BIOLOGI
Medan, 15 Februari 2014
Editor :
Dr. Hesti Wahyuningsih, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan)
Dr. Saleha Hanum, MSi. (Univ. Sumatera Utara, Medan)
Dr. Salomo Hutahaean (Univ. Sumatera Utara, Medan)
Prof. Dr. Mansyurdin, MS. (Univ. Andalas, Padang)
Prof. Dr. Manihar Situmorang, MSc., PhD. (Univ. Negeri, Medan)
Prof. Dr. Ramadanil Pitopang, MSi. (Univ. Tadulako, Palu)
Departemen Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Medan
2014
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU
Jl. Universitas No. 9
Medan 20155, Indonesia
usupress.usu.ac.id
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian
atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari
penerbit.
Prosiding Seminar Nasional Biologi; Optimalisasi Riset Biologi dalam Bidang Pertanian,
Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran / Editor: Hesti
Wahyuningsih...[et.al.] – Medan: Usu Press, 2014
ISBN: 979-458-744-3
ii
LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL
BIOLOGI 2014
Bintang jauh di atas bumi, Indahnya terlihat sampai langit yang ke tujuh.
Sambutlah salam dari kami, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya pagi ini kita dapat mengikuti acara Seminar Nasional Biologi tahun 2014. Kami seluruh
panitia mengucapkan "SELAMAT DATANG" dan terima kasih atas kehadiran dan partisipasi Bapak,
Ibu dan adik-adik mahasiswa sekalian.
Pada kesempatan ini kami ingin melaporkan pelaksanaan Seminar Nasional Biologi 2014 yang
bertema "Optimalisasi Riset Biologi dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan,
Kehutanan, Farmasi, dan Kedokteran”. Tema ini dipilih untuk menggambarkan pentingnya
pengembangan dan penerapan Ilmu Biologi dalam bidang Ilmu lain baik dasar maupun terapan demi
kemajuan bangsa Indonesia.
Seminar akan berlangsung selama satu hari dengan jumlah peserta sebanyak 250 orang, yang terdiri
dari 110 peserta pemakalah, 60 peserta umum dan mahasiswa pascasarjana dan 80 peserta mahasiswa
S1. Para peserta seminar datang dari berbagai wilayah tanah air seperti Aceh, Padang, Pekanbaru,
Jakarta, dari berbagai daerah sekitar Medan dan Sumatera Utara, dari lingkungan USU.
Tujuan dari Seminar ini adalah sebagai ajang komunikasi ilmiah antara peneliti, pemerhati, peminat
Biologi; sekaligus untuk membangun jejaring dan kerjasama penelitian antar perguruan tinggi,
peneliti, dan berbagai pihak yang berkaitan dengan Ilmu Biologi baik langsung atau tidak langsung.
Kami mengucapkan ribuan terima kasih kepada seluruh panitia dan semua pihak yang telah bekerja
keras demi terselenggaranya acara seminar nasional ini. Kami mohon maaf jika ada yang kurang
berkenan di hati dan penyambutan yang kurang pada tempatnya, yang semua itu bukanlah suatu
kesengajaan tetapi karena kelemahan dan keterbatasan dari kami. Demikianlah yang dapat
disampaikan dan kami akhiri dengan Wassalamu’alaikum Wr Wb. ……..
iii
SAMBUTAN DEKAN FMIPA-USU
Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT, kita dapat berkumpul dalam rangka Seminar Nasional
Biologi tahun 2014 dalam ruangan yang sederhana ini.
Pesatnya riset Biologi dalam kurun waktu akhir-akhir ini, membuat para ahli menjadi terspesialisasi
ke dalam topik-topik yang semakin spesifik. Hal ini menjadi suatu tantang tersendiri dalam
mendapatkan suatu kebaruan ilmu Biologi itu sendiri. Bagi para peneliti dan dosen, fokus dalam
keahlian rumpun ilmu adalah hal yang mutlak tetapi tentu tidak bisa begitu saja meninggalkan rumpun
ilmu lain yang menjadi partner dalam aplikasi di mayarakat nantinya. Inilah yang menjadi dasar dari
seminar nasional ini, karena dengan perbauran ilmu yang beragam akan membuat nilai
tambah dalam pengembangan serta aplikasi ilmu biologi di masyarakat.
Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh panitia yang telah
b e k e r j a k e r a s d a l a m m e n s u k s e s k a n Seminar Nasional Biologi dengan tema “Optimalisasi
Riset Biologi Dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan
Kedokteran”. Harapan kami, kepada seluruh peserta seminar untuk terus giat dalam meningkatkan
kuantitas dan kualitas penelitian serta aktif dalam publikasi ilmiah nasional dan internasional.
Akhirul kalam, izinkan saya sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta seminar
n a s i o n a l B i o l o g i i n i , yang telah sudi meluangkan waktunya untuk mengikuti dari awal
hingga berakhirnya acara ini.
Semoga acara Seminar Nasional Biologi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
iv
DAFTAR ISI
MAKALAH UTAMA
UJI TOKSISITAS AKUT FRAKSI N-HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL DAUN PUGUN
TANO (Curanga fel-terrae Merr.) PADA MENCIT
Aminah Dalimunthe, Urip Harahap, Rosidah, M.Pandapotan Nasution ............................................... 19
PENGGUNAAN SALEP SERBUK BIJI BUAH PINANG (Areca catechu L.) SEBAGAI OBAT
LUKA BAKAR
Djendakita Purba dan Dorce Boang Manalu ......................................................................................... 30
EFEK EKSTRAK RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Valeton & v.Zijp)
SEBAGAI ANTIMIELOSUPRESI
Edy Suwarso, Suryadi Achmad, Rasmadin Muchtar, Meliza Sari Hutabarat ....................................... 35
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DARI AIR PERASAN DAUN SEREH WANGI, DAUN
JERUK PURUT DAN DAUN RUKU-RUKU SERTA CAMPURAN DARI AIR PERASAN
MASING-MASING DAUN
Siti Nurbaya, Erly Sitompul, Suryanto .................................................................................................. 47
v
BIOLOGI FUNGSI DAN STRUKTUR HEWAN
vi
PEMANFAATAN TEPUNG KULIT BUAH PEPAYA (Carica papaya) DALAM RANSUM
TERHADAP PRODUKSI TELUR PADA PUYUH (Cortunix-cortunix japonica)
Sri Setyaningrum dan Dini Julia Sari Siregar ...................................................................................... 123
PENGARUH PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLE ACETIC ACID (IAA)
DAN BENZYL AMINO PURIN (BAP) TERHADAP PERTUMBUHAN PLANLET NANAS
(Ananas comosus l.) SIPAHUTAR SECARA IN VITRO
Sartika Sinulingga, Fauziyah Harahap ................................................................................................ 204
vii
KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DARI BEBERAPA KLON KARET HASIL
INTRODUKSI PADA AGROKLIMAT KERING DAN BASAH DI WILAYAH SUMATERA
UTARA
Sayurandi ............................................................................................................................................ 210
BIOLOGI LINGKUNGAN
viii
KEANEKARAGAMAN
KONDISI, SPESIES KARANG DAN IKAN KARANG DI TERUMBU KARANG PULAU BABI,
KABUPATEN PESISIR SELATAN, SUMATERA BARAT
Indra Junaidi Zakaria ........................................................................................................................... 315
ix
PERSEBARAN MARGA BOUEA (ANACARDIACEAE) DI SUMATRA
Tri Harsono, Nursahara Pasaribu, Sobir, Fitmawati .......................................................................... 371
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI GINJAL IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
Cut Yulvizar ....................................................................................................................................... 383
JAMUR PADA PASIR SARANG DAN CANGKANG TELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys
olivacea L.) YANG GAGAL MENETAS DI KAWASAN KONSERVASI PENANGKARAN
PENYU PARIAMAN SUMATERA BARAT
Fuji Astuti Febria, Nasril Nasir, Selfia Anwar ................................................................................... 395
BUDI DAYA JAMUR PADALI (Lentinus sp) UNTUK MENAMBAH JAMUR KOMERSIAL
DI INDONESIA
Ikhsan Matondang dan Noverita ......................................................................................................... 407
x
Makalah Utama
1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi seluler dan molekuler yang semakin canggih telah terbukti
mempermudah kita untuk mengembangkan strategi terobosan dalam rangka meningkatkan kualitas
ternak beserta produknya. Banyak artikel hasil penelitian tentang penggunaan berbagai teknik seluler
dan molekuler mendominasi berbagai jurnal ilmiah nasional apalagi internasional. Hampir semua
aspek ilmu pengetahuan mendasarkan penelitiannya dengan teknik tersebut karena teknologi
molekuler ini sudah seperti komputer yang juga dapat digunakan untuk melakukan riset di hampir
semua aspek. Oleh karena itu, prinsip menggunakan teknik molekuler juga sama halnya dengan
prinsip menggunakan komputer. Yaitu, kita sebagai pengguna komputer tidak perlu harus menjadi
ahli perancang dan perakit komputer tetapi hanya dapat menggunakan sebagian aplikasi yang
disediakan dalam perangkat komputer. Demikian juga dengan teknologi molekuler, kita para
pengguna teknik molekuler lebih banyak memanfaatkan aplikasi yang disediakan dari teknologi
tersebut. Yang terpenting bagi kita adalah kemampuan menginterpretasi data yang dihasilkan dari
penggunaan berbagai aplikasi dalam teknologi molekuler tersebut.
Dalam ilmu ternak, teknik molekuler ini paling banyak digunakan untuk aspek pemuliaan dan
reproduksi walaupun tidak sebatas itu. Aspek nutrisi juga telah cukup lama memanfaatkan teknologi
tersebut. Demikian juga aspek kesehatan hewan yang semakin banyak memerlukan pendekatan
molekuler dalam menyusun strategi pencegahan penyakit turunan (genetic disease) secara efektif.
Tentunya masih ada penggunaan teknologi canggih itu untuk keperluan praktis seperti diagnosa
penyakit, penelusuran silsilah, uji kemurnian rumpun ternak, uji kemurnian produk olahan, sampai
yang terumit dalam hal menciptakan ternak transgenik.
Untuk aspek pemuliaan, hampir semua penelitian diarahkan menuju marker assisted selection
(MAS) karena seleksi merupakan salah satu pendekatan terpenting untuk meningkatkan kualitas
genetik ternak. Kelompok pakar nutrisi lebih banyak menggunakan teknik ini untuk merekayasa
mikroba yang terdapat dalam rumen, yang intinya meningkatkan daya ubahnya dari limbah pertanian
menjadi bahan pangan sumber protein berkualitas. Untuk aspek kesehatan hewan, imunogenetik
menjadi topik menarik untuk mempelajari berbagai gen yang terlibat dalam sifat ketahanan tubuh
ternak terhadap serangan eksternal sel seperti bakteri, virus, atau lingkungan yang lebih luas seperti
infeksi cacing atau bahkan cekaman.
Indonesia berpotensi besar untuk mengembangkan bioteknologi bila dilihat dari potensi
keanekaragaman sumber daya hayatinya (biodiversity) terkait dengan sumber daya genetik beserta
ekosistem pendukungnya. Keadaan Indonesia yang beriklim tropis, tersusun atas pulau-pulau, sejarah
biogeografi yang kompleks, serta budaya kearifan lokal masyarakatnya telah menghasilkan beragam
kondisi lingkungan lokal dan menciptakan keragaman spesies yang tinggi yang memiliki karakter
khas menyesuaikan dengan lingkungannya (local species). Ini semua merupakan kekayaan yang harus
dijadikan posisi tawar bangsa ketika bernegosiasi dengan mitra kita lain bangsa. Dalam lingkup yang
lebih kecil, kekayaan tersebut harus menjadi “senjata” peneliti Indonesia untuk menuntut kesetaraan
dalam menghasilkan kekayaan intelektual kepada mitra penelitinya dari negara yang lebih maju dalam
penguasaan teknologinya.
3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
awalnya diperoleh melalui teknik rekombinan tersebut. Teknik PCR ini yang digunakan secara
eksploitatif dalam riset berbagai macam aspek hingga saat ini. Ratusan ribu publikasi selalu
menuliskan teknik PCR di bagian materi dan metode risetnya. Dalam perjalanannya, metode PCR
berkembang pesat menjadi lebih efisien dan lebih produktif seiring dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraannya. Untuk mendiagnosis suatu
pathogen, metode nested PCR, multiplex PCR, dan realtime PCR dapat digunakan. Untuk membuat
marka genetik, metode PCR-RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), PCR-AFLP
(Amplified Fragment Length Polymorphism), PCR-STR (Short Tandem Repeat), PCR-PIRA (Primer
Introduced Restriction Analysis), dan PCR-SNP (Single Nucleotide Polymorphism) sering digunakan.
Untuk mengamplifikasi sekuen berukuran panjang, metode PCR-genome walking sangat efektif.
Jika PCR hanya menghasilkan fragmen DNA sebagai produk akhirnya, tidak demikian dengan
DNA sequencing. Teknik yang terakhir ini juga memanfaatkan teknik PCR. Salah satu yang paling
efektif untuk merunut (menyekuens) rangkaian molekul DNA adalah cycle sequencing yang
diperkenalkan oleh Sanger tahun 1980 sehingga teknik ini juga sering disebut Sanger’s method.
Walaupun tampilan akhir yang tervisualisasi dalam proses elektrophoresis antara teknik PCR dan
teknik sequencing adalah sama, yaitu berupa deretan garis-garis pita, makna setiap pita yang
dihasilkan dari teknik PCR berbeda dengan yang dihasilkan dari teknik sequencing. Produk akhir dari
proses sequencing adalah deretan nukleotida yang membentuk serangkaian molekul DNA yang
disekuens. Artinya produk akhirnya bukan berupa fragmen DNA seperti pada teknik PCR, tetapi
berupa nukleotida penyusun molekul DNA. Nukleotide ini merupakan unit terkecil makhluk hidup
yang digunakan sebagai materi riset. Tidak ada lagi yang lebih kecil lagi daripada nukleotida. Perlu
diingat juga bahwa adanya perubahan satu nukelotida saja dalam suatu gen tertentu dalam kromosom
dapat mengubah fenotipe individu pemilik gen tersebut.
4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 1. Ilustrasi lokasi amplifikasi sekuen mikrosatelit dengan 4 repetisi ATG. nnn- adalah ruas
sekuen nukleotida yang spesifik mengapit ruas berulang dan biasanya menjadi ujung 3’
dari sekuen primer.
Runutan berulang seperti (ATG)4 yang dicontohkan di atas jumlahnya sangat banyak di dalam
genom tetapi setiap fragmen yang mengandung runutan (ATG)4 diapit oleh dua rangkaian tunggal
nukloetida sangat spesifik yang dijadikan sebagai primer dalam teknik PCR tersebut. Keragaman
sekuens berulang pada lokus tertentu (ATG-berulang) antar individu ternak dalam satu populasi
tertentu ditunjukkan oleh jumlah ulangannya, misalnya individu 1 memiliki (ATG)3, individu 2
memiliki runutan (ATG)4, dan individu 3 memiliki runutan (ATG)8, dan seterusnya.
Mikrosatelit dapat digunakan untuk pemetaan genetik (genetic mapping), identifikasi
genotipe, penciri molekuler, analisis keragaman genetik, paternitas, dan pemetaan fenotipe (Tautz
1989). Mikrosatelit dapat ditemukan di dalam runutan sekuens suatu gen fungsional, baik di exon
maupun intron, atau di bagian lain dalam struktur gen tersebut. Variasi jumlah ulangan sekuens dalam
gen tersebut terkadang dapat memberikan perubahan secara phenotipiknya. Artinya ada asosiasi
antara varian runutan nukleotida dengan fenotipik ternak. Mikrosatelit juga banyak ditemukan di
rangkaian molekul DNA bukan gen. Cara mendeteksi variabilitas runutan nukleotida mikrosatelit juga
sangat sederhana, cepat, dan akurat. Dengan memiliki sampel DNA ternak spesies tertentu, sepasang
DNA primer pengapit DNA mikrosatelit dan fasilitas elektrophoresis, data tentang variabilitas
mikrosatelit dapat diperoleh dalam waktu maksimum 24 jam. Ini merupakan salah satu alasan makin
maraknya penggunaan mikrosatelit sebagai penciri DNA yang dimulai pada sekitar awal tahun 1990.
Sejak makin populernya penggunaan teknik PCR, berbagai pendekatan untuk menggunakan molekul
DNA sebagai penciri terus dikembangkan.
Gambar 2. Dendogram dari filogenetik domba Indonesia menggunakan data 17 lokus mikrosatelit
(Jakaria et al. 2012).
Kembali ke riset genetika populasi, para peneliti biasanya tidak berhenti pada upaya
mengidentifikasi varibilitas suatu penciri DNA dalam suatu populasi tetapi dilanjutkan dengan
menentukan kekerabatan genetik antar populasi dalam rumpun ternak atau antar rumpun dalam
spesies ternak. Untuk riset yang terkait dengan kekerabatan genetik ini, penggunaan penciri DNA
berupa segmen DNA seperti mikrosatelit memberikan hasil yang kurang akurat. Untuk itu, unit
terkecil yang digunakan dalam riset ini adalah bukan segmen molekul DNA tetapi nukleotida
penyusun molekul DNA. Artinya, dalam hal ini, satu nukleotida setara dengan satu segmen DNA dan
setara dengan satu alel untuk menganalisisnya. Penggunaan nukleotida sebagai unit terkecil dalam
studi populasi genetik dipelopori oleh Nei sejak era 1960-an. Biasanya fragmen DNA yang
keragaman runutan nukleotidanya tinggi digunakan sebagai penciri DNA untuk riset semacam ini,
5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
misalnya yang sangat populer adalah D-loop yang terletak setelah gen cytochrome b di hampir semua
spesies. Satu contoh menarik yang telah dikerjakan di Indonesia khususnya pada ternak adalah pada
ayam.
Dengan menggunakan D-loop DNA mitokondria, analisa dilakukan pada semua rumpun ayam
di dunia untuk membuat pohon filogeni. Diketahui bahwa pada ayam terdapat tujuh (7) clade yaitu I,
II, IIIa, IIIb, IIIc, IIId dan IV. Lima belas rumpun ayam lokal Indonesia yang digunakan dalam pohon
filogeni tersebut menunjukkan bahwa enam puluh sembilan (69) haplotipe ayam lokal Indonesia
teridentifikasi pada 54 situs polimorfik dengan polimorfisme antara nukleotida 167-397 yang
variasinya berkontribusi sekitar 94,5 %. Ayam lokal Indonesia dengan frekuensi haplotipe 72,5%
berada di clade II (Gambar 3). Artinya ayam lokal Indonesia adalah unik, mempunyai ciri khas
tertentu yang sangat berbeda dengan ayam lokal dari negara lain. Hasil analisis sekuens DNA tersebut
juga diketahui bahwa dari komposisi clade ayam di Asia, ada tiga wilayah besar yang mempunyai
komposisi clade yang sangat khusus (dominan), yaitu daerah sekitar Lembah Hindus yang didominasi
oleh populasi clade IV, di Sungai Kuning, Henan yang didominasi oleh populasi clade IIId dan
wilayah Indonesia yang didominasi oleh clade II. Temuan penting ini memiliki makna bahwa ayam
lokal Indonesia memiliki nilai sangat tinggi karena banyaknya gen unik yang dimilikinya.
Clade I
Clade II
Clade IIIa
Clade IIIb
Clade IIIc
Clade IIId
Clade IV
Gambar 3. Median joining network yang menunjukkan bahwa ayam lokal Indonesia mempunyai
keragaman genetik tinggi serta keunikan secara genetik diantara berbagai rumpun ayam
di dunia (Sri Sulandari et al. 2008).
6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
dan membuktikan bahwa ayam yang hidup akibat serangan virus mempunyai daya resisten yang
cukup tinggi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi ke pemerintah bahwa ayam
yang terserang penyakit flu burung saja yang dibunuh, sedangkan ayam di sekitarnya yang sehat
sebaiknya tidak dieliminasi. Temuan ini juga dapat menginspirasi pembentukan ayam ras tertentu
yang tahan terhadap serangan penyakit AI sehingga dapat mengurangi mortalitas dan meningkatkan
produktivitasnya.
Jauh sebelum teknik PCR ditemukan, teknik rekombinan DNA digunakan untuk mendeteksi
polymorhism pada suatu gen berdasarkan perbedaan panjang fragmen setelah dipotong oleh enzym
restriksi. Yang terpenting dalam hal ini
adalah bahwa tempat pemotongan molekul
DNA tersebut merupakan situs pengenal
Association of TLR4 gene genotype and
(recognition site) dari enzim restriksi.
Karena karakter dari polymorhism tersebut
resistance against Dalmonella enteritidis sangat tergantung pada panjang fragmen hasil
pemotongan, maka penciri DNA tersebut
disebut Restriction Fragment Length
natural infection in Kampung chicken Polymorphism (RFLP). Sebelum tahun
1990-an, penentuan polimorfisme
berdasarkan RFLP memerlukan waktu
panjang, banyak tenaga, dan sangat boros
(Ulupi et al. 2013)
finansialnya juga. Dengan adanya teknik
PCR, teknik tersebut dikembangkan menjadi
PCR-RFLP yang jauh lebih pendek waktunya
Abstract: lebih murah dan lebih efektif. Dalam
Eggs of kampung chicken play an important role as
substance in ‘jamu preparation’ in Indonesia, mostly
menentukan polimorfisme pada suatu gen
provided and consumed without cooking. Salmonella atau suatu segmen DNA, segmen DNA atau
free eggs become significant in producing the safe ‘jamu gen yang diamplifikasi harus memiliki
preparation’ and such eggs might be produced by
chickens which have high resistancy to this bacteria.
recognition sites bagi enzym restriksi.
One of excellent markers showing resistance of chicken Umumnya segmen yang diamplifikasi berupa
against Salmonella is an active Toll-like Receptor 4 salah satu exon pada gen tersebut. Ini
(TLR4) gene. TLR4 is a phagocytes cell surface receptor
that plays a role to recognize lipopolysaccaride (LPS) of memiliki keunggulan karena adanya
gram negative bacteria including Salmonella enteritidis. It perubahan sekuens pada suatu exon seringkali
is transcribed by TLR4 gene and conserved in the
activation of the non-specific immune system. The aim of
menghasilkan perubahan asam amino dan
the research was to prove how kampung chicken perubahan protein yang dihasilkan sehingga
resistant against natural infection of S. enteritidis, using menimbulkan perbedaan pada sifat kuantitatif
TLR4 gene as marker. TLR4 gene was genotyped in 50
kampung chickens with PCR-RFLP. Then biological
atau kualitatifnya.
assays of resistance indicator were measured. The Salah satu penciri DNA yang
genotyping result on exon 2 (220 bp in size) identified 3 terpopuler saat ini adalah Single Nuclotide
genotypes of TLR4 gene in kampung chicken: AA, AG
and GG. Concentration of leucocytes and their Polymorphisms (SNPs) karena
differentiation were not significantly different in AG and keunggulannya untuk mendeteksi asosiasi
GG genotype. The value of it from AA genotype was
similar to them. There was no S. enteritidis finding in
antara variabilitas sekuens DNA dengan
blood and eggs produced by AA, AG, GG chickens. berbagai sifat kuantitatif pada ternak. Single
Specific IgY to S. enteritidis was positively found in nucleotide polymorphisms merupakan
kampung chickens serum and egg yolk. Concentration of
specific IgY in kampong chicken egg yolk was found very perbedaan pasangan nukleotida tunggal antar
high. The study postulated that most likely kampung genome individu berbeda. Satu SNP
chicken resistant to S.enteritidis natural infection. mengindikasikan satu perbedaan nukleotida.
Metode ini cukup mudah dan praktis namun
memerlukan biaya yang mahal. Prinsip
analisisnya adalah dengan melakukan analisis
sekuen basa nukleotida pada 2 atau lebih
sampel yang dibandingkan/disejajarkan dan mengamati adakah basa nukleotida yang berbeda antar
sampel. Perbedaan basa nukleotida tersebut haruslah bersifat bi-allelic yang maksudnya dalam satu
titik basa nukleotida yang dibandingkan hanya ada 2 jenis basa nukleotida sehingga akan membentuk
7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
2 buah alel (Gambar 4). Bila dilihat pada kromatogram, sampel jamak yang di pooling untuk disekuen
akan menghasilkan 2 pita kromatogram yang saling tumpang tindih (Gambar 5).
Gambar 4. Pada urutan basa k-8 terdapat 2 tipe basa yang berbeda (A/G).
Gambar 5. Puncak basa G berimpit dengan basa A menunjukkan adanya dua alel.
Saat ini pemetaan SNP sudah dilakukan pada manusia, bovine, ayam, burung, dan beberapa
spesies potensial. SNP dapat digunakan sebagai penanda molekuler dan untuk melihat hubungan
kekerabatan spesies maupun struktur populasi. Sebagai penanda molekuler, SNP telah digunakan
sebagai marka untuk mengetahui gen yang berasosiasi dengan sifat unggul sebagai basis data untuk
melakukan seleksi ternak melalui MAS (Beuzen et al. 2000).
Kelebihan SNP sebagai penanda molekuler adalah sifatnya umum ditemukan di seluruh
genome dengan peluang 1 : 1000 basa (Kwok&Chen 2003) dengan produk PCR lebih kurang 100 bp.
Dengan produk PCR yang berukuran pendek akan memungkinkan untuk mengamplifikasi sampel
DNA yang rusak/terdegradasi. Selain itu, reaksinya bisa di multiplikasi (multiplex) hingga 1000 SNP
per chip/reaksi. Jumlah alel yang dihasilkan hanya 2 sehingga mudah dianalisis namun perlu banyak
SNP sehingga membentuk semacam haplotype untuk bisa bersifat informatif. Jadi untuk mendeteksi
adanya asosiasi antara SNP dan sifat kuantitatif atau kualitatif, diperlukan puluhan ribu SNP dalam
satu genom ternak.
Contoh peneltian yang berkaitan dengan SNP adalah peneltian yang saat ini sedang kami
kerjakan. Pada penelitian kami yang didukung oleh IAEA dengan topik Genetic Variation on the
Control of Resistance to Infectious Diseases in Indonesian local sheep for Improving Animal
Productivity, kami menyediakan sumber daya dan IAEA sebagai sponsor sekaligus berperan
memfasilitasi dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat
marka genetik yang berkaitan dengan sifat resistensi terhadap infeksi cacing saluran pencernaan
khususnya cacing Haemonchus contortus (Hc). Cacing Hc banyak dijumpai pada hewan ruminansia
khususnya domba, menghisap darah, dan menyebabkan gejala haemonchosis dengan indikasi anemia,
oedema, bahkan dapat menyebabkan kematian. efeknya adalah menurunkan produktifitas ternak.
Untuk memperoleh marker tesebut, diperlukan kompilasi antara data kualitatif dan kuantitatif
dari sifat fenotipe dan genotipe yang dapat dianalisis dengan metode Quantitatif Trait Loci (QTL).
Data kualitatif tentu saja adalah kemampuan untuk tahan/tidak tahan terhadap infeksi cacing yang
direpresentasikan dari karakter medis dan pertumbuhan domba, sedangkan data kuantitatif berupa
nilai/angka yang merepresentasikan data kualitatif. Sifat fenotipe yang diamati adalah tingkat infeksi
cacing (FEC), tingkat anemia (PCV), pertumbuhan (Bobot badan), dan warna selaput kelopak mata
bagian bawah (nilai Famacha). Sifat genotipe yang diambil adalah SNP. Domba yang tahan (resisten)
memiliki karakter tingkat infeksi cacing tinggi namun pertumbuhan tidak terganggu/baik, tidak
8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
anemia, dan nilai FAMACHA rendah. Domba yang rentan memiliki karakter tingkat infeksi rendah
hingga tinggi dan mengalami gangguan pertumbuhan, anemia, dan nilai Famacha tinggi. Data
Resisten-Rentan tersebut dianalisis dan dicari marka genetik berupa data SNP yang dapat
membedakan kedua karakter tersebut. Dengan adanya marka genetik tersebut, selanjutnya dapat
diaplikasikan dalam seleksi bibit domba (MAS) untuk membuat galur domba yang tahan infeksi
cacing. Bila galur tesebut terwujud, maka petani kecil bisa tenang tidak khawatir dombanya
cacingan/mati, tidak perlu keluar ongkos untuk beli obat, dan tidak ada residu kimia obat pada
daging/susu yang meracuni manusia, tidak muncul varian cacing yang kebal obat akibat pemakaian
obat cacing yang intensif dan salah, dan akhirnya produktifitas meningkat.
9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 7. Analisis produk olahan dengan marker molekuler. Mix 1 dan 2 adalah produk yang
terdapat campuran berbagai bahan. 1 = kambing murni , 2 = ayam murni, 3 = sapi murni,
4 = domba murni, 5 = babi murni, 6 = kuda murni, 7 = tikus murni.
KESIMPULAN
Sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia sangat melimpah dan banyak potensi yang belum
digali dan dikembangkan. Keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dijadikan alasan
untuk berhenti mengeksplorasi dan mengembangkan potensi sumber daya hayati tersebut.
Keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan menjalin mitra dengan personal ataupun lembaga dari luar
negeri yang memiliki dana dan teknologi, dengan sistem mutualisme. Sumber daya hayati yang kita
miliki merupakan kunci dan senjata kita untuk bermitra yang saling menguntungkan. Ilmu dapat
dipelajari, teknologi dapat dibeli/dibagi. Ada transfer Iptek dari mitra kepada kita dan ada sharing
sumber daya dari kita dengan mitra. Berbagai perusahaan dalam dan luar negeri juga telah
menawarkan jasa untuk analisis genetika molekuler sehingga kita tidak perlu harus membeli peralatan
berteknologi tinggi dan berharga mahal seperti mesin sekuensing untuk memulai bekerja. Analisis
fenotipik sederhana, seperti yang kami lakukan untuk menguji resistensi domba terhadap infeksi
cacing, dapat menjadi modal awal dari sebuah riset molekuler karena karakter fenotipe akan dapat
“membunyikan” suatu data genotipe yang kita miliki.
REFERENSI
Altschul SF, Gish W, Miller W, Myers EW & Lipman DJ. 1990.Basic local alignment search tool. J
Mol Biol. 215, 403-410.
Batley J & Edwards D. 2009. Mining for SNPs and SSRs using SNPServer, dbSNP, and SSR
Taxonomy tree dalam Bioinformatics for DNA Sequence Analysis. ed: David Posada.
Humana Press, USA.
Neuzen ND, Stear MJ, and Chang KC. 2000. Molecular markers and their use in animal breeding. The
Veterinary Journal. 160, 42–52.
Brooks LD. 2003. SNPs: why do we care dalam Single Nucleotide Polymorphisms: Methods and
Protocols, ed. Pui-Yan Kwok. Humana Press, New Jersey.
Collins FS, Brooks LD & Chakravarti A. 1998. A DNA polymorphism discovery resource for
research on human genetic variation. Genome Res. 8, 1229-1231.
Cowper-Sal lari R, Zhang X, Wright JB, Bailey SD, Cole MD, Eeckhoute J, Moore JH, Lupien M.
2012. Breast cancer risk-associated SNPs modulate the affinity of chromatin for FOXA1 and
alter gene expression. Nature Genetics. 44,1191–1198.
Grosse WM, Kappes SM, Laegrid WM, Keele JW, Chitko-McKown CG, and Heaton MP. 1999.
Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery and linkage mapping of bovine cytokine
genes. Mamm. Genome. 10, 1062-1069.
Jakaria, Zein MSA, Sulandari S, Subandriyo, Muladno. 2012. The use of microsatellite markers to
study genetic diversity in indonesian sheep. J.Indonesian Trop.Anim.Agric. 37(1).
10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Ekosistem perairan daratan di Sumatera Utara mempunyai karakteristik yang spesifik terutama dengan
keberadaan Danau Toba bersama dengan Sungai Asahan sebagai aliran keluar air dari Danau Toba. Danau ini
merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi
serta fungsi ekonomi. Potensi pemanfaatan Danau Toba dan Sungai Asahan meliputi fungsinya sebagai sumber
air untuk kegiatan pertanian dan budi daya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti
kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura, dan Asahan serta sebagai kawasan wisata yang
sudah terkenal ke mancanegara. Pemanfaatan air Danau Toba dan Sungai Asahan yang sangat beragam
menyebabkan tekanan terhadap ekosistem Danau Toba dan Sungai Asahan semakin besar sehingga menurunkan
kualitas lingkungannya. Untuk itu perlu upaya konservasi yang terencana dengan baik sehingga kualitas
lingkungan dan kelestarian ekosistem Danau Toba dapat dipertahankan.
PENDAHULUAN
Danau Toba yang mempunyai luas permukaan lebih kurang 1.100 kilometer persegi, dengan
total volume air sekitar 1.258 kilometer kubik, dengan tinggi permukaan pada level 903 m dpl,
merupakan danau yang paling luas di Indonesia.
Danau ini merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau
dari fungsi ekologi, hidrologi serta fungsi ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba
sebagai habitat berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya,
sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budi daya perikanan serta untuk menunjang berbagai
jenis industri, seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura, dan Asahan. Tak
kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal ke
mancanegara dan sangat potensial untuk pengembangan kepariwisataan di Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan proses terbentuknya, danau Toba tergolong danau vulkano-tektonik (gabungan
vulkanik dengan tektonik), yaitu danau yang terbentuk akibat terjadinya letusan gunung berapi dan
diikuti dengan amblasnya tanah secara tektonik. Ketika gunung berapi meletus, sebagian tanah dan
batuan yang menutupi gunung patah dan merosot membentuk cekungan, yang selanjutnya cekungan
tersebut terisi oleh air membentuk danau.
Selanjutnya massa air yang berasal dari Danau Toba membentuk aliran permukaan di Sungai
Asahan sebagai output satu-satunya dari air danau. Sungai Asahan mengalir menuju dan bermuara di
Selat Malaka dengan panjang aliran 147 km. Meskipun air dari Danau Toba merupakan reservoir
utama yang membentuk aliran Sungai Asahan, tetapi di sepanjang alirannya massa air masih disuplai
dari berbagai anak-anak sungai yang bermuara ke Sungai Asahan. Karena besarnya volume Sungai
Asahan, maka potensi pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik tenaga air juga sangat besar.
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Danau Toba, dijumpai 14 spesies ikan. Informasi yang diperoleh dari nelayan setempat bahwa
jenis ikan yang akhir-akhir ini sering didapatkan adalah ikan mujahir (Tilapia mossambica),
ikan kepala timah (Aplocheilus panchax), ikan seribu (Lebistes reticulates), ikan gurami
(Osphronemus goramy), ikan sepat (Trichogaster trichopterus), ikan gabus (Channa striata),
ikan lele (Clarias batrachus), ikan mas (Cyprinus carpio), dan ikan nila.
Selain itu terdapat satu jenis ikan endemik yaitu ikan yang hanya terdapat di Danau
Toba yang disebut sebagai ikan batak atau “ihan” (Neolissochillus thienemanni). Jenis ikan ini
berdasarkan kriteria IUCN (International Union for the Conservation of Nature) sudah
diklasifikasikan sebagai terancam punah (endangered). Jenis ikan ini dahulu sering dihidangkan
sebagai sajian istimewa untuk berbagai acara pesta adat bagi masyarakat setempat, tetapi kini
masyarakat yang tinggal di sekitar danau sudah sangat sulit untuk menemukan ikan tersebut.
Selanjutnya berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, diketahui bahwa terdapat
sebanyak 22 spesies ikan yang hidup di Sungai Asahan (Barus dkk, 2012). Cyprinidae
merupakan famili yang paling banyak dijumpai (Gambar 1). Adapun jenis-jenis ikan dominan
diantaranya adalah Neolissochilus sumatranus, Tor soro, T. douronensis, dan T. tambroides.
Neolissochilus sumatranus adalah ikan endemik di Sungai Asahan.
Sisoridae
Siluridae
Mastacembelidae
FAMILY
Gobiidae
Cyprinidae
Clariidae
Balitoridae
0 2 4 6 8 10 12 14
NUMBER OF SPECIES
13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
• Dari hasil penelitian, diperkirakan masih dapat dikembangkan PLTA Asahan IV dan V
dengan kapasitas sebesar 80 MW dan 18 MW.
14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
masal ikan mas pada bulan Oktober-November 2004, serta telah menimbulkan kerugian materiel yang
tidak sedikit (Barus, 2005).
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh berbagai pihak, disimpulkan bahwa terjadinya
kematian masal ikan di perairan Haranggaol Danau Toba disebabkan oleh serangan virus herpes koi
(Panjaitan, 2005). Namun demikian kemungkinan faktor lain yang menyebabkan terjadinya kasus
kematian masal ikan mas tersebut adalah penurunan kualitas air di perairan Haranggaol. Kegiatan
budidaya ikan dalam jaring apung yang sudah berlangsung selama lebih dari 10 tahun, telah
menyebabkan terjadinya akumulasi berbagai senyawa kimia yang pada akhirnya menimbulkan
kondisi yang toksik terhadap ikan-ikan budidaya.
Pemanfaatan air Danau Toba yang sangat beragam yaitu sebagai sumber air bersih bagi
masyarakat sekitar, sebagai tempat kegiatan penangkapan ikan dan budidaya ikan dalam keramba
jaring apung, kegiatan transportasi air, pariwisata, sebagai sumber air untuk pembangkit listrik di
daerah hilir, di satu sisi membutuhkan kualitas air danau yang baik serta memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu. Sebaliknya Danau Toba juga digunakan sebagai tempat membuang berbagai
jenis limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian di sekitar kawasan Danau Toba, limbah domestik
dari permukiman dan perhotelan, limbah nutrisi dari sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi oleh
ikan yang dibudidayakan, limbah dari pariwisata dan transportasi air. Apabila proses pencemaran
terus berlanjut tanpa ada upaya-upaya untuk meminimalkan pencemaran yang terjadi maka beban
ekosistem Danau Toba akan semakin berat dan pada akhirnya akan merugikan semua pihak yang
berkepentingan.
Secara kasat mata di beberapa kawasan Danau Toba kita sudah bisa melihat tumbuhnya
berbagai jenis tumbuhan air terutama jenis eceng gondok yang telah menutupi lapisan permukaan
danau. Hal ini terjadi akibat proses eutrofikasi (pengayaharaan) yang merupakan suatu gejala
peningkatan unsur hara, terutama fosfor dan nitrogen di suatu ekosistem air. Unsur hara tersebut
terutama berasal dari limbah cair yang dibuang ke suatu ekosistem air secara terus menerus sehingga
terakumulasi dalam jumlah yang banyak. Peningkatan unsur hara tersebut akan meningkatkan proses
pertumbuhan berbagai jenis tumbuhan air yang sangat cepat sehingga terjadi ledakan populasi
vegetasi yang sering disebut sebagai blooming. Biomassa dari vegetasi ini setelah mati akan
mengalami proses pembusukan/dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara
aerob, artinya proses tersebut membutuhkan ketersediaan oksigen terlarut di dalam air. Akibat proses
dekomposisi tersebut kandungan oksigen terlarut akan semakin sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus
berlangsung dapat menimbulkan kondisi anaerob karena kandungan oksigen terlarut sudah sangat sedikit.
Dalam kondisi tidak tersedia oksigen terlarut, proses penguraian akan berjalan secara anaerob yang
menghasilkan berbagai senyawa yang bersifat toksik dan menimbulkan bau yang busuk.
Pemanfaatan Sungai Asahan sebagai sumber energi terbarukan yang bersifat ramah
lingkungan (PLTA) tidak berarti tanpa dampak negatif sama sekali. Kegiatan konstruksi PLTA juga
akan memberikan tekanan terhadap lingkungan. Dengan akan dibangunnya PLTA Asahan 3 misalnya,
maka akan ada perubahan profil Sungai Asahan yang signifikan. Salah satunya adalah dengan
dialihkannya aliran air sebanyak 95% dari debit yang tersedia menuju terowongan yang akan
dimanfaatkan untuk memutar turbin, maka debit air yang mengalir pada segmen sungai sepanjang
kira-kira 10 km akan berkurang secara drastis. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan populasi
ikan dan biota air lainnya.
15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dalam kaitannya dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati ekosistem Danau Toba
maka selain menjaga dan mengelola kualitas air, yang juga penting untuk dilakukan adalah
pemantauan terhadap kualitas habitat yang dapat mendukung pertumbuhan populasi organisme air.
Untuk itu perlu diidentifikasi zona perairan yang berfungsi sebagai tempat berkembang biak berbagai
jenis organisme air termasuk zona perairan sebagai tempat pemijahan ikan secara alami, untuk
kemudian dilakukan upaya konservasi, sehingga organisme air dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal.
Berbagai kajian dan upaya pengelolaan ini dibutuhkan untuk dapat memberikan gambaran
yang lebih jelas tentang daya dukung ekosistem Danau Toba, sehingga pemanfaatan ekosistem Danau
Toba bagi berbagai kepentingan tidak menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan ekologi di
danau tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2010. Paparan Ketua Otorita Asahan Pada Workshop Revitalisasi Pusat Penelitian
Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PUSLIT SDAL USU)
di Gedung IMT-GT Biro Rektor USU, MEDAN, 19 Oktober 2010.
Barus, T.A. 2004. ”Faktor-Faktor Lingkungan Abiotik dan Keanekaragaman Plankton sebagai
Indikator Kualitas Perairan Danau Toba”. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. XI, No. 2,
Juli 2004, hal. 64-72.
Barus, T.A. 2005. ”Penggunaan Parameter Limnologi dalam Penentuan Daya Dukung Danau Toba
untuk Budidaya Ikan Sistem Jala Apung”. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional
Penanggulangan Kematian Masal Ikan Mas di Danau Toba, 3 Maret 2005, Univ. HKBP
Nommensen, Medan.
Barus, T.A., Ch.P.H. Simanjuntak, T. Situmorang, 2012. ”Ichtiofauna Sungai Asahan”. Makalah,
disampaikan pada Seminar Nasional Biologi USU-Medan, 11 Mei 2012.
Boyd, E.C. 2004. An Environmental Assessment of Tilapia Cage Culture in Lake Toba, Northern
Sumatra, Indonesia.
Bruijne, W. 2009. Pora-pora in Lake Toba. Oportunistic Species as Nutrient Management Tool.
Internship Report. Wageningen University.
Kartamihardja, E.S., K. Purnomo. 2006. Keberhasilan Introduksi Ikan Bilih (Mystacoleucus
padangensis) ke Habitatnya Yang Baru di Danau Toba, Sumatera Utara. Prosiding Seminar
Nasional Ikan IV. Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited. 1-291+84 plates.
Panjaitan, P., 2005. “Kajian Timbulnya Wabah Virus Herpes Koi di Perairan Danau Toba dan
Alternatif Pemecahannya”. Makalah, disampaikan pada seminar nasional Penanggulangan
Kematian Massal Ikan Mas di Danau Toba, 3 Maret 2005, Medan: Univ. HKBP
Nommensen.
Rismawati. 2010. Analisis Daya Dukung Perairan Danau Toba Terhadap Kegiatan Perikanan Sebagai
Dasar Dalam Pengedalian Pencemaran Keramba Jaring Apung. Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. Medan. Tesis.
16
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
18
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang uji toksisitas akut fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun pugun
tano (Curanga fel-terrae Merr.) pada mencit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
gejala toksisitas yang timbul pada mencit setelah pemberian fraksi serta histopatologi. Mencit yang digunakan
sebanyak 45 ekor, dibagi dalam 9 kelompok perlakuan. 1 kelompok diberi Na CMC sebagai kontrol untuk
masing-masing fraksi dan 2 kelompok perlakuan diberi masing-masing fraksi dengan dosis 2000 mg/kg BB dan
5000 mg/kg BB. Pengamatan efek toksik berdasarkan perubahan berat badan dan jumlah kematian yang diamati
setiap hari selama 14 hari serta penentuan berat organ relatif dan gambaran histopatologi organ pada akhir
pengamatan. Hasil pengamatan menunjukan tidak ada perubahan berat badan dan mencit yang mati selama masa
perlakuan (P>0,05). Hasil makroskopis dan mikroskopis pada organ, tidak menunjukan adanya perubahan
warna, konsistensi dan struktur organ. Ini menunjukan bahwa fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun pugun
tano memiliki efek toksisitas akut yang rendah.
PENDAHULUAN
Tumbuhan Pugun tano merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki khasiat untuk obat-
obatan. Pugun tanoh adalah herba tahunan famili Scrophulariaceae. Di Maluku dan Filipina, cairan
dekoksi dari tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak, untuk mengobati kolik dan
malaria. Di Indonesia, tapel daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Infusan
dari daun bersama dengan daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada.
Maserasi daun dengan alkohol digunakan sebagai tonik (untuk menguatkan badan dan meningkatkan
nafsu makan) (Anonima, 2011). Sedikitnya informasi ilmiah tentang khasiat dan keamanan daun
pugun tano maka perlu dilakukan penelitian mengenai uji toksisitas akut yang meliputi pemberian
fraksi daun pugun tano pada hewan uji secara oral serta pengamatan histopatologi untuk mengetahui
kerusakan organ akibat pengunaann fraksi ini.
Hewan percobaan
Hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit dengan berat 20-25 gram yang diperoleh
dari Balitbang Depkes RI. Hewan diaklimatisasi selama seminggu dengan siklus 12 jam gelap/terang
pada suhu kamar, mencit diberi makanan pellet standart dan air ad libitum.
19
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pembuatan Fraksi N-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Daun Pugun Tano
Pembuatan fraksi daun pugun tanoh dilakukan dengan cara remaserasi menggunakan pelarut
bertingkat yaitu n-heksan, etil asetat dan etanol 96% (Ditjen POM, 1979). Pengekstrasian dilakukan
dengan cara sebagai berikut sebanyak 800 gram serbuk simplisia direndam dalam pelarut n-heksan
selama 5 hari sambil sekali-sekali diaduk, kemudian disaring dan residunya direndam kembali dengan
n-haksan selama 2 hari. Residu dikeringkan dengan cara mengangin-anginkannya di udara terbuka
hingga pelarut n-heksan menguap, lalu dimaserasi kembali menggunakan pelarut etil asetat. Perlakuan
yang sama dilakukan mengunakan pelarut etanol. Hasil maserat diputar dengan evaporator pada suhu
± 40oC,lalu di keringkan pada suhu -20oC dan diperoleh fraksi yang sangat kental dan akhir proses
diperoleh 3 fraksi, yaitu ekstrak n-heksan, etil asetat dan etanol.
Tabel 1. Jumlah mencit yang mati setelah pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun
puguh tanoh
Perlakuan Jumlah Mencit Jumlah Mencit yang Mati
K1a 5 0
K1b 5 0
K1c 5 0
K2a 5 0
K2b 5 0
K2c 5 0
K3a 5 0
K3b 5 0
K3c 5 0
Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis
5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol
dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB;
K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB.
20
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hasil rata-rata berat badan tiap kelompok sesudah diberi fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat
daun puguh tanoh ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil rata-rata berat badan tiap kelompok sesudah diberi fraksi ekstrak (n-heksan, etanol dan
etil asetat) daun puguh tanoh
Rata-rata berat badan (g)
Lama
pengamatan K1a K1b K1c K2a K2b K2c K3a K3b K3c
2 minggu 32,92 29,44 32,69 27,44 28,72 33,3 29,93 33,01 34.47
Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis
5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol
dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB;
K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB.
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan berat badan antara kelompok
kontrol dan perlakuan. Untuk mengetahui toksisitas, ada tiga parameter yang merupakan indikator
sensitif, yaitu tanda-tanda klinis, berat badan dan konsumsi makanan. Hewan uji diamati setiap hari
untuk tanda-tanda klinis toksisitas. Hasil analisis statistik terhadap pengamatan perbandingan berat
badan sesudah diberi fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh antar kelompok
perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai signifikansi 0,504 (p > 0,05).
Hal ini menunjukkan tidak adanya gejala toksik yang timbul. Hasil berat organ relatif yang didata
pada akhir perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3.
Pada parameter rasio berat organ tidak ada perbedaan yang signifikan berat organ hati, ginjal
dan jantung antara kelompok kontrol dengan perlakuan dengan nilai signifikansi 1,000 (p > 0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh tidak
berpengaruh besar terhadap perbandingan berat organ dengan berat badan dan warna organ. Adanya
perubahan warna organ menjadi salah satu parameter terjadinya suatu efek toksik pada organ (Lu,
1994).
Tabel 3. Nilai berat organ relatif per 100 g berat badan yang didata pada akhir perlakuan
Rata-rata berat organ per 100 g
Organ
K1a K1b K1c K2a K2b K2c K3a K3b K3c
Hati 1,942 1,6015 2,057 1,842 1,547 2,008 1,94 1,578 1,352
Jantung 0,207 0,158 0,181 0,2122 0,156 0,202 0,163 0,192 0,196
Ginjal
0,224 0,204 0,192 0,214 0,189 0,188 0,207 0,248 0,234
Kanan
Ginjal Kiri 0,217 0,207 0,188 0,206 0,191 0,235 0,195 0,236 0,22
Testis
0,111 0,083 0,0604 0,114 0,106 0,116 0,082 0,092 0,098
Kanan
Testis Kiri 0,104 0,102 0,043 0,108 0,105 0,114 0,089 0,088 0,1
Keterangan: K1a= kontrol n-heksan; K1b= n-heksan dosis 2000 mg/kg BB; K1c= n-heksan dosis
5000 mg/kg BB; K2a= kontrol etanol; K2b= etanol dosis 2000 mg/kg BB; K2c= etanol
dosis 5000 mg/kg BB; K3a= kontrol etil asetat; K3b= etil asetat dosis 2000 mg/kg BB;
K3c= etil asetat dosis 5000 mg/kg BB.
Hasil pengamatan makroskopik, warna organ hati mencit tidak terjadi perubahan, struktur
permukaan hati terlihat licin dan konsistensi hati kenyal pada semua kelompok. Hati terlibat dalam
metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Retnomurti, 2008). Oleh sebab itu,
hati menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain
21
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
(Santoso, et al., 2006). Pada ginjal mencit, tidak terjadi perubahan warna jika dibandingkan dengan
kontrol, permukaan ginjal tampak licin dan konsistensinya kenyal pada semua kelompok. Fungsi
utama ginjal adalah organ eliminasi bagi tubuh, yaitu memusnahkan zat toksik tertentu. Beberapa obat
atau zat kimia yang beredar dalam sirkulasi sistemik akan dibawa ke ginjal dalam kadar yang cukup
tinggi, akan terjadi proses perubahan struktur dari ginjal itu sendiri terutama di tubulus ginjal
(Manggarwati, 2010). Hasil pengamatan pada organ jantung mencit, tidak terjadi perubahan warna
dibandingkan dengan kontrol, bentuk dan konsistensi organ jantung mencit tampak normal . Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian fraksi n-heksan, etanol dan etil asetat daun puguh tanoh tidak
berpengaruh terhadap organ jantung. Jantung mudah dirusak oleh berbagai jenis zat kimia karena
merupakan salah satu organ sasaran. Zat kimia bekerja secara langsung pada otot jantung atau secara
tidak langsung melalui susunan saraf atau pembuluh darah (Retnomurti, 2008).
Hasil pengamatan histopatologi terhadap jantung, hati dan ginjal mencit dapat dilihat pada gambar
berikut:
a. Gambar Histopatolgi Organ Jantung
22
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol daun
pugun tano memiliki efek toksisitas akut yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, D.R. (2008). Gambaran Makroskopik dan Mikroskopik Hati dan Ginjal Mencit Akibat
Pemberian Plumbum Asetat. Tesis. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Iwuanyanwu K.C.P., Amadi, U., Charles, I.A., dan Ayalogu, E.O. (2012). Evaluation of Acute and
Subchronic Oral Toxicity Studi of Baker Cleanser Bitters A Polyherbal Drug On Experimental
Rat. EXCLI Journal 11(1): 632-640.
Jenova, R. (2009). Uji Toksisitas Akut yang Diukur dengan Penentuan LD50 Ekstrak Herba Putri
Malu (Mimosa pudica L.) Terhadap Mencit BALB/C. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Lu, F.C. (1994). Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi II. Jakarta:
UIP. Halaman 85-86.
Manggarwati, A.F. (2010). Uji Toksisitas Subkronis Ekstrak Valerian pada Tikus Wistar: Studi
Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal dan Kadar Kreatinin. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Halaman 9.
23
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
OECD. (2001). Acute Oral Toxicity – Acute Toxic Class Method. OECD Guidelines for Testing
Chemicals. 423(1): 1-6.
Retnomurti, H.R. (2008). Pengujian Toksisitas Akut Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.)
Secara In Vivo. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Halaman 30-31.
Santoso, H.B., dan Nurliani, A. (2006). Efek Doksisiklin Selama Masa Organogenesis pada Struktur
Histologi Organ Hati dan Ginjal Fetus Mencit. Bioscientiae. 3(1): 15-27.
24
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang bakteri endofitik dari daun sirih merah penghasil antibiotika.
Bakteri endofitik diisolasi dari daun dengan menggunakan medium Nutrien Agar. Pengujian antibiotika dari
masing isolat menggunakan metode kertas cakram dengan bakteri uji E. coli dan S. aureus. Hasil penelitian
menunjukkan 14 isolat bakteri endofitik yang memiliki kemampuan menghasilkan antibiotika. Delapan isolat
bakteri memilikizona hambat terhadap E.coli, 12 isolat memiliki daya hambat terhadap S. aureus dan 6 isolat
bakteri terhadap ke dua bakteri uji tersebut. Isolat bakteri PCT-12 memiliki daya hambat tertinggi pada ke dua
bakteri uji, yaitu 10 mm pada E.coli dan 11 mm pada S. aureus. Isolat PCT-12 menghasilkan dua jenis
antibiotika yang dihasilkan pada 36 dan 42 jam fermentasi.
PENDAHULUAN
Antibiotika merupakan senyawa organik dengan berat molekul rendah yang dihasilkan
mikroorganisme pada konsentrasi rendah memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan ataupun
membunuh mikroorganisme (Demain, 1981). Peningkatan populasi penduduk dunia yang signifikan
dan perkembangan berbagai penyakit infeksi yang timbul semakin meluas, berkorelasi positip akan
kebutuhan obat berupa antibiotika untuk itu eksplorasi senyawa anti mikroba yang baru dari berbagai
sumber masih intensif dilakukan disamping itu, dewasa ini semakin banyaknya mikroorganisme
patogen yang memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap antibiotika.
Salah satu sumber antibiotika adalah mikroba yang hidup pada jaringan tumbuhan atau lebih
dikenal dengan mikroba endofitik (Radji, 2005), Mikroorganisme endofitik dari berbagai tumbuhan
dapat menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki karakter sebagai anti mikroba patogen yang
mencakup bakteri, jamur dan virus, bioaktif mengobati kanker, senyawa artemisinin sebagai obat
malaria, zat aktif yang bekerja seperti insulin, antioksidan, senyawa imunosupresif, bioinsektisida
dansenyawa biokatalis berupa enzim (Strobel dan Daisy, 2003; Wiyakruttaet al., 2004).
Bakteri endofitik yang diisolasi dari tanaman memliki keanekaragaman yang yang besar,
terdiri dari kelompok bakteri α-proteobakteria, β-proteobakteria,γ-proteobakteria, firmicutes,
bakteriodes dan aktinobacteria (Rosenblueth dan Romero, 2006). Populasi bakteri endofitik
dipengaruhi jenis bakteri, genotip inang, tingkat perkembangan inang, dosis inokulum dan kondisi
lingkungan (Pillay and Nowak, 1997; Tan et al., 2003).
Tumbuhan obat merupakan sumber yang potensi keberadaan mikroba endofitik penghasil
antibiotika, mengingat jenis metabolit sekunder yang dihasilkan oleh inang secara empiris, juga dapat
dihasilkan oleh bakteri endofitik. Isolat bakteri endofitik penghasil antibiotika dari tumbuhan obat
telah dilaporkan seperti dari tumbuhan surian (Djamaan et al., 2012).Sirih merah merupakan salah
satu tanaman obatpotensial yang diketahuisecara empirismemiliki khasiat untuk
menyembuhkanberbagai jenis penyakit (Robinson, 1991).
Berdasarkan uraian di atas dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui potensi
isolat bakteri endofitik dari daun sirih merah.
.
BAHAN DAN METODE
2.1. Pengoleksiansampel daun sirih merah
Sampel berupa daun sirih merah dilakukan dengan cara memetik daun yang ukurannya lebar sebanyak
5 helai, kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas steril.Daun yang masih dalam keadaan segar
dicuci dengan air mengalir dan direndam selama 1 menit di dalam alkohol 70%. Selanjutnya
daundipotong dengan ukuran 1 x 1cm bagian ujung daun,pangkal daun, sisi kiri, sisi kanan dan bagian
tengah tulang daun.
25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
26
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
bakteri uji (Dharma, 1985). Mikroorganisme dapat menghasilkan antibiotika jika mikroorganisme
tersebut mengandung gen-gen yang mengkode antibiotika dan terekspresikan serta adanya induser
sebagai penginduksi dalam biosintesis antibiotika dalam sel mikroba(Crueger dan Crueger
1984).Tabel 1 juga menunjukkan bahwa masing-masing isolat bakteri memiliki aktivitas antibiotika
yang berbeda antara satu sama lainnya, hal ini disebabkan jenis antibiotika yang dihasilkan dari
masing-masing isolat bakteri adalah berbeda, atau jenis antibiotikanya sama tetapi konsentrasi
antibiotika yang dihasilkan tidak sama, sehingga memberi efek terhadap aktivitas antibiotika tersebut.
Tabel 1. Rata-rata daerah hambat bakteri dari masing-masing isolat bakteri endofitik
No Kode Diameter zona hambat (mm)
Isolat
Escherichia coli Staphylococcus aureus
1 PCM-2 7 8
2 PCM-4 7 -
3 PCM-6 - 9
4 PCM-9 - 7
5 PCM-10 - 7
6 PCM-11 10 10
7 PCT-2 10 9
8 PCT-3 7 7
9 PCT-5 - -
10 PCT-6 - 11
11 PCT-7 8 -
12 PCT-9 7 8
13 PCT-10 - 10
14 PCT-11 - 9
15 PCT-12 11 12
Keterangan : (-) : tidak menghasilkan daerah hambat bakteri
A b
Gambar 1 : Efek ekstrak kasar antibotika dari bakteri endofitik
terhadap bakteri uji S.aureus (a); terhadap E.coli (b)
Menurut Madigan et al. (2000), jenis dan konsentrasi antibiotika merupakan faktor penentu pada
aktivitas antibiotika terhadap mikroorganisme.
Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa adanya isolat bakteri endofitik yang menghasilkan ekstrak
kasar antibiotika yang memiliki daya hambat terhadap kedua bakteri uji ada yang hanya mempunyai
daya hambat pada salah satu bakteri uji saja. Isolat PCT 12 menghasilkan antibiotika dengan daya
hambat yang tertinggi pada kedua bakteri uji.Sensitifitas bakteri uji ditunjukkan diameter daerah
27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
hambat, semakin besar daya hambat terhadap bakteri maka antibiotika tersebut memiliki aktivitas
yang semakin baik (Ardiansyah, 2009).
10,5
Diameter zona bening (mm)
8,5
6,5
24 30 36 42 48
waktu fermentasi (Jam)
Gambar 2 : Profilaktivitas antibiotika isolat PCT-12 terhadap bakteri uji
Keterangan :
Gambar 2, menunjukkan adanya dua kurva aktivitas antibiotika dari isolat PCT-12, dimana
antibiotika yang dihasilkan pada 36 jam memiliki daya hambat yang paling tinggi (10 mm) terhadap
E. coli dan satunya lagi aktivitas antibiotika paling tinggi daya hambatnya (11 mm) terhadap S.
aeureus pada 42 jam fermentasi.Hal ini menunjukkan bahwa Isolat PCT-12 bakteri endofitik yang
diisolasi dari daun sirih, mempunyai dua jenis antibiotika yang berbeda. Mikroorganisme endofitik
ada yang memiliki kemampuan menghasilkan lebih dari satu jenis antibiotika (Strobel dan Daisy,
2003).
4.2 Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk optimasi dan “scale up” produksi antibiotika dari isolat PCT-12.
28
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, 2009. Daun Beluntas Sebagai Bahan Antibakteri dan Antioksidan. Artikel Iptek. Bidang
Biologi, Pangan dan Kesehatan.
Crueger, W. and A Crueger. 1994. Biotechnology : A Text Book Of Industrial Microbiology. Translate
by C. Heasslyang T.D. Brock, Science Tech, Inc, Medison : New York.
Dharma,A.P.1985.Tanaman Obat Tradisional Indonesia. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta.
Djamaan, A., A. Agustien dan D. Yuni. 2012. Isolasi bakteri endofitik dari tumbuhan tanaman surian
(Toonia sureni Blume Merr.) yang berpotensi sebagai anti bakteri. Jurnal Bahan Alam
Indonesia, 8,1, 37-40.
Demain, A. L.1981. Industrial microbiology. Science,214, 987–994.
Madigan, M., J. Martinko and J. Parker (2000), Biology of Microorganism, 9th ed.,Prentice Hall Inc,
New Jersey, 432-438.
Pillay, V. K. and Nowak, J. 1997. Inoculum density, temperature, and genotype effects on in vitro
growth promotion and epiphytic and endophytic colonization of tomato
(Lycopersicon esculentum L.) seedlings inoculated with a pseudomonad bacterium.
Canadian Journal Microbiology, 43, 354-361.
Radji, M. 2005. Peranan bioteknologidan mikroba endofitdalam pengembangan obat herbal. Majalah
Ilmu Kefarmasian, 2, 3, 113-126
Rosenblueth, M. dan E.M., Romero, 2006. Bacterial endophytes and their interactions with host.
MPMI, Vol. 19, No. 8, 827–837.
Strobel, G. and B. Daisy. 2003. Bioprospecting for Microbial Endophytes and Their Natural Products.
Journal Microbiology and Molecular Biology Review.67, 4, 491-502
Tan, Z., T. Hurek, and H.B., Reinhold. 2003. Effect of N-fertilization, plant genotype and
environmental conditions on nifH gene pools in roots of rice. Journal Environmental
Microbiology, 5, 1009-1015.
Wiyakrutta, S., N. Sriubolmas, W. Panphut, N. Thongon and K. Danwisetkanjana. 2004. Endophytic
fungi with anti-microbial, anti-cancer and anti-malarial activities isolated from Thai
medicinal plants. World J.Microbiology Biotechnology,20, 265–272.
29
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
PENGGUNAAN SALEP SERBUK BIJI BUAH PINANG (Areca catechu L.) SEBAGAI
OBAT LUKA BAKAR
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian terhadap serbuk biji buah pinang dalam dasar salep berminyak untuk
penyembuhan luka bakar, sebagai pembanding digunakan Bioplacenton® jeli. Kadar serbuk biji buah pinang
yang digunakan 5%; 7,5%; 10% dan 12,5%. Luka bakar dibuat pada punggung kelinci jantan dengan
menggunakan lempeng logam panas. Penyembuhan luka bakar diukur berdasarkan diameter luka. Luka
dinyatakan sembuh total bila diameter luka sama dengan nol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok
kelinci yang diberi salep serbuk biji buah pinang 12,5% mempunyai waktu penyembuhan tercepat yaitu 16 hari.
Waktu penyembuhan terlama ditunjukkan oleh kelompok kelinci yang diberi salep serbuk biji buah pinang 5%
yaitu 30 hari. Dengan Bioplacenton® jeli waktu penyembuhan 26 hari.
Kata kunci : serbuk biji pinang, kelinci, Bioplacenton® jeli, luka bakar.
PENDAHULUAN
Suatu kekayaan alam yang terdapat di Indonesia adalah tumbuh–tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan secara tradisional dapat digunakan sebagai obat. Bagi
penduduk Indonesia keberadaan obat tradisional bukan merupakan hal yang baru sebab sudah
digunakan dan diajarkan secara turun temurun (Santosa, 2004).
Salah satu jenis tanaman obat yang dapat dikembangkan adalah pinang (Areca catechu L)
Secara tradisional buah pinang dapat digunakan untuk menyembuhkan luka akibat kecelakaan,
terbakar, terbentur (Kloppenburg, 1988), tetapi belum pernah diteliti efek farmakologinya.
Kandungan zat berkhasiat pada biji buah pinang yaitu alkaloid, tanin, lemak, saponin flavonoid
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2001). Kandungan tanin pada biji yang masih muda
sangat tinggi dan tanin ini dalam air dapat terurai jika disimpan (Dit Jen POM, 1979).
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui efek
penyembuhan luka bakar dengan memanfaatkan serbuk biji buah pinang dalam dasar salep berminyak
yang tidak mengandung air. Kemudian dibandingkan dengan sediaan obat luka bakar yang telah
beredar di pasaran yaitu Bioplacenton® jeli.
Metodologi
1. Persiapan hewan
Sebelum percobaan dimulai, kelinci dipelihara lebih dahulu selama satu minggu dalam kandang yang
baik untuk menyesuaikan lingkungan. Selama pemeliharaan setiap hari diamati perilakunya dan
berat badannya ditimbang. Hewan dinyatakan sehat dan dinilai dapat digunakan untuk pengujian,
selama pemeliharaan berat badannya tetap atau bertambah dan perilakunya normal.
2. Penyediaan sampel
2.1 Pembuatan serbuk biji pinang
Buah pinang yang masih muda berwarna hijau diambil secara purposive tanpa membedakan
tempat tumbuh lalu dikumpulkan. Kemudian dikupas dari serabutnya dan timbang bijinya,
30
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
selanjutnya diiris tipis-tipis dan dikeringkan diudara terbuka terlindung dari sinar matahari
langsung. Setelah kering dihaluskan menjadi serbuk dan ayak dengan ayakan mesh 100. Serbuk
halus ini disimpan dalam wadah yang tidak tembus cahaya.
Cara Pembuatan
Timbang bahan-bahan yang diperlukan. Setil alkohol, adeps lanae, vaselin album dan parafin
cair dimasukkan kedalam cawan porselen kemudian dilebur di atas penangas air sampai seluruhnya
mencair. Kemudian diangkat dari penangas air lalu diaduk sampai dingin sehingga diperoleh dasar
salep ( Lachman, 1994 ). Serbuk biji buah pinang yang sudah ditimbang masukkan kedalam lumpang
, gerus dan tambahkan dasar salep sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen. Salep yang
sudah jadi dimasukkan kedalam wadah dan disimpan ditempat yang terlindung dari cahaya.
3. Pengujian Pengobatan Luka Bakar
Caranya:
Kelinci dicukur bagian punggungnya, kemudian dianestesi dengan Pehacain® injeksi yang
disuntikkan secara sub kutan dengan dosis 1 ml; setelah 3 menit, kulit diinduksi dengan alat
penginduksi panas pada suhu 80-90°C selama 5 menit sehingga terjadi luka bakar. Luka yang
terjadi diukur diameternya, kemudian luka tersebut diolesi dengan salep sediaan uji, tutup dengan
kain kasa dan plester.
Setiap hari dilakukan pengamatan dengan mengukur diameter luka dan diolesi lagi dengan salep
uji sampai akhirnya luka sembuh. Diameter luka sama dengan nol bila luka sudah tertutup dengan
jaringan baru (Suratman, dkk 1996). Untuk setiap perlakuan digunakan 5 ekor kelinci.
31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pada Tabel 2. dapat dilihat bahwa kelompok dengan pemberian dasar salep tanpa penambahan
serbuk biji buah pinang, penyembuhan 100% (total) terjadi pada hari ke 37 Untuk kelompok yang
diberi dengan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang 5%, 7,5%, 10%, dan 12,5%
memberikan persentase penyembuhan 100% (total) berturut-turut 31 hari, 27 hari, 22 hari, dan 17
hari. Sedangkan untuk kelompok pembanding mengunakan pengobatan dengan Bioplacenton®'
32
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
memberikan penyembuhan total pada hari ke- 26. Ternyata salep yang mengandung serbuk biji buah
pinang sebanyak 7,5%, menunjukkan hasil yang sama dengan pengobatan menggunakan
Bioplacenton®' yaitu sembuh pada hari ke- 27. (Bioplacenton® adalah obat luka bakar). Hal ini
disebabkan serbuk biji buah pinang mengandung tanin yang cukup tinggi dan mengandung saponin
yang dapat berfungsi sebagai obat luka. Tanin berguna sebagai adstringent yang dapat menyebabkan
penutupan pori–pori kulit dan menghentikan eksudat dan pendarahan ringan. Saponin memiliki
kemampuan sebagai antiseptik yang dapat mencegah pertumbuhan mikro organisme. Pengobatan
dengan salep yang mengandung 12,5% serbuk biji buah pinang memberikan penyembuhan yang lebih
cepat daripada pengobatan dengan Bioplacenton® karena penyembuhan total terjadi pada hari ke -16.
120
100
80
Persentase Penyembuhan
60
40
20
0
-20 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37
-40
-60
-80
-100
-120
Hari ke-
Gambar 2. Kelinci dengan pengobatan menggunakan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang
12,5%.
33
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
1. Sediaan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang dapat menyembuhkan luka bakar secara
nyata.
2. Sediaan salep yang mengandung serbuk biji buah pinang 5%, 7,5%, 10%, dan 12,5% dapat
menyembuhkan luka bakar pada hari ke-31, 27, 22, dan ke -16 secara total. Penyembuhan tercepat
yaitu pada hari ke- 16 dengan menggunakan sediaan salep yang mengandung 12,5% serbuk biji
buah pinang.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. (1997). Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit.Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. hal. 1-5,38,63.
Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan. (2001). Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jilid
2. Depkes & Kesejahteraan Sosial RI. Jakarta. hal 34.
DitJen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. hal. 33.
Kloppenburg, J. (1998). Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-Tanaman Di Indonesia Dan Khasiatnya
Sebagai Obat-Obatan Tradisionil. Cetakan kedua.Yogyakarta. Penerbit: CD. R.S. Bethesda
Dan Andi Offset. hat 133.
Lachman, L., dkk. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri. Penerjemah: Siti Suyatmi. Edisi
kedua. Jakarta. Universitas Indonesia. hal. 1136.
Moenadjat, Y. (2003). Luka Bakar: Pengetahuan Klinik Praktis. Jakarta: Fakultas- Kedokteran
Universitas Indonesia. hal. 2-5.
Robinson, L. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Kosasih Padmawinata.
Bandung: Penerbit ITB. hal. 71, 191.
Tjitrosoepomo, G. (1994). Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Ilustrator: Eko Sarjono. Cetakan
pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal 443-444.
Santosa, D., dan Gunawan. (2004). Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Kulit. Jakarta: Penebar
Swadaya. hal. 1-5.
Suratman., Sumin 1, AS., dan Ghozali, D. (1996). Pengaruh Ekstrak Antanan dalam Bentuk Sediaan
Salep, Krim dan Jelly terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Cermin Dania Kedokteran; 108; 31-
38.
34
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Hemopoesis merupakan proses pembuatan sel-sel darah, di mana sangat dipengaruhi adanya
mielosupresi yang berperan dalam penurunan jumlah sel-sel darah dalam tubuh. Kehidupan sel darah dimulai
dalam sumsum tulang dalam bentuk tipe sel yang dikenal dengan nama stem cell hematopoietic pluripoten, yang
akan berproliferasi menjadi sel-sel mieloid. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat efek ekstrak rimpang temu
mangga sebagai antimielosupresi.Penelitian ini dilakukan pada 4 kelompok perlakuan, di mana kelompok
pertama (AM – 1) sebagai kelompok kontrol, Kelompok kedua (AM – 2), kelompok uji yang diinduksi dengan
siklofosfamid dosis 30 mg/kg BB, Kelompok tiga dan empat sebagai kelompok perlakuan ekstrak rimpang temu
mangga (ERTM) dosis 100 mg/kg BB (AM – 3) dan dosis 200 mg/kg BB (AM – 4). Hasil Penelitian
menunjukkan bahwa ERTM dosis 200 mg/kg BB mampu meningkatkan jumlah sel darah putih dengan nilai 8,3
x 103 ± 0,453 yang sama dengan nilai kontrolnya yaitu 8,1 x 103 ± 0,514 (p>0,05). Untuk sel MID ERTM dosis
100 mg/kg BB sudah dapat meningkatkan jumlahnya yang sama dengan nilai kontrolnya yaitu 2,7 x 103 ± 0,316
dan kontrol ditunjukkan dengan nilai 2,78 x 103 ± 0,912 (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa ERTM
menunjukkan efeknya sebagai antimielosupresi.
Kata kunci: Antimielosupresi, mieloid, ekstrak rimpang temu mangga (ERTM), sel darah putih, sel MID
PENDAHULUAN
Mielosupresi merupakan suatu proses yang terjadi dalam sumsum tulang yaitu ditunjukkan
dengan penurunan produksi sel-sel mieloid yang sangat berpengaruh pada hemopoesis, yaitu proses
pembentukan sel-sel darah (Hillman dan Ault, 1995; Soebandri, 2006). Pembentukan sel-sel darah
dalam sumsum tulang dimulai dari suatu bentuk tipe sel yang disebut stem cell hematopoetic
pluripoten, yang merupakan basal dari semua sel yang terdapat dalam sirkulasi darah (Guyton dan
Hall, 2007). Sel-sel ini akan berproliferasi menjadi sel-sel limfoid dan sel-sel mieloid. Sel-sel limfoid
akan berkembang menjadi limfosit T dan limfosit B yang berperan dalam menghasilkan sel-sel
pertahanan tubuh, sedangkan sel-sel mieloid akan berproliferasi menjadi sel-sel darah yang terdapat
dalam sirkulasi darah, seperti granulosit, monosit, eritrosit, megakariosit, dan lain-lain (Junqueira dan
Carneiro, 2007).
Fungsi sel-sel mieloid dalam tubuh ada tiga. Pertama)., sel mieloid dapat bergerak keluar dari
sirkulasi menuju ke jaringan yang terkena infeksi, rusak ataupun akibat inflamasi. Kedua)., akan
berperan sebagai sel fagosit (sel granulosit, monosit dan lainnya). Ketiga)., mampu melepaskan isi
dari granul-granul sel yang disebut eksositosis (Hillman dan Ault, 1995). Menurut Girindra (1988),
hasil pemeriksaan darah secara umum menggambarkan kondisi dari tubuh, sehingg merupakan
parameter yang penting untuk diperhatikan.
Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi penyakit yang berhubugan dengan darah
meningkat, terutama untuk penyakit seperti anemia, leukopenia, leukositosis, dan trombositopenia.
Pasien yang sering menderita akan gangguan darah terutama anak-anak dan pasien lain yang
terinfeksi bakteri atau virus (Depkes R.I., 2011).
Penggunaan bahan alami untuk pengobatan suatu penyakit sudah lama dikenal dan sekarang
sudah banyak pengobatan penyakit menggunakan bahan alami yang diketahui mempunyai efek
samping yang relatif kecil dibandingkan dengan bahan obat hasil sintesis atau lebih dikenal dengan
istilah back to nature (Wasitaatmadja, 1977; Aggarawal, et al., 2006; ). Pemanfaatan tumbuhan yang
berkhasiat obat, akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Salah satu tumbuhan
yang berkhasiat sebagai obat adalah rimpang temu mangga (Curcuma mangga Valeton & v.Zijp).
Kandungan kimia dari rimpang temu mangga adalah kurkuminoid, flavonoid, saponin, polifenol dan
minyak atsiri (Syukur, 2003). Temu mangga sering digunakan sebagai obat maag, penawar racun
(antitoksik), penghilang rasa nyeri saat haid, merapatkan vagina, penambah libido seksual, pencahar
35
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
(laksatif), dan obat masuk angin. Hasil penelitian terkini, di mana temu mangga dapat bersifat sebagai
imunomodulator, antioksidan dan anti kanker (Widodo, 2005).
Pada hari kedelapan untuk masing kelompok, 4 jam kemudian diambil darahnya sebanyak 1 ml
melalui ekor mencit dengan cara menggunting bagian ujung ekor dan ditampung dalam politube yang
telah berisi heparin. Diukur parameter hematologinya dengan alat Cell Dyne 1800 (Shah, et al., 2008).
Untuk lebih memperjelas pengertian dari Tabel 1, dapat dilihat pada Gambar 1, yang menggambarkan
kurva balok plot dari jumlah sel darah putih x 103 lawan perlakuan.
36
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
8,3 ± 0,435
8,1 ± 0,514
7,44 ± 0,181
JUMLAH SEL DARAH PUTIH
X 103 5,94 ± 0,151
Dari Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa pemberian ERTM yang makin meningkat akan
meningkatkan pula jumlah sel darah putih yaitu pada dosis ERTM 200 mg/kg BB menunjukkan nilai
yang sama dengan kontrol negatif (p>0,05). Dari data di atas menggambarkan bahwa ERTM dosis
200 mg/kg BB dapat mengembalikan jumlah sel darah putih yang sama dengan normalnya.
Salah satu dari bagian leukosit (sel darah putih) yang mengalami diferensiasi adalah sel mid
(MID = monosit, eosinofil, basofil, sel blast dan precursor sel darah putih). Nilai MID dapat dilihat
pada Tabel 2 dan Gambar 2.
Untuk mempertegas pengertian Tabel 2, lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 2, yang
menggambarkan kurva balok plot dari jumlah sel mid (MID) x 103 lawan perlakuan.
37
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
3,26 ± 0,555
2,78 ± 0,912
JUMLAH sel mid (MID) 2,70 ± 0,316
1,27 ± 0,217
x 103
Tabel 2 dan Gambar 2 menunjukkan nilai peningkatan jumlah MID, di mana hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai MID kontrol negatif sama dengan perlakuan ERTM dosis 100 mg/kg BB
maupun 200 mg/kg BB, sedangkan MID ERTM 100 mg/kg BB juga sama dengan dosis 200 mg/kg
BB, dengan kata lain bahwa ERTM dosis 200 mg/kg BB menunjukkan nilai peningkatan MID yang
besar dan masih menunjukkan nilai yang sama dengan nilai kontrol negatif (p>0,05). Dalam
pengukuran nilai MID (seperti monosit, eosinofil, basofil, sel blast dan precursor sel darah putih) yang
merupakan diferensiasi sel darah putih adalah gambaran yang sama dengan leukosit atau sel darah
putih yang artinya juga gambaran akan kemampuan ERTM dalam meningkatkan jumlah sel darah
putih dalam tubuh.
KESIMPULAN
Ekstrak Rimpang Temu Mangga dosis 200 mg/kg BB mampu berperan sebagai
antimielosupresi yang ditunjukkan oleh peningkatan jumlah sel darah putih, demikian juga
ditunjukkan oleh peningkatan salah satu dari hasil diferensiasi sel darah putih yaitu MID, yang artinya
juga menunjukkan peningkatan dari sel-sel bagian leukosit seperti monosit, eosinofil, basofil, sel blast
dan precursor sel darah putih.
DAFTAR PUSTAKA
Anggarawal BB, Sundarman C, Malani N, Ichikawa H. 2006 Curcumin The Indian Solid Gold. Hal 2-
4. [Tanggal 22 Desember 2011].
http//www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/17569205
Depkes R.I. (2011), Profil Kesehatan Indonesia 2010. Diakses tanggal 18 April 2012.
http//www.depkes.go.id/downloads/profil/terbaru.pdf.
Girindra, A. (1988). Biokimia Patologi Hewan. Bogor; PAU IPB. Hal 17.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor: Luqman
Yanuar Rahman, Huriawati Hartanto, Andita Novrianti dan Nanda Wulandari. Edisi kesebelas.
Jakarta: EGC. Hal 439 – 459.
Hillman, R.S., dan Ault, K.A. (1995). Hematology in Clinical Practise. New York: Mcgraw-Hill. Hal
241 – 245.
Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. (2007). Histologi Dasar. Editor: frans dany. Edisi Kesepuluh.
Jakarta: EGC. Hal 235.
Shukla, S., Mehta, A., dan john, J. (2009). Immunomodulatory Activities of Ethanolic Extract of
Caesalpinia bonducella Seeds. Journal of Etnopharmacology. 125(2): 252 – 256.
38
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Soebandri. (2006). Hemopoesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Aru Sudoyo,
Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiati. Edisi keempat. Jilid II.
Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 619.
Syukur, C. (2003). Temu Putih: Tanaman Obat Anti Kanker. Cetakan Pertama. Jakarta: Penebar
Surabaya. Hal 4.
Wasitaatmadja, S.M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit UI Press. Hal 59.
Widodo, A. (2005). Tanaman Berkhasiat Obat. Bandung. Pustaka Media. Hal 53.
39
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Escherichia coli merupakan bakteri patogen yang dapat menimbulkan gastroenteritis akut. Escherichia
coli dilaporkan sudah mengalami resisten terhadap beberapa obat antimikroba sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk menemukan alternatif terapi lain. Alternatif terapi adalah menggunakan bahan alami sebagai
bahan antimikroba, yaitu rimpang kencur (Kaempferia galanga L.). Kandungan aktif rimpang kencur yang
diduga bermanfaat sebagai antimikroba adalah saponin, minyak atsiri, alkaloid, flovanoid serta tanin. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui potensi antimikroba ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap
Escherichia coli. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan kuantitatif
menggunakan metode difusi kertas cakram untuk menentukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM). Objek
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Escherichia coli yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Konsentrasi ekstrak rimpang kencur yang
digunakan yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%, masing-masing dengan tiga kali ulangan.Analisis data
menggunakan one way ANOVA pada taraf signifikan 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rimpang
kencur berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Escherichia coli. Konsentrasi minimum yang dapat
menghambat pertumbuhan Escherichia coli adalah 80% dengan diameter hambat 16,79 mm.
PENDAHULUAN
Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di Indonesia adalah tanaman kencur (Kaempferia
galanga L.). Secara empirik kencur digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti
batuk, masuk angin, radang lambung, perut nyeri, tetanus, bengkak, panas dalam dan mulas (Astuti
dkk, 1996:26). Bagian tanaman kencur yang sering dimanfaatkan sebagai pengobatan adalah
rimpangnya.
Rimpang kencur mengandung senyawa metabolit sekunder seperti minyak atsiri, sinnamal,
aldehid, asam motil p-kumarik, asam sinnamat, etil ester, dan pentadekan. Kandungan kimia itulah
yang menjadikan rimpang kencur banyak digunakan untuk pengobatan, salah satunya sebagai
antibakteri (Santoso, 2008:12). Pemanfaatan rimpang kencur sebagai antibakteri lebih
menguntungkan karena lebih aman dibandingkan penggunaan bahan sintetik.
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang secara normal terdapat pada saluran
pencernaan manusia dan hewan. Selain sebagai mikroflora normal Escherichia coli dapat juga berasal
dari makanan yang terkontaminasi (Sarjono dan Mulyani 2007:89). Escherichia coli merupakan salah
satu penyebab utama terjadinya infeksi pada saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala diare
(Pelczar dan Chan, 1986:169). Escherichia coli dilaporkan memiliki resistensi terhadap beberapa
antibiotik. Data tahun 2010 menunjukkan 79% strain Escherichia coli resisten terhadap ampisilin,
sedangkan 30% strain resisten terhadap siprofloksasin (Tirtodiharjo, 2011:3).
Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik memberikan peluang besar untuk
mendapatkan senyawa antibakteri dengan memanfaatkan senyawa bioaktif dari kekayaan
keanekaragaman hayati. Oleh karena itu penggunaan bahan alami berupa rimpang kencur diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi resistensi pada Escherichia coli.
Berdasarkan permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui apakah ekstrak rimpang kencur dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli
dan untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak rimpang kencur yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri.
40
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 20%, P2: Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 40%, P3:
Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 60%, P4: Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 80%, P5:
Ekstrak Rimpang Kencur Konsentrasi 100%, dan P6: Kloramfenikol 10% sebagai Kontrol Positif.
Adapun cara kerja dalam penelitian ini adalah:
1. Sterilasasi Alat dan Bahan
Sebelum dilakukan uji daya hambat, terlebih dahulu dilakukan sterilisasi alat dan bahan yang
akan digunakan. Seluruh alat yang terbuat dari kaca dan tahan panas, seperti gelas ukur, jarum ose,
batang L, cawan petri, tabung reaksi, dan labu Erlenmeyer dicuci bersih, dikeringkan, dan dibungkus
dengan kertas tahan panas. Lalu alat-alat ini disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit. Bahan yang akan digunakan seperti media NA dan akuades juga disterilisasi dengan autoklaf
pada suhu 121oC selama 15 menit. Alat-alat lainnya disterilisasi dengan alkohol 70% dan api spiritus.
41
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
6. Pengujian Daya Hambat Ekstrak Rimpang Kencur Menggunakan Metode Difusi cakram
Teknik pengujian antibakteri mengikuti cara kerja yang disebutkan oleh Ariyanti (2012:2)
dengan modifikasi yang telah disesuaikan. Dipipet sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri Escherichia coli
6
dengan konsentrasi 10 CFU/ml ke dalam cawan petri, yang sudah berisi media NA yang telah
memadat. Setelah itu disebarkan dengan cara menggosok batang L pada permukaan agar supaya
suspensi bakteri yang telah dipipet merata. Hal ini dilakukan sambil memutar cawan petri, agar
penyebaran bakteri lebih efektif. Kertas cakram (diameter 5 mm) diresapkan dalam ekstrak sesuai
dengan konsentrasi yang telah ditetapkan dan kontrol. Berdasarkan Rahmah (2013:4) proses
peresapan dilakukan dengan cara perendaman selama sepuluh menit dalam kontrol positif
(khloramfenikol 10%), kontrol negatif (akuades steril) dan masing-masing ekstrak sesuai konsentrasi
yang telah ditentukan. Kertas cakram tersebut kemudian diletakkan di atas permukaan media bakteri
menggunakan pinset dan ditekan sedikit.
Media bakteri yang sudah diletakkan kertas cakram tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama
18-24 jam. Diameter zona hambatan yang terbentuk diukur menggunakan jangka sorong untuk
menentukan efektifitas antibakteri. Zona hambatan diukur dengan cara mengurangi diameter
keseluruhan (cakram + zona hambatan) dengan diameter cakram (Hayati, 2009:29).
Keterangan :
DISK = Diameter Horizontal
= Diameter Vertikal
= Z na Hambat
Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah diameter daya hambat (mm) atau zona
bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Data dianalisis menggunakan Analisis Varian
(ANAVA). Kemudian dilakukan uji lanjut untuk melihat perbedaan antara satu perlakuan dengan
perlakuan lainnya.
42
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Hasil Pengukuran Rata-rata Diameter Zona Hambat Ekstrak Rimpang Kencur terhadap
Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli(1 x 24 Jam) (mm)
Perlakuan Ulangan/Diameter Zona Total Diameter Rata-rata
Hambat Zona Hambat Diameter Zona
1 2 3 Hambat
P0 (KN) 0 0 0 0 0
P1 (20%) 4,05 3,68 5,52 13,25 4,42
P2 (40%) 10,15 8 6,75 24,83 8,28
P3 (60%) 9 10,45 6,52 25,98 8,66
P4 (80%) 16,72 17,62 16 50,35 16,79
P5 (100%) 27,65 25,22 27,98 80,85 26,95
P6 (KP) 33,98 31,48 36,3 103,75 34,59
Total 299,01 14,25
Keterangan: KN= 43egativ 43egative (akuades steril), KP= 43egativ positif (khloramfenikol 10%).
Tabel 1 memperlihatkan bahwa zona hambat mulai terbentuk pada konsentrasi 20% dengan rata-
rata diameter 4,42 mm. Pada konsentrasi 100% diperoleh rata-rata diameter zona hambat 26,95 mm.
Kontrol 43egative dengan akuades steril tidak memperlihatkan zona hambat sedangkan 43egativ
positif dengan khloramfenikol memperlihatkan rata-rata diameter sebesar 34,59 mm. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak rimpang kencur (Kaempferia 43egative L.) mempunyai efek antibakteri
dan memberikan efek terhadap penghambatan pertumbuhan Escherichia coli.
Selain itu, hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan
antibakteri berbagai serial konsentrasi ekstrak rimpang kencur, dimana semakin tinggi konsentrasi
ekstrak rimpang kencur, maka semakin besar diameter yang terbentuk. Gejala ini mengindikasikan
bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kencur maka semakin besar efek antibakterinya.
Gambaran diameter zona hambat masing-masing konsentrasi ekstrak rimpang kencur ditampilkan
dalam bentuk grafik (Gambar 1).
30
20
10
0
KN 20% 40% 60% 80% 100% KP
Konsentrasi
Gambar 1. Diagram Rata-rata Zona Hambat Setiap Perlakuan (mm)
Hasil analisis one-way anova (Tabel 2) memperlihatkan adanya perbedaan rata-rata diameter
zona hambat yang bermakna (p> 0,05) konsentrasi ekstrak rimpang kencur dalam menghambat
pertumbuhan Escherichiacoli.
Tabel 2. Analisis Varian Daya Hambat Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap
Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli
SK DB JK KT Fhitung Ftabel (0,05)
Perlakuan 6 2843,507 473,918 178,5* 2,85
Galat 14 37,172 2,655
Total 20 2880,679 476,573
43
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Berdasarkan Tabel 2 bahwa uji one way anova terhadap diameter zona hambat bakteri
Escherichia coli diperoleh nilai F hitung 178,5. Jika dibandingkan dengan F tabel pada taraf
signifikan 5%, maka F hitung memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan F 44egat, maka
hipotesis 44egative44ve (Ha) diterima, yakni ekstrak rimpang kencur dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Escherichia coli. Hasil yang diperoleh berupa rataan zona hambat (Tabel 2) kemudian
dianalisis dengan uji Duncan pada taraf signifikan 5 %, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3 pada taraf signifikan 5%, daya hambat ekstrak rimpang kencur pada
konsentrasi 100% (P5) berbeda nyata dengan daya hambat pada semua konsentrasi. Konsentrasi 80%
(P4) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap konsentrasi 60% (P3) namun berbeda nyata
dengan konsentrasi 40% (P2), konsentrasi 20% (P1), 44egativ 44egative dan 44egativ postif.
Konsentrasi 60% (P3) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan konsentrasi 40% (P2) dan
80% (P4), namun berbeda nyata dengan 44egativ positif, konsentrasi 100% (P5), konsentrasi 20%
(P1) dan 44egativ 44egative (P0). Konsentrasi 40% (P2) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
terhadap konsentrasi 60% (P3), namun berbeda nyata dengan 44egativ positif, konsentrasi 100% (P5),
konsentrasi 80% (P4), konsentrasi 20% (P1) dan 44egativ 44egative (P0). Konsentrasi 20 % (P1) dan
44egativ 44egative (P0) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua konsentrasi.
Tabel 3. Hasil Uji Jarak Nyata Terdekat Duncan (JNTD) Daya Hambat Ekstrak Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli
Konsentrasi Rata-rata Zona Beda Riil Pada Jarak P = JNTD
(%) Hambat
(mm) 2 3 4 5 6 7 0,05
P0 (KN) 0 − a
P1 (20%) 4,42 4,42∗ − b
P2 (40%) 8,28 3,86∗ 8,28∗ − c
NS ∗ ∗
P3 (60%) 8,66 0,38 4,24 8,66 − cd
P4 (80%) 16,79 8.13NS 8,51∗ 12,37 16,79∗ − d
∗ ∗ ∗ ∗
P5 (100%) 26,95 10,16 18,29 18,67 22,53 26,95 − e
P6 (KP) 34,59 7,64∗ 17,8∗ 25,93 26,31∗ 30,17∗ 34,59∗ f
P0,05 (p, 14) 3,03 3,18 3,27 3,33 3,37 3,39
JNTD0,05(p,14)= (P.SῩ) 2,8 2,9 3,07 3,13 3,17 3,18
Keterangan: NS : Tidak Berbeda Nyata; * : Berbeda Nyata pada Taraf 0,05%
Dengan demikian perlakuan terbaik (optimum) adalah perlakuan dengan konsentrasi 100%
(P5).Kemudian perlakuan terbaik kedua yaitu pada konsentrasi 60% (P3). Maka kisaran konsentrasi
terbaik adalah 60% (P3) – 100% (P5). Diameter daya hambat mengacu pada standar obat asal
tanaman yakni 12-24 mm (Departemen Kesehatan dalam Hermawan, 2007:5). Berdasarkan ketentuan
ini konsentrasi 80% berdiameter 16,79 mm ditentukan sebagai konsentrasi hambat minimum (KHM)
yang terbaik.
2. Pembahasan
Kadar Hambat Minimum (KHM) pada penelitian ini diperoleh dengan mengukur diameter zona
hambat ekstrak rimpang kencur yaitu pada kisaran 12-24 mm mengacu pada standar umum obat asal
tanaman (Departemen Kesehatan dalam Hermawan, 2007:5) setelah diinkubasikan selama 24 jam.
Pada penelitian ini rata-rata diameter zona hambat yang didapat secara berturut-turut pada konsentrasi
20%; 40%; 60%; 80% dan 100% adalah 4,42 mm, 8,66 mm, 16,79 mm, dan 26,95 mm. Oleh karena
itu konsentrasi 80% ditentukan sebagai KHM dengan diameter 16,79 mm.
Menurut Davis dan Stout (1971:664), kriteria kekuatan daya antibakteri sebagai berikut:
diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan
sedang, zona hambat 10-20 mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan
sangat kuat. Berdasarkan kriteria tersebut, maka daya antibakteri ekstrak rimpang kencur pada bakteri
Escherichia coli dengan konsentrasi ekstrak 20% (4,42 mm) dikategorikan lemah. Konsentrasi 40%
(8,28 mm), 60% (8,66mm) dikategorikan sedang. Konsentrasi ekstrak 80% (16,79 mm) dikategorikan
kuat dan konsentrasi100% (26,95 mm) dikategorikan sangat kuat.
44
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Uji Duncan terhadap diameter zona hambat bakteri Escherichia coli untuk kontrol negatif,
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kontrol positif dan berbagai perlakuan konsentrasi
ekstrak. Kontrol negatif yang digunakan adalah akuades yang menunjukkan tidak adanya zona
hambat. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk memastikan bahwa diameter zona hambat
ekstrak yang terbentuk bukan pengaruh dari pelarut, tetapi murni dari senyawa aktif dalam ekstrak
tersebut. Kontrol positif menunjukkan perbedaan yang nyata dalam uji Duncan, karena menghasilkan
aktivitas antibakteri yang paling besar terhadap bakteri uji dibandingkan dengan kontrol negatif dan
berbagai konsentrasi ekstrak.
Antibiotik yang digunakan sebagai pembanding atau kontrol positif adalah Khloramfenikol.
Khloramfenikol merupakan antibiotik sintetis yang memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan
mikroba patogen melalui mekanisme penghambatan sintesis protein.Penggunaan khloramfenikol
biasanya terbatas pada infeksi yang jelas. Berdasarkan hasil tes laboratorium atau pengalaman, infeksi
dapat diobati dengan sangat efektif oleh obat ini. Khloramfenikol sangat stabil dan berdifusi dengan
baik dalam media perbenihan agar. Oleh karena beberapa alasan ini, kloramfenikol cenderung
memberi daerah hambatan pertumbuhan yang lebih luas pada kertas cakram (Darma dkk., 2013: 341).
Pada pertambahan konsentrasi bahan uji, diameter zona hambat yang terbentuk juga makin
besar. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan konsentrasi memiliki korelasi positif terhadap daya
hambat pertumbuhan Escherichia coli. Secara umum rata-rata diameter zona hambat mengalami
peningkatan seiring dengan konsentrasi yang diberikan. Menurut Ariyanti dkk. (2012:3), semakin
tinggi konsentrasi suatu bahan antibakteri maka aktivitas antibakterinya akan semakin kuat. Pelczar
dan Chan (1986:453) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan antibakteri maka akan
semakin cepat bakteri terbunuh. Namun penggunaan konsentrasi yang tinggi dalam pengobatan juga
tidak disarankan karena dapat menimbulkan resistensi, bersifat toksin serta kurang ekonomis.
Ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) yang diperoleh melalui metode maserasi
memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak rimpang
kencur mengandung senyawa antimikroba. Sesuai dengan pernyataan Gholib (2011:67) bahwa di
dalam rimpang kencur terdapat senyawa-senyawa antimikroba seperti alkaloid, tanin, flavonoid dan
lain-lain. Menurut Naim dalam Enayati (2009:16), ekstrak tumbuhan dapat berperan aktif sebagai
antimikroba disebabkan oleh adanya senyawa kimia berupa alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin
yang terdapat pada tumbuhan tersebut.
Mekanisme kerja alkaloid sebagai antimikroba dihubungkan dengan kemampuan alkaloid
untuk berikatan dengan DNA bakteri. Flavonoid memiliki aktivitas antibakteri melalui hambatan
fungsi DNA gyrase bakteri sehingga kemampuan replikasi dan translasi bakteri dihambat. Tanin akan
menginaktivasi adhesin sel mikroba yang terdapat pada permukaan sel dan enzim yang terikat pada
membran sel dan polipeptida dinding sel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel
(Gunawan dalam Wulandari dkk., 2012:73). Saponin menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri
dengan cara merusak membran sitoplasma dan membunuh sel (Aulia dalam Barito, 2011:12).
Bakteri Escherichia coli yang digunakan dalam penelitian ini termasuk golongan bakteri Gram
negatif yang terbukti dapat dihambat pertumbuhannya menggunakan ekstrak rimpang kencur.
Menurut Madigan dkk. (2009:94), bakteri Gram negatif mudah menyerap larutan, sehingga
memudahkan zat terlarut memasuki dinding sel bakteri tersebut. Zat terlarut berupa zat aktif yang
terkandung dalam ekstrak rimpang kencur yaitu alkaloid, saponin, tanin dan flavonoid memiliki
mekanisme yang berbeda-beda sebagai antibakteri. Namun, keempatnya bekerja secara sinergis untuk
menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri Escherichia coli.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, N.K., Ida, B.G.D., dan Sang, K.S. 2012. Daya Hambat Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya
(Aloe barbadensis Miller) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923
dan Escherichia coli ATCC 25922. Jurnal Biologi, XVI (1): 1 – 4.
Astuti.Y., Dian. S., dan M. Wien. W. 1996. Tanaman Kencur (Kaempferya galanga L.); Informasi
Tentang Fitokimia dan Efek Farmakologi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 3 (2): 26-28.
Barito, A.T. 2011. Uji Ekstrak Kulit Batang Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) Sebagai
Antibakteri terhadap Bakteri Shigella dysenteriae Secara In Vitro. Artikel ilmiah. Malang:
Universitas Brawijaya.
45
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Davis, W.W. dan T.R. Stout. 1971. Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic Assay. Applied
Microbiology, 22 (4): 659-665.
Darma, B., I. Wayan S., dan Hapsari, M. 2013. Efektivitas Perasan Akar Kelor (Moringa oleifera)
Sebagai Pengganti Antibiotik pada Ayam Broiler yang Terkena Kolibasilosis. Indonesia
Medicus Veterinus,2 (3): 331 – 346.
Enayati, D. 2009. Uji Anti Mikroba Ekstrak Metanol Bunga Cengkeh Terhadap Bakteri Penyebab
Karies Gigi, Streptococcus mutans. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Gholib, D. 2009. Daya Hambat Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.) Terhadap Trichophyton
mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans Jamur Penyebab Penyakit Kurap pada Kulit dan
Penyakit Paru. Buletin Litro, 20 (1): 59-67.
Hayati, K. 2009. Efek Anti Bakteri Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Staphylococcus
aureus yang Diisolasi dari Denture Stomatitis (Penelitian In Vitro). Skripsi. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Hermawan, A. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Difusi Disk. Artikel Ilmiah.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Kusdarwati, R., Ludira, S., dan Akhmad, Akhmad, T.M. 2010. Daya Antibakteri Ekstrak Buah Adas
(Foeniculum vulgare)Terhadap Bakteri Micrococcus Luteus Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan, 2 (1): 31-35.
Madigan, M.T dkk. 2009. Brock Biology of Microorganism 12th Ed. San Francisco: Pearson Benjamin
Cummings.
Mpila, D.A., Fatimawali., dan Weny. I.W. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Mayana (Coleus atropurpureus [L] Benth) Terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli
dan Pseudomonas aeruginosa Secara In-Vitro. Pharmacon, 1(1): 13-21.
Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986. Penterjemah, Ratna Siri Hadioetomo dkk. Dasar-Dasar
Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.
Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986. Penterjemah, Ratna Siri Hadioetomo dkk. Dasar-Dasar
Mikrobiologi 1. Jakarta: UI Press.
Rahmah, R.A. 2013. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn)
sebagai Antimikroba terhadap Bakteri Salmonella typhi secara In Vitro. Skripsi. Malang:
Universitas Brawijaya.
Santoso, B. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Sarjono, P.R. dan Nies, S.M. 2012. Aktivitas Antibakteri Rimpang Temu Putih (Curcuma mangga
Vall). Jurnal Sains & Matematika (JSM), 15 (2): 89-93.
Syarif, N dan Almunady, T.P. 2009. Uji Daya Hambat Asap Cair Hasil Pirolisis Kayu Pelawan
(Tristania abavata) Terhadap Bakteri Escherichia coli. Jurnal Penelitian Sains, 9 (12): 30-32.
Tirtodiharjo, K. 2011. Strategi Mengatasi Bakteri yang Resisten terhadap Antibiotika Universitas
Gadjah Mada. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
46
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRACT
Telah dilakukan uji aktivitas antibakteri dari air perasan daun sereh wangi, daun jeruk purut dan daun
ruku-ruku serta campuran dari air perasan tersebut terhadap bakteri Salmonella thypi (gram negatif) dan
Staphylococcus aureus (gram positif). Daun segar masing-masing tumbuhan dihaluskan, ditambahkan akuades
steril dan disaring hingga diperoleh konsentrasi air perasan 25% dan 50%. Air perasan masing-masing daun dan
campuran dari air perasan daun tersebut kemudian diujikan pada bakteri uji dengan metode difusi agar
menggunakan pencadang kertas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran air perasan masing-masing
daun mempunyai hasil yang sinergis sehingga meningkatkan daya hambat air perasan terhadap bakteri uji.
Pencampuran masing-masing air perasan memberikan aroma yang lebih wangi.
PENDAHULUAN
Tanaman di Indonesia sangat beraneka ragam jenisnya. Beberapa dari tanaman ini mengandung
minyak atsiri yang mempunyai aroma khas. Minyak atsiri terletak pada kelenjar Labiate di daerah
parenkim daun ataupun parenkim buah. Kandungan minyak atsiri merupakan senyawa-senyawa fenol
ataupun alkohol, aldehid, dan monoterpen (Ditjen POM, 1989). Penelitian terdahulu telah dilakukan
untuk memeriksa angka fenol dari tanaman yang mengandung minyak atsiri (Nurbaya dkk, 2013)
Senyawa- senyawa ini dapat membunuh bakteri dan jamur sehingga bersifat antiseptik ataupun
antibakteri (Behura dan Srivastava, 2004). Untuk pemanfaatan daun tanaman sebagai antibakteri,
perlu diketahui berapa kekuatan daya bunuh air perasan daun tersebut serta campuran dari masing-
masing daun terhadap mikroba uji.
Daun ruku-ruku dari tanaman ruku-ruku (Ocimum sanctum L), suku Labiate, nama daerah ruku-
ruku: ruku-ruku (Sumatera), Kemangeni, Ko-roko (Jawa), Kemangi Utan (Maluku). Tanaman ini
mempunyai percabangan yang banyak, tinggi dapat mencapai 1,5 meter. Daun berwarna hijau, berbau
khas aromatis, rasa agak pedas, bentuk jorong, tepi daun bergerigi, daun tipis, ujung daun meruncing,
dan berambut halus. Daunnya mengandung minyak atsiri 2%, tannin 4,6%, flavonoida,
steroid/triterpen. Daunnya mengandung saponin, alkaloida, glikosida (Darmiati, 2007). Secara
tradisional rebusan dari daun tanaman ruku-ruku ini digunakan sebagai obat sakit gigi dan obat batuk
dan antipiretik (Ditjen POM, 1989).
Daun jeruk purut dari tanaman jeruk purut (Citrus hystrix D.C.), suku Rutaceae merupakan pohon
dengan tinggi 2-10 meter. Daun majemuk beranak daun satu, berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul,
bertangkai daun satu, warna daun hijau, bau harum, banyak digunakan dalam bumbu masakan.
Mahkota bunga 4-5 lembar, benang sari 24-30 lembar, buah berkulit tebal dan berkerut-kerut. Minyak
atsirinya mengandung senyawa limonen, linalool, linalil propionat, α-pinena, α-kubeben, sitronellal
(Iryanti, 2002) yang dapat membunuh jamur Pityrosporum sp (Nurfadilla, 2004).
Tanaman sereh wangi (Cymbopogon nardus L.), suku Poaceae merupakan tanaman rumput-
rumputan, berbatang semu yang terdiri pelepah daun-daun pipih panjang 20-60 cm, bertulang sejajar,
bentuk pita, tipis, dan berbulu-bulu halus, berbau aromatis karena mempunyai kandungan minyak
atsiri yang terdiri dari geraniol, sineol yang bersifat antiseptik, banyak digunakan untuk bumbu masak
dan obat masuk angin (Depkes RI, 1983). Di Indonesia ada beberapa sebutan untuk tanaman ini yaitu
Sereh (Sunda), Sere (Jawa Tengah, Madura, Gayo dan Melayu), Sere Mongthi (Aceh), Sangge-sangge
(Batak). Sereh wangi telah lama dijadikan obat, salah satunya sebagai obat kumur (Suprianto, 2008).
47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Staphylococcus aureus dengan menggunakan jangka sorong, dimana diameter zona hambat
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi air perasan daun.
Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa air perasan daun sereh wangi, daun jeruk purut
dan daun ruku-ruku dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan Staphylococcus
aureus. Hasil pengukuran diameter daerah hambat air perasan masing-masing daun dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 1. Hasil uji aktivitas antibakteri dari air perasan masing-masing daun terhadap bakteri uji
Konsentrasi Diameter hambat pertumbuhan bakteri (mm)*
air perasan Daun sereh wangi Daun jeruk purut Daun ruku-ruku
daun S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus
(%)
50 22,3 20,1 23,3 23,2 20,3 22,5
25 15,3 14,5 16,5 16,2 14,3 14,4
Blanko - - - - - -
(Aquadest)
Keterangan:
* = hasil rata-rata tiga kali pengukuran
- = tidak ada hambatan
S.typhi = bakteri Salmonella typhi
S.aureus = bakteri Staphylococcus aureus
Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dari Campuran Air perasan Daun dengan Konsentrasi 25%
Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa campuran air perasan daun dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus. Hasil pengukuran diameter daerah
hambat campuran air perasan masing-masing daun dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Hasil uji aktivitas antibakteri dari campuran air perasan masing-masing daun terhadap
bakteri uji
Konsentrasi Diameter hambat pertumbuhan bakteri (mm)*
air perasan Daun sereh wangi + Daun jeruk purut + Daun sereh wangi
daun daun jeruk purut daun ruku-ruku +
(%) daun ruku-ruku
S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus S.typhi S.aureus
25 24,3 19,3 25,5 24,3 27,5 23,8
Blanko - - - - - -
(Aquadest)
Keterangan:
* = hasil rata-rata tiga kali pengukuran
- = tidak ada hambatan
S.typhi = bakteri Salmonella typhi
S.aureus = bakteri Staphylococcus aureus
Kemampuan daya hambat air perasan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi air
perasan. Daya hambat air perasan juga meningkat setelah dilakukan pencampuran masing-masing
daun dengan konsentrasi 25%. Campuran air perasan daun dengan konsentrasi 25% mempunyai efek
sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Campuran air perasan 25% memiliki daya hambat
yang lebih besar dibanding dengan air perasan tunggal dengan konsentrasi 50%.
Daya hambat campuran air perasan dengan konsentrasi 25% ini jika dibandingkan dengan daya
hambat masing-masing air perasan pada konsentrasi 50% mengalami peningkatan. Hal ini
dikarenakan efek potensiasi masing-masing air perasan sehingga dapat memberikan efek yang
sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thypi dan Staphyloccocus aureus.
49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Saran
Kepada peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penggunaan daun sereh wangi, daun jeruk
purut dan daun ruku-ruku untuk di formulasi sebagai desinfektan nabati.
DAFTAR PUSTAKA
Behura, S., dan Srivastava, V. K. (2004). Essential Oils of Leaves of Curcuma Species. Journal of
Essential Oil Research: JEOR.
Darmiati, I., (2007). Pemeriksaan Kandungan Kimia dan Uji efek Antiinflamasi dari Ekstrak Etanol
Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.). Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera
Utara.
Depkes R.I., (1983). Pemanfaatan Tanaman Obat. Cetakan Pertama. Edisi ketiga. Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 95.
Ditjen POM. (1989). Materi Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Depkes RI. Halaman 182-185
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan pertama.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 10-17.
Nurbaya, S., Sitompul, E., dan Suryanto. (2013). Uji Koefisien Fenol dari Daun Tanaman
yangMengandung Minyak Atsiri. Seminar Nasional Biologi. Medan: FMIPA USU.
Nurfadilla. (2004). Uji Sensitivitas Sampo Antiketombe Yang Mengandung Minyak Atsiri Jeruk
Purut (Citrus hystrix D.C) Terhadap Jamur Dari Ketombe. Skripsi. Medan: Jurusan Farmasi
FMIPA Universitas Sumaterta Utara.
Pelczar, J. R., dan Chan, E.C.S.(1998). Dasar-Dasar Mikrobiology. Penerjemah: Hadioetomo,R.S.,
Imas, T., Tjitrosomoso, S., dan Lestari, S. Jakarta: Penerbit UI Press. Halaman 132, 138-140, 144.
Russel, dkk. (1987). Understanding Antibacterial Action And Resistance. Welsh School of Pharmacy
University of Wales College of Cardiff: United Kingdom
Suprianto. (2008). Potensi Ekstrak Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L.) sebagai Anti Streptococcus
mutans. Skripsi. Bogor: Fakultas MIPA Institut Pertanian.
50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Syafruddin Ilyas
Departemen Biologi Fak. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan,
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Padang Bulan – Medan, syafruddinilyas2013@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk lebih memperjelas perubahan yang terjadi pada testis tikus yang diberi
kombinasi pencekokan ekstrak methanol biji pare (50mg/100g Berat Badan) setiap hari dan penyuntikan
progesteron (DMPA/Depo medroksi Progeseteron Asetat; 0,625 mg/100 g Berat Badan) setiap 12 minggu.
Digunakan metode eksperimen dan Rancangan Acak Lengkap yang dibagi dalam 3 kelompok dan 5 ulangan,
yakni perlakuan selama; (1) 0 minggu (1 hari), (2) 4 minggu, dan (3) 8 minggu. Pengamatan dilakukan dengan
melihat luas penampang, diameter inti dan jumlah sel Leydig pada histologi testis tikus dengan sistem
pengamatan langsung pada layar monitor komputer yang terhubung dengan mikroskop Fixed-Koehler package
Zeiss-Primo Star. Hasil didapatkan bahwa pada hewan dengan kelompok perlakuan 1 sampai 3 tidak ada
perubahan signifikan pada luas penampang dan diameter inti sel Leydig. Tetapi, jumlah sel Leydig secara
signifikan menurun (p<0,05) pada kelompok 3. Kesimpulan: Pemberian ekstrak pare dan progesteron
menyebabkan kematian pada sel Leydig testis tikus.
PENDAHULUAN
Pada penelitian yang menggunakan bahan coba yang bertujuan menekan jumlah sperma tikus
selalu dihubungkan dengan adanya penurunan jumlah testosteron serum atau testosteron
intratestikular (Lue et al., (2000). Hal ini disebabkan adanya hubungan yang kuat antara testosteron
dengan spermatogenesis sehingga mempengaruhi konsentrasi sperma yang dihasilkan di testis
(Walker et al., 2004). Yang et al., (2004) menyatakan, bahwa penghambatan ganda spermatogenesis
(yaitu penghambatan pada spermiasi dan konversi spermatogonium menjadi spermatogonia tipe B)
pada monyet dan manusia akibat pengurangan gonadotropin kurang efektif untuk penekanan
spermatogenik lengkap dalam tikus setelah pemberian testosteron (TU/testosterone undecanoate),
mungkin karena tidak efektifnya dalam penghambatan terhadap sel Leydig dan oleh karena itu kadar
testosteron intratestikular tetap tidak terpengaruh secara nyata.
Testosteron intratestikular dihasilkan oleh sel Leydig yang dikontrol oleh luteinizing hormone
(LH) melalui poros hipatalamus-hipofisis-gonad (Roth et al., 2010). Jumlah sintesis testosteron diatur
oleh aksis hipotalamus-hipofisis-testis. Ketika kadar testosteron rendah, gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) dikeluarkan oleh hipotalamus, yang pada gilirannya merangsang kelenjar
hipofisis untuk melepaskan FSH dan LH. Kedua kedua hormon merangsang testis untuk mensintesis
testosteron intratestikular, sehingga dapat meningkatkan kadar testosteron. Melalui siklus umpan
balik negatif, testosteron dapat mempengaruhi hipotalamus dan hipofisis dalam menghambat
pelepasan GnRH dan FSH / LH (Swerdloff et (2004), untuk membuktkan apakah ada pengaruh
ekstrak methanol biji pare dan DMPA terhadap morfometri sel Leydig, maka dilakukan penelitian ini
dalam jangka waktu perlakuan 8 minggu.
51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Persiapan Jaringan
Testis diisolasi dan diproses seperti yang dijelaskan penelitian sebelumnya (Ilyas, 2007).
Secara singkat, testis difiksasi dalam cairan Bouin (Prophet et al., 1994) 24 jam, kemudian dipotong
menjadi dua bagian dan ditempatkan lagi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Blok parafin dipotong
seperti pita dengan ketebalan 4 µm. Metode pewarnaan Haematoksilin Eeosin (Prophet et al., 1994)
digunakan dan bagian terwarnao diamati di bawah mikroskop cahaya (Fixed-Koehler package Zeiss-
Primo Star).
Semua analisa morfometrik dilakukan secara single blind. Parameter uji diukur dari
spesimen jaringan yang diambil dari masing-masing satu tikus dengan mengukurnya secara
independen pada lima kesempatan menggunakan kriteria yang ada. Awal pembuatan jaringan adalah
dengan fiksasi, dehidrasi dan proses embedding.
a a a
Gambar 1. Luas penampang sel Leydig (µm2) akibat pengaruh Ekstrak Methanol Biji Pare dan
Progesteron pada tikus, a,ap>0,05.
52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
a a a
Gambar 2. Diameter inti sel Leydig (µm2) akibat pengaruh Ekstrak Methanol Biji Pare dan
Progesteron pada tikus, a,ap>0,05.
Gambar 3. Jumlah sel Leydig (µm2) akibat pengaruh ekstrak Methanol Biji Pare dan Progesteron pada
tikus, a,bp<0,05.
Pembahasan
Pada Gambar 1, pengaruh ekstrak methanol biji pare dan pogesteron terhadap luas
penampang sel Leydig (µm2) terlihat tidak berpengaruh nyata (p>0,05) tetapi cenderung mengecil
seiring dengan lamanya pemberian ekstrak dan progesteron. Kemungkinan kandungan ekstrak pare
dan progesteron belum maksimal dalam menekan sel-sel non sel Leydig (jaringan ikat dan sel-sel
pembuluh darah) yang ada di sekitar sel Leydig (Gambar 4). Hal ini karena dapat diisi oleh sel-sel lain
non sel Leydig seperti pembuluh darah dan sel-sel dari jaringan ikat. Seperti pernyataan Lejeune et
al., (1998) bahwa diantara tubulus seminiferus terdapat berbagai macam sel yakni sel Leydig, sel-sel
dari pembuluh darah, dan sel-sel dari jaringan ikat testis.
Gambar 4. Histologi sel Leydig setelah pemberian pengaruh ekstrak Methanol Biji Pare dan
Progesteron pada tikus, A=minggu ke 0, B=minggu ke 4 dan C=minggu ke 8, tanda
panah=sel Leydig.
53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pada Gambar 2 tentang diameter inti sel Leydig yang tidak berpengaruh nyata setelah
perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan aktivitas antifertilitas dari ekstrak biji pare dan progesteron
belum terlihat pada minggu ke 0 dan ke 4. Selain itu dapat terjadi adanya aktifitas interaksi antar sel
secara normal sehingga perkembangan sel Leydif terutama pada inti sel tidak terpengaruh secara
nyata, misalanya aktifitas parakarin sel Leydig. Seperti yang dinyatakan oleh Bergh et al., (1982),
kontrol parakrin sel Leydig terjadi pada faktor-faktor yang dilepaskan dari tubulus seminiferus, dan
ini telah menjadi subyek dari banyak penelitian dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Hsech et al.,
(1987) dan Lin et al., (1987), bahwa ada dua faktor inhibitor (aktivin dan transforming growth factor-β)
serta faktor stimulasi (inhibin dan insulin-like growth factor-1) yang telah diidentifikasi dalam
penelitian in vitro. Wu and Murono (1994) telah menemukan faktor pertumbuhan di testis yang
merangsang proliferasi sel tetapi menghambat steroidogenesis oleh sel Leydig tikus. Ini membuktikan
bahwa dalam kondisi fisiologis, beberapa faktor yang diproduksi secara lokal dari tubulus seminiferus
bisa mengatur fungsi dan proliferasi sel-sel yang berdekatan dengan sel Leydig dan terbukti ketika
terjadi kerusakan tubulus seminiferus dapat mengganggu produksi faktor regulasi ini.
Pada Gambar 3 terlihat adanya penurunan jumlah sel Leydig tikus seiring dengan perlakuan
penambahan waktu pemberian ekstrak pare dan progesteron. Penurunan jumlah sel Leydig dapat saja
terjadi karena adanya penambahan hormon progesteron melalui jalur poros hipotalamus-hipofisis-
testis, tetapi terlebih dahulu progesteronnya diubah menjadi testosteron. Jumlah testosteron yang
meningkat akan memberikan feedback negative kepada hipotalamus atau hipofisis sehingga kadar LH
dan FSH menjadi menurun. Penurunan LH menyebabkan berkurangnya stimulasi proliferasi terhadap
sel Leydig. Sesuai dengan pendapat (Nieschlag et al., 2009), bahwa Luteinizing hormone (LH)
merupakan suatu gonadotropin yang biasanya bertanggung jawab untuk memberi sinyal ke sel
Leydig di testis untuk memproduksi testosteron dan hormon seks lainnya. Menurut Shaughnessy et
al., (2002), bahwa dalam perkembangannya, populasi sel Leydig pada janin dan dewasa muncul
secara berurutan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa aksi androgen diperlukan untuk
aktivitas steroidogenik normal di dalam testis mencit. Oleh karena itu androgen berperan dalam
mengatur fungsi dan diferensiasi sel Leydig. Perkembangan sel Leydig telah diukur dengan
kurangnya reseptor androgen yang fungsional (AR-null). Pada hewan yang lebih tua, sel-sel Leydig
didominasi oleh lima jenis mRNA seperti dehidrogenase 3β-hidroksisteroid (3βHSD) tipe 1, sitokrom
P450scc, renin, protein StAR dan reseptor LH) dan diekspresikan secara normal atau meningkat pada
mencit dengan AR-null. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika reseptor androgen tidak ada, maka
fungsi sel Leydig janin tetap normal, tetapi pada mencit dewasa perkembangan sel Leydig menjadi
kurang baik pematangannya, dengan sel-sel hanya mendapatkan sebagian karakteristik dari sel Leydig
normal mencit dewasa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kelompok perlakuan 1 sampai 3 tidak memberikan perubahan yang signifikan pada luas
penampang dan diameter inti sel Leydig (p>0,05), tetapi hanya jumlah sel Leydig secara
signifikan menurun (p<0,05) pada kelompok 3.
2. Pemberian ekstrak pare dan progesteron menyebabkan kematian pada sel Leydig testis tikus.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Penelitian Hibah Bersaing TA-2013 yang telah mendanai
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bergh H. 1982. Local differences in Leydig cell morphology in the adult rat testis evidence for a local
control of Leydig cell by adjacent seminiferous tubules Int J Androl; 52 325-30
Eberhard Nieschlag; Hermann M. Behre; Susan Nieschlag. 2009. Andrology: Male Reproductive
Health and Dysfunction. Springer. p. 224.
Hsech AJM, Dahl KD, Vaughan J Heterodimers and homodiners of inhibin subunits have different
paracrine ac- tions in the production of luteininig hormone stimulated andro- gen biosynthesis Proc
Natl Acad Sci USA 1987; 84 5082-6
54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Ilyas. 2007. Azoospermia dan pemulihannya melalui regulasi apoptosis sel spermatogenik tikus
(Rattus sp.) pada penyuntikan kombinasi testosteron undekanoat (TU) dan Depot
Medroksiprogesteron (DMPA). Disertasi Program Doktor Ilmu Biomedik Fak. Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta.
Ilyas S, Lestari SW, Moeloek N, Asmarinah, Siregar NC. 2013. Induction of rat germ cell apoptosis
by testosterone undecanoate and depot medroxyprogesterone acetate and correlation of
apoptotic cells with sperm concentration. Acta Med Indones. 45(1):32-7. Diakases tanggal 18
Juni 2013 di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/23585406.
Kerr JB, Sharp RM. 1 9 8 5 . Stimulatory effect of follicle-stimulating hormone on rat Leydig cells Cell
Tissue Res; 239 405-15
Lejeune H, R Habert1 and J M Saez. 1998. Origin, proliferation and diVerentiation of Leydig cells.
Journal of Molecular Endocrinology (1998) 20, 1–25.
Lin T, Blaisdell J, Haskell JF Transforming growth-factor β inhibits Leydig cell steroidogenesis in primary
culture Biochem Biophys Res Commun 1987; 146 387-94
Lue Y, Amiya P. Sinha Hikim, Christina Wang, Michael Im, Andrew Leung and Ronald S. Swerdloff.
2000. Testicular Heat Exposure Enhances the Suppression of Spermatogenesis by
Testosterone in Rats: The “Two-Hit” Approach to Male Contraceptive Development. Volume
141 Issue 4, 2000.
Mori H, Christensen AK. 1980, Morphometric analysis of Leydig cells in the normal rat testis J Cell Biol;
84 340-54.
Prophet, EB., Bob M, Jacquelyn BA, Leslie HS. 1994. Laboratory Methods in Histotechnology,
American Registry of Pathology, Washington DC.
Roth MY, K Lin, JK. Amory, AM Matsumoto, BD Anawalt, CN Snyder, TF Kalhorn, WJ Bremner,
and ST Page. 2010. Serum LH Correlates Highly With Intratesticular Steroid Levels in
Normal Men. Journal of Andrology, Vol. 31, No. 2.
Shaughnessy PJO, Heather Johnston, Louise Willerton and Paul J. Baker. 2002. Failure of normal
adult Leydig cell development in androgen-receptor-deficient mice. Journal of Cell Science
115, 3491-3496.
Swerdloff RS, Wang C, Bhasin S (April 1992). "Developments in the control of testicular
function". Baillieres Clin. Endocrinol. Metab. 6 (2): 451–83.
Walker S, O.W. Robison, C.S. Whisnant, and J.P. Cassady. 2004. Effect of divergent selection for
testosterone production on testicular morphology and daily sperm production in boars. J Anim
Sci 2004, 82:2259-2263.
Wu N, and Murono EP. 1994. A Sertoli cell secreted paracrine factor(s) stimulates proliferation and inhibits
steroidogenesis of rat Leydig cells Mol Cell Endocrinol; 106 99-109.
Yama OE, and Francis ID. 2011a. Temporal adaptation in the testes of rat administered single dose
Momordica charantia for three interrupted spermatogenic cycles: Cytometric quantification.
Middle East Fertility Society Journal. 16, 194–199.
Yama, OE; Francis ID. 2011b. Stereological Evaluation of the Effects of Momordica charantia,
antioxidants and Testosterone on Seminiferous Tubules of Rat. Int. J. Morphol., 29(3):1062-
1068.
Yang ZW, Yang Guo, Li Lin, Xing-Hai Wang, Jian-Sun Tong, Gui-Yuan Zhang. 2004. Quantitative
(stereological) study of incomplete spermatogenic suppression induced by testosterone
undecanoate injection in rats. Asian J Androl. 6: 291-297.
55
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
57
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh ekstrak etanol daun bangunbangun (Coleus ambonicus L)
terhadap titer antibodi dan berat badan pada tikus putih strain Wistar dengan menggunakan sel darah merah
domba (SRBC) sebagai antigen. Digunakan 24 ekor tikus putih jantan dibagi secara random dalam empat
kelompok perlakuan dan masing-masing terdiri dari enam ekor. Kelompok perlakuan pertama sebagai kontrol
diberikan aquades, kedua diberikan 500 mg/kg BB ekstrak etanol bangunbangun (EEC), ketiga diberikan 500
mg/kg BB EEC+ SRBC, dan kelompok ke empat diberikan aquades+SRBC. EEC diberikan secara oral setiap
hari selama tiga puluh hari. SRBC diberikan secara intraperitoneal sebanyak 0.1 ml pada hari ke delapan dan
hari ke 15. Pada hari ke 31 darah diambil dengan cara dekapitasi leher, ditampung dalam tabung yang telah
dilapisi antikoagulan, dan disentrifuse untuk mendapatkan serum. Titer antibodi diukur dengan metode
hemaglutinasi. Pertambahan berat badan diperoleh dengan menghitung selisih berat badan awal dan berat badan
akhir penelitian. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara anava. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa pemberian EEC selama 30 hari pada tikus putih dapat meningkatkan titer antibodi secara signifikan, dan
berpengaruh tidak nyata terhadap peningkatan berat badan.
PENDAHULUAN
Imunostimulan adalah zat-zat yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi
penyakit. Kandungan bangun-bangun yang berfungsi sebagai immunostimulan yaitu vitamin C
(Santosa dan Hertiana, 2005), golongan flavonoid (Suhirman dan Christina, 2000) khususnya
golongan flavonol (Purwantari dkk, 2011). Manfaat daun bangun-bangun sebagai imunostimulan akan
dikaji dengan mengukur imunoglobulin yang berperan sebagai antibodi untuk membunuh antigen
yang masuk ke dalam tubuh. Minyak atsiri dari daun bangun-bangun selain berdaya antiseptika
ternyata juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing. Dalam daun ini terdapat juga
kandungan vitamin C, vitamin B1, vitamin B12, beta karotin, niasin, karvakrol, kalsium, asam-asam
lemak, asam oksalat, dan serat. Senyawa-senyawa tersebut berpotensi terhadap bermacam-macam
aktivitas biologik, diantaranya berfungsi sebagai immunostimulan (Santosa dan Hertiana, 2005).
Sebagai imunostimulan Sunita et al (2010) telah melaporkan hasil penelitiannya.
Daun bangunbangun atau Torbangun (Coleus amboinicus Lour), dikenal memiliki banyak
khasiat antara lain sebagai antipiretik, analgetik, obat luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes, 2005),
antioksidan, antitumor, antikanker, dan hipotensif (Duke 2000). Biasanya obat yang memiliki
multikhasiat mempunyai reseptor organ target pada sistem limforetikular yang melaksanakan fungsi
imun. Imunomodulator adalah suatu cara untuk mengembalikan dan memperbaiki sistem imunitas
yang terganggu dan menekan fungsi imun yang berlebihan (Bellanti dan Kadlec 1993).
Kandungan zat bio aktif daun bangunbangun yang diduga sebagai immunostimulan adalah
flavonoid, steroid, dan polifenol. Flavonoid bersifat antioksidan dan mencegah oksidasi lipoprotein
densitas rendah (LDL) dan menurunkan risiko terhadap atherosclerosis. Antioksidan yang terkandung
pada makanan dapat menstimulasi imunitas seluler dan membantu mencegah komponen sellular
terhadap kerusakan oksidatif. Berbagai vitamin yang terkandung di dalam bangunbangun seperti
vitamin C, B12, dan beta karoten dapat berfungsi dalam meningkatkan imunitas di dalam tubuh.
59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dari beberapa hasil penelitian dan pendapat di atas dilakukan penelitian tentang respon
imunoglobulin sebagai dampak pemberian daun bangunbangun sebagai immunostimulan pada hewan
uji. Sebagai antigen dalam penelitian ini diberikan SRBC ( Sheep Red Blood Cells)
Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental, dalam perancangannya digunakan Rancangan Acak
Lengkap ( RAL) non faktorial dengan empat perlakuan yang masing-masing diberi enam ulangan.
Dalam penelitian ini digunakan 24 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) umur 3 bulan dengan berat
badan rata-rata 150-200 gram dan diadaptasi selama 7 hari. Selanjutnya tikus dibagi menjadi 4
kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor. Setiap kelompok dipelihara dan diberi makan dan
60
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
minum ad libitum. Masa pemeliharaan dan pemberian perlakuan dilaksanakan selama 30 hari.
Kelompok (K) sebagai kontrol diberi aquadest per oral tiap hari. Kelompok (EE) 500 mg ekstrak
etanol daun bangunbangun/kg BB tanpa SRBC, kelompok (EE+SRBC) 50 mg ekstrak etanol daun
bangunbangun +0,1 ml SRBC, kelompok (SRBC) 0,1 ml SRBC. SRBC diberikan pada hari ke-8 dan
ke 15 perlakuan.
Titer antibodi ( Tabel 1) lebih tinggi pada tikus yang diberi ekstrak etanol daun
bangunbangun+SRBC. Sedangkan pada tikus yang tidak diberi ekstrak antibodi bahkan tidak
terbentuk. EE menunjukkan aktivitas imunostimulannya dengan terbentuknya antibodi didalam tubuh
tikus. Aktivitas imunostimulan ini terbentuk lebih banyak jika pemberian EE daun bangunbangun
disertai pemberian SRBC sebagai antigen yang melakukan “chalenged”. Titer antibodi pada tikus
perlakuan EE+SRBC berbeda sangat nyata ( Tabel 2)
61
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
7
25
6 p
R 5,17 20 17,83
a 5 e
a 4,17 r
t 15
n 4 R 11,25
a u
t a b 10
a 3 -0,5
i t a
n 5 -3,83
b 2 a h
t
o a a
i 1 0,67 0
d n n
t 0
i 0 B -5
e
r -1 B
-10
-2 … -15
Perlakuan
Perlakuan
A B
Gambar 1. Rataan Titer antibodi tikus ( A), dan Rataan Perubahan berat badan (B)
dari hari ke-1 hingga hari ke-30 penelitian. ( K=kontrol; EE= ekstrak
Etanol bangunbangun; SRBC= sheep red blood cells)
Peningkatan titer antibodi pada tikus putih merupakan efek immunostilulan dari daun bangun-
bangun yang diberikan pada tikus. Flavonoid yang terkandung dalam daun bangunbangun terlibat
dalam proferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang merupakan penghasil antibodi.
Salah satu kandungan dari bangun-bangun adalah flavonoid khususnya flavonols. Flavonols
adalah kandungan terbanyak dari flavonoid . Efek flavonoid terhadap system imun sangat kompleks
dan nyata yaitu berperan sebagai immunostimulan (Carlo et al. 1999). Flavonols berpotensi sebagai
immunostimulan karena mampu meningkatkan produksi IL2 (interleukin) yang terlibat dalam
aktivasi dan proliferasi sel T (Dewi dkk, 2003). Efek immunodulator pada bangun-bangun diamati
dari terjadinya aglutinasi pada serial pengenceran serum (mengandung antibodi) SRBC ditambahkan
kembali pada sumur mikrotiter. Titer antibodi pada penelitian ini lebih tinggi dari titer antibodi pada
penelitian yang dilakukan oleh Koul and Khosa (2013). Peneliti tersebut melaporkan dengan
pemberian 30 mg/kg BB ekstrak etanol Melissa officinalis pada tikus terbentuk titer antibodi
2.49±0.21.
Berat badan tikus selama penelitian berubah dengan tidak signifikan. Tikus perlakuan EE dan
EE+SRBC terjadi peningkatan berat badan dari hari ke 1 penelitian hingga hari ke-31. Sementara
pada perlakuan kontrol dan yang diberi SRBC saja mengalami penurunan berat badan pada akhir
penelitian
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak etanol bangun-bangun berpengaruh nyata meningkatkan titer antibodi pada tikus
putih
2. Ekstrak etanol bangun-bangun tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan berat badan
tikus putih.
62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Bellanti, J.A., 1993, Immunologi III, Terjemahan dari Immunology III oleh A. Samik Wahab,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Carlo, G., Mascolo, N., Izzo Angelo and Francesco Capasso., (1999), Life Science, Flavonoids : Old
and New Aspects of A Class of Natural Therapeutic Drugs: 65(4):337-353
Depkes R.I. 2005. Botani, Sinonim, Nama Umum, dan nama dagang daun Bangunbangun.Jakarta,
Depkes ( terhubung berkala). http:www.iptek.apjii.or.id
Dewi, L., Widyarti, S.,Rifa’I, M., (2003), Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona
muricata Linn) terhadap Peningkatan Jumlah Sel T CD4+ dan C8+ pada Timus Mencit
(Mus musculus), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Alam Universitas
Brawijaya, Malang
Duke, 2000, Constituens and Ethnobotanical Databases. Phytochemical database, USDA - ARS –
NGRL. http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/farmacy-scroll3.pl.
Farhath, S., Vijaya and Vimal. 2013. Immunomodullatory activity of geranial, geranial acetate,
gingerol, and eugenol essentials oils: evidence for humoral and cell-mediated respons.
Avicenna journal of Phytomedicine.
Jose, M, Ibrahim, and S. Janardhanan. Modullatory effect of Plectranthus amboinicus Lour on
ethylene glycol induced nephrolithiasis in rats. Indian J. Pharmacol Vol 3791): 37-45
Koul, S and R. L. Khosa. 2013. Immunomodulatory activity of phytoconstituent of Melissa officinalis.
Der Pharmacia Lettre. 5(1): 141-145
Patel, R. 2011. Hepatoprotective effects of Plectranthus amboinicus (Lour) Spreng against carbon
tetrachloric induced hepatotoxicity. J. Nat Pharm. Vol 2(1) : 28-35
Purwantari, Sajimin N.D.,E.Sutedi., dan Oyo., (2011), Pengaruh Interval Potong Terhadap
Produktivitas dan Kualitas Tanaman Bangun-Bangun (Coleus amboinincus L) sebagai
Komoditas Harapan Pakan Ternakr: 288-293.
Santosa,M dan T. Hertiana., 2005. Majalah Farmasi Indonesia, Kandungan Senyawa Kimia dan Efek
Ekstrak Air Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus, L.) Pada Aktivitas Fagositosis
Netrofil Tikus Putih (Rattus norvegicus), 16 (3):141-148.
Suhirman, S dan Christina, W., 2000. Prospek dan Fungsi Tanaman Obat sebagai Imunomodulator,
121-133.
Sunitha, KS., Haniffa, M., Milton, J., Manju,A.,2010. Coleus aromaticus Benth act as an
immunostimulant in Channa marulius Hamliton International Journal of Biological
Technology, , 1(2):55-59
.
63
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama lama stadia pradewasa kupu-kupu A. violae yang
dipelihara pada tumbuhan inang Passiflora foetida dan parasitoid yang menyerangnya. Penelitian telah
dilaksanakan dari bulan November 2011 sampai Maret 2012. Pemeliharaan larva dilakukan dalam kondisi
laboratorium. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa larva kupu-kupu A. violae memiliki lima instar. Stadia
telur berlangsung selama 4 hari, larva berkisar 14-17 hari (15,35±0,99) dan stadium pupa berkisar 4-6 hari
(5,25±0,64). Jenis parasitoid yang ditemukan yaitu Brachymeria sp., dimana pupa merupakan stadium yang
sesuai terhadap parasitoid. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lama stadia pradewasa kupu-kupu
A. violae dari telur sampai muncul serangga dewasa berkisar antara 23-28 hari (25,60±1,14). Parasitoid
Brachymeria sp., menyerang stadium pupa dengan Index of Larval and Pupal Parasitism Rate (IPR) sebesar
73,9 %.
PENDAHULUAN
Salah satu genus kupu-kupu Nympahlidae yang terdapat di Sumatera adalah Acarea, tersebar
dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Dahelmi, Salmah dan Herwina, 2009). Genus ini memiliki
lebih kurang 240 spesies, larva memakan berbagai tanaman yang mencakup 24 famili (Ackery et al.
1995). Beberapa spesies diantaranya bersifat hama, seperti Acraea acerata merupakan hama pada
Ipomea batatas (Okonya and Kroschel (2013).
Salah satu spesiesnya adalah Acraea violae, banyak ditemukan pada daerah terbuka seperti
padang rumput, taman, semak belukar, hutan primer dan sekunder yang terbuka. Kupu-kupu ini
cenderung menghindari kawasan yang ternaungi dengan vegetasi yang padat. Umumnya melimpah
pada daerah dataran rendah, namun di India dan Sri Lanka pernah ditemukan hingga ketinggian 2.100
meter dpl. Keberadaan kupu-kupu ini bersifat musiman, tetapi ditemukan sepanjang tahun khususnya
pada sebelum atau saat musim hujan. Penyebarannya mulai dari kawasan India, Sri Lanka, Myanmar,
Thailand, Semenanjung Malaysia, Singapura dan Kepulauan Indonesia (Kunte, 2006).
Di Sumatera Barat, penelitian tentang biologi kupu-kupu yang telah dilakukan diantaranya
bioekologi kupu-kupu famili Papilionidae (Dahelmi, 2002), lama stadia pradewasa 11 jenis kupu-
kupu Papilionidae (Dahelmi et al, 2008). Umumnya penelitian yang telah dilakukan hanya pada famili
Papilionidae dan masih terbatas untuk famili Nymphalidae terutama untuk spesies A. violae. Dari
studi pendahuluan yang dilakukan di sekitar kampus Universitas Andalas, larva A. violae ditemukan
memakan tumbuhan Passiflora foetida (Passifloraceae). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
lama lama stadia pradewasa kupu-kupu A. violae yang dipelihara pada tumbuhan inang P. foetida dan
parasitoid yang menyerangnya.
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
menjadi larva. Pada stadia telur hingga larva instar dua akhir, larva hidup secara berkelompok
sehingga larva dipelihara dalam satu kotak yang sama. Setelah memasuki stadia larva instar tiga,
sebanyak 20 ekor larva diambil lalu dipindahkan ke kotak plastik, dalam satu kotak berisi satu larva.
Masing-masing kotak diberi label dan diisi dengan daun tumbuhan inang yang bagian ujung
tangkainya dibalut kapas basah agar daun tetap segar. Setiap hari ketersediaan pakan larva diperiksa
dan dibersihkan dari kotoran larva.
Setelah larva instar terakhir selesai maka larva memasuki stadia prepupa, pada stadia ini dalam
kotak diberi sarana untuk memanjat berupa ranting tumbuhan kemudian dibersihkan dari kotoran dan
dikosongkan dari pakan. Individu yang berada pada stadia prepupa masih ditempatkan dalam
kotak plastik, stadia prepupa dihitung sejak larva menggantung sampai menjadi pupa. Setelah satu
hari, pupa dipindahkan dalam kotak yang lebih besar berukuran 10x10x15 cm yang di dalamnya
sudah diletakkan styrofoam. Setiap hari pupa diamati untuk menghindari kerusakan dan kematian
pupa serta memeriksa predator. Pupa yang rusak segera dikeluarkan dari kandang untuk mencegah
penularan ke pupa lainnya.
Jenis-jenis parasitoid yang menyerang stadia pradewasa dan penentuan stadia yang sesuai
(succeptible) terhadap parasitoid
Sebanyak 20 telur, larva (setiap instar) dan pupa dikoleksi dari lapangan. Sampel yang sudah
terkumpul dipelihara dalam kotak plastik di labotatorium. Larva diberi makan dengan daun tumbuhan
P. foetida dan penggantian pakan dilakukan setiap hari. Perubahan yang terjadi dari masing-masing
stadia atau mati yang disebabkan oleh parasitoid diamati dan dicatat. Jenis parasitoid yang didapatkan
disimpan di dalam botol koleksi yang telah berisi alkohol 70%.
Untuk menentukan jenis parasitoid yang diperoleh dilakukan identifikasi menggunakan
beberapa buku acuan seperti Nauman (1991) dan Huang and Noyes (1994). Larva dan pupa yang
diperoleh dari lapangan digunakan untuk mengetahui stadia yang sesuai (succeptible) terhadap
parasitoid. Stadia dianggap succeptible bila setelah larva atau pupa dipelihara, parasitoid muncul pada
atau setelah instar berikutnya.
Indeks serangan parasitoid atau IPR (index of larval and pupal parasitism rate) dihitung dengan
menggunakan rumus : IPR = N2/N1 x 100%
dimana:
IPR = rata-rata indeks serangan parasitoid (%)
N1 = jumlah larva dan pupa yang diambil dari lapangan dan dipelihara di laboratorium
N2 = larva dan pupa yang terserang parasitoid
65
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Lama (hari) masing-masing stadia pradewasa kupu-kupu A. violae pada tanaman inang P.
foetida (suhu 27,9-30,80C dan kelembaban 64,0-69,4%)
Jumlah Lama (hari)
Stadia
(n) Kisaran ±Sd
Telur 75 4 4,00±0
Larva 14-17 15,35±0,99
Instar satu 71 5 5,00±0
Instar dua 71 1 1,00±0
Instar tiga 20 2-5 2,40±0,82
Instar empat 20 1-4 2,85±0,75
Instar lima 20 3-5 4,10±0,55
Prepupa 20 1 1,00±0
Pupa 20 4-6 5,25±0,64
Total 23-28 25,6±1,14
Lama stadia pradewasa A. violae pada tanaman inang P. foetida berkisar antara 23-28 hari
(25,6±1,14) (Tabel 1). Lama stadia pradewasa berbeda untuk tiap jenisnya. Pada A. encedon dengan
tanaman inang Commelina spp., lama stadia pradewasa berkisar 37-44 hari. Larva A. violae
mengalami lima kali instar, sedangkan hasil penelitian Zhou et al., (2009) di China dilaporkan bahwa
larva spesies ini yang dipelihara pada tanaman inang Adenia cardiophylla mengalami enam kali
instar. Adanya perbedaan ini mungkin disebabkan berbedanya tanaman inang larva yang digunakan.
Selain perbedaan jenis kupu-kupu, lama siklus hidup dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya
suhu, kelembaban serta kualitas dan kuantitas makanan (Christopher and Mathavan, 1984).
Salah satu jenis parasitoid yaitu Brachymeria sp. diketahui telah menyerang stadium pupa
dengan nilai IPR sebesar 73,9% (Tabel 2). Tingginya nilai IPR terhadap pupa A. violae ini
menyebabkan jumlah pupa yang berhasil menjadi imago relatif sedikit, yaitu hanya sebesar 17,4%.
Selain akibat serangan parasitoid, mortalitas pupa juga disebabkan karena busuk, namun
persentasenya lebih rendah dibandingkan pupa yang terserang parasitoid yaitu sebesar 8,7. Faktor
parasitoid lebih dominan dalam menekan populasi pupa A. violae. Kondisi lingkungan yang sesuai
menyebabkan parasitoid ini dapat berkembang dengan baik dalam pupa.
Tabel 2. Jenis parasitoid dan rata-rata indeks parasitisme (IPR) pada stadia pupa kupu-kupu A. violae
Famili / Jenis parasitoid Stadia awal N1 N2 IPR (%)
Chalcididae
Brachymeria sp. Pupa 23 17 73,9
Parasitoid Brachymeria merupakan jenis parasitoid yang umum ditemukan di daerah tropis, dan
merupakan parasitoid primer pada beberapa jenis serangga dari ordo Lepidoptera, Orthoptera,
Hemiptera, Diptera dan Coleoptera, kebanyakan jenis dari genus ini merupakan parasiotid pupa pada
Lepidoptera (Gupta, 2010). Dari ordo Lepidoptera serangan parasitoid ini pernah ditemukan pada
Erionata thrax (Lepidoptera: Hesperiidae) Emlias (1997), Graphium doson (Gupta, 2010), dan
Syntomeida epilais (Arctiidae) (McAuslane and Bennett, 1995).
KESIMPULAN
1. Stadia pradewasa kupu-kupu Acraea vioalae berlangsung antara 23-28 hari, dimana stadium telur
berlangsung 4 hari, larva mengalami 5 kali instar yang berlangsung selama 14-17 hari dan pupa
selama 4-6 hari.
2. Satu jenis parasitoid yaitu Brachymeria sp. terdeteksi menyerang stadia pupa dengan Index of
Larval and Pupal Parasitism Rate (IPR) sebesar 73,9 %.
66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Ackery, P.R., C.R. Smith and R.I. Vane-Wright. 1995. Carcasson’s African Butterflies. Catalogue of
the Papilionoidea and Hesperioidea of the Afrotropical Region. CSIRO ublishing,
Collingwood, Melbourne.
Dahelmi. 2002. Life history and Ecology of Papilionid butterflies of Province of Sumatera Barat,
Indonesia. Annual Report of Pro Natura Foundation 12:147-162.
Dahelmi. 2008. Life History and Seasonal Occurrence of Papilionid Butterflies in Sumatera,
Indonesia. Disertasi. Kanazawa University, Japan.
Dahelmi., S. Salmah, dan H. Herwina. 2009. Diversitas Kupu-kupu (Butterflies) Pada Beberapa
Taman Nasional di Sumatra. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional. Universitas
Andalas. Padang.
Dahelmi., S. Salmah., I. Abbas, N. Fitriana, S. Nakano and K. Nakamura. 2008. Duration of
Immature Stages of Eleven Swallow Tail Butterfflies (Lepidoptera: Papilionidae) In West
Sumatra, Indonesia. Far Eastern Entomologist 182: 1-9.
Emlias. 1997. Dinamika Populasi Stadia Pradewasa Hama Penggulung Daun Pisang (Erionota thrax
Linn.) dan Waktu Oviposisi Parasitoid Terhadap Inang. Thesis Pascasarjana Biologi. FMIPA.
Universitas Andalas, Padang (Tidak Dipublikasikan).
Emosairue, S.O and E.J. Usua. 1999. Notes on The Life History of Acraea encedon L. (Lepidoptera:
Acraeidae) and Nature of Damage to Commelina spp. Journal Chemistry and Agricultural
Research 2 (1): 11-14.
Gupta, A. 2010. First Record of Brachymeria jambolana Gahan (Hymenoptera: Chalcididae) as a
Pupal Parasitoid of Graphium doson (C. & R. Felder) (Lepidoptera: Nymphalidae). Journal of
Biological Control 24(4): 363-365.
Hawkeswood, T.J. 1991. Some Observations on the Biology of the Australian Butterfly Acraea
andromacha andromacha (Fabricius) (Lepidoptera, Nymphalidae). Spixiana 14: 301-308.
Huang, D.W and J.S. Noyes. 1994. A Revision of the Indo-Pacific Species of Ooencyrtus
(Hymenoptera:Encyrtidae), Parasitoids of the Immature Stages of Economically Important
Insect Specie (Mainly Hemiptera And Lepidoptera). Entomol 63:1-136.
Kunte, K. 2006. Butterflies of Peninsular India. Indian Academy of Sciences. Universities press.
India.
Lawson, B.W.L and Duodu, Y.A. 1984. Life History and Seasonal Occurrence of the Tossa Jute
Defoliator, Acraea terpsicore (L.) (Lepidoptera: Nymphalidae) in Ghana. Entomologist's
Monthly Magazine (ENTOMOL. MON. MAG.) 120 (1436-1439): 47-53.
McAuslane, H. J and F.D. Bennett. 1995. Parasitoid and Predator Associated with Syntomeida epilais
(Lepidoptera: Arctiidae) on Oleander. Florida Entomologist 78 (3): 543-546.
Nauman, I.D. 1991. Hymenoptera. In Division of Entomology Csiro Australia (eds.), The Insects of
Australia, pp.916-1000. Second Edition. Vol II. Corner University Press. Ithaca, New York.
Okonya, J.S and J. Kroschel. 2013. Pest Status of Acraea acerata Hew. and Cylas spp. in Sweetpotato
(Ipomoea batatas (L.) Lam.) and Incidence of Natural Enemies in the Lake Albert Crescent
Agro-ecological Zone of Uganda. International Journal of Insect Science 2013:5 41–46.
Zhou, C., Chen, X.M., Shi, J.Y and Yi, C.H. 2009. Morphological Records and Biology of Parthenos
sylvia, Vindula erota (Lepidoptera: Nymphalidae) and Acraea violae (Lepidoptera: Acraeidae).
Forest Research 22(2): 171-176.
67
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Hibrid resiprok (resiprocal hybrids) dan induk ikan nila GIFT memberikan pengaruh kepada bobot
badan, ciri morfometrik, kecerahan sisik dan warna sisik, namun tidak memberikan pengaruh kepada ciri
meristik, pola sisik dan abnormalitas morfologis pada turunannya. Nilai bobot ikan dan ciri morfometrik yang
tertinggi terdapat pada hibrid resiprok nila GIFT dengan mujair, sedangkan kombinasi kecerahan sisik (sisik
pekat/gelap dan sisik transparan/terang) dan warna sisik (kombinasi perak hitam, kombinasi merah hitam dan
warna merah) hanya didapatkan pada hibrid resiprok nila GIFT dengan nila merah.
PENDAHULUAN
Hibridisasi secara luas dapat diartikan sebagai inseminasi yang heterospesifik yang dapat
dilakukan secara alami maupun secara buatan (Chevassus, 1983). Menurut Hickling (1960)
hibridisasi pada ikan dapat dilakukan antar spesifik dalam satu genus (interspesifix) dan antar genus
dalam satu famili (intergeneric) atau berbeda famili. Keberhasilan hibridisasi intergeneric biasanya
ditentukan oleh jauh dekatnya tingkat taxa, dengan arti kata semakin dekat tingkat taxa maka semakin
tinggi tingkat keberhasilannya (Tave, 1986; Kuncoro dan Toyo, 2003). Selanjutnya Chevassus (1983)
menjelaskan bahwa ada dua kejadian utama yang dapat diperhatikan dari hasil hibridisasi yaitu (1)
hibrid mengandung genom diploid, triploid atau tetraploid yang semuanya bergantung pada ploiditas
dari induknya dan (2) hibrid yang mengarah kepada salah satu material genetik, baik dari jantan
(androgenesis), ataupun dari betina (ginogenesis).
Dewasa ini seiring dengan pesatnya perkembangan industri perikanan, telah dikenal beberapa
standar strain nila yaitu, nila GIFT (Oreochromis niloticus) yang merupakan hasil hibridisasi ikan nila
asal Afrika dan ikan nila Asia, nila merah (Oreochromis sp) merupakan strain baru hasil hibridisasi
ikan nila asal Thailand dan ikan nila asal Mesir dan ikan mujair (O. mossambicus) merupakan ikan
nila lokal asal Asia dari Filipina (Sumidi, 1977). Menurut Kuncoro dan Toyo (2003), persilangan
ikan nila yang berbeda asal usulnya tersebut bertujuan untuk mendapatkan ikan nila yang unggul.
Keunggulan tersebut antara lain, pertumbuhannya yang cepat berkembang, tahan terhadap kualitas air
yang rendah, tahan terhadap hama dan penyakit serta efisien dalam memanfaatkan makanan (Tave,
1986). Disamping itu dijelaskan bahwa program perbaikan genetik dapat meningkatkan produktivitas
spesies akuatik yang dibudidayakan (Gjedrem, 1998, 2000; Hulata, 2001).
Di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat upaya penyilangan antara strain ikan nila dengan
ikan nila lokal belum berkembang dan amat langka data tentang hal itu. Sebab itulah perlu dilakukan
uji coba kemungkinan keberhasilan hibridisasi ikan nila GIFT (O. niloticus), ikan nila merah (O. sp)
dan ikan mujair (O. mossambicus), guna mendapatkan keturunan baru yang unggul dan lebih baik dari
induknya.
68
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
200 – 300 gr/ekor dan 3 pasang induk ikan mujair (O. mossambicus) dengan bobot badan rata-rata
100 - 150 gr/ekor, yang berasal dari Sungai Bangek dan Lubuk Rayo, Koto Tangah Padang.
Kemudian pasir halus dengan ketebalan 2 – 3 cm sebagai substrat untuk memijah dan bertelur induk
ikan uji . Sedangkan pakan yang digunakan adalah CP 781 sebagai pakan induk, CP 9001 dan FF
999 untuk benih ikan hasil hibridisasi.
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak semen berukuran 4,5 m x 2 m x 1m
sebanyak 3 buah yang dibagi menjadi 15 bagian berukuran 2 m x 0,9 m x 1m menggunakan
pembatas (skat) dari plastik terpal. Untuk pemeliharaan larva/anak ikan hasil hibridisasi dengan
menggunakan hapa ( 1m x 0,6m x 0,5m) yang ditempatkan dalam bak semen (4,5m x 2 m x 1m).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1 buah tetelan plastik, 1 buah tangguk
jaring net halus yang berukuran 15 x 10 cm untuk pengambilan sampel dan satu buah
mistar/penggaris dengan ketelitian 1 mm yang berfungsi untuk mengukur ciri meristik dan
morfometrik, kemudian timbangan dengan ukuran berat 5 kg dengan ketelitian 1 gram untuk
mengukur bobot badan.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan
3 ulangan yaitu, (A) Ikan nila GIFT betina dengan ikan nila GIFT jantan (kontrol), (B) Ikan mujair
betina dengan ikan nila GIFT jantan, (C) Ikan nila GIFT betina dengan ikan mujair jantan, (D) Ikan
nila merah betina dengan nila GIFT jantan dan (E) Ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah
jantan.
Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) pertama-tama dilakukan persiapan
wadah pemeliharaan induk dari semen yang terdiri dari 3 buah yang masing-masing kolam berukuran
9 m2 dan dibagi menjadi 15 bagian dengan ukuran luas 1,8 m menggunakan pembatas (skat), dari
terpal sebagai tempat pemijahan bagi ikan uji. Pada dasar wadah (kolam) ditebarkan pasir dengan
ketebalan 2 - 3 cm, hal ini bertujuan sebagai substrat tempat membuat sarang oleh ikan uji. Ikan uji
sebelum dimasukan, terlebih dahulu diseleksi jantan dan betina antara ikan nila GIFT dan ikan nila
merah dengan bobot berkisar 200 – 300 gr/ekor dan ikan mujair dengan bobot berkisar 100 – 150
gr/ekor yang diperoleh dari Sungai Bangek dan Lubuk Rayo, Kecamatan Koto Tangah Padang.
Selama penelitian, ikan uji diberi pakan pelet CP 781 dengan metode adlibitum, yaitu pemberian
makanan sampai kenyang dengan kisaran 10 – 20 gram pada waktu pagi hari. Hal ini bertujuan
supaya induk bisa memijah dan bertelur dengan sempurna pada waktu siang sampai sore hari yaitu
pada pukul 12.00 – 17.00 wib.
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan melihat hasil dari pemijahan pada ikan uji yaitu,
adanya gerombolan larva yang berenang diatas permukaan air. Setelah itu larva ditangkap dengan
menggunakan tangguk jaring net halus dengan mesh 1 mm dan dipindahkan ke dalam hapa tempat
pemeliharaan larva. Larva hasil hibridisasi diberi makan tiga kali sehari yaitu, pagi hari pukul 07.30
wib dan siang hari pukul 12.30 wib serta sore hari pukul 17.30 wib berupa pelet CP 9001 dengan
metode adlibitum, yaitu pemberian makanan sampai kenyang dengan kisaran 3 – 5 gram sampai
berumur 21 hari. Setelah itu dilanjutkan dengan pakan pelet FF 999 dengan kisaran 5 – 10 gram
sampai berumur 30 hari. Setelah juvenil/benih hasil hibridisasi berumur 30 hari barulah siap
dilakukan pengamatan terhadap sampel dengan langkah awal adalah pengambilan sampel dengan
menggunakan metode sampling dengan cara menghitung jumlah ikan, 50% dari total biomasa ikan
dalam satu wadah hapa. Juvenil/benih tersebut diambil dengan tangguk jaring net halus yang
berukuran 15 cm x 10 cm dan diletakkan di atas tetelan plastik guna mengamati sifat-sifat ikan hasil
hibridisasi tersebut.
Pengamatan terhadap peubah biologi hewan uji dilakukan setelah ikan berumur lebih dari 30
hari yaitu pada tingkat juvenil/benih. Peubah yang diamati meliputi : bobot ikan, ciri morfometrik dan
meristik, pola sisik, kecerahan sisik, warna sisik dan abnormalitas morfologis. Data yang telah
berhasil dihimpun, diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uju lanjut berganda Duncan.
69
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Bobot perekor ikan (g) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT
Perla- Rataan jumlah ikan Rataan bobot ikan
Rataan jumlah Rataan bobot ikan
kuan 50% dari jumlah 50% dari jumlah total
total ikan (ekor) perekor (g)
(n=3) total ikan (ekor) ikan (g)
A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 213,33 ± 18,56 3,80 ± 0,33ª
B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 200,00 ± 10,00 6,07 ± 0,13b
C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 196,67 ± 3,33 5,72 ± 0,84b
D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 193,33 ± 8,82 3,45 ± 0,65ª
E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 213,33 ± 28,48 3,14 ± 0,36ª
Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ±
standard errors (SE), (A) Ikan nila GIFT betina x ikan nila GIFT jantan (kontrol) , (B)
Ikan mujair betina x Ikan nila GIFT jantan ,(C) Ikan nila GIFT betina dengan ikan
mujair jantan, (D) Ikan nila merah betina x ikan nila GIFT jantan, dan (E) Ikan nila
GIFT betina x ikan nila merah jantan.
Gambar 1. Histogram rataan bobot (g) perekor ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT
Dari tabel dapat dilihat bahwa rataan jumlah total ikan dan rataan jumlah ikan 50 % dari total
jumlah ikan pada masing-masing perlakuan adalah tidak sama. Jumlah ikan terbanyak (144 ekor)
terdapat pada perlakuan E, kemudian diikuti oleh perlakuan D (120 ekor), perlakuan A(114 ekor),
perlakuan C (72 ekor) dan yang paling rendah didapatkan pada perlakuan B yaitu 66 ekor. Dilihat
dari rataan bobot ikan 50 % dari jumlah total ikan (Tabel 1 dan Gambar 1), maka nilai bobot ikan
yang tertinggi didapatkan sebesar 213,33 gram pada perlakuan A dan E serta yang terendah adalah
pada perlakuan D (193,33 gram). Sedangkan untuk bobot ikan perekor, rataan bobot ikan hasil
hibridisasi secara berurutan mulai yang tertinggi adalah perlakuan B (6,07 gram), perlakuan C (5,72
gram), perlakuan A (3,8 gram), perlakuan D (3,45 gram) dan yang paling terendah adalah pada
perlakuan E (3,14 gram), secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,05).
Tinggi nilai rataan bobot badan pada hibridisasi ikan mujair betina dengan ikan nila GIFT
jantan dan Ikan nila GIFT betina dengan ikan mujair jantan diduga disebabkan oleh lingkungan
pemeliharaan dengan kepadatan yang rendah yang memungkinkan individu tersebut tumbuh dan
berkembang jauh lebih baik, karena persaingan untuk mendapatkan pakan, oksigen dan ruang gerak
tidak terlalu kompetitif pada kepadatan yang rendah. NRC (1977) menyatakan bahwa pertumbuhan
dipengaruhi oleh ruang hidup, apabila ruang hidup kecil dengan meningkatnya padat tebar maka
terjadi persaingan gerak, sehingga mempengaruhi pertumbuhan. Selanjutnya Hickling (1971)
menjelaskan bahwa dalam batas tertentu penambahan padat penebaran akan menambah produksi
total, akan tetapi akan mempengaruhi ukuran berat dan besar yang dihasilkan dalam satu
pemeliharaan. Disamping faktor lingkungan, diduga adanya penambahan variasi genetik yang
dominan dari kedua hibridisasi ikan nila GIFT dan mujair tersebut. Tave (1986) menyatakan bahwa
hibridisasi dapat memperbaiki produktivitas dengan mengeksploitasi variasi genetik yang dominan.
Selanjutnya dijelaskan variasi genetik yang dominan adalah hasil kreasi dari awal dan karena adanya
perbedaan kombinasi masing-masing generasi, yang pengaruhnya didasarkan kepada keberuntungan.
Ciri Morfometrik. Ciri morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh dan
bagian tubuh ikan. Diantaranya adalah panjang badan yakni, jarak antara ujung kepala yang terdepan
sampai sirip ekor terbelakang, kemudian lebar badan yakni, jarak terbesar antara kedua sisi badan
70
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ikan, serta tinggi badan yakni, jarak antara tempat tumbuh sirip punggung dan sirip perut yang
terdapat pada badan ikan. Data hasil pengamatan ciri morfometrik ikan hasil hibridisasi pada
masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2.
Tabel 2. Ciri morfometrik ikan (cm) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT
Rataan jumlah Ciri morfometrik
Perla- Rataan
ikan 50% dari
kuan jumlah total Rataan panjang Rataan lebar Rataan tinggi
jumlah total
(n=3) ikan (ekor) badan (cm) badan (cm) badan (cm)
ikan (ekor)
A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 6,87 ± 0,23a 1,00 ± 0,12bc 2,00 ± 0,29ab
b d
B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 8,40 ± 0,12 1,40 ± 0,06 2,63 ± 0,09c
C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 7,17 ± 0,13a 1,17 ± 0,12cd 2,31 ± 0,12bc
a ab
D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 6,60 ± 0,36 0,85 ± 0,07 1,90 ± 0,06ab
E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 6,47 ± 0,38a 0,67 ± 0,12a 1,78 ± 0,03a
Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ±
standard errors (SE).
Gambar 2. Histogram rataan ciri morfometrik (cm) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila
GIFT.
Hasil hibridisasi berbagai persilangan ikan nila GIFT, mujair dan nila secara keseluruhan
menyebabkan perbedaan nilai rataan dari ciri morfometrik (Tabel 2 dan Gambar 2) , secara statistik
berbeda nyata (P<0,05). Pada percobaan ini hibridisasi ikan mujair betina dengan ikan nila GIFT
jantan memberikan nilai rataan panjang badan (8,40 cm), lebar badan (1,40 cm) dan tinggi badan
(2,63 cm) yang tertinggi, sedangkan persilangan ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan
memberikan nilai ciri morfometrik (panjang badan, lebar badan dan tinggi badan) yang paling rendah
bila dibandingkan dengan persilangan ikan lainnya yaitu ikan nila GIFT betina dengan ikan mujair
jantan (perlakuan C), ikan nila GIFT betina dengan ikan nila GIFT jantan (perlakuan A sebagai
kontrol) dan ikan nila merah betina dengan nila GIFT jantan (perlakuan D).
Tingginya ciri morfometrik(panjang badan, lebar badan dan tinggi badan) pada hibrid
resiprok (reciprocal hybrids) ikan nila GIFT dan mujair berhubungan atau sejalan dengan
penambahan bobot ikan yang lebih tinggi pada kedua hibrid tersebut. Disamping itu juga diduga
karena adanya kontribusi variasi genetik yang berbeda dari kedua spesies dan asal usul dari kedua
induk yang disilangkan. Tave (1986) menyebutkan bahwa hibridisasi merupakan salah satu dari
beberapa cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas ikan. Produktivitas dapat
diukur melalui bobot biomass biota persatuan volume air (Effendi, 2004). Sedangkan pertumbuhan
yaitu perubahan ukuran, dapat panjang atau berat dalam waktu tertentu (Effendie, 1979) dipengaruhi
oleh faktor keturunan (genetis) , aktifitas ikan, kondisi lingkungan, ketahanan terhadap penyakit serta
persaingan makanan (Huet, 1971 ; Zonneveld, Huisman dan Boon, 1991).
Ciri Meristik. Ciri meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh ikan.
Diantaranya adalah jumlah jari-jari sirip punggung (dorsal fin), sirip ekor (caudal fin), sirip dada
(pectoral fin), sirip perut (ventral fin) dan sirip dubur (anal fin) yang terdapat pada ikan hasil
71
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
hibridisasi. Data hasil pengamatan pada ciri meristik ikan hasil hibridisasi ikan pada masing-masing
perlakuan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri meristik ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT.
Ciri meristik
Rataan
Rataan Rataan Rataan
Perla- Rataan jumlah jumlah ikan Rataan
jumlah jari- jumlah jumlah Rataan jumlah
kuan total ikan 50% dari jumlah jari-
jari sirip jari-jari jari-jari jari-jari sirip
(n=3) (ekor) jumlah total jari sirip
punggung sirip dada sirip perut dubur (buah)
ikan (ekor) ekor (buah)
(buah) (buah) (buah)
57 ±
A 114 ± 13,86 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 12 ± 0,00
6,93
66 ± 33 ±
B 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 12 ± 0,00
4,16 2,08
72 ± 36 ±
C 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 12 ± 0,00
11,02 5,51
60 ±
D 120 ± 22,28 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 12 ± 0,00
11,14
72 ±
E 144 ± 38,02 27 ± 0,00 15 ± 0,00 9 ± 0,00 6 ± 0,00 12 ± 0,00
19,01
Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ±
standard errors (SE).
Dilihat dari rataan ciri meristik yakni, rataan jumlah jari-jari sirip punggung (dorsal fin),
rataan jumlah jari-jari sirip ekor (caudal fin), rataan jumlah jari-jari sirip dada (pectoral fin), rataan
jumlah jari-jari sirip perut (ventral fin) dan rataan jumlah jari-jari sirip dubur (anal fin) terhadap ikan
hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT pada masing-masing perlakuan dan ulangan belum
menunjukkan perbedaan yang bearti (P>0,05).
Pola Sisik. Sisik merupakan lempengan yang mengeras pada kulit ikan yang berfungsi
sebagai kerangka luar serta melindungi tubuh ikan. Pola sisik terbagi atas sisik placoid yakni, sisik
yang berbentuk bunga mawar dengan dasar bulat dan bujur sangkar, kemudian cosmoid yakni, sisik
yang hanya tumbuh pada bagian bawah badan ikan yang terdapat pada ikan fosil primitif, kemudian
genoid yakni, sisik yang tumbuh hanya pada bagian atas dan bawah badan ikan, kemudian cycloid
yakni, sisik yang berbentuk bulat lingkaran, tipis dan fleksibel serta transparan. Pada sisik ini terdapat
garis yang menebal (focus anulus) dan garis pertumbuhan (circulus), kemudian cteonoid yakni, sisik
yang berbeda bentuk dengan cycloid tapi tidak terdapat focus pada sisik. Data hasil pengamatan
terhadap pola sisik ikan hasil hibridisasi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pola sisik ikan (%) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT
Rataan Pola sisik
Perla- jumlah ikan Rataan Rataan Rataan
Rataan jumlah
kuan 50% dari sisik sisik sisik Rataan sisik Rataan sisik
total ikan (ekor)
(n=3) jumlah total placoid cosmoid genoid ctenoid (%) cycloid (%)
ikan (ekor) (%) (%) (%)
A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 — — — 100,00 ± 0,00 —
B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 — — — 100,00 ± 0,00 —
C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 — — — 100,00 ± 0,00 —
D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 — — — 100,00 ± 0,00 —
E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 — — — 100,00 ± 0,00 —
Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P<0.05), nilai adalah rataan ±
standard errors (SE).
Dilihat dari rataan pola sisik ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT pada masing-
masing perlakuan dan ulangan adalah sama yakni, rata-rata memiliki pola sisik ctenoid. Sedangkan
72
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
pola sisik jenis placoid, cosmoid, genoid dan cycloid, tidak terdapat pada ikan hasil spesies hibrid dan
induk ikan nila GIFT.
Kecerahan Sisik. Kecerahan sisik merupakan cahaya yang ditimbulkan oleh sisik
diantaranya adalah transparan/terang dan gelap/pekat yang terdapat pada badan ikan hasil hibridisasi.
Data hasil pengamatan terhadap kecerahan sisik ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT
pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 3.
Dilihat dari nilai rataan persentase (%) kecerahan sisik 50 % dari jumlah total ikan untuk sisik
transparan/terang pada percobaan ini didapatkan pada semua perlakuan, dengan nilai tertinggi yaitu
100 % untuk perlakuan A (kontrol), perlakuan B dan perlakuan C. Sedangkan pada perlakuan D dan
perlakuan E didapatkan nilai persentase rataan sisik transparan/terang berturut-turut 31,38 % dan
51,59 %, secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Segregasi sisik pekat/gelap
terjadi pada persilangan (hibridisasi) antara ikan nila GIFT jantan dengan ikan nila merah betina
(perlakuan D) dan Ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan (perlakuan E) dengan nilai
berturut-turut 68,62% dan 40,39%, dengan uji statistik menunjukkan perbedaan yang bearti (P<0,05).
Tabel 5. Kecerahan sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT.
Rataan Kecerahan sisik
jumlah ikan
Perla- Rataan jumlah
50% dari Rataan sisik Rataan sisik Rataan sisik Rataan
kuan total ikan
jumlah total transparan/ pekat/ gelap transparan/ sisik pekat/ gelap
(n=3) (ekor)
ikan (ekor) terang (ekor) (ekor) terang (%) (%)
0,00 ± 100,00 ±
A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 57,00 ± 6,93 0,00 ± 0,00a
0,00 0,00c
66 ± 0,00 ± 100,00 ±
B 33 ± 2,08 33,00 ± 2,08 0,00 ± 0,00a
4,16 0,00 0,00c
72 ± 0,00 ± 100,00 ±
C 36 ± 5,51 36,00 ± 5,51 0,00 ± 0,00a
11,02 0,00 0,00c
34,33 ± 31,38 ±
D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 19,00 ± 4,04 68,62 ± 0,78b
1,20 0,78ª
28,67 ± 59,61 ±
E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 43,33 ± 12,33 40,39 ± 1,27c
6,69 1,27b
Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ±
standard errors (SE).
Gambar 3. Histogram rataan kecerahan sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT.
Kombinasi kecerahan warna sisik pekat/gelap dan sisik transparan/terang hanya ditemukan
pada hibrid resiprok (resiprocal hybrids) ikan nila GIFT (O. niloticus) dengan ikan nila merah (O.
sp). Terbentuknya fenotip ini diduga karena warna sisik dari kedua parental memiliki warna tubuh
yang berbeda secara morfologi sehinga menimbulkan variasi kecerahan yang lebih bervariasi pada
turunannya. Menurut Tave (1968) sisik transparan pada goldfish adalah contoh fenotipe yang
dikontrol oleh interaksi gen duplikat dominan. Selanjutnya dijelaskan dalam interaksi gen duplikat
73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
dominan, alel-alel dominan pada suatu loki menghasilkan fenotipe yang sama, tetapi tidak ada efek
komulatif. Menurut Cherfas (1977) dan Kirpichnikov (1981) gen L pada ikan mas menyebabkan
sisik menjadi transparan atau light (L1). Kemudian diterangkan individu yang memiliki alella L
homosigot dominan akan mati sebelum berumur setahun, tetapi pada beberapa kasus masih dapat
hidup beberapa ekor.
Warna Sisik. Warna sisik merupakan ragam corak cahaya sisik diantaranya adalah merah,
kombinasi merah hitam dan kombinasi perak hitam yang ditimbulkan oleh badan ikan hasil
hibridisasi. Data hasil pengamatan terhadap warna sisik ikan hasil hibridisasi pada masing-masing
perlakuan dan ulangan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 4.
Tabel 6. Warna sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT.
Rataan Warna sisik
jumlah
Rataan Rataan Rataan Rataan
Perla- ikan 50% Rataan Rataan Rataan
jumlah kombinasi kombinasi Kombi nasi
kuan dari warna kombinasi warna
total ikan merah merah hitam perak hitam
(n=3) jumlah merah perak hitam merah
(ekor) hitam (%) (%)
total ikan (ekor) (ekor) (%)
(ekor)
(ekor)
114 ± 57 ± 0,00±0, 0,00± 57,00 ± 0,00 ± 0,00 100,00 ±
A
13,86 6,93 00 0,00 6,93 0,00a ±0,00a 0,00a
66± 33 ± 0,00± 33,00 ± 0,00 0,00 100,00 ±
B 0,00±0,
4,16 2,08 0,00 2,08 ±0,00a ±0,00a 0,00a
00
72 36 ± 0,00± 36,00 ± 0,00 ± 0,00 ± 100,00 ±
C 0,00±0,
±11,02 5,51 0,00 5,51 0,00a 0,00a 0,00a
00
120 ± 60 ± 32,33± 17,33 ± 16,94 53,72 29,34 ±
D 10,33±2,4
22,28 11,14 6,36 2,40 ±0,91c ±0,91c 1,26c
0
144 ± 72 ± 34,33 12,14 ± 40,63 47,23 ±
E 8,33±1,33 29,33±13,
38,02 19,01 ±17,09 1,08b ±2,28b 2,33b
70
Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05), nilai adalah rataan ±
standard errors (SE).
Dilihat dari rataan persentase (%) warna sisik 50 % dari jumlah total ikan hasil spesies hibrid
dan induk ikan nila GIFT dengan rata-rata persentase (%) warna sisik merah hanya terdapat pada
perlakuan D (ikan nila merah betina dengan ikan nila GIFT jantan) dan E (ikan nila GIFT betina
dengan ikan nila merah jantan) dengan nilai berturut-turut yaitu 16,94% dan 12,14%, dengan uji
statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,005). Demikian pula untuk warna sisik kombinasi
merah hitam hanya didapatkan pada percobaan persilangan (hibridisasi) antara ikan nila merah betina
dengan ikan nila GIFT jantan ( 53,72%) dan ikan nila GIFT betina dengan ikan nila merah jantan
(40,63%), secara statistik memberikan perbedaan yang bearti (P<0,05).
Sedangkan rataan persentase (%) warna sisik kombinasi perak hitam terdapat pada semua
perlakuan, dengan nilai persentase tertinggi yaitu 100% pada perlakuan A, B dan C. Pada percobaan
kombinasi persilangan antara ikan nila merah betina dengan nila GIFT jantan dan ikan nila GIFT
betina dengan ikan nila merah jantan didapatkan nilai rataan persentase masing-masing 29,34% dan
47,23%, secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
74
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 4. Histogram rataan warna sisik (%) ikan hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT.
Variasi warna sisik kombinasi perak hitam, kombinasi merah hitam dan warna merah hanya
didapatkan pada hibrid resiprok (resiprocal hybrids) ikan nila GIFT (O. niloticus) dengan ikan nila
merah (O. sp). Hal ini diduga karena secara morfologi warna tubuh (sisik) dari kedua spesies tersebut
berbeda sehingga menghasilkan interaksi warna yang diturunkan kepada anaknya. Tave (1986)
menjelaskan bahwa warna tubuh pada beberapa ikan tropis dikontrol oleh interaksi epistatik antara
sejumlah dua atau lebih loki. Menurut Kirpicnikov (1981) banyaknya variasi warna sisik yang
muncul pada ikan bergantung kepada poligen yang mengontrol perkembangan sel warna.
Abnormalitas. Abnormalitas merupakan sifat dasar yang tampak seperti bentuk tubuh/badan
ikan yang meliputi kecacatan dan kenormalan pada badan ikan hasil hibridisasi. Data hasil
pengamatan terhadap abnormalitas ikan hasil hibridisasi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Abnormalitas ikan (%) hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT.
Rataan jumlah Abnormalitas
Perlakuan Rataan jumlah ikan 50%
total ikan Rataan normal
(n=3) dari jumlah total ikan (ekor) Rataan cacat (%)
(ekor) (%)
A 114 ± 13,86 57 ± 6,93 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00
B 66 ± 4,16 33 ± 2,08 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00
C 72 ± 11,02 36 ± 5,51 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00
D 120 ± 22,28 60 ± 11,14 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00
E 144 ± 38,02 72 ± 19,01 100,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00
Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (P<0.05), nilai adalah rataan ±
standard errors (SE).
Pada percobaan ini terlihat bahwa hasil spesies hibrid dan induk ikan nila GIFT pada masing-
masing perlakuan didapatkan nilai persentase larva normal tinggi yaitu 100% pada seluruh perlakuan.
Sedangkan larva yang cacat setelah pemeliharaan 30 hari tidak ditemukan pada seluruh percobaan
persilangan (hibridisasi). Tidak terdapatnya ikan yang abnormal dalam penelitian ini diduga karena
waktu pemeliharaan larva yang masih relatif singkat yaitu 30 hari. Disamping itu juga diduga karena
hibrid yang dihasilkan dari perkawinan ikan yang berasal dari dua spesies yang berbeda (interspesifik
hybrid) pada kajian ini memiliki tingkat homosigositas yang rendah. Menurut Leary, Allendrof
dan Knudsen (1985) dan Leary dan Allendorf (1985) menyebutkan bahwa homosigositas yang tinggi
mengakibatkan stabilitas perkembangan yang menurun. Selanjutnya dijelaskan penurunan stabilitas
perkembangan pada gilirannya akan menibulkan keragaman ciri meristik.
75
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
perak hitam, kombinasi merah hitam dan warna merah) hanya didapatkan pada hibrid resiprok nila
GIFT dengan nila merah.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat sifat genotip dan susunan kromosom yang
terkandung dalam tubuh ikan hasil hibrid resiprok (resiprocal hybrids) antara ikan nila GIFT dengan
mujair dan nila GIFT dengan nila merah.
DAFTAR PUSTAKA
Chevassus, B. 1983. Hybridization in fish. Aquaculture, 33: 245-262.
Cherfas, N.B. 1977. Investigations on radiation induced diploid gynogenesis in carp. II.
Segregation with respect to several morphological characters in gynogenetic progenies.
Genetika. 13 (5) : 811-820.
Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya, Jakarta. 188 p.
Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Cetakan Pertama. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p.
Gjedrem, T., 1998. Developments in fish breeding and genetics. Acta Agriculturae Scandinavica.
Section, Animal Science Suppl. 28, 19– 26.
Gjedrem, T., 2000. Genetic improvement of cold-water species. Aquaculture Research 31, 25– 33.
Hickling, C.F. 1960. The Malacca tilapia hybrids. J. Genet. 57, 1-10.
Hickling, C.F. 1971. Fish Culture. Faber and Faber, London, 317 p.
Huet, M. 1971. Texbook of fish culture, breeding and cultivation of fish. Fishing News (Books) Ltd.
London. 436 p.
Hulata, G., 2001. Genetic manipulations in aquaculture: a review of stock improvement by classical
and modern technologies. Genetics 111, 155– 173.
Kirpichnikov, V.S. 1981. Genetic bases of fish selection. Springer-Verlag, Berlin-New York. 410p.
Kuncoro, E.B. dan Toyo, R.W. 2003. Menghasilkan Strain Baru Ikan Siklid. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Leary, R.F. and F.W. Allendorf. 1985. Heterozygosity and developmental stability in gynogenetic
diploid and triploid rainbow trout. Heredity 54:219-225.
Leary, R.F. and F.W. Allendorf and Knudsen. 1985. Inhertitance of meristic variation and evolution
of developmental stability in rainbow trout. Evolution 39 (2) : 308-314.
NRC. 1977. Nutrients Requirements of Warmwater Fishes. Nat. Acad. Sci., Washington, D.C., 78 p.
Sumidi. 1977. Mengenal Ikan Nila GIFT. Mekar, edisi 8th VII, pp 12-13.
Tave, D. 1986. Genetic for Fish Hatchery Managers. Avi Publishing. Company, Inc. Westport,
Connecticut., 299 p.
Zonneveld, N., Huisman, E.A. dan Boon, J.H. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Penerbit PT
Gramedia Jakarta. Jakarta. 318 p.
76
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Potensi hasil hutan daerah Riau yang sangat memungkinkan untuk dikelola masyarakat umum adalah
Madu Hutan. Populasi lebah madu di daerah Riau tersebar di berbagai wilayah. Wilayah yang kawasan
hutannya paling banyak memproduksi madu liar adalah; Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kuansing dan
Kabupaten Pelalawan. UKM Al-Hikmah mendapatkan suplay madu hutan dari UKM Abdul Malik, selain dari
daerah Indragiri Hulu, madu hutan yang diperoleh UKM mitra disuplay dari beberapa daerah Kuantan Sengingi
dan Pelalawan oleh kelompok pengelola madu. Umumnya madu hutan yang baru dipanen mengandung kadar air
lebih dari 24% (24-28%), sedangkan kadar air standar madu hutan yang ditentukan oleh JMHI adalah <24%.
Demikian pula kadar air madu yang diperuntukan industri dan farmasi menuntut persentase yang sangat rendah
yaitu 18%. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan kepada UKM supaya madu yang dihasilkan mendapat
sertifikasi dari Aliansi Organik Indonesia (AOI) dan sertifikasi nasional Indonesia (SNI). Pelaksanaan
pengabdian ini dilakukan dalam bentuk kegiatan partisipasif perguruan tinggi melalui pendekatan terhadap
sumberdaya manusia yang ada di UKM mitra. Pelatihan panen lestari dan higienis sesuai standar Internal
Control System (ICS), beberapa materi yang diberikan dalam kegiatan bimbingan dan pelatihan ICS ini
meliputi; prosedur pemanenan yang tepat, penggunaan peralatan yang higienis, pengetahuan kelestarian madu
hutan dan konservasi.
PENDAHULUAN
Dengan kearifan lokal madu hutan dipanen secara lestari oleh komunitas masyarakat sekitar
hutan. Kita mendapatkan manfaat langsung dari madu yg kita konsumsi, masyarakat sekitar hutan
juga mendapat insentif langsung dari usaha dan kerja keras mereka untuk menjaga hutan di sekitar
mereka. Belum lagi lebah hutan mempunyai manfaat sangat penting dalam penyerbukan tumbuhan-
tumbuhan di hutan. Akan tetapi masih banyak pemburu madu hutan yang tidak memiliki pemahaman
tentang bagai mana penerapan panen lestari dan higienis sesuai standar Internal Control System (ICS).
Selama ini pengelolaan madu hutan masih dilakukan secara tradisional. Kualitas madu hutan
dari pedalaman Provinsi Riau dipasaran nasional cukup baik, tidak kalah dengan madu Sumbawa dan
madu Arab. Akan tetapi dengan pengelolaan yang masih sangat sederhana sekali berdampak kepada
penurunan kualitas madu yang telah dipanen dari hutan. Di beberapa kabupaten pengelolaan madu
hutan secara individu atau kelompok telah mendapat perhatian dan bantuan dari pihak pemerintahan
setempat, dan ada juga yang masih berjalan secara mandiri. Di Kabupaten Indragiri Hulu terdapat
beberapa kelompok pengusaha madu hutan, diantaranya ialah UKM Al-Hikmah di Desa Kembang
Harum dan UKM Abdul Malik Desa Cerucup, Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Indragiri Hulu.
Proses produksi madu hutan yang dilakukan oleh UKM Abdul Malik masih dilakukan secara
sederhana sekali. Peralatan yang dipergunakan mulai dari proses pemanenan sampai dengan
pengemasan masih menggunakan peralatan konvensional diantaranya adalah; ember penampung,
kain pemeras untuk memeras sarang lebah, jerigen untuk pengangkutan dari hutan ke rumah pemanen,
corong, drum penampungan yang terbuat dari plastik. Madu murni yang diperoleh dimasukkan ke
dalam botol kemasan bersegel berbahan plastik PET.
77
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Pelatihan yang telah dilaksanakan panen lestari dan higienis sesuai standar internal control
system menghasilkan madu mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI).
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, B. 2001. Lebah Madu. Argomedia Pustaka. Jakarta.
Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Suranto, A. 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Agro Media Pustaka. Jakarta.
_____. 2007. Terapi Madu. Penerbit Penebar Plus. Jakarta.
Hapsoh, Gusmawartati, Nazaruddin dan Sabrowi Yansen. 2013. Panen Lestari dan Manfaat Madu
Hutan + 25 Resep Pengobatan. UR Press, Pekanbaru.
78
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Interaksi yang terjadi antara unggas air liar dengan unggas domestik dapat menyebabkan cross-
infection Virus Avian Influenza (VAI) subtipe H5N1. Cross-infection dapat terjadi baik dari unggas domestik
ke burung air liar maupun dari burung air liar ke unggas domestik. Salah satunya cara yang dapat dilakukan
untuk menentukan pola penularan dan penyebaran VAI subtipe H5N1 pada kawasan Cagar Alam Pulau Dua
(CAPD) adalah melalui analisa cross-infection. Analisa cross-infection dapat dilakukan berdasarkan
imunoserologi dengan melihat titer antibodi yang terbentuk pada unggas-unggas di kawasan tersebut. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya pola cross-infection pada penyebaran VAI subtipe H5N1
di sekitar kawasan CAPD Serang, Propinsi Banten. Metode yang digunakan adalah menganalisa kemungkinan
mekanisme penularan berdasarkan titer antibodi yang dihasilkan pada uji HI. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kemungkinan cross-infection tidak terjadi pada penyebaran virus AI subtipe H5N1 di kawasan CAPD.
Penularan terjadi hanya satu arah, dari unggas domestik ke burung-burung air liar penetap di CAPD.
Kata kunci : mekanisme cross-infection, virus AI subtipe H5N1, burung air liar, unggas domestik, Cagar Alam
Pulau Dua
PENDAHULUAN
VAI subtipe H5N1 diketahui telah menginfeksi hampir sebagian besar unggas domestik
(peliharaan) masyarakat seperti ayam, bebek dan mentok. VAI subtipe H5N1 juga telah memberi
paparan pada unggas-unggas liar di Indonesia. Pada ayam dan manusia, VAI subtipe H5N1 bersifat
sangat patogen sedangkan pada unggas air, hanya VAI subtipe H5N1 clade 2.3 (merupakan introduksi
dari luar) yang mampu bersifat mematikan.
Efektivitas penularan VAI subtipe H5N1 dari ayam ke ayam sudah dapat dibuktikan dan tidak
diragukan lagi. Akan tetapi sumber penularan VAI subtipe H5N1 ke ayam dan ke manusia sampai
saat ini belum diketahui dengan jelas. Unggas air domestik (bebek & mentok) yang merupakan
reservoir VAI subtipe H5N1 juga patut diperhitungkan peranannya sebagai sumber penularan.
Dugaan adanya peran burung air liar baik yang bermigrasi maupun penetap di suatu kawasan
dalam proses penyebaran VAI subtipe H5N1 juga masih perlu dibuktikan. Transmisi VAI subtipe
H5N1 dari unggas air (bebek dan mentok) ke unggas lain (ayam, puyuh, dan burung-burung) yang
terjadi di pasar unggas merupakan penyebab utama penyebaran VAI subtipe H5N1. Hal ini
disebabkan pada lokasi tersebut kontak langsung antara unggas tidak dapat dihindarkan.
Transmisi VAI subtipe H9N2 pada pasar unggas dapat terjadi dua arah. VAI yang awalnya
berasal dari unggas air dapat ditransmisikan ke unggas darat, demikian sebaliknya. Puyuh disebut
sebagai hospes perantara transmisi VAI dari unggas air ke unggas darat. Akan tetapi transmisi VAI
subtipe H5N1 pada kawasan perlindungan alam (konservasi) seperti Cagar Alam Pulau Dua (CAPD)
belum diketahui secara pasti.
Interaksi antara unggas air liar dengan unggas domestik dapat menyebabkan cross-infection,
baik dari unggas domestik ke unggas liar maupun dari unggas liar ke unggas domestik. Salah satunya
cara yang dapat dilakukan untuk menentukan pola penularan dan penyebaran VAI subtipe H5N1
pada kawasan CAPD adalah melalui analisa cross-infection berdasarkan imunoserologi. Titer antibodi
yang dihasilkan dari Uji Hemaglutinasi terhadap sampel serum dan usap kloaka asal unggas-unggas di
kawasan CAPD diharapkan mampu menjelaskan mekanisme penularan dan penyebaran VAI subtipe
H5N1 serta mampu menjelaskan sumber VAI subtipe H5N1 pada kawasan konservasi tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan adanya mekanisme cross-infection penyebaran dan
penularan VAI subtipe H5N1 pada burung air liar dan unggas domestik di sekitar CAPD berdasarkan
analisa serologi yang terbentuk akibat infeksi dan paparan virus AI subtipe H5N1
79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tahap Penelitian
Inaktivasi Serum
Sampel serum yang telah diperoleh dari lapangan sebelum dianalisa dengan Uji HA dan HI
diaktivasi terlebih dahulu pada inkubator atau waterbath dengan suhu 56oC selama 30 menit. Tujuan
dari aktivasi ini adalah menghilangkan komplemen-komplemen yang akan mengganggu pada saat uji
berlangsung dan pembacaan uji.
80
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
H5N1. Pendekatan Cross-Infection akan ditentukan dari persentase seroprevalensi dan nilai titer
antibodi yang dihasilkan masing-masing unggas di kawasan CAPD.
81
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi bahwa penularan atau infeksi hanya terjadi
satu arah dari unggas air domestik ke ayam atau ke burung-burung air liar. Penularan virus AI subtipe
H5N1 dari burung air liar ke unggas domestik tidak dapat terjadi karena burung-burung air liar tidak
memiliki potensi untuk menularkan virus AI tersebut pada unggas domestik di sekitar kawasan
CAPD.
Virus AI subtipe H5N1 yang terdapat pada ayam dan bebek diduga bukan berasal dari proses
penularan di sekitar kawasan tersebut, akan tetapi sudah berada di dalam tubuh unggas sejak masih
anakan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pada sebagian telur-telur berembrio dan DOC (Day
old Chicken) yang dijadikan bibit bagi pengembangan peternakan di Indonesia dijumpai adanya virus
AI subtipe H5N1. Penularan pada telur dan DOC disebabkan penularan vertikal yang terjadi dari
induk ke anak maupun kontaminasi pada saat penetasan dan pengangkutan (Capua & Maragon 2007).
Penularan secara vertikal dari induk ke anakan diindikasi pada keberadaan virus AI subtipe H5N1
pada kuning telur dan putih telur yang dihasilkan pada kelompok ayam yang mencapai puncak infeksi
AI. Virus diduga menyebabkan telur tidak dapat menetas, telur yang tidak menetas dan pecah dapat
menjadi sumber penularan virus AI subtipe H5N1
SIMPULAN
Dari hasil penghitungan seroprevalensi dan nilai GMT dapat diperoleh simpulan bahwa
mekanisme penularan virus AI subtipe H5N1 di kawasan CAPD dan sekitarnya tidak terjadi secara
cross-infection. Penularan virus AI tersebut hanya satu arah dari unggas air domestik (entok dan
bebek) ke ayam atau ke burung-burung air liar penetap di CAPD.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini mendapat bantuan dana dari Grant UAI 2013 melalui Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LP2M) UAI berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Internal Pelaksanaan RE TA
SPK Internal Pelaksanaan Grant LP2M TA 2012-2013 No.010/SPK/A-01/UAI/II/2013. Pelaksanaan
kegiatan seminar yang diselenggarakan Dept. Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara mendapat
bantuan dana dari Grant Seminar Domestik 2014 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LP2M) Universitas Al Azhar Indonesia. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas kesempatan dan bantuan yang diberikan sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Capua I, Marangon S. 2006. Control of avian influenza in poultry. Emerg. Infec Dis 12: 1-2
Gilbert M, Chaitaweesub P, Parakarnawongsa T, Premashthira S, Tiensin T, Kalpravidh W, Wagner
H, Slingenbergh J. 2006. Free-grazing ducks and highly pathogenic avian influenza, Thailand.
Emerg Infect Dis. 12:56-62
Hadipour, MM, G. Habibi and A. Vosoughi. 2011. Prevalence of Antibodies to H9N2 AIV in
Backyard Chickens Around Maharlou Lake in Iran. Pak Vet J, 31 (3): 192-194.
Hulse-Post DJ, Sturm-Ramirez KM, Humberd J, Seiler P, Govorkova EA, Krauss S, Scholtissek C,
Puthavathana P, Buranathai C, Nguyen TD, Long HT, Naipospos TSP, Chen H, Ellis TM, Guan
Y, Peiris JSM, Webster RG. 2005. Role of domestic ducks in the propagation and biological
evolution of highly pathogenic H5N1 influenza viruses in Asia. Proc Natl Acad Sci USA.
102:10682-10687
[OIE] Office international des Epizooties. 2004. Manual of diagnostic test and vaccinnes for
terrestrial animal/ Avian Influenza. 5th Edition. http://www.oie.int/ [24 Oktober 2010].
Radji M. 2010. Imunologi dan Virologi. Cet. Pertama. Jakarta: ISFI
Sturm-Ramirez KM, Hulse-Post DJ, Govorkova EA, Humberd J, Seiler P, Puthuvanthana P,
Burunathai C, Nguyen TD, Chaisingh A, Long HT, Naipospos TSP, Chen H, Ellis TM, Guan
Y, Peiris JSM,Webster RG. 2005. Are ducks contributing to the endemicity of highly
pathogenic H5N1 influenza virus in Asia ? J. Virol 79: 11269-11279
Susanti R. 2008. Analisis molekuler fragmen gen penyandi hemaglutinin virus avian influenza subtipe
H5N1 dari unggas air. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Theary R, San S, Davun H, Allal L, Lu H. 2012. New outbreaks of H5N1 highly pathogenic avian
influenza in domestic poultry and wild birds in Cambodia in 2011. Avian Dis 56:861-864
82
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ekstrak etanol daun Premna pubescens pada imunitas
humoral dan berat badan tikus (Rattus norvegicus L.). Tikus putih yang digunakan sebanyak 24 ekor dan dibagi
menjadi 4 kelompok dengan masing-masing 6 kali pengulangan. Perlakuan A0 sebagai kontrol dengan
pemberian aquadest, A1 dengan pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens, A2 dengan pemberian
ekstrak etanol daun Premna pubescens dan sel darah merah domba/ Sheep Red Blood Cells (SRBC), dan A3
dengan pemberian SRBC saja. Tikus Wistar yang digunakan berumur 3 bulan dengan berat badan 100-300
gram. Pengukuran titer antibodi tikus menggunakan metode hemaglutinasi. Hasil penelitian dianalisis dengan
ANOVA dan menunjukkan bahwa titer antibodi di A2 meningkat secara signifikan, dimana thitung (65,78) > ttabel
(4,94). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Premna pubescens berpengaruh terhadap kekebalan
humoral tikus putih yang diberi SRBC. Pada hasil analisis berat badan diketahui bahwa thitung 0,23 < ttabel 3,10.
Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Premna pubescens tidak mempengaruhi berat tubuh tikus putih
.
Kata kunci: Hemaglutinasi , Premna pubescens Blume , SRBC , titer antibodi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan berbagai obat tradisional sebagai penunjang pengobatan modern sudah mulai
dilakukan oleh praktisi kesehatan. Salah satu tumbuhan di Indonesia yang memiliki khasiat obat dan
belum banyak dipergunakan dan dikenal masyarakat adalah tumbuhan dari genus Premna. Premna di
Sumatera Utara umumnya dikenal dengan nama buasbuas atau spesies Premna pubescens Blumue.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap senyawa metabolit sekunder dari
genus Premna, ditemukan bahwa Premna corymbosa atau Buas buas mengandung alkaloid,
flavonoid, glikosid, saponin, terpen dan steroid baik dalam ekstrak air maupun ekstrak ethanol
(Thiruvenkatasubramaniam dan Jayakar, 2010). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Mustafa,
Abdul, Mohamed dan Bakar (2010) yang menemukan bahwa dalam tumbuhan Premna cordifolia
mengandung flavonoid yang terdiri atas luteolin dan apigenin. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan di India diperoleh data bahwa senyawa bioaktif yang spesifik dari kelompok flavonoid
yaitu apigenin dan luteolin memiliki banyak manfaat antara lain sebagai antiinflamasi, antioksidan,
antikanker, mengurangi rasio gula darah serta dapat membantu proses pembekuan darah (Patel,
Shukla dan Gupta 2007).
Menurut Fang (2005), bahwa apigenin memiliki kemampuan sebagai anti tumor karena
apigenin dapat menghambat perkembangan pembuluh endotelial pada sel sel kanker ovarium.
Dikemukakan pula bahwa apigenin sebagai anti proliferasi pada saat pembelahan sel sehingga
menyebabkan apoptosis. Apigenin juga dapat menghambat perkembangan sel kanker servik (He La)
pada fase G1 karena apigenin mampu menurunkan aktifitas ekspresi protein Bcl-2 yang berperan
sebagai anti apoptosis (Zheng, Chiang, dan Lin, 2005)
Berkaitan terhadap fungsi tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa daun Premna pubescens
memiliki aktivitas sebagai immunomodulator yang mampu meningkatkan mekanisme pertahanan
tubuh baik secara seluller maupun humoral atau sebagai agen kimia yang dapat merangsang aktivitas
sel darah putih. Sehingga perlu dilakukan penyelidikan terhadap pengaruh ekstrak etanol daun
Premna pubescens melalui pengukuran titer antibodi pada tikus utih (Rattus norvegicus L.) sebagai
imunitas humoral.
83
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh ekstrak daun buas buas (Premna
pubescens Blume) terhadap imunitas humoral pada tikus putih (Rattus norvegicus L.) yang dikaji
melalui titer antibody dan berat badan.
84
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
hemaglutinasi dilakukan. Data yang diperoleh ditabulasikan kemudian dianalisis dengan analisis
varians (ANAVA) 1 jalur pada P<0.05.
4
1,67
2 1
0
A0 A1 A2 A3
Gambar 1. Rata-rata kadar imunitas humoral tikus putih melalui pengamatan titer antibodi setelah
pemberian perlakuan.
Selanjutnya data diuji secara statistik dengan uji ANAVA satu jalur maka diperoleh hasil
seperti tabel dibawah ini.
Tabel 4.2. Analisis Varians (Anava) satu jalur pengaruh pemberian ekstrak daun Premna pubescens
terhadap imunitas humoral pada Rattus norvegicus
Sumber Db JK KT Fhitung F tabel
Keragaman 0,05 0,01
Perlakuan 3 189,13 37,82 65,78 3,10 4,94
Galat 20 11,5 0,575 - - -
Total 23 200,63 - - - -
keterangan:
* beda nyata
** beda sangat nyata
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Anava satu jalur diperoleh Fhitung = 65,78,
lebih besar dari Ftabel (0,01) = 4,94. Hal ini menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 99 %, terdapat
ada pengaruh pemberian ekstrak etanol daun buas-buas terhadap imunitas humoral pada tikus putih.
Berat Badan
Tabel 4.3. Rata-rata berat badna tikus setelah pemberian perlakuan
Untuk mengetahui apakah perbedaan rata-rata tiap kelompok tersebut berpengaruh atau tidak,
maka data diuji secara statistik dengan uji Anava satu jalur ( Tabel 4.4).
85
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4.5. Analisis varians (Anava) pengaruh pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens
terhadap berat badan Rattus norvegicus.
Varian Df JK KT Fcount F table
0,05 0,01
Perlakuan 3 305,46 61,09 0,23 3,10 4,94
Error 20 5221,18 261,06 - - -
Total 23 5526,62 - - - -
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Anava satu jalur diperoleh Fhitung = 0,23,
lebih besar dari Ftabel (0,01) = 4,94. Hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak, berarti
tidak ada pengaruh pemberian ekstrak etanol daun Premna pubescens terhadap perubahan berat badan
pada Rattus norvegicus.
A B
Gambar 2. Uji Hemaglutinasi (HA Test) serum tikus putih. Gambar A menunjukkan aglutinasi terjadi
pada A3 , sedangkan gambar B menunjukkan tidak terjadi aglutinasi.
Rata-rata kadar titer antibodi pada setiap perlakuan saat tes hemaglutinasi setelah pemberian
perlakuan selama 30 hari kepada tikus memiliki kadar yang berbeda. Kelompok yang tertinggi kadar
titer antibodinya adalah pada kelompok perlakuan A2. Hal ini disebabkan karena pada kelompok
perlakuan ini pernah dilakukan imunisasi dengan antigen SRBC sebanyak 2 kali. Pada kelompok
perlakuan SRBC juga ditemukan kadar titer antibodi yang cukup tinggi dimana hal ini disebabkan
juga karena pernah terpapar dengan antigen SRBC sebelumnya. Kelompok A0 dan A1 juga terbentuk
imunitas humoral walaupun pada dasarnya kelompok ini tidak pernah terpapar langsung dengan
antigen SRBC.
Serum kelompok perlakuan A0 terjadi hemaglutinasi tetapi dengan kadar yang kecil berkisar
antara 0-1. Sedangkan untuk kelompok A1 memiliki kadar yang lebih tinggi berkisar antara 1-3. Hal
ini disebabkan pada serum darah manusia maupun tikus ada kemungkinan ditemukan antigen anti-
SRBC walaupun diketahui sebelumnya belum pernah terpapar. Seperti penelitian terdahulu yang telah
dilakukan oleh Achyat, dkk (2008), antigen tersebut adalah antigen alamiah (natural antibodi). Pada
A3 ditemukan kadar titer antibodi yang cukup tinggi, hal ini dikarenakan kelompok SRBC sudah
pernah diimunisasi dengan antigen SRBC sebelumnya sebanyak dua kali imunisasi. A3 memiliki
86
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
kadar titer antibodi yang lebih tinggi dari A0 dan A1 karena kelompok tersebut pernah memproduksi
antibodi yang lebih besar agar dapat menghancurkan antigen pada saat imunisasi dilakukan.
Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Buas-buas Premna pubescens terhadap Perubahan Berat
Badan Tikus Putih Rattus norvegicus
Perubahan rata-rata berat badan tikus pada kelompok perlakuan A1 lebih rendah jika
dibandingkan dengan kelompok A0 dan perlakuan kelompok A0 memiliki rata-rata yang lebih rendah
jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan A2 dan A3. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
nafsu makan tikus yang berbeda-beda setiap harinya selama masa penelitian. Berdasarkan uji statistic
dengan menggunakan Anova satu jalur, diketahui bahwa ekstrak daun buas-buas tidak berpengaruh
nyata terhadap perubahan berat badan tikus setelah perlakuan.
KESIMPULAN
1. Ekstrak daun buas-buas (Premna pubescens) berpengaruh dalam peningkatan imunitas
humoral melalui peningkatan kadar titer antibodi pada tikus putih.
2. Pemberian ekstrak daun buas-buas tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan berat badan
tikus setelah perlakuan
DAFTAR PUSTAKA
Achyat S R, Sadikin M, dkk., (2008), Pengaruh Pemberian Minyak Buah Merah (Pandanus
conoideus Lam.) terhadap Imunitas Humoral Tikus (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
Melalui Pengamatan Titer Antibodi Anti-SDMD, Jurnal Bahan Alam Indonesia, Vol. 6,
No.4.
Fang, J. et al. 2005. Apigenin inhibits VEGF and HIF-1 expression via PI3K/AKT/p70S6K1 and
HDM2/p53 pathways. FASEB J. 19. 342–353.
Gupta S., et al. 2001. Selective growth-inhibitory, cell-cycle deregulatory and apoptotic response of
apigenin in normal versus human prostate carcinoma cells. Biochem Biophys Res
Commun. 287:914–920.
Thiruvenkatasubramaniam, R., Jayakar, B., (2010), Anti-hyperglycemic and Anti- hyperlipidemic
activities of Premna corymbosa (Burm.F) Rottl on Streptozotocin induced diabetic rats,
Der Pharmacia Lettre, 2 (1) 505-509.
Vadivu R., et al., 2009. Evaluation of Hepatoprotective and In-vitro Cytotoxic Activity of Leaves of
Premna serratifolia Linn, Journal of Scientific Research, 1 (1), 145-152.
Zheng, PW., et al. 2005. Apigenin induced apoptosis through p53-dependent pathway in human
cervical carcinoma cells. Life Science. Volume 76, pages 1367-1379.
87
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian mengenai efektivitas pemakaian biopestisida pada daun murbei (Morus cathayana) terhadap
pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera (Bombyx mori L.) telah dilakukan di unit persuteraan alam
laboratorium Fisiologi Hewan Departemen Biologi FMIPA USU. Penelitian ini menggunakan metode
eksperimen dan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Perlakuan yaitu konsentrasi biopestisida
yang terdiri dari 0,5; 1,0; 1,5% dan tanpa biopestisida, masing-masing ulangan 20 larva. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian biopestisida berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera yaitu menurunkan
persentase daya tahan hidup larva instar V pada konsentrasi 1.0 dan 1,5%, memperpanjang lama instar IV dan
V, menurunkan bobot pupa, meningkatkan persentase daya cerna larva instar IV tetapi menurunkan daya cerna
instar V. Tidak memberikan pengaruh pada persentase serat dan daya gulung, tetapi dapat meningkatkan
persentase kulit kokon dan panjang serat.
PENDAHULUAN
Indonesia berpotensi mengembangkan persuteraan alam, karena memiliki keadaan alam yang
sesuai untuk pertumbuhan daun murbei. Perkembangan persuteraan di Indonesia tidak seperti yang
diharapkan. Kendala yang dihadapi diantaranya timbulnya hama penyakit pada daun murbei yang
menyebabkan produksi dan kualitas daun murbei sebagai pakan ulat sutera menjadi menurun. Untuk
meningkatkan hasil industri persuteraan alam ini perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitas daun
murbei (Budisantoso, 1990).
Penyakit yang sering terlihat antara lain penyakit karat yang disebabkan oleh jamur. Penyakit
karat ini menyebabkan daun murbei tidak layak dikonsumsi ulat sutera. Bila lahan ini dibiarkan akan
berakibat terhadap perkembangan persuteraan alam. Menurut Awquib et al., 2011, produktivitas ulat
sutera dikendalikan oleh kualitas daun murbei sebesar 38,20%. Kualitas daun murbei dipengaruhi
beberapa faktor antara lain; kesesuaian tanah, pemangkasan, penyinaran, pengairan dan pemupukan.
Jumlah dan mutu daun yang diberikan akan menentukan pertumbuhan, kesehatan ulat, dan
mutu kokon (Sharma et al., 2003). Produktivitas daun murbei dapat ditingkatkan dengan pemupukan
(Andadari dan Irianto, 2011). Mutu daun murbei merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pemeliharaan ulat sutera. Daun yang kurang segar akan mengurangi nafsu makan ulat
sutera dan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat. Daun yang kurang segar sering terjadi
karena terjangkit penyakit seperti penyakit tepung, penyakit bintik daun dan bercak daun.
Perbaikan mutu daun murbei biasanya dilakukan pembibitan baru, hal ini membutuhkan
waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu usaha
untuk mencegah dan mengatasi hama penyakit menggunakan biopestisida dengan harapan tidak
mengganggu pertumbuhan ulat sutera. Biopestisida dikuatirkan dapat mengganggu pertumbuhan ulat
sutera sehingga dilakukan penelitian untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat.
88
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
menggunakan larutan formalin 2 %. Upaya desinfektan dilakukan untuk menjaga kesehatan larva
(Tazima, 1978).
- Pemeliharaan larva
Larva yang baru menetas memasuki hari I instar I, didesinfeksi dengan campuran bubuk kapur dan
kaporit 95:5 secara merata lalu diberi pakan daun murbei yang muda dan segar yang dipotong kecil-
kecil. Kemudian larva dipindahkan ke sasak yang telah dilapisi dan ditutup dengan kertas paraffin dan
diletakkan pada rak pemeliharaan. Setengah jam sebelum pemeliharaan larva didesinfeksi. Tindakan
ini dilakukan setiap awal instar sampai larva memasuki instar ke lima. Pemberian pakan dilakukan 3
kali pagi, siang dan sore. Penggantian alas dan pembersihan wadah dilakukan sekali sehari sebelum
pemberian pakan. Pemberian pakan dihentikan ketika larva memasuki masa istirahat setiap periode
moulting.
b. Pemberian perlakuan
Pemberian perlakukan setiap larva dilakukan pada saat larva memasuki instar IV sampai sebelum
mengokon. Setiap larva yang diberi perlakuan diletakkan di dalam cawan petri secara terpisah dan
diletakkan pada rak pemeliharaan. Pakan yang diberi adalah daun murbei jenis Morus cathayana yang
segar yang telah disemprot biopestisida Biota dengan konsentrasi 0.5; 0.1; 1.5% dan tanpa
biopestisida. Setiap perlakuan terdiri dari 20 larva. Satu unit perlakuan menggunakan 60 larva
sehingga jumlah larva yang digunakan untuk semua perlakuan 240 ekor larva.
c. Pengamatan
Respon terhadap perlakuan dilakukan pengamatan meliputi :
- Daya tahan hidup larva
- Lama instar IV dan V
- Bobot larva (g)
- Daya cerna (%).
- Bobot pupa (g).
- Produktivitas serat sutera
d. Analisis data
Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan
dilanjutkan uji Duncan multiple range test (DMRT) 5% (Gomes & Gomes 1995).
Tabel 1. Persentase daya tahan hidup ulat sutera (Bombyx mori L.) dengan pemberian beberapa
konsentrasi biopestisida pada daun murbei
Perlakuan (%) Daya Tahan Hidup (%)
Instar IV Instar V
0.0 100 100
0.5 100 95
1.0 100 85
1.5 100 90
Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa pada instar IV semua ulat sutera pada setiap perlakuan
memiliki daya tahan hidup yang sama yaitu 100%, yang berarti tidak ada ditemukan ulat sutera yang
mati, sedangkan pada instar V daya tahan hidup dari setiap perlakuan bervariasi. Daya tahan hidup
yang terbaik ditemukan pada 0,0% atau tanpa biopestisida dan yang paling rendah pada perlakuan 1.5
% yaitu 95%. Daya tahan hidup instar IV tidak terpengaruh biopestisida, karena dari 20 larva yang
diperlakukan tidak ada yang mati. Namun pada instar V ditemukan kematian larva. Larva instar IV
89
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
dapat mempertahanan daya tahan hidupkan kemungkinan dikarenakan terjadi peningkatan persentase
daya cerna sedangkan pada instar V terjadi penurunan (Tabel 3). Peningkatan daya cerna yang terjadi
merupakan usaha larva untuk mempertahankan hidupnya, menghasilkan energi yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan. Larva instar V merupakan larva yang paling banyak membutuhkan energi.
Energi yang dibutuhkan bukan hanya untuk pertumbuhan seperti pembentukan pupa dan kokon tetapi
juga untuk mengatasi penyakit yang timbul yang pada akhirnya larva tidak dapat mempertahannkan
hidupnya. Pada setiap stadium larva harus tumbuh dengan baik untuk keperluan moulting, ekdisis dan
pembentukan kutikuka baru. Proses pertumbuhan ini memerlukan energi yang cukup besar yang
diperoleh dari sejumlah pakan yang dikonsumsi (Simpson &Simpson, 1990).
Pada perlakuan biopestisida 0.5% persentase daya tahan hidup masih mencapai 95%. Hal ini
dapat dikatakan baik atau dapat ditolerir, sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sundari (1996), bahwa
daya tahan hidup larva sutera dikatakan baik bila jumlah kematiannya tidak lebih dari 5%. Pada
perlakuan biopestisida 1.0% kematian mencapai 15% dan perlakuan 1.5% hanya 10%. Hal ini terlihat
adanya kematian karena usaha larva untuk mempertahankan hidup sehingga ditemukan persentase
daya tahan hidup yang bervariasi. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda untuk
mentolerir senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh terutama yang dapat menimbulkan penyakit.
Penyakit yang terlihat pada larva adalah diare (feses mengandung air) dan tubuh menjadi
lunak. Menurut Sunanto (1997), pencegahan larva yang terkena penyakit diare dengan cara tidak
mengkonsumsi tanaman murbei yang dipupuk nitrogen yang terlalu banyak, biopestisida yang dipakai
mengandung unsur nitrogen yang cukup tinggi. Meskipun demikian data tabel 1 dapat dikatakan
bahwa pemakaian biopestisida masih bisa digunakan pada konsentrasi 1,0%.
Tabel 2. Rataan stadium instar, pertambahan bobot larva dan bobot pupa dengan pemberian beberapa
konsentrasi biopestisida pada daun murbei.
Perlakuan Stadium instar (hari) Pertambahan bobot larva Bobot pupa
(%) (g) (g)
Instar IV Instar V Instar IV Instar V
0.0 4.95 b 9.00 c 0.25 a 2.37 a 1.50 a
0.5 5.85 a 9.95 ab 0.22 ab 2.30 ab 1.51 a
1.0 5.90 a 9.76 b 0.23 ab 2.06 bc 1.36 ab
1.5 5.55 a 10.0 a 0.18 b 1.94 c 1.31 b
Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti notasi yang tidak sama berbeda nyata pada
taraf 5% menurut uji DMNRT
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata stadium instar pada perlakuan kontrol (0.0%)
berbeda nyata dengan ketiga perlakuan lainnya baik itu pada instar IV dan V, terjadi perpanjangan
masa larva atau stadium larva. Rata-rata stadium larva instar IV adalah 5.85 hari pada perlakuan
0.5%; 5.90 hari pada perlakuan 1.0% dan 5.55 hari pada perlakuan 1.5%, namun ketiga perlakuan
tidak berbeda nyata. Stadium larva pada instar V yang paling lama ditemukan pada pemberian
biopestisida dengan konsentrasi 1.5% yaitu mencapai 10 hari. Hal ini terlihat bahwa biopestisida
mempengaruhi stadium larva instar IV dan V yaitu memperpanjang masa larva, kemungkinan
biopestisida menimbulkan gangguan pada pertumbuhan larva sehingga larva memerlukan pakan yang
lebih banyak untuk mengatasi adanya senyawa asing yang ada pada biopestisida untuk dapat bertahan
hidup. Namun karena jumlah konsumsi tidak terpenuhi maka periode makan menjadi lebih lama.
Menurut Tazima (1978), nutrisi merupakan satu bagian terpenting dari proses fisiologis seperti
moulting dan ekdisis. Kualitas makanan yang kurang baik selama perkembangan larva dapat
menyebabkan pertambahan waktu untuk pergantian kulit. Semakin lama larva mengalami masa instar
maka akan membutuhkan pakan yang lebih banyak.
Pertambahan bobot larva instar IV dan V terjadi penurunan dibandingkan dengan kontrol
(0.25g). Penurunan pada konsentrasi 0.5 dan 1.0 % (0.22 dan 0.23g) tidak berbeda dibandingkan pada
konsentasi 1.5% (0.18g) merupakan pertambahan bobot terkecil pada instar IV. Hal ini terjadi juga
90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
pada larva instar V, terjadi penurunan pertambahan bobot larva antara kontrol dan perlakuan. Semakin
besar konsentarsi biopestisida yang diberikan semakin besar penurunan pertambahan bobot larva.
Penurunan bobot larva pada perlakuan merupakan akibat dari usaha larva untuk
mempertahankan hidupnya (Tabel 1), terdapat larva yang terserang penyakit berusaha untuk bertahan
hidup sampai akhirnya mengalami kematian. Menurut Scriber & Slansky (1988), bobot tubuh
dipengaruhi jumlah total dan kualitas pakan yang dikonsumsi. Ukuran tubuh yang besar merupakan
akumulasi dari persiapan energi yang dipergunakan pada masa istirahat menuju perkembangan
selanjutnya sebagai daya tahan hidup. Rata-rata bobot pupa juga mengalami penurunan bila dibanding
dengan perlakuan kontrol sampai konsentasi biopestisida 0.5%. Larva dapat membentuk pupa dengan
berat optimal bila kualitas dan kuantitas pakan serta kondisi lingkungan yang sesuai. Namun bila tidak
sesuai maka larva akan meningkatkan konsumsi pakannya untuk mencapai bobot yang optimal
sehingga dapat membentuk pupa tetapi dengan bobot dibawah optimal. Keberhasilan dalam proses
mencapai dewasa juga lebih rendah dan akhirnya dapat menimbulkan kematian (Tabel 1). Selain
kualitas pakan, ketersediaan bahan pakan ulat yang berkelanjutan dalam jumlah yang mencukupi juga
mutlak diperlukan (Pudjiono, 2011). Usaha untuk meningkatkan produksi kokon ulat sutera adalah
dengan meningkatkan produksi dari daun murbei yang merupakan pakan utama ulat sutera dengan
memberi nutrisi makanan melalui pemupukan dengan dosis yang tepat dan ekonomis (Tristianto,
2007)
Tabel 3. Rataan persentase daya cerna ulat sutera setelah pemberian beberapa konsentrasi biopestisida
pada daun murbei
Perlakuan (%) Daya cerna (%)
Instar IV Instar V
0.0 65.76 b 65.00
0.5 76.59 a 61.16
1.0 74.87 a 62.00
1.5 75.11 a 63.20
Dari Tabel 3. Dapat dilihat bahwa rata rata persentase daya cerna meningkat pada perlakuan
0.5% (76.59%); 1.0% (74.87%) dan 1.5% (75.11%). Uji statistik menunjukkan bahwa antara kontrol
dan perlakuan berbeda nyata. Untuk larva instar V terjadi penurunan rata-rata persentase daya cerna
dibanding dengan kontrol (0.0 %), namun uji statistik menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak
menghasilkan pengaruh yang berbeda. Akibat kualitas pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
serangga akan berusaha mengatasi masalah yang timbul dengan melakukan respon kompensasi.
Respon kompensasi yang dilakukan dapat berupa perubahan dalam mencerna nutrisi (Simpson &
Simpson, 1990).
Tabel 4. Rata-rata dari beberapa parameter produktivitas ulat sutera setelah pemberian beberapa
konsentrasi biopestisida pada daun murbei
Perlakuan Persentase Panjang serat Persentase serat Daya
(%) kulit (m) sutera (%) gulung
kokon (%) (%)
0.0 24,15 bc 1048,45 b 21,09 100
0.5 23,31 c 1050,80 b 20,74 100
1.0 27,76 a 1138,80 a 22,28 100
1.5 26,15 ab 1163,75 a 21,01 95
Dari Tabel 4 terlihat peningkatan rata-rata persentase kulit kokon pada perlakuan 1% yaitu
27,26 %; 1,5% (26,15%) secara statistik berbeda nyata dengan perlakuan 0,5% yaitu 23,31% dan
kontrol sebesar 24,15%. Persentase kulit kokon ditentukan oleh bobot kokon dan kulit kokon.
91
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pemberian beberapa konsentrasi biopestisida dapat meningkatkan panjang serat. Panjang serat
pada perlakuan tanpa biopestisida 1048,45 m dan pada pemberian biopestisida 0,5% panjang serat
mencapai 1050,80m namun uji statistik tidak berbeda. Kedua panjang serat tersebut berbeda nyata
dengan perlakuan 1,0% dan 1,5% yaitu 1138,80m dan 1163,75m. Panjang serat sutera berhubungan
dengan jumlah daun murbei yang dikonsumsi serta daya cerna larva. Menurut Tazima (1978), 60%
nitrogen yang terkandung dalam daun murbei akan digunakan untuk sintesa protein serat.
Rata-rata persentase serat sutera pada semua perlakuan setelah uji statistik tidak berbeda
nyata. Daya gulung pada semua perlakuan menunjukkan hasil yang baik yaitu 95-100%. Perlakuan
biopestisida tidak mempengaruhi daya gulung.
DAFTAR PUSTAKA
Andadari, L dan R. S.B. Irianto. 2011. Pengaruh Pupuk Lambat Larut Dan Daun Tanaman Murbei
Bermikoriza Terhadap Kualitas Kokon Ulat Sutera, Jurnal penelitian hutan dan
konservasi alam, (8) 2 : 119-127
Awquib S., MA Malik, F. M. Ahmad and M.R. M. Sofi. 2011. Nutritional efficiency of selected
silkworm breeds of reared on different varieties of mulberry under temperate climate of
Kashmir. African Journal of Agricultural Research Vol. 6(1) : 120-126
Budisantoso, H. 1990. Budidaya Murbei. Departemen Kehutanan, Balai Persuteraan Alam (15)
(Mimeograf).
Gomes, K.A. dan A.A Gomes 1995. Prosedur statistic untuk penelitian pertanian. Edisi ke dua. Alih
bahasa: Endang Syamsuddin, Justika S Baharsjah. Universitas Indonesia Press. Jakarta hlm
13-15
Pudjiono, S. dan Na’iem, M. 2007. The effect of feeding of mulberry hybrid on the productivity and
the quality of cocoon of silkworm. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 1(2):1-5
Sharma S.D., K. Chandrasekharan, B. Nataraju, M. Balavenkatasubbaiah, T. Selvakumar,
Thiagarajan, and S.B. Dandin 2003. The cross infectivity between pathogens of silkworm,
Bombyx mori L. and mulberry leaf roller, Diaphania pulverulentalis (hampson). J Sericol.
43(2): 203-209.
Simpson, S.J. and C.L. Simpson. 1990. The mechanism of nutritional compensation by phytophagus
insect. Insect plant interactions Florida, Boca Raton. CRP Press. (2) : 111-160
Slansky, F.Jr. and J. M. Scriber. 1985. Food consumptions and utilization in G. A. Kerkut and L.I.
Gilbert. Comprehensive insect physiology, biochemistry and pharmacology. Pergamon
Press. Oxford. (4) : 87-163
Tazima Y. 1978. The Silkworm an important laboratory tool. Kodansha Ltd: Tokyo, Japan
Tristianto, S.A. 2007. Pengaruh pupuk organik M-Dext dan NASA terhadap produksi daun murbei
(Morus cathayana) dan kualitas kokon ulat sutera (Bombyx mori L.)
92
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian mengenaifisiologi respirasiikan Asang (Osteochilus hasseltii, C.V)yang ditemukan pada
beberapa tempat diperairan danau singkarak telah dilakukan dengan metode survei dan pengukuran langsung.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar methemoglobin, konsumsi oksigen dan frekwensi
gerakan operkulum ikan Asang(Osteochilus hasseltii, C.V). yang ditemukan pada beberapa tempat di perairan
danau singkarak seiring dengan penurunan kualitas perairan pada daerah tersebut.
PENDAHULUAN
Danau merupakan salah satu ekosistem perairan yang paling sering terkena dampak
pencemaran. Hal ini dikarenakan lingkungan perairan danau yang relative tenang, tidak berarus dan
juga merupakan hulu atau muara dari perairan sungai kecil yang ada disekitarnya (Amelia, 2009)
Danau Singkarak merupakan salah satu danau besar di sumatera dan merupakan salah satu dari 2
danau utama di Sumatera Barat. Danau Ini merupakan tipe danau tektonik dan memiliki luas 10 908.2
ha dengan kedalaman rata-rata 178.68 m (Kaul, 1987 ; Syandri,1996).
Secara umum masyarakat sekitar danau memanfaatkan air danau tersebut untuk memenuhi
berbagai kebutuhan domestik seperti sumber air baku air minum, mandi, dan mencuci (MCK).
Pemanfaatan penting lainnya adalah untuk perikanan (perikanan budidaya dan perikanan tangkap),
sumber air untuk irigasi, sebagai obyek wisata serta sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air
(PLTA) (Amelia, 2009).
Dengan adanya pemanfaatan air danau tersebut, bahan pencemar akan dapat memasuki
perairan danau terutama limbah organik bahkan mungkin juga logam berat. Hal ini akan dapat
mempengaruhi kualitas air di danau tersebut. Mandia (2013) menyatakan bahwa kadar Nitrogen
beberapa tempat di sekitar danau singkarak sekitar 0,89 – 1,22 mg/L, kadar posfat sekitar 0,65 – 1,03
mg/L Kadar nitrogen sudah melampaui ambang batas yang ditetapkan pemerintah yaitu 0,5 mg /L (PP
No. 82 tahun 2000).
Ikan merupakan Salah satu biota perairan yang sangat peka terhadap perubahan kulitas
lingkungan perairan(Asmawi, 1984). Menurut penelitian Roesma dan santoso (2011) kelompok ikan
yang mendominasi danau singkarak adalah dari family Cyprinidae. Ikan-ikan dalam famili Cyprinidae
termasuk spesies yang bernilai ekologis dan eknomis tinggi, akan tetapi juga sensitif terhadap
pengaruh perubahan-perubahan lingkungan sekitarnya.
Ikan Asang (Osteochilus hasseltii) merupakan salah satu jenis ikan dari famili cyprinidae
yang hidup diperairan danau Singkarak dan merupakan salah satu tangkapan utama nelayan
setempat.Ikan ini mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi karena dagingnya diolah masyarakat
terutama masyarakat setempat untuk dijadikan panganan tradisional yang sangat lezat.
Sejauh ini penelitian mengenai keadaan danau singkarak terhadap ikan Asang (Osteochilus
hasseltii) baru mencakup pada kelainan yang timbul pada histogis seperti organ insang, hati dan ginjal
(saputra, 2013, mandia, 2013, fadilla, 2014) serta nilai darahyang meliputi nilai darahnya seperti
Jumlah Sel darah merah. Sel darah putih, haemoglobin akibat pencemaran di perairan danau
tersebut(Fadil, 2013). Adapun analisis dampak pencemaran perairan danau tersebut pada aspek
aktifitasrespirasi yang meliputi frekwensi gerakan operculum, jumlah oksigen yang terpakai serta
methemoglobin ikan asang belum ada sama sekali.
Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut :
93
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pelaksanaan Penelitian
Sampel air dan ikan diambil disekitar buangan limbah karet sungai Batang Arau.Lokasi
pengambilan dibagi atas 4 stasiun pengambilan sampel.(Lampiran 1).Untuk pengamatan aspek
fisiologis, sampel ikan diambil dari sampel ikan yang ditemukan dengan ukuran yang homogen
dengan jumlah 10 ekor perjenis perstasiun. Namun jika tidak mencukupi maka pengukuran aspek
fisiologis tetap dilakukan
Pengukuran kualitas air dilakukan saat pengambilan sampel ikan pada masing-masing stasiun
di lokasi buangan limbah pabrik karet sungai batang Arau. Parameter yang diukur adalah pengukuran
pH dengan menggunakan pH meter, kadar Oksigen terlarut dengan menggunakan metoda EPA 405.1
(titrasi winkler), Kadar Ammonia dengan menggunakan metoda Salisilat, kadar Nitrit dengan
menggunakan metoda diazotization (APHA, 1995).
Ikan yang diperoleh dari tangkapan dimasukkan ke dalam botol dan dibiarkan beberapa menit
sampai ikan mulai tenang. Setelah ikan tenang diamati prilaku respirasinya dengan cara menghitung
gerakan operkulum selama 1 menit (Goenarso, 1984).
Ikan yang diperoleh dari tangkapan pada masing-masing stasiun pengamatan diukur konsumsi
oksigennya. Pengukuran konsumsi oksigen ikan dilakukan dengan cara menempatkan ikan uji dalam
air mengalir (Goenarso, 2003).
Dari tabel 1 diatas terlihat bahwa terjadi penurunan pH pada stasiun II, III dan IV
dibandingkan stasiun I. Pada stasiun I pH hampir mendekati netral sedangkan pada stasiun lainnya
cenderung menurun bersifat asam. Rendahnya pH tersebut disebabkan limbah yang berasal dari
limbah organic rumah tangga. Mahida (1981) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi
nilai pH antara lain buangan industri dan rumah tangga.
Kadar O2 terlarut tertinggi terdapat pada stasiun I sedangkan terendah pada stasiun III.
Penyebab utama berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut di dalam air adalah adanya zat pencemar
yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik
dan anorganik yang berasal dari berbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah
organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Sebagian besar dari zat pencemar yang
memerlukan oksigen terlarut adalah senyawa organik (Golman dan Horne, 1983).
94
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Meningkatnya kadar ammonia dan nitrit pada stasiun II, III dan IV juga disebabkan berasal
dari limbah organik rumah tangga yang kemudian di urai oleh bakteri aerob dan anaerob menjadi
ammonia, nitrit dan nitrat (Garman dan Orth, 2007).
Stasiun I merupakan daerah yang terendah kadar ammonia dan nitrit. Hal ini disebabkan pada
pinggiran danau daerah ini tidak terdapat buangan limbah organik karena ditepi danau ini masih
merupakan kawasan yang banyak ditumbuhi pohon pohon. Adanya kadar ammonia dan nitrit dalam
jumlah kecil pada daerah ini berasal dari limbah daun daun mati yang kemudian di urai oleh bakteri
aerob dan anaerob menjadi ammonia, nitrit dan nitrat (Garman dan Orth, 2007)
Tabel 2. Rata-rata konsumsi O2, frekuensi gerakan operkulum dan kadar metemoglobin ikan
Asang yang ditemukan di perairan sekitar danau Singkarak
No. Lokasi Rata-rata kadar Rata-rata konsumsi O2 Rata-rata frekuensi
Methemoglobin (%) (mg/g bb/jam) gerakanoperkulum
(kali/menit )
1 Stasiun 1 0,25 0,432 142,40
2 Stasiun 2 7,5 0,621 143,50
3 Stasiun 3 60 0,728 144,70
4 Stasiun 4 72,5 0,750 150
Dari Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata kadar methemoglobin yang tertinggi terdapat pada
stasiun IV, Stasiun I memiliki rata-rata nilai methemoglobin ikan yang terkecil.
Adanya peningkatan kadar methemoglobin pada stasiun II, III dan IV dibandingkan dengan
stasiun I erat kaitannya dengan keberadaan limbah organikyang meningkatkan kadar nitrit pada ketiga
perairan tersebut. Kadar nitrit pada perairan ketiga stasiun tersebut sudah melewati nilai ambang baku
mutu air kelas I dan II. (kementrian KLH, 2002).
Nitrit yang terdapat diperairan dengan mudah masuk sistem peredaran darah ikan melalui
insang. Didalam pembuluh darah, nitrit akan menumpuk pada plasma darah yang kemudian menyebar
keseluruh jaringan (Shechter, Gruenerdan Shuval, 1972). Dari plasma darah, nitrit berdifusi kedalam
2+ 3+
sel darah merah dan mengoksidasi besi hemoglobin-Fe menjadi Fe yang disebut methemoglobin.
Dalam bentuk ini hemoglobin kehilangan kemampuan untuk berikatan dengan oksigen sehingga tidak
mampu mengangkut oksigen keseluruh jaringan tubuh. Efek ini akan menyebabkan hipoksia
(Doblander, andLackner, 1996).Hipoksia adalah keadaan kekurangan oksigen yang telah mencapai
jaringan tubuh ikan dan sering kali menyebabkan kematian (Bailey, 2004).
Untuk mengatasi kekurangan oksigen pada tubuhnya, maka ikan akan berusaha memenuhinya
dengan mengkonsumsi O2 yang terdapat disekitarnya. Untuk mengetahui konsumsi O2 ikan-ikan
tersebut maka dilakukan pengukuran kadar O2 yang terpakai oleh ikan pada perairan tempat ikan itu
berada.
Dari Tabel 2 terlihat bahwarata-rata konsumsi O2 ikan yang ditemukan pada perairan sekitar
buangan limbah pabrik karet mengalami peningkatan pada stasiun III yang merupakan nilai
tertinggi.Sedangkan nilai terendah ditemukan pada stasiun I
Adanya peningkatan konsumsi O2pada stasiun II, III dan IV dibandingkan dengan stasiun I
erat kaitannya dengan meningkatnya kadar methemoglobin yang terbentuk dalam darah ikan tersebut
akibat terdedah nitrit. Semakin besar kadar nitrit pada suatu perairan maka semakin besar pula
kemungkinan ikan terdedah nitrit. Semakin besar ikan terdedah nitrit semakin besar kadar
methemoglobin terbentuk sehingga semakin besar pula ikan kekurangan O2 dalam tubuhnya
(hipoksia) (Schoore, Simcodan Davis, 1995).Untuk mengatasi kekurangan oksigen pada tubuhnya
tersebut maka ikan mengkonsumsi O2 yang lebih banyak dari perairan sekitarnya (da Silva, et al.
2004).
95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Ada beberapa cara yang dilakukan ikan untuk meningkatkan konsumsi O2 yaitu peningkatan
ventilasi dengan cara meningkatkan frekwensi gerakan operkulum, peningkatan tekanan darah dan
penyesuaian denyut jantung (Aggergaard and Jensen, 2001). Untuk mengetahui sejauh mana
frekwensi gerakan operkulum ikan sebagai usaha meningkatkan konsumsi O2 maka dilakukan
pengukuran frekwensi gerakan operkulum ikan asang yang ditemukan diperairansekitar perairan
danau singkarak
Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai tertinggi rata-rata gerakan operkulum ikan asang yang
ditemukan pada pada stasiun III yaitu berkisar kali/menit. Kemudian pada stasiun IV berkisar antara
kali/menit.Pada stasiun II berkisar antara kali/menit sedangkan pada stasiun I berkisar antara
kali/menityang merupakan nilai terendah.
Adanya peningkatan frekuensi gerakan operkulum ikan asang yang ditemukan pada perairan
sekitar danau singkarak menunjukkan keterkaitan dengan peningkatan konsumsi oksigen akibat
hipoksia.Hipoksia menimbulkan reaksi fisiologis tubuh ikan dengan cara meningkatkan frekuensi
gerakan operkulum untuk menambah pasokan oksigen kedalam tubuh (Vedel, Korsgaard andJensen.
1998).
Aggergaard dan Jensen (2001) menyatakan bahwa kekurangan akan oksigen pada jaringan
pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku pengambilan gas. Nitrit yang terdedah kedalam tubuh
akan meningkatkan hiperventilasi yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Healt Association (APHA), 1995. Standard Method for Examination of Water and
Wastewater, 23th Ed. Washington D.C. USA
Asmawi, S. 1984. Pemeliharaan Ikan dan Ekosikologi Pencemaran. UI Press.
Kaul, V., 1987. Tropical montane lakes. Arch. Hydrobiol. Beih., Ergebn. Limnol. 28: 531-636.
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup di Era
Otonomi Daerah. Mentri Negara
Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Profil15 Danau Prioritas Nasional
2010-2014. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Khosla, M.R., G.H. Alan, and P.L. Angermeier. 1995. Assesing water quality interdisciplinary
problems and approach. Interdisciplinary Scirnce\ Reviews 20 (3) : 229–240.
Kottelat, M., Whitten, J. A., Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari, S. N. 1996. Freshwater Fishes of
Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Edition.Ltd.
Kumurur, V.A. 2002. Aspek strategis pengelolaan Danau Tondano secara terpadu.
Ekoton 2 (1) : 73-80.
Mahida, V. N., 1981. Water Polution and Disposal of Wastewater on Land. Tata Mc. Graw-Hill. New
Delhi
Mandia, S. 2013. Effek pencemaran danau maninjau dan singkarak terhadap ginjal ikan asang
(osteochilus hasseltii). Skripsi Sarjana Biologi Univ. Andalas (Tidak dipublikasikan)
Mark, jr, H. B. 1981. Water Quality Measurement the Modern Analytical Techniques. Departements
of Chemistry of Cincinate Ohio, USA
Peraturan Pemerintah No. 82. 2001. Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Jakarta.
Roesma, D.I., & Santoso, P. 2 011.Morphological divergences among three sympatric populations of
Silver Sharkminnow (Cyprinidae: Osteochilus hasseltii C.V.) in West Sumatra. Universitas
Andalas. Padang.
Santi, 2004. Pengolahan Limbah Cair pada Industri Penyamakan Kulit, Industri Pulp dan Kerta serta
Industri Kelapa Sawit. USU Repository. Medan
Simmons, A., 1980. Technical Hematology. 3rd Edition. J.B. Lippicott Company. Philadelphia.
Toronto
Steel, R. G. D., J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Suin, M. N. 1994. Dampak Pencemaran pada Ekosistem Perairan. Proseeding Penataran Pencemaran
Lingkungan , Dampak dan Penanggulangannya. Padang
96
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Syandri H. 1996. Aspek reproduksi ikan bilih, Mystacoleuseus padangensis Bleeker dan
Kemungkinan Pembenihannya di Danau Singkarak [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tavares-Dias, M. and F.R. Moraes. 2006 Hematological parameters for the Brycon orbignyanus
Valenciennes, 1850 (Osteichthyes: Characidae) intensively bred. Hidrobiológica 16: 271-274.
Vedel, N.E., B. Korsgaard and F.B. Jensen. 1998 Isolated And Combined ExposureTo Ammonia And
Nitrite In Rainbow Trout (Oncorrhynchus Mykiss): Effects On Electrolyte Status, Blood
Respiratory Properties And Brain Glutamine/Glutamate Concentrations. Aquatic Toxicology,
41:325-342.
Zairion, D., 2003. Dampak Pembangunan Terhadap Biota Air. Makalah Kursus AMDAL, IPB. Bogor
SUMPUR
OMBILIN
PANINGGAHAN
SUMANI
97
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Nursal
Jurusan Biologi FMIPA-USU
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan, Telp. 061-8223564
nursalnawir@yahoo.com
ABSTRAK
Penggunaan insektisida sintetis dalam mengendalikan populasi nyamuk A. aegypti dilakukan secara
berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini dapat menimbulkan pengaruh yang tidak diharapkan, seperti resistensi
pada nyamuk A. aegypti. Untuk itu perlu dicari insektisida alternatif, antara lain dapat berasal dari senyawa
kimia yang terkandung dalam tumbuhan, yaitu daun sereh wangi (C. winterianus). Untuk menindak lanjuti
informasi tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan pengujian toksisitas ekstrak etanol daun sereh wangi
(C. winterianus), dan konsentrasi subletal terhadap larva A. Aegypti dengan tujuan untuk mengetahui
kandungan kimia ekstrak etanol daun kemangi dan pengaruh konsentrasi subletalnya terhadap larva nyamuk
A. Aegypti dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yaitu faktor konsentrasi: A1
(0,00%), A2 (0,25%), A3 (0,49%), A4 (0,99%) dan A5 (1,98%), dan waktu pengawatan B1 (4jam), B2 (8 jam),
B3 (12 jam), B4 (16 jam) dengan tiga ulangan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam, jika
terdapat perbedaan yang yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5 %. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi mengandung senyawa kimia alkaloid, terpenoid, dan bersifat
toksik terhadap larva nyamuk A. aegypti. Mortalitas larva semakin besar sejalan dengan meningkatnya
konsentrasi dan waktu perlakuan dengan konsentrasi dan waktu perlakuan yang efektif terjadi pada konsentrasi
0,99% dan waktu 8 jam dengan jumlah larva yang mati 24 larva.
PENDAHULUAN
Dalam mengatasi penyakit demam berdarah salah satunya dilakukan dengan cara kimia yaitu
dengan insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis ini pada kurun waktu 40 tahun terakhir
semakin meningkat baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini disebabkan insektisida sintetis
tersebut mudah digunakan, lebih efektif, dan dari segi ekonomi lebih menguntungkan (Yoshida &
Toscano, 1994). Akibat pemakaiannya yang berlebihan dan tidak terkontrol tersebut telah
menyebabkan pengaruh yang tidak diharapkan, seperti resistensi pada nyamuk A. aegypti. Ini terlihat
dari semakin meningkatnya kasus demam berdarah di Indonesia, khususnya di Kota Medan (Dinas
Kesehatan Kota Medan, 2002) Sedangkan di Alam insektisida sintetis sukar terdegradasi sehingga
residunya dapat mencemari tanah, air, dan udara yang mengakibatkan menurunnya kualitas
lingkungan (Metcalf & Luckman, 1982)
Untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh insektisida sintetis, maka perlu
suatu usaha guna mendapatkan insektisida alternatif yang lebih efektif dalam daya rusaknya, cepat
dan mudah terdegradasi, dan mempunyai dampak yang kecil terhadap lingkungan. Salah satu
insektisida alternatif yang berpotensi dalam mengendalikan populasi serangga adalah insektisida
botani yang berasal dari senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan (Schmutterer, 1990).
Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai insektisida adalah daun Kemangi (O.
basilicum) (Grainge & Ahmed, 1988). O. basilicum bersifat penolak “repellent”, meracuni “toxic”,
dan bersifat larvasida, dan mempunyai aktivitas antibacterial, antifungal, dan antiseptic (van Duong
& Nguyen, 1993). Disamping itu tanaman kemangi (O. basilicum) di Sumatera Utara sering
dibudidayakan sebagai bumbu penyedap makanan, sehingga keberhasilan tanaman ini sebagai
insektisida botani dapat menjadi nilai tambah bagi budidayanya. Untuk menindak lanjuti informasi
tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan pengujian kandungan senyawa kimia ekstrak etanol
daun kemangi (O. basilicum), dan pengaruh konsentrasi subletalnya terhadap mortalitas larva A.
aegypti.
98
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
99
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dari Tabel 1 terlihat bahwa ekstrak etanol daun kemangi setelah dilakukan pengujian
fitokimia, mengandung senyawa alkaloid dan terpenoid. Ini ditandai dengan terbentuknya warna
endapan jingga sampai merah coklat dengan menggunakan pereaksi Dragendroff sebagai indikasi
adanya senyawa alkaloid. Sedangkan adanya senyawa terpenoid ditandai dengan terbentuknya warna
hijau kebiruan.
Senyawa saponin dan flavonoid tidak terdapat pada ekstrak etanol daun kemangi. Ini terlihat
tidak terbentuknya busa pada uji saponin, dan tidak terbentuknya warna orange pada uji flavonoid.
Pengaruh konsentrasi subletal ekstrak etanol daun kemangi terhadap mortalitas larva nyamuk
A. aegypti
Tabel 2. Rata-rata mortalitas larva nyamuk A. aegypti yang diperlakukan dengan
Beberapa konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi
Perlakuan (%) Mortalitas
0,00 1,00 a
0,25 1,92 ab
0,49 2,83 b
0,99 22,16 c
1,98 26,00 c
Keterangan: Nilai rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata (ANOVA diikuti dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5%)
Dari Tabel 2 terlihat bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti semakin besar sejalan dengan
meningkatnya konsentrasi perlakuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
30
Mortalitas (larva)
25
20
Mortalitas
15 (larva)
10
5
0
1 2 3 4 5
konsentrasi (%)
Gambar 1. Hubungan konsentrasi ekstrak etanol daun Kemangi terhadap mortalitas larva nyamuk
A. aegypti
Namun mortalitas larva nyamuk pada perlakuan 0,25% tidak berbeda dengan kontrol dan
dengan perlakuan 0,49%. Ini berarti kandungan senyawa kimia ekstrak etanol daun kemangi pada
perlakuan 0,25% dan 0,49% belum begitu berpengaruh terhadap kehidupan larva nyamuk A. aegypti.
Sedangkan perlakuan yang berpengaruh terhadap kehidupan larva nyamuk A. aegypti yakni 0,99%
dan 1,98%. Ini terlihat dari mortalitas larva yaitu berturut-turut 22,16 dan 26,00 larva.
Tabel 3. Rata-rata mortalitas larva nyamuk A. aegypti yang diperlakukan dengan waktu
yang berbeda
Perlakuan (jam) Mortalitas
4 8,73 a
8 11,13 b
12 11,53 b
16 12,80 b
Keterangan: Nilai rata-rata dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda
Nyata (ANOVA diikuti dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5%)
100
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dari Tabel 3 terlihat bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti semakin besar sejalan dengan
meningkatnya waktu perlakuan. Ini juga terlihat pada Gambar 2.
14
Mortalitas (Larva)
12
10
8 Mortalitas
6 (Larva)
4
2
0
1 2 3 4
Waktu (Jam)
Mortalitas larva pada perlakuan 8 jam, 12 jam, dan 16 jam berbeda dengan perlakuan 4 jam,
tetapi tidak berbeda diantara perlakuan 8 jam, 12 jam, dan 16 jam. Ini berarti mortalitas larva nyamuk
sangat ditentukan oleh waktu perlakuan.
Dari Tabel 4 terlihat bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti berhubungan dengan
konsentrasi dan waktu perlakuan.
Pada perlakuan 4 jam dan konsentrasi 0,25%, 0,49% belum terjadi mortalitas larva nyamuk A.
aegypti. Belum terjadinya mortalitas pada konsentrasi ini diduga berhubungan dengan konsentrasi
perlakuan yang rendah dan waktu pengamatan yang singkat, sehingga ekstrak yang diberikan belum
bekerja dengan sempurna.
Pada waktu pengamatan 8 jam dengan konsentrasi perlakuan 0,25% dan 0,49% telah
menyebabkan mortalitas larva rata-rata sebesar 2,00 larva, dan 2,67 larva. Pada konsentrasi 0,99%
mortalitas larva sudah mencapai 24,00 larva. Mortalitas total terjadi pada perlakuan 1,98%.
Pada waktu pengamatan 12 jam dengan konsentrasi perlakuan 0,25% dan 0,49% telah
menyebabkan mortalitas larva rata-rata sebesar 2,00 larva, dan 3,67 larva. Pada konsentrasi 0,99%
mortalitas larva sudah mencapai 96,15%, dan 100% pada konsentrasi 1,98% yakni 26 larva.
Pada waktu pengamatan 16 jam dengan konsentrasi perlakuan 0,25% dan 0,49% telah
menyebabkan mortalitas larva rata-rata sebesar 2,67 larva, dan 4,00 larva. Pada konsentrasi 0,99%,
dan 1,98% mortalitas larva sudah mencapai 26 larva.
Mortalitas larva semakin tinggi sejalan dengan meningkatnya konsentrasi dan waktu
perlakuan, tetapi bila dihubungkan dengan efektivitas konsentrasi dan waktu perlakuan, maka
efektivitas perlakuan terjadi pada konsentrasi 0,99 % dan waktu perlakuan 8 jam dengan kematian
larva A. aegypti 24 larva. Ini terlihat pada Gambar 3.
101
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
30
Mortalitas (Larva)
0.00%
25
20 0.25%
15 0.49%
10 0.99%
5 1.98%
0
1 2 3 4
Waktu (Jam)
Gambar 3. Hubungan konsentrasi ekstrak etanol daun Kemangi dan waktu pengamatan terhadap
mortalitas larva nyamuk A. aegypti
Diduga kematian larva nyamuk A. aegypti disebabkan adanya kandungan senyawa alkaloid
dan terpenoid. Seperti yang dijelaskan Smith (1989) bahwa senyawa alkaloid dan terpenoid
merupakan senyawa kimia pertahanan tumbuhan yang bersifat toksik. Aksi toksik senyawa alkaloid
terjadi pada sistem saraf, sedangkan aksi toksik senyawa terpenoid terjadi pada sistem pernapasan.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi bersifat
toksik terhadap larva nyamuk A. aegypti. Mortalitas larva semakin besar sejalan dengan
meningkatnya konsentrasi dan waktu perlakuan dengan konsentrasi dan waktu perlakuan yang efektif
terjadi pada konsentrasi 0,99% dan waktu 8 jam dengan jumlah larva yang mati 24 larva. Mortalitas
larva diduga disebabkan adanya senyawa alkaloid dan terpenoid pada ekstrak etanol daun kemangi.
DAFTAR PUSTAKA
Applebaum, S.W. & Birk, Y. 1979. Saponin In: Herbivor their interaction with Secondary plant
metabolite Ed.: Rosental G.A. & Janzen, D.A. Academic Press. New York. London. pp. 553-
558.
Gandahusada, S., Ilahude & Pribadi, W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta. Hlm 217-222.
Geunther, E. 1990. Minyak Atsiri. Diterjemahkan Ketaren, S. & Mulyono. UI Press. Grainge, M. &
Ahmed, S. 1988. Handbook of plant with pest control properties. John Wiley & Sons. New
York, Singapore. P. 107
Harborne, J.B. 1987. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisistumbuhan.
Diterjemahkan oleh Padma winata, K & Soediro. I. ITB. Bandung.
Harris, R. 1990. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm. 50-92
Hoedojo. 1993. Vektor demam berdarah dengue dan upaya penanggulangannya Majalah Parasitologi
Indonesia. Volume 6. Hlm 34-35.
Howe, F.H. & Westley, L.C. 1988. Ecological relationships of plant and animal. Oxford university
press. New York. pp. 29-38
Ishaaya, I. 1986. Nutritional and allelochemic insect plant interaction reting to Digestion and food
intake. Ed.: Miller, J.R. & Miller T.A. Insect plant Interaction. Springer-verlag. New York.
London. pp. 639-642.
Metcalf, R.L. & Luckmann, W.H. 1982. Introduction to insect pest management. John Wiley & Sons.
New York. Pp. 5-6.
Santoso, H.B. 1992. Sereh Wangi Bertanam dan Penyulingan. Kanisus. Jakarta. Hlm. 30-32
Schmutterer, S. 1990. Properties and potential of natural pesticides from the Neem Tree, Azadirachta
Indica. Annu. Rev. Entomol. 35:271-297.
Simpson, S.J. & Simpson C.L. 1990. The mechanisme of nutritional compensation by Phytophagous
Insects, Insects plant interaction. C.R.C. Press. Florida. pp. 111-160.
102
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Smith, R.F. 1975. Phisiology of tree resistance ti insect. Annual review of entomology (20):75 – 91.
Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1991. Prinsip dan prosedur statistika. Diterjemahkan oleh Soemantri, B.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Van Steenis, 1988. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta. Hlm. 370.
Yoshida, H.A. & Toscano, N.C. 1994. Comparative effects of selected natural insecticides on
Heliothis Virescens (Lepidoptera:Noctuidae) larvae. J.Econ. Entomology. 87(2): 305-310.
103
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Buah belimbing merupakan jenis buah yang sering dikonsumsi masyarakat karena memiliki rasa yang
manis dan segar dalam bentuk buah segar maupun jus. Hal ini menyebabkan potensi belimbing untuk
dikembangkan menjadi sangat prospektif. Namun kehadiran lalat buah merupakan penghambat utama bagi
produksi buah ini. Lalat buah betina dewasa akan menyuntikkan ovipositornya ke dalam buah belimbing untuk
meletakkan telurnya. Beberapa hari kemudian telur akan menetas menjadi larva di dalam buah dan
menyebabkan buah belimbing menjadi busuk. Masa penyuntikan menjadi sangat penting bagi kesuksesan larva
mempertahankan hidup seiring dengan perkembangan pematangan buah. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh waktu pembungkusan terhadap jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.) pada buah
belimbing (Averrhoa carambola). Penelitian ini menggunakan Rancangan acak kelompok dengan 6 perlakuan,
yaitu waktu pembungkusan dilakukan ketika buah berumur 10 hari, 20 hari, 30 hari, 40 hari, 50 hari dan tanpa
dibungkus hingga panen. Dengan 25 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian mnunjukkan bahwa
ada pengaruh yang sangat nyata antara lama masa pembungkusan terhadap jumlah larva lalat buah. Jumlah lalat
buah yang tidak dibungkus hingga panen menunjukkan jumlah larva lalat buah tertinggi. Peningkatan jumlah
lalat buah yang sangat tinggi lai mudialami pada buah yang dibungkus mulai umur 30 hari dan kelimpahan lalat
buah tertinggi terjadi buah yang tidak dibungkus hingga panen.
Kata kunci: Larva lalat buah; buah belimbing; umur bua;, masa pembungkusan
PENDAHULUAN
Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) atau biasa disebut belimbing merupakan tanaman
buah berupa pohon yang banyak ditanam dalam bentuk kultur pekarangan, yaitu diusahakan sebagai
usaha sambilan sebagai tanaman peneduh di halaman-halaman rumah. Belimbing memiliki bentuk
seperti bintang, berlekuk-lekuk jika dilihat dari penampang melintangnya dan permukaannya licin
seperti lilin. Buah belimbing manis banyak digemari masyarakat karena rasanya yang manis dan
menyegarkan karena kandungan airnya yang tinggi, serta mengandung gizi yang tinggi pula. Menurut
Dinas Pertanian kota Depok dalam Anonim (2010) bahwa Setiap 100 gram buah belimbing manis
segar mengandung gizi yang terdiri dari kalori 36,00 kal; protein 0,40 gram; lemak 1,40 gram;
karbohidrat 8,80 gram; kalsium 4,00 mg; fosfor 12,00 mg; zat besi 1,10 mg; vitamin A 170,00 mg;
vitamin B1 35,00 mg; vitamin C 0,90 mg; air 90,00 mg; dan bagian yang dapat dimakan (bdd)
86,00%.
Selain sebagai buah segar, belimbing manis juga dapat berkhasiat sebagai obat. Menurut
Rukmana (2000), mengkonsumsi buah belimbing manis yang sudah matang dapat menurunkan
tekanan darah tinggi dan kadar kolesterol, mencegah kanker, serta memperlancar pencernaan. Secara
ilmiah, kandungan racun (toksisitas) akut tanaman belimbing manis terbukti tidak beracun dan aman
digunakan. Daun dan buah belimbing dapat digunakan untuk mengobati sakit gondong, cacar air,
demam dan wasir.
Buah ini merupakan salah satu buah yang sering dikonsumsi masyarakat karena memiliki
banyak manfaat. Seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat akan belimbing ini, maka dari
itu perkebunan belimbing sering dijumpai di daerah dengan ketinggian tempat yang relatif tinggi.
Namun, produksi belimbing terhambat oleh adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
yaitu hama Bactrocera spp. atau biasa disebut lalat buah (Irwanto, 2008).
Lalat buah merupakan salah satu hama utama pada tanaman buah holtokultura Pada populasi
yang tinggi intensitas serangannya dapat mencapai 100%. Oleh karena itu, hama ini telah menarik
perhatian banyak kalangan untuk melaksanakan upaya pengendalian secara terprogram. Di Indonesia
pada saat ini telah dilaporkan ada 66 species lalat buah. Diantaranya spesies itu yang dikenal sangat
merusak adalah Bractrocera spp., yang sasaran utamanya antara lain : belimbing manis, jambu air,
jambu biji, mangga, nangka, melon dan cabai (Anonim, 2006).
104
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Salah satu jenis lalat buah yang perlu mendapat perhatian adalah Bactrocera carambolae.
Bactrocera carambolae menyerang buah belimbing, jambu dan mangga. Buah yang terserang oleh
Bactrocera carambolae dari luar tampak utuh, tetapi bagian dalam buah sebenarnya rusak karena
dimakan oleh larva Bactrocera carambolae (Aman, 2010). Sifat khas lalat buah adalah hanya dapat
bertelur di dalam buah. Telur dalam fase tertentu akan berubah menjadi larva. Larva yang menetas
dari telur tersebut akan merusak daging buah, sehingga buah menjadi busuk dan gugur. Menurut
Alfarini dalam Fadillah (2004), sekitar 13 jenis komoditas pertanian Indonesia terancam ditolak pasar
Taiwan setelah munculnya larangan masuk bagi produk pertanian yang mempunyai sembilan jenis
lalat buah yang tidak ada di Taiwan, jenis tersebut antara lain : Bactrocera papayae, Bactrocera
zonata, Bactrocera musae.
Lalat buah betina menusuk kulit buah dengan ovipositornya dan meletakkan 10-15 butir telur
sedalam 6 mm di bawah permukaan. Karena ditusuk maka buah akan mengeluarkan cairan yang akan
menarik perhatian lalat lain untuk datang, makan dan bertelur. Karena ada tusukan maka bentuk buah
menjadi jelek, berbenjol dan kadang-kadang menyebabkan kerontokan (Irwanto, 2008). Kerusakan
yang ditimbulkan lalat buah tidak dapat diperbaiki, akibat pengaruh aktivitas bakteri pembusuk.
Selain menyebabkan pembusukan, aktivitas makan oleh larva ini ternyata mengakibatkan buah
berwarna coklat, tidak menarik dan terasa pahit. Hal ini merupakan faktor penghalang bagi konsumen
untuk menikamati buah-buahan yang segar (Anonim, 2011a).
Tindakan pengendalian lalat buah perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi buah-
buahan. Cara pengendalian sederhana yang sering dilakukan oleh petani adalah pembungkusan buah.
Pembungkusan ini dilakukan dengan kantung plastic. Untuk meningkatkan efisiensi pembungkusan
tersebut, perlu kiranya memperhitungkan umur buah yang akan dibungkus. Untuk itu dirasakan perlu
dilakukannya penelitian yang bertujuan untuk mengetahui “Pengaruh Waktu Pembungkusan
Terhadap Jumlah Larva Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) Pada Buah Belimbing Manis (Averrhoa
carambola).
105
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
a. Persiapan: Menentukan pohon belimbing yang akan diteliti secara purposive sampling yaitu dipilih
pohon yang sehat dan memiliki buah yang baik dan cukup untuk dipberikan perlakuan dan
ulangan.
b. Pelaksanaan: buah yang dipilih untuk dijadikan sampel adalah buah yang berukuran ± 2 cm pada
umur 3 hari setelah bunga. Buah- buah tersebut ditandai untuk diberikan perlakuan. Pemilihan
buah yang akan diberi perlakuan tertentu dipilih secara acak dari buah yang telah ditandai.
Pengamatan mulai dilakukan setiap 10 hari sekali setelah perlakuan berupa menghitung larva lalat
buah yang terdapat di dalam daging buah belimbing ketika buah mulai membusuk dan rontok
sebelum masa panen. Setelah masa panen yaitu hari ke 60, buah yang masih utuh di pohon diambil
untuk dilakukan penghitungan jumlah larva lalat buah di dalam daging belimbing.
c. Pengumpul dan analisis data: Data yang telah diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam tabel
pengamatan untuk dilakukan analisis data.
Teknik Analisis Data. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan jumlah larva lalat buah pada
setiap buah belimbing yang dijadikan sampel. Data hasil penelitian dituangkan ke dalam tabel untuk
dianalisis menggunakan Anava yaitu uji-F. Jika hasil menunjukkan ada pengaruh yang signifikan
terhadap perlakuan, dilakukan analisis lanjut untuk melihat ada-tidaknya perbedaan antar perlakuan,
yaitu dengan uji beda nyata terkecil.
60
50
Jumlah Larva
40
30
Blok I
20
Blok II
Blok III
10
Blok IV
0 Blok V
H = 10 H = 20 H = 30 H = 40 H = 50 Kontrol
(P1) (P2) (P3) (P4) (P5) (P0)
Perlakuan
106
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh waktu pembungkusan buah belimbing (Averrhoa
carambola) terhadap jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.) dilakukan analisis data menggunakan
Analisis variansi (ANAVA) RAK dengan hasil sebagaimana tabel berikut:
F Tabel
Sumber Variasi Df Sumsquare Meansquare F hitung
α=0.05 α=0.01
Kelompok 4 61,02 15,25 4,95 2,87 4,43
Perlakuan 5 131,66 26,33 8,54 2,71 4,10
Galat 20 61,62 3,08
Total 29 254,3 -
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa Fhitung > Ftabel pada taraf α = 0,01, baik untuk
kelompok maupun perlakuan. Hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan
waktu pembungkusan buah belimbing (Averrhoa carambola) terhadap jumlah larva lalat buah
(Bactrocera spp.). Untuk mengetahui lebih jauh perbedaan antar perlakuan,dilakukan uji beda nyata
terkecil dan dapat dihasilkan sebagai berikut:
Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P0
P1 - - - - - -
P2 0,52tn - - - - -
P3 3,20** 3,72** - - - -
P4 0,68tn 1,20tn 3,52** - - -
P5 2,84** 3,36** 0,36tn 2,16* - -
P0 5,48** 6,00** 2,28** 4,80** 2,64** -
tn
Keterangan : : tidak berbeda nyata; * : Berbeda nyata; **: Berbeda sangat nyata
Berdasarkan uji BNT (BNT0,05= 1,60; dan BNT0,01= 2,18) di atas diketahui bahwa semua
perlakuan bila dibandingkan dengan yang tidak mengalami pembungkusan hingga panen (kontrol)
menunjukkan perbedaan jumlah larva lalat buah yang berbeda sangat nyata. Demikian pula halnya
dengan yang dibungkus pada umur 30 hari dan 50 hari, namun antara umur 30 hari dan 50 hari tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan..
Pembahasan. Berdasarkan hasil pengolahan data di atas waktu pembungkusan yang berbeda-
beda memiliki pengaruh yang nyata terhadap jumlah larva lalat buah yang ada di dalam buah
belimbing. Perbedaan jumlah lalat buah rata-rata per buah mulai menunjukkan perbedaan yang
signifikan dibanding umur pembungkusan lebih awal ditunjukkan pada umur pembungkusan 30 hari.
Hal ini disebabkan pada saat itu buah sudah mulai menunjukkan mulai mengkal (tanda-tanda akan
matang) dengan panjang buah sekitar 10 cm dan warna buah belimbing hijau dengan sedikit kuning
yang mengkilat. Tingkat kematangan yang cukup dari buah belimbing yang berumur 30 hari setelah
bunga mengakibatkan meningkatnya serangan imago lalat buah (Bactrocera spp.), tidak hanya buah
yang sudah mulai matang saja yang diserang oleh imago lalat buah (Bactrocera spp.) namun buah
yang masih mengkal juga mendapat serangan dari imago lalat buah. Menurut Kalie (1992) buah yang
menjelang matang mengeluarkan aroma ekstraksi ester dan asam organik yang semerbak sehingga
mengundang lalat buah (Bactrocera spp.) untuk datang dan meletakkan telur. Dan dikuatkan oleh
Manurung (2012), terjadinya hal itu mungkin erat kaitannya dengan perubahan warna dari hijau
menjadi kuning, perubahan warna dan aroma ester merupakan dua faktor yang menjadi daya tarik
lalat buah untuk menginfeksi buah.
107
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Jumlah lalat buah/buah belimbing tertinggi adalah pada buah yang tidak dibungkus hingga
panen (kontrol) dan berbeda sangat signifikan dengan semua perlakuan waktu pembungkusan. Hal ini
disebabkan karena lalat buah betina tidak hanya berkesempatan menyuntikkan ovipositornya pada
saaat buah masih mengkal, namun juga ketika buah sudah mendekati matang. Menurut Endah (2003),
bahwa lalat buah betina biasanya meletakkan telur pada kulit buah yang sudah matang bahkan yang
belum matang. Umur buah 40 – 50 hari dengan ukuran lebih dari 17 cm rata-rata buah sudah
mengalami kerontokan sebelum panen. Tingkat kerusakan pada buah yang matang lebih tinggi
daripada buah yang mengkal. Hal ini terjadi oleh pengaruh buah matang yang teksturnya lebih lunak
sehingga kerusakannya lebih mudah terlihat sedangkan pada buah mentah dan mengkal yang jumlah
larva lalat buah masih sedikit. Karena buah tersebut masih keras maka kerusakannya pada buah
tersebut sudah terjadi tetapi tidak nyata terlihat. Kerusakan yang terjadi pada buah belimbing akibat
serangan (Bactrocera spp.), populasi lalat buah tinggi menyebabkan jumlah telur yang diletakkan
meningkat akibat adanya kerusakan pada buah belimbing meningkat.
Pada umur buah yang masih muda (kurang dari 20 hari) menunjukkan jumlah larva tidak
terlalu tinggi. Hal ini disebabkan lalat buah betina terlalu dini untuk meletakkan telurnya, sehingga
ketika telur menetas buah belum matang dan nutrisi belum dan larva lalat buahpun tidak berkembang
atau mati. Waktu yang dibutuhkan telur lalat buah untuk berubah menjadi larva yaitu 2 hari. Menurut
Endah (2003) telur yang terdapat dalam buah, apabila keadaan lingkungannya baik, maka telur akan
menetas menjadi larva setelah 2 hari, kemudian larva berkembang di dalam daging buah selama 6-9
hari dan karenanya menyebabkan buah menjadi busuk. Jadi dibutuhkan waktu berkembangan telur
menjadi larva ± 10 hari, maka dari itu peneliti melakukan pengamatan buah setiap 10 hari sekali
sampai masa panen. Buah yang sudah terinfeksi oleh suntikkan ovipositor lalat buah biasanya tidak
akan bertahan sampai matang akan mengalami pembusukan seperti yang terjadi pada awal
pertumbuhan belimbing dilakukan yaitu umur buah 10 – 20 hari buah akan rontok dan busuk,
kerusakan bukan hanya disebabkan oleh larva dari lalat buah karena pada fase ini belum cukup
tersedianya makanan bagi pertumbuhan larva, suntikkan lalat buah membuat organisme lain untuk
masuk ke dalam buah dan berkembang di dalam buah. suntikkan lalat buah juga dapat merangsang
pertumbuhan dan perkembangan hidup dari organisme pembusuk lainnya, seperti bakteri dan jamur
Siti et.al. (2007). Jika lalat buah sudah mulai menginfeksikan telur kedaging buah dalam jangka
waktu kurang lebih 10 hari telur akan menetas menjadi larva dengan syarat lingkungan hidup lalat
buah harus tercukupi gizi essensial yang terdapat didalam makanan, oleh karena itu banyak buah yang
belum matang terinfeksi oleh lalat buah namun tidak terdapat larva lalat buah didalamnya karena
belum cukup tersedianya gizi bagi larva lalat buah untuk berkembang Endah (2003). Dan dikuatkan
oleh Kardinan (1998), bahwa seekor imago lalat buah betina meletakkan telur antara 1-10 butir di satu
buah dalam sehari namun tidak semua telur dapat berubah menjadi larva, ketika gizi essensial telur
tidak terpenuhi oleh buah yang masih muda atau yang belum matang.
Meskipun sedikit ditemukan larva lalat buah, pada buah muda juga dapat terjadi penyerangan.
Hal ini diperlihatkan adanya bekas bintik-bintik hitam pada permukaan buah. Pernyataan ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Siti et.al. (2007) Serangan dari Bractocera spp. memiliki gejala awal
yaitu adanya noda hitam berukuran kecil. Bintik kecil yang berwarna hitam tersebut merupakan bekas
tusukkan ovipositor. Larva yang baru menetas langsung memakan daging buah, akibat dari aktivitas
larva ini menyebabkan bagian buah yang ada disekitarnya menjadi bercak luas berwarna coklat,
busuk yang bertambah dan gugur sebelum waktunya.
Pembungkusan buah dari awal pertumbuhan buah sangat penting dilakukan untuk
menghindari serangan infeksi lalat buah pembungkusan buah yang terlalu muda juga dapat
mengakibatkan kerontokan dini pada buah karena tangkai buah belum cukup kuat untuk menahan
bobot buah. Waktu efektif pembungkusan buah dilakukan segera pada umur buah 30.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh yang
sangat nyata antara waktu pembungkusan pada dbuah belimbing (Averrhoa carambola) terhadap
jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.). Kelimpahan larva lalat buah tertinggi terjadi pada buah
belimbing yang tidak mengalami pembungkusan hingga masa penen. Peningkatan larva lalat buah
mulai terjadi secara signifikan pada umur pembungkusan buah belimbing 30 hari.
108
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Aman, D., (2010), Survey Pengendalian Hama Tepadu dan Analisis Kehilangan Hasil Buah Akibat
Serangan Lalat Buah (Bactocera dorsalis),
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7715/1/09E00220.pdf. Diakses Tanggal 21
Januari 2013.
Anonim, (2006), Mengakali Lalat Buah, http://embud2006url.blogspot.com /2006/12/mengakali-lalat-
buah.html, Diakses Tanggal 22 Februari 2013.
Anonim, (2010). Belimbing Manis ( Averrhoa carambola ), http://repository
.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1337/BAB%20II%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf?s
equence=7, Diakses Tanggal 21 Januari 2013.
Anonim, (2011a), Lalat buah (Bactocera dorsalis), http://repository.usu.ac.
id/bitstream/123456789/7715/1/09E00220.pdf, Diakses Tanggal 21 Januari 2013.
Anonim, (2011b), Klasifikasi Belimbing manis (Averrhoa carambola),
http://www.plantamor.com/index.php?search_dir=0&cx=partner-pub-
4730872291972291%3A8388952220&cof=FORID%3A10&ie=UTF-
8&q=belimbing+manis&sa=Cari, Diakses Tanggal 21 Januari 2013.
Ashari, S., (2006), Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia, Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, 2012,
http://cybex.deptan.go.id/penanaman-belimbing, Diakses Tanggal 18 Maret 2013.
Borror, D.J.,C.A. Triplehorn dan N. F. Johnson, (1992), Pengenalan Pelajaran Serangga
(terjemahan) edisi 6, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Cahyono, Bambang, (2010), Buku Terlengkap Cara Sukses Berkebun Belimbing Manis, Pustaka
Mina, Jakarta.
Deputi Menegristek, (2005), Tentang Budidaya Tanaman, http://www.ristek. go.id, Diakses tanggal
21 Janurai 2013.
Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. (2002). Pedoman Pengendalian Lalat Buah. Direktorat
Perlindungan Hortikultura. Jakarta
Endah, H., (2003). Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Eko, & Tri, W., (2004), Perbanyakan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) di Laboratorium, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Bogor.
Fadillah, N., Inventarisasi Predator Lalat Buah (Bactocera sp.), (2004),
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7715/1/09E00220.pdf, Diakses Tanggal 21
Januari 2013.
Irwanto, B., (2008), Inventarisasi Hama-hama Penting dan Parsitoid pada buah Mangga (Mangifera
spp.), http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/7715/1/09E00220.pdf, Diakses
Tanggal 21 Januari 2013.
Jang, B.,(2004). Tropical Fruit Pest And Polinators : biology, economic importance, natural enemics
and control. Biological Sciences and Technology 14:525-524 http://www.Blackwell-
synergy.com/doi/abs, Diakses Tanggal 21 Januari 2013.
Jumar, (2000), Entomologi Pertanian,Penerbit Rieneka Cipta, Jakarta.
Kardinan, A., (1998). Pengaruh Cara Aplikasi Minyak Suling Melaleuca Bracteata dan Metil eugenol
terhadap Daya Pikat Lalat Buah (Bractocera dorsali). Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia 4 (1) : 38-45.
Kalie, B.M., (1997), Mengatasi Buah Rontok, Busuk dan Berulat, Penebar Swadaya IKAPI, Jakarta.
Khobir. F., (2011), Identifikasi Spesies Lalat Buah Pada Buah Yang Di Perdagangkan Di Pasar
Bertais Kecamatan Sandubaya Kota Mataram Dan Upaya Pembuatan Bahan Ajar Pada Mata
Kuliah Ekologi Hewan Tahun 2011, http://faedulkhobir.blogspot.com/2012/06/identifikasi-
spesies-lalat-buah-pada.html, Diakses Tanggal 26 Januari 2013.
Kusnaedi. (1999). Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Manurung, B., Prastowo, P., & Ebrina T., (2012), Pola Aktivitas Harian dan Dinamika Populasi Lalat
Buah (Bactrocera dorsalis complex) pada Pertanaman Jeruk di Dataran Tinggi Kabupaten
Karo Provinsi Sumatera Utara. Jurnal HPT Tropika 12 (2) : 103-110.
109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Manurung, B., (2013), Entomologi. Penerbit Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Medan (UNIMED), Medan.
Nazir, M., (1983), Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.
Rifki. R., (2012), Manfaat Belimbing Manis Bagi Kesehatan, http://rahmirifki.
blogspot.com/2012/09/manfaat-belimbing-bagi kesehatan.html , Diakses Tanggal 18 Maret
2013.
Rukmana. R., (2000), Belimbing Manis (Budi daya, Pengendalian Mutu dan Pasca Panen), Penerbit
PT Pabelan Cerdas Nusantara, Solo.
Silitonga, P., M., (2011), STATISTIKA Teori dan Aplikasi dalam Penelitian. Penerbit Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan (UNIMED), Medan.
Siti, H., (2007), Populasi dan Serangan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) Diptera Tephritidae serta
Potensi Parasitoidnya pada Pertanaman Belimbing (Averrhoa carambola). Jurnal Hama
Tanaman. 5 (9) : 81-89.
Subroto, J., B., (2010), Berkebun Buah Belimbing di Pekarangan Rumah. Trubus 6 : 25-26.
Sudjana, (2002), Metoda Statistika Edisi 6, Penerbit Tarsito, Bandung.
Sumangun, H., (2004), Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia, Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
110
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Safrida
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala
Email:idabiologi@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar kolagen uterus pada pada tikus ovariektomi dan untuk
memperoleh umur tikus yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan untuk sistem reproduksi,
khususnya dalam penurunan kualitas uterus. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola
rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan tersebut dengan dua
kondisi hewan. Pertama, hewan normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2) tikus umur 18 bulan (U18), 3)
tikus umur 24 bulan (U24). Kedua, kondisi 1 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam
kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV12), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi
(OV18), 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV24). Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar kolagen uterus tikus umur 12 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi adalah
24.51±4.66, tikus umur 18 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi diperoleh 23.44±1.71, tikus umur 24 bulan
kondisi 1 bulan pascaovariektomi adalah 10.86±1.57. Penurunan kadar kolagen uterus drastis terjadi pada tikus
umur 24 bulan kondisi 1 bulan pascaovariektomi. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan
model penuaan khususnya dalam penurunan kualitas uterus adalah tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan
pascaovariektomi.
PENDAHULUAN
Penuaan adalah penurunan secara fisiologis fungsi tubuh dan berbagai sistem organ yang
mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit serta kehilangan mobilitas dan ketangkasan (Datau dan
Wibowo 2005). Proses menua merupakan proses fisiologis yang akan terjadi pada semua makhluk
hidup yang meliputi semua organ tubuh. Perbedaan penurunan fungsi organ tubuh bergantung pada
waktu (Rastogi 2007).
Salah satu penuaan tingkat seluler dapat dilihat dari penurunan protein struktural seperti
kolagen (Rastogi 2007). Kolagen merupakan matriks ekstrasel berupa protein struktural, sebagai
pengikat antarsel dan sangat berhubungan dengan penuaan karena menyangkut perubahan sintesis
protein (Kanungo 1994). Pada lapisan endometrium uterus terdapat jaringan ikat kolagen. Perubahan
struktur kolagen uterus dipengaruhi oleh estrogen (Pastore et al. 1992). Menurunnya konsentrasi
estrogen dan progesteron dalam darah menyebabkan atropi uterus, yang ditandai dengan tidak
terjadinya penebalan endometrium dan kelenjar uterus berada dalam keadaan tidak mengeluarkan
sekresi sehingga uterus mengecil dan bobotnya menurun (Binkley 1995).
Pada hewan percobaan, manipulasi hilangnya estrogen sebagai indikator menopause
dilakukan dengan ovariektomi (Shirwaikar et al. 2003; Devareddy et al. 2008). Data mengenai kadar
kolagen uterus pada tikus ovariektomi strain Sprague Dawley yang cocok digunakan sebagai hewan
model penuaan untuk sistem reproduksi belum banyak dilaporkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar kolagen uterus pada pada tikus ovariektomi
dan untuk memperoleh umur tikus yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan untuk sistem
reproduksi, khususnya dalam penurunan kualitas uterus. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai tikus sebagai hewan model penuaan untuk sistem reproduksi.
Penelitian ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan dalam Ilmu Kedokteran serta
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
111
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang terdiri atas 5 (lima) perlakuan,
masing-masing terdiri atas tiga (3) ekor. Perlakuan tersebut dengan dua kondisi hewan. Pertama,
hewan normal yakni, 1) tikus umur 12 bulan (U12), 2) tikus umur 18 bulan (U18), 3) tikus umur 24
bulan (U24). Kedua, kondisi 1 bulan pascaovariektomi, yakni 1) tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1
bulan pascaovariektomi (OV12), 2) tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi
(OV18), 3) tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi (OV24).
Tikus-tikus percobaan tersebut ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup yang terbuat
dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan dan air minum disediakan ad libitum. Lingkungan kandang
dibuat agar tidak lembap, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dengan lama terang 14
jam dan lama gelap 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu. Tindakan
ovariektomi dilakukan oleh dokter hewan. Semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang
percobaan selama 10 hari. Pada status fase diestrus, semua tikus dikorbankan. Uterus dipisahkan dari
jaringan lunak dengan menggunakan gunting kecil, kemudian ditimbang bobot basahnya, selanjutnya
dimasukkan ke dalam larutan BNF (buffer formalin) 10% untuk analisis kadar kolagen.
Penentuan kadar kolagen dilakukan sesuai dengan yang dilakukan oleh Manalu dan
Sumaryadi (1998). Pengukuran kadar kolagen dilakukan setelah uterus yang sudah dikeringkan dan
dihaluskan diekstraksi dengan cara menimbang seberat 25 mg ke dalam tabung reaksi dan
menambahkan sebanyak 5 mL HCl 6 N pada setiap sampel. Semua tabung diletakkan pada penangas
air 130oC selama 3 jam (air mendidih ± 5 jam) sampai larutan homogen kuning muda. Jika terjadi
penguapan selama pemanasan ditambahkan lagi HCl 6 N sebanyak 5 mL. Isinya dituangkan dan
dibaca pada pH 6-7 (seragam) dengan menambahkan NaOH 2 N jika keasaman atau HCl 6 N jika
kebasaan, dan tetap menghitung pelarutannya. Selanjutnya tabung reaksi disiapkan kemudian dilabel
untuk blanko, standar, dan sampel yang masing-masing dibuat duplo. Masing-masing tabung diisi
reagen sehingga akan berwarna kuning, setelah itu pada setiap tabung ditambahkan 1 mL Chloramin-
T dan dikocok (vorteks). Larutan dibiarkan selama 20 menit pada suhu kamar. Setiap tabung
ditambahkan 1 mL PCA (kocok/vortex) dan dibiarkan selama 5 menit. Kemudian setiap tabung
ditambahkan 1 mL p-dimetilaminobenzaldehide dan dikocok kemudian diletakkan pada penangas air
60oC selama 20 menit. Larutan didinginkan pada kran air mengalir (tabung direndam dalam wadah
berisi air dingin) selama 5 menit. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 55 nm.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji
Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05) dengan menggunakan perangkat lunak software
SAS 9.1.3.
112
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Rataan kadar kolagen uterus pada tikus normal dan ovariektomi
Umur (bulan) Kadar kolagen uterus (mg/g sampel) pada Kadar kolagen uterus (mg/g sampel) pada
tikus normal* tikus ovariektomi
a
12 45.73±2.16 24.51±4.66a
b
18 37.74±3.65 23.44±1.71a
c
24 24.49±2.70 10.86±1.57b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata ( p<0.05). Tikus umur 12 bulan (12), tikus umur 18 bulan (18), tikus umur
24 bulan (24).
*Sumber : (Safrida, 2011)
Tindakan ovariektomi mempengaruhi penurunan kualitas uterus. Hal ini dapat diketahui
dengan membandingkan tikus umur 12, 18, 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi dengan
tikus normal pada umur yang sama. Pada tikus umur 12 bulan dalam kondisi 1 bulan
pascaovariektomi terlihat bahwa kadar kolagen uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus
normal umur 12 bulan. Pada tikus umur 18 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi terlihat
bahwa kadar kolagen uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 18 bulan.
Kemudian pada tikus umur 24 bulan dalam kondisi 1 bulan pascaovariektomi menunjukkan bahwa
kadar kolagen uterus menurun bila dibandingkan dengan tikus normal umur 24 bulan.
Penurunan kolagen uterus mempunyai risiko terjadinya prolapse uterus. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Price et al. (2010) bahwa prolapse uterus terjadi ketika organ-organ panggul wanita jatuh
dari posisi normal, ke dalam atau melalui vagina. Salah satu hal yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya prolapse adalah gangguan jaringan ikat. Menurut Iwahashi dan Muragaki (2011) bahwa
kelainan kolagen, komponen utama matriks ekstraseluler, dapat meningkatkan kerentanan wanita
untuk mengalami prolapse uterus.
Penurunan kadar kolagen uterus drastis terjadi pada tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan
pascaovariektomi. Tikus ovariektomi yang cocok digunakan sebagai hewan model penuaan
khususnya dalam penurunan kualitas uterus adalah tikus umur 24 bulan kondisi 1 bulan
pascaovariektomi
DAFTAR PUSTAKA
Binkley SA. 1995. Endocrinology. New York: Harper Collins College Publisher
Datau EA, Wibowo C. 2005. Introduction to Anti-aging Medicine. Ikhtisar. Jakarta: Penerbit Cermin
Dunia Kedokteran.
Devareddy L, Hooshmand S, Collins JK, Lucas EA, Chai SC, Arjmandi BH. 2008. Blueberry
prevents bone loss in ovariectomized rat model of postmenopausal osteoporosis. J Nutr
Biochem 10:69.
Iwahashi M, Yasuteru Muragaki Y. 2011. Decreased type III collagen expression in human uterine
cervix of prolapse uteri. Experimental and Therapeutic Medicine. 2 (2) : 271-274.
Kanungo MS. 1997. Gene and Aging. Cambrige University Press. USA.
Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Maternal serum progesterone concentration during gestation and
mammary gland growth and development at parturition in Javanese thin-tail ewes with
carrying a single or multiple fetuses. Small. Rum. Res. 27:131-136.
Pastore GN, Dicola LP, Dollahon NR, dan Gardner RM. 1992. Effect of estriol on the structure and
organization of collagen in the lamina propia of the immature rat uterus. Biol. Reprod. 47: 83-
91.
Price N, Slack A, Jackson S. 2010. Laparoscopic hysteropexy: the initial results of a uterine
suspension procedure for uterovaginal prolapse. BJOG. 117:62–68.
Ranakusuma AB. 1992. Buku Ajar Praktis Metabolik Endokrinologi. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI- Press).
Rastogi, SC. 2007. Essential of Animal Physiology, Fourth Edition. New Age International (P) Ltd.,
Publishers. Published by New Age International (P) Ltd., Publishers.
Safrida. 2011. Penurunan kadar matriks ekstraseluler uterus tikus dengan bertambahnya umur. J
Bio.Ed. 3(2): 16-19.
Shirwaikar A, Khan S, Malini S. 2003. Antiosteoporotic effect of ethanol extract of Cissus
quadrangularis Linn. on ovariectomized rat. J Ethnopharmacol 89: 245-250.
113
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Kondisi yang lembab pada pasar tradisional memungkinkan bahan makanan terutama kacang tanah
terkontaminasi oleh cendawan Aspergillus flavus. Cendawan ini selain merusak biji kacang tanah juga
menghasilkan aflatoksin yang bersifat toksik. Jika kacang tanah ini dikonsumsi oleh manusia atau hewan maka
akan terakumulasi di dalam sel-sel hati, hal ini dapat mengakibatkan kerusakan hati. Tingginya kontaminasi biji
kacang tanah oleh A. flavus diduga diikuti dengan tingginya kadar aflatoksin yang dihasilkan. Tujuannya untuk
mengetahui populasi cendawan, kadar aflatoksin biji kacang tanah dan efeknya terhadap histopatologi sel hati
(hepatosit) mencit. Sampel kacang tanah diambil pada bulan Mei 2013 dari pedagang eceran Pasar Petisah,
Pasar Padang Bulan, dan Pasar Sentral. Dari setiap pasar tradisional diambil 3 sampel pengecer yang berbeda.
Populasi cendawan dihitung dengan metode pengenceran. Sedangkan kadar aflatoksin ditentukan dengan
metode kromatografi lapis tipis. Perlakuan aflatoksin kacang tanah terhadap hepatosit mencit dilakukan dengan
pemberian pakan campuran yang mengandung kacang tanah secara ad libitum (tidak terbatas) selama 3 bulan
dibandingkan dengan kontrol. Struktur histopatologi hepatosit dilakukan dengan metode mikroteknik. Hasil
penelitian menujukkan rata-rata kadar air biji kacang tanah yang dijual adalah 6%. Jumlah koloni cendawan A.
flavus tertinggi pada pedagang II di Pasar Petisah yaitu 260 koloni diikuti oleh pedagang I masih di Pasar
Petisah yaitu 5,50 koloni dan pedagang II di Pasar Sentral yaitu 4,50 koloni. Kadar aflatoksin tidak berhubungan
dengan jumlah koloni cendawan. Biji kacang tanah yang dijual pada pedagang III di Pasar Sentral memiliki
jumlah koloni A. flavus 0,83 namun mengandung aflatoksin B1 dan B2 tertinggi yaitu 84,30 ppb dan 23,07 ppb.
Efek pemberian pakan kacang tanah menunjukkan terjadi perubahan histopatologi hepatosit dibandingkan
dengan kontrol.
PENDAHULUAN
Medan adalah ibu kota Sumatera Utara yang lokasinya dengan sentra produk pertanian yaitu
Brastagi.Iklim lembab dan panas dengan suhu rata-rata 32 – 33oC serta curah hujan yang tinggi
menyebabkan produk pertanian terutama buah-buahan dan sayur-sayuran mudah mengalami
kerusakan. Umumnya masyarakat Kota Medan lebih memilih pasar tradisional sebagai pusat jual beli
bahan makanan. Seluruh pasar tradisional di Kota Medan tidak memenuhi syarat penyimpanan yang
baik. Perlakuan makanan pasca panen seperti distribusi diduga memiliki rantai yang panjang.Kondisi
ini menyebabkan makanan yang dijual menjadi lebih mudah mengalami kerusakan seperti retak,
pecah, memar, dan sebagainya yang memicu pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu diantara
mikroorganisme penyebab kerusakan makanan adalah cendawan Aspergillus flavus yang sering
dijumpai pada biji-bijian berkadar air tinggi seperti kacang tanah. Cendawan A. flavus menghasilkan
aflatoksin yang bersifat racun terhadap hati. Akumulasi senyawa ini akibat konsumsi kacang tanah
yang berulang dapat menimbulkan kanker hati. Jumlah populasi A. flavus pada kacang tanah, kadar
aflatoksin dan efeknya pada hati, kondisi penyimpanan, dan distribusi khususnya kacang tanah perlu
diketahui untuk mengurangi efek toksin ini pada masyarakat
Kapang perusak pasca panen merupakan kapang yang menyerang tanaman pertanian terutama
selama pasca panen. Kapang membutuhkana kadar air yang seimbang dengan kelembaban relatif 60-
95% untuk pertumbuhannya, dan kebanyakan kapang dapat tumbuh tanpa kehadiran air, dan pada
media dengan tekanan osmotic tinggi (Jay, 2000; Darmaputra, 2000)
114
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Di daerah tropis kapang perusak pasca panen yang paling dominan adalah genus Aspergillus
dan Eurotium. Di antara genus Aspergillus, species A. flavus dapat memproduksi aflatoksin yang
dapat membahayakan jika terkonsumsi oleh manusia atau hewan (Dharmaputra, 2003)
Aspergillus merupakan genus kapang yang sangat dominan menghasilkan mikotoksin
(Kozakiewicz. 1996).Kapang ini umumnya menyerang biji-bijian. Biji-bijian yang paling sering
terserang kapang adalah kacang tanah karena selain memiliki kadar protein dan lemak yang tinggi,
biji kacang tanah juga memiliki kadar air lebih tinggi dari pada biji-biji palawija lainnya. Bahkan
penelitian terhadap biji-biji kacang tanah yang dijual di pasar tradisional di Bogor, Bandung dan
Jakarta menunjukkan bahwa sebagian besar sampel banyak ditumbuhi kapang dari genus Aspergillus
dan Penicillium. Di antara kapang penghasil mikotoksin adalah Aspergillus flavus, A. parasiticus dan
A. nomius. Kapang-kapang tersebut menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Diantara aflatoksin
tersebut, B1 adalah yang paling toksik diikuti dengan G1, B2 dan G2 (Betina 1989; Miller. 1994). Pada
manusia dan hewan konsumsi kacang tanah yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan
teratogenik, tumor pada hati, karsinogen, dan dapat menimbulkan kematian (Bintivok, 2002; Bahri,
2006; Bommakanti, 2006). Sifat akumulatif aflatoksin karena mengkonsumsi biji kacang tanah yang
terkontaminasi A. flavus secara terus menerus sampai pada 1000 ppb dapat menyebabkan kanker hati
dan kematian (Pitt and Hocking, 1996). Menurut Harris (1991) kanker hati karena aflatoksin terjadi
karena mikotoksin tersebut berkombinasi dengan DNA membentuk affladucts yaitu sekuens pada
DNA yang akan memacu terbentuknya proto-onkogen penyebab mutasi gen sehingga terbentuk
transformasi yang bersifat karsinogenik. Titik leleh aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 terjadi pada suhu
yang sangat tinggi yaitu masing-masing pada 267, 303-306, 257-259 dan 237-240 oC (Buchi & Rae.
1969 dalam Lilieanny et al. 2005), sehingga pemanasan kacang tanah pada suhu yang lebih rendah
dari suhu-suhu tersebut tidak mengubah aflatoksin menjadi senyawa yang nontoksik.
Pembagian Sampel
Setiap 2000 g sampel yang diperoleh dipisah-pisahkan secara random dengan menggunakan
sample divider. Pembagian sampel akan dilakukan menurut Dharmaputra (2000) dengan skema
sebagai berikut :
2000 g
±1000 g ±1000 g
115
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
S = Volume aflatoksin standar (µl) yang memberikan perpendaran setara dengan Z µlcontoh
Y = Konsentrasi aflatoksin standar dalam µg/mL
Z = Volume ekstrak contoh (µl) yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaransetara dengan
S ul standar aflatoksin
W = Berat contoh yang diekstrak (g)
V = Volume pelarut (µl) yang dibutuhkan untuk melarutkan ekstrak contoh
fp = faktor pengenceran
116
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Persyaratan Etik
Penelitian akan menggunakan mencit (Mus musculus) sebagai subyek hewan percobaan.
Semua perlakuan terhadap hewan tersebut akan dilakukan sesuai dengan persyaratan etik yang telah
ada.
Tabel 1. Rata-rata kadar air biji kacang tanah yang dijual di Pasar Petisah, Pasar Padang Bulan,dan
Pasar Sentral Kota Medan
Asal Biji Sampel Kadar air
Kacang Tanah Pedagang Biji Kacang Tanah (%)
I 6,67
Pasar Petisah II 7,04
III 6,12
I 6,27
Pasar Padang Bulan II 6,66
III 5,39
I 6,32
Pasar Sentral II 6,02
III 6,57
Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air biji kacang tanah yang dijual pada semua pasar
tradisional rata-rata 6% kecuali biji kacang tanah yang pada pedagang II Pasar Petisah memiliki kadar
air lebih tinggi yaitu 7,04%. Kadar air biji kacang tanah pascapanen selama penyimpanan akan
dipengaruhi oleh kadar kesetimbangan kelembaban ruang penyimpanan. Biji kacang tanah
pascapanen yang telah dikeringkan hingga mencapai kadar air biji untuk disimpan dapat mengalami
117
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
perubahan kadar air. Menurut Dharmaputra (2011) pada kelembaban udara 80-85% kadar air biji
kacang tanah selama penyimpanan mencapai kesetimbangan menjadi 9-13%. Pada kadar tersebut
cendawan yang sering dijumpai adalah Aspergillus halophilicus, Eurotium, spp., A. candidus, A.
flavus dan Penicillium spp. Sedangkan Syarif (2011) menyatakan bahwa A. flavus menghasilkan
aflatoksin pada aw (water activity) minimum 0,78-0,80 dengan Rh (relative humidity) 85%.
Kelembaban lantai dasar pasar tradisional Petisah berkisar antara 85-90% memungkinkan kelembaban
biji kacang tanah yang diperdagangkan mencapai kesetimbangan yang memungkinkan tumbuhnya
cendawan penghasil mikotoksin. Kadar air yang terlalu rendah pada biji pascapanen selama
penyimpanan dapat menyebabkan biji mengkerut atau pecah. Biji yang pecah akan menjadi media
yang baik bagi pertumbuhan cencawan (Pitt dan Hocking,1997).
Gambar 1. Koloni cendawan A. flavus biji kacang tanah 4 hari setelah inkubasi (29 oC) pada media
AFPA. a. Koloni cendawan pada biji kacang tanah yang dijual di pasar Petisah pedagang
I, b. koloni pada Pasar Petisah pedagang II. c. koloni pada Pasar Sentral pedagang III.
Kadar aflatoksin biji kacang tanah yang diperdagangkan di tiga pasar tradisional Kota Medan
dapat dilihat seperti pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Jumlah Koloni Cendawan Aspergillus flavus dan Kadar Aflatoksin Biji Kacang Tanah
yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Medan
Faktor
Asal Biji Sampel Jlh. Koloni
Pengenceran Kadar Aflatoksin (ppb)
Kacang Tanah Pedagang A. flavus
(cfu/ml)
B1 B2 G1 G2
I 5,50 10-2 14,05 <2 <1 <2
Pasar Petisah II 260 10-2 23,41 11,53 <1 <2
III 1,00 10-2 <1 <2 <1 <2
I 1,00 10-2 <1 <2 <1 <2
Pasar Padang Bulan II 2,00 10-3 <1 <2 <1 <2
III 0,70 10-1 <1 <2 <1 <2
-2
I 0,83 10 <1 <2 <1 <2
Pasar Sentral II 4,50 10-1 <1 <2 <1 <2
III 0,83 10-1 84,30 23,07 <1 <2
Keterangan :Limit deteksi aflatoksin B1 = 1 ppb; aflatoksin B2 = 1 ppb; aflatoksin B2 dan G2 = 2 ppb
118
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 2 menunjukkan jumlah koloni cendawan A. flavus tertinggi pada pedagang II di Pasar
Petisah (Gambar 2b) yaitu 260 koloni diikuti oleh pedagang I masih di Pasar Petisah (Gambar 2a)
yaitu 5,50 koloni dan pedagang II di Pasar Sentral (Tabel 1 dan Gambar 4b) yaitu 4,50 koloni.Kadar
aflatoksin tidak behubungan dengan jumlah koloni cendawan. Biji kacang tanah yang dijual pada
pedagang III di Pasar Sentral memiliki jumlah koloni A. flavus 0,83 namun mengandung aflatoksin
B1 dan B2 tertinggi yaitu 84,30 ppb dan 23,07 ppb. Standar kadar aflatoksin pada kacang tanah yang
diizinkan untuk ekspor dari Negara Indonesia adalah 15 ppb (Codex Alimentarius Comission E,
2013). Rata-rata suhu ruangan tempat penjualan biji kacang tanah di pasar tradisional adalah berkisar
antara 28-31oC. Menurut Pitt & Hocking (1977) A. flavus memproduksi aflatoksin pada kisaran suhu
13-37 oC. Cendawan ini menghasilkan aflatoksin B1 dan B2, sedangkan aflatoksin G1 dan G2
dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Cendawan terakhir ini tidak terdapat di iklim tropis sehingga
aflatoksin G1 dan G2 tidak dijumpai pada kacang tanah yang diteliti.
Gambar2. Koloni A. flavus (warna oranye) pada kacang tanah yang dijual pedagang di Pasar
Petisah. a. Pedagang I, b. Pedagang II, dan c. Pedagang III. Koloni berumur 4 hari,
29oC pada media AFPA.
Gambar 3. Koloni A. flavus (warna oranye) pada kacang tanah yang dijual pedagang di Pasar
Padang Bulan. a. Pedagang I, b. Pedagang II, dan c. Pedagang III. Koloni berumur 4
hari 29oC pada media AFPA.
119
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 4. Koloni A. flavus (warna oranye) pada kacang tanah yang dijual pedagang di Pasar
Sentral. a. Pedagang I, b. Pedagang II, dan c. Pedagang III. Koloni berumur 4 hari 29oC
pada media AFPA.
Efek Biji Kacang Tanah yang Mengandung Aflatoksin terhadap Histologi Sel
Hati Mencit
Histologi sel hati pada preparat kontrol tidak menujukkan perubahan. Hepatosit tersususun dalam
lempengan dengan pola radial yang terpusat pada vena sentralis. Hepatosit normal berbentuk
polihedral yang terbatas jelas, inti terletak ditengah. Pada preparat terlihat adanya arteria hepatika.
Pada mencit yang diberi ransum pada sel hatinya menunjukan perubahan histologinya.
Berdasar penelitian Anuja (2010) penelitian yang dilakukan terhadap mencit yang diberi ransum
yang mengandung aflatoksin struktur sel hati menunjukkan degenerasi sel, karsinoma hepatoseluler
dengan pola trabekuler, infiltrasi limfosit dan sel Kupffer, fokal nekrosis. Histopatologi mencit betina
perlakuan dengan pemberian pakan kacang tanah yang mengandung aflatoksin menunjukkan
kerusakan pada sel-sel parenkim yang ditunjukkan dengan batasan-batasan membran sel yang
menyatu dengan gambaran nukleus yang membesar seperti pada Gambar 6 berikut ini.
120
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
A B
Gambar 6. A. Histopatologi mencit betina (perbesaran 10x) B. Gambar yang sama pada perbesaran
100x .a. pembuluh limfa. b. sel parenkim dan nukleus yang mengalami kerusakan
Efek aflatoksin kacang tanah terhadap histopatologi terhadap mencit jantan dapat
dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Gambar 7. Efek pemberian kacang tanah yang mengandung aflatoksin terhadap histopatologi
mencit jantan (perbesaran 100x)
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air tertinggi terdapat pada pedagang II pasar Petisah yaitu
7.04. Jumlah koloni A. flavus terbanyak pada pedagang II pasar Petisah yaitu 260 koloni. Jumlah
kadar aflatoksin terbanyak dijumpai pada kacang tanah yang dijual oleh pedagang III di pasar Sentral
yaitu sebesar 84.3 ppb dengan jenis aflatoksin B1. Hasil uji aflatoksin terhadap sel hati mencit selama
3 bulan menyebabkan perubahan atau kerusakan pada histopatologi sel hati.
DAFTAR PUSTAKA
(AOAC) Association of Official Analytical Chemist. 1995. Natural toxins. Di dalam :Scott E. (ed)
Official Method of Analysis of Natural Poisons. Ed ke-16 Arlington : AOAC. hlm. 8-10.
(AOAC) Association of Official Analytical Chemist. 2000. Nuts and nut products. Di dalam Horwitz
W (ed) Official Methods of Analysis of Food Composition :Additives : Natural Contaminants.
Ed. 17.Vol. 2 Bab 40.Gaithersburg : AOAC.
Bahri, S., R. Maryam, R. Widiastuti.2005.Cemaran Aflatoksin Pada Bahan Makanan dan Pakan di
Beberapa Daerah Propinsi Lampung Dan Jawa Timur. JITV 10 (3): 236-241.
Betina. V. 1989. Mycotoxins, Chemical, Biological and Environmental Aspects.Elsevier.Amsterdam.
121
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Bintivok, A. S., S. Thiengnin, K. DOI and S. Kumagi. 2002. Residue of Aflatoksin in Liver, Muscle
and Eggs of Domestic Fowls. J. Vet. Med. Sci64 (11): 1037-1039.
Codex Alimentarius Comission E, 2013. Food and Agricultural Organization, World Heath
Organization, Viale Delle, Rome, Italy.
Colagulin, F.; H.Husyein Domez. 2012. Effects of Afflatoksin on Liver and Protective
Dharmaputra.OS. 2000.Mycotoxins in Indonesian Foods and Feeds. National Seminar, Current Issues
on Food Safety and Risk Assesment. November 7-28. Jakarta. Indonesia.
Dharmaputra.OS. 2003.Isolasi dan Identifikasi Cendawan Perusak Pascapanen. Pelatihan
Mikrobiologi Dosen Perguruan Tinggi Negeri Se-Sumatera. Bogor,IPB. 28 Juli-7 Agustus.
Dharmaputra, O.S. 2011. Spoilage fungi, their prevention and control in food and feedstuff. Regional
Training Course on Prevention and Control of Mycotoxins in Food and Feedstuff. SEAMEO-
BIOTROP, Bogor, Indonesia, 22-26 November 2011.
Harris. C.C. 1991. Chemical and physical carcinogenesis : Perspectives for the 1990’s. Cancer
Research (Supplement). 51:5023-5044.
Hocking. AD, Pitt JI. 1980. Dichloran-glycerol medium for enumeration of xerophilic fungi from
low-moisture foods. Appl Environ Microbiol 39: 448-492.
Irianto,Y, R. 1983. Tinjauan effek Biokimiawi dan Effek Biologis Aflatoksin. Skripsi Fakultas
kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Jay, J.M, S. 2000. Modern Food Microbiology. 6rd ed. New York. Champan and Hall
Kozakiewicz. Z. 1996. Occurrence and significance of storage fungi & associated mycotoxins in rice
and cereal grains. In. Mycotoxin Contamination in Grains. ACIAR, Canberra.
Lilieanny. Dharmaputra. OS. & Asmarina Setyaningsih Rahayu Putri. 2005. Populasi kapang
pascapanen & kandungan aflatoksin pada produk olahankacang tanah. Jurnal Mikrobiologi
Indonesia. Vol. 10 no. 1:17-20.
Maritha, I. Supranowo, D. Lyrawati. 2006. Expression of Cytosolic Aspartate-Specific Cysteine
Protease -3 (Caspase-3) in the Liver Tissue of Rattus norvegicus (Wistar) Following
Subchronic Administrator of flatoxin-B1 (AFB1).
Miller.JD. 1994. Fungi & mycotoxin in grain : Implication for stored product research. Procc.of the
6th International Working Conference on Stored Product Protection vol. 2:971-977.
Canberra. Australia.
Pitt. JI. Hocking AD. Samson RA. King AD. 1992. Recommended methods for mycological
examination of foods. Di dalam : Samson RA, Hocking AD, Pitt. JI, King AD (ed) Modern
Methods in Food Mycology. Amsterdam : Elsevier. hlm.365-368.
Pitt. JI.Hocking AD. 1996. Current knowledge of fungi and mycotoxins ssociated with food
commodities in Southeast Asia. Di dalam : Highley E. Johnson GI(ed). Mycotoxin
Contamination on Grains. The 17th ASEAN Technical Seminaron Grain Postharvest
Technology : Lumut, 25-27 July 1995. Canberra : Australian Centre for International
Agricultural Research. hlm. 5-10.
Pitt. JI.Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. Blackie Academic and Professional.London.
Syarif, R. and Hasriani, 2011.Regulation and level mycotoxin contamination around the
world.Regional Training Course on Prevention and Control of Mycotoxins in Food and
Feedstuff. SEAMEO-BIOTROP, Bogor, Indonesia, 22-26 November 2011.
Samson. RA., Hoekstra ES, Van Oorschot CAN. 1996. Introduction to Food-borneFungi. Ed. Ke-
2.Baarn : Centraal bureau Voor Schimmel cultures.
Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan. Histologi dan Histokimia.Penerbit Bhratara Karya Aksara
Jakarta.
Yanwirasti. 2006. Kontribusi peroksidasi lipid terhadap kerusakan sel hati tikus putih akibat
keracunan Aflatoksin B1. Jurnal Anatomi Indonesia. Fakultas kedokteran Universitas Andalas
Padang.Volume 02 no. 02 Desember 2006.
122
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan tepung kulit buah pepaya
(Carica papaya) dalam ransum terhadap produksi telur pada puyuh (Cortunix-cortunix japonica). Materi yang
digunakan adalah 120 ekor puyuh betina umur 6 minggu. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut: T0 : ransum
kontrol (tanpa menggunakan tepung kulit buah pepaya), T1 : ransum dengan menggunakan 2% tepung kulit
buah pepaya, T2 : ransum dengan menggunakan 4% tepung kulit buah pepaya, T3 : ransum dengan
menggunakan 6% tepung kulit buah pepaya, T4 : ransum dengan menggunakan 8% tepung kulit buah pepaya
dan T5 : ransum dengan menggunakan 10% tepung kulit buah pepaya. Ransum perlakuan disusun dengan
Energi Metabolis (EM) 2900 kkal/kg dan protein 20%. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) 6 perlakuan dan 4 ulangan. Parameter penelitian adalah konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan
konversi ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan tepung kulit buah pepaya
sebanyak 0% (T0), 2% (T1), 4% (T2), 6% (T3), 8% (T4) dan 10% (T5) berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap
produksi telur, berat telur dan konversi ransum namun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap konsumsi
ransum. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemanfaatan tepung kulit buah pepaya
sebesar 6% sampai 10% dalam ransum memberikan hasil yang terbaik terhadap produksi telur, berat telur dan
konversi ransum .
Kata kunci: berat telur, konsumsi ransum, konversi ransum, produksi telur, tepung kulit buah pepaya
PENDAHULUAN
Pengembangan usaha peternakan puyuh saat ini mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal ini
didukung oleh meningkatnya daya beli masyarakat akan telur puyuh. Telur puyuh banyak disukai oleh
masyarakat karena memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan telur ayam ras yaitu protein 13,10% dan lemak 11,10% (Wuryadi, 2011). Salah
satu jenis puyuh yang banyak dikembangkan oleh peternak adalah puyuh Jepang (Coturnix coturnix
japonica). Kelebihan puyuh ini yaitu pertumbuhannya cepat dengan masa dewasa kelamin umur 41
hari dan mampu menghasilkan produksi telur 250-300 butir per tahun (Listiyowati dan Roospitasari,
2009).
Selama ini usaha pemeliharaan puyuh sudah dilakukan secara intensif, namun pola pemeliharaan
ini memiliki kendala yaitu tingginya harga bahan pakan penyusun ransum. Hal ini disebabkan,
sebagian besar bahan pakan penyusun ransum terutama bahan pakan sumber protein masih
mengandalkan impor. Alternatif penggunaan bahan pakan lokal yang berasal dari limbah pertanian
merupakan solusi untuk mendapatkan bahan pakan yang murah dan mudah didapatkan oleh peternak.
Salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber protein adalah
kulit buah pepaya.
Kulit buah pepaya merupakan bagian terluar dari buah pepaya yang jumlahnya sekitar 30% dari
satu buah pepaya dan memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan buah pepaya. Kulit buah
pepaya mempunyai kandungan protein kasar 25,58%, serat kasar 18,52%, lemak kasar 8,87%,
kalsium (Ca) 2,39%, fospor (P) 0,88%, abu 8,52% dan Fe 0,385% (Silalahi dan Sinaga, 2010). Selain
itu kulit buah pepaya juga mengandung enzim papain yang merupakan salah satu enzim proteolitik.
Enzim papain sangat berperan dalam pengaturan asam amino dalam tubuh, sehingga ketersediaannya
di dalam tubuh meningkat. Peningkatan asam amino sangat penting terhadap kecepatan laju
metabolisme protein untuk proses produksi telur (Suthama, 2005).
123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Namun penggunaan kulit buah pepaya sebagai ransum puyuh memiliki kelemahan yaitu mudah
busuk, sehingga perlu diolah menjadi tepung untuk meningkatkan masa simpannya. Hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Setyaningrum dan Siregar (2013) menunjukkan bahwa penggunaan
tepung kulit buah pepaya (TKBP) sampai 10% dapat digunakan dalam ransum puyuh periode
pertumbuhan tanpa memberikan efek negatif. Berdasarkan hal tersebut maka kulit buah pepaya
berpotensi sebagai bahan pakan untuk puyuh. Selama ini penelitian tentang penggunaan kulit buah
pepaya sebagai ransum unggas periode produksi masih jarang dilakukan. Oleh sebab itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana penggunaan tepung kulit buah pepaya (Carica
papaya) dalam ransum terhadap produksi telur pada puyuh (Cortunix-cortunix japonica).
124
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 2. Rerata Konsumsi Ransum, Produksi Telur, Berat Telur dan Konversi Ransum
Parameter Perlakuan Rerata
T0 T1 T2 T3 T4 T5
Konsumsi 27,85 27,80 27,78 27,77 27,76 27,70 27,78
ransum (g)
Produksi telur 54,58b 54,92b 55,24b 69,75a 68,34a 67,85a 61,78
(%)
Berat telur (g) 8,74b 9,08b 9,10b 10,18a 9,79a 9,78a 9,44
b b b a a
Konversi 5,84 5,59 5,55 3,94 4,17 4,18a 4,88
ransum
Keterangan : * Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Konsumsi Ransum
Rerata konsumsi ransum hasil penelitian adalah 27,78 g disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan tepung kulit buah pepaya tidak berpengaruh nyata (p>0,05)
terhadap konsumsi ransum. Hal ini sejalan dengan hasil konsumsi ransum puyuh periode
pertumbuhan yang menunjukkan hasil tidak berbeda pula. Hasil konsumsi ransum periode layer yang
tidak berbeda ini disebabkan, penggunaan tepung kulit buah pepaya dalam ransum tidak merubah
kandungan nutrisi ransum antar perlakuan sehingga konsumsi antar perlakuan pun menjadi tidak
berbeda. Selain itu penggunaan tepung kulit buah pepaya sampai 10% dalam ransum memberikan
palatabilitas yang relatif sama sehingga palatabilitas ransum antar perlakuan pun menjadi sama. Hal
ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1995) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu umur, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, energi ransum
dan tingkat produksi.
Produksi Telur
Data rerata produksi telur selama penelitian adalah 61,78% disajikan pada Tabel 2. Perlakuan
TKBP 6% (T3), 8% (T4) dan 10% (T5) secara nyata memberikan hasil yang lebih tinggi terhadap
produksi telur (p<0,05) dibandingkan perlakuan TKBP 0% (T0), 2% (T1) dan 4% (T2). Penggunaan
TKBP sebanyak 0% (T0), 2% (T1) dan 4% (T2) memberikan hasil yang sama terhadap produksi telur.
Hal ini sejalan dengan penelitian Paramita et al. (2001), penggunaan tepung daun buah pepaya sampai
2% juga belum mampu memberikan hasil yang berbeda terhadap produksi telur ayam buras apabila
dibandingkan dengan kontrol. Menurut Widhyarty (2002), penambahan tepung daun pepaya hingga
5% tidak memberikan efek yang negatif terhadap performans itik.
Perlakuan penggunaan TKBP 6% memberikan hasil yang lebih baik apabila dibandingkan dengan
T0, T1 dan T2 tetapi tidak berbeda nyata terhadap T4 dan T5. Hal ini dimungkinkan penggunaan
TKBP sebanyak 6% sampai 10% memberikan ketersediaan protein yang lebih baik untuk pemenuhan
kebutuhan dalam memproduksi satu butir telur. Ketersediaan protein yang lebih baik ini disebabkan
tepung kulit buah pepaya banyak mengandung enzim papain yang mampu meningkatkan efisiensi
proses pencernaan dan penyerapan protein oleh saluran pencernaan (Kamaruddin dan Salim, 2006).
Penggunaan tepung kulit buah pepaya sebanyak 6% sampai 10% dimungkinkan mampu
meningkatkan kinerja enzim papain dalam proses pengaturan asam amino sehingga mengakibatkan
terjadinya peningkatan daya cerna protein ransum sehingga ransum lebih efisien diserap untuk proses
produksi telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Suthama (2005), meningkatnya ketersediaan asam
amino sangat penting terhadap kecepatan laju metabolisme protein untuk proses produksi.
Berat Telur
Rerata berat telur selama penelitian adalah 9,44 g ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan T3, T4 dan T5 memberikan hasil yang nyata lebih tinggi (p>0,05)
dibandingkan dengan perlakuan T0, T1 dan T2. Berat telur yang tidak berbeda pada perlakuan T0, T1
dan T2 disebabkan karena konsumsi ransum antar perlakuan tersebut tidak berbeda, sehingga berat
telur menjadi tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Sartika et al., (2001), berat telur sangat
dipengaruhi oleh faktor umur, dewasa kelamin, jumlah ransum yang diberikan dan genetik. Menurut
Miller dan Reynnells (2003), berat telur sangat dipengaruhi total telur yang ditelurkan selama periode
bertelur, temperatur, tipe kandang, ketersediaan ransum dan air minum, bobot puyuh, konsumsi
125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ransum dan konsumsi asam linoleat. Rendahnya berat telur pada perlakuan T0, T1 dan T2
dimungkinkan akibat tidak sempurnanya penyerapan protein ransum sehingga asam amino dalam
ransum rendah dan memperkecil berat telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Leeson dan Summers
(1991), protein ransum yang rendah dan tidak mencukupi kebutuhan akan berpengaruh terhadap
rendahnya asam amino dalam ransum yang berakibat pada lambatnya dewasa kelamin dan kecilnya
ukuran telur.
Berat telur yang lebih tinggi pada perlakuan T3, T4 dan T5 sejalan dengan data produksi telur
yang lebih tinggi pula. Hal ini dimungkinkan ketersediaan protein dan asam amino pada perlakuan
tersebut sudah mampu mencukupi kebutuhan untuk membentuk sebutir telur. Hal ini sejalan dengan
pendapat Wahju (2004), faktor yang sangat berperan dalam mempengaruhi besarnya telur adalah
protein dan asam amino yang cukup didalam ransum, serta vitamin dan mineral. Kandungan enzim
papain dalam TKBP yang ditambahkan dalam ransum sebanyak 6% sampai 10% mampu
meningkatkan penyerapan energi maupun protein ransum, sehingga terjadi keseimbangan energi dan
protein ransum yang akhirnya berpengaruh terhadap berat telur. Hal ini senada dengan Roland et al,
(1978), ukuran bobot telur antara lain sangat dipengaruhi oleh keseimbangan energi dan protein
ransum.
Konversi Ransum
Data rerata konversi ransum selama penelitian adalah 4,88 disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan T3, T4 dan T5 memberikan hasil yang nyata lebih rendah
(p>0,05) apabila dibandingkan dengan perlakuan T0, T1 dan T2. Lebih rendahnya nilai konversi
ransum pada perlakuan T3, T4 dan T5 menunjukkan bahwa ransum tersebut sangat efisien digunakan
untuk produksi telur. Hal ini didukung pula dari data produksi telur dan berat telur hasil penelitian
yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan T0, T1 dan T2. Konversi ransum merupakan hasil dari
pencerminan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan jumlah produksi telur dan berat telur
(Amrullah, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin rendahnya nilai konversi ransum
menunjukkan bahwa ransum sangat efisien untuk digunakan dalam produksi telur.
SIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pemanfaatan tepung kulit buah pepaya
sebesar 6% sampai 10% dalam ransum memberikan hasil yang terbaik terhadap produksi telur, berat
telur dan konversi ransum.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, H. R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia.
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor: Lembaga Satu Gunungbudi.
Kamaruddin, M. dan Salim. 2006. Pengaruh pemberian air perasan daun pepaya pada ayam : respon
patofisilogik hepar. J. Sain Vet. : 37 – 43.
Leeson, S., L.J. Caston dan O.J. Summers. 1991. Significance of physiological age of Leghorn pullets
in terms of subsequent reproductive characteristics and economic analysis. Native Chicken
Science. 70: 37-43.
Listiyowati, E. dan K. Roospitasari. 2009. Beternak Puyuh Secara Komersial. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Miller, L. and R. Reynnells. 2003. Biophysical Models for Poultry Production Systems.
www.lgu.umd.edu.
Paramita. W., Setyono. H., Nurhayati. T dan Lamid. M. 2003. Prospek Pemanfaatan Daun Pepaya
Untuk Meningkatkan Produksi telur dan Konsumsi Pakan Pada Ayam Buras. J. Penelitian Medika
Eksata. 2 : 10 – 16.
Rolland, Sr., D.A., C.E. Putnam, and R.L. Hillburn. 1978. The relationship of age on ability of hens to
maintain egg shell calcification when stressed with inadequate dietary calcium. Poultry Sci. 57 :
1616-1621.
Sartika, T., B. Gunawan dan Murtiyeni. 2001. Seleksi generasi kedua untuk mengurangi sifat
mengeram dan meningkatkan produksi telur pada ayam lokal. Kumpulan hasil-hasil penelitian
peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Balitnak, Bogor.
126
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Silalahi, M. dan S. Sinaga. 2010. Pengaruh pemberian tepung kulit buah pepaya (Carica papaya)
dalam ransum babi periode finisher terhadap presentase karkas, tebal lemak punggung dan luas
urat daging mata rusuk. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner, pp 680-685.
Setyaningrum, S. dan D. J. S. Siregar. 2013. Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Pepaya (Carica
papaya) dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Telur pada Puyuh (Cortunix-
cortunix japonica). Laporan Akhir Hibah Dosen Pemula. Universitas Pembangunan Panca Budi,
Medan.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik.
Jakarta: Gedia Pustaka Utama. (Diterjemahkan oleh B. Sumantri).
Suthama, N. 2005. Respon produksi ayam kampong petelur terhadap ransum memakai dedak padi
fermentasi dengan suplementasi sumber mineral. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis.
Special Edition Book. 2 : 61-67.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wuryadi, S. 2011. Sukses Beternak Puyuh. Jakarta: Agromedia Pustaka.
127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Plumbum merupakan logam berat yang dapat mencemari lingkungan dan bisa jadi menimbulkan polusi
sehingga menyebabkan terganggunya kesehatan tubuh seperti kualitas dan kuantitas sperma. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 kelompok, yakni
kontrol dan perlakuan. Kelompok kontrol adalah tanpa Pb-asetat dan kelompok perlakuan adalah pencekokan
Pb-asetat selama 2 minggu pada tikus putih. Pengamatan parameter dengan menghitung persentase motilitas,
viabilitas dan morfologi sperma tikus serta jumlah sperma (kuantitas) tikus. Hasil menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara kelompok kontrol dengan perlakuan pada semua parameter uji
(persentase motilitas, viabilitas dan morfologi sperma tikus serta jumlah sperma/ kuantitas sperma).
Disimpulkan bahwa Pb-asetat adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kualitas dan
kuantitas sperma.
PENDAHULUAN
Polusi Plumbum (Pb) telah menjadi persoalan kesehatan masyarakat di dunia, terutama di
negara-negara berkembang, seperti Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pembakaran bahan bakar minyak
kendaraan bermotor menjadi sumber terbesar Pb yang mengkontaminasi atmosfer. Hampir 100
negara, terutama negara berkembang masih menggunakan Pb dalam bahan bakar kendaraannya.
Eropa, Jepang, Mexico dan Amerika Serikat telah membuktikan bahwa penghapusan Pb dari bahan
bakar kendaraan merupakan cara paling efektif mengurangi polusi logam ini (Tong et al,2003).
Setiap unsur dalam komponen polutan udara berpeluang merugikan kesehatan organisma.
Timbal (Pb) sebagai salah satu komponen polutan udara mempunyai efek toksis yang luas pada
manusia dan hewan karena mengganggu fungsi saluran ginjal, saluran pencernaan, sistem saraf pada
remaja, menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan meningkatkan spermatozoa
abnormal dan aborsi spontan (Astuti, 2002).
Reactive oxygen species (ROS) dapat bereaksi dan menyebabkan kerusakan pada banyak
molekul di dalam sel. Fosfolipid yang menjadi unsur utama dalam membran plasma dan membran
organel sel seringkali menjadi subjek dari peroksida lipid. Peroksida lipid adalah suatu reaksi rantai
radikal bebas yang diawali dengan terbebasnya hydrogen dari suatu asam lemak tak jenuh ganda oleh
radikal bebas. Radikal lipid yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal
peroksil-lipid dan lipid peroksida serta malondialdehyde (MDA) yang larut dalam air dan dapat
dideteksi dalam darah. Konsekuensi penting dari peroksidasi lipid adalah meningkatnya permiabilitas
membran dan mengganggu distrubisi ion-ion yang mengakibatkan kerusakan fungsi sel dalam organel
(Devlin, 2002).
Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan molekul-molekul dalam sel. Molekul lipid yang
mengalami stres oksidatif akan mengalami auto-oksidasi atau yang lebih dikenal dengan peroksidasi
lipid. Protein yang mengalami oksidasi menjadi tidak berfungsi dan DNA yang teroksidasi menjadi
mutagen, karsinogen atau menyebabkan kematian sel (Ercal et al, 2001).
Perlakuan pemberian Pb organik pada pemeriksaan patologi testis tikus putih menunjukkan
perubahan yang menyolok pada struktur tubulus seminiferus dangan adanya reduksi diameter,
pelepasan lapisan germinal hiposeluler dari membran basalis, gangguan proses spermatogenesis,
cedera pada spermatosit dan spermatid disertai udem dari tingkat ringan sampai berat (Hariono,
2006).
128
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
METODE
Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih berusia 8-11 denga berat badan 150-250g.
Penelitian berupa eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 2
kelompok, yakni: (1) kontrol dan perlakuan = tanpa Pb-asetat selama 2 minggu, (2) kelompok
perlakuan adalah pencekokan Pb-asetat selama 2 minggu. Pengamatan parameter dilakukan dengan
menghitung (a) persentase motilitas (Moeloek, 2001), (b) viabilitas (WHO, 1999) dan (c) morfologi
sperma tikus serta (d) jumlah sperma (kuantitas) tikus (Zaneveld and Polakoski, 1977).
Gambar 1. Rata-rata motilitas sperma pada kelompok kontrol dan perlakuan (Pb). **=p<0,01
Gambar 3. Rata-rata morfologi sperma pada kelompok kontrol dan perlakuan (Pb). (A) sperma
normal, (B) sperma abnormal)**=p<0,01
129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 4. Rata-rata jumlah sperma pada kelompok kontrol dan perlakuan (Pb). **=p<0,01
Pada motilitas sperma tikus terlihat berbeda signifikan (p<0,05). Kemungkinan pemberian
pada Pb pada tikus menyebabkan gangguan pada tingkat spermatogenesis khususnya pembentukan
mitokondria sperma. Mitokondria sperma berguna untuk memberikan energi bagi sperma untuk dapat
bergerak lurus kedepan dengan cepat. Hasil penelitian WHO (2007) menunjukkan bahwa, plumbum
dapat berinteraksi dengan kelompok-kelompok donor elektron biologis, seperti kelompok sulfhidril,
sehingga banyak mengganggu proses enzimatik di dalam sel. Plumbum juga berinteraksi dengan
kation penting, seperti terutama kalsium, zat besi, dan seng, dan dapat mengganggu pompa Na+/K+-
ATP yang mengubah seluler dan membran mitokondria, sehingga meningkatkan kerapuhan seluler.
Selain itu, Pb dapat menghambat pirimidin-5'-nucleotidase dan mengubah fungsi nukleotida lainnya.
Plumbum mengganggu banyak sistem enzim dalam tubuh, sehingga mempengaruhi fungsi hampir
setiap organ.
Plumbum secara nyata menekan jumlah sperma, motilitas sperma, morfologi normal sperma,
dan viabilitas sperma. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa plumbun dapat berpengaruh negatif
terhadap kuantitas (jumlah) dan kualitas sperma (motilitas, morfologi, dan viabilitas). Kemungkinan
disebabkan oleh karena Pb merupakan logam berat yang sifatnya toksik bagi tubuh organisme. Sifat
tersebut menimbulkan ROS (Reactive Oxygene Species) yang menyebabkan terjadinya radikal bebas
(stres oksidatif). Jika radikal bebas banyak dapat mengganggu struktur sel mulai dari membran sel
sampai ke dalam inti sel.
Pandya et al., (2012) telah dilaporkan adanya kemungkinan keterlibatan Pb dalam
menginduksi stres oksidatif sehingga menekan proses steroidogenesis (proses pembentukan
steroid). Status oksidatif testis tikus jantan dewasa yang terpapar Pb asetat dengan dosis 0,025 mg/kg
berat badan secara intraperitoneal selama 15 hari mengalami peningkatan reaktif oksigen spesies
(ROS) dan peningkatan malondialdehid testis (MDA) serta penurunan aktivitas enzim antioksidan
superoxide dismutase (SOD) testis, katalase, glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PDH) dan
glutathione-S-transferase (GST) pada mitokondria dan/atau pasca-mitokondria. Kegiatan enzim
steroidogenik 3β dan 17β-hidroksisteroid dehidrogenase juga menurun secara signifikan sehingga
menyebabkan perubahan produksi testosteron. Kelompok yang terpapar logam menunjukkan
penurunan signifikan testis dan sperma epididimis. Motilitas sperma epididimis dan viabilitas juga
mengalami penurunan pada pemaparan Pb.
Pengaruh pemberian Pb terhadap penurunan kuantitas dan kualitas sperm dapat juga melalui
efeknya terhadap poros hipotalamus-hipofisis-testis. Gangguan terhadap hipotalamus menyebabkan
produksi LHRH atau FSHRH berkurang atau menurun. Sehingga menekan pengaruhnya terhadap
kerja hipofisis dan menyebabkan produksi LH dan FSH tidak dapat dipenuhi. LH menurun
menyebabkan aktifitas sel Leydig menurun sehingga testosteron intratestikular berkurang yang
mengakibatkan terjadinya gangguan spermatogenesis. Rendahnya FSH dapat menyebabkan
berkurangnya ABP (Androgen Binding Protein) sehingga tidak banyak yang dapat mengikat
testosterone dalam tubulus seminiferus testis. Hal ini menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan
dan perkembangan sel germinal. Sperma yang terbentuk tidak normal (abnormal) dan dapat juga
mengurangi sperma yang dapat hidup (viabilitas sperma berkurang). Akhirnya jumlah sperma yang
diproduksi di testis jaga akan menjadi berkurang jumlahnya. Sharma and Umesh (2011), menyatakan
bahwa efek reproduksi Pb sangat kompleks dan tampaknya melibatkan beberapa jalur, tidak semua
130
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Pb-asetat adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kualitas
(persentase motilitas sperma tikus, viabilitas sperma tikus, morfologi sperma tikus) dan kuantitas
sperma (jumlah sperma)
DAFTAR PUSTAKA
Devlin, M.T. 2002. Bioenergetics and oxidative metabolism In: Biochemistry with clinical
correlations. 5 th ed. Wiley-liss, Canada. 590-592.
Astuti, SR. 2002. Hubungan Kadar Pb Udara, Kandungan Pb dalam urine dengan Keluaran Material
& Neonatus Pada Pedagangdi Terminal Tirtonadi Surakarta. Tesis Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Program Pascasarjana. Univ. Diponegoro, Semarang.
Ercal, N., H. Gurer-Orhan and Nukhet Aykin-Burns. 2001. Toxic Metals and Oxidative Stress Part I:
Mechanism Involved in Metal incuced Oxidative Damage. Current Topics in Medical
Chemistry, 529-539.
Hariono, B. 2006. Efek Pemberian Plumbum (Timah Hitam) Organik Pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus). J. Sain Vet. Vol. 24 No. 1
Moeloek, N., DA. Pujianto, R. Agustin, KM. Arsyad, P. Waluyo, Y. Prihyugiarto, and M.T. Bizvo.
2001. Achieving azoospermia by injections of testosterone undecanoate alone or combined
with depot medroxyprogesterone acetate in Indonesian men (Jakarta center study). In:
Robaire B, Chemes H and Morales CR, eds. Proceedings of the VIIth International Congress
of Andrology. Montreal, Canada. Medimond Publishing Company, Inc. 545-550.
Pandya C, Pillai P, Nampoothiri LP, Bhatt N, Gupta S, Gupta S. 2012. Effect of lead and cadmium
co-exposure on testicular steroid metabolism and antioxidant system of adult male rats.
Andrologia. 2012 May;44 Suppl 1:813-22.
Sharma, R and Umesh G. 2011. Effects of Lead Toxicity on Developing Testes in Swiss Mice.
Universal Journal of Environmental Research and Technology. Volume 1, Issue 4: 390-398
Tong ,C.H., M. J. Thompson , M. R. Warner, S. P. Rajaguru,and C. C. Pai. 2003. Coustic Wave
Propagationin the Sun: Implications for Wave Field and Time-Distance Helioseismology. The
Astrophysical Journal, 582:L121-L124.
WHO/UNECE (2007) Health Risks of Heavy Metals from Long-Range Transboundary Air Pollution,
Draft of May 2006, World Health Organisation (WHO) and United Nations Economic
Commission for Europe (UNECE), Geneva, Switzerland.
WHO, 1999. WHO Laboratory manual for the examination of human semen and sperm-cervical
mucus interaction, 4th ed, USA Cambridge University Press. 68–78.
Zaneveld., Polakoski (1977) Techniques of human andrology: 160. Dalam: Zaneveld LJD, Fulgham
DL (1986). Short course : Male reproduction/andrology and non-hormonal contraception.
Chicago, IL: 19.
131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
PENDAHULUAN
Bising dalam kehidupan kita sehari-hari sering menganggu pendengaran, sehingga organ
pendengaran khususnya koklea akan cepat mengalami degenerasi. Gangguan pendengaran akibat
bising (GPAB) sering akibat bising sering dijumpai pada banyak pekerja industri. Gangguan
pendengaran ini biasanya sering bilateral tetapi tidak jarang yang terjadi unilateral (Bashiruddin,
2010).
Di Indonesia sebagai negara industri umumnya, pajanan bising yang dianggap cukup aman
adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 dB selama 8 jam sehari atau
40 jam seminggu Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural tipe koklea akibat bising > 85 dB dapat
terjadi pada kedua telinga (Bashiruddin, 2010).
Menurut Occupational Safety & Health Administration (OSHA) 2010 batas aman pajanan
bising bergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan
beberapa faktor lain. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian tergantung
intensitas bising, frekuensi, lama paparan perhari, lama masa kerja, kerentanan individu, umur dan
jenis bising (Kujawa, 2006; Ologe, 2008 ; Carmelo, 2010).
Sound Hearing 2010 pertama kali dicetuskan di Kolombo adalah program pecegahan dan
pengendalian ketulian di seluruh negara berkembang termasuk Indonesia, untuk mendukung program
Sound Hearing 2010 ini dibentuklah Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan
Ketulian (Komnas PGPKT) oleh Departemen Kesehatan RI. Komite PGPKT ini bertujuan untuk
menurunkan angka ketulian sebesar 50% di tahun 2015 secara maksimal di tahun 2030 pada seluruh
penduduk Indonesia (KNPGPKT, 2008).
Bising merupakan salah satu faktor stres yang paling sering dijumpai di lingkungan kota dan
industri. Paparan bising yang teratur dan terus menerus akan mempengaruhi organ pendengaran
perifer dan sentral, kerusakan perifer mulai dari organ terdepan mulai gendang telinga, tulang
pendengaran dan diteruskan ke dalam koklea terutama terjadi kerusakan sel rambut luar serta jalur
saraf auditori yang akan menyebabkan gangguan pendengaran permanen yang mengganggu proses
komunikasi dan belajar (Niu et al., 2003).
Respon sistem auditori terhadap bising level tinggi dengan memicu reflek akustik telinga
tengah dan mengaktivasi sistem olivari medial dan dapat mengurangi risiko terjadinya gangguan
pendengaran terhadap beberapa intensitas tertentu (Yoshida et al., 2002). Bentuk respon stres seluler
ini bersifat fisiologis dan berfungsi untuk menjaga homoestasis kehidupan sel. Kehidupan sel ini
mengatur pelepasan neurotransmitter, hormon, peptida dan faktor lain ke dalam sirkulasi dan atau ke
dalam jaringan. Efek dari respon stress seluler ini dipengaruhi juga oleh intensitas dan lamanya
paparan bising (Mc Ewen, et al., 2008).
Kebisingan pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi koklea pada beberapa jalur
perdengaran normal dalam melawan tekanan dari bising level tinggi. Bising dengan keadaan intensitas
tertentu seperti bising pada frekuensi 500 Hz dengan gelombang oktaf setiap 6 jam per hari selama 10
hari dan menyebabkan kerusakan sel rambut luar. Keadaan ini akan bertambah buruk bila bising ini
terus belanjut selama 2 hari selama fase istirahat dengan durasi 4 jam sehari (Chinchilla et al., 2005).
Paparan bising dengan frekuensi ttinggi( 2000-8000 Hz) dan durasi pendek, akan menjadi lesi fokal
daerah apeks yang kecil dan melibatkan sel rambut luar, dan beberapa hari berikutnya akan meluas ke
arah basal dengan kematian sel secara nekrosis dan apoptosis (Hu et al., 2002).
132
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 2
Penampang outer hair sel potongan melintang yang rusak akibat bising
(Leblane A, 2000)
133
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
134
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Cara kerja (SEM) adalah cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang
terjadi pada mikroskop optik dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru
(elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan
sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi
selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap
terang pra layar monitor CRT ( chatode ray tube). Dilayar CRT inilah gambar struktur objek yang
sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan,
sehingga digunakan untuk melihat objek dari sudut pandang 3(tiga) dimensi. Preparasi sediaan adalah
agar pengamat dapat mengamati preparat dengan baik, diperlukan persiapan sediaan dengan tahap
sebagai berikut:
1. Melakukan fiksasi, yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan
diamati, fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa glutaraldehida atau osmium
tetroksida.
2. Dehidrasi, yang bertujuan untuk merendahkan kadar air dalam sayatan sehingga tidak menggangu
proses pengamatan.
3. Pelapisan/pewarnaan, beertujuan untuk memperbesar kontras antara preparat yang akan diamati
dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan ddapat menggunakan logam mulia seperti emas
dan platina.
135
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
HASIL PENELITIAN
Tahap I - Perlakuan intensitas bunyi
Kandang tikus dilakukan pengukuran pajanan bising diukur dengan Sound Level Meter mulai dari
25 dB s/d 110 dB sesuai perlakuan bisinig sebelum tikus dimasukan ke kandang.selama 8 jam sehari,
Dari tabel 1 diatas dapat dinilai mulai hari kedua nilai SNR pada frekuensi 2000 Hz s/d frekuensi
6000 Hz nilai refer .< - 6 berarti telah terjadi gangguan di koklea (sel-sel rambut luar dan membran
basiler)
I 250 0 3 0 5 8 8 5 5 6 P 5 8 8 5 8 6 5 8 0 P
II 251 1
III 253 6 -4 -2 7 -5 -6 -5 -8 -6 P 6 -4 -2 7 -5 -6 -5 -8 -6 P
IV 255
V 256 -9 6 -4 -9 -6 -3 -3 -9 -8 P -9- -4 -9 -6 -3 -3 -9 -8 P
VI 258
VII 260
VIII 264 -2 -3 -7 -2 -6 -3 -4 -8 -6 P -2 -3 -7 -2 -6 -3 -4 -8 -6 P
136
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
A. Pemeliharan tikus dalam kotak perlakuan. B. Pemeriksaan dengan sound level meter. C. Multi
player, Ampifier dan timer yang telah disesuaikan dengan perlakuan bising yang di berikan.
D. Pengukuran Oto Akustik Emisi (OAE) pada tikus yang telah diberi kebisingan.
E. Pengorbanan Tikus. F. I. Hasil HE koklea tikus.
Gambar 2 (c,d) IB 55 s/d 80 dB ( tanda panah) terjadi kerusakan sebagian sel rambut luar
rusak/patah sebagian
Gambar 3 (e) IB < 25 sd 50 dB (tanda panah) sebagai kontrol tidak ada kerusakan sel
137
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dari gambar diatas ( panah) sel rambut luar dan membran basiler tidak terjadi kerusakan yg signfikan
pada sampel kontrol seperti pada sampel kelompok intensitas 80 -110 dB telah terjadi kerusakan
hampir 50 % kerusakan sel rambut luar di jaringan koklea tikus.
Cara Perhitungan kerusakan Koklea :
Preparat yang sudah diwarnai dengan HE diamati dibawah mikroskop dengan pemebesaran
400 X. Di amati seluruh bentuk sel rambut luar yang normal dan yang rusak dihitung jumlahnya untuk
setiap preparat pada kelompok perlakuan penelitian dapat didapatkan persentase yang abnormal.
Kesimpulan;
Dari tabel 1 di atas pada kebisingan 110-85 dB 8 jam/hari selama 8 hari dapat dinilai mulai
hari kedua nilai SNR pada frekuensi 2000 Hz s/d frekuensi 6000 Hz nilai refer .< - 6 berarti telah
terjadi gangguan di koklea (sel-sel rambut luar dan membran basiler) dan sel penyangga di koklea.
Dari tabel ke 2 di atas kebisingan <80 dB 8 jam/hari selama 8 hari dapat dinilai mulai hari
kedua nilai SNR pada frekuensi 2000 Hz s/d frekuensi 6000 Hz nilai refer .> - 6 berarti tidak terjadi
gangguan di koklea (sel-sel rambut luar dan membran basiler) dan sel penyangga di koklea.
Hasil pemeriksaan SEM dn menilai kerusakan sel rambut luar pada Intensitas Bising (IB)>85-
110 dB sel rambut luar koklea terjadi kerusakan total.
Hasil pemeriksaan SEM dn menilai kerusakan sel rambut luar Intensitas Bising (IB) 55 s/d 80
dB ( tanda panah) terjadi kerusakan sebagian sel rambut luar rusak/patah sebagian.
Hasil pemeriksaan SEM dn menilai kerusakan sel rambut luar Intensitas Bising (IB) < 25 sd
50 dB (tanda panah) sebagai kontrol tidak ada kerusakan sel.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Audilogy.Position Staement: Preventing Noise Induced Occupational Hearing
Loss: 2003.Oct.p 1-12l
Barrett K. C. et al., 2010. Ganong’s Review if Medical Physiology. 23rd ed. Hearing and Equilibrium.
United States of America: The Mc-Graw Hill Company Inc, Ch 3: p. 230- 34
Bashiruddin. J. Soetirto. I.2008. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Dalam E,Soepardi. Buku
Ajar Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Jakarta.Balai Penerbit FK UI hal
49-52.
Dirnagi Ulrich, Ladecola Costantino and Moskowitz Michael A, 1999, Pathobiology of Ischemic
stroke an integrated view. Trends in Neurosciences. 22: p.391-97.
Dumas Theodore C. Sapolsky Robert M., 2001. Gene therapy against neurological insults: sparing
neurons versus sparing function. Trends in neurosciences Vol.24 No.12: p. 695-700.
138
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
139
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Robbin and Cotran 2008 ‘Celluler Responses to Stress and Toxic Insults: Adapation Injury and
Death’ In: Pathologic of Disease. Eighth Ed Saunder-Elsevier. p 19-32
Sharma DR, Gupta AK,Saxena RK, Mohan C,2000,` Audiovestibular changes in diabetes mellitus`
The Indian Otolaryngology ang Head and neck Surgery 51.p 40-1
Steven H. Green, I.A 2007,`Cell death and Cochlear Protection` in : Audiotory trauma, Protection
and Repair .Springer.p 27
140
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
141
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
142
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Cici Indriani Dalimunthe, Yan Riska Venata Sembiring dan Radite Tistama
Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet
Galang, Sumatera Utara, PO BOX 1415 Medan 20001
Email : cc_dalimunthe@yahoo.com, riska_sembiring@yahoo.com,
raditetistama@yahoo.co.id
ABSTRAK
Perkebunan karet di Indonesia memiliki luas 3.2 juta ha yang terdiri dari karet rakyat dan kebun milik
negara dan kebun swasta. Setiap tahun jumlah program peremajaan kebun karet rakyat berkisar 50-70 ribu ha.
Pemanfaatan areal kebun karet TBM mempunyai potensi lahan yang dapat dimanfaatkan petani sebagai nilai
tambah hingga tanaman dapat disadap. Penanaman sorgum sebagai tanaman sela merupakan pilihan yang tepat
untuk mendukung upaya pengembangan pertanian berkelanjutan. Selain bernilai ekonomis tinggi, diharapkan
tanaman intercropping tidak berdampak negatif khususnya dalam penyebaran penyakit. Penyakit utama tanaman
karet adalah jamur akar putih (JAP). Penelitian menunjukkan bahwa intercropping sorgum berpengaruh positif
terhadap penyebaran penyakit pada tanaman karet. Sorgum merupakan salah satu inang bagi mikoriza, dan
diharapkan penanaman sorgum berdampak pada peningkatan populasi mikoriza. Populasi mikoriza yang tinggi
di areal kebun karet dapat menekan populasi inokulum dan penyebaran JAP.Interaksi antara intercropping
sorgum perlu diteliti lebih lanjut untuk melihat berapa besar pengaruhnya terhadap perkembangan jamur akar
putih. Sorgum tidak menjadi inang/sumber inokulum JAP, berbeda halnya dengan ubi kayu yang dapat menjadi
inang alternatif untuk JAP serta pisang yang dapat menyebarkan penyakit fusarium pada tanaman karet.
PENDAHULUAN
Karet merupakan komoditas penting di Indonesia, karena disamping sebagai sumber devisa
negara juga merupakan sumber mata pencaharian bagi lebih dari 15 juta penduduknya.Indonesia
merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia. Luasperkebunan karet Indonesia
mencapai 3,318 juta ha (didominasi oleh perkebunan rakyatyang mencakup areal sekitar 2,80 juta ha
atau 83%), disusul Thailand (1,96 juta ha),Malaysia (1,54 juta ha), China (0,61 juta ha), India (0,56
juta ha), dan Vietnam (0,32juta ha) (Ditjenbun, 2005). Dari luas areal tersebut efisiensi penggunaan
lahan pada awal pembangunan perkebunan karet masih cukup rendah.Selama 3 tahun setelah
penanaman,areal perkebunan karet masih terbuka dan secara umum belum dimanfaatkan dengan
optimal. Padahal areal ini memiliki potensi untuk mendapatkan nilai tambah bagi petani.
Penelitian pemanfaatan lahan kosong pada usaha perkebunan, sebelum tanaman tahunannya
menghasilkan telah banyak dilakukan, terutama pada komoditas karet.Secara teknis agronomis,
pemanfaatan lahan perkebunan untuk budidaya tanaman intercropping tidak menghambat
pertumbuhan tanaman utama. Pada berbagai penelitian, baik di dalam maupun di luar negeri,
pengaruhnya positif bagi perkembangan tanaman utama. Jenis tanaman yang paling banyak menjadi
objek penelitian tanaman sela (intercropping) pada karet adalah padi gogo, jagung, cabai, kedele,
kacang tanah serta beberapa penelitian tentang kacang tunggak. Hasil yang dapat dicapai dari
berbagai penelitian ini sangat bervariasi tergantung pada varietas dan pengelolaan tanaman (Wibawa
et al., 1995).
Tanaman intercropping lainnya yang menjadi pilihan terbaru adalah sorgum. Setelah lama
ditinggalkan, sorgum menjadi salah satu alternative tanaman yang dianggap mampu menjadi
substitusi tanaman sumber karbohidrat. Dalam sejarahnya sorgum mulai dikenal sejak zaman
penjajahan Belanda sebagai alternatif pangan pengganti beras. Namun seiring dengan meningkatnya
produksi padi/gabah, maka sorgum kian ditinggalkan masyarakat Indonesia. Kini ketika isu pangan
dan bioenergi kembali bergulir, sorgum kembali mengemuka sebagai tanaman potensial yang mampu
menjadi alternative sumber pangan dan bioenergi.
143
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
144
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tanaman sorgum merupakan salah satu tanaman inang bagi mikoriza. Rungkat (2009) juga
menjelaskan bahwa tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik daripada tanaman yang
tidak bermikoriza. Mikoriza memiliki peranan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman, peranan
mikoriza bagi tanaman sebagai berikut : a) mikoriza meningkatkan penyerapan unsure hara, b)
mikoriza melindungi tanaman inang dari pengaruh yang merusak yang disebabkan oleh stress
kekeringan, c) mikoriza dapat beradaptasi dengan cepat pada tanah yang terkontaminasi, d) mikoriza
dapat melindungi tanaman dari pathogen akar, e) mikoriza dapat memperbaiki produktivitas tanah dan
tanah memantapkan struktur tanah.
a b
Gambar 2. Persentase pertambahan lilit batang tanaman karet (a) dan pertambahan tinggi tanaman
karet (b) terhadap intercropping sorgum.
Tanaman karet dapat disadap dengan kriteria utama lilit batang pada ketinggian 1 m adalah 45
cm. Lilit batang/diameter batang merupakan indikator yang sangat baik bagi pertumbuhan maupun
perkembangan tanaman karet, karena itu pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan karet dapat
dilihat dari keragamatan lilit batangnya. Intercropping sorgum pada gawangan karet tidak
memberikan dampak yang buruk terhadap perkembangan lilit batang maupun tinggi tanaman karet.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase pertambahan lilit batang pada tanaman karet
mencapai 60% dibandingkan dengan kontrol (tanpa intercropping) sedangkan pengaruhnya terhadap
tinggi tanaman mencapai 83,28% (Gambar 2).
145
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
kipas tebal, berwarna jingga jernih sampai merah kecoklatan dan miseliumnya berbentuk benang,
berwarna putih. Penyakit ini terutama menular karena adanya kontak antara akar tanaman sehat
dengan akar tanaman sakit (Semangun, 2000).
Penyakit JAP menimbulkan kerugian terbesar dalam budidaya tanaman karet (Hevea
brassiliensis) karena kematian tanaman dan biaya yang cukup tinggi dari pengendalian penyakit.
Kerugian finansial akibat kematian tanaman adalah sekitar Rp. 1,8 triliun (sekitar US$ 200 juta) per
tahun (Situmorang, dkk., 2007). JAP menyerang akar-akar tanaman karet sehingga akar-akar menjadi
busuk. Apabila bagian akar yang diserang merupakan akar lateral yang lebih banyak bertugas
menyerap air dan unsur hara maka gejala serangan yang ditunjukkan adalah adanya perubahan warna
daun yang tampak kusam, menguning dan rontok sedangkan jika akar tunggang yang diserang maka
tanaman akan mudah roboh. Upaya pengendalian baik itu sebagai tindakan preventif maupun kuratif
dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini.
Adanya intercropping sorgum pada gawangan karet sejauh ini belum menunjukkan pengaruh
negatif terhadap tanaman karet khususnya dalam hal penyebaran penyakit. Hal ini disebabkan karena
tanaman sogum bukan merupakan inang/sumber inokulum JAP beda halnya dengan ubikayu yang
dapat menjadi inang alternative untuk JAP. Hasil penelitian intercropping sorgum di areal gawangan
menunjukkan hasil bahwa tidak ditemukan serangan inokulum JAP pada gawangan TBM 1. Hal ini
disebabkan karena TBM 1 baru saja melakukan pengolahan lahan termasuk didalamnya melakukan
kegiatan ayapakar yang dapat menjadi sumber infeksi penyakit. Artinya dapat disimpulkan bahwa
tanaman intercropping sorgum tidak memberikan pengaruh negatif dalam hal penyebaran penyakit
namun secara tidak langsung dapat menekan pertumbuhan jamur akar putih. Hal ini dibuktikan
berdasarkan pengamatan di lapangan pada areal gawangan TBM 3 di mana persentase serangan jamur
akar putih sebelum dan sesudah penanaman menunjukkan penghambatan/tidak berkembang, berbeda
halnya dengan kontrol yang sebelumnya 3,33% naik menjadi 5,00% (Gambar 3).
Sorgum merupakan tanaman bermikoriza dan diharapkan mikoriza tersebut dapat menekan
perkembangan penyakit jamur akar putih. Beberapa sifat penting mikoriza yang menunjang
peranannya sebagai agen pengendalian hayati adalah : kosmopolit, terdapat diberbagai ekosistem dan
dapat berassosiasi dengan lebih dari 97% tanaman tingkat tinggi (Smith and Read, 1997) dan
memiliki fungi ganda yaitu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen tular tanah dan
filoplan sekaligus meningkatkan penyerapan hara, menstimulasi pertumbuhan, meningkatkan
kuantitas, kualitas buah dan meningkatkan ketahanan terhadap kekurangan air. Adanya simbiosis
antara mikoriza dengan perakaran karet ini memungkinkan tanaman untuk memperoleh air dan unsur
hara dalam kondisi lingkungan kering dan miskin unsur hara, serta perlindungan terhadap patogen
akar sehingga pertumbuhan tanaman karet diharapkan meningkat melalui perbanyakan mikoriza pada
tanaman sorgum.
Gambar 3. Pengaruh intercropping sorgum terhadap penyebaran penyakit JAP di gawangan karet
TBM 3
146
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan tanaman karet yang terserang jamur akar putih
menunjukkan perubahan warna daun namun pemeriksaan. Persentase tanaman karet yang terserang
JAP dengan tanaman ubi kayu sebesar 37,6% dibandingkan dengan kontrol 0%. (Gambar 4).
Tanaman yang terinfeksi ini akan menjadi sumber infeksi bagi tanaman jirannya, sehingga
perkembangan penyakit JAP terutama dipengaruhi oleh banyaknya sumber infeksi di dalam tanah.
Penanaman ubi kayu dan tanaman lain yang masih satu family dengan karet (Euphorbiaceae) dapat
menjadi inang JAP yang selanjutnya menjadi sumber infeksi bagi tanaman sehat. Jamur akar putih
adalah organisme yang polifag, yang dapat menyerang bermacam-macam tumbuhan (Nugroho et al.,
2009).
Gambar 4. Pengaruh intercropping ubi kayu terhadap penyebaran penyakit JAP di gawangan karet
DAFTAR PUSTAKA
Bucher M. 2007. Function biology of plant phosphate uptake at root and mycorrhiza interface. New
Phytoplogist. 173: 11-26.
Ditjenbun, 2005. Road Map Komoditas Karet. Ditjen Bina Produksi Perkebunan,Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2007. Arah Kebijakan Pengembangan Sorgum Manis sebagai
Sumber Bahan Baku Bioetanol. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum
Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 14
hal.
FAO dan ICRISAT. 1996. The world sorghum and millet economies: Facts, trends and outlook. Joint
study by the Basic Foodstuffs Service FAO and Socioeconomics and Policy Division
ICRISAT. 67p.
Karandashov V, Bucher M. 2005. Symbiotic phosphate transport in arbuscular mycorrhizas. Trand in
Plant Science. 10: 22-29.
147
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Nugroho A P, Istianto, Fairuzah Z, Karyudi. 2009. Pengaruh Tanaman Sela Ubi Kayu terhadap
Pertumbuhan Tanaman Karet Belum Menghasilkan dan Pengurasan Hara Tanah. Jurnal
Penelitian Karet 27(1): 64-75.
[SFSA] Syngenta Foundation for Sustainable Agriculture. Sorghum: increasing opportunities and
choice for poor rural communities in semi-arid areas through sustainable innovation in
agriculture. http://www.syngentafoundation.com/sorghum.htm. Diaksespada 11 Desember
2012.
Wibawa, G., A. Arsjad, dan M.J. Rosyid. 1995. Tinjauan mengenai Pemanfaatan Lahan Perkebunan
untuk Budidaya tanaman Pangan dan Ternak. Warta Pusat Penelitian Karet 14(3): 191-205.
Rungkat J A. 2009. Peranan MVA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Jurnal
Formas 2 (4) : 270-276.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta. Indonesia. Hal. 11 - 31.
Sirappa M P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternative untuk
pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): 133-140.
Situmorang A, H Suryaningtyas, S Pawirosoemardjo. 2007. Current Status of White Root Disease
(Rigidoporus microporus) and The Disease Control Management in Rubber Plantation of
Indonesia. Proc. International Workshop on White Root Disease of Hevea Rubber 28th – 29th
November 2006. Salatiga. Indonesia. Hal. 27 - 33.
Smith S E, Read D S. 1997. Mycorrhizal Syimbiosis. Second Edition. Academic Press, Harcourt Brale
and Company Publisher, London.
Steward K, J R Cumming. 2009. Organic acid exudation by mycorrizal Andropogon virginicus L.
(broomsedge) roots in response to aluminium. Soil Biology and Biochemistry. 41: 367-373.
148
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRACT
The objectives of this research were to find the information of adaptation mechanism on
morphophysiology characters soybean genotype to drought condition. This research used randomized block
factorial design with four replications, the first factor was the variety of soybean consist of Tanggamus, Detam
2, Anjasmoro, Detam 1 and the second factor was the drought treatment which consists of: without stress treated
(control) and drought stress treatment. The drought stress treatment started from the beginning of flowering
(R1) until the critical phase of the plant , that it was 14 days in the cultivation of soybean varieties (Ashri 2006).
These results showed that there were different responses among varities viz. Tanggamus, Detam 2, Anjasmoro,
Detam 1 to drought stress. This research indicated that escape mechanism was found on earlier maturity for
Detam 1 variety. Avoidance mechanism by increasing root volume for Tanggamus, Detam 2, and Anjasmoro
variety.
PENDAHULUAN
Kedelai telah menjadi salah satu komoditas strategis setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai
dalam negeri terus meningkat, tetapi produksi kedelai dalam negeri belum mampu mengimbangi
perkembangan permintaan. Upaya meningkatkan produksi kedelai nasional dapat ditempuh dengan tiga
pendekatan : peningkatan produktivitas, peningkatan intensitas tanam dan perluasan areal tanam ke lahan
sub optimal. Lahan sub optimal meliputi lahan kering, lahan pasang surut dan lahan sawah tadah hujan.
Permasalahan yang dihadapi dalam budi daya kedelai di lahan kering antara lain adalah lahan kurang subur,
kekeringan karena curah hujan tidak menentu, penggunaan varietas lokal (bukan varietas unggul), gangguan
gulma, hama dan penyakit tanaman (Arsyad et al. 2007; Rachman et al. 2007).
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian dalam menghadapi
tantangan terutama untuk peningkatan produksi pertanian dan mendukung program ketahanan pangan
nasonal. Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan non masam. Lahan
kering masam mendominasi tanah di Indonesia, terutama pada wilayah yang beriklim basah seperti di 3
pulau besar Sumatera, Kalimantan dan Papua yaitu seluas 102.817.113 ha (69,4 %) dan tanah tidak masam
seluas 45.256.511 ha (30,6 %) (Mulyani 2006).
Lahan kering masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah<5,5) yang
berkaitan dengan kadar aluminium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa dan kadar tukar kation (KTK)
rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni dan peka erosi. Kendala ketersediaan
air terutama pada musim kemarau menyebabkan indeks pertanaman di lahan kering relatif masih rendah
dibandingkan di lahan sawah yang tersedia fasilitas air irigasinya (Mulyani 2006).
Penggunaan varietas unggul atau varietas yang sesuai pada lingkungan (agroekologi) setempat
merupakan salah satu syarat dalam meningkatkan produksi tanaman dan usaha tani untuk dapat
beradaptasi pada lingkungan yang sub optimal. Menurut Sopandie (2006), pengembangan tanaman
pada lahan marjinal (sub optimal) sangat memerlukan pemahaman tentang mekanisme yang berperan
dalam peningkatan potensi hasil (yield potential) dan adaptasi tanaman terhadap berbagai cekaman
lingkungan abiotik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme adaptasi kedelai terhadap kekeringan dan
perbedaan tanggap karakter morfologi dan fisiologi antara varietas kedelai terhadap kondisi cekaman
kekeringan.
149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
150
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Karakter bobot kering tajuk varietas kedelai pada perlakuan kekeringan
Rataan
Varietas Perlakuan Kekeringan
P1 P2
..........g.........
Tanggamus 29,3 16,8 23,0 A
Detam 2 16,4 12,0 14,2 B
Anjasmoro 12,7 9,7 11,2 C
Detam1 12,8 10,4 11,6 BC
Rataan 17,8 A 12,2 B
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf α= 5%
151
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Penurunan bobot kering total ini berkaitan dengan penurunan bobot kering tajuk dan volume
akar. Secara umum tanaman mengalami penurunan nilai bobot kering total yaitu bobot kering tajuk
maupun akar tanaman akibat cekaman kekeringan (Hamim et al. 1996). Cekaman kekeringan akan
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan serta mempengaruhi fisiologi tanaman. Cekaman air
memperlihatkan pengaruhnya melalui terhambatnya proses translokasi hara dan assimilat.
Pengaruhnya tidak langsung terhadap produksi adalah berkurangnya penyerapan hara dari tanah dan
assimilat dari daun. Berkurangnya penyerapan unsur hara akan menghasilkan laju sintesis bahan
kering yang rendah pula (Anggarwulan et al. 2006; Xiao et al. 2008).
Tabel 4. Karakter nisbah tajuk akar varietas kedelai pada perlakuan kekeringan
Rataan
Varietas Perlakuan Kekeringan
P1 P2
..........g.........
Tanggamus 5,6 3,2 4,4 C
Detam 2 6,1 4,4 5,3 B
Anjasmoro 4,4 4,3 4,3 B
Detam1 5,3 7,2 6,2 A
Rataan 5,3 4,8
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5%
Nisbah tajuk akar menunjukkan perbandingan antara bobot kering tajuk dengan bobot kering
akar yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tanaman dalam menghadapi kondisi
kekeringan. Nilai nisbah tajuk akar yang rendah menunjukkan pertumbuhan akar yang meningkat,
sedangkan pertumbuhan tajuk menurun, yang berarti tanaman mempunyai kemampuan penghindaran
(avoidance) terhadap cekaman air yang rendah (Bernier et al. 1995).
152
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Proses pemanjangan akar juga akan dapat menjangkau volume tanah yang lebih besar
sehingga lebih banyak menyerap air (Levitt 1980; Sharp 2002), sementara pada penelitian lainnya
menyatakan bahwa pertumbuhan akar tidak mengalami penurunan secara nyata pada kondisi
kekurangan air pada tanaman jagung dan gandum (Sacks et al. 1997).
Menurut Jones et al. (1981), salah satu upaya tanaman dalam mempertahankan diri pada
lingkungan tumbuh yang kering adalah dengan meningkatkan volume dan panjang akar. Hal ini
merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman terhadap kekeringan yaitu mekanisme avoidance
(penghindaran).
Tabel 7. Karakter jumlah polong berisi varietas kedelai pada perlakuan kekeringan
Rataan
Varietas Perlakuan Kekeringan
P1 P2
...................
Tanggamus 167,6 125,5 146,6
Detam 2 198,6 118,4 158,5
Anjasmoro 115,3 73,0 94,1
Detam1 174,1 110,5 142,3
Rataan 163,9 A 106,8 B
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5%
153
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 8. Karakter luas daun trifoliat varietas kedelai pada perlakuan kekeringan
Rataan
Varietas Perlakuan Kekeringan
P1 P2
..........cm2.........
Tanggamus 418,8 313,6 366,2 B
Detam 2 714,9 656,2 685,6 A
Anjasmoro 696,7 652,2 674,4 A
Detam1 705,2 659,8 682,5 A
Rataan 633,9 570,4
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5%
Walaupun pengaruh perlakuan kekeringan belum memberikan perbedaan yang nyata, tapi
dapat terlihat dari Tabel 8, terjadi penurunan rata-rata nilai luas daun trifoliat pada perlakuan
kekeringan P2 (tanpa penyiraman). Perubahan potensial air tanah dan potensial turgor sel
menyebabkan pengaruh negatif pada absorbsi dan translokasi hara mineral, transpirasi, fotosintesis,
dan translokasi fotosintat. Kondisi ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan dan
perkembangan daun sehingga daun menjadi kecil dan menua disertai dengan pengguguran daun.
(Lecouver et al. 1995; Munné-Bosch dan Alegre 2004).
Tabel 9. Karakter kandungan klorofil a dan klorofil b varietas kedelai pada perlakuan kekeringan
Rataan
Karakter Varietas Perlakuan Kekeringan
P1 P2
..........mg/g bb.........
Klorofil a Tanggamus 1,4 2,2 1,8 C
Detam 2 1,7 2,6 2,1 BC
Anjasmoro 2,9 2,4 2,6 A
Detam1 2,6 2,4 2,5 AB
Rataan 2,2 2,4
Klorofil b Tanggamus 2,4 3,0 2,7
Detam 2 2,1 2,9 2,5
Anjasmoro 3,0 2,6 2,8
Detam1 2,9 2,8 2,8
Rataan 2,6 2,8
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5%
154
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Kandungan klorofil daun dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh tanaman, seperti tersedianya
unsur N dan adanya cekaman kekeringan (Gholizadeh et al. 2009; Jangpromma et al. 2010). Secara
umum, cekaman kekeringan menurunkan kandungan klorofil a dan klorofil b tergantung dari
lamanya dan tingkat perlakuan kekeringan yang diberikan kepada tanaman (Mafakheri et al. 2010).
Tabel 10. Karakter umur panen varietas kedelai pada perlakuan kekeringan
Rataan
Varietas Perlakuan Kekeringan
P1 P2
..........g.........
Tanggamus 87,9 86,8 87,3 A
Detam 2 84,4 83,6 84,0 BC
Anjasmoro 85,3 84,1 84,7 B
Detam1 84,9 82,8 83,8 C
Rataan 85,6 A 84,3 B
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α= 5%
Karakter umur panen dipengaruhi oleh perlakuan kekeringan yang diberikan dan faktor genetik
dari masing-masing varietas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kekeringan P2 (tanpa
penyiraman) memperpendek umur panen varietas yang diuji, dibandingkan umur panen berdasarkan
deskripsi dari masing-masing varietas. Mekanisme adaptasi tersebut disebut mekanisme escape yaitu
tanaman melepaskan diri sebelum kekeringan menyebabkan kerusakan atau gangguan metabolisme
pada tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Anggarwulan E, Solichatun, Mudyantini W. 2008. Karakter fisiologi kimpul [Xanthosoma
sagittifolium (L.) Schott] pada variasi naungan dan ketersediaan air. Biodiversitas 9(4) :
264-268.
Arsyad MD, Adie MM, Kuswantoro H. 2007. Perakitan Varietas Unggul Kedelai Spesifik
Agroekologi. Di dalam: Sumarno, Suyamto, A Widjono, Hermanto, H Kasim, editor. Kedelai
: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan.
Ashri K. 2006. Akumulasi Enzim Antioksidan dan Prolin pada Beberapa Varietas Kedelai Toleran
dan Peka Cekaman Kekeringan. Tesis; Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bernier PY, Lamhamedi MS, Simpson DG. 1995. Shoot:Root Ratio Is of Limited Use in Evaluating
the Quality of Container Conifer Stock. Tree Planters' Notes 46(3):102-106.
Blanco MSJ, Rodryguez P, Morales MA, Ortuno MF, Torrecillas A. 2002. Comparative growth and water
ralations of Cistus albidus and Cistus monspeliensis plants during water deficit conditions and
recovery. Plant Science 162:107-113.
Gholizadeh A, Amin MSM, Anuar AR, Aimrun W. 2009. Evaluation of SPAD chlorophyll meter in two
different rice growth stages and its temporal variability. European Journal of Scientific Research Vol.
37(4):591-598.
Hamim, Sopandie D, Jusuf M. 1996. Beberapa karakteristik morfologi dan fisiologi kedelai toleran
dan peka terhadap cekaman kekeringan. Hayati 3(1) : 30-34.
155
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
156
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Aktifitas enzim peroksidase pada kalus terung belanda (Solanum betaceum Cav.) setelah diinduksi
EMS (Ethyl Methane Sulphonate) dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Departemen Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan di Laboratorium Biologi
Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui konsentrasi dan lama perendaman EMS (Ethyl Methane Sulphonate) yang terbaik dalam
meningkatkan aktivitas enzim peroksidase pada tanaman terung belanda (Solanum betaceum Cav.). Metode
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor konsentrasi EMS
dengan C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), dan faktor lama perendaman EMS dengan T1 (30 menit),
T2 (60 menit), T3 (90 menit), untuk determinasi protein kalus menggunakan metode Bradford (1976) sedangkan
untuk menentukan aktifitas enzim peroksidase menggunakan metode Kar dan Mishra (1987). Hasil analisis
secara statistik untuk berat basah kalus menunjukkan bahwa peningkatan lama perendaman dan konsentrasi
EMS berpengaruh menurunkan berat basah kalus akan tetapi dapat meningkatkan aktivitas peroksidase.
Perlakuan terbaik untuk berat basah kalus yaitu C3T1 (1,10 gram), sedangkan untuk aktivitas peroksidase yaitu
C3T1 (0,363 (µmol/menit))
Kata kunci : Kultur Jaringan Tanaman, Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.), EMS, Peroksidase.
PENDAHULUAN
Terung Belanda awalnya dikenal dengan nama Cyphomandra betacea (Cav) namun kemudian
direvisi oleh seorang ahli yang bernama Sendtner menjadi Solanum betaceum (Cav) dan masuk
kedalam famili dari Solanaceae. Tanaman ini juga dikenal dengan nama Tamarillo. Tanaman ini
berasal dari pegunungan di Andes dan lebih kurang 30 species dari genus ini yang tersebar di bagian
selatan Amerika, namun saat ini telah berkembang hingga ke negara-negara tropis lainnya seperti
Indonesia. Setelah Terung Belanda menjadi sesuatu komoditi yang diperhitungkan tanaman ini
banyak diekspor ke luar negeri termasuk Selandia Baru (Faucon, 1998). Tanaman ini menjadi sangat
popular di negara Selandia Baru. Buahnya berbentuk bulat panjang dan memiliki kombinasi rasa
antara buah tomat dan jambu biji sehingga masyarakat di Selandia Baru sangat menyukainya. Di
Indonesia Terung Belanda dikembangkan di daerah Bali, Jawa Barat, dan Tanah Karo Sumatera Utara
(Kumalaningsih, 2006).
Rasa asam manis pada buah Terung Belanda banyak diminati masyarakat Sumatera Utara,
sehingga banyak dikembangkan pengolahannya dalam bentuk sirup dan selai (Departemen Pertanian,
2003). Dengan penyebaran yang tidak begitu banyak memungkinkan tanaman ini mengalami
kepunahan. Hal ini mungkin dikarenakan adanya faktor lingkungan yang kurang mendukung untuk
pertumbuhan yang lebih baik. Selama ini perbanyakan terung belanda dilakukan secara konvensional
sehingga hasil yang didapatkan masih kurang memuaskan (Yuwono, 2006).
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu usaha perbanyakan tanaman dengan
teknik kultur jaringan. Dengan menggunakan teknik kultur jaringan dapat dihasilkan tanaman yang
identik dengan induknya, selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk memperoleh tanaman dengan
kualitas yang lebih baik (Departemen Pertanian, 2003). Perbaikan kualitas terung belanda dapat
dilakukan dengan mengubah materi genetiknya, sehingga dihasilkan varian-varian tanaman yang lebih
unggul (Suryo, 1995). Penambahan senyawa mutagen seperti Ethyl Methane Sulphonate (EMS) dapat
menyebabkan alkilasi pada tingkat DNA (Arumingtyas et al., 2005). Jander et al. (2003) melakukan
identifikasi tingkat mutasi pada Arabidopsis yang terjadi akibat pemberian EMS. Hasil penelitian
menunjukkan pada Arabidopsis yang terpapar EMS ternyata resisten terhadap herbisida imidazolin.
Arabidopsis yang resisten terhadap herbisida setelah dipaparkan dengan EMS dan dilakukan analisis
157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
alel dengan PCR menunjukkan adanya tendensi sifat resisten tersebut mengarah pada sifat yang
dominan (Roux et al., 2004).
Perubahan genetik yang terjadi pada tanaman akan berpengaruh terhadap proses fisiologis
terutama metabolisme sel. Metabolisme berkaitan erat dengan aktivitas dan distribusi dari beberapa
enzim pada tanaman seperti peroksidase dan polifenol oksidase. Kedua enzim ini pada tumbuhan
terdapat pada organ, jaringan, sel serta komponen terkecil dari sel seperti organel serta bagian
interselulernya. Peranan dari peroksidase dan polifenol oksidase yaitu berperan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Widiyanto, 1992) dan juga dapat meningkatkan resisten
ketahanan dari tumbuhan tersebut.
Pada beberapa hasil penelitian dikatakan bahwa hormon tumbuhan dapat menginduksi
perubahan peroksidase seiring dengan adanya regulasi dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Arora & Bajaj, 1981). Dalam hal resistensi terhadap adanya patogen pada tanaman, aktivitas
peroksidase akan meningkat pada tanaman yang terserang patogen dan enzim ini akan membentuk
suatu ketahanan internal yang dapat meningkatkan resistensi dari tanaman. Pada penelitian mengenai
aktivitas peroksidase, skor ELISA dan respon ketahanan 29 genotip cabai merah terhadap infeksi
Cucumber Mosaic Virus (CMV) diperoleh hasil bahwa beberapa genotip cabai merah yang tahan
terhadap CMV dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap CMV. Aktivitas
peroksidase pada tanaman cabai merah yang terinfeksi CMV berperan dalam mekanisme ketahanan
terhadap infeksi virus (Herison et al. 2007). Dari hal-hal tersebut dapat dilihat adanya korelasi yang
sinergis antara peroksidase terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta resistensi dari
tanaman.
Penggunaan mutagen kimia seperti EMS terhadap kultur in vitro telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Akan tetapi belum diketahui pengaruh EMS terhadap aktivitas peroksidase dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman Terung Belanda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
konsentrasi dan lama perendaman EMS yang terbaik dalam meningkatkan aktivitas peroksidase pada
tanaman Terung Belanda.
Metoda Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan 2
faktor, yaitu:
A. Faktor konsentrasi EMS (C)
C0 : Konsentrasi 0 %
C1 : Konsentrasi 0,05 %
C2 : Konsentrasi 0,10 %
C3 : Konsentrasi 0,15 %
B. Faktor lamanya waktu perendaman (T)
T1 : Selama 30 menit
T2 : Selama 60 menit
T1 : Selama 90 menit
Prosedur kerja
Sterilisasi Alat dan Bahan Tanaman
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan air
mengalir, dikeringkan dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 15 Psi
selama 60 menit. Bersamaan dengan alat dimasukkan juga botol berisi akuades yang ikut dalam
sterilisasi alat.
158
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Eksplan yang digunakan berupa biji Terung Belanda. Biji dibersihkan dibawah air kran yang
mengalir, dibilas dengan akuades steril. Biji direndam dalam agrept 1% yang ditambahkan tween 20
sebanyak 2 tetes dan dishaker selama 30 menit. Biji disterilkan dengan larutan pemutih 10% selama 5
menit, dibilas 3 kali dengan akuades steril dan selanjutnya dengan larutan pemutih 5% selama 5
menit. Biji dicuci dengan akuades steril. Biji diletakkan di dalam cawan petri dan dikeringkan dengan
kertas saring steril.
Ekstraksi Kalus
Kalus dari biji Terung Belanda yang diperoleh secara in vitro pada tiap perlakuan, ditimbang
berat basahnya seberat 200 mg dalam 2X pengambilan (duplo), digerus dengan menggunakan
nitrogen cair hingga terbentuk larutan. Ekstrak kemudian di homogenasikan dengan 2 ml buffer Tris-
HCl (0,05 M, pH 8). Lalu larutan tersebut disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit
pada suhu 0 0C hingga terbentuk 2 bagian yaitu bagian pertama adalah bagian supernatan yang berupa
protein kalus dan bagian yang lainnya residu berupa endapan, bagian yang membentuk supernatan
berupa ekstrak kasar protein kalus diambil untuk analisis selanjutnya.
Analisis Protein
Prosedur analisis protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976) dengan menggunakan
0,1 ml ekstrak kalus dan dicampurkan dengan 5 ml (Coomassie Brilliant Blue G-250), kemudian
homogenkan. Larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595
nm. Cara penentuan konsentrasi protein kalus adalah dengan mengekstrapolasikan nilai absorbansi
ekstrak kalus dengan kurva standard BSA.
159
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Pengamatan secara kuantitatif
a. Berat basah kalus tanaman Terung Belanda (gram)
b. Warna Kalus
c. Persentase Kultur Yang Hidup (%)
d. Penentuan kadar protein
e. Penentuan aktivitas peroksidase (PO)
Analisis Data
Data penelitian menggunakan metode RAL ini akan dianalisis dengan Análisis of Variace
(ANOVA). Sedangkan untuk menguji beda antara perlakuan dilakukan dengan Uji Jarak Duncan
(UJD) atau sering disebut Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) (Sastrosupadi, 2004).
Tabel 1. Rata-rata Penambahan Berat Basah Kalus (g) Pada Perlakuan Konsentrasi dan Lama
Perendaman EMS
Konsentrasi Lama Perendaman Rataan
T1 T2 T3
C0 1,07 0,98 0,85 0,97 a
C1 1,05 0,80 0,33 0,73 b
C2 0,70 0,70 0,25 0,55 c
C3 1,10 0,50 0,42 0,67 d
Rataan 0,98 aA 0,75 bB 0,46 cC
Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda
nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menrut uji Duncan. C0
(0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)
Pada Tabel 1 kalus yang memiliki berat basah kultur yang tertinggi adalah pada perlakuan C3T1
yaitu 1,10 gram sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan C2T3 sebesar 0,25 gram. Respon
rata-rata persentase kultur berkalus terhadap lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 1(a).
Sedangkan Respon pertumbuhan berat basah kalus terhadap konsentrasi EMS ditampilkan pada
Gambar 1 (b).
1,20 1,20
Rataan berat basah kalus (g)
Rataan berat basah kalus (g)
1,00 1,00
0,80 0,80
0,60 0,60
0,40 0,40
0,20 0,20
0,00 0,00
30 60 90 0 0,05 0,1 0,15
Lama perendaman (menit) Konsentrasi EMS (% )
Gambar 1. a.Pengaruh lama perendaman EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda;
b. Pengaruh konsentrasi EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda
160
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Lama perendaman selama 30 menit (T1) memberikan rata-rata berat basah kalus yang lebih
tinggi dibanding dengan perendaman 60 (T2) dan 90 (T3) menit (Gambar 3.1.1a). Hal ini dikarenakan
pada menit ke-30 jumlah kandungan EMS dalam jaringan belum menyebabkan toksik sehingga EMS
tersebut dapat memacu sel-sel pada eksplan untuk membelah sehingga dapat meningkatkan berat
basah kalus. Sedangkan bila lama perendamannya ditingkatkan akumulasi EMS dalam kalus menjadi
lebih banyak, sehingga menghambat kalus untuk berproliferasi secara maksimal, bahkan bisa bersifat
toksik bagi kalus. Sedangkan Gambar 3.1.1 (b) dapat dilihat bahwa EMS dapat menghambat
pertumbuhan kalus, hal ini terlihat dari berat basah kalus yang semakin rendah bila konsentrasi EMS
ditingkatkan. Ini berarti bahwa konsentrasi EMS berbanding terbalik dengan berat basah kalus pada
konsentrasi 0,1%. Sedangkan bila konsentrasi dinaikkan hal sebaliknya terjadi, berat basah kalus
kembali meningkat.
Hal ini kemungkinan karena pada konsentrasi tersebut EMS dapat memberikan rangsangan
yang positif terhadap hormon endogen dalam kalus Terung Belanda, sehingga sel-sel kalus dapat
membelah dan meningkatkan berat basah kalus. Menurut Priyono dan Agung (2002) bahwa
penggunaan mutagen dengan konsentrasi tertentu dapat memacu fitohormon dalam tumbuhan
misalnya auksin yang dapat mendorong pembelahan sel pada tanaman.
Warna Kalus
Pada umumnya warna kalus setiap eksplan tanaman berbeda satu dengan yang lainnya. Pada
penelitian ini warna kalus digunakan sebagai parameter guna mengetahui ada tidaknya pengaruh dari
EMS terhadap kalus biji Terung Belanda. Dari hasil pengamatan warna kalus Terung Belanda
bervariasi yaitu putih, putih kecoklatan, dan coklat (Gambar 3.2.1).
Warna kalus putih berpotensi untuk tumbuh membentuk planlet karena kalus terlihat segar,
kompak, dan bernodul. Sedangkan warna kalus yang berpotensi untuk mati adalah kalus yang
berwarna coklat dan warna kalus putih kecoklatan kemungkinan dapat berubah warna lagi menjadi
coklat dan mati seiring lamanya inkubasi.
a b c
(c)
Gambar 2. Warna kalus setelah perlakuan EMS: (a) putih; (b) putih kecoklatan; (c) coklat
Kalus yang bewarna coklat apabila tidak disubkultur kembali maka akan mengalami penuaan
dan dapat mengeluarkan senyawa fenolat pada kultur. Untuk menghindari oksidasi dari senyawa
fenolat tersebut maka sebelum kalus mengalami penuaan harus segera mungkin disubkulturkan ke
medium baru. Waktu subkultur dipengaruhi oleh siklus hidup dari kalus, bila kalus mempunyai siklus
hidup yang panjang maka waktu subkultur lebih lama, tapi sebaliknya bila siklus hidup kalus pendek
maka waktu subkultur akan lebih cepat.
Pada beberapa kalus pencoklatan terjadi seiring lamanya waktu pengkalusan. Hal ini diduga
akibat kalus mengalami penuaan sehingga pertumbuhan kalus terhenti dan akhirnya akan mati. Kalus
yang mengalami penuaan akan berubah warna menjadi coklat, pertumbuhan terhenti dan akhirnya
terjadi pengeringan akibat nutrisi habis. Sehingga difusi nutrien terhambat karena penguapan air yang
mengakibatkan naiknya konsentrasi nutrien tertentu dalam media, serta penimbunan metabolit yang
bersifat racun bagi kalus.
161
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
pengamatan didapat bahwa jumlah kultur yang hidup sebanyak 64 botol atau 88,88%. Jumlah ini
sudah dapat mewakili untuk menjelaskan pengaruh pemberian EMS dan lama perendaman terhadap
pertumbuhan kalus terung belanda secara in vitro. Kultur yang hidup dapat diamati dengan ciri kalus
segar, bernodul, terlihat kompak dan tidak bewarna coklat.
Tabel 2. Aktivitas Peroksidase Pada Kalus Terung Belanda yang diinduksi dengan EMS pada
konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda.
Perlakuan Nilai aktivitas peroksidase Nilai aktivitas spesifik
(µmol/menit) (unit/µg protein)
C0T1 0,254 aAb 0,012
C0T2 0,196 bB 0,009
C0T3 0,267 aA 0,012
C1T1 0,210 bB 0,009
C1T2 0,169 cC 0,007
C1T3 0,156 cC 0,007
C2T1 0,217 bB 0,011
C2T2 0,230 aAb 0,010
C2T3 0,271 aA 0,014
C3T1 0,363 aA 0,016
C3T2 0,295 aA 0,014
C3T3 0,321 aA 0,015
Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama
berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menurut uji Duncan.
C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)
Dari Tabel 4.4.1 dapat dilihat bahwa nilai aktivitas enzim tertinggi terdapat pada perlakuan
C3T1, begitu juga untuk nilai aktivitas spesifiknya. Sedangkan kontrol menunjukkan aktivitas enzim
dan aktivitas spesifik yang lebih tinggi bila dibanding dengan perlakuan induksi EMS 0,05% dan
lebih rendah dari perlakuan induksi EMS 0,1% dan 0,15%. Hal ini mungkin dikarenakan aktivitas
peroksidase pada kontrol tanpa induksi EMS merupakan aktivitas yang konstitutif dan akan
meningkat apabila diinduksi. Menurut Herison et al. (2007); Catesson et al. (186); Bashan et al.
(1987) bahwa peroksidase merupakan salah satu enzim yang sifatnya konstitutif pada tanaman dan
akan meningkat apabila terinduksi oleh suatu hal.
Selain dengan penginduksian tanaman yang mengalami cekaman fisik ataupun fisiologis juga
menampakkan peningkatan aktivitas peroksidase yang signifikan (Artlip and Funkhouser, 1995;
Gaspar et al., 1985; Lewak et al., 1986). Herison et al. (2007) juga mengemukakan bahwa
peningkatan aktivitas enzim peroksidase adalah respon umum tanaman terhadap cekaman lingkungan.
Hasil penelitian aktivitas enzim akibat adanya induksi EMS ini sesuai dengan penelitian yang
terdahulu, yakni dengan penginduksian EMS dianggap dapat memberikan cekaman secara fisiologis
dari kalus terung belanda sehingga dapat meningkatkan aktivitas dari peroksidase tersebut. Hal ini
didukung oleh Herison et al. (2007) bahwa tanaman yang resisten memperlihatkan aktivitas
peroksidase yang tinggi.
Peroksidase merupakan enzim yang secara alami ada dalam tanaman dan dapat meningkat
aktivitasnya bila diinduksi dengan hal-hal tertentu misalkan dengan pemberian mutagen seperti EMS.
Seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari EMS maka meningkat pula aktivitas dari peroksidase
kalus Terung Belanda. Menurut Herison et al. (2007) bahwa aktivitas peroksidase meningkat dengan
adanya induksi tertentu seperti pemberian senyawa kimia ataupun dengan penginfeksian patogen pada
tumbuhan tersebut.
162
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Arora, Y.K and D.S. Wagle. 1985. Interrelationship Between Peroxidase, Poliphenol Oxidase
Activities And Phenolic Content of Wheat For Resistance To Loose Smut. Plant Physiol
180:75-78
Artlip, T.S and E.A. Funkhouser. 1995. Protein Synthetic Responses To Environmental Stresses. New
York. Marcel Dekker, Inc. page: 627-64.
Arumingtyas, E.L dan S. Indriani. 2005. Induksi Variabilitas Genetik Percabangan Tanaman Kenaf
(Hibiscus cannabinus L.) Dengan Mutagen Kimia Ethyl Methane Sulphonate (EMS). Natural
Jurnal 8(2): 24-28
Bashan, Y., Y. Akon, and Y. Henis. 1987. Peroxidase, Polifenol Oxidase And Phenols In Relation To
Resistance Against Pseudomonas syringae pv. Tomato In Tomato Plants. Bothanical 65:366-
372.
Bradford, M. M. 1976. A Rapid And Sensitive Methode For The Quantitation of Microgram
quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein – Dye Binding. Anal. Biochem 72:248-
254
Catesson, A. M., A. Imberty, R. Goldberg, and Y. Czaninski. 1986. Nature, Localization And
Specificity of Peroksidases Involved In Lignification Process. In: Molecular and Physiological
Aspects of Plant Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva.
Geneva, Switzerland. hlm: 189-198
Departemen Pertanian, 2003. Kultur Jaringan. http//www.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 17
September 2007.
Faucon, P. 1998. Tree Tomato, Tamarillo. http//www.deserttropical.com. diakses pada tanggal 10
Maret 2008
Gaspar, Th., C. Penel, F.J. Castillo, H. Greppin. 1985. A Two-Step Control of Basic And Acidic
Peroxidases And Its Significance for Growth And Development. Physiol Plant 64:418-423
Herison, C., Rustikawati, dan Sudarsono. 2007. Aktivitas Peroksidase, Skor ELISA dan Respon
Ketahanan 29 Genotipe Cabai Merah Terhadap Infeksi Cucumber Mosaic Virus (CMV). Jurnal
Akta Agrosia 10(1):1-13
Lewak, S. 1986. Peroxidases And Germination. In: Molecular And Physiological Aspects of Plant
Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva,
Switzerland. page: 367-374
Kar, M., and D. Mishra. 1976. Catalase, Peroksidase, And Polyphenoloxidase Activities During Rice
Leaf Senescence. Plant Physol 57:315-319
Kumalaningsih, S. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Cetakan 1. Surabaya. Trubus
Agrisarana. hlm: 1-2
Maehly, A.C and B. Chance. 1954. The assay of catalases and peroxidase. In: Methods of
Biochemical Analysis. Ed. David, G. Interscience Publishers, Inc. New York. NY. Pp. 357-445.
Priyono dan Agung, W. S. 2002. Respon Regenerasi In Vitro Eksplan Sisik Mikro Kerk Lily (Lilium
longiflorum) Terhadap Ethyl Methane Sulphonate (EMS). Jurnal Ilmu Dasar 3(2):74-79
Sastrosupadi, A. 2004. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Cetakan
Kelima. Yogyakarta. Kanisius. hlm: 53 & 57
Suryo, H. 1995. Sitogenetika. Cetakan pertama. Yogyakarta.UGM Press. hlm: 219, 222-223
Widiyanto, S.N.M. 1992. Enzymatic changes in rice callus line tolerant to picolinic acid.
Dissertation. Colorado State University. USA.
163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data pengaruh penggunaan pupuk daun (GrowMore) dan air
kelapa dengan dosis yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) varietas
Granola. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni - September 2013 di Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman YAHDI Medan Marelan. Desain penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap non Faktoial
dengan 6 taraf perlakuan, yaitu GrowMore (Gr) 2 gr/l + Air Kelapa (AK) 0, 50, 100, 150, 200 dan 250 ml/l
dengan 4 kali ulangan. Proses pengamatan dilakukan selama 12 minggu. Parameter yang diamati adalah jumlah
tunas, jumlah daun dan jumlah akar. Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sangat
signifikan penggunaan pupuk daun (growMore) dan air kelapa terhadap jumlah tunas dan jumlah daun, tetapi
tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah akar. Perlakuan Gr+AK150 menghasilkan rata-rata jumlah tunas
tertinggi (4,5 tunas) dan jumlah daun (26,5 helai). Beberapa perlakuan dapat memunculkan akar namun
Gr+AK200 menghasilkan jumlah akar tertinggi (3 akar). Secara morfologi, semua tanaman memiliki batang dan
daun yang berwarna hijau muda keputih-putihan.
PENDAHULUAN
Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah salah satu tanaman sayuran yang cocok
dibudidayakan di daerah tropis yang bercurah hujan tinggi seperti di Indonesia. Pemanfaatan tanaman
kentang terletak pada umbinya. Efendi dkk (2004), menyatakan bahwa umbi kentang memiliki
kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yakni 19,10 gram/100 gram. Selanjutnya Martunis (2012)
menjelaskan bahwa kandungan patinya sebesar 82,09 gram/100 gram. Kandungan pati dan
karbohidratnya yang tinggi menjadikan tanaman ini berpotensi untuk diversifikasi pangan
menggantikan beras (Andriyanto, 2013). Di samping itu, permintaan kentang terus meningkat secara
signifikan seiring bertambahnya penduduk dan segmen pasar yang semakin luas. Namun, hal ini
terkendala karena bibit lokal yang bermutu sangat terbatas. Akibatnya, pemerintah harus mengimpor
bibit bermutu dari luar negeri namun harganya masih sangat mahal (Andriyanto, 2013). Salah satu
solusi alternatif untuk mengatasi hal itu adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan
(Yusnita, 2003). Teknik kultur jaringan merupakan teknik modern yang aplikatif dalam menghasilkan
tanaman kentang bermutu dan bebas patogen (Hartus, 2001).
Penggunaan GrowMore dalam penelitian ini digunakan untuk menggantikan media
pertumbuhan kentang karena kandungan bahan organik pada GrowMore cukup baik untuk induksi
pertumbuhan tanaman. Pupuk jenis ini cukup berpengaruh pada jumlah tunas dan jumlah daun suatu
tanaman seperti penelitian Fahruroh (2008) yang menggunakan kombinasi GrowMore dan
GrowQuick F terhadap tanaman Adenium sp. Dalam penelitian tersebut dosis GrowMore yang rendah
(0,5-0,75 gram) sudah menunjukkan pengaruh terhadap jumlah tunas dan jumlah daun Adenium sp.
Penambahan air kelapa bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan
tanaman kentang. Hal ini dikarenakan di dalam air kelapa terdapat kandungan bahan organik dan zat
pengatur tumbuh golongan sitokinin (Harahap, 2011). Selain itu, air kelapa berperan dalam
mendorong pertumbuhan tanaman, pertumbuhan akar, meningkatkan efisiensi penggunaan unsur
Nitrogen, meningkatkan tekanan osmotik dan kapasitas buffer media (Pisesha, 2008).
GrowMore dan air kelapa mudah didapat di pasaran dan harganya tergolong murah sehingga
dapat digunakan sebagai media alternatif dalam menghasilkan bibit tanaman kentang untuk skala
produksi dan untuk pengembangan kentang komersial.
Kentang yang dipakai adalah kentang varietas Granola, karena kentang ini merupakan
varietas unggul, produktivitas bisa mencapai 20-26 ton/ha. Varietas ini juga tahan terhadap penyakit
164
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
kentang pada umumnya. Pada kentang varietas lain kerusakan akibat penyakit bisa mencapai 30%,
sedangkan varietas Granola hanya 10%. (Kusmana & Sofiari, 2007).
Jumlah tunas
Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa GrowMore dan air kelapa memberi pengaruh sangat
signifikan terhadap jumlah tunas (12 MST). Perlakuan GrowMore dan air kelapa 150 ml/l
menunjukkan jumlah tunas tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu rata-rata 4,5 tunas
pada minggu ke-12 (gambar 1 dan 2). Penggunaan GrowMore dengan dosis yang rendah sudah
mampu membantu dalam memunculkan tunas pada tanaman kentang (tabel 1). Sejalan dengan
penelitian Fahruroh (2008) yang menyatakan bahwa penggunaan GrowMore dengan dosis yang
rendah mampu memunculkan tunas dan panjang tunas.
165
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 2. Jumlah tunas tanaman kentang hasil perlakuan 3 ppm 2,4-D usia 12 MST
Dalam penelitian ini penambahan air kelapa yang terlalu tinggi dapat menghambat jumlah
tunas, seperti penambahan air kelapa 200 dan 250 ml/l dengan pupuk daun GrowMore menghasilkan
rata-rata 0,5 dan 0,75 tunas (tabel 1). Sejalan dengan itu, Surachman (2011) juga menyebutkan bahwa
pemberian air kelapa yang tinggi pada media dasar dapat menurunkan jumlah tunas pada tanaman
Nilam (Pogostemon cablin).
Jumlah Daun
Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa GrowMore dan air kelapa memberi pengaruh sangat
signifikan terhadap jumlah daun tanaman kentang (12 MST). Perlakuan Growmore dan air kelapa 150
ml/l menunjukkan jumlah daun tertinggi, yaitu diperoleh rata-rata 26,5 daun pada minggu ke-12
(gambar 3 dan 4).
Tabel 1. Uji DMRT jumlah daun kentang umur 12 MST
Perlakuan Jumlah Rataan Notasi
Gr2+ AK0 19 4,75 a
Gr2+ AK50 49 12,25 a
Gr2 + AK100 51 12,75 a
Gr2+ AK150 106 26,5 b
Gr2+ AK200 28 7 a
Gr2+ AK250 40 10 a
Pemakaian pupuk daun (GrowMore) dapat mempengaruhi jumlah daun pada tanaman
kentang. GrowMore dengan dosis yang rendah sudah mampu memunculkan banyak daun (tabel 1).
Fahruroh (2008) menggunakan GrowMore dengan dosis yang rendah (0,5 – 1 gram) pada tanaman
Adenium sp. sudah dapat memunculkan banyak daun pada tanaman tersebut.
Gambar 3. Rata-rata jumlah daun pada media GrowMore dan air kelapa
166
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Uji DMRT menunjukkan bahwa perlakuan GrowMore dan air kelapa 150 ml/l menghasilkan
rata-rata jumlah daun 26,5 yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada taraf kepercayaan 95%.
Gambar 4. Jumlah daun tanaman kentang hasil perlakuan 3 ppm 2,4-D usia 12 MST umur 12 MST
Disamping itu, penggunaan air kelapa yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan daun,
seperti kombinasi GrowMore dan air kelapa 200 dan 250 ml/l. Rata –rata jumlah daun yang
dihasilkan berturut-turut adalah 7 dan 10 helai daun. Sejalan dengan penelitian Pisesha (2008) yang
menyebutkan bahwa penggunaan air kelapa dengan dosis yang tinggi ke dalam media kultur jaringan
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan daun tanaman Poinsettia (Euphorbia pulcherrima)
dan Surachman (2011) juga menyatakan bahwa kadar air kelapa yang berlebihan dapat menghambat
jumlah daun pada tanaman Nilam (Pogostemon cablin). Hal ini dikarenakan di dalam air kelapa
mengandung sitokinin endogen, maka jika digunakan dalam dosis yang tinggi akan menghambat
pertumbuhan daun.
Jumlah akar
Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa GrowMore dan air kelapa memberi pengaruh tidak
signifikan terhadap jumlah akar tanaman kentang (12 MST). Walaupun begitu, perlakuan Growmore
dan air kelapa 200 ml/l menghasilkan jumlah akar sebanyak 3 akar dengan rata-rata 0,75 (gambar 6).
Kemudian diikuti pada perlakuan GrowMore dan air kelapa 50 ml/l, air kelapa 100 ml/l dan air kelapa
250 ml/l.
Gambar 5. Kemunculan akar tanaman kentang hasil perlakuan 3 ppm 2,4-D usia 12 MST
167
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 6. Rata-rata jumlah akar pada media Growmore dan air kelapa
Munculnya akar dalam penelitian ini dikarenakan adanya peran air kelapa yang
dikombinasikan dengan GrowMore, hal ini sejalan dengan penelitian Pisesha (2008) yang
menyatakan bahwa penambahan air kelapa dapat memunculkan akar pada tanaman Poinsettia
(Euphorbia pulcherrima).
Morfologi Planlet
Berdasarkan hasil pengamatan, morfologi tanaman kentang varietas Granola memiliki daun
yang berwarna hijau muda keputih-putihan. Hal yang sama juga terlihat pada batangnya. Batang
tanaman kentang sebagian besar berwarna agak pucat. Morfologi ini tampak setelah tanaman kentang
berumur diatas 9 MST (gambar 7).
a. b. c.
d. e. f.
Gambar 7. Morfologi planlet kentang usia 9 MST dari 6 perlakuan:
a) Gr+AK0, b) Gr+AK50, c) Gr+AK100, d. Gr+AK150,
e) Gr+AK200, f) Gr+AK250
Dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis air kelapa yang digunakan maka
morfologi tanaman kentang cenderung memucat (putih susu), namun tidak terjadi vitrifikasi.
168
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa pupuk daun (GrowMore) dan air kelapa berpengaruh
sangat signifikan terhadap jumlah tunas dan jumlah daun, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap
jumlah akar.
Kombinasi perlakuan terbaik untuk menginduksi pertumbuhan tunas terbanyak kentang
varietas Granola adalah dengan menggunakan pupuk daun (GrowMore) dan air kelapa dengan
komposisi media Gr2+AK150 yaitu 6 tunas (rata-rata 4,5 tunas). Jumlah daun terbanyak terdapat pada
media Gr2+AK150 yang menghasilkan 46 daun (rata-rata 26,5 daun). Untuk jumlah akar, pada minggu
ke-12 dijumpai pada media Gr2+AK200 sebanyak 3 akar (rata-rata 0,70 akar), kemudian pada
Gr2+AK50, Gr2+AK100 dan Gr2+AK250 masing-masing 1 akar (rata-rata 0,25 akar). Secara morfologi
semua tanaman kentang memiliki batang dan daun yang berwarna hijau muda keputih-putihan.
SARAN
GrowMore dan air kelapa dengan dosis rendah dapat digunakan sebagai media alternatif
dalam menghasilkan bibit tanaman kentang untuk skala produksi dan pengembangan kentang
komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyanto, F., Setiawan, B., Riana, F.D., (2013), Dampak Impor Kentang Terhadap Pasar Kentang
di Indonesia, HABITAT 24(1): 64-76
Efendi, M.N., Nurnadiah, R.N. dan Endang V.A.B., (2004), Manfaat Kentang Bagi Kesehatan,
Buletin Teknopro Hortikultura, Departemen Pertanian, Ragunan
Fahruroh, W., (2008), Pengaruh pupuk growmore (20:20:20) dan growQuick f terhadap pertumbuhan
entres adenium (Adenium obesum) setelah pemangkasan, Fakultas Pertanian, Bogor
Harahap, F., (2011), Kultur Jaringan Tanaman, FMIPA UNIMED, Medan
Hartus, T., (2001), Usaha Pembibitan Kentang Bebas Virus, Penebar Swadaya, Jakarta
Karjadi, A. K., dan Buchory A., (2008), Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola, Jurnal Hortikultura, 14(4): 380-
384
Karjadi, A. K., dan Buchory A., (2008), Pengaruh varietas dan Komposisi Media dalam
Menumbuhkan Stek Kentang In vitro, Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang,
Departemen Pertanian, bandung
Kusmana dan Sofiari, E., (2007), Karakterisasi Kentang Varietas Granola, Atlantic dan Balsa dengan
Metode UPOV, Buletin Plasma Nutfah 13(1): 27-33
Martunis, (2012), Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Pati
Kentang varietas Granola, Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, 4(3): 26-30
Pisesha, (2008), Pengaruh Konsentrasi IAA, IBA dan Air Kelapa terhadap Pembentukan Akar
Poinsettia (Euphorbia pulcherrima Wild et Klotzch) In vitro, Fakultas Pertanian IPB, Bogor
Riduwan, (2011), Dasar – dasar Statistika, Alfabeta, Bandung
Sudjana, (2002), Metoda Statistika, Tarsito, Bandung
Surachman, D., (2011), Teknik Pemanfaatan Air Kelapa untuk Perbanyakan Nilam secara In vitro,
Buletin Tenknik Pertanian (16)1: 31-33
Yusnita, (2003), Kultur Jaringan: Cara memperbanyak tanaman secara efisien, Agromedia Pustaka,
Jakarta
169
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Selama ini kehadiran epifit di perkebunan kelapa sawit belum menjadi perhatian sehingga perkebunan
memperlakukan epifit tidak seragam. Penelitian untuk mengetahui struktur dan komposisi epifit vaskular di
kebun kelapa sawit Aek Pancur penting sebagai data awal untuk mengelola perkebunan di Indonesia khususnya
kelapa sawit. Penelitian dilaksanakan dari Oktober sampai Desember 2012. Pengambilan sampel dilakukan di
perkebunan kelapa sawit milik Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Aek Pancur, dengan mengelompokan
sawit menjadi 3 kelompok umur yang berbeda yaitu 1-5 tahun, 6-15 tahun dan diatas 15 tahun. Pengambilan
data di lapangan dilakukan dengan membuat plot berukuran 20x20m sebanyak 5 plot per kelompok umur.
Metode peletakan plot dilakukan dengan purposive sampling. Hasil yang diperoleh adalah terdapat 34 jenis dari
24 suku epifit vaskular di kebun kelapa sawit Aek Pancur. Jenis yang mempunyai Indek Nilai Penting (INP)
tertinggi adalah Nephrolepis biserrata, epifit pada tanaman sawit kelompok umur 1-5 tahun (66,93). Pada
kelompok umur 6-15 tahun juga jenis Nephrolepis biserrata dengan nilai 66,22. Pada kelompok umur diatas 15
tahun jenis Vittaria elongata mempunyai INP tertinggi yaitu 78,45.
PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia. Ekspor minyak sawit
Indonesia dan produk turunannya terus meningkat setiap tahunnya. Kelapa sawit juga menjadi sumber
penerimaan pajak yang besar. Pajak bumi dan bangunan yang dapat diperoleh adalah sekitar Rp
26.263 miliar dengan asumsi luas areal perkebunan kelapa sawit sekitar 5.247.171 hektar dan dengan
tarif pajak Rp 5.000 per hektar per tahun (Darmosarkoro, 2006).
Disisi lain konversi hutan alami menjadi habitat antropogenik mempunyai konsekwensi bagi
keanekaragaman hayati. Secara umum, nilai keanekaragaman hayati perkebunan kelapa sawit sangat
sedikit dibandingkan dengan hutan alam dan juga sering lebih rendah dari hutan terganggu dan
tanaman perkebunan lainnya. Hanya sekitar 23% kekayaan hutan alami terdapat di perkebunan kelapa
sawit ( Fitzherbert et al. 2008).
Epifit adalah satu bentuk hidup yang pertama kali terpengaruh oleh perubahan hutan primer
karena mereka menempati kanopi hutan. Perbedaan kekayaan spesies dan komposisi epifit vascular
antara ekosistem alami dan ekosistem binaan manusia sering terkait dengan intervensi manusia (Hietz,
1999; Wolf, 2005). Jenis spesies dan berapa banyak spesies yang hilang tergantung pada besarnya
gangguan dan jenis vegetasi yang menggantikan hutan alami, tapi sangat sedikit sekali diketahui
keanekaragaman epifit selain di hutan primer (Hietz, 1999). Padahal pemahaman ekologi yang lebih
baik dari ekosistem yang dimodifikasi manusia adalah perlu untuk mendukung pelaksanaan
konservasi tingkat lanskap (Brown dan lugo, 1990, Hitz et al. 2001).
Menurut Ginting et al. (2004), epifit yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit, umumnya
berupa pakis-pakisan, beringin dan kayu lainnya. Selama ini perkebunan memperlakukan epifit tidak
seragam, karena memang belum ada rekomendasi dari pihak manapun tentang tindakan yang
seharusnya dilakukan. Penelitian untuk mengetahui struktur dan komposisi epifit vascular di kebun
Aek Pancur perlu dilakukan sebagai data awal untuk pengelolaan epifit di perkebunan kelapa sawit.
Pengelolaan perkebunan yang lebih baik dengan mengembangkan performa ekonomi tanpa
mengabaikan tanggung jawab social dan lingkungan merupakan model yang ingin dicapai oleh
perkebunan yang berkelanjutan.
170
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
171
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Umur
No Famili Jenis Jumlah
1-5 6-15 > 15
1 Davalliaceae Davallia divaricata Blume + + + 621
2 Nephrolepidaceae Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott + + + 7176
3 Nephrolepis sp. - + - 84
4 Polypodiceae Goniophlebium verrucosum J. Sm. In Hk + + + 4518
5 Vittariaceae Vittaria elongata Sw. - + + 6678
6 Vittaria ensoformis Sw. - + + 210
7 Pteridaceae Pteris ensiformis Burm. F. + - - 6
8 Dryopteridaceae Tectaria barberi (Hook.) Copel - + - 9
9 Blechnaceae Stenochlaena palustris (Burm.) Bedd. - + + 93
10 Athyriaceae Diplazium sp2. - + - 6
11 Aspleniaceae Asplenium nidus L. + - - 3
Amphineuron opulentum (Kaulf.) - + - 6
12 Thelypteridaceae Holttum
13 Christella dentata (Forssk) Holttum. + + - 27
14 Arecaceae Elaeis guineensis Jacq. + + - 531
15 Eriochloa polystachya Kunth. + - - 12
16 Commelinaceae Commelina nudiflora L. + + + 36
17 Araceae Alocasia macrorrhiza (L.) Schott - + - 15
18 Homalomena rubra Hassk. - + - 3
19 Melastomataceae Clidemia hirta (L.) D. Don. + + + 297
20 Euphorbiaceae Phyllanthus niruri L. - + - 6
21 Solanaceae Solanum blumei Blume + + - 99
22 Solanum trilobatum L. + + - 39
23 Apocynaceae Hoya sp. + - + 30
Gymnopetalum integrifolium (Roxb.) + - - 21
24 Cucurbitaceae Kurz
25 Moraceae Ficus sp. + + - 9
26 Asteraceae Emilia sp. + - - 3
Acmella paniculata (Wall. Ex DC.) R.K. - - + 9
27 Jansen
28 Urticaceae Laportea interrupta (L) Chew + + - 33
29 Rubiaceae Borreria setidens (Miq.) Bold. + + - 159
30 Hedyotis congesta R.Br.ex G.Don + - - 6
31 Acanthaceae Asystasia intrusa (Forssk.) Blume + + + 633
32 Thunbergia sp. - + - 18
33 Peperomia pellucida (L.) Kunth + + + 318
34 Capparaceae Cleome rutidosperma DC. + + - 30
Jumlah (2000 m2) 22 26 12 21744
Keterangan: + : ditemukan; - : tidak ditemukan
Berdasarkan jumlah individunya dapat dilihat bahwa tiga jenis yang paling dominan di kebun
kelapa sawit adalah Nephrolepis biserrata, Vittaria elongata dan Goniophlebium verrucosum dengan
jumlah 7176, 6678 dan 4518 individu. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jeins ini adalah epifit yang
dapat bertahan dan mengambil manfaat dengan kondisi di kebun kelapa sawit yang cenderung kering
dan cerah.
Perbedaan kekayaan spesies dan komposisi epifit vascular antara ekosistem alami dan
ekosistem binaan manusia seringkali berhubungan dengan intervensi manusia. Gangguan
antropogenik secara langsung berhubungan dengan penurunan keanekaragaman epifit (Hietz, 1999;
Wolf, 2005). Spesies yang membutuhkan naungan dan kelembaban tinggi akan mengalami penurunan
kelimpahan atau secara local punah. Sebaliknya spesies yang tahan kekeringan dapat mengambil
172
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
manfaat dari gangguan antropogenik dan mungkin lebih baik jika hidup di lingkungan yang dikelola
manusia dari pada ekosistem alami (Barthlott at al. 2001; Werner et al. 2005; Hietz et al. 2006).
Pada tanaman kelapa sawit epifit biasanya memanfaatkan sisa potongan pelepah daun sebagai
tempat tumbuhnya, karena disinilah banyak terakumulasi debu-debu, serasah dan nutrisi lainnya yang
dibutuhkan oleh epifit untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini mengakibatkan perbedaan umur kelapa
sawit yang otomatis berbeda pula kondisi batang dan pelepah sawitnya akan mempengaruhi
keberadaan epifit.
Perbedaan umur akan mempengaruhi kondisi batang sawit dan pelepahnya sebagai tempat
tumbuh epifit di kebun kelapa sawit. Kelapa sawit yang masih berumur 1-5 tahun mempunyai pohon
yang pendek dan batangnya masih utuh atau belum dipotong pelepahnya. Kalaupun ada yang sudah
dipotong pelepahnya hanya sedikit sekali biasanya tidak lebih dari 10 pelepah. Kelapa sawit yang
berumur 6-15 tahun pelepahnya yang dipotong sudah banyak dengan tinggi batang sekitar 1-10m
sedangkan kelapa sawit yang berumur >15 tahun biasanya pelepahnya mulai lepas sehingga
batangnya kelihatan gundul sebagian.
Setelah dilakukan analisis data didapatkan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR)
dan Indeks Nilai Penting (INP) epifit vascular pada tiga kelompok umur kelapa sawit (Tabel 2, Tabel
3 dan Tabel 4).
Kerapatan Relatif pada kelompok umur 1-5 tahun berkisar antara 0,07 sampai 57,67. Tiga
jenis yang mempunyai KR tertinggi adalah Nephrolepis biserrata, Asystasia intrusa dan Elaeis
guneensis dengan nilai berturut-turut 57,67, 10,55 dan 9,42. Adapun jenis yang mempunyai nilai KR
terendah adalah Asplenium nidus, Commelina nudiflora dan Emilia sp. Dengan nilai 0,07. Nilai
Frekuensi Relatif (FR) tertinggi pada kelompok umur 1-5 tahun berkisar antara 1,85 sampai 9,26.
Jenis yang mempunyai nilai FR terbesar adalah Asystasia intrusa, Elaeis guineensis, Nephrolepis
biserrata dan Peperomia pellucida. Berdasarkan nilai KR dan FR didapatkan Indek Nilai Penting
(INP) dari masing-masing jenis epifit. Jenis yang mempunyai Indek Nilai Penting (INP) tertinggi
adalah Nephrolepis biserrata, Asystasia intrusa dan Elaeis guineensis dengan nilai berturut-turut
66,93%, 19,81% dan 18,68% (Tabel 2).
Tabel 2. Indek Nilai Penting Jenis Epifit Vaskular pada kelompok umur 1-5 tahun di Kebun Aek
Pancur
No Jenis Epifit Individu KR(%) FR(%) INP
1 Asplenium nidus 3 0.07 1.85 1.92
2 Asystasia intrusa 450 10.55 9.26 19.81
3 Borreria setidens 9 0.21 1.85 2.06
4 Christella dentate 6 0.14 1.85 1.99
5 Cleome rutidospermae 12 0.28 3.7 3.98
6 Clidemia hirta 24 0.56 3.7 4.26
7 Laportea interrupta 21 0.49 3.7 4.19
8 Commelina nudiflora 3 0.07 1.85 1.92
9 Davallia divaricata 117 2.74 7.41 10.15
10 Elaeis guineensis 402 9.42 9.26 18.68
11 Emilia sp. 3 0.07 1.85 1.92
12 Eriochloa polystchia 12 0.28 3.7 3.98
13 Ficus sp. 6 0.14 3.7 3.84
14 Goniophlebium verrucosum 315 7.38 7.41 14.79
15 Gymnopetalum integrifolium 21 0.49 3.7 4.19
16 Hedyotis congesta 6 0.14 1.85 1.99
17 Hoya sp. 24 0.56 1.85 2.41
18 Nephrolepis biserrata 2460 57.67 9.26 66.93
19 Peperomia peluucida 279 6.54 9.26 15.8
20 Pteris ensiformis 6 0.14 3.7 3.84
21 Solanum blumei 81 1.9 7.41 9.31
22 Solanum trilobatum 6 0.14 1.85 1.99
Jumlah 4266 100 100 200
173
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 3. Indek Nilai Penting Jenis Epifit Vaskular Pada Kelompok Umur 6-15 tahun di Kebun
Aek Pancur
No Jenis Epifit Ind KR(%) FR(%) INP
1 Alocasia macrorrhiza 15 0.19 1.41 1.6
2 Amphineuron opulentum 6 0.08 1.41 1.49
3 Asystasia intrusa 165 2.08 7.04 9.12
4 Borreria setidens 150 1.89 2.82 4.71
5 Christella dentata 21 0.26 4.23 4.49
6 Cleome rutidospermae 18 0.23 2.82 3.05
7 Clidemia hirta 237 2.99 7.04 10.03
8 Laportea interrupta 12 0.15 2.82 2.97
9 Commelina nudiflora 3 0.04 1.41 1.45
10 Davallia.divaricata 153 1.93 5.63 7.56
11 Stenochlaena palustris 9 0.11 1.41 1.52
12 Diplazium sp. 6 0.08 1.41 1.49
13 Elaeis guineensis 129 1.63 7.04 8.67
14 Ficus sp. 3 0.04 1.41 1.45
15 Goniophlebium verrucosum 1533 19.31 7.04 26.35
16 Homalomena rubra 3 0.04 1.41 1.45
17 Nephrolepis biserrata 4698 59.18 7.04 66.22
18 Nephrolepis sp. 84 1.06 4.23 5.29
19 Peperomia pellucida 24 0.3 2.82 3.12
20 Phillantus niruri 6 0.08 2.82 2.9
21 Solanum blumei 18 0.23 2.82 3.05
22 Solanum trilobatum 33 0.42 7.04 7.46
23 Tectaria barberii 9 0.11 2.82 2.93
24 Thunbergia sp. 18 0.23 4.23 4.46
25 Vittaria elongate 519 6.54 7.04 13.58
26 Vittaria ensiformis 66 0.83 2.82 3.65
Jumlah 7938 100 100 200
Pada kelompok umur >15 tahun nilai KR berkisar antara 0,06 sampai 64,56. Tiga jenis dengan
nilai KR tertinggi adalah Vittaria elongata, Goniophlebium verrucosum dan Davallia divaricata yaitu
64,56, 27,99 dan 3,68. Nilai FR berkisar antara 2,78 sampai 13,89 dimana jenis yang mempunyai nilai
FR tertinggi adalah Goniophlebium verrucosum dan Vittaria elongata. Jenis yang mempunyai INP
terbesar adalah Vittaria elongata, Goniophlebium verrucosum dan Davalia divaricata dengan nilai
masing-masing 78,45%, 41,88% dan 14,79%. Sedangkan nilai INP terendah adalah pada jenis
Acmella paniculata yaitu 2,87.(Tabel 4).
174
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4. Indek Nilai Penting Epifit Vaskular Pada Kelompok Umur Diatas 15 Tahun Di Kebun Aek
Pancur
No Jenis Epifit Individu KR(%) FR(%) INP
1 Asystasia intrusa 18 0.19 8.33 8.52
2 Acmella paniculata 9 0.09 2.78 2.87
3 Clidemia hirta 36 0.38 11.11 11.49
4 Commelina nudiflora 30 0.31 8.33 8.64
5 Davallia divaricata 351 3.68 11.11 14.79
6 Stenochlaena palustris. 84 0.88 11.11 11.99
7 Goniophlebium verrucosum 2670 27.99 13.89 41.88
8 Hoya sp. 6 0.06 5.56 5.62
9 Nephrolepis biserrata 18 0.19 5.56 5.75
10 Peperomia pellucida 15 0.16 2.78 2.94
11 Vittaria elongata 6159 64.56 13.89 78.45
12 Vittaria ensiformis 144 1.51 5.56 7.07
Jumlah 9540 100 100 200
Pada kelompok umur 1-5 tahun dan 6-15 tahun Nephrolepis biserrata, Asystasia intrusa,
Goniophlebium verrucosum, Davallia divaricata merupakan jenis yang mempunyai INP tertinggi. Hal
ini menunjukan bahwa jenis ini adalah jenis epifit yang dapat hidup dengan baik pada perkebunan
kelapa sawit. Berdasarkan pengamatan factor biotic di lapangan didapatkan suhu udara rata-rata
berkisar antara 28 - 300C dan kelembaban udara antara 73 – 79%. Sedangkan pada umur >15 tahun
Vittarian Elongata dan Goniophlebium verrucosum mempunyai INP tertinggi. Nephrolepis biserrata
masih ada tapi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Berdasarkan factor biotic suhu udara rata-
ratanya adalah 29 – 300C dan kelembaban udara 70 – 72%, relative tida berbeda dengan kelompok
umur lainnya. Terjadinya pergeseran jenis yang dominan kemungkinan disebabkan terjadinya
perubahan struktur batang dan substrat tempat hidup epifit. Pada umur >15 tahun batang sawit sudah
banyak yang lepas pelepahnya sehingga jenis-jenis yang tumbuh di pelepah seperti Nephrolepis
biserrata, Goniophlebium verrucosum, Davallia divaricata dan lain-lain akan ikut lepas bersamaan
dengan lepasnya pelepah. Hanya di bagian atas batang dimana masih ada pelepahnya jenis-jenis
masih bertahan. Sementara Vittaria elongata dapat hidup di batang sawit walaupun tanpa pelepah.
Piggot (1988) menyatakan bahwa Vittaria elongata adalah jenis epifit yang umum terdapat pada
perkebunan kelapa sawit tua.
KESIMPULAN
1. Struktur epifit vascular berdasarkan jenis yang mempunyai Indek Nilai Penting (INP) tertinggi
pada kelompok umur 1-5 tahun adalah Nephrolepis biserrata yaitu 66,93, pada kelompok umur 6-
15 tahun juga jenis Nephrolepis biserrata dengan nilai 66,22. Pada kelompok umur diatas 15 tahun
jenis Vittaria elongata mempunyai INP tertinggi yaitu 78,45.
2. Komposisi epifit vascular di kebun kelapa sawit Aek Pancur terdiri dari 34 jenis dan 24 suku. tiga
jenis yang paling dominan di kebun kelapa sawit adalah Nephrolepis biserrata, Vittaria elongata
dan Goniophlebium verrucosum
DAFTAR PUSTAKA
Aththorick T A, N Pasaribu,Yulinda. 2005. Komposisi dan stratifikasi makroepifit di Hutan Wisata
Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser. Kabupaten Langkat. Jurnal Komunikasi
Penelitian. Vol. 17 (2).
BarthlottW., V Schmit-Neuerburg, J Nieder, S Engwald. 2001. Diversity and abundance of vascular
epiphytes; A comparison of secondary vegetation and primary montane rain forest in the
Venezuelan Andes. Plant Ecology. 152: 145-156.
Brown S, A E Lugo. 1990. Tropical secondary forests. J. Trop. Ecol. 5: 131–150.
175
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Darmosarkoro W. 2006. Dukungan Teknologi Mutakhir Pusat Penelitia Kelapa Sawit (PPKS) Bagi
Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit.Makalah pada Seminar Inovasi Teknologi
Perkebunan 2006 untuk Menunjang Revitalisasi Perkebunan. Legian, Bali 22-23 Nopember
2006.
Fitzherbert E B, M J Struebig, A Morel, F Danielsen, C A Bruhl, P F Donald, B Phalan. 2008. "How
will oil palm expansion affect biodiversity?". Trends in Ecology and Evolution 23: 538-45.
Ginting K, E S Sutarta, R Y Purba. 2004. Pengendalian Gulma Epifit Pada Kelapa Sawit. Warta
PPKS. Vol 12 (2-3): 23-27.
Hietz P. 1999. Diversity and conservation of epiphytes in a changing environment. Pure Appl. Chem.
70: 2114. http://uipac.org/symposia/proceedings/phuket97/hietz.html (diakses tanggal 26
Oktober 2013).
Hietz P, G Buchberger, M Winkler. 2006. Effect of Forest Disturbance on Abundance And
Distribution of Epiphitic Bromeliads and Orchids. Ecotropica 12; 103-112.
Piggott A G. 1988. Fern of Malaysia in colour. Tropical Press, ISBN 9677300296. Kualalumpur.
Malaysia.
Werner FA, J Homeier, S R Gradstein. 2005. Diversity Of Vascular Epiphytes On Isolated Remnant
Trees In The Montane Forest Belt Of Southern Ecuador. Ecotropica 11; 21-40.
Wolf J H D. 2005. The response of epiphytes to anthropogenic disturbance of pine-oak forests in the
highlands of Chiapas, Mexico. Forest Ecology and Management, 212; 376-393.
176
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini dilakuka nuntuk mengetahui aktivitas anti-oksidan dari ekstrak bengkoang pada berbagai
umur panen yaitu 3, 4 dan 5 bulan dengan 3 ulangan, menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-2-pikrilhidrazil).
Pelarut yang digunakan adalah hexan, methanol dan air, hingga diperoleh fraksi methanol-air dan fraksi
methanol-eter. Perbandingantepungbengkoangdenganpelarutadalah 1:6 (b/v). Setiap perlakuan ditentukan kadar
proksimatnya (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar), rendemen
ekstrakmertanol, fraksi methanol-air dan metanol-eterserta aktivitas antioksidannya dan nilai IC50. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa umur panen memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (p<0.01) terhadap
kadar air, kadarabu, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat kasar. Bentuk ekstrak kasar berupa cairan kental
berwarna kecoklatan terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang kuat.
PENDAHULUAN
Antioksidan adalah salah satu senyawa bioaktif yang dapat menurunkan prevalensi penyakit
atau resiko penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes melitus, maupun penyakit degeneratif
lainnya, yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron terhadap senyawa radikal bebas,
sehingga senyawa radikal bebas tersebut dapat diredam atau dinetralkan (Suhartono, 2002).
Pada umumnya tanaman memiliki kandungan antioksidan yang potensial, merupakan
komponen bioaktif yang dihasilkan oleh tanaman tersebut bukan merupakan komponen utama yang
digunakan untuk kebutuhan hidupnya, akan tetapi berperan sebagai anti oksidatif, anti mikroba dan
merupakan produk metabolit sekunder, sehingga para peneliti mulai memusatkan perhatian untuk
menemukan sumber-sumber antioksidan alami dari berbagai tanaman.
Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan senyawa
ROS (spesies oksigen reaktif), mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu
menghambat peroksida lipid pada makanan. Tubuh manusia tidak memiliki cadangan antioksidan
dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal bebas berlebih baik berasal dari
makanan, lingkungan, maupun tubuh, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (Sunarni,
2005).
Indonesia sebagai Negara tropik yang mempunyai berbagai jenis tanaman yang berpotensi
menghasilkan antioksidan, diantaranya adalah umbi bengkoang yang banyak tumbuh di Indonesia dan
relatif murah, namun belum banyak terungkap secara luas manfaat dari bengkoang tersebut.
Berdasarkan penelitian Lukitaningsih (2009) bahwa bengkoang mengandung senyawa antioksidan
flavonoid dan phenolik seperti Trilinolein; 9,12-tricosandiene; daidzein; daidzein-7-O-ß-
glucopyranose;5-hydroxyl-daidzein-7-O-ß-glucopyranose; (8,9)-furanyl-pterocarpan-3-ol;
dihydrofurane-2,5-dione; 2-butoxy-2,5-bis (hydroxymethyl)-tetrahydrofurane-3,4-diol;4-(2-(furane-2-
yl)ethyl)-2-methyl-2,5 dihydrofurane-3-carbaldehyde), sehingga selain berfungs sebagai penangkal
radikal bebas yang poten, juga dapat mengabsorpsi sinar ultra violet. Flavonoid juga mempunyai
kemampuan menghambat proliferasi selluler. Sel kanker yang memiliki bagian atau sisi membran
yang berikatan dengan estrogen ternyata dapat dihambat pertumbuhannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengekstraksi komponen bioaktif yang bersifat antioksidan
yang banyak terdapat pada umbi bengkoang yang diharapkan dapat mengurangi timbulnya penyakit
degeratif.
177
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
178
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis perlakuan umur panen berpengaruh
sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat
Perbedaan kadar air akan mempengaruhi komponen yang terkandung di dalamya.Kadar air terendah
terdapat pada perlakuan A3 (umur panen 5 bulan) yaitu sebesar 8.8372%. Hal ini disebabkan umbi
bengkoang dengan semakin tinggi umur panen, maka kandungan seratnya semakin meningkat,
sehingga umbi bengkoang mempunyai kemampuan mengikat air yang relatif lebih besar (air terikat
secara fisik), sehingga mudah dihilangkan (Minhajuddin, 2005 dalam Anonimous 2009). Terjadi
peningkatan kadar pati sampai mencapai tingkat kejenuhan.
Kadar abu pada umur panen yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata
(p<0.01). Rudrappa (2009) melaporkan bahwa umbi bengkoang mengandung mineral Na, K, Ca, Pb,
Fe, Zn, Mndan Mg. Magnesium merupakan suatu mineral yang ternyata sebagai co-faktor untuk lebih
dari 300 enzim metabolisme, termasuk enzim yang terlibat pada penggunaan gula tubuh dan sekresi
insulin. Umbi bengkoang dapat digunakan untuk diet rendah kalori karena menghasilkan 35-39 kkal
per 100 gramnya dandapat digunakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan mineral dalam diet.
Semakin tinggi umur panen, kadar abu semakin menurun, hal ini diduga setiap kegiatan biosintesis
dan biogenesis tumbuhan selalu melibatkan mineral tertentu terutama pada pembentukan metabolit
sekunder (Manitto, 1992).
Kadar protein tepung bengkoang pada berbagai umur panen memberikan hasil yang
signifikan (p<0,01) dan kadarnya relatif tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein
nabati, namun peningkatan kadar protein hanya sampai umur 4 bulan, selanjutnya kadar protein
cenderung menurun. Setiap pembentukan metabolit sekunder membutuhkan enzim tertentu (Manitto,
1992). Pembentukan flavonoid dan senyawa-senyawa antioksidan berasal dari protein terutama L-
phenilalanin, L-triptophan dan L tyrosin melalui jalur asam sikhimat, diduga pada umur panen 4 bulan
pembentukan metabolit sekunder mengalami peningkatan (Dewick, 2002).
Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa umbi bengkoang kaya akan serat (Gambar 1) yang
berperan dalam menurunkan kolesterol LDL, selain itu juga mengandung asam folat (Rudrappa,
2009) yang berperan dalam menurunkan hemosistein dalam darah. Hemosistein adalah suatu jenis
asam amino yang bila kadarnya meningkat dalam darah dapat merusak pembuluh darah, sehingga
meningkatkan serangan jantung dan stroke. Asam folat juga dapat untuk mencegah kerusakan otak
bayi saat kelahiran, oleh karena itu ibu hamil disarankan mengkonsumsi jagung yang banyak
mengandung asam folat (Mulyawan, 2009). Menurut Damayanthi dkk, 2007 (dalam Anonimous1,
2009) konsumsi dedak bekatul 85 g/hari dapat menurunkan total kolesterol sebesar 8.3% dan
peningkatan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik) sebesar 11.8%.
Bahan pangan yang mengandung serat tidak larut tinggi dapat membantu wanita terhindar
dari gallstone (telah dipublikasikan pada American Journal of Gastroenterology) bahwa serat tidak
larut tidak hanya memberikan waktu transit yang pendek pada usus (makanan dengan cepat bergerak
melalui usus), tetapi juga mengurangi sekresi asam-asam empedu, meningkatkan sensitivitas insulin
dan menurunkan trigliserida (lemak darah) (Minhajuddin, 2005 dalam Anonimous1, 2009 ; The Food
Meteljan Foundation, 2009), sedangkan serat larut dapat mencegah guladarah meningkat.
Kadar lemak pada umbi bengkoang memberikan pengaruh yang signifikans (p<0,01). Lemak
umbi bengkoang mengandung vitamin E sebesar 0,46 mg (Rudrappa, 2009). Berdasarkan penelitian
(Minhajuddin, 2005 dalam Anonomous1, 2009) vitamin E mengandung tokotrienol dan tokoferol,
ternyata dapat menurunkan kolesterol sebesar 42% dan LDL (kolesterol jahat) sebesar 62%.
Tokotrienol terbukti secara ilmiah dapat menghambat aktivitas HMG-CoA Reduktase, sebuah enzim
yang dapat mensintesa kolesterol di dalam tubuh.
179
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
25
21,3607
20 18,9108
10
0
3 4 5
Umur panen (bulan)
Gambar 1. Pengaruh Umur Panen Terhadap Kadar Serat.
Tabel 2. Rendemenekstrakmetanolikumbibengkoang
Rendemen ekstrak metanolik tertinggi terdapat pada umur panen 4 bulan, demikian juga
fraksi metanolik-air dan metanolik-eter (Tabel 3 dan 4), hal ini sesuai dengan hasil penentuan kadar
protein yang tertinggi pada umur panen 4 bulan, diduga pada umur panen 4 bulan banyak dibentuk
senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan.
180
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 3. Rendemenekstrakmetanolik-air
Perlakuan Beratekstrak(g) Beratekstrakmetanolik- Rendemen (%) Rataan+standardeviasi
air
Umurpanen 3 bulan
A1.1 4 3,5450 88,6325
A1.2 4 3,0886 77,2150 83,0067+5,7106
A1.3 4 3,3269 83,1725
Umurpanen 4 bulan
A2.1 4 3,8631 96,5775
A2.2 4 3,8242 95,6050 92,5433+6,1664
A2.3 4 3,4179 85,4475
Umurpanen 5 bulan
A3.1 4 3,8631 96,5775
A3.2 4 3,8242 95,6050 89,1267+12,0728
A3.3 4 3,0079 75,1975
Keterangan: A1= umur panen 3 bulan, A2-umur panen 2 bula, A3=umur panen 5 bulan.
Masing-masing perlakuan diulang 3x.
Tabel 4. Rendemenekstrakmetanolik-eter
Perlakuan Beratekstrak (g) Beratekstrakmetanolik- Rendemen (%) Rataan+standardeviasi
eter
Umurpanen 3 bulan
A1.1 4 0,0270 0,6750
A1.2 4 0,0276 0,6900 0,5625+ 0.2080
A1.3 4 0,0129 0,3225
Umurpanen 4 bulan
A2.1 4 0,0277 06925
A2.2 4 0,0507 1,2675 0,7600+ 0,4773
A2.3 4 0,0128 0,3200
Umurpanen 5 bulan
A3.1 4 0,0140 0,3500
A3.2 4 0,0149 0,3725 0,5833+ 0,3848
A3.3 4 0,0411 1,0275
Keterangan: A1= umur panen 3 bulan, A2-umur panen 2 bulan, A3=umur panen 5 bulan. Masing-
masing perlakuan diulang 3x.
Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH merupakan
metode yang banyak digunakan untuk menguji kekuatan antioksidan suatu komoditi karena metode
ini sederhana, mudah, cepat dan peka dan hanya membutuhkan sampel yang relatif sedikit
(Molyneux, 2004). Aktivitas antioksidan tertinggi fraksi metanolik-eter diperoleh pada umur panen 5
bulan pada setiap tingkatan konsentrasi, semakin tinggi umur panen kekuatan antioksidannya semakin
meningkat, sedangkan fraksi metanolik air justru sebaliknya semakin tinggi umur panen kekuatan
antioksidanya semakin menurun, sehingga bengkoang memiliki kandungan antioksidan yang sangat
sinergis.
Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50
yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH.
Semakin kecil nilai IC50 menunjukkan nilai aktivitas antioksidannya semakin kuat (Tabel 5).
Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu komoditi yang memilki antioksidan yang sangat kuat jika
nilai IC50 kurang dari 0,05mg/ml(<50 ppm), jika nilai kekuatannya tergolong kuat nilainya berkisar
0,05-0.10 mg/ml (50-100 ppm ), kekuatan sedang adalah berkisar 0,10-0,15 mg/ml dan kekuatannya
lemah jika memilki nilai 0,15-0,20 mg/ml.
181
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. 2009. Antioksidan Tingkatkan Pamor Bengkuang. http://ceputelecenter.wordpress.com.
Diakses 30 Juli 2009.
Dewick, P.M., Medicinal Natural Products: a biosynthethic approach, 2nd Ed., John Wiley and Sons
Ltd, 2002, 247-272
Fery, T. 2007. AntioksidandanRadikalBebas. http:tengku-fey.ucb.ugm.ac.id. Diakses 7 Desember
2007.
Goldberg, I. 1994. Functional Foods: designer foods, pharmafoods, nutraceuticals. Chapman &Hall.
NewYork.
Iwan, H. 2008. AntioksidanIsoflavon. BiomaUndip. http://mybioma.wordpress.com.Diakses 5 Juni
2008.
Jumtunen, K.S, Laaksonen D.E., Poutanen, K.S., Niskanen, L.K. and Mykkanen H.M. 2003. High-
fiber rye bread and insulin secretion and sensitivity in healthy postmenopausal women. Am J
Clin Nutr.77: 385-391.
Kuncahyo, I. danSunardi. 2007. UjiAktivitasAntioksidanEkstrakBelimbingWuluh (Averrhoabilimbi,
L.) Terhadap 1,1-Diphenyl-2_Picrylhidrazyl (DPPH), Seminar NasionalTeknologi, Yogyakarta.
Liu, Y.M and Lin K.W, 2009. Antioxidative ability, diooscorin ability, and the quality of yam chips
from various yam species as affected by processing method. J.FoodSci.74(2): 118-125.
Lukitaningsih, E. 2009. The Exploration of Whitening and Sun Screening Compounds in Bengkoang
Roots(Pachyrhizuserosus).Dissertation. UniversitätWürzburg. Würzburg
Lunn, J. And Buttriss J.L. 2007. Carbohydrates and dietary fibre. Nutrition Bulletin 32:21-64.
Manitto, P. 1992. BiosintesisProdukAlami. PenerjemahKoensoemardiyah. IKIP Semarang Press.
Molyneux, P., The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating
antioxidant activity. 2004.Songklanakari J. Sci. Technol., 26: 211-219
Niwa, Y. 1997. Free Radicals Invite Death. Personal Care Co., LTD, Tokyo.
Rudrappa, U.2009. Jicama (Yam bean) nutrition Factc. http://nutrition-and-you.com[24 September
2013]
Rusmarilin, H. 2003. Aktivitas Anti-kanker Ekstrak Lengkuas Lokal (Alpinia galanga (L) Sw)
Pada Alur Sel Kanker Manusia serta Mencit yang Ditransplantasi Dengan Sel Tumor
Primer. Disertasi. IPB, Bogor.
Ruzaidi, A., Maleyki A., Amin I., Nawalyah A.G., Muhajir H., Pauliena MBSMJ and Muskinah M.S.
2008. Hypoglycaemic properties of Malaysian cocoa (Theobroma Cacao) polyphenols-rich
extract. International Food Research Journal15(3): 41-44.
Sahidi, F. 1997. Natural Antioxidants.Chemistry, Health Effects, and Applications. AOAC Press,
Champaign, Illinois
182
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
183
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Balai Penelitian Sungei Putih mempunyai koleksi tanaman karet yang tergolong dalam genus Hevea.
Laporan tertulis tentang detail produksi dari masing-masing tanaman tidak ditemukan dan hanya H.
benthamiana yang telah diketahui sifat dan karakteristik bunganya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
informasi tentang sifat fisiologi dan karet spesies-spesies Hevea sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi pemulia tanaman pada perakitan klon unggul. Hasil penentuan sifat fisiologi menunjukkan
bahwa kandungan thiol, fosfat anorganik dan sukrosa spesies Hevea masing-masing berada pada kisaran 0.24 –
0.42 mM, 8.37 – 19.65 mM dan 5.04 – 19.10 mM. Kandungan thiol tergolong rendah dan berada di bawah batas
optimal yaitu 0.4 mM, kecuali H. wagga. Kandungan fosfat anorganik berada pada kisaran normal yaitu 10 – 20
mM, kecuali H. guyanensis. Sementara itu kandungan sukrosa memiliki nilai yang bervariasi pada level rendah
(< 8 mM), normal (8-12 mM) dan tinggi (> 12 mM). Nilai Po dan PRI karet spesies Hevea berkisar antara 24 –
56 dan 59 – 83, sedangkan nilai viskositas mooney (VR) berkisar antara dan 23 – 37. Sampel memiliki nilai
kisaran kadar kotoran 0,09 – 0,24 %, kisaran kadar abu 0,17 – 0,60 %, dan kisaran zat menguap 0,33 – 1,01 %.
Menurut SNI terbaru tentang karet spesifikasi teknis (SNI 1903: 2011), semua sampel, kecuali dari H. wagga,
telah memenuhi standar.
PENDAHULUAN
Karet alam merupakan bahan bersifat elastis yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh beberapa
tanaman tertentu. Sampai saat ini diketahui ada sekitar 7500 spesies tanaman yang menghasilkan
karet alam dan digolongkan ke dalam tujuh famili diantaranya adalah Euphorbiaceae, Apocynaceae,
Asclepiadaceae, Asteraceae, Moraceae, Papaveraceae dan Sapotaceae (Backhaus 1985; Priyadarshan
2011). Genus Hevea terdiri dari 10 spesies dan Hevea brasiliensis merupakan spesies yang paling
banyak digunakan sebagai penghasil karet alam di dunia. Balai Penelitian Sungei Putih (BPSP), Pusat
Penelitian Karet mempunyai koleksi tanaman karet yang tergolong dalam genus Hevea. Berdasarkan
informasi dari “Peta Tanaman Koleksi Spesies Hevea” yang dibuat oleh peneliti pemuliaan Puslit
Karet BPSP, koleksi tersebut merupakan tanaman yang ditanam pada 19 Maret 1986, dengan jarak
tanam 6 x 4 m di Kebun Percobaan Sungei Putih terletak persis di depan kebun silang. Masing-masing
spesies, kecuali H. guyanensis, ditanam dalam dua baris, namun dalam jumlah yang berbeda. Detail
jumlah tanaman pada awal penanaman dan data saat ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Ada sebanyak 8 spesies dalam koleksi tersebut yaitu H. guyanensis, H. colina, H. confusa, H.
wagga, H. benthamiana, H. brasiliensis, H. pauciflora, H. spruceana. Selain kedelapan spesies
tersebut, ada dua nama lain yaitu Cikembang dan Cikengreng dalam koleksi tersebut. Sebagian
tanaman tidak disadap karena tidak/sedikit mengeluarkan getah, ataupun mempunyai ukuran lilit
batang yang relatif kecil. Laporan tertulis tentang detail produksi dari masing-masing tanaman tidak
ditemukan. Hanya ada beberapa laporan yang terkait sifat dan karakteristik tanaman diantaranya
tentang sifat bunga dari H. benthamiana (Azwar dan Woelan, 1990).
Salah satu alasan koleksi tanaman tersebut kurang menjadi prioritas sebagai tetua persilangan
adalah produksi lateks yang relatif sedikit. Hanya H. benthamiana yang memiliki produksi lateks
relatif agak banyak. Alasan lainnya adalah sampai saat ini hasil jadi persilangan yang telah dilakukan
tidak mendapatkan hasil memuaskan (Aidi-Daslin et al., 2013). Namun secara morfologi beberapa
tanaman spesies Hevea memiliki ukuran tanaman sedang sampai besar. Selain itu sifat botani masing-
masing tanaman memiliki beberapa perbedaan dalam hal habitat, tingkah laku gugur daun dan sifat
sekuder yang lainnya (Priyadarshan et al., 2009). Fakta ini menunjukkan bahwa tanaman spesies
Hevea dapat dimanfaatkan sifat-sifat unggulnya oleh para pemulia untuk merakit klon unggul baru.
Informasi mengenai fisiologi lateks dan sifat fisik karet pada tanaman karet sangat penting
untuk diketahui. Sifat fisiologi lateks berguna untuk menentukan kondisi tanaman seperti kesehatan,
184
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
potensi produksi maupun waktu buka sadap. Analisis fisiologi pada tanaman karet meliputi kadar
sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kadar magnesium, pH lateks, kadar karet kering (KKK),
indeks kerusakan lutoid (Jacob et al., 1998). Sementara itu sifat fisik karet sangat berguna sebagai
informasi proses pengolahan lateks menjadi bentuk bahan baku tertentu. Sifat fisik karet menentukan
kualitas dan jenis produk jadi yang dihasilkan dari bahan karet alam yang digunakan.
Minimnya informasi tentang genus Hevea membuka ruang untuk diadakannya penelitian
tentang koleksi tanaman tersebut. Informasi tentang sifat dan karakter tertentu dari suatu keragaman
genetik tentu akan bermanfaat bagi kegiatan pelestarian sumber genetik tersebut, sekaligus membuka
peluang untuk diciptakannya spesies atau klon baru. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
informasi dan database tentang sifat fisiologi dan karet tanaman genus Hevea, serta sebagai bahan
pertimbangan bagi pemulia tanaman untuk perakitan klon-klon baru. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi semangat awal untuk memulai kembali penelitian-penelitian tanaman karet
non Hevea brasiliensis.
185
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
merupakan persentase dari bobot yang hilang terhadap bobot contoh uji. Pengujian sifat teknik karet
ini dilakukan dengan metode pengujian SIR (Anonim, 1978).
Kandungan thiol, fosfat anorganik (FA) dan sukrosa lateks pada beberapa spesies non-Hevea
brasiliensis disajikan pada tabel 1. Nilai rata-rata thiol berkisar antara 0.24 mM – 0.42 mM. Nilai
terendah dimiliki oleh spesies H. benthamiana (0.24 mM) dan tertinggi H. wagga (0,42 mM). Nilai-
nilai tersebut masih berada pada diatas kondisi kritis yaitu 0,2 mM (Rachmawan dan Sumarmadji,
2007) namun masih dibawah nilai optimal yaitu 0.4 mM kecuali H. wagga. Namun jika dibandingan
dengan kontrol (H. brasiliensis) menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Menurut Sumarmadji
dan Tistama (2004) kandungan thiol yang optimal berkisar 0,4 mM – 0,9 mM. Kandungan thiol
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sistem eksploitasi, musim dan umur tanaman
(Sumarmadji et al. 2004; Rachmawan dan Sumarmadji, 2007; Sumarmadji dan Tistama, 2004).
Kandungan thiol yang rendah menunjukkan bahwa sel atau jaringan tanaman tidak mampu
untuk mengatasi kondisi stres fisiologis. Chrestin (1989) menjelaskan bahwa thiol berfungsi
melindungi organel subseluler melalui proses pengikatan oksigen toksik yang merupakan radikal
bebas dalam pembuluh lateks. Selain itu, defisiensi thiol akan mengakibatkan kerusakan organel sel,
tertanggunya aktivitas metabolisme di dalam sel pembuluh lateks, serta memperpendek lama aliran
lateks dan menurunkan produksi lateks (Jacob et al. 1989). Jika kondisi ini terus berlanjut maka akan
menyebabkan penyakit kekeringan alur sadap.
Kandungan fosfat anorganik (FA) lateks spesies Hevea secara umum memiliki nilai yang
tinggi kecuali H. guianensis. Nilai tersebut berada pada batas kisaran optimal yaitu 10 – 20 mM.
Terlihat kandungan FA lateks spesies non-H. brasiliensis memiliki nilai yang sama dengan kontrol
(H. brasiliensis). Kadar FA dalam lateks yang tinggi menggambarkan metabolisme yang aktif,
termasuk biosintesis lateks dalam sitosol sel pembuluh lateks. Apabila nilai FA dibawah 10 mM maka
tanaman kurang kemampuannya dalam metabolisme. Namun jika lebih tinggi dari 20 mM berarti
tanaman mengalami over eksploitasi atau terserang penyakit (Fay dan Jacob, 1989). Fosfat anorganik
(FA) merupakan unsur penting dalam sel yang berhubungan dengan aktivitas metabolisme di dalam
pembuluh lateks (Jacob, 1989). Menurut Lynen (1969) menyatakan bahwa FA terlibat dalam proses
penyediaan energi dalam anabolisme sel dan dalam biosintesis isoprene melalui ikatan adenosin fosfat
dan pirofosfat.
Kadar sukrosa lateks rata-rata pada pesies H. wagga dan H. spruceana tergolong tinggi (>12
mM), spesies H. guianensis tergolong sedang (8 – 12 mM) dan spesies H. bentamiana, H. pauciflora
dan H. brasiliensis tergolong rendah (< 8 mM). Rata-rata spesies non-H. brasiliensis memiliki kadar
glukosa lebih tinggi dan mendekati kontrol (H. brasiliensis) yaitu berkisar 6.5 – 19.1 mM kecuali H.
pauciflora yang memiliki kadar sukrosa dibawah kontrol. Hal ini mungkin terkait dengan kondisi
umur tanaman dan frekuensi penyadapan yang dilakukan. Gohet et al. (1996) menyatakan bahwa
produksi lateks dan pertumbuhan dapat berkompetisi dengan kuat dalam penggunaan sukrosa lateks.
186
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Lebih lanjut pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa peningkatan frekuensi sadap menurunkan
kadar sukrosa pada klon PB 260 (Sumarmadji dan Tistama, 2004).
Kadar sukrosa lateks dapat menggambarkan ketersediaan bahan baku untuk pembentukkan
partikel karet. Sukrosa merupakan molekul prekursor dalam pembentukkan poliisoprena. Namun
tinggi rendahnya kandungan sukrosa lateks tidak dapat menjadi acuan terhadap produktivitas tanaman
karet. Kadar sukrosa lateks yang tinggi dalam pengamatan tidak dapat langsung menggambarkan
produksi aktual yang tinggi. Kondisi demikian justru bisa mengindikasikan produksi yang rendah
karena sejumlah sukrosa mungkin tidak dapat disintesis menjadi lateks. produksi lateks dan
pertumbuhan dapat berkompetisi dengan kuat dalam penggunaan sukrosa lateks (Gohet et al., 1996).
Lebih lanjut Jacob et al. (1989) menyatakan bahwa sukrosa cenderung diakumulasikan ketika
regenerasi in situ telah selesai.
Nilai PRI karet tanaman Hevea berkisar antara 59 – 83. Nilai PRI terendah terdapat pada H.
benthamiana, sedangkan yang tertinggi terdapat pada H. guyanensis. Semua nilai tersebut memenuhi
persyaratan untuk pembuatan karet SIR 20. Nilai PRI minimal untuk produk SIR 20 adalah 50,
sedangkan untuk SIR 10 adalah 60. Semakin tinggi spesifikasi mutu SIR maka persyaratan nilai PRI
juga semakin tinggi. PRI merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui ketahanan karet
terhadap oksidasi pada suhu tinggi. Semakin tinggi nilai PRI, maka semakin baik pula tingkat
ketahanan karet terhadap pemanasan. Jika nilai PRI karet berada di bawah standar SIR, maka harus
dilakukan pencampuran bahan bakunya agar diperoleh PRI yang lebih baik, atau dapat juga dilakukan
proses maturasi yang lebih lama. Proses maturasi (pematangan/ pengurangan kadar air dengan cara
penggantungan krep) telah banyak digunakan di pabrik untuk meningkatkan nilai PRI ini. Nilai
plastisitas juga sangat dipengaruhi oleh cara penanganan bahan olah selama berada di petani sampai
pabrik. Nilai plastisitas karet dapat menurun apabila bahan olah direndam dalam air, mengandung
banyak kotoran atau terkena sinar matahari langsung. Plastisitas juga dapat turun karena penggilingan
berlebihan ataupun pengeringan pada temperatur tinggi.
Plastisitas awal (Po) karet tanaman Hevea bervariasi antara 24 – 56. Batas minimal nilai Po
yang dipersyaratkan dalam produk SIR adalah 30. Hanya karet dari H. spruceana yang nilai Po-nya
berada di bawah standar, yaitu 24. Nilai Po yang rendah mengindikasikan ukuran molekul karet yang
pendek. Sebaliknya, nilai Po yang semakin tinggi, berarti semakin panjang rantai molekul karet. Nilai
Po mempunyai hubungan erat dengan viskositas mooney (VR) dan berkorelasi dengan panjang
molekul karet yang terkandung dalam lateks. Tanaman muda (3 – 4 tahun) yang belum rutin disadap
cenderung menghasilkan molekul isoprena yang lebih pendek dibandingkan dengan tanaman dewasa
(11 – 13 tahun). Hal tersebut terlihat pada tanaman PB 260 umur 3 – 4 tahun (awal sadap) yang
menghasilkan karet dengan nilai Po berkisar 25 – 35, lebih rendah dibandingkan nilai Po karet dari
tanaman dewasa yang berkisar 40 – 50 (Rachmawan dan Sumarmadji, 2007).
Nilai viskositas mooney (VR) dari karet tanaman Hevea bervariasi antara 23 – 37. Nilai VR
biasanya hanya dipakai untuk permintaan khusus dari konsumen berupa karet VK/CV (constant
viscosity). Berdasarkan ketentuan karet spesifikasi teknis (SNI 1903: 2011) dikenal tiga klasifikasi
viskositas untuk SIR 3CV, yaitu CV-50, CV-60 dan CV-70, dengan rentang nilai VR berturut-turut
adalah 45 – 55, 55 – 65 dan 65 – 75. Dari ketentuan tersebut, maka lateks tanaman Hevea
kemungkinan hanya dapat diolah menjadi karet dengan CV-50 melalui pencampuran dengan lateks
187
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
yang memiliki nilai CV lebih tinggi. Untuk menghasilkan karet CV medium, lateks klon yang
memiliki VR rendah dapat dicampur dengan lateks dari spesies yang memiliki VR tinggi dengan
perbandingan proporsional (Anas, 2001). Beberapa klon yang dilaporkan mempunyai VR tinggi
diantaranya adalah IRR 104, IRR 118 dan PB 260 (Aidi-Daslin dan Anas, 2003).
Selain digunakan sebagai parameter SIR 3CV, nilai VR juga merupakan parameter yang
berkaitan dengan jumlah energi yang diperlukan pada waktu pencampuran karet dengan bahan-bahan
pembuat kompon dalam pembuatan barang jadi. Karet dengan VR tinggi memerlukan evergi mastikasi
yang tinggi dan bahan pelunak tertentu untuk memudahkan pembuatan kompon. Sebaliknya, karet
dengan VR rendah hanya memerlukan energi mastikasi yang rendah, bahkan ada yang tidak
memerlukan tahap mastikasi (Darussamin, 1990).
Sample yang diuji mempunyai kisaran kadar kotoran sebesar 0,09 – 0,24 %, kisaran kadar abu
sebesar 0,17 – 0,60 %, dan kisaran zat menguap sebesar 0,33 – 1,01 %. Menurut SNI terbaru tentang
karet spesifikasi teknis (SNI 1903: 2011), nilai maksimum yang diijinkan untuk kadar kotoran, kadar
abu dan zat menguap pada produk SIR 20 masing-masing adalah 0,16; 0,10 dan 0,80 %. Semua
sampel, kecuali dari H. wagga, telah memenuhi semua persyaratan tersebut sehingga dapat berpotensi
digunakan untuk pembuatan SIR 20. Kadar zat menguap karet mentah menunjukkan kandungan air
yang terperangkap dalam sample. Semakin rendah kadar zat menguap, berarti sample karet semakin
baik. Batasan maksimal Vm yang diijinkan adalah 0,80%. Dari keenam sampel, hanya sampel karet
H. wagga yang nilainya lebih tinggi dari standar, yaitu 1,01%.
Analisis kadar abu diperlukan untuk menjamin bahwa karet yang dihasilkan tidak terlalu
banyak mengandung bahan kimia yang biasa digunakan dalam pengolahan, maupun bahan-bahan
pengotor yang ada pada bahan baku bokar. Pada proses analisa kadar abu yang memerlukan tahap
pembakaran, bahan-bahan organik akan terbakar, sedangkan bahan anorganik tidak terbakar tetapi
membentuk abu. Batasan nilai kadar abu yang diijinkan untuk karet SIR 20 adalah 0,20%. Semua
sampel telah memenuhi kriteria standar kecuali sampel karet dari H. wagga. Kadar kotoran dalam SIR
dapat diminimalkan dengan cara menambah panjang proses pengolahannya yaitu memperbanyak
tahapan pencucian bahan baku. Hal tersebut dapat dilakukan dengan namun memiliki konsekuensi
akan meningkatkan biaya pengolahan.
Nilai KKK bervariasi antara 37 – 44%. Yip menggolongkan KKK lateks menjadi empat
golongan yaitu dibawah rata-rata (< 34%), rata-rata (34 – 38%), di atas rata-rata (38 – 41%) dan tinggi
(> 41%). Berdasarkan penggolongan tersebut maka lateks spesies Hevea secara umum mempunyai
nilai KKK di atas rata-rata. Nilai KKK seharusnya diamati secara kontinue untuk melihat variasi
musiman dan juga posisi panel sadap.
DAFTAR PUSTAKA
Aidi-Daslin, S. Woelan, Sayurandi dan S. A. Pasaribu. 2013. Koleksi tanaman spesies Hevea
Balit Sungei Putih. Komunikasi Pribadi.
Aidi-Daslin dan A. Anas. 2003. Karakterisasi hasil serta sifat lateks dan kayu dari berbagai
klon karet unggul generasi IV. Prosiding Konferensi Agribisnis Karet Menunjang
Industri Lateks dan Kayu 2003. Pusat. Penelitian Karet, Medan.
Anas, A. 2001. Karakterisasi mutu lateks dan sifat klon karet harapan. Laporan Hasil Penelitian.
19 p. Pusat Penelitian Karet, Medan.
Anonim. Tanpa Tahun. Peta Tanaman Koleksi Species Hevea. Kelti Pemuliaan Puslit Karet.
Anonim. 1978. Metode pengujian SIR. Departemen Perdagangan dan Koperasi, Direktorat
Standardisasi, Normalisasi dan Pengendalian Mutu. Jakarta.
Azwar, R. dan S. Woelan. 1990. Karakteristik bunga dan viabilitas serbuk sari beberapa klon
karet. Buletin Perkaretan. 8 (3): 77 – 83.
Chrestin H. 1989. Physiology of rubber tree latex. d’Auzac J, Jacob JL & Chrestin H (ed).
CRC Press. Boca Raton 431 – 439.
Darussamin, A., T. Chaidamsari dan Y. Syamsu. 1990. Sifat lateks beberapa klon anjuran
1988 – 1990. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990. p 216 – 239.
Dische ZM. 1962. Carbohydrate Chem. Acad. Press 1:488.
Fay E dan Jacob JL. 1989. Symptomatology, histological, and cytological aspects. In. J d’Auzac, JL
Jacob dan H Chrestin (Ed). Physiol. Rubb. Tree Latex. CRC Press, Boca Raton, 407 – 430.
188
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gohet et al. 1996. Clone, croisance et stimulation, facteurs de la production du latex. plantations,
recherché, and development. P: 30 – 38. In Plantations, recherché and development.
Jacob et al. 1989. Yield-limiting factors, latex physiological parameters, latex diagnosis, and
clonal typology. In. J d’Auzac, JL Jacob dan H Chrestin (Ed). Physiol. Rubb. Tree
Latex. CRC Press, Boca Raton, 345 – 382.
Lynen F. 1969. Biochemical problems oof rubber synthesis. J. Rubb. Res. Inst. Malaya. 21: 851 –
853.
McMullen AI. 1960. Thiols of low molecular weight in Hevea brasiliensis latex. Biochem. Biophys.
Acta, 41;152-154.
Rachmawan, A. dan Sumarmadji. 2007. Kajian fisiologi dan sifat karet klon PB 260 menjelang
buka sadap. J. Penelitian Karet. 25 (2): 59 – 70.
Sumarmadji, Siswanto dan S Yahya. 2004. Penggunaan parameter fisiologi lateks untuk penentuan
sistem eksploitasi tanaman karet. J. Penelitian Karet. 22 (1): 41 – 52.
Sumarmadji dan Tistama R. 2004. Deskripsi klon karet berdasarkan karakter fisiologi lateks
untuk menetapkan sistem eksploitasi yang sesuai. J. Penelitian Karet. 22 (1): 27 – 40.
Suparto, D., Y. Syamsu, A. Cifriadi dan S. Honggokusumo. 2009. Sifat teknis karet remah
dengan viskositas mooney dan kadar gel rendah. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman
Karet 2009. p 368 – 373.
Taussky HH & Shorr E. 1953. A micro colorimetric methods for the determination of inorganic
phosphorus. J. Biol. Chem. 202, 675-685.
189
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data pengaruh a) Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) 2,4-
Dichlorofenoxyacetic acid (2,4-D), b) jenis eksplan yang berbeda c) interaksi antara ZPT 2,4-D dan jenis
eksplan terhadap induksi kalus tanaman kentang varietas Granola. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan
Oktober 2013 – Januari 2014 di Laboratorium Kultur Jaringan YAHDI Medan Marelan. Desain penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama adalah ZPT 2,4-D dengan 4 dosis perlakuan
(0, 1, 2, 3 ppm) dan faktor kedua yaitu jenis eksplan meliputi akar, batang dan daun. Kombinasi perlakuan
berjumlah 12 dengan 4 kali ulangan. Proses pengamatan dilakukan selama 28 hari. Parameter yang diamati
adalah waktu terbentuknya kalus, tekstur kalus, warna kalus, biomassa kalus dan luas permukaan kalus. Hasil
penelitian diperoleh: terdapat pengaruh sangat signifikan a) ZPT 2,4-D, b) jenis eksplan, c) interaksi ZPT 2,4-D
dan jenis eksplan terhadap biomassa dan luas permukaan kalus. Jenis eksplan batang mampu membentuk kalus
pada perlakuan 3 ppm 2,4-D setelah 13 hari induksi sedangkan perlakuan 1 dan 2 ppm 2,4-D setelah 14 hari
induksi. Eksplan akar dapat membentuk kalus pada perlakuan 3 ppm 2,4-D setelah 15 hari induksi dan
perlakuan 2 ppm 2,4-D setelah 16 hari induksi. Eksplan daun tidak dapat membentuk kalus. Warna kalus yang
dihasilkan berwarna bening kehijauan dan teksturnya remah. Perlakuan ZPT 2,4-D 3 ppm dan jenis eksplan
batang menghasilkan rata-rata biomassa kalus tertinggi yaitu 1,14 gram dengan luas permukaan kalus 1,60 cm2.
PENDAHULUAN
Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman introduksi yang memiliki
peluang untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini mengandung sumber karbohidrat yang
cukup tinggi khususnya pada umbi yaitu 19,10 gr/100 gr (Efendi dkk, 2004)). Umbi kentang
berpotensi untuk dijadikan bahan diversifikasi pangan menggantikan beras (Andriyanto, 2013).
Kebutuhan akan kentang semakin meningkat setiap tahun seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku kentang (Hani, 2012).
Namun, bibit kentang yang bermutu masih terbatas karena belum bebas hama, patogen dan penyakit
sistemik sehingga dibutuhkan cara atau teknik untuk mengatasi hal itu. Salah satu teknik modern yang
dapat digunakan saat ini adalah dengan teknik kultur jaringan (Wattimena, dkk., 1991; Rahardja,
1995; Yusnita, 2003). Teknik ini digunakan untuk mengisolasi bagian tanaman (protoplasma sel,
jaringan dan organ) dalam kondisi steril sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Harahap, 2011).
Dalam kultur jaringan dikenal istilah kultur kalus. Kultur kalus merupakan kultur yang
dilakukan terhadap eksplan tanaman untuk memudakan kembali sel-sel pada eksplan tersebut yang
diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Pembentukan kalus terjadi dari sel-sel
jaringan yang membelah diri secara terus menerus dan memiliki morfologi yang amorphus (Harahap,
2011).
Kalus terbentuk melalui tiga tahapan, yaitu induksi, pembelahan sel, dan diferensiasi.
Pembentukan kalus ditentukan oleh sumber eksplan, komposisi nutrisi pada medium dan faktor
lingkungan. Sumber eksplan tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan,
perisikel, kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular.
Kultur kalus ini penting dilakukan untuk melihat kemampuan eksplan dalam membentuk
kalus yang selanjutnya dapat ditumbuhkan pada media regenerasi secara terus-menerus sehingga
dapat dimanfaatkan dalam mempelajari metabolisme dan diferensiasi sel, morfogenesis sel, variasi
somaklonal, transformasi genetik serta produksi metabolit sekunder (Ariati, dkk., 2012). Selain itu,
kultur kalus juga dilakukan untuk perbanyakan klon tanaman melalui pembentukan organ dan embrio,
190
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
regenerasi varian–varian genetika, mendapatkan tanaman bebas virus, sebagai sumber untuk
kreopreservasi, produksi metabolit sekunder dan biotransformasi.
Dalam menginduksi kalus diperlukan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang dikombinasikan
dengan media dasar. ZPT yang sering digunakan dalam menginduksi kalus yaitu ZPT golongan
auksin, salah satunya adalah 2,4-Dichlorofenoxyacetic acid (2,4-D). Selain dapat menginduksi kalus,
hormon ini juga berperan dalam menghambat pembentukan klorofil, membentuk akar dan tunas
(Kamal, 2011), berperan dalam embriogenesis, menghambat pembentukan tunas aksilar dan adventif
(Karjadi dan Buchory, 2008), serta menginduksi kalus jika dipakai dalam konsentrasi tinggi (Oggema,
2007; Rinanto, 2011; Yelnititis, 2012).
Gati dan Mariska (1992); Chamandoosti (2013) juga menyatakan bahwa 2,4-D paling efektif
merangsang pembentukan kalus karena aktivitas yang kuat untuk memacu proses diferensiasi sel,
organogenesis dan menjaga pertumbuhan kalus.
Induksi kalus terhadap jenis eksplan kentang menggunakan 2,4-D merupakan penelitian awal
untuk menghasilkan data tentang komposisi media mana yang cocok dalam menginduksi kalus
eksplan kentang.
Warna Kalus
Secara umum eksplan akar dan batang yang mampu membentuk kalus memiliki warna yang
beragam. Perlakuan 2 dan 3 ppm 2,4-D pada jenis eksplan batang memiliki warna bening kehijauan
191
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
yang cerah dibandingkan dengan perlakuan 1 ppm 2,4-D. Pada eksplan akar, perlakuan 2 dan 3 ppm
2,4-D memiliki warna kalus yang sama yaitu bening kehijauan namun bening lebih dominan terlihat.
a) b) c)
Gambar 1. Waktu terbentuknya kalus kentang umur 15 HSI yang berasal dari eksplan a) akar, b)
batang, c) daun pada perlakuan 2,4-D 3 ppm
Tekstur Kalus
Kalus yang berasal dari eksplan akar dan batang memiliki tekstur yang remah (friable).
Tekstur remah pada kedua eksplan tersebut sangat jelas terlihat dengan adanya gumpalan-gumpalan
yang membesar dan membengkak serta memiliki bentuk yang amorf. Tekstur ini sangat bagus untuk
perkembangan kalus selanjutnya.
Gambar 2. Warna dan tekstur kalus yang terbentuk dari perlakuan 2,4-D 3 ppm dan eksplan batang
usia 23 HSI
Biomassa Kalus
Hasil pengamatan yang didapatkan dari pengaruh ZPT 2,4-D dengan jenis eksplan yang
berbeda ter- hadap biomassa kalus kentang umur 28 HSI dapat dilihat pada tabel 1.
Perlakuan kontrol (D0J0, D0J2, D0J3), 2,4-D 1 ppm dengan eksplan akar dan daun serta 2,4-D 2
dan 3 ppm dengan eksplan daun (D2J3 dan D3J3) diperoleh biomassa kalus terendah yaitu 2,84 gram
(rata-rata 0,71 gram), sedangkan pada perlakuan 2,4-D 3 ppm dengan eksplan batang (D3J2) diperoleh
biomassa kalus tertinggi yaitu 4,57 gram (rata-rata 1,14 gram) (gambar 4).
Gambar 3. kalus yang terbentuk dari perlakuan 2,4-D 3 ppm dan eksplan batang usia 28 HSI
192
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Pengaruh Interaksi antara ZPT 2,4-D dan Jenis eksplan terhadap Biomassa kalus umur 28
HSI
2,4D (D) Jenis eksplan (J) Total
J1 J2 J3
D0 2,84a 2,84a 2,84a 8,52
D1 2,84a 3,21bc 2,84a 8,89
D2 3,17ab 3,69c 2,84a 9,7
D3 3,19ab 4,57d 2,84a 10,6
Total 12,04 14,31 11,36 37,71
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan beda tidak nyata pada uji DMRT
taraf 5%
D0, D1, D2, D3 = 2,4-D 0, 1, 2, 3 ppm
J1, J2, J3 = Akar, batang , daun
1,2
Rata-rata biomassa kalus
1
0,8
0,6 1,14
0,92
0,4 0,8
0,71 0,71 0,71 0,71 0,79 0,71 0,79 0,71
0,2
0
D0J1 D0J2 D0J3 D1J1 D1J2 D1J3 D2J1 D2J2 D2J3 D3J1 D3J2 D3J3
Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa interaksi kedua perlakuan menghasilkan Fhitung (10)>
Ftabel (3,35), sehingga interaksi keduanya memberikan pengaruh sangat nyata terhadap biomassa kalus
kentang.
Uji DMRT menunjukkan hasil tertinggi pada perlakuan 2,4-D 3 ppm dengan jenis eksplan
batang (D3J2) menghasilkan rata-rata biomassa kalus 1,14 gram yang berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya, kemudian diikuti dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan akar (D2J1) menghasilkan
biomassa kalus 0,92 gram yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kemudian perlakuan 2,4-D
1 ppm dengan eksplan batang (D1J2) menghasilkan biomassa kalus 0,80 gram yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol (D0J1, D0J2, D0J3), 2,4-D 1 ppm dengan eksplan akar, batang dan
daun, serta 2, 4-D 2 dan 3 ppm dengan eksplan akar dan daun (D2J1, D2J3, D3J1, D3J3).
193
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 5. Luas permukaan kalus dari perlakuan 2,4-D 3 ppm dan eksplan batang usia 28 HSI
Uji DMRT menunjukkan hasil tertinggi pada perlakuan 2,4-D 3 ppm dengan jenis eksplan batang
(D3J2) menghasilkan rata-rata luas permukaan kalus 1,60 cm2 yang berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya, kemudian diikuti dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan batang (rata-rata 1,36 cm2)
yang berbeda nayata dengan perlakuan lainnya, 2,4-D 3 ppm dengan eksplan akar (rata-rata 1,20 cm2)
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan akar (rata-rata 1,10 cm2) tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Tabel 2. Pengaruh Interaksi ZPT 2,4-D dan Jenis eksplan terhadap Luas Permukaan kalus umur 28
HSI
2,4D (D) Jenis eksplan (J)
J1 J2 J3 Total
D0 2,84a 2,84a 2,84a 8,52
D1 2,84a 4,32b 2,84a 10
D2 4,42bc 5,44e 2,84a 12,7
D3 4,82cd 6,42f 2,84a 14,08
Total 14,92 19,02 11,36 45,3
1,8
1,6 Rata-rata luas permukaan kalus
1,4
1,2
1
0,8 1,6
1,36
0,6 1,1 1,2
1,08
0,4 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71
0,2
0
D0J1 D0J2 D0J3 D1J1 D1J2 D1J3 D2J1 D2J2 D2J3 D3J1 D3J2 D3J3
Perlakuan 2,4-D 1 ppm dengan eksplan batang (rata-rata 1,08 cm2) tidak berbeda nyata
dengan perlakuan 2,4-D 2 ppm dengan eksplan akar (rata-rata 1,10 cm2) namun berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Perlakuan 2,4-D 1 ppm dengan eksplan akar, batang dan daun, serta 2,4-D 2 dan 3
ppm dengan eksplan akar dan daun tidak berpengaruh nyata dengan perlakuan kontrol.
194
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Interaksi 2,4-D dan jenis eksplan berpengaruh sangat nyata terhadap biomassa dan luas
permukaan kalus. Perlakuan D3J2 (2,4-D 3 ppm dan eksplan batang) merupakan perlakuan terbaik
yang menghasilkan biomassa kalus tertinggi yaitu 1,14 gram dan luas permukaan kalus 1,60 cm2.
SARAN
Dari hasil penelitian diperoleh usia kalus dalam media induksi adalah 28 HSI, disarankan
kalus yang berhasil diinduksi tersebut sebaiknya langsung dipindahkan ke media regenerasi yang
tepat.
REFERENSI
Andriyanto, F., Setiawan, B., Riana, F.D., (2013), Dampak Impor Kentang Terhadap Pasar Kentang
di Indonesia, HABITAT 24(1): 64-76
Ariati, S. N., Waeniati, Muslimin, Suwastika, I.N., (2012), Induksi Kalus Tanaman Kakao
(Theobroma cacao L.) Pada Media MS Dengan Penambahan 2,4-D, BAP Dan Air Kelapa,
Jurnal Natural Science 1(1): 74-84
Chamandoosti, F., (2013), Influence of medium composition and explant type on plantlet regeneration
in cotton (Gossypium hirsutum L.) Technical Journal of Engineering and Applied Sciences
3(2): 239-243
Efendi, M.N., Nurnadiah, R.N. dan Endang V.A.B., (2004), Manfaat Kentang Bagi Kesehatan,
Buletin Teknopro Hortikultura, Departemen Pertanian, Ragunan
Gati, E. dan I. Mariska, (1992), Pengaruh Auksin Dan Sitokinin Terhadap Pembentukan Kalus
Mentha piperita Linn., Buletin Littri 3 : 1-4
Hani, A.M., (2012), Pengeringan Lapisan Tipis Kentang (Solanum tuberosum L.) varietas Granola,
FP UNHAS, Makasar
Kamal, G.B., (2011), The study of callus induction in cotton (Gossypium Sp.) under tissue culture
conditions, International Journal of Agriculture and Crop Sciences 3(1): 6-11
Karjadi, A. K., dan Buchory A., (2008), Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola, Jurnal Hortikultura, 14(4): 380-
384
Oggema, J.N., Kinyua, M.G., and Ouma, J.P., (2007), Optimum 2,4-D concentration suitable for
embryogenic callus induction in local Kenyan sweet potato cultivars, Asian Journal of Plant
Sciences 6(3): 484-489
Riduwan, (2011), Dasar – dasar Statistika, Alfabeta, Bandung
Rahardja, P.C., (1995), Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman secara Modern, Penebar
Swadaya, Jakarta
Rinanto, Y., (2011), Induksi Kalus dan Deteksi Kandungan Alkaloid Daun Jarak (Jatropha curcas L.)
Menggunakan Hormon 2,4-D dalam Media MS, AGROVIGOR 4(1): 1-6
Sudjana, (2002), Metoda Statistika, Tarsito, Bandung
Warnita, Hervasi, D., Yanti, Y., (2011), Pertumbuhan Kalus Kentang pada Beberapa Zat Pengatur
Tumbuh, Jerami 4(3): 169-174
Wattimena, G. A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, S. Endang, N.M.A. Wiendi, dan A.Ernawati, (1991),
Bioteknologi Tanaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Tinggi
PAU Bioteknologi IPB, Bogor
Yelnititis, (2012), Pembentukan Kalus Remah dari Eksplan Daun Ramin (Gonystylus bancanus (Miq)
Kurz.), Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 6(3): 181-194
Yusnita, (2003) Kultur Jaringan: Cara memperbanyak tanaman secara efisien, Agromedia Pustaka,
Jakarta
195
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Budidaya padi dengan revolusi hijau (green revolution) berhasil membawa Indonesia mencapai
swasembada beras pada tahun 1984. Akan tetapi dalam jangka panjang, sistem ini memunculkan permasalahan
seperti penurunan produktivitas lahan dan daya dukung lingkungan, kerusakan lingkungan, serta masalah sosial.
Budidaya padi yang dilakukan petani selama ini mempunyai banyak kelemahan sehingga menyebabkan
pertumbuhan tanaman menjadi terbatas dan hasil panen menjadi rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi budidaya padi berbasis System of Rice Intensification (SRI). Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok nonfaktorial, dengan 3 kelompok. Bibit yang digunakan berumur 10 hari dengan 4
jarak tanam yaitu 25cm x 25cm, 30cm x 30cm, 35cm x 35cm dan 40cm x 40cm. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jarak tanam berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun,
berat kering 1000 bulir dan hasil panen, tetapi tidak berpengaruh nyata (p > 0,05) terhadap tinggi tanaman,
diameter batang, panjang malai, dan jumlah bulir per malai.
PENDAHULUAN
A. Budidaya Padi dan Permasalahannya
Peningkatan produktivitas padi dengan cara konvesional yang dikenal dengan revolusi hijau
(green revolution) telah mampu meningkatkan produksi padi nasional bahkan pada tahun 1984
Indonesia berhasil swasembada beras (Sutanto, 2002). Namun Dalam jangka panjang, sistem ini
memunculkan banyak permasalahan seperti penurunan produktivitas lahan dimana terjadi gejala
levelling off produktivitas lahan padi, bahkan selama tiga dasawarsa terakhir pertumbuhan produksi
dan produktifitas lahan padi mengalami penurunan yang signifikan. Sebagai akibatnya sejak tahun
1994, Indonesia jadi pengimpor beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sepanjang tahun
2012, impor beras Indonesia mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 945,6 juta (BPS, 2013).
Teknologi revolusi hijau juga berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan, kerusakan
lingkungan, maupun masalah–masalah sosial lainnya seperti biaya sarana produksi padi semakin
tinggi dari waktu ke waktu, petani semakin tergantung terhadap input eksternal (bahan kimia dan
energi), semakin meningkatnya pencemaran air akibat pupuk dan pestisida, semakin meningkatnya
ancaman residu bahan agrokimia terhadap kualitas dan keamanan pangan (Reijntjes, dkk.2007).
Budidaya padi yang dilakukan petani selama ini mempunyai banyak kelemahan sehingga
menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terbatas dan hasil panen menjadi tidak optimal.
Beberapa permasalahan tersebut antara lain:
(1) Seleksi benih. Pada umumnya petani padi melakukan seleksi benih dengan merendam benih di
dalam air saja dan mengambil benih yang tenggelam. Metode ini mempunyai keterbatasan karena biji
yang tenggelam belum tentu mempunyai vigor yang tinggi, sehingga yang dihasilkan kualitasnya
tidak optimal (Purwasasmita, 2009; SRI-Rice, 2014).
2. Pembibitan. Pembibitan padi dilakukan dengan merendam benih dalam air selama 2 hari dan
memeramnya selama 2 hari atau sampai benih berkecambah. Jika sudah berkecambah, benih disebar
di lahan pembibitan, dan dipelihara sampai bibit siap tanam antara umur 3–4 minggu. Cara
pembibitan ini mempunyai kelemahan karena memerlukan waktu yang lama dan bibit yang dihasilkan
kualitasnya kurang baik karena bibit sudah terlalu tua. Pada saat pindah tanam (transplanting), sering
kali daun tanaman dipotong agar tidak terlalu tinggi dan tanah yang melekat di akar dibersihkan, serta
tidak segera ditanam atau dibiarkan bibit berada di lahan. Kondisi ini menyebabkan bibit yang
196
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ditanam akan kehilangan potensi tumbuh, akar menjadi rusak, pertumbuhan kembali (regrowth)
lambat, dan perkembangannya lambat (Purwasasmita, 2009; SRI-Rice, 2014).
3. Penanaman. Pada umumnya petani melakukan penanaman bibit padi dengan jumlah bibit banyak
(ombol) 3–5 per lubang tanam dan menggunakan jarak tanam sempit (20 cm x 20 cm). Hal ini
menyebabkan kebutuhan benih menjadi tinggi (50 kg/ha), serta terjadinya persaingan awal antar bibit
dan antar rumpun. Penanaman dengan ditancapkan (ceblok) menyebabkan akar tanaman menjadi
tumbuh tidak normal, pangkal batang berada di dalam tanah sehingga anakan lambat terbentuk serta
pertumbuhan tanaman tidak optimal (Purwasasmita, 2009; SRI-Rice, 2014).
4. Irigasi penggenangan. Irigasi yang dilakukan petani pada umumnya dilakukan dengan
menggenangi lahan sejak pengolahan tanah, saat tanam sampai tanaman dewasa. Kondisi ini kurang
menguntungkan bagi tanaman dan kehidupan organisme bermanfaat dalam tanah. Dalam keadaan
tergenang, lahan menjadi anaerob sehingga ketersediaan oksigen dalam tanah menjadi sangat terbatas.
Oksigen diperlukan organisme bermanfaat dalam tanah dan akar tanaman untuk respirasi. Dalam
keadaan kurang oksigen, aktivitas organisme menjadi terbatas sehingga kemanfaatannya bagi tanaman
tidak optimal. Oksigen yang terbatas juga menyebabkan laju respirasi akar tanaman berjalan lambat
dan akibatnya energi yang dihasilkan menjadi rendah. Kondisi ini menyebabkan perkembangan
(jumlah dan panjang) akar tanaman menjadi terbatas dan anakan tanaman menjadi tidak optimal.
Selain itu, penggenangan berlebihan juga dapat menyebabkan efektifitas pemupukan (pupuk buatan)
menjadi rendah karena banyak pupuk yang hilang akibat menguap (evaporasi), terbawa aliran air
limpasan atau mengalami pelindian. Penggunaan air yang berlebihan juga menyebabkan terjadinya
pemborosan sumber daya air (Purwasasmita, 2009). Tanah yang tergenang air akan menyebabkan
kerusakan pada struktur anatomi padi sebab padi bukanlah tanaman air (Purwasasmita, 2009). Dalam
suasana an-aerob, bakteri an-aerob fakultatif dapat menggunakan NO3- sebagai aseptor elektron
(pengganti oksigen), sehingga nitrat tereduksi menjadi N2 yang hilang ke atmosfer sehingga menjadi
masalah dalam pengelolaan sawah genangan. Hal ini menyebabkan efektifitas pemupukan Nitrogen
menjadi rendah kurang dari 30% dan ketersediaan Nitrogen bagi tanaman menjadi rendah
(Purwasasmita, 2009). Kondisi tergenang juga menyebabkan tak berfungsinya kekuatan biologis
tanah dan menghambat perkembangan sistem perakaran padi. Biota tanah aerob tak dapat
berkembang dan diperkirakan hanya sekitar 25% yang berkembang optimal (Purwasasmita, 2009).
5. Pemupukan. Pada umumnya petani melakukan pemupukan hanya menggunakan pupuk buatan
makro terutama nitrogen dengan dosis yang berlebihan. Pemupukan menggunakan pupuk buatan
memang memiliki kecepatan transfer nutrisi yang cepat, tetapi hal ini tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh padi yang berusia muda karena padi tersebut hanya membutuhkan nutrisi yang relatif
sedikit. Sisa dari nutrisi tersebut tidak termanfaatkan bahkan dapat terbawa oleh aliran air (karena
lahan tanam tergenang) sehingga efektifitas dan efisiensi penggunaannya rendah (<30 %)
(Purwasasmita, 2009). Berbagai permasalahan dalam budidaya padi tersebut pada akhirnya berakibat
pada jumlah anakan menjadi terbatas (20–25), malai menjadi sedikit (10–20) dan hasilnya hasil
rendah (4–6 ton/ha) (Purwasasmita, 2009).
197
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Masyarakat (LSM) (Wardana et al., 2005). Selanjutnya, SRI juga telah berkembang di beberapa
daerah di Sulawesi, Kalimantan bahkan rencana pengembangan di Irian (Papua). Sementara itu di
Jawa Barat pola pendekatan SRI pertama kali dikaji di Kelompok Studi Petani (KSP) Tirta Bumi di
Desa Budi Asih Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis pada tahun 2001, dengan memadukan
praktek pemahaman Pembelajaran Ekologi Tanah (Kuswara, 2003).
b. Penanaman satu bibit per titik tanam. Tanaman padi membutuhkan tempat tumbuh yang cukup
agar dapat mencapai pertumbuhan optimal. Ketika ditanam secara banyak pada satu titik tanam,
maka akan terjadi persaingan untuk mendapatkan nutrisi, cahaya matahari, udara, dan bahan lainnya
dalam suatu titik atau area tanam (Purwasasmita, 2009).
c. Penanaman dangkal. Penanaman dangkal bertujuan untuk memacu proses pertumbuhan dan
asimilasi nutrisi akar muda. Jika ditanam terlalu dalam, maka akan terjadi kekurangan oksigen yang
dapat menghambat pertumbuhan akar, gangguan siklus nitrogen yang dapat menyebabkan pelepasan
energi, produksi asam yang tinggi serta tidak adanya rebalance H+ sehingga terjadi destruksi sel akar
dan pertumbuhan struktur akar menjadi tidak lengkap. Semua akibat dari penanaman dengan cara
dibenamkan akar menurunkan potensi akar sampai menjadi ¼ nya saja (Purwasasmita, 2009).
d.Penanaman dalam jarak yang cukup lebar. Penanaman dalam jarak tanam lebar bertujuan untuk
menjamin ketersediaan dan mengurangi tingkat kompetisi nutrisi, udara, cahaya matahari, dan faktor
pertumbuhan lainnya selama pertumbuhan tanaman padi sampai siap panen. Beberapa praktek
pengujian di Jawa Barat banyak menggunakan jarak tanam 30 cm x 30 cm, bahkan 35 cm x 35 cm
(Purwasasmita, 2009; Masdar,2006).
Beberapa percobaan lapangan menunjukkan bahwa penanaman bibit padi umur muda dengan
sistem tanam tunggal dan jarak tanam lebar dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen
(Masdar, 2006).
e. Pengelolaan irigasi. SRI hanya menggunakan air sampai keadaan tanahnya sedikit terlihat basah
oleh air (macak-macak) sehingga kondisi dipertahankan aerob, berbeda dengan metode konvensional
yang menggunakan air sampai tanahnya menjadi tergenang oleh air atau kondisi anaerob. Dalam
kondisi aerob oksigen untuk respirasi lebih tersedia sehingga laju respirasi lebih cepat. Selain itu,
kondisi aerob menyebabkan proses mineralisasi bahan organik (c-organik) terutama ammonifikasi
berjalan baik. Dengan peningkatan kedalaman zona serapan (zona aerob), kehilangan Nitrogen akibat
denitrifikasi dapat dicegah sehingga efisiensi pupuk dapat meningkat (>30%) ((Purwasasmita, 2009;
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum,2011). Kondisi aerob akan menciptakan lingkungan mikro
klimat yang lebih baik bagi pertumbuhan perakaran dan perkembangan mikro organisme aerob
sehingga dapat membantu penyediaan unsur hara bagi tanaman. Dalam suasana an-aerob, bakteri an-
198
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
aerob fakultatif dapat menggunakan NO3- sebagai aseptor elektron, sehingga nitrat tereduksi jadi N2
(problem sawah dengan genangan).
Beberapa perbandingan sistem budidaya padi organik SRI dengan sistem konvensional
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan sistem tanam padi organik SRI dengan sistem Konvensional
No. Komponen Konvensional SRI
1. Kebutuhan benih 30-40 kg/ha 5-7 kg/ha
2. Umur di persemaian 20-30 hari 7-12 hari
3. Jumlah bibit per titik tanam Rata-rata 5 bibit 1 bibit
6. Kebutuhan air irigasi 0,61 liter/detik/ha 0,42 liter/detik/ha
7. Kedalaman penanaman 3-5 cm 1-2 cm
8. Pengairan Terus digenangi Macak-macak
9. Pemupukan Mengutamakan pupuk Kombinasi pupuk organik
kimia dan pupuk unorganik
10. Penyiangan Diarahkan kepada Diarahkan kepada
pemberantasan gulma pengelolaan perakaran
11. Rendemen 50-60% 60-70%
12 Jumlah anakan 26 41
13 Jumlah bulir/malai 120 139
14 Jumlah bulir/rumpun 3161 biji 5658 biji
15 Jumlah bulir hampa/malai 7 biji 2 biji
16 Panjang malai 21 cm 24 cm
17 Tinggi tanaman 95 cm 103 cm
Sumber: Kurniadiningsih dan Legowo ( 2013).
TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mensosialisasikan budidaya tanaman padi berbasis SRI kepada petani dilokasi
penelitian, warga jemaat Gereja HKBP Desa Pasar Melintang, Kecamatan Lubuk Pakam,
Kabupaten Deli Serdang.
2. Untuk mendapatkan jarak tanam tanaman padi berbasis SRI yang memberikan produktivitas
tertinggi.
199
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dimana:
Yij : Nilai pengamatan pada blok ke-i yang mendapat perlakuan jarak tanam ke-j.
µ : Nilai tengah populasi yang diamati
ρi : Pengaruh blok/kelompok ke-i
αj : Pengaruh jarak tanam ke-j
εij : Galat faktor jarak tanam taraf ke-j di kelompok ke-i
Untuk mengetahui pengaruh jarak tanam dilakukan analisis sidik ragam. Uji jarak Duncan
dengan taraf α = 5% dilakukan untuk perlakuan yang berbeda nyata terhadap parameter. (OTT, 1993).
200
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hasil penelitian untuk masing-masing parameter untuk setiap jarak tanam di sajikan pada Tabel 2.
a.Jumlah anakan per rumpun: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata
terhadap jumlah anakan. Jumlah anakan dengan jarak tanam 40 x 40 paling banyak (50,9) berbeda
nyata dengan ketiga jarak tanam lainnya. Jumlah anakan untuk jarak tanam 25cm x 25cm (36,6) , 30
cm x 30cm (34) dan 35cm x 35 cm (40,1) berbeda tidak nyata (Tabel 2). Hubungan jarak tanam
dengan jumlah anakan per rumpun menunjukkan hubungan linier positif.
b. Tinggi tanaman: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh tidak nyata
terhadap tinggi tanaman padi. Meskipun tinggi tanaman padi berbeda tidak nyata akibat jarak tanam,
namun jarak tanam 40cm x 40 cm memberikan tinggi tanaman yang lebih tinggi (Tabel 2).
c. Diameter batang: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh tidak nyata
terhadap diameter batang tanaman padi. Meskipun diameter batang tanaman padi berbeda tidak
nyata akibat jarak tanam, namun jarak tanam 30cm x 30 cm memberikan diameter batang yang lebih
besar (Tabel 2).
d. Jumlah malai/rumpun: Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata
terhadap jumlah malai per rumpun. Jumlah malai per rumpun paling banyak pada jarak tanam 40cm
x40cm (35,8) dan berbeda nyata dengan jumlah malai per rumpun dengan jarak tanam 25 cm x
25cm, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan dua jarak tanam lainnya (Tabel 2).
e. Panjang malai (cm): Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam tidak berpengaruh nyata
terhadap panjang malai. Meskipun demikian malai terpanjang panjang terdapat pada jarak tanam
30cm x 30 cm (Tabel 2).
f.Jumlah bulir/ malai (bulir): Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam tidak berpengaruh
nyata terhadap jumlah bulir per malai. Namun demikian malai jumlah bulir terbanyak terdapat pada
jarak tanam 40cm x 40 cm (Tabel 2).
g. Berat kering 1000 bulir (g): Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata
terhadap berat kering 1000 bulir. Berat 1000 bulir tertinggi adalah dengan jarak tanam 40cm x 40cm
(31,43 g) berbeda nyata dengan berat 1000 bulir dari ketiga jarak tanam lainnya. Berat 1000 bulir dari
ketiga jarak tanam lainnya berbeda tidak nyata (Tabel 2).
201
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
h. Produktivitas lahan (ton/hektar). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh
nyata terhadap produktivitas lahan. Produktivitas paling tinggi adalah jarak tanam 35cm x 35 cm
berbeda nyata dengan produktivitas dengan jarak tanam 25cm x 25 cm dan 30cm x 30 cm, tetapi
berbeda tidak nyata dengan produktivitas jarak tanam 40cm x 40cm (Tabel 2).
5.2. SARAN
Pendampingan budidaya tanaman padi dari cara konvensioanl ke System of Rice
Intensification perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Indonesia Dalam Angka.
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. (2011) : Panduan Pelatihan Metode SRI (System Rice
Intensification).
De Laulanie, H. 2011. Intensive Rice Farming in Madagascar. Tropicultura, 2011, 29,3, 183 -187.
http://www.tropicultura.org. 4 Feb 2014.
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Pengembangan System of Rice Intensification.
Jakarta.
Kurniadiningsih, Y. dan Legowo, S. 2012. Evaluasi untung rugi penerapan metode SRI (System of
Rice Intensification) di Daerah Irigasi Cihea Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Kuswara. (2003) : Dasar Gagasan dan Praktek Tanam Padi Metode SRI (System Rice Intensification)-
Pertanian Ekologis. Yayasan FIELD Indonesia.
Masdar. (2006). Respon Pertumbuhan Tanaman Padi terhadap Jarak Tanam dan Umur Bibit pada
Sistem Intensifikasi padi (SRI). Jurnal Akta Agrosia, Fakutas Pertanian-Universitas Bengkulu.
Bengkulu.
OTT, R.L. 1993. An Introduction to Statistical Methods and Data Analysis. Duxbury Press. Belmont,
California. p. 843.
Purwasasmita, M. 2008. Mengenal SRI (System of Rice Intensification).
http://arghainc.wordpress.com.2008. 5 Februari 2014.
Reijntjes, C., Haverkort, B., dan Waters-Bayer,A. 2007. Pertanian Masa Depan Pengantar untuk
Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius, Yogyakarta. Pp.2-11.
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius,
Yogyakarta.Pp. 15- 18.
The SRI International Network and Resources Center (SRI-Rice). 2014. Cornell University, System
of Rice Intensification. http://sri.eiifad.cornell.edu. 4 Februari 2014.
Wardana, P, I. Juliardi, Sumedi, Iwan Setiajie. (2005) : Kajian Perkembangan System Of Rice
Intensification (SRI) di Indonesia. Kerjasama Yayasan Padi Indonesia dengan Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
202
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
LAMPIRAN
Tahapan penelitian
Persiapan lahan dan pengukuran pH Bibit berumur 10hari, siap pindah tanam
203
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian IAA, BAP, dan interaksi IAA dan BAP
terhadap pertumbuhan planlet nanas (Ananas comosus L.) Sipahutar secara in vitro. penelitian ini telah
dilaksanakan pada bulan Juni - Desember 2013 di Laboratorium Kultur Jaringan YAHDI, Perum Pelabuhan Jl.
Lambung N0. 18 Tanah 600 Medan Marelan. Penelitian ini menggunakan RAL Faktorial dengan dua faktor
yang diteliti, yaitu faktor IAA dengan empat taraf perlakuan yaitu I0 = 0 mg/l, I1 = 0,5 mg/l, I2 = 1 mg/l I3 = 1,5
mg/l. Faktor kedua BAP terdiri dari empat taraf perlakuan yaitu B0 = 0 mg/l, B1 = 1 mg/l, B2 = 2 mg/l, B3 = 3
mg/l. Jumlah ulangan 3 dan jumlah seluruh percobaan 48. Parameter yang diamati adalah persentase
kontaminasi, jumlah daun, jumlah tunas, tinggi tunas dan waktu munculnya tunas. Data yang diperoleh
dianalisis dengan ANAVA dilanjutkan dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan pemberian IAA dan
BAP berpengaruh nyata pada semua parameter. Persentase jumlah planlet yang terkontaminasi yaitu 10,41%.
Rata-rata waktu munculnya tunas yaitu pada minggu ke-2. Rata-rata jumlah tunas tertinggi pada perlakuan I1B1
(IAA 1 mg/l dan BAP 1 mg/l) dan I0,5B1 (IAA 0,5 ml/l dan BAP 1 ml/l) yaitu 17,67 tunas. Rata-rata jumlah
daun tertinggi pada perlakuan IAA 1 mg/l dan BAP 1 yaitu mg/l 113.67 helai helai. Rata-rata tinggi tunas
tertinggi pada perlakuan IAA 1 mg/l dan BAP 0 mg/l yaitu 37.33 mm.
PENDAHULUAN
Nanas dan merupakan salah satu komoditi tanaman hortikultura yang telah dikembangkan
masyarakat secara turun-temurun di Kabupaten Tapanuli Utara. Buah nanas Sipahutar terkenal
dengan rasanya yang manis, tidak terlalu berair, berukuran besar, serta warna kulit kuning dengan
ujung warna kehijauan. Berkurangnya sumber plasma nutfah nanas Sipahutar disebabkan oleh
penanaman nanas Sipahutar yang kurang, sehingga perlu penanganan yang menyeluruh. Alternatif
yang diperlukan untuk penanaman dan perbanyakan adalah melalui teknik kultur jaringan. Teknik ini
dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi
lengkap dan zat pengatur tumbuh (ZPT), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaan
terkontrol (Yusnita, 2004). ZPT mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel,
jaringan dan organ. Agar didapatkan tunas yang banyak maka dapat digunakan hormon BAP dari
golongan sitokinin dan hormon IAA yang berperan memacu pertumbuhan sepanjang sumbu
longitudinal (Harahap, 2011). Berdasarkan uraian diatas, maka sangat diperlukan penelitian ini
dilakukan guna mengetahui pengaruh pemberian IAA dan BAP terhadap pertumbuhan planlet nanas
(Ananas comosus L.) Sipahutar secara in vitro.
204
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimen rancangan acak lengkap (RAL) faktorial
dengan 16 perlakuan. Adapun yang menjadi faktor dalam penelitian ini adalah: Faktor I : ZPT IAA
terdiri dari 4 taraf perlakuan: B0 = 0 ppm (kontrol), B1 = 0,5 ppm, B2 = 1 ppm, B3 = 1,5 ppm; Faktor
II: ZPT BAP terdiri dari 4 taraf perlakuan: I0 = 0 ppm (kontrol), I0,5 = 1 ppm, I1 = 2 ppm, I1,5 = 3 ppm.
Setiap perlakuan dilakukan ulangan 3 kali, sehingga perlakuan dan ulangan berjumlah 48 botol.
Parameter yang diamati adalah persentase kontaminasi (%), waktu muncul tunas (MST), jumlah tunas
(mm), jumlad daun (helai), dan tinggi tunas.
PROSEDUR KERJA
Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dicuci dengan menggunakan detergen dan air mengalir hingga bersih,
kemudian dikeringkan dan disterilkan. Alat-alat yang disterilkan seperti botol kultur, gelas ukur,
gunting, pinset, petridish, spatula di bungkus dengan kertas merang kemudian di masukkan ke dalam
autoklaf dengan tekanan 17.5 psi dan suhu 121°C selama 1 jam.
Pembuatan Media
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige dan Skoog) dengan
penambahan ZPT IAA dan BAP. Tahap awal pembuatan media adalah pembuatan larutan stok unsur
hara mikro, stok vitamin, serta ZPT IAA dan BAP. Menimbang unsur hara makro, myo-inositol,
sukrosa, dan memipet stok mikro serta vitamin sesuai dengan kebutuhan perlakuan. Penambahkan
NaOH dan HCL 0,1 N digunakan untuk memperoleh pH yang diinginkan.
Penanaman dan Pemeliharaan
Penanaman dilakukan dalam laminar air flow cabinet yang telah dibersihkan dengan alkohol
70% dan dikeringkan dengan menggunakan tissue, kemudian disinari dengan ultra violet (UV) selama
60 menit. Penanaman dimulai dengan cara mengambil planlet nanas Sipahutar yang ada di dalam
botol kultur dan meletakkannya ke dalam petridist selanjutnya mengambil tunas dari planlet dengan
menggunakan piset dan gunting, selanjutnya memasukkan tunas ke dalam botol media MS yang
ditambah ZPT. Botol-botol yang berisi planlet diletakkan ke dalam rak kultur bersuhu 18-220 C dan
penyediaan cahaya selama 16 jam setiap hari. Ruangan kultur diusahakan bebas dari bakteri dan
jamur dengan cara membersihkan dengan menyemprotkan alkohol 70% atau formalin 10%.
Jumlah Tunas
Dari hasil pengamatan pertumbuhan jumlah tunas pada umur 8 MST, rata-rata jumlah tunas
yang paling tinggi pada perlakuan I1B1 dan I0,5B1 yaitu 17,67 tunas. Jumlah tunas yang memiliki rata-
rata paling rendah adalah pada pemberian ZPT I1,5B3 yaitu 10,48 tunas. Dari hasil ANAVA, pengaruh
pemberian IAA dan BAP memberikan pengaruh nyata (α > 0,05) untuk jumlah tunas pada umur 8
MST, dimana H0 ditolak dengan ketentuan apabila F hitung > F tabel pada taraf kepercayaan 95%,
untuk itu perlu dilakukan uji lanjutan beda rataan atau uji hipotesis perlakuan yang berbeda nyata atau
sangat nyata dengan uji DMRT.
205
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Pengaruh Interaksi antara IAA dan BAP Terhadap Jumlah Tunas Umur 8 MST
Faktor Konsentrasi BAP Total Rataan ∑ X2
0 1 2 3
0 17bcd 49gh 44fgh 27defg 137 34.25 5355
IAA 0.5 25cdef 53h 27defg 25cdef 130 32.5 4788
1 30defg 53h 35efgh 27defg 145 36.25 5663
1.5 29defg 16bcd 13ab6.53 9a 67 16.75 1347
Total 101 171 119 88 479 17153
Rataan 25.25 42.75 29.75 22
Dari hasil uji DMRT untuk jumlah tunas umur 8 MST menunjukan hasil tertinggi adalah pada
pemberian ZPT I1B1 yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan I0,5B1, I0B1, I0B2, dan I1B2 tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya
Jumlah Daun
Dari hasil pengamatan pertumbuhan jumlah daun pada umur 8 MST, rata-rata jumlah daun yang
paling tinggi pada pemberian ZPT I1B1 yaitu 113.67 helai dan rata-rata jumlah daun paling rendah
adalah pada pemberian ZPT I1,5B3 yaitu 12,67 helai. Hasil ANAVA, pengaruh pemberian IAA dan
BAP memberikan pengaruh nyata (α > 0,05) untuk jumlah daun pada umur 8 MST, dimana H0 ditolak
dengan ketentuan apabila F hitung > F tabel pada taraf kepercayaan 95%, untuk itu perlu dilakukan uji
lanjutan beda rataan atau uji hipotesis perlakuan yang berbeda nyata atau sangat nyata dengan uji
DMRT.
Tabel 2. Pengaruh Interaksi antara IAA dan BAP Terhadap Jumlah Daun Umur 8 MST
Faktor Konsentrasi BAP Total Rataan
0 1 2 3
0 147bcde 300ij 238ghij 106abcd 791 171.25
0.5 146bcde 291hij 111abcd 146bcde 694 173.5
IAA 1 194defg 341j 221efgh 134bcde 890 222.5
1.5 179cdef 105a 77ab 38abc 399 99.75
Total 666 1037 647 424 2674
Rataan 166.5 259.25 161.75 106
Dari hasil uji DMRT untuk jumlah daun umur 8 MST menunjukan hasil tertinggi adalah pada
perlakuan pemberian ZPT I1B1 (IAA 1 ppm dan BAP 1 ppm) yaitu 113,67 helai yang berbeda tidak
nyata dengan perlakuan I0B1 (IAA 0 ppm dan BAP 1 ppm), I0B2 (IAA 0 ppm dan BAP 2 ppm) dan
I0,5B1 (IAA 0,5 ppm dan BAP 1 ppm) , tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
206
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tinggi Tunas
Dari hasil pengamatan pertumbuhan jumlah tunas pada umur 8 MST, rata-rata tinggi tunas yang
paling tinggi pada pemberian I1B0 yaitu 37,33 mm. Untuk rata-rata tinggi tunas yang paling rendah
adalah pada ZPT yaitu 22,33 mm. Hasil ANAVA, pengaruh pemberian IAA dan BAP memberikan
pengaruh nyata (α > 0,05) untuk jumlah tunas pada umur 8 MST, dimana H0 ditolak dengan ketentuan
apabila F hitung > F tabel pada taraf kepercayaan 95%, untuk itu perlu dilakukan uji lanjutan beda
rataan atau uji hipotesis perlakuan yang berbeda nyata atau sangat nyata dengan uji DMRT.
Tabel 3. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Tinggi Tunas Umur 8 MST
Faktor Konsentrasi BAP Total Rataan
0 1 2 3
0 85 87defg 85cdef 67ab 324 81
0.5 97fgh 83cdef 75abcd 72abcd 327 81.75
IAA 1 112h 96efgh 76abcd 73abcd 357 89.25
1.5 110gh 85cdef 71abc 67a 333 83.25
Total 404 351 307 279 1341
Rataan 101 87.75 76.75 69.79
Dari hasil uji DMRT untuk tinggi tunas umur 8 MST menunjukan hasil tertinggi pada
pemberia ZPT I1B0 yaitu 37,33 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan I0,5B0, I1,5B0 dan I1B1tetapi
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
a. I1B0 b. I1,5B3
Gambar 2. Tinggi planlet nanas Sipahutar
PEMBAHASAN
Persentase Kontaminasi
Pada pengamatan pertumbuhan planlet nanas, ada 5 media yang berisi planlet nanas yang
terkontaminasi oleh bakteri dan jamur yaitu pada perlakuan I0B0, I0,5B1, I1B0 I1,5B0 dan I1,5B2, dari hasil
perhitungan persentase kontaminasi berjumlah 10,41%. Kontaminasi diduga berasal dari alat-alat
yang digunakan saat penanaman yang kurang steril, seperti: gunting, pinset, pisau, cawan petri,
laminar maupun dari media dan planlet itu sendiri. Kurangnya kesterilan dalam melakukan sterilisasi
alat dan pembuatan media memicu masuknya mikroorganisme. Menurut Mariska (2003), sterilisasi
alat dan bahan merupakan langkah awal yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan
penanaman secara in vitro. Kontaminasi yang muncul pada planlet didominasi oleh cendawan.
Kontaminasi dapat disebabkan oleh 2 faktor, eksternal dan internl diantaranya organisme kecil yang
masuk kedalam media, botol kultur, peralatan tanam yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruangan
kultur yang kotor dan kecerobohan pelaksanaan. Menurut Sialagan (2012), menyatakan sumber
kontaminan dapat berasal dari dalam jaringan tanaman itu sendiri, terutama bakteri.
207
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Jumlah Tunas
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pemberian IAA dan BAP pada berbagai taraf
konsentrasi berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas. Untuk interaksi IAA dan BAP nilai rata-rata
tertinggi pada konentrasi I1B1 dan I0,5B1 yaitu 17,67. Interaksi antara sitokinin dan auksin berperan
dalam mengontrol banyak aspek pertumbuhan dan diferensasi sel. Kombinasikan auksin dan sitokinin
memicu diferensiasi dan perkembangan sel, organ dan seluruh bagian tanaman. Secara umum, rasio
sitokinin yang tinggi daripada auksin akan memicu terbentuknya tunas. Dalam penelitian Intan et al
(2012), menyatakan bahwa rasio antara auksin dan sitokinin yang seimbang akan menumbuhkan sel-
sel meristem yang terus membelah dan berkembang membentuk organ. Secara sinergis, meningkatnya
konsentrasi auksin di dalam sel merupakan stimulus untuk aktivasi sitokinin. Dwi dan Sobir (2013),
menyatakan pemberian konsentrasi sitokinin yang tinggi pada tanaman dapat menghambat
pertumbuhan tunas. Rasio auksin dan sitokin menentukan morfogenesis. Menurut Yusnita (2003),
penggunaan ZPT sitokinin dapat merangsang pertumbuhan percabangan tunas adventif yang
merupakan perkembangan organ seperti tunas yang berasal dari suatu titik tumbuh. Konsentrasi BAP
yang optimal dalam memacu pertumbuhan tanaman bervariasi dan tergantung pada jenis tanaman.
Banyak jumlah tunas yang terbentuk karena tercapainya antara ZPT eksogen dengan planlet dalam
merangsang tunas-tunas baru, karena untuk menghasilkan tunas dalam jumlah banyak planlet yang
dikulturkan juga berasal dari tunas sehingga planlet yang digunakan lebih aktif merespon ZPT.
Jumlah Daun
Dari hasil pengamatan jumlah daun helai umur 8 MST, jumlah daun terbanyak pada perlakuan
I1B1yaitu 113.67 helai. Interaksi dari perlakuan tersebut memberi pengaruh nyata terhadap jumlah
daun. Banyaknya jumlah daun berkorelasi secara positif dengan banyaknya jumlah tunas yang
dihasilkan pada setiap perlakuan. Menurut Yelnititis dalam Rohyana (2013), menyatakan penambahan
sitokinin dapat mendorong meningkatnya jumlah dan ukuran daun. Sugiharto et al (2007),
menyatakan pemberian auksin 1 ppm pada media MS menunjukan perkembangan yang baik pada
pembentukan planlet yang sempurna yang sudah memiliki akar, batang dan daun. Auksin juga dapat
berpengaruh terhadap pertmbuhan daun. Salah satu fungsi auksin pada pertumbuhan daun adalah
membantu perkembangan jaringan meristem calon daun. Pemberian auksin yang dikombinasikan
dengan sitokinin dapat meningkatkan jumlah daun yang terbentuk. Jumlah daun yang sedikit pada
pemberian ZPT IAA dan BAP dengan konsentrasi yang tinggi diduga karena tingginya konsentrasi
ZPT IAA dan BAP yang ditambahkan dalam media MS, sehingga menghambat pertumbuhan jumlah
daun. Rainiyati et al (2013), menyatakan peningkatan konsentrasi IAA dapat menghambat
pertumbuhan daun. Interaksi antara ZPT IAA dan BAP dengan hormon yang diproduksi oleh sel
secara endogen juga mempengaruhi pertumbuhan planlet (Karjadi dan Buchory, 2008).
Tinggi Tunas
Kombinasi perlakuan IAA dan BAP berpengaruh nyata terhadap perubahan tinggi tunas. Tunas
tertinggi diperoleh dari perlakuan I1B0 yaitu 37,33 mm. Tinggi tunas tertinggi pada kombinasi IAA
dan BAP yaitu I1B1 yaitu 32,0 mm. IAA dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari BAP berpengaruh
terhadap tinggi tunas karena nilai rata-rata tinggi tunas yang dihasilkan terlihat lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan BAP. Hal ini diduga pada perlakuan tanpa BAP,
208
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
planlet yang ditanam menghasilkan auksin endogen dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga
menyebabkan terjadinya proses pemanjangan sel dan eksplan yang ditanam bertambah tinggi lebih
cepat. Menurut Karjadi dan Buchory (2008), menyatakan pertumbuhan tinggi planlet sangat
berpengaruh oleh kehadiran ZPT auksin. Menurut Klerk (2006), ZPT sitokinin dapat menghambat
terjadinya pemanjangan sel sehingga eksplan yang ditanam tidak bertambah tinggi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan konsentrasi yang lebih tepat untuk
mengetahui hasil pertumbuhan nanas Sipahutar yang terbaik dengan menggunakan zat pengatur
tumbuh (ZPT) Indole Asetic Acid (IAA) dan Benzyl Amino Purin (BAP).
DAFTAR PUSTAKA
Dwi, R. S. dan Sobir, (2013), Pertumbuhan Planlet Nenas (Ananas comosus L. Merr.)
VarietasSmooth Cayenne Hasil Kultur In Vitro pada Beberapa Konsentrasi BAP dan Umur
Planlet, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Bul. Agrohorti 1 (10: 54-61
Harahap, F., (2011), Kultur Jaringan Tanaman, Medan: Perdana Mulya Sarana
Intan, A.P., Ermavitalini, D., dan Nurfadilah, S., (2012), Pengaruh Penambahan Kombinasi
Konsentrasi ZPT NAA dan BAP Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Biji Dendrobium
TaurulinumJ.J Smith Secara In Vitro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Vol.
1:No. 1
Karjadi, A.K., dan Buchory, A., (2008), Pengaruh Komposisi Media Dasar, Penambahan BAP dan
Pikloram Terhadap Induksi Tunas Bawang Merah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
Bandung, Hort. 19:1-9
Klerk, G.J., (2006), Plant Hormones In Tissue Culture. In Duchefa Biochemie, Biochemicals Plant
Cell And Tissue Culture Phytopathology, Duchefa Biochemie BV, Haarlem. Netherlands
Maryani, Yekti; Zamroni, (2005), Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu
Pertanian Vol. 12 No.1, 2005: 51-55
Rainiyati, Lizawati dan Kristiana, M., (2009), Peranan IAA dan BAP Terhadap Perkembangan Nodul
Pisang (Musa aab) Raja Nangka Secara In Vitro, Budidaya Pertanian UNJ, Jambi, ISSN 1410-
1939
Sialagan, J., (2012), Optimasi Teknik Sterilisasi Eskplan Lapang Nanas Asal Sipahutar (Ananas
comosusL.) Secara In Vitro, FMIPA UNIMED, Medan
Sugiharto, B, Triastuti, R, Mukkhiissul, F., (2007). Propagasi Tanaman Nilam (Pogostemon cablin
Benth.) Secara In vitro dengan Kombinasi Sitokinin dan Auksin 2,4 D. MIPA, Vol. 17 No: 39-
47
Yusnita, 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara In vitro. Agromedia Pustaka,
Jakarta
209
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sayurandi
Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet
P.O. Box 1415, Medan 20001
e-mail : sayurandi_sp@yahoo.com
ABSTRACT
Klon karet unggul sebagai komponen teknologi memberikan proporsi yang besar dalam upaya
peningkatan produktivitas karet. Sampai dengan saat ini, klon karet unggul telah banyak dihasilkan oleh
pemulia tanaman melalui kegiatan seleksi dan introduksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
kinerja beberapa klon karet hasil introduksi selama masa tanaman belum menghasilkan pada agroekosistem
yang berbeda. Sebanyak empat klon karet yaitu PB 260, PB 217, RRIM 921, RRII 105 dan klon pembanding
BPM 24 diuji dalam penelitian ini. Pengujian klon dilakukan pada dua daerah yaitu Gunung Tua yang terletak
di Kabupaten Padang Lawas Utara memiliki iklim lebih kering dan Batang Toru terletak di Kabupaten Tapanuli
Selatan memiliki iklim lebih basah. Kedua lokasi pengujian dibangun masing-masing pada tahun 2005 dan 2008
dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Pengamatan karakter pertumbuhan lilit batang
dilakukan pada umur 2, 3 dan 4 tahun, sedangkan intensitas serangan penyakit gugur daun Oidium,
Colletotrichum, dan Corynespora diamati pada umur 3 tahun. Hasil pengujian menunjukkan bahwa klon PB 217
dan PB 260 memiliki pertumbuhan yang cukup jagur dan stabil, sedangkan klon PB 217 dan RRIM 921
memiliki pertumbuhan paling jagur di daerah yang memiliki iklim lebih basah. Semua klon yang diuji tergolong
agak resisten hingga resisten terhadap penyakit gugur daun Oidium, Colletotrichum, dan Corynespora.
Kata kunci: Hevea brasiliensis, klon karet introduksi, pengujian, pertumbuhan, karakteristik sekunder
PENDAHULUAN
Peningkatan produktivitas karet merupakan salah satu syarat agar perkebunan karet tetap
eksis dan bersaing dengan komoditas perkebunan lain. Peningkatan produktivitas tanaman sangat
berkaitan erat dengan potensi produktivitas yang dimiliki oleh klon karet unggul. Penanaman klon
karet unggul pada perkebunan karet secara nyata mampu meningkatkan produksi karet. Efisiensi
usaha juga akan diperoleh sejalan dengan meningkatnya hasil produksi, karena produksi yang tinggi
akan menurunkan harga pokok (Aidi-Daslin, 2005).
Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia pada saat ini telah memasuki generasi ke empat (G-IV)
dan telah menghasilkan klon unggul harapan dengan potensi produktivitas yang lebih tinggi. Potensi
produktivitas klon yang dihasilkan pada saat ini telah mencapai 2000 – 2500 kg/ha/th dan potensi
kayu sekitar 300 m3/ha (Suhendry et al., 2001; Woelan et al, 2001). Klon karet pada kelompok G-IV
tersebut tidak hanya berasal dari hasil pemuliaan di Indonesia saja, tetapi juga merupakan hasil
introduksi dari negara lain seperti Malaysia, Srilanka dan India. Klon karet hasil introduksi yang
masuk ke Indonesia merupakan klon unggul di negara perakit klon tersebut.
Sebelum direkomendasikan untuk pertanaman komersial sebagai klon unggul di Indonesia,
maka klon hasil introduksi perlu dievaluasi di Indonesia. Pengujian ini penting dilakukan, karena
Indonesia merupakan negara yang luas dengan agroekosistem yang cukup bervariasi (Alwi dan Aidi-
Daslin, 1990). Pada umumnya, klon unggul memiliki daya adaptasi luas dan stabil pada kondisi
agroekosistem yang berbeda, tetapi banyak juga klon memiliki respon spesifik pada lingkungan
tertentu (Fatunla and Frey, 1974; Simmonds, 1989). Artikel ini berisikan hasil evaluasi kinerja
beberapa klon karet hasil introduksi selama masa tanaman belum menghasilkan (TBM) pada dua
lokasi pengujian.
CARA KERJA
Plot Pengujian dibangun di dua lokasi yaitu Gunung Tua, Kabupaten Padang Lawas Utara
yang ditanam pada tahun 2005 dan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan yang ditanam pada
tahun 2008. Sebanyak 4 klon introduksi yaitu PB 260, PB 217, RRIM 921, dan RRII 105 dan satu
klon pembanding BPM 24 diuji pada tiap lokasi dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Deskripsi lokasi pengujian klon karet hasil introduksi disajikan pada Tabel 1.
210
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pengamatan terhadap pertumbuhan lilit batang dilakukan pada umur 2, 3, dan 4 tahun.
Intensitas serangan penyakit gugur daun Oidium, Colletotrichum dan Corynespora diamati pada umur
3 tahun dan dihitung berdasarkan rumus yang dikembangkan oleh Pawirosoemardjo (1999). Indeks
stabilitas pertumbuhan tiap klon ditentukan dengan rumus yang dikembangkan oleh Steel dan Torrie
(1982).
Tabel 2. Pertumbuhan lilit batang dari beberapa klon di lokasi pengujian Gunung Tua
Klon Lilit batang (cm), pada umur Pertambahan lilit
2 th 3 th 4 th batang (cm/th)
PB 217 17,2 29,1 39,9 (113) 10,2
RRII 105 15,3 25,0 38,4 (109) 10,4
RRIM 921 14,1 26,3 37,7(107) 10,2
PB 260 15,9 27,9 40,8(116) 10,2
BPM 24 13,3 27,6 35,2 (100) 10,0
Rata-rata 15,2 27,2 38,4 10,2
Minimum 13,3 25,0 35,2 10,0
Maksimum 17,2 29,1 40,8 10,4
Simpangan baku 1,5 1,6 2,2 0,1
Koef. keragaman (%) 10,1 5,8 5,6 1,4
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa laju pertambahan lilit batang klon yang diuji berkisar 10,0
– 10,4 cm/th. Jika dilihat dari laju pertambahan lilit batang dan ukuran lilit batang tanaman, klon yang
diuji memiliki pertumbuhan agak lambat. Pada umumnya klon karet yang ditanam pada daerah yang
memiliki agroklimat yang sesuai untuk tanaman karet, pertumbuhan lilit batang klon karet pada umur
empat tahun dapat mencapai 45 cm dengan laju pertambahan lilit batang > 11 cm/th (Aidi-Daslin,
2005). Terlambatnya pertumbuhan tanaman di Gunung Tua diduga diakibatkan oleh curah hujan
cukup rendah. Karyudi (2001) menyatakan respon pertumbuhan tanaman dapat terhambat karena
211
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
disebabkan oleh cekaman kekeringan. Berdasarkan rata-rata pertumbuhan lilit batang klon, klon karet
yang diuji diperkirakan dapat disadap pada umur lima tahun.
Tabel 3. Pertumbuhan lilit batang dari beberapa klon di lokasi pengujian Batang Toru
Klon Lilit batang (cm), pada umur Pertambahan lilit
2 th 3 th 4 th batang (cm/th)
PB 217 26,9 34,4 45,3(101) 11,0
RRII 105 24,5 36,0 44,5 (99,6) 11,8
RRIM 921 25,4 37,0 45,8 (102) 11,6
PB 260 27,6 38,1 45,2 (101) 11,0
BPM 24 25,2 31,3 44,7 (100) 10,8
Rata-rata 25,9 35,4 45,1 11,2
Minimum 24,5 31,3 44,5 10,8
Maksimum 27,6 38,1 45,8 11,8
Simpangan baku 1,3 2,6 0,5 0,4
Koef. keragaman (%) 5,0 7,5 1,1 3,9
Tabel 4. Ukuran lilit batang dan indeks stabilitas pada beberapa klon karet introduksi
Lilit batang (cm) pada umur 4 tahun Indeks stabilitas
Klon Lokasi
Rata-rata Nilai Urutan
Gunung Tua Batang Toru
PB 217 39,9 45,3 42,6 0,38
RRII 105 38,4 44,5 41,5 0,43
RRIM 921 37,7 45,8 41,8 0,57
PB 260 40,8 45,2 43,0 0,31
BPM 24 35,2 44,7 40,0 0,67
Rata-rata 38,4 45,1 41,8
212
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai indeks stabilitas pertumbuhan klon introduksi yang diuji
berkisar antara 0,31 – 0,67. Klon PB 217 dan PB 260 memiliki nilai indeks stibilitas pertumbuhan
paling rendah dibandingkan dengan klon lainnya dengan nilai masing-masing 0,38 dan 0,31. Nilai
indeks stabilitas yang rendah menunjukkan bahwa kedua klon memiliki pertumbuhan tanaman relatif
stabil. Rata-rata ukuran lilit batang klon tersebut adalah 42,6 cm dan 43,0 cm.
Klon RRIM 921 dan BPM 24 memiliki pertumbuhan kurang stabil dengan indeks stabilitas
masing-masing 0,57 dan 0,67 Klon PB 217 dan PB 260 memiliki pertumbuhan yang cukup baik pada
daerah kering di Gunung Tua. Di Batang Toru respon klon terhadap curah hujan tinggi cukup baik.
Klon RRIM 921 memiliki pertumbuhan paling jagur di Batang Toru. Klon karet yang diuji memiliki
adaptasi baik pada daerah basah dibandingkan dengan daerah kering.
DAFTAR PUSTAKA
Aidi-Daslin, 2005. Kemajuan pemuliaan dan seleksi dalam menghasilkan kultivar karet unggul. Pros.
Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 2005, 26-37.
Aidi-Daslin, 2011. Evaluasi pengujian lanjutan klon karet IRR seri 200 pada masa tanaman belum
menghasilkan. Jurnal Penelitian Karet 29 (2), 93-101
Alwi, N. dan Aidi Daslin, S. 1990. Laporan mengenai pengujian klon pertukaran internasional 1974.
Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990. Pontianak, 14-17 Juli 1990
Basuki, S. Pawirosoemardjo, U.Nasution, Sutardi, W.Sinulingga dan A. Situmorang. 1990. Penyakit
gugur daun Colletotrichum pada tanaman karet di Indonesia. Potensi, Penyebaran dan
Penanggulangannya. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990, 268-295.
Eberhart, S. A and W.A. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6: 36-
40
Fatunla, T and K. J. Frey. 1974. Stability index and non radiated oat genotypes in bulk populatIons.
Crop. Sci. 14: 719-724.
213
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Karyudi. 2001. Osmoregulasi tanaman karet sebagai respons terhadap cekaman kekeringan. I. Variasi
diantara klon anjuran harapan dan plasmanutfah. J. Penel. Karet. 19(1): 1-17
Mydin, K. K., T. Meenakumari., V. Thomas., T. Gireesh., C. Narayanan., T. R. Chandraseekar and J.
Jacob. 2012. Multilocational performance of RRII 400 series clones. Bulletin Rubber Board.
30 (4) : 23-28
Nor, K.M and F. B. Cady. 1979. Methodology for identifying wide stability analysis. . Agron. J. 71:
556-559.
Pawirosoemardjo, S. 1999. Epidomologi dan pengendalian penyakit gugur daun secara terpadu.
Laporan Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Karet Sungei Putih. Medan.
Steel and Torrie. 1982. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. McGraw-
Hill International Book Company, 21-27
Simmond, N.W. 1989. Rubber Breeding. In: Webster C.C. and Baulkwill, W.J. (eds.). Rubber
Longman Group, London, 85-124.
Suhendry, I., Aidi-Daslin, S. Woelan, dan R. Azwar. 2001. Evaluasi pendahuluan genotipe terpilih
penghasil lateks-kayu. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Karet 2001. Sembawa 5-6 Nopember
2001
Thomanee, A., S. Chimsathit, and S.Sookmark. 1992. Progress report on the 1974 Multilateral
Exchange Clone Trials. ANRPC Report of the First Meeting of Plant Breeders. Hat Yai,
Thailand, 16 th-17 th Januari, 1992.
Woelan, S., Aidi-Daslin, R. Azwar, dan I. Suhendry. 2001. Keragaan klon karet unggul harapan seri
100. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Karet 2001. Sembawa 5-6 Nopember 2001
214
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Karakter morfologi bunga dan persentase buah jadi merupakan salah satu faktor penentu dalam
kerberhasilan persilangan buatan (hand polination). Sampai dengan saat ini, persilangan buatan merupakan
metode konvensional yang masih dilakukan untuk menghasilkan genotipe karet unggul. Masalah yang dihadapi
pada metode konvensional ini adalah rendahnya keberhasilan persilangan untuk membentuk buah jadi (fruit set),
sehingga berakibat terhadap rendahnya variabilitas genetik dari progeni hasil persilangan. Informasi pemilihan
klon karet sebagai tetua yang memiliki keberhasilan tinggi membentuk buah jadi sangat diperlukan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter morfologi bunga beberapa klon karet dan pemilihan tetua
terbaik untuk meningkatkan persentase buah jadi melalui program persilangan buatan. Penelitian ini dilakukan
di Kebun Persilangan, Balai Penelitian Sungei Putih, Kabupaten Deli Serdang - Sumatera Utara. Sebanyak enam
klon karet digunakan sebagai tetua persilangan yaitu PB 260, PB 330, PB 340, RRIC 100, IRR 111 dan IRR
220. Penelitian ini didesain menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sistem kombinasi persilangan
antar tetua dilakukan dengan pola acak (random). Dari sistem persilangan tersebut diperoleh sebanyak 12
kombinasi persilangan, dengan jumlah persilangan berkisar antara 155 - 778 bunga perkombinasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan karakter morfologi bunga diperoleh klon IRR 111 memiliki potensi
bunga jantan dan betina paling tinggi dibandingkan dengan klon lainnya. Klon PB 260 dan IRR 111 memiliki
daya gabung umum paling baik untuk parameter buah jadi dan persentase buah jadi. Kombinasi persilangan PB
260 x IRR 111 dan IRR 111 x PB 260 sebagai resiprokalnya memiliki daya gabung khusus paling baik pada
parameter persentase buah jadi.
Kata kunci : Hevea brasiliensis, tetua persilangan, morfologi bunga, persentase buah jadi
PENDAHULUAN
Tanaman karet merupakan salah satu tanaman perkebunan yang memiliki arti penting bagi
kemajuan industri karet nasional. Untuk meningkatkan produktivitas karet, maka perbaikan potensi
genetik tanaman tetap terus dilakukan melalui kegiatan seleksi tanaman yang diawali dari program
persilangan antar tetua karet. Terbentuknya variabilitas genetik yang tinggi dari suatu program
persilangan sangat diharapkan agar seleksi terhadap suatu karakter yang diinginkan lebih mudah
diperoleh (Mangoendidjojo, 2003)
Pembentukan variabilitas genetik pada tanaman karet melalui program persilangan buatan
sangat berkaitan erat dengan keberhasilan membentuk buah jadi (fruit set). Karakteristik bunga jantan
dan betina merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan persilangan tanaman karet. Rata-
rata persentase buah jadi dari program persilangan hanya sekitar 3%. Rendahnya persentase buah jadi
yang dihasilkan diantaranya karena adanya faktor inkompatibilitas antar tetua persilangan (Harihar
and Yeang, 1984; Woelan, 2006).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi rendahnya persentase buah jadi (fruit set) yaitu
dengan cara memperbanyak persilangan antar tetua tanaman karet yang memiliki daya gabung yang
baik. Dari persilangan tersebut, maka diharapkan persentase buah jadi akan semakin tinggi. Untuk
mengetahui tetua karet yang memiliki daya gabung yang baik dapat dilakukan dengan cara
menyilangkan semua pasangan tetua (Soman et aI., 1996). Dari hasil persilangan tersebut diharapkan
diperoleh tetua karet yang memiliki daya gabung yang baik dengan tetua tanaman karet lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter morfologi bunga beberapa klon karet dan
pemilihan tetua terbaik untuk meningkatkan persentase buah jadi melalui program persilangan buatan.
CARA KERJA
Penelitian ini dilakukan di Kebun Persilangan, Balai Penelitian Sungei Putih, Kabupaten Deli
Serdang - Sumatera Utara. Sebanyak enam klon karet digunakan sebagai tetua persilangan yaitu PB
260, PB 330, PB 340, RRIC 100, IRR 111 dan IRR 220. Penelitian ini didesain menggunakan
215
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sistem kombinasi persilangan antar tetua dilakukan dengan pola
acak (random). Dari sistem persilangan tersebut diperoleh sebanyak 12 kombinasi persilangan,
dengan jumlah persilangan berkisar antara 155 - 778 bunga perkombinasi. Parameter yang diamati
untuk morfologi bunga terdiri atas jumlah bunga jantan dan betina perpohon, jumlah bunga jantan dan
betina perkarangan, jumlah tangkai bunga primer perkarangan bunga, jumlah tangkai bunga sekunder
perkarangan bunga, dan karangan bunga perpohon. Sedangkan parameter yang diamati untuk
keberhasilan persilangan buatan yaitu persentase buah jadi (%), diameter buah (cm), dan laju
pertambahan diameter buah (cm/bulan).
Tabel 1. Rataan jumlah bunga jantan dan betina per pohon dan perkarangan bunga
Jumlah bunga per pohon Jumlah bunga perkarangan
Klon Jantan betina jantan betina
PB 260 393.872 c 90.820 a 412 c 95 b
PB 330 554.625b 48.575 c 765 b 67 c
PB 340 126.352 d 35.760 d 212 d 60 c
RRIC 100 454.680 bc 63.180 b 842 b 117 a
IRR 111 748.608 a 83.328 a 1.114 a 124 a
IRR 220 170.752 d 39.904 d 184 d 43 d
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji F.05
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada parameter jumlah bunga jantan perpohon, klon IRR 111
memiliki jumlah bunga jantan perpohon paling tinggi dengan jumlah bunga sebanyak 248.608 bunga,
sedangkan yang terendah yaitu klon PB 340 dan IRR 220 dengan jumlah bunga masing-masing
sebanyak 126.352 bunga dan 170.752 bunga. Pada parameter bunga betina perpohon, klon PB 260
dan IRR 111 memiliki jumlah bunga betina perpohon paling tinggi yaitu masing-masing sebanyak
90.820 bunga dan 83.328 bunga. Klon IRR 220 memiliki jumlah bunga betina paling rendah
dibandingkan dengan klon lainnya. Faktor genetik merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
jumlah bunga pada masing-masing klon. Azwar dan Woelan (1990) menyatakan bahwa variasi jumlah
bunga jantan dan bunga betina pada masing-masing klon dikendalikan oleh faktor genetik.
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa pada parameter jumlah bunga jantan dan betina
perkarangan, klon IRR 111 memiliki jumlah bunga perkarangan paling tinggi yaitu 1.114 bunga
jantan/karangan dan 124 bunga betina/karangan. Klon PB 340 dan IRR 220 memiliki jumlah bunga
jantan perkarangan paling rendah yaitu masing-masing sebanyak 212 bunga dan 184 bunga. Karakter
morfologi bunga pada klon karet dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan
variabilitas genetik melalui persilangan buatan. Klon yang memiliki jumlah bunga paling tinggi
berpeluang dalam meningkatkan jumlah persilangan buatan, sebab semakin banyak bunga jantan dan
bunga betina pada suatu klon maka persentase buah jadi yang dihasilkan semakin tinggi. Pasaribu dan
Woelan (2007) perbandingan jumlah bunga betina dan bunga jantan dapat dijadikan sebagai indikator
dominasi jenis bunga yang dihasilkan setiap tetua persilangan.
216
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Klon RRIC 100 dan IRR 111 memiliki jumlah tangkai bunga primer paling tinggi yaitu 6
tangkai. Klon PB 260 dan PB 330 memiliki jumlah tangkai bunga primer masing-masing sebanyak 5
tangkai. Rata-rata jumlah tangkai bunga primer terendah terdapat pada klon PB 340 dan IRR 220
yaitu sebanyak 4 tangkai.
7
6
Tangkai bunga primer
5
4
3
2
1
0
PB 260 PB 330 PB 340 RRIC 100 IRR 111 IRR 220
Klon karet
Gambar 1. Grafik rataan jumlah tangkai bunga primer pada masing-masing klon
70
60
Tangkai bunga sekunder
50
40
30
20
10
0
PB 260 PB 330 PB 340 RRIC 100 IRR 111 IRR 220
Klon karet
Gambar 2. Grafik rataan jumlah tangkai bunga primer pada masing-masing klon
217
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
tangkai. Klon yang memiliki jumlah karangan bunga paling rendah terdapat pada klon RRIC 100 dan
IRR 220, yaitu masing-masing sebanyak 596 tangkai dan 502 tangkai.
1200
1000
Karangan bunga
800
600
400
200
0
PB 260 PB 330 PB 340 RRIC 100 IRR 111 IRR 220
Klon karet
Tabel 2. Jumlah persilangan, jumlah buah jadi dan persentase buah jadi.
Jumlah Jumlah buah jadi Persentase buah
Tetua Persilangan
persilangan (buah) jadi (%)
PB 260 X IRR 111 326 40 12,30
PB 260 X RRIC 100 381 28 7,29
PB 330 X IRR 111 202 6 2,97
PB 330 X RRIC 100 155 3 1,93
PB 340 X IRR 111 656 14 2,09
PB 340 X IRR 220 308 10 3,33
RRIC 100 X PB 260 633 67 10,55
RRIC 100 X PB 330 296 19 6,53
IRR 111 X PB 260 744 97 13,01
IRR 111 X PB 340 742 78 10,50
IRR 220 X PB 330 411 4 1,04
IRR 220 X PB 340 778 24 3,09
Total 5.632 390
Rata-rata 6,22
Tabel 2 menunjukkan bahwa kombinasi persilangan antara PB 260 x IRR 111 dan
resiprokalnya yaitu IRR 111 x PB 260 merupakan kombinasi yang secara spesifik memiliki presentase
buah jadi paling tinggi dibandingkan dengan kombinasi persilangan lainnya. Sedangkan persilangan
antara klon PB 330 x RRIC 100 dan IRR 220 x PB 330 memiliki persentase buah jadi paling rendah
yaitu masing-masing sebesar 2,09% dan 1,04%. Rendahnya persentase buah jadi tanaman karet
218
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
merupakan masalah utama dalam perakitan genotipe unggul karet, akibatnya harapan untuk
mendapatkan keragaman genetik menjadi terbatas. Rendahnya persentase buah jadi dari persilangan
tersebut diduga diakibatkan oleh rendahnya tingkat kompatibilitas antar tetua persilangan.
Mangoendijojo (2003) menyatakan bahwa, inkompatibilitas adalah terjadinya penyerbukan yang tidak
berlanjut ke proses pembuahan karena faktor-faktor fisiologis; pada waktu serbuk sari jatuh pada
kepala putik, tidak terbentuk tabung yang mengantarkan inti jantan bertemu dengan inti betina.
Menurut Woelan dan Azwar (1996) bahwa pengaruh genetik dapat dilihat dari adanya perbedaan
kompatibilitas dari pasangan tetua yang disilangkan.
Tabel 3. Diameter buah dan laju pertambahan diameter buah dari hasil persilangan
Diamater buah umur 3 bulan Laju Pertambahan diameter
Tetua Persilangan
(cm) buah (cm/bulan)
PB 260 X IRR 111 4,13 1,38
PB 260 X RRIC 100 5,64 1,88
PB 330 X IRR 111 3,26 1,09
PB 330 X RRIC 100 4,11 1,37
PB 340 X IRR 111 5,14 1,71
PB 340 X IRR 220 4,71 1,57
RRIC 100 X PB 260 5,65 1,88
RRIC 100 X PB 330 5,43 1,81
IRR 111 X PB 260 6,12 2,04
IRR 111 X PB 340 5,06 1,69
IRR 220 X PB 330 5,95 1,98
IRR 220 X PB 340 5,08 1,69
Rata-rata 5,02 1,67
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa persilangan IRR 111 x PB 260 dan IRR 220 x PB 330
memiliki laju pertambahan diameter buah paling tinggi yaitu masing-masing sebesar 2,04 cm/bulan
dan 1,98 cm/bulan, sedangkan yang paling rendah yaitu persilangan antara PB 330 x IRR 111 dan PB
330 x RRIC 100. Adanya perbedaan laju pertambahan diameter buah diduga dipengaruhi oleh faktor
inkompatibilitas dan fisiologi dari masing-masing tetua. Azwar dan Woelan (1990) menyatakan
bahwa faktor fisiologi yang mempengaruhi terhadap perkembangan buah ditentukan oleh kebutuhan
hormon. Pengguguran buah akan terjadi sejalan dengan menurunnya hormon auksin pada buah,
sehingga pertumbuhan buah harus diimbangi dengan konsentrasi auksin yang terkandung pada
tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, R dan S.Woelan. 1990. Karakteristik bunga dan viabilitas serbuk sari beberapa tetua karet.
Bull. Perkaretan, 8 (2), 77-83
Harihar, G. and Yeang. 1984. The low fruit set that follows conventional hand pollination in Hevea
brasilliensis. Insuffesiency of pollen as a cause, J. Rubb. Inst. Malaya. 32 (1). : 20-29
Mangoendijojo, W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius. Yogyakarta. Hal: 23-25; 85-
90
219
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pasaribu, S. A dan S. Woelan. 2007. Karakteristik Bunga dan Biji Dalam Hubungannya dengan
Aktivitas Persilangan Tetua Karet. Warta Karet. Balai Penelitian Sungei Putih.
Soman, T. A., M. R. Sethuraj., C. K. Saraswathyamma and M. A. Nazeer. 1996. Improving fruit set in
Hevea: Some preliminary observation. Indian J. Nat. Rubb. Res., 9 (2), 112-116
Woelan, S dan R. Azwar. 1996. Satu decade (1985-1994) kegiatan perakitan genotype karet unggul di
Sungei Putih. Warta Perkaretan. 15 (1) : 18-28
Woelan, S. 2006. Perbaikan karakteristik tanaman melalui rekombinasi genetik, I. pengaruh faktor
iklim terhadap persilangan buatan 2005. J. Penel Karet, 24 (1) : 17-22
220
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Karakter agronomi merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam melakukan seleksi
progeni unggul baru hasil persilangan tanaman karet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara komponen hasil lateks dengan lateks dan komponen hasil kayu dengan kayu menggunakan analisis
korelasi. Data yang diperoleh sangat mendukung efektivitas kegiatan seleksi dalam pemilihan karakter yang
tepat dipengujian tanaman semaian dalam program perakitan klon unggul baru. Total progeni yang digunakan
sebanyak 1013 progeni umur 9 tahun yang ditanam dengan jarak tanam 2 x 2 m di kebun Seedling Evauation
Trial dengan mengamati karakter pertumbuhan, tebal kulit, produksi, jumlah ring pembuluh lateks, diameter
ring pembuluh lateks, dan karakter lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen hasil lateks
dipengaruhi oleh karakter lilit batang (r= 0,5335), jumlah ring pembuluh lateks (r=0,3173), tebal kulit (r=
0,1635) dan diameter ring pembuluh lateks (0,0668). Sedangkan komponen hasil kayu dipengaruhi oleh karakter
lilit batang (r= 0,718), tinggi tanaman (r=0,6148) dan tinggi cabang pertama (r=0,6071).
PENDAHULUAN
Perubahan paradigma berkebun karet dari menghasilkan lateks menjadi lateksdan kayu,
menyebabkan kegiatan pemuliaan berupaya menghasilkan klon-klon unggul baru sebagai penghasil
lateks maupun kayu tersebut. Sehingga seorang pemulia karet harus sangat teliti dalam melakukan
seleksi terhadap progeni-progeni hasil persilangan dengan melihat beberapa karakter agronomi yang
diamati.
Karakter agronomi yang diamati diantaranya pertumbuhan tanaman, tebal kulit, produksi,
jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, dan lainnya.Berhubungan dengan hal tersebut
hubungan antara karakter-karakter agronomi perlu diketahui dalam mempengaruhi hasil lateks dan
kayu.Karakter agronomi suatu tanaman merupakan komponen yang menentukan besarnya hasil untuk
mengetahui hubungan antara beberapa karakter dengan hasilnya. Woelan dan Sayurandi(2008),
menyatakan bahwa karakter jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan lilit
batang memiliki korelasi positif terhadap hasil lateks pada progeni karet hasil persilangan tahun
1998/1999. Karena korelasi di antara karakter tanaman merupakan dasar dalam perencanaan
pemuliaan yang baik, sering kali dalam melakukan seleksi terhadap sifat-sifat tertentu akan merubah
sifat lainnya. Hal ini menyebabkan adanya hubungan posifit atau negatif. Beberapa percobaan dengan
melihat komponen hasil tidak ada varietas yang superior dalam semua sifat. Keunggulan yang
dihasilkan merupakan hasil gabungan antara berbagai komponen hasil yang diperoleh melalui
persilangan dan setiap komponen hasil bersifat poligenik pada turunannya (Lasminingsih, 1993).
Pola hubungan antara karakter agronomi dan hasil dapat diketahui melalui perhitungan
dengan menggunakan analisis korelasi sehingga dapat diketahui hubungan positif atau negatif antara
karakter-karakter tersebut. Artikel ini menyampaikan hasil kajian terhadap hubungan komponen hasil
lateks dengan lateks dan komponen hasil kayu dengan kayu menggunakan analisis korelasi dari
populasi progeni HP 2001/2003.
221
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
dengan jarak tanam 2m x 2m pada Kebun Pengujian Tanaman Semaian (Seedling Evaluation Trial=
SET).
Parameter yang digunakan untuk evaluasi terhadap progeni-progenihasil persilangan
2001/2003 yaitu potensi produksi lateks dengan menggunakan metode HMM (Hamarker Moris Man).
Metode penyadapan ini dilakukan pada ketinggian 50 cm dari permukaan tanah pada tanaman umur 9
tahun selama 3 bulan dengan sistem sadap S/2 d/3 (Dijkman, 1951). Sifat pertumbuhan yang diamati
adalah lilit batang, tebal kulit, dan antomi kulit (jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh
lateks), tinggi tanaman, tinggi cabang pertama, jumlah cabang pertama dan hasil kayu dengan
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 0,01 2
menggunakan rumus Wan Razali et.al., 1983 yaitu V= 3,14� � 𝑥𝑥 𝑇𝑇𝑇𝑇, dimana LB adalah lilit
6,28
batang dan TC adalah tinggi cabang pertama. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
Minitab 14.
Korelasi positif antara produksi karet kering dengan lilit batang terlihat sangat nyata yaitu
sebesar 0,5335 sehingga dikatakan bahwa lilit batang mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil
produksi. Woelan et.al. (2007) menyatakan bahwa lilit batang berkorelasi positif dengan produksi
yang dimiliki oleh masing-masing genotipe yaitu r = 0,56. Selanjutnya korelasi antara produksi karet
kering dengan tebal kulit juga positif sangat nyata yaitu sebesar 0,1635. Tebal kulit merupakan
kriteria yang cukup penting di dalam melakukan identifikasi suatu klon yang mempunyai keunggulan
di dalam produksi lateks tinggi(Woelan et.al.2001). Korelasi positif dengan jumlah ring pembuluh
lateks merupakan sangat nyata yaitu sebesar 0,3173. Artinya jumlah pembuluh lateks sangat
mempengaruhi produksi karet kering. Hal ini sesuai dengan Woelan et.al. (2007) menyatakan bahwa
jumlah ring pembuluh lateks mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan potensi produksi.
Hubungan antara pembuluh dengan potensi produksi yaitu sebesar r=0,86. Selanjutnya korelasi
positif juga terlihat dengan diameter pembuluh lateks yaitu 0.0668, dengan demikian diameter
pembuluh lateks juga memberikan pengaruh terhadap produksi karet kering. Hal ini sesuai dengan
Woelan et. al (2004) yang menyatakan jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit
dan lilit batang berpengaruh nyata terhadap hasil karet. Artinya bahwa apabila ada peningkatan
komponen hasil lateks maka hasil lateks akan lebih tinggi.
222
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Produksi kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah lilit batang, tinggi
tanaman, jumlah cabang dan tinggi percabangan. Korelasi antara produksi kayu dengan lilit batang
adalah positif yaitu sebesar 0,718. Artinya lilit batang memberikan pengaruh sangat besar terhadap
produksi kayu. Suhendry (2002) menyatakan bahwa, lilit batang selain berhubungan dengan hasil
lateks, juga mempengaruhi volume kayu yang akan dihasilkan. Namun tidak ada korelasi antara lilit
batang dengan panjang log pada setiap umur tanaman. Oleh karena volume kayu log diduga melalui
subsitusi lilit batang dan panjang log, maka kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang
memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi. korelasi antara produksi kayu dengan tinggi
tanaman dan tinggi cabang pertama merupakan korelasi positif yaitu masing-masing sebesar 0,6148
dan 0,6071. Pengukuran ini berguna untuk mengestimasi volume kayu log, karena kondisi ideal
tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi. Siagian
et.al (2005) menyatakan tinggi percabangan tanaman diukur guna untuk mengestimasi volume kayu
log. Volume kayu log nantinya akan diestimasi dengan menggunakan formula yang dikembangkan
oleh Wan Razali et al. (1983) dan salah satu variabel yang diukur untuk itu adalah tinggi batang bebas
cabang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil korelasi menunjukkan bahwa produksi karet kering dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya lilit batang, tebal kulit, jumlah dan diameter ring pembuluh lateks.
Sedangkan produksi kayu dipengaruhi oleh lilit batang, tinggi tanaman dan tinggi cabang pertama.
DAFTAR PUSTAKA
Djikman, M.J. 1951. Hevea. Thirty Years of Research In the Far East. University Of Miamy Press
Coral Gables, Florida. Pp: 12-16.
Lasminingsih, M. 1993. Analisis korelasi berbagai komponen karet sebagai bahan seleksi tanaman. J.
Penelitian Karet, 13 (1): 1-10.
Siagian, N, I. Suhendry dan H. Munthe. 2005. Keragaan pertumbuhan beberapa klon anjuran pada
sistem tanam populasi tinggi dan berbagai dosis pupuk. Prosiding Lokakarya Nasional
Pemuliaan Tanaman Karet, 227-250
Suhendry, I. 2002. Klon Karet Unggul Harapan Penghasil Lateks-Kayu dari Hasil Pengujian
Pendahuluan. J. Penelitian Karet 2002. Hal 11-29.
Wan Razali Mohd, Rosni Maidin, Ali Surjan and Johani Mohd Zain. 1983. Double Entry volume
Table Equations For Source RRIM 600 Series Clone of Rubber. The Malaysia Forester, 46(1):
46-59.
223
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Woelan, S., Aidi-Daslin, R. Azwar, dan I. Suhendry. 2001. Keragaan klon karet unggul harapan IRR
seri 100. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Karet. Pusat Penelitian Karet. Hal 173-187.
Woelan, S., Aidi-Daslin dan I. Suhendry. 2004. Keragaan klon karet unggul harapan IRR seri 100.
Pros. Lok Nas. Pemuliaan Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet. Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia, 173-187.
Woelan S., Jenimar, P. Razak, J. A. Napitupulu. 2007. Uses of phenotypic characteristics and RAPD
molecular marker on crossing result of rubber plant for genetic analysis and identification
genotype purification. Proc. International Rubber Conference & Exhibition. Nusa Dua, Bali,
13 th – 15 th 2007. 365 – 378.
Woelan, S dan Sayurandi. 2008. Analisis sidik lintas komponen hasil lateks-kayu dan seleksi genetipe
hasil persilangan di pengujian tanaman semaian. J. Penelitian Karet, 26(2): 98-113.
224
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Perkebunan karet umumnya diusahakan pada lahan marjinal yang memiliki kandungan hara relatif
rendah dan masam. Rendahnya ketersediaan hara dapat menyebabkan kurang optimalnya produksi pada
tanaman menghasilkan (TM) dan lahan gawangan masa tiga tahun setelah penanaman, areal perkebunan karet
(masa TBM) belum dimanfaatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan
hara dan pemanfaatan lahan yang bernilai ekonomi dan memberi manfaat bagi tanaman utama adalah melalui
intercropping kedele pada areal gawangan TBM. Kedele merupakan tanaman sela yang sesuai untuk
meningkatkan produktivitas lahan kering marjinal dan lahan kosong melalui perbaikan biologi tanah oleh
Rhizobium sp yang dihasilkannya. Inokulasi Rhizobium sp dapat membantu meningkatkan kandungan hara N
dan serapan hara akar tanaman melalui peningkatan jumlah bintil akar kedele bagi tanaman utama pada lahan
marjinal. Pengujian menunjukkan bahwa isolat Rhizobium sp yang berasal dari Mucuna bracteata mampu
menginfeksi perakaran tanaman kedele di akar utama. Untuk ketersediaan hara, melalui intercropping kedele
yang telah dilakukan, ketersediaan hara N, P, K, dan Mg serta pH dan KTK tanah mengalami peningkatan.
PENDAHULUAN
Di Indonesia lahan sub optimal atau lahan marjinal sangat luas, termasuk di dalamnya adalah
lahan rawa dan lahan kering. Lahan kering umumnya diusahakan sebagai lahan perkebunan yang
tergolong memiliki kesuburan rendah dengan produktivitas relatif rendah juga. Lahan marjinal ini
memiliki potensi untuk dioptimalkan melalui pengembangan teknologi budidaya yang tepat. Salah
satu komoditas tanaman perkebunan yang umumnya dikembangkan di lahan marjinal yang memiliki
kandungan hara relatif rendah dan masam adalah tanaman karet (Hevea brasiliensis).
Selama masa pertumbuhan karet, yaitu masa tanaman belum menghasilkan (TBM) hingga
umur 3 tahun, areal gawangan TBM masih terbuka dan belum dimanfaatkan secara optimal. Di
perkebunan besar, gawangan antar tanaman utama umumnya ditanami LCC, seperti Mucuna
bracteata untuk menekan gulma dan meningkatkan kesuburan tanah. Namun di perkebunan rakyat,
areal gawangan akan segera ditumbuhi oleh gulma yang dapat menekan pertumbuhan. Areal luas dan
terbuka inilah yang bisa dijadikan nilai tambah bagi petani selama tanaman belum menghasilkan dan
meningkatkan kesuburan lahan untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas kebun.
Kesuburan rendah di lahan perkebunan karet ini dapat diatasi melalui rehabilitasi lahan yang
dapat mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan pemberian bahan ameliorasi kapur,
bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K, penanaman legume penutup tanah atau tanaman
penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti cropping system (alley
cropping atau strip cropping). Lahan kering yang potensial diharapkan dapat menghasilkan bahan
pangan yang cukup dan variatif, bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan
strategi pengembangan yang tepat (Abdurachman, et al. 2008). Tanaman kedelai memiliki peluang
yang cukup besar untuk dikembangkan di lahan masam atau lahan marjinal di areal gawangan
perkebunan karet sebagai intercropping. Pemanfaatan bakteri Rhizobium yang toleran kondisi masam
berkadar Al, Mn, dan Fe tinggi dapat menggantikan sebagian besar pupuk N anorganik pada tanaman
kedelai yang ditanam di lahan masam, terutama pada lahan-lahan yang belum pernah ditanami
kedelai.
Tanaman sela dapat memberikan dampak positif maupun negatif tergantung pada cara
pengelolaannya. Pengelolaan tanaman sela melalui pengelolaan ekologi yang tepat dengan
memanfaatkan mekanisme faktor pembatas, kompetisi dan adaptasi akan memberikan hasil yang
optimum dan mencegah terjadinya dampak negatif. Sejalan dengan permasalahan tersebut, maka
225
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
penanaman genotipe kedelai toleran Al sebagai tanaman sela di lahan marjinal yang memiliki pH
rendah dapat sebagai salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan produktivitas lahan dan
memberikan hasil langsung kepada petani. Selain itu, penanaman kedelai sebagai tanaman sela di
bawah tegakan tanaman perkebunan/hutan secara tidak langsung akan memberikan dampak pada
peningkatan produksi kedelai nasional melalui perluasan areal tanam.
Penulisan ini bertujuan untuk memaparkan potensi Rhizobium untuk meningkatkan
kandungan hara melalui intercropping kedele pada gawangan TBM karet. Dari segi luasan dan aspek
budidaya, kedele merupakan suatu komoditas tanaman pangan yang berpotensi untuk dikembangkan
pada lahan marjinal, khususnya areal gawangan karet TBM.
226
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
phaseoli dan R. leguminosarum) dan dosis lebih tinggi (10 ml) dapat meningkatkan pertumbuhan
(biomasa tanaman 9,83 ± 12,1 g), bintil akar (48,9 ± 28,1 mg) dan produksi tanaman berat kering biji
14,25 ± 11,3 g/tanaman kedelai (Glycine max (L) Merr). Rhizobium yang dapat menodulasi tanaman
kedelai secara efektif dikenal sebagai Bradyrhizobium japonicum (Jordan, 1982) tetapi ada Strain lain
yang mampu menodulasi tanaman kedelai berupa Bradyrhizobium elkanii (Kuykendall et al., 1992)
dan Bradyrhizobium liaoningense (Xu et al., 1995) Namun kemampuan menodulasi tanaman kedelai
dari Bradyrhizobium japonicum ternyata lebih tinggi daripada Bradyrhizobium elkanii.
Beberapa penelitian pada tanaman lain selain kedelai, seperti pada tanaman inang Siratro
(Macroptilium atropurpureum (DC) Urb. Cv Siratro), bintil akar yang efektif dapat terbentuk dari
berbagai strain rhizobium atau bradyrhizobium (Appelbaum, 1990). Menurut Broughton (2003)
Azorhizobium caulinodans efektif membentuk bintil akar pada tanaman Sesbania rostrata,
Synorhizobium meliloti pada tanaman Medicago, Melilotus dan Trigonella.
60
tinggi tanaman kedele (cm)
50
40
30
20
10
0
3MST 6MST 9MST 12MST
waktu pengamatan (MST)
Bentuk interaksi intercropping dan tanaman karet ditentukan oleh kompatibilitas karakteristik
dari jenis tanaman dan fase pertumbuhan. Tanaman kedele dan tanaman karet sebagai tanaman utama
menunjukkan respon positif dengan adanya perlakuan intercropping kedele. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan Gambar 1 dan Gambar 2 dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Balai Penelitian
Sungei Putih. Hasil menunjukkan bahwa melalui intercropping kedele pertumbuhan tinggi tanaman
dan lilit batang lebih tinggi pada gawangan tanaman karet dengan perlakuan intercropping
dibandingkan kontrol atau gawangan yang tidak mendapat perlakuan intercropping. Tanaman karet
tidak mengalami pertumbuhan yang terhambat karena adanya kesesuaian lingkungan akar yang tidak
menyebabkan persaingan ruang tumbuh akar hara antara kedele dan karet. Munthe (1996)
menekankan bahwa lokasi penyebaran akar hara secara horizontal pada tanaman TBM 1 masih berada
di 50 cm dari pohon.
227
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
TBM 1
Jenis
Pengukuran Kontrol Kedele
pH 4.4 4.54
N (%) 0.12 0.16
P2O5 – Total 10.26 32.37
(mg/100 g)
Mg (cmol(+)/kg) 0.15 0.58
K2O (cmol(+)/kg) 26.97 26.22
KTK (cmol(+)/kg) 13.25 14.38
228
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
pertumbuhan berupa IAA dan giberellin yang dapat memacu pertumbuhan rambut akar, percabangan
akar yang memperluas jangkauan akar sehingga tanaman berpeluang besar menyerap hara lebih
banyak yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Hermastini, 2007). Selain itu rhizobium
mampu meningkatkan penyerapan fosfat. Fosfat merupakan hara utama dalam perkembangan akar
dan pembentukan polong kedelai. Penelitian Natakorn Boonkerd dari Suranaree University, Thailand
menunjukkan fosfat meningkat 89% pada tanah yang diberi rhizobium dan tanpa pupuk.
SIMPULAN
• Pemanfaatan Rhizobium merupakan teknologi budidaya yang berpotensi dalam peningkatan
produktivitas tanaman kedele melalui pembentukan bintil akar dimana kedele sebagai
intercropping di lahan marjinal yang memiliki pH rendah dapat menjadi salah satu penyebab
terhambatnya pembentukan bintil akar kedele.
• Rhizobium yang berasal dari bintil akar leguminosa mampu menginfeksi perakaran tanaman
kedele dan meningkatkan fiksasi N.
• Pertumbuhan kedele pada gawangan tanaman karet belum menghasilkan (TBM) umur 1
tahun sebagai tanaman intercropping dapat tumbuh normal dengan memperhatikan varietas
biji, waktu tanam, dan pengelolaan budidaya yang tepat.
• Intercropping kedele dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui peningkatan ketersediaan
unsur hara, peningkatan pH dan KTK tanah serta melalui indikator tanaman yang
menunujukkan meningkatnya pertumbuhan tinggi dan lilit batang tanaman karet.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. New York-Chichaster-Brisbane-Toronto-
Singapore: John Wiley and Sons.
Appelbaum E. 1990. The Rhizobium/Bradyrhizobium-legume symbiosis. In: Gressh off PM, editor.
Molecular Biology of Symbiotic Nitrogen Fixation. Florida: CRC Press, 131-158.
Broughton WJ. 2003. Roses by other names: Taxonomy of the Rhizobiaceae. Journal of Bacteriology,
185(10):2975-2979.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.Terjemahan. Susilo H,
penerjemah. Terjemahan dari Physiology of Crop Plants. Jakarta:UIPress.
Gandanegara, S, Hendratno, Harsoyo, dan Hisar Sihombing. 1998. Pertumbuhan dan kandungan
tanaman sejumlah galur mutan kedelai di lahan masam. Penelitian dan Pengembangan
Aplikasi Isotop dan Radiasi. 93-99.
Holl FB, 1975. Host Plant Control of the Inheritance of Dinitrogen Fixation in the Pisum-Rhizobium
Symbiosis. Euphytica 24: 767–70.
Harun UM dan Ammar M, 2001. Respon Kedelai (Glycine max L. Merr) terhadap Bradyrhizobium
japonicum Strain Hup+ pada Tanah Masam. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia.3(2).
Jordan, D.C. 1982. Transfer of Rhizobium japonicum Buchanan 1980 to Bradyrhizobium gen. Nov., a
genus of slow –growing, root nodule bacteria from leguminous plants. Int. J. Sys. Bacteriol.
32: 136 – 139.
Kuykendall, L.D., B. Saxena, T.E. Devine, and S.E. Udell. 1992. Genetic diversity in Bradyrhizobium
japonicum Jordan 1982 and a proposal for Bradyrhizobium elkanii sp. Nov. Canadian J.
Microbial. 38: 501 – 505.
Munthe, Haposan. 1996. Penyebaran akar hara dan hubungannya dengan penaburan pupuk pada
tanaman karet. Warta perkaretan. 1(15): 7-17.
Rahayu M, 2000. Pengaruh Pemberian Rhizoplus dan Takaran Urea terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Kedelai. Balai Pengkaji Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Suwarni, Guritno B dan Moenandir J, 2002. Pengaruh Herbisida Glisofat dan Legin terhadap Perilaku
Nodulasi Tanaman Kacang Tanah. Agrosains 2(2).
Suharjo UKJ, 2001. Efektifitas Nodulasi Rhizobium japonicum pada Kedelai yang Tumbuh di Tanah
Sisa Inokulasi dan Tanah dengan Inokulasi Tambahan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia
3(1).
Romero EM, 2003. Diversity of Rhizobium-Phaseolus vulgaris Symbiosis: Overview and
Perspectives. Plant and Soil. 252: 11–23.
229
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Lukman DR, Sumaryono. Penerjemah. Bandung
:ITB-Bandung. Terjemahan dari:Plant physiology.
Surtiningsih, T dan Tri Nurhariyanti. 2009. Biofertilisasi bakteri rhizobium pada tanaman kedelai
(Glycine Max (L) Merr.). Bark. Penel. Hayati. 15: 31-35.
Xu, L. M., C. Ge, Z. Cui, J. Li. And H. Fan. 1995. Bradyrhizobium lianoningensis sp. Nov. Isolated
from the root nodules of soybean. Int. J. Sys. Bacteriol. 45: 706 – 711.
230
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Biologi Lingkungan
231
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
232
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian “Deskripsi Perilaku Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Mencari
Tempat Tidur (Sleeping Site) di Kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar”.
Penelitian ini bertujuan 1) untuk mengetahui komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur 2)
Mendeskripsikan pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur, dan 3) Mengetahui
urutan menempati tempat tidur sekelompok kera ekor panjang. Metode yang digunakan adalah metode focal
animal sampling dan scan sampling. Data di analisis secara persentase. Pengumpulan data dilakukan pada
tanggal 11 s.d 16 Januari 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi perilaku kera ekor panjang
menempati tempat tidur yaitu observasi (47,73%), berlari (23,86%), bergelantungan (9,09%), mengguncang
cabang pohon (19,32%). Sekelompok kera ekor panjang menempati tempat tidur lebih banyak menempati pohon
trembesi 1 sebanyak (73,24%), sedangkan pohon trembesi 2 sebanyak (26,76%). Simpulan yang diperoleh
adalah komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur yaitu observasi, berlari, bergelantungan
dan mengguncang cabang pohon. Pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur
yaitu pada pohon trembesi dengan bentuk tajuk menyerupai payung, tinggi pohon sekitar ± 30 meter dan
diameter batang sekitar 2,5 meter. Memilih tempat tidur disepanjang cabang pohon dibagian tepi cabang,
memilih cabang kedua yang kuat serta percabangan berada di atas kolam pemandian, dengan diameter cabang
sekitar > 30 cm, tinggi tempat tidur sekitar 15 meter dari permukaan tanah. Urutan menempati tempat tidur
sekelompok kera ekor panjang dimulai dari kera betina, diikuti anak kera dan terakhir kera jantan.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman satwa liar yang tinggi dan
tersebar di beberapa habitat. Bermacam spesies satwa liar ini merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia, antara lain adalah primata. Salah satu spesies
primata adalah Macaca fascicularis (Kindersley, 2005). Macaca tergolong hewan tropik dan
subtropik, dari 195 jenis primata, 40 jenis ada di Indonesia. Penyebarannya cukup luas meliputi
wilayah Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Macaca fascicularis merupakan salah satu satwa
liar di Indonesia yang hingga kini status konservasinya belum dilindungi undang-undang dan
resikonya masih rendah terhadap kepunahan (Supriatna & Wahyono, 2000). Kawasan Asia telah
ditemukan sebanyak 20 spesies dari Macaca (REI, 1992). Macaca yang termasuk ordo primata ini
umumnya ditemukan di Asia Tenggara, termasuk kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah
Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh. Salah satu spesies dari Macaca yang mendiami kawasan ini
adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis).
Mata Ie merupakan salah satu kawasan yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan, dalam
Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Mata Ie memiliki suhu udara berkisar antara 20,7 °C
s.d 29,7 °C dan suhu tanah 25 °C s.d 30 °C dengan kelembaban berkisar antara 80% s.d 90%, hidup
berbagai macam flora dan fauna. Kawasan Mata Ie sudah lama dikenal sebagai objek wisata, dengan
kolam pemandian dari sumber air dari kawasan pegunungan sekitarnya. Kawasan Wisata Mata Ie
banyak dijumpai kelompok kera ekor panjang yang melakukan berbagai macam aktifitas. Kawasan ini
banyak sumber pakan baik dari alam maupun dari pengunjung yang melemparkan makanan kepada
kelompok kera ekor panjang.
Kera ekor panjang adalah salah satu satwa primata yang mempunyai ciri khas yaitu
menggunakan kaki depan dan belakang (quadropedal) dalam berbagai variasi. Umumnya kera ekor
panjang dapat memanjat dan melompat (leaping) dari satu pohon ke pohon lain, dan memiliki ekor
233
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan. Panjang tubuh berkisar antara 385 s.d 648 mm.
Panjang ekor pada jantan dan betina antara 400 s.d 655 mm (Supriatna & Wahyono, 2000).
Kulit berwarna coklat kekuningan, abu-abu atau coklat hitam, tetapi bagian bawah perut dan
kaki sebelah dalam selalu lebih cerah. Rambut di pipi menjurai ke muka, di bawah mata selalu ada
kulit yang tidak berbulu berbentuk segitiga, kulit pada pantat tidak berbulu. Jantan memiliki rambut di
pipi serta kumis, sedangkan betina memiliki janggut. Pada tempat duduk terdapat bantalan duduk
yang melekat pada tulang duduk dan mempunyai kantung pipi yang digunakan sebagai tempat
menyimpan makanan (Carter, 1978 dalam Fardhiah, 1995).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kawasan Wisata Mata Ie terdapat berbagai jenis
pohon, yang menjadi tempat istirahat, sumber pakan alami, tempat bermain dan tempat aktivitas
lainnya, serta pohon tempat tidur kera ekor panjang. Pohon yang terdapat di kawasan Wisata Mata Ie
tersebut antara lain trembesi (Albizia saman), beringin (Ficus sp), asam jawa (Tamarindus indica),
mangga (Mangifera indica) dan pohon lain yang belum terdefinisi yang memiliki tajuk sangat
beragam.
Kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar ini, terdapat
tumbuhan yang dominan tumbuh yaitu pohon trembesi (Albizia saman). Trembesi memiliki
karakteristik yaitu jenis pohon besar dan keras, bentuk tajuk menyerupai payung yang dapat
berlindung dan juga sebagai sumber pakan kera ekor panjang berupa daun muda, bunga dan buah.
Pohon trembesi ini merupakan salah satu pohon yang dijadikan kera ekor panjang sebagai pohon
tempat bermain, tempat mencari pakan, dan tempat aktivitas lainnya, serta tempat tidur pada malam
hari.
Untuk menjamin berlangsungnya berbagai kegiatan dan untuk mempertahankan kehidupannya,
maka kehadiran pelindung (cover) sangat dibutuhkan oleh kera ekor panjang. Perilaku kembali ke
pohon untuk tidur merupakan aktifitas yang dilakukan kera ekor panjang untuk beristirahat pada
malam hari, kera ekor panjang memilih tempat tidurnya pada pohon yang mempunyai tajuk yang
rimbun, dahan pohon bebas dari liana, dan bentuk tajuk menyerupai payung, dan dahan satu dengan
dahan lainnya tidak tumpang tindih, tempat tidur demikian adalah suatu cara untuk mengatasi
ancaman dari predator (Muchtar, 1982).
Untuk membuktikan perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur dan pentingnya
tumbuhan dengan ciri khas tersendiri bagi tempat tidur kera ekor panjang, dapatlah dibuktikan melalui
penelitian. Oleh karena itu, peneliti membuat penelitian dengan judul “Deskripsi Perilaku Kera
Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Mencari Tempat Tidur (Sleeping Site) di Kawasan Wisata
Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar”.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui komposisi perilaku kera ekor panjang menempati
tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar, (2)
mendeskripsikan pohon yang ditempati sekelompok kera ekor panjang sebagai tempat tidur di
kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. (3) mengetahui urutan
menempati tempat tidur sekelompok kera ekor panjang di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul
Imarah Kabupaten Aceh Besar?
234
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
membiasakan hewan terhadap kehadiran peneliti dengan pemberian pakan berupa pisang, sehingga
pengamatan dapat lebih mudah dilakukan, (3) Waktu pengamatan dilakukan mulai pukul 18.00 WIB
s.d 20.00 WIB, (4) Perilaku kera ekor panjang diamati dari jarak yang cukup menggunakan alat bantu
teropong tanpa membuat aktivitas yang mengganggu, (5) Mengisi tabel pengamatan yaitu berupa
komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur dan pohon yang ditempati sekelompok
kera ekor panjang sebagai tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah
Kabupaten Aceh Besar. Parameter pada penelitian ini berkaitan dengan segala perilaku yang menjadi
acuan dari objek penelitian ini yaitu kera ekor panjang. Adapun parameter yang diamati berupa
perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur dan deskripsi pohon yang ditempati sekelompok
kera ekor panjang sebagai tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah
Kabupaten Aceh Besar. Komposisi perilaku kera ekor panjang yang dilakukan pada waktu menempati
tempat tidur dilakukan dengan persentase, dengan formulasinya sebagai berikut:
𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 ℎ 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝
Persentase = 𝑥𝑥 100%
𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎
Pengumpulan data dari hasil penelitian ini di analisis secara deskriptif. Analisis deskriptif kualitatif
yaitu penguraian secara umum dan penjelasan mengenai setiap parameter ukuran pengamatan yang
dideskriptifkan secara kualitatif (Fachrul, 2008:86). Untuk mengetahui masing-masing pohon yang
ditempati sekelompok kera ekor panjang menempati tempat tidur diamati dengan persentase, dengan
formulasi sebagai berikut:
19,32%
Observasi
47,73% Berlari
9,09%
Bergelantungan
23,86%
Gambar 1. Diagram Pie Hasil Persentase Komposisi Perilaku Kera Ekor Panjang Menempati Tempat
Tidur
Komposisi perilaku kera ekor panjang menempati tempat tidur yang dilakukan di kawasan
Wisata Mata Ie Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar yaitu:
a) Perilaku Observasi
Berdasarkan hasil yang diperoleh selama pengamatan, kera ekor panjang di kawasan Wisata
Mata Ie melakukan perilaku observasi mulai pukul 18.00 WIB s.d 19.45 WIB. Perilaku observasi
merupakan salah satu perilaku yang sering dilakukan kera ekor panjang dengan persentase yang
235
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
paling tinggi dibandingkan perilaku lainnya yaitu 47,73%. Perilaku observasi sering dilakukan kera
ekor panjang yaitu meliputi duduk, memantau atau melihat keadaan sekeliling sambil tangan
memegang dahan pohon, mengambil posisi duduk atau istirahat, dengan cara menggerak-gerakkan
tubuhnya, serta mengutui kera lain atau dirinya sendiri, terkadang terlihat melakukan observasi sambil
makan (Gambar 2).
Disela-sela observasi, kera ekor panjang sering terlihat melakukan kegiatan grooming dan
makan. Perilaku grooming yaitu kegiatan berupa membersihkan badan, memelihara diri dari parasit
maupun kotoran, selain itu juga untuk membangun dan menjaga serta memperkuat ikatan sosial.
Menurut Eimerl dan De Vore (1980) dalam Bismark (1982) dalam Nurhasnah (2000:8) menyatakan
bahwa, kera ekor panjang melakukan kegiatan grooming tidak hanya sekedar membersihkan badan,
tetapi juga sarana untuk menjalin hubungan sosial antara individu dalam suatu kelompok, meredakan
ketegangan dan bertujuan lain, baik dilakukan terhadap dirinya sendiri maupun terhadap kera ekor
panjang lainnya. Perilaku kera ekor panjang melakukan grooming, menggunakan kedua tangan
dengan cara membolak balik rambut yang ada pada tubuh kera lain maupun ditubuhnya sendiri,
apabila ada kutu yang ditemui, maka kera tersebut memakan kutu yang didapatnya dengan cara
mengambil dengan mulut. Ada dua macam cara grooming yaitu allogrooming yang dilakukan dengan
hewan lainnya, dan autogrooming yang dilakukan sendiri (Chalmers, 1979 dalam Santosa, 1996).
Selama pengamatan, perilaku observasi yang dilakukan kera ekor panjang sering juga terlihat
sambil makan yaitu dengan cara mengambil daun muda, dan serangga yang ditemuinya di atas cabang
pohon, serta mengeluarkan makanan yang disimpan di kantong pipi. Perilaku mengambil makananan
di pipi yang dilakukan kera ekor panjang yaitu dengan cara menusuk pipi dengan kaki dan
mengunyah dan menelan makanan tersebut.
(a) (b)
Gambar 2. Kera Ekor Panjang (a) Observasi Sambil Makan, (b) Observasi Sambil Grooming.
b) Perilaku Berlari
Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku berlari yang dilakukan kera ekor panjang di kawasan
Wisata Mata Ie, mulai pada pukul 18.00 WIB s.d pukul 19.15 WIB dengan memiliki persentase yaitu
23,86%. Perilaku berlari yang dilakukan kera ekor panjang merupakan suatu aktivitas atau gerak aktif
yang dilakukan oleh kera ekor panjang untuk lebih cepat bergerak menuju tempat tidur, serta perilaku
berlari dapat juga meliputi berpindah tempat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain yang
dianggap nyaman sebagai tempat tidur.
Supriatna & Wahyono (2000) menyatakan bahwa, kera ekor panjang adalah salah satu satwa
primata yang memiliki ciri khas yaitu menggunakan kaki depan dan belakang (quadropedal) dalam
berbagai variasi untuk berjalan dan berlari, umumnya kera ekor panjang dapat memanjat dan
melompat (leaping) dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, perilaku berlari juga dilakukan kera
ekor panjang dengan cara melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya.
236
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
c) Perilaku Bergelantungan
Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku bergelantungan yang dilakukan kera ekor panjang di
kawasan Wisata Mata Ie mulai pukul 18.00 WIB s.d pukul 19.15 WIB dengan persentase paling
sedikit yaitu 9,09%. Perilaku bergelantungan yaitu perilaku yang sering dilakukan kera ekor panjang
disela-sela bermain atau pada saat mencari percabangan tempat tidur yang dianggap nyaman sebagai
tempat tidur. Perilaku bergelantungan yang dilakukan kera ekor panjang yaitu dengan gerakan
brakiasi (gerakan dengan menggunakan kedua kaki depan untuk bergelantungan). Perilaku
bergelantungan terjadi ketika di sela-sela bermain atau menuju cabang pohon yang dijadikan sebagai
tempat mencari makan, sebagai tempat bermain, serta cabang tempat tidur (Muchtar, 1982).
Perilaku bergelantungan yang dilakukan kera ekor panjang bertujuan untuk berpindah ke
cabang pohon lain yaitu dengan cara kedua kaki depan memegang cabang pohon serta kedua kaki
belakang menjulai ke bawah serta dengan menggunakan sebelah kaki depan memegang cabang pohon
lain dan mengayunkan kaki belakang hingga menyentuh cabang pohon yang diinginkan (Gambar 3).
2. Deskripsi Pohon yang Ditempati Sekelompok Kera Ekor Panjang Sebagai Tempat Tidur
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, deskripsi pohon yang ditempati sekelompok
kera ekor panjang sebagai tempat tidur di kawasan Wisata Mata Ie sekelompok kera ekor panjang
pada umumnya memilih pohon tempat tidur yaitu di pohon trembesi yang tumbuh dekat kolam
pemandian, dengan tinggi pohon sekitar ± 30 meter, diameter batang sekitar 2,5 meter, dengan
diameter cabang tempat tidur sekitar > 30 cm, dan tinggi cabang sekitar 15 meter dari permukaan
tanah. Pohon yang dijadikan sebagai tempat tidur oleh kera ekor panjang terdapat dua pohon trembesi
yang tumbuh dekat kolam pemandian, yaitu pohon trembesi 1 dan pohon trembesi 2 yang jarak
tumbuhnya berdampingan sekitar 5 meter. Selama pengamatan, sekelompok kera ekor panjang
menempati pohon tempat tidur lebih banyak menempati pohon trembesi 1 dibandingkan pohon
trembesi 2, dengan hasil persentase menunjukkan bahwa sekelompok kera ekor panjang menempati
pohon tempat tidur pada pohon trembesi 1 memiliki persentase sebesar 73,24%, sedangkan pada
pohon trembesi 2 yaitu sebesar 26,76%.
237
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sekelompok kera ekor panjang menempati tempat tidur lebih banyak jantan dibandingkan
betina dan anak kera. Pada pohon trembesi 1 kera ekor panjang jantan menempati pohon tempat tidur
sebanyak 30 ekor, kera betina 16 ekor, dan anak-anak 6 ekor. Sedangkan pada pohon trembesi 2 kera
jantan menempati pohon tempat tidur sebanyak 12 ekor, kera betina 7 ekor, sedangkan anak kera tidak
ada (Gambar 4)
35
30
25
20 jantan
15 betina
anak
10
0
trembesi 1 trembesi 2
Gambar 4. Grafik Pohon yang Ditempati Sekelompok Kera Ekor Panjang Sebagai Tempat Tidur
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, deskripsi pohon yang ditempati sekelompok
kera ekor panjang sebagai tempat tidur diawali dengan mencari pohon trembesi yang tumbuh disekitar
kolam pemandian, dengan tinggi pohon sekitar ± 30 meter, diameter batang sekitar 2,5 meter,
diameter cabang > 30 cm, dengan tinggi tempat tidur sekitar 15 meter dari permukaan tanah (Gambar
5).
Gambar 5. Pohon yang Ditempati Sekelompok Kera ekor Panjang Sebagai Tempat Tidur
Selama pengamatan, sekelompok kera ekor panjang memilih tempat tidur disepanjang cabang
pohon dibagian tepi cabang dan memilih cabang kedua yang kuat serta percabangan berada di atas
permukaan kolam pemandian. Kera ekor panjang merupakan spesies perenang yang sangat baik, dan
ini mungkin merupakan teknik untuk menghindari dari ancaman predator, jika kera ekor panjang
terancam, kera ekor panjang ini hanya dapat melarikan diri dengan cara menjatuhkan tubuhnya ke
dalam air dan berenang ke tempat yang dianggap aman (Rowe 1996, van Schaik et al., 1996 dalam
Muchtar, 1982).
238
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sekelompok kera ekor panjang yang menempati pohon tempat tidur lebih banyak menempati
pohon trembesi 1 dibandingkan pohon trembesi 2, karena pohon trembesi 1 pohonnya lebih besar dan
daunnya lebih rimbun serta percabangan tempat tidur lebih panjang dibandingkan pohon trembesi 2.
Sesuai dengan pernyataan Muchtar (1982) menyatakan bahwa “Perilaku kembali ke pohon untuk tidur
merupakan aktifitas yang dilakukan untuk kembali ketempat tidur untuk beristirahat pada malam hari.
Kera ekor panjang memilih tempat tidur pada pohon yang mempunyai tajuk yang rimbun, dahan
pohon bebas dari liana, dan bentuk tajuk menyerupai payung, dahan satu dengan dahan lainnya tidak
tumpang tindih, tempat tidur demikian adalah suatu cara untuk mengatasi ancaman dari predator.
DAFTAR PUSTAKA
Fardhiah, R. 1995. “Keanekaragaman Jenis Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Tingkat Pohon Pada Habitat Alami Areal PT. Beuna Coklat Aceh Barat”. Unpublish Article.
Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Yayasan Teungku Chik Pante Kulu.
Fachrul, M. F. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Falah, N. 2006. “Perilaku Makan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Kawasan Seunapit
Kecamatan Lembah Seulawah sebagai Objek Praktikum Ekologi Hewan”. Unpublish Article.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan IAIN.
Fried, D. dan Hademenos, J. 2005. Schaum’s Outlines Biologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
239
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hadinoto, dkk. 2007. “Populasi dan Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di
Hutan Wisata Sungai Dumai, Kota Dumai, Provinsi Riau”. Laporan Penelitian. Pekan Baru.
Universitas Lancang Kuning.
Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kindersley, D. 2005. Encyclopedia Fauna. Jakarta: Erlangga.
Koyla, E. N. 2011. “Aktivitas Harian dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis
Rafless) di Kawasan Wisata Cikakak Wanjon”. Makalah disajikan dalam prosiding seminar
Nasional Hari Lingkungan Hidup. Perwokerto.
Muchtar, A. S. 1982. Penelitian Pola Pergerakan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Taman
Wisata dan Cagar Alam Penagandaran. Unpublish Article. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan
Yayasan Teungku Chik Pante Kulu.
Neville, J. dan Burke, B. J. 2003. Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Nugini; Penilaian
dan Penatalaksanaan Resiko Terhadap Keanekaragaman Hayati. Laporan. Universitas
Cendrawasih. (Online), (diakses tanggal 19 Juli 2012).
Nurhasnah. 2000. “Studi Interaksi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Terhadap Pengujung
di Taman Wisata Mata Ie Aceh Besar”. Unpublish Article. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan
Yayasan Teungku Chik Pante Kulu.
REI. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Santosa, Y. 1996. “Beberapa Parameter Bio-Ekologi Penting Dalam Pengusaha Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis)”. Jurnal. Volume 5, no 1. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. (Online),
(http://www.bogor.ac.id., diakses tanggal 20 Mei 2012).
Supriatna, J. Dan Hendras W. E. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan obor
Indonesia.
Reichard, U. 1998. “Sleeping Sites, Sleeping Places, and Presleep Behavior of Gibbons (Hylobates
lar)”. Jurnal. Bangkok. Center for Conservation Biology, Department of Biology, Mahidol
University. (Online),
(http://anthro.siu.edu/reichard/reichard_1998.pdf., diakses tanggal 27 Februari 2013).
Yudanegara, A. 2006. “Aktivitas Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Kelompok
Pancalikan di situs Ciung Wanara, Ciamis, Jawa Barat”. Unpublish Article. Departemen
Biologi fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. (Online), (http://www.bogor.ac.id.,
diakses tanggal 7 juli 2012).
240
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Erni Jumilawaty
Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara, Medan
Jl Bioteknologi No.1 Padang Bulan, Medan
Email: erni_jumilawaty@yahoo.com
ABSTRAK
Pecuk merupakan salah satu burung dari famili phalacrocoracidae dan termasuk kelompok burung laut.
Burung jenis ini mencari makan dilaut dengan cara berenang dan menyelam. Makanan utamanya adalah ikan.
Burung-burung ini tidak pernah ditemukan mencari makan disekitar Percut Sei Tuan dari tahun 2002 sampai
2011. Hal ini diduga berhubungan erat dengan faktor keamanan karena jenis ini berbiak di wilayah Tanjung
Rejo yang merupakan salah satu lokasi berbiak burung air. Jenis ini pertama sekali terlihat mencari makan di
sekitar Bagan Percut, Paluh 80 dan Paluh 50 pada tahun 2012 dalam jumlah kecil berkisar 10 sampai 30
individu, jumlah ini mengalami peningkatan saat musim migrasi berakhir sekitar 35 individu. Hal ini diduga
berkaitan erat dengan ketersediaan makanan dan faktor keamanan serta populasi yang terus meningkat atau
berkaitan dengan survival terutama pada saat musim berbiak tiba.
PENDAHULUAN
Pecuk merupakan salah satu burung dari famili phalacrocoracidae dan termasuk kelompok
burung laut. Burung jenis ini mencari makan dilaut dengan cara berenang dan menyelam. Makanan
utama dari burung pecuk adalah ikan. Umumnya burung pecuk mencari makan dilaut dalam
kelompok. Kebiasaan burung jenis ini memakan ikan baik itu ditambak maupun dilaut terutama dekat
nelayan memasang jala menjadikan burung ini sebagai hama bagi nelayan. Walau bersarang dan
beristirahat di wilayah pantai dan dekat dengan lautan tapi jenis ini dari tahun 2002 sampai 2011 tidak
pernah ditemukan mencari makan di wilayah Percut Sei Tuan baik dilaut maupun ditambak
penduduk. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Sullivan et al. (2006) bahwa pecuk
membutuhkan tempat yang sesuai untuk bersarang dan berdekatan dengan lokasi mencari makan.
Walau bersarang didekat pesisir pantai dan pertambakan tapi jenis ini hanya sesekali terlihat mencari
makan di kolam dekat dengan wilayah bersarangnya secara soliter (Jumilawaty 2012). Pada bulan Juli
2012 jenis ini terlihat bertengger dipohon mangrove dan tersebar pada tiga lokasi penelitian yaitu:
Paluh 50, Paluh 80 dan Bagan Percut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah populasi dan
faktor yang mempengaruhi kehadirannya pada lokasi penelitian.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2013 pada 4 lokasi yaitu Paluh 50, Paluh 80
dan Bagan Percut. Pengambilan data burung pecuk menggunakan metode survey menggunakan
perahu.
241
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
35
30
25
Jumlah Individu
20
15
10
5
0
B. Percut Paluh 80 Paluh 50 P Lalang
Bulan
Pecuk ini pertama sekali dilaporkan oleh Susilo (2007) di wilayah Pematang Lalang yang
terlihat bertengger di pohon mangrove sebanyak 2 individu. Sedangkan tiga lokasi lainnya tidak
ditemukan. Ditemukannya pecuk di bagan Percut, Pematang Lalang, Paluh 80 dan Paluh 50 diduga
erat kaitannya dengan peningkatan jumlah populasi pecuk pada lokasi berbiak yang terdapat di
Tanjung Rejo. Pada tahu 2002 sampai 2007 jenis ini tidak pernah ditemukan pada keempat lokasi,
jenis ini hanya di temukan di Tanjung Rejo dan tidak pernah terlihat mencari makan di Tanjung Rejo
maupun di keempat loaksi penelitian. Faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi kehadiran pecuk di
lokasi penelitian diduga berkaitan erat dengan ketersediaan makanan terutama pada saat musim
berbiak, populasi yang terus meningkat menyebabkan pecuk harus mencari lokasi mencari makan
yang lain disamping lokasi yang selama ini digunakan. Pada saat musim berbiak pecuk membutuh
makanan lebih banyak dibandingkan dengan musim tidak berbiak. Peningkatan populasi juga
menyebabkan burung ini harus mencari lokasi makan yang berbeda untuk menghindari terjadi
kompetisi antar sesama pada lokasi yang selama ini digunakan. Sampai saat ini lokasi yang digunakan
oleh burung pecuk untuk mencari makan belum dapat diketahui secara pasti jenis ini banyak
ditemukan di perairan Belawan baik ditambak maupun di lokasi perairan.
Fluktuasi jumlah burung pecuk pada keempat wilayah ini diduga dipengaruhi oleh faktor
makanan. Pada bulan februari sampai april merupakan waktu yang bersamaan dengan kedatangan
burung burung pantai migran yang menggunakan lokasi pantai sebagai tempat mencari makan. Pecuk
tidak terlihat ikut mencari makan ataupun bergabung bersama dengan burung pantai maupun burung
air lainnya walau hanya untuk beristirahat. Pecuk terlihat hanya bertengger diatas pohon mangrove
dan sesekali ada beberapa individu yang mencari makan pada lokasi yang memiliki air dangkal.
Pemilihan lokasi ini diduga berkaitan erat kebiasaan pecuk yang mencari makan dengan cara
menyelam dan berenang didalam air.
Kehadiran burung pantai migran pada bulan Februari sampai April memberikan pengaruh
terhadap kehadiran pecuk, tetapi belum diketahui sejauh mana pengaruh kehadiran burung pantai
migran ini terhadap pecuk dalam mencari makan karena metode mencari makan dan lokasi makan
pecuk dan burung pantai sangat berbeda tetapi jumlah pecuk terlihat meningkat pada saat musim
migrasi berakhir (Gambar 2).
242
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
50
45
40
35
30
Jumlah Individu
25
20
15
10
5
0
Feb Maret April Juli
Bulan
Pada gambar 2 terlihat bahwa jumlah individu pecuk meningkat setiap bulannya. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Jumilawaty (2012) pecuk merupakan burung yang memiliki
kecenderungan megalami peningkatan jumlah populasi setiap bulannya. Peningkatan jumlah populasi
terlihat pada bulan juli setelah burung pantai migran kembali ke lokasi berbiak. Diduga kehadiran
burung migran menjadi salah satu faktor kehadiran pecuk di wilayah penelitian. Burung migran yang
mencari makan dalam jumlah banyak menyebabkan pecuk yang mencari makan secara soliter
cenderung menghindar. Selama pengamatan bersamaan dengan waktu surut burung pecuk cenderung
memilih bertengger pada pohon mangrove atau sesekali terlihat beberapa spesies mencari makan
secara menyendiri di lokasi yang berair dangkal tidak pernah menyatu dengan kelompok burung
pantai migran yang mencari makan di hamparan lumpur secara berkelompok.
Meningkatnya jumlah populasi burung pecuk pada lokasi penelitian setiap bulanya sangat
tergantung pada ketersediaan sumber makanan. Hal ini diduga erat kaitannya dengan sumber makanan
pecuk berupa ikan dibandingkan jenis makrozoobentos yang banyak ditemukan pada hamparan
lumpur saat air laut surut. Pecuk merupakan pemakan ikan yang mencari makan didalam air dengan
menyelam dan berenang pada perairan yang dalam. Menurut Harris et al. (2008) kelimpahan pecuk
sangat ditentukan oleh potensial ikan sebagai sumber makanannya. Hasil Penelitian Guevara et al.
(2011) kelimpahan pecuk meningkat dengan cepat pada bulan Juli sampai Februari dan kelimpahan
maksimum ditemukan pada bulan Oktober. Peningkatan jumlah pecuk ini sangat dipengaruhi oleh
faktor makanan dan musim berbiak. Hasil penelitian Guevara 2011 tidak menemukan pecuk pada
bulan May-Juni.
Selanjutnya hasil penelitian Jumilawaty (2012) pecuk mengalami penurunan jumlah populasi
pada bulan April di lokasi berbiak (Tanjung Rejo) dan populasi maksimum ditemukan pada bulan
Maret (Gambar 3). Pada bulan September sampai Oktober jumlah individu paling sedikit ditemukan
kemudian jumlah ini meningkat sesuai dengan masuknya musim berbiak. Selanjutnya pada Gambar 4
dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan populasi burung pecuk setiap tahun dilokasi berbiak Tanjung
Rejo. Penambahan jumlah populasi ini diduga menjadi faktor yang mempengaruhi kehadiran pecuk
dilokasi penelitian yang sebelumnya tidak pernah ditemukan. Diduga juga pemilihan lokasi mencari
makan dan jumlah individu yang berbeda disetiap lokasi penelitian menunjukkan adanya usaha untuk
menghindari terjadinya kompetisi Antara sesama pecuk.
243
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
5000
4500
4000
3500
Jumlah Individu
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Sept Okt Nop Des Jan Feb Maret April
Bulan
Gambar 3. Fluktuasi jumlah individu pecuk di Tanjung Rejo (breeding site)
Faktor gangguan atau kehadiran manusia pada lokasi berbiak pecuk diduga menyebabkan
perubahan dalam mencari lokasi makan pecuk. Walaupun dekat dengan kolam pancing dan tambak
dilokasi berbiak tapi pecuk tidak pernah ditemukan mencari makan di dekat lokasi berbiaknya hal ini
diduga berkaitan erat dengan usaha proteksi terhadap lokasi berbiak agar aman dari faktor gangguan.
6000
5500
5000
4500
4000
Jumlah Individu
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Tahun 2013 Tahun 2012
Tahun
Gambar 4. Populasi Burung Pecuk di Lokasi berbiak pada tahun berbeda
DAFTAR PUSTAKA
Harris, C. M., J. R. Calladine, C. V. Wernham and K. J. Park. 2008. Impacts of piscivorous birds on
salmonid populations and game fisheries in Scotland: A review. Wildlife Biology 14: 395-411.
Jumilawaty. E. 2012. Kesesuaian Habitat Dan Distribusi Burung Air di Percut Sei Tuan Sumatera
Utara. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana, Intitut Pertanian Bogor.
Guevara E.A, Santander T G, Mueces T, Teran K and Henry P-Y. 2011. Population Growth and
Seasonal Abundance of the Neotropic Cormorant (Phalacrocorax brasilianus) at Highland
Lakes in Ecuador
Sullivan K L, Curtis P D, Chipman R B, and McCullough R D. 2006. The Double-Crested Cormorant
Issues and Management. Department of Natural Resources Cornell University, Ithaca, New
York.
Susilo F. 2007. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten
Deliserdang, Sumatera Utara. Tesis Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
244
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRACT
Telah dilakukan pengamatan terhadap profil anakan muda (seedling) pohon kayu sepang
(Hymenocardia punctata) sebagai satu jenis semak pinggiran rawa yang tumbuh berkembang setelah musim
hujan. Pengukuran dilakukan terhadap tinggi anakan, panjang akar utama dalam tanah, ukuran daun serta
jumlah daunnya. Hasil pengamatan morfometri menemukan rata-rata tinggi anakan saat berumur dua bulan
adalah 6,54 cm; rerata panjang akar utama 7,08 cm; ukuran panjang dan lebar daun 1,30 x 0,68 cm dan jumlah
daunnya sekitar 4,25 buah. Dengan ukuran seperti ini, adalah mengagumkan untuk spesies yang bertahan hidup
bahkan saat rawa pasang. Pengamatan mikroskopis menunjukkan adanya jajaran trikom di daun bawah dan
petiolus, serta jaringan pembuluh daun yang rapat yang memungkin regulasi transpirasi udara.
PENDAHULUAN
Bulan November dan Desember adalah permulaan musim hujan di Indralaya, Sumatera
Selatan. Curahan air dari atmosfer ini memicu berkecambahnya berbagai biji di tyanah; termasuk satu
spesies tumbuhan semak pinggiran rawa di Indralaya. Jenis tumbuhan ini disebut penduduk dengan
kayu sepang, dan dimanfaatkan tak lebih dari sekedar penutup perangkap ikan di rawa. Guyuran hujan
yang semakin tinggi frekuensinya menyebabkan permukaan air rawa naik; dan kecambah kayu sepang
yang mulai bersaun beberapa lembar, tergenang dan bahkan akhirnya terendam oleh air. Ajaibnya,
anakan tumbuhan sepang ternyata bertahan hidup di bawah muka air. Gambar 1 dan 2 di bawah
menunukkan survivalitas hidup tumbuhan ini di pinggir rawa lebak (riparian), dan anakan sepang
yang bertahan hidup walau terendam air.
Fenomena survivalitas di atas, menarik untuk dicermati. Beberap[a hal menjadi pertanyan
kepada kita; apa jenis tumbuhan ini secara taksonomis, bagaimana profil anakannya secara
morfometri, dan apakah daunnya memiliki organ tertentu hingga masih tetap bertahan hidup dalam
air. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dilakukan penelitian ini denagn harapan dapan
memberikan jawaban awal secara ilmiah.
245
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dapat dilihat dengan jelas bahwa rata-rata panjang akar relatif lebih tinggi ketimbang tinggi
tumbuhan di aras muka tanah. Ini dapat merepresentasikan kekuatan cengkraman tumbuhan di tanah
hingga bertahan pada kelembaban bahkan genangan. Ukuran daun masih berkisar 1,3 x 0,68 cm, jauh
lebih kecil dibandingkan daun dewasa yang dapat mencapai panjang 10 cm. Dengan ukuran ini dan
dengan jumlah sekitar 4 – 5 lembar, anakan memiliki beban yang tidak besar untuk hidup di dalam
rendaman air rawa. Lebih jelas, dapat diperhatikan di gambar 3 di bawah ini.
Gb 3. Profil anakan
Tingkat toleransi tanaman terhadap kondisi kekurangan oksigen pada dasarnya berkaitan
dengan kemampuan tanaman untuk mengatasi keberlangsungan tiga tahapan tersebur di atas.
Tanaman yang biasa hidup di air pada umumnya mempunyai kemampuan untuk membentuk jaringan
aerenchima, sehingga oksigen di perakaran dapat disuplai dari bagian atas tanaman. Namun demikian,
bila keseluruhan tanaman terendam maka tidak ada bagian tanaman yang dapat mensuplai oksigen.
246
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dalam kondisi seperti ini ketahanan tanaman akan sangat tergantung pada kemampuan untuk tetap
melangsungkan metabolisme tanaman dengan oksigen yang sangat rendah. (Suwignyo, 2007).
Pengamatan mikroskopis pada ranting muda, yang masih berwarna kemerahan, secara melintang tidak
menemukan suatu karakteristik istimewa disbanding kelengkapan organ tumbuhan berkayu pada
umumnya. Epidermis, pendukung, pembuluh dan pusat. Gambarnya ada di bagian bawah ini.
Lain halnya dengan kondisi daun muda berwarna kemerahan , yang di percabangan tulang daun
utamanya memiliki tumpukan banyak trikom. Puluhan trikom merapat di sudut pertulangan.
Perhatikan gambar 5 berikut. Jalur tenal diagonal dari kanan atas ke kiri bawah adalah tulang daun
utama, dan percabangannya menuju ke kiri. Sudut yang dibentuknya dipenuhi oleh trikom-trikom
linier tanpa cabang. Jika trikom-trikom ini membantu proses evaporasi dan pertukaran gas, maka
adalah memungkinkan untuk H punctata bertahan hidup di air.
Tidak hanya keberadaan trikom, tetapi percabangan vena yang rapat dan berbentuk jaring,
memungkinkan ruang-ruang udara lebih leluasa untuk eksis dalam badan daun. Perhatikan juga
gambar 6 berikut ini, trikom di sel-sel yang dipisah oleh pertulangan yang rapat dan transparan.
Welzen dan Chayamarit (2007) menyebut bahwa tumbuhan ini memiliki indumentum, jajaran trikom
yang berperan dalam kontrol transpirasi. .
247
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dengan hasil ini juga dapat dikemukakan, bahwa distribusi Hymenocardia punctata tidaklah
hanya terdapat di Sulawesi seperti dipetakan oleh Discoverlife (Anonimous, 2014), tetapi juga di
Sumatera.
248
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Van Welzen dalam Welzen & Chayamarit ( 2007), mmenyebut distribusi tumbuhan ini
sampai 235 m dpl di hutan dipterocarpaceae primer dan sekunder, di pantai dan di pinggir sungai, di
tanah kering dan tanah basah. Penduduk menggunakannya sebagai asam makanan. Menurut Chuakul
(2005) ianya juga dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat distrik Khok Pho, Propinsi Pattani, Thailand.
Di Pnom Penh, Hayes et al. ( 2013 ) melaporkan bahwa H punctata adalah tumbuhan yang biasa
dijumpai sebagai riparian vegetation aepanjang aliran sungai dan pinggiran padang rumput. Maxwell
(2009) melaporkan eksistensi tumbuhan ini di pinggiran sungai Mekong, Kamboja; dan
Pattarakulpisutti (2011), juga menemukannya di pesisir sungai Trang, Semenanjung Thailand.
KESIMPULAN
Kayu sepang adalah Hymenocardia punctata dari famili Phylanthaceae, terdapat sebagai
tumbuhan riparian rawa lebak Sumatera Selatan dengan profil anakan umur 1,5 bulan tinggi 6,54 cm,
panjang akar 7,08 cm, ukuran daun 1,3 x 0, 68 cm, jumlah daun 4, 25. Bertahan di genangan air
dengan karakteistik daun permukaan bawah ditumbuhi trikom tunggal yang banyak di petiolus, vena
dan muka daun.
REFERENSI
Anonimous, 2014. http://www.discoverlife.org/mp/20q?search=Hymenocardia+punctata
Chuakul, Wongsatit. 2005. Medicinal plants in the Khok Pho District, Pattani Province, (Thailand). J
Phytopharmacy 12 (2) Dec. 2005; 2548-2571
Hayes, Benjamin and A Mould, E H Khou, T Hartmannn, Kha Hoa, T Calame, K Boughey, Tony
Yon. 2013. A Biodiversity Assesment of Pnom Kulen National park, With Recommendation for
Management. IDSAC-ACCB-A & D Foundation. August 2013.
Maxwell, James F. 2009. Vegetation and vascular flora of the Mekong river, Kratie and Steung Treng
Provinces, Cambodia. Maejo Int. J Sci. Technol. 3 (01); 143-211
Pattarakulpisutti, Ponlawat. 2011. Diversity of vascular plant in the floodplain vegetation of Trang
river basin, Trang Province, Peninsular Thailand
Suwignyo, Rujito A. 2007. Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Kondisi Terendam; Pemahanamn
Terhadap karakter Fisiologis Untuk Mendapatkan Kualitas Padi yang Toleran di lahan rawa
lebak. Kongres Ilmu Pengetahuan wilayah Indonesia bagian barat. Palembang. 3-5 Juni 2007.
Welzen & Chayamarit, Fl. Thailand 8, 2: 341. 2007
Wurdack, Kenneth J. and P Hoppmann, R Samuelle, A D Bruijin, M van Der Bank, and M W Chase.
2004. Molecular phylogenetic analysis of Phylanthaceae (Phylanthoideaceae Pro Paste
Euphorbiaceae sensu Lato) Using Plastid RBCL DNA Sequence. Am J Bot 91 (11); 1803-
1900.
249
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Jabang Nurdin, Chairul, Yulizah, Tiara, Riani Ferina, Rizky Paramita Mukhti, Ratna Jalisar,
Zulhilmi, dan Ade Adriadi*)
*)
Program Studi Magister Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas
e-mail: jabang_nurdin@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian tentang Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Nagari Gasan Gadang
Kabupaten Padang Pariaman dilakukan pada bulan Januari 2014 dengan tujuan untuk mengkaji kondisi vegetasi
hutan mangrove di Nagari Gasan Gadang dan mengetahui partisipasi masyarakat sekitar dalam upaya konservasi
hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan teknik pengambilan sampel menggunakan
pendekatan deskriptif analitik. Pengamatan lapangan dilakukan dengan petak kuadrat yang dibuat pada zona
tengah pada hutan mangrove Gasan Gadang dengan ukuran 10x10m2, sebanyak 4 kali ulangan. Analisis data
berupa berupa kerapatan, frekuensi, penutupan, dan nilai penting dan informasi mengenai partisipasi masyarakat
terhadap upaya konservasi hutan mangrove diperoleh melalui wawancara dengan penduduk di sekitar area
konservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 10 jenis tumbuhan mangrove yang terdiri dari 9
famili, yaitu Acanthus ilicifolius, Acrostichum sp., Aegiceras corniculatum, Ardisia littolaris, Bruguiera sp.,
Cocos nucifera, Derris trifoliata, Morinda citrifolia., Pandanus sp., dan Sonneratia caseolaris. Nilai penting
tertinggi yaitu terdapat pada jenis tumbuhan Aegiceras corniculatum (77,56%) dan diikuti oleh tumbuhan
Bruguiera sp. (70,41%). Hal ini menunjukkan bahwa Aegiceras corniculatum dan Bruguiera sp. mendominasi
di zona tengah dan merupakan jenis yang cocok tumbuh dengan substrat yang ada di lokasi pengamatan, yaitu
substrat berlumpur. Hasil partisipasi masyarakat didapatkan tiga faktor utama dalam upaya konservasi hutan
mangrove di daerah ini yaitu faktor manajemen, faktor pengetahuan dan faktor sikap.
PENDAHULUAN
Hutan mangrove adalah ekosistem yang tedapat di daerah pesisir dan terdiri atas tumbuhan
yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perairan asin. Menurut Bengen (2002), hutan
mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove
yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Sedangkan
menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah tipe hutan khas yang terapat di sepanjang pantai
atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Hutan mangrove terdiri atas tumbuhan yang tersusun secara zonasi. Jenis pohon dan semak
yang terdapat di hutan mangrove diantaranya Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2002).
Pada umumnya hutan mangrove tumbuh dan berasosiasi dengan ekosistem lainnya, seperti
padang lamun (seagrass), algae (seaweed), dan terumbu karang (caral reef), dan membentuk
ekosistem yang lebih luas, kompleks dan sangat unik (Pramudji, 2001). Hutan mangrove mempunyai
peranan besar dalam mengatur keseimbangan alam. Disamping mempunyai peranan ekologis, hutan
mangrove juga memberikan peranan ekonomi, terutama bagi masyarakat yang berada di sekitarnya.
Secara ekologis hutan mangrove menjamin keberlangsungan ekosistem yang berada di
sekitarnya. Noor, Khazali dan Suryadiputra (2006) menjelaskan bahwa hutan mangrove berperan
penting dalam siklus hidup berbagai organisme yang ada di sekitarnya yaitu menyediakan
perlindungan dan makanan berupa bahan organik. Menurut Gunarto (2004), hutan mangrove secara
biologis berfungsi sebagai tempat makan (feeding ground), tempat pemijahan (spawning ground) dan
tempat asuhan serta pembesaran (nursery ground) aneka biota laut, tempat berlindung (habitat) dan
berkembangbiak berbagai jenis ikan, burung, mamalia, reptil dan serangga.
Selain itu, secara fisik hutan mangrove berfungsi untuk menjaga kondisi pantai agar tetap
stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut
(Gunarto, 2004), perluasan pantai melalui pengendendapan pembentukan lahan baru, dan mengikat
serta menstabilkan lumpur (Noor dkk, 2006).
250
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Fungsi ekonomis hutan mangrove antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil
keperluan industri, menjadi sumber bibit tumbuhan mangrove bagi kehidupan. Aneka potensi tersebut
menyebabkan ketergantungan manusia terhadap hutan mangrove semakin tinggi. Munculnya masalah
lingkungan seperti penebangan habis hutan mangrove, pembukaan lahan untuk keperluan pertanian
dan perikanan, pembuangan limbah padat dan cair mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas
maupun kuantitas ekosistem hutan mangrove. Ekosistem mangrove menjadi tidak mampu
melaksanakan fungsi ekologisnya sekaligus sebagai penopang perekonomian masyarakat. Hal ini
terbukti dengan semakin berkurangnya luasan hutan mangrove di Indonesia.
Berdasarkan data dari Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1999) luas hutan mangrove di
Indonesia adalah 9,2 juta ha dan sekitar 57,6% diantaranya telah rusak. Anwar dan Gunawan (2007)
menyatakan bahwa kecepatan kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 530.000 ha/tahun,
sedangkan laju rehabilitasinya hanya sekitar 1973 ha/tahun.
Tidak berbeda dengan kondisi hutan mangrove di Indonesia umumnya, kondisi hutan mangrove
di Sumatera Barat juga memprihatinkan. Berdasarkan data dari Ditjen RRL (1999) menyatakan bahwa
dari total luas hutan mangrove yang ada (51.915,14 ha), hanya sekitar 4,7% yang berada dalam
kondisi baik, dan 95,3% dalam kondisi rusak. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya konservasi
dan pengelolaan hutan mangrove.
Kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah yang mempunyai hutan mangrove terluas
kedua di Sumatera Barat (Ditjen RRL, 1999). Di Kabupaten ini terdapat area konservasi Hutan
mangrove yang berada di Korong Tanjuang Nagari Gasan Gadang. Area ini dibentuk atas inisiatif
seorang penduduk setempat dengan tujuan awal sebagai tempat pembibitan mangrove. Atas keputusan
bersama penduduk, pada tahun 2012 area ini kemudian ditetapkan sebagai area konservasi dalam
rangka untuk mengurangi resiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Sebagian besar penduduk pesisir Nagari Gasan Gadang adalah nelayan. Penduduk tersebut
tidak memanfaatkan secara langsung hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Meskipun demikian, tetap saja area hutan mangrove ini perlu mendapat perhatian agar kelestariannya
tetap terjaga.
Terdapat beberapa masalah terkait pengelolaan area konservasi hutan mangrove di Gasan
Gadang, diantaranya adalah penggunaan lahan di sekitar hutan untuk pengembalaan kerbau yang
tidak memperhatikan aspek ekologi, bibit mangrove yang ditanam tidak jelas kondisinya akibat
kurang perhatian dan monitoring, serta tidak adanya dokumen yang jelas mengenai bagaimana kondisi
dan perkembangan hutan mangrove ini secara berkala.
Penelitian mengenai Pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat sudah pernah dilakukan
oleh Raymond (2010) di Kecamatan Gending Probolinggo. Berdasarkan hasil penelitiannya di ketahui
bahwa ada 3 faktor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu faktor
manajemen, pengetahuan, dan sikap.
Berdasarkan latarbelakang bahwa kajian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kondisi
vegetasi hutan mangrove di Nagari Gasan Gadang dan mengetahui partisipasi masyarakat sekitar
dalam upaya konservasi hutan mangrove.
251
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KrR = (Kri/ΣKr)x100
252
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sedangkan Bruguiera sp. tumbuh di tanah liat bagian tengah dari vegetasi mangrove ke arah laut dan
hidup mengelompok dalam jumlah besar.
Faktor lain yang menyebabkan kedua jenis ini mendominasi karena termasuk jenis yang
dibibitkan oleh masyarakat. Selain itu Aegiceras corniculatum dan Bruguiera sp. memiliki peran
yang sangat penting untuk menunjang proses suksesi pada hutan mangrove karena kemampuan
adaptasinya yang cukup tinggi.
Tabel 1. Analisa Vegetasi Hutan Mangrove di Nagari Gasan Gadang, Padang Pariaman
No. Jenis Famili RDi Rfi Rci INP
1 Aegiceras corniculatum (L.) Blanco Myrsinaceae 41,03 21,43 15,11 77,56
2 Derris trifoliata Lour. Leguminoseae 7,05 14,29 1,05 22,38
3 Ardisia littolaris Myrsinaceae 7,05 7,14 0,38 14,57
4 Acanthus ilicifolius L. Acanthaceae 9,62 7,14 0,07 16,83
5 Bruguiera sp. Rhizophoraceae 9,62 14,29 46,51 70,41
6 Sonneratia caseolaris (L.) Engl. Sonneratiaceae 21,79 7,14 5,70 34,63
7 Cocos nucifera Aracaceae 0,64 7,14 29,76 37,55
8 Acrosticum sp Pteridaceae 1,28 7,14 0,12 8,54
9 Pandanus sp Pandanaceae 0,64 7,14 1,05 8,83
10 Morinda citrifolia L. Rubiaceae 1,28 7,14 0,30 8,72
Keterangan : RDi, Rfi, Rci dan INP dalam %
Ada beberapa variabel yang dapat dijabarkan sebagai faktor manajemen partisipasi masyarakat
Gasan Gadang yaitu (1) masyarakat menjadi mitra dalam pengelolaan hutan mangrove yang terlihat
dari adanya pembibitan mangrove yang telah dilakukan oleh masyarakat, (2) masyarakat ikut
mengelola hutan mangrove dengan cara ikut menjaga dan memanfaatkan hutan magrove, (3)
pembuatan keputusan dalam pengelolaan hutan mangrove, dan (4) masyarakat sebagai manager atau
pelaksana dalam pengelolaan hutan manggrove. Menurut Saptorini (2003), dalam kegiatan konservasi
mangrove partisipasi masyarakat dapat berupa memberi masukan dalam penentuan kebijakan dan
perencanaan dan ikut serta dalam penyediaan, penanaman, dan pemeliharaan benih mangrove.
Faktor pengetahuan harus sesuai dengan tingkat pendidikan masyarakat. Beberapa variabel
yang terlihat pada masyarakat Nagari Gasan Gadang yaitu (1) tingkat pendidikan masyarakat dalam
pengelolan hutan mangrove yang umumnya tamatan sekolah menengah, (2) dukungan atau fasilitas
yang diberikan masyarakat dalam hutan mangrove. Dari faktor pengetahuan ini, masyarakat tentunya
mendapat sosialisasi dari pemerintah daerah, namun banyak masyarakat yang memiliki rasa kurang
253
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
peduli dan lebih mementingkan asas manfaat dari pada pengelolaan ataupun menjaga area area hutan
mangrove.
Hal ini bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga masyarakat sulit
memahami pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan. Selain itu, peran serta pemerintah dalam
memberdayakan masyarakat untuk menjaga area masih kurang. Hal ini terlihat dari hasil wawancara
dengan masyarakat sekitar yang menyatakan bahwa penyuluhan dan pelatihan tentang konservasi
hutan mangrove hanya diberikan kepada orang tertentu dari warga.
Pada faktor sikap, masyarakat secara tidak langsung telah melakukan pengelolaan hutan
mangrove di Nagari Gasan Gadang, Padang Pariaman. Hal ini dapat terlihat dari penanaman bibit
mangrove oleh masyarakat dan kesadaran masyarakat untuk tidak menebang pohon di area hutan
mangrove. Penanaman mangrove oleh masyarakat dilakukan dengan pemberian upah Rp.
1000/batang bagi masyarakat yang ingin menanam. Selain itu, masyarakat tidak memanfaatkan hutan
mangrove sebagai tempat penambakan, padahal mangrove memiliki potensi untuk area tambak
sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih
memanfaatkan hasil laut sebagai nelayan. Namun, kurangnya pengawasan dan monitoring dari
pemerintah mengakibatkan beberapa anggota masyarakat mengembalakan kerbau di sekitar area .
KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka diketahui bahwa terdapat 2 jenis yang
mendominasi zona tengah dari area konservasi mangrove di Nagari Gasan Gadang, yaitu Aegiceras
corniculatum dan Bruguiera sp. Partisipasi masyarakat terhadap area konservasi ini masih terbatas
kepada penyediaan bibit saja, sedangkan pengelolaan dan monitoring masih sangat kurang. Hal ini
menunjukkan bahwa pengelolaan area ini belum mendapat perhatian yang berkelanjutan dari
pemerintah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anwar, C. dan H. Gunawan. 2007. Peranan Ekologis Dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove Dalam
Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Ekpose Hasil-hasil Penelitian. Hal 23-
34
Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) . 1999. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau
(Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Laporan Akhir. PT Insan Mandiri Konsultan. Jakarta.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal
Litbang Pertanian 23 (1) : 15-21
Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove Di
Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Penerbit P.T. Gramedia. Jakarta.
Pramudji. 2001. Dinamika Areal Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Teluk Kotania, Seram Barat.
Oseana. Volume XXVI (3). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Raymond, G. P., Harahap, N., dan Soemarno. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis
Masyarakat Di Kecamatan Gending, Probolinggo. Agritek 18 (2) : 185-200
Saptorini. 2003. Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Konservasi Hutan
Mangrove Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Tesis Magister Manajemen Sumberdaya
Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang
Soerianegara, I., dan Indrawan. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Syukur Djazuli, Aipassa dan Arifin. 2007. Analisis Kebijakan Pelibatan Masyarakat dalam
mendukung Pengelolaan Hutan Mangrove di Kota Bontang. Jurnal Hutan dan Masyarakat 14
(2).
Tambunan, R., R.H. Harahap, dan Z. Lubis. 2005. Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten
Asahan (Studi Kasus) Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di
Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan. Jurnal Studi Pembangunan I (1) : 55-69.
254
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Sebagian besar hutan mangrove di daerah Aceh telah rusak akibat tsunami pada tahun 2004, sehingga
perlu diadakannya program rehabilitasi guna memulihkan ekosistem mangrove yang telah rusak. Akan tetapi,
pada beberapa daerah rehabilitasi program ini dapat dikatakan kurang berhasil yang disebabkan oleh hama,
binatang ternak, dan ketidaksesuaian substrat/lahan. Pertumbuhan mangrove adalah faktor yang penting untuk
diteliti sehingga dapat diketahui kesesuaian antara tempat tumbuh dengan jenis yang ditanam guna mencapai
keberhasilan rehabilitasi yang optimal. Penelitian tentang pertumbuhan Rhizophora mucronata telah dilakukan
di kawasan rehabilitasi mangrove Aceh Besar dan Banda Aceh pada bulan Februari hingga April 2013 yang
bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan vegetasi mangrove dan kualitas lahan rehabilitasi mangrove serta
hubungan kondisi substrat terhadap laju pertumbuhan tanaman mangrove. Parameter yang diamati yaitu
pertambahan tinggi dan diameter batang, morfometrik daun, serta parameter kimia tanah. Pengambilan data
mangrove menggunakan transek kuadrat 2 x 2 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan tinggi dan
pertambahan diameter batang terbesar terdapat di stasiun 1 sebesar 1,21 cm/minggu dan 0,048 cm/minggu
dengan substrat yang mengandung bahan organik yang lebih tinggi dari stasiun lainnya. Terdapat hubungan
yang signifikan antara pertumbuhan Rhizophora mucronata dengan C-Organik (Psig. <0,05). Lahan rehabilitasi
di lokasi penelitian mempunyai kualitas habitat yang kurang baik bagi tempat tumbuh Rhizophora mucronata
dilihat dari pertumbuhannya yang rendah.
Kata Kunci: Rhizophora mucronata, pertumbuhan, rehabilitasi, vegetasi mangrove, kualitas lahan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-
semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Bengen, 2000). Ekosistem
mangrove berfungsi sebagai penyangga pantai dari pengaruh ombak dan sebagai pelindung
perumahan masyarakat dari kencangnya angin laut.
Kerusakan ekosistem mangrove yang disebabkan oleh tsunami pada tanggal 26 Desember 2004
menimbulkan berbagai permasalahan di daerah pesisir, seperti terganggunya kehidupan biota akuatik
dan penurunan produksi perikanan. Untuk mencegah dampak negatif ini, maka perlu dilaksanakan
upaya rehabilitasi hutan mangrove untuk mengfungsikan kembali ekosistem mangrove yang telah
rusak.
Kegiatan rehabilitasi harus selalu memperhatikan daya dukung lahan, kesalahan dalam memilih
lokasi sangat beresiko terhadap kegagalan. Areal yang terkena dampak tsunami tidak seluruhnya
memiliki daya dukung yang sesuai untuk direhabilitasi (Wibisono et al., 2006). Menurut hasil
penelitian Sumekar (1999) tentang pengaruh substrat pendukung terhadap pertumbuhan vegetasi
mangrove, tingkat keberhasilan tumbuh tanaman mangrove di Desa Tangket dan Kool berbeda.
Perbedaan keberhasilan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas substrat pendukung pertumbuhan
vegetasi di daerah tersebut. Substrat pendukung adalah kualitas sifat fisik kimia tanah (tekstur dan
warna tanah, kandungan C organik tanah dan mineral-mineral lain yang diperlukan untuk
pertumbuhan), salinitas dan pH tanah, serta lamanya penggenangan yang dipengaruhi pasang surut air
laut.
Berdasarkan uraian di atas, kualitas lahan adalah faktor yang sangat penting untuk diteliti sehingga
dapat diketahui kesesuaian antara tempat tumbuh dengan jenis yang ditanam (right place, right
species) pada area rehabilitasi guna meningkatkan keberhasilan rehabilitasi.
255
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju pertumbuhan vegetasi mangrove di
kawasan rehabilitasi, mengetahui kualitas lahan rehabilitasi mangrove, serta mengetahui hubungan
kondisi substrat terhadap laju pertumbuhan tanaman mangrove.
Penentuan Lokasi
Penelitian ini menggunakan metode purposive random sampling untuk menentukan stasiun
pengamatan. Purposive random sampling adalah metode penelitian yang dilakukan pada sampel atau
objek dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu (Sulistiyarto et al., 2007). Adapun kriteria-
kriteria yang dilihat pada penelitian ini adalah jenis spesies mangrove dan umur vegetasi mangrove
yang berkisar 1-2 tahun. Umur vegetasi mangrove dihitung sejak ditanam di area rehabilitasi.
Didapatkan dua stasiun pengamatan, yaitu: Stasiun I di Desa Lampaseh Gampong dan Stasiun 2 di
Desa Ule Pata (Gambar 1). Pada setiap stasiun ditetapkan dua substasiun. Daerah yang menjorok ke
darat sebagai substasiun dekat darat dan daerah yang menjorok ke laut sebagai substasiun dekat laut,
dimana stasiun dekat laut memiliki salinitas yang lebih tinggi dan substrat yang lebih kasar.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak lima kali pengulangan dengan transek kuadrat yang
berukuran 2 x 2 m2.
Gambar 1. Peta yang menunjukkan lokasi penelitian (Kementerian Kehutanan BPDAS Krueng
Aceh, 2012)
256
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
setiap daun R. mucronata yang ditemukan di setiap transek kuadrat. Daun diambil secara acak
sebanyak 10% dari jumlah daun keseluruhan. Data panjang dan lebar daun untuk melihat kondisi
kesehatan mangrove diolah dengan membuat suatu indeks (Sadat, 2004), yaitu:
𝐿𝐿
a=
𝑃𝑃
Dimana:
L = Lebar daun
P = Panjang daun
a = Indeks (bilangan konstan)
Selanjutnya, dihitung koefisien keragaman (CV) yang digunakan untuk melihat kondisi individual
dan daya adaptasi yang dimiliki oleh populasi mangrove berdasarkan pemencaran nilai-nilai
morfometrik daunnya. Koefisien keragaman dihitung dengan menggunakan rumus (Walpole, 1995):
𝑆𝑆𝑆𝑆.𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
CV = 𝑥𝑥 100%
𝑀𝑀
Dimana:
CV = Koefisien keragaman
St. dev = Simpangan baku
M = Nilai rata-rata ukuran morfometrik daun
Nilai CV yang semakin besar menunjukkan bahwa suatu populasi memiliki nilai-nilai morfometrik
daun yang memencar dan dengan pemencaran tersebut, kompetisi antar individu dalam suatu
populasi berkurang serta menunjukkan adanya daya adaptasi yang luas. Pada populasi yang bernilai
CV rendah menunjukkan suatu populasi memiliki nilai-nilai morfometrik yang mengelompok.
Pengelompokkan tersebut menyebabkan tingginya kompetisi antar individu dalam populasi tersebut
dan menunjukkan daya adaptasi yang rendah dalam menghadapi lingkungannya.
Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan skop tanah pada kedalaman 20 cm.
Semua sampel tanah dianalisis secara exsitu di Laboratorium Penelitian Tanah dan Tanaman, Fakultas
Pertanian Unsyiah. Sifat-sifat kimia tanah yang dianalisis meliputi tipe substrat, C-Organik, pH tanah,
Nitrogen, Poshpat, dan Kalium.
Uji Anova dengan menggunakan SPSS versi 17 digunakan untuk melihat apakah terdapat
perbedaan yang nyata antara laju pertumbuhan R. mucronata yang berada pada substasiun dekat laut
dan dekat darat. Uji Anova dilakukan pada taraf uji 5 % dan jika berbeda nyata maka dilakukan uji
lanjut. Untuk melihat seberapa besar hubungan antara laju pertumbuhan tanaman mangrove dengan
kondisi substrat maka dilakukan analisa korelasi product moment pearson.
257
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
(1999) yang menyatakan bahwa pertambahan tinggi total rata-rata yang paling kecil diperoleh pada
salinitas 22,5 – 30,0 ppt dengan pertambahan 1,26 cm/minggu. Jika melihat pertambahan tinggi pada
posisi tempat tumbuh, pertambahan tinggi lebih besar di posisi dekat laut. Hal ini dikarenakan posisi
dekat laut memiliki kerapatan yang lebih kecil sehingga kompetisi antar individu menjadi kurang
sehingga kebutuhan akan unsur hara dapat terpenuhi secara cukup .
Stasiun
2
DD 3,04 0,12 3,06 0,11 2,96 0,1 3,02 0,110
DL 3,29 0,14 3,25 0,12 3,8 0,1 3,45 0,120
Keterangan: DD = dekat darat; DL = dekat laut; T = tinggi; D = diameter batang
Pertambahan diameter yang paling besar terdapat pada Stasiun 1 yaitu sebesar 0,143 cm/3 minggu
atau 0,048 cm/minggu, dan pertambahan diameter batang terkecil terdapat pada Stasiun 2 yaitu
sebesar 0,110 cm/3minggu atau 0,037 cm/minggu. Hal ini dikarenakan Stasiun 1 lebih banyak
mengandung bahan organik. Sama halnya dengan pertambahan tinggi, pertambahan diameter batang
pada posisi dekat laut juga lebih cepat tumbuh dibandingkan dekat darat. Secara umum, pertambahan
rata-rata diameter batang di kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda dibandingkan hasil penelitian
sebelumnya. Hasil penelitian Syah (2011) menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan diameter batang
sebesar 0,059 cm/minggu. Secara umum, dapat dilihat bahwa pertambahan tinggi dan diameter lebih
baik pada Stasiun 1 dan di daerah kawasan vegetasi mangrove yang lebih menjorok ke arah laut.
Hasil analisis uji Anova memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pertambahan tinggi
antar substasiunnya (Psig. <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut duncan. Lain halnya dengan
pertambahan diameter, hasil uji Anova memperlihatkan bahwa pertambahan diameter tidak berbeda
nyata antar substasiunnya (Psig. >0.05). Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa pertambahan tinggi rata-
rata Stasiun 1 tidak berbeda nyata antar substasiunnya. Akan tetapi pada Stasiun 2, pertambahan
tinggi rata-rata di substasiun DD berbeda nyata dengan substasiun DL.
258
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 3. Hasil analisis substrat tempat tumbuh tanaman bakau Rhizophora mucronata di lokasi
penelitian
Pasir
No. Stasiun Sangat Sangat Lumpur (%)
Kasar (%) Halus (%)
kasar (%) halus (%)
1. Stasiun 1
DD - 2,77 4,63 87,97 4,63
DL 1,68 5,58 63,13 24,58 5,03
Total 95,7 4,83
2. Stasiun 2
DD - 4,83 83,45 9,66 2,06
DL 2,85 9,52 75,26 9,52 2,85
Total 97,55 2,45
Keterangan: DD = dekat darat; DL = dekat laut
Menurut Gardner et al. (1991), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah iklim dan tanah.
Faktor iklim antara lain seperti cahaya, temperatur, dan lain-lain. Faktor tanah seperti tekstur, bahan
organik, kapasitas tukar kation, pH dan sifat kimia lainnya seperti C, N, P, dan K. Hasil analisis
parameter kimia tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.
Kandungan C-organik di lokasi penelitian termasuk kategori sangat rendah berkisar 0,28 % – 0,62
%. Kandungan C-organik dapat dikategorikan sangat rendah jika kandungan karbon <1,00 (Fitriana,
2006). Hal ini dikarenakan tingginya persentase pasir di lokasi penelitian. Menurut Nurhajati et al.
(1986) dalam Dewiyanti (2011) substrat berpasir memungkinkan terjadinya oksidasi yang baik
sehingga bahan organik cepat habis. Oleh karena itu, kandungan C organik menjadi rendah di lokasi
penelitian. Selain itu, kandungan C organik tersebut juga digunakan oleh akar untuk proses
pertumbuhan (Darmadi et al., 2012).
259
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nitrogen di kedua lokasi penelitian tergolong
sangat rendah. Kandungan nitrogen dapat dikategorikan sangat rendah jika <0.1 (Wibowo, 2004).
Tinggi rendahnya tingkat ketersediaan nitrogen (N) dan Phospat (P) di lokasi penelitian dipengaruhi
oleh keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara
keperairan tersebut, juga serasah mangrove yang membusuk karena ada bakteri yang mengurai
menjadi zat hara. Kadar N yang rendah sangat mempengaruhi pertumbuhan fase vegetatif, khususnya
pada saat pembelahan sel yang termasuk bagian dari proses metabolisme bagi tanaman (Fitrianah et
al., 2012).
Kandungan P di lokasi penelitian berkisar 13,69 ppm – 21,26 ppm. Kisaran kandungan P di lokasi
penelitian berkisar dari rendah hingga sedang. Kandungan P dapat dikategorikan rendah hingga
sedang jika berkisar 10 ppm - 25 ppm (Asmar, 2010). Sanchez (1976) menyatakan tinggi rendahnya
tingkat ketersediaan P dalam tanah mineral dikendalikan oleh komposisi mineral dan sifat-sifat kimia
tanah seperti pH tanah, kadar Fe dan Al-terlarut, Ca-tersedia, bahan organik dan aktivitas
mikroorganisme tanah. Fosfor berperan dalam metabolisme energi pada tanaman (Fitrianah et al.,
2012).
Kandungan K pada kedua lokasi penelitian berkisar 0,11 – 0,26 me/100g. Kandungan K di dalam
tanah mangrove dipengaruhi oleh genangan air laut. Iswahyudi (2008) menyatakan bahwa air laut
yang selalu mengenangi posisi mangrove pada saat pasang surut terjadi akan mempengaruhi kation
tertukar dalam tanah. Unsur kalium dapat mengaktifkan enzim dan melancarkan proses penyerapan
unsur hara (Haryadi, 1986 dalam Fitrianah et al., 2012).
Tabel 5. Korelasi pertambahan tinggi dengan kondisi substrat dan kondisi fisika-kimia perairan
Kondisi substrat
Aspek
Pasir Lumpur C-Organik N P K
260
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
lingkungan lebih tinggi dan kondisi lingkungan yang lebih baik daripada Stasiun 2, dapat dilihat R.
mucronata Stasiun 1 lebih cepat tumbuh dibandingkan Stasiun 2. Hal tersebut dapat dilihat dari
pertambahan tinggi (1,21 cm/minggu) dan diameter batang (0,048 cm/minggu) serta kandungan C
organik yang lebih baik daripada Stasiun 2 (0,62 %). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kondisi
lingkungan khususnya substrat Stasiun 1 lebih mendukung bagi pertumbuhan R. mucronata daripada
Stasiun 2.
KESIMPULAN
Pertambahan tinggi dan diameter batang di lokasi penelitian tergolong rendah. Pertambahan tinggi
dan diameter terbesar terdapat di Stasiun 1 masing-masing 1,21 cm/minggu dan 0,048 cm/minggu.
Lahan rehabilitasi di lokasi penelitian mempunyai kualitas lahan yang kurang baik bagi tempat
tumbuh Rhizophora mucronata dilihat dari pertumbuhannya yang rendah. Akan tetapi jika
dibandingkan kedua stasiun, maka Stasiun 1 lebih baik kondisi lahannya untuk mendukung
pertumbuhan Rhizophora mucronata. Terdapat hubungan yang signifikan antara pertambahan tinggi
tumbuhan mangrove dengan C-organik tanah dimana Psig <0,05.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Pesisir dan
Lautan (PKSPL) IPB, Bogor.
BPDAS Krueng Aceh. 2012. Peta sebaran mangrove di Aceh Besar. Departemen Kehutanan,
Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Provinsi Aceh.
Darmadi, Wahyudin, L. dan Alexander, M.A.K. 2012. Struktur komunitas vegetasi mangrove
berdasarkan karakteristik substrat di Muara Harmin Desa Cangkring Kecamatan Cantigi
Kabupaten Indramayu. Perikanan dan Kelautan, 3 (3): 347-358
Dewiyanti, I. 2011. Identifikasi dan kelimpahan hama penyebab ketidakberhasilan rehabilitasi
ekosistem mangrove Di Sekitar Kawasan Aceh Besar dan Banda Aceh. Prosiding Seminar
Nasional XXI PBI Aceh. PBI Aceh, Banda Aceh. Hal. 17-21.
Fitriana, Y.R. 2006. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobentos di Hutan Mangrove hasil
rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas, 7 (1): 67-72.
Fitrianah, L., Fatimah, S. dan Hidayati, Y. 2012. Pengaruh komposisi media tanam terhadap
pertumbuhan dan kandungan aponin pada dua varietas tanaman Gendola (Basella sp).
Agrovigor, 5 (1): 34-46
Gardner, F.P., Pearce, R.B. dan Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI-Press, Depok.
Hutahaean, E.E., Kusmana, C. dan Dewi, H.R. 1999. Studi kemampuan tumbuh anakan mangrove
jenis Rhizophora Mucronata, Bruguiera gimnorrhiza dan Avicannia marina pada berbagai
tingkat salinitas. Manajemen Hutan Tropika, 5(1): 77-85.
Sadat, A. 2004. Kondisi ekosistem mangrove berdasarkan indikator kualitas lingkumga dan
pengukuran morfometrik daun di Way Penet, Kab. Lampung Timur, Propinsi Lampung.
Skripsi jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Salisbury, F.B dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi tumbuhan (Jilid 1). ITB, Bandung.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Universita Gadjah mada. Yogyakarta.
Sulistiyarto, B., Sedharma, D., Rahardjo, M.F dan Sumardjo. 2007. Pengaruh musim terhadap
komposisi jenis dan kelimpahan ikan di Rawa Lebak, Sungai Rungan, Palangkaraya,
Kalimantan Tengah. Biodiversitas, 8 (4) : 270-273.
Sumekar, R. 1999. Pengaruh Substrat pendukung terhadap pertumbuhan vegetasi mangrove. Thesis
Megister Universitas Sumatera Utara, Medan.
Syah, C. 2011. Pertumbuhan tanaman bakau (Rhizophora mucronata ) pada lahan restorasi mangrove
di Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta. Thesis magister Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Usman, H. dan Akbar, R.P.S. 2000. Pengantar statistika. Bumi Aksara, Jakarta
Walsh, G.E. 1974. Mangroves : a review dalam Reimold, R.J dan W.H Quenn. Ecology of
halophytes. Acard. Press, Inc. New York. pp 51-174
Walpole, E.R. 1995. Pengantar statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
261
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Wibisono, I.T.C. dan Suryadiputra, I.N.N. 2006. Hasil pembelajaran atas upaya-upaya restorasi
ekosistem pesisir sejak peristiwa tsunami di Aceh dan Nias. Wetlands International Indonesia
Programme dan UNEP, Bogor.
Wibowo, K.E. 2004. Beberapa aspek bio-fisik-kimia tanah di daerah hutan mangrove desa pasar
banggi Kabupaten Rembang. Tesis Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
262
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Ranggah muda Rusa timorensis merupakan produk alternatif yang memiliki nilai ekonomi tinggi
sebagai bahan baku obat. Tujuan penelitian mengkaji morfologi rusa jantan fase ranggah muda yang berpotensi
menghasilkan ranggah berkualitas dengan indikator kandungan mineral dan asam amino. Penelitian dilakukan
terhadap lima rusa jantan berumur > 3 tahun fase ranggah muda. Parameter rusa meliputi umur, berat, tinggi,
panjang badan dan lingkar dada. Parameter ranggah muda umur panen, panjang, diameter, berat ranggah panen
dan analisis mineral serta asam amino. Pemanenan ranggah dilakukan pada umur ranggah 55, 60, dan 65 hari.
Anestasi total menggunakan kombinasi Xylazine hydrochloride 0,01 ml/kg dan Ketamin 0,05 ml/kg per berat
badan. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi umur rusa dengan bobot ranggah panen (r = 0,892), dan
lingkar dada dengan panjang ranggah muda ( r= 0,945), kandungan mineral makro P, Ca, Mg, dan S dan
mineral mikro Fe, Mn, Cu, dan Zn pada umur panen ranggah berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan
signifikan (p>0,05) sedang asam amino dari ranggah muda dengan masa penen berbeda menunjukkan perbedaan
signifikan (p<0,05).
PENDAHULUAN
Salah satu produk rusa yang mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah ranggah muda (velvet
antler) yang digunakan sebagai bahan dasar obat China dan sebagai anti oksidan alami (Dradjat
2000; Zhou & Li 2009). Saat ini ranggah mudasangat penting sebagai suplemen untuk meningkatkan
prestasi atletik dan anti penuaan utamanya karena memiliki kandungan Insulin Like Growth Factor
(IGF-1) yang tinggi (Suttie & Haines 2001), glycosaminoglycans (GAGs), vitamin A dan E, mineral,
asam uronat, dan asam sialat (Tuckwell 2003; Lee et al. 2007). Ranggah muda juga mengandung
mineral terutama Ca, P, Na, Mg , Mn, Se, dan zat Fe, serta mengandung 8 jenis asam amino esensial
dan 15 asam amino bebas non esensial (Kawtikwar 2010).
Kualitas ranggah muda dipengaruhi beberapa faktor seperti genetik, kematangan ukuran
badan, umur rusa, waktu pemotongan ranggah, strain atau seleksi, dan derajat hibridisasi (Gibbs
2006) dan tahap perkembangan ranggah (Jeon et al. 2011). Kualitas dan kuantitas produk ranggah
muda rusa juga berbeda pada setiap kelas umur rusa dan umur panen ranggah. Umumnya rusa yang
berumur lebih tua menghasilkan ranggah dengan ukuran lebih besar dan kualitas yang lebih baik
dibanding rusa yang berumur lebih muda. Kualitas ranggah muda menurut grading system di
New Zealand didasarkan atas kombinasi antara berat, kesimetrisan, panjang dan diameter
ranggah muda (Jamal et al. 2005)
Kualitasproduk ranggah muda (velvet antler) berhubungan dengan umur rusa, umur panen
ranggah serta kualitas telah dilakukan oleh Gibbs 2006; Jeon et al. 2011; dan Estevez et al. 2006.
Salah satu daerah sebaran Rusa timorensis di daerah tropis khususnya di Indonesia adalah di Taman
Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang menarik untuk dikaji karena kondisi yang masih alami
(liar).Tujuan penelitian adalah mengkaji kaitan antara morfologi rusa jantan fase ranggah muda
dengan kualitas produk ranggah muda yang dihasilkan dengan indikator kandungan mineral dan asam
amino
263
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2011 sampai
Juli 2012.
Analisis kualitas produk ranggah muda digunakan 5 ekor rusa timor jantan yang berumur
lebih dari 3 tahun, masing-masing satu ekor dari Pulau Peucang dan empat ekor dari Pulau
Handeuleum. Kelima rusa jantan tersebut dibedakan menjadi tiga kategori umur panen ranggah yakni
umur panen 55 hari (2 ekor), 60 hari (2 ekor) dan 65 hari (1 ekor). Masing-masing produk ranggah
dari ketiga kategori usia panen ini selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk analisis kandungan
mineral dan asam amino ranggah.
Gambar1. Teknik pengukuran ranggah muda rusa timorensis hasil panen A. Panjang ranggah utama,
B. Panjang ranggah cabang, C. Diameter ujung ranggah utama, D. Diameter tengah
ranggah utama, E. Diameter bawah ranggah utama
Pengambilan ranggah muda dilakukan setelah rusa terlebih dahulu dibius dengan teknik
anestasi total menggunakan sumpit dengan bahan bius berupa kombinasi Xylazine hydrochloride 0.01
ml/kg berat badan dan Ketamin 0.05 ml/kg berat badan. Data morfometrik rusa diambil meliputi berat
badan, panjang badan, tinggi badan, dan lingkar dada. Pemotongan ranggah muda dilakukan 2 cm di
atas pedikel menggunakan gergaji steril, bekas luka diobati dengan Limoxin spray dan pasca
pemotongan ranggah muda diletakkan pada posisi terbalik untuk menghindari pengucuran darah
secara terus-menerus yang menyebabkan pengaruh terhadap ranggah muda.
Dilakukan penimbangan berat ranggah, pengukuran panjang, diameter ranggah. Ranggah
panenan selanjutnya dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke dalam boks es untuk
keperluan analisis kandungan mineral dan asam amino di laboratorium. Sebelum dianalisis di
laboratorium ranggah muda tersebut terlebih dahulu dikeringkan dan dijadikan bubuk (tepung).
Penentuan gambaran kondisi kualitas produk ranggah rusa di TN Ujung Kulon, maka semua data
yang dikumpulkan dihitung nilai rataannya baik dari aspek morfometrik (ukuran) ranggah maupun
kandungan mineral dan asam aminonya.
Hubungan Umur Panen Ranggah Muda dengan Kualitas Produk Ranggah Muda Rusa
timorensis
Patokan untuk menentukan gambaran kondisi kualitas produk ranggah khususnya dari aspek
ukuran dilakukan dengan membandingkan dengan Ranggah muda grading New Zealand Industry
Agreed. SuperA (SA) Premium berat minimum 2.3 kg cabang 2, ukuran lingkar ranggah utama > 18
Cm, SAT (traditional) berat 1.8 kg, cabang 2, ukuran lingkar ranggah utama > 18cm, SA berat 1.8 kg,
cabang 1 atau 2, ukuran lingkar ranggah 18 cm.Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
264
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
umur panen ranggah dengan kualitas produk ranggah muda Rusa timorensis maka dilakukan uji
korelasi Pearson dengan IBM SPSS statistics 20
Apabila dikaitkan dengan standar ukuran ranggah muda yang dikategorikan baik (grade A)
yakni dengan panjang ranggah sekitar 45 cm (ranggah muda grading New Zealand Industry Agreed),
maka untuk mendapatkan strandar produk ranggah muda rusa timor di TN Ujung Kulon yang
mendekati strandar grade Eberdasarkan lingkar ranggah muda rusa merah. Ranggah muda rusa timor
TNUK dipanen pada umur minimum 60 hari (2 bulan) didapatkan hasil rataan berat optimum 1,45
kg dan rataan panjang ranggah muda 36.75 ± 10.96 cm. Drajat (2005) menyatakan bahwa untuk
keperluan pemanfaatan bahan aktif yang terkandung di dalam ranggah muda rusa timor, maka umur
panen ranggah dibatasi waktu tidak lebih 2 bulan atau dengan over growth 0.5 cm. Semiadi dan
Nugraha (2004) menyatakan bahwa kriteria pemanenan ranggah mengikuti bentuk bagian ujung
ranggah utama (main beam) yaitu sebelum terjadi percabangan ranggah atau bila mulai terjadi
percabangan tidak lebih dari 5 mm. Pemanenan ranggah muda yang melebihi jangka waktu 2 bulan
akan mengurangi kualitas.
Hasil analisis korelasi Pearson antar parameter morfometri rusa dengan ranggah muda
menunjukkan ada hubungan yang kuat antara berat ranggah muda dengan umur rusa (r = 0.892) dan
antara berat ranggah muda terhadap umur ranggah muda panen (r = 0.939), antara panjang ranggah
muda dengan lingkar dada (r = 0.945) (Tabel2).
265
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hubungan yang kuat antara berat ranggah panen dengan umur ranggah panen,
mengindikasikan bahwa semakin lama ranggah muda di panen memiliki kecenderungan semakin
berat ranggah panen. Namun untuk pemanenan yang optimal dilakukan pada umur ranggah 2 bulan
atau 60 hari sebagaimana dikemukakan oleh Drajat (2005), Semiadi dan Nugaraha (2004), Jeon et al.
(2008) dan Tseng et al.(2012)
Kandungan Mineral dan Asam Amino Ranggah Muda Rusa Timorensispada Umur Panen
Berbeda
Hasil analisis kandungan mineral (makro dan mikro) dan asam amino dari ranggah muda rusa
timor di TN Ujung Kulon yang dipanen pada umur panen berbeda masing-masing disajikan pada
Tabel 3. Secararelatif kandungan mineral makro dan mikro dari ranggah muda rusa timor di TN
Ujung Kulon menunjukkan ada perbedaan pada umur panen berbeda meskipun hasil analisis statistik
menunjukkan tidak berbeda nyata (P> 0.05).
Tabel 3. Mineral makro dan mikro pada ranggah muda utuh Rusa timorensis pada umur panen
berbeda di TN Ujung Kulon
Umur Panen Mineral Makro (%)
Ranggah (hari) P Ca Mg S
55 7.08 ± 1.75a 13.68 ± 4.55a 0.39 ± 0.14a 0.19 ± 0.08a
a a a
60 6.43 ± 1.69 13.30 ± 2.12 0.34 ± 0.03 0.16 ± 0.06a
a a a
65 5.47 ± 2.79 14.97 ± 2.41 0.43 ± 0.06 0.13 ± 0.08a
Mineral Mikro (ppm)
Fe Mn Cu Zn
55 324 ± 244.45a 3 ± 2.71a 3.25 ± 1.89a 70.5 ± 13.63a
a a a
60 235 ± 65.59 1.8 ± 0.96 2 ± 0.82 82 ± 15.64a
a a a
65 157 ± 58.69 1 ± 0.0 1.5 ± 0.71 73.5 ± 7.78a
Huruf superskrip pada kolom yang sama menunjukkan tidak nyata ( p > 0.05).
Gambaran kualitas ranggah tersebut menunjukkan bahwa secara relatif kandungan mineral
makro yakni P dan S cenderung menurun dengan bertambahnya umur panen, sementara kandungan
Cacenderung meningkat dengan bertambahnya umur panen sedangkan Mgbersifat fluktuatif. Pola
yang relatif sama juga terlihat pada kandungan mineral mikro yakni berkurang dengan bertambahnya
umur panen. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Gibbs (2006) bahwa pemanenan ranggah yang
melebihi jangka waktu 2 bulan (60 hari) mengurangi kualitas, karena terjadinya peningkatan kadar Ca
dan P dan menurunkan kadar bahan aktif yang terkandung di dalam ranggah. Artinya kualitas ranggah
dipengaruhi oleh waktu pemotongan atau umur panen.Kadar Ca dan besi (Fe) ranggah muda pada
umur panen 55 hari, 60 hari dan 65 hari berturut-turut sebesar 13.7%, 13.3% dan 14.97 % atau
cenderung meningkat dengan bertambahnya umur panen, sedangkan kadar Fe berturut-turut pada
umur panen 55 hari 324.25 ppm, umur 60 hari = 235.25 ppm, dan 65 hari= 156. 5 ppm atau
cenderung menurun sejalan bertambahnya umur panen ranggah. Apabila rataan kandungan Ca dan Fe
ini digunakan sebagai acuan dalam penggunaannya untuk uji kilinis anti oksidan, maka umur panen
ranggah yang dipandang optimum adalah umur 55-60 hari atau tidak lebih dari dua bulan, sesuai hasil
penelitian Tsenget al. (2012) yang menggunakan produk ranggah muda rusa dengan kombinasi darah
dengan rataan kadar Ca 13.2% dan Fe 434 ppm ternyata diketahui efektif untuk uji anti oksidan pada
mencit.
Drajat (2005) menyatakan untuk keperluan pemanfaatan kandungan bahan aktif ranggah,
waktu pemanenan ranggah yang optimum dibatasi tidak lebih 2 bulan (60 hari) atau dengan over
growth 0.5 cm. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mineral pada ranggah yang berumur 65
hari tidak berbeda nyata dengan umur ranggah yang lebih muda, dengan demikian di alam kondisi
over growth hingga 5 cm masih dapat dimanfaatkan meskipun Dradjat (2000) dan Semiadi dan
Nugraha (2004) juga memberikan batasan maksimum over growth adalah 0.5 cm. Berdasarkan uraian
tersebut maka umur panen ranggah muda rusa timor yang dipandang optimum untuk menghasilkan
kandungan mineral dan/atau bahan aktif yang baik dan efektif adalah umur panen 55-60 hari dengan
batasan maksimum over growth 0.5 cm.
266
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4. Kandungan asam amino ranggah muda Rusa timorensis pada umur panen
berbeda di TN Ujung Kulon
No Umur Panen Ranggah Muda (hari)
Asam amino 55 60 65
1 Alanine (Ala) 2 ± 0.4b 2 ± 0.4b 3 ± 0.2a
*) a a
2 Arginine (Arg) 3 ± 0.7 4 ± 0.7 4 ± 0.7a
b b
3 Aspartic acid (Asp) 8±2 9±2 12 ± 2a
4 Glutamic acid (Glu) 15 ± 2c 17 ± 1b 22 ± 2a
a a
5 Glysine (Gly) 4 ± 0.7 4 ± 0.7 5 ± 1a
*) b b
6 Histidine (His) 2 ± 0.4 3 ± 0.4 3 ± 0.5a
*) c b
7 Isoleucine (Ile) 4 ± 0.6 5 ± 0.7 7 ± 0.2a
*) c b
8 Leucine (Leu) 4 ± 0.6 5 ± 0.6 7 ± 0.1a
*) c b
9 Lysine (Lys) 3 ± 0.3 3 ± 0.3 4 ± 0.3a
10 Methionine (Met)*) 2 ± 0.2c 2 ± 0.1b 3 ± 0.4a
*) c b
11 Phenylalanine (Phe) 3 ± 0.2 3 ± 0.3 4 ± 0.3a
c b
12 Proline (Pro) 4 ± 0.6 5 ± 0.5 7 ± 0.5a
b b
13 Serine (Ser) 3 ± 0.5 3 ± 0.4 4 ± 0.6a
c b
14 Cystein (Sis) 2 ± 0.2 2 ± 0.2 2 ± 0.1a
*) a a
15 Threonine (Thr) 3 ± 0.9 7 ± 0.9 4 ± 0.6a
c b
16 Tryptophan (Tyr) 2 ± 0.5 3 ± 0.4 3 ± 0.2a
17 Valine (Val)*) 2 ± 0.4b 2 ± 0.4b 3 ± 0.1a
Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan
nyata (p> 0.05).
Kandunganasam amino (Tabel 4), hasil analisis 17 asam amino yang terkandung di dalam
ranggah muda rusa timor hampir semuanya menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) pada umur panen
berbeda, dengan pola hubungan semakin tinggi umur panen ranggah maka secara relatif semakin
tinggi pula kandungan asam aminonya. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Jeon et al.
(2008) yang menyatakan kandungan protein kasar lebih tinggi pada umur panen ranggah 40 hari
dibanding pada umur panen 60 hari, demikian juga halnya dengan komponen asam aminonya.
Perbedaan ini terjadi karena selang waktu yang digunakan berbeda, penelitian ini hanya berselang 5
hari, sedang penelitian Jeon et al. 2008 selang waktu 20 hari.
KESIMPULAN
1. Terdapat hubungan nyata antara umur panen ranggah dengan berat ranggah, semakin bertambah
umur rusa semakin tinggi bobot ranggah. Lingkar dada memiliki hubungan kuat dengan panjang
ranggah muda panen.
2. Kandungan mineral ranggah muda menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata (P>0.05) pada
umur panen berbeda, sedangkan untuk kandungan asam amino menunjukkan ada hubungan nyata
(P<0.05) yakni semakin tinggi umur panen semakin tinggi pula kandungan asam aminonya.
3. Umurpanen ranggah muda optimum 60 hari dengan toleransi over growth 5 cm atau pada umur
panen maksimum 65 hari. Semakin tinggi umur panen (>65 hari) semakin rendah kualitas
ranggah muda rusa timor.
DAFTAR PUSTAKA
Dradjat AS. 2000. Produksi ranggah muda pada persilangan rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa
sambar (Cervus unicolor).Met.Pet. 23 (2)
Estevez JA, Landete-Castillejos T, Martinez A, Garcia AJ, Ceacero F, Gaspar-Lopez E, Calatayud A
& Gallego L. 2008. Antler mineral composition of Iberian red deer Cervus elaphus hispanicus is
related to mineral profile of diet. ACTA THERIOLOGICA 54(3): 235 – 242.
Gibbs D. 2006. Antler Development in White-tailed Deer. Tennessee Wildlife Rosources Agency.
September 1, 2006.
Jamal Y, Gono S, Nugraha RTP, 2005. Kualitas Produk Ranggah Muda Rusa Sambar (Cervus
unicolor). Biologi 4(5): 325-335
267
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Jeon B, Kim S, Lee S, Park P, Sung S, Kim J, Moon S. 2008. Effect of Antler growth period on
chemical composition of velvet antler in sika deer (Cervus nippon). Mamm. biol.74:374–380
Jeon BT, Kim MH, Lee SM, Moon SH. 2006. Effect of Dietary Protein on Dry Matter Intake, and
Production and Chemical Composition of Velvet Antler In Spotted Deer Fed Forest By-Product
Silage. Asian-Aust. J. Anim.Sci. 19(12) : 1737-1741.
Jeon, B. T., S.H. Cheong, D. H. Kim, J. H. Park, P. J. Park, S. H. Sung, D. G. Thomas, K. H Kim, &
S. H Moon. 2011. Effect of antler development stage on chemical of velvet antler in Elk
(Cervus elaphus canadensis). Asian-Aust. J. Anim.Sci 24(9):1303-1313
Kawtikwar PS, Bhagwat DA, and Sakarkar DM. 2010. Deer antler- Traditional use and future
perspectives. Indian Journal of Traditional Knowledge 9(2): 245 – 251.
Lee SR, Jeon BT, Kim SJ, Kim MH, Lee SM, Moon SH. 2007. Effect of Antler Development Stage
on Fatty acid, Vitamin and GAGs Contents of Velvet Antler in Spotted Deer (Cervus nippon).
Asian-Aust.J Anim.Sci. 20 (10) : 1546 – 1550
Scmidt KT, Stien A, Albon AS, Guinness FE. 2001. Antler length of yearling red deer is determined
by population density, weather and early life-history. Oecologia 127: 191-197.
Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Pusat Penelitian Biologi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. 155 – 162
Tseng SH, Sung HC, Chen LG, Lai YJ, Wang KT, Sung CH, Wang CC. 2012. Effect of velvet antler
on bone in ovariectomized rats. Molecules 17: 10574-10585; doi:10.3390/molecules170910574
Tuckwell C. 2003. Velvet Antler a summary of the literature on health benefiths. A report for the
Rural Industries Research and Development Coorporation. RIRDC Publication No RIRDC
Project No DIP-10A.
Wirdateti & Semiadi G. 2007. Parameterfologi, fisiologi dan keadaan kesehatan rusa timorensis yang
berada di Pulau Timor. Berkala Penelitian Hayati Surabaya: PBI 3(1):25-30.
Zhou R, and Li S. 2009. In vitro antioxidant analysis and characterisation of antler velvet extract.
Food Chemistry 114 (2009) 1321–1327.
268
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRACT
The objective of the research was to find the model of above ground biomass in the oil palm plantation,
North Sumatera. The research was done at the oil palm plantation, North Sumatera. The effect of oil palm
plantation to biomass stock in the plots were studied using the data of three plots with each size 100 m x 100 m.
The plots are placed based on purposive sampling. Above ground biomass stocks are counted by allometric
equation. The results of the research showed that allometric equation of oil palm trees was W = 0,003 D2,761.
The result showed thatabove ground biomass of oil palm plantation in the North Sumatera were 64.20 Mg ha-1.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki areal perkebunan relatif sangat luas, khususnya kelompok jenis tanaman
berkayu seperti karet, kelapa dan kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun
2012 sebesar 9,27 juta hektar. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di Propinsi Sumatera
Utara. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di Propinsi Sumatera Utara seluas 905.000 ha
(Kartodihardjo dan Supriyono, 2000; GAPKI, 2013). Selain itu, sawit merupakan komoditas
perkebunan yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap pendapatan domestik bruto. Nilai
ekspor kelapa sawit lebih tinggi daripada produk kehutanan gabungan (pulp dan kertas, kayu lapis,
kayu olahan lainnya dan furniture.
Sementara itu isu lingkungan mengenai perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas
rumah kaca (GRK), khususnya gas CO2 di dalam lapisan atmosfir merupakan salah satu masalah
terpenting yang mendapat sorotan dunia (Murdiyarso, 2007a; Murdiyarso, 2007b). Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa temperatur permukaan bumi meningkat rata-
rata sebesar 0.74 ± 0.18°C <(1.33 ± 0.32°F) dalam kurun 100 tahun hingga 2005, dan diproyeksikan
terus meningkat 1.4 - 5.8° C pada tahun 2100. IPCC menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi emisi gas buatan manusia.
Perkebunan kelapa sawit dibangun di daerah bekas hutan primer, hutan sekunder dan daerah
bekas padang alang-alang. Jika lahan dikonversi dan dikelola dengan benar, memungkinkan kapasitas
serapan karbon akan meningkat.
Dalam rangka menjawab kebutuhan kebijakan alternatif, diperlukan kajian tentang pola
penggunaan lahan yang sesuai dengan upaya mitigasi perubahan iklim. Seberapa besar relevansi
perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai penyedia jasa lingkungan yang menghasilkan
penerimaan ekonomi, tanpa harus mengubahnya menjadi penggunaan lahan tertentu yang
menurunkan simpanan karbon (Anderson dan Khalid, 2000). REDD (Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation), sebuah mekanisme pembayaran kompensasi atas pengalihan
alokasi penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit sehingga mampu menghindarkan terjadinya
deforestasi atau degradasi hutan. Salah satu indikator penting untuk suatu lanskap dapat dimasukkan
ke program REDD adalah terjadinya penurunan emisi atau peningkatan simpanan karbon vegetasi.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatakan pendugaan cadangan biomassa tegakan pada
perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
CARA KERJA
Penelitian lapangan dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit, Sumatera Utara. Pelaksanaan
penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan, yaitu tahap pertama pengambilan data di lapangan dan
tahap kedua menganalisa biomassa dan karbon serasah dan nekromassa dilakukan laboratorium.
269
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Karakteristik 13 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik berat
basah pohon.
No. Dimensi Pohon Rata-rata Kisaran
1 Diameter (cm) 70,6 52,8-88,8
2 Tinggi Total (m) 8,5 5,7-13,7
3 Berat Basah Batang (kg) 1400,4 558,0-2954,0
4 Berat Basah Daun (kg) 72,4 28,0-124,5
5 Berat Basah Pelepah (kg) 157,9 76,5-276,1
6 Buah (kg) 27,5 0-51,3
Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata berat basah terbesar pohon berasal dari batang
yakni 1400,4 kg (84,45 %) dari total biomassa pohon. Selanjutnya berat basah pelepah sebesar 157,9
kg (9,52 %), daun 72,4 kg (4,37 %) dan buah 27,5 kg (1,66 %) dari total berat basah pohon.
270
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
penelitian Iswanto et al., 2010 yang meyatakan bahwa nilai kadar air pohon kelapa sawit berkisar
antara 219,9-379,4 %. Tsoumis (1991) menyatakan bahwa besarnya kadar air dalam pohon bervariasi
antara 30 – 300 % tergantung spesies pohon, posisi dalam batang dan musim.
Tabel 2. Rata-rata kadar air setiap bagian pohon contoh berdasarkan kelas diameter.
Kelas Diameter Kadar Air (%)
No.
(cm) Batang Daun Pelepah Buah
1. 50-60 208,2 168,3 278,5 273,0
2. 60-70 248,2 150,9 268,7 141,7
3. 70-80 256,2 129,6 257,8 203,5
4. ≥ 80 235,0 131,7 244,1 163,1
Rataan 238,4 143,9 261,9 195,9
Tabel 3 menunjukkan bahwa persamaan pendugaan berat basah yang dibentuk adalah
persamaan pendugaan berat basah batang, daun, pelepah, buah dan total di atas permukaan tanah.
Berdasarkan besarnya standar deviasi model yang terkecil dan nilai koefisien determinasi yang
terbesar, maka model terbaik adalah model dengan satu peubah penjelas diameter (D) dengan peubah
respon pohon. Alasan lain dalam pemilihan model tersebut adalah segi ketelitian dan kepraktisan
dalam pendugaan biomassa tegakan maka dalam pendugaan biomassa pada berbagai kondisi hutan
adalah dengan persamaan Wb = 0,007 D2,866.
Berdasarkan persamaan alometrik yang terpilih yaitu Wb = 0,007 D2,866, maka berat basah
pohon pada areal petak perkebunan sawit dapat diduga. Persamaan alometrik pendugaan biomassa
total pohon contoh dengan mengunakan variabel bebas diameter dan peubah respon total dipakai
untuk menduga biomassa pohon pada perkebunan di areal perkebunan sawit rakyat, Sumatera Utara.
271
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4. Biomassa di atas permukaan tanah pada petak perkebunan sawit rakyat.
Biomassa (ton/ha)
Petak
Vegetasi Serasah & Nekromassa Total
I 245,72 10,53 256,25
II 230,01 4,89 234,90
III 181,65 7,38 189,04
Tabel 4 memperlihatkan bahwa rata-rata berat basah di atas permukaan tanah pada petak
perkebunan sawit rata-rata sebesar 226,73 ton/ha, terdiri dari bera basah yang berasal dari vegetasi
sebesar 219,13 ton/ha dan serasah serta nekromassa sebesar 7,60 ton/ha. Tabel 4 menunjukkan bahwa
pada petak perkebunan sawit III, berat basah total lebih rendah bila dibandingkan dengan pada petak
perkebunan sawit I dan II, yakni masing-masing sebesar 189,04 ton/ha; 234,90 ton/ha dan 256,25
ton/ha. Pada petak perkebunan sawit I, memiliki kandungan srasah dan nekormassa terbesar yakni
sebesar 10,53 ton/ha dan terendah terdapat pada petak II. Hal ini memperlihatkan bahwa komposisi
biomassa vegetasi dan serasah serta nekromassa pada petak perkebunan sawit berbeda.
Tabel 5. Biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di areal bekas tebangan petak konvensional,
bekas tebangan teknik RIL dan hutan primer.
Biomassa (ton/ha)
Petak
Tumbuhan Bawah Tegakan Sawit Total
I 9,49 236,23 245,72
II 12,69 217,32 230,01
III 8,66 173,00 181,65
Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata biomassa vegetasi pada petak perkebunan sawit sebagian
besar berasal dari tegakan sawit. Pada petak I berat basah yang berasal dari tegakan sawit sebesar
236,23 ton/ha atau sebesar 96,13 % dari total biomassa vegetasi. Demikian pula halnya pada petak II
dan petak III, yakni masing-masng sebesar 217,32 ton/ha (94,48 %) dan 173,00 ton/ha (95,23%) dari
total biomass vegetasi.
Tabel 6. Serasah, nekromassa kecil dan nekromassa besar di areal bekas tebangan petak konvensional,
bekas tebangan petak RIL dan hutan primer.
Biomassa (ton/ha)
Petak
Serasah Nekromassa Total
I 6,00 4,53 10,53
II 3,11 1,77 4,89
III 3,38 4,01 7,38
Tabel 6 menunjukkan bahwa pada petak I memiliki serasah dan nekromassa paling tinggi
dibandingkan di petak lainnya, yakni sebesar 10,53 ton/ha yang terdiri dari serasah 6,00 ton/ha dan
nekromassa sebesar 4,53 ton/ha. Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata biomassa sersah dan
nekromassa pada petak I dan petak II sebagian besar berasal dari serasah sebesar 6,00 ton/ha dan 3,11
ton/ha 55,83 ton/ha atau sebesar 56,97 % dan 63,71%. Sedangkan pada petak III sebagian besar
272
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
biomassa berasal dari nekromassa yakni sebesar 4,01 ton/ha (54,27 %) dari total serasah dan
nekromassa.
Tabel 7. Karakteristik 13 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik
biomassa.
No. Dimensi Pohon Rata-rata Kisaran
1 Diameter (cm) 70,6 52,8-88,8
2 Tinggi Total (m) 8,5 5,7-13,7
3 Biomassa Batang (kg) 416,6 169,3-835,0
4 Biomassa Daun (kg) 30,3 11,5-51,7
5 Biomassa Pelepah (kg) 45,2 17,0-77,1
6 Buah (kg) 9,9 0-19,6
Pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa rata-rata massa biomassa terbesar pohon berasal dari
batang yakni 416,6 kg atau 82,97 % dari total biomassa pohon. Selanjutnya biomassa pelepah sebesar
45,2 kg (9,01 %), daun sebesar 30,3 kg (6,03 %) dan buah 9,9 kg (1,97 %).
Tabel 8 menunjukkan bahwa persamaan pendugaan cadangan massa biomassa yang dibentuk
adalah persamaan pendugaan massa biomassa batang, daun, pelepah, buah dan total di atas
permukaan tanah. Berdasarkan besarnya standar deviasi model yang terkecil dan nilai koefisien
determinasi yang terbesar, maka model terbaik adalah model dengan satu peubah penjelas (D) dengan
peubah respon pohon. Alasan lain dalam pemilihan model tersebut adalah segi ketelitian dan
kepraktisan dalam pendugaan biomassa tegakan kelapa sawit maka dalam pendugaan cadangan massa
biomassa pada berbagai kondisi hutan adalah dengan persamaan W = 0,003 D2,761.
Berdasarkan persamaan massa biomassa di atas, maka persamaan alometrik yang terpilih
yaitu W = 0,003 D2,761 memiliki R2 (adj) sebesar 89,04 % yang menyatakan bahwa sebesar 89,0 %
keragaman massa biomassa pohon sudah dapat dijelaskan oleh pengaruh diameter, sedangkan sisanya
sebesar 10,96 % dipengaruhi faktor lingkungan. Nilai P-value < 0,5 yang artinya log D berpengaruh
nyata terhadap log W pada taraf pengujian 95 %. Berdasarkan persamaan alometrik tersebut,
biomassa pohon pada areal petak perkebunan sawit dapat diduga. Persamaan alometrik pendugaan
biomassa pohon dengan menggunakan variabel bebas diameter pohon dapat dipakai untuk menduga
massa biomassa pohon pada perkebunan kelapa sawit.
Adapun Katterings et al. (2001) menyatakan di hutan sekunder Sepunggur, Sumatera
mendapatkan persamaan biomassa W = 0,066D2,59. Persamaaan alometrik yang dihasilkan dalam
penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan persamaan alometrik di Sumatera. Perbedaan ini bisa
273
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
disebabkan oleh perbedaan pola sebaran pohon dan diameter di lokasi penelitian karena kondisi
tempat tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan dan kerapatan tegakan.
Tabel 9 memperlihatkan bahwa rata-rata massa biomassa di atas permukaan tanah pada
perkebunan sawit rata-rata sebesar 64,20 ton/ha, terdiri dari massa biomassa yang berasal dari
vegetasi sebesar 60,16 ton/ha dan serasah serta nekromassa sebesar 4,04 ton/ha. Biomassa pada petak
III perkebunan sawit lebih rendah bila dibandingkan dengan pada petak perkebunan sawit I dan petak
II, yakni masing-masing sebesar 53,97 ton/ha; 65,45 ton/ha dan 73,18 ton/ha.
Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata massa biomassa vegetasi pada petak perkebunan sawit
sebagian besar berasal dari tegakan pohon yakni masing-masing sebesar 64,31 ton/ha pada petak I,
59,32 ton/ha pada petak II dan sebesar 47,56 ton/ha pada plot III. Adapun biomassa tumbuhan bawah
di semua petak penelitian berkisar antara 2,91 – 3,77 ton/ha.
Tabel 11. Massa biomassa serasah, nekromassa kecil dan nekromassa besar
Massa Biomassa (ton/ha)
Petak
Serasah Nekromassa Total
I 3,04 2,92 5,96
II 1,44 0,93 2,36
III 1,74 2,08 3,81
274
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 11 menunjukkan bahwa pada petak I memiliki serasah dan nekromassa paling tinggi
dibandingkan di petak lain, yakni sebesar 5,96 ton/ha. Rata-rata nekromassa pada petak I dan petak II
sebagian besar berasal dari serasah yakni masing-masing sebesar 3,04 ton/ha dan 1,44 ton/ha.
Sedangkan pada petak III sebagian besar biomassa berasal dari nekromassa besar sebesar 2,88 ton/ha.
Besarnya biomassa vegetasi di atas permukaan tanah jumlahnya bervariasi dari 210-650
ton/ha sesuai dengan tipe penutupan lahan (Mazzei et al. 2010). Hasil penelitian Hertel et al. (2009)
pada lahan bervegetasi hutan primer di Sulawesi, menunjukkan bahwa rata-rata total biomassa
tegakan sebesar 303 ton/ha yang terdiri dari 286 ton/ha berasal dari biomassa di atas permukaan
tanah dan dari akar sebesar 16,8 ton/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J and Khalid. 2000. Decomposition Processes and Nutrient Release Patterns of Oil Palm
Residu. Journal of Oil Palm Research.12(1). 46-63.
Brown, S, P.E. Schroeder and J.S. Kern. 1999. Spatial distribution of biomass in forests of eastern USA.
Forest Ecology and Management 123:81-90.
Draper, N and H. Smith. 1991. Applied Regression Analysis. Ed ke-2. New York: John Wiley and
Sons.
GAPKI. 2013. Indonesia dan perkebunan kelapa sawit dalam isu lingkungan global. GAPKI. Jakarta.
Haygreen, J.G. and Bowyer, J.L. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Edisi ke-4. Yogyakarta:
University Gadjah Mada Press.
Hertel, D., G. Moser, H. Culmsee , S. Erasmi, V. Horna, B. SchuldtB and Ch. Leuschner. 2009.
Below- and above-ground biomass and net primary production in a paleotropical natural forest
(Sulawesi, Indonesia) as compared to neotropical forests. Forest Ecology and Management 258:
1904–1912.
IFCA. 2007. Laporan konsolidasi studi tentang metodologi dan strtegi penurunan emisi gas rumha kaca.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. The Physical Science Basis. Contribution
of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change.
Isanto, A.H., T. Sucipto, I Azhar and F Febrianto. 2010. Sifat fisis dan mekanis kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq) asal kebun Aek Pancur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Vol. 3(1) : 7-
12.
Litton, C.M. and J.B. Kauffman. 2008. Alometrik model for predicting above ground biomass in two
widespread woody plants in Hawaii. Biotropica 40:313-320.
Mazzei, L., P. Sist, A. Ruschel, F.E. Putz, P. Marco, W. Pena and J.E.P. Ferreira. 2010. Above-
ground biomass dynamics after reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecology
and Management 259 : 367–373.
Murdiyarso, D. 2007a. Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Buku
Kompas.
Murdiyarso, D. 2007b. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Jakarta: Buku Kompas.
Nabuurs, G.J. and G.M.J Mohren. 1993. Carbon Fixation through Activities A Study of the Carbon
Sequestering Potential of Selected Forest Types, Commissioned by the Fondarion Face. Can. J.
For. Res. 23: 857-862.
Návar, J. 2009. Allometric equations for tree species and carbon stocks for forests of northwestern
Mexico. Forest Ecology and Management 257:427-434.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization. New York :
Van Nostrand Reinhold.
275
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Lanskap hutan memegang peranan yang penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat baik yang
tinggal di dalam maupun pinggiran hutan. Studimengenai nilai penting hutan bagi masyarakat lokal telah
banyak dilakukan. Studi ini bertujuan untuk (1) melihat nilai manfaat lanskap hutan dan membandingkannya
dengan lanskap lainnya yang berada di sekitar pemukiman penduduk, (2) menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai penting lanskap hutan (3) menganalisis nilai penting biodiversitas yang terdapat di areal
hutan. Metode yang digunakan adalah meta-analisis yaitu berupa kajian kualitatif dan kuantitatif dari hasil
publikasi ilmiah mengenai tema yang terkait di atas berdasarkan kesamaan teknik pemberian nilai LUVI (Local
User Valuation Index) dengan metode PDM (Pebble Distribution Methods). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa (1) nilai penting lanskap hutan tidak selalu lebih tinggi dibanding lanskap lainnya (2) nilai penting
lanskap hutan tidak hanya dipengaruhi oleh pentingnya sumberdaya hutan bagi masyarakat lokal melainkan juga
faktor-faktor lain diantaranya jarak pemukiman dari hutan, kondisi topografi, sumber pendapatan ekonomi
masyarakat setempat.(3) Jenis tanaman Rotan (Calamus sp) tercatat sebagai tumbuhan yang dianggap paling
penting di semua sumber penelitian dan jenis hewan Kijang (Muntiacus muntjak), Kelinci (Tragulus javanicus)
dan Beruang madu (Helarctos malayanus) tercatat sebagai hewan yang dianggap paling penting oleh tiga
komunitas lokal.
PENDAHULUAN
Penelitian mengenai nilai penting Hutan telah banyak dilakukan. Salah satu metode terbaru
dalam menilai manfaat Hutan adalah dengan pendekatan kelompok diskusi (Group discussion) yaitu
dengan melibatkan masyarakat lokal untuk mendapatkan gambaran mengenai ketergantungan
penduduk terhadap sumber daya hutan (Evans et al., 2006). Dalam mempelajari keanekaragaman
hayati yang terdapat di suatu kawasan mengetahui karakter masyarakat yang berada di dalam atau
sekitar kawasan juga bagian yang termasuk dalam pengetahuan keanekaragaman hayati (IBSAP,
2003).
Metode yang digunakan untuk mengukur nilai penting hutan menggunakan teknik Pebble
Distribution Method (PDM) yang merupakan pengembangan dari metode Participatory Mapping
yaitu kumpulan teknik pengembangan geospasial berdasarkan persepsi terhadap lanskap yang
ditujukan dan dikembangkan khusus dalam konteks masyarakat yang berada di hutan pada era 1990-
an. (Jackson et al., 1994 ; Evans et al. 2006). Sebagian peneliti menggunakan istilah LUVI (Local
User Valuation Index) (Boissiere dan Liswanti, 2006)). Inti dari metode ini adalah mengukur nilai
penting suatu objek berdasarkan manfaat yang diperoleh oleh pemakai dengan teknik diskusi
kelompok (Sheil et al., 2003).
Studi ini bertujuan untuk (1) melihat nilai manfaat lanskap hutan dan membandingkannya dengan
lanskap lainnya yang berada di sekitar pemukiman penduduk, (2) menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai penting lanskap hutan (3) menganalisis nilai penting hewan dan tumbuhan yang
terdapat di areal hutan.
METODE
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metanalisis yaitu dengan membandingkan
beberapa hasil penelitian pada beberapa lokasi dimana studi mengenai nilai penting lanskap telah
dilakukan. Lokasi –lokasi tersebut adalah :
1. Desa Batak Palawan, berada di desa Kalakwasan ,propinsi Palawan, Filiphina (Boissiere M dan
Liswanti N, 2006)
2. Desa Khe Tran, terletak di buffer zone Cagar Alam Phong Dien Vietnam (Boissiere et al., 2006)
3. Komunitas Makokou Gabon, Taman Nasional Ivindo, Afrika (Sassen dan Melinda , 2006).
4. Komunitas Malinau, Kalimantan Timur (Sheil , 2002)
5. Komunitas Gunung Lumut, Balikpapan (Murniati et al.,2006)
276
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DISKUSI
Nilai Penting Hutan
Masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap sumber daya hutan. Sumber daya tersebut bermanfaat untuk makanan, obat-obatan,
konstruksi, keperluan adat, dapat dijual, peralatan dan kayu bakar, rekreasi dan masa depan (IBSAP,
2003 ;Murniati et al., 2006; Sheil , 2003 ). Nilai penting suatu lanskap sangat tergantung kepada
sejauh mana sumberdaya lanskap memenuhi semua aspek yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Ada beberapa tipe lanskap yang berada pada satu daerah pemukiman dan mungkin tidak
terdapat di daerah lain. Murniati et al. (2006) mendeskripsikan tipe-tipe lanskap di daerah Gunung
Lumut yaitu kampung, bekas kampung, ladang, rawa, lahan budidaya, lahan kosong, dan hutan
sementara Boissiere dan Liswanti (2006) mendeskripsikan tipe-tipe lanskap di daerah Khe Trans
Vietnam terdiri dari sungai, hutan, lahan pertanian, lahan kosong.
Pada Gambar 1 dapat dilihat variasi lanskap yang berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Kesamaan pada semua tipe lanskap pada Gambar 1 adalah adanya lanskap hutan pada
masing-masing daerah dengan nilai LUVI yang bervariasi. Namun semua nilai penting hutan lebih
tinggi dibanding lanskap lainnya. Hal ini bisa dipahami karena Hutan memiliki sumber daya penting
bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam maupun sekitar areal hutan (Wollenberg et al.,
2004)
Dari Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa hutan memiliki nilai LUVI paling tinggi di antara
lanskap lainnya. Hal dapat dipahami karena masyarakat hutan masih memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap hutan (Boissiere dan Liswanti, 2004 ; Sheill , 2004, Sassen dan Wan ,2006).
Kebutuhan sehari-hari juga diperoleh masyarakat yang tinggal disekitar hutan (Lynam et al., 2004).
Masyarakat ‘batak’ Palawan memperoleh manfaat dari hewan dan tumbuhan yang terdapat
di dalam hutan seperti madu, resin, rottan, babi dan hewan liar lainnya. Masyarakat ini mengenal ada
empat tipe hutan yaitu hutan primer, hutan sekunder, hutan Agathis,dan hutan pegunungan (Boissiere
dan Liswanti, 2004). Dari empat tipe hutan ini, masyarakat “batak” memberi penilaian yang lebih
tinggi terhadap hutan primer (32,5 %), karena mereka memperoleh manfaat yang lebih banyak dari
tipe hutan ini berupa manfaat makanan, obat-obatan, konstruksi berat, hiasan, tempat berburu,dan
masa depan. Sementara kayu bakar, konstruksi ringan, anyaman, dan rekreasi merupakan manfaat
yang diperoleh dari hutan sekunder. Hutan Agathis penting bagi masyarakat untuk mengumpulkan
resin dan menjualnya. Hutan pegunungan dinilai lebih rendah (6,25 %), hal ini disebabkan karena
jaraknya yang dianggap jauh dari pemukiman. (Boissiere dan Liswanti, 2004).
river
Nilai Penting berbagai tipe 11% Nilai Penting berbagai
lanskap Malinau Old rice landskap Khe Tran Vietnam
village field
Forest Village forest
21% 13% site 5%
38%
Old 6% garden
Fallow 23%
Garden
8%
11%
Young
Fallow Dry land
7% for bareland
Cultivatio Marsh/S River agricultir 9%
n wamp 13% e
14% 7% 14%
277
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Masyarakat The Krans Vietnam membagi hutan menjadi tiga kelompok yaitu hutan primer,
hutan sekuder dan hutan perkebunan. Berbeda dengan masyarakat “batak” Palawan, Hutan
perkebunan memiliki nilai tertinggi (49 %) dibanding hutan primer (43 %) karena masyarakat dapat
merasakan langsung hasil perkebuan tersebut dalam bentuk tunai dari penjualan komoditas hutan
perkebunan. Hutan perkebunan masyarakat Khe krans didominasi oleh tanaman karet. Salah satu
penyebabnya lebih rendahnya nilai hutan primer dari pada hutan perkebunan adalah karena sulitnya
akses ke dalam hutan.
Tabel 1: Nilai Manfaat hutan bagi Masyarakat Desa Khe Trans Vietnam
KELAS MANFAAT
Konstruksi berat
Tempat berburu
Makanan ternak
Keseluruhan
Obat-obatan
Dapat dijual
Masa depan
Kayu bakar
Konstruksi
Perburuan
Anyaman
Tipe Hutan
Peralatan
makanan
Rekreasi
Hiasan
Fungsi
ringan
Hutan 75.0
Primer 63.25 0 23.00 64.50 59.50 46.50 20.00 38.25 45.50 53.50 79.00 0.00 41.25 52.00 46.25
Hutan 40.0
Sekunder 21.75 0 62.50 20.25 13.50 33.50 45.35 41.00 27.00 26.25 21.00 0.00 13.50 36.50 19.25
Hutan
Perkebu 48.0
nan 15.00 0 14.50 15.25 27.00 20.00 35.00 20.75 27.50 20.25 0.00 100.00 45.25 11.50 34.50
100. 100.0
TOTAL 100.00 00 100.00 0 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
(Sumber : Boissiere dan Liswanti, 2004)
Walaupun nilai lanskap hutan perkebunan dinilai lebih tinggi daripada hutan primer, namun dalam
penilaian kategori manfaat ternyata nilai penting hutan primer lebih tinggi dalam hal pemanfaatan
anyaman, kayu bakar, makanan ternak, makanan, konstruksi berat, fungsi perburuan, konstruksi
ringan, dapat dijual, obat-obatan dan peralatan. Hutan perkebunan lebih tinggi nilainya untuk kategori
manfaat tempat berburu, rekreasi dan masa depan. Satu hal yang unik dalam tampilan data ini adalah
bahwa masyarakat mempersepsikan fungsi berburu lebih tinggi pada hutan primer dibanding hutan
perkebunan tetapi untuk tempat berburu hutan perkebunan lebih tinggi dibanding hutan primer.
Hutan perkebunan untuk kelas masa depan lebih tinggi (45,25 %) dibandingkan dengan hutan
primer (41,25 %). Hal ini menunjukkan pada masa yang akan datang masyarakat krans vietnam
meyakini bahwa perkebunan lebih menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun
bila ditelaah lebih lanjut, berkurangnya ketergantungan masyarakat terhadap hutan akibat perkebunan
dapat menjadikan ancaman tersendiri bagi hutan mengingat bahwa populasi masyarakat akan
bertambah`dan areal hutan bisa saja tertekan akbiat pembangunan perkebunan.
Berbeda dengan empat komunitas di atas (Gambar 1) masyarakat Rantau Layung memberikan
nilai Hutan lebih rendah (16 %) dibandingkan sawah (24%) dan kebun (17 %). Sebagaimana terlihat
pada Gambar 2 berikut :
Garden
Forest
17%
16%
278
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Bila dilihat dari ketergantungan terhadap hutan hampir 70 % masyarakat Rantau Layung
menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan, hanya 30 % yang mata pencahariannya melalui
pertanian (Murniati dkk, 2006). Tingginya nilai sawah/ladang dalam diskusi kelompok mungkin
dikarenakan pada saat penelitian dilakukan larangan ekploitasi hasil hutan terutama illegal logging
sedang diterapkan secara ketat oleh aparat sehingga nilai manfaat hutan menjadi rendah bila
dibandingkan dengan daerah lainnya dimana penelitian yang sama telah dilakukan. Hal ini terlihat
dari Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai manfaat makanan pada lanskap ladang (rice
fields) lebih tinggi (29 %) dibanding lanskap hutan (19%). Walaupun untuk manfaat lainnya seperti
obat-obatan, konstruksi, peralatan, anyaman, kayu bakar, hiasan, sumber pendapatan, perburuan dan
masa depan, lanskap hutan dirangking lebih tinggi dibandingkan dengan hutan dan untuk nilai
manfaat lanskap secara keseluruhan masyarakat Rantau Layung memberikan penilaian yang lebih
tinggi (24 %) dibandingkan dengan lanskap hutan yang hanya 16 % (Gambar 2). Fenomena di atas
menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh oleh masyarakat berdasarkan diskusi partisipatif boleh
jadi hanya sebatas pemahaman mereka secara konseptual selayaknya nilai manfaat yang diperoleh
masyarakat dari hutan seharusnya sebanding dengan nilai lanskap hutan yang juga mereka berikan
secara partisipatif dalam diskusi kelompok melalui PDM.
Beberapa faktor lain yang menyebabkan nilai penting lanskap sawah dan kebun lebih tinggi
dari lanskap hutan adalah karena (1) sawah dan kebun dianggap mampu menyediakan sumber utama
kebutuhan hidup bagi seluruh penduduk, (2) jarak ke hutan yg lebih jauh dari pemukiman sekitar 1 –
4 km sementara jarak sawah hanya 0,5 km dari pemukiman (Murniati dkk, 2006)
279
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Komunitas Batak Palawan memberikan penilaian 4 jenis tanaman yang dianggap penting yaitu
Dioescorea hispida, Athyrium esculentum, Smilax leucophylla dan Gnetum gnemon L. Keseluruhan
tanaman yang dianggap penting tersebut hanya terdapat pada kelas makanan. Hal ini dapat dimaklumi
mengingat bahwa karakter hidup komunitas ini adalah semi-nomadi (Boissiere dan Liswanti N, 2004)
atau atau suka berpindah tempat sehingga aspek pemenuhan terhadap sumber makanan adalah hal
yang paling penting.
Tabel 3 : Jenis Tumbuhan dengan nilai LUVI tertinggi dari beberapa lokasi penelitian
Obat-obatan
Dapat dijual
Kayu bakar
Konstruksi
Nama
Anyaman
Makanan
Peralatan
No Jenis Family Lokasi*
Daerah
Bambu
1 Gigantochloa sp Poaceae hitam KT
Artocarpus
2 heterophylus Moraceae nangka KT
KT,RL,
3 Calamus sp Arecaceae Rotan BP, RP, B
Imperata
4 cylindrica Poaceae Ilalang KT
Schizostachyum Bambu
5 cf. gracile Poaceae alor KT
Peronema
6 canescens Verbenaceae Sungkai RL
Eusideroxylon Kayu
7 zwageri Lauraceae besi RL
RL, BP,
8 Durio zibethinus Bombacaceae Durian RP
Dryobalanops
9 sp Dipterocarpaceae kapur RL
10 Neolitsea sp Lauraceae Perari RL
Elmerillia
11 tsiampacca Magnoliaceae arau RL
12 Vitex vestita Verbenacea Sambu RL
Dioescorea
13 hispida Dioscoreaceae Gadung BP
Athyrium
14 esculentum Polipodiaceae paku BP, RP
Smilax
15 leucophylla Smilacaceae canar BP
Gnetum gnemon
16 L Gnetaceae melinjo BP
17 Arenga pinnata Arecaceae aren RP, B
18 Areca catechu Arecaceae pinang RP
19 Piper bettle Piperaceae sirih RP
Dendrocalamus
20 sp Poaceae bambu B
Ket * : KT = Khe Tran Vietnam RL = Rantau Layung, Balik Papan BP : Batak Palawan, Philipina
RP = Rimbo Panti, Pasaman (Siregar RS dkk, 2012) B= Batahan, Mandailing Natal Sum.
Utara (Jandra, 2007)
3.2.2. Hewan
Nilai penting hewan meliputi makanan, obat-obatan, hiasan dapat dijual dan peralatan (Siregar
RS dkk, 2012; Jandra, 2007; Sheil D et al, 2003). Dalam beberapa hasil penelitian mengenai LUVI
tidak begitu menjelaskan tumpang tindih kemunculan nilai antara satu kelas manfaat dengan kelas
manfaat lainnya seperti nilai dapat dijual dengan nilai makanan, hiasan atau perburuan. Untuk
280
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
mengantisipasi munculnya bias nilai, penulis perpendapat bahwa item dapat dijual sesunggguhnya
didasari oleh mendapatkan uang pengganti dari nilai objek yang dijual secara langsung.
Obat-obatan
Dapat dijual
Perburuan
adat/ritual
Makanan
Peralatan
Nama
NO Jenis Lokasi
hiasan
Daerah
Jenis-jenis hewan dari kelompok mamalia dan avifauna dianggap paling bermanfaat bagi masyarakat
lokal dalam berbagai kategori manfaat. Kemunculan 2 kelas takson yaitu Mamalia dan Aves diduga
karena kemunculannya yang paling sering dari berbagai kepentingan seperti atraksi kebun binatang
dan pertunjukan, hewan peliharaan, dimanfaatkan bulunya, perhiasan, penelitian biomedis dan alat
peraga pendidikan (Seohartono dan Mardiastuti, 2004; Murniati et al., 2006)
Hewan-hewan dengan nilai paling penting berdasarkan teknik PDM pada umumnya mengisi
kelas manfaat makanan dan dapat dijual serta kelas perburuan. Diantara semua kelas manfaat yang
muncul, manfaat perburuan memiliki nilai LUVI tertinggi. Di Rimbo Panti, kelas perburuan bernilai
11,25% dari 25 % nilai manfaat satwa (Siregar RS dkk, 2012) dan di Desa Batahan sebesar`13 % dari
20 % manfaat satwa (Janra, 2007). Tingginya kelas manfaat perburuan mengindikasikan bahwa
aktivitas ini mengancam populasi satwa yang hidup di hutan.
Jenis Kijang (Muntiacus muntjak) dan Kancil (Tragulus javanicus) muncul pada tiga komunitas
sebagai hewan yang dianggap nilai memiliki penting. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa
masyarakat lokal memenuhi kebutuhan protein hewaninya dari jenis-jenis hewan berbadan besar yang
kebanyakan dari kelas mamalia. ( Wan M dan Sassen, 2006; Boissiere dan Liswanti, 2004). Jenis
Beruang madu (Helarctos malayanus) memenuhi kelas manfaat obat-obatan, dapat dijual dan
perburuan. Manfaat obat-obatan dari beruang madu dilaporkan oleh Murniati dkk (2006) namun tidak
dijelaskan lebih lanjut cara pemanfaatannya.
KESIMPULAN
1. Nilai penting hutan (LUVI) tidak hanya dipengaruhi oleh banyaknya manfaat yang diperoleh,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti jarak dari pemukiman ke hutan dan topografi
hutan.
281
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
2. Nilai penting Lanskap hutan tidak selalu berbanding lurus terhadap banyaknya manfaat yang
diperoleh dari sumber daya hutan.
3. Jenis Rotan (Calamus sp) muncul pada jenis tumbuhan yang dianggap paling penting oleh lima
komunitas lokal yaitu masyarakat Khe Trans, Batak Palawan, Rantau layung, Rimbo Panti dan
Batahan.
4. Jenis Kijang (Muntiacus muntjak), Kelinci (Tragulus javanicus) dan Beruang madu
(Helarctos malayanus) dianggap paling penting oleh tiga komunitas yaitu masyarakat Rantau
Layung, Rimbo Panti dan Batahan.
DAFTAR PUSTAKA
Boissiere M, Lisnawanti N. 2006. Biodiversity in a Batak Village of Palawan (Philippines); A
Multidiciplinary Assessment of Local Perception and Priorities. Report.CIFOR. Bogor
Indonesia. pp : 34-35
Evans K, Jong WD, Cronkleton P, Sheil D, Lynam T, Kusumanto T, Colfer CJP. 2006. Guide to
Participatory Tools for Forest Communities. CIFOR. Bogor. Indonesia. pp: 4-6.
IBSAP, 2003, Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003 – 2020. Bappenas,
Jakarta
Jackson, B., Nurse, M.C., Singh, H.B. 1994. Participatory mapping for community forestry. ODI,
London.http://www.odi.org.uk/.
Jandra, M. 2007. Socio-economic Aspects of Mandailing Natal People in Buffer Zone of Batang
Gadis National Park. Andalas University. Padang, Indonesia.pp :91-96
Lynam T, Cunliffe R, Mapaure I. 2004. Assessing the Importance of Woodland Landscape Locations
for Both Local Communities and Conservation in Gorongosa and Muanza Districts, Sofala
Province, Mozambique. Ecology and Society 9(4) : 1.
Murniati, Padmanaba M, Basuki I, der Ploeg Jvd. 2006. Gunung Lumut Biodiversity Assessment
Socio-economic Study. Topendos International Indonesia. Balikpapan. Report. pp : 49-56
Siregar RS, Arbain A, Wilson N. 2012. Nilai Penting Keanekaragaman Hayati Cagar Alam Rimbo
Panti. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Hal : 323-327.
Sheil Douglas, 2002. Biodiversity Research in Malinau. Technical Report. Itto Project. Bogor
Sheil D, Puri RK, Basuki I, Vans Heist M, Wan M, Liswanti N, Rukmiyati Sardjono MA (and
authors). 2003. Exploring Biological Diversity, Environment and Local People’s Perspectives
in Forest Landscapes. CIFOR. Bogor. Indonesia. pp : 1-20
Sheil D, and Wunder, S. 2002. The value of Tropical Forest to Local Communities : Complication,
caveats and cautions. Conservation Ecology 6(2)
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. JICA. Jakarta. pp : 4
– 7.
Wan M and Sassen M. 2006. Biodiversity and local Priorities in a Community near The Ivindo
National Park Makokou Gabon. CIFOR.Bogor-Indonesia.pp : 37- 40.
Wollenberg E, Belcher B, Sheil D, Dewi S, Moeliono M. 2004. Why are forest areas relevant to
reducing poverty in Indonesia?. CIFOR. Bogor.
282
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Burung rangkong atau burung enggang (bahasa Inggris: Hornbill) merupakan jenis burung berkuran
besar yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tanpa lingkaran, nama ilmiahnya “Buceros” merujuk pada
bentuk paruh, dan memiliki arti “tanduk sapi”. Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jenis
burung rangkong. Indonesia memiliki 14 jenis burung rangkong, 3 jenis diantaranya endemik. Pulau
Sumatera menempati jumlah terbanyak dengan 9 jenis, disusul dengan Kalimantan 8 jenis. Salah satu
spesies rangkong dari 9 jenis kerabat burung rangkong yang terdapat di Pulau Sumatera dan juga terdapat di
kawasan Aceh Besar adalah burung rangkong papan (Buceros bicornis). Keberadaan burung rangkong papan
(Buceros bicornis) mulai sulit dijumpai akibat pengaruh gangguan habitat, baik perambahan hutan maupun
perburuan untuk dijadikan hewan peliharaan. Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar
merupakan salah satu habitat burung rangkong papan (Buceros bicornis). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan
Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode line transect
yang dikombinasikan dengan metode titik hitung. Analisis data dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah
dan kepadatan populasi rangkong papan (Buceros bicornis). Hasil penelitian menunjukan kepadatan populasi
burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten
Aceh Besar tergolong rendah, dengan nilai kepadatan populasi yiatu; 1 ekor/Ha.
Kata kunci: Kepadatan populasi, burung rangkong papan (Buceros bicornis), Hutan Lambirah Aceh Besar
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di garis khatulistiwa, terkenal akan
kekayaan alamnya baik jenis flora ataupun fauna. Salah satu kekayaan alam dari jenis fauna Indonesia
yang cukup tinggi adalah burung. Jumlah burung yang terdapat di Indonesia yaitu 1.539 jenis burung,
merupakan 17 % dari total burung di dunia. Saat ini, jumlah burung yang terdapat di dunia ± 9.600
jenis, hampir sekitar 1.111 jenis burung di dunia terancam punah (www.suarakarya-
online.com/news.html : Rabu, 14 Desember 2005).
Burung rangkong atau burung enggang (bahasa Inggris: Hornbill) adalah jenis burung berkuran
besar yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran, nama ilmiahnya
“Buceros” merujuk pada bentuk paruh, dan memiliki arti “tanduk sapi”. Rangkong hidup di hutan-
hutan primer sampai ketinggian 1.800 mdpl dan umumnya menyenangi pohon yang besar dan tinggi.
Di seluruh dunia terdapat 54 jenis burung rangkong. Burung rangkong mempunyai sebaran mulai dari
daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon. Sebagian
besar burung rangkong hidup di hutan hujan tropis dan hanya beberapa jenis saja yang hidup di
daerah kering seperti di Afrika. Indonesia merupakan rumah bagi 14 jenis burung rangkong yang
tersebar di hutan hujan tropis, tiga diantaranya bersifat endemik. Mayoritas, rangkong banyak
ditemukan di daerah hutan dataran rendah hutan perbukitan (0 – 1000 mdpl). Di daerah pegunungan
(> 1000 mdpl) rangkong sudah mulai jarang ditemukan. Pulau Sumatera menempati jumlah terbanyak
dengan 9 jenis, di susul dengan Kalimantan dengan 8 jenis (Iskandar, 189:223).
Burung rangkong adalah burung yang sangat khas dilihat dari bentuk tubuh, warna, perilaku
bersarang dan suaranya. Kekhasan itu membuat burung ini mudah untuk dikenali terutama dengan
adanya tonjolan di atas kepalanya atau disebut juga casque. Paruh burung rangkong besar dan kokoh
namun ringan serta melengkung. Casque pada jantan lebih besar dan lebih cemerlang dibandingkan
pada betina (Anymous, 2012).
Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jenis burung Rangkong. Terdapat
tiga jenis burung rangkong yang endemik, yaitu Rangkong Sulawesi atau Julang Sulawesi Ekor Hitam
283
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
(Rhyticeros cassidix), Julang Sulawesi Ekor Putih atau Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus)
dan Julang Sumba (Rhyticeros averitti). Pulau Sumatera menempati jumlah terbanyak dengan
9 jenis, disusul dengan Kalimantan dengan 8 jenis. Dengan banyaknya jenis burung rangkong di
Indonesia menjadikan daerah penting untuk konservasi burung rangkong di dunia. Burung rangkong
di Indonesia tersebar mulai pulau terluar di ujung selatan Aceh sampai beberapa pulau terkecil di
daerah Papua Barat (Anonym, 2012). Salah satu spesies rangkong dari 9 jenis kerabat burung
rangkong (Bucerotidae) yang terdapat di Pulau Sumatera dan juga terdapat di kawasan Aceh Besar
adalah burung rangkong papan (Buceros bicornis). Keberadaan burung rangkong papan (Buceros
bicornis) mulai sulit dijumpai akibat pengaruh gangguan habitat, baik perambahan hutan maupun
perburuan untuk dijadikan hewan peliharaan. Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten
Aceh Besar merupakan salah satu habitat burung rangkong papan (Buceros bicornis).
Hutan Lambirah merupakan salah satu hutan primer yang berada di Kecamatan Sukamakmur
Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, merupakan daerah hutan hujan tropis jajaran pegunungan bukit
barisan dengan luas ± 1.000 Ha, yang terletak pada ketinggian tempat 500 – 1.005 mdpl. Daerahnya
mempunyai topografi bergelombang sampai dengan berbukit terjal yang dimayoritasi oleh pohon-
pohon berukuran besar. Kawasan ini merupakan salah satu hutan hujan tropis yang sebahagian
daerahnya telah dijadikan lahan perkebunan oleh penduduk setempat, namun vegetasinya masih
cukup alami. Daerahnya berbukit terjal dengan tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi, mulai
dari tumbuhan semak sampai pohon-pohon berukuran besar. Kawasan hutan Lambirah juga
mempunyai banyak sumber air seperti aliran sungai-sungai kecil yang menjadi objek kunjungan
utama berbagai satwa liar (Anonym, 2012: 26).
Banyaknya jenis burung rangkong yang mendiami suatu tempat sangat dipengaruhi oleh
kondisi iklim yang baik, keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan dan kondisi habitat yang baik.
Peranan habitat bagi burung dan hewan bukan hanya sebagai tempat tinggal semata, akan tetapi
habitat harus dapat menyediakan sumber makanan, air, garam-garam mineral yang cukup, menjadi
tempat istirahat dan berkembang biak. Burung rangkong menyukai habitat hutan yang lebat dengan
banyak pohon buah-buahan. Habitat burung rangkong terdapat di hutan-hutan primer sampai dengan
ketinggian 1.000-1.800 mdpl, pada umumnya menempati pohon-pohon berukuran besar dan tinggi
(Permatasari, 2009: 4). Vegetasi sebahagian pohon di hutan alam dijadikan sebagai bahan makanan
burung rangkong, dan ada juga sebagian pohon besar digunakan sebagai tempat berjemur.
Hasil studi referensi diperoleh informasi bahwa Populasi burung rangkong papan (Buceros
bicornis) di kawasan hutan lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar belum
diketahui. Data tentang populasi burung rangkong termasuk rangkong papan (Buceros bicornis)
sangat penting, selain sebagai sumber informasi dalam pembelajaran juga dapat dijadikan sebagai data
base keanekaragaman hayati di Aceh dan Aceh Besar khususnya. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di
Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar.
Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian untuk Pengamatan Populasi Rangkong Papan (Buceros bicornis)
No Alat dan Bahan Fungsi
1 Teropong Binoculer Untuk mengamati objek secara langsung baik jarak dekat maupun dari
jarak jauh (Biby, 1998).
2 Camera digital Untuk mengambil gambar dan dokumentasi kegiatan penelitian.
3 Alat tulis Sebagai perlengkapan untuk melakukan pencatatan selama kegiatan
penelitian
4 GPS (Global Position System) Untuk mengetahui koordinat posisi penelitian.
5 Kompas Sebagai media penunjuk arah mata angin.
6 Tabel pengamatan Sebagai lembaran pencatatan segala data yang diperoleh di lapangan.
7 Buku panduan Sebagai panduan dalam pengamatan di lapangan.
8 Hand Caunter Alat bantu penghitung jumlah individu burung rangkong yang ditemukan.
284
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode line transect yang dikombinasikan
dengan metode titik hitung (Biby, 1998). Analisis data dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah
dan kepadatan populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis). Data yang diperoleh dianalisis
dengan menghitung kepadatan populasi. Untuk menghitung rata-rata burung rangkong papan
(Buceros bicornis) yang terdapat di hutan Lambirah digunakan rumus nilai tengah populasi yaitu bila
gugus data X1, X2, X3,….Xn, menyusun sebuah populasi tertinggi berukuran N, maka nilai tengah
populasinya adalah:
Jumlah rata − rata
K= ∫ ( )
Luas habitat int i m 2
Untuk menghitung rata-rata burung rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di hutan
Lambirah digunakan rumus nilai tengah populasi yaitu :
ΣX
M=
N
Dimana :M = Nilai tengah / Populasi rata-rata
∑ X = Jumlah seluruh perhitungan
Jalur Pengamatan atau Titik Hitung/IPA Penelitian Populasi Burung Rangkong Papan (Buceros
bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Jalur Pengamatan atau Titik Hitung/IPA Penelitian Populasi Burung Rangkong Papan
(Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten
Aceh Besar
285
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 2. Sebaran Jumlah Individu Burung Papan (Buceros bicornis) pada Masing-masing Titik
Pengamatan
Berdasarkan Gambar 2 tersebut diketahui bahwa jumlah individu burung papan (Buceros
bicornis) paling rendah terdapat pada titik hitung 2 dan 3, yaitu 1 individu. Rendahnya jumlah
individu pada titik hitung 2 dan 3 dikarenakan pada kawasan tersebut tersebut terdapat aktivitas
masyarakat yang cukup tinggi, yaitu aktivitas pembukaan lahan perkebunan sehingga tumbuhan yang
berukuran bersar yang disukai burung rangkong sebagai tempat aktivitas kebanyakan sudah ditebang
dan hanya menyisakan vegetasi semak. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Rusmendro
(2009:9), dimana Kondisi habitat yang telah terganggu oleh tangan manusia (pembukaan lahan,
perburuan, dan pengrusakan hutan) juga sangat mempengaruhi kelangsungan populasi burung
rangkong. Kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya
terhadap habitat tertentu.
Titik hitung 2 dan 4 berada pada urutan kedua terendah jumlah individu burung rangkong
papan yaitu hanya 4 ekor. Daerah ini terdapat banyak pohon berkuran sedang hingga besar, namun
kebanyakan bukan tumbuhan biji, sehingga diduga berpengaruh terhadap kurangnya populasi burung
rankong di daerah ini.
Jumlah jumlah individu burung papan (Buceros bicornis) pada titik hitung 6 yaitu 13 individu.
Jumlah populasi tertinggi terdapat pada titik hitung 6 yaitu 21 individu. Tingginya angka populasi
pada titik hitung 6 tersebut dikarenakan pada kawasan tersebut terdapat sumber makanan dan air
berupa sungai kecil serta banyaknya tumbuhan biji yang disukai burung rangkong papan seperti
tumbuhan Lontar (Iboeh), Ficus dan sejumlah jenis tumbuhan berbiji lainnya yang dijadikan sebagai
pakan burung rangkong papan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Permatasari (2009:4) Secara
umum burung rangkong dapat dikatakan sebagai hewan pemakan buah (frugivorous), namun dapat
juga menjadi hewan pemakan segalanya (ontnivorous). Makanan kesukaan burung rangkong adalah
buah Ara (Ficus sp), buah lontar (palem) serta buah-buah tumbuhan hutan lainnya dimana banyak
dijumpai pada kawasan hutan tropik.
Populasi burung rangkong papan pada titik hitung 5 dan titik hitung 6 memiliki keadaan
vegetasi hutan yang cukup alami dengan yang didominasi oleh jenis tumbuhan biji. Hasil pengamatan
286
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ditemukan burung rangkong papan sedang bertengger dan terbang melintasi daerah hutan Lambirah.
Gerak berpindah tempat burung rangkong papan baik perpindahan untuk suatu eksplorasi
(penjelajahan) daerah lingkungan maupun perpindahan dalam mencari dan memilih makanan.
Fisiognomi habitat, tumbuhan pakan dan spesies rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di
Hutan Lambirah dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3. (a) Fisiognomi Vegetasi Hutan di Kawasan Titik Pengamatan 2 dan 3; (b) Tumbuhan
Pakan Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis), yaitu Pohon Lontar (Iboeh) yang
terdapat di Kawasan Hutan Lambirah; (c) Aktivitas Makan Burung Rangkong Papan
(Buceros bicornis) ;dan (d) Salah satu Individu Rangkong Papan (Buceros bicornis)
yang terdapat di Hutan Lambirah
Sumber : Hasil Penelitian
Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa kondisi habitat rangkong papan (Buceros
bicornis) pata titik pengamatan 2 dan 3 sudah mengalami gangguan dimana kawasan hutan sudah
mulai ditebang dan dialih fungsikan menjadi lahan kebun masyarakat. Hal tersebut sangat
mengkhawatirkan apabila terus menerus terjadi dan tidak ditangani maka akan berefek negative
terhadap populasi dan jumlah individu rangkong papan (Buceros bicornis) yang terdapat di Hutan
Lambirah sebagaimana terlihat pada Gambat 3 akan mengalami gangguan.
287
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan kepadatan populasi burung rangkong papan
(Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar
tergolong rendah, dengan nilai kepadatan populasi yiatu; 1 ekor/Ha. Jumlah populasi tertinggi
terdapat pada titik hitung 6 yaitu 21 individu sedangkan yang terendah adalah pada titik hitung 2 dan
3 dengan jumlah individu 1.
SARAN
Melihat kepadatan populasi burung rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan
Lambirah Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar tergolong rendah, maka penulis
menyarankan:
1. Pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan Pihak terkait perlu melakukan penyuluhan kepada
masyarakat agar tidak melakukan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, sehingga
populasi rangkong papan (Buceros bicornis) di Kawasan Hutan Lambirah Kecamatan
Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar tetap terjaga.
2. Perlu dilakukan penelitian berkelanjutan untuk mengetahui kondisi populasi dan aktivitas
rangkong dari spesies selain Buceros bicornis yang terdapat di Kawasan Hutan Lambirah
Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2005. Bird Watching Tunjang Ekowisata dan Pelestarian Alam. www.suarakarya-
online.com/news.html.
Anonyms. 2012. Keanekaragaman Burung Rangkong Enggang Indonesia.
http://alamendah.wordpress.com/2010/04/18/keanekaragaman-burung-rangkong-enggang-
indonesia. Diakses pada tanggal 04 Juli 2012 pukul 01.20 WIB
Anonym. 2012. Rekapitulasi Data Geografis Desa Lambirah Tahun 2009-2012
Biby, Colin. 1998. Bird Surveys. Bogor: Bird Life International. hal. 28
Fandeli, C. 1995. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Prinsip Dasar dan Pemapanannya Dalam
Pembangunan. Yogyakarta: Liberty.
Iskandar, J. 1989. Jenis Burung Yang Umum di Indonesia. Jakarta : Jambatan. hal 223
Mackinon, J. 1988. Field Guide to the Birds Java and Bali. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
____________ 1990. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Jakarta: Gadjah Mada
University Press.
Permatasari H P. 2009. Jurnal Fauna Identitas Burung Rangkong. Balai Kliring Keanekaragaman
Hayati Nasional. 2009, hal. 4
Rusmendro H. 2009. Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi dan Sore Hari di Empat
Tipe Habitat di Wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Jakarta: Fakultas Biologi Universitas
Nasional. Hal 9.
Walpole. 1990. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramadia. hal. 39
www.suarakarya-online.com/news.html : Rabu, 14 Desember 2005.
288
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Keanekaragaman
289
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
290
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian bertujuan mendapatkan data jenis-jenis lichenes pada tegakan pohon mahoni yang dianggap
tidak tercemar di kebun mahoni Deli Serdang, Sumatera Utara. Informasi ini dapat dijadikan sebagai
pembanding tentang kualitas udara yang tidak tercemar polutan. Metode yang digunakan “Survei Eksploratif”
terhadap jenis lichenes. Pengambilan sampel secara “Purpossive Sampling”pada jenis lichenes yang terdapat
pada tegakan pohon mahoni. Hasil penelitian didapatkan 10 jenis lichenes yang terdiri dari 7 famili dan 9 genus
dengan tipe talus Crustose , Foliose dan Squamulose. Jenis lichenes yang tidak teridentifikasi sebanyak 4 jenis
dari marga Graphis, Verrucaria, Lepraria, dan Lecanora. Nilai indeks keanekargaman yaitu H' = 1,5310
tergolong sedang. Pola distribusi berkelompok dengan nilai varians tertinggi jenis Lepraria incana dan terkecil
jenis Parmelia caperata. Pengukuran faktor fisika-kimia diperoleh berupa pH tanah 5,3 – 6,9; Suhu tanah
180C – 200C; kelembaban udara sekitar 83% – 91%. dan intensitas cahaya 112 – 452 Luxmeter.
PENDAHULUAN
Lichens merupakan salah satu kelompok tumbuhan tallus, bagian dari keanekaragaman hayati
yang belum banyak mendapat perhatian. Lichenes merupakan gabungan antara fungi dan alga
sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Lichens hidup secara epifit pada
pohon-pohonan, di atas tanah, di atas batu cadas, di tepi pantai atau gunung-gunung yang tinggi.
Pertumbuhan lichenes sangat lambat dan kondisi yang cenderung mempercepat laju
pertumbuhannya. Dalam hidupnya lichenes tidak memerlukan syarat hidup yang tinggi dan tahan
terhadap kekurangan air dalam jangka waktu yang lama. Lichenes yang hidup pada batuan dapat
menjadi kering karena teriknya matahari, tetapi tumbuhan ini tidak mati, dan jika turun hujan maka
dapat hidup kembali. Tumbuhan ini memiliki warna yang bervariasi seperti putih, hijau keabuan,
kuning, oranye, coklat, merah dan hitam (Tjitrosoepomo, 1989; Hawksworth, 1984; Yurnaliza, 2002,
Sudirman, 2009).
Golongan tumbuhan Lichens dilapangan setiap saat jumlah jenisnya selalu berubah, disebabkan
perubahan lingkungan tempat tumbuhnya. Lichens dapat menyebar melalui berbagai habitat yang
didukung dengan keadaan lingkungannya (Anonim 2002). Udara, air, tanah serta jasad hidup
merupakan tempat penyebaran Lichens yang paling banyak. Udara memegang peranan penting dalam
penyebaran Lichens.
Suwarso (1995) mengatakan berdasarkan data Herbarium Bogoriensis Bogor, Lichens di
Indonesia berjumlah 40.000 spesies, namun belum banyak peneliti di Indonesia yang menekuni
penelitian ini, sehingga peluang untuk meneliti Lichens di Indonesia masih terbuka luas.
Keanekaragaman jenis, persebaran dan manfaat Lichens juga belum banyak diulas (Suwarso, 1995).
Kawasan yang belum tercemar, Lichens masih banyak ditemukan. Lichens dapat dijadikan sebagai
bioindkator pencemaran.
Berdasarkan hal di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang jenis-jenis
lichenes di tegakan pohon mahoni (Swietenia macrophylla) yang dianggap tidak tercemar di kebun
mahoni Deli Serdang, Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman
(Diversitas) dan pola distribusi Lichenes. Informasi ini dapat dijadikan sebagai pembanding tentang
kualitas udara yang tidak tercemar polutan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di kebun Mahoni, Pancur Batu, Deli Serdang Sumatera Utara. Sampel
adalah jenis lichenes yang terdapat pada tegakan pohon mahoni (Swietenia macrophylla) sebanyak 20
pohon. Metode yang digunakan “Survei Eksploratif” terhadap jenis lichenes secara “Purpossive
291
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sampling”. Setiap jenis lichenes dikoleksi untuk keperluan identifikasi dan dokumentasi. Parameter
yang diamati tipe morfologi tallus dan sifat fisik dan media tumbuh diukur. Untuk pelaksanaan
identifikasi menggunakan rujukan “Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and
Singapore”(Sipman, 2003). Ditambah dengan buku rujukan “Grasses, Ferns, Mosses &
Lichenes”(Phillips, 1990), laporan-laporan, catatan-catatan yang berhubungan dengan lichenes.
Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman (Diversitas) dan pola distribusi Lichenes
yang dilengkapai dengan data tentang faktor fisika kimia substrat tumbuh lichenes.
292
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tubuh lichens dinamakan thallus yang secara vegetatif mempunyai kemiripan dengan algae dan
jamur. Hasil identifikasi jenis lichenes yang tidak teridentifikasi sebanyak 4 jenis memiliki tipe talus
yang sama yaitu crustose. Sedang tipe talus lain dikelompokkan ke dalam 3 kelompok tipe talus,
yaitu: 1) Tipe foliose, struktur talus menyerupai daun, banyak dijumpai berwarna hijau hingga hijau
keabu-abuan sebanyak 2 jenis; 2) Tipe crustose, struktur talus seperti lapisan kerak yang melekat erat
pada substrat dengan warna talus bervariasi sebanyak 7 jenis. Dan 3) Tipe squamulose (struktur talus
menyerupai sisik) hanya satu jenis. Tipe talus crustose lebih banyak dibandingkan dengan lichenes
yang memiliki tipe talus fructicose maupun foliose. Warna talus Lichens yang ditemukan cukup
beragam. Warna talus yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, coklat kehitaman dan warna
putih agak pucat.
Spesies I memiliki warna talus Putih halus, hijau keputihan, hijau muda, hijau pucat..
Perbedaan warna pada lokasi pengamatan yang berbeda tidak ditemukan, hal tersebut diduga karena
tipe morfologi talusnya yang melekat pada substrat.
Spesies II mempunyai talus berwarna Oranye tebal, dasar putih melingkar pada bagian pinggir
talus, sehingga terlihat seperti batas talus. Pada lokasi pengamatan beberapa koloni ditemukan bulatan
kecil berwarna kuning kemerahan di tengah talus (apotesia). Warna talus yang kurang jelas sehingga
akan sulit untuk menentukan batas koloni talus.
Spesies III memiliki kisaran warna talus Putih halus kehijauan hingga hijau kusam. Spesies IV
memiliki warna lebih tua Kuning tebal dasar putih, Spesies V memiliki warna talus hijau tua, tebal,
tidak ditemukan batas yang melingkari koloni talus, sehingga akan sulit untuk menentukan batas
koloni talus.
Spesies VI , VII, VIII dan spesies IX memiliki tipe morfologi talus yang berbeda namun
memiliki warna talus yang hampir sama kehijaunan. Spesies X memiliki warna Dasar putih, bergaris-
garis hitam semua bagian talusnya.
Pada tegakan mahoni, secara umum koloni spesies ini berkembang dalam bentuk yang tidak
teratur lebih tebal dapat terlihat jelas apotesianya. Bentuk talus lichens yang ditemukan di lokasi
penelitian terlihat pada Tabel 2
Bentuk talus secara umum ditemukan beragam berdasarkan bentuk, warna, permukaan.
Bentuk talus yang banyak ditemukan yaitu cendrung membulat, sedang bentuk lain hanya sebagian
kecil memiliki bentuk lonjong (memanjang), lingkaran serta bentuk yang tidak teratur. Menurut
Januardania (1995), ciri-ciri makroskopik yang paling mudah diamati dan dibedakan adalah bentuk
dan warna talus. Hal tersebut memungkinkan talus Lichens dapat dianalisis secara deskriptif.
293
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Secara umum bentuk talus lichens yang temukan cendrung membulat, memiliki lobus relatif
pendek membulat dengan ukuran yang bervariasi. Sedang spesies 1 dan 8 genus Grafis memiliki tipe
talus crustose berwarna hijau keputihan, hijau muda dan hijau pucat, memiliki askokarp panjang
lateral, dan memiliki garanula. Umumnya askokarp memiliki dijumpai dalam bentuk tunggal dan
linier. Askokarp bentuk garis melintang pada bagian septa, paraphyses tidak bercabang. Menurut
Hasairin (2012) jenis Grafis ini dijumpai pada kulit pohon yang masih hidup.
Tiap jenis lichenes yang ditemukan memiliki karakteristik yang begitu beragam antara satu
spesies dengan spesies lainnya. Hal ini dapat diperhatikan dari mulai tipe talus, bentuk, warna,
permukaan dan ciri lainnya. Menurut Hasairin (2010) beberapa thalus spesies lichenes ada yang
berwarna kuning, oranye, coklat atau merah dengan habitat yang bervariasi.
A B C
Gambar 1. Morfologi dan Anatomi Lichens Ditemukan Berdasarkan Tipe Talus: A. Parmelia
grabratula (Tipe Foliose); B. Grafis scripta (Tipe Crustose); C. Lepraria incana (Tipe
Squamulose)
294
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4. Tabel Pola Distribusi Lichenes di kawasan kebun mahoni Pancur Batu
Kawasan Kebun Mahoni Pancur Batu
No Nama Spesies
Varians (S2/ x) Pola Distribusi
Sp.1 Graphis sp. 17,0 Mengelompok
Sp.2 Verrucaria sp. 46,0 Mengelompok
Sp.3 Lepraria sp. 402,0 Mengelompok
Sp.4 Lecanora sp. 31,0 Mengelompok
Sp.5 Parmelia caperata 5,0 Mengelompok
Sp.6 Parmelia glabratula 50,0 Mengelompok
Sp.7 Lepraria incana 555,0 Mengelompok
Sp.9 Opegrapha atra 90,0 Mengelompok
Sp.9 Pertusaria amara 24,0 Mengelompok
Sp.10 Grafis scripta 48,0 Mengelompok
Berdasarkan nilai pada Tabel 4 di atas diketahui bahwa spesies lichenes yang ditemukan di
kawasan kebun mahoni Pancur Batu memiliki pola distribusi mengelompok dengan nilai varians
tertinggi pada jenis Lepraria incana, kemudian diikuiti dengan genus Lepraria sp. Sedangkan varians
terkecil terdapat pada jenis Parmelia caperata dan pola distribusi berkelompok.
295
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
5. Pola distribusi berkelompok dengan nilai varians tertinggi pada jenis Lepraria incana,
kemudian diikuiti dengan genus Lepraria sp.. Sedangkan varians terkecil terdapat pada jenis
Parmelia caperata dan pola distribusi berkelompok.
6. Lichenes yang hidup di di Kebun Mahoni, Pancur Batu, Deli Serdang Sumatera Utara
memiliki sarat tumbuh fisika kimianya yaitu : ketinggian 600 mdpl; pH tanah 6,1 – 6,8; Suhu
udara 210C – 290C; kelembaban udara sekitar 78% - 89%, dan intensitas cahaya 112 s/d 452
Luxmeter.
Saran-Saran
1. Perlu diadakan penelitian lanjutan yang dapat dijadikan sebagai pembanding tentang Lichens
pada tegakan mahoni sebagai bioindikator pencemaran udara.
2. Perlu dilakukan identifikasi lanjutan yang lebih spesifik untuk setiap jenis lichenes yang
belum teridentifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Lichens and Wild life. http://www.lichens.com. (Diakses Juni 2012).
Brown, D. H. 1985. Lichen Physiology and Cell Biology. New York. Plenium Press.
Buncle. 1970. Introduction to British Lichens. Duncan. United Kingdom.
Fink, B. 1981. The Lichen Flora of The United States. Michigan The University of Michigan Press.
Hasairin, A. 2010. Taksonomi Tumbuhan Rendah (Thalophyta & Kormophyta Berspora). Bahan
Ajar. FMIPA Unimed.
Hasairin, A. 2012. Tipe Morfologi Talus Lichenes di Hutan Lindung Aek Nauli-Parapat. Proseding
Semnas & Semirata.
Hawksworth, D. L. 1984. The Lichen-Forming Fungi. Chapman and Hall Publishers. New York.
Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada Tegakan Pinus dan Karet di
Kampus IPB Darmaga Bogor. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Misra, A., R. P. Agrawal. 1978. Lichens (A Preliminary Text). New York-Bombay-Calcuta. Oxford
and IBH Publishing Co.
Moore, E. 1972. Fundamental of The Fungi, 4th Edition. Landecker Prentince Hall International Inc.
Pandey, S. N. & Trivendi, P. S. 1977. A Text Book of Botany (Algae, Fungi, Bacteria, Hycoplasma,
Viruses, Lichens and Elementary Plant Pathology), Volume I. Oxford and IBH Publishing Co.
Sipman, H. J. M. 2003. Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore.
http://www.bgbm.org/sipman/keys/Javagenera.htm. (Diakses Juni 2012).
Sudirman, Lisdar, I. 2009. The lichens. BIOTROP Fifth Regional Training Course on Biodiversity
and Conservation of Bryophytes and Lichens. Bogor Indonesia, July 14-24, 2009.
Suwarso, Wahyudi. 1995. Koleksi Lichens di Herbarium Bogoriense: Prosiding Seminar Sehari. LIPI
Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor.
Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
296
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Lichenes merupakan hasil simbiosis antara alga dan jamur yang Memiliki keunikan. Peneltian ini
bertujuan untuk mendapatkan data keanekaragaman lichenes di hutan lindung Aek Nauli Parapat berdasarkan
ketinggian tempat dan substrat tumbuhnya. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 hingga Juni 2011.
Populasi penelitian adalah seluruh lichenes yang terdapat di lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan
metode kuadrat dimulai dari ketinggian 1200-1600 mdpl dan jarak tiap plot 100 m dengan cara survey
eksploratif dan inventarisasi, serta bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan keanekaragaman yang
tinggi dan diperoleh 30 jenis lichenes yang terdiri dari 16 genus. Ki dan KR tertinggi didapati pada Parmelia
sp3 dan terendah pada Buellia canescens. Frekuensi absolut dan Frekuensi Relatif tertinggi didapati Parmelia
caperata, Parmelia saxatilis, Parmelia sp1, Parmelia sp2, Parmelia sp3 dan terendah pada Cladonia
bellidifora, Cladonia enantia, Cladonia floerkeana, Cladonia gracilis, Cladonia portentosa, Lecanora atra,
Peltigere sp, Pyrrhospora quernea, Thelotrema sp, Usnea fillipendula. Dominansi absolut tertinggi pada
Parmelia sp3 dan terendah pada Buellia canescens. Nilai Penting tertinggi didapati pada Parmelia sp3 dan
terendah pada Peltigere sp. Substrat dari lichenes yang dijumpai yaitu kayu, tanah/ serasah dan batu.
Pengukuran faktor fisika-kimia diperoleh kelembaban tanah 75 s/d 80%; pH tanah 6,1 s/d 6,8; kelembaban udara
78 s/d 89%; suhu udara 21 s/d 290C; dan intensitas cahaya 112 s/d 452 Lux.
PENDAHULUAN
Lichenes (lumut kerak) merupakan gabungan antara fungi dan alga sehingga secara morfologi
dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Lumut ini hidup secara epifit pada pohon-pohonan, di atas
tanah terutama di daerah sekitar kutub utara, di atas batu cadas, di tepi pantai atau gunung-gunung
yang tinggi. Tumbuhan ini tergolong tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam pembentukan tanah.
Tumbuhan ini bersifat endolitik karena dapat masuk pada bagian pinggir batu. Untuk menumbuhkan
lichenes pada saat sekarang ini tidak mungkin dilakukan di laboratorium dalam kuantitas yang cukup
untuk percobaan tersebut. Pertumbuhan lichenes sangat lambat dan kondisi yang cenderung
mempercepat laju pertumbuhannya juga harus sesuai dengan pertumbuhan dari alga dan fungi yang
nantinya akan terjadi simbiosis mutualisme. Dalam hidupnya lichenes tidak memerlukan syarat hidup
yang tinggi dan tahan terhadap kekurangan air dalam jangka waktu yang lama. Lichenes yang hidup
pada batuan dapat menjadi kering karena teriknya matahari, tetapi tumbuhan ini tidak mati, dan jika
turun hujan maka dapat hidup kembali. Tumbuhan ini memiliki warna yang bervariasi seperti putih,
hijau keabu-abuan, kuning, oranye, coklat, merah dan hitam. (Tjitrosoepomo, 1989; Hawksworth,
1984).
Alga dan jamur bersimbiosis membentuk Lichenes baru jika bertemu jenis yang tepat. Acharius
(1679-1737) menyatakan pendapatnya mengenai pengelompokan atau klasifikasi lichenes dalam
dunia tumbuhan. Micheli (1757-1819) seorang ilmuan berkebangsaan Italia berpendapat bahwa
lichenes dimasukkan ke dalam kelompok yang tidak terpisah dari jamur, tapi kebanyakan ahli
berpedapat bahwa lichenes perlu dipisahkan dari fungi atau menjadi golongan tersendiri. Alasan dari
pendapat yang kedua ini adalah karena jamur yang membangun tubuh lichenes tidak akan membentuk
tubuh Lichenes tanpa alga. Hal lain didukung oleh karena adanya zat-zat hasil metabolisme yang tidak
ditemui pada alga dan jamur yang hidup terpisah (Brown, 1985.)
Hutan yang terdapat di Sumatera Utara merupakan ekosistem hutan hujan tropis yang
merupakan habitat makhluk hidup. Hutan – hutan ini antara lain adalah Taman Nasional Gunung
Leuser, Cagar Alam Sibolangit, Hutan di Gunung Sinabung, Hutan Lindung Aek Nauli dan lain
sebagainya. Hutan – hutan ini belum banyak dilakukan penelitian tentang flora dan faunanya,
297
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
walaupun ada hanya dibeberapa hutan lindung dan cagar alam yang khusus meneliti fauna dan flora,
namun penelitian tentang keanekaragaman dan persebaran lichenes jarang dilakukan, seperti pada
Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat Kab.Simalungun. Salah satu kawasan hutan yang potensial untuk
habitat dari lichenes adalah hutan di daerah Aek Nauli. Hutan ini adalah hutan dataran tinggi di daerah
Sumatera Utara yang memiliki ketinggian ±1200 mdpl. Kawasan hutan ini memiliki bulan basah
(Curah Hujan 7200 mm/bulan) selama sembilan bulan berturut-turut, kisaran suhu antara 16,80C-
230C, serta kelembaban yang tinggi ± 80%.(Tjitrosoepomo, 1989); (Duades, 2004).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuadrat dengan luas areal plot mengacu pada luas
minimum area. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan cara survey eksploratif dan inventarisasi,
artinya dilakukan penelusuran langsung ke lokasi penelitian, kemudian melakukan inventarisasi
dengan cara mengambil seluruh spesies yang ditemukan pada luas kurva minimum area yang sudah
ditentukan dengan perbedaan jarak ketinggian dari tiap kuadaran yaitu 100 m dan mencatat semua
data-data penting yang berkaitan dengan tumbuhan lichenes tersebut. Data-data ini kemudian disusun
dalam tabel dan untuk merinci kondisi kehidupan dari lichenes di daerah Ekowisata Hutan Lindung
Aek Nauli.
1600 m dpl
1500 m dpl 1500 m dpl
1400 m dpl
1400 m dpl
1300 m dpl
1300 m dpl
1200 m dpl
1200 m dpl
1 3 5
2 4
Gambar1. Skema Jalur Pengambilan Sampel Berdasarkan Ketinggian
298
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pengumpulan Data
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis lichenes dilakukan koleksi dan pembuatan awetan
untuk keperluan identifikasi dan sekaligus data dokumentasi di laboratorium. Untuk pelaksanaan
identifikasi setiap jenis yang ditemukan, dilakukan dengan cara menyesuaikannya dengan gambar-
gambar lichenes yang sudah diidentifikasikan dan dibantu “Key to the lichen genera of Bogor,
Cibodas and Singapore”(Sipman, 2003). Ditambah dengan buku rujukan “Grasses, Ferns, Mosses &
Lichenes”(Phillips, 1990), laporan-laporan, catatan-catatan yang berhubungan dengan lichenes.
Analisis Data
• Penentuan jenis
Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan buku rujukan yang ada.
• Analisis Vegetasi
a. Kerapatan atau density suatu jenis K(i)
(Pardede, 2003)
h. Indeks Keanekaragaman
Indeks Keragaman (Diversitas) dihitung dengan menggunakan rumus dari Shannon – Wiener
(dalam Juwana (2001)) sebagai berikut:
H’ = - ∑ pi In pi
299
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dimana:
ni
pi =
N
ni = Jumlah individu suatu jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
In = Log natural (log = 2,4 In)
Analisis Vegetasi
Kerapatan (Ki) dan Kerapatan Relatif (KR) Suatu Jenis.
Untuk memperoleh kerapatan suatu jenis (Ki) dapat dilakukan dengan menghitung jumlah
individu suatu jenis dibagi dengan luas penarikan plot (Pardede dan Simatupang, 2004), dalam hal ini
30 lichenes dalam 576 m2 yang mewakiliseluruh komunitas lichenes di Hutan Lindung Aek Nauli –
Parapat. Sedangkan untuk kerapatn relatif suatu jenis adalah kerapatan suatu jenis dibagi dengan total
kerapatan seluruh jenis dikali 100%. Kerapatan berhubungan dengan banyaknya populasi.
Dari penelitian diperoleh kerapatan tertinggi pada jenis Parmelia sp3 yaitu 0.2517 dan
kerapatan relatif 6.54%. Hal ini menandakan bahwa jenis ini memiliki jumlah yang paling banyak
pada plot yang ditempati. Populasi yang relatif tinggi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor biotik dan
abiotik yang reltif mendukung pertumbuhan jenis lichenes ini
Sedangkan untuk jenis yang memiliki kerapatan paling rendah, yaitu jenis Buellia canescens
dengan kerapatan 0.0382 dan kerapatan relatifnya 0.99%. Hal ini tentu saja dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya keadaan ekologis yang relatif kurang mendukung.
300
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sedangkan untuk frekuensi dan frekuensi relatif terendah ada 10 jenis Cladonia bellidifora,
Cladonia enantia, Cladonia floerkeana, Cladonia gracilis, Cladonia portentosa, Lecanora atra,
Peltigere sp, Pyrrhospora quernea, Thelotrema sp, dan Usnea fillipendula dengan frekuenai 0.3333
dan frekuensi relatif 2.0134% data ini menunjukan bahwa jenis ini jarang dijumpai pada semua plot.
Hal ini menandakan bahwa persebaran jenis ini lebih sempit dibandingkan dengan jenis yang lain.
Proporsi Kelimpahan Lichenes Pada Seluruh Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat.
Keanekaragaman yang diperoleh melalui data hasil penelitina di lokasi Hutan Lindung Aek
Nauli – Parapat dapat diambil dari keanekaragaman pada seluruh penarikan plot (sebanyak 9 plot)
karena dianggap telah mewakili seluruh komunitas Hutan Lindung Aek Nauli – Parapat yang
mempunyai luas daerah penelitian 300 Ha. Nilai keanekaragaman tersebut H’ = 3.283 yang menurut
Shannon Wiener berada dalam keadaan baik (tinggi) karena nilainya lebih besar dari 2. keadaan ini
dapat diterima mengingat lokasi penelitian tersebut adalah relatif subur dan memiliki faktor-faktor
fisika kimia yang sangat mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan lichenes.
Dengan tingginya keanekaragaman yang terlihat menggambarkan adanya kestabilan komunitas
di dalamnya. Hal ini dapat dimengerti karena Hutan Lindung Aek Nauli Parapat adalah hutan primer
yang heterogenitasnya yang relatif tinggi, dimana pada daerah tersebut dijumpai berbagai macam
vegetasi mulai dari yang berhabitus pohon, perdu, semak, sukulen, liana, terna, herba, dan lumut yang
301
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
kesemuanya menjalin hubungan interaksi yang pada umumnya relatif saling mendukung dan
menguntungkan.
Data Ekologi Lichenes Pada Seluruh Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Parapat.
Pengamatan ekologi yang dilakukan dengan mengukur faktor fisika kimia yaitu; ketinggian,
kelembaban tanah, pH tanah, kelembaban udara, suhu udara, dan intensitas cahaya. Pengukuran ini
dilakukan sebanyak tiga kali tiap plot sebagai perulangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Lichens And Wild life. http://www.lichen.com. (Pebruari 2007)
_________________. Lichens And People. For a Bibliographical Database of the Human Uses of
Lichens. http://www.lichen.com. (Pebruari 2007)
Bold, H.C., C.J. Alexopoulus, T. Delevoryas, 1987. Morphology of Plants and Fungi. Fifth edition.
Harper and Row Publishers. New York.
Brown, D.H. 1985. Lichen Physiology and Cell Biology. Plenium Press, New York.
Buncle. 1970. Introduction to British Lichens. United Kingdom. Duncan.
Duta, A.C. 1968. Botany for Degree Studens. Oxford University Press. Bombay Calcuta-Madras.
Hawksworth, D.L. 1984. The Lichen-Forming Fungi. Chapman and Hall Publishers. New York.
Mc. Noughtonn & Wolf. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta: UGM Press.
Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapang dan Laboratorium. Jakarta: UI Press.
Misra, A. ,R.P. Agrawal. 1978. Lichens (A Preliminary Text). Oxford and IBH Publishing Co. New
York-Bombay-Calcuta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: UGM Press.
Pardede,Ch. Zulkifli Simatupang. 2003. Diktat Perkuliahan Ekologi Tumbuhan. Universitas Negeri
Medan. Medan.
Phillips, Roger. 1990. Grasses, Ferns, Mosses & Lichenes. Oxford University Press.
Sharnoff. S. D. 2002. Lichen Biology And The Environment The Special Biology Of Lichens. http:/
www.lichen.com. (Pebruari 2007)
Sipman,H. 2003. Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and
Singapore.http://www.bgbm.org/sipman/keys/Javagenera.htm. (Juni 2007)
Suwarso, Wahyudi. 1995. Koleksi Lichenes di Herbarium Bogoriense: Prosiding Seminar Sehari. LIPI
Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor.
Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
302
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman, kelimpahan, dominansi dan kemerataan
serangga wereng (Hemiptera: Auchenorrhyncha) yang terdapat pada singgang-singgang tanaman padi di
kabupaten Tapanuli Utara -Sumatera Utara telah dilakukan. Survey lapangan untuk koleksi wereng dengan
menggunakan jala serangga dilaksanakan dari bulan Mei hingga Oktober 2013. Sampling dilakukan pada
minggu terakhir setiap bulan, masing-masing 400 ayunan dan dilanjutkan dengan kurasi serta identifikasi
spesies di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan pada tanaman padi yang terdapat di Tapanuli Utara
ditemukan minimal sembilan spesies wereng yang tergolong ke dalam delapan genus dan dua famili. Enam
spesies yang ditemukan yang termasuk ke dalam famili Cicadellidae adalah Nephotettix nigropictus, Nephotettix
virescens, Cofana spectra, Thaia ghaurii, Recilia dorsalis,dan Cicadellid sp., sedangkan tiga spesies lain yang
termasuk ke famili Delphacidae adalah Nisia nervosa, Sogatella furcifera dan Nilaparvata lugens. Indeks
keanekaragaman total wereng selama enam bulan penelitian adalah 1,27 sedangkan per bulannya berkisar 1,03-
1.32. Kelimpahan total serangga selama penelitian 849 individu sedangkan per bulannya berkisar 41-281
individu. Tiga spesies wereng yang paling dominan adalah Thaia ghaurii, Nephotettix nigropictus dan Cofana
spectra dengan kelimpahan masing-masing 336, 237 dan 228 individu. Keanekaragaman dan kelimpahan
tertinggi wereng ditemukan pada bulan Juni. Indeks kemerataan (evenness) total komunitas wereng 0,58
sedangkan per bulannya berkisar 0,62-0,87.
Kata kunci: Wereng (Auchenorrhyncha: Hemiptera), Singgang-singgang tanaman padi, Tapanuli Utara,
keanekaragaman, kelimpahan, kemerataan (evenness)
PENDAHULUAN
Wereng (Auchenorrhyncha: Hemiptera) merupakan salah satu dari aneka ragam serangga hama
tanaman yang penting dan telah dikenal luas di masyarakat, khususnya para petani. Dalam hal ini
wereng daun (leafhopper) dan wereng batang (planthopper) mengisap cairan tanaman padi ataupun
memindahkan virus padanya. Nault & Ammar (1989) dan juga Matthews (1991) telah melaporkan
bahwa dari 15.000 wereng yang telah dikenal, 49 jenis diantaranya termasuk sebagai pemindah virus
(Vektor). Wereng-wereng tersebut termasuk ke dalam genus Graminella, Nephotettix, Recelia,
Cicadulina, Circulifer, Nesoclutha, Orosius, Psammotettix, Micrutalis, Dalbulus, Aconurella,
Macrosteles, Aceratagallia, Agallia, Agalliopsis, Endria, Elymana, Laodelphax, Tarophagus, Toya,
Sogatella, Peregrinus, Ribautodelphax, Muellerianella, Unkanodes. Selanjutnya menurut Wilson &
Claridge (1991), paling tidak terdapat 12 macam virus yang dipindahkan oleh wereng kepada tanaman
padi. Melalui aktivitas semacam itu tanaman padi dapat menjadi layu, mati (puso) sehingga
mengakibatkan penurunan produksi atau gagal panen. Spesies wereng coklat Nilaparvata lugens
misalnya sejak awal tahun 1970 diketahui telah menjadi hama penting tanaman padi dan kemudian
disusul oleh wereng hijau Nephotettix spp. (Wilson & Claridge, 1991). Baehaki (1993) dan Siwi
(1993) telah melaporkan jenis-jenis wereng yang menjadi hama padi di Indonesia. Sementara itu,
Widiarta et al. (2004, 2006) telah melaporkan kehadiran wereng punggung putih (Sogatella furcifera)
berikut dengan dinamika populasinya pada tanaman padi yang terdapat di Jawa Tengah. Demikian
juga halnya, kehadiran wereng hijau (Nephotettix viresecens) pada tanaman padi yang terdapat di
Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogjakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Bara dan Sulawesi
Selatan. Manurung (2010) telah merangkum serangan wereng dan virus terhadap tanaman padi yang
terdapat di Sumatera Utara.
Dilatarbelakangi oleh peranan yang semakin penting dari wereng daun dan wereng batang
sebagai hama tanaman padi, sejumlah penelitian yang berhubungan dengan aspek biologi dan ekologi
dari wereng-wereng tersebut telah dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Soehardjan (1973)
misalnya, telah mempelajari perikehidupan wereng daun dan wereng batang yang terdapat pada
303
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
tanaman padi yang terdapat di Jawa Barat. Siwi (1986) telah mengkaji variasi karakter morfologi
wereng hijau Nephotettix virescens dari berbagai pulau yang ada di Indonesia. Lebih lanjut Siwi &
Roechan (1983) telah meneliti komposisi spesies wereng hijau Nephotettix spp. dan sebaran serta
penyebaran penyakit virus tungro di Indonesia. Holdom et al. (1989) juga telah melaporkan hasil studi
lapangannya perihal wereng batang tanaman padi dan musuh alaminya di Indonesia.
Disamping sebagai hama tanaman padi yang amat penting, serangga wereng juga merupakan
komponen penting dari jaring-jaring makanan yang terdapat pada ekosistim persawahan. Wereng
merupakan mangsa penting dari predator, khususnya untuk labah-labah, semut dan burung. Mereka
juga menjadi hewan inang penting parasitoid dari family Dryinidae, Mymaridae, Pipunculidae dan
Strepsiptera (Gnaneswaran et al., 2006).
Mengingat peranan penting yang ditunjukkan oleh serangga wereng pada ekosistim sawah,
informasi yang berkaitan dengan keanekaragaman wereng tersebut pada berbagai ekosisistim sawah
yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara masih sangat terbatas (band. Sogawa et al., 1984), dan
khususnya untuk yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara masih belum ada. Informasi yang telah
tersedia adalah keanekaragaman wereng padi yang terdapat di kabupaten Deliserdang (Manurung &
Sihombing, 2011; Manurung et al., 2012) dan di kabupaten Serdangbedagai (Manurung, 2012) Kajian
ini telah dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi keanekaragaman, kelimpahan,
dominansi dan kemerataan komunitas serangga wereng padi yang terdapat di kabupaten Tapanuli
Utara (Taput).
B. CARA KERJA
Untuk mendapatkan data keanekaragaman, kelimpahan, dominansi dan kemerataan serta
wereng pada ekosistim persawahan, adapun metode yang digunakan mengacu kepada metode yang
dikemukakan oleh Manurung et al. (2004, 2005, 2012). Dalam hal ini sampel serangga ditangkap
dengan cara mengayunkan jala/jaring serangga pada singgang-singgang tanaman padi yang terdapat di
Tapanuli Utara, tepatnya di desa Sipoholon.
Koleksi serangga di lapangan dilakukan pada bagian utara, selatan, timur dan barat dari suatu
persawahan, masing-masing 400 ayunan jala. Jumlah ayunan jala yang sama juga dilakukan pada
bagian singgang-singgang tanaman padi. Pengambilan sampel wereng berlangsung selama enam
bulan yakni dari bulan Mei hingga Oktober 2013 dan dilakukan pada siang hari ketika cuaca cerah.
Wereng hasil jaring di masukkan ke dalam botol pembunuh, dalam hal ini berisi kloroform, kemudian
dimasukkan ke dalam botol-botol sampel yang berisi alkohol 70%. Sampel wereng selanjutnya
dibawa ke laboratorium Ekologi Jurusan Biologi Universitas Negeri Medan untuk di kurasi, sortir dan
diidentifikasi serta dihitung jumlahnya (kelimpahannya). Identifikasi wereng dilakukan hingga tingkat
spesies (untuk fase dewasa atau imago) yakni dengan mengamati ciri struktur ataupun bentuk
aedagusnnya. Pengamatan aedagus dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop stereo
sedangkan penentuan spesiesnya (bentuk dewasa) mengacu kepada Baehaki (1993) dan Wilson &
Claridge (1991). Analisis data mencakup kekayaan spesies, kelimpahan, indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener dan indeks kemerataan atau evenness (Brower et al., 1990; Krebs, 1999).
304
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Adapun kesembilan taksa wereng itu adalah Nephotettix virescens, Nephotettix nigropictus,
Nilaparvata lugens, Cofana spectra, Recilia dorsalis, Thaia ghauri, Nisia nervosa, Cicadellid sp. dan
Sogatella furcifera. Keanekaragaman dan Kekayaan spesies per bulan dari bulan Mei hingga Oktober
tampak bervariasi ataupun berfluktuasi. Kekayaan spesies tertinggi yakni tujuh spesies ditemukan
pada bulan Juni sedangkan terendah (empat spesies) ditemukan pada bulan Mei, Agustus dan
September.
Keanekaragaman wereng padi yang diperoleh pada penelitian ini relatif tidak jauh berbeda
dengan jenis-jenis wereng yang terdapat pada tanaman padi di berbagai Negara di Asia Tenggara
sebagaimana telah dilaporkan oleh Wilson & Claridge (1991). Enam jenis dari wereng yang
ditemukan itu, yakni: Nephotettix virescens, Nephotettix nigropictus, Cofana spectra, Recilia dorsalis,
Thaia ghauri dan Cicadellid sp) termasuk ke dalam kelompok wereng daun (leaf hopper,
Cicadellidae), sedangkan tiga jenis lainnya yakni: Nilaparvata lugens, Nisia nervosa dan Sogatella
furcifera termasuk kedalam kelompok wereng batang (plant hopper, Fulgoroidea).
Jenis-jenis wereng penyusun ekosistim sawah yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara di
atas relatif tidak jauh berbeda dengan yang terdapat pada ekosistim padi di kabupaten Deliserdang,
sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Manurung & Sihombing (2011) dan Manurung et al. (2012).
Perbedaan yang ada adalah ada satu spesies wereng yang hadir di Tapanuli Utara akan tetapi tidak
hadir di kabupaten Deliserdang, yakni Nisia nervosa. Sebaliknya ada satu spesies wereng yang hadir
di kabupaten Deliserang akan tetapi tidak ditemukan di kabupaten Tapanuli Utara, yakni Oliarus sp.
Perbedaan itu tentu terjadi berkaitan erat dengan perbedaan kondisi lingkungan antar kedua ekosistim
padi yang terdapat pada kedua kabupaten tersebut.
Jika diitinjau dari segi nilai ekonominya bagi pertanian, jenis-jenis wereng yang ditemukan
pada singgang-singgang tanaman padi yang terdapat di kabupaten Tapanuli Utara di atas termasuk
jenis–jenis wereng yang sangat penting. Dalam hal ini, wereng hijau Nephotettix virescens dan
Nephotettix nigropictus merupakan vektor penyakit tungro, penyakit kerdil padi dan kerdil padi
kuning. Wereng loreng atau zigzag Recilia dorsalis merupkan vector penyakit waika, tungro ataupun
habang dan penyakit daun jingga atau “orange leaf”. Sementara itu wereng cokelat Nilaparvata
lugens merupakan vektor virus “rice grassy stunt”(penyakit kerdil rumput) dan “ragged stunt”
(penyakit kerdil hampa) serta dapat menyebabkan “hopperburn” pada tanaman padi (Baehaki,1993;
Wilson & Claridge, 1991; Nault & Ammar, 1989 dan Departemen Pertanian, 1982). Jika penyakit-
penyakit tersebut terjadi pada tanaman padi, hal itu akan mengakibatkan gagalnya panen ataupun
paling tidak menyebabkan menurunnya hasil panen.
305
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
C.2. Kelimpahan
Ditinjau dari segi kelimpahan, jumlah total wereng yang berhasil ditangkap selama enam bulan
penelitian pada ekosistim sawah di Kabupaten Tapanuli Utara adalah 849 individu. Kelimpahan per
bulan dari bulan Mei hingga Oktober tampak berfluktuasi ataupun bervariasi. Kelimpahan tertinggi
(281 individu) ditemukan pada bulan Juni sedangkan terendah (41 individu) pada bulan Oktober.
Terjadinya perbedaaan keanekaragaman ataupun kekayaan spesies dan kelimpahan serangga wereng
pada bulan yang berbeda pada penelitian ini mungkin erat kaitannya dengan perbedaan faktor-faktor
pembatas yang bekerja membatasi kehadiran dan keberhasilan hidup masing-masing jenis wereng
selama masa penelitian. Dua diantara faktor pembatas itu dan memiliki peranan yang penting dalam
menentukan keanekaragaman dan kelimpahan serangga adalah ketersediaan makanan (jenis dan
jumlahnya) serta iklim khususnya suhu (Degen et al, 1999 dan Baker et al. 2000).
Jika dibandingkan dengan kelimpahan wereng yang berhasil dikoleksi pada ekosistim
persawahan di kabupaten Deliserdang, kelimpahan wereng yang diperoleh pada penelitian ini
(Tapanuli Utara) jauh lebih rendah. Dalam hal ini Manurung et al. (2012) melaporkan 1424 individu
sedangkan di Tapanuli Utara hanya 849 individu (Tabel 1). Itu berarti kelimpahan wereng di
ekosistim persawahan di kabupaten Deliserdang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat
di kabupaten Tapanuli Utara.
Jika ditinjau berdasarkan takson, kelimpahan wereng tertinggi dimiliki oleh Thaia ghauri (336
individu), kemudian disusul wereng hijau Nephotettix nigropictus dan Cofana spectra masing-masing
237 dan 228 individu. Takson dengan kelimpahan terendah ditunjukkan oleh wereng cokelat
Nilaparvata lugens dan wereng punggung putih Sogatella furcifera masing-masing satu individu.
Kelimpahan wereng hijau Nephotettix nigropictus tampak jauh lebih tinggi (237 individu)
dibandingkan dengan Nephotettix virescen yang hanya dua individu diperoleh selama enam bulan
penelitian. Jika dibandingkan dengan yang terdapat pada ekosistim persawahan di Deliserdang, justru
yang terjadi adalah sebaliknya, yakni wereng hijau Nephotettix virescens lebih banyak dibandingkan
dengan wereng hijau daun Nephotettix nigropictus (Manurung et al. 2012). Adanya kejadian
pergeseran kelimpahan kedua wereng padi tersebut pada ekosistim persawahan telah dilaporkan oleh
Siwi (1993). Dalam hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya di Kalimantan
Selatan,dinyatakan bahwa kepadatan N. nigropictus pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan
pada musim hujan. Sebaliknya kelimpahan N.virescens lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan
dengan musim hujan. Lebih lanjut Siwi (1993) mengemukakan bahwa N. nigropictus mempunyai
inang yang lebih banyak dibandingkan dengan N.virescens. N.nigropictus dapat hidup baik pada
tanaman padi dan berbagai jenis rumputan seperti Echinochloa colonum, Leersia hexandra dan I
globosa, sedangkan N.virescens hanya mampu hidup pada tanaman padi. Pengamatan di lapangan
selama penelitian menunjukkan pada masa singgang-singgang tanaman padi sejumlah gulma ataupun
rumput liar dapat ditemukan pada ekosistim sawah. Disamping itu juga masih menurut Siwi (1993)
introduksi varietas padi unggul merupakan salah satu penyebab perubahan dominasi spesies dari
N.nigropictus menjadi N.virescens di Indonesia. Di Tapanuli Utara sendiri berdasarkan pengamatan di
lapangan menunjukkan adapun tanaman padi yang ditanam kebanyakan bukana varietas unggul
melainkan varietas lokal dengan umur yang lebih panjang. Hal-hal itulah mungkin yang menyebabkan
mengapa kelimpahan wereng hijau jenis N.nigropictus lebih banyak diperoleh ataupun lebih dominan
dibandingkan dengan wereng hijau jenis N.virescens.
Hadirnya berbagai jenis wereng pada singgang-singgang tanaman padi dengan data kelimpahan
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas di kabupaten Tapanuli Utara, menunjukkan betapa
besarnya potensi ataupun kontribusi singgang-singgang tanaman padi dan rumput liar ataupun gulma
tersebut dalam mempertahankan kehadiran dan keberlangsungan hidup aneka ragam wereng. Itu
berarti tanaman padi pada masa singgang-singgang beserta dengan rumput yang hidup bersama
dengannya memiliki nilai konservasi. Berperannya singgang-singgang padi bahkan beberapa jenis
rumput dalam mempertahankan kelestarian hidup berbagai jenis wereng telah juga dikemukakan oleh
Rismunandar (1993). Manurung et al. (2004) juga telah melaporkan kontribusi singgang-singgang
tanaman gandum dalam mempertahankan aneka ragam wereng gandum. Olehkarena itu setiap
tindakan gangguan yang dilakukan terhadap singgang-singgang tanaman padi akan berakibat kepada
penurunan keanekaragaman dan kelimpahan wereng padi tersebut. Pemusnahan singgang-singgang
tanaman padi yang dilakukan oleh petani misalnya secara langsung ataupun tidak langsung akan
berkontribusi terhadap penurunan populasi wereng pada masa tanam padi berikutnya. Hal itu terjadi
306
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
karena dengan kegiatan pemusanahan tersebut menyebabkan ketersediaan tanaman inang yang
berperan sebagai sumber pakan dan tempat berlindung ataupun tempat beristirahat bagi wereng
menjadi berkurang. Dengan demikian akan berkontribusi terhadap pemutusan siklus hidupnya.
D. DAFTAR PUSTAKA
Baker R.H.A., C.E. Sansford, C.H. Jarvis, R.J.C. Cannon, A. Macleod, and K.F.A. Walters. 2000.
The role of climatic mapping in predicting the potential geographical distribution of non-
indigenous pests under current and future climates. Agriculture, Ecosystems and Environment.
82: 57 – 71.
Baehaki. 1993. Berbagai Hama Serangga Tanaman Padi. Bandung: Penerbit Angkasa.
Brower, J., J. Zar & C von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
Dubuque: Wm.C. Brown Publishers.
Degen, T., E. Stadler, and P.R. Ellis. 1999. Host Plant Susceptibility to the Carrot fly, Psylla rosae: 1.
Acceptability of various host species to ovipositing females. Annals of Applied Biology. 134: 1
– 11.
Depatemen Pertanian. 1982. Petunjuk Bergambar Hama dan Penyakit Tanaman Padi. Jakarta:
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
Gnaneswaran, R., K.S. Hemachandra., D.Ahangama., H.N.P. Wijayagunasekara & I.Wahundeniya.
2006. Diversity of leafhopper (Hemiptera: Auchenorrhyncha: Cicadellidae) associated with
307
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Paddy and Vegetable Ecosystems in Mid Country of Srilanka. Sri Lankan J. Agric. Sci. 43:
133-143.
Holdom, D.G., Taylor, P.S., Mackey-Wood, R.J., Ramos, M.E & R.S. Soper. 1989. Field studies on
rice planthoppers (Hom. Delphacidae) and their natural enemies in Indonesia. Journal of
Applied Entomology 107, 118-129.
Krebs, C.J. 1999. Ecological Methodology. New York: Harper & Row Publishers.
Matthews, R.E.F. (1991): Plant virology. Sandiego, California: Academic Press.
Manurung, B. 2012. Biodiversitas, distribusi dan biologi perkembangan hama wereng padi
(Auchenorrhyncha) di kabupaten Serdangbedagai. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Universitas Negeri Medan. Laporan Penelitian.
Manurung, B., A.P.H. Bintang., Erika Rosdiana. 2012. Biodiversitas, distribusi dan kelimpahan
serangga wereng (Hemiptera: Auchenorrhyncha) pada singgang-singgang tanaman padi di
kabupaten Deliserdang Propinsi Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional XXI
Perhimpunan Biologi Indonesia pp. 12-16. Banda Aceh: Perhimpunan Biologi Indonesia
Cabang Aceh.
Manurung, B dan L. Sihombing. 2011. Ekologi Serangga Wereng (Hemiptera: Auchenorrhyncha)
pada singgang-singgang tanaman padi di kabupaten Deliserdang-Sumatera Utara. Prosiding
Seminar Nasional Biologi pp. 405-414. Medan: USU Press.
Manurung, B. 2010. Mengantisipasi Serangan Hama Wereng. Harian Waspada Tanggal 13 Juli 2010.
hal. C11.
Manurung, B., Witsack, W., Mehner, S., Gruentzig, M & Fuchs, E. 2004. The epidemiology of wheat
dwarf virus in relation to occurrence of the leafhopper Psammotettix alienus in Middle-
Germany. Virus Research 100 (1): 109-113.
Manurung, B., Witsack, W., Mehner, S., Gruentzig, M & Fuchs, E. 2005. Studies on biology and
population dynamics of the leafhopper Psammotettix alienus Dahlb. (Homoptera:
Auchenorrhyncha) as vector of wheat dwarf virus (WDV) in Saxony-Anhalt, Germany. J.
Plant. Dis. Protec. 112 (5): 497-507.
Michael, P. 1984. Ecological Method for Field and Laboratory Investigation. New Delhi: Tata
McGraw-Hill Publishing Company Limited.
Nault, L.R & A.D. Ammar. 1989. Leafhopper and planthopper transmission of plant viruses. Ann.
Rev. Entomol. 34: 503-529.
Rismunandar. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Bandung: Sinar Baru Aglesindo.
Siwi, S.S. 1993. Biosistematika Wereng Hijau Genus Nephotettix (Homoptera, Cicadellidae) sebagai
Vektor Penyakit Virus Tungro Padi. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III
Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993 pp.541-561.
Siwi,S.S & M. Roechan. 1983. Species composition and distribution of green leafhoppers Nephotettix
spp. and the spread of rice tungro virus disease in Indonesia. In, W.J. Knight., N.C. Pant., T.S.
Robertson & M.R. Wilson (Eds.) Proceedings of 1st International Workshop on Leafhoppers
and Planthoppers of Economic Importance. Commonwealth Institute of Entomology, London,
pp. 263-276.
Sogawa, K., K. Ayi & J.S.Sitio. 1984. Monitoring brown planthopper (BPH) biotypes by rice garden
in North Sumatra, IRRN 9:6.
Soehardjan, M. 1973. Observations on leafhoppers and planthoppers on rice in West Java. Central
Research Institute Agriculture Bogor, Indonesia 3, 1-10.
Wilson, M.R. dan M.F. Claridge. 1991. Handbook for the identification of leafhoppers and
planthoppers of rice. Wallingford-UK: CAB International.
Widiarta, I.N., E.S. Wijaya & H.Sawada. 2006. Dinamika Populasi Wereng Penggung Putih Sogatella
fulcifera Stal (Hemiptera: Delphacidae) di Jawa Tengah. J.Entomol.Ind. 3(1):1-13.
Widiarta, I.N., Kusdiaman, D, Siwi, S.S & A. Hasanuddin. 2004. Varian efikasi penularan Tungro
oleh koloni-koloni wereng hijau Nephotettix virescens Distant. J. Entomol. Ind.1(1): 50-56.
308
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang ada di kawasan ekosistem estuaria di
Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kawasan
ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh dalam areal 325 m2. Sedangkan yang
menjadi sampel dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan yang ada pada petak contoh (plot). Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuadrat yaitu dengan cara membuat plot. Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan cara mencatat semua jenis tumbuhan yang berada dalam plot.
Teknik pengolahan data yang diperoleh dari hasil penelitian ini selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian diperoleh 35 spesies tumbuhan dan 33 genera dari 19 familia yang berhabitus pohon, perdu,
semak dan terna. Dari keseluruhan spesies dan familia tumbuhan tersebut yang berhabitus pohon pada lokasi
penelitian terdapat 11 spesies dari 9 familia, perdu 4 spesies dari 4 familia, semak 7 spesies dari 7 familia, dan
terna 13 spesies dari 6 familia. Jenis tumbuhan yang paling banyak ditemui di kawasan ekosistem estuaria
Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh adalah yang berhabitus terna.
PENDAHULUAN
Estuari adalah ekosistem muara sungai tempat pertemuan air tawar dan air laut yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut. Contoh estuari adalah muara sungai teluk dan rawa pasang-surut
(Bengen, 2004). Salah satu bagian wilayah pesisir yang memiliki tingkat kesuburan cukup tinggi
adalah estuaria (muara sungai). Gampong Jawa merupakan salah satu gampong yang terdapat di
Kecamatan Kutaraja Banda Aceh. Berdasarkan survei peneliti bahwa desa ini terdapat
keanekaragaman jenis tumbuhan. Hanya saja belum diketahui jenis-jenis apa saja yang terdapat di
desa tersebut. Dalam penelitian ini jenis hayati lebih difokuskan pada dunia tumbuh-tumbuhan/jenis
tumbuhan (plantae).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja
Banda Aceh. Luas keseluruhan lokasi ekosistem estuaria Gampong Jawa 34 Hektar. Objek dalam
penelitian ini adalah semua spesies tumbuhan yang ada di lokasi penelitian. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua jenis tumbuhan di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja
Banda Aceh dalam areal 325 m2. Sampel dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan yang ada
pada petak contoh (plot).
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat nama dan jumlah individu dari setiap
tumbuhan yang ada di ekosistem estuaria. Selanjutnya dilakukan identifikasi untuk spesies tumbuhan
yang dijumpai. Setiap tumbuhan yang sudah diketahui nama ilmiahnya langsung dicatat pada tabel
yang sudah disiapkan, bagi tumbuhan yang belum diketahui nama ilmiahnya maka akan diambil
bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk
diidentifikasikan dan dijadikan spesimen berupa herbarium kering. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah observasi dan metode kuadrat. Observasi langsung ke lokasi penelitian yaitu
dengan cara menjelajah ekosistem estuaria. Sebelum pengambilan data di lapangan terlebih dahulu
dilakukan survei lokasi penelitian untuk mengetahui keberadaan jenis tumbuhan di ekosistem estuaria.
Metode kuadrat yaitu dengan cara membuat plot. Plotnya terdiri 13 plot dari 13 titik pengamatan
dengan luas setiap plot 5 m × 5 m, setiap plot berjarak 100 m. Luas keseluruhan plot 325 m2.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan cara mencatat semua jenis
tumbuhan yang berada dalam plot yang terdapat di ekosistem estuaria. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian ini selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif maka penelitian ini mengolah data cukup
309
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
310
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
311
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hasil pengamatan terhadap tumbuhan pada lokasi penelitian diperoleh 35 jenis tumbuhan dari
19 familia, yaitu yang menyusun komunitas tumbuhan di kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa
Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh. Berdasarkan tabel 1. dan tabel 2. diperoleh 35 jenis tumbuhan
yaitu 34 spesies adalah spermatophyta dan 1 spesies adalah pteridophyta yang berhabitus pohon,
semak, perdu dan terna. Sesuai juga dengan pernyataan Tjitrosoepomo (2010: 7) bahwa divisi
tumbuhan biji (spermatophyta) secara klasik dibedakan dalam dua anak divisi yaitu: Tumbuhan biji
terbuka (Gymnospermae) dan Tumbuhan biji tertutup (Angiospermae).
Dari keseluruhan spesies dan familia tumbuhan tersebut yang berhabitus pohon pada lokasi
penelitian terdapat 11 spesies dari 9 familia yaitu (Xlocarpus granatum) dari familia Meliaceae,
(Ceriops decandra, Rhizophora apiculata) dari familia Rhizophoraceae, (Exloecaria agallocha) dari
312
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
familia Euphorbiaceae, (Sonneratia alba) dari familia Sonneratiaceae, (Hibiscus tiliaceus, Thespesia
papulnea L), dari familia Malvaceae, (Leucaena leucocephala) dari familia Fabaceae, (Radermachera
sinica) dari familia Bignoniaceae (Alstonia macrophylla) dari familia Apocynaceae dan (Astrocaryum
standleyanum) dari familia Arecaceae. Perdu 4 spesies dari 4 familia yaitu (Morinda citrifolia L) dari
familia Rubiaceae, (Sesbania sesban L) dari familia Fabaceae, (Abutilon indicum L) dari familia
Malvaceae, (Pluchea indica L) dari familia Asteraceae. Semak 7 spesies dari 7 familia yaitu (Nypa
fruticans) dari familia Arecaceae, (Scyphiphora hydrophyllacea) dari familia Rubiaceae, (Calotropis
gigantea) dari familia Asclepiadaceae, (Stylosanthes guianensis) dari familia Fabaceae, (Acrostichum
aureum L) dari familia Pteridaceae, (Clerodendrum inerme L) dari familia Verbenaceae, dan
(Caesalpinia crista L) dari familia Caesalpiniaceae. Terna 13 spesies dari 6 familia yaitu (Acanthus
ilicifolius L, Acanthus ebracteatus) dari familia Acanthaceae, (Ipomoea pes-caprae) dari familia
Canvolvulaceae, (Panicum maximum, Digataria decumbens, Cynodon dactylon L, Chloris barbata)
dari familia Poaceae, (Cyperus malaccensis , Cyperus javanicus, Fimbristylis ferruginea), dari familia
Cyperaceae, (Wedelia biflora) dari familia Asteraceae, (Stachytarpheta jamaicensis L) dari familia
Verbenaceae, dan (Euphorbia hirta L) dari familia Euphorbiaceae.
Berdasarkan data tersebut kelompok tumbuhan yang paling banyak dijumpai di ekosistem
estuaria Gampong Jawa adalah tumbuhan dari jenis terna, dikarenakan kawasan ekosistem estuaria
pada lokasi pada penelitian telah mengalami suksesi ekologi akibat gelombang tsunami pada tahun
2004 yang lalu. Menurut Luken, 1990 dalam Supriharyono (2009: 45) suksesi ekologi adalah suatu
proses perubahan komponen-komponen spesies suatu komunitas selama selang waktu tertentu.
Menyusul adanya sebuah gangguan, suatu ekosistem biasanya akan berkembang dari mulai tingkat
organisasi sederhana (misalnya beberapa spesies dominan) hingga ke komunitas yang lebih kompleks
(banyak spesies yang interdependen) selama beberapa generasi.
Berdasarkan tabel 7. terdapat 35 jenis spesies tumbuhan dari 33 genera dari 19 familia. Dari
35 jenis spesies tumbuhan yang ada, dari masing-masing familia, dari familia Arecaceae ada 2 genera
(Nypa, Astrocaryum) dari 2 spesies (Nypa fruticans, Astrocaryum standleyanum), dari familia
Pteridaceae ada 1 genus (Acrostichum) dari 1 spesies (Acrostichum aureum L), dari familia
Sonneratiaceae ada 1 genus (Sonneratia) dari 1 spesies (Sonneratia alba), dari familia Rubiaceae ada
2 genera (Scyphiphora, Morinda) dari 2 spesies (Scyphiphora hydrophyllacea, Morinda citrifolia L),
dari familia Rhizophoraceae ada 2 genera (Ceriops, decandra) dari 2 spesies (Ceriops decandra,
Rhizophora apiculata), dari familia Meliaceae ada 1 genus (Xlocarpus) dari 1 spesies (Xlocarpus
granatum), dari familia Acanthaceae ada 1 genus (Ancanthus) dari 2 spesies (Acanthus ilicifolius L,
Acanthus ebracteatus), dari familia Malvaceae ada 3 genera (Hibiscus, Thespesia, Abutilon) dari 3
spesies (Hibiscus tiliaceus, Thespesia papulnea L, Abutilon indicum L), dari familia Asclepiadaceae
ada 1 genus (Calostropis) dari 1 spesies (Calotropis gigantea), dari familia Canvolvulaceae ada 1
genus (Ipomoea) dari 1 spesies (Ipomoea pes-caprae), dari familia Cyperaceae ada 2 genera (Cyperus,
Fimbristylis) dari 3 spesies (Cyperus malaccensis , Cyperus javanicus, Fimbristylis ferruginea), dari
familia Poaceae ada 4 genera (Panicum, Digataria, Cynodon, Chloris) dari 4 spesies (Panicum
maximum, Digataria decumbens, Cynodon dactylon L, Chloris barbata), dari familia Apocynaceae
ada 1 genus (Alstonia) dari 1 spesies (Alstonia macrophylla), dari familia Euphorbiaceae ada 2 genera
(Exloecaria, Euphorbia) dari 2 spesies (Exloecaria agallocha, Euphorbia hirta L), dari familia
Fabaceae ada 3 genera (Leucaena, Sesbania, Stylosanthes) dari 3 spesies (Leucaena leucocephala,
Sesbania sesban L, Stylosanthes guianensis), dari familia Caesalpiniaceae ada 1 genus (Caesalpinia)
dari 1 spesies (Caesalpinia crista L ), dari familia Bignoniaceae ada 1 genus (Radermachera) dari 1
spesies (Radermachera sinica), dari familia Asteraceae ada 2 genera (Pluchea, Wedelia) dari 2 spesies
(Pluchea indica L, Wedelia biflora L), dan dari familia Verbenaceae ada 2 genera (Clerodendrum,
Stachytarpheta) dari 2 spesies (Clerodendrum inerme L, Stachytarpheta jamaicensis L ). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Muharin (2008) yang menemukan bahwa pada estuari Perancak
didominasi oleh 6 jenis mangrove yaitu bakau (Rhizophora spp.), lindur (Bruguiera gymnorrhiza),
api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp.), tingi (ceriops tagal), dan nipah (Nypa fruticants).
Secara umum, nilai kerapatan spesies yang paling besar nilainya pada tingkat pohon dan semak adalah
pada jenis Rhizophora spp. sedangkan pada fase anakan adalah jenis Nypa fruticans.
Semua jenis tumbuhan yang ada di lokasi penelitian adalah tumbuhan dari divisi
spermatophyta (34 spesies) dan pteridophyta (1 spesies). Berdasarkan hasil pengamatan dan seluruh
plot pengamatan (13 plot) yang peneliti amati tumbuhan dari divisi bryophyta (lumut) tidak
313
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ditemukan pada lokasi penelitian karena tumbuhan tersebut memiliki spesies dan jumlah yang sangat
sedikit serta penyebarannya yang rendah. Suroso, dkk., (2003: 32) menyatakan bahwa tumbuhan
lumut dikenal sebagai tumbuhan pertama yang sukses hidup di darat yang memiliki klorofil, sekalipun
hidupnya masih memerlukan tempat yang memiliki kelembaban tinggi atau berair cukup.
KESIMPULAN
Terdapat 35 jenis tumbuhan yaitu spermatophyta (34 spesies) dan pteridophyta (1 spesies) di
kawasan ekosistem estuaria Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh yang terdiri dari 19
familia dan 33 genera. Jenis tumbuhan yang paling banyak ditemui di kawasan ekosistem estuaria
Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja Banda Aceh adalah yang berhabitus terna. Tumbuhan yang
berhabitus pohon 11 spesies dari 9 familia, perdu 4 spesies dari 4 familia, semak 7 spesies dari 7
familia,dan terna 13 spesies dari 6 familia. Dari 19 familia, 18 familia adalah spermatophyta dan 1
famili lagi adalah pteridophyta. Ke 19 familia tersebut adalah Arecaceae, Pteridaceae, Sonneratiaceae,
Rubiaceae, Rhizophoraceae, Meliaceae, Acanthaceae, Malvaceae, Asclepiadaceae, Canvolvulaceae,
Cyperaceae, Poaceae, Apocynaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Caesalpiniaceae, Bignoniaceae,
Asteraceae, dan Verbenaceae.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. (2004). Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Bogor: IPB.
Muharin. (2008). Kajian Sumber Daya Ekosistem Mangrove untuk Pengelolaan Ekowisata di
Estuari Perancak, Jembrana, Bali. Skripsi: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.
Supriharyono. (2009). Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suroso, A.Y., Anna P., Kardiawarman. (2003). Ensiklopedi Sains dan Kehidupan Cetakan Kedua.
Jakarta: CV. Tarity Samudra Berlian.
Tjitrosoepomo, G. (2010). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan Kesepuluh.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
314
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera
Barat dari bulan Juli sampai Okotober 2013 dengan tujuan untuk mengetahui kondisi, spesies karang
dan ikan karang di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera. Metode
penelitian yang digunakan adalah survei dengan teknik mantatow dan visual sensus mengeliling pulau
pada kedalam 3 – 8 meter. Hasil penelitian menunjukan kondisi terumbu karang di Pulau Babi adalah
baik sampai sangat baik dengan tutupan karang hidup antara 54% - 90%. Spesies karang yang
ditemukan sebanyak 26 spesies dari 10 Famili. Spesies ikan karang yang didapatkan adalah 17
spesies terdiri dari ikan indikator sebanyak lima species dari famili Chaetodontidae, ikan target
sebanyak lima spesies dari lima famili (Lutjanidae, Caesionidae, Pomachanthidae dan Haemulidae)
dan tujuh spesies dari empat famili (Achanturidae, Pomacentridae, Nemipteridae dan Scorpaenidae)
ikan mayor.
PENDAHULUAN
Terumbu karang sangat penting peranannya dalam ekosistem wilayah pesisir dan laut, dimana
merupakan bangunan dari trilyunan koloni yang berasal dari 600 spesies karang. Selain spesies karang
di terumbu karang juga dijumpai 200 spesies ikan karang dan berpuluh-puluh spesies moluska,
crustacean, sponge, alga, lamun dan biota laut lainnya, Terumbu karang memiliki manfaat untuk
menjaga kestabilan kondisi ekologi perairan laut, antara lain sebagai habitat, tempat memijah dan
tempat berlindung bagi berbagai jenis hewan (Dahuri, 2003; Zakaria, 2004).
Provinsi Sumatera memiliki luas perairan laut sekitar 186.580 km2, yang terdiri dari laut
teritorial 57.880 km2 dan 128.700 km2 perairan ZEEI, panjang garis pantai 2.420,39 km, mempunyai
pulau-pulau kecil dengan jumlah 108 pulau dan diperkirakan mempunyai ekosistem terumbu karang
seluas 5.000 km2. Di provinsi ini ada tujuh kabupaten/kota yang memiliki wilayah perairan laut, salah
satunya Kabupaten Pesisir Salatan (BAPPEDA Sumbar, 2002; Zakaria, 2007).
Pulau Babi merupakan salah satu dari 47 pulau yang berada dalam wilayah Pemerintahan
Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis Pulau Babi berada pada posisi
1° 19' 50'' LS dan 100° 28' 23'' BT. Kemudian secara administratif termasuk dalam Nagari Api-Api,
Kecamatan Bayang, Kabupaten. Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Batas wilayah pulau ini
adalah: (i) sebelah utara berbatasan dengan Nagari Kapuah; (ii) sebelah timur berbatasan dengan
pantai daratan Nagari Api-api sendiri; (iii) sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Samudera
Hindia.
Pulau Babi mempunyai potensi sumberdaya alam baik dari daratan maupun di perairan serta di
dasar perairan, seperti ekosistem terumbu karang, ikan karang, rumput laut dan biota laut lainnya.
Namun demikian masih belum ada data mengenai kondisi dan keanekaragaman biota-biota tersebut.
Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui kondisi, spesies karang dan ikan
karang di terumbu karang Pulau Babi. Dari hasil penelitian nantinya dapat dijadikan sebagai informasi
bagi instansi terkait di Kabupaten Pesisir Selatan dan stakeholders lainya untuk mengelola pulau
tersebut.
METODE
Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Okotober 2013 di terumbu karang Pulau Babi,
Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah survei
315
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
dengan teknik mantatow dan sensus visual (UNEP, 1993; English, Wilkinson dan Baker, 1994)
mengeliling pulau pada kedalam 3 – 8 meter untuk mengetahui kondisi terumbu karang, jenis karang
dan ikan karang pada 16 site (stasiun) pengamatan, masing-masingnya sepanjang 75 - 100 meter.
Jumlah semua site pengamatan adalah sekitar 2/3 bagian kawasan terumbu karang pulau. Sisa 1/3
bahagian lagi tidak dapat diamati karena kondisi gelombang dan arus laut yang cukup besar.
Untuk mengetahui kondisi terumbu karang adalah dengan membandingkan dengan kriteria
tingkat kerusakan terumbu karang menurut English, et al. (1994) dan Kriteria Baku Kerusakan
Terumbu Karang (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2001). Data yang diambil
adalah tutupan karang hidup berdasarkan life form (bentuk hidup) dari karang keras yang terdiri
dari kelompok Acropora dan non Acropora serta organisme hidup lainnya.
Dalam mengidentifikasi spesies karang digunakan buku acuan Veron (1993) dan
Suharsono (2008). Selanjutnya untuk mengidentifikasi ikan karang mengacu kepada Kuiter
(1992) dan Allen (2003). Kemudian ikan karang ini dikelompokkan kepada ikan target, ikan
indikator dan ikan mayor.
Sebagai data tambahan dilakukan juga pengukuran parameter fisika-kimia perairan sebagai
tempat habitat karang dan ikan karang. Parameter fisika kimia yang diukur adalah: salinitas (‰),
suhu air (oC), kecerahan (m) dan pH. Kemudian dilakukan juga pengukuran: luas pulau secara
keseluruhan, Kemudian perincian luasan tutupan lahan, yaitu: pasir pantai, ekosistem mangrove,
mangrove ikutan, ekosistem rawa, semak belukar dan tanaman campuran. Kemudian luasan ekosistem
terumbu karang. Semua data yang didapatkan ditabulasikan dalam bentuk tabel. Selanjutnya tabel
tersebut dideskripsikan.
316
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Posisi, persen tutupan karang hidup, mati dan organisme lain yang ditemukan di terumbu
karang Pulau Babi, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat
Site Persen Tutupan
Posisi
Karang Hidup Karang Mati Lain
I 1o 19' 22.252" S; 60% (4) 4% 6%
o
100 28' 36.720" E Baik
II 1o 19' 13.539" S; 54% (4) 36% 10%
100 o 28' 37.780" E Baik
III 1o 19' 12.400" S; 65% (4) 30% 5%
100 o 28' 36.647" E Baik
IV 1o 19' 8.916" S; 58%(4) 32% 10%
100 o 28' 36.774" E Baik
V 1 o 19' 3.873" S; 60% (4) 27% 13%
100 o 28' 30.463" E Baik
VI 1 o 19' 6.675" S; 60% (4) 32% 8%
100 o 28' 27.165" E Baik
VII 1 o 19' 3.811" S; 62 (4) 28% 10%
100 o 28' 24.964" E Baik
VIII 1 o 19' 9.968" S; 56% (4) 39% 5%
100 o 28' 19.791" E Baik
IX 1o 19' 17.294" S; 55% (4) 32% 13%
100 o 28' 19.698" E Baik
X 1o 19' 18.110" S; 66% (4) 26% 8%
100 o 28' 16.302" E Baik
XI 1o 19' 43.943" S; 70% (4) 24% 6%
100 o 28' 37.442" E Baik
XII 1 o 19' 28.929" S; 86% (5) 12% 2%
100 o 28' 35.996" E Sangat Baik
XIII 1 o 19' 33.842" S; 86% (5) 10% 4%
100 o 28' 34.630" E Sangat Baik
XIV 1 o 19' 38.489" S; 88 % (5) 10% 2%
100 o 28' 33.037" E Sangat Baik
XV 1 o 19' 40.544" S; 90 % (5) 3% 7%
100 o 28' 31.364" E Sangat Baik
XVI 1o 19' 43.943" S; 90% (5) 5% 5%
100 o 28' 29.803" E Sangat Baik
Selain karang hidup, karang yang mati ditemukan di lokasi penelitian adalah dengan bentuk
DCA (Dead Coral with Algae), Rubble atau pecahan karang (R), dan DC (Dead Coral). Kondisi ini
ditemukan hampir di seluruh paparan ekosistem terumbu karang dari kedalaman 1 (satu) sampai 15
meter. Persentase tingkat kerusakan terumbu karang di Pulau Babi dari 16 site yang diamati berkisar
antara 3% sampai 39%.
Ada dua penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Babi yang umum terjadi juga
di terumbu karang yang ada di wilayah Sumatera Barat (Zakaria, 2004, 2007 dan 2009), pertama
adalah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan kedua kematian secara alami. Kerusakan
akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan adalah disebabkan oleh penggunaan bahan
peledak dalam menangkap ikan dan biota lainnya, dengan ditandai banyaknya ditemukan pecahan-
pecahan karang (Rubble = R) serta lubang bekas ledakan bahan peledak. Selanjutnya pengunaan
bahan kimia beracun untuk menangkap ikan karang, seperti potassium sianida. Indikator kerusakan
terumbu karang akibat penggunaan bahan beracun ini, di lokasi penelitian ditemukan karang dalam
bentuk utuh, tetapi sudah mengalami kematian dan umumnya ditumbuhi oleh alga.
317
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sedangkan penyebab kerusakkan secara alami adalah adanya sedimentasi dari daratan pesisir
Pulau Sumatera. Namun demikian kejadian ini merupakan kejadian hal yang biasa ditemukan bagi
pulau yang berhadapan dengan daratan pesisir pulau besar (Pulau Sumatera).
Spesies Karang
Berdasarkan perhitungan secara sensus visual dan identivikasi spesies, di perairan Pulau Babi
ditemukan sebanyak 26 spesies karang dari 10 Fimili. Dari 26 spesies karang tersebut tidak adanya
masuk kategori endemik/langka. Semua spesies dan famili karang yang ditemukan di perairan Pulau
Babi dapat dilihat pada Tabel 2.
Famili Acroporidae merupakan famili yang mempunyai paling banyak spesiesnya, yaitu 9
spesies, kemudian diikuti oleh Faviidae, Poritidae dan Pocilloporidae dimana sama-sama mempunyai
tiga spesies. Kemudian, Famili Agaricidae, Fungiidae masing-masingnya memiliki dua spesies.
Selanjutnya, familiCaryophylliidae, Merullinidae, Oculinidae dan Siderastreidae, masing-masingnya
satu spesies. Menurut Ditlev (1980), Veron (1993) Zakaria (2004), famili Acroporidae, Faviidae,
Poritidae dan Pocilloporidae merupakan famili yang mempunyai spesies dan kepadatan tergolong
tinggi. Umumnya famili famili tersebut merupakan penyusun utama ekosistem terumbu karang di
perairan Indo-Pasifik. Kemudian karang ini juga memiliki penyebaran yang luas dan mempunyai laju
pertumbuhan yang tinggi serta tahan terhadap tekanan lingkungan, terutama perairan terbuka, salinitas
rendah, panas dan sedimentasi.
318
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 2. Famili dan spesies Karang yang ditemukan di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten
Pesisir Selatan, Sumatera Barat
No Famili Spesies Karang
1 ACOPORIDAE Acropora aspera
2 Acropora humilis
3 Acropora nobilis
4 Acropora rudis
5 Acropora palifera
6 Acropora pulchra
7 Motipora danae
8 Montipora foliosa
9 Montipora verrucosa
10 AGARICIDAE Leptoseris scraba
11 Pavona sp.
12 CARYOPHYLLIIDAE Euphylia glabrescens
13 FAVIIDAE Favites abdita
14 Favites helicora
15 Montastrea sp.
16 PORITIDAE Porites lobata
17 Porites mayeri
18 Porites rus
19 FUNGIIDAE Fungia sp.
20 Fungia horida
21 MERULLINIDAE Merulina amliata
22 OCULINIDAE Galaxea fasicularis
23 POCILLOPORIDAE Pocillopora damicornis
24 Seriatopora hytrix
25 Stylopora pistilata
26 SIDERASTREIDAE Psamocora contiqua
Ikan karang kelompok ikan mayor banyak dijumpai di perairan terumbu karang Pulau Babi.
Ikan mayor tersebut masuk kedalam family Pomacentridae, Nemipteridae, Labridae dan
Achanturidae. Ikan target dan mayor di Pulau Babi.
Dari pengamatan di perairan terumbu karang Pulau Babi tidak dijumpai spesies ikan karang
yang merupakan spesies endemic/langka. Kemudian di perairan ini ditemukan juga hewan laut
lainnya seperti: Ophiuroidea brevispinum (bintang ular laut), Aurelia aurita (ubur-ubur), Tridacna
(kerang kima) dan biota laut lainnya.
319
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 3. Famili dan Spesies ikan karang yang ditemui di terumbu karang Pulau Babi, Kabupaten
Pesisir Selatan, Sumatera Barat
No Famili Spesies
1 Chaetodontidae Chaetodon trifasciatus
2 Chaetodon vagabundus
3 Chaetodon rafflesii
4 Chaetodon triangulum
5 Heniochus pleurotaenia
6 Lutjanidae Lutjanus decussates
7 Caesionidae Caesio teres
8 Pomacanthidae Pomachanthus sp
9 Haemulidae Plectorinchus orientalis
10 Labridae Halichoeres hortulanus
11 Achanturidae Achanthurus lineatus
12 Achanthurus sp
13 Zanclus canescens
14 Pomacentridae Amphiprion akallopisos
15 Abudefduf troscheli
16 Nemipteridae Scolopsis bilineatus
17 Scorpaenidae Pterois volitans
KESIMPULAN
1. Kondisi terumbu karang di Pulau Babi berada pada kondisi baik sampai sangat baik dengan
tutupan karang hidup antara 54% - 90%.
2. Spesies karang yang ditemukan sebanyak 26 spesies dari 10 Famili.
3. Spesies ikan karang yang didapatkan adalah 17 spesies ikan karang terdiri dari ikan indikator
sebanyak lima species dari famili Chaetodontidae, ikan target sebanyak lima spesies dari lima
famili (Lutjanidae, Caesionidae, Pomachanthidae dan Haemulidae) dan tujuh spesies dari empat
famili (Achanturidae, Pomacentridae, Nemipteridae dan Scorpaenidae) ikan mayor.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.R. 2003. Reef Fish Identification – Tropical Pasific. Jackonsville, USA: New World
Publications, Inc.
BAPPEDA-Sumbar, 2002. Biofisik Taman Wisata Alam Pulau Pieh di Perairan Kota Padang
(Laporan Akhir). Kerjasama Bappeda Sumbar dengan Yayasan Minang Bahari.89 Hal.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.
Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ditlev, H. 1980. A field guide to the reef-building corals of the Indopacifi. Backhuys, Rotterdam,
186pp.
English S, C. Wilkinson, and V. Baker (1994) Survey manual for tropical marine resources.
Australia Institute of Marine Science. Townsville, 245pp.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2001. Nomor: 04 Tahun 2001. Tentang Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang.
Kuiter, R.H. 1992. Tropical Reef-Fishes of The Western Pasific (Indonesia and Adjacent Water).
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Puslitbang Oseanografi-LIPI.Jakarta.
UNEP. 1993. Monitoring Coral Reef For Global Change Reference Method For Marine Pollution
Studies no. 61. Australian Institut of Marine Science, 94pp.
Veron, NEJ. 1993. Corals of Australia and The Indo – Pasific. University of Hawai Press. Honolulu,
644pp.
Zakaria, I.J. 2004. On the growth newly On the growth of newly settled corals on concrete substrates in
coral reefs of Pandan and Setan Islands, West Sumatera, Indonesia. Dissertation zur Erlangung
des Doktorgrades der Mathematisch- Naturwissenschaftlichen Fakultät der Christian-Albrechts-
Universität zu Kiel. Germany.
320
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Zakaria, I.J. 2007. West Sumatra Coral Reefs: Potention, Problem and Management. 1st Internatinal
Symposium on Management of Aquatic and Marine Environment (ISMAME), January 22-23,
2007, Andalas Univeristy, Padang.
Zakaria, I.J. 2009. Potensi kawasan wisata alam laut Pulau Pieh Provinsi Sumatera Barat. Laporan
Akhir Penelitian Riview Potensi kawasan wisata alam laut Pulau Pieh Provinsi Sumatera Barat
kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat.
Zakaria, I.J. 2012. Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah yang disampaikan
pada pada kegiatan Pertemuan Kelembagaan dan Sosialisasi Kawasan Konservasi Daerah
(KKPD), Senin, 14 Mei 2012, Hotel Daima, Kota Padang. Undangan sebagai Narasumber dari
Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Sumatera Barat.
321
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Lili Kasmini
Mahasiswa Program S3Jurusan Biologi, Universitas Sumatra Utara.
Email: lili.kasmini@yahoo.com
Bencana tsunami yang melanda Provinsi Aceh pada Desember 2004 tercatat sebagai salah satu bencana
yang paling parah sepanjang sejarah dan mengakibatkan banyak kerusakan baik terhadap populasi manusia
maupun lingkungan. Kampong Jawa yang terletak di kecamatan Kutaraja Banda Aceh adalah salah satu desa
dengan kondisi terparah, termasuk kondisi pada ekosistem Mangrove nya. Reboisasi terhadap ekosistem
Mangrove pasca-tsunami telah dilakukan oleh pemerintah, namun karena reboisasi ini hanya dimaksudkan
untuk penahan ombak, maka reboisasi ini hanya dilakukan dengan jenis dan usia yang sama. Faktanya, untuk
membuat fungsi hutan Mangrove yang utuh dibutuhkan keanekaragaman spesies jenis tanaman yang hidup di
hutan Mangrove sehingga kehidupan organisme yang hidup di sekitarnya dapat berlangsung dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan dari keanekaragaman jenis Mangrove terhadap kelangsungan
hidup Makrozoobentos ekosistem tersebut dengan melihat kondisi lingkungan serta hubungan antara Mangrove
dan makrozoobentos. Pengambilan data dilakukan pada September 2013 dengan metode transect line plots
(English at al., 1994). Sampel diambil menggunakan pipa paralon berdiameter 11 cm kemudian di
identifikasikan di Laboratorium Terpadu Kordinator Kelautan Perikanan. Dari hasil penelitian, ditemukan tiga
kelas makrozoobentos yaitu : Malacostraca, Gastropoda, dan Bivalvia yang terdiri dari 8 spesies
Makrozoobentos. Kelas Gastropoda memiliki presentasi tertinggi, mencapai 94,38%. Untuk jenis Mangrove,
ditemukan dua spesies yaitu Rhizophora stylosa (87%) dan Nypa fruticans (13%).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah bencana Tsunami tahun 2004, mangrove yang ada di Aceh mengalami kerusakan berat.
Hal ini berdampak pada kelestarian keanekaragaman mahluk hidup yang ada di Aceh khususunya di
daerah pesisir. Mengingat pentingnya hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang menunjang
hasil kelautan dan juga merupakan salah satu faktor yang mampu mengurangi efek dari tsunami,
maka setelah bencana tsunami, terjadi penanaman kembali (reboisasi) pada lokasi hutan mangrove
yang ada di Aceh. Namun, reboisasi yang dilakukan menekankan pada fungsi mangrove sebagai
penahan ombak apabila terjadi tsunami Padahal, idealnya suatu ekosistem mangrove harus terdiri dari
berbagai spesies tumbuhan mangrove yang berbeda contohnya mangrove yang lebih dekat dengan
perairan lepas memiliki struktur akar yang mampu menahan ombak, sedangkan mangrove yang lebih
dekat pada daerah mangrove memiliki fungsi untuk menahan lumpur dan sedimen agar tidak mengalir
ke lautan lepas yang diperlukan mahluk hidup sekitarnya untuk proses kehidupan.
Daerah Gampong Jawa adalah salah satu daerah yang sangat dahsyat terkena Tsunami. Semua
ekosistem pantai dan tambak di daerah tersebut rusak total. Sehingga setelah bencana Tsunami di
lakukan penanaman kembali oleh NGO namun bibit yang di tanam adalah kelompok Rhizopoda dan
seumur. Yang menjadi permasaalahan adalah mampukan hutan mangrove yang homogen untuk
menyuplai makanan terhadap organisme di daerah tersebut secara berkesinambungan. Dan apakah ada
pengaruh terhadap kondisi lingkungan di daerah tersebut dengan adanya bencana Tsunami.
Bentos merupakan salah satu makanan yang diperlukan ikan dan udang kecil yang terletak pada
daerah ekosistem mangrove. Selain itu bentos mampu untuk menghasilkan meriplankton yang
merupakan makanan utama dalam rantai makanan berikutnya. Makrozoobentos (bentos >1mm) juga
menjaga keseimbangan PH, oksigen, dan suhu dengan menciptakan lubang-lubang pada tanah
disekitarnya.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sifat fisik dan kimia ekosistem Mangrove Kampong Jawa?
2. Bagaimana keanekaragaman makrozoobentos dan mangrove di desa kampong Jawa?
3. Bagaimana kepadatan Makrozoobentos pada ekosistem Mangrove Kampong Jawa?
322
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui kualitas lingkungan yang terdapat pada ekosistem Mangrove Kampong
Jawa.
2. Untuk mengetahui keanekaragaman, IMakrozoobentos pada ekosistem Mangrove Kampong
Jawa.
3. Untuk mengetahui kepadatan mangrove pada ekosistem Mangrove Kampong Jawa.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kampung Jawa Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh. Waktu
pengambilan data dilakukan selama 10 hari pada bulan September 2013.
Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini berupa, alat untuk pengukuran
kondisi fisik dan kimia lingkungan, identifikasi makrozoobentos, dan buku identifikasi tumbuhan,
serta alat pengambilan sampel makrozoobentos.
Metode Penelitian
Pengambilan data
Mangrove
Vegetasi mangrove dibedakan berdasarkan diameter batang dan tinggi pohon, kategori pohon
adalah berdiameter ˃4 cm, anakan berdiameter ˂4 cm dan tinggi ˃1 m, dan semai memiliki tinggi ˂1
m. Tiap plot pengamatan dibagi menjadi tiga petak, masing-masing untuk pohon 10x10 m2, untuk
anakan 5x5 m2, dan semai 1x1 m2. Di setiap petak dihitung tegakan mangrove berdasarkan diameter
batang dan spesies tegakan mangrove.
Data panjang-lebar daun diambil di setiap plot dari tngkat vegetasi pohon, anakan, dan semai pada
tiap spesies mangrove sebanyak 20 lembar daun yang terbentuk sempurna (bentuk daun utuh). Daun
yang dipilih adalah daun yang berada di urutan 3-5 dari pucuk. Data panjang-lebar daun didapat
secara in-situ. Gambar berikut adalah metode pengukuran panjang-lebar daun mangrove.
Makrozoobentos
Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan sebanyak empat kali ulangan dalam tiap plot
10x10 m2. Subtrat diambil dengan paralon berdiameter 11 cm sampai kedalaman 10 cm, kemudian
subtrat tersebut dibilas dengan air laut sampai bersih, saringan yang digunakan bermata 1 mm.
Makrozoobentos yang sudah dibilas bersih, diawetkan dengan alkohol 70%. Penyortiran dan
identifikasi makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Biologi Laut Koordinatorat Kelautan dan
Perikanan, Universitas Syiah Kuala.
323
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Suhu Perairan
Desa Gampong Jawa memiliki suhu perairan berkisar antara 26,5-38 oC . Suhu perairan tertinggi
mencapai 38oC dan terendah 26,5 oC (stasiun 2). Suhu yang tinggi dipengaruhi oleh intensitas cahaya
yang masuk ke dalam badan air cukup tinggi (Nontji, 2005). Adapun suhu yang tinggi dapat juga
dipengaruhi oleh kedalaman air yang relatif dangkal serta pergerakan air yang relatif lambat. Hal ini
juga di pengaruhi oleh jarak tumbuh dari pohon mangrove. Nilai rata-rata suhu yang terdapat di
perairan Desa Gampong Jawa masih dalam kadar yang baik (30 oC) untuk pertumbuhan mangrove
(Tabel 4.1), walaupun ada 1 sub stasiun yang memiliki suhu mencapai 38 oC. Hal ini sesuai dengan
keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004, dimana baku mutu suhu ekosistem
mangrove adalah 28-32 oC dengan toleransi ˂2 oC dari suhu alaminya.
Salinitas
Salinitas yang didapat pada Desa Gampong Jawa berkisar antara 27-37 ppt, dimana salinitas
tertinggi (37 ppt) dan terendah (27 ppt) terdapat di stasiun 1. Salinitas yang tinggi dipengaruhi oleh
tingginya masukan air laut ke dalam kawasan mangrove, sedangkan kontribusi air tawar sangat sedikit
yang masuk melalui daratan dan hujan. Adapun salinitas yang tinggi juga dipengaruhi oleh musim
kemarau yang melanda wilayah penelitian serta tidak ada sungai yang melewati kawasan mangrove
tersebut. Nilai rata-rata salinitas mencapai 33 ppt, dimana nilai tersebut menunjukkan kawasan
mangrove tersebut tergolong baik.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) pada setiap stasiun penelitian di Desa Gampong Jawa menunjukkan nilai
yang relatif tidak jauh berbeda. pH rata-rata mencapai 7,5 ppm dan nilai ini termasuk kategori baik
untuk pertumbuhan mangrove. Menurut Effendi (2000) nilai pH yang baik untuk kelangsungan hidup
biota akuatik berkisar antara 7-8,5 ppm.
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) merupakan bagian terpenting untuk kelangsungan hidup biota akuatik.
Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap stasiun di Desa Gampong Jawa rata-rata mencapai 2,7 ppm.
Faktor yang mempengaruhi tinggi rendah kandungan oksigen terlarut di dalam air adalah arus,
kecerahan, kedalaman, suhu, proses dekomposisi oleh bakteri dan kelimpahan fitoplankton di dalam
perairan (Effendi, 2000).
Mangrove
Komposisi Jenis Mangrove
Pada lokasi penelitian di Desa Gampong Jawa mangrove yang mndominasi dari segi jumlah adalah
mangrove dari genus Rhizophora. Adapun hasil pengamatan tegakan mangrove ditemui sebanyak 3
(tiga) spesies mangrove : Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan Nypa fruticans. Dimana
setiap spesies mangrove memiliki tingkat adaptasi yang berbeda-beda. Pada stasiun I dan II mangrove
jenis Rhizophora stylosa mendominasi dari segi jumlah berbanding dengan jenis lainnya. Noor (1999)
menyatakan mangrove jenis Rhizophora stylosa merupakan jenis pionir di lingkungan pesisir atau
pada bagian daratan dari mangrove. Namun berbeda pada stasiun III jenis mangrove yang
mendominasi adalah Rhizophora apiculata.
Komposisi jenis mangrove stasiun I hanya ditemui 2 (dua) spesies yaitu Rhizophora stylosa dan
dan Nypa fruticans. Adapun jenis Rhizophora stylosa (87%) yang mendominasi dari segi jumlah
dibandingkan jenis Nypa fruticans (13%). Menurut Macnae (1968) keberadaan Nypa Fruticans di
satsiun ini sangat bertentangan dengan faktor lingkungan yang ada, dimana jenis ini hidup di air
payau dengan kisaran salinitas 0-10 ppt dan di daerah yang sedikit dipengaruhi pasang surut. Namun
Walsh (1974) menyatakan Nypa Fruticans adalah mangrove yang dikategorikan sebagai jenis yang
tidak tembus/ kedap garam (glycohalophyte). Adapun jumlah yang rendah pada jenis ini
mengindikasikan Nypa Fruticans mengalami tekanan fisiologis dan biologis (stress). Menurut
Nybakker (1982), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Mangrove antara lain iklim dan tanah.
Faktor iklim antara lain seperti cahaya, temperatur, dan lain-lain. Faktor tanah seperti tekstur, bahan
organik, kapasitas tukar kation, pH dan sifat kimia lainnya seperti C, N, P, dan K.
Pada stasiun II hanya 1 (satu) jenis mangrove yang ditemui yaitu Rhizophora stylosa. Hal ini
kemungkinan terjadi dikarenakan kawasan ini termasuk salah satu tempat rehabilitasi mangrove dan
hanya 1 spesies yang ditanam kembali di daerah ini. Dilihat dari kontur tanah serta lingkungan,
kawasan ini sangat ideal untuk mangrove jenis Rhizophora stylosa. Adapun Rhizophora stylosa
memiliki kemampuan adaptasi terhadap salinitas, pasang surut serta suhu yang ekstrem. Nursal (2005)
324
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
menyebutkan bahwa mangrove jenis ini mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih baik
dibandingkan dengan jenis lainnya sehingga sering digunakan dalam kegiatan penghijauan di
sepanjang pesisir indonesia. Selanjutnya stasiun III memiliki jenis mangrove tertinggi berbanding
dengan stasiun lainnya, yaitu memiliki 3 jenis mangrove : Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata
dan Nypa fruticans. Dari hasil analisis didapati Jenis Rhizophora apiculata (40%) lebih mendominasi
berbanding dengan jenis Rhizophora stylosa (36%) dan dan Nypa fruticans (24%). Berikut gambar
komposisi jenis mangrove di setiap stasiun Desa Gampong Jawa:
325
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Anakan
Mangrove ukuran anakan di Desa Gampong Jawa hanya ditemui pada 2 stasiun yaitu stasiun I dan
III. Adapun mangrove ukuran anakan yang terdapat pada stasiun I hanya 1 (satu) jenis yaitu
Rhizophora stylosa, sehingga pada stasiun I peran mangrove yang berpengaruh sangat penting
terhadap ekologi adalah jenis mangrove tersebut dengan nilai INP mencapai 300%. Pada stasiun III
hanya ditemui mangrove ukuran anakan yaitu dari jenis Rhizophora apiculata dengan nilai INP
300%.
Semai
Mangrove ukuran semai di Desa Gampong Jawa hanya ditemui pada 1 jenis mangrove di setiap
stasiun sehingga masing-masing stasiun memiliki nilai INP 300%. Adapun jenis mangrove pada
stasiun I dan II adalah Rhizophora stylosa, selanjutnya stasiun III adalah Rhizophora apiculata.
Makrozoobentos
Hasil identifikasi pada 2 lokasi penelitian didapati Desa Gampong Jawa memiliki 3 kelas
makrozoobentos yaitu kelas gastropoda, malacostraca dan bivalvia. Kelas yang mendominasi pada
lokasi penelitian adalah kelas gastropoda. Suwignyo et al., (1998) menyatakan bahwa Gastropoda
adalah kelas yang paling sukses dan mempunyai penyebaran yang sangat luas, mulai dari wilayah
pasang surut sampai pada kedalaman 8.200 m. Hal ini diperkuat oleh Nybakken (1992) bahwa kelas
Gastropoda mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap kekeringan dan perubahan salinitas serta
derajat keasaman (pH) dari tanah akibat pengaruh air laut dan air tawar.
Komposisi dan kepadatan (D) makrozoobentos
Pada penelitian ini Kelas Gastropoda memiliki komposisi terbesar. Menurut Wilhm (1975)
berdasarkan ketahanan adaptasinya terhadap polusi, Gastropoda termasuk dalam golongan
makrozoobentos yang toleran, dimana golongan toleran merupakan jenis makrozoobentos yang
mampu bertahan hidup walaupun dalam keadaan pencemaran yang berat. Hal ini dipertegas oleh
Hutagalung (1991) yang menyebutkan Gastropoda memiliki kemampuan yang tinggi untuk
mengakumulasi bahan-bahan tercemar. Tidak akan mati terbunuh,terdapat dalam jumlah banyak,
terikat dalam suatu tempat yang keras dan hidup dalam jangka waktu yang lama sehingga kelas ini
sering digunakan menjadi indikator pencemaran (bioindikator) suatu lingkungan. Pada stasiun III,
Gastropoda memiliki persentase yaitu mencapai 94,38%. Adapun komposisi kelas makrozoobentos
dapat dilihat pada gambar berikut:
ST I
80 85 90 95 100
ST I ST II ST III
Gastropoda 93,9857728 88,28322017 94,38366156
Malacostraca 4,828626859 9,582929195 5,616338439
Bivalvia 1,185600345 2,13385063 0
Total kepadatan makrozoobetos di Desa Gampong Jawa nilai tertinggi mencapai 92 ind/m2 dan
terdapat pada Stasiun I. Adapun jenis Cherithidea Sp paling mendominasi pada setiap stasiun di Desa
Gampong Jawa dengan kepadatan tertinggi mencapai 87 ind/m2, hal ini dikarenakan penelitian ini
hanya mengambil sampel pada subtrat berlumpur, dimana Kartawinata et al., (1979) menyebutkan
subtrat berlumpur sangat disukai oleh jenis Cherithidea Sp. Hasil ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya yaitu di daerah Uleu-lheue (Banda Aceh) yang jaraknya tidak jauh dari lokasi penelitian
dimana jenis Pedalion Sp (kelas Bivalvia) mendominasi pada setiap stasiun penelitian dengan
kepadatan tertinggi mencapai 115 ind/m2 (Dewiyanti, 2006).
326
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
100
Makrozoobentos
80
Kepadatan
(ind/m2)
60
40
20
0
ST I ST II ST III
II. Saran
Sebaiknya dilakukan penanaman tumbuhan yang beranekaragam pada hutan Mangrove karena
keanekaragaman ini dapat mengoptimalisasi keadaan komunitas ini menjadi lebih baik untuk
kehidupan organisme disekitarnya sehingga didapatkan fungsi ekosistem Mangrove yang utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Feller, I, C and M. Sitnik. 1996. MANGROVE ECOLOGY : A Manual for a Field Course A Field
Manual Focused on the Biocomplexity On Mangrove Ecosystem. Smithsonian Institution.
Washington. DC
Nybakker, J.W. 1982. Marine Biology : An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M. Eidman.
Gramedia Jakarta.
Odum, W.E and C.C. McIvor. 1990. Mangroves In Ecosystem of Florida, R.L. Myers and J.J Ewel
(eds). University of Central Florida Press. Pp 517-548.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya
pesisir dan Lautan- Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Brower, J. E., dan J. H. Zar. 1977. Field and laboratory methods for general ecology. W. M. C. Brown
Co. Publ. Dobuque, Iowa.
327
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Krebs, C. J. 1989. Ecological methodology. Harper Collins Publishers, Inc. New York, NY.
Wingard, G. L. B., J. R. Stone, dan C. W. Holmes. 2001. Molluscan faunal distribution in Florida
Bay, past and present: An intergration of Down-Core and modern data. In: South Florida
Information Access.
Macnae, W. 1968. A General Account Of The Fauna And Flora Of Mangrove Swampsand Forests In
The Indo-West-Pacific Region. In: Russell, F. S., dan M. Yange (editor). Advanceas In
Marine Biology Vol. 6. 1968. Academic Press. London.
Bengen, D. G. 2000. Teknik pengambilan contoh dan aalisis data biologi-fisika sumberdaya pesisir.
PKSPL-IPB. Jakarta.
Noor, Y.R.M., Khazali dan I.N.N Suryadiputra.1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia.
Wetlands International Indonesia Program Bogor.
328
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
M. Ali Sarong
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Banda Aceh
Email: ali_sarong@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian tentang Kondisi Morfologi warna Karapak Albunea pada zona littoral Samudera Hindia
kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar, bertujuan untuk mengetahui (1) morfologi warna karapak
Albunea, (2) panjang karapak Albunea, dan (3) komposisi individu berdasarkan warna karapak Albunea yang
terdapat di zona littoral Samudera Hindia kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Pengambilan contoh
(sampel) dilakukan pada tanggal 7–20 Agustus 2013, di zona littoral Samudera Hindia Pesisir Leupung
Kabupaten Aceh Besar. Metode digunakan adalah metode observasi dan metode survei, dengan Albunea contoh
yang memiliki karapak yang berwarna berjumlah 46 individu. Analisis morfologi dilakukan dengan cara
deskriptif, dan komposisi individu dengan indek dominansi. Hasil diperoleh adalah (1) Albunea memiliki
karapak berwarna merah, biru dan berwarna coklat merah, (2) panjang karapak berkisar antara 1,1 Cm – 2,2
Cm, dan (3) Komposisi Albunea dengan karapak berwarna merah 20%, biru 69% dan coklat merah 11%.
Kesimpulan diperoleh adalah (1) Albunea memiliki karapak berwarna merah, biru dan coklat merah, (2) panjang
karapak Albunea bervariasi, dan (3) Komposisi Albunea dengan karapak berwarna merah lebih mendominasi
jika dibandingkan dengan Albunea berwarna merah dan coklat merah.
PENDAHULUAN
Salah satu genus anggota kelas Malacostraca dari Filum Crustacea dengan tubuhnya keras
(Suwignyo,2002) yang hidup di zona littoral, kawasan perairan laut adalah Albunea. Pada tubuh
hewan ini terdapat kaki yang beruas, dengan ruas kaki antara satu dengan lainnya bervariasi. Adanya
kaki yang dimiliki Albunea, sehingga genus dari Crustacea ini dapat melakukan kegiatan berjalan,
berpindah tempat dan membuat sarang di zona littoral kawasan perairan laut.
Albunea merupakan salah satu genus dari Crustacea, memiliki tubuh yang dilindungi oleh
karapak. Dalam Hirarchi taksonominya Boyke (2000) menyebutkan bahwa Albunea termasuk ke
dalam Filum Arthropoda, Subfilum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Famili
Albuneidae dan Genus Albunea. Karapak yang dimilikinya terdapat di bagian dorsum tubuhnya, yang
menutupi semua alat dalam yang dimilikinya. Kondisi karapak pada tubuh Albunea bervariasi,
terutama variasi warna yang dimiliki, bentuk karapaks dan tanda-tanda tertentu yang terdapat pada
masing-masing karapaknya.
Kecamatan Leupung memiliki wilayah pesisir, dengan berbagai ekosistem dan sumberdaya
yang terdapat di kawasan ini. Kosistem yang terdapat di kawasan pesisir Leupung antara lain adalah
ekosistem mangrove di kawasan Sungai Reuleng, Tampirak dan Sungai Leupung, terumbu karang di
kawasan Lhokseudu, payau di kawasan Sungai reuleng, Tampirak dan Sungai Leupung, dan kawasan
laut di kawasan Tampirak, Meurandeh, Pulot, dan kawasan Lhokseudu Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar (Sarong, 2010).
Kawasan pesisir di Kecamatan Leupung yang terdapat di lingkungan Samudera Hindia
terutama di zona littoral, terdapat berbagai sumberdaya diantaranya adalah Albunea. Sarong (2013)
menyatakan bahwa di zona littoral kawasan Samudera Hindia hidup berbagai biota perairan
diantaranya adalah Albunea. Albunea dengan warna karapak yang berbeda memiliki sejumlah
individu, menempati zona littoral Samudera Hindia Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar.
Albunea memiliki karapak di dorsum tubuhnya, dengan bentuk dan warna yang berbevariasi.
Warna karapak ada yang merah, biru dan coklat merah. Karapak yang dimiliki berperan melindungi
bagian alat dalam, terutama organ pencernaan dan organ respirasi. Adanya variasi warna pada karapak
Albunea perlu dikaji lebih mendetil, sehingga dapat diperoleh informasi tentang peran warna karapak
dalam penetapan nama species dari Albunea tersebut.
329
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (1) morfologi warna karapak Albunea, (2)
panjang karapak Albunea, dan (3) komposisi jumlah individu berdasarkan warna karapak Albunea
yang terdapat di zona littoral Samudera Hindia kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat dikenal berbagai anggota dari Crustacea, yang
terdapat di zona littoral Samudera Hindia kawasan Pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar.
CARA KERJA
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di zona Littoral perairan Samudera Hindia (Samudera Indonesia),
kawasan pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Zona littoral kawasan pesisir Leupung terdapat di
kawasan Tampirak dan Kawasan Meurandeh Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar.
Pengambilan data Albunea penelitian, dilakukan pada Bulan Juli dan Bulan Agustrus 2013.
Metode Penelitian
Penetapan lokasi penelitian dilakukan secara survei, yang memilih lokasi penelitian karena
keberadaan Albunea di kawasan penelitian. Mendeteksi sarang Albunea dilakukan dengan metode
Survei, yang melakukan pengamatan langsung pada lokasi penelitian. Pengambilan Albunea
dilakukan metode destruktif sampling, yang merusak sarang Albunea yang terdapat di lokasi
penelitian.
Analisis Data
Data tentang morfologi dianalisis secara deskriptif, sedangkan data tentang komposisi
individu dianalisis dengan indek dominansi dengan formulasinya sebagai berikut.
Jumlah individu
Indek Dominansi = ------------------ x 100%
Total individu
330
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
3. Komposisi individu berdasarkan warna karapak Albunea di zona littoral Pesisir Leupung
Komposisi jumlah individu berdasarkan warna karapak dari masing-masing yang hidup di
zona littoral Samudera Hindia Pesisir Leupung bervariasi. Albunea yang memiliki warna karapak
coklat merah ada lima individu (20%), merah sembilan individu (11%), dan karapak berwarna biru 32
individu (69%).
Jika dilihat dari komposisi jumlah individu, ternyata jumlah individu yang memiliki karapak
berwarna biru mendominasi Albunea yang memiliki warna karapak merah dan coklat merah. Ini
menunjukkan bahwa Albunea yang berwarna karapak coklat lebih banyak ditemukan, jika
dibandingkan dengan Albunea yang berkarapak berwarna merah dan coklat merah. Dengan hasil yang
diperoleh ini menunjukkan bahwa kawasan Littoral Samudera Hindia kawasan Pesisir Leupung
Kabupaten Aceh Besar, sangat cocok bagi kehidupan Albunea yang memiliki karapak berwarna
coklat.
Kesimpulan diperoleh adalah (1) Albunea memiliki karapak berwarna merah, biru dan coklat
kehitaman, (2) panjang karapak Albunea bervariasi, dan (3) Komposisi Albunea dengan karapak
berwarna merah lebih dominan jika dibandingkan dengan Albunea berwarna merah dan coklat merah.
DAFTAR PUSTAKA
Boyko, C.B. 2000. The Hippoidea (Decapoda, Anomura) of the Marquises Islands, With Description
of New of Albunea. Zoosystema 22 (1):107-116.
Fraaije, RHB., B.W.M. Bakel, and J. Waiz. 2008. Fist Record of Albunea carobus(Linnaeus, 1758)
(Decapoda: Anomura: Hippoidea) in The Aegean Sea. Biol. Mar. (2013) 54:297-299.
Foka, M.C. and S. Kalogiron. 2013. Albunea turritellacola a New Sand Crab (Anomura, Albuneida
from Lower Miocene of Sothwest France. Bulletin of the Mizanani Fosil Museum No. 34
(2008) p 17-22.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
331
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sarong, M.A. 2013. Karakteristik Habitat dan Morfologi Sarang Undur-undur Laut (Albunea) di Zona
Littoral Pesisir Leupung Kabupaten Aceh Besar. Banda Aceh J EduBio Tropika 1(1): 34-37.
Sarong, M.A. M. Boer, R. Dahuri, Y. Wardiatno, dan M. Kamal. 2010 . Pengambilan Kerang Geloina
yang Ramah Lingkungan Dalam Masyarakat Leupung Kabupaten Aceh Besar. Bogor J
Moluska Indonesia 1(1): 59-64.
Srinivasan, P. Ramesthangan and Prabhu. 2012. Variation ini Lipid Clases and Fatty Acid Contant
During Ovariam Maturation of Albunea Symmysta. India Journal of Advanced Scientific
Research 3(2): 60-64.
Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardiatno dan M. Krisanti. Avertebrata Air Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Swadaya page 78-118
332
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Sungai Asahan merupakan sungai yang sangat penting bagi warga Asahan dan sekitarnya. Adanya
berbagai macam aktivitas masyarakat menyebabkan kondisi perairan tersebut menurun sepanjang tahun.
Pendekatan dilakukan dengan mengetahui Keanekaragaman Makrozoobentos, Kepadatan, Keseragaman, dan
Pengukuran kualitas air yaitu, suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, pH, DO, BOD5, COD, mengunakan
metode Purposive Random Sampling dengan 3 stasiun. Hasil penelitian yang didapatkan ada 5 kelas yaitu kelas
Polychaeta, Insecta, Crustaceae, Gastropoda dan Polycypoda yang terdiri dari 16 genus Makrozoobentos.
Kepadatan Makrozoobentos berkisar 45,81 – 83,86 ind/L. Kepadatan dan individu yang paling banyak
ditemukan pada stasiun 3 yaitu 83,86 ind/L dengan 69 individu. Keanekaragaman berkisar 2,607 – 2,691 dengan
tingkat keanekaragaman tergolong keanekaragaman sedang. Keseragaman makrobentos cukup tinggi yaitu
berkisar 0.96-0,99 berarti menyebarannya merata dan tidak ada yang mendominasi. Kualitas air yang
berpengaruh terhadap keanekaragaman Makrozoobentos adalah oksigen terlarut (DO).
PENDAHULUAN
Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai Asahan
yang berhulu di Danau Toba, mengalir melintasi Kota Tanjung Balai dan berakhir di teluk Nibung,
Selat Malaka. Sungai Asahan pada saat ini merupakan sungai yang mengalami penurunan
keseimbangan ekosistem, yang ditandai terjadinya penurunan tangkapan ikan bagi nelayan di daerah
ini. Hal ini karena kawasan ini telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai
aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pabrik, PLTA dan potensi parawisata.
Sungai Asahan di Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan merupakan daerah
yang akan dibangun PLTA Asahan IV. Dengan adanya aktivitas tersebut akan menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan perairannya. Pemanfaatan sungai sebagai tempat pembangunan PLTA
tersebut merupakan dampak dari aktivitas masyarakat terhadap lingkungan yamg dapat menyebabkan
perubahan faktor lingkungan sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan biota air. Berubahnya
kualitas suatu perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di perairan tersebut.
Biota yang hidupnya berada diperairan Sungai Asahan seperti Makrozoobentos yang digunakan
untuk bioindikator lingkungan. Dengan sifat demikian, perubahan lingkungan mempengaruhi
Kepadatan dan keanekaragaman biota air. Kepadatan dan keanekaragaman ini sangat tergantung pada
toleransi dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan.
Perubahan terhadap kualitas perairan erat kaitannya dengan potensi perairan ditinjau dari
Kepadatan Makrozoobentos. Keberadaan Makrozoobentos disuatu perairan dapat memberikan
informasi mengenai kondisi perairan. Makrozoobentos dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi
kualitas suatu perairan. Makrozoobentos merupakan penyumbang oksigen terbesar di dalam perairan.
Pentingnya peranan Makrozoobentos sebagai pengikat awal energi matahari menjadikan
Makrozoobentos berperan penting dalam kehidupan suatu perairan, oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian Keanekargaman Makrozoobentos di Sungai Asahan Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa
Kabupaten Asahan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat keanekaragaman Makrozoobentos dan kualitas air di
Sungai Asahan dengan berbagai pendekatan yaitu :
(1) mengetahui struktur komunitas Makrozoobentos meliputi : Kepadatan, keanekaragaman, dan
keseragaman
(2) hubungan antara Makrozoobentos dengan kualitas air.
333
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan 12-13 Juli 2012. Dalam penentuan daerah
sampling diambil 3 lokasi dengan 3 kali ulangan, yaitu
Stasiun 1 Desa Marjanji Aceh
Stasiun 2 Perbatasan Desa Marjanji Aceh dan Desa Lubu Ropa
Stasiun 3 Desa Lubu Ropa
Analisis Data
Kepadatan (K)
Jumlah individu suatu suatu jenis
K= x 100 %
Luas Unit Sampel
334
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
H'
E=
H MAX
dengan: H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener(H’)
Hmax = indeks keanekaragaman maximum
E = Indeks Keseragaman
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa suhu air di keempat stasiun berkisar 26-28 0C, dengan suhu
tertinggi pada stasiun III , namun secara keseluruhan suhu relatif sama. Penetrasi cahaya berkisar 51-
74 cm dengan penetrasi cahaya tertinggi di stasiun II, hal ini disebabkan daerah tersebut lebih terbuka
(sedikit ditumbuhi tumbuhan), yang mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya lebih
mudah masuk ke badan air. Intensitas cahaya berkisar 244-267 Candela dengan intensitas cahaya
tertinggi di stasiun II, hal ini karena kemampuan cahaya untuk mengabsorbsi cukup tinggi. pH
berkisar 7,1 – 7,5 dengan pH yang tertinggi distasiun III yang namun secara keseluruhan pH hampir
sama.
Oksigen terlarut (DO) berkisar 7,8 – 9,3 mg/l dengan oksigen terlarut tertinggi di stasiun II,
hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang cukup mendukung sehingga fotosintesis berjalan baik
untuk menyumbangkan banyak oksigen di perairan tersebut. Biologycal Oxygen Demand (BOD)5
berkisar 1,58 – 1,76 mg/l dengan BOD5 tertinggi di stasiun II yang merupakan daerah pemukiman
padat penduduk banyak mengeluarkan limbah domestik berupa bahan organik sehingga oksigen
digunakan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik tersebut. Chemycal Oxygen Demand
(COD) berkisar 5,58- 10,34 mg/l dengan COD tertinggi di Stasiun III merupakan tempat
berkumpulnya substrat dari hulu sungai menyebabkan kandungan organik lebih tinggi sehingga
oksigen untuk menguraikan organik tersebut secara kimia juga tinggi.
335
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
2. Nilai Kepadatan (K) (ind/L) Makrozoobentos di Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa
Sungai Asahan.
Tabel 2. Kepadatan makrozoobentos di Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa Sungai
Asahan.
No Taksa Kepadatan (K)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
I Kelas Polychaeta
A Serpulidae
1. Neanthes 3,70 4,93 4,93
B Amphizoidae
2. Amphizoa 2,46 4,93 6,17
C Chironomidae
3. Cricotopus 2,46 2,46 4,93
D Belostomatidae
4. Belostoma 1,23 3,70 3,70
II Kelas Insecta
E Gomphidae
5. Gomphus 3,70 4,93 7,40
F Lestidae
6. Enalagma 4,93 7,40 7,40
7. Lestes 2,46 4,93 4,93
G Libellulidae
8. Libellula 3,70 6,17 4,93
IV Kelas Gastropoda
I Ampullaridae
10. Pila 2,46 3,70 4,93
J Bulimidae
11. Bulimidae 3,70 4,93 4,93
K Lymnaeidae
12. Polyrhytis 2,46 2,46
L Planorbidae
13. Tropicorbis 2,46 1,23 6,17
M Pleuroceridae
14. Goniobasis 2,46 3,70
N Viviparidae
15. Viviparus 4,93 7,40 9,87
V Kelas Pelecypoda
O Sphaeriidae
16. Sphaerium 3,70 6,17 8,64
Jumlah individu 38 51 69
Jumlah Taksa 15 15 15
Jumlah Kepadatan (ind/L) 45,81 65,34 83,86
336
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada stasiun I genus Viviparus dan Enalagma dengan nilai
Kepadatan tertinggi sebesar 4,93 ind/L, dan terendah pada genus Belostoma sebesar 1,23 ind/L. Pada
stasiun II genus Viviparus dan Enalagma dengan nilai Kepadatan tertinggi sebesar 7,40 ind/L dan
terendah pada genus Palaemonetes dan Tropicorbis sebesar 1,23 ind/L. Pada stasiun III genus
Viviparus dengan nilai Kepadatan tertinggi sebesar 9,87 ind/L dan terendah pada genus Palaemonetes
sebesar 1,23 ind/L.
Dari Tabel 4 dapat dilihat nilai keanekaragaman (HI) tertinggi pada stasiun II sebesar 2.69 dan
terendah pada stasiun III sebesar 2,61. Keanekaragaman Makrozoobentos di 3 stasiun tergolong
sedang. Menurut Kreb (1985), keanekaragaman rendah bila 0<(HI)<2,302, keanekaragaman sedang
bila 2,302<(HI)<6,907, dan keanekaragaman tinggi bila (HI)>6,907.
Dilihat dari nilai keanekaragaman stasiun I - III tergolong tercemar ringan, Menurut Lee et
al., (1978), nilai keanekaragaman (HI) pada perairan dikatakan tercemar berat bila (HI)<1, tercemar
sedang (HI) 1,0-1,5, sedangkan tercemar ringan bila (HI) >2,0.
Nilai keseragaman (E) berkisar 0.97 - 0.99 dengan nilai keseragaman tertinggi pada stasiun II,
terendah stasiun III. Menurut Kreb (1985) nilai keseragaman (E) berkisar 0-1, Nilai keseragaman
mendekati 1 yang berarti keseragaman juga cukup merata tidak ada Makrozoobentos yang
mendominasi, meskipun ada beberapa Makrozoobentos yang banyak ditemukan seperti : Viviparus
dan Enalagma.
Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa DO berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman
Makrozoobentos. Dimana DO selama penelitian berkisar 7,8 – 9,3 mg/L, sehingga DO mempunyai
hubungan yang sangat kuat terhadap keanekaragaman Makrozoobentos.
D. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan tentang Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Asahan
Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Makrozoobentos yang didapatkan sebanyak 16 genus dari 5 kelas
337
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
2. Kepadatan Makrozoobentos berkisar 45,81 – 83,86 ind/L. Kepadatan tertinggi pada stasiun 3
yaitu 83,86 ind/L dengan 69 individu dengan kepadatan genus tertinggi pada genus viviparus
sebesar 9,87 ind/L
3. Keanekaragaman berkisar 2,61 – 2,69 dengan tingkat keanekaragaman tergolong
keanekaragaman sedang.
4. Keseragaman makrozoobentos cukup tinggi yaitu berkisar 0.96-0,99 berarti menyebarannya
merata dan tidak ada yang mendominasi.
5. Tingkat pencemaran berdasarkan nilai keanekaragaman makrozoobentos pada stasiun I- III
tergolong tercemar ringan.
6. Kualitas air yang berpengaruh keanekaragaman Makrozoobentos adalah oksigen terlarut
(DO).
DAFTAR PUSTAKA
Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke-2 UGM Press,
Yogyakarta. 10-14.
Edmonson, W.T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. Jhon Willey &Sons, inc., New
York.pp. 274-285.
Lalli,C.M. & T.R. Persons. 1993. Biological Oceanographi : An Introduction. Pergamon Press, New
York. pp.186-187
Nagel, V. P. 1989. Bildbestimmung-schlussel der Saprobien. Gustav Fisher Verlag Stuttgatr. 15-16.
Naughton, S. J & L. Larry. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 165-
166.
Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
373,397.
Payne, A.I. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wilay & Sons, New York. pp.75-
83.
Rudiyanti, S., 2009. Kualitas Perairan Sungai Banger Pekalongan Berdasarkan Indikator Biologis.
Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 4, No.2, 2009 : 46-52.
Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta. 35,83-87.
Thoba, H., 2002. Kepadatan Makrozoobentos di Perairan Bangka- Belitung dan Laut Cina Selatan,
Sumatera , Makara, Sains, Vol.8 No. 3, Desember 2004 : 96-102.
Whitten, A. J, N. Hisyam, J. Anwar & S. J. Damanik. 1987. The Ecology of Sumatera. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. 192,209.
338
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian mengenai jenis-jenis tumbuhan paku yang berkhasiat sebagai tanaman obat yang ditemukan
pada Gunung Tandikek di Sumatera Barat telah dilakukan pada bulan September sampai Desember 2013.
Sampel tumbuhan paku di koleksi dari Gunung Tandikek Sumatera Barat. Penelitian dilanjutkan pada
laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas. Penelitian ini bertujuan untuk
menginventarisasi jenis-jenis tumbuhan paku yang berkhasiat sebagai obat-obatan alami dari Gunung Tandikek
di Sumatera Barat. Metode yang digunakan yaitu metode survei dengan mengobservasi sampel langsung di
lapangan. Hasil penelitian didapatkan tumbuhan paku ke dalam 18 jenis, 13 genus dan 11 famili. Famili
Tumbuhan paku yang dominan yaitu famili Polypodiaceae sebanyak 3 genus yaitu Drynaria, Microsorium dan
Diplazium. Pyrrosia dengan spesies Pyrrosia lanceolata, Drynaria dengan spesies Drynaria quercifolia dan D.
sparsisora, dan Microsorium dengan spesies Microsorium musifolium
PENDAHULUAN
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan yang tertua dan primitive yang masih ada dipermukaan
bumi. Tumbuhan paku memiliki kontribusi yang sangat besar dalam keanekaragaman hayati di bumi
dan membentuk komponenyang dominan pada komunitas tumbuhan khususnya pada daerah tropis
dan temperate. Tumbuhan paku di dunia diperkirakan memiliki lebih dari 1200 taxa yang tergabung
dalam 204 genera ( Kumari, et.al. 2011).
Tumbuhan paku banyak digunakan oleh masyarakat sebagai makanan dan obat-obatan
semenjak jaman dahulunya (Lee dan Shin, 2010). Di India tercatat sebanyak 66 jenis tumbuhan paku
yang digunakan sebagai sumber obat-obatan pada komunitas masyarakat yang berbeda (Kumari, et.
al. 2011). Komponen bioaktif dari tumbuhan paku diantaranya phenolic, flavonoid, alkaloid dan
terpenoid (Ho et al., 2010). Flavonoids dan senyawa phenolic telah digunakan sebagai antioksidan
(Dai dan Mumper, 2010; Procházková et al., 2011). Salah satu fungsi tumbuhan paku yang berkaitan
dengan kesehatan manusia adalah adanya aktivitas dari antioksidannya (Lee and Shin, 2010). Chai, et
al. (2012) membuktikan bahwa salah satu spesies tumbuhan paku yaitu Stenochlaena palustris
merupakan tumbuhan paku yang banyak digunakan sebagai sayuran dan obat tradisional. Ekstrak dari
daun steril yang muda, daun steril yang tua, daun fertile yang muda dan daun fertile yang tua pada S.
palustris didapatkan bahwa ekstrak daun tua yang steril memiliki kandungan polypenol tertinggi
(51.69 mg/g dry matter), flavonoids (58.05 mg/g dry matter), dan hydroxycinnamic acids (48.80 mg/g
dry matter). Disamping itu frond steril yang tua berpotensial sangat efektif sebagai sumber
antioksidan alami.
Di Indonesia tumbuhan paku juga banyak digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sehari – hari khususnya sebagai bahan obat-obatan tradisional. Damayanti (1999)
menemukan jenis tumbuhan paku Selaginella firiformis dan selaginella plana serta Pyrrosia sp
sebagai tanaman yang digunakan untuk obat-obatan pada beberapa etnis di Indonesia. Berhubung
masih terbatasnya data tentang jenis-jenis tumbuhan paku yang ada di Sumatera barat khususnya yang
banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan. Maka dilakukan penelitian tentang
jenis-jenis tumbuhan paku yang diperkirakan banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-
obatan alami dari salah satu daerah yang memiliki keanekaragaman biodiversitas masih tinggi di
sumatera barat yaitu Gunung Tandikek. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis-
jenis tumbuhan paku yang diindikasikan berkhasiat sebagai tanaman obat bagi masyarakat dari
Gunung Tandikek Sumatera Barat.
339
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
340
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Famili, genus dan spesies tumbuhan paku berkhasiat obat yang terdapat di Gunung
Tandikek Sumatera Barat.
Letak
Ketinggian Senyawa berkhasiat
No Famili Genus, Spesies (BB)
(mdpl) Obat Alami
(BT)
1 Lycopodiaceae Lycopodium
Lycopodium carinatum 0650642 1231 Alkaloid huperzine A
Desv 9952758 &B
2 Lycopodium phlegmaria 0650474 1294 Alkaloid lycodoline
L 9952676
3 Selaginellaceae Selaginella
Selaginella ornata 0651140 1190 Ethanol
(Desv) Backer 9953032
4 Selaginella cernuum L. 0651000 1191 Phenolic
9953052
5 Selaginella willdenowii 0650532 1272 Biflavonoid
(Desv) Backer 9952766
6 Polypodiaceae Pyrrosia
Pyrrosia lanceolata (L) 0651194 1189 Alkaloids, Arbutin,
Forewell 9952992 Tanin
7 Drynaria
Drynaria quercifolia 0650642 1231 Alkaloid, Tanin,
9952758 Saponin
8 Drynaria sparsisora 0650570 1243 Streptomycine
(Desv) Moore 9952756 (antibiotik )
9 Microsorium
Microsorium musifolium 0649862 1383 Alkaloid, Saponin
(Bl.) Copel 9952964
10 Athyriaceae Diplazium
Diplazium 0651279 1190 Flavonoid
esculentum (Bl.) Mild 9953034 procyanidine, Asam
phenolic
11 Diplazium batamense 0650528 1277 Sumber Ca, P dan Fe
(Bl) 9952763
12 Marattiaceae Angiopteris
Angiopteris evecta 0651154 1197 Alkohol
9953026 Obat beriberi
13 Gleicheniaceae Dicranopteris
Dicranopteris linearis 0651043 1192 Tanin, Essensial oil
9953036 dan Saponin
14 Nephrolepidaceae Nephrolepis
Nephrolepis davalliodes 0650763 1227 Tanin, Essential oil,
(Sw) 9953290 Sequoyitol
15 Ophyoglossaceae Ophyoglossum
Ophyoglossum 0650571 1240 Sumber gula
pendulum L. 9952757
16 Davalliaceae Davallia
Davallia denticulata 0650532 1272 Vicianin, Cyanogenic
9952766 glicoside
17 Blechnaceae Stenochlaena
Stenochlaena palustris 0650474 1302 5 macam
(Burm) Bedd 9952767 Stenopalustrosides A
-E
18 Adiantaceae Adiantum
Adiantum caudatum L 0649952 1374 Proanthocianin,
9952958 flavonoid, Cinnamic
acid esters
341
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Berdasarkan Tabel 1 yang telah dikemukakan diatas maka dapat di ketahui bahwa Gunung
Tandikek yang secara administrasi berada pada Kabupaten Agam Sumatera Barat memiliki
keanekaragaman flora yang cukup tinggi khusus untuk Tumbuhan Paku. Tumbuhan Paku terbukti
terdistribusi secara luas namun memiliki jumlah jenis yang masih belum dapat dipastikan.
Diperkirakan sekitar 12.000 jenis tumbuhan paku yang mencakup 400 genera dan 36 famili di Dunia
(Tryon, 1992). Tumbuhan paku banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan
diantaranya di Srilangka delapan spesies tumbuhan paku diantaranya Acrosticum aureum, Blechnum
orientale, Drynaria quercifolia, Huperzia phlegmaria, H. squarrosa, Lycopodiella cernua,
Nephrolepis falcate, dan Ophioglossum pendulum digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan dan
hiasan (Pushpakumara, Ddara & Dhanasekara, 2005). Komponen bioaktif dari tumbuhan paku
diantaranya phenolic, flavonoid, alkaloid dan terpenoid (Ho et al., 2010). Flavonoids dan senyawa
phenolic telah digunakan sebagai antioksidan (Dai dan Mumper, 2010; Procházková et al., 2011).
Keanekaragaman jenis tumbuhan paku yang didapatkan di Gunung Tandikek diantaranya
famili Lycopodiaceae terdiri dari genus Lycopodium dengan 2 spesies yang ditemukan yaitu
Lycopodium carinatum dan L. phlegmaria. Famili Selaginellaceae terdiri dari genus Selaginella
dengan spesies yang ditemukan yaitu Selaginella ornata, S. cernuum dan S. willdenowii. Famili
polipodiaceae merupakan famili yang memiliki genus yang terbanyak sekitar 3 genus. Pyrrosia
dengan spesies Pyrrosia lanceolata, Drynaria dengan spesies Drynaria quercifolia dan D. sparsisora,
dan Microsorium dengan spesies Microsorium musifolium. Famili Athyriaceae terdiri dari genus
Diplazium dengan spesies Diplazium esculentum dan D. batamense. Famili Marattiaceae dengan
genus Angiopteris yang terdiri dari Angiopteris evecta. Famili Gleicheniaceae dengan genus
Dicranopteris dan spesies Dicranopteris linearis. Famili Nephrolepidaceae dengan genus Nephrolepis
dan spesies Nephrolepis davalliodes (Sw). Famili Ophyoglossaceae dengan genus Ophyoglossum dan
spesies Ophyoglossum pendulum L. Famili Davalliaceae dengan genus Davallia spesies Davallia
denticulate. Famili Blechnaceae terdiri atas genus Stenochlaena dengan spesies Stenochlaena
palustris (Burm) Bedd. Famili Adiantaceae terdiri atas genus Adiantum dan spesies Adiantum
caudatum L.
Berdasarkan data famili tumbuhan paku yang telah di temukan di Gunung Tandikek, maka
didapatkan perbandingan 11 famili tumbuhan paku. Famili Polypodiaceae dan Aspleniacae memiliki
keanekaragaman genus dan spesies yang tinggi. Pada famili Polypodiaceae memiliki jumlah genus
terbanyak yaitu 3 genus. Schmith dan Widdisch (2010) mempublikasikan dari 31 genus, 16 genera
dan 6 famili tumbuhan paku yang digunakan pada penelitiannya maka, diklasifikasikan sebanyak 39
% famili Polypodiaceae dan 22 % genus Asplenium.
Kandungan senyawa kimia yang ditemukan pada masing-masing spesies dengan
menggunakan stud literatur diketahui sangat beragam. Berdasarkan data pada Tabel 1 didapatkan
bahwa genus Lycopodium mengandung senyawa alkaloid, Selaginella mengandung Etahanol,
phenolik dan biflavonoid. Pyrrosia mengandung Alkaloid, Arbutin dan tannin, Drynaria mengandung
alkaloid, tannin dan saponin. Saponin merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai anti
imflammasi, analgesic dan sitotoksik. Drynaria dapat digunakan sebagai bahan antibiotic karena
mengandung Streptomycine, Microsorium mengandung alkaloid dan saponin, Diplazium
mengandung flavonoid yang merupakan senyawa antiinflammasi, antitumor, analgesic, antioksidan,
sumber procyanidine dan asam phenolic serta dapat digunakan sebagai sumber Ca, P dan Fe.
Angiopteris sumber alcohol, Dicranopteris dan Nephrolepis sumber senyawa Tanin sebagai obat anti
kanker dan anti HIV, Ophyoglossum sebagai sumber gula, Davallia sebagai sumber vicianin dan
cyanogenic glikosida, Stenochlaena mengandung senyawa stenopalustrosides dan Adiantum
caudatum mengandung senyawa proantocyanin, flavonoid dan cinnamic acid ester. Kesemua senyawa
di atas dapat dijadikan sebagai sumber bahan kimia yang berkhasiat sebagai obat alami yang dapat di
ekstrak langsung dari alam (Winter dan Amoroso, 2003).
342
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
1. Ditemukan 11 Family, 13 genus dan 18 spesies tumbuhan paku yang terindikasi mengandung
senyawa yang dapat berkhasiat sebagai obat alami .
2. Senyawa kimia yang berkhasiat sebagai tanaman obat yang terdapat pada tumbuhan paku
diantaranya terdiri atas senyawa alkaloid, ethanol, flavonoid, biflavonoid, tannin, saponin dan
asam oksalat.
Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, maka terdapat beberapa hal dapat saya sarankan dari
penelitian ini sebagai berikut :
1. Perlunya dilakukan penelitian tingkat jenis dari tumbuhan paku yang ditemukan di Gunung
Tandikek ini dalam bidang biokimia maupun bidang farmakologi guna mengkaji lebih lanjut
data senyawa kimia yang ditemukan pada tumbuhan paku
2. Berhubung dengan terbatasnya informasi yang ada dan tingginya tingkat keanekaragaman
jenis tumbuhan paku di Gunung Tandikek maka disarankan perlunya dilakukan penelitian
tentang inventarisasi lebih mendalam tentang masing-masing jenis.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, S.B. 1990. Ferns of Queensland. Queensland Department of Primary Industries. Brisbane.
Chai, Panirchellvum, Ong dan Wong. 2012. phenolic contents and antioxidant properties of
Stenochlaena palustris, an edible medicinal fern Botanical Studies. 53: 439-446
Copeland E.B. 1947. Genera Filicum.ChronicaBotanica, Waltham, Mass.
Dai, J. and R.J. Mumper. 2010. Plant Phenolics: Extraction, Analysis and their Antioxidant and
Anticancer properties. Molecules. 15: 7313-7352.
Damayanti, E.K. 1999. Kajian Tumbuhan Obat berdasarkan kelompok penyakit penting pada
beberapa etnis di Indonesia. Skripsi sarjana kehutanan Institute Pertanian Bogor.Indonesia.
Harris, J.G and M.W. Harris. 1994. Plant Identification Terminology. An Illustrated Glossary. Spring
lakePublishing. United States of America.
Hickey, M dan C. King. 2000. The Cambridge Illustrated Glossary of Botanical Term.
CambridgeUniversity Press. United Kingdom.
Ho, R., T. Teai, J.-P. Bianchini, R. Lafont, and P. Raharivelomanana. 2010. Ferns: From Traditional
uses to pharmaceutical development, chemical identification of activeprinciples. In H.
Fernández, M.A. Revilla, and A. Kumar (eds.), Working with ferns: Issues and applications.
Springer, New York, pp.321-346.
Holttum, R. E. 1967. A Revised Flora of Malaya Volume II.Ferns of Malaya.Government Printing
Office. Singapore.
Jain, S. K. and R. H. Rao. 1977. Hand Book of Fieldand Herbarium Methods.Today and Tomorrows
Printers and Publishers. New Delhi
Johnson, A. 1960. Student Guide to the Ferns of Singapore Island. Singapore University Press.
Singapore
Mildawati, Arbain, Fitrah. 2013. Aspleniaceae of Tandikek Mountain. The Journal of Tropical Life
Science. 3 (2).
Piggott, A.G. 1988. Ferns of Malaysia in Colour. Tropical Press SDN.BHD. Malaysia
Pushpakumara, D & Dhanasekara. 2005. Uses Of Pteridophte Flora In Sri Lanka. Proceedings of The
Tenth Annual Forestry & Environmental Symposium. Department of Forestry &
Environmental Science, University Of Sri Jayewardenepura, Sri Lanka
Pryer, K.M, E. Scuettpelz, P.G.Wolf, H. Schneider, A.R.Smith, R. Cranfill. 2004. Phylogeni and
Evolution Of Ferns (Monilophytes) With A Focus on The Early Leptosporangiate Divergences.
American Journal of Botany 91 (10): 1582-1598.
Schmitt, J. L. and P. G. Windisch (2010). "Biodiversity and spatial distribution of epiphytic ferns on
Alsophila setosa Kaulf. (Cyatheaceae) caudices in Rio Grande do Sul, Brazil." Braz J Biol
70(3): 521-528.
Kumari, Otaghvari, Govindapyari, Bahuguna, dan Uniyal. 2011. Some Ethnomedicinally Important
Pteridophytes of India. Int. Med.arom. Plants, ISSN 2249 – 4340 Vol 1. (1) 18– 22.
343
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Lee, C.H. and S.L. Shin. 2010. Functional activities of ferns for human health. In H. Fernández, M.A.
Revilla, and A. Kumar (eds.), Working with ferns: Issues and applications. Springer, New
York, pp. 347-359.
Loveless, AR. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2. PT Gramedia.
Jakarta.
Procházková, D., I. Boušová, and N. Wilhelmová. 2011. Antioxidant and prooxidant properties of
flavonoids. Fitoterapia 82: 513-523.
Tryon, R., 1992. Pteridophytes. In: H. Lieth and M. J. A Werger (Editor), Tropical Rain Forest
Ecosystem.Elsevier Science Publisher B. V. Netherland.
Winter dan Amoroso. 2003. Plant Resources of South – East Asia. Cryptogams : Ferns and Ferns
Alliens. Prosea. Bogor Indonesia. 15 (2)
344
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Ekosistem riparian terletak di tepian sungai yang terkena banjir. Ekosistem riparian memiliki fungsi
ekologis sebagai penyanggah bagi ekosistem teresterial dan akuatik. Pencemar yang masuk ke Sungai
Ranoyapo, Minahasa Selatan dapat menurunkan kualitas air S.Ranoyapo. Pentingnya fungsi vegetasi riparian
dalam mempertahankan kualitas air Sungai Ranoyapo membutuhkan penelitian tentang vegetasi riparian.
Penelitian ini bertujuan menganalisis jenis-jenis vegetasi riparian Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan. Hasil
penelitian akan sangat bermanfaat sebagai data base dalam penelitian selanjutnya yang terkait dengan DAS
Ranoyapo dan kualitas sungai Ranoyapo. Penelitian dilakukan di bagian hulu dan tengah pada Mei -Oktober
2013. Metoda yang dilakukan yaitu survai dan analisis data secara deskriptif. Pola penggunaan lahan di
sepanjang Sungai Ranoyapo dari hulu hingga tengah bervariasi namun umumnya pertanian tanaman pangan dan
perkebunan. Jenis-jenis tanaman di zona riparia misalnya padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), kelapa (Cocos
nucifera), ubi (Manihot utilissima), coklat (Theobroma cacao) dan cengkeh (Syzygium aromaticum). Vegetasi
riparian alami termasuk anggota dari berbagai suku antara lain suku Poaceae, Cyperaceae, Asteraceae,
Lamiaceae, Campanulaceae dan Euphorbiaceae Malvaceae, Acanthaceae, Amaranthaceae, Commelinaceae,
Mimosaceae, Fabaceae, Dryopteridaceae, dan Urticaceae. Jenis vegetasi riparian alami tumbuhan bawah antara
lain Wedelia trilobata, Digitaria, Eupatorium odoratum, Ageratum conyzoides dan Mikania micrantha.
Tumbuhan berupa pohon yaitu Ficus sp., Macaranga sp., dan Terminalia catappa.
PENDAHULUAN
Sungai sebagai salah satu ekosistem perairan berperan penting bagi manusia dan juga bagi
organisme akuatik. Sungai Ranoyapo merupakan sungai utama dari Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ranoyapo. Kabupaten Minahasa Selatan – Provinsi Sulawesi Utara. Sungai ini memiliki fungsi dan
nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan manusia dan hidupan liar namun berbagai kegiatan manusia
dapat menyebabkan penurunan kualitas air Sungai Ranoyapo.
Ekosistem riparian yang berada di tepian sungai ini ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan
yang telah beradaptasi untuk hidup di tempat yang seringkali tergenang air sungai terutama saat hujan
turun (Mitsch dan Gosselink 1993). Vegetasi riparian menurut pakar dapat menjaga kualitas air sungai
melalui pengaturan suhu air (Mitsch dan Gosselink 1993; Bailey 1995), pengendalian erosi dan
sedimentasi (Jones et al. 1999), sebagai sumber serasah (energi) (Johnson et al. 1995) dan penjerap
pencemar dari daratan yang terbawa ke sungai melalui air limpasan (Tourbier 1994). Vegetasi riparian
juga sebagai habitat hidupan liar teresterial (Mitsch dan Gosselink 1993), tempat bagi hewan-hewan
untuk mencari perlindungan, kawin dan memijah (Mitsch dan Gosselink 1993; Sparks 1995; Jones et
al. 1999).
Kualitas air sungai harus terus dilakukan dan ditingkatkan untuk mempertahankan
keberlanjutan nilai dan fungsi sungai bagi semua makhluk hidup. Riparian memiliki fungsi dan
manfaat yang sangat penting namun riparian mengalami ancaman akibat kegiatan manusia yang
memanfaatkannya. Pemanfaatan tepian sungai untuk kepentingan manusia misal sebagai lahan
permukiman, pertanian, industri, transportasi dan penguatan tebing telah menghilangkan riparian
(Malanson 1995; Maryono 2005; Johnson et al. 1995). Jika vegetasi riparin telah hilang maka fungsi
riparian itupun hilang. Petts (1996) menyebutkan hilangnya vegetasi riparian menjadi faktor utama
penurunan dan kepunahan fauna akuatik.
Pentingnya fungsi vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai ranoyapo
membutuhkan penelitian tentang vegetasi riparian. Penelitian ini bertujuan menganalisis jenis-jenis
vegetasi riparian Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan. Hasil penelitian akan sangat bermanfaat
sebagai data base dalam penelitian selanjutnya yang terkait dengan DAS Ranoyapo dan kualitas
sungai Ranoyapo.
345
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di hulu dan tengah Sungai Ranoyapo, Kabupaten Minahasa Selatan pada
Mei-Oktober 2013. Lokasi hulu berada di Desa Lindangan, Kecamatan Maesan pada koordinat
124028’18.27” BT dan 0052’30.33” LU. Lokasi tengah di Desa Lompad Lama pada koordinat 124031’
24.42” BT dan 1001’03.89” LU. Penelitian ini menggunakan metode purposive random sampling.
Penentuan secara purposive tempat cuplikan di tiap tipe riparian untuk analisis vegetasi.
Metode Penelitian
Zona riparian adalah daratan yang berada di dekat Sungai Ranoyapo yang secara periodik
dipengaruhi oleh banjir. Penetapan zona riparia juga dapat dilakukan dengan menggunakan batasan
lebar sempadan sungai menurut Kepres No.32/1990 (Anonim 1990). Penetapan lebar zona riparia
menjadi dasar bagi langkah penelitian analisis vegetasi. Sehingga, pengamatan dan wawancara sangat
penting dilakukan sebelum penetapan lebar zona riparia Sungai Ranoyapo, Minahasa Selatan.
Lokasi dapat di tepian kiri dan/ataupun kanan Sungai Ranoyapo tergantung pada tepi tipe
vegetasi. Pengamatan jenis-jenis vegetasi riparian dilakukan pada semua tingkatan pohon (semai,
tiang, pancang dan pohon) dan tumbuhan bawah (paku, liana, herba, semak belukar dan rumput).
346
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Jenis vegetasi riparian di bagian hulu dan tengah secara umum tidak berbeda. Jenis vegetasi
riparian dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tanaman pertanian dan tumbuhan alami. Vegetasi
riparian berupa tanaman antara lain padi, jagung, coklat, cengkeh, kelapa dan aren. Vegetasi riparian
alami termasuk anggota dari berbagai suku antara lain suku Poaceae, Cyperaceae, Asteraceae,
Lamiaceae, Campanulaceae dan Euphorbiaceae Malvaceae, Acanthaceae, Amaranthaceae,
Commelinaceae, Mimosaceae, Fabaceae, Dryopteridaceae, dan Urticaceae. Jenis vegetasi riparian
alami umumnya tumbuhan bawah yang umum ada di lahan-lahan pertanian misalnya Wedelia
trilobata, Asystasia gangetica, Eupatorium odoratum, Ageratum conyzoides, Medinella sp., Mikania
micrantha, Paspalum conjugatum, Pennisetum purpureum, Synedrella nodiflora, Clitoria ternatea
dan Piper aduncum. Tumbuhan pohon misalnya Macaranga sp., Ficus sp. dan Terminalia catappa.
TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui
Satuan Kerja Universitas Sam Ratulangi yang telah membiayai penelitian ini sesuai dengan Daftar
Isian Pelaksaan Anggaran (DIPA) No.023.04.2.415171/2013 Tanggal 05 Desember 2012 Revisi II
Tanggal 1 Mei 2013 Tahun Anggaran 2013.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.
Bailey PB. 1995. Understanding large river-floodplain ecosystems: significant economic advantages
and increased biodiversity and stability would result from restoration an impaired systems.
BioScience. 45 (3):153-167.
DPU [Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi Utara]. 2012. Studi Database Wilayah Sungai
Poigar-Ranoyapo. Laporan Antara. CV.Anugrah Agung Abadi. Manado
Johnson BL, Richardson WB, Naimo TJ. 1995. Past, present, and future concepts in large river
ecology: how rivers function and how human activities influence river processes. BioScience 45
(3): 134-141.
Jones EBD, Helfman GS, Harper JO, Bolstad PV. 1999. Effects of riparian forest removal on fish
assemblages in southern appalachian streams. Conservation Biology 13 (6):1454-1465.
Malanson GP. 1995. Riparian Landscapes. Cambridge: Cambridge University Press.
Maryono A. 2005. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press.
Mitsch WJ, Gosselink JG. 1993. Wetlands. Ed ke-2. New York: Van Rostrand Reinhold.
Naiman RJ, DeCamps H, McClain ME. 2005. Riparia: Ecology, Conservation, and Management of
Streamide Communities. Amsterdam: Elsevier Academic Press.
Petts GE. 1996. Sustaining the ecological integrity of large floodplain rivers. Di dalam: Anderson
MG, Walling DE, Bates PD, editor. Floodplain Processes. Chichester: John Wiley and Sons.
hlm 535-551.
Sparks RE. 1995. Need for ecosystem management of large rivers and their floodplans. BioScience 45
(3):168-182.
Tourbier JT. 1994. Open space through stormwater management. J Soil and Water Cons 49 (1):14-21.
347
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Hutan Aek Nauli terletak di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara mempunyai luas areal sekitar
1900 ha, pada ketinggian 1200-1700 m dari permukaan laut. Kawasan Hutan Aek Nauli merupakan hutan Pinus
dan hutan heterogen yang memegang peranan penting dalam kelestarian lingkungan hayati yang berkelanjutan.
Di kawasan Hutan Aek Nauli, banyak ditemukan jenis Piperaceae dan Rubiaceae, namun demikian masih
belum ada informasi tentang keanekaragaman Piperaceae dan Rubiaceae di kawasan tersebut. Penelitian
bertujuan mengetahui keanekaragaman Piperaceae dan Rubiaceae di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun
Provinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian ditentukan secara Purposive Sampling dan dibagi menjadi 5 jalur
yang terdiri dari 50 plot ukuran 10 x 10 m yang dibagi menjadi tiga kriteria dan zona pegunungan, yaitu : Hutan
Primer Atas, Hutan Sekunder Atas, dan Hutan Sekunder Bawah. Ketinggian lokasi penelitian tersebut berada
pada ketinggian 1200 – 1700 m dpl. Luas total areal pengamatan seluas 0,5 Ha. Hasil penelitian diperoleh 36
jenis, yang terdiri atas : Piperaceae 10 jenis dan Rubiaceae 26 jenis. Jumlah jenis Piperaceae dan
Rubiaceaepada tertinggi terdapat di Hutan Sekunder Bawah. Jenis Piperaceae yang mendominasi adalah Piper
crassipes Kort., dan Piper sp 1., sedangkan pada Rubiaceae adalah Hedyotis sp. dan Lasianthus tomentosus Bl.
Jenis Piperaceae yang mendominasi pada Hutan Primer Atas adalah Piper sp 2. dengan Indeks Nilai Penting
(INP) 94,49%, sedangkan Rubiaceae adalah Hedyotis sp4. dengan INP 40,10%. Pada Hutan Sekunder Atas
Piperaceae didominasi oleh Piper crassipes Kort.dengan INP 151,45%, sedangkan pada Rubiaceae adalah
Lasianthus tomentosus Bl. dengan INP 59,01%. Pada Hutan Sekunder Bawah jenis Piperaceae didominasi oleh
Piper sp 1. 56,55%, sedangkan pada Rubiaceae didominasi oleh Hedyotis sp 2. dengan INP 34,67%.
PENDAHULUAN
Piperaceae di Indonesia secara umum dikenal dengan sirih-sirihan dan Rubiaceae dikenal
secara umum dengan kopi-kopian. Kedua jenis tumbuhan tersebut banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat sejak dahulu hingga sekarang karena mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, antara lain:
sebagai tanaman budidaya, obat-obatan, bahan rempah-rempah, bahan antiseptik, bahan kosmetik
dan bahan minuman.
Piperaceae merupakan jenis tumbuhan berupa semak atau perdu, seringkali memanjat dengan
menggunakan akar lekat, mempunyai ciri khas, yaitu: daunnya kerap kali berbau aromatis atau
rasa pedas (Steenis, 2005). Rubiaceae merupakan tumbuhan berupa pohon, perdu atau herba kadang-
kadang memanjat, memiliki ciri khas yaitu pada buahnya terdapat aroma yang memiliki daya tarik
atau zat mint. Piperaceae dan Rubiaceae ini secara alami tumbuh di hutan hujan tropis, dari
dataran rendah hingga dataran tinggi.
Keanekaragaman tumbuhan Piperaceae diperkirakan mencapai ± 1300 jenis yang terbagi
dalam 10 marga. Hampir semuanya tumbuh di daerah tropika, berbeda dengan tumbuhan Rubiaceae
suku ini meliputi tidak kurang dari 4500 jenis terbagi dalam ± 400 marga, tersebar di seluruh
dunia, sebagian besar di daerah beriklim panas. Jumlah jenis Piperaceae di kawasan Sumatera,
khususnya Sumatera Utara belum diketahui jenisnya. Pandey (2003) menyatakan bahwa Rubiaceae
merupakan jenis tumbuhan yang bermanfaat secara ekonomi. Banyak jenis dari famili Rubiaceae ini
dijadikan sebagai bahan obat-obatan yang berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit,
misalnya Morinda citrifolia yang dapat digunakan sebagai penghasil zat warna, daun dapat
dimakan sebagai sayur, cairan buah untuk obat tekanan darah tinggi dan Uncaria gambir sebagai obat
anti diare. Jenis-jenis Rubiaceae juga dijadikan sebagai tanaman hias di pekarangan rumah, halaman
perkantoran dan taman-taman rekreasi, misalnya Ixora sp dan Mussaenda sp. Mengingat pentingnya
peran tumbuhan Piperaceae dan Rubiaceae tersebut secara ekonomi maka perlu diungkap kekayaan
jenisnya.
348
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Kawasan Hutan Aek Nauli terletak di Kabupaten Simalungun, mempunyai luas areal sekitar
1900 ha, dengan ketinggian antara 1200-1700 m dari permukaan laut (dpl). Kawasan Hutan Aek
Nauli Kabupaten Simalungun terdiri dari hutan Pinus dan hutan heterogen yang memegang peranan
penting dalam kelestarian lingkungan hayati yang berkelanjutan. Di Kawasan Hutan Aek Nauli,
banyak ditemukan jenis Piperaceae dan Rubiaceae, namun demikian masih belum ada informasi
tentang keanekaragaman Piperaceae dan Rubiaceae di Kawasan Hutan Aek Nauli
Kabupaten Simalungun. Berdasarkan hal tersebut penelitian Keanekaragaman Piperaceae dan
Rubiaceae di Kawasan Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun perlu dilakukan.
CARA KERJA
Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.
Secara geografis terletak diantara 02⁰40’00” LU - 02050’00” LU dan 98050’00” BT -99010’00”BT.
(Lampiran 1). Lokasi tersebut berjarak ± 10,5 km dari Parapat sebagai Kota Wisata andalan Sumatera
Utara dimana terdapat Danau Toba.
Lokasi pengambilan sampel ditetapkan secara purposive sampling dimulai dari ketinggian
1200-1700 m dpl. Pengamatan di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak,
dibuat 5 jalur transek dan pada setiap jalur transek yang arahnya memotong garis kontur. Masing-
masing transek terdiri dari 10 plot dengan ukuran 10 m x 10 m. Sehingga jumlah total luas seluruhnya
adalah 5 jalur transek x 10 plot x (10 m x 10 m) = 5000 m2 atau sama dengan 0,5 Ha. Lokasi
ditentukan langsung dengan terlebih dahulu dieksplorasi untuk mengetahui keberadaan Tumbuhan
Piperaceae dan Rubiaceae. Kemudian lokasi dikelompokkan menjadi empat kriteria yakni: 1) Hutan
Pegunungan Atas Primer, 2) Hutan Pegunungan Atas Sekunder, 3) Hutan Pegunungan Bawah
Sekunder.
Analisis Data
Untuk mengetahui jenis-jenis Piperaceae dan Rubiaceae yang dominan pada setiap ketinggian
dilakukan analisis Indeks Nilai Penting (INP). INP = Kr + Fr. INP = Indeks Nilai Penting; Kr =
Kerapatan Relatif ; Fr = Frekuensi Relatif (Cox, 1992).
349
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sebaran jenis-jenis Piperaceae dan Rubiaceae berdasarkan kriteria dan zonasi Hutan Aek Nauli
Simalungun dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
350
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 2. Sebaran jenis-jenis Piperaceae dan Rubiaceae berdasarkan kriteria dan zonasi Hutan Aek
Nauli Simalungun
No. Suku Jenis HPA HSA HSB
1. Piperaceae Peperomia tjibodasama C.D.C - - √
2. Piper arcuatum Bl. - - √
3. Piper crassipes Kort. √ √ √
4. Piper longum L. - - √
5. Piper methysticum Forst. - - √
6. Piper sarmentosum Roxb. - - √
7. Piper sp 1. √ √ √
8. Piper sp 2. √ - √
9. Piper sp 3. - - √
10. Piper sp 4. - - √
11. Rubiaceae Coffea sp 1. - - √
12. Coffea sp 2. √ - √
13. Gynochthodes sublanceolata Miq. √ - √
14. Hedyotis sp1. √ √ √
15. Hedyotis sp2. √ - √
16. Hedyotis sp3. - - √
17. Hedyotis sp4. √ - √
18. Lasianthus sp1. - - √
19. Lasianthus sp2. - - √
20. Lasianthus tomentosus Bl. - √ √
21. Psychotria ovoidea B. √ √ √
22. Psychotria sp1. - - √
23. Psychotria sp2. - - √
24. Randia macrophylla Hook.f. √ - √
25. Randia sp1. - - √
26. Randia sp2. √ - √
27. Randia sp3. - - √
28. Timonius sp1. - - √
29. Uncaria sp1. - √ √
30. Uncaria sp2. - √ -
31. Uncaria sp3. - - √
32. Uncaria sp4. - - √
33. Uncaria acida Merr. - - √
34. Uncaria gambir Roxb. √ - -
35. Urophyllum villosum Jack. - - √
36. Wendlandia sp1. - √ -
Keterangan : (√) = ditemukan, (- )= tidak ditemukan
HPA = Hutan Primer Atas, HSA = Hutan Sekunder Atas,
HSB = Hutan Sekunder Bawah
351
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
jenis yang sedikit pada Hutan Sekunder Atas dapat terjadi karena jenis-jenis yang hidup pada lokasi
tersebut harus dapat beradaptasi dengan permukaan bukit yang terbuka karena jumlah pepohonan
berkurang sehingga cahaya matahari langsung ke permukaan lokasi. Hal ini sesuai dengan data faktor
fisik yang menunjukkan intensitas cahaya yang dihasilkan pada pengukuran sebesar 350 Lux dengan
kelembaban 82,3% (paling rendah dari ketiga kriteria dan zonasi) dan suhu 19,2ºC (paling tinggi dari
ketiga kriteria dan zonasi), selain itu tanah pada areal tersebut cenderung berbatu sehingga sulit
ditembus oleh akar tanaman.
Piperaceae merupakan jenis tumbuhan yang berupa terna dan herba yang suka pada areal yang
memiliki kelembaban yang tinggi dan terlindung oleh pepohonan contohnya Peperomia tjibodasama
C.D.C yang hanya ditemukan pada Hutan Sekunder Bawah merupakan tumbuhan herba yang epifit
pada pohon dan batuan yang suka pada lingkungan yang agak terlindung dari cahaya matahari atau
dekat dengan aliran air.Hal ini sesuai dengan Daniel et al., (1992) bahwa pertumbuhan juga
dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban, sinar matahari, tersedianya air dalam
tanah dan proses fisiologis tumbuhan tersebut. Selanjutnya menurut Resosoedarmo (1989), bahwa
karakteristik dari hutan hujan tropis adalah mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi dan hanya
jenis tertentu saja yang dapat toleran dan mampu hidup pada habitat yang ekstrim seperti tempat
terbuka, cahaya matahari yang penuh, tekstur tanah yang padat dan keras, serta hara makanan masih
terikat pada batuan.
Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta
memperlihatkan peranannya dalam komunitas. INP yang tinggi dari suatu jenis mencerminkan
tingginya kemampuan jenis tersebut dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan dapat
bersaing terhadap jenis lainnya. INP suku Piperaceae dan Rubiaceae pada hutan primer atas, hutan
sekunder atas dan hutan sekunder bawah di Hutan Aek Nauli dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. INP tertinggi suku Piperaceae dan Rubiaceae pada Hutan Primer Atas (HPA), Hutan
Sekunder Atas (HAS) dan Hutan Sekunder Bawah (HSB)
Suku Jenis HPA HSA HSB
Piperaceae Piper sp 2. 94,49 %
Piper crassipes Kort. 151,45%
Piper sp 1. 56,55%
Rubiacea Hedyotis sp 4. 40,10%
Lasianthus tomentosus Bl. yaitu 59,01%.
Hedyotis sp 2. 34,67%
Keterangan : HPA = Hutan Primer Atas, HSA = Hutan Sekunder Atas,
HSB = Hutan Sekunder Bawah
Menurut Setiadi (1989), jenis tumbuhan yang memiliki indeks nilai penting tinggi diantara
vegetasi sesamanya disebut jenis dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan dapat bersaing
dengan jenis lainnya. Variasi Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Indeks Nilai Penting yang
terjadi pada setiap kriteria hutan yang ada di Hutan Aek Nauli ini mungkin saja disebabkan oleh
keadaan lingkungan yang ada. Menurut Pramono (1992), pertumbuhan selain dipengaruhi oleh faktor
genetik juga dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan. Pengaruh lingkungan terdiri atas
faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lain.
Piperaceae yang paling dominan di Hutan Aek Nauli adalah Piper crassipes Kort. dan Piper sp
1. Hal ini disebabkan karena jenis ini selalu hadir pada setiap kriteria dan zonasi pada Hutan Aek
Nauli dan memiliki nilai KR dan FR yang cukup tinggi. Pada Rubiaceae jenis yang paling dominan
yaitu Hedyotis sp 4. dan Lasianthus tomentosus Bl. Jenis yang memiliki KR tertinggi pada Hutan
Primer Atas (HPA), untuk Piperaceae adalah Piper sp 2. (65,92%) dan yang terendah adalah Piper
sp 1.(13,41%). Jenis Rubiaceae yang memiliki KR tertinggi adalah Hedyotis sp. 4.(17,02%) dan yang
terendah adalah Randia macrophylla Hook.f. (6,38%). Pada Hutan Sekunder Atas (HSA), jenis yang
memiliki nilai kerapatan tertinggi pada Piperaceae adalah Piper crassipes Kort. (84,78%) dan
Rubiaceae adalah Lasianthus tomentosus Bl.(30,43%). Jenis KR terendah pada Piperaceae adalah
Pipersp 1.(15,22%) dan pada Rubiaceae adalah Hedyotis sp 1. dan Uncaria gambir Roxb. (4,35%).
352
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pada Hutan Sekunder Bawah (HSB), jenis yang memiliki KR tertinggi pada Piperaceae adalah Piper
sp1. (25,44%) sedangkan jenis yang memiliki KR terendah adalah Piper methysticum Forst. (0,53%).
Pada Rubiaceae, jenis yang memiliki KR tertinggi adalah Hedyotis sp 2.(20,18%) dan yang terendah
adalah Randia sp 2. (0,32%).
Dari nilai Kerapatan Relatif (KR) juga dapat diketahui bahwa jenis-jenis yang memiliki KR
tinggi memiliki penyebaran yang luas pada suatu areal.Tinggi rendahnya nilai KR dari jenis
Piperaceae dan Rubiaceae yang terjadi pada ketiga kriteria dan zonasi yang ada di Hutan Aek Nauli
menunjukkan keadaan lingkungan yang berubah, meliputi penurunan suhu, kelembaban yang tinggi
dan tanah yang miskin nutrisi seiring laju penambahan ketinggian tempat dan daya tumbuh dan
penyebaran biji yang tidak efektif. Hal sesuai dengan hasil penelitian bahwa pada Hutan primer atas
dan hutan sekunder atas yang memiliki ketinggian lebih dari 1500 m dpl, memiliki jenis Piperaceae
dan Rubiaceae yang lebih sedikit daripada hutan sekunder bawah yang memiliki ketinggian dibawah
1500 m dpl.
Pada Hutan Primer Atas nilai FR tertinggi pada Piperaceae adalah Piper crassipes Kort.
(42,86%) dan yang paling rendah adalah Piper sp1.dan Piper sp 2.(28,57%), sedangkan Rubiaceae
nilai FR yang tertinggi Hedyotis sp 4.(23,08%) dan terendah adalah Coffea sp 2.,Hedyotis sp1.,
Psychotria ovoidea B., Randia macrophylla Hook.f.,Randia sp 2. dan Uncaria sp 4. (7,69%). Pada
Hutan Sekunder Atas nilai Frekuensi Relatif (FR) pada Piperaceae yang tertinggi adalah Piper
crassipes Kort. (66,67%), sedangkan Rubiaceae adalah Lasianthus tomentosus Bl. (28,57%). Nilai FR
yang terendah pada Piperaceaeadalah Piper sp 1.(33,33%) sedangkan Rubiaceae adalah Hedyotis sp
1., Psychotria ovoidea B., Uncaria acida Merr., Uncaria gambir Roxb. dan Wendlandia
sp.(14,29%).Pada hutan sekunder bawah NilaiFR tertinggi pada Piperaceae adalah Piper sp 1.
(31,11%) dan terendah pada Piper sarmenthosum Roxb. dan Piper methysticum Forst. (2,22%),
sedangkan pada Rubiaceae nilai tertinggi pada Hedyotis sp 2.(14,58%) dan terendah padaCoffea sp 2.,
Lasianthus sp 2., Randia sp 2., Randia sp 3., Timonius sp. dan Uncaria acida Merr., dan Uncaria sp
2. (1,33%).
Jenis yang memiliki nilai FR tinggi adalah jenis yang tersebar merata, sedangkan jenis yang
memiliki nilai FR rendah tidak tersebar merata. Jenis-jenis yang memiliki FR tertinggi adalah jenis-
jenis yang mampu bertahan hidup dan berkembang baik serta memiliki penyebaran yang luas karena
lebih toleran dengan kondisi lingkungan yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan
Loveless (1989), bahwa sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi lingkungan yang
beranekaragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung berkembang luas.
Piperaceae yang memiliki penyebaran luas adalah Piper crassipes Kort. dan Piper sp1. yang
selalu hadir pada ketiga kriteria dan zonasi pada Hutan Aek Nauli, sedangkan pada Rubiaceae adalah
Hedyotis sp1. meskipun memiliki nilai FR yang bervariasi pada ketiga kriteria dan zonasi dan bukan
jenis yang memiliki FR tertinggi tetapi selalu hadir pada ketiga kriteria dan zonasi di Hutan Aek
Nauli. Dan jenis yang memiliki penyebaran yang paling sempit pada Piperaceae adalah Piper
sarmenthosum Roxb. dan Piper methysticum Forst. yang hanya dijumpai pada Hutan Sekunder Bawah
dan hanya pada 1 plot saja, sedangkan Rubiaceae adalah Uncaria gambir Roxb. yang hanya dijumpai
pada Hutan Sekunder Atas, hanya 1 plot saja dengan jumlah yang sangat minim yaitu 1 individu.
Nilai Frekuensi Relatif yang rendah menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut mempunyai jumlah yang
paling sedikit. Hal tersebut juga di duga karena faktor lingkungan yang kurang cocok dengan syarat
tumbuh dari tumbuhan itu. Seperti daerah hutan sekunder atas memiliki tanah yang berbatu-batu
sehingga miskin nutrisi. Menurut Foth (1994), pada dasarnya, tumbuhan yang tumbuh di atas lahan
tergantung pada tanah karena tanah merupakan tempat tersedianya air dan unsur-unsur hara.
Berdasarkan pernyataan Foth (1994) tersebut kemungkinan yang menyebabkan jenis-jenis tumbuhan
mempunyai penyebaran yang sempit pada Hutan Sekunder Atas.
KESIMPULAN
1. Diperoleh 36 jenis dan 12 genus yang terdiri dari 10 jenis dan 2 genus Piperaceae dan 26 jenis
dan 10 genus Rubiaceae.
2. Jumlah jenis Piperaceae dan Rubiaceae tertinggi terdapat di Hutan Sekunder Bawah. Jenis
Piperaceae yang mendominasi adalah Piper crassipes Kort., dan Piper sp 1., sedangkan pada
Rubiaceae adalah Hedyotis sp. dan Lasianthus tomentosus Bl.
3. Jenis Piperaceae yang mendominasi pada Hutan Primer Atas adalah Piper sp 2. dengan Indeks
353
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Nilai Penting (INP) 94,49%, sedangkan Rubiaceae adalah Hedyotis sp4. dengan INP 40,10%.
Pada Hutan Sekunder Atas Piperaceae didominasi oleh Piper crassipes Kort.dengan INP
151,45%, sedangkan pada Rubiaceae adalah Lasianthus tomentosus Bl. dengan INP 59,01%. Pada
Hutan Sekunder Bawah jenis Piperaceae didominasi oleh Piper sp 1. 56,55%, sedangkan pada
Rubiaceae didominasi oleh Hedyotis sp 2. dengan INP 34,67%.
DAFTAR PUSTAKA
Balgooy, M. M. J. Van. 2001. Malaysian Seed Plants. Volume 3 National Herbarium Netherland. The
Nederllands: Universiteid Leiden Branch.
Henderson, R. M. 1954. Malayan Wild Flower, Dcotyledons. Singapore: Reprinted Edition by Tien
Wah Press. Ltd. pp. 132
Holttum, R. E. 1950. The Zingiberaceae of The Malay Peninsula. The gardens bulletin.
Lawrence, G. H. M. 1964. Taxonomi of Vascular Plants. New York: The Macmillan Company.
Loveless, A. R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2. PT Gramedia.
Jakarta.
Nurainas., Syamsuardi., Nelvita. R. 2009. Keanekaragaman Jenis Jahe-Jahean (Zingiberaceae) Liar
pada Kawasan Kab. Sumatera Barat. Laporan Penelitian DIPA Universitas Andalas. Padang:
Garisatra.
Nurainas., dan Yunaidi. 2007. Panduan Lapangan Jahe-Jahean liar di Taman Nasional Siberut.
Padang: Garisatra.
Pandey, B. P. 2003. A Textbook of Botany: Angiosperm. First edition. New Delhi: S. Chand &
Company ltd. Ram Nagar.
Poulsen, A. D. 2006. Zingers of Serawak. Kota Kinabulu: Natural History publication (Borneo).
354
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat penyakit kulit
dan luka, bagian yang digunakan, dan cara pengolahannya oleh masyarakat Gampong Krueng Simpo
Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen. Objek penelitian ini adalah jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat
penyakit kulit dan luka oleh masyarakat Gampong Krueng Simpo Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara, data yang telah terkumpul ditabulasi
berdasarkan Familia, nama ilmiah, dan nama umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 jenis tumbuhan
obat penyakit kulit dari 19 Familia dan 11 jenis tumbuhan obat penyakit luka dari 8 Familia. Jenis tumbuhan
dari Familia Zingiberaceae dominan digunakan oleh masyarakat Gampong Krueng Simpo sebagai obat untuk
mengobati penyakit kulit dan luka. Organ tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat penyakit kulit
dan luka adalah daun. Cara pengolahan obat penyakit kulit dan luka paling dominan banyak dilakukan dengan
cara ditumbuk dan direbus.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumbuhan obat banyak mengandung senyawa - senyawa yang mempunyai khasiat, terutama
untuk meningkatkan kesehatan. Saat ini sedang digalakkan pengobatan herbal dengan memanfaatkan
bahan alami untuk mengobati berbagai penyakit dan meningkatkan kesehatan. Masyarakat di era
moderen ini lebih bersifat konsumtif, instan, dengan mengkonsumsi obat kimia dibandingkan tanaman
obat herbal. Penggunaaan tanaman obat herbal dianggap kuno dan tidak banyak memberikan dampak
positif. Hal ini membuat potensi tumbuhan obat di Indonesia masih belum banyak termanfaatkan.
Akhirnya beberapa tahun belakangan ini, ada kecenderungan dunia untuk kembali ke alam atau “back
to nature” membuat masyarakat kembali kepada tanaman obat. Hal itu terindikasi beberapa
kelemahan dari penggunaan obat kimia yang berdampak negatif atau efek samping, resistensi obat
yang tinggi, terakumulasi di tubuh dan harganya pun mahal.
Jenis tumbuhan obat untuk mengobati penyakit kulit dan luka umumnya sangat banyak, akan
tetapi jenis tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Krueng Simpo
juga relatif banyak, hanya saja masyarakat di seputaran DAS Krueng Simpo belum memahami tata
cara pengolahan serta penggunaan obat tersebut. DAS merupakan suatu wilayah kesatuan ekosistem
dinamis yang menghubungkan antara hulu (upstream) dan hilir (downstream) serta merespon semua
kegiatan penggunaan lahan dan perubahannya dibagian hilir (BPDAS Krueng Aceh, 2005).
DAS Krueng Peusangan merupakan salah satu DAS penting di Aceh yang melibatkan 5
kabupaten dan kota di pesisir utara Aceh, yakni Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara,
Kota Lhokseumawe, dan Bireuen. Sungai yang mengairi aliran air dari hulu hingga ke hilir
dinamakan Krueng Peusangan memiliki luas DAS Krueng Peusangan 235.694,4 Ha sedangkan luas
Sub DAS Krueng Simpo memiliki luas 31.392 ha. Hasil observasi sementara, banyak tumbuhan yang
berkhasiat sebagai obat penyakit kulit dan luka yang tumbuh didekat DAS Krueng Simpo. Namun
sangat disayangkan, tumbuhan obat tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal karena kurangnya
pengetahuan sebagian masyarakat tentang cara pengolahan ramuan dari tumbuhan obat dan belum
tahu cara menggunakannya. Selama ini resep obat tradisional dengan menggunakan tumbuhan obat
yang ada di Sub DAS Krueng Simpo, khususnya resep obat penyakit kulit dan luka belum
diinventarisasikan dan di petakan, sehingga peneliti khawatir suatu saat jenis tumbuhan tersebut akan
punah dan tidak terjaga kelestariaanya.
355
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah
sebagai berikut :
1. Apa saja jenis tumbuhan berkhasiat sebagai obat penyakit kulit dan luka di Sub DAS Krueng
Simpo?
2. Bagian apa dari tumbuhan yang digunakan sebagai obat penyakit kulit dan luka di Sub DAS
Krueng Simpo?
356
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4.1. Jenis-jenis Tumbuhan Berkhasiat sebagai Obat Penyakit Kulit yang
dijumpai di Krueng Simpo.
No Familia Nama Ilmiah Nama Umum Frekuensi
1. Annonaceae Annona muricata Sirsak 15
2. Apocynaceae Plumeriasp. Kamboja 14
3. Asteraceae Gynura segetum Daun dewa 18
4. Caricaceae Carica papaya Pepaya 15
5. Combretaceae Cassia alata Ketepeng 18
6. Convolvulaceae Ipomoea batatas Ubi jalar 11
7. Crassulaceae Kalanchoe pinnata Daun cocor bebek 20
8. Dioscoreaceae Dioscorea hispida Gadung 12
9. Euphorbiaceae Ricinus communis Jarak 17
10. Fabaceae Leucaena leucocephala Lamtoro 17
11. Lamiaceae Pogostemon cablin Nilam 16
12. Mackinlayaceae Centella asiatica Daun pegagan 20
13. Musaceae Musa paradisiaca Pisang 11
14. Piperaceae Piper betle Sirih 20
15. Oxalidaceae Averrhoa bilimbi Belimbing wuluh 12
16. Rubiaceae Morinda citrifolia Mengkudu 11
17. Rosaceae Rosa sp. Bunga mawar 10
18. Rutaceae Citrus aurantifolia Jeruk nipis 11
19. Citrus histrix Jeruk purut 10
20. Zingiberaceae Alpinia galanga Lengkuas 20
21. Curcuma zanthorriza Temulawak 20
22. Curcuma domestica Kunyit 20
23. Kaempferia galanga Kencur 20
24. Zingiber officinale Jahe 20
Sumber : Data Lapangan 2013
Tabel diatas jelas terlihat bahwa penduduk wilayah Sub DAS Krueng Simpo dominan
menggunakan obat penyakit kulit dari tumbuhan Familia Zingiberaceae dan Rutaceae, karena Famili
dari Zingiberaceae dan Rutaceae banyak sekali jenis tumbuhan obat yang bisa dimanfaatkan dalam
mengobati berbagai penyakit, misalkan selain dapat mengobati penyakit kulit, juga bisa mengobati
berbagai penyakit lain, contohnya penyakit gangguan pencernaan, hepatitis, obat demam, hipertensi,
dan diabetes melitus.
357
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4.2. Jenis-Jenis Tumbuhan Berkhasiat sebagai Obat Penyakit Luka yang
dijumpai di Krueng Simpo.
No Familia Nama Ilmiah Nama Umum Frekuensi
1. Amaranthaceae Thinospora cripsa Brotowoli 18
2. Asphodelaceae Aloe vera Lidah buaya 20
3. Euphorbiaceae Ricinus communis Jarak 18
4. Fabaceae Tamarindus indica Asam jawa 18
5. Menispermaceae Gomphrena globosa Bunga kenop 12
6. Myrtaceae Psidium guajava Jambu biji 20
7. Solanales Datura metel Kecubung 16
8. Zingiberaceae Curcuma domestica Kunyit 20
9. Alpinia galanga Lengkuas 20
10. Curcuma aeruginosa Temu hitam 20
11. Boesenbergia pandurata Temu kunci 20
Sumber : Data Lapangan 2013
Tabel 4.2 terlihat bahwa jenis tumbuhan yang sering digunakan oleh masyarakat Kawasan
Sub DAS Krueng Simpo sebagai obat penyakit luka adalah Thinospora
cripsa(Brotowoli),Compherena globosa(Bunga kenop), Jambu biji(Psidium guajava), Curcuma
domestica(Kunyit), Aloe vera (Lidah buaya), Tamarindus indica(Asam jawa), Catharanthus roseus
(Temu hitam), Curcuma aeruginusa (Temu hitam), Alpinia galanga (Lengkuas), Datural metel
(Kecubung) danBoesenbergia pandurata (Temu kunci). Adapun penggunaan bagian tumbuhan
sebagai obat penyakit kulit dan luka dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan 4.4 berikut.
Tabel 4.3 Daftar bagian organ tumbuhan yang digunakan sebagai obat penyakit Kulit
No Jenis Frekuensi untuk masing-masing organ Total
Daun Batang Akar Bunga Buah Umbi Rimpa Kulit
ng Buah
1. K. pinnata 20 - - - - - - - 20
2. C. asiatica 11 1 - 3 2 - 1 2 20
3. G. segetum 14 2 - - - - 2 - 18
4. Piper betle 20 - - - - - - - 20
5. R. communis 17 - - - - - - - 17
6. Cassia alata 15 - - 3 - - - - 18
7. L. leucocephala 12 - - - 5 - - - 17
8. P. cablin 16 - - - - - - - 16
9. A. muricata 10 - - - 5 - - - 15
10. M. paradisiaca 2 5 - - 3 - - 1 11
11. C. zanthorriza 6 2 2 1 6 - 2 1 20
12. A. bilimbi 4 - - 8 - - - - 12
13. Rosa sp. - - - 10 - - - - 10
14. M. citrifolia 3 - - - 7 - - - 10
15. Plumeria sp. 3 - - - 8 - - - 11
16. C. domestica 5 1 - 2 9 - 2 1 20
17. C. papaya 9 - - 2 3 1 - - 15
18. D. hispida 4 - - 2 5 - - 1 12
19 I. batatas 5 - - - 5 - - 1 11
20. A. galanga 7 2 - 2 3 - 2 2 14
21. K. galanga 9 - - 3 5 - 1 2 20
22. C. histrix 2 - - 2 4 - - 2 10
23. C. aurantifolia 5 - - - 5 - - 1 11
24. Z. officinale 5 - - - 11 2 1 1 20
Sumber : Data Lapangan 2013
358
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4.4 Daftar bagian organ tumbuhan yang digunakan sebagai obat penyakit Luka
Frekuensi untuk masing-masing organ
No Jenis Kulit Total
Daun Akar Bunga Buah Rimpang
Buah
1. T. indica 10 - 2 5 - 1 18
2. T. crispa 2 - 10 - - - 12
3. P. guajava 17 - - 3 - - 20
4. D. metel 12 - 3 - 1 - 16
5. A. vera 20 - - - - - 20
6. R. communis 18 - - - - - 18
7. A. galanga 5 - 3 8 2 2 20
8. G. globosa 13 - 4 1 - - 18
9. B. pandurata 5 1 2 9 2 1 20
10. C. domestica 6 - - 11 2 1 20
11. C. aeruginosa 4 - 2 9 3 2 20
Wawancara dengan responden diketahui bahwa bagian tanaman yang digunakan sebagai obat
dapat berasal dari daun, batang, akar, rimpang, bunga, buah, biji, dan kulit buah. Bagian tanaman
yang paling banyak digunakan sebagai obat penyakit kulit dan luka adalah daun. Cara pengolahan
obat untuk penyakit kulit dan luka dilakukan dengan cara direndam, ditumbuk, diparut, diremas,
direbus, dioleskan langsung, dan dimakan, dimana yang paling dominan dilakukan dengan cara
ditumbuk dan direbus. Pemanfaatan tanaman sebagai obat sudah seumur dengan peradaban manusia.
Tumbuhan adalah gudang bahan kimia yang memiliki sejuta manfaat termasuk untuk obat berbagai
penyakit. Kemampuan meracik tumbuhan berkhasiat obat dan jamu merupakan warisan turun
temurun dan mengakar kuat di masyarakat. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisonal
tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia (Gunawan, 2004).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di Sub DAS Krueng Simpo dapat disimpulkan
bahwa, terdapat 24 jenis tumbuhan obat penyakit kulit dari 19 Familia dan 11 jenis tumbuhan obat
penyakit luka dari 8 Familia yang digunakan oleh masyarakat untuk mengobati penyakit kulit dan
luka. Organ tumbuhan yang digunakan sebagai obat penyakit kulit dan luka berupa daun, batang,
buah, bunga, umbi, kulit buah, dan rimpang, dimana yang paling dominan digunakan adalah organ
daun. Cara pengolahan obat penyakit kulit dan luka dominan dilakukan dengan cara ditumbuk dan
direbus.
Saran
Untuk mendapatkan data jenis tumbuh-tumbuhan berkhasiat sebagai obat penyakit kulit dan
luka di Sub DAS Krueng Simpo yang lebih konkrit perlu diadakan penelitian lanjutan dengan
cakupan yang lebih luas dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Fauzi. 2009. Buku Aneka Tanaman Obat dan Khasiatnya. Yogyakarta: Media Pressindo.
Arief, M. 2002. Formulasi Obat Tropikal dengan Dasar Penyakit Kulit. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Arief Hariana, H. 2009. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya
BPDAS Krueng Aceh, Balai Pengelolaan DAS Krueng Aceh. 2005. Database dan
informasi kegiatan rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial.
Dalimartha, S. 2004. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Trubus
Agriwidya
Gunawan, D. 2004. Ramuan Tradisional Untuk Keharmonisan Suami Istri. Jakarta:
Penebar Swadaya
Kozier, 2005. Tumbuhan Obat Indonesia ; Pustaka Populer Obor.
359
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Sitepu, Dj. dan P. Sutigno. 2001. Peranan tanaman obat dalam pengembangan hutan tanaman.
Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan2 (2) : 61- 77.
Sastromidjodjo, S. 2002. Obat Asli Indonesia. Bogor: Balai Pustaka
Sugeng. HR, 2001. Tanaman Apotik Hidup. Aneka Ilmu. Semarang
Umur Zein, 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Dalam Upaya Pemeliharaan
Kesehatan. Jurnal Penelitian Divisi Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatra Utara.
360
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Salah satu bentuk ruang terbuka hijau yang cukup efektif dalam mengurangi emisi karbon adalah
adanya jalur hijau di sekitar jalan lalu lintas dalam kota. Tanaman yang ditanam di jalur hijau cukup baik dalam
menyerap emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan industri yang letaknya di dekat jalan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis tanaman, komposisi dan kerapatan tanaman di
beberapa jalur hijau jalan Kota Medan sebagai base data dalam upaya pengurang emisi CO2 di atmosfir .
Penelitian dilakukan pada pada 21 jalur hijau dari berbagai kecamatan yang ada di Kota Medan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jenis tanaman yang terdapat pada jalur hijau di Kota Medan sebanyak 33 jenis tanaman.
Jenis yang paling banyak ditemukan di jalur hijau adalah angsana (Pterocarpus indicus), sedangkan yang paling
sedikit cemara laut (Casuarina equisetifolia), lengkeng (Dimocarpus longan) karet (Ficus elastica), dan alpukat
(Persea americana).
PENDAHULUAN
Salah satu sumber sekaligus penyebab terjadinya perubahan iklim global adalah besarnya emisi
yang dihasilkan oleh berbagai sumber terutama yang menggunakan bahan bakar fosil. Kendaraan
bermotor dan beberapa industri menggunakan bahan bakar fosil untuk menjalankan mesinnya,
sehingga cukup besar emisi gas CO2 yang bisa menjadi gas rumah kaca dan mengakibatkan
pemanasan global(Abdullah dan Khairuddin, 2009). Kendaraan bermotor serta industri banyak
ditemui di kawasan perkotaan sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan perkotaan memiliki
kecenderungan tingkat emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan.
Kota Medan merupakan salah satu kota yang memiliki kepadatan yang cukup tinggi. Luas Kota
Medan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 adalah 265,10 km2 dengan penduduk
mencapai 2.097.610 jiwa, sehingga kepadatan di Kota Medan mencapai 7.913 jiwa/km2. Kota Medan
yang memiliki kepadatan yang cukup tinggi memiliki tingkat polusi dan emisi yang juga cukup tinggi
karena banyaknya kendaraan yang ada. Salah satu upaya pengurangan emisi dan polusi udara di
kawasan perkotaan adalah dengan adanya ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau merupakan rosot
karbon yang efektif dalam mengurangi emisi karbon di atmosfir. Selain itu, adanya ruang terbuka
hijau di kawasan perkotaan menurut Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No. 13 Tahun 2011
merupakan sesuatu yang harus ada dalam tata ruang kota yang luasnya sekitar 30,58% dari luas
wilayah kota.
Contoh ruang terbuka hijau adalah hutan kota. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang
bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah
negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Tujuan
penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem
perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.
Salah satu bentuk hutan kota yang cukup efektif dalam mengurangi emisi karbon adalah adanya
jalur hijau di sekitar jalan lalu lintas dalam kota. Tanaman yang ditanam di jalur hijau cukup baik
dalam menyerap emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan industri yang letaknya
didekat jalan. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan identifikasi jenis tanaman yang
ditanam di beberapa jalur hijau jalan Kota Medan sebagai upaya pengurang emisi CO2.
361
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan purposive sampling untuk menentukan beberapa
jalur hijau yang didasarkan pada jalur arteri di tiap kecamatan Kota Medan. Metode ini dipilih karena
tidak adanya data yang pasti mengenai luasan jalur hijau yang ada di Kota Medan. Sedangkan metode
sensus digunakan terhadap jenis tanaman pada jalur hijau yang ditetapkan di tiap kecamatan Kota
Medan dan metode identifikasi digunakan untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang terdapat di
jalur hijau tersebut.
Prosedur Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian dilakukan dengan tahapan kegiatannya sebagai berikut:
Pengumpulan data
Data primer yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari lapangan. Data tersebut antara
lain data diameter tanaman dan koordinat lokasi tiap jalur pada jalur yang telah ditentukan. Data
sekunder yang dibutuhkan adalah data jumlah kecamatan di Kota Medan yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Medan, data jalan utama (arteri) di tiap kecamatan Kota Medan yang
diperoleh dari Dinas Bina Marga dan Perda Kota Medan No. 13 Tahun 2011, data luasan hutan kota
dan jalur hijau Kota Medan serta data jenis tanaman yang ada di jalur hijau Kota Medan yang
diperoleh dari Dinas Pertamanan Kota Medan serta data pendukung lainnya.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan terhadap beberapa objek yaitu pengambilan sampel jalur hijau
dan pengambilan sampel tanaman di jalur hijau.
a. Jalur hijau
Dalam penentuan sampel jalur hijau yang harus dilakukan adalah:
1. Diketahui terlebih dahulu jumlah kecamatan di Kota Medan.
2. Ditentukan jalur hijau yang ada di tiap kecamatan Kota Medan yang dijadikan sampel dalam
penelitian berdasarkan kriteria jalan arteri menurut Perda Kota Medan No.13 Tahun 2011.
3. Jalur arteri yang dimaksud adalah jalur yang merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996).
4. Setelah diketahui kecamatan dan jalan arteri maka dilakukan pengambilan sampel untuk jalur
hijaunya yaitu satu jalur pada satu kecamatan. Sehingga diperoleh 21 jalur pada 21 kecamatan
Kota Medan.
b. Tanaman di jalur hijau
Dalam pengambilan data jenis tanaman yang dilakukan dengan cara sensus pada jalur yang
telah ditetapkan, maka yang harus dilakukan adalah:
1. Kriteria utama dalam pengambilan data adalah dengan memilih jenis pohon dan palem-
paleman. Jenis pohon dimulai dari tingkat pancang (berdiameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 m)
hingga tingkat pohon. Sedangkan untuk palem hanya yang berdiameter > 20 cm yang diambil
datanya.
2. Setelah ditentukan jalur yang diambil sebagai sampel penelitian maka diambil data tanaman
pada jalur tersebut yaitu nama jenis tanaman, diameter tanaman dan dokumentasi tanaman.
362
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
363
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 3. Jenis tanaman yang diperoleh pada jalur hijau penelitian di Kota Medan
Jenis
Nama Latin Jumlah Total Persentase (%)
(Nama Lokal)
Akasia Acacia auriculiformis 7 0,07
Alpukat** Persea americana 1 0,01
Angsana* Pterocarpus indicus 3.553 33,73
Asam Jawa Tamarindus indica 30 0,28
Beringin Ficus benjamina 43 0,41
Cemara Kipas Thuja occidentalis 3 0,03
Cemara Laut** Casuarina equisetifolia 1 0,01
Dadap Erythrina crystagalii 50 0,47
Flamboyan Delonix regia 3 0,03
Glodokan Polyalthia longifolia 1.009 9,58
Jambu Biji Psidium guajava 2 0,02
Jati Putih Gmelina arborea 6 0,06
Karet** Ficus elastica 1 0,01
Kepuh Sterculia foetida 51 0,48
Ketapang Terminalia catappa 18 0,17
Kupu-kupu Bauhinia blakeana 5 0,05
Lengkeng** Dimocarpus longan 1 0,01
Mahoni dn lebar Swietenia macrophylla 3.346 31,77
Mahoni dn kecil Swietenia mahagony 187 1,78
Mangga Mangifera indica 126 1,20
Melinjo Gnetum gnemon 18 0,17
Mengkudu Morinda citrifolia 7 0,07
Mindi Melia azedarach 4 0,04
Nangka Artocarpus heterophyllus 22 0,21
Palem Raja Oreodoxa regia 1.610 15,29
Petai cina Leucaena leucocephala 11 0,10
Pulai Alstonia scholaris 4 0,04
Saga Adenanthera pavoninna 14 0,13
Sirsak Annona muricata 4 0,04
Talok Muntingia calabura 147 1,40
Tanjung Mimusops elengi 102 0,97
Trembesi Samanea saman 53 0,50
Waru Hibiscus tiliaceus 84 0,89
Total 10.527 100,00
Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa sampel jalur hijau yang diambil, diketahui
bahwa jenis angsana (Pterocarpus indicus) memiliki jumlah total individu terbanyak yang ditanam
yaitu 3.553 individu atau sekitar 33,73% dari keseluruhan jumlah tanaman yang ada di jalur hijau
penelitian ini. Jenis yang terbanyak kedua ditanam di jalur hijau adalah jenis mahoni daun lebar
(Swietenia macrophylla) yaitu sebanyak 3.346 individu atau sekitar 31,77% dan jenis yang paling
banyak ditanam ketiga dan keempat pada jalur penelitian adalah dari jenis palem-paleman yaitu jenis
palem raja (Oreodoxa regia) yaitu sebanyak 1.610 atau 15,29% individu dan jenis glodokan
(Polyalthia longifolia) sebanyak 1.009 individu atau 9,58%. Sedangkan untuk jenis yang paling
sedikit yaitu yang berjumlah 1 (satu) individu atau hanya 0,01% dari keseluruhan yang ditemukan
pada jalur hijau penelitian adalah jenis karet (Ficus elastica), alpukat (Persea americana), cemara laut
(Casuarina equisetifolia) dan lengkeng (Dimocarpus longan).
Angsana (Pterocarpus indicus) merupakan jenis yang paling banyak ditemui pada jalur
penelitian. Hal ini dikarenakan angsana dianggap sebagai pohon pelindung yang cukup banyak
memberikan manfaat serta tergolong tanaman yang cepat tumbuh. Menurut Nazaruddin (1996)
angsana mudah sekali tumbuh dan cepat besar, penampilannya sebagai pohon pelindung cukup
menarik. Selain itu, menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1996) angsana (Pterocarpus indicus)
ditanam pada jalur hijau jalan mempunyai fungsi sebagai peneduh, penyerap polusi dan pemecah
364
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
angin. Hasil penelitian Antari dan Sundra (2002) yang dilakukan di hutan kota Denpasar
menunjukkan bahwa jenis pohon angsana (Pterocarpus indicus Willd) dan pohon glodokan
(Polyalthia longifolia Bent & Hook. F) merupakan jenis tanaman yang banyak digunakan di Kota
Denpasar sebagai tanaman peneduh jalan. Hal ini karena kedua jenis tanaman tersebut memiliki akar
yang dapat bertahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh getaran kendaraan, mudah tumbuh di
daerah panas dan tahan terhadap angin sehingga cocok digunakan sebagai tanaman peneduh jalan
yang akan dapat menyerap unsur pencemaran yang berasal dari asap kendaraan bermotor khususnya
timah hitam (Pb).
Selain itu, ada juga jenis yang memiliki ketahanan tinggi terhadap debu dan bahkan mampu
menjerap debu tersebut. Hal ini bagus ditanam di tepi jalan untuk mengurangi polusi udara yang
berasal dari kendaraan yang padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahlan (2004) bahwa jenis
tanaman yang memiliki ketahanan tinggi terhadap pencemaran debu semen dan mampu menyerap dan
menjerap debu semen antara lain mahoni (Swietenia macrophylla), tanjung (Mimusops elengi), kenari
(Canarium commune), meranti merah (Shorea leprosula), keraipayung (Filicium decipiens), dan kayu
hitam (Diospyros celebica).
Jenis yang ditanam di jalur hijau Kota Medan termasuk ke dalam jenis yang memiliki kriteria
tanaman tepi jalan dan kriteria tanaman daerah tikungan atau persimpangan menurut Direktorat
Jenderal Bina Marga (1996). Jenis tanaman pada jalur hijau Kota Medan memiliki fungsi sebagai
pohon peneduh, penyerap polusi udara, penyerap kebisingan, pemecah angin, pembatas pandang,
pengarah pandangan dan pembentuk pandangan. Jenis tanaman pada jalur hijau Kota Medan yang
memiliki fungsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa terdapat jalur hijau yang memiliki tanaman
pada tepi dan median (tengah) jalan. Ada jalur yang memiliki tanaman pada tepi jalur saja dan ada
jalur yang memiliki tanaman pada tepi dan tengah (median) jalan.
Lanjutan Tabel 4.
Fungsi tanaman menurut Direktorat Jenis tanaman pada jalur hijau
Jendral Bina Marga (1996) Kota Medan
Tikungan atau persimpangan jalan
Pengarah pandang Cemara laut (Casuarina equisetifolia)
Palem raja (Oreodoxa regia)
Mahoni (Swietenia mahagony)
Pembentuk pandangan Cemara laut (Casuarina equisetifolia) Glodokan
(Polyalthia longifolia)
Jenis tanaman yang ditemukan di jalur hijau penelitian berdasarkan familinya dapat dilihat pada
Tabel 5.
365
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Bila dilihat dari segi famili jenis tanaman. Maka jenis yang banyak ditanam di jalur hijau
penelitian kebanyakan berasal dari famili Fabaceae yaitu ada 9 jenis tanaman. Selain itu, ada 3 jenis
tanaman yang berasal dari famili yang sama yaitu famili Moraceae dan Meliaceae dan 2 jenis tanaman
dari famili Annonaceae dan Casuarinaceae. Sisanya ada 14 famili berbeda yang hanya memiliki satu
jenis saja yang ditanam di jalur hijau penelitian. Sehingga total famili dari jenis tanaman yang
diperoleh ada 19 famili yang berbeda karakteristiknya.
366
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Berdasarkan Tabel 6. dapat diketahui bahwa dari 21 jalur yang diteliti 18 jalur memiliki jumlah
tanaman dengan diameter diatas 20 cm atau setara tingkat pohon. Sedangkan 2 jalur didominasi oleh
tanaman dengan tingkat tiang dan 1 jalur didominasi oleh tingkat pancang. Hal ini menandakan bahwa
banyak tanaman yang telah ditanam dari dulu oleh Dinas Pertamanan Kota Medan. Sedangkan jalur
yang didominasi oleh pancang menandakan bahwa tanaman tersebut baru ditanam oleh pihak Dinas
Pertamanan Kota Medan.
.
Komposisi jenis dan kerapatan tanaman
Data komposisi jenis digunakan untuk mengetahui jenis-jenis apa saja yang ada pada suatu
jalur dengan luasan tertentu. Semakin banyak jenisnya maka komposisi jenis penyusun jalur semakin
banyak. Sedangkan semakin sedikit jenisnya maka komposisi jenis penyusun jalur semakin sedikit.
Data kerapatan tanaman dibutuhkan untuk mengetahui tingkat kerapatan (jarang atau tidaknya)
tanaman yang satu dengan tanaman yang lain yang ada di jalur hijau tersebut. Hasil perhitungan
komposisi jenis dan kerapatan tanaman serta kategorinya dapat dilihat pada Tabel 7.
367
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Komposisi jenis tanaman yang ada di tiap jalur termasuk kategori sangat sedikit yaitu < 20%.
Sedangkan kerapatan tanaman per jalur termasuk kategori sedang hingga sangat rapat. Komposisi
jenis sangat sedikit berarti banyaknya jenis yang ditanam di tiap jalur masih sedikit sehingga tingkat
keragamannya juga sangat rendah. Apalagi dengan jumlah tanaman yang banyak namun jenis yang
ditanam hanya beberapa jenis saja maka komposisinya akan sangat sedikit pada jalur tertentu. Namun,
pada jalur hijau jalan lebih baik memang dengan komposisi yang sangat sedikit supaya lebih teratur
dan rapi. Hal ini juga dipengaruhi dari aspek estetika dan tata kota. Pada penelitian ini, diperoleh
jumlah jenis per jalur yang terbanyak adalah 18 jenis yaitu pada jalur Yos Sudarso Kecamatan Medan
Deli namun karena jumlah tanamannya juga ribuan sehingga nilai komposisinya juga kecil.
Data kerapatan tanaman dibutuhkan untuk mengetahui tingkat kerapatan (jarang atau
tidaknya) tanaman yang satu dengan tanaman yang lain yang ada di jalur hijau tersebut. Semakin
banyak individu tanaman pada satu jalur maka semakin rapat tanaman pada jalur tersebut. Namun bila
semakin sedikit jumlah individu tanaman pada luasan jalur tertentu maka akan semakin tidak rapat
tingkat kerapatan tanaman di jalur hijau tersebut. Hasil perhitungan kerapatan tanaman serta
kategorinya dapat dilihat pada Tabel 8.
Kerapatan tanaman pada tiap jalur berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah tanaman
dan luas areal (jalur). Sekelompok pepohonan yang ditanam dengan kerapatan tinggi merupakan
perlindungan karena dapat mengurangi suhu udara yang tinggi pada siang hari. Menurut Lakitan
(2002), pada malam hari tanaman berperan sebagai penahan panas sehingga suhu udara di bawah
tajuk pohon lebih hangat dibandingkan suhu udara diatas permukaan tanah terbuka (tanpa vegetasi)
(Setyowati, 2008).
368
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pada jalur penelitian, kerapatan tanaman berkisar antara sedang hingga sangat rapat. Jalur
dengan kerapatan tanaman yang sedang terdapat pada jalur hijau jalan Titi Pahlawan Kecamatan
Medan Labuhan dengan nilai 53 Individu/ Ha. Jalur dengan kerapatan rapat terdapat pada jalur hijau
jalan H. M. Yamin Kecamatan Medan Perjuangan dengan nilai 76 Individu/ Ha. Pada kedua jalur ini,
jumlah tanaman yang ada cukup sedikit dibandingkan jalur lain dan jarak antar tanaman juga cukup
berjarak sehingga kerapatannya masih berkisar antara sedang dan rapat.
Berbagai jenis tanaman atau pepohonan mencerminkan nilai kerapatan pohon. Semakin tinggi
nilai kerapatan pohon maka akan dapat mengurangi energi radiasi matahari. Energi radiasi akan
diadsorbsi, dipantulkan ataupun dipencarkan oleh tajuk komunitas tanaman. Keberadaan tajuk
tanaman akan memberikan teduhan atau lingkungan mikro yang baik bagi masyarakat kota
(Setyowati, 2008).
Jalur hijau jalan yang merupakan salah satu bentuk RTH memiliki peran yang cukup penting
sebagai penyimpan karbon dan penyerap CO2 sehingga wajar pengembangannya masih bisa
ditingkatkan lagi. Heriansyah (2005) menyatakan bahwa peran penting jalur hijau antara lain adalah
sebagai penyimpan karbon (carbon sink) yang disimpan sebagai materi organik dalam biomassa
tanaman. Selanjutnya Setiawan et al. (2005) menyatakan bahwa pengembangan jalur hijau sebagai
penyimpan karbon berdampak positif terhadap upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Hal ini akan
semakin penting apabila pembangunan jalur hijau dapat dimasukkan ke dalam mekanisme
pembangunan bersih (clean development mechanism = CDM).
Kota Medan sendiri juga sebenarnya memliki planning untuk menambah luasan RTH di Kota
Medan namun yang menjadi pertimbangan adalah RTH dalam bentuk taman, jalur, hutan kota atau
bentuk lainnya. Beragam cara yang dilakukan dan beragamnya masalah yang mungkin ditimbulkan
dari perluasan areal RTH Kota Medan akan memberikan pelajaran yang baik terhadap peningkatan
tata ruang dan kualitas lingkungan hidup di Kota Medan.
369
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
(Pterocarpus indicus), sedangkan yang paling sedikit adalah karet (Ficus elastica), alpukat (Persea
americana), cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan lengkeng (Dimocarpus longan).
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai tingkat kesehatan tanaman yang ada di jalur
hijau jalan Kota Medan agar dapat diketahui bagaimana tingkat kualitas jenis tanaman terutama dari
segi penyakit, ketahanan terhadap gas emisi dan faktor lain yang mungkin mengganggu kesehatan
tanaman sehingga dapat disarankan jenis yang paling sesuai untuk ditanam di jalur hijau jalan Kota
Medan. Selain itu, sebaiknya Dinas Pertamanan lebih mengintensifkan perawatan terhadap tanaman di
jalur hijau sehingga akan dapat diminimalisasikan tanaman yang akan tumbang atau rubuh karena
umurnya yang sudah tua dan dapat langsung disulam atau ditanam dengan tanaman yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah dan Khairuddin. 2009. Gas Rumah Kaca dan Pemanasan Global. Jurnal Biocelebes. Vol. 3
No.1: 1-3, Juni 2009.
Antari, A.A.R.J. dan K. Sundra. 2002. Kandungan Timah Hitam (Plumbum) Pada Tanaman Peneduh
Jalan di Kota Denpasar. Paper Jurusan Biologi F. MIPA-UNUD.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2011. Kota Medan Dalam Angka 2011.
Dahlan, E.N. 2004. Membangun Kota Kebun Bernuansa Hutan kota. IPB Press. Bogor.
Dahlan, E. N. 2011. Kebutuhan Luasan Areal Hutan Kota Sebagai Rosot (Sink) Gas CO2 Untuk
Mengantisipasi Penurunan Luasan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bogor. Forum Geografi. Vol.
25, No. 2: 164 – 177.
Direktorat Jenderal Bina Marga. 1996. Tata Cara Perencanaan Teknik Lansekap Jalan
No.033/TBM/1996. Departemen Pekerjaan Umum.
Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan. 2008. Menata Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan. Direktorat Jendral Departemen Pekerjaan Umum.
Heriansyah, I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam Mensequster Karbon Studi Kasus di
Hutan Tanaman Akasia dan Pinus. Inovasi 3 (17) : 43-46.
Lakitan, B. 2002. Dasar- Dasar Klimatologi. Penerbit Raja Grasindo. Jakarta.
Nazaruddin. 1996. Penghijauan Kota. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Peraturan Daerah Kota Medan No. 13 tahun 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan 2011-
2031.
Ratnaningsih, A.T. dan E. Suhesti. 2010. Peran Hutan Kota Dalam Meningkatkan Kualitas
Lingkungan. Journal of Environmental Science 2010:1(4).
Setiawan, A., B. Irawan, dan M. Kamal. 2005. Keanekaragaman Jenis Pohon Pelindung dan
Penyimpan Karbon Jalur Hijau Kota Bandar Lampung. URL : www.unila.ac.id.
Setyowati, D. L. 2008. Iklim Mikro dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Jurnal
Manusia dan Lingkungan. Vol 15, No. 3: 125-140.
Susandi, A., Indriani, H., Mamad, T. dan Irma, N. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Tinggi
Muka Laut di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan. Vol XII. No. 2: 1-3.
370
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Telah dilakukan pengamatan morfologi, taksonomi dan persebaran Marga Bouea (Anacardiaceae) di
pulau Sumatra berdasarkan data koleksi hidup di lapangan dan koleksi herbarium di Laboratorium Biologi
FMIPA Unimed. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Marga Bouea tersebar di kawasan pantai Timur
Sumatra pada ketinggian 13 – 160 m alt.; Ditemukan 2 jenis yaitu Bouea macrophylla Griffith dan Bouea
oppositifolia (Roxb.) Adelb.; Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. yang ditemukan memiliki 2 variasi yang
signifikan ditinjau dari morfologi daun dan buah; Bouea dikenal dengan beberapa nama lokal seperti Merinya
(Aceh), Haramania (Tapsel), Raman (Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung), Asam kundang (Bengkalis),
Gundangan (Jambi), Gondoria (Batusangkar) dan tidak memiliki nilai ekonomi penting di lokasi tempat
tumbuhnya.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversitas karena memiliki kawasan hutan tro-
pika basah dengan tingkat keanekaragaman hayati tergolong tinggi di dunia. Termasuk juga dengan
kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan tropisnya. Indonesia merupakan salah satu dari delapan
pusat keanekaragaman genetika tanaman di dunia khususnya untuk buah-buahan tropis (Sastrapradja
dan Rifai 1989). Salah satu buah-buahan tropis yang sangat khas Indonesia tersebut adalah Gandaria
(Bouea macrophylla Griffith) yang bahkan telah ditetapkan menjadi maskot provinsi Jawa Barat. Ding
Hou (1978) melaporkan bahwa Bouea (Anacardiaceae) terdiri atas dua jenis yaitu Bouea macrophylla
Griffith dan Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. Keduanya tersebar di kawasan Malesiana. Harsono
(2012) melaporkan berdasarkan 85 nomor spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense diketahui
tersebar di kawasan Borneo (15 spesimen), Sumatra (21 spesimen), Jawa (24 spesimen), Peninsula
Malaysia (8 spesimen), Singapore (1 spesimen), Thailand (2 spesimen), Vietnam (2 spesimen), sisanya
tanpa lokasi.
Berdasarkan data spesimen yang ada diketahui bahwa Bouea macrophylla Griffith menyebvar di
pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Malay Penisula. Sedangkan Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb.
ditemukan di Sumatra, Malay Peninsula, Vietnam, Thailand dan Singapore. Namun berdasarkan
pengamatan spesimen yang dilakukan masih ditemukan variasi yang cukup tinggi pada Bouea
oppositifolia (Roxb.) Adelb. asal Kalimantan pada morfologi daunnya. Tingginya jumlah lokasi
peresebaran Bouea yang tumbuh di Jawa dan Sumatra memberikan gambaran bahwa kawasan ini
merupakan pusat persebaran terpenting untuk Bouea.
Ditinjau dari data sebaran spesimen herbarium diperkirakan Sumatra dan Kalimantan merupakan
satu pusat persebaran gandaria, karena selain lokasi persebarannya ditemukan di beberapa wilayah,
plasma nutfah gandaria juga terlihat cukup beragam ditinjau dari ukuran daun maupun buahnya.
Sumatra memiliki keragaman Bouea yang cukup tinggi setelah Kalimantan. Hal ini terlihat dari
sebaran sentra sentra pertumbuhan Bouea yang ditemukan hampir di semua kawasan pantai timur
Sumatra. Namun data-data yang ada hanya berdasarkan data spesimen herbarium yang tersimpan di
Herbarium Bogoriense. Dibutuhkan sejumlah penelitian yang mencoba mengungkapkan gambaran
kondisi keberadaan serta persebaran Bouea di Sumatra saat ini, dengan dasar pemikiran bahwa kerabat
dekat mangga ini sudah mengalami erosi genetik yang cukup tinggi berpacu dengan penebangan hutan
yang menjadi habitat aslinya untuk dijadikan perkebunan dan pemukiman, sementara data-data potensi,
keragaman dan keberadaan plasma nutfah ini belum banyak direkam.
371
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
CARA KERJA
Penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa cara yaitu : (1). Pengamatan data spesimen
di Herbarium Bogoriense dan melakukan observasi koleksi hidup di Kebun Raya Bogor. (2).
Menginventarisasi dan mendokumentasikan keberadaan koleksi hidup Bouea di beberapa kawasan
yang ada di Sumatra berdasarkan data spesimen herbarium dan pelacakan lokasi keberadaan koleksi
hidup Bouea dari satu informasi ke informasi lainnya, untuk kemudian dilakukan koleksi baik
tumbuhan segar maupun koleksi herbarium. (3). Menentukan koordinat lokasi keberadaan Bouea di
lokasi penemuan untuk dapat diaplikasikan dalam penyusunan peta distribusi, dan selanjutnya
melakukan wawancara pemanfaatan Bouea oleh warga sekitar. (4). Melakukan observasi data-data
morfologi untuk dapat memastikan data taksonomi dan distribusi.
372
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
yang relatif lebih seragam, hanya ada variasi-variasi dari segi ukuran dan type ujung daun. Namun tidak
demikian halnya dengan Bouea oppositifolia yang memperlihatkan adanya variasi ditinjau dari segi :
(1). bentuk dan ukuran daun (2). Bentuk, ukuran, warna dan rasa buah. Variasi-variasi pada morfologi
daun dan buah pada varian-varian yang ada dalam marga Bouea dapat dilihat seperti tertera pada
gambar di atas.
A. Morfologi Daun
Secara umum pada marga Bouea merupakan daun tunggal dan tersusun berhadapan (opposite), Daun
gandaria berbentuk bundar telur memanjang sampai lanset atau jorong. Permukaan daun mengkilat
dan mempunyai ujungnya yang runcing. Ukuran daunnya berkisar antara 5- 40 cm (panjang) dan 2
– 15 cm (lebar). Ciri ini umum ditemukan pada Bouea macrophylla, namun pada Bouea
oppositifolia ditemukan variasi daun dari elliptic sampai elliptic anguste yang kesemuanya
dikelompokkan menjadi Bouea oppositifolia oleh Ding Hou (1978). Data yang digunakan oleh
Ding Hou ini mengacu kepada data morfologi dan ukuran daun serta kuncup yang tumbuh pada
bagian aksilar daun. Data warna, bentuk dan ukuran buah tidak dipergunakan untuk melakukan
pembagian jenis dalam marga Bouea ini. Bahkan Ding Hou menyatukan daun yang berbentuk
bulat, pita dan lanceolate menjadi satu kelompok didalam B. oppositifolia. Setelah ditemukan data-
data morfologi daun dan buah dari koleksi segar maka pembagian jenis yang dilakukan Ding Hou
(1978) ini perlu ditinjau ulang, karena ditemukannya variasi yang sangat mencolok antara B.
oppositifolia asal Sumatra dengan B. oppositifolia asal Borneo.
B. Morfologi Buah
Umumnya buah gandaria yang masih muda berwarna hijau. Ketika mulai tua dan matang buah
berwarna kuning hingga jingga. Buah gandaria memiliki daging buah yang berair dan
mengeluarkan cairan kental. Buah ini memiliki bau khas yang menyengat seperti aroma terpentin
dan memiliki rasa agak asam hingga manis. Berdasarkan hasil inventarisasi di lapangan diketahui
bahwa ada beberapa variasi buah yang didapatkan dari koleksi di Sumatra
C. Persebaran
Gandaria menyebar di sebagian kawasan pantai timur Sumatra pada ketinggian 13-160 m alt.
banyak ditemukan di kawasan hutan primer, tepi sungai, tepi sawah dan banyak di budidayakan di
sekitar rumah warga (Palembang dan Jambi). Tidak ditemukan tumbuh di kawasan pantai barat
Sumatra. Pembudidayaan dilakukan sambilan oleh beberapa petani di Jambi, sedangkan di Lampung
budidaya Gandaria (Bouea) dilakukan secara besar-besaran dengan pembibitan yang luas.dan
Lampung. Di kawasan lainnya tanaman ini tumbuh liar di kawasan hutan dan tepian sungai. Rifai
(1992) menyatakan Gandaria adalah tumbuhan tropik basah dan dapat tumbuh pada tanah yang ringan
dan subur. Tumbuh liar di hutan dataran rendah di bawah 300 m dpl., tetapi dalam pembudidayaan
telah berhasil ditanam pada ketinggian sekitar 850 m dpl. Dari data koleksi Herbarium Bogoriense
tanaman ini masih ditemukan pada kawasan Hutan Sibolangit dengan ketinggian 500 m alt.
Hasil observasi dan inventarisasi koleksi segar di lapangan diketahui bahwa ada beberapa
lokasi dimana gandaria ditemukan seperti : Lhok Seumawe dan Lhok Sukon (Aceh Utara), Sumatera
Utara (Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhanbatu Selatan), Riau (Tahura Sultan Syarif Kasim),
Sumatra Barat (Batu Sangkar), Jambi (Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur),
Sumatra Selatan (Kota Palembang) dan Lampung (Lampung Timur).
373
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gbr 2. Buah Bouea spp di Sumatra :1. Bouea Lhokseumawe 2. Bouea Lhoksukon
3. Bouea Sipiongot 4. Bouea Gunung Tua 5.Bouea Sosa 6. Bouea Palembang
374
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pemanfaatan
Gandaria dimanfaatkan dalam berbagai bentuk dan pengolahan seperti buah, daun, dan batangnya.
Buah gandaria berwarna hijau saat masih muda, dan sering dikonsumsi sebagai rujak atau campuran
sambal gandaria. Buah gandaria yang matang berwarna kuning, memiliki rasa kecut-manis dan dapat
dimakan langsung. Daunnya sebagai lalap. Batang gandaria dapat digunakan sebagai papan.
Di Aceh, Sumatra Utara, Lampung, Palembang, masyarakat banyak memanfaatkan tumbuhan ini
sebagai makanan. Di Hajoran, Sumatra Utara, gandaria dimanfaatkan sebagai bahan rujak. Di
kawasan Jambi dan Lampung, tumbuhan ini dibuat sebagai bahan papan. Masyarakat melayu Jambi,
mengonsumsi biji gandaria sebagai obat hipertensi.
KESIMPULAN
1. Marga Bouea tersebar di kawasan pantai Timur Sumatra pada ketinggian 13 – 160 m alt.
2. Ditemukan 2 jenis yaitu Bouea macrophylla Griffith dan Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb.
3. Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. asal Sumatra memiliki 2 variasi yang signifikan ditinjau dari
morfologi daun dan buah
4. Bouea asal Sumatra dikenal dengan beberapa nama lokal seperti Merinya (Aceh), Haramania
(Tapsel), Raman (Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung), Asam kundang (Bengkalis-Riau),
Gundangan (Jambi), Gondoria (Batusangkar, Palembang) dan tidak memiliki nilai ekonomi
penting di lokasi tempat tumbuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ding Hou, 1978. Anacardiaceae. In: van Steenis, C.G.G.J. (Editor): Flora Malesiana, Series 1. Vol. 8.
p. 468.
Harsono, T. 2012. Urgency penyelamatan Plasma Nutfah Tumbuhan Langka Di Sumatra. Studi Kasus
Pada Tumbuhan Gandaria. Journal Sains Indonesia Vol. 36 (1) 34-50.
Rifai, M.A. 1992. Bouea macrophylla Griffith In: Verheij, E.W.M. and Coronel, R.E. (Editors). Plant
Resources of South-East Asia No. 2: Edible fruits and nuts. Pudoc, Wageningen, The
Netherlands, pp. 104-105
Griffith . 1854. Bouea macrophylla Griff., Pl. Cantor in Journal Asia Soc. Benghal : 23 (1854)
Meisnerr. 1837. Bouea oppositifolia (Roxb.) Meisn. Pl. Vasc. Gen. 2:55. 1837
Pell., S.C. 2004. Molecular Systematics of The Cashew Family (Anacardiaceae). Dissertasion. The
Depart. of Biological Sciences. Louisiana State University
UCAPAN TERIMAKASIH :
1. Herbarium Bogoriense di Cibinong atas ijin observasi spesimen
2. Kebun Raya Bogor atas ijin observasi koleksi segar
3. Prof. Dr. Hj. Elizabeth Anita Widjaja, MSc atas arahan dan bimbingan selama di lokasi.
375
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang kajian jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat oleh
masyarakat kota Sabang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat di kota Sabang. Metode yang digunakan adalah Participatory
Rural Appraisal (PRA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 64 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan
sebagai obat. Sebagian besar dari tumbuhan tersebut digunakan sebagai obat penurun panas atau demam, darah
tinggi, diabetes dan batuk. Secara umum, pengetahuan masyarakat terutama generasi muda terhadap potensi dan
pemanfaatan tumbuhan sebagai obat relatif kurang, terutama pada generasi muda.
Kata kunci: jenis tumbuhan, tumbuhan obat, PRA dan kota Sabang
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (megadiversitas) setelah Brazil dan
Zaire. Dilihat dari segi iklim, Indonesia memiliki kisaran iklim yang besar. Indonesia bagian barat
memiliki curah hujan yang relatif lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Kisaran iklim
demikian memungkinkan besarnya kekayaan flora yang hidup di kawasan ini (Rahayu dan Amir,
2002).
Kekayaan flora Indonesia meliputi sekitar 30.000 jenis. Sebagian merupakan bahan baku obat,
kosmetik ataupun bahan jamu yang hingga kini masih digunakan. Diperkirakan 10% flora yang ada di
dunia digunakan sebagai tumbuhan obat, kosmetik maupun jamu. Kekayaan flora ini perlu digali dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya (Sutarjadi, 1992 dalam Ruhamah, 2001).
Penggunaan tumbuhan bermanfaat oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional di Indonesia
sudah dilakukan sejak dulu. Di Indonesia tidak kurang dari 350 suku bangsa hidup tersebar di pulau-
pulau yang jumlahnya ribuan. Tiap suku memiliki adat dan kebudayaan yang berbeda. Salah satu
contoh adalah pemanfaatan tumbuhan yang ada disekitarnya. Masyarakat memanfaatkan tumbuhan
tidak hanya untuk kebutuhan lahiriahnya saja, tetapi juga batiniahnya yang tercemin pada upacara-
upacara adat tradisional. Oleh karena itu pemanfaatan tumbuhan tergantung dari budaya setempat
(Rahayu dan Amir, 2002). Untuk mengungkapkan sistem tradisional tersebut diperlukan penelitian
etnobotani pada setiap suku yang ada di Indonesia. Menurut Rahayu dan Amir (2002), pengungkapan
sistem tradisional tersebut sangat penting dan mendesak untuk segera dilaksanakan.
Kota Sabang terdiri dari dua kecamatan yaitu kecamatan Sukajaya dan kecamatan Sukakarya.
Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa masyarakat di kedua kecamatan tersebut menggunakan
berbagai jenis tumbuhan dalam pengobatan tradisional. Namun demikian, informasi secara akurat
tentang jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional tersebut belum pernah diteliti
dan dipublikasikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang jenis-jenis tumbuhan yang
dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat Kota Sabang. Penelitian ini akan memberikan kontribusi
sebagai informasi awal tentang tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat.
CARA KERJA
Pengumpulan data pemanfaatan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA), yaitu proses pengkajian yang berorientasi pada keterlibatan dan
peran masyarakat secara aktif dalam penelitian (Martin, 1995). Responden terdiri atas tabib atau
dukun, tokoh masyarakat dan masyarakat umum. Herbarium hanya dibuat bagi jenis tumbuhan yang
belum diketahui nama jenisnya untuk identifikasi lebih lanjut. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan
376
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
di ruang Herbarium Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala. Data yang diperoleh dari
lapangan selanjutnya dianalisis secara deskriftif.
377
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel.1. Jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat Kota Sabang
Bagian yang
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Khasiat
digunakan
1. Bangkuwang Pachyrrhizus erosus Umbi Perawatan wajah
2. Bawang Allium cepa Umbi Demam
mirah
3. Bawang puteh Allium sativum Umbi Asam urat, darah tinggi
4. Betadin Euphorbia hirta Getah Menghentikan darah pada luka
kecil
5. Brotowali Tinospora tuberculata Daun Demam, diabetes
6. Campli cut Capsicum frutescen Daun Penyubur rambut
7. Drien Durio zibethinus Daun Demam, sakit perut
8. Drien belanda Annona muricata Daun Demam
Buah Maag
9. Gantang Solanum tuberosum Umbi Maag
10. Gadong Dioscorea hispida Umbi Batuk berdarah
11. Geulima Punica granatum Daun Demam
breuh Buah Demam
12. Halia Zingiber officinalis Rimpang Asam urat, menjaga kesehatan
13. Jambe kleng Syzygium cumini Daun, buah, Diabetes
kulit buah, kulit
batang
14. Kayu maneh Cinnamomum burmanni Kulit batang Pusing, demam, dan memar
15. Keji beling Sericocalyx crispus Daun Nyeri sendi
16. Kemang Hibiscus rosasinensis Daun Demam
sipatu
17. Kencur Kaempferia galanga Rimpang Perawatan kulit
18. Kerundong Spondias pinnata Daun Demam
19. Keumude Morinda citrifolia Buah Darah tinggi, menjaga kesehatan
20. Kupi Coffea arabica Daun Darah tinggi
21. Kumis kucing Orthosiphon stamines Daun Kencing batu, sakit pinggang
22. Kunyet Curcuma domestica Rimpang Maag, sakit perut datang bulan,
tambah darah
23. Kuyun Citrus aurantifolia Buah Batuk kering
24. Lawang Syzygium aromaticum Buah Sakit gigi
25. Lengkuih Languas galanga Rimpang Panu
26. Lidah buaya Aloe vera Getah Batuk, sakit ulu hati
27. Lima Psidium guajava Daun Masuk angin
28. Limeng sago Averhoa carambola Buah muda Darah tinggi
Daun
29. Limeng sunti Averhoa balimbi Daun Darah tinggi
Bunga Darah tinggi, batuk
378
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa untuk menyembuhkan satu jenis penyakit dapat digunakan
satu atau lebih jenis tanaman atau ramuan, demikian juga satu jenis tumbuhan dapat digunakan untuk
menyembuhkan beberarap jenis penyakit. Beberapa jenis tumbuhan digunakan untuk mengobati
penyakit yang sama yaitu untuk sakit batuk (Aloe vera, Averhoa balimbi, Caesalpinia pulcherrima,
Centella asiatica, Citrus aurantifolia, Dioscorea hispida dan Tamarindus indica), asam urat (Allium
sativum, Zingiber officinalis, Citrus aurantifolia), demam (Allium cepa, Annona muricata,
Cinnamomum burmanni, Durio zibethinus, Hibiscus rosasinensis, Jasminum sambac, Mangifera
indica, Punica granatum, Spondias pinnata Tinospora tuberculata, Zingiber officinalis, Cocos
nucifera, Ceiba petandra dan Gardenia augusta), darah tinggi (Apium graviolens, Cucumis sativus,
Myristica fragrans, Persea americana, Phylanthus niruri, Allium sativum, Averhoa carambola,
Averhoa balimbi, Coffea arabica dan Morinda citrifolia, sakit maag (Annona muricata, Jatropa
curcas, Curcuma domestica, dan Solanum tuberosum), malaria (Andrographis paniculata, Carica
papaya dan Switenia mahagoni), diabetes (Artocarpus communis, Catharanthus roseus, Leucaena
leucocephala, Phaleria macrocarpa, Persea americana, Syzygium cumini dan Tinospora tuberculata).
Sedangkan satu jenis tanaman yang digunakan untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit
379
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
diantaranya adalah Piper betle, Cocos nucifera, Carica papaya, Persea Americana, Tamarindus
indica, Apium graviolens, Curcuma domestica, Cinnamomum burmanni, Nephelium lappaceum dan
Datura metel.
Melalui pengamatan dan wawancara diketahui bahwa pada generasi muda terlihat adanya
kecenderungan kurang memanfaatkan tumbuhan sebagai obat. Hal ini terlihat dari jumlah persentase
responden pasangan suami istri yang relatif muda (20-35 tahun) yang tidak memahami cara
pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan.
Pasangan suami istri berusia muda biasanya hanya mengetahui pengobatan terhadap penyakit
yang ringan saja seperti penyakit kulit (gatal-gatal, panu, kudisan), kembung pada anak-anak, dan
biang keringat. Adapun pasangan suami istri yang relatif lebih tua (sekitar 40 tahun) masih banyak
yang memahami cara pengobatan tradisional dengan menggunakan tumbuhan. Namun demikian,
secara umum pengetahuan masyarakat tentang penggunaan tumbuhan sebagai obat relatif masih
rendah jika dibandingkan dengan tabib. Keberadaan tumbuhan obat ini sangat membantu masyarakat
pedesaan yang masih jauh dari sarana pelayanan kesehatan seperti dokter, puskesmas, dan apotik,
terutama dalam hal penyembuhan penyakit yang ringan. Disamping itu tumbuhan obat juga dapat
digunakan pertolongan pertama bagi penderita penyakit yang berat sebelum mendapat pertolongan
dari dokter atau rumah sakit.
Keterbatasan pengetahuan masyarakat dan ketidaktahuan generasi muda dalam memahami
pemanfaatan tanaman sebagai obat secara langsung berhubungan dengan kelestarian jenis-jenis
tumbuhan yang digunakan. Secara umum, tanaman obat yang digunakan sebagian besar merupakan
tanaman yang dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan tanaman yang bernilai ekonomi sehingga
kelestariannya tidak memerlukan perhatian khusus. Akan tetapi, beberapa jenis tanaman yang
dimanfaatkan juga merupakan tanaman liar yang kurang mendapat perhatian sehingga dikhawatirkan
akan lenyap bersamaan dengan hilangnya pengetahuan tentang pemanfaatannya sebagai tanaman
obat. Untuk itu tanaman obat sebaiknya diperkenalkan kepada masyarakat terutama pada lokasi yang
jauh dari sarana kesehatan konvensional. Selain itu, perlu diamati potensi tumbuhan obat secara
kwalitatif dnan kwantitatif di daerah yang diamati sebagai bahan dasar pengelolaan dalam rangka
peningkatan sumberdaya dan bahan baku obat tradional maupun obat modern di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Martin G. J. 1995. Ethanobotany, a People and Plant Conservation Manual. Chapman and Hall,
London.
Rahayu M, Amir M. 2002. Keanekaragaman Pemanfaatan Tumbuhan oleh Masyarakat Lokal Sekitar
Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Laporan Teknik 2002. Inventarisasi dan
Karakterisasi Sumberdaya Hayati. Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor.
Hamid A, Hadad EH, Rostiana O. 1991. Upaya Pelestarian Tumbuhan Obat di Ballitro. Proseding
Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonseia. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jafarsidik Y, Sutomo S. 1996. Kajian Etnomedis dan Inventarisasi Tumbuhan Obat di Beberapa
Daerah di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatik
APINMAP.
Ruhamah, 2001. Pemanfaatan Tanaman Obat sebagai Bahan Baku dalam Ramuan Obat Tradisional di
P.T. Tenaga Tani Farma Banda Aceh. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. STIK
Yayasan Tengku Chik Pante Kulu.
Suhardi, Adriyanti. 2004. Pelestarian dan Budidaya Tumbuhan Obat di Kawasan Karst dan Hutan
Tropis. Dalam: Lokakarya Nasional Kawasan Karst. Banda Aceh 19-21 Juli 2004.
380
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
381
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
382
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Cut Yulvizar
Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111;
Email Korespondensi : Yunda_mnz@yahoo.com
ABSTRAK
Sebagian besar penyebab penyakit pada budidaya ikan nila adalah bakteri. Ginjal merupakan salah satu
organ yang rentan dengan infeksi bakteri, karena fungsinya dalam penyaringan zat-zat yang dibawa oleh darah.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jenis bakteri dari ginjal ikan nila (Oreochromis niloticus). Penelitian
dilakukan dari bulan Agustus - Desember 2013 di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, FMIPA,
Unsyiah. Ginjal ikan nila merupakan sampel dalam penelitian ini. Metode penelitian meliputi isolasi,
pengamatan morfologi, kultur murni, uji biokimia dan pembacaan identifikasi bakteri. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan Aeromonas hydrophila, Pseudomonas vesicularis, Aeromonas caviae dan Enterobacter sp
dari ginjal ikan nila.
PENDAHULUAN
Ikan nila (Oreocrhomis niloticus) merupakan komoditas yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan komoditas perikanan lainnya, dimana kebutuhan prasyarat hidup ikan nila tidak
memerlukan kelayakan yang tinggi dan toleran terhadap perubahan kualitas lingkungan. Ikan nila juga
memiliki nilai ekspor yang tinggi di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman,
Australia dan Singapura. Dengan demikian peluang dan prospek pengembangan budidaya ikan nila
cukup besar pasarnya (Solang dan Lamondo, 2009).
Permasalahan yang sering muncul dalam usaha budidaya ikan nila adalah penyakit ikan.
Mikroorganisme seperti parasit, bakteri, virus dan jamur dapat menginfeksi tubuh ikan baik secara
langsung maupun tidak langsung, sehingga terjadi gangguan di dalam sistem pertumbuhan yang juga
dapat mengakibatkan kematian (Afrianto dan Liviawati, 1992; Hatmanti, 2003). Sebagian besar
penyebab penyakit pada ikan adalah bakteri. Beberapa jenis bakteri yang termasuk dalam hama
penyakit ikan karantina adalah Aeromonas salmonicida, Aeromonas hydrophila, Renibacterium
salmonilarum, Mycobacterium marinum, Nocardia seriolae, Erdwerseilla tarda, Streptococcus,
Pasteuralla piscicida, Pseudomonas anguliseptica (SKIPM Kelas I Aceh, 2011).
Serangan bakteri dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit, insang dan organ dalam. Ginjal
merupakan salah satu organ yang rentan dengan infeksi bakteri, hal ini disebabkan fungsi ginjal yang
berperan dalam penyaringan zat-zat yang dibawa oleh darah. Ginjal pada ikan yang terinfeksi bakteri
akan terlihat pucat dan membengkak, dimana kerusakan ini akan mengakibatkan hilangnya
kemampuan penyaringan dan pengekresian cairan sisa metabolisme pada tubuh, sehingga
terakumulasi pada rongga perut. Cairan ini bersifat racun bagi inang (Andriyanto, Haririah dan Yanti,
2009). Penyebaran penyakit pada ikan sangat cepat dan dapat menimbulkan kematian pada ikan yang
diserang (Lukistyowati dan Kurniasih, 2011). Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya
pencegahan hama penyakit ikan yang ditimbulkan oleh jenis-jenis bakteri yang dapat menyebabkan
kematian pada ikan nila yang dibudidayakan, melalui isolasi dan identifikasi bakteri yang dilakukan
di laboratorium. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk menjaga mutu dan
keamanan hasil perikanan, yang meliputi kegiatan isolasi dan identifikasi bakteri pada ikan nila.
383
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Bahan-bahan yang digunakan pada proses isolasi dan identifikasi bakteri yaitu 8 ekor ikan
nila bagian ginjal, larutan Oksidatif/Fermentatif (O/F), Motility Indole Ornithin (MIO), Methyl Red
Vogue Proskuer (MRVP), Tryptic Soya Agar (TSA), Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Lysine Iron
Agar (LIA), Bacto pepton, iodin, larutan Kalium Hidroksida (KOH) 3%, larutan KOH 40%, alkohol
70%, larutan Hidrogen Peroksida (H2O2) 3%, akuades, glukosa, sukrosa, laktosa, kertas oksidase,
tissu, œ-naphtol dan spiritus.
Metode dan Proses Kerja
Sterilisasi
Semua peralatan yang digunakan seperti cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, kaca benda
dan kaca penutup, dicuci dan dikeringkan 3-4 menit, selanjutnya dibungkus dengan kertas dan
dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 1210C dengan tekanan 15 psi selama 15 menit. Seluruh
permukaan dan dinding LAFC dibersihkan dengan semprotan alkohol 70%. Fan dinyalakan untuk
mengalirkan udara agar tetap bersih dan disinari dengan UV selama 15 menit.
Media yang telah dibuat dimasukkan ke dalam erlenmeyer steril ditutup rapat dengan
aluminium foil, kemudian dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 15 psi
selama 15-20 menit. Media gula tidak menggunakan autoklaf, sterilisasi dilakukan dengan pemanasan
akuades.
Identifikasi bakteri
Isolasi bakteri
Ikan nila dibersihkan dan dibedah rongga perutnya. Diisolasi bakteri secara aseptis
menggunakan jarum ose steril pada ginjal ikan nila, kemudian digoreskan empat kuadran pada media
TSA, diinkubasi pada suhu 280C selama 12-24 jam.
Pengamatan morfologi
Pengamatan morfologi dilakukan dengan mengamati bentuk koloni tunggal yang akan
dimurnikan. Pengamatan yang dilakukan yaitu bentuk koloni, warna, tepian dan elevasi koloni.
Kultur murni bakteri
Satu koloni bakteri diambil menggunakan jarum ose dan digoreskan zigzag pada media TSA.
Kemudian media diinkubasi pada suhu 28oC selama 24 jam.
Uji biokimia bakteri
1. Uji Gram
Uji gram dilakukan dengan KOH 3%. Satu tetes KOH 3% ditetesi pada kaca objek. Satu ose
isolat bakteri diambil, kemudian dipindahkan ke atas kaca objek dan dicampurkan. Uji positif ditandai
dengan tidak terbentuknya lendir dan uji negatif ditandai dengan terbentuknya lendir saat
dicampurkan dengan KOH 3%.
2. Uji katalase
Satu tetes larutan H2O2 3% ditetesi pada kaca objek. Satu ose isolat bakteri diambil,
kemudian dipindahkan ke atas kaca objek dan dicampurkan. Uji positif ditandai dengan terbentuknya
gelembung-gelembung pada kaca objek dan uji negatif ditandai dengan tidak terbentuknya
gelembung-gelembung pada kaca objek.
3. Uji oksidase
Satu ose isolat bakteri dioleskan pada kertas oksidase. Pengamatan dilakukan pada perubahan
warna kertas, uji positif ditandai dengan perubahan warna kertas menjadi biru dan uji negatif ditandai
dengan tidak terjadi perubahan warna pada kertas.
4. Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Satu ose isolat bakteri diambil, kemudian diinokulasi ke dalam media dengan goresan zigzag
pada bagian miring (slant) dan tusukan pada bagian dasar (but). Media diinkubasi pada suhu 28oC
selama 18-24 jam. Pengamatan dilakukan pada perubahan warna media slant dan but, warna merah
menunjukkan reaksi alkali sedangkan warna kuning menunjukkan reaksi asam. Pembentukan gas
pada bagian dasar media dan pembentukan H2S juga diamati dengan ditandai timbulnya warna hitam
pada media.
5. Uji Lysine Iron Agar (LIA)
Satu ose isolat bakteri diambil, kemudian diinokulasi ke dalam media dengan goresan zigzag
pada bagian miring dan tusukan pada bagian dasar. Media diinkubasi pada suhu 28oC selama 18-24
jam. Pengamatan dilakukan pada perubahan warna media. Lisin dekarboxylase positif jika tidak
384
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
terjadi perubahan warna pada media. Lisin dekarboxylase negatif jika daerah but berubah menjadi
kuning. Hidrogen Sulfida (H2S) jika terbentuk warna hitam pada media.
6. Uji sitrat
Satu ose isolat bakteri diambil, kemudian diinokulasi ke dalam media dengan goresan zigzag
pada bagian miring dan tusukan pada bagian dasar. Media diinkubasi pada suhu 28oC selama 18-24
jam. Uji positif ditandai dengan perubahan warna media menjadi biru dan uji negatif ditandai dengan
tidak terjadinya perubahan warna pada media.
7. Uji urea
Satu ose isolat bakteri diambil, kemudian diinokulasi ke dalam media dengan goresan zigzag
pada bagian miring dan tusukan pada bagian dasar. Media diinkubasi pada suhu 280C selama 18-24
jam. Uji positif ditandai dengan perubahan warna media menjadi pink dan uji negatif ditandai dengan
tidak terjadinya perubahan warna pada media.
8. Uji Oksidasi/Fermentasi (O/F)
Satu ose isolat bakteri diambil, kemudian diinokulasi ke dalam media dengan cara ditusuk.
Media diinkubasi pada suhu 28oC selama 18-24 jam. Pengamatan dilakukan pada perubahan warna
media. Bakteri bersifat fermentatif jika media berubah menjadi kuning. Bakteri bersifat oksidatif jika
bagian permukaan media bewarna kuning dan bagian bawah media tidak terjadi perubahan. Uji
negatif oksidatif/fermentatif ditandai dengan tidak terjadi perubahan warna pada media.
9. Uji Methyl Red Vogue Proskuer (MRVP)
Satu ose isolat bakteri diambil, kemudian diinokulasi ke dalam media. Media diinkubasi pada
suhu 280C selama 24 jam. Setelah 24 jam media MRVP dipisahkan ke dalam 2 tabung reaksi, tabung
1 untuk uji MR dan tabung 2 untuk uji VP. Kemudian media ditambahkan 5 tetes reagen MR untuk
pengujian MR dan untuk uji VP ditambahkan œ-naphtol hingga warna putih susu + ¼ tabung KOH
40%. Dikocok media selama 30 detik dan dibaca setelah 15 menit. Uji positif ditandai dengan
perubahan warna media menjadi merah.
10. Uji fermentasi karbohidrat
Satu ose isolat bakteri diambil, kemudian diinokulasi ke dalam media. Media diinkubasi pada
suhu 280C selama 18-24 jam. Uji positif ditandai dengan perubahan warna media menjadi kuning dan
uji negatif ditandai dengan tidak terjadinya perubahan warna pada media.
11. Uji Motility Indo Ornithin (MIO)
Satu ose isolat bakteri diambil kemudian diinokulasi ke dalam media dengan cara ditusuk.
Media diinkubasi pada suhu 280C selama 18-24 jam. Pada media ini dilakukan tiga pengamatan yaitu
motilitas, indol dan ornithin. Bakteri motil akan memperlihatkan warna yang keruh pada media.
Ornithin dekarboxylase positif apabila daerah anaerob media bewarna ungu dan biru. Ornithin
dekarboxylase negatif apabila daerah anaerob media bewarna kuning. Indol positif ditandai dengan
terbentuknya cincin merah saat ditetesi reagen kovaks pada media.
Pembacaan hasil identifikasi
Tahap akhir dari proses isolasi dan identifikasi adalah pembacaan hasil. Pembacaan hasil
dilakukan berdasarkan jenis gram dan uji biokimia, dengan menggunakan buku panduan Barrow et al,
2003, dengan judul Cowan and Steel’s Manual For Identification Of Medical Bacteria.
385
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
koloni meliputi bentuk, tepian, elevasi, warna dan ukuran koloni bakteri (Harry dan Paul, 1962;
Finegold dan Marthin, 1982).
Kultur murni bakteri dari ginjal ikan nila
Tahapan lanjutan dari identifikasi bakteri adalah pemurnian, dengan menggunakan media
TSA. Pemurnian merupakan kelanjutan dari isolasi bakteri yang bertujuan untuk mendapatkan satu
koloni bakteri saja. Pada tahapan pemurnian ini, koloni bakteri yang diambil adalah koloni yang
tumbuh dominan atau terbanyak, dengan anggapan bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri yang
mendominasi pada ginjal ikan.
Identifikasi bakteri dari ginjal ikan nila
Identifikasi bakteri dari ginjal ikan nila meliputi pengamatan morfologi bakteri, penentuan
kelompok Gram bakteri dan uji biokimia. Hasil pengamatan morfologi koloni bakteri menunjukkan
bentuk bulat (100%); warna krem (75%) dan putih susu (25%); tepian licin (100%); elevasi cembung
(100%). Menurut Dwijoseputro (2010), faktor-faktor luar seperti keadaan medium, temperatur, pH
dan radiasi memberikan pengaruh besar terhadap variasi bakteri. Warna koloni yang didapatkan dari
ginjal ikan nila adalah krem dan putih susu, hal ini disebabkan adanya pigmen yang diberikan oleh
bakteri. Namun penampakan pigmen ini belum menandakan karakteristik asli dari bakteri tersebut,
karena pengaruh faktor-faktor luar seperti medium, pH dan temperatur dapat memberikan perubahan
warna asli pada bakteri. Menurut Dwijoseputro (2010), faktor-faktor luar yang berbeda-beda
memberikan tanggapan yang berbeda-beda pula pada mikroorganisme, untuk menyesuaikan diri
terhadap pengaruh tertentu dari luar. Bakteri kembali memiliki sifat-sifat yang asli, jika keadaan
lingkungan sesuai dengan kondisi bakteri yang sebenarnya. Karakteristik morfologi bakteri yang
diisolasi dari 8 ginjal ikan nila ditunjukkan pada tabel 3.1.
Penentuan Gram bakteri dilakukan dengan uji KOH 3%. Uji KOH 3% merupakan pengujian
untuk membedakan kelompok Gram bakteri (Purwohadisantoso et al., 2009). Berdasarkan uji yang
dilakukan menunjukkan keempat isolat bakteri merupakan kelompok bakteri Gram negatif. Bakteri
Gram negatif ditandai dengan adanya pembentukan lendir pada kaca objek setelah dicampurkan
dengan KOH 3%. Hal ini dikarenakan kelompok bakteri Gram negatif memiliki komponen
peptidoglikan yang tipis, sehingga memudahkan sel Gram negatif pecah. Menurut Lehninger (1982),
ikatan peptida dapat dihidrolisis dengan pemberian asam kuat atau basa kuat untuk menghasilkan
komponen asam amino dalam bentuk bebas.
Bakteri Gram positif terdapat 40 lembar lapisan peptidoglikan, yang merupakan 50% dari
keseluruhan material dinding sel. Pada bakteri Gram negatif hanya terdapat satu atau dua lembar
paptidoglikan, meliputi 5-10% dari keseluruhan material dinding sel (Jawetz et al., 2010). Pecahnya
sel melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan substansi yang ada di dalam sel bakteri.
Molekul DNA yang sangat panjang memberikan hasil seperti lendir saat diangkat dengan jarum
inokulum (Campbell et al., 2002).
Tahapan lanjutan dari identifikasi bakteri adalah uji biokimia, uji ini meliputi uji katalase, uji
oksidase, uji TSIA, uji LIA, uji O/F, uji MRVP, uji fermentasi karbohidrat, uji sitrat, uji urea dan uji
MIO. Uji biokimia ini merupakan tahapan penting dalam menentukan jenis suatu bakteri, hal ini
dikarenakan secara morfologi biakan ataupun sel bakteri yang berbeda akan tampak sama. Tahapan
awal dari pengujian biokimia adalah uji katalase dengan menggunakan H2O2 3%, uji ini bertujuan
untuk mengetahui sifat bakteri dalam menghasilkan enzim katalase (Purwohadisantoso et al., 2009).
Berdasarkan uji yang dilakukan menunjukkan keempat isolat bakteri tersebut positif katalase,
yang ditandai dengan terbentuknya gelembung pada kaca objek. Hal ini menunjukkan bahwa keempat
386
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
isolat bakteri memiliki enzim katalase yang berperan dalam memecah H2O2 menjadi H2O dan O2.
Enzim katalase ini penting untuk pertumbuhan aerobik karena H2O2 yang dibentuk dapat
menginaktivasikan enzim dalam sel. Menurut Jawetz et al., (2010), organisme obligat aerob menjadi
sensitif terhadap penghambatan oksigen. Hal ini menjadikan produk sampingan alami dari
metabolisme aerob berupa H2O2 diuraikan ke dalam bentuk O2+H2O dengan enzim katalase.
Selanjutnya adalah uji oksidase, uji ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya enzim
oksidase pada isolat bakteri. Berdasarkan uji yang dilakukan menunjukkan ISO-1 dan ISO-3 positif
oksidase. Hal ini menandakan adanya enzim oksidase pada kedua isolat bakteri. Pada ISO-2 dan ISO-
4 menunjukkan hasil negatif terhadap uji oksidase. Hal ini menunjukkan isolat bakteri ini tidak
adanya enzim oksidase. Menurut Jawetz et al., (2010), beberapa organisme menghasilkan enzim
oksidase yang berperan dalam mengkatalisis proses oksidasi dan reduksi elektron.
Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA), uji ini dilakukan untuk membedakan jenis bakteri
berdasarkan kemampuan memecah glukosa, laktosa, sukrosa dan pembebasan sulfide. Uji TSIA juga
dilakukan untuk mengetahui bakteri tersebut menghasilkan gas atau tidak. Berdasarkan uji yang
dilakukan ISO-2 membentuk warna kuning pada bagian but media dan warna merah pada bagian
slant. Hal ini menunjukkan isolat bakteri ini melakukan fermentasi terhadap glukosa dan tidak
melakukan fermentasi terhadap sukrosa dan laktosa. Pada ISO-1, ISO-3 dan ISO-4 menunjukkan
warna kuning pada bagian but dan slant dari media. Hal ini menunjukkan bakteri-bakteri ini
melakukan fermentasi terhadap glukosa, laktosa dan sukrosa. Menurut Haryani et al., (2012), bakteri
memiliki kemampuan dalam mendegradasi dan memfermentasi karbohidrat yang disertai produksi
asam. Bakteri memiliki sifat metabolisme yang berbeda, hal ini didasarkan dari interaksi metabolit
bakteri terhadap zat-zat kimia yang ada pada media.
Media ini juga diamati pembentukan H2S dan gas. Pembentukan H2S ditandai adanya warna
hitam pada media. Berdasarkan uji yang dilakukan, keempat isolat bakteri tersebut tidak
menghasilkan H2S. Hal ini menunjukkan keempat isolat bakteri ini tidak memiliki kemampuan dalam
mereduksi asam-asam amino yang mengandung sulfur. Menurut Bibiana (1994); Harry dan Paul
(1962), mikroorganisme yang menghasilkan desulfurase akan menghasilkan senyawa FeS yang
bewarna hitam, jika dibiakkan pada media yang kaya dengan asam amino yang mengandung sulfur.
Pengamatan selanjutnya pada media TSIA adalah pembentukan gas. Berdasarkan uji yang dilakukan
ISO-1, ISO-2 dan ISO-4 menghasilkan gas yang ditandai dengan terangkat atau pecahnya media.
Sedangkan ISO-3 tidak ada gas yang terbentuk.
Berdasarkan uji pada media SC ISO-1 dan ISO-4 bernilai positif. Hal ini menunjukkan kedua
isolat ini mengunakan sitrat sebagai sumber karbon. Isolat ISO-2 dan ISO-3 bernilai negatif, hal ini
menunjukkan isolat bakteri tidak menggunakan \sitrat sebagai sumber karbon. Menurut Bibiana
(1994), media fermentasi harus mengandung senyawa yang dapat dioksidasikan dan difermentasikan
oleh mikroorganisme. Senyawa tersebut berfungsi sebagai bahan dasar atau senyawa pemula untuk
memperoleh energi dan sintesis sel.
Hasil uji urea menunjukkan ISO-4 bernilai positif. Hal ini menandakan adanya enzim urease
pada isolat bakteri tersebut sehingga dapat menguraikan urea. Isolat ISO-1, ISO-2 dan ISO-3 negatif
urea. Hal ini menunjukkan isolat bakteri ini tidak memiliki enzim urease yang dapat merombak urea.
Menurut Bibiana (1994); Harry dan Paul (1962); Raihana (2011), beberapa bakteri memiliki
kemampuan dalam menghasilkan enzim urease. Enzim urease akan menguraikan urea menjadi
ammonium dan CO2. Bakteri gram negatif berbentuk batang sebagian besar memiliki enzim urease.
Berdasarkan hasil pengamatan pada media MR, isolat ISO-1, ISO-3 dan ISO-4 bernilai
positif. Hal ini menunjukkan isolat bakteri ini memiliki kemampuan dalam melakukan fermentasi
campuran. Isolat ISO-2 menunjukkan MR negatif. Hal ini menandakan bahwa tidak adanya
fermentasi campuran pada isolat bakteri ini. Menurut Bibiana (1994), beberapa bakteri
memfermentasikan glukosa dan menghasilkan berbagai produk yang bersifat asam. Pengujian
terhadap VP menunjukkan ISO-1, ISO-2 dan ISO-4 bernilai positif. Hal ini menunjukkan isolat
bakteri ini dapat memfermentasi karbohidrat. Isolat ISO-3 bernilai negatif. Hal ini menunjukkan isolat
bakteri ini tidak memfermentasi karbohidrat pada uji VP. Menurut Bibiana (1994), uji VP
mengidentifikasi mikroorganisme yang melakukan fermentasi karbohidrat menjadi 2.3-butanadiol
sebagai produk utama, sehingga akan terjadi penumpukan bahan tersebut pada permukaan media
pertumbuhan.
387
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Uji selanjutnya adalah uji dengan menggunakan media MIO. Media ini digunakan untuk tiga
pengamatan yaitu, motility, indol dan ornithin. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan menunjukkan
keempat isolat bakteri ini bersifat motil. Hal ini menandakan adanya flagella yang berfungsi untuk
melakukan pergerakan. Menurut Dwijoseputro (2010), flagela merupakan salah satu struktur utama
di luar sel bakteri yang menyebabkan terjadinya pergerakan (motilitas) pada sel bakteri. Golongan
basil dapat bergerak dengan adanya flagella yang tersebar baik pada ujung-ujung maupun pada sisi.
Pengujian indol menunjukkan ISO-1 dan ISO-3 bernilai positif, hal ini menandakan adanya
produksi indol dari tryptophan. Isolat ISO-2 dan ISO-4 menunjukkan negatif indol, hal ini
menandakan bahwa isolat bakteri ini tidak menghasilkan indol dari tryptophan. Menurut Raihana
(2011), beberapa bakteri mampu menghasilkan enzim tripthopanase yang mendegradasi
makromolekul asam amino tryptophan menjadi asam piruvat, ammonia dan indol. Pada uji ornithin
ISO-4 bernilai positif. Hal ini menunjukkan isolat bakteri ini memiliki kemampuan dalam
menguraikan gugus karboksil dari ornithin. Isolat ISO-1, ISO-2 dan ISO-3 bernilai negatif, hal ini
menunjukkan isolat bakteri ini tidak memiliki kemampuan dalam menguraikan gugus karboksil dari
ornithin. Menurut Harry dan Paul (1962), umumnya bakteri memiliki kemampuan dalam memecah
berbagai protein dan memanfaatkannya untuk sintesis sel juga sebagai sumber energi. Dekarboxylase
merupakan enzim yang berperan dalam pemisahan gugus karboksil untuk menghasilkan CO2.
Pengujian lisin dekarboxylase menggunakan media LIA, dimana ISO-1 menunjukkan positif
lisin dekarboxylase. Hal ini menunjukkan isolat bakteri memiliki kemampuan dalam memecah lisin
yang ada pada media. Isolat ISO-2, ISO-3 dan ISO-4 menunjukkan negatif lisin dekarboxylase. Hal
ini menandakan isolat bakteri ini tidak memiliki kemampuan dalam memecah lisin yang ada pada
media. Menurut Haryani et al., (2012), pemecahan lisin oleh enzim dekarboxylase akan menghasilkan
karbondioksida yang berperan dalam pembentukan dinding sel dan proses metabolisme sel
mikroorganisme.
Oksidatif/Fermentatif merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui kebutuhan bakteri
akan oksigen dalam menggunakan glukosa. Berdasarkan uji yang dilakukan ISO-1, ISO-3 dan ISO-4
menunjukkan fermentatif terhadap glukosa. Isolat ISO-2 menunjukkan oksidatif, hal ini menandakan
bakteri tersebut tidak dapat melakukan fermentasi glukosa tanpa adanya oksigen. Menurut Harry dan
Paul (1962), bakteri memiliki kebutuhan yang berbeda akan oksigen. Beberapa bakteri tidak dapat
tumbuh tanpa adanya oksigen, ada bakteri yang tetap tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen dan
bakteri yang tidak dapat tumbuh dengan adanya oksigen.
Pengujian akhir yang dilakukan di laboratorium adalah fermentasi karbohidrat. Pengujian ini
digunakan beberapa macam karbohidrat yaitu glukosa, laktosa, sukrosa dan maltosa. ISO-1, ISO-3
dan ISO-4 menunjukkan fermentasi positif pada glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa, hal ini
menandakan ketiga isolat ini memiliki kemampuan dalam melakukan fermentasi terhadap karbohidrat
tersebut. Berbeda dengan ISO-2 yang menunjukkan fermentasi positif pada glukosa saja, namun
negatif pada sukrosa, laktosa dan maltosa, hal ini menunjukkan isolat ini tidak dapat melakukan
fermentasi pada karbohidrat tersebut. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan dari 8 ginjal ikan nila,
diperoleh tiga jenis dan satu genus bakteri yaitu A. hydrophila, A. caviae, P. vesicularis. dan
Enterobacter sp.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Bakteri yang ditemukan pada ginjal ikan nila yaitu Aeromonas hydrophila, Pseudomonas vesicularis,
Aeromonas caviae dan Enterobacter sp.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawati. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanasius, Yogyakarta.
Andriyanto, S., Haririah dan Yanti. 2009. Deteksi Erdwerdsiella tarda Secara Imunohistokimia Pada
Ikan Patin (Pangasius pangasius). Jurnal veterinary science dan medicine. 1(1): 7.
Bibiana, WL. 1994. Analisis Mikrobiologi di Laboratorium. PT Raja Grafindo, Jakarta.
Campbell, NA., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2002. Biologi Edisi Ke Lima. Terjemahan dari Bilogy
Fifth edition oleh Rahayu. Erlangga, Jakarta.
Dwijoseputro. 2010. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta.
388
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Finegold, SM and Marthin, WJ. 1982. Diagnostic Microbiology. C.V. Mosby Company, United States
of America.
Harry, WS and Paul, JV. 1962. Microbes In Action A Laboratory Manual Of Microbiology. Freeman
and Company, USA.
Haryani, Y., Cahinulfifah dan Rustiana. 2012. Fermentasi Karbohidrat Oleh Isolat Salmonella spp.
Dari Jajanan Pinggir Jalan. Jurnal Ind.Che.Acta. 3(1): 23-24.
Hatmanti, A. 2003. Penyakit Bakterial Pada Budidaya Krustasea Serta Cara Penanganannya. Jurnal
Oceana. 28(3): 1.
Jawetz, E., Melnick, JL., Adelberg, EA., Geo, FB., Karen, CC., Janet, SB., Stephen, AM. 2010.
Medical Microbiology 25th ed. The McGraw-Hill Componies, USA.
Kismiyati., Sri, S dan Rahayu, K. 2009. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Gram Negatif Pada Luka Ikan
Maskoki (Carassius auratus) Akibat Infestasi Ektoparasit Argulus sp. Jurnal Ilmiah Perikanan
dan Kelautan. 1(2): 130-132.
Lehininger, A. 1982. Dasar-Dasar Biokimia jilid 1. Terjemahan dari Principles of Biochemistry oleh
Meggy,T. Erlangga, Jakarta.
Lukistyowati, I dan Kurniasih. 2011. Kelangsungan Hidup Ikan Mas (Cyprinus carpio l) Yang Diberi
Pakan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Dan Diinfeksi Aeromonas hydrophila. Jurnal
Perikanan dan Kelautan. 16(1): 146.
Purwohadisantoso, K., Zubaidah, E dan Saparianti, E. 2009. Isolasi Bakteri Asam Laktat Dari Sayur
Kubis Yang Memiliki Kemampuan Penghambatan Bakteri Patogen (Staphylococcus aureus,
Listeria monocytogenes, Escherichia coli). Jurnal Teknologi Pertanian. 10(1): 19-27.
Raihana, N. 2011. Profil Kultur Dan Uji Sensitivitas Bakteri Aerob Dari Infeksi Luka Operasi
Laparatomi Di Bangsal Bedah RSUD dr. M. Djamil Padang. Universitas Andalas, Padang.
SKIPM Kelas I Aceh. 2011. Departemen Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
SKIPM Kelas I Aceh, Aceh.
Solang, M dan Lamondo, D. 2009. Peningkatan Pertumbuhan dan Indeks Kematangan Gonad Ikan
Nila (Oreochromis niloticus l.) Melalui Pemotongan Sirip Ekor. Jurnal Tarani. 19(3): 143.
389
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Anggrek merupakan tanaman hias berbunga indah dan menjadi sumber devisa potensial bagi negara.
Serangan penyakit busuk lunak merupakan salah satu masalah dalam budidaya anggrek. Penyakit ini disebabkan
oleh sejumlah bakteri antara lain, Pseudomonas vinidiflava, P. carotovorum, dan Dickeyadadantii. Anggrek
yang di infeksi busuk lunak menunjukkan gejala bercak coklat pada daun dan pembusukan jaringan yang
disertai bau tidak enak. Usaha pengendalian penyakit secara biologi pada anggrek belum banyak dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode isolasi dan ektraksi DNA bakteri endosimbion dari anggrek
Phalaenopsis sp. Survei dan koleksi sampel dilakukan di Hutan Wonosadi dan sejumlahnursery di Yogyakarta
dan Jawa Barat. Dari hasil uji antagonisme dipilih 1 isolat (TbPh7) yang memiliki nilai daya hambat terbesar
dan berpotensi menghambat pertumbuhan penyakit busuk lunak. Ekstraksi deoxyribonucleic acid (DNA) bakteri
isolat TbPh7 dilakukan dengan metode cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB).
PENDAHULUAN
Anggrek merupakan tanaman hias yang memiliki bentuk bunga yang indah dan sudah dikenal
sejak 200 tahun yang lalu, dan 50 tahun terakhir mulai dibudidayakan secara luas di Indonesia
(Prihatman, 2000). Variasi bunganya yang unik telah menarik perhatian dan minat para botanis yang
gemar tanaman hias (Puspitaningtyas, 2003). Anggrek sebagai tanaman pot yang berbunga indah, juga
mempunyai arti penting dalam dunia perdagangan bunga, sehingga bunga anggrek merupakan sumber
devisa potensial bagi negara dan sumber penghasilan bagi masyarakat yang membudidayakannya
(Sutater, 1996).
Salah satu masalah dalam budidaya tanaman anggrek terutama anggrek Phalaenopsis sp.
adalah serangan dari bakteri yang dapat menyebabkan penyakit busuk lunak diantaranya yaitu
Pseudomonas vinidiflava, Dickeya dadantii, Pectobacterium carotovorum subsp. carotovorum dan
Burkholderia sp. (Gnamanickam, 2006). Pembusukan dapat terjadi pada jaringan tanaman yang masih
muda secara cepat dibandingkan pada jaringan tanaman yang dewasa, sebagai contoh pada jaringan
dewasa yaitu pada umbi atau akar proses pembusukan berkembang lebih lambat dibandingkan pada
jaringan tanaman yang masih muda (Agrios, 2005).
Bakteri endosimbion adalah bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman, tanpa
menyebabkan kerugian pada tanaman inang. Pemanfaatan bakteri endosimbion dalam menginduksi
ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit merupakan pengendalian yang tidak menimbulkan
efek negatif terhadap kehidupan manusia dan lingkungan Dalam penelitian ini digunakan bakteri
busuk lunak sebagai patogen untuk melihat adanya ketahanan tanaman pada anggrek dengan
introduksi bakteri endosimbion (Hallmann, 1999).
DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling penting dalam makhluk hidup, karena di
dalam DNA ini berisi materi genetik dari suatu sel makhluk hidup yang dapat diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Suryo, 2004). Bahan genetik pada prokaryot terdiri atas satu unit
molekul DNA untai ganda dengan struktur lingkar (circular). Bahan genetik pada prokaryot tidak
dikemas di dalam suatu struktur yang jelas karena pada sel prokaryot tidak terdapat inti sel yang jelas
seperti pada eukaryot. Bahan genetik utama prokaryot diketahui terikat pada membran sel sebelah
dalam, yang diduga berperan dalam proses pemisahan DNA pada waktu terjadi pembelahan sel.
Selain bahan genetik utama, prokaryot seringkali juga mempunyai bahan genetik tambahan yang
disebut dengan plasmid. Plasmid pada prokaryot berupa molekul DNA untai ganda dengan struktur
lingkar. Pada umumnya plasmid tidak dibutuhkan oleh sel untuk pertumbuhan, meskipun ada
beberapa plasmid yang mampu memberi keuntungan tambahan bagi sel dalam keadaan tertentu
(Yuwono, 2008).
Isolasi DNA dilakukan dengan tujuan memisahkan DNA dari bahan lain seperti protein,
lemak dan karbohidrat. Prinsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yaitu penghancuran (lisis), ekstraksi
390
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA.
Penggunaan teknik isolasi DNA dengan kit dan manual memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode
konvensional memiliki kelebihan yaitu harga lebih murah dan dapat digunakan secara luas, sementara
kekurangannya membutuhkan waktu yang relatif lama dan hasil yang diperoleh tergantung dari jenis
sampel (Surzycki, 2000).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis bakteri endosimbion yang terbaik dalam
menghambat penyakit busuk lunak dan mengetahui cara mengisolasi bakteri endosimbion serta
ekstrasi DNA bakteri endosimbion dari tanaman anggrek Phalaenopsis sp.
391
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 4. Jaringan dari tanaman anggrek yang diambil untuk diisolasi bakteri endosimbion
No Nama Sampel Jaringan Tanaman
1 Phalaenopsis sp. Akar, Daun, Tangkai bunga, bunga
Hasil dari isolasi akan digunakan untuk beberapa tahapan uji. Bakteri ini disimpan dalam
media TSA dengan cara diambil dan dipindahkan menggunakan jarum ose ke dalam media TSA yang
baru, serta diberi simbol angka agar diketahui urutan dari bakteri yang akan digunakan untuk uji
selanjutnya. Hasil isolat yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.
A B
Bakteri endosimbion isolat no.9 (TbPh7) memiliki kemampuan yang sangat baik dalam
menghambat pertumbuhan bakteri penyebab penyakit busuk lunak yaitu dengan rerata daya hambat
sebesar 2,21 cm. Hasil uji antagonis pembentukan daya hambat dari bakteri endosimbion (isolat no. 9)
terhadap bakteri penyebab penyakit busuk lunak (isolat Phsl2) dapat dilihat pada Gambar 2.
392
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Ekstraksi DNA yang dilakukan menggunakan metode sederhana yaitu dengan CTAB. Pada saat
isolasi DNA bakteri, kemungkinan adanya degradasi dari DNA akibat dari aktivitas enzim
endonuklease sehingga digunakan buffer ekstraksi saat isolasi DNA. Buffer ekstraksi berisi EDTA,
CTAB dan SDS, fungsi dari CTAB dan SDS yaitu sebagai senyawa yang dapat melisiskan membran
sel yang terdiri dari lipid (fosfolipid) dan larutan SDS ini juga berfungsi untuk mendenaturasi protein,
EDTA berfungsi sebagai senyawa inhibitor yang dapat menghambat aktivitas dari enzim nuklease.
Untuk mempercepat proses pelisisan membran sel pada bakteri dalam penelitian ini dilakukan di
vortex. Penambahan larutan NaCl juga dilakukan karena senyawa ini berfungsi dalam pengikatan
gugus phospat pada DNA bakteri sehingga DNA dapat terisolasi. Tahap ekstraksi selanjutnya yaitu
dilakukan pengambilan fase air dari hasil ekstraksi dan diberi penambahan PCIAA. Senyawa ini
berfungsi sebagai pelarut dari senyawa organik dan lipid sehingga saat dilakukan penambahan PCIAA
dan disentrifusterbentuk tiga lapisan dalam tube. Lapisan pertama berisi DNA, lapisan kedua berisi
protein, lapisan ketiga berisi debris sel, dan isoamyl alcohol berfungsi untuk menghilangkan RNA
(Moore et al., 2004).
DNA diendapkan dengan isopropil alkohol tujuannya yaitu karena alkohol dapat mengikat air
yang terikat pada DNA, sehingga DNA dapat mengendap dalam tube. Pemurnian DNA dilakukan
dengan menambahkan etanol yang berfungsi untuk lebih memekatkan DNA dan membersihkan pelet
DNA dari reagen-reagen yang diberikan sebelumnya. DNA yang diperoleh kemudian
dikeringanginkan dan disimpan dalam TE buffer yang berfungsi sebagai pelarut DNA dalam suhu -
200C.
DNA yang berhasil diekstraksi kemudian dilakukan pengecekan kemurnian DNA, hasil
kuantifikasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan hasil konsentrasi dari DNA bakteri yang diperoleh sebanyak 300 µg/ml
dengan rasio 1,2. Dari hasil kuantifikasi DNA ini dapat dilakukan uji selanjutnya yaitu analisis DNA
dengan metode PCR.
393
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
Bakteri endosimbion (Tbph7) telah diisolasi dari tangkai bunga Phalaenopsis sp.dan
merupakan isolat terbaik diantara isolat bakteri lainnya karena memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan bakteri penyebab busuk lunak yang lebih besar ditandai dengan pembentukan zona
hambat yang besar diantara isolat bakteri lainnya. Hasil dari uji antagonis kemudian dilanjutkan
dengan proses isolasi dan ekstrasi DNA agar mudah melakukan pengujian analisis DNA dari bakteri
endosimbion.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, 3rd. Academic Press. Sandiego, Ed: Busnia, M. Ilmu Penyakit
Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Gnanamanickam, S.S. 2006. Plant-Associated Bacteria, page 42. University of Madras, Chennai,
India.
Hallmann, J. 1999. Plant Interactions with Endophytic Bacteria.
http://www.bspp.orguk/archives/bspp1999.org.uk/archives/bspp1999/session3.php.
Moore, E., Arnsceidt, A., Kruger, A., Strompl, C., and Mau, M. 2004. Simplified Protocols for The
Preparation of Genomic DNA from Bacterial Cultures. Molecular microbial Ecology Manual.
1.01.:3-18.
Prihatman. 2000. Anggrek. Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. http//www.ristek.go.id
Puspaningtyas, D.M., Sofi, M., Sutrisno, dan Jauhar, A. 2003. Anggrek Alam di Kawasan Konservasi
Pulau Jawa. LIPI. Bogor.
Suryo. 2004. Genetika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Surzycki. 2000. Basic Techniques in Molecular Biology. Springer-verlag publisher, New York.
Sutater, T. 1996. Pengembangan Teknologi Budidaya Menuju Usaha Anggrek berciri Indonesia.
Rangkuman Hasil Seminar Anggrek PAI. Yayasan Anggrek Indonesia.
Yuwono, T. 2008. Biologi Molekular. Erlangga, Jakarta.
394
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penyebab gagal menetas pada telur penyu disebabkan oleh infeksi jamur. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi jamur yang ditemukan pada pasir sarang dan cangkang telur penyu Lekang yang gagal menetas
di Penangkaran Penyu Pariaman, Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 – Juni
2013 menggunakan metode survey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan Fusarium sp.5, Fusarium
sp.6, Aspergillus sp.1 dan Trichoderma sp pada pasir sarang dan Fusarium sp.1, Fusarium sp.2, Fusarium sp.3,
Fusarium sp.4, Fusarium sp.5, Aspergillus sp.1 pada cangkang telur penyu Lekang yang gagal menetas.
Persentase kehadiran jamur dari sarang pasir dan cangkang telur penyu lekang yang gagal menetas berkisar
26.7-82.0%, yang didominasi oleh Fusarium.
Kata kunci: jamur, penyu, pasir sarang, cangkang telur, telur gagal menetas
PENDAHULUAN
Penyu laut ditetapkan sebagai spesies yang terancam punah masuk dalam daftar Appendix-1 Red
Book Data, The International Union for Conservation of Nature and Natural Resource/IUCN (Petocz,
1987). Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu dunia, tiga jenis diantaranya ditemukan di
kawasan konservasi Penangkaran Penyu, Desa Apar, Pariaman,Sumatera Barat, yaitu penyu Sisik,
penyu Hijau dan penyu Lekang.
Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea L.) termasuk konservasi alam yang rentan (Cornellius et al.,
2007) sehingga perlu dilindungi dalam upaya penyelamatan populasi penyu dari berbagai ancaman,
seperti; penangkapan penyu, perdagangan telur, serangan mikroba terhadap telur yang mengakibatkan
telur penyu gagal menetas (Wyneken et al., 1988; Baran et al., 2001; Phillott et al., 2001). Telur
penyu dalam pasir sarang mengalami masa inkubasi yang panjang dan sangat rentan terhadap
serangan mikroba. Menurut Clusella dan Paladino (2007) ditemukan jamur didalam pasir sarang telur
penyu. Phillott dan Parmenter (2001) dan Sarmiento-Ramirez et al. (2010) menyatakan bahwa jamur
yang berkembang dalam sarang dapat menyebabkan telur penyu membusuk. Cangkang telur yang
membusuk akan mempengaruhi telur-telur lainya dan menyebar keseluruh pasir sarang (Phillott dan
Parmenter, 2001).
Jamur yang teridentifikasi pada pasir sarang yaitu; Fusarium oxysporum, sedangkan cangkang
telur yang gagal menetas yaitu; Fusarium solani pada penyu Belimbing di Kolombia (Phillott et al.,
2002). Phillott et al. (2004) juga menemukan F. Solani dan F. oxysporum pada telur penyu Hijau,
penyu Tempayan, penyu Sisik dan penyu Pipih di Pantai Timur Australia. Dugaan kehadiran jamur
tertentu pada pasir sarang maupun cangkang telur sebagai salah satu penyebab gagal menetas pada
telur penyu menjadi penting. Penelitian ini dibatasi untuk menemukan, mengidentifikasi, mengkoleksi
jamur pada pasir sarang dan cangkang telur penyu Lekang yang gagal menetas sebagai salahsatu
bentuk dukungan terhadap upaya konservasi penyu di penangkaran Desa Apar, Pariaman.
METODE
Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2012-Juni 2013 di Penangkaran Penyu Pariaman dan
Laboratorium Riset Mikrobiologi, Jurusan Biologi Universitas Andalas. Penelitian menggunakan
metoda survay, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dan data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Jamur diisolasi dari sampel pasir sarang dengan teknik pengenceran, sedangkan untuk sampel
cangkang telur, isolasi jamur dilakukan dengan teknik penanaman langsung pada medium PDA. Isolat
jamur yang tumbuh dihitung persentase kehadirannya. Jamur yang ditemukan diamati disecara
395
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi jamur mengacu pada Barnett dan Hunter (1972); Samson
dan Reenen (1988); Booth (1977); Quimio dan Hanlin (1999).
Tabel 1. Isolat jamur yang ditemukan dari pasir sarang dan cangkang telur penyu Lekang
(Lepidochelys olivacea L.) gagal menetas di Penangkaran Pariaman
Sampel
Pasir Sarang Cangkang Telur Hasil identifikasi
Kode
Isolat
J1 - Fusarium sp. 1
J2 - Fusarium sp. 2
J3 - Fusarium sp. 3
J4 - Fusarium sp. 4
J5 Fusarium sp. 5
J6 - Fusarium sp. 6
J7 Aspergillus sp. 1
J8 - Trichoderma sp.
Keterangan: - = tidak ditemukan
= ditemukan
Tabel 1 menunjukkan bahwa ditemukan delapan isolat jamur pada pasir sarang dan cangkang
telur penyu Lekang yang gagal menetas di Penangkaran Penyu Pariaman. Empat isolat ditemukan
pada sampel pasir sarang yaitu; Fusarium sp.5, Fusarium sp.6, Aspergillus sp.1 dan Trichoderma sp.
dan enam isolat jamur pada cangkang telur yaitu; Fusarium sp.1, Fusarium sp.2, Fusarium sp.3,
Fusarium sp.4, Fusarium sp.5 dan Aspergillus sp.1.
Jamur Fusarium sp.1 memiliki ciri makroskopis bentuk koloni seperti lingkaran berwarna putih,
permukaannya kasar dan pinggiran koloni tidak beraturan seperti kapas. Ciri-ciri mikroskopisnya
memiliki konidia (makrokonidia dan mikrokonidia). Makrokonidia berbentuk bulan sabit dengan
ujung seperti bentuk mata kail, mikrokonidia terdiri dari dua sel, hialin, melengkung dan hifa
transparan tidak berwarna (Samson dan Reenen,1988).
Jamur Fusarium sp. 2 memiliki ciri-ciri makroskopis koloni berwarna putih, permukaannya halus
seperti menyatu dengan medium dan pinggiran koloni tidak rata. Ciri-ciri mikroskopis memiliki tipe
konidia mikrokonidianya mudah dikenali berbentuk jorong memanjang dan berwarna hitam, hifa
terang dan transparan (Samson dan Reenen,1988).
Jamur Fusarium sp. 3 memiliki ciri-ciri makroskopis koloni berwarna putih, bagian tengahnya
berwarna merah muda, pinggiran hifa menjari dan bentuknya seperti kapas dengan permukaan halus.
Ciri-ciri mikroskopis memiliki dua tipe konidia yaitu makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia
terdiri atas lebih dari satu sel dan memanjang dengan ujungnya menyerupai bulan sabit. Mikrokonidia
hialin, lonjong dengan ujungnya membengkok, hifanya hialin jelas terlihat (Samson dan
Reenen,1988).
Jamur Fusarium sp. 4 memiliki ciri-ciri makroskopis pinggiran koloni tidak rata seperti menjari.
Pada awal pengamatan miseliumnya berwarna hitam, pada hari ke-3 warna miseliumnya berubah dari
bagian tengah yang hitam menjadi pudar dan semakin memutih pada bagian pinggir. Pada bagian
pinggir terlihat seperti kapas dengan permukaannya halus. Ciri-ciri mikroskopis memiliki dua tipe
konidia yaitu makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia hialin berbentuk seperti bulan sabit
yang pada bagian ujungnya meruncing, yang mana pada bagian ujungnya seperti tangkai yang
memanjang. Mikrokonidia hialin, berbentuk ovoid dan tidak berwarna. Selanjutnya hifa bersekat dan
bercabang (Samson dan Reenen,1988).
396
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Jamur Fusarium sp. 5 memiliki ciri-ciri makroskopis koloni berwarna merah terang dan seperti
kapas yang permukaannya halus, bentuk pinggiran hifanya tidak merata. Ciri-ciri mikroskopis
memiliki tipe konidia yang berbeda yaitu makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia berbentuk
seperti bulan sabit dan berbentuk lonjong. Mikrokonidiumnya hialin, bersel satu, tidak berwarna dan
bulat telur dan hifa membentuk percabangan (Samson dan Reenen,1988).
Jamur Fusarium sp. 6 memiliki ciri-ciri makroskopis berwarna koloni putih dibagian tepi dan
bagian tengahnya berwarna kuning, miselium teratur. Ciri-ciri mikroskopis Fusarium sp. 6 memiliki
tipe konidia makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia berbentuk sabit dan mikrokonidia
berbentuk oval ata elips, memiliki hifa bersekat dan bercabang (Samson dan Reenen,1988).
Jamur Aspergillus sp. 1 memiliki ciri-ciri makroskopis dengan warna koloni hitam, bentuknya
seperti bintik-bintik hitam tidak beraturan dan pada hari ke-5 pengamatan koloni jamur memenuhi
seluruh dasar media. Ciri-ciri mikroskopis koloni berkelompok dengan hifanya bersekat dan
bercabang. Konidia berbentuk seperti tabung dengan kepala konidia yang membengkak, konidiospor
halus tegak ke atas membentuk globus (Samson dan Reenen,1988).
Jamur Trichoderma sp. 1 memiliki ciri-ciri makroskopis berwarna hijau, bentuknya melingkar,
bergerombol seperti tumpukan. Pada media, bagian tengahnya berwarna hijau gelap, pinggirannya
berwarna lebih muda dan pengamatan hari ke-3 pertumbuhannya sangat cepat memenuhi seluruh
permukaan media. Ciri mikroskopisnya konidia hialin, halus, konidiofor tegak lurus dan adanya
cabang yang jarak antara cabang lainnya berdekatan, hifa bercabang dan kepala konidia bulat
memanjang (Samson dan Reenen,1988).
Kehadiran isolat jamur pada sampel pasir sarang dan cangkang telur penyu Lekang gagal menetas
disajikan pada Tabel 2
Tabel 2. Persentase kehadiran isolat jamur pada sampel pasir sarang dan cangkang telur penyu Lekang
(Lepidochelys olivacea L.) gagal menetas di Penangkaran Pariaman
Sampel
Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase kehadiran jamur dari sampel pasir sarang dan cangkang
telur penyu lekang yang gagal menetas berkisar antara 26.7-82.0%. Persentase kehadiran jamur
tertinggi adalah Fusarium sp.3. Secara keseluruhan kehadiran jamur pada pasir sarang maupun
cangkang telur didominasi Fusarium. Phillott dan Parmenter(2001) menemukan Fusarium pada pasir
sarang telur penyu. Fusarium sering menjadi parasit yang dapat menginfeksi tanaman dan juga
hewan. Fusarium juga dilaporkan sebagai parasit pada penyu laut bagian kepala, leher dan kulit
penyu Lepidochelys kempii (Leong et al., 1989).
Phillottt dan Parmenter (2001) melaporkan bahwa Fusarium merupakan patogen tanah yang
ditemukan pada bagian luar telur yang gagal menetas. Telur-telur penyu yang gagal menetas
terkontaminasi oleh jamur. Jamur hadir dari dalam pasir sarang dan menginfeksi kulit telur dan
menyerang telur-telur yang sehat selama proses inkubasi. Telur penyu busuk mempengaruhi telur-
telur lainnya sehingga keberhasilan penetasan sangat rendah (Shanker et al., 2003).
397
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Penelitian lanjutan disarankan untuk melakukan Uji Postulat Koch terhadap isolat jamur yang
ditemukan untuk memastikan apakah isolat jamur yang ditemukan berkontribusi sebagai agen
penyebab gagal menetas pada telur penyu Lekang.
DAFTAR PUSTAKA
Baran, A. O., C. Ilgaz., and O. Turkozan. 2001. Impact of some invertebrates on eggs and hatchlings
of the Loggerhead Turtle, Caretta caretta, in Turkey. Zoology in the Middle East. 24: 9-17.
Barnet, H. L., and B. B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. 4th edition. Macmillian
publishing company. United States of America. Amerika.
Booth, C. 1977. Fusarium: Laboratory Guide to the Identification of The Major Species. Common
wealth Mycological Institute, Kew Surrey. England.
Bruner, D. W., and J. H.Gillespie. 1973. Hagan's Infectious Diseases of Domestic Animal. 6th ed. With
Special Reference to Etiology, Diagnosis, and Biology Therapy. Cornell University Press.
Ithaca and London.
Clusella, T. S., andF.V. Paladino. 2007. Micro-environment of Olive Ridley Turtle Nest Deposited
During an Aggregated Nesting Event. Journal Zoology 272:367-376.
Cornelius, S. E., R. Arauz., J. Fretey., M. H. Godfrey., R. Marquez., and K. Shanker. 2007. Effect of
and based harvest of Lepidochelys. In: Plotkin, P.T. (Ed.). The Biology and Conservation of
Ridley Sea Turtles. Baltimore: Johns Hopkins University Press, pp. 231–251.
Leong, J. K., D. L. Smith., D. B. Revera., J. C. Clary., D. H., Lewis., J. L. Scott., and A. R. Dinuzzo.
1989. Health care and diseases of captive-reared loggerhead and Kemp’s ridley sea turtles. In:
st
Caillouet, C.W. (Eds.). Proceedings of the 1 International Symposium on Kemp’s Ridley Sea
Turtle, Conservation and Management. Texas A&M Sea Grant, Galveston, pp. 178-201.
Petocz, G. R. 1987. KonservasiAlamdan Pembangunan diIrian Jaya (Strategi pemanfaatan sumber
daya alam secara Rasional). Pustaka Grafitipers. Jakarta.
Phillott, A. D. 2001. The distribution of failed eggs and the appearance of fungi in artificial nests of
green (Chelonia mydas) and loggerhead (Caretta caretta) sea turtles. Journal Zoology 49: 713-
718.
Phillott, A. D., and C. J. Parmenter. 2001. Influence of diminished respiratory surface area on survival
of sea turtle embryos. Journal Zoology 289:317–321.
Phillott, A. D., C. J. Parmenter., C. J. Limpus., and K. M. Harrower. 2002. Mycobiota as acute dan
chronic cloacal contaminants of female sea turtles.Journal Zoology 50:687– 695.
Quimio, H. T., and T. R. Hanlin. 1999. Illustrated Genera dan Species of Plant Pathogenic Fungi in
The Tropics. University of ThePhillippines Los Banos, College, Laguna. Phillippines.
Samson, A. R., and E. S. V. Reenen hoekstra. 1988. Introduction of food Borne Fungi. Central bureau
Voor Schimme cultures Baarn. New York.
Sarmiento-Ramirez, E. Abella., M. P. Martın., M. T. Tellerıa., L. F. lopezJurado., A. Marco., and J.
Dieguezuribeondo. 2010. Fusarium solani is responsible for mass mortalities in nests of
loggerhead sea turtle, Caretta caretta, in Boavista, Cape Verde. FEMS Microbiol Lett 312:192–
200.
398
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Shanker, K., B. C. Choudhury., and H. V. Danrews. 2003. Sea turtle conservation:beach management
and hatchery programmes. Centre for Herpetology/Madras Crocodile Bank Trust,Tamil Nadu,
India.
Wyneken, J., T. J. Burke., S. Malmon., and D. D. K. Pedersen. 1988. Egg failure in natural and
relocated sea turtle nests. Journal Herpetology 22: 88-96.
399
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Usaha pengendalian secara genetik Ae.aegypti vektor Demam Berdarah Dengue (DBD), membutuhkan
informasi sekuen yang mengandung motif mikrosatelit. Sekuen dari fragmen yang bermotif mikrosatelit akan
digunakan untuk pendesainan penanda genetik Ae.aegypti. Untuk itu diperlukan proses kloning sebelum
melakukan sekuensing. Ligasi dan transformasi kandidat fragmen yang bermotif mikrosatelit Ae.aegypti telah
dilakukan menggunakan plasmid pGem-T easy dan E.coli DH5α sebagai inang. Sel kompeten disiapkan dengan
metode CaCl2 dan transformasi dengan metode Heat sock (kejut panas). Hasil kloning didapatkan 85% koloni
putih dan 15% koloni biru. Verifikasi insert dilakukan dengan PCR koloni menggunakan primer 21-mer
menghasilakan fragmen sesuai dengan fragmen awal. Isolasi DNA plasmid dan PCR dengan primer T7SP6
berhasil membuktikan fragmen insert. Hasil analisis BLAST untuk mengetahui homologi sekuen yang telah
diklon mempunyai nilai homologi 80% dengan E-value 3e-11.
PENDAHULUAN
Peningkatan kasus DBD setiap tahun selalu terjadi, hal ini salah satu penyebabnya adalah belum
berhasilnya program pengendalian nyamuk vektornya Ae.aegypti. Salah satu usaha yang dapat
dilakukan untuk pengendalian nyamuk vektor Aedes aegypti adalah dengan pengendalian secara
genetik. Dalam usaha pengendalian secara genetik ini diperlukan informasi tentang diversitas genetik,
Diversitas genetik merupakan salah satu cara untuk melihat keanekaragaman genetik suatu spesies
berdasakan inter dan intra populasi. Diversitas genetik dapat dipelajari dengan menggunakan
beberapa marker/penanda seperti allozim, RAPD, RFLP dan mikrosatelit (Lovin, et al., , 2009).
Penanda mikrosatelit merupakan salah satu tool, marker molekuler yang dikembangkan untuk
mempelajari genetika populasi dan diversitas genetik pada serangga dan merupakan salah satu tool
yang mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi (Jarne dan Lagoda, 1996). Penelitian mengenai
diversitas genetik Aedes aegypti berdasarkan mikrosatelit telah dilakukan antara lain ole Huber et al.,
(1999) tentang sekuen mikrosatelit sebagai marker/penanda dalam studi genetik Aedes aegypti
sebagai vektor demam berdarah. Ravel, et al., (2001) melakukan studi awal tentang genetika populasi
Aedes aegypti di Mexico. Lovin, et al., (2009) mengenai pengembangan polimorfik mikrosatelit dan
validasi serta studi populasi genetika nyamuk Aedes aegypti di Haiti. Kemudian Paupy, et al., (2010)
menggabungkan data morfologi dan mikrosatelit untuk melihat variabilitas morfologi dan genetik
Aedes aegypti di Niakhar, Senegal.
Penanda mikrosatelit merupakan penanda molekuler yang berbasis informasi dari fragmen DNA
yang mengandung motif mikrosatelit. Untuk mendapatkan penanda tersebut dilakukan karakterisasi
dan kloning dari kandidat fragmen bermotif mikrosatelit.
Dalam tulisan ini akan diuraikan kegiatan kloning kandidat fragmen DNA bermotif mikrosatelit
Ae.aegypti yang selanjutnya akan disekuensing dan akan didesain primer untuk mendapatkan
penanda mikrosatelit yang akan digunakan untuk mempelajari diversitas genetik Ae. Aegypti terkait
dengan struktur genetik populasinya vektor DBD tersebut..
CARA KERJA
Ligasi dan Transformasi
Ligasi dan transformasi menggunakan pGem-T easy vector (Promega) dan E.coli DH5α, psosedur
yang dilakukan sesuai dengan rekomendasi produsen. Ringkasan prosedurnya sebagai berikut.
kandidat fragmen DNA bermotif mikrosatelit di purifikasi dan hasil purifikasi dicek dengan gel
elektroforesis, selanjutnya fragmen tunggal diukur konsentrasinya selanjutnya dijadikan templat
400
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
untuk proses ligasi. Proses ligasi diinkubasi pada suhu 4˚C selama 1 malam Komposisi cocktail untuk
reaksi ligasi ke dalam pGem-Teasy vektor dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Campuran ligasi selanjutnya digunakan untuk proses transformasi yang menggunakan bakteri E.coli
DH5α yang telah dibuat menjadi kompeten dengan metoda CaCl2. E.coli dibuat kompeten supaya
dapat menerima plasmid pGem –Teasy yang telah diligasi dengan kandidat fragmen yang bermotif
mikrosatelit.
Transformasi
Metode yang dipakai adalah metode Heat Shock (kejut panas) mengikuti protokol Inoue et al.
(1990) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 5µl (2% Tryptone, 0,5% yeast extract DNA hasil ligasi
(plasmid rekombinan) dimasukan kedalam tabung falcon 15 ml (polipropilen) dingin kemudian
dicampur dengan 50 – 100 µl sel kompeten. Tabung dijentik-jentik perlahan agar tercampur rata
diinkubasi pada es selama 20 menit.
Tabung di heat shock dengan cara dimasukan kedalam inkubator suhu 42 ˚C selama 50 detik dan
secara cepat tabung dipindahkan kedalam es selama 20 menit. Sebagai media pertumbuhan
transforman ditambahkan 950 µl SOC (2% Tryptone, 0,5% yeast extract, 1% (v/v) 1 M NaCl, 25%
(v/v) 1 M KCl, 1% (v/v) 2 MgCl2, 1,0% glukosa), diinkubasi pada suhu 37˚C pada shaker selama 1 –
3 jam dengan kecepatan 200 rpm.
Kultur sel transforman sebanyak 50 – 100 µl ditanam pada medium LB padat yang telah
mengandung 100 µg/ml ampicilin, 100 µl IPTG (100 mM Isopropythio-β-D. galagtoside) dan 20 µl
X-gal (50 mg/ml), kultur diratakan dengan spraider steril (platting) dan diinkubasi pada suhu˚C37
selama semalam. Diamati koloni putih dan koloni biru, koloni putih menandakan ada nya fragmen
yang terinsert dan koloni biru tidak adanya fragmen yang terinsert.Verifikasi hasil transformasi di cek
dengan koloni PCR menggunakan primer 21-mer.
401
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
PCR Koloni
PCR koloni dilakukan untuk konfirmasai insert pada vektor yang diinginkan dengan menggunakan
primer 21-mer. Amplifikasi dilakukan menggunakan RTG-bead, semua komponen PCR telah
berbentuk bead dan ditambah 25 ul ddH20. Ke dalam campuran tersebut ditambahkan 1 koloni yang
dihomogenkan. Produk PCR di cek dengan gel elektroforesis.
Sekuensing
Analisis sekuensing dilakukan di Jerman yang di kirim melalui Universitas Brawijaya Malang dan
di Macrogen Korea, primer yang digunakan adalah T7 dan SP6.
Untuk mengedit hasil sekuensing menggunakan tekhnik bioinformatika dengan program Bioedit
software yang diakses secara online pada situs: NCBI:http://www.mbio.ncsu.edu/bioedit/. Selanjutnya
dilakukan vecscreen dengan situs NCBI: hhtp://www.ncbi.nlm.nih.gov/Vecscreen// untuk menentukan
daerah insert dari rekombinan yang disekuensing. Hasil vecsreen di BLAST untuk mengetahui
homologi sekuen yang didapat dengan data GenBank dan selanjutnya dianalisis dengan Microsatellite
Finder yang juga secara online untuk mendapatkan motif mikrosatelit. Analisis ini dilakukan secara
online.
402
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Seleksi biru putih adalah metode yang digunakan untuk mengetahui plasmid yang rekombinan dan
yang tidak rekombinan, dilakukan untuk mengetahui keberhasilan proses ligasi atau keberadaan
fragmen sisipan. Metode ini menggunakan media yang mengandung X-Gal dan IPTG (isopropyl
Thiogalaktosida) (Brown,1991). X-Gal adalah molekul yang mirip galaktosida, IPTG berfungsi
sebagai penginduksi ekspresi gen sedangkan X-Gal berfungsi sebagai substrat. Hasil penelitian ini
sesuai dengan teori bahwa koloni yang berwarna putih adalah koloni bakteri rekombinan yang
mengandung fragmen sisipan yang dapat dikatakan bahwa proses ligasi dan transformasi dinyatakan
berhasil ( Brown,1991).
Pada proses transformasi menggunakan CaCl2, Molekul Cacl2 ini dapat membuat dinding sel
bakteri menjadi terbuka. Fragmen DNA yang ditambahkan pada campuran ini akan membentuk
kompleks resisten DNase dengan ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks tersebut akan
digunakan sel selama perlakuan heat shock (kejutpanas) (Susanto,2009). Larutan CaCl2 ini akan
membuat dinding sel lebih permeabel sehingga akan bermuatan positif dan akan menarik fragmen
DNA yang bermuatan negatif.
Pengamatan koloni bakteri yang ditumbuhkan dalam cawan petri dengan media LB yang
mengandung ampisilin selama 18–20 jam pada suhu 370C (Gambar 1). E.coli yang telah disisipi
vektor pGem-T yang memiliki gen resisten ampisilin akan tumbuh sebaliknya bakteri yang tidak
memiliki gen resisten ampisilin tidak akan tumbuh. Morfologi bakteri yang tumbuh terlihat bulat,
mengkilat dan berbau khas.
Koloni bakteri yang berwarna putih merupakan koloni rekombinan. Replikasi molekul DNA
rekombinan didalam sel bakteri mengikuti mekanisme normal replikasi DNA kromosomal yang
terdapat dalam bakteri, untuk itu DNA rekombinan harus memiliki sekuen permulaan replikasi
(ORF) atau berada dalam struktur sirkulair tertutup dan berpita ganda ini berlaku pada vektor yang
berbasis plasmid (Jamsari, 2007).
403
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
didapatkan panjang pragmen DNA yang dihasilkan lebih panjang dari ukuran awal DNA plasmid
pGem-T easy ( lebih 3.000 bp). Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa fragmen terinsert secara
baik pada plasmid rekombinan.
Gambar 2 : Hasil elektroforesis PCR Koloni (K(-)) = Koloni biru, 1,2, 3 dan 4 = koloni putih)
Hasil isolasi DNA plasmid selanjutnya di verifikasi lagi dengan melakukan PCR menggunakan
primer 21-mer, hasil PCR menunjukan adanya fragmen sesuai dengan fragmen DNA awal (Gambar
3B), Sebelum melakukan proses sekuensing di PCR lagi dengan menggunakan primer
T7SP6.Sekuensing dilakukan untuk memastikan adanya motif mikrosatelit pada kandidat fragmen
yang telah dikoloning.
A B
Gambar 3 : Hasil elektroforesis Isolasi DNA plasmid koloni rekombinan (A) dan hasil
elektroforesis PCR DNA plasmid rekombinan dengan primer 21- mer (B)
Didapatkan nilai homologi 80% dan E-value 3e-11, hasil ini menunjukan nilai berwarna merah
menunjukan homologi yang sanat tinggi, untuk garis warna merah muda untuk tingkat homologi
tinggi, garis hijau untuk tingkat homologi sedang, garis biru untuk tingkat homologi rendah dan garis
hitam untuk tingkat homologi yang sangat rendah.homologi sedang (Gambar 4). Menurut Claveri dan
Notredame (2003) garis yang
404
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ligasi dan transformasi kandidat fragmen bermotif mikrosatelit berhasil dilakukan dengan
adanya koloni putih (ada insert) dan koloni biru (tanpa insert)
2. Koloni PCR dan PCR menggunakan primer awal (primer 21-mer) dan primer T7SP6 berhasil
membuktikan adanya fragmen insert.
3. Hasil analisis data sekuensing dari fragmen insert menunjukan nilai homologi 80%
dibandingkan data GenBank Ae.aegypti.
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan :
1. Melanjutkan proses kloning untuk kandidat fragmen mikrosatelit yang lain supaya
mendapatkan variasi motif mikrosatelit target.
2. Untuk dapat merancang penanda yang spesifik sampel fragmen hasil cloning dimurnikan
dengan metode purifikasi dan melakukan sekuensing dengan sampel yang banyak.
Ucapan Teimakasih
Penelitian ini dibiayai oleh Dirjen Dikti (DP2M) melalui HPEQ Project (Program
Peningkatan Kualitas Pendidikan Dokter (PHKPKPD) FK UNAND Tahun Anggaran 2013 . Dengan
Nomor Kontrak : 02/PHKPKPD/ FKUNAND /2013. Ucapan terimakasih kepada Bapak Prof.
Dr.sc.agr.Jamsari, MP yang telah mengarahkan dan membimbing jalannya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, T.A, 1991. Pengantar Kloning Gen. Penterjemah: Sumiati, A.M dan Praseno.Yogyakarta.
Yayasan Essentia Medica.
Claveri, J.M. dan C. Notredame. 2003. Bioinformatics for Dummies. Ed ke – 2. New York : Wiley
Publishing
Huber K, Mousson L, Rodhain F, Failloux A-B.1999. Microsatellite sequences as markers for
population genetic studies of the mosquito Aedes aegypti. Am J Trop Med Hyg, 61:1001-
1003.
Huber, K., Mousson, L., Rodhain, F., Failloux, A.B., 2001. Isolation and variability of polymorphic
microsatellite loci in Aedes aegypti the vector of dengue viruses. Mol. Ecol. Notes 1, 219–
222.-prone spontaneously hypertensive rat. Cell 67:657-662.s.
405
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
lnoue H, Nojima H and Okayama H. 1990. High Efficiency transformation of Escherchia coli with
plasmids. Gene 96:23-28
Jarne, P. And Pierre J.L. Lagoda. 1996. Microsatellites from molecul to populations and back.
Elsivier Sci.11 : 424-429.
Jamsari. 2007. Biotekhnologi Pemula Prinsip Dasar dan Aplikasi Analisis Molekuler.Unri Pres.
Pekanbaru.
Lovin, D.D., Washington, K.O., deBruyn, B., Hemme, R.R., Mori, A., Epstein, S.R., Harker, B.W.,
Streit, T.G., Severson, D.W., 2009. Genome-based polymorphic microsatellite development and
validation in the mosquito Aedes aegypti andapplication to population genetics in Haiti. BMC
Genomics 10, 590.
Paupy Christophe C., Brengues C. Ndiath C, Toty C., Herve JP, Simard F. 2010. Morphological and
genetic variability within Aedes aegypti and in Niakhar, Senegal Genetics and Evolution 10
(2010) 473–480.
Pauppy C, Gilbert LG, Cécile B, Mabel G, Jimmy R, Zaïra BS, Herve J-P and Didier F. 2012. Genetic
structure and phylogeography of Aedes aegypti, the dengue and yellow-fever mosquito vector
in Bolivia. Infection, Genetics and Evolution 12 : 1260–1269
Promega. 1999. Protocol and Application Guide. Edisi ke 3 USA. Promega Corperation.
Ravel S, Nicole M, Dolores VO, Juan E Vand Ge´rard .2001. A preliminary study of the population
genetics of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) from Mexic using microsatellite and AFLP
markers Acta Tropica 78 () 241–250
Ravel S, Herve J.P., Diarrassouba S, Kone A, Cuny G. 2002. Microsatellite markers for population
genetic studies in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) from Coˆte d’Ivoire: evidence for a
microgeographic genetic differentiation of mosquitoes from Bouake. Acta Trop. 82, 39–49.
Reece, R.J. 2004. Analysis of Genes and Genomes. England : John Willey & Sons Ltd.
Sambrook, J., Fritscly, EF. And Maniatis, T. 1989. Molecular Cloning, Laboratory Manual. Second
Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York.
Suryanto, D., 2003. Melihat keanekaragaman organism melalui beberapa tekhnik genetika molekuler.
Digitized by USU Digital Library. FMIPA. USU.
Susanto, A.H., 2009. Bahan Ajar Biologi Molekuler. Dasar-Dasar Tekhnologi DNA Rekombinan.
http://biomol.wodpress.com {Januari 2014}
Weber, J. L., and May, P. E. 1989. Abundant class of human DNA polymorphisms which can be
typed using the polymerase chain reaction. Am. J. Hum. Genet. 44: 388-396.
Weising K, Nybom H,Wolff K and Kahl. 2005. DNA Fingerprinting in Plants:
Principle, Methode and Applications. London: CR Press.
406
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Jamur merupakan sumber daya hayati yang jumlahnya banyak ditemukan di Indonesia. Jamur padali
merupakan salah satu contoh jamur yang biasa dikonsumsi masyarakat sekitar Taman Nasional Ujung Kulon
(TNUK) Banten. Pemanfaatan jamur ini sebagai pangan hanya dapat dikonsumsi apabila musim penghujan,
dimana jamur tumbuh dengan baik dan jumlahnya relatif banyak. Pada musim kemarau, masyarakat hampir
tidak menemukan jamur ini, padahal sebagai sumber pangan jamur ini memiliki kandungan gizi yang cukup
baik. Berdasarkan latar belakang di atas dilakukan penelitian budi daya jamur padali. Tujuan penelitian ini
mendapatkan komposisi media yang sesuai sehingga dapat melakukan budi daya jamur padali, dalam rangka
menambah khasanah jamur komersial di tengah-tengah masyarakat. Budi daya dilakukan dengan 2 macam
media tumbuh. Media tumbuh tanpa kompos terdiri dari serbuk gergaji 82%, dedak 15% dan kapur 3%. Media
tumbuh kedua terdiri dari serbuk gergaji 80%, dedak 15%, kapur 3% dan kompos 2% (hasil fermentasi sampah
organik). Hasil menunjukkan jamur padali dapat dibudidayakan baik dengan kompos maupun tidak memakai
kompos. Berdasarkan parameter berat tubuh buah, jumlah tangkai, diameter tubuh buah terpanjang dan efisiensi
biologi diperoleh nilai yang lebih tinggi pada medium dengan penambahan kompos dibandingkan dengan media
tanpa penambahan kompos. Panen pertama kali pada medium tanpa kompos pada hari ke-94 sedangkan pada
medium dengan penambahan kompos pada hari ke 101.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu usaha untuk mengembangkan potensi jamur di Indonesia yakni budi daya. Saat ini
budi daya jamur dilakukan untuk mengembangkan jenis-jenis jamur yang bermanfaat sebagai bahan
pangan maupun obat-obatan. Jenis jamur yang telah banyak dikembangkan antara lain jamur tiram
(Pleurotus spp.), shiitake (Lentinus edodes), jamur kuping (Auricularia auricula), lingze (Ganoderma
sp.). Namun demikian hutan Indonesia masih memiliki jenis-jenis jamur lain yang berpotensi untuk
dibudidayakan sebagai jenis yang bermanfaat dan bernilai ekonomi tinggi.
Jamur padali merupakan jenis jamur yang umum ditemui sebagai saprofit pada tunggul kayu
mati oleh masyarakat di daerah desa Taman Jaya, Ujung Kulon, Banten. Jamur ini termasuk ke dalam
marga Lentinus. Di desa Taman Jaya jamur ini dikonsumsi oleh masyarakat, karena mudah ditemui
dan memiliki rasa yang enak.. Namun demikian pemanfaatan jamur ini masih berada dalam skala
kecil, dan belum dibudidayakan secara komersial, padahal jika jamur ini dibudidayakan dengan baik
tentunya akan menghasilkan banyak manfaat terutama bagi masyarakat sekitar desa Taman Jaya.
Media tanam jamur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
jamur yang dibudidayakan, selain faktor lingkungan seperti suhu, pH, kelembapan, cahaya dan aerasi
(Cahyana, dkk. 1999 dan Suhardiman, 2003). Oleh karena itu media tanam jamur harus dibuat
menyerupai kondisi tempat tumbuh jamur di alam. Produksi yang baik pada budi daya jamur dapat
dicapai apabila medium serta kandungan nutrisi yang terdapat di dalamnya sesuai untuk pertumbuhan
dan perkembangan jamur.
Media jamur terdiri dari berbagai macam bahan, baik bahan dasar maupun bahan tambahan
(Cahyana dkk. 1999). Bahan dasar yang digunakan dalam media tanam jamur adalah serbuk gergaji
kayu (Cahyana dkk. 1999; Winarni dan Rahayu, 2002). Berbagai macam serbuk gergaji dari jenis
kayu yang berbeda dapat dimanfaatkan sebagai media tumbuh jamur. Serbuk gergaji kayu ini
merupakan sumber karbohidrat utama bagi pertumbuhan jamur karena kandungan utamanya berupa
selulosa dan hemiselulosa. Sebuk gergajian yang baik bagi pertumbuhan jamur harus memiliki
kandungan nutrisi yang cukup dan tidak menghasilkan zat yang mampu menghambat pertumbuhan
jamur (Cahyana dkk. 1999; Suhardiman, 2003).
407
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Bahan tambahan yang umum digunakan antara lain bekatul (dedak padi), kapur (CaCO3) dan
gips (CaSO4). Bahan-bahan tersebut perlu ditambahkan sebagai suplemen untuk menambah nilai
nutrisi media sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan jamur. Selain itu beberapa bahan lain dapat
digunakan sebagai bahan tambahan media tanam jamur seperti tepung tapioka, biji-bijian, dan pupuk
(Cahyana dkk. 1999; Suprapti, 2000; Suriawiria, 2001).
Kompos yang merupakan hasil fermentasi sampah organik memiliki kandungan kimia yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan jamur. Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan Matondang dan
Noverita (komunikasi pribadi,2012) kompos dengan konsentrasi 2% menunjukkan hasil yang lebih
baik dibanding kontrol pada pertumbuhan jamur tiram.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini mendapatkan komposisi media tumbuh yang optimal untuk
pertumbuhan jamur padali.
C. Cara Kerja
1. Pengambilan sampel dan pembuatan biakan murni jamur
Biakan murni didapat dengan cara mengambil sedikit bagian dalam tubuh buah
menggunakan pinset, kemudian bagian tersebut dimasukkan kedalam media PDA miring di dalam
tabung reaksi dan diinkubasi pada suhu kamar. Pembuatan biakan murni ini dilakukan dengan kondisi
aseptis.
2. Penyiapan dan peremajaan isolat
Biakan murni jamur padali ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan Petri. Kemudian
diinkubasi pada suhu kamar sampai miselia jamur memenuhi media.
3. Pembuatan bibit
Biakan pada media PDA selanjutnya dibuat bibit dengan menginokulasikan media berukuran
1 cm x 1 cm yang dipenuhi miselia jamur ke dalam media bibit yang terdiri dari campuran serbuk
gergaji 73,5%, biji jagung 23%, dedak 3% dan kapur 1,5%. Kemudian diinkubasi lagi pada suhu
kamar sampai miselia memenuhi media.
4. Pembuatan media tumbuh, penanaman dan pemeliharaan
Media produksi (bag log) terdiri dari 2 komposisi dengan berat per media masing-masing
500g. Media pertama terdiri dari serbuk gergajian kayu 82%, dedak 15%, dan kapur 3%. Media
yang kedua berisi serbuk gergaji 80%, dedak 15%, kapur 3% dan kompos 2%. Setelah semua bahan
dicampur merata dan ditambahkan air sehingga kadar airnya lebih kurang 60%, kemudian dilakukan
pasteurisasi media menggunakan kompor gas selama 4 jam. Setelah dingin bibit yang telah dipenuhi
408
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
miselia diinokulasikan ke dalam media produksi, kemudian diinkubasi di tempat yang gelap selama
lebih kurang 1 bulan. Bag log yang telah dipenuhi miselia dipindahkan ke rumah jamur. Selama di
rumah jamur bag log disiram setiap hari, sampai terbentuk tubuh buah.
5. Pemanenan dan pengukuran
Setelah media produksi terbentuk tubuh buah, dilakukan pengamatan terhadap parameter
pertumbuhan. Parameter yang diukur meliputi waktu munculnya tunas untuk pertama kali. Jumlah
tubuh buah, rata-rata diameter tudung terpanjang (cm), berat badan buah (g) dan rasio efisiensi
biologi. Efisiensi Biologi (EB) jamur ditentukan dengan perbandingan bobot basah jamur yang
dihasilkan dengan bobot kering media produksi jamur (Chang dan Miles, 1993). Rumus yang
digunakan untuk menghitung EB jamur yaitu:
D. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan. Perlakuan
pertama campuran serbuk gergajian kayu jeunjing ditambah dedak dan kapur. Perlakuan kedua
campuran serbuk gergajian kayu jeunjing ditambah dedak, kapur dan kompos 2%. Masing-masing
perlakuan dilakukan dengan empat kali ulangan.
Data hasil pengukuran setelah panen dari budi daya jamur padali dianalisis dengan uji t
menggunakan perangkat lunak program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 20.0
windows.
Gambar 1. Isolat jamur padali yang tumbuh di dalam medium PDA miring.
Hasil isolat pada medium PDA miring selanjutnya ditanam pada cawan Petri, ini juga
menunjukkan bahwa miseliumnya dapat tumbuh baik ditandai dengan seluruh permukaan medium
terlihat berwarna putih (gambar 2).
409
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 3. Miselium tumbuh merata di permukaan bag log pada umur 60 hari.
Munculnya primordia (tunas, pin head) (gambar 4) sampai menjadi tubuh buah yang siap
dipanen rata-rata 5 hari. Keadaan ini memperlihatkan bahwa kondisi lingkungan cukup mendukung
sehingga semua tunas dapat membentuk tubuh buah. Hasil ini sama dengan yang dilakukan Winarni
dan Rahayu (2002). Kondisi lingkungan yang sesuai pada budi daya jamur tubuh buah dapat dipanen
pada hari kelima (Griffin, 1994 dan Cahyana dkk., 1999).
410
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Permulaan panen tercepat yaitu pada hari ke-94 setelah inokulasi didapatkan pada bag log
tanpa kompos. Adapun pada perlakuan dengan menggunakan kompos panen pertama setelah
inokulasi bibit pada hari ke-101. Waktu panen dipengaruhi medium tumbuh dan faktor suhu beserta
kelembapan. Pertumbuhan tubuh buah biasanya pada kisaran suhu 21-30⁰C dan kelembapan 90-95%.
Awal panen yang diperoleh dari penelitian ini meskipun tidak terlalu cepat dibandingkan panen awal
jamur tiram pada kayu Litsea firma (30 hari), sama dengan awal panen pada jamur shiitake, bahkan
pada jamur shiitake yang paling lama panen awalnya dapat mencapai hari ke-239 (Djarwanto dkk.
2004).
Rata-rata hasil panen jamur padali dengan parameter jumlah tubuh buah menunjukkan jumlah
yang lebih banyak pada perlakuan kompos. Berat tubuh buah, diameter tubuh buah terpanjang dan
efisiensi biologis juga lebih besar nilainya pada perlakuan dengan menambahkan kompos
dibandingkan tanpa pemberian kompos seperti terlihat pada tabel 1 berikut.
KESIMPULAN
Jamur padali (Lentinus sp) dapat dibudidayakan baik menggunakan kompos maupun tanpa
pemberian kompos sebagai medium pertumbuhan. Penggunaan kompos sebagai tambahan pada
medium pertumbuhan jamur padali lebih baik dibandingkan dengan medium tanpa pemberian kompos
untuk parameter jumlah, berat, panjang diameter terpanjang tubuh buah dan efisiensi biologis.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyana Y, Muchrodji, Bakrun M. 1999. Jamur Tiram. Penebar Swadaya. Jakarta.
Chang ST dan Miles PG. 1993.Genetics and breeding of edible mushrooms. Gordon and Breach
Science Publishers. USA.
Djarwanto, Suprapti S, Hudiansyah. 2004. Produktivitas jamur shiitake dan jamur tiram pada medium
serbuk gergaji kayu medang (Litsea sp) di Kabupaten Karo. Biotika Jurnal Ilmiah Biologi.
3(2) : 30-35.
Griffin DH, 1994. Fungal physiology. John Wiley & Sons, Inc.
Suhardiman P. 2003. Budidaya jamur shitake. Kanisius. Yogyakarta.
411
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Suprapti S. 2000. Petunjuk teknis budi daya jamur tiram pada media serbuk gergaji. Pusat penelitian
hasil hutan. Badan penelitian dan pengembangan kehutanan dan perkebunan. Bogor.
Suriawiria U. 2001. Pengalaman pakar dan praktisi budidaya jamur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tjokrokusumo D, Hendritomo HI & Widyastuti N. 2004. Pengaruh penambahan dedak dan molases
pada substrat pertumbuhan jamur tiram coklat (Pleurotus cystidiosus). Biotika Jurnal Ilmiah
Biologi 3(2): 8-12.
Winarni I dan Rahayu U. 2003. Pengaruh formulasi media tanam dengan bahan dasar serbuk gergaji
terhadap produksi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Matematika, Sains, dan
Teknologi. 3(2): 20-27.
412
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Mairawita1; Suswati2;Habazar3
1
Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis Padang
25163;2Program Studi Agroteknologi Universitas Medan Area, Medan.20223. Program Studi Agroteknologi
Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis Padang 25163
ABSTRAK
Penyakit darah bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum Phylotipe IV merupakan
penyebab utama turunnya produksi pisang di Sumatera Barat. Serangga penggerek bonggol (Cosmopolites
sordidus Germar) selalu ditemukan berasosiasi pada tanaman pisang yang terserang penyakit darah bakteri.
Semua tahapan kehidupan serangga ini berada pada tanaman pisang. Larva dan imago serangga membuat
sejumlah pelukaan dalam proses makan Sampai saat ini informasi mengenai peran serangga ini sebagai vektor
penyakit darah masih terbatas. Tujuan penelitian adalah: mengetahui jumlah inokulum R.solanacearum
Phylotipe IV yang terbawa oleh setiap individu serangga. Sampel imago serangga dikumpulkan dari sentra
pertanaman pisang yang terserang berat R.solanacearum Phylotipe IV di dataran tinggi Tabek Panjang,
Kecamatan Baso, Kabupaten Agam menggunakan metode disc–on-corm traps (Hasyim 2007). Isolasi
R.solanacearum Phylotipe IV menggunakan metode bilasan dan maserasi dari bagian caput, abdomen dan elitra
yang dibiakkan pada medium triphenyl tetrazolium chlorid (TTC) (Baharuddin. 1992). Karakterisasi dan
identifikasi R.solanacearum Phylotipe IV dilakukan dengan uji morfologi, fisiologis dan uji patogenisitas.
Populasi R.solanacearum Phylotipe IV tertinggi ditemukan pada bagian dalam abdomen ((6.0x1011) ± 36,08)
dibanding caput dan elitra.
Kata kunci: Cosmopolites sordidus Germar, serangga vektor, penyakit darah bakteri, blood disease
bacterium, tanaman pisang, Sumatera Barat
PENDAHULUAN
Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa tanaman pisang di Nagari Tabek Panjang, Bungo Koto
Tuo, Simarasok, Padang Tarok dan Koto Tinggi, Kecamatan Baso yang merupakan sentra pertanaman
pisang di dataran tinggi Kabupaten Agam Sumatera Barat telah terserang R.solanacearum Phylotipe
IV dengan kategori berat hingga puso (Janimar, 2006). Perkembangan dan penyebaran penyakit ini
tergolong sangat cepat, penyebaran geografis penyakit ini di Sumatera berkisar antara 189-203 km
tahun–1 (Setyobudi dan Hermanto. 1999) dan di Indonesia berkisar 100 km tahun–1 (Eden-
Green,(1994) cit Supriadi (1997)). Beberapa peneliti melaporkan adanya indikasi yang kuat bahwa
serangga berperanan penting dalam penyebaran propagul bakteri (Wiyono et al., 1993; Maryam et al.,
1994, Soguilon et al., 1995; Setyobudi dan Hermanto, 1999).
Menurut laporan Sistim informasi dan manajemen organisme pengganggu tanaman (SIM
OPT) Hortikultura, Propinsi Sumatera Barat keberadaan serangga selalu ditemukan pada tanaman
yang terserang R. solanacearum Phylotipe IV. Beberapa serangga merayap seperti penggerek bonggol
(Cosmopolites sordidus) dan penggerek batang (Odoiporus longicolis) selalu ditemukan secara
bersamaan pada tanaman pisang yang layu atau mati (Hasyim et al, 1997) Selain serangga merayap
juga ditemukan berbagai spesies serangga pengunjung bunga pisang. Trigona sp dan Drosophila sp.
dilaporkan menjadi agen penular R.solanacearum Phylotipe IV pada tanaman pisang di Sumatera
Barat (Mairawita et al., 2012). Sampai sejauh ini belum ada informasi mengenai peranan C.sordidus
Germar sebagai vektor R. solanacearum Phylotipe IV.
413
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
A B C
E D
Gambar 1. Perangkap bonggol pisang untuk menangkap penggerek bonggol pisang ; A. Batang
semu pisang yang dibelah untuk dijadikan perangkap. B. Perangkap disusun di dekat
dengan batang pisang C. Ditutup dengan daun pisang D dan E. Serangga C. sordidus
yang didapat di perangkap
Setelah 2-3 hari kemudian, serangga yang tertangkap dikumpulkan. Setiap ekor serangga dimasukkan
kedalam botol kecil yang steril. Pemisahan ini bertujuan untuk memudahkan dalam mengisolasi
bakteri dari tubuh serangga. Kemudian sampel-sampel serangga ini di masukkan ke dalam kotak es
(ice box) dan dibawa ke laboratorium.
B C D
A
Gambar 2. Bagian tubuh C.sordidus. Keterangan: A. Serangga utuh.B. Bagian caput, C. Abdomen. D.Elitra
414
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Isolasi bakteri dari bagian dalam tubuh serangga dilakukan dengan metode maserasi
(penggerusan bagian tubuh serangga). Untuk meminimalisasi propagul bakteri yang terdapat pada
permukaan tubuh serangga maka tubuh serangga didesinfeksi dengan larutan Natrium hipoklorit 5 %
selama 5 menit, kemudian dibilas sebanyak 4–5 kali dengan air steril untuk menghilangkan sisa-sisa
natrium hipoklorit. Serangga dikering anginkan terlebih dahulu dengan cara meletakkan tubuh
serangga ke atas kertas saring selanjutnya bagian tubuh dipisah atas bagian caput, abdomen dan elitra
(Gambar 2). Setiap bagian tubuh dimasukkan ke dalam lumpang porselen (dilakukan secara terpisah)
dan digerus selanjutnya ditambah 10 ml akuadest steril. Hasil gerusan dimasukkan kedalam tabung
reaksi dan divortex 300 rpm selama 10 detik. Selanjutnya diencerkan secara serial (10-1, 10-3, 10-6, 10-
9
). Sebanyak 1 mL dari setiap pengenceran dituang ke dalam cawan petri dan ditambah 15 ml media
TTC, diinkubasikan pada suhu ruang (± 29°C) selama 48-72 jam. Untuk setiap pengenceran dilakukan
3 kali pengulangan. Koloni bakteri yang berwarna putih dengan pusat merah jambu diisolasi dan
dimurnikan digunakan untuk identifikasi dan karakterisasi BDB.
Parameter pengamatan
Kepadatan populasi .
Kepadatan populasi bakteri pada bagian luar dan dalam tubuh serangga dihitung pada 48 jam
setelah inkubasi (jsi) menggunakan rumus Klement et al., (1990) yang dimodifikasi dan hasilnya
ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
JB = A x B ; Keterangan: JB = Jumlah bakteri, A = Jumlah koloni bakteri, B = Faktor
pengenceran.
Tabel 1.Rerata kepadatan R. solanacearum Phylotipe IV (x ± SD) pada tubuh C.sordidus Germar
yang berasosiasi dengan tanaman pisang terserang penyakit darah bakteri
Bagian tubuh C.sordidus Rerata kepadatan R. solanacearum Phylotipe IV (x ± SD)
Germar upk/ml
Permukaan caput (13,0 x 108) ± 72,15
Permukaan abdomen (14,8 x 108) ± 64,38
Permukaan elitra (9,0 x 108) ± 45,32
Bagian dalam caput (111,0 x 108) ± 61,68
Bagian dalam abdomen (6.0 x 1011) ± 36,08
Elitra (9,2 x 108) ± 52,27
415
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
A b
c B
Gambar 3. Koloni R.solanacearum Phylotipe IV yang diisolasi dari C.sordidus Germar. Pada medium
TTC diperoleh 3 tipikal koloni bakteri yaitu: (a) Koloni 1 memiliki warna merah menyala, ukuran
0.5–10 mm, cembung dan fluidal. (b) Koloni 2, koloni berwarna pink, cembung dan fluidal dengan
atau tanpa pusat formasi merah muda, tidak beraturan, koloni berukuran 0.5–10 mm. (c) Koloni 3
berwarna merah cembung dan fluidal dengan atau tanpa pusat formasi merah muda, tidak beraturan,
koloni berukuran 0.5–10 mm.
Karakterisasi bakteri patogen dilakukan untuk mengkonfirmasi jenis patogen yang menyerang
tanaman pisang di dataran tinggi Tabek Panjang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dibandingkan
dengan bakteri penyebab Penyakit BDB (blood disease bacterium) R.solanacearum Phylotipe IV.
Karakter isolat bakteri yang diperoleh di dataran tinggi Tabek Panjang disajikan pada Tabel 2 dan
Gambar 3. Isolat bakteri dari dataran tinggi Tabek Panjang bersifat Gram negatif, reaksi gram
merupakan karakter dari struktur penyusun dinding sel bakteri. Mayoritas dari bakteri gram negatif
adalah bakteri patogen tanaman.
416
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 2. Karakter bakteri R. solanacearum penyebab penyakit layu pisang di dataran tinggi Tabek
Panjang.
Sifat morfologi dan Ciri-ciri Menurut literatur Baharuddin (1994)
fisiologi
Bentuk koloni bulat, mukoid, fluidal tidak beraturan, cembung dan non-fluidal
Warna koloni dengan atau tanpa dengan atau tanpa formasi merah muda
formasi merah muda
Bentuk sel batang batang
Reaksi Gram - -
Pigmen fluorescens - -
Pektinase + +
Kovac’s oksidase + +
Uji HR + +
Uji patogenisitas + +
B
C
D
a b c
d A B C D
Gambar 3. Karakter R. solanacearum phylotipe IV yang diisolasi dari serangga. Keterangan: a.Reaksi
Gram, b. Reaksi hypersensitif, c.Uji pektinase, d. Uji patogenisitas. A= Kontrol, B.
isolat bakteri asal C.sordidus. C. isolat bakteri asal O.longicollis. D. isolat bakteri asal
Trigona sp.
KESIMPULAN :
1. C.sordidus Germar merupakan serangga vektor R. solanacearum Phylotipe IV di dataran
tinggi Tabek Panjang, Sumatera Barat. Propagul bakteri ditemukan dalam jumlah tinggi pada
permukaan tubuh (bagian caput, abdomen dan elytra) dan bagian dalam tubuh serangga.
2. Karakter bakteri yang diisolasi dari tubuh bagian luar dan bagian dalam tubuh serangga
memiliki karakter morfologi dan sifat fisiologis yang sama dengan bakteri penyebab penyakit
darah bakteri R. solanacearum Phylotipe IV.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin, B. 1994. Pathological, Biochemical and Serological Characterization of the Blood
Disease Bacterium Affecting Banana and Plantain (Musa sp) In Indonesia. Cuvillier
Verlag Goettingen. 129p.
Cahyaniati, C.N. Mortensen and S.B. Mathur. 1997. Bacterial wilt of banana in Indonesia. Directorat
of plant protection Indonesia and Danish government institute of seed pathology for
developing countries, Denmark, Technical Bulletin.
Eden-Green S.J. 2004. How can the advance of banana xanthomonas wilt be halted? InfoMusa: The
International Journal on Banana and Plantain. Vol. 13 No.2. p38-41.
Hasyim A, Jumjunidang, Desmawati, dan A. Soemargono, 1997. Distribusi penggerek bonggol
(Cosmopolites sordidus Germar ) pada berbagai ketinggian lokasi di Sumatera Barat.
Prosiding Seminar Nasional PEI, PEI Bogor dan Proyek PHT. Program Nasional PHT.
Bogor.1996.
417
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Hasyim, A. 2007. Peningkatan infektifitas jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuill.
dengan menggunakan berbagai bahan carrier untuk mengendalikan hama penggerek bonggol
pisang, Cosmopolites sordidus Germar di lapangan. Jurnal Hortikultura Vol. 17 (4): 335-
342.
Huffaker, C.B and Rabb R.L.. 1984. Ecological Entomology. John Willey and Sons.
Leiwakabessy, C. 1999. Potensi Beberapa Jenis Serangga dalam Penyebaran Penyakit Layu Bakteri
Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum Yabuuchi et al. pada Pisang di Lampung. Tesis
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 64 hal.
Mairawita. 2012. Karakterisasi dan mekanisme transmisi serangga vektor dalam penyebaran penyakit
darah bakteri pada tanaman pisang. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Padang.
Maryam AT, Rasta OW, Handayati dan D Sihombing. 1997. Akuisisi dan persistensi bakteri layu
pada tanaman pisang oleh serangga. Prosiding Seminar Nasional “Tantangan Entomologi
pada Abad XXI. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cab. Bogor dan Proyek Pengendalian
Hama Terpadu. P 154-161.
Setyobudi, L dan Hermanto, C. 1999. Rehabilitation of cooking banana farms; Base line status of
Banana Disease Bacterium (DARAH) distribution in Sumatera, p117-120. In: A.B. Molina
and V.N Roa (eds) Advancing Banana and Plantain R&D in Asia and The Pasific. Proc of the
9 th INIBAP-ASPNET Regional Advisory Committee Meeting, Guangchou.
Soguilon, C.E., Magnave, L.V and Natural, M.P. 1995. Bugtok disease of banana. Musa fact sheet
No.5 INIBAP
Wardlaw, C.W. 1972. Banana Disease. Including Plantains and Abaca. Logman.
418
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh formulasi biostarter dan ekstrak nenas serta lama
penyangraian terhadap mutu kopi bubuk. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua
faktor, yakni formulasi biostarter terdiri dari 4 taraf, yaitu B1 = gula + biostarter, B2 = kulit nenas + biostarter,
B3 = daging nenas + biostarter dan B4 = bonggol nenas + biostarter. Faktor II adalah lama penyangraian (P)
terdiri dari 4 taraf, yaitu P1 = 10 menit, P2 = 15 menit, P3 = 20 menit dan P4 = 25 menit. Parameter analisa adalah
kadar air, daya larut dalam air, kadar abu, nilai organoleptik aroma, rasa pahit dan rasa masam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa formulasi biostarter memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pH biji kopi,
warna, rasa pahit dan tekstur rasa dari bubuk kopi. Lama penyangraian memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap pH biji serta nilai organoleptik dari kopi bubuk. Interaksi antara formulasi biostarter dan ekstrak
nenas dengan lama penyangraian memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap mutu bubuk kopi.
Formulasi biostarter berupa campuran biostarter dan ekstrak daging buah nenas dengan lama penyangraian 20
menit menghasilkan cita rasa kopi bubuk yang terbaik.
PENDAHULUAN
Kopi merupakan salah satu jenis minuman yang paling dikenal secara luas di dunia. Efek
penyegar yang diakibatkan oleh kafein yang terdapat di dalam kopi menyebabkan kopi merupakan
salah satu cara ampuh untuk membuat mata bertahan melek hingga jauh malam. Konsumsi kopi dunia
dari tahun 2001 s/d 2008 mengalami kenaikan rata-rata sekitar 2%. Konsumsi kopi dunia tahun 2008
diperkirakan sebesar 7.680,0 ribu ton, terdiri dari kopi Arabica sebesar 4.909,0 ribu ton dan kopi
Robusta sebesar sebesar 2.771,0 ribu ton. Menurut Konsultan International Coffee Organization
(ICO) yaitu P & A Marketing International, memperkirakan bahwa pertumbuhan konsumsi kopi
global dalam periode 2005 -2015 meningkat 35,5% (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia,
2009).
Biji kopi yang sudah siap diperdagangkan adalah berupa biji kopi kering yang sudah terlepas
dari daging buah, kulit tanduk dan kulit arinya, butiran biji kopi yang demikian ini disebut kopi beras
(coffee beans) atau market koffie. Kopi beras berasal dari buah kopi basah yang telah mengalami
beberapa tingkat proses pengolahan. Secara garis besar dan berdasarkan cara kerjanya, maka terdapat
dua cara pengolahan buah kopi basah menjadi kopi beras, yaitu yang disebut pengolahan buah kopi
cara basah dan cara kering. Perbedaan kedua cara ini adalah pada proses pengupasan kulit arinya.
Aroma dan cita rasa kopi sangat ditentukan oleh proses fermentasi serta penyangraian
(roasting). Cara lain yang dilakukan untuk meningkatkan citarasa kopi adalah memfermentasikan biji
kopi di dalam perut luwak yang lazim disebut sebagai kopi luwak. Proses fermentasi yang tidak lazim
oleh luwak boleh jadi membuat sebagian orang enggan mengkonsumsinya. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa bakteri yang dominan yang terdapat di dalam perut luwak dan kemungkinan besar
melakukan proses fermentasi tersebut adalah bakteri asam laktat (Fauzi et al., 2009).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa proses fermentasi biji kopi dengan
menggunakan starter bakteri asam laktat dan inokulum ragi dengan waktu penyangraian yang
optimum, ternyata dapat meningkatkan cita rasa kopi bubuk yang dihasilkan (Setyohadi et al., 2011).
Penggunaan enzim dalam proses fermentasi dapat menghasilkan produk fermentasi yang
lebih spesifik. Ekstrak nenas banyak mengandung enzim bromelin yang merupakan enzim protease,
dan dapat menguraikan ikatan glutamin-alanin dan arginin-alanin (Murachi, 1970).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi biostarter dan ekstrak nenas dalam
proses fermentasi kopi serta optimasi proses penyangraian kopi untuk mendapatkan kopi bubuk yang
merupakan produk industri hilir dari kopi dengan mutu dan citarasa yang baik.
419
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Metode
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu pengolahan biji kopi segar dari petani menjadi
biji kopi kering, tahap kedua adalah formulasi biostarter dan ekstrak nenas, serta tahap ketiga adalah
fermentasi dan penyangraian biji kopi yang sudah difermentasi. Biji hasil fermentasi dan
penyangraian selanjutnya diolah menjadi bubuk kopi.
420
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
suhu 125oC dan lama penyangraian sesuai dengan perlakuan kemudian dihaluskan dan disaring
dengan ayakan 60 mesh untuk mendapatkan kopi bubuk.
Kopi bubuk yang dihasilkan dianalisa mutunya meliputi kadar air dengan metode oven
(AOAC, 1995), daya larut dalam air (SNI 06-1451-1989), kadar abu (AOAC, 1995), serta nilai
organoleptik aroma, rasa pahit, rasa masam dan tekstur rasa (Soekarto, 1985).
Tabel 1. Pengaruh formulasi biostarter ekstrak nenas terhadap mutu bubuk kopi
Jenis formulasi pH Daya Total Nilai Organoleptik
biostarter larut Asam Warna Aroma Rasa Rasa Tekstur
ekstrak nenas (%) (%) Pahit Asam Rasa
B1=Kontrol 6,19a 62,44 0,903 7,74b 7,91 8,83a 9,14 7,88b
(Gula) +
Biostarter
B2=Kulit 6,11b 63,34 0,895 7,78b 8,15 8,59b 8,93 8,44a
Nenas +
Biostarter
B3=Daging 6,11b 64,94 0,898 8,45a 8,36 8,61b 9,18 8,44a
Nenas +
Biostarter
B4=Bonggol 6,16a 61,75 0,890 8,53a 8,20 8,29c 9,39 8,40a
Nenas +
biostarter
Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dengan
uji Duncan
421
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
KESIMPULAN
1. Campuran biostarter dan ekstrak nenas serta lama fermentasi memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap mutu kopi bubuk yang dihasilkan.
2. Lama penyangraian memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap mutu bubuk kopi.
3. Bubuk kopi dengan mutu terbaik diperoleh pada bubuk kopi yang dibuat dari biji hasil fermentasi
menggunakan formulasi biostarter ekstrak bonggol nenas, dengan lama fermentasi 36 jam dan
lama penyangraian 20 menit.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional yang
telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Bersaing (Desentralisasi USU) tahun 2013.
422
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. 14th
Eds. Washington, D.C.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009. Roadmap Industri Pengolahan Kopi. Departemen
Perindustrian, Jakarta.
Fauzi M., Y.Witono, Djumarti dan S.Soekarno, 2009. Isolasi dan identifikasi bakteri sebagai agen
fermentasi biji kopi luwak (civet coffee). Prosiding Seminar Nasional PATPI 2009. Jakarta 3-
4 November 2009.
Grosch,W. 1995. Instrumental and Sensory Analysis of Coffee Volatile. Proc.Collog 16th ASIC, 147-
156.
Martoharsono,S. 1994. Biokimia I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Massimo, M. 2007. In Bad taste : The Adventure and Science Behind Food Delicacies. Key Porter
Books, Ontario.
Mauron, J. 1981. The Mailard Reaction in Food, A Critical Review from The Nutritional Standard
Point. Pergamon Press Ltd, Oxford, England.
Murachi, T. 1970. Bromelain Enzymes. In : G.E.Parimann and L.Lorand (ed). Methods Enzymology,
Vol. XIX. Academic Press, New York.
Setyohadi, T.Karo-Karo, E.Yusraini, 2011. Optimalisasi proses fermentasi dan penyangraian untuk
meningkatkan mutu bahan baku dan produk industri hilir kopi. Prosiding Seminar Nasional
PATPI Sumatera Utara, Medan 20 Oktober 2011.
SNI-01-3451-1994. Standar Mutu Kopi Bubuk. Badan Standar Nasional, Jakarta.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta :
Bharatara Karya Aksara.
423
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Evaluation of genetic diversity within population and gene flow between populations is necessary for
formulating conservation management strategies. Here, we assessed genetic diversity within population and
gene flow between populations of Anaphalis javanica for formulating conservation management strategies of
this endangered species. Twenty-eight individuals from four populations of this species i.e. G. Singgalang, G.
Merapi, G. Tandikek and G. Talang were collected. Five genetic diversity parameter i.e., percentage of
polymorphics lokus (P), Nei’s genetic diversity (H), diversity phenotypic Shannon index (I), Hetero-zygosity
within population, (HS) and total heterozigosity of popu-lation (HT) were analyzed. Genetic differentiation
between populations (GST) and gene flow (Nm) were estimated using POP-GENE 1.20 program. Program
PAST 2.10 were used to measure level of Genetic similarity between pair populations and clustering them.
The results indicated that genetic diversity of A. javanica from G. Singgalang population (Na=1.755;
Ne=1.436; H= 0.254; I= 0.382) was higher than those of G. Talang population (Na=1.571; Ne=1.427; H=
0.237; I= 0.343), G. Marapi population (Na=1.694; Ne=1.395; H= 0.232; I= 0.35) and G. Tandikek
population had the lowest one (Na=1.449; Ne=1.292; H= 0.165; I= 0.244). Most of the total genetic diversity
of A. javanica (HT=0.310)was resided within population (HS = 0.222). The genetic differentiation between
population this species was slightly high (GST = 0.285). Total Gene flow across all populations was slightly low
(Nm=1.254).
PENDAHULUAN
Anaphalisspp. adalah jenis tumbuhan dari famili Asteraceae yang hidup di daerah
pergunungan yang tinggi dan dingin. 800-3400 m di atas permukaaan laut.Tumbuhan ini dikenal
sebagai bunga abadi karena sangat tahan lama dan tidak mudah rusak yang (Yuzammi et al.
2010).sehingga orang menyebutnya sebagai Edelweis yang mengacu pada nama tumbuhan
Leontopodium alpinum dari pegunungan Alpen Eropah. yang memiliki sifat yang tahan namun
berbeda secara taksonomi dengan Anaphalis spp.. Penyebarannya mayoritas berada di Asia tengah
dan selatan sebanyak 110 spesies. Namun terdapat satu spesies yang dikultivasi dan populer di
Amerika Utara dengan nama western pearly everlasting (Anaphalis margaritacea) (Guy. 2006).
Berdasarkan IUCN redlist (2008).bahwa jenis Anaphalisspp. termasuk dalam kategori inthreatened
atau tumbuhan dalam kondisi terancam keberadaanya. Kondisi ini diperparah dengan gangguan
aktivitas manusia karena tumbuhan ini hidup disekitar track pendakian di pegunungan.Berdasarkan
hal tersebut proritas konservasi pantas diberikan kepada edelweis karena keunikan jenisnya, distribusi
geografis, status populasi, laju kehilangan habitatnya (Risna et. al., 2010).Disamping itu.sampai saat
ini belum diketahui secara pastibagaimana dan berapa lama biji Anaphalis javanica ini berkecambah
ini dan berkembang untuk menghasilkan individu baru, sehingga banyak hal yang perlu diketahui
untuk melestarikannya baik pelestarian secara in situ maupun ex situ. Walaupun kedua istilah cara
pelestarian tersebut sering disampaikan namun pelaksanaan dan dukungan informasi ilmiah
terabaikan sehingga hasilnya tidak optimal. Kim & Chung (1995) menjelaskan bahwa program
konservasi secara in situ dan ex situ tidak akan berhasil tanpa dukungan informasi diversitas dan
struktur genetik serta tingkat aliran gen dalam populasi tersebut. Berdasarkan hal tersebut perlu
penyediaan data diversitas dan struktur populasi serta tingkatan aliran gen dalam populasi yang
akandigunakan sebagai data fundamental untuk tujuan dan strategi konservasi tumbuhan langka
Indonesia. Anaphalis spp. Hasil penelitian ini nantinya juga akan sangat berguna untuk perbandingan
pelestarian tumbuhan langka Indonesia lainnya. Teknik molekular ISSR diterapkan untuk analisis data
genetik karena teknik ini lebih jitu dan sesuai untuk kondisi lapangan penelitian.
Informasi mengenai aliran gen, diversitas dan struktur genetik dalam populasi merupakan hal
yang fundamental dan sangat penting untuk konservasi genetik tumbuhan langka dan terancam
punah.Tumbuhan Edelweis (Anaphalis spp.) adalah jenis tumbuhan langka Indonesia yang yang
terdistribusi pada daerah pegunungan khususnya Bukit Barisan di Sumatera Barat. Tumbuhan ini
sekarang terus mengalami penurunan jumlah individu ataupun populasi yang akhirnya dapat menjadi
424
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
punah. Untuk itu perlu upaya pelestariannya dengan melakukan konservasi baik secara ex situ
maupun in situ. Namun mekanisme aliran gen dalam populasinya tidak diketahui. Karena untuk
konservasi perlu dipertimbangkan individu/populasi yang mempunyai diversitas genetik tinggi
ataupun yang mempunyai alel-alel unik. Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan penelitian dengan
tujuan mengungkapkan divesitas dan struktur genetik dan tingkat aliran gen (gene-flow) antar
populasi tumbuhan Anaphalis javanica.
METODE
28 sampel dari 4 populasi Anaphalis javanica yaitu populasi G. Singgalang (7 individu),
populasi G. Merapi (9 individu), populasi G. Talang (3 individu dan populasi G. Tandikek (10
individu) (Tabel 1) . Daun segar A. javanica yang dikoleksi di lapangan dimasukkan dalam kantong
plastik dan diberi silica gel dan dibawa dan disimpan di laboraotrium sampai dilakukan analisis
ekstraksi DNA. Isolasi DNA menggunakan metode CTAB method (Hilis and Moritz, 1990). Analisis
PCR dilakukan terhadap 5 primer ISSR yaitu ISSR-1 (HVHCACACACACACACA), ISSR-2
(ACACACA-CACACACACYA), ISSR-4 (BVBTCCTCCTCC-TCCTCC), ISSR-6
(BDBYCCYCCYCCYCC- YCC) dan ISSR-7 (GTGTGTGTGTGTGTGTYC) karena menun-jukkan
polimorfisme yang tinggi dan konsistensi dan kejelasan pita. Pada penelitian ini digunakan ISSR yang
merupakan marker dominan sehingga data diskor berdasarkan ada atau tidaknya pita.Sampel yang
memiliki pita (band) diberi skor 1 sedangkan yang tidak mempunyai pita diberi skor 0.Parameter
diversitas genetik seperti persentase lokus polimorfik (P).diversitas genetik Nei (H), indeks diversitas
fenotipik Shannon (I). Heterozigositas dalam subpopulasi (HS) dan heterozigositas total pada populasi
(HT). Koefisien diferensiasi genetik (GST) serta gene flow (Nm) dianalisis dengan menggunakan
program analisis POPGENE 1.20 (Yeh et al.. 1997). Nilai gene flow (Nm) dihitung menggunakan
rumus Nm = 0.5 (1-Gst / Gst). Jika Nm lebih dari 1.gene flow akan menetralkan genetic drift di dalam
populasi dan jika Nm kecil dari 1. makagenetic drift merupakan faktor utama yang membentuk
struktur populasi (Levin. 2000). Program PAST 2.01 (Hammer et al., 2001) digunakan untuk
menentukan koefisien similaritas genetic Jaccard dan analisis penge-lompokan.
Tabel 1.Posisi masing-masing individu yang dilengkapi dengan posisi kordinatnya yang digunakan
untuk analisis variasi genetik.
No Individu Latitude Longitude
1 JMA1 00°23'23.5" 100°26'53.3"
2 JMA2 00°23'49.3" 100°27'48.4"
3 JMA3 00°23'46.8" 100°27'52.1"
4 JMA4 00°23'44.7" 100°27'53.4"
5 JMA5 00°23'39.9" 100°27'53.3"
6 JMA6 00°23'35.5" 100°27'57.2"
7 JMA7 00°23'33.1" 100°27'56.8"
8 JMA8 00°23'31.5" 100°27'54.5"
9 JMA9 00°23'43.8" 100°27'47.4"
10 JTA1 00°58'29.7" 100°41'09.4"
11 JTA2 00°58'33.7" 100°41'02.1"
12 JSI1 00°23'38.1" 100°20'14.8"
13 JSI2 00°23'41.5" 100°20'14.4"
14 JSI3 00°23'38.2" 100°20'14.8"
15 JSI4 00°23'38.3" 100°20'17.3"
16 JSI5 00°23'37.8" 100°20'16.8"
17 JSI6 00°23'38.7" 100°20'08.7"
18 JSI7 00°23'37.8" 100°20'09.3"
19 JTN1 00°25'54.3" 100°19'11.0"
20 JTN2 00°25'54.7" 100°19'11.2"
21 JTN3 00°25'55.6" 100°19'11.3"
22 JTN4 00°25'54.9" 100°19'11.2"
23 JTN5 00°25'56.8" 100°19'09.5"
24 JTN6 00°25'55.5" 100°19'09.0"
25 JTN7 00°25'55.0" 100°19'09.1"
26 JTN8 00°25'55.3" 100°19'09.1"
27 JTN9 00°25'56.0" 100°19'09.2"
28 JTN10 00°25'56.3" 100°19'09.5"
Keterangan: JMA=Marapi, JSI=Singgalang, JTA=Talang, JTN=Tandikek
425
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
426
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 2. Variasi pola pita hasil amplifikasi DNA menggunakan 8 primer (ISSR-1 s/d ISSR-8)
pada 5 individu Anaphalis
Gambar 3. Profil pita hasil amplikasi DNA 28 individu dari 4 populasi A. javanica dan kerabatnya(A.
longifolia) dengan menggunakan 5 primer ISSR (ISSR-01, ISSR-02, ISSR-03, ISSR-04,
ISSR-08).
Tabel 2. Perbandingan lima Primer yang digunakan dalam analisis ISSR dan profil pita-pita yang
dihasilkannya
Nama Jumlah Jumlah Ukuran
Urutan basa (5’→ 3’)
Primer Basa pita Pita (base pair)
1100,1000,900, 800, 780, 650,
ISSR-1 HVHCACACACACACACA 17 10
550, 500, 400, 350
ACACACACACACACACY 1667, 1500, 1400, 1300, 1100,
ISSR-2 18 11
A 1000, 900, 780, 600, 550, 400
1200, 1100, 1000, 900, 800,
ISSR-4 BVBTCCTCCTCCTCCTCC 18 10
700, 600, 500, 400, 350
1700, 1600, 1400, 1200, 1100,
ISSR-6 BDBYCCYCCYCCYCCYCC 18 13 750, 700, 650, 500, 450, 400,
350, 200
ISSR-7 GTGTGTGTGTGTGTGTYC 18 5 500, 450, 400, 350, 300
427
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Pengamatan terhadap profil pita-pita DNA dengan menggunakan 5 primer ISSR pada
Anaphalis javanica terlihat adanya pita-pita unik dengan pola tertentu.Pita unik dapat digunakan untuk
marker individu, populasi maupun jenis. Pita unik yang hanya terdapat pada suatu daerah saja
mencerminkan adanya diferensiasi ataupun struktur genetik yang memiliki potensial evolusi sebagai
penggerak spesiasi suatu takson (Syamsuardi, 2013). Beberapa pita unik A. javanicadapat
diidentifikasi antara lain ISSR-1 (550 bp), ISSR-2 (700 bp), ISSR3 (500 bp), ISSR-4 (400 bp).
Sebagai contoh, ISSR-6, (350 bp) cenderung dimiliki oleh populasi G tandikek dan G merapi dan
tidak terdapat di populasi G. Talang Penggunaan marker ISSR telah banyak dilakukan oleh peneliti
sebelumnya karena tingkat polimorfismenya yang tinggi sehingga cukup jitu digunakan untuk analisis
variasi dan struktur genetik. Analisis diversitas dengan menggunakan penanda ISSR (Tabel 2)
menunjukkan bahwa A. javanica memiliki variasi diversitas genetik antar populasi G. merapi, G.
Talang, G. Singgalang dan G. Tandikek. Populasi G. Singgalang memiliki diversitas genetik tertinggi
(Na=1.755; Ne=1.436; H= 0.254; I= 0.382) dibandingkan dengan diversitas genetik populasi G.
Talang (Na=1.571; Ne=1.427; H= 0.237; I= 0.343), populasi G. Marapi (Na=1.694; Ne=1.395; H=
0.232; I= 0.35) dan yang terendah diversitas genetiknya adalah populasi G. Tandikek (Na=1.449;
Ne=1.292; H= 0.165; I= 0.244). Hasil penelitian ini menyerupai nilai diversitas genetik tumbuhan
dengan life history traits yang serupa yaitu tumbuhan dengan distribusi yang terbatas dan memiliki
biologi reproduksi campuran (facultative xenogamy) (Nybom dan Bartish, 2000; Nybom, 2004). Nilai
diversitas genetik A. javanica sedikit lebih rendah dari nilai tersebut yang dimiliki oleh tumbuhan
dengan kisaran distribusinya yang sempit Morus macroura (H= 0.170) (Syamsuardi et al., 2008).
Variasi genetik dan pembatas antar dan dalam populasi
Gambar 4. Profil pita-pita spesifik pada populasi Anaphalis javanica di Sumatera Barat dengan
penanda ISSR
Dari spesies tanaman, ditentukan oleh sejumlah faktor, di antaranya sistem reproduksi biologi
merupakan factor yang paling penting (Loveless dan Hamrick, 1984). Hamrick dan Godt (1996),
menguraikan bahwa kombinasi antara breeding system dan jarak geografis memiliki variasi genetik
yang rendah didalam populasi tetapi memiliki variasi genetik yang cukup tinggi antara populasi
(Gambar 4).
Penentuan distribusi diversitas dalam dan antar populasi serta differensiasi genetik antar
populasi sangat penting untuk strategi konservasi genetik tumbuhan langka. Total diversitas genetik
A. javanica lebih tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh kerabat dekatnya A. longifolia baik
(Tabel 3). Analisis diversitas genetik menggunakan teknik ISSR diperoleh total diversitas genetik A.
428
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
javanica (HT = 0.310) dengan 71.5% diantaranya (DST = 0.222) berada dalam populasi dan sisanya
antar populasi.
Analisis differensiasi genetik antar populasi A. javanica (GST = 0. 285) menunjukkan bahwa
tumbuhan ini memiliki nilai GST sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan dengan life
history trait yang serupa yaitu kisaran geografis yang sempit (GST = 0.220) dan memiliki system
perkawinan campuran (GST =0.190) (Nybom dan Bartish, 2000).
Analisis gene flow (aliran gen) antar populasi menggunakan penanda ISSR menunjukkan
bahwa A. javanica memiliki nilai aliran gen antar populasi (Nm=1.254) yang sedikit lebih rendah dari
yang dimiliki oleh kerabat dekatnya, A. longifolia (Nm=1.309) (data unpublished).
Tabel 3. Hasil Analisis distribusi diversitas genetik Anaphalis javanica dengan penanda ISSR
Jumlah Sampel HT HS GST Nm
29 0.310 0.222 0.285 1.254
Daftar Pustaka
Guy L. 2006. Flora of North America Editorial Committee, eds. 1993, Flora of North America, Vol.
19, Oxford University Press.New York & Oxford.
Hammer, O. Haper, D.A.T. Ryan, P.D. 2011. Paleoontological Statistics Software for Education and
Data Analisis. Paleoontologia Electronica 4: 11.
Hamrick, J.L., and M.J.W., Godt, 1996. Effects of life history traits on genetic diversity in plant
species.Philos. Trans. R. Soc. London Biol. Sci. 351, 1291–1298
Kang. S.S. & M. G. Chung. 1997. Genetic variation and population structure in Korean endemic
species: IV. Hemerocallis hakuunensis (Liliaceae).Journal of Plant Research 110: 209-217.
Kim. S.T. & M. G. Chung. 1995. Genetic variation and population structure in Korean populations of
Sand Dune species Salsola komarovi (Chenopodiaceae).Journal of Plant Research108: 195-
203.
Loveless. M.D. & Hamrick J.L.1984. Ecological determinants of genetic structure in plant
population.Annual Review of ecology and systematics.15 : 65-95.
Nybom, H. and I.V. Bartish. 2000. Effect of life story traits and sampling strategies on genetic
diversity estimates obtained with RAPD markers in plants. Perspective in Plant Ecology,
Evolution and Systematics 3: 93-114.
Nybom, H. 2004. Comparison of different nuclear DNA markers for estimating intraspecific genetic
diversity in plants. Molecular Ecology 13: 1143-1155.
Red List, IUCN. 2008. http://www.iucn.redlist.com
Risna, R.A., Y.W.C. Kusuma, D. Wydiaatmoko, R. Hendrian dan D.O. Pribadi.2010. Spesies Prioritas
Untuk Konservasi Tumbuhan Indonesia.LIPI. Bogor.
429
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Syamsuardi, Jamsari.and D. Pohan. 2008. Genetic Variation within Population and Gene Flow
between Populations of Morus macroura Miq. var. macroura in West Sumatra.Presented paper
in The Sixth Regional IMT-GT Uninet Conference.Penang 28 Agust.
Syamsuardi, 2013.Diversitas Genetik dan Potensial Evolusi Beberapa Jenis Tumbuhan Sumatera.
Makalah pada Seminar Biodiversitas dan Ekologi Tropika pada tanggal 14 September 2013 di
Kampus Universitas Andalas, Limau Manis Padang
Taufiq, A, Syamsuardi, A. Arbain, T. Maideliza, Mansyurdin & Nurainas. 2013. Analisis
morfometrik dan biologi reproduksi anaphalis. (asteraceae) di sumatera barat. The 4th
Conference on Global Resources Conservation and 10th Indonesian Society for Plants
Taxonomist Congress 2013. 7-8 February, Widyaloka Convention Hall, Brawijaya
University, Malang
Yeh.F.C.. R.C.Yang. T.B. J. Boyle. Z.H. Ye. J.X. Mao. 1997. POPGENE. The User-Friendly
Shareware for Populations Genetic Analysis.Molecular Biology and Biotechnology
Centre.University of Alberta. Edmonton. Alberta. Canada
Yuzammi, J.R. Witono, S. Hidaya, T. Handayani, Sugiarti, S. Mursidawati, T. Triono, I.I. Astuti,
Sudarmono dan H. Wawangningrum. 2010. Ensiklopedi Flora. PT. Khareisma Ilmu. Jakarta.
430
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Karakter bentuk bunga merupakan karakter yang sangat penting dalam usaha bunga potong. Penelitian
ini bertujuan untuk menduga jumlah gen pengendali karakter bentuk bunga kembang kertas (Zinnia elegans
Jacq). Penelitian lapangan dilakukan di Kebun Percobaan Banguntapan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, pada bulan Februari - Juni 2009. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi
M2. Karakter bentuk bunga dibagi dalam dua kelas fenotipe yaitu tidak pompom dan pompom. Data dianalisis
dengan uji Chi square untuk mengetahui perbandingan bentuk bunganya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karakter bentuk bunga dikendalikan oleh dua lokus dengan dua alel per lokus. Perbandingannya adalah 13
tidak pompom : 3 pompom dan aksi gennya adalah interaksi inhibitor.
Kata kunci : pendugaan, gen pengendali, bentuk bunga, interaksi inhibitor, Zinnia elegans Jacq.
PENDAHULUAN
Bunga potong di Indonesia masih didominasi oleh bunga krisan (Chrysanthemum spp.) yang
merupakan tanaman introduksi dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang (Puspasari et al., 2008).
Krisan merupakan tanaman hari pendek (Hess, 1975; Anderson, 2007) sehingga pembudidayaannya
di Indonesia yang berhari pendek mengakibatkan ukuran tangkai dan diameter bunganya relatif
pendek (tidak cocok sebagai bunga potong). Oleh karena itu untuk menambah panjang tangkai dan
diameter bunga maka dilakukan manipulasi panjang hari yaitu dengan penambahan lama penyinaran
selama 3-4 jam/hari. Bibit krisan yang digunakan masih banyak berasal dari negara luar yang
menerapkan hukum perlindungan varietas. Hal ini menyebabkan biaya produksi yang harus
dikeluarkan produsen krisan di Indonesia menjadi lebih tinggi.
Krisan dan kembang kertas (Zinnia spp.) termasuk dalam suku yang sama yaitu Asteraceae,
sehingga keduanya memiliki kemiripan morfologis (Puspasari et al., 2008). Kembang kertas pada
umumnya ditemukan di negara beriklim tropis sehingga cocok juga dikembangkan di Indonesia.
Kembang kertas mampu tumbuh dengan baik pada kisaran agroklimat yang lebih luas daripada
krisan. Oleh karena itu kembang kertas mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai
komoditi bunga potong, menggantikan atau menjadi alternatif lain untuk krisan.
Kembang kertas yang ditemukan di Indonesia pada umumnya memiliki bentuk dengan bunga pita
satu lapis (bunga betina) dan mempunyai bunga disc floret (bunga betina dan jantan) lebih dari satu
lingkaran. Bentuk kembang kertas tersebut kurang menarik sehingga belum layak menjadi komoditas
bunga potong. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk melakukan pemuliaan bentuk bunga pada
tanaman kembang kertas. Kegiatan pemuliaan yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan
keragaman, melakukan seleksi, melakukan persilangan dan mempelajari sifat yang diinginkan
sehingga program pemuliaan dapat terlaksana sesuai tujuan.
Mengingat populasi lokal kembang kertas di Indonesia didominasi oleh kembang kertas dengan
bentuk bunga tidak pompom maka kegiatan pemuliaan yang dilakukan pertama kali adalah
meningkatkan keragaman populasi tanaman kembang kertas. Peningkatan keragaman dapat dicapai
dengan beberapa metode antara lain dengan metode pemuliaan mutasi. Teknik mutasi yang paling
mudah untuk dilakukan adalah dengan penyinaran sinar gamma, sinar ultra violet ataupun sinar-X.
Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan keragaman kembang kertas yaitu
dengan iradiasi sinar-X pada biji dari tanaman berbunga tipe tunggal (tidak pompom) dan berwarna
putih. Populasi M1 (generasi ke-1 populasi asal mutasi) mempunyai fenotipe mirip dengan tetuanya
yaitu bentuk bunga tidak pompom dan berwarna putih. Tipe pompom tanpa disc floret sangat penting
dalam usaha perbanyakan benih, karena tidak dapat menghasilkan biji.
431
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Informasi yang diperoleh dari populasi M2 akan dijadikan sebagai acuan dalam kegiatan pemuliaan
kembang kertas selanjutnya. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian kajian
genetika bentuk bunga berdasarkan morfologi untuk bahan pemuliaan bentuk bunga pompom.
Penelitian ini bertujuan untuk menduga jumlah gen pengendali dan aksi gen karakter bentuk
bunga kembang kertas.
Kembang Kertas
Zinnia merupakan salah satu genus yang termasuk dalam suku Asteraceae. Nama lain dari suku ini
adalah Compositae, dengan ciri memiliki bunga majemuk yang terdiri dari beberapa bunga kecil yang
disebut floret dan tersusun rapat pada dasar bunga. Nilai ekonomis dari suku ini adalah sebagai
tanaman hias dan berkhasiat bagi kesehatan.
Bunga kembang kertas termasuk bunga majemuk. Bunga ini tersusun dari banyak bunga kecil
disebut floret yang tersusun rapat pada bongkol bunga. Floret-floret di bagian tepi ada yang memiliki
perhiasan bunga berukuran besar yang disebut sebagai bunga pita (ray floret). Floret di bagian tengah
disebut disc floret berwarna jingga kekuningan atau cokelat keunguan, sedangkan bunga pita
memiliki warna yang sangat bervariasi. Disc floret memiliki alat reproduktif jantan dan betina
(Anderson, 2007).
Zinnia elegans di Indonesia dikenal sebagai kembang kertas. Kembang kertas tergolong tanaman
yang mudah dibudidayakan, tumbuh baik pada hampir semua jenis tanah, terutama tanah lempung
yang kaya bahan organik. Tanaman ini tahan kering dan menyukai sinar matahari langsung.
Tanaman kembang kertas berbunga pada umur 2 bulan setelah tanam dan bunga dapat dipanen
sesaat sebelum polen muncul (pecahnya anther) atau ketika polen mulai muncul, pada saat bunga
hampir mekar sempurna. Bunga kembang kertas yang telah dipotong mempunyai umur pajang (vase
life) 7-10 hari (Armitage dan Laushman, 2003).
Bentuk bunga kembang kertas yang umum ditemukan adalah bentuk tipe tunggal, namun di
negara Jepang sudah ada berbentuk ganda dan pompom. Berdasarkan susunan mahkota bunganya,
terdapat tiga tipe bentuk bunga kembang kertas (Lien, 1968; Miyazima and Nakayama, 1994), yaitu:
(1) Tunggal (single) : hanya memiliki satu lapisan bunga pita (ray floret) (2) Ganda (semi–double)
memiliki dua atau lebih lapisan bunga pita (ray floret) (3) Pompom (fully–double) memiliki banyak
lapisan bunga pita (ray floret) sampai penuh tetapi masih memiliki bunga cakram (disc floret) yang
kecil sekali atau tidak ada sama sekali.
Bunga pita yang berlapis (ganda dan pompom) merupakan karakter yang penting untuk
diperhatikan pada Z. violacea atau Z.elegans dan karakter tersebut diatur oleh banyak gen (Gotoh,
1954; Lien, 1968). Bunga kembang kertas berbentuk ganda penuh (pompom) memproduksi banyak
deretan bunga pita dan tidak memiliki disc floret (Boyle dan Stimart, 1988). Jumlah disc floret dalam
satu kuntum bunga kembang kertas berkorelasi negatif dengan jumlah bunga pitanya. Bunga kembang
kertas tipe ganda memiliki jumlah bunga pita yang lebih banyak dibandingkan dengan disc floretnya
(Miyajima, 1998). Bunga kembang kertas tipe pompom menghasilkan biji yang lebih sedikit
dibandingkan bunga yang berbentuk tunggal dan ganda. Hal ini disebabkan karena bunga tipe
pompom tidak memiliki disc floret atau lebih sedikit dibandingkan dengan kedua tipe bunga yang
lain (Gotoh, 1954).
Jumlah kromosom kembang kertas adalah 2n = 2x = 24 (Torres, 1963), termasuk tanaman
menyerbuk silang (cross pollinated crops) walaupun ada yang melakukan penyerbukan sendiri.
Individu pompom pada kultivar Zinnia elegans sering digunakan sebagai induk persilangan untuk
menghasilkan hibrida F1 (Lou et al., 2010).
Pada beberapa spesies tanaman telah diteliti bahwa gen pengendali bentuk bunga tipe ganda
dipengaruhi oleh gen tunggal, yang pengaruhnya bisa dominan atau resesif. Pengaruh gen resesif
ditemukan pada Antirrhinum (mut.plena), Callistephus chinensis, Dhianthus barbatus, Eschscholtzia
californica, Matthiola incana, Papaver rhoeas dan Salpiglossis. Pengaruh gen dominan ditemukan
pada Cyclamen persicum, Dianthus caryophyllus, Gerbera, Pelargonium hortorum dan Petunia,
Rosa, Saintpaulia ionantha, Sinningia dan Tagetes (Vainstein, 2002).
Almouslem dan Tilney-Basset (1989) meneliti tanaman Pelargonium dan menemukan tiga gen
yang mengendalikan bentuk bunga ganda. Pada tanaman Cosmos bipinnatus, bentuk bunga ganda
dikendalikan oleh dua gen (Samata, 1958) dan pada Begonia semperflorens dikendalikan oleh dua gen
resesif. Tipe bentuk bunga pada Asteraceae dikendalikan gen tunggal seperti tipe spider pada krisan
432
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
dan juga Gerbera (Tyrach, 1994). Pada tanaman Asteraceae, suhu yang tinggi dapat mereduksi
jumlah lapisan bunga pitanya.
Pola pewarisan untuk sifat yang dikendalikan oleh beberapa gen (sifat kualitatif) yang saling
independen akan mudah dilihat. Namun untuk sifat yang dikendalikan oleh banyak gen (sifat
kuantitatif) sulit diduga pola segregasinya karena akan menghadapi perbedaan genotipe dalam jumlah
yang besar. Selain itu, karakter kuantitatif tidak lagi memberikan gambaran yang tegas untuk antar
individu (Poespodarsono, 1988) karena dikaburkan oleh pengaruh lingkungan.
Pendugaan jumlah gen pengendali sangat penting untuk pemilihan metode pemuliaan tanaman.
Karakter bentuk bunga kembang kertas dikendalikan oleh gen dan Gotoh (1954) menyimpulkan
bahwa bentuk bunga kembang kertas dikendalikan oleh tiga gen.
Aksi gen adalah mekanisme satu gen dalam mengekspresikan dirinya. Masing-masing gen
bersegregasi bebas tetapi perannya mempengaruhi penampakan fenotipe secara kumulatif (Allard,
1960; Elseth et al., 1984 ;Crowder, 1986). Perwarisan ini dapat dikaji dengan perhitungan aksi gen
untuk mengetahui adanya sifat aditif-dominan dan epistasis antar gen pengendali sifat. Aksi gen dan
interaksi gen yang berbeda akan membuat pola segregasi gen yang berbeda (Singh dan Chaudary,
1977). Tipe aksi gen dapat dikategorikan dalam Allard, 1960; Strickberger, 1985): a. interaksi antar
alel pada lokus yang sama (intra lokus), yaitu: 1) No-dominan, adalah setiap alel pada lokus tersebut
akan saling menambah atau mengurangi nilai fenotipenya. Fenotipe heterozigot yang dihasilkan akan
berada pada nilai tengah tetua homozigotnya. 2) Parsial dominan, merupakan interaksi antar alel
dalam satu lokus yang saling menambah, dimana nilai fenotipe yang dihasilkan akan berada diantara
fenotipe tetua homozigot. 3) Dominan penuh, adalah interaksi antara alel dalam satu lokus dimana
anggota pasangan alelnya tidak nampak (resesif) jika alel ini menempati kromosom homolog dalam
keadaan heterozigot. 4) Dominan lebih, merupakan interaksi dimana fenotipe heterozigot memiliki
nilai yang lebih tinggi dari kedua tetuanya. 5) Co-dominan, adalah saling dominan, kedua-duanya
terekspresi; b. Interaksi antar alel pada lokus yang berbeda (inter lokus), adalah peristiwa dimana
suatu gen menekan kegiatan gen lain pada lokus lokus berbeda pada suatu kromosom, disebut juga
dengan epistasis. Epistasis oleh Crowder (1986) dibagi dalam beberapa jenis yaitu 1) Koepistasi
dengan nisbah fenotipe 9:3:3:1. 2) Semi epistasi dengan nisbah fenotipe 9:6:1. 3) Isoepistasi dengan
nisbah fenotipenya 15:1. 4) Dominan dengan nisbah fenotipe 12:3:1. 5) Resesif dengan nisbah
fenotipe 9:3:4. 6) Resesif ganda dengan nisbah fenotipe 9:7. 7) Dominan dan resesif dengan nisbah
fenotipe 13:3.
Pelaksanaan Penelitian
Ditanam di kebun Percobaan Banguntapan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada pada
bulan Februari 2009 sampai Juni 2009 dengan 13 nomor genotipe dan total tanaman sebanyak 285
tanaman.
Pembibitan tanaman dilakukan dengan menyemaikan semua biji hasil panen dari M1 pada
pottray. Selanjutnya dipersiapkan media tanam pada polibag ukuran 25 x 30 cm dengan media tanah
campur kompos dengan perbandingan 1:1. Polibag ditata dengan jarak dalam barisan 20 cm dan jarak
antar baris 30 cm. Pindah tanman dilakukan saat tanaman telah berumur 4 minggu. Semua polibag
diberi label sesuai dengan nomor asal usul tanaman (biji yang berasal dari satu kuntum ditanam dalam
satu baris). Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma, pengendalian hama dan
penyakit disesuaikan dengan kebutuhan. Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman dalam
populasi dengan mengamati bentuk bunga pada saat bunga mekar sempurna. Pengamatan bentuk
bunga didasarkan pada dua kelas yaitu bentuk tidak pompom dan bentuk pompom.
Pembagian dua kelas fenotipe bentuk bunga yaitu bentuk tidak pompom dan pompom seperti pada
Gambar 1.
433
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Kriteria tidak pompom adalah bunga yang terdiri dari satu atau lebih bunga pita, ada disc floret dan
tipe pompom terdiri dari banyak lapisan bunga pita dan tidak ada disc floret.
Analisis Data
Data pengamatan ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan analisis Chi Square dengan
program Excel.
Tabel 1. Uji kecocokan bentuk bunga populasi M2 pada dua kelas fenotipe.
Rasio Jumlah tanaman
tidak pompom:
pompom Populasi χ2 hitung χ2 tabel tidak pompom pompom
2 pasang
gen 3:1 M2 7.51 3.84 234 51
9:7 M2 76.7
13:3 M2 0.12*
15:1 M2 66.44
3 pasang
gen 52:12 M2 0.12*
38:26 M2 100.22
63:1 M2 51.74
Keterangan : * = penyimpangan tidak nyata pada db 1
Diasumsikan bahwa, gen A: gen bentuk bunga pompom; gen a: gen tidak pompom; gen B
dominan terhadap A; gen b: tidak menghambat. A epistasis terhadap B dan b. Berdasarkan asumsi
tersebut dapat dibuat model persilangan yang terjadi pada populasi M1 ditampilkan pada Gambar 2.
M1 : AaBb x AaBb
(tidak pompom) (tidak pompom)
♂/♀ AB Ab aB Ab
AB AABB AABb AaBB AaBb
Ab AABb AAbb AaBb Aabb
aB AaBB AaBb aaBB aaBb
Ab AaBb Aabb aaBb aabb
434
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Gambar 2. Model persilangan dengan dua gen pengendali bentuk bunga kembang kertas.
Keterangan gambar:
A-B- : tidak pompom (9) aaB- : tidak pompom (3)
A-bb : pompom (3) aabb : tidak pompom (1)
Hasil penelitian Gotoh (1954), menyimpulkan bahwa karakter bentuk bunga kembang kembang
kertas dikendalikan oleh 3 pasang gen.
Pada penelitian ini didapatkan dua pasang dan tiga pasang gen. Perbedaan hasil penelitian
diakibatkan karena perbedaan dalam membuat kelompok fenotipe bentuk bunga. Gotoh membagi tipe
bentuk bunga berdasarkan jumlah lapisan bunga pita kedalam 8 kelompok fenotipe. Pada penelitian
ini tipe bentuk bunga dikelompokkan ke dalam dua kelompok fenotipe yaitu berdasarkan keberadaan
disc floret yaitu bentuk bunga tidak pompom memiliki disc floret dan bentuk bunga pompom tidak
memiliki disc floret.
SIMPULAN
Bentuk bunga kembang kertas dikendalikan oleh dua lokus dengan dua alel perlokus, dan
interaksi antar lokus adalah interaksi inhibitor.
DAFTAR PUSTAKA
Allard, R.W.1960. Principles of Plant Breeding, John Wiley and Sons Inc., New York.
Almouslem, A.B.and Tilney-Basset, R.A.E. 1989. The inheritance of flower doubleness and
nectary spur in Pelargonium hortorum, Euphytica 41, 23-29.
Anderson, N.O. 2007. Flower breeding and genetics: issues. challenges and opportunities for the
21st century. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, The Netherlands.
Armitage, A.M. dan J.M. Laushman, 2003. Speciality Cut Flowers: The Production of Annuals,
Perennials, Bulbs and Woody Plants for Fresh and Dried Cut Flowers. Timber Press. Oregon.
586p.
Boyle, T.H., and Stimart, D., P. 1989. Anatomical and biochemical factors determining ray floret
color of Zinnia angustifolia, Z. elegans, and their interspesific hybrids, Journal of the Amerian
Society for Horticultural Science 114, 499-505
Crowder, L. V. 1986. Plant Genetics (Genetika Tumbuhan, alih bahasa L. Kusdiarti).
UGM Press, Yogyakarta.
Elseth, G.D. and K.D. Baumgardner, 1984. Genetics. Addison-Wesley Publishing Company.
Gotoh , K. (1954) Inheritance of doubleness in Zinnia elegans L., Japanese J. of Breeding(1), 37-40
Hess, D. 1975. Plant Physiology. Molecular, Biochemical, and Physiological Fundamentals of
Metabolism and Development. Springer-Verlag Berlin-Heidelberg – New York.
Lien, A.L.1968. Inheritance in Zinnia elegans, M.S.Thesis, Colorado University, Fort Collins,
Colorado, USA
Lou, X.Y., Q.S. Hu., M.Z. Bao and Y.M. Ye. 2010. Analysis of combining ability of two - types of
male sterile and four restorer lines of Zinnia elegans. Euphytica 174 : 91-103
Miyajima, D. 1998. Improvment of Ornamental Value by Seed Selection in Double – flowered
Zinnias, Hort.Science 33, 696-698
Miyazima, D. and Nakayama, M. 1994. Zinnia capitulum composition. J. of the America society for
Horticulture Science 119, 683-686.
Plantamor. 2008. Informasi Spesies : Kembang kertas (Zinnia elegans). (http://www.plantamor.com).
Diakses tanggal 10 Januari 2011.
Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas dan
Lembaga Sumberdaya Informasi. Bogor. IPB.
Puspasari, D., Aziz-Purwantoro, Ambarwati, E. 2008. Induksi keragaman bunga kertas (Zinnia sp.)
dengan menggunakan Kolkhisin. Tesis. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.
Samata, Y., (1958) Genetics Studies on Cosmos bipinnatus II, Jap. J. Breeding 8, 261-268
Singh, R.K., and B.D. Chaudary, 1977. Biometrical Methods In Quantitative Genetic Analysis.
Kalyani Publ., Ludhiana, New Delhi.
Strickberger, M.W. 1976. Genetics, 2nd edition. Macmillan Publishing Co. Inc, New York
Torres, A.M. (1963) Taxonomy of Zinnia, Brittonia 15, 1-25
435
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
436
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
ABSTRAK
Streptococcus agalactiae merupakan bakteri penyebab streptococosis pada ikan dan mampu
membentuk biofilm pada permukaan padat. Penelitian ini bertujuan untuk mengendalikan biofilm S. agalactiae
dengan memanfaatkan senyawa antibakteri Lactobacillus plantarum perairan tawar. Perhitungan jumlah sel dan
hasil pengendalian biofilm pada sisik ikan nila dan plastik PVC dilakukan dengan metode pelepasan sel biofilm
dengan serbuk kaca halus (glass bead), kemudian kultur disebar pada cawan untuk perhitungan cawan total
(TPC). Pembentukan biofilm dilakukan pada hari ke 1, 3 dan 5. S.agalactiae mampu membentuk biofilm lebih
besar pada permukaan lempeng plastik yaitu 105 CFU/lempeng sedangkan pada permukaan lempeng sisik
sebesar 104 CFU/lempeng. Senyawa antibakteri ekstrak kasar L. plantarum mampu menurunkan jumlah sel
biofilm pada masing-masing uji sebesar 101 CFU/lempeng. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
senyawa antibakteri ekstrak kasar L. plantarum dapat menghambat sel biofilm S. agalactiae.
PENDAHULUAN
Penyakit ikan yang ditimbulkan akibat serangan bakteri patogen merupakan salah satu
permasalahan serius bagi pembudidaya ikan karena sangat berpotensi menimbulkan kerugian yang
besar. Penurunan kualitas dan tingkat produksi, bahkan kematian dan kegagalan panen dapat terjadi.
Streptococcus agalactiae adalah salah satu bakteri patogen penyebab penyakit streptococcosis pada
ikan di lingkungan akuakultur (Taukhid, 2009). Penyakit yang disebabkan bakteri ini menyerang
organ otak, mata, dan ginjal ikan. Gejala yang timbul seperti gerakan fisik melemah, warna gelap,
hilang nafsu makan, hilang keseimbangan, gejala lainnya adalah kornea mata berwarna pucat,
pendarahan pada bagian eksternal serta luka (Hardi et al. 2011). Serangan S. agalactiae telah
mengakibatkan ikan budidaya mati 100% pada 14 hari pasca infeksi (Evans et al. 2006).
Di alam, bakteri cenderung menempel pada permukaan padat dan apabila kondisi
memungkinkan, bakteri planktonik dalam perairan akan cenderung membentuk biofilm di berbagai
permukaan baik biotik maupun abiotik (Characklis and Marshall, 1990). Pelekatan ini didukung
berbagai faktor diantaranya oleh matrik ekstrasellular (Characklis and Marshall, 1990). Adanya
perbedaan jenis permukaan padat tempat melekatnya bakteri pada lingkungan perairan dapat
memungkinkan kecenderungan bakteri untuk memilih permukaan yang lebih sesuai untuk terkait
karakteristik bakteri itu sendiri.
Sel biofilm lebih tahan beribu-ribu kali dibandingkan dengan sel planktonik terhadap bahan-
bahan antimikroba, maupun kondisi fisik yang ekstrim seperti panas (Oh and Marshall, 1995). Oleh
sebab itu bila biofilm dari bakteri patogen ditemukan pada berbagai permukaan padat perairan,
pengontrolannya memerlukan usaha yang lebih keras. Kekhawatiran terjadi jika biofilm patogen tidak
dibersihkan akan mengakibatkan patogen yang melekat dalam perkembangannya ada yang terlepas
dari permukaan dan mengkontaminasi ikan yang terdapat dalam perairan.
Pengendalian S.agalactiae dapat dilakukan dengan penggunaan bakteri asam laktat. Hal ini
terkait dengan kemampuan BAL dalam menghasilkan senyawa antimikroba yang dapat menghambat
pertumbuhan dan aktivitas mikroba lainnya (Riley and Wertz, 2002). Berdasarkan penelitian
sebelumnya telah dilakukan pengujian kemampuan BAL dalam menghambat pertumbuhan patogen S.
agalactiae diantaranya Pediococcus pentosaceus (Harijani, 2010). Selanjutnya beberapa spesies BAL
yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap patogen ini yaitu Weissella confusa dan beberapa
spesies dari genus Lactobacillus yaitu L. acidophilus, L. brevis, L. fermentum (Serna et al. 2011), L.
plantarum dan L. lactis (Lubas et al. 2012). Pengendalian S. agalactiae dalam bentuk sel biofilm
437
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
dengan BAL belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga dalam penelitian ini diharapkan
memperoleh isolat lokal BAL unggulan Sumatera Utara dalam mengendalikan biofilm S. agalactiae.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 hingga Agustus 2013 di Laboratorium
Mikrobiologi dan Laboratorium Sentral FMIPA Universitas Sumatera Utara. Isolat patogen S.
agalactiae NK-1 di peroleh dari Balai Riset Perikanan Air Tawar Sempur, Bogor. Isolat L. plantarum
diperoleh dari hasil isolasi dari perairan tawar Sumatera Utara pada penelitian sebelumnya.
Pengendalian Sel Biofilm S. agalactiae dengan Senyawa Anti bakteri Ekstak Kasar L. plantarum
Lempeng plastik PVC dan sisik ikan yang telah ditumbuhi biofilm S.agalactiae disiapkan
dengan jumlah sel tertinggi berdasarkan perlakuan sebelumnya. Masing-masing lempeng sisik dan
plastik dimasukkan kedalam tabung steril lalu ditambahkan senyawa antibakteri ekstrak kasar BAL
terpilih, pada suhu 28 oC dengan waktu kontak 1 jam. Kemudian diaerasi selama 2 menit setiap 15
menit sekali. Setelah waktu kontak 1 jam lempeng diangkat dari kultur. Masing-masing dibilas
sebanyak 3 kali dengan 10 ml akuades steril kemudian dimasukkan ke 9 ml larutan garam fisiologis
(NaCl 0.85%) yang ditambah dengan 0,5 g manik-manik kaca mikro (glass bead), kemudian divortek
untuk melepas sel biofilm selama 2 menit. Sebanyak 0,1 ml kultur disebar pada media PCA secara
aerobik, diinkubasi pada suhu 28 oC selama 24 jam. Setelah itu dilakukan perhitungan jumlah sel
dengan metode TPC. Perlakuan diulang sebanyak 2 kali. Kontrol berupa larutan yang berisi masing-
masing lempeng tanpa penambahan sel biofilm S. agalactiae yang direndam dengan akuades steril,
lalu diperlakukan sama dengan perlakuan (Jamilah dan Priyani, 2012).
438
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 1. Perhitungan Rata-rata Jumlah Sel Biofilm S. agalactiae pada Lempeng Sisik Ikan dan
Plastik PVC
Rata-rata Jumlah Sel CFU/lempeng
Permukaan Lempeng biofilm hari ke-1 biofilm hari ke-3 biofilm hari ke-5
Sisik 2,2 x 104 3,5 x 10 4 2,9 x 104
Kontrol Sisik 0 0 0
Plastik 7,8 x 104 5,5 x 105 2,2 x 104
Kontrol Plastik 0 0 0
Berdasarkan tabel perhitungan jumlah sel biofilm diatas, S. agalactiae mampu membentuk
biofilm di permukaan sisik ikan pada hari ke-1 sebesar 2,2 x 104 CFU/lempeng dan permukaan plastik
PVC sebesar 7,8 x 104 CFU/lempeng. Pada rentang hari ke-3 terlihat adanya peningkatan jumlah sel
biofilm, pada permukaan sisik ikan sebesar 3,5 x 104 CFU/lempeng dan pada permukaan plastik PVC
sebesar 5,5 x 105. Pada hari ke-5 jumlah sel biofilm mengalami penurunan, pada permukaan sisik
ikan sebesar 2,9 x 104 CFU/lempeng dan pada permukaan plastik PVC sebesar 2,2 x 104.
Biofilm S. agalactiae mengalami peningkatan jumlah sel pada hari ke-3. Peningkatan jumlah
sel biofilm ini diduga karena adanya ikatan antara bakteri dengan permukaan lempeng dan perlekatan
bakteri yang berkepanjangan sehingga menyebabkan pembentukan beberapa lapis bakteri pada
permukaan (Donlan, 2002). Jumlah sel biofilm di hari ke-3 pada kedua lempeng terlihat berbeda.
Pada lempeng sisik ikan dan plastik PVC. Pada pengamatan hari ke-3 diperoleh jumlah biofilm yang
terbentuk pada permukaan lempeng plastic PVC lebih banyak dari pada permukaan sisik ikan. Hal ini
bertentangan dengan pendapat Kokare et al. (2009) yang menyatakan tingkat kolonisasi mikroba
meningkat sebanding dengan jenis permukaan yang kasar. Pada kedua jenis permukaan diketahui
PVC cenderung lebih rata permukaannya dibanding sisik ikan.
Perbedaan jumlah sel biofilm pada sisik ikan dan plastik PVC di duga karena lempeng plastik
PVC bersifat hidrofobik dan tersusun dari monomer vinil klorida (kloroetana) dengan gugus
CH2=CHCl dan lempeng sisik ikan bersifat hidrofilik. Patogen S.agalactiae memiliki polisakarida
ekstraseluler (PSE) tipe B. Polisakarida B mempunyai gugus hidrofobik metil dan grup asetil yang
terlibat dalam interaksi hidrofobik (Chistensen et al. 1985). Salah satu penyusun polisakarida B
adalah N-acetyl-glukosamin yang mengandung gugus metil. Jadi perlekatan S. agalactiae lebih tinggi
pada permukaan plastik diduga karena sifat kedua permukaan yang hidrofobik dan adanya pemutusan
ikatan rangkap pada PVC oleh CH3 dari salah satu penyusun polisakarida pada S. agalactiae.
Jumlah sel biofilm pada permukaan plastik PVC lebih banyak dari sisik ikan juga bisa
disebabkan karena monomer-monomer dari plastik PVC hanya memiliki 1 ikatan rangkap, sedangkan
pada sisik ikan memiliki 2 ikatan rangkap dari gugus sulfonat sehingga lempeng sisik lebih sulit
berikatan dengan gugus aktif metil dari EPS S. agalactiae.
Pada hari ke-5 kepadatan biofilm mengalami penurunan pada sisik. Adanya penurunan
jumlah sel biofilm pada sisik dan plastik pada hari ke-5 diduga karena sel biofilm yang baru terlepas
dari sel yang lebih tua membentuk sel planktonik dan beberapa sel yang mengalami kematian karena
ketersedian nutrisi yang berkurang. Pelepasan secara luas dan mendadak terjadi akibat kurangnya
nutrisi atau oksigen. Pelepasan biofilm dapat terjadi secara spesifik pada spesies mikroorganisme
tertentu. Alasan sel-sel yang baru terbentuk terlepas dari biofilm dapat disebabkan penurunan
ketersediaan nutrisi, sifat hidrofobik biofilm, dimana sifat ini akan meningkat seiring dengan usia sel
pada biofilm (Donlan, 2002).
Pengendalian Biofilm
Biofilm S. agalactiae yang telah terbentuk dengan jumlah sel tertinggi selanjutnya
dikendalikan dengan senyawa antibakteri BAL terpilih. Penurunan jumlah sel biofilm S. agalatiae
setelah pengendalian dengan 100% senyawa antibakteri dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
439
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
Tabel 2. Penurunan Rata-rata Jumlah sel Biofilm S. agalactiae Hari ke-3 Setelah Kontak 1 Jam
dengan Senyawa Antibakteri L. plantarum pada Permukaan Sisik dan Plastik.
Rata-rata Jumlah Sel
Permukaan
Kontrol Pembentukan Sebelum Setelah Kontak
Lempeng
Biofilm Hari ke-3 Kontak
Sisik 3,4 x 10 4 3,5 x 10 4 1,5 x 103
Berdasarkan tabel penurunan jumlah sel biofilm S. agalactiae hari ke-3 diatas dapat diketahui
biofilm S.agalactiae mengalami penurunan jumlah sel setelah dikontakkan dengan senyawa
antibakteri L.plantarum. Jumlah sel biofilm mengalami penurunan sebanyak 101 CFU/lempeng pada
masing-masing lempeng sisik dan plastik PVC. Adanya penurunan biofilm diduga adanya aktifitas
senyawa antibakteri BAL. Menurut Pelezar and Chan (2008), yang membunuh sel biofilm adalah
senyawa antibakteri yang merusak dinding sel sehingga mengakibatkan dinding sel lisis atau
menghambat pertumbuhan dinding sel yang sedang tumbuh, merubah permeabilitas membran
sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam sel, penghambat sintesis protein dan asam
nukleat.
Penurunan jumlah sel biofilm S. agalactiae tidak terlihat signifikan jika dibandingkan zona
hambat yang terbentuk pada uji antagonis pada penelitian pendahuluan. Hal ini bisa disebabkan pada
saat membentuk biofilm sel bakteri S.agalactiae memproduksi EPS. EPS memegang peranan penting
di dalam resistensi biofilm terhadap terapi antimikrobial (Donlan, 2002). EPS juga memiliki peran
dalam melindungi bakteri yang ada didalam biofilm dari kondisi yang kurang baik. EPS dapat
memodifikasi microenvironment dari sel yang menempel dengan mengkonsentrasikan nutrisi dan
melindungi sel dari surfaktan, senyawa antimikrob, atau sel fagosit. (Costerton et al. 1981).
Penurunan jumlah sel biofilm hanya sebesar 101 CFU/lempeng bisa disebabkan karena
adanya ketahanan bakteri S. agalactiae yang telah membentuk biofilm terhadap senyawa antibakteri
isolat L. plantarum yang di berikan. Ketahanan biofilm terhadap senyawa antibakteri disebabkan
karena banyak faktor seperti adanya glikokalik yang melindungi sel biofilm. Pinggiran biofilm bakteri
yang dilindungi oleh matriks glikokalik oleh sistem enzimatis tertentu mengakibatkan biofilm tidak
aktif terhadap senyawa antimikroba tertentu. (Myszka and Czaczyk, 2012). Pada kontrol
pengendalian, jumlah sel biofilm tidak mengalami penurunan .Hal ini bisa disebabkan karena tidak
ada senyawa antimikroba yang terlarut didalam aquades pada kontrol dan tidak adanyanya
penghambatan dari akuades terhadap penurnunan jumlah sel biofilm.
KESIMPULAN
Biofilm S. agalactiae cukup sulit di kendalikan oleh senyawa antibakteri L. plantarum terlihat dari
penurunan jumlah sel setelah pengendalian hanya sebesar 10 CFU/lempeng pada permukaan sisik
ikan dan plastik PVC.
DAFTAR PUSTAKA
Characklis, W.G. and Marshall, K.C. 1990. Biofilms. John Wiley & Sons, Inc, New York. 3-195.
Costerton, W., Cheng, G.G., Geesey, T.I. Ladd, J.C. Nickel, M. 1987. Bacterial biofilms in nature in
disease. Ann. Rev. Microbial. 41: 435-464.
Christensen, B.E., Kjosbakken, J. dan Smidsrod, O. 1985. Partial chemical and physical
characterization of two extrasellular polysaccharides produced by marine, periphytic
Pseudomonas sp. Strain NCMB 2021. Appl. Environ. Microbial. 50 : 837-845.
Delgado, A., Brito, D., Fevereiro, P., Peres, C., and Marques, J.F. 2001. Antimicrobial activity of L
.plantarum isolated from a traditional lactic acid fermentation of table olives. EDP Sciences
8: 203-215.
Donlan, R.M, and Costerton, J.W. 2002. Biofilm : Survival Mechanisms of Clinically Relevant
Microorganism. J. Clin Microbial Rev. 15 : 167-193.
Evans, J.J., Pasnik, D.J., Klesius P.H, Al-Ablani, S. 2006. First Report of Streptococcus agalactiae
and Lactococcus garvieae from a Wild Bottlenose Dolphin (Tursiops truncates). J. Wildlife
440
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOLOGI Medan, 15 Februari 2014
441
ISBN 979-458-744-3