Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI PERIKANAN

PENGALIHAN KELAMIN PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Oleh
Kelompok 5

1. Alifianti Wibowo B0A017029


2. Adellia Alya Putri B0A017030
3. Ganda Winata B0A017031
4. Ade Tia Multi A B0A017032
5. Aulianisa Nuriska R B0A017033
6. Anisa Indriasari B0A017034

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI D-III BIOLOGI-PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan nila merupakan ikan konsumsi yang cepat matang gonad, mudah

memijah dan memiliki perbedaan pertumbuhan antara jantan dan betina.

Menurut Lind et al. (2015) ikan nila jantan memiliki laju pertumbuhan

lebih cepat dibandingkan dengan ikan betina. Budidaya monoseks jantan

pada ikan nila menghasilkan ikan dengan ukuran lebih besar dan

seragam dibandingkan budidaya campuran (jantan dan betina) (Sayed &

Moneeb 2015), sehingga budi daya monoseks jantan lebih

menguntungkan. Salah satu cara untuk mendapatkan populasi monoseks

yaitu dengan melakukan pengalihan kelamin menjadi jantan atau betina.

Teknik alih kelamin yang diterapkan di Indonesia ada dua yaitu

maskulinisasi untuk menghasilkan jantan dan feminisasi untuk

menghasilkan betina (Zairin 2003). Alih kelamin dilakukan sebelum dan

atau pada fase diferensiasi kelamin, sehingga perkembangan kelamin

bisa diarahkan sesuai dengan tujuan.

Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang cukup populer

di Indonesia karena mempunyai nilai ekonomis penting dan merupakan


komuditas unggulan. Sifat unggul dari ikan tersebut misalnya memiliki

laju pertumbuhan yang cepat dan toleran pada kondisi lingkungan yang

tinggi. Tetapi ikan ini juga memiliki kekurangan yaitu mudah kawin

silang dan bertelur secara liar sehingga untuk mencapai ukuran

konsumsisedikit sulit karena menurut Khairuman dan Amri (2008),

khususnya untuk ikan nila betina setelah ukuran 200 gram akan mulai

bereproduksi. Jadi energi yang dihasilkan oleh ikan nila betina tidak

sepenuhnya digunakan untuk pertumbuhan melainkan untuk reproduksi

dan pergerakan. Menurut Yuliati dkk. (2003) sifat mudah berkembang

biak mengakibatkan pertumbuhan menurun 10 – 20 % per generasi yang

ditandai dengan ukuran tubuh yang kecil, lambat tumbuh dan cepat

matang gonad pada ukuran kecil. Pertumbuhan juga dipengaruhi oleh

kualitas dan kuantitas pakan, umur dan kualitas air pemeliharaan.

Ikan nila jantan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan nila betina

dikarenakan ikan jantan yang nafsu makannya lebih banyak dari ikan

nila betina. Proses jantanisasi pada budidaya ikan konsumsi sekaligus

berefek mempercepat pertumbuhan. Jantan pada dasarnya memiliki

pertumbuhan lebih cepat ketimbang betina karena nafsu makannya jauh

lebih tinggi. ( majalah tribus ) . sehingga dengan memproduksi nila


jantan akan mempercepat pertumbuhan dan mempersingkat waktu

pemanenan untuk memproduksi ikan nila jantan semua. Oleh karena itu

dapat menggunakan metode sex reversal untuk memperoleh ikan nila

yang mayoritas jantan pada saat produksi.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini yaitu untuk melatih keterampilan


mahasiswa untuk melaksanakan pengalihan kelamin pada ikan nila
(Oreochromis niloticus) menggunakan madu.

C. Manfaat

Manfaat dari praktikum kali ini yaitu mahasiswa diharapkan mampu


melakukan pengalihan kelamin pada ikan nila (Oreochromis niloticus)
menggunakan madu.

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah spuit injeksi ukuran
1 ml, mangkuk untuk fertilisasi, saringan, gelas ukur, mangkuk inkubasi embrio,
seperangkat aerator, pipet transfer, millimeter blok, dan petridish.
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah telur ikan nila
(Oreochromis niloticus), madu ( 0ml, 30ml, 60ml), pellet pakan larva, dan air
sumur/ air bersih.
B. Metode

Metode kerja yang dilakukan pada praktiku kali ini yaitu :


1. Siapkan larva ikan nilem di dalam mangkok penampung dan direndam pada air
yang telah dicampurkan madu dengan takaran 0ml, 30ml, dan 60ml.
2. Direndam larva ikan nilem dalam air yang telah dicampurkan madu selama 10
jam.
3. Larva yang telah direndam dalam air yang telah dicampurkan madu, dicuci bersih
dengan air bersih.
4. Larva dipelihara selama 5 minggu.
5. Dilakukan pengamatan ssetiap minggu, dengan pengukuran panjang tubuh larva.
6. Diberikan pakan setiap hari, dan dicatat larva yang mati.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1 Pengamatan Larva Pengalihan Kelamin pada Ikan Nila


(Oreochromis niloticus)
Perendaman dengan madu 60 mL
No. Tanggal
Hidup Mati

1. 22 Mei 10 0

2. 23 Mei 10 0

3. 24 Mei 9 1

4. 25 Mei 5 4

5. 26 Mei 5 0

6. 27 Mei 3 2

7. 28 Mei 3 0

8. 29 Mei 3 0

9. 30 Mei 3 0

10. 31 Mei 3 0

11. 1 Juni 3 0

12. 2 Juni 3 0

13. 3 Juni 3 0

14. 4 Juni 3 0

15. 5 Juni 3 0
16. 6 Juni 3 0

17. 7 Juni 3 0

18. 8 Juni 3 0

19. 9 Juni 3 0

20. 10 Juni 3 0

21. 11 Juni 3 0

22. 12 Juni 2 1

23. 13 Juni 2 0

24. 14 Juni 2 0

25. 15 Juni 2 0

26. 16 Juni 2 0

27. 17 Juni 2 0

28. 18 Juni 2 0

29. 19 Juni 2 0

Tabel 3.2 Panjang Larva Pengalihan Kelamin pada Ikan Nila


(Oreochromis niloticus)
No. Tanggal Panjang

1. 24 Mei 5 mm

2. 29 Mei 1 cm

3. 12 Juni 1,6 cm

4. 19 Juni 1,7 cm

5. 25 Juni 1,75 cm
Tabel 3.3 Hasil Perlakuan Kontrol Pengalihan Kelamin pada Ikan Nila
(Oreochromis niloticus)
 Larva Mati Panjang Larva
Ulangan SR (%)
Minggu 1 (mm)
Kelompok 2 30 6 14,7 mm

Kelompok 5 0,2 5 13,1 mm

Perhitungan Kelompok 5 :

SR = x 100%

= x 100%

= 0,2 %

B. Pembahasan

Sex reversal atau pengalihan kelamin merupakan suatu teknik untuk

mengubah jenis kelamin secara buatan dari ikan jantan menjadi betina

atau sebaliknya. Borg (1994) menyatakan bahwa sex reversal

merupakan teknik pembalikan jenis kelamin pada saat diferensiasi

kelamin, yaitu pada saat otak dan embrio masih berada pada keadaan bi-

potential dalam pembentukan kelamin secara fenotipe (morfologis,

tingkah laku dan fungsi). Hal ini dijelaskan pula oleh Yamamoto (1969)

bahwa perubahan kelamin secara buatan akan sempurna jika dilakukan


pada saat mulainya proses diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai

diferensiasi kelamin terjadi.

Sex reversal adalah suatu teknologi yang membalikan arah

perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Cara ini dilakukan pada

waktu ikan baru menetas gonad ikan belum berdiferensiasi secara jelas

menjadi jantan atau betina tanpa merubah genotipnya. Tujuan utama

dari penerapan teknik sex reversal adalah menghasilkan populasi

monoseks (tunggal kelamin). Dengan membudidayakan ikan monoseks

akan didapatkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan ikan dengan

pertumbuhan yang cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan

penampilan yang baik, dan menunjang genetika ikan (teknik pemurnian

ras ikan). Beberapa jenis ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias,

telah berhasil diproduksi dengan teknologi sex reversal (Junior, 2002).

Pada dasarnya ada dua metode yang digunakan untuk mendapatkan atau

memperoleh populasi monosex (sex reversal) yaitu melalui terapi hormon

(cara langsung) atau rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Pada

terapi langsung, hormone androgen dan estrogen mempengaruhi fenotip

tetapi tidak mempengaruhi genotip.


Pada metode langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan, apapun

jenis kromosom sexnya. Hormon biasanya diberikan pada awal

kehidupan ikan. Pada metode ini memiliki kelebihan utama yaitu

sederhana. Selain itu juga pada dosis yang optimal kematian ikan dapat

dioptimalkan dan juga memiliki kelemahan yaitu keberhasilannya sangat

beragam yang disebabkan oleh perbandingan kelamin alamiah antara

jantan dan betina tidak selalu sama.

Mengingat permasalahan penggunaan hormon sintetik tersebut,

diperlukan adanya bahan lain dalam sex reversal. Salah satu cara yang

dianggap aman yaitu dengan penggunaan bahan alami yang aman dan

ramah lingkungan, antara lain adalah dengan madu lebah hutan

(Djaelani, 2007; Utomo, 2008; Sukmara, 2007).

Ikan nila jantan memiliki laju pertumbuhan sekitar dua kali lebih cepat

dibandingkan dengan ikan betina, sehingga tingkat produksi, dan potensi

keuntungan budidaya ikan nila jantan semua (monoseks) adalah lebih

tinggi. Salah satu cara untuk memproduksi populasi monoseks jantan

adalah dengan teknologi sex reversal, yakni suatu teknologi yang


mengarahkan diferensiasi kelamin menjadi jantan, dan dilakukan pada

saat gonad ikan belum terdiferensiasi. Cara yang umum dilakukan untuk

memperoleh ikan monoseks adalah dengan menggunakan hormon steroid

17α-metiltestosteron (MT) dan aromatase inhibitor seperti fadrozole.

Akan tetapi, penggunaan hormon MT diduga dapat bersifat karsinogenik

pada manusia dan aromatase inhibitor tidak dijual bebas di pasaran,

sehingga untuk mengatasinya diperlukan bahan alternatif lain yang aman

dan mudah diperoleh. Madu merupakan bahan alami mengandung

flavonoid chrysin yang diduga dapat berfungsi sebagai penghambat kerja

enzim aromatase atau sebagai aromatase inhibitor. Madu bersifat ramah

lingkungan, dan kandungan mineralnya tinggi, terutama kalium. Kalium

dalam madu diduga berfungsi sebagai pengarah diferensiasi kelamin ikan

melalui modulasi peredaran testosteron, dan pengendalian tindakan

androgen. Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis madu, yaitu madu

hutan (madu yang diperoleh dari beberapa macam nektar bunga dari

lebah liar di hutan), madu ternak (madu yang diperoleh dari nektar

tanaman tertentu oleh lebah yang dibudidayakan), dan madu bakau

(madu dari nektar tanaman bakau oleh lebah di daerah hutan bakau).

Analisis kandungan madu yang diuji, dan pemberian chrysin dan kalium

dalam sex reversal juga berpotensi besar dapat menjelaskan perbedaan


aktivitas madu uji, dan bahan yang berperan dalam sex reversal ikan nila.

Regulasi diferensiasi kelamin di dalam tubuh ikan dapat dilihat dari level

aromatase pada ikan. Terdapat dua jenis aromatase, yaitu aromatase tipe

1 (tipe gonad) dan tipe 2 (tipe otak). Aktivitas enzim aromatase

berkorelasi dengan struktur gonad, yaitu larva dengan aktivitas

aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan

aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarahkan terbentuknya ovari.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa nilai

SR pada ikan nila yaitu 0,2 %. Nilai kelangsungan hidup pada ikan nila

rendah karena banyak ikan nila yang mati pada saat pemeliharaan. Hal

tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, faktor yang sangat

berpengaruh dalam metode seks reversal baik secara langsung maupun

tidak langsung adalah kondisi lingkungan seperti suhu, PH, dan oksigen

terlarut, dimana antara faktor tersebut yang paling berpengaruh dalam

proses maskulinisasi adalah suhu dimana bekerja langsung pada

metabolisme tubuh dan kerja hormon. Selain itu jumlah dosis yang tinggi

membuat larva harus beradaptasi setelah bertukar cair osmotik yang

lebih keras. Hal tersebut membuat ginjalnya harus berkerja lebih ekstra.
IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Ayoola. S.O dan Idowo, A.A. 2008. Bioteknology and Spesies Development in
Aquakulture. African Journal of Bioteknology. Vol 7 (25).
Campbell, Neil A., and Reece, Jane B. 2000. Biologi. Jakarta: Erlangga
Fitria, S , Yulia Sistina, Isdy Sulistyo .2013. Poliploidisasi Ikan Nilem(Osteochilus
Hasselti Valenciennes, 1842) Dengan Kejut Dingin 40C polyploidization On
Shark Minnow. Seminar Nasional X. Pendidikan Biologi. FKIP UNS.
Hartono, D, P., Pindo, W., & Ninik, P. 2016. The effect of heat shock on the
tetraploidy of catfish, Pangasius hypopthalmus. AACL Bioflux. 9 (2), pp: 196-
203.
Linhart, O., Marek, R., David, G., Martin, K., dan Martha, R. 1991. Improvement
of common carp artificial reproduction using enzyme for elimination of egg
stickiness. Aquat. Living Resour. 16: 450–456.
Purdom, C.E. 1983. Genetic Engineering by the Manipulation of Chromosomes.
Aquaculture. 33. Pp : 287-300.
Putri, D. A., & Mirna, F. 2013. Persentase Penetasan Telur Ikan Betok (Anabas
testudineus) dengan Suhu Inkubasi yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa
Indonesia, 1(2) :184-191
Thorgaard, dkk. 1990. Androgenetik Rainbow Trout. Produced Using Sperm from
Tetreploid Males Show Improved Survival. Aquaculture. 85: 215-221.
Wahyuningtias, I., Rara, D., Otong, Z, A. 2015. Pengaruh Suhu Terhadap
Perkembangan Telur Dan Larva Ikan Tambakan ( Helostoma temminckii ).
Jurnal Rekayasa Dan Teknologi Budidaya Perairan. 1 (4). Pp : 440-448.
Zohar, Yonathan. 2013. Fisheries Agroculture and Bioteknology. University of
Maryland Baltimore Country :USA.

Anda mungkin juga menyukai