasanya dilakukan teknik
inkubasi telur. Lamanya inkubasi (dari pembuahan sampai penetasan telur)
tergantung pada suhu air, dimana jangka waktu tersebut berkurang jika suhu
meningkat (Legendre dkk., 1996).
Semua makhluk hidup mengalami proses embriogenesis dalam siklus
hidupnya. Salah satunya yaitu ikan. Jenis ikan yang banyak dibudidayakan adalah
ikan mas. Ikan mas sering digunakan sebagai hewan uji coba embriogenesis, karena
mudah didapatkan dan ukuran telurnya yang relatif besar (Priatna 2008).
Siklus hidup ikan mas dimulai dari perkembangan di dalam gonad (ovarium
pada ikan betina yang menghasilkan telur dan testis pada ikan jantan yang
menghasilkan sperma). Sebenarnya, pemijahan ikan mas dapat terjadi sepanjang
tahun dan tidak tergantung pada musim. Namun di habitat aslinya, ikan mas sering
memijah pada awal musim hujan,karena adanya rangsangan dari aroma tanah
kering yang tergenang air. Secara alami, pemijahan terjadi pada tengah malam
sampai akhir fajar. Menjelang memijah, induk-induk ikan mas aktif mencari tempat
yang rimbun, seperti tanaman air atau rerumputan yang menutupi permukaan air.
Substrat inilah yang nantinya akan digunakan sebagai tempat menempel telur
sekaligus membantu perangsangan ketika terjadi pemijahan (Suseno 2000).
Sifat telur ikan mas adalah menempel pada substrat. Telur ikan mas
berbentuk bulat, berwarna bening, berdiameter 1,5-1,8 mm, dan berbobot 0,17-0,20
mg. Ukuran telur bervariasi, tergantung dari umur dan ukuran atau bobot induk.

1
Embrio akan tumbuh di dalam telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa (Susanto
2007).
Larva ikan yang telah menetas maupun benih ikan membutuhkan tempat
dan lingkungan yang baik sesuai dengan kebutuhannya. Larva dan benih masih
sangat rentan terutama pada perubahan kualitas air, predator, hama, penyakit,
sehingga perlu adanya pemeliharaan larva dan benih yang baik. Kualitas air yang
buruk pada pemeliharaan larva dan benih dapat menyebabkan timbulnya penyakit
pada larva dan benih ikan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Bagaimana perkembangan embrio yang terjadi pada ikan mas?
2. Bagaimana penetasan telur pada ikan mas?
3. Bagaimana pemeliharaan larva dan benih ikan mas?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Dapat mengetahui perkembangan embrio pada ikan mas
2. Dapat mengetahui penetasan telur pada ikan mas
3. Dapat mengetahui cara pemeliharaan larva dan benih ikan mas yang baik

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Mas


Ikan mas atau common carp (Cyprinus Carpio L) termasuk Ordo
Ostariophysi, Familia Cyprinidae. Ikan mas (Cyprinus carpio) berasal dari Jepang,
China, dan diintroduksi ke seluruh dunia sebagai ikan konsumsi. Ikan mas
merupakan ikan budidaya tertua yang dapat tumbuh mencapai ukuran panjang 120
cm dengan berat 37,3 kg. Ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis
penting karena ikan ini digemari oleh masyarakat (Tim Peneliti BRPPU 2008).
Menurut R.O Ardiwinata (1981) dalam Rochdianto (2005), ikan mas yang
berkembang di Indonesia diduga awalnya berasal dari Tiongkok Selatan.
Disebutkan, budidaya ikan mas diketahui sudah berkembang di daerah Galuh
(Ciamis), Jawa Barat pada pertengahan abad ke-19. Sedangkan penyebaran ikan
mas di daerah Jawa lainnya terjadi pada permulaan abad ke-20, terutama sesudah
terbentuk Jawatan Perikanan Daratdari Kementrian Pertanianpada saat itu.
Dari Jawa, ikan mas kemudian dikembangkan ke Bukit tinggi (Sumatera
Barat) pada tahun 1892. Berikutnya dikembangkan di Tondano (Minahasa,
Sulawesi Utara) pada tahun 1895, daerah Bali Selatan (Tabanan) pada tahun 1903,
Ende (Flores, NTT) pada tahun 1932 dan Sulawesi Selatan pada tahun 1935. Selain
itu, pada tahun 1927 atas permintaan Jawatan Perikanan Darat saat itu juga
mendatangkan jenis-jenis ikan mas dari Negeri Belanda, yaitu jenis Galisia atau
mas gajah dan kemudian tahun 1930 didatangkan lagi mas jenis Frankisia atau mas
kaca. Menurut Djoko Suseno (2000) dalam Maulana (2012), kedua jenis mas
tersebut sangat digemari oleh petani karena rasa dagingnya lebih sedap, padat,
durinya sedikit dan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan ras-ras lokal yang
sudah berkembang di Indonesia sebelumnya.

3
2.1.1 Klasifikasi
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan mas (Cyprinus carpio) adalah
sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Famili : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies: Cyprinus carpio

Gambar 1. Ikan Mas


2.1.2 Morfologi
Secara morfologi, ikan mas memiliki bentuk tubuh agak memanjang, pipih
kesamping (compressed). Mulut terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat
disembulkan (protaktil). Disetiap sisi mulutnya terdapat dua pasang sungut (misai).
Sungut dibagian atas memiliki ukuran yang lebih pendek dibandingkan dengan
misai dibagian mulut bawah. Secara umum, hampir semua permukaan tubuh ikan
mas ditutupi oleh sisik yang berukuran relatif besar dan digolongkan dalam sisik
tipe lingkaran (sikloid). Ikan mas juga memiliki sirip punggung (dorsal) dan
memiliki rusuk memanjang yang berjumlah 17-22 rusuk berukuran relatif panjang
dan bagian belakangnya berjari-jari keras yang berseberangan dengan sirip perut
(ventral) (Ghufran 2009). Sirip anal terdapat 6-7 rusuk halus, pada ujung posterior
ke tiga dari sirip dorsal dan anal terdapat spinula tajam. Sirip pectoral terletak
dibelakang operculum Gurat sisi (linea literalis) terletak di pertengahan tubuh,
melintang dari tutup insang sampai keujung belakang pangkal ekor dan terdiri dari
32-38 sisik. Ikan mas tidak memiliki gigi sehingga menggunakan pharing sebagai

4
pengganti gigi untuk menghancurkan makanan. Insang ikan mas terdiri dari
beberapa bagian seperti tulang lengkung insang, tapis insang, dan lembaran daun
insang. (Khairuman et al. 2008).

Gambar 2. Morfologi Ikan Mas

2.1.3 Habitat
Ikan mas hidup di perairan tawar di dataran rendah sampai tinggi. Suhu
optimum untuk benih ikan mas berkisar antara 20oC hingga 30oC dan pH air antara
6 sampai 9 (Zonneveld et al 1991 dalam Mantau et al 2004). Menurut (Cholik et al
2005) menyatakan bahwa kadar oksigen yang diperlukan ikan mas untuk
kelangsungan hidupnya yaitu antara 4 hingga 5 ppm, walaupun ikan ini masih tahan
hidup pada kadar oksigen 1 hingga 2 ppm. Ikan mas menyukai tempat hidup
(habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu
deras, seperti di pinggiran sungai atau danau (Khairuman 2008). Ikan mas dapat
hidup baik di daerah dengan ketinggian 150 sampai 600 meter di atas permukaan
air laut (dpl). Ikan mas biasanya hidup di air tawar, walaupun dapat juga hidup di
lingkungan air payau dengan salinitas kurang dari 5 ppt (Rochdianto 2005).
2.1.4 Reproduksi
Potensi reproduksi ikan meliputi pola pemijahan, Indeks kematangan
gonad, fekunditas, dimeter telur dan waktu rematurasi. Ikan mas pemijahannya
terjadi sepanjang tahun dan tidak mengenal musim pemijahan sehingga mudah

5
dibudidayakan. Kesiapan ikan untuk melakukan pemijahan tergantung pada tingkat
kematangan gonad.
Nilai fekunditas ikan mas berkisar antara 12.000-15.260 butir. Effendie
(1997) menyatakan diameter telur berhubungan dengan fekunditas, semakin besar
diameter telur maka fekunditas semakin kecil untuk semua ikan. Cyprinus carpio
dengan kisaran fekunditas 12.000-15.260 butir, hasil ini lebih rendah dari penelitian
Ardiansyah (2016) fekunditas ikan mas memiliki kisaran 15.000-17.250 butir. Ikan
yang dipelihara pada tempat yang berbeda menghasilkan nilai fekunditas yang
berbeda karena dipengaruhi oleh makanan yang tersedia dan kualitas air.
2.2 Perkembangan Embrio
Pembuahan merupakan bersatunya ovum (telur) dengan sperma yang
membentuk zigot. Yulianti et al (2012) menyatakan bahwa telur umumnya
mengalami proses embriogenesis, yaitu proses perkembangan telur hingga menjadi
larva, embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi dimulai dari proses
pembelahan sel telur (cleavage), morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan dilanjutkan
dengan organogenesis yang selanjutnya menetas. Telur mengalami balstulasi
dimana proses perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan blastula.
Setelah itu fase gastrula dimana terjadi perkembangan sel bakal organ yang telah
terbentuk pada fase blastula. Kemudian sel telur akan mengalami perkembangan
fase organogenesis, dimana proses pembentukan organ tubuh, pembentukan organ
tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan makanan dan kelenjarnya, dan
sebagian kelenjar endokrin.
2.2.1 Cleavage
Pada pembelahan pertama merupakan tahap perkembangan 2 sel, yang
ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis sel tunggal menghasilkan dua buah
sel yang berukuran lebih kecil dan sama. Pembelahan selanjutnya adalah tahap
perkembangan 4 sel, ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis dari kedua sel
menghasilkan empat buah sel. Tahap 8 sel ditandai dengan terjadinya pembelahan
keempat sel menghasilkan delapan buah sel. Tahap-tahap perkembangan
selanjutnya terjadi pembelahan-pembelahan sel secara mitosis menghasilkan sel-
sel (blastomer) dengan jumlah dua kali lipat (duplikasi), sehingga terbentuk banyak

6
sel berukuran kecil-kecil dan dalam bentuk susunan yang bergerombol (morula)
yang tampak lebih padat dibandingkan pada bagian kuning telur (Iswanto dan
Tahapari 2011).
Pada saat pembelahan I terjadi, lapisan korion mengeras yang berfungsi
untuk melindungi proses pembelahan sel selanjutnya agar tidak rusak. Pembelahan
II diawali dengan dua buah blastomer yang membelah tegak lurus dan
menghasilkan terbentuknya empat sel atau blastomer turunan kedua dengan bentuk
dan ukuran yang sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan
pertama. Pembelahan III menghasilkan delapan blastomer turunan ketiga yang
berukuran sama besar, namun ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan kedua.
Pembelahan menjadi delapan sel adalah akibat pembelahan empat sel atau
blastomer menjadi delapan blastomer yang tersusun dalam dua baris yang sejajar,
dimana setiap baris terdiri dari empat blstomer yang berukuran sama besar.
Pembelahan ke IV menghasilkan 16 blastomer. Pada pembelahan V, blastomer
yang terbentuk sama besar dan ukurannya lebih kecil dari pembelahan IV,
blastomer-blastomer yang terbentuk susunannya sudah tidak beraturan lagi dan
membentuk seperti bola kecil. Selain itu, pada ruang perivetilin sudah tidak terlihat
lagi (Pattipeilohy 2013).

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

7
Gambar 3. (a) Telur Fertil, (b) Pembelahan I, (c) Pembelahan II, (d) Pembelahan
III, (e) Pembelahan IV, (f) Pembelahan V
2.2.2 Stadia Morula
Perkembangan selanjutnya adalah tahap-tahap pembelahan sel (morulasi).
Tahap-tahap perkembangan selanjutnya terjadi pembelahan- pembelahan sel secara
mitosis menghasilkan sel-sel (blastomer) dengan jumlah dua kali lipat (duplikasi),
sehingga terbentuk banyak sel berukuran kecil-kecil dan dalam bentuk susunan
yang bergerombol (morula) yang tampak lebih padat dibandingkan pada bagian
kuning telur (Iswanto dan Tahapari 2011).
Menurut Renita et al (2016), fase morula dimulai ketika telah mencapai 32
sel. Sel membelah secara melintang dan mulai terbentuk formasi lapisan kedua
secara samar pada kutub anima. Fase morula berakhir apabila pembelahan sel sudah
menghasilkan blastomer yang ukuran sama tetapi lebih kecil. Kemudian sel tersebut
memadat untuk menjadi blastodisk kecil membentuk dua lapis sel.

Gambar 4. Fase Morula


2.2.3 Stadia Blastula
Stadia blastula terbentuk setelah stadia morula berakhir, dimana pada stadia
blastula, blastomer membelah beberapa kali membentuk blastomer- blastomer
dengan ukuran yang makin kecil, sehingga tempat pada stadia morula blastomer
semula padat akan terbentuk ruangan kosong yang disebut blastosul yang ditutupi
oleh blastoderm dan pada sisi luar terdapat epiblast. Antara blastosul dan
blastoderm dipisahkan oleh hypoblast primer (Pattipeilohy 2013).
Fase blastula awal merupakan stadia blastula dimana sel-selnya terus
mengadakan pembelahan dengan aktif sehingga ukuran sel selnya semakin kecil.
Pada stadia blastula terdapat dua macam sel yakni sel formatif dan non formatif.

8
Sel formatif termasuk ke dalam komposisi tubuh embrionik sedangkan sel
nonformatif sebagai tropoblast yang ada hubungannya dengan nutrisi embrio. Pada
stadia blastula ini terdapat daerah sel yang dapat diperkirakan menjadi 3 lapisan
yakni ektoderm, entoderm dan mesoderm (Effendie 2002).
Telur selanjutnya akan mengalami blastulasi, blastulasi ialah proses
perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan blastula. Setelah itu sel
mengalami proses gastrula. Saat telur berada pada fase gastrula, terjadi
perkembangan sel bakal organ yang telah terbentuk pada fase blastula. Setelah fase
blastula kemudian sel telur akan mengalami perkembangan fase organogenesis,
organogenesis merupakan proses pembentukan organ tubuh, Pembentukan organ
tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan makanan dan kelenjarnya, dan
sebagian kelenjar endokrin (Yulianti et al 2012).

Gambar 5. Fase Blastula

2.2.4 Stadia Grastula


Pada stadia gastrula merupakan proses kelanjutan dari stadium blastula yang
lapisannya berkembang dari satu menjadi dua lapis sel. Awal dari gastrula ini terjadi
begitu proses pada stadia blastula selesai. Proses pembelahan sel dengan
pergerakannya berjalan lebih cepat dari pada dalam stadia blastula. Proses
pergerakkan sel dalam stadia grastula pada telur ada dua yakni epiboly dan emboly
(Effendie 2002).
Pada stadia gastrula, perkembangan telur ikan ditandai dengan terjadinya
proses perluasan dan penutupan kuning telur oleh blastoderm ke arah blastopora
(blastopore closure, epiboly) hingga seluruh bagian kuning telur telah tertutupi oleh

9
blastoderm yang pada telur ikan biasanya terjadi dalam periode 210 - 420 menit
setelah proses fertilisasi (Iswanto dan Tahapari 2011).
Setelah fase blastula berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana
blastomer menunjukan gerakan invaginasi dan membentuk rongga yang dinamakan
gastrocoel. Blastomer kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang
menunjukkan berlangsungnya perisai embrio. Gastrula akhir nampak apabila
epiboly telah menutupi 80–90% dari kuning telur (Cindelaras et al 2015).
Stadia blastula dicirikan dengan terbentuknya blastocoel dan blastodisk
berada di lubang vegetal berpindah menutupi sebagian besar kuning telur. Dalam
proses embriogenesis, perkembangan embrio merupakan suatu proses yang
berlangsung secara terus-menerus sehingga embrio selalu mengalami perubahan
dari menit ke menit atau dari jam ke jam di mana perkembangan antara satu fase
dengan fase lainnya hampir tidak jelas (Suhenda et al 2009).

Gambar 6. Fase Gastrula

2.2.5 Organogenesis
Pada fase organogenesis mengalami proses pembentukan organ tubuh
hampir sempurna ketika telur akan menetas. Dalam stadia organogenesis larva
sudah mulai aktif bergerak. Pergerakan embrio ini diakibatkan oleh bertambah
panjangnya bagian ekor embrio dan mulai terlepas dari kuning telurnya serta
terdeteksi jantung sudah mulai aktif. Notokorda dan somit makin jelas serta lekukan
pada kepala sudah mulai nampak. Selama pembentukan organ yaitu semenjak telur
terbuahi chorion (cangkang telur) mengalami pengerasan. Hal ini bertujuan agar

10
terjaga dari gangguan luar selama proses pembentukan organ-organ sedang berjalan
(Effendie 2002).
Pada tahap akhir, kantung kuning telur, mulut dan usus dibentuk. Mata
menjadi berpigmen dan organ utama penting untuk menangkap mangsa, menjadi
fungsional. Pada telur ikan baung ukuran diameter telur yang lebih besar dan
tersimpannya nutrisi pada kuning telur dalam jumlah yeng lebih banyak maka akan
tersedia energi yang lebih tinggi untuk awal kehidupan embrio, sehingga akan
menghasilkan derajat penetasan dan sintasan larva yang lebih tinggi. Pada saat larva
masih belum mendapatkan pakan dari luar, larva masih mengandalkan kandungan
kuning telur (terutama lemak) sebagai sumber energinya, sehingga keberadaan
lemak di dalam telur penting untuk perkembangan selanjutnya. Suhenda et al
(2009) menyatakan bahwa penyebab kematian larva yang tinggi pada awal
pemeliharaan adalah masa kritis yang terjadi pada saat kuning telur habis dan larva
harus mengambil makanan dari luar.

Gambar 7. Fase Organogenesis


2.3 Inkubasi Telur
Masa inkubasi telur ikan sangat bervariasi menurut spesies ikan Menurut
Zonneveld et al, (1991) Waktu yang diperlukan dinyatakan dalam ”derajat hari”
atau derajat-jam” misalnya 3 hari pada 25oC = 75 derajat-hari atau 36 jam pada
30oC = 112 derajat jam. Jumlah derajat jam atau derajat hari bergantung pada suhu
inkubasi. Jumlah derajat hari/ jam yang diperlukan untuk pertumbuhan embrionik
umumnya menurun dengan naiknnya suhu dalam kisaran yang ditolerir oleh
spesies. Sifat telur ikan mas adalah menempel pada substrat. Teknik inkubasi yang
dapat digunakan pada ikan mas yaitu teknik inkubasi dalam air menggenang.

11
Adapun teknik lainnya dalam proses inkubasi telur yaitu inkubasi telur dalam air
yang mengalir. inkubasi telur dalam air yang mengalir membersihkan secara terus
menerus sisa-sisa kandungan organik yang ditimbulkan oleh telur (NH3, CO2) serta
mempertahankan mutu yang bagus dan menjaga kandungan oksigen air. Dalam
banyak hal, air yang mengalir juga membantu membatasi perkembangan jamur atau
cendawan. Akan tetapi, di Indonesia banyak pembudidaya secara umum melakukan
inkubasi telur dalam air yang diam atau menggenang.
2.3.1 Inkubasi dalam Air Menggenang
Inkubasi dalam air menggenang (stagnant water) pada umumnya dilakukan
dalam akuarium dan tidak memerlukan peralatan yang mahal. Teknologi sederhana
dan murah ini merupakan sistem inkubasi yang paling banyak dilakukan di
Indonesia. Namun demikian kekurangan cara ini adalah resiko pencemaran air oleh
bahan-bahan organik, terutama terakumulasi dari telurtelur yang mati. Untuk
membatasi masalah ini, kuantitas telur yang diinkubasi harus dibatasi dalam setiap
akuarium (maksimum yang disarankan adalah 100 telur per liter). Karena itu, untuk
produksi benih ikan skala besar, teknik ini memerlukan jumlah akuarium yang
banyak, demikian juga memerlukan areal yang luas untuk tempat penetasan telur
(hatchery).

Persiapan Wadah
Untuk menghindari suhu yang tidak diinginkan, akuarium harus diisi
dengan air sebelum memasukkan telur-telur guna menyeimbangkan suhu dan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (dengan aerasi). Air yang digunakan
untuk inkubasi telur harus bersih dan diberi pembasmi kuman seperti formalin
untuk mengontrol perkembangan jamur (Saprolegnia sp.). Untuk mencegah efek
samping dari obat-obatan yang mengandung racun dan berdampak terhadap telur,
pemberian desinfektan ini harus dilakukan 12 jam sebelum memasukkan telur.
Dosis yang dianjurkan 10 sampai 15 mL.m-3 formalin bisa menghambat

12
pertumbuhan jamur dan membasmi kuman dalam air inkubasi tanpa resiko bagi
telur dan larva ikan.

Inkubasi Telur
Penyebaran telur yang merata dalam satu lapisan didasar tangki sangat
menentukan keberhasilan inkubasi. Ini memungkinkan setiap telur berada dalam
kondisi bagus di dalam air. Dengan cara ini, telur-telur yang bagus tidak terinfeksi
oleh telur yang rusak dan mulai membusuk. Setelah pembuahan dan pencucian dari
kelebihan sperma, aerasi dalam akuarium dihentikan lalu kemudian telur-telur bisa
disebar dengan perlahan menggunakan bulu ayam pada permukaan air. Disarankan
untuk mencampur telur-telur dan air dengan hati-hati untuk memperoleh
penyebaran telur yang merata dalam akuarium. Penyebaran dalam satu lapisan di
dasar memungkinkan setiap telur untuk memperoleh mutu air yang bagus dan
memperbaiki tingkat penetasan. Setelah beberapa menit dan telur-telur telah
menempel di bagian dasar kaca, aerasi dapat dibuka lagi tanpa mengganggu telur-
telur yang sedang diinkubasikan.

Gambar. Proses Penyebaran Telur Secara Merata.

13
2.3.2 Inkubasi dalam corong-corong resirkulasi (MacDonald jar)
Inkubator yang digunakan di lokasi LRPTBPAT dan BBAT Jambi adalah
yang berbentuk corong-corong dengan dasar bulat terbuat dari fiberglass. Para
pembudidaya juga menggunakannya dengan bahan-bahan lain seperti kaca, beton,
plastik dan baja anti karat.
Prinsip kerjanya menjaga agar telur tetap bergerak dengan dorongan
pemasukan air melalui pipa PVC yang dipasang pada corong-corong dan mencapai
dasar (Woynarovich dan Horvath, 1980). Pada umumnya dihubungkan dengan
aliran air (karena gravitasi) atau sistem resirkulasi, sehingga teknik ini memberikan
keuntungan di dalam penetasan telur dan mengurangi perkembangan jamur pada
telur-telur selama inkubasi. Setelah penetasan telur, sistem ini juga mempermudah
keluarnya larva yang baru menetas dari telur yang mati dan cangkang telur.

14
Gambar. Inkubasi dengan teknik Mcdonald Jar

Menghilangkan Daya Rekat Telur


Setelah pembuahan dan sebelum dimasukkan ke dalam corong inkubasi,
telur terlebih dahulu dilakukan pencucian dengan larutan tanah liat yang bertujuan
untuk menghilangkan daya rekatnya. Pada dasarnya, setelah telur dicampur dengan
larutan tanah liat, partikel-partikel kecil dari tanah liat menutupi lapisan penempel
pada permukaan telur sehingga telur tidak dapat merekat/menempel pada substrat
lainnya. Upaya menghilangkan daya rekat telur bertujuan agar telur dapat bergerak
dengan adanya dorongan air selama periode inkubasi.
 Persiapan
Larutan tanah liat terdiri dari 1 kg tanah liat merah (Latosol) dalam 2 liter
air. Prosedur pembuatannya sebagai berikut:

15
1. Tanah liat merah dibersihkan bebas dari bahan-bahan non organik (daun,
ranting dan lainnya)
2. Kemudian tanah tersebut diseduh dengan air yang dimasak (rasio 1 kg tanah liat
merah untuk 2 liter air).Air mendidih penting untuk membunuh mikro-
organisme dan parasit. Setelah dicampur suspensi tersebut hendaknya direbus
kembali untuk menyempurnakan proses sterilisasi.
3. Setelah dingin, larutan tersebut disaring menggunakan saringan dengan ukuran
mata jaring 700 µm
4. Hasil penyaringan tersebut dimasukkan ke dalam ember plastik kemudian
lakukan aerasi dengan kuat guna memperoleh hasil campuran yang merata
5. larutan tanah liat siap untuk digunakan, kelebihan larutan tanah liat, larutan
dapat disimpan di dalam lemari pendingin (freezer) sampai pemijahan berikut.
Larutan tanah liat harus dibekukan di dalam lemari pendingin dalam volume-
volume kecil untuk digunakan kembali agar sesuai dengan kebutuhan.
 Menghilangkan Daya Rekat
Setelah mencampur sperma dan sel telur untuk keperluan pembuahan (lihat
di atas) kelebihan sperma ikan harus dibersihkan dan digantikan dengan suspensi
tanah liat dengan mengikuti prosedur berikut :
1. Untuk sekitar 100 mL larutan tanah liat pada 200 g telur.
2. Secara berhati-hati mencampur telur dengan tanah liat dengan menggunakan
bulu ayam sampai telur-telur tidak lagi lengket satu sama lain, misalnya tanah
liat sudah menutupi seluruh lendir yang lengket.
3. Kemudian campuran dipindahkan ke dalam serok halus untuk membersihkan
sisa tanah liat.
4. Setelah pencucian sampai air bersih diperoleh, telur-telur dipindahkan lagi ke
wadah plastik yang berisi air.
5. Telur-telur kemudian siap untuk dimasukkan dalam inkubator MacDonald.

16
1) 2)

3) 4)

5)

Persiapan Wadah
Ketika inkubator MacDonald dihubungkan dengan sistem air resirkulasi :

17
1. Inkubator-inkubator harus diisi dengan air bersih dan mengalir cukup lama
sebelum menerima telur-telur guna menyeimbangkan suhu serta mencapai
tingkat oksigen larut yang maksimal
2. Pemberian formalin untuk tujuan pencegahan pada konsentrasi 10 sampai 15
mL.m-3 disarankan untuk mensucihamakan air inkubasi.
Apabila inkubator dihubungkan dengan dengan aliran air secara gravitasis
air harus:
1. Bebas dari plankton dan bahan buangan;
2. Beri oksigen dengan baik
3. Pada suhu yang stabil dan tepat (27 – 30°C)
4. Pembagian aliran air yang konstan.

Inkubasi Telur
Setelah menghilangkan daya rekat dari telur yang dimaksud di atas
sedikitnya 200 g telur bisa dipindahkan secara hati-hati ke dalam setiap corong
(kapasitas 20 L). Sebelum menuangkan telur ke dalam inkubatornya, aliran air
harus dihentikan sementara waktu untuk menghindari hanyutnya telur melalui
saluran pembuangan. Setelah telur-telur tenggelam ke dasar corong, aliran air bisa
dibuka secara perlahan dan disesuaikan untuk menjaga agar telur-telur terus
menerus bergerak. Selama inkubasi, penyesuaian debit air dan penempatan pipa
PVC ditengah-tengah corong sangat penting untuk mengoptimalkan derajat
penetasan telur.
1. Karena aliran air yang kurang memadai atau penempatan pipa tidak pada
posisi tengah (bad centering) dapat menyebabkan tidak bergeraknya massa
telur yang dapat mengakibatkan pasokan oksigen tidak bisa dilakukan
dengan baik. Akibat lebih jauh adalah kematian sejumlah besar embrio
karena kekurangan oksigen (anoxia), dimana telur yang mati berubah warna
menjadi putih
2. Sedangkan aliran air yang keluar terlalu kuat akan menyebabkan
bergeraknya massa telur secara berlebihan dan sangat beresiko bisa merusak

18
perkembangan embrio yang dapat mengakibatkan sejumlah embrio dan
larva menjadi rusak
3. Penyesuaian aliran air yang tepat dan penempatan pipa pada posisi tengah
akan mendorong atau membuat semua telur bergerak perlahan dan
terjaminnya arus air yang teratur

Jangka Waktu Inkubasi


Lamanya inkubasi telur sangat tergantung pada suhu air. Waktu penetasan
telur bisa dicapai lebih cepat dalam air yang hangat dan akan lebih lambat dalam
air dingin. Pada suhu air 29 – 30°C, larva mulai menetas, sekitar 33 sampai 35 jam
setelah pembuahan 50% larva sudah menetas setelah 37 – 38 jam; yakni 2 – 3 jam
setelah dimulainya proses penetasan.
Larva tidak menetas secara serempak dan perbedaan antara penetasan telur pertama
dengan terakhir bisa memakan waktu 40 jam. Akan tetapi, jangka waktu yang lama
tersebut umumnya bertepatan dengan penetasan telur larva yang cacat dan 9 sampai
10 jam setelah penetasan pertama, lebih dari 90% larva menetas.

19
2.4 Penetasan Telur
Penetasan merupakan tahap terakhir pada masa pengeraman sebagai hasil
beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan terjadi karena
kerja mekanik dan kerja enzimatik. Kerja mekanik, diakibatkan karena embrio
sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkangnya, atau
karena embrio telah lebih panjang dari lingkungan dalam cangkangnya. Dengan
pergerakan - pergerakan tersebut bagian telur lembek dan tipis akan pecah sehingga
embrio akan keluar dari cangkangnya. Sedangkan kerja enzimatik, yaitu enzim dan
zat kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di daerah pharink
embrio. Enzim ini disebut chorionase yang kerjanya bersifat mereduksi chorion
yang terdiri dari pseudokeratine menjadi lembek. Sehingga pada bagian cangkang
yang tipis dan terkena chorionase akan retak dan pecah dan ekor embrio dapat
keluar dari cangkang kemudian diikuti tubuh dan kepalanya (Gusrina 2008).
Menurut Diana et al (2010), selain dipengaruhi oleh faktor dalam antara lain
hormon dan volume kuning telur, daya tetas telur juga dapat dipengaruhi oleh faktor
luar yaitu kualitas air. Kualitas air yang dapat mempengaruhi antara lain salinitas,
suhu, pH, oksigen terlarut dan intensitas cahaya. Kualitas air dalam media
penetasan. Kualitas air yang terukur untuk penetasan telur yaitu suhu air yang
berkisar antara 27- 31ºC, oksigen terlarut optimal minimal 3 mg/l dan pH optimal
berkisar antara 6-9.
Induk ikan mas yang telah memijah akan menempelkan telur di substrat.
Umumnya substrat yang digunakan adalah ijuk yang ditata rapi yang disebut
kakaban. Telur ikan dipindahkan ke bak penetasan setelah induk ikan mas selesai
memijah. Jika pada kakaban terdapat lumpur atau kotoran sebaiknya dibersihkan
terlebih dahulu sebelum dipindah ke bak penetasan telur. Pada bak penetasan
kakaban yang berisi telur diletakkan dengan posisi tenggelam dalam air.

20
Gambar 8. Penetasan Telur Ikan Mas
Air pada bak penetasan telur ikan mas dipasang aerasi untuk mensuplai
oksigen terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam air penetasan telur ikan mas
adalah 6-8 ppm. Kualitas air lainnya untuk penetasan telur ikan mas adalah suhu
26-30oC, pH 6-8, amonium 0,1 ppm. Telur ikan mas akan menetas setelah 36 – 48
jam dari pembuahan.
Penetasan telur ikan mas yang dipijahkan secara semi buatan maupun alami
dilakukan dengan memisahkan induk dan telur. Setelah induk selesai memijah, telur
ikan mas yang menempel di substart (kakaban) diangkat untuk ditetaskan di bak
penetasan. Induk ikan yang telah selesai memijah harus ditangkap dan
dikembalikan lagi ke kolam pemeliharaan induk. Bak penetasan telur dapat berupa
kolam tembok, fiberglas kolam dan sebagainya. Bak penetasan diisi air bersih
setinggi 30 – 50 cm. Air bisa berasal sumur pompa, sumur timba atau sumber air
lainnya, yang penting air tersebut tidak mengandung kaporit atau zat kimia
berbahaya lainnya.
Seluruh telur yang ditetaskan harus terendam air, tentunya proses ini
memerlukan kakaban. Kakaban yang penuh dengan telur diletakan terbalik
sehingga telur menghadap ke dasar bak. Dengan demikian telur akan terendam air
seluruhnya. Telur yang telah dibuahi berwarna kuning cerah kecoklatan, sedangkan
telur yang tidak dibuahi berwarna putih pucat. Di dalam proses penetasan telur
diperlukan suplai oksigen yang cukup. Untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen
terlarut dalam air, setiap bak penetasan dipasang aerasi. Pada beberapa telur ikan
waktu penetasan berbeda-beda. Telur akan menetas tergantung dari suhu air bak
penetasan dan suhu udara. Jika suhu semakin panas, telur akan menetas semakin

21
cepat. Begitu juga sebaliknya, jika suhu rendah, menetasnya semakin lama. Telur
ikan ikan mas menetas setelah 36 – 48 jam dari pembuahan. Menurut Blaxter dalam
Sumantadinata (1983), penetasan telur dapat disebabkan oleh gerakan telur,
peningkatan suhu, intensitas cahaya atau pengurangan tekanan oksigen. Dalam
penekanan mortalitas telur, yang banyak berperan adalah faktor kualitas air dan
kualitas telur selain penanganan secara intensif.
Telur yang sudah menetas akan menjadi larva, sedangkan telur yang gagal
menetas akan berwarna putih yang menandakan telur mengalami kematian.
Penyebab kematian telur dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
pembuahan yang tidak sempuma dan kondisi telur yang saling menempel atau
saling tindih pada saat penyebaran di waring sehingga sirkulasi oksigen terganggu
dan menyebabkan kematian (Setyono, 2009).
Menurut Saputra (2011), faktor yang mempengaruhi keberhasilan penetasan
telur ikan mas adalah kematangan gonad pada induk ikan dan kualitas air. Suhu
optimal pada penetasan telur ikan mas adalah 26-28oC (Cholik et al, 1986). Menurut
Richter dan Rustidja (1985), Presentase penetasan ikan secara normal berkisar
antara 50-80%.

2.5 Pemeliharaan Larva dan Benih Ikan Mas


Perawatan larva merupakan hal yang penting dalam pembenihan ikan
karena mortalitas tinggi. Menurut Saputra (2011), larva ikan merupakan fase yang
paling kritis dalam budidaya ikan karena larva ikan mempunyai ketahanan yang
kurang baik dan rentan pada perubahan kondisi lungkungan. 48 jam setelah menetas
cadangan makanan pada larva akan habis, sehingga diperlukan asupan gizi
tambahan, pakan yang diberikan berupa kuning telur yang telah direbus matang
kemudian kuning telur di ayak diatas air menggunakan saringan sampai merata.
Pemberian kuning telur diberikan selama 2x sehari pagi hari dan sore hari selama 3
hari.

a. Pemberian pakan

22
Pemberian pakan harus disesuaikan dengan ukuran ikan. Pemberian pakan
yang sesuai dengan 107 kondisi larva harus diperhatikan. Kriteria pakan tersebut
harus memenuhi persyaratan:
1. Ukurannya kecil, lebih kecil dari bukaan mulut larva
2. pakan tersebut adalah pakan hidup yang bergerak untuk memudahkan larva
dalam mendeteksi dan memangsa pakan
3. mudah dicerna dan mengandung nutrisi yang tinggi
Dalam rangka memberi pakan sesuai dengan kondisi larva maka pemberian
pakan larva umumnya:
1. lebih dari satu jenis atau ukuran yang disesuaikan dengan lebar bukaan
mulut larva
2. setiap pergantian pakan dilakukan secara overlapping
Larva ikan mas mulai diberi pakan saat persediaan kuning telur di dalam
tubuhnya habis, yaitu 2 – 3 hari setelah penetasan. Saat umur inilah, larva sudah
bisa mencari pakan sendiri. Pada awal pemberian pakan, larva ikan mas diberikan
pakan sesuai dengan bukaan mulutnya. Pakan awal yang diberikan berupa emulsi
kuning telur. Emulsi kuning telur tersebut didapatkan dari rebusan kuning telur
ayam yang kemudian dihancurkan hingga menjadi emulsi.

Gambar 9. emulsi kuning telur

Pemberian emulsi kuning telur dilakukan sedikit demi sedikit dan


ditebarkan di tempat – tempat tertentu, seperti di sudut atau di pinggir wadah
pemeliharaan larva, agar larva terbiasa mencari makan di tempat yang sama. Emulsi
kuning telur diberikan sampai larva berumur 12 hari.

23
Larva diberikan pakan sebanyak 3 kali dalam sehari, karena ukuran larva
masih sangat kecil dan membutuhkan pakan untuk pertumbuhannya, sehingga
membutuhkan pakan yang lebih banyak dan sering dibandingkan dengan benih ikan
yang ukurannya sudah besar. Kuning telur di berikan ke larva ikan sedikit demi
sedikit sampai larva kenyang. Larva ikan mas yang telah kenyang terlihat bagian
perutnya berwarna kekuning-kuningan. Pemberian pakan yang terlalu banyak dan
tersisa dapat mengakibatkan pencemaran air. Pencemaran air pemeliharaan larva
dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada larva ikan.
Perlakuan lain selama perawatan larva yaitu pemberian pupuk, pemupukan
dilakukan dengan metode Pulling, Metode Pulling adalah pemupukan pada
beberapa lokasi perairan dengan maksud mineralisasi terjadi secara bertahap.
(Akbar, 2016)
Menurut Akbar (2016), salah satu cara untuk penyediaan pakan ikan di
kolam selain pemberian pakan buatan, yaitu dengan cara memberi pupuk dengan
tujuan meningkatkan jumlah pakan alami ikan dan mampu meningkatkan produksi
ikan yang dipelihara.
Menurut Utomo, dkk (2005) konversi dan efisiensi pakan memiliki
hubungan dengan nilai kecernaan yang menggambarkan persentase nutrien yang
dapat diserap oleh saluran pencernaan tubuh ikan, semakin besar nilai kecernaan
suatu pakan maka semakin banyak pula nutrien pakan yang dapat dimanfaatkan
oleh ikan tersebut.
Selain itu diharuskan untuk melakukan pengelolaaan kualitas air, seperti
pengecekan suhu air melalui thermometer, pH air melalui pH meter, DO melalui
DO meter, kecerahan melalui secchi disk, serta dilakukan dilakukan pemeriksaan
kualitas air lanjutan setiap 1 minggu sekali. Hal tersebut dilakukan untuk
memastikan bahwa lingkungan tempat hidup ikan mas telah memenuhi syarat
teknis yang baik dan benar
b. Wadah atau Tempat Pemeliharaan
Larva ikan mas akan mengalami pertumbuhan sehingga wadah
pemeliharaan akan akan semakin padat. Kepadatan pemeliharaan larva ikan mas
akan mengakibatkan oksigen terlarut akan berkurang. Oleh sebab itu pemeliharaan

24
larva ikan mas dalam bak, fiberglass atau akuarium dilakukan selama 12- 14 hari.
Selanjutnya larva ikan mas dapat ditebar ke kolam pendederan untuk dibesarkan.
c. Pengendalian hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit merupakan suatu upaya untuk
menghindarkan larva atau benih ikan mas terserang hama dan penyakit. Pada kolam
pemeliharaan larva, hama yang biasa menyerang adalah katak dan kecebong (anak
katak). Katak dan kecebong tersebut akan memakan pakan ikan mas.
Penanggulangan dilakukan secara fisik dengan menangkap indukan katak
menggunakan jaring kemudian dibuang, agar tidak bertelur pada kolam
pemeliharaan larva. Pada masa pemeliharaan larva ini sering muncul hama
dikarenakan lokasi kolam pemeliharaan larva terdapat pada ruang terbuka.
Pengelolaan kolam mempengaruhi kelulushidupan dan kualitas ikan yang
dipelihara, terutama mengenai perairan kolam, perairan kolam yang tidak sesuai
menimbulkan berbagai macam penyakit ikan (Handajani & Widodo, 2010).

BAB III
KESIMPULAN

1. Telur umumnya mengalami proses embriogenesis, yaitu proses perkembangan


telur hingga menjadi larva, embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi

25
dimulai dari proses pembelahan sel telur (cleavage), morulasi, blastulasi,
gastrulasi, dan dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya menetas
2. Proses penetasan telur terbagi menjadi dua; secara alami dan buatan. Dalam
proses penetesan buatan terdapat inkubasi. Inkubasi sendiri ada 2 teknik yaitu;
Inkubasi dalam air tergenang dan Inkubasi dalam air mengalir (Mcdonald Jar)
dengan rentan waktu inkubasi selama
3. Setelah menetas larva dipelihara dengan pemberian emulsi pakan kuning telur
sebanyak 2-3 kali sehari, selain itu juga larva diberi pakan tambahan berupa
pelet dan pupuk guna melengkapi kebutuhan nutrient larva.
4. Kolam tempat pemeliharaan larva dilakukan pengelolaan kualitas air dan juga
pengendalian hama dan penyakit guna mengurangi tingkat kematian larva
dikarenakan larva sangat rentan terhadap penyakit serta hama.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, J. 2016. Pengantar Ilmu Perikanan dan Kelautan (Budidaya Perairan).

Cindelaras, S., Anjang Bangun Prasetio, dan Eni Kusrini. 2015. Embryonic and
Early Larvae Development of Wildbetta (Betta imbellis LADIGES 1975).
Widyariset. 1 (1) : 1–10.

26
Diana, A. N., E. D. Masithah., A. T. Mukti dan J. Triastuti. 2010. Embriogenesis
dan Daya Tetas Telur Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Salinitas
Berbeda. FPIK UNAIR.

Effendie, M. Ichsan. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka


Nusantara:Yogyakarta. 163 Hlm.

Handayani, S., Kusumorini, A., dan Widiana Ana. 2013. Potensi Fitoplankton
Sebagai Sumber Daya Pakan Pada Pemeliharaan Larva Ikan Mas (Cyprinus
carpio) Di BBPBAT Sukabumi. Jurnal Biologi. 6 (2): 108-112.

Iswanto, B. dan E. Tahapari. 2011. Embriogenesis dan Perkembangan Larva Patin


Hasil Hibridisasi Antara Betina Ikan Patin Siam (Pangasianodon
hypophthalmus sauvage, 1878) dengan Jantan Ikan Patin Jambal (Pangasius
djambal bleeker, 1846) dan Jantan Patin nasutus (Pangasius nasutus
Bleeker, 1863). Jurnal Riset Akuakultur. 6 (2): 169 – 186.

Kelabora, Dominggas M. 2010. Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup


Dan Pertumbuhan Larva Ikan Mas (Cyprinus carpio). Berkala Perikanan
Terubuk. 38 (1): 71-81.

Kimmel, C. B., W. W. Ballard, S. T. Kimmel, B. Ullman dan T. F. Schilling. 1995.


Stages of Embryonic Development of Zebrafish. Developmental Dynamics.
203: 253-310.

Mantau, Z., Rawung, J.B.M., dan Sudarty. 2004. Pembenihan Ikan Mas Yang
Efektif dan Efisien. Jurnal Litbang Pertanian. 23 (2): 68-73.

Pattipeilohy I. G., A. Gani, H. Tahang. 2013. Perkembangan Embriogenesis Ikan


Mandarin (Synchiropus splendidus).

Ramadhan, R., dan Sari, Luthfiana A. 2018. Teknik Pembenihan Ikan Mas
(Cyprinus carpio) Secara Alami Di Unit Pelaksana Teknis Pengembangan
Budidaya Air Tawar (UPT PBAT) Umbulan, Pasuruan. Journal of
Aquaculture and Fish Health. 7 (3): 124-132.

Renita, R., E. I. Raharjo. 2016. Pengaruh Suhu Terhadap Waktu Penetasan, Daya
Tetas Telur dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Cupang (Betta Splendens).
Artikel. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Muhammadiyah Pontianak.

Saputra, S.D. 2011. Aplikasi Sistem Resirkulasi Air Terkendali (SRAT) pada
Budidaya Ikan Mas (Cyprinus carpio). Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Hal. 5-27.

27
Setyono, B. 2009. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Bahan Pada Pengencer Sperma
Ikan “Skim Kuning Telur” Terhadap Laju Fertilisasi, Laju Penetasan dan
Sintasan Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Fakultas Pertanaian dan Peternakan.
Universitas Muhammadiyah Malang. Hal 9.

Suhenda, N., R. Samsudin, dan A. H. Kristanto. 2009. Peranan Lemak Pakan dalam
Mendukung Perkembangan Embrio, Derajat Penetasan Telur, dan Sintasan
Larva Ikan Baung (Mystus nemurus). Akuakultur. 4 (2) : 201-211.

Utomo, N. B. P., P. Hasanah dan I. Mokoginta. Pengaruh Cara Pemberian Pakan


yang Berbeda Terhadap Konversi Pakan dan Pertumbuhan Ikan Mas
(Cyprinus carpio). Institut Pertanian Bogor. Jurnal Akuakultur Indonesia,
4(2). Hal. 51.

Yulianti, S., P. Hari C.S. Dan T.Winanto 2012. Proses Embriogenesis dan
Perkembagan Stadia Awal Larva Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus
fuscoguttatus) Pada Suhu dan Salinitas Berbeda. Jurnal Hasil Riset e-
jurnal. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik.
Universitas Jenderal Soedirman.

28

Anda mungkin juga menyukai