2016
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL IV HAYATI
2016
Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, M.Si (UM) Poppy Rahmatika Primandiri, M.Pd
Dr. Sulistiono, M.Si (UNP)
Dr. Sulfahri, M.Si (UNHAS Makasar)
Dr. Akhmad Sukri, M.Pd (IKIP MATARAM)
Tutut Indah Sulistiyowati, S.Pd., M.Si(UNP)
Agus Muji Santoso, S.Pd., M.Si(UNP)
Farida Nurlaila Zunaidah, M.Pd(UNP)
Tisa Rizkika Nur Amelia, S.Pd., M.Sc(UNP)
Elysabet Herawati, S.Pd., M.Si(UNP)
Ida Rahmawati, S.Pd., M.Sc(UNP)
ISSN 2406-8659
Cetakan ke 1 (on line)
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya sehingga penyusunan
prosiding Seminar Nasional IV Hayati Biologi, Sains, dan Pembelajarannya dengan Tema
Biologi Modern dan Aplikasinya untuk Penguatan Mutu Pembelajaran bagi Calon Guru Masa
Depan dapat terselesaikan dengan baik. Tujuan seminar ini diselenggarakan untuk 1)
mengakomodasi temuan tentang biologi modern dan aplikasinya untuk penguatan mutu
pembelajaran bagi guru masa depan, 2) mengakonodasi the best practice upaya yang telah
dilakukan oleh para pendidik dan praktisi selama menemukan problematika Biologi dan
pembelajarannya, 3) mengimbaskan hasil kajian empiris para praktisi dan pendidik tentang
Biologi dan pembelajarannya yang telah diperoleh untuk meningkatkan ketercapaian tujuan
pendidikan global.
Prosiding ini berisi kumpulan makalah yang sudah dipresentasikan dari berbagai bidang
baik ilmu biologi, pendidikan biologi, dan ilmu sains lainnya. Dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terimaksih kepada Bapak/Ibu pimpinan Universitas Nusantara PGRI Kediri
sehingga seminar ini dapat terselenggara dengan baik dan kepada pemakalah yang telah
berkontribusi dalam seminar ini. Semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat untuk
kemajuan ilmu biologi, pendidikan biologi, dan ilmu sains lainnya.
Terimakasih
KEYNOTE SPEAKER
Biologi Modern dan Pembelajarannya di Abad 21
Mohamad Amin ....................................................................................... 1
Komposisi Amfibi Ordo Anura di Kawasan Wisata Air Terjun Ironggolo Kediri
Sebagai Bio Indikator Alami Pencemaran Lingkungan
Nadya Ismi Putri Triesita, Mochammad Yordan Adi Pratama, Mohammad Ilham Pahlevi,
Mohammad Anwar Jamaluddin, Berry Fakhry Hanifa .......................................... 46
Efektivitas Ekstrak Air Daun Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) Terhadap
Larva Aedes aegypti L.
Tisa Rizkika Nur Amelia ............................................................................. 59
Pengendalian Hama Kutu Loncat (Diaphorina citri) dan Kutu Daun (Toxoptera
citricidus) Menggunakan Bahan Aktif Imidakloprid pada Tanaman Jeruk
Rudi Cahyo Wicaksono .............................................................................. 64
Uji Ekstrak Etanol Daun Jati (Tectona grandis) sebagai Bahan Pengawet
Alami Daging Sapi
Musri Fatul Alfiyah, Dwi Ari Budiretnani, Nur Solikin .......................................... 94
Isolasi dan Karakterisasi Kapang Endofit pada batang Gingseng Jawa (Talinum
paniculatum)
Wahyu Sugiharti, Mumun Nurmilawati, Agus Muji Santoso ................................... 104
Isolasi dan Identifikasi Jenis Kapang Endofit pada Daun Tanaman Binahong
(Anredera cordifolia. Steenis)
Krisnawati, Mumun Nurmilawati, Sulistiono, Agus Muji Santoso ............................ 109
Uji Ketahanan terhadap pH Asam dan Garam Empedu pada Bakteri Indigenous Buah
Kawista (Feronia limonia) sebagai Kandidat Bakteri Probiotik
Elysabet Herawati ................................................................................... 114
Mengungkap Potensi Senyawa Alami dari Cabai (Capsicum annuum L) Sebagai Agen
Anti-Autism Melalui Teknik Reverse Docking
Ardini Pangastuti, Ayu Mei Wulandari, Ahya Zhilalikbar Amin, Mohamad Amin ........... 124
Pengaruh Berbagai Dosis dan Waktu Aplikasi Azolla pinnata Kering Terhadap
Pertumbuhan Kacang Hijau (Vigna radiata (L.))
Lilik Hermawati, Mumun Nurmilawati, Sulistiono .............................................. 143
Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Urin Sapi Dan Media Tanam Terhadap
Struktur Anatomi Akar Dan Batang Tanaman Cabai (Capsicum frutescens L.)
Sebagai Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Anatomi Tumbuhan
Pujiati, Joko Widiyanto, Febriana Adytia Wardani ............................................ 159
Hubungan Suhu dengan Aktivitas Stomata Pada Daun Lidah Mertua (Sansevieria
trifasciata)
Muhidatul Liumah, Lilik S. Rahayu, Binti Miftahul J. .......................................... 167
Pengaruh Penambahan Media Tanam Organik (Sekam Bakar, Ampas Tebu dan
Serbuk Gergaji) pada Tanah Kapur Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kacang
Panjang (Vigna Sinensis L.) Sebagian Hasil Penelitian Sebagai Petunjuk Praktikum
Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan
Achmad Rijal Anwar, Nasrul Rofiah Hidayati, Nurul Kusuma Dewi .......................... 178
Antioksidan Memperlambat Penuaan Dini Sel Manusia
Siti Aizah ............................................................................................. 183
Efektivitas Model Problem Based Learning Terhadap Metakognisi Siswa Kelas VII
SMPN 1 Semen Kediri
Shilvi Nur Azizah, Sulistiono, Mumun Nurmilawati ............................................. 219
Profil Pengetahuan dan Sikap Sadar Sehat Reproduksi Santri Remaja di Pondok
Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk
Muhidatul Liumah, Sulistiono, Agus Muji Santoso .............................................. 253
Pembentukan Karakter dan Hasil Belajar Afektif Siswa SMK Negeri 13 Kota Malang
John Rafafy Batlolona dan Marleny Leasa ....................................................... 273
Penerapan Model Pembelajaran PjBL dengan Tugas Analisis Kritis Artikel (AKAR)
Berbasis Lesson Studi untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil
Belajar Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang
Dwi Setyawan ........................................................................................ 280
Mohamad Amin
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Univerisitas Negeri Malang
Email: mohamad.amin.fmipa@um.ac.id
Seminar Nasional IV HAYATI
Biologi, Sains dan Pembelajarannya
Prodi Pendidikan Biologi FKIP
Universitas Nusantara PGRI Kediri
Sabtu, 20 Agustus 2016
Isi paparan:
Apa itu Biologi?
Perkembangan Biologi
Kewajiban mempelajari Biologi
Bagaimana membelajarakannya
di abad 21
1
1. BIOLOGY ?
Study for living thing
MEMPELAJARI
KEHIDUPAN
ORGANISME
EKOSISTEM
KOMUNITAS
POPULASI
ORGANISME
SISTEM ORGAN
ORGAN
JARINGAN
SEL
MOLEKUL
2
2. Perkembangan Biologi
Na ma Kontribusi Tahun
K. Landstainer Organisasi sistim saraf, khususnya struktur sel-sel 1906
S. Ramon Y. saraf
E. Metchnikoff Fagositosis selama infeksi oleh bakteri, prosedur 1908
P. Ehrlick pewarnaan bakteri dan studi mengenai imunitas
R. Wilstatter Menemukan klorofil dan pigmen-pigmen lain pada 1915
tumbuhan
A.V. Hill Mekanisme mtabolisme jaringan otot, hubungan 1922
O. Mayerhoff antara metabolisme otot dengan asam laktat
T. Svedberg Sifat-sifat koloid, khususnya protein 1926
K. Landstainer Pengelompokan darah pada ma- nusia dan 1930
mempelajari aglutinin seluler
T.H. Morgan Peranan kromosom dalam pewa-risan sifat-sifat 1933
menurun
H. Dale Mempelajari transmisi (penghantaran) impuls- 1936
O. Loewi impuls saraf
3
H.J. Miller Mutasi gen yang dihasilkan melalui 1946
penyinaran sinar X
A. Tisellius Sifat-sifat kimia protein dan prinsip 1948
elektroporesis
A. Morten Prosedur kromatografi untuk pemisahan 1952
R. Synge substansi-substansi biologis
4
M. Delbruch virus seba-gai vector penyakit 1969
H.D. Herskey
S.E. Luria
L.F. Leloir peranan gula nukleotida dalam sintesis karbohidrat 1970
J. Axelrot mekanisme penyimpanan dan pelepasan neurohu- 1971
U. von Euler mor/neurotransmitter dalam transmisi impuls saraf
B. Katz
E.A. Sutherland Mekanisme aksi hormon; peranan Camp 1971
M. Edelman Prinsip dan reaksi immunoglobulin 1972
R.R. Porter
A. Claude isolasi dan karakterisasi dari organel-organel sub 1974
C. de Duve seluler dan partikel-partikel lain.
G. Palade
5
Tonggak sejarah keilmuwan dengan teknik molekular
6
PERKEMBANGAN SAINS DARI
MASA KE MASA
Kimia
? Biologi
LOW RISK
HIGH PRODUCT SPECIFICITY
ENVIRONMENTAL FRIENDLY
7
BIOLOGI DAN KEWAJIBAN MEMPELAJARINYA
Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan
umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami
Luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.
(Al Anam: 38)
Sumber ilmu
ayat-ayat kauliyah yaitu firman Tuhan dalam
kitab suci yang menuntun kita mempelajari
alam dhohir (alam nyata/hal yang tercipta)
ayat-ayat kauniyah adalah alam semesta
dengan segala isinya, petunjuk manusia
berupa hal nyata dikaji lebih dalam dapat
memandu kita untuk menuju Sang Pencipta
8
Kebenaran ayat-ayat kauliyah dan
relevansinya dengan biologi
modern pada contoh berikut
9
2. HARAMNYA DAGING BABI
10
HARAMNYA DAGING BABI
Virus flu babi, virus-viru flu burung itu baru bisa berkembang
setelah singgah dulu pertumbuhan dan perkembangannya di sel
babi
11
3. SOLUSI KONTROVERSI EVOLUSI MAHLUK HIDUP
evolusi
Agama adalah berhubungan
menyangkut
dengan sains,
kepercayaan yang
sesuatu yang
dapat dipercayai
atau tidak dan dapat diterima
diyakini atau tidak dengan akal
atau tidak
12
4. Bagaimana belajar dan
membelajarkan Biologi?
Membangun kesadaran:
1. untuk apa belajar
2. perlunya konten keilmuan
3. bagaimana belajar atau mengajar dengan
cara/teknik yang benar (how teach/learn
the true techique).
13
1. Untuk apa belajar
14
Dampak dari peningkatan kebutuhan maka
beban alam semakin meningkat.
Peningkatan beban kepada alam serta merta
akan mempengaruhi reaksi alam kepada
manusia sebagai pengelolanya
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-
Based Technology and Future Skill Set. Educational Technology (November-December
1999).
15
Technology Agriculture Manufacturing Info/Knowledge
Galbreath
(1999)
16
Perkembangan ilmu Aktivitas
dan keilmuan Biologi keilmuan
masa kini dan
perkiraan masa
depan Konservasi potensi
lokal (fauna, flora,
mikroba)
Pendekatan: teknik
molekular
Pelajaran Berharga
untuk penyiapan
generasi melalui
Biologi BUKAN: latah, ikut-ikutan,
gagah-gagahan
Efisiensi kerja dan fokus,
Bagaimana belajar ketersediaan informasi
dan
membelajarkan
Biologi
KONSERVASI
Pentingnya Konservasi
Keanekaragaman
hayati
1. Investasi
2. Unit cost
17
JUMLAH BIOTIK INDONESIA
Kelompok
Indonesia Dunia
Spesies Persen (%) (Spesies)
Bakteri, Alga 300 6,4 4.700
Hijau-Biru
Jamur 12.000 25,5 47.000
Alga 1.800 8,6 21.000
Lumut 1.500 9,4 16.000
Paku-pakuan 1.250 9,6 13.000
Tanaman 25.000 10,0 250.000
Berbunga
Serangga 250.000 33,3 750.000
Mollusca 20.000 40,0 50.000
Ikan 8.500 44,7 19.000
Amfibi 1.000 23,8 4.200
Reptil 2.000 31,8 6.300
Burung 1.500 16,3 9.200
Mamalia 500 12,0 4.170
Total 325.350 27,2 1.194.570
TUJUAN
MENDUKUNG PELESTARIAN
18
INTELECTUAL CAPITAL
Core activity:
BIOENGINEERING Molecular Bio
International
Cyt B
publication
Transnational
Filogenetik
research Filogenetik
Coura
kerbau lokal
ambonensis
19
HASIL RISET
WASPADA PUNAH
HASIL RISET
MENURUN
20
KONSTAN
79
Buba lus buba lis T ora ja (F20)
menggunakan Metode Minimum
Buba lus buba lis JAT EN G2(KW 15)
Bison bison
21
KURA-KURA_AMBON_D
KURA-KURA_AMBON_J
43
KURA-KURA_AMBON_B
KURA-KURA_LUWU_6
30
66 KURA-KURA_LUWU_3
KURA-KURA_GORONTALO_5
28
KURA-KURA_SANGIR_A
69
36 KURA-KURA_GORONTALO_13
KURA-KURA_TOLI-TOLI_4
43
KURA-KURA_AMBON_G
91
KURA-KURA_AMBON_I
50
KURA-KURA_KENDARI_11
79
KURA-KURA_TOLI-TOLI_1
KURA-KURA_KENDARI_1
KURA-KURA_KENDARI_8
KURA-KURA_AMBON_A
KURA-KURA_AMBON_C
85
KURA-KURA_AMBON_F
KURA-KURA_AMBON_H
92
KURA-KURA_KENDARI_3
KURA-KURA_KENDARI_10
KURA-KURA_SANGIR_B
3
8 KURA-KURA_KENDARI_7
58 KURA-KURA_GORONTALO_10
KURA-KURA_EMAS_CINA
22
HASIL PENELITIAN SKIM II
23
c a
Bawang putih
Mengkudu
24
Perspektif inovasi energi
terbarukan
Bioethanol production from algae Spirogyra
hyalina using Zymomonas mobilis
25
Tidak mengikuti perkembangan ilmu tidak
masuk dalam sistem pertumbuhan masyarakat
ilmu pengetahuan
Di sinilah letak pentingnya hasil-hasil
penelitian kekinian dalam memberikan
wawasan dan titik tumpu pengembangan
pendidikan
Reasoning
Applying
Knowing
Hanya 5% siswa Indonesia yang dapat mengerjakan soal-soal dalam katagori tinggi dan advance
[memerlukan reasoning], sedangkan 71% siswa Korea sanggup. Dalam perspektif lain, 78%
siswa Indonesia hanya dapat mengerjakan soal-soal dalam katagori rendah [hanya memerlukan
knowing, atau hafalan], Perlunya mengembangkan kurikulum yang menuntut penguatan
reasoning
26
Refleksi dari Hasil PISA 2009
100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
60% 60% Level 6
50% 50% Level 5
40% 40%
30% 30% Level 4
20% 20%
10% Matematika IPA
Level 3
10%
0% 0% Level 2
Level 1
Below Level 1
100% Level 6
90%
80% Hampir semua siswa Indonesia hanya
70%
60% Level 5
50% menguasai pelajaran sampai level 3
40%
30%
20% Level 4 saja, sementara negara lain banyak yang
10% sampai level 4, 5, bahkan 6. Dengan
0% Bahasa Level 3
keyakinan bahwa semua manusia diciptakan
Japan
Singapore
Korea
Thailand
Chinese Taipei
Shanghai-China
Hong Kong-China
Indonesia
Modal
Kompeten
SDM Pembangunan -Kurikulum
- PTK
Usia Produktif Transformasi Melalui Pendidikan
-Sarpras
Melimpah Beban -Manajemen
Tidak Kompeten
Pembangunan 54
27
DREAM: INDONESIA 2025
INSAN INDONESIA
CERDAS DAN KOMPETITIF
INSAN KAMIL/INSAN
PARIPURNA
28
Beraktualisasi diri melalui olah rasa
untuk meningkatkan sensitivitas dan
apresiasivitas akan kehalusan dan
keindahan seni dan budaya, serta
kompetensi untuk mengekspresikannya.
Beraktualisasi diri melalui interaksi
sosial yang:
Cerdas membina dan memupuk hubungan
emosional & timbal balik;
sosial demokratis;
empatik dan simpatik;
(Olah Rasa) menjunjung tinggi hak asasi manusia;
ceria dan percaya diri;
menghargai kebhinekaan dalam
bermasyarakat dan bernegara; serta
berwawasan kebangsaan dengan
kesadaran akan hak dan kewajiban
warga negara.
29
Beraktualisasi diri melalui
olah raga untuk mewujudkan
Cerdas insan yang
sehat, bugar, berdaya-
kinestetis
tahan, sigap, terampil, dan
(Olah Raga) trengginas;
Aktualisasi insan adiraga.
30
LOGIKA ~ olah pikir
KINESTIKA ~ olah badan
ETIKA ~ olah rasa (santun)
ESTETIKA ~ olah rasa (indah)
61
62
31
Nature Smart, Pandai dan peka dalam
mengamati alam
63
32
Calon Guru Masa Depan yang Reflektif, Cerdas, dan
Profesional
GURU yang mengembangkan keprofesionalannya
memungkinkan untuk :
(a) memikirkan dengan cermat mengenai tujuan
pembelajaran, materi pokok, dan pembelajaran bidang
studi,
(b) mengkaji dan mengembangkan pembelajaran yang
terbaik yang dapat dikembangkan,
(c) memperdalam pengetahuan mengenai materi pokok
yang diajarkan,
(d) memikirkan secara mendalam tujuan jangka panjang
yang akan dicapai yang berkaitan dengan mahasiswa,
(e) merancang pembelajaran secara kolaboratif,
(f) mengkaji secara cermat cara dan proses belajar serta
tingkah laku mahasiswa,
(g) mengembangkan pengetahuan pedagogis yang sesuai
untuk membelajarkan mahasiswa, dan
(h) melihat hasil pembelajaran sendiri melalui mata
mahasiswa dan kolega
Menguasai keilmuan bidang studi; (1) Paham materi, struktur, konsep, metode Keilmuan
yang menaungi, menerapkan dlm kehidupan sehari-hari;
Profesional dan langkah kajian kritis pendalam-
dan (2) metode pengembangan ilmu, telaah kritis,
an isi bidang studi kreatif dan inovatif terhadap bidang studi
Sosial Komunikasi & bergaul dgn peserta Menarik, empati, kolaboratif, suka menolong,
menjadi panutan, komunikatif, kooperatif
didik, kolega, dan masyarakat
33
Tugas Pendidikan Tinggi Tenaga
Kependidikan
Menyiapkan kurikulum
PBM
Evaluasi
PR untuk MASYARAKAT
PENDIDIKAN
a. Pengkajian visi dan misi pendidikan
b. Mengkaji apakah strategi pendidikan yang diterapkan
sudah benar?
c. Mengkaji apakah tujuan dan strategi yang telah
tertuang dalam kurikulum sudah relevan dengan
tuntutan perkembangan jaman?
d. Mempersiapkan guru yang memiliki kecakapan
pendidik (kecapakan materi dan metode)
34
Pendidikan yang komplit:
Membangun
qolbu
35
Sesungguhnya dari air kita belajar ketenangan
Dari batu kita belajar ketegaran
Dari tanah kita belajar kehidupan
Dari kupu-
kupu-kupu kita belajar merubah diri
Dari padi kita belajar rendah hati
Dari Allah kita belajar kasih sayang yang sempurna
Melihat ke atas, memperoleh semangat untuk maju
Melihat ke bawah, bersyukur atas semua yang ada
Melihat ke belakang, sebagai pengalaman berharga
Melihat ke dalam, untuk introspeksi
Melihat ke depan, untuk menjadi lebih baik
TERIMA KASIH
36
Wawasan Pembelajaran Biopreneur untuk Meningkatkan Pemanfaatan
Megabiodiversitas Indonesia dan Mewujudkan Masyarakat Sadar Wirausaha
Sulfahri
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Hasanuddin, Makassar
e-mail: sulfahri@unhas.ac.id
Abstrak
Indonesia merupakan negara mega biodiversity, dimana Indonesia dan Brasil adalah
negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia
dalam mengelola kekayaan mega biodiversity mengakibatkan bangsa Indonesia menjadi
negara yang cenderung konsumtif, dimana hampir seluruh sektor vital diperoleh dengan cara
import. Wawasan pembelajaran biopreneur merupakan salah satu upaya untuk memberikan
contoh pemikiran mengenai pemanfaatan kekayaan mega biodiversity alam indonesia,
dimana selama ini kekayaan mega biodiversity tersebut belum diakui sebagai harta
kekayaan.Pemanfaatan kekayaan mega biodiversity Indonesia untuk mewujudkan ekonomi
hijau yang bermanfaat secara ekonomi dan ekosistem dapat diwujudkan dengan
pengembangan masyarakat yang sadar biopreneur. Pendidikan sebagai bagian dari sistem
pembangunan nasional memiliki peranan yang sangat penting untuk membangun
kemandirian bangsa.
I. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati.
Menurut Keong (2015), Indonesia merupakan negara mega biodiversity, dimana Indonesia
dan Brasil adalah negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Sutarno (2015) dan
Hilman & Ramadoni (2001), menjelaskan bahwa mega biodiversity Indonesia baru
dimanfaatkan rata-rata di bawah 5%. Indonesia sebagai negara mega biodiversity tentunya
memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi berbagai permasalah
bangsa, misalnya pangan, energi dan kesehatan.
Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam mengelola kekayaan mega biodiversity
mengakibatkan bangsa Indonesia menjadi negara yang cenderung konsumtif, dimana hampir
seluruh sektor vital diperoleh dengan cara import. Menurut data dari PBS tahun 2016,
komoditas import Indonesia tahun 2016 terbesar adalah bahan bakar minyak sebesar 337
trillyun rupiah, minyak mentah sebesar 156 trillyun rupiah, suku cadang kendaraan 39
trillyun rupiah dan telekomunikasi 35 trillyun rupiah. Beberapa sektor penting tersebut
tentunya dapat diperoleh dari komoditas lokal jika bangsa Indonesia mampu memanfaatkan
37
kekayaan mega biodiversitysecara optimal dan menguntungkan dari segi ekonomi dan
ekosistem.
Wawasan pembelajaran biopreneur merupakan salah satu upaya untuk memberikan
contoh pemikiran mengenai pemanfaatan kekayaan mega biodiversity alam Indonesia,
dimana selama ini kekayaan mega biodiversity tersebut belum diakui sebagai harta kekayaan.
Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaan bahwa Indonesia adalah negara mega
biodiversity yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Kesadaran sebagai negara
mega biodiversity seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mencari alternatif
dalam memecahkan berbagai permasalah bangsa.
Memanfaatkan kekayaan mega biodiversity untuk membangun kemandirian bangsa
membutuhkan sumber daya manusia yang unggul. Keunggulan sumber daya manusia dapat
diwujudkan dengan pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu dapat dibangun
melalu penyiapan calon guru yang sadar akan wirausaha. Artikel ini bertujuan untuk
mereview aplikasi biopreneur untuk meningkatkan pemanfaatan megabiodiversitas indonesia
dalam rangka mewujudkan masyarakat sadar wirausaha.
Kesimpulan
Pemanfaatan kekayaan mega biodiversity Indonesia dapat diwujudkan melalui
pendidikan biopreneur. Pendidikan biopreneur dapat diwujudkan melalui penguatan sistem
pembelajaran yang diarahkan ke arah yang demokratis sehingga memberikan gerak yang luas
untuk siswa didik mengembangkan ekspresi kecerdasan dan bakat biopreneurnya. Biopreneur
merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan kekayaan mega biodiversity Indonesia dan
untuk membangun kemandirian bangsa.
Daftar Pustaka
Hilman, H & Romadoni, A. 2001. Pengelolaan dan Perlindungan Aset Kekayaan Intelektual,
Panduan bagi peneliti Bioteknologi. Bandung, The British Council.
Keong, C.Y. 2015. Sustainable Resource Management and Ecological Conservation of
Mega-Biodiversity: The Southeast Asian Big-3 Reality. International Journal of
Environmental Science and Development. 6 (11) : 876-882.
Sampurno. 2007. Knowladge-Based Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sudjatmoko, A. 2009. Cara Cerdas Menjadi Pengusaha Hebat. Jakarta : Visimedia.
Sutarno, A.D.S. 2015. Biodiversitas Indonesia: Penurunan dan Upaya Pengelolaan untuk
Menjamin Kemandirian Bangsa. Prosiding Nasional Biodiversitas Indonesia.1(1):1-
13.
Zulkarnain. 2006. Kewirausahaan, Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil, Menengah dan
Penduduk Miskin. Yogyakarta : Adicitra Karya Nusa.
40
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri 41
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan dan keaneragaman Arthropoda
tanah di kawasan Hutan Kalasan Sumber Ubalan Kabupaten Kediri dan untuk mengetahui
peranan setiap spesies dalam ekosistem. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif
dengan pengambilan sampel menggunakan metode plot pitfall trap (perangkap jebak).
Penelitian dilakukan selama 3 bulan, dimulai bulan Januari Maret di kawasan Hutan
Kalasan Sumber Ubalan Kabupaten Kediri. Analisis data indeks keaneragaman menggunakan
rumus Shannon-Wienner. Ditemukan sebanyak 12 ordo, 21 family dan 25 spesies pada
penelitian ini. Terdapat 4 Family dari ordo Araneae, yakni Salticidae, Lycosidae, Oxyopidae
dan Tetragnathidae. Indeks keaneragaman Arthropoda tanah yang ditemukan yakni sebesar
2,597 (sedang). Dolichoderus thoracicus Smith (semut hitam), memiliki kelimpahan tertinggi
yaitu sebesar 21% sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada Oxyopes javanus (0.18%).
Simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks keaneragaman Arthropoda tanah di
kawasan Hutan Kalasan Sumber Ubalan Kabupaten Kediri tergolong sedang, sedangkan total
kelimpahan Arthropoda tanah sebesar 99,96%.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan salah satu hasil bumi yang paling dominan di wilayah tropis seperti
Indonesia. Bila dikaji lebih jauh mengenai hutan, didapatkan berbagai komponen makhluk
hidup yang mendukung keberadaan sebuah hutan. Adapun komponen makhluk hidup tersebut
meliputi flora dan fauna, dimana kedua komponen tersebut sangat berperan penting dalam
keberadaan suatu hutan dan dapat dikatakan tanpa kedua komponen tersebut hutan tidak
seimbang. Dari hasil beberapa penelitian para ahli, hutan sangat menentukan kondisi lingkungan
suatu wilayah. Karena itu, perlu adanya upaya pelestarian hutan agar tetap terjaga
keseimbangannya [1].
Serangga tanah merupakan salah satu hewan tanah yang keberadaannya sangat
mendominasi. Serangga tanah atau biasa disebut ( hewan yang memiliki kaki beruas-ruas)
merupakan jenis hewan tanah yang keberadaannya terbesar di wilayah hutan. Arthropoda
meliputi Acarina, Collembola, Diplopoda, Isopoda, Larva Diptera, Coleoptera, Hymenoptera,
Formicidae, Chilopoda, Lepidoptera, Orthoptera dan Araneida. Peranan hewan tanah pada
ekosistem tanah sangat penting, yakni mendekomposisi materi tumbuhan dan hewan yang telah
mati. Oleh karena itu berperan secara langsung dalam mempertahankan dan memperbaiki
kesuburan tanah. Arthropoda tanah juga memiliki peran yang sangat penting yakni sebagai
dekomposer, hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan siklus organik di suatu wilayah
ekosistem [2].
Taman wisata Ubalan Kediri terletak di Dusun Kalasan, Desa Jarak, Kecamatan
Plosoklaten Kabupaten Kediri dikelola sebagai kawasan hutan wisata di bawah Dinas Pariwisata
Daerah Jawa Timur. Berdasarkan koordinat bumi 75257,7LS - 112859,0BT. Daya tarik
wisata Ubalan berupa Hutan lindung alami dengan berbagai jenis pohon hutan yang luasnya
kurang lebih 10 Ha. Berdasarkan hasil studi awal yang dilakukan, Hutan Kalasan Sumber
Ubalan merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis yang menyediakan sumber kehidupan
bagi satwa yang terdapat di dalamnya, termasuk serangga tanah. Namun, sejauh ini belum ada
laporan ilmiah yang dapat menjelaskan jenis-jenis serangga tanah yang hidup di kawasan
tersebut.
METODE PENELITIAN
Dengan kriteria indeks keaneragaman (H) menurut Magurran, 1988 dalam Rahmawaty, 2000
sebagai berikut :
Nilai H berkisar antara 1,5 3,5 :
H < 1,5 : Keanekaragaman Rendah
1,5 - 3,5 : Keanekaragaman Sedang
H > 3,5 : Keanekaragaman Tinggi
Dengan :
Pi = nilai kelimpahan Arthropoda tanah
Analisis jenis Arthropoda tanah menggunakan buku Kunci Determinasi Serangga
oleh Ir.Subyanto dkk.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada hutan Kalasan Sumber Ubalan
Kabupaten Kediri dan berdasarkan buku Kunci Determinasi Serangga [4], telah ditemukan 12
ordo, 21 family dan 25 spesies dari total Arthropoda tanah. Adapun rinciannya adalah sebagai
berikut :
tumbuhan dan jamur [6]. Tanpa bersimbiosis dengan semut, organisme tersebut akan menurun
populasinya hingga punah. Semut juga melakukan daur ulang dengan cara memasukkan bahan
organik mati (baik tumbuhan dan hewan) dan nutrisi ke dalam tanah (Rahmawaty, 2004).
Sedangkan kelimpahan terendah berapa pada spesies laba-laba Oxyopes javanus dengan jumlah
kelimpahan hanya 0.17%.
10
8
Jumlah Ordo
6
4
2
0
Dekomposer Hama Predator
Peranan
25
Jumlah Kelimpahan
20 Dolichoredus
21 thoracicus
15 Smith
(%)
10 Oxyopes
javanus
5
0,17
0
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hutan Kalasan Sumber Ubalan Kabupaten
Kediri, dapat disimpulkan bahwa: Jenis Arthropoda tanah yang ditemukan di hutan Kalasan
Sumber Ubalan terdapat 5 Kelas, 12 Ordo dan 25 Spesies. 5 Kelas yakni meliputi dari kelas
Myriapoda, Insecta, Arachnida, Hexapoda dan Chilopoda. Adapun 12 Ordo yakni meliputi ordo
Diplopoda, Orthoptera, Araneae, Hymenoptera, Dermaptera, Isoptera, Coleoptera,
Lithobiomorpha, Opiliones, Blattodea dan Heminoptera. Indeks keaneragaman Arthropoda
tanah di kawasan hutan Kalasan sumber Ubalan Kabupaten Kediri sebesar 2,597 sehingga dapat
dikatakan indeks keaneragaman Arthropoda tanah di kawasan tersebut ialah Sedang. Hasil
kelimpahan terbesar Arthropoda tanah yang ditemukan terdapat pada Semut hitam Dolichoderus
thoracicus Smith yaitu sebesar 21% dari total jumlah spesies yang ditemukan.
SARAN
Sebaiknya dilakukan penelitian kembali untuk mengkaji kerapatan dari Arthropoda tanah di
wilayah tersebut dan membuat insektarium yang dapat digunakan untuk studi pembelajaran di
laboratorium.
Penulis mengucapakan terimakasih kepada BAKESBANGPOL Kabupaten Kediri atas ijin yang
diberikan untuk melakukan penelitian di Hutan Kalasan Sumber Ubalan Kabupaten Kediri.
DAFTAR PUSTAKA
Komposisi Amfibi Ordo Anura di Kawasan Wisata Air Terjun Ironggolo Kediri
Sebagai Bio Indikator Alami Pencemaran Lingkungan
Abstrak
Anura memiliki 2 fase hidup dan keberadaannya tidak dapat lepas dari habitat terestrial dan
akuatik. Anura dapat dijadikan bio indikator alami pencemaran lingkungan karena memiliki
kepekaan tinggi terhadap perubahan lingkungan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
keanekaragman Ordo Anura yang terdapat di Kawasan wisata Air Terjun Ironggolo,
mengetahui karakteristik Ordo Anura dari berbagai tipe habitat, dan mengetahui Ordo Anura
yang berpotensi sebagai bioindikator pencemaran lingkungan pada kawasan wisata Air Terjun
Ironggolo. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2015 hingga Juni 2016 di Kawasan
wisata Air Terjun Ironggolo Kediri. Metode yang digunakan adalah VES (Visual Encounter
Survey) dimodifikasi teknik purposive sampling dan dengan transek 250 meter serta hasil
wawancara warga lokal. Sebanyak 11 jenis Anura dari 6 famili telah teridentifikasi. Famili
yang dijumpai antara lain: Ranidae, Rhacophoridae, Bufonidae, Dicroglossidae,
Megophrylidae, dan Microhylidae yang meliputi Huia masonii, Odorrana hosii, Chalcorana
chanconota, Rhacophorus reinwardtii, Polypedates leucomystax, Duttaphrynus melanostictus,
Phrynoidis aspera, Fejervarya sp, Limnonectes sp, Leptobrachium hasseltii, dan Microhyla
achatina. Indeks keanekaragaman Anura menunjukkan angka yang terbilang tinggi dengan
kemerataan yang relatif rendah. Kondisi lingkungan di wisata Air Terjun Ironggolo terbilang
baik berdasarkan jumlah spesies Leptobrachium hasseltii yang berpotensi sebagai bioindikator
pencemaran lingkungan menduduki urutan terbanyak dengan status melimpah.
PENDAHULUAN
besar keanekaragaman spesies yang menempati kawasan tersebut, terutama hewan anura yang
dapat dijadikan bio indikator pencemaran lingkungan yang sekaligus dapat membuktikan
kealamian wilayah air terjun Ironggolo.
Nama Amfibi berarti hewan yang hidup dalam dua alam yang berbeda: air dan darat [2].
Anura merupakan Ordo dalam kelas Amfibi yang terdiri atas katak dan kodok. Anura sangat
berperan penting dalam ekosistem terutama peranannya sebagai bagian rantai makanan.
Mayoritas Ordo Anura memakan berbagai jenis serangga dan larva serangga untuk menjaga
ekosistem agar tetap seimbang [3]. Ordo Anura juga berguna bagi manusia karena membantu
memakan jenis serangga yang dapat merusak perkebunan dan pertanian atau jenis serangga
yang bisa menjadi vektor penyakit [4]. Sedangkan, peran Ordo Anura secara langsung adalah
dimanfaatkan oleh sebagian manusia untuk sumber makanan dan komoditas ekspor [5]. Peran
utama Anura adalah menjaga keseimbangan ekosistem dan sebagai agen bioindikator perubahan
kondisi lingkungan seperti pencemaran air, perusakan habitat asli, introduksi spesies eksotik,
penyakit dan parasit [6][7][8][9], serta perubahan iklim [10]. Dengan demikian menjadikan
ordo Anura rentan terhadap kepunahan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keanekaragman Ordo Anura yang terdapat di
Kawasan wisata Air Terjun Ironggolo, mengetahui karakteristik Ordo anura dari berbagai tipe
habitat, dan mengetahui Ordo Anura yang berpotensi sebagai bioindikator pencemaran
lingkungan pada kawasan wisata Air Terjun Ironggolo. Serta untuk menambah kajian penelitian
di bidang herpetofauna Indonesia khususnya Kediri dan sekitarnya. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk pendukung upaya pelestarian ordo Anura di
kawasan Air Terjun Ironggolo Kediri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 hingga Juni 2016 dengan 7 kali
pengambilan sampel data primer dan dilakukan pada malam hari (nokturnal) pada pukul 19.00-
23.00 WIB. Pengambilan data berlokasi di kawasan wisata Air Terjun Ironggolo yang dibagi
menjadi 3 plot lokasi. Pada plot A terletak di area parkir, masjid, hingga taman atas yang
merupakan daerah terestrial. Area plot B berlokasi di sepanjang jalan menuju air terjun yang
merupakan wilayah teristrial dan plot C berada di air terjun hingga sepanjang aliran sungai
terusan air terjun yang merupakan satu-satunya plot dengan daerah akuatik yang dimungkinkan
berpotensi menjadi pusat perkembangbiakan anura.
Penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian. Menggunakan VES (Visual
Encounter Survey) [11] yang dilakukan pada plot A dan plot C dengan modifikasi teknik
purposive sampling [12] serta dengan transek 250 meter yang diterapkan di plot B dan plot C.
Hasil wawancara yang dilakukan pada penduduk sekitar dan wisatawan yang berkunjung di Air
Terjun Ironggolo untuk mengetahui potensi keanekaragaman jenis anura yang mendiami
wilayah tersebut yang nantinya akan menjadi pelengkap data primer dari hasil pengambilan data
yang telah dilakukan.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah senter yang digunakan untuk
pencahayaan. Termo-Hygrometer yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban udara.
Termometer raksa untuk mengukur suhu air. Botol sampel untuk wadah sampel. Alat tulis dan
tabel keanekaragaman yang digunakan untuk mencatat hasil sampling. Meteran untuk
pengukuran transek, jam tangan untuk mengetahui waktu perjumpaan dan kamera sabagai alat
dokumentasi. Jarum suntik sebagai alat suntik untuk menunjang pengawetan spesimen serta
kertas label untuk memberi label pada spesimen.
Untuk mengatahui jenis spesies anura yang ditemukan dapat dikoreksi dengan
menggunakan beberapa literatur dan buku panduan identifikasi spesies anura oleh Iskandar,
1998 (Amfibi Jawa dan Bali). Bahan yang gunakan dalam penelitian ini adalah kapas dan
kloroform untuk eutanasi sampel [13] alkohol 70% yang digunakan untuk pengawetan sampel
spesimen yang akan diawetkan dengan metode awetan basah di Laboraturium Zoologi
Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Data komulatif yang di peroleh akan di oleh dengan menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener [14, 15] :
Keterangan:
H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jenis ke-i.
Keanekaragaman dikatakan sangat rendah dan dikatakan sedang jika nilainya <1, jika
nilainya berkisar antara 1-1,5 maka dikatakan rendah dan dikatakan sedang jika nilainya
berkisar antara 1,5-2,0. Adapun dikatakan tinggi jika nilainya >2,0 [16].
Untuk mengetahui kemerataan spesies anura yang digunakan indeks kemerataan Shimpson
sebagai berikut:
Keterangan:
E = Indeks Kemerataan jenis
H = Indeks Keanekaragaman Sannon-Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemuka.
Jika nilai E mendekati 1 maka menunjukkan jumlah individu antar jenis relatif sama.
Namun, jika lebih dari 1 ataupun kurang maka kemungkinan besar terdapat dominansipada
komunitas tersebut.
Derajat kemelimpahan relatif jenis herpetofauna yang dijumpai selama pengambilan data
dikategorikan dalam 4 kelompok, yaitu: dapat dikatakan banyak dijumpai jika minimal tercatat
30 perjumpaan/hari, dikatakan cukup banyak dijumpai jika 10-30 perjumpaan/hari, jarang
dijumpai jika hanya 10 perjumpaan/hari, sulit dijumpai jika hanya 5 perjumpaan/hari dan
dikatakan langka jika perjumpaannya di bawah 5 perjumpaan/hari pada sebagian besar waktu
survei [17].
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat teridentifikasi 11 jenis dari 6 familli
anggota Ordo Anura yang telah ditemukan di kawasan Air Terjun Ironggolo. Meliputi Huia
masonii, Odorrana hosii, dan Chalcorana chanconota dari Famili Ranidae. Rhacophorus
reinwardtii dan Polypedates leucomystax dari Famili Rhacophoridae. Duttaphrynus
melanostictus dan Phrynoidis aspera dari Famili Bufonidae. Fejervarya sp dan Limnonectes sp
dari Famili Dicroglossidae. Leptobrachium hasseltii dari Famili Megophrylidae dan Microhyla
achatina dari Famili Microhylidae. Diantara anura yang telah ditemukan 3 spesies diantaranya
Huia masonii, Limnonectes sp, dan Microhyla achatina merupakan spesies endemik Jawa [2].
Anura di kawasan Air Terjun Ironggolo memiliki tipe habitat yang bervariasi. Dari keenam
famili beberapa diantaranya memiliki habitat terestrial yaitu pada Famili Bufonidae dan
Megophrylidae yang biasa di temukan di bawah semak-semak, seresah, sepanjang jalan menuju
air terjun, tebing dan beberapa bebatuan.
Jenis-jenis dari Famili Megophrylidae dan Bufonidae mempunyai kaki yang relatif pendek
sehingga mereka tidak dapat melompat jauh untuk menghindari bahaya. Untuk menghindari
pemangsanya, jenis-jenis dari Famili ini umumnya menyamakan dirinya sesuai dengan
habitatnya [2].
Famili Rhacophoridae memiliki habitat arboreal. Ditemukan pada pohon-pohon yang
memiliki ketinggian 1-8 meter dan hanya ditemukan pada area taman. Dijumpai pula beberapa
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 49
telur katak yang diduga telur dari Rhacophorus reinwardtii pada kawasan yang sama.
Sedangkan untuk spesies yang berhabitat akuatik diantaranya Huia masonii dan Limnonectes sp.
Biasa dijumpai di sepanjang badan air, baik air terjun dan aliran sungai terusan air terjun.
Spesies lain seperti Odorrana hosii, Chalcorana chanconota, Fejervarya sp, dan Microhyla
achatina memiliki tipe habitat semi akuatik. Beberapa ditemukan di sepanjang badan air, tanah,
tebing, semak dan pohon rendah
Tabel 1. Jenis-jenis Ordo Anura yang teridentifikasi di kawasan Air Terjun Ironggolo
Famili Spesies Perilaku IUCN Habitat
Huia masonii * Nokturnal VU Akuatik
Ranidae Odorrana hosii Nokturnal LC Semi Akuatik
Chalcorana chanconota Nokturnal LC Semi Akuatik
Rhacophorus reinwardtii Nokturnal NT Arboreal
Rhacophoridae
Polypedates leucomystax Nokturnal LC Arboreal
Duttaphrynus melanostictus Nokturnal LC Terestrial
Bufonidae
Phrynoidis aspera Nokturnal LC Terestrial
Fejervarya sp Nokturnal LC Semi Akuatik
Dicroglossidae
Limnonectes sp * Nokturnal LC/VU Akuatik
Megophrylidae Leptobrachium hasseltii Nokturnal LC Terestrial
Microhylidae Microhyla achatina * Nokturnal LC Semi Akuatik
Keterangan:
LC: Least Concern
VU: Vulnerable
NT: Naer Threatened
*: Endemik Jawa
Berdasarkan IUCN Red List, sebagian besar Anura yang teridentifikasi di kawasan wisata
air terjun Ironggolo termasuk kedalam kategori Least Concern (LC) dan hanya satu jenis Ordo
Anura yang berstatus Near Threatened (NT). Dari informasi tersebut dapat diperoleh informasi
bahwa Ordo Anura yang terdapat di kawasan wisata air terjun Ironggolo kabupaten Kediri tidak
ada yang tergolong kritis. Namun, ada jenis Ordo Anura yaitu Rhacophorus reinwardtii yang
berstatus mendekati kepunahan (Tabel 1).
Leptobrachium hasseltii merupakan jenis yang paling sering dijumpai dengan total
perjumpaan 87 kali (36,87%) dan Phrynoidis aspera merupakan jenis paling langka dengan
total 2 perjumpaan (0,85%). Kemelimpahan didominasi oleh Leptobrachium hasseltii yang
diduga memiliki mekanisme pertahanan dan adaptasi yang tinggi, serta memiliki pola
persebaran yang luas sehingga lingkungan Air Terjun Ironggolo cocok sebagai habitat dan
tempat berkembang biak. Sedangkan Phrynoidis aspera diduga memiliki mekaisme pertahanan
dan daya adaptasi lingkungan yang rendah terhadap kondisi lingkungan di tempat kajian, selain
itu pola persebaran Phrynoidis aspera yang terbatas oleh ketinggian area kajian juga menjadi
salah satu faktor rendahnya derajat kemelimpahan Phrynoidis aspera (Tabel 2).
Berdasarkan indeks Shanon-Wainer keanekaragaman jenis Anura di kawasan Air Terjun
Ironggolo terbilang tinggi dengan nilai sebesar 2,0133 [16] dengan indeks kemerataan sebesar
0,8396. Kemerataan menjauhi angka 1 mengindikasikan adanya dominasi spesies antar
komunitas ordo Anura (Tabel 2).
Dari 11 jenis anura yang teridentifikasi memiliki derajat kemelimpahan yang bervariasi.
Leptobrachium hasseltii dengan predikat melimpah memiliki perjumpaan lebih dari 30x
perjumpaan/hari. Predikat cukup melimpah dimilikioleh Odorrana hosii, Chalcorana
chanconota, Rhacophorus reinwardtii dan Duttaphrynus melanostictus dengan rentangan 15-30
perjumpaan/hari. Tiga jenis katak, yaitu Huia masonii, Limnonectes sp dan Microhyla achatina
memiliki derajat kemelimpahan yang terbilang cukup degan rentangan 15-10 perjumpaan/hari.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
50 ISSN: 1978-1520
Predikat jarang dimiliki oleh Polypedates leucomystax dan Fejervarya sp dengan 10-5
perjumpaan/hari. Sedangkan kemerataan langka pada spesies Phrynoidis aspera dengan kurang
dari 5 perjumpaan/hari
Tabel 2 Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kemelimpahan Jenis Ordo Anura di Kawasan Air Terjun
Ironggolo
Spesies Jumlah H' E Persentase Derajat
Kemelimpahan
Huia masonii 15 0,17516 0,07305 6,36% Cukup
Odorrana hosii 28 0,2529 0,10547 11,86% Cukup Melimpah
Chalcorana chanconota 27 0,24803 0,10344 11,44% Cukup Melimpah
Rhacophorus reinwardtii 17 0,18949 0,07903 7,20% Cukup Melimpah
Polypedates leucomystax 8 0,11473 0,04784 3,39% Jarang
Duttaphrynus melanostictus 20 0,20916 0,08723 8,47% Cukup Melimpah
Phrynoidis aspera 2 0,04043 0,01686 0,85% Langka
Fejervarya sp 7 0,10435 0,04352 2,97% Jarang
Limnonectes sp 13 0,15968 0,06659 5,51% Cukup
Leptobrachium hasseltii 87 0,36788 0,15342 36,87% Melimpah
Microhyla achatina 12 0,15147 0,06317 5,08`% Cukup
Total 236 2,0133 0,8396 100%
*Kemelimpahan: Melimpah jika tercatat lebih dari 30 perjumpaan/hari, Cukup melimpah jika 30-15
pejumpaan/hari, Cukup jika dijumpai hanya 15-10 perjumpaan/hari, Jarang jika didapati 10-5
perjumpaan/hari dan Langka jika perjumpaannya di bawah 5 perjumpaan/hari pada sebagian besar waktu
survei[17].
Frekuensi perjumpaan Odorrana hosii dan Chalcorana chanconota dapat dijumpai pada
setiap sampling. Sedangkan Phrynoidis aspera, Limnonectes sp dan Microhyla achatina hanya
dapat ditemukan dalam 1 bulan sampling pada bulan ke-6 dan ke-4. Pada bulan pertama hanya
dapat dijumpai 3 spesies yaitu Huia masonii, Chalcorana chanconota dan Polypedates
leucomystax. Jumlah spesies terbanyak ditemukan pada bulan ke-4 dan ke-6 dengan 7 spesies
yang berbeda.
Parameter lingkungan yang tercatat pada saat penelitian cenderung konstan karena
selain berada di lokasi pegunungan, di sekitar kawasan Air Terjun Ironggolo tingkat vegatasi
tumbuhan dengan berbagai habitus masih tinggi. Hal tersebut dimungkinkan dapat
meminimalisir kelebihan panas dan sebagai wilayah resapan air hujan dengan demikian suhu
udara dan kelembaban masih terjaga dengan baik. Suhu udara pada area plot A (Tempat parkir,
masjid, dan taman) 25 C dan kelembaban berkisar 80-100%. Pada plot B (jalan menuju air
terjun) dengan suhu udara 22 C dan kelembaban 80-100%. Pada plot terakhir, plot C (aliran
sungai terusan air terjun) memiliki suhu udara lebih rendah dari ke-2 plot sebelumnya yaitu
21 C dengan kelembaban yang sama 80-100% karena lokasi berada di wilayah tipe habitat
akutik yang memiliki suhu air 20 C .
Ordo anura merupakan salah satu hewan yang berpotensi sebagai bioindikator alami karena
memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap adanya perubahan lingkungan. Indikator yang bisa
teramati jika lingkungan mengalami perubahan adalah mulai turunnya populasi dan
keanekaragaman jenis [18]. Salah satu spesies yang diduga dapat dijadikan bioindikator alami
pencemaran lingkungan (terutama pencemaran air) adalah Leptobrachium hasseltii dengan
karakteristik pada saat masa larva (berudu) sangat sensitif terhadap perubahan senyawa yang
terkandung dalam lingkungan perairan. Dengan demikian dapat membuktikan bahwa kawasan
Air Terjun Ironggolo kualitas alamnya masih terjaga dengan tingginya nilai keanekaragaman
jenis dan kemerataan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian telah teridentifikasi 11 jenis dari 6 famili anura di kawasan
Air Terjun Ironggolo Kediri, meliputi Huia masonii, Odorrana hosii, dan Chalcorana
chanconota dari Famili Ranidae. Rhacophorus reinwardtii dan Polypedates leucomystax dari
Famili Rhacophoridae. Duttaphrynus melanostictus dan Phrynoidis aspera dari Famili
Bufonidae. Fejervarya sp dan Limnonectes sp dari Famili Dicroglossidae. Leptobrachium
hasseltii dari Famili Megophrylidae dan Microhyla achatina dari Famili Microhylidae. Dari
keenam famili, beberapa diantara memiliki habitat terestrial yaitu pada Famili Bufonidae dan
Megophrylidae. Famili Rhacophoridae memiliki habitat arboreal, spesies yang berhabitat
akuatik diantaranya Huia masonii dan Limnonectes sp. Sedangkan Odorrana hosii, Chalcorana
chanconota, Fejervarya sp, dan Microhyla achatina memiliki tipe habitat semi akuatik.
Diantara spesies yang ditemukan Leptobrachium hasseltii memiliki potensi sebagai bioindikator
pencemaran lingkungan. Kondisi lingkungan di wisata Air Terjun Ironggolo terbilang baik
berdasarkan jumlah spesies Leptobrachium hasseltii yang menduduki urutan terbanyak dengan
status melimpah.
SARAN
Perlu dilakukan kajian khusus untuk mengukur kualitas air di lokasi penelitian (pH
tanah, pH air, intensitas cahaya, DO dalam perairan) dan berbagai uji polutan yang umum
dijumpai pada wilayah perairan, serta kajian lebih lanjut mengenai pola hidup dan persebaran
serta upaya pelestarian spesies yang berpotensi sebagai bioindikator pecemaran lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Natus, I. R. 2005. Biodiversity and Endemic Centre of Indonesian Terrestrial Vertebrates.
Biogeography Institute of Trier University.
[2] Iskandar, D. T. (1998) Amphibia of Java and Bali. Research and development Center for
Biology-LIPI, Bogor.
[3] Pratama., M.Y.A., Pahlevi., M.I., Jamaludin., M.A., Hanifa., B.H., Utami., B. 2016.
Preliminary of Anuran Diversity and Their Habitat Preference for Bio Indicator in
Ironggolo Waterfall Ecotourism Area, Besuki, Mojo, Kediri. Seminar Nasional IKIP PGRI
Madiun. Madiun: 27 April 2016
[4] Stebbins, R.C. and Cohen, N. W. 1997. A Natural History of Amphibians. New
Jersey:Princenton University Press. 316 p.
[5] Kusrini, M.D. 2003. Predicting the Impact of the Frog Leg Traden in Indonesia: An
Ecological View of the Indonesia Frog Leg Trade, Emphasizing Javanes Edible Frog
Species. In Kusrini, M.D., Mardiastuti, A., and Harvey, T. (Eds). 2003. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian: Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: IRATA dan
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
181 p.
[6] Careey, C., Heyer, and Rand A.S. 2001. Amphibian decline and Environmental changes:
Use of remote-sensing data to identify environmental correlates. Conservation Biology
15(4): 903-913.
[7] Corn, P. S. 2005. Climate change and amphibians. Animal Biodiversity and Conservation
28(1): 59-67.
[8] Cushman, S.A. 2006. Effects of habitat loss and fragmentation on amphibians: A review and
prospectus. Biological Conservation 128:231-240.
[9] Kusrini, M.D., and Endarwin, W. 2008. Chytridiomycosis in frog Mount Gede Pangrango,
Indonesia. Disease of Aquatic Organisms 87: 187-194.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
52 ISSN: 1978-1520
[10] Stebbins, R.C. and Cohen, N. W. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey:
Princenton University Press. 316 p.
[11] Heyer, W.R., Donnely, M.A., Mc Diarmind, R. W., Hayek, L.C. dan Foster, M.S. 1994
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians.
Smithsonian Institution Press, Washington.
[12]Hamidy, A., Mulyadi dan Isman. 2007. Herpetofauna di Pulau Waigeo (in press). Pp:4.
[13] Hanifa, B.F., N.I.P. Triesita,W. Setyobudi, B. Utami. 2016. Kajian Keanekaragaman dan
Kemelimpahan Ordo Anura Sebagai Indikator Lingkungan Pada Tempat Wisata Di
Karesidenan Kediri. Diprosidingkan di Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam
Seminar Nasional Pendidikan dan Saintek 2016. 21 Mei 2016. ISBN: 2527-533X, volume:
1, No:1,
[14] Kusrini, D.M. 2009. Pedoman penelitian dan Survei Amphibia di Lapangan. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
[15] Krebs, C.J. 1978. Ecologycal Methodology. Harper and Row Publisher. New York.
[16] Brower, J.E. and Zaar, J.H. 1997. Field and Laboratory for General Ecology, W.M.C
Brown Company Publishing, Portugue, IOWA.
[17] Buden, D.W. 2000. The Reptiles of Pohnpei. Federated Stated of Micronesia. Micronesia,
32 (2): 155-180
[18] Kurniati, Hellen. 2008. Jenis-Jenis Kodok Berukuran Besar yang Dapat Dikonsumsi dan
Mampu Berdaptasi Dengan Habitat Persawahaan Di Sumatera. Jurnal Fauna Indonesia.
Vol 8 (1): 6-9.
Mumpuni
Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI
Email: sancoyomumpuni@yahoo.com
Abstrak
Produktivitas kura-kura Elseya rhodini generasi pertama (F1) yang dipelihara dalam kolam
penangkaran Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI telah diamati. Kura-kura yang diamati
berjumlah 25 ekor yang terdiri dari 14 ekor betina dewasa dengan panjang karapas rataan
24,5 cm dan 11 ekor jantan dewasa dengan panjang karapas rataan 19,6 cm. Hasil pengamatan
dari 14 induk betina selama satu tahun diperoleh 21 sarang peneluran terjadi pada periode
Januari April dan Oktober Desember. Jumlah telur tiap sarang dengan rataan 10 butir,
dengan 1-3 kali peneluran pertahun. Berat telur rataan 9,91 gram, diameter panjang rataan
36,60 mm, dan lebar telur rataan 21,26 mm. Keberhasilan penetasan bervariasi 0 - 87 %,
dengan rataan 41,8 %. Kondisi lingkungan pada masa bertelur dengan suhu rataan 28,98 C
dan kelembaban 78,14 %. Tukik yang dihasilkan dari 9 sarang (47 ekor) memiliki berat rataan
5,52 gram dengan panjang karapas rataan 33,05 mm.
PENDAHULUAN
Induk Kura-kura dada merah jambu yang ditangkarkan ini berasal dari daerah Merauke,
Papua yang sebelumnya merupakan jenis Elseya novaeguineae komplek yang penulisan
makalahnya sedang dalam persiapan [2] dan dalam perdagangan dikenal dengan nama ilmiah
sebagai Elseya schultzei. Elseya schultzei sendiri sebelumnya juga dianggap sebagai anak jenis
dari E. novaeguineae [3]. Selanjutnya Thomson, et al. [1] mempertelakan jenis tersebut
berdasar analisis morfologi maupun molekuler sebagai jenis baru tersendiri, yaitu Elseya
rhodini terpisah dengan dua jenis yang ada dalam E novaeguineae komplek sebelumnya E
novaeguineae dan E. schultzei. Thomson, et al. [1] juga menjelaskan bahwa ketiga jenis tersebut
memiliki daerah sebaran yang terpisah di pulau Papua, E. novaeguineae tersebar di daerah
kepala burung dan pulau-pulau di sekitarnya; E. schultzei tersebar di Bagian Tengah Utara dan
E. rhodini tersebar di Bagian Tengah Selatan.
Mengenai biologi dan perikehidupan kura-kura Elseya informasinya masih sangat terbatas
[4][5]. Meskipun demikian perikehidupan beberapa jenis dari marga yang sama di Australia
telah dikemukakan [6]. Informasi mengenai beberapa data biologi E. rhodini tetuanya di kolam
penangkaran sudah dilaporkan sebelumnya [7][8].
Dalam makalah ini dikemukakan beberapa data reproduksi generasi pertama (F1), yaitu
jumlah telur, frekuensi bertelur, keberhasilan penetasan dan pertumbuhan anakan generasi
kedua (F2), yaitu pertambahan bobot badan, pertambahan panjang dan lebar karapas serta
kelainan yang yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan antara tahun September 2014 sampai dengan Desember 2015
menggunakan induk Elseya rhodini generasi pertama (F1) dewasa betina sebanyak 14 ekor dan
11 ekor jantan yang dihasilkan dari sepasang induk. Rataan panjang karapas induk betina 24,5
cm, lebar karapas 18,3 cm. Jantan dengan rataan panjang karapas 19,6 cm dan lebar karapas
14,6 cm. dengan umur bervariasi dari 5 sampai 8 tahun. Penempatan kura-kura dibagi dalam 2
kelompok: 12 ekor betina dan 9 ekor jantan ditempatkan pada kolam secara berkelompok dan 4
ekor ditempatkan pada 2 buah kolam, masing-masing 1 pasang (1 jantan dan 1 betina). Pada
kolam berkelompok selain induk E. rhodini yang diamati, juga terdiri dari 9 ekor jenis yang
sama yang masih muda dan beberapa ekor jenis lain, yaitu E. branderhorsti (1 jantan dan 2
betina), Cuora amboinensis (2 ekor), Cyclemys dentata (2 ekor) dan Trachemys scripta (2
jantan dan 1 betina). Kolam berkelompok berukuran panjang 600 x lebar 160 x tinggi 80 cm
dengan 15 % berupa daratan tanah bercampur pasir. Kolam berpasangan 100 x 160 x 80 cm
dengan 30 % berupa daratan tanah bercampur pasir. Pembersihan kolam dan sekaligus
mengganti air dilakukan 1 minggu sekali, Pemberian pakan berupa pellet ikan koi sehari 2 kali
pagi dan sore. Untuk kura-kura dewasa diberikan pellet dengan diameter 5 mm; pellet diameter
2 mm diberikan untuk tukik/anakan. (Komposisi gizi pellet terdiri dari : protein kasar 21 %;
lemak kasar 3-5 %; serat kasar 4-6 %; abu kasar 5-8 %; kadar air 10-12 %). Ikan cacah segar
diberikan berselang 1-2 minggu sekali. Telur yang dihasilkan oleh induk setiap minggu sekali
diperiksa dengan menggali daratan tanah berpasir dan sekaligus memindahkan telur yang
dihasilkan ke tempat terpisah dan ditanam dalam pasir inkubasi dengan kedalaman sekitar 10
cm. Sedangkan induk yang dipelihara berpasangan telur-telur yang dihasilkan tetap diinkubasi
di tempat semula dimana kura-kura membuat sarang. Telur yang ditemukan dihitung jumlah
masing-masing sarang dan diukur diameter panjang dan lebarnya. Waktu bertelur, menetas,
jumlah telur yang menetas dicatat. Tukik yang menetas ditimbang dan diukur panjang dan lebar
karapasnya dan diulang setiap bulan untuk mengetahui pertumbuhannya. Sebagai kontrol
lingkungan dicatat suhu dan kelembapan lingkungan kolam dengan thermohygrometer digital.
Jika dilihat pada kondisi lingkungan masa bertelur terjadi pada suhu rataan antara 28,98 C
(27,29 30,3C) dan 78,14 % (65,71 83,37 %). Sedangkan pada periode bulan kosong / tidak
terjadi peneluran terjadi bulan Mei September dengan kondisi lingkungan 28,89 C (28,52 -
29,2 C) dan 66,55 % (59,98 71,22 %). Jika dibandingkan antara suhu pada masa bertelur
maupun inkubasi dan masa bulan kosong tidak tampak berbeda tetapi pada kelembapan udara
pada musim bertelur tampak lebih tinggi apabila dibandingkan dengan masa kosong.
Kelembaban udara sangat berkaitan dengan perkembangan embrio dalam telur kura-kura yang
sedang dalam masa inkubasi. Pada umumnya reptil memerlukan kondisi lingkungan dengan
kelembapan lebih tinggi untuk perkembangan embrio dalam telur dengan menimbunnya dalam
tanah atau serasah.
Pertumbuhan anakan
Dari seluruh sarang yang diinkubasi tidak seluruhnya berhasil menetas, keberhasilan
penetasan bervariasi dari 0 sampai 87 %, dengan rataan 41,8 %. Dari pemeriksaan terhadap
telur yang tidak menetas, sebagian besar oleh karena telur tidak dibuahi/ steril Hal ini biasa
terjadi pada induk yang baru permulaan bertelur atau kemungkinan kura-kura jantan yang ada
belum semuanya berhasil membuahi induk betina yang sedang reproduksi aktif.
Anakan yang dihasilkan dari 9 sarang sebanyak 51 ekor, 4 ekor diantaranya mati dalam
sarang. Sedangkan 47 ekor tukik (umur sehari) yang hidup memiliki bobot badan rataan 5,52
gram dengan kisaran 3,68 7,02 gram, dengan panjang karapas rataan 33,05 mm dengan
kisaran 29 36,01 mm dan lebar karapas rataan 29,24 mm dengan kisaran 23,4 33,47 mm.
Sedangkan dari penampilan bobot badan, panjang dan lebar karapas pada umur 10 bulan
dengan rataan berturut-turut adalah 73,06 gram (kisaran 41,4 114,68 gram), 87,55 mm (68,29
126,9 mm) dan 77,9 mm (kisaran 65,9 92,6 mm). Penampilan bobot badan, panjang dan
lebar karapas anakan kura-kura pada berbagai tingkatan umur secara rinci dapat dilihat pada
grafik 2, grafik 3 dan grafik 4. Dari grafik 2, tampak bahwa dalam kurun waktu 10 pertambahan
bobot badan mencolok pada umur 6-8 bulan yaitu 20,8 gram, 18,05 pada umur 8- 10 bulan dan
15,36 gram pada umur 2-4 bulan. Sedangkan pada pertambahan panjang karapas tampak
mencolok pada umur antara 2-4 bulan, 6-8 bulan dan 1-2 bulan masing-masing dengan
pertambahan 15,1 gram, 12,44 gram dan 9,45 gram, demikian pula pertambahan pada lebar
karapas yang mencolok pada umur antara 2-4 bulan, 6-8 bulan dan 1-2 bulan, masing-masing
12,04 gram, 10,62 gram dan 10,04 gram (grafik 3 dan 4). Jika dibandingkan antara pertumbuhan
anakan (F2) dengan tetuanya (F1) sedikit berbeda, pada masa umur 6 bulan pertama,
pertambahan bobot badan F1 mencolok pada umur antara 3-6 bulan dibandingkan umur 1-3
bulan dan pertambahan panjang dan lebar karapas lebih mencolok pada umur 1-3 bulan bila
dibandingkan pada umur 3-6 bulan [8]. Kematian anakan selama pemeliharaan dalam kurun
waktu 10 bulan sebanyak 13 %.
tukik yang dihasilkan oleh tetuanya kejadian anomalinya dengan persentase lebih kecil,
pengamatan lebih lanjut mengenai hubungan keluarga yang dekat dengan anomali keping sisik
perlu dikembangkan lagi. Anomali keping sisik pada kura-kura elseya rhodini ini belum pernah
diungkapkan, meskipun hal ini biasa terjadi pada bangsa kura-kura terutama yang hidup di alam
[9]. Beberapa sebab anomali pada keeping karapas kura-kura antara lain karena pengaruh
negatif dari bahan kimia di kawasan industri, tekanan kawin keluarga serta suhu dan
kelembapan yang kurang optimal [10].
90
80
70
60
50
40
30 suhu ( C)
20
kelembapan (%)
10
0
Grafik1. Suhu dan kelembapan harian lingkungan kolam pada tahun 2015
80
70
Bobot badan (gram)
60
50
40
30
20
10
0
1 hari 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan
Grafik 2. Rataan Bobot badan generasi F2 pada umur 1 hari sampai 10 bulan
100
panjang karapas(mm)
80
60
40
20
0
1 hari 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 8 bulan 10 bulan
Grafik 3. Rataan panjang karapas generasi F2 pada umur 1 hari sampai 10 bulan
100
Grafik 4. Rataan lebar karapas generasi F2 pada umur 1 hari sampai 10 bulan
SIMPULAN
Kura-kura Elseya rhodini generasi pertama (F1) yang dipelihara dalam kolam penangkaran
Cibinong memiliki masa bertelur 5 bulan dari bulan Oktober sampai April dengan frekuensi 0-3
kali, dengan jumlah telur rataan 10 butir/peneluran dan berat telur rataan 9,91 gram /butir. Tukik
umur sehari memiliki rataan bobot badan 5,52 gram, panjang karapas 33,05 mm dan lebar
karapas 29,24 mm. Tukik yang menetas, 45 % dengan susunan dan jumlah keping sisik karapas
abnormal.
Penelitian ini didanai oleh Proyek DIPA KSK Konservasi Eks-Situ, Puslit Biologi-LIPI tahun
Anggaran 2015. Kepada Mulyadi dan Saifudin penulis mengucapkan terima kasih yang telah
merawat kura-kura selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Thomson, S., Y. Amepou, J. Anamiato & A. Georges. 2015. A new species and subgenus
of Elseya (Testudines: Pleurodira: Chelidae) from New Guinea. Zootaxa 4006 (1): 059
082.
[2] Rhodin, A.G.J. & V.R. Genorupa. 2000. Conservation Status of Freshwater Turtles in
Papua New Guinea. Asian Turtle Trade : Workshop on Conservation and Trade of
Freshwater Turtles and Tortoises in Asia. Phnom Penh, Cambodia, 1-4 Desember 1999.
Eds. Van Dijk, P.P.,B.L. Stuart & A.G.J. Rhodin. Chel. Res.Monogr. 2 : 129-136
[3] Artner, H. 2008. The World's Extant Turtle Species, Part 1. Emys, 15, 4-32.
[4] Aulia, M. 2007. An Identification Guide to the Tortoises and Freshwater Turtles of Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Philipines, Singapore and Timor
Leste. Traffic Southeast Asia, Petaling Jaya, Malaysia. 99
[5] Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Palmedia Citra,
Bandung. 191
[6] Cann, J. 1998. Australian Freshwater Turtles. Craft Print Pte Ltd. Singapore. 202.
[7] Mumpuni, 2012. Pertumbuhan Kura-kura Dada Merah Jambu (Myuchelys novaeguineae
schultzei (Voght, 1911) ) di Penangkaran. Fauna Indonesia 11 (1): 11-15
[8] Mumpuni, 2013. Pertumbuhan Kura-kura Dada Merah Jambu (Myuchelys novaeguineae
schultzei (Voght, 1911) ) di Penangkaran (bagian 2). Fauna Indonesia 12 (2):24-28
[9] Bujes, C.S.& L. Verrastro. 2007. Supernumerary Epidermal Shields and Carapace Variation
in Orbignys Slider Turtles, Trachemys dorbigni (Testudines, Emydidae). Revista
Brasileira de Zoologia 24 (3): 666-672
[10] Fernandez, C.A & A.C.Rivera. 2004. Asymmetries and Accessory Scutes in Emys
orbicularis from Northwest Spain. Biologia 59(14): 85-88
Efektivitas Ekstrak Air Daun Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) Terhadap
Larva Aedes aegypti L.
Abstrak
Tujuan dari peneltian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas ekstrak daun Swietenia
mahagoni terhadap larva Aedes aegypti instar kedua dan ketiga, berdasarkan konsentrasi dari
ekstrak daun S. mahagoni dan untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder daun S.
mahagoni. Ekstraksi daun S. mahagoni dilakukan dengan menggunakan pelarut air dan
dianalisis kandungan metabolit sekunder dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air daun S. mahagoni mengandung tanin, saponin,
dan flavanoid. Hasil perhitungan Lethal Concentration 50 dan 90 (LC50 dan LC90) menunjukkan
bahwa LC50 ekstrak air terhadap larva instar kedua dan ketiga secara berurut adalah 9.756
ppm dan 10.899 ppm serta LC90 secara berurut adalah 17.560 ppm dan 18.284 ppm. Ekstrak
daun S. mahagoni efektif terhadap mortalitas larva instar kedua dan ketiga Ae. Aegypti.Ekstrak
daun S. mahagoni lebih efektif membunuh larva instar kedua daripada larva instar ketiga Ae.
Aegypti.
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan di negara tropis termasuk
di Indonesia [1]. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti. Upaya
pengendalian Ae. aegypti telah banyak dilakukan, antara lain dengan cara kimia, fisik, dan
pengendalian hayati. Kontrol kimia telah menjadi upaya pengendalian yang paling banyak
dilakukan sejak tahun 1940 [2]. Namun penggunaan insektisida kimia yang diberikan secara
terus menerus dan intensif dapat menyebabkan resistensi nyamuk Ae. aegypti. Selain itu,
insektisida kimia yang tersebar di lingkungan tidak mudah terdegradasi sehingga residunya
dapat mencemari air, tanah, dan udara serta menurunkan kualitas lingkungan [3]. Untuk
mengurangi pemakaian insektisida kimia, telah banyak penelitian dalam pengendalian nyamuk
yang lebih aman dan berwawasan lingkungan. Salah satu insektisida alternatif yang berpotensi
sebagai pengendali serangga adalah insektisida nabati. Salah satu jenis tanaman yang
mempunyai aktivitas insektisida adalah Swietenia mahagoni (L.) Jacq., dikenal dengan nama
mahoni. Penelitian Adhikari and Chandra menunjukkan bahwa ekstrak daun S. mahagoni
menyebabkan 97% kematian larva instar ketiga Anopheles stephensi pada konsentrasi 80 ppm
setelah 72 jam pemaparan [4]. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas ekstrak air
daun S. mahagoni terhadap larva instar kedua dan ketigaAe. Aegypti dan mengetahui kandungan
metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak air daun S. mahagoni. Manfaat dari hasil
penelitian ini adalah menambah informasi mengenai efektivitas ekstrak air daun S. mahagoni
terhadap larva instar kedua dan ketigaAe. aegypti, sehingga menambah informasi insektisida
nabati dari tanaman lokal daerah. Bagi pemerintah lokal daerah dan instansi terkait, informasi
ini sebagai acuan untuk pengembangan lebih lanjut tanaman S. mahagoni dan tanaman lain yang
berfungsi sebagai insektisida nabati.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014April 2015, Pembuatan ekstrak daun
S. mahagoni dan uji efektivitas dilakukan di Laboratorium Entomologi, Fakultas Biologi UGM.
Identifikasi senyawa metabolit sekunder dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dilakukan di
Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi UGM.
Alat yang digunakan meliputi timbangan semi analitik kapasitas 310 g, gelas ukur 500 mL,
toples kaca 10 L, gelas kimia 1000 L, kertas lakmus, termometer, higrotermometer, serta paper
cup 150 mL. Bahan-bahan yang digunakan antara lain adalah telur Ae. aegypti yang diperoleh
dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Balai
Litbang P2B2) Banjarnegara dan daun S. mahagoniberasal dari kebun mahoni di Sawitsari
Research Station, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada di Sawitsari, Yogyakarta, Pelarut
menggunaan akuades, dan larutan Abate untuk kontrol positif.
Uji Efektivitas Ekstrak Daun Swietenia mahagoni (L.) Jacq. terhadap larva instar ketiga
Larva instar kedua dan ketiga Ae. aegypti mendapat perlakukan yang sama terhadap uji
menggunakan ekstrak air daun S. mahagonidengan konsentrasi 1.000, 7.000, 13.000, dan 19.000
ppm, serta kontrol negatif dan kontrol positif. Pengujian dilakukan dengan tiga ulangan. Metode
pengujian yang dilakukan terhadap larva mengacu pada metode yang dilakukan oleh WHO [8].
Larutan uji sebanyak 100 mL di masukkan paper cup. Pada masing-masing paper cup tersebut
dimasukkan 10 larva Ae. aegypti instar kedua dan ketiga. Pengujian ekstrak daun S. mahagoni
menggunakan dua kontrol, yakni kontrol positif dan negatif. Kontrol positif digunakan 100 mL
Abate 100 ppm dan kontrol negatif digunakan 100 mL akuades Kematian larva diamati setelah
24 jam.
Tabel 1. Kandungan senyawa metabolit sekunder daun Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Ekstrak air
Senyawa Hasil Jumlah
Rf
bercak
Alkaloid
Tanin + 1 0,89
0,36; 0,46;
Saponin + 4
0,61; 0,81
Terpenoid
0,38; 0,46; 0,6;
Flavonoid + 5
0,63; 0,79
Keterangan: (+) mengandung senyawa; (-) tidak mengandung senyawa
Ekstrak air daun S. mahagoni mengandung tiga senyawa yang diujikan yaitu tanin, saponin, dan
flavonoid.
Tabel 2. Analisis statistik kematian larva instar kedua dan ketiga Aedes aegypti L. setelah 24
jam pemaparan ekstrak air daun Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Rerata kematian (%) standar deviasi pada stadium
Kelompok perlakuan/
larva
konsentrasi (ppm)
Instar kedua Instar ketiga
0 0,000,00 0,000,00
1.000 11,670,58 8,331,53
7.000 28,330,58 200,00
13.000 63,331,53 551,00
19.000 98,330,58 93,331,53
Abate (100) 1000,00 1000,00
Ket. : Kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kontrol negatif dengan taraf
nyata 0,05 (Chi square test)
Larva instar kedua lebih rentan terhadap ekstrak air daun S. mahagoni dibandingkan larva
instar ketiga, hal ini dikarenakan individu yang lebih muda memiliki aktivitas makan lebih
banyak dibandingkan individu yang lebih dewasa dalam hal proporsi makan dibandingkan berat
tubuh [9]. Maka, jika makanan kedua individu diberi zat toksik, individu muda menerima dosis
racun lebih tinggi dibandingkan individu yang dewasa. Selain itu, struktur anatomi kutikula
serangga pada larva instar ketiga kemungkinan lebih tebal bila dibandingkan larva instar kedua.
Data hasil pengamatan kematian larva Ae. aegypti setelah 24 jam pemaparan ekstrak air
daun S. mahagoni selanjutnya dianalisis dengan uji Probit untuk menentukan LC50 dan LC90.
Garis regresi probit dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 3. LC50 dan LC90 ekstrak air daun S. mahagoni (L.) Jacq. terhadap larva Ae. aegypti L.
Stadium perkembangan LC50 (ppm) LC90 (ppm)
Instar kedua 9.756 17.560
Instar ketiga 10.899 18.284
8 8
Probit kematian
Probit kematian
Instar kedua Instar ketiga
6y = 12,439x - 44,565 6
4 y4= 11,289x - 40,456
2 2
0 0
0 Log2konsentrasi
4 6 0 Log2 konsentrasi
4 6
Gambar 1. Kurva persamaan regresi linier log konsentrasi ekstrak air daun S. mahagoni dengan probit
kematian larva.
Senyawa aktif ekstrak daun S. mahagoni merupakan racun perut dan racun kontak larva Ae.
aegypti. Aktivitas senyawa saponin dapat menyebabkan rusaknya kutikula. Senyawa saponin
yang berinteraksi dengan lapisan lilin kutikula akan membentuk micell yang menyebabkan
rusaknya lapisan lilin pada kutikula larva, sehingga senyawa toksik dapat masuk dengan mudah
kedalam tubuh larva. Selain itu, saponin juga dapat merusak sistem pencernaan larva dengan
merusak kutikula usus depan dan merusak membran sel epitel usus tengah [10].
Senyawa tanin dapat menurunkan aktivitas makan serangga, selain itu tanin dapat
menurunkan efisiensi penyerapan sari makanan oleh serangga [11]. Senyawa flavonoid dapat
menurunkan aktivitas sistem pertahanan tubuh serangga, yakni dengan menurunkan aktivitas
enzim glutathion S-transferase (GST) [12]. GST merupakan kelompok multifungsional enzim
yang mempunyai mekanisme mengkatalisis konjugasi senyawa elektrofilik dengan gluthation
yang aktif dalam mekanisme pertahanan tubuh serangga terhadap racun yang dapat
menyebabkan kerusakan komponen sel.
SIMPULAN
Ekstrak daun S. mahagoni efektif terhadap mortalitas larva instar kedua dan ketiga Ae. aegypti.
Ekstrak daun S. mahagoni lebih efektif membunuh larva instar kedua daripada larva instar
ketiga Ae. Aegypti.
SARAN
Untuk mengetahui kadar masing-masing senyawa kimia pada daun S. mahagoni, maka perlu
dilakukan analisis senyawa daun S. mahagoni dengan KLT secara kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Lardo, S. 2013. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit. CDK-208/
vol. 40 no. 9. (http://www.kalbemed.com) Diakses April 2014.
[2] Walker, K. 2002. A Review Of Control Methods for African Malaria Vectors.
Environmental Health Project. Washington DC : US. pp. 5-7.
[3] Felsot, A.S. and Racke, K.D. 2007. Chemical Pest Control Technology : Benefits,
Disadvantages, and Continuing Roles in Crop Production System. American Chemical
Society : Washington DC. pp. 4 6.
[4] Adhikari, U. & Chandra, G. 2014. Larvacidal, Smoke Toxicity and Adult Emergence
Inhibition Effects of Leaf Extracts of Swietenia mahagoni Linnaeus against Anopheles
stephensi Liston (Diptera: Culicidae). Asian Pacific Journal of Tropical Disease. S279
S283. doi: 10.1016/S2222-1808(14)60456-4.
[5] Imam, H., Zarnigar, Sofi, G., and Aziz, S. 2014. The Basic Rules and Mathods of Mosquito
Rearing (Aedes aegypti). Dispatches. 4 (1) 53-55.
[6] Kamaraj C., A. Bagavan, G. Elango, A.A. Zahir, G. Rajakumar, S. Marimuthu, T.
Santhoshkumar & A.A. Rahuman. 2011. Larvicidal Activity of Medicinal Plant Extracts
Against Anopheles subpictus&Culex tritaeniorhynchus. Indian J Med Res134, pp 101-106
[7] Biradar, S.R. and Rachetti, B.D. 2013. Extraction of Some Secondary Metabolites & Thin
Layer Chromatography from Different Parts of Centella asiaticaL. (URB). American
Journal of Life Sciences. 1 (6) : 243-247.
[8] Anonim. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides.
WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13. World Health Organization, Geneva, Switzerland.
pp. 5-14.
[9] Hayes, W.J.(Ed). 2011. Hayes Handbook of Pesticide Toxicology. Third edition. Vol 1 &
2. Elsivier Inc. Pp 53-88.
[10] Chaieb, I. 2010. Saponin as Insecticides: a review. Tunisian Journal of Plant Protection. 5:
39-50.
[11] Khanna, V.G. & Kannabiran, K. 2006. Larvicidal Effect of Hemidesmus indicus, Gymnema
sylvestre, and Eclipta prostrata against Culex quinquifasciatus Mosquito larvae. African
Journal of Biotechnology. Vol. 6 (3), pp 307 311.
[12] Abu-Romman, S., Abu-Darwish, M., & Ghabeish, I. 2012. Impact of Flavonoids against
Wolly Apple Aphid, Eriosoma lanegerum(Hausmann) and Its Sole Parasitoid, Aphelinus
mali(Hald.). Journal of Agricultural Science. Vol 4 (2). doi: 10.5539/jas.v4n2p227.
Pengendalian Hama Kutu Loncat (Diaphorina Citri) dan Kutu Daun (Toxoptera
Citricidus) Menggunakan Bahan Aktif Imidakloprid Pada Tanaman Jeruk
Abstrak
Tanaman jeruk Siam (Citrus nobilis) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang
menguntungkan untuk diusahakan. Seiring dengan perkembangan pertanaman jeruk,
peningkatan produktivitas dihadapkan pada berbagai kendala, khususnya organisme
pengganggu tanaman (OPT). Kutu loncat jeruk (Diaphorina citri) merupakan vektor penyakit
Huanglungbing (HLB) dan kutu daun (Toxoptera citricidus), merupakan vektor Citrus Tristeza
Virus (CTV) yang merupakan penyakit penting berbahaya bagi tanaman jeruk. Pengujian
lapang insektisida berbahan aktif imidakloprid terhadap Kutu loncat dan kutu daun pada
tanaman jeruk disusun dalam Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan menggunakan insektisida
imidakloprid dengan konsentrasi 25 mg/l, 50 mg/l, 75 mg/l, 100 mg/l,150 mg/l dan 200 mg/l,
serta satu kelompok perlakuan sebagai kontrol, dengan tiga kali ulangan. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa insektisida imidakloprid pada semua tingkatan konsentrasi efektif
mengendalikan kutu loncat dan kutu daun dengan cepat dan tidak menimbulkan fitotoksisitas
pada tanaman jeruk.
PENDAHULUAN
Tanaman jeruk merupakan salah satu tanaman hortikultura yang menguntungkan untuk
diusahakan karena potensi pasar domestik yang terus berkembang. Seiring dengan pertumbuhan
dan perkembangan pertanaman jeruk, peningkatan produktivitas dihadapkan pada berbagai
kendala, khususnya hama dan penyakit. Beberapa hama yang menyerang tanaman jeruk
terutama pada saat bertunas yaitu kutu loncat (Diaphorina citri), kutu daun (Toxoptera
citricidus).
Kutu loncat jeruk Diaphorina citri merupakan hama penting pada tanaman jeruk.
Keberadaan hama ini pada pertanaman jeruk sangat mengancam kelestarian plasma nutfah jeruk
di Indonesia karena perannya sebagai vektor penyakit CVPD [1]. Penyebaran penyakit akan
cepat bila di sekitar pertanaman jeruk terdapat tanaman jeruk yang sakit. Kutu loncat menyerang
kuncup daun, tunas, dan daun-daun muda. Akibat serangan kutu loncat tunas-tunas muda
keriting dan terhambat pertumbuhannya. Serangan parah mengakibatkan bagian tanaman kering
secara perlahan kemudian mati. Telur-telur biasanya diletakkan secara tunggal atau
berkelompok pada kuncup dan tunas-tunas muda. Dalam satu tahun kutu loncat mampu
menghasilkan 9-10 generasi [2]. Di lapangan apabila populasi tinggi biasanya ditandai dengan
sekresi berwarna putih transparan berbentuk spiral disekitar tunas atau daun [3].
Kutu daun (Toxoptera citricidus) biasanya menyerang tunas dan daun muda dengan cara
menghisap cairan tanaman sehingga apabila populasi tinggi, mengakibatkan daun menjadi tidak
normal pertumbuhannya. Kutu daun ini selain sebagai hama juga sebagai vektor CTV yang
keberadaanya endemik di Indonesia. Populasi hama ini sangat dominan karena dapat
berkembang biak secara vivipar partenogenesis, baik jantan maupun betina dapat menurunkan
keturunan [4]. Kutu ini menyerang daun muda dengan cara menghisap cairan tanaman dan
menyebabkan daun menggulung. Hama ini banyak ditemukan pada permukaan atas dan bawah
daun serta tunas muda.
Insektisida untuk mengendalikan hama pada tanaman jeruk sudah banyak
direkomendasikan. Bahan aktif imidakloprid direkomendasikan penggunaanya untuk
mengendalikan kutu loncat dan kutu daun oleh beberapa produsen. Namun penggunaan
insektisida imidakloprid yang direkomendasikan oleh produsen tersebut seringkali
menimbulkan efek negatif terhadap tanaman jeruk berupa fitotoksisitas pada tanaman, dilain sisi
petani menghendaki pilihan insektisida yang efektif dan cepat dalam pengendalian hama
tanaman jeruk. Untuk itu perlu dilakukan pengujian pengendalian insektisida imidakloprid
terhadap kutu loncat dan kutu daun pada tanaman jeruk pada konsentrasi yang tidak berakibat
negatif pada tanaman jeruk.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dalam bentuk pengujian lapang di kebun jeruk siam petani umur 5
tahun selama 3 - 4 bulan di Ds. Karangnongko, Kec. Poncokusumo. Penelitian disusun
berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan (Tabel 1). Satuan
petak yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu pohon yang berada pada stadia peka
terhadap serangan hama kutu loncat dan kutu daun.
Insektisida imidakloprid didapatkan di toko pertanian setempat, pengambilan dosis
insektisida mengunakan alat pipet tetes, sesuai dengan perlakuan, kemudian diaplikasi pada
tanaman perlakuan menggunakan alat semprot knapsack sprayer merk Swan SA-17 volume
semprot tinggi (500-800 l/ha), dengan interval 1 minggu sekali. Aplikasi dilakukan optimal
sebanyak 8 kali.
Tabel 1. Perlakuan insektisida terhadap hama kutu loncat dan kutu daun pada tanaman jeruk
No Perlakuan Konsentrasi
1. Imidakloprid 25 mg/l
2. Imidakloprid 50 mg/l
3. Imidakloprid 75 mg/l
4. Imidakloprid 100 mg/l
5. Imidakloprid 150 mg/l
6. Imidakloprid 200 mg/l
7. Kontrol Air
Pengamatan pada tanaman yaitu diambil 12 cluster daun sepanjang 10 cm dari kuncup
daun contoh. Untuk hama sasaran dari setiap cluster contoh diamati dan dihitung jumlah
populasi kutu loncat dan kutu daun sehari sebelum dan sehari setelah aplikasi insektisida.
Pengamatan berikutnya dilakukan pada tanaman dan cluster contoh yang sama. Kriteria
insektisida yang diuji dikatakan efektif bila sekurang-kurangnya 1/2 n + 1 kali pengamatan
tingkat efektifitas insektisida (EI) 50%. Untuk mengetahui efektifitas dari insektisida
imidakloprid yang diuji dilakukan analisis kemempanan atau Nilai Proteksi yang dihitung
berdasarkan rumus Abbott [5] sebagai berikut :
Ca - Ta
NP = ( ----------- ) x 100%, dimana
Ca
NP = Nilai Proteksi %
Ca = Jumlah hama pada petak kontrol setelah aplikasi insektisida
Ta = Jumlah hama pada petak perlakuan setelah aplikasi insektisida
Sebagai bahan rekomendasi diamati pula kerusakan tanaman atau fitotoksisitas akibat dari
insektisida yang diuji.
Hasil penelitian, penurunan populasi kutu loncat setelah aplikasi pertama berkisar 89-98%,
dan 72-89% setelah aplikasi kedua. Hal ini menunjukkan bahwa insektisida imidakloprid
mampu menekan populasi kutu loncat dengan cepat. Bahan aktif imidakloprid ini bekerja secara
kontak, lambung, dan sistemik yang menyebabkan kutu loncat setelah menghisap tanaman yang
sudah mengandung insektisida akan mengalami gangguan pada organ tubuh yang
mengakibatkan keracunan dan pada akhirnya menyebabkan kematian [6].
Gambar 1 Populasi Diaphorina citri setelah perlakuan insektisida. SBL = Sebelum aplikasi,
STL = Setelah aplikasi
Hasil kerja bahan aktif yang diuji dapat disimpulkan, bahwa pemakaian insektisida
imidakloprid cukup diberikan 2-3 kali aplikasi. Hal ini untuk menjaga kemungkinan percepatan
proses resistensi. Ada tiga faktor penyebab serangga resisten terhadap suatu insektisida yaitu
peningkatan detoksikasi (menjadi tidak beracun), penurunan kepekaan tempat sasaran
insektisida pada tubuh serangga, dan penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau
integumen serangga [7].
Nilai efikasi (EI) yang ditunjukkan pada perlakuan tingkat konsentrasi insektisida
imidakloprid terhadap kutu loncat jeruk sangat efektif karena dari tujuh kali aplikasi, rata-rata 6
kali menunjukkan nilai efikasi diatas 50% (Tabel 1).
Tabel 1. Nilai efikasi insektisida (EI) terhadap kutu loncat (Diaphorina citri) pada tanaman
jeruk
Melihat efektifitas yang sangat tinggi diharapkan insektisida imidakloprid dapat digunakan
sebagai insektisida alternatif untuk pergiliran pengendalian, sehingga kepekaan kutu loncat
terhadap insektisida tetap tinggi.
Populasi kutu daun setelah perlakuan insektisida imidakloprid tidak menunjukkan
konsistensi, hal ini disebabkan karena persebaran kutu daun pada tanaman jeruk saat percobaan
cenderung sporadis atau mengelompok pada tunas-tunas tertentu dengan persebaran tidak
merata. Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengaruh perlakuan inssektisida imidakloprid
pada kutu daun berpengaruh nyata terhadap penurunan populasi (Gambar 2).
Gambar 2 Populasi kutu daun setelah perlakuan insektisida, SBL = Sebelum aplikasi, STL =
Setelah aplikasi.
Pengamatan populasi kutu daun setelah aplikasi kedua pada petak kontrol menunjukkan
penurunan populasi yang nyata meskipun tidak di lakukan penyemprotan insektisida. Hal ini
disebabkan karena pada saat percobaan berlangsung keberadaan larva musuh alami dari
golongan Coccinellidae pada petak kontrol rata-rata 2-4 ekor/tunas. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa kemampuan 1 ekor larva Coccinellidae mampu memangsa 72-190
ekor/hari [8]. Dengan demikian diduga penurunan populasi kutu daun pada petak kontrol secara
langsung dipengaruhi oleh keberadaan musuh alami Coccinellidae. Famili Coccinellidae
merupakan kelompok predator yang bersifat polifag [2].
Nilai efikasi yang ditunjukkan perlakuan tingkat konsentrasi insektisida imidakloprid
terhadap kutu daun juga efektif karena dari tujuh kali aplikasi, rata-rata minimal 4 kali aplikasi
menunjukkan nilai efikasi diatas 50%.
Tabel 2 Nilai efikasi insektisida (EI) Imidakloprid terhadap kutu daun pada tanaman jeruk
Nilai efikasi insektisida setelah aplikasi ke ......(%)
Konsentrasi Insektisida Ket
1 2 3 4 5 6 7
Imidakloprid 25 mg/l 99.49 100.00 53.13 63.89 100.00 100.00 100.00 7 kali
Imidakloprid 50 mg/l 99.49 100.00 90.63 84.72 100.00 100.00 -600.00 6 kali
Imidakloprid 75 mg/l 99.49 100.00 78.13 81.94 98.00 100.00 100.00 6 kali
Imidakloprid 100 mg/l 99.74 100.00 87.50 87.50 100.00 100.00 100.00 7 kali
Imidakloprid 150 mg/l 94.86 64.03 -518.75 -143.06 54.00 95.24 -11200.00 4 kali
Imidakloprid 200 mg/l -68.12 84.17 -787.50 -238.89 -26.00 100.00 -1000.00 2 kali
Efektifitas dari bahan aktif imidakloprid telah banyak diuji terhadap kelompok homoptera
dan hasilnya efektif. Hal ini dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian sebelumnya dan telah
dianjurkan pada tanaman jeruk [9].
SIMPULAN
Insektisida imidakloprid pada tingkat konsentrasi rendah masih efektif mengendalikan kutu
loncat dan kutu daun pada tanaman jeruk, dan mampu menekan populasi kutu loncat dan kutu
daun dalam waktu yang singkat.Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan tidak menjamin
dapat mengendaliakan hama kutu loncat dan kutu daun jeruk, Insektisida imidakloprid pada
berbagai tingkatan konsentrasi yang diuji tidak menimbulkan fitotoksis pada tanaman jeruk
DAFTAR PUSTAKA
[1] Nurhadi, F.D. Nirmala dan I. Santoso. 1990. Bionomi vektor CVPD, D. citri Kuw. Penel.
Hort. 5 (1): 9-15.
[2]
[3] Nurhadi dan A.M. Whittle, 1988. Pengenalan dan Pengendalian hama dan penyakit
tanaman jeruk. Sub Balithorti Malang. Jakarta: Balithorti Solok Puslit Hortikultura Jakarta.
[4] Roistacher, C.N., Bar-Joseph, M., 1989. Aphid Transmission of CT Virus. Citrograph 74:
117-119.
[5]
[6] Tarumingkeng RD. 1992. Insektisida, sifat mekanisme kerja dan dampak penggunaannya.
Universitas Kristen Krida Wacana.
[7] Untung K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
[8] Istianto M dan L Setyabudi. 1996. Potensi individu Curinus coeruleus Mulsant famili
Coccinellidae sebagai predator Diaphorina citri Kuw. J.Hort. (6): 255-262.
[9] Dwiastuti M.E, A. Triwiratno, O. Endarto, S. Wuryantini, Yunimar, 2004, Pengenalan dan
Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk. Lolitjeruk Badan Litbang Pertanian
Departemen Pertanian.
Abstrak
Telah dilakukan inventarisasi kupu kupu di kawasan wisata Air Terjun Irenggolo Dusun
Besuki Desa Jugo kecamatan Mojo Kabupaten Kediri. Penelitian ini bertujuan untuk
menambah data mengenai keragaman kupu-kupu sebagai dasar acuan pengambilan kebijakan
pengelolaan dan pembangunan kawasan wisata. Metode pengambilan sampel adalah
menggunakan VES (Visual Encounter Survey). Sebanyak 16 spesies telah teridentifikasi di
laboratorium zoologi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Dari total jumlah tersebut sebanyak
43,8% adalah Famili Pieridae, 43,8% Nymphalidae, 6,25% Hesperiidae dan 6,25%
Lycaenidae.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki tingkat endemitas yang tinggi dalam persebaran flora maupun fauna.
Banyak spesies yang mempunyai sebaran terbatas yang hanya dapat dijumpai pada tempat
tertentu saja. Salah satunya kawasan Wisata Air terjun Irenggolo yang terletak di Dusun Besuki,
Desa Jugo Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri Jawa Timur pada ketinggian 1200 m dpl di
gugusan lereng Gunung Wilis (1950 m). Kawasan ini juga merupakan salah satu wisata di
Indonesia yang masih memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi salah satunya adalah kupu-
kupu. Kupu kupu memiliki endemitas mencapai 35 % dari total jumlah spesiesnya[1].
Saat ini, kupu-kupu menghadapi ancaman kepunahan yang disebabkan oleh alih fungsi
lahan di habitatnya [2]. Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai jumlah jenis kupu-
kupu. Di Sumatra di perkirakan tidak kurang dari 1000 spesies kupu-kupu walaupun data
tentang keragaman kupu-kupu di Sumatra belum lengkap. Di Taman Nasional Way Kambas
terdapat 77 spesies, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 185 spesies, dan Taman kupu-kupu
Gita Persada, dan Gunung Betung Lampung 107 spesies [3].
Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia. Kupu-kupu
termasuk dalam ordo Lepidoptera, yakni serangga yang sayapnya ditutupi oleh sisik. Kupu-
kupu merupakan bagian kecil (sekitar 10%) dari 170.000 jenis Lepidoptera yang ada di dunia
dan jumlah jenis kupu-kupu yang telah diketahui di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar
13.000 jenis, dan mungkin beberapa ribu jenis lagi yang belum dideterminasi[4].
Kupu-kupu salah satu fauna yang terdapat di kawasan wisata Irenggolo yang memiliki
peran dalam perubahan lingkungan seperti sebagai indikator perubahan lingkungan dan
monitoring perubahan habitat sebab perubahan lingkungan akan berdampak pada keberadaan
kupu-kupu itu sendiri. Kupu-kupu mulai banyak diteliti karena memiliki manfaat sebagai
bioindikator lingkungan. Bioindikator menunjukkan adanya kaitan antara kondisi faktor biotik
dan abiotik lingkungan. Di dalam ekosistem kupu-kupu juga memiliki peranan penting yaitu
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2016 di Kawasan Wisata Air
Terjun IrenggoloDusun Besuki Desa Jugo Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri. Pengambilan
sampel dilakukan setiap satu kali dalam satu bulan pada waktu pagi hari mulai pukul 06.30 -
11.00 pengambilan sampel dilakukan ditaman dan sepanjang jalan menuju air terjun.
Pengambilan sampel menggunakan metode VES (Visual Encounter Survey). Kupu-kupu yang
telah tertangkap kemudian difoto dan diidentifikasi berdasarkan morfologinya menggunakan
beberapa kunci determinasi [4][6]. Jika ditemukan jenis kupu-kupu yang belum teridentifiksai,
maka kupu-kupu dimasukkan ke dalam papilot dan diidentifikasi di laboratorium zoologi
Universitas Nusantara PGRI Kediri mengacu pada kunci determinasi An Introduction of Insect
(Borror). Kupu-kupu yang telah diidentifikasi dijadikan insektarium sebagai koleksi.
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan pada area taman di irenggolo sebanyak 16
spesies dari 4 famili yang telah teridentifikasi. Dari hasil yang didapatkan Famili Pieridea dan
Famili Nymphalidae merupakan Famili yang mendominasi kawasan irenggolo. sesuai data
diatas sajikan dalam diagram dan tabel sebagai berikut.
Jumlah pesies kupu-kupu di kawasan wisata Air Terjun Irenggolo dapat dikatakan tinggi.
Hal ini karena di irenggolo memiliki beberapa tipe habitat yang didukung oleh kemelimpahan
tanaman pada area tersebut. Keberadaan spesies kupu-kupu dipengaruhi oleh keberadaan
tumbuhan inang yang menjadi pakan bagi ulat dan kupu-kupu. Kondisi kawasan wisata dengan
berbagai macam tumbuhan yang relatif baik menjadi faktor penting yang menyebabkan
tingginya jumlah spesies di kawasan tersebut.
Dengan mengetahui jenis-jenis kupu-kupu di Kawasan Wisata Air Terjun irenggolo maka
selanjutnya dapat dilakukan pengembangan pengelolaan keanekaragaman jenis melalui
perlindungan jenis kupu-kupu dan pengelolaan habitat kupu-kupu. Pengelolaan
keanekaragaman jenis kupu-kupu dapat mencakup sosialisasi jenis-jenis kupu-kupu yang ada di
Kawasan Wisata Air Tejun Irenggolo serta statusnya dan pelarangan segala bentuk
penangkapan maupun perburuan jenis kupu-kupu, khususnya kupu-kupu yang dilindungi dan
jenis endemik. Pengelolaan habitat kupu-kupu mencakup penjagaan kelestarian habitat,
perbaikan habitat seperti penambahan penanaman jenis tanaman inang, tanaman penghasil
nektar jika diperlukan dan pelarangan penebangan jenis vegetasi yang sudah ada. Vegetasi ini
diharapkan menjadi bagian dari habitat pakan dan berlindung bagi jenis kupu-kupu.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di Wisata Air Terjun Irenggolo Dusun Besuki Desa Jugo
Kecamatan mojo Kabupaten Kediri sebanyak 16 spesies yang telah teridentifikasi dari 4 famili
kupu-kupu. Jumlah spesies kupu-kupu yang tinggi mengindikasikan bahwa Kawasan Wisata Air
Terjun Irenggolo memiliki potensi yang bagus untuk dikelola dan dikembangkan sebagai
kawasan wisata yang bersifat edukatif. Keberadaan kupu-kupu yang beraneka ragam didukung
dengan tersedianya habitat dan dan sumber pakan. Maka pengelolaan vegetasi yang lebih baik
dapat menunjang kelestarian kupu-kupu.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Peggie, Djunijanti, 2011, Precious And Protected Indonesian Butterflies, PT Binamitra
Megawarna, Jakarta.
[2] Soehartono et al, 2003, Pelaksanaan Konvensi Cites di Indonesia, Japan International
Cooperation Agency, Jakarta
[3] Soekardi, 2007, Kupu-kupu di Kampus Unila, Penerbit Universitas Lampung. Lampung
[4] Peggie, et al.2009, Practical Guide to The Butterflies of Bogor Botanic Garden, LIPI,
Bogor.
[5] Borror, et al. 1954, An Introduction to The Study of Insect, Library of CongresCatalog card
Number : 54-5398, United States of America
[6] Peggie Dj, 2010. Kupu-kupu, keunikantiadatara, Peipusat.org-perhimpunanEntomologi
Indonesia: 1 hlm. http://peipusat.org/?news&aksi=lihat&id=21, 2016-08-14.
[7] Suhara, 2009. EkologiThe Relationship between organism and their environment.
http://www.Learnaboutbutterflies.com/Ecology.htm. 18 Agustus 2016
Abstrak
Irenggolo merupakan kawasan wisata dengan flora fauna yang beragam. Satwa yang paling
banyak ditemukan adalah kelas insecta atau serangga. Penelitian ini bertujuan untuk
meanambah informasi data capung yang ada di kawasan wisata air terjun Irenggolo. Data ini
kemudian akan dijadikan sebagai acuan untuk mengembangkan kawasan wisata yang berbasis
konservasi. Penelitian dilakukan selama bulan April- Juni 2016 dengan metode VES (Visual
Encounter Survey) menggunakan alat insect net. Wilayah penelitian meliputi aliran sungai
bawah, air terjun, dan jalan menuju air terjun. Dalam penelitian ini telah teridentifikasi lima
jenis capung yaitu Orthetrumsabina, Trithemisfestiva, Tholymistillarga, Calopteryxmaculata,
dan Coenagrienhastulatum. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kondisi
ekosistem. Kawasan Wisata Air TerjunIrenggolo Kediri masih cukup bagus sebagai habitat
capung, kondisi tersebut terbukti dari dapat ditemukannya capung dari famili yang berbeda-
bedayaitu tiga spesies capung dari famili Libellulidae, satu capung dari famili Calopterygidae,
dan satu capung dari famili Coenagionidae.
PENDAHULUAN
Capung merupakan salah satu insecta yang dapat ditemukan di Indonesia. Capung pada
suatu ekosistem menempati posisi penting dalam rantai makanan terutama pada habitat perairan
[1]. Dalam bidang pertanian capung mampu menekan populasi serangga yang berpotensi
sebagai hama pertanian dan vektor penyakit [2],[3],[4]. Capung merupakan serangga karnivor
yang memangsa serangga-serangga kecil seperti ulat, kutu daun, wereng, nyamuk, jentik-jentik,
bahkan kupu-kupu. Nimfa capung hidup di air selama beberapa bulan hingga tahun dan sensitif
terhadap kondisi air tercemar, sehingga dapat dijadikan indikator pencemaran air [5].
Menurunnya populasi capung menandakan tahap awal pencemaran air, disamping tanda lain
yang berupa kekeruhan air dan melimpahnya ganggang hijau [1].
Capung tersebar di wilayah pegunungan, sungai, rawa, danau, sawah, hingga pantai.
Tercatat ada lebih dari 5000 spesies yang tersebar di seluruh dunia dan sekitar 700 spesies di
Indonesia [5]. Tidak ada satupun jenis capung yang hidup di laut, namun ada beberapa jenis
yang tahan terhadap kadar garam [2]. Dalam siklus hidupnya capung termasuk serangga yang
mengalami metamorfosis tidak sempurna [6]. Setelah kopulasi capung bertelur dalam air atau
disisipkan pada tanaman air, kemudian menetas menjadi larva yang disebut nimfa. Beberapa
jenis Odonata menyukai air yang menggenang untuk menaruh telurnya, beberapa jenis yang
lainnya menyukai air yang agak deras [7].
Irenggolo merupakan salah satu tempat wisata yang ada di Kabupaten Kediri, tepatnya di
Dusun Besuki Desa Jugo Kecamatan Semen. Area wisata ini terdiri atas taman, kolam, ladang,
sungai, air terjun dan sebagian wilayahnya adalah hutan. Irenggolo berada di ketinggian 1200
mdpl di gugusan lereng gunung Wilis. Wisata air terjun irenggolo memiliki beraneka flora yang
beragam. Secara umum di kawasan wisata air terjun Irenggolo masih cukup banyak dijumpai
pohon-pohon besar yang penting dalam menjaga keberadaan sumber- sumber air yang ada
disekitarnya. Lingkungan tersebut merupakan habitat yang sesuai untuk perkembang biakan
capung.Wisata irenggolo memiliki wilayah sungai berarus tenang hingga deras dengan naungan
pohon tinggi. Beberapa capung memiliki persebaran mulai dari dataran rendah sampai dataran
tinggi. Sering dijumpai di perairan atau di tepi hutan dan perkebunan, serta di timbunan sampah
organik dan serasah yang mulai mengering di sekitar perumahan atau kebun [5].
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2016 di Kawasan Wisata Air
Terjun Irenggolo. Area penelitian meliputi jalan menuju air terjun, sungai bawah, air terjun
dengan metode VES (Visual Encounter Survey) menggunakan insect net, botol koleksi, kamera,
jarum, styrofoam dan kloroform. Capung yang tertangkap dimasukan dalam botol koleksi.
Untuk menjaga agar capung tidak rusak, capung disuntik dengan kloroform sebanyak 0,1 ml
pada bagian thorax. Identifikasi capung hingga tahap spesies dilakukan di laboratorium Zoologi
Universitas Nusantara PGRI Kediri dengan menggunakan kunci determinasi serangga
[2],[5],[8],[9],[10]. Agar spesimen dapat diamati dalam jangka waktu yang lama, maka dibuat
insectarium sederhana pada sterofoam.
Berdasarkan hasil penelitian telah diidentifikasi 5 jenis capung yang temasuk dalam 3
famili yang berbeda, yaitu:
1. FamiliLibellulidae
Famili ini memiliki ciri khusus abdomennya cenderung melebar dan tipis [5]. Famili ini
berkembang biak terutama di perairan yang masih bersih, meskipun larva dari beberapa
spesies menyukai sungai. Larva beberapa spesies bersembunyi di antara serasah
bawah,kolam atau danau, sebagian kecil larva yang lain lebih aktif beradaptasi diantara
tumbuhan. Banyak spesies dari famili Libellulidae dapat berkembang di perairan dengan
kadar oksigen terlarut rendah dan beberapa spesies menempati habitat air payau. Beberapa
spesies dari famili ini mampu terbang bermigrasi [11].
Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 3 Spesies dari famili Libellulidae yaitu:
a. Orthetrumsabina
Ciri morfologi: mata majemuk berwarna biru kehijauan, abdomen berukuran panjang
30- 35 mm, ruas abdomen 1-3 berwarna hujau kekuningan dengan garis hitam.
Sintoraks hijau kekuningan dengan 6 garis hitam disetiap sisi sampingnya, sedangkan
panjang sayap belakangnya 30- 35 mm [5].
Kebiasaan: aktif saat pagi sampai sore hari. Sering ditemui terbang di atas tanaman
air, rumput- rumputan serta area persawahan. Memilki persebaran yang luas dan dapat
dijumpai sepanjang tahun. Spesies ini sangat adaptif, dapat hidup di lingkungan air
yang kurang bagus dan hidup soliter [5]. Capung ini berkembang biak di air yang tidak
mengalir atau yang alirannya lambat, terdapat hingga ketinggian 2500 mdpl [2]. Pada
penelitian ini, capung jenis tersebut dijumpai di sekitar jalan menuju air terjun terutama
di rumput- rumputan.
Gambar 1.Orthetrumsabina
b. Trithemisfestiva
Ciri morfologi: seluruh tubuh hewan jantan berwarna biru tua keabu-abuan, mata
majemuk berwarna coklat kehitaman dibagian atas, biru dibagian bawah [5]. Tidak
terdapat garis hitam pada sintoraks. Panjang abdomen 22- 28 mm serta kedua sayapnya
transparan dengan venasi hitam, dipangkal sayap terdapat bercak cokelat kemerahan
dan panjang sayap belakang 26- 33 mm [9].
Di irenggolo, capung jenis ini dapat ditemui disekitar batu dekat aliran bawah air
terjun. Kebiasaan: capung ini mempunyai kebiasaan hinggap di bebatuan, permukaan
tanah, dan tanaman dekat perairan [5]. Umumnya dijumpai pada sungai dengan arus
rendah dan kanal [9].
Gambar 2.Trithemisfestiva
c. Tholymistilarga
Ciri morfologi: memilki ukuran tergolong sedang dalam famili Libellulidae. Panjang
abdomen 28- 33 mm dan panjang sayap belakang 33- 37 mm. Sayap depan transparan
dengan venasi hitam dan bercak cokelat tipis di dekat pangkal.Pada pangkalsayap
belakang terdapat warna kecokelatan.memanjang hingga bagian sayap. Tanpa bercak
putih.
Kebiasaan: siang hari capung ini hinggap ditempat teduh, hinggap di juluran daun,
batang tanaman, atau rerumputan dekat perairan dan lebih diam. capung ini memiliki
pola terbang lurus dan kembali lagi ke titik semula serta jangkauan terbangnya luas.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
76 ISSN: 1978-1520
Dapat ditemukan di tempat terbuka seperti kolam atau aliran sungai [5]. Siang hari
dapat dijumpai di sekitar rerumputan dan tanaman air.Pada penelitian ini, capung jenis
tersebut dijumpai di jalan menuju air terjun hinggap pada daun tanaman yang berada di
tebing sebelah kanan
2. Famili Calopterygidae
Kelompok capung jarum yang berukuran relatif besar, sayapnya memiliki dasar yang
makin menyempit tetapi tidak bertangkai seperti sayap famili lainnya. Seringkali terdapat
di sepanjang aliran sungai yang bersih dan deras [6]. Pada penelitian ini ditemukan 1
Spesies dari family Calopterygidae yaitu Euphaea variegate. Pada penelitian ini capung
jenis tersebut dijumpai hinggap pada tumbuhan yang berada di tebing kanan jalan menuju
air terjun. Jenis ini memilki jarak terbang yang tidak begitu jauh. memiliki ciri morfologi
panjang abdomen 35 mm berwana hitam dengan 9 ruas, sayap belakang 27 mm dan sayap
depan 30 mm.sayap belakang berwarna hitam hingga biru keunguan metalik pada bagian
tengah sampai tepi dan pangkal berwana transparan dengan venasi hitam. Sayap depan
berwarna transparan pada pangkal dan hitam pada bagian tengah sampai tepi dengan venasi
hitam.
Gambar 3.Euphaeavariegata
3. FamiliCoenagrionidae
Kelompok capung jarum yang selalu menahan sayap- sayapnya rapat di atas tubuhnya saat
istirahat. Anggota famili ini merupakan penerbang yang lemah. Mereka secara luas
terdapat di habitat tertentu seperti rawa- rawa, kolam dan alran air tapi tidak pada sungai
beraliran deras [6]. Pada penelitian ini ditemukan 1 Spesies dari family Coenagrionidae
yaitu Coenagrien hastulatum. Lokasi ditemukannya spesies tersebut pada aliran bawah air
terjun hinggap pada batuan tepi aliran. Memiilki cirri morfologi sayap berwarna transparan
dengan venasi hitam sedangkan pangkal sayap depan dan belakang berwarna kecokelatan
hanya pada sisi tepi atas abdomen berwarna hitam memiliki 9 ruas.
Gambar 4.Coenagrienhastulatum
SIMPULAN
Dari hasil studi pendahuluan ini dapat disimpulkan bahwa kawasan wisata air terjun Irenggolo
memiliki wilayah perairan yang masih bagus terlihat dari spesies-spesies capung yang
didapatkan. Lebih jauh lagi, kawasan wisata Air Terjun Irenggolo memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi laboratorium alam. Oleh sebab itu, pemeliharaan keanekaragaman flora
menjadi sangat penting mengingat flora atau vegetasi merupakan habitat bagi serangga, dalam
hal ini adalah capung.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suriana et al. 2014. Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo,
Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
Jurnal Biowallacea vol. 1 (1): 49- 62
[2] Susanti. 1998. Panduan lapangan mengenal capung. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor
[3] Wakhid et al. 2014. Kelimpahan Populasi Capung Jarum (Zygoptera) di Kawasan Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. Jurnal Bioslogos vol. 4 (2): 41- 47
[4] Pamungkas. 2015. Keragaman jenis capung dan capung jarum (Odonata) di beberapasumber
air di Magetan, Jawa Timur. Pros SemNas Masy Biodiv Indonvol 1 (6): 1295- 1301
[5] Feriwibisono et al. 2013. Naga Terbang Wendit Keanekaragaman Capung Perairan Wendit,
Malang, JawaTimur. Indonesia Dragonfly Society, Malang
[6] Patty. 2006. Keanekaragaman Jenis Capung (odonata) di Situ Gintung Ciputat, Tangerang.
Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah
[7] Ansori. 2008. Keanekaragaman Nimfa Odonata (Dragonflies) di Beberapa Persawahan
Sekitar Bandung Jawa Barat. Jurnal Exacta, Vol 6 (2): 42- 50
[8] Borror Donald, Delong, D wight N. 1954. An Introduction to The Study of Insect.
library of congress catalog card number: 54- 5398. United states of america
[9] Andrew, R.J., Subramaniam, K. A. &Tiple, A. D. 2008. Common Odonates of Central
India.E-book for The 18th International Symposium of Odonatology", Hislop College,
Nagpur, India.
[10] Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. 1991.
Konisius, Yogyakarta
[11] kiany. 2009. The Dragonfly Family Libellulidae (Insecta: Odonata: Anisoptera) of Shiraz
and its Vicinity (Fars Province, Iran). Journal Iran Agricultural Research.Vol. 28 No. 1
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh telah dikembangkannya teknik pengendalian hama terpadu
konvensional yang mengacu pada hubungan antara tanaman, hama, dan musuh alaminya yaitu
serangga predator. Peneliti ingin mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan serangga
predator musim penghujan yang terdapat pada pertanaman hortikultura di kecamatan Wates,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi dan studi
dokumen. Teknik analisis yang digunakan yaitu indeks keanekaragaman spesies Shanon (H),
sebaran keanekaragaman Shanon (E), serta kelimpahan relatif (KR). Hasil penelitian ini
adalah (1) keanekaragaman serangga predator tertinggi di JT H= 1,452; TR H= 1,371; DW
H= 1,293 dan terendah JH H= 0,598. (2) kelimpahan relatif jenis (KR) tertinggi JH spesies
Lasius fuliginosus (KR= 86,28%), JT spesies Cicindela (Cosmodela) aurulenta juxtata (KR=
50,47%), TR spesies Dolichoderus thoracicus (KR= 43,06%), dan DW spesies Oecophylla sp.
(KR= 50,72%).Berdasarkan data yang telah didapatkan oleh peneliti, faktor suhu, kelembaban,
dan pH tanah mempengaruhi jenis serangga yang ditemukan dari lokasi pengambilan sampel.
PENDAHULUAN
Wates merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur yang terletak
pada ketinggian antara 225 meter dpl, dengan temperatur udara ratarata berada dalam interval
2530 C [1]. Kondisi wilayah yang demikian dimanfaatkan oleh penduduk sebagai area
pertanian. Jenis tanaman yang diusahakan yaitu tanaman pangan terutama jenis tanaman
hortikultura, seperti tanaman sawi, kacang panjang, mentimun, tomat, terong, petai, cabai merah
besar, dan cabai rawit.
Kebutuhan akan komoditas hortikultura dimasyarakat saat ini sangat tinggi. Melihat
kenyataan tersebut, diperlukannya inovasi dalam produksi pertanian yang diharapkan mampu
menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas lebih tinggi.
Inovasi produksi pertanian salah satunya adalah penanggulangan hama tanaman pertanian
dengan penggunaan pestisida atau insektisida. Namun, ada masalah yang ditimbulkan yaitu
hama/ penyakit yang lebih kompleks akibat resistensi hama.
Permasalahan tersebut mendorong dikembangkannya teknik pengendalian hama terpadu
konvensional yang mengacu pada hubungan antara tanaman, hama, dan musuh alaminya yaitu
serangga predator[2].
Serangga predator dapat ditemukan baik di perkebunan, ladang, persawahan, serta dialam
bebas. Namun jenis dan kelimpahannya berbeda-beda sesuai dengan habitat masing-masing
serangga, serta faktor pengaplikasian insektisida di habitat tersebut. Ekosistem alami memiliki
keanekaragaman yang tinggi dibandingkan ekosistem pertanian[3 dalam 4].
METODE PENELITIAN
Tabel 1. Jumlah individu (N) dan jumlah jenis (S) yang ditemukan pada masing-masing lokasi
pengambilan sampel di wilayah Joho-Tomat (JHR), Joho-Terong (JHR), Janti-Cabai
(JTC), Janti-Kacang Panjang (JTK), Tempurejo-Cabai (TRC), Tempurejo-Buncis
(TRB), Duwet-Cabai (DWC), dan Duwet-Terong (DWR).
JHT JHR JTC JTK TRC TRB DWC DWR
Ordo/ Famili
N S N S N S N S N S N S N S N S
Coleoptera
Carabidae 10 2 14 1 6 1 3 3 3 1
Cicindelidae 14 1 36 1 18 1
Staphylinidae 4 1 1 1 1 1 1 1
Dermaptera
Forficulidae 1 1
Diptera
Asilidae 1 1 1 1
Syrphidae 1 1
Hemiptera
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
80 ISSN: 1978-1520
Reduviidae 1 1 2 1 8 1
Hymenoptera
Formicidae 8 1 800 2 15 1 6 1 19 1 12 1 50 2 123 2
Vespidae 2 1
Odonata
Aeshnidae 2 1
Orthoptera
Gryllidae 1 1 61 1 10 1 6 1 10 1 16 1 3 1 27 1
Jumlah 22 6 889 5 64 5 43 7 31 4 41 8 53 3 154 5
Jumlah
1297
Individu
Berdasarkan data penelitian Tabel 1 diperoleh jumlah sebanyak 7 ordo, 11 famili, dan 19
spesies (data tabel 2) dari 1297 individu serangga predator diseluruh lokasi pengambilan sampel
di wilayah Kecamatan Wates.
Tabel 2. Jumlah individu (N), indeks keanekaragaman Shannon (H'), dan kelimpahan relatif
Jenis (KR) pada lokasi pengambilan sampel di wilayah Joho (JH), Janti (JT),
Tempurejo (TR), dan Duwet (DW).
JH JT TR DW
Famili/ Jenis KR KR KR KR
N H' N H' N H' N H'
(%) (%) (%) (%)
Carabidae
Amblygnathus
15 0,068 1,65
sp.
Chlaenius
(Ocibatus) 6 0,162 5,61
aspericollis
Chlaenius
1 0,059 1,39 3 0,061 1,45
bimaculatus
Macrocheilus
1 0,059 1,39
tripustulatus
Mochtherus sp. 1 0,059 1,39
Spesies 1 9 0,046 0,99
Cicindelidae
Cicindela
(Cosmodela)
54 0,345 50,47
aurulenta
juxtata
Lophyra
(Lophyra) 14 0,064 1,54
fuliginosa
Staphylinidae
Cryptobium
4 0,123 3,74 2 0,1 2,78 1 0,026 0,48
fracticorne
Forficulidae
Forficula
1 0,007 0,11
auricularia
Asilidae
Leptogaster 1 0,044 0,93 1 0,059 1,39
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 81
miegan
Syrphidae
Syrphidae sp. 1 0,059 1,39
Reduviidae
Oncerotrachelus
3 0,100 2,80 8 0,244 11,11
acuminatus
Formicidae
Dolichoderus
22 0,090 2,41 21 0,32 19,63 31 0,363 43,06 25 0,255 12,08
thoracicus
Lasius
786 0,127 86,28 43 0,326 20,77
fuliginosus
Oecophylla sp. 105 0,344 50,72
Vespidae
Polistes sp. 2 0,074 1,87
Aeshnidae
Aeshna sp. 2 0,013 0,22
Gryllidae
Metioche sp. 62 0,183 6,81 16 0,284 14,95 26 0,368 36,11 30 0,28 14,49
Total Individu
dalam Populasi 911 107 72 207
(N)
Total Spesies
dalam Populasi 8 8 9 6
(S)
Jumlah Subtotal
0,598 1,452 1,371 1,293
H'
H' Tertinggi 0,183 0,345 0,368 0,344
KR Tertinggi 86,28 50,47 43,06 50,72
Faktor suhu dan kelembaban juga mempengaruhi jenis serangga yang dapat hidup
didaerah tersebut. Pada kondisi suhu tinggi 37,3C dan kelembaban relatif rendah 73,8% di
Desa Duwet, serangga predator yang dapat ditemukan hanya didaerah tersebut adalah
Oecophylla sp. Sedangkan pada kondisi suhu relatif rendah 33C dan kelembaban tinggi
85,6% di Desa Tempurejo, serangga predator yang dapat ditemukan hanya didaerah tersebut
adalah Macrocheilus tripustulatus, Mochtherus sp., dan Syrphidae sp.
Pada seluruh jenis tanaman dengan kondisi pH tanah, suhu, dan kelembaban yang
bervariasi memiliki jenis serangga predator yang sama yaitu spesies Dolichoderus thoracicus
dan Metioche sp. masing-masing dari dua famili yang berbeda.
SIMPULAN
SARAN
Pada penelitian ini, peneliti hanya mencari keanekaragaman dan kelimpahan serangga predator
musim penghujan yang terdapat pada pertanaman hortikultura di Kecamatan Wates, Kabupaten
Kediri, Jawa Timur dengan membandingkan data fisika kimia berupa suhu, kelembaban udara,
dan pH tanah. Faktor lain seperti jenis vegetasi disekitar pertanaman hortikultura yang diteliti,
penerapan teknik pemeliharaan lahan, jenis pupuk yg digunakan, serta teknik pengolahan lahan
dengan atau tanpa pengaplikasian insektisida belum menjadi kajian dalam penelitian ini.
Penelitian selanjutnya agar dapat mengidentifikasi faktor pendukung lain sehingga diperoleh
hasil yang lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] BPP Wates. 2015. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Wates Kabupaten Kediri Tahun
Anggaran 2015. Wates: BPP Wates.
[2] Paul V. M. dan Nguyen T.T.C. 2004. Semut Sahabat Petani: meningkatkan hasil buah-
buahan dan menjaga kelestarian lingkungan bersama semut rangrang (Alih bahasa oleh:
Subekti Rahayu). World Agroforestry Centre (ICRAF), 61 pp.
[3] Agus YH. 2007. Keanekaragaman Collembola, Semut dan Laba-Laba Permukaan Tanah,
Disertasi, Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
[4] Herlinda, S., Waluyo, Estuningsih, S.P., Irsan, C. 2008. Perbandingan Keanekaragaman
Spesies dan Kelimpahan Arthropoda Predator Penghuni Tanah di Sawah Lebak yang
Diaplikasi dan Tanpa Aplikasi Insektisida. J. Entomol. Indon., September 2008, Vol. 5(2):
96-107.
Abstrak
Eceng gondok (Eihhornia crassipes) merupakan gulma perairan yang pertumbuhannya sangat
cepat sehingga dapat mengganggu ekosistem perairan. Eceng gondok berpotensi untuk
dijadikan pakan tambahan ternak ruminansia karena kandungan proteinnya yang tinggi, akan
tetapi kandungan serat kasar yang sulit dicerna oleh hewan ternak juga tinggi. Pengolahan
Eceng gondok melalui fermentasi menjadi pakan ternak telah berhasil dilakukan dan
diimplementasikan pada Domba. Mengingat di lingkungan terdapat gulma lain di perairan
seperti kangkung dan limbah lain seperti ampas tahu yang punya potensi untuk dimanfaatkan
maka perlu dlakukan pengolahan.. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pengolahan pakan
campuran berbahan baku campuran Eceng gondok, kangkung dan ampas tahu. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kualitas pakan hasil fermentasi tersebut.
Jenis penelitian adalah eksperimental dengan satu variabel manipulasi yaitu konsentrasi
campuran tiga bahan baku pakan yang diformulasi menjadi 3 jenis ransum yaitu ransum I
(eceng gondok 35%, rendeng kangkung 35% dan ampas tahu 30%), rnasum II (eceng gondok
30%, rendeng kangkung 35% dan ampas tahu 35%) , ransum III (eceng gondok 35%, rendeng
kangkung 30% dan ampas tahu 35%) Berdasarkan analisis proksimat yang dilakukan pada
ketiga ransum pakan tersebut diperoleh hasil bahwa ransum III mempunyai kualitas yang
terbaik dibandingkan kedua ransum lainnya.
Kata kuncikualitas pakan hasil fermentasi, eceng gondok, ampas tahu, rendeng kankung
PENDAHULUAN
Eceng gondok dan kangkung air merupakan gulma liar yang banyak terdapat di badan-
badan perairan seperti sungai, danau maupun kolam. Keberadaannya di badan perairan dapat
menimbulkan efek negatif yang serius pada ekosistem perairan jika tidak dikelola dengan baik.
Eceng gondok dan kangkung air tumbuh menutupi permukaan air dan tumbuh serta menyebar
secara cepat. Hal ini dapat mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan sehingga
menyebabkan tumbuhan air yang terdapat di dalamnya tidak dapat berfotosintesis. Akibatnya
terjadi penurunan produktivitas ekosistem perairan yang berakibat turunnya ketersediaan
pasokan makanan bagi hewan-hewan air.
Banyak usaha dilakukan untuk memanfaatkan gulma perairan ini, antara lain adalah usaha
menggunakan eceng gondok sebagai pakan ternak unggas, seperti itik [1]. Terbukti bahwa telur
itik yang salah satu unsur pakannya adalah eceng gondok, dapat menghasilkan kualitas telur
yang kadar proteinnya tinggi [2]. Pemanfaatan lain dari eceng gondok adalah sebagai pakan
ikan nila merah [3]. Kangkung air banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai jenis
sayuran dan juga digunakan sebagai rendeng kangkung untuk pakan ternak.
Berbagai cara telah ditempuh untuk mengubah eceng gondok dan kangkung menjadi bahan
pakan yang bernilai gizi baik dan mudah dicerna. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
menggunakan teknologi fermentasi. Dengan teknologi ini, protein kasar yang terdapat di dalam
eceng gondok dan kangkung akan berubah menjadi dipeptida dan asam amino yang siap serap
apabila berada di dalam sistem pencernaan hewan. Fermentasi terhadap Eceng gondok telah
dilakukan dan hasilnya telah dimanfaatkan sebagai pakan ternak Domba yang hasilnya dapat
meningkatkan biomasa Domba [4]. Berbagai jenis mikrobia digunakan dalam teknik fermentasi
eceng gondok dan kangkung, yang meliputi Aspergillus niger, berbagai jenis mikrobia
sellulolitik, proteolitik dan berbagai jenis probiotik. Terbukti bahwa fermentasi bahan pakan
dari bahan tumbuhan dengan bantuan berbagai mikrobia dapat menghasilkan pakan ternak
dengan kandungan protein tinggi dan mudah dicerna.
Ampas tahu juga merupakan limbah padat pabrik tahu yang pemanfaatannya belum
maksimal. Hal yang lazim dilakukan adalah tanpa pemrosesan lebih lanjut, ampas tahu langsung
digunakan sebagai pakan ternak, bail unggas maupun ruminansia. Ampas tahu mempunyai
kandungan gizi yang tinggi seperti protein sampai 17 % dan karbohidrat sampai 67% [5].
Namun, pada penelitian ini akan dibuat formula pakan yang terdiri dari eceng gondok dan
kangkung fermentasi seta ampas tahu untuk pakan ternak ruminansia. Berdasarkan hal tersebut
diatas maka pada penelitian ini akan dilakukan fermentasi eceng gondok dan kangkung dengan
bantuan probiotik untuk menghasilkan pakan ternak ruminansia yang berkualitas.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini didapatkan kadar gizi ransum. Untuk mengetahui kadar gizi ransum
dilakukan analisis proksimat di Unit Pegujian Veteriner dan Pakan, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Airlangga.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 85
Eceng gondok yang telah diambil dari tempatnya, selanjutnya diproses menjadi salah satu
bagian dari ransum pakan yang disusun mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan layak
sebagai bahan pakan (berdasarkan analisis kandungan gizi pada Tabel 1.) dalam hal bahan
pakan yang terpenting adalah kandungan protein dan karbohidrat/serat tercernanya. Protein
diperlukan untuk zat pembangun dalam tubuh ternak, seperti menambah massa otot, membentuk
zat fungsional seperti enzim dan antibodi di dalam tubuh ternak [7]. Sedangkan
serat/karbohidrat tercerna akan memasok energi utama dalam semua proses metabolisme yang
berjalan dalam tubuh makhluk hidup [6]. Dalam jalur katabolisme utama tubuh, karbohidrat
adalah sumber energi pertama yang diproses untuk menghasilkan ATP (adenosine trifosfat)
yang merupakan mata uang energi dalam proses fisiologi tubuh.
Eceng gondok terfermentasi akan dicampur dengan ampas tahu dan kangkung kering
(rendeng) yang keduanya juga mengadung zat nutrien sehingga saling melengkapi untuk
menghasilkan ransum pakan bergizi tinggi.
Ampas tahu yang merupakan limbah padat dalam proses produksi tahu, sudah tidak asing
lagi kaya akan protein yaitu 22,23% [7]. Sejak dahulu sudah digunakan untuk pakan ternak,
namun karena harganya yang mahal dan keberadaannya yang langka, maka bahan ini tidak
diberikan sebagai pakan tunggal tetapi dicampur dengan bahan lain, tetapi yang tidak
mengurangi gizi pakan tersebut.
Kangkung kering memang masih relatif baru untuk digunakan sebagai pakan ruminansia.
Sebaiknya kangkung tidak diberikan dalam bentuk segar dalam jumlah yang banyak. Terdapat
beberapa kelemahan dalam pemberian kangkung segar pada ternak, seperti adanya telur cacing,
lintah yang dapat mebahayakan ternak jika masuk ke dalam saluran pencernakannya. Kangkung
segar yang diberikan dalam jumlah banyak juga menyisakan banyak zat penyebab asam urat
dalam tubuh ternak [8]. Oleh sebab itu sangat baik bahwa kangkung diberikan dalam bentuk
kering dan dicampur dengan bahan yang lain supaya nilai gizinya dapat dirasakan oleh ternak,
sementara potensi bahayanya dapat diminimalisasi.
Lambung ruminansia terdiri atas 4 bagian, yakni rumen, retikulum, omasum, dan
abomasum dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya.
Kapasitas rumen menampung pakan sebanyak 80%, retikulum 5%, omasum 7 - 8%, dan
abomasum 7 - 8%. Pembagian ini terlihat dari bentuk gentingan pada saat otot spinter
berkontraksi. Apabila diperhatikan dari kapasitas tampungan makanan dapat diketahui bahwa
proses pencernaan makanan terbesar terjadi di dalam rumen.
Rumen mengandung media berbentuk cairan yang merupakan hasil perubahan dari
bahan makanan yang telah bercampur dengan air dari makanan, air dari minuman dan air yang
terkandung dalam saliva. Saliva mengandung sejumlah besar natrium bikarbonat yang sangat
penting untuk menjaga pH yang tepat dan berfungsi sebagai buffer terhadap asam lemak volatil
yang dihasilkan oleh fermentasi bakteri. Saliva (air liur) penting pula untuk menjaga sejumlah
air dalam cairan rumen [9]. Proses pencernaan dalam lambung tergantung pada suhu rumen 37
39 0C dan pH 6,0 6,7 serta dalam keadaan anaerob merupakan kondisi terbaik untuk
fermentasi dan proses akhir dari fermentasi akan diserap secara kontinyu oleh retikulo rumen
[11]. Pada rumen terdapat sejumlah besar mikroorganisme, utamanya yang bersifat anaerob
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
86 ISSN: 1978-1520
tersebut diperlukan oleh ternak dan ternak tidak dapat mensintesa (membuat) sendiri dalam
tubuhnya. Protein yang dibutuhkan oleh ternak yaitu dalam bentuk protein kasar dan protein
dapat dicerna [15]. Kuantitas protein dalam pakan lebih penting dari pada kualitasnya bagi
ruminansia, karena ruminansia bergantung pada populasi mikroba dalam rumen untuk
menghasilkan asam amino dan vitamin yang dibutuhkan untuk produksi yang diinginkan [16].
Mikroba rumen menggunakan nitrogen dari protein pakan dan nitrogen dari sumber non-protein
nitrogen untuk menyusun asam amino.
Hal ini sesuai dengan pernyataan [17], bahwa jika proses metabolisme pada ternak
ruminansia baik, maka produk fermentasi yang berupa asam amino, ammonia-N maupun asam
lemak volatil didalam rumen akan tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa untuk pertumbuhan
ternak dibutuhkan asam amino untuk pembentukan protein jaringan sedangkan asam lemak
volatil digunakan sebagai sumber energi yang sisanya akan dimanfaatkan sebagai timbunan
lemak atau cadangan energi. Sehingga pakan dengan kandungan gizi yang baik terutama protein
akan memicu pertumbuhan jaringan tubuh kambing baik daging, lemak, dan cadangan energy
lainnya. Sehingga meningkatkan berat atau bobot kambing.
SIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan gizi semua ransum memiliki nilai
protein yang cukup untuk digunakan sebagai pakan kambing. Ransum III memiliki nilai gizi
paling baik dan memicu pertambahan berat kambing paling besar.
SARAN
Untuk tindak lanjut penelitian selanjutnya diharapkan interval perbandingan rangsum lebih
besar sehingga terlihat perbedaan hasil yang signifikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur DP2M yang telah memfasilitasi penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Wahyono F, Nasoetion MH, Mangisah I, Sumarsih S., 2005, Kandungan Asam Amino dan
Kecernaan Nutrien Eceng Gondok Terfermentasi Aspergillus niger Serta Penggunaannya
dalam Ransum Itik Tegal, Semarang: Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda Universitas
Diponegoro.
[2] Budiono, RS.,1997, Potensi kombinasi asam amino urea molasses block dalam
meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah, MKH, 13(2): 150-160
[3] Muchtaromah B, Susilowati R, Kusumastuti A., 2009, Pemanfaatan Tepung Hasil
Fermentasi Eceng Gondok (Eichornia crassipes) sebagai Campuran Pakan Ikan untuk
Meningkatkan Berat Badan dan Daya Cerna Protein Ikan Nila Merah (Oreochormis sp.),
Artikel. FSaintek. UIN Malang.
[4] Fitrihidajati, Herlina, Isnawati dan Ratnasari, Evie, 2014, Pemanfaatan Eceng gondok
Limbah Blotong sebagai Pupuk Organik dengan Penambahan Effektive Microorganism
(EM4), Surabaya: Laporan Penelitian Lemlit Unesa.
[5] Gemilang, A.B, Ampas Tahu untuk Makanan Ternak. Diakses melalui http://kilas-
kesehatan.blogspot.com/2013/06/kandungan-gizi-dan-manfaat-tanaman.html Pada 17 April
2014 pukul 12.00 WIB
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
88 ISSN: 1978-1520
[6] Isnawati, 2010, Pengaruh pemberian berbagai bioaktivator dan lama fermentasi Amoniasi
terhadap peningkatan kandungan Protein kasar (PK) dan penurunan serat kasar (SK)
Limbah pertanian untuk pakan ternak domba, Surabaya: Laporan Penelitian Lemlit Unesa.
[7] Ilham, 2011, Budidaya Hewan Kelinci, Diakses melalui
https://ilhammawmaw.wordpress.com pada 19 April 2011.
[8] Dada, SA., 2002, The Utilization of Water Hyacinth (Eichornia crassipes) by West African
Dwarf (WAD) Growing Goats, Afr, J. Biomed, Res.2002: Vol 4; 147-149
[9] Tillman, Hartadi. H, dan Reksohadiprodjo, S., 1989, Ilmu Makanan Ternak Dasar,
Bandung : Gadjah Mada University Press.
[10] Trisunuwati, Junus. M, dan Cholis. N., 1989, Fisiologi Ternak, Malang: Nuffic-Universitas
Brawijaya.
[11] Lubis, D.A., 1952, Ilmu Makanan Ternak, Jakarta: PT Pembangunan.
[12] Van Soest, 1984, Nutritional Ecology of The Ruminant, New York: Cornell University.
[13] Zaman Q, 2013, Pengaruh Kiambang (Salivia molesta) yang Difermentasi dengan Ragi
Tempe sebagai Suplemen Pakan terhadap Peningkatan Biomassa Ayam Pedaging, Skripsi.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
[14] Fardiaz, S, 1992, Mikrobiologi Pangan I, Jakarta: Gramedia PustakaUtama.
[15] Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke 4. Jakarta: Gramedia.
[16] Pelczar J, Chan EC., 1986, Dasar-dasar Mikrobiologi, Jilid 1, Jakarta: Universitas
Indonesia Press
[17] Soepranianondo K., 2005, Dampak isi rumen sapi sebagai substitusi rumput raja terhadap
produk metabolit pada kambing peranakan ettawa, MKH. 21(2): 94-96.
Abstrak
Proses fermentasi pada pembuatan pakan berbahan baku eceng gondok pasti melibatkan
berbagai jenis mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui jumlah isolat bakteri yang berperan dalam proses fermentasi pada pembuatan
pakan ruminansia berbahan baku eceng gondok, beserta karakternya. Penelitian ini bersifat
eksploratif atau observasional. Pakan hasil fermentasi berbahan baku eceng gondok disiapkan
terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan penangkapan bakteri yang terdapat di dalamnya
dengan teknik cawan tuang. Proses pemurnian dilakukan dengan teknik cawan gores sampai
dihasilkan isolate murni. Pada akhirnya ditemukan 8 isolat bakteri dalam penelitian ini yang
kesemuanya mempunyai aktivitas katalase positip, koloni bersifat transparan, translusen dan
keruh.Beberapa ada yang motil dan non motil, sebagian besar bersifat gram positip dan
sebagian kecil bersifat gram negatip.
PENDAHULUAN
Eceng gondok (Eichchornia crassipes) tumbuh dengan cepat sehingga perlu dilakukan
upaya untuk menanganinya agar tidak mengganggu dan merusak lingkungan (Anonim, 2005).
Salah satu pemanfaatannya adalah dijadikan pakan ternak sehingga gulma perairan ini menjadi
sesuatu yang bernilai ekonomi.Hal ini dimungkinkan karena kandungan gizi Eceng Gondok
tinggi. Eceng Gondok mengandung bahan kering sekitar 7%; protein kasar 11,2%; serat kasar
18,3%; BETN 57%; lemak kasar 0,9%; abu 12,6%; Ca 1,4%; dan P sebesar 0,3% [1].
Sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian tentang pemanfaatan Eceng Gondok
untuk pakan ternak. Penelitian itu meliputi, Eceng Gondok untuk pakan itik,dan menghasilkan
telur itik yang kadar proteinnya tinggi. Eceng Gondok juga bagus sebagai pakan ikan nila
merah,maupun pakan hewan ruminansia seperti kambing karena kandungan protein yang tinggi
dan karbohidrat tercernanya juga tinggi setelah difermentasi [2]. Biomassa kambing yang diberi
pakan fermentasi Eceng Gondok mengalami kenaikan yang tinggi [3]. Kadar protein daging
kambing yang diberi pakan Eceng Gondok 1% lebih tinggi dari pada kambing dengan pakan
konvensional [4].
Proses fermentasi sangat penting diterapkan pada Eceng Gondok yang akan digunakan
sebagai pakan supaya nilai gizinya lebih tinggi dan tingkat keternaannya juga lebih baik.
Beberapa penelitian fermentasi pada Eceng Gondok sudah dilakukan dan melaporkan bahwa
lama fermentasi Eceng Gondok dengan Aspergilus niger terbaik adalah 6 minggu, dengan kadar
PK 18,84% dan kadar SK 15,73% [1]. Dalam hal ini Aspergilus niger merupakan probiotik.
Penambahan probiotik sangat mempercepat dan menyempurnakan proses fermentasi. Probiotik
merupakan mikroorganisme hidup yang dapat meningkatkan kesehatan dan memberikan
keuntungan secara fisiologis bila dikonsumsi [5].
Beberapa penelitian terkait penggunaan probiotik telah dilakukan.Penelitian yang
dilakukan telah berhasil mengembangkan probiotik yang dapat digunakan untuk mendegragasi
materi-materi yang berasal dari tumbuhan dengan cepat [6]. Peneliti ini juga telah berhasil
mencoba memfermentasi pakan ternak jerami padi, jerami jagung dan jerami kedelai dan
diimplementasikan pada ruminansia [7]. Penggunaan probiotik yang merupakan campuran
berbagai jenis mikroorganisme sellulolitik, proteolitik dan lipolitik terbukti dapat menghasilkan
pakan yang berkualitas untuk sapi dari bahan baku jerami jagung, jerami padi [8] dan juga
jerami kedelai. Penggunaan probiotik campuran berbagai jenis mikrobia lebih menguntungkan
dibandingkan penggunaan mikrobia tunggal sebagai agen fermentasi. Selain probiotik
penggunaan EM (Effective Microorganism) juga dapat mempercepat proses dekomposisi bahan
organik [9]. Oleh sebab itu dalam penelitian ini Eceng Gondok yang akan dijadikan bahan
penelitian akan difermentasi terlebih dahulu, menggunakan ragi tempe yang didalamnya
terdapat campuran berbagai mikroorganisme.
Proses fermentasi akan meningkatkan kecernaan, meningkatkan penyerapan nutrisi,
memperbaiki keseimbangan mikroflora rumen, meningkatkan daya tahan tubuh, dan
menghilangkan atau menurunkan mikroorganisme patogen [10]. Pada proses fermentasi protein
akan berubah menjadi peptida-peptida, asam amino, amonia, asam lemak terbang, dan
karbondioksida.
Terdapat beberapa persaratan yang harus dipenuhi bagi probiotik yaitu secara normal
bakteri tersebut ada dalam saluran pencernaan, mempunyai waktu regenerasi pendek,
menghasilkan zat antimikroorganisme untuk memerangi mikroorganisme pathogen dan cukup
kuat untuk menahan proses pengemasan (manufacturing)dan distribusi sehingga dapat
dipindahkan ke dalam intestin dalam keadaan hidup [11]. Sebagai dukungan untuk mendapatkan
sifat tersebut, maka pada proses fermentasi akan ditambahkan molase atau tetes tebu, molase
ialah limbah utama industri pemurnian gula [12]. Molase memiliki kandungan protein kasar
(PK) 3,1%, serat kasar (SK) 0,6%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 83,5%, lemak kasar
(LK) 0,9 %, dan abu 11,9% sehingga dapat meningkatkan zat gizi hasil fermentasi. Berdasarkan
kandungan gizinya sebenarnya terdapat dua macam molase yaitu (1) Cane-molasses, merupakan
molase yang memiliki kandungan sukrosa 25 40% dan 12 25% gula pereduksi dengan total
kadar gula 50 60% atau lebih. Kadar protein kasar (PK) sekitar 3 % dan kadar abu sekitar 8
10%, yang sebagian besar terbentuk dari kalium, kalsium, klorida, dan garam sulfat; (2) Beet-
molasses merupakan pakan pencahar yang normalnya diberikan pada ternak dalam jumlah kecil
sekitar 0,5% [12].
Semakin banyak jenis tumbuhan/hijauan yang diberikan pada sapi akan makin baik, karena
unsur zat-zat makanan (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) akan makin lengkap
[13]. Berdasarkan hal tersebut pada penelitian ini Eceng Gondok tidak diaplikasikan secara
tunggal sebagai pakan ternak tetapi dikombinasikan dengan tumbuhan Kangkung (Ipomoea
aquatica). Kangkung mengandung zat seperti vitamin A, vitamin B1, vitamin C, protein,
kalsium, fosfor, zat besi, dengan kandungan protein 3% dan energy 29 kkal [14]. Peningkatan
protein pakan dilakukan dengan cara menambahkan ampas tahu ke dalam media. Ampas tahu
mempunyai kandungan gizi yang tinggi seperti protein sampai 17 % dan karbohidrat sampai
67% [14], selain kedua zat nutrient tersebut, ampas tahu juga mempunyai kandungan gizi
lainnya yaitu lemak 3,79%, air 51,63% dan abu 1,21%, maka sangat memungkinkan ampas tahu
untuk diolah menjadi bahan makanan ternak.Supaya campuran bahan pakan penyusun ransum
tersebut mempunyai tingkat ketercernaan yang tinggi dan kandungan gizinya lebih mudah
diabsorpsi oleh tubuh ternak dan juga untuk meningkatkan cita rasa, maka sebelum ransum
pakan diberikan kepada ternak terlebih dahulu difermentasi. Dalam proses fermentasi tersebut
tentu saja terlibat berbagai jenis bakteri dan kapang. Proses fermentasi dapat ditingkatkan
dengan dua cara, yaitu melakukan optimasi kondisi fermentasi dan menambahkan jumlah
bakteri dan jamur pada ransum yang difermentasi. Oleh sebab itu sangatlah penting untuk
mengetahui jumlah dan karakteristik bakteri yang terdapat dalam ransum pakan tersebut. Pada
penelitian ini telah dilakukan isolasi dan karakterisasi bakteri yang terdapat pada ransum pakan
berbahan baku eceng gondok.
METODE PENELITIAN
Alat alat yang digunakan ialah chopper, sekrop, spuit 10 cc, spuit 3 cc, kantong plastik
transparan, air 10 liter, dan gelas ukur 30 cc, otoklaf, laminar air flow cabinet, peralatan gelas
seperti cawan petri, gelas bekker, Erlenmeyer, pipet tetes, neraca, hot plate, oven, mikroskop,
coloni counter, vortex, incubator, ose, peralatan untuk pembuatan medium penumbuhan bakteri
seperti kompor, panci, pengaduk dan saringan. Peralatan untuk pewarnaan yang meliputi
penangas, staining jar,dan kaca arloji, kaca benda, kaca penutup, paralatan untuk pembuatan
pakan fermentasi perlakuan seperti keranjang fermentasi dan tutup plastic.
Bahan-bahan yang digunakan ialah eceng gondok yang diambil seluruh bagian tubuhnya
dengan berat 50 kg, tetes tebu (molase) konsentrasi 100% 300 cc, air 7,5 liter, probiotik 50 cc,
inokulum probiotik (Bakteri dalam keadaan dorman) 7,5 gram, alas plastik, dan kantong plastik
transparan. Bahan-bahan pembuatan medium penumbuhan mikroorganisme seperti difco bacto
agar, nutrient broth, yeast extract, pepton, MRS medium, glukosa, dekstrosa. Bahan-bahan untuk
pewarnaan Gram seperti kristal violet, safranin, lugol, dan alcohol. Bahan untuk pelengkap
proses fermentasi pakan perlakuan yaitu ragi tempe dan daun pisang dan cotton bud sterile
untuk menebar mikroorganisme tangkapan pada medium padat di cawan petri.
Langkah pertama yang dilakukan dalam peneltian ini adalah membuat media cair (nutrient
broth) dan padat dengan menggunakan difco bacto agar.Tahap kedua adalah melakukan
penangkapan bakteri yang terdapat pada ransum pakan.Isolasi bakteri ini dilakukan dengan
cawan tuang, sejumah sampel ransum pakan dihomogenasi dengan penambahan akuades steril,
dan filtratnya diinokulasikan ke media padat dalam cawan petri.Lalu diinkubasi supaya tumbuh
koloni-koloni bakteri. Hasil tangkapan ini dimurnikan dengan teknik cawan gores. Selanjutnya
dilakukan penyimpanan isolate secara individu dalam agar miring. Isolate murni tersebut
dikarakterisasi dalam hal karakter koloni, pewarnaan gram, pengamatan motilitas, aktivitas
enzim katalase.
Isolat bakteri yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini meliputi 8 bakteri seperti
terpapar pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil karakterisasi isolate bakteri yang terdapat dalam ransum pakan berbahan baku
eceng gondok.
Selain karakteristik koloni pada penelitian ini, isolat-isolat yang diperoleh juga
dikarakterisasi tiap sel bakteri.Karakterisasi pertama adalah bentuk sel. Bentuk sel dapat
diketahui dengan pewarnaan sederhana.Terdapat beberapa bentuk sel yang diperoleh yaitu
streptobasil, streptokokkus, monokokkus, stafilokokkus dan monobasil.Berdasarkan pewarnaan
gram terdapat 6 isolat gram positip dan 2 isolat gram negatip.Pada pemeriksaan motilitas isolat
diperoleh 5 isolat non motil dan 3 isolat motil.Semua isolat menunjukkan aktivitas katalase
yang positip.
SIMPULAN
Simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa telah ditemukan ada 8 isolat
bakteri dengan karakter koloni dan karakter sel yang bervariasi.
SARAN
Lanjutan dari penelitian ini adalah identifikasi bakteri yang telah ditemukan, isolasi dan
identifikasi jamur yang terdapat dalam ransum pakan berbahan baku eceng gondok.
Ucapan terimakasih disampaikan pada Kemenristek yang telah membiayai penelitian ini melalui
dana penelitian Hibah Bersaing tahun 2016. Terimakasih juga disampaikan kepada mahasiswa
yang terlibat dalam penelitian ini khususnya ananda Fuad dan Frida.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Tristiarti et al. 2006. Kecernaan Nutrien Eceng Gondok yang difermentasi
denganAspergilus niger pada Ayam Broiler. Diakses melalui
http://eprints.undip.ac.id/6888/1/oke31(2)2006p124-128.pdf, pukul 13.00 WIB.
[2] Fitrihidajati, H., Isnawati, dan G. Suparno.2013.Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichornia
crassipes) untuk Pakan Ternak Ruminansia sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Gulma
Perairan.Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Negeri Surabaya.
[3] Fitrihidajati, H., Isnawati dan G. Suparno.2015. Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichornia
crassipes) untuk Pakan Ternak Ruminansiasebagai Salah Satu CaraMengatasi Gulma
Perairan.Laporan Penelitian Hibah Bersaing Lanjutan. Universitas Negeri Surabaya.
[4] Suparno G., H. Fitrihidajati dan Isnawati.2014. Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichornia
crassipes) untuk Pakan Ternak Ruminansia sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Gulma
Perairan.Laporan Penelitia Hibah Bersaing. Universitas Negeri Surabaya.
[5] Wahyudi, A. 2004. Pengaruh Pemberian Probiotik Bakteri Selulolitik dan Metode
Pemberian Pakan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Kecernaan Energi Pada Domba
Ekor Gemuk. Malang: Unmu-Press.
[6] Isnawati.2008. Pembuatan probiotik dan pemanfaatannya pada dekomposisi berbahan
tumbuha.Laporan Penelitian Lemlit Universitas Negeri Surabaya.
[7] Isnawati.2010. Pengaruh pemberian berbagai bioaktivator dan lama fermentasi Amoniasi
terhadap peningkatan kandungan Protein kasar (PK) dan penurunan serat kasar (SK)
Limbah pertanian untuk pakan ternak sapi. Laporan Penelitian Lemlit Universitas Negeri
Surabaya.
[8] Hardini, F. 2010. Pengaruh Pemberian Berbagai Bioaktivator dan Lama Fermentasi
Amoniasi terhadap Peningkatan Kandungan Protein Kasar (PK) dan Penurunan Serat
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 93
Uji Ekstrak Etanol Daun Jati (Tectona grandis) sebagai Bahan Pengawet Alami
Daging Sapi
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif dengan penggunaan ekstrak etanol daun
jati sebagai pengawet alami daging sapi. Daun jati diketahui memiliki kandungan kimia yang
sangat tinggi diantaranya alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid dan
glikosida. Penelitian ini merupakan jenis penelitian true eksperimental, dengan teknik analisis
deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan sebanyak 3 ulangan dengan perlakuan meliputi
konsentrasi ekstrak 0%, 0,5%, 1%, 2% dan 4% serta lama perendaman selama 0 jam, 6 jam, 12
jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam. Parameter yang diamati meliputi warna daging, warna lemak
subkutis, marbling dan tekstur dengan mengacu pada SNI 3932:2008. Hasil penelitian
menunjukkan dengan penggunaan ekstrak etanol daun jati dapat memeperpanjang masa
simpan daging. Hal ini dibuktikan pada konsentrasi 4% jam ke-24 daging masih dalam kondisi
segar yaitu warna daging merah ungu gelap, warna lemak subkutis kuning dengan tekstur
sangat kenyal. Penurunan kualitas terjadi pada jam ke-24 konsentrasi 0,5%, 1% dan 2%.
Sedangkan pada konsentrasi 0% terjadi penurunan kualitas sejak jam ke-6 hingga jam ke-48
dengan kondisi daging sudah tidak layak dikonsumsi. Dengan demikian ekstrak etanol daun jati
dapat digunakan sebagai pengawet alami daging sapi.
Kata kunciekstrak etanol daun jati, kualitas daging dan pengawet alami.
PENDAHULUAN
Makanan merupakan bahan yang berasal dari hewan maupun tumbuhan yang dimakan oleh
makhluk hidup untuk mendapatkan energi dan nutrisi. Pada umumnya bahan makanan yang
dikonsumsi mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air, karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, enzim dan lain-lain. Keberadaan unsur atau senyawa yang tinggi pada bahan makanan
menyebabkan bahan makanan mudah mengalami kerusakan jika tidak diolah secara langsung.
Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian dari kerusakan tersebut dibutuhkan proses
pengawetan. Pengawet ada dua yaitu pengawet alami dan pengawet buatan (sintetis).
Pengawet alami adalah suatu senyawa yang dihasilkan oleh bahan alam, yang dapat
menekan pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Bahan-bahan alami memiliki aktivitas
menghambat mikroba yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada di dalamnya [1].
Pengunaan bahan alami sebagai pengawet dapat membantu mengurangi penggunaan bahan
pengawet kimia yang biasa digunakan untuk mengawetkan bahan makanan.
Pengawet buatan (sintetis) adalah pengawet yang berasal dari bahan-bahan kimia.
Pengawetan ini dilakukan akibat proses metabolisme yang terus berlangsung mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan, baik secara fisik, kimia maupun biologis yang mengarah ke
tanda-tanda kerusakan.
Proses pengawetan yang paling efektif dan aman digunakan adalah dengan penggunaan
pengawetan secara alami. Salah satu cara pengawetan secara alami yaitu dengan menggunakan
daun jati yang digunakan untuk mengawetkan daging. Secara tradisional, masyarakat
menggunakan daun jati untuk pembungkus makanan tanpa mengetahui kandungan yang
terdapat pada daun jati. Menurut Daun jati memiliki ciri berdaun besar, bulat telur terbalik,
berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek serta memiliki kandungan fitokimia yang
sangat tinggi [2]. Berdasarkan hasil uji fitokimia dalam daun jati terdapat flavonoid, alkaloid,
tanin, napthaquinones dan antrakuinon yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau
sebagai antibakteri [3]. Senyawa aktif dalam daun jati ini dapat digunakan untuk mengawetkan
daging.
Daging merupakan salah satu bahan makanan hasil peternakan yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi, protein, dimana protein daging mengandung asam
amino lengkap. Konsumsi masyarakat terhadap daging sapi yang terus meningkat,
mengharuskan masyarakat untuk jeli dalam memilih daging dengan kualitas baik. Daging segar
yang tidak langsung diolah akan cepat mengalami pembusukan karena adanya aktivitas bakteri
[4]. Kualitas daging yang baik dilihat dari segi warna daging, kenampakan, bau, tingkat
elastisitas dan kadar air atau tingkat kebasahan daging jika dipegang. Produk hasil ternak
mempunyai resiko tinggi terhadap kontaminasi bakteri sehingga diperlukan adanya penanganan
yang baik untuk memperpanjang masa simpan daging.
Penelitian tentang penggunaan ekstrak etanol daun jati sebagai pengawet daging sapi
sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Sejauh ini hanya dilaporkan mengenai banyaknya total
bakteri pada daging sapi yang dibungkus menggunakan daun jati [5], sifat mikrobiologi sosis
daging sapi dengan penambahan ekstrak daun jati (Tectona grandis) selama penyimpanan
dingin [6] dan daya hambat ekstrak metanol daun jati belanda terhadap pertumbuhan Eschericia
coli [7]. Padahal penelitian tentang kandungan daun jati sebagai pengawet daging sapi juga
perlu dilakukan. Salah satu manfaat yang diambil dari penelitian ini yaitu kandungan yang
terdapat pada daun jati digunakan sebagai pengawet alami daging sapi sehingga dapat
meminimalisir penggunaan pengawet buatan (sintetis). Oleh karena itu, peneliti ingin
melakukan penelitian dengan judul uji ekstrak etanol daun jati (Tectona grandis) sebagai bahan
pengawet alami daging sapi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian true eksperimental. Penelitian ini dilakukan ulangan
sebanyak 3 kali ulangan dan perlakuan yang digunakan meliputi: Konsentrasi (0%, 0,5%, 1%,
2% dan 4%) dan Lama perendaman (0, 6, 12, 24, 36 dan 48 jam). Penelitian dilakukan di
Laboratorium Zoologi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Penelitian ini dilakukan dilakukan
selama 6 bulan.
Alat yang digunakan meliputi pemanas air, cawan petri, erlenmeyer, labu ukur, gelas ukur,
neraca digital, saringan, pinset, blender, corong pisah, toples maserasi, pisau, sarung tangan,
gelas, spatula, senter dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah daun jati (duduk daun ke 2-4)
sebanyak 1 kg, daging sapi segar 2 kg diambil pada bagian paha karena pada bagian ini
memiliki struktur otot yang halus dan mudah diiris, aquadest 1000 ml, kapas 1 gulung,
alumunium foil 1 pack, kertas payung 5 lembar, alkohol 500 ml, pelarut etanol, asam asetat dan
asam sulfat.
Prosedur pengumpulan data yang pertama yaitu dengan pembuatan ekstrak etanol meliputi
: Sebanyak 1 kg sampel daun jati dibersihkan, dikering anginkan, dihaluskan dan dimaserasi
dengan pelarut etanol 96% selama 3x24 jam. Proses maserasi dilakukan berulang-ulang sampai
diperoleh larutan jernih. Selanjutnya disaring, fitrat diuapkan dengan pemanas air untuk
menghasilkan ekstrak pekat. Ekstrak yang diperoleh ditentukan rendemennya dengan cara berat
ekstrak dibagi dengan berat sampel awal dan dikali seratus persen. Ekstrak pekat disimpan.
Selanjutnya dilakukan uji bebas etanol yaitu Ekstak maserasi di uji bebas etanol 96% dengan
penambahan asam asetat dan asam sulfat dan dibantu dengan pemanasan. Ekstrak dinyatakan
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
96 ISSN: 1978-1520
bebas etanol bila tidak ada bau aster yang khas dari etanol. Setelah terbentuk ekstrak selanjutnya
dibuat konsentrasi dari masing-masing ekstrak dengan rumus :
V 1 x M1 = V 2 x M2
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif
kualitatif dilihat dari kondisi daging sapi yang diawetkan dengan ekstrak etanol daun jati pada
perbedaan lama perendaman. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik. Uji
organoleptik adalah cara mengukur, menilai atau menguji mutu komoditas dengan
menggunakan kepekaan alat indra. Selanjutnya, hasil uji organoleptik disimpulkan menurut
karakteristik kualitas daging dengan mengacu pada SNI 3932:2008 [8]
Berdasarkan hasil penelitian dengan penggunaan ekstrak etanol daun jati (Tectona
grandis)sebagai pengawet daging sapi didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Hasil pengamatan ke-0 jam
Pengamatan pada jam ke-0 dapat dilihat pada Tabel 4.1. berikut ini:
Berdasarkan Tabel 4.1. dapat diketahui bahwa pada jam ke-0 warna daging untuk
konsentrasi 0% (kontrol) daging berwarna merah ungu gelap dengan warna lemak subkutis
adalah kuning, marbling memiliki skor 2 yang artinya terdapat sedikit lemak intermuskular pada
daging dan memiliki tekstur sangat kenyal. Pada jam ke-0 ini ciri yang sama dengan konsentrasi
0% ditemukan juga pada konsentrasi 0,5%, 1%, 2% dan 4%.
Berdasarkan Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa pada jam ke-6 warna daging pada
konsentrasi 0% (kontrol) berwarna merah gelap, lemak subkutis berwarna kuning, marbling
dengan skor 2 dan memiliki tekstur sangat kenyal. Pada konsentrasi 0,5% daging berwarna
merah ungu gelap, warna lemak subkutis kuniang, marbling dengan skor 2 dan memiliki tekstur
sangat kenyal. Kualitas daging pada konsentrasi 0,5 juga terdapat pada konsentrasi 1%, 2% dan
4%.
Berdasarkan Tabel 4.3. dapat dilihat bahwa pada jam ke-12, kualitas daging pada
konsentrasi 0% (kontrol) daging memiliki warna merah kegelapan, warna lemak
subkutis putih kekuningan, marbling dengan skor 2 dan memiliki tekstur kenyal.
Keadaan ini berbeda dengan kualitas daging pada konsentrasi 0,5% dan 1% yang
memiliki warna daging merah gelap, warna lemak subkutis kuning, marbling dengan
skor 2 dan memiliki tekstur sangat kenyal. Sedangkan pada konsentrasi 2% dan 4%
diketahui warna daging merah ungu gelap, warna lemak subkutis kuning, marbling
dengan skor 2 dan memiliki tekstur sangat kenyal. Perbedaan warna daging dan lemak
subkutis pada masing-masing konsentrasi disebabkan karena daging tesebut terkena
oksigen.
Berdasarkan Tabel 4.4. dapat diketahui kualitas daging jam ke-24 pada konsentrasi 0%
(kontrol) memiliki warna daging merah terang, warna lemak subkutis adalah putih, marbling
dengan skor 2 dan memiliki tekstur kenyal. Pada konsentrasi 0,5% warna daging adalah merah
kegelapan, warna lemak subkutis adalah kuning, marbling dengan skor 2 dan memiliki tekstur
kenyal. Pada konsentrasi 1% warna daging adalah merah gelap, warna lemak subkutis kuning,
marbling dengan skor 2 dan memiliki tekstur sangat kenyal. Pada konsentasi 2% dan 4% hanya
terdapat perbedaan pada warna lemak subkutis namun perubahan warna ini tidak mempengaruhi
kualitas daging.
Berdasarkan Tabel 4.5. diketahui bahwa kualitas daging pada jam ke-36 untuk konsentrasi
0% (kontrol) warna daging adalah merah terang, warna lemak subkutis adalah putih, marbling
dengan skor 2 dan memiliki tekstur kurang kenyal. Hal ini menunjukkan daging pada
konsentrasi 0% sudah mengalami kerusakan. Pada konsentrasi 0,5% warna daging merah
terang, warna lemak subkutis adalah putih kekuningan, marbling dengan skor 2 dan memiliki
tekstur kenyal. Pada konsentrasi 1% warna daging merah kegelapan, warna lemak subkutis
adalah kuning, marbling dengan skor 2 dan memiliki tekstur kenyal. Pada konsentrasi 2% dan
4% tekstur daging berubah kenyal, disebabkan karena adanya kontaminasi.
Berdasarkan Tabel 4.6. dapat diketahui kualitas daging pada jam ke-48 untuk konsentrasi
0% warna daging merah terang, warna lemak subkutis adalah putih, marbling dengan skor 2 dan
memiliki tekstur lembek. Pada konsentrasi 0,5% warna daging adalah merah terang, warna
lemak subkutis adalah putih, marbling dengan skor 2 dan tekstur daging kurang kenyal. Pada
konsentasi 0% dan 0.5% daging sudah rusak. Pada konsentrasi 1% warna daging adalah merah
kegelapan, warna lemak subkutis adalah putih kekuningan, marbling dengan skor 2 dan
memiliki tekstur kurang kenyal. Pada konsentrasi 2% warna daging adalah merah kegelapan,
warna lemak subkutis adalah putih kekuningan, marbling dengan skor 2 dan memiliki tekstur
kenyal. Sedangkan pada konsentrasi 4% warna daging adalah merah gelap, warna lemak
subkutis adalah putih kekuningan, marbling dengan skor 2 dan memiliki tekstur kenyal.
Apabila dibuat dalam bentuk grafik maka akan nampak sebagai berikut :
1. Konsentrasi aquadest 0% (kontrol) pada jam ke-0
Grafik 4.1 konsentrasi 0%
Bedasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa pada konsentrasi 0% terjadi penurunan
kalitas dimulai pada jam ke 6 hingga jam ke-48 dengan kondisi daging sudah tidak layak
konsumsi.
2. Konsentrasi 0,5%
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa pada konsentrasi 0,5% hingga pada
jam ke-12 daging masih masih layak dikonsumsi dan terjadi penurunan pada jam ke-24 hingga
jam ke-48 dengan kondisi daging sudah tidak layak dikonsumsi.
3. Konsentrasi 1%
Grafik 4.3 konsentasi 1%
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa pada konsentrasi 1% hingga pada jam ke-
24 daging masih dalam kondisi layak konsumsi yaitu dengan ciri warna daging merah gelap dan
lemak subkutis kuning. Sedangkan pada jam ke-36 terjadi penurunan kualitas dan pada jam ke-
48 terjadi penurunan kualitas namun masih layak untuk dikonsumsi.
4. Konsentrasi 2%
Grafik 4.4 konsentrasi 2%
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa pada konsentrasi 2%hingga jam ke-24 daging
masih dalam kondisi baik penurunan kualitas terjadi pada jam ke-36 yaitu dengan warna daging
merah gelap dan warna lemak subkutis kekuningan. Sedangkan pada jam ke-36 menunjukkan
penurunan kualitas namun daging masih baik dan layak dikonsumsi.
5. Konsentrasi 4%
Grafik 4.5 konsentrasi 4%
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa pada konsentrasi 4% pada jam ke-0
hingga jam ke-24 menunjukkan ciri-ciri seperti daging yang masih segar, yaitu warna daging
merah ungu gelap, lamak subkutis kuning dengan tekstur kenyal dan aroma khas daging dengan
sedikit aroma daun jati. Pada jam ke-36 terjadi penurunan kualitas namun masih layak
dikonsumsi. Pada jam ke-48 juga mengalami penurunan kualitas pada warna lemak subkutis
namun hal ini tidak mempengaruhi kualitas daging.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak daun jati (Tectona
grandis) terhadap kualitas daging hingga jam ke-12 masih dalam keadaan baik dan
menunjukkan ciri-ciri daging yang masih segar yaitu daging berwarna merah gelap, lemak
subkutis berwarna kuning dan tekstur sangat kenyal serta memiliki aroma khas daging dengan
aroma daun jati. Hal ini berbeda dengan konsentrasi 0% yang mengalami penurunan kualitas
daging daging sejak jam ke-6 dan hingga jam ke-48 kualitas daging pada konsentrasi ini terus
menerus mengalami penurunan kualitas hingga mengalami pembusukan dan tidak layak
konsumsi. Hal ini juga dapat dilihat pada grafik 4.1 yang menunjukkan terjadi penurunan
kualitas daging sapi.
Pada jam ke-24 menunjukkan hanya daging pada konsentrasi 0,5% mengalami penurunan
kualitas dengan melihat perubahan warna daging menjadi merah kegelapan, warna lemak
subkutis kuning dan memiliki tekstur kenyal serta memasih memiliki aroma khas daging dengan
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
102 ISSN: 1978-1520
aroma khas daun jati. Namun, pada konsentrasi ini daging masih layak konsumsi. Pada
konsentrasi 1% warna daging dan warna lemak subkutis tetap seperti pada jam ke-12 yaitu
memiliki warna merah gelap dan kuning. Pada konsentrasi 2% menunjukkan warna daging dan
lemak subkutis yaitu merah ungu gelap dan kuning, akan tetapi terjadi penurunan skor pada
warna lemak subkutis yaitu dengan skor 8, namun hal ini tidak mempengaruhi kualitas daging
sapi. Pada konsentrasi 4% daging masih dalam kondisi segar dengan warna daging merah ungu
gelap dan warna lemak subkutis kuning serta memiliki tekstur sangat kenyal. Pada konsentrasi
ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak etanol mempunyai pengaruh terhadap kualitas
daging sapi. Pada jam ke-24 ini dapat terlihat terjadi perubahan warna pada daging sapi. Bagi
konsumen persepsi awal pada saat membeli daging dan menjadi pertimbangan utama adalah
warna. Faktor yang mempengaruhi perubahan warna daging termasuk pakan, spesies, bangsa,
umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen [9]. Faktor-faktor ini
dapat mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu pigmen dan mioglobin. Tipe molekul
miogbin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar
dalam menentukan warna daging [10].
Pada jam ke-36 menunjukkan pada konsentrasi 0,5% daging memiliki warna merah terang,
lemak subkutis berwarna putih kekuningan dan memiliki tekstur kenyal serta aroma sedikit
busuk. Apabila dilihat dari kondisi fisik daging masih dalam kondisi layak konsumsi namun
telah mengalami penurunan mutu. Hal ini juga dapat dilihat pada grafik 4.2. Pada konsentrasi
1% selain terjadi penurunan mutu dari warna daging dan warna lemak subkutis juga terjadi
penurunan kekenyalan menjadi kurang kenyal. Namun pada konsentrasi ini daging masih layak
dikonsumsi. Pada konsentrasi 4% pada jam ke-36 ini mulai nampak terjadi penurunan mutu
namun daging masih aman dan layak dikonsumsi.
Pada jam ke-48 menujukkan bahwa pada konsentrasi 0,5% daging sudah tidak layak
konsumsi dilihat dari warna daging yang merah terang agak pucat, warna lemak subkutis putih
dan memiliki tesktur yang kurang kenyal/lunak serta memiliki aroma yang busuk. Berbeda
dengan daging pada konsentrasi 1% yang masih layak konsumsi meskipun memiliki tingkat
kekenyalannya menurun. Sedangkan pada konsentrasi 2% dan 4% masih layak dikonsumsi.
Berdasarkan penelitian diatas dapat diketahui bahwa penggunaan ekstrak daun jati dapat
digunakan sebagai pengawet daging sapi. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan ekstrak daun
jati memberikan pengaruh terhadap kualitas daging sapi yang disimpan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat simpulkan bahwa ekstrak etanol daun jati (Tectona grandis)
dapat digunakan sebagai pengawet daging sapi. Penggunaan ekstrak daun jati yang paling baik
sebagai pengawet daging yaitu pada konsentrasi 4% jam ke-24. Pada konsentrasi ini daging
menunjukkan ciri daging yang masih segar yaitu warna daging merah ungu gelap, warna lemak
subkutis kuning dan memiliki tekstur kenyal. Penurunan kualitas terjadi pada jam ke-24 pada
konsentrasi 0,5%, 1% dan 2% yang mengalami perubahan warna. Sedangkan pada konsentrasi
0% terjadi penurunan kualitas dimulai dari jam ke-0 hingga jam ke-48 hingga kualitas daging
menjadi rusak atau tidak layak konsumsi.
SARAN
Penelitian ini diperlukan lebih lanjut mengenai bakteri yang terdapat pada daging sapi yang
direndam menggunakan ekstrak etanol daun jati. Diperlukan cara praktis dalam pengunaan
ekstrak etanol daun jati bagi masyarakat. Selain itu diperlukan adanya pengujian daging baik
secara postmortem maupun antemortem sehingga dapat diketahui faktor yang mempengaruhi
kualitas daging sebelum daging diamati secara organoleptik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Hapsari, Setyo Wulang Nur. 2010. Pengaruh Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale) terhadap
Penghambatan Mikroba Perusak pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus). Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
[2] Thoha, M. Yusuf dan Diana Ekawati Fajrin. 2010. Pembuatan Briket Arang dari Daun Jati
dengan Sagu Aren sebagai Pengikat. Jurnal Teknik Kimia. Vol.17, No.1
[3] Purushotham et al. 2010. Synergistic In Vitroantibacterial Activity of Tectona
grandisleaves with Tetracyclin.International Journal of PharmTech Research. Vol.2, No.1,
pp 519-523.
[4] Harjono, Lydia Andini S. dan Nancy Rosita Trimey T. 2005. Dekontaminasi Bakteri
Patogen pada Daging dan Jeroan Kambing dengan Iradiasi Gamma. Jakarta : Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
[5] Wulandari, Febri et al. 2015.Total Jumlah Bakteri pada Daging Sapi Segar yang
Dibungkus Daun Jati dengan Variasi Lama Penyimpanan.FKIP Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
[6] Afiyah, Dyah Nurul. 2013. Sifat Mikrobiologi Sosis Daging Sapi dengan Penambahan
Ekstrak Daun Jati (Tectona grandis) Selama Penyimpanan Dingin. Bogor : Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
[7] Tumbel, Maria. 2009.Uji Daya Hambat Ekstrak Metanol Daun Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia, Lamk) terhadap Pertumbuhan Eschericia coli.Chemika vol 10 no. 2 : 85-9.
[8] SNI 3932:2008. SNI Mutu Karkas dan Daging Sapi. Badan Standarisasi Nasional.
[9] Soeparno. 2009. IlmudanTeknologiDaging. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
ISBN 979-420-230-4.
[10] Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press).
Isolasi dan Karakterisasi Kapang Endofit pada Batang Gingseng Jawa (Talinum
paniculatum)
Abstrak
Talinum paniculatum merupakan salah satu tanaman yang memiliki manfaat sebagai bahan
sumber pembuatan obat. Jika eksploitasi tanaman ini dilakukan terus-menerus bisa berakibat
kepunahan, oleh sebab itu perlu dicari solusi untuk mendapatkan senyawa aktif tanaman
tersebut tanpa harus mengeksploitasi tanaman itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis kapang endofit yang terdapat pada jaringan batang dan daun Gingseng Jawa
(Talinum paniculatum). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Universitas
Nusantara PGRI Kediri pada bulan Januari April 2016. Metode penelitian yang digunakan
adalah Deskriptif Laboratoris. Metode Deskriptif Laboratoris meliputi isolasi kapang endofit,
pemurnian isolat dan identifikasi isolat, data yang diperoleh kemudian diolah secara deskriptif.
Berdasarkan hasil isolasi dan karakterisasi didapatkan jenis-jenis kapang yang tumbuh pada
eksplant batang tanaman Talinum paniculatum yaitu Chaetomium sp., Fusarium sp. (terdapat
dua jenis isolat), dan Rhizoctonia solani, sedangkan yang tumbuh pada eksplant daun Talinum
paniculatum yaitu Arthrinium sp., Culvularia sp. dan Mucor sp. Perbedaan jumlah hasil isolasi
kapang endofit antara batang dan daun tanaman disebabkan karena adanya perbedaan kondisi
pada saat isolasi. Hasil penelitian Kapang Endofit dari jaringan tanaman Talinum paniculatum
dapat digunakan sebagai bahan studi lebih lanjut mengenai potensi kapang endofit dalam
menghasilkan metabolit sekunder, penghasil elisitor, bahan pembuatan pupuk hayati maupun
penghasil anti mikroba.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan tumbuh-tumbuhan yang mempunyai potensi
sebagai sumber obat. Masyarakat umumnya memiliki pengetahuan tradisional dalam
pengunaan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat untuk mengobati penyakit tertentu. Pengetahuan
tentang tumbuhan obat, mulai dari pengenalan jenis tumbuhan, bagian yang digunakan, cara
pengolahan sampai dengan khasiat pengobatannya merupakan kekayaan pengetahuan lokal dari
masing-masing etnis masyarakat setempat [1].
Salah satu tanaman yang memiliki khasiat obat adalah Talinum paniculatum. Di Indonesia
Talinum paniculatum sering disebut Gingseng Jawa, Kolesom dan Som Jawa sebagai
nama daerah (lokal) nya. Jika eksploitasi tanaman ini dilakukan terus-menerus bisa berakibat
kepunahan, oleh sebab itu perlu dicari solusi untuk mendapatkan senyawa aktif tanaman
tersebut tanpa harus mengeksploitasi tanaman itu sendiri.
Cara memperoleh senyawa aktif yaitu digunakan mikroba endofit yang diisolasi dari
bagian tanaman tersebut. Mikroba ini dipilih sebagai sumber penghasil senyawa bioaktif
(antimikroba), karena lebih mudah penanganannya. Salah satu kelompok mikroba yang dapat
digunakan sebagai sumber bahan antimikroba adalah kapang endofit.
Kapang endofit adalah kapang yang hidup pada jaringan tumbuhan dan tidak
membahayakan inangnya [2]. Kapang endofit yang berhasil diisolasi dari tanaman inangnya
dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang sama dengan yang dihasilkan oleh
tanaman aslinya [3]. Kapang endofit ini dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang berpotensi
sebagai antimikroba. Hal ini disebabkan aktivitasnya yang tinggi dalam membunuh mikroba
patogen. Disamping mampu menghasilkan senyawa-senyawa antimikroba, mikroba endofit juga
mampu menghasilkan senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antikanker, antimalaria, anti
HIV, antioksidan dan sebagainya [4].
Mengingat masih banyak sumber-sumber baru penghasil kapang endofit yang belum
diketahui, maka perlu dilakukan penelitian tentang isolasi dan karakterisasi kapang endofit pada
jaringan tanaman obat khususnya tanaman Gingseng Jawa (Talinum paniculatum) yang
nantinya hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan studi lebih lanjut mengenai potensi
kapang endofit dalam menghasilkan metabolit sekunder, penghasil elisitor, bahan pembuatan
pupuk hayati maupun penghasil anti mikroba.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Botani Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, mulai bulan Januari hingga bulan April 2016. Alat-
alat yang digunakan adalah cawan petri, gelas erlenmeyer, gunting, kertas label, gelas ukur 100
ml dan 10 ml, beaker glass, jarum ose, pinset, silet, kertas payung, plastik perekat, tisu steril, lab
steril, autoklaf, neraca analitik, kompor listrik, gelas corong, aluminium foil, dan mikroskop.
Adapun bahan yang digunakan adalah batang tanaman Gingseng Jawa (Talinum paniculatum),
PDA (Potato Dextrose Agar), Aquades, alkohol, tetracyclin.
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode deskriptif labolatoris. Penelitian deskriptif
labolatoris bertujuan untuk mengidentifikasi kapang endofit yang terdapat pada batang dan daun
Talinum paniculatum. Data yang diperoleh kemudian diolah secara deskriptif. Objek dalam
penelitian ini adalah kapang endofit yang tumbuh dari eksplant batang Talinum paniculatum.
Prosedur pengumpulan data yang pertama adalah dilakukan sterilisasi alat, selanjutnya
sterilisasi media, sterilisasi eksplant, isolasi mikroba endofit dan identifikasi morfologi kapang.
A B C
Gambar 1. A. Depan Koloni B. Balik Koloni C. Struktur Mikroskopis
A B C
Gambar 2. A. Depan Koloni B. Balik Koloni C. Struktur Mikroskopis
A B C
Gambar 3. A. Depan Koloni B. Balik Koloni C. Struktur Mikroskopis
A B C
Gambar 4. A. Depan Koloni B. Balik Koloni C. Struktur Mikroskopis
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi makroskopis dan mikroskopis nya,
ditemukan empat jenis kapang endofit yang diisolasi dari batang Talinum paniculatum yaitu
Chaetomium sp., Fusarium sp. (terdapat dua jenis isolat), dan Rhizoctonia solani, sedangkan
pada daun Talinum paniculatum ditemukan tiga jenis kapang endofit yaitu Arthrinium sp.,
Culvularia sp. dan Mucor sp.
SARAN
Penelitian lebih lanjut mengenai jenis jenis kapang endofit pada tanaman Talinum
paniculatum diperlukan untuk mengetahui senyawa kimia pada tanaman Talinum paniculatum,
terutama kandungan senyawa kimia pada bagian batang Talinum paniculatum, karena sampai
saat ini belum ada peneliti yang melaporkan kandungan senyawa kimia dan manfaat batang
Talinum paniculatum khusunya bagi kesehatan. Sehingga diharapkan peneliti selanjutnya dapat
memberikan informasi tentang adanya kapang endofit pada jaringan batang dan daun Talinum
paniculatum yang memiliki aktifitas antimikroba sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam
dalam usaha mendapatkan sumber obat baru yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Supriadi. 2001. Tumbuhan Obat Indonesia: Penggunaan dan Khasiatnya. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
[2] Noverita, Fitriana D. dan Sinaga, E. 2009. Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Jamur
Endofit dari Daun dan Rimpang Ziniber ottensi. Jurnal Farmasi Indonesia, 7 (4): 171-176.
[3] Radji, M. 2005. Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat
Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3) : 113 126.
[4] Prihatiningtias, W dan Wahyuningsih, M.S.H. 2008. Prospek Mikroba Endofit Sebagai
Sumber Senyawa Bioaktif. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
[5] Pitt, J. I and Hocking, A. D. 1985. Fungi and Food Spoilage. Australia: Academic Press.
Isolasi dan Identifikasi Jenis Kapang Endofit pada Daun Tanaman Binahong
(Anredera cordifolia. Steenis)
Abstrak
Binahong banyak mengandung senyawa flavonoid dan antioksidan. Tanaman binahong telah
digunakan untuk beberapa pengobatan seperti diabetes, kerusakan ginjal, stroke dan lain-lain.
Berbagai jenis tanaman diketahui mengandung senyawa-senyawa bioaktif yang berasal dari
hasil interaksi tanaman dan mikroba yang berupa bakteri atau kapang. Kapang endofit mampu
memacu biosintesis senyawa bioaktif pada tanaman sebagai sumber bahan obat yang alami,
murah dan ramah lingkungan. Laporan tentang kapang endofit pada berbagai tanaman masih
terbatas. Penelitian tentang isolasi kapang endofit pada daun binahong selama ini belum
pernah dilaporkan, padahal penelitian tentang kapang endofit dari tanaman ini juga perlu
dilakukan. Salah satu manfaat yang diambil dari penelitian ini yaitu hasil identifikasi dan
penentuan kapang endofit pada tanaman binahong jawa dapat digunakan sebagai kandidat
elisitor biotik untuk biosintesis antioksidan alami, murah dan ramah lingkungan. Berdasarkan
hasil isolasi dan karakerisasi didapatkan 3 jenis isolat kapang endofit yang tumbuh pada
eksplant daun adalah Mucor sp, Humicolla sp, dan Penicillium sp.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang berada dikawasan tropis dengan beragam tumbuhan
obat yang dimilikinya. Berbagai jenis tanaman diketahui mengandung senyawa-senyawa
bioaktif yang berasal dari hasil interaksi tanaman dan mikroba yang berupa bakteri atau kapang
[1]. Salah satu sumber utama metabolit sekunder berkhasiat obat adalah kapang endofit, tetapi
belum banyak yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Binahong (A. cordifolia.
Steenis) adalah salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk mengobati banyak penyakit
diantaranya, untuk pengobatan luka bakar, penyakit tifus, radang usus, sariawan, keputihan,
pembengkakan hati, pembengkakan jantung, meningkatkan vitalitas dan daya tahan tubuh [2].
Tanaman tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai salah satu obat
tradisional. Binahong mengandung senyawa flavonoid dan antioksidan [3]. Kapang endofit
merupakan mikroba endofit yang seluruh atau sebagian hidupnya berada dalam jaringan hidup
tanaman inang, tanpa memberikan gejala-gejala merugikan. Interaksi antara mikroba endofit
dengan tanaman diperkirakan saling menguntungkan (mutualisma), yaitu tanaman memberikan
nutrisi untuk mikroba, kemudian mikroba mentransformasikan dan menghasilkan senyawa
bioaktif yang mampu melindungi tanaman dari predator [4].
Di Indonesia laporan tentang jamur endofit pada berbagai tanaman sangat terbatas [5].
Padahal kemampuan kapang endofit menghasilkan senyawa bioaktif yang sama dengan tanaman
inangnya merupakan peluang untuk mendapatkan sumber bahan obat yang alami, murah dan
ramah lingkungan. Sejauh ini hanya dilaporkan potensi binahong sebagai anti Fungi terhadap
Candida albicans [2], karakterisasi bakteri endofit batang binahong [6], kandungan flavonoid
dan antioksidan pada ekstrak daun binahong [3], dan uji senyawa alkaloid daun binahong [7].
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
110 ISSN: 1978-1520
Padahal penelitian tentang kapang endofit dari tanaman ini juga perlu dilakukan. Salah satu
manfaat yang diambil dari penelitian ini yaitu hasil identifikasi dan penentuan kapang endofit
pada tanaman binahong jawa dapat digunakan sebagai kandidat elisitor biotik untuk biosintesis
antioksidan alami, murah dan ramah lingkungan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Botani, Universitas Nusantara PGRI Kediri
pada bulan Pebruari-Mei 2016, Alat-alat penelitian: autoklaf, neraca analitik, mikropipet,
kompor listrik, gelas ukur, baker glass, erlenmeyer, vortex, cawan petri, jarum ose, spatula,
bunsen, LAFC, dan mikroskop.Bahan-bahan penelitian: media PDA, tanaman binahong,
aquadest, larutan hipoklorit, alkhohol 70%, dan antibiotik tetracyclin Adapun proses
pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:
Preparasi Media
1. Media PDA terdiri dari 4,0 g potato starch, 20 g dextrose dan agar 15,0 g. Dimasukan 39 g
PDA dalam 1000 mL air mineral kemudian dihomogenkan, kemudian dipanaskan sambil
diaduk hingga larutan mendidih. Ditutup dengan alumunium foil. Disterilisasi dengan
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit kemudian ditutup.
2. Antibiotik tetracyclin 500 mg dilarutkan kedalam aquadest steril sebanyak 100 ml, kemudian
setiap 100 gr media PDA diberi larutan antibiotik tetracyclin sebanyal 1 ml.
Sterilisasi Eksplant
1. Eksplant batang dan daun binahong merah dicuci di bawah air mengalir selama 10 menit.
2. Sampel eksplant batang dan daun tanaman binahong merah kemudian dilakukan pencucian
ke dalam larutan natrium hipoklorit (NaOCl) 2% selama 1 menit, dilanjutkan dengan
memasukkan ke alkohol 70% selama 1 menit, setelah itu dibilas dengan aquades steril
selama 1 menit dan diulang dua kali, lalu daun dikeringkan di atas tissue steril, daun
dipotong 1 cm pada kondisi aseptis.
3. Potongan sampel dan membran penyaring selanjutnya diletakkan di atas cawan petri
berdiameter 9 cm yang telah berisi media PDA (Potato Dextrose Agar).
Isolasi dan Pemurnian Kapang
1. Masing-masing bahan yang sudah disterilkan permukaannya diletakkan pada medium Potato
Dekstrose Agar (PDA) pada cawan petri dan diangkat lagi yang bertujuan untuk mengetahui
apakah permukaan bahan-bahan yang telah disterilkan tadi benar-benar telah steril atau
sebagai kontrol (bahan untuk mengecek). Selanjutnya dipotong sepanjang 0,5 cm dan
dibelah kemudian ditumbuhkan pada medium PDA yang telah diberi antibiotik untuk
menghindari kontaminasi oleh bakteri.
2. Kapang yang tumbuh, masing-masing dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi
medium PDA (pH 6) dan diinkubasikan selama 1-2 hari pada suhu 25o C.
3. Pemurnian dilakukan pada setiap koloni jamur yang tumbuh pada media PDA ke media PDA
baru dalam keadaan aseptis, yaitu dalam LAFC (Laminar Air Flow Cabinet). Pemurnian
dilakukan berdasarkan kenampakan morfologi secara makroskopis yang meliputi warna dan
bentuk koloni kapang. Masing-masing mikroorganisme tersebut diambil dengan jarum ose,
kemudian ditumbuhkan kembali pada cawan petri yang berisi media PDA. Jika setelah
dimurnikan kapang yang tumbuh masih bercampur dengan kapang lain, maka dilakukan
pemurnian berulang kali sampai diperoleh jamur yang murni.
Gambar 1 Isolasi kapang endofit dari potongan daun. A. Eksplant daun yang belum ditumbuhi
kapang. B. Eksplant daun yang ditumbuhi kapang
Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis kapang endofit DB1,
memperlihatkan struktur-struktur sebagai berikut: warna koloni hijau keabu-abuan. Tekstur
koloni kering permukaan koloni seperti kering menyerupai butiran pasir, terdapat zonasi, tidak
memiliki tetes esksudat (exudate drops), terdapat garis radial (radial furrow) yang jelas
membentuk garis radial dari pusat ke tepi dan terdapat lingkaran-lingkaran konsentris, tepi
koloni tidak rata dan warna sebalik koloni hijau kehitaman. Hasil pengamatan karakter
morfologi secara mikroskopis dari isolat DB1 memperlihatkan struktur-struktur sebagai berikut:
sporangiospor bercabang monopodial, kolumela berbentuk bulat, hifa tidak bersekat. Studi
literatur [8] dan [9] menunjukkan kapang endofit DB1 dapat diketahui termasuk genus Mucor.
km
kd
hf
A B klm
Isolat DB2
Pada hari ke-3 kapang endofit masih berwarna hijau yang terbentuk kumpulan hifahifa
kemudian berubah menjadi berwarna hijau keabu-abuan. Pada hari ke-4 terdapat tetes eksudat
berwarna merah bata berbentuk titik-titik bulat yang berada di area tengah mengelilingi daerah
pusat. Permukaan koloni kapang endofit DB2 seperti tepung halus atau beludru, terdapat garis-
garis radial dari pusat menuju kearah tepi dan tepi koloni tidak rata. Pertumbuhan spora
berwarna hijau tua. Pengamatan secara mikroskopis yaitu hifa tidak bersekat, memiliki konidia
berbentuk bulat. Aleurioconidia berinti banyak, konidiofor tegak. kapang endofit DB2 dapat
diketahui termasuk genus Humicolla [9].
Isolat DB3
Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis kapang endofit DB3,
memperlihatkan struktur-struktur sebagai berikut: warna koloni hijau keabu-abuan, tekstur
koloni padat dan tebal, permukaan koloni seperti beludru, tepi koloni rata. Pada waktu umur
koloni kapang masih muda terdapat lingkaran-lingkaran konsentris dari arah pusat ke tepi yang
terlihat jelas. Pengamatan karakter morfologi secara mikroskopis dari DB3 memperlihatkan
struktur-struktur sebagai berikut: konidia berbentuk bulat atau elips biasanya soliter berada pada
bagian tengah atau ujung hifa, kolumela berbentuk bulat, hifa bersekat. Berdasarkan ciri
makroskopis dan mikroskopis yang telah dipaparkan dan dibandingkan sesuai dengan studi
literatur [8] dan [9] menunjukkan kapang endofit DB3 dapat diketahui termasuk genus
Penicillium.
kd ph
hf
pc
A B
SIMPULAN
Hasil isolasi dan karakterisasi pada tanaman binahong berhasil didapatkan 3 jenis kapang
endofit. Kapang endofit yang berhasil diidentifikasi pada eksplant daun binahong adalah Mucor
sp, Humicolla sp, dan Penicillium sp, sedangkan pada eksplant batang adalah Verticillium sp
dan Chrysosporium sp.
SARAN
Penelitian ini diperlukan pengamatan lebih lanjut mengenai pada bagian manakah letak
kapang endofit yang menginfeksi jaringan daun dan batang tanaman binahong. Penelitian ini
juga dapat dilanjutkan untuk dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai aktivitas kapang endofit
sebagai pemacu produksi biosintesis senyawa bioaktif pada tanaman binahong.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Nursulistyarini, F. 2014. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Indofit Penghasil Anti Bakteri
Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis). Skripsi. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga: Yogyakarta.
[2] Kumalasari, E., Sulistyani, N. 2011. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol Batang Binahong
(Anredera cordifolia (Tenore) Steen.) terhadap Candida albicans serta Skrining Fitokimia.
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 1 (2).
[3] Selawa, W., Runtuwe, J. R. M., dan Citaningtyas, G. 2013. Kandungan Flavonoid dan
Kapasitas Antioksidan Total Ekstrak Etanol Daun Binahong [Anredera cordifolia (ten.)
Steenis.]. PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi. 2 (1).
[4] Dompeipen, J. E., 2014. Isolasi Kapang Endofit dari Tanaman Mengkudu (Morinda
Citrifolia L) dan Potensinya sebagai Antidiabetes dan Antioksidan. Balai Riset dan
Standardisasi Industri Ambon. Seminar Nasional Basic Science.
[5] Sudantha, I. M., dan Abadi, L. A. 2007. Identifikasi Jamur Endofit dan Mekanisme
Antagonismenya terhadap Jamur Fusarium oxysporum. Sp. Vanillae pada Tanaman Vanili.
Universitas Mataram. Jurnal Agroteksos. 17 (1).
[6] Desriani, Safira, M., Bintang, M., Rivai, A., dan Lisdiyanti, P. 2014. Isolasi dan
Karakterisasi Bakteri Endofit dari Tanaman Binahong dan Katepeng China. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2 (1).
[7] Titis, M.B.M., Fachriyah, E., dan Kusrini, D. 2013. Isolasi Identifikasi dan Uji Aktifitas
Senyawa Alkaloid Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), Jurnal Chem
Info. 1 (1).
[8] Pitt, J. I., dan Hocking, A. D. 1985. Fungi and Food Spoilage. Australia: Academic Press.
[9] Gandjar, I., R.A. Samson, K. van den Tweel-Vermeulen, A. Oetari, & I. Santoso. 1999.
Pengenalan kapang tropik umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: xiii + 136 hlm.
[10] Dewo, M. 2013. Gendola: Obat Dewa Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta: Imprint
Agromedia Pustaka.
[11] Ekaviantiwi, T. A., Tyas, A., Enny, F., Dewi, K. 2013. Indentifikasi Asam Fenolat dari
Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dan Uji Aktivitas
Antioksidan. Jurnal Chem Info. 1 (1).
Uji Ketahanan terhadap pH Asam dan Garam Empedu pada Bakteri Indigenous
Buah Kawista (Feronia limonia) sebagai Kandidat Bakteri Probiotik
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan bakteri asam laktat indigenous buah kawista
terhadap pH asam dan garam empedu sehingga dapat dijadikan kandidat bakteri probiotik.
Isolat bakteri indigenous genus Lactobacillus yang digunakan berasal dari buah kawista
matang dan diberi label M-S7(8). Analisis molekuler gen 16S rRNA dan rekonstruksi pohon
filogenetik menunjukkan isolat M-S7(8) memiliki kekerabatan dekat dengan spesies
Lactobacillus paracasei dan Lactobacillus casei.Uji ketahanan terhadap pH asam dilakukan
pada 1 mL kultur isolat bakteri asam laktat berumur 48 jam yang diinokulasi pada medium
kaldu MRS steril dengan pH 2. Pada jam ke-0, ke-3 dan ke-6 dilakukan perhitungan jumlah sel
menggunakan metode Total Plate Count dengan medium agar MRS secara pour plate.Hasil
pengujian terhadap pH rendah (pH 2) menunjukkan isolat M-S7(8) memiliki ketahanan yang
baik sampai jam ke-6, ditunjukkan dengan penurunan jumlah isolat tidak lebih dari 3 unit
log/mL.Uji ketahanan terhadap garam empedu dilakukan pada 1 mL kultur isolat bakteri asam
laktat berumur 48 jam diinokulasi pada medium kaldu MRS steril yang mengandung garam
empedu sebesar 0,3% (w/v). Pada jam ke-0 dan ke-4 dilakukan perhitungan jumlah sel
menggunakan metode Total Plate Count dengan medium agar MRS secara pour plate.
Ketahanan terhadap garam empedu (Bile Salt 0,3%) ditunjukkan dengan penuruan jumlah
isolat M-S7(8) tidak lebih dari 3 unit log/mL setelah inkubasi 4 jam.
PENDAHULUAN
Kawista atau Feronia limonia (L) merupakan jenis tanaman yang termasuk suku jeruk-
jerukan (Rutaceae) dan berpotensi sebagai tanaman obat [1]. Makanan dan minuman probiotik
dipercaya dapat mencegah penyakit jantung koroner, diare dan gangguan pencernaan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sayur dan buah yang difermentasi dengan bakteri asam laktat
indigenous sangat berpotensi sebagai minuman probiotik [2]. Salah satu bakteri indigenous yang
sering ditemukan pada produk fermentasi buah dan sayuran adalah golongan bakteri
Lactobacillus [3]. Pada umumnya, mikroba yang digunakan sebagai probiotik bersifat non
patogenik dan telah diuji melalui serangkaian uji in vitro, in vivo, sampai uji klinik, sehingga
diharapkan tidak akan menimbulkan efek samping bagi orang yang mengkonsumsinya. Manfaat
bakteri asam laktat sebagai probiotik akan dapat dirasakan apabila kultur dikonsumsi dalam
keadaan hidup dan dapat bertahan pada saluran pencernaan [4]. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji ketahanan bakteri asam laktat indigenous buah kawista terhadap pH asam dan garam
empedu sehingga dapat dijadikan kandidat bakteri probiotik. Manfaat dari penelitian adalah
harapan pengembangan buah kawista sebagai minuman probiotik apabila bakteri indigenous
berpotensi sebagai bakteri probiotik yang layak.
METODE PENELITIAN
Penelitan ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 di Laboratorium Mikrobiologi dan
Laboratorium Instruksional I, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi
Bandung.Alat yang digunakan adalah alat gelas, batang L, microtube, batang pengaduk, jarum
ose, kulkas, hotplate, timbangan, spatula, bunsen, dan pH meter. Bahan utama dalam
penelitian ini adalah isolat bakteri asam laktat indigenous buah kawista dengan label M-S7(8).
Isolat bakteri merupakan hasil isolasi dari buah kawista matang jenis arum manis asal Tuban,
Jawa Timur. Bahan lain yang digunakan adalah alkohol 96%, alkohol 70%, spiritus, aquades,
medium MRS (deMan, Rogosa and Sharpe), Na asetat, glukosa, yeast extract, bacto agar, plastik
tahan panas, karet, korek api, aluminium foil, dan kapas lemak. Bahan kimia yang
digunakan adalah NaOH 0,1 N dan HCl untuk mengatur pH medium, buffer pH 4 dan pH 7
untuk mengatur standar pH meter, bile salt, dan H2SO4.
Log
Waktu (jam) JumlahBakteri Rata-Rata FP Jumlahsel/mL JumlahSel
0 107 102 98 102.33 1.E+07 1.02.E+09 9,01
4 59 40 35 44.67 1.E+07 4.47E+08 8,65
Karakteristik isolat yang diuji berpotensi sebagai probiotik karena tahan terhadap garam
empedu usus halus, sehingga dapat bertahan dalam usus besar [10]. Kemampuan bertahan
dalam konsentrasi garam empedu berkaitan dengan kemampuan isolat menghasilkan Bile Salt
Hydrolase (BSH). Beberapa Lactobacillus mempunyai enzim Bile Salt Hydrolase (BSH)
dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu, sehingga mampu mengubah sifat fisika-
kimia yang dimiliki oleh garam empedu menjadi tidak toksik bagi bakteri asam laktat [11]. Sel
bakteri asam laktat yang tahan terhadap garam empedu, bila diinkubasi dalam media yang
mengandung Bile Salt 0,3% masih terjadi pertumbuhan dan tidak terjadi lisis, namun mengalami
sedikit kebocoran materi intraseluler [12].
SIMPULAN
Isolat M-S7(8) merupakan bakteri indigenous buah kawista yang berpotensi sebagai kandidat
bakteri probiotik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji ketahanan terhadap pH asam (pH 2) dan
garam empedu, yakni penurunan tidak lebih dari 3 unit log/mL selama waktu pengujian.
SARAN
Perlu dilakukan optimasi komposisi medium fermentasi terhadap isolat M-S7(8) sehingga dapat
dijadikan starter yang baik dalam pembuatan minuman probiotik kawista.
Terimakasih kepada Ibu Dr. Dea Indriani dan Bapak Intan Taufik, M.Si., Dosen KK
Bioteknologi Mikroba Institut Teknologi Bandung atas bimbingan selama proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] llango dan Chitra, 2009, Wound Healing and Anti-oxidant Activities of the Fruit Pulp of
Limonia acidissima Linn (Rutaeae) in Rats, Tropical Jurnal of Pharmaceutical Research,
Vol. 9, Ed.3, hal 223-230.
[2] Indarayati, Sri, 2011, Potensi Fermentatif Mikroflora Indigenous Pulp Tiga Varietas Kakao
(Theobroma cacao, L.) di Sumatera Barat, Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.
[3] Fitriyani, Ida, 2010, Isolasi, Karakerisasi dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat (BAL) dari
Buah Matang yang Berpotensi Menghasilkan Antimikroba, Skripsi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[4] Puspawati, N.N., Nuraida, L., dan Adawiyah, D. R., 2010, Penggunaan Berbagai Jenis
Bahan Pelindung Untuk Mempertahankan Viabilitas Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi
dari Air Susu Ibu pada Proses Pengeringan Beku. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan,
Vol. 21, Ed.1, hal 60-65.
[5] Ngatirah, Harmayani, E., dan Tyas, U., 2000, Seleksi Bakteri Asam Laktat Agensia
Probiotik yang Berpotensi Menurunkan Kolesterol. Seminar Nasional Industri Pangan.
PATPI, Surabaya, 10-11 Oktober.
[6] Napitupulu, N.R., Kanti, A., Yulinery, T., Hardiningsih, R., dan Julistiono, H., 1997, DNA
Plasmid Lactobacillus Asal Makanan Fermentasi Tradisional yang Berpotensi dalam
Pengembangan Sistem Inang Vektor untuk Bioteknologi Pangan, Jurnal Mikrobiologi
Tropis, Vol. 1, hal 91-96.
[7] Susanti, Kusumaningtyas, dan Illanningtyas, 2007, Uji Sifat Probiotik Bakteri Asam Laktat
sebagai Kandidat Bahan Pangan Fungsional, Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol.
18, Ed. 2, hal 90-99.
[8] Mujnisa, A., Rotib, L.A., Djide, N., dan Natsir, A. , 2013, Ketahanan Bakteri Asam Laktat
Hasil Isolasi dari Feses Broiler terhadap Kondisi Saluran Pencernaan Broiler, JITP,Vol. 2,
Ed.3, hal 152-158.
[9] Russel, J.B. dan Gonzales, D.,1998, The Effects of Fermentation Acids on Bacterial Growth.
Advances Microbe Physiology, Vol. 39, hal 205-234.
[10] Evanikastri, 2003, Isolat dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat dari Sampel Klinik yang
Berpotensi sebagai Probiotik. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
[11] Halim, C. N., dan Zubaidah, E., 2013, Studi Kemampuan Probiotik Isolat Bakteri Asam
Laktat Penghasil Eksopolisakarida Tinggi Asal Sawi Asin (Brassica juncea), Jurnal
Pangan dan Argroindustri, Vol. 1, Ed. 1, hal 129-137.
[12] Surono, I., 2004, Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan, Vol. 7, Ed.2, PT.Zitri Cipta
Karya, Jakarta.
Abstrak
Kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan tanaman pangan ketiga di Indonesia namun
produktivitas rendah, sehingga diaplikasikan dengan pupuk organik Azolla sp. sebagai
peningkatan unsur hara nitrogen agar pertumbuhan dan produktivitas meningkat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan kedelai (Glycine max (L.) Merril) dengan
pemberian berbagai dosis dan waktu aplikasi Azolla sp..Penelitian dilakukan secara
eksperimen menggunakan desain Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 2 faktor
perlakuan. Faktor 1 dosis Azolla sp. (D0=0% mmt, D1=1% mmt, D2=1,5% mmt dan D3=2%
mmt). Faktor 2 waktu aplikasi Azolla sp. (W1=7 hbt, W2=0 hwt, W3=7 hst, W4=14 hst).
Penelitian diulang sebanyak 2 kali di Desa Jabon Utara-Banyakan-Kediri selama bulan Mei-
Juni. Parameter pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah daun yang
diukur setiap 1 minggu sekali setelah 7 hst. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis
variansi, yang dilanjutkan BNT pada taraf 5% pada STATS 6.2.Hasil penelitian menunjukkan
tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh kedua interaksi tetapi dipengaruhi oleh masing-masing
perlakuan kombinasi dosis atau waktu aplikasi Azolla sp.. Tinggi tanaman paling efektif pada
dosis 1% mmt pada waktu aplikasi Azolla sp. 7 hst. Sedangkan jumlah daun tidak dipengaruhi
oleh pemberian dosis dan waktu aplikasi Azolla sp.
Kata kunciAzolla sp., Glycine max (L.) Merril, pertumbuhan, dosis, waktu aplikasi
PENDAHULUAN
Tanaman pangan merupakan komoditas pertanian yang berperan sangat penting bagi suatu
negara untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi bangsanya. Salah satu komoditi tanaman
pangan di Indonesia adalah tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril). Kedelai merupakan
komoditas pangan utama ketiga setelah padi dan jagung yang menjadi komoditi prioritas dalam
program Revitalisasi Pertanian [1].
Sumber protein nabati dalam menu pangan masih didominasi oleh kacang-kacangan
terutama kedelai [2]. Kedelai (Glycine max (L) Merill) merupakan salah satu jenis tanaman
palawija yang memiliki banyak kegunaan dan manfaat bagi kesehatan [3]. Bagi sebagian besar
jumlah penduduk, biji kedelai dapat dibuat berbagai bahan baku industri produk olahan, bahan
kosmetik, obat kesehatan dan industri kimia [4].
Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk, kesadaran masyarakat akan nilai gizi biji kedelai serta perbaikan
pendapat perkapita [5,6,7]. Akan tetapi, hasil produksi yang diperoleh masih belum mampu
mengimbangi tingkat konsumsi kedelai (Glycine max (L.) Merril) di masyarakat, salah satu
upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kedelai (Glycine max (L.) Merril)
bagi rakyatnya yakni dengan melakukan impor kedelai [5].
Kebijakan impor kedelai selama ini dirasa tidak menguntungkan dalam pengembangan
kedelai di Indonesia sehingga para petani tidak tertarik menanam dan memproduksi kedelai,
terlebih lagi harus bersaing dengan produk impor [1,7]. Untuk mengatasi permasalahan diatas
diperlukan suatu usaha khusus untuk meningkatkan produksi tanaman kedelai (Glycine max (L.)
Merril) agar mampu membangkitkan minat para petani dalam menanam kedelai. Salah satu
upaya peningkatan produksi yakni dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitar seperti
pupuk hijau.
Pupuk hijau ialah pupuk yang berasal dari bagian tanaman yang masih segar yang
kemudian dibenamkan ke dalam tanah dengan maksud untuk menambah bahan organik dan
unsur hara. Dekomposisi bahan organik akan menyediakan unsur nitrogen, fosfor, sulfur dan
unsur hara lainnya tergantung pada penyusun bahan organik tanaman [8]. Pupuk hijau yang
layak digunakan harus memiliki pertumbuhan dan perkembangbiakan yang cepat, mempunyai
kandungan unsur hara Nitrogen yang cukup tinggi, cepat dan mudah terdekomposisi,
mempunyai perbandingan C/N ratio tanah yaitu 10-12, kemampuan menyerap air yang lebih
besar serta tidak mengandung logam berat. Salah satu jenis tanaman yang memenuhi syarat
tersebut adalah Azolla sp. [9].
Azolla sp. adalah tanaman pakis air yang berbentuk segitiga atau polygonal, tumbuh
mengapung serta mengambang di permukaan air kolam, selokan dan sawah pada daerah
beriklim tropis dan sub tropis [10]. Seperti halnya tanaman leguminosae, Azolla mampu
menambat N2 udara karena berasosiasi dengan Sianobakteri (Anabaena azollae) yang hidup di
dalam rongga daun Azolla sp. [11]. Tumbuhan Azolla sp. dapat digunakan sebagai pupuk
organik sumber nitrogen karena Azolla sp. kering memiliki nilai C/N ratio rendah yaitu 10,4
sehingga mudah dan cepat termineralisasi haranya. Ketika proses mineralisasi berjalan lancar
maka pemenuhan unsur hara N pada tanaman akan terpenuhi [12]. Nitrogen merupakan unsur
hara esensial bagi tanaman. Unsur N berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman untuk
membentuk protein yang berperan penting pada klorofil yang berkontribusi menghasilkan gula
pada proses fotosintesis dengan berbahan air dan karbon dioksida [9,12].
Biomassa Azolla sp. yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik ini cocok dikembangkan
oleh para petani karena sangat mudah untuk diaplikasikan serta relatif murah (tidak memerlukan
biaya tambahan yang memberatkan petani setidaknya dapat menghemat biaya produksi
sebanyak 50%)(13; 14; 15). Kelebihan Azolla sp. dibanding bahan organik yang lain: (1) Mudah
tumbuh sehingga dapat diproduksi dalam waktu cepat sehingga bersifat reproducible; (2)
Mudah terkomposkan; (3) Kandungan nutrisi lebih tinggi dibandingkan kompos lain; (4) Biaya
produksi rendah(16).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh
pertumbuhan kedelai (Glycine max (L.) Merril) dengan pemberian berbagai dosis dan waktu
aplikasi Azolla sp.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang pengaruh pertumbuhan kedelai (Glycine max (L) Merril) dengan
pemberian berbagai dosis dan waktu aplikasi Azolla sp. dilaksanakan pada bulan Mei - Juni
2016 di Desa Jabon Utara, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri. Alat yang digunakan
adalah jaring jala, bak kolam, alat penggiling, mistar, cangkul, cetok, bak pasir, gembor,
timbangan analitik, polybag berdiameter 15,3 cm dengan tinggi 33,6 cm, ayakan tanah, kertas
label, ATK, kamera. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Azolla sp.yang diperoleh dari
lahan persawahan dan rawa-rawa di Desa Tanjungkalang, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten
Nganjuk, benih biji kedelai (Glycine max (L) Merril) varietas Gema yang diperoleh dari UPBS
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Malang, tanah liat berpasir, dan abu
sekam. Penelitian dilakukan secara eksperimen dengan desain penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial, yaitu terdiri dari dua faktor dengan dua ulangan.
Faktor 1 dosis Azolla sp. (terdiri dari 4 level: D0 = 0% massa media tanam (mmt), D1 = 1%
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 121
mmt, D2 = 1,5% mmt, D3 = 2% mmt). Faktor 2 waktu aplikasi (terdiri dari 3 level: W1 = 7 hari
sebelum tanam (hbt), W2 = 0 hari waktu tanam (hwt), W3 = 7 hari setelah tanam (hst), W4 = 14
hst). Parameter berupa tinggi tanaman dan jumlah daun yang diamati pada saat tanaman
berumur 28 hari. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi, yang dilanjutkan BNT
pada taraf 5% pada program STATS 6.2.
Tabel 1. Pengaruh kombinasi dosis terhadap tinggi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril).
Konsentrasi dosis Tinggi tanaman (cm)
D1 (1%mmt) 28.08 a
D3 (2%mmt) 24.85 ab
D2 (1.5%mmt) 24.39 abc
D0 (0%mmt) 13.25 d
Pemberian dosis D1 yakni 1%mmt ternyata membuat tinggi tanaman Glycine max (L.)
Merril tumbuh paling optimal, sedangkan pemberian dosis D0 yakni 0%mmt tidak berdampak
pada tinggi tanaman Glycine max (L.) Merril. Hal ini diduga karena kedelai sebagai tanaman
semusim yang menyerap N, P, K dalam jumlah yang relative besar, sehingga diperlukan hara
mineral dalam jumlah yang cukup dan seimbang [7]. Semakin banyak bahan organik yang
terdapat dalam tanah, maka unsur hara dalam tanah juga akan meningkat, khususnya unsur N
yang berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman sehingga memberikan pengaruh yang
nyata terhadap pertumbuhan tanaman [9], dalam hal ini terutama tinggi tanaman. Penggunaan
Azolla dapat menghasilkan N yang segera tersedia [11], karena memiliki nilai C/N ratio rendah
sehingga mempercepat proses mineralisasi untuk memenuhi unsur hara N [12]. Mengingat salah
satu yang dibutuhkan tanaman untuk membangun tubuhnya adalah protein yang diperoleh dari
unsur N maka tanaman memerlukan banyak unsur N pada masa vegetatifnya [18].
Sedangkan perlakuan kombinasi waktu aplikasi diperoleh nilai 0.5844 < 3.290 yang
berarti tidak memiliki pengaruh terhadap tinggi tanaman. Hal ini diduga karena kebutuhan
tanaman akan bermacam-macam pupuk selama pertumbuhan dan perkembangannya (terutama
dalam hal pengambilan atau penyerapan) tidak sama [11].
Jumlah Daun
Hasil perhitungan analisis variansi interaksi antara kombinasi dosis dan waktu aplikasi
Azolla sp. diperoleh nilai 2.0306 < 2.590 yang menunjukkan tidak adanya interaksi antara kedua
perlakuan terhadap jumlah daun. Perlakuan kombinasi dosis diperoleh nilai 14.4825 > 3.290
yang berarti memiliki pengaruh terhadap jumlah daun. Setelah dilakukan uji BNT 5%
didapatkan sebagai Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh kombinasi dosis terhadap tinggi tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril).
Konsentrasi dosis Jumlah daun (helai)
D1 (1%mmt) 16.25 a
D3 (2%mmt) 14.88 ab
D2 (1.5%mmt) 13.13 bc
D0 (0%mmt) 8.13 d
Pemberian dosis D1 yakni 1%mmt ternyata membuat jumlah daun Glycine max (L.) Merril
tumbuh paling optimal, sedangkan pemberian dosis D0 yakni 0% mmt tidak berdampak pada
jumlah daun Glycine max (L.) Merril. Hal ini karena Azolla memiliki C/N rendah, hasil
dekomposisi Azolla akan memasok N lebih cepat sehingga berperan dalam meningkatkan
jumlah daun karena unsur N yang berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman untuk
membentuk protein dalam pembentukan klorofil yang digunakan untuk proses fotosintesis(11).
Ketika proses mineralisasi berjalan lancar maka pemenuhan unsur hara N tanaman terpenuhi
yang mana unsur N adalah komponen penting pada klorofil yang berkontribusi menghasilkan
gula pada proses fotosintesis dengan berbahan air dan karbohidrat [12].
Sedangkan perlakuan kombinasi waktu aplikasi diperoleh nilai 15.2842 < 3.290 yang
berarti memiliki pengaruh terhadap jumlah daun. Setelah dilakukan uji BNT 5% didapatkan
sebagai Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh waktu aplikasi terhadap jumlah daun kedelai (Glycine max (L.) Merril).
Waktu aplikasi Jumlah daun (helai)
W3 (7hst) 18.50 a
W4 (14hst) 12 b
W2 (0hwt) 11.25 bc
W1 (7hbt) 10.63 bcd
Pemberian waktu aplikasi W3 yakni 7hst ternyata membuat jumlah daun Glycine max (L.)
Merril tumbuh paling optimal, sedangkan pemberian waktu aplikasi W1 yakni 7hbt tidak
berdampak pada jumlah daun Glycine max (L.) Merril. Hal ini diduga karena terjadinya
kecepatan proses mineralisasi dalam tanah. Azolla memiliki ratio C/N rendah sehingga mudah
dan cepat terdekomposisi [9,13]. Unsur N banyak dilepaskan dalam bentuk kation NH4+ ,
dimana bentuk ion NH4+ yang dibebaskan dapat secara langsung diserap oleh tanaman,
dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah/diubah menjadi bentuk anion NO3- [9]. Ketika
proses mineralisasi berjalan lancar maka pemenuhan unsur hara N tanaman terpenuhi yang
mana unsur N adalah komponen penting pada klorofil yang berkontribusi menghasilkan gula
pada proses fotosintesis dengan berbahan air dan karbohidrat [12].
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa, pertumbuhan tanaman kedelai
Glycine max (L.) Merril dipengaruhi oleh pemberian berbagai dosis dan waktu aplikasi Azolla
sp yang diamati pada umur tanaman 28 hst, peningkatan terlihat pada variabel tinggi tanaman
dan jumlah daun. Variabel tinggi tanaman paling efektif pada dosis 1% mmt, sedangkan
variabel jumlah daun paling efektif oleh pemberian dosis 1%mmt dan waktu aplikasi 7 hst
karena memiliki rata-rata tertinggi disbanding yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Kisman. 2010. Karakter Morfologi Sebagai Penciri Adaptasi Kedelai Terhadap Cekaman
Kekeringan. UNRAM
[2] Putri, Priskilla Purnaning, dkk. 2014. Keragaman Karakter Morfologi, Komponen Hasil,
dan Hasil Plasma Nutfah Kedelai (Glycine max L.). Bogor. Jurnal BIOMA, Vol. X, No. 2
ISSN : 0126 3552.
[3] Sukmawati. 2013. Respon Tanaman Kedelai Terhadap Pemberian Pupuk Organik,
Inokulasi Fma Dan Varietas Kedelai Di Tanah Pasiran. Mataram: Universitas Nahdlatul
Wathan. Jurnal Media Bina Ilmiah Volume 7, No. 4, ISSN No. 1978-378.
[4] Adisarwanto, T. 2004. Startegi Peningkatan Produksi Kedelai Sebagai Upaya Untuk
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri dan Mengurangi Impor. Orasi Pengukuhan Ahli
Peneliti Utama. Bogor. 29 Maret.
[5] Nugroho, Agung, dkk. 2007. Upaya Peningkatan Produktivitas Tanaman Kedelai (Glycine
max L. Merrill) Varietas Panderman Melalui Dosis Dan Waktu Pemberian Kalium.
Malang: Universitas Brawijaya.
[6] Lestari, Sri Ayu Dwi. 2011. Pengaruh Bahan Organik Dan Jenis Dekomposer Terhadap
Pertumbuhan Dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Skripsi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
[7] Arifin, Asad Syamsul. 2013. Kajian Morfologi Anatomi dan Agronomi antara Kedelai
Sehat dengan Kedelai Terserang Cowpea Mild Mottle Virus serta Pemanfaatannya sebagai
Bahan Ajar Sekolah Menengah Kejuruan. Malang: Universitas Negeri Malang. Jurnal
Pendidikan Sains, Volume 1, Nomor 2, Halaman 115-125.
[8] Putri, Fiolita Prameswari, dkk. 2013. Pengaruh Pupuk N, P, K, Azolla (Azolla pinnata) Dan
Kayu Apu (Pistia stratiotes) Pada Pertumbuhan Dan Hasil Padi Sawah (Oryza sativa).
Malang: Universitas Brawijaya. Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1 No.3 ISSN: 2338-3976.
[9] Pasaribu, Eko Andi. 2009. Pengaruh Waktu Aplikasi dan Pemberian Berbagai Dosis
Kompos Azolla (Azolla spp.) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kailan
(Brassica oleraceae Var. Acephala DC.). Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
[10] Hidayat, Cecep, dkk.. 2011. Peluang Pemanfaatan Tepung Azolla Sebagai Bahan Pakan
Sumber Protein Untuk Ternak Ayam. Bogor: Balai Penelitian Ternak, Bogor. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
[11] Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius: Yogyakarta.
[12] Putra, Dwi Firmansyah, dkk. 2013. Pengaruh Pemberian Berbagai Bentuk Azolla Dan
Pupuk N Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea mays Var.
Saccharata). Malang: Universitas Brawijaya. Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1 No. 4 ISSN:
2338-3976.
[13] Paulus, Jeanne M. 2010. Pemanfatan Azolla Sebagai Pupuk Organik Pada Budidaya Padi
Sawah. Menado: Universitas Sam Ratulangi. Warta WIPTEK No. 36 ISSN: 0854-0667.
[14] Gunawan, Iwan. 2014. Kajian Peningkatan Peran Azolla Sebagai Pupuk Organik Kaya
Nitrogen pada Padi Sawah. Lampung: Politeknik Negeri Lampung. Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan Vol. 14 (2): 134-138 ISSN 1410-5020.
[15] Akhda, Dewi Khoirun Nisa. 2009. Pengaruh Dosis Dan Waktu Aplikasi Kompos Azolla
sp Terhadap Pertumbuhan Tanaman Bayam Merah (Alternanthera amoena Voss). Skripsi.
Malang: Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
[16] Hati, Diah Puspita. 2012. Azolla pinnata Dan Blue-Green Algae Sebagai Biofertilizer Pada
System Of Rice Intensification (SRI). Bandung: Universitas Padjadjaran. Jurnal Agribisnis
dan Pengembangan Wilayah Vol. 4 No. 1.
[17] Kastono, Dody. 2005. Tanggapan Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai Hitam Terhadap
Penggunaan Pupuk Organik Dan Biopestisida Gulma Siam (Chromolaena odorata).
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2 : 103 116.
[18] Taufiq, Abdullah. 2014. Identifikasi Masalah Keharaan Tanaman Kedelai. Balitkabi:
Malang.
Abstrak
Autism spectrum disorder (ASD) atau yang lebih dikenal dengan autis merupakan gangguan
perkembangan saraf yang ditandai dengan kurangnya interaksi dan komunikasi sosial, serta
mengalami kesulitan komunikasi verbal maupun non verbal. Gangguan perkembangan saraf ini
tidak lepas dari pengaruh beberapa protein maupun senyawa yang mempengaruhi
perkembangan neuron. Zinc dan beberapa senyawa organik seperti mercury bahkan thimerosal
(vaksin) diketahui dapat menyebabkan ASD karena memiliki sifat neurotoksisitas. Aktivasi
Matrix Metalloprotease (MMP) merupakan salah satu penyebab yang memperparah dampak
autis. Sehingga penghambatan aktivitas MMP menggunakan senyawa alami menjadi salah satu
alternatif yang menjanjikan untuk mengatasi dampak autis. Melalui teknik reverse docking
menggunakan senyawa alami dari cabai (Capsicum annuum L) yaitu luteolin yang telah
diketahui berpotensi mengurangi dampak ASD melalui penghambatan aktivitas MMP. Luteolin
berinteraksi dengan MMP melalui intreaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen dengan afinitas
pengikatan sebesar -9,7 Kcal/mol. Afinitas pengikatan luteolin terbukti lebih rendah
dibandingan dengan senyawa kontrol lainnya yaitu 2-Amino-1,3,4-thiadiazole (-4,5 Kcal/mol),
2-Amino-5-mercapto-1,3,4-thiadiazole (-5,0 Kcal/mol), dan Etridiazole (-5,7 Kcal/mol).
PENDAHULUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan saraf yang ditandai
dengan kurangnya kemampuan komunikasi sosial, komunikasi verbal maupun non verbal [1,2].
Kurangnya kemampuan komunikasi tersebut erat kaitannya dengan perkembangan saraf di otak.
Perkembangan saraf sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya protein yang terlibat
pada jalur pensinyalan maupun senyawa yang mengaktivasi jalur pensinyalan perkembangan
saraf tersebut. Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa beberapa treatment senyawa
alami dipercaya dapat mengatasi gangguan saraf penyebab autis [3]. Beberapa pengobatan
alternatif menggunakan senyawa alami dipercaya dapat mengurangi dampak autis dengan efek
samping yang minim. Selain penggunaan senyawa alami, terapi musik, akupuntur, dan pijat juga
dilakukan untuk mendukung pengobatan yang dilakukan [1]. Pada penelitian sebelumnya
senyawa alami dari tanaman diketahui memiliki potensi melawan radikal bebas sehingga
memberikan dampak anti aging dan anti cancer [4]. Sehingga pemanfaatan senyawa alami
merupakan salah satu treatment yang menjanjikan untuk mengurangi dampak autis.
Capsicum annuum L (cabai) merupakan bahan makanan yang sangat sering digunakan
sebagai bahan pelengkap bumbu makanan sehari-hari. Cabai mengandung komponen fenolik
yang cukup tinggi sebagai agen antioksidan [5]. Luteolin merupakan senyawa fenolik yang
banyak terkandung di dalam cabai [6,7]. Luteolin diketahui dapat mengurangi terjadinya
inflamasi melalui reduksi produksi proinflamatory [8]. Luteolin merupakan senyawa yang
memiliki potensi sebagai antioksidan, anti-inflamatory, mast cell-blocking, dan memiliki efek
neuroprotective [9,10].
Salah satu teknik yang digunakan untuk mengungkap potensi senyawa alami yaitu melalui
teknik reverse docking [11]. Teknik reverse docking dilakukan dengan bantuan beberapa
database untuk mengidentifikasi kandidat protein target untuk senyawa alami yang spesifik [12].
Sehingga pada penelitian ini dilakukan teknik reverse docking untuk mengidentifikasi potensi
senyawa alami dari cabai yaitu Luteolin terhadap protein target di dalam tubuh. Potensi luteolin
tersebut akan dijadikan sebagai treatment alami yang dapat mengurangi dampak ASD.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Juli Agustus 2016, dengan menggunakan tiga database
molekuler online diantaranya database senyawa yaitu PubChem
(https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov) untuk memperoleh informasi dan struktur 3 dimensi dari
senyawa luteolin, database protein yaitu Uniprot (http://www.uniprot.org/) dan Protein Data
Bank (PDB) (http://www.rcsb.org) untuk memperoleh informasi dan struktur 3 dimensi protein
target yang diperoleh dari hasil inventarisasi protein-protein melalui 3 webserver diantaranya
PharmMapper webserver (http://59.78.96.61/pharmmapper/) yang digunakan untuk
memprediksi protein target berdasarkan kesamaan farmakopor [13], dan prediksi protein target
melalui kemiripan struktur senyawa dengan obat-obatan yang telah disetujui FDA mapun
senyawa hasil penelitian in vitro dan in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan webserver
SuperPred (http://prediction.charite.de/) maupun Swiss Target Prediction
(http://www.SwissTargetPrediction.ch/) [14,15]. Setelah memperoleh struktur 3 dimensi
senyawa dan 3 dimensi protein target maka dilakukan analisis interaksi antara keduanya
menggunakan tiga software yaitu PyRx 0,8 untuk mengetahui afinitas pengikatan antara
senyawa dan protein, selanjutnya dilakukan visualisasi 3 dimensi senyawa dan protein
menggunakan PyMol, dan LigPlus+ untuk mengetahui interaksi antara senyawa dan protein
serta untuk visualisasi 2 dimensi senyawa dan protein, serta software DruLito untuk mengetahui
kelayakan senyawa tersebut sebagai senyawa obat berdasarkan Lipinskis rule [16,17].
Gambar 2. Interaksi antara senyawa alami luteolin (merah), senyawa kontrol 2-Amino-1,3,4-
thiadiazole (hijau), 2-Amino-5-mercapto-1,3,4-thiadiazole (kuning), dan Etridiazole (biru), dan
protein target MMP-3 (merah muda) divisualisasikan dengan PyMol
Hasil reverse docking menggunakan software PyRx 0,8 diketahui bahwa luteolin memiliki
afinitas pengikatan paling rendah yaitu sebesar -9,7 Kcal/mol dibandingkan dengan tiga
senyawa kontrol yaitu 2-Amino-1,3,4-thiadiazole (-4,5 Kcal/mol), 2-Amino-5-mercapto-1,3,4-
thiadiazole (-5,0 Kcal/mol), dan Etridiazole (-5,7 Kcal/mol). Afinitas pengikatan merupakan
aspek penting yang harus diperhatikan pada interaksi antara senyawa dan protein [28]. Semakin
rendah afinitas pengikatan menandakan bahwa semakin sedikit energi yang dibutuhkan serta
meningkatkan potensi untuk berikatan dengan protein target [29,30]. Sehingga dapat dikatakan
bahwa luteolin lebih mudah berikatan dengan MMP-3 dibandingkan dengan antagonist kontrol
lainnya. Hasil pemodelan 3D menunjukkan bahwa senyawa luteolin dan 3 antagonist kontrol
berikatan pada site yang sama pada protein target (Gambar 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemungkinan besar luteolin memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai antagonist MMP-3.
Lipinski's rule
Molecular H-bond H-bond
LogP
weight donor acceptor
(<5)
(<500g/mol) (<5) (<10)
Compound
Luteolin 286,05 1,486 4 6
2-Amino-1,3,4-
101,0 0,864 1 3
thiadiazole
2-Amino-5-mercapto-
132,98 0,237 2 3
1,3,4-thiadiazole
Etridiazole 245,92 2,133 0 3
SIMPULAN
Luteolin berinteraksi dengan MMP-3 sebagai antagonist melalui interaksi hidrofobik dan ikatan
hydrogen dengan afinitas pengikatan sebesar -9,7 Kcal/mol, serta dinyatakan layak sebagai
kandidat obat berdasarkan Lipinskis rule.
SARAN
Dilakukan penelitian lanjutan berupa uji coba kepada pasien untuk mengetahui dampak
penggunaan senyawa luteolin sebagai kandidat obat ASD.
Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, M.Si yang telah mendukung
keterlaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Brondino, N., Fusar-Poli, L., Rocchetti, M., Provenzani, U., Barale, F., & Politi, P. 2015.
Complementary and Alternative Therapies for Autism Spectrum Disorder. Hindawi
Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2015,
1-32.
[2] Yoo, M., Kim, T., Yoon, Y., & Koh, J. 2016. Autism phenotypes in ZnT3 Autism
phenotypes in ZnT3 dyshomeostasis, MMP-9 activation and BDNF upregulation. Scientific
Reports, 6(28548), 1-15.
[3] Rasool, M., Malik, A., Qureshi, M., Manan, A., Pushparaj, P., Asif, M., & Sheikh, I. 2014.
Recent Updates in the Treatment of Neurodegenerative Disorders Using Natural
Compounds. Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine, 2014, 1-8.
[4] Pangastuti, A., Amin, I., Amin, A., & Amin, M. 2016. Natural Bioactive Compound from
Moringa oleifera Against Cancer Based on In Silico Screening. Jurnal Teknologi, 78(5),
315-318.
[5] Nadeem, M., Anjum, F., Khan, M., Saeed, M., & Riaz, A. 2011. Antioxidant Potential of
Bell Pepper (Capsicum annum L.)-A Review. Pakistan Journal of Food Sciences, 21(1-4),
45-51.
[6] Materska, M., & Perucka, I. 2005. Antioxidant Activity of the Main Phenolic Compounds
Isolated from Hot Pepper Fruit (Capsicum annuum L.). Journal of Agricultural and Food
Chemistry, 53, 17501756.
[7] Chaves-Mendoza, C., Sanchez, e., Munoz-Marquez, E., Sida-Arreola, J., & Flores-
Cordova, A. 2015. Bioactive Compounds and Antioxidant Activity in Different Grafted
Varieties of Bell Pepper. antioxidants, 4, 427-446.
[8] Jang, S., Kelley, K., & Johnson, R. 2008. Luteolin reduces IL-6 production in microglia by
inhibiting JNK phosphorylation and activation of AP-1. PNAS, 105(21), 75347539.
[9] Taliou, A., Zintzaras, E., Lykouras, L., & Francis, K. 2013. An Open-Label Pilot Study of
a Formulation Containing the Anti-Inflammatory Flavonoid Luteolin and Its Effects on
Behavior in Children With Autism Spectrum Disorders. Clinical Therapeutics, 35(5), 592-
602.
[10] Dirscherl, K., Karlstetter, M., Ebert, S., Kraus, D., Hlawatsch, J., Walczak, Y., &
Langmann, T. 2010. Luteolin triggers global changes in the microglial transcriptome
leading to a unique anti-inflammatory and neuroprotective phenotype. Journal of
Neuroinflammation, 7(3), 1-16.
[11] Zheng, R., Chen, T.-s., & Lu, T. 2011. A Comparative Reverse Docking Strategy to
Identify Potential Antineoplastic Targets of Tea Functional Components and Binding
Mode. International Journal of Molecular Sciences , 12, 5200-5212.
doi:10.3390/ijms12085200
[12] Zhang, S., Shan, L., Li, Q., Wang, X., Li, S., Zhang, Y., & Zhang, W. 2014. Systematic
Analysis of the Multiple Bioactivities of Green Tea through a Network Pharmacology
Approach. Hindawi, 2014, 1-11.
[13] Liu, X., Ouyang, S., Yu, B., Yabo, L., Huang, K., Gong, J., & Jiang, H. 2010.
PharmMapper Server: A Web Server for Potential Drug Target Identification Using
Pharmacophore Mapping Approach. Nucleic Acids Research, 38, W609W614.
doi:10.1093/nar/gkq300
[14] Dunkel, M., Gunther, S., Ahmed, J., Wittig, B., & Preissner, R. 2008. SuperPred: Drug
Classification and Target Prediction. Nucleic Acids Research, 36, W55W59.
doi:10.1093/nar/gkn307
[15] Gfeller, D., grosdidier, A., Wirth, M., Daina, A., Michiellin, O., & Zoete, V. 2014.
SwissTargetPrediction: A Web Server for Target Prediction of Bioactive Small Molecules.
Nucleic Acids Research, 42, W32W38. doi:10.1093/nar/gku293
[16] Lipinski, C. 2000. Drug-like properties and the causes of poor solubility and poor
permeability. Journal of Pharmacological and Toxicological Methods, 44, 235-249.
[17] Lipinski, C., Lombardo, F., Dominy, B., & Feeney, P. 2001. Experimental and
computational approaches to estimate solubility and permeability in drug discovery and
development settings. Advanced Drug Delivery Reviews, 46, 3-26.
[18] Dirsherl, K., Karstetter, M., Ebert, S., Kraus, D., Hlawatsch, J., Walczak, Y., & Langmann,
T. 2010. Luteolin triggers global changes in the microglial transcriptome leading to a
unique anti-inflammatory and neuroprotective phenotype. Journal of Neuroinflammation,
7(3), 1-16.
[19] Mizoguchi, H., Nakade, J., Tachibana, M., Ibi, D., Someya, E., Koike, H., & Yamada, K.
2011. Matrix Metalloproteinase-9 Contributes to Kindled Seizure Development in
Pentylenetetrazole-Treated Mice by Converting Pro-BDNF to Mature BDNF in the
Hippocampus. The Journal of Neuroscience, 31(36), 1296312971.
[20] Reinhard, S., Razak, K., & Etheli, I. 2015. A delicate balance: role of MMP-9 in brain
development and pathophysiology of neurodevelopmental disorders. Frontiers in Cellular
Neuroscience, 9(280), 1-16.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
130 ISSN: 1978-1520
[21] Koh, J., Lim, J., Byun, H., & Yoo, M. 2014. Abnormalities in the zinc-metalloprotease-
BDNF axis may contribute to megalencephaly and cortical hyperconnectivity in young
autism spectrum disorder patients. Molecular Brain, 7(64), 1-10.
[22] Bernard, S., Enayati, A., Redwood, L., Roger, H., & Binstock, T. 2001. Autism: a novel
form of mercury poisoning. Medical Hypotheses, 56(4), 462471.
[23] Geier, D., Hooker, B., Kern, J., King, P., Sykes, L., & Geier, M. 2013. A two-phase study
evaluating the relationship between Thimerosal-containing vaccine administration and the
risk for an autism spectrum disorder diagnosis in the United States. Translational
Neurodegeneration, 2(25), 1-12.
[24] Frederickson, C., Koh, J., & Bush, A. 2005. The Neurobiology of Zinc in Health and
Disease. Nature Reviews Neuroscience, 1-14.
[25] Abdallah, M., & Michel, T. 2013. Matrix metalloproteinases in autism spectrum disorders.
Journal of Molecular Psychiatry, 1(16), 1-5.
[26] Stockman, B., Waldon, D., Gates, J., Scahill, T., Kloosterman, D., Mizsak, S., & Poorman,
G. 1998. Solution structures of stromelysin complexed to thiadiazole inhibitors. Protein
Science, 7, 2281-2286.
[27] Rizzo, R., Toba, S., & Kuntz, I. 2004. A Molecular Basis for the Selectivity of Thiadiazole
Urea Inhibitors with Stromelysin-1 and Gelatinase-A from Generalized Born Molecular
Dynamics Simulations. Journal of Medicinal Chemistry, 47(12), 30653074.
[28] Seo, M.-H., Park, J., Kim, E., Hohng, S., & Kim, H.-S. 2014. Protein conformational
dynamics dictate the binding affinity for a ligand. Nature Communications, 1-7.
[29] Baker, J., Woolfson, D., Muskett, F., Stoneman, R., Urbaniak, M., & Caddick, S. 2007.
ProteinSmall Molecule Interactions in Neocarzinostatin, the Prototypical Enediyne
Chromoprotein Antibiotic. ChemBioChem, 8, 704-717.
[30] Tassa, C., Duffner, J., Lewis, T., Weissleder, R., Schreiber, S., Koehler, A., & Shaw, S.
2010. Binding affinity and kinetic analysis of targeted small molecule-modified
nanoparticles. Bioconjug Chem, 21(1), 14-19.
[31] Uniprot. 2016. UniProtKB P08254 (MMP3_HUMAN.
http://www.uniprot.org/uniprot/P08254, diakses pada tanggal 1 Agustus 2016.
Abstrak
Hasil penelitian pendahuluan di Desa Ngliman, terdapat suatu ritual siraman air terjun
Sedudo, oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui makna, jenis-jenis tumbuhan,
filosofi tumbuhan, serta tingkat kegunaan tumbuhan yang digunakan pada ritual, sehingga
memberikan kesadaran kepada masyarakat agar mau melakukan konservasi tumbuhan yang
digunakan untuk ritual siraman air terjun sedudo. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, dengan subyek penelitian ini adalah masyarakat desa Ngliman. Teknik pengumpulan
data wawancara dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah analisis data secara
deskriptif kualitatif dengan cara mengelompokkan jenis tumbuhan meliputi nama daerah, nama
latin, bagian yang digunakan, filosofi tumbuhan ritual. Analisis data secara deskriptf kuantitatif
dengan menghitung nilai IC (Index Consensus). Hasil obeservasi ditemukan 12 jenis tumbuhan
ritual yang digunakan pada ritual siraman yaitu kenanga (Cananga odorata (Lamk.) Hook.),
melati (Jasminum sambac), mawar (Rosa alba), kantil (Michelia alba), pandanwangi
(Pandanus amarylilfolius), ketela (Manihot utilisima), pisang (Musa paradisiaca), suweg
(Amorphophallus campanulatus), ganyong (Canna edulis), sirih (Piper betle Linn), uwi
(Dioscorea alata) dan garut (Maranta arundinacea). Tumbuhan yang digunakan dalam ritual,
memiliki filosofi sebagai pengingat kepada manusia agar selalu berbuat baik kepada siapapun,
jujur sesuai hati nurani, dan selalu ingat bahwa manusia hidup dalam kesederhanaan. Hasil
analisis penghitungan Index consensus (IC) masyarakat Desa Ngliman tumbuhan yang memiliki
nilai Index Consensus paling tinggi adalah mawar, kenanga, kantil, dan melati dengan nilai
Index Consensus 100%, dan yang paling sedikit adalah uwi dan garut dengan nilai Index
consensus 53,8%.
PENDAHULUAN
Salah satu hasil dari perilaku manusia sebagai makhluk berbudaya adalah melakukan segala
bentuk warisan nenek moyang dari budaya manusia yang bermasyarakat yaitu tradisi
ritual.Karena masyarakat mempunyai tradisi kebudayaan yang melekat pada kehidupan sehari-
hari.Ritual siraman air terjun sedudo telah dibudayakan oleh masyarakat Desa Ngliman sebagai
ungkapan terimakasih kepada leluhur atas keberkahan yang diterima sampai saat ini.
Air Terjun Sedudo adalah sebuah air terjun dan obyek wisata yang terletak di
Desa Ngliman Kecamatan Sawahan,Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Jaraknya sekitar 30 km
arah selatan ibukota kabupaten Nganjuk.Berada pada ketinggian 1.438 meter dpl, ketinggian air
terjun ini sekitar 105 meter.Masyarakat setempat masih mempercayai, air terjun ini memiliki
kekuatan supra natural. Lokasi wisata alam ini ramai dikunjungi orang pada
bulan Sura (kalender Jawa). Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit, pada bulan itu
dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Siram dan Siraman memiliki arti yang hampir
sama. Kata Siram dapat diartikan mandi. Di sini ditegaskan bahwa mandi adalah tindakan
aktif yang dilakukan oleh orang tersebut untuk membersihkan diri dari kotoran dengan
menggunakan air yang bersih. Sedangkan Siraman dapat diartikan guyuran atau curahan,
sebagai tindakan pasif karena yang melakukan tindakan bukan dirinya sendiri melainkan orang
lain yang menyiraminya dengan air. Selain itu juga, kata siraman juga diartikan dimandikan.
Rohmah (2015)Secara umum acara ini terdiri dari pementasan tarian tradisional, larung sesaji,
pengambilan tirta amerta dan mandi bersama. Sebelum pertunjukan tari dimulai, seorang
sesepuh berjalan menuju Air terjun Sedudo, di belakangnya berderet beberapa sesepuh lain yang
membawa sesaji, di susul beberapa penari dan yang paling belakang beberapa perjaka dan
gadis-gadis perawan yang cantik-cantik. Setibanya di kolam Air terjun Sedudo, tarian
tradisional pun segera dipentaskan. Prosesi dilanjutkan dengan ritual larung sesaji di kolam Air
Terjun Sedudo oleh Bupati Nganjuk dan beberapa kepala dinas yang ada di kabupaten Nganjuk.
Setelah usai, para penari kembalimementaskan tarian. Setibanya di kolam Air terjun Sedudo,
tarian tradisional pun segera dipentaskan. Prosesi dilanjutkan dengan ritual larung sesaji di
kolam Air Terjun Sedudo oleh Bupati Nganjuk dan beberapa kepala dinas yang ada di
kabupaten Nganjuk. Setelah usai, para penari kembali mementaskan tarian [4].
Dalam ritual tersebut sering menggunakan tanaman-tanaman sekitar. Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tanaman yang digunakan ritual siraman air
terjun Sedudo dan mengetahui tingkat kegunaan tumbuhan ritual yang digunakan dalam acara
tersebut.
METODE PENELITIAN
FL = Ip/Iu*100%
Keterangan :
FL : menghitung pentingnya spesies untuk sebuah alasan tertentu
Ip : jumlah informan yang menyebutkan spesies yang dimanfaatkan
Iu : jumlah total dari informan yang menyebutkan spesies tersebut untuk banyak penggunaan.
Hasil penelitian dan wawancara terhadap 13 orang, satu orang diantaranya adalah Kepala
bagian kebudayaan dinas Pariwisata Kab. Nganjuk, pimpinan ritual dan masyarakat. Tumbuhan
yang digunakan dalam ritual siraman air terjun Sedudo telah dilakukan observasi tentang
tumbuhan yang digunakan dalam ritual siraman air terjun Sedudo terdapat 2 kelompok, yaitu
tumbuhan khusus dan tumbuhan sesaji. Tumbuhan khusus merupakan tumbuhan yang wajib ada
pada upacara siraman (Tabel 1), sedangkan tumbuhan sesaji merupakan tumbuhan-tumbuhan
polo pendhem digunakan untuk sesajian dalam bentuk makanan jadi yang dibawa oleh
masyarakat peserta ritual (Tabel 2).
Tumbuhan di Tabel 1 merupakan tumbuhan yang tumbuh pada kawasan air terjun sedudo.
Dalam pengambilan tumbuhan-tumbuhan ritual tidak melalui proses yang selektif, dan
tumbuhan yang digunakan dalam ritual tersebut merupakan tumbuhan yang masih segar dan
baru dipetik dan hanya pada usia panen tumbuhan tersebut bisa digunakan untuk kegiatan ritual
tersebut.
Pada tumbuhan sesaji yang digunakan dalam ritual siraman adalah tumbuhan yang
tergolong polo pendhem.Tumbuhan polo pendhem ini berfungsi untuk sesaji pada ritual siraman
air terjun sedudo. Tumbuhan polo pendhem banyak sekali didapatkan di hutan-hutan yang
tumbuh secara liar.
Bagian yang digunakan dalam ritual siraman air terjun sedudo dari total keseluruhan
tumbuhan yang digunakan dalam ritual tersebut ada pada tabel 3.
Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyrakat lokal secara
turun temurun.Pusat dari pengetahuan tradisional adalah tumbuhan yang digunakan pada ritual
siraman air terjun sedudo. Dalam lingkup kehidupan sebagian besar masyarakat ketergantungan
hidup kepada sumber daya alam yang tersedia tercermin dalam berbagai bentuk tatanan adat
istiadat yang kuat. Indek konsesus atau informan consensus digunakan untuk menghitung
pemanfaatan tumbuhan yang digunakan dalam ritual siraman air terjun sedudo.Perhitungan
dengan menggunakan consensus ini untuk mengetahui kepentingan tiap-tiap tumbuhan yang
digunakan untuk keperluan upacara.
Kepentingan tanaman yang telah dianalisis akan menghasilkan nilai dari fidelity level. Hasil
analisis Index Consensus (IC) tumbuhan ritual di atas, diperoleh 4 jenis tumbuhan yang
memiliki nilai Index consensus (IC) lebih tinggi daripada tumbuhan lainnya. Keempat tumbuhan
itu diantaranya adalah kenanga, melati, mawar, dankantil. Mayoritas masyrakat banyak yang
membudidayakan keempat tumbuhan tersebut, melihat kondisi lingkungan dan suhu yang cocok
untuk ditanami bunga-bunga tersebut sehingga masyarakat luas membudidayakan sebagai mata
pencahariaanya. Pandanwangi (Pandanusamarylilfolius) mendapat kanpersentase 92,3%, ketela
(Manihotutilisima) 84,9%, pisang (Musa paradisiaca) 76,9%, ganyong (Canna edulis) 69,2%,
suweg (Amorphophallus campanulatus) 61,5%, dansirih (Piper betle Linn) 61,5%, sedangkan
perolehan paling sedikit adalah Uwi (Dioscoreaalata) dangarut (Marantaarundinacea) 53,8%.
Uwi dan garut memiliki nilai penggunaan paling sedikit dikarenakan bahwa masyarakat jarang
yang menanamnya dan dibiarkan di kebun ataupun hutan dengan tumbuh secara liar. Apabila
semakin tinggi nilainya maka tumbuhan ini dianggap semakin penting kegunaannya dan apabila
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 135
semakin sedikit fidelity levelnya maka tanaman dianggap tidak begitu penting dalam
pelaksanaan upacara tersebut.
Bentuk upaya pelestarian tumbuhan ritual sebagai alat atau media yang digunakan dalam
ritual siraman air terjun Sedudo perlu dikaji hubungan masyarakat dan tumbuhan-tumbuhan
ritual yang ada di desa Ngliman. Pada umumnya, masyarakat di setiap lokasi penelitian
mempunyaitanggapanyang baik terhadap upaya pelestarian tumbuhan terutama yang digunakan
dalam ritual siraman air terjun Sedudo. Usaha-usaha pelestarian yang telah dilakukan
olehmasyarakat diantaranya, sebagian besar masyarakat membudidayakan tumbuhan ritual.
Tumbuhan mawar, kenanga, kantil, dan melati, yang di tanam pada sekitar rumah-rumah
dan ladang.Keempat tumbuhan tersebut mendapatkan nilai Index Consensus paling tingg yaitu
100%i dikarenakan letak geografis dari desa Ngliman yang baik untuk pembudidayaan
tumbuhan bunga-bunga tersebut, sehingga kesadaran masyarakat untuk mengkonservasi
keempat tumbuhan tersebut sangat tinggi. Tumbuhan pandan wangi memiliki persentase 92,3%
memiliki persentase sedikit lebih dikarenakan tumbuhan pandan wangi pada merupakan
tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan. Volume penggunaan tumbuhan
tersebut juga akan semakin meningkat, untuk kesadaran masyarakat mengkonservasi tumbuhan
pandan hanya pada sekitar pekarangan warga. tumbuhan polo pendhem memiliki persentase
yang berbeda seperti ketela (Manihotutilisima) mendapatkan84,9%, suweg
(Amorphophalluscampanulatus) mendapatkan 61,5%, ganyong (Canna edulis)mendapatkan
69,2%, Uwi (Dioscoreaalata), dangarut (Marantaarundinacea) mendapatkan 53,8%.Ketela
(Manihotutilisima) merupakan tumbuhan polo pendhem yang persentasenya paling tinggi
dikarenakan banyaknya masyarakat yang membudidayakan tumbuhan tersebut yang ditanam di
sekitaran rumah masyarakat. Tumbuhan polo pendhem suweg, ganyong, uwi, dan garut,
mendapatkan nilai persentase yang relative rata antara 53,8% hingga 69,2%. Tumbuhan polo
pendhem mendapatkan persentase sedikit dikarenakan masyarakat membiarkan tumbuhan polo
pendhem tumbuh liar dihutan-hutan.Tumbuhan polo pendhem juga digunakan sebagai makanan
masyarakat di desa Ngliman.
SIMPULAN
Tanamanyang digunakan dalamacara ritual siraman air terjun Sedudo ada 12 jenis dengan
tingkat kegunaan tumbuhan pada ritual adalahbungakenanga (Canangaodorata (Lamk.) Hook.)
100%, melati (Jasminumsambac) 100%, kantil (Michelia alba) 100%, mawar (Rosa alba)
100%, pandanwangi (Pandanusamarylilfolius)92,3%, ketela (Manihotutilisima)84,9%, suwek
(Amorphophalluscampanulatus)61,5%, uwi (Dioscoreaalata)53,8%, ganyong (Canna
edulis)69,2%,garut (Marantaarundinacea)53,8%,daunsirih (Piper betle Linn) dan buah pisang
(Musa paradisiaca)61,5%. Persentase yang rendah menandakan bahwa tumbuhan tersebut sulit
didapatkan di daerah tersebut, sehingga perlu adanya konservasi agar tumbuhan ritual yang
digunakan tersedia didaerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Karakterisasi sifat agronomi pada 20 aksesi rami yang ditanam di kebun Percobaan
Cobanrondo, Malang, pada ketinggian 1,450 dpl. Setiap aksesi ditanam dalam petak percobaan
dengan luas masing-masing aksesi 50 m2 dengan jarak antar aksesi/petak 1 m. Dosis pupuk
yang digunakan adalah 100 kg Urea + 200 kg Phonska per hektar + pupuk kandang dengan
dosis 10 ton/ha. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengubin 1m2. Masing-masing
petak diambil 3 ubinan. Karakter Tinggi tanaman, diameter batang, Bobot basah brangkasan
per m2, Bobot Basah Batang tanaman 1 m2, jumlah tinggi tanaman > 1 m per meter, jumlah
tinggi tanaman < 1 m per meter, bobot kering serat, dan rendemen serat. Tinggi tanaman setiap
aksesi rami berkisar 136,90-221,90 cm dengan koefisien keragaman 12,99%, Diameter batang
berkisar 6,51-9,97 mm dengan koefisien keragaman 11,80%, Bobot basah brangkasan 1 m2
berkisar 2,30-5,56 kg dengan koefisien keragaman 24,36%, Bobot Basah Batang tanaman 1 m2
berkisar 0,97-3,26 kg dengan koefisien keragaman 30,13%. Jumlah tinggi tanaman > 1 m per
m2 berkisar 15,00-48,61 batang dengan koefisien keragaman 27,81%, jumlah tinggi tanaman <
1 m per m2 berkisar 11,00-29,67 batang dengan koefisien keragaman 30,57%, bobot kering
serat berkisar 49,00-104,00 gr dengan koefisien keragaman 20,49% dan rendemen serat kering
berkisar 2,85-5,76% dengan koefisien keragaman 20,49%. Terdapat 8 aksesi yang bobot basah
batang per m2 lebih besar dari 2 kg yaitu Lembang Hijau, Pujon 13, Japan 102, Jawa Timur,
Medan, Philipina, Pujon 10 dan Jawa Timur 3-0. Terdapat 7 aksesi yang memiliki rendemen
serat lebih dari 4% yaitu aksesi Bagiwachuco, Pujon G, Seiki Seiskin, Borneo, Florida,
Philipina dan Indocina. Dengan mengetahui potensi rendemen serat, maka untuk perakitan
varietas rami sebaiknya mempertimbangkan sifat ini.
PENDAHULUAN
Tanaman rami sudah dikenal manusia sejak kira-kira 2000 tahun Sebelum Masehi. Rami
diduga berasal dari Negeri Cina bagian tengah dan barat [1], dan sampai sekarangpun rami
berkembang sangat baik di negeri tirai bambu tersebut. Rami mulai ditanam di Indonesia sejak
tahun 1937, yang mencakup wilayah pertanaman di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatra Utara, dan Sulawesi [2]. Perkembangan tanaman rami di Indonesia mengalami pasang
surut, setelah beberapa tahun lamanya tidak ada perkembangan, maka pada tahun 1957-1990
dilakukan gerakan penanaman rami secara gencar, namun tidak mampu berkembang. Tahun
2003 pemerintah melalui Kementerian Usaha Kecil dan Menengah berusaha mengembangkan
tanaman rami di beberapa daerah baik di Jawa maupun di Sumatra, yaitu di provinsi Lampung
80 ha, Sumatera Selatan 100 ha, Bengkulu 20 ha, Sumatera Utara 20 ha, dan Wonosobo 20 ha.
Berhubung perkembangan tanaman rami belum terkoordinasi secara konkrit, maka data luas
areal maupun produksinya sulit diperoleh kepastiannya [2].
Bila dilihat dari sejarah perkembangan tanaman rami di Indonesia, dari tahun ke tahun
tidak menunjukkan laju perkembangan yang positif tetapi justru cenderung semakin menurun
baik areal maupun produksinya. Menurut [2] menyatakan bahwa kurang berhasilnya
perkembangan rami di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) Pasar, tidak jelasnya
pasar dan harga yang standar, menyebabkan kurangnya animo petani untuk mengusahakan
tanaman rami; 2) Kebutuhan serat, belum ada industri tekstil yang secara transparan
menggunakan bahan baku serat rami, hal ini menyebabkan tidak diketahuinya dengan pasti
sebenarnya berapa jumlah serat rami yang dibutuhkan oleh industri tekstil; 3) Lahan
pengembangan, pemilihan lahan yang kurang memenuhi persyaratan teknis, mengakibatkan
pertumbuhan tanaman rami tidak optimal sehingga produksi yang dihasilkan selalu rendah; 4)
Alat dekortikator, pengadaan mesin dekortikator di tingkat petani yang tidak pernah terIaksana,
menyebabkan panen terlambat sehingga produksi menjadi berkurang dan petani tidak mampu
untuk memproses secara manual; dan 5) Varietas, penggunaan varietas asalan (tidak jelas
varietasnya, mutu bibit rendah) menyebabkan pertumbuhan tidak seragam dan produktivitasnya
rendah.
Indonesia sebagai negara agraris dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sampai saat
ini masih mengimpor kapas sebagai bahan baku industri tekstil sebanyak 99,5% dari kebutuhan
nasional, karena kapas dalam negeri hanya mampu memenuhi 25 ribu ton dari total kebutuhan
kapas sebanyak 550.000 ton [3]. Rendahnya produktivitas kapas di Indonesia disebabkan
beberapa factor diantaranya: rendahnya mutu genetik, mutu benih yang digunakan dan
lingkungan. Kehilangan hasil akibat mutu benih diperkirakan mencapai 30% yang disusul oleh
serangan hama penyakit dan kekeringan [4]. Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan
pada kapas adalah penggunaan serat alami yang berasal dari tanaman rami (Boehmeria nivea L.
Gaudich). Serat rami memiliki karakteristik mirip kapas dan dapat digunakan sebagai bahan
baku tekstil. Serat rami tergolong dalam serat panjang, kuat, dan baik untuk bahan baku tekstil
karena memiliki struktur yang mirip dengan serat kapas [5]. Selain itu, rami memiliki
keunggulan dalam hal kekuatan dan daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan kapas serta
memiliki warna dan kilau serat setara sutera alam. Keunggulan lain dari rami adalah
produktivitas per hektar yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kapas, yaitu 5,6:1 [6].
Sekarang ini busana berbahan baku rami mulai digunakan sebagai pengganti kapas oleh para
pengusaha tekstil. Serat rami digolongkan sebagai serat lunak yang tidak berlignin karena
sangat sedikit kadar ligninnya [7].
Rami sebagai salah satu sumber kenekaragaman hayati tanaman tropis yang sesuai dengan
iklim Indonesia dan menghasilkan serat. Rami dapat tumbuh di dataran rendah maupun
perbukitan dengan ketinggian 100 - 1.500 dpl. Dengan demikian, tanaman rami berpeluang
besar untuk membantu suplai serat untuk pabrik tekstil. Tanaman rami perlu mendapatkan
perhatian yang lebih guna memenuhi kebutuhan serat bagi perindustrian teksti di Indonesia.
Selain itu, guna meningkatkan produksi serat rami diperlukan bahan tanaman yang memiliki
produktivitas tinggi. Beberapa aksesi rami yang berpotensi produksi tinggi telah dimiliki oleh
Balittas, guna menjaga plasma nutfah rami yang ada perlu dilakukan konservasi plasmanutfah
rami. Pada makalah ini akan dipaparkan tentang keragaman 20 aksesi rami (Boehmeria nivea l.
Gaudich) koleksi Balittas di Cobanrondo, Malang.
METODE PENELITIAN
Kegiatan karakterisasi pada 20 aksesi rami yang ditanam di kebun Percobaan Cobanrondo,
Malang, pada ketinggian 1,450 dpl dilakukan pada bulan Januari-Desember 2014. Setiap aksesi
ditanam dalam petak percobaan dengan luas masing-masing aksesi 50 m2 dengan jarak antar
aksesi/petak 1 m. Dosis pupuk yang digunakan adalah 100 kg Urea + 200 kg Phonska per hektar
+ pupuk kandang dengan dosis 10 ton/ha. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
mengubin 1m2. Masing-masing petak diambil 3 ubinan. Adapun variable pengamatan meliputi:
Karakter Tinggi tanaman, diameter batang, Bobot basah brangkasan per m2, Bobot Basah
Batang tanaman 1 m2, Jumlah tinggi tanaman > 1 m per m2, Jumlah tinggi tanaman < 1 m per
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
138 ISSN: 1978-1520
m2, Bobot kering serat, dan Rendemen serat. Data yang diperoleh dilakukan analisis deskriptif
kuantitatif.
Diameter Batang
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap diameter batang ke 20 aksesi rami yang
ditunjukkan pada Table 1. Rerata diameter aksesi rami berkisar 6,51-9,97 mm dengan koefisien
keragaman 11,80%. Menurut [7] menyatakan bahwa diameter batang tanaman rami dapat
mencapai antara 8-20 mm. Berdasarkan kriteria tersebut menunjukkan bahwa beberapa tanaman
rami pada percobaan ini mengalami pertumbuhan yang normal.
Diameter batang yang besar menunjukkan bahwa tanaman mengalami pertumbuhan yang
normal. Pertumbuhan tidak akan terlepas dari keberadaan nutrisi dalam tanah dan juga hormon
alami yang terdapat dalam tanaman. Adanya pembelahan dan pembesaran sel meristem apical
yang dipengaruhi oleh hormon auksin dan sitokinin yang menyebabkan terjadinya pertambahan
diameter batang [15]. Pembelahan sel yang terjadi pada meristem apikal dari kuncup terminal
menyebabkan meristem apikal secara langsung membentuk jaringan ikatan pembuluh yang
berupa xylem primer dan floem primer. Dengan demikian, diameter batang dapat menjadi
bertambah. Hal ini diperkuat oleh pendapat [16] yang menyatakan bahwa pertambahan lebar
batang juga disebabkan oleh aktivitas kambium dalam menghasilkan xilem dan floem sekunder.
Selain itu, perkembangan diameter batang dipengaruhi oleh fotosintesis dan akumulasi
fotosintat untuk pertumbuhan batang, baik ke arah longitudinal maupun ke arah radial. Batang
dikotil herba tidak setegar dan sekuat batang dikotil tumbuhan berkayu karena tidak
mengandung gelang-gelang xilem berkayu [17]. Dengan demikian, pembesaran batang ke arah
lateral. Tanaman rami termasuk tanaman dikotil herba terbatas, yaitu hanya bergantung pada
pembesaran yang terjadi karena diferensiasi sklerenkim (serat) dari kambium dan pembesaran
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 139
sel-sel nonmeristematik. Oleh karena itu, besarnya diameter batang banyak bergantung pada
dimensi besarnya kuncup terminal yang tumbuh dari rizom, sedangkan ukuran besarnya rizom
bergantung pada kesuburan tanah periode sebelumnya.
Tabel 1. Rata-rata tinggi, diameter, BB Brangkasan, BB batang, jumlah anakan produktif dan
jumlah anakan non produktif, BK serat, Rendemen serat 20 aksesi plasma nutfah rami.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 aksesi plasma nutfah rami di Kebun
Percobaan Cobanrondo, Malang dapat disimpulkan, bahwa Tinggi tanaman setiap aksesi rami
berkisar 136,90-221,90 cm dengan koefisien keragaman 12,99%, Diameter batang berkisar
6,51-9,97 mm dengan koefisien keragaman 11,80%, Bobot basah brangkasan 1 m2 berkisar
2,30-5,56 kg dengan koefisien keragaman 24,36%, Bobot Basah Batang tanaman 1 m2 berkisar
0,97-3,26 kg dengan koefisien keragaman 30,13%. Jumlah tinggi tanaman > 1 m per m2 berkisar
15,00-48,61 batang dengan koefisien keragaman 27,81%, jumlah tinggi tanaman < 1 m per m2
berkisar 11,00-29,67 batang dengan koefisien keragaman 30,57%, bobot kering serat berkisar
49,00-104,00 gr dengan koefisien keragaman 20,49% dan rendemen serat kering berkisar 2,85-
5,76% dengan koefisien keragaman 20,49%. Terdapat 8 aksesi yang bobot basah batang per m2
yaitu Lembang Hijau, Pujon 13, Japan 102, Jawa Timur, Medan, Philipina, Pujon 10 dan Jawa
Timur 3-0. Terdapat 7 aksesi yang memiliki rendemen serat lebih dari 4% yaitu aksesi
Bagiwachuco, Pujon G, Seiki Seiskin, Borneo, Florida, Philipina dan Indocina.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Vavilov, N, 1951. The origin, variation, and breeding of cultivated plants, Chron. Botan
13:21-26.
[2] Sudjindro, 2005. Pemuliaan Tanaman Rami (Boehmeria nivea [L.] Gaud), Rami,
Monograf Balittas No.8, Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
[3] Anonim, 2012. http://ekonomi.kompasiana: antara-ekspor-dan-impor-industri-kapas-
indonesia, diakses 2 Januari 2012, 10.15 WIB.
[4] Anonim, 2013. Karisma-1 pemuliaan tanaman kapas dengan teknik mutasi radiasi,
Media informasi ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir (Atomos). www.batan.go.id.
[5] Buxton, A., and P. Greenhalg, 1989. Ramie, short live curiosity or fibre, the future textile
outlook international. The Economist Intellegence Unit 5: 52-71.
[6] Sumarno, 1980. Suatu Studi Kemungkinan Penggunaan Serat Rami sebagai Bahan Baku
Tekstil, Bandung: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil.
[7] Escobin, R.P. 2003. Boehmeria nivea [L.] Gaudich. PROSEA. Plant Resources of South-
East Asia 17: Fiber Plant. M. Brink & R.P. Escobin (eds.). Backhuys Publishers, Leiden.
[8] Setyo-Budi. U., Hartati, S, dan R.D. Purwati, 2005. Biologi Tanaman Rami (Boehmeria
nivea [L.] Gaud), Rami, Monograf Balittas No.8, Balai Penelitian Tanaman Tembakau
Dan Serat, Malang.
[9] Sarwar, G. M. Baber. N.Hussain, I.A. Khan, M. Naeem, M.A. Ullah and A.A. Khan.
2011. Genetic dissection of yield and ist components in upland cotton (Gosypium
hirsutum L.). African Journal of Agricultural Research 6 (11): 2527-2531.
[10] Taiz, L. and E. Zeiger, 2006. Plant physiology, The Benjamin/Cumming Publishing Co.
Inc. California.
[11] Wareing, P.F. and I.D.J. Pillips, 1978. The Control of Growth and Differentiation in
Plants. Toronto: Pergamon Press.
[12] Heliyanto, B., U. Setyo- Budi dan H. Sudarmo, 1999. Selection criterion for rami
(Boehmeria nivea [L.] Gaud). http://agris.fao.org/agrissearch/search/display.do?
F=2000% 2FID00014.xml%3BID2000000419. diakses 20 Mei 2016.
[13] Ahmad, R.T, Malik, I.A. Khan and M.J. Jaskani, 2009. Genetic analisys of some morpho-
physiological traits related to drought stress in cotton (Gosypium hirsutum). International
journal of agriculture & biology. 1560-8530; ISSN: 1814-9596.08-303/AWB/2009/11-3-
235-240. http://www.fspublishers.org.
[14] La-Vina, H.C. 1993. Stability of Yield and fiber fineness in rami (Boehmeria nivea [L.]
Gaud). http://agris.fao.org/agrissearch/search/display.do? F=1994%
2FPH%2FPH94008.xml%3BPH9410635. diakses 20 Mei 2016.
[15] Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.I. Mitchell, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya,
Penerjemah: Susilo, H.. Jakarta: UI Press.
[16] Fahn, A., 1995. Anatomi Tumbuhan, Penerjemah: Soediarto, A. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada Press.
[17] Cheadle, V.I., and K. Esau, 1964. Secondary phloem of liriodendron tulipifera.
Calif.Univ.Publ.Bot. 36, 143-252.
[18] Sitompul, S.M. dan B. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press.
[19] Salisbury, F.B. dan C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Biokimia Tumbuhan, jilid 2.
Penerjemah: Lukman, D.R. dan Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB.
[20] Wan Qiang., Xiao Zehong, Wang Chuntao, and Li Tsongdao, 1989. Studies on Nutritive
Peculiarity and Fertilization of Fine Quality and High Yield Ramie, First Int. Sym. on
Ramie Profession, Changsa. Hunan, China.
[21] Hong, Y.C., Read, P.E., Harlander, SK., and Labuza, T.P., 1989. Development of a tissue
culture system from immature strawberry fruits, J. Food Sci, 54: 388-392.
[22] Djumali, Mulyaningsih, S., dan Santoso, B., 2005. Respon tiga aksesi rami terhadap
appupuk p pada tahun pertama di wonosobo, Prosiding Lokakarya. Model
Pengembangan Agribisnis Rami, Garut -November -24 -2005. Puslitbang Perkebunan.
[23] Zubaidi-Kailani, 2012. Pemanfaatan limbah pengolahan serat alam (rami) untuk kain
non-woven dan komposit. Prosising Seminar Nasional Serat Alam. Balai Penelitian
Tanaman Pemanis dan Serat, Malang, hlm. 303-309.
Pengaruh Berbagai Dosis dan Waktu Aplikasi Azolla pinnata Kering Terhadap
Pertumbuhan Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
Abstrak
Kacang hijau (Vigna radiata (L.)) merupakan tumbuhan yang memiliki responsif yang sangat
baik terhadap pupuk N.Agar kebutuhan nitrogen terpenuhi dan dapat menyuburkan tanah tanpa
menurunkan produktivitas kacang hijau, maka diperlukan penyeimbang berupa pupuk organik
yang memiliki kandungan N tinggi yaitu Azolla sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pertumbuhan kacang hijau (Vigna radiata (L.)) dengan pemberian berbagai dosis
dan waktu aplikasi Azolla sp.Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2016 di Desa Jabon
Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri. Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan
menggunakan desain Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial, dengan 2 faktor perlakuan.
Faktor 1 dosis Azolla dengan konsentrasi D0 = 0% mmt, D1 = 1% mmt, D2 = 1.5% mmt, D3 =
2% mmt dan faktor 2 waktu aplikasi Azolla terdiri dari W1 = 14 hbt, W2 = 7 hbt, W3 = 0 hwt,
W4 = 7 hst. Penelitian diulang sebanyak 2 kali.Parameter pertumbuhan yang diamati adalah
tinggi tanaman dan jumlah daun yang diamati pada 28 hst. Data yang diperoleh dianalisis
dengan analisis variansi, yang dilanjutkan uji BNT pada taraf 5% pada STATS 6.2.Hasil
penelitian darikeempat perlakuan kombinasi dosis dan waktu aplikasi Azolla sp.
Menunjukkantidak ada interaksi pada keduanya.Perlakuanwaktu aplikasi juga tidak
berpengaruh. Sedangkan aplikasi dosis Azolla sp. memberikan pengaruh positif terhadap
parameter pertumbuhan jumlah daun dan tinggi tanaman yang diamati pada umur 28 hst.
Dosis pemberian yang efektif adalah 1% mmt karena memiliki rata-rata tertinggi dibanding
dosis lain.
PENDAHULUAN
Kacang hijau (Vigna radiata L.) termasuk tanaman pangan yang telah dikenal luas oleh
masyarakat. Tanaman yang termasuk dalam keluarga kacang-kacangan ini sudah lama
dibudidayakan di Indonesia. Tanaman ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-
hari sebagai sumber bahan pangan berprotein nabati tinggi. Di Indonesia, tanaman kacang hijau
merupakan tanaman kacang-kacangan ketiga yang dibudidayakan setelah kedelai dan kacang
tanah. Kacang hijau merupakan sumber protein nabati, vitamin A, B, C dan E serta beberapa zat
lain yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti amilum, besi, belerang, kalsium,
minyak lemak, mangan, magnesium dan niasin[1].Kacang hijau merupakan salah satu bahan
pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas selainberas. Karena tanaman ini
tergolong tinggi penggunaannya dalam masyarakat, maka kacang hijau memiliki tingkat
kebutuhan yang cukup tinggi[1].
Dibanding dengan tanaman kacang-kacangan lainnya, kacang hijau memiliki kelebihan
dari segi agronomi dan ekonomis, seperti: (a) lebih tahan kekeringan, (b) serangan hama dan
penyakit lebih sedikit, (c) dapat dipanen pada umur 55-60 hari, (d) dapat ditanam pada tanah
yang kurang subur, dan cara budidayanya mudah, (e) resiko kegagalan panen secara total adalah
kecil, (6) harga jual tinggi dan stabil, (7) dapat dikonsumsi langsung oleh petani dengan
pengolahan yang mudah[2].
Rendahnya produksi kacang hijau (Vigna radiata L.) dapat diakibatkan karena menurunnya
kesuburan tanah dan penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus tanpa diimbangi
pemberian pupuk organik yang akan memberikan pengaruh buruk terhadap tanah, hal ini
menyebabkan kandungan organik dalam tanah semakin berkurang sehingga produktifitas lahan
menurun begitu juga dengan pertumbuhan kacang hijau terganggu dan hasil panen mengalami
penurunan.
Ketika kekurangan unsur hara nitrogen, tanaman menunjukkan gejala pada batang yang
rapuh dan mudah roboh. Sehingga pengaplikasian pupuk nitrogen kepada tanaman harus tetap
terpenuhi[3]. Ketersediaan nutrisi yang cukup yang dapat diserap untuk pertumbuhan tanaman,
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil [4]. Tanah sebagai tempat tumbuh
tanaman harus mempunyai kandungan hara yang cukup untuk menunjang proses pertumbuhan
tanaman sampai berproduksi, artinya tanah yang digunakan harus subur. Alternatif yang dapat
digunakan pada permasalahan penyediaan pupuk untuk tanaman yaitu memberikan pupuk N
khususnya pada masa awal pertumbuhan tanaman dengan mengaplikasikan bahan-bahan
organik yang ramah lingkungan seperti kompos atau pupuk organik yang di dalamnya
terkandung unsur N. Azolla sp. dapat menjadi alternatif dalam penyediaan unsur hara N pada
tanaman.
Seperti halnya tanaman leguminosa, azolla mampu menambat N2di udara karena
berasosiasi dengan sianobakter (Anabaena azollae) yang hidup di dalam rongga daunnya.
Asosiasi Azolla-Anabaena memanfaatkan energi yang berasal dari hasil fotosintesis untuk
mengikat N2udara. Azolla memiliki nisbah C/N antara 12-18, sehingga dalam waktu 1 minggu
biomassa azolla telah terdekomposisi secara sempurna. Dengan alasan ini, biomassa azolla
dapat langsung dibenamkan ke dalam tanah sebelum tanam[5]. Biomassa Azollayang dapat
dijadikan sebagai pupuk organik ini cocok dikembangkan oleh para petani karena sangat mudah
untuk diaplikasikan serta relatif murah dan tidak memerlukan biaya tambahan yang
memberatkan petani[6].
Dalam pemanfaatannya sebagai pupuk hayati, di lapang tanaman ini dapat ditemukan
dalam wujud berupa azolla segar, kering, maupun kompos[3]. Namun pengaplikasian Azolla sp.
dalam wujud kering pada media tanam akan lebih mudah didekomposisi oleh mikroba dan dapat
menambah suplai nitrogen yang dibutuhkan oleh tanaman terutama pada tahap awal masa
pertumbuhan tanaman.Selainitu proses mineralisasi akan lebih cepat terjadi[7].
Ditambahkan oleh Sutanto[5] bahwa pembenaman azollakering ke dalam tanah sangat
dianjurkan agar mempercepat proses dekomposisi dan pelepasan unsur hara dapat lebih awal,
sehingga peran tanaman ini sebagai pupuk organik mendapatkan hasil yang lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai dosis dan waktu aplikasi Azolla
sp.terhadaplajupertumbuhantanamankacanghijau (VignaradiataL.)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juli 2016 di Desa Jabon Utara, Kecamatan
Banyakan, Kabupaten Kediri. Alat yang digunakan adalah jaring jala, alat penggiling, mistar,
gembor, timbangan analitik, polybag, ayakan tanah, kertas label, ATK dan kamera. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah Azolla sp.yang diperoleh dari lahan persawahan dan rawa-rawa di
Desa Tanjungkalang, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, biji kacang hijau (Vigna
radiata (L.)) varietas sriti diperoleh dari UPBS Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan
Umbi Malang, tanah liat berpasir, dan abu sekam. Azolla segar kemudian dikeringkan dengan
cara dijemur hingga kering, kemudian di giling dengan alat selep.
Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan desain Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktorial, dengan 2 faktor perlakuan. Faktor 1 dosis Azolla dengan
konsentrasi D0 = 0% mmt, D1 = 1% mmt, D2 = 1.5% mmt, D3 = 2% mmt dan faktor 2 waktu
aplikasi Azolla terdiri dari W1 = 14 hbt, W2 = 7 hbt, W3 = 0 hwt, W4 = 7 hst. Penelitian
diulang sebanyak 2 kali. Parameter pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman dan
jumlah daun yang diukur setiap 1 minggu sekali setelah 7 hst. Data yang diperoleh dianalisis
dengan analisis variansi, yang dilanjutkan BNT pada taraf 5% pada STATS 6.2.
Tinggi Tanaman
Hasil perhitungan analisis variansi dengan menggunakan program STATS 6.2
menunjukkan interaksi antara kombinasi dosis dan waktu aplikasi Azolla sp tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan tinggi tanaman karena hasil F. hitung < F. tabel yakni 1,5735< 2,590.
Begitu pula dengan waktu aplikasi Azolla sp. yang tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
tinggi tanaman, dengan nilai F.Hitung < F.Tabel yakni 1,2606< 3,290. Hal tersebut dapat
diakibatkan karena jarak waktu aplikasi terlalu pendek, sehingga Azolla sp. belum
terdekomposisi dengan tanah.Sedangkan untuk dosis pemberian Azolla sp. berpengaruh
terhadap pertumbuhan tinggi tanaman yang menunjukkan F.Hitung > F.Tabel yakni 15,5810>
3,290. Sutedjo dan Kartasapoetra[8] menambahkan bahwa bila salah satu faktor lebih kuat
pengaruhnya dari faktor lain maka faktor lain tersebut akan tertutupi, dan masing-masing faktor
mempunyai sifat yang jauh pengaruhnya dan sifat kerjanya. Lebih lanjut dapat dilihat pada tabel
uji BNT 5% di bawah ini (Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh dosis Azolla sp.terhadap tinggi tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) pada
umur 28 hst.
KonsentrasiDosis (mmt) Tinggitanaman(cm)
D1 = Dosis 1 % 27,84 a
D2 = Dosis 1,5 % 20,60ab
D3 = Dosis 2 % 16,46 abc
D0 = Dosis 0 % 5,18 d
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian dosis Azolla sp. Berpengaruh terhadap
pertumbuhan tinggi tanaman yang diamati pada umur 28 hst. Hal ini dapat dilihat pada proses
pertumbuhan yang berjalan secara pesat dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan grafik di
atas diketahui bahwa pemberian dosis yang paling baik adalah 1 % mmt (pertumbuhan yang
paling signifikan), diikuti dengan dosis 1,5% mmt, kemudian dosis 2% mmt, sedangkan
tanaman kacang hijau tanpa perberian Azolla sp. Atau dengan dosis 0% mmt kurang maksimal
dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Suatu tanaman akan tumbuh dengan subur
bila semua unsur yang diperlukan oleh tanaman berada dalam jumlah yang cukup serta berada
dalam bentuk yang siap diabsorbsi oleh tanaman [9].
Rendahnya pertumbuhan dan hasil yang dicapai pada perlakuan aplikasi pupuk Azolla sp.
bila dibandingkan dengan kontrol dikarenakan kurangnya unsur hara yang terkandung dalam
pupuk tersebut. Tanaman tidak akan memberikan hasil yang maksimal apabila unsur hara yang
diperlukan tidak tersedia [10].
Jumlah Daun
Hasil perhitungan analisis variansi menunjukkan tidak ada interaksi antara kombinasi dosis
dan waktu aplikasi Azolla sp. Makatidak berpengaruh terhadap pertumbuhan jumlah daun
karena hasil F. hitung < F. tabel yakni 0,6398 < 2,590. Begitu pula dengan waktu aplikasi Azolla
sp. tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, dengan nilai F.Hitung < F.Tabel
yakni 1,3453< 3,290. Sedangkan untuk dosis pemberian Azolla sp. berpengaruh terhadap
pertumbuhan jumlah daun yang menunjukkan F.Hitung > F.Tabel yakni 10,1834> 3,290.Lebih
lanjut dapat dilihat pada tabel uji BNT 5% di bawah ini (Tabel 2).
Tabel 2 Pengaruh dosis Azolla sp. terhadap jumlah daun kacang hijau (Vigna radiata (L.)) pada
umur 28 hst.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan
kombinasidosis dan waktu aplikasi Azolla sp. menunjukkan bahwa tidak ada interaksi pada
keduanya, perlakuan waktu aplikasi juga tidak berpengaruh. Hal tersebut dapat diakibatkan
karena jarak waktu aplikasi terlalu pendek, sehingga Azolla sp. belum terdekomposisi dengan
tanah. Sedangkan aplikasi dosis Azolla sp. memberikan pengaruh positif terhadap parameter
pertumbuhan jumlah daun dan tinggi tanaman yang diamati pada umur 28 hst. Dosis pemberian
yang efektif adalah 1% mmt karena memiliki rata-rata tertinggi dibanding dosis lain.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penggunaan Azolla sp. sebagai pupuk pada budi
daya kacang hijau dengan memajukan waktu pengaplikasiannya sebelum dilakukan
penanaman, sehingga terjadi singkronisasi proses mineralisasi nutrisi yang dibutuhkan oleh
tanaman kacang hijau.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Purwono dan Rudi H. 2008. Kacang Hijau. Penebar Swadaya, Jakarta.
[2] Adisarwanto dkk. 1993. Kacang Hijau. Ed. 2, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang,
Malang.
[3] Putra, D.F., Soenaryo., Tyasmoro, S.Y. 2013. Pengaruh Pemberian Berbagai Bentuk Azolla
dan Pupuk N Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea mays var.
saccharata). Jurnal Produksi Tanaman. No. 4. Vol. 1. ISSN: 2338-3976.
[4] Sarief, S., 1989. Kesuburan Tanah dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.
Bandung.
[5] Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan Pengembangannya.
Kanisius, Yogyakarta.
[6] Gunawan, I. 2014. Kajian Peningkatan Peran Azolla Sebagai Pupuk Organik Kaya
Nitrogen Pada Padi Sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Vol. 14 (2): 134-138.
ISSN 1410-5020.
[7] Setyorini, D., Saraswati, R., dan Anwar, E.K. 2006. Kompos. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
[8] Sutedjo, M.M. dan Kartasapoetra. 2006. Pupuk dan Cara Pemupukan. Edisi ke-5. Rhineka
Cipta, Jakarta.
[9] Dwijosepoetro, D. 1996. Pengantar Fisiologi Tum-buhan. Gramedia, Jakarta.
[10] Syahfruddin, Nurhayati, dan R. Wati, 2012. Pengaruh Jenis Pupuk terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Beberapa Varietas Jagung Manis. http://www. google. diakses 3 September
2013.
[11] Sutejo, M. M.dan A. G. Kartasapoetra. 1988. Pupuk dan Cara Pemupukan.Bina Aksara,
Jakarta.
[12] Rinsema,W.T.1986.Pupuk dan Cara Pemupukan (terjemahan H.M. Saleh). Bharata Karya
Aksara, Jakarta.
[13] Darmawan dan J. Baharsyah. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman.Suryandara Utama,
Semarang.
[14] Wijaya, K.A. 2008. Nutrisi Tananam, Sebagai Penentu Kualitas dan ResistensiAlami
Tanaman. Prestasi Jakarta, Jakarta.
Abstrak
Talinum paniculatum Gaertn. merupakan salah satu tanaman obat yang potensial untuk
dikembangkan penggunaannya, akan tetapi dalam hal pertanian belum ditemukan teknik yang
tepat dalam pembudidayaannya. Pemuliaantanaman ginseng jawa diperlukan karena
khasiatnya yang sangat tinggi dan mudah dibudidayakan.Salahsatu usaha pemuliaan tanaman
ginseng jawa untuk menghasilkan tanaman yang unggul dan produktif bagi masyaraka,
adalahmelalui proses mutasi buatan. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh
pemberian kolkhisin dengan waktu inkubasi yang berbeda terhadap bobot segar dan bobot
kering umbi ginseng jawa. Metode penelitian eksperimen dengan desain penlitian RAK
(Rancangan Acak Kelompok) dengan perlakuan konsentrasi kolkisin yang digunakan 0.01%,
waktu inkubasi (0, 3, 6, 9, 12, 24 jam), pengulangan dilakukan sebanyak 6
kal.Parameterpengamatan adalah bobot segar umbi dan bobot kering umbi. Data di uji
menggunakan sidik ragam dengan program aplikasi komputer SPSS for Windows versi 20.0.
Jika berbeda nyata dilanjutkan uji beda nyata duncan,. Hasil penelitian menunjuka pada
perlakuan induksi lama perendaman berpengaruh terhadap bobot segar dan bobot kering umbi.
Hasil rerata tertinggi pada parameter bobot segar dan bobot kering umbi adalah perlakuan 6
jam (A2)
PENDAHULUAN
Ginseng jawa (Talinum paniculatum) Gaertn merupakan salah satu tanaman obat yang
potensial untuk dikembangkan penggunaannya. Di Indonesia, tanaman T. paniculatum dikenal
dengan nama daerah antara lain ginseng jawa, som jawa, kolesom, atau talesom. Umbi som
jawa berkhasiat sebagai obat penambah stamina (afrodisiak), obat radang paru-paru, diare, haid
tidak teratur, dan melancarkan air susu ibu (ASI) [1].
Perlunya pemuliaan tanaman Ginseng jawa karena khasiatnya yang sangat tinggi dan mudah
dibudidayakan.Salahsatu usaha pemuliaan tanaman ginseng jawa untuk menghasilkan tanaman
yang unggul yaitu dengan perbanyakan vegetatif karena sangat membantu dalam kegiatan
penyediaan bibit yang berkualitas untuk penanaman sehingga tidak tergantung pada musim
berbuah [2]. Pembiakan vegetatif lebih unggul dari pada generatif karena bibit hasil
pengembangan secara vegetatifmerupakan duplikat induknya karena mempunyai struktur
genetik yang sama [3].
Bagi petani, kurangnya teknik dalam pertanian dan cara penanaman Ginseng jawa yang
benar menyebabkan tanaman ini jarang dibudidayakan.Olehkarena itu pemuliaan tanaman dan
produktifitas tanaman perlu dikakukan. Pemuliaan tanaman akan lebih baik jika diimbangi
dengan produktifitas tanaman, karena mengingat ekspektasi kebutuhan dan potensi tanaman ini
sangat baik. Produktifitas tanaman dapat ditingkatkan dengan menanam bibit Ginseng jawa
secara unggul. Varietasunggul salah satunya dapat dirakit melalui proses mutasi buatan. Salah
satu mutagen adalah senyawa kolkhisin.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 149
Kolkhisin juga berpengaruh terhadap mutasi jumlah kromosom dan pengaruhnya pada
pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Konsentrasi kolkhisin
yang efektif yaitu 0,01%-1,00% [4]. Perubahan jumlah kromosom akan berdampak pada fenotip
dan pertumbuhan tanaman, seperti tanaman menjadi lebih kekar, bagian tanaman bertambah
lebih besar (akar, batang, daun, bunga, dan buah), dan sifat-sifat yang kurang baik akan menjadi
lebih baik tanpa mengubah potensi hasilnya.Padapercobaan-percobaan poliploidisasi digunakan
kadar-kadar larutan kolkhisin tertentu, dari kadar terendah sampai tertinggi, sehingga diperoleh
kadar optimum untuk mendapatkan tanaman poliploid dengan produksi tertinggi [5].
Kolkhisin merupakan salah satu reagen untuk mutasi yang menyebabkan terjadinya
poliploid sehingga organisme memiliki tiga set atau lebih kromosom dalam sel-
selnya.Sedangkansifat umum dari tanaman poliploid ini adalah menjadi lebih kekar, sebagai
tanaman lebih besar, sehingga nantinya sifat-sifat yang kurang baik akan menjadi lebih baik.
Selainitu kolkhisin juga dapat merubah susunan protein, vitamin, atau karbohidrat [5].
Poliploidi pada tumbuhan dapat terjadi secara alami atau buatan. Poliploidi yang sengaja
dibuat yaitu dengan menggunakan zat-zat kimia tertentu, salah satunya adalah kolkhisin. Zat
kimia ini paling banyak digunakan dan efektif karena mudah larut dalam air [4]. Beberapa
penelitian menggunakan kolkisin untuk meningkatkan kualitas poliploid pada tanaman, adapun
diantaranya: [6] Konsentrasi kolkhisin 0,01% dapat mengandakan kromosom pada I balsamina.
Pengamatan morfologi menunjukkan bahwa tanaman yang diberi kolkhisin mempunyai daun
dan batang yang lebih besar, cabang yang lebih banyak dibandingkan kontrol. Serta waktu
pembungaan yang lebih cepat dibandingkan kontrol. Jumlah kromosom tanaman diploid 2n =
2x = 12 dan pada tanaman tetraploid 2n = 2x = 24 kromosom[7]. Perlakuan perendaman
kolkisin 0,25-0,50% selama 3-6 jam pada tanaman jahe putih besar tidak berpengaruh nyata
terhadap sebagian besar sifat fenotip kecuali pada sifat tinggi tanaman umur 1 bulan, jumlah
tunas umur enam dan delapan minggu, lebar daun; panjang, lebar, dan tebal rimpang.
Berdasakan beberapa hasil penelitian diketahui penggunaan kolkhisin belum pernah dilakukan
untuk Ginseng jawa, sehingga diharapkan jika diterapkan akan berpengaruh khususnya pada
produktifitas umbi dan kadar saponin, sehingga penggunakan kolhkisin yang diinduksikan pada
stek tanaman Ginseng jawa yang diketahui mengubah tanaman bersifat poliploid.Olehkarena itu
kelebihan sifat tersebut dapat dimanfaatkan dan dilakukan beberapa pengambilan data tentang
produktifitas umbi (meliputi: data jumlah kromosom, panjang umbi, diameter umbi, jumlah
umbi, berat basah umbi, berat kering umbi) tanaman Ginseng jawa. Tujuan penelitian ini adalah
untukmengetahui pengaruh lama perendaman kolkhisin pada Ginseng jawa terhadap
produktifitas umbi akar.Manfaatpenelitian ini adalah sebagai acuan masyarakat dalam bidang
pertanian, sehingga petani dapat memperoleh informasi yang tepat tentang konsentrasi kolkhisin
untuk bertani Ginseng jawa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen untuk mengidentifikasi produktifitas umbi
Ginseng jawa terhadap pengaruh konsentrasi dan waktu inkubasi perendaman stek batang pada
kolkhisin.Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Perlakuan konsentrasi kolkisisn yang digunakan yaitu 0.01% dengan inkubasi (0 jam/kontrol, 3
jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, dan 24 jam).Pengulangandilakukan sebanyak 6 ulangan, sehingga terdapat 36
tanaman ginseng jawa.
Penelitiandilakukan di dsn.Sumberwungu Ds. BanjaranyarKec. Tanjunganom, Nganjuk
pada bulan Januari-Agustus 2016. Pengambilan bahan tanaman diambil dari Desa Plosoklaten,
Kabupaten Kediri. Bahan tanaman Ginseng jawa diperbanyak secara vegetatif dan generatif
(benih), namun lebih mudah menggunakan stek batang atau cabang yang berukuran panjang 12
cm.
Sampeltanah diambil untuk menentukan kapasitas lapang. Pengukuran kapasitas lapang ini
bertujuan untuk menentuan volume penyiraman dengan mengambil tanah pada polibag disiram
dengan air sampai menetes (jenuh) kemudian didiamkan selama 3 hari di dalam oven.
Selanjutnya tanah ditimbang berat basah dan berat keringnya hingga
konstan.Kapasitaslapangdihitungdenganrumus:
(Tb Tk)
= x 100%
Tk
Keterangan: W= Kapasitas lapang, Tb= Berat basah tanah (gram), Tk=
Beratkeringtanah (gram)
Prosedur
1. Pengemasanbahanstek
2. Penyiapan tanaman yang akan diunkabasi dengan larutan mutagen kolkisin
3. Bahan stek yang akan ditanaman harus dimasukkan dalam air sebelum ditanam. Setelah
bahan stek dan larutan kolkisin tersedia sesuai dengan dosis perlakuan yaitu 100 ppm
kemudian bahan stek direndam ke dalam larutan tersebut selama beberapa menit (3 jam, 6
jam, 9 jam, 12 jam, dan 24 jam) dan sebagai kontrol digunakan akuades.
Setelahitubahanstekditanam di media tanam.
4. Penanamandanpemeliharaan
a. Penanaman: Penanaman ginseng jawa dapat dilakukan dengan menggunakan jarak tanam
: 15x 10 cm (Talinum paniculatum)
b. Pemupukan tanaman : Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik
dengan pupuk kandang, sedangkan nonorganik menggunakan NPK Cair dan Phonska
c. Cara pemberian pupuk: Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik
dengan pupuk kandang dilakukan saat awal penanaman sebagai pupuk dasar, sedangkan
anorganik menggunakan NPK Cair dan Phonska, diberikan 1 bulan setelah tanaman.
d. Penyiraman : Penyiraman atau pengairan dilakukan sesuai dengan kapasitas lapang yang
telah ditentukan dan tingkat ketersediaan air 80% agar menghasilkan akumulasi berat
kering terbaik [1]
e. Panen : Pemanenan umbi akar ginseng jawa dilakukan 24 Minggu Setelah Tanam (MST)
atau telah memasuki fase generativ ketiga, cara pengambilan akar dengan mencabut atau
membongkar tanaman dengan garpu, kemudian bagian pangkal akar dipotong dan
dibersihkan dengan air. Hasil panen untuk setiap tanaman adalah untuk jenis : Talinum
paniculatum140 - 220 g akar segar/tanaman atau 20 - 35 g akar kering/tanaman.
Analisis data diuji dengan uji homogenitas dan normalitas sebagai uji prasarat. Data yang
memenuhi kriteria homogen dan normal dilanjutkan uji hipotesis sidik ragam dengan program
aplikasi komputer SPSS for Windows versi 20.0, apabila nilai sig. menunjukan nilai < 0.05,
maka dilakukan uji lanjutan dengan uji Duncan taraf ketelitian 0.05 untuk membandingkan
perbedaan perlakuan yang satu dengan yang lain dan untuk mengetahui pengaruh interaksi
perlakuan yang diberikan.
A0 A1 A2 A3 A4 A5
Gambar 1 Perbandingan Salah Satu Ulangan pada Morfologi Umbi Ginseng Jawa
60 40,80 38,76
(g)
0
A0 A1 A2 A3 A4 A5
Perlakuan
Gambar 2 Grafik perbandingan rerata perlakuan bobot segar dan bobot kering( ) A0;
0 jam, ( ) A1; 3 jam, ( ) A2; 6 jam, ( ) A3; 9 jam, ( ) A4; 12
jam, ( ) A5; 24 jam
Berdasarkan Gambar 2 rerata bobot segar umbi pemberian konsentrasi kolkhisin 0.01%
dengan variasi waktu 0.3,6,9,12,24 jam berturut-turut mulai yang terbesar adalah 86.22 g, 80.29
g, 54.98 g, 46.52 g, 46.25 g, 47.08 g. Rerata bobot kering umbi pemberian konsentrasi kolkhisin
0.01% dengan variasi waktu 0.3,6,9,12,24 jam berturut-turut dari yang terbesar adalah 40.80 g,
38.76 g, 29.07 g, 25.62 g, 24.33 g, 21.39 g. Untuk melihat perbedaan data yang diperoleh maka
dilakukan uji duncan (Tabel 1.)
Tabel1. Perbandingan uji Duncan bobot segar dan bobot kering
PengaruhKolkhisis Jumlah Rerata Bobot Segar Jumlah Rerata Bobot Kering
n Umbi Umbi
A0 54.97 25.24ab 25.61 8.76ab
A1 46.25 10.80a 21.42 4.35a
A2 86.22 36.43b 40.80 15.80b
A3 46.51 13.04a 24.33 8.43a
A4 80.29 22.57ab 38.75 15.36ab
A5 47.07 21.96a 29.06 13.11a
Ket: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
dan angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
pada uji jarak berganda duncan taraf 0.05
Berdasarkan Tabel 1. hasil uji duncan diperoleh bahwa perlakuan kolkhisin memiliki rerata
jumlah perlakuan bobot segar umbi yang berbeda nyata. Hasil perendaman kolkhisin selama 6
jam (A2) menunjukkan bobot segar umbi paling berat (86.22 g) dan perendaman kolkhisisn
selama 12 jam (A1) dengan rerata umbi paling ringan (46,25 g), sedangkan dari hasil perlakuan
lainnya A0 dengan bobot segar (54.98 g), A3 dengan rata-rata bobot segar umbi (46.52 g) . dan
A4 dengan rerata bobot segar umbi (80.29 g), perlakuan A5 dengan rerata bobot segar umbi
(47.08 g).
Berdasarkan Tabel 1. hasil uji duncan diperoleh bahwa perlakuan kolkhisin memiliki rerata
jumlah perlakuan bobot kering umbi yang berbeda nyata. Hasil perendaman kolkhisin selama 6
jam (A2) menunjukkan bobot kering umbi paling tinggi (40.80 g) dan perendaman kolkhisisn
selama 3 jam (A1) dengan rerata umbi paling ringan (21.39 g), sedangkan dari hasil perlakuan
lainnya A0 dengan bobot kering (25.62 g), A3 dengan rata-rata bobot kering umbi (24.33 g),
dan A4 dengan rerata bobot kering umbi (38.76 g), perlakuan A5 dengan rerata bobot kering
umbi (29.07 g).
Umbi akar merupakan modifikasi dari akar yang berfungsi sebagai penyimpan zat
tertentu.Bentukmodifikasi adalah pembesaran ukuran dengan perubahan anatomi yang jelas
terlihat.Dalam hal ini pengaruh kolkhisin akan berdampak pada jumlah kromosom,
meningkatnya jumlah kromosom akan menyebabkan ukuran sel meningkat. Pemberian
kolkhisin pada ketela pohon dengan konsentrasi 0,01% dan 0,02% dengan lama perendaman
selama 2 jam sampai 8 jam smemberikan pengaruh terhadap rerata bobot basah dan kering
tanaman ketela. Interaksi konsentrasi dan lama perendaman kolkhisin menghasilkan pengaruh
bervariasi terhadap bobot basah dan kering tanaman ketela yang dihasilkan [8].
Pada pengukuran bobot kering merupakan hasil pengeringan dari bobot segar umbi. Bobot
kering ini merupakan banyaknya penimbunan karbohidrat, protein dan vitamin serta bahan-
bahan organik lainnya. Menurut [9] bahwa pemberian kolkhisin mempengaruhi bobot kering,
dikarenakan perlakuan lebih besar terhadap kontrol.Hasilpenelitian diketahui bahwa pemberian
kolkhisin berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk binahong per sampel yaitu perlakuan
0.050% memiliki rataan tertinggi sebesar 72.227 gram dan berbeda nyata dengan perlakuan
yang lain. Hal ini diduga bahwa kolkhisin mempengaruhi banyaknya tajuk akibat pembesaran
sel dan menghasilkan bobot basah tajuk sehingga mempengaruhi bobot kering tajuk.
SIMPULAN
Pemberian kolkhisin 0.01% dengan variasi waktu inkubasi 0,3,6,9,12,24 jam dapat
mempengaruhi bobot segar, dan bobot kering, umbi. Hasil induksi perendaman selama 6 jam
(A2) dapat mempengaruhi berat basah umbi, berat kering umbi, memberikan hasil rerata
tertinggi pada hasil pengukuran umbi ginseng jawa.
SARAN
Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap jumlah kromosom pada tiap perlakuan,
juga perlunya data tambahan analisis kandungan saponin pada tiap perlakuan umbi ginseng
jawa, sehingga penelitian dapat benar-benar akurat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Solichatun, dan Endang, A. W. M. 2005. Pengaruh Ketersediaan Air Terhadap Pertumbuhan
Dan Kandungan Bahan Aktif Saponin Tanaman Ginseng Jawa (Talinum Paniculatum
Gaertn.). Surakarta: Jurusan Biologi Fmipa Uns. Biofarmasi. Vol. 3 (2): 47-51.
[2] Sudomo, A., Asep, R., dan Nina, M. 2013. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh Pada Stek
Pucuk Manglid Bi Rootone-F (Manglietia Glauca ). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol.
10 (2): 57-63
[3] Na'iem, M. 2000. Prospek Perhutanan Klon Jati Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Status Silvikultur Di Indonesia Saat Ini.Wanagama I. 1-2 Desember 2000. Fakultas
Kehutanan.Universitas Gajah Mada.Yogyakarta.
[4] Suryo. 2007. Sitogenetika. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal
219-223
[5] Sulistianingsih, R., Suyanto, Za., dan Noer A. E. 2004. Peningkatan Kualitas Anggrek
Dendrobium Hibrida Dengan Pemberian Kolkhisin Quality Improvement Of Dendrobium
Hybrid With Cholchisi. Fakultas Pertanian Upn Veteran Yogyakarta. Jurnal Ilmu
Pertanian. Vol. 11 (1): 13-21
[6] Wiendra, N. M. S., Made P., dan Ni Putu A. A. 2011. Pemberian Kolkhisin Dengan Lama
Perendaman Berbeda Pada Induksi Poliploidi Tanaman Pacar Air (Impatiens Balsamina L.).
Bali: Jurnal Biologi. Vol.15 (1): 9 14.
[7] Arianto, S. E., Parjaito, danSupriyadi. 2009. Pengaruh Kolkisin Terhadap Fenotipe Dan
Jumlah Kromosom Jahe (Zingiber officinale Rosc.). Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya
[8] Saputra E., Hendra., Lita, S. Dan Respatijarti. 2014. Aplikasi Kolkhisin Terhadap
Pertumbuhan Dan Produksi Ketela Pohon. Malang: Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya. Jurnal Pertanian. Vol. 1(6): 15-26
[9] Herman, Irma, N. M., dan Dewi, I. R.2013. Pengaruh Mutagen Kolkisin Pada Biji Kacang
Hijau (Vigna Radiata L.) Terhadap Jumlah Kromosom Dan Pertumbuhan. Skripsi. Jurusan
Biologi Fmipa Universitas Riau
Abstrak
PENDAHULUAN
Salah satu usaha pemuliaan tanaman T. paniculatum untuk menghasilkan tanaman yang
unggul yaitu menggunakan teknik poliploidi dengan kolkhisin. Zat ini paling banyak digunakan
karena mudah larut dalam air dan efektif menginduksi poliploid [5].
Keberhasilan mutasi dengan mutagen kimia pada tiap tanaman tergantung pada konsentrasi
dan waktu inkubasi yang digunakan [6].Konsentrasi dan waktu inkubasi dengan kolkhisin akan
berpengaruh terhadap induksi poliploidi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa induksi
poliploidi pada T. paniculatum belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian pemberian
kolkisin pada T. paniculatummenggunakan teknik stek batang dengan waktu inkubasi yang berbeda
sangat penting untuk dilakukan. Stek batang digunakan karena batang sebagai material sangat
menguntungkan, sebab batang mempunyai persediaan makanan yang cukup terhadap tunas-
tunas, batang dan akar [7]. Selain itu tingkat keberhasilan tumbuh perbanyakan dengan stek
batang dapat mencapai 98 % [3]. Maka dilakuakan penelitian untuk mengetahui pengaruh
pertumbuhan T. paniculatum pada stek batang T. paniculatumdengan waktu inkubasi yang
berbeda untuk mengatasi masalah kualitas dan kuantitas T. paniculatumagar menjadi lebih baik.
Penelitian ini bermanfaat untuksumbangan informasi bagi mahasiswa dan petani khusunya yang
berkiprah dalam budidaya tanaman obat seperti T. paniculatumuntuk memproduksi atau
menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak dan waktu yang relatif cepat dengan teknik
poliploidisasi untuk menghasilkan tanaman yang unggul.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran tanaman ginseng jawa yang diberi
perlakuan kolkhisin 0.01% dengan waktu inkubasi 0 jam (tanpa perlakuan), 3, 6, 9, 12, dan 24
jam diperoleh data yang disajikan pada Tabel. 1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh
perlakuan kolkhisin dengan waktu inkubasi yang berbeda terhadap respon pertumbuhan T.
paniculatum dilakukan uji sidik ragam dan dilanjutkan uji Duncan jika berpengaruh nyata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi perlakuan variasi waktu inkubasi yang
berbeda pada mutagen kolkhisin dengan konsentrasi 0,01% memberikan hasil yang berbeda-
beda pada setiap paramater (Tabel 1). Pada parameter jumlah cabang dan luas daun masing-
masing perlakuan menghasilkan nilai rerata yang berbeda yang lebih baik dibandingkan dengan
kontrol. Perlakuan dengan lama perendaman 6 jam (A2) menghasilkan rerata terbesar pada
parameter jumlah cabang, perlakuan 24 jam (A5) menghasilkan rerata terbesar pada parameter
luas daun dan perlakuan kontrol/ 0 jam (A0) memiliki hasil rerata terbesar pada parameter rerata
jumlah daun percabang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi perlakuan waktu
perendaman dengan konsentrasi kolkisin 0,01% memberikan hasil yang berbeda-beda pada
semua parameter (Tabel 1).
Tabel 1 Rerata masing-masing respon pertumbuhan pada perlakuan 0, 3, 6, 9, 12, dan 24 jam
Rata-rata
KarakterFenotip 0 jam 3 jam 6 jam 9 jam 12 jam 24 jam
(A0) (A1) (A2) (A3) (A4) (A5)
Jumlahcabang 2.830.75b 3.51.05ab 4.671.03a 3.331.03b 3.671.03ab 3.160.75b
Jumlahdaunpercabang 57.0 10.5a 38.83 11.2b 39.0 9.84b 41.0 13.8b 44.5 7.34b 35.83 5.95b
Luasdaun 17.47 6.77c 20.85 4.43abc 19.21 3.25 bc
25.653.45abc 22.50 4abc 27.25 8.56a
Ket: Huruf yang berbeda pada tiap-tiap kolom menunjukan perbedaan yang nyata pada tingkat
signifikansi 5% ( = 0,05)
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa jumlah cabang tanaman T. paniculatumberbeda nyata.
Rerata jumlah cabang tanaman yang diberi perlakuan kolkhisin lebih banyak dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 1). Perendaman. kolkhisinselama 6 jam (A2) menunjukan jumlah cabang
paling banyak yaitu 4.67 dan perlakuan tanpa pemberian kolkhisin (A0) menunjukan jumlah
cabang paling sedikit yaitu 2.83. Hal ini diindikasikan bahwa perlakuan 6 jam (A2) mempunyai
kromosom yang lebih banyak daripada diploidnya.Selainitu kepekaan bibit yang berbeda
terhadap pengaruh lama perendaman kolkhisinyang berbeda-bedaakan mempengaruhi respon
petumbuhan tanaman. Kolkhisin yang diberikan pada setiap individu tanaman tidak
mempengaruhi semua sel tanaman, tetapi hanya sebagian sel-sel saja. Adanya pengaruh yang
berbeda pada sel-sel tanaman disebabkan kolkhisin hanya efektif pada sel yang sedang aktif
membelah. Pada tanaman pacar air, pemberian kolkisin dengan konsentrasi 0.01% dan variasi
waktu inkubasi 4, 6, 8, 12, 24 jam memberikan pengaruh nyata. Jumlah cabang tanaman pacar
air yang paling banyak adalah pada perlakuan 12 jam yang dapat mencapai 20 cabang dan
selanjutnya perlakuan 24 jam dan 8 jam, sedangkan kontrol memiliki cabang paling sedikit [6].
Parameter rerata jumlah daun percabang diperoleh hasil perlakuan kontrol (A0) berbeda
nyata pengaruhnya terhadap semua perlakuan. Perlakuan kontol (A0) menunjukkan jumlah daun
percabang paling banyak yaitu 57 dan (A5) menunjukkan jumlah daun percabang paling sedikit
yaitu 35.83 (Tabel1). Hal itu terjadi karena pembelahan sel yang lambat yang menyebabkan
pertanaman dan perkembangan primordial daun menjadi lambat. Selain itu, pemberian kolkhisin
berpengaruh menekan pertambahan daun sehingga memberikan efek penurunan terhadap
jumlah daun.Semakintinggi dosis yang diberikan maka semakin menurunkan jumlah daun [8].
Daun merupakan organ fotosintesis yang utama sehingga menentukan jumlah asimilat yang
dihasilkan selama proses pertanaman dan perkembangan [9]. Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan penelitian benih kedelai yang diaplikasikan dengan kolkhisin, menunjukkan bahwa
pembelahan sel yang lambat menyebabkan pembentukan dan perkembangan prrimodial daun
yang lambat meskipun berbeda tidak nyata [5]. Pada penelitian tanaman sirsak didapatkan rerata
jumlah daun terbanyak terdapat pada tanaman kontrol dibandingkan dengan tanaman yang
diberikan kolkhisin dengan konsentrasi 0.1% dan 0.2%. halini diduga bahwa jumlah daun yang
lebih sedikit disebabkan karena terlampauinya batas optimum tanaman akibat perlakuan
kolkhisin [10]. Perlakuan kolkhisin pada kacang tanah menghasilkan jumlah daun yang lebih
sedikit [11]. Pemberian kolkhisin menyebabkan penundaan pertumbuhan akibat jaringan yang
rusak dan memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh, sehingga mempengaruhi pertumbuhan
tanaman dalam pembentukan jumlah daun yang semakin sedikit [10].
Parameter luas daun diperoleh hasil bahwa perlakuan pemberian kolkhisin selama 24 jam
(A5) berbeda nyata dengan semua perlakuan (Tabel 1). Perlakuan 24 jam (A5) menunjukkan
luas daun paling besar yaitu 27.25 cm2 dan kontrol (A0) menunjukkan luas daun paling kecil
yaitu 17.47 cm2 (Tabel. 1). Pada perlakuan 24 jam (A5) diindikasikan kromosom yang telah
membelah tidak memisahkan diri dalam anafase saat pembelahan sel, dengan terhentinya proses
pemisahan kromosom pada metafase mengakibatkan penambahan jumlah kromosom dalam sel,
sehingga tanaman memiliki daun yang lebih besar dibandingkan tanaman diploid [12]. Ukuran
daun yang lebih besar pada perlakuan kolkhisin 0,01% memiliki nilai positif bagi pertumbuhan
tanaman. Daun yang lebih besar mengakibatkan reaksi fotosintesis berlangsung lebih
maksimum, pada daun yang lebih besar penyerapan sinar matahari berlangsung lebih maksimal
dibandingkan daun yang ukurannya lebih kecil pada lingkungan dengan intensitas cahaya
matahari maksimal [5]. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rahayu, et al.,(2013), pada
tanaman sedap malam bahwa tingkat konsentrasi 100 ppm dengan lama perendaman kolkisin 9
jam dan tingkat konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman kolkisin 6 jam menghasilkan
rerata luas daun yang lebih tinggi dibanding kombinasi perlakuan lainnya. Hasil penelitian ini
juga sesuai dengan penelitian Saputa (2014), bahwa perlakuan kolkhisin dengan konsentrasi
0,02% memberikan ukuran daun yang lebih luas daripada perlakuan kolkhisin dengan
konsentrasi 0,01%; sedangkan lama perendaman tidak mempengaruhi luas daun. Hal tersebut
didukung oleh penelitian tentang jahe emprit yang menyatakan bahwa tanaman dengan
perlakuan kolkhisin memiliki daun yang lebar, panjang dan lebih rapat dibandingkan tanaman
dengan perlakuan tanpa kolkhisin [13].
SIMPULAN
SARAN
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai penelitian sitologi dengan flowcitometry dan RAPD
untuk menentukan tingkat poliploidi pada tanman T. Paniculatum,sehingga diperoleh hasil yang
lebih akurat dari derajat ploidi tanaman dengan perlakuan kolkisin.
Dr. Sulistiono, M.Si. dan Agus Muji Santoso, S.Pd., M.Si yang telah memberikan proyek
penelitian ini dan telah membimbing dan membantu menyelesaikan penyusunan artikel ini.Tim
Ginseng (Tri Yulian dan Nita Hendraswari) terimakasih telah membantu menyelesaikan
penelitian ini dan membantu saya dalam pengambilan data.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ikhtimami. A. 2012. Pengaruh Periode Subkultur Terhadap Kadar Saponin Akar Rambut
Tanaman Ginseng Jawa (Talinum paniculatum Gaertn.). Jurnal Skripsi. Surabaya. Program
Studi S-1 Biologi Departemen Biologi Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas
Airlangga Surabaya
[2] SantosoA. M. 2014. Optimasi Umur Kalus Sebagai Donor Sel Terhadap Biomassa dan
Kadar Saponin Pada Kultur Agregat Sel Talinum paniculatum (Jacq). JurnalBiologi, Sains,
Lingkungan, dan Pembelajarannya1- 008
[3] Seswita, D. 2010. Som Jawa (Talinum paniculatum) Ginseng Indonesia Penyembuh
Berbagai Penyakit. Warta TOI. 16 ( 2): 21-23.
[4] Lina D. E, Y. Manuhara, S, W. danPurnobasuki H. 2015. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa
Terhadap Biomassa dan Kadar Saponin Kalus Ginseng Jawa (Talinum paniculatum
Gaertn.) PadaBerbagai Waktu Kultur. Jurnal ilmiah biologi. 3(1): 47-55
[5] Haryanti, S., Hastuti, R, B., Setiari, N., Banowo, A. 2009. Pengaruh Kolkisin Terhadap
Pertumbuhan, Ukuran Sel Metafase dan Kandungan Protein Biji Tanaman Kacang Hijau
(Vigna radiata (L) Wilczek). Jurnal Peneliti Sains Teknol. 10:112-120
[6] Wiendra, N, M, S., Pharmawati, M., Astiti, N, P, A. 2011. Pemberian Kolkhisin dengan
Lama Perendaman Berbeda Pada Induksi Poliploidi Tanaman Pacar Air (Impatiens
balsamina L.). Bali: Jurnal Biologi.15 (1) : 9 14.
[7] Goenawan,C, C,R. 2006. Pengaruh Induksi Suhu Dan Metode Aplikasi Zat Pengatur
Tumbuh RootoneF Terhadap Induksi Akar Dan Tunas Stek Dadap Merah (Erythrina
crystagalli). Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal 20-21
[8] Mahyuni, R., Girsang, E, S, B., Hanafiah, D, S. 2015. Pengaruh Pemberian Kolkhisin
Terhadap Morfologi dan Jumlah Kromosom Tanaman Binahong (Anredera cordifolia
(Ten) Steenis). Jurnal Agroekoteknologi..4.(1)
[9] Putri, G, C., Basuki, N. , dan Respatijarti. 2012. Uji Daya Hasil 11 Galur Kedelai (Glycine
max (l.) Merr.) Hasil Perlakuan Kolkisin. Malang: Universitas Brawijaya Malang
[10] Maryanti. 2012. Pengaruh Kolkhisin Terhadap Fenotip Pertumbuhan Awl Dan Jumlah
Kromosom Pada Tanman Sirsak (Anonna muricata. L). Skripsi. Surakarta: Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret
[11] Yudiwanti, Sutjahjo, S, H., Rahayu, A, A. 2006. Pengaruh Kolkisin Terhadap Morfologi,
Anatomi, Dan Sitologi Zuriat Kacang Tanah Hasil Persilangan Interspesifik. Prosiding
Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi dan
Hortikultura Faperta IPB. Bogor. Hal. 84 87.
[12]Suryo. 1995. Sitogenetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
[13]Rahayuningsih, S. Pengaruh Kolkisin Terhadap Keragaan Fenotipe Dan Jumlah Kromosom
Jahe Emprit (Zingiber Officinale Rosc.) Asal In Vitro. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor07.
Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Urin Sapi Dan Media Tanam Terhadap
Struktur Anatomi Akar Dan Batang Tanaman Cabai (Capsicum frutescens L.)
Sebagai Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Anatomi Tumbuhan
Abstrak
Cabai rawit merupakan tanaman sayuran yang memiliki nilai gizi tinggi dan ekonomis
sehingga perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penggunaan pupuk
organik cair urin sapi dan media tanam selain tanah seperti sekam dan serbuk gergaji
dibutuhkan untuk meningkatkan produksi tanaman tersebut. Penggunaan pupuk organik cair
urin sapi ditujukan untuk mengetahui unsur hara didalam tanaman tersebut. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui pengaruh POC urin sapi dan media tanam terhadap pertumbuhan
dan struktur anatomi pada tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L). Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap,
dengan 3 kali ulangan. Variabel bebas dalam penelitian adalah POC urin sapi dengan
konsentrasi (15%, 30%, 45%), sedangkan media tanam dengan perbandingan tanah dengan
serbuk gergaji dan sekam (1:1), (1:1) dan (1:1:1). Variabel terikat dalam penelitian adalah
pertumbuhan dan struktur anatomi tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L) dengan
parameter yang diukur adalah tinggi tanaman, panjang akar, berkas pengangkut pada akar dan
batang tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L). Hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh pupuk organik cair urin sapi dan media tanam terhadap tinggi tanaman dengan
probabilitas 0,00, pada perlakuan P3M3 merupakan perlakuan yang paling baik dengan rata-
rata tinggi tanaman 44,7 cm dan juga pada panjang akar yang memiliki probabilitas 0,00
dengan rata-rata panjang akar14,6 cm. Sedangkan struktur anatomi pada akar mempunyai tipe
silinder pembuluh radial, mempunyai ukuran xilem terbesar 5967,88 m, floem 506,37 m serta
pada batang mempunyai tipe berkas pengangkut eustele, mempunyai ukuran xilem terbesar
2899,55 m, floem 391,83 m, pada perlakuan P3M3 (POC urin sapi konsentrasi 45% dan
media tanam kombinasi tanah+serbuk gergaji+sekam).
Kata kunciTanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.), Pupuk Organik Cair Urin Sapi,
Media Tanam.
PENDAHULUAN
Cabai merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia, baik sebagai
komoditas yang dikonsumsi di dalam negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Sebagai
sayuran, cabai selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, juga mempunyai nilai ekonomi
tinggi. Pemanfaatannya sebagai bumbu masak atau sebagai bahan baku berbagai industri
makanan, minuman dan obat-obatan membuat cabai semakin menarik untuk diusahakan.
Produktivitas cabai rawit di Indonesia rata-rata masih rendah. Pada tahun 2009 produksi cabai
rawit 5,07 ton/ha, pada tahun 2010 turun menjadi 4,56 ton/ha, dan pada tahun 2013 produksi
menjadi 5,01 ton/ha [1]. Berdasarkan data dari BPS tersebut maka perlu adanya peningkatan
produksivitas terhadap tanaman cabai rawit di Indonesia.
Penurunan produktivitas cabai rawit disebabkan oleh kondisi tanah Indonesia yang
sebelumnya sangat subur telah mengalami berbagai macam penurunan kualitas yang disebabkan
oleh pemakaian pupuk anorganik yang terbuat dari bahan kimia. Pupuk anorganik menyebabkan
tanah menjadi miskin unsur hara, struktur dan tekstur yang rusak serta berkurangnya aktivitas
mikroorganisme yang ada di dalam tanah. Satu cara yang mampu mengatasi berbagai macam
masalah pada tanah tersebut adalah pemberian pupuk organik.
Pupuk organik dapat menjadi salah satu alternatif yang tepat dalam mengatasi
permasalahan tersebut karena fungsinya yang dapat memberikan tambahan bahan organik, hara,
memperbaiki sifat fisik tanah, serta mengembalikan hara yang terangkut oleh hasil panen,
penggunaan pupuk organik diharapkan dapat memperbaiki kesuburan tanah. Pupuk organik cair
mengandung unsur hara makro dan mikro yang cukup tinggi sebagai hasil senyawa organik
bahan alami yang mengandung sel-sel hidup aktif dan aman terhadap lingkungan serta pemakai
[2]. Bentuk pupuk organik cair yang berupa cairan dapat mempermudah tanaman dalam
menyerap unsur-unsur hara yang terkandung di dalamnya dibandingkan dengan pupuk lainnya
yang berbentuk padat.
Penelitian tentang pupuk organik cair yang telah dilakukan adalah terhadap urine sapi,
diantaranya ialah Anty (dalam Mardalena) melaporkan bahwa urine sapi mengandung zat
perangsang tumbuh yang dapat digunakan sebagai pengatur tumbuh diantaranya adalah IAA [3].
Penelitian Ariesandy menunjukkan bahwa pemberian urin sapi konsentrasi 37,5% mampu
menyediakan unsur hara yang dibutuhkan bibit kopi arabika sehingga mendukung pertumbuhan
vegetatif tanaman seperti pertambahan diameter batang. Semakin tinggi konsentrasi urin sapi
yang diberikan maka semakin menunjukkan hasil yang lebih baik terhadap pertambahan tinggi
batang bibit kopi arabika kultivar [4].
Peningkatan pertumbuhan tanaman cabai selain dengan pemberian pupuk organik juga
dapat dilakukan dengan kombinasi media tanam untuk tanaman cabai. Sutiyoso (dalam Anas)
mengemukakan bahwa penambahan berbagai komponen media tanam seperti pasir, arang kayu,
serbuk gergaji dan arang sekam padi juga berpengaruh dalam memperbaiki struktur tanah [5].
Penelitian Anas dkk menunjukkan bahwa perlakuan komposisi media tanam tanah aluvial +
pukan sapi + arang sekam padi merupakan perlakuan yang terbaik [5].
Hasil penelitian anatomi cabai rawit yang dilakukan bisa diaplikasikan di dunia pendidikan
yaitu sebagai petunjuk pratikum pada mata kuliah anatomi tumbuhan. Konsep pembelajaran
biologi yang diajarkan pada mahasiswa dipeguruan tinggi khususnya pokok bahasan pada organ
tumbuhan terdapat pada Standar Kompetensi, mahasiswa mampu mengkaji berbagai organ
tumbuhan, baik bagian-bagian bentuk maupun fungsi. Kompetensi Dasar menjelaskan
bagaimana mahasiswa mampu untuk mencandra (mendiskripsikan) tumbuhan. Setelah proses
belajar dan pembelajaran selesai, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tujuan,
menjelaskan definisi anatomi tumbuhan, menjelaskan bagian-bagian tumbuhan, menjelaskan
kormus dan bagian-bagiannya.
METODE PENELITIAN
Peneliti dilaksanakan dipekarangan rumah bapak Hariyanto yang beralamat Jl. Citandui
No 4, RT : 17, RW : 05, Kecamatan : Mejayan dan di Laboratorium IKIP PGRI Madiun.Waktu
yang dimulai pada bulan April sampai Juli 2015.Alat yang digunakan dalam penelitan ini adalah
tanah, serbuk gergaji, sekam, nampan kecil, polybag, pipet tetes, kaca, mikroskop dan
kamera.Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalahbiji cabai rawit (Capsicum frutescens
L.), air biasa, EM-4, gula merah, kunyit, jahe, pupuk organik cair urin sapi dan media tanam
dengan menggunakan tanah, serbuk gergaji, sekam.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan pola Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan faktorial yang terdiri dari 2 faktor, yaitu komposisi media tanam dengan 3 taraf
perlakuan dan konsenterasi pemberian pupuk organik cair ursa dengan 3 taraf perlakuan. Terdiri
dari 3 ulangan tanaman, sehingga terdapat 27 unit percobaan. Perlakuan yang dimaksud adalah:
Faktor komposisi media tanam. M1 = tanah+serbuk gergaji (1:1) ; M2 = tanah+sekam (1:1);
M3= tanah+serbuk gergaji+sekam (1:1:1). Faktor konsentrasi pemberian pupuk organik cair urin
sapi. P1 = 15%; P2 = 30%; P3 = 45%. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 161
tanaman (cm), panjang akar tanaman (cm), dan struktur anatomi tanaman cabai rawit (Capsicum
frutescens L.).
Tabel 1. Uji DMRT Pengaruh POC Urin Sapi dan Komposisi Media Tanam terhadap Tinggi
Tanaman (cm)
Perlakuan Rerata
P1M1 24a
P1M2 25.7ab
P1M3 32.7b
P2M1 23.3a
P2M2 24.3a
P2M3 40.7c
P3M1 32b
P3M2 35.7bc
P3M3 44.7d
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom berbeda tidak nyata pada Uji
DMRT taraf 5 %
Hasil Uji DMRT pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman cabai rawit dengan
perlakuan P1M3 dan P3M3 berbeda nyata dibandingkan dengan tinggi tanaman cabai rawit
dengan P2M3. Tinggi tanaman cabai rawit yang tertinggi dihasilkan oleh tanaman cabai rawit
dengan P3M3 (POC urin sapi 45% + tanah+ serbuk gergaji + sekam) sebesar 44,7cm. Tanaman
cabai rawit yang tertinggi dihasilkan oleh tanaman cabai rawit dengan P3M3 (POC urin sapi
45% + tanah+ serbuk gergaji + sekam) sebesar 44,7cm.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukan bahwa POC urin sapi dan kombinasi media tanam
signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman cabai rawit. P3M3 (POC 45%+tanah+serbuk
gergaji+sekam) memiliki rata-rata tertinggi yaitu 44,7 cm (umur 4 MST), sedangkan rata-rata
terendah yaitu 23,3 cm (umur 4 MST) perlakuan P2M1 (POC 30%+tanah+serbuk gergaji). Hal
ini sesuai dengan pernyataan Lingga dalam Agustina bahwa POC juga mengandung asam
humat, fulfat dan hormon yang dihasilkan oleh bakteri Lactobacillus Sp, Rhodopseudomonas
sp, Actinomycetes sp, R. bassillus, Azotobacter chroococcum yang bersifat memacu
pertumbuhan tanaman [6]. Bahan organik yang terkandung dalam POC dapat membantu
meningkatkan kapasitas pegang air sehingga tanaman tidak mengalami kekurangan air karena
kekeringan. Penggunaan pupuk organik cair urin sapi dapat memperbaiki kesuburan tanah
sekaligus menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman cabai rawit.
Hal ini didukung karena pupuk organik cair mengandung unsur hara makro dan mikro
yang cukup tinggi sebagai hasil senyawa organik bahan alami yang mengandung sel-sel hidup
aktif dan aman terhadap lingkungan. Hal ini didukung dari hasil penelitian Ariesandy didapat
bahwa urine sapi yang telah difermentasikan dapat digunakan sebagai nutrisi tanaman sebagai
alternatif pengganti pupuk buatan [4]. Urin sapi memiliki kandungan yang berbeda sebelum dan
setelah difermentasi, ditunjukkan pada Tabel 2.
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa urin sapi mengalami peningkatan
kandungan unsur N, P, K setelah melalui proses fermentasi dan memiliki warna coklat
kehitaman serta bau yang kurang menyengat.
Penggunaan tanah+serbuk gergaji+ sekam sebagai media tanam yang baik untuk
pertumbuhan tanaman cabai rawit. Menurut Harsono dalam Riyanti media tanam yang baik
memiliki porositas yaitu kemampuan media dalam menyerap air dan steril [7]. Hal ini sesuai
dengan pernyataan [8] serbuk gergaji memiliki porositas yang cukup tinggi namun bisa diatur
kepadatannya hingga mencapai tingkat porositas dengan mengatur rasio pemberian air serta
sama halnya dengan Septiyar di dalam Anisa menyatakan bahwa sekam padi juga memiliki
banyak pori yang dapat meningkatkan aerasi, serta porositas yang tinggi [9]. Tanah memiliki
sifat fisika tanah antara lain tekstur, struktur dan kadar lengas tanah yang baik untuk
pertumbuhan tanaman. Penambahan berbagai komponen media tanam seperti serbuk gergaji dan
sekam padi berpengaruh dalam memperbaiki struktur tanah, sehingga dapat menjadi media
tanam alternatif yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai rawit.
Tabel 3. Uji DMRT Pengaruh POC Urin Sapi dan Komposisi Media Tanam terhadap Panjang
Akar Tanaman Minggu ke-4 setelah tanam (cm)
Perlakuan Rerata
P1M1 7.1ab
P1M2 7.6ab
P1M3 4.4a
P2M1 8.8bc
P2M2 9.5bc
P2M3 9.1bc
P3M1 13.2c
P3M2 13.1c
P3M3 14.6c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom berbeda tidak nyata pada Uji
DMRT taraf 5 %
Hasil Uji DMRT pada Tabel 3 menunjukkan bahwa panjang akar tanaman cabai rawit
minggu ke-4 dengan perlakuan P3M3 berbeda nyata dibandingkan dengan panjang akar
tanaman cabai rawit dengan perlakuan P1M3, tetapi berbeda tidak nyata jika dibandingkan
dengan tinggi tanaman cabai rawit pada umur 4 minggu setelah tanam dengan perlakuanPOC
Ursa 45% + Tanah+ sekam.
Berdasarkan Tabel 3 menunjukan bahwa POC urin sapi dan kombinasi media tanam
signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman cabai rawit. P3M3 (POC 45%+tanah+serbuk
gergaji+sekam) memi-liki rata-rata tertinggi yaitu 14,6 cm, sedangkan rata-rata terendah yaitu
4,5 cm perlakuan P1M3 (POC 15%+tanah+serbuk gergaji+sekam). POC urin sapi pada
konsentrasi 45% menunjukkan hasil terbaik yang berarti terjadi penyerapan sempurna pada akar
sehingga mengakibatkan pemanjangan akar. Menurut Sutanto dalam Mardalena urine sapi
mengandung unsur hara N, P, K dan bahan organik, yang berperan memperbaiki struktur tanah,
kandungan zat nitrogen dan zat pengatur tumbuh (auksin) pada urine sapi mempengaruhi dua
arah pertumbuhan tanaman yaitu vegetatif dan generatif [3].
Hal ini sesuai dengan pernyataan Suprijadi dalam Carolina bahwa dalam urin sapi juga
mengandung sejumlah auksin yang berasal dari makanannya berupa tumbuhan, terutama dari
ujung tanaman seperti tunas, kuncup daun, kuncup bunga dan lain-lain, dimana tumbuhan
tersebut di dalam sistem pencernaannya diolah sedemikian rupa sehingga auksin diserap
bersama dengan zat-zat yang ada pada tumbuhan tersebut, karena auksin tidak terurai dalam
tubuh, maka auksin dikeluarkan sebagai filtrat bersama-sama dengan urin, sehingga dapat
memicu pembelahan sel pada akar [10].
Menurut Dewi sekam yang memiliki banyak pori serta porositas yang tinggi, sifat inilah
yang diduga memudahkan akar dapat menembus media dan daerah pemanjangan akar akan
semakin besar serta dapat mempercepat perkembangan akar [11]. Sebaliknya jika bibit ditanam
dalam media yang terlalu padat, aerasi dan porositas kecil, maka media akan sulit ditembus
akar, dan daerah pemanjangan akar semakin pendek selain itu juga didukung dengan
penambahan serbuk gergaji yang memiliki porositas baik. Supriyanto dkk dalam Dwi
keseimbangan antara udara dengan kelembaban berpengaruh penting terhadap pertumbuhan
akar [12]. Kelembaban udara berpengaruh terhadap absorbsi air dan unsur hara pada
pertumbuhan bibit serta suhu yang baik di daerah sekitar perakaran akan membantu proses
pembelahan sel di daerah perakaran secara aktif.
Anatomi adalah merupakan ilmu yang mempelajari tentang memahami fungsi struktur.
Pada penelitian anatomi tanaman cabai rawit ini membahas tentang silinder pembuluh pada akar
dan batang.
Berdasarkan Gambar 1 silinder pembuluh akar terdiri xilem floem. Menurut Hartanto
ada 3 tipe berkas pengakut yaitu kolateral terbuka, kolateral tertutup dan bikolateral terbuka
[13]. Pada tipe berkas pengakut bikolateral terdapat kambium yang kurang jelas dan terletak
diantara floem dalam dan xilem. Menurut Hidayat jumlah berkas tidak banyak karena xilem
bersatu di bagian tengah akar sehingga akar tidak mempunyai empulur [14]. Tipe berkas
pengakut pada akar tanaman cabai rawit adalah radial yaitu bila xilem letaknya berganti-ganti
dengan floem menurut arah jari-jari.
Berdasarkan hasil pengamatan anatomi berkas pengangkut pada akar tanaman cabai
rawit mempunyai ukuran sel xilem dan floem yang berbeda-beda. Perlakuan P3M3 (POC
45%+tanah+serbuk gergaji+sekam) mempunyai ukuran terbesar xilem 5967,88 mdan floem
506,37 m, sedangkan ukuran terkecil xilem 1373,29 mdanfloem 406,90 m pada perlakuan
P1M1 (POC 15%+tanah+serbuk gergaji) (lihat Gambar 1). Perbedaan ukuran sel xilem dan
floem terjadi karena penyerapan unsur hara pada tiap tanaman berbeda. Menurut Wattimena
dalam Carolina hormon auksin (IAA) menyebabkan terjadinya pembesaran sel dan
pertumbuhan akar, auksin pada konsentrasi yang tidak terlalu tinggi akan merangsang
pembentukan akar [10]. Auksin sebagai salah satu hormon tumbuhan bagi tanaman mempunyai
peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Ljung et al., dalam Riyanti menyatakan bahwa dalam media tanam juga terdapat
hormon pertumbuhan yang berpengaruh terhadap akar [7]. Awal terbentuknya akar dimulai oleh
adanya metabolisme cadangan nutrisi berupa karbohidrat yang akan menghasilkan energi
selanjutnya mendorong pembelahan sel dan membentuk sel-sel baru dalam jaringan. Perlakuan
P3M3 (POC 45%+tanah+serbuk gergaji+sekam) mempunyai ukuran yang besar, hal ini terjadi
karena unsur hara yang terdapat pada pupuk organik cair urin sapi dan kombinasi media tanam
terserap sempurna sehingga proses metabolisme tumbuhan lebih cepat dan mempercepat proses
pemanjangan pada akar tanaman cabai rawit.
Berdasarkan Gambar 2 berkas pengakut batang terdiri xilem floem. Berkas pengakut
terdapat stele yaitu daerah sebelah dalam epidermis. Fahn dalam Hartanto menyebutkan bahwa
tipe stele berdasarkan berkas pengakut pada batang tanaman ada tidaknya empulur dan jendelah
daun dibagi menjadi 8 jenis yaitu happlostele, aktinostele, plektostele, sifonostele amfiflois,
diktiostele, sifonostele ektoflois, eustele, ataktostele [13]. Pada tanaman cabai rawit mempunyai
tipe eustele karena bagian tengahnya terdapat empulur dan jari-jari empulur.
Berdasarkan hasil pengamatan anatomi berkas pengangkut pada batang tanaman cabai
rawit mempunyai ukuran sel xilem dan floem yang berbeda-beda. Perlakuan P3M3 (POC
45%+tanah+serbuk gergaji+sekam) mempunyai ukuran terbesar xilem 2899,55 m dan floem
391,83 m, sedangkan ukuran terkecil xilem 1329,21 m dan floem 542,53 m pada perlakuan
P1M1(POC 15%+tanah+serbuk gergaji) (lihat Gambar 2). Perbedaan ukuran sel xilem dan
floem terjadi karena penyerapan unsur hara pada tiap tanaman berbeda. Menurut Wattimena
dalam Carolina hormon auksin (IAA) menyebabkan terjadinya pembesaran sel dan aktifitas
kambium, pembentukan jaringan xilem dan floem dipengaruhi oleh IAA dan pembelahan sel-sel
di daerah kambium juga dirangsang IAA [10]. Pada perlakuan konsentrasi 45% mempunyai sel
yang besar karena unsur K pada konsentrasi ini berperan sempurna memacu pertumbuhan
dijaringan meristem lebih banyak, sehingga proses pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat.
Perlakuan P3M3 (POC 45%+tanah+serbuk gergaji+sekam) hal ini terjadi karena unsur hara
yang terdapat pada pupuk organik cair urin sapi dan kombinasi media tanam terserap sempurna
sehingga proses metabolisme tumbuhan lebih cepat dan mempercepat proses pertumbuhan
tanaman cabai rawit.
Pemberian pupuk organik cair dengan konsentrasi yang sesuai serta penambahan media
tanam alternatif memiliki interaksi yang baik maka akan menghasilkan zat-zat dan unsur hara
yang dibutuhkan tanaman untuk melakukan proses pertumbuhan dan perkembangan optimal.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan pupuk organik cair urin sapi
dan kombinasi media tanam menunjukkan adanya pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
cabai rawit. Pertumbuhan tanaman cabai rawit paling optimum yaitu pemberian POC ursa
45%+tanah+serbuk gergaji+sekam. Pemberian Pupuk organik cair ursa 45%+tanah+serbuk
gergaji+sekam mempunyai pengaruh paling optimum terhadap ukuran sel berkas pengangkut
pada akar dan batang cabai rawit, hal ini terjadi karena unsur hara terserap sempurna. Pemberian
pupuk organik cair dengan konsentrasi yang sesuai serta penambahan media tanam alternatif
menunjukkan adanya interaksi yang baik antara keduanya maka akan menghasilkan zat-zat dan
unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Hasil penelitian berupa pengaruh pemberian POC urin
sapi dan media tanam dapat digunakan sebagai bahan penyusun petunjuk praktikum anatomi
tumbuhan, dimana mahasiswa diharapkan dapat mampu menggunakan media alternatif selain
tanah untuk bertanam dengan baik.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Hubungan Suhu dengan Aktivitas Stomata Pada Daun Lidah Mertua (Sansevieria
trifasciata)
Abstrak
Tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata) adalah tanaman hias yang memiliki ketahanan
akan cekaman kekeringan, hal ini dapat diketahui dari aktivitas membuka menutupnya stomata.
Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara suhu dengan aktivitas stomata
pada permukaan bagian dalam dan luar daun Sansevieria trifasciata. Pengamatan dilakukan
dengan metode deskriptif dengan pengambilan sampel stomata Sansevieria trifasciata
menggunakan cetakan dari cat kuku, pengambilan sampel ini dilakukan tiap satu jam mulai
pukul 08:00 WIB sampai 15:00 WIB. Parameter yang diamati yaitu aktivitas membuka dan
menutupnya stomata dan faktor lingkungan (suhu). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pada suhu 330C, bukaan stomata paling besar dibandingkan dengan pengamatan stomata yang
dilakukan pada suhu lain dan pada suhu 300C stomata menutup.
PENDAHULUAN
Tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata) adalah tanaman hias yang memiliki warna
dan bentuk daun yang berbeda dengan tanaman pada umumnya yang hanya memiliki satu
warna, serta mudah tumbuh tanpa membutuhkan perawatan khusus. Sansevieria juga memiliki
nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena bentuk, warna, ukuran, dan corak daunnya [2]. Selain
hal tersebut Sansevieria trifasciata adalah tanaman yang memiliki ketahanan akan cekaman
kekeringan, hal ini dapat diketahui dari aktivitas membuka menutupnya stomata.
Stomata adalah celah diantara epidermis yang diapit oleh 2 sel epidermis khusus
yang disebut sel penutup. Di dekat sel penutup terdapat sel-sel yang mengelilinginya disebut
sel tetangga [4]. Stomata pada Sansevieria trifasciata banyak ditemukan di epitel luar tubuh
tanaman, terutama pada daun.
Sel penutup terdiri dari sepasang sel yang simetris. Keunikan dari sel penutup adalah serat
halus selulosa pada dinding selnya yang tersusun melingkar. Pola susunan ini dikenal sebagai
miselasi radial. Karena serat selulosa ini relatif tidak elastis, maka jika sel penutup menyerap air
akan mengakibatkan tidak membesar diameternya melainkan memanjang yang menyebabkan
sel penutup melengkung ke arah luar dan terbukalah porus atau celah stomata. Sel penutup
mengontrol diameter stomata dengan cara mengubah bentuk yang akan melebarkan dan
menyempitkan celah di antara kedua sel tersebut [3].
Pembukaan stomata ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Faktor internal seperti Ca2+ intraseluler dan faktor eksternal/lingkungan antara
lain intensitas cahaya matahari, temperatur, dan air. Faktor faktor lingkungan tersebut
mengalami perubahan harian (diurnal) seiring dengan bergantinya waktu pagi, siang dan
sore hari. Pada pagi hari stomata akan mulai membuka lebar karena intensitas cahaya
dan temperatur yang tidak terlalu tinggi serta kelembaban yang cukup menyebabkan turgor
sel penjaga meningkat. Namun pada saat siang hari, stomata menutup karena tingginya
intensitas cahaya dan temperatur serta penguapan air yang berlebihan [1].
Pembukaan stomata pada beberapa kondisi lingkungan menunjukkan adanya perbedaan
[1]. Oleh karena itu dilakukan pengamatan tentang aktivitas stomata daun Sansevieria
trifasciata pada berbagai waktu yang telah ditentukan, yakni mulai pukul 08:00 sampai pukul
15:00 WIB.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada hari Kamis-Sabtu, 15-17 Januari 2015 di Laboratorium
Botani Universitas Nusantara PGRI Kediri. Bahan yang digunakan adalah daun tanaman
Sansevieria trifasciata dan cat kuku. Sedangkan alat yang dibutuhkan yaitu selotip, gunting,
termometer, mikroskop cahaya, dan kaca benda. Metode yang digunakan adalah metode
deskriptif terhadap Sansevieria trifasciata yang dikoleksi dari Mojoroto, Kota Kediri, kemudian
data ditabulasi untuk dideskripsikan.
Cara pembuatan preparat stomata adalah dengan metode cetakan atau replika. Berikut
adalah tahap pembuatan preparat stomata:
1. Permukaan dalam daun dan luar daun dilap mengunakan tisu, kemudian diolesi dengan cat
kuku, dibiarkan kering 5 menit.
2. Setelah kering, selotip bening dilekatkan di atas cat kuku yang mengering tersebut
3. Selotip ditarik sehingga cat kuku yang sudah menempel di selotip ikut tertarik pula
4. Pemberian label
Pengambilan preparat dilakukan tiap satu jam mulai pukul 08:00 sampai pukul 15:00 WIB.
Parameter yang diamati yaitu aktivitas membuka dan menutupnya stomata sedangkan faktor
lingkungan yaitu adalah suhu.
Tabel 1. Data pengamatan aktivitas stomata pada permukaan dalam dan luar daun pada waktu
yang berbeda
Aktifitas Stomata
No Waktu Suhu
Permukaan Dalam Daun Permukaan Luar Daun
A. 08:00 300C Menutup Menutup
0
B. 09:00 30 C Menutup Menutup
C. 10:00 310C Menutup Menutup
D. 11:00 350C Menutup Membuka
E. 12:00 310C Membuka Menutup
0
F. 13:00 33 C Membuka Membuka
G. 14:00 320C Membuka Membuka
H. 15:00 310C Membuka Membuka
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa terjadi perubahan suhu lingkungan.
Perubahan suhu lingkungan ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pada pukul 08:00 dan 09:00,
kondisi lingkungan mendung dan suhunya 300C. Suhu yang rendah tersebut menunjukkan
kelembaban lingkungan yang tinggi, hal ini terbukti dari penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa peningkatan intensitas cahaya diikuti dengan peningkatan suhu udara dan
penurunan kelembaban udara. Kelembaban lingkungan yang tinggi ini akan merangsang
stomata untuk terbuka. Akan tetapi pada tanaman Sanseviera sp. menunjukkan bahwa seluruh
stomatanya masih tertutup. Hal ini dikarenakan tidak semua tumbuhan memiliki kepekaan
terhadap kelembaban lingkungan. Selain itu tidak semua spesies memiliki stomata yang peka
terdadap kelembaban atmosfer [1,3].
Perubahan Suhu
36
35
Suhu dalam celcius
34
33
32
31
30
29
28
27
Pukul Pukul Pukul Pukul Pukul Pukul Pukul Pukul
08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00
Sediaan stomata pada daun Sanseviera trifasciata yang diambil pada pukul 10:00
menunjukkan bahwa stomata masih menutup walaupun terjadi peningkatan suhu 10C. hal ini di
karenakan suhu 310C belum mampu merangsang stomata agar membuka. Namun pada beberapa
stomata terlihat tanda-tanda akan membuka.
Pada pukul 11:00 menunjukkan suhu yang paling tinggi yakni 350C. Suhu yang tinggi akan
menyebabkan turgiditas sel menurun sehingga akhirnya stomata akan tertutup. Stomata yang
diamati pada suhu ini menunjukkan bahwa stomata yang berada di permukaan dalam daun
menutup sedangkan stomata yang berada di permukaan luar daun membuka. Hal ini disebabkan
karena permukaan dalam daun terpapar cahaya matahari secara langsung sehingga stomatanya
juga berinteraksi dengan cahaya lebih banyak daripada dengan stomata yang berada di bawah
permukaan daun. Stomata di permukaan luar daun lebih terlindungi, sehingga stomata tetap
terbuka walau hanya membuka sedikit.
Pada pukul 12:00, terjadi penurunan suhu menjadi 310C. pengamatan stomata pada suhu ini
menunjukkan bahwa stomata yang berada di permukaan dalam daun membuka sedangkan yang
berada di permukaan luar daun menutup. Hal ini disebabkan karena pada saat penurunan suhu
dari 350C ke 310C, sebagian stomata yang mulanya menutup karena pengaruh suhu yang tinggi
lalu ketika terjadi penurunan suhu, stomata perlahan-lahan akan mulai membuka. Sedangkan
stomata yang ada di permukaan luar daun, karena kontaknya dengan cahaya matahari lebih
sedikit, maka penutupan stomatanya juga lebih cepat dibandingkan stomata yang berada di
perumukaan dalam daun.
Pada pukul 13:00, 14:00 dan 15:00 stomata yang berada di permukaan atas dan luar daun
membuka. Yang membedakannya hanyalah besarnya bukaan stomata tersebut, pada pukul
13:00, suhu mencapai 330C dan menunjukkan bukaan stomata yang paling besar jika
dibandingkan dengan stomata yang di amati pada pukul 14:00 (320C). Sedangkan pada pukul
15: 00 suhu mencapai 310C, pada suhu ini stomata membuka walaupun hanya sedikit. Bukaan
stomata yang hanya sedikit ini menunjukkan bahwa stomata akan menutup dan stomata pada
suhu 310C ini akan menutup.
Dari pengamatan ini dapat di jelaskan bahwa suhu berpengaruh terhadap aktivitas stomata,
ketika suhu rendah,maka stomata sansiviera akan menutup. Akan tetapi apabila suhu lingkungan
sangat tinggi akan menyebabkan stomata menutup, hal ini menunjukkan adanya proses
transpirasi tanaman. Berikut adalah foto stomata yang berada di permukaan atas dan luar daun
pada waktu tertentu dengan Mtot 400X.
A B C D
E F G H
Gambar 2. Aktivias stomata pada permukaan dalam daun A) Pukul 08:00, B) Pukul 09:00,
C) Pukul 10:00, D) Pukul 11:00, E) Pukul 12:00, F) Pukul 13:00, G) Pukul 14:00, H) Pukul
15:00.
A B C D
E F G H
Gambar 3. Aktivitas stomata pada permukaan luar daun A) Pukul 08:00, B) Pukul 09:00,
C) Pukul 10:00, D) Pukul 11:00, E) Pukul 12:00, F) Pukul 13:00, G) Pukul 14:.00, H) Pukul
15:00.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa suhu berpengaruh
terhadap aktivitas stomata Sansevieria trifasciata. Hal ini dapat dilihat bahwa pada suhu 330C,
bukaan stomata paling besar dibandingkan dengan pengamatan stomata yang dilakukan pada
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 171
suhu lain dan pada suhu 300C (suhu rendah) dan 350C (suhu sangat tinggi) menyebabkan
stomata menutup.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Fatonah, S. Dkk, 2013, Penentuan Waktu Pembukaan Stomata pada Gulma Melastoma
malabathricum L. di Perkebunan Gambir Kampar, Riau, Biospecies Vol. 6 No.2, Juli 2013.
[2] Febria, D. W., 2009, Uji Anatomi, Metabolit Sekunder, dan Molekuler Sansevieria
trifasciata. Tesis. Srakarta, Universitas Super Semar.
[3] Haryanti, S., dan Meirina, 2009, Optimalisasi Pembukaan Porus Stomata Daun Kedelai
(Glycine max (L) Merril) pada Pagi Hari dan Sore. BIOMA, Juni 2009 ISSN, 1410-8801
Vol. 11, No. 1.
[4] Haryanti, S., 2010, Jumlah dan Distribusi Stomata pada Daun Beberapa Spesies Tanaman
Dikotil dan Monokotil, Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol. XVIII, No. 2, Oktober 2010.
Abstrak
Poli (ADP-ribosa) polimerase-1 merupakan salah satu protein dari enzim-enzim nukleus
(PARP) yang memiliki daerah pengikatan DNA sehingga dapat berikatan dengan rantai DNA
yang rusak dan memperbaiki kerusakan DNA. Inhibitor protein PARP-1 berperan dalam
mencegah terjadinya kanker. Kuersetin dan kurkumin telah dilaporkan berperan sebagai
antikanker. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk identifikasi kurkumin, kuersetin, dan
senyawa lain dari database Zinc sebagai kandidat inhibitor protein PARP-1 menggunakan
metode molecular docking serta virtual screening. Hasil identifikasi menunjukkan senyawa
Sumaresinolic Acid dan Hesperidin (mode 0 dan 1) memiliki afinitas lebih tinggi daripada
inhibitor kontrol A29, sedangkan afinitas kurkumin dan kuersetin lebih rendah daripada
inhibitor kontrol.
PENDAHULUAN
Kanker adalah penyakit hiper-proliferasi yang muncul akibat dari perubahan dalam sel
yang memungkinkan sel untuk tumbuh diluar kendali siklus sel normal dan berubah menjadi
derivatif yang sangat ganas [1]. Sel-sel kanker dapat mengalami pertumbuhan yang tidak
terkendali jika ada kerusakan atau mutasi pada DNA. Terdapat empat jenis gen yang
bertanggung jawab untuk proses pembelahan sel yaitu onkogen yang mengatur proses
pembelahan sel, gen penekan tumor yang menghalangipembelahan sel, suicide gene yang
mengontrol apoptosis dan gen perbaikan DNA yang menginstruksikan sel untuk memperbaiki
DNA yang rusak [2].
Poli (ADP-ribosa) polimerase (PARPs) adalah enzim-enzim nukleus yang mengkatalisis
poli-ADP-ribosilasi, yang berfungsi untuk menggabungkan secara kovalen satu atau lebih gugus
ADP-ribosa dari intraseluler Nicotinamide Adenin Dinukleotida (NAD+) dengan protein sasaran
[3]. Poli (ADP-ribosa) polimerase-1 merupakan family enzim (PARP). Enzim ini menggunakan
-NAD+ sebagai substrat, mensintesis dan mentransfer polimer ADP-ribosa di atas glutamat,
aspartat atau lisin residu protein akseptor sehingga memodifikasi sifat fungsionalnya [4]. Protein
PARP-1 memiliki daerah pengikatan DNA sehingga dapat berikatan dengan rantai DNA yang
rusak dan memperbaiki kerusakan DNA [5]. Perbaikan DNA oleh PARP-1 akan berjalan
normal jika diikuti oleh kerja inhibitor. Inhibitor PARP yang bersaing dengan -NAD +
digunakan sebagai strategi terapi baru yang potensial sebagai kemo dan radiopotensial dan
untuk pengobatan kanker [4]. Salah satu inhibitor PARP-1 yang telah diketahui adalah A29.
Senyawa A29 dapat berikatan dengan baik dengan PARP 1 dengan afinitas yang cukup tinggi
dan terbukti mampu menghambat kerja protein PARP 1 [5]. Kandidat lain inhibitor PARP-1
dapat diperoleh melalui identifikasi peran suatu senyawa sebagai antikanker.
Banyak cara yang dilakukan untuk mengobati kanker dengan jalan medis maupun
tradisional. Melalui medis dapat diarahkan dengan cara operasi, radiasi dan kemoterapi. Namun
pengobatan melalui kemoterapi yang paling banyak diterapkan pada pasien kanker memiliki
efek samping pada pasien penderita kanker. Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif
pengobatan kanker dengan tradisional yaitu dengan memanfaatkan tanaman herbal. Senyawa
alami pada tanaman herbal yang bermanfaat sebagai antikanker diantaranya adalah senyawa
kurkumin dari tanaman rimpang family Zingiberaceae [6,7] dank kuersetin dari benalu [8,9].
Selain kedua senyawa tersebut diperlukan suatu identifikasi lain dari senyawa yang berpotensi
untuk mengobati penyakit kanker. Salah satu database yang digunakan untuk screening
senyawa-senyawa adalah ZINC. Database milik Laboratorium Shoichet, Universitas California
ini berisi senyawa yang secara komersial tersedia sehingga dapat dilakukan virtual screening
berdasarkan strukturnya. Database ini mempunyai sekitar beberapa juta senyawa yang
strukturnya dapat disimpan dalam format 3D.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap pengumpulan data dan docking. Pada
tahap pengumpulan data, dilakukan pemodelan struktur 3D Protein PARP1, senyawa kurkumin
dan quersetin dan senyawa-senyawa lain. Struktur 3D dari protein PARP1 didapatkan dari
protein data bank (PDB ID: 3L3M). Setelah memodelkan struktur 3D protein PARP1,
dilakukan upload model 3D (PDB) ke ramepage ramachandran plot. Pada bagian Most
favoured region, dilihat struktur yang paling baik yaitu presentasenya 92,9%. Pemodelan
struktur 3D juga dilakukan pada senyawa ligan (kurkumin dan quersetin) yang didapatkan dari
PDB, sedangkan senyawa-senyawa lain didapatkan dari database Zinc [10]. Pada bagian zink
database, Natural products dipilih Natural Product catalog kemudian SPECC untuk
mengambil sekitar 1700 senyawa.
Tahap kedua adalah docking protein PARP1 dengan senyawa control, kurkumin, quersetin
serta senyawa kandidat lain dengan software PyRx. Dari docking tersebut, dicari afinitas yang
lebih tinggi daripada senyawa kontrol. Docking dilanjutkan dengan PyMol [11] kemudian
mendocking satu persatu protein PARP 1 dengan senyawa (PARP-1 dengan curcumin, PARP-1
dengan quersetsin dan PARP-1 dengan senyawa kandidat lain). Langkah terakhir adalah
mengetahui sisi pengikatan senyawa dengan asam amino dari PARP-1 menggunakan software
Ligplus.
Tabel 1. Hasil analisis kualitas struktur 3D protein PARP 1 menggunakan web server
RAMPAGE
Number of residues
In favoured regions 445 (92,9%)
In allowed regions 32 (6,7%)
In outlier regions 2 (0,4%)
Visualisasi dan analisis interaksi antara protein PARP 1 dengan senyawa inhibitor dan
kandidat senyawa inhibitor
Visualisasi dan analisis interaksi antara protein PARP 1 dengan senyawa inhibitor dan
kandidat senyawa inhibitor dapat dilihat pada Gambar 2.
Seperti yang telah diketahui bahwa PARP 1 terdiri dari domain ikatan DNA yang dapat
memperbaiki untai DNA yang rusak, inhibitor PARP 1 dapat diindikasikan sebagai treatment
untuk kanker. Telah diketahui pula bahwa senyawa A29 dapat berikatan dengan baik dengan
PARP 1 dengan afinitas yang cukup tinggi dan terbukti mampu menghambat kerja protein
PARP 1 [1]. Berdasarkan hasil analisis menggunakan software LigPlus diketahui bahwa
interaksi intermolekuler yang terjadi antara protein PARP 1 dengan senyawa inhibitor (A29;
Gambar 2C) melibatkan beberapa residu asam amino penting, diantaranya: Glu 102, Asp 105,
Gly 227, His 201, dan Tyr 246. Residu asam amino tersebut tidak terdapat variasi terkait detail
interaksi yang terbentuk. Beberapa residu asam amino tersebut juga terlibat aktif dalam interaksi
intermolekuler pada5 kompleks protein-ligan (salah satu senyawa dengan 2 mode) hasil docking
antara protein PARP 1 dengan kandidat senyawa inhibitor lain (Tabel 3).
Berkaitan dengan fakta di atas, pola interaksi antara beberapa senyawa kandidat inhibitor
(Gambar 2 F,I) dengan protein PARP 1 relatif telah sesuai dengan pola interaksi yang ada pada
komplek interaksi antara senyawa A29 dengan protein PARP 1, khususnya berkaitan dengan
keterlibatan lima residu asam amino di atas (Glu 102, Asp 105, Gly 227, His 201, dan Tyr 246;
Tabel 3). Terdapat variasi terkait detail interaksi yang terbentuk, residu asam amino Gly 227
dan His 201 berinteraksi dengan senyawa Sumaresinolic Acid melalui ikatan hidrogen serta
interaksi hidrofobik. Senyawa Hesperidin mode 0 berinteraksi dengan residu asam amino Glu
102, Gly 227, His 201 dan Tyr 246 melalui ikatan hidrogen serta interaksi hidrofobik.
Gambar 2. (a) Visualisasi interaksi software PyMol dalam tampilan cartoon menggunakan software
PyMol antara protein PARP 1 (hijau) dengan senyawa inhibitor PARP 1 (A29; merah), (b)
visualisasi interaksi dalam tampilan surface menggunakan software PyMol antara protein
PARP 1 (hijau) dengan senyawa inhibitor PARP 1 (A29; merah), (c) visualisasi interaksi
dalam bentuk 2D menggunakan software LigPlus antara protein PARP 1 (hijau) dengan
senyawa inhibitor PARP 1 (A29; merah), (d) visualisasi interaksi software PyMol dalam
tampilan cartoon menggunakan software PyMol antara protein PARP 1 (hijau) dengan
senyawa kandidat inhibitor PARP 1 (Sumaresinolic Acid; merah), (e) visualisasi interaksi
dalam tampilan surface menggunakan software PyMol antara protein PARP 1 (hijau)
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
176 ISSN: 1978-1520
dengan senyawa kandidat inhibitor PARP 1 (Sumaresinolic Acid; merah), (f) visualisasi
interaksi dalam bentuk 2D menggunakan software LigPlus antara protein PARP 1 (hijau)
dengan kandidat senyawa inhibitor PARP 1 (Sumaresinolic Acid; merah), (g) visualisasi
interaksi software PyMol dalam tampilan cartoon menggunakan software PyMol antara
protein PARP 1 (hijau) dengan senyawa kandidat inhibitor PARP 1 (Hesperidin; merah),
(h) visualisasi interaksi dalam tampilan surface menggunakan software PyMol antara
protein PARP 1 (hijau) dengan senyawa kandidat inhibitor PARP 1 (Hesperidin; merah), (i)
visualisasi interaksi dalam bentuk 2D menggunakan software LigPlus antara protein PARP
1 (hijau) dengan kandidat senyawa inhibitor PARP 1 (Hesperidin; merah).
Tabel 3 Hasil analisis interaksi intermolekuler antara protein PARP 1dengan senyawa inhibitor
(A29) dan senyawa kandidat inhibitor menggunakan software LigPlus
Lys Tyr Glu Gln Glu Asp Gly Tyr His Ala Phe2 Arg Asp Ser
Inhibitor
242 235 327 98 102 105 227 228 201 237 36 217 109 203
A29 -10 mode 0 * * * * * * * * * * *
Sumaresinolic Acid -10,5
* * *+ * *+ * * *
mode 0
Hesperidin -10,5 mode 0 *+ * *+ * * * *+
Hesperidin -10,1 mode 1 *+ * *+ * * * *+
Curcumin -9 mode 0 * * * * * * * * * *+
Quercetin -8,8 mode 3 * * * *+
Tyr Asn Ala His Arg Leu Pro Tyr Trp Gly Ser Ala
Inhibitor
246 207 219 248 204 108 220 49 200 202 243 237
A29 -10 mode 0 *
Sumaresinolic Acid -10,5 mode 0 * * *
Senyawa Hesperidin mode 1 berinteraksi dengan residu asam amino Glu 102, Gly 227, dan
Tyr 246 melalui ikatan hidrogen serta interaksi hidrofobik. Sedangkan senyawa kurkumin dan
kuersetin tidak terlalu berinteraksi dengan kelima asam amino tersebut. Senyawa kurkumin
berinteraksi dengan residu asam amino Glu 102, Gly 227, His 201, dan Tyr 246 dengan tanpa
detail variasi interaksi, namun senyawa tersebut memiliki binding afinity yang lebih rendah jika
dibanding dengan binding afinity senyawa A29 (Tabel 2). Demikian juga halnya dengan
senyawa kuersetin. Senyawa kuersetin hanya berinteraksi dengan residu asam amino His 201
dan Tyr 246 dengan tanpa detail variasi interaksi, dan senyawa tersebut juga memiliki binding
afinity yang lebih rendah jika dibanding dengan binding afinity senyawa A29 (Tabel 2).
Berdasarkan fakta di atas, pola interaksi antara Sumaresinolic Acid (Gambar 2 d,e,f) dan
Hesperidin (mode 0 dan 1) (Gambar 2 g,h,i) dengan protein PARP 1 relatif telah sesuai dengan
pola interaksi yang ada pada komplek interaksi antara senyawa A29 dengan protein PARP 1,
khususnya berkaitan dengan keterlibatan lima residu asam amino di atas (Glu 102, Asp 105, Gly
227, His 201, dan Tyr 246; Tabel 3). Sedangkan senyawa kurkumin dan kuersetin dapat
dianggap kurang sesuai dengan pola interaksi antara senyawa A29 dengan protein PARP 1.
Hasil tersebut diperkuat dengan hasil docking dengan menggunakan software PyMol yang
memperlihatkan kelima senyawa inhibitor tersebut memiliki tempat berikatan yang sama
dengan senyawa A29 yang berikatan dengan protein PARP 1.
SIMPULAN
Pola interaksi senyawa Sumaresinolic Acid dan Hesperidin (mode 0 dan 1) 1 relatif telah sesuai
dengan pola interaksi yang ada pada komplek interaksi antara senyawa A29 dengan protein
PARP 1, khususnya berkaitan dengan keterlibatan lima residu asam amino Glu 102, Asp 105,
Gly 227, His 201, dan Tyr 246. Selain itu kedua senyawa tersebut memiliki afinitas lebih tinggi
daripada inhibitor kontrol A29, sehingga berpotensi sebagai inhibitor dari PARP-1, sedangkan
afinitas kurkumin dan kuersetin lebih rendah daripada inhibitor kontrol.
SARAN
Berdasarkan proses pengumpulan data senyawa alami menggunakan ZINC SPECC ditemukan
sebanyak 1400-an senyawa, namun dalam penelitian ini hanya dianalisis 5 senyawa dengan
urutan teratas saja. Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan sisa senyawa
yang belum dianalisis tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Hanahan, D., and Weinberg, R.A. 2011. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell
144, 646-674.
[2] National Cancer Institute. 2009. Cancer statistic review 1975-2005, diakses tanggal 15
Februari 2015.
[3] D. DAmours, S. Desnoyers, I. DSilva, and G. G. Poirier. 1999. Poly (ADP-ribosyl)
ations in the regulation of nuclear functions, The Biochemical Journal, 342(2) : 249-268.
[4] Yelamos, Jose dan Jordi Farres. 2011. PARP-1 dan PARP-2: New players in tumour
development.Departement of Immunology: Spain. Diakses dalam
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3180065/), diakses 15 Februari 2015.
[5] Chen, Kuan-Chun, Sun, Mao-Feng, dan Chen, Calvin-Yu. 2014. In Silico Investigation of
potential PARP-1 Inhibitor from Traditional Chinese Medicine. (Online),
(http://www.hindawi.com/journals/ecam/2014/917605/), diakses 16 Februari 2015.
[6] Menegristek. 2010. Curcumadomestica Val., (Online) (http://www.warintek.
ristek.go.id/pertanian/curcuma.pdf), diakses 16 Februari 2015.
[7] Nurrochmad, Arief. 2004. Review: Pandangan Baru Kurkumin dan Aktivitasnya sebagai
Antikanker. Biofarmasi 2 (2): 75-80. Online.
(http://biosains.mipa.uns.ac.id/F/F0202/F020206.pdf), diakses 16 Februari 2015.
[8] Ikawati, Muthi., Wibowo, Andi Eko., Sri, Navista., Adelina., Rosa. 2011. Pemanfaatan
Benalu Sebagai Agen Antikanker, (Online),
(http://www.siafif.com/kuliah/sukma/semester%208/SKRIPSI_SUKMA/Loranthaceae/bah
an%20benalu/paper_benalu_muthi_2.pdf), diakses 15 Februari 2015.
[9] Lamson, Davis W, MS, ND, and Brignall, Matthew S. ND. 2000. Antioxidants and cancer
III: Quercetin, Alternative Medicine Review Volume 5 Number 3.
[10] ZINC database.-. Shociet Laboratory: UCSF. (http://zinc.docking.org/), diakses 12 April
2015.
[11] The PyMOL Molecular Graphics System, Version 1.5.0.4 Schrdinger, LLC. diakses 12
April 2015.
Pengaruh Penambahan Media Tanam Organik (Sekam Bakar, Ampas Tebu dan
Serbuk Gergaji) pada Tanah Kapur Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kacang
Panjang (Vigna Sinensis L.) Sebagian Hasil Penelitian Sebagai Petunjuk
Praktikum Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan
Abstrak
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) termasuk dalam famili Papilionaceae yang
tergolong tanaman polong-polongan berbentuk perdu yang bersifat membelit atau setengah
membelit. Kacang panjang merupakan salah satu sayuran yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Desa Sampung, Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu Desa yang
memiliki struktur tanah kering, terbentuk dari pelapukan batuan kapur, masyarakat di sekitar
kurang mampu mengelolah lahan kering tandus. Salah satu usaha untuk meningkatkan
kesuburan tanah dengan penambahan media tanam organik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penambahan media tanam organik (sekam bakar, ampas tebu dan serbuk
gergaji) pada tanah kapur terhadap pertumbuhan tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.).
Sebagian hasil penelitian ini akan menjadi bahan penyusun petunjuk praktikum mata kuliah
Fisiologi Tumbuhan. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 9 kombinasi perlakuan dan 3 kali ulangan. Tanaman kacang panjang yang
digunakan sebanyak 27 batang yang diberi perlakuan penambahan media tanam organik
(sekam bakar, ampas tebu dan serbuk gergaji) KS , KS , KS , KA , KA , KA , KG , KG , KG .
Data penelitian data non destruktif berupa tinggi tanaman, jumlah daun, data destruktif berupa
berat basah. Pengambilan data pertumbuhan tanaman diambil pada 8 HST sampai 50 HST
dengan interval 1 minggu. Data dianalisis dengan analisis varian (anava) satu jalur
menggunakan SPSS 16 dan uji lanjut LSD. Hasil analisis data menggunakan anava satu jalur
dengan menggunakan SPSS versi 16.0 menunjukkan nilai probabilitas < 0,05 yang berarti
keputusan uji hipotesis menyatakan H ditolak artinya terdapat pengaruh penambahan media
tanam organik (sekam bakar, ampas tebu dan serbuk gergaji) pada tanah kapur. Rata-rata
berat basah keseluruhan tanaman kacang panjang pada umur 50 HST adalah 22,67 gram pada
perlakuan sekam bakar 3 kg (KS ), sedangkan rata-rata berat basah terendah adalah 18,46
gram pada perlakuan serbuk gergaji 2 kg (KG ). Hasil penelitian dapat digunakan sebagai
bahan penyusun petunjuk praktikum mata kuliah Fisiologi Tumbuhan, pada pokok bahasan
pertumbuhan dan perkembangan.
Kata kuncisekam bakar, ampas tebu, serbuk gergaji, Vigna sinensis L., petunjuk praktikum
PENDAHULUAN
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) termasuk dalam famili papilionaceae yang
tergolong tanaman polong-polongan berbentuk perdu yang bersifat membelit atau setengah
membelit. Daunnya berupa daun majemuk, terdiri dari dua sampai tiga helai. Batangnya liat dan
sedikit berbulu. Buahnya polong (bulat panjang dan ramping) sekitar 10-80 cm. Akarnya
mempunyai bintil yang dapat mengikat nitrogen (N) bebas dari udara. Syarat tumbuh tanaman
kacang panjang adalah ditanam di tanah latosol atau lempung berpasir, subur, gembur, banyak
mengandung bahan organik dan drainase baik. pH sekitar 5,5-6,6, suhu antara 20-30 , iklim
kering, curah hujan antara 600-1.500 mm/tahun dan ketinggian optimum kurang dari 800 m dpl
[1].
Media tumbuh merupakan komponen utama untuk bercocok tanam. Media tumbuh yang
akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Tingkat porositas
tanah di setiap daerah berbeda-beda, daerah dataran rendah yang berudara panas, tingkat
penguapannya tinggi, media harus mampu menahan air agar tidak mudah kering, sehingga
dijadikan sebagai tempat unsur hara yang dapat menyokong pertumbuhan tanaman.
Tanah kapur di Desa Sampung, Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu tanah
kering, terbentuk dari pelapukan batuan kapur, tidak banyak mengandung humus, tanah mudah
dilalui air, sehingga tidak cocok untuk pertanian. Masyarakat di sekitar kurang mampu
mengelolah lahan kering tandus, masih banyak lahan yang tidak dimanfaatkan untuk bercocok
tanam. Tanaman yang ditanam hanya pohon jati dan beberapa tanaman paliwija (jagung, kedalai
dan singkong), sehingga masyarakat Desa Sampung kurang produktif dalam bidang pertanian.
Penambahan bahan oganik (bokashi) ke dalam tanah dapat meningkatkan kandungan
bahan organik dan unsur hara pada tanah utisol [2]. Hal ini karena semakin banyak dosis pupuk
bokashi (kotoran hewan) yang diberikan maka N yang terkandung di dalam pupuk bokashi
banyak diterima oleh tanah. Tanah kapur memiliki karakteristik yang sama dengan tanah ultisol
struktur bahan induk tanah Ultisolberupa batuan granit, batuan kapur, dan batuan andesit [3].
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah, karena pencucian basa berlangsung
intensif,sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat
dan sebagian terbawa erosi.
Penelitian bertujuan untuk memberikan masukan bagi petani dan pengembangan mengenai
berbagai media tanam organik yang sesuai untuk membantu mengelolah dan menyuburakan
tanah kapur Desa Sampung, Kapubaten Ponorogo, dapat digunakan sebagai bahan penyusun
petunjuk praktikum mata kuliah Fisiologi Tumbuhan.
METODE PENELITIAN
Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2016. Penelitian
dilaksanakan di Jalan Setia Budi, gang Cempaka No. 9 RT VI /RW 15 Madiun dan di
Laboratorium Biologi IKIP PGRI Madiun. Alat yang digunakan yaitu: timbangan (kg), cetok,
cangkul, polybag ukuran 25 25 cm, spidol, buku tulis, kertas label, ember, terpal, cutter,
paranet, rafi, pengaris dan meteran, sedangkan yang digunakan yaitu: benih kacang panjang, tanah
kapur, sekam bakar, ampas tebu, serbuk gergaji, tanah, pupuk kotoran sapi dan air.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas 9
perlakuan dan 3 ulangan yaitu: KS1 (tanah kapur 3 kg + media tanam sekam bakar 4 kg), KS2
(tanah kapur 3 kg + media tanam sekam bakar 3 kg), KS3 (tanah kapur 3 kg + media tanam
sekam bakar 2 kg), KA1 (tanah kapur 3 kg + media tanam ampas tebu 4 kg), KA2 (tanah kapur
3 kg + media tanam ampas tebu 3 kg), KA3 (tanah kapur 3 kg + media taman ampas tebu 2 kg),
KG1 (tanah kapur 3 kg + media tanam serbuk gergaji 4 kg), KG2 (tanah kapur 3 kg + media
tanam serbuk gergaji 3 kg), dan KG3 (tanah kapur 3 kg + media tanam serbuk gergaji 2 kg).
Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun dan berat basah. Pengukuran tinggi
tanaman dilakukan sebanyak 7 kali dengan interval waktu 7 hari, sedangkan pengukuran berat
basah setelah umur 50 hari setelah tanam (HST).
Teknik analisis data digunakan untuk menguji hipotesis yang telah ditentukan penelitian,
apakah ditolak atau diterima. Uji parametrik akan menggunakan anava satu jalur (One Way
Anova) dengan derajat kepercayaan 95% ( = 0,05). Menarik kesimpulan bedasarkan pada 1)
Jika probabilitas (Sig) < 0,05 maka signifikan (H0 ditolak), 2) Jika probabilitas (Sig) > 0,05
maka tidak signifikan (H0 diterima). Bila hasil uji hipotesis signifikan (Sig) > 0,05 maka
dilanjutkan dengan Uji LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui perlaukan terbaik
yang seharusnya digunakan.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
180 ISSN: 1978-1520
Berdasarkan uji hipotesis diketahui bahwa penambahan media tanam organik sekam bakar
dan amapas tebu berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan berat basah tanaman kacang
panjang.
250
KS1
Tinggi Tanaman (cm)
200
150 KS2
100 KS3
50 KA1
0
KA2
8 15 22 29 36 43 50
HST HST HST HST HST HST HST KA3
Gambar 1 menunjukan bahwa rata-rata tinggi tanaman pada umur 50 HST tertinggi adalah
191,67 cm, pada perlakuan media tanam sekam bakar 3 kg (KS2),sekam bakar memilik unsur N
,P dan K lebih tinggi dibandingkan media tanam lain yaitu N sebanyak 1,51 % ,P sebanyak 2,48
% dan K 2,23 %, sedangkan ampas tebu memiliki unsur N sebanyak 1,4 %, P sebanyak 1,7 %
dan K 1,8 %, lalu serbuk gergaji memiliki unsur N sebnyak 1,4 %, P sebanyak 0,095 % dan K
0,60 %. Tinggi tanaman terendah adalah 163,67 cm pada perlakuan media tanam serbuk gergaji
2 kg (KG3).
14
KS1
12
Jumlah Daun (helain)
10 KS2
8 KS3
6 KA1
4 KA2
2
KA3
0
KG1
8 HST
15 HST
22 HST
29 HST
36 HST
43 HST
50 HST
KG2
Gambar 2 menunjukan bahwa rata-rata jumlah daun tertinggi pada umur 50 HST adalah
13,33 dengan jumlah 16 helai pada perlakuan sekam bakar 3 kg (KS ), sedangkan rata-rata
jumlah daun terendah adalah 10,67 dengan jumlah 10 helai pada perlakuan serbuk gergaji 2 kg
(KG ). Hampir semua unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, baik unsur makro maupun
mikro, dalam arang sekam dengan prosentase SiO (52%), C (31%), K (0.3%), N (0,18%), F
(0,08%), dan kalsium (0,14%) [4]. Selain itu juga sebagian mengandung unsur lain seperti
Fe O , K O, MgO, CaO, MnO dan Cu dalam jumlah yang kecil serta beberapa jenis bahan
organik.
21,5
Gambar 3 menunjukan bahwa rata-rata berat basah keseluruhan tanaman kacang panjang
pada umur 50 HST adalah 20,89 gram pada perlakuan sekam bakar 3 kg (KS ), sedangkan rata-
rata berat basah terendah adalah 18,48 gram pada perlakuan serbuk gergaji 2 kg (KG ). Arang
sekam mampu memberikan respons yang lebih baik terhadap berat basah tanamanmaupun berat
kering tanaman [5].
SIMPULAN
Pertumbuhan tanaman kacang panjang paling optimum pada perlakuan media tanam organik
sekam bakar (KS ) tanah kapur tanah kapur 3 kg + media tanam sekam bakar 3 kg. Penambahan
media tanam organik (KS ) tanah kapur 3 kg + media tanam sekam bakar 3 kg terhadap
pertumbuhan tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) memiliki pengaruh paling optimum
terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan berat basah, hal ini terjadi karena unsur hara terserap
sempurna.
SARAN
Penelitian selanjutnya dilakukan dengan perlakuan jumlah jenis media tanam lebih bervariasi
dan kadar pupuk yang jumlah perbandinganya sesuai sehingga tanaman dapat tumbuh dengan
maksimal karena unsur hara yang dibutuhkan dapat tercukupi oleh suatu tanaman. Memeberikan
masukan dan pengembangan mengenai berbagai media organik yang sesuai untuk membantu
mengelolah, serta mampu menyuburakan tanah kapur Desa Sampung, Kapubaten
Ponorogo.Mempermudah dalam proses pembeljaran biologi dengan memanfaatkan buku
petunjuk praktikum fisiologi tumbuhan, sehingga mahasiswa memperoleh pengalaman
pembelajaran secara langsung dan mengembangkan ketrampilan proses yang telah dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
[4] Septiani, D. 2012. Pengaruh Pemberian Arang Sekam Padi Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens).
[5] Irawan dan Kafiar. 2015. Pemanfaatan cocopeat dan arang sekam padi sebagai media
tanam bibit cempaka wasian (Elmerrilia ovalis). PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON
Volume 1, Nomor 4.
Siti Aizah
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Nusantara PGRI Kediri
aizmdr@yahoo.com
Abstrak
Proses penuaan adalah melemahnya sel dan organ secara keseluruhan mulai sejak usia dewasa
secara perlahan dan berlangsung cepat setelah usia 50 tahun, ditandai dengan tubuh mulai
sakit-sakitan dan kulit keriput. Secara alamiah proses penuaan akan terjadi pada setiap
manusia, namun prosesnya berbeda-beda ada yang cepat (proses penuaan dini) dan ada yang
lambat (awet muda). Meskipun proses penuaan terjadii karena beberapa hal, namun radikal
bebas juga berkontribusi dalam mempercepat proses penuaan seseorang. Bahkan hasil
penelitian menunjukkan radikal bebas merupakan penyebab utama penuaan dini. Salah satu
upaya memperlambat penuaan dini akibat radikal bebas yaitu antioksidan. Sebagai bahan
aktif,, antioksidan digunakan untuk melindungi kulit dari kerusakan akibat oksidasi dan
mencegah penuaan dini. Antioksidan yang digunakan terutama vitamin C dan E, berfungsi
untuk memperbaiki kerusakan kulit akibat radikal bebas yang disebabkan radiasi ultraviolet
dan rokok.
PENDAHULUAN
Penuaan dini adalah proses penuaan kulit yang lebih cepat dari waktunya. Penuaan dini
bisa terjadi pada siapa saja, terutama di Indonesia yang merupakan daerah beriklim tropis
dengan sinar matahari berlimpah. Proses degeneratif terjadi lebih cepat pada kulit yang terlalu
sering terpapar sinar ultraviolet [1]. Proses penuaan biasanya ditandai dengan munculnya garis-
garis halus atau keriput wajah. Namun proses penuaan sendiri merupakan proses yang lebih
kompleks daripada hanya sekedar keriput wajah. Proses penuaan merupakan proses dimana
terjadi kemunduran atau degenerasi yang menyebabkan tubuh kehilangan fungsi dan
kemampuannya, termasuk menyebabkan munculnya keriput dan garis halus di wajah atau
bagian tubuh lain [2].
Penuaan pada kulit biasanya mulai terlihat ketika memasuki usia dewasa sekitar usia 30-an.
Namun sebuah survei mengungkapkan, sebanyak 57% wanita di Indonesia sudah menyadari
tanda penuaan di usia 25 tahun. Survei yang diadakan brand perawatan kulit Olay bersama salah
satu media online, telah meneliti 778 responden. Dari hasil penelitian juga ditemukan tanda-
tanda penuaan dini yang paling banyak terlihat bukanlah garis halus atau kerutan, melainkan
kulit yang kusam dengan presentase sebanyak 53,30 %. Meskipun menyadari timbulnya tanda
penuaan dini, ternyata masih banyak di antara mereka yang menunda perawatan anti-aging.
Sebuah survei lain yang dilakukan agensi penelitian independen Taylor Nelson Sofres terhadap
1.800 wanita usia 20-39 tahun di Asia (India, Korea, Filipina, Thailand) melaporkan, 1 dari 3
wanita di Asia hanya menggunakan perawatan untuk whitening, walaupun mereka juga
mengalami tanda-tanda penuaan. Data klinis berdasarkan penelitian yang berjudul The Effects
Of Skin Colour Distribution And Topography Cues On The Persception Of Female Facial Age
And Health menyebutkan, wanita dengan keriput dan warna kulit tidak merata akan terlihat
lebih tua enam tahun dari usia sebenarnya. Di Indonesia sendiri, wanita lebih mementingkan
kulit yang hanya terlihat putih tanpa memperhatikan kesehatannya. Padahal kulit yang putih
tidak selalu sehat. Indikator kulit sehat biasanya terlihat dari kulit yang cerah tanpa noda dengan
rona kemerahan alami. Studi selama 8 tahun yang dimuat pada British Journal of dermatalogy
telah menunjukkan, menggunakan perawatan kulit lebih awal dapat mengurangi tanda-tanda
penuaan. Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa dengan perawatan yang tepat,
perkembangan garis halus dan keriput dapat berkurang [3].
Penyebab penuaan dini meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi
faktor keturunan, kejiwaan, kesehatan dan daya tahan tubuh. Untuk faktor internal ini tentunya
tidak bisa dihindari karena merupakan proses alamiah pada manusia. Hal tersebut juga dipicu
oleh adanya perubahan hormonal dan tingkat stres yang dialami seseorang. Sedangkan untuk
faktor eksternal antara lain sinar matahari, radikal bebas, merokok, mengkonsumsi minuman
alkohol berlebihan, pola makan yang buruk dan posisi tidur [4]. Mengutip dari dr.Oz Indonesia
(2015), penyebab penuaan dini pada kulit adalah faktor dari lingkungan dan juga dari dalam
pribadi orang tersebut. Penyebab yang paling banyak terjadi dikarenakan oleh paparan radikal
bebas berupa sinar ultraviolet [5].
Radikal bebas adalah molekul atau atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan. Elektron tersebut sangat reaktif dan cepat bereaksi dengan molekul lain sehingga
terbentuk radikal bebas. Radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan sel berupa penuaan dini
dan berbagai penyakit. Salah satu upaya untuk menangkap radikal bebas yaitu antioksidan
seperti vitamin C dan E [6].
PEMBAHASAN
Beberapa cara dilakukan untuk mencegah terjadinya proses penuaan dini mulai dari
perawatan yang alamiah sampai dengan terapi yang membutuhkan biaya mahal. Konsumsi
vitamin C dan E sebagai antioksidan merupakan salah satu cara mencegah penuaan dini [6].
Vitamin C dan E dapat dijumpai pada makanan, juga pada produk olahan seperti krim topikal
dan obat yang dimasukkan ke dalam tubuh. Vitamin C banyak terdapat pada buah jambu,
pepaya, kiwi, jeruk dan lemon. Sedangkan vitamin E terdapat dalam kacang-kacangan, biji-
bijian dan sayuran hijau.
Menurut teori stres oksidatif, ketidakseimbangan dan kegagalan pengaturan reaksi
oksidasi-reduksii atau redoks di dalam sel bertanggung jawab terhadap rusaknya keseimbangan
secara oksidatif di dalam sell yang terwujud pada proses penuaan. Proses penuaan berlangsung
ketika sel-sel dirusak oleh serangan terus menerus partikel kimia-radikal bebas yang menumpuk
dari tahun ke tahun yang pada akhirnya memunculkan berbagai penyakit kemunduran fungsi
organ atau penyakit degeneratif. Mekanisme perusakan sel oleh radikal bebas yaitu terjadinya
peroksidasi (auto oksidasi) asam lemak tidak jenuh yang mengandung ikatan rangkap yang
diselingi oleh metilen pada komponen fosfolipid membran sel. Reaksi perioksidasi adalah reaksi
berantai yang menghasilkan kembali radikal bebas, sehingga terjadi reaksi peroksidasi asam
lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel berikutnya. Akibatnya fluiditas dan
permeabilitas lipid membran sel akan menurun. Penurunan ini akan menyebabkan terjadinya
penurunan pengikatan insulin oleh reseptor insulin, serta penurunan aktivitas enzim Na+/K+
ATPase sehingga akan memicu penurunan sistem transpor aktif glukosa dan asam amino serta
peningkatan kadar insulin plasma. Akibatnya kecepatan produksi energi sel dan biosontesis
makromolekul sel dan unit-unit pembangunan lainnya juga menurun [7].
Dari uraian di atas, penulis berpendapat bahwa meski penuaan tidak bisa dihindari namun
proses terjadinya dapat diperlambat. Sejalan dengan fakta ilmiah tentang kulit bahwa (1) pada
usia muda, kulit baru akan muncul ke lapisan epidermis setiap 28-30 hari. Dengan
bertambahnya usia, proses regenerasi berkurang secara cepat, dan setelah usia di atas 50 tahun
prosesnya sekitar 37 hari; (2) lapisan dermis kulit adalah lapisan kulit yang bertanggung jawab
terhadap sifat elastisitas,dan kehalusan kulit, berfungsi mensuplai makanan untuk lapisan
epidermis, dan sebagai pondasi bagi kolagen serta serat elastin; (3) vitamin C merangsang dan
meningkatkan produksi kolagen kulit dengan cara meningkatkan produksi kolagen kulit dengan
cara meningkatkan kemampuan perkembangbiakan sel fibroblast tua dermis [6].
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 185
Adalah mustahil untuk menemukan satu jenis bahan alam yang mampu mencegah proses
penuaan, karena proses penuaan terjadi melalui suatu seri rangkaian reaksi yang komplek
melibatkan interaksi antara replikasi dan ekspresi gen dengan aktivitas metabolisme di dalam
sel. Sedangkan aktivitas metabolisme terutama pada organisme tingkat tinggi merupakan
aktivitas sel yang terkoordinasi, mempunyai tujuan dan mencakup berbagai kerjasama antara
sistem enzim dan hormon. Namun berbagai upaya telah dilakukan untuk memperlambat dan
atau meminimalkan dampak dari terjadinya proses penuaan pada manusia mulai dari terapi
hormon sampai penggunaan berbagai antioksidan [7].
Molekul antioksidan berfungsi sebagai sumber hidrogen labil yang akan berkaitan dengan
radikal bebas. Dalam prosesnya, antioksidan mengikat energi yang akan digunakan untuk
pembentukan radikal bebas baru sehingga reaksi antioksidan berhenti. Antioksidan
mengorbankan dirinya untuk teroksidasi oleh radikal bebas sehingga melindungi protein atau
asam amino penyusun kolagen dan elastin [6]. Hal ini sesuai dengan beberapa literatur yang
menyatakan tentang fungsi dari vitamin C yaitu 1) sebagai antioksidan kuat yang melindungi
kulit terhadap pengaruh negatif faktor luar seperti polusi, sinar ultra violet matahari, iklim, AC,
asap rokok, dsb.; 2) merangsang pembentukan dan meningkatkan produksi kolagen kulit yang
akan menjaga kekenyalan, kelenturan, serta kehalusan kulit (anti-aging); 3) mencerahkan kulit.
Sedangkan fungsi vitamin E yaitu mengencangkan kulit. Untuk sementara dapat disimpulkan
bahwa dengan perawatan yang tepat seperti penggunaan vitamin C dan E sebagai antioksidan,
maka perkembangan penuaan dapat dihambat atau diminimalkan. Perawatan tidak harus mahal,
vitamin C dan E dalam buah-buahan mudah dijumpai dan aman dikonsumsi meski efeknya
tidak dapat dilihat secara langsung/cepat seperti halnya pada pemakaian krim atau obat-obatan
yang penggunaanya sangat dianjurkan untuk konsultasi dengan dokter (spesialis
kulit/kecantikan) mengingat adanya efek samping akibat pemakaian yang tidak tepat.
SIMPULAN
Seiring pertambahan usia, jaringan kolagen dan elastisitas kulit pada manusia semakin
berkurang sehingga muncul tanda-tanda penuaan. Perawatan anti-aging sebaiknya mulai
dilakukan sejak usia 20-an. Kondisi lingkungan yang tidak seperti dulu lagi karena pemanasan
global dan atmosfer yang semakin menipis, membuat kulit lebih rentan terkenan efek buruk
polusi, radikal bebas dan paparan sinar matahari, sehingga penuaanpun bisa terjadi lebih awal
bahkan sebelum seseorang itu menyadarinya. Salah satu yang dilakukan untuk memperlambat
dan atau meminimalkan dampak dari terjadinya proses penuaan pada manusia yaitu antioksidan
seperti vitamin C dan E.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Oktavia, D. 2015. Pemanfaatan Virgin Olive Oil Dalam Formulasi Sediaan Krim Sebagai
Anti Aging. http:///www.respiratory.usu.ac.id.(diakses 12 Agustus 2016).
[2] Tama, Guruh Putra. 2015. Antioksidan Senjata Paling Ampuh Tangkis Penuaan Dini.
http:///www.arrohmah.co.id (diakses 10 Agustus 2016).
[3] Hestianingsih. 2011. 57% Wanita Mengalami Penuaan Kulit di Usia 20-an.
http://www.wolipop.detik.com (diakses 10 Agustus 2016).
[4] Tama, Guruh Putra. 2015. .Lima Kebiasaan Yang Memicu Penuaan Dini Kulit.
http:///www.aladokter.com (diakses 12 Agustus 2016).
[5] Dr. Oz Indonesia. 2015. Mencegah Penuaan Dini, Penyebab Dan Ciri-Ciri Penuaan.
http://www.droziindonesiatv.blopspot.co.id./ (diakses 6 Agustus 2016).
[6] Atmaja, Nila Surya. 2009. Pengaruh Kosmetika Anti Aging Terhadap Hasil Perawatan Kulit
Wajah. http://www.lib.unnes.ac.id.(diakses 2 Agustus 2016)
[7] Ahmady, Khaidir US. 2013. Proses Terjadinya Penuaan Dini Pada Sel Manusia.
http://www.ahmady-tecnology-newinsight.blogspot.co.id. Diakses tanggal 5 Agustus 2016
Abstrak
Telah dilakukan studi pendahuluan mengenai peran serangga pengunjung pada tanaman salak.
Tanaman Salak Pondoh (Salacca zalacca) merupakan tanaman diesis dimana bunga jantan dan
betina terdapat pada tanaman yang berbeda. Serbuk sari tanaman salak pondoh bersifat
lengket dan bunga mulai beraroma wangi pada pukul 14.30 WIB. Aroma bunga dapat menarik
kunjungan beraneka serangga. Serangga mengunjungi tanaman salak demi memperoleh
makanan, habitat, ataupun tempat persembunyian. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui keanekaragaman jenis serangga pengunjung tanaman salak dan peranannya.
Pengamatan dilakukan selama 570 menit di kebun milik warga di Desa Wonoasri. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode VES (Visual Encounter
Survey). Dari penelitian ini ditemukan sebanyak 5 spesies serangga dari Ordo Hemiptera (1),
Diptera (2), Hymenoptera (1) dan Coleoptera (1). Serangga yang berpotensi sebagai hama
yaitu pada Ordo Hemiptera (Leptocorisa acuta), Diptera (Agromyza phaseoli, Musca
domestica) dan Coleoptera (Epilachna spp). Serangga yang berpotensi sebagai pollinator yaitu
pada Ordo Hemiptera (Famili Vespidae). Sedangkan serangga sebagai vektor penyakit yaitu
pada Ordo Diptera (Musca domestica).
PENDAHULUAN
Tanaman salak (Salacca zalacca (Gaert.) Voss.) diduga berasal dari Pulau Jawa dan sudah
dibudidayakan sejak ratusan tahun silam. Pada masa penjajahan, tanaman ini dibawa ke pulau-
pulau lain dan akhirnya tersebar luas sampai ke Filipina, Malaysia, Brunei dan Thailand [1]. S.
zalacca umumnya berumah dua (diesis) karena perbungaan jantan dan perbungaan betina
terdapat pada tanaman berbeda sehingga tanaman salak yang memiliki perbungaan jantan saja
tidak pernah menghasilkan buah. Tanaman salak memerlukan curah hujan rata-rata 200-400 mm
per bulan. Tanaman ini tidak menyukai penyinaran penuh, intensitas sinar yang dibutuhkan
berkisar 50-70%, sehingga perlu tumbuhan penaung. Salak basah dengan pH sekitar 6,5, berupa
tanah pasir atau lempung yang kaya bahan organik, dapat menyimpan air dan tidak tergenang,
karena sistem perakarannya dangkal [2]. Temperatur optimal 20-30oC, apabila kurang dari 20oC
perbungaan akan lambat, bila terlalu tinggi akan menyebabkan buah dan biji membusuk [2].
Jenis tanaman salak yang populer dikalangan petani saat ini dan banyak dibudidayakan
masyarakat adalah jenis salak pondoh. Penyebaran jenis tanaman ini sudah meluas meliputi
daerah-daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan luar Jawa.
Hubungan interaksi antara tanaman dan serangga mempunyai dua efek yaitu
menguntungkan dan, merugikan.. Efek interaksi yang menguntungkan bagi tanaman adalah
serangga mampu membantu penyerbukan dan penyebaran biji [3]. Serangga yang berperan
dalam penyerbukan disebut pollinator. Serangga pollinator tertarik pada suatu bunga
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain morfologi bunga (ukuran, warna, sifat bunga),
kandungan nektar, dan waktu, Sedangkan efek yang merugikan adalah serangga menjadi hama
dan vektor penyakit bagi tanaman. Serangga pengunjung juga berpotensi membuat kerugian
bagi tanaman yaitu sebagai hama yang akan memakan bagian bagian tubuh tanaman dan atau
juga sebagai vektor penyakit. Kunjungan serangga sebagai hama dan vector penyakit seperti
yang terjadi pada tanaman pisang yang dikunjungi oleh ngengat R. solanacearum yang
membawa bakteri Ralstonia solanacearum sebagai vector penyakit darah bakteri pada pisang.
Kutu putih, (Planococcus minor dan Ferrisia) sebagai vektor virus virgate Piper Yellow Mottle
Virus (PYMV) dan Aphis gossypii, serangga vektor Cucumo Mottle Virus (CMV). Kedua virus
ini yang menyebabkan kerdil pada tanaman lada. Kedua jenis kutu putih diketahui sebagai
serangga yang polifag dan vektor yang sangat efisien (Rodiah 2009). Sedangkan pada tanaman
sengon (Albizia falcataria L. Fosberg) yang dikunjungi oleh Lepidoptera dari Famili
Heliozelidae mengandung spora cendawan Uromycladium tepperianum penyebab penyakit
karat puru. Serangga yang berperan sebagai hama merupakan kendala terbesar bagi petani
karena dapat menurunkan produktivitas pertanian [4]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan mengidentifikasi jenis-jenis serangga yang menunjungi tananaman salak pondoh kemudian
mendiskripsikan peranan serangga tersebut terhadap tanaman pondoh.
METODE PENELITIAN
Studi pendahuluan ini dilaksanakan pada bulan Juli di kebun milik warga di Desa
Wonoasri. Pengamatan dilakukan selama 570 menit secara bertahap. Terdapat 105 pohon salak,
pada bunga jantan memiliki 5 tandan dan betina memiliki 2 tandan bunga. Pengamatan
dilakukan pada seluruh bagian tanaman kecuali pada bagian akar. Serangga yang teramati
ditangkap menggunakan insect net, kemudian dimasukan pada botol koleksi. Identifikasi
serangga dilakukan hingga tahap spesies di Laboratorium Zoologi Universitas Nusantara PGRI
Kediri menggunakan beberapa kunci determinasi: Mengenal kerabat kepik [5], Pengembangan
pengendalian hama terpadu [6] dan Serangga [7].
Sebanyak lima spesies serangga dari empat Ordo telah diidentifikasi. Dari ketiga Ordo
tersebut, Ordo Diptera paling banyak ditemukan (Gambar 1). Ordo diptera memiliki ciri khusus:
mempunyai 2 sayap (di = dua, ptera = sayap) yang terdapat pada mesothorax dan terdapat juga
sayap yang rudimenter berfungsi sebagai alat keseimbangan (haltera). Metamorfosis lengkap :
telurlarvapupadewasa.
Agromyza phaseoli memiliki ciri-ciri yaitu memiliki bentuk yang ramping dan tungkai
yang panjang. Serangga jenis ini merupakan hama bagi tumbuhan. Musca domestica ditemukan
pada bagian daun tumbuhan salak. Spesies ini memiliki ciri-ciri yaitu tubuh terbagi menjadi tiga
bagian yaitu bagian kepala dengan sepasang antena, thoraks dan abdomen. Kepala M. domestica
relatif besar dengan dua mata majemuk yang bertemu di garis tengah untuk lalat jantan, sedang
lalat betina dua mata majemuk terpisahkan oleh ruang muka. Tipe mulut lalat adalah sponging,
disesuaikan dengan jenis makanannya yang berupa cairan. Bagian mulut lalat digunakan sebagai
alat penghisap makanan yang disebut dengan labium. Pada ujung labium terdapat labella yang
menghubungkan antara labium dengan rongga tubuh (haemocoele) [9].
Musca domestica mempunyai metamorfosis lengkap (complete metamorfosis
olometabolous) mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Spesies ini bertindak sebagai vektor
penyakit, artinya lalat ini bersifat pembawa/memindahkan penyakit dari satu tempat ke tempat
lain. Disamping itu juga dapat menyebabkan myiasis atau memperparah keadaan luka pada
jaringan akibat infestasi lalat [8]. Selain sebagai vector penyakit, spesies ini juga berperan
sebagai hama pada tanaman.
Ditemukan satu spesies dari ordo Hemiptera. Ordo ini memiliki ciri khusus memiliki dua
pasang sayap yakni sayap depan dan belakang. Sayap depan lebih tebal dibandingkan sayap
belakang, Sayap belakang sedikit lebih pendek daripada sayap depan. Tipe alat mulut pencucuk
pengisap menyerang pada bulir padi dan berbagai rumput gulma. Pada studi pendahuluan ini,
spesies yang ditemukan adalah Leptocorisa acuta. Leptocorisa acuta banyak ditemukan pada
bagian daun tumbuhan salak. Spesies ini memiliki cirri-ciri kepala sedikit lebar dan hamper
sama dengan protonum. Tubuh panjang dan menyempit. Cirri khas serangga ini adalah memiliki
bau yang busuk. Muara-muara kelenjar bau adalah lubang bulat telur yang lebar terletak antara
kokse tengah dan belakang. Serangga ini masuk ke dalam kelompok hama yang merugikan
tumbuhan [9].
Ordo coleoptera memiliki bentuk tubuh oval yang mendekati bulat, kepala tersembunyi di
bawah ronotum. Epilachna sp ditemukan sangat banyak pada bagian daun tumbuhan salak.
Spesies ini memiliki metamorfosa sempurna yang terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago
berupa kumbang. Dapat hidup pada ketinggian rendah sampai tinggi (0-1100 m dpl) [10]. Larva
dan imago Epilachna sp memiliki tempat hidup dan makanan yang sama, keduanya
menyebabkan rusaknya daun sehingga tinggal mesofilnya dengan pola yang khas dan bahkan
tinggal tulang daun saja [11].
Ordo Hymenoptera ditemukan satu spesies dari famili vespidae. Famili ini memiliki
abdomen berhubungan dengan thoraks dengan sebuah ptiolus yang ramping. Sungut terdiri dari
13 ruas atau kurang. Sayap melipat longitudinal pada waktu istirahat. Dominan berwarna hitam
dan bagian muka dan abdomen dengan warna kuning. Pada famili ini berperan sebagai
pollinator. Dalam studi pendahuluan ini juga ditemukan laba-laba. Dimana laba-laba berperan
sebagai predator. Dengan demikian dapat diketahui bahwa di Kebun salak milik warga terdapat
rantai makanan yang kompleks.
SIMPULAN
Dari studi pendahulu dapat disimpulkan bahwa pada tanaman salak terdapat beragam jenis
serangga yang menguntungkan dan merugikan. Serangga yang bersifat menguntungkan sebagai
pollinator pada Ordo Hymenoptera, Famili Vespidae. Sedangkan yang bersifat sebagai hama
bagi tumbuhan yaitu pada Ordo Hemiptera (Leptocorisa acuta), Diptera (Agromyza phaseoli,
Musca domestica) dan Coleoptera (Epilachna spp). Selain terdapat serangga jenis hama,
terdapat serangga yang berperan sebagai vektor penyakit (Musca domestica). Di kebun milik
warga Wonoasri terdapat laba-laba dimana mempunyai peran sebagai predator. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat rantai makanan yang kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Nazaruddin dan Kristiawati. 1997. Varietas Salak. Jakarta: Penebar Swadaya.
[2] Santoso, H.B. 1990. Salak Pondoh. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
[3] Garibaldi, L.A., Calvalheiro, L.G., Leonhardt, S.D., Aizen, M.A., Blaauw, B.R., Isaacs, R.,
Kuhlmann, M., Kleijn, D., Klein, A.M., Kremen C., Morandin, L., Scheper, J., and
Winfree, R. 2014. From Research to Action: Enhancing Crop Yield Through Wild
Pollinators. Frontiers in Ecology and Environment12(8): 439-447.
[4] Khodijah., Herlinda S., Irsan C., Pujiastuti Y dan Thalib R. 2012. Artropoda predator
penghuni ekosistem persawahan lebak dan pasang surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan
Suboptimal.1(1):57-63.
[5] Pudjiastuti, L., E, 2005, Mengenal Kerabat Kepik, LIPI.
[6] Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu, 1991, Kanisius Yogyakarta.
[7] Siwi, S., S, 1991, Kunci Determinasi Serangga, Kanisius, Yogyakarta.
[8] Hastutiek, P., dan Fitri, L., E, Potensi Musca domestica Linn. sebagai Vektor Beberapa
Penyakit, Jurnal Kedokteran Brawijaya, No 3, Vol Xxiii, Hal 125-137.
[9] Rizkie, L., Herlinda, S., dan Suparman, 2015, Serangga Hama dan Arthropoda Predator
yang Terdapat pada Padi Lebak di Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemuluatan Provinsi
Sumatera Selatan, Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal,Palembang, 8-9 Oktober
2015.
[10] Nakano, S., et al, 2001, Survivorship and Fertility Scedules of A Non-Pest Phytophagus
Lady Beetle, Epilachna Phyto (Coleoptera: Coccinellidae) Under Laboratory Condition,
Tropic, no 3, vol 10, hal 369-377.
[11] Abbas, I., Iet al, I Population Parameters and Life Table Of An Epilachna beetle
(Coleoptera: Coccinellidae) Feeding on Bitter Cucumber in Sumatera. Researches on
Population Ecology, no 2, vol 27, hal 313-324.007.
Abstrak
Fig (Ficus carica L.) merupakan tanaman asli dari Asia Barat. Tanaman ini telah
dibudidayakan sejak tahun 500 SM. Masyarakat Indonesia mengenal Fig sebagai Tin. Tin baru
dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 2005. Tanaman Tin seringkali dijadikan sebagai
tempat hinggap berbagai jenis serangga. Namun, di Indonesia belum pernah ada laporan
mengenai keanekaragaman serangga pada tanaman ini. Oleh karena itu perlu adanya suatu
penelitian mengenai serangga pada tanaman tin. Penelitian ini merupakan penelitian tahap
satu yang bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis serangga pengunjung tanaman tin dan
perilakunya. Perilaku serangga yang diamati adalah foraging rate. Penelitian ini dilaksanakan
di kebun milik warga Desa Wonoasri Kabupaten Kediri. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dengan metode VES (Visual Encounter Survey), pengamatan ini dilakukan
selama 570 menit mulai pukul 06.00 WIB. Terdapat 6 spesies yang telah teridentifikasi. Dari
keenam spesies tersebut Drosophila sp, Agromyza phaseoli, dan Mantis religiosa merupakan
serangga yang memiliki Foraging rate tertinggi yaitu 0,09 bunga per menit.
PENDAHULUAN
Fig (Ficus carica L.) merupakan tanaman asli dari Asia Barat. Tanaman ini telah
dibudidayakan sejak tahun 500 SM. Masyarakat Indonesia mengenal Fig sebagai Tin. Tin baru
dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 2005. Fig adalah anggota dari genus Ficus, yang
termasuk dalam famili Moraceae (mulberry). Ficus adalah genus besar dengan sekitar 2.000
spesies pohon, semak, dan spesies pohon anggur tropis dan yang subtropis didistribusikan di
sekitar bagian hangat dari dunia [1].
Fig berhabitus pohon dan dapat tumbuh hingga 10m dengan batang lunak berwarna cokelat
dan memiliki daun yang cukup besar dan berlekuk dalam. Bunga tin tidak tampak karena
terlindung oleh dasar bunga yang menutup sehingga biasanya disebut bunga syconium yang
terlihat seperti buah. Yang disebut buah sebetulnya adalah dasar bunga yang membentuk
bulatan [2].
Tanaman Tin seringkali dijadikan sebagai tempat hinggap berbagai jenis serangga.
Serangga yang datang pada tanaman sering disebut serangga pengunjung. Serangga pengunjung
yang menguntungkan adalah sebagai pollinator. Serangga pengunjung juga berpotensi membuat
kerugian bagi tanaman yaitu sebagai hama yang akan memakan bagian bagian tubuh tanaman
dan atau juga sebagai vector penyakit [3].
Namun, di Indonesia belum pernah ada laporan mengenai keanekaragaman serangga pada
tanaman ini. Oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian mengenai serangga pada Tanaman
Tin. Penelitian ini merupakan penelitian tahap satu yang bertujuan untuk mengetahui berbagai
jenis serangga pengunjung tanaman Tin dan perilakunya. Perilaku serangga yang diamati adalah
foraging rate.
METODE PENELITIAN
Studi pendahuluan ini dilaksanakan pada bulan Juli di kebun milik warga di Desa Wonoasri.
Pengamatan dilakukan selama 570 menit secara bertahap. Pengamatan dilakukan pada seluruh
bagian tanaman kecuali pada bagian akar. Serangga yang teramati ditangkap menggunakan
insect net, kemudian dimasukan pada botol koleksi. Identifikasi serangga dilakukan hingga
tahap spesies di Laboratorium Zoologi Universitas Nusantara PGRI Kediri menggunakan
beberapa kunci determinasi: Mengenal kerabat kepik [4], dan Pengembangan pengendalian
hama terpadu [5].
Sebanyak enam spesies serangga telah berhasil diidentifikasi. Perilaku serangga yang
diamati adalah foreging rate. Foraging rate merupakan sebagai jumlah kunjungan yang
dilakukan oleh satu spesies serangga selama jangka waktu pengamatan. Dari data yang telah
diperoleh, Mantis religiosa, Agromyza phaseoli, dan Drosophilla sp. memiliki foreging rate
tertinggi yaitu 0,09 bunga/menit (Gambar 1)
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat dua spesies serangga yang ditemui
pada hampir semua waktu pengamatan, yaitu Ormenaria sp. dan Epilachna varivestis yang
merupakan kelompok Lepidoptera dan Coleoptera. Diketahui bahwa Ormenaria sp. dan
Epilachna varivestis merupakan kelompok serangga yang paling banyak ditemukan di
tanaman fig. Keberadaan serangga ini pada tumbuhan memiliki nilai negatif bagi tumbuhan itu
sendiri, yaitu sebagai hama.
Selain Ormenaria sp. dan Epilachna varivestis serangga hama tanaman fig lainnya yaitu
terdapat Drosophilla sp, dan Agromyza phaseoli yang merupakan ordo Diptera dan
Branchyplatis radians yang merupakan Ordo Hemiptera. Sedangkan serangga yang berperan
sebagai pengunjung yaitu Mantis religiosa dari Ordo Orthoptera.
Dari Gambar 1 dapat dilihat, bahwa Dari keenam spesies tersebut Drosophila sp, Agromyza
phaseoli, dan Mantis religiosa merupakan serangga yang memiliki Foraging rate tertinggi yaitu
0,09 bunga per menit. Sedangkan Epilachna varivestis, Branchyplatis radians, dan Ormenaria
sp. merupakan serangga yang memiliki Foraging rate terendah yaitu 0,01 bunga per menit.
SIMPULAN
Tanaman fig memiliki hubungan simbiosis dengan serangga lokal. Hal ini terbukti dari adanya
kunjungan serangga pada tanaman fig. Beberapa serangga yang mengunjungi tanaman fig
memiliki foreging rate yang berbeda sehingga lama waktu kunjungan setiap serangga pada
tanaman fig berbeda pula. Data foreging rate ini dapa digunakan sebagai dasar penelitian
lanjutan untuk mengetahui berbagai potensi serangga bagi fig
DAFTAR PUSTAKA
[1] Himelrick, David G. 1999. Fig Production. Guide Extension Horticulturist, Professor,
Horticulture, Auburn University.
[2] Loope, Lloyd. Et al,. 2003. Ficus carica: Edible fig. United States Geological Survey--
Biological Resources Division. Haleakala Field Station, Maui, Hawai'i.
[3] Muhamat, Hidayaturrahmah., Nurliani, Anni. 2015. Serangga-serangga pengunjung pada
tanaman zodia (Evodia suaveolens). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Lambung Mangkurat. ISSN: 2407-8050: No.6 Vol.1.
[4] Pudjiastuti, Liliek Endang. 2005. Mengenal Kerabat Kepik. Pusat Penelitian Biologi. LIPI
Indonesia.
[5] Kunci Determinasi Serangga: Program Nasional dan Pengembangan Pengendalian Hama
Terpadu. 1991. Kanisius: Yogyakarta
Firda Ama Zulfia1, Indah Syafinatu Zafi1, Kuni Mawaddah1, dan Leviana Erinda1,
Eko Sri Sulasmi2
1
Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang
2
Laboratorium Botani Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang
E-mail: firdaama@yahoo.co.id
Abstrak
Perkembangan zaman membuat komunikasi antara guru dan siswa menjadi komunikasi banyak
arah agar proses belajar mengajar dapat lebih mudah dan menyenangkan. Mahasiswa perlu
belajar mengembangkan media pembelajaran berupa media realia yang dapat dilakukan
sebagai pengembangan media pembelajaran mata kuliah keanekaragaman tumbuhan
mahasiswa calon guru biologi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan
mendeskripsikan ragam jenis spora Pteridophyta sekitar Universitas Negeri Malang dan
memanfaatkan ragam jenis spora Pteridophyta sekitar Universitas Negeri Malang sebagai
media belajar mahasiswa calon guru biologi. Metode yang dilakukan pada penelitian adalah
dengan metode deskriptif eksploratif. Pengambilan sampel dilakukan di daerah FMIPA
Universitas Negeri Malang untuk diamati. Hasil dideskripsikan dan diidentifikasi menggunakan
sumber dari buku dan jurnal internasional. Dari hasil pengamatan diketahui ada enam genus
yang ditemukan yakni Adiantum, Platycerium, Diplazium, Pteris, Asplenium, dan
Drymoglossum. Dari keenam genus yang ditemukan terdapat perbedaan ciri spora yang
menonjol dari setiap genus yaitu bentuk spora, letak sporangium, asesori spora, dan susunan
sporangium. Adiantum memiliki bentuk spora bulat, Platycerium memiliki bentuk spora bulat,
Diplazium memiliki bentuk spora ginjal, Pteris memiliki bentuk spora bulat, Asplenium memiliki
bentuk spora cembung monolet, dan Drymoglossum memiliki bentuk spora bulat. Pteridophyta
tersebut dapat dijadikan sebagai media belajar realia yang dapat menunjang proses
pembelajaran keanekaragaman tumbuhan.
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel spora pteridophyta pada penelitian ini diambil di sekitar Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang. Penelitian ini mulai
dilaksanakan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Malang pada Kamis, 17 Maret
2016. Alat dan bahan yang digunakan adalah mikroskop binokuler, pipet tetes, kaca benda,
kaca penutup, jarum pentul, air, dan baskom kecil. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan
atau menggambarkan fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun
rekayasa manusia yang mengkaji bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan,
kesamaan dan perbedaannya dengan fenomena lain [5]. Penelitian deskriptif yang digunakan
merupakan penelitian deskriptif eksploratif.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbagai spora tumbuhan paku
yang terdapat di sekitar FMIPA Universitas Negeri Malang. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan teknik observasi (pengamatan) langsung dan teknik analisis deskriptif
eksploratif. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan karakteristik masing-masing
spora spesies tumbuhan paku yang didapatkan di sekitar Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang yang meliputi bentuk spora, macam spora, letak
sporangium, asesori spora, dan susunan sporangium.
sporangium: melingkari
h.Indusium : tidak ada
SIMPULAN
1. Terdapat delapan spesies Pteridophyta yang ditemukan FMIPA Universitas Negeri Malang,
yakni Platycerium bifurcatum, Adiantum capillus-veneris, Drymoglosum piloselloides,
Asplenium nidus, Pteris vittata, Diplazium sorzogonense, Pytyrogamma calomelanos, dan
Dryopteris hirtipes.
2. Ragam jenis Pteridophyta sekitar Universitas Negeri Malang dapat dimanfaatkan sebagai
media belajar mahasiswa calon guru biologi
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suherman, Y., 2009, Pengembangan Media Pembelajaran bagi ABK, Makalah
disampaikan pada Diklat Profesi Guru PLB Wilayah X Jawa Barat Bumi Makmur,
Lembang Bandung 2008.
[2] Nurseto, T., 2011, Membuat Media Pembelajaran yang Menarik, Jurnal
Ekonomi dan Pendidikan, vol. 8(1), hal 19-35.
[3] Loveless, A.R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk daerah Tropik 2. PT.
Gramedia. Jakarta.
[4] Holttum, R.E., 1954, A Revised Flora of Malaya Volume II, Government Printing
Office, Singapore.
[5] Sukmadinata, N., 2012, Metode Penelitian Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung.
[6] Tjitrosoepomo, G., 1994, Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
[7] Yudianto, A. & Suroso, 2007, Petunjuk Praktikum Botani Cryptogamae. Jurusan
Pendidikan Biologi FMIPA UPI, Bandung.
[8] Anas, A., 2016, Karakterisasi Spora Tumbuhan Paku (Pteridophyta) dari Hutan Lumut
Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang, Pegununganan Argopuro, Program Studi
Biologi, Univ. Jember, Jember.
[9] Rosalin, I., 2014, Keanekaragaman Morfologi dan Struktur Reproduksi Tumbuhan Paku
Terestrial di Kapus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Program Studi Biologi, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
[10] Hurlock, E. B., 1990, Perkembangan Anak Edisi Keenam, diterjemahkan oleh
Meitasari Tjandrasa, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Abstrak
Pembelajaran IPA khususnya Biologi pada tingkatan SMP/MTs masih didominasi oleh guru
pada kegiatan belajar mengajarnya, bukan hanya banyaknya materi tetapi juga pelajaran
biologi yang didominasi bacaan membuat guru terfokus pada penyampaian materi kepada
peserta didik tanpa melibatkan mereka. Akibatnya siswa pasif, suasana kelas membosankan,
tidak adanya keingintahuan, dan siswa kurang peduli terhadap materi yang diajarkan sehingga
kemampuan berpikir kritis siswa rendah. Dari latar belakang di atas diperlukan solusi untuk
mengatasi kesenjangan tersebut yakni dengan menerapkan model pembelajaran Think-Pair-
Share. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan berpikir kritis siswa dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share. Metode yang digunakan
adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) model Kemmis & Taggart dengan subyek penelitian
siswa kelas VII-A MTs Tribakti Kunjang. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus,
menggunakan instrumen berupa lembar observasi aktifitas guru, angket respon siswa, dan soal
evaluasi berpikir kritis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan tes
berpikir kritis menggunakan Asesmen Berpikir Kritis menurut Finken dan Ennis yang sudah
dimodifikasi (1993 dalam Zubaidah 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapkan
model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) dapat meningkatkan berpikir kritis
siswa dengan perolehan hasil rata-rata nilai berpikir kritis siklus I 11 dan siklus II 19 dari skor
maksimum 25.
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran atau proses belajar mengajar pada dasarnya adalah interaksi atau
hubungan timbal balik antara guru dan siswa dalam situasi pendidikan. Oleh karena itu, guru
dalam mengajar dituntut kesabaran, keuletan, dan sikap terbuka. Akan tetapi ketika dilakukan
pengamatan proses pembelajaran dikelas dan wawancara kepada guru IPA di MTs Tribakti
Kunjang seringkali guru terlalu asyik menyampaikan seluruh materi sehingga siswa kurang
memberi tanggapan karena mereka hanya bertugas untuk mendengarkan dan hanya sesekali
diberi kesempatan untuk bertanya. Selain itu, guru merasa materi yang akan diberikan dalam
satu tahun pembelajaran terlalu banyak sehingga guru harus mengejar target dan tergesa-gesa
dalam menyelesaikan materinya. Rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh rendahnya
pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan, guru lebih dominan dalam proses
kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan metode ceramah yang tidak meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa. Guru lebih memilih metode ceramah yang lebih mudah
diterapkan yaitu cukup menjelaskan konsep yang ada dibuku referensi dan dilanjutkan
mengerjakan LKS. Interaksi antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru pun sangat
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang
dilakukan secara kolaboratif dengan menggunakan model Kemmis and Taggart[5]. Tahapan-
tahapan dari model ini adalah perencanaan (plan), pelaksanaan dan pengamatan (act &
observe), dan refleksi (reflect). Dalam penelitian ini dilakukan dua siklus. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas VII-A MTs Tribakti Kunjang pada tahun ajaran 2015/2016
sebanyak 23 siswa yang terdiri dari 8 siswa putra dan 15 siswa putri. Penelitian ini dilakukan di
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 203
VII-A MTs Tribakti Kunjang pada semester genap bulan Februari sampai April 2016.
Instrumen yang digunakan adalah perangkat pembelajaran, rubrik penilaian berpikir kritis, soal
evaluasi berpikir kritis, dokumentasi, dan catatan lapangan. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan pada penelitian ini adalah metode tes dan dokumentasi. Teknik analisis data yang
digunakan untuk mengetahui skor kemampuan berpikir kritis siswa adalah menggunakan tes
akhir siklus. Soal pada tes kemampuan berpikir kritis terdapat 5 butir soal essay yang masing-
masing mendapat nilai sesuai rubrik penilaianAsesmen Berpikir Kritis menurut Finken dan
Ennis yang sudah dimodifikasi (1993 dalam Zubaidah 2015). Hasil pekerjaan siswa pada tes
tersebut dianalisis dengan diberi skor sesuai dengan pedoman atau rubrik kemampuan berpikir
kritis yang selanjutnya dirata-rata secara klasikal.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus 1 dan 2 yang diperoleh dari tes
evaluasi akhir siklus berpikir kritis siwa dapat meningkat. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa sebagian siswa tuntas dan ada sebagian lain yang belum tuntas. Hal ini bisa dilihat dari
hasil rata-rata evaluasi siklus 1 adalah 45,74 dan rata-rata Hal ini dikarenakan siswa belum
pernah menerima soal ulangan dengan tingkat berpikir kritis yang tinggi. Biasanya siswa
mendapat soal evaluasi hanya aspek C1 dan C2 saja. Sedangkan pada tahap tingkatan berpikir
kritis siswa menerima soal evaluasi pada tingkatan C3 dan C4. Hal ini bisa dilihat dari hasil
rata-rata post test evaluasi mencapai 78 dan rata-rata
Rata-rata Nilai
Tahapan penelitian
Gambar 1. Grafik rata-rata hasil belajar
Ketuntasan siswa dilihat dari KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang didapatkan dari
perhitungan KKM KD pada sub bab materi plantae diperoleh hasil yaitu 68 dengan rata-rata
nilai pada siklus I 45,74 dan siklus II 78. Sedangkan pra penelitian KKM mengacu pada sekolah
yakni 70 dengan rata-rata nilai 64,61 pada sub bab ciri-ciri makhluk hidup. dengan adanya
peningkatan hasil belajar tersebut maka tingkat berpikir siswa pun juga meningkat. Dalam soal
evaluasi terdapat lima butir soal yang masing-masing mendapat nilai benar maksimal 5 dan
minimal 0 sesuai rubrik penilaian dari Finken dan Ennis (1993) yang sudah dimodifikasi dalam
Zubaidah dkk. (2015), apabila siswa menjawab semua dengan benar dan tepat maka mendapat
skor 25. Pada siklus I perolehan nilai berpikir kritis adalah 11 dari skor ideal yang seharusnya
adalah 25. Pada siklus II perolehan skor berpikir kritis 19 dari skor ideal 25.
Siklus
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model belajar kooperatif siswa
mampu mnemukan konsep-konsep dasar suatu materi dengan mandiri dan berdampak pada hasil
evaluasi. Siswa yang biasanya dapat mengerjakan dengan mudah soal yang diberikan guru
sekarang mereka mampu menjawab soal yang tingkatan soal nya sudah mencapai C3 dan C4.
SIMPULAN
SARAN
Untuk penelitian selanjutnya hendaknya membuat rentangan kategori berpikir kritis sesuai
rubrik yang sudah dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Instagram adalah media sosial berbasis internet yang menyediakan fasilitas berbagi foto dan
video antara pengguna satu dengan pengguna lainnya dalam lingkup jaringannya. Setiap
pengguna dapat menggunakan kode unik berupa QR-Code untuk menautkan foto dan video
yang telah diunggahnya. QR-Code dapat diakses dengan alat bantu ponsel pintar sehingga
masyarakat umum dapat menuju tautan foto dan video yang tersimpan di jaringan Instagram.
Instagram memiliki potensi sebagai alternatif media pembelajaran Botani. Botani merupakan
cabang Biologi yang mengkaji tentang morfologi, anatomi, fisiologi dan taksonomi tumbuhan.
Salah satu kegiatan Botani adalah pengamatan tumbuhan secara langsung untuk mengetahui
ciri-ciri morfologi amatan. Pengamat dapat menggunakan kunci determinasi pada buku acuan
untuk menemukan golongan tumbuhan, nama spesies, atau nama daerahnya. Dalam buku
acuan determinasi tumbuhan terdapat sedikit contoh gambar tumbuhan. Penggunaan
Instagram sebagai alternatif media pembelajaran Botani dapat menambah keterangan berupa
foto, deskripsi morfologi, nama daerah, maupun nama spesiesnya. Potensi Instagram sebagai
alternatif media pembelajaran Botani diharapkan dapat meningkatkan minat dan motivasi
belajar siswa, mahasiswa, maupun masyarakat umum.
PENDAHULUAN
Di era kemajuan teknologi dan internet, media pembelajaran berbasis internet perlu
dikembangkan untuk memfasilitasi pebelajar (siswa, mahasiswa, maupun masyarakat umum)
yang sebagian besar memiliki ponsel pintar dengan berbagai aplikasi media sosial di dalamnya.
Media pembelajaran berbasis internet maupun sosial media dapat meningkatkan pengalaman
belajar dan memfasilitasi keterampilan Abad 21 pebelajar, khususnya keterampilan literasi
teknologi [1]. Berbagai aplikasi media sosial berbasis internet dengan bermacam fitur spesifik
(pesan singkat, berbagi foto, berbagi video, dan lain sebagainya) dapat diakses melalui ponsel
pintar yang terhubung dengan layanan internet. Instagram adalah salah satu media sosial
berbasis internet yang menyediakan fasilitas berbagi foto dan video antara pengguna satu
dengan pengguna lainnya dalam lingkup jaringannya. Fitur-fitur yang dimiliki Instagram antara
lain: hashtag, geotag, follow, share, like, comment, dan mention. Berbagai fitur ini mendukung
para pengguna Instagram untuk berinteraksi dan berbagi informasi dengan sesama pengguna
lainnya dengan cepat [2]. Pengguna Instagram di Indonesia telah mencapai 22 juta orang,
sebanyak 89% berusia 18 35 tahun [3]. Hal ini menunjukkan bahwa Instagram merupakan
media sosial yang cukup potensial untuk terus berkembang di Indonesia, termasuk menjadi
media pembelajaran alternatif.
Botani merupakan cabang Biologi yang mengkaji tentang morfologi, anatomi, fisiologi,
dan taksonomi tumbuhan. Salah satu kegiatan Botani adalah pengamatan tumbuhan secara
langsung untuk mengetahui ciri-ciri morfologi amatan. Pengamat dapat menggunakan kunci
determinasi pada buku acuan untuk menemukan golongan tumbuhan, nama spesies, atau nama
daerahnya. Dalam buku acuan determinasi tumbuhan terdapat sedikit contoh gambar tumbuhan.
Hal ini membuat pengamat perlu mencari sumber-sumber acuan lain yang menyediakan contoh
gambar untuk mempermudah identifikasi amatan. Namun, tidak mudah untuk mendapatkan
sumber acuan yang menyediakan referensi gambar tumbuhan yang relevan. Pemanfaatan
Instagram sebagai media pembelajaran alternatif Botani diharapkan dapat mengatasi masalah
ini.
PEMBAHASAN
PENUTUP
Pengembangan media pembelajaran berbasis sosial media perlu dilakukan untuk memfasilitasi
kondisi pebelajar yang berada dalam dunia digital dan internet. Salah satu media pembelajaran
tersebut adalah media pembelajaran alternatif Botani berbasis Instagram. Hal ini diusulkan
karena sumber informasi Botani, khususnya yang memuat contoh gambar tanaman sangat
terbatas. Instagram sebagai sosial media yang menyediakan fasilitas unggah foto dan video
sangat sesuai untuk mengatasi terbatasnya sumber informasi Botani yang relevan ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Dunn, Lee Andrew, 2016, Teaching in Higher Education: Can Social Media Enhance the
Learning Experience?, http://www.gla.ac.uk/media/media_276225_en.pdf, diakses tanggal
23 Juli 2016.
[2] Aditya, Rangga. 2015, Pengaruh Media Sosial Instagram Terhadap Minat Fotografi pada
Komunitas Fotografi Pekanbaru, Universitas Riau, Pekanbaru,
http://jom.unri.ac.id/JOMFSIP/article/download/5880/5750, diakses tanggal 30 Juli 2016
[3] Karimuddin, Amir, 2016, Pengguna Aktif Instagram di Indonesia Capai 22 Juta,
http://dailysocial.id/post/pengguna-aktif-instagram-di-indonesia-capai-22-juta, diakses
tanggal 7 Agustus 2016.
[4] Nugraha, M. Pasca dan Rinaldi Munir, 2011, Pengembangan Aplikasi QR Code Generator
dan QR Code Reader dari Data Berbentuk Image, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
http://informatika.stei.itb.ac.id/~rinaldi.munir/Penelitian/Makalah-KNIF-2011-05.pdf,
diakses tanggal 7 Agustus 2016.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengembangkan LKS IPA berbasis keterampilan metakognisi untuk
meningkatkan pemahaman konsep dan berfikir kritis siswa setelah menggunakan LKS IPA
berbasis keterampilan metakognisi. Pengembangan menggunakan model pengembangan 4-P
(FourD-models) yaitu Define (Pendefinisian), Design (Perancangan), Develop
(Pengembangan), dan Disseminate (Penyebaran). Tahap uji coba dilakukan di SMP Negeri 1
Bendo pada kelas VIII-D yang berjumlah 20 siswa. Hasil validasi menunjukkan bahwa sesuai
dengan telaah LKS, LKS IPA berbasis keterampilan metakognisi yang telah dikembangkan
dinyatakan sangat layak untuk diujicobakan dengan kriteria sangat valid. Hasil penelitian
pemahaman konsep siswa dan berfikir kritis siswa dengan uji pre-test, post-test dan test-essay
yang diperoleh dari 20 siswa SMP kelas VIII-D SMPN 1Bendo sehingga diperoleh hasil melalui
uji T berfikir kritis yaitu thitung > ttabel = 13,93>2,093, sedangkan uji T pemahaman konsep
diperoleh thitung>ttabel = 8,653 >2,093. Selanjutnya, hasil respon siswa melalui angket yang
berkaitan dengan pengimplementasian LKS tersebut. Hasil dari angket pengembangan LKS IPA
berbasis metakognitif adalah Sangat Baik sesuai dengan interpretasi skor dengan persentase
rata-rata sebesar 81,64%.
Kata kunciberfikir kritis, Lembar Kerja Siswa (LKS), metakognisi, pemahaman konsep
PENDAHULUAN
Kesulitan yang dialami siswa, menjadikan pelajaran IPA kurang menarik. Kecenderungan
menghafal membuat siswa cepat lupa apa yang telah dipelajarinya. Penggunaan LKS selama ini
belum mengajarkan cara untuk merencanakan, melaksanakan dan melakukan evaluasi terhadap
suatu kegiatan dalam konten pembelajaran IPA. Padahal agar siswa dapat belajar dan
memahami pelajaran dengan baik, terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana belajar yang
berkarakter [1].
Mengatasi permasalahan guru dapat menerapkan pengembangan dengan metakognitif, yang
dapat membantu siswa memperbaiki konsep melalui evaluasi pada hasil belajarnya. Kemampuan
metakognisi perlu dilatih melalui kegiatan a) merencanakan, b) melaksanakan, dan c) melakukan
evaluasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian [2], yang membuktikan bahwa keterampilan
metakognitif dapat meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam hal perencanaan,
tindakan, dan evaluasi. Dengan kata lain, implementasi melatihkan kemampuan metakognisi
yang konsisten dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa.
Kemampuan metakognisi dapat memudahkan siswa menyelesaikan tugas dengan lebih
percaya diri terhadap kemampuannya, dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian tugas.
Pembelajaran dengan metakognisi dapat diterapkan secara inkuiri sehingga meningkatkan
pemahaman konsep dan berfikir kritis siswa [3]. Proses berfikir kritis yang bertujuan untuk
memudahkan pengambilan keputusan-keputusan secara rasional mengenai suatu permasalahan
sehingga dapat merumuskan, dan menyelesaikan masalah [4]. Tujuan penelitian adalah
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 209
mengembangkan Lembar Kerja Siswa (LKS) IPA berbasis kemampuan metakognisi dalam
model pembelajaran inkuiri untuk meningkatkan pemahaman konsep dan berfikir kritis siswa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research and Developmen) [5]. Dengan
desain pengembangan 4-D (Define, Design, Development, Disseminationt) dari Thiagarajan,
semmel, dan semmel (1974). Ujicoba dilakukan pada peserta didik kelompok kecil, yang terdiri
dari 20 siswa dengan kemampuan intelektual tinggi, sedang dan rendah berdasarkan peringkat
kelas yang diperoleh. Materi IPA yang dikembangkan yaitu materi sistem pencernaan pada
manusia kelas VIII SMP.
b. Analisis Siswa
Analisis siswa dilakukan dengan dengan hasil pada Tabel 1.
c. Analisis Konsep
Hasil konsep adalah RPP yang berisi materi yang disajikan, pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap yang akan dicapai setelah belajar IPA materi sistem pencernaan pada manusia. Analisis
konsep dilakukan untuk menentukan materi yang sesuai dengan Lembar Kerja Siswa (IPA)
berbasis metakognisi sehingga membantu ketercapaian tujuan pembelajaran di kelas.
Hasil perumusan tujuan pembelajaran digunakan sebagai kajian untuk menentukan tujuan
instruksional Lembar Kerja Siswa (LKS) IPA Berbasis Metakognisi.
Pada tahap define peneliti bisa mengetahui gambaran kondisi awal mengenai penggunaan
LKS di sekolah sebagai acuan untuk pengembangan LKS berbasis metakognisi yang akan
peneliti lakukan, pada tahap define peneliti memperoleh hasil secara keseluruhan bahwa lembar
kerja berbasis kemampuan metakognisi belum familiar digunakan disekolah dan juga peneliti
memperoleh gambaran tingkat intelektual siswa sebagai acuan untuk menentukan konsep yang
akan disajikan dalam LKS beserta tujuan instruksionalnya sehingga peneliti dapat
menyesuakian kebutuhan pembelajaran yang diinginkan siswa.
Gambar 1. a) Cover LKS Metakognisi, b) Peta Konsep, Materi LKS, c) Materi LKS, d) Kegiatan
Eksperimen, e) Jurnal Belajar Siswa dan f) Diskusi Bersama.
Desain LKS yang digunakan sejalan dengan tujuan pembelajaran yang ditentukan sesuai
hasil tahap define. Desain LKS memuat berbagai macam kegiatan seperti diskusi bersama,
latihan mandiri, ataupun eksperimen yang membutuhkan ruang bagi siswa untuk menuliskan
hasil diskusi, jawaban dari soal, maupun menuliskan langkah-langkah eksperimen dan hasil
eksperimen. Kemudian menentukan pengorganisasian halaman LKS sesuai dengan komponen
LKS yaitu : Cover depan, halaman sampul, daftar isi, peta konsep, bab 1 macam-macam zat
makanan dan fungsinya, bab 2 susunan dan fungsi sistem pencernaan latihan mandiri, latihan
soal, jurnal belajar, fakta unik, daftar pustaka, dan cover belakang. Pada tahap ini, mulai
menuliskan semua kerangka LKS yang disusun ke dalam bentuk LKS.
a. Validasi Ahli
Hasil validasi ahli per-variabel validitas Isi Pengembangan LKS Berbasis Metakognisi
pada Tabel 2.
Hasil validasi LKS per variabel validitas isi pengembangan LKS berbasis metakognisi
yang diajukan menghasilkan persentase 100%. Berdasarkan jenjang kriteria validitas dapat
dikategorikan kedalam kriteria sangat valid. Selain data kuantitatif hasil validasi oleh validator
ahli juga terdapat data kualitatif yaitu tanggapan penilaian produk pengembangan LKS IPA
berupa saran, sehingga lebih siap dipergunakan di kelas.
Tabel 3 menunjukkan penilaian dengan persentase tertinggi pada segi kelayakan isi
(materi) sebesar 83,27%, kemudian diikuti oleh bahasa 82,48%, lalu segi tampilan sebesar
82,24%, selanjutnya metakognisi sebesar 80,25%, dan yang terakhir yaitu desain LKS 80%.
Secara interpretasi bahwa hasil dari pengembangan LKS IPA berbasis metakognisi adalah
Sangat Baik.
Tabel 4. Menunjukkan hasil rata-rata pemahaman konsep siswa setelah menggunakan LKS
metakognitif mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa LKS IPA berbasis
Metakognisi berpengaruh terhadap peningkatan pemahaman konsep siswa. Hasil uji t
menunjukkan bahwa Thitung > Ttabel = 8,653 > 2,093 sehingga hasil pemahaman konsep siswa
signifikan, sehingga rata-rata pemahaman konsep siswa menjadi tuntas karena diatas rata-rata
minimal sekolah.
Tabel 5. data berfikir kritis siswa secara umum terjadi peningkatan antara sebelum
perlakuan (penggunaan LKS) dan sesudah perlakuan (penggunaan LKS) pada kelas VIII.D
(Kelas Uji). Hasil uji t menunjukkan hasil pengujian yang signifikan Thitung > Ttabel = 13,93 >
2,093 dengan kesimpulan hasil post-test setelah penggunaan LKS berbasis metakognitif lebih
baik daripada hasil pre-test sebelum penggunaan LKS berbasis metakognisi.
SIMPULAN
SARAN
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, maka dapat dikemukakan saran bahwa perlu
dikembangkan lebih lanjut dan diterapkan secara konsisten dalam pembelajaran di kelas.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Marifah, Siti. (2013). Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Melalui Model
Pembelajaran Problem Based Learning (Pbl) ( Studi Pada Kelas X Bisnis Dan Manajemen
Mata Pelajaran Kewirausahaan Di Smk Ardjuna 1 Malang). Artikel Penelitian. Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Lukitasari. M, Susilo .H, Ibrohim dan Corebima. D (2014). Lesson Study In Improving The
Role Of E-Portfolio On The Metacognitive Skill And Concept Comprehension: A Study
On Cell Biology Subject In IKIP PGRI Madiun, Indonesia. American Journal of
Educational Research. Vol 2.
[3] Masithussyifa, Kuraini. R., Ibrahim. M.,Ducha. N (2012). Pengembangan Lembar
Kergiatan Siswa (LKS) Berorientasi Keterampilan Proses Pada Pokok Bahasan Sistem
Pernapasan Manusia. (http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/bioedu, diunduh 18 Maret
2016).
[4] Ennis, Robert H. 1996. Critical Thinking: Reflection And Perspective-Part I. Journal
Inquiry. 3(1).
[5] Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, dan R&D. Badung:
Alfabeta.
Abstrak
Pembelajaran biologi materi evolusi bagi siswa kelas XII SMA Negeri I Glenmore Kabupaten
Banyuwangi banyak mengalami kendala. Modul yang ada masih mengacu pada buku paket
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sedangkan guru harus mengajar dengan
pendekatan saintifik yang mengacu pada kurikulum 2013. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa buku yang beredar belum sesuai dengan isikurikulum 2013 yang berbasis pada
pendekatan saintifik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebutuhan guru
pengampu mata pelajaran biologi khususnya materi evolusi dengan modul untuk pembelajaran
jenjang SMA di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan pada fakta yang ditemukan di SMAN 1
Glenmore Kabupaten Banyuwangi. Pengambilan data dilakukan dengan metode sampling.
Sebanyak 9 orang guru biologi dari 17 SMA di Banyuwangi menjadi responden. Hasil analisis
dari pernyataan responden diperoleh informasi bahwa modul yang digunakan belum lengkap
(67%), materinya bersifat abstrak (33%), ditemukan adanya miskonsepsi (44%), dan ditemukan
sitematika penyajian materi yang tidak runut (22%). Rencana pelaksanaan pembelajaran yang
digunakan oleh guru 67% berasal dari pelatihan, metode mengajar yang digunakan sebesar
44% adalah metode ceramah, dan 87% guru membutuhkan modul evolusi. Dari analisis data
ini diperlukan pengembangan modul evolusi dengan pendekatan saintifik menggunakan model
think, talk, write yang diharapkan mampu melengkapi keterbatasan pada modul yang tersedia.
PENDAHULUAN
Pembelajaran biologi pada materi evolusi bagi siswa kelas XII SMAN I Glenmore
Kabupaten Banyuwangi mengalami kendala. Berdasarkan wawancara dengan guru pengampu
mata pelajaran biologi kelas XII yang sudah mengajar selama 14 tahun di SMA tersebut, dari
tahun ke tahun jumlah siswa yang mencapai batas minimal ketuntasan kurang dari 80% dengan
kriteria ketuntasan minimal 75. Kendala tersebut disebabkan karena bahan ajar yang digunakan
dalam pembelajaran evolusi masih kurang memadai. Bahan ajar evolusi yang digunakan berupa
buku paket dan LKS yang mengacu pada (KTSP). Belum tersedia bahan ajar berupa modul
dengan pendekatan saintifik yang mengacu pada Kurikulum 2013. Modul tersebut digunakan
untuk melengkapi bahan acuan yang sudah ada, memuat materi sesuai dengan standar
kompetensi, dan memuat lembar kerja siswa yang mengaplikasikan konsep evolusi.
Kurikulum 2013 merupakan hasil pengembangan dari kurikulum pendidikan sebelumnya
di Indonesia seperti KBK dan KTSP. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan terbentuknya insan
Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, ketrampilan,
dan pengetahuan yang terintegrasi [1].
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif dengan metode purposive
sampling. Penelitian dilakukan 23 Januari 2016 pada pertemuan MGMP guru pengampu mata
pelajaran Biologi tingkat SMA baik negeri maupun swasta se kabupaten Banyuwangi. Subjek
penelitian merupakan guru pengampu kelas XII IPA yang mengajarkan materi evolusi.
Sebanyak 9 orang guru biologi dari 17 SMA di Banyuwangi menjadi responden.
Pengumpulan data menggunakan lembar angket. Responden diberi angket yang terdiri dari
pertanyaan isian serta terdiri dari berbagi topik pembelajaran evolusi, antara lain: bahan ajar
yang digunakan dan karakteristiknya, RPP, model pembelajaran, ketuntasan siswa, dan
kebutuhan modul pembelajaran sebagai acuan yang melengkapi sumber ajar yang sudah
digunakan. Data yang diperoleh dipersentase kemudian diolah dalam bentuk matriks analisis
kebutuhan guru.
Topik yang menjadi pertanyaan dalam angket analisis kebutuhan guru terhadap modul
pembelajaran evolusi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Topik Pertanyaan dalam Angket Analisis Kebutuhan Guru pada Modul Evolusi
No Topik Angket Daftar Pertanyaan
1 Karakteristik bahan ajar yang Bagaimana karakteristik bahan ajar yang digunakan
digunakan oleh Bapak/Ibu Guru untuk mengajar materi evolusi ?
Bagian mana dari bahan ajar yang Bapak/Ibu Guru
gunakan dirasa menimbulkan kendala ?
2 Pembuatan RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang Bapak/Ibu
Guru gunakan merupakan.........
3 Model pembelajaran yang Metode mengajar apakah yang sering Bapak/Ibu Guru
digunakan gunakan untuk mengajar materi evolusi ?
4 Ketuntasan siswa Dari tahun ke tahun, berapa banyak siswa yang tuntas
dalam pembelajaran evolusi ?
5 Kebutuhan modul evolusi Menurut pendapat Bapak/Ibu Guru, apakah
sesuai dengan Kurikulum diperlukan modul evolusi untuk membantu
2013 meningkatkan pemahaman siswa pada materi
evolusi?
Tabel 2. Matriks Hasil Angket Analisis Kebutuhan Guru pada Modul Evolusi
No Topik Angket Persentase
1 Bahan ajar yang digunakan belum lengkap 67%
2 Materi evolusi dalam bahan ajar yang digunakan masih bersifat 33%
abstrak
3 Terdapat miskonsepsi pada isi materi 44%
4 Sitematika penyajian materi tidak runut 22%
5 Rencana pelaksanaan pembelajaran yang digunakan berasal dari 67%
pelatihan
6 Metode yang digunakan selama pembelajaran adalah metode 44%
ceramah
7 Kebutuhan terhadap modul evolusi sesuai dengan Kurikulum 89%
2013
Berdasarkan data yang diperoleh dari para responden, kebutuhan guru pengampu mata
pelajaran biologi materi evolusi memerlukan modul pembelajaran. Modul adalah bahan ajar
cetak yang dikemas secara utuh dan sistematis memuat seperangkat pengalaman belajar yang
terencana dan didesain untuk membantu peserta didik belajar secara mandiri. Modul menjadi
pilihan utama responden pada penelitian ini karena modul memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1) Self instruction, memenuhi modul memungkinkan peserta didik mampu belajar secara
mandiri karena modul harus memuat tujuan pembelajaran yang jelas, materinya spesifik,
menghadirkan ilustrasi, memuat soal latihan dan tugas, bersifat kontekstual, bahasa yang
digunakan sederhana, terdapat rangkuman dan instrumen penilaian, serta terdapat refleksi
dan referensi.
2) Self contained, seluruh materi pembelajaran termuat dalam modul dengan tujuan agar
peserta didik mampu mempelajari materi secara tuntas.
3) Stand alone, modul tidak tergantung pada bahan ajar atau media lain sehingga peserta didik
tidak harus menggunakannya dengan bahan acuan lainnya.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
216 ISSN: 1978-1520
Model think, talk, write merupakan model pembelajaran yang dibangun berdasarkan
kemampuan berfikir, berbicara, dan menulis. Model think, talk, write menjadi model yang
mampu menguatkan pendekatan Saintifik karena model tersebut terdiri dari tiga tahap proses
belajar yang memaksimalkan kemampuan alami pada diri peserta didik. Pada proses think,
peserta didik memikirkan ide-ide selama tahap pengamatan(observing) untuk mempertinggi
pengetahuan dan meningkatkan keterampilan berpikir. Pada proses talk, peserta didik mampu
mengutarakan pertanyaan (questioning)yang bersifat faktual, konseptual, prosedural, dan
hipotetik. Pada proses write, peserta didik menulis hasil pengumpulan data selama
experimenting, menuliskan fakta/konsep/teori yang dihasilkan beserta menyintesis
kesimpulan(associating), dan yang terakhir adalah menyajikan hasil kajian(communicating)
[14].
SIMPULAN
Pengembangan modul evolusi dengan pendekatan saintifik menggunakan model think, talk,
write diharapkan mampu melengkapi bahan ajar yang sudah digunakan dalam pembelajaran di
SMAN 1 Glenmore pada khususnya dan SMA baik negeri maupun swasta di Kabupaten
Banyuwangi sehingga peserta didik kelas XII IPA SMA mendapat tambahan referensi yang
akan memperkaya pengetahuan dan keterampilannya serta membentuk sikap sesuai dengan
kompetensi yang sudah ditentukan pada Kurikulum 2013.
SARAN
Analisis kebutuhan modul evolusi ini diharapkan mampu menjadi model analisis kebutuhan
untuk mengembangkan berbagai modul bagi materi-materi yang lain dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas yang mampu berkontribusi terhadap peningkatan
kompetensi peserta didik sekaligus meningkatkan profesionalitas guru.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
[2] Sani, A.R., 2014, Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013, Bumi
Aksara, Jakarta.
[3] Permendikbud, 2013, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 65, Tahun
2013, tentang Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas dan
Kebudayaan, Jakarta.
[4] Machin, A., 2014,Implementasi Pendekatan Saintifik, Penanaman Karakter dan Konservasi
Materi Tumbuhan pada Peserta Didik Kelas XI IPA SMAN 1 Dempet, Jurnal Pendidikan
Universitas Negeri Semarang, (Online) http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpii, diakses
12 Februari 2016.
[5] Qomariah, L., S.E. Indriwati., dan E.S.Sulasmi., 2014, Pembelajaran melalui Pendekatan
Ilmiah untuk Meningkatkan Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan Proses Peserta Didik
Kelas X MIA SMAN 3 Malang Materi Kingdom Animalia.Jurnal Pendidikan Universitas
Negeri Semarang, (Online)
http://library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=66824,diakses 14 Februari 2016.
[6] Prahastiwi, Rima B., Subani, dan Dwi H, 2014, Penerapan Pendekatan Saintifik untuk
Meningkatkan Karakter Rasa Ingin Tahu dan Prestasi Belajar Siswa Kelas X MIA 3 SMA
Negeri 6 Malang. Jurnal UM (Online)
http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel7F8AE3439383C8E200DCFEED3490E16B.
pdf. diakses 18 Februari 2016.
[7] Winayawati, L.,dan SB. Waluya, 2012, Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif
dengan Strategi Think-Talk-Write (TTW) dalam Membantu Meningkatkan Kemampuan
Menulis Rangkuman dan Pemahaman Matematis pada Peserta Didik SMA Negeri 7 Kota
Cirebon.http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujmer/article/download/647/627 diakses 12
Februari 2016.
[8] Sugandi, dan Asep Ikin, 2011, Pengaruh Model Pembelajaran Koperatif Tipe Think Talk
Write terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis. Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2011. ISSN 978-979-16353-6-3
ISSN 0852-601x.http://www.uny.ac.id diakses, 14 Februari 2016.
[9] Yanuarta, Lidya.,dan Joko W.S, 2014, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Think, Talk, Write (TTW) dengan Teknik Talking Stick dalam Meningkatkan Karakter dan
Hasil Belajar IPA-Biologi Siswa Kelas VII-E SMP Negeri 2 Kalisat. Journal Pendidikan
dan Pembelajaran Pancaran FKIP Universitas Negeri Jember, Vol. 3, No. 3, hal 69-78.
[10] Tiyansyah, A.Fandir, D.H. Utomo, dan S. Herlambang, 2012, Perbandingan Penerapan
Model PembelajaranThink Pair Share (TPS) dengan Think Talk Write (TTW) terhadap
Hasil Belajar Geografi Siswa Kelas XSMAN 01 Bululawang.http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/Geografi/article/view/25902. UM Malang. diakses 12 Februari
2016.
[11] Daryanto, 2013, Menyusun Modul Bahan Ajar, Gava Media, Yogyakarta.
[12] Daryanto, dan A.Dwicahyo, 2014, Pengembangan Perangkat Pembelajaran, Gava Media,
Yogyakarta.
[13] Dikmen, 2014, Pembelajaran Biologi Melalui Pendekatan Saintifik, Depdikbud, Jakarta.
[14] Huinker, D., &Laughlin, C., 1996, Talk You Way into Writing, In. P. C. Elliot and
M.J. Kenney (Eds). Communication in Mathematics K-12 and Beyond, NCTM,
Abstrak
Pembelajaran IPAbiologiyang dilakukan di kelas VII SMPN 1 Semen Kediri masih kurang
bervariasi sehingga menyebabkan keterampilan metakognisisiswa rendah.Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
terhadap keterampilan metakognisisiswa kelas VII SMPN 1 Semen Kediri.Penelitian dilakukan
dengan metode kuasi eksperimen dengan desain posttest only control design. Sampel penelitian
ini adalah siswa kelas VII G berjumlah 40 siswa yang diajar menggunakan model
pembelajaran NHT(kelas kontrol)dan kelas VIIH berjumlah 38 siswa yang diajar menggunakan
model pembelajaran PBL(kelas eksperimen). Parameter yang diukur dalam penelitian ini
adalah keterampilan metakognisisiswa.Pengukuran keterampilan metakognisi siswa
menggunakan rubrik penilaian keterampilan metakognisi dalam bentuk posttest yang
terintegrasi pada tes hasil belajar kognitif. Hasil analisis menggunakan uji-t menunjukkan
bahwa nilai Sig.(2-tailed) 0,000<0,05 yang berarti ada perbedaan yang signifikan siswa yang
diajar dengan model pembelajaran PBL dan NHT terhadap keterampilan metakognisisiswa
kelas VII SMPN1 Semen Kediri. . Keterampilan metakognisisiswa yang diajar dengan model
pembelajaran PBL lebih baik darii siswa yang diajar dengan model pembelajaran NHT.
PENDAHULUAN
Meningkatkan mutu pendidikan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Oleh sebab itu guru harus memberdayakan potensi peserta didik demi
terlaksananya tujuan pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap guru IPA kelas VII di SMPN 1 Semen Kediri,
diketahui bahwa proses pembelajaran IPA di kelas VII belum sesuai harapan. Saat proses
pembelajaran guru sering ceramah dan model pembelajaran yang digunakan monoton. Hal ini
menyebabkan kemampuan berfikir dalam memecahkan masalah dan sikap sosial siswa kurang.
Dalam pembelajaran di kelas pun dapat terlihat saat diberikan pertanyaan, hanya beberapa
peserta didik saja yang menjawab pertanyaan dari guru dan jawabannya hanya menurut buku
bukan berdasar pemikiran mereka sehingga metakognisi siswa belum tampak.
Metakognisi merupakan bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa
yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Para peserta didik dengan pengetahuan
metakognisinya sadar akan kelebihan dan keterbatasannya dalam belajar. Artinya saat siswa
mengetahui kesalahannya, mereka sadar untuk mengakui bahwa mereka salah, dan berusaha
untuk memperbaikinya [1].
Materi ekosistem merupakan salah satu materi pelajaran IPA di kelas VII semester genap,
yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari dan banyak berupa hafalan. Menyikapi
permasalahan-permasalahan yang timbul perlu upaya yang tepat untuk mengatasinya, salah satu
alternatif yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pemilihan model yang
tepat yaitu Problem Based Learning (PBL). Penerapan model pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) efektif untuk meningkatkan keterampilan metakognisi siswa [1].
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 1 Semen Kediri Tahun pelajaran 2015/2016. Populasi
dalam penelitian ini yaitu seluruh kelas VII SMPN 1 Semen Kediri dengan sampel yaitu kelas
VII G berjumlah 40 siswa sebagai kelas kontrol dan kelas VII H berjumlah 38 siswa sebagai
kelas eksperimen. Diambil dengan teknik purposive sampling. Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalahPosttest-only Control Design [2].
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah silabus, RPP, bahan ajar, LKS, dan
instrumen keterampilan metakognisi. Data keterampilan metakognisi diperoleh dari soal posttest
berupa tes essay dengan menggunakan rubrik keterampilan metakognisi [3]. Selanjutnya data
keterampilan metakognisi dianalisis menggunakan analisis Uji-t.
30
Rata-rata Nilai
Keterampilan
25
Metakognisi
20
15 27,05
24,22
10
5
0
NHT PBL
Model Pembelajaran
Gambar 1. Rata-rata keterampilan metakognisi (postest) kelas yang diajar dengan model pembelajaran
Numbered Head Together (NHT)()dan Problem Based Learning (PBL) ().
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa rata-rata nilai posttest pada kelas yang
menggunakan model PBL lebih tinggi dibandingkan kelas yang menggunakan model NHT (24,
22, 27, 05).
Distribusi kriteria keterampilan metakognisi dapat dilihat pada grafik kriteria keterampilan
metakognisi siswa yang tertera pada gambar dibawah ini (Gambar 2).
25
20
Jumlah Siswa
15
10 22
20
5 9 10
7
4 24
0
Kurang Cukup Baik Baik Sekali
Keterampilan Metakognisi
Gambar 2. Grafik kriteria keterampilan metakognisi siswa kelas kontrol (NHT) () dan kelas
eksperimen (PBL) ().
memberi stimulus dan fokus pada aktivitas berpikir siswa [4]. Belajar berdasarkan masalah
adalah suatu proses pembelajaran yang diawali dari masalah-masalah yang ditemukan dalam
suatu lingkungan. Model pembelajaran PBL adalah lingkungan belajar yang di dalamnya
menggunakan masalah untuk belajar. Sebelum pembelajar mempelajari suatu hal, mereka
diharuskan mengidentifikasi suatu masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah
kasus. Masalah diajukan sedemikian rupa sehingga para pembelajar menemukan kebutuhan
belajar yang diperlukan agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut [5].
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
model pembelajaran Problem Based Learning terhadap keterampilan metakognisi siswa kelas
VII SMPN 1 Semen Kediri.
SARAN
Berdasarkan simpulan diatas maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut:
1. Bagi Guru
a. Model pembelajaran PBL dapat diterapkan sebagai inovasi dalam pembelajaran karena
mampu meningkatkan keterampilan metakognisisiswa kelas VII SMPN 1 Semen
Kediri.
b. Perlunya penerapan PBL secara berkelanjutan pada materi yang lain agar siswa lebih
terbiasa dengan penerapan model tersebut.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Pengaruh PBL terhadap keterampilan metakognisi perlu diteliti lebih lanjut pada jenjang
pendidikan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Sastrawati, E., Rusdi, M., dan Syamsurizal. 2011. Problem-Based Learning, Strategi
Metakognisi, dan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa. Tekno-Pedagogi. 1(2): 1-14.
[2] Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
[3] Corebima, A. D. 2009. Pola Pengembangan Lembar PBMP (TEQ) dalam Pembelajaran
IPA-BIOLOGI. Makalah disajikan dalam Lokakarya PBMP,Malang, 31 Agustus 1
September.
[4] Husnidar, Ikhsan, M., dan Rizal, S. 2014.Penerapan Model PembelajaranBerbasis Masalah
untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa. Jurnal
Didaktik Matematika.1(1):71 82.
[5] Wulandari, B., dan Surjono, H. D. 2013. Pengaruh Problem Based Learning Terhadap
Hasil Belajar ditinjau dari Motivasi Belajar PLC di SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi. 3(2):
4-5
Abstrak
PENDAHULUAN
Salah satu prinsip pelaksanaan kurikulum adalah belajar untuk membangun dan
menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan[1]. Berdasarkan hasil wawancara pada guru di SMPN 2 Papar, diketahui bahwa
pada saat ini kita melihat semangat siswa untuk belajar cukup rendah, apalagi kalau mata
pelajaran IPA berada pada jam-jam yang siang atau setelah olahraga semangat dan motivasi
belajar siswa terlihat menurun. Hal ini diduga disebabkan karena rendahnya pemahaman siswa
dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh guru, sehingga sulit menjawab pertanyaan-
pertanyaan, belum terjadi suasana aktif dalam diskusi, kurangnya keterlibatan siswa secara
langsung dan rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa pada semua mata pelajaran yang
mereka pelajari. Sehingga pembelajaran yang diberikan guru belum menunjukkan hasil yang
maksimal terhadap tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan guru.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut seorang guru harus mampu memilih model,
metode, serta media yang tepat dan menarik dalam pembelajaran, sehingga materi yang
disampaikan oleh guru dapat dengan mudah dipahami oleh siswa. Salah satu model
pembelajaran yang melibatkan siswa agar dapat bekerja bersama-sama adalah model
pembelajaran cooperative. Dalam metode pembelajaran cooperative, para siswa akan duduk
bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang
disampaikan oleh guru[1].
Materi gejala alam biotik dan abioik merupakan salah satu materi pelajaran IPA di kelas
VII semester genap, yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari dan banyak berupa
hafalan, sehingga siswa sangat perlu melakukan pengamatan dan pengalaman untuk dapat
memahami dan menerima konsep tersebut. Materi ini membahas tentang gejala alam biotik dan
abiotik, keterampilan kerja ilmiah, metode ilmiah, cara mengkomunikasikan hasil penelitian.
Selain itu untuk meningkatkan semangat belajar siswa, guru memilih model pembelajarannya
dengan sistem bermain. Selain belajar siswa juga bermain agar tidak bosan atau jenuh dalam
mengikuti proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah
proses belajar guru menggunakan model cooperative sebagai alternatifnya.
Dua dari model pembelajaran cooperative adalah model pembelajaran Make A Match dan
Snowball Throwing. Dua model pembelajaran ini, siswa selain belajar juga bermain untuk
membangkitkan semangat belajar mereka.Dalam model pembelajaran Make A Match siswa
diminta untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau soal dalam waktu tertentu.
Sedangkan metode pembelajaran Snowball Throwing merupakan model pembelajaran
cooperative dimana siswa akan melakukan game (permainan) yang bertujuan meningkatkan
hasil belajar siswa pada materi gejala alam biotik dan abiotik. Setiap siswa melemparkan kertas
bola yang berisi pertanyaan kepada siswa lain dan setiap siswa bertanggung jawab untuk
menjawab pertanyaan yang didapatnya, hal ini dapat membangkitkan keberanian siswa dalam
mengemukakan pertanyaan dan mengungkapkan pendapat kepada teman lain maupun guru[2].
Dari paparan tersebut, penggunaan model pembelajaran cooperative Make A Match dan
Snowball Throwing untuk melihat pengaruhnya terhadap sikap kerja sama siswa dan
kemampuan memahami materi gejala alam biotik dan abiotik kelas 7 SMPN 2 PAPAR.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMPN 2 Papar Tahun pelajaran 2015/2016 pada semester 2 pada
kelas VII G dan VII I yang diambil secara Porposive Sampling. Penelitian ini dilakukan secara
tru eksperiment dengan desain Posttest Only Control Design (Gambar 1) [3].
X1
X2
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah silabus, RPP, bahan ajar, LDS dan
soal Post test. Post test digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa yang berbentuk essai.
Data yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan uji t independent taraf signifikansi 5%,
sebelum dilakukan uji t terlebih dahulu diuji normalitas dan uji homogenitasnya.
Data hasil belajar siswa berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada kelas dengan
model pembelajaranMake A Match sejumlah 23 siswa tuntas dan 10 siswa tidak tuntas
sedangkan pada kelas yang menggunakan Snowball Throwing sejumlah 26siswa tuntas dan 7
siswa tidak tuntas. Hasil belajar siswa dapat dilihat pada Gambar 1.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 225
78,5
78,2576
76,5
76,3636
76
75,5
75
Model Pembelajaran
Gambar 1. Grafik rata-rata hasil belajar siswa kelas Make A Match() dan kelas Snawball
Throwing()
Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa pada kelas dengan model pembelajan
Make A Match memiliki rata-rata hasil belajar sebesar 76.3636, sedangkan kelas dengan
menggunakan model pembelajaranSnawball Throwingmemiliki rata-rata 78.2576. Selanjutnya
data hasil belajar siswa di uji-t menggunakan SPSS 16.0 for Windows. Uji-t hasil belajar siswa
dapat dilihat pada tabel 1.
Equal variances
.910 .564 2.045 64 .033
assumed
nilai
Equal variances not
2.045 63.622 .033
assumed
Berdasarkan tabel 1 hasil perhitungan uji-t menggunakan Independent t-test dengan taraf
signifikansi 5% maka diperoleh Sig. (2-tailed) 0.033artinya signifikan. Terdapat perbedaan hasil
belajar siswa antara kelas dengan model pembelajaran Make A Match dan kelas yang
menggunakan Snowball Throwing.
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran Snowball Throwinglebih tinggi dibandingkan dengan model
pembelajaran Make A Match. Hal ini disebabkan karena pembelajaran dengan menggunakan
model Snowball Throwing, memberikan waktu yang lebih banyak kepada siswa untuk
berkerjasama dalam diskusi didalam kelompoknya, siswa dapat saling bertukar pikiran satu
sama yang lain, sehingga semua siswa di dalam kelompok memahami materi yang dipelajari.
Berbeda pula dengan siswa yang diajar dengan model Make A Match, siswa yang diajar dengan
model Make A Match kurang aktif di dalam pembelajaran jadi perlu memberi motivasi agar
siswa aktifnya.
Model pembelajaran Snowball Throwingini sangat baik diterapkan pada kelas yang
mata pelajarannya diberikan pada jam-jam siang, jam setelah olahraga atau jam setelah istirahat
seperti di SMPN 2 Papar. Hal ini terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara
signifikan yang dilihat dari meningkatnya hasil belajar ulangan semester ganjil
Hasil ini didukung dari penelitian sebelumnya bahwa pembelajaran dengan model
pembelajaran Snowball Throwing dapat meningkatkan hasil belajar siswa.[4] Sedangkan model
pembelajaran Make A Match (Mm) Dan Numbered Head Together (Nht) dapat meningkatkan
kemampuan Memori Terhadap Prestasi Siswa Pada Materi Pokok Sistem Koloid.[1]
Berdasarkan nilai hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Make A
Match dan model pembelajaran Snowball Throwingdisebabkan oleh beberapa siswa yang
memiliki nilai hasil belajar di bawah KKM hal ini dibuktikan oleh:
a. Kondisi siswa pada saat proses belajar mengajar atau pada saat mengerjakan soal tes tidak
optimal dan mengandalkan teman.
b. Mata pelajaran IPA yang diberikan berada dijam pembelajaran yang berbeda antara kelas
VII-G dan VII-I.
SIMPULAN
SARAN
Berdasarkan simpulan di atas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut.
1. Pada dasarnya, setiap model pembelajaran memiliki kekurangan dan kelebihannya
masing-masing. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya dapat memilih model
pembelajaran yang paling tepat dan sebaiknya disesuaikan dengan materi, alokasi
waktu, dan kemampuan siswa agar esensi dari model pembelajaran tidak mengurangi
pentingnya pemahaman materi oleh siswa.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Diyah Natalia. 2012.Pengaruh Metode Pembelajaran Make A Match (Mm) Dan
Numbered Head Together (Nht) Dengan Kemampuan Memori Terhadap Prestasi Siswa
Pada Materi Pokok Sistem Koloid. Issn 2337-9995 .Jurnal Pendidikan Kimia (Jpk), Vol.
1 No. 1 Tahun 2012 Program Studi Pendidikan Kimia
[2] Purnama Winda S dan Trikinasih Handayani. 2014. Perbandingan Penggunaan Model
Pembelajaran Make A Match dengan Snowball Throwing ditinjau dari Motivasi dan
Hasil Belajar Ranah Kognitif Siswa Kelas XI IPA pada Materi Pembelajaran Sistem
Hormon Manusia di SMAN 1 Kasihan.Universitas Ahmad Dahlan
[3] Sugiyono, 2014. Statistika Untuk Penelitian.Bandung; Alfabeta
[4] Awal Rhaudah Dan Yusriana.2014. Penggunaan Model Snowball Throwing Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Sistem Pencernaan Manusia Di Kelas
Viii Smp N 4 Minas; Jurnal Latura, Volume 01, Nomor 02, April 2014, Hlm 92 103
Abstrak
PENDAHULUAN
Pendidikan berjalan secara dinamis mengikuti perkembangan zaman yang bertujuan untuk
menciptakan generasi penerus yang mampu bersaing dalam perkembangan dunia. Perubahan
pendidikan di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan Kurikulum dari KTSP menjadi
Kurikulum 2013 yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa baik secara moral,
spiritual, maupun secara akademik. Model pembelajaran yang digunakan dalam Kurikulum
2013 lebih berpusat pada siswa dan menggunakan pembelajaran langsung dan pembelajaran
tidak langsung [1].
Observasi dan wawancara dilakukan oleh peneliti di SMA N 1 Singosari pada tanggal 12,
13, 19, 20 Nopember 2015 untuk mengetahui proses pembelajaran dan penilaian yang
berlangsung di SMA N 1 Singosari pada materi sistem gerak dan sirkulasi manusia melalui
wawancara dan observasi. Proses pembelajaran yang banyak digunakan adalah ceramah,
diskusi, dan presentasi. Proses pembelajaran seperti ini kurang menantang bagi siswa dan tidak
mencerminkan proses pembelajaran Kurikulum 2013. Media pembelajaran yang digunakan
berupa LKS, buku, PPT yang dibuat oleh guru sehingga kurang adanya interaksi siswa dalam
proses pembelajaran. Penilaian yang dilakukan oleh guru leih banyak menilai aspek kognitif
siswa dari hasil tes dan tugas yang diberikan oleh guru.
Salah satu model pembelajaran yang mencerminkan ciri khas Kurikulum 2013 adalah
model PjBL. Model PjBL atau model pembelajaran berbasis proyekmerupakan model
pembelajaran yang didesain untuk persoalan yang kompleks yang membutuhkan investigasi
mendalam [2]. Langkah pembelajaran PjBL menurut Colley meliputi tahap orientasi,
identifikasi dan definisi proyek, perencanaan proyek, implementasi proyek, pelaporan hasil
proyek, dan evaluasi [3]. Kelebihan dari pembelajaran PjBL yaitu mampu meningkatkan hard
skill siswa (berupa peningkatan kognitif siswa) dan dapat meningkatkan soft skill siswa (berupa
kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama) [4]. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mifta
dan Puji tahun 2014 diperoleh hasil bahwa pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan
hasil belajar siswa sebesar 1, 27% pada materi pencemaran lingkungan [5]. Penelitian yang
dilakukan oleh I Made Wirasana Jagantara pada tahun 2014 diperoleh hasil bahwa proses
pembelajaran PjBL menghasilkan dampak yang signifikan bagi hasil belajar siswa [6].
Permen No 81A tahun 2013 menyatakan bahwa salah satu ciri khas dari Kurikulum 2013
adalah proses pembelajaran berbasis multimedia [7]. Multimedia yang dimaksud adalah siswa
tidak hanya menggunakan satu media saja seperti papan tulis saja dalam proses pembelajaran
tetapi menggunakan berbagai macam media pembelajaran (menggunakan teknologi
pendidikan). Pembelajaran menggunakan multimedia dapat meningkatkan antusiasme siswa,
pemahaman, kemampuan dalam mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan nyata, dan juga dapat
meningkatkan tujuan dari pembelajaran biologi [8] (Satyaprakasha. 2014). Penelitian yang
dilakukan oleh Singgih diperoleh hasil kenaikan nilai kognitif siswa sebesar 3,6% pada siklus I
dan sebesar 51% pada siklus II [9]. Penelitian yang dilakukan oleh Mia dan Retni pada tahun
2014 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh proses pembelajaran menggunakan multimedia
interaktif terhadap hasil belajar siswa [10]. Penelitian yang dilakukan oleh Lisminingsih (2013)
menunjukkan bahwa PjBL dengan berbantuan multimedia interaktif dapat meningkatkan
kecapakan hidup siswa [11].
Proses penilaian yang baik seharusnya memuat semua aspek hasil belajar dan juga
kemampuan siswa lainnya. Dalam penelitian ini aspek yang dinilai adalah aspek psikomotor dan
keterampilan memecahkan masalah siswa. Keterampilan memecahkan masalah merupakan
kecakapan untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi
baru. Terdapat komponen yang harus dinilai untuk mengetahui keterampilan memecahkan
masalah siswa yaitu kemampuan memahami masalah, kemampuan memberikan solusi, dan
kemampuan mempertahankan solusi [12]. Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim dkk pada
tahun 2012 yang diperoleh hasil PjBL dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
memecahkan masalah [13]. Penelitian yang dilakukan oleh Robin pada tahun 2002, diperoleh
hasil PjBL dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memecahkan permasalahan yang
berkaitan dengan materi ekosistem [14]. Hasil serupa juga diperoleh dari hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Thomas pada tahun 2009, PjBL dapat meningkatkan keterampilan
memecahkan masalah mahasiswa jika dibandingkan dengan proses pembelajaran konvensional
(ceramah) [15].
Kompetensi lain yang menjadi penilaian proses pembelajaran adalah hasil belajar
psikomotor. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan
bertindak [16]. Penelitian yang dilakukan oleh Wright diperoleh hasil bahwa PjBL dapat
meningkatkan kemampuan afektif dan psikomotor mahasiswa pada materi ekosistem [17].
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh
PjBL berbantuan multimedia terhadap keterampilan memecahkan masalah siswa kelas XI IPA
SMA N 1 Singosari dan untuk mengetahui apakah ada pengaruh PjBL berbantuan multimedia
terhadap hasil belajar siswa kelas XI IPA SMA N 1 Singosari. Penelitian ini bermanfaat bagi
siswa, guru, sekolah, dan juga bagi peneliti.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 229
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2016, di SMA N 1 Singosari. Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI MIA SMA N 1 Singosari tahun pelajaran 2015/2016
semester genap yang berjumlah 4 kelas sedangkan sampelnya adalah siswa kelas XI MIA 3 dan
XI MIA 4 yang masing-masing berjumlah 35 siswa. Rancangan penelitian pada penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Terdapat kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen yang dipilih secara acak. Desain penelitian yang digunakan,
yaitu nonequivalent pratest-post test control group design.
Terdapat dua macam variabel yang digunakan dalam penelitian ini yakni: variabel bebas
yaitu model pembelajaran yang digunakan, variabel terikat yaitu keterampilan memecahkan
masalah, dan hasil belajar psikomotor siswa. Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti
membuat lembar observasi dan analisis kebutuhan terlebih dahulu. Setelah mengetahui
gambaran umum proses pembelajaran di kelas, kemudian membuat perangkat pembelajaran
yang kemudian divalidasi oleh ahli. Perangkat pembelajaran yang telah divalidasi kemudian
diterapkan di kelas eksperimen oleh peneliti. Analisis hasil penelitian menggunakan program
SPSS 18 untuk mengetahui apakah terdapat perngaruh PjBL yang digunakan terhadap
keterampilan memecahkan masalah dan hasil belajar psikomotor siswa.
22
21,5
21
20,5
20
19,5 Kelas Kontrol
19 Kelas Eksperimen
18,5
18
17,5
17
Persentase Peningkatan
Proses investigasi mendalam yang dilakukan oleh siswa dengan menggunakan model
PjBL dapatmenghasilkan pemecahan masalah yang nantinya dapat diterapkan di dunia nyata
[18]. Peningkatan keterampilan memecahkan masalah siswa melalui PjBL yang dilakukan oleh
peneliti juga didukung oleh hasil penelitian sebelumnya antara lain penelitian yang dilakukan
oleh Thomas (1999) yang menyatakan bahwa PjBL merupakan salah satu cara yang dapat
ditempuh untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan membantu
dalam penyelidikan yang mengarah pada penyelesaian masalah-masalah nyata [19].
Data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes keterampilan memecahkan masalah
kemudian dianalisis menggunakan SPSS 18. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa
terjadi peningkatan keterampilan memecahkan masalah yang lebih tinggi pada kelas eksperimen
dibandingkan dengan kelas kontrol. Tetapi setelah dianalisis lebih dalam ternyata tidak
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
230 ISSN: 1978-1520
terdapatpeningkatan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini terjadi
karena proyek yang dilakukan siswa di kelas eksperimen hanya dua proyek sehingga
keterampilan memecahkan masalah siswa kurang terasah, selain itu pada saat proses
pembelajaran banyak siswa yang kurang fokus pada proses pembelajaran dan lebih fokus pada
multimedia pembelajaran yang digunakan. Pada kelas kontrol, siswa lebih fokus pada proses
pembelajaran walaupun tidak menggunakan PjBL tetapi konsentrasi siswa lebih fokus karena
pengajar di kelas kontrol adalah guru pengampu mata pelajaran biologi. Kekurangan
pengalaman mengajar dan kurangnya proyek yang dilakukan oleh siswa menjadi penyebab tidak
signifikannya peningkatan keterampilan memecahkan masalah siswa walaupun pada kelas
eksperimen terjadi peningkatan yang lebih besar daripada persentase peningkatan di kelas
kontrol.
Keterampilan psikomotor siswa diperoleh dari hasil observasi guru selama proses
pembelajaran menggunakan lembar observasi. Berdasarkan hasil analisis keterampilan
psikomotor siswa menggunakan SPSS 18 diketahui bahwa terjadi peningkatan pada kelas
kontrol maupun pada kelas eksperimen, hanya saja pada kelas eksperimen terjadi peningkatan
yang lebih besar daripada peningkatan pada kelas kontrol seperti yang tersaji pada Gambar 2.
Peningkatan pada kelas kontrol sebesar 0,53% sedangkan pada kelas eksperimen sebesar
10,92%.
12
10
8
Kelas Kontrol
6
Kelas
4 Eksperimen
2
0
Persentase Peningkatan
SIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Tidak terdapat pengaruh PjBL terhadap keterampilan memecahkan masalah siswa.
2. Terdapat pengaruh PjBL terhadap keterampilan psikomotor siswa.
SARAN
Saran dalam penelitian ini yaitu sebaiknya dilakukan penelitian menggunakan PjBL pada materi
lainnya pada mata pelajaran biologi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Lampiran Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pembelajaran pada Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta.
[2] Mahanal S., Darmawan E., Corebima A.D., Zubaidah S. 2009. Pengaruh Pembelajaran
Project Based Learning (PjBL) pada Materi Ekosistem terhadap Sikap dan Hasil Belajar
Siswa SMAN 2 Malang. Jurnal Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.
(Online), http://www.ummetro.ac.id/susriyati_univnegeri_malang.pdf.com, diakses 27
Januari 2016
[3] Colley, K. 2008. PjBL science instruction: A Premier. An instruction and learning cycle for
implementing PjBL science. The scince teacher vol 75 (8): 23-28. (Online),
http://PjBLscienceinstruction:APremier.AninstructionandlearningcycleformplementingPjB
Lscience.thescinceteachervol75.pdf.com, diakses 01 Juni 2015
[4] Kemendikbud 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 SMP/MTs Ilmu
Pengetahuan Alam. (Online).
(http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/32821337/SMP-IPA-
rev.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1414311930&Signat
ure=mUkebt8NAvUol38hQgoUNfLOzq0%3D), diakses tanggal 26 Oktober 2015.
[5] Miftah A Dan Puji P. 2014. Perbedaan Hasil Belajar Siswa Yang Diajar Menggunakan
Model Pembelajaran Project Based Learning Dengan Problem Based Learning Pada
Materi Pencemaran Lingkungan.Prosiding Seminar Nasional Biologi dan
Pembelajarannya Medan, 23 Agustus 2014. (Online),
(http://www.perbedaanhasilbelajarPjBLdenganproblembasedlearning.seminarnasionalbiolo
gidanpembelajrannya.2014.pdf.com, diakses 26 Desember 2015)
[7] Lampiran IV Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
81a Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran. Jakarta.
[11] Lisminingsih R. 2013. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Proyek dengan
Multimedia pada Lingkungan Hidup untuk Meningkatkan Kecakapan Hidup Siswa Sekolah
Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Kota Batu. Disertasi. Tidak diterbitkan. Malang.
Universitas Negeri Malang.
[12] Greenstein, L. 2012. Assessing 21st Century Skills. A Guide to Evaluating Mastery and
Authentic Learning. Thousand Oaks, California: Corwin, A Sage Company.
[15] ThomasW. 2000. A Review Of Research On PjBL.
(online),(http://www.bie.org/research/study/review_of_project_based_learning_2000,
diakses 12 Pebruari 2016)
[16] Arikunto, S. 2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
[18] Indriwati S. 2007. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Akademik
terhadap Hasil Belajar Kognitif dan Kecakapan Hidup Mahasiswa Biologi FMIPA
Universitas Negeri Malang. Disertasi. Tidak diterbitkan. Malang. Universitas Negeri
Malang.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran ARIAS dipadu
Mind map terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP Negeri 1 Tempunak.
Penelitian dilaksanakan di kelas VII SMPN 1 Tempunak dengan materi pembelajaran
ekosistem. Jenis penelitian yaitu eksperimen semu. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
model pembelajaran yang terdiri atas pembelajaran ARIAS dipadu Mind map, Pembelajaran
ARIAS dan pembelajaran multistrategi/konvensional. Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah kemampuan berpikir kritis. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data melalui
hasil pre tes yang dilakukan sebelum penerapan model pembelajaran dan pos tes dilakukan
setelah penerapan model pembelajaran, diukur dengan menggunakan rubrik untuk mengetahui
kemampuan berpikir kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh model
pembelajaran ARIAS di padu Mind map terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pembelajaran ARIAS
dipadu Mind map terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Bagi guru: guru harus mampu
menarik minat siswa dalam belajar seperti tahap interest pada ARIAS agar lebih efektif dalam
pembelajaran, meskipun menggunakan model pembelajaran lain.
PENDAHULUAN
IPA berasal dari kata sains yang berarti alam. Sains menurut Suyosomerupakan
pengetahuan hasil kegiatan manusia yang bersifat aktif dan dinamis tiada henti-hentinya serta
diperoleh melalui metode tertentu yaitu teratur, sistematis, berobjek, bermetode dan berlaku
secara universal [1]. IPA terdiri dari tiga aspek yaitu Fisika, Biologi dan Kimia secara khusus
pada aspek Biologi IPA mengkaji pada persoalan yang terkait dengan makhluk hidup serta
lingkungannya. IPA secara khusus biologi bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
berupa konsep saja tetapi menekankan pada pengembangan kompetensi. Selanjutnya Dogru
mengatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan IPA adalah meningkatkan kemampuan berpikir
kritis [2]. Kemampuan berpikir kritis yaitu proses menggunakan pikiran untuk: (1) mencari
makna dan pemahaman terhadap suatu perkara yang dilihat, didengar, diingat, atau dibaca, (2)
membuat pertimbangan dan keputusan, (3) menyelesaikan masalah [3]. Kemampuan berpikir
kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal intelektual yang sangat penting bagi setiap
orang dan merupakan bagian yang fundamental dari kematangan. Menurut Shriner, kurangnya
pemikiran kritis dapat memberikan efek negatif dalam kegiatan pembelajaran [4]. Oleh karena
itu pengembangan kemampuan berpikir kritis menjadi sangat penting bagi siswa disetiap
jenjang pendidikan namun seringkali sulit untuk benar-benar dipahami bagaimana
menumbuhkannya [5], sejalan dengan hal tersebut proses pembelajaran di sekolah dewasa ini
kurang menunjukkan tujuan dari pendidikan IPA yaitu mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, karena dalam kegiatan pembelajaran lebih mengutamakan ketercapaian Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang telah diprogramkan sehingga proses pembelajaran di
ruang-ruang kelas monoton.
Hasil observasi dan wawancara pembelajaran IPA pada kelas VIIB SMPN 1 Tempunak
pada tanggal 8 Agustus 2014 dengan guru bidang studi mata pelajaran biologi, diperoleh
kesimpulan bahwa kurang tergalinya kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini karena rendahnya
pemahaman konsep siswa dalam kegiatan pembelajaran khususnya pelajaran biologi. Hasil
observasi menunjukkan pada saat pembelajaran siswa terlihat pasif dan tidak ada usaha untuk
bertanya terkait materi yang sudah disampaikan oleh guru. Hal tersebut juga disebabkan
pembelajaran yang dilakukan masih berpusat pada guru, guru mendominasi kegiatan belajar
mengajar, sedangkan siswa tidak banyak berperan aktif dan lebih berperan sebagai pendengar.
Guru dalam kegiatan pembelajaran cenderung mentransfer pengetahuan yang mereka miliki ke
dalam pikiran siswa tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuannya. Siswa sering diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa yang hanya
menunggu, menyerap apa yang diberikan guru sehingga berpengaruh terhadap keefektifan
pembelajaran dalam kelas. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran guru kurang
memberikan variasi sehingga pembelajaran dikelas terasa kurang hidup..
Menurut Duron untuk dapat membuat siswa menjadi lebih berpikir kritis maka pendidik
harus mampu membuat siswa menjadi lebih aktif, pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa
salah satunya yaitu model pembelajaran ARIAS [6].Model pembelajaran ARIAS adalah model
pembelajaran yang terdiri dari 5 komponen utama yaitu (Assurance, Relevance, Interest,
Assessment, dan Satisfaction) disusun berdasarkan teori belajar [7], pada komponen interest
dapat dipadukan dengan berbagai variasi salah satunya adalah mind map, Mind map adalah cara
termudah untuk menempatkan informasi kedalam otak dan mengambil informasi keluar dari
otak, mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan memetakan
pikiran-pikiran. Oleh karena ituPembelajaran ARIAS dipadu Mind map dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa. Sejalan dengan hal tersebut Penelitian yang dilakukan oleh
Ismail pada siswa kelas X MA Darul Kamal NW Lombok Timur menunjukkan bahwa model
pembelajaran ARIAS memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar dan kemampuan
berpikir kritis siswa [8].
Pembelajaran dengan menerapkan ARIAS dan mind map terbukti dapat meningkatkan hasil
belajar serta kemampuan berpikir kritis siswa, namun belum pernah dilaksanakan penelitian
menerapkan ARIAS pada jenjang sekolah menengah pertama, serta pembelajaran yang
memadukan ARIAS dengan mind map untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Berdasarkan alasan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran
ARIAS dipadu Mind Map terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMPN 1
TEMPUNAK. Sehingga nantinya penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi guru atau
tenaga pengajar untuk perbaikan kegiatan pembelajaran di kelas yaitu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa dan pada akhinya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
METODE PENELITIAN
yaitu kelas VIIC terdiri atas 24 siswa belajar dengan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh
guru yaitu multistrategi (konvensional). Penelitian akan dilaksanakan bulan Mei 2015 tempat
pengambilan data dilaksanakan di SMPN 1 Tempunak.
Data hasil penelitian berupa data kemampuan berpikir kritis siswa dianalisis sesuai dengan
indikator kemampuan berpikir kritis yang terdapat pada soal, yang terdiri dari merumuskan
masalah, memberikan argumen, melakukan deduksi melakukan induksi, melakukan evaluasi,
dan mengambil keputusan. Masing-masing indikator dihitung total skor yang diperoleh
kemudian dikonversi menjadi skala interval 0-100. Setelah nilai didapatkan selanjutnya
memberikan predikat tercapai hasil belajar. Klasifikasi predikat belajar siswa dapat disajikan
pada Tabel 2.
Hasil penelitian ini mendapatkan data kemampuan berpikir kritis siswa terdiri dari tes awal
(pre-tes) dan tes akhir (post-tes) yang diberlakukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Tes ini dilakukan peneliti sebagai guru yang mengajar dengan format soal essay sebanyak 6
butir soal yang masing-masing mewakili tiap indikator dari kemampuan berpikir kritis. Nilai
rerata kemampuan berpikir kritis pre test dan post test untuk kelas kontrol dan eksperimen
disajikan dalam histogram dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis siswa kelas
eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol. Rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis pre test
siswa pada kelas kontrol (multistrategi), eksperimen (ARIAS), dan eksperimen
(ARIAS+mindmap) hampir sama. Untuk rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis post test pada
kelas kontrol (multistrategi) adalah sebesar 51, pada kelas eksperimen (ARIAS) adalah sebesar
71 dan pada kelas eksperimen (ARIAS+mind map) adalah sebesar 81. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan berpikir kritis kelas yang dibelajarkan dengan ARIAS+mind map lebih
tinggi dari kemampuan berpikir kritis kelas yang dibelajarkan dengan ARIAS dan multistrategi.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 235
Nilai rerata kemampuan berpikir kritis pre test dan post test untuk kelas kontrol dan eksperimen
pada setiap indikator kemampuan berpikir kritis dapat dijelaskan pada Tabel 3.
90
80
70
60
50
40 pre test
30 post test
20
10
0
kontrol(multistrategi) eksperimen(ARIAS) eksperimen(arias+mind
map)
Gambar 1 Histogram nilai rerata kemampuan berpikir kritis kontrol dan eksperimen
Tabel 3. Nilai rerata kemampuan berpikir kritis pre test dan post test untuk kelas kontrol dan kelas
eksperimen
No Indikator Kelas control ARIAS ARIAS+mind map
pretest Posttest pretest Posttest Pretest Posttest
1 Merumuskan 38 63 37 76 38 84
masalah
2 Memberikan argumen 30 42 30 69 31 81
3 Induksi 43 45 38 70 36 83
4 Deduksi 43 54 41 68 31 84
5 Evaluasi 40 54 32 71 35 83
6 Memutuskan & 22 42 24 69 33 71
melaksanakan
Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data dinyatakan normal dan homogen ,
kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh pembelajaran ARIAS
dipadu mind map terhadap kemampuan berpikir kritis, hasil uji hipotesis menunjukkan
signifikasi perbedaan nilai rerata kemampuan berpikir kritis pada setiap perlakuan p-level 0,002
lebih kecil dari alpha 0,05 (p<0,05) sehingga hipotesis nol ditolak dan hipotesis penelitian
diterima. Artinya terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara siswa
yang diberi pembelajaran ARIAS dipadu mind map dengan siswa yang diberi pembelajaran
multistrategi. Pembelajaran ARIAS dipadu mind map memberikan pengaruh positif karena
model pembelajaran ARIAS dapat mengakomodasi berbagai indikator kemampuan berpikir
kritis yaitu pada tahapan interest (minat), siswa terlatih untuk memberikan dan menganalisis
argumen. Hal ini karena siswa diajak berdiskusi, mengemukakan masalah yang akan
dipecahkan serta mendiskusikan secara bersama-sama bagaimana pemecahan masalah tersebut.
Mind mapping dapatdigunakan untuk menggeneralisasikan, memvisualisasikan,
menstrukturisasi, dan mengelompokkan, dan sebagai alat bantu pembelajaran, pengorganisasian,
problem solving, pengambilan keputusan, sehingga mind map dapat membantu siswa untuk
semakin berpikir kritis.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMPN 1 Tempunak dan dari analisis data yang
diperoleh dari hasil pre test dan post test pada materi ekosistem, maka peneliti menyimpulkan
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
236 ISSN: 1978-1520
bahwa terdapat pengaruh yang sigmifikan dengan diterapkannya pembelajaran ARIAS dipadu
Mind map terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMPN 1 Tempunak. Siswa yang
diberikan pembelajaran ARIAS dipadu mind map menunjukkan kemampuan berpikir kritis
yang lebih tinggi dengan rata-rata nilai 81 daripada siswa yang diberi pembelajaran multistrategi
dengan rata-rata 51 dan siswa yang diberi pembelajaran ARIAS dengan rata-rata 71.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan agar menerapkan dan juga meneliti
pembelajaran ini pada jenjang pendidikan yang lain seperti pada jenjang pendidikan sekolah
menengah atas karena perpaduan antara ARIAS dengan mind map belum pernah diteliti dan
diterapkan pada jenjang sekolah menengah atas.
Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ketua Badan Pendidikan Karya Bangsa Dr.
Y.A.T Lukman Riberu, M.Si dan Ketua STKIP Persada Khatulistiwa Sintang Drs. Rafael Suban
Beding, M.Si yang telah memberikan dana untuk penelitian ini serta kepala sekolah dan guru
biologi di SMPN 1 Tempunak yang bersedia mengijinkan peneliti untuk melaksanakan
penelitian di SMPN 1 Tempunak
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suyoso, Suharto dan Sujoko, 1998, Ilmu Alamiah Dasar, Yogyakarta, IKIP
[2] Dogru, Mustafa, 2008, The Application Of Problem Solving Method on Science Teacher
Trainees on the Environmental Problem,International Journal of Environmental &
Science Education, Vol. 3, Ed.10
[3] Fisher, A, 2008, Berpikir Kritis Sebuah Pengantar, Terjemahan oleh Benyamin Hadinata,
2008, Jakarta, Erlangga.
[4] Shriner, M, 2006, Critical Thinking in Higher Education: An Annotated Bibliography.
Insight: A Collection of Faculty Scholarship,
(http://www.insightjournal.net/Volume1/Critical%20Thinking%20in%20Higher%20Educat
ion-%20An%20Annotated%20Bibliography.pdf), diakses 10 Januari 2015.
[5] Osborne RE, 2009, Putting it All Together: Incorporating SoTL Practices for Teaching
Interpersonal & Critical Thinking Skills in an Online Course. A journal of scholarly
teaching, , (http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ864285.pdf), diakses 20 Januari 2015.
[6] Duron, 2006, Critical Thinking Framework for Any Discipline. International Journal of
Teaching and Learning in Higher Education, (http://www.isetl.org/ijtlhe/pdf/IJTLHE55.pdf),
Diakses tanggal 6 Januari 2015.
[7] Keller, J.M & Kopp, 1987, An application of the ARCS model of motivational design,
dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319, Hillsdale, NJ,
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
[8] Ismail, Z.R, 2014, Pengaruh peta pikiran (mind map) terhadap hasil belajar geografi siswa
SMA, Tesis tidak diterbitkan, Malang, Program Pascasarjana universitas negeri malang.
[9] Sugiyono, 2012, Statistik untuk penelitian, Bandung, Alfabeta.
[10] Arikunto, S, 2006, Prosedur Penelitian, suatu pendekatan praktis, Jakarta, Rineka cipta.
Abstrak
Pewarnaan kain tenun ikat Sintang berasal dari alam. Misalnya memanfaatkan daun, akar,
batang, buah dan umbi, maupun biji dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian menjadi endemik
daerah tersebut. Kerbatasan dalam pengetahuan tentang kekayaan alam yang dimiliki oleh
daerah khususnya kota Sintang, membuat para siswa kurang dalam menyadari bahwa di
daerah tersebut memiliki suatu potensi yang sangat baik untuk dikembangkan dan dilestarikan
salah satunya adalah memiliki tumbuhan yang dapat digunakan sebagai proses pewarnaan kain
tenun. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran biologi yang
valid dan praktis dalam meningkatkan pemahaman dan sikap terhadap potensi lokal kain tenun
ikat di kelas X untuk siswa Sekolah Menegah Atas. Penelitain ini merupakan penelitian
pengembangan dengan menggunakan model 4D oleh Thiagarajan. Tahap pengembangan
dilakukan melalui tahap Define, Design, Develop, dan Disseminate. Kelayakan perangkat
pembelajaran ini dinilai dari telaah perangkat oleh guru bidang studi dan dosen ahli meliputi
telaah silabus, RPP, modul dan instrument penilaian. Hasil telaah perangkat pembelajaran
dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif. Hasil analisis validasi perangkat
pembelajaran pembelajaran biologi berbasis potensi lokalpewarna kain tenun ikat dikelas X
SMA menunjukan bahwa rerata sebesar 87,05% termasuk kategori sangat layak. Respon siswa
terhadap keterbacaan modul menunjukan rata-rata 84,3% kategori sangat layak.
Kata kunciperangkat pembelajaran biologi, pewarna kain tenun ikat, potensi lokal.
PENDAHULUAN
Tenun ikat merupakan salah satu unsur kebudayaan dan salah satu karya seni budaya yang
dimiliki oleh Kabupaten Sintang. Tenun ikat yang dimaksud disini adalah suatu proses menenun
yang dimulai dari proses awal dimana kapas dibuat menjadi benang, kemudian sistem
pewarnaannya dengan jalan mengikat bagian-bagian tertentu dan kemudian mencelup benang
pada bahan pewarnaan alami. Pewarna alami adalah pewarnaan yang diperoleh dari alam seperti
binatang, mineral-mineral dan tumbuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pewarna
alami ini diperoleh dengan ekstraksi atau perebusan secara tradisonal. Bagian-bagian tanaman
yang dapat dipergunakan untuk pewarna alami adalah kulit kayu, batang, daun, akar, bunga,
biji, dan getah.
Jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan baku pewarnaan alami kain tenun ikat Sintang
diperoleh dari sumber daya alam yang terdapat pada lingkungan sekitar, serta keanekaragaman
jenis tanaman memberi nilai tambah bagi pengembangan seperti beberapa tumbuhan yang
digunakan sebagai pewarnaan alami pada kain tenun ikat. Bahan pewarnaan alami ini meliputi
pigmen yang sudah terdapat dalam bahan atau bentuk pada proses pemanasan, penyimpanan
atau pemrosesan. Walau begitu pewarna alami umumnya aman dan tidak menimbulkan efek
samping bagi tumbuh [1].Warna warna yang dihasilkan meliputi warna primer (merah, biru,
kuning) dan warna sekunder seperti coklat, jingga dan nila. Salah satu tumbuhan yang
digunakan yaitu tanaman Indigofera mempunyai nama daerah tarum, nila atau indigo salah satu
tanaman famili Fabaceae yang menghasilkan warna biru.
Pelestaria tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku pewarnaan kain tenun masih
belum dikembangkan secara maksimal, hal tersebut dikarenakan tumbuhan-tumbuhan tersebut
masih sangat banyak berada di alam. Upaya dari pemerintah setempat belum berjalan secara
maksimal, karena belum memiliki program khusus tentang proses pelestarian tumbuhan yang
digunakan sebagai bahan pewarnaan kain tenun. Kerbatasan dalam pengetahuan tentang
kekayaan alam yang dimiliki oleh daerah khususnya kota Sintang, membuat para siswa kurang
dalam menyadari bahwa di daerah tersebut memiliki suatu potensi yang sangat baik untuk
dikembangkan dan dilestarikan salah satunya adalah memiliki tumbuhan yang dapat digunakan
sebagai proses pewarnaan kain tenun. Cara memperkenalkan kepada siswa tentang potensi yang
dimiliki oleh daerahnya akan sangat mudah apabila siswa itu sendiri yang dapat terjun langsung
untuk melihat, mengamati dan menerapkan tentang suatu potensi yang dimiliki oleh daerahnya.
Berdasarkan fakta empiris yang ditemukan diatas maka membelajarkan siswa dalam proses
pewarnaan kain tenun merupakan salah satu wadah yang dapat menampung siswa dalam proses
belajar untuk mencintai daerahnya. Namun, permasalahan tidak hanya datang dari dalam diri
siswa, karena guru-guru pun masih belum memahami bagaimana strategi yang baik agar dapat
membelajarkan siswa dalam mencintai daerahnya. Pengenalan akan tumbuhan yang memiliki
manfaat dalam pembuatan kain tenun, merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan agar
siswa mampu membuka pola pikir dalam memelihara dan menjaga aset daerah yang
dimilikinya.
Buku ajar yang digunakan oleh guru dan siswa selama ini khususnya di kelas X IPA,
memiliki karakter yang di dalamnya dominan berisi materi dan latihan soal-soal saja.
Kurangnya kegiatan atau langkah-langkah dalam pembelajaran yang dapat mengaktifkan dan
memberi kesempatan kepada siswa baik individu, maupun kelompok untuk berperan aktif
mengkontruksi sendiri konsep-konsep yang dipelajarinya. Hal tersebut berakibat siswa kurang
aktif selama pembelajaran biologi, motivasi belajar rendah, dan siswa hanya menghafal materi
dari buku bahan ajar yang dimiliki.
Perangkat pembelajaran yang disusun menyesuaikan dengan karakteristik siswa, hakikat
pembelajaran biologi, serta permasalahan yang dijumpai dalam proses pembelajaran. Materi
plantae merupakan salah satu materi esensial dalam biologi yang mengolongkan tumbuhan
berdasarkan ciri-cirnya, manfaat dan peran tumbuhan bagi kehidupan manusia khususnya bagi
tumbuhan yang digunakan sebagai pewarnaan kain tenun ikat, sedangkan pada materi
keanekaragaman hayati berfokus pada upaya pelestarian tumbuhan sebagai bahan baku
pewarnaan kain tenun. Sehingga siswa mampu menggolongkan tumbuhan, mengenal tumbuhan
yang dimiliki oleh daerahnya dan megetahui manfaat tumbuhan serta dapat mengembangkan
manfaat dari tumbuhan yang dimiliki oleh daerahnya.
Perangkat pembelajaran disusun sebagai bahan ajar yang digunakan dalam Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) selalu diarahkan untuk mencapai tujuan khusus pembelajaran yang
sudah ditetapkan. Penyusunan modul selalu didasarkan pada kebutuhan nyata di lapangan.
Kebutuhan nyata dilapangan menuntut peningkatan kualitas pembelajaran. Pembelajaran
dengan modul yang terdapt dalam perangkat pembelajaran akan mendorong penguasaan siswa
terhadap kompetensi materi dalam modul yang sudah ditetapkan [2]. Pengembangan bahan ajar
modul dapat disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan modul dapat dipertahankan
keunggulan dan kearifan lokal [3]. Berdasarkan paparan di atas maka peneliti melakukan
penelitian tentang pengembangan perangkat pembelajaran Plantae kelas X SMA berbasis
potensi lokal bahan baku pewarnaan kain tenun ikat di Kabupaten Sintang.
METODE PENELITIAN
Instrumen penilaian yang dikembngkan oleh peneliti juga layak diterapkan karena
Instrumen telah mendapat validasi pada reviewer dengan melihat ranah materi, kontruksi dan
bahasa yaitu kesesuaian butir soal dengan indicator yang dikembangkan, batasan pertanyaan dan
menjawab yang diharapkan jelas, rumusan kalimat dalam bentuk kalimat Tanya, butir soal tidak
tergantung pada soal sebelumnya, rumusan kalimat komunikatif, kalimat menggunakan bahsa
yang baik dan benar sesuai dengan ragam bahasanya, rumusan kalimat tidak menimbulkan
penafsiran ganda. Hal ini sesuai dengan yang diterapkan pada pengembangan intrumen tes hasil
belajar. Menurut Sukarno, didalam penyusunan tes, baik sebagai tes sehari-hari atau ujian
penghabisan hendaknya berpedoman pada tujuan pembelajaran disamping menjadi alat
pengukur juga berfungsi sebagai alat pendorong supaya belajar dengan baik.
Namun demikian perentase yang diperoleh masih belum sempurna 100%. Hal ini
dikarenakan terdapat beberapa kendala yang didapat dilapangan. Selain itu masih terdapat juga
beberapa aspek yang menurut validator masih kurang sesuai dengan perangkat pembelajaran
berbasis potensi lokal bahan baku pewarna kain tenun ikat ini.
SIMPULAN
SARAN
Berdasarkan simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat diajukan saran yang
menjadi pertimbangan bagi semua pihak yang berkepentingan yaitu bagi peneliti lain yang
berminat menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal pewarna kain tenun ikat
ini, melalui strategi pembelajaran konstruktivistik belum banyak diteliti dan diterapkan dalam
proses pembelajaran di kelas, serta dapat menambah dan meningkatkan lagi bahan-bahan yang
dapat digunakan sebagai proses penelitian.
Ucapan terima kasih ini diberikan kepada semua pihak yang sudah sangat membantu dalam
proses penelitian baik berupa dana dan proses penelitain di lapangan, diantaranya yaitu Dr.
Y.A.T. Lukman Riberu, M. Si, selaku ketua Bada PEndidikan Karya Bangsa, Drs. Rafael Suban
Beding, M. Si, selaku Ketua STKIP Persada Khatulistiwa Sintang, Kepala sekolah beserta guru
mata pelajaran biologi SMA N.1 dan SMA N. 2 Sintang, Kepala adat rumah Betang Ensait
panjang, pusat pembuatan kain tenun ikat Sintang, serta rekan-rekan yang telah membantu
dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Koryati.E, 2014,Kajian Etnobotani Tumbuhan yang Digunakan Sebagai Pewarna Alami
Oleh Suku Dayak Iban Di Desa Mensiau Kabupaten Kapuas Hulu, Protobont (2015) vo.
4(1), 58-61, (Online) (http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jprb/article/download/8759/8723)
diakses 3 Maret 2015
[2] Setyosari, P dan effendi, M. 1991, Pengajar Modul: Buku PenunjangPerkuliahan, Malang,
Dapartemen Pendidik dan kebudayaan IKIP Malang.
[3] Soetikno W. R, 2013, Desain Kurikulum Digitasl, Jakarta, Smart Writing.
Abstrak
Pembelajaran IPA biologi yang dilakukan di kelas VII SMP Muhammadiyah Kota Kediri masih
kurang bervariasi sehingga siswa cenderung pasif dan menyebabkan kemampuan berpikir kritis
siswa rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran TPS
dengan media kartu bergambar terhadap berpikir kritis siswa kelas VII SMP Muhammadiyah
Kota Kediri materi sistem organisasi kehidupan. Penelitian dilakukan dengan metode kuasi
eksperimen dengan desain posttest only control design. Sampel penelitian ini adalah siswa
kelas VII D berjumlah 28 siswa yang diajar menggunakan model TPS tidak menggunakan
media kartu bergambar dan kelas VII E berjumlah 28 siswa yang diajar menggunakan model
TPS dengan media kartu bergambar. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah
kemampuan berpikir kritis siswa, yang diukur menggunakan rubrik penilaian berpikir kritis
dalam bentuk posttest yang terintegrasi pada tes hasil belajar kognitif (Zubaidah, 2015). Hasil
analisis menggunakan uji-t menunjukkan bahwa nilai Sig. (2-tailed) 0,000<0,05 yang berarti
terdapat perbedaan berpikir kritis siswa yang diajar menggunakan model TPS tidak
menggunakan media kartu bergambar dan model TPS dengan media kartu bergambar.
Kemampuan berpikir kritis siswa yang diajar dengan model TPS dengan media kartu
bergambar lebih baik dari siswa yang diajar dengan model TPS tidak menggunakan media
kartu bergambar.
PENDAHULUAN
berperan sebagai fasilitator. Begitu juga dengan pembelajaran biologi.Dalam hal ini siswa
dituntut untuk memahami konsep dan materi yang dipelajarinya, sehingga dibutuhkan
konsentrasi yang lebih pada saat pembelajaran biologi berlangsung. Berdasarkan hal tersebut,
dapat dikatakan juga bahwa guru juga dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menyampaiaan
materi, termasuk materi biologi. Salah satu contoh usaha guru untuk menyampaikan materi
dengan kreatif adalah penerapan berbagai model dan media pembelajaran. Diantaranya, model
pembelajaran TPS dan media kartu bergambar. Think Pair Share(TPS) atau berpikir
berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
mempengaruhi interaksi siswa[3]. TPS adalah model pembelajaran kooperatif yang memiliki
prosedur ditetapkan secara eksplinsit memberikan waktu lebih banyak kepada siswa untuk
mamikirkan secara mendalam tentang apa yang dijelaskan atau dialami (berfikir, menjawab dan
saling membantu satu sama lain)[4]. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan TPS
adalah model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bekerjasama dalam kelompok-
kelompok kecil dengan tahap thinking (berfikir), pairing (berpasangan), dan sharing (berbagi).
Seorang pengajar harus menjadi pengajar yang inovatif dan kreatif agar dapat
menyampaikan materi dengan cara yang menarik sehingga dapat mempermudah siswa dalam
memahami materi. Diantaranya, penggunaan kartu bergambar. Penggunaan media kartu
bergambar dirasa akan optimal jika dikombinasikan dengan model pembelajaran yang juga
dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa dan melibatkan siswa secara aktif[5].
Media gambar adalah media instruksional yang dapat membantu guru dalam mencapai tujuan
instruksional, karena dengan gambar, pengalaman dan pengertian peserta didik menjadi lebih
luas, jelas dan tidak mudah dilupakan, serta lebih konkret dalam ingatan dan asosiasi peserta
didik. Gambar paling umum dipakai dalam pembelajaran, gambar mempunyai sifat yang
universal, mudah dimengerti, dan tidak terikat oleh keterbatasan bahasa[6]. Salah satu
modifikasi dari media gambar yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran adalah kartu
bergambar. Media kartu atau flash card diperkenalkan oleh Glenn Doman, seorang dokter ahli
bedah otak dari Philadelpia, Pennsylvania[7]. Flash card adalah kartu-kartu bergambar yang
dilengkapi oleh kata-kata.
Pada penelitian ini materi yang diambil sebagai penelitian adalah materi sistem organisasi
kehidupan karena cara penyampaian materi sistem organisasi kehidupan yang selama ini
monoton yaitu dengan cara ceramah, yang sebenarnya dapat dilakukan dengan
penggunaan media yang lebih menarik. Penyampaian materi sistem organisasi kehidupan
yang selama ini dilakukan dengan metode ceramah menjadikan materi sistem organisasi
kehidupan lebih sulit untuk dipahami. Pokok bahasan ini banyak materi yang berupa
gambar maupun skema sehingga dalam penyampaiannya tidak cukup dengan metode ceramah
saja. Penyampaian media kartu bergambar akan mempermudah penyampaian materi karena
disertakan pula gambar aslinya sehingga siswa tidak harus membayangkan materi yang
disampaikan, dan dengan kerjasama siswa akan lebih mudah dalam proses pembelajaran.
Dari hasil wawancara guru IPA kelas VII SMP Muhammadiyah Kota Kediri diketahui
metode pembelajaran yang sering dilakukan disana adalah ceramah. Saat guru menerangkan
materi dengan metode ceramah tidak semua siswa memperhatikan dengan baik, hal ini
menjadikan minat belajar anak pada umunya kurang dan anak menjadi pasif dalam kegiatan
belajar mengajar. Untuk mengatasi kondisi pembelajaran diperlukan model yang bisa
mengaktifkan siswa salah satunya dengan menerapkan model TPS dengan media kartu
bergambar. Dengan membentuk kelompok berpikir berpasangan berbagi dan menjawab soal
yang terdapat dimedia kartu bergambar dapat mempengaruhi interaksi siswa, hal tersebut dapat
mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
Pengaruh model pembelajaran TPS dengan media kartu bergambar terhadap berpikir kritis
siswa kelas VII SMP Muhammadiyah Kota Kediri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah Kota Kediri Tahun pelajaran
2015/2016. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh kelas VII SMP Muhammadiyah Kota
Kediri dengan sampel yaitu kelas VII D berjumlah 28 siswa sebagai kelas kontrol dan kelas VII
E berjumlah 28 siswa sebagai kelas eksperimen. Yang diambil dengan teknik purposive
sampling.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain Posttest-only Control Design
terlihat pada Tabel 1. Struktur desain penelitian ini yaitu .
Data berpikir kritis diperoleh dari soal posttest berupa tes essay dengan mengoreksi
jawaban menggunakan rubrik berpikir kritis. Selanjutnya data berpikir kritis dianalisis
menggunakan analisis Uji-t.
Hasil penelitian yang dilakukan di kelas VII SMP Muhammadiyah Kota Kediri
menunjukkan bahwa, rerata nilai posttest keterampilan berpikir kritis yang diterapkan Think
Pair Share (TPS) tidak menggunakan media kartu bergambar sebesar 78,00 sedangkan rerata
nilai postes pada kelas yang diterapkan TPS dengan media kartu bergambar sebesar 82,43.
Grafik rata-rata nilai posttest siswa dapat dilihat pada Gambar 1.
Berpikir Kritis siswa
Rata-rata Nilai Hasil
80
60
40 78,00 82,43
20
0
Model Pembelajaran
Gambar 1. Rata-rata hasil berpikir kritis siswasiswa kelas menggunakan model TPStidak
menggunakan media kartu bergambar () dan kelas menggunakan model
TPSdengan media kartu bergambar ().
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata nilai posttest pada kelas yang
menggunakan model TPSdengan media kartu bergambar lebih tinggi dibandingkan kelas yang
menggunakan model TPS tidak menggunakan media kartu bergambar (82,43:78,00).
Distribusi kriteria berpikir kritis dapat dilihat pada grafik kriteria berpikir kritis siswa yang
tertera pada gambar dibawah ini (Gambar 2).
30
24
25
21
Jumlah Siswa
20
15
11
10
4
5
0
tinggi sangat tinggi
Kriteria Berpikir Kritis
Gambar 2. Kriteria berpikir kritis siswa kelas menggunakan model pembelajaran TPS
tidak menggunakan media kartu bergambar() dan kelas menggunakan
TPS menggunakan media kartu bergambar().
Berdasarkan tabel 2 hasil perhitungan uji-t menggunakan Independent t-test diperoleh Sig.
(2-tailed) 0,000< 0,05.Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas
menggunakan modelpembelajaranTPS dengan media kartu bergambar dan kelas menggunakan
modelpembelajaranTPS tidak menggunakan media kartu bergambar.ModelpembelajaranTPS
dengan media kartu bergambarberpengaruhterhadapberpikir kritissiswa kelas VII SMP
Muhammadiyah Kota Kediri materi sistem organisasi kehidupan.
Hasil pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaranTPS dengan media kartu
bergambar berpangaruh terhadap berpikir kritissiswa kelas VII SMP Muhammadiyah Kota
Kediri materi sistem organisasi kehidupan. Hal ini dikarenakan pada model TPS siswa diminta
untuk memecahkan permasalahannya sendiri. Dalam prosedur TPSdapat memberi siswa lebih
banyak waktu berpikir untuk merespon dan saling membantu. Oleh karena itu siswa diberikan
waktu lebih untuk berpikir secara individu pada tahap think sebelum mereka bertukar pemikiran
dan berinteraksi pada saat berpasangan di tahap share.Denganditerapkannya model
pembelajaranTPSsiswa menjadi lebih aktif di kelas dan siswa dapat mengasah keterampilan
berpikir kritisnya[8].
Media kartu bergambar sebuah alat yang dirancang untuk membantu dalam kegiatan
pembelajaran. Kartu bergambar benar-benar melukiskan konsep atau isi pelajaran yang ingin
disampaikan sehingga dapat memperlancar pencapaian tujuan. Media kartu bergambar juga
dapat meningkatkan aktivitas, partisipasi dan motivasi belajar siswa[9].
Pada proses pembelajaran siswa dengan model pembelajaran TPS dengan media kartu
bergambar, pada saat siswa mengerjakan LDS yang permasalahannya terdapat pada media kartu
bergambar aktivitas belajar siswa sangat tinggi [10] dapat dilihat pada saat melaksanakan
latihan, memberikan tanggapan, bertanya dan berdiskusi, mepresentasikan kedepan kelas. Dapat
dilihat juga dari hasil posttest kelas TPS dengan media kartu bergambar lebih tinggi
dibandingkan kelas TPS tidak menggunakan media kartu bergambar.
Pada proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran TPS dengan media kartu
bergambar siswa dituntut terlebih dahulu untuk memikirkan masalah atau soal yang terdapat
pada media kartu bergambar kemudian siswa berdiskusi dengan pasangannya.Dengan demikian
siswa dapat memecahkan solusi dari masalah yang ada di media kartu bergambar.Konsep
berpikir kritis adalah kemampuan-kemampuan untuk memahami masalah, menyeleksi informasi
yang penting untuk menyelesaikan masalah, memahami asumsi-asumsi, merumuskan dan
menyeleksi hipotesis yang relevan, serta menarik kesimpulan yang valid dan menentukan
kevalidan dari kesimpulan-kesimpulan[11].Media kartu bergambar memudahkan siswa untuk
memahami materi karena adanya gambar-gambar yang disajikan dalam media kartu
memudahkan siswa untuk memahami materi yang disajikan lebih jelas dibanding bahasa verbal
[12].
Berdasarkan penelitian ini terbukti bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran
TPS dengan media kartu bergambar terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP
Muhammadiyah Kota. Dibuktikan pada nilai hasil postest berpikir kritis pada kelas eksperimen
(model pembelajaran TPS dengan media kartu bergambar) lebih tinggi dibandingkan kelas
kontrol (model pembelajaran TPS tidak menggunakan media kartu bergambar).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
model pemelajaran Think Pair Share (TPS) dengan media kartu bergambar terhadap berpikir
kritis siswa kelas VII SMP Muhammadiyah Kota kediri materi sistem organisasi kehidupan.
SARAN
Berdasarkan simpulan diatas maka saran-saran yang dapat dierikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi Guru
Pada proses belajar mengajar guru dituntut untuk kreatif dan inovatif menggunakan model
dan media pembelajaran yang tepat sehingga siswa tidak merasa bosan, aktif dan dapat
meningkatkan berpikir kritis siswa. Sehingga mata pelajaran IPA dapat memberikan makna
dan tidak dianggap hanya sekedar pelajaran hafalan.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk peneliti selanjutnya disarankan lebih meningkatkan penelitiannya dan menambahkan
kekurangan-kekurangan yang terdapat pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] BSNP. (2006). Standar Isi Mata Pelajaran IPA SMP/MTs. Jakarta : BSNP.
[2] Renny, I. W. 2013. Pengaruh Penggunaan Media Kartu Bergambar terhadap Keterampilan
Berpikir Kritis Siswa pada Materi Pokok Protista. Jurnal Bioterdidik. 2.1
[3] Trianto. 2010. Mendesain Pembelajaran Inovatif-Progesif. Jakarta: Kencana
[4] Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inofatif.(Sidoarjo:Masmedia Buana Pusaka)
[5] Nugraheni, C. 2010. Pemanfaatan Media Gambar sebagai Upaya Peningkatan
Penguasaan Kosakata Bahasa Arab Pada Siswa Kelas V (Lima) Mi Al-Iman Banaran
Gunungpati Semarang Tahun Ajaran 2008/ 2009.(Skripsi). Universitas Negeri Semarang:
Semarang.
[6] Rahadi, A. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
[7] Herniza, L. 2011. Pengaruh Media Audio -Visual Melalui Model NHT Terhadap
Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Pokok Sistem Pernapasan. Lampung:
Universitas Lampung.
[8] Septiyadi, P. R. 2015.Penerapan Metode Diskusi Tipe Think Pair Share (Tps) untuk
Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran IPS. Universitas
Pendidikan Indonesia.
[9] Zulaika, L.2011.Pemanfaatan Media Kartu Bergambar Dalam Pembelajaran Ipa Kelas Iv
Di Sdn Cepoko Iii Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo Tahun Ajaran 2010/2011.
(Skripsi) Universitas Negeri Malang. Malang.
[10] Amalia, D. 2015. Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Dipadukan
dengan Problem Based Learning (Pbl) Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa. (Skrips)i. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
[11] Amri, S & Ahmadi, K. I. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas.
Jakarta: Prestasi Pustaka Raya.
[12] Sadiman, A. S. 2008. Media Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) bagi
santri Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Kabupaten Nganjuk. Survei ini menggunakan
dua instrument penelitian yaitu, instrument pengetahuan dan instrument sikap. Instrument
pengetahuan berupa soal tes tulis untuk mengetahui tingkat pengetahuan perilaku hidup berih
dan sehat (PHBS) santri dan instrument sikap berupa angket untuk mengetahui sikap dalam
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) santri dalam kehidupan sehari-hari, yang
ditujukan pada 38 santri putra serta 31 santri putri. Soal tes tulis yang berjumlah 30 soal dan
angket yang berjumlah 42 pernyataan di validasi oleh ahli dan di nyatakan valid dengan skor
perolehan rata-rata 80,35 dan 75. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengetahuan yang
dimiliki santri putra kurang tinggi dengan skor 10,61 sedangkan pengetahuan yang dimiliki
santri putri cukup tinggi dengan skor 17,6. Sikap PHBS yang dimiliki santri putra dan santri
putri kurang baik dengan perolehan skor 2,71 dan 2,73. Hal yang menyebabkan kurangnya
pengetahuan santri yaitu sarana pendidikan yang kurang memadai. Akan tetapi karena
ketekunan yang dimiliki santri putra dan santri putri berbeda mengakibatkan pengetahuan yang
dimiliki berbeda. Tingkat pengetahuan santri putra yang kurang tinggi mengakibatkan
rendahnya sikap PHBS. Sedangkan pengetahuan santri putri sudah cukup tinggi,tetapi sikap
yang dimiliki masih kurang baik karena tidak semua informasi dapat mempengaruhi sikap.
PENDAHULUAN
Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah
dan swasta. Apapun usaha yang dilakukan pemerintah, tanpa kesadaran individu dan
masyarakat untuk secara mandiri menjaga kesehatan mereka, hanya sedikit yang akan tercapai.
Perilaku yang sehat dan kemampuan masyarakat untuk memilih dan mendapatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan [1].
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat meningkatkan derajat kesehatan yang
optimal. Dengan demikian masyarakat diharapkan mampu berpartisipasi aktif dalam menjaga
dan meningkatkan derajat kesehatan sendiri [2]. Salah satu cara dalam meningkatkan derajat
kesehatan adalah dengan menerapkan budaya hidup bersih dan sehat.
Perilaku hidup bersih dan sehat adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas
kesadaran, sehingga keluarga beserta semua yang ada di dalamnya dapat menolong dirinya
sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat
[2]. Membiasakan hidup bersih dan sehat merupakan cerminan sikap dan perilaku masyarakat
dalam menjaga dan memelihara kebersihan serta kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
Perilaku hidup bersih dan sehat sangat dipengaruhi oleh proses yang terjadi di tatanan-
tatanan sosial lain, yaitu tatanan institusi pendidikan, tatanan tempat kerja, tatanan tempat
umum dan tatanan fasilitas kesehatan[3]. Diantara lembaga pendidikan yang berkembang,
pondok pesanteren memiliki karakteristik yang kuat dalam rangka pembentukan peserta didik
(santri) yang mandiri yang terlihat dalam kehidupan dipondok pesantren yang berhubungan
dengan bagaimana santri mandiri untuk makan, minum, mencuci pakaian, dan juga
kemandirian dalam belajar [4]. Hal ini mencerminkan cita-cita pondok pesantren untuk
menciptakan santri yang mandiri dan tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain karena
santri terbiasa tinggal jauh dari orang tua sehingga santri dituntut untuk tanggap menghadapi
masalah yang dihadapinya.
Adanya prinsip kebersamaan seperti penggunaan alat makan, pakaian, alat mandi secara
bersama-sama dalam pondok pesantren berpotensi meningkatkan angka penularan penyakit.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui profil perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) bagi santri di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar di Kabupaten Nganjuk.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini pihak terkait dapat mengambil tindakan terhadap
kondisi di pondok pesantren tersebut.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode survey, dengan
lokasi penelitian di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk yang dilakukan pada
bulan juni 2016, penelitian ini menggunakan 2 instrumen penelitian yaitu, instrument
pengetahuan dan instrument sikap. Instrument pengetahuan berupa soal tes tulis yang berjumlah
30 soal yang berisi soal pilihan ganda dan instrument sikap berupa angket yang berjumlah 42
pernyataan. Instrument yang digunakan telah di validasi oleh ahli, dan dinyatakan valid dengan
skor perolehan rata-rata 80,35 dan 75.
Instrument pengetahuan dan sikap akan diberikan kepada santri putra dan santri putri
Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar dengan jumlah 69 santri dengan perincian 38 santri
putra dan 31 santri putri.
Data yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Data
kuantitatif berupa hasil tes tulis santri yang dianalisis dengan teknik analisis kuantitatif. Untuk
nilai akhir akan dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Nilai = x 100%
Nilai akhir santri akan di transformasikan ke dalam bentuk pengukuran ordinal untuk
menentukan tingkat pengetahuan santri. Berikut ini merupakan format perhitungan rentangan
pengetahuan santri.
Tabel 2 Kategori Pengetahuan Santri tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Interval Kriteria
X>22,7 Sangat Tinggi
20<X22,7 Tinggi
12,5<X20 Cukup Tinggi
7,5<X12,5 Kurang Tinggi
X7,5 Tidak Tinggi
Sedangkan data kualitatif yaitu sikap dalam peneraapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) yang akan dianalisis secara deskriptif menggunakan skala likert. Ada dua jenis
pernyataan yaitu pernyataan positif dan negatif, sedangkan kategori yang digunakan ada empat
skala [6]. Berikut merupakan penilaian dengan menggunakan skala Likert:
Empat kategori respon dipresentasikan kembali dalam bentuk sebuah tingkatan pengukuran
ordinal. Kategori tersebut dipresentasikan lagi dalam bentuk inheren (dari tinggi ke rendah,
yang kuat ke lemah, yang besar ke kecil). Berikut ini merupakan kategori sikap sadar sehat
reproduksi santri.
Tabel 4. Kategori Sikap dalam penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS )
Interval Kriteria
Berdasarkan survey yang telah dilakukan di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar di
dapatkan data bahwa pengetahuan yang dimiliki santri putra kurang tinggi dengan rata-rata
perolehan skor 10,61, sedangkan pengetahuan yang dimiliki santri putri cukup tinggi, dengan
rata-rata perolehan skor 17,6. Sikap yang dimiliki santri putra dan santri putri kurang baik
dengan rata- rata perolehan skor 2,71 dan 2,73.
Pengetahuan adalah hasil tahu dari penginderaan manusia sehingga dapat mengambil
keputusan[7]. Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki. Semakin
tinggi pendidikan yang dimiliki maka pemahaman akan semakin meningkat serta tepat dalam
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 251
mengambil sikap [8]. Pendidikan juga akan membuat seseorang lebih mudah memahami
informasi.
Pendidikan PHBS di pondok pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk memang sudah
dilakukan melaui kitab washoya. Akan tetapi pengetahun tentang makan buah dan sayur,
jamban sehat, pengelolaan limbah cair, pemberantasan jentik nyamuk, aktifitas fisik, bahaya
merokok dan NAPZA belum di ajarkan, pengasuh hanya memberikan pengarahan selintas
tentang PHBS tanpa didasari dengan landasan teoritis. Selain itu sarana dan prasarana yang
mendukung terciptanya PHBS masih belum memadai. Hal ini lah yang melatarbelakangi
kurangnya pengetahuan santri putra tentang PHBS di lingkungan pondok pesantren. Santri putri
memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dari pada santri putra karena santri putri lebih
tekun dalam proses pembelajaran di pondok pesantren.
Pengetahuan merupakan awal terbentuknya sikap yang akan membentuk perilaku atau
tindakan[7,8]. Pengetahuan PHBS yang baik akan membentuk sikap PHBS yang baik,
sebaliknya pengetahuan PHBS yang kurang akan membentuk sikap PHBS yang kurang baik
pula. Berikut merupakan grafik perbandingan pengetahuan dan sikap santri putra maupun santri
putri.
pengetahuan
sikap
Gambar 1. Perbandingan pengetahuan dan sikap santri putra dan santri putri
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa santri putra memiliki pengetahuan kurang
tinggi dan membentuk sikap yang kurang baik. Sedangkan santri putri memiliki pengetahuan
cukup akan tetapi sikap yang tebentuk masih kurang baik. Hal ini dikarenakan tidak semua
informasi dapat mempengaruhi sikap, informasi yang dapat mempengruhi sikap sangat
tergantung pada, isi, sumber, dan media informasi yang bersangkutan. Informasi yang
menumbuhkan dan mengembangkan sikap adalah berisi pesan yang bersifat persuasif[9].
SIMPULAN
Pengetahuan yang dimiliki santri putra kurang tinggi dengan skor 10,61 sedangkan pengetahuan
yang dimiliki santri putri cukup tinggi dengan skor 17,6. Sikap PHBS yang dimiliki santri putra
dan santri putri kurang baik dengan perolehan skor 2,71 dan 2,73. Hal yang menyebabkan
kurangnya pengetahuan santri yaitu sarana pendidikan yang kurang memadai. Akan tetapi
karena ketekunan yang dimiliki santri putra dan santri putri berbeda mengakibatkan
pengetahuan yang dimiliki berbeda. Tingkat pengetahuan santri putra yang kurang tinggi
mengakibatkan rendahnya sikap PHBS. Sedangkan pengetahuan santri putri sudah cukup
tinggi,tetapi sikap yang dimiliki masih kurang baik karena tidak semua informasi dapat
mempengaruhi sikap.
SARAN
Perlu dilakukan upaya pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap PHBS santri
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk
atas kesediaannya berpartisipsi dalam penelitian survey ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Departemen Kesehatan RI, 2004, Indikator Indonesia Sehat 2010, Jakarta, Departemen
Kesehatan RI.
[2] Azizah, U., 2012, Hubungan antara Pengetahuan Santri Tentang PHBS dan Peran Ustadz
dalam Mencegah Penyakit Skabies dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Skabies (Studi
pada Santri di Pondok Pesantren Al-Falah Kecamatan Silo Kabupaten Jember), Skripsi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Jember.
[3] Raharjo, A.S., Indarjo, S., 2014, Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, dan Ketersediaan
Fasilitas di Sekolah dalam Penerapan PHBS Membuang Sampah pada Tempatnya (Studi di
Sekolah Dasar Negeri Banjar Sari 02 Kecamatan Gabus Kabupten Pati), Unnes Journal of
Public Health,3 (1).
[4] Sanusi, U., 2012, PENDIDIKAN KEMANDIRIAN DI PONDOK PESANTREN (Studi
Mengenai Realitas Kemandirian Santri di Pondok Pesanten Al-Istiqlal Cianjur dan Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Tasikmalaya), Jurnal Pendidikan Agama Islam talim Vol. 10
No. 2 2012.
[5] Fitriani, W., Sugiman, 2014, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Teorema Pythagoras
dengan Pendekatan Ideal Berbantuan Geogebra, Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 1
(2).
[6] Widoyoko, E.P., 2013, Tehnik Penyusunan instrumen Penelitian, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
[7] Khumaira, Z. H., Sulisno, M., 2012, Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) antara Santri Putra dan Santri Putri , Jurnal Nursing Studies, 1
(1): 197-204.
[8] Suharmanto, Purqoti, D. N. S., Rusiana, H. P, 2015, Potensi Santri dalam Pelaksanaan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Pondok Pesantren, STIKES Yarsi Mataram.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pengetahuan dan sikap sadar sehat reproduksi
santri remaja di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk. Penelitian survei ini
menggunakan2 buah instrumen yaitu instrumen 1 dan instrumen II. Instrumen I untuk mengukur
pengetahuan kesehatan reproduksi sedangkan instrumen II untuk mengukur sikap sadar sehat
reproduksi. Instrumen ditujukanpada 69 respronden.Hasil validasi menunjukkan bahwa
instrumen I dan II valid dengan skor perolehan rata- rata77,94 dan 83,33. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sikap santri putra dan santri putri baik dengan perolehan rata- rata 3,43
dan 3,72 akan tetapi ada beberapa aspek pengetahuan yang kurang tinggi. Pengetahuan santri
putra yang masih kurang beserta skor perolehan rata- ratanya yaitu keluarga berencana (1,63),
pencegahan dan penanganan infertilitas (1,68), pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi
(1,6), kesehatan ibu dan bayi baru lahir (3,38), pencegahan dan penanggulangan ISR (2,63),
penanggulangan kesehatan reproduksi usia lanjut (2,38) dan NAPZA (1,2). Sedangkan
pengetahuan santri putri yang masih kurangbeserta skor perolehan rata- ratanya yaitu
pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi (1,76) serta pencegahan dan
penanggulangan ISR (2,89). Hal yang membuat sikap sadar sehat reproduksi santri baik yaitu
pendampingan pengasuh pondok pesantren pada santri dalam waktu yang tidak terbatas
sedangkan hal yang mempengaruhi kurangnya pengetahuan santri yaitu kurangnya
keterbukaan santri, kurangnya sarana dan prasarana penunjang serta dukungan lembaga yang
memiliki keterkaitan dengan pelayanan kesehatan reproduksi.
PENDAHULUAN
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya
pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang antara lain: sikap, pengetahuan,
kecerdasan, dan keterampilan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat
secara luas, serta meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya, azas pembinaan
seperti inilah yang ditawarkan oleh pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua
di Indonesia [1].
Kepercayaan, sikap dan nilai yang ada di pesantren serta anggapan bahwa pesantren
sebagai pusat tarekat maupun pendidikan alternatif ideal bagi anak membuat kebudayaan yang
ada di pesantren menjadi agak berbeda dengan budaya masyarakat pada umumnya di luar
pesantren. Pesantren menerapkan aturan yang membatasi interaksi antara santri dengan dunia
luar. Tujuannya agar para santri lebih mandiri dan lebih terjaga akhlak serta moralnya
[2].Sebagian besar santri yang belajar di pondok pesantren adalah remaja, sehingga mereka akan
dihadapkan dengan masalah yang terkait dengan keremajaannya [3]. Pada masa remaja, sistem
reproduksi tidak hanya berkembang secara fisik saja akan tetapi fungsi fisiologisnya juga ikut
berkembang. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak menuju masa
dewasa yang diawali dengan terjadi kematangan seksual. Remaja akan dihadapkan pada
keadaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima perubahan yang terjadi pada
dirinya. Kematangan seksual dan perubahan bentuk tubuh sangat berpengaruh pada kehidupan
kejiwaan remaja. Kematangan seksual juga dapat mengakibatkan remaja-remaja mulai tertarik
terhadap anatomi fisiologi[4].
Ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputikesehatan reproduksi remaja, keluarga
berencana, pencegahan dan penanggulangan infertilitas, pencegahan dan penanggulangan
komplikasi aborsi, kesehatan ibu dan bayi baru lahir, pencegahan dan penanggulangan ISR,
penanggulangan kesehatan reproduksi usia lanjut, NAPZA[5,6,7].
Pengetahuan kesehatan reproduksi akan mempengaruhi sikap sadar sehat reproduksi [4].
Pengetahuan yang kurang akan berimbas pada sikap sadar sehat reproduksi yang kurang baik.
Sikap sehat reproduksi yang kurang baik tersebut akan menyebabkan perilaku negatif yang
berdampak pada masalah kesehatan reproduksi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui profil pengetahuan dan sikap sadar sehat reproduksi santri remaja di Pondok
Pesantren mambaul Hisan Isyhar Nganjuk. Diharapkan dengan adanya penelitian ini pihak
terkait bisa mengambil tindakan terhadap kondisi di pondok pesantren tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian suvei ini dilakukan pada bulan Juni 2016 di Pondok Pesantren Mambaul Hisan
Isyhar Nganjuk. Instrumen yang digunakan yaitu soal tes tulis berupa pilihan ganda yang
berjumlah 53 soal dan angket untuk santri putra dan santri putri yang masing- masing berjumlah
28 dan 36 pernyataan. Sebelum instrumen dibagikan kepada santri, instrumen di validasi
terlebih dahulu. Instrumen ditujukan pada 40 santri putra dan 29 santri putri.
Data yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Data
kuantitatif berupa nilai tes tulis santri. Nilai akhir santri akan di transformasikan ke dalam
bentuk pengukuran ordinal untuk menentukan tingkat pengetahuannya. Berikut ini merupakan
format perhitungan rentangan pengetahuan santri.
Sedangkan data kualitatif yaitu sikap sadar sehat reproduksi akan dianalisis secara
deskriptif menggunakan skala likert. Ada dua jenis pernyataan yaitu pernyataan positif dan
negatif, sedangkan kategori yang digunakan ada lima. Berikut merupakan penilaian dengan
menggunakan skala Likert:
Lima kategori respon dipresentasikan kembali dalam bentuk sebuah tingkatan pengukuran
ordinal. Berikut ini merupakan kategori sikap sadar sehat reproduksi santri.
Berdasarkan hasil validasi ahli, soal tes tulis dan angket dinyatakan valid dengan skor
perolehan rata- rata masing- masing 77,94 dan 83,33. Setelah itu dilakukan penyebaran angket
terhadap 40 santri putra dan 29 santri putri. Berdasarkan hasil survei didapatkan data sebagi
berikut.
Sedangkan sikap sadar sehat reproduksi santri putra dan santri putri dinyatakan baik
dengan skor perolehan rata- rata 3,43 dan 3,72. Sikap sadar sehat reproduksi para santri
memang sudah baik, akan tetapi ada beberapa aspek pengetahuan santri yangmasih kurang.
Pengetahuan santri putra yang masih kurang yaitu keluarga berencana, pencegahan dan
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
256 ISSN: 1978-1520
penanganan infertilitas, pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi, kesehatan ibu dan bayi
baru lahir, pencegahan dan penanggulangan ISR, penanggulangan kesehatan reproduksi usia
lanjut dan NAPZA. Sedangkan pengetahuan santri putri yang masih kurang yaitu pencegahan
dan penanggulangan komplikasi aborsi serta pencegahan dan penanggulangan ISR.
Kurangnya pengetahuan tersebutdikarenakan pendidikan tentang pengetahuan kesehatan
reproduksimasih kurang.Pendidikan memiliki efektivitas yang besar dalam meningkatkan
pengetahuan [10]. Ada faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan pendidikan
kesehatan reproduksi. Faktor pendukung pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren adalah
ketersediaan santri dalam jumlah besar, tingginya komitmen dan tanggung jawab pengasuh
pesantren serta tidak terbatasnya waktu pendampingan kepada para santri. Sedangkan faktor
penghambat pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren antara lain minimnya keterbukaan
yang dimiliki oleh masyarakat pesantren, keterbatasan sarana prasarana penunjang, kurangnya
pemahaman menyangkut teknis kerja sama dalam upaya merealisasikan pelayanan kesehatan
reproduksi dan kurangnya dukungan lembaga yang memiliki keterkaitan dengan pelayanan
kesehatan reproduksi [11].
Sebenarnya Departemen Kesehatan sudah mencanangkan program pemberdayaan
pesantren di bidang kesehatan yang berbentuk Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Salah satu
kegiatan poskestren adalah penyuluhan materi kesehatan termasuk penyuluhan kesehatan
reproduksi. Akan tetapi di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk belum
diprogramkan poskestren. Selain itu penggunaan media elektronik seperti handphone dan
televisi juga di batasi. Televisi hanya dinyalakan seminggu sekali pada hari minggu dan hanya
pengurus pondok pesantren yang diijinkan menggunakan handphone. Koran dan buku terkait
kesehatan reproduksi juga sangat minim.
Pendidikan kesehatan reproduksi memang sudah ada dalam pondok pesantren dengan
model yang cenderung normatif melalui kitab klasik seperti Adabul Marah, Risalatul Mahid,
Kitabun Nikah, Qurratul Uyun, dan lain-lain untuk kepentingan ibadah dan pelaksanaan akhlak
dalam keluarga dan pergaulan, akan tetapi pemahaman tentang konsep keluarga berencana,
pencegahan dan penanganan infertilitas, pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi,
kesehatan ibu dan bayi baru lahir, pencegahan dan penanggulangan ISR, penanggulangan
kespro usia lanjut dan NAPZA belum diberikan. Hal ini menjadi salah satu sebab pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi para santri masih kurang. Selain itu, kurangnya sumber belajar
serta anggapan bahwa membahas kesehatan reproduksi merupakan hal yang tabu juga turut
andil terhadap pengetahuan mereka.
Sikap merupakan hasil dari proses sosialisasi dan interaksi seseorang dengan
lingkungannya, yang merupakan perwujudan dari pikiran, perasaan seseorang serta penilaian
terhadap obyek, yang didasarkan pada pengetahuan, pemahaman, pendapat dan keyakinan dan
gagasan-gagasan terhadap suatu obyek sehingga menghasilkan suatu kecenderungan untuk
bertindak pada suatu obyek. Sikap memiliki 3 komponen yaitu kognitif, afektif dan
kecenderungan tindakan [12]. Ketiga komponen sikap tersebut saling berkaitan. Komponen
kognitif berkaitan dengan penilaian individu terhadap suatu hal. Selanjutnya penilaian akan
mempengaruhi afektif atau sikap dari individu yang bersangkutan. Pada akhirnya, individu akan
melakukan kecenderungan tindakan berdasarkan afektif yang dimiliki.
Pengetahuan kesehatan reproduksi akan mempengaruhi sikap sadar sehat reproduksi [4].
Pengetahuan yang kurang akan berimbas pada sikap sadar sehat reproduksi yang kurang
baik.Santri putra dan putri di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk memiliki
pengetahuan yang masih kurang pada beberapa aspek kesehatan reproduksi akan tetapi santri
tersebut sudah memiliki sikap sehat reproduksi yang baik. Hal ini dikarenakan pengasuh
melakukan pendampingan kepada santri dalam waktu yang tidak terbatas. Walaupun begitu
santri tetap kurang terbuka terhadap pengasuh bila mengalami permasalahan sendiri terkait
kesehatan reproduksinya. sehingga bila para santri mengalami masalah terkait kesehatan
reproduksi, mereka hanya membicarakan antar teman dan mencari solusi yang belum ada
landasan teorinya.
SIMPULAN
Sikap sadar sehat reproduksi santri putra dan santri putri sudah baik. Akan tetapi ada beberapa
aspek pengetahuan yang masih kurang. Pengetahuan santri putra yang masih kurang beserta
skor perolehan rata- ratanya yaitu keluarga berencana (1,63), pencegahan dan penanganan
infertilitas (1,68), pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi (1,6), kesehatan ibu dan bayi
baru lahir (3,38), pencegahan dan penanggulangan ISR (2,63), penanggulangan kesehatan
reproduksi usia lanjut (2,38) dan NAPZA (1,2) masih kurang. Sedangkan pengetahuan santri
putri yang masih kurang beserta skor perolehan rata- ratanya yaitu pencegahan dan
penanggulangan komplikasi aborsi (1,76) serta pencegahan dan penanggulangan ISR (2,89).Hal
yang membuat sikap sadar sehat reproduksi santri baik yaitu pendampingan pengasuh pondok
pesantren kepada santri dalam waktu yang tidak terbatas sedangkan hal yang mempengaruhi
kurangnya pengetahuan santri yaitu kurangnya keterbukaan santri, kurangnya sarana dan
prasarana penunjang serta dukungan lembaga yang memiliki keterkaitan dengan pelayanan
kesehatan reproduksi.
SARAN
Sikap sadar sehat reproduksi santri di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk
sudah baik, akan tetapi pengetahuan kesehatan reproduksi santri pada beberapa aspek masih
kurang. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan santri tentang
kesehatan reproduksi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pondok Pesantren Mambaul Hisan Isyhar Nganjuk
atas kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian survei ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Halima, S., Rahman, M. A.., Riskiyani, S., 2014, Persepsi Remaja tentang Kresehatan
Reproduksi di Pondok Pesantren Manahilil Ulum Hidayiah Kaballangang Kabupaten
Pinrang,Jurnal AKK, Vol. 3 No.1 , Januari 2014, hal 41- 47.
[2] Fitriyah, N., Indriani, D., dan Sulistyorini, Y., 2013, Riwayat Kesehatan Reproduksi
Remaja santri. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 2, No. 2 Desember 2013: 182
192.
[3] Pranata, dkk., 2013, Pesantren dan Upaya Pendidikan Kesehatan Reproduksi terhadap
Kecenderungan Perilaku Seksual Remaja,Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 16 No.
3 Juli 2013: 313- 320
[4] Mairo, Q. K. N., Rahayuningsih, S. E., dan Purwara, B. H., 2015, Kesehatan Reproduksi
Remaja Putri di Pondok Pesantren Sidoarjo Jawa Timur,MKB, Vol. 47 No. 2, Juni 2015
[5] Sudirman, R. M., 2014, Peran Teman Sebaya dan Paparan Media Pornografi terhadap
Perilaku Seksual Remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Tunas Bangsa Kabupaten
Subang, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
[6] Hanim, D., Santoso, Diffah, 2013, Modul Field Lab Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)
Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas, Solo.
[7] Kementrian Kesehatan RI,_, Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja, Infodatin Pusat data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, ISSN 2442-7659
Abstrak
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan yang dilakukan mengikuti
metode penelitian pengembangan yang terdiri dari sepuluh tahap Borg & Gall, 1983. Hasil
penelitian ini merupakan hasil uji lapang, yaitu implementasi perangkat perkuliahan yang teruji
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 261
valid pada mahasiswa jurusan Biologi semester 4 program studi biologi angkatan 2014/2015
yang memprogram mata kuliah Anatomi Tumbuhan sejumlah 95 mahasiswa, yang terbagi ke
dalam 3 kelas.
Data yang dikumpulkan adalah hasil belajar yang tertuang dalam laporan proyek
mahasiswa di tiap topik.Aspek-aspek keterampilan penyelesaian masalah yang ditetapkan
diukur berdasarkan rubrik penilaian. Hasil pengukuran tersebut menjadi acuan untuk
menentukan ketercapaian indikator keberhasilan belajar di tiap keterampilan penyelesaian
masalah, sehingga hasilnya dinyatakan dalam proporsi capaian indikator penyelesaian masalah.
Penelitian ini dilakukan dengan mengimplementasikan suatu pola perkuliahan berbasis
penyelesaian masalah, yang dikemas melalui penyajian dan menganalisis masalah-masalah
nyata terkait konsep jaringan tumbuhan, struktur perkembangan batang dan akar yang dikaji
secara anatomis. Penelitian ini dilakukan selama 9 kali pertemuan (9 minggu), dengan waktu
perkuliah 250 menit per minggu.
Melatihkan keterampilan berpikir menyelesaian masalah dilakukan pada topik sel dan
jaringan, struktur anatomi batang dan struktur anatomi akar. Proses perkuliahan di tiap topik
diakhiri dengan aktifitas praktikum yang merupakan tugas proyek. Melalui proyek ini
mahasiswa secara berkelompok merumuskan permasalahan untuk melakukan kajian fenomena
anatomi tumbuhan terkait dengan kondisi dan permasalahan lingkungan. Diakhir proyek setiap
mahasiswa diminta menyusun laporan hasil, yang selanjutnya dinilai dengan mengacu pada
rubrik penilaian untuk dideskripsikan penguasaan keterampilan berpikirnya.
Capaian hasil yang diperoleh dinyatakan dalam proporsi capai tiap indikator keterampilan
berpikir yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut.
Keterampilan berpikir penyelesaian masalah yang dicapai dan dinyatakan sebagai capaian
proporsi indikator memiliki makna yang dapat dideskripsikan seperti pada Tabel 2 berikut.
Penguasaan keterampilan berpikir selama proses perkuliahan yang secara berurutan
dilatihkan pada topik jaringan, batang dan akar diperoleh peningkatan pada topik yang terakhir.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa intensitas latihan berperan dalam perolehan
keterampilan berpikir.
Berpijak pada teori kognitif-sosial, bahwa belajar adalah pemodelan, penguatan pada
model dan pemprosesan kognitif terhadap pemodelan [14], maka pemberian latihan yang
berulang dari topik jaringan, batang, dan akar dapat dipandang sebagai pemodelan dalam
mempelajari fenomena anatomi tumbuhan. Dimungkinkan mahasiswa mengevaluasi dan
mengapresiasi langkah-langkah penyelesaian masalah untuk dapat merencanakan bagaimana
mempelajari fenomena anatomi tumbuhan melalui penyelesaian masalah melalui konteks materi
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
262 ISSN: 1978-1520
yang relevan [10]. Pemodelan memungkinkan munculnya ide-ide dan pengembangan konsep
yang dipelajari. Hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu ditambahkan pada strategi
pembelajaran penyelesaian masalah yang lebih ditandai oleh pengulangan konsep daripada
pemunculan ide atau konsep baru [15].
Hasil berupa keterampilan tersebut diperoleh secara berurutan pada topik sel dan jaringan,
topik batang, topik akar dan diakhiri pada topik daun. Hasil belajar berupa keterampilan yang
diperoleh pada topik terakhir yaitu akar menunjukkan hasil yang lebih tinggi, seperti
ditampilkan pada Gambar 1.
Hal tersebut menunjukkan bahwa proses belajar terjadi secara berjenjang yang relevan
dengan Konsep zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Penyajian
fenomena didasarkan pada konsep zona perkembangan proksimal, yaitu bahwa proses belajar
akan terjadi untuk memperoleh tingkat kognitif lebih tinggi bila apa yang dipelajari satu
tingkat lebih tinggi tingkatan kognitifnya dan dekat dengan siswa [14].
Mengacu pada hasil yang digambarkan melalui Tabel 1 dan Gambar 1, proporsi capaian
hasil belajar keterampilan berpikir penyelesaian masalah rata-rata mencapai proporsi tertinggi
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 263
pada topik akar. Indikator penyelesaian masalah terkait keterampilan menyajikan data
proporsi capaian tertinggi pada topik batang, demikian juga untuk keterampilan berpikir
mengidentifikasi dan mendefinisikan variabel tergantung. Fenomena hasil lain diperoleh pada
keterampilan berpikir penyelesaian masalah terkait dengan merumuskan hipotesis,
mengidentifikasi dan mendefinisikan variabel bebas, tergantung dan kontrol memperoleh
capaian proporsi yang lebih rendah dibanding keterampilan berpikir yang lain. Hasil tersebut
sangat dipengaruhi oleh karakteristik perkuliahan Anatomi Tumbuhan.
Karakteristik perkuliahan anatomi tumbuhan pada penelitian ini adalah mengekplorasi
fenomena struktur anatomi tumbuhan Angiospermae terkait fungsi dan kondisi yang
mempengaruhinya, sehingga penyelesaian masalah yang dilakukan merupakan eksplorasi untuk
menjawab berbagai masalah yang muncul. Hal tersebut merupakan proses inquiri, sebagai cara
belajar tentang belajar dan sebagai pendekatan konstruktivis kognitif [16]. Tugas yang diberikan
dirancang dalam struktur yang kompleks untuk merumuskan masalah beserta pemecahannnya
[17]. Namun demikian aktifitas penyelesaian masalah bukan merupakan eksperimen, sehingga
faktor atau variabel dalam melakukan eksplorasi bukanlah faktor atau variabel kontrol, bebas
maupun hasil seperti halnya pada eksperimen, melainkan faktor atau variabel dalam eksplorasi
terkait pengambilan sampel yang representatif. Hal tersebut memunculkan kerancuan sehingga
capaian proporsi hasil belajarnya masih kurang dibandingkan dengan keterampilan yang lain.
Secara keseluruhan dapat dibuat sebuah pola pengelolaan perkuliahan yang mampu
melatihkan keterampilan berpikir penyelesaian masalah secara alami terkait dengan topik-topik
perkuliahan Anatomi Tumbuhan. Pola perkuliahan yang diterapkan dapat dibedakan menjadi
dua tahap. Tahap pertama adalah pembekalan konsep-konsep dasar pada topik jaringan, batang
dan akar. Kajian konsep-konsep dasar tersebut tidak dirancang melalui pembekalan konsep yang
informatif, melainkan selalu diawali dengan merumuskan permasalahan yang dilanjutkan
dengan eksplorasi untuk menjawab permasalahan dan bermuara pada diperolehnya konsep-
konsep dasar tersebut. Tahap kedua adalah mengkaji konsep-konsep anatomi tumbuhan
didasarkan pada permasalahan yang dirumuskan dari berbagai hasil penelitian yang relevan.
Kajian permasalahan ini mengkaitkan konsep anatomi tumbuhan dengan berbagai faktor atau
kondisi lingkungan yang sangat nyata, sehingga keterampilan berpikir penyelesaian masalah
dalam dilatihkan dalam konteks yang nyata. Berikut ini akan disajikan pengelolaan materi
dalam menyajikan tiap sub topik perkuliahan (Tabel 3).
SIMPULAN
1. Pemberian latihan dan modeling yang berulang dapat meningkatkan capaian proporsi
hasil belajar keterampilan penyelesaian masalah.
2. Keterampilan penyelesaian masalah yang capaian proporsinya tergolong rendah di tiap
topik adalah merumuskan hipotesis, mengidentifikasi dan mendefinisikan variabel
tergantung, dan merumuskan kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
[1] Wang, Yingxu. & Vincent Chiew. (2010). On the cognitive process of human problem
solving. Cognitive Systems Research 11: 8192.
[2] Anderson & Krathwohl. (2001). A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview. Tersedia
di http:// www.unco.edu/cetl/sir/stating_outcome/documents/Krathwohl.pdf. [Diakses 3
September 2012].
[3] Airey, J., & Linder, Cedric, (2009). A disciplinary discourse perspective on university
science learning: Achieving fluency in a critical constellation of modes. Journal of
Research in Science Teaching. 46 (1), 27-49.
[4] Alberts, B.( 2009a). Making a Science of Education. Science 323: 15.
[5] Alberts, B. (2009b). Restoring science to science education. Issues Sci. Tech. 7784.
[6] Bao, Lei., et al. (2009). Learning and scientific reasoning. Science 323: 586587.
[7] Brickman, P., Gormally, C., Armstrong, N., and Hallar, B. (2009). Effects of inquiry-based
learning on students science literacy skills and confidence.
[8] Paul, Richard and Elder, Linda. (2007). The Thinkers Guide: A Glossary of Critical
Thinking Terms and Concepts, The Foundation for Critical Thinking.
www.criticalthinking.org. [Diakses 2 Januari 2014].
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 265
[ 9 ] S c r i v e n , M . & P a u l , R . ( 2 0 1 0 ) D e n i n g C r i t i c a l T h i n k i n g , Foundation
for Critical Thinking . Tersedia: http://www.criticalthinking.org/aboutCT/. [diakses 5
Desember 2013].
[10] Henderson, M., Sallie Lee, Gordon Whitaker, Lydian Altman. (2011). Positive Problem-
Solving: How Appreciative Inquiry Works. Strategies and Solutions for Local
Government Managers. Vol 43(3).
[11] Pratiwi, R. (2014). Profil Keterampilan Berpikir Pemecahan Masalah Mahasiswa pada
Mata Kuliah Morfologi Tumbuhan. Proseding Seminar Nasional Biologi 2014. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
[12] Pratiwi, R. (2013). Profil Keterampilan Berpikir Pemecahan Masalah Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Biologi yang Memprogram Biologi Umum. Proseding Seminar Nasional
Sains 2013. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
[13] Pratiwi, R. (2015). Profil Hasil Belajar Mahasiswa pada Topik Sel dan Jaringan Tumbuhan
yang Mengimplementasi Bahan Perkuliahan Berbasis Penyelesaian Masalah. Proseding
Seminar Nasional IPA VI 2015. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
[14] Moreno, R., (2010). Educational Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc.
[15] Yew, E. H. J. & Schmidt, H. G. (2008). Evidence for constructive, self-regulatory, and
collaborative processes in problem-based learning. Advances in Health Sciences Education.
14(2), 251273.
[16] Schmidt, H. G., Rotgans, J. I &, Elaine HJ., Yew, (2011 a). The process of problem-
based le,arning: what works and why. Medical Education. (2011). 45: 792806
[17] Mergendoller, Markham, Ravitz, & Larmer. (2006). Pervasive management of project
based learning. Pervasive management of project based learning. Tersedia:
http://www.bie.org/research/study/pervasive_management_of_project_based_learning.
[Diakses 5 Nopember 2013].
Abstrak
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan terdahulu, maka
penelitian yang akan dilakukan ini tergolong penelitian pengembangan Borg & Gall 1983 [5].
Tahapan penelitian yang dilakukan ini merupakan tahap pertama dari dua tahap yang
direncanakan.
discolor, dan buah mengkudu. Konsep senyawa ergastik dikaji pada spesimen buah jagung,
padi, kacang hijau, daun begonia. Konsep dinding primer dan sekunder dikaji pada endokarp
kelapa. Konsep aerenkim, sklerenkim, epidermis beserta derivatnya banyak dikaji melalui
beragam spesimen tangkai daun eceng gondok, daun waru, daun sukun, daun nangka, vernonia,
Mirabilis jalapa, Bougenvile, Cucurbitaceae. Proporsi capaian kurang dari 0,6 tampak pada
konsep berkas pembuluh, yang hanya dikaji dari spesimen batang Mirabilis jalapa saja,
demikian juga kajian tentang noktah hanya mengacu pada fakta pada endokarp kelapa saja.
Perolehan konsep yang kurang baik terkait berkas pembuluh mempengaruhi kemampuan
mahasiswa mengidentifikasi dan mendeskripsikan berkas pembuluh pada organ batang dan
akar, meskipun spesimen yang dipilih oleh mahasiswa cukup beragam. Hal yang berlawanan
tampak pada penguasan konsep yang baik terkait konsep plastida, senyawa ergastik dan
epidermis pada topik sel dan jaringan, maka penguasaan konsep tersebut dan kemampuan
mahasiswa mengidentifikasi, mendeskripsikan derivat epidermis di daun juga baik.
Penguasaan konsep yang baik terkait dengan banyaknya fakta yang dikaji, yang berarti
untuk menguasai suatu konsep diperlukan banyak elaborasi dari banyak fakta. Fakta-fakta
tersebut sangat bermakna karena mahasiswa mengkaji fenomena dan merumuskan
permasalahan pada tingkat kognisi yang sedikit lebih tinggi dari tingkat kognisi yang dimiliki,
dan hal tersebut dilakukan melalui diskusi dengan teman-teman sebaya dalam kelompok, sesuai
dengan konsep zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)[6].
Perkuliahan yang dilaksanakan dibangun dari permasalahan yang diangkat sendiri oleh
mahasiswa berdasarkan arahan permasalahan yang disajikan oleh dosen, sehingga dapat
membangun keterkaitan antara lingkungan siswa, keyakinan pribadi dan perilaku siswa sesuai
denga Konsep Reciprocal Causation[6].
hal tersebut terjadi karena mahasiswa belum mampu menerapkan pengetahuan tentang strategi
belajar penyelesaian masalah yang efektif, serta tahu bagaimana dan kapan menerapkan hal-hal
yang berhasil diapresiasi.
SIMPULAN
Perangkat perkuliahan yang dikembangkan tergolong layak untuk digunakan: termasuk kategori
sangat valid. Namun, perangkat dapat dikatakan kurang efektiv ditunjang dari profil capaian
hasil belajar berupa konsep anatomi tumbuhan tergolong rendah (persentase jumlah indikator
dengan capaian proporsi 0,6 rata-rata dibawah 50%). Efektivitas perangkat perkuliahan untuk
melatihkan keterampilan penyelesaian masalah dapat dikatakan baik, ditunjukkan melalui
peningkatan yang capaian proporsi di akhir perkuliahan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Permendiknas. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 70 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
272 ISSN: 1978-1520
[2] Pratiwi, Rinie. 2013. Profil Keterampilan Berpikir Pemecahan Masalah Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Biologi yang Memprogram Biologi Umum. Proseding Seminar Nasional
Sains 2013. Universitas Negeri Semarang, April, 2013.
[3] Anderson & Krathwohl. 2001. A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview. Tersedia
di http:// www.unco.edu/cetl/sir/stating_outcome/documents/Krathwohl.pdf. [Diakses 3
September 2012].
[4] Henderson, Margaret, Sallie Lee, Gordon Whitaker, Lydian Altman. 2011. Positive
Problem-Solving: How Appreciative Inquiry Works. Strategies and Solutions for Local
Government Managers. (2011). VOLUME 43/NUMBER 3.
[5] Borg and Gall (1983). Educational Research, An Introduction. New York: Longman. Inc
[6] Moreno, R., 2010. Educational Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc
[7] Slavin, Robert. E. 2006. Educational Psycologies, Theories and Practice. New York:
Pearson Education, Inc
[8] Paul, R and Linda E. 2007. The Thinkers Guide: A Glossary of Critical Thinking Terms
and Concepts, Foundation for Critical Thinking, Dillon Beach, CA.
[9] Yew, E. H. J., & Schmidt, H. G. 2008. Evidence for constructive, self-regulatory, and
collaborative processes in problem-based learning. Advances in Health Sciences Education,
14(2), 251273
Pembentukan Karakter dan Hasil Belajar Afektif Siswa SMK Negeri 13 Kota
Malang
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisis pembinaan dan pembentukan karakter siswa (taruna)
jurusan nautika serta hasil belajar afektif siswa di SMK Negeri 13 Malang. Perangkat yang
dikembangkan adalah angket respon sekolah terhadap pembinaan karakter dan instrumen
wawancara. Penelitian menggunakan dilakukan secara deskriptif, untuk mengungkap respon
sekolah terhadap pembinaan dan pembentukan karakter siswa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa respon sekolah (KS dan GPE) termasuk dalam kategori sangat baik dengan perolehan
nilai 100% dan GP termasuk dalam kategori baik dengan perolehan nilai 80%. Dengan
demikian sekolah memberi respon positif terhadap kegiatan ini, sehingga program ini wajib
digunakan di setiap tahun pelajaran. Data hasil belajar afektif siswa nilai ketarunaan kelas X
dengan jumlah siswa 22 orang memiliki tingkatan akademik yaitu 13,63% termasuk dalam
kategori memuaskan, 31,82% termasuk dalam kategori sangat baik dan 54,54% termasuk
dalam kategori baik. Dengan demikian respon siswa siswa terhadap pembinaan karakter
sangat positif.
PENDAHULUAN
menanamkan nilai karakter pada setiap mata pelajaran, akan tetapi bukan saja disetiap mata
pelajaran tetapi dijadikan sebagai bahan dalam pembinaan ekstrakurikuler. Di tahun 2045
Indonesia telah mendapatkan dan menghasilkan generasi emas bangsa yang memiliki sikap,
perilaku, karakter dan jiwa kepemimpinan yang baik [2]. Pendidikan karakter merupakan upaya
untuk mempersiapkan individu untuk beretiket, menilai diri sendiri dan bertindak untuk
melakukan apa harus dilakukan terhadap orang lain [3].
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperkuat sumberdaya manusia dalam dunia
pendidikan ditempuh dengan melakukan dinamisasi kurikulum. Pemerintah melalui
kementerian pendidikan nasional melakukan perubahan kurikulum dari kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013 (K-13). Dalam kurikulum K-13, model
kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan kompetensi berupa religius, sikap,
pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik yang dikemas dalam
berbagai mata pelajaran. Salah satu tujuan implementasi kurikulum 2013 adalah untuk
mengembangkan pendidikan karakter bagi siswa sejak level pendidikan dasar.
Karakter adalah karakteristik khusus yang dimiliki oleh seseorang, suatu keluarga, atau
komunitas tertentu [4]. Karakter cenderung stabil dan konsisten dalam diri seseorang, karena
telah terbentuk sejak masa kecil, pada saat seseorang menginternalisasi nilai-nilai hidup dari
lingkungannya. Karakter menunjukkan jati diri seseorang. Dalam konsep pendidikan karakter
diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik antara berbagai pihak. Keluarga, lingkungan
sekolah, dan masyarakat memberikan sumbangsih yang utama dalam pembentukan karakter
seseorang. Meskipun penanaman nilai-nilai karakter telah dilakukan di dalam keluarga, disertai
dengan penguatan yang mendalam melalui jalur pendidikan non formal melalui lembaga-
lembaga agama, namun sekolah tetap merupakan bagian terpenting dalam mendorong
pembentukan karakter seseorang.
Pembelajaran pada setiap mata pelajaran pada setiap jenjang pendidikan telah menanamkan
nilai karakter untuk membentuk manusia untuk lebih disiplin, bekerja keras dan tangguh dalam
menghadapi persoalan yang dialaminya. Pendidikan karakter diterapkan bertujuan untuk
mengatasi kemerosotan moral dan etika di kalangan peserta didik, Merosotnya sikap sopan
santun dan perilaku lainnya menunjukan pada rendahnya akhlak menjadi tangung jawab
bersama. Oleh karena itu sekolah sebagai lembaga formal yang mencetak para peserta didik
menjadi orang-orang yang berakhlak dan berkarakter tetap senantiasa menanamkan budaya
disiplin sejak dini agar mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat yang berbudaya.
Pembangunan karakter dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan dan hasil pendidikan sekolah
yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
keseluruhan, terpadu, dan seimbang, serta standar kompetensi yang sesuai [5]. Melalui
pengembangan karakter, harapkan peserta didik mampu meningkatkan dan menggunakan
pengetahuan independen, untuk mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
SMKN 13 Kota Malang hadir sebagai penyelenggara pendidikan sebagai sekolah yang
berbasis pada penanaman nilai karakter bagi siswanya, berupa pelaksanakan pelatihan baris-
berbaris, aspek-aspek bela negara, kedisiplinan taruna, dan kepemimpinan. Proses ini dilaksakan
oleh pihak sekolah selama bertahun-tahun bekerja sama dengan pihak TNI AL Kota Malang
dalam pembinaan karakter dan kedisiplinan bagi para peserta didik (taruna). Pembinaan
karakter di SMKN 13 Kota Malang merupakan kegiatan ekstrakurikuler dan merupakan sesuatu
yang wajib dilaksanakan oleh para tarunanya. Oleh karena itu dari aspek diatas dapat
membentuk pola pengetahuan yang baik dan menghasilkan hasil belajar kognitif, afektif dan
psikomotorik yang baik. Setiap orang yang memiliki karakter moral dan kepribadian yang baik
berakibat pada hasil belajar yang baik dan pola belajar yang linear.
Hasil belajar selalu dihubungkan dengan pelaksanaan suatu kegiatan atau aktivitas. Hasil
belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar
merupakan proses, sedangkan hasil belajar merupakan output dari proses belajar. Penguasaan
pengetahuan dan keterampilan siswa didapat dari mata pelajaran kejuruan yang diperoleh siswa
sebagai hasil proses belajar. Hasil yang dicapai oleh siswa biasanya dinyatakan dalam bentuk
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
IJCCS ISSN: 1978-1520 275
angka yang dituangkan dalam lembaran hasil belajar. Nilai hasil belajar dapat menunjukkan
tinggi rendahnya penguasaan pengetahuan dan keterampilan siswa.Adanya kondisi di atas
menunjukkan bahwa penerapan pendidikan karakter di Sekolah Menengah Kejuruan sangat
diperlukan dan dilaksanakan, karena dengan pendidikan karakter di sekolah akan membentuk
karakter baru siswa sesuai dengan karakter yang diinginkan. Kesesuaian pendidikan karakter
sangat berkaitan dengan keberhasilan dan hasil belajar siswa tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang
didukung dengan analisis kuantitatif. Penentuan subjek penelitian dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling, dengan kriteria orang-orang yang mengetahui,
berpengalaman, dan dapat memberikan informasi mengenai penanaman nilai-nilai karakter
sekaligus sebagai pelaku pendidikan di SMKN 13 Kota Malang, yakni kepala sekolah, wakil
kepala sekolah urusan kurikulum, pembina ekstrakurikuluer terdiri dari guru dan anggota TNI
AL Kota Malang (Instruktur), dan siswa kelas X jurusan nautika SMKN 13 Kota Malang.
Penelitian ini dilakukan pada awal bulan Mei hingga akhir Juni 2016. Peneliti menggunakan
beberapa teknik untuk mengumpulkan data, yaitu observasi partisipatif, wawancara (interview),
dan dokumentasi. Data yang sudah terkumpul kemudian diperiksa keabsahannya agar diperoleh
data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan teknik triangulasi. Adapun teknik
analisis datanya adalah teknik analisis induktif dengan langkah-langkah reduksi data,
kategorisasi data, display data, dan pengambilan kesimpulan.
unggulan sesuai bakat dan minat, dan d) menyiapkan taruna agar menjadi warga masyarakat
yang berakhlak mulia, demokrasi, menghormati hak-hak asasi manusia dalam rangka
mewujudkan masyarkat madani (civil society).Ketiga, materi pembinaan ketarunaan SMKN 13
Malang yang mengacu pada Permendiknas No 39 tahun 2008 mencakup. a) pembinaan
ketagwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, b) pembinaan budi luhur atau akhlak mulia, c)
pembinaan kepribadian unggul, wawasan kebangsaan, dan bela negara, d) pembinaan prestasi
akademik, seni, dan/atau olah raga sesuai bakat dan minat, e) pembinaan demokrasi, hak asasi
manusia, pendidikan politik, lingkungan hidup, kepekaan dan toleransi sosial dalam kontek
masyarakat plural, f) pembinaan kreativitas keterampilaan dan kewirausahaan. g) pembinaan
kualitas jasmani, kesehatan dan gizi berbasis sumber gizi yang terdiversifikasi, h) pembinaan
sastra dan budaya, i) pembinaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), j) pembinaan
komunikasi dalam bahasa inggris.
Pada tahapan ini penelitian dilaksanakan pada pihak sekolah diantaranya Kepala Sekolah,
Guru Pembina Ekstrakurikuler dan Guru Pelaksana (TNI AL) dan hasil respon sekolah untuk
kegiatan ini ditunjukan pada Gambar 1.
KS GPE GP
100
50
0
Sangat Baik Baik Cukup Kurang
Ketegori Keberhasilan
Berdasarkan data di atas KS dan GPE termasuk dalam kategori sangat baik dengan
perolehan nilai 100%, dan GP termasuk dalam kategori baik dengan perolehan nilai 80%. Hal
ini menunjukan bahwa komponen penyelenggara kegiatan pembinaan karekter (Kepala Sekolah,
Guru pembina ekstrakulikuler, dan guru pembina (STAF TNI AL) meresponi kegiatan ini
dengan sangat baik. Oleh karena itu program ini dilaksanakan secara terus menerus dalam setiap
tahun pelajaran.
Penilaian dilakukan pada 22 orang jurusan nautika kelas X dan respon siswa terhadap kegiatan
ini dapat ditujukan pada Gambar 2.
60
50
Presentase 40 Ket
30 54,54 E
20 31,81
10 13,63 D
0
B
B+
A
Kategori Karakter
Gambar 2. menunjukkan bahwa nilai ketarunaan kelas X dengan jumlah siswa 22 orang
miliki tingkatan akademik sebagai berikut, 13,63% termasuk dalam kategori memuaskan,
31,82% termasuk dalam kategori sangat baik dan 54,54% orang termasuk dalam kategori baik.
Sementara kategori cukup dan kurang baik tidak ada. Oleh karena itu secara keseluruhan hasil
belajar siswa yang dilihat hasil belajar afektif siswa menunjukan bahwa nilai karakter siswa
berada katagori baik. Dengan demikian program ini dapat dijalankan kepada siswa secara terus
menerus disetiap tahun pelajaran.
Pertama, Respons sekolah terhadap pelaksanaan program pembinaan karakter bagi para
peserta didik (Taruna) dalam pembinaan karakter siswa itu sangat penting, karena tanpa peran
dan upaya pihak sekolah, program yang direncanakan tidak dapat berjalan dengan baik. SMKN
13 Kota Malang memiliki kriteria khusus terhadap tampilan diri siswa yang berupa
pelaksanakan pelatihan baris-berbaris, aspek-aspek bela negara, kedisiplinan taruna, dan
kepemimpinan. Ketentuan terhadap tampilan diri siswa dimaksudkan untuk mendisiplinkan
siswa baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Peraturan sekolah yang serupa dengan
peraturan di dunia kerja apalagi SMK menyiapkan para lulusan untuk mampu bekerja di dunia
industri. Hal ini bertujuan untuk pembiasaan awal siswa sebelum terjun ke dunia kerja. Temuan
penelitian di atas selaras dengan pendapat Lickona (2012) yang menyatakan hasil disiplin
memang menyakitkan dalam jangka pendek tetapi menguntungkan dalam jangka panjang.
Dengan disiplin, anak mempunyai patokan dalam berperilaku. Oleh karena itu guru sebagai
staf pengajar, guru juga memiliki fungsi utama di sekolah yaitu melakukan bimbingan dan
melaksanakan program yang dijalankan oleh pihak sekolah, selain itu kepala sekolah harus
bertanggungjawab terhadap program yang dilaksanakan (Taub, 2015).
Kedua, Nilai rata-rata ketarunaan hasil belajar afektif kelas X Jurusan Nautika katogori
baik, Hal ini menunjukan bahwa secara karakter prestasi akademik dalam ketarunaan sangat
luar biasa, dimana nilai ketarunaan merupakan nilai yang diprioritaskan untuk siswa bisa lulus
dan berhasil untuk masuk pada tingkatan berikutnya atau sebagai prasyarat masuk ke jenjang
kelas XI. Apabila nilai karakter ketarunaan tidak menunjukan hasil yang signifikan, siswa
tersebut tidak diperkenankan masuk dalam jenjang berikutnya atau tinggal di kelas X. Ini
merupakan salah satu strategi untuk memacu siswa dalam belajar dan bekerja keras agar
mendapatkan hasil yang baik.
Pendidikan karakter merupakan wujud dari sikap dan mental yang dimiliki seorang siswa
oleh karena itu dari kurikulum 1994 hingga kurikulum 2013 pendidikan karakter tetap
ditanamkan. Dilihat dari analisis situasi bangsa dengan nilai karakter moral yang berada pada
ujung tanduk, misalnya pertikaian antar pelajar, terlibat dalam NARKOBA, pembunuhan di
mana-mana, berbagai kasus kekerasan antar siswa, seks bebas dan lain-lain. Oleh karena itu
pendidikan karakter sejak bangku sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah atas/kejuruan
tetap dilaksanakan agar dapat berakar dan bertumbuh dengan baik dalam diri peserta didik. Hal
ini diperkuat dengan pendapat Rukiyatim (2013) menyatakan bahwa pendidikan karakter
holistik dapat diartikan sebagai upaya memperkenalkan dan menginternalisasikan nilai-nilai
kehidupan yang dapat menjadikan peserta didik menjadi manusia yang utuh (a whole human
being). Selain itu Hambali, (2015) menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan
pembinaan mental dan sikap untuk menghasilkan masyarakat pendidikan yang cerdas dan
berkarakter agar memperkuat indentitas dirinya.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
[4] Fahmy, R., Bachtiar, N., Rahim, R., Malik, M. 2015. Measuring Student Perceptions to Personal
Characters Building in Education: An Indonesian Case in Implementing New Curriculum in High
School. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 211: 851-858.
Fessler, 2011. A Vision of Learning: Creating a 21st Century Education for Oak Lawn-Hometown
District 123 students.
Greenstein, Laura. Assessing 21st Century Skills. 2012. USA: Corwin A Sage Company.
Hambali, 2015. Students Reaction Towards Nation Characters Education and the Impacts on the Practice
of Nationalist Characters. Journal of Applied Sciences, 15 (9): 1167-1175.
[3] Howard, R. W., Berkowitz. M.W & Schaeffer. Politics of Character Education. Educational Policy.
18 (1): 188-125.
Kemendikbud. (2013). Informasi Kurikulum untuk Masyarakat. Jakarta.
Lickona, Thomas. 2012. Character Matter, Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang
Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya. Jakarta: Bumi Aksara.
[5] Nurhasanah & Nida, Q. 2016. Character building of students by guidance Teachers Through Guidance
and Counseling. International Multidisciplinary Journal. 4 (1): 65-76.
[2] Rokhman, F., Hum, M., Syaifudin, A., Yuliati. 2013. Character Education For Golden Generation
2045 (National Character Building for Indonesian Golden Years). Procedia-Social and Behavioral
Sciences. 141: 1161 1165
Rukiyanti, 2013. Urgensi Pendidikan Karakter Holistik Komprehensif di Indonesia. Jurnal Pendidikan
Karakter, 3 (2): 196-203.
[1] Supriyadi, E. 2011. Pendidikan dan Penilaian Karakter di Sekolah Menengah Kejuruan. Cakrawala
Pendidikan, 30: 110-123.
Tabub, R. 2015. A New Educational Reform in Israeli High Schools Affecting Teachers' Motivation and
Perception of the Teaching Profession. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 209: 503 508.
Dwi Setyawan
Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas No.246 Malang 65144
email: dwis091187@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untukmeningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar
mahasiswa setelah diterapkan model pembelajaran PjBL dengan tugas Analisis Kritis Artikel
(AKAR) dan menganalisis peningkatan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar mahasiswa
setelah diterapkan model pembelajaran PjBL dengan tugas Analisis Kritis Artikel (AKAR)
mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang. Jenis penelitian ini
merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Pendekatan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus tindakan, setiap siklus terdiri
atas 3 kali pertemuan selama 2 jam pelajaran (2x50 menit). Setiap siklus tindakan yang
dilaksanakan terdiri atas empat tahapan. Pada penelitian ini di masing-masing pertemuan baik
untuk siklus I maupun siklus II dilaksanakan dengan Lesson Study (LS) yaitu memenuhi 3
tahapan Plan, Do, dan See.
PENDAHULUAN
Aktif dalam pembelajaran merupakan proses keterlibatan secara langsung yang timbul
karena perubahan pengalaman, kreasi pengetahuan melalui pengelolahan informasi, dan
perubahan prilaku belajar. Untuk mewujudkannya pendidik mengupayakan pembelajaran yang
bermakna. Kebermaknaan akan memberikan kesan mendalam sehingga pengalaman belajar
mahasiswa tidak mudah hilang karena tersimpan di memori dalam waktu yang lama.
Sebagaimana disebutkan oleh Johnson, ketika mahasiswa mempelajari sesuatu dan dapat
menemukan makna, maka makna tersebut akan memberi mereka alasan untuk belajar [1].
Permasalahan yang muncul adalah mahasiswa kesulitan untuk memahami konsep
akademik karena mereka diajari dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dengan metode
ceramah. Pemahaman konsep akademik dan kebermaknaan dalam proses belajar secara
langsung dapat menunjang kehidupannya saat ini dan dimasa yang akan datang (life skill), hal
tersebut bisa dilakukan melalui pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning
(PjBL).Aktivitas pembelajaran berbasis proyek memberikan kesempatan aktifitas yang
membangun pengamatan akan mengungkapkan ide-ide, kritis, merencanakan memperoleh
pengetahuan, memproses secara bermakna, dan menyimpulkannya hingga saling tukar
informasi [2]. Pembelajaran PjBL secara umum memiliki pedoman langkah: planning
(perencanaan), creating (mencipta atau implementasi), dan processing (pengolahan) [3].
Pengalaman sehari-hari yang diperolah mahasiswa dalam proses belajar biasanya
memunculkan sikap kritis, sehingga mahasiswa secara teori dan aplikasi seharusnya berubah
kearah lebih baik. Namun, permasalahannya adalah mahasiswa kurang didorong untuk
mengaplikasikan kemampuan berpikir kritis dan pengalaman secara langsung dalam proses
pembelajaran. Strategi pendukung untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis
seharusnya diberikan melalui tugas yang sengaja dilakukan mahasiswa secara aktif, sistematis,
mengikuti prinsip logika, dan mempertimbangkan sudut pandang serta mengevaliasi informasi
yaitu dengan Analisis Kritis Artikel (AKAR). Berpikir kritis merupakan proses mental untuk
menganalisis informasi yang diperoleh. Informasi tersebut didapatkan melalui pengamatan,
pengalaman, komunikasi, atau membaca [4].
Fokus dari PjBL terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin
studi, melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas
bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom untuk mengkonstruk
pengetahuan mereka sendiri, dan mengkulminasikannya dalam produk nyata. PjBL merupakan
sebuah pembelajaran inovatif yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan
yang kompleks yang bertujuan melatih pesrta didik dalam berpikir kritis, kreatif, rasional dan
meningkatkan pemahaman materi yang diajarkan serta memberi pengalaman nyata terhadap
pesrta didik [5].
Penerapan Project Based Learning (PjBL) dengan tugas Analisis Kritis Artikel (AKAR)
pada penelitian ini dilakukan dengan Lesson Study diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar sebagaimana permasalahan yang diutarakan sebelumnya. Lesson
Study merupakan model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara
kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kelegalitasan untuk membangun
komunikasi belajar [6]. Ada 3 tahap utama Lesson Study yaitu: 1) perencanaan (Plan), 2)
pelaksanaan (Do), 3) melihat kembali/ Refleksi (See) [7]. Ketiga tahapan tersebut dilakukan
secara berulang dan terusmenerus (siklus). Proses sistematis itu adalah kerja Dosen model
secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana [8].
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif dipilih untuk mendapatkan gambaran-gambaran mengenai tingkah laku subjek
penelitian selama proses pembelajaran dengan pemberian suatu tindakan [9]. Jenis penelitian ini
merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau class action research berbasis Lesson Study.
Pada penelitian ini di masing-masing pertemuan baik untuk siklus I maupun siklus II
dilaksanakan dengan Lesson Study (LS) yaitu memenuhi 3 tahapan Plan, Do, dan See.
Kombinasi PTK dan LS sebagai sarana untuk mengembangkan keprofesionalan pendidik
karena melalui PTK pendidik dapat memecahkan masalah-masalah pembelajaran di kelas,
sekaligus melalui LS pendidik dapat mengamati bagaimana peserta didik belajar [10]. Penelitian
tindakan kelas berbasis Lesson Study ini dilakukan melalui kolaborasi antara peneliti dan dosen.
Peneliti terlibat langsung dalam merencanakan tindakan, melakukan tindakan, observasi dan
refleksi. Peneliti menggunakan 2 siklus, tiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu: perencanaan
tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), lembar observasi, catatan lapangan, tes kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar
diukur melalui tes yaitu tes akhir siklus I dan II. Analisis data dilakukan setiap siklus
pembelajaran berakhir. Data yang diperoleh dianalisis sebagai berikut. Tahap pertama,
mengelompokkan data yang terkumpul dari berbagai instrumen sesuai dengan jenisnya, tahap
kedua, menyajikan data secara deskriptif kualitatif, tahap ketiga adalah inferensi, yaitu
menyajikan data dalam bentuk tabel atau diagram, tahap keempat adalah penarikan kesimpulan
secara induktif, yaitu menafsirkan data yang sudah dikelompokkan.
Data hasil belajar dari skor tes akhir siklus dan data yang berasal dari proses kemampuan
berpikir kritis mahasiswa merupakan data kuantitatif.Data kemampuan berpikir kritis dianalisis
untuk mengetahui sejauh mana kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Caranya dengan
menganalisis penilaian, dilakukan dengan rubrik. Penilaian rubrik mempunyai rentangan antara
1 untuk skor terendah dan 4 untuk skor tertinggi dalam setiap penjabaran indikator. Langkah
selanjutnya yaitu mengelompokkan skor ke dalam kategori kemampuan berpikir kritis sesuai
dengan penilaian rubrik. Hasilnya kemudian dianalisis pada kategori mana yang paling banyak
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
282 ISSN: 1978-1520
muncul pada setiap siklus. Data hasil belajar yang diperoleh siswa dibandingkan dengan nilai
standar ketuntasan minimal (SKM) yang berlaku di prodi pendidikan biologi UMM yaitu
dengan nilai minimal mencapai 55,0-59,9 dengan nilai huruf (C) sehingga mahasiswa dapat
dikatakan tuntas apabila memperoleh nilai 55,0 -59,9. Selanjutnya seluruh mahasiswa
dinyatakan telah tuntas belajar secara klasikal apabila ketuntasan belajar mencapai 75% dari
jumlah siswa yang terdapat pada kelas tersebut. Ketuntasan belajar klasikal dapat diketahui
dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
, ,
Ketuntasan Belajar Klasikal = 100 %
Berdasarkan data hasil observasi awal didapatkan bahwa kemampuan berpikir mahasiswa
pendidikan biologi UMM. Kemampuan berpikir mahasiswa mengalami peningkatan pada Siklus
I dan Siklus II. Untuk lebih memudahkan dalam melihat peningkatan komponen atau aspek
kemampuan berpikir setiap siklusnya maka dapat digambarkan dalam diagram batang pada
Gambar 1 berikut.
Gambar 1 dapat dikatakan bahwa semua aspek kemampuan berpikir kritis mengalami
peningkatan dan walaupun masih memenuhi kriteria cukup atau sedang pada setiap siklus
Siklus. Hal ini berarti bahwa penerapan pembelajaran PjBL dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Ketika seseorang memutuskan suatu masalah, memecahkan masalah, ataupun memahami
sesuatu, maka orang tersebut melakukan aktifikas berpikir. PjBL dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, melalui belajar kolaboratif peserta didik saling belajar yang nantinya
akan meningkatkan penguasaan konseptual maupun kecakapan teknikal, holistik dan
interdisipliner, realistik, berorientasi pada belajar aktif memecahkan masalah riil, yang memberi
kontribusi pada pengembangan kecakapan pemecahan masalah dan memberikan reinforcement
intrinsik (umpan balik internal) yang dapat menajamkan kemampuan berpikir kritis dengan
indikator yang lebih detail diantaranya mendefinisikan masalah utama, pemahaman tetang
kedalaman dan keluasan masalah, sikap terhadap sudut pandang yang berbeda, Identifikasi
konsep, dan merumuskan alternatif pemecahan masalah.
PjBL memberi manfaat pada peserta didik dalam hal membantu peserta didik
meningkatkan kemampuan mengintegrasikan pemahaman konten dan proses, mendorong
peserta didik untuk bertanggung jawab terhadap belajarnya sehingga menjadi pebelajar yang
mandiri, peserta didik belajar untuk bekerjasama untuk memecahkan masalah, melalui sharing
ide untuk menemukan jawaban dari suatu pertanyaan, pembelajaran ini menghadapkan siswa
untuk secara aktif dalam berbagai tugas [11].
Pada PjBL pembelajaran dirancang agar pebelajar dapat melakukan penyelidikan atau tugas
lain secara mandiri dalam pola proyek. Pada pembelajaran semacam ini para pebelajar memiliki
keleluasaan merancang dan melaksanakan rencana pembelajarannya [12]. Dengan demikian
para pebelajar terus menerus dituntut untuk berpikir tinggi termasuk berpikir kreatif.
Mengembangkan kemampuan berpikir itu tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui metode
ceramah atau penjelasan saja, akan tetapi harus banyak melatih dan mempraktekan keterampilan
berpikir melalui pembelajaran-pembelajaran aktif misalnya PjBL [13]. Bersandar pada alasan
yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik sangat
penting untuk dikembangkan.
Berdasarkan data hasil analisis dapat dikatakan bahwa hasil belajar mahasiswa mengalami
peningkatan jika kita membandingkan Siklus I dan Siklus II. Untuk lebih memudahkan dalam
melihat peningkatan hasil belajar mahasiswa setiap siklusnya maka dapat digambarkan dalam
diagram batang pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 dapat dikatakan bahwa semua mahasiswa mengalami ketuntasan belajar. Hal ini
berarti bahwa penerapan pembelajaran PjBL dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa
pendidikan biologi Universitas Muhammadiyah Malang. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan
hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
keterampilan berpikir kritis dan sikap terkait sains antara peserta didik yang dibelajarkan dengan
model PjBL dengan peserta didik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung
(F=52,811;p<0,05). Kedua, ada pengaruh yang signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis
antara peserta didik yang dibelajarkan dengan PjBL dengan peserta didik yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran langsung (F=69,184; p<0,05). Ketiga, terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap sikap terkait sains antara peserta didik yang dibelajarkan dengan PjBL
dengan peserta didik yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung (F=26,437;
p<0,05) [14]. Mengembangkan kemampuan berpikir itu tidak dapat dilakukan hanya dengan
melalui metode ceramah atau penjelasan saja, akan tetapi harus banyak melatih dan
mempraktekan keterampilan berpikir melalui pembelajaran-pembelajaran aktif misalnya PjBL
[13]. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian bahwa penerapan PjBL dapat
meningkatkan hasil belajar.
SIMPULAN
Penerapan Model Pembelajaran PJBL dengan tugas Analisis Kritis Artikel (AKAR) Berbasis
Lesson Study dapat Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Mahasiswa
Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
284 ISSN: 1978-1520
SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut terutama untuk melihat kemampuan berpikir kritis berdasarkan
pengamatan langsung atau berdasarkan aktivitas dan Analisis Kritis Artikel (AKAR) yang
dilakukan mahasiswa selama proses pembelajaran (tidak hanya menggunakan rubrik yang diisi
sendiri oleh dosen atau observer) alternatif menggunakan soal esay atau angket yang juga diisi
oleh mahasiswa sehingga data lebih berimbang atau valid. Untuk mengurangi mahasiswa yang
bekerja sama pada waktu pre-test dan post-test, perlu adanya penambahan observer yang
bertugas sebagai pengawas pada waktu kegiatan pre-test dan post-test sehingga hasil yang
diperoleh lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Johnson, E.B.(2007). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan KegiatanBelajar-
Mengajar Mengasyikan dan Bermakna, Terjemahan: Ibnu Setiawan, MLC: Bandung
[2] Rais 2010. Pengembangan Model Project Based Learning: Suatu Upaya Meningkatkan
Kecakapan Akademik Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin UNM.Laporan Penelitian Tahun II
DP2M DIKTI-LEMLIT UNM.
[3] Mahanal, S., Darmawan, E., Corebima, A.D. & Zubaidah, S. 2009. Pengaruh
Pembelajaran Project Based Learning(PjBL) pada Materi Ekosistem terhadap Sikapdan
Hasil Belajar Siswa SMAN 2 Malang. Laporan Penelitian. Malang: Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Negeri Malang.
[4] Suryosubroto, 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: PT Rineka Cipta.
[5] Kamdi, W. 2008. Project-Based Learning: Pendekatan Pembelajaran Inovatif. Makalah
disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar Guru SMP dan SMA Kota Tarakan,
Tarakan. 31 Oktober s.d. 2 November.
[6] Hendrayana, dkk. 2007. Lesson Study Suatu Strategi Untuk Meningkatkan
KeprofesionalanPendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press.
[7] Ibrohim. 2012. PPl Berbasis Lesson Study: Sebagai Pola Alternatif untuk Meningkatkan
EfektifitasPraktik Pengalaman Mengajar Mahasiswa Calon Guru. Makalah disajikan
dalam Workshop Pembimbing PPL Berbasis Lesson Study. FMIPA Universitas Negeri
Malang, 2 Juli 2012.
[8] Lepiyanto, Agil. 2012. Implementasi Lesson Study pada Metode Numbered Heads
Together dipadu dengan Team Games Tournament untuk Pengembangan Karakter,
Peningkatan aktifiitas, Motivasi, dan Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Negeri 1 Kepanjen.
Skripsi tidak diterbitkan Malang: Universitas Negeri Malang.
[9] Moleong, J Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
[10] Susilo, H. 2013. Lesson Study Sebagai Sarana Meningkatkan Kompetensi
Pendidik.Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya PLEASE 2013 di Sekolah
Tinggi Theologi Aletheia Jalan Argopuro 28-34 Lawang, tanggal 9 Juli 2013.
[11] Mahanal, S. dan Wibowo, A. L. P. 2009.Penerapan Pembelajaran lingkungan Hidup
Berbasis Proyek untuk Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis, Penguasaan Konsep,
dan Sikap Siswa (Studi di SMA Negeri 9 Malang).Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional Pendidikan Lingkungan Hidup dan Interkonferensi BKPSL.Universitas Negeri
Malang. 2021 Juni 2009-07-15.
[12] Corebima, A.D. 2011. Berdayakan Kemampuan Berpikir dan Kemampuan Metakognitif
Selama Pembelajaran. Makalah Seminar. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UM.
[13] Karyana, N. 2013. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Melalui Penggunaan Metode
Studi Kasus. Bandung: Widyaiswara LPMP Jawa Barat.
[14] Kurniawan, A. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap
Keterampilan Berpikir Kritis dan SikapTerkait Sains Siswa SMP(Studi Esperimen di SMP
Negeri 4 Singaraja). Laporan PTK. Singaraja: UNDHIKSA.
Abstrak
Argumentasi ilmiah dapat membantu siswa untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam kelas
dan meningkatkan daya tarik siswa lainnya untuk mengeluarkan pendapatnya. Hasil
wawancara yang dilakukan dengan guru biologi kelas X MAN Tulungagung 1 secara umum
dapat diketahui bahwa penyebab rendahnya hasil belajar biologi adalah kurangnya minat
siswa pada materi pelajaran biologi, karakteristik materi biologi yang banyak menuntut siswa
untuk menghafal, banyak menggunakan bahasa-bahasa latin, banyak mata pelajaran dan
hafalan bahasa Arab. Sedangkan hasil hasil angket yang diajukan pada siswa kelas X IIS
Unggulan 2 menunjukkan bahwa 65,25% siswa merasa sulit pada materi tersebut. Dari 27
siswa di kelas X IIS Unggulan 2 juga dapat diketahui bahwa banyak siswa yang pasif pada saat
pembelajaran, karena hanya beberapa siswa yang berani berargumen dan menjawab
pertanyaan dari guru. Guru sebagai fasilitator memiliki kemampuan dalam menentukan model
pembelajaran yang dapat meningkatkan argumentasi ilmiah. Model pembelajaran Group
Investigastion dipadu Number Heads Together sangat efektif diterapkan pada siswa kelas X IIS
Unggulan 2 MAN Tulungagung 1 untuk menciptakan suasana belajar yang aktif dan kreatif
dalam proses pembelajaran. Metode yang digunakan adalah pendekatan Penelitian Tindakan
Kelas dengan 2 siklus, karena peneliti ingin menghasilkan data yang dapat dianalisis secara
deskriptif presentatif. Hasil penelitian pada siklus 1 menunjukkan bahwa dari 22 siswa,
terdapat 8 siswa dengan kriteria kurang sekali, 4 siswa dengan kriteria kurang, 7 siswa dengan
kriteria berkembang, dan 3 siswa dengan kriteria baik dalam argumentasi ilmiah. Sedangkan
pada siklus 2 menunjukkan bahwa dari ke 22 siswa, terdapat 14 siswa dengan kriteria
berkembang dan 8 siswa dengan kriteria baik dalam argumentasi ilmiah. Dengan demikian
model pembelajaran Group Investigastion dipadu Number Heads Together dapat meningkatkan
argumentasi ilmiah siswa kelas X IIS Unggulan 2 MAN Tulungagung 1.
PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru Biologi kelas X MAN
Tulungagung 1 secara umum dapat diketahui bahwa penyebab rendahnya hasil belajar biologi
adalah kurangnya minat siswa pada materi pelajaran biologi, karakteristik materi biologi yang
banyak menuntut siswa untuk menghafal, banyak mata pelajaran dan hafalan bahasa Arab.
Upaya yang dilakukan guru Biologi kelas X untuk memperbaiki masalah ini adalah dengan
menggunakan metode pembelajaran Cooperative dan menggunakan LKPD. Sementara itu, hasil
angket yang diajukan pada siswa menunjukkan bahwa 65,25% siswa merasa sulit pada materi
tersebut. Banyak siswa yang pasif pada saat pembelajaran, karena hanya beberapa siswa yang
berani berargumen dan menjawab pertanyaan dari guru. Berdasarkan masalah tersebut, solusi
yang disarankan oleh peneliti adalah penerapan model pembelajaran Group Investigastion
Prosiding Semnas Hayati IV
Universitas Nusantara PGRI Kediri
286 ISSN: 1978-1520
dipadu Number Heads Together. GI merupakan salah satu metode untuk mendorong
keterlibatan maksimal para siswa [1].
Model pembelajaran ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
terlibat secara langsung dan aktif dalam proses pembelajaran serta memiliki kemampuan yang
baik dalam berkomunikasi maupun keterampilan proses kelompok mulai dari perencanaan
sampai cara mempelajari suatu topik melalui investigasi. Model pembelajaran kooperatif tipe GI
juga dapat melatih keterampilan berpikir kritis siswa [2]. Model pembelajaran kooperatif NHT
tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi mampu meningkatkan aktivitas siswa [3]. Model
pembelajaran NHT digunakan untuk memaksa siswa pasif sehingga dapat menyampaikan
pendapat dan menjawab pertanyaan dari guru. Pada saat guru menyebut satu nomor, maka para
siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama harus mengangkat tangan dan
menyampaikan jawaban. Sedangkan model pembelajaran Group Investigastion yang dipadukan
dengan Number Heads Together mampu meningkatkan kemampuan analisis dan hasil belajar
siswa kelas X-II khususnya pada materi Kingdom Animalia [4]. Model pembelajaran Group
Investigastion dipadu model pembelajaran Number Heads Together digunakan untuk
pembelajaran yang kooperatif sehingga dapat menekan siswa pasif untuk menyampaikan
pendapat dan menjawab pertanyaan dari guru.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan argumentasi ilmiah siswa melalui penerapan
model Group Investigastion dipadu Number Heads Together dengan harapan siswa dapat
memahami materi secara diskusi kelompok dan siswa harus dalam keadaan siap ketika guru
menunjuk siswa tersebut dengan nomor tertentu. Manfaat penelitian ini adalah memberikan
informasi dan membantu guru dalam kegiatan pembelajaran dengan menerapkan variasi model
pembelajaran yang dapat meningkatkan argumentasi ilmiah, metakognisi dan hasil belajar
sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran bagi siswa. Berdasarkan latar belakang
maka dilakukan penelitian tidakan dengan penerapan model pembelajaran Group Investigastion
dipadu Number Heads Together untuk meningkatkan argumentasi ilmiah siswa kelas X IIS U2
di MAN Tulungagung 1 pada materi Ekosistem.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yaitu dengan menerapkan model
Group Investigastion dipadu Number Heads Together untuk meningkatkan argumentasi ilmiah
siswa kelas X IIS Unggulan 2 di MAN Tulungagung 1. Kemampuan argumentasi ilmiah siswa
diukur dengan menggunakan rubrik penilaian yang diadopsi dari Kurniawan 2015[5]. Penilaian
dari rubrik tersebut di hitung dengan menggunakan rumus:
Hasil penyekoran dinyatakan dalam rentang 0 - 100 nilai akhir. Nilai yang diperoleh
dikategorikan dengan rating skale yang di adopsi dari Green (2002)[6]. Penelitian ini dilakukan
di MAN Tulungagung 1 pada materi pelajaran ekosistem, penelitian ini dilaksanakan mulai ini
selama 3 bulan mulai bulan Maret 2016 sampai bulan Mei 2016.Penelitian ini termasuk
penelitian deskriptif presentatif dengan jenis penelitian tindakan kelas dengan menggunakan
kelas X IIS U2. Desain penelitian tindakan ini mengacu dari model Kemmis dan Taggart
dengan 2 siklus. Masing-masing siklus terdiri dari 4 tahap yaitu: Perencanaan (Planning),
Pelaksanaan (Acting), Observasi (Observing), dan Refleksi (Reflecting).
16
14
12
10
8
6
4 Siklus I
2
0 Siklus II
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa diketahui siklus 1 menunjukkan bahwa dari
22 siswa, terdapat 8 siswa dengan kriteria kurang sekali, 4 siswa dengan kriteria kurang, 7 siswa
dengan kriteria berkembang, dan 3 siswa dengan kriteria baik dalam argumentasi ilmiah. Pada
siklus ini banyak siswa yang belum memahami materi dan belum mengerti proses pembelajaran
yang sedang dilakukan, sehingga siswa mengalami kesulitan saat guru memberikan tugas yang
harus dikerjakan. Dengan penerapan model pembelajaran GI dipadu NHT siswa harus mampu
merencanakan, menginvestigasi, mempersiapkan dan mempresentasikan hasil kerja samanya.
Siklus 1 diperbaiki pada siklus 2 yang menunjukkan dari ke 22 siswa, terdapat 14 siswa dengan
kriteria berkembang dan 8 siswa dengan kriteria baik dalam argumentasi ilmiah.
Pada siklus ini semua siswa mulai memahami materi ekosistem dan mulai mengerti proses
pembelajaran yang sedang berlangsung. Penerapan model pembelajaran ini dapat meningkatkan
aktivitas dan partisipasi siswa dalam merencanakan investigasi kelompok, menginvestigasi dan
mendiskusikan, mempersiapkan laporan dan mempresentasikan hasil kerjasamanya sendiri.
Perbandingan nilai argumentasi ilmiah dari siklus 1 ke siklus 2. Siklus 1 diperoleh persentase
nilai argumentasi ilmiah dengan kriteria baik sebesar 13,6% dan kriteria berkembang sebesar
31,8% sedangkan pada siklus 2 dengan kriteria baik sebesar 36,4% dan kriteria berkembang
sebesar 63,6%. Berdasarkan hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa argumentasi ilmiah
siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model GI dipadu NHT mengalami peningkatan.
Hasil rata-rata ini dapat dijelaskan bahwa penerapan model GI dipadu NHT merupakan variasi
model pembelajaran yang dapat meningkatkan argumentasi ilmiah.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
GroupInvestigastion dipadu NumberHeadsTogether dapat meningkatkan argumentasi ilmiah
siswa kelas X IIS Unggulan 2 MAN Tulungagung 1.Diharapkan dengan adanya hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai refrensi variasi model pembelajaran bagi guru guna meningkatkan
kemampuan siswanya, dan dapat digunakan sebagai rujukan bagi peneliti lain.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Slavin, Robert. E., 2005. Cooperative Learning. Bandung. Nusa Media.
[2] Ulum, Bahrul dan Rusly Hidayah. 2015. Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) pada Materi Pokok Ikatan Kimia untuk
Melatih Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas SMA Widya Darma Surabaya.
Universitas Negeri Surabaya. UNESA Journal of chemical Education. Vol 4, No. 2,
pp. 156-162.
[3] Hanum, Faridah. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas Viii Smp Negeri 18 Medan. Vol 1 : 38.
[4] Utami, Budhi. 2015. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran GI dan NHT untuk
meningkatkan Kemampuan Berpikir Analisis dan Hasil Belajar Pada Siswa Kelas
X-4 pada materi kingdom animalia di SMA Daha Kediri. Universitas Nusantara
PGRI Kediri. Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015.