Anda di halaman 1dari 20

PENERAPAN RAPD ( RANDOMIZED AMPLIFIED,

POLIMORFIS DEIPLOID ) DALAM PENGEMBANGAN


BUDIDAYA IKAN LAUT, Euchema cottoni, UDANG KARANG
Panulirus sp, dan UDANG WINDU

TUGAS MATAKULIAH BIOTEKNOLOGI AKUAKULTUR


Disusun Oleh :
KIKI WAHYU NILAMSARI 26010214130073
MUHAMMAD LATIF USMAN 26010214130075
AGUNG AL MUQSIT 26010214130082
RIDHA RESTI FAUZIAH 26010214140084
FEMY MUSTHOFA ARDY 26010214140087
BELLA MANIK HAPSARI 26010215130064
ARIDHA DIAN MAYASARI 26010215130076
EKO YULI ARIANDINI 26010215130100
RIZALDHI RIZKI Y 26010215130108
ELSA AGUSTINA NURDIYANI 26010215140089
ANGGA HENDRA P 26010215140093
26010215140103

ABDUL AZIZ FAJAR R

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Usaha budidaya laut, seperti Euchema cottoni, udang karang Panulirus sp.,
dan udang windu di anggap memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan,
akan tetapi masih terkendala dalam ketersediaan benih akibat rentannya terhadap
suatu penyakit terutama yang disebabkan oleh bakteri. Selain itu permasalahan
yang juga sering dihadapi yaitu permasalahan salinitas. Suatu kawasan dengan
salinitas tertentu didominasi oleh suatu spesies tertentu terkait dengan tingkat
toleransi spesies tersebut terhadap salinitas yang ada.

Timbulnya masalah penyakit yang disebabkan oleh pengelolaan lingkungan


yang kurang baik akan menyebabkan terjadinya akumulasi penyebab penyakit di
lokasi budidaya. Apabila keadaan tersebut tidak ditanggulangi lebih awal, maka
kegiatan budidaya laut akan terganggu. Akibatnya populasi ikan akan menurun
karena tingkat kematian yang tinggi. Disamping itu, permasalahan yang dihadapi
adalah bahwa sejumlah hatchery menerapkan pola reproduksi perkawinan silang
dalam (inbreeding) dan terjadinya random genetik drift. Hal ini menyebabkan
hilangnya alel alel spesifik akibat menurunnya kualitas benih yang akan
menghambat pertumbuhan (Nursida, 2011).

Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem


kekebalan ikan. Selain itu, cara lain yang ditempuh yaitu dengan melakukan
perbaikan genetik melalui seleksi atau pemuliaan serta rekayasa genetik. Penanda
DNA sangat potensial untuk memecahkan masalah ini, karena teknik ini sudah
dapat menunjukan adanya perbedaan individu dalam suatu spesies yang tinggi.
Penanda DNA tersebut akan sangat membantu para petani ikan dengan program
perbaikan mutu ikan untuk mendapatkan ikan yang unggul.

Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) telah banyak


digunakan untuk mengetahui variasi genetik dan phylogenetik pada beberapa
species Teknik ini mengandalkan pada amplifikasi daerah yang tidak spesifik dari
suatu genom DNA, menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dengan
primer pendek (10 mer) dari sekuense nukleotida yang acak. Kelebihan dari
teknik RAPD adalah cepat, hanya memerlukan template DNA yang sedikit,
mudah dilakukan dan tidak memerlukan penggunaan isotop radioaktif. Kelebihan
tersebut membuat RAPD ini menjadi teknik yang banyak digunakan untuk
mengetahui keragaman genetik dalam suatu plasma nutfah.

1.2. Tujuan
1. Mengetahui penerapan RAPD dalam pengembangan budidaya
Euchema cottoni
2. Mengetahui penerapan RAPD dalam pengembangan budidaya udang
karang Panulirus sp.
3. Mengetahui penerapan RAPD dalam pengembangan budidaya udang
windu.

1.3. Rumusan masalah

1. Bagaimana penerapan RAPD dalam pengembangan budidaya Euchema


cottoni ?
2. Bagaimana Mengetahui penerapan RAPD dalam pengembangan
budidaya udang karang Panulirus sp. ?
3. Bagaimana penerapan RAPD dalam pengembangan budidaya udang
windu?
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi


2.1.1. Klasifikasi dan morfologi E. cottoni

Kappaphycus alvarezii Doty atau Eucheuma cottonii Doty menurut

Chapman dan Chapman (1973) kedudukan taksonomi adalah sebagai berikut:

Filum : Rodophyta

Sub kelas : Floridae

Kelas : Rhodopyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Soliriaceae

Genus : Kappaphycus

Spesies : Kappaphycus alvarezii Doty

: Eucheuma cottonii Doty

Rumput laut merah banyak terdapat di daerah perairan indonesia. Adanya


karagenan sebagai pembentuk gel dan senyawa-senyawa antioksidan dalam kadar
tinggi pada rumput laut merah, eucheuma cottonii, maka pada penelitian ini,
rumput laut merah eucheuma cottonii akan diformulasikan pada nugget ayam
sebagai bahan pensubstitusi dari tepung terigu yang digunakan. Nugget ayam
termasuk dalam produk pangan beku siap saji yang memiliki nilai gizi cukup
tinggi, yaitu 23,3% protein, 73,8% air 18,82% lemak, dan 0,9% serat (abdillah f.,
2006).
Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia
perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karaginan. Kadar karaginan
dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara 54% 73% tergantung pada jenis
dan lokasinya. Di Indonesia kadar karaginan rumput laut jenis Eucheuma berkisar
antara 61,5 % - 67,5 % (Laode, 1999).
Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut. Kondisi
perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii Doty yaitu
perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman
perairan 7,65 9,72 m, salinitas 33 35 ppt, suhu air laut 28 30 C, kecerahan
2,5 5,25 m, pH 6,5 7, dan kecepatan arus 22 48 cm/detik (Wiratmaja dkk,
2011).
Eucheuma cottonii Doty merupakan salah satu Carragaenaphyces, yaitu
rumput laut penghasil karaginan. Ada dua jenis Eucheuma yang cukup komersial
yaitu Eucheuma spinosum (Eucheuma denticulatum), merupakan penghasil iota
karaginan dan Eucheuma cottonii Doty (Kapaphycus alvarezzii) sebagai penghasil
kappa karaginan (Anggadiredja, 2006). Rumput laut Eucheuma cottonii Doty
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Eucheuma cottonii Doty


Sumber: Anggadiredjo (2006)

Berdasarkan morfologinya, Eucheuma cottonii Doty memiliki thalus


dengan permukaan licin, waktu hidup berwarna hijau hingga kuning kemerahan
dan jika kering akan berwarna kuning kecoklatan. Thalli memiliki bentuk yang
bervariasi dengan cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumput yang
rimbun dengan ciri khusus menghadap ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja
et al., 1996).
Alga merah merupakan kelompok alga yang jenis-jenisnya memiliki
berbagai bentuk dan variasi warna. Salah satu indikasi dari alga merah adalah
terjadi perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu atau merah apabila alga
tersebut terkena panas atau sinar matahari secara langsung. Alga merah
merupakan golongan alga yang mengandung karaginan dan agar bermanfaat
dalam industry kosmetik dan makanan. Keadaan warna selalu tetap, namun
kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu, atau merah sering terjadi
hanya karena faktor lingkungan. Umumnya Eucheuma cottonii Doty tumbuh
dengan sangat baik di daerah sekitar pantai terumbu atau sering dikatakan daerah
reef (Wiratmaja dkk, 2011).
2.1.2. Klasifikasi dan morfologi udang karang (Panulirus sp.)
Klasifikasi udang barong atau spiny lobster menurut Burukovskii (1974)
diacu dalam Lesmana (2006) adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda

Class : Crustacea

Sub Class : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Palinuridae

Genus : Panulirus

Spesies : Panulirus homarus

Panulirus penicillatus

Panulirus ornatus

Panulirus versicolor

Panulirus longipes

Panulirus polyphagus

Sumber : Nawangwulan (2001)


Gambar : Morfologi Lobster Panulirus sp.
Menurut Purnomo (1988) diacu dalam Adyanawati (1994), ordo Decapoda
terdiri atas empat famili lobster, lobster sejati (true lobster), udang barong (spiny
lobster), udang watang (cray fish) dan udang pasir (Spanish lobster). Famili
pertama hanya terdapat di perairan subtropis dan perairan dingin sedangkan famili
kedua terdapat di perairan subtropis dan tropis, termasuk perairan Indonesia
(Subani 1981 diacu dalam Adnyanawati 1994).
Di Indonesia, spiny lobster dikenal dengan nama udang barong. Udang
barong juga dikenal sebagai udang karang karena hampir sepanjang hidupnya
memilih tempat-tempat di karang, baik di peraran berbatu-karang (rock) maupun
terumbu karang (coral reefs) yang masih hidup maupun yang mati di perairan
pantai (Subani 1981 diacu dalam Adnyanawati 1994). Morfologi spiny lobster
sangat berbeda dari true lobster. True lobster memiliki capit besar yang terbentuk
dari pertumbuhan sempurna pasangan kaki pertama dari kaki jalannya (periopod).
Sementara itu, ujung kaki-kaki jalan spiny lobster tidak bercapit tetapi tumbuh
menjadi kuku lancip. Udang barong atau spiny lobster termasuk kelompok jenis
udang besar, panjang badannya dapat mencapai 50 cm seperti pada lobster mutiara
(Patra 2012).
Lobster adalah invertebrata dengan pelindung luar yang keras. Seperti
kebanyakan arthropoda, lobster harus melewati beberapa fase pergantian kulit
untuk tumbuh. Pada saat itulah mereka amat rentan. Selama proses molting,
beberapa spesies berubah warna. Lobster memiliki 10 kaki, tiga pasang depan
dimana yang pertama lebih besar dari yang lain. Kepala lobster terdapat antena,
mandibula sebagai pencabik makanan, maxilla sebagai indera perasa makanan.
Karena lobster hidup dalam lingkungan keruh di dasar laut, kebanyakan
menggunakan antena mereka sebagai sensor. Mata lobster memiliki struktur
reflektif di atas retina cembung. Lobster, seperti siput dan laba-laba, memiliki
darah biru karena adanya haemocyanin yang mengandung tembaga. Lobster
memiliki suatu hepatopankreas hijau, yang disebut tomalley oleh para koki, yang
berfungsi sebagai hati hewan dan pankreas (Chan, 2000).
2.1.3. Klasifikasi dan morfologi udang windu (Penaeus monodon)

Menurut Soetomo (1988) dalam Yuniarso (2006), klasifikasi udang windu

(Penaeus monodon Fab.) adalah sebagai berikut :


Phyllum : Arthropoda
Subphyllum : Mandibulata
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Natantia
Familia : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon Fabricius

Gambar 1. Morfologi Udang Windu

Keterangan:
a = alat pembantu rahang g = kaki jalan
b = kerucut kepala h = kaki renang
c = mata i = anus
d = cangakang kepala j = telson
e = sungut kecil k = ekor kipas
f = sungut besar

Bagian kepala-dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang


berpasang-pasangan, morfologi udang windu dapat dilihat pada Gambar 1.
Berturut-turut dari muka kebelakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala
(scop Hocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu
rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda). Bagian perut terdapat lima pasang
kaki renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor
(telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus).
Tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala hingga
dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor. Bagian kepala hingga
dada disebut cephalothorax, dibungkus kulit kitin yang tebal atau carapace.
Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan 8 segmen. Bagian
abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson. Udang windu (Penaeus monodon)
memiliki 19 pasang appendage. Lima pasang terdapat pada kepala, masing-
masing antenulla pertama dan antenulla kedua yang berfungsi untuk penciuman
dan keseimbangan, mandibula untuk menguyah, serta maxillula dan maxilla untuk
membantu makan dan bernafas. Tiga pasang appendage yang terakhir merupakan
kesatuan bagian mulut. Bagian dada Penaeus monodon memilki tiga
pasang maxilliped yang berfungsi untuk berenang serta membantu mengomsumsi
makanan. Bagian dada memilki lima pasang kaki renang yang berguna untuk
berenang sertaa sepasang uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat
dan naik turun. Jenis kelamin udang windu betina dapat diketahui dengan adanya
telikum di antara kaki jalan ke-4 dan ke-5. Telikum berupa garis yang tipis dan
akan melebar setelah terjadi feritlisasi. Sementara, jenis kelamin udang windu
jantan dapat diketahui dengan adanya petasma, yakni tonjolan diantara kaki
renang pertama (Murtidjo, 2003).
Bagian kepala-dada terdapat anggota-anggota tubuh lain yang
berpasangpasangan berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil
(antennulla), sirip kepala (Scophocerit), sungut besar (antenna), rahang
(mandibulla), alat-alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri dari dua
pasang maxilliped yang terdiri atas tiga pasang, dan kaki jalan (periopoda)
yang terdiri atas lima pasang, tiga pasang kaki jalan yang pertama ujung-
ujungnya bercapit yang dinamakan chela. Di bagian perut terdapat lima pasang
kaki renang (pleopoda). Pada ruas ke enam kaki renang mengalami perubahan
bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Ujung ruas ke enam ke arah belakang
membentuk ekor (telson) (Suyanto dan Mudjiman, 2003).
Pada umumnya semua udang memiliki sifat alami yang sama, yakni aktif
pada malam hari (nocturnal), baik aktifitas untuk mencari makan dan reproduksi.
Beberapa indera yang digunakan udang untuk mendeteksi makanan adalah
penglihatan (sight), audio atau vibrio sense, thermosense dan chemosense.
Keempat indera tersebut chemosense atau chemoreseptor merupakan alat yang
paling peka untuk mendeteksi pakan. Udang mencari pakan dengan lebih
mengandalkan indera kimia daripada indera penglihatan. Chemoreseptor pada
Crustacea bersifat sensitif dalam memberikan respon untuk bahan-bahan
kimia sebaik terhadap temperatur dan pH (Yuniarso, 2006).

2.1.4. Random Amplifed Polymorphic DNA (RAPD)


Random Amplifed Polymorphic DNA (RAPD) merupakan salah satu
marka molekuler berbasis PCR yang banyak digunakan dalam mengidentifikasi
keragaman pada tingkat intraspesies maupun antarspesies. Teknik ini mendeteksi
polimorfsme ruas nukleotida pada DNA dengan menggunakan sebuah primer
tunggal yang memiliki rangkaian nukleotida acak. Pada reaksi PCR-RAPD ini,
sebuah primer menempel pada DNA genomik pada dua tempat berbeda dari DNA
komplementer. Jika tempat penempelan primer ini berada pada daerah yang dapat
diamplifkasi, maka hasil DNA tertentu dapat dihasilkan melalui amplifkasi siklus
termal. Umumnya masing-masing primer menyebabkan amplifkasi beberapa
lokus (Pharmawati, 2009).
Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) merupakan salah
satu dari beberapa teknik pembuatan penanda berbasis DNA dengan melibatkan
penggunaan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknik PCR-RAPD dapat
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan genotip normal dan abnormal,
berdasarkan perbedaan pada pita DNA yang dapat teramplifikasi dengan random
primer. Pita DNA yang berbeda akan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui
perbedaan urutan basa DNA antara genotip normal dan abnormal. Untuk
menentukan keragaman genetik, produk PCR RAPD diskoring berdasarkan
muncul tidaknya pita DNA. Pita yang muncul pada gel diasumsikan sebagai alel
RAPD. Keragaman alel RAPD ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada gel
masingmasing individu sampel. Berdasarkan ada atau tidaknya pita, profil pita
diterjemahkan ke dalam data biner. Pita yang muncul diberi kode 1 (ada) dan 0
(tidak ada) (Sembiring et. al., 2015).
Penentuan variasi genetik ini dapat dilakukan secara molekuler dengan
berbagai macam metode antara lain adalah Random Amplified Polymorphism
DNA (RAPD). Kemampuan RAPD dalam mendeteksi polimorfisme cukup tinggi
karena primer oligonukleotida bisa mendata genom yang memiliki situs ik&tan
perfect dan subperfect dalam reaksi PCR. Saat dua situs ikatan berjarak cukup
dekat (3000 bp atau kurang), pita RAPD akan terlihat pada gel. Biasanya setiap
primer RAPD mampu mengamplifikasi beberapa pita yang diantaranya polimorfik
bahkan untuk populasi yang sekerabat. Variasi genetik dan perbedaan dalam atau
antara taxa biasanya dihitung dari ada tidaknya pita DNA yang muncul yang
diatur oleh perubahan sekuens DNA untuk setiap lokus. Marka RAPD telah
digunakan secara luas untuk identifikasi spesies dan strain ikan dan moluska,
analisis struktur populasi udang dan alga, analisis dampak genetik dari stressor
lingkungan dan analisis diversitas genetik RAPD juga telah digunakan untuk studi
linkage-mapping pada spesies ikan. Linkage map menghasilkan sejumlah marka
RAPD untuk determinasi kelamin, dan juga pola warna, ketahanan terhadap
penyakit, respon imun serta trait kualitatif lain, disamping trait kuantitatif yang
dapat digunakan untuk linkage selection. Teknik RAPD telah digunakan dalam
penelitian ikan Barbus sp. asal Spanyol, ikan mas {Cyprinus carpio), alga merah
(Gelidium sesquipedale), rumput laut Kappaphycus alavarezii dan ikan batak
{Tor soro) (Kusmini et. al., 2011).
III. PEMBAHASAN

3.1. Penerapan RAPD dalam Pengembangan Budidaya E. Cottoni


Informasi tentang keragaman genetic plasma nutfah sangat diperlukan untuk
mendukung pemuliaan dan upaya konservasi. Pengetahuan mengenai kekerabatan
Euchema cottoni dapat digunakan untuk mengembangkan usaha budidaya rumput
laut pada berbagai daerah. Untuk mengetahui kekerabatan dari rumput laut
(Euchema cottoni) dapat dilakukan dengan uji PCR jenis RAPD. Menurut
Ayuningrum et al., (2012), yang menyatakan bahwa Metode RAPD (Random
Amplified Polymorphic DNA) telah digunakan untuk mengetahui keanekaragaman
rumput laut Euchema spp. yang biasanya digunakan untuk mengetahui kedekatan
kekerabatan pada rumput laut liar dan rumput laut yang dibudidayakan di suatu
perairan.

Kebiasaan pengenalan kekerabatan taksonomi menggunakan morfologi


pada rumput laut Euchema spp. banyak menimbulkan kesalah pahaman.
Penggunaan metode RAPD pada pengevaluasian variasi genetic rumput laut
Euchema spp. liar dan yang dibudidayakan dapat digunakan untuk menentukan
kelayakan rumput laut untuk dibudidayakan pada suatu wilayah. Rumput laut
Euchema cottoni yang dibudidayakan diuji dengan Uji PCR-RAPD dengan yang
tumbuh liar untuk mengetahui kekeerabatan dari rumput laut yang diuji memiliki
kedekatan kekerabatan. Menurut Anggraeni et al., (2008) spesies Eucheuma
cottonii liar dengan yang terbudidaya memiliki hubungan kekerabatan dan
kedekatan genetik. Perbedaan atau jarak genetik yang diperoleh menunjukkan,
bahwa hubungan kekerabatan ditentukan oleh jenis spesies, varietas spesies, dan
asal bibit. Untuk kelanjutan dari hasil RAPD pada rumput laut yang telah diuji ini
dapat digunakan sebagai penunjang pemuliaan dengan peningkatan studi
molecular. Hasil ini mengindikasikan potensi pemanfaatan spesies liar sebagai
sumber plasma nutfah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemuliaan dan
perbaikan sifat spesies yang dibudidaya. Kelebihan dari metode RAPD ini dapat
Marka ini merupakan marka dominan, tidak memerlukan pengetahuan genetik
awal tentang organisme, efisien, ekonomis, dan tidak memerlukan radioaktif
untuk menentukan hubungan genetik atau konstruksi peta pautan genetik. RAPD
juga tidak memerlukan probe atau informasi sekuens seperti analisis dengan
RFLP atau mikrosatelit. Marka RAPD menghasilkan polimorfisme tinggi, simpel
dan cepat

3.2. Penerapan RAPD dalam Pengembangan Budidaya Udang Karang


(Panulirus sp.)

Lobster rnerupakan salah satu kornoditas terpenting dunia perikanan. Genus


Panulirus merniliki keragaman paling besar dari family Palinuridae. Panulirus
telah lama rnenjadi objek menarik para peneliti dunia disebabkan oleh tingginya
keragaman spesies, daerah penyebaran yang luas dan juga nilai ekonominya yang
tinggi. Pengetahuan dasar rnengenai keragarnan populasi genetic diperlukan
sebagai acuan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Berbagai rnetode telah
digunakan dalarn studi keragarnan genetik Panulirus, setiap rnetode merniliki
kelebihan masing-masing. Random amplified polymorphism DNA (RAPD)
rnerupakan salah satu teknik molekular yang telah digunakan secara luas dalam
mernpelajari hubungan kekerabatan genetik berbagai organisrne terrnasuk
tanaman, hewan, ikan, serta udang-udangan. Analisis RAPD memiliki beberapa
kelebihan diantaranya dapat digunakan dalarn analisis genom pada variasi spesies
yang luas, dapat rnenganalisis banyak sarnpel secara sirnultan dan pengerjaannya
relatif cepat. Penelitian ini bertujuan untuk rnengklarifikasi hubungan filogeni dan
rnengevaluasi akurasi rnetode RAPD dalarn rnenentukan kekerabatan lobster
genus Panulirus.

Analisis RAPD digunakan dalarn pengujian kekerabatan genetik 12 spesies


lobster lndo-Pasifik. Lokasi asal sarnpel tersebar dari kepulauan Jepang, Taiwan,
India, Indonesia dan Selandia baru. Sebanyak 20 jenis primer RAPD diuji saring
terhadap kemarnpuannya dalarn rnengidentifikasi polimorfisme genetik dari
lobster genus Panulirus. Sebanyak 13 positif primer yang menghasilkan profil
RAPD yang jelas dan konsisten dipilih untuk analisis kekerabatan genetic
Panulirus. Pohon iilogenetik dibuat rnenggunakan rnetode Neighbor-Joining (NJ)
dan Unweighted Pair-group Method Using Arithmetic Averages (UPGMA). Nilai
kesamaan genetik (similarity index, SI) dihitung untuk rnengetahui tingkat
keragarnan genetik antar spesies lobster.

Rata-rata nilai SI yang diperoleh sebesar 0.2673 + 0.0090. Nilai SI tertinggi


didapat sebesar 0.7698, sedangkan nilai terendah sebesar 0.0931. Hasil studi ini
juga mernberikan inforrnasi baru distribusi spesies Panulirus longipes longipes
untuk wilayah Okinawa. Dengan Menggunakan rnetode RAPD, diperoleh hasil
filogeni genus Panulirus yang tidak berbeda jauh dengan beberapa analisis
filogeni yang telah dilakukan sebelurnnya. Dengan dernikian dapat disimpulkan
bahwa rnetode RAPD efektif digunakan dalarn studi kekerabatan genetik lobster
genus Panulirus.

3.3. Penerapan RAPD dalam Pengembangan Budidaya Udang Windu

Penerapan RAPD dapat dilakukan pada budidaya udang windu, penerapan


tersebut dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan budidaya udang
windu. Upaya untuk pengembangan budidaya udang windu salah satunya adalah
dengan menerapkan marker RAPD agar dapat mengetahui kekerabatan antara
individu udang windu yang satu dengan individu udang windu lainnya sehingga
berguna dalam program selektif breeding, karena marker RAPD dapat
dipergunakan sebagai marker spesifik famili pada udang windu. Hal ini diperkuat
oleh Prastowo et al., (2009) yang menyatakan bahwa marker tersebut bersifat
spesifik-famili, dan berguna untuk program selektif breeding pada level famili.
Identifikasi dari sejumlah besar genotip dan marker genetik yang memungkinkan
pada uji coba ini melalui teknik RAPD menunjukan nilai dari pendekatan ini
untuk monitoring polimorfisme genetik di dalam stok P. Monodon di hatchery.
Metode RAPD dapat digunakan untuk mengetahui variasi genetik pada
udang windu dan me lihat kekerabatannya. Menurut Muharam et al., (2012)
variasi genetik menggambarkan adanya keragaman pada satu spesies. Adanya
keragaman terlihat dari karakteristik ikan, baik dari dalam (genotipe) maupun dari
luar (fenotipe). Bila dilihat secara genotipe, variasi genetik yang terdapat pada
ikan hasil persilangan memiliki variasi yang berbeda-beda. Untuk melihat variasi
genetik tersebut dan mengetahui kekerabatannya antara individu satu dengan
individu lainnya, maka dilakukan pendekatan molekuler yaitu dengan
menggunakan metode RAPD.
IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Penerapan RAPD dapat memberitahu keragaman genetik dalam udang
karang, udang windu dan budidaya E. Cottoni. Keragaman genetik penting
diketahui untuk meningkatkan daya adaptasi suatu organisme, sehingga dengan
menggunakan RAPD dapat diterapkan selective breeding untuk menghasilkan
benih atau induk unggul yang memiliki ketahanan terhadap penyakit, respon yang
baik, imun yang kuat dan pertumbuhan yang optimal.

4.2. Saran
Sebaiknya para peneliti dapat melanjutkan penelitiannya dengan lebih
baik, sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya dan juga
mengadakan penyuluhan kepada masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, F., 2006. Penambahan Tepung Wortel dan Karagenan untuk


Meningkatkan Kadar Serat Pangan pada Nugget Ikan Nila (Oreochromis
sp.). Skripsi : Institut Pertanian Bogor.
Abdulla, M.F. 2009. Molecular Genetic Relationship of The Spiny Lobster Genus
Panulirus in Pacific and Indian Oceans Using RAPD Method. [SKRIPSI].
Departemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Adnyanawati, K.P. 1994. Analisis Hasil Tangkapan Lobster (Panulirus spp.)
dengan jaring klitik dan bubu di Pantai Swanggaluh, Kecamatan
Selemadeg,
Kabupaten Tabanan, Bali. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Hal
5-14.
Anggadiredja., Jana T., Zatnika, A., Purwoto, H., & Istiani, S. 2006. Rumput laut;
Pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran komoditas perikanan
potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Anggraeni S. R., Sudarsono dan D. Soedharma. 2008. Karakterisasi Genetika
Rumput Laut Eucheuma spp. dari Tiga Daerah di Indonesia (Kepulauan
Seribu, Keruak, dan Sumenep). Jurnal Bionatura, 10 (3): 196 208.
Atmaja, W.S. (1996). Kondisi Pertumbuhan Sargassum (alga coklat) di Perairan
Pulau Pari. Pulau-pulau Seribu. Prosid. Seminar Biologi XIV dan
Kongres Nasional Biologi XI.I:113-120.
Ayuningrum, I. P., E. Afrianto, dan Y. Mulyani. 2012.Keragaman Genetik Rumput
Laut Euchema spp. dari Sukabumi, Jawa Barat Berdasarkan Metode
RAPD PCR. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3 (4): 337-345.
Chan, T.Y. 2000. Lobster. In the Living Marine Resources of the Western Central
Pacific. Volume 2 Cephalopods, crustaceans, holothurians and sharks. FAO
Species Identification Guide for Fishery Purposes. FAO-UN, Norwegian
Agency for International Development.
Chapman, V.J dan Chapman, D.J. 1973. The algae. The macmillan. London.
Kusmini I. I, Rudy G. dan Mulyasari. 2011. Karakterisasi Genetik Ikan Kelabau
(Osteochilus kelabau) dari Berbagai Lokasi di Kalimantan Barat
Menggunakan Metode RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA.
Berita Biologi 10 (4): 449- 454.
Laode, A. M. 1999. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. 145p.
Lesmana.2006. Uji Coba Dua Macam Krendet Untuk Menangkap Lobster
(Panulirus spp.). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Muharam, E. G., I. D. Buwono, dan Y. Mulyani. 2012. Analisis Kekerabatan Ikan
Mas Koi (Cyprinuscarpio koi) dan Ikan Mas Majalaya (Cyprinuscarpio
carpio) Menggunakan Metode RAPD. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
3(3): 15-23.
Murtidjo, B.A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius. Yogyakarta.
Nawangwulan, S. 2001. Analisis Sistem Penangkapan Lobster (Panulirus sp.) di
Perairan Pangandaran Kabupaten Ciamis Jawa Barat. [Skripsi]. (tidak
dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hal 47.
Nursida, N.F. 2011. Polimorfisme Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus
Fuscoguttatus Forsskl) yang Tahan Bakteri Vibrio Alginolitycus dan
Toleran Salinitas Rendah serta Salinitas Tinggi. [SKRIPSI]. Universitas
Hasanudin. Makasar.
Patra, Diki, 2012. Studi Efektivitas Bubu Lipat Modifikasi Pintu Atas Dan Pintu
Samping Dengan Jenis Umpan Kanikil (Chiton Sp.) Pada Penangkapan
Lobster
(Panulirus Spp.) Di Palabuhan Ratu, Jawa Barat . [Skripsi]. Program Studi
Teknologi Dan Manajemen Perikanan Tangkap. Fakultas Perikanan,
Institut Pertanian Bogor.
Pharmawat, Made. 2009. Optimalisasi Ekstraksi DNA dan PCR RAPD pada
Grevillea spp. (PROTEACEAE). Jurnal Biologi XIII (1) : 12 -16.
Prastowo, B. W., R. Rahardianti, E. M. Nur, dan A. Taslihan. 2009.Profil
Heterogenitas Gnetik Induk Udang Windu (Penaeus monodon) Turunan F1
melalui Analisis DNA Mitokondria-RFLP dan RAPD. Jurnal Perikanan.
11(1): 25-30.
Sembiring I. M. S, Lollie A. P. P, dan Hot S. 2015. Aplikasi Penanda Lima Primer
RAPD (Random Amplified Polimorphic DNA) untuk Analisis Keragaman
Genetik Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Sumatera Utara.
Jurnal Agroekoteknologi 4 (1): 1748 - 1755.
Suyanto, S. R., Mujiman A. 2003. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Wiratmaja, I Gede, dkk. 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua Dengan
Memanfaatkan Limbah Rumput Laut eucheuma cottoni sebagai Bahan
Baku. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin. 5(2): 75- 84.
Yuniarso, T. 2006. Peningkatan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan Daya
Tahan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Stadium Pl 7 Pl 20
Setelah Pemberian Silase Artemia Yang Telah Diperkaya dengan Silase
Ikan. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai