Anda di halaman 1dari 673

i

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL HASIL-HASIL PENELITIAN
DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
(SEMNAS HPPM)

“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun


Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”

Malang, 23 November 2021

Penerbit:
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)

“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan


Kreatif dan Berkelanjutan”

Malang, 23 November 2021

ISBN: 978-602-1398-28-9

Panitia Pelaksana
Ketua : Dr. Ir. Sri Minarti, MP., IPM., ASEAN Eng.
Wakil Ketua : Prof. Dr. Ir. Sri Wahjuningsih, MS.
Sekretaris : Dr. Dyah Lestari Yulianti, S.Pt., MP.
Rahardianti Ariestya Puspita, S.Pt.
Bendahara : Dr. Dedes Amertaningtyas, S.Pt., MP.
Khoiron Nisaa, S.Kom.
Seksi Kesekretariatan : Faizal Andri, S.Pt., M.Pt.
Wike Andre Septian, S.Pt., M.Si.
Jaysi Aghniarahim Putritamara, S.Pt., MP.
Muhammad Zaenal Abidin
Seksi Acara : Dr. Siti Azizah, S.Pt., M.Sos., M.Commun.
Dr. Irida Novianti, S.Pt., M.Sc.
Dr. Nanang Febrianto, S.Pt., MP.
Dr. Rini Dwi Wahyuni, S.Pt., M.Sc.
Mohammad Tono, A.Md.
Seksi Publikasi, : Dr. Achadiah Rachmawati, S.Pt., M.Si.
Dokumentasi, dan Ria Dewi Andriani, S.Pt., MP., M.Sc.
Prosiding Dr. Ahmad Furqon, S.Pt.
Dita Anggraini Djumari Putri, S.Kom.
Arifatul Hafid Achsan
Viky Budi Hariono
Seksi Umum : Sudaryanti, S.Sos.
Aulia Dyanrosi, S.A.B., M.A.B
Wilujeng Ritno Elyantika, S.Pt.

Panitia Pengarah
Prof. Dr.Sc.Agr. Ir. Suyadi, MS., IPU., ASEAN Eng.
Prof. Dr. Ir. Muhammad Halim Natsir, S.Pt., MP., IPM., ASEAN Eng.
Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU., ASEAN Eng.
Dr. Agus Susilo, S.Pt., MP., IPM., ASEAN Eng.
Tim Penelaah
Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS., IPU., ASEAN Eng.
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS.
Fakultas Peternakan, Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Ir. Sumiati, M.Sc.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Anak Agung Oka, MS.
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana

Tim Penyunting:
Faizal Andri, S.Pt., M.Pt.
Dr. Achadiah Rachmawati, S.Pt., M.Si.
Dr. Ahmad Furqon, S.Pt.
Jaisy Aghniarahim Putritamara, S.Pt., MP.
Ria Dewi Andriani, S.Pt., MP., M.Sc.
Wike Andre Septian, S.Pt., M.Si.

Perancang Sampul dan Tata Letak


Muhammad Zaenal Abidin

Penerbit:

Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya


Gedung V, Lt. 7
Jl. Veteran, Malang, Jawa Timur 65145, Indonesia
Telp: (+62) 341 - 553513
e-mail: fapetub@ub.ac.id
website: http://fapet.ub.ac.id

Cetakan Pertama, Desember 2021

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dancara apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan atas rahmat-Nya, Seminar
Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat 2021 dalam
memperingati Dies Natalis Fakultas Peternakan yang ke-60 dapat terlaksana pada
tanggal 23 November 2021 dan menghasilkan prosiding dari makalah-makalah
yang dipresentasikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Prof. Dr.Sc.Agr. Ir. Suyadi,
MS., IPU., ASEAN Eng., Keynote Speaker: Ir. Indyah Aryani, MM, Prof. Dr. Ir.
Sudirman Baco, M.Sc., Ir. Didiek Purwanto, IPU, Ir. Yudi Guntara Noor, S.Pt.,
IPU, Prof. Dr. Ir. M. Halim Natsir, S.Pt., MP., IPM., ASEAN Eng., penyaji dan
pemakalah, peserta, penyunting serta redaksi pelaksana yang telah bekerjasama,
sehingga prosiding ini dapat diterbitkan, serta kepada semua pihak yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu semoga semua kebaikan yang telah diberikan
menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan kebaikan yang berlimpah dari-
Nya.
Akhirnya, semoga prosiding seminar nasional hasil-hasil penelitian dan
pengabdian masyarakat dapat bermanfaat bagi kita semua dan apabila ada
ketidaksempurnaannya, maka panitia berharap diberikannya saran dan masukan
untuk perbaikan di masa mendatang

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ketua Panitia

Dr. Ir. Sri Minarti, MP., IPM., ASEAN Eng.

i
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

PENELITIAN
Manajemen Produksi Ternak Ruminansia
TINJAUAN ASPEK KESEJAHTERAAN TERNAK SAPI DI WILAYAH
UTARA KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT
Sudirman, Amrullah, Asrul Hamdani ..................................................................... 3
PRODUKSI KOLOSTRUM SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN
HOLSTEIN PADA PUTING YANG BERBEDA
Zahwa Fajriyyah Eka Putri, Puguh Surjowardojo ............................................... 19
KARAKTERISASI REPRODUKSI DAN MANAJEMEN PERKAWINAN SAPI
PERANAKAN ONGOLE SEBAGAI SUMBER GENETIK PETERNAKAN
SAPI POTONG DI SULAWESI UTARA
Umar Paputungan, Manopo Jouke Hendrik, Wapsiaty Utiah .............................. 22
KARAKTERISTIK KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS DAN SHORTHORN
PADA JENIS KELAMIN DAN UMUR YANG BERBEDA
M Sugesti, A Susilo, Kuswati ................................................................................. 33
PENGARUH BODY CONDOTION SCORE TERHADAP PROFIL DARAH
SAPI BRAHMAN CROSS
Akhmad Kurniawan, Muhammad Nur Ihsan, Nurul Isnaini ................................. 42
ESTIMASI PRODUKSI KARKAS DAN NON KARKAS KAMBING BETINA
(STUDI KASUS DI RUMAH POTONG HEWAN DAERAH KEDIRI)
Hanum M, Agus Budiarto, Gisthananda M, Ahmad KU, ZR Fitron..................... 48
HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN AMBING DENGAN TINGKAT
TERJADINYA MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PFH DI KPSP SETIA
KAWAN, NONGKOJAJAR, PASURUAN
Muhammad Alvan, Puguh Surjowardojo .............................................................. 52
HUBUNGAN ANTARA VITASL STATISTIK DAN LINGKAR EKOR
DENGAN BOBOTBADAN PADA UMUR YANG BERBEDA PADA DOMBA
EKOR GEMU
Nur Yunita Hapsari, Sucik Maylinda .................................................................... 57

ii
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Manajemen Produksi Ternak Non Ruminansia


PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN PADA KANDANG CLOSED
HOUSE TERHADAP KONSUMSI PAKAN, PBBH DAN FCR AYAM
PEDAGING
Desiana Putri Anjar Sari, Heni Setyo Prayogi, Muharlien, Edhy Sudjarwo,
Dyah Lestari Yulianti ............................................................................................ 66
PENGARUH ZONASI DI DALAM CLOSED HOUSE TERHADAP
MIKROKLIMAT KANDANG AYAM PETELUR PERIODE STARTER
Halifah Nurlaili Afifah, Edhy Sudjarwo, Muharlien............................................. 74
STUDI LITERATUR: PERBANDINGAN PRODUKSI LEBAH MADU Apis
mellifera PADA DUA SISTEM INTEGRASI YANG BERBEDA
Heri Damayanti, Ratna Iffany Faradilla Besari, Sri Minarti ............................... 81
PEMANFAATAN BAHAN LOKAL SEBAGAI POLLEN SUBTITUTE
TERHADAP PRODUKTIVITAS ANAKAN DAN LEBAH MADU (Apis
mellifera) PADA MUSIM PACEKLIK
Guruh Prasetyo, Derah Musci Warasi, Sri Minarti.............................................. 85
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LEBAH MADU TRIGONA SP.
MELALUI PENERAPAN SISTEM INTEGRASI DENGAN KEBUN MANGGA
Nida’ul Husna Imaniah, Citra Nurma Yunita, Sri Minarti ................................... 92
IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISTIK POLLEN KELAPA SAWIT
BERDASARKAN UJI WARNA DAN SIFAT FISIK
Sri Minarti, Mochammad Junus, Lilik Eka Radiati, Firman Jaya, Derah Musci
Warasi dan Shafa Fa’izah................................................................................... 100
KAJIAN KIMIA DAN MIKROBIOLOGI POLEN KELAPA SAWIT SEBAGAI
PAKAN LEBAH MADU
Mochammad Junus, Sri Minarti, Lilik Eka Radiati, Firman Jaya, Fitriarisa
Landa, Ida Handayani, Muhammad Anang Fitriono.......................................... 106
STRATEGI UKURAN MANGKOK BUATAN PADA PENANGKARAN
LEBAH RATU APIS CERANA DENGAN METODE GRAFTING
TECHNOLOGY
Edghar Egadhio Koy, Nur Maulida Wahyuni, Sri Minarti ................................. 112
SUBSTITUSI TEPUNG TEMPE KACANG MERAH TERHADAP LUAS
AREA SARANG ANAKAN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN
KOLONI LEBAH MADU Apis mellifera
Eggi Pur Pinandita, Kristy Rahayu, Mochammad Junus, Hary Nugroho .......... 118

iii
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Nutrisi dan Pakan Ternak Ruminansia


PRODUKSI GAS METANA PADA SISTIM IN VITRO DARI BAHAN PAKAN
PUCUK TEBU FERMENTASI
Susana I.W. Rakhmani, Wisri Puastuti ............................................................... 125
ESTIMASI KUALITAS HIJAUAN PAKAN LOKAL BERDASARKAN
KANDUNGAN PROTEIN, ABU SERTA PRODUKSI GAS
Ifar Subagyo, Herni Sudarwati, Siti Nurul Kamaliyah, Rini Dwi Wahyuni ....... 132
PRODUKTIVITAS RUMPUT ODOT (Pennisetum purpureum Cv.Mott) YANG
DI BERIKAN PUPUK BOKASHI DENGAN LEVEL 0, 10 DAN 20
TON/HEKTAR DI KELURAHAN KAWANGU
Kristian Landu Paraing, I Made Adi Sudarma, Denisius Umbu Pati ................ 140
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK SLUDGE BIOGAS DENGAN LEVEL 0,
20 DAN 40 TON/HEKTAR TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT ODOT
DI KABUPATEN SUMBA TIMUR
Apris Yanus Bura Sawula, I Made Adi Sudarma, Denisius Umbu Pati.............. 152
PRODUKSI, KOMPOSISI BOTANI, KAPASITAS TAMPUNG PADANG
PENGGEMBALAAN DESA KAMBATATANA PADA AKHIR MUSIM
KEMARAU
Umbu Herman D. Praing, I Made Adi Sudarma, Marselinus Hambakodu ........ 166
KOMPOSISI BOTANI DAN KAPASITAS TAMPUNG PADANG
PENGGEMBALAAN ALAM KELURAHAN KAWANGU KECAMATAN
PANDAWAI KABUPATEN SUMBA TIMUR
Jeni A. P. Pawulung, I Made Adi Sudarma, Marselinus Hambakodu ................ 173
PRODUKSI, KOMPOSISI BOTANI DAN KAPASITAS TAMPUNG PADANG
PENGGEMBALAAN DESA PALAKAHEMBI KECAMATAN PANDAWAI
Merry Christine Nara, Marselinus Hambakodu, Denisius Umbu Pati............... 180
PENGARUH PENAMBAHAN ADITIF DENGAN LEVEL BERBEDA
TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN KECERNAAN BAHAN
ORGANIK SILASE SECARA IN VITRO TEBON JAGUNG (Zea mays L.)
Ahmad Hafidz Alfiansyah, Asri Nurul Huda, Hartutik ....................................... 186
PENGGUNAAN LEGUMINOSA PADA PAKAN LENGKAP BERBASIS
ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) TERHADAP NILAI PRODUKSI
GAS, KONSENTRASI AMMONIA DAN NILAI ENERGI DI DALAM
RUMEN
Siti Chuzaemi, Asri Nurul Huda, Mohammad Risqi Ardiansyah ........................ 194
MANAJEMEN BUDIDAYA RUMPUT ODOT DI BAWAH NAUNGAN
POKOK PINUS DI WILAYAH KECAMATAN WAGIR GUNUNG KAWI
KABUPATEN MALANG
Hendrawan Soetanto, Desyana Intan Aristanti, Rizka Muizu Aprilia, Asri Nurul
Huda, Mashudi .................................................................................................... 201

iv
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Nutrisi Dan Pakan Ternak Unggas


PENGARUH DEDAK PADI FERMENTASI DALAM PAKAN TERHADAP
PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS TELUR PUYUH LAYER (COTURNIX-
COTURNIX JAPONICA)
Agung Imam Utomo, Mubarak Akbar ................................................................. 213
TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG DAUN INDIGOFERA (Indigofera
zollingeriana) MENGGUNAKAN INOKULUM WARETHA SEBAGAI
SUMBER PROTEIN PADA PAKAN UNGGAS
Mirzah, Montesqrit, Kadran Fajrona, Isna Hayati ............................................. 225
PENGARUH IMBANGAN FORMULA HERBAL DAN BAL TERHADAP
PENAMPILAN PRODUKSI DAN PROFIL DARAH AYAM PETELUR
Riyan Mega Alfiana, Edy Sudjarwo, Irfan Hadji Djunaidi................................. 240
PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN TEPUNG KUNYIT DAN
TEMULAWAK SELAMA PEMBATASAN WAKTU MAKAN TERHADAP
PERFORMA AYAM BROILER
Prima Utama, Abdul Azis, Zubaidah .................................................................. 249
BOBOT KARKAS DAN LEMAK ABDOMEN AYAM BROILER YANG
DIBERI RANSUM BERBAHAN LOKAL BERPROBIOTIK
Richa Firinicha, Ella Hendalia, Zubaidah ......................................................... 255
PENGARUH PENGGUNAAN RANSUM BERBAHAN LOKAL
BERPROBIOTIK SEBAGAI PENGGANTI RANSUM KOMERSIL
TERHADAP EFISIENSI RANSUM DAN EFISIENSI PROTEIN
Syukriah, Zubaidah, Ella Hendalia..................................................................... 264
PENGARUH PENAMBAHAN FITOBIOTIK JAMU DAN ACIDIFIER ASAM
JAWA SEBAGAI ADITIF PAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK KARKAS
DAN DISPOSISI DAGING ITIK HIBRIDA
Sjofjan, O., Audrey T., Natsir, M. H., Nuningtyas, Y. F...................................... 273
PENGARUH PENAMBAHAN CALCIDIFIER DAN PROBIOTIK DALAM
PAKAN TERHADAP KUALITAS EKSTERNAL TELUR ITIK PETELUR
MOJOSARI
Sjofjan, O, Yoga, K. A. K, Natsir, M. H, Nuningtyas, Y. F ................................. 282
EFEK HERBAL PROFILAKSIS TEPUNG DAUN KARET (Hevea brasiliensis)
TERHADAP LEUKOGRAM AYAM BROILER
Ricky, Sri Wigati, Pudji, Rahayu ......................................................................... 288
OPTIMASI PELARUT DAN WAKTU MASERASI EKSTRAK BUAH
MENGKUDU DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN
Azizah, Abun, Tuti Widjastuti .............................................................................. 296

v
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Reproduksi Dan Pemuliaan Ternak


KUALITAS SEMEN KAMBING KACANG DALAM PENGENCER SITRAT
YANG DISUPLEMENTASI DENGAN SUSU KACANG KEDELAI
Arjon Ratu Amah, Alexander Kaka, Yessy Tamu Ina ......................................... 303
PENGARUH LEVEL MADU SUMBA DALAM PENGENCER TRIS KUNING
TELUR TERHADAP KUALITAS SEMEN SAPI SUMBA ONGOLE
Yulius Wulang Kamataramu, Alexander Kaka, Yessy Tamu Ina ........................ 309
PENGARUH LEVEL SUSU SKIM DALAM PENGENCER TRIS TERHADAP
KUALITAS SPERMATOZOA SUMBA ONGOLE
Fiktor Ngguli Hunggu Mila, Alexander Kaka, Yessy Tamu Ina ......................... 315
EFEKTIFITAS ANDROMED DALAM PENGENCER NIRA LONTAR
SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANKAN KUALITAS SPERMATOZOA
SAPI SUMBA ONGOLE
Amos Pura Tanya, Alexander Kaka, Yessy Tamu Ina......................................... 321
KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING KACANG DALAM PENGENCER
ADROMED® YANG SUPLEMENTASI DENGAN PENGENCER EKSTRAK
DAUN KELOR YANG DISIMPAN PADA SUHU 3-5 0C
JitroUmbu Lay Rya, Alexander Kaka, DenisiusUmbu Pati ................................ 327
PENGARUH PENGENCER ANDROMED YANG DI SUPLEMENTASI
DENGAN NIRA LONTAR TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA
KAMBING KACANG
Yonatan Kambadi Nganggu, Alexander Kaka, Denisius Umbu Pati .................. 332
HUBUNGAN ANTARA UKURAN TUBUH DENGAN BOBOT KARKAS
AYAM KAMPUNG (Gallus domesticus) HASIL SELEKSI PADA GENERASI
KE-DUA
Selly Juniarti, Eko Wiyanto, Silvia Erina............................................................ 337
EVALUASI BOBOT KARKAS AYAM KAMPUNG (Gallus domesticus)
HASIL SELEKSI PADA GENERASI KEDUA (G2)
Nadya Indriyani, Eko Wiyanto, Helmi Ediyanto ................................................. 343
PENGARUH SUHU DAN LAMA WAKTU THAWING TERHADAP
KUALITAS SPERMATOZOA SEMEN BEKU SAPI BALI DAN SAPI
MADURA
Brilla Ismaya Safitri, Sri Wahjuningsih, Aulia Puspita Anugra Yekti ................ 350
PENAMBAHAN EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis) DALAM BAHAN
PENGENCER YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA
DOMBA SAPUDI PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN SELAMA LIMA
HARI
Suherni Susilowati............................................................................................... 360

vi
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI PERSILANGAN LIMOUSIN


DENGANINSEMINASI BUATAN DOBEL DOSIS PADA KARAKTER
ESTRUS YANG BERBEDA
Nurul Layla, Yadi Malda, Aulia Puspita Anugra Yekti, Asri Nurul Huda, Rizki
Prafitri, Kuswati, Kusmartono, Trinil Susilawati ............................................... 368
BOBOT BADAN DAN BOBOT KARKAS ITIK PERSILANGAN KERINCI X
PEKING
Eko Wiyanto, Silvia Erina, Sri Wigati................................................................. 375
PENGARUH SUPLEMENTASI L-ARGININ TERHADAP KUALITAS
SEMEN BEKU KAMBING
Reza Fahlevi, Sri Wahjuningsih, M. Nur Ihsan .................................................. 380
PERFORMAN PRODUKSI AYAM BANGKOK BERDASARKAN WARNA
BULU
A. P. Bunga Maharani, V. M. Ani Nurgiartiningsih, M. Halim Natsir,
Osfar Sjofjan, Y. Frita Nuningtyas...................................................................... 387
KORELASI ANTARA STATISTIK VITAL DENGAN LINGKAR SKROTUM
PADA SAPI BALI
Veronica Margareta Ani Nurgiartiningsih, Ilmi Amalia Yasin .......................... 392

Sosial, Ekonomi, dan Agribisnis Peternakan


POTENSI USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI DATARAN
RENDAH KABUPATEN MALANG
Nanang Febrianto, Rizki Prafitri, Tri Eko Susilorini ......................................... 401
STRATEGI PENGEMBANGAN LEBAH MADU (Apis mellifera) DI
KECAMATAN SKANTO, KABUPATEN KEEROM, PAPUA
Ayunitasari Rachmawati, Adi Nurbiantoro Munthe, Sri Minarti ........................ 406
ANALISIS SOSIAL EKONOMI PENGUNAAN IB DENGAN TEKNOLIGI
DOUBLE DOSIS DAN PENAMBAHAN PAKAN PADA USAHA
PEMBIAKAN SAPI PEDAGING DI DESA SENGGARENG KECAMATAN
SUMBER PUCUNG KABUPATEN MALANG
Rizki Prafitri, Renaldy Azis, Aulia Puspita Anugra Yekti, Kusmartono,
Trinil Susilawati .................................................................................................. 420
ANALISIS KEPUASAN PENGUNJUNG PADA BISNIS STABLE
BERKONSEP HORSE RIDING SCHOOL
Dina Agustin Kusumawardani, Bambang Ali Nugroho, Kuswati ....................... 433
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI PERAH DI DESA
KEMIRI KECAMATAN JABUNG
Siti Nur Aisyah, Usman Ali, Umi Kalsum ........................................................... 444

vii
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGEMBANGAN USAHA KELINCI DALAM MENDUKUNG


TERWUJUDNYA KAMPUNG KELINCI DI DESA TANJUNGSARI
KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN MAGETAN
Sri Minarti, Jamila Wijayanti, Desi Dwi Prianti, Lilik Eka Radiati,
Ria Dewi Andriani .............................................................................................. 453
ANALISIS PENDAPATAN USAHA PETERNAKAN BROILER KEMITRAAN
SEBELUM DAN SAAT ERA PANDEMI COVID-19 DI KABUPATEN
MALANG
Hari Dwi Utami, Mahfud Ramadhan .................................................................. 458
POLA PEMASARAN DIGITAL, KELINCI DAN TURUNANNYA SECARA
EFEKTIF UNTUK MEWUJUDKAN KAMPUNG KELINCI DI KABUPATEN
MAGETAN
Puji Akhiroh, Sri Minarti, Dyah Lestari Yulianti, Siti Nurul Kamaliyah,
Wike Andre Septian ............................................................................................. 470
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN KAMBING
PERANAKAN ETAWA (PE) (STUDI KASUS DI UD. MADUKARA,
BUMIAJI, KOTA BATU)
Anie Eka Kusumastuti, Deni Andrianto .............................................................. 480
STRATEGI PEMASARAN E-COMMERCE PRODUK OLAHAN DAGING
AYAM MELALUI LAYANAN GO-FOOD PADA ERA NEW NORMAL DI
MALANG RAYA
Arengga Dean Prayoga, Hari Dwi Utami .......................................................... 488

Teknologi Pengolahan dan Produk Peternakan


PENGARUH LAMA PELAYUAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING
SAPI BRAHMAN CROSS MERAH DAN DROUGHTMASTER PADA JENIS
KELAMIN DAN UMUR BERBEDA
Shintia Sukmawati Cahya Maulid, Agus Susilo, Didiek Purwanto, Kuswati ..... 495
KUALITAS FISIK CREPES BEBAS GLUTEN BERBASIS DAGING AYAM
Putery Permatasari, Agus Susilo, Khothibul Umam Al Awwaly ........................ 506
KAJIAN PANGAN TRADISIONAL ABON DAGING SAPI TERHADAP PH,
WARNA L*A*B*, ORGANOLEPTIK, WHC, DAN OHC
F.I. Nuraini, D. Rosyidi, A. Susilo ...................................................................... 512
MUTU KIMIAWI DAN ORGANOLEPTIK NAGET HATI AYAM DENGAN
SUBTITUSI DAGING AYAM
Hasna Nur Khoirunnisa, Della Eka Rahmadhani, Dedes Amertaningtyas ........ 522
KUALITAS FISIK DAN BAKTERI PADA TELUR ITIK YANG DI JUAL DI
PASAR TRADISIONAL KOTAMADYA JAMBI
Rani Malenta Br Tarigan, Afriani, Zubaidah. .................................................... 532

viii
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

DAMPAK COVID-19 TERHADAP JUMLAH PENYEMBELIHAN HEWAN


KURBAN DI KOTA BATU, JAWA TIMUR
Eko Saputro, Djalal Rosyidi, Lilik Eka Radiati, Warsito................................... 539
KUALITAS EGG TOFU KOMPOSIT DITINJAU DARI WARNA, AKTIVITAS
AIR (Aw) DAN PROFIL PROTEIN
Anik Sulistiyowati, Imam Thohari ....................................................................... 553
PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita
moschata) SEBAGAI STABILIZER PADA MAYONNAISE RENDAH LEMAK
DENGAN WAKTU PENYIMPANAN YANG BERBEDA
Hemas Azizila Nidhal, Herly Evanuarini, Imam Thohari ................................... 560
PENERAPAN PROTOKOL KESEHATAN DAN ASPEK KEHALALAN,
KESEJAHTERANAN HEWAN, HIGIENE PADA PROSES
PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN DI MASA PANDEMI COVID 19
TAHUN 2021
Agus Susilo, Wike Andre Septian, Kuswati ......................................................... 566

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA TERPENCIL DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL BALURAN, KABUPATEN SITUBONDO
Anang Lastriyanto, Dimas Firmanda Al Riza, Anggun Trisnanto Hari Susilo,
Nanang Febrianto, Mahmuddin Ridlo ................................................................ 573
PEMBUATAN KANDANG TERNAK ANTI HARIMAU UNTUK MITIGASI
KONFLIK MANUSIA DAN SATWALIAR
Moehar Maraghiy Harahap, Alfan Gunawan Ahmad, Pindi Patana, Apri Heri
Iswanto, Agus Purwoko, Mariah Ulfa, Adrian Hilman ...................................... 579
PENINGKATAN KUALITAS PUPUK ORGANIK ASAL LIMBAH TERNAK
UNTUK MEWUJUDKAN KAMPUNG KELINCI DI KABUPATEN
MAGETAN
Dyah Lestari Yulianti, Sri Minarti, Siti Nurul Kamaliyah, Wike Andre Septian,
Puji Akhiroh ........................................................................................................ 585
PELATIHAN ECO-ENZYME UNTUK ANAK PANTI ASUHAN
MUHAMMADIYAH DI KOTA MALANG
Eko Widodo dan Yuli Frita Nuningtyas............................................................... 592
PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK TERPADU DOMBA EKOR GEMUK
(DEG) DENGAN PRINSIP ECO-FARM UNTUK MEMBERDAYAKAN
KARANG TARUNA DI DESA GIRIWETAN, MAGELANG
Z. R. Fithron, A.Kafi ........................................................................................... 596

ix
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENDAMPINGAN PETERNAK SAPI POTONG DI DESA JANGGAN,


KECAMATAN PONCOL, KABUPATEN MAGETAN MELALUI
PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN
Rini Dwi Wahyuni, Herni Sudarwati, Mashudi, Asri Nurul Huda...................... 603
PENGEMBANGAN DAN INTRODUKSI TEKNOLOGI PAKAN (UMB,
PAKAN LENGKAP) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS SAPI
POTONG DI UPT PT DAN HMT TUBAN DAN DI DESA BINAAN UPT
Mashudi, Suyadi, Wike Andre Septian, Arfan Lesmana, Ahmad Furqon............ 612
PEMANFAATAN BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI PAKAN KELINCI
BERKUALITAS DALAM MENDUKUNG PROGRAM “KAMPUNG
KELINCI” DESA TANJUNGSARI, KECAMATAN PANEKAN, KABUPATEN
MAGETAN
Siti Nurul Kamaliyah, Sri Minarti, Dyah Lestari Yulianti, Puji Akhiroh,
Wike Andre Septian ............................................................................................. 621
PEMBERDAYAAN SDM PONDOK PESANTREN NASY’ATUL BAROKAH
KECAMATAN PENABER KABUPATEN GRESIK BAWEAN DALAM
PENGEMBANGAN KOMODITAS POTENSIAL
A Budiarto, G Ciptadi, Y Oktanela, S Rahayu, Adelina...................................... 630
IMPLEMENTASI KONSEP TROPICAL PERMACULTURE SEBAGAI
METODE IMPROVEMENT KELOMPOK TERNAK SAPI PERAH DI
KABUPATEN MALANG
J.A. Putritamara, A.E. Kusumastuti, M.B. Hariyono .......................................... 636
PENGOLAHAN PAKAN TERNAK DAN PEMANFAATAN FESES SEBAGAI
KOMPOS DI DESA TIMBANG LAWAN KECAMATAN BAHOROK
KABUPATEN LANGKAT
Edhy Mirwandhono, Tati Vidiana Sari, Achmad Sadeli, Pindi Patana,
Achmad Siddik Thoha, Apri Heri Iswanto, Adrian Hilman, Agus Purwoko,
Mariah Ulfa......................................................................................................... 645
APLIKASI TEKNOLOGI, GMP DAN SSOP DALAM DOSEN BERKARYA
GUNA MENCIPTAKAN WIRAUSAHA TANGGUH MENGHADAPI MASA
PANDEMIDI KABUPATEN SUMENEP
Abdul Manab, Manik Eirry Sawitri, Ria Dewi Andriani, Premy Puspita Rahayu,
Rositawati Indrati, Suprih Bambang Siswijono, Tama Mayna Kusuma Ningrum
............................................................................................................................. 652

x
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENELITIAN

1
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Manajemen Produksi Ternak


Ruminansia

2
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

TINJAUAN ASPEK KESEJAHTERAAN TERNAK SAPI DI WILAYAH


UTARA KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

Sudirman1,*, Amrullah1, Asrul Hamdani1


1
Prodi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Samawa
Jalan Semongkat KM 1, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat
*Email korespondensi: dirman.unsa@gmail.com

Abstrak
Kualitas hidup ternak akan mempengaruhi produktivitasnya, dimana produktivitas
merupakan indikator kesejahteraan ternak. Sumbawa merupakan salah satu
sumber sapi nasional di Indonesia, baik untuk ternak potong maupun ternak bibit.
Pertumbuhan populasi ternak sapi di Sumbawa sangat dinamis mulai 0,34% tahun
2017; 4,69% tahun 2018; 1,48% tahun 2019; dan 2,58% tahun 2020. Wilayah
utara merupakan wilayah dimana populasi ternak sapi yang paling dominan
dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Sumbawa. Penelitian ini
dilakukan dengan metode survey, pengumpulan data melalui wawancara
terstruktur menggunakan kuisioner, observasi lapangan dan Animal Needs Index
(ANI) dengan jumlah 12 responden. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan ternak sapi di wilayah utara Kabupaten Sumbawa. Hasil penelitian
menunjukan bahwa total skor ANI di wilayah penelitian adalah 15,37 masuk
dalam kategori belum sejahtera. Rekomendasi: 1) Perlu adanya intervensi
kebijakan pemerintah dalam rangka memastikan penerapan kesejahteraan ternak
sapi sebagai upaya untuk peningkatan produktivitas ternak secara
berkesinambungan dan aman bagi masyarakat. 2) Perlu adanya pelibatan
stakeholder terkait sebagai bentuk perwujudan kesadaran dalam rangka
peningkatan kapasitas peternak dalam penerapan aspek kesejahteraan ternak. 3)
Perlu adanya kajian lebih lanjut dan pengujian penerapan aspek kesejahteraan
ternak sebagai prinsip refinement yang nantinya dapat di adopsi dan dijadikan
pedoman dalam implementasi di tingkat peternak dengan menyesuaikan kondisi
sosial budaya masyarakat di Kabupaten Sumbawa.

Kata Kunci: kesejahteraan ternak, animal needs index

Pendahuluan
Definisi kesejahteraan hewan (animal welfare) dalam undang-undang nomor 18
tahun 2009 pasal 1 ayat (42) adalah segala urusan yang berhubungan dengan
keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang
perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap
orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Sasaran
animal welfare yaitu semua hewan yang berinteraksi dengan manusia dimana
intervensi manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup baik hewan dalam
kurungan, hewan ternak dan hewan potong, hewan pekerja dan hewan peliharaan
(Fraser, 2008). Kualitas hidup hewan atau ternak akan mempengaruhi
produktivitasnya, dimana produktivitas merupakan indikator kesejahteraan ternak.
Penerapan aspek kesejahteraan hewan atau ternak dalam industri peternakan

3
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

diakui berpotensi meningkatkan produktivitas ternak dan meningkatkan kualitas


daging (Sinclair et al. 2019).

Parameter untuk mengevaluasi kesejahteraan hewan atau ternak yang telah diakui
secara internasional dengan mengklasifikasikan adalah The Five Freedoms (OIE,
2006) sebagai berikut: 1. Freedom from Hunger and Thirst (bebas dari rasa lapar
dan haus); 2. Freedom from Discomfort (bebas dari rasa tidak nyaman); 3.
Freedom from Pain, Injury and Disease (bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit);
4. Freedom to Express Natural Behaviour (bebas mengekpresikan tingkah-laku
alami); 5. Freedom from Fear and Distress (bebas dari rasa takut dan stress).
Penerapan kesejahteraan ternak pada peternakan sapi dapat berarti menempatkan
sapi pada sarana yang memadai, perlindungan dari rasa sakit, perlindungan dari
lingkungan yang ekstrem, seperti suhu udara yang terlalu panas atau terlalu dingin
(Gardin, 2010). Pada beberapa daerah di Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat
(NTB) khususnya di Sumbawa penerapan kesejahteraan ternak nampaknya belum
menjadi prioritas. Oleh sebab itu, adanya penelitian tentang bagaimana prinsip
kesejahteraan ternak diterapkan di Sumbawa dianggap penting untuk dilakukan.

Di NTB khususnya Sumbawa merupakan salah satu sumber sapi nasional di


bagian timur Indonesia, baik sebagai penghasil ternak potong maupun ternak
bibit. Pertumbuhan populasi ternak sapi di Sumbawa sangat dinamis mulai 0,34%
tahun 2017; 4,69% tahun 2018; 1,48% tahun 2019; dan 2,58% tahun 2020
(Anonimuos, 2021). Di Sumbawa populasi ternak sapi yang paling dominan
berada di wilayah utara jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di
Sumbawa. Persoalan lain walaupun secara kuantitas populasi sapi di Sumbawa
setiap tahunnya bertambah akan tetapi bagaimana kualitas hidup sapi tersebut
yang merupakan bagian dari kesejahteraan ternak belum pernah dilaporkan.
Berdasarkan fenomena diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai informasi tingkat kesejahteraan ternak sapi di wilayah utara
Kabupaten Sumbawa.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode survei, pengumpulan data
melalui wawancara dan observasi lapangan terhadap: a) pengetahuan dan
pemahaman tentang animal welfare. b) aspek kesejahteraan ternak dan c) tinjauan
komprehensif penilaian tingkat kesejahteraan ternak. Penjelasan dari masing-
masing parameter adalah sebagai berikut:
a) Pengetahuan dan pemahaman tentang animal welfare: memiliki
pengetahuan tentang animal welfare, memahami tentang animal welfare, dan
pernah mendapatkan informasi tentang animal welfare.
b) Aspek kesejahteraan ternak:
1. Bebas dari rasa lapar dan haus: jumlah pakan sesuai kebutuhan, jumlah
air sesuai kebutuhan, jenis pakan yang diberikan, jumlah pakan yang
diberikan, cara pemberian pakan, tanda ternak tidak merasa lapar, dan
kerugian ketika ternak merasa lapar dan haus
2. Bebas dari rasa tidak nyaman: tanda ternak merasa nyaman dalam
kandang, tanda ternak tidak merasa nyaman, posisi kandang sudah cocok
untuk kenyamanan, ukuran/kapasitas/daya tampung kandang, informasi

4
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tentang cara membuat kandang yang sesuai, mendapat


informasi/penyuluhan tentang sanitasi kandang, peralatan kandang yang
cukup dan nyaman; ventilasi kandang, dan masuk cahaya matahari pagi.
3. Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit: pernah luka/sakit, konsultasi
dengan petugas kesehatan, luka/terjatuh dalam kandang, berkelahi/saling
tanduk, luka/sakit akibat peralatan, pemberian tanda cap
bakar/jare/eartag, pemisahan anak, induk dan pejantan, memisahkan
ternak yang sakit, puas dengan kondisi kandang saat ini, dan perlu
penyesuaian.
4. Bebas mengekpresikan tingkah-laku alami: ada waktu di lepas bebas,
lama waktu bebas, model pemeliharaan agar dapat bebas
mengekspresikan prilaku alami, dan perlu ternak melakukan ekpresi
prilaku alami.
5. Bebas dari rasa takut dan stress: pernah mengalami serangan/gangguan
hewan buas, mengalami stress akibat gangguan binatang buas atau
aktivitas lainnya, mengalami rasa takut hingga stress, pernah menangani
rasa takut, berapa sering mengalami rasa takut, perlindung an khusus, dan
upaya pengobatan stres.

c) Tinjauan komprehensif terhadap penilaian tingkat kesejahteraan


ternak: dari point b).

Pengambilan responden dilakukan secara purposive diawali dengan data


Kelompok Tani Ternak dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten
Sumbawa. Penentuan responden ditentukan berdasarkan informasi dan
rekomendasi dari Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan di masing-masing kecamatan tentang anggota Kelompok Tani Ternak
yang akan dijadikan responden dengan kreteria: memiliki ternak sapi minim 10
ekor; memiliki kandang permanen; serta pengalaman beternak minim 3 tahun.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di wilayah utara Kabupaten Sumbawa dengan jumlah responden
12 peternak yaitu terdistribusi di Kecamatan Moyo Utara 4 responden; Kecamatan
Moyo Hilir 2 responden; Kecamatan Unter Iwis 2 responden; Kecamatan
Sumbawa 1 responden; Kecamatan Labuhan Badas 1 responden; Kecamatan
Lopok 1 responden dan Kecamatan Lape 1 responden. Waktu pelaksanaan
penelitian berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan Oktober 2021.

Analisa Data
Data dari hasil wawancara dan pengamatan dilapangan disajikan dalam bentuk
uraian dan tabel. Data pengamatan disajikan sesuai dengan metode Animal Needs
Index (ANI). Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Khusus data
aspek kesejahteraan ternak dilakukan analisis melalui beberapa tahapan:
1. Penentuan skala penilaian komponen masing-masing aspek menggunakan
skala likert dengan kategori; 1=tidak baik, 2=kurang baik, 3=cukup baik,
4=baik dan 5=sangat baik.

5
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

2. Penentuan nilai rata-rata komponen penilaian kesejahteraan ternak dengan


cara menghitung jumlah total nilai komponen penilaian kesejahteraan ternak
dibagi dengan jumlah responden.
3. Menghitung jumlah total skor kesejahteraan ternak dengan cara menghitung
nilai rata-rata skor komponen penilaian dikalikan jumlah aspek penilaian
kesejahteraan ternak.

Rumus penentuan total skor kesejahteraan ternak/Animal Welfare (AW)

Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Kesejahteraan Ternak Sapi


Kategori Total Skor Range Score
Sangat Sejahtera 25 21-25
Sejahtera 20 16-20
Belum Sejahtera 15 11-15
Tidak Sejahtera 10 6-10
Sangat Tidak Sejahtera 5 0-5

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Peternak
Hasil analisis karakteristik peternak sapi di wilayah utara Kabupaten Sumbawa
meliputi: umur peternak; Pendidikan peternak; pengalaman beternak dan
kepemilikan ternak seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini:

Tabel 2. Karakteristik Peternak


Parameter Indikator Persentase
25-35 50,00
36-45 8,33
Umur (tahun)
46-55 33,33
56-66 8,33
Tidak tamat SD 0,00
SD 0,00
SMP 25,00
Pendidikan
SMA 58,30
Diploma 0,00
Sarjana 16,70
<5 8,30
Pengalaman Beternak 5 - 10 50,00
(tahun) 11 - 20 33,40
> 20 8,30
10-20 50,00
21-30 0,00
Kepemilikan Ternak
31-40 0,00
(ekor)
41-50 16,70
>50 33,30
Sumber: Data Primer, diolah 2021

6
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebaran umur peternak yang menjadi responden


diwilayah utara Kabupaten Sumbawa terdistribusi paling banyak di kelompok
umur 25-35 tahun sebanyak 50%, kemudian diikuti oleh kelompok umur 46-55
tahun sebanyak 33,33%, kelompok umur 36-45 tahun dan 56-66 tahun masing-
masing 8,33%. Data tersebut menunjukkan bahwa usaha ternak sapi yang berada
diwilayah utara Kabupaten Sumbawa dikelola oleh peternak yang tergolong umur
muda dan produktif. Hastian (2010) menyatakan bahwa pengelompokkan umur
adalah umur produktif antara 15-54 tahun dan umur non produktif diatas 55 tahun.
Peternak yang berumur muda mempunyai kemampuan fisik yang lebih kuat dan
waktu kerja yang lebih lama dibandingkan yang berumur lebih tua. Chamdi
(2003) menyatakan bahwa semakin muda usia peternak umumnya memiliki
keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan introduksi terhadap teknologi
lebih tinggi. Sementara Soekartawi dkk. (2011) menyatakan bahwa peternak yang
telah berumur lanjut biasanya fanatik terhadap tradisi dan sulit untuk diberikan
pengertian-pengertian yang dapat merubah cara pikir, cara kerja dan cara
hidupnya suka apatis terhadap adanya teknologi baru.

Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan peternak sapi di wilayah utara


kabupaten Sumbawa didominasi oleh tamatan SMA sebanyak 58,30%, kemudian
diikuti oleh tamatan SMP sebanyak 25,00% dan 16,70% tamatan sarjana.
Sementara tidak tamat SD, tamatan SD dan diploma tidak ada. Tingkat
pendidikan peternak secara umum cukup baik karena pendidikannya minimal
tamatan SMP. Sani (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh
terhadap perbedaan cara dan pola pikir peternak dalam mengadopsi berbagai
inovasi dan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha
ternaknya. Jika tingkat pendidikan formal peternak dianggap masih rendah dapat
diatasi melalui pendidikan non formal seperti pelatihan, kursus dan sejenisnya.
Hal ini penting karena dengan jalur pendidikan non formal yang diikuti
diharapkan secara langsung dapat memperbaiki ketrampilan dan
pengetahuannya, sehingga pada gilirannya berpotensi terhadap perbaikan usaha
dan peningkatan produktivitas ternak serta mendorong perbaikan kesejahteraan
peternak.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pengalaman beternak sapi diwilayah utara


didominasi oleh pengalaman 5-10 tahun sebanyak 50,00% dan 11-20 tahun
sebanyak 33,40%. Soeharjo dan Dahlan (1986) dalam Gazali dkk. (2015)
menyatakan bahwa pengalaman beternak <5 tahun diklasifikasikan sebagai
peternak yang belum berpengalaman; 5-10 tahun dianggap cukup
berpengalaman; dan >10 tahun telah berpengalaman dalam berusahatani ternak
dan diwilayah utara termasuk dalam klasifikasikan dengan berpengalaman. Hasil
penelitian Luanmase, dkk (2011) menyatakan bahwa pengalaman beternak
berpengaruh signifikan terhadap motivasi peternak dalam berusaha. Peternak
yang memiliki pengalaman tinggi akan semakin meningkatkan motivasi kerja,
yang pada akhirnya memperlihatkan keberhasilan dalam kegiatan usaha
peternakannya. Sementara Sutawi (2012) menyatakan bahwa jika peternak
mempunyai pengalaman yang relatif lama dalam mengelola usahanya, umumnya
akan memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang lebih baik jika
dibandingkan dengan peternak yang kurang pengalaman.

7
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2 menunjukkan bahwa kepemilikan ternak diwilayah utara didominasi


kepemilikan ternak 10-20 ekor sebanyak 50,00%, kemudian diikuti oleh
kepemilikan ternak >50 ekor sebanyak 33,30% serta kepemilikan 41-50 ekor
sebanyak 16,70%. Jika skala kepemilikan ternak potong 11-50 ekor termasuk
dalam kelompok peternakan skala menengah dengan menggunakan input
teknologi yang berorientasi produksi daging, sedangkan kepemilikan ternak >50
ekor sebanyak 33,30%, kondisi tersebut termasuk dalam skala peternakan besar,
padat modal, teknologi tinggi orientasi input-output (Darmawi, 2011).

Pengetahuan dan Pemahaman Peternak


Pemahaman dan pengetahuan peternak terhadap kesejahteraan ternak atau animal
welfare perlu diketahui sebagai aspek pendukung dalam rangka pendalaman
terhadap aspek-aspek yang menjadi parameter penentu.

Tabel 3. Pemahaman dan pengetahuan peternak tentang kesejahteraan ternak


Aspek Peternak Jumlah Rerata
a b c d e f g h i j k l
PP1 1 1 1 2 1 1 3 1 1 1 1 1 15 1,25
PP2 1 1 1 2 2 1 1 1 1 3 1 1 16 1,33
PP3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1,00
Jumlah 3 3 3 5 4 3 5 3 3 5 3 3 43 3,58
Rerata 1,00 1,00 1,00 1,67 1,33 1,00 1,67 1,00 1,00 1,67 1,00 1,00 14,33 1,19
Sumber: Data Primer, diolah 2021
PP1=tahu; PP2=paham; dan PP3=mendapatkan informasi

Tabel 3 menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman peternak (PP1) tentang


kesejahteraan ternak (animal welfare) dengan nilai rerata 1,25 (kategori tidak
tahu) hal ini disebabkan oleh faktor tidak mendapatkan informasi tentang
kesejahteraan ternak yang diterima oleh peternak baik secara mandiri maupun
melalui sosialisasi ataupun bimbingan teknis. Kondisi ini tentu akan
mempengaruhi pemahaman peternak terhadap kesejahteraan ternak itu sendiri hal
ini terbukti dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman peternak hanya
1,33 dari nilai PP2 masuk kategori tidak paham terhadap kesejateraan ternak.
Pengetahuan dan pemahaman peternak yang tidak tahu dan tidak paham sebagai
dampak tidak adanya sosialisasi ataupun informasi yang diterima oleh peternak
(nilai PP3=1,00) tentang kesejahteraan ternak. Hasil penelitian tentang tingkat
pengetahuan dan pemahaman serta mendapatkan informasi mengenai
kesejahteraan ternak sapi diwilayah utara kabupaten Sumbawa dengan nilai 1,19
dalam kategori sangat rendah

Bebas dari rasa Lapar dan Haus


Menurut American Society Prevention of Cruelty Animals (ASPCA) (2013)
menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan ternak dikatakan baik bila ternak bebas
dari rasa lapar dan haus. Aspek konsumsi menjadi perhatian dalam kesejahteraan
ternak, hal ini ditunjukkan oleh terpenuhinya konsumsi pakan dan air sehingga
ternak tidak lagi merasa lapar dan haus. Aspek bebas lapar dan haus menjadi alat
ukur utama dalam menilai tingkat kesejahteraan ternak.

8
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 4. Bebas dari rasa lapar dan haus


Peternak Jumlah Rerata
Aspek
a b c d e f g h i j k l
BLH1 4 3 3 3 3 2 4 4 2 3 2 1 34 2,83
BLH2 4 4 5 4 4 2 3 2 4 4 3 2 41 3,42
BLH3 4 2 4 3 3 1 2 3 2 2 3 2 31 2,58
BLH4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 37 3,08
BLH5 4 4 4 4 4 4 4 4 1 4 3 2 42 3,50
BLH6 4 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 3 39 3,25
BLH7 4 4 3 3 3 3 3 3 4 4 2 3 39 3,25
Jumlah 27 23 26 23 23 18 22 22 20 23 20 16 263 21,92
Rerata 3,86 3,29 3,71 3,29 3,29 2,57 3,14 3,14 2,86 3,29 2,86 2,29 37,57 3,13
Sumber: Data Primer, diolah 2021

BLH1=menyediakan/memberi pakan sesuai kebutuhan; BLH2= menyediakan/memberi air sesuai


kebutuhan; BLH3=jenis pakan yang diberikan; BLH4=jumlah pakan yang diberikan; BLH5=cara
pemberian pakan; BLH6=tanda ternak tidak merasa lapar dan haus; dan BLH7=kerugian ketika
ternak merasa lapar dan haus.

Tabel 4 menunjukan bahwa penyediaan pakan yang sesuai dengan kebutuhan


dengan nilai (BLH1=2,83) masih dalam katagori cukup baik yang walaupun ada
salah satu peternak nilai BLH1=1 artinya pemahaman dan kesadaran peternak
dalam rangka penyediaan pakan yang sesuai dengan kebutuhan memberi dampak
terhadap manajemen pemberian pakan. Penyediaan air yang cukup dengan nilai
BLH2=3,42 menunjukkan kesadaran dan pemahaman peternak akan pentingnya
konsumsi air bagi ternak serta ketergantungan ternak dengan air yang menjadi
kebutuhan pokok terlihat cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pemberian
air yang secara adlibitum pada ternak, ada juga sebagian masih memberikan air
minum pada ternak sapi rata-rata 2 kali sehari pagi dan sore. Jenis pemberian
pakan yang sesuai dengan ternak sapi dengan nilai rata-rata BLH3=2,58
menunjukkan cukup bervariasi jenisnya tergantung musim.

Pada musim penghujan peternak mengandalkan hijauan berupa rumput alam yang
beragam jenis termasuk juga jenis legume seperti lamtoro liar ataupun budidaya.
Masih terbatasnya jumlah peternak yang melakukan budidaya rumput unggul
seperti rumput gajah, rumput raja, rumput odot serta budidaya legume (lamtoro,
nila, turi) menjadi factor pembatas dalam pemberian pakan yang bervariasi.
Adanya penambahan jenis pakan berupa konsentrat (dedak, tumpi jagung)
walaupun masih sebagian kecil dari peternak menerapkan hal tersebut. Namun
pada musim kemarau peternak mengandalkan sisa hasil pertanian berupa jerami
padi, jerami jagung, tongkol jagung, klobot jagung, tumpi jagung, jerami kacang
hijau serta lamtoro yang masih bertahan pada musim kemarau. Jumlah pemberian
pakan yang sesuai pada ternak sapi cukup baik dengan nilai rata-rata BLH4=3,08
artinya peternak memiliki kemampuan yang cukup dalam memahami kebutuhan
pakan ternak sapi. Adanya kemampuan peternak dalam menilai tanda-tanda
kecukupan pakan dengan cara melihat tanda ternak sudah merasa kenyang, ternak
tidak mau makan lagi dan didasarkan pada pengalaman beternak secara turun
temurun.

Selain itu adanya pemahaman peternak melalui sosialisasi atau pelatihan teknis
tentang kecukupan pakan ternak memberikan konstribusi terhadap nilai BLH4
yang cukup baik. Cara pemberian pakan kategori baik dengan nilai rata-rata

9
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

BLH5=3,50 menunjukan bahwa kesadaran peternak akan keteraturan dalam pola


pemberian pakan sudah dilakukan dengan baik. Pemberian pakan yang teratur
dengan rata-rata frekuensi pemberian pakan 2-3 kali sehari yaitu pagi, siang dan
sore sudah menjadi kebiasaan dan budaya beternak masyarakat Sumbawa.
Sehingga kepastian ternak merasa kenyang menjadi target dalam manajemen
pemberian pakan, hal ini terlihat dari nilai kemampuan peternak dalam mengenal
tanda-tanda ternak merasa lapar dan haus cukup baik dengan nilai rata-rata
BLH6=3,25 dengan kategori cukup baik.

Pemahaman tentang rasa haus dan lapar seperti perut bagian kiri ternak
mengempes, ternak akan agresif saat ada orang di kandang, ternak gelisah,
bersuara, tidak mau diam serta selalu mengais atau menjilat tempat pakan.
Kemampuan memahami tanda ternak merasa lapar dan haus merupakan
keunggulan yang dimiliki oleh peternak di Kabupaten Sumbawa sebagai bentuk
riil dari proses evaluasi dalam manajemen pemberian pakan. Kesadaran peternak
tentang pentingnya ternak bebas dari rasa lapar dan haus dapat dibuktikan dengan
melihat kemampuan peternak dalam menilai dampak atau kerugian yang
ditimbulkannya. Nilai rata-rata kerugian ketika ternak merasa lapar dan haus
(BLH7=3.25) cukup baik artinya peternak mampu menilai dan memastikan
konsekuensi apa yang akan terjadi.

Berbagai kerugian yang akan ditimbulkan berupa ternak akan mengalami


penurunan berat badan dan mudah terkena penyakit sehingg mengalami kerugian
dalam usahanya, selain itu membutuhkan waktu yang lama dalam pemeliharaan.
Menurut Sinclair et.al (2019) bahwa melalui pengurangan biaya pengobatan dan
perawatan dari penyakit serta penurunan angka kematian dan juga peningkatan
kesehatan akan mengurangi kerugian ekonomi. Berdasakan aspek-aspek penilaian
di atas maka secara umum manajemen pemberian pakan dan minum di wilayah
utara kabupaten Sumbawa dengan nilai rerata 3,13 masih dengan kategori cukup
baik pada aspek bebas lapar dan haus. Menurut ASPCA (2013) bahwa jadwal
pemberian pakan untuk ternak sapi yang dikandangkan ditentukan oleh peternak
dan Jadwal pemberian pakan sebanyak 4 kali sehari dikategorikan sangat baik.

Bebas dari rasa tidak nyaman


Berdasarkan hasil penelitian (tabel 5) aspek bebas dari rasa tidak nyaman
menunjukkan bahwa pengetahuan peternak mengenal tanda-tanda ternak merasa
nyaman dalam kandang terlihat dari nilai rerata BTN1=3,00 dengan kategori
cukup baik.

10
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 5. Bebas dari rasa tidak nyaman


Peternak
Aspek Jumlah Rerata
a b c d e f g h i j k l
BTN1 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 2 1 36 3,00
BTN2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 37 3,08
BTN3 4 4 4 4 3 4 3 3 3 4 3 3 42 3,50
BTN4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 37 3,08
BTN5 2 5 2 4 1 1 1 1 1 1 3 1 23 1,92
BTN6 4 1 1 1 1 1 1 1 4 1 1 1 18 1,50
BTN7 4 2 4 4 3 3 3 4 3 3 3 1 37 3,08
BTN8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1,00
BTN9 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 45 3,75
Jumlah 28 26 25 27 22 23 22 23 26 24 24 17 287 23,92
2,7 3,0 2,4 2,5 2,4 2,5 2,8 2,6
Rerata 3,11 2,89 8 0 4 6 4 6 9 7 2,67 1,89 31,89 2,66
Sumber: Data Primer, diolah 2021
BTN1=tanda ternak merasa nyaman dalam kandang; BTN2=tanda ternak tidak merasa nyaman;
BTN3=posisi kandang sudah cocok untuk kenyamanan; BTN4=ukuran/kapasitas/daya tampung
kandang; BTN5=informasi tentang cara membuat kandang yang sesuai; BTN6=mendapat
informasi/penyuluhan tentang sanitasi kandang; BTN7= peralatan kandang yang cukup dan
nyaman; BTN8= ventilasi kandang; dan BTN9=masuk cahaya matahari pagi.

Beberapa tanda-tanda ternak merasa nyaman dalam kendang berdasarkan


pemahaman peternak seperti ternak tidak gelisah, pernapasan normal tidak
terengah-engah, ternak tidak berontak, ternak cenderung diam tidak berontak
ingin keluar serta tenang dalam kandang dengan tidur dengan nyaman dalam
kandang. Selain itu peternak juga memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda
ternak merasa tidak nyaman dalam kandang cukup baik, hal ini terlihat dari nilai
rerata BTN2=3,08 dengan kategori cukup baik. Beberapa tanda-tanda ternak
merasa tidak nyaman dalam kandang seperti ternak sapi merasa gelisah, napas
terengah-engah, ternak tidak mau tenang, berontak mencari cara untuk keluar dan
konsumsi pakan rendah serta tingkat konsumsi air tinggi.

Posisi dan letak kandang yang baik menjadi hal paling mempengaruhi
kenyamanan ternak dalam kandang. Pengetahuan peternak bahwa arah kandang
harus mendapat cahaya sinar matahari pagi sehingga arah kandang sebagian besar
menghadap timur. Hal tersebut terlihat dari nilai rerata BTN3=3,50 masuk dalam
kategori baik, artinya peternak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik
dalam membangun kandang. Kenyamanan ternak dalam kandang juga dapat
dipengaruhi oleh kepadatan ternak dalam kandang hal ini dapat dilihat dari nilai
rerata BTN4=3.08 dengan kategori cukup baik. Pengetahuan dan pemahaman
peternak tentang daya tampung ternak cukup baik hal ini terlihat bahwa
perencanaan pembangunan kandang disesuaikan dengan jumlah ternak sapi yang
akan di pelihara. Rerata daya tampung ternak saat ini adalah 3 m2/ekor.

Adanya keterbatasan informasi tentang cara membuat kandang ternak yang sesuai
masih kurang, hal ini terlihat dari nilai rerata BTN5=1,92 dalam kategori kurang.
Kurangnya informasi tentang membangun kandang yang baik dan memenuhi
syarat dalam kenyamanan ternak masih kurang baik dalam bentuk sosialisasi
maupun penyuluhan hanya mengandalkan pengalaman serta pengetahuan turun
temurun dari orang tua. Pemahaman tentang kandang untuk ternak sapi adalah
untuk membatasi ruang gerak agar penimbunan daging dan lemak cepat terjadi
serta pertambahan bobot hewan ternak lebih cepat (Susilawati et al., 2003).

11
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kebersihan kandang juga menjadi penting untuk menjaga kenyamanan ternak.


Pengetahuan peternak cara sanitasi yang baik masih kurang, hal ini terlihat dari
nilai BTN6=1,50 dalam kategori kurang baik. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
sosialisasi dan penyuluhan sehingga peternak banyak mengabaikan cara sanitasi
kandang yang baik hanya mengandalkan pengalaman. Selain itu penyediaan
peralatan pendukung juga perlu memperhatikan kenyamanan ternak artinya
peternak memiliki pengetahuan yang cukup akan penyediaan peralatan kandang
yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam kandang dan tidak membahayakan
ternak. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai BTN7=3.08 dalam kategori cukup
baik. Dengan mengandalkan pengalaman dan peralatan manual yang sederhana
penyediaan peralatan yang digunakan dalam kandang namun tidak
membahayakan bagi ternak.

Pemahaman peternak tentang ventilasi tidak diperlukan hal ini terlihat dari nilai
rerata BTN8=1,00 dalam kategori tidak diperlukan hal ini disebabkan karena
sistem kandang yang terbuka bisa menjamin sirkulasi udara dalam kandang
sehingga tidak memerlukan ventilasi khusus. Pengetahuan dan pemahaman
peternak tentang posisi bangunan kandang yang baik dapat masuk sinar matahari
pagi terlihat dari nilai rerata BTN9=3,75 dengan kategori baik. Pentingnya
matahari pagi masuk dalam kandang dalam rangka untuk menjaga kesehatan
ternak. Berdasarkan komponen-komponen diatas maka aspek bebas dari rasa
panas dan merasa nyaman ternak cukup baik hal ini terlihat dari nilai rata-rata
BRP=2.66 dengan kategori cukup nyaman. Menurut Nurhayati et. al, (2017)
menyatakan bahwa bentuk kandang yang cukup terbuka memiliki sirkulasi udara
di kandang cukup baik sehingga menjadikan ternak menjadi nyaman serta cahaya
matahari cukup menyinari kandang. Kondisi ini menurut Zakaria (2012)
menjadikan tempat berbaring selalu dalam kondisi kering.

Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit


Hasil penelitian (tabel 6) menunjukkan bahwa ternak pernah mengalami sakit/luka
dengan nilai BSLP1=3,50 kategori pernah. Adanya kejadian ternak mengalami
luka atau terluka sebagai akibat dari proses tranportasi, saat keluar dari kandang
tergores dengan pagar sementara ternak mengalami sakit terjadi pada saat musim
penghujan/pancaroba berupa kudis, bali zekte, pink eye serta cacingan.

Tindakan yang dilakukan oleh sebagian besar peternak dengan melakukan


konsultasi dengan petugas kesehatan ternak pernah dilakukan hal ini terlihat dari
nilai BSLP2=3,25 dengan kategori pernah melakukan. Hal ini dilakukan sebagai
sebuah bentuk kesadaran peternak untuk melindungi dan menjaga kesehatan
ternak dari penyakit. Menurut Nurhayati et. al (2017) menyatakan bahwa
kesehatan sapi perlu diperhatikan saat beternak sapi, karena untuk mendapatkan
kualitas daging yang baik sapipun harus sehat. Keberhasilan suatu usaha
peternakan sapi sangat ditentukan oleh kesehatan ternak itu sendiri (Pribadi,
2011). Tindakan perlindungan dan pengobatan karena masih rendahnya
pengetahuan dan keterampilan peternak dalam hal pengobatan serta kesehatan
ternak, namun upaya lain yang dilakukan dengan pengetahuan lokal menggunakan
ramuan secara turun-temurun. Faktor lain yang berpeluang menyebabkan ternak
mengalami luka/terluka/terjatuh dalam kandang kadang-kadang terjadi, hal ini

12
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

terlihat dari nilai rerata BSLP3=4,50 kategori kadang-kadang. Tingginya nilai


BSLP3 juga disebabkan oleh kondisi lantai kandang yang kurang miring dan
terjatuh pada saat lantai basah dan licin. Menurut Bartussek et.al (2000) bahwa
lantai ini sangat penting untuk memberikan pegangan (cengkraman) yang baik
untuk mencegah ternak tergelincir atau jatuh. Faktor lain juga ternak yang kaget
atau saat ternak sapi yang baru dan belum jinak masuk kandang.

Tabel 6. Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit


Peternak Jumlah Rerata
Aspek
a b c d e f g h i j k l
BSLP1 2 3 4 4 4 4 4 4 2 3 4 4 42 3,50
BSLP2 2 2 4 1 4 4 4 4 4 4 3 3 39 3,25
BSLP3 4 5 4 5 5 3 4 5 4 5 5 5 54 4,50
BSLP4 5 5 5 4 5 5 5 3 4 3 5 4 53 4,42
BSLP5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 60 5,00
BSLP6 5 5 3 3 3 2 2 4 3 5 3 5 43 3,58
BSLP7 4 2 4 1 3 4 4 4 1 2 2 1 32 2,67
BSLP8 5 4 5 2 4 4 4 4 4 4 1 2 43 3,58
BSLP9 3 4 4 4 4 2 3 3 2 2 2 1 34 2,83
BSLP10 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 49 4,08
Jumlah 40 39 42 33 41 37 39 40 33 37 34 34 449 37,42
4,2 3,3 4,1 3,7 3,9 4,0 3,3 3,7 3,4 3,4
Rerata 4,00 3,90 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 44,90 3,74
Sumber: Data primer, diolah 2021
BSLP1=pernah luka/sakit; BSLP2=konsultasi dengan petugas kesehatan; BSLP3=luka/terjatuh
dalam kandang; BSLP4=berkelahi/saling tanduk; BSLP5=luka/sakit akibat peralatan;
BSLP6=pemberian tanda cap bakar; BSLP7=pemisahan anak, induk dan pejantan;
BSLP8=memisahkan ternak yang sakit; BSLP9=puas dengan kondisi kandang saat ini; dan
BSLP10=perlu penyesuaian

Kejadian ternak saling tanduk kadang-kadang terjadi dan mengalami luka hal ini
dapat dilihat dengan nilai BSLP4=4,42 dengan kategori kadang-kadang. Artinya
peluang terjadinya saling tanduk frekuensi rendah hal ini disebabkan oleh selain
ternak diikat dalam kandang adanya sekat pembatas antar ternak termasuk sekat
pada kepala untuk mencegah terjadinya saling tanduk antar ternak. Peluang
kejadian ternak terluka juga dapat terjadi akibat peralatan yang kurang aman pada
saat sanitasi kandang. Pemahaman dan keterampilan peternak sangat berperan, hal
ini dapat dilihat dengan nilai BSLP5=5,00 dengan kategori tidak pernah terjadi
karena peralatan yang digunakan tidak terbuat dari bahan berbaya berupa besi atau
alat dalam bentuk yang tajam, rata-rata peternak menggunakan bahan berupa
kayu, plastic ataupun karet sehingga kemungkinan ternak mengalami luka dapat
dihindari.

Kesadaran peternak dalam pemeliharaan dan perawatan ternak sapi sangat baik
hal ini terlihat dengan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan ternak
mengalami luka atau sakit dengan tidak lagi memberikan tanda berupa cap bakar
dalam rangka menghindari ternak mengalami stress akibat kegiatan/manajemen
yang merugikan. Hal ini terlihat dengan nilai rata-rata BSLP6=3,58 kategori
kadang-kadang. Kondisi ini terjadi dengan alasan bahwa adanya penandaan
berupa cap bakar merupakan tanda yang diberikan oleh pemilik sebelumnya.
Selain itu pemberian tanda tidak lagi diperlukan karena ternak tidak lagi
bercambur dengan ternak orang lain. Alasan lain peternak adalah permintaan
konsumen yang lebih suka dengan ternak tidak memiliki tanda seperti untuk
ternak qurban serta alasan nilai ekonomi bahwa ternak yang tidak memiliki cacat

13
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

seperti bekas tanda cap bakar lebih tinggi. Upaya menghindari ternak mengalami
luka akibat kontak fisik baik berupa saling tanduk maka perlu adanya pemisahan
ternak jantan dengan betina induk ataupun dengan anak. Hal ini dapat dilihat
dengan nilai rata-rata BSLP7=2,67 kategori pernah.

Pengetahuan dan pemahaman serta pengalaman peternak sudah baik dalam upaya
menghidari terjadinya kontak fisik yang menyebabkan ternak mengalami luka
dalam kandang. Selain itu pemisahan ternak pejantan, induk dan anak juga
bertujuan dalam rangka pengendalian penyakit. Hal ini terlihat dengan nilai rata-
rata BSLP8=3,58 kategori pernah, artinya ketika ada kejadian ternak mengalami
sakit maka harus dipisahkan dari kelompoknya untuk mempermudah penanganan
dan pengobatan. Selain itu untuk menghindari terjadinya penularan penyakit yang
dapat merugikan secara ekonomi. Keterbatasan peternak dengan manajemen
kandang masih terbatas hal ini terlihat dengan nilai BSLP9=2,83 kategori cukup
puas. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya peralatan kandang yang masih
manual dan tradisional serta terbatasnya bentuk dan kontruksi akibat terbatasnya
pembiayaan kandang yang masih dibatasi. Adanya tambahan informasi melalui
media sosial serta pemahaman manajemen perkandangan yang sesuai dan baik
menimbulkan keinginan untuk peningkatan kualitas fasilitas kandang, hal ini
dapat dilihat dari nilai rata-rata BSLP10=4,08 kategori perlu adanya penyesuaian
dan peningkatan kualitas fasilitas kandang dalam rangka peningkatan kualitas
manajemen pemeliharaan. Berdasarkan keseluruhan komponen aspek penilaian
terhadap bebas dari sakit, luka dan penyakit dengan nilai BSLP=3.74 kategori
baik.

Bebas mengekpresikan tingkah-laku alami


Menurut Bartussek et.al (2000) menyatakan bahwa penting untuk menilai peluang
hewan untuk bergerak dan mengekspresikan prilaku alaminya sesuai dengan
kebutuhan perilakunya. Berdasarkan hasil penelitian (tabel 7) dibawah adanya
waktu ternak dilepas di luar kandang dapat dilihat bahwa nilai rerata
BMTLA1=2,58 kategori pernah/ada waktu. Pengetahuan peternak tentang
pentingnya ternak dilepas sewaktu-waktu dalam rangka untuk mengekspresikan
prilaku alami atau normal sudah dilakukan dengan menyediakan waktu untuk hal
tersebut. Selain tersedianya waktu untuk melakukan excersice/gerak badan dan
mengekspresikan prilaku alami durasi waktu secara teratur menjadi penting hal ini
dapat dilihat dengan nilai rata-rata BMTLA2=2,92 kategori seminggu sekali.
Durasi 1 hari full dalam seminggu sekali atau setara dengan 51 hari dalam setahun
telah dilakukan oleh peternak secara teratur. Pola excersice yang dilakukan oleh
peternak adalah dengan cara ternak diajak jalan di luar kandang. Hal ini dapat
dilihat dengan nilai rata-rata BMTLA3=3,25 kategori di ajak jalan-jalan di luar
kandang untuk usaha penggemukan. Pentingnya ternak mengekspresikan prilaku
alami atau prilaku normal dapat dilihat dengan nilai rata-rata BMTLA4=4,17
kategori perlu. Perlu ternak mengekspresikan prilaku normalnya agar ternak bisa
bergerak bebas, otot tidak kaku sehingga ternak tidak mudah keram dan
mengalami cidera otot. Berdasarkan seluruh komponen aspek bebas
mengekspresikan tingkah-laku-alami dengan nilai rata-rata BMTLA=3.23
kategori cukup baik.

14
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 7. Bebas mengekspresikan tingkah-laku alami


Aspek Peternak Jumlah Rerata
a b c d e f g h i j k l
BMTLA1 3 3 2 3 2 1 4 3 1 3 3 3 31 2,58
BMTLA2 2 2 2 5 2 1 2 3 1 5 5 5 35 2,92
BMTLA3 5 2 2 5 2 1 2 2 5 4 4 5 39 3,25
BMTLA4 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 50 4,17
Jumlah 15 12 10 17 10 7 12 12 11 16 16 17 155 12,92
2,5 4,2 2,5 1,7 3,0 3,0 2,7 4,0 4,2
Rerata 3,75 3,00 0 5 0 5 0 0 5 4,00 0 5 38,75 3,23
Sumber: Data primer, diolah 2021
BMTLA1=ada waktu di lepas bebas; BMTLA2=lama waktu bebas; BMTLA3=model
pemeliharaan agar dapat bebas mengekspresikan prilaku normal; dan BMTLA4=perlukan ternak
melakukan ekpresi prilaku alami/normal.

Bebas dari rasa takut dan stress


Bartussek (2000) menyatakan bahwa peternak harus memenuhi
tanggungjawabnya untuk menyediakan lingkungan kandang yang dikelola dengan
baik untuk mencegah stress pada hewan. Hasil penelitian (tabel 8) menunjukkan
nilai rata-rata BTS1=4,75 kategori pernah ternak sapi mengalami rasa takut dan
stress dari gangguan hewan buas. Adanya perlindungan berupa penjagaan atau
control yang selalu dilakukan oleh peternak. Posisi kandang yang dekat dengan
jalan raya dan jauh dari hutan dapat mengurangi peluang gangguan oleh binatang
buas namun ada beberapa kasus pada peternak berupa gangguan anjing pada saat
ternak sapi partus. Selain binatang buas aktivitas sosial lainnya juga dapat
memberi pengaruh berupa rasa takut dan stress pada ternak sapi. Hal ini dapat
dilihat dengan nilai rata-rata BRT2=4,75 kategori pernah hal ini disebabkan
karena letak kandang sebagian besar peternak jauh dari pemukiman penduduk
sehingga aktivitas sosial manusia tidak mempengaruhi ternak sapi.

Tabel 8. Bebas dari rasa takut dan stress


Aspek Peternak Jumlah Rerata
a b c d e f g h i j k l
BTS1 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 4 57 4,75
BTS2 5 5 5 4 5 4 4 5 5 5 5 5 57 4,75
BTS3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1,00
BTS4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1,00
BTS5 5 5 5 4 5 4 4 5 5 5 5 5 57 4,75
BTS6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1,00
BTS7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1,.00
Jumlah 19 19 19 17 19 17 17 19 18 19 18 18 219 18,25
2,7 2,7 2,7 2,4 2,7 2,4 2,4 2,7 2,5
Rerata 1 1 1 3 1 3 3 1 7 2,71 2,57 2,57 31,29 2,61
Sumber: Data primer, diolah 2021
BTS1=pernah mengalami serangan/gangguan hewan buas; BTS2=mengalami stress akibat
gangguan binatang buas atau aktivitas lainnya; BTS3=mengalami rasa takut hingga stress;
BTS4=pernah menangani rasa takut; BTS5=berapa sering mengalami rasa takut;
BTS6=perlindungan khusus; dan BTS7=upaya pengobatan stres

Selain itu pemantauan dan control keamanan yang rutin setiap saat begitu inten
sehingga peluang gangguan luar sangat minim. Hal ini berdampak pada rendahnya
penanganan ternak yang mengalami stress hal ini terlihat dengan nilai BTS3=1,00
kategori tidak pernah. Rendahnya kasus yang dialami oleh peternak akibat
gangguan binatang buas atau aktivitas manusia walaupun ada maka langsung akan
ditangani sehingga ternak tidak mengalami stress dalam waktu lama serta tidak
mengalami kerugian secara ekonomi. Rendahnya upaya peternak untuk

15
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mengurangi stress pada ternak sapi dapat dilihat dengan rendahnya nilai rata-rata
BTS4=1,00 kategori tidak pernah. Rendahnya upaya penanganan akibat adanya
upaya preventif atau pencegahan dengan menjaga keamanan ternak secara
intensif. Hal ini terbukti dengan tingginya nila rata-rata BTS5=4,75 kategori
pernah mengalami rasa takut sehingga ternak sapi mengalami stress. Tidak adanya
perlindungan khusus dalam upaya mengurangi rasa takut ternak sehingga
mencegah terjadinya stress dapat dilihat dengan rendahnya nilai BTS6=1,00
kategori tidak ada. Tidak adanya kasus yang dialami oleh peternak menyebabkan
tidak adanya pengobatan yang dilakukan oleh peternak hal ini terlihat dengan nilai
rata-rata BTS7=1,00 kategori tidak ada. Berdasarkan seluruh komponen aspek
bebas dari rasa takut dan stress dengan nilai rata-rata BTS=2.61 kategori cukup
baik.

Tinjauan Komprehensip
Berdasarkan hasil analisis (tabel 9) untuk kelima aspek kesejahteraan ternak sapi
di wilayah utara Kabupaten Sumbawa dengan total rerata skor 15,37 dengan
kategori belum sejahtera. Belum sejahteranya ternak sapi disebabkan oleh tingkat
pengetahuan dan pemahaman peternak yang masih kurang sebagai dampak tidak
adanya sosialisasi ataupun informasi yang diterima oleh peternak tentang
kesejahteraan ternak atau animal welfare, hanya mengandalkan pengalaman turun
temurun dalam sistem pemeliharaan ternak sapi.

Tabel 9. Penilaian Tingkat Kesejahteraan Ternak


Aspek Peternak
Jumlah Rerata
ANI a b C d e f G h i j k l
BLH 3.86 3.29 3.71 3.29 3.29 2.57 3.14 3.14 2.86 3.29 2.86 2.29 37.59 3.13
BRP 3.11 2.89 2.78 3.00 2.44 2.56 2.44 2.56 2.89 2.67 2.67 1.89 31.90 2.66
BRSP 4.00 3.90 4.20 3.30 4.10 3.70 3.90 4.00 3.30 3.70 3.40 3.40 44.90 3.74
BMPN 3.75 3.00 2.50 4.25 2.50 1.75 3.00 3.00 2.75 4.00 4.00 4.25 38.75 3.23
BRT 2.71 2.71 2.71 2.43 2.71 2.43 2.43 2.71 2.57 2.71 2.57 2.57 31.26 2.61
Jumlah 17.43 15.79 15.90 16.27 15.04 13.01 14.91 15.41 14.37 16.37 15.50 14.40 184.40 15.37
Sumber: Data Primer, diolah 2021
BLH= Bebas dari rasa Lapar dan Haus; BTN= Bebas dari rasa Tidak Nyaman; BSLP= Bebas dari
Sakit, Luka, dan Penyakit; BMTLA=Bebas Mengekspresikan Tingkah-Laku Alami; BTS= Bebas
dari rasa Takut dan Stress.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa nilai tingkat
kesejahteraan ternak sapi berada diantara 13,01 sampai dengan 17,43. Sedangkan
nilai rata-rata tingkat kesejahteraan ternak sapi di wilayah utara kabupaten
Sumbawa adalah 15,37 masuk dalam kategori belum sejahtera.

Rekomendasi
Berdasakan kesimpulan diatas maka beberapa rekomendasi dari hasil penelitian
ini adalah:
1) Perlu adanya intervensi kebijakan pemerintah dalam rangka memastikan
penerapan kesejahteraan ternak sapi sebagai upaya untuk peningkatan
produktivitas ternak secara berkesinambungan dan aman bagi masyarakat.

16
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

2) Perlu adanya pelibatan stakeholder terkait sebagai bentuk perwujudan


kesadaran dalam rangka peningkatan kapasitas peternak dalam penerapan
aspek kesejahteraan ternak.
3) Perlu adanya kajian lebih lanjut dan pengujian penerapan aspek kesejahteraan
ternak sebagai prinsip refinement yang nantinya dapat di adopsi dan dijadikan
pedoman dalam implementasi di tingkat peternak dengan menyesuaikan
kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten Sumbawa.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa melalui Kerjasama
antara Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Samawa dengan Badan
Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda)
Kabupaten Sumbawa Tahun 2021.

Daftar Pustaka
American Society Prevention of Cruelty to Animals (ASPCA). 2013. Nutrition
Tips for Kittens. http://www.aspca.org/petcare/catcare/nutrition-tips-adult-
cat.aspx.
Anonimous (2021). Kabupaten Sumbawa Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Sumbawa. ISSN 0215-5834. Hal.322.
Bartussek H, LEEB, Chr. HELD S. 2000, Animal Needs Index for Catle-ANI35L
/2000 catle. BAL Gupenstein, Irdning.
Chamdi, A.N. 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Ternak Kambing di
Kecamatan Kredenan Kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. Puslitbang Peternakan
Departemen Pertanian. Bogor.
Darmawi, D. 2011. Pendapatan usaha pemeliharaan sapi bali di Kabupaten Muaro
Jambi.Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. Vol. 15 (1): 14–22.
Fraser D. 2008. Understanding Animal Welfare. The Science in its Cultural
Context. Wiley-Blackwell: USA
Gardin. 2010. Kesejahteraan hewan. http://duniasapi.com/kesejahteraan-hewan-
sapi.
Gazali., Naflu.L. dan Sani, L.A. 2015. Kontribusi Usaha Ternak Sapi Bali
Terhadap Total Pendapatan Keluarga Peternak di Kecamatan Poleang Selatan
Kabupaten Bombana. Jitro. Vol. 1. No. 4.h.68-87.
Hastian. 2010. Analisis efesiensi pengolahan dan pemasaran hasil usaha tani
kelapa di Kabupaten Bombana. Majalah Ilmiah Agriplus. Vol. 20 (1).
Luanmase, C.M., Sudi Nurtini, dan F. Trisakti Haryadi. 2011. Analisis Motivasi
Beternak Sapi Potong Bagi Peternak Lokal dan Transmigran serta Pengaruhnya
terhadap Pendapatan di Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Buletin Peternakan 35(2): 113-123.
Nurhayati, Hidayati NA, dan Afriansyah B. 2017. Kajian Kesejahteraan Sapi Pada
Beberapa Peternakan di Kota Pangkalpinang. Universitas Bangka Belitung :
https://journal.ubb.ac.id/index.php/ekotonia/issue/view/80.
Office International des Epizootics [OIE]. 2006. Terrestrial Animal Health Code.
http://www.oie.int [diakses 20 Agustus 2021].
Pribadi ES. 2011. Manajemen Kesehatan Ternak. Peternakan Indonesia Vol.71.

17
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Sani, L.A. 2011. Produktivitas Tenaga kerja Keluarga Transmigrasi dan local
pada Pemeliharaan Sapi Potong di Kabupaten Konawe Selatan. Agriplus. Vol.
21. No.2.h.101-110Sani, L.A. 2011. Produktivitas Tenaga kerja Keluarga
Transmigrasi dan local pada Pemeliharaan Sapi Potong di Kabupaten Konawe
Selatan. Agriplus. Vol. 21. No.2.h.101-110
Soekartawi, Soeharjo, A,. Dillon, JL., dan Hardaker, J.B. 2011. Ilmu Usaha Tani
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta.
Sinclair M, Friyer C, Phillips CJC. 2019. The benefits of improving animal
welfare from the perspective of livestock stakeholders across Asia. Animals.
9:123.
Susilawati E, Syafrial Z, Yusri A, 2003. Sistem Usahatani Penggemukan Sapi
Potong. Laporan Hasil Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jambi.
Sutawi, 2012. Analisis Biaya Sumberdaya Domestik Kemitraan Ayam Pedaging
Dalam Usaha Pengembangan Agribisnis Perunggasan. Disertasi. Program
Doktor Ilmu Ternak, Minat Agribisnis Peternakan, Program Pascasarjana,
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
Undang-Undang No. 18. Tahun 2009. Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Zakaria M A, 2012. Manajemen Pemeliharaan Ternak di PT. Adi Farm dan PT.
Lembah hijau multifarm. Artikel. Fakultas peternakan, Universitas Gadjah
Mada

18
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PRODUKSI KOLOSTRUM SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN


HOLSTEIN PADA PUTING YANG BERBEDA

Zahwa Fajriyyah Eka Putri1,*, Puguh Surjowardojo2

1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: zahwafajriyyahekaputri@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui jumlah produksi
kolostrum pada letak puting yang berbeda pada sapi perah PFH. Penelitian ini
dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus – 24 Oktober 2021 pada peternakan rakyat
di KPSP Setia Kawan Nongkojajar, Pasuruan. Metode yang digunakan adalah
studi kasus dengan melakukan pengamatan dan pengumpulan data secara
purposive sampling. Materi yang digunakan adalah 40 ekor sapi perah PFH
pascapartus pada periode laktasi yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rataan produksi kolostrum pada puting depan sebesar 2,36 ± 0,97
kg/ekor/hari dan produksi kolostrum pada puting belakang sebesar 2,61 ± 1,04
kg/ekor/hari. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa produksi
kolostrum pada puting depan dan belakang berbeda sangat nyata (p < 0.01).

Kata Kunci : kolostrum, sapi perah PFH, puting, KPSP Setia Kawan

Pendahuluan
Sapi perah merupakan salah satu komoditi ternak yang menghasilkan susu. Salah
satu jenis sapi perah yang dikembangkan di Indonesia adalah sapi perah PFH.
Sapi perah PFH yang saat ini dikembangkan di Indonesia mewarisi beberapa sifat
unggul seperti badan yang cukup tinggi, beradaptasi baik dengan lingkungan
tropis serta memiliki produksi susu yang tinggi walau tidak setinggi sapi FH
murni. Menurut Surjowardojo, dkk. (2019) pada tahun 1955 terdapat 200.000 ekor
sapi perah FH yang disilangkan dengan sapi lokal, sehingga dihasilkan sapi PFH
yang memiliki daya tahan serta dapat beradaptasi dengan lebih baik.

Kolostrum merupakan hasil sekresi dari kelenjar ambing ternak mamalia yang
dihasilkan paling lama 96 jam setelah melahirkan (Antartika dkk., 2014). Thapa
(2015) menyatakan bahwa Kolostrum mengandung karbohidrat berupa laktosa,
protein, lemak, vitamin dan mineral. Selain itu kolostrum juga mengandung
immunoglobulin yang berfungsi sebagai anti bodi pada pedet. Kolostrum
terbentuk pada minggu ke 3-4 sebelum sapi partus dan disimpan selama 2-7 hari
sebelum induk sapi PFH partus pada kelenjar ambing, kolostrum mulai
disekresikan sekitar 2-3 hari pertama setelah induk sapi PFH partus.

Ambing merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi jumlah


produksi kolostrum. Menurut Pribadiningtyas, Suprayogi, dan Sambodo (2012)
jumlah dan aktivitas sel sekretori selama laktasi dipengaruhi oleh pertumbuhan
dan perkembangan kelenjar ambing. Solechah, Harjanti, dan Hartanto (2019)

19
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menyatakan bahwa panjang, lebar dan kedalaman ambing merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi produksi susu sapi karena di dalam ambing terdapat sel
sekretori yang menjadi tempat terjadinya biosintesis susu. Penelitian ini memiliki
tujuan untuk mengetahui jumlah produksi kolostrum pada letak puting yang
berbeda.

Metode Penelitian
Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu pada 24 Agustus 2021 hingga 24
Oktober 2021 di peternakan rakyat yang berada pada kawasan Koperasi
Peternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan Nongkojajar, Kecamatan Tutur,
Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur,

Materi penelitian
Materi penelitian ini adalah kolostrum yang berasal dari 40 ekor sapi perah PFH
pascapartus pada periode laktasi yang berbeda. Alat dan bahan yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri atas kolostrum, timbangan gantung, dan ember.

Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan
melakukan pengamatan dan pengumpulan data lapang pada peternakan rakyat di
KPSP Setia Kawan Nongkojajar. Pemilihan sampel sapi perah PFH dilakukan
secara purposive sampling.

Variabel penelitian
1. Produksi kolostrum pada puting depan
2. Produksi kolostrum pada puting belakang

Anaisis Data
Data untuk variabel produksi kolostrum dianalisis menggunakan uji t
berpasangan. Data produksi kolostrum diperoleh dari jumlah, rata-rata dan
standart deviasi menggunakan MS. Excel.

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisa rataan produksi kolostrum pada sapi perah PFH pada puting yang
berbeda ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Produksi kolostrum berdasarkan letak puting


Variabel Rataan
Produksi kolostrum puting depan (kg) 2,36 ± 0,97
Produksi kolostrum puting belakang (kg) 2,61 ± 1,04

Tabel 1. menunjukkan bahwa rataan produksi kolostrum puting depan pada sapi
perah PFH yang diteliti sebesar 2,36 ± 0,97 kg/ekor/hari dan produksi kolostrum
puting belakang sebesar 2,61 ± 1,04 kg/ekor/hari. Hasil analisa menunjukkan
bahwa produksi kolostrum pada puting depan dan puting belakang berbeda sangat
nyata (p < 0,01). Hal ini sesuai dengan pendapat Surjowardojo, dkk. (2019)

20
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ambing pada bagian belakang memiliki volume yang lebih besar dari bagian
depan dan mensekresikan rata-rata 60% jumlah susu yang diproduksi setiap hari.

Ako (2015) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi produksi
kolostrum adalah ambing. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan
Pribadiningtyas, Suprayogi, dan Sambodo (2012) bahwa jumlah dan aktivitas sel
sekretori selama laktasi dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan
kelenjar ambing. Semakin banyak sel sekretori yang terdapat pada ambing maka
semakin banyak pula kolostrum yang dihasilkan.

Kesimpulan
Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah produksi kolostrum pada sapi
perah PFH, dimana puting belakang memiliki produksi kolostrum yang lebih
banyak dari puting depan.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kami ucapkan kepada:
1. Dekan dan jajaran Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya atas
dukunganya dalam publikasi ilmiah hasil penelitian.
2. Ir.H. Sulistyanto, MM., selaku Ketua 1 KPSP Setia Kawan,
Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan.

Daftar Pustaka
Ako, A, 2015. Ilmu Ternak Perah Daerah Tropis. Bogor : IPB Pess.
Antartika, B., Surjowardojo, P. dan Sarwiyono., 2014. Pengaruh Body Condition
Score Sapi Perah Friesian Holstein Bunting Tua Terhadap Jumlah Dan Kadar
Protein Kolostrum (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya), 1-5.
Pribadiningtyas, P.A., Suprayogi, T.H., dan Sambodo, P., 2012. Hubungan Antara
Bobot Badan, Volume Ambing Terhadap Produksi Susu Kambing Perah
Laktasi Peranakan Ettawa. Animal Agricultural Journal. 1(1), 99-105.
Solechah, D.W., Harjanti, D.W., dan Hartanto, R., 2019. Hubungan antara
Morfologi Ambing, Produksi Susu dan Komponen Susu pada Sapi Friesian
Holstein. Jurnal Agripet. 19(2), 91-98.
Surjowardojo, P., Ridhowi, A., Irdaf, dan Saputra, F.T., 2019. Mastitis Pada Sapi
Perah. Malang : UB Press.
Thapa, B.R., 2005. Therapeutic potentials of bovine colostrums. Ind J Pediatr. 72,
849‐852.

21
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KARAKTERISASI REPRODUKSI DAN MANAJEMEN PERKAWINAN


SAPI PERANAKAN ONGOLE SEBAGAI SUMBER GENETIK
PETERNAKAN SAPI POTONG DI SULAWESI UTARA

Umar Paputungan1,*, Manopo Jouke Hendrik1, Wapsiaty Utiah1


1
Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado, 95115
*
Email: umarpaputungan@unsrat.ac.id

Abstrak
Performans reproduksi terpenting dalam pengambangan peternakan sapi adalah
Service per Conception (S/C), Conception Rate (CR), Days Open (DO), Calving
Interval (CI) dan Indeks Fertilitas (IF). Penelitian ini bertujuan memahami
karakterisasi reproduksi sapi Peranakan Ongole (PO) terhadap variabel-variabel
tersebut menunjang inovasi Triple Helix pengembangan sapi potong di Sulawesi
Utara. Penelitian ini melibatkan 300 ekor induk sapi PO produktif. Sampel induk
sapi PO diambil secara proporsional ditiap Kabupaten dengan rumus: Ni =
(Nkab/N) x 300; dimana, Ni = Jumlah sampel induk sapi PO di kabupaten ke-i;
Nkab = Jumlah ternak dari tiap Kabupaten; N = Total Ternak pada semua
Kabupaten khusus wilayah Bolmong Raya. Análisis varian melalui uji t dipakai
membandingkan perbedaan karakter reproduksi induk sapi antar dua Kabupaten.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk sapi PO memiliki karakter reproduksi
yang semakin baik di wilayah Bolmong Raya, yaitu service per conception (S/C)
berkisar 1,19 – 1,54 dan conception rate (CR) berkisar 78,01 - 86,35%.
Manajemen perkawinan induk sapi oleh peternak berkaitan CI berkisar 12,90
sampai 18,31 bulan dan DO berkisar 3,0 sampai 9,01 bulan, dengan nilai IF
hanya mencapai kisaran 51,31 - 72,26 yang tergolong sedang/medium, sehingga
manajemen perkawinan sapi PO oleh peternak setempat masih memiliki periode
waktu mengawinkan ternak yang masih sangat lambat setelah induk partus dan
berakibat efisiensi reproduksi ternak menurun. Kondisi manajemen perkawinan
oleh peternak ini masih memerlukan upaya peningkatan percepatan mengawinkan
induk-induk estrus setelah partus yang ditunjang oleh 93% peternak mengetahui
gejala estrus induk sapi mereka guna peningkatan efisiensi reproduksi ubtuk
inovasi pengembangan peternakan sapi potong di Sulawesi Utara.

Kata Kunci: Sapi PO, reproduksi, manajemen perkawinan.

Pendahuluan
Konsep gagasan utama Triple Helix adalah sinergitas kekuatan antara akademisi,
bisnis, dan pemerintah. Kalangan akademisi dengan sumber daya, ilmu
pengetahuan, dan teknologinya memfokuskan diri untuk menghasilkan berbagai
temuan dan inovasi yang aplikatif. Kalangan bisnis melakukan kapitalisasi yang
memberikan keuntungan ekonomi dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sedangkan
pemerintah menjamin dan menjaga stabilitas hubungan keduanya dengan regulasi
kondusif (Bappenas, 2020). Dalam perkembangannya, model Triple Helix
melakukan inovasi perekonomian dalam negeri agar pemerintah tidak lagi lambat
dalam mengelola sumber daya yang ada dan berharap para investor tertarik

22
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dengan Indonesia terutama sumberdaya alam lokal, karena investor cenderung


tidak mau mengambil resiko.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menghasilkan produktivitas


sapi di dalam negeri. Berbagai macam bangsa sapi potong telah di impor baik
berupa ternak hidup maupun dalam bentuk semen beku untuk inseminasi buatan
(IB), yang bertujuan meningkatkan mutu genetik sapi potong Indonesia
(Susilawati dan Affandy, 2011; Hendrik. and Paputungan. 2016). Inseminasi
buatan merupakan program yang telah dikenal oleh peternak sebagai teknologi
reproduksi ternak yang efektif karena dapat menghasilkan ternak dengan kualitas
baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul
(Zulkharnaim, et.al. 2010; Isnaini, et.al. 2019). Program IB masih banyak
masalah pada ternak seperti Days Open dan Calving Interval yang panjang karena
lamanya penyapihan anak, terjadi distokia karena IB dilakukan pada induk sapi
dengan bentuk tubuh yang kecil, sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian
(Paputungan, et.al. 2016). Keberhasilan usaha perkembangbiakan ternak sangat
terkait dengan performans reproduksi dan tingkat mortalitas induk dan anak
(Ihsan dan Wahjuningsih, 2011; Chawala, et.al. 2017). Faktor performans
reproduksi yang penting antara lain adalah Service per Conception (S/C),
Conception Rate (CR), Days Open (DO), Calving Interval (CI) dan Indeks
Fertilitas (IF) (Ihsan dan Wahjuningsih, 2011).

Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah untuk pengembangan kawasan


peternakan sapi potong di kawasan Timur Indonesia melalui inovasi Triple Helix
dengan Nota Kesepahaman antara Kementan RI, Kementerian PPN/Bappenas RI,
Pemda Sulut dan Perguruan Tinggi (Unsrat & Central Queensland University).
Sulawesi Utara memiliki luas wilayah 1,4 juta ha dengan lahan pertanian 164,70
ha yang berpotensi menjadi sumber hijauan pakan ternak (Bappenas, 2020).
Berdasarkan populasi sapi Peranakan Ongole (PO) milik rakyat yang eksis
tertinggi di Sulawesi Utara saat ini berada di 8 Kabupaten, termasuk Minahasa
(20.761 ekor), Bolaang Mongondow (3.658 ekor), Minahasa Selatan (15.173
ekor), Bolaang Mongondow Utara (3.429 ekor), Minahasa Utara (14.376 ekor),
Bolaang Mongondow Selatan (2.516 ekor), Bolaang Mongondow Timur (4.115
ekor) dan Minahasa Tenggara (4.154 ekor) (BPS Sulut 2019). Penelitian ini
bertujuan melakukan karakterisasi profil tampilan reproduksi induk sapi
Peranakan Ongole (PO) terhadap variabel Service per Conception (S/C),
Conception Rate (CR), Days Open (DO), Calving Interval (CI) dan Indeks
Fertilitas (IF) di empat Kabupaten Bolaang Mongondow Raya (BMR), meliputi
Kabupaten Bolmong, Kabupaten Bolmut, Kabupaten Bolsel, dan Kabupaten
Boltim menunjang inovasi model Triple Helix pengembangan peternakan sapi
potong di Sulawesi Utara.

Metode
Ternak Penelitian
Penelitian dilaksanakan di satu Kecamatan mewakili setiap Kabupaten di wilayah
Bolaang Mongondow Raya (Bolmong, Bolmut, Bolsel, Boltim) Propinsi Sulawesi
Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2021 sampai September 2021.
Ternak yang dipakai adalah induk sapi Peranakan Ongole (PO) produktif di

23
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Bolaang Mongondow Raya (BMR). Semua ternak betina yang digunakan adalah
induk sehat dan masih produktif dalam kelompok umur sudah dewasa kelamin
yang sudah siap kawin (1,5 tahun) sampai induk masih produktif anak (umur lebih
tujuh tahun).

Parameter reproduksi yang diukur dalam penelitian ini meliputi: 1) Service per
conception (S/C) merupakan jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh
seekor betina sampai terjadi kebuntingan (Suprayitno, dkk. 2018; Hafez, 2000).
Variabel S/C merupakan suatu rasio keberhasilan perkawinan hingga bunting
dengan rumus:

2) Conception Rate (CR) adalah besarnya persentase angka ternak betina yang
bunting pada saat pelayanan IB pertama atau perkawianan pertama dari sejumlah
ternak yang dikawinkan (Nuryadi dan Wahjuningsih, 2011). Perhitungan nilai CR
yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
.

3) Calving Interval dihitung dari catatan waktu beranak ke beranak berikutnya


(Suprayitno, dkk. 2018), dengan satuan yang digunakan adalah bulan. Calving
Interval (Petersenn and Schulte, 2018.) adalah jangka waktu (hari atau bulan)
antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya: CI (hari atau bulan) = [{(UIS –
(UIP-1)}/(Jumlah Anak – 1)], dimana UIS = Umur induk saat pengamatan dan
UIP-1 = Umur induk saat partus pertama.

4) Days open (DO), yakni jarak waktu antara sapi beranak sampai dengan
perkawinan yang menghasilkan kebuntingan (Thundathil et.al. 2016). Rata-rata
Days Opened (DO) atau jarak waktu (hari atau bulan) antara kondisi betina
setelah beranak hingga bunting kembali (Ihsan, 2010; Hariadi dkk. 2011) dapat
dihitung melalui rumus: DO = CI – Lama kebuntingan induk sapi (285 hari atau
9,3 bulan).

5) Indeks fertilitas (IF), yakni ratio antara Conception Rate (CR) dengan Service
per conception (S/C) (Ihsan, 2010). Indeks fertilitas (IF) dapat dihitung melalui
rumus: - (DO – 125 hari) atau - (DO – 4,11 bulan); dimana

DO = Day open hasil observasi; 125 hari = periode waktu DO maksimal untuk
induk sapi potong yang efisien.

Sampel Penelitian
Metode penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)
berdasarkan pertimbangan waktu dan kemampuan serta jangkauan peneliti
(Notohadiprawiro, 2006). Jumlah sampel yang diambil dipilih 300 ekor induk sapi

24
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Peranakan Ongole (PO) di 4 kabupaten dalam wilayah Bolaang Mongondow Raya


(BMR). Pengambilan sampel bagi masing-masing kabupaten dilaksanakan secara
proporsional (Mardikanto, 2001) dengan menggunakan rumus: Ni = (NKab/N) x
300; Dimana: Ni: Jumlah sampel yang diambil pada kecamatan dalam kabupaten
ke-i; Nkab: Jumlah ternak dari masing-masing Kabupaten; N: Ternak seluruhnya
dari semua Kabupaten di wilayah BMR. Berdasarkan populasi sapi PO di wilayah
BMR dan rumus di atas, maka Kab. Bolmong digunakan induk sapi PO berjumlah
80 ekor dengan sampel Kecamatan Dumoga, Kab. Bolsel berjumlah 55 ekor sapi
PO dengan sampel Kecamatan Pinolosian, Kab. Bolmut berjumlah 75 ekor sapi
PO dengan sampel Kecamatan Sangkub, dan Kab. Boltim berjumlah 90 ekor sapi
PO dengan sampel Kecamatan Nuangan.

Analisis Data
Data primer ditabulasikan berdasarkan rumusan parameter reproduksi dengan
menggunakan formulasi yang dilaporkan Paputungan et al. (2018). Penghitungan
rata-rata dan simpangan baku parameter reproduksi yang diamati dilaqkukan
sesuai formulasi (Byrkit, 1987; Singarimbun dan Effendi, 1989). Performan
reproduksi induk sapi PO antar kabupaten satu dengan kabupaten lain di wilayah
BMR dilakukan melalui análisis varian dan uji t atau t test (Byrkit, 1987) dengan
Prosedur Analisis Data Program Excel 2007.

Hasil dan Pembahasan


Keadaan Umum Wilayah Peternakan Sapi Peranakan Ongole
Wilayah Bolaang Mongondow Raya (BMR) terbagi atas lima kabupaten dan satu
kota, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow induk (Bolmong), Kabupaten
Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan
(Bolsel), Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Kota Kotamobagu
(KK). Sapi peranakan Ongole (PO) merupakan satu diantara beberapa bangsa sapi
lokal yang dipelihara masyarakat di wilayah BMR dengan sistem pemeliharaan
yang sebagian menerapkan sistem tradisional. Letak kandang ternak pada lokasi
penelitian ini sangat berdekatan dengan tempat tinggal peternak yaitu di belakang
atau di samping rumah. Jumlah kepemilikan sapi bevariasi, rata-rata 1-5 ekor per
peternak. Pakan yang diberikan terdiri dari hijauan yang meliputi rumput lapang,
dan hanya sesekali diberikan dedak tapi tidak secara kontinyu. Rata-rata peternak
memberikan hijauan hanya pada siang hari dengan melepaskan sapi-sapi ke
padang rumput, namun ada juga beberapa peternak yang memberikan hijauan di
kandang. Karakteristik pendidikan responden pada penelitian ini ditampilkan pada
Tabel 1.

25
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Gambaran Umum Peternak Responden Di Wilayah Bolaang


Mongondow Raya (n=275)
Kabupaten/Kecamatan Tingkat Pendidikan
SD SLTP SLTA P. Jumlah Persentase
Tinggi
Bolmomg (Dumoga) 39 27 11 3 80 27
Bolsel (Pinolosian) 26 17 12 0 55 18
Bolmut (Sangkub) 34 21 13 7 75 25
Boltim (Modayag) 39 29 14 8 90 30
Total 138 94 50 18 300 100
Persentase 46 31 17 6 100

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar reponden memiliki tingkat


pendidikan formal terakhir setingkat SD yaitu sebesar 138 orang (46%) , dimana
tingkat pendidikan SD ini merupakan tingkat pendidikan yang paling rendah, dan
responden yang lulus dari perguruan tinggi hanya terdiri dari 18 orang (6%).
Tingkat pendidikan yang rendah dari segi ilmu pengetahuan serta miskinnya
pengalaman menyebabkan tidak efisiensinya kinerja reproduksi dalam usaha
peternakan (Paputungan and Makarechian, 2000). Jika pekerjaan utama responden
sebagai peternak menunjukkan lebih banyaknya waktu yang dimanfaatkan untuk
memelihara ternaknya, maka pekerjaan utama responden berkaitan dengan
besarnya curahan waktu kerja dalam usaha ternak. Bila responden memilih untuk
lebih banyak mencurahkan waktu kerjanya di luar usaha ternak, maka waktu yang
dicurahkan untuk usaha ternaknya menjadi berkurang.Tinggi rendahnya alokasi
waktu pada usaha ternak dapat mempengaruhi managemen usaha ternak tersebut
terutama dalam mengawinkan ternak di saat ternak menunjukkan gejala estrus.
Dalam penelitian ini jumlah sebanyak 181 orang atau 60,33% adalah peternak.

Peternak yang memahami tanda-tanda berahi pada ternak sapi sangat penting,
karena awal dari keberhasilan kebuntingan dimulai dari pemahaman tanda-tanda
berahi yang diikuti dengan tanda-tanda berahi yang nyata pada induk sapi yang
dimilikinya dan selanjutkan dikawinkan. Peningkatan efisiensi reproduksi dapat
dilakukan dengan manajemen keseluruhan, termasuk pencatatan perkawinan,
deteksi birahi yang tepat, perbaikan kualitas dan kuantitas pakan, menjaga
kesehatan dan kebersihan kandang (Herdis et al., 1999; Bhakat, et.al. 2011).
Tingkat pemahaman peternak terhadap tanda-tanda birahi dapat dilihat pada Tabel
2. Tabel 2 menunjukkan bahwa sekitar 93% peternak mengerti tanda-tanda berahi,
6% sedikit mengerti, dan hanya 1% tidak mengerti.

26
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Tingkat Pemahaman Peternak Terhadap Tanda-Tanda Birahi pada Sapi


PO di Wilayah Bolaang Mongondow Raya
Kabupaten/Kecamatan Pemahaman Terhadap Birahi Ternak
Mengerti Sedikit mengerti Tidak mengerti
Bolmomg (Dumoga) 72 7 1
Bolsel (Pinolosian) 51 3 1
Bolmut (Sangkub) 72 2 1
Boltim (Modayag) 84 6 0
Total 279 18 3
Persentase 93 6 1

Peternak yang digolongkan kategori mengerti tanda-tanda berahi pada ternak sapi
PO adalah peternak yang dapat menyampaikan tanda-tanda birahi secara lengkap
atau hampir lengkap seperti vulva membengkak, selaput lendir bewarna merah,
dan keluar lendir transparan. Sistem perkawinan yang diterapkan pada sapi PO di
wilayah Bolaang Mongondow Raya masih bervariasi, dari 300 sampel ternak
hanya sebanyak 159 ternak (53%) masih dikawinkan secara alam, sementara 141
ternak (47%) dikawinkan secara Inseminasi Buatan (IB). Pejantan yang digunakan
untuk perkawinan secara alami kebanyakan pejantan milik sendiri, namun ada
pula peternak meminjam pejantan dari orang lain. Alasan peternak tidak memiliki
pejantan karena pengeluaran biaya untuk pakan pejantan tergolong tinggi. Alasan
lain, pengalaman peternak memilih perkawinan dengan alam karena lebih mudah
terjadi kebuntingan dibanding dengan kawin IB.

Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan Ongole di Wilayah Bolaang Mongondow


Raya
Rata-rata umur pubertas pada sapi PO betina di wilayah BMR dapat dilihat pada
Tabel 3. Berdasarkan proporsi umur pubertas ternak pada Tabel 3 terlihat bahwa
umur pubertas sapi PO di wilayah BMR dicapai pada umur ≤ 1 tahun sebanyak 12
ekor (4%), 1-2 tahun sebanyak 192 ekor (70%) dan ≥ 2 tahun sebanyak 71 ekor
(26%). Rata-rata umur pubertas pada sapi PO di wilayah BMR sudah termasuk
dalam kategori baik, bahwa umur pubertas sapi potong betina adalah 18 bulan
(Isnaini, et.al. 2019).

Tabel 3. Rata-Rata Umur Pubertas pada Sapi PO Betina di Wilayah Bolaang


Mongondow Raya
Kabupaten/Kecamatan Umur Pubertas Ternak
≤ 1 tahun 1-2 tahun ≥2 tahun
Bolmomg (Dumoga) 3 59 18
Bolsel (Pinolosian) 0 39 16
Bolmut (Sangkub) 5 46 24
Boltim (Modayag) 4 66 20
Total 12 210 78
Persentase 4 70 26

27
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Service per Conception


Service per Conception (S/C) adalah jumlah perkawinan sampai terjadi
kebuntingan. Rata-rata nilai service per conception pada sapi PO di wilayah BMR
dapat dilihat pada Tabel 4. Rataan nilai S/C sapi PO betina di wilayah BMR
adalah berkisar dari 1,19 ± 0,48 sampai dengan 1,54 ± 0,43. Nilai S/C tersebut
merupakan nilai yang baik karena berada di bawah normal. Menurut Suprayitno,
dkk. (2018) nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0; dimana semakin
rendah nilai S/C, maka semakin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina dalam
kelompok tersebut, sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendah nilai
kesuburan kelompok betina tersebut. Jumlah perkawinan sampai terjadinya
kebuntingan dari hasil penelitian ini sudah baik, karena peternak di wilayah BMR
93% sudah mengerti tanda-tanda birahi pada induk ternak sapi. Selain mengerti
tanda-tanda birahi, faktor pendukung lainnya termasuk keterampilan inseminator
dalam melaksanakan IB dapat menaikkan angkas S.C dan juga karena inseminator
yang bertugas di lokasi penelitian ini memiliki Sertifikat Inseminasi Buatan dan
memiliki keahlian pemeriksan kebuntingan (PKB) sehingga kegagalan diusia dini
dapat diketahui. Angka S/C ternak sapi PO di wilayah BMR yang sudah lebih
baik secara signifikan adalah di kabupaten Bolmong dan Boltim dibandingkan
dengan angka S/C induk sapi yang ada di kabupaten Bolsel dan dan kabupaten
Bolmut (Tabel 4). Semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi nilai
fertilitasnya, sebaliknya semakin tinggi nilai S/C akan semakin rendah tingkat
fertilitasnya (Astuti, 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan nilai S/C yang baik,
karena nilai S/C yang normal adalah 1,6 sampai 2,0 (Afandhy, dkk. 2009).
Apabila S/C rendah, maka nilai kesuburan sapi betina semakin tinggi dan apabila
nilai S/C tinggi, maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi-sapi tersebut.

Conception Rate (CR)


Parameter Conception Rate (CR) sapi Peranakan Ongole di wilayah BMR dapat
dilihat pada Tabel 4. Angka CR pada ternak sapi yang dikawinkan dengan
Inseminasi Buatan dapat mencapai 65% (Nuryadi dan Wahjuningsih, 2011).

Tabel 4. Rata-Rata Tampilan Reproduksi Sapi PO Di Wilayah Bolaang Mongondow Raya


Kabupaten Tampilan Reproduksi Induk Sapi Lokal Betina
(Kecamatan) S/C CR (%) CI (Bulan) DO (Bulan) IF
Bolmomg 1,19 ± 0,48 a 84,67 ± 15,73 a 12,90 ± 0,13 a 3,00 ± 0,13 a 72,26 ± 36,75 a
(Dumoga) (n = 80) (n = 80) (n = 80) (n = 80) (n = 80)
Bolsel 1,44 ± 0,46 b 78,01 ± 21,84 b 14,53 ± 1,41 b 4,54 ± 1,21 b 53,74 ± 34,58 c
(Pinolosian) (n = 55) (n = 55) (n = 55) (n = 55) (n = 55)
Bolmut 1,54 ± 0,43 b 72,67 ± 21,67 b 13,22 ± 1,96 a 3,23 ± 0,41 a 51,31 ± 36,69 c
(Sangkub) (n = 75) (n = 75) (n = 75) (n = 75) (n = 75)
a a c c
Boltim 1,23 ± 0,57 86,35 ± 13,05 18,31 ± 3,04 9,01 ± 3,01 65,30 ± 21,79 b
(Modayag) (n = 90) (n = 90) (n = 90) (n = 90) (n = 90)
S/C = Service per conception; CR = Conception rate; CI = Calving interval; DO = Day opened; IF
= Indeks fertilitas.
a,b,c,d) Huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05)

Nutrisi pakan yang diterima ternak sapi sebelum dan sesudah beranak juga
berpengaruh terhadap CR , sebab kekurangan nutrisi sebelum melahirkan dapat

28
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menyebabkan tertundanya estrus. Angka CR (84.67 – 86,35%) sapi PO di


Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Boltim dalam wilayah BMR lebih tinggi jika
dibandingkan dengan CR sapi 80% (Thundathil, at.al., 2016), sedangkan pada
sapi PO di Kabupaten Bolmut dan Kabupaten Bolsel memiliki CR 72,67% dan
78,01%. Dilihat dari angka CR, maka sapi PO di Kabupaten Bolmong dan
Kabupaten Boltim memiliki angka CR lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan sapi PO Kabupaten Bolmut dan Kabupaten Bolsel.

Calving Interval (CI)


Calving Interval (CI) ditentukan oleh lama kebuntingan dan lama waktu kosong
(Day opened). Data CI ditampilkan pada Tabel 4. Berdasarkan Uji-t tidak
berpasangan memperlihatkan bahwa rata-rata CI sapi Peranakan Ongole lebih
panjang secara nyata (P<0,01) di Kabupaten Boltim dibandingkan dengan sapi
Peranakan Ongole di tiga Kabupaten Bolmong, Kabupaten Bolmut dan Kabupaten
Bolsel. Demikian pula rata-rata CI sapi PO di Kabupaten Bolsel lebih panjang
secara nyata (P<0,01) dibandingkan dengan angka CI sapiPO di Kabupaten
Bolmong dan Kabupaten Bolmut, sedangkan angka CI sapi PO di Kabupaten
Bolmong berbeda tidak nyata dengan angka CI sapi PO di Kabupaten Bolmut.
Nilai CI pada penelitian ini belum ideal, menurut pendapat Ihsan dan
Wahjuningsih (2011) bahwa jarak waktu beranak CI yang ideal adalah 12 bulan,
yaitu 9 bulan buntingdan 3 bulan menyusui. Hal ini ditambahkan oleh Ball and
Peters (2014) bahwa efisiensi reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi
dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun.

Days Open (DO)


Days Open (DO) sapi Peranakan Ongole ditampilkan pada Tabel 4. Berdasarkan
Uji-t tidak berpasangan memperlihatkan bahwa rata-rata DO sapi Peranakan
Ongole lebih panjang secara nyata (P<0,01) di Kabupaten Boltim dibandingkan
dengan sapi Peranakan Ongole di tiga Kabupaten Bolmong, Kabupaten Bolmut
dan Kabupaten Bolsel. Demikian pula rata-rata DO sapi PO di Kabupaten Bolsel
lebih panjang secara nyata (P<0,01) dibandingkan dengan angka DO sapi PO di
Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolmut, sedangkan angka DO sapi PO di
Kabupaten Bolmong berbeda tidak nyata dengan angka DO sapi PO di Kabupaten
Bolmut. Rata-rata DO di Kecamatan Palang cukup panjang, menurut Rianto dan
Sularno (2005), jarak bunting kembali untuk meningkatkan efisiensi reproduksi
harus 80-85 hari atau 2,60-2,80 bulan setelah partus.

Indeks Fertilitas (IF)


Indeks Fertilitas (IF) ternak sapi PO di wilayah BMR ditampilkan pada Tabel 4.
Berdasarkan Uji-t tidak berpasangan memperlihatkan bahwa IF sapi Peranakan
Ongole menunjukkan perbedaan secara nyata (P<0.05) pada empat kabupaten di
wilayah BMR. Angka IF sapi PO di Kabupaten Bolmong lebih baik fertilitas
dibandingkan ketiga kabupaten lainnya. Demikian pula angka IF sapi PO di
Kabupaten Boltim masih lebih baik dibandingkan dua Kabupaten Bolsel dan
Kabupaten Bolmut. Namun angka IF sapi PO di Kabupaten Bolsel masih lebih
tinggi dibandingakn angka IF sapi di kabupaten Bolmut. Ihsan (2010) menyatakan
bahwa hasil IF >80% dapat dokategorikan baik; 50%-80% dikategorikan sedang
dan <50% termasuk kategori kurang baik. Dengan demikian angka IF ternak sapi

29
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

di wilayah BMR semuanya termasuk dalam ketegori sedang. Berdasarkan


formulasi, maka IF sangat ditentukan oleh tingginya angka conception rate (CR),
rendahnya service per conception (S/C) dan pendeknya periode day open (DO).

Nilai IF yang rendah selain mengurangi efisiensi reproduksi, juga dapat


menyebabkan berkurangnya pendapatan peternak dan bertambahnya biaya
pemeliharaan, karena pada populasi dengan tingkat fertilitas yang rendah masa
pemeliharaan dapat lebih panjang akibat panjangnya jarak beranak karena kawin
berulang (Udeh et.al. 2011; Riyanto, dkk. 2015). Fertilitas induk sapi dapat dilihat
dari adanya kebuntingan, kondisi saluran reproduksi, pakan yang diberikan,
perubahan kondisi tubuh dari kelahiran sampai perkawinan kembali, umur dan
bangsa ternak.

Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa induk sapi PO mempunyai tampilan
karakter reproduksi yang semakin baik di wilayah BMR, yaitu service per
conception (S/C) sapi PO berkisar 1,19 – 1,54 dan conception rate (CR) sapi
berkisar 78,01 - 86,35%. Parameter manajemen reproduksi oleh peternak
berkaitan dengan calving interval (CI) adalah berkisar 12,90 sampai 18,31 bulan
dan parameter day opened (DO) berkisar 3,0 sampai 9,01 bulan, dengan nilai
indeks fertilitas (IF) hanya mencapai kisaran 51,31 - 72,26 yang masih termasuk
dalam kategori sedang atau medium. Dengan demikian, manajemen perkawinan
ternak sapi PO oleh peternak setempat ini tergolong dalam periode waktu yang
masih sangat lambat mengawinkan ternak setelah induk partus, berakibat efisiensi
reproduksi ternak tergolong menurun. Kondisi manajemen perkawinan tersebut
oleh para peternak masih memerlukan upaya peningkatan melalui percepatan
mengawinkan induk-induk estrus setelah selesai partus yang ditunjang oleh
adanya lebih 93% peternak mengetahui tentang gejala estrus induk sapi milik
mereka.

Ucapan Terima Kasih


Dukungan biaya dana pada hasil penelitian ini dari Universitas Sam Ratulangi
melalui skim program penelitian Riset Terapan Unggulan Universitas (RTUU)
sangat dihargai dengan penuh ucapan terima kasih.

Daftar Pustaka
Affandhy, L., D. Pamungkas dan D.Ratnawati. 2009. Pengaruh umur penyapihan
terhadap reproduksi induk sapi dan pertumbuhan pedet pada peternakan lahan
kering. Loka Penelitian Sapi Potong. 12 (2) : 11-24.
Astuti, M. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan
Ongole (PO). Wartazoa. Vol. 1:3-11.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI. 2020. Pengembangan Peternakan
Sapi Potong Malalui Model Triple Helix Di Provinsi Sulawesi Utara. Seminar
Kerjasama Bappenas RI, Universitas Sam Ratulangi dan Central Queensland
University, Australia. November 2020, Unsrat Manado.
Ball, P.J.H. and Peters, A.R. 2014. Reproduction in Cattle. Third Edition.
Blackwell Publishing. Victoria. Australia.

30
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Bhakat, M., T.K. Mohanty, V.S. Raina, A.K. Gupta, H.M. Khan, R.K. Mahapatra
and M. Sarkar. 2011. Effect of age and season on semen quality parameters in
Sahiwal bulls. Tropical Animal Health and Production, 43(6): 1161-1168.
BPS Sulut 2019. Laporan Tahunan Tahun 2020. Badan Pusat Statistik Sulawesi
Utara. Manado.
Byrkit, D.R. 1987. Statistics Today: A Comprehensive Introduction. The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. 2727 Sand Hill Road Menlo
Park, California, 94025, USA.
Chawala, A.R., G. Banos, D.M. Komwihangilo, A. Peters and M.G.G. Chagunda.
2017. Phenotypic and genetic parameters for selected production and
reproduction traits of Mpwapwa cattle in low-input production systems. South
African Journal of Animal Science, Volume 47, Number 3: 307-319.
Hariadi, M., S. Hardjopranjoto, Wurlina, H.A. Hermadi, B. Utomo,
Rimayanti.,I.N. Triana dan H. Ratnani. 2011. Ilmu Kemajiran pada Ternak.
Cetakan 1. Airlangga University Press. Surabaya.
Hendrik, J.M. and U. Paputungan. 2016. Evaluation of parental dam birth weights
associated with weights and calving ease of female progeny of the Indonesian-
grade cattle. Livestock Research for Rural Development. Volume 28 (6): #100.
Herdis, M., Surachman., Kusuma, I., dan Suhana, E., 1999. Peningkatan Efisiensi
Reproduksi Sapi Melalui Penerapan Teknologi Penyerentakan Birahi.
Wartazoa. Vol. 9 (1): 1-6.
Ihsan, M. N. 2010. Indeks Fertilitas Sapi PO dan Persilangan Dengan Limousin.
Jurnal Ternak Tropika. Vol. 11, (2): 82-87.
Ihsan, M. N. dan Wahjuningsih, S. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Potong Di
Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ternak Tropika. Vol.12, (2): 76-80.
Isnaini, N., S. Wahjuningsih and E. Adhitama. 2019. Seasonal effects on semen
quality of Ongole crossbred and Simmental bulls used for artificial
insemination. Livestock Research for Rural Development. Volume 31 (2):# 16.
Mardikanto. 2001. Dasar-Dasar Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Universitas
Sebelas Maret Press, Surakarta.
Notohadiprawiro, T. 2006. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi,
Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.
Nuryadi, dan Wahjuningsih, S. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan
Ongole dan Peranakan Limousin Di Kabupaten Malang. Jurnal Tropika. Vol.
12, (1): 76-81.
Paputungan, .U, M.J. Hendrik and W. Utiah. 2018. Predicting live weight of
Indonesian Local-Bali cattle using body volume formula. Livestock Research
for Rural Development. Volume 30 (8): #144.
Paputungan, U. and M. Makarechian. 2000. The influence of dam weight, body
condition and udder scores on calf birth weight and preweaning growth rates in
beef cattle. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 2000. Vol. 13, No. 4: 435-439.
Paputungan, U., J.H. Manopo and Utiah W. 2018. Evaluation of parental dam
birth weights associated with live weights and calving ease of female progeny
of Indonesian-grade cattle. Livestock Research for Rural Development,
Volume 30, Number 8: Paper Content # 144..
Paputungan, U., L. Hakim, G. Ciptadi and H.F.N. Lapian. 2016. Evaluation of
growth hormone genotypes associated with live weight of progeny generation

31
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

(G1) derived from parental generation (G0) of Indonesian grade cattle.


Livestock Research for Rural Development. Volume 28 (2):#28.
Petersenn, S., and H.M. Schulte. 2018. Structure and function of the growth-
hormone-releasing hormone receptor. Vitamins and hormones, Vol. 59:35-69.
Rianto, dan Sularno. 2005. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan Ongole dan
Sapi Ongole X Limousin Yang Mendapat Pakan RumputRaja dan Ampas Bir.
Jurnal Ternak Tropika. Vol. 11, (2): 52-69.
Riyanto, J., L. Lutojo dan D. M. Barcelona. 2015. Kinerja Reproduksi Induk Sapi
Potong pada Usaha Peternakan Rakyat di Kecamatan Mojogedang. Sains
Peternakan Vol. 13 (2): 73-79.
Sangarimbun dan Effendi, 1995. Metode Penelitian Survai. LP3EI. Jakarta.
Suprayitno, M. Nur Ihsan dan Sri Wahyuningsih. 2018. Tampilan reproduksi
ternak sapi potong betina peranakan Limousin dan peranakan Ongole di
Kecamatan Palang Kabupaten Tuban. Sains Peternakan Vol. 16 (2): 93-114.
Susilawati, T dan Affandy, L. 2011. Tantangan Peluang Peningkatan
Produktivitas Sapi Potong Melalui Teknologi Reproduksi. Loka Penelitian Sapi
Potong, Grati, Pasuruan.
Thundathil, J.C., A.L. Dance and J.P. Kastelic. 2016. Fertility management of
bulls to improve beef cattle productivity. Theriogenology, 86(1): 397-405.
Udeh I, P.O. Akporhuarho and C.O. Onogbe. 2011. Phenotypic correlations
among body measurements and physiological parameters in Muturu and Zebu
cattle. Asian Research Publishing Network (ARPN) Journal of Agricultural and
Biological Science 6 (No.4):1-4.
Zulkharnaim, Z., J. Jakaria and R. Noor. 2010. Identifikasi keragaman genetic gen
reseptor hormone pertumbuhan (GHR‫׀‬Alu I) pada sapi Bali. Media Peternakan
33 (2):81-87.

32
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KARAKTERISTIK KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS DAN


SHORTHORN PADA JENIS KELAMIN DAN UMUR YANG BERBEDA

M Sugesti1,*, A Susilo2, Kuswati2


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Malang 65145, Indonesia
*
E-mail korespondensi: madiyansugesti@student.ub.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan bangsa, jenis
kelamin dan umur pemotongan terhadap karakteristik karkas sapi Brahman cross
putih dan Shorthorn. Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 240 ekor sapi terdiri
dari 120 ekor sapi Brahman cross putih dan 120 ekor sapi Shorthorn masing-
masing bangsa terdiri dari 60 ekor steer (20 ekor PI0, 20 ekor PI1, 20 ekor PI2)
dan 60 ekor heifer (20 ekor PI0, 20 ekor PI1, 20 ekor PI2) digunakan pada
penelitian ini. Pemotongan dilakukan dengan metode non stunning menggunakan
restraining box mark 4. Data selanjutnya dianalisis statistik menggunakan metode
Rancangan Acak Lengkap pola tersarang dan uji lanjut LSD. Hasil penelitian
menunjukan faktor bangsa memberikan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01)
terhadap bobot karkas, bobot daging, persentase daging, bobot lemak, bobot
tulang dan persentase tulang namun tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
persentase karkas dan persentase lemak. Pengaruh jenis kelamin dan umur
pemotongan berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot karkas, persentase
karkas, bobot daging, persentase daging, bobot lemak, persentase lemak, bobot
tulang dan persentase tulang sapi brahman cross putih dan Shorthorn.

Kata kunci: Karakteristik Karkas, Brahman cross Putih, Shorthorn, Jenis


Kelamin, Umur

Pendahuluan
Daging sapi merupakan salah satu jenis bahan pangan sumber protein hewani
yang berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat di Indonesia.
Permintaan daging sapi yang mengalami peningkatan setiap tahun perlu diimbangi
dengan ketersediaan populasi sapi potong. Kebutuhan daging sapi di Indonesia
dipenuhi dari sapi lokal, sapi impor berbentuk sapi bakalan salah satunya adalah
sapi Brahman cross. Sapi Brahman cross adalah persilangan dari jenis Brahman
dari Zebu dengan Taurin di Australia. Sapi Brahman cross (BX) adalah bangsa
sapi hasil persilangan 3 bangsa yaitu sapi Brahman (Bos indicus) dengan sapi
Shorthorn dan Hereford (Bos taurus) dengan proporsi 50% darah sapi Brahman
(Bos indicus), 25% darah sapi Hereford (Bos taurus) dan 25% darah sapi
Shorthorn (Bos taurus) (Gillespie dan Flanders, 2010). Karkas merupakan faktor
penting dalam produksi sapi pedaging. Komposisi karkas didefinisikan sebagai
proporsi lemak, otot, tulang, dan jaringan lain di dalam karkas termasuk tendon,
ligamen, fasia, kelenjar dan pembuluh darah besar dan umumnya disertakan
dengan tulang (Keane, 2011). Sapi pedaging diharapkan dapat menghasilkan
karkas yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas agar dapat memenuhi

33
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kebutuhan. Proporsi pemotongan terutama daging dan karkas dipengaruhi oleh


proses pertumbuhan sapi. Interaksi genetik yang terjadi pada sapi diantaranya
perbedaan bangsa, jenis kelamin dan umur ternak menjadi beberapa faktor penting
yang dapat berpengaruh terhadap proporsi karkas yang dihasilkan. Laju
pertumbuhan dan komposisi perolehan ternak yaitu karkas dan kualitas daging
dapat dipengaruhi secara signifikan oleh perbedaan bangsa, jenis kelamin dan
umur ternak (Lawries, 2017). Penelitian ini membahas bagaimana pengaruh faktor
perbedaan bangsa, jenis kelamin dan umur pemotongan terhadap karakteristik
karkas pada sapi brahman cross putih dan sapi Shorthorn.

Metode
Penelitian menggunakan sapi Brahman cross dan Shorthorn berasal dari Australia.
Sapi Shorthorn yang digunakan adalah sapi Asian Commercial Cross (ACC) yang
memiliki ciri-ciri fisik lebih dominan pada sapi Shorthorn. Sapi Shorthorn
memiliki ciri yaitu tubuh lebih pendek dan kompak, kepala besar, telinga kecil
tidak menggantung, tidak memiliki punuk dan layu, bulu di sekitar kepala, dan
variasi warna khas Shorthorn (Sutarno dan Setyawan, 2016). Materi yang
digunakan sebanyak 240 ekor sapi 120 Brahman cross putih dan 120 Shorthorn,
masing-masing bangsa sapi terdiri dari 60 steer dan 60 heifer dan 3 kelompok
umur pemotongan yaitu 20 ekor PI0 (0-1,5 tahun), 20 ekor PI1 (1,5-2 tahun) dan
20 ekor PI2 (2-3 tahun). Pakan yang diberikan adalah pakan complete feed
berbahan serealia dan silase secara adlibitum dengan Days On Fattening DOF 90-
120 hari. Sapi diistirahatkan selama 12-24 jam sebelum dilakukan proes
pemotongan. Proses pemotongan dilakukan dengan metode non stunning
menggunakan restraining box mark 4. Sapi dilakukan penimbangan bobot akhir
untuk memperoleh bobot potong. Sapi dilakukan penggiringan menuju box mark
4 selanjutnya dilakukan pemotongan dan sesuai dengan standar Halal Majelis
Ulama Indonesia (MUI).

Lokasi penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) AM Farm
yang meliputi proses pemotongan dan pengumpulan data berupa karakteristik
karkas dan komponen karkas (daging, lemak dan tulang). Sapi yang digunakan
berasal dari feedlot PT. KASA Provinsi Lampung.

Analisis data
Diperoleh bobot karkas dan bobot komponen karkas (daging, tulang dan lemak).
Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis statistik manggunakan metode
Rancangan Acak Lengkap pola Tersarang. Data yang dihasilkan selanjutnya
dianalisis menggunakan uji lanjut LSD.

Hasil dan Pembahasan


Bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot dan persentase komponen
karkas (bobot daging, persentase daging, bobot lemak, persentase lemak, bobot
tulang, persentase tulang) disajikan pada Tabel 1:

34
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Bobot Potong dan Komponen Karkas Pada Bangsa Yang Berbeda
Variabel Brahman cross Shorthorn
b
Bobot Potong (kg) 462,04±63,85 439,26±54,32a
b
Bobot Karkas (kg) 265,93±37,41 252,93±32,01a
Persentase Karkas (%) 57,54±0,77 57,57±0,72
Bobot Daging (kg) 190,10±27,66b 181,65±23,65a
Persentase Daging (%) 71,46±1,21a 71,79±1,20a
Bobot Lemak (kg) 16,61±2,55b 15,83±2,28a
Persentase Lemak (%) 6,25±0,43 6,26±0,40
b
Bobot Tulang (kg) 59,21±8,25 55,45±7,24a
b
Persentase Tulang (%) 22,29±1,15 21,95±1,25a
Ket: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Penilaian perbedaan jenis kelamin dan umur pemotongan terhadap karakteristik


karkas dilakukan pada penelitian ini. Data bobot dan persentase karkas dan
komponen kerkas (daging, lemak dan tulang) pada jenis kelamin dan umur yang
berbeda disajikan pada Tabel 2.

Penilaian karakteristik karkas diantaranya terdiri dari bobot dan persentase karkas,
bobot dan persentase komponen karkas (daging, lemak dan tulang). Tabel 1
menunjukkan hasil bahwa pengaruh bangsa ternak memberikan hasil yang sangat
berbeda nyata terhadap bobot potong, bobot karkas, bobot daging, persentase
daging, bobot lemak, bobot tulang (P<0,01). Perbedaan bangsa ternak
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap persentase karkas, persentase
daging dan persentase lemak sapi Brahman cross dan Shorthorn (P>0,05).
Penilaian menghasilkan rata-rata bobot karkas pada sapi Brahman cross
265,93±37,41 kg dengan bobot tertinggi pada steer PI2 310,84±25,43 kg dan
rata-rata bobot karkas sapi Shorthorn 252,93±32,01 kg dengan bobot tertinggi
steer PI1 289,34±25,15 kg. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan hasil bahwa
sapi bangsa Bos indicus memiliki bobot karkas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sapi bangsa Bos taurus. Hasil penelitian tersebut berbeda berbeda dengan
penelitian Juandhi (2019) nilai rata-rata bobot karkas pada 50 ekor sapi Brahman
cross sebesar 282,19 kg. Penelitian (Kan, Wall dan coffey, 2021) menghasilkan
bobot karkas sapi shorthorn 330.4 kg. Hasil tersebut dikarenakan adanya
perbedaan jenis bakalan pada masing-masing bangsa sapi yang digunakan. Jenis
bakalan bangsa sapi Brahman cross sebagian besar terdiri dari jenis bakalan
medium (350-400 kg) dengan rata-rata bobot potong 462,04 kg sedangkan jenis
bakalan bangsa sapi Shorthorn sebagian besar terdiri dari jenis feeder (300-350 kg)
dengan rata-rata bobot potong 439,26 kg. Perbedaan jenis bakalan mengakibatkan
adanya variasi pada bobot potong sehingga menghasilkan bobot karkas yang
berbeda pada masing-masing bangsa. Menurut (Lawrie’s, 2017) bobot karkas
dapat dipengaruhi oleh adanya perbedaan bangsa dan bobot potong pada masing-
masing ternak.

35
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Bobot dan Persentase Karkas dan Komponen (Daging, Lemak, tulang) pada Jenis Kelamin dan Umur yang Berbeda.

Bangsa Brahman cross Shorthorn


Jenis
Variabel PI0 PI1 PI2 Rata-rata PI0 PI1 PI2 Rata-rata
Kelamin
Bobot ST 482,25±36,32b 507,35±54,82c 539,00±42,40d 509,53±50,20 420,15±34,44a 496,70±42,67bc 483,55±59,96b 466,80±57,11
Potong a a a a a a
(kg) HF 402,09±41,57 417,69±26,92 423,89±27,28 414,55±33,39 407,93±34,09 407,00±33,75 420,26±33,85 411,73±33,87
Bobot ST 276,25±21,09c 294,15±32,23d 310,84±25,43d 293,75±29,81 242,75±20,17ab 289,34±25,15cd 277,68±34,71c 269,92±33,48
Karkas a a b a a a
(kg) HF 229,50±23,08 240,79±14,73 244,02±15,68 238,10±18,97 234,2218,53 234,6919,40 238,9019,44 235,94±18,92
b d c cd e b
Persentase ST 57,28±0,40 57,97±0,64 57,66±0,94 57,64±0,74 57,78±0,60 58,25±0,50 57,42±0,72 57,32±0,66
Karkas (%) HF 57,10±0,59 ab
57,66±0,71 c
57,57±0,93 c
57,44±0,79 57,44±0,49 bc
57,67±0,53 c
56,85±0,67 a
57,55±0,74
Bobot ST 196,65±15,89 c
212,56±23,84 de
222,34±20,48 e
210,52±22,66 174,16±14,00b 209,94±18,68 d
198,56±24,36c 194,22±24,36
Daging a ab b a a a
(kg) HF 162,67±15,22 172,43±11,90 173,96±10,66 169,69±13,50 167,45±15,40 169,40±15,26 170,40±13,66 169,08±14,60
Persentase ST 71,17±0,90a 72,25±1,00bc 71,48±1,23a 71,63±1,13 71,77±0,58b 72,56±1,52c 71,53±1,10a 71,95±1,20
Daging
(%) HF 70,94±120a 71,60±1,62ab 71,31±0,78a 71,28±1,26 71,43±1,49a 72,14±1,10b 71,34±0,79a 71,64±1,20
Bobot ST 16,20±1,44 b
17,82±2,06 d
19,98±2,41 e
18,00±2,52 14,36±1,43 a
17,63±1,86 d
17,52±2,56 d
16,50±2,49
Lemak
(kg) HF 14,26±1,75a 15,13±1,38ab 16,29±1,27c 15,22±1,68 14,60±1,41a 14,65±1,72a 16,22±1,91bc 15,16±1,83
a ab c a b c
Persentase ST 5,86±0,26 6,05±0,16 6,42±0,43 6,11±0,38 5,91±0,28 6,09±0,26 6,30±0,30 6,10±0,32
Lemak (%) HF 6,21±0,42 b
6,28±0,45 c
6,68±0,28 d
6,39±0,43 6,23±0,25b
6,23±0,34 bc
6,78±0,37 d
6,41±0,41
Bobot ST 63,40±4,78c 63,78±7,08c 68,53±4,47d 65,23±5,96 54,23±5,16b 61,77±6,76c 61,60±8,82c 59,20±7,80
Tulang
(kg) HF 52,58±6,94a 53,24±4,26a 53,77±4,43ab 53,19±5,29 52,17±3,63a 50,64±3,88a 52,28±4,48a 51,70±4,01
c a b b a b
Persentase ST 22,97±0,94 21,70±0,97 22,11±1,29 22,26±1,19 22,32±0,59 21,35±1,54 22,17±1,23 21,95±1,24
Tulang (%) HF 22,85±1,06c 22,12±1,36b 22,02±0,74ab 22,33±1,13 22,34±1,58bc 21,62±1,34a 21,89±0,66a 21,95±1,27
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,01)
Singkatan PI : Permanent Incisors ; ST: Steer ; HF: Heifer

36
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi dengan jenis kelamin steer memiliki
bobot karkas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi heifer. Menurut
pendapat (Chantler, 2020) produksi karkas pada steer dipengaruhi oleh penurunan
hormon testosteron karena adanya pengkebirian. Kebiri dilakukan untuk menekan
produksi hormon testosteron yang memiliki dampak yaitu meningkatkan lemak
karkas dan daging pada bagian tertentu seperti rusuk ke-12, terjadi efisiensi pakan
lebih rendah jika dibandingkan dengan sapi non-kastratrasi, mengurangi
tempramen ternak dan memudahkan dalam penanganan. Data menunjukkan
peningkatan bobot karkas terjadi seiring dengan bertambahnya umur pemotongan
dengan bobot karkas tertinggi pada sapi Brahman cross steer PI2 310,84±25,43
kg. Menurut pendapat (Keane, 2011) pertambahan umur ternak sejalan dengan
terjadinya pertambahan bobot badan pada fase pertumbuhan hingga fase dewasa
yang menghasilkan peningkatan bobot karkas. Peningkatan bobot badan
dipengaruhi oleh pola pertumbuhan pada organ-organ yang menyusun tubuh yaitu
diawali dengan pertumbuhan tulang, otot dan lemak. Peningkatan bobot potong
pada sapi serta masing-masing organ penyusunnya mengakibatkan peningkatan
bobot karkas pada ternak.

Persentase karkas sapi Brahman cross 57,54±0,77% dengan persentase tertinggi


pada steer PI1 57,97±0,64% dan persentase karkas sapi Shorthorn 57,57±0,72%
dengan persentase tertinggi pada steer PI1 58,25±0,50%. Penelitian ini
menghasilkan persentase karkas sapi Shorthorn (Bos taurus) lebih tinggi
dibandingkan dengan persentase karkas sapi Brahman cross (Bos indicus).
Menurut (Thrift et al., 2010) komposisi karkas berbeda antar bangsa ternak, sapi
potong bangsa Bos taurus relatif memiliki proporsi karkas yang lebih besar serta
pertumbuhan dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bangsa Bos indicus. Hasil penelitian menunjukkan sapi steer
menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi dibandingkan dengan heifer.
Menurut (Lawries, 2017) perolehan komposisi dan komponen karkas dipengaruhi
secara signifikan oleh perbedaan jenis kelamin karena efek steroid hormone.
Penelitian ini menunjukkan perolehan persentase karkas tertinggi yaitu umur
pemotongan PI1 pada sapi Shorthorn 58,25±0,50%. Menurut (Philips, 2010)
pertumbuhan ternak membentuk kurva sigmoid dan tumbuh hingga mencapai fase
dewasa secara optimal, pertambahan umur mempengaruhi pertumbuhan organ
pada ternak terutama deposisi lemak, daging dan tulang.

Rata-rata bobot daging sapi Brahman cross yang dihasilkan pada penelitian ini
adalah 190,10±27,66 kg dengan bobot tertinggi pada steer PI2 222,34±20,48 kg
dan rata-rata bobot karkas sapi Shorthorn 181,65±23,65 kg dengan bobot tertinggi
pada steer PI1 209,94±18,68 kg. Berdasarkan hasil tersebut sapi Brahman cross
menghasilkan bobot daging yang lebih tinggi dibandingkan sapi Shorthorn. Hasil
tersebut dikarenakan sapi Brahman cross memiliki bobot potong yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi Shorthorn. Menurut Soeparno (2015) salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi bobot karkas dan bobot komponen karkas adalah bobot
potong ternak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi steer menghasilkan
bobot daging yang lebih tinggi dibandingkan sapi heifer dengan rata-rata bobot
daging yang mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan umur
pemotongan. Menurut (Soeparno, 2015) bobot daging dipengaruhi oleh bobot

37
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

potong dan bobot karkas, dan jenis kelamin. Sapi heifer mengalami fase dewasa
kelamin lebih cepat dibandingkan dengan steer sehingga pertumbuhan tulang
mengalami proses penurunan lebih awal yang kemudian digantikan oleh
pertumbuhan daging dan lemak, sapi heifer memiliki pertambahan bobot badan
yang lebih rendah dan kurang efisien dalam mengkonversi pakan dibandingkan
dengan sapi steer. Umur ternak berpengaruh terhadap bobot dan persentase
daging yang dihasilkan. Menurut pendapat (Lawries, 2017) pertumbuhan otot
(daging) dapat terhambat atau mengalami penurunan akibat adanya keterbatasan
ukuran serabut otot pada umur berbeda, sehingga apabila ternak memasuki fase
pasca puberty maka pertumbuhan otot akan diganti dengan peningkatan deposisi.
Pertumbuhan otot terjadi dari hasil hipertrofik (pembesaran sel) ditambah dengan
protein otot hingga massa otot tercapai.

Faktor perbedaan bangsa sapi menghasilkan persentase daging yang berbeda nyata
(P<0,05). Persentase daging sapi Brahman cross 71,46±1,21% dengan persentase
tertinggi pada steer PI1 72,25±1,00% dan persentase daging sapi Shorthorn
71,79±1,20% dengan persentase tertinggi pada steer PI1 72,56±1,52%. Persentase
daging yang didapatkan yaitu sapi Shorthorn menghasilkan persentase yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sapi Brahman cross. Menurut (Warner, Greenwood,
Pethick, dan Ferguson, 2010) komposisi penyusun genetik yang berbeda tiap
individu berdampak pada terjadinya keragaman laju pertumbuhan dan ukuran
tubuh dewasa, persentase produksi karkas serta kualitas daging yang dihasilkan
sesuai karakteristik tiap bangsa. Perbedaan bangsa sapi menghasilkan
karakteristik karkas yang berbeda terutama pada bobot karkas dan komponen
karkas. Penelitian menghasilkan persentase daging steer lebih tinggi dibandingkan
dengan heifer. Menurut pendapat (O'Riordan et al., 2011) komposisi perolehan
karkas ternak juga dipengaruhi signifikan oleh perbedaan jenis kelamin yang
timbul dari efek hormon steroid. Ternak jantan tumbuh lebih cepat dibandingkan
dengan ternak betina karena jantan lebih efisien dalam pemanfaatan pakan. Sapi
jantan menghasilkan karkas lebih tinggi dengan produksi daging lebih tinggi
dengan lemak yang lebih sedikit dibandingkan dengan sapi betina. Hasil
penelitian menyajikan persentase daging sapi tertinggi pada umur pemotongan
PI1 dengan rataan 72,14±1,36% kemudian persentase daging mengalami
penurunan pada umur pemotongan PI2 dengan nilai rata-rata 71,41±0,98%.
Penelitian ini sejalan dengan pendapat (Kuswati dan Susilawati, 2016) bahwa
ternak fase dewasa (late puberty) akan menghasilkan daging dan otot yang lebih
tinggi dibandingkan ternak pada fase awal pubertas (early puberty) dan memiliki
perlemakan yang optimum, sehingga pemotongan sapi pedaging disarankan
dipotong pada bobot dewasa atau late puberty.

Bobot lemak yang dihasilkan pada sapi Brahman cross 16,61±2,55 kg dengan
bobot tertinggi steer PI2 19,98±2,41 kg dan bobot lemak dapi Shorthorn
15,83±2,28 kg dengan bobot tertinggi pada steer PI2 17,52±2,56 kg. Hasil
tersebut dikarenakan sapi Brahman cross memiliki bobot potong yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi Shorthorn karena adanya perbedaan jenis bakalan pada
masing-masing bangsa ternak. Perbedaan bobot potong pada ternak menghasilkan
bobot bobot lemak yang berbeda. Faktor perbedaan bangsa ternak terhadap
persentase lemak memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,05). Sapi

38
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Brahman cross menghasilkan persentase lemak 6,25±0,43% dan Shorthorn


6,26±0,40%. Hasil tersebut dikarenakan faktor pemberian pakan, pakan yang
diberikan pada sapi Brahman cross dan sapi Shorthorn memiliki komposisi dan
kandungan nutrisi yang sama sehingga menghasilkan persentase lemak yang tidak
jauh berbeda. Hasil penelitian menunjukan perbedaan jenis kelamin dan umur
pemotongan memberikan hasil yang berbeda sangat nyata terhadap persentase
lemak (P<0,01). Nilai rata-rata tertinggi hingga terendah meliputi sapi Shorthorn
heifer sebesar 6,41±0,41%, sapi Brahman cross heifer 6,39±0,43%, sapi Brahman
cross steer 6,11±0,38% dan sapi Shorthorn steer 6,11±0,38%. Sapi heifer
menghasilkan persentase lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan steer.
Menurut pendapat (Soeparno, 2015) persentase lemak heifer lebih tinggi
dibandingkan dengan steer dikarenakan hormon estrogen yang memberikan
pengaruh yang rendah terhadap sintesis protein dan skeletal dan memberikan
pengaruh yang tinggi terhadap pembentukan lemak. Penelitian ini menunjukkan
adanya peningkatan persentase lemak sejalan dengan bertambahnya umur
pemotongan. Pembentukan lemak akan terus berlangsung ketika pasokan energi
dalam tubuh melebihi kebutuhan untuk fungsi tubuh lainnya (Lawries, 2017).
Perubahan proporsi antara komponen karkas (daging, tulang dan lemak) sejalan
dengan pola pertumbuhan pada ternak, dimana tulang berkembang paling awal
pada masa pertumbuhan, daging merupakan komponen karkas yang tumbuh
setelah tulang, sedangkan lemak adalah jaringan yang tumbuh terakhir (Kuswati
et al., 2014).

Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa Sapi brahman cross


menghasilkan bobot tulang 59,21±8,25 kg dengan persentase 22,29±1,15% lebih
tinggi dibandingkan sapi Shorthorn 55,45±7,24 kg dan persentase 21,95±1,25.
Hasil tersebut dikarenakan perbedaan ukuran tubuh pada masing-masing bangsa
ternak, sapi Brahman cross memiliki bentuk tubuh yang lebih tinggi dan ukuran
tulang yang lebih besar dibandingkan dengan sapi Shorthorn sehingga
menghasilkan bobot tulang yang lebih tinggi. Perbedaan ukuran tubuh pada
masing-masing bangsa dikarenakan adanya perbedaan jenis bakalan dan bobot
potong pada masing-masing bangsa. Laju pertumbuhan tulang terjadi pada awal
pertumbuhan dan memiliki pertumbuhan yang kontinue dengan laju pertumbuhan
yang relatif lambat (Kuswati et al., 2014). Pertumbuhan tulang akan berlangsung
hingga pascapubertas pada saat ukuran kerangka matang tercapai (Lawries, 2017).
Persentase tulang tertinggi pada sapi Brahman cross steer PI0 sebesar
22,97±0,94% dan persentase terendah pada sapi Shorthorn steer PI1 sebesar
21,35±1,54%. Pertumbuhan tulang berlangsung lebih cepat pada masa
pertumbuhan sehingga sapi yang di potong pada usia yang muda menghasilkan
proporsi tulang yang lebih tinggi. Menurut pendapat Kuswati et al., (2014)
persentase tulang dapat disebabkan oleh laju pertumbuhan ternak yaitu saat proses
pertumbuhan diawali dengan pertumbuhan tulang dilanjutkan pertumbuhan
daging dan lemak. Proporsi antara komponen karkas (daging, tulang dan lemak)
sejalan dengan pola pertumbuhan ternak dimana tulang berkembang paling awal
pada masa pertumbuhan, daging merupakan komponen karkas yang tumbuh
setelah tulang sedangkan lemak adalah jaringan yang tumbuh terakhir.
Pertumbuhan diawali dengan komponen tulang dan diikuti otot, kemudian setelah
mencapai pubertas laju pertumbuhan tulang dan otot menurun dan deposisi lemak

39
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

meningkat. Peningkatan salah satu komponen akan menurunkan komponen yang


lain (Hafid, Mirwandhono dan Wahyuni, 2020).

Kesimpulan
1). Nilai rata-rata bobot dan persentase karkas sapi Brahman cross 265,93 kg
dan 57,54%, bobot steer lebih tinggi 293,75 kg dengan persentase 57,64%
dibandingkan dengan heifer 238,10 kg dengan persentase 57,44%, bobot
tertinggi pada umur pemotongan PI2 310,84 kg dan persentase tertinggi
pada umur pemotongan PI157,97%, rata-rata bobot karkasdan
persentasekarkas sapi Shorthorn 252,93 kg dan 57,57% , jenis kelamin
steer 269,92 kg dengan persentase 57,82% lebih tinggi dari heifer 235,94
kg dengan persentase 57,32% dengan bobot tertinggi pada umur
pemotongan P2 277,68 kg dan persentase tertinggi pada umur PI1 58,25%.
2). Bobot dan persentase daging sapi Brahman cross 190,10 kg dengan
persentase 71,46% Rata-rata bobot dan persentase daging steer 210,52 kg
dan 71,63% lebih tinggi dari heifer 169,69 kg dan 71,28%. Bobot dan
persentase daging sapi Shorthorn 181,65 kg dengan persentase 71,79%.
Persentase daging terbaik dihasilkan oleh sapi Shorthorn steer PI1
72,56%.
3). Bobot dan persentase lemak sapi Brahman cross 16,61 kg dengan
persentase 6,25% dan sapi Shorthorn 15,83 kg dengan persentase 6,26%.
Bobot lemak tertinggi pada sapi Brahman cross steer PI2 19,98 kg. dan
persentase lemak tertinggi pada sapi Shorthorn heifer PI2 6,26%.
4). Bobot dan persentase tulang sapi Brahman cross 59,21 kg dengan
persentase 22,29 % dan sapi shorthorn 55,45 kg dengan persentase
21,95%. Bobot Tulang tertinggi pada sapi Brahman cross steer PI2 68,53
kg dan persentase tertinggi pada sapi Brahman cross steer PI2 22,11%.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terimakasih kepada PT. Karunia Alam Sentosa Abadi
Lampung dan AM Farm Pringsewu serta dosen pembimbing Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang.

Daftar Pustaka
Chantler, S.A., Hoeb F., Jacksonc J.A., Rocad R.O., Stegnerc J.E., Kingc V.,
Howarda R., Lopeza E., Walkera J.. 2013. Effects On Performance and Carcass
and Meat Quality Attributes Following Immuno Castration With The
Gonadotropin Releasing Factor Vaccine Boprivaor Surgical Castration ofBos
Indicus Bulls Raised On Pasture In Brazil. Meat Science. 95: 78-84.
Gillespie, J. R., and Flanders F. B.. 2010. Modern Livestock and Poultry
Production 8th Edition. Delmar. USA. 90 :251-257.
Hafid, H., Mirwandhono R. E. dan Wahyuni T. H.. 2020. Teknologi Pengolahan
Daging. Anugrah Pangeran Jaya Press. Medan. Page : 22-29
Keane, M. G. 2011. Ranking of Sire Breeds and Beef Cross Breeding of Dairy
and Beef Cows. Teagasc. Grange Beef Research Centre. Occasional Series No.
9

40
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kuswati, Kusmartono, Susilawati T., Rosyidi D. dan Agus A. 2014. Carcass


characteristics of Brahman Cross breed cattle in Indonesian feedlot. IOSR
Journal of Agriculture and Veterinary Science. 7(4): 19-24.
_______dan Susilawati T. 2016. Industri Sapi Potong. UB Press. Malang.
Lawrie, R. A. 2017. Lawrie’s Meat Science. 8th Edition. Wood Head Publishing.
United Kingdom. Page: 26, 87-88
Majelis Ulama Indonesia. 2012. Pedoman Pemenuhan Kriteria Sistem Jaminan
Halal di Rumah Potong Hewan (HAS 23103). Jakarta (ID): LPPOM MUI.
O’Riordan, E.G., Crosson P., McGee M. 2011. Finishing Male Cattle From The
Beef Suckler Herd. Irish Grassland Association Journal. 45 : 131-146.
Phillips, C.J.C. 2010. Principles of Cattle Production, 2nd edition. Cambridge
University Press. Cambridge.26-49.
Soeparno. 2015. Ilmu dan Teknologi Daging: Edisi Kedua. Cetakan Keenam.
Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Sutarno, and Setyawan A. D. 2016. Review: The Diversity of Local Cattle in
Indonesia and The Efforts to Develop Superior Indigenous Cattle Breeds.
Biodiversitas. 17(1): 275-295.
Thrift, F.A., Sanders J.O., Brown M. A., Brown Jr. A. H., Herring A.D., Riley D.
G., M. DeRouen S., Holloway J. W., Wyatt W. E., Vann R. C., Chase C. C.,
Franke D. E., Cundiff L. V., Baker J. F. 2010. Review: preweaning,
postweaning, and carcass trait comparisons for progeny sired by subtropically
adapted beef sire breeds at various US locations. The Professional Animal
Scientist 26, 451-473.
Warner R. D., Greenwood P. L., Pethick D. W and Ferguson D. M.. 2010. Genetic
and environmental effects on meat quality. Meat Science. 86 (1): 171-183.

41
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH BODY CONDOTION SCORE TERHADAP PROFIL DARAH


SAPI BRAHMAN CROSS

Akhmad Kurniawan1, Muhammad Nur Ihsan2, Nurul Isnaini3


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Malang 65145, Indonesia
*
E-mail korespondensi: akhmadkurniawan@student.ub.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh BCS terhadap profil darah
Sapi Brahman cross (BX). Sapi induk Brahman cross dengan ketentuan sudah
melahirkan dua kali, berumur 4-5 tahun dengan bobot berkisar 250 kg – 400 kg,
dengan ketentuan BCS >3 dan BCS <2 masing masing 10 ekor. Pengambilan
sampel darah pada pangkal ekor di vena Coccige dilakukan sebanyak 4 ml per
ekor (2 ml tabung EDTA dan 2 ml tabung non EDTA). Sampel darah dalam
tabung EDTA untuk memperoleh palsma darah dan tabung tanpa EDTA untuk
memperoleh serum. Variabel yang diamati yaitu sel darah putih (WBC), sel darah
merah (RBC) dan hemoglobin (HGB). Hasil penelitian menunjukkan BCS
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai WBC, RBC dan HGB. Skor kondisi
tubuh (BCS) menunjukkan kondisi tubuh yang kurang dalam mencukupi
kebutuhannya sehingga terjadi peningkatan dan penurunan kadar hematologi.

Kata Kunci: sapi brahman cross, eritrosit, leukosit, hemoglobin

Pendahuluan
Peningkatan populasi sapi potong dengan memanfaatkan perkebunan kelapa sawit
yang menyimpan potensi pakan ternak berupa rumput, legume, pelepah sawit,
daun sawit, bungkil inti sawit dan lumpur sawit dari areal perkebunan. Upaya
peningkatan produktivitas yang dilakukan dengan cara penerapan sistem integrasi
sapi-kelapa sawit diharapkan dapat meningkatkan populasi dan produksi ternak.
Produktivitas ternak dipengaruhi beberapa faktor meliputi pakan, tingkat
keberhasilan bunting dan skor kondisi tubuh / body condition score (BCS)
(Ervandi, et al., 2020). Skor kondisi tubuh (BCS) berhubungan langsung dengan
sistem reproduksi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi manajemen
pemberian pakan, menilai status kesehatan hewan dan efisiensi reproduksi. Profil
hematologi merupakan salah satu variabel fisiologis yang dapat digunakan untuk
mengetahui status kesehatan, produksi, dan kesejahteraan hewan ternak. Profil
hematologi ternak yang umum diperiksa adalah eritrosit, leukosit, hemoglobin,
hematokrit, indeks eritrosit, dan trombosit (Sofyan et al., 2020). Kekurangan
unsur hara makro dan mikro menimbulkan variasi yang sangat besar dalam
biokimia hematologi dan serum hewan ternak.

Analisis hematologi sangat membantu untuk diagnosis penyakit pada sistem


darah, serta diagnosis banyak organ dan penyakit sistemik. Leukosit merupakan
bagian dari sel darah yang berada pada jajaran pertama sistem pertahanan tubuh

42
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

melawan infeksi dengan cara migrasi ke jaringan atau organ yang mengalami
gangguan patologi (Poscic et al., 2017). Faktor nutrisi berpengaruh terhadap total
eritrosit sapi, semakin tercukupi nutrisi dalam pakan akan menunjukkan total
eritrosit yang normal dan berada pada kisaran tinggi normal darah sapi (Adam et
al., 2015). Hemoglobin adalah komponen utaman penyusun eritrosit yang erfungsi
mengangkut sebagian besar oksigen dan sebagian kecil fraksi karbondioksida,
serta mempertahankan pH darah normal (Dewi et al., 2018). Sapi dengan jumlah
eritrosit rendah dan nilai hematoktrit rendah menunjukkan bahwa sapi mengalami
anemia dan juga mengalami dehidrasi sehingga mempengaruhi energi pada saat
partus (Retnawati, dan Budiyanto, 2020). Berdasarkan rumusan masalah peneliti
ingin mengetahui pengaruh BCS terhadap profil darah sapi Brahman cross.

Metode
Materi penelitian ini menggunakan Sapi induk Brahman cross dengan ketentuan
sudah melahirkan dua kali, berumur 4-5 tahun dengan bobot berkisar 250 kg –
400 kg, dengan ketentuan BCS >3 dan BCS <2 masing masing 10 ekor.
Pengambilan sampel darah pada pangkal ekor di vena Coccige dilakukan
sebanyak 4 ml per ekor (2 ml tabung EDTA dan 2 ml tabung Plain). Pengujian
sampel darah dilakukan di Balai Veteriner Lampung, Provinsi Lampung

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT Superindo Utama Jaya. di Desa Candimas.
Lampung Utara. Lampung.

Analisis data
Data yang yang didapatkan diuji normalitas sebarannya kemudian dilanjutkan uji t
tidak berpasangan, apabila pada uji t tidak berpasangan didapati (p > 0,05) maka
terdapat pengaruh nyata antara variabel penelitian, dan apabila pada uji t tidak
berpasangan didapati (p < 0,05) maka tidak terdapat pengaruh antara variabel
penelitian.

Hasil dan Pembahasan


Sel darah putih / white blood cell (WBC)
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 1. nilai sel darah putih
atau leukosit sapi induk dengan BCS >3 (18,69 ± 13,33) dan BCS <2 (9,49 ±
1,30). Berdasarkan tabel 1 perbedaan BCS berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap
leukosit Sapi BX. Peningkatan jumlah leukosit (WBC) dan neutrofil dua hingga
tiga kali lipat secara signifikan meningkatkan hemoglobin dan konsentrasi
hematokrit yang mencirikan stres pada sapi (Souto et al., 2021). Total leukosit
berperan penting dalam mempertahankan kekebalan tubuh yang akan meningkat
saat bertarung melawan penyakit menular, keracunan, anafilaksis syok, dan
gangguan saraf pusat (Setiawati, Sumaryadi, dan Saleh, 2020). Profil hematologi
yang menunjukkan nilai leukosit dan limfosit tinggi dalam profil biokimia dapat
menyebabkan proses inflamasi, muntah, diare, neoplasia dan stress (Botezatu et
al., 2014). Stres yang dialami ternak selama pemeliharaan dapat mengubah
komposisi sel darah (profil hematologi) dan dapat mengganggu sistem reproduksi
(Ariana et al., 2018). Stres pada sapi dapat disebabkan akibat interaksi berulang
pada manusia, ketersedian pakan dan perubahan kondisi lingkungan. Konsentrasi

43
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kortisol dihasilkan oleh situasi stres salah satunya saat prose induk melahirkan
(Noya et al., 2019). Konsentrasi kortisol yang tinggi pada induk dapat mengurangi
hormon GnRH dan LH, sehingga dapat mempengaruhi kinerja reproduksi.
Peningkatan nilai leukosit ketika terjadi perubahan suhu lingkungan merespon
sistem kekebalan tubuh dalam melindungi tubuh dari stres lingkungan. BCS pada
sapi yang mengalami stres menginduksi respon fisiologis termasuk sekresi
katekolamin dalam upaya untuk mempertahankan suhu inti tubuh (Petherick, et
al., 2009).

Tabel 1. Profil darah Sapi Brahman cross.


Status BCS Sapi BX
Parameter
BCS < 2 BCS > 3 Standar Normal
WBC (x103 µL) 9,49 ± 1,30 18,69 ± 13,34 5,1 - 13,3
RBC (x106 µL) 7,39 ± 0,58 7,48 ± 0,59 4,9 - 7,5
HGB (g/dL) 17,39 ± 5,52 11,95 ± 0,90 8,4 - 12

Kondisi stress pada induk sapi dapat mengganggu keseimbangan nutrisi yang
mempengaruhi banyak proses fisiologis pada sistem reproduksi. Peningkatan
persentase leukosit yang signifikan mungkin karena peradangan virus kronis,
gangguan korteks adrenal yang tidak mencukupi, dan faktor fisiologis seperti
ketakutan, kecemasan dan rasa sakit. Singh et al. (2021) menjelaskan peningkatan
jumlah leukosit mungkin karena pelepasan kortikosteroid atau hormon epinefrin
akibat suhu yang tinggi sehingga hormon-hormon yang dilepaskan akan
meningkatkan jumlah sel darah putih. Jumlah leukosit yang tinggi mungkin terkait
dengan penyakit infeksi kronis.

Sel darah merah atau red blood cell (RBC)


Sel darah merah (RBC) atau eritrosit yang disajikan pada Tabel 1. menghasilkan
nilai eritrosit pada sapi induk BCS >3 (7,48 ± 0,58) dan BCS <2 (6,649 ± 2,39).
Hasil ini menunjukan BCS berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap eritrosit sapi BX.
Nilai eritrosit pada sapi induk BCS >3 lebih tinggi diduga dipengaruhi status
nutrisi sapi induk. Nutrisi yang cukup dalam pakan akan menghasilkan tingkat
eritrosit total yang normal dalam kisaran normal yang lebih tinggi dari darah sapi
(Setiawati et al., 2020). Hijauan rumput yang sangat bervariasi dalam kandungan
nutrisi dan seringkali berkualitas buruk, serat terlalu tinggi, kekurangan protein
dan mineral akan mempengaruhi sistem reproduksi (Kurnia, 2017). Nutrisi dalam
pakan seperti asam amino, zat besi, vitamin, Cu merupakan komponen penting
untuk mempengaruhi total eritrosit. Proses metabolisme darah membutuhkan
protein, vitamin dan mineral untuk pembentukan sel darah merah (Dewi,
Mahardika dan Dharmawan, 2018). Total eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai
hematokrit memiliki hubungan yang berbanding lurus. Kekurangan zat besi akan
menurunkan kadar hemoglobin dalam darah di bawah kisaran normal, yang
dikenal sebagai anemia, dan 99% anemia disebabkan oleh zat besi defisiensi yang
menurunkan kekebalan tubuh dan membuat tubuh rentan terhadap penyakit
(Setiawati et al., 2020).

44
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Sapi induk yang mendapatkan asupan nutrisi dengan kualitas yang kurang baik
dapat mempunyai fragilitas eritrosit masih dalam keadaan normal. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh sapi induk yang mampu menggunakan sumber pakan
yang kurang baik menjadi pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisinya (Ariana et
al., 2018). Jumlah eritrosit akan meningkat pada suhu lingkungan rendah dan akan
menurun pada suhu lingkungan yang tinggi. Suprayogi et al. (2019)
menambahkan pada kelembapan yang relatif tinggi dapat mengakibatkan kadar
oksigen di udara relatif randah, yang dapat mengarah pada kondisi hipoksia.

Hemoglobin (HgB)
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 1. Nilai hemoglobin BCS
<2 (17,39 ± 5,52) dan BCS >3 (11,95 ± 0,90) menunjukan BCS memberikan
pengaruh nyata (p > 0,05) terhadap kadar Hemoglobin. Kadar hemoglobin pada
sapi induk BCS <3 dalam batas normal. Kondisi tersebut menunjukkan kondisi
tubuh sapi induk tidak kekurangan oksigen (O2) dan kasus tersebut sesuai dengan
kadar Hb untuk sapi yang diternakkan di dataran rendah (Ariana et al., 2018).
Hemoglobin merupakan komponen utama penyusun eritrosit yang berfungsi
mengangkut oksigen dan karbondioksida. Kebutuhan oksigen meningkat ketika
ternak mengalami stres sehingga berdampak pada peningkatan hemoglobin.
Kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan laju metabolisme tubuh pada saat
suhu lingkungan panas. Tingginya kelembapan udara menyebabkan menipisnya
kadar oksigen sehingga dapat meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah
(Suprayogi et al., 2019). Kadar hemoglobin selain dipengaruhi oleh kecukupan
gizi, terutama protein sebagai penyusun hemoglobin, juga dipengaruhi oleh
bangsa, umur, dan aktivitas (Bunga et al., 2019). Pada sapi induk BCS <2 kadar
hemoglobin yang didapat melebihi batas normal. Hal serupa disampaikan Gavan
et al. (2010) bahwa sedikit perubahan dalam konsentrasi hemoglobin, jumlah
eritrosit dan penurunan hematokrit menunjukkan defisiensi zat besi. Kandungan
total protein dan mineral dalam sampel darah yang memiliki hemoglobin yang
lebih rendah, sedangkan hemtokrit, eritrosit dan leukosit tetapi lebih tinggi
memiliki kemungkinan kegagalan reproduksi. Reproduksi sapi yang gagal
biasanya diberi makan dengan hijauan berkualitas rendah dan jumlah legum
terbatas. Giri et al. (2017) menjelaskan bahwa peningkatan kadar hemoglobin
mungkin dapat terjadi karena tersedianya konsentrat dan hijauan yang kaya akan
mineral.

Kesimpulan
BCS berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar WBC, RBC dan HGB.
Peningkatan dan penurunan kadar kadar hematologi menunjukan status kesehatan
yang dipengaruhi kondisi tubuh yang kurang dalam mencukupi kebutuhannya
sehingga dapat memperburuk kesehatan ternak. Skor kondisi tubuh (BCS) dapat
menjadi acuan tercukupinya asupan nutrisi pada Sapi induk Brahman cross. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut pada lokasi yang lain dengan jumlah sampel
yang lebih besar dan manajemen pemeliharaan yang seragam untuk mengetahui
pengaruh BCS terhadap profil darah pada berbagai jenis sapi potong di indonesia.

45
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didukung secara finansial oleh Universitas Brawijaya melalui Hibah
Penelitian Guru Besar No.976/UN10R05/PN/2021. Penulis juga berterima kasih
kepada Bapak Sihono selaku kepala kandang PT Superindo Utama Jaya.

Daftar Pustaka
Abutarbush, S. M. 2015. Hematological and serum biochemical findings in
clinical cases of cattle naturally infected with lumpy skin disease. The Journal
Of Infection In Developing Countries, 9(03), 283-288.
Adam, M., Lubis, T. M., Abdyad, B., Asmilia, N., Muttaqien, M. dan Fakhrurrazi,
F. 2015. Jumlah eritrosit dan nilai hematokrit sapi aceh dan sapi bali di
kecamatan leumbah seulawah kabupaten aceh besar (total erythrocytes count
and haematocrit value of aceh and bali cattle in leumbah seulawah, aceh besar),
Jurnal Medika Veterinaria, 9(2).
Ariana, I. N. T., Oka, A. A., Suranjaya, I. G. dan Berata, I. K. 2018. Peningkatan
limfosit, monosit, dan basofil pada sapi bali yang digembalakan di tempat
pembuangan akhir sampah kota denpasar. Jurnal Veteriner Maret, 19(1), 109-
115.
Bunga, M. Y., Widi, A. Y. dan Pandarangga, P. 2019. Profil hematologi dan
gambaran morfologi darah sapi bali (bos sundaicus) yang dipelihara di tempat
pembuangan akhir alak kota kupang. Jurnal Veteriner Nusantara, 2(2), 72-84.
Botezatu, A., Vlagioiu, C., Codreanu, M. and Oraşanu,A. 2014. Biochemical and
hematological profile in cattle effective. Bulletin Uasvm Veterinary
Medicine, 71(1), 27-30.
Dewi, A. K. S., Mahardika, I. G. dan Dharmawan, N. S. 2018. Total eritrosit,
kadar hemoglobin, nilai hematokrit sapi bali lepas sapih diberi pakan
kandungan protein dan energi berbeda. Indonesia Medicus Veterinus, 7(4),
413-421.
Ervandi, M., Ihsan, M. N., Wahjuningsih, S., Yekti, A. P. A. dan Susilawati, T.
2020. Relationship between body condition score on the service per conception
and conception rate of brahman cross cows. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan
(Indonesian Journal Of Animal Science), 30(1), 80-85.
Gavan, C., Retea, C. and Motorga, V. 2010. Changes in the hematological profile
of holstein primiparous in periparturient period and in early to mid
lactation. Scientific Papers Animal Science And Biotechnologies, 43(2), 244-
246.
Giri, A., Bharti, V. K., Kalia, S., Ravindran, V., Ranjan, P., Kundan, T. R. and
Kumar, B. 2017. Seasonal changes in haematological and biochemical profile
of dairy cows in high altitude cold desert. Indian j Anim Sci, 87(6), 723-727.
Kurnia, Y. F. 2017. Hematological and mineral profiles of reproductive failure of
exotic breed cattle in payakumbuh, west sumatra, indonesia. Pakistan Journal
Of Biological Sciences: Pjbs, 20(8), 390-396.
Noya, A., Serrano Perez, B., Villalba, D., Casasus, I., Molina, E., Lopez Helguera,
I. and Sanz, A. 2019. Effects of maternal subnutrition during early pregnancy
on cow hematological profiles and offspring physiology and vitality in two
beef breeds. Animal Science Journal, 90 (7), 857-869.
Poscic, N., Montanari, T., D’Andrea, M., Licastro, D., Pilla, F., Ajmone Marsan,
P. and Sgorlon, S. 2017. Breed and adaptive response modulate bovine

46
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

peripheral blood cells’ transcriptome. Journal Of Animal Science And


Biotechnology, 8(1), 1-16.
Retnawati, D. W. dan Budiyanto, A. 2020. Gambaran darah pada kasus distokia,
retensi plasenta dan anestrus pada sapi betina peranakan friesian holstein (pfh)
di kecamatan cibodas, kabupaten lembang. Jurnal Agrosainta: Widyaiswara
Mandiri Membangun Bangsa, 4(2), 97-104.
Petherick, J. C., Doogan, V. J., Venus, B. K., Holroyd, R. G. and Olsson, P. 2009.
Quality of handling and holding yard environment, and beef cattle
temperament: 2. Consequences for stress and productivity. Applied Animal
Behaviour Science, 120, 28-38.
Setiawati, E. N., Sumaryadi, M. Y. and Saleh, D. M. 2020. Hematological and
blood metabolite response in relation to the conception rate of pasundan cows
with synchronized estrous and ovulation. Journal Of The Indonesian Tropical
Animal Agriculture, 45(4), 287-297
Singh, M., Lathwal, S. S., Kotresh, P. C., Choudhary, S., Barman, D., Keshri, A.
and Kumar, R. 2021. Health status of hariana cattle (bos indicus) in different
seasons in its breeding tract of haryana, india. Biological Rhythm
Research, 52(6), 910-921.
Sofyan, H., Satyaningtijas, A. S., Sumantri, C., Sudarnika, E. and Agungpriyono,
s. 2020. Hematological profile of aceh cattle. Adv. Anim. Vet. Sci, 8(1), 108-
114.
Suprayogi, A., Ihsan, K. dan Ruhyana, A. Y. 2019. Nilai fisiologis sapi perah
kering kandang di pangalengan: Hematologi, denyut jantung, frekuensi
respirasi, dan suhu tubuh. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 24(4),375-381.

47
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ESTIMASI PRODUKSI KARKAS DAN NON KARKAS KAMBING


BETINA (STUDI KASUS DI RUMAH POTONG HEWAN DAERAH
KEDIRI)

Hanum M1,*, Agus Budiarto1, Gisthananda M2, Ahmad KU2, ZR Fitron3


1Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: muarifah.hanum@ub.ac.id

Abstrak
Karkas dan nonkarkas merupakan hasil pemotongan ternak. Produksi karkas dan
nonkarkas dipengaruhi bobot potong dan umur. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui dan mengestimasi produksi karkas dan non karkas dari 50 kambing
betina di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) daerah Kediri. Kambing yang
digunakan pada penelitian ini adalah kambing berumur sekitar 2 tahun (P2)
sebanyak 11 ekor dengan bobot hidup/potong yang beragam. Metode yang
digunakan yaitu studi kasus di RPH daerah Kediri. Pengambilan data penelitian
berupa bobot potong, bobot karkas, presentasi karkas, bobot nonkarkas dan
presentasi non karkas berdasarkan umur yang berbeda diperoleh dengan cara
observasi dan wawancara di RPH daerah Kediri. Hasil penelitian diperoleh data
bobot karkas berdasarkan umur P0 sebesar 5.98±1.55 kg, P1 sebesar 8.31±1.37
kg, dan P2 sebesar 11.03±2.05 kg. Bobot non karkas berdasarkan umur P0 sebesar
6.74±1.65 kg, P1 sebesar 9.47±1.51 kg, dan P2 sebesar 11.88±2.06 kg.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu semakin besar bobot potong dan umur
kambing maka produksi karkas dan nonkarkas akan semakin besar.

Kata Kunci : Karkas; Nonkarkas; Kambing; RPH Kediri

Pendahuluan
Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang potensial untuk dikembangkan
karena mudah pemeliharaannya dan mampu beradaptasi dengan lingkungan.
Kemampuan lain yang dimiliki kambing yaitu bersifat prolifik artinya kambing
mampu beranak lebih dari satu ekor per kelahiran. Masa kebuntingan kambing
selama lima bulan sehingga dapat beranak tiga kali dalam dua tahun.
Pemeliharaan kambing cukup digemari masyarakat khususnya dipedesaan karena
modal relatif sedikit dan lahan yang dibutuhkan tidak terlalu luas.

Hasil pemotongan ternak dibagi menjadi dua yaitu karkas dan nonkarkas. Karkas
merupakan bagian tubuh ternak yang dihilangkan kepala, darah, kaki, kulit, organ
dalam dan organ pencernaan. Menurut Soeparno (2009) semakin besar bobot
potong maka semakin besar juga berat karkasnya. Bagian-bagian nonkarkas antara
lain hati, lidah, jantung, paru-paru, limfa, saluran pencernaan. Menurut Hutama
dkk (2014) bobot karkas dan nonkarkas dipengaruhi juga oleh nutrien yang
diberikan ke ternak.

48
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Data populasi kambing pada tahun 2018 di daerah Kediri tercatat sebanyak
143.092 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2019). Berdasarkan data
dari (Badan Pusat Statistik, 2019) bahwa angka pemotongan ternak kambing
diwilayah kota kediri pada tahun 2018 sebanyak 15.339 ekor. Pemotongan
kambing di daerah Kediri biasanya dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH)
swasta dan umumnya tidak tercatat umur, jenis kelamin, bobot potong, bobot
karkas dan non karkasnya. Kebanyakan yang dipotong di RPH swasta adalah
betina dengan umur yang lebih muda, oleh karena itu penelitian ini dilakukan
supaya mengetahui jumlah kambing betina yang terpotong serta mengetahui bobot
karkas dan nonkarkas di RPH swasta daerah Kediri.

Metode
Penelitian ini dilakukan di RPH swasta daerah Kediri. Bahan yang digunakan
adalah 50 ternak kambing betina yang terdiri dari 25 ekor betina umur kurang dari
satu tahun (P0), 14 ekor betina umur 1-2 tahun (P1) dan 11 ekor betina umur lebih
dari 2 tahun (P2). Jenis kambing yang dipotong tidak bisa diidentifikasi. Alat yang
digunakan adalah timbangan digital One Med untuk mengukur bobot hidup, dan
timbangan digital CAMRY EK5055 dengan ketelitian 1 gram untuk menimbang
karkas dan nonkarkas. Lokasi penelitian dipilih secara purposive sampling dengan
metode studi kasus. Pengambilan data dilakukan secara langsung dengan
pengamatan di RPH serta menimbang bobot hidup, bobot karkas dan memprediksi
umur dari gigi seri yang berganti.

Hasil dan Pembahasan


Data bobot potong, bobot dan presentase karkas, bobot dan presentase nonkarkas
serta identifikasi umur pada kambing ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan
tabel tersebut, kambing betina yang dipotong berumur kurang dari 1 tahun (P1)
sebanyak 50% dari populasi, sedangkan kambing yang berumur 1-2 tahun (P1)
dan lebih dari 2 tahun (P2) sebanyak 28% dan 22%. Hal ini menunjukkan bahwa
kebanyakan kambing yang di potong pada RPH swasta di daerah Kediri adalah
kambing betina muda. Menurut Budiarto, dkk (2021) bahwa pemotongan
kambing betina muda di daerah Kediri hanya untuk memenuhi permintaan
pedagang saja. Widiarto, dkk (2009) menjelaskan bahwa tujuan pemotongan
kambing muda sekedar untuk makan makanan daging olahan seperti sate, gule,
tongseng dsb, maka pemotongan kambing banyak dilakukan pada kambing umur
muda yang banyak disukai oleh konsumen karena dagingnya lebih empuk.
Budiarto, dkk (2021) menambahkan penyebab lain kambing betina muda dipotong
yaitu karena harga kambing betina lebih murah dibanding kambing jantan.
Permintaan khusus pemotongan kambing jantan dari konsumen biasanya untuk
syukuran, acara keagamaan dan aqiqah.

Bobot Potong
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umur kambing yang tua menunjukkan
bobot potong yang lebih tinggi daripada umur yang lebih muda, yaitu P2 sebesar
22.91±4.09 kg, di ikuti P1 sebesar 17.79±2.86 kg dan P0 sebesar 12.72±3.18 kg.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Wibisono (2018) bahwa semakin
meningkat umur maka bobot badan ternak akan bertambah. Ditambahkan pula
oleh Wahyudi, dkk (2017) bahwa bobot potong kambing betina dengan umur

49
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang lebih tua akan lebih tinggi dibandingkan dengan bobot potong kambing
betina yang muda.

Tabel 1. Rata-Rata Bobot Potong, Bobot dan Presentase Karkas Serta Bobot dan
Presentase Nonkarkas Berdasarkan Umur Kambing
UMUR
PARAMETER P0 P1 P2
(n= 25) (n=14) (n=11)
Bobot Potong 12.72±3.18 17.79±2.86 22.91±4.09
Bobot Karkas (kg) 5.98±1.55 8.31±1.37 11.03±2.05
Presentase Karkas (%) 46.95±1.29 46.74±0.96 48.09±0.99
Bobot Nonkarkas (kg) 6.74±1.65 9.47±1.51 11.88±2.06
Presentase Nonkarkas (%) 53.05±1.29 53.26±0.96 51.91±0.99
n= jumlah sampel

Bobot dan Presentase Karkas


Bobot dan presentase karkas dari yang paling besar ke yang paling kecil yaitu P2
sebesar 11.03±2.05 kg dan 48.09±0.99 %, P1 sebesar 8.31±1.37 kg dan
46.74±0.96 % serta P0 sebesar 5.98±1.55 kg; 46.95±1.29 %. Hal ini sesuai dengan
yang disampaikan Soeparno (2009) bahwa umur ternak dapat mempengaruhi
jumlah daging yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa kambing betina yang muda memiliki bobot dan presentase karkas yang
lebih rendah daripada kambing yang berumur tua. Menurut Budiarto, dkk; (2021)
rata-rata bobot dan presentase karkas kambing yang dipotong pada umur muda
lebih rendah, karena kambing berumur muda masih dalam masa pertumbuhan dan
belum terdapat deposisi lemak pada tubuhnya.

Presentase karkas hasil penelitian ini dalam kisaran persentase karkas menurut
Soeparno (2009) yaitu antara 45%- 65% dan Widiarto, dkk (2009) sebesar
45,00±3,12%. Berat potong/berat hidup mempengaruhi produksi daging atau
karkas (Soeparno, 2009). Semakin tinggi bobot hidup ternak maka bobot dan
presentasi karkas yang dihasilkan juga akan semakin tinggi (Wahyudi, dkk; 2017).

Bobot dan Presentase Nonkarkas


Bobot nonkarkas pada P2 lebih tinggi yaitu sebesar 11.88±2.06 kg, diikuti P1
sebesar 9.47±1.51 kg dan P0 sebesar 6.74±1.65 kg, sedangkan presentase
nonkarkas dari yang besar ke kecil berturut-turut P1 sebesar 53.26±0.96 %, diikuti
P0 sebesar 53.05±1.29 % dan P2 sebesar 51.91±0.99. Menurut Amri dan Iskandar
(2014) semakin bertambah umur ternak maka semakin meningkat pula
pertumbuhan organ-organ dalam terutama deposisi lemak serta peningkatan
persentase komponen lainnya, seperti kepala, kaki, paru-paru dan jeroan.

Hasil penelitian Altandjung, dkk (2015) menyatakan bahwa bobot non karkas
berdasarkan kelompok bobot potong berpengaruh nyata terhadap bobot non
karkas, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase non karkas. Menurut
Hutama, dkk (2014) dan Widiyanto, dkk (2009) bobot nonkarkas yang diperoleh
ini sejalan dengan bobot potong yang dihasilkan, yaitu semakin tinggi bobot
potong, maka akan semakin tinggi pula bobot nonkarkasnya.

50
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa umur pada suatu ternak
itu menunjukkan pengaruh terhadap bobot karkas dan nonkarkas serta bobot
potong juga menunjukkan pengaruhnya terhadap bobot karkas dan non karkas.
Bobot karkas berdasarkan umur P0 sebesar 5.98±1.55 kg, P1 sebesar 8.31±1.37
kg, dan P2 sebesar 11.03±2.05 kg. Bobot non karkas berdasarkan umur P0 sebesar
6.74±1.65 kg, P1 sebesar 9.47±1.51 kg, dan P2 sebesar 11.88±2.06 kg.

Daftar Pustaka
Altandjung, R.I., Tri, C dan Nova, M.M, 2015. Pengaruh bobot potong dengan
bobot karkas dan bobot nonkarkas kambing peranakan ettawah betina. Seminar
Nasional Gorontalo.
Amri, U dan Iskandar, 2014. Pengaruh umur terhadap presentase karkas dan non
karkas pada ternak kerbau. Jurnal ilmiah ilmu-ilmu peternakan Vol. XVII
No.2: 58-61.
Badan Pusat Statistik, 2019. Jumlah Ternak yang Dipotong Menurut Jenis Ternak.
Budiarto, A., Gatot, C., Ardyah R.I.P., Zulvado, S.P.Y, 2021.Tingkat pemotongan
kambing lokal betina (PI1-PI1) di Kluster TPH Swasta Kediri. Journal of
Tropical Animal Production vol 22, No. 1 pp.63-68, Juni 2021.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2019. Statistik Populasi Ternak.
Hutama, Y.G., Lestari, C.M.S dan Purbowati. E, 2014. Produksi Karkas dan Non
Karkas Kambing Kacang Jantan yang diberi pakan dengan level protein dan
energy berbeda. Animal agriculture journal Vol 3 No.1: 17-23.
Soeparno, 2009. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Gadjah Mada University Press.
Widiarto, W., Rini, W dan I.Gede, S.P, 2009. Pengaruh berat potong dan harga
pembelian domba dan kambing betina terhadap gross margin jagal di rumah
potong hewan mentik, kresesn, bantul. Bulletin peternakan Vol 33 No.2: 119-
128.
Wibisono, M.N.R, 2018. Studi tentang estimasi mutu karkas kambing cross boer
jantan di peternakan rakyat Desa Sidomulyo Kecamatan Kebonagung
Kabupaten Pacitan.
Wahyudi, E., Gatot, C., Agus, B, 2017. Studi kasus tingkat pemotongan kambing
berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur dan bobot karkas di tempat
pemotongan hewan kota malang. Jurnal Ternak Tropika Vol 18, No.1: 69-76.

51
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

HUBUNGAN TINGKAT KEBERSIHAN AMBING DENGAN TINGKAT


TERJADINYA MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PFH DI KPSP SETIA
KAWAN, NONGKOJAJAR, PASURUAN

Muhammad Alvan1,*, Puguh Surjowardojo2


1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawjaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: alvanm@student.ub.ac.id

Abstrak
Tingkat kebersihan ambing merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat mastitis pada sapi PFH. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal
24 Agustus – Oktober 2021 pada peternakan rakyat anggota tetap KPSP Setia
Kawan Nongkojajar, Pasuruan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara tingkat kebersihan ambing berdasarkan Good Dairy Farming
System (GDFP) dengan tingkat terjadinya mastitis sapi PFH. Penelitian ini
menggunakan metode studi kasus dimana data didapatkan dengan cara
pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian yang dipilih secara
purposive sampling. Pengukuran tingkat mastitis subklinis menggunakan uji
California Mastitis Test (CMT). Materi yang digunakan antara lain 36 ekor sapi
PFH periode laktasi 3-5. Data dianalisa menggunakan uji regresi dan korelasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 33% ambing sapi PFH dinyatakan sehat
sedangkan 66% terinfeksi mastitis subklinis dengan tingkat yang berbeda.
Terdapat hubungan antara tingkat kebersihan ambing dengan tingkat mastitis
dengan pola positif sangat nyata (P<0,01) dengan persamaan Y = 0,7405 + 0,9126
X dan koefisien sangat kuat (r= 0,83). Kesimpulan dari penelitian ini adalah
terdapat hubungan antara tingkat kebersihan ambing dengan tingkat terjadinya
mastitis pada sapi perah PFH periode laktasi 3-5 di KPSP Setia Kawan, dimana
semakin kotor ambing sapi maka semakin tinggi kemungkinan sapi mengalami
mastitis.

Kata Kunci: Kebersihan ambing, mastitis subklinis, sapi PFH

Pendahuluan
Produksi susu nasional belum mampu untuk menyediakan kebutuhan susu yang
diperlukan oleh konsumen. Kebutuhan susu sapi nasional hanya mampu dipenuhi
sebesar 22% dan sisanya impor dari negara lain. Produksi susu dari tahun 2018-
2020 sudah mengalami peningkatan dari 135.033,9 ribu liter sampai 221.868,95
ribu liter namun belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan Nasional dengan
jumlah kebutuhan susu nasional tahun 2019 mencapai 4.332,88 ribu ton, produksi
Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) diatas, hanya mampu memenuhi 22% dari
kebutuhan nasional, sehingga 78%nya berasal dari impor (BPS 2020).
Peningkatan produksi susu juga harus diimbangi dengan tingginya kualitas susu,
karena penting untuk menjaga kualitas susu yang dihasilkan agar manfaatnya
dapat didapatkan secara maksimal.

52
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Menurut SNI 3141.1 (2011) aspek faktor kualitas susu syarat mutu susu segar
meliputi berat jenis susu minimal 1,027 g/ml, kadar lemak susu minimal 3%,
kadar protein 2,8%, kadar laktosa 4%, jumlah sel somatik maksimum 4 x 105
sel/ml dan pH 6,3-6,8. Kualitas susu yang kurang baik akan berpengaruh terhadap
harga jual susu yang diberikan oleh koperasi kepada peternak. Tingkat peradangan
ambing merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi dan
kualitas susu sapi (Fatonah,, Harjanti., dan Wahyono, 2020). Peradangan ambing
atau mastitis secara umum disebabkan oleh bakteri pathogen Staphylococcus
aureus, Strptococcus agalactiae, (Surjowardojo, 2019) Ambing yang kotor
mengandung bakteri yang bisa memicu terjadinya mastitis pada sapi karena puting
sapi yang selesai diperah masih akan membuka selama 2-3 jam.

Mastitis dibedakan menjadi dua macam, mastitis klinis yang dapat diketahui
dengan mengamati perubahan yang terjadi pada ambing yang terinfeksi, lalu
mastitis subklinis merupakan tipe mastitis yang sulit dideteksi peternak sapi
perah, karena gejalanya tidak dapat diketahui secara visual. Metode CMT
diperlukan sebagai suatu metode deteksi mastitis subklinis yang sampai saat ini
dianggap sederhana dan cepat (Surjowardojo, Suyadi, dan Hakim, 2018).
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara tingkat kebersihan ambing
dan tingkat terjadinya mastitis subklinis pada sapi perah PFH periode laktasi 3-5
di lingkungan KPSP Setia Kawan, Nongkojajar, Pasuruan. Manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini sebagai bahan kajian untuk tindakan preventif
mastitis pada ternak sapi perah agar dapat memproduksi susu dengan kuantitas
dan kualitas yang optimal

Metode Penelitian/Kegiatan
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional dengan metode
studi literatur di lapangan. Kriteria ternak yang digunakan adalah sapi perah PFH
periode laktasi 3-5, frekuensi pemerahan 2 kali sehari. Pakan yang diberikan
berupa konsentrat merek Cipro dari koperasi, rumput gajah, serta pakan tambahan
lain seperti ampas tahu, roti afkir dan gamblong yaitu limbah onggok dari
singkong. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama yaitu pra-
penelitian terhadap lokasi peternakan yang akan digunakan yaitu peternakan
rakyat anggota tetap KPSP Setia Kawan, Nongkojajar, Pasuruan dengan jumlah
36 ekor sapi. Tahap kedua yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
wawancara langsung ke peternak mengenai identitas ternak, Kesehatan dan
periode laktasi, maupun diamati secara langsung untuk pengukuran data yang
dibutuhkan. Variable yang diukur berupa tingkat kebersihan ambing dan tingkat
terjadinya mastitis. Pengukuran untuk mengetahui tingkat mastitis subklinis pada
ambing menggunakan uji CMT yang di nilai praktis serta dapat dilakukan
langsung di lapang.

Prinsip uji CMT yaitu mengetahui tingkat peradangan pada ambing melalui
kekentalan pada susu yang telah diberi reagen CMT. Uji CMT dilakukan pada
pagi hari setelah kandang dan ternak dibersihkan, kemudian dilakukan rangsangan
terhadap ambing lalu dibuang susu pancaran pertama dan kedua. Susu dari setiap
puting ditampung di paddle sebanyak 2 ml, kemudian ditambahkan reagen CMT
dengan perbandingan 1:1. Paddle digoyang selama 10-15 detik kemudian diamati

53
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

perubahan yang terjadi pada susu berdasarkan kekentalannya. Pemberian skor


mastitis sesuai dengan tingat kekentalan susu yang terjadi, pemberian skor dapat
dilihat di tabel 1. Skor CMT dikonversi terhadap nilai untuk memudahkan dalam
perhitungan statistik.

Tabel 1. Interpretasi berdasarkan CMT (Solehah, Harjanti, dan Sambodho, 2020)


Skor CMT Jumlah Sel Deskripsi Konversi
Somatik
N (Negatif) 0 – 480.000 Tidak terjadi pengentalan 0
T (Trace) 640.000 Sedikit pengentalan 1
1 660.000 Pengentalan berbeda, belum 2
terbentuk gel
2 2.400.000 Mengental dan membentuk gel 3
didasar paddle
3 >10.000.000 Terbentuk gel diseluruh sampel 4

Pengukuran tingkat kebersihan ambing dilakukan dengan mengamati secara


langsung ambing pada sapi yang telah diperah. Kotoran pada ambing yang jarang
dibersihkan akan mengeras dan tidak akan mudah dibersihkan hanya dengan
menggunakan air. Skor penilaian tingkat kebersihan ambing menggunakan angka
yang mengacu pada Tabel 2.

Gambar 1. Tabel skor kebersihan ambing sapi (Erbez, et al., 2018)

Hasil dan Pembahasan


Menurut pengujian mastitis menggunakan uji CMT, menunjukkan bahwa dari 36
sampel susu sapi terdapat 12 sampel susu sapi yang susunya tidak terjadi
gumpalan (skor 0) atau sebesar 33,3%, 14 sampel susu sapi sedikit mengental
(skor 1) atau sebesar 38,8%, 8 sampel susu sapi mengental namun belum
terbentuk gel didasar paddle (skor 2) atau sebesar 22,2%, 2 sampel susu sapi
mengental dan terbentuk gel didasar paddle (skor 3) atau sebesar 5,5%.

54
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 2. Tingkat mastitis pada sapi perah

Berdasarkan analisa korelasi dan persamaan regresi antara tingkat kebersihan


ambing dengan tingkat terjadinya mastitis dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan kebersihan ambing dengan tingkat mastitis


Hubungan Persamaan Koefisien Koefisien Keterangan
Regresi Korelasi (r) Determinasi
(R2)
Kebersihan
Ambing -0,74 + 0,91 X 0,83 69,97% P < 0,01
dengan
Tingkat
Mastitis

Berdasarkan Tabel 2 analisa hubungan tingkat kebersihan ambing dengan tingkat


terjadinya mastitis menunjukkan hubungan yang sangat nyata (p < 0,01). Hasil
persamaan regresi adalah Y = -0,74 + 0,91 X dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,83 dan nilai koefisien determinasi sebesar 69,97% yang artinya 69,97%
tingkat mastitis subklinis dipengaruhi oleh tingkat kebersihan ambing karena
setelah pemerahan berlangsung otot teat sphincter masih membuka, jika ambing
sapi kotor maka bakteri yang terdapat diarea ambing dapat masuk kedalam puting
dan membentuk koloni. Sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. faktor-
faktor seperti sanitasi lingkungan yang buruk dan higienitas pada saat pemerahan
berperan penting pada kejadian mastitis subklinis di peternakan sapi perah
(Surjowardojo, 2014).

Kesimpulan
Terdapat hubungan yang sangat nyata antara tingkat kebersihan ambing dengan
tingkat terjadinya mastitis dimana semakin tinggi skor kebersihan ambing maka
semakin tinggi kemungkinan sapi terinfeksi mastitis.

Daftar Pustaka
Anonimus. 2020. Produksi Susu Perah Menurut Provinsi (Kg). Badan Pusat
Statistik Indonesia. Jakarta.
(https://www.bps.go.id/indicator/24/493/1/produksi-susu-segar-menurut-
provinsi.html), Diakses pada 25 Oktober 2021

55
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI) Susu segar-
Bagian 1: Sapi (SNI 3141.1) Jakarta.
Erbez, M., Važić, B., Rogić, B., Bøe, K. E., & Ruud, L. E. 2018. Cow cleanliness
in dairy herds with tie stall systems in Bosnia and Herzegovina. Acta
agriculturae Slovenica, 112(1), 11-17.
Fatonah, A., Harjanti, D. W., & Wahyono, F. 2020. Evaluasi Produksi dan
Kualitas Susu pada Sapi Mastitis. Jurnal Agripet, 20(1), 22-31.
Solehah, D. A. S., Harjanti, D., & Sambodho, P. 2020. Pengaruh Teat Dip dan
Suplemen Temulawak terhadap Tingkat Peradangan Ambing Sapi Mastitis
Subklinis. Acta VETERINARIA Indonesiana, 8(2), 65-70.
Surjowardojo, P. 2014. Tingkat Kejadian Mastitis dengan Whiteside Test dan
Produksi Susu Sapi Perah Friesien Holstein. Fakultas Peternakan. J. Ternak
Trop., 12(1), 50-51.
Surjowardojo, P., Suyadi, S., & Hakim, L. 2018. PROFIL PROTEIN
INTERLEUKIN-8 (IL-8) PADA SERUM DARAH DAN SUSU SAPI PERAH
MASTITIS. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan (Indonesian Journal of Animal
Science), 18(1), 36-50.

56
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

HUBUNGAN ANTARA VITAL STATISTIK DAN LINGKAR EKOR


DENGAN BOBOT BADAN PADA UMUR YANG BERBEDA PADA
DOMBA EKOR GEMUK

Nur Yunita Hapsari1, Sucik Maylinda1,*


1
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang Jawa Timur, 65145
*
E-mail korespondensi: sucik@ub.ac.id

Abstrak
Domba Ekor Gendut (DEG) adalah domba lokal jenis Indonesia yang memenuhi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ukuran linier dan lingkar
ekor dengan bobot badan pada domba ekor gemuk. Penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Materi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 60 ekor domba jantan Ekor Gemuk yang dibagi menjadi 3 kelompok
umur (< 1 tahun, 1 – 2 tahun dan > 2 tahun). metode korelasi dan pemantauan
langsung domba ekor gemuk. Sampel diambil dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif antara lingkar ekor dengan berat badan DEG pada semua umur, terdapat
hubungan yang sempurna dengan angka r = 0,82 pada umur PI2. Sedangkan untuk
statistik vital, tinggi badan dengan berat badan berkorelasi positif pada PI0,
korelasi positif antara panjang badan dan berat badan pada PI1 dan korelasi
lingkar dada dengan DEG berat badan pada PI0 dan PI1. Kesimpulan penelitian
ini adalah lingkar ekor pada semua umur ternak berkorelasi positif sedang dengan
bobot badan, dan pada PI2 berkorelasi positif tinggi sempurna, sedangkan statistik
vital berkorelasi positif pada PI0 dan PI1.

Kata Kunci : lingkar ekor, bobot badan , vital statistik

Pendahuluan
Domba merupakan salah satu sumber protein hewani yang dapat dikembangkan
sebagai produk unggulan di bidang peternakan. Beberapa keuntungan beternak
domba adalah mudah beradaptasi dengan lingkungan dan dagingnya relatif
digemari masyarakat. Selain itu, keunggulan ternak sendiri adalah produktif,
menjadi budaya mengkonsumsi daging domba pada hari raya dan berbagai produk
domba dapat dimanfaatkan. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas domba sebagai upaya memajukan peternakan domba. Domba
memiliki peranan yang cukup penting dalam kehidupan peternak di pedesaan,
karena selain dari pendapatan bertani, beternak domba merupakan pendapatan
sampingan bagi peternak untuk tabungan masa depan dan jika peternak
membutuhkan kebutuhan yang mendesak dapat menjual dombanya kepada
tengkulak atau pedagang sate. Jenis domba yang banyak terdapat di Jawa Timur
dan mudah dipelihara adalah Domba Ekor Gemuk. DEG tersebar luas di daerah
yang relatif kering, seperti Provinsi Jawa Timur, Madura dan Kepulauan Nusa
Tenggara. Di Sulawesi Selatan DEG dikenal sebagai Domba Donggala
(Darmawan dan Supartini 2012)/. Domba Ekor Gemuk (DEG) merupakan salah
satu domba plasma nutfah Indonesia yang merupakan domba tipe daging. Laporan

57
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Mason (1980), menyatakan bahwa DEG memiliki ciri fisik yang menjadi cirinya
yaitu memiliki ekor yang gemuk, putih, tidak bertanduk, rambut kasar, mampu
beradaptasi dengan iklim kering dan mampu melahirkan 1-2 ekor per kelahiran
dan terkadang 3 ekor. per kelahiran. kelahiran. Karakteristik ini merupakan
ekspresi dari keunikan potensi genetik DEG yang belum dioptimalkan dan
cenderungdieksploitasi (Darmawan dan Supartini, 2012).

Seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan jumlah


penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani sehingga
untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu dilakukan upaya peningkatan
produktivitas ternak seperti domba. Produktivitas ternak dapat dilihat dari bobot
badan ternak itu sendiri, karena bobot badan ternak dapat dijadikan sebagai
indikator untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ternak. Salah satu
cara untuk mengetahui bobot badan ternak adalah dengan melakukan pengukuran
pada beberapa bagian tubuh ternak yang mempunyai korelasi dengan bobot badan

Secara umum ada dua teknik untuk menentukan bobot badan hewan, yaitu
penimbangan (weight scale) dan pendugaan. Kedua teknik tersebut memiliki
kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Metode penimbangan merupakan
metode yang paling akurat namun memiliki beberapa kelemahan, antara lain
memerlukan peralatan khusus dan dalam beberapa kasus membutuhkan operator
yang relatif lebih banyak (terutama pada peternakan besar dengan sistem
peternakan). Metode estimasi atau estimasi. Metode estimasi ini memiliki
kelebihan dari segi kepraktisan, namun memiliki permasalahan pada tingkat
akurasi estimasi dan masih perlu dikembangkan (Gunawan, Jamal., dan Sumantri.
2008). Isroil (2013) menyatakan bahwa pengukuran vital tubuh ternak seperti
lingkar dada merupakan variabel yang paling baik dan akurat untuk pendugaan
bobot badan ternak. Namun pengukuran vital tubuh ternak lain mungkin memiliki
korelasi dengan bobot badan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pada
bagian tubuh ternak lain, apakah memiliki korelasi positif dengan bobot badan.

Metode
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Domba Ekor Gemuk jantan
dewasa dengan variasi umur yang berbeda dilihat dari perubahan gigi tetap PI0,
PI1, PI2 (Permanent Incicivi). Jumlah ternak yang digunakan sebanyak60 ekor
dengan rincian pada Tabel 1

Table 1. Perkiraan umur pada ternak


No PI N
1 0 30
2 1 24
3 2 6
Source :Field data

58
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Pita pengukur; digunakan untuk mengukur lingkar ekor dan lingkar dada,
dengan ketelitian 0,1 cm.
2. Tongkat pengukur; untuk mengukur tinggi badan dan panjang badan, dengan
skala ketelitian 0,1 cm.
3. Timbangan digital; digunakan untuk menimbang bobot badan domba ekor
gemuk, dengan skala ketelitian 0,1 kg. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode survey dan korelasional yang dilaksanakan di Agrilestari Dairy
Farm dengan jumlah DEG jantan sebanyak 60 orang berumur ± 1-2 tahun dan
observasi langsung di lapangan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik
purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu
antara lain ukuran tubuh dan perbedaan ukuran tubuh pada umur ternak.

Variabel Pengamatan
Bagian tubuh domba yang diukur meliputi statistik vital (panjang badan, lingkar
dada dan tinggi badan) dan lingkar ekor. Variabel yang diamati meliputi;
1. Lingkar ekor (X) diukur di sekitar bagian terbesar dan tengah lingkar ekor.
2. Statistik Vital (X) diukur dengan pita pengukur
A. Lingkar dada (LD) diukur dalam lingkaran tepat di belakang bahu melintasi
gumba.
B. Panjang badan (PB) diukur secara horizontal dari tepi depan sendi bahu
(benjolan tulang skapula) hingga tepi belakang tulang duduk.
C. Tinggi badan (TB) diukur sebagai jarak tegak lurus dari bagian belakang atau
belakang gumba ke tanah atau lantai.
3. Berat badan (Y) diukur dengan timbangan digital dalam kg.
4. Umur ternak (faktor pengelompokan) diperkirakan dengan melihat jumlah poel
pada gigi ternak, dibedakan menjadi pergantian gigi tetap PI0, PI1, PI2
(Permanent Incicivi).

Hasil dan Pembahasan


Korelasi Statistik Vital dan Lingkar Ekor dengan Berat Badan DEG Pria
Hasil perhitungan koefisien korelasi antara statistik vital dan lingkar ekor dengan
berat badan DEG jantan dapat disajikan pada Tabel 2.

Table 2. Correlation coefficient ov Statistical Vital and Tail circumference and


Body Weight in DEG
Variable N R R2 Regression

BH 60 0,383** 14,68 Y=01,89+0,96X

BL 60 0,361** 13,06 Y=13,29+0,20X

CG 60 0,545** 29,69 Y=-3,62+0,39X

TC 60 0,446** 19,90 Y=17,16+0,32X

Note :(**)highly significant(P<0.01),(*) significant (P<0.05). BH : Body height,


BL : Body length, CG : Chest Girth, TC : Tail circumference

59
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat hubungan


yang positif dan sangat signifikan antara statistik vital (panjang badan, tinggi
badan dan lingkar dada) dengan lingkar ekor dan berat badan Domba Ekor
Gemuk. Nilai koefisien korelasi secara berurutan dari yang tertinggi sampai yang
terendah adalah lingkar dada, lingkar ekor, panjang badan dan tinggi badan
dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,545; 0,446;0,383;0,361.

Nilai koefisien korelasi keempat variabel. Lingkar dada memiliki nilai koefisien
korelasi paling tinggi dibandingkan variabel lainnya yaitu 0,545. Hal ini sesuai
dengan Tama, dkk (2016) yang menyatakan bahwa nilai koefisien korelasi antara
lingkar dada dan berat badan paling kuat jika dibandingkan dengan panjang dan
tinggi badan, yaitu 0,97. Hal ini sesuai dengan penelitian Malewa (2009) tentang
domba Donggala; Basbeth, dkk (2015) pada kambing Jawarandu; Afolayan, dkk.
(2006) pada domba Yakansa yang melaporkan bahwa lingkar dada memiliki nilai
koefisien korelasi tertinggi dan sangat kuat yaitu 0,91; 0,93; 0,94, masing-masing.
Hal ini diduga karena lingkar dada berhubungan langsung dengan dada dan ruang
perut dimana sebagian besar bobot badan ternak berasal dari dada sampai ke
panggul, sehingga semakin besar lingkar dada maka bobot badan semakin berat.

The small correlation value from the results of the study was compared with the
correlation coefficient of body length with body weight in Tama, et al (2016) in
Senduro goats; Trisnawanto, et al. (2012) on male Dombos sheep; Isroli (2001) in
Periangan sheep were 0.92; 0.63; 0.64, respectively. height and body weight in
Tama, et al (2016) and Rusiyantono (2013) were 0.90 and 0.642, respectively.
Meanwhile, the tail circumference in Islam has a correlation of 0.932. This can be
due to differences in maintenance patterns, types of livestock, genetics and the
state of the livestock environment. Tama, et al (2016) reported that the difference
in the correlation value between height and body weight was caused by
differences in livestock types and environmental conditions in the study. This also
agrees with Rusiyantono, et al (2013) which states that the body length of an
animal is strongly influenced by genetic factors, age, feed, growth patterns.

The value of the linear regression equation from this study on height, body length,
chest circumference and tail circumference, respectively, is Y = 01.896 + 0.962X,
Y = 13.294 + 0.204 X, Y = -3.629 + 0.390X, Y = 17,162 + 0.327X. This means
that the addition of 1 cm of body size in DEG will change the body weight of
sheep. The addition of 1 cm in height will result in a change of 0.962 kg in DEG
body weight, an increase of 1 cm in body length will result in a change of 0.204
kg, a change in chest circumference of 0.390 kg, and tail circumference will result
in a change of 0.327 kg in DEG.

Korelasi Lingkar Ekor dengan Bobot Badan DEG


Hasil perhitungan koefisien korelasi antara lingkar ekor (X) dan berat badan (Y)
DEG disajikan pada Tabel 3.

60
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Koefisien korelasi antara Linkar Ekor dengan Bobot Badan pada DEG
Age N r R2(%) Persamaan
Regresi
PI0 24 0,514* 26,419 Y=14,84+0,42X
PI1 30 0,369* 13,616 Y=19,02+0,25X
PI2 6 0,824* 67,89 Y=11,93+
0,52X
Note :(**) highly significant(P<0.01)(*)significant<0.05) X: tail circumference,
Y:body weight

Lingkar ekor dapat dijadikan sebagai salah satu parameter pemilihan daging
domba yang baik dan sebagai ciri utama domba ekor gemuk. Lingkar ekor dengan
berat badan memiliki hubungan positif dan erat kaitannya dengan pendugaan berat
badan. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa lingkar ekor dengan bobot badan
berdasarkan umur yang berbeda memiliki perbedaan yang nyata yang dinyatakan
signifikan (P<0,05). Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh perbedaan usia.
Pada PI0 Domba Ekor Gemuk memasuki masa akhir pertumbuhan tulang,
sedangkan pertumbuhan otot yang menempel pada tulang dan timbunan lemak
tubuh masih lambat, sehingga bobot tubuhnya masih rendah. Domba Ekor Gemuk
di PI1 memiliki pertumbuhan otot 80-90% yang menempel pada tulang dan
penimbunan lemak tubuh terjadi dengan cepat, sehingga bobot tubuhnya lebih
berat. Sedangkan perbedaan ukuran lingkar ekor juga dapat disebabkan oleh
melambatnya pertumbuhan pada umur DEG dewasa, hal ini sesuai dengan Yunita
(2008) yang menyatakan bobot badan pada Domba Ekor Gemuk PI1 diketahui
sebesar 0,37 sehingga memiliki korelasi yang lemah dengan koefisien determinasi
(R2) = 13,6%. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan pola beternak domba
pada fase pertumbuhan pada umur 13-24 bulan. Nilai koefisien korelasi lingkar
ekor dengan bobot badan Domba Ekor Gemuk PI2 diketahui sebesar 0,82 dengan
koefisien determinasi (R2) sebesar 67,9%. Hal ini menunjukkan bahwa dari ketiga
kelompok umur Domba Ekor Gemuk terdapat korelasi positif yang sangat erat
dan mendekati sempurna pada PI2, hal ini sesuai dengan Islamiah (2016) Domba
Ekor Gemuk dan jantan muda memiliki koefisien korelasi tertinggi yang diperoleh
dari hubungan antara lebar ekor dan berat badan, sedangkan pada domba jantan
dewasa koefisien tertinggi diperoleh dari hubungan antara lingkar ekor dengan
berat badan domba ekor gemuk. Hal ini diduga karena perbedaan genetik dan pola
pemeliharaan, karena dapat diasumsikan bahwa pada PI2 domba sudah memiliki
ukuran tubuh yang sempurna dan dapat dianalisis dengan baik dan siap untuk
dijual.

Besarnya koefisien korelasi dan regresi lingkar ekor pada PI0, PI1, PI2 berturut-
turut adalah y = 14,848 + 0,424x, y = 19,023+ 0,251x, y = 11,930 + 0,526x.
Masalah inimenyatakan bahwa penambahan 1 cm ukuran lingkar ekor pada DEG,
maka akan terjadi perubahan bobot badan pada domba pada PI0, PI1, PI2 sebesar
0.424kg, 0.251kg, dan 0.526kg.

61
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Korelasi Tinggi Badan dengan Berat Badan DEG

Hasil perhitungan koefisien korelasi antara tinggi badan (X) dan Berat Badan (Y)
Domba Ekor Gemuk disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. K o e f i e i s n K o r e l a s i T i n g g i B a d a n d a n B o b o t B a d a n
Umur N r R2(%) Persamaan
Regresi
PI0 24 0,66** 43,5 Y=33,9+2,474X
PI1 30 0,25 06,5
PI2 06 0,47 21,8
Fat
Note: (**) very significant (P<0.01)
(*) significant (P<0.05) ( ) not significant
X: height, Y: body weight

Nilai koefisien korelasi tinggi dan berat badan Domba Ekor Gemuk adalah 0,66
pada PI0, 0,25 pada PI1, dan 0,47 pada PI2. Dapat dilihat bahwa hanya PI0 yang
memiliki korelasi erat dengan berat badan. Terlihat adanya perbedaan pola
pemeliharaan, hal ini sesuai dengan penelitian Tama, dkk (2016) yang
menyatakan bahwa pada domba jantan umur 13-24 bulan di Nigeria adalah 0,986.
Perbedaan nilai korelasi antara tinggi badan dan berat badan disebabkan oleh
perbedaan jenis ternak dan kondisi lingkungan dalam penelitian.

Nilai koefisien korelasi tinggi badan pada PI1 dan PI2 tidak berbeda nyata dengan
berat badan, hal ini dikarenakan besar kecilnya tinggi badan dipengaruhi oleh
pertumbuhan tulang tungkai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sutiyono, dkk.
(2006) bahwa tinggi badan dipengaruhi oleh tulang-tulang penyusun kaki depan
dan tidak berhubungan langsung dengan ruang perut dimana tulang-tulang kaki
depan hanya untuk menunjang aktivitas pergerakan ternak. Nilai koefisien
determinasi tinggi badan dengan berat badan pada kelompok umur I memiliki
pengaruh yang besar sebesar 43,5%, sedangkan untuk 56,5% dipengaruhi oleh
faktor lain.

Korelasi Panjang Badan dengan Berat Badan DEG


Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
panjang badan dengan berat badan pada PI1, nilai korelasi r = 0,513 dan koefisien
determinasi (R2) sebesar 26,32%. Nilai koefisien korelasi tergolong sedang. Hal
ini menunjukkan bahwa hubungan yang erat antara panjang badan dengan bobot
badan Domba Ekor Gemuk PI1 kuat, diduga karena pada PI1 panjang badan
domba mengalami peningkatan dari umur sebelumnya dan tidak mengalami
pertambahan panjang badan pada kelompok umur berikutnya. . Hal ini sependapat
dengan Tama, dkk (2016) yang menyatakan bahwa panjang badan memiliki nilai
korelasi yang kuat dengan berat badan, yaitu 0,92. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya, antara lain Pesmen dan Yardimici (2008) yang
melaporkan bahwa panjang badan memiliki nilai korelasi yang sangat kuat
sebesar 0,86;Adeyinka dan Mohammed (2006) pada kambing di Nigeria Utara
sebesar 0,88; Shirzeyli, dkk. (2013) pada domba Macoei di Iran yaitu sebesar
0.95; Mahmud, et al., (2014) pada domba jantan umur 13-24 bulan di Nigeria

62
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yaitu sebesar 0,948 dan hasil penelitian Sowande dan Sobala (2008) pada domba
West African Dwarf (WAD) umur 13-36 bulan yaitu sebesar 0, 91. perbedaan
nilai korelasi pada setiap umur disebabkan oleh perbedaan aktivitas peternakan
dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan Cam, et al., (2010) yang menyatakan
bahwa perbedaan breed, gender, aktivitas dan kondisi lingkungan akan
menghasilkan respon yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkar dada merupakan indikator yang


memiliki nilai jual bagi seekor hewan, karena merupakan lingkar seluruh tubuh.
Lingkar dada sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi seekor hewan, jika hewan
tersebut masih dalam masa pertumbuhan. Dilihat dari besarnya koefisien korelasi
dan regresi lingkar dada pada PI0 dan PI1 adalah y= -14,382 + 0,539x dan y =
3,821 + 0,288x, artinya penambahan lingkar dada 1 cm pada DEG, akan
mengalami perubahan bobot badan pada domba PI0 dan PI1 masing-masing
sebesar 0,539kg dan 0,288kg.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lingkar ekor pada semua
umur ternak memiliki korelasi positif sedangdengan bobot badan Domba Ekor
Gemuk, dan pada PI2 (umur 13-24 bulan) memiliki korelasi positif tinggi
sempurna sedangkan statistik vital memiliki korelasi positif sedang pada PI0 (10-
12 bulan) dan PI1 (13-24 bulan). Hal ini dapat digunakan sebagai prediktor yang
baik darisifat –sifatpertumbuhandari DEG.

Daftar Pustaka
Basbeth A.H., W.S. Dilaga dan A. Purnomoadi. 2015. Hubungan Antara Ukuran-
Ukuran Tubuh Terhadap Bobot Badan Jawarandu Jantan Umur Muda di
Kabupaten Kendal Jawa Tengah, Animal Agriculture Journal.4 (1): 355-360.
Darmawan, H. Dan N. Supartini. 2012. Heritabilitas dan Nilai Pemuliaan Domba
Ekor Gemuk di Kabupaten Situbondo. Buana Sains. 12: 51-62.
Islamiah J.P. 2016. Korelasi antara Ukuran Ekor dengan Bobot Badan pada
Domba Ekor Gemuk. Hal.1-15.
Isroli. 2001. Evaluasi Terhadap Pendugaan Bobot Badan Domba Periangan
Berdasakan Ukuran Tubuh. Jurnal Sainteks. 8 (2): 90-94.
Malewa, A. 2009. Penaksiran Bobot Badan Berdasarkan Lingkar Dada dan
Panjang Badan Domba Donggala. J. Agroland. vol 16(1): 91-97.
Rusiyantono Y., Awaludin dan Rusdin. 2013. Performa Turunan Domba Ekor
Gemuk Pali Prasapih dalam Upaya Konservasi Plasma Nutfah Sulawesi
Tengah. Hal 1-5. Seminar Nasional Teknologi Peternakan danVeteriner.
Sampurna I.P dan Suatha, I.K. 2010. Pertumbuhan Alometri Dimensi Panjang
dan Lingkar Tubuh Sapi Bali Jantan. Jurnal Veteriner Maret 2010. XI(1): 46
– 51.
Sugiyono. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis, PT. Gramedia. Jakarta.
Sutiyono, B., J.W. Nurul dan P. Endang. 2006. Studi performans induk kambing
Peranakan Ettawa berdasarkan jumlah anak sekelahiran di Desa Banyuringin
Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal.
Tama, W.A., Nasich. M dan Wahyuningsih S. 2015. Hubungan antara Lingkar
Dada, Panjang dan Tinggi Badan dengan Bobot Badan Kambing Senduro

63
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Jantan di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Junal ilmu-ilmu


Peternakan. 26 (1): 37-42.
Trisnawanto, R., Adiwinarti dan W.S. Dilaga. 2012. Hubungan Antara Ukuran-
Ukuran Tubuh Dengan Bobot Badan Dombos Jantan. Animal Agriculture
Journal, 1(1): 653-668.
Victori, A., Purbowati, E. Dan Lestari, C.M.S. 2016. Hubungan Antara Ukuran-
Ukuran Tubuh dengan Bobot Badan Kambing Peranakan Etawah Jantan di
Kabupaten Klaten. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 26(1): 23-28.
Yunita. 2008. Performa Domba Jantan Lokal dengan Perlakuan Pakan yang
Berbeda Selama Dua Bulan Penggemukan. Hal 1-62.

64
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Manajemen Produksi Ternak Non


Ruminansia

65
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN PADA KANDANG CLOSED


HOUSE TERHADAP KONSUMSI PAKAN, PBBH DAN FCR AYAM
PEDAGING

Desiana Putri Anjar Sari1, Heni Setyo Prayogi2,*, Muharlien2, Edhy


Sudjarwo2, Dyah Lestari Yulianti2
1
Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: hsprayogi@yahoo.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan kepadatan
pada kandang closed house terhadap konsumsi pakan, Pertambahan Bobot Badan
Harian (PBBH) dan Feed Convertion Ratio (FCR) ayam pedaging sehingga dapat
ditentukan kepadatan yang optimal untuk sistem kandang closed house. Materi
yang digunakan dalam penelitian di kandang A milik Bapak Mulyadi sebanyak
16.000 ekor. Jenis ayam yang digunakan yaitu strain Lohman (MB 202) dengan
bobot rerata 42 gram/ekor dengan kepadatan kandang 10 ekor/m2. Kandang B
milik Bapak Edi Purnomo yaitu ayam pedaging strain Lohman (MB 202)
sebanyak 17.000 ekor dengan bobot rerata 42 gram/ekor dengan kepadatan
kandang 12 ekor/m2. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
percobaan yang terdiri atas dua perlakuan berdasarkan pada kepadatan kandang
yang berbeda sesuai dengan pola Uji-T dengan program SPSS. Perlakuan yang
pertama adalah percobaan pada kandang A memiliki kepadatan kandang 10
ekor/m2 dan kandang B memiliki kepadatan kandang 12 ekor/m2. Berdasarkan
hasil penelitian dengan uji-t menunjukkan bahwa pengaruh kepadatan kandang
tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan,
pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan feed convertion ratio (FCR) ayam
pedaging. Data rataan penelitian konsumsi pakan yang didapat pada kandang A
(kepadatan 10 ekor/m2) adalah 1.792,74±1.812,04 g/ekor sedangkan pada
kandang B (kepadatan 12 ekor/m2) didapatkan rata-rata sebesar
1.833,07±1.910,93 g/ekor. Rataan pertambahan bobot harian pada kepadatan 10
ekor/m2 adalah 55,46±29,41 g/ekor dan kepadatan 12 ekor/m2 adalah 55,00±24,52
g/ekor. Rata-rata angka rasio konversi pakan di kepadatan 10 ekor/m2 sebesar
1,60±0,72 dan di kepadatan 12 ekor/m2 sebesar 1,67±0,82. Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan kepadatan kandang tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan harian
dan rasio konversi pakan ayam pedaging. Perlakuan dengan kepadatan kandang
10 ekor/m2 menunjukkan hasil terbaik pada peningkatan penampilan produksi
ayam pedaging dilihat dari pertambahan bobot badan yang tinggi dan angka FCR
yang rendah.

Kata kunci: Ayam pedaging, konsumsi pakan, konversi pakan, kepadatan


kandang

66
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pendahuluan
Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan
meningkat pula konsumsi protein hewani seperti daging ayam broiler. Usaha
peternakan ayam broiler merupakan salah satu usaha yang potensial untuk
menghasilkan daging dan meningkatkan konsumsi protein. Keberhasilan dalam
menghasilkan daging dan meningkatkan konsumsi tersebut harus memperhatikan
manajemen pemberian pakan, manajemen pemeliharaan yang baik dan ransum
yang berkualitas sehingga mampu memberikan performa yang maksimal terhadap
pertumbuhan ayam. Keberhasilan produksi ayam broiler dapat dilihat dari
penampilan ayam broiler yang dapat diukur melalui mortalitas, konsumsi pakan,
bobot badan akhir, rasio konversi pakan dan indeks performans (Nuryati, 2019).
Performans ayam broiler yang optimal dapat dicapai dengan mempertimbangkan
faktor yang mempengaruhi yaitu bibit, pakan dan pengelolaan atau manajemen.
Faktor manajemen itu sendiri sangat ditentukan oleh manajemen perkandangan.
Pada pemeliharaan secara intensif, kandang mempunyai peranan penting sebagai
penentu keberhasilan usaha peternakan ayam broiler.

Pemeliharaan ayam pedaging di Indonesia biasanya menggunakan dua sistem


kandang yaitu kandang terbuka (open house) dan kandang tertutup (closed house).
Kandang closed house memiliki kelebihan yaitu kapasitas kepadatan kandang
closed house lebih tinggi dibandingkan dengan kandang open house (Aji, 2020).
Kandang closed house memiliki pengaturan suhu, kecepatan angin dan
kelembapan udara dalam kandang sehingga melancarkan sirkulasi udara dalam
kandang, akan tetapi biaya pembuatan kandang relatif mahal. Kepadatan kandang
dapat berpengaruh pada temperatur dan kelembaban udara dalam kandang,
sehingga mempengaruhi pertumbuhan ayam broiler. Suhu udara ideal untuk
pemeliharaan ayam pedaging adalah 10-22°C untuk pencapaian berat badan
optimum (Dharmawan, dkk., 2016). Kandang ayam broiler dibuat dalam bentuk
litter dan diusahakan dalam satu kandang, ayam yang dipelihara seragam.
Peternak ayam broiler di Bojonegoro telah mengembangkan kandang terbuka
menjadi kandang closed house dengan sistem pemeliharaan kemitraan, salah
satunya dalam penelitian ini peternak bermitra dengan CV. Mitra Gemilang
Bersinar. Kepadatan kandang di peternakan ayam broiler daerah Bojonegoro
dengan tipe kandang closed house yaitu berkisar antara 12 ekor/m2 sampai 14
ekor/m2.

Kepadatan kandang yang melampaui kapasitas maksimum dapat menaikkan


angka konversi ransum yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ternak
serta menurunnya bobot badan ternak. Kepadatan kandang yang tinggi dapat
mengurangi tingkat konsumsi ransum (Aziz, dkk., 2020). Tingkat kepadatan
kandang yang tinggi dapat menyebabkan keadaan kandang tidak nyaman karena
kandang terus menjadi padat, temperatur menjadi tinggi yang menyebabkan ayam
menjadi stres. Tingkat kepadatan kandang yang rendah menyebabkan ayam lebih
bebas bergerak sehingga zat gizi ransum yang dikonsumsi lebih banyak sebagai
sumber energi daripada untuk pertumbuhan. Semakin tinggi dan rendah tingkat
kepadatan kandang berpengaruh pada pertambahan bobot badan ayam. Hal ini
dikarenakan keadaan kandang yang tidak nyaman membuat temperatur serta
kelembaban kandang yang semakin naik. Temperatur lingkungan dalam kandang

67
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang tinggi menyebabkan ayam mengalami cekaman panas, sehingga ayam lebih
banyak minum dan konsumsi pakan menurun. Kepadatan kandang yang tinggi
memiliki keuntungan yaitu dapat memaksimalkan luas lantai yang dipakai, tetapi
dapat menghalangi pergerakan ayam yang bisa menghabiskan tenaga. Berdasar
dari uraian diatas, perlu dilakukan penelitian perlakuan perbedaan kepadatan pada
kandang closed house ayam pedaging. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
apakah perbedaan kepadatan kandang tersebut dapat mempengaruhi konsumsi
pakan, pertambahan bobot badan (PBB) dan Feed Convertion Ratio (FCR) ayam
pedaging.

Materi dan Metode


Materi yang digunakan dalam penelitian di kandang A milik Bapak Mulyadi
terdapat dua lantai sebanyak 8.000 ekor per lantai dengan total ayam 16.000 ekor.
Strain yang digunakan yaitu Lohman (MB 202) dengan grade Platinum yang
berasal dari CV. Mitra Gilang Bersinar. Bobot DOC rerata 42 gram/ekor.

Materi yang digunakan dalam penelitian di kandang B milik Bapak Edi Purnomo
terdapat dua lantai sebanyak 8.500 ekor per lantai dengan total ayam 17.000 ekor
dengan bobot DOC rerata 42 gram/ekor. Strain yang digunakan yaitu Lohman
(MB 202) dengan grade Platinum yang berasal dari CV. Mitra Gilang Bersinar.
Standar performa mingguan Lohman (MB 202) disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1. Standar Performa Mingguan Lohman (MB 202)


Umur Berat Badan Konsumsi Pakan Komulatif FCR
(Minggu) (g/ekor) (g/ekor)
1 187 165 0,885
2 477 532 1,115
3 926 1.176 1,270
4 1.498 2.120 1,415
5 2.140 3.339 1,560
6 2.801 4.777 1,705
7 3.442 6.371 1,851
Sumber : Brosur PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk.

Model kandang yang digunakan dalam penelitian yaitu kandang closed house.
Kandang A berukuran panjang 80 meter, lebar 10 meter dan tinggi 4 meter dengan
kepadatan kandang 10 ekor/m2. Ketinggian kandang ayam pedaging di Desa
Genjor Kecamatan Sugihwaras adalah 44 mdpl. Kandang B berukuran panjang 60
meter, lebar 12 meter dan tinggi 4 meter dengan kepadatan kandang 12 ekor/m2.
Ketinggian kandang ayam pedaging di Desa Sumberagung Kecamatan Dander
adalah 42 mdpl. Peralatan kandang yang digunakan dalam pemeliharaan yaitu
tempat pakan pada fase starter menggunakan Baby Chick Feeder dan Chick Tray

68
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Feeder sedangkan pada fase finisher menggunakan Hangin Feeder. Tempat


minum yang digunakan adalah nipple otomatis yang bisa diatur tekanan keluaran
air sesuai kebutuhan ayam.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan yang terdiri atas
dua perlakuan berdasarkan pada kepadatan kandang yang berbeda sesuai dengan
pola Uji-T. Perlakuan yang pertama adalah percobaan pada kandang A (kepadatan
kandang 10 ekor/m2), sedangkan perlakuan yang ke dua pada kandang B
(kepadatan kandang sebesar 12 ekor/m2). Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data kuantitatif. Sedangkan sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh dari rekording
periode pemeliharaan ayam broiler yang sudah berlangsung.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Pakan


Parameter BR0 BR1 BR2
Kadar Air (%) 12 12 12
Protein Kasar (%) 22,0-24,0 20,0-22,0 18,0-20,0
Lemak Kasar (%) 5,0-7,0 5,0-7,0 5,0-7,0
Serat Kasar (%) 3,0-4,0 3,0-5,0 3,0-5,0
Abu (%) 5,0-7,0 5,0-7,0 5,0-7,0
Kalsium (%) 0,80-1,10 0,90-1,10 0,90-1,10
Phosphor (%) 0,5-0,8 0,6-0,8 0,6-0,8
Aflatoxin (Maks) 40 ppb 40 ppb 50 ppb
Sumber : PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi pakan, PBBH, dan
konversi pakan. Data yang diperoleh dan dianalisis menggunakan statistika Uji-t
dengan program SPSS untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nyata atau
tidak nyata diantara dua perlakuan yang diberikan terhadap variabel penelitian.
Apakah terdapat perbedaan nyata atau tidak nyata perbedaan kepadatan kandang
closed house terhadap pertambahan bobot badan dan mortalitas ayam pedaging.

Hasil dan Pembahasan


Data hasil penelitian pengaruh perbedaan kepadatan pada kandang closed house
terhadap konsumsi pakan, Pertambahan Bobot Badan (PBBH) dan Feed
Convertion Ratio (FCR) tersaji pada Tabel 4.

69
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Rataan dan simpangan baku konsumsi pakan, Pertambahan Bobot Badan
Harian (PBBH), dan Feed Convertion Ratio (FCR)
Kepadatan Kandang
No. Variabel
10 ekor/m2 12 ekor/m2
1 Konsumsi Pakan (g/ekor) 1.792,74±1.812,04 1.833,07±1.910,93
2 Pertambahan Bobot Badan 55,46±29,41 55,00±24,52
Harian (g/ekor/hari)
3 Feed Convertion Ratio 1,60±0,72 1,67±0,82
(FCR)

Konsumsi Pakan Ayam Pedaging yang dipelihara pada Kandang Kepadatan 10


ekor/m2 dan Kandang Kepadatan 12 ekor/m2
Berdasarkan data pada Tabel 2. diketahui bahwa terdapat adanya perbedaan rataan
konsumsi pakan pada kepadatan 12 ekor/m2 lebih tinggi dibandingkan dengan 10
ekor/m2. Hasil perhitungan konsumsi pakan yang diukur dengan cara pakan yang
diberikan dalam satuan waktu tertentu dibagi dengan jumlah populasi. Menurut
Masita (2018) bahwa konsumsi pakan pada ayam pedaging dipengaruhi oleh
kandungan energi dalam pakan, karena ayam akan terus makan sampai kebutuhan
energinya terpenuhi. Apabila didapat hasil bobot ayam pedaging belum memenuhi
standar, maka jumlah pakan dapat ditambah dengan persentase kekurangan bobot
badan dari standar. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan dengan
prosedur standart pemberian pakan yang di terapkan oleh perusahaan dalam
proses pemeliharaan ayam pedaging selama 35 hari. Konsumsi pakan kumulatif
pada umur 35 hari di akhir pemeliharaan pada kepadatan 10 ekor/m2 sebesar
6.318,80 g/ekor dan kepadatan 12 ekor/m2 sebesar 6.830,31 g/ekor sudah sesuai
dengan standar strain Lohman (MB 202) yaitu 6.371 g/ekor.

Berdasarkan hasil analisis statistik didapatkan bahwa pengaruh kepadatan


kandang tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi
pakan. Data rataan penelitian konsumsi pakan yang didapat pada kandang A
(kepadatan 10 ekor/m2) adalah 1.792,74±1.812,04 g/ekor sedangkan pada
kandang B (kepadatan 12 ekor/m2) adalah 1.833,07±1,910,93 g/ekor sehingga
didapat selisih tidak terlalu signifikan sebesar 40,33 g/ekor. Hal ini dikarenakan
pada kepadatan yang tinggi ayam pedaging cenderung lebih bersaing untuk
mendapatkan pakan sedangkan pada kepadatan yang rendah tingkat persaingan
untuk memperebutkan pakan lebih rendah sehingga tingkat konsumsi ransum
menurun. Menurut Mariyam, dkk. (2020) bahwa semakin tinggi kepadatan
kandang akan membuat ayam banyak mengkonsumsi ransum, karena ayam
semakin banyak melihat ayam lain yang ada di petaknya sehingga ayam akan
saling melihat saat makan yang akan menyebabkan keinginan ayam untuk
konsumsi ransum semakin tinggi. Ditambahkan oleh Freda (2020) menyatakan
bahwa kandang dengan kepadatan 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2, sifat agonistiknya
akan lebih tinggi dibandingkan kepadatan 10 ekor/m2. Tingkat kepadatan yang
lebih tinggi menyebabkan agresivitas broiler meningkat pada konsumsi pakan.

Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Pedaging yang dipelihara pada


Kandang Kepadatan 10 ekor/m2 dan Kandang Kepadatan 12 ekor/m2

70
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berdasarkan data pada Tabel 2. diketahui bahwa rataan pertambahan bobot badan
harian (PBBH) pada kepadatan 10 ekor/m2 cenderung tinggi dibandingkan dengan
kepadatan 12 ekor/m2. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan kandang yang
rendah memiliki nilai rata-rata pertambahan bobot badan harian yang tinggi
karena ayam memiliki ruang gerak yang bebas dan merasa nyaman, sedangkan
kepadatan yang tinggi memiliki rata-rata pertambahan bobot badan harian yang
lebih rendah disebabkan karena kandang semakin padat dan terjadi cekaman
panas sehingga produksi ayam menurun. Di wilayah tropis, temperatur serta
kelembaban yang tinggi dapat menjadi pemicu stres pada ayam pedaging. Pada
penelitian yang dilakukan menggunakan kandang closed house sehingga cekaman
panas dapat dikontrol. Data rataan suhu dan kelembaban pada kepadatan kandang
10 ekor/m2 adalah 26,16oC dan 61,86%, sedangkan pada kepadatan kandang 12
ekor/m2 memiliki rataan suhu 28,09oC dan kelembaban 59,37%. Penimbangan
dilakukan tiap hari yaitu dengan bobot day old chicken 42 g/ekor dan bobot akhir
pemeliharaan ±2.000 g/ekor yang dipelihara selama 35 hari. Hal ini menunjukkan
bobot badan akhir tidak sesuai dengan standar strain Lohman (MB 202) yaitu
sebesar 3.442 g/ekor pada umur 35 hari. Kepadatan kandang yang tinggi dapat
menaikkan angka feed convertion ratio sehingga mengakibatkan pertambahan
bobot badan yang rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Silondae dan Polakitan
(2018) bahwa kepadatan ternak sangat berpengaruh terhadap nilai konversi
ransum karena semakin banyak ransum yang dihabiskan ayam dalam
meningkatkan bobot badan per satuan berat.

Berdasarkan hasil uji-t menunjukkan bahwa pengaruh kepadatan kandang tidak


memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan
harian (PBBH). Data rataan penelitian penambahan bobot badan harian (PBBH)
yang didapat pada kandang A (kepadatan 10 ekor/m2) adalah 55,46±29,41 g/ekor
sedangkan pada kandang B (kepadatan 12 ekor/m2) didapatkan rata-rata sebesar
55,00±24,52 g/ekor. Selisih perbedaan pertambahan bobot badan yang sedikit
menyebabkan kepadatan kandang yang tinggi sangat diutamakan untuk mendapat
keuntungan maksimal dari luas lantai yang digunakan. Menurut Robinson (2020)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepadatan kandang yang tidak berbeda
nyata terhadap pertambahan bobot badan, diduga karena faktor cekaman pada
ayam pedaging yang disebabkan oleh kurangnya sirkulasi udara dan semakin
tingginya kadar amoniak seiring bertambahnya kepadatan kandang, sehingga
menyebabkan terjadinya heat increament yang mempengaruhi kemampuan ayam
pedaging untuk melakukan metabolisme zat makanan dari bahan pakan yang telah
dikonsumsi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan
ayam pedaging.

Feed Convertion Ratio (FCR) Ayam Pedaging yang dipelihara pada Kandang
Kepadatan 10 ekor/m2 dan Kandang Kepadatan 12 ekor/m2
Berdasarkan data pada Tabel 4. diketahui bahwa rataan feed convertion ratio
(FCR) pada kepadatan 10 ekor/m2 lebih rendah dibandingkan dengan 12 ekor/m2 ,
karena kepadatan kandang yang berbeda akan berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya konversi pakan ayam pedaging. Faktor yang dapat mempengaruhi nilai
konversi pakan yaitu genetik, bentuk pakan, temperatur lingkungan, konsumsi
pakan, bobot badan dan jenis kelamin. Menurut Bahtiar, dkk. (2016) bahwa

71
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

semakin kecil angka dari FCR maka semakin efisien penggunaan pakan untuk
menghasilkan daging, sebaliknya bila angka dari FCR semakin besar maka
semakin tidak efisien pakan yang digunakan untuk menghasilkan daging per
satuan berat. Konversi pakan yang kecil pada kepadatan 10 ekor/m2 menunjukkan
jumlah ransum yang digunakan untuk menghasilkan satu kilogram daging
semakin sedikit, sedangkan konversi pakan yang besar pada kepadatan 12 ekor/m2
menunjukkan bahwa ransum yang digunakan dalam menghasilkan satu kilogram
daging semakin banyak.

Berdasarkan hasil analisis stastistik ditunjukkan bahwa pengaruh kepadatan


kandang tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap FCR. Data
rataan penelitian Feed Convertion Ratio (FCR) yang di dapat pada kandang A
(kepadatan 10 ekor/m2) yaitu 1,60±0,72 sedangkan pada kandang B (kepadatan 12
ekor/m2) didapat 1,67±0,82. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
kepadatan akan berpengaruh pada konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan,
sehingga nilai Feed Convertion Ratio tidak berbeda nyata. Nilai FCR yang rendah
menunjukkan bahwa semakin banyak pakan yang dapat dicerna oleh ayam
pedaging sebaliknya nilai FCR yang tinggi menunjukan pakan yang dapat dicerna
sedikit sehingga pakan yang diberikan tidak efisien. Menurut Tamalludin (2014)
bahwa standar nilai FCR untuk ayam broiler umur 35 hari adalah sebesar 1,63.
Penelitian pada kepadatan kandang 10 ekor/m2 diperoleh rataan FCR sebesar 1,60,
sedangkan pada kepadatan kandang 12 ekor/m2 diperoleh rataan FCR sebesar 1,67
dengan selisih yang tidak besar. Akan tetapi pada umur 35 hari diperoleh FCR
yang tinggi pada kepadatan 10 ekor/m2 sebesar 3,17 dan pada kepadatan 12
ekor/m2 sebesar 3,55. Hal ini menunjukkan FCR yang diperoleh melebihi standar
pada akhir pemeliharaan. FCR yang tinggi dalam penelitian kemungkinan
dikarenakan karena pemberian pakan yang besar melebihi standar perusahaan
sehingga tidak efisien dalam menghasilkan satu kilogram daging yang
menyebabkan angka FCR yang tinggi.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan kepadatan
kandang tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi pakan, pertambahan
bobot badan harian (PBBH) dan Feed Convertion Ratio (FCR) ayam pedaging.
Perlakuan dengan kepadatan kandang 10 ekor/m2 menunjukkan hasil terbaik pada
peningkatkan penampilan produksi ayam pedaging dilihat dari pertambahan bobot
badan harian yang lebih tinggi dan angka FCR yang rendah.

Saran
Dari hasil penelitian disarankan kepada peternak ayam pedaging dengan sistem
kandang closed house sebaiknya menggunakan kepadatan kandang yang rendah
dengan jumlah 10 ekor/m2, diharapkan mendapatkan penampilan produksi yang
optimal serta dapat memberikan keuntungan dalam segi ekonomi.

Daftar Pustaka
Aji, N. M. D. S. 2020. Pengaruh Perbedaan Kepadatan Kandang Closed House
Terhadap Keseragaman, Indeks Performans (IP) dan Income Over Feed (IOP)

72
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Ayam Pedaging. Skripsi. Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan,


Universitas Brawijaya.
Aziz, S., C. K. N. S. Qabilah, dan Wahyuni. 2020. Pengaruh Kepadatan Kandang
Terhadap Pertambahan Bobot Badan dan Mortalitas Ayam Broiler Fase Starter.
Animal Science, 3(2) : 31-35.
Bahtiar, J. D, dan M. F. Wadjdi. 2016. Evaluasi Penampilan Produksi Ayam
Pedaging dengan Kepadatan Kandang yang Berbeda di Daerah Malang
Raya. Dinamika Rekasatwa, 1(2) : 1-5.
Dharmawan, R., H. S. Prayogi, dan V. M. A. Nurgiartiningsih. 2016. Penampilan
Produksi Ayam Pedaging yang Dipelihara Pada Lantai Atas dan Lantai
Bawah. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 26(3) : 27-37.
Freda, G. A. 2020. Pengaruh Kepadatan Kandang Terhadap Konsumsi Pakan,
PBB, dan FCR Broiler Pada Kandang Closed House di Desa Sedayulawas
Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan. Skripsi. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
Mariyam, S., S. Tantalo, R. Riyanti, dan D. Septinova. (2020). Pengaruh
Kepadatan Kandang Terhadap Konsumsi Ransum, Pertambahan Berat Tubuh,
dan Konversi Ransum Broiler Umur 14-28 Hari di Closed House. Jurnal Riset
dan Inovasi Peternakan, 4(1) : 35-40.
Masita, E. D. 2018. Pengaruh Penambahan Susu Bubuk Afkir dalam Pakan
Terhadap Penampilan Produksi Ayam Pedaging. Skripsi. Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
Nuryati, T. 2019. Analisis Performans Ayam Broiler pada Kandang Tertutup dan
Kandang Terbuka. Jurnal Peternakan Nusantara, 5(2) : 77-86.
Robinson, P. 2020. Pengaruh Kepadatan Kandang dan Pembatasan Ransum
Terhadap Performans Produksi dan Tingkat Cekaman Pada Ayam Broiler.
Jurnal Ilmu Peternakan, 1(2) : 26-38.
Silondae, H. dan D. Polakitan. 2018. Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Serta
Kepadatan Kandang Terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Jurnal Peternakan
Indonesia, 20(3) : 175-180.
Tamalludin, F. 2014. Panduan Lengkap Ayam Broiler. Tasikmalaya: Penebar
Swadaya.

73
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH ZONASI DI DALAM CLOSED HOUSE TERHADAP


MIKROKLIMAT KANDANG AYAM PETELUR PERIODE STARTER

Halifah Nurlaili Afifah1,*, Edhy Sudjarwo2, Muharlien2


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Malang 65145, Indonesia
*
E-mail korespondensi: lifahhalifah@student.ub.ac.id

Abstrak
Ayam petelur sangat potensial untuk dikembangkan karena kemampuan produksi
telurnya yang tinggi, tetapi untuk mencapai produksi telur yang tinggi diperlukan
lingkungan kandang yang nyaman. Indonesia merupakan negara beriklim tropis
dimana suhu dan kelembabannya relatif tinggi sepanjang tahun. Suhu yang relatif
tinggi dapat memicu heat stress pada ayam dan mengakibatkan terganggunya
kesehatan ternak, sehingga konsumsi pakan menurun dan diikuti dengan
menurunnya tingkat prduksi (Natalia, Suprijatna, dan Muryani, 2016). Materi
penelitian ini adalah closed house seluas 12x120 m2 dengan kapasitas sampai
dengan 75.000 ekor. Metode yang digunakan adalah percobaan secara langsung
dengan mengukur kondisi mikroklimat di dalam closed house selama 38 hari
masa penelitian. Data penelitian diuji menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan, mengacu pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Sarjana, dkk., (2018). P0 adalah ayam yang
dipelihara di zona 1 (0 s.d. 30 m dari inlet), P1 di zona 2 (31 s.d. 60 m dari inlet),
P2 di zona 3 (61 s.d. 90 m dari inlet) dan P3 di zona 4 (91 s.d. 120 m dari inlet).
Zonasi dalam closed house berpengaruh terhadap kondisi mikroklimat di dalam
kandang akan tetapi kondisi tersebut masih sesuai dengan kondisi optimum yang
disarankan.

Kata kunci : ayam petelur, closed house, mikroklimat

Pendahuluan
Ayam petelur tergolong ayam ras yang mempunyai kemapuan produksi telur yang
tinggi. Produksi telur dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah suhu
dan kelembaban di dalam kandang. Suhu yang tidak sesuai memiliki efek negatif
terhadap kesehatan dan produktivitas ternak, hal tersebut juga berdampak pada
peternakan unggas (Ajakaiye, Perez-Bello, dan Mollineda-Trujillo, 2011). Suhu
yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dapat menyebabkan kerugian ekonomi
akibat dari tingginya konversi pakan dan kenaikan angka kematian (mortalitas).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban kandang merupakan
masalah yang dialami peternak ayam petelur terutama pada fase starter. Bahkan
pada closed house sekalipun masih ditemukan adanya perbedaan suhu di dalam
kandangnya. Suhu di dekat outlet akan lebih tinggi dibanding suhu di dekat inlet.
Ayam petelur yang ditempatkan di depan (inlet) memiliki performa produksi yang
lebih baik dan kualitas telur yang sesuai dengan standar bila dibandingkan dengan
ayam yang ditempatkan di belakang (outlet) (Amijaya, Yani, dan Rukmiasih,
2018).

74
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Suhu optimal untuk ayam petelur periode starter pada masa brooding sekitar
93,0ᵒF atau 33,0-34,0ᵒC (Lu, 2019) dan suhu yang optimal untuk ayam petelur
umur lebih dari lima minggu berkisar antara 18,0-23,9ᵒC. Pada suhu lingkungan
diatas 30ᵒC pembuangan panas sepenuhnya dilakukan melalui panting yang
merupakan tanda klinis khas pada golongan unggas yang mengalami heat stress
(Ajakaiye, et al., 2011).

Kecepatan angin memegang peran penting pada distribusi udara dan eliminasi
amonia di dalam closed house (Lu, 2019). Terjadi penurunan kecepatan angin
akibat tekanan negatif pada jarak penempatan ayam ¼, ½ dan ¾ dari panjang
kandang masing-masing sebesar 17,54; 23,78 dan 22,41% (Sarjana, dkk., 2018).
Penelitian dilakukan dalam closed house seluas 12x120 m2 dengan menempatkan
ayam petelur periode starter pada zona yang berbeda.

Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan secara langsung, dengan
melakukan pengukuran kondisi lingkungan di dalam closed house. Variabel yang
diukur adalah suhu, kelembaban dan heat index. Materi penelitian berupa closed
house seluas 12x120 m2 yang berlokasi di Serang, Banten.

Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di closed house milik PT. Ciomas Adisatwa, Pullet Division,
Serang Banten, Indonesia.

Analisis Data
Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan dan 6 ulangan. Adapun perlakuannya sebagai berikut :
P0 : Zona 1 (0 s.d. 30 m dari inlet)
P1 : Zona 2 (31 s.d. 60 m dari inlet)
P2 : Zona 3 (61 s.d. 90 m dari inlet)
P3 : Zona 4 (91 s.d. 120 m dari inlet)
Berikut model matematika Rancangan Acak Lengkap (Sudarwati, Natsir, dan
Nurgiartiningsih, 2019) :
Yij = µ + αi + E(ij)
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I ulangan ke-j
µ = Rata-rata populasi
αi = Efek perlakuan ke -i
E(ij) = Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
i = 1,2,3,4,5
j = 1,2,3,4

Hasil dan Pembahasan


Ayam petelur akan berproduksi optimal pada zona nyamannya (comfort zone).
Apabila kondisi lingkungan berada di bawah atau di atas zona nyaman ayam
petelur akan mengalami stres. Stres yang biasa terjadi pada peternakan ayam
petelur di Indonesia adalah stres panas dimana suhu lingkungan yang tinggi

75
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menyebabkan naiknya suhu tubuh ayam sehingga produksi pada ayam menurun
(Rostagno, 2020). Suhu kandang yang nyaman diduga menyebabkan nafsu makan
ayam relatif sama pada semua perlakuan tingkat kepadatan kandang (Gustira,
Dwi, Riyanti dan Titin, 2015). Perbedaan mikroklimat dalam empat zona closed
house dilihat dari suhu, kelembaban dan heat index dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut :

Tabel 1. Kondisi mikroklimat di dalam closed house


Rataan Rataan Heat
Perlakuan Rataan Suhu Kelembaban index
a c
0 (Zona 1) 29,087 ± 0,028 80,41 ± 6,62 164,28c ± 1,83
ab ab
1 (Zona 2) 29,385 ± 0,034 74,05 ± 5,38 158,39ab ± 2,62
2 (Zona 3) 29,769 c ± 0,326 77,52bc ± 5,24 163,08c ± 1,75
3 (Zona 4) 29,578 bc ± 0,285 70,80a ± 3,77 156,58a ± 1,63
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada setiap kolom menunjukkan perbedaan
yang signifikan (P≤0,05).

Perbedaan suhu dalam closed house ini dapat terjadi karena adanya karena
beberapa faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan suhu tersebut
salah satunya adalah penanganan pertama saat chick-in (DOC pertama kali
datang) yaitu pengaplikasian brooder yang kurang optimal, sehingga pada saat
DOC datang suhu pada kandang belum merata dengan sempurna. Akibat dari
kesalahan pada pengaplikasian brooder ini adalah rendahnya suhu pada zona yang
jauh dari brooder di minggu pertama. Faktor lainnya adalah aliran angin yang
dihasilkan oleh exhaust fan dapat membentuk adanya wind chill effect. Wind chill
effect merupakan penurunan suhu pada lingkungan akibat dari adanya aliran
angin. Penurunan suhu tersebut terjadi karena adanya perpindahan panas akibat
dari aliran angin (Tabler, 2013).

Suhu pada inlet menjadi lebih rendah dibanding dengan suhu pada outlet
dikarenakan exhaust fan yang ada pada outlet menarik udara keluar dan
membentuk aliran angin pada inlet. Angin yang mengalir pada inlet tersebut akan
menurunkan suhu yang ada di inlet. Perbedaan suhu dalam keempat zona
penempatan ayam dalam closed house dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa pada minggu pertama suhu di empat
zona penempatan ayam dalam closed house cenderung sama. Suhu optimum
pemeliharaan pada hari ke-1 dan ke-2 adalah 35-36 ᵒC, sedangkan hari ke-3 dan
ke-4 adalah 33-34 ᵒC dan hari ke-5 sampai ke-7 adalah 32-33 ᵒC (Anonimous,
2019). Pada P0 (Zona 1) yang berada tepat di sisi paling dekat dengan inlet rataan
suhu pada hari ke-1 dan ke-2 sedikit lebih rendah daripada suhu optimum yang
disarankan yaitu 33,67 ᵒC dan 34,07 ᵒC. Pada hari yang sama, suhu pada P2 juga
lebih rendah daripada suhu optimum, yaitu 34,24 ᵒC dan 34,10 ᵒC. Suhu pada P1
dan P3 yang saat itu paling mendekati optimum, yaitu secara berturut-turut 35,07
ᵒC, 34,51 ᵒC, 35,01 ᵒC dan 34,44 ᵒC. Selanjutnya, setelah melewati minggu
pertama pemeliharaan, kondisi mikroklimat di keempat zona dalam closed house
berada di atas suhu optimum yang disarankan.

76
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1. Grafik suhu dalam closed house

Selain suhu, kelembaban juga berpengaruh terhadap kenyamanan dalam close


house. Kelembaban optimum untuk ayam petelur adalah 60-70 % (Anonimous,
2019). Kelembaban dalam closed house dapat di lihat pada gambar 2.

Gambar 2. Grafik kelembaban dalam closed house

Dari gambar 2 tentang grafik kelembaban dalam closed house dapat dilihat bahwa
selama masa pemeliharaan, kelembaban di keempat zona dalam closed house
mengalamai fluktuatif, meski begitu kelembaban dalam closed house pada
minggu pertama pemeiharaan masih berada di kurun kelembaban optimum yang
disarankan. Pada zona dekat inlet (P0) kelembaban mulai mengalami peningkatan
dan melebihi kelembaban optimum di hari ke-4 dengan kelembaban 72,09%. Dari
grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa zona dekat inlet, P0 memiliki tingkat
kelembaban yang paling tinggi diantara zona-zona lainnya. Sedangkan, P4 yang

77
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berada di dekat outlet memiliki kelembaban udara yang paling rendah jika
dibandingkan dengan zona lainnya. Dari tabel 1, dapat disimpulkan bahwa
kelembaban pada P3 berbeda nyata dengan kelembaban pada P0. Sementara
kelembaban pada P1 dan P2 tidak berbeda nyata. Tabler (2013) menyatakan
ketika suhu naik, maka kelembaban akan turun dan begitu sebaliknya.
Dengan adanya perbedaan suhu dan kelembaban tersebut, dibutuhkan data heat
index yang dapat menjelaskan kondisi lingkungan didalam kandang tersebut. Heat
index diperoleh dengan mengkalkulasi suhu dan % kelembaban relatif (%RH)
dengan menjumlahkan suhu dalam satuan Fahrenheit dengan % kelembaban
relatif (%RH) terukur. Heat index dalam closed house dapat dilihat dalam grafik
berikut :

Gambar 3. Grafik heat index dalam closed house

Berdasarkan tabel 1, heat index dalam closed house berada di angka yang riskan,
terutama pada P0 dan P2 karena, menurut Palupi (2015) heat index yang masih
dapat ditolerir oleh ayam adalah 160, sehingga ayam akan melakukan panting.
Iklim diluar kandang dapat mempengaruhi heat index di dalam kandang, sebab
heat index dalam closed house juga mengalami fluktuatif ditiap jamnya. Berikut,
grafik rataan heat index dalam closed house selama 24 jam :

78
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 4. Rataan heat index dalam closed house selama 24 jam

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa heat index dalam closed house baru
mengalami peningkatan dipagi hari pada pukul 06.30 WIB dan puncak paling
tinggi untuk tiap zonanya ada pada pukul 07.00 sampai 08.00 WIB. Pada keempat
zona, heat index terus mengalami peningkatan dan mulai turun kembali pada
pukul 08.30 WIB. Heat index terendah terjadi pada pukul 11.00 sampai dengan
12.00 WIB pada P0, P1 dan P3, namun pada P2 heat index terendah terjadi pada
pukul 14.00 WIB.

Kesimpulan
Zonasi di dalam closed house mempengaruhi keadaan mikroklimat dalam
kandang. Suhu di zona dekat inlet cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
zona di dekat outlet. Kelembaban di zona dekat inlet lebih tinggi dibandingkan
dengan kelembaban di dekat outlet. Heat index di keempat zona dalam closed
house berada di angka yang riskan, sedikit lebih tinggi dari angka yang disarankan
dan heat index tertinggi dicapai pada pagi hari, kemudian heat index terendah
terjadi pada siang hari.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, PT. Ciomas Adisatwa, Pullet Division dan seluruh pihak yang telah
membantu jalannya penelitian ini.

Daftar Pustaka
Ajakaiye, J., Perez-Bello, J., dan Mollineda-Trujillo, A. (2011). Impact of heat
stress on egg quality in layer hens supplemented with l-ascorbic acid and dl-
tocopherol acetate. Veterinarski arhiv, 81(1), 119-132.
Amijaya, D., Yani, A., dan Rukmiasih, R. (2018). Performa Ayam Ras Petelur
pada Letak Cage Berbeda dalam Sistem Closed house di Global Buwana Farm.
Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 6(3), 98-103.

79
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Anonimous. (2019). Lohmann Brown- Classic Layer Management Guide.


Cuxhaven: Lohmann Tierzucht.
Gustira, Dwi, E., Riyanti, dan Tintin, K. (2015). Pengaruh Kepadatan Kandang
Terhadap Performa Produksi Ayam Petelur Fase Awal Grower. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu, 3(1): 87-92.
Lu, T. (2019). Effect of Air Movement on Chick Body Temperature during
Brooding. Georgia: Doctoral dissertation, University of Georgia.
Natalia, D., Suprijatna, E., dan Muryani, R. (2016). Pengaruh penggunaan limbah
industri jamu dan bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.) sebagai sinbiotik
untuk aditif pakan terhadap performans ayam petelur periode layer. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan, 26(3), 6-13.
Palupi, R. (2015). Manajemen Mengatasi Heat stress pada Ayam Broiler yang
Dipelihara Dilahan Kering. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal
2015, (pp. 15-21). Palembang.
Rostagno, M. (2020). Effects of heat stress on the gut health of poultry. Journal of
animal science, 98(4), 90-96.
Sarjana, T., Mahfudz, L., Sunarti, D., Sarengat, W., Huda, N., Rahma, N., et al.
(2018). Perbedaan kondisi mikroklimat akibat zona penempatan di closed
house . Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan III, (pp. Vol. 3,
pp. 688-700). Semarang.
Sudarwati, H., Natsir, M., dan Nurgiartiningsih, V. (2019). Statistika dan
Rancangan Percobaan Penerapan dalam Bidang Peternakan. Malang: UB
Press.
Tabler, T. (2013). Evaporative Cooling Systems: How and Why They Work.
Mississippi: Extension Service of Mississippi State University.

80
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

STUDI LITERATUR: PERBANDINGAN PRODUKSI LEBAH MADU Apis


mellifera PADA DUA SISTEM INTEGRASI YANG BERBEDA
DI KABUPATEN MALANG

Heri Damayanti1, Ratna Iffany Faradilla Besari1,*, Sri Minarti2


1
Mahasiswa Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Dosen Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: Iffanyfaradilla28@gmail.com

Abstrak
Studi literatur ini dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi mengenai
perbandingan produksi lebah madu Apis mellifera pada dua sistem integrasi yang
berbeda di Kabupaten Malang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
perbandingan produksi Apis mellifera pada dua sistem integrasi yang berbeda di
Kabupaten Malang. Adapun metode yang digunakan adalah studi literatur dengan
mengumpulkan hasil-hasil penelitian dari penelitian sebelumnya atau terdahulu
untuk menjawab perbandingan produksi lebah madu Apis mellifera pada sistem
yang berbeda. Hasil studi ini menunjukkan bahwa sebelum diintegrasikan dengan
perkebunan kopi ataupun tanaman lain hasil produksi madu yang didapat lebih
sedikit daripada menggunakan sistem integrasi tanamana kopi atau yang lainnya.
Berdasarkan hasil studi literatur ini maka dapat disimpulkan bahwa adanya sistem
integrasi lebah madu sangat membantu dalam memperbanyak produksi madu
yangdihasilkan.

Kata Kunci: Apis mellifera, integrasi, produksi

Pendahuluan
Masyarakat Indonesia sudah mengenal budidaya lebah madu sejak lama dan usaha
budidaya tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan menambah
penghasilan keluarga. Pengetahuan yang minim dan keterampilan usaha dalam
budidaya ternak lebah masih menjadi penghambat untuk mengembangkan usaha
ternak lebah. Masyarakat masih belum banyak yang mengetahui bahwa selain
menghasilkan madu, lebah madu juga menghasilkan comb honey, royal jelly,
polen, propolis dan juga lilin lebah. Permintaan madu yang semakin meningkat
dari masyarakat memberikan peluang usaha budidaya ternak lebah.

Lebah dapat berkembang biak dengan baik dan produktif di daerah tropis seperti
Indonesia, dengan tersedianya sumber pakan lebah yang berkelanjutan. Hal ini
sesuai dengan Yunianto dan Jannetta (2020) yang menyatakan bahwa sumber
pakan yang tersedia sangat mendukung keberadaan lebah. Hasil yang dapat
diperoleh dari budidaya penangkaran lebah madu merupakan hasil produksi dari
koloni lebah dan hasil lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan kelompok
tani. Agar hasil produksi dapat berkesinambungan dan tidak menurun secara
drastis maka diperlukan manajemen penangkaran lebah madu.

Lebah madu berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, hal itu dikarenakan


melimpahnya pakan lebah yaitu berupa nektar dan polen. Akan tetapi, belum

81
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

banyak yang mengusahakan budidaya ternak lebah dan pengembangannya juga


masih sedikit. Adapun jenis lebah unggul yang dibudidayakan adalah Apis
mellifera. Kasta yang ada pada Apis mellifera yaitu lebah jantan, lebah pekerja
dan lebah ratu. Lebah jantan tubuhnya lebih pendek dibandingkan lebah ratu dan
berwarna kehitam-hitaman, terbang jauh hanya mengejar ratu untuk dikawini lalu
mati, makan minum dicukupi oleh lebah pekerja, masa paceklik baginya suram
karena akan dibunuh oleh lebah pekerja dan umur lebah jantan ± 70 hari/10
minggu (Junus 2017).

Lebah pekerja adalah jenis kelamin betina tidak sempurna, tubuhnya lebih kecil
dari lebah jantan berwarna kecoklat-coklatan, tugas lebah pekerja yaitu: memberi
makan lebah ratu dan larva, membuat sarang, mencari nektar dan tepung sari,
memproses dan menyimpan madu, mencari air dan lain-lain. Umur lebah pekerja
lebih pendek dibandingkan lebah ratu ± 70 hari/10 minggu. Sedangkan lebah ratu
memiliki ciri-ciri yaitu: mempunyai tubuh paling besar di antara lebah-lebah
dalam sarang, dan warna merah agak kehitam-hitaman, mempunyai sengat dan
dapat menyengat berkali-kali dalam hidupnya tanpa mengalami kerusakan tubuh
atau mati seperti lebah pekerja, bertelur, hidupnya sehari-hari diawasi, makannya
diberi dan diatur oleh lebah pekerja.

Usaha budidaya madu bukan hanya berorientasi pada ekonomi melainkan


pelestarian lingkungan dan menjaga hutan tetap lestari. Usaha budidaya lebah
madu dapat memanfaatkan nektar dan polen yang berasal dari bunga tanaman
hutan, tanaman sayuran dan buah-buahan, tanaman pangan, tanaman hias,
rumput-rumputan dan semak belukar untuk pengembalaan lebah dengan sistem
integrasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbandingan produksi Apis
mellifera pada dua sistem integrasi yang berbeda di Kabupaten Malang.

Metode
Jenis penelitian ini adalah studi literatur. Metode studi literatur adalah serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca
dan mencatat serta mengelola bahan penelitian (Zed dalam penelitian
Kartiningsih, 2015). Populasi dalam penelitian ini adalah peternak lebah Apis
mellifera di Kabupaten Malang.

Hasil dan Pembahasan


Peternakan lebah madu di Kabupaten Malang seperti dibeberapa tempat di
antaranya ada di daerah Ngingit, Wangkal, Pajara dan Sukorame, Kecamatan
Tumpang, Kabupaten Malang. Lokasi tersebut dipilih karena memiliki lahan dan
kondisi lingkungan yang sangat mendukung dalam budidaya madu. Keadaan
tofografi keempat desa merupakan Kawasan pertanian dengan luas ladang lebih
dari 196, 670 m2 dan memiliki ketinggian di atas 1000 m di atas permukaan air
laut. Mayaut, dkk. (2020) menyatakan bahwa lokasi yang cocok untuk budidaya
lebah madu memiliki ketinggian 200-1000 meter dpl dengan suhu 20-30°C,
memiliki banyak tanaman pakan lebah dengan jarak tempat pengembalaan dengan
sumber pakan 1-2 km. lebih lanjut Mayaut menyatakan bahwa ketersediaan
sumber pakan lebah dapat mempengaruhi perkembangan koloni madu terutama
terhadap perkembangan calon lebah madu. De lima, dkk (2019) melaporkan

82
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tanaman yang cocok dibudidayakan untuk pemeliharaan lebah madu meliputi


tanaman buah, tanaman sayur, tanaman hias, tanaman pangan, dan tanaman
perkebunan yang mengandung nektar dan polen. Christian (2021) menyebutkan
bahwa produksi Apis mellifera sangat tinggi, satu koloni bisa mencapai 35-40 kg
pertahun. Biasanya lebah madu diternakkan dengan sarang yang berbingkai yang
dapat diangkat dan dipindahkan.

Lebah madu sebagai penyerbuk bunga alam untuk meningkatkan produksi


pertanian dan perkebunan. Lebah madu sebagai penyerbuk bunga alam untuk
meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan. Jadi dengan adanya integrasi
lebah madu dengan tanaman pertanian dan perkebunan dapat meningkatkan
produksi pertanian dan perkebunan. Thomson, dkk (2017) melaporkan bahwa
lebah mempunyai kesukaan terhadap polen tertentu. Alasannya belum diketahui,
akan tetapi kesukaan mengumpulkan nektar adalah karena kandungan zat-zat
yang ada di dalam nektar terutama kandungan gula. Semakin banyak
kandungan gula yang ada pada nektar, maka semakin senang lebah mengunjungi
bunga itu. Saepudin (2015) menyatakan bahwa koloni lebah yang dapat dipelihara
pada setiap lahan kebun kopi adalah 250 stup/ha pada kondisi tidak ada predator
atau serangga lainnya. Pasaribu, dkk (2017) menyatakan bahwa tidak terlihat
perbedaan produksi dan produktivitas pada tiap koloni lebah, hal itu dikarenakan
sumber pakan berjarak di bawah radius 1000 meter. Itu berarti bahwa setiap
anggota koloni lebah memiliki peluang yang sama dengan jumlah yang memadai.

Penelitian sebelumnya meneliti mengenai hasil produksi lebah madu Apis


mellifera yang terintegrasi dengan perkebunan kopi. Sebelum terintegrasi dengan
perkebunan kopi, produksi madu yang dihasilkan sedikit kurang lebih 15
ml/pohon/hari, sedangkan hasil produksi madu setelah menggunakan sistem
integrasi perkebunan kopi menghasilkan madu sebanyak 18 ml/pohon/hari.
(Pasaribu, dkk. 2017) menjelaskan bahwa tanaman kopi yang diproduksi
sebanyak 2000 pohon, sehingga bila dihitung produksi madu yang dihasilkan
dengan menggunakan sistem integrasi kopi kurang lebih 32.000 ml. Adanya
sistem integrasi dengan tanaman kopi ini sangat membantu peternak dalam
menambah jumlah produksi madu yang dihasilkan dan akan menambah
perekonomian pada peternaknya.

Kesimpulan
Adanya integrasi lebah madu dengan tanaman pertanian dan perkebunan dapat
meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan. Dibuktikan dengan beberapa
studi pustaka yang mendukung menjelaskan bahwa dengan sistem integrasi
membantu peternak dalam memperbanyak produksi madu yang dihasilkan,
sebagai contoh sistem integrasi dengan perkebunan kopi menghasilkan 18
ml/pohon/hari. Tanaman kopi yang diproduksi sebanyak 2000 pohon, sehingga
bila dihitung produksi madu yang dihasilkan dengan menggunakan sistem
integrasi kopi kurang lebih 32.000 ml.

83
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Daftar Pustaka
Christian, F. 2021.Mengenal Jenis-jenis Lebah Madu yang Dibudidayakan di
Indonesia. https://www.smartcityindo.com/2021/02/mengenal-jenis-jenis-
lebah-madu-yang.html
Lima, D. de., J.S.A. Lamerkabel & I. Welerubun. 2019. Inventarisasi jenis-jenis
tanaman Penghasil Nektar dan Pollen sebagai Pakan Lebah Madu Apis
mellifera di Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat. Agrinimal
7(2):77-82
Pasaribu, R., H.D.Putranto & Sutriyono. 2017. Perbandingan Produksi Lebah
Madu Apis cerana pada Dua Sistem Integrasi yang Berbeda di Kabupaten
Rejang Lebong. Jurnal Sains Peternakan Indonesia 12(4):432-443
Qoilidiyah, A.D., U. Ali., & I. D. R (2021). Analisis Usaha Lebah Madu (Apis
mellifera) Di Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Jurnal Dinamika Rekasatwa 4(2):180-186
Rahmad, B., N.Damiri &Mulawarman. 2021. Jenis Lebah Madu dan Tanaman
Sumber Pakan Budi Daya Lebah Madu Di Hutan Produksi Subanjeriji,
Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.
Saepudin, R., S. Kadarsih., & R. Sidahuruk. 2017. Pengaruh Integrasi Lebah
dengan Palawija terhadap Produksi Madu. Jurnal Sains Peternakan Indonesia
12(1): 55-63.
Sopingi., Imam., Saepudin, Rustama dan Putranto.2017. Perkembangan Koloni
dan Produksi Madu Lebah yang diintegrasikan dengan Perkebunan Karet
(Hevea brasiliensis) di Kabupaten Bengkulu Tengah. Universitas Bengkulu.
Tirtana, E. A. 2018. Apis Mellifera, Lebah Madu Paling Produktif dan Banyak
Dibudidaya.
https://www.kompasiana.com/ariftirtana/5ba32edfc112fe552b627e92/apis-
mellifera- lebah-madu-paling-produktif-dan-banyak-
dibudidaya?page=1&page_images=1

84
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PEMANFAATAN BAHAN LOKAL SEBAGAI POLLEN SUBTITUTE


TERHADAP PRODUKTIVITAS ANAKAN DAN LEBAH MADU (Apis
mellifera) PADA MUSIM PACEKLIK

Guruh Prasetyo1,*, Derah Musci Warasi1, Sri Minarti2


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Aneka Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: guruhprasetyo28@student.ub.ac.id

Abstrak
Pengembangan budidaya lebah madu memerlukan sumber pakan yang cukup
berupa nektar dan polen. Perubahan musim yang tidak menentu menyebabkan
siklus perbungaan pada tanaman terganggu, sehingga ketersediaan pakan lebah
tidak terpenuhi. Perlunya polen subtitusi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lebah
terutama sebagai sumber protein pada musim paceklik harus dikembangkan.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian kacang-kacangan
lokal sebagai pakan pengganti polen untuk lebah madu dan dievaluasi secara
biologis dalam pakan berdasarkan palatabilitas dan perkembangan anakan lebah
madu. Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan pemanfaatan bahan
lokal berupa tempe kedelai, tepung kedelai dan biji kecipir. Kedelai yang hendak
digunakan dilakukan pengolahan dengan cara direbus dan difermentasi sedangkan
biji kecipir menggunakan tiga jenis proses pengolahan yaitu fermentasi, perebusan
dan pemanggangan. Tujuan pengolahan bahan lokal sebelum dimanfaatkan adalah
untuk mengurangi zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Polen subtitusi
yang digunakan pada lebah harus mengandung protein, karbohidrat, vitamin dan
mineral untuk lebah madu. Berdasarkan data yang ada, penggunaan tempe kacang
dan polen memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap
pertambahan panjang larva dan pertambahan panjang pupa lebah pekerja.
Pemanfaatan kedelai berbentuk tepung tidak menyebabkan kematian terhadap
anakan lebah, meskipun tidak pula meningkatkan populasi koloni. Perlakuan yang
berbeda pada biji kecipir menunjukkan bahwa lebah lebih banyak mengonsumsi
biji kecipir yang telah melalui proses pemanggangan. Sebanyak 2,1 gram dari
total 5 gram polen subtitusi yang diberikan dikonsumsi oleh lebah. Pembuatan
polen subtitusi dari dua bahan lokal mampu memberikan palatabilitas yang baik
dan meningkatkan produktivitas anakan lebah Apis mellifera.

Kata Kunci: biji kecipir, lebah madu, polen subtitusi, tempe kacang

Pendahuluan
Lebah madu merupakan salah satu serangga yang memanfaatkan tanaman
berbunga sebagai sumber makanannya dan dikenal sebagai serangga penghasil
produk bermanfaat. Lebah madu dan tanaman berbunga memiliki hubungan yang
saling menguntungkan yaitu tanaman sebagai penyedia nektar dan polen,
sedangkan lebah madu melakukan proses polinasi tanaman tersebut. Sumber
pakan lebah diantaranya adalah tanaman buah, tanaman sayuran, tanaman industri
dan tanaman hutan. Menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
(2021)terjadi peningkatan jumlah impor madu lebih dari dua kali lipat di

85
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Indonesia yang semula 3.041,46 ton pada tahun 2019 menjadi 6.216,29 ton pada
tahun 2020. Salah satu penyebab dari besarnya tingkat impor adalah kurangnya
populasi lebah madu di Indonesia.

Kondisi musim di Indonesia yang tidak menentu seperti musim penghujan atau
musim kemarau, memberikan dampak siklus pembungaan pada tanaman
terganggu, sehingga ketersediaan pakan lebah tidak terpenuhi. Kekurangan
sumber ketersediaan pakan pada koloni lebah dapat menghambat perkembangan
lebah madu yang akan berdampak penurunan produktivitas, lemah terhadap
berbagai penyakit, jumlah populasi menurun, bahkan koloni lebah akan
meninggalkan sarangnya. Peternak lebah di Indonesia biasanya menyediakan
sirup larutan gula sebagai pengganti nektar alami, sedangkan pengganti polen
sebagai sumber protein, lemak, dan mineral sangat jarang disediakan. Kebutuhan
protein bagi lebah madu yang tidak tercukupi dengan baik dapat menurunkan
produktivitas dan kesehatan koloni. Protein tersebut digunakan untuk membangun
otot, kelenjar, dan jaringan-jaringan tubuh larva serta lebah muda dan dibutuhkan
dalam menghasilkan royal jelly sebagai pakan bagi ratu dan larva. Pemberian
pakan buatan seperti pollen subtitute sangat dibutuhkan ketika musim paceklik
terjadi demi pembentukan koloni lebah madu yang berkelanjutan (El-Wahab &
Ghania, 2016).

Potensi bahan-bahan lokal yang dapat digunakan oleh para peternak lebah madu
sebagai polen pengganti harus memenuhi syarat agar disukai lebah dan
mengandung protein sesuai kebutuhan lebah madu. Berbagai bahan lokal yang
dapat digunakan seperti kacang-kacangan, yaitu kacang kedelai, kacang hijau,
kacang merah, kecipir dan lainnya. Kacang-kacangan merupakan tumbuhan
leguminosa yang memiliki protein tinggi. Keuntungan menggunakan bahan dari
leguminosa lokal yaitu harga relatif murah dan mudah didapat dimana saja.
Kacang-kacangan atau leguminosa tertentu juga memiliki kekurangan seperti sulit
dicerna karena adanya kandungan anti nutrisi di dalamnya. Menurut Haliza (2016)
menyatakan bahwa senyawa anti nutrisi pada kacang-kacangan tersebut bisa
dihilangkan atau dikurangi kadarnya dengan berbagai metode pengolahan
diantaranya adalah fermentasi, germinasi (perkecambahan), perendaman, maupun
pemasakan. Sebagai contoh, anti nutrisi tannin yang pada umumnya
terkonsentrasi pada kulit biji dapat dihilangkan dengan mengupas kulit biji.

Ukuran pollen subtitute yang hendak digunakan didesain sesuai dengan kebutuhan
lebah agar memiliki ukuran lebih kecil atau paling tidak sama dengan ukuran
polen sebenarnya. Polen subtitusi yang hendak digunakan seperti jenis kacang
kedelai harus difermentasi menjadi tempe kedelai dan diperhalus dengan cara
ditumbuk, lalu diberi tambahan gula dan polen, sehingga tempe kedelai dan polen
dalam bentuk pasta sudah bisa dijadikan pengganti polen karena nutrisi dan
ukurannya sudah sama dengan polen (Akbaruddin et al., 2018). Berdasarkan
kajian diatas, perlu diadakan penelitian dalam pemanfaatan kacang-kacangan
lokal sebagai pakan pengganti polen untuk lebah madu dan dievaluasi secara
biologis dalam pakan terhadap perkembangan populasi koloni.

86
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Metode
Penelitian ini menggunakan Literature Review atau tinjauan pustaka yang
merupakan kegiatan mengkaji serta meninjau secara kritis suatu pengetahuan,
gagasan atau temuan yang tercantum dalam literatur akademik yang digunakan,
dilanjutkan dengan merumuskan kontribusi teoritis dan metodologinya.

Analisis data
Penelitian ini menggunakan analisis data secara deskriptif dengan penguraian
secara teratur berdasarkan data yang telah diperoleh, kemudian dilengkapi dengan
penjelasan yang runtut agar dapat dipahami dengan baik.

Hasil dan Pembahasan


Berbagai jenis tipe kacang-kacangan lokal sangat berpotensi untuk digunakan
sebagai sumber pakan lebah terutama sebagai pengganti polen. Menurut penelitian
yang dilakukan Akbaruddin et al., (2018) melaporkan bahwa pemberian pakan
tambahan berupa kedelai yang difermentaasi (tempe kedelai) dan polen dalam
bentuk pasta sangat memberikan pengaruh terhadap pertambahan panjang larva
dan pupa, namun tidak mempengaruhi terhadap pertambahan diameter abdomen
pupa lebah pekerja Apis mellifera. Kedelai tergolong keluarga polong-polongan
dan banyak ditanam di iklim tropis dan subtropis yang mengandung protein
tinggi, karbohidrat, serat, vitamin hingga mineral di dalamnya (Samtiya et al.,
2020). Tersebarnya tanaman polong-polongan tersebut memberikan potensi yang
nyata terhadap pemanfaatannya sebagai sumber pakan bagi lebah untuk
menunjang produktivitasnya terutama pada musim paceklik. Perlakuan yang
digunakan berupa P0 sampai dengan P5 menggunakan persentase sirup gula yang
sama yaitu 75%. Tempe kedelai yang digunakan untuk P0 tanpa tempe kedelai, P1
sebanyak 5%, P2 sebanyak 10% begitu seterusnya naik sampai P5 sebanyak 25%.
Polen yang digunakan untuk P0 sebanyak 25%, P1 sebanyak 20% begitu
seterusnya turun sampai P5 tanpa polen.

Pemberian pakan tambahan berupa tempe kedelai dan polen alam dalam bentuk
pasta ternyata memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap
pertambahan panjang larva setelah dilakukan analisis ragam. Protein tertinggi
terletak pada P5, namun perlakuan terbaik terdapat pada P1. Pemberian pakan
tambahan berupa tempe kedelai dan polen dalam bentuk pasta ternyata tidak
memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan diameter
abdomen pupa setelah dianalisis ragam. Pemberian polen buatan berbahan dasar
tempe kedelai dan polen dalam bentuk pasta ternyata memberikan pengaruh

87
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang sangat nyata (P<0,01) terhadap pertambahan panjang pupa lebah pekerja
setelah dianalisis ragam.

Pada penelitian Kuntadi (2008) berbasis kedelai yang dibuat menjadi tepung
menyatakan bahwa cara pengolahan kedelai berpengaruh terhadap tingkat
konsumsi koloni lebah madu pada pakan buatan pengganti serbuksari, namun
tidak berpengaruh terhadap tingkat kematian anakan, bobot dan kadar protein
lebah pekerja muda, dan perkembangan populasi koloni lebah madu Apis
mellifera L. Pakan buatan yang terbuat dari kedelai yang diolah dengan cara rebus
dan fermentasi serta dilakukan pengupasan kulit terbukti lebih disukai daripada
pakan buatan yang bahan dasarnya berasal dari kedelai yang disangrai tanpa
pengupasan kulit. Penggunaan tepung kedelai sebagai bahan utama pakan
pengganti serbuksari tidak menyebabkan kematian terhadap anakan lebah, tetapi
juga tidak meningkatkan populasi koloni meskipun kandungan protein tepung
kedelai dua kali lebih tinggi daripada serbuksari tanaman jagung.

Tabel 2. Kematian anakan, bobot dan kadar protein lebah pekerja, dan
perkembangan populasi pada koloni lebah madu yang diberi jenis pakan
serbuksari buatan dan kontrol

Keterangan : Kedelai sangrai (KK), Kedelai rebus (KTK), Kedelai rebus (KTK),
Kontrol (KTRL)

Hasil sidik ragam terhadap data yang telah ditransformasi menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata antar blok maupun antar perlakuan (P > 0,05). Persentase
tingkat kematiaan anakan yang terjadi di masing-masing koloni, baik antar blok
maupun masing-masing perlakuan dalam blok, cukup tinggi. Kuntadi (2008)
lebah lanjut menjelaskan kembali bahwa alasan tersebut dipastikan bukan dari
pemecahan koloni dan kehilangan ratu karena semua koloni memiliki lebah ratu
dan tidak ada yang menunjukkan gejala telah mengadakan pemecahan koloni.
Kemungkinan terbesar penyebab kematian anakan adalah faktor inbreeding dan
atau penyakit. Menurut Hidayat (2011) tingkat inbreeding pada lebah A. mellifera
mengakibatkan aktivitas enzim Malate dehydrogenase (MDH) dan Icocitrate
dehydrogenase (ICDH), yang berperan dalam siklus krebs, pada mitokondria yang
ada di dalam otot terbang larva lebah dan lebah pekerja mengalami penurunan
aktivitas yang signifikan. Rendahnya keragaman genetik A. mellifera di Indonesia
dapat mengakibatkan lebah ini rentan terhadap penyakit serta stress. Salah satu
masalah penting yang dihadapi A. mellifera di dunia saat ini yang diakibatkan
oleh penyakit dan stress lingkungan adalah Colony Collapse Disorder (CCD).

88
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Polen dikonsumsi sebagai sumber protein oleh lebah, sehingga polen subtitusi
yang digunakan harus mampu mencukupi kebutuhan protein yang dibutuhkan
lebah. Penelitian selanjutnya menggunakan biji kecipir. Biji kecipir mengandung
protein yang tinggi karena asam aminonya serta lemak dan zat anti nutrisi dalam
kadar rendah (Adegboyega et al., 2019). Berdasarkan penelitian Wijayati et al.,
(2019), biji kecipir mengandung anti nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan
lebah sehingga dibutuhkan pengolahan sebelum digunakan sebagai polen
subtitusi. Yanuartono et al., (2020) menyatakan bahwa zat anti nutrisi dapat
ditemukan di berbagai jenis bahan pakan asal tumbuhan pakan. Zat antinutrisi
yang terkandung dalam bahan lokal tersebut dapat memberikan pengaruh negatif
bagi lebah yang mengonsumsinya. Penggunaan bahan pakan yang mengandung
zat anti nutrisi harus diolah terlebih dahulu dengan mempertimbangkan biaya
pengolahan yang hendak dilakukan. Proses pengolahan dalam menghilangkan
kadar zat anti nutrisi pada suatu bahan dapat dilakukan dengan metode tradisional
yang meliputi perendaman, penggilingan, pemanggangan, pemasakan, fermentasi
hingga perkecambahan (Samtiya et al., 2020). Pengolahan biji kecipir dengan cara
pemanggangan memberikan hasil terbaik dibandingkan cara fermentasi dan
perebusan. Berdasarkan penelitian oleh Samtiya, et al (2020), bahan pakan yang
melalui proses pemanggangan tidak memiliki banyak perubahan pada kandungan
penting di dalamnya. Protein pada biji kecipir hasil pemanggangan sebesar
15,19% dan lemak sebesar 12,07%. Pemanggangan biji kecipir dilakukan selama
20 menit pada suhu 60-70°C. Biji kecipir tersebut kemudian dihaluskan hingga
menjadi tepung dan ditambahkan dengan air gula hingga bercampur menjadi
pasta. Air gula yang ditambahkan digunakan untuk memeroleh rasa manis
sehingga lebah menjadi tertarik, sedangkan bentuk pasta diharapkan dapat
mempermudah lebah madu dalam mengambil polen subtitusi tersebut (Gambar 1).

Gambar 1. Uji Preferensi Lebah Madu

Dari ketiga jenis olahan biji kecipir, lebah lebih banyak mengonsumsi biji kecipir
yang telah melalui proses pemanggangan. Sebanyak 2,1 gram dari total 5 gram
polen subtitusi yang diberikan dikonsumsi oleh lebah. Lebah madu mengonsumsi
suatu pakan berdasarkan aroma, warna pakan hingga bentuk pakan dan pasta
tepung kecipir yang dipanggang memiliki aroma yang khas. Aroma inilah yang
menyebabkan lebah lebih tertarik pada pasta tepung kecipir panggang.

89
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Keterbatasan pakan pada musim paceklik dapat menyebabkan penurunan
produktivitas dan lemahnya koloni lebah madu sehingga dibutuhkan pollen
subtitute yang berasal dari bahan lokal yang berkepanjangan. Bahan lokal yang
dimanfaatkan berupa tempe kedelai, tepung kedelai dan biji kecipir. Penggunaan
tempe kedelai dan polen memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)
terhadap pertambahan panjang larva dan pertambahan panjang pupa lebah
pekerja, namun ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05)
terhadap pertambahan diameter abdomen pupa. Penggunaan kedelai yang diolah
menjadi tepung sebagai bahan pembuatan pollen subtitute tidak menyebabkan
kematian terhadap anakan lebah, meskipun tidak meningkatkan populasi koloni.
Pengolahan biji kecipir terbaik melalui proses pemanggangan yang menghasilkan
kandungan protein dan tingkat konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan proses
fermentasi dan perebusan, sehingga pengolahan yang dilakukan terhadap bahan
lokal pollen subtitute dapat memengaruhi tingkat kesukaan lebah yang
mengonsumsinya.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan tempe kedelai,
tepung kedelai dan biji kecipir terhadap produktivitas lebah madu dengan berdasar
pada jenis pengolahan yang berbeda.

Daftar Pustaka
Akbaruddin, R., Junus, M., & Cholis, N. (2018). Pengaruh Pemberian Tempe
Kedelai dan Polen dalam Bentuk Pasta Terhadap Pertumbuhan Anakan Lebah
Pekerja Apis mellifera. Journal of Tropical Animal Production, 19(2), 149–
155. https://doi.org/10.21776/ub.jtapro.2018.019.02.9
Adegboyega, T. T., Abberton, M. T., Abdelgadir, A. H., Dianda, M., Maziya-
Dixon, B., Oyatomi, O. A., Ofodile, S., & Babalola, O. O. (2019). Nutrient and
Antinutrient Composition of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L.)
DC.) Seeds and Tubers. Journal of Food Quality, 2019.
https://doi.org/10.1155/2019/3075208
Akbaruddin, R., Junus, M., & Cholis, N. (2018). Pengaruh Pemberian Tempe
Kedelai dan Polen dalam Bentuk Pasta Terhadap Pertumbuhan Anakan Lebah
Pekerja Apis mellifera. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal
Production, 19(2), 149–155. https://doi.org/10.21776/ub.jtapro.2018.019.02.9
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2021). Statistik Peternakan dan
Kesehatan Hewan Livestock and Animal Health Statistics 2017.
El-Wahab, T. E. A., & Ghania, A. M. M. (2016). Impact of some pollen
substitutes in liquid form on the biological activities of honey bee colonies.
International Journal of Agricultural Technology, 12(6), 1035–1041.
Haliza, W., Purwani, E.Y. and Thahir, R., 2016. Pemanfaatan kacang-kacangan
lokal sebagai substitusi bahan baku tempe dan tahu. Buletin Teknologi Pasca
Panen, 3(1), pp.1-8.
Hidayat, M. R. (2011). Penelusuran Asal Wilayah Lebah Madu A. Mellifera Di
Indonesia Menggunakan Daerah Intergenik Cox1/Cox2 Dna Mitokondria.
Jurnal Biopropal Industri, 01, 27–37.
Kuntadi. (2008). Perkembangan koloni. 2–3.

90
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Samtiya, M., Aluko, R. E., & Dhewa, T. (2020). Plant food anti-nutritional factors
and their reduction strategies: an overview. Food Production, Processing and
Nutrition, 2(1), 1–14. https://doi.org/10.1186/s43014-020-0020-5
Wijayati, N., Hardjono, D. S., Rahmawati, M., & Kurniawati, A. (2019).
Formulation of winged bean seeds as pollen substitute for outgrowth of honey
bees (Apis mellifera L). Journal of Physics: Conference Series, 1321(2), 11–
15. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1321/2/022040
Yanuartono, Nururrozi, A., Indarjulianto, S., Purnamaningsih, H., & Raharjo, S.
(2020). Traditional methods of processing livestock feed to reduce antinutrient
factor content: a brief review. Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran,
19(2), 13. https://doi.org/10.24198/jit.v19i2.23974

91
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LEBAH MADU TRIGONA SP.


MELALUI PENERAPAN SISTEM INTEGRASI DENGAN KEBUN
MANGGA

Nida’ul Husna Imaniah1,*, Citra Nurma Yunita1, Sri Minarti2


1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
3
Dosen Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
Email korespondensi: nidaulhusna23@student.ub.ac.id

Abstrak
Perkembangan peternakan lebah di Indonesia masih dihadapkan pada masalah
utama yaitu rendahnya produktivitas madu. Penyebab rendahnya produktivitas
madu adalah teknologi yang terbatas serta ketersediaan pakan yang kurang
memadai. Dalam menjaga kesinambungan usaha perlebahan, maka perlu dicari
sumber pakan yang berpotensi serta memiliki hubungan mutualisme dengan
lebah Trigona sp. Salah satu sumber pakan yang berpotensi adalah tanaman
mangga. Tanaman mangga merupakan sumber nektar yang banyak ditemui di
area perkebunan. Tanaman ini memiliki pola pembungaan yang bersifat
musiman, sehingga ketersediaan nektarnya juga musiman. Ketika musim mangga
berbunga banyak ditemukan lebah seperti Trigona sp. Pada musim ini peternak
meletakkan koloni disekitar perkebunan dengan tujuan untuk mendapatkan
nektar. Adanya integrasi antara lebah Trigona sp. dengan tanaman mangga,
dapat dimanfaatkan sebagai agen polinator dalam penyerbukan tanaman mangga,
sehingga dapat mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan sistem integrasi perkebunan
mangga dengan lebah Trigona sp. terhadap produktivitas madu dan mangga.
Penelitian di laksanakan di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang menggunakan
Rancangan Acak lengkap dengan 2 perlakuan dan 10 ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa produktivitas madu disekitar perkebunan mangga memiliki
hasil yang lebih tinggi dibandingkan produktivitas madu yang dihasilkan diluar
perkebunan. Selain itu, produktivitas buah mangga juga mengalami peningkatan
akibat terjadinya penyerbukan lebah Trigona sp.

Kata Kunci : Trigona sp., tanaman mangga, integrasi, produksi.

Pendahuluan
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dimana dapat memberi
keuntungan yang baik, dan salah satu sumber daya yang melimpahnya adalah
berasal dari hutan. Madu merupakan salah satu jenis hasil hutan bukan kayu yang
memiliki banyak manfaat dan khasiat serta tidak pernah sepi peminat. Madu
merupakan cairan manis yang berasal dari nektar bunga yang telah diproses oleh
lebah madu yang kemudian disimpan dalam sel-sel sarang lebah madu. Manfaat
madu sangat beraneka ragam, mulai dari pangan, kesehatan hingga kecantikan.
Madu dapat digunakan sebagai baham pemanis selain gula, penyedap makanan
dan juga sebagai campuran pada saat mengkonsumsi minuman. Mulu, tessema

92
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

and Derbie (2004) menyatakan bahwa dalam bidang obat-obatan, madu juga
dapat sebagai obat untuk berbagai penyakit seperti demam, sariawan, batuk,
penyembuh luka dan menjaga kesehatan tubuh. Secara keseluruhan madu tidak
mengandung unsur bahaya yang dapat merugikan manusia. Zat yang terkandung
di dalam madu dapat diserap tubuh karena tidak memerlukan aktivitas
pencernaan yang berat.

Salah satu jenis madu yang dikenal masyarakat adalah madu kelulut yang
dihasilkan dari lebah madu Trigona sp. Lebah Trigona sp merupakan lebah yang
tidak bersengat (stingless bee) dan juga memiliki rasa khas madunya yaitu lebih
asam. Terdapat beberapa keunggulan dari lebah Trigona sp. Yaitu, tidak
menyengat, mudah dibudidayakan karena mudah beradaptasi dengan lingkungan
baru. Pemeliharaannya tidak terlalu rumit, tidak perlu peralatan yang khusus,
mudah dalam mengembangkan koloninya, produksi propolisnya lebih tinggi
walaupun produksi madunya tidak sebanyak lebah Apis sp., tahan terhadap hama
dan penyakit, tidak mengenal masa paceklik dan memiliki nilai ekonomis yang
tinggi (Harun dan Mustafa, 2015).

Namun, dalam perkembangannya peternakan lebah di Indonesia masih


dihadapkan pada masalah rendahnya produksi madu. Dimana salah satu
penyebab utama rendahnya produksi dan juga kualitas madu, adalah kurangnya
ketersediaan pakan, tingkat penguasaan teknologi bidudaya lebah yang masih
kurang dikalangan peternak lebah, dan iklim yang terus berubah. Kurangnya
ketersediaan pakan lebah disebabkan berkurangnya kawasan hutan tempat lebah
mencari sumber pakan. Setiawan, Sulaeman, dan Arlina (2016), menyatakan
bahwa kurangnya ketersediaan sumber pakan bagi lebah merupakan
permasalahan yang menduduki peringkat pertama. Lebah madu memiliki
hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme) dengan tanaman berbunga,
yaitu tanaman sebagai penyediaan pakan lebah berupa nektar dan polen,
sedangkan lebah madu membantu melakukan proses polinasi terhadap tanaman
tersebut. Hal tersebut disebabkan karena perkembangan produktivitas koloni
lebah bergantung pada ketersediaan pakan, yaitu nektar dan polen yang
dihasilkan oleh tanaman.

Menurut Agussalim dkk. (2017) bahwa kekurangan ketersediaan pakan lebah


dapat menyebabkan koloni lebah madu menjadi lemah dan menyebabkan jumlah
lebah pekerja berkurang, produksi madu, polen dan royal jeli rendah,
menurunnya produktivitas lebah ratu karena kurangnya pasokan pakan nektar
dan polen sebagai sumber karbohidrat dan protein. Oleh sebab itu, berdasarkan
hal diatas, perlu adanya upaya dalam menjaga kesinambungan antara manajemen
pakan lebah Trigona sp. dengan tanaman sumber pakan potensial yang dapat
menciptakan hubungan mutualisme. Dimana lebah madu Trigona sp. dapat
menghasilkan madu pada saat mangga belum dipanen dan juga membantu
penyerbukan yang dapat membantu meningkatkan produksi mangga. Tanaman
mangga mampu menyediakan nektar dan polen sebagai sumber pakan untuk
lebah Trigona sp. sehingga, disamping untuk mengatasi permasalahan
produktivitas madu akibat dari kurangnya ketersediaan sumber pakan, juga dapat
meningkatkan produkstivitas mangga. Agussalim dkk. (2017) menyatakan

93
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

bahwa mangga merupakan sumber nektar yang banyak ditemukan di area


perkebunan dan pekarangan rumah. Pembungaan mangga bersifat musiman,
sehingga saat musim pembungaan banyak petertnak lebah yang meletakkan
kotak sarang lebah disekitar pohon mangga. Dengan adanya hubungan saling
menguntungkan antara lebah Trigona sp. dan mangga diharapkan dapat
membantu masalah kurangnya ketersediaan pakan lebah Trigona sp., dapat
meningkatkan pendapatan peternak lebah dan juga petani, serta melestarikan
lebah madu Trigona sp.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas lebah madu Trigona sp.
Dengan menerapkan model terpadu (integrasi) dengan kebun mangga berbasis
kapasitas dan sumber daya lokal untuk meningkatkan perekonomian peternak
lebah madu.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Malang. Penelitian ini dilakukan juga
penelitian daya dukung yang dilaksanakan untuk menganalisis kemampuan
wilayah / lokasi penelitian dalam menyokong pengembangan budidaya lebah.
1. Karakteristik pembungaan mangga diperoleh melalui pengamatan, yaitu
kapan mangga mulai berbunga, kapan puncak produksi dan kapan mulai
terjadi penurunan. Dari data tersebut diperoleh siklus pembungaan tanaman
mangga.
2. Produksi nektar mangga dan daya dukung mangga diperoleh dengan
beberapa cara :
a. Memilih secara acak 10 pohon mangga sebagai sample
b. Dua puluh lima mahkota bunga dari masing-masing pohon dikumpulkan
dan diukur nektarnya. Nektar bunga diambil dengan cara menarik
mahkota bunga secara perlahan dan hati-hatu sehingga terlihat cairan
benin dan disedot menggunakan microspuit atau micropipet. Dari tahap
ini diperoleh rata-rata produksi nektar per 25 kuntum bunga digunakan
untuk memprediksi produksi nektar per satu kuntum bunga tanaman
mangga.
c. Selanjutnya dihitung jumlah mahkota bungan per satu tangkai dan jumlah
tangkai per tanaman. Data tersebut digunakan untuk memprediksi numlah
mahkota bunga per pohon mangga.
d. Produksi nektar per pohon mangga diperoleh dari jumlah bunga per
pohon dan rata-rata produksi nektar per bunga.
e. Produksi nektar per hektar mangga diprediksi melalui pengalian produksi
nektar per pohon dengan jumlah pohon per hektar mangga.
f. Daya dukung kebun mangga diartikan sebagai seberapa banyak koloni
yang mampu didukung oleh satu hektar kebun mangga, oleh karena itu
daya dukung kebun mangga dihitung berdasarkan total produksi nektar
mangga per herktar per hari dibagi kebutuhan rata- rata koloni lebah
Trigona sp. per koloni per hari. karena kesulitan teknis pengukuran,
kebutuhan koloni per hari digunakan hasil penelitian Hasaeni (1986)
yaitu 145 ml/koloni.
3. Populasi lebah diduga melalui pendekatan bobot koloni dibagi bobot rata-
rata lebah pekerja, Bs = bobot koloni lebah didapatkan dengan cara

94
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menimbang seluruh stup berisi lebah dicatat sebagai bobot stup, lalu lebah
dipindahkan ke kotak lain dan ditimbang sebagai bobot tanpa lebah (Bk).
Kemudian selisih antara Bs dan Bk adalah bobot total lebah (Bt). Bobot rat-
rat lebah per ekor didapatkan dari penimbangan 200 ekor lebah dan hasilnya
dibagi 200.
4. Data mengenai produksi madu yang dicari adalah produksi total per koloni
per tahun. Data produksi tersebut dibedakan antara lebah yang
dibudidayakan dengan dan tanpa integrasi. Disamping itu pula dibedakan
berdasarkan tata letak kotak terpusat dan tersebar. Tahapan untuk
mendapatkan data produksi adalah :
a. Produksi madu dihitung berdasarkan kali panen dan dikonversikan ke
produksi per stup per tahun, dan akan dibandingkan antara produksi madu
pada sistem integrasi dan di luar integrasi. Sebagai sampel akan dipilih
secara acak sebanyak masing-masing 10 stup lebah yang dibudidayakan
pada sistem inetgrasi dan 10 stup lainnya dari lebah yang dibudidayakan
diluar sistem integrasi.
b. Produksi madu tiap koloni diuku dengan ukuran botol, selanjutnya
dikonversi ke ukiran volume dan ukuran bobot.
c. Menentukan tata letak stup didasarkan pada faktor lokasi, pengelolaan,
keamanan, dan pemanenan. Penempatan kotak terpusat dihalaman tempat
jaga dengan jarak antar kotak 10 sampai 20 meter. Sedangkan yang
tersebar, kota ditempatkan di tengah kebun mangga denga jarak antar
kotak diatas 200 meter.
5. Produksi mangga per hektar per tahun dihitung berdasarkan hasil bobot
kering per tahun per hektar dan akan dibandingkan dengan produksi mangga
dengan sistem integrasi dan tanpa integrasi.
6. Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap
dengan dua perlakuan dan tiga ulangan dengan masing-masing ulangan 10
stup. Perlakuan kesatu adalah produksi madu dengan sistem integrasi dan
perlakuan kedua adalah produksi madu diluar sistem integrasi.

Pembahasan
Karakteristik Pembungaan Mangga
Di Indonesia pohon mangga berbungan satu tahun sekali, sehingga panen
dilakukan satu periode dalam setahun. Dari satu pohon, buah mangga tidak akan
masak (matang) bersamaan sehingga dilakukan beberapa kali panen. Perlu waktu
selama empat bulan dimasa kemarau yang kemudian memasuki dua mingguan
hujan. Ciri-ciri Pohon Mangga mau berbunga di Indonesia secara alami adalah
sekitar bulan Juli – Agustus (Tabel 1).

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Nov Des
Bulan

Tabel 1. Musim mangga mulai berbunga

95
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Agussalim dkk. (2017) melaporkan bahwa mangga memiliki pola pembungaan


yang bersifat musiman, yang menyebabkan ketersediaan nektar sebagai pakan
lebah juga bersifat musiman. Ketika musim mangga berbunga, banyak
ditemukan lalat buah dan juga lebah madu Apis cerana, Apis mellifera dan
Trigona sp. yang akan mengumpulkan nektar. Mangga memiliki karakteristik
bunga yang menghasilkan nektar dan memiliki perbungaan dengan bunga kecil
(diameter < 5 mm) berwarna keputihan hingga merah muda, dan juga telah
ditemukan berbagai macam lebah madu yang sering mengunjungi bunga
tanaman mangga (Carvalheiro et al., 2010).

Bergantung pada perkembangannya, proses pembungaan tanaman mangga perlu


dilakukan di luar musim atau di luar musim, ketika mangga dapat berbunga dua
kali setahun, untuk memudahkan petani mangga dan peternak lebah. untuk
menyediakan lebah. sumber makanan dalam waktu yang lama. Menurut
Davenport (2009), pembungaan mangga merupakan peristiwa pemuliaan utama
dalam produksi buah. Banyak faktor yang mempengaruhi proses pembungaan
mangga. Perkembangan tanaman, khususnya pembungaan, tergantung pada
beberapa faktor lingkungan dan internal mangga yang ditanam (Dambreville et
al., 2013).

Mangga sebagai Sumber Nektar dan Pollen


Produksi nektar yang dihasilkan dari kebun mangga menurut Siquera et al.,
(2008) produksi nektar terus menerus dan dalam jumlah sedikit, rata-rata 0,045
µL/bunga. Kajobe (2007) menyatakan dalam penelitiannya bahwa konsentrasi
gula pada nektar dari bunga tanaman mangga berkisar 48%. Dalam hal tersebut
lebah Trigona sp. harus memiliki mekanisme yang dapat membedakan nektar
dengan rasa manis yang berbeda untuk dapat mengumpulkan konsntresi gula
yang optimal. Datangnya lebah madu Trigona sp. pada tanaman mangga
merupakan bentuk bahwa lebah madu Trigona sp. mendapatkan manfaat dari
tanaman tersebut berupa nektar dan pollen. Lebah yang mengambil pollen maka
pada kakinya terkumpul pollen, sebaliknya, bila lebah mengambil nektar bunga
dapat dilihat dari cara perpindahannya yang cepat dari satu bunga ke bunga yang
lain dan menunjukkan aktivitas pengambilan nektar (Mulyono dkk, 2015).

Semakin banyak nektar yang mengandung gula, maka semakin senang pula lebah
yang mengunjungi bunga tersebut. Mangga termasuk tanaman yang sering
dikunjungi lebah Trigona sp. saat musim berbunga. Pada umumnya semua
tanaman yang berbungan merupakan sumber pakan bagi lebah Trigona sp.
karena menghasilkan pollen dan nektar. Sihombing (2005) menyatakan bahwa
tanaman yang banyak menghasilkan pollen yaitu seperti jambu mete, mangga,
kako, kelapa, aren, alpukat, rambutan, pala dan jambu biji. Faktor yang dapat
menentukan daya tarik pollen bagi lebah Trigona sp. adalah bau nya. Thomson
dkk, (2017), lebah mempunyai kesukaan terhadap pollen tertentu, namun belum
diketahui apa alasan yang pasti. Tetapi kesukaan dalam mengumpulkan nektar
adalah karena kandungan zat-zat makanan yang tedapat pada nektar tertama
kandungan gula.

96
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1. Mangga sebagai sumber nektar dan pollen

Pengaruh Integrasi Lebah dengan Mangga terhadap Populasi Lebah


Sistem integrasi tanaman-ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan
oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu
usaha tani. Keterkaitan tersebut merupakan bentuk kesinambungan yang
potensial dalam suatu pemeliharaaan, dimana tanaman-ternak memiliki
hubungan mutualisme. Integrasi antara tanaman dan ternak dapat diaplikasikan
di wilayah agroekosistem tanaman pangan dan wilayah agroekosistem tanaman
perkebunan, di antaranya seperti tanaman mangga (Ilham et al., 2014).

Gambar 2. Penerapan sistem integrasi

Penggembalaan lebah madu dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang harus


diperhatikan petani yaitu jumlah koloni, produksi nektar dan ketersediaan
sumber pakan. Dengan penerapan sistem integrasi lebah pada kebun mangga
dapat meningkatkan populasi lebah. Lebah Trigona sp. yang digembalakan
dengan sistem integrasi (sinkolema) jauh berbeda nyata dengan lebah yang
digembalakan tanpa sistem integrasi (non sinkolema). Lebah yang digembalakan
non sinkolema, dimana hanya berupa rumput-rumputan, bunga hias yang ada
dipekarangan, beberapa pohon buah-buahan serta tanaman lainya terbukti
produksi lebah terbatas serta produksi nektarnya sulit diprediksi (Saepudin dkk.,
2013).
Pengaruh Integrasi terhadap Produksi Madu dan Mangga
Produksi madu dari peternakan lebah dengan integrasi lebih tinggi sejalan
dengan perkembangan populasi lebah dan ketersediaan nektar. Hasil ini
menunjukan bahwa produksi madu sangat erat kaitannya dengan ketersediaan
nektar. Menurut Saepudin (2013) produksi madu dari lebah yang dipelihara
dengan sistem integrasi mencapai 3,335 kg/koloni/tahun. Produksi ini secara
signifikan lebih tinggi dari produksi madu dari lebah yang dipelihara di luar
kawasan integrase (non-sinkolema) yang hanya mencapai rata-rata 1,560

97
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kg/koloni/tahun, artinya bahwa produktivitas lebah madu dapat ditingkatkan


sekitar 114% melalui system integrasi dengan kebun mangga.

Apr Mei Jun Jul Agu Sep

Gambar 3. Grafik perkembangan populasi

Agussalim, dkk (2017) Budidaya lebah madu dengan memanfaatkan sistem


integrasi atau hubungan yang saling menguntungkan akan meningkatkan tingkat
pendapatan petani. Mangga merupakan sumber nektar yang banyak ditemukan di
areal perkebunan. Ketika musim berbunga mangga banyak peternak lebah
meletakkan koloni lebah disekitar perkebunan dengan tujuan memperoleh nektar
dari tanaman tersebut. Disamping untuk mengatasi permasalahan produktivitas
madu, mangga dapat berperan sebagai agen pollinator dalam penyerbukan
tanaman mangga. Adanya hubungan saling menguntungkan antara lebah madu
dan mangga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi buah mangga dan
pendapatan petani atau pemilik kebun mangga.

Kesimpulan
Produktivitas lebah sangat tergantung dari perkembangan populasinya, dimana
populasi tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan nektar dan polen secara alami.
Sistem integrasi dapat mengatasi permasalahan produktivitas madu yang relative
rendah, disamping itu penerapan sistem ini dapat meningkatkan produksi buah
mangga. Hal ini terjadi karena tanaman mangga dapat berperan sebagai agen
pollinator dalam penyerbukan tanaman. Penerapan sistem integrasi lebah madu
Trigona sp. di perkebunan mangga tersebut dapat meningkatkan produktivitas
madu sampai dengan 114% serta meningkatkan produksi buah mangga dan
pendapatan petani mangga.

Daftar Pustaka
Agussalim, A. Agus, N. Umami, dan I. G. S. Budisatria. 2017. Variasi Jenis
Tanaman Pakan Madu Sumber Nektar dan Polen Berdasarkan Ketinggian
Tempat Di Yogyakarta. Buletin Peternakan. 41 (4) :448-460.
Attia YA, Abd Al-hamid AE, Ibrahim MS, Al-Harthi MA, Bovera F, Elnaggar
AS. 2014. Productive Performance, Biochemical And Hematological Traits Of
Broiler Chickens Supplemented With Propolis, Bee Pollen, And Mannan
Oligosaccha- Rides Continuously Or Intermittently. Livestock Science. 164:
87-95.

98
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Carvalheiro, L.G., Seymour, C.L., Veldtman, R., Nicolson, S.W., 2010.


Pollination Services Decline With Distance From Natural Habitat Even In
Biodiversity-Rich Areas. Journal Application of Ecology. 47 (1) : 810– 820.
Dambreville, A., P. Lauri, C. Trottier, Y. Guédon, and F. Normand. 2013.
Deciphering Structural And Temporal Interplays During The Architectural
Development Of Mango Trees. Journal of Experimental Botany. 64 (8): 2467-
2480.
Davenport, T.L. 2009. Reproductive physiology. In: Litz, R.E, The Mango:
Botany Production and Uses, 2nd edition. CAB International, Wallingford,
UK. : 97-169.
Estevinho LM, Rodrigues S, Pereira AP, Feás X. 2012. Portugese Bee Pollen:
Palynologycal Study, Nutritional and Microbiological Evaluation.
International Journal Food Science Technology. 47: 429-435.
Harun dan Mustafa. 2015. Prospek Budidaya Lebah Propolis Trigona. Majalah
Bekantan. 3(1).
Haryanto, B., Hasan, Z., Kuswandi dan Artika, I.-M., 2012. Penggunaan Propolis
untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Sapi Peranakan Ongole (PO).
Jurnal Ilmu Ternak Veteriner. 17 (3) : 202.
Ivancajic, S. Mileusnic, I., and Milosevic, C.M., 2010. In Vitro Bacterial
Activity Of Propolis Extracts On 12 Different Bacteria In Conditions Of 3
Various pH Values. Archives of Biological Sciences, 62 (4) : 915-934.
Mulu, A., B. Tessema and F. Derbie. 2004. In vitro Assesment of the
Antimicrobial Potential of Honey on Common Human Patogens. The
Ethiopian Journal of Health Development. 18 (2) :107-11.
Mulyono, S.,T dan Supriono, B. 2015. Kajian Ketersediaan Pakan Lebah Madu
Lokal. 16(2): 1-2.
Saepudin, R., M. Asnath, Fuah, L. Abdullah. 2011. Peningkatan Produktivitas
Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Intergrasi Dengan Kebun Kopi.
Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 6(2) : 115-124.
Sebayang, T., dan S. F. Ayu. 2017. Budidaya Ternak Lebah Di Desa Sumberejo
Kecamatan Merbau Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Pengabdian
Masyarakat. 2(2) : 168-178.
Setiawan, A., R. Sulaeman, dan T. Arlina. 2016. Strategis Pengembangan Usaha
Lebah Madu Kelompok Tani Setia Jaya. Desa Kembal Jaya Kecamatan
Bangun Purba Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Online Mahasiswa (JOM)
Faperta. 3 (1) :1-9.
Sihombing. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Siqueira, K.M.M., Kiill, L.H.P., Martins, C.F., Lemos, I.B., Monteiro, S.P.,
Feitoz, E.A., 2008. Comparative Study Of Pollination Of Mangifera Indica L.
In Conventional And Organic Crops In The Region Of The Submédio São
Francisco Valley. Review Brasillian Frutic. 30, 303–310.

99
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISTIK POLLEN KELAPA SAWIT


BERDASARKAN UJI WARNA DAN SIFAT FISIK

Sri Minarti1,*, Mochammad Junus1, Lilik Eka Radiati2, Firman Jaya2, Derah
Musci Warasi3 dan Shafa Fa’izah3
1
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: minartiherman@ub.ac.id

Abstrak
Potensi tanaman kelapa sawit yang kian berkembang di Indonesia menjadi salah
satu sumber daya alam yang melimpah dan berkepanjangan. Kebutuhan lebah
madu akan pakan berupa nektar dan polen harus dipenuhi dengan baik. Polen
kelapa sawit yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah
madu yang ketersediaannya dapat dipertahankan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik pada polen kelapa sawit yang ditinjau berdasarkan
uji warna dan sifat fisiknya. Pelaksanaan uji warna dilakukan di Laboratorium
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya dan uji fisik dilakukan di
Laboratorium Saraswanti Surabaya. Materi yang digunakan berupa polen kelapa
sawit dari BUMD Karya Kencana, Desa Rantau, Kecamatan Geragai, Jambi.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dengan dua
perlakuan yaitu polen kelapa sawit kering matahari dan polen kelapa sawit kering
matahari+oven 60°C selama 60 menit. Hasil pengamatan yang dilakukan
menunjukkan uji warna antar kedua perlakuan memiliki perbedaan nyata yaitu ΔL
= + 6,22, Δa = - 0,84, Δb = + 0,29, Δc = - 0,04, dan Δh = + 2,21. Pada uji fisik,
polen kelapa sawit tidak memiliki perbedaan yang nyata antardua perlakuan yang
diberikan. Polen kelapa sawit yang diuji memiliki bentuk padat, bertekstur lunak,
manis, penampakan dan bau normal dengan menggunakan metode uji sesuai SNI
01-2891-1992. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa proses
pengolahan polen kelapa sawit tidak berpengaruh terhadap sifat fisiknya tetapi
berpengaruh terhadap warna polen serta dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pakan lebah madu yang berkepanjangan.

Kata Kunci: polen, kelapa sawit, lebah madu, warna, fisik

Pendahuluan
Pengembangan budidaya lebah madu di Indonesia perlu ditingkatkan. Lebah
madu dikenal sebagai serangga penghasil produk bermanfaat dengan kandungan
nutrisi tinggi seperti madu, propolis, royal jelly, lilin hingga racun lebah. Jumlah
permintaan madu oleh masyarakat terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Permintaan tersebut, sayangnya belum mampu terpenuhi dengan baik oleh
populasi lebah madu yang ada. Pemasokan madu impor terus meningkat untuk
memenuhi permintaan tersebut. Lebah madu membutuhkan pakan berupa nektar
dan polen demi kelangsungan hidup dan reproduksinya. Ketersediaan pakan
tersebut bergantung pada perbungaan tanaman yang tersedia.

100
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Musim penghujan dan kemarau yang tidak menentu menyebabkan perbungaan


pada tanaman ikut terganggu, sehingga terjadi keterbatasan dalam penyediaan
pakan lebah madu. Nektar dan polen dapat diperoleh dari tanaman pangan dan
sayur, tanaman buah, tanaman industri hingga tanaman hutan (Susdiyanti &
Supriono, 2015). Nektar dikonsumsi oleh lebah madu sebagai sumber karbohidrat,
sedangkan polen sebagai sumber protein. Kekurangan pakan bagi lebah madu
dapat menyebabkan lemahnya koloni dan penurunan produktivitas. Lebah madu
dan tanaman memiliki hubungan saling menguntungan. Lebah memperoleh pakan
dari tanaman dan lebah sebagai polinator bagi tanaman. Proses penyerbukan pada
kelapa sawit memengaruhi hasil produksi pada buah kelapa sawit, dengan
penyerbukan alami oleh angin atau dengan bantuan serangga penyerbuk (Sobari et
al., 2019).

Perkebunan kelapa sawit telah berkembang dengan sangat pesat dan merupakan
perkebunan terbesar yang ada di Indonesia (Masykur, 2013). Indonesia
merupakan eksportir terbesar di dunia dengan konsumsi minyak sawit (CPO) yang
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tanaman kelapa sawit yang ada di
Indonesia memiliki luas hingga 8,9 juta hektar pada tahun 2020 yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Tingginya potensi kelapa sawit tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai penghasil pakan lebah yang bersifat berkepanjangan.
Kelapa sawit menghasilkan polen yang dapat dikonsumsi oleh lebah dengan
ketersediaan yang melimpah. Pada umur 3-4 tahun, tanaman kelapa sawit mulai
berproduksi meskipun masih rendah dan dapat tumbuh tinggi mencapai 24 meter.

Grímsson et al., (2019) mengatakan bahwa setiap tanaman berbunga


menghasilkan bentuk polen yang bervariasi, sehingga analisis yang dilakukan
pada polen lebah mampu mengidentifikasi spesies dan takson dalam famili
tanaman tersebut. Polen kelapa sawit belum banyak di kembangkan di Indonesia,
hal ini dikarenakan lebah yang sesuai untuk menjadi polinator bunga kelapa sawit
adalah lebah jenis Trigona sp. Vossler (2015) menjelaskan bahwa bunga dapat
diklasifikasi berdasarkan ukurannya yaitu bunga kecil (≤1 cm), sedang (1-2 cm)
dan bunga besar (≥2 cm). Pemanfaatan polen kelapa sawit mampu mengatasi
keterbatasan pakan lebah madu terutama polen pada musim paceklik atau keadaan
dimana perbungaan tanaman terganggu. Terdapat berbagai faktor yang dapat
memengaruhi sifat fisik dan jenis kandungan kimia pada polen kelapa sawit
(Bishr & Desoukey, 2012). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui warna dan
sifat fisik pada polen kelapa sawit melalui pengeringan yang berbeda. Melalui
penelitian ini diharapkan data yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan
dalam mengatasi keterbatasan pakan melalui pemanfaatan polen kelapa sawit
sebagai sumber pakan lebah yang ketersediaannya melimpah di wilayah
Indonesia.

Metode
Lokasi penelitian
Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu pengambilan sampel polen kelapa sawit di
BUMD Karya Kencana, Desa Rantau, Kecamatan Geragai, Jambi dan penelitian
laboratorium. Uji warna dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Agrokimia
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya dan sifat fisik dilakukan di

101
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Laboratorium Saraswanti, Surabaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober-


November 2021.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah sampel polen kelapa sawit yang telah dipisahkan
berdasarkan perlakuan, aquades, H2SO4, asam asetat glasial, safranin, gliserin
jelly dan kertas label. Alat-alat yang digunakan meliputi oven dengan suhu 60°C,
colorimeter, mikroskop, object glass, cover glass, tabung reaksi, kaca pengaduk,
vortex, pinset, waterbath, sentrifugator, botol sampel, pipet tetes, bunsen dan
botol flakon.

Analisis data
Identifikasi dan karakteristik polen kelapa sawit dilakukan secara deskriptif yaitu
membuat deskripsi polen yang meliputi warna, bentuk, tekstur, rasa, penampakan
hingga aroma berdasarkan dua perlakuan yang digunakan. Perlakuan tersebut
yaitu polen kelapa sawit kering matahari dan polen kelapa sawit kering
matahari+oven 60°C selama 60 menit.

Hasil dan Pembahasan


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui warna dan sifat fisik pada polen kelapa
sawit sebagai pakan lebah madu. Parameter yang diamati meliputi warna, bentuk,
tekstur, rasa, penampakan dan aroma dengan sampel yang berasal dari satu lokasi
yang sama. Berdasarkan hasil pengamatan uji warna menggunakan colorimeter,
proses pengeringan polen dapat memengaruhi warna yang ada (Tabel 1).
Wirasaputra et al., (2017) menyatakan bahwa L (Lightness) artinya kecerahan
suatu objek yang memiliki angka berkisar 0 hingga 100, yang berarti gelap atau
hitam ke cerah atau putih (0-100). Berdasarkan data yang ada, polen dengan
perlakuan kering matahari+kering oven 60°C memiliki warna polen lebih cerah
sebesar 3,22 dari pada polen dengan perlakuan kering matahari.

Huruf a diartikan sebagai indikator keberadaan warna merah yang memiliki nilai
berkisar antara -120 sampai 120. Identifikasi warna pada angka minus
menunjukkan warna hijau sedangkan pada angka positif menunjukkan warna
merah. Polen dengan perlakuan kering matahari memiliki warna yang lebih merah
dibandingkan kering matahari+oven 60°C yaitu sebesar 0,85. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan oven dengan suhu 60°C dapat
mengurangi warna merah pada permukaan polen kelapa sawit. Nilai pada huruf b
juga berkisar antara -120 hingga 120 akan tetapi, dengan identifikasi warna yang
berbeda yaitu menunjukkan warna kuning pada objek. Angka minus menunjukkan
perubahan warna menjadi biru sedangkan angka positif menunjukkan warna
menjadi kuning. Pada tabel ditunjukkan bahwa data kedua perlakuan yang
diberikan terjadi perubahan warna yang tidak signifikan dengan perlakuan kering
matahari+oven 60°C memiliki warna kuning yang lebih kuat yaitu sebesar 0,29
saja.

Chroma (c) merupakan saturasi atau tingkatan terang, nilai chroma yang lebih
tinggi berarti memiliki warna yang lebih terang sedangkan nilai chroma yang
menurun mengartikan bahwa warna pada objek memudar (Swandari et al., 2017).

102
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pemudaran pada polen kelapa sawit berdasarkan data terjadi ketika perlakuan
kering matahari+oven 60°C yang memudar sebesar 0,04. Huruf h atau hue
memiliki arti ketipisan warna yang terdapat pada objek dengan skala nilai 0-90.
Angka hue yang rendah menunjukkan warna merah pada objek sedangkan yang
tinggi menunjukkan angka kuning. Berdasarkan data pada tabel perlakuan kering
matahari+oven 60°C memiliki warna yang lebih kuning daripada pengeringan
matahari saja yaitu sebesar 2,21. Hal ini menunjukkan penambahan pengeringan
oven dengan suhu 60°C dapat meningkatkan warna kuning yang terdapat pada
objek.

Diketahui dari hasil analisis warna tersebut bahwa polen dengan perlakuan kering
matahari tanpa proses pengovenan memiliki warna yang lebih pekat dan
cenderung merah dibandingkan dengan polen yang diberikan perlakuan oven, hal
tersebut kemungkinan terjadi akibat adanya pengeringan lanjutan yang
menyebabkan berkurangnya kadar air dan tingkat kepekatan warna pada polen.
Semakin rendah kandungan air dalam suatu bahan menyebabkan tingkat
kekerasan yang tinggi dan kadar warna yang lebih cerah (Engelen, 2018).

Tabel 1. Hasil Pengujian Warna (colour reader)


Perlakuan L a b c h
Kering Matahari+Oven
73,07 7,85 21,56 22,94 69,98
60°C
Kering Matahari 69,85 8,69 21,27 22,98 67,77
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium Teknologi Agrokimia Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya (2021)

Gambar 1. Penampakan Polen Kelapa Sawit

Menurut Shubharani et al., (2013), serbuk sari pada setiap tanaman berbunga
memiliki bentuk, ukuran dan ornamen tertentu sehingga analisis polen juga dapat
menentukan sumber tanaman tersebut. Bentuk polen yang bervariasi meliputi
prolate, colpate, oblate, bulat, elips hingga bentuk dengan pola yang tidak jelas.
Vosler (2015) menyatakan bahwa ukuran polen dibagi menjai tiga kelompok yaitu
ukuran kecil, sedang hingga besar. Penelitian yang dilakukan secara mikroskopis
menunjukkan sifat fisik pada polen kelapa sawit dengan dua perlakuan berbeda

103
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

(Tabel 2). Data yang diperoleh menunjukkan tidak terdapat perbedaan sifat fisik
pada polen kelapa sawit berdasarkan dua perlakuan yang berbeda. Metode yang
digunakan dalam melakukan uji fisik pada polen kelapa sawit sesuai dengan SNI
01-2891-1992. Simpulan yang dapat diambil yaitu penambahan pengeringan oven
polen kelapa sawit tidak berpengaruh terhadap sifat fisik polen tersebut.

Tabel 2. Sifat Fisik Polen Kelapa Sawit


Parameter
Perlakuan
Bentuk Tekstur Rasa Aroma Penampakan
Kering
Matahari+Oven Bulat Lunak Manis Normal Normal
60°C

Kering Matahari Bulat Lunak Manis Normal Normal

Sumber : Hasil Analisa Laboratorium Saraswanti, Surabaya (2021)

Kesimpulan
Tanaman bunga yang berbeda menghasilkan bentuk hingga ukuran polen yang
bervariasi. Berdasarkan hasil pengamatan, perlakuan yang berbeda terhadap jenis
polen pada tanaman yang sama menunjukkan terjadinya perbedaan warna pada
polen akan tetapi tidak pada sifat fisiknya. Polen dengan perlakuan kering
matahari+kering oven dengan suhu 60°C memiliki warna polen lebih cerah
(L=3,22), kurang merah (a=0,85), lebih kuning (b=0,29), mengalami pemudaran
(c=0,04) dan kuning yg lebih kuat (h=2,21) dibandingkan dengan perlakuan
kering matahari. Parameter sifat fisik yang diuji meliputi bentuk, tekstur, rasa,
aroma hingga penampakan.

Saran
Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai kandungan kimia yang
terdapat dalam polen kelapa sawit dengan menggunakan perlakuan yang berbeda.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terimakasih diberikan kepada :
1. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya yang telah memberikan biaya
pelaksanaan penelitian melalui Program Hibah Research Group Tahun 2021.
2. BUMD Karya Kencana, Desa Rantau, Kecamatan Geragai, Jambi yang telah
membantu penyediaan sampel polen sawit.

Daftar Pustaka
Bishr, M., & Desoukey, S. Y. (2012). Comparative study of the nutritional value
of four types of Egyptian palm pollens. Journal of Pharmacy and Nutrition
Sciences, 2(1), 50–56. https://doi.org/10.6000/1927-5951.2012.02.01.7
Engelen, A. 2018. Analisis Kekerasan, Kadar Air, Warna dan Sifat Sensori pada
Pembuatan Keripik Daun Kelor. Journal of Agritech Science, 2(1): 10-15
Grímsson, F., van Valkenburg, J. L. C. H., Wieringa, J. J., Xafis, A., Jacobs, B. F.,
& Zetter, R. (2019). Pollen morphology of the African Sclerosperma
(Arecaceae). Grana, 58(2), 99–113.
https://doi.org/10.1080/00173134.2018.1519033

104
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Masykur. (2013). Pengembangan Industri Kelapa Sawit Sebagai Penghasil Energi


Bahan Alternatif dan Mengurangi Pemanasan Global. Jurnal Reformasi, 3, 96–
107.
Shubharani, R., Roopa, P., & Sivaram, V. (2013). Pollen Morphology of Selected
Bee Forage Plants. Global Journal of Bio Science and Biotechnology, 2(1), 82–
90.
Sobari, E., Hasibuan, A. A., & Subandi, M. (2019). Pengaruh perbedaan ukuran
polen pada penyerbukan buatan terhadap potensi jumlah buah pada tanaman
kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.). Kultivasi, 18(1), 805–810.
https://doi.org/10.24198/kultivasi.v18i1.19611
Susdiyanti, T., & Supriono, B. (2015). ( Apis cerana Fabr .) Oleh : The Study Of
Availability Of Local Honey Bees Feed.
Swandari, T., Basunanda, P., & Purwantoro, A. (2017). Penggunaan Alat Sensor
Warna untuk Menduga Derajat Dominasi Gen Penyadi Karakter Warna Buah
Cabai Hasil Persilangan. Agroista, 1(2), 1–10.
Vossler, F. G. (2015). Small pollen grain volumes and sizes dominate the diet
composition of three South American subtropical stingless bees. Grana, 54(1),
68–81. https://doi.org/10.1080/00173134.2014.932838
Wirasaputra, A., Mursalim dan Waris. (2017). Pengaruh Penggunaan Zat Etefon
Terhadap Sifat Fisik Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.). Jurnal AgriTecho.
10(2) : 89-98.

105
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KAJIAN KIMIA DAN MIKROBIOLOGI POLEN KELAPA SAWIT


SEBAGAI PAKAN LEBAH MADU

Mochammad Junus1, Sri Minarti1,*, Lilik Eka Radiati2, Firman Jaya2,


Fitriarisa Landa3, Ida Handayani3, Muhammad Anang Fitriono3
1
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Mahasiswa Program Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
*
Email korespondensi: minartiherman@ub.ac.id

Abstrak
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan tanaman penghasil minyak sawit
yang dijadikan bahan baku berbagai produk pangan, obat, kosmetik dan sumber
energi. Kelapa sawit memiliki umur produktif hingga 25-26 tahun, dipanen mulai
umur 3-4 tahun dan mencapai puncak produksi umur 9-14 tahun. Sebagai tanaman
penghasil buah, kelapa sawit menghasilkan bunga majemuk berbentuk tundun dan
mengalami kenaikan jumlah seiring bertambahnya umur, sehingga memberikan
potensi bagi serangga penyerbuk seperti lebah mendapatkan polen sebagai sumber
protein bagi koloninya. Polen berperan penting dalam menjaga kesehatan koloni
karena mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan
antioksidan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi polen
kelapa sawit sebagai sumber pakan lebah. Penelitian ini dilakukan di Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya Malang. Analisa AKK (Angka Kapang
Khamir), ALT (Angka Lempeng Total) dan mineral dilaksanakan di Laboraturium
PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor. Materi yang digunakan adalah polen kelapa
sawit dari BUMD Karya Kencana, Desa Rantau, Kecamatan Geragai, Jambi.
Metode penelitian yang dipakai yaitu eksperimen laboraturium dengan metode
eksploratif dan hasil pengamatan dianalisa secara statistik deskriptif. Hasil
pengamatan didapatkan rataan AKK polen kelapa sawit perlakuan kering matahari
sebesar 2.0 x 103 CFU/g dan ALT didapatkan rataan sebesar 6.2 x 104 CFU/g,
sedangkan rataan AKK polen kelapa sawit kering oven sebesar 6.0 x 102 CFU/g
dan ALT didapatkan rataan sebesar 9.0 x 104 CFU/g. Mineral yang terkandung
pada polen kelapa sawit yaitu Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium, Mangan,
Natrium, Natrium, Fosfor, dan Seng. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan
bahwa polen kelapa sawit berpotensi sebagai pakan lebah karena mengandung
nutrisi yang dibutuhkan oleh lebah.

Kata Kunci: polen, kelapa sawit, kapang dan khamir, angka lempeng total,
mineral

Pendahuluan
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan tanaman yang terkenal sebagai
penghasil minyak sawit untuk dijadikan bahan baku berbagai macam produk
seperti produk pangan, obat-obatan, kosmetik dan sumber energi. Kelapa sawit
termasuk ke dalam famili Arecaceae atau tumbuhan palem yang berasal dari
Afrika Barat. Kelapa sawit memiliki karakteristik seperti khasnya pada tumbuhan

106
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

palem seperti batang yang tumbuh tegak ke atas dan tidak bercabang, memiliki
batang beruas-ruas, memiliki sistem perakaran serabut, berdaun majemuk dan
bunga tersusun dalam satu tundun dengan jumlah yang banyak. Biji kelapa sawit
(kernel) merupakan bahan yang dimanfaatkan untuk memproduksi minyak sawit.
Produksi minyak sawit di Indonesia pada tahun 2019 mengalami peningkatan
sebesar 12,92% menjadi 48,42ton dibandingkan dengan tahun 2018 (Badan Pusat
Statistik, 2019).

Tanaman kelapa sawit memiliki umur produktif hingga 25-26 tahun (Lubis dan
Iskandar, 2018). Tanaman kelapa sawit dapat dipanen mulai umur 3-4 tahun dan
mencapai puncak produksi pada umur 9-14 tahun. Sebagai tanaman penghasil
buah, kelapa sawit memiliki bunga sebagai alat perkembangbiakan yang memiliki
ciri-ciri berjumlah majemuk, berbentuk seperti tundun dan termasuk ke dalam tipe
bunga tidak sempurna dimana sel kelamin jantan dan betina tidak berada di dalam
satu tangkai bunga. Jumlah bunga jantan pada tanaman kelapa sawit mengalami
kenaikan jumlah seiring bertambahnya umur pohon (Lumbangaol, 2010)
sedangkan bunga betina memiliki produksi yang lebih tinggi pada umur pohon
yang masih muda dan akan berkurang jumlahnya seiring bertambahnya umur
(Susanto, Agus dan Hari, 2020). Perkawinan tanaman sawit sering dilakukan
secara buatan (assisted polination) maupun dengan cara alami melalui bantuan
serangga penyerbuk. Produksi bunga jantan yang tinggi seiring bertambahnya
umur pohon sawit memberikan potensi bagi serangga penyerbuk seperti lebah
untuk mendapatkan polen sebagai sumber protein bagi koloninya. Lebah madu
dalam membantu bunga mengalami penyerbukan memiliki keuntungan yang
didapat yaitu terkumpulnya nektar bunga dan polen sebagai sumber nutrisi bagi
kesehatan koloni. Polen berperan penting dalam menjaga kesehatan koloni karena
mengandung beberapa nutrient seperti karbohidrat, lemak, protein dan vitamin
serta mineral.

Berdasarkan uraian tersebut dimungkinkan bahwa tanaman sawit memiliki potensi


sebagai sumber pakan lebah melalui produksi polen yang melimpah. Tingkat
produksi dan kualitas polen perlu diteliti secara kimia dan mikrobiologi agar dapat
digunakan seabagai acuan untuk mengetahui potensi polen kelapa sawit sebagai
pakan untuk lebah madu.

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengujian laboraturium
secara eksploratif yang merupakan penelitian awal tahap identifikasi. Analisa
AKK (Angka Kapang Khamir) dilakukan sesuai uji SNI ISO 21527-2: 2012 dan
ALT (Angka Lempeng Total) dilakukan sesuai uji SNI ISO 4833-1:2015 serta
analisis mineral dengan metode sesuai SNI 01-2891-1992 point 1.2.
Materi yang digunakan adalah polen kelapa sawit dari BUMD Karya Kencana,
Desa Rantau, Kecamatan Geragai, Jambi. Sampel dikeringkan dengan cahaya
matahari (P1) dan sampel kedua (P2) dikeringkan dengan cahaya matahari dan
dioven pada suhu 60oC menggunakan 2 ulangan dan diberi kode dan label
kemudian disimpan dalam suhu kamar sampai dianalisis dan dikirim ke
Laboraturium PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor untuk dilakukan analis AKK,
ALT dan mineral.

107
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dimulai pada tanggal 10 Agustus sampai
dengan 10 November 2021. Penelitian ini dilakukan di Laboraturium Produksi
Aneka Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang. Analisa
AKK, ALT dan mineral dilaksanakan di Laboraturium PT. Saraswanti Indo
Genetech Bogor.

Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriptif dengan
mendeskripsisikan akumulasi data dasar dalam bentuk deskripsi yang didapatkan
dari hasil penelitian dengan mengacu pada rataan data yang didapatkan.

Hasil dan Pembahasan


Dari hasil analisis data didapatkan bahwa AKK polen kelapa sawit dengan
perlakuan kering matahari didapatkan rataan sebesar 2.0 x 103 CFU/g dan polen
dengan perlakuan kering matahari serta oven 60oC didapatkan rataan AKK
sebesar g 6.0 x 10² CFU/g. Hal ini menunjukkan bahwa pada polen kelapa sawit
terindikasi adanya kapang dan khamir. Populasi kapang dan khamir pada polen
kelapa sawit masih dalam kategori aman untuk pakan lebah maupun digunakan
sebagai bahan pangan dikarenakan masih dibawah ambang batas jumlah
maksimal populasi cemaran. International Honey Commission (IHC)
menyebutkan bahwa kriteria standar kualitas internasional untuk bee-pollen
dengan batas yang direkomendasikan untuk populasi kapang dan khamir total
yaitu <5 x104 CFU/g (De-melo et al., 2015).

AKK polen kelapa sawit dengan perlakuan kering matahari didapatkan rataan
sebesar 2.0 x103 CFU/g yang artinya polen dengan perlakuan kering matahari saja
memiliki populasi kapang dan khamir lebih banyak dibandingkan dengan polen
dengan perlakuan kering matahari serta oven dengan rataan sebesar 6.0 x 102
CFU/g. Internasional Honey Commision (IHC) merekomendasikan batas jumlah
ALT <105 CFU/g atau makismal 100 koloni (Campos et al., 2008).Sedangakan
cemaran mikroba lebih banyak pada polen dengan perlakuan kering matahari dan
oven dengan rataan ALT sebesar 9.0 x 104CFU/g . Tingginya cemaran mikroba
pada perlakuan kering matahari dan oven dimungkinkan terjadi karena adanya
kontaminasi saat proses pengeringan. ALT polen yang tinggi dipengaruhi oleh
kontaminasi awal bahan baku, serta alat dan bahan yang digunakan selama proses
penanganan dan penyimpanan polen (Arruda et al., 2017).

Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dan penanganan polen sangat berpengaruh
terdahap pertumbuhan kapang dan khamir serta adanya kontaminasi mikroba
sehingga menyebabkan penurunan kualitas nutrisi polen. Kualitas mikrobiologi
polen sama pentingnya dengan karakteristik nutrisinya, kontaminasi kapang dan
khamir pada pada umunya terjadi akibat dari perubahan iklim yang intensif.
Kualitas polen dapat dipengaruhi secara signifikan oleh keberadaan kapang dan
khamir yang apabila dibiarkan akan bersifat toksigenik karena mengandung zat
mikotoksin (Bonvehi and Jorda, 1997).

108
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Rataan populasi mikroorganisme sampel polen kelapa sawit yang telah
melalui proses pengeringan.
Mikroorganisme P1(kering P2(kering matahari+oven
matahari) 60OC)
AKK (Angka Kapang Khamir) 2.0 x 103 CFU/g 6.0 x 102 CFU/g
4
ALT (Angka Lempeng Total) 6.2 x 10 CFU/g 9.0 x 104 CFU/g
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor
(2021)

Pada polen dengan penanganan yang dilakukan dengan proses benar nilai indeks
kandungan zat mikotoksin hampir tidak ada atau sangat kecil karena mikroflora
yang terdiri dari kapang, khamir, bakteri pembentuk spora, dan kokus tidak
dominan. Belhadj et al., (2012) merekomendasikan untuk menghindari
pengeringan polen secara alami, karena pada suhu rendah, pertumbuhan kapang
dan produksi mikotoksin dapat terjadi. Jika polen mentah disimpan tanpa
pengolahan, kapang ataupun khamir dapat tumbuh subur dalam kondisi yang
sesuai terutama kelembaban dan suhu, dikarenakan polen merupakan produk
tanaman yang cocok untuk pertumbuhan kapang atau produksi mikotoksin.
Perlakuan oven merupakan perlakuan pengeringan yang cepat sehingga
meminimalisir berkembangnya mikroorganisme pantogen. Sampel yang telah
dikeringkan dengan cepat menunjukkan tingkat mikroorganisme yang rendah
karena ketersediaan air yang rendah menekan mikroorganisme. Proses
pengeringan yang cepat juga mengurangi jumlah langkah manipulasi, sehingga
mempertahankan tingkat streptokokus yang rendah dan tidak adanya koliform.
Dari sudut pandang mikrobiologi, rendahnya nilai kapang dan khamir
kemungkinan besar terkait dengan kondisi lingkungan, dan merupakan indikasi
pengelolaan yang tepat. Jenis kapang yang ditemukan pada polen umumnya
merupakan spesies Aspergillus flavus, A. parasiticus Aspergillus sp., Penicillium
verrucosum, Penicillium sp., Fusarium sp., Cladosporium sp., Alternaria sp.,
Rhizopus sp., Mucor sp., Botrytis sp., Epicoccum sp. sedangkan jenis khamir tidak
ditemukan secara spesifik (Kostic et al., 2019).

Hasil analisis pada polen kelapa sawit kering matahari menunjukkan bahwa
kandungan mineral yaitu kalsium sebesar 452,44 mg/100g, tembaga 12,36 mg/kg,
besi 4,66 mg/100g, magnesium 553,25 mg/100g, mangan 354,99 mg/kg, natrium
13,36 mg/100g, fosfor 5732,63 mg/kg dan seng 4,84 mg/100g. Sedangkan pada
polen kelapa sawit kering matahari + oven ditemukan kalsium sebanyak 563,91
mg/100g, tembaga 19,33 mg/kg, besi 5,13 mg/100g, magnesium 564,38 mg/100g,
mangan 405,47 mg/kg, natrium 25,10 mg/100g, fosfor 6028, 91 mg/kg dan seng
5,57 mg/100g. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Hassan (2011) yang menyatakan
bahwa butiran serbuk sari kelapa sawit merupakan sumber yang kaya akan unsur
mineral. Mineral yang dominan adalah tembaga (319,6 mg/100g), diikuti oleh
boron (309,4 mg/100g), kobalt (305,4 mg/100g) dan selenium (305 mg/100 g).
Jumlah nikel dan molibdenum yang sama (masing-masing 302,4 dan 302,2
mg/100g) ditemukan dalam butiran serbuk sari kelapa sawit. Serbuk sari kelapa
sawit juga mengandung mangan (284 mg/100g), seng (281 mg/100g) dan besi

109
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

(241 mg/100g) yang bermanfaat. Variasi kandungan mineral pada serbuk sari
menandakan perbedaan asal bunga serbuk sari dan kondisi pertumbuhan tanaman.
Ikegbunam and Okwu (2021) menyatakan bahwa kisaran kandungan mineral pada
serbuk sari adalah 3100-5350 mg/100 g seng, 48,70-68,50 mg/100 g kalsium,
3,90-5,50 mg/100 g magnesium, 2,06-2,97 mg/100 g kalium dan 0,30-0,38
mg/100 g natrium.

Tabel 2. Kandungan mineral polen kelapa sawit yang telah melalui proses
pengeringan.
Mineral Perlakuan
Kering matahari Kering matahari + oven 60oC
Kalsium 452,44 mg/100g 563,91 mg/100g
Tembaga 12,36 mg/kg 19,33 mg/kg
Besi 4,66 mg/100g 5,13 mg/100g
Magnesium 553,25 mg/100g 564,38 mg/100g
Mangan 354,99 mg/kg 405,47 mg/kg
Natrium 13,36 mg/100g 25,10 mg/100g
Fosfor 5732,63 mg/kg 6028, 91 mg/kg
Seng 4,84 mg/100g 5,57 mg/100g
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor
(2021)

Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada polen kelapa sawit
memiliki populasi kapang, khamir dan mikroba dibawah ambang batas cemaran
mikroorganisme. Polen dengan proses pengeringan yang baik (kering sinar
matahari dan oven 60oC) dapat meminimalisir adanya kontaminasi
mikroorganisme pantogen. Selain itu polen kelapa sawit mengandung mineral
seperti kalsium, tembaga, besi, magnesium, mangan, natrium, fosfor dan seng
yang dibutuhkan ternak lebah madu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa polen
kelapa sawit berpotensi sebagai pakan lebah madu

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih diberikan kepada :
1. Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan dana melalui Program
Kelompok Kajian.
2. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat atas kepercayaan
yang diberikan untuk melaksanakan penelitian ini.
3. BUMD Karya Kencana, Desa Rantau, Kecamatan Geragai, Jambi yang telah
membantu penyediaan sampel polen sawit.

Daftar Pustaka
Arruda, V.A.S., Viera S.A., Figueiredo S. D., Silva A. E.,Castro P.A.L.,
Estenfinho and Bicudo A.M.L.2017. Candida Microbiologica Caracterization
Fisiqoquimica del Polen de Abeja. J. Apic. Res. Vol 56: 231-238.
Badan Pusat Statistik. 2019. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2019. Badan Pusat
Statistik Indonesia, ISSN: 1978-9947.

110
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Belhadj, H., D. Harzallah, S. Dahamna and S. Khennour. 2012. Microbiological


Quality Control of Marketed Pollen. Der Pharmacia Lettre. 6 (2): 37-42.
Bonvehi, J. S. and R. E. Jorda. 1997. Nutrient Composition and Microbiological
Quality of Honeybee-Collected Pollen in Spain. Journal of Agriculture Food
Chemical. Vol 45: 725-732.
Campos, M.G.R., S. Bogdanov, L.B. Almeida, Muradian, T. Szczesna, Y.
Mancebo, C. Frigerio, F. Ferreira, 2008. Komposisi serbuk sari dan standarisasi
metode analisis. Jurnal Penelitian Apikultur dan Dunia Lebah, 47(2): 156-163.
De-Melo, A. A. M., M. L. M. F. Estevinho and L. B. Almeida-Muradian. 2015. A
Diagnosis of the Microbiological Quality of Dehydrated Bee-Pollen Produced
in Brazil. Letters in Applied Microbiology. Vol 61: 477-483.
Hani, B., B. Dalila, D. Saliha, H. Daoud, G. Mouloud and K. Seddik. 2012.
Microbilogical Sanitary Aspects of Pollen. Advances in Enviromental Biology.
6 (4): 1415-1420.
Hassan, H. M. M. 2011. Chemical Composition and Nutritional Value of Palm
Pollen Grains. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry. 6 (1): 01-07.
Ikegbunam, C. and J. Okwu. 2021. Evaluation of The Physicochemical Properties
and Pollen Content of Honeysamples from Ebonyi State, Nigeria. Journal of
Sustainability Science and Management. 16 (6): 31-44.
Kaur, R., Neelima R. K. and Kusum H. 2013. Phytochemical Analysis of
Different Extracts of Bee Pollen. Journal of Pharmaceutical and Biological
Research, 4(3): 65-68.
Kostic, A. Z., D. D. Milincic, T. S. Petrovic, V. S. Krnjaja, S. P. Stanojevic, M. B.
Barac, Z. L. Tesic and M. B. Pesic. 2019. Mycotoxins and Mycotoxin
Producing Fungi in Pollen: Review. Toxins. 11 (64): 1-20.
Lubis, M. Firdaus dan Iskandar L. 2018. Analisis Produksi Kelapa Sawit (Elais
Guineensis Jacq.) di Kebun Buatan, Kabupaten Pelalawan, Riau. Buletin
Agroholtikultur, 6(2): 281-286.
Lumbangaol, P. 2010. Rekomendasi Pupuk Kelapa Sawit. Pedoman Agronomis,
Hal. 7
Susanto, A., Agus E. P. dan Hari P. 2020. Hubungan Kesehaan Tanaman terhadap
Penyerbukan Kelapa Sawit. Warta PPKS, 25(2): 92-100.

111
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

STRATEGI UKURAN MANGKOK BUATAN PADA PENANGKARAN


LEBAH RATU APIS CERANA DENGAN METODE GRAFTING
TECHNOLOGY

Edghar Egadhio Koy1,*, Nur Maulida Wahyuni1, Sri Minarti2


1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
2
Dosen Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: edhgarkoy@student.ub.ac.id

Abstrak
Apis cerana merupakan jenis lebah madu Asia yang sebarannya meliputi sebagian
besar wilayah Indonesia. Sebuah koloni lebah madu memerlukan ratu untuk
mengatur dan menjaga fungsi koloni. Lebah ratu yang baik adalah yang memiliki
morfologi lebih besar yang berpengaruh terhadap organ reproduksinya. Lebah ratu
yang sudah tidak produktif perlu dilakukan penggantian. Penggantian dan
penangkaran menggunakan teknik cangkok larva dapat memproduksi lebah ratu
dalam jumlah dan waktu tidak terbatas. Grafting atau pencangkokan larva dalam
pergantian lebah ratu dapat meminimalisir kerusakan dan dehidrasi larva. Salah
satu yang mempengaruhi pembuatan lebah ratu yaitu ukuran mangkok lebah ratu.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui strategi penangkaran lebah ratu Apis
cerana dengan metode grafting technology . Metode percobaan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 3 perlakuan dan 6 kotak koloni
sebagai ulangannya dengan masing-masing ulangan 4 unit, kemudian dilanjut uji
Beda Nyata Terkecil (BNT). Mangkok buatan terbagi menjadi P1(kecil) = tinggi
7,5 mm; diameter atas 6,5 mm; diameter bawah 4,4 mm, P2(sedang) = tinggi 8,5
mm; diameter atas 7,1 mm; diameter bawah 5,8 mm, P3(besar) = tinggi 10 mm;
diameter atas 7,1 mm; diameter bawah 6,2 mm. Berdasarkan data yang ada bahwa
adanya pengaruh nyata (P<0,05) antara berbagai ukuran mangkok buatan dan
panjang tubuh calon lebah ratu, sedangkan pengaruh berbagai ukuran mangkok
buatan terhadap bobot calon lebah ratu sangat nyata (P<0,01). Selain itu, Ukuran
mangkok buatan pada proses penangkaran lebah ratu berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap persentase keberhasilan larva jadi pupa dan pupa jadi calon lebah ratu
Apis cerana. Disarankan ukuran mangkok adalah ukuran yang mendekati dengan
ukuran aslinya.

Kata Kunci: penangkaran lebah ratu, Apis cerana, grafting technology

Pendahuluan
Apis cerana adalah jenis lebah madu Asia yang sebarannya meliputi sebagian
besar wilayah Indonesia. Budidaya lebah Apis cerana sangat sering dilakukan di
kalangan masyarakat. Kendala utama di dalam budi daya Apis cerana antara lain
produktivitas rendah, kecenderungan hijrah tinggi, dan agresif. Setiap koloni
(keluarga) lebah dihuni oleh tiga kasta lebah yang mempunyai tugas sendiri-
sendiri Ketiga kasta lebah tersebut adalah lebah ratu (queen), lebah jantan
(drones) dan lebah pekerja (worker bees). Masa produktif lebah ratu paling lama

112
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dua sampai empat tahun, bahkan tidak jarang hanya satu tahun. Efektivitas
kepemimpinan ratu semakin turun seiring waktu, sehingga suatu saat akan
digantikan oleh ratu baru keturunannya. Seleksi koloni dan reproduksi induk
secara berkelanjutan diperlukan untuk dapat memperbaiki kualitas dan
produktivitas koloni lebah madu (Woodward 2010). Penggantian lebah ratu salah
satu kegiatan yang rutin dilakukan di dalam budidaya lebah madu modern untuk
menjaga agar koloni tetap stabil, sehat, dan produktif. Penangkaran dan
penggantian lebah ratu secara rutin telah dipraktekkan sejak lama pada budidaya
lebah madu. Penangkaran lebah ratu pada umumnya menggunakan teknik
cangkok larva karena memungkinkan untuk memproduksi lebah ratu dalam
jumlah dan waktu tidak terbatas.

Keberhasilan teknik cangkok larva diukur dari dieraminya larva hingga menjadi
lebah ratu untuk setiap sel ratu yang disediakan dan dari produktivitas lebah ratu
yang dihasilkan. Menurut Gabka, et al. (2011) kemampuan bertelur lebah ratu
bergantung pada kapasitas indung telur (ovarium) dan volume kantong sperma
(spermateka) pada organ reproduksinya. Semakin besar volume indung telur akan
semakin banyak tabung telur (ovariol) di dalamnya sehingga semakin besar
jumlah telur yang dapat dihasilkan.

Syarat pembuatan lebah ratu menggunakan metode teknik cangkok atau grafting
technology yaitu ukuran mangkok lebah ratu, bahan mangkok ratu, teknik
grafting, umur larva, dan media yang digunakan (Abrol, 2005). Schneider and
DeGrandi – Hoffman (2002) dan ukuran sel ratu yang tepat memudahkan lebah
pekerja saat proses pemberian pakan sehingga tingkat keberhasilannya menjadi
besar. Menurut Sa’diyah (2015) syarat pemilihan lokasi budidaya lebah madu
yaitu tempat terbuka dan banyak bunga dengan jarak 0,5-0,7km untuk Apis
cerana, suhu lingkungan berkisar 26-340C dengan kelembapan 70-80%, jauh dari
ladang sayur yang disemprot pestisida. Demi terciptanya calon lebah ratu yang
optimal perlu adanya ukuran mangkok buatan yang optimal pula agar dapat
meningkatkan kualitas morfologi calon lebah ratu itu sendiri.

Materi dan Metode


Penelitian ini dilaksanakan secara studi literatur berdasarkan analisis literatur yang
melakukan penelitian di Peternakan Lebah Kembang Joyo Sriwijaya tahun 2020.
Penelitian yang dilakukan oleh Masnaly (2021) menjelaskan materi yang
digunakan adalah larva Apis cerana java genotype dengan umur 1 hari, lilin lebah
Apis cerana java genotype, gas CO2 dan air. Peralatan yang digunakan adalah
timbangan analitik ketelitian 0,01 g, milimeterblok, mangkok buatan ukuran kecil
(P1), sedang (P2) dan besar (P3). Metode dalam penelitian ini adalah percobaan
dengan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 3 perlakukan dan 6 kotak
koloni sebagai ulangannya dengan masing-masing ulangan 4 unit. Mangkok
buatan sebagai perlakuan dengan ukuran P1 (kecil) = tinggi 7,5 mm; diameter atas
6,5 mm; iameter bawah 4,4 mm, P2 (sedang) = tinggi 8,5 mm; diameter atas 7,1
mm; diameter bawah 5,8 mm, P3 (besar) = tinggi 10 mm; diameter atas 7,1 mm;
diameter bawah 6,2 mm. Parameter yang diamati yaitu panjang tubuh dan bobot
calon lebah ratu. Untuk perhitungan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang bila terdapat pengaruh kan dilanjut uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

113
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Menurut Pradiptha, dkk. (2021) percobaan pencangkokan dapat menggunakan


ukuran mangkok yaitu P1 = (kedalaman = 0,75cm , lebar atas = 0,65cm dan lebar
dasar = 0,44cm), P2 = (kedalaman = 0,85cm, lebar atas = 0,71cm dan lebar dasar
= 0,54cm) dan P3 = (kedalaman = 1cm, lebar atas = 0,71cm dan lebar dasar =
0,62cm). Alat yang digunakan adalah grafting tools, pisau, kotak koloni, frame,
pengungkit, masker, sarung tangan, alat tulis, malam/lilin lebah dan mangkok
buatan (sel buatan) dengan bahan yang digunakan yaitu gas co2 . lebah Apis
cerana, larva Apis cerana dengan umur yang sama (yaitu 1 hari). Pembuatan
lebah ratu untuk menggantikan lebah ratu tua yang tidak diinginkan di dalam
koloni lagi dan disarankan dilakukan saat menjelang musim bunga. Pembuatan
lebah ratu mutlak diperlukan untuk minimal menstabilkan kekuatan koloni.
Tahapan pembuatan lebah ratu umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik
pemindahan larva lebah pekerja umur satu hari ke sel lebah ratu (okulasi).

Hasil dan Pembahasan


Menurut Pradiptha, dkk. (2021) ukuran mangkok buatan berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap persentase keberhasilan larva jadi pupa pada Apis cerana. Hal
ini ditunjukkan F hitung lebih besar dari F tabel 5%. Hal ini menunjukan bahwa
ukuran sel mampu mempengaruhi keberhasilan larva jadi pupa. Pengaruh ini
disebabkan karena adanya perbedaan ukuran permukaan pada mangkok ratu
buatan yang berbeda-beda. Tingkat kenyamanan lebah pekerja pada saat
memberikan pakan royal jelly sangat mempengaruhi pada banyaknya sel ratu
yang diisi disetiap perlakuan. Ukuran mangkok untuk mencangkok Apis cerana
disarankan mendekati ukuran alami sel lebah ratu. Hasil dari perhitungan uji BNT
larva jadi pupa pada Apis cerana yaitu P1=50%a, P3=54,16%a, P2=66,66%b Maka
didapatkan bahwa perlakuan terbaik P2=66,66%b, Berdasarkan hasill uji BNT, sel
ratu kecil P1=50%a dan sel ratu besar P3=54,16%a tidak berbeda tetapi sel ratu
besar dan sel ratu kecil berbeda dengan sel ratu sedang, hal ini disebabkan oleh sel
ratu besar dan kecil memiliki tingkat keberhasilan larva jadi pupa yang rendah
dibandingkan sel ratu sedang.

Tabel 1. Rataan dan hasil BNT larva jadi pupa pada Apis cerana
Perlakuan Rata-Rata (%) Notasi
P1 50 a
P3 54,16 a
P2 66,66 b

Berdasarkan penelitian Pradiptha, dkk. (2021) yang ditunjukkan pada grafik diatas
sel ratu yang memiliki nilai tertinggi yaitu sel ratu sedang dengan nilai 66,66%.
Hal ini disebabkan sel ratu ukuran sedang pada bagian atas permukaannya
memiliki lubang dengan tingkat kenyamanan lebih baik dari pada sel ratu kecil
dan besar. Proses pemberian royal jelly sebagai pakan kedalam sel ratu sedang
dapat dipenuhi dengan baik oleh lebah pekerja, sedangkan pada sel ratu kecil
memiliki kendala saat pemberian pakan royal jelly karena bagian permukaan atas
terlalu kecil yang mengakibatkan lebah pekerja kesulitan dalam memberi pakan
larva yang ada di dalam sel ratu kecil. Pada sel ratu besar lebah dapat memberi

114
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pakan dengan mudah karena sel bagian atas lebar, akan tetapi pemberian pakan
royal jelly menjadi berlebihan dan dapat mengurangi banyak royal jelly yang
dimiliki oleh koloni lebah. Hal ini mengakibatkan lebah pekerja lebih memilih sel
ratu sedang yang memiliki ukuran yang pas untuk proses pemberian pakan royal
jelly dan tidak mengurangi royal jelly banyak untuk larva calon ratu.

Tabel 2. Rataan dan hasil BNT pupa jadi calon lebah ratu Apis cerana
Perlakuan Rata-Rata (%) NOTASI
P1 66,66 A
P3 91,66 a
P2 100 b

Menurut Pradiptha, dkk. (2021) ukuran mangkok buatan berpengaruh nyata


(P<0,05) terhadap persentase keberhasilan pupa jadi calon ratu Apis cerana. Hal
ini ditunjukkan F hitung lebih besar dari F tabel 5%. Untuk membuktikan adanya
pengaruh dari ukuran mangkok buatan terhadap pupa jadi calon lebah ratu Apis
cerana dilakukan perhitungan lanjut menggunakan analisis uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) yang bisa dilihat pada Tabel 2.

Panjang sayap
Berdasarkan hitungan analisis ragam dari berbagai ukuran mangkok buatan calon
lebah ratu Apis cerana java genotype mendapatkan hasil berpengaruh nyata (P <
0,05) terhadap panjang sayap calon lebah ratu Apis cerana java genotype.
Penyebab ini dapat terjadi karena ukuran mangkok buatan P3 memiliki ukuran
paling besar dan berpengaruh terhadap pemberian royal jelly. Pada ukuran yang
lebih besar lebah pekerja dapat memberikan tampungan royal jelly yang cukup
untuk kebutuhan calon lebah ratu. Hasil penelitian dan uji BNT menunjukkan
bahwa pada perlakuan mangkok buatan besar (P3) menghasilkan ukuran panjang
sayap yang paling panjang yaitu 14,93b mm. Sedangkan ukuran mangkok buatan
sedang (P2) 13,47ab mm dan ukuran kecil (P1) 10,96 mma.

Tabel 3. Rataan Panjang Sayap

Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan dari Rama (2019) bahwa ukuran
panjang sayap lebah ratu Apis cerana antara 8,48 mm – 8,74 mm. Perbedaan ini
dapat terjadi karena pada penelitian tersebut hanya menggunakan ukuran
mangkok buatan dengan diameter 8,6 mm. Maka dari itu ukuran panjang sayap
dipengaruhi oleh ukuran mangkok buatan.

115
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Semakin besar ukuran mangkokan maka akan semakin besar pula kapasitas
tampung pemberian pakan oleh lebah pekerja. Hal ni sesuai dengan pernyataan
Kuntadi (2013) bahwa pemberian pakan royal jelly tergantung pada bentuk dan
ukuran sel (mangkok buatan) tempat larva akan berkembang menjadi lebah ratu.

Kesimpulan
Ukuran mangkok buatan pada proses penangkaran lebah ratu berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap persentase keberhasilan larva jadi pupa, pupa jadi calon lebah
ratu dan panjang sayap dari calon lebah ratu Apis cerana. Ukuran mangkok
buatan sedang yang memiliki ukuran kedalaman 0,85 cm, lebar atas 0,71 cm dan
lebar dasar 0,54 cm mampu menghasilkan persentase larva jadi pupa 66,66% dan
persentase pupa jadi calon lebah ratu Apis cerana 100%, memiliki nilai lebih baik
jika dibandingkan dengan ukuran mangkok buatan kecil dan besar. Selain itu,
ditemukan pengaruh nyata bahwa mangkok ukuran besar dengan tinggi 10 mm,
diameter atas 7,1 mm dan diameter atas 6,2 mm dapat menghasilkan calon lebah
ratu optimal dengan panjang tubuh 12,52 mm dan bobot calon lebah ratu 122 mg.
Pengaruh ukuran mangkok buatan juga meningkatkan panjang sayap lebah ratu
Apis cerama java genotype. Ukuran mangkok paling besar mampu meningkatkan
panjang sayap sebesar 29%. Mangkok ukuran besar dengan tinggi 10 mm,
diameter atas 7,1 mm dan diameter bawah 6,2 mm menghasilkan calon lebah ratu
optimal dengan panjang sayap 14,93 mm. Disarankan ketika melakukan
penangkaran ratu dengan metode grafting menggunakan ukuran mangkok buatan
yang lebih mirip ukuran aslinya.

Daftar Pustaka
Abrol, D.P., R.M. Bhagat, and D. Sharma. 2005. Mass Rearing of Apis cerana F.
Queen. J Asia-Pacific Entomol. 8(3): 309-317.
Anonimus. 2002. Buku Panduan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Departemen Kehutanan Jakarta. Jakarta.
Gabka, J., M. Ochnio, Kamińsky, Majewska. 2011. Effect of age of eggs used for
rearing honey bee queens on the number of received queen cells. Journal of
Apicultural Science. 55(1): 47-53.
Kahya, Y., H. V. Gencer, and J. Woyke. 2015. Weight at emergency of honey bee
(Apis mellifera caucasica) queens and its effect on live weights at the pre and

116
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

post mating periods. Journal of Apicultural Res. and bee world. 47(2): 118-
125.
Kuntadi. 2007. Teknik pemuliaan lebah madu Apis cerana dengan pola
partisipatif. In: Gintings N et al. (Eds.), Pemanfaatan Iptek untuk
Kesejahteraan Masyarakat. Prosiding Gelar Teknologi (Purworejo,
30-31 Oktober 2007). pp. 157-165. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam.
Kuntadi. 2010. Uji coba cangkok basah (wet grafting) dalam penangkaran lebah
ratu Apis cerana L. In: Kardinan A et al. (Eds.), Peranan Entomologi
dalam Mendukung Pengembangan Pertanian Ramah Lingkungan dan
Kesehatan Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional VI
Perhimpunanntomologi Indonesia (Bogor, 24 Juni 2010). pp. 66-73. Bogor:
Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
Kuntadi. 2013. Pengaruh umur larva terhadap kualitas ratu yang dihasilkan pada
penangkaran lebah ratu Apis cerana L. (Hymenoptera: Apidae) dengan teknik
pencangkokan. Jurnal Entomologi Indonesia. 10(1) : 1-6
Maubecin, C. & Boero, Lourdes & Sersic, and Alicia. 2020. Specialisation in
pollen collection, pollination interactions and phenotypic variation of the oil-
collecting bee Chalepogenus cocuccii. Apidologie. 51(1).710-723.
Pradiptha, M.N., O.R. Puspitarini, M.F. Wadjdi.2021. Pengaruh Ukuran Mangkok
Buatan Terhadap Persentase Keberhasilan Larva Jadi Pupa, Pupa Jadi
Calon Ratu Apis cerana. Jurnal Dinamika Rekasatwa. 4(1):.113-116
Purbaya, J. R., 2002. Mengenal dan Memanfaatkan Khasiat Madu Alami. Edisi 1.
Pionir Jaya. Bandung. Sa’diyah, S. K. 2015. Perancangan Pusat Budidaya dan
Konservasi Lebah Madu di Kota Batu. Thesis. Malang: Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Schneidder, S.S., and G. DeGrandi – Hoffman. 2002. The Influence of Worker
Behavior and Paternity on the Development and Emergence of Honey Bee
Queens. Research Gate, Insecte Sociaux. 49: 306 – 314.
Tim KEHATI. 2016. Lebah Madu Apis cerana. Diakses pada 10 November 2021.
<http://kehati.jogjaprov.go.id/detailpost/lebah-madu>
Vaziritabar, S and S.M. Esmaeilzade. 2018. Preliminary attempts to rear larvae of
the Iranian Honeybee (Apis mellifera meda) colony and Effect of Different
Factors on Graft Acceptance In Honeybee Colonies In Karaj Apiary.
Journal Of Entomology and Zoology Studies. 6 (3): 681-692
Woodward D. 2010. Queen Bee: Biology, Rearing and Breeding. Balclutha:
Northern Bee Books.
Zidni, M. M. F. 2019. Pengaruh Berbagia Ukuran Sel Ratu Buatan Terhadap
Larva Lolos Hidup, Larva Jadi Pupa, Dan Panjang Pupa Pada Lebah Apis
Mellifera. Skripsi. Malang: Fakultas Peternakan, Universitas Islam Malang.

117
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

SUBSTITUSI TEPUNG TEMPE KACANG MERAH TERHADAP LUAS


AREA SARANG ANAKAN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN
KOLONI LEBAH MADU Apis mellifera

Eggi Pur Pinandita1, Kristy Rahayu2, Mochammad Junus3,*, Hary Nugroho3


1
Program Magister Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Email korespondensi: yunusbrawijaya@ub.ac.id

Abstrak
Apis mellifera banyak dibudidayakan di Indonesia. Pemberian pakan tambahan
merupakan cara alternatif untuk memberi makan lebah madu saat musim paceklik.
Pemberian tambahan tepung tempe kacang merah ini melalui proses fermentasi
sehingga dapat memecah protein menjadi asam amino yang mudah dicerna dan
dikonsumsi oleh lebah madu. Penelitian ini berlokasi di CV Kembang Joyo.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tepung tempe
kacang merah terhadap hasil induk lebah Apis mellifera dan mengetahui
persentase polen kacang merah yang optimal terhadap hasil induk lebah Apis
mellifera. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari enam perlakuan yaitu P0 = pakan basal, P1 = pakan basal + 5% tepung
tempe kacang merah, P2 = pakan basal + 10% tepung tempe kacang merah, P3 =
pakan basal + 15% tepung tempe kacang merah, P4 = pakan dasar + 20% tepung
tempe kacang merah, P5 = pakan basal + 25% tepung tempe kacang merah,
dengan empat ulangan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penambahan tepung
tempe kacang merah berpengaruh nyata terhadap luas pembesaran induk pada fase
telur, fase larva dan fase pupa sehingga dengan bertambahnya jumlah anakan
maka produksi madu akan meningkat.

Kata kunci : bobot badan, pertambahan luas area sarang, tepung tempe kacang
merah

Pendahuluan
Lebah madu banyak dibudidayakan di Indonesia, salah satunya yaitu lebah madu
Apis mellifera. Budidaya lebah madu mempunyai potensi yang cukup besar di
Indonesia karena letak Indonesia yang strategis dengan memiliki iklim tropis serta
memiliki kekayaan hayati melimpah. Budidaya lebah madu bila dikelola secara
intensif dan modern, maka akan memberikan manfaat langsung maupun tidak
langsung. Menurut Lamerkabel (2011) manfaat langsung adalah memperoleh
berbagai produk lebah madu seperti madu, royal jelly, tepung sari (bee pollen),
lilin, perekat (propolis) dan racun lebah. Semua produk lebah madu mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan peternak lebah.
Minarti (2010) menambahkan bahwa lebah madu Apis mellifera banyak
dibudidayakan di Indonesia karena lebah ini mampu beradaptasi dengan
lingkungan. Penggembalaan lebah madu dilakukan peternak dengan mengikuti
musim bunga sebagai sumber pakan dan menghasilkan madu berdasarkan sumber
bunga tersebut (Minarti, 2010).

118
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Lebah madu memerlukan makanan pokok yaitu nektar dan polen. Nektar adalah
senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar necteriffier dalam bunga, bentuknya
berupa cairan, berasa manis alami dengan aroma yang lembut. Sedangkan polen
adalah tepung sari diperoleh dari bunga yang dihasilkan oleh antenna sebagai sel
kelamin jantan tumbuhan (Lamerkabel,2011). Kebutuhan pakan dialam belum
cukup terpenuhi jika musim paceklik tiba, sedangkan lebah madu ketika
memproduksi madu dalam jumlah yang banyakmembutuhkan pakan lebah berupa
nektar dan polen yang ketersediaannya harus ada secara berkelanjutan. Menurut
Widiarti (2012) menyatakan jika sumber pakan kurang atau tidak terpenuhi maka
akan mempengaruhi penurunan produktifitas koloni. Sisiran sarang anakan yaitu
sisiran yang berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan calon lebah dari
fase telur,larva, pupa dan dewasa.

Letak dari sisiran anakan berada diantara sisiran polen dan di bawah sisiran madu.
Apabila pakan tidak terpenuhi terutama polen akan mempengaruhi sisiran sarang
anakan. Semakin banyak polen yang didapatkan maka sisiran anakan semakin
luas dan kebutuhan pakan anakan tercukupi, sedangkan jika polen yang terdapat
pada sarang sedikit, maka akan mempengaruhi kebutuhan anakan dan menggangu
pertumbuhan anakan. (Shasti, 2017). Pemberian pakan tambahan merupakan
alternatif untuk memenuhi kebutuhan pakan lebah saat musim paceklik tiba.
Pemberian pakan tambahan bisa menggunakan beberapa jenis kacang-kacangan
yang sudah diolah, misalnya tempe kacang merah. Menurut Fatimah (2013)
kacang merah merupakan jenis kacang-kacangan yang mudah didapatkan di
pasar-pasar tradisional dengan harga yang relatif murah. Kacang merah sering
digunakan untuk beberapa bahan masakan, seperti sup, rending dan kue, bahkan
sekarang kacang merah umum digunakan untuk makanan bayi karena memiliki
kandungan gizi yang tinggi terutama sumber protein dan fosfor. Menurut Fadhilla,
Solah, Angkasa (2018) menyatakan bahwa kacang merah (Mucuna pruriens L.)
mempunyai kadar protein 24–31,44%, kadar lemak 4,1-14,39%, serat kasar
6,71%, kalsium 1,5%, energi metabolis 2925 kkal/kg dan kadar karbohidrat
41,79-64,88%.

Untuk memudahkan kecernaan dan konsumsi lebah, kacang merah dibuat dalam
bentuk tempe. Selama proses fermentasi, kapang menghasilkan enzim proteolitik
yang mengurai protein menjadi asam amino sehingga nitrogen terlarutnya
semakin meningkat (Susi, 2012) dan selanjutnya tempe berbahan dasar kacang
merah diolah menjadi tepung yang akan memudahkan lebah dalam
mengkonsumsinya karena ukurannya sesuai dengan tepung sari alam. Kandungan
protein tepung kacang merah sekitar 24–31,44%. Pemberian pakan tambahan
dengan menggunakan tempe kacang merah diharapkan dapat meningkatkan
luasan sisiran anakan yang berbeda dan pertambahan bobot badan koloni lebah.
Selain itu, kacang merah mudah didapat dan harganya relatif murah diharapkan
mampu mengganti tepung sari alam saat musim paceklik tiba sehingga peternak
mendapat keuntungan dengan menjadikannya sebagai pakan pengganti.

119
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Metode
Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan selama satu bulan pada bulan September 2021 di
peternakan Lebah Madu CV. Kembang Joyo yang digembalakan di Desa
Cendoro, Kecamatan Dawar blandong Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah koloni Lebah madu Apis mellifera yang berjumlah
24 kotak koloni dengan 6 sisiran sarang per kotak koloni, bahan selanjutnya yaitu
tepung tempe kacang merah dan polen alam serta madu yang didapat dari PT.
Kembang Joyo Malang. Alat-alat yang digunakan pada penelitian tahap I adalah
baskom, nampan, kantong plastik, timbangan digital, ATK dan oven.

Analisis data
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan Acak Lengkap
(RAL) (Mattjik dan Sumertajaya, 2002), adapun model linier sebagai berikut :
Yij = μ + τ i + ε ij
Keterangan :
Yij = hasil pengamatan persentase ke 1 – 6 ulangan ke 1 - 4
μ = nilai tengah umum
τi = pengaruh presentase tepung kacang merah ke 1 - 6
εij = kesalahan (galat) percobaan pada presentase tepung kacang merah ke 1 –
6 dengan ulangan ke 1 – 4
Selanjutnya, hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam persentase tempe
kacang merah seperti Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Ragam Persentase Tempe Kacang Merah


SK db JK KT F Hitung F 5% F 1%
Perlakuan 5
Galat 18
Total 23

Setelah dilakukan analisis ragam persentase tempe kacang merah, apabila hasil
analisis menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan
sebagai berikut:

SE =

LSR = SSR x Sr

Hasil dan Pembahasan


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tempe kacang
merah sebagai polen pengganti terhadap luas sisiran sarang anakan dan

120
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pertambahan bobot badan koloni lebah madu Apis mellifera. Serta untuk
mengetahui persentase polen dari tempe kacang merah yang optimal luas sisiran
sarang anakan dan pertambahan bobot badan koloni lebah madu Apis mellifera.
Parameter yang diamati meliputi rata-rata luas sisiran sarang telur, luas sisiran
sarang larva, luas sisiran sarang pupa, dan pertambahan bobot badan koloni. Hasil
pengamatan dari penelitian ini dijelaskan dalam tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Pengaruh penambahan tempe kacang merah sebagai polen pengganti


terhadap luas sisiran sarang anakan dan pertambahan bobot badan koloni lebah
madu Apis mellifera
Rata-Rata
Luas Sisiran Luas Sisiran Luas Sisiran Pertambahan
Perlakuan
Sarang Telur Sarang Larva Sarang Pupa Bobot Badan
(cm2) (cm2) (cm2) Koloni (kg)
P0 518.87±56.754bc 277.50±50.157 a
757.50±52.713b 22.31±2.585
P1 538.16±81.327c 284.28±44.951 a
776.88±68.131b 22.38±3.631
P2 568.42±70.156c 377.04±84.454 b
801.44±63.503b 23.44±3.992
P3 560.37±88.001c 287.71±96.416 ab
778.75±52.369b 22.63±1.614
P4 376.29±50.201ab 237.73±48.524a 719.17±88.658ab 22.25±3.048
P5 356.44±90.523a 192.07±42.097 a
609.58±82.914a 21.38±3.882

Luas Sisiran Sarang Telur


Berdasarkan pada tabel diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata paling tinggi
terdapat pada perlakuan dua (P2) karena berpengaruh nyata dan nilai yang
dihasilkan sebesar 568.42±70.156c, sedangkan untuk perlakuan yang tidak
berpengaruh nyata terdapat pada perlakuan lima (P5) karena nilai yang dihasilkan
kecil yaitu 356.44±90.523a. Hal ini sesuai dengan pendapat Suranto (2007)
menyatakan bahwa produksi telur ditentukan oleh jumlah makanan yang diterima.
Sarwono (2007) menambahkan bahwa telur dapat diproduksi 1500-2000
butir/hari, maka setiap 50 detik lebah ratu dapat menghasilkan satu butir telur.
Cara mempertahankan produksi telurnya, lebah ratu membutuhkan protein
bermutu tinggi dari lebah pekerja. Ketersediaan pakan harus selalu tersedia, jika
pakan kurang maka produksi telur akan berkurang.

Luas Sisiran Sarang Larva


Berdasarkan pada tabel diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata paling tinggi
terdapat pada perlakuan dua (P2) karena berpengaruh nyata dan nilai yang
dihasilkan sebesar 377.04±84.454b, sedangkan untuk perlakuan yang tidak
berpengaruh nyata terdapat pada perlakuan lima (P5) karena nilai yang dihasilkan
kecil yaitu 192.07±42.097a. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan polen harus
selalu tersedia dialam hal ini juga akan menunjang pertumbuhan dan
perkembangan larva. Jika kebutuhan polen terbatas maka akan mempengaruhi
pertumbuhan dari larva itu sendiri. Untuk menunjang ketersediaan polen saat
musim paceklik maka lebah diberi pakan tambahan berupa tempe kacang merah
yang memiliki protein tinggi. Hal ini didukung oleh pendapat Febretrisiana
(2006) yang menyatakan bahwa larva merupakan fase dimana saat telur lebah
telah menetas. Pada fase ini larva harus mengkonsumsi makanan dalam jumlah
yang sangat besar untuk menunjang laju pertumbuhannya. Slanky dalam

121
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Rochman (2012) menambahkan bahwa kualitas nutrisi pakan dipengaruhi oleh


banyak atau sedikit pakan yang dikonsumsi larva.

Luas Sisiran Sarang Pupa


Berdasarkan pada tabel diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata paling tinggi
terdapat pada perlakuan dua (P2) karena berpengaruh nyata dan nilai yang
dihasilkan sebesar 801.44±63.503b, sedangkan untuk perlakuan yang tidak
berpengaruh nyata terdapat pada perlakuan lima (P5) karena nilai yang dihasilkan
kecil yaitu 609.58±82.914a. Hasil yang mengalami penurunan diduga karena
cuaca yang tidak menentu, pakan tambahan yang diberikan dan faktor lainnya.
Hal ini didukung oleh Winston (1987) yang menyatakan bahwa fase pupa
memiliki tingkat kematian yang rendah karena pada fase ini tidak lagi
memerlukan makanan dan sensitifitasnya terhadap lingkungan lebih rendah
dibandingkan pada saat fase telur dan fase larva. Pupa yang tidak berkembang
kemungkinan disebabkan pada saat fase sebelumnya perawatan kurang baik,
karena faktor pakan dan lingkungan. Kuntadi (2008) menambahkan bahwa koloni
lebah melemah karena curah hujan yang tinggi, menyebabkan lebah kesulitan
dalam mendapatkan makanan, maka hal ini menyebabkan luas sisiran sarang
mengalami penyempitan dan tidak mengalami perkembangan secara optimal.

Pertambahan Bobot Badan Koloni


Berdasarkan pada tabel diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata paling tinggi
terdapat pada perlakuan dua (P2) karena berpengaruh nyata dan nilai yang
dihasilkan sebesar 23.44±3.992, sedangkan untuk perlakuan yang tidak
berpengaruh nyata terdapat pada perlakuan lima (P5) karena nilai yang dihasilkan
kecil yaitu 21.38±3.882. Hal ini ditambahakan oleh Keller et al (2005) yang
menyatakan bahwa pemberian pakan tambahan tidak terlalu menunjukkan
pengaruh terhadap pertambahan bobot badan koloni lebah madu, tetapi
berpengaruh terhadap umur koloni. Populasi lebah pada saat musim bunga sekitar
60.000-80.000 ekor, sedangkan pada saat musim paceklik populasi lebah sekitar
10.000 ekor (Sihombing, 1997). Kemungkinan lain yaitu koloni juga sudah cukup
mendapat pasokan polen alam, sehingga pakan buatan yang disediakan tidak
terlalu memberikan perbedaan terhadap pertambahan bobot badan koloni koloni.

Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu perlakuan P2 dengan penambahan tempe
kacang merah sebanyak 10% memberikan pengaruh terhadap pertambahan luas
sisiran sarang anakan fase telur, fase larva dan fase pupa, tetapi tidak memberikan
pengaruh terhadap pertambahan bobot badan koloni lebah madu Apis mellifera.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya melalui
Program Hibah Penelitian Guru Besar Tahun 2021.

Daftar Pustaka
Lamberkabel, J.S.A. 2011. Mengenal Jenis-Jenis Lebah Madu, Produk-Produk
dan Cara Budidayanya. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 9(1): 70-78

122
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Mattjik, A. d. J. S., 2002. Perancangan percobaan dengan Aplikasi SAS dan


Minitab. Jilid I Edisi kedua. Bogor: Percetakan Jurusan Statistika FMIPA IPB.
Minarti, Sri. 2010. Ketersediaan Tepung Sari dalam Menompang Perkembangan
Anakan Lebah Madu Apis mellifera di Areal Randu (Ceiba pentandra) dan
Karet (Havea brasilliensis). Jurnal Ternak Tropika. 11 (2): 54-60
Shasti, A. M. 2017. Hubungan Antara Luas Sisiran Sarang Polen dengan Luas
Sisiran Sarang Anakan Lebah Madu Apis mellifera di PT. Kembang Joyo
Sriwijaya. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Sumpena, U., Y. Kusandriani dan Luthfi. 2012. Uji Daya Hasil Sembilam Galur
Harapan Kacang Merah di Jawa Barat. Jurnal Agrotropika. 18(1): 12-15
Widowati, R., 2013. Polen Substitute Pengganti Serbuk Sari Alami Bagi Lebah
Madu. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan. 1(1): 31-36.

123
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Nutrisi dan Pakan Ternak


Ruminansia

124
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PRODUKSI GAS METANA PADA SISTIM IN VITRO DARI BAHAN


PAKAN PUCUK TEBU FERMENTASI

Susana I.W. Rakhmani1,*, Wisri Puastuti1


1
Kelompok Peneliti Nutrisi dan Hijauan Pakan, Balai Penelitian Ternak
*
Email korespondensi: susanawijaya@yahoo.com.au

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi suplementasi dedak pada pucuk tebu
yang difermentasi menggunakan dua jenis agen biologis: Aspergillus niger dan
cairan rumen sebagai sumber mikroba. Produk fermentasi menjadi pakan untuk
ruminansia. Penambahan 10% dedak diaplikasikan kedalam proses fermentasi
baik menggunakan A niger dan cairan rumen. Hasil fermentasi digunakan sebagai
pengganti rumput raja. Perlakuan sebagai berikut: (berdasarkan bahan kering)
30% rumput raja digantikan dengan pucuk tebu fermentasi A. niger (PTFN) dan
pucuk tebu fermentasi oleh cairan rumen kerbau (PTFR). Sebagai control adalah
rumput raja dan pucuk tebu dengan 10% dedak tanpa fermentasi . Inkubasi
diaplikasikan menggunakan metode produksi gas secara in vitro selama 24 jam.
Variabel yang diukur setelah inkubasi adalah kumulatif dan kinetika produksi gas,
emisi metana dan kecernaan bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produk fermentasi menurunkan (P<0,05) persentase produksi metana sebesar
12,6% dan 8,3% ,

Kata Kunci: pucuk tebu, fermentasi, metana, A. niger, rumen kerbau

Pendahuluan
Pucuk tebu dapat digunakan sebagai pengganti rumput gajah, yang merupakan
hijauan pakan pada penggemukan sapi, sapi perah produktif, maupun pedet lepas
sapih, baik sebagai satu-satunya sumber hijauan pakan maupun sebagai hijauan
campuran dengan rumput gajah (Misran,2005). Pucuk tebu yang dimanfaatkan
sebagai pakan adalah sisa dari tebu yang dipanen sebagai batang tebu berupa
ujung atas yang mencakup 5-7 helai daun tebu. Namun demikian, pucuk tebu
mempunyai kandungan gizi yang kurang memadai untuk pakan ternak Pucuk tebu
mempunyai kandungan bahan kering lebih rendah dari bahan kering jerami padi,
namun protein kasarnya lebih tinggi dari jerami padi dan jerami jagung. Potensi
pemanfaatan pucuk tebu sebagai pakan ternak ini besar walaupun memiliki
kandungan gizi yang rendah

Sapi hanya mampu mengkonsumsi pucuk tebu sebanyak kurang dari 1% dalam
hitungan bahan kering dari bobot hidupnya (Sariubang & Nurhayu, 2015).
Menurut Kuswandi (2007), hamparan kebun tebu seluas 100 ha diperkirakan akan
dapat memelihara lebih dari 347-520 ekor sapi dengan bobot hidup 200kg bila
sapi mengkonsumsi bahan kering 1-1,5% dari bobot hidup, karena menghasilkan
pucuk tebu sebanyak 380 ton bahan kering. Pucuk tebu segar mampu memenuhi
kebutuhan zat makanan untuk hidup pokok ternak sapi tetapi untuk produksi harus
ditambahkan konsentrat sumber protein (Khuluq, 2012).

125
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penambahan konsentrat ini dapat mempengaruhi kinerja rumen. Di dalam rumen


terjadi perombakan serat, karbohidrat dan protein menjadi senyawa-senyawa
sederhana seraya melepaskan berbagai gas hasil pencernaan diantara metana,
karbon dioksida dan nitrooksida.

Sektor peternakan Indonesia telah dilaporkan menyumbang kontribusi gas metana


hingga mencapai 52,77% dari produksi gas metana peternakan di Asia Tenggara
(Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand) (Boonyanuwat et al. 2013). Emisi
gas metana enterik dari tahun 2006-2012 sekitar 15 juta ton CO2-eq/th dan
diprediksi terus meningkat hingga mencapai hampir 40 juta ton CO2-eq/th pada
tahun 2025 (Widiawati et al. 2019).

Produksi gas metana pada ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
bahan pakan, suplemen pakan, jenis / bangsa ternak, suhu lingkungan, umur dan
status fisiologis ternak (Haryanto & Thalib 2009). Bahan pakan ternak termasuk
jenis hijauan yang begitu beragam mempengaruhi produksi gas metana. Telah
dilaporkam bahwa ternak yang digembalakan di padang rumput perennial
ryegrass dan pastura rumput-legum (white clover) (1:1) menghasilkan emisi gas
metana yang berbeda, yakni sebesar 24,5 dan 21,5 g CH4/kg BK pakan (Hidalgo
et al. 2014). Produksi gas metana dari pucuk tebu secara in vitro dilaporkan
sebesar 12,36 % (per total gas) atau 21,53% (per BK tercerna) (Widiawati, et al
2017).

Pada tulisan ini dilaporkan pengaruh silase pucuk tebu yang ditambahkan 10%
dedak padi pada pembuatannya, terhadap pembentukan gas metana secara in vitro.

Metode
Pucuk tebu diambil dari Kecamatan Jatitujuh, Majalengka.Cairan rumen kerbau
diambil dari pemotongan ternak kerbau di Kec. Menes dan Cisata, Kab.
Pandeglang.

Fermentasi
Media A: Pucuk tebu giling kering ditambahkan air (1 bagian PT+2 bagian air
mendidih) untuk mencapai kadar air 60% dan 10% dedak (per BK PT). Setelah
hangat (bisa di pegang), ditambahkan 8 g spora A. niger /kg PT kering. (kode
PTFN)
Media B: Pucuk tebu giling kering ditambahkan air (1 bagian PT+1,7 bagian air
mendidih) untuk mencapai kadar dan 10% dedak (per BK PT) tanpa A. niger,
kemudian ditambahkan 300 ml cairan rumen kerbau (PTFR)
Fermentasi dilakukan selama 2 minggu

Produksi gas metana pada uji kecernaan secara in vitro


Pengujian dilakukan mengikuti metoda yang dijabarkan oleh Davies et al (2000).
terhadap kecernaan, produksi total gas dan metana. Secara singkat sebagai
berikut: Satu gram sampel bahan pakan dimasukkan ke dalam botol inkubator
(volume 150 mL) dan dicampur dengan 90 mL buffer dan 10 mL cairan rumen
sapi FH fistula. Botol inkubator di flushing dengan gas CO2 untuk menciptakan
suasana anaerob dalam botol inkubator tersebut. Setiap bahan diulang sebanyak 5

126
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kali (5 botol inkubator), dimana semua botol tersebut kemudian diinkubasi selama
48 jam dalam waterbath dengan suhu 39oC. Pengocokan botol serum selama masa
inkubasi dilakukan sesering mungkin untuk mendapakan proses fermentasi
sample pakan oleh mikroba rumen menjadi optimal. Gas total dan metana diambil
setiap 3 jam dengan menggunakan syringe glass mengikuti metode
Tjandraatmadja (1981). Rangkaian syringe glass digunakan untuk mengukur
banyaknya gas total dan gas metana yang dihasilkan. syringe glass yang pertama
digunakan untuk menampung gas total yang dihasilkan, kemudian gas yang telah
tertampung dialirkan kedalam larutan NaOH 6N untuk menangkap gas CO2,
sehingga diasumsikan bahwa gas yang tersisa adalah gas metana yang kemudian
akan tertampung pada syringe glass yang kedua. Sampel yang diuji adalah rumput
raja (RR), pucuk tebu (PT), dedak (D), 30% RR +70% pucuk tebu fermentasi A
niger (PTFN) dan 30% RR + 70% pucuk tebu fermentasi rumen kerbau (PTFR).
Selain itu juga dilakukan analisis proksimat dan karakteristik rumen sebelum dan
sesudah fermentasi.

Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Hasil dan Pembahasan


Penambahan 10% dedak diaplikasikan kedalam proses fermentasi baik
menggunakan A niger dan cairan rumen. Karakteristik rumen sebelum dan
sesudah fermentasi ditampilkan pada table 1 di bawah ini.

Tabel 1. Karakteristik rumen sebelum dan setelah proses fermentasi


Peubah RRR PTR PTRD PTRN
pH awal 7,46±0,27 7,60±0,47 7,06±0,85 7,49±0,67
pH fermentasi 5,79±0.78 5,30±0,55 5,39±0.34 5,53±0,44
Populasi bakteri (cfu/mL)x108 13,08±0,12 15,39±1,06 11,91±1,29 15,09±1,38
NH3 (mMol) 2,55±0,22 5,25±0,78 2,94±0,26 3,59±0,76
VFA (mMol)
Asetat 69,67±2,56 78,35±2,84 73,45±2,37 64,10±2,38
Propionat 15,21±1,28 19,10±1,08 44,10±1,89 19,35±1,27
n-Butirat 5,31±1,11 7,50±1,45 12,00±1,73 9,80±1,06
i-Butirat 1,65±0,24 2,00±0.56 8,10±1,29 4,20±0.67
n-Valerat 1,24±0,12 0,65±0,08 0,15±0,03 0,11±0,05
i-Valerat 2,82±0,37 1,95±0,13 1,70±0,22 1,35±0,17
RRR= rumen kerbau+rumput raja, PTR: Pucuk tebu-rumen, PTRD: Pucuk tebu
rumen+10% dedak. PTRN : pucuk tebu rumen + A. niger

127
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Kandungan zat gizi Pucuk tebu, dedak, bungkil kedelai onggok dan
jagung
Bungkil
Pucuk Tebu Dedak Onggok Jagung giling
Kedelai
Air 9,34+1,65 10,12 + 1,13 8,74 + 1,78 6,73 + 1,01 7,88 + 1,12
(g/100g)
Protein Kasar (g/100g) 6,47+ 1,12 10,75 + 0,98 46,85+2,45 2,55 + 0,46 9,80 + 1,34
Lemak Kasar (g/100g) 1,38+ 0,48 12,38 + 1,14 2,15 + 0,87 0,63 + 0,04 4,27 + 1,23
Energi Kasar (Kkal/kg) 3971 4381 3630 4343 3943
Serat Kasar (g/100g) 42,11+ 2,18 13,07 + 1,02 5,75 + 1,02 14,73 +1,98 1,91 + 0,03
Abu (g/100g) 5,54+ 0,78 11,8 + 0,96 6,4 + 0,98 2,84 + 0,87 1,315 + 0,06
NDF (g/100g) 65,15+1,85 26,07 + 1,18 15,60 + 1,42 48,94 + 2,78 41,65 +2,88
ADF (g/100g) 40,40+2,70 9,08 + 0,78 10,40 + 1,78 28,18 +2,01 5,69 + 0,76
Lignin (g/100g) 26,34+1,11 9,22 + 0,12 0,78 + 0,02 3,05 + 0,78 0,9+ 0,05
Ca (g/100g) 0,19+0,02 0,14 + 0,02 0,29 + 0,07 0,084 + 0,03 0,02 + 0,001
P (g/100g) 0,06+0,01 1,71+ 0,01 0,69 + 0,02 0,125 + 0,01 0,3 + 0,02

Pada proses inkubasi in vitro, pH awal berkisar antara 7,06 sampai dengan 7,49.
Terlihat terjadi penurunan pH setelah inkubasi selama 48 jam menjadi 5,30
sampai dengan 5,79. Demikian juga komponen asam asetat sebagai asam lemak
terbang, adalah komponen paling dominan. Produksi asam asetat tertinggi terjadi
pada fermentasi pucuk tebu dengan mikrobra rumen (PTR) yaitu sebesar 78,35
mMol. Pada fermentasi PT dengan penambahan dedak, asam asetat masih cukup
tinggi. Tetapi ternyata tingginya asam asetat dalam dalam produk PTFD tidak
berkorelasi dengan tingginya pembentukan gas metana (gambar 2). Temuan ini
sangat perlu untuk dipelajari lebih lanjut. Apakah dugaan bakteri metanogen
kemungkinan dalam jumlah yang rendah sehingga pembentukan gas metana
menjadi rendah.

Produksi total gas dan metana dapat dilihat pada gambar 1 dan 2. Walaupun
jumlah produksi gas total untuk pucuk tebu paling rendah, namun tidak seiring
dengan produksi gas metana. Produksi gas metan paling tinggi terlihat dihasilkan
oleh pucuk tebu, kemudian makin turun pada RR, PTFN dan PTFD yang paling
rendah. Gas metana paling rendah diperlihatkan pada PTFD. Bila dilihat dari hasil
perhitungan jumlah mikroba pada media inkubasi, dapat dilihat bahwa pucuk tebu
tang diberi tambahan dedak menunjukkan jumlah bakteri yang lebih rendah
dibanding pucuk tebu tanpa penambahan dedak. Hubungan ini untuk sementara
dapat disimpulkan bahwa aktivitas mikroba rumen lebih rendah pada sistim
fermentasi dengan penambahan dedak. Memang perlu dibuktikan dengan
penelitian lebih lanjut, apakah jumlah bakteri metanogen pada PTFD lebih rendah
daripada lainnya. Atau kemungkinan dedak meningkatkan aktivitas mikroba /
bakteri non metanogen.

128
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1. Produksi gas total pada sistim in vitro untuk produk fermentasi (PTFD
dan PTFN) dengan pembanding rumput raja (RR),pucuk tebu (PT) dan dedak (D)

Gambar 2. Produksi gas metana pada sistim in vitro untuk produk fermentasi
(PTFD dan PTFN) dengan pembanding rumput raja (RR),pucuk tebu (PT) dan
dedak (D).

129
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Penambahan dedak sebanyak 10% pada pembuatan fermentasi pucuk tebu dengan
cairan rumen sebagai sumber mikroba menurunkan produksi gas metana hingga
25%.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh APBN Balai Penelitian Ternak tahun anggaran 2016.
Terimakasih kepada Sdri. Winwin yang membatu dalam penghitungan jumlah
bakteri.

Daftar Pustaka
Boonyanuwat K, Van KL, Sithambaram S, Widiawati Y. 2013. Improved
inventory and mitigation of greenhouse gases in livestock production in south
east asia. A final report submitted to Livestock Emissions and Abatement
Research Network. Palmerston North (NZ): New Zealand Agricultural
Greenhouse Gas Research Centre.
Davies, Z. ., Mason, D., Brooks, A. ., Griffith, G. ., Merry, R. ., & Theodorou, M.
. (2000). An automated system for measuring gas production from forages
inoculated with rumen fluid and its use in determining the effect of enzymes on
grass silage. Animal Feed Science and Technology, 83(3-4), 205–221.
doi:10.1016/s0377-8401(99)00138-8
Haryanto B, Thalib A. 2009. Emisi metana dari fermentasi enterik: Kontribusinya
secara nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada ternak. 2009.
Wartazoa. 19:157-165
Hidalgo DE, Gilliland T, Deighton MH, O’Donovan M, Hennessy. 2014. Milk
production and enteric methane emissions by dairy cows grazing fertilized
perennial ryegrass pasture with or without inclusion of white clover. J Dairy
Sci. 97:1400-1412.
Khuluq, Ahmad Dhiaul. 2012. Potensi Pemanfaatan Limbah Tebu sebagai Pakan
Fermentasi Probiotik. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri
4(1), April 2012:37−45 ISSN: 2085-6717.
Kuswandi. 2007. Teknologi pakan untuk limbah tebu (fraksi serat) sebagai pakan
ternak ruminansia. Wartazoa. 17(2): 82-92.
Mc Donald, P.,R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, and C.A. Morgan. 1995. Animal
Nutrition. 5 th Ed. Library of Congress Cataloging Publication. London.
Misran, E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industri. Jurnal teknologi
proses 4(2):6–10.
Muhtaruddin. 2007. Kecernaan Pucuk Tebu Terolah secara In Vitro. J Indonesia
Trop Anim Agric. 32:146-150.
Sariubang, Matheus., Nurhayu.,A. 2015. Pengaruh Pemberian Silase Pucuk Tebu
sebagai Substitusi Hijauan terhadap Produktivitas Sapi Potong di Kabupaten
Gowa Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner 2015. Pusitbangnak. 146-152.
Tjandraatmadja, M. 1981. Anaerobic Digestion of Fibrous Materials.A Thesis of
Master of Agricultural Science. University of Melbourne, Australia.
Widiawati Y, Herliatika A, Zuratih, saptati RA. 2019. Emisi dari subsektor
peternakan. Dalam: Metode penilaian adaptasi dan inventarisasi gas rumah
kaca sektor pertanian. Agus F, penyunting. Jakarta (Indonesia): IAARD Press.

130
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Widiawati, Y., Wisri Puastuti dan Dwi Yulistiani. 2017. Profile Gas Metana dari
Bahan Baku Pakan Ruminansia. Prosiding Seminar Teknologi dan Agribisnis
Peternakan V: Teknologi dan Agribisnis Peternakan untuk Mendukung
Ketahanan Pangan, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman 18
November 2017. 203

131
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ESTIMASI KUALITAS HIJAUAN PAKAN LOKAL BERDASARKAN


KANDUNGAN PROTEIN, ABU SERTA PRODUKSI GAS

Ifar Subagyo1,*, Herni Sudarwati1, Siti Nurul Kamaliyah1, Rini Dwi


Wahyuni1
1
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
*
Email korespondensi: ifars@ub.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan metode estimasi kualitas hijauan
pakan lokal yang berupa model persamaan untuk evaluasi kualitas dengan mudah,
murah, cepat, dan akurat, serta melengkapi database tentang kualitas hijauan
pakan lokal di Indonesia. Metode penelitian adalah survey dengan pengambilan
sampel secara purposive. Hijauan lokal dari 20 spesies tanaman leguminosa
pohon dan semak, yaitu : Adenanthera pavonina (saga), Albizia sp. (sengon),
Calliandra callothyrsus (kaliandra), Gliricidia maculata (gamal), Indigofera sp.,
Leucaena leucocephala (lamtoro), Moringa oleifera (kelor), Samanea saman,
Sesbania grandiflora (turi), Sesbania sesban (janti/kelor wana), Arachis pintoi,
Centrosema pubescens (centro), Clitoria ternatea (kembang telang), Desmodium
intortum, Desmodium rinshonii, Indigofera endecaphylla, Macroptilium
lathyroides, Lablab purpureus (kacang komak), Pueraria triloba, dan
Stylosanthes scabra. Data yang dikumpulkan meliputi kandungan Bahan Kering
(BK), Bahan Organik (BO), Protein Kasar (PK), Serat Kasar (SK), Lemak Kasar
(LK), Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan Organik (KcBO) in
vitro, Produksi gas in vitro. Hasil penelitian menghasilkan persamaan kecernaan
BO yaitu: Y = 75,111 + 0,029*Gas(24) - 0,205*PK - 0,159*Abu pada leguminosa
semak, sedangkan pada leguminosa pohon yaitu : Y=25.506 + 0.304*Gas(24) +
0.757*PK + 0.271*Abu. Pada leguminosa semak didapatkan nilai bias (6.06) dan
SEM (5.53) yang lebih rendah dibandingkan dengan leguminosa pohon nilai bias
(13.25%) dan SEM (10.48).

Kata Kunci: hijauan pakan lokal, model estimasi, kecernaan in vitro

Pendahuluan
Hijauan merupakan bahan pakan utama ternak ruminansia. Implikasi dari
kenyataan tersebut adalah bahwa penyediaan hijauan dalam jumlah yang cukup
dengan kualitas yang baik merupakan keharusan untuk menjaga kesinambungan
produksi ternak ruminansia. Sampai saat ini pakan ternak ruminansia di Indonesia
masih bertumpu pada hijauan lokal, baik berupa rumput-rumputan, leguminosa,
daun tanaman pohon-pohonan maupun limbah pertanian.

Indonesia sebagai negara dengan iklim tropis basah mempunyai potensi plasma
nutfah tanaman lokal sebagai sumber hijauan yang sangat beragam dengan
kualitas yang beragam pula. Keragaman ini tidak hanya antara leguminosa dengan
rumput-rumputan atau limbah pertanian saja, tetapi juga antar spesies leguminosa
dan rumput-rumputan itu sendiri.

132
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pengembangan Hijauan Pakan Ternak (HPT) dalam upaya penyediaan pakan


hijauan berkualitas bagi ternak ruminansia menjadi hal penting untuk dilakukan,
terlebih di negara tropis seperti Indonesia. Pada umumnya hijauan rumput dan
legume daerah tropis memiliki kualitas yang kurang bagus. Pengaruh iklim dan
cuaca sangat besar terhadap proses pertumbuhan dan kualitas hijauan, diantaranya
hijauan pakan banyak memiliki kulit biji yang tidak permiabel atau sangat keras
sehingga sulit ditembus untuk tumbuh dengan baik. Selain itu rata-rata produksi
hijauan rendah dan kurang respon terhadap perbaikan hara tanah
(Kurniawan,2021).

Menurut Munier dkk. (2006) pemberian 700 gr/ekor/hari daun gamal dengan
pakan basal rumput lapangan pada pakan kambing PE dapat meningkatkan
pertambahan bobot badan harian 60,43 gr/ekor/hari. Hasil penelitian Firdaus
(2010) bahwa domba yang diberi pakan 70 % rumput gajah dan 30 % kaliandra
memberikan pertambahan bobot badan 54,57 gr/ekor/hari. Hasil penelitian Imran
dkk. (2012) pada sapi Bali lepas sapih yang diberi pakan rumput lapangan
sebanyak 70% dan 30 % daun turi berdasarkan BK dapat meningkatkan konsumsi
pakan BK, konsumsi PK, konversi pakan dan PBB sebesar 460 gr/ekor/hari.

Giridhar et.al (2018) menyatakan bahwa model pendugaan KcBO berdasarkan


produksi gas, protein dan abu menurut rumus Menke et.el (1979) dihasilkan
KcBO pada Sesbania grandiflora sebesar 69.05 %, Acacia auriculiformis 32.5%,
Moringa oleifera 60.10%, Leucaena leucocephala 57.87%, sedangkan menurut
Sallam (2005) estimasi KcBO pada Leucaena leucocephala 46.89%. Menurut
Karaburut et. al (2007) menyatakan bahwa estimasi KcBO menggunakan rumus
Menke et. al.(1979) dihasilkan untuk alfalfa (Medicago sativa L.) 70.60%,
sainfoin (Onobrychis sativa L.) 67.78%, common vetch (Vicia sativa L.) 75.54%,
pea (Pisum sativum L.) 69.47%, white clover (Trifolium repens L.) 67.83% dan
chick pea (Cicer arietinum L.) 61.30%.

Keragaman kualitas hijauan pakan lokal yang tinggi ini menawarkan fleksibilitas
yang tinggi bagi peternak, namun juga menawarkan kompleksitas bagi nutrisionis
untuk mengkaji agar pakan hijauan yang tersedia tersebut dapat dimanfaatkan
secara efisien.

Peningkatan efisiensi pemanfaatan hijauan membutuhkan data tentang kualitas


hijauan pakan seperti kandungan nutrien dan kecernaan yang memadai, sementara
data yang tersedia di Indonesia sangat terbatas. Di lain pihak evaluasi kualitas
dengan metode yang ada masih sulit dan mahal, sehingga penelitian ini yang
diharapkan dapat menghasilkan metode evaluasi kualitas yang mudah, cepat,
murah dan akurat serta database tentang kualitas hijauan pakan lokal yang
memadai perlu dilakukan.

Model matematika dapat digunakan antara lain untuk menduga kebutuhan pakan
guna meningkatkan produktivitas pada ternak ruminansia, sehingga tidak
memerlukan biaya yang besar dan untuk keperluan menentukan kebutuhan pakan
tersebut dapat menggunakan variasi pakan yang lebih banyak. Model matematika
dapat digunakan secara integrasi antara ilmu pengetahuan untuk mengukur

133
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kualitas dari pakan antara lain konsumsi, kecernaan, nilai laju aliran energi,
protein yang didegradasi dengan efisiensi pertumbuhan mikroba.
Salah satu kendala yang sering dijumpai di lapangan adalah rendahnya
produktivitas ternak karena kualitas pakan rendah. Sampai saat sekarang kajian
tentang model untuk memprediksi kecernaan bahan organik pada pakan untuk
ternak ruminansia berdasarkan produksi gas, protein kasar dan abu belum banyak
diterapkan.

Materi dan Metode Penelitian


Materi penelitian yang digunakan adalah :
- Hijauan lokal dari 20 spesies tanaman leguminosa pohon dan semak, yaitu :
Adenanthera pavonina (saga), Albizia sp. (sengon), Calliandra callothyrsus
(kaliandra), Gliricidia maculata (gamal), Indigofera sp., Leucaena
leucocephala (lamtoro), Moringa oleifera (kelor), Samanea saman, Sesbania
grandiflora (turi), Sesbania sesban (janti/kelor wana), Arachis pintoi,
Centrosema pubescens (centro), Clitoria ternatea (kembang telang),
Desmodium intortum, Desmodium rinshonii, Indigofera endecaphylla,
Macroptilium lathyroides, Lablab purpureus (kacang komak), Pueraria
triloba, dan Stylosanthes scabra.
- Cairan rumen sapi PFH jantan.
- Bahan kimia dan peralatan untuk analisis proksimat, pengukuran produksi
gas dan kecernaan in vitro.
- Sampel hijauan yang diperoleh dari lima wilayah yaitu : Sumenep, Grati,
Blitar dan Magetan yang terdiri dari 20 jenis leguminosa, yaitu 10 jenis
leguminosa pohon dan 10 jenis leguminosa semak.

Metode pada penelitian ini dengan menganalisa kandungan dari semua hijauan
leguminosa pohon maupun leguminosa semak.

Analisis Laboratorium
Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan BK, BO, PK, SK,
LK, Abu dan BETN bahan pakan hijauan dengan prosedur kerja sesuai AOAC
(1980). Pengukuran produksi gas dilakukan dengan metode dari Makkar et al.
(1995). Setiap sampel diulang 2 kali (duplo). Volume gas dicatat pada masa
inkubasi 2, 4, 8, 12, 16, 20, 24 dan 48 jam, dan diulang 3 kali sesuai waktu
pengambilan cairan rumen. Pengukuran produksi gas ( Makkar et al., 1995), dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Produksi gas = Vt –Vo –Vblanko) x 500/(mg BK sampel x FK)


Keterangan :
Vt = Volume gas pada inkubasi ke t (ml)
Vo = Volume awal (ml)
Vblanko = Volume gas pada cairan rumen tanpa sampel pakan (ml)
FK = Faktor Koreksi

Pengukuran kecernaan secara in vitro mengikuti metode Tilley and Terry (1963)
yang dimodifikasi oleh van der Meer (1980) dan masing-masing diulang 3 kali.

134
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Analisis Statistika
Model matematika yang digunakan untuk mengestimasi kecernaan bahan organik
berdasarkan kandungan protein kasar, abu dan produksi gas in vitro adalah :

Yi = a + bX1 + cX2 + dX3


Keterangan :
Yi = kecernaan Bahan Organik (KcBO)
X1 = produksi gas
X2 = kandungan Protein Kasar (PK)
X3 = kandungan Abu
a, b dan c adalah konstanta

Parameter dari model diatas diduga dengan metode kuadrat terkecil tak linear
dengan bantuan paket program SPSS Ver.25. Hasil yang diperoleh akan
dibandingkan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Menke dan Steingass
(1988).

Hasil dan Pembahasan


Tabel 1. Kandungan PK dan Abu Legume Pohon
Leguminosa Pohon PK (%) Abu (%)
A. pavonina 19,17 6,84
A.chinensis 17,17 6,57
C. calothyrsus 26,25 9,41
G.maculata 23,47 8,65
Indigofera sp 27,07 10,94
L. leucocephala 30,38 7,61
M. oleifera 28,76 10,17
S. saman 28,20 4,82
S.grandiflora 28,15 12,29
S. sesban 16,75 8,29
Keterangan: Berdasarkan 100% BK

Tabel 2. Kecernaan Bahan Organik dan Produksi Gas (24 jam) legume Pohon
Leguminosa Pohon KcBO (%) Gas/500mg BK
A. pavonina 69,01 60,3
A. chinensis 37,07 15,5
C. calothyrsus 48,02 61,7
G. maculata 67,47 78,2
Indigofera sp 70,98 80,3
L. leucocephala 73,12 43,3
M. oleifera 72,31 83,2
S. saman 43,84 4,2
S. grandiflora 75,99 67,5
S. sesban 69,13 54,8

135
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Kandungan PK dan Abu Legume Semak


Leguminosa Semak PK (%) Abu (%)
A. pintoi 20,19 10,71
C. pubescens 21,28 7,94
C. ternatea 30,25 12,31
D. intortum 22,69 9,65
D. rhinsonii 26,22 10,36
I. Endecaphylla 17,36 12,46
L. purpureus 26,85 10,87
M. lathyroides 21,17 7,96
P. triloba 16,90 8,40
S. scabra 10,59 6,10
Keterangan: Berdasarkan 100% BK

Berdasarkan hasil analisis proksimat pada Tabel 1 diketahui bahwa pada


leguminosa pohon kandungan PK antara 16,75 sampai 30,38 % dan kandungan
Abu antara 4,82 sampai 12,29 %. Kandungan PK tertinggi pada Leucaena
leucocephala 30,38% dan terendah pada Sesbania sesban 16.75%, kandungan
Abu tertinggi pada Sesbania grandiflora 12,29% terendah pada Samanea saman
4,82%. Pada Tabel 2 dihasilkan KcBO tertinggi pada Sesbania grandifloradan
75,99% dan terendah pada Albizia chinensis 37,07%, sedangkan produksi gas
tertinggi pada Moringa oleifera 83,2 ml/500 mg BK dan terendah pada Albizia
chinensis 15,5 ml/500 mg BK.

Tabel 4. Kecernaan Bahan Organik dan Produksi Gas (24 jam) legume Semak
Leguminosa Semak KcBO (%) Gas/500mg BK
A. pintoi 75,53 88,1
C. pubescens 79,01 52,9
C. ternatea 63,57 59,8
D. intortum 72,66 90,1
D. rhinsonii 69,30 56,7
I.endecaphylla 73,36 56,3
L. purpureus 72,46 91,5
M. lathyroides 70,90 86,3
P. triloba 61,88 71,2
S. scabra 73,90 70,8

Tabel 3 diketahui bahwa pada leguminosa semak kandungan PK tertinggi pada


Clitoria ternatea 30,25% dan terendah pada Stylosanthes scabra 10,59%,
kandungan Abu tertinggi pada Indigofera endecaphylla 12,46% terendah pada
Stylosanthes scabra 6,10%. Pada Tabel 4 dihasilkan KcBO tertinggi pada
Centrosema pubescens 79,01% dan terendah pada Pueraria triloba 61,88%,
sedangkan produksi gas tertinggi pada Lablab purpureus 91,5 ml/500 mg BK dan
terendah pada Centrosema pubescens 52,9 ml/500 mg BK.

136
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Apabila lebih dicermati pada Tabel 1 dan Tabel 3 terjadi kecenderungan bahwa
kandungan PK hijauan leguminosa pohon lebih tinggi daripada semak, sebaliknya
kandungan Abu cenderung lebih rendah. Hal ini terjadi karena sampel hijauan
yang diambil adalah bagian yang dapat dikonsumsi ternak (edible material),
sehingga pada leguminosa pohon proporsi daun sampel lebih besar dibandingkan
bagian batangnya. Sebaliknya pada hijauan leguminosa semak, karena batangnya
berukuran kecil dan masih dapat dikonsumsi, maka proporsi batangnya lebih
besar. Daun mempunyai kandungan PK, yang lebih tinggi daripada batang.
Tanaman leguminosa pohon mempunyai kemampuan untuk mengikat N2 bebas
dari udara dan akan mengubahnya menjadi bentuk N yang tersedia karena
bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium.

Komponen penting lainnya dari kualitas hijauan adalah kecernaan. Nilai


kecernaan menunjukkan bagian zat makanan dalam hijauan yang dikonsumsi
ternak yang dapat dimanfaatkan/diserap oleh ternak. Pengukuran kecernaan selain
dilakukan secara in vivo dapat pula secara in vitro yaitu mengukur kecernaan di
laboratorium dengan menggunakan bahan kimia yang disesuaikan dengan kondisi
di rumen, selain mudah dilakukan tidak memerlukan biaya yang besar serta waktu
yang diperlukan lebih cepat. Pengukuran kecernaan BO secara in vitro dilakukan
untuk melengkapi data tentang kualitas hijauan pakan lokal serta sebagai
pembanding dari penetapan berdasarkan estimasi yang akan dibuat pada penelitian
ini.

Keragaman pada KcBO karena pada umumnya leguminosa mengadung anti


nutrisi yaitu tannin dan saponin terutama leguminosa pohon menyebabkan
kecernaan pakan sumber protein terhambat serta oleh adanya proses lignifikasi
pada dinding sel tanaman. Dari hasil penelitian sebelumnya nilai kecernaan
hijauan leguminosa memang tinggi karena kandungan PK yang tinggi, kecuali
beberapa jenis tertentu yang mempunyai kandungan antinutrisi.

Produksi gas merupakan hasil produk dari fermentasi substrat di mana


pengukuran produksi gas secara in vitro dilakukan berkala sampai dengan 24 jam
dilakukan untuk mengetahui produksi gas yang dihasilkan dengan inkubasi
tertentu.

Produksi gas hijauan leguminosa pohon lebih bervariasi dari pada leguminosa
semak. Moringa oleifera menghasilkan produksi gas tertinggi dan Samanea
saman terendah. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan berbagai macam zat anti
nutrisi yang berpengaruh terhadap fermentasi di dalam rumen.
Produksi gas pada leguminosa semak cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
leguminosa pohon hal ini disebabkan kandungan BO dan PK pada leguminosa
semak cenderung lebih tinggi dari leguminosa pohon sehingga akan berdampak
pada fraksi BO yang didegradasi oleh mikroba rumen pada leguminosa semak
untuk menghasilkan gas akan lebih tinggi.

137
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Model Kecernaan Bahan Organik (KCBO) In Vitro Berdasarkan Produksi Gas,


Kandungan Protein Kasar dan Kandungan Abu
Pada sistem penentuan kualitas hijauan terutama untuk leguminosa pohon maupun
leguminosa semak untuk pakan ternak diharapkan mempunyai pengetahuan yang
mendasar tentang karakteristik dari sistem evaluasi untuk hijauan pakan tersebut
sehingga mempunyai nilai kegunaan hayati sebagai pemasok zat nutrisi bagi
ternak tanpa melakukan pengujian secara in vivo.

Pada penelitian ini, model matematika yang dicoba adalah model yang
mengilustrasikan dari profil kecernaan bahan organik secara in vitro berdasarkan
produksi gas, kandungan protein kasar dan kandungan abu. Diantara model yang
digunakan akan dipilih dengan presisi yang tinggi berdasarkan bias dan galat
baku. Pada penggunaan model yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara
penerapannya yang dikaitkan dengan mekanisme biologis sehingga hasilnya dapat
diinterpretasikan untuk mendapatkan gambaran dari intensitas kinetika fermentasi
yang terjadi di dalam rumen.

Tabel 5. Model KcBO berdasarkan PK, Abu, dan Produksi Gas


1)Y = 25.506+0.304*Gas+0.757*PK+0.271*Abu.
2)Y = 75,111+0,029*Gas-0,205*PK-0,159*Abu
3)Y = 14,88+0,889*Gas+0,45*PK+0,0651*Abu
Keterangan : 1) Model legume pohon
2) Model legume semak
3) Model Menke et.al (1979)
4) Produksi gas (24 jam)

Tabel 6. Bias dan Standard Error of Mean (SEM) pada Model Legume Pohon
dan Model Legume Semak
L.Pohon L.Semak Menke et al.1979
Bias (%) - 6.06 27.71
SEM - 5.53 23.47
Bias (%) 13.25 - 27.53
SEM 10.48 - 21.61

Pada Tabel 6 terlihat bahwa model dari leguminosa semak didapatkan bias dan
SEM paling rendah dibandingkan dengan leguminosa pohon. Sedangkan apabila
data hasil penelitian diduga dengan menggunakan model Menke et al didapatkan
bias yang tinggi sekitar 27,53 % - 27,71 % dan SEM 21,61-23,47. Hal ini
menunjukkan bahwa model yang dihasilkan ternyata presisinya lebih tinggi
dibandingkan dengan model Menke. Selain itu dapat ditunjukkan pada rataan
kecernaan BO secara in vitro di mana estimasi KcBO dengan menggunakan
model yang dihasilkan pada penelitian ini relatif sama dengan KcBO secara in
vitro terutama untuk leguminosa semak. Pada leguminosa pohon bias dan galat
baku lebih tinggi dari estimasi leguminosa semak hal ini kemungkinan disebabkan
data KCBO leguminosa pohon lebih beragam. Berdasarkan hasil analisis statistik
maka model yang didapatkan pada penelitian ini

138
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dapat digunakan untuk mengestimasi kecernaan BO berdasarkan produksi gas,


kandungan protein kasar dan kandungan abu, dengan demikian model tersebut
dapat diterapkan untuk mengevaluasi kualitas dari berbagai leguminosa semak
maupun leguminosa pohon sebelum diberikan pada ternak. Selain lebih cepat juga
tidak memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan mengukur kualitas
pakan secara in vivo. Selain itu metode penentuan kualitas tersebut merupakan
metode yang mudah, cepat dan sederhana sehingga dapat diterapkan secara luas
untuk mengevaluasi kualitas hijauan pakan untuk ternak ruminansia.

Kesimpulan
1. Model KcBO pada leguminosa pohon dan leguminosa semak dapat diduga
berdasarkan produksi gas, PK dan kandungan Abu.
2. Bias dan SEM yang didapatkan pada model KcBO leguminosa pohon dan
leguminosa semak lebih rendah dibandingkan dengan model Menke et al.
1979, dan bias dan SEM pada model KcBO pada leguminosa semak paling
rendah.

Daftar Pustaka
Anonymous. 2014. Tropical Forages Fachsheet.
http://tropicalforages.info/key/Forages/Media/Html. Diakses tanggal 20 April
2014.
FAO, 2014. Grassland Species.
http://www.fao.org/ag/agp/AGPC/doc/Gbase/Default.htm. Diekses tanggal 20
April 2014
Giridhar KS, Prabhu TM, Singh KC, Nagabhushan V, Thirumalesh T, Rajeshwari
YB, Umashankar BC (2018) Nutritional potentialities of some tree leaves
based on polyphenols and rumen in vitro gas production, Veterinary World,
11(10): 1479-1485.
Kurniawan, A, 2021. Tanaman Legum Sebagai Sumber Protein Hijau Untuk
Pejantan. BIB Lembang
Karabulut, A., Canbolat,O., Kalkan, H, Gurbuzoll, F., Sucu, E and Filya, I. 2007.
Comparison of In vitro Gas Production, Metabolizable Energy, Organic Matter
Digestibility and Microbial Protein Production of Some Legume Hays. Asian-
Aust. J. Anim. Sci.Vol. 20, No. 4 : 517 – 522.
Menke, K.H., Raab L., A. Salewesky., D. Fruitz and Scheneider. 1979. Estimation
of Ruminant From Gas Production When the Are Incubated With Rumen
Liquor In Vitro..J.Agric.Sci. Chamb. 93:217-222.
Menke; K.H. & Steingass, H. 1988. Estimation Of The Energetic Feed Value
Obtained From Chemical Analysis And In Vitro Gas Production Using Rumen
Fluid. Animal Research and Development. Vol. 28
Paengkoum, P. S. Traiyakun, J. Khotsakdee, S. Srisaikham and S. Paengkoum.
2012. Evaluating the Degradability of the Guava and Jack Fruit Leaves Using
In sacco Technique and Three-step Techniques. Pakistan Journal of Nutrition
11 (1): 16-20.
Sallam, S.M.A, 2005. Nutritive Value Assessment of the Alternative Feed
Resources by Gas Production and Rumen Fermentation In vitro. Research
Journal of Agriculture and Biological Sciences 1(2): 200-209, 2005. © 2005,
INSInet Pubication.

139
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PRODUKTIVITAS RUMPUT ODOT (Pennisetum purpureum Cv.Mott)


YANG DI BERIKAN PUPUK BOKASHI DENGAN LEVEL 0, 10 DAN 20
TON/HEKTAR DI KELURAHAN KAWANGU

Kristian Landu Paraing1,*, I Made Adi Sudarma1, Denisius Umbu Pati1


1
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: c6697368@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis pemberian pupuk
bokashi sludge biogas dengan level yang berbeda (0, 10 dan 20 ton/hektar) pada
tanaman rumput odot. Penelitian ini dilakukan di kelurahan Kawangu Kecamatan
Pandawai Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2021. Analisis sampel dilakukan
di Laboratorium Terpadu Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Kristen Wira
Wacana Sumba. Materi penelitian yang digunakan berupa bibit rumput Odot,
sludge biogas, EM4, dedak padi, sekam padi, gula air, timbangan, pita ukur,
ember, selang, thermometer ruangan dan plat drum. Metode yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan empat
ulangan dimana setiap ulangan (bedengan) terdiri dari 9 anakan/stek rumput odot
sehingga total terdapat 108 unit percobaan. Adapun rancangan percobaan adalah
P0: kontrol/tanpa pupuk, P1 : pupuk bokashi 10 ton/hektar, dan P2 : pupuk
bokashi 20 ton/hektar. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan pemberian
pupuk bokashi sludge biogas dengan level 20 ton/ha berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap tinggi tanaman (108,89 cm), panjang daun (102 cm), jumlah anakan
(14,56 anakan), berat segar (995,75 gram). Namun hasil penelitian pada parameter
persentase berat kering tidak berbeda nyata (P>0,05) pada semua perlakuan
(14,33%). Disimpulkan bahwa dengan pemberian pupuk bokashi sludge biogas
hingga level 20 ton /ha mampu memberikan hasil yang terbaik sebagai pupuk
pada tanaman rumput odot.

Kata Kunci : sludge biogas, pupuk bokashi, rumput odot, level pemupukan.

Pendahuluan
Hijauan makan ternak ialah salah satu hal penentu dalam meningkatkan usaha
peternakan terlebih khususnya bagi ternak ruminansia dalam ketersediaan hijauan
pakan yang tidak teratur baik kuantitas maupun kualitas, menjadi salah satu
halangan dalam mengembangkan usaha peternakan (Muslimah et al., 2020). Ini
juga salah satu kendala yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur mempunyai lahan
dan padang pengembalaan yang cukup luas tetapi ketersediaan hijauan sangat
minim hal ini disebabkan memiliki musim kemarau yang panjang dibandingkan
dengan musim hujan. Maka dari itu perlu untuk menyiapkan hijauan pakan yang
baik dan dapat terjamin kualitasnya sangat dibutuhkan dalam usaha peternakan.
Yang menjadi kendala di lapangan saat ini yaitu pemberian hijauan pakan pada
ternak yang sangat rendah akan kandungan nutrisinya, yang disebabkan oleh
kurangnya ketersediaan hijauan pakan yang ada di padang pengembalaan.

140
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Ketersediaan (HMT) yang kurang teratur baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya, menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan usaha peternakan,
sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan produktivitas (HMT) secara
berkelanjutan. Jadi salah satu upaya yang harus dilakukan ialah membudidayakan
rumput unggul yang mampu menghasilkan hijauan yang berkualitas tinggi seperti
rumput Odot (Daryatmo et al., 2019).

Pemupukan dengan pemberian pupuk kimia mampu memberikan hasil yang baik
tetapi dalam penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang dapat menyebabkan
unsur hara dalam tanah bahan organik menurun, struktur tanah rusak dan
menyebabkan pencemaran lingkungan. Kotoran ternak merupakan limbah yang
banyak dihasilkan dalam pembudidayaan ternak, selain limbah ada juga sisa
makanan dan urin. Untuk dapat menghindari dan mengurangi dampak
pencemaran dalam lingkungan yang disebabkan oleh kotoran ternak (feces) maka
salah satu upaya yang perlu dilakukan ialah pembuatan pupuk bokashi. Pupuk
bokashi juga dapat memperbaiki produktivitas unsur hara terhadap kesuburan
tanah, selain itu juga dapat memberikan keuntungan finansial karena mempunyai
daya jual belinya. Aktivator adalah bahan yang terdiri dari enzim dan
mikroorganisme yang dapat mempercepat proses fermentaasi. Tujuan penggunaan
aktivator merupakan untuk mempercepat proses fermentasi feses ternak sehingga
dapat menjadi pupuk bokashi (Kusuma, 2012). Bokashi merupakan salah satu
jenis pupuk yang dapat menggantikan adanya pupuk anorganik yang dapat
membantu meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki kerusakan dalam
tanah yang disebabkan pemakaian pupuk kimia dengan dosis yang banyak
(Guterres, 2018). Araujo et al., (2019) mengatakan penggunaan pupuk cair dari
kotoran babi dengan skala air yang tidak sama memberikan pengaruh terhadap
peningkatan pertumbuhan dan produktifitas tanaman rumput odot.

Pemupukan terhadap tanaman rumput odot berguna untuk meningkatkan


produktivitas yang dapat dilakukan dengan menggunaan feses (sludge biogas)
yang dibuat ke pupuk bokashi. Tanaman rumput odot yang diberikan pupuk
bokasi dengan menggunakan level 0, 10 dan 20 ton/hektar gunanya untuk
mengetahui bagaimana interaksi antara pemupukan terhadap pertumbuhan rumput
odot. Penggunaan pupuk kandang disamping dapat mencegah pencemaran
lingkungan dengan pemanfaatan feses ternak sebagai pupuk juga bisa didapatkan
dengan mudah. Pupuk kandang dan pupuk buatan dalam kegunaannya
mempunyai keunggulan dan kekurangan tersendiri, sehingga dapat diberikan pada
tanaman secara masing-masing dan kemungkinan dapat digunakan secara
bersamaan atau masing-masing.

Metode dan Materi


Penelitian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Kawangu, Kecamatan Pandawai,
Kabupaten Sumba Timur yang direncanakan berlangsung selama 6 bulan dari
bulan Maret – Agustus 2021.

Bahan yang digunakan berupa bibit rumput Odot (Pennesetum purpureum


cv.mott), bokasi, pupuk kandang, EM4, dedak padi, sekam padi dan gula air.
Peralatan yang digunakan untuk produksi rumput Odot yaitu tengki, parang,

141
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

sabit, timbangan, pita ukur, sekop, gerobak, terpal, ember, alat tulis menulis, tabel
pengamatan, selang, cangkul mini, kamera, thermometer ruangan dan plat drum.
Rancangan yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari 3 perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan (bedengan) terdiri
dari 9 anakan/stek rumput odot sehingga total terdapat 108 unit percobaan.

Adapun rancangan percobaan adalah sebagai berikut:


RO : Rumput Odot yang ditanam tanpa pupuk bokashi
R1: Rumput Odot dengan pupuk Bokashi 10 ton/ha
R2: Rumput Odot dengan pupuk Bokashi 20 ton/ha

Hal-hal yang dilakukan atau yang butuhkan dalam penelitian yaitu membersihan
dan menyiapkan lahan, pembuatan bedengan, pembuatan pupuk bokasi,
menyiapkan tanah dalam bedengan, perlakuan pemupukan, pemiliham bibit dan
penanaman, pemberian pupuk bokasi sludge biogas, penyiangan, penyiraman dan
panen.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis of varians dengan tingkat


kepercayaan 95%. Apabila terdapat perbedaan yang nyata akibat perlakuan maka
akan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan menggunakan program SPSS
18.0for windows.

Hasil dan Pembahasan


Suhu Lokasi Penelitian
Suhu sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman rumput odot,
tanaman memiliki suhu optimum untuk berkembang. Suhu di lokasi penelitian
Kelurahan Kawangu Kabupaten Sumba Timur diukur dengan menggunakan
termometer ruangan, pengukuran suhu di lakukan setiap hari pada pagi, siang dan
sore. Rata – rata suhu harian pada pagi pukul 07.00 dengan suhu 240C, pada siang
hari pukul 12.00 dengan suhu 340C sedangkan pada sore hari pukul 17.00 kisaran
rata – rata suhu 290C. Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan pada tanaman
rumput odot,suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat,tanaman dapat kehilangan
kemampuan fotosintesis, air dan nutrisi.

Tabel 1. Data suhu lokasi penelitian, waktu, jam, rata –rata.


Suhu LokasiPenelitian
Waktu Pukul Rata –rata (0C)
Pagi 07.00 24.14 ± 1.56
Siang 12.00 34.57 ± 1.75
Sore 17.00 29.00 ± 2.29

Tinggi Tanaman
Dalam pertumbuhan tinggi tanaman rumput odot semakin banyaknya pemberian
dosis pupuk bokasi (sludge biogas) semakin tinggi juga pertumbuhannya. Jadi
rata-rata tinggi tanaman berkisar antara 80,50-101,89 cm. Berdasarkan tabel
dibawah ini dapat diketahui bahwa rata-rata tinggi tanaman rumput odot tertinggi

142
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

adalah pada perlakuan P2 (20 ton/ha) dengan rata-rata tinggi tanaman 101,89 cm.
Berikut ini tabel rata-rata tinggi tanaman rumput odot:

Tabel 2. Jumlah rata-rata tinggi tanaman rumput odot


Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 78,67 97,11 100,89
2 76,33 105,56 95,33
3 83,56 103,11 109,11
4 85,44 97,33 102,22
Rata-rata 80,50a 101,27b 101,89b
a-b
superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
perebedaan yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan hasil analisis pada tabel diatas menunjukan bahwa pemberian pupuk
bokashi sludge biogas berpengaruh nyata ( P<0,05 ) terhadap tinggi tanaman
rumput odot. diketahui perbedaan rata – rata tinggi tanaman rumput odot pada
setiap perlakuan, dimana perlakuan P0 (kontrol) menempati posisi terendah
sedangkan yang tertinggi yang di berikan pupuk sludge biogas dengan level (20
ton/hektar). Rata-rata tinggi tanaman terlihat berurutan sesuai level yang
diberikan, Semakin banyak dosis bokhasi sludge biogas yang digunakan, semakin
baik pula proses pertumbuhan tinggi tanaman rumput odot.

Berdasarkan hasil penelitian di pemberian pupuk bokashi sludge biogas pada


perlakuan P2=20 ton/ ha memberikan hasil yang baik dengan jumla rata-rata
101,89 cm tinggi tanaman. Jadi penelitian diatas lebih tinggi dibanding dengan
penelitian penggunaan pupuk kandang (feses sapi) ditambahka dengan mulsa kulit
kopi dalam pengukuran tinggi tanaman disetiap minggunya berbeda dengan
minggu ke-2 berkisar anatar 27,86 – 30,79 cm dan pada minggu ke-8 berkisar
antara 65,06 -68,64 cm menurut (Sulaiman et al., 2018). Hal ini menunjukan
bahwa pemberian pupuk bokasi sludge biogas lebih baik dibandingkan dengan
penggunaan pupuk kandang (feses sapi) yang ditambahkan mulsa kulit kopi.
Dalam pemberian pupuk bokashi sludge biogas semakin banyak dosis yang
diberikan semakin baik pula juga pertumbuhan tinggi tanaman rumput odot.

Dari grafik tinggi tanaman rumput odot dari 1 mst sampai 8 mst memiliki
pengaruh yang sangat nyata dari data tinggi tanaman memiliki pertumbuhan yang
sangat meningkat setiap minggunya. Dalam penggunaan bokashi sludge biogas
memiliki kandungan unsur hara yang baik terhadap pertumbuhan tinggi tanaman
bagi rumput odot. Hal ini menunjukan bahwa semakin banyaknya dosis bokashi
sludge biogas yang diberikan demikian pula juga semakin tingginya pertumbuhan
tinggi tanaman rumput odot setiap minggunya. Pemberian pupuk bokashi sludge
biogas dengan dosis 20 ton/ha merupakan hasil tertinggi dibandingkan dengan
dosis 10 ton/ha dan tanpa pemberian pupuk bokashi sludge biogas atau (P0).

143
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Grafik 1. Rata-rata tinggi tanaman rumput odot dari 1 mst sampai 8 mst.

Berdasarkan penelitian diatas dalam pemberian pupuk bokashi sludge biogas pola
pertumbuhan setiap minggunya mengalami pertumbuhan sesuai dengan dosis
pupuk yang diberikan. Hal ini sejalan dengan pendapat (Kusuma, 2019)
menyatakan penggunaan pupuk bokashi kotoran ayam dengan dosis 40 ton/ ha
dapat memberikan hasil yang baik di bandingkan dengan pemberian dosis 30
ton/ha, 20 ton/ha, 10 ton/ha dan tanpa pemberian bokashi atau kontrol. Dengan
demikian juga semakin banyaknya dosis bokashi yang digunakan maka dapat
meningkatkan kandungan unsur hara sehingga perakaran dalam tanah mampu
memproduksi dengan baik. Tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
jika tanaman itu memperoleh unsur hara dalam jumlah yang banyak.

Jumlah Anakan
Jumlah anakan merupakan salah satu penentu untuk menentukan banyaknya
bahan segar yang dihasilkan dalam membudidayankan hijauan. Tabel 3
menunjukan bahwa pemberian pupuk bokashi sludge biogas berpengaruh
(P>0,05) terhadap jumlah anakan rumput odot. Dimana setiap minggunya dengan
bertambah jumlah anakan semakin meningkat. Jadi rata – rata jumlah anakan
yang diberikan pada pupuk bokashi sludge biogas dengan level yang berbeda P0
(tanpa pupuk) 11,50, P1 (10 ton/ha) 15,52 dan P2 (20 ton/ha) 14,56 anakan.

Tabel 3. Rata-rata jumlah anakan rumput odot


Ualangan Perlakuan
P0 P1 P2
11,56 14,89 15,56
2 13 17,48 11,11
3 10 15,44 16,89
4 11,22 14 14,67
Rata-rata 11,50a 15,52b 14,56b
a-b
superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
perebedaan yang nyata (P<0,05)

144
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berdasarkan analisis data penelitian diatas pertumbuhan jumlah anakan pada


perlakuan P2=20 ton/ha dengan rata-rata 14,56 anakan memberikan hasil yang
baik dan lebih tinggi dibandingkan penelitian dari (Ressie et al., 2018) dalam
pertumbuhan jumalah anakan tidak berpengaruh terhadap penyiraman, namun
dalam peningkatan jumlah anakan di tentukan oleh banyaknya dosis pupuk
bokashi yang diberikan pada tanaman dimanan level D2=12,73 anakaan dan
faktor interval penyiraman dengan level I1=12,58 anakan. Dalam pembentukan
anakan tanaman akan meningkat seiring deangan penambahan pupuk berupa hara.
Dalam penggunaan pupuk bokashi sludge biogas lebih baik dibandingkan pada
penggunaan pupuk bokashi kotoran ayam broiler (Surajat et al., 2016)
penggunaan pupuk bokashi kotoran ayam broiler memiliki rata –rata pada
perlakuan 0 ton/hektar (0,97), 10 ton/hektar (1,43), 15 ton/hektar (1,47), dan 20
ton/hektar (1,36). Penelitian di atas berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian
dari (Surajat et al., 2016) Jumlah anakan tanaman rumput gajah pada P0 (0,99
anakan), P1 (1,46 anakan), P2 (1,93 anakan) dan P3 (2,3 anakan). Dari hasil
penelitian ini diketahui bahwa rata-rata jumlah anakan tanaman rumput odot
paling banyak terdapat pada perlakuan P3 (2,3 anakan) yang diikuti dengan P2
(1,93 anakan) selanjutnya P1 (1,46 anakan) dan P0 (0,9 anakan).

Grafik 2. Pola pertumbuhan jumlah anakan rumput odot dari 1 mst sampai 8 mst.

Dari grafik di atas dapat di ketahui bahwa pertumbuhan panjang daun tanaman
rumput odot ( pennisetum purpureum cv.mott ) dari 1 mst – 8 mst yang di berikan
pupuk bokash sludege biogas dengan level yang berbeda. Dimana setiap
menggunya memiliki pertumbuhan yang berbeda dengan levelnya masing-masing
dengan level P0 (tanpa pupuk) ton/ha memiliki rata – rata 4-11 anakan, sedangkan
dengan pemberian pupuk bokashi dengan dosis 10 ton/ha dengan data rata – rata
4-13 anakan, dan pemberian pupuk bokasi sludge bokasi level 20 ton/ha data rata
– rata 3-14 anakan. Dimana dengan pemberian pupuk bokasi sludge biogas
dengan level yang banyak maka semakin banyak juga jumlah anakan yang di
hasilkan begitupun juga jika semakin sedikit level pupuk yang di berikan maka
semakin sedikit pula juga jumlah anakan.

145
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Dari hasil penelitian di atas menunjukan dalam pertumbuhan jumlah anakan setiap
minggunya mengalami pertambahan. Jadi pada perlakuan pemberian pupuk
bokashi sludge biogas dengan dosis 20 ton/ha lebih banyak dibandingkan dengan
hasil penelitian dari Surajat et al., (2016) Jumlah anakan dalam pertumbuhan
setiap minggunya tanaman rumput gajah pada P0 (0,99 anakan), P1 (1,46 anakan),
P2 (1,93 anakan) dan P3 (2,3 anakan). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa
rata-rata dalam jumlah anakan tanaman rumput odot paling banyak terdapat pada
perlakuan P3 (2,3 anakan) yang diikuti dengan P2 (1,93 anakan) selanjutnya P1
(1,46 anakan) dan P0 (0,9 anakan).

Panjang Daun
Daun merupakan bagian dari tanaman hijauan makanan ternak yang umumnya
dikonsumsi oleh ternak. Jadi rata – rata panjang daun tanaman rumput odot yang
di berikan pupuk sludge biogas dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. Jumlah rata-rata panjang daun rumput odot


Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 74 99 103
2 80 106 92
3 62 101 107
4 82 100 104
Rata-rata 76a 101,5b 102b
a-b
superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sam menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Dalam pertumbuhan panjang daun rumput odot semakin tingginya penambahan


dosis pupuk bokasi (sludge biogas) demikian pula juga semakin bertambah
panjang daunnya. Jadi rata-rata panjang daun berkisar antara 76-102 cm.
Berdasarkan Tabel diatas dapat diketahui bahwa pajang daun rumput odot
terendah pada perlakuan P0 (kontrol) dengan rata-rata 76 cm dan tertinggi adalah
pada perlakuan P2 (20 kg/ha) dengan rata-rata panjang daun 102 cm. hal ini dapat
diketahui bahwa penggunaan pupuk bokasi sludge biogas dapat memberikan
pengaruh terhadap pertumbuhan panjang daun.

Dari hasil penelitian diatas pertumbuha panjang daun dalam pemberian pupuk
bokashi sludge biogas pada perlakuan P2 20 ton/hektar dengan jumlah rat-rata
102 cm di atas berbeda lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian dari
Muslimah (2020) Panjang daun, umur 2, 4 dan 6 MST berpengaruh tidak nyata
antar perlakuan. Namun ada kecenderungan nilai panjang daun tertinggi dijumpai
pada dosis 10 gram/tanaman (P1) dibandingkan dengan tanpa perlakuan (P0) dan
20 gram/tanaman (P2). Hal ini disebabkan karena dosis pupuk organik serbaguna
(Agrodyke) terkandung unsur hara yang cukup bagi tanaman rumput odot dan
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

146
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penggunaan urea dengan level berbeda 100, 150 dan 200 kg/ha tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata pada penambahan Panjang daun rumput odot
yakni berturut-turut 56,73 cm, 60,33 cm, dan 60,67 cm, namun memberikan hasil
yang berbeda nyata pada pertumbuhan Panjang daun yang dibandingkan dengan
tanpa pemberian pupuk urea yakni 50,33 cm (Daryatmo et al., 2019). Berdasarkan
penelitian diatas dalam penggunaan pupuk bokashi sludge biogas lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan pupuk urea. Karena dalam pembudidayaan
rumput odot yang menggunakan pupuk urea didalam volibek atau pot sedangkan
dalam penggunaan pupuk bokashi slude biogas membudidayakan di lahan atau
bedengan.

grafik rata-rata panjang daun dari 1mst -8mst


rata-rata panjang daun

120
100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8
level 0 12.65 22.55 34.14 42.81 52.63 64.75 74.81 83.5
level 10ton/ha 13.38 19.13 33.25 48.13 65.56 77.69 88.88 101.25
level 20ton/ha 14.75 23.08 33.56 48.88 64.38 76 87.94 101.31

Grafik 2. Pola pertumbuhan panjang daun dari 1 mst sampai 8 mst.

Dari grafik panjang daun rumput odot dari 1 mst sampai 8 mst memiliki pengaruh
yang sangat nyata dari data panjang daun memiliki pertumbuhan yang sangat
meningkat setiap minggunya. Dalam penggunaan pupuk bokashi sludge biogas
memiliki kandungan unsur hara yang baik terhadap panjang daun tanaman rumput
odot dengan pemberian level yang berbeda. Di mana rata-rata panjang daun
tanaman rumput odot berkisar antara 76-102 cm.

Dari hasil penelitian diatas pertumbuhan panjang daun rumput odot dimana setiap
minggunya mengalami pertumbuhan disetiap minggunya. Pada pemberian pupuk
bokashi sludge biogas pada perlakuan dosis 20 ton/ha meberikan hasil yang baik
dengan panjang daun rata-rata 101,31 cm. Jadi penelitian diatas lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil penelitian penggunaan urea dengan level berbeda 100,
150 dan 200 kg/ha tidak menunjukkan hasil yang nyata pada penambahan Panjang
daun rumput odot yakni berturut-turut 56,73 cm, 60,33 cm, dan 60,67 cm, namun
memberikan hasil yang berbeda nyata pada pertumbuhan Panjang daun yang
dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk urea yakni 50,33 cm pada penelitian
(Daryatmo et al., 2019).

Produksi bahan segar


produksi bahan segar merupakan yang di peroleh dari produk total hijauan rumput
odot setelah dipanen dalam enam puluh hari. Salah satu juga penentu dalam

147
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menghasilkan banyaknya produksi bahan segar atau ntrisi. Tabel 5 merupakan


jumlah rata-rata berat produksi bahan segar yang dihasikan dalam 60 hari.

Dari hasil uji statistik tabel diatas menunjukan bahwa pemberian pupuk bokashi
sludge biogas pada tanaman rumput odot memberikan hasil yang berbeda nyata
(P<0,05) pada produksi bahan segar. Dimana perlakuan P2=20 ton/hektar
menempati paling tertinggi dengan jumlah rata-rata 995,75 gram, diikuti dengan
perlakuan P1=10 ton/hektar dengan jumlah rata-rata 8241,75 gram dan yang
paling terendah perlakuan P0=kontrol/tanpa pupuk dengan jumlah rata-rata 84,7
gram. Jadi semakin banyak pupuk bokashi yang diberikan pada tanaman rumput
odot semakin banyak pula juga jumlah produksi bahan segar yang dihasilkan.

Tabel 5. Jumlah rata-rata berat produksi bahan segar rumput odot


Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 0,534 0,9389 0,861
2 0,756 0,9678 0,382
3 1,476 0,802 1,494
4 0,622 0,588 1,246
Rata rata 84,7a 8241,75b 995,75b
a-b
superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan penelitian diatas pemberian pupuk sludge biogas pada perlakuan (P2)
20 ton/ha dapat memberikan hasil yang baik dengan jumlah rata-rata 995,75 gram.
Jadi hasil penelitian diatas lebih banyak menghasilkan produksi bahan sengar
dibandingkan hasil penelitian dari Prayogo et al., (2018) yang dapat diperlihatkan
dalam dosis pemberian n pupuk organik cair fermentasi rumen sapi berpengaruh
nyata terhadap produksi segar pada tanaman rumput odot. Dimana rata-rata
tertinggi dan berbeda nyata adalah perlakuan P3=86.54 g dan rataan yang
terendah pada perlakuan P0=43,87 g. Hal ini disebakan karena unsur N dalam
pupuk cair masih kurang. Sehingga rumput odot rendah dalam menyerap unsur
hara dalam tanah. Sehingga tanaman rendah dalam menyerap unsur N maka
tanaman akan menjadi pertumbuhannya lambat. Dalam pemberian pupuk yang
berasal dari feses ayam rata-rata produksi berat segar tertinggi sebesar 9,80
kg/petak dan berbeda dengan perlakuan lainnya, selanjutnya diikuti dengan feses
kotoran ternak kambing dan terendah adalah produksi yang berasal dari pupuk
kotoran ternak sapi (Satata & Kusuma, 2014).

Produksi Bahan Kering


Bahan kering merupakan salah satu komponen kimiawi dari tanaman yang jadi
atau bahan makanan ternak waktu kekurangan bahan segar. Produksi bahan
kering terdiri dari protein kasar, serat kasar, lemak kasar, sedangkan bahan
anorganik terdiri dari mineral dan abu. Manfaat bahan kering bagi ternak adalah
sebagai gambaran ketersediaan nutrient dalam pakan dimasa kekurangan hijauan

148
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pakan ternak. Pada Tabel 6 dapat di lihat jumlah rata-rata produksi bahan kering
pada rumput odot.

Hasil uji statistik dari Tabel 6 menunjukan bahwa perlakuan pupuk bokashi tidak
memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi bahan kering
rumput odot. Produksi bahan kering rumput odot yang berbeda disebabkan oleh
kadar air rumput odot yang sama. Produksi terendah bahan kering dari penelitian
terdapat pada perlakuan pemberian pupuk sludge biogas dengan level 10 ton/ha
dengan rataan (13,25%) tidak jauh berbeda dengan perlakuan (P2) dengan rataan
(14,251 %) dan produksi bahan kering tertinggi yang diperoleh dalam penelitian
ini terdapat pada perlakuan pemberian pupuk sludge biogas dengan level (P0)
dengan rata-rata (15,50 %).

Tabel 6. Jumlah rata-rata berat produksi bahan segar rumput odot


Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 15 12 12
2 14 14 15
3 17 13 18
4 16 14 12
Rata-rata 15,50 13,25 14,25

Berdasraarkan penelitian diatas dalam pemberian pupuk bokashi sludge biogas


pada perlakuan (P2) 20 ton/ha dengan jumlah rata-rata 14,25 gram berbeda
dengan (Sulaiman et al., 2018) rata-rata bahan kering batang rumput gajah 10,48
– 17,72 gram/m2 dan rata-rata bahan kering daun rumput rajah 29,13 – 49,48
gram/m2 . Dapat dilihat pada perlakuan P2 (15 ton pupuk fese sapi + mulsa kulit
kopi) diberikan produksi BK yang lebih baik lagi dibandingkan dengan perlakuan
yang berbeda. Produksi bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar
65,45 gram (Muizzudin et al., 2021) jadi produksi bahan kering yang dihasilkan
lebih banyak dibandingkan penelitian diatas.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian
pupuk bokashi sludge biogas semakin banyak dosis yang diberikan semakin baik
pula dalam pertumbuhan rumput odot. Pemberian pupuk bokasi sludge biogas
dengan perlakuan level P2=20 ton/ha mampu memberikan hasil yang terbaik
dengan rata-rata tinggi tanaman 109,89 cm, jumlah anakan 14,56 anakan/ rumpun
panjang daun 102 cm, produksi bahan segar 995,75 gram dalam membudidayakan
rumput Odot (Pennisetum purpureum Cv.Mott).

149
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada DRPM – Kemenristekdikti
yang sudah membantu mendanai melalui skema penelitian dosen pemula pada
tahun 2021 sehingga saya juga mengambil bagian dari penelitian ini dalam tahap
tugas akhir.

Daftar Pustaka
Araujo, C. De, Un, M. Y., Koten, B. B., Randu, M. D. S., & Wea, R. (2019).
Produksi Rumput Odot (Penniseum Purpureum cv. Mott) pada Lahan Kering
dengan Pemberian Pupuk Organik Cair Berbahan Feses Babi. Jurnal Ilmu
Peternakan Terapan, 3(1), 6–13. https://doi.org/10.25047/jupiter.v3i1.1902
Daryatmo, J., Mubarokah, W. W., & Budiyanto, B. (2019). Pengaruh Pupuk Urea
terhadap Produksi dan Pertumbuhan Rumput Odot (Pennisetum purpureum cv
Mott). Jurnal Ilmu Peternakan Dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical
Animal and Veterinary Science), 9(2), 62–66.
https://doi.org/10.30862/jipvet.v9i2.63
Guterres, T. D. J. (2018). Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Pupuk
Bokashi dengan Level Berbeda pada Pertumbuhan dan Produksi Biomasa
Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum). Jas, 3(1), 11–13.
https://doi.org/10.32938/ja.v3i1.539
Kusuma, M. E. (2012). Pengaruh Beberapa Jenis Pupuk Kandang terhadap
Kualitas Bokashi. Ilmu Hewani Tropika, 1(2), 41–46.
https://www.unkripjournal.com/index.php/JIHT/article/view/13
Kusuma, M. E. (2019). Respon Rumput Odot ( Pennisetum purpureum . Cv . Mott
) Terhadap Pemberian Bokashi Kotoran Ayam pada Tanah Berpasir. Ilmu
Hewani Tropikal, 8(2), 71–76.
Muizzudin, Budiman, & Rinduwati. (2021). Pengaruh Input Pupuk NPK Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Rumput Gajah Mini (pennisetum purpureum
cv.mott) pada Lahan Marginal. Bulletin Makanan Ternak, 15(1), 30–39.
Muslimah, Y., Yusrizal, & Refkikan, I. (2020). Pengaruh Jenis Amelioran dan
Dosis Pupuk Serbaguna (Agrodyke) pada Pertumbuhan Rumput Gajah Odot
(pennisetum purpureum CV. Mott) Dilahan Gambut. Jurnal Agrotek Lestari,
6(1), 8–15.
Prayogo, A. P., Hanafi, N. D., & Hamdan. (2018). Produksi Rumput Gajah
(Pennisetum purpureum) dengan Pemberian Pupuk Organik Cair Fermentasi
Limbah Rumen Sapi. Jurnal Pertanian Tropik, 5(2), 199–206.
https://doi.org/10.32734/jpt.v5i2.2992
Ressie, M. L., Mullik, M. L., & Dato, T. D. (2018). Pengaruh Pemupukan dan
Interval Penyiraman terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Gajah Odot
(Pennisetum purpereum cv Mott). Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 13(2),
182–188. https://doi.org/10.31186/jspi.id.13.2.182-188
Satata, B., & Kusuma, M. E. (2014). Pengaruh tiga jenis pupuk kotoran ternak
(sapi, ayam dan kambing) terhadap pertumbuhan dan produksi Rumput
Brachiaria humidicola. Jurnal Ilmu Hewani Tropika, 3(2), 5–9.
https://unkripjournal.com/index.php/JIHT/article/view/58/57
Sulaiman, W. A., Dwatmadji, D., & Suteky, T. (2018). Pengaruh Pemberian
Pupuk Feses Sapi dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Rumput Odot (Pennisetum purpureum Cv.Mott) di Kabupaten

150
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kepahiang. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 13(4), 365–376.


https://doi.org/10.31186/jspi.id.13.4.365-376
Surajat, A., Sandiah, N., & Malesi, L. (2016). Respon Pertumbuhan Rumput
Gajah ( Pennisetum purpureum var Hawai) yang Diberi Pupuk Bokashi
Kotoran Ayam Broiler dengan Dosis yang Berbeda. JITRO, 3(3), 38–46.

151
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK SLUDGE BIOGAS DENGAN LEVEL


0, 20 DAN 40 TON/HEKTAR TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT
ODOT DI KABUPATEN SUMBA TIMUR

Apris Yanus Bura Sawula1,*, I Made Adi Sudarma1, Denisius Umbu Pati1
1
Program Studi peternakan, Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespendensi: aprisyanusburasawula@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk sludge
biogas dengan level 0, 20 dan 40 ton/ha terhadap pertumbuhan tanaman rumput
odot. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kawangu, Kabupaten Sumba
Timur. Penelitian ini menggunakan alat dan bahan berupa, pupuk sludge biogas,
EM4, gula, sekam,dedak dan air sedangkan alat yang digunakan berupa terpal,
sekop, plat drum, pengukur suhu lingkungan. Analisis sampel dilakukan di
Laboratorium Terpadu Universitas Kristen Wira Wacana Sumba. Rancangan yang
dipakai untuk penelitian ini ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 4 ulangan dimana P0 (kontrol/tanpa pupuk), P1 (pupuk sludge
biogas dengan dosis 20 ton/ha) dan P2 (pupuk sludge biogas dengan dosis 40
ton/ha). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang nyata
(P<0.05) pada perlakuan dengan pemberian pupuk dengan level 40 ton/hektar
terhadap parameter tinggi tanaman (108,66 cm), panjang daun (112 cm), jumlah
anakan (19,59 anakan) dan produksi bahan segar (1,13425 gram) dibandingkan
perlakuan lainnya. Namun hasil penelitian presentase produksi bahan kering tidak
berbeda nyata (P<0.05) dengan berat (17,75 %) terhadap semua perlakuan. Dapat
disimpulan bahwa dengan pemberian pupuk bokasi sludge biogas untuk dosis 40
ton /ha memberikan pengaruh yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman rumput
odot.

Kata kunci: bokasi, sludge biogas, rumput odot dan level pemupukan

Pendahuluan
Menurut (Kusuma, 2019) mengatakan bahwa hijauan ialah bahan pakan yang
berkualitas yang dapat menunjang keberhasilan dalam meningkatkan
produktivitas pengembangan ternak ruminansi dalam usaha peternakan. Namun
ketersediaan lahan dan ketersediaan hijauan seperti rumput odot sering terjadi
kelangkaan dan ketersediaanya akan semakin terbatas. Salah satu kendala dalam
melakukan usaha peternakan ialah tidak memadainya ketersediaan hijauan
khususnya di Sumba Timur.

Kabupaten Sumba Timur memiliki wilayah iklim dengan kondisi kering dari
curah hujan umumnya pada bulan desember – maret dengan rata-rata berkisar
kurang lebih 150 mm dan sementara itu, musim kemarau biasanya berlangsung
sejak pertengahan bulan April sampai dengan bulan November dengan puncak
musim kemarau terjadi pada bulan Juli–September. Jumlah curah hujan yang
cenderung sedikit dalam setahun yakni berkisar 700–1800 milimeter per tahun

152
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dengan jumlah hari hujan tahunan berkisar antara 60–130 hari hujan per tahun
menyebabkan sebagian besar wilayah Kabupaten Sumba Timur termasuk dalam
wilayah yang cukup kering (Tenggara, 2020). Pada kondisi seperti ini perlu
penyediaan pakan hijauan yang memiliki produksi biomassa yang tinggi dan dapat
tumbuh di daerah tropis. Salah satunya adalah rumput odot karena memiliki
produksi biomassa yang tinggi, memiliki lebih banyak daun dibanding batang dan
memiliki kesukaan yang baik bagi ternak ruminansia (Sulaiman et al., (2018).

Rumput odot ialah jenis tanaman yang memiliki pertumbuhan dan zat gizi yang
baik dan memiliki tingkat produksi hijauan yang tinggi untuk ternak sapi, kerbau,
kambing/domba. pupuk kandang ialah limbah yang memiliki peran penting untuk
pemupukan. Pupuk kandang terdiri dari beberapa jenis feses padat dan cair berasal
dari ternak yang bercampur dari sisa makanan, yang dapat memperbaiki unsur
hara untuk tanah. Lasamadi et al., (2013) unsur hara dalam tanah yang tidak subur
tumbuhan tidak akan memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Untuk meningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman rumput odot sangat perlu
untuk dilakukan pengembangan hijauan pakan ternak. Salah satu cara yang bisa
diupayakan adalah pemupukan. Untuk pertumbuhan hijauan makanan ternak tidak
akan terlepas dari pemupukan, karena pemupukan sangat berguna dalam
menyuburkan tanah dan menambah unsur hara pada tanah, pemupukan juga akan
merangsang pertumbuhan tanaman supaya bisa mendapatkan hasil yang tinggi.
Salah satu pupuk yang baik dan bisa digunakan untuk menunjang pertumbuhan
dan perkembangan tanaman rumput odot adalah jenis pupuk NPK. Menurut
Rellam et al., (2017) mengatakan bahwa pupuk NPK ialah pupuk anorganik yang
memiliki kandungan unsur hara tinggi dan mudah diserap oleh tanaman sehingga
meningkatkan pertumbuhan dan produksi rumput odot. Penggunaan pupuk kimia
secara berkepanjangan tanpa aturan juga dapat mengganggu penguraian sifat
tanah, menurunkan unsur hara lahan, dan dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman sedangkan pupuk organik yang terdiri atas bahan campuran
yang berasal dari ternak dan tumbuhan, dapat berupa cair maupun padat yang
dipakai untuk memproduksi sifat unsur hara dalam tanah. Menurut (Kastalani,
2016) mengatakan bahwa pupuk organik memiliki unsur hara yang mampu
memperbaiki pertumbuhan tanaman.

Bokashi merupakan salah satu jenis pupuk yang dapat menggantikan adanya
pupuk anorganik yang dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah dan
memperbaiki kerusakan dalam tanah yang disebabkan pemakaian pupuk kimia
dengan dosis yang banyak (Guterres, 2018). Araujo et al., (2019) mengatakan
penggunaan pupuk cair dari kotoran babi dengan skala air yang tidak sama
memberikan pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan dan produktifitas
tanaman rumput odot. Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh
(Satata & Kusuma, 2014) mengatakan bahwa penggunaan jenis pupuk feses sapi
dengan level penggunaan pupuk 30 ton/ha pada umur potong 2 bulan terhadap
produksi rumput Brachiaria humidicola dengan hasil rata-rata produksi berat segar
yaitu 0,452 kg/m2 atau 4,52 ton/ha.

153
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pemberian pupuk


sludge biogas dengan level berbeda {0; 20; 40 ton/hektar} terhadap pertumbuhan
rumput odot.

Metode
Penelitian telah dilaksanakan di Kelurahan Kawangu, Kecamatan Pandawai,
Kabupaten Sumba Timur berlangsung selama 6 bulan dari maret – Agustus 2021.
Bahan yang digunakan berupa bibit rumput Odot (Penesetum purpureum cv.mott),
bedeng tanah ukuran 160 x 160 cm, sludge biogas, EM4, dedak padi, sekam padi,
gula dan air. Adapun alat yang digunakan untuk produksi rumput Odot yaitu plat
drum, parang, sabit, linggis, timbangan, pita ukur, sekop, karung, terpal, ember,
alat tulis menulis, tabel pengamatan, kamera dan termometer ruangan

Rancangan yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari 3 perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan (bedengan) terdiri
dari 9 anakan/stek rumput odot sehingga total terdapat 108 unit percobaan.
Adapun rancangan percobaan dengan perlakuan yang diterapkan terdiri dari 3
perlakuan yaitu tanpa pupuk bokasi sludge biogas / kontrol (P0), pemberian pupuk
bokasi sludge biogas dengan level 20 ton/ha (P1) dan pemberian pupuk bokasi
sludge biogas dengan level 40 ton/ha (P2).

Pelaksanaan penelitian ini meliputi, persiapan lahan, pembuatan pupuk sludge


biogas, pemilihan bibit, pemupukan, penanaman, penyiraman dan pemanenan
tanaman yang di produksi. yang diamati meliputi tinggi tanaman, panjang daun,
jumlah anakan, produksi bahan segar dan produksi bahan kering yang akan diukur
setiap 1 minggu sekali.

Data yang didapatkan semua dianalisis menggunakan ANOVA dengan tingkat


kepercayaan 95%. bilamana ada perbedaan yang nyata akibat perlakuan maka
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan menggunakan program SPSS
IBM 21 for windows.

Hasil Dan Pembahasan


Suhu Lokasi Penelitian
Suhu sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman rumput odot,
tanaman memiliki suhu optimum untuk berkembang. Suhu di lokasi penelitian
Kelurahan Kawangu Kabupaten Sumba Timur diukur dengan menggunakan
termometer, pengukuran suhu di lakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore.
rata – rata suhu harian pada pagi pukul 07.00 dengan suhu 240C, pada siang hari
pukul 12.00 dengan suhu 340C sedangkan pada sore hari pukul 17.00 kisaran rata–
rata suhu 290C. Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan pada tanaman rumput
odot, suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat, tanaman dapat kehilangan
kemampuan fotosintesis, air dan nutrisi. curah hujan pada 5 bulan penelitian
tergolong rendah.

154
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel.1 Data suhu lokasi penelitian, waktu, jam, rata –rata.


Suhu LokasiPenelitian
Waktu Pukul Rata –rata (0C)
Pagi 07.00 24.14 ± 1.56
Siang 12.00 34.57 ± 1.75
Sore 17.00 29.00 ± 2.29

Tinggi Tanaman
Rata – rata tinggi tanaman rumput odot dari (P0) 80,50 cm, (P1) 101,89 cm dan
(P2) 108,66 cm. Dari hasil penelitian rata – rata tertinggi tinggi tanaman rumput
odot terdapat pada perlakuan P2 (108,66 cm), diikuti P1 (101,89 cm) dan P0
(80,50 cm).

Tabel.2 Rata-rata produksi tinggi tanaman rumput odot (Pennisetum purpureum


Cv. Mott).
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 78,67 100,89 102,11
2 76,33 95,33 117
3 83,56 109,11 112,44
4 85,44 102,22 103.11

Rata-rata 80,50a 101,89b 108,66b


a-b
Superscript yang berbeda pada satu baris yang sama menunjukan perbedaan
yang nyata (P>0,05)

Berdasarkan hasil analisis pada tabel diatas menunjukan bahwa penggunaan


pupuk bokashi sludge biogas berpengaruh nyata ( P<0,005 ) pada tinggi tanaman
rumput odot. Diketahui rata – rata tinggi tanaman rumput odot pada setiap
perlakuan memiliki rata-rata yang berbeda, dimana perlakuan P0/kontrol memiliki
rata-rata paling rendah sedangkan perlakuan P2 yang di berikan pupuk sludge
biogas dengan level 40 ton/hektar memiliki rata-rata tertinggi. tinggi tanaman
dapat dilihat secara berurutan sesuai dengan dosis yang digunakan, Semakin
banyak bokasi sludge biogas yang diberikan, semakin tinggi juga proses
produktifitas tinggi tanaman. menurut Rellam et al., (2017) dalam keadaan
lingkungan tanpa naungan pupuk bokasi lebih banyak dibutuhkan untuk
menghasilkan panjang daun, jumlah daun dan tinggi tanaman daripada pada ada
naungan.

155
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Rata-rata tinggi tanaman rumput odot dari tabel diatas tertinggi dengan
penggunaan pupuk bokasi sludge biogas dengan dosis 40 ton/ha (108,66 cm)
sedangkan yang terendah pada perlakuan P0/tanpa pupuk (80,50 cm) lebih tinggi
di bandingkan dengan hasil penelitian Daryatmo et al., (2019) menunjukan rata-
rata tertinggi tinggi tanaman rumput odot dengan penggunaan pupuk urea
perlakuan P3 (50,70 cm) (53,49 cm) sedangkan rata-rata terendah pada perlakuan
P0/tanpa pupuk. adapun hasil penelitian (Bela & Setia, 2019) menunjukan
penggunaan pupuk feses kambing rata- rata tinggi tanaman tertinggi 59,62 cm
dengan dosis pupuk 30 ton/ha sedangkan yang terendah 57,44 cm perlakuan tanpa
pupuk. Hal ini diduga dengan penggunaan pupuk urea dan feses kambing tidak
memberikan pengaruh tingkat konsentrasi berbeda mempunyai efektifitas yang
sama terhadapan pertumbuhan rumput odot dibandingkan dengan menggunakan
pupuk bokashi sludge biogas dapat meningkatkan produktifitas tinggi tanaman
rumput odot. Maka dari itu dengan penggunaan pupuk bokasi dengan dosis yang
tinggi maka semakin tinggi pula produktifitas tinggi tanaman rumput odot.
menurut (Kastalani, 2016) Pemupukan selalu ada hubungannya dengan
ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman terhadap pertumbuhan
peningkatan tinggi tanaman rumput odot. Di tambahkan menurut Ni’am et al.,
(2019) Pupuk bokasi ialah pupuk yang berasal dari hasil fermentasi dengan jenis
unsur hara yang terkandung secara alamiah dan mampu memperbaiki kesuburan
tanah terhadap produktifitas tanaman. Hal ini dapat diasumsi bahwa penggunaan
pupuk bokasi sludge biogas lebih tinggi produktifitas tinggi tanaman di
bandingkan dengan menggunakan pupuk feses kambing dan urea.

Gambar.1 rata-rata tinggi tanaman dari 1mst – 8 mst

156
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa tinggi tanaman rumput odot yang di
berikan pupuk sludge biogas dari 1 mst sampai 8 mst pada setiap perlakuan
dengan penggunaan pupuk bokashi sludge biogas mengalami peningkatan tiap
minggunya.perbedaan pertumbuhan peningkatan tinggi tanaman pada setiap
perlakuan dari 1mst – 8 mst memiliki rata-rata 10 cm peninggkatan tinggi
perminggu. penggunaan sludge biogas memiliki kandungan unsur hara yang baik
terhadap produktifitas tinggi tanaman rumput odot. Pada minggu 1-2 setelah
tanam terlihat semua perlakuan belum memperlihat pertumbuhan tinggi tanaman
karena unsur hara yang terkandung dalam pupuk bokasi sludge biogas masi sama.
Pada minggu ke 3-8 setelah tanam dilihat peningkatan tinggi tanaman pada
semua perlakuan tidak sama. Dimana perlakuan P0 lebih rendah sedangkan pada
perlakuan P1 dan P2 pertumbuhan tinggi terlihat sama,diasumsi bahwa
penggunaan pupuk bokasi sludge biogas yang di gunakan pada perlakuan P1 dan
P2 sangat mencukupi dan diduga dengan punguraian pupuk bokasi pada perlakuan
P2 sangat tersedia sehingga peningkatan tinggi tanaman tiap minggunya baik dan
merupakan perlakuan yang menghasilkan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Menurut penelitian Sulaiman et al., (2018) menyatakan
dengan penggunaan pupuk bokasi feses sapi ditambah mulsa kopi terhadap
pertumbuhan tinggi tanaman dari 2-8 minggu setelah tanaman memiliki
peningkatan yang tinggi.

Panjang Daun

Daun merupakan bagian dari tanaman hijauan makanan ternak yang umumnya
dikonsumsi oleh ternak. Tabel. 2 menunjukan rata – rata panjang daun rumput
odot pada P0 (76 cm), P1 (102 cm) dan P2 (112 cm). Dari hasil penelitian
menunjukan rata – rata panjang daun terpanjang terdapat pada perlakuan P2 (112
cm), diikuti P1 (102 cm) dan P0 (76 cm).

Tabel.3 Rata –rata panjang daun tanaman rumput odot (Pennisetum purpureum
Cv. Mott).
Ulangan Perlakuan
P1 P2 P3
1 74 103 106
2 80 92 120
3 67 107 111
4 82 104 110
Rata-rata 76a 102 b
112b
a-b
S superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang
tidak nyata (P<0,05)

Berdasarkan hasil analisis pada tabel diatas menunjukkan dengan penggunaan


pupuk bokashi sludge biogas berpengaruh nyata (P>0,05) pada panjang daun
rumput odot. Rata–rata panjang daun rumput odot dari paling yang terendah
hingga yang paling tinggi secara berurutan dengan dosis tanpa pupuk (P0) dengan
rata–rata 76 cm, sedangkan penggunaan pupuk dengan dosis 20 ton/ha (P1) rata –

157
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

rata 102 cm dan dosis 40 ton/ha (P2) 112 cm. perbedaan panjang daun tersebut
dikarenakan oleh penggunaan dosis bokashi yang tidak sama. Penggunaan pupuk
bokashi sludge biogas dengan level yang tinggi maka akan meningkatkan
kesuburan tanah sehingga mampu meningkatkan panjang daun tanaman rumput
odot.

Hasil penelitian ini memiliki rata-rata panjang daun tertinggi dengan penggunaan
pupuk bokashi sludge biogas dengan dosis 40 ton/ha (112 cm) sedangkan yang
terendah dengan perlakuan tanpa pupuk/P0 (76 cm) berbeda dengan penelitian
Daryatmo et al., (2019) menyatakan pertumbuhan panjang daun rumput odot
dengan penggunaan pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha memiliki rata-rata (60,67
cm) sedangkan P0/tanpa pemberian pupuk urea (50,33 cm). Hal ini disebabkan
adanya unsur nitrogen atau unsur utama pembentuk zat dalm pertumbuhan hijauan
pada daun yang bermanfaat untuk proses perkembangbiakan tanaman. Hal ini
dapat diasumsi bahwa penggunaan pupuk urea terhadap pertumbuhan rumput odot
belum memberikan pengaruh terhadap panjang daun dibandingkan dengan
penggunaan pupuk bokashi sludge biogas dapat membantu yang akan
meningkatkan unsur hara dalam tanah sehingga produktifitas panjang daun
tanaman rumput odot semakin tinggi. Pendapat Winata et al., (2012) mengatakan
bahwa unsur hara yang dibutuhkan tanaman diperoleh dari hasil penguraian bahan
organik yang dapat memperbaiki kesuburan tanah untuk mencakup pertumbuhan
dan produksi tanaman. Menurut (Kastalani, 2016) mengatakan bahwa bokashi
yang berasal dari pupuk kandang mengandung berbagai unsur hara dan bahan
organik yang bisa memperbaiki sifat tanah serta mampu menyediakan unsur hara
yang dibutuhkan tanaman. Hal ini diasumsi bahwa penggunaan pupuk bokashi
sludge biogas dengan dosis 40 ton/ha meningkatkan pertumbuhan panjang daun
dibandingkan dengan penggunaan pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha.

Gambar.2 rata-rata panjang daun tanaman rumput odot dari 1mst – 8mst

Berdasarkan gambar diatas menunjukan bahwa dengan pemberian pupuk sludge


biogas memberikan pengaruh terhadap produktifitas panjang daun dari 1 mst – 8

158
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mst. Dilihat pada minggu 1-8 setelah tanam terjadi peningkatan jumlah anakan
yang tidak sama pada perlakuan P0 terlihat rendah perlakuan P1 dan P2
peningkatan jumlah anakan terlihat sama diduga karena penggunaan pupuk sludge
biogas tercukupi. Diduga pula unsur hara pada Perlakuan P2 tercukupi sehingga
peningkatan jumlah anakan setiap minggunya lebih meningkat dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Adapun hasil penelitian Muslimah et al., (2020)
mengatakan penggunaan pupuk jenis amelioran tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap pertumbuhan panjang daun tanaman rumput odot dari 2 – 6 mst.
Hal ini dikarenakan beberapa jenis amelioran yang di gunakan belum memberikan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan rumput odot. Semakin meningkatnya dosis
pupuk bokashi sludge biogas yang diberikan maka jumlah daun pada rumput odot
yang diperoleh akan semakin meningkat. Hal ini melihat peran dari pupuk bokasi
yaitu dapat memperbanyak daun dalam pemanfaatan dengan jarak tanam yang
berbeda akan mendapatkan hasil lebih banyak Sulaiman et al., (2018). Proses
pertumbuhan yang baik didukung oleh suhu lingkungan selama pertumbuhan
tanaman dikarenakan produksi yang dihasilkan dapat dengan baik (Adrianton,
2010).

Jumlah Anakan
Tabel.4 menunjukan rata-rata jumlah anakan tanaman rumput odot pada P0 (11,50
anakan), P1 (14,56 anakan) dan P2 (19,39 anakan). hasil penelitian dapat dilihat
bahwa rataan jumlah anakan tanaman rumput odot tertinggi ditemukan pada
perlakuan P2 (19,39 anakan) selanjutnya P1 (14,56 anakan) dan P0 (11,50
anakan).

Tabel 4 rata – rata jumlah anakan tanaman rumput odot ( pennisetum purpureum.
Cv.mott)
Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 11,56 15,56 18,22
2 13 11,11 21,78
3 10 16,89 18,67
4 11,22 14,67 18,89
a b
Rata-rata 11,50 14,56 19,39c
a-c
superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Dari hasil analisis tabel diatas menunjukan bahwa penggunaan pupuk bokashi
sludge biogas berpengaruh nyata (P>0,05) pada jumlah anakan rumput odot. Rata
– rata jumlah anakan dari P0 (11,50 anakan), P1 (14,56 anakan) dan P2 (19,39
anakan). Jumlah anakan tertinggi terdapat pada penggunaan pupuk bokashi sludge
biogas yaitu P3 (19,39 anakan) dengan level pupuk bokasi 40 ton/hektar
dikarenakan dengan penggunaan bokashi yang lebih banyak mampu menambah
pertumbuhan jumlah anakan. Penggunaan bokashi dengan dosis yang banyak
dapat meningkatkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman yang sesuai untuk
pertumbuhan tanaman rumput odot karena adanya kandungan alami yang

159
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

terkandung di dalam pupuk bokasi sludge biogas yang sesuai untuk pertumbuhan
tanaman.

Hasil penelitian diatas rata-rata jumlah anakan tertinggi dengan pemberian pupuk
bokashi sludge biogas dengan dosis 40 ton/ha (19,39 anakan) sedangkan yang
terendah pada perlakuan P0/tanpa pupuk (11,50 anakan) berbeda nyata
dibandingkan dengan hasil penelitian (Surajat et al., 2016) penggunaan pupuk
bokashi kotoran ayam broiler memiliki rata –rata pada perlakuan 0 ton/hektar
(0,97), 10 ton/hektar (1,43), 15 ton/hektar (1,47), dan 20 ton/hektar (1,36) dan
hasil penelitian Muizzudin et al., (2021) menyatakan dengan penggunaan pupuk
ponska rata-rata jumlah anakan tertinggi pada perlakuan P3 (11 anakan) dengan
dosis pupuk 700 kg/ha sedangkan rata-rata jumlah anakan terendah (1,35 anakan)
pada perlakuan P0/tanpa pupuk. Hal ini disebabkan pemberian pupuk ponska pada
polybag terhadap pertumbuhan rumput odot belum memberikan pengaruh
dibandingkan dengan penggunaan pupuk bokasi sludge biogas, dengan
penggunaan pupuk bokashi sludge biogas dapat menambah unsur hara dalam
tanah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan jumlah anakan. pendapat
Winata et al., (2012) mengatakan bahwa unsur hara yang dibutuhkan tanaman
diperoleh dari hasil penguraian bahan organik yang dapat memperbaiki kesuburan
tanah untuk mencakup pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut Sermalia et
al., (2020) mengatakan unsur hara yang terkandung dalam pupuk kandang sapi
sangat besar kegunaannya bagi pertumbuhan dan produktifitas jumlah anakan.

Gambar.3 rata-rata jumlah anakan tanaman rumput odot dari 1mst- 8mst

Dari grafik di atas dapat di lihat bahwa pertumbuhan jumlah anakan tanaman
rumput odot dari 1mst – 8 mst yang di berikan pupuk bokasi sludge biogas
memiliki peningkatan tiap minggunya. Dilihat pada umur minggu 1-3 setelah
tanam cenderung belum memberikan peningkatan jumlah anakan karena unsur
hara yang terkandung dalam pupuk bokasi sludge biogas masi sama. Pada minggu
ke 4-8 setelah tanam terlihat peningkatan pertumbuhan jumlah anakan yang tidak
sama terlihat pada perlakuan P0 terendah sedangkan perlakuan P1 dan P2
menunujukan pertumbuhan peningkatan jumlah anakan sama karena pemberian

160
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pupuk bokasi sludge biogas terpenuhi. Pada perlakuan P2 peningkatan


pertumbuhan jumlah anakan meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Dimana dengan pemberian pupuk bokasi sludge biogas
dengan dosis yang banyak maka semakin banyak juga jumlah anakan yang di
hasilkan begitupun jika semakin sedikit dosis pupuk yang di berikan maka
semakin sedikit pula jumlah anakan. Menurut (Kastalani, 2016) mengatakan
bahwa bokashi yang berasal dari pupuk kandang mengandung berbagai unsur hara
dan bahan organik yang bisa memperbaiki sifat tanah serta mampu menyediakan
unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk produktifitas jumlah anakan.

Produksi Bahan Segar


Produktivitas bahan segar merupakan salah satu bentuk parameter dalam
pertumbuhan tanaman dan berperanan dalam untuk ditentukan hasil atau produksi
yang diambil setelah panen yang dipotong dalam setiap rumpun tanaman odot.
Rata – rata produksi bahan segar dapat dilihat pada tabel di bawah P0/kontrol
(847 gram), P1 (99575 gram) dan P2 (1,13425 gram). Dari hasil penelitian rata –
rata produksi bahan segar tertinggi dengan pemberian pupuk sludge biogas
dengan level 40 ton/hektar dengan rataan (1,13425 gram).

Tabel 5. Rata – rata produksi bahan segar tanaman rumput odot


Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 0,534 0,861 1,059
2 0,756 0,382 1,378
3 1,476 1,494 1,087
4 0,622 1,246 1,013
Rata –rata 847 a
99575 b
1,13425c
a-c
superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil analisis dari tabel diatas diketahui bahwa perlakuan pupuk
bokashi sludge biogas berpengaruh sangat nyata (P<0,05) terhadap produksi
bahan segar tanaman rumput odot. Rata – rata berat produksi bahan segar secara
berurutan P0/kontrol ( 0,847 kg), sedangkan P1/dengan level 20 ton/ha ( 0,99575
kg) dan perlakuan P2 dengan level 40 ton/ha (1,13425 kg). Hal ini dapat diketahui
bahwa penggunaan pupuk bokashi sludge biogas dengan dosis yang banyak dapat
meningkatkan produksi bahan segar tumbuhan rumput odot. Pertumbuhan
tanaman yang baik akan menyebabkan semakin banyaknya tanaman untuk
menyerap air dan meningkatkan pembelahan sel tanaman,sehingga berat segar
tanaman tinggi. Menurut (Kastalani, 2016) bokashi mempunyai kualitas yang
lebih baik dan mampu menyediakaan unsur hara bagi tanaman dibandingkan
dengan penggunaan pupuk kompos. Rostini et al., (2016) menyatakan pupuk
bokashi jenis pupuk yang memiliki kandungan N, P dan K yang dapat menambah
unsur hara dalam tanah.

161
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berat segar ialah berat tanaman yang menghasilkan pertumbuhan perkembangan


suatu tanaman. Dari hasil penelitian diatas berbeda nyata dengan hasil penelitian
Daryatmo et al., (2019) dengan penggunaan pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha
menghasilkan produksi segar tertinggi (6,12 kg/rumpun) sedangkan rata-rata
terendah dengan perlakuan tanpa pupuk (4,12 kg/rumpun). Dibandingkan dari
hasil penelitian dari tabel diatas penggunaan pupuk bokashi sludge biogas dengan
dosis 40 ton/ha memiliki produksi bahan segar tertingi dengan rata – rata (1,13425
kg/bedeng) sedangkan produksi bahan segar terendah pada perlakuan tanpa pupuk
(0,847 g/bedeng). Hal ini diduga penggunaan pupuk kimia belum memberikan
pengaruh terhadap produksi bahan segar rumput odot dibandingkan dengan
penggunaan pupuk bokashi sludge biogas dapat meningkatkan unsur hara pada
tanah sehingga mampu meningkatkan produksi bahan segar tanaman rumput odot.
Menurut Merlin Korejang et al., (2019) menyatakan penggunaan pupuk bokashi
kotoran ayam petelur dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah dan tidak
mencemari lingkungan serta mampu menyuburkan tanah secara alamiah.
Produksi Bahan Kering
Manfaat bahan kering bagi ternak adalah sebagai gambaran ketersediaan nutrient
dalam pakan hijauan rumput odot. pada tabel.4 rata – rata produksi bahan kering
tanaman rumput odot P0 ( 15,50 g), P1 (14,25 g) dan P2 (17,75 g). Dari hasil
penelitian rata – rata produksi bahan kering tanaman rumput odot tertingi terdapat
pada perlakuan P2 ( 17,75 g), diikuti P0 ( 15,50 g) dan P1 (14,25 g).
Tabel.6 Rata – rata produksi bahan kering rumput odot (Pennisetum purpureum
Cv.Moot).

Ulangan Perlakuan
P0 P1 P2
1 15 12 13
2 14 15 24
3 17 18 18
4 16 12 16
Rata –rata 15,50 14,25 17,75

Hasil analisis dari tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pupuk bokashi tidak
memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap produksi bahan kering
rumput odot. Produksi bahan kering rumput odot yang berbeda disebabkan oleh
kadar air rumput odot yang sama. Produksi terendah bahan kering dari penelitian
terdapat pada perlakuan pemberian pupuk bokashi sludge biogas dengan level 20
ton/ha dengan rataan (14,25%) tidak jauh berbeda dengan tanpa pupuk (P0)
dengan rataan (15,50 %) dan produksi bahan kering tertinggi yang diperoleh
dalam penelitian ini terdapat pada perlakuan pemberian pupuk bokashi sludge
biogas dengan dosis 40 ton/ha dengan rataan (17,75 %). Semakin meningkatnya
dosis pupuk bokashi sludge biogas menyebabkan produksi bahan kering juga
meningkat. Produksi bahan kering yang tertinggi pada perlakuan pemberian
pupuk bokashi 40 ton/ha tidak jauh berbeda dengan perlakuan tanpa pupuk (P0)
dan dengan penggunaan pupuk 20 ton/ha menunjukan bahwa kemampuan daya

162
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

serap akar tanaman odot tehadap unsur hara yang terkandung dalam pupuk
bokashi lebih efektif jika di gunakan pupuk dengan kadar yang lebih tinggi.

Hasil penelitian ini berbeda dibandingkan dengan rata-rata produksi bahan kering
tertinggi pada perlakuan P2 (17,75%) sedangkan terendah terdapat pada perlakuan
P1 dengan dosis 20 ton/ha (14,25 %) dengan hasil penelitian Ressie et al., (2018)
menyatakan bahwa produksi bahan kering rumput odot paling rendah pada P0
sebanyak 7,66 ton/ha dan tertinggi terdapat pada P1 dengan dengan dosis 10
ton/ha memiliki rataan 13,44 ton/ha dengan penggunaan pupuk kompos. Hal ini
diduga bahwa kandungan air dalam tanah rendah sehingga dapat mengakibatkan
menurunya konsentrasi unsur hara yang terdapat pada larutan tanah. Menurut
Muizzudin et al., (2021) menyatakan bila berat kering rendah maka produktifitas
vegetatif tanaman terhalangi karena unsur hara yang diserap sedikit sehingga
mempengaruhi produktifitas tanaman. Menurut (Kastalani, 2016) Unsur hara yang
terkandung didalam pupuk dalam tanah belum cukup dan seimbang untuk
meningkatkan produksi bahan kering rumput odot. Diasumsi bahwa penggunaan
pupuk kompos belum memberikan pengaruh terhadap produksi bahan kering
rumput odot dibandingkan dengan penggunaan pupuk bokashi sludge biogas,
pupuk bokasi dapat memberikan penagruh yang baik terhadap produksi bahan
segar tanaman rumput odot.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan penggunaan
pupuk bokashi sludge biogas dengan level 40 ton/ha meningkatkan produksi
terhadap tinggi tanaman, panjang daun, jumlah anakan dan produksi bahan segar
rumput Odot (Pennisetum purpureum Cv.Mott). semakin banyak penggunaan
pupuk bokashi sludge biogas maka semakin tinggi produksi pertumbuhan rumput
odot.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada DRPM – Kemenristekdikti
yang sudah membantu mendanai penelitian ini melalui skema penelitian dosen
pemula pada tahun 2021.

Daftar Pustaka
Adrianton. 2010. Pertumbuhan dan nilai gizi tanaman rumput gajah pada
berbagaiinterval pemotongan. Jurnal Agroland, 17(3), 192–197.
Araujo, C. De, Un, M. Y., Koten, B. B., Randu, M. D. S., & Wea, R. 2019.
Produksi Rumput Odot (Penniseum Purpureum cv. Mott) pada Lahan Kering
dengan Pemberian Pupuk Organik Cair Berbahan Feses Babi. Jurnal Ilmu
Peternakan Terapan, 3(1), 6–13. https://doi.org/10.25047/jupiter.v3i1.1902
Bela, P., & Setia, N. 2019. Peranan Pupuk Kotoran Kambing Terhadap Tinggi
Tanaman, Jumlah Daun, Lebar dan Luas daun Total Pennisitum purpureum cv.
Mott. STOCK Peternakan, 2(2). http://ojs.umb-
bungo.ac.id/index.php/Sptr/article/view/312
Daryatmo, J., Mubarokah, W. W., & Budiyanto, B. 2019. Pengaruh Pupuk Urea
terhadap Produksi dan Pertumbuhan Rumput Odot (Pennisetum purpureum cv

163
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Mott). Jurnal Ilmu Peternakan Dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical


Animal and Veterinary Science), 9(2), 62–66.
https://doi.org/10.30862/jipvet.v9i2.63
Guterres, T. D. J. 2018. Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Pupuk
Bokashi dengan Level Berbeda pada Pertumbuhan dan Produksi Biomasa
Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum). Jas, 3(1), 11–13.
https://doi.org/10.32938/ja.v3i1.539
Kastalani, K. 2016. Pengaruh Pemberian Pupuk Bokashi Terhadap Pertumbuhan
Vegetatif Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum). Jurnal Ilmu Hewani
Tropika, 5(1).
Kusuma, M. E. (2019). Respon Rumput Odot ( Pennisetum purpureum . Cv . Mott
) Terhadap Pemberian Bokashi Kotoran Ayam pada Tanah Berpasir. Ilmu
Hewani Tropikal, 8(2), 71–76.
Lasamadi, R. D., Malalantang, S. S., . R. ., & Anis, S. D. 2013. Pertumbuhan dan
Perkembangan Rumput Gajah DWARF (Pennisetum purpureum cv. Mott)
yang Diberi Pupuk Organik Hasil Fermentasi EM4. Zootec, 32(5), 158–171.
https://doi.org/10.35792/zot.32.5.2013.984
Merlin Korejang, M. K., Anis, S. D., Kaunang, W. B., & Sumolang, C. I. J. 2019.
Respons Pertumbuhan Rumput Brachiaria humidicola cv Tully dengan
Pemberian Pupuk Organik Bokashi Kotoran Ayam Petelur. Zootec, 39(1), 33–
41. https://doi.org/10.35792/zot.39.1.2019.22120
Muizzudin, Budiman, & Rinduwati. 2021. Pengaruh Input Pupuk NPK Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Rumput Gajah Mini (pennisetum purpureum
cv.mott) pada Lahan Marginal. Bulletin Nutrisi Dan Makanan Ternak, 15(1),
30–39.
Muslimah, Y., Yusrizal, & Refkikan, I. 2020. Pengaruh Jenis Amelioran dan
Dosis Pupuk Serbaguna (Agrodyke) pada Pertumbuhan Rumput Gajah Odot
(pennisetum purpureum CV. Mott) Dilahan Gambut. Jurnal Agrotek Lestari,
6(1), 8–15.
Ni’am, A. M., Muwakhid, B., & Wadjdji, F. M. 2019. Pengaruh Frekuensi
Pemupukan Bip Urin Plus Zat Pengaruh Tumbuh Organi Sebagai Pupuk Daun
pada Rumput Odot (Pennisetum Purpureum CV. Mott) terhadap Nilai
Kecernaan In Vitro Bahan Kering dan Bahan Organik. Jurnal Rekasatwa
Peternakan, 1(1).
Rellam, C. R., Anis, S., Rumambi, A., & . R. 2017. Pengaruh Naungan dan
Pemupukan Nitrogen Terhadap Karakteristik Morfologis Rumput Gajah Dwarf
(Pennisetum purpureum cv Mott). Jurnal Zootec, 37(1), 179–185.
https://doi.org/10.35792/zot.37.1.2017.14867
Ressie, M. L., Mullik, M. L., & Dato, T. D. 2018. Pengaruh Pemupukan dan
Interval Penyiraman terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Gajah Odot
(Pennisetum purpereum cv Mott). Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 13(2),
182–188. https://doi.org/10.31186/jspi.id.13.2.182-188
Rostini, T., Ni’mah, K. G., & Sosilawati. 2016. Pengaruh Pemberian Pupuk
Bokashi yang Berbeda Terhadap Kandungan Protein dan Serat Kasar Rumput
Gajah (Pennisetum purpureum). Ziraa’ah, 41(1), 118–126.
https://doi.org/10.1101/2020.11.10.376129
Satata, B., & Kusuma, M. E. 2014. Pengaruh tiga jenis pupuk kotoran ternak
(sapi, ayam dan kambing) terhadap pertumbuhan dan produksi Rumput

164
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Brachiaria humidicola. Jurnal Ilmu Hewani Tropika, 3(2), 5–9.


https://unkripjournal.com/index.php/JIHT/article/view/58/57
Sermalia, N. P., Ariyanto, B. F., & Rahayu, T. P. 2020. Pengaruh Pemberian
Pupuk Kandang Sapi terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Bahan Kering
(BK) Rumput Gajah (Pennisetum purpureum). Fakultas Pertanian UNS.
http://jurnal.fp.uns.ac.id/index.php/semnas/article/view/1688
Sulaiman, W. A., Dwatmadji, D., & Suteky, T. 2018. Pengaruh Pemberian Pupuk
Feses Sapi dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Rumput Odot (Pennisetum purpureum Cv.Mott) di Kabupaten Kepahiang.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 13(4), 365–376.
https://doi.org/10.31186/jspi.id.13.4.365-376
Surajat, A., Sandiah, N., & Malesi, L. 2016. Respon Pertumbuhan Rumput Gajah
( Pennisetum purpureum var Hawai) yang Diberi Pupuk Bokashi Kotoran
Ayam Broiler dengan Dosis yang Berbeda. JITRO, 3(3), 38–46.
Tenggara, N. 2020. Timur.
Winata, N. A. S. H., Karno, & Sutarno. 2012. Pertumbuhan dan Produksi Hijauan
Gamal (Gliricidia sepium) dengan Berbagai Dosis Pupuk Organik Cair. Animal
Agriculture, 1(1), 797–807.

165
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PRODUKSI, KOMPOSISI BOTANI, KAPASITAS TAMPUNG PADANG


PENGGEMBALAAN DESA KAMBATATANA PADA AKHIR MUSIM
KEMARAU

Umbu Herman D. Praing1,*, I Made Adi Sudarma1, Marselinus Hambakodu1


1
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: umbuherman20@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilakukan di padang penggembalaan Desa Kambatatana Kecamatan
Pandawai Kabupaten Sumba Timur. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
produksi, komposisi botani, dan kapasitas tamping padang penggembalaan.
Penelitian ini mengunakan metode survei, pengukuran dan pengamatan langsung
di lapangan. Pengukuran produksi hijauan dilakukan dengan menggunakan
metode “Actual Weight Estimate” yaitu menggunakan kuadran ukuran 1 m x 1.
Data yang diperoleh ditabulasi dan dihitung untuk mendapatkan total produksi
hijauan, komposisi botani dan kapasitas tampung. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada musim akhir kemarau, produksi bahan segar sebesar 2.955 kg/ha (2,9
ton/Ha) produksi bahan kering sebanyak 2.483 kg/ha (2,4 ton/Ha) nilai Summed
Dominan Ratio (SDR) rumput 81%, leguminosa 16 %, gulma 3 % dan kapasitas
tampung sebesar 0,99 UT/ha/tahun. Kesimpulan, padang penggembalaan di Desa
Kambatatana Didominasi oleh rumput dan kapasitas tampung sebesar 0,99.

Kata Kunci: komposisi botani, kapasitas tampung, produksi hijauan, padang


penggembalaan

Pendahuluan
Padang penggembalaan terdapat diberbagai kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT)
dan salah satunya di kabupaten Sumba Timur memiliki prospek padang
penggembalaan yang cukup luas. Luas padang penggembalaan di Sumba Timur
41.260 HA ha (BPS NTT, 2018). Sumba Timur memiliki populasi ternak yang
cukup banyak seperti kerbau 38.230 ekor, sapi 49.494 ekor, kambing/domba
57.852 ekor Kuda 41.537 ekor. Kecamatan Pandawai merupakan salah satu
kecamatan yang memiliki padang penggembalaan alam yang cukup luas 41.260
ha di Kabupaten Sumba Timur. Jumlah populasi ternak di Kecamatan ini sapi
9787 ekor, kerbau 1.814 ekor, kuda 4.866 ekor, kambing/domba 7.794 ekor
dengan luas wilayah 41.260 ha, sedangkan luas wilayah khususnya Desa
Kambatatana Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur adalah 7.560 ha (
BPS, 2020 ). Desa Kambata Tana memiliki populasi ternak yang cukup banyak
seperti kuda 959 ekor, kerbau 146 ekor, sapi 1501 ekor, kambing/domba 508 ekor.
Produksi rumput alam di padang penggembalaan sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan ternak, Dengan produksi hijauan makanan ternak dalam areal padang
penggembalaan yang cukup luas. (Hambakodu et al., 2021).

166
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Upaya untuk mempertahankan dan mendukung pengembangan sub sektor


peternakan adalah ketersediaan pakan yang berkualitas secara kontinyu. Desa
Kabatatana memiliki Produksi hijauan makan ternak yang melimpah namun
kendala utama pada musim kemarau dimana keterbatasan kemampuan hijuan
sebagai pakan utama untuk memenuhi kebutuhan ternak terutama kebutuhan
protein dan ketersediaan pakan terbatas sehingga pertumbuhan ternak menjadi
terhambat. Keadaan ini mempengaruhi produksi secara kualitas dan kuantitas
hijauan makanan ternak dalam padang penggembalaan alam. (Tana et al., 2015)

Komposisi botani akan menentukan padang penggembalaan Pada umumnya


padang penggembalaan sepanjang tahun pada Pada musim hujan Jumlah air yang
cukup tersedia sehingga produksi hijuan, komposisi botani dan kapasitas tampung
sangat melimpah dan pada musim kemarau terdapat kekeringan air yang
mempengaruhi kemampuan hidup dan berkembang dari vegetasi tanaman pada
padang penggembalaan tersebut. khususnya hijauan pakan yang dapat terjadi
fluktuasi ketersediaannya, dan secara periodik selalu terjadi kekurangan selama
musim kemarau. Komposisi botani akan menentukan kualitas padang
penggembalaan, namun kandungan nutrisi tanaman pakan dalam areal padang
penggembalaan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain tingkat kedewasaan
tanaman, ketingian tempat, faktor tanah, species tanaman, iklim, kelas ternak dan
kondisi padang (Hae et al., 2020). Komposisi botani dan kapaistas tampung akan
menentukan kualitas padang penggembalaan namun berdampak pada ternak yang
sulit memenuhi kebutuhanya pada musim kemarau sehingga pertumbuhan ternak
menjadi terhambat. Hal ini dapat diketahui lewat pendeteksian komposisi
komponen rumput, legum dan gulma (Hawolambani et al., 2015). padang
penggembalaan menurun karena berhubungan antara padatnya ternak yang
digembalakan dengan ketersediaan pakan hijauan yang kurang sehingga produksi
hijauan yang terdapat pada padang penggembalaan tersebut tidak mencukupi
kebutuhan ternak yang digembalakan. (M Junaidi & Sawen, 2010).

Padang penggembalaan Desa Kambatatana kecamatan pandawai memilikibelum


perna dilakukan evaluasi padang penggembalaan seperti hijauan, komoosisi
botani dan kpasitas tampung. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui produksi hijauan pakan, komposisi botani dan kapasitas tampung
padang penggembalaan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui produksi,
komposisi botani dan kapasitas tampung padang penggembalaan Desa
Kambatatana Kecamatan Pandawai.

Metode
Metode penelitian ini mengunakan metode survey, pengamatan dan pengukuran
langsung di padang penggembalaan. Data yang diambil dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil
pengukuran langsung di lapangan, sedangkan data sekunder bersumber dari
literatur dan instansi terkait. Jenis data primer yang diambil adalah produksi
hijauan (g/m2), komposisi botani, dan kapasitas tampung berdasarkan data
produksi yang ada pada padang penggembalaan.

167
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di padang penggembalaan Desa Kambatatana
Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur. Penelitian ini dilaksanakan
selama 1 bulan yakni agustus Tahun 2021.

Analisis data
Data yang telah diperoleh dari data primer maupun data sekunder yang dikaji
dievaluasi secara deskriptif, ditabulasi atau dihitung untuk mendapatkan
presentase komposisi botani dan rata-rata produksi hijauan makanan ternak,
sedangkan data skunder dihitung dan ditabulasi dan untuk mendapatkan
persentase komposisi botani dan rata-rata produksi bahan segar dan bahan kering
hijauan serta kapasitas tampung.

Hasil dan Pembahasan


Produksi hijauan makanan ternak
Berdasarkan hasil padang penggembalaan memiliki produksi bahan segar 2.955
kg/ha atau 2,9 ton/ha dan bahan kering 2.483 kg/ha atau 2,4 ton/ha. Produksi
hijauan di padang penggembalaan desa kambatatana cukup tinggi dibandingan
dengan padang penggembalaan di Desa Maubokul pada musim kemarau dengan
memiliki produksi bahan segar rata-rata sebesar 3,3 Ton/Ha Sedangkan produksi
bahan kering 1,86 Ton/Ha (Hae et al., 2020). Banyak faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman pakan selain faktor tanaman itu sendiri.
Faktor eksternal yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan produksi
adalah kondisi tanah, ketersediaan air curah hujan dan suhu. Curah hujan yang
cukup akan menjamin ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman
dalam proses fisiologis. Faktor suhu juga berpengaruh langsung dan berkaitan erat
dengan laju transpirasi. Juga lebih tinggi dibandingkan pada padang
penggembalaan pada musim kemarau di Desa Kambata Wundut Kecamatan lewa
Kabupaten Sumba Timur, dengan rata-rata produksi bahan segar 2,7 ton/ha dan
bahan kering sebesar 2 ton/ha (Nggalumara et al., 2019). Berikut hasil
perhitungan produksi bahan segar dan bahan kering padang penggembalaan Desa
Kambatatana Kecamatan Pandawai pada tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Produksi Bahan Segar dan Bahan Kering Pakan Padang
Pengembalaan Desa Kambatatana Kecamatan Pandawai (kg/Ha).
Komposisi Botani Produksi Bahan Produksi Bahan Kering
Segar
Rumput 2.394 kg/Ha 2.011 kg/Ha
Leguminosa 473 kg/Ha 397 kg/Ha
Gulma 89 kg/Ha 74 kg/Ha
Total 2.920 kg/Ha 2.480 kg/ha
Sumber : data primer 2021

168
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Komposisi botani
Komposisi botani adalah angka yang digunakan untuk menentukan penilaian
secara kualitas terhadap padang rumput/padang penggembalaan alam yang dapat
mempengaruhi aktivitas ternak, (Susetyo, 1980).
Berdasarkan hasil penelitian pada padang penggembalaan Desa Kambatatana
Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur akhir musim kemarau
menunjukkan bahwa jumlah kerapatan mutlak (km) untuk rumput 21640,
leguminosa 51, gulma 14 dan nilai kerapatan nisbi (Kn) untuk rumput 99 %,
leguminosa 0,3 %, dan gulma 0,7 % sedangkan nilai frekuensi mutlak (Fm) untuk
rumput yaitu 80, leguminosa 40, gulma 8 serta dan frekuensi nisbi (Fn) untuk
rumput 62,5%, leguminosa 31,25 %, gulma 6,26% serta nilai (SDR) untuk rumput
81 %, leguminosa 16% dan gulma 3 %. Hal ini menunjukan bahwa padang
penggembalaan alam di Desa Kambatatana Kecamatan Pandawai Kabupaten
Sumba Timur didominasi oleh rumput alam 81 %. Hasil penelitian (Manu, 2013).
menyatakan bahwa sebagian besar hijauan yang ada di padang penggembalaan
alam sabana Timor Barat adalah rumput alam yakni 90% hanya terdapat sedikit
tanaman leguminosa. Kurangnya proporsi leguminosa di padang rumput alam
menyebabkan rendahnya kualitas hijauan.

Padang penggembalaan alam yang ideal antara rumput dan leguminosa adalah 60
% : 40 % (Whiteman, 1980) dan mengacu pada standar yang direkomendasikan
oleh (Crowder & Chheda, 1982), kualitas padang penggembalaan tergolong baik
apabila proporsi antara rumput dan legum sebanyak 3 : 2. Kondisi tersebut
menunjukan bahwa padang penggembalaan di Desa Kambatatana Kecamatan
Pandawai Kabupaten Sumba Timur tidak ideal karena spesies rumput lebih
mendominasi dibandingkan leguminosa. Leguminosa yang cukup dalam suatu
padang peggembalaan sangat diperlukan karena leguminosa memiliki kandungan
nutrisi (protein) yang lebih tinggi dibanding rumput. Gambaran tersebut
menunjukan bahwa padang penggembalaan alam di Desa Kambatatana
Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur masih tergolong rendah
disebabkan karena pemanfaatan padang penggembalan dilakukan secara terus
menerus (continue) tanpa dilakukan istrahat.

Tinggi rendahnya keragaman suatu spesies tanaman, khususnya spesies yang


tergolong palatabel (rumput maupun legum) dapat dijadikan indikator kualitas
suatu padang penggembalaan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa kualitas
hijauan pakan yang dapat ditentukan oleh komposisi botani dalam suatu areal
padang penggembalaan yang dapat mengalami perubahan susunan karena
pengaruh iklim, kondisi tanah,dan pengaruh pemanfaatan oleh ternak. Pendapat
tersebut diperkuat oleh (Muhammad Junaidi & Sawen, 2010) yang menyatakan
bahwa semakin beragam hijauan yang dikonsumsi, maka semakin kecil peluang
ternak kekurangan zat gizi tertentu akibat supplementary effect. Gulma merupakan
salah satu tumbuhan yang kurang disukai oleh ternak dan hanya berfungsi sebagai
pengganggu atau predator dari pertumbuhan rumput dan leguminosa yang ada
pada padang penggembalaan. Semakin berkurangnya ternak yang ada Desa
Kambatatana Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur maka gulma
perlahan meng-invasi padang tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas padang penggembalaan diantaranya adalah

169
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Mengistirahatkan padang penggembalaan tersebut agar memberi kesempatan


legum untuk bertumbuh lebih baik dan Menambah jumlah dan jenis legume pada
padang penggembalaan tersebut serta Mengatur waktu dan jumlah ternak yang
digembalakan pada padang penggembalaan.
Nilai SDR padang penggembalaan Desa Kambatatana Kecamatan Pandawai pada
tabel 2.

Tabel 2. Nilai SDR Pada Padang Penggembalaan Desa Kambatatana Kecamatan


Pandawai
No Jenis/Spesies ∑Km Kn (%) ∑Fm Fn (%) SDR
(%)
1 Rumput 21640 99 80 65,5 81
2 Legun 51 0,3 40 31,25 16
3 Gulma 14 0.7 8 6,26 3
Total 21705 100 128 100 100
Sumber : data primer 2021
Kapasitas tampung
Kapasitas tampung (carrying capacity) adalah kemampuan padang penggembalaan
untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak
yang digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang
penggembalaan untuk menampung ternak per hektar, (Kencana, 2000). Didukung
oleh pendapat (Mulyadi & Yustendi, 2017) yang menyatakan bahwa kapasitas
tampung (carrying capacity) adalah daya tampung padang penggembalaan
(Ha/UT) untuk mencukupi kebutuhan hijauan. Faktor yang menyebabkan kapasitas
tampung padang pengembalaan Desa Kambatatana adalah sistim pemiliharaan
ternak dilepas dengan cara digembalakan sehinga padang tidak produksi hijauan
dengan baik. Selanjutnya Kapasitas tampung (Carrying Capacity) sama dengan
tekanan penggembalaan (stocking rate) optimal Penentuan proper use factor (PUF)
berdasarkan tekanan penggembalaan pada lokasi penelitian cenderung sedang
dengan nilai proper use factor 40 %. Dengan kata lain padang penggembalaan ini
cukup produktif dalam hal produksi hijauan makanan ternak. Didukung oleh
pernyataan (Soltief, 2009). bahwa kapasitas tampung ternak ruminansia dalam
suatu wilayah menunjukkan populasi maksimum ternak potong yang ada di
wilayah tersebut berdasarkan ketersediaan pakan hijauan.

Suatu padang penggembalaan dinyatakan produktif apabila mempunyai daya


tampung lebih dari 0.83 UT/Ha/Tahun untuk satu ekor sapi muda/dewasa. Hal ini
berarti kapasitas tampung pada padang penggembalaan alam di Desa
Kambatatana Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur dikatakan produktif
produktif karena mampu menampung 0.99 UT/Ha/tahun. Hal ini didukung oleh
produksi bahan segar 2,9 ton dan bahan kering hijauan yang tinggi yaitu 24.011,1
Kg/Ha. Hal ini juga didukung oleh pendapat (Rusdin et al., 2009). Yang
menyatakan bahwa daya tampung (carrying capacity) padang penggembalaan
Selanjutnya dijelaskan bahwa umur hewan dan luas pastura juga dapat
mempengaruhi kapasitas tampung. Lebih lanjut (Yusron Alfian, n.d.).
Menyatakan bahwa kapasitas tampung berhubungan erat dengan produktivitas
hijauan pakan pada suatu areal penggembalaan ternak. Makin tinggi produktivitas
hijauan pada suatu areal padang penggembalaan, makin tinggi pula kapasitas

170
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tampung ternak yang ditunjukkan dengan banyaknya ternak yang dapat


digembalakan.

Kesimpulan
Padang penggembalaan alam memiliki Produksi bahan segar yaitu 2.955 atau (2,9
ton/Ha) sedangkan produksi bahan kering yaitu 2.483 kg/Ha atau (2,4 ton/Ha).
Komposisi botani nilai SDR rumput 81%, leguminosa sebesar 16%, dan gulma
3%, Dan Kapasitas tampung 0,99 ST/ha/tahun.
Daftar Pustaka
Crowder, L. V, & Chheda, H. R. (1982). Tropical grassland husbandry. Longman
Group Ltd.
Hae, V. H., Kleden, M. M., & Temu, S. T. (2020). Produksi, komposisi botani dan
kapasitas tampung hijauan pada padang penggembalaan alam awal musim
kemarau. Jurnal Nukleus Peternakan, 7(1), 14–22.
https://doi.org/10.35508/nukleus.v7i1.2299
Hambakodu, M., Pawulung, J. P., Nara, M. C., Amah, U. A. R., Ranja, E. P., &
Tarapanjang, A. H. (2021). Identifikasi Hijauan Makanan Ternak di Lahan
Pertanian dan Padang Penggembalaan Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba
Timur. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Peternakan Tropis, 8(1), 43–50.
https://doi.org/10.33772/jitro.v8i1.14601
Hawolambani, Y. U., Nasiti, H. P., & Manggol, Y. H. (2015). Produksi Hijauan
Makanan Ternak Dan Komposisi Botani Padang Penggembalaan Alam Pada
Musim Hujan Di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. Jurnal
Nukleus Peternakan, 2(1), 59–65.
Junaidi, M, & Sawen, D. (2010). KERAGAMAN BOTANIS DAN KAPASlTAS
TAMPUNG PADANG PENGGEMBALAAN ALAMI KABUPATEN
YAPEN. Jurnal Ilmu Peternakan Dan Veteriner …, 5(2).
https://journal.fapetunipa.ac.id/index.php/JIPVET/article/view/46
Junaidi, Muhammad, & Sawen, D. (2010). Keragaman Botanis Dan Kapasltas
Tampung Padang Penggembalaan Alami Kabupaten Yapen. Jurnal Ilmu
Peternakan Dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Veterinary
Science), 5(2), 92–97.
Kencana, S. (2000). Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis) dan kapasitas
tampung padangan alam Taman Buru Pulau Rumberpon Manokwari. Thesis].
Manokwari: Universitas Cenderawasih.
Mansyur, M., Abdullah, L., Djuned, H., Tarmidi, A. R., & Dhalika, T. (2006).
Pengaruh Interval Pemotongan Rumput Brachiaria humidicola (Rendle)
Schweick terhadap Konsentrasi Amonia dan Asam Lemak Terbang (In Vitro).
Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science), 11(1),
50–56.
Manu, A. E. (2013). Produktivitas padang penggembalaan sabana Timor Barat.
Pastura, 3(1), 25–29.
Matulessy, D. N., & Kastanja, A. Y. (2013). Potensi hijauan bahan pakan ternak
di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. J Agroforestri, 8(4), 266–
293.
Mulyadi, M., & Yustendi, D. (2017). Daya Tampung (Carrying Capacity) Padang
Penggembalaan Ternak Di Kecamatan Jagong Jeget Kabupaten Aceh Tengah.

171
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Jurnal Agriflora, 1(1), 8–17.


Nggalumara, M., Nastiti, H. P., & Osa, D. B. (2019). Komposisi botani dan
produksi hijauan pakan serta kapasitas tampung padang penggembalaan alam
musimkemarau di desa Kambata Wundut Kecamatan Lewa Kabupaten Sumba
Timur. Jurnal Peternakan Lahan Kering, 1(1), 116–122.
Peternakan, J., Pertanian, F., & Tadulako, U. (2009). PRODUKSI DAN
KANDUNGAN NUTRIEN HIJAUAN PADANG PENGGEMBALAAN ALAM DI
KECAMATAN LORE UTARA , Production and Nutrients Composition of
Forages Produced from a Natural Grassland in Lore Utara Subdistrict , Poso
District. 16(4), 296–300.
Priyanto, D. (2016). Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai
sumber ternak sapi potong. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian,
35(4), 167–178.
Rusdin, R., Ismail, M., Mustaring, M., Purwaningsih, S., Andriana, A., & Dewi,
S. U. (2009). Studi potensi kawasan lore tengah untuk pengembangan sapi
potong. Media Litbang Sulteng, 2(2).
Saking, N., & Qomariyah, N. (2017). Identifikasi Hijauan Makanan Ternak
(HMT) Lokal Mendukung Produktivitas Sapi Potong di Sulawesi Selatan. 558–
565. https://doi.org/10.14334/pros.semnas.tpv-2017-p.560-567
Soltief, M. S. (2009). Kajian Kawasan Sapi Potong di Kabupaten Raja Ampat
Provinsi Papua Barat.
Susetyo, S. (1980). Padang penggembalaan. Departemen Ilmu Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tana, D. N., Nastiti, H. P., & Temu, S. T. (2015). Komposisi Botani dan Produksi
Hijauan Makanan Ternak Musim Hujan pada Padang Penggembalaan Alam
Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Jurnal Nukleus
Peternakan, 2(2), 144–151.
Whiteman, P. C. (1980). Tropical pasture science. Oxford Univ. Press.

172
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KOMPOSISI BOTANI DAN KAPASITAS TAMPUNG PADANG


PENGGEMBALAAN ALAM KELURAHAN KAWANGU KECAMATAN
PANDAWAI KABUPATEN SUMBA TIMUR

Jeni A. P. Pawulung1,*, I Made Adi Sudarma1, Marselinus Hambakodu1


1
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: adrianajeni853@gmail.com

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui produksi, komposisi botani dan kapasitas
tampung padang penggembalaan alam Kelurahan Kawangu, Kecamatan
Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli –
September 2021. Penelitian ini menggunakan metode survei, pengukuran serta
pengamatan langsung dilapangan. Pengukuran produksi hijauan dilakukan dengan
menggunakan metode “actual weight estimate” dengan menggunakan kuadran 1
m x 1 m. Data yang diperoleh ditabulasi dan dihitung untuk mendapatkan total
produksi hijauan makanan ternak, komposisi botani dan kapasitas tampung . Hasil
penelitian menujukan bahwa padang penggembalaan alam Kelurahan Kawangu,
Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur memiliki produksi bahan segar
sebesar 2.667 kg/ha atau 2,6 ton/ha, Produksi bahan kering 1.990 kg/ha atau 1,9
ton/ha. Nilai Summed Domminance Ratio (SDR) rumput sebesar 88,23%,
leguminosa sebesar 6,44%, dan gulma sebesar 5,33%, serta memiliki kapasitas
tampung sebesar 0,9 UT/ha. Kesimpulan, padang penggembalaan alam di
Kelurahan Kawangu didominasi oleh rumput alam dengan kapasitas tampung
yang rendah pada musim kemarau.

Kata Kunci: komposisi botani, kapasitas tampung, produksi hijauan, padang


penggembalaan

Pendahuluan
Hijauan makanan ternak (HMT) merupakan bagian tanaman terutama rumput dan
leguminosa yang digunakan sebagai pakan ternak. Hijauan adalah bagian tanaman
yang dapat dimakan yang diberikan dengan cara menggembalakan ternak maupun
di panen untuk di berikan langsung pada ternak, hal ini mengakibatkan
ketersediaan hijauan baik jumlah maupun kualitas menjadi sangat terbatas pada
musim kemarau, sehingga ketersediaan hijauan makanan ternak tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan sepanjang tahun (Manu, 2014). Kelurahan Kawangu
memiliki luas wilayah sebesar 5.400 Ha, dengan populasi ternak yakni sapi
Sumba Ongole 1.278 ekor, kerbau 334 ekor, kuda 1.170 ekor, kambing / domba
859 ekor, sebagian besar jumlah penduduk 4.642 di Kelurahan Kawangu,
Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur memiliki pekerjaan sebagai
petani dan peternak (BPS, 2020).

Padang penggembalaan alam secara kontinyu akan menurun sesuai dengan


perubahan musim (Kleden et al., 2015). Hijauan makanan ternak pada padang
penggembalaan akan mempengaruhi produksi secara kuantitas kontinuitas dan

173
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kualitas yang disebabkan oleh kondisi ikim terutama curah hujan yang rendah dan
suhu yang tinggi. Tingkat penyerapan unsur hara oleh tanaman sangat terbatas
karena produksi hijauan pada padang penggembalaan alam dipengaruhi oleh curah
hujan yang relatif rendah. Permasalahan inilah yang dapat dilihat secara nyata
pada padang penggembalaan alam dengan tingkat produksi pakan ternak yang
rendah (Sutrisna et al., 2014). Disisi lain proses fotosintesis akan terganggu
sedangkan respirasinya meningkat akibat dari peningkatan suhu yang melampaui
batas toleransi. Strategi yang dapat dilakukan untuk meningatkan populasi ternak
ruminansia yang digembalakan pada padang penggembalaan alam adalah dengan
memperbaiki produksi hijauan makanan ternak dan komposisi botani sehingga
meningktkan kaualitas padang penggembalaan alam serta pengaturan ternak pada
padang penggembalaan alam sesuai dengan kapasitas tampung hijauan makanan
ternak (Hawolambani et al., 2015).

Ketersedian hijauan baik kualitas maupun jumlah menjadi terbatas saat musim
kemarau, sehingga ketersediaan hijauan makanan ternak sepanjang tahun tidak
memenuhi kebutuhan ternak (Infitria & Khalil, 2014). Demikian pula dengan
hubungan antara padatnya ternak yang di pelihara dengan ketersedian pakan
hijauan cenderung berbanding terbalik sehingga produksi hijauan yang terdapat
pada padang penggembalaan alami tersebut tidak mencukupi kebutuhan ternak
yang digembalakan, Padang penggembalaan alam menyediakan hijauan berupa
leguminosa dan rumput sebagai sumber pakan utama pada ternak ruminansia
(Indriani et al., 2020). Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan untuk
menjaga ketersediaan hijauan pakan secara kontinyu baik dari segi kuantitatif dan
kualitatif ialah dengan memanfaatkan hijauan yang tumbuh alami pada padang
penggembalaan alam. Potensi produksi hijauan pakan dipadang penggembalaan
alam dapat dihitung berdasarkan luas areal dari padang penggembalaan alam itu
sendri (Edi, 2020). Berdasarkan beberapa masalah yang ada maka perlu adanya
kajian tentang komposisi botani dan kapasitas tampung padang penggembalaan
alam di Kelurahan Kawangu, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur.

Metode
Penelitian menggunakan metode survey, pengukuran dan pengamatan langsung di
lapangan.

Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kawangu, Kecamatan Pandawai, Kabupaten
Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Juli - september 2021.

Analisis data
Data primer yang diperoleh ditabulasi dihitung untuk mendapatkan persentase
komposisi botani dan rata – rata produksi hijauan makanan ternak serta kapasitas
tampung, data tersebut di analisis menggunakan analisis deskriptif. Sedangkan
data sekunder di hitung dan di tabulasi untuk mendapatkan rata – rata sesuai
dengan kebutuhan hasil penelitian.

174
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil dan Pembahasan


Produksi Hijauan Makanan Ternak
Hijauan pakan merupakan salah satu bahan makanan ternak yang sangat
diperlukan dan besar manfaatnya bagi kelangsungan populasi ternak besar.
Produksi hijauan pakan sepanjang tahun berbeda-beda tergantung pada musim.
Pada musim hujan produksi hijauan pakan berlimpah, sedangkan pada musim
kemarau produksinya berkurang (Hanafi et al., 2017). Produksi hijauan makan
ternak semua bentuk bahan pakan berasal dari tanaman atau rumput termasuk
leguminosa baik yang belum dipotong maupun yang dipotong dari lahan dalam
keadaan segar (Sudrajat, 2019). Produksi bahan segar dan bahan kering hijauan
pakan adalah fungsi faktor eksternal berupa tanah dan iklim dan faktor internal
jenis tanaman merupakan sumber pakan utama ternak ruminansia sehingga
ketersediaan pakan baik dari segi kualitatif, kuantitas dan secra kesenambungan
sepanjang tahun perlu diperhatiakan. Dari segi kualitas perubahan musim antara
musim kemarau dan musim hujan akan mengakibatkan perubahan nilai gizi
rumput (Hae et al., 2020). Dengan ini dipengaruhi oleh kandungan nilai gizi
rumput yang berasal dari unsur hara dalam tanah. Hasil penelitian ini dapat
diperoleh bahwa dari padang penggembalaan Kelurahan Kawangu, Kecamatan
Pandawai, Kabupaten Sumba Timur memiliki produksi bahan kering dan segar
hijauan pakan awal musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-Rata Produksi Bahan Segar dan Bahan Kering Hijauan Pakan
Padang Penggembalaan (Kg/Ha)

Komposisi Botani Produksi Bahan Segar Produksi Bahan


Kering
Rumput 2.485,65 kg 1.855,4 kg

Legum 181,43 kg 135,43 kg

Total 2.667 kg/ha 1.990 kg/ha

Pada tabel 2 menjelaskan bahwa produksi dari bahan segar hijauan pakan pada
musim kemarau dilokasi penelitian cukup tinggi yaitu 2.667 kg/ha atau 2,6 ton/ha,
sedangkan produksi bahan kering 1.990 kg/ha atau 1,9 ton/ha. Produksi hijauan
yang cukup tinggi dipengaruhi oleh nilai komposisi botani padang penggembalaan
yang didominasi oleh rumput. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan
rumput alam dipadang penggembalaan berupa kondisi tanah, kelembaban, suhu,
musim, dan topografi lahan (Hambakodu et al., 2021). Selain itu juga
pertumbuhan rumput alam dipengaruhi oleh fenologik tanaman dan ketersediaan
air (Sari et al., 2016). Pergantian musim kemarau dan msuim hujan memberikan
dampak yang negatif terhadap kuantitas dan kualitas hijauan pakan ternak yang
tersedia di padang penggembalaan alam. Kecepatan proses fotosintesis akan
berkurang yang akan mempengaruhi kualitas dan produksi tanaman yang
disebabkan oleh suhu yang melampaui kebutuhan dalam proses fotosintesis
(Karsono, 2014).

175
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Komposisi botani
Komposisi botani merupakan suatu metode yang digunakan untuk
menggambarkan adanya spesies tumbuhan tertentu serta proporsinya di dalam
suatu ekosistem pandangan (Se’u et al., 2015). Komposisi botani adalah angka
yang digunakan untuk menentukan peniliaian secara kualitatif terhadap padang
penggembalaan alam yang dapat mempengaruhi aktivitas ternak (Putra et al.,
2018). Komposisi botani dari padang penggembalaan Kelurahan Kawangu dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai SDR Pada Padang Penggembalaan Awal Musim Kemarau


No Jenis/Spesies Km Kn Fm Fn SDR
(%) (%) (%)
1 Rumput 21.970 99,52 80 76,93 88,23
2 Leguminosa 84 0,38 13 12,5 6,44
3 Gulma 26 0,10 11 10,57 5,33
Total 22.080 100 104 100 100

Berdasarkan Tabel 2, Padang penggembalaan Kelurahan Kawangu didominasi


oleh rumput yakni 88,22%, leguminosa sebesar 6,44% dan gulma 5,33%.
Tanaman leguminosa kurang menyebabkan tidak idealnya padang
penggembalaan dalam mnyediakan hijauan makanan ternak. Padang
penggembalaan alam yang ideal memiliki proporsi legum dan rumput yaitu 40%
: 60%. Komposisi botani dipengaruhi oleh produksi hijauan makanan ternak
(Nggalumara et al., 2019). Untuk menentukan keadaan kualitas hijauan pakan
ternak pada suatu padang penggembalaan alam leguminosa dapat dijadikan
sebagai indikator. Proporsi legumninosa yang rendah menyebabkan rendahnya
kualitas padang penggembalaan. Menurut Sawen et al., (2020) leguminosa
mempunyai fungsi yang sangat penting dalam penyediaan nitogen melalui fiksasi
N yang dapat digunakan oleh rumput alam. Tinggi rendahnya keragaman jenis
tanaman yang tergolong khusus palatabel akan dijadikan sebagai indikator
penentuan suatu kualitas padang penggembalaan dengan asumsi bahwa hijauan
pakan yang dikonsumsi semakin beragam dengan demikian kekurangan zat gizi
ternak semakin kecil. Kualitas nutrisi rumput alam di padang penggembalan
Kecamatan Pandawai berbeda-beda sesuai dengan spesies rumput (Hambakodu,
2021), selain itu nilai produk metabolism rumen akan berbeda-beda (Ranja et al.,
2021).

Kapasitas Tampung
Kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak
per hektar merupakan pengertian dari kapasitas tampung (Junaidi & Sawen,
2010). Berdasarkan hasil penelitian padang penggembalaan alam di Kelurahan
Kawangu memiliki kapasitas tampung sebesar 0,9 ST/ha/tahun. Hasil yang
didapatkan dari penelitian diestimasi berdasarkan hasil pengukuran dari berat
hijauan pakan yang didapatkan selama pengambilan data yang diestimasi dengan
menggunakan rumus voision (Y - ) s = r dimana Y = kebutuhan luas tanah
pertahun terhadap kebutuhan perbulan sedangkan s = periode merumput (30 hari)
dan r = periode istrahat (30 hari). Faktor yang mempengaruhi kapasitas tampung
adalah produksi bahan kering dan komposisi botani hijauan dipadang

176
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

penggembalaan alam. Produksi hijauan pakan ternak pada suatu areal padang
penggembalaan alam berhubungan erat dengan kapasitas tampung. Semakin
meningkatnya produktivitas hijauan pakan pada suatu lahan padang
penggembalaan, maka semakin tinggi pula kapasitas tampung ternak yang di
tunjukan dengan banyakya ternak yang dapat di gembalakan (Saiya & Praptiwi,
2019).

Kesimpulan
Padang penggembalaan alam Kelurahan Kawangu memiliki komposisi botani
yang didominasi oleh rumput alam 88,23%, leguminosa 6,44%, dan gulma
5,33%, serta memiliki kapasitas tampung 0,9 ST/ha/tahun.

Daftar Pustaka
Edi, D. N. (2020). Analisis Potensi Pakan untuk Pengembangan Ternak
Ruminansia di Provinsi Jawa Timur Analysis of Feed Potency for
Development of Ruminant Livestock in East Java Province. Jurnal Sains
Peternakan Indonesia, 15(3), 251–258.
Hae, V. H., Kleden, M. M., & Temu, S. T. (2020). Produksi, komposisi botani dan
kapasitas tampung hijauan pada padang penggembalaan alam awal musim
kemarau. Jurnal Nukleus Peternakan, 7(1), 14–22.
https://doi.org/10.35508/nukleus.v7i1.2299
Hambakodu, M., Pawulung, J. P., Nara, M. C., Amah, U. A. R., Ranja, E. P., &
Tarapanjang, A. H. (2021). Identifikasi Hijauan Makanan Ternak di Lahan
Pertanian dan Padang Penggembalaan Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba
Timur. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Peternakan Tropis, 8(1), 43–50.
https://doi.org/10.33772/jitro.v8i1.14601
Hanafi, N. D., Tafsin, M., Lumbangaol, R., & Mirwandhono, R. E. (2017).
Potensi produksi hijauan pada pastura alami di pulau samosir kabupaten
samosir. 4(2), 130–139.
Hawolambani, Y. U., Nasiti, H. P., & Manggol, Y. H. (2015). Produksi Hijauan
Makanan Ternak Dan Komposisi Botani Padang Penggembalaan Alam Pada
Musim Hujan Di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. Jurnal
Nukleus Peternakan, 2(1), 59–65.
Indriani, N. P., Rochana, A., Mustafa, H. K., Ayuningsih, B., Hernaman, I.,
Rahmat, D., & Mansyur, K. A. K. (2020). Pengaruh Berbagai Ketinggian
Tempat terhadap Kandungan Fraksi Serat pada Rumput Lapang sebagai Pakan
Hijauan The Effect of Various Altitudes on Field Grass Forage Fiber Fraction
Content. 212–218.
Infitria, & Khalil. (2014). Studi Produksi Dan kualitas Hijauan Dilahan Padang
Rumput Upt peternakan Universitas Andalas. Buletin Makanan Ternak, 101(1),
25–33.
Karsono. (2014). Nyanyian Melintas Zaman : Kajian Musikalitas Lagu Anak-anak
Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia. 2, 3–4.
Kleden, M. M., Ratu, M. R. ., & Randu, M. D. . (2015). Kapasitas Tampung
Hijauan Pakan Dalam Areal Perkebunan Kopi Dan Padang Rumput Alam Di
Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur. Zootec, 35(2), 340.
https://doi.org/10.35792/zot.35.2.2015.9274
Manu, A. E. (2014). Produktivitas Padang Penggembalaan Sabana Timor Barat.

177
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pastura: Journal of Tropical Forage Science, 3(1), 25–29.


https://doi.org/10.24843/Pastura.2013.v03.i01.p07
Sari, A., Liman, L., & Muhtarudin, M. (2016). Potensi Daya Dukung Limbah
Tanaman Palawija Sebagai Pakan Ternak Ruminansia Di Kabupaten
Pringsewu. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 4(2), 233305.
https://doi.org/10.23960/jipt.v4i2.1260
Sudrajat, A. S. E. (2019). Pengelolaan ekosistem gambut sebagai upaya mitigasi
perubahan iklim di provinsi kalimantan selatan. 16(2), 219–237.
Sutrisna, R., Afrizal, & Muhtarudin. (2014). Forage Production of Ruminants in
Bumi Agung District East Lampung Regency. Jurnal Unila, 1, 93–100.
Edi, D. N. (2020). Analisis Potensi Pakan untuk Pengembangan Ternak
Ruminansia di Provinsi Jawa Timur Analysis of Feed Potency for
Development of Ruminant Livestock in East Java Province. Jurnal Sains
Peternakan Indonesia, 15(3), 251–258.
Hae, V. H., Kleden, M. M., & Temu, S. T. (2020). Produksi, komposisi botani dan
kapasitas tampung hijauan pada padang penggembalaan alam awal musim
kemarau. Jurnal Nukleus Peternakan, 7(1), 14–22.
https://doi.org/10.35508/nukleus.v7i1.2299
Hambakodu, M., Pawulung, J. P., Nara, M. C., Amah, U. A. R., Ranja, E. P., &
Tarapanjang, A. H. (2021). Identifikasi Hijauan Makanan Ternak di Lahan
Pertanian dan Padang Penggembalaan Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba
Timur. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Peternakan Tropis, 8(1), 43–50.
https://doi.org/10.33772/jitro.v8i1.14601
Hanafi, N. D., Tafsin, M., Lumbangaol, R., & Mirwandhono, R. E. (2017).
Potensi produksi hijauan pada pastura alami di pulau samosir kabupaten
samosir. 4(2), 130–139.
Hawolambani, Y. U., Nasiti, H. P., & Manggol, Y. H. (2015). Produksi Hijauan
Makanan Ternak Dan Komposisi Botani Padang Penggembalaan Alam Pada
Musim Hujan Di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. Jurnal
Nukleus Peternakan, 2(1), 59–65.
Indriani, N. P., Rochana, A., Mustafa, H. K., Ayuningsih, B., Hernaman, I.,
Rahmat, D., & Mansyur, K. A. K. (2020). Pengaruh Berbagai Ketinggian
Tempat terhadap Kandungan Fraksi Serat pada Rumput Lapang sebagai Pakan
Hijauan The Effect of Various Altitudes on Field Grass Forage Fiber Fraction
Content. 212–218.
Infitria, & Khalil. (2014). Studi Produksi Dan kualitas Hijauan Dilahan Padang
Rumput Upt peternakan Universitas Andalas. Buletin Makanan Ternak, 101(1),
25–33.
Karsono. (2014). Nyanyian Melintas Zaman : Kajian Musikalitas Lagu Anak-anak
Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia. 2, 3–4.
Kleden, M. M., Ratu, M. R. ., & Randu, M. D. . (2015). Kapasitas Tampung
Hijauan Pakan Dalam Areal Perkebunan Kopi Dan Padang Rumput Alam Di
Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur. Zootec, 35(2), 340.
https://doi.org/10.35792/zot.35.2.2015.9274
Manu, A. E. (2014). Produktivitas Padang Penggembalaan Sabana Timor Barat.
Pastura: Journal of Tropical Forage Science, 3(1), 25–29.
https://doi.org/10.24843/Pastura.2013.v03.i01.p07
Sari, A., Liman, L., & Muhtarudin, M. (2016). Potensi Daya Dukung Limbah

178
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tanaman Palawija Sebagai Pakan Ternak Ruminansia Di Kabupaten


Pringsewu. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 4(2), 233305.
https://doi.org/10.23960/jipt.v4i2.1260
Sudrajat, A. S. E. (2019). Pengelolaan ekosistem gambut sebagai upaya mitigasi
perubahan iklim di provinsi kalimantan selatan. 16(2), 219–237.
Sutrisna, R., Afrizal, & Muhtarudin. (2014). Forage Production of Ruminants in
Bumi Agung District East Lampung Regency. Jurnal Unila, 1, 93–100.

179
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PRODUKSI, KOMPOSISI BOTANI DAN KAPASITAS TAMPUNG


PADANG PENGGEMBALAAN DESA PALAKAHEMBI KECAMATAN
PANDAWAI

Merry Christine Nara1,*, Marselinus Hambakodu1, Denisius Umbu Pati1


1
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: merrychristinen@gmail.com

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui produksi, komposisi botani, dan kapasitas
tampung padang penggembalaan alam Desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai
Kabupaten Sumba Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September
2021. Penelitian ini menggunakan metode survey, pengukuran serta pengamatan
langsung di lapangan. Pengukuran produksi hijauan di lakukan dengan
menggunakan metode “Actual Weight Estimate” dengan menggunakan kuadran 1
m x 1 m. Data yang di peroleh ditabulasi dan di hitung untuk mendapatkan total
produksi hijauan makanan ternak, komposisi botani dan kapasitas tampung. Hasil
penelitian menunjukan bahwa padang penggembalaan alam Desa Palakahembi,
Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur memiliki produksi bahan segar
sebesar 2.465,75 kg/ha (2,4 ton/ha) dan produksi bahan kering 1.741,25 kg/ha (1,7
ton/ha), nilai Summed Domminance Ratio (SDR) rumput 84,34%, leguminosa
10,31%, gulma 5,35%, serta memiliki kapasitas tampung sebesar 0,9 UT/Ha.
Kesimpulan, padang penggembalaan di Desa Palakahembi Kecamatan Pandawai
lebih di dominansi oleh rumput alam dengan kapasitas tampung yang rendah.

Kata Kunci: produksi, komposisi botani, kapasitas tampung, padang


penggembalaan

Pendahuluan
Padang penggembalaan adalah tempat atau lahan yang ditanami rumput unggul
atau legume(jenis rumput/legum yang tahan terhadap makanan ternak) yang
digunakan untuk menggembalakan ternak (Hawolambani et al., 2015).
Ketersediaan pakan yang tersebar di area padang penggembalaan alam memiliki
hubungan erat dengan sistem pemeliharaan ternak. Kecamatan Pandawai yang
memiliki luas lahan padang penggembalaan 10.000 Ha dan lebih khususnya di
Desa Palakahembi seluas 41,260 Ha. Sebagian besar penduduk di Kecamatan
tersebut bekerja sebagai petani dan peternak peternak (Sumba Timur dalam angka
2020). Hal tersebut didukung dari jumlah populasi ternak yakni, sapi 1.620 ekor,
kerbau 493, kuda 969 ekor, kambing/domba 3.147 ekor. Populasi ternak gembala
yang di gambarkan pada data tersebut tentunya memiliki dampak terhadap
produktifitas padang penggembalaan. Oleh karena itu, untuk menunjang
keberadaan ataupun populasi dari ternak- ternak tersebut, maka diperlukan
pemanfaatan area padang penggembalaan secara bijak demi keberlangsungan
hijauan pakan bagi ternak tersebut (Dinas Peternakan Sumba Timur). Salah satu
permasalahan yang di hadapi dalam upaya peningkatan produksi lahan padang
penggembalaan adalah konversi lahan subur yang semakin cepat. Sebagai contoh,

180
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

lahan padang penggembalaan yang beralih penggunannya untuk keperluan non


pertanian seperti industri, permukiman, jalan dan lain-lain. Jeneponto, Firman
Sutomo). Pada wilayah lahan subur tersebut pada umumnya telah tersedia
infrastruktur yang memadai sehingga sangat mempengaruhi produksi padang
penggembalaan seperti ketersediaan hijauan sebagai pakan utama yang di gunakan
sebagai pakan ternak ruminansia. Kualitas dan kuantitas hijauan perlu
diperhatikan dan dipertahankan untuk menghindari fluktuasi jumlah produksinya
sepanjang tahun, yang berpengaruh terhadap produktifitas dari ternak, sehingga
mengakibatkan turunnya pertumbuhan ternak. (Sumber:Produktivitas Padang
Penggembalaan Sabana Timor Barat, Arnold E. Manu).Pemanfaatan padang
penggembalaan alam sebagai sumber pakan hijauan sudah lama dilakukan oleh
peternak kecil di pedesaan, namun kenyataannya pemeliharaan ternak ruminansia
dengan sistem pemeliharaan cenderung memperlihatkan bahwa produksi yang
dihasilakan rendah. Hijauan makanan ternak memegang peran penting bagi ternak
ruminansia, besar sumbangan hijauan bagi ternak ruminansia 70% atau bisa
mencapai 100% (Sutrisna et al., 2014). Komposisi botani padang penggembalaan
alam dapat diketahui level pendeteksian komposisi komponen rumput, legum dan
gulma. Komposisi botani juga dapat digunakan sebagai indikator terjadinya
gangguan pada komunitas vegetasi dengan cara melakukan pengamatan terhadap
pola-pola penyebaran vegetasi didalam komunitas (Kadarwati, 2016). Padang
penggembalaan alam dan komposisi botani sekitar 82-87% rumput, 1% legum dan
hijauan yang dapat di konsumsi dan 12-17% hijauan lain yang tidak dapat di
konsumsi ternak. (Sumber: Komposisi Botani dan Persebaran Jenis – Jenis
Hijauan Lokal Padang Penggembalaan Alam di Papua Barat. Onesimus Yoku,et
all). Kapasitas tampug padang penggembalaan mencerminkan keseimbangan
antara hijauan pakan yang tersedia dengan jumlah satuan ternak yang di
gembalakan di dalamnya persatuan waktu. Penentuan tekanan penggembalaan
berdasarkan produksi ternak merupakan metode yang paling tepat menghasilkan
gambaran kapasitas tampung optimum yang lebih tepat dari suatu padang
penggembalaan. (Sumber: Produksi Hijauan Makanan Ternak Dan Komposisi
Botani Padang Penggembalaan Alam Pada Musim Hujan Di Kecamatan Amarasi
Barat Kabupaten Kupang, Yulius Uli Hawolambani, et, all.). Untuk mengatasi
masalah diatas, maka diperlukan pemanfaatan lahan padang penggembalaan
tersebut secara bijak dengan cara melakukan pembudidayaan hijauan pakan
dengan produksi yang tinggi, dengan terlebih dahulu memperhatikan kondisi
maupun unsur yang terkandung pada padang penggembalaan yang di maksud,
guna menunjang keberlangsungan dan keberadaan hijauan yang berkualitas demi
menjamin terpenuhinya kebutuhan pakan bagi aktivitas beternak maupun
peternakan di Desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur.
Tujuan dari komposisi botani yaitu untuk menentukan penelitian secara kualitas
terhadap padang rumput atau padang penggembalaan alam yang dapat
mempengaruhi aktivitas ternak. (Farizaldi, 2011). Pada Penelitian ini, Analisa
komposisi botani diperlukan untuk mengetahui kondisi pastura yang dapat
mempengaruhi produksi dan kualitas hijauan yang dihasilkan. Analisa komposisi
botani tersebut dilakukan secara manual dengan melihat secara langsung
komposisi botani yang ada di suatu pastura atau dengan melakukan perhitungan.
Selain dilihat dari komposisi botani, kualitas dan kuantitas hijauan dapat dilihat
dari produksi, kandungan serta kapasitas tampung pada padang penggembalaan

181
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ternak. Berdasarkan hal yang menjadi latar belakang diatas, maka peneliti tertarik
untuk mengambil penelitian dengan judul Produksi, Komposisi Botani dan
Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan Di Desa Palakahembi Kecamatan
Pandawai dan penelitian ini telah di laksanakan dan telah di teliti.

Metode
Metode penelitian menggunakan metode survei. Survei dilakukan langsung pada
padang penggembalaan di Desa Palakahembi Kecamatan Pandawai Kabupaten
Sumba Timur.

Lokasi penelitian
Penelitian ini akan di laksanakan pada Juli 2021 – Agustus 2021 di Desa
Palakahembi Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Timur.

Analisis data
Semua data primer yang diperoleh ditabulasi dan dihitung untuk mendapatkan
persentase komposisi botani dan rata-rata produksi bahan segar dan bahan kering
hijauan serta kapasitas tampung, selanjutnya dianalisisi menggunakan metode
deskriptif.

Hasil dan Pembahasan


Produksi Hijauan Makanan Ternak
Hijauan pakan merupakan salah satu bahan makanan ternak yang sangat
diperlukan dan besar manfaatnya bagi kelangsungan populasi ternak besar.
Kebutuhan akan hijauan pakan ini akan semakin bertambah sesuai dengan
populasi ternak yang ada. Kebutuhan akan hijauan pakan ini akan semakin
bertambah sesuai dengan populasi ternak yang ada. Produksi hijauan pakan
sepanjang tahun berbeda-beda tergantung pada musim. Pada musim hujan
produksi hijauan pakan berlimpah, sedangkan pada musim kemarau produksinya
berkurang. Produksi bahan segar dan bahan kering hijauan pakan merupakan
fungsi dari faktor internal spesies tanaman dan faktor eksternal berupa tanah dan
iklim dan merupakan sumber pakan utama ternak ruminansia. Dari hasil
penelitian dapat diketahui bahwa pada padang penggembalaan di Desa
Palakahembi, Kecamatan Pandawai Kabupaten Sumba Timur memiliki produksi
bahan segar dan bahan kering hijauan pakan awal musim kemarau dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata produksi Bahan Segar dan Bahan Kering Hijauan Pakan Padang
Penggembalaan (Kg/Ha)
Komposisi Botani Produksi Hijauan segar Produksi Bahan Kering
Rumput 207,961 kg/ha 1.468,57 kg

Legum 254,218 kg/ha 179,52 kg

Total 462,179 kg/ha 1.648,09 kg

182
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Dari Tabel 1 menggambarkan bahwa produksi bahan segar hijauan pakan pada
awal musim kemarau di kawasan penelitian yaitu 462,179 kg/ha atau 4,6 ton/ha
sedangkan produksi bahan kering 1.648,09 kg/ha atau 1,6 ton /ha (Hae et al.,
2020). Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman
pakan selain faktor tanaman itu sendiri. Pergantian musim hujan dan musim
kemarau memberikan pengaruh yang negatif terhadap kualitas dan kuantitas
hijauan pakan yang tersedia di padang penggembalaan alam. Makin tinggi
produktifitas hijauan pada suatu areal padang penggembalaan alam, makin tinggi
pula kapasitas tampung ternak yang di tunjukan dengan banyaknya ternak yang
dapat di gembalakan (Tropik et al., 2017). Disisi lain, untuk mempertahankan
produktifitas hijauan pada padang penggembalaan adalah mengendalikan atau
mengatur jumlah ternak yang di gembalakan pada padang penggembalaan
tersebut. Kurangnya produksi hijauan makanan ternak pada padang
penggembalaan alam pada lokasi penelitian juga di sebabkan oleh kondisi iklim
yang relatif singkat, sedangkan pada umumnya peternak yang ada di lokasi
penelitian menguntungkan ketersediaan hijauan makanan ternak pada musim
hujan yang berasal dari alam (Putra et al., 2018).

Komposisi Botani
Komposisi botani merupakan angka yang di gunakan untuk menentukan penilaian
secara kualitatif terhadap padang penggembalaan alam yang dapat mempengaruhi
aktifitas ternak (Botani et al., 2015). Komposisi botani pada padang
penggembalaan di Desa Palakahembi Kecamatan Pandawai di dominasikan oleh
rumput alam yang di ikuti gulma dan legum. Kondisi tersebut menunjukan bahwa
padang penggembalaan dikawasan ini tidak ideal disebabkan kurangnya
persentasi legum, (Whiteman 1980). Berdasarkan dari hasil penelitian pada
padang penggembalaan di Desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai, Kabupaten
Sumba Timur di peroleh data Komposisi botani dari padang rumput. Hasil
perhitungannya dapat
dilihat pada table 2 .

Table 2 Nilai SDR Pada Padang Penggembalaan Awal Musim Kemarau


Jenis/spesies ∑km Kn ∑fm Fn SDR

Rumput 23,652 99,11% 80 69,57% 84,34


Leguminosa 148 0,62% 23 20% 10,31
Gulma 66 0,27% 12 10,43% 5,35
Total 23.866 100 % 115 100% 100%

Berdasarkan pada table 3 di atas padang penggembalaan Desa Palakahrmbi,


Kecamatan Pandawai, Kabupaten Suma Timur didominasi oleh rumput yakni
84,34%, leguminosa 10,31%, gulma 5,35%. Tanaman leguminosa kurang ideal
pada padang penggembalaan dalam menyediakan hijauan makanan ternak.
Komposisi botani dipengaruhi oleh produksi hijauan makanan ternak. Tinggi
rendanya keragaman spesies tanaman, khususnya spesies yang tergolong pada
tabel (rumput maupun legume) yang dijadikan indikator kualitas suatu padang
penggembalaan. (Botani et al., 2015).

183
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kapasitas tampung
Kapasitas tampung (Carrying Capacity) adalah kemampuan padang
penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan
oleh sejumlah ternak yang digembalakan dalam satuan luasan tertentu
kemampuan padang penggembalaan untuk menampung ternak per hektar (Hae et
al., 2020). Dengan kata lain, padang penggembalaan ini cukup produktif dalam
hal produksi HMT. Menurut (Soltief 2009) menyatakan bahwa kapasitas tampung
ternak ruminansia dalam suatu wilayah yang menunjukkan populasi maksimum
ternak sapi potong yang ada di Desa Palakahembi, Kecamatn Pandawai
berdasarkan ketersediaan pakan hijauan. (farizaldi, 2011). Makin tinggi
produktifitas hijauan pada suatu areal padang penggembalaan, makin tinggi pula
kapasitas tampung ternak yang di tujukkan dengan banyaknya ternak yang dapat
di gembalakan

Kesimpulan
Padang penggembalaan alam Desa Palakahembi memiliki produksi bahan kering
sebesar 2.465,75 kg/ha ( 2,4 ton/ha). Komposisi botani rumput, leguminosa, dan
gulma di kawasan penelitian pada awal musim kemarau, lebih didominasi oleh
rumput.

Daftar Pustaka
Akbar, R., & Agung Kusuma Wijaya, dan. (2017). Evaluation of Botanical
Composition and Nutrient of Grass in Swamp of Menggala Sub-District Tulang
Bawang Regency. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 5(3), 72–76.
Botani, K., Persebaran, D. A. N., & Lokal, J. H. (2015). Komposisi Botani Dan
Persebaran Jenis-Jenis Hijauan Lokal Padang Pengembalaan Alam Di Papua
Barat. Pastura: Journal of Tropical Forage Science, 4(2), 62–65.
https://doi.org/10.24843/Pastura.2015.v04.i02.p02
Farizaldi, F. (2011). Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Pada Lahan
Perkebunan Kelapa Sawit Berbagai Kelompok Umur Di Ptpn 6 Kabupaten
Batanghari Propinsi Jambi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 0(0), 68–73.
https://doi.org/10.22437/jiiip.v14i2.866
Hae, V. H., Kleden, M. M., & Temu, S. T. (2020). Produksi, komposisi botani dan
kapasitas tampung hijauan pada padang penggembalaan alam awal musim
kemarau. Jurnal Nukleus Peternakan, 7(1), 14–22.
https://doi.org/10.35508/nukleus.v7i1.2299
Hawolambani, Y. U., Nasiti, H. P., & Manggol, Y. H. (2015). Produksi Hijauan
Makanan Ternak Dan Komposisi Botani Padang Penggembalaan Alam Pada
Musim Hujan Di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. Jurnal
Nukleus Peternakan, 2(1), 59–65.
Jarmani, sri nastiti, & Haryanto, B. (2015). Memperbaiki Produktivitas Hijauan
Pakan Ternak Untuk Menunjang Kapasitas Padang Pengembalaan Kerbau di
Kabupaten Kampar, Riau. Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Pastura,
4(2), 95–99.
Kadarwati. (2016). Evaluasi Kesuburan Tanah untuk Pertanaman Tebu di
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Jurnal Littri, 22(2), 53–62.
Kleden, M. M., Ratu, M. R. ., & Randu, M. D. . (2015). Kapasitas Tampung

184
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hijauan Pakan Dalam Areal Perkebunan Kopi Dan Padang Rumput Alam Di
Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur. Zootec, 35(2), 340.
https://doi.org/10.35792/zot.35.2.2015.9274
Putra, R. K., Nastiti, H. P., & Manggol, Y. H. (2018). Komposisi Botani Dan
Produksi Hijauan Makanan Ternak Padang Penggembalaan Alam Di Desa
Letneo Kecamatan Insana Kabupaten TTU. Nukleus Peternakan, 5(1), 42–48.
Siba, F. G., Suarna, I. W., & Suryani, N. N. (2014). Evaluasi Padang
Penggembalaan Alami Maronggela. Majalah Ilmiah Peternakan, 20(1), 1–4.
Sutrisna, R., Afrizal, & Muhtarudin. (2014). Forage Production of Ruminants in
Bumi Agung District East Lampung Regency. Jurnal Unila, 1, 93–100.
Tropik, J. P., Hanafi, N. D., Mirwandhono, R. E., Studi, P., Fakultas, P.,
Universitas, P., & Utara, S. (2017). Potensi produksi hijauan pada pastura
alami di pulau samosir kabupaten samosir. 4(2), 130–139.

185
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PENAMBAHAN ADITIF DENGAN LEVEL BERBEDA


TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN KECERNAAN
BAHAN ORGANIK SILASE SECARA IN VITRO TEBON JAGUNG (Zea
mays L.)

Ahmad Hafidz Alfiansyah1, Asri Nurul Huda1, Hartutik1,*


1
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya , Jl.Veteran , Malang 65145
*
Email korespondensi: hartutik@ub.ac.id

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek penambahan aditif dengan
level berbeda terhadap kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan
organik (KcBO) secara in vitro silase tebon jagung (Zea Mays L). Materi
penelitian ini adalah tebon jagung (Zea mays L) dan bahan aditif yang meliputi
molases, bekatul, pollard dan tepung gaplek. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola tersarang dengan 4 aditif, setiap aditif
memiliki 3 level penambahan dan dirunning tiga kali dimana running dianggap
sebagai blok berdasarkan pada waktu koleksi cairan rumen dan metode yang
digunakan adalah percobaan laboratorium. Setiap aditif terdiri dari L0 (molases
0%, bekatul 0%, pollard 0% dan tepung gaplek 0%), L10 (molases 10%, bekatul
10%, pollard 10% dan tepung gaplek 10%) dan L20 (molases 20%, bekatul 20%,
pollard 20% dan tepung gaplek 20%). Analisis Ragam digunakan untuk
menganalisis data dan apabila terdapat perbedaan yang nyata maka analisis
dilanjutkan dengan Analisis Uji Jarak Berganda Duncan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbedaan penambahan aditif tidak memiliki perbedaan yang
nyata antar perlakuan (P>0,05) terhadap KcBK dengan rataan 59,51 ± 6,5% dan
KcBO sebesar 60,87 ± 1,05%. Namun, perbedaan level penambahan memberikan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap KcBK dan KcBO. Nilai tertinggi
terdapat pada perlakuann penambahan tepung gaplek 20% yakni KcBK sebesar
72,03 ± 3,34% dan KcBO sebesar 76,04 ± 2,86%. Oleh karena itu, disarankan
untuk menambahkan 20% tepung gaplek pada silase.

Kata Kunci : aditif, kecernaan, in vitro, silase.

Pendahuluan
Pakan merupakan aspek terpenting dalam sektor industri peternakan termasuk
peternakan ternak ruminansia. Pakan utama bagi ternak ruminansia adalah
hijauan yang mayoritas merupakan rumput dan leguminosa. Rumput merupakan
pakan sumber serat sebagai sumber energi pada ternak ruminansia. Selain
mengkonsumsi rumput dan leguminosa, ternak ruminansia dapat diberi limbah
pertanian seperti jerami dan tebon jagung sebagai pakan alteratif.

Tebon Jagung umum digunakan sebagai pakan ternak ruminansia sebagai


alternatif pakan. Tebon jagung adalah seluruh tanaman jagung muda yang
dipanen saat berumur 85 hari yang meliputi batang, daun dan buah yang masih
muda. Produksi tebon jagung tidak stabil setiap tahun karena produksi tinggi

186
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

saat musim penghujan dan rendah pada musim kemarau, memiliki kadar air yang
tinggi yakni 80 - 90 % (Bunyamin, Efendi dan Andayani. 2013), sehingga mudah
rusak dan tidak tahan disimpan lama. Selain itu, memiliki Water Soluble
Carbohydrate (WSC) yang rendah yakni sebesar 12,11% (Despal, Hidayah dan
Lubis. 2017). Oleh karena itu, perlu pengawetan dalam bentuk silase yaitu
pengawetan hijauan segar dalam kondisi asam (pH 4) secara anaerob di dalam
suatu tempat yang disebut silo. Pembuatan silase yang berkualitas baik
memerlukan persyaratan kadar air 60 – 70%, mengandung WSC yang cukup dan
adanya kondisi anaerob.

Kandungan WSC pada tebon jagung yang rendah dapat menghambat


pertumbuhan bakteri asam laktat dalam silase sehingga dapat menghambat proses
ensilase. penambahan bahan aditif yaitu molases, bekatul, polard, dan tepung
gaplek diperlukan karena bahan bahan tersebut dapat meningkatkan WSC bahan
silase tebon jagung, mudah didapat, dan murah. Penambahan aditif dalam
pembuatan silase akan dapat mempercepat penurunan pH melalui terbentuknya
asam laktat oleh bakteri asam laktat. Level penambahan aditif dapat
memperngaruhi kualitas silase, silase yang baik ditandai dengan adanya aroma
asam dan bukan beraroma busuk, memiliki pH rendah (sekitar 4), dan berwarna
sedikit kecoklatan (Bunyamin, dkk. 2013), disamping itu silase yang baik tidak
berlendir dan tidak berjamur. Rukmana (2005) menyatakan bahwa prinsip
pembuatan silase adalah mengubah gula dalam bahan silase menjadi asam laktat
melalu proses fermentasi oleh bakteri asam laktat. Kondisi asam akan
menurunkan pH silase karena nilai pH yang rendah dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen atau pembusuk sehingga silase menjadi awet.

Kualitas silase dapat diketahui melalui kecernaan bahan kering dan kecernaan
bahan organik secara in vitro, analisis secara in vitro dilakukan dengan meniru
kondisi alat pencernaan ternak ruminansia yang dilakukan di laboratorium.
Metode in vitro memiliki kelebihan kelebihan dapat menganalisis sampel dalam
jumlah banyak sekaligus, memerlukan jumlah sampel yang sedikit, biaya yang
lebih murah dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan secara in vivo.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh penambahan


bahan aditif dengan level berbeda pada silase tebon jagung yang diinkubasi 21
hari terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik secara in
vitro.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan laboratorium
dengan rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) pola tersarang dengan 4 (empat) perlakuan penambahan bahan aditif yakni
: molases, bekatul, pollard dan tepung gaplek dengan level masing-masing aditif
0%, 10%, 20%. Masing masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali
running sebagai kelompok berdasarkan waktu koleksi cairan rumen. Adapun
perlakuan yang diuji adalah sebagai berikut :
ML0 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Molases 0%
ML10 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Molases 10%

187
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ML20 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Molases 20%


BL0 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Bekatul 0%
BL10 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Bekatul 10%
BL20 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Bekatul 20%
PL0 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Polard 0%
PL10 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Polard 10%
PL20 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Polard 20%
GL0 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Tepung Gaplek 0%
GL10 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Tepung Gaplek 10%
GL20 = Silase Tebun Jagung dengan penambahan Tepung Gaplek 20%

Pengukuran kecernaan in vitro dilakukan menggunakan metode Tilley and


Terry (1963). Prinsip pengukuran kecernaan in vitro dilakukan melalui dua tahap
menggunakan tabung fermentor yaitu tahap pertama pencernaan secara
fermentatif meniru kondisi di dalam rumen secara anaerob dengan pH 6,8 – 6,9
dan diinkubasi 48 jam dan tahap kedua pencernaan enzimatis oleh HCl-pepsin
meniru kondisi di pasca rumen (abomasum) yang diikubasi selama 48 jam.

Lokasi penelitian
Pembuatan silase dan pengukuran kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan
organik dilaksanakan di laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Pengambilan cairan rumen dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota
Malang.

Analisis data
Analisis data menggunakan analisis ragam dalam Rancangan Acak Kelompok
Pola Tersarang. Uji perbedaan antar perlakuan menggunakan Uji Jarak Berganda
Duncan.

Hasil dan Pembahasan


Kecernaan Bahan Kering (KcBK) Secara In Vitro
Hasil pengukuran kecernaan bahan kering in vitro bahan kering silase tebon
jagung masing-masing perlakuan tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan aditif memberikan pengaruh yang tidak


nyata (P>0,05) terhadap KcBK silase tebon jagung, namun ada kecenderungan
tepung gaplek memiliki nilai KcBK tertinggi (63,24%) dibadingkan aditif lain
karena tepung gaplek mengandung abu dan serat kasar yang lebih rendah sehingga
dapat meningkatkan KcBK. Kadar abu dan serat kasar yang tinggi akan
menghambat KcBK silase tebon jagung.
Merujuk pada Tabel 1, perlakuan level aditif yang semakin meningkat dapat
meningkatkan KcBK secara sangat nyata (P<0,01) silase tebon jagung dari
56,16% pada L0 hingga 62,74% pada L20. Peningkatan nilai KcBK disebabkan
oleh kandungan bahan organik semakin tinggi seiring dengan bertambahnya level
penambahan aditif tersebut, disamping itu kenaikan level juga akan menambah
kandungan BETN silase.

188
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

GL20 memberian nilai tertinggi pada percobaabn ini yakni sebesar 72,03 ± 3,34 %.
Tingginya nilai KcBK diasumsikan tepung gaplek memiliki SK yang rendah
dengan TDN yang tinggi dibandingkan bahan aditif lain. Penelitian Caetano, de
Olivera, Júnior, do Rêgo, de Carvalho and Rennó (2011) menunjukkan silase
denagan kandungan SK yang rendah memiliki KcBK tertinggi dibandingkan
bahan lain dengan SK yang lebih tinggi karena SK mengandung ADF (Acid
Detergent Fibre) dan NDF (Neutral Detergent Fibre) yang dapat meyulitkan
bakteri rumen untuk mendegradasi pakan. Khota, Pholsen, Higgs and Cai (2018)
mengemukan bahwa karakteristik kecernaan silase bergantung pada kondisi
fisiknya terutama kadar SK dimana ADF dan NDF dalam SK yang lebih rendah
dapat meningkatkan KcBK dan KcBO silase.

Tabel 1. Rataan nilai kecernaan bahan kering silase tebon jagung


Kecernaan Bahan Kering (%)*
Perlakuan Molases Tepung
Bekatul (B) Pollard (P) Rataan***
(M) Gaplek (G)
55,83 ± 59,75 ± 56,30 ± 52,76 ± 56,16 ±
L0
3,69de 2,46c 2,04d 2,68e 2,86c
62,70 ± 50,99 ± 59,82 ± 64,94 ± 59,61 ±
L10
1,71bc 0,81f 1,97 c 2,83b 6,12b
65,10 ± 51,19 ± 62,66 ± 72,03 ± 62,74 ±
L20
1,05b 1,50e 2,44 bc 3,34a 8,66a
53,97 ± 59,59 ± 63,24 ± 59,51 ±
Rataan** 61,21 ± 7,40
6,85 6,13 9,12 3,98
Keterangan: *Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya (2020).
**Rataan aditif berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P>0,05)
a-e
***Superskrip yang berbeda pada kolom rataan level menunjukkan perbedaan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01).

KcBK pada perlakuan pemberian molases 20% merupakan perlakuan dengan nilai
tertinggi kedua yakni senilai 65,1 ± 1,05%. Nilai ini memiliki perbedaan yang
sangat nyata (P<0.01) dengan perlakuan penambahan tepung gaplek 10% dan
perlakuan penambahan molases 20%. Nilai kecernaan yang tidak berbeda ini
menunjukkan efektifitas keduanya realtif sama dan molases dapat djadikan
substitusi tepung gaplek. Penelitian Santi dkk, (2012) menunjukkan bahwa
penambahan tepung gaplek memiliki pengaruh tertinggi dibandingkan dengan
penambahan molases dan bekatul karena perbedaan WSC yang dikandung masing-
masing bahan berbeda. Penambahan molases dalam pembuatan silase juga dapat
meningkatkan nilai KcBK silase. Molases yang banyak mengandung gula dan
sedikit mengandung SK sehingga akan meningkatkan KcBK silase.

Penggunaan bekatul kurang disarankan karena memiliki nilai KcBK terendah


dengan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) dibanding perlakuan lain dalam
semua level. Bekatul yang memiliki kandungan serat kasar sebesar 16.93%, lebih
tinggi dibandng molases (0,25%), Pollard (7,66%) dan Tepung Gaplek (4,18%)
diduga menjadi penyebab nilai KcBK pada perlakuan ini terendah. Kandungan

189
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

serat kasar awal yang lebih tinggi dari bahan aditif lain akan menyebabkan kadar
ADF dan NDF yang lebih banyak dari perlakuan lain. Data ini sesuai dengan
penelitian Fajri, Hartutik, dan Irsyammawati (2018) menunjukkan bahwa
penambahan bekatul memiliki KcBK terendah jika dibandingkan penambahan
pollard dan kombinasi pollard dan bekatul.

Berdasarkan pada Tabel 1, penambahan bahan aditif sebanyak 10% dan 20% dari
berat segar tebon jagung akan tetap meningkatkan KcBK bahan kering silase
tebon jagung dibanding dengan perlakuan kontrol (L0) yang mana L0 adalah silase
tebon tanpa penambahan bahan aditif kecuali pada perlakuan penambahan
bekatul. Peningkatan ini karena kandungan WSC dan SK bahan yang berbeda
antar bahan sehingga berpengaruh terhadap KcBK.

Kecernaan Bahan Organik (KcBO) Secara In Vitro


Hasil pengukuran kecernaan in vitro bahan organik silase tebon jagung masing-
masing perlakuan tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rataan nilai kecernaan bahan organik silase tebon jagung.


Kecernaan Bahan Organik (%)*
Perlakuan Molases (M) Bekatul (B) Pollard (P) Tepung
Rataan
Gaplek (G)
56,90 ± 60,27 ± 55,56 ± 53,71 ± 56,61 ±
L0
3,92def 3,21cd 2,25efg 3,17fg 2,77c
63,74 ± 53,17 ± 61,47 ± 66,23 ± 61,15 ±
L10 bc g cd b
2,49 1,77 1,87 3,08 5,67b
53,59 ± 63,57 ± 76,04 ± 64,84 ±
L20 66,17 ± 1,0b fg bc a
1,87 2,02 2,86 9,23a
60,20 ± 65,33 ± 60,87 ±
Rataan 62,27 ± 4,81 55,68 ± 3,98
4,15 11,19 4,05
Keterangan: *Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya (2020).
**Rataan aditif berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P>0,05)
a-e
***Superskrip yang berbeda pada kolom rataan level menunjukkan perbedaan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01).

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan aditif memberikan pengaruh yang tidak


nyata (P>0,05) terhadap KcBO silase tebon jagung, namun tepung gaplek
memiliki kecenderungan menghasilkan nilai KcBO tertinggi yakni sebesar
65,33% dibadingkan aditif lain karena tepung gaplek mengandung serat kasar
yang rendah dibandingkan aditif lain. Kandungan serat kasar yang tinggi dalam
silase akan membuat pakan sulit dicerna sehingga akan menurunkan KcBO silase
tebon jagung.

Merujuk pada Tabel 2, perlakuan level aditif yang semakin meningkat dapat
meningkatkan KcBO secara sangat nyata (P<0,01) silase tebon jagung dari L0
(56,61%) hingga L20 (62,74%). Peningkatan nilai KcBO disebabkan oleh level
penambahan aditif yang semakin meningkat akan menyebabkan kandungan bahan

190
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

organik silase juga meningkatkan kandungan BETN silase. Kandungan bahan


organik dan BETN yang tinggi akan menyebabkan naiknya KcBO silase tebon
jagung.

Tabel 2 menyajikan data bahwa nilai KcBO tertinggi dengan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01) terdapat pada perlakuan perlakuan penambahan tepung
gaplek 20% yakni 76,04 ± 2,86%. Nilai KcBO yang tinggi ini diasumsikan karena
tepung gaplek memiliki SK yang lebih rendah dibadingkan dengan bahan aditif
lain. SK yang lebih rendah menyebabkan kadar ADF dan NDF silase yang juga
lebih rendah. ADF dan NDF yang lebih rendah akan menyebabkan bakteri rumen
lebih mudah mendegradasi silase. penelitian Khota, et. al (2018) Menunjukkan
bahwa silase dengan ADF dan NDF yang lebih rendah memiliki KcBO yang lebih
tinggi karena KcBO sangat bergantung pada kondisi fisik silase terutama kadar
SKnya, rendahnya ADF dan NDF silase menghasilkan peningkatan KcBK dan
KcBO silase.

Penambahan molases memiliki nilai KcBO tertinggi kedua setelah tepung gaplek
yakni sebesar 53,17 ± 1,77% pada penambahan bekatul sebanyak 10% dan 66,17
± 1,0% pada penambahan molases sebanyak 20% dari berat segar tebon jagung
dengan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). hal ini sesuai dengan penelitian
Santi dkk, (2012) menunjukkan bahwa penambahan tepung gaplek memiliki
pengaruh tertinggi dibandingkan dengan penambahan molases dan bekatul karena
perbedaan SK yang dikandung masing-masing bahan berbeda.

Nilai KcBO terendah terdapat pada perlakuan pnambahan bekatul yakni 63,74 ±
2,49% pada penambahan molases sebanyak 10% dan 53,59 ± 1,87 pada
penambahan bekatul sebanyak 20% dari berat segar tebon jagung. Penambahan
bekatul meminiliki kecenderungan nilai KcBOnya lebih rendah dari semua
perlakuan lain dalam semua level. Kadar serat kasar yang tinggi pada bekatul
menjadi penyebab turunnya KcBO silase tebon jagung. Kadar serat bekatul
diketahui tertinggi dibanding bahan aditif lain yakni sebesar 16.93%, lebih tinggi
dibandng molases (0,25%), Pollard (7,66%) dan Tepung Gaplek (4,18%). Karena
kadar ADF dan NDF dalam SK menyebabkan degradasi dan KcBO rendah.

Berdasarkan pada Tabel 2, penambahan bahan aditif sebanayk 10% dan 20% dari
berat segar tebon jagung akan tetap meningkatkan KcBO silase tebon jagung
dibanding dengan perlakuan kontrol (L0) yang mana L0 adalah silase tebon tanpa
penambahan bahan aditif (0%) kecuali pada perlakuan penambahan bekatul.

Perhitungan Harga Silase


Penambahan aditif dalam pembuatan silase akan menambah biaya produksi silase,
yang akan berdampak pada harga produk silase. harga produk silase yang terlalu
tinggi akan menjadi pertimbangan dalam membuat silase sebagai pakan ternak
karena 60 - 70% biaya dalam usaha peternakan adalah biaya pakan. Penelitian
Irawan, Nugroho dan Utami (2013) menunjukkan bahwa biaya pakan
menyumbang 87% dari biaya tidak tetap (Variable Cost). Hal ini juga didukung
oleh penelitian Happyna (2017) yang menunjukkan bahwa biaya pakan memiliki
pengaruh yang nyata terhadap keuntungan petenak, oleh sebab itu meminimalisir

191
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

biaya pakan sangat diperlukan untuk menambah keuntungan peternak. Harga


permbuatan silase masing masing perlakuan tersaji dalam Tabel 3.

Berdasarkan perhitungan harga bahan baku dalam pembuatan silase maka diantara
harga silase yang menggunakan aditif dengan harga termurah adalah silase dengan
penambahan aditif bekatul 10% (BL10) namun, dengan mempertimbangan nilai
KcBK dan KcBO terbaik, maka perlakuan terbaik adalah silase dengan
penambahan tepung gaplek (GL20) dengan harga Rp. 3.000,00 per kg silase. Tabel
3 menyajian data bahwa semua aditif masih memiliki harga yang relatif murah
untuk setiap perlakuan. Harga yang murah akan membuat silase dalam penelitian
ini selain memiliki kelayakan teknis dari sisi nutriennya, juga memiliki kelayakan
finansial dari sisi harga pembuatannya.

Tabel 3. Perhitungan harga silase tebon jagung masing-masing perlakuan


Harga Tebon
Harga aditif (Per kg Harga silase (per kg
Perlakuan Jagung (Per kg
silase) silase)
silase)
ML0 Rp. 1.000,00 - Rp. 1.000,00
ML10 Rp. 1.000,00 Rp. 1.500,00 Rp. 2.500,00
ML20 Rp. 1.000,00 Rp. 3.000,00 Rp. 4.000,00
BL0 Rp. 1.000,00 - Rp. 1.000,00
BL10 Rp. 1.000,00 Rp. 400,00 Rp. 1.400,00
BL20 Rp. 1.000,00 Rp. 800,00 Rp. 1.800,00
PL0 Rp. 1.000,00 - Rp. 1.000,00
PL10 Rp. 1.000,00 Rp. 800,00 Rp. 1.800,00
PL20 Rp. 1.000,00 Rp. 1.600,00 Rp. 2.600,00
GL0 Rp. 1.000,00 - Rp. 1.000,00
GL10 Rp. 1.000,00 Rp. 1.000,00 Rp. 2.000,00
GL20 Rp. 1.000,00 Rp. 2.000,00 Rp. 3.000,00
Keterangan: Harga silase dihitung berdasarkan persentase penggunaan bahan
aditif dari berat tebon dan harga beli aditif saat pembuatan silase.

Kesimpulan
Penambahan bahan aditif molases, bekatul, pollard, dan Tepung Gaplek secara
umum dapat meningkatkan nilai KcBK dan KcBO pakan secara in vitro silase
tebon jagung dengan perlakuan terbaik adalah penambahan Tepung Gaplek
sebanyak 20% dengan nilai KcBK sebesar 72,03 ± 3,34% dan KcBO sebesar 76,04 ±
2,86%. Berdasarkan hasil penelitian ini, penambahan tepung gaplek sebanyak 20%
disarankan dalam pembuatan silase tebon jagung.

Daftar Pustaka
Bunyamin. Z., Efendi R., dan N.N. Andayani. 2013. Pemanfaatan Limbah Jagung
Untuk Industri Pakan Ternak. Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian. Vol 1 (1). 153 – 166.

192
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Caetano. Hamilton, Mauro Dal Secco de Oliveira, José Esler de Freitas Júnior,
Aníbal Coutinho do Rêgo, Marina Vieira de Carvalho, Francisco Palma
Rennó. 2011. Nutritional characteristics and in vitro digestibility of silages
from different corn cultivars harvested at two cutting heights. R. Bras.
Zootec. Vol 40. (4). 708-714.
Despal, Hidayah P., Dan Lubis A.D. 2017. Kualitas Silase Jagung di Dataran
Rendah Tropis pada Berbagai Umur Panen Untuk Sapi Perah. Bulletin
Makanan Ternak. Vol 104 (3). 10 – 20.
Fajri, A. I., Hartutik., & Irsyammawati, A. (2018). Pengaruh Penambahanpollard
dan Bekatul dalam Pembuatan Silase Rumput Odot (Pennisetum purpureum,
Cv. Mott) Terhadap Kecernaan dan Produksi Gas Secara In Vitro. Jurnal
Nutrien Ternak Tropis, 1 (1): 9-17.
Happyana. D. 2017. Analisis Tingkat Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi
Potong Rakyat di Kabupaten Wonogiri. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu.
Vol 5 (2). 33 – 39.
Irawan. T.C., Nugroho B.A., dan Utami H.U. 2013. Analisis Ekonomi Usaha
Peternakan Sapi Potong di Tulungagung (Studi Kasus pada Dua Usaha
Penggemukan Sapi Potong Skala Menengah). Research Article.
Khota. Waroon, Suradej Pholsen, David Higgs, and Yimin Cai. 2018.
Comparative Analysis of Silage Fermentation and in Vitro Digestibility of
Tropical Grass Prepared with Acremonium and Tricoderma Species
Producing Cellulases. Asian-Australas J Anim Sci. Vol. 31. (12).1913-1922.
Raffenato. E., Fievsohn R., Cotanch K.W., Grant R.J., Chase L.E., and Van
Amburgh M.E. 2017. Effect of Lignin Linkages With Other Plant Cell Wall
Components on In Vitro and In Vivo Neutral Detergent Fiber Digestibility
and Rate of Digestion of Grass Forages. Journal of Dairy Sci. Vol 100 (1).
8119-8131.
Tilley, J. M. A., & Terry, R. A. (1963). A two-stage technique for the in vitro
digestion of forage crops. Grass & Forage Science, 18(2), 104–111.

193
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGGUNAAN LEGUMINOSA PADA PAKAN LENGKAP BERBASIS


ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) TERHADAP NILAI PRODUKSI
GAS, KONSENTRASI AMMONIA DAN NILAI ENERGI DI DALAM
RUMEN

Siti Chuzaemi1,*, Asri Nurul Huda1, Mohammad Risqi Ardiansyah1


1
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Jalan Veteran, Malang 65145
*Email korespondensi: schuzaemi@gmail.com

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan berbagai
leguminosa yang berbeda dalam pakan lengkap berbasis eceng gondok
(eichhornia crassipes) terhadap nilai produksi gas, dan konsentrasi ammonia
secara in-vitro. Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan in vitro
produksi gas menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari
empat perlakuan dan tiga Ulangan. Variabel yang diukur adalah total produksi gas
dan konsentrasi ammonia (NH3) dan nilai ME secara in vitro. Data dianalisis
dengan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan menunjukkan pengaruh
yang nyata (P<0,05) terhadap total produksi gas,. Rataan produksi gas pada P1
sebesar 75,79±1,58 ml/500mg BK, P2 sebesar 74,54±1,58 ml/500mg BK, P3
sebesar 79,50±0,43 ml/500mg BK, dan P4 sebesar 82,14±3,19 ml/500mg BK.
Berdasarkan uji jarak berganda Duncan, perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan
P3, demikian juga pada perlakuan P2 dengan P4. Sedangkan konsentrasi ammonia
(NH3) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05). Rataan NH3
pada P1 sebesar 28,33±2,60 mg/L, P2 sebesar 18,13±2,60 mg /L, P3 sebesar
22,10±4.50 mg /L, dan P4 sebesar 25,25±5,46 mg /L. Rataan Nilai ME
(MJ/kgBK) pada P1 sebesar 6,73±0,14; P2 sebesar 6,64±0,08; P3 sebesar
7,01±0,06; dan P4 sebesar 6,96±0,17. Kesimpulan hasil penelitian adalah
perlakuan P4 (40% Konsentrat + 60% (Eichornia crassipes 33,00% + Indigofera z
27,00%)) menunjukkan hasil terbaik berdasarkan total produksi gas, konsentrasi
NH3 dan nilai ME berturut turut sebesar 82,14 mg/500 mgBK, 25,25 mg/L dan
6,96 MJ/kgBK.

Kata Kunci: eceng gondok, produksi gas, konsentrasi amonia, nilai ME

Pendahuluan
Pakan merupakan salah satu hal yang sangat penting dan sangat menentukan
keberhasilan suatu usaha peternakan. Ternak ruminansia sangat bergantung pada
pakan hijauan. Namun ada beberapa masalah dalam pengembangan peternakan di
Indonesia. ketersediaan hijauan sangat berfluktuasi, berlimpah pada musim hujan
dan sebaliknya terjadi kekurangan saat kemarau. (Mayasari dkk 2012). Untuk
mengatasi hal tersebut peternak harus mencari solusi guna memenuhi kebutuhan
pakan ternak dimusim kemarau. Harus ada upaya untuk mengatasinya yaitu
mencari sumber pakan alternatif yang ketersediaannya cukup banyak, tidak

194
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

bersaing dengan kebutuhan manusia dan memiliki nutrisi yang dibutuhkan ternak
(Islamiyati, 2013).

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan limbah
pertanian atau bahan pakan baru yang belum digunakan sebagai bahan makanan
ternak. pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif
bijaksana dalam upaya memenuhi nutrisi bagi ternak (Fuskhah, 2000.). Bahan
pakan baru yang memiliki prospek untuk dikembangkan saat ini adalah eceng
gondok (Eichornia crassipes). Ditinjau dari ketersediaannya eceng gondok

Tingkat pertumbuhan eceng gondok sangat cepat. Dalam kurun waktu 3–4 bulan
saja bisa menutupi 70% dari luas permukaan perairan(Viomalini dan Yosephine,
2020). Kandungan nilai gizi eceng gondok (Eichornia crassipes) sebagai berikut:
kandungan protein kasar 9,8-12,0%, abu 11,9-12,9%, lemak kasar 1,1-3,3%, dan
serat kasar yang cukup tinggi yaitu 16,8-24,6%. Kandungan protein kasar yang
ada dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif. Terlebih lagi eceng gondok
(Eichornia crassipes) sebagai bahan pakan alternatif sangat mudah untuk
didapatkan karena bahan ini banyak tersedia di alam dan masih belum
dimanfaatkan dengan baik (Riswadi,2014) (Eichornia crassipes). di Indonesia,
sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan lengkap. Namun
sangat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui penggunaan eceng
gondok tersebut dalam pembuatan pakan lengkap. Diharapkan pemanfaatan eceng
gondok sebagai bahan pakan lengkap dapat menekan biaya produksi tanpa
memberikan pengaruh yang negative terhadap pertumbuhan ternak ruminansia.

Metode
Penelitian dilakukan dengan metode in vitro produksi gas (In vitro gas production
= IVGP) sesuai Makkar et al. (1997). Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah percobaan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan berupa penambahan
empat jenis leguminosa yang berbeda yaitu daun kelor, daun indigofera, daun
kaliandra dan daun gamal pada pakan lengkap berbasis eceng gondok (Eichornia
crassipes) dengan penambahan konsentrat.

Pakan lengkap disusun iso-protein dengan kandungan PK sekitar 15% dengan


proporsi Perlakuan yang diberikan berdasarkan BK adalah 40% konsentrat dan
60% hijauan, yang terdiri dari eceng gondok (Eichornia crassipes) dan
leguminosa ini:
P1 : 40% Konsentrat + 60% (Eichornia crassipes 38,50 % + Gliricidia sepium
21,50%)
P2 : 40% Konsentrat + 60% (Eichornia crassipes 35,50 % + Calliandra sp
25,50%)
P3 : 40% Konsentrat + 60% (Eichornia crassipes 38,50% + Moringa oleifera
21,50%)
P4 : 40% Konsentrat + 60% (Eichornia crassipes 33,00% + Indigofera z
27,00%)

195
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nurisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.

Analisis Data
Data akan ditabulasi dengan program Microsoft Excel, Analisis data diolah secara
statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Apabila menunjukkan
perbedaan antar perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan
(UJBD).

Hasil dan Pembahasan


Kandungan Nutrien Pakan Lengkap
Hasil analisis kandungan nutrient bahan pakan yang digunakan dapat dilihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrien bahan penyusun pakan lengkap


Bahan BK (%)* BO(%)* PK(%)* SK(%)*
Konsentrat 90,04 90,10 18,28 23,93
Eichornia crassipes 92,00 80,66 13,18 31,06
Gliricidia sepium 91,64 89,48 23,10 22,43
Calliandra calothyrsus 90,96 91,25 24,74 19,38
Moringa oleifera 95,34 89,99 25,27 19,40
Indigofera zollingeriana 93,76 90,70 28,78 18,53
Keterangan : Hasil analisis di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya (2019).
*Berdasarkan 100% bahan kering (BK)

Dari tabel dapat dilihat bahwa konsentrat yang digunakan untuk penelitian ini
memiliki kandungan PK sebesar 18,28%. BSN (2017) menyatakan bahwa
kandungan PK untuk sapi perah laktasi sebesar 16%. Kandungan PK pada eceng
gondok sebesar 13.18% dan SK sebesar 31.06%. Kandungan protein eceng
gondok yang cukup tinggi tersebut sangat potensial untuk pakan ternak. Salah
satu kelemahan eceng gondok adalah merupakan bahan pakan yang kecernaannya
rendah karena kandungan serat kasarnya timggi yiatu sekitar 16,79%.

Kandungan PK pada tanaman kelor (Moringa oleifera) sebesar 25,27%. Hasil


yang didapat lebih sedikit daripada penelitian dari Makkar dan Becker (1997)
bahwa daun kelor mengandung 27% protein dan daun kelor (Moringa oleifera)
sebagai sumber protein memiliki kandungan asam amino yang seimbang.

Bahan-bahan tersebut dibuat pakan lengkap dan disusun iso-protein dengan


kandungan PK sekitar 15% dengan proporsi adalah 40% konsentrat dan 60%
hijauan yang terdiri dari eceng gondok dan leguminosa. Viomalini dan Yosephine
(2020) menambahkan bahwa Pemberian pakan pada ternak sebaiknya dalam
keadaan segar dengan perbandingan hijauan : konsentrat yakni sebesar 60:40

196
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

(berdasarkan bahan kering ransum). Hasil analisi kandungan nutrient pakan


lengkap tersaji pada tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrien pakan lengkap


Perlakuan BK(%) BO(%) PK(%) SK(%)
P1 89,57±1,01 85,54±0,19 15,58±0,18 29,90±0,34
P2 89,55±0,87 85,71±0,21 16,35±0,16 28,01±0,27
P3 89,60±1,26 85,42±0,10 16,73±0,23 26,84±0,37
P4 89,42±1,21 85,54±0,11 16,54±0,22 28,58±0,38
Keterangan: Hasil Analisis Di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya

Pakan ternak ruminansia dengan kadar protein yang tinggi dapat dimanfaatkan
sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan mikroba dalam rumen (Rezki, 2015).
Pertumbuhan mikroba yang cepat akan meningkatkan degradasi pakan yang
berserat tinggi sehingga akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan non
konvensional yang berpotensi tinggi (Widiawati dkk, 2007.)

Total Produksi Gas secara In Vitro


Produksi gas merupakan indikator adanya proses fermentasi pakan oleh mikroba
dalam rumen. Produksi gas tiap jam inkubasi tersaji dalam tabel 3.

Tabel 3. Rataan produksi gas setiap jam inkubasi (ml/500mgBK)


Jam Inkubasi
Perlakuan
2 4 6 8 12 24 36 48 72
P1 6,39 10,61 15,93 21,70 29,68 47,64 53,41 60,5 65,38
P2 7,99 13,26 19,91 25,74 35,71 57,34 67,87 73,42 79,51
P3 6,83 11,04 16,8 23,22 31,63 49,79 57,32 61,53 67,07
P4 6,62 11,29 17,07 22,62 31,51 49,95 58,17 62,39 67,28
Keterangan: Hasil Analisis Di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya

Produksi gas merupakan parameter aktivitas mikroba rumen dalam sintesis energi
dan protein asal mikroba. Chuzaemi (2012) menjelaskan bahwa pakan yang
difermentasi dalam rumen akan menjadi VFA, NH3, protein mikroba dan gas.
Hasil pengamatan produksi gas pakan lengkap berbasis eceng gondok (Eichornia
crassipes), setelah di analisis ragam ternyata terdapat perbedaan yang nyata
(P<0,05) antar perlakuan sebagaimana yang tersaji dalam tabel 4.

Hasil yg disajikan pada tabel menunjukkan bahwa nilai produksi gas tertinggi
dihasilkan oleh sampel P4 82,14±3,19 ml/500mgBK dengan penambahan
tanaman leguminosa indigofera. Hasil dari analisis ragam menunjukan bahwa
penambahan berbagai macam leguminosa pada pakan lengkap berbasis eceng
gondok memberi pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap nilai prouksi gas.

197
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tingginya produksi gas disebabkan oleh meningkatnya aktivitas mikroba rumen


dalam mendegradasi pakan. Hal ini sejalan dengan Askar (1999) bahwa produksi
gas yang dihasilkan menggambarkan aktivitas mikroba rumen dalam mencerna
pakan. Gas-gas yang dihasilkan merupakan gambaran dari jumlah BO yang dapat
dicerna di dalam rumen (McDonald et al., 2010). Hal tersebut didukung oleh
penapat Kurniawati (2019) bahwa jumlah karbohidrat mudah terdegradasi akan
sangat mempengaruhi produksi gas.

Tabel 4. Rataan total produksi gas secara in-vitro


Perlakuan Rata-Rata (Ml/500mgbk)
P1 75,79±1,58a
P2 74,54±1,58a
P3 79,50±0,43b
P4 82,14±3,19b
Keterangan: superskip a-b pada kolom menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0.05) terhadap nilai total produksi gas.`

Konsentrasi Amonia Di Dalam Rumen


Hasil pengamatan kandungan NH3 pada Penambahan berbagai macam leguminosa
pada pakan lengkap berbasis eceng gondok (Eichornia crassipes). Setelah
dianalisis ragam ternyata tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan
(P>0.05). Rataan perlakuan kandungan NH3 pada masing-masing perlakuan dapat
dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rataan nilai NH3 secara in vitro masa inkubasi 48 jam


Perlakuan Konsentrasi NH3 (mg/L)
P1 24,93±0,98
P2 20,97±2,60
P3 24,37±0,98
P4 25,50±1,70
Keterangan: Konsentrasi NH3 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata
antar perlakuan (P>0.05).

Pada tabel 5 kandungan NH3 terendah terdapat pada P2 sebesar (20,97mg /L) dan
tertinggi pada P4 sebesar(25,50mg /L) diikuti pada P1 sebesar (24,93mg /L), dan
P3 sebesar (24,37mg /L). Nilai NH3 pada penelitian ini lebih tinggi karena protein
leguminosa lebih mudah di cerna dan kandungan proteinnya yang tinggi.

Askar (1999) menyatakan bahwa kosentrasi NH3 merupakan indikator yang


paling baik untuk mengetahui adanya fermentasi sekunder. Semakin besar nilai
NH3 maka mengindikasi kualitas pakan semakin rendah., sebaliknya semakin
kecil nilai NH3 mengindikasikan bahwa kualitas pakan semakin baik. Tingkat
fermentasi pakan digambarkan salah satunya oleh kadar NH3 dalam rumen.
(Hidayat, dkk 2009).

198
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Protein pakan masuk ke dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi peptida
oleh aktivitas enzim mikroba. Amonia rumen berasal dari protein kasar pakan
yang di degradasi didalam rumen (Arora,1995) selanjutnya amonia ini
dipergunakan oleh mikroba untuk sintesis protein tubuhnya (Askar, 1999).
Amonia yang dibebaskan dalam rumen, sebagian dimanfaatkan oleh mikroba
rumen untuk mensintesis protein mikroba, harus diimbangi dengan adanya sumber
energi yang mudah difermentasi sebagai sumber karbon dan energi untuk sintesis
protein mikroba (Ørskov et al, 1998).

Data perhitungan nilai ME pada penelitian setelah di analisis ragam terdapat


perbedaan yang nyata (P<0.05) di tiap perlakuan. Rataan nilai ME pada masing-
masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Rataan nilai ME secara in vitro pada inkubasi 48 jam


Perlakuan ME (MJ/kg BK)
P1 6.73±0.14a
P2 6.64±0.08ab
P3 7.01±0.06b
P4 6.96±0.17b
Keterangan: superskip a-b pada kolom menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0.05) terhadap nilai ME

Hasil analisis statistika pada tabel 6 menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata
(P<0.0, perlakuan P3 memiliki nilai ME paling tinggi. Urutan rataan nilai ME
dari yan tertinggi sampai yang terendah adalah P3(7.01), P4 (6.96), P1(6.73),
P2(6.64). Nilai ME yang diperoleh dari hasil analisis tersebut menunjukkan
adanya korelasi antara nilai energi dengan produksi gas yang dihasilkan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan konsentrat,
eceng gondok dan berbagai leuminosa pada pakan lengkap, perlakuan P4 (40%
Konsentrat + 60% (Eichornia crassipes 33,00% + Indigofera z 27,00%))
menunjukkan hasil terbaik berdasarkan total produksi gas, konsentrasi NH3 dan
nilai ME berturut turut sebesar 82,14 mg/500 mgBK, 25,50 mg/L dan 6,96
MJ/kg.

Daftar Pustaka
Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada
University Press. Yogjakarta.
Askar, S. 1999. Penentuan Protein Terlarut dalam Pakan Ternak Ruminansia.
Buletin Teknik Pertanian.4 (1) : 26.
BSN Badan Standarisasi Nasional. 2017. SNI 3148:2017. Pakan Konsentrat-
Bagian 1:Sapi Perah. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Chuzaemi, S., 2012. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. UB Press: Malang.

199
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Fuskhah, E. 2000. Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solm) sebagai


alternatif sumber bahan pakan, industri dan kerajinan. Jurnal Ilmiah Sainteks.
Vol 7 (4): 226 – 234.
Hidayat, R., E. Purbowati., M. Arifin Dan A. Purnomoadi. 2009. Komposisi
Kimia Daging Sapi Peranakan Ongole Yang Diberi Pakan Jerami Padi Urinasi
Dan Level Konsentrat Yang Berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
Dan Veteriner: 246-252.
Islamiyati, R. 2013 . Penggunaan Jerami Jagung yang Diinokulasi Fungi
Trichoderma sp. dan Diperkaya Daun Gamal sebagai Pakan Ternak
Ruminansia. Disertasi. PPS Unhas. Makassar.
Kurniawati, A. 2007. Teknik Produksi Gas In vitro untuk Evaluasi Pakan ternak.
Volume Produksi Gas dan Kecernaan Bahan Pakan. J. Ilmiah Aplikasi Isotop
dan Radiasi. 3(1): 40-49.
Makkar. H.P.S., Blummel, M., And Becke, K., 1995. Formation Of Complexes
Between Polyvinyl Pyrrolidones Or Polyethylene Glycols And Tannins, And
Their Implication In Gas Production And True Digestibility In In Vitro
Techniques. British Journal Of Nutrition .73: 897-913.
Makkar, H.P.S & Bekker, K., (1997). Nutrien and Antiquality Factors in diferent
Morphological Parts of Moringa oleifera Tree .J. agri. sci 128 :311-322.
McDonald, P, et al., 2010. Animal Nutrition: Sevent Edition. Harlow, England:
Pearson. (http://gohardanehco.com/wp-content/uploads/2014/02/Animal-
Nutrition.pdf).
Mayasari, D., Purbajanti E.D., Dan Sutarno. 2012. Kualitas Hijauan Gamal
(Gliricidia Sepium) Yang Diberi Pupuk Organik Cair (Poc) Dengan Dosis
Berbeda . Fakultas Peternakan Dan Pertanian Universitas Diponegoro
Semarang. Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, P 293 – 301
Riswadi, 2014 Kualitas Silase Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dengan
Penambahan Dedak Halus dan Ubi Kayu. Jurnal Perternakan Sriwijaya, .Vol .
3 No. 1 h. 1-2.
Widiawati, M., Winugroho, E., Teleni and Thalib, A., 2007. Fermentation
Kinetics (in vitro) of Leucaena leucocephala, Gliricidia sepium and Calliandra
callothyrsus leaves (3) the Pattern of Gas Production, Organic Matter
Degradation, pH, N-NH3 and VFA Concentrations: estimed CH4 and
Microbial Biomass Production. JITV12(3): 202-212.
(http://medpub.litbang.pertanian.go.id ndex.php/jitv/article/view/486/495)
Viomalini, S.D.E Dan Yosephine, L.R.E.N., 2020. Pemanfaatan Eceng Gondok
(Eichhornia Crassipes) Sebagai Pakan Alternatif Untuk Meningkatkan
Average Daily Gain, Konsumsi Serta Tingkat Kecernaan Pada Ternak
Ruminansia. P-ISSN: 2620-8512. Vol4 No 1.

200
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

MANAJEMEN BUDIDAYA RUMPUT ODOT DI BAWAH NAUNGAN


POKOK PINUS DI WILAYAH KECAMATAN WAGIR GUNUNG KAWI
KABUPATEN MALANG

Hendrawan Soetanto1,*, Desyana Intan Aristanti1, Rizka Muizu Aprilia1, Asri


Nurul Huda1, Mashudi1
1
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
*
Email korespondensi: hendrawan07@ub.ac.id

Abstrak
Peternak sapi di Kecamatan Wagir terkendala oleh kepemilikan lahan untuk
menanam hijauan guna mencukupi kebutuhan pakan ternak. Oleh karena itu
Perhutani di wilayah tersebut memperbolehkan peternak sapi untuk melakukan
penanaman rumput di bawah pokok pinus milik Perhutani. Jenis hijauan yang
ditanam petani adalah rumput odot. Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana
manajemen budidaya rumput odot di bawah naungan pokok pinus yang dilakukan
petani di Kecamatan Wagir Desa Sumbersuko beserta dengan kendala yang
dihadapi oleh peternak dengan menggunakan metode survei dan penentuan
sampel responden secara sengaja (purposive sampling) terhadap 17 peternak sapi
yang menanam rumput odot di bawah pokok pinus dengan menggunakan daftar
pertanyaan terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden
berkisar antara 25-70 tahun dengan tingkat Pendidikan terbesar (70%) adalah
lulusan Sekolah Dasar. manajemen budidaya rumput odot di Kecamatan Wagir
dimulai dari proses pernyediaan bibit, pemeliharaan termasuk pemupukan hingga
pemanenan dengan keragaman antar responden. Sebagian peternak memperoleh
pupuk cair limbah feses dari P.T. Greenfield yang memeliharan sapi perah skala
industry, namun sebagian peternak tidak memperoleh akses pupuk organik
tersebut. Akibatnya peternak tersebut harus membeli pupuk anorganik sehingga
menambah beban biaya budidaya rumput odot. Tingkat naungan rumput odot di
lokasi penelitian berkisar antara 3.512,08 hingga 5.921,58 lux setara dengan
intensitas cahaya antara 11 hingga 15,3 % dan berdampak terhadap penurunan
produksi biomasa hingga 67 % pada umur potong 60 hari dan 230 % pada umur
potong 90 hari.

Kata Kunci: rumput odot, naungan pinus, biomasa hijauan,sapi perah

Pendahuluan
Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah
pengembangan ternak sapi perah sejak zaman kolonial. Pada tahun 1997, telah
berdiri suatu perusahaan pengolahan susu swasta, yaitu P.T. Gereenfileds yang
terletak di wilayah lereng gunung Kawi, desa Babadan pada ketinggian 1200 mdpl
dengan konsep peternakan sapi perah terintegrasi antara populasi sapi perah jenis
Friesien Holstain dan Jersey sebanyak lebih dari 10.000 ekor dan menghasilkan
susu segar sebanyak 43,5 juta liter setiap tahun dengan pengolahan limbah cair

201
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang di alirkan di lahan sekitar sebagai pupuk organic sehingga mampu menjaga
kesuburan lahan dan sekaligus melestarikan lingkungan dari bahaya tanah longsor
(Greenfields, 2021). Untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi perahnya, P.T.
Geenfields telah melakukan penanaman sumber hijauan di lahan sendiri serta
melakukan kemitraan dengan petani sekitar yang memiliki lahan sendiri maupun
dengan petani yang bekerjasama dengan Perhutani di lahan hutan pinus yang
berada di Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang.

Jenis hijauan yang ditanam oleh petani sebagian besar adalah rumput gajah
(Pennisetum purpureum) dan rumput odot (Pennisetum purpureum, cv Mott) di
bawah tegakan pokok pinus maupun di lahan terbuka sehingga menyebabkan
perbedaan potensi pertumbuhan serta produksi biomasa hijauan pakan ternak dari
ke dua kondisi naungan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang praktek budidaya


rumput odot di bawah tegakan pokok pinus di Kecamatan Wagir oleh petani
peternak serta pengaruh tingkat naungan terhadap produksi biomasa berdasarkan
hasil wawancara dengan petani peternak responden.
Penduduk Kecamatan Wagir berjumlah 30.089 jiwa dengan populasi laki-laki
sebesar 15.000 jiwa dan perempuan 15.089 jiwa.Mayoritas penduduk Kecamatan
Wagir bekerja sebagai petani 65%, PNS 10%, pekerja kebun 20%, dan buruh
lepas 5%. yang berasal dari Philipina, rumput ini mempunyai produksi yang
cukup tinggi. Selain itu menghasilkan banyak anakan, mempunyai akar kuat,
batang yang tidak keras dan mempunyai ruas- ruas daun yang banyak serta
struktur daun yang muda sehingga sangat disukai oleh ternak.

Petani di Kecamatan Wagir sebagian membudidayakan rumput odot di lahan


bawah pokok pinus milik Perhutani. Rumput odot memerlukan sinar matahari
penuh atau minimal 40%. Rumput odot dapat tumbuh dengan sinar matahari
intensitas rendah sekitar 30%-40%, namun jumlah anakan yang dihasilkan sedikit
dan umur panen lebih lama. Rumput odot mampu beradaptasi dengan baik pada
berbagai jenis lahan meskipun hasil panen yang dihasilkan kurang optimal. Hal ini
sejalan dengan pendapat Sirait (2017) Rumput odot merupakan jenis rumput
unggul karena produktivitas dan kandungan zat gizi cukup tinggi serta memiliki
palatabilitas yang tinggi bagi ternak ruminansia. Rumput ini dapat hidup di
berbagai tempat, toleran naungan, respon terhadap pemupukan dan menghendaki
tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
dilakukan untuk mengkaji manajemen budidaya rumput odot di bawah naungan
pokok pinus

Rumput odot merupakan jenis rumput yang tergolong baru di Indonesia. Rumput
odot sangat baik digunakan sebagai pakan sapi, kambing, dan domba karena
memiliki kadar air tinggi hingga 80% dengan kandungan bahan segar di atas 14%,
sehingga membantu ternak mengatasi dehidrasi serta memberikan energi dan
protein yang cukup. Rumput odot memiliki tekstur lunak dan disukai oleh ternak
sehingga menjadi pilihan petani di Kecamatan Wagir untuk membudidayakan
rumput tersebut. Lasamadi, Malalantang, Rustandi dan Anis (2013) berpendapat
rumput odot (Pennisetum purpureum cv. Mott) merupakan salah satu rumput

202
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

unggul serta produktivitas biomassa yang dihasilkan sebagai pakan dan mengkaji
permasalahan yang timbul akibat sistem manajemen tersebut.

Metode
Metode penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan
sampel responden secara acak sengaja (purposive random sampling) bedasarkan
informasi penduduk dalam satu wilayah yaitu dari para petani odot dan warga
setempat, dan polisi hutan,dengan melakukan wawancara secara langsung serta
menggunakan kuisioner terstruktur terhadap 17 orang responden (petani). Data
primer tentang itensitas cahaya dilakukan pengamatan langsung di lahan obyek
observasi dengan menggunakan alat pengukur intensitas cahaya (a light meter)
secara berkala sedangkan data sekunder untuk mendukung penelitian di peroleh
dari sumber maya dari situs yang relevan dengan tujuan penelitian.

Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Sumbersuko Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang pada tanggal 18 Februari sampai 30 Mei 2017. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja yang sesuai dengan tujuan penelitian bahwa di Desa
Sumbersuko terdapat petani yang melakukan budidayarumput odot di bawah
naungan pokok pinus.

Analisis data
Data yang diperoleh diolah secara deskriptif dan dibandingkan dengan kajian
Pustaka yang relevan dengan tujuan penelitian.

Hasil dan Pembahasan


Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Batas wilayah Kecamatan Wagir di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Dau, sebelah timur dengan Kota Malang,sebelah selatan dengan Kecamatan
Pakisaji dan sebelah barat dengan Kecamatan Ngajum. Secara geografis posisi
KecamatanWagir terletak diantara 112,5406 sampai 112,6112 BT dan 8,0301
sampai 7,9702 LU terbentang seluas 75,43 km2 dengan total penduduk pada
tahun 2016 berjumlah 88.166 jiwa dan pada tahun 2017 meningkat sebesar 89.450
jiwa (BPS, 2021).

Mayoritas penduduk di Kecamatan Wagir memiliki mata pencaharian sebagai


petani, yakni sebesar 65%, 20% sebagai pengolah kebun, 10% sebagai PNS, dan
buruh lepas sebesar 5% (Indawati dkk, 2017).

Sumbersuko merupakan salah satu desa yang lokasinya paling ujung di


Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang tepatnya di leren gunung kawi dengan
luas wilayah ± 10.000 Ha. Jarak yang di tempuh dari kota Malang ± 12 km
dengan waktu sekitar 40-50 menit. Sumber Suko memiliki jumlah penduduk ±
7.200 jiwa dengan 2.400 Kepala keluarga (KK). Desa ini termasuk salah satu
daerah yang terletak di dataran tinggi yang berbatasan dengan Kecamatan
Ngajum dan wonosari. Tanaman yang banyak tumbuh di desa ini yaitu jeruk,
sayuran serta saat ini sedang berkambang wisata hutan pinus. Mayoritas penduduk
memiliki pekerjaan sebagai petani dan peternak.

203
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Karakteristik Responden
Usia peternak sapi responden yang membudidayakan rumput odot di bawah
pokok pinus berkisar antara 25-70 tahun dengan rincian seperti tertera pada Tabel
1.Sebagian besar petani rumput odot tergolong dalam usia produktif sesuai
kriteria yaitu berkisar antara 13 – 60 tahun. Menurut Werembinan (2018) semakin
tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas wawasan generasi muda sehingga
minat generasi muda terhadap kegiatan pertanian umumnya menjadi semakin
rendah dengan berbagai macam alasan antara lain tingkat pendapatan dan
perkembangan gaya hidup generasi muda.(Putrayasa dkk, 2021) .

Tabel 1. Karakteristik Responden


Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)
1. Umur (Tahun)
23-35 3 18
36-45 4 23
46-55 5 29
56-65 3 18
66-70 2 12

2. Pendidikan Terakhir
SD 12 70
SMP 3 18
SMA 2 12

3. Lama Bertani hingga 2017 (Tahun)


1 2 12
2 3 18
3 1
4 5 29
5 4 23
9 2 12

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan didominasi oleh Sekolah Dasar


sebanyak 12 orang (70%) responden, selanjutnya pendidikan terakhir SMP
sebanyak 3 orang (18%) responden dan SMA sebanyak 2 orang (12%) responden.
Sesuai dengan pernelitian Susilowati (2016), bahwa tenaga kerja sektor pertanian
didominasi oleh tingkat pendidikan Sekolah Dasar sebanyak 64%, hal ini
merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian.
Sebanyak 2 orang (12%) responden telah melakukan budidaya rumput odot di
bawah naungan pokok pinus sejak tahun 2008; 4 orang (23%) responden tahun
2012; 5 orang (29%) responden tahun 2013; 1 orang (6%) responden tahun
2014; 3 orang (18%) responden tahun 2015 dan 2 orang (12%) responden
tahun 2016. Menurut Hasyim (2006) lamanya bertani yang dimiliki setiap orang
berbeda-beda, oleh karena itu lamanya berusaha tani dapat dijadikan bahan
pertimbangan agar tidak melakukan kesalahan yang sama sehingga dapat
melakukan hal-hal yang baik untuk waktu-waktu berikutnya.

204
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penguasaan lahan Perhutani


Perhutani membuat kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
dimulai 2007 dalam upaya untuk menghindari masalah anatara Perhutani dengan
masyarakat sekitar hutan seperti rusaknya hutan karena penebangan pokok secara
liar dan pembakaran hutan secara alami atau disengaja. Kerjasama tersebut berupa
pemberian izin penguasaan lahan kepada masyarakat sekitar hutan dengan
ketentuan sebagai berikut: petani mendapat bebas biaya sewa lahan (gratis)
dengan syarat menyadap getah pokok pinus kemudian hasil dari sadapan
diserahkan ke pihak Perhutani dengan imbalan Rp 7.000 per kg. Sedangkan petani
yang tidak menyadap getah pokok pinus dikenai biaya sewa per tahun yang
bervariasi dengan lahan yang dikuasai.

Petani diberi izin menguasai lahan untuk membudidayakan rumput odot di bawah
naungan pokok pinus dengan syarat tidak merusak tanaman inti yaitu pokok
pinus. Hal ini merupakan solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan penanaman
pakan hijauan. Menurut Mansyur, Indrani dan Susilawati (2005) untuk
memenuhi kebutuhanhijauan pakan, berbagai usaha telah banyak dilakukan
seperti integrasi usaha ternak pada sistem perkebunan, kehutanan, dan tanaman
pangan. Integrasi pada sistem tersebut dengan memanfaatkan vegetasi alami yang
tumbuh di bawah naungan sebagai sumber hijauan dan memanfaatkan hasil ikutan
dari sistem tersebut. Tinggi pokok pinus diukur dengan cara estimati yaitu ±
15 m. Tinggi pokok tersebut sesuai dengan peryataan para responden. Sedangkan
hasil pengukuran jarak tanam yaitu ± 4 x 5 m. Ukuran ini tidak sesuai dengan
pernyataan responden yang menyebutkan jarak antar naungan pokok pinus
adalah ± 4 x 4 m. Selisih ukuran ini dapat disebabkan karena adanya penyulaman
bibit pokok pinus. Petani yang membayar sewa lahan di bawah naungan pokok
pinus sebanyak 10 orang (59%) responden dan 7 orang (41%) responden petani
menyadap getah pinus sehingga mendapatkan bebas biaya sewa lahan.

Bibit dan Penanaman


Pada awalnya PT Greenfields membudidayakan rumput odot secara mandiri atau
tanpa membeli dari pihak lain. Semakin bertambahnya populasi menyebabkan PT
Greenfields tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan secara mandiri dan
berkelanjutan, sehingga PT Greenfields menggambil langkah menjual bibit
rumput odot pada petani, kemudian PT Greenfields membeli rumput odot siap
panen hasil dari penanaman yang dilakukan petani sekitar. Hingga saat ini PT
Greenfields tidak membudidayakan rumput odot, penyediaan pakan hijauan
benar-benar mengandalkan pasokan dari petani setempat. Antar petani rumput
odot saling membantu menyediakan bibit tanpa harus membeli, hanya saat awal
memulai penanaman petani membeli bibit rumput odot. Terdapat dua jenis bibit
rumput odot yang digunakan petani yaitu stek dan rumpun. Petani melakukan
penanaman dibantu oleh 3-5 orang pekerja untuk menyelesaikan 5.000 m2 sampai
1 Ha lahan dan selesai kurang lebih dalam waktu 5 hari. Petani melakukan
penanaman rumput odot di bawah pokok pinus, sehingga pola penanaman adalah
agroforesty. Menurut Jamaran (2006), agroforestry sebagai sistem pertanian
kombinasi antara tanaman agronomi, tanaman kehutanan, penghijauan, dan
tanaman makanan ternak, pada dasarnya mempunyai dampak yang positif dalam

205
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

meningkatkan produksi, pendapatan peternak dan juga berfungsi untuk


memelihara kelestarian lingkungan.

Petani menyiapkan bibit dalam bentuk stek maksimal 3 hari sebelum ditanam, hal
ini bertujuan agar batang stek tidak mengalami pembusukan jika dibiarkan terlalu
lama. Stek yang dijadikan bibit oleh petani panjangnya berkisar antara 20-30 cm
dan beruas empat yang salah satu ujungnya dipangkas miring. Rumput odot
yang siap dijadikan bibit berumur 5 bulan. Jarak tanam antar rumput odot yang
diterapkan petani beragam,rata-rata jaraknya 50 cm x 80 cm, dengan rata- rata
jarak antar naungan 5 m x 5m. Lugiyo dan Sumarto (2000) menjelaskan
penanaman rumput gajah dapat dilakukan menggunakan bibit berupa stek atau
sobekan rumpun. Stek yang baik adalah yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu
tua. Penanaman stek yang terlalu tua atau terlalu muda akan mengakibatkan
pertumbuhan lambat, bahkan banyak yang tidak tumbuh. Bibit dalam bentuk
stek menggunakan batang yang panjangnya 20-30 cm dan paling sedikit
mempunyai dua mata tunas. Sebanyak 9 orang (53%) reponden dari total 17
orang responden di antaranya menggunakan bibit rumput odot dalam bentuk stek
dan 8 orang (47%) responden menggunakan bibit dalam bentuk pols. Terdapat
dua cara untuk penanaman bibit stek, cara pertama stek ditancapkan miring pada
tanah gundukan dengan dua ruas tertimbun tanah, cara kedua stek ditidurkan lalu
ditimbun tipis dengan tanah diatasnya. Cara penanaman ini petani peroleh dari
kelompok ternak maupun sesama petani rumput odot. Menurut Reksohadiprodjo
(1985), stek yang berasal dari batang yang sehat dan tua, dengan panjang antara
20-25 cm (2-3 ruas atau paling sedikit 2 buku atau mata) merupakan ukuran
terbaik untuk meghasilkan tanaman yang tinggi produktivitasnya. Petani
beranggapan penanaman bibit dalam bentuk stek lebih mudah dibanding
penanaman bibit dalam bentuk rumpun. Penggunaan bibit oleh petani saat
pertamakali budidaya rata- rata menghabiskan 1,5 ton dalam bentuk stek untuk
luas lahan 2.500 m2, sama halnya menurut Mufarihin, Lukiwati dan Sutarno
(2012) stek merupakan perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan
menggunakan sebagian batang, akar, atau daun yang dapat menjadi tanaman baru.
Stek digunakan karena lebih mudah dan ekonomis, sehingga cara ini dapat
digunakan untuk penanaman rumput gajah.

Persiapan Lahan
Petani melakukan pengelolaan tanah sebelum penanaman dengan membersihkan
lahan dari gulma juga semak belukar, membajak lahan dengan cangkul, membuat
larikan, membentuk media tanam dengan sistem guludan lebar 50 cm dan tinggi
20 cm lalu dibiarkan semalam. Tahapan persiapan lahan sesuai dengan pernyataan
Seseray, Santoso dan Lekitoo (2013) bahwa sebelum pengolahan tanah terlebih
dahulu dilakukan pembersihan lahan (land clearing), setelah bersih selanjutnya
dilakukan pembajakan untuk memecahkan lapisan tanah menjadi bongkahan-
bongkahan dan membalik lapisan tanah kemudian dibiarkan beberapa hari.
Selanjutnya tanah digemburkan menjadi struktur yang remah sekaligus
membersihkan sisa-sisa perakaran gulma.

206
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pupuk
Petani menggunakan pupuk dari limbah feses sapi perah PT Greenfields yang
dialirkan ke lahan melalui pipa, kemudian petani membuat parit untuk meratakan
aliran cairan limbah ketika masuk ke lahan.Biaya yang dikeluarkan petani rata–
rata Rp 40.000 untuk satu kali pengaliran. Para petani rumput odot melakukan
pemupukan sebelum penanaman dan setelah pemanenan rumput, hal ini dilakukan
agar produksi rumput odot rimbun, hijau segar tidak kekuningan dan juga
menyediakan nutrisi untuk tumbuh bagi rumput. Banyaknya petani menggunakan
limbah feses sapi perah karena harga yang terjangkau, menyuburkan, dan tidak
merusak tanah. Menurut Suarna dan Budiasa (2016) pupuk kandang sapi mampu
menyediakan kondisi yang baik bagi perkembangan jazad mikro dan makro tanah.
Pupuk kandang sapi yang digunakan adalah pupuk yang sudah matang dan hampir
menyerupai tanah sehingga pelepasan hara dari pupuk tersebut akan lebih cepat
terjadi.

Intensitas Cahaya
Pemeliharaan rumput odot dilakukan dengan pembersihan gulma, setelah petani
melakukan penanaman. Beberapa minggu sekali dilakukan pencabutan gulma
disekitar rumput odot agar tidak menghalangi tumbuhnya tanaman inti (rumput
odot) juga tidak menjadi pesaing untuk mendapatkan nutrisi dan cahaya matahari.
Cahaya adalah faktor utama pemeliharaan untuk menunjang pertumbuhan
tanaman sehingga tanaman dapat membuat makanannya sendiri. Permasalahan
akibat tidak adanya lahan menyebabkan petani rumput odot di bawah naungan
pokok pinus berdampak pada pertumbuhan rumput odot yang dapat dilihat dari
jumlah anakan yang sedikit jika dibandingkan dengan rumput odot yang ditanam
dilahan terbuka yang cukup pasokan cahaya. Menurut Farizaldi (2011) cahaya
merupakan salah satu faktor tumbuh yang dibutuhkan oleh tanaman. Masalah
yang ditemukan pada kondisi lahan yang ternaungi adalah berkurangnya cahaya
yang sampai kepermukaan tanah dan tanaman yang tumbuh di bawahnya. Berikut
adalah tabel 1 menampilkan rata-rata intesnsitas cahaya di bawah naungan pokok
pinus yang ditanami rumput odot

Pemotongan dan Produksi Rumput Odot


Pemanenan pertama petani lakukan saat rumput odot berumur 5 bulan selanjutnya
pada musim hujan pemanenan dilakukan saat berumur 3-4 bulan sedangkan pada
musim kemarau saat rumput berumur 4 bulan. Hal ini disebabkan karena rumput
kekurangan air saat musim kemarau sehingga batang dan daun berukuran kecil
dibandingkan pada musim hujan, hal ini membuat petani menunggu hingga
rumput odot berukuran seperti umur 3 bulan saat musim hujan. Petani juga
beranggapan jika menyediakan pakan rumput odot berumur tua, produksi susu dan
pertambahan bobot ternaknya akan menurun. Menurut Kamlasi, Mullik dan Dato
(2017) peningkatan kandungan serat kasar disebabkan karena terjadinya proses
lignifikasi yang semakin tinggi seiring dengan pertambahan umur tanaman. Selain
itu produksi biomasa hijauan akan berkurang karena imbangan antara batang:
daun menjadi semakin besar, sehingga ternak akan memperoleh asupan hijauan
dengan kualitas yang lebih rendah dengan semakin menurunnya jumlah daun per
tanaman.

207
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Intensitas Cahaya (lux) Di bawah Naungan Pokok Pinus yang ditanami
rumput odot Di Wilayah Penelitian
Umur Minggu Pagi Siang Sore Total
panen ke
(hari)
60 1 10.460 920 1.270 4.905,08
2 12.660 1.344 2.964
3 10.374 1.255 2.773
4 10.783 1.304 2.754
Rataan 11.069,25 1.205,75 2.440,25
Sd 1.075,02 193,95 785,91

90 1 4.410 2.425 2.001 3.512,08


2 3.990 3.266 4.563
3 3.623 3.571 3.060
4 3.974 3.401 3.861
Rataan 321,97 509,36 1.100,69
Sd 321,97 509,36 1.100,69

120 1 6.610 5.130 6.910 5.921,58


2 7.100 6.013 5.542
3 5.163 5.742 5.521
4 6.281 5.436 5.611
Rataan 6.288,5 5.580,25 5.896
Sd 822,33 381,65 677,09

Tabel 3. Perbandingan Produksi Rumput Odot Ton/Ha/Tahun Pada Lahan


Naungan Dan Terbuka
Jenis Lahan Luas Lahan Umur panen Rataan lux Intensitas Produksi
Pengamatan (hari) per bulan cahaya (%) ton/Ha/tahun
(m2)
Naungan 167 60 4.905 15,3 55,14
Naungan 500 90 3.512 11 67,76
Terbuka 50.000 60 12.000 37,5 92,00
Terbuka 2.500 90 12.600 39,4 156

Seperti tampak pada Tabel 3 menunjukkan perbedaan produksi rumput


odot berdasarkan umur potong dan akibat naungan. Pada umur panen 60 hari di
lahan naungan dan terbuka tercatat bahwa produksi masing-masing adalah sebesar
55.14 ton/Ha/tahun dan 92 ton/Ha/tahun. Rataan nilai lux pada lahan naungan
sebesar 4.905 sedangkan pada lahan terbuka adalah 12.000. Menurut Pratama,
Asrizal dan Kamus (2013) intensitas cahaya matahari yang diterima bumi saat
penyinaran secara langsung adalah 32.000 lux, sehingga untuk menghitung
persentase cahaya yang masuk (Tabel 2) untuk lahan naungan Rataan lux per
bulan = 4.905 lux x 100% = 15,3% penyinaran mataari 32.000 lux sedangkan

208
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pada lahan terbuka persentase cahaya yang masuk adalah 37,55. Dari
kecenderungan ini tampak bahwa produksi rumput odot pada lahan yang terbuka
lebih tinggi dibandingkan lahan yang ternaungi. Demikian juga pada umur
pemanenan 90 hari terdapat kecenderungan produksi rumput odot di lahan terbuka
lebih tinggi (67,76 ton/Ha/tahun) dibanding lahan yang ternaungi (156
ton/Ha/tahun). Menurut Myrna dan Lestari (2010) pada tanaman yang mendapat
cahaya yang lebih banyak, maka intensitas cahaya yang diterima akan lebih tinggi
dan akibatnya proses fotosintesis akan berjalan lebih cepat, sehingga suplai
karbohidrat akan bertambah. Demikian sebaliknya, tanaman yang mendapat
intensitas cahaya yang lebih rendah akan memberikan fotosintat yang juga sedikit
sehingga produksinya juga sedikit. Hasil penelitian sejalan dengan pendapat
tersebut di atas bahwa hasil produksi pada umur 60 hari rumput odot di bawah
naung lebih rendah 59,93% dibanding produksi rumput odot yang ditanam di
lahan .

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Manajemen budidaya rumput odot di bawah naungan pokok pinus milik
Perhutani yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Wagir Desa Sumbersuko
meliputi persiapan lahan, sebagian besar penyediaan bibit dalam bentuk stek,
sebagian besar pemupukan dengan cara pengaliran limbah feses sapi perah
dari PT Greenfields dan penanaman dengan jarak tanam 50 cm x 80 cm.
2. Pada lahan terbuka rumput odot dipanen pada umur 50-60 hari; sedangkan
pada lahan di bawah naungan pokok pinus sebagian besar petani melakukan
pemanenan pada umur 90 hari, disebabkan karena lambatnya pertumbuhan
rumput odot akibat kurangnya intensitas cahaya matahari.
3. Produksi rumput odot di bawah naungan pokok pinus dengan intensitas
cahaya rataan sebesar 11 – 15,3 % pada umur pemanenan 60 dan 90 hari
menyebabkan penurunan produksi biomasa rumput odot masing-masing
sebesar 67 % dan 230 % dibanding produksi pada lahan terbuka.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didanai oleh Proyek Applied Research and Innovation Systems in
Agriculture-The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation
Project (ARISA-CSIRO Project) telah memberikan kemudahan kepada penulis
dalam menjalankan penelitian di lapang. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada petani responden warga Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
serta Polisi Hutan Precet dan Kepala MCC PT Greenfields atas bantuan dan
kerjasamanya selama observasi di lapang

Daftar Pustaka
BPS. 2021. Kecamatan Wagir dalam Angka 2021. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Malang.
Farizaldi. 2011. Respon Beberapa Rumput Unggul pada Lahan Perkebunan
Kelapa Sawit di Kelurahan Kenali Asam Atas Kecamatan Kota Baru Jambi.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 14(1), 30-34.
Greenfieldsdairy.2021. https://greenfieldsdairy.com/about-us/our-history/ .
Diakses pada tanggal 13 November 2021.

209
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasyim, H. 2006. Analisis Hubungan Karakteristik Petani Kopi Terhadap


Pendapatan (Studi Kasus: Desa Dolok Saribu Kecamatan Paguran Kabupaten
Tapanuli Utara). Jurnal Komunikasi Penelitian. 18(1): 22-27.
Indawati, N., Sarwoko, E., Muhaji, U., Mintarti, S. U. W. Dan Wardani, N.R.
2017. IbW Kecamatan Wagir Kabupaten Malang. Seminar Nasional Hasil
Pengabdian kepada Masyarakat 2017. 89-92
Jamaran, N. 2006. Produksi dan Kandungan Gizi Rumput Gajah (P. purpureum)
dan Rumput Raja (P.purpuroides) yang Ditumpangsarikan dengan
Tanaman Jati. Jurnal Peternakan Indonesia. 11(2): 151-157.
Kamlasi, Y., Mullik, M. L. dan Dato, T. O.D. 2017. Pola Produksi dan Nutrisi
Rumput Kume (Shorgum plumosum var.Timorense) pada Lingkungan
Alamiahnya. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 24(2): 31- 40.
Lasamadi, R. D., Malalantang, S. S., Rustandi dan Anis, S. D.2013. Pertumbuhan
dan Perkembangan Rumput Gajah Dwarf (Pennisetum purpureum cv. Mott)
yang diberi Pupuk Organik Hasil Fermentasi EM4. Jurnal Zootek. 32(5):158-
171.
Lugiyo dan Sumarto. 2000. Teknik Budidaya Rumput Gajah cv Hawaii
(Pennisetum purpureum). Temu Teknis Fungsional Non Penelitian 2000: 120-
125
Mansyur, Indrani, N. P. dan Susilawati, I. 2005. Peranan Leguminosa
Tanaman Penutup pada Sistem Pertanaman Jagung untuk Penyediaan Hijauan
Pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005: 879-885.
Mannetje, L. t. dan Jones, R. M. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 4.
Pakan. PT Balai Pustaka (Persero). Bogor
Mufarihin, A., Lukiwati D. R. dan Sutarno. 2012. Pertumbuhan dan Bobot Bahan
Kering Rumput Gajah dan Rumput Raja pada Perlakuan Aras Auksin yang
Berbeda. Animal Agriculture Journal. 1(2):1-15.
Myrna, N. E. F. dan Lestari, A. P. 2010. Peningkatan Efisiensi Konversi Energi
Matahari pada Pertanaman Kedele Melalui Penanaman Jagung dengan Jarak
Tanam Berbeda. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 12(2):49-54
Putrayasa,A, Sukarsa, I.K.G. , dan Kencana,E.N., 2021. Mengapa Generasi Muda
Enggan Bekerja Di Sektor Pertanian? Model Persamaan Struktural Sektor
Pertanian Di Kabupaten Jembrana. E-Jurnal Matematika Vol. 10(2), Mei 2021,
pp. 122-130. DOI: https://doi.org/10.24843/MTK.2021.v10.i02.p331
Seseray, D. Y., Santoso, B. dan Lekitoo, M. N. 2013. Produksi Rumput Gajah
(Pennisetum purpureum) yang Diberi Pupuk N, P dan K dengan Dosis 0,50 dan
100% pada Devoliasi Hari ke-45. 11(1):49-55
Sirait, J. 2017. Rumput Gajah Mini (Pennisetum purpureum cv. Mott) sebagai
Hijauan Pakan untuk Ruminansia. Wartazoa. 27(4): 167-176
Suarna, I. W. dan Budiasa, I. K. M. 2016. Pengaruh Pupuk Organik Terhadap
Produksi dan Kualitas Hijauan Pastura Campuran pada Lahan Kering di Desa
Sebudi Karangasem. MajalahIlmiah Peternakan. 19(3):125-128
Susilowati, S. H. 2016. Fenomena Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga
Kerja Muda Serta Implikasinya Bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian.
Forum Penelitian Agro Ekonomi. 34(1): 35-55.
Pratama, R., Asrizal dan Kamus, Z. 2013. Pembuatan Sistem Pengukuran Durasi
Penyinaran Matahari Berbasis Mikrokontroler Atmega8535 Menggunakan
Sensor LDR. PILLAR OF PHYSICS. 2: 99-106.

210
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Reksohadiprodjo S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.


Edisi Revisi. Cetakan Pertama. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Werembinan, C. S. 2018. Persepsi Generasi Muda Terhadap Kegiatan Pertanian di
Kelurahan Buha Kecamatan Mapanget Kota Manado. Agri-SosioEkonomi
Unsrat.14(3): 123-13

211
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Nutrisi dan Pakan Ternak Unggas

212
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH DEDAK PADI FERMENTASI DALAM PAKAN TERHADAP


PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS TELUR PUYUH LAYER
(COTURNIX-COTURNIX JAPONICA)

Agung Imam Utomo1,*, Mubarak Akbar1


1
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Kadiri, Kediri
*
Email korespondensi: mubarak@uniska-kediri.ac.id

Abstrak
Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui persentase subtitusi dedak padi
fermentasi dalam pakan puyuh komersil yang memberikan pengaruh dan
mengetahui tingkat pengaruh masing-masing subtitusi dedak padi fermentasi
dalam pakan puyuh komersil dengan persentase yang berbeda terhadap
produksivitas dan kualitas telur puyuh layer (Coturnix-coturnix japonica).
variabel dalam penelitian ini meliputi: konsumsi ransum, bobot telur, produksi
telur harian, konversi pakan, persentase putih telur, persentase kuning telur dan
bobot kerabang. Metode Penelitian yang digunakan adalah eksperimental lapang
dengan menggunakan rancangan percobaan rancangan acak lengkap (RAL). Hasil
penelitian menunjukan konsumsi P2 memiliki konsumsi tertinggi. Bobot telur P0
memiliki bobot tertinggi kemudian di bawahnya P1, P2 dan P3. Produksi telur
harian (%) P0 menunjukan produksi tertinggi dalam perhari. Konversi pakan
terbaik adalah P0 dan P1. Persentase putih telur (%) tertinggi adalah P0.
Persentase kuning telur (%) P3 menunjukan persentase tertinggi. Bobot kerabang
(g) tertinggi adalah P0. Bedasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa subtitusi dedak fermentasi dalam pakan komersil hingga taraf
20% mempengaruhi konsumsi pakan, bobot telur, produksi telur harian, konversi
pakan dan bobot kerabang telur. Subtitusi dedak fermentasi dalam pakan komersil
hingga taraf 20% menurunkan persentase putih telur dan menaikan persentase
kuning telur.

Kata Kunci: subtitusi pakan, dedak padi fermentasi, puyuh layer.

Pendahuluan
Puyuh merupakan salah satu ternak unggas yang dapat memproduksi telur lebih
dari 300 butir per ekor selama setahun dengan puncak produksi terjadi pada umur
4-5 bulan (Nataamijaya, 2004). Hal ini sangat potensial dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan protein bagi masayarakat terutama di negara kita. Diantara
faktor penting yang mempengaruhi produksi tersebut adalah pakannya. Pakan
juga merupakan komponen terpenting dalam biaya produksi karena 60-70% dari
biaya yang dikeluarkan digunakan sebagai biaya pakan (Firman, 2010).

Belakangan ini adanya peraturan pemerintah tentang larangan penggunaan


Antibiotic Growth Promoter (AGP) secara keseluruhan. Larangan penggunaan
AGP dalam pakan berdampak menurunnya produksi dan daya tahan tubuh ternak.
Cara kerja AGP sudah diketahui dalam memacu pertumbuhan atau produksi
ternak adalah dengan menekan populasi mikroba dalam usus. AGP yang terserap
usus akan ikut tertimbun seperti nutrisi lainnya dalam daging maupun telur ternak.

213
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Telur dan daging yang mengandung AGP akan meyebabkan resistensi terhadap
antibiotik dalam jangka panjang. Manusia sebagai konsumen produk hasil
peternakan juga akan mendapat antibiotik residu meskipun dalam jumlah yang
rendah. Mengkonsumsi antibiotik jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama
mampu meningkatkan resistensi bakteri serta residu kimia, dan mampu
menimbulkan efek alergi pada manusia (Kompiang, 2009).

Salah satu alternatif pengganti antibiotik adalah dengan memanfatakan peran


mikroba yang bersifat positif atau dikenal dengan istilah Probiotik. Penggunaan
probiotik bermacam-macam caranya, diantaranya dengan mencampurnya dalam
pakan dan membiarkan mikroba probiotik tersebut merubah substrat pakan yang
komplek menjadi lebih sederhana. Substrat yang lebih sederhana memudahkan
saluran pencernaan ternak untuk memanfaatkan produk akhirnya. Dedak padi
termasuk salah satu limbah pertanian yang dapat difermentasi menggunakan
probiotik dan sudah umum digunakan sebagai bahan baku pakan ternak.

Schalbroeck (2001) menyatakan bahwa produksi dedak padi pertahun di Indonesia


cukup tinggi, mencapai 4 juta ton. Tiap 100 Kg gabah kering, dedak yang
dihasilkan 18 kg sampai 20 kg. Di Indonesia dedak sudah terkenal digunakan
sebagai bahan penyusun ransum unggas, ketersediaanya yang melimpah dan
penggunaannya yang belum bersaing dengan kebutuhan pangan dan membuat
harganya relatif murah bila dibandingkan dengan harga bahan pakan lain.

Penelitian ini perlu dilakukan dalam rangka upaya mencari alternatif pengganti
AGP dengan memanfaatkan peran mikroba. Dedak padi hasil fermentasi probiotik
diharapkan mampu memanipulasi dan menciptakan kondisi intestinum yang sehat
pada puyuh petelur. Penggunaan dedak fermentasi ini selain mempengaruhi
penampilan produksi juga diharapkan menekan biaya pakan karena sebagian
pakan pabrikan akan disubstitusi. Jika alternatif ini memperlihatkan dampak yang
positif maka akan menjadi salah satu solusi di peternakan puyuh untuk
menghasilkan produk yang aman, sehat bagi konsumen, bebas residu antibiotik
dan murah.

Materi dan Metode


Penelitian tentang “Pengaruh Dedak Padi Fermentasi Dalam Pakan Terhadap
Produktivitas Dan Kualitas Telur Puyuh Layer (Coturnix-coturnix japonica)” ini
dilaksanakan di Desa Dawung, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri,
Provinsi Jawa Timur.

Materi yang digunakan dalam persiapan penelitian ini adalah dedak padi
fermentasi yang difermentasi dengan starter, tetes tebu, air dan disimpan dalam
drum dalam keadaan anaerob. Starter yang digunakan untuk fermentasi dedak
padi yaitu Bacillus subtilis, Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae,
Rhodopseudomonas, Lactobacillus acidophilus, Actinomycetes dan Nitrobacter.

Fermentasi dedak ditambahkan tetes tebu sebagai sumber energi untuk tumbuh
dan berkembangbiakan starter. Tetes tebu dan starter dicampur kemudian
ditambah air secekupnya. dedak padi yang sudah dicampur dengan campuran

214
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

starter, tetes tebu dan air dimasukan kedalam drum dan difermentasi secara
anaerob selama 20 hari.

Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini adalah Puyuh betina (Coternix-
corternix japonica) dengan jumlah 480 ekor dan puyuh berumur 30 hari. Puyuh
diberi pakan pabrikan dan dedak padi fermentasi dengan persentase yang berbeda.
Pakan diberikan dengan jumlah 24 g ditambah 10%/ ekor/ hari, pemberian
dilakukan dua kali dalam satu hari yaitu pagi hari jam 07.00 WIB dan sore hari
jam 13.00 WIB.

Peralatan yang digunakan dalam persiapan penelitian ini adalah drum plastik
untuk penyimpanan dedak padi fermentasi. Timbangan duduk kapasitas 500 kg
dengan ketelitian 0,1 kg untuk menimbang dedak padi. Gembor (penyiram
tanaman) untuk mencampurkan tetes tebu, starter, air dan untuk menyirami dedak
padi.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah new digital pocket scale
(timbangan digital kapasitas 500 g dengan akurasi 0.01 g) untuk menimbang telur
puyuh atau menimbang pakan pemberian atau sisa pakan, tempat minum
menggunakan nipple, tempat pakan menggunakan pipa air yang dibelah menjadi
dua, kandang puyuh menggunakan kandang baterai dengan kapasitas 20-25 ekor
puyuh, egg tray sebagai wadah telur, sprayer untuk desinfektan dan recording dan
alat tulis menulis.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode eksperimental lapang. Menggunakan


rancangan percobaan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 macam perlakuan
dan hanya ada satu sumber keragaman yakni perlakuan yang dibeda-bedakan
(Kusriningrum, 2008). Setiap perlakuan diulang 6 kali, jumlah ulangan minimal
diperoleh melalui rumus: t (n-1) ≥ 15, dimana t = perlakuan dan n = ulangan (Al-
Arif, 2016). Setiap unit percobaan terdiri atas 20 ekor puyuh, Perlakuan terdiri
dari:
❖ P0= 100% pakan puyuh komersil
❖ P1= 90% pakan puyuh komersil + 10% dedak padi fermentasi
❖ P2= 85% pakan puyuh komersil + 15% dedak padi fermentasi
❖ P3= 80% pakan puyuh komersil + 20% dedak padi fermentasi

Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan


Bahan Harga GE (Cal/g) PK% LK% SK%
Pakan puyuh komersil 6.600 4195,04 24 5 5
Dedak padi fermentasi 4.500 3348,02 10,11 16,36 2,71
Sumber: analisis laboratorium pakan ternak, dinas peternakan dan perikanan,
kabupaten Blitar (2019).

Prosedur penelitian
a. Persiapan
1. DOQ puyuh betina (Coturnix-coturnix japonica) umur 1-30 hari dipelihara
secara komunal di kandang box dan diberi pakan puyuh komersil pabrikan.

215
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

2. Fermentasi dedak padi dengan penambahan starter 0,3% dan tetes tebu
0,3% dari bobot dedak padi. Fermentasi dilakukan secara anaerob selama
20 hari.

Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum percobaan


Bahan P0 P1 P2 P3
Pakan puyuh komersil (%) 100 90 85 80
Dedak padi fermentasi (%) 0 10 15 20
Jumlah 100 100 100 100
Nutrisi
GE (Cal/g) 4195,04 4110,34 4067,99 4025,64
PK (%) 24,00 22,61 21,92 21,22
LK (%) 5,00 6,14 6,70 7,27
SK (%) 5,00 6,14 4,66 4,54
Harga (Rp) 6.600 6.390 6.285 6.180
Sumber: analisis laboratorium pakan ternak, dinas peternakan dan perikanan,
kabupaten Blitar (2019).

b. Perlakuan
1. Puyuh betina (Coturnix-coturnix japonica) umur 31 dipindahkan ke
kandang baterai dengan populasi perbaterai 20 ekor dan terdapat 24
kandang baterai.
2. Subtitusi dedak padi fermentasi dengan persentase 10%, 15% dan 20%
dalam pakan puyuh komersil dimulai saat puyuh berumur 31 hari. Selama
12 hari dari umur 31 sampai umur 42 hari puyuh pada kondisi adaptasi
pakan dan kandang.
c. Pengambilan Data
1. Pengambilan data pemberian pakan dan sisa pakan dilakukan setiap hari,
data pemberian pakan diproleh dari pakan yang diberikan pagi hari dan
sore hari, sedangkan sisa pakan diproleh dari sisa pakan yang diambil pada
pagi hari sebelum puyuh diberi pakan. Pengambilan data pada saat puyuh
berumur 43 hari sampai 64 hari.
2. Pengambilan data produksi telur diambil setiap hari pada pukul 08.00
WIB, dimulai saat puyuh berumur 43 hari dan pengambilan data dilakukan
selama tiga minggu.
3. Pengambilan data bobot telur, persentase putih telur, persentase kuning
telur dan bobot kerabang telur dilakukan satu minggu dua kali, selama tiga
minggu dan diambil 30% sampel dari produksi per unit. Penimbangan
sampel dilakukan pada malam hari agar sampel tidak mudah menguap
karena suhu yang panas.

Variable penelitian
1. Konsumsi pakan (gram)
Data konsumsi pakan diperoleh dengan mengurangi pakan pemberian dengan
pakan sisa (Maknun dkk., 2015). Adapun rumus konsumsi pakan (g/ekor/hari)
adalah:

216
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

2. Konversi pakan
Konversi pakan adalah kemampuan puyuh dalam mengkonversi pakan menjadi
telur (Maknun dkk., 2015). Perhitungan konversi pakan dilakukan setiap
seminggu. Rumus Konversi pakan:

3. Produksi Telur Harian (%)


Produksi telur harian dihitung dengan membagi jumlah telur yang dihasilkan
dengan populasi puyuh (Zahra dkk., 2012). Rumus Produksi Telur puyuh (%):

4. Bobot telur (g)


Bobot telur diketahui dengan di timbang pada timbangan digital dengan ketelitian
0,01 g

5. Persentase putih telur


Persentase putih telur dihitung dengan membagi bobot putih telur yang dihasilkan
dengan bobot telur kemudian dikalikan 100%.

6. Persentase kuning telur


Persentase kuning telur dihitung dengan membagi bobot kuning telur yang
dihasilkan dengan bobot telur kemudian dikalikan 100%.

7. Bobot kerabang telur


Bobot kerabang telur diketahui dengan di timbang pada timbangan digital dengan
ketelitian 0,01 g.

Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan menggunakan analisis


keragaman rancangan acak lengkap (RAL) (Gasperz, 1995). Apabila perlakuan
yang diberikan berpengaruh nyata atau sangat nyata maka akan di uji lanjut BNT.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis Ragam (Gasperz,
1995).

Hasil dan Pembahasan


Rataan konsumsi ransum, bobot telur, produksi telur harian, konversi pakan
puyuh perhari umur 43-64 hari, persentase putih telur, persentase kuning telur dan
bobot kerabang pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3.

217
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Rataan konsumsi ransum, bobot telur, produksi telur harian, konversi
pakan puyuh perhari umur 43-64 hari, persentase putih telur, persentase kuning
telur dan bobot kerabang
Perlakuan
Variabel P0 P1 P2 P3
Konsumsi pakan (g) 24,36 ±1,12 24,00 ±1,03 24,87 ±0,87 24,74 ±0,82
Bobot telur (g) 10,06 ±0,23 9,90 ±0,15 9,88 ±0,17 9,82 ±0,31
Produksi telur harian (%) 62,39 ±5,69 61,79 ±7,57 54,22 ±11,50 57,36 ±4,45
Konversi pakan 2,42 ±0,10 2,42 ±0,10 2,52 ±0,08 2,52 ±0,07
Persentase putih telur (%) 56,81 ±0,88 a 55,97 ±0,39 ab 55,68±0,36 bc 54,78±1,12 c
Persentase kuning telur (%) 30,48±0,9 a 31,27±0,58 ab 31,79 ±0,4 bc 32,60 ±0,9 c
Bobot kerabang (g) 1,35 ±0,05 1,33 ±0,04 1,30 ±0,03 1,30 ±0,05
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
pengaruh yang sangat nyata (p<0,01).

Gambar 1. Diagram variabel penelitian

Konsumsi pakan
Konsumsi pakan adalah banyaknya ransum yang dimakan oleh ternak pada waktu
tertentu dengan tujuan untuk dapat hidup, pertumbuhan dan produksi telur. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan subtitusi dedak padi fermentasi
dalam pakan puyuh komersil hingga taraf 20% (P3) tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap konsumsi ransum puyuh umur 43-64 hari. Palatabilitas pakan
dan lingkungan termasuk faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan juga.
Lingkungan disini termasuk suhu dan kelembaban kandang. Suprijatna dkk.
(2008), menyatakan bahwa unggas mampu stabil produksinya jika kelembaban
dalam kandang berkisar antara 30-80% dan temperatur 10°C-30°C. Menurut
Utomo dkk. (2011), menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan energi dalam
pakan maka konsumsi pakan akan menurun. Konsumsi pakan akan juga
dipengaruhi konsumsi protein ternak. Triyanto (2007) menambahkan bahwa

218
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

unggas memiliki dua faktor pembatas konsumsi pakan yakni kebutuhan energi
dan kapasitas tembolok. Jika energi dalam pakan sudah terpenuhi unggas akan
berhenti mengkonsumsi pakan.

Gross energi pakan masing- masing perlakuan P0, P1, P2, dan P3 adalah 4195,04
Cal/g, 4110,34 Cal/g , 4067,99 Cal/g dan 4025,64 Cal/g. Pakan dengan
kandungan energi yang lebih rendah akan memacu unggas untuk mengkonsumsi
pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hasil penelitian yang sudah
dilakukan didapatkan konsumsi dengan hasil (P0: 24,36, P1: 24,00, P2: 24,87 dan
P3: 24,74) g/hari/ ekor ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Rizki dkk.
(2016), bahwa rata-rata konsumsi ransum puyuh umur 6-8 minggu adalah 23,30
g/ekor/hari. Sedangkan pada penelitian Achmanu dkk. (2011), konsumsi pakan
puyuh rata-ratanya adalah 21,05 gram perekor perhari.

Hasil penelitian substitusi dedak padi fermentasi dalam pakan puyuh komersil
didapatkan hasil bahwa perlakuan tidak mempengaruhi konsumsi pakan secara
nyata tetapi terdapat selisih konsumsi antar perlakuan. Selisih pakan ini tejadi
pada P2 dan P3 yang lebih tinggi konsumsinya dari pada P0 dan P1. Konsumsi P2
dan P3 lebih tinggi dikarenakan kandungan gross energi lebih sedikit dari pada P0
dan P1 dan subtitusi dedak padi fermentasi meningkatkan palatabilitas, sehingga
P2 dan P3 konsumsi lebih tinggi karena ternak makan lebih banyak untuk
mencukupi kebutuhan energi dan diimbangi palatabilitas pakan yang baik.

Bobot telur
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa subtitusi dedak padi fermentasi dalam
pakan puyuh komersil hingga taraf 20% (P3) tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap bobot telur. Rataan bobot telur puyuh sampai umur 64 hari perlakuan P0,
P1, P2 dan P3 masing-masing yaitu 10,06 g; 9,90 g; 9,88 g dan 9,82 g. Hasil ini
relatif sama diduga karena konsumsi antar perlakuan juga relatif sama. Berat
telur puyuh rata-rata berkisar 9,30 g sampai 9,78 g perbutir (Sihombing et al.,
2006). Pada burung puyuh yang berumur 8 - 9 minggu yang diberi pakan dengan
kandungan protein 22% berat telurnya 9,2 g. Pada umur (20– 21) minggu dan (31
– 32) minggu, pemberian pakan dengan kandungan protein 22% berat telurnya
10,1 g dan 11,0 g (Eishu et al., 2005). Atik (2010), mengatakan bahwa faktor
terpenting dalam pakan yang mempengaruhi berat telur adalah protein yang
terkonsumsi dalam pakan karena kurang lebih 50% dari berat kering telur adalah
protein. Selebihnya adalah kandungan karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral.

Hasil penelitian subtitusi dedak padi fermentasi dalam pakan puyuh komersil
tidak berpengaruh nyata terhadap berat telur, tetapi terdapat selisih rata-rata bobot
telur antar perlakuan. Bobot telur P0: 10,06 g, P1: 9,90 g, P2: 9,88 g dan P3:
9,82 g. Hal ini terjadi diduga karena kandungan PK dalam ransum juga berbeda.
Kandungan PK dalam ransum masing perlakuan adalah P0: 24,00%, P1: 22,61%,
P2: 21,92% dan P3: 21,22%. Adanya keseimbangan urutan tertinggi kemudian
menurun antara bobot telur dan kandungan protein dalam ransum yaitu P0
tertinggi, kemudian di bawahnya P1, P2 dan P3.

219
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Produksi telur harian


Produksi telur harian adalah jumlah produksi telur persatu hari dibagi jumlah
puyuh hari itu lalu dikali 100%. Pada penelitian ini rataan produksi telur tertinggi
ada pada P0 dengan rataan 62,39% diikuti oleh rataan produksi P1, P3 dan P2
masing-masing yaitu 61,79%; 57,36% dan 54,22%. Menurut Muslim dkk. (2012),
mengatakan bahwa puyuh Coturnix-coturnix japonica umur 5-8 minggu
persentase produksi puyuh adalah 64%. Nutrien yang dikonsumsi melalui pakan
berpengaruh signifikan pada kualitas interior telur terutama kandungan protein,
mineral Ca dan P (Suprapto dkk., 2012). Menurut Sudrajat dkk. (2014), nutrien
yang lengkap dan cukup dalam pakan membuat puyuh sehat dan proses
pembentukan serta produksi telur dapat berjalan baik.

Produksi harian telur puyuh atau quail day production (QHP) pada minggu ke
lima belum tinggi karena puyuh awal dewasa kelamin dan masih tahap awal
produksi (Setiawan, 2006). Produksi telur yang optimal diperoleh bila
metabolisme dalam tubuh puyuh berjalan dengan baik, sedangkan metabolisme
yang baik akan tercapai jika faktor lingkungan dan nutrisi terpenuhi.

Berdasarkan hasil analisis ragam subtitusi dedak padi fermentasi dalam pakan
puyuh komersil hingga taraf 20% (P3) tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
produksi telur. Hal ini diduga karena nutrien yang terkandung dalam pakan serta
jumlah konsumsi pakan antar perlakuan relatif sama sehingga tidak signifikan
mempengaruhi produksi telur harian. P0 mencapai tertinggi dari pada P1, P2 dan
P3 hal ini dikarenakan P0 adalah pakan kontrol menggunakan 100% pakan puyuh
komersil yang kualitas bagus dan memiliki kandungan PK yang tertinggi.

Konversi ransum
Konversi ransum pada puyuh petelur merupakan perbandingan antara berat pakan
yang dikonsumsi dengan berat telur yang dihasilkan pada waktu tertentu.
Konversi ransum menggambarkan efisiensi penggunaan pakan untuk produksi
telur. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa subtitusi dedak padi fermentasi
dalam pakan puyuh komersil hingga taraf 20% (P3) tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap konversi ransum puyuh umur 43-64 hari. Konversi ransum
perlakuan P0: 2,42, P1: 2,42, P2: 2,52, dan P3: 2,52. Utomo dkk. (2011), yang
menyatakan bahwa nilai konversi pakan yang semakin kecil maka akan semakin
baik karena konsumsi pakan yang rendah dapat dimanfaatkan oleh ternak secara
optimal untuk pertambahan bobot badannya. Nilai konversi pakan dipengaruhi
oleh beberapa factor, misalnya jumlah konsumsi, mutu pakan, palatabilitas pakan,
tata cara pemberian pakan dan kesehatan ternak. Konversi ransum puyuh usia 5-
13 minggu adalah 2,16 (Fransela dkk., 2017). Ahmadi (2014), mengatakan bahwa
konversi ransum pada puyuh umur 8-14 minggu yang di beri ransum komersil
adalah 3,62. Diwayani Sunanti dan Sarengat (2012) menyatakan bahwa konversi
pakan yang tinggi mengindikasikan bahwa jumlah pakan yang dibutuhkan untuk
penambahan bobot badan atau produksi telur lebih banyak dan imbasnya efisiensi
pakan jadi rendah.

Penggunaan subtitusi dedak padi fermentasi dalam ransum menghasilkan angka


konversi yang relatif sama antar perlakuan. Hal ini dikarenakan subtitusi dedak

220
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

padi fermentasi tidak mengakibatkan selisih kandungan nutrisi terlalu banyak


dalam ransum antar perlakuan, sehingga konsumsi dan produksi relatif sama.
Konsumsi dan produksi yang relatif sama antar perlakuan akan menghasilkan
konversi pakan yang relatif sama.

Persentase putih telur


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa subtitusi dedak padi fermentasi dalam
pakan puyuh komersil hingga taraf 20% (P3) berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap persentase putih telur puyuh umur 43-64 hari. Persentase putih telur
puyuh perlakuan P0, P1, P2, dan P3 masing-masing yaitu 56,81%; 55,97%;
55,68% dan 54,78%. Komponen penyusun putih telur menurut Winarno dan
koswara (2002), adalah air (88,57%), protein (10,30%), lemak (0,03%),
karbohidrat (0,65%), dan abu (0,55%), sehingga komponen penyusun putih telur
terbesar adalah air dan diikuti oleh protein. Subtitusi dedak padi fermentasi pada
pakan puyuh komersil sangat berpengaruh nyata terhadap persentase putih telur.
Penyusun putih telur yang tertinggi setelah air adalah protein. Pada penelitian ini
diduga selisih kandungan PK pada ransum percobaan menyebabkan persentase
putih telur sangat berpengaruh antar perlakuan.

Pada P0 mengandung persentase putih telur tertinggi kemudian di bawahnya P1,


P2 dan P3. hal ini dikarenakan P0 adalah pakan kontrol menggunakan 100%
pakan puyuh komersil yang kualitas bagus dan memiliki kandungan PK yang
tertinggi yaitu 24% kemudian di bawahnya P1: 22,61%, P2: 21,92% dan P3:
21,22%.

Persentase kuning telur


Kuning telur merupakan bagian telur yang berbentuk bulat, berwarna kuning
sampai jingga, dan terletak di tengah-tengah telur. Kuning telur dibungkus oleh
selaput tipis yang disebut membran vitelin. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa subtitusi dedak padi fermentasi dalam pakan puyuh komersil hingga taraf
20% (P3) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase kuning telur
puyuh umur 43-64 hari.

Menurut penelitian Nastiti dkk. (2014), persentase kuning telur puyuh umur 5
minggu sampai 13 minggu adalah 29,99%. Song et al. (2000), menyatakan bahwa
bobot kuning telur puyuh yang normal adalah 3.25 gram/butir. Sukma dkk.
(2010), mengatakan fermentasi dedak padi menggunakan Aspergillus terreus akan
menambah lemak tak jenuh pada dedak padi. Fermentasi dedak padi dapat
meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak dedak padi. Hal ini
dibuktikan dengan tingginya asam lemak essensial (asam linoleat) pada minyak
dedak padi hasil fermentasi yaitu 44,89%, sedangkan asam lemak tak jenuh (asam
oleat) hasil fermentasi memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa difermentasi yaitu 0,79%. (Yunita, 2007).

Komponen penyusun kuning telur menurut Winarno dan koswara (2002), adalah
protein (16,15%), lemak (34,65%), karbohidrat (0,60%), dan abu (1,1%). Jika
dilihat dari penjelasan diatas tersebut lemak adalah komponen penyusun kuning

221
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

telur terbesar. Subtitusi dedak padi fermentasi dalam pakan merupakan sumber
karbohitrat dan lemak kasar yang dapat meningkatkan bobot kuning telur.

Kandungan nutrisi pakan yang mengandung lemak kasar yang tinggi akan
menaikan bobot kuning telur puyuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno dan
koswara (2002), yang menyatakan penyusun kuning telur tertinggi setelah air
adalah lemak kasar. Kandungan lemak kasar dalam ransum penelitian adalah P0:
5%, P1: 6,14%, P2: 6,70 dan P3: 7,27.

Persentase kuning telur puyuh perlakuan P0, P1, P2, dan P3 masing-masing yaitu
30,48%; 31,27%; 31,79% dan 32,60%. Persentase yang sangat berbeda dari
penelitian ini disebabkan karena pakan yang di subtitusi dedak padi fermentasi
mengalami penambahan kandungan lemak kasar yang cukup tinggi dan pakan
yang dikonsumsi mempunyai kandungan nutrisi yang berbeda dengan tingkat
konsumsi yang hampir sama.

Bobot kerabang telur


Bagian paling keras dari sebuah telur adalah bagian luarnya yaitu kerabang telur.
Kerabang ini terutama tersusun atas kalsium karbonat (CaCO3) sehingga
bentuknya padat dan kompak. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa subtitusi
dedak padi fermentasi dalam pakan puyuh komersil hingga taraf 20% (P3) tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot kerabang umur 43-64 hari.

Penurunan kandungan asam fitat pada dedak padi selama fermentasi umumnya
disebabkan adanya enzim 6- fitase yang terdapat dalam dedak padi. Enzim
tersebut memulai defosforilasi asam fitat pada posisi ke-6 sehingga terjadi
pemutusan ikatan fitat yang menyebabkan terjadinya penurunan komposisi asam
fitat pada dedak. Yanuartono dkk. (2013), mengatakan pemprosesan (pemanasan/
penggilingan/ perendaman/ perkecambahan atau fermentasi) bahan baku pakan
akan menurunkan atau menghilangkan asam fitat.

Menurut Lendrawati (2008), aktifitas enzim fitase dalam dedak padi akan
optimum pada pH 4,5. Fitat dalam dedak akan menurun karena aktifitas mikroba
dalam keadaan anaerob yang menjadikan suasana asam. Kondisi asam yang
terbentuk akan mendukung aktifnya enzim fitase yang terdapat dalam dedak padi,
sehingga terjadi proses degradasi asam fitat selama keadaan anaerob.

Menurut hasil penelitian Zuhri dkk. (2011), berat kerabang telur puyuh adalah
0,88 g. Berat kerabang telur puyuh dalam penelitian yaitu P0, P1, P2, dan P3
masing-masing 1,35 g; 1,33 g; 1,3 g dan 1,3 g. Berat kerabang yang tidak berbeda
nyata dan hanya memiliki selisih yang tidak terlalu jauh. Hasil ini diduga proses
fermentasi dedak padi menurunkan kandungan asam fitat sehingga asam fitat
tidak mengikat fosfor dalam pakan dan tidak mengganggu penyerapan mineral
dan kandungan fosfor dalam dedak bisa dimanfaatkan oleh ternak.

Kesimpulan
Bedasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
subtitusi dedak fermentasi dalam pakan komersil hingga taraf 20% dapat

222
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

digunakan untuk menekan biaya pakan tanpa mempengaruhi konsumsi pakan,


bobot telur, produksi telur harian, konversi pakan dan bobot kerabang telur.
Subtitusi dedak fermentasi dalam pakan komersil hingga taraf 20% menurunkan
persentase putih telur dan menaikan persentase kuning telur hal ini terjadi karena
kandungan nutrisi dalam ransum antar perlakuan berbeda.

Saran
Peternak puyuh dapat menggunakan subtitusi dedak fermentasi dalam pakan
komersil sebagai cara menekan biaya pakan dan dedak fermentasi dapat
digunakan hingga taraf 20% untuk mensibtusi pakan komersil.

Daftar Pustaka
Achmanu, Muharlien dan Salaby. 2011. Pengaruh lantai kandang (rapat dan
renggang) dan imbangan jantan-betina terhadap konsumsi pakan, bobot telur,
konversi pakan dan tebal kerabang pada burung puyuh. Ternak Tropika.12:1-
14.
Ahmadi, S. E. T. 2014. Produktivitas puyuh petelur Coturnix coturnix japonica
yang diberi tepung daun jati (tectona grandis linn. F.) Dalam ransum. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Al-Arif, M. A. 2016. Rancangan percobaan, Cetakan ke-2. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga: Surabaya. Hal. 33.
Atik. P. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata
Lamark) Dalam Ransum Terhadap Kualitas Telur Itik. Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Diwayani, Sunanti dan Sarengat, W. 2012. Pengaruh Pemberian Pakan Bekas
Pilih (Free Choice Feeding) Terhadap Performa Awal Penularan Burung Puyuh
(Cortunix-cortunix japonica). Animal agricultural journal. 1(1): 23-32
Eishu, R. I., K. Sato, T. Oikawa, T. Kunieda, and H. Uchida. 2005. Effects of
dietary protein levels on production andcaracteristics ofjapanese quail egg. The
J. of Poultry Science, 42: 130-139.
Firman, A. 2010. Agribisnis sapi perah. Bandung : Penerbit Widya Padjadjaran
Fransela, T., Ch. L. K. Sarajar, M. E. R. Montong, dan M. Najoan. 2017.
Performans burung puyuh (Coturnix – coturnix japonica) yang diberikan
tepung keong sawah (Pila ampullacea) sebagai pengganti tepung ikan
dalam ransum. Jurnal zootek. Vol. 37 (1): 62–69
Gaspersz, Vincent. 1995. Teknik analisa dalam penelitian percobaan, Edisi
Pertama, Penerbit Tarsito, Bandung.
Kompiang. I. P. 2009. Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik untuk
meningkatkan produksi ternak unggas di Indonesia. J. Pengembangan Inovasi
Pertanian. 2(3): 177-191.
Kusriningrum. 2008. Dasar perancangan percobaan dan rancangan acak
lengkap. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga: Surabaya.
Lendrawati. 2008. Kualitas fermentasi dan nutrisi silase ransum komplit
berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi Kayu. Thesis. Sekolah
Pascasarjana. IPB. Maknun. L., K. Sri, dan M. Isna. 2015. Performans
produksi burung puyuh (Coturnix -coturnix japonica ) dengan perlakuan
tepung limbah penetasan telur puyuh. J. Ilmu - ilmu Peternakan. 25 (3): 53 -
58.

223
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Muslim, Nuraini dan Mirzah. 2012. Pengaruh pemberian campuran dedak


dan ampas tahu fermentasi dengan Monascus purpureus terhadap performa
burung puyuh. Jurnal peternakan. Vol. 9 (1): 15-26
Nastiti, R. A., W. Hermana, R. Mutia. 2014. Penggunaan dedak gandum kasar
(Wheat bran) sebagai pengganti jagung dengan kombinasi tepung daun
mengkudu (Morinda citrifolia) untuk menghasilkan telur puyuh sehat rendah
kolesterol dan kaya vitamin A. Buletin makanan ternak. 101 (1): 1-12
Nataamijaya, A. 2004. Fenotipe reproduksi dua galur puyuh jepang (Coturnix
coturnix japonica L.) pada Dua Suhu Ruangan Berbeda. JITV. 8 (4): 220-
226.
Setiawan, D. 2006. Performa produksi burung puyuh (Coturnix coturnix japonica)
pada perbandingan jantan dan betina yang berbeda. Skripsi. Program Studi
Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Shcalbroeck. 2001. Toxicologikal evalution of red mold rice. DFG-Senate
Comision on Food Savety. Ternak monogastrik. Karya Ilmiah. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sudrajat, D., D. Kardaya, E. Dihansih, dan S.F.S Puteri. 2014. Performa produksi
telur burung puyuh yang diberi ransum mengandung kromium organik. Jurnal
ilmu ternak dan veteriner. 19 (4): 257-262.
Sukma, L. N., Zackiyah, dan G.G. Gumilar. 2010. Pengkayaan asam lemak tak
jenuh pada bekatul dengan cara fermentasi padat menggunakan Aspergillus
terreus. Jurnal Sains dan eknologi Kimia. 1(1):66-72.
Suprapto, W., S. Kismiyati dan E. Suprijatna, 2012. Pengaruh Penggunaan
Tepung Kerabang Telur Ayam Ras Dalam Pakan Burung Puyuh terhadap
Tulang Tipia dan Tarsu. Animal Agricultur Journal. 1: 75-90.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Cetakan Kedua. Penebar Swadaya. Jakarta
Triyanto. 2007. Performa produksi burung puyuh (Coturnix coturnix japonica)
periode produksi umur 6-13 minggu pada lama pencahayaan yang
berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Utomo dan I. B. Rai. (2011). Agrowisata sebagai pariwisata alternatif. Wisata
Cibugary DKI Jakarta.
Winarno, F. G. dan S. Koswara. 2002. Telur : Komposisi, Penanganan, dan
Pengolahannya. Bogor:M-Brio Press.
Yanuartono, N., Alfarisa, I. Soedarmanto. 2013. Fitat dan fitase dampak pada
hewan ternak. J. Ilmu-ilmu peternakan. 26 (3): 59–78.
Yunita, Dian I. 2007. Pengaruh suhu terhadap ketahanan asam lemak dalam
minyak bekatul. Skripsi program studi kimia jurusan pendidikan kimia UPI.
Zahra, A. A., D. Sunardi dan E. Suprijatna. 2012. Pengaruh pemberian pakan
bebas pilih (free choice feeding) terhadap performans produksi telur burung
puyuh (coturnix-coturnix japonica. J. Anim. Agr. 1 (1) : 1-11.
Zuhri, M. A., S. Edhy dan A. A. Hamiyanti. 2017. Pengaruh pemberian tepung
bawang putih (allium sativum ) sebagai feed additive alami dalam pakan
terhadap kualitas eksternal dan internal telur pada burung puyuh (Coturnix-
coturnix japonica). Maduranch. 2 (1): 23-30.

224
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG DAUN INDIGOFERA (Indigofera


zollingeriana) MENGGUNAKAN INOKULUM WARETHA SEBAGAI
SUMBER PROTEIN PADA PAKAN UNGGAS

Mirzah1,*, Montesqrit1, Kadran Fajrona2, Isna Hayati2


1
Jurusan Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Universitas Andalas
2
Program Studi Peternakan Universitas Andalas Kampus Payakumbuh,
Kampus Unand Limau Manis Padang 25163
Telp: 0751 72400, Fax. 0751 72400,
*Email korespondensi: may.mirzah@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan sumber karbon
yang berbeda pada daun Indigofera ( Indigofera zollingeriana) yang difermentasi
menggunakan inokulum Waretha yang mengandung bakteri Bacillus
amyloliquefaciens terhadap perubahan kandungan bahan kering, protein kasar,
serat kasar, lemak kasar, dan kualitas nutrisi (retensi nitrogen dan energi
metabolis). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) 4 perlakuan dengan 5 kali ulangan. Perlakuan adalah
sumber karbon pada campuran substrat yang terdiri dari P0 = 100% Indigofera
zollingeriana, P1 = 80% Indigofera zollingeriana + 20% dedak padi, P2 = 80%
Indigofera zollingeriana + 20% ampas tahu, P3 = 80% Indigofera zollingeriana +
20% kulit ubi kayu. Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan Waretha
dengan dosis 3 %/kg campuran substrat dan diinkubasi selama 4 hari. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan sumber karbon yang berbeda
memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap penurunan bahan kering
dan serat kasar, serta peningkatan protein kasar, retensi nitrogen dan energi
metabolis dari produk daun indigofera fermentasi. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa campuran 80% Indigofera zollingeriana dengan 20% ampas
tahu yang difermentasi menggunakan inokulum Waretha dengan dosis 3 persen
selama 4 hari merupakan perlakuan terbaik dengan penurunan bahan kering
sebesar 36.75%, serat kasar 31,34%, dan peningkatan protein kasarnya 17.29%
serta nilai retensi nitrogen 81.00% dan energi termetabolis sebesar 2603,86
kkal/kg.

Kata kunci: Indigofera, B amyloliquefaciens, sumber karbon, fermentasi, nutrisi

Pendahuluan
Pakan merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilan pada usaha
peternakan unggas. Ketersediaan bahan pakan dalam usaha peternakan merupakan
salah satu faktor terpenting yang menentukan keberhasilan suatu usaha
peternakan, karena ketersediaan bahan baku pakan yang tidak terjamin jumlah dan
kualitasnya, dan harga yang mahal, terutama bahan pakan sumber protein, akan
berpengaruh terhadap keuntungan usaha peternakan. Bahan baku pakan sumber
protein nabati seperti bungkil kedelai adalah komponen pakan paling menentukan
harga ransum dan merupakan sumber protein nabati utama dalam ransum ternak
unggas di Indonesia pada saat ini serta tidak ada jaminan suplai. Perlu dicarikan

225
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

bahan pakan alternatif (non-konvensional) untuk menggantinya, dengan harga


yang relatif murah, ketersediaan terjamin, memiliki kandungan nutrisi yang tinggi,
dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.
Bahan pakan asal tanaman seperti legum dan bahan pakan fungsional lain banyak
digunakan sebagai sumber protein nabati bagi ternak unggas. Selain sebagai
sumber protein, vitamin dan pigmen xanthopil dan carotenoid, hijauan dan legum
yang diberikan pada unggas juga berfungsi sebagai sumber fitofarmaka dan herbal
untuk unggas. Salah satu jenis tanaman legum yang berpotensi untuk dijadikan
sebagai sumber hijauan pakan ternak adalah Indigofera. Indigofera telah dikenal
sejak lama di Indonesia sebagai pewarna alami dan juga terdapat beberapa spesies
Indigofera yang memiliki potensi sebagai hijauan pakan sumber protein, salah
satunya adalah Indigofera zollingeriana (Abdullah, 2010).
Indigofera merupakan tanaman leguminosa yang banyak tumbuh di Indonesia
karena sifatnya yang tahan kering, tahan genangan air, dan tahan terhadap
salinitas (Hassen et al., 2007). Tanaman ini banyak ditanaman pada lahan kering
di Indonesia sebagai tanaman penutup, pelindung lahan kering dari erosi yang
luasnya mencapai 145 juta hektar, yaitu lebih setengan dari luas daratan
Indonesia.
Indigofera zollingeriana merupakan tanaman leguminosa yang mempunyai
kandungan nutrisi tinggi dan berpotensi sebagai bahan baku pakan sumber
protein. Indigofera zollingeriana merupakan jenis tanaman yang bisa tumbuh
pada tingkat kesuburan tanah yang rendah. Di samping sebagai bahan pakan
sumber protein daun Indigofera juga merupakan sumber pigmen carotenoid.
Namun daun Indigofera ini sangat rendah kecernaanya oleh unggas, karena
adanya serat kasar yang tinggi. Daun indigofera mengandung protein kasar (PK)
yang tinggi yaitu 27.89%, lemak kasar atau ekstrak ether (EE) sebesar 3.70%, dan
serat kasar (SK) sebesar 14,96% (Akbarillah et al., 2008).
Disamping daunnya, bagian pucuk Indigofera zollingeriana juga mengandung
protein kasar tinggi yaitu berkisar 28,98%, serat kasar 8,49%, lemak kasar 3,30%
dan penggunaan tepung pucuk Indigofera zollingeriana di dalam ransum ayam
petelur sebanyak 15,00% sebagai substitusi 45% protein bungkil kedelai
meningkatkan produksi telur sebanyak 11%, meningkatkan kandungan
antioksidan 59,17%, vitamin A 47,17%, serta menurunkan kadar kolesterol
kuning telur sebanyak 54,13% (Palupi et al., 2014). Penelitian lain, menyatakan
bahwa kandungan gizi rata-rata yaitu protein kasar 23,05 %, serat kasar 20,33 %,
lignin 3,76 %, selulosa 24,72 %, energi bruto 3081,21 kkal/kg, tanin 0,08%, dan
saponin 1,88% (Herdiawan et al., 2014). Kandungan gizi penting lainya yaitu
bahan organik 90,68 %, NDF (Neutral Detergen Fiber) 36,83 %, ADF (Acid
Detergen Fiber) 25,29 %, fosfor 0,83 %, dan kalsium 1,23 % (Tarigan, 2009 dan
Sinar Tani, 2011). Hasil penelitian di atas menunjukan bahwa kandungan serat
kasar Indigofera lebih tinggi dibandingkan pucuknya saja. Daun Indigofera
sebagai tanaman leguminosa yang mempunyai kandungan nutrisi tinggi ini,
berpotensi sebagai bahan pakan sumber protein dan sangat berlimpah dan mudah
tumbuh serta juga merupakan sumber pigmen carotenoid.
Akbarillah et al., (2010) menyatakan penggunaan daun indigofera segar hanya
sampai taraf 10%, dan jika penggunaan ditingkatkan sampai taraf 15%,

226
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi pakan, produksi telur, berat telur


dan kenaikan konversi pakan itik. Hal ini terjadi karena kandungan serat kasar
yang tinggi menyebabkan ternak unggas mengkonsumsi pakan dalam jumlah
sedikit, karena serat kasar membuat ternak cepat merasa kenyang (bulky). Di
samping itu daun Indigofera ini sangat rendah kecernaanya oleh unggas, karena
adanya serat kasar yang tinggi ini dan ternak unggas tidak mempunyai enzim
selulase pada sistem pencernaanya. Oleh sebab itu, diperlukan proses
pengolahan yang tepat, sebelum diberikan pada unggas, sehingga nilai nutrisinya
tidak menurun dan dapat meningkatkan kualitas nutrisinya. Salah satu teknologi
yang tepat adalah fermentasi. Fermentasi dapat diaplikasikan pada pengolahan
daun Indigofera ini, dan mikroba yang cepat dan cukup banyak digunakan adalah
bakteri Bacillus amyloliquefaciens sebagai agen biodegradasi yang menghasilkan
enzim sellulase. Inokulum Waretha adalah satu inokulum yang mengandung
bakteri Bacillus amyloliquefaciens ini banyak digunakan dalam proses fermentasi
berbagai limbah industri pertanian ( Wizna et al., 2007).
Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa
sederhana yang melibatkan mikroorganisme. Menurut Sari et al., (2014),
disamping meningkatkan kandungan nutrisi, fermentasi juga dapat meningkatkan
kualitas nutrisinya dan meningkatkan penggunaanya dalam ransum.
Pemanfaatan inokulum Waretha yang mengandung bakteri Bacillus
amyloliquefaciens dalam pengolahan bahan pakan asal limbah sudah banyak
dilakukan oleh peneliti. Mirzah (2013), pengolahan limbah udang dengan
fermentasi menggunakan bakteri Bacillus amyloliquefaciens, kemudian Mirzah
dkk.,(2015) tentang biokoversi limbah kulit ubi kayu dengan bakteri Bacillus
amyloliquefaciens, seterusnya Mirzah dan Muis (2016), penggunaan limbah kulit
ubi kayu fermentasi dengan Bacillus amyloliquefaciens sebagai pakan sumber
energi. Selanjutnya Mirzah dan Monteqrit (2017), tentang biokonversi limbah
udang menggunakan inokulum Bacillus amyloliquefaciens sebagai bahan pakan
sumber protein.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses fermentasi, seperti
komposisi substrat, dosis inokulum, sumber carbon dan nitrogen, lama fermentasi
serta suhu dan pH (Nuraini, 2006), serta adanya praperlakuan terhadap substrat itu
sendiri sebelum proses fermentasi dilakukan (Mirzah, 2013). Menurut Carlile dan
Watkinson (1995) hal terpenting yang harus ada dalam medium fermentasi adalah
sumber karbon, nitrogen dan unsur-unsur essensial lainnya dalam jumlah dan
imbangan yang sesuai. Indigofera zollingeriana merupakan sumber Nitrogen (N)
dan perlu ditambahkan sumber Carbon (C) agar diperoleh imbangan C : N yang
cocok untuk pertumbuhan bakteri, sehingga proses fermentasi optimal, dan
dihasilkan produk fermentasi yang berkualitas tinggi. Di samping itu, Komposisi
campuran substrat perlu menjadi perhatian, karena perbandingan sumber carbon
dan sumber nitrogen (C/N) sangat berpengaruh terhadap terjadinya proses
fermentasi pada substrat. Mikroba membutuhkan substrat sebagai penyedia
unsur carbon (C) dan nitrogen (N) di samping air, mineral, vitamin dan kadang-
kadang juga oksigen (Rahman, 1992).
Nitrogen merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan produk
mikroorganisme (Sumantha et.al 2006). Berbagai macam Sumber karbon (C)

227
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dapat digunakan seperti dedak, ampas tahu dan kulit ubi kayu. Dedak merupakan
hasil sampingan dari proses penggilingan padi dan mempunyai porositas yang
bagus untuk fermentasi. Dedak padi memiliki bau khas wangi dedak dan mudah
menjadi tengik (Lordbroken,2011). Ampas tahu merupakan limbah padat sisa
pengolahan kedelai menjadi tahu. Kandungan nutrisi ampas tahu bervariasi, hal
ini disebabkan karena baik perbedaan varietas kacang kedelai, peralatan yang
digunakan maupun proses pengolahan yang dilakukan (Masturi et al., 1992).
Kulit ubi kayu merupakan limbah agroindustri pengolahan ubi kayu. Kulit ubi
kayu berpotensi jika dijadikan pakan ternak, karena ketersediaannya secara
kontinyu seiring dengan meningkatnya produk ubi kayu. Namun penggunaan kulit
ubi kayu terbatas karena kualitas dan kandungan nutrisi yang masih rendah
terutama protein. Kulit ubi kayu mengandung serat kasar 26.36 %, protein kasar
4.08% (laboratorium Gizi Non Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas
Andalas, 2015). Disamping itu kulit ubi kayu mengandung lignin 12.56% dan
selulosa 14.00%, terdapat HCN sebanyak 225 ppm (Lira 2012). Banyak
penelitian-penelitian tentang pengolahan kulit ubi kayu dilakukan. Mirzah dan
Muis. (2016), melakukan pengolahan kulit ubi kayu dengan perlakuan fermentasi
menggunakan bakteri Bacillus amyloliquefaciens untuk memproduksi bahan
pakan sumber energi untuk unggas. Biokonversi menggunakan inokulum Waretha
ini dengan perlakuan inokulum dengan dosis 3% dan waktu fermentasi selama 4
hari dapat menurunkan bahan kering 12,32%, meningkatkan protein kasarnya
sebesar 45,30% (6,91 % menjadi 10,04%), nilai retensi nitrogen dari 66,64 % dan
metabolis energi 2.135 kkal /kg.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas perlu dilakukan penelitian
untuk melihat pengaruh komposis campuran substrat antara daun Indigofera
dengan bahan pakan sumber C, yaitu dedak padi, ampas tahu dan kulit ubi kayu
dengan perbandingan 80 : 20 dengan dosis standard 3 % inokulum Waretha
selama 4 hari terhadap perubahan kandungan zat-zat makanan dan kualitas nutrisi
tepung Daun Indigofera Fermentasi (DIF). Seberapa besar Bacillus
amyloliquefaciens dapat menurunkan serat kasar, meningkatkan protein kasar
dan energi metabolis serta efeknya terhadap kecernaan serat kasar dan
kandungan carotenoid. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi bahwa pengolahan campuran substrat daun Indigofera (Indigofera
zollingeriana) dengan berbagai jenis sumber bahan pakan sumber C dan N
melalui biokonversi menggunakan Bacillus amyloliquefaciens dapat
meningkatkan nilai gizi dan kualitas nutrisi produk DIF sebagai pakan alternatif
sumber protein nabati pengganti bungkil kedelai pada ternak unggas.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen di Laboratorium Nutrisi Non-
Ruminansia Faterna Unand dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan adalah
perbandingan campuran substrat yang terdiri dari daun Indigofera sebagai sumber
N yang dicampur dengan bahan pakan lain sebagai sumber C, yaitu dedak padi,
ampas tahu dan kulit ubi kayu. Perlakuan terdiri dari :

228
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Po : Substrat 100% daun Indigofera zollingeriana


P1 : Substrat campuran 80% daun Indigofera zollingeriana + 20% Dedak padi
P2 : Substrat campuran 80% daun Indigofera zollingeriana + 20% Ampas tahu
P3 : Substrat campuran 80% daun Indigofera zollingeriana + 20% Kulit ubi kayu

Campuran substrat dibuat dalam bentuk tepung, Setelah itu substrat disterilkan
dengan autoclave selama 15 menit. Setelah di autoclave, substrat didinginkan
sampai suhu kamar 25º-30ºC, Substrat yang telah didinginkan di inokulasikan
Waretha yang mengandung bakteri Bacillus amyloliquefaciens dengan dosis 3%
dan diinkubasi selama 4 hari pada suhu kamar. Produk fermentasi kemudian
ditimbang dan dikeringkan dengan oven suhu 60ºC. Kemudian digiling menjadi
tepung daun Indigofera fermentasi (TDIF) dan dilakukan analisa kandungan
nutrisi bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar untuk melihat
perubahan kandungan nutrisi. Untuk melihat kualitas nutrisi juga diukur nilai
retensi nitrogen dan energi termetabolis. Proses pembuatan Indigofera
zollingeriana fermentasi dengan Bacillus amyloliquefaciens dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Fermentasi Indigofera zollingeriana dengan bakteri Bacillus


amyloliquefaciens dari inokulum Waretha

Untuk penentuan retensi nitrogen, energi metabolis dan kecernaan serat kasar
dilakukan menurut metode Sibbald and Wolynezt (1985), menggunakan 24 ekor
ayam broiler umur 6 minggu. Sebanyak 20 ekor untuk perlakuan dengan
Indigofera zollingeriana yang difermentasi dengan Bacillus amyloliquefaciens
dan 4 ekor ayam untuk mengukur N endogenus. Semua ayam ditempatkan
dikandang metabolik. Setiap ekor ayam diberi produk TDIF sesuai perlakuan
dengan cara force feeding sebanyak 20 gram.
Semua data hasil penelitian yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam sesuai
dengan rancangan yang digunakan. Perbedaan perlakuan, maka perbedaan antar
perlakuan diuji dengan Duncan’s Multiple Range Test (Steel and Torrie, 1995).

229
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil dan Pembahasan


Kandungan zat-zat makanan dari campuran substrat sebelum dilakukan proses
fermentasi pada daun Indigofera (80%) dengan penambahan sumber karbon
berbeda (20%) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi campuran substrat sebelum fermentasi (%)


Perlakuan
Kandungan Nutrisi
P0 P1 P2 P3
Kadar Air 75.53 69.64 76.49 72.88
BK (%) BS 24.47 30.36 23.51 27.12
Abu 9.76 10.51 8.76 10.12
Bahan Organik 90.24 89.49 91.24 89.88
Protein 28.48 26.81 27.31 25.20
SK 30.13 27.91 17.37 21.55
Lemak 2.70 1.66 1.82 1.82
BETN 21.76 29.89 48.13 19.46
BOTN 61.76 62.69 63.93 64.68
TDN 50.08 53.71 69.84 46.9

Pengaruh perlakuan terhadap perubahan kandungan nutrisi TDIF


Pengaruh penambahan sumber karbon yang berbeda pada fermentasi Indigofera
zollingeriana dengan bakteri Bacillus amyloliquefaciens terhadap perubahan
bahan kering dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rataan perubahan kandungan nutrisi campuran Indigofera


zollingeriana dengan sumber karbon berbeda yang difermentasi dengan Bacillus
amyloliquefaciens

230
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pada Gambar 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan persentase penurunan


kandungan bahan kering dan serat kasar pada produk hasil fermentasi
menggunakan Bacillus amyloliquefaciens dari campuran substrat daun Indigofera
dengan bahan sumber karbon berbeda pada masing-masing perlakuan. Di samping
itu, kandungan protein kasar dan lemak kasarnya mengalami peningkatan yang
juga bervariasi tergantung sumber karbon yang digunakan. Perubahan ini
disebabkan oleh pengaruh proses fermentasi dan juga perubahan bahan kering
produk TDIF.
Penurunan bahan kering pada masing-masing perlakuan adalah P0 (100%
Indigofera zollingeriana) sebesar 33.14%, perlakuan P1 (80% Indigofera
zollingeriana + 20% Dedak Padi) sebesar 10.14%, pada perlakuan P2 (80%
Indigofera zollingeriana + 20% Ampas Tahu) adalah 36.75% dan pada perlakuan
P3 (80% Indigofera zollingeriana + 20% Kulit ubi kkayu) adalah sebesar 34.88%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa fermentasi Indigofera zollingeriana
menggunakan bakteri Bacillus amyloliquefaciens dengan sumber karbon yang
berbeda memberikan pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap penurunan
kandungan bahan kering Indigofera fermentasi. Uji lanjut DMRT menunjukkan
bahwa penurunan bahan kering pada perlakuan P1 berbeda nyata ( P < 0.05) lebih
rendah dibabdingkan perlakuan P0, P2 dan P3. Rendahnya penurunan pada
perlakuan P1 disebabkan oleh pertumbuhan bakteri Bacillus amyloliquefaciens
yang belum optimal disebabkan adanya perbedaan imbangan C/N dari substrat
pada masing-masing perlakuan.
Perlakuan P0 (tanpa penambahan sumber karbon lain) diperoleh rasio C/N 5,49
:1, perlakuan P1(dilakukan penambahan dedak) rasio C/N menjadi 5,64 :1,
perlakuan P2 (dengan penambahan ampas tahu) rasionya C/N 7,86 :1 dan
perlakuan P3 (dengan penambahan kulit ubi kayu sebagai sumber karbon rasionya
adalah C/N 7,58 :1 . Perbandingan rasio C/N ini akan berpengaruh terhadap
ketersediaan nutrisi substrat. Pada setiap perlakuan terjadi penurunan kandungan
bahan kering , namun berbeda penurunannya tergantun sumber substratnya.
Sesuai hasil uji lanjut dengan Duncan (DMRT) didapatkan bahwa perlakuan P1
menghasilkan rataan penurunan kandungan bahan kering terendah yaitu 10,14%
dan perlakuan P2 menghasilkan rataan penurunan kandungan bahan kering
tertinggi yaitu 36.75%. Hasil ini sama dengan yang diperoleh Fauziah (2016).
Penurunan kandungan bahan kering pada perlakuan P1 (80% Indigofera
zollingeriana + 20% dedak halus) hanya 10,14%. Hal ini berkemungkinan
disebabkan karena proses fermentasi yang tidak berlangsung optimal karena
pertumbuhan Bacillus amyloliquefaciens sedikit dan belum merata sehingga
perombakan zat makanan yang terjadi pada substrat sangat sedikit, akibatnya
bahan kering perlakuan P1 masih tinggi. Pertumbuhan mikroba yang tidak merata
berkaitan dengan rasio C/N substrat perlakuan P1 cukup rendah yaitu 5,64 :1,
sehingga kandungan nutrisi substrat kurang bagus dan tidak mencukupi kebutuhan
mikroba untuk pertumbuhan, pembentukan sel dan biosintesa produk-produk
fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kukuh (2010) yang menyatakan
bahwa aktivitas mikroba dalam proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan nutrisi dari substrat itu sendiri maupun nutrisi yang ditambahkan ke
dalam media fermentasi.

231
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penurunan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (80% Indigofera


zollingeriana + 20% ampas tahu). Penambahan ampas tahu akan meningkatkan
rasio C/N menjadi 7,86 :1, yang dapat membantu peningkatan pertumbuhan
bakteri sehingga pertumbuhan Bacillus amyloliquefaciens lebih merata dan
banyak karena nutrisi penting yang dibutuhkan mikroba seperti karbon, nitrogen
dan fosfor untuk pertumbuhan, pembentukan sel dan biosintesa produk-produk
fermentasi seperti protein sel tunggal (PST) tercukupi, sehingga proses
fermentasi berlangsung secara optimal.
Dalam 100 gram ampas tahu mengandung protein 5.6 gram, lemak 2.1 gram,
karbohidrat 8.1 gram, Ca 460 mg, besi 1.0 mg, air 84.1 gram, Nitrogen 1.24%,
fosfor 5.54 ppm, kalium 1.34% (Arbaiyah, 2003; Asmoro dkk., 2008).
Selanjutnya dijelaskan bahwa Ampas tahu mengandung kadar C-organik sebesar
48,65% dan kadar N-total 1,39% (Hindersah, 2011), sehingga penambahan ampas
tahu sebagai salah satu sumber karbon sangat berpengaruh terhadap hasil
fermentasi produk, karena pada dasarnya semua mikroorganisme memerlukan
karbon sebagai sumber energi untuk aktivitasnya. Pertumbuhan mikroba yang
lebih merata dan banyak akan menyebabkan penurunan kadar bahan kering karena
penggunaan nutrien substrat oleh mikroba sebagai sumber karbon, nitrogen dan
mineral, serta dilepaskannya CO2 dan energi dalam bentuk panas yang menguap
bersama partikel air. Hal ini sesuai dengan pendapat Ramachandran et al. (2008)
yang menyatakan bahwa selama fermentasi berlangsung, mikroorganisme
menggunakan karbohidrat dari substrat sebagai sumber energi dan menghasilkan
molekul air dan CO2.
Menurut Sandi et al. (2010) Proses fermentasi terjadi melalui serangkaian reaksi
biokimia yang mengubah BK menjadi energi (panas), molekul air (H2O) dan CO2
sehingga kandungan BK menurun, selain itu penurunan bahan kering terjadi
karena Bacillus merupakan salah satu mikroba yang dapat menghasilkan berbagai
jenis enzim yang terhitung sebagai protein serta mampu merombak zat makanan
seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana
(Haetami et al., 2008). Perkembangbiakan mikroba yang semakin meningkat
menyebabkan molekul air yang dihasilkan meningkat dan terjadi penurunan bahan
kering pada produk fermentasi. Molekul air tersebut terbentuk dari proses
katabolisme yang merombak senyawa kompleks menjadi bahan yang lebih
sederhana (Zumael, 2009).
Penurunan kadar bahan kering pada perlakuan P0 (100% Indigofera
zollingeriana) dan perlakuan P3 (80% Indigofera zollingeriana + 20% kulit ubi
kayu) lebih rendah dibandingkan perlakuan P2 (80% Indigofera zollingeriana +
20% ampas tahu), Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini terjadi
karena pada setiap perlakuan memiliki kandungan nutrisi yang berbeda sehingga
aktivitas dari bakteri Bacillus amyloliquefaciens juga berbeda. Pada substrat P0
dan P3 bakteri mungkin lebih lambat dalam proses adaptasi dan
perkembangannya, sehingga proses perombakan zat makanan yang terjadi lebih
sedikit dibandingkan pada substrat perlakuan P2, maka air yang dihasilkan juga
sedikit akibatnya bahan kering yang dihasilkan masih banyak dan penurunan
bahan kering rendah. Hal ini juga berkaitan pada hasil fermentasi perlakuan P0
dan perlakuan P3, dimana hasil fermentasi yang tidak begitu mengeluarkan aroma
asam khas fermentasi, disamping itu produk hasil fermentasi bertekstur agak

232
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kering karena kurangnya aktivitas bakteri, sehingga substrat yang dirombak


sedikit, molekul air yang dihasilkan dalam proses katabolisme sedikit, dan
berakibat pada penuruan bahan kering yang rendah.
Pengaruh penambahan sumber karbon yang berbeda pada fermentasi Indigofera
zollingeriana dengan bakteri Bacillus amyloliquefaciens terhadap peningkatan
kandungan protein kasar (%BK) seperti terlihat pada Gambar 2, bahwa
peningkatan protein kasar pada setiap perlakuan bervariasi tergantung pada
sumber karbon yang diberikan. Protein kasar pada perlakuan P0 (100% Indigofera
zollingeriana) mengalami peningkatan sebesar 2.05%, perlakuan P1 (80%
Indigofera zollingeriana + 20% dedak halus ) meningkat sebesar 2.88%,
perlakuan P2 (80% Indigofera zollingeriana + 20% ampas tahu) meningkat
sebesar 17.29%, perlakuan P3 (80% Indigofera zollingeriana + 20% kulit ubi
kayu) meningkat sebesar 7.56%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
fermentasi Indigofera zollingeriana menggunakan Bacillus amyloliquefaciens
dengan sumber karbon yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata (P<0.01)
terhadap kandungan protein kasar prduk Indigofera fermentasi. Hasil uji DMRT
menunjukkan bahwa peningkatan kandungan protein kasar Indigofera fermentasi
dengan Bacillus amyloliquefaciens pada perlakuan P0 berbeda sangat nyata
(P<0.01) lebih rendah dengan perlakuan P2 dan perlakuan P3, namun tidak
berbeda nyata (P > 0.05) dengan perlakuan P1. Perlakuan P2 berbeda sangat nyata
(P<0.01) lebih tinggi peningkatan protein kasarnya dibandingan dengan perlakuan
P3, dan perlakuan P3 berbeda sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan P0 dan perlakuan P1. Perlakuan P2 menggunakan campuran
bahan ampas tahu menghasilkan peningkatan protein kasar yang tertinggi yaitu
sebesar 17,26 persen.
Perlakuan P0 tanpa penambahan substrat lain dengan rasio C/N 5,49 :1, perlakuan
P1 dilakukan penambahan dedak halus sehingga rasio C/N menjadi 5,64:1,
perlakuan P2 penambahan ampas tahu rasio C/N 7,86:1, dan perlakuan P3 dengan
penambahan kulit ubi kayu sebagai sumber karbon rasionya menjadi C/N 7,58:1.
Rasio C/N ini akan berpengaruh terhadap ketersediaan nutrisi substrat baik itu
karbon maupun nitrogen untuk pertumbuhan mikroba selama proses fermentasi
berlangsung. Jika rasio C/N terlalu tinggi (banyak C dan tidak banyak N),
metabolisme menjadi tidak memadai yang berarti bahwa ada karbon dalam
substrat tidak sepenuhnya dikonversi, sehingga tidak akan tercapai hasil yang
maksimum. Dalam kasus sebaliknya, surplus nitrogen dapat menyebabkan
pembentukan ammonia (NH3) dalam jumlah berlebihan, yang bahkan dalam
konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri dan dalam keadaan
terburuk dapat menyebabkan runtuhnya seluruh populasi mikroorganisme. Agar
proses fermentasi berjalan dengan baik, menurut Riadi., (2007) rasio C/N terbaik
untuk pertumbuhan biomassa bakteri yaitu 7-10. Dengan tercapainya rasio C/N
yang dibutuhkan, maka akan terjadi fermentasi dengan optimal dan diperoleh
peningkatan protein kasar.
Kandungan protein kasar cenderung meningkat pada semua perlakuan yang
mendapat tambahan sumber karbon, dimana peningkatan terbesar terdapat pada
rasio C/N 7,86:1 pada perlakuan P2. Peningkatan protein kemungkinan berkaitan
dengan meningkatnya pertumbuhan mikroba akibat penambahan karbon dari
beberapa sumber karbon sebagai sumber energi. Selain itu kemungkinan juga

233
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

aktivitas biofermentasi oleh mikroba membebaskan senyawa protein dari


kompleks senyawa metabolik sekunder; misalnya tannin, coumarin dan lain
sebagainya. Peningkatan kandungan protein kasar masing-masing perlakuan
terjadi sesuai dengan ketersediaan nutrisi pada substrat untuk pertumbuhan
mikroba selama proses fermentasi berlangsung. Karmas dan Haris (1997)
menyatakan bahwa perubahan kandungan zat makanan hasil fermentasi
tergantung pada ketersediaan zat makanan bahan awal, kemampuan metabolisme
mikroorganisme fermentatif dan interaksi elemen-elemen tersebut.
Besar kecilnya peningkatan kandungan protein kasar substrat setelah difermentasi
tergantung kepada tinggi rendahnya kandungan protein kasar substrat sebelum
fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Shin (1998) melaporkan bahwa
kandungan protein kasar produk akhir fermentasi sangat tergantung dari
kandungan protein kasar substrat awal. Peningkatan protein kasar pada perlakuan
P0 dan P1 lebih rendah dibandingkatan protein kasar pada perlakuan P2 dan, dan
P3, karena pada perlakuan P0 tidak dilakukan penambahan bahan pakan lain
sebagai sumber nutrisi, agar karbon dan nitrogen yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan mikroba lebih tercukupi. Sesuai dengan pendapat Rifqiyah (2005)
dalam Rachmasari (2011) menyatakan bahwa perkembangan dari mikroba
tergantung pada karbon yang tersedia, dengan meningkatnya jumlah mikroba
tersebut maka terjadi kompetisi diantara mikroba untuk mendapatkan karbon,
sehingga ketersediaan karbon menjadi faktor pembatas.
Peningkatan kandungan protein kasar substrat merupakan sumbangan dari protein
tubuh mikroba dan enzim yang dihasilkan oleh mikroba selama proses fermentasi
berlangsung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noferdiman et al., (2008) bahwa
enzim yang dihasilkan oleh mikroba merupakan protein. Bacillus
amyloliquefaciens dapat menghasilkan beberapa enzim seperti alfa amylase, alfa
acetolactate decarboxylase, beta glucanase, hemicelulase, maltogenic amylase,
urease, protease, xilanase, khitinase dan enzim fitase serta enzim ekstraseluler
selulase dan hemiselulase (Luizmeira, 2005; Kim et al., 1998; Wizna et al., 2007).
Peningkatan kandungan protein kasar terjadi karena peningkatan biomassa
mikroba. Krishna et al. (2005) menyatakan bahwa peningkatan protein kasar
terjadi karena adanya penambahan protein yang disumbangkan oleh sel mikroba
akibat pertumbuhannya yang menghasilkan produk protein sel tunggal (PST) atau
biomassa sel yang mengandung sekitar 40-65% protein.
Carlile dan Watkinson (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan kandungan
protein sesudah fermentasi dapat dikatakan sebagai proses “protein enrichment”
yang berarti proses pengayaan protein bahan mikroorganisme tertentu karena
proses tersebut identik dengan pembuatan single sel protein dan pada proses ini
tidak dipisahkan antara sel mikroba yang tumbuh dengan substratnya. Selain itu,
peningkatan protein kasar kemungkinan berkaitan dengan meningkatnya
pertumbuhan mikroba akibat penambahan karbon sebagai sumber energi. Serta
juga diakibatkan oleh aktivitas biofermentasi oleh mikroba membebaskan
senyawa protein dari kompleks senyawa metabolik sekunder ; misalnya tannin,
coumarin dan lain sebagainya.
Penurunan serat kasar terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu 43,17% dan
penurunan tertinggi terdapat pada perlakuan P1, yaitu sebesar 61.10 %. Hasil

234
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

analisis ragam menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata (P <
0.01) terhadap persentase penurunan serat kasar di antara produk fermentasi
campuran daun Indigofera dengan sumber karbon yang berbeda. Uji lanjut DMRT
menunjukkan bahwa persentase penurunan kandungan serat kasar perlakuan P0
dan P2 berbeda sangat nyata (P < 0.01) lebih tinggi dibandingkan perlakuan P1
dan P3. Persentase penurunan kandungan serat kasar perlakuan P0 berbeda tidak
nyata ( P > 0.05) dibandingkan perlakuan P2 dan penurunan serat kasar pada
perlakuan P3 juga berbeda tidak nyata ( P > 0.05) dengan perlakun P1.
Persentase penurunan kandungan serat kasar cenderung meningkat pada semua
perlakuan yang mendapat tambahan sumber karbon berbeda pada proses
fermentasi, dimana penurunan kandungan serat kasar ini disebabkan adanya
pertumbuhan bakteri yang cukup optimal pada semua perlakuan. Hal ini
ditunjukkan dengan penampilan tekstur dan bentuk serta bau asam (bau tape)
yang muncul selama proses fermentasi. Namun penurunan kandungan serat kasar
ini bervariasi tergantung sumber karbon yang diberikan. Penurunan SK yang
cukup tinggi pada perlakuan P0 (100 % Indigofera dan P2 yang menggunakan
ampas tahu sebagai sumber karbonnya menghasilkan persentase penurunan yang
tinggi, yaitu masing-masing sebesar 86,10 % dan 59,64 %. Peningkatan
penurunan SK ini disebabkan pertumbuhan bakteri yang optimal dan dapat
menghasilkan enzim alfa amylase, alfa acetolactate decarboxylase, enzim
ekstraseluler selulase dan hemiselulase (Wizna et al., 2007: Kim et al., 1998).
Adanya enzim yang bersifat selulolitik dihasilakn akan dapat mendegradasi
selulosa atau serat kasar yang terdapat pada substrat campuran Indigofera ini
menjadi bentuk glukosa sederhana, sehingga akan dapat dicerna sebagai sumber
energi bagi ternak unggas.

Pengaruh perlakuan terhadap kualitas nutrisi produk fermentasi daun Indigofera


Pengaruh penambahan sumber karbon yang berbeda pada fermentasi Indigofera
zollingeriana dengan bakteri Bacillus amyloliquefaciens terhadap kualitas nutrisi
TDIF (Retensi nitrogen, energi metabolis dan kecernaan serat kasar dapat dilihat
pada Gambar 3).
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa rataan retensi nitrogen yang tertinggi terdapat
pada perlakuan P2 (80% Indigofera zollingeriana + 20% Ampas Tahu) yaitu
81.00% dan retensi nitrogen yang terendah terdapat pada perlakuan P3 (80%
Indigofera zollingeriana + 20% KUK) yaitu 67.28%. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa Indigofera zollingeriana yang di fermentasi menggunakan
Bacillus amyloliquefaciens dengan sumber karbon yang berbeda memberikan
pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap nilai retensi nitrogen TDIF. Hasil uji
DMRT menunjukkan bahwa retensi nitrogen Indigofera zollingeriana yang di
fermentasi menggunakan Bacillus amyloliquefaciens dengan sumber karbon yang
berbeda pada perlakuan P2 berbeda sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P3.
Retensi nitrogen merupakan salah satu metode untuk menilai kualitas protein
ransum dengan mengukur konsumsi nitrogen dan pengeluaran nitrogen dalam
feses dan urin sehingga dapat diketahui jumlah nitrogen yang tertinggal dalam
tubuh. Retensi nitrogen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: konsumsi
ransum, konsumsi protein, dan kualitas protein serta ada atau tidaknya perlakuan

235
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pengolahan terhadap bahan baku pakan (Mirzah, 2013). Tinggi rendahnya


konsumsi protein dipengaruhi oleh beberapa factor. Purbowati et al. (2007),
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi protein kasar adalah
konsumsi bahan kering dan kandungan protein kasar pakan.

Gambar 3. Kualitas nutrisi tepung daun Indigofera fermentasi dengan bakteri


Bacillus amyloliquefaciens dengan sumber karbon berbeda

Tingginya Nilai Retensi Nitrogen pada perlakuan P2 disebabkan karena


kandungan protein kasar yang tinggi yaitu 33.03% dan nilai konsumsi protein
pada ternak juga tinggi yaitu 4.68%. Sefrinaldi (2013) menyatakan bahwa
konsumsi protein kasar yang tinggi akan mengakibatkan semakin banyak protein
yang dicerna sehingga banyak pula yang tinggal di dalam tubuh, akibatnya retensi
yang dihasilkan meningkat. Disamping itu, nilai retensi nitrogen juga berkaitan
dengan kandungan nutrisi pakan. Kandungan nitrogen yang diretensi sejalan
dengan kandungan protein ransum. Jika kualitas protein rendah, atau salah satu
asam aminonya kurang maka retensi nitrogen akan rendah. Namun, jika kualitas
protein bagus, maka nilai retensi nitrogennya akan tinggi. Sesuai dengan
McDonald et al. (2010) yang menyatakan bahwa retensi nitrogen tergantung pada
kandungan protein dalam ransum.
Rendahnya nilai retensi nitrogen pada perlakuan P0, P1 dan P3, berkaitan dengan
konsumsi protein pada ternak yang rendah dibandingkan dengan nilai konsumsi
protein ternak pada perlakuan P2. Konsumsi protein masing-masing perlakuanP0,
P1 dan P3 berturut-turut yaitu 4.18%, 3.85% dan 3.85%, lebih rendah
dibandingkan perlakuan P2 dengan nilai konsumsi protein sebesar 4.68%.
Rendahnya konsumsi protein pada masing-masing perlakuan P0, P1 dan P3
disebabkan karena kandungan protein kasar pada masing-masing produk
fermentasi juga rendah. Corzo et al. (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecil retensi nitrogen adalah konsumsi ransum terutama

236
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

konsumsi protein, apabila kualitas protein rendah, maka nilai retensi nitrogen akan
rendah, begitu juga sebaliknya.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fermentasi daun indigofera
(Indigofera zollingeriana) dengan bakteri Bacillus amyloliquefaciens
menggunakan sumber karbon berbeda memberikan pengaruh bervariasi terhadap
nilai protein produk TDIF, terutama pada penurunan bahan kering, peningkatan
protein kasar dan nilai retensi nitrogen. Perlakuan terbaik pada penelitian ini
adalah perlakuan P2 dengan komposisi substrat 80% Indigofera zollingeriana
ditambah 20% ampas tahu dengan dosis 3 % dan diinkubasi selama 4 hari, dengan
penurunan Bahan Kering sebesar 36.75%, peningkatan krotein kasar sebesar
17.29% dan nilai retensi nitrogen sebesar 81.00%.

Saran
Produk Indigofera zollingeriana fermentasi menggunakan bakteri Bacillus
amyloliquefaciens dengan komposisi substrat (80% Indigofera zollingeriana +
20% ampas tahu) perlu dilanjutkan uji secara biologis dalam bentuk uji ransum
dengan percobaan ke ternak unggas.

Daftar Pustaka
Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of shrub Indigofera treated by
different concentration of foliar fertilizer. Media Peternakan. 32:169-175.
Akbarillah T, Kususiyah, Kaharuddin D, Hidayat. 2008. Kajian tepung daun
indigofera sebagai suplemen pakan terhadap produksi dan kualitas telur puyuh.
JSPI. Vol 3 (1):20-23.
Akbarillah T, Kususiyah, Hidayat. 2010. Pengaruh penggunaaan daun indigofera
segar sebagai suplemen pakan terhadap produksi dan warna yolk itik. JSPI.
5(1):27-33.
Asmoro, Yuliadi. 2008. Pemanfaatan Limbah Tahu Untuk Hasil Tanaman Petsai
(Brassica chinensis). Program Pasca Sarjana. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Carlile, M. J and S. C. Watkinson. 1995. The Fungi. Academic Press. New York:
125-129.
Corzo,A.,C.A.Fritts,M.T.KiddandB.J.Kerr.2005.Responseofbroiler chicks
toessensial and non- essensial amino acidsuplementationof low crudeprotein
diet. Animal Feed ScienceTechnology,118: 319-327.
Fauziah. 2016. Pengaruh Dosis Inokulum dan Lama Fermentasi Kulit Kakao
dengan Bacillus amyloliquefaciensterhadap Kandungan Bahan Kering , Protein
Kasar, dan Retensi Nitrogen.
Haetami, K. Abun., Y. Mulyani. 2008. Studi pembuatan probiotik (Bacillus
Licheniformis, Aspergillus Ringer, dan Sacharomices Cereviseae) sebagai
feed suplement serta implikasinya terhadap pertumbuhan ikan nila. [Skripsi].
Fakultas perikanan dan ilmu kelautan universitas padjajaran. 53 hlm.
Hassen A, Rethman NFG, Van Niekerk, Tjelele TJ. 2007. Influence of
season/year and species on chemical composition and in vitro digestibility of
five Indigofera accessions. Anim Feed Sci Technol. 136:312-322.

237
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Herdiawan I. 2014. Pertumbuhan tanaman pakan ternak leguminosa pohon


Indigofera zollingeriana pada berbagai taraf perlakuan cekaman kekeringan.
JITV. 18:258-264.
Kim, Y.O., Lee, J. K., Kim, H. K., Yu, J. H. and Oh, T. K. 1998. Cloning of the
thermostable phytase gene (phy) from Bacillus sp. DS11 and its overexpression
in Escherichia coli, FEMS Microbiol. Lett 162, 185-191.
Kompiang, I.P., Sinurat, A.P., Kompiang, S., Purwadaria,T., & Darma, J. 1994.
Nutrition value of protein en-riched cassava: Cassapro. J. Ilmu Ternak dan
Veteriner,4(2): 107-112.
Krishna, S.B.N and K.L. Devi. 2005. Optimization of thermostable alkaline
protease production from species of Bacillus using Groundnutcake. African
J.Biotechnol. 4 (7), 724726.
Kukuh, 2010. Pengaruh Suplementasi Probiotik Cair Em4 Terhadap Performan
Domba Lokal Jantan. Skripsi. Diterbitkan. Surakarta: Jurusan Studi Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Lira. Y. M, 2012. Pengaruh komposisi susbtrat kulit umbi ubi kayu dan ampas
tahu fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium terhadap perubahan
nutrisi. Skripsi Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas
Andalas, Padang
Luizmera. 2005. USD Recomendar esta Pagina. com/enzimas.htm. (Diakses tgl 12
Januari 2021).
Mirzah. 2013. Potensi dan Pengolahan Limbah Udang Untuk Pakan. Sukabina
Press, Cetakan I, Padang.
Mirzah, H. Muis, dan A.L. Suslina. 2015. Biokonversi Limbah Kulit Ubi Kayu
Dengan Bacillusamyloliquefaciens Menjadi Pakan Sumber Energi Pengganti
Jagung Dalam Ransum Unggas”. Laporan Penelitian Unggulan Perguruan
Tinggi. Universitas Andalas, Padang.
Mirzah, dan H. Muis. 2016. Biokonversi limbah kulit ubi kayu menjadi pakan
unggas sumber energi menggunakan Bacillus amyloliquefaciens. Jurnal Ilmu
Peternakan, Fakultas Peternakan Unpad, Bandung, Vol 16 No. 2. Hal 59 – 70.
Mirzah dan Montesqrit. 2017. Biokonversi Limbah Udang Menggunakan Bacillus
amyloliquefaciens Menjadi Pakan Sumber Protein Pengganti Tepung Ikan. Laporan
Penelitian Dana PNBP Fakultas Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas
Andalas, Padang.
McDonald, P., R.A. Edwards, J.F.D.Greenhalgh, C.A. Morgan, L.A. Sinclair,, and
R.G. Wilkinson. 2010. Animal Nutrition. 7th Ed. Prentice Hall, Pearson,
Harlow, England, London, New York, Boston, San Fransisco, Toronto,
Sydney, Tokyo, Singapore, Hong Kong, Seoul, Taipei, New Delhi, Cape
Town, Madrid, Mexico City, Amsterdam, Munich, Paris, Milan.
Muhiddin, N.H., Juli, N. & Aryantha, I.N.P., 2001. Peningkatan Kandungan
Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi. JMS(6):1-12.
Noferdiman, Y. Rizal, Mirzah, Y. Heryandi, & Y. Malida. 2008. Penggunaan
urea sebagai sumber nitrogen pada proses biodegradasi substrat lumpur sawit
oleh jamur Phanerochaete chrysosporium. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Peternakan XI (4):175-181.
Nuraini. 2006. Potensi kapang karotenogenik untuk memproduksi pakan sumber
β-karoten dan pengaruhnya terhadap ransum ayam pedaging dan petelur.
Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang.

238
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Palupi R, Abdullah L, Astuti DA, Sumiati. 2014. Potential and utilization of


Indigofera sp. shoot leaf meal as soybean meal substitution in laying hen diets.
JITV. 19(3):210-219.
Pasaribu, T., A.P. Sinurat., T. Purwadaria., Supriyati., dan H. Hamid. 1998.
Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi. Pengaruh jenis
kapang, suhu dan lama proses enzimatis. J. Ilmu Ternak Vet. 2(4):237-242.
Purbowati, E., C.I. Sutrisno, E. Baliarti, S.P.S. Budhi, dan W. Lestariana. 2007.
Penga-ruh pakan komplit dengan kadar protein dan energi yang berbeda pada
peng-gemukan domba lokal jantan secara feedlot terhadap konversi pakan.
Rahmachandran, S., P. Fontanile, A. Panday and C. Larroche. 2008. Fed-batch
production of gluconic acid by terpene-treated Aspergillus niger spores.
Applied Biochem. Biotech. 151:413-423.
Rachmasari, N. 2011. Pengaruh Fermentasi dengan Kapang Aspergillus niger
dan Bakteri Bacillus cereus Terhadap Kandungan Protein Kasar dan Serat
Kasar Pada Limbah Nangka sebagai Alternatif Bahan Pakan Ikan. Slkripsi.
Universitas Airlangga.
Riadi L. 2007. Teknologi Fermentasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, Pr.
Riskiah. 2016. Pengaruh Pemberian Tepung Kulit Ubi Kayu Fermentasi
Menggunakan Bacillus amyloliquefaciensDalam Ransum Terhadap Berat Telur
, Kadar Lemak Kuning Telur Dan Warna Kuning Telur Pada Ayam Strain Isa
Brown.
Sandi, S., E. Laconib, A. Sudarman, K. G. Wiryawan dan D. Mangundjaja. 2010.
Kualitas Nutrisi Silase Berbahan Baku Singkong yang Diberi Enzim Cairan
Rumen Sapi dan Leuconostoc mesenteroides. Media Peternakan. 33: 25-30.
Sari, M. L., Sandi, S., & Sembiring, F. (2014). Pengaruh pemberian ransum
komplit berbasis bahan baku lokal fermentasi terhadap kecernaan bahan kering,
kecernaan bahan organik dan bahan ekstrak tanpa nitrogen pada itik
lokal.Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan Berbasis Lahan
Kering(pp. 117–122).Retrieved from eprints.unsri.ac.id.
Sefrinaldi. 2013. Pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi dengan
Phanerocaete chrysosphorium terhadap kandungan bahan kering, protein kasar
dan retensi nitrogen campuran umbi ubi kayu dan ampas tahu fermentasi.
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.
Shin, H. T. 1998. The Effects of Yeast Culture In Swine and Poultry Ration.
College of Agriculture. Shung Kyun University. Korea.
Sibbald, I. R. and Wolynetz, M. S. 1985. Estimates of retained nitrogen used to
correct estimates of bioavailable energy. Poultry Sci., 64: 1506-1513.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu
Pendekatan Biometrik Cetakan ke-4. (Diterjemahkan oleh Sumantri, B). PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wizna, H. Abbas, Y. Rizal, A. Dharma & I. P. Kompiang. 2007. Selection and
identification of cellulase-producing bacteria isolated from the litter of
mountain and swampy forest. J. Microbiology Indonesia, 1(3):135-139.
Wizna, H. Abbas., Y. Rizal ., A. Dharma., and I.P. Kompiang. 2009. Improving the
quality of tapioca by-products (onggok) as poultry feed through fermentation by
bacillus amyloliquefaciens. J appl ind biotechnol trop reg. 2:1–5.
Zumael, Z. 2009. The Nutrient Enrichment of Biological Processing. Agricmed,
Warsawa.

239
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH IMBANGAN FORMULA HERBAL DAN BAL TERHADAP


PENAMPILAN PRODUKSI DAN PROFIL DARAH AYAM PETELUR

Riyan Mega Alfiana1,*, Edy Sudjarwo2, Irfan Hadji Djunaidi3


1
Mahasiswa Minat Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Dosen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Dosen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya Malang, 65145 Indonesia
Email korespondensi: riyan111097@student.ub.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi dan profil darah
ayam pada level yang berbeda. Ternak yang digunakan berupa ayam petelur umur
35 minggu sebanyak 168 ekor, dengan koefisien keseragaman egg mass 6,8%.
Metode yang digunakan adalah metode eksperimen menggunakan RAL dengan 4
perlakuan dan 6 ulangan sebagai berikut: P0 = pakan basal (tanpa perlakuan), P1
= pakan basal + formula herbal (jahe 0,25% + temulawak 0,25%) + Lactobacillus
sp. 0,2%, P2 = pakan basal + formula herbal (jahe 0,50% + temulawak 0,50%) +
Lactobacillus sp. 0,2%, P3 = pakan basal + formula herbal (jahe 0,75% +
temulawak 0,75%) + Lactobacillus sp. 0,2%. Variabel yang diukur yaitu
Penampilan Produksi meliputi Konsumsi Pakan, Egg mass, HDP, FCR, IOFC dan
Profil darah Hemoglobin ayam. Analisis data dilakukan dengan (ANOVA) dan uji
lanjut Duncan. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan pakan basal dengan
penambahan BAL dan Formula herbal tidak berpengaruh nyata pada Konsumsi
Pakan (P>0,05), sedangkan FCR, HDP, Egg mass, IOFC dan Hemoglobin
berbeda nyata (P<0,05). Disimpulkan bahwa penambahan Formula Herbal dan
BAL pada pakan dengan level 0,25-0,75% memberikan hasil terbaik terhadap
FCR, HDP, Egg mass, IOFC dan Hemoglobin darah ayam petelur.

Kata kunci: Ayam Petelur, Formula Herbal, BAL, Penampilan Produksi, Profil
Darah.

Pendahuluan
Pakan dalam kegiatan usaha peternakan ayam merupakan komponen biaya
produksi tertinggi mencapai 70 – 80%, sehingga penggunaan pakan harus
digunakan secara efesien, tetapi tidak mengganggu produksi ternak. Upaya
peningkatan kualitas pakan salah satunya adalah dengan ditambahnya imbuhan
pakan. Pada umumnya penambahan imbuhan pakan dapat berupa antibiotik,
prebiotik, probiotik, enzim, asam organik, fitobiotik atau bioaktif tanaman dan
minyak esensial (Magdalena dkk., 2013). Akan tetapi penggunaan antimikroba
untuk imbuhan pakan telah dilarang lewat UU 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan Pasal 51 ayat (3) yang menyebutkan setiap orang dilarang
menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi
manusia. Selain itu, ada peraturan Permentan 14 Tahun 2017 Pasal 4 yang
mengatakan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia
dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
Menurut Mulyadi (2013) penggunaan antimikroba sebagai pemacu pertumbuhan

240
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang terus menerus berakibat residu pada produk ternak yang dihasilkan sehingga
berpengaruh terhadap keamanan pangan.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan manipulasi
pakan. Manipulasi yang dilakukan yaitu mengganti dari bahan kimia
(antimikroba) yaitu mengganti menjadi bahan herbal atau fitobiotik, yang mana
bahan tersebut harus mempunyai peran yang sama sehingga dapat menggantikan
peran dari penggunaan antibiotik pada pakan. Jenis-jenis tanaman herbal yang
memiliki khasiat baik diantaranya jahe dan temulawak. Jahe mengandung
senyawa flavonoid, fenol dan minyak atsiri sebagai anti bakteri, bakteri
Eschericha coli dan bacillus subtilis yang bersifat pathogen terhadap saluran
pencernaan (Sulistyoningsih, Dzaky dan Nurwahyunani, 2014) dan Temulawak
mengandung komponen senyawa flavonoid, fenol dan kurkumin yang bertindak
sebagai antioksidan (Jayaprakhasha, 2006). Penggunaan fitobiotik sudah memiliki
kualitas bagus sebagai menggantikan AGP, akan tetapi membutuhkan waktu lama
sehingga dibutuhkan feed additive lain seperti Probiotik untuk membantu
memaksimalkan proses pencernaan dalam usus.
Bakteri Asam Laktat adalah salah satu jenis kelompok probiotik dengan mikroba
hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan dengan tujuan memperbaiki
kesehatan dan perkembangan mikroba. Sedangkan penambahan probiotik seperti
BAL dapat mengurangi kemampuan mikroorganisme patogen dalam
memproduksi toksin, mengurangi efek negatif yang diakibatkan adanya hambatan
pakan (berupa anti nutrisi) karena probiotik mampu menstimulasi peningkatan
ketersediaan zat makanan, merangsang produksi enzim pencernaan serta
dihasilkannya vitamin dan substansi antimikrobial sehingga meningkatkan status
kesehatan saluran pencernaan (Sumarsih dkk, 2012).
Hasil penelitian Natalia dkk., 2016, menyatakan bahwa penggunaan limbah
industri jamu (memiliki kandungan zat aktif sebagai anti bakteri (shagaol) dan
anti oksidan (gingerol) serta mengandung zat gula sederhana, seperti
oligosakarida) dan bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.) sebagai sinbiotik untuk
aditif pakan berpengaruh terhadap berpengaruh nyata pada taraf pemberian 0,5-
1,5% terhadap performans ayam petelur meliputi konsumsi ransum, massa telur,
konversi ransum serta IOFC.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh imbangan tepung jahe +
temulawak dan Bakteri Asam Laktat dalam pakan secara in vivo pada ayam
petelur dengan parameter profil darah hemoglobin dan penampilan produksi
meliputi konsumsi ransum, produksi telur (HDP dan massa telur), feed conversion
ratio (FCR) presentase keuntungan (IOFC) serta kadar hemoglobin darah ayam
petelur periode layer yang diberi penambahan bakteri asam laktat (BAL) dan
Formula Herbal. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah didapatkannya
informasi mengenai pengaruh imbangan tepung jahe + tepung temulawak dan
Bakteri Asam Laktat dalam pakan sebagai pada ayam petelur dengan parameter
profil darah dan penampilan produksi. Hipotesis dari penelitian ini adalah
Penambahan formula herbal (tepung temulawak + jahe) dan BAL pada pakan
ayam petelur pada level tertentu dapat mengoptimalkan performa produksi dan
profil darah ayam petelur.

241
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Materi dan Metode


Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2021 di peternakan ayam petelur
milik bapak Ahmad Fauzi yang terletak di Desa Joho, Kec. Kalidawir, Kab.
Tulungagung. Materi yang digunakan adalah ayam ras petelur strain Isa Brown
produksi PT. Malindo Feedmill Tbk Gresik, Jawa Timur sebanyak 200 ekor
dengan umur 35 minggu dengan memiliki koefisien keragaman egg mass sebelum
dilakukan penelitian adalah 6,8%. Tepung temulawak dan jahe didapatkan dari
PT. Unggas Jaya Makmur, Tulungagung. BAL yang digunakan dalam penelitian
didapatkan dari Bengkel Tani (BeTa) Malang. Pakan basal yang digunakan
berbentuk mash yaitu percampuran jagung, bekatul, konsentrat. Konsentrat yang
digunakan adalah pakan komersial dengan kode KLKS 36 SPR dari PT. Japfa
Comfeed Indonesia Tbk. Pakan basal ditambahkan tepung jahe dan temulawak
masing-masing dengan level 0,25%, 0,50% dan 0,75% dan Bakteri Asam Laktat
(BAL) masing-masing 0,2%.
Pemberian pakan mengacu pada Isa Brown (2010), konsumsi pakan ayam petelur
umur 30 – 40 minggu yaitu 120 g/ekor/hari. Pakan diberikan 2 kali sehari, saat
pagi pukul 08.00 WIB dan saat siang pukul 15.00 WIB. Pemberian air minum
secara ad libitum. Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain wadah
pencampur ransum, timbangan digital untuk menimbang telur dan sisa pakan,
plastik untuk tempat sisa pakan, lembar pengamatan dan alat tulis.

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan


Jenis Bahan Pakan Jumlah (%)
Jagung 50
Konsentrat 31,25
Bekatul 18,01
Premix 0,99
Total 100

Ransum yang digunakan berdasarkanpada Tabel 1. terdiri dari tepung jagung,


konsentrat, bekatul dan premix yang telah disusun dengan ukuran yang berbeda-
beda. Setelah itu komposisi ransum dan ampas jamu dihitung kandungan
nutrisinya yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi pada Ransum


Kandungan Nutrient
Energi Metabolis (kkal/kg) 2743,125
Protein Kasar (%) 17
Serat Kasar (%) 4,84
Lemak Kasar (%) 3,12
Kadar Air (%) 12,5
Kalsium (%) 3,45
Phospor (%) 0,41
Methionin (%) 0,31
Lisin (%) 0,74
Sumber: Analisis Proksimat Laboratorium Nutrisi dan Peternakan Universitas
Muhammadiyah Malang

242
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Analisis Data
Data yang diperoleh ditabulasi dengan program Microsoft exel selanjutnya
dilakukan analisis statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) dari
rancangan acak lengkap (RAL). Apabila terdapat pengaruh diantara perlakuan
maka dilanjutkan Uji Jarak Berganda Duncan’s. Rancangan Percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan dan 6
ulangan, dimana setiap ulangan terdiri dari 7 ekor ayam petelur sehingga jumlah
keseluruhan ayam yang digunakan sebanyak 168 ekor. Penambahan tepung
temulawak, jahe dan Bakteri Asam Laktat (BAL) dilakukan dengan cara
dicampurkan langsung dengan pakan basal yang telah disesuaian dengan
presentase perlakuan kemudian diaduk rata secara manual hingga homogen.
Berikut level pemberian tepung jahe, temulawak dan BAL pada pakan ayam
petelur:
P0 = Pakan basal (tanpa perlakuan)
P1 = Pakan basal + formula herbal (jahe 0,25% + temulawak 0,25%) +
Lactobacillus sp. 0,2%
P2 = Pakan basal + formula herbal (jahe 0,50% + temulawak 0,50%) +
Lactobacillus sp. 0,2%
P3 = Pakan basal + formula herbal (jahe 0,75% + temulawak 0,75%) +
Lactobacillus sp. 0,2%

Hasil dan Pembahasan


Hasil rataan perlakuan penambahan imbangan BAL dan Formula herbal dalam
pakan terhadap penampilan produksi ayam petelur meliputi konsumsi pakan, Hen
Day Production (HDP), FCR, Egg Mass dan Income Over Feed Cost (IOFC)
ditampilkan dalam grafik pada Gambar 1 dan Tabel 1.

Gambar 1. Grafik Hasil Analisis Imbangan Formula Herbal dan BAL Terhadap
Penampilan Produksi Ayam Petelur

243
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Hasil Analisis Imbangan Formula Herbal dan BAL Terhadap Penampilan
Produksi Ayam Petelur
Perlakuan
Variabel
P0 P1 P2 P3
Konsumsi Pakan
118,10±1,39 119,60±1,38 120,80±2,48 120,06±1,61
(g/ekor/hr)
HDP (%) 92,29±2,11b 93,33±1,06b 93,24±0,40a 86,95±1,49a
Egg Mass 56,20±3,11 54,85 ± 3,55 54,77 ± 2,56 56,11±1,68
FCR 2,32 ± 0,06b 2,25±0,12b 2,28±0,05 b
2,49±0,11a
IOFC (Rp/ekor/hr) 408,71±8,31a 431,22±10,32b 432,05±26,10 402,34±13,34a
a

Keterangan: a) b) Superskip berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Konsumsi pakan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan Formula Herbal dan BAL
dalam pakan tidak berpengaruh nyata pada konsumsi pakan diduga karena tidak
terlalu merubah kandungan zat makanan sehingga masih bisa ditoleransi oleh
ayam. Dari hasil analisis proksimat pakan menunjukkan bahwa energi yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan nilai hasil perhitungan sedangkan protein
pakan yang dihasilkan sedikit berkurang. Seperti diketahui bahwa imbangan-
imbangan protein dan energi sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pakan
karena energi dalam pakan adalah salah satu faktor pembatas konsumsi.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat North and Bell (1992) bahwa kandungan
energi dalam pakan adalah salah satu faktor pembatas konsumsi. Hubungan energi
dalam pakan berbanding terbalik dengan jumlah konsumsi pakan. Apabila
kandungan energi dalam pakan tinggi, akan mengakibatkan konsumsi pakan
rendah, dan sebaliknya apabila energi dalam pakan rendah, maka konsumsi akan
tinggi.

Hen day production (HDP)


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik terhadap HDP ayam
petelur periode layer menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05). Hal
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, tetapi hasil penelitian ini lebih rendah
dari Youssef et al, (2013) yang menunjukkan bahwa penambahan sinbiotik
sebagai aditif pakan pada taraf 0,06% yang diberikan pada ayam petelur fase
puncak produksi berbeda nyata menghasilkan HDP sebesar 91,80%
Pengaruh Perlakuan terhadap Hen Day Production (HDP) Penambahan Formula
Herbal dan BAL Lactobacillus sp. dalam pakan (P1) merupakan perlakuan terbaik
terhadap Hen Day Production. Adanya pengaruh yang sangat nyata pada Hen Day
Production diduga karena adanya jumlah pakan yang dikonsumsi berpengaruh
terhadap jumlah konsumsi protein dan energi dalam pakan. Sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kompiang (2009) bahwa dengan penambahan
kultur probiotik akan meningkatkan produksi telur harian (HDP). Konsumsi pakan
yang tinggi akan menghasilkan produksi telur yang tinggi, hal ini yang
berpengaruh adalah kondisi ternak, dalam hal ini yang berpengaruh yaitu bobot
badan dan uniformity yang standar (Scott, Nesheim and Young, 1992). Sedangkan
menurut Wahju (2004) sebagian besar zat makanan yang dikonsumsi ayam petelur
digunakan untuk mendukung produksi telur. Ayam petelur mengkonsumsi pakan

244
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk mendukung produksi telur (NRC, 1994).
Sedangkan menurut Wahju (2004) sebagian besar zat makanan yang dikonsumsi
ayam petelur digunakan untuk mendukung produksi telur. Adanya perbedaan
diduga juga disebabkan kandungan senyawa aktif yang terdapat pada tepung jahe
dan tepung temulawak yang cukup berpengaruh pada HDP ayam petelur.
Senyawa aktif dalam tepung jahe dan tepung temulawak mampu memperbaiki
kinerja organ pencernaan dengan menghambat laju pertumbuhan bakteri. Kinerja
organ pencernaan yang baik akan memaksimalkan penyerapan nutrisi dari ransum
sehingga dapat meningkatkan produksi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Murdiati dkk. (1998) bahwa senyawa-senyawa aktif dalam tepung jahe memiliki
sifat antibakteri. Sifat tersebut antara lain menghambat laju pertumbuhan bakteri
pathogen yang menyerang saluran pencernaan, mencegah aflatoksikosis atau
keracunan aflatoksin dalam pakan yang dapat menyebabkan penurunan bobot
badan dan produksi telur pada ayam petelur, serta efektif sebagai immune-
modulator, yaitu meningkatkan respon kekebalan tubuh. Penambahan tepung
temulawak dalam ransum ayam perlakuan P3 diduga mampu berinteraksi dengan
tepung jahe sehingga berpengaruh dalam peningkatan HDP. Senyawa aktif
kurkumin pada tepung Temulawak diduga berperan dalam membantu penyerapan
nutrisi dalam ransum.

Egg mass
Hasil penelitian rataan massa telur ayam petelur dilihat pada Tabel 3.
menunjukkan bahwa pemberian Formula Herbal dan BAL terhadap massa telur
ayam petelur periode layer menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
Masa telur pada perlakuan P3 taraf 0,75% berbeda nyata dengan P1 taraf 0,25%
dan P2 taraf 0,50% tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol P0.
Penambahan sinbiotik pada taraf 0,25 -50% akan meningkatkan massa telur, tetapi
apabila ditambah dosisnya sampai 0,75% maka tidak berbeda nyata dengan
perlakuan control atau tanpa penambahan Formula Herbal dan BAL. Hasil
penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Gabriela et al., (2005) yang
menyebutkan bahwa penambahan sinbiotik pada taraf 1% berbeda nyata
menghasilkan massa telur sebesar 3.170,16 g/ekor. Sedangkan penelitian Youssef
et al. (2013) menyebutkan bahwa penambahan sinbiotik sebagai zat aditif pakan
pada taraf 0,06% yang diberikan pada ayam fase puncak produksi berbeda nyata
menghasilkan massa telur sebesar 3.158,4 g/ekor. Peningkatan massa telur pada
perlakuan P1 dan P2 ini akibat kinerja sinbiotik yakni peranan bakteri asam laktat
yang mendapat substrat dari limbah jamu (prebiotik), sehingga mampu
menyeimbangkan mikrofloral yang ada pada saluran pencernaan. Bakteri asam
laktat dalam saluran pencernaan dapat mengsekresikan enzim-enzim seperti,
protease dan lipase, sehingga nutrient mudah diserap dan kualiatas fisik telur
seperti massa telur yang dihasilkan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hartono dan Kurtini (2015) yang menyatakan bahwa kandungan gizi (protein,
energi, lemak dll) dalam ransum merupakan bahan dasar pembentukan telur.
Apabila kemampuan penyerapan nutrient ayam petelur baik, maka akan
mempermudah pembentukan putih dan kuning telur dengan massa telur yang
lebih tinggi. Dengan demikian semakin tinggi kecernaan zat gizi maka
penyerapan nutriennya akan semakin baik, sehingga massa telur yang dihasilkan
semakin tinggi.

245
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Konversi ransum
Hasil penelitian rataan konversi ransum ayam petelur berdasarkan masing-masing
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian sinbiotik terhadap konversi ransum ayam petelur periode layer
menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05). Konversi ransum pada perlakuan T3 taraf
pemberian P3 berbeda nyata dengan perlakuan P0 (2,34), P1 taraf 0,5% (2,25) dan
P2 taraf (2,49). Pemberian sinbiotik pada taraf 0,25-0,50% akan menurunkan nilai
FCR tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol atau tanpa pemberian
sinbiotik, tetapi apabila dosis penambahan Formula herbal dan BAL ditambah
menjadi 0,75% berbeda nyata meningkatkan nilai FCR. Hasil penelitian ini lebih
tinggi daripada penelitian Gabriela et al., (2005) yang menunjukkan bahwa
penambahan sinbiotik sebagai zat aditif pakan pada taraf 0,50% berbeda nyata
menghasilkan konversi ransum sebesar 2,0. Faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi ransum antara lain umur, pakan, daya cerna, tingkat konsumsi
(Sugiharto, 2005). Konversi ransum akan berbanding lurus dengan tingkat
konsumsi ransum. Penambahan sinbiotik dengan taraf yang lebih tinggi (1,5%)
akan meningkatkan konsumsi ransum. Hal ini karena kandungan minyak atsiri
dan zat aktif dalam sinbiotik dapat mempercepat pengosongan lambung sehingga
laju pakan tinggi dan ternak mudah lapar (Islami, 2011). Dengan demikian
ransum dengan penambahan sinbiotik pada perlakuan T3 (1,5%) kurang efisien
karena meningkatkan konsumsi ransum, tetapi menurunkan produksi telur,
sehingga diperoleh nilai konversi yang buruk.
Hal ini sesuai dengan penelitian Prawitya (2015) bahwa Penambahan probiotik
Lactobacillus sp. bentuk tepung 0,2% dalam pakan merupakan perlakuan terbaik
yang dapat menurunkan konversi pakan. Adanya pengaruh yang nyata pada
konversi pakan diduga dipengaruhi oleh produksi telur dan konsumsi pakan. Hal
ini sesuai dengan penelitian Anggorodi (1994) menyatakan bahwa semakin
rendah angka konversi pakan semakin baik karena penggunaan pakan lebih
efisien. Konsumsi pakan yang tinggi apabila tidak diikuti dengan produksi yang
tinggi pula, maka akan menyebabkan nilai konversi pakan yang buruk (Anonimus,
2007). Semakin kecil nilai konversi pakan maka semakin efisien pula ternak
tersebut dalam memanfaatkan pakan untuk memproduksi telur. Konversi pakan
merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan berat telur
yang dihasilkan pada suatu waktu tertentu. Hasil analisis statistik terhadap
konsumsi pakan, Hen Day Production memberikan perbedaan pengaruh yang
sangat nyata sehingga berpengaruh pada perhitungan nilai konversi pakan. Bently
(2003) menyatakan bahwa dengan kondisi lingkungan kandang yang panas dan
lembab menyebabkan pengaruh yang kurang baik pada ternak. Menurut Jull
(1972) kecepatan pertumbuhan merupakan faktor penting yang mempengaruhi
konversi pakan. Konversi pakan dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan produksi
telur.

Income over feed cost (IOFC)


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik terhadap IOFC ayam
petelur periode layer menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05). Pada
perlakuan P1 ,P2, P0 dan P3. Penambahan sinbiotik taraf 0,25% dan 0,50%
memberikan pengaruh nyata menguntungkan 25,6% dan 4,7%. Hal ini disebabkan
perlakuan P1 dan P2 memiliki tingkat produksi telur yang meningkat dan tingkat

246
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

konsumsi yang rendah sehingga IOFC tidak minus. IOFC hasil penelitian ini
ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, perlakuan P3 berpengaruh nyata
menurunkan nilai IOFC serta menimbulkan kerugian. Hal ini terjadi karena
penambahan biaya pakan yang ditimbulkan oleh penambahan sinbiotik lebih besar
dibandingkan penghasilan yang diperoleh dari peningkatan produksi.
Hal ini sesuai dengan penelitian Prawitya (2015) bahwa Penambahan probiotik
Lactobacillus sp. bentuk tepung 0,2% dalam pakan merupakan perlakuan terbaik
terhadap Income Over Feed Cost (IOFC). Adanya pengaruh yang sangat nyata
pada konversi pakan disebabkan karena nilai IOFC dipengaruhi oleh berat telur
dan konsumsi pakan. IOFC selain dipengaruhi oleh konsumsi dan HDP juga
dipengaruhi oleh harga telur di pasaran, dimana nilai IOFC dari produksi telur
dikalikan dengan harga telur dikurangi dengan konsumsi dikalikan dengan harga
pakan.

Hemoglobin darah ayam petelur


Pengaruh rataan imbangan formula herbal dan bal terhadap kadar hemoglobin
darah ayam petelur ditampilkan pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Hasil Rataan Pengaruh Imbangan Formula Herbal dan BAL Terhadap
Kadar Hemoglobin Darah Ayam Petelur
Perlakuan Hemoglobin (g/dL)
P0 11,21 ± 0,63
P1 11,32 ± 1,09
P2 11,40 ± 0,90
P3 11,60 ± 1,22

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh imbangan formula herbal dan


BAL berpengaruh pada kadar hemoglobin darah ayam petelur. Rataan nilai
hemoglobin darah ayam pedaging yang diberikan formula herbal dan BAL pada
pakan berkisar antara 11,21 – 11,60 g (g dl-1). Menurut Kusumasari et al., (2012)
kadar hemoglobin normal pada ayam berkisar antara 7,3- 10,90 g/%, sehingga
nilai Hb darah ayam dalam kisaran normal. Hb berada di dalam eritrosit dan
berfungsi untuk membawa oksigen ke jaringan atau sel dan mengekskresikan
karbondioksida dari jaringan. Peningkatan kadar Hb menyebabkan kemampuan
dalam membawa oksigen ke jaringan menjadi lebih baik dan ekskresi
karbondioksida lebih efisien.
Hal tersebut menyebabkan keadaan dan fungsi pada sel dan jaringan menjadi lebih
optimal (Winarsih, 2005). Rataan jumlah hemoglobin pada ayam petelur
meningkat seiring dengan jumlah konsentrasi probiotik cair yang ditambahkan
dalam pakan. Jumlah hemoglobin yang meningkat seiring dengan perlakuan
pemberian Formula Herbal dan BAL. Bakteri Lactobacillus sp yang dapat
menghasilkan enzim protease (Lutfiana et al., 2015). Enzim protease dibutuhkan
untuk memecah protein menjadi asam amino yang dibutuhkan pada proses
hemopoeisis sehingga hemoglobin akan meningkat dengan semakin
meningkatnya probiotik yang diberikan.

247
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Pengaruh imbangan Formula Herbal dan BAL pada pakan dengan level 0,25-
0,75% memberikan hasil terbaik terhadap FCR, HDP, Egg mass, IOFC dan
Hemoglobin darah ayam petelur.

Daftar Pustaka
Astuti, F. K., Rinanti, R. F., Tribudi, Y. A. (2020). Profil Hematologi Darah
Ayam Pedaging Yang Diberi Probiotik Lactobacillus plantarum. Jurnal Nutrisi
Ternak Tropis 3(2) 106-112
Haryati, T. 2011. Probiotik dan prebiotic sebagai pakan imbuhan nonruminansia.
Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Islami, N. 2015. Performan ayam petelurumur 40-75 hari yang diberi ekstrak
temulawak (curcuman x anthorriza roxb). Fakultas Pertanian dan Peternakan.
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau. Pekanbaru.
Ketaren, P. P. 2010. Kebutuhan gizi ternak unggas di Indonesia. Balai Penelitian
Ternak, Bogor.
Kompiang, I. P. 2009. Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik untuk
meningkatkan produksi ternak unggas di Indonesia. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. 2 (3) : 177-191.
Natalie, D., E. Suprijatna dan R. Muryani. 2016. Pengaruh Penggunaan Limbah
Industri Jamu Dan Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus Sp.) Sebagai Sinbiotik
Untuk Aditif Pakan Terhadap Performans Ayam Petelur Periode Layer. Jurnal
Ilmu Peternakan. 26(3): 6-13
Youssef, A. W., H. M. A. Hassan., H. M. Ali., M. A. Mohamed. 2013. Effect
prebiotics, probiotics and organic acid on layer performance and egg quality. J.
Poultry Science. 10:1-10.

248
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN TEPUNG KUNYIT DAN


TEMULAWAK SELAMA PEMBATASAN WAKTU MAKAN TERHADAP
PERFORMA AYAM BROILER

Prima Utama*, Abdul Azis, Zubaidah


Program studi Peternakan Fakultas peternakan Universitas Jambi
Jl. Raya Jambi-Ma.Bulian KM15 Kampus Pinang Masak,Mendalo Darat, 36361
Email korespondensi: primapasaribu20@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung kunyit dan
temulawak selama pembatasan waktu makan terhadap performa ayam broiler pada
umur 7-35 hari. Penelitian ini dilaksanakan di kandang Fapet Farm Fakultas
Peternakan Universitas Jambi, pada tanggal 15 Desember 2020 sampai dengan 18
Januari 2021. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 ekor DOC
strain lohman produksi PT. Japfa Comfeed, Ransum broiler starter (BR-1),
ransum broiler finisher (BR-2), 20 unit kandang koloni. Metode pembatasan
waktu makan dengan pemberian camuran tepung kunyit dan temulawak dalam air
minum dilakukan pada umur 7 s/d 14 hari dengan menyediakan ransum selama 4
jam/hari dengan frekuensi 2x/ hari perlakuan yang di berikan P0: Ransum
diberikan ad libitum, P1: Pembatasan waktu makan tanpa pemberian campuran
kunyit dan temulawak, P2: Pembatasan waktu makan dengan pemberian
campuran tepung kunyit dan temulawak 1,7 g/L, P3: Pembatasan waktu makan
dengan pemberian campuran tepung kunyit dan temulawak 3,4 g/L. Rancangan
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 4
perlakuan dan 5 ulangan. Peubah yang diamati meliputi konsumsi ransum, PBB,
dan konversi ransum. Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian campuran
tepung kunyit dan temulawak sampai 3,4 g/L selama pembatasan waktu makan
nyata (P<0,05) menurunkan konsumsi dan PBB pada umur 7-14. Namun tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kosumsi ransum, dan PBB umur 14-35 hari,
serta konversi ransum umur 7-35 hari. Dapat disimpulkan bahwa pemberian
campuran tepung kunyit dan temulawak sampai 3,4 gr/L dalam air minum selama
pembatasan waktu makan belum mampu memperbaiki performa ayam broiler.

Kata Kunci: Ayam broiler, kunyit, performa, temulawak.

Pendahuluan
Ayam broiler merupakan tipe ayam pedaging yang memiliki keunggulan dan
pertumbuhan yang cepat serta dapat menghasilkan daging dalam waktu yang
singkat, sehingga di umur 5 minggu sudah dapat di panen. Sistem pemeliharaan
ayam broiler umumnya dilakukan secara intensif dengan manajemen pemberian
ransum adlibitum. Kondisi demikian mampu memberikan produksi yang optimum
pada kondisi lingkungan sesuai untuk menunjukkan ekspresi potensi genetiknya.
Namun demikian, dampak dari laju pertumbuhan yang tinggi pada ayam broiler
dengan kondisi ransum adlibitum seringkali berhubungan dengan kasus penyakit
metabolic seperti ascites, sudden death syndrome dan leg disorder (Zubair dan
Lesson, 1996; Rincon dan Lesson, 2002). Oleh karena itu, menurut Zhang dkk.
(2009) bahwa pemberian ransum ad libitum dengan tingkat nutrisi tinggi pada

249
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ayam broiler tidak selalu menampilkan kondisi kesehatan dan kesejahteraan yang
baik. Pada sisi lain, dampak dari pemberian ransum ad libitum dapat
menyebabkan kebiasaan ayam mengkonsumsi ransum berlebih (Svihus dan
Hetland, 2001). Hal ini berpotensi menurunkan efisiensi penggunaan ransum
sebagai akibat terjadinya kelebihan konsumsi di atas kebutuhan pertumbuhan
ayam. Berkenaan dengan hal tersebut, tindakan mengurangi laju pertumbuhan
ayam melalui pembataasan waktu makan di awal periode pemeliharaan ayam
broiler di pilih untuk mencegah kasus penyakit metabolik dan memperbaiki
efisiensi penggunaan ransum (Mench, 2002, Tolkamp dkk,2005, Ozkan dkk,
2006).
Program pembatasan waktu makan dengan mengosongkan ketersediaan ransum
(feed withdrawal) dalam rentan waktu tertentu merupakan teknik yang mudah di
gunakan pada peternakan ayam broiler. Pembatasan pemberian ransum dalam
batasan waktu tertentu masih di kategorikan ringan dengan derajat cekaman yang
rendah (Susbilla dkk, 2003), sehingga penurunan bobot badan ayam tidak tinggi
selama periode pembatasan. Pembatasan penyediaan ransum selama 4 jam/hari
dengan dua kali frekuensi pemberian ransum (08:00-10:00; 16:00-18:00) dari
umur 7 hingga 14 hari menyebabkan penurunan konsumsi bobot badan masing-
masing 30,00% dan 11,86% selama periode pembatasan ransum, namun demikian
dapat menghasilkan bobot badan yang tidak berbeda dengan control pada akhir
periode pemulihan tanpa perbaikan efisiensi penggunaan ransum ( Azis, 2011).
Hal ini menunjukkan bahwa pembatasan ransum tersebut masih di kategorikan
dengan intensitas rendah.
Tanaman kunyit (curcuma longa linn) dan temulaawak (curcuma xanthorrhiza
roxb) merupakan tanaman asli Indonesia banyak di gunakan sebagai bahan obat
tradisional. Kunyit dan temulawak mengandung senyawa fenolik seperti
kurkumin memiliki potensi sebagai pemacu pertumbuhan ayam. Al-Mashhadani,
(2015) melaporkan bahwa pemberian tepung kunyit 0,4% dalam ransum dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir ayam broiler serta
dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan ayam. Selanjutnya, Sinar dan
Wardiny (2015) melaporkan bahwa pemberian tepung temulawak 1% dalam
ransum memberikan performans ayam broiler yang terbaik. Mengacu pada potensi
kunyit dan temulawak, penggunaan kedua bahan tersebut memungkinkan dapat
merangsang pertumbuhan ayam selama periode pembatasan ransum sehingga laju
penurunan bobot badan tidak terlalu tinggi selama ayam menerima pembatasan
ransum. Hal demikian di harapkan laju pertambahan bobot badan selama periode
pemuliah dapat berlangsung tinggi dengan penigkatan efisiensi penggunaan
ransum sehingga bobot badan normal dapat dicapai pada umur panen.
Melihat potensi dan manfaat yang diperoleh dari kunyit dan temulawak, maka
dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian kunyit dan temulawak dalam
air minum selama periode pembatasan waktu makan tehadap performa ayam
broiler.

Metode
Materi yang digunakan pada percobaan ini adalah 200 ekor DOC strain Lohman
produksi PT. Japfa comfeed. Ransum yang diberi ransum komersil yaitu ransum
fase starter (BR-1),dan ransum fase finisher (BR-2). Penggunaan campuran

250
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tepung kunyit dan temulawak diberikan melalui air minum dengan campuran
dosis rendah yaitu 1,7 g/L (1,2 g kunyit dan 0,5 g temulawak) serta dosis sedang
sebanyak 3,4 g/L (2,4 g kunyit dan 1 g temulawak). Penggunaan campuran dari
kedua bahan tersebut berdasarkan dosis kurkumin pada taraf rendah 125 mg/L,
dan taraf sedang 250 mg/L air minum, dari total kedua bahan tersebut. Sebanyak
50 ekor ayam dipelihara tanpa pembatasan waktu makan, dan 150 ekor ayam
mendapat pembatasan waktu makan dengan menyediakan makanan selama 4
jam/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali (08:00-10:00, 16:00-18:00) serta
pemberian campuran tepung kunyit dan temulawak dalam air minum, dimulai dari
umur 7 hingga 14 hari. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut P0: Ransum
diberikan ad libitum, Setelah periode pembatasan waktu makan selesai, kemudian
ayam dipulihkan dengan pemberian ransum secara ad libitum hingga umur 35
hari. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, dimana setiap ulangan
terdiri dari 10 ekor ayam. Dengan penempatan pada tiap unit kandang pen
dilakukan secara acak menggunakan bilangan teracak (random). Peubah yang
diamati meliputi konsumsi ransum pertambahan bobot badan, dan konversi
ransum.

Tempat dan waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di kandang Fapet Farm Fakultas Peternakan
Universitas Jambi, pada tanggal 15 Desember 2020 sampai dengan 18 Januari
2021.

Analisis data
Data yang di peroleh dianalisis menggunakan analisi sidik ragam yang sesuai
dengan rancangan yang digunakan. Pada peubah yang dipengaruhi perlakuan di
lanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

Hasil dan Pembahasan


Konsumsi ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pembatasan waktu makan dari umur 7
s/d 14 hari berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum. Berdasarkan
uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa konsumsi ransum ayam broiler
yang mendapat pembatasan waktu makan (P1, P2 dan P3) nyata lebih rendah
(P<0,05) dari ayam broiler yang diberi ransum ad libitum (P0). Fakta demikian
menunjukkan bahwa lama waktu ketersediaan ransum selama periode pembatasan
dapat menurunkan konsumsi ransum.Penurunan konsumsi ransum ini wajar
terjadi karena terbatasnya waktu ketersediaan ransum sehinggga menyebabkan
aktivitas makan terbatas. Hasil ini sesuai dengan pendapat Amrullah (2004) yang
menyatakaan bahwa ayam pedaging memiliki kecenderungan untuk makan lebih
banyak jika ada kesempatan untuk makan seperti pemberian pada pakan ad-
libitum dan konsumsi pakan akan berkurang jika berkurang jika pemberian pakan
dibatasi. Mohebodini dkk.(2009) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum nyata
menurun (14,64%) pada ayam yang diberi ransum dengan pembatasan waktu
makan selama 8 jam/hari dari pukul (10:00 s/d 18:00) dari umur 7 – 14 hari. Akan
tetapi efek dari pemberian campuran tepung kunyit dan temulawak tidak terlihat
pada konsumsi ransum umur 7 s/d 14 hari, hal ini dapat dilihat dari penurunan

251
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

konsumsi ransum pada P1, P2, dan P3 yaitu 38,5%, 39,6%, dan 41,1% yang tidak
berbeda nyata (P>0,05). Selama periode pemulihan dari umur 15 s/d 35 hari,
menunjukan bahwa pemberian campuran kunyit dan temulawak juga tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum. Hal demikian
menunjukan bahwa pemberian campuran kunyit dan temulawak tidak
menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi ransum. Hal ini diduga pemberian
campuran kunyit dan temulawak tergolong singkat hanya pada saat pembatasan
saja. Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan penelitian Darfinasari (2018)
bahwa pemberian ekstrak temulawak, kunyit dan lengkuas sebanyak 10% setiap
perlakuan dalam air minum tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi
pakan. Hasil yang sama juga tunjukan oleh Hendri dkk., (2019) bahwa pemberian
kunyit dan temulawak 0,03% tidak memberikan berpengaruh nyata terhadap
konsumsi ransum. Selanjutnya Kaselung dkk.,(2014) menyatakan bahwa
pemberian ransum dasar dengan penambahan kunyit, temulawak dan temu putih
sebanyak 2% dalam ransum komersil setiap perlakuan belum dapat meningkatkan
konsumsi ransum burung puyuh. Alifian dkk., (2018) menyatakan pemberian
kunyit dan temulawak 0,75% dalam air minum setiap perlakuan tidak
berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum pada ayam broiler.

Tabel 1. Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, (g/ekor) dan


konversi ransum ayam broiler umur 7-35 hari menurut perlakuan.
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
Konsumsi Ransum
Umur 7-14 hari 334,116ᵃ±12,83 205,632ᵇ±5,73 201,828ᵇ±15,46 196,904ᵇ ± 5,82
Konsumsi Ransum
Umur 14-35 hari 2682,682±92,4 2528,426 ±139,82 2517,914±25,28 2584,768±63,57
PBB Umur
Umur 7-14 Hari 248,829ᵃ ± 14,92 174,667ᵇ±8,17 161,174ᵇ ±15,72 164,399ᵇ±4,76
PBB Umur
Umur 14-35 hari 1592,35±92,55 1546,471±98,09 1542,61±26,48 1542,196±60,43
Konversi Ransum
Umur 7-35 Hari 1,5±0,02 1,484±0,01 1,497±0,04 1,518±0,04
P0:Pemberian ransum secara ad libitum. P1:Pembatasan waktu makantanpa
pemberian campuran tepung kunyit dan temulawak. P2:Pembatasan waktu makan
+ campuran tepung kunyit dan temulawak 1,7g/L. P3:Pembatasan waktu
makan+campuran tepung kunyit dan temulawak 3,4g/L.
Superscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata
(P<0,05)

Pertambahan Bobot Badan


Data rataan pertambahan bobot badan ayam broiler dengan pemberian kunyit dan
temulawak pada air minum dengan masing masing perlakuan disajikan pada Tabel
1.Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pembatasan waktu makan berpengaruh
nyata (P<0,05) menurunkan PBB umur 7-14 hari, dimana kontrol (P0) nyata lebih
tinggi dibandingkan P1, P2, dan P3. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah konsumsi
ransum kontrol yang nyata lebih tinggi dibandingkan jumlah konsumsi P1, P2 dan
P3. Hasil ini sejalan dengan laporan, Azis dkk. (2011) pada semua kelompok
ayam yang mendapatkan pembatasan waktu makan selama dari umur 7-14 hari
lebih rendah dari pada kontrol, hal ini menunjukkan bahwa pembatasan waktu

252
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

makaan menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan di akhir periode


pembatasan.
Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian campuran tepung kunyit dan
temulawak sampai 3,4g/L berbeda nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot
badan umur 14-35 hari.

Konversi Ransum
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian campuran tepung kunyit dan
temulawak selama periode pembatasan waktu makan tidak memberikan
perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum ayam broiler. Hasil
konversi yang didapat dari penelitian ini yaitu 1,484 - 1,518. Sinurat dkk, (2009)
juga melaporkan hal yang sama bahwa pemberian tepung kunyit dan temulawak
sebagai pakan imbuhan dalam ransum tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap
konversi ransum. Hasil serupa juga di sampaikan oleh Tantalo (2010),
menyatakan bahwa pemberian kunyit 1,67% dan Temulawak 1,67% dalam satu
liter air minum tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum, hasil
konversi yang di dapat dari penelitian ini adalah 1,42 dan 1,46.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pemberian
campuran tepung kunyit dan temulawak sampai 3,4 g/L dalam air minum selama
pembatasan waktu makan 7-14 hari belum mampu memperbaiki performa ayam
broiler.

Daftar Pustaka
Almashhadani, H.E. 2015. Effect of different levels of turmeric (Curcuma longa)
supplementation on broiler performance, carcass characteristic and
bacterial count. Egypt. Poult. Sci. 35 (1): 25-39.
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi ayam Broiler. Bogor: Lembaga Satu Gunung Budi.
Azis, A., H. Abbas, Y. Heryandi dan E. Kusnadi. 2011. Pertumbuhan kompensasi
dan efisiensi produksi ayam broiler yang mendapat pembatasan waktu
makan. Med. Pet. 34(1): 50-57
Darfinasari, L.K. 2018. Perbedaan Pemberian Ekstrak Temulawak, Kunyit Dan
Lengkuas Terhadap Bobot Badan Ayam Jawa Super, Skripsi. Universitas
Nusantara PGRI Kediri.
Estancia, K., Isroli. dan Nurwantoro. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kunyit
(Curcuma domestica) Terhadap Kadar Air, Protein dan Lemak Daging
Ayam Broiler. Journal ofAnimal Agriculture. 1(2):31-39.
Iqbal, M. 2018. Pengaruh Pemberian Temulawak (Curcuma xhanthorrhiza Roxb)
dan Kunyit (Curcuma domestica Val) Dalam Air Minum Terhadap
Bobot Organ Pencernaan Broiler.Skripsi. Universitas Jambi.
Kaselung, P.S., M. E. K Montong., C. L. K. Sarayar dan J. L. P. Saerang. 2014.
Penambahan Rimpang Kunyit (Curcuma Domestica Val), Rimpang
Temulawak (Curcuma Xanthorizol Roxb) dan Rimpang Temu Putih
(Curcuma Zedoaria Rosc) Dalam Ransum Komersil Terhadap Performans
Burung Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica). Jurnal Zootek. 34(1):114
123.

253
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Loth, M. R. 2011. Penmbahan tepung kunyit (Curcuma domestika val) dalam


Ransum Komersial Terhadap Berat Organ Internal Ayam Pedaging.
Laporan Hasil Penelitian. Universitas Sumatera Utara.
Mench, J. A. 2002. Broiler breeders: Feed restriction and welfare. World’s Poult.
Sci. 58: 20-29.
Mohebodini, H., B. Dastar, M.S. Sharg, and S. Zarehdaran. 2009. The comparison
of early feed restriction and meal feeding on performance, carcass
characteristics and blood constituents of broiler chickens. Journal of
Animal Veterinary Advances. 8:2069-2074
Rukmana, R. 2006. Temulawak, Tanaman Rempah dan Obat. Yogyakarta:
Kanisius.
Sinar, T. E. A and Wardiny, T. W. 2015. Effect of Curcuma (Curcuma
roxbXanthorrhiza) Meal as Feed Addictive in Broiler Rations on
Performance and an Antibody Titres Agains ND. In: 2nd International
Conference on Sustainable Agriculture and Environtment 92nd, 30
September – 3 Oktober 2015, Konya, Selcuk University Turkey.
Sinurat,A.P.,T.Purwadaria., I.A.K. Bintang.,P.P Ketaren., N. Bermawie., M.
Raharjo dan M. Rizal. 2009. Pemanfaatan kunyit dan temulawak sebagai
imbuhan pakan untuk ayam broiler. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner.
14(2): 90-96.
Susbilla, J.P., I. Tarvid, C.B. Gow, and T.L. Frankel. 2003. Quantitative feed
restriction or meal-feeding of broiler chicks alter functional development of
enzymes for protein digestion. Br. Poult. Sci. 44: 698-709
Sturkie PD. 2000. Avian Physiology.Ed ke-15. New York: Spinger-Verlag.
Svihus, B., A. Sacranie, V. Denstadli and M. Choct. 2012. Nutrient utilization and
functionality of the anterior digestive tract caused by intermittent feeding
and inclusion of whole wheat in diets for broiler chickens. PoultSci. 89:
2617-2625.
Zhang, G. F, Yang, Z. B., Wang, Y., Yang, W. R., Jiang, S. Z., And Gai, G. S.
2009. Effects of ginger root (Zingiberofficinale) processed to different
particle sizes on growth performance, antioxidant status, and serum
metabolites of broiler chickens. Poult. Sci. 88(10): 2159-2166.
Zubair, A.K. And Leeson, S. 1996. Compensatory growth in the broiler chicken: a
review. World’s poult. Sci. 52:189-201.

254
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

BOBOT KARKAS DAN LEMAK ABDOMEN AYAM BROILER YANG


DIBERI RANSUM BERBAHAN LOKAL BERPROBIOTIK
SEBAGAI PENGGANTI RANSUM KOMERSIL

Richa Firinicha*, Ella Hendalia, Zubaidah

Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi


Alamat: Jln. Jambi – Muara Bulian KM 15 Mendalo Darat, Jambi 36361
*
Email korespondensi: firinicharicha@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan ransum
berbahan lokal berprobiotik sebagai pengganti ransum komersil terhadap bobot
karkas dan lemak abdomen ayam broiler. Penelitian ini dilaksanakan di Fapet
Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tanggal 2 September 2020
sampai 7 Oktober 2020. Penelitian ini menggunakan 200 ekor DOC strain MB
202 unsex. Perlakuan yang diterapkan yaitu P0 (ransum kontrol), P1 (25% ransum
berprobiotik), P2 (50% ransum berprobiotik), P3 (75% ransum berprobiotik) dan
P4 (100% ransum berprobiotik). Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) terdiri atas 5 perlakuan dengan 4 ulangan. Peubah yang diamati
adalah konsumsi ransum, bobot potong, bobot karkas dan bobot lemak abdomen.
Data diolah dengan Analisis Ragam. Pada peubah yang dipengaruhi perlakuan
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan ransum berbahan lokal berprobiotik nyata (P<0,05)
menurunkan konsumsi ransum, bobot potong, bobot karkas mutlak dan relatif,
tetapi tidak nyata (P>0,05) menurunkan bobot lemak abdomen mutlak dan relatif
ayam broiler. Dari hasil uji duncan diketahui bahwa konsumsi ransum, bobot
potong, bobot karkas mutlak dan relatif P1 dan P2 tidak berbeda (P>0,05)
dibandingkan P0, sedangkan P3 dan P4 nyata (P<0,05) lebih rendah
dibandingkan P0. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ransum berbahan
lokal berprobiotik dapat menggantikan 50% ransum komersil karena diperoleh
bobot karkas dan lemak abdomen ayam broiler yang sama.

Kata Kunci: ransum, probiotik, karkas, lemak abdomen

Pendahuluan
Broiler merupakan ayam pedaging yang sudah dikembangkan secara khusus
untuk dipasarkan secara dini, yaitu pada umur 4-6 minggu, dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Saat ini pakan yang
digunakan dalam budidaya ayam broiler masih bergantung pada pakan komersil
yang sebagian besar bahan baku penyusunnya masih diimpor, sehingga biaya
pakan sangat tinggi. Kondisi ini memaksa para peternak untuk melakukan
berbagai usaha efisiensi pakan untuk meminimalkan biaya pakan. Menurut
(Akhadiarto, 2014) alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala
tersebut adalah menggali potensi bahan lokal yang harganya relatif murah dan
terjamin ketersediaannya.

255
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berbagai bahan ransum lokal seperti bulu ayam, ikan rucah dan bungkil inti sawit
berpotensi untuk digunakan sebagai ransum ayam broiler. Salah satu kendala
dalam penggunaan bahan baku lokal tersebut adalah kualitasnya yang rendah,
sehingga sebelum digunakan terlebih dahulu perlu dilakukan pengolahan untuk
meningkatkan kualitasnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas ransum lokal adalah mengolahnya menggunakan probiotik
probio_fm dikombinasikan dengan sumber prebiotik berupa bungkil kelapa atau
bungkil inti sawit sehingga akan dihasilkan ransum yang mengandung probiotik,
atau pakan berprobiotik (Hendalia et al. 2017, 2018, 2019). Probio_FM adalah
probiotik cair yang mengandung bakteri asam laktat (BAL), dengan jumlah
bakteri 1010 -1011 cfu/ml (Manin, dkk. 2014). Keunggulan dari pengolahan pakan
menggunakan probiotik Probio_FM adalah diperolehnya pakan dwi fungsi yang
dapat digunakan sebagai sumber zat makanan sekaligus sumber probiotik untuk
ternak (Hendalia et al, 2019).
Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan tertuang dalam pasal 16
Permentan No 14/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Larangan ini dikarenakan
antibiotik sebagai imbuhan pakan berpotensi terserap pada produk hasil
peternakan serta secara tidak langsung konsumen akan memperoleh antibiotik
dalam konsentrasi rendah yang mampu meningkatkan resistensi bakteri serta
residu kimia dan mampu menimbulkan efek alergi pada manusia (Kompiang
2009). Oleh sebab itu maka pakan berprobiotik diharapkan dapat menjadi
alternatif dalam upaya meningkatkan kesehatan saluran pencernaan sehingga akan
berdampak positif terhadap peningkatan bobot karkas ayam broiler.
Hendalia et al., (2017) melaporkan bahwa fermentasi bulu ayam menggunakan
probio_fm dikombinasikan dengan bungkil inti sawit dapat meningkatkan bulk
density TBAB dari 425,76 kg/m3 menjadi 470,40 kg/m3 serta meningkatkan daya
cerna protein dari 65,39% menjadi 73,53%. TBAB yang dihasilkan mengandung
protein kasar 76,21%, dengan jumlah koloni BAL 1010 cfu/ml. Selanjutnya
Hendalia et al. (2019a; 2019b) melaporkan bahwa pengolahan tepung ikan rucah
menggunakan probio_fm dikombinasikan dengan bungkil inti sawit sebagai
sumber prebiotik dapat menghilangkan bau busuk ikan, menghambat
pertumbuhan salmonella serta menghasilkan tepung ikan yang bertekstur renyah,
tidak berminyak, tidak menggumpal, tidak bulky serta tidak menunjukkan
perubahan penampakan dan ketengikan setelah disimpan selama lebih dari 4
bulan. (Hendalia et al., 2019). Tepung ikan rucah berprobiotik tersebut
mengandung protein kasar 57,15%, abu 17,18%, serat kasar 7,63%, lemak kasar
5,03% Ca, 452% dan P 2,28%, dengan kandungan energi bruto 4354–4529
kkal/kg (Hendalia et al. 2019a; Hendalia et al. 2019).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan ransum berbahan
lokal berprobiotik sebagai pengganti ransum komersil terhadap bobot karkas dan
lemak abdomen ayam broiler.

Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Fapet Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi
pada tanggal 2 September 2020 sampai 7 Oktober 2020.

256
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Materi dan Peralatan


Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 200 ekor DOC strain MB 202
unsex umur 1 hari. Bahan ransum terdiri atas ikan rucah, Probio_FM, bungkil inti
sawit (BIS), bulu ayam dan bahan penyusun ransum lainnya jagung, bungkil
kedelai, minyak sawit, CaCO3, NaCl, premix, mineral mix, lisin, metionin dan
ransum komersil BR 1 dan BR 2. Probiotik yang diproduksi oleh Fakultas
Peternakan Universitas Jambi, bungkil inti sawit (BIS) berasal dari PT. Krisna
Duta Agroindo Kabupaten Sarolangun, bulu ayam diperoleh dari tempat
pemotongan ayam broiler pasar Angso Duo dan ikan rucah diperoleh dari tempat
pelelangan ikan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Peralatan yang digunakan terdiri atas peralatan untuk pengolahan ransum serta
peralatan untuk pemeliharaan dan pemotongan ayam. Untuk pemeliharaan ayam
digunakan kandang liter sebanyak 20 unit, setiap unit untuk 10 ekor broiler.
Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum, lampu 40 watt,
serta 1 buah termometer untuk mengukur suhu kandang. Untuk menimbang pakan
digunakan timbangan kapasitas 5kg dan 2kg, sedangkan untuk menimbang ayam
digunakan timbangan kapasitas 2kg dengan ketelitian 0,1gr.
Sebelum dilakukan penyusunan ransum, terlebih dahulu dilakukan pengolahan
bahan ransum yang akan digunakan yaitu pembuatan tepung bulu ayam
berprobiotik (TBA-PRO) menurut Hendalia et al., (2017), tepung ikan rucah
berprobiotik (TIR-PRO) menurut Hendalia et al., (2019) dan bungkil inti sawit
berprobiotik (BIS-PRO) menggunakan metode Yatno et al., (2012).
Pencampuran ransum dilakukan dengan cara mencampurkan bahan yang
jumlahnya lebih sedikit dan bertekstur halus terlebih dahulu, kemudian
ditambahkan bahan yang jumlahnya lebih banyak dan dicampurkan sedikit demi
sedikit sampai semua bahan ransum tercampur homogen.
Penelitian ini menggunakan analisis ragam Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 5 perlakuan 4 ulangan. Pada peubah yang dipengaruhi perlakuan
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Perlakuan yang diberikan dengan
susunan berikut:
P0 = Ransum komersil (sebagai control)
P1 = 75% Ransum komersil + 25% Ransum berbahan lokal berprobiotik
P2 = 50% Ransum komersil + 50% Ransum berbahan lokal berprobiotik
P3 = 25% Ransum komersil + 75% Ransum berbahan lokal berprobiotik
P4 = 100% Ransum berbahan lokal berprobiotik
Kandang koloni sebanyak 20 unit dibersihkan dan didesinfeksi menggunakan
desinfektan, lalu dilakukan pengapuran dan dibiarkan selama satu minggu.
Sebelum ayam datang, dilakukan pemasangan lampu sebagai pemanas pada
masing-masing unit kandang.
Sebelum ayam datang, terlebih dahulu dilakukan pengacakan perlakuan ke dalam
kandang dan pengacakan ayam ke dalam perlakuan menggunakan system lotere.
Pengacakan dilakukan dengan cara membuat nomor urut kandang dari 1 sampai
20, membuat kode perlakuan dan membuat nomor urut ayam dari 1 sampai 200,
kemudian dilakukan pengundian, masing masing perlakuan terdiri atas 10 ekor
ayam (DOC). Pada saat ayam datang, ayam diberi nomor (nomor urut) kemudian

257
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ditimbang untuk mengetahui bobot awal, lalu ditempatkan ke dalam kandang


sesuai dengan hasil pengacakan sebelumnya. Ayam yang datang ditimbang untuk
memperoleh bobot awal, kemudian ditempatkan ke dalam kandang sesuai hasil
pengacakan. Penimbangan ayam dan penimbangan ransum dilakukan setiap
minggu. Ransum diberikan ad libitum sampai umur 35 hari dan pada hari ke 35
dilakukan pemotongan ayam.
Data yang diambil meliputi konsumsi ransum, bobot potong, bobot karkas mutlak
dan relatif, bobot lemak abdomen mutlak dan relatif. Pengambilan data konsumsi
ransum setiap minggu selama 5 minggu pemeliharaan. Pengambilan data bobot
potong, bobot karkas mutlak dan relatif, bobot lemak abdomen mutlak dan relatif
dilakukan pada umur 35 hari, dengan cara mengambil sampel ayam sebanyak 2
ekor per unit perlakuan yang memiliki bobot badan paling mendekati bobot rata-
rata. Sebelum dipotong, ayam di puasakan terlebih dahulu selama kurang lebih 8
jam kemudian ditimbang untuk memperoleh bobot potong. Setelah ditimbang,
ayam dipotong pada bagian ujung leher sehingga terputus saluran napas, saluran
makanan dan 2 saluran darah. Kemudian ayam dicelupkan kedalam air dengan
suhu 70-80oC untuk pencabutan bulu. Setelah itu pemisahan bagian jeroan ayam
kecuali ginjal dan paru-paru lalu pemisahan lemak abdomen untuk ditimbang.
Selanjutnya pemotongan kaki bagian bawah dan kepala pada batas pangkal leher,
kemudian karkas ayam ditimbang untuk mendapatkan bobot karkas mutlak.

Tabel 1. Komposisi ransum berbahan lokal berprobiotik (%)


Komposisi
Bahan Penyusun
Starter Finisher
TI-PRO 15 14
TBA-PRO 3,5 1
BIS-PRO 4,5 8
Jagung 58 60
B. Kedelai 15 12,5
minyak sawit 2,3 2,5
Pre mix 0,25 0,25
NaCl 0,1 0,2
CaCO3 0,6 0,7
mineral mix 0,25 0,25
Meth 0,25 0,25
Lys 0,25 0,35
Total 100 100
Ket: P0 = 100% komersil (kontrol); P1 = 75% komersil + 25% ransum lokal
berprobiotik; P2 = 50% komersil + 50% ransum lokal berprobiotik; P3 = 25%
komersil + 75% ransum ransum lokal berprobiotik; P4 = 100% ransum lokal
berprobiotik

258
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Kandungan zat makanan ransum perlakuan fase setarter (%)


Perlakuan
Zat makanan
P0 P1 P2 P3 P4
Protein 23,00 23,04 23,08 23,12 23,15
Serat kasar 4,00 3,58 3,16 2,74 2,32
Lemak kasar 6,00 6,22 6,43 6,65 6,86
Kalsium 1,00 1,00 1,01 1,01 1,01
Posphor 0,60 0,61 0,61 0,62 0,62
EM 3000,00 3034,46 3068,92 3103,38 3137,85
Ket: P0 = 100% komersil (kontrol); P1 = 75% komersil + 25% ransum lokal
berprobiotik; P2 = 50% komersil + 50% ransum lokal berprobiotik; P3 = 25%
komersil + 75% ransum ransum lokal berprobiotik; P4 = 100% ransum lokal
berprobiotik

Tabel 3. Kandungan zat makanan ransum perlakuan fase finisher (%)


Perlakuan
Zat makanan
P0 P1 P2 P3 P4
Protein 20 20,17 20,34 20,51 20,68
Serat kasar 5 4,43 3,86 3,29 2,72
Lemak kasar 6 6,25 6,5 6,75 7
Kalsium 1 1 1,01 1,01 1,02
Posphor 0,6 0,6 0,6 0,6 0,59
EM 3100 3112,02 3124,05 3136,07 3148,09
Ket: P0 = 100% komersil (kontrol); P1 = 75% komersil + 25% ransum lokal
berprobiotik; P2 = 50% komersil + 50% ransum lokal berprobiotik; P3 = 25%
komersil + 75% ransum ransum lokal berprobiotik; P4 = 100% ransum lokal
berprobiotik

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam sesuai dengan
rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Pada peubah yang dipengaruhi perlakuan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda
Duncan.

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian terhadap konsumsi ransum, bobot potong, bobot karkas mutlak
dan relatif, bobot lemak abdomen mutlak dan relatif dapat dilihat pada Tabel 4.

Konsumsi Ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbahan lokal
berprobiotik berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap konsumsi ransum. Dari hasil
uji lanjut duncan diketahui bahwa konsumsi ransum P1 dan P2 tidak berbeda
nyata (P>0,05) dibandingkan dengan P0, namun pada P3 dan P4 nyata (P<0.05)
lebih rendah dibandingkan dengan P0. Hasil ini menunjukkan bahwa ransum
berbahan lokal berprobiotik dapat menggantikan 50% penggunaan ransum
komersil.

259
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 4. Rataan konsumsi ransum, bobot potong, bobot karkas mutlak dan relatif,
bobot lemak abdomen mutlak dan relatif.
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3 P4
KR (gr/ekor/mg) 557,72a 554,74a 535,65ab 493,27b 433,10c
BP (gr/ekor) 1693,50a 1696,50a 1585,25ab 1439,75bc 1299,00c
BKM (gr/ekor) 1307,13a 1325,25a 1214,88ab 1080,63bc 954,63c
BKR (%) 77,30a 78,13a 76,62ab 74,98bc 73,49c
BLM (gr/ekor) 22,00 19,38 18,50 20,63 15,88
BLR(%) 1,30 1,14 1,16 1,42 1,23
Ket: P0 = 100% komersil (kontrol); P1 = 75% komersil + 25% ransum lokal
berprobiotik; P2 = 50% komersil + 50% ransum lokal berprobiotik; P3 = 25%
komersil + 75% ransum ransum lokal berprobiotik; P4 = 100% ransum lokal
berprobiotik; KR (konsumsi ransum); BP(bobot potong); BKM (bobot karkas
mutlak); BKR (bobot karkas relatif); BLM (bobot lemak mutlak);BLR (bobot
lemakrelatif); Superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05).

Penurunan konsumsi ransum pada P3 dan P4 dapat disebabkan oleh perbedaan


fisik ransum. Secara fisik, ransum berbahan lokal berprobiotik berbentuk tepung,
sedangkan ransum komersil berbentuk crumble. Pada penelitian ini ransum
berbahan lokal berprobiotik tidak dibentuk menjadi crumble untuk menghindari
adanya panas selama proses yang akan mempengaruhi daya hidup bakteri
probiotik. Bentuk fisik ransum yang berbeda dapat mempengaruhi konsumsi
ransum karena ayam lebih menyukai butiran. Berdasarkan penelitian Marzuki dan
Rozi (2018) menyatakan bahwa hal ini dapat terjadi karena ayam lebih tertarik
pada pakan yang berbentuk butiran padat dibandingkan berbentuk tepung.
Selain dipengaruhi oleh bentuk fisik ransum, penurunan konsumsi ransum pada
P3 dan P4 dapat disebabkan oleh terjadinya peningkatan kandungan energi
metabolis ransum. Perbedaan kandungan energi metabolis pada ransum berbahan
lokal probiotik dengan ransum komersil disebabkan karena ransum berbahan lokal
berprobiotik disusun dengan mengacu pada NRC 1994 yang menetapkan bahwa
kebutuhan energi dan protein pada ayam fase starter adalah 3200 kkal/kg ME dan
23% protein, sedangkan pada fase finisher 3200 kkal/kg ME dan 20% protein.
Dengan demikian, semakin tinggi taraf penggantian ransum komersil dengan
ransum berbahan lokal berprobiotik menyebabkan terjadinya kenaikan kandungan
energi metabolis ransum. Menurut Rasyaf (1992), ayam mengkonsumsi ransum
untuk memenuhi kebutuhan energinya, jika kebutuhan energi sudah terpenuhi
maka ayam akan berhenti mengkonsumsi ransum. Parakkasi (1985) juga
menambahkan bahwa ayam akan mengonsumsi ransum terutama untuk memenuhi
kebutuhan energinya.

Bobot Potong
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbahan lokal
berprobiotik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot potong ayam broiler.
Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa rata-rata bobot potong ayam broiler
pada P1 dan P2 relatif sama dengan P0, sedangkan bobot potong pada P3 dan P4

260
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

nyata (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan P0 dan P1, namun tidak nyata
dibandingan dengan P2. Tabel 5 menunjukkan bahwa penurunan bobot potong
ayam broiler pada P3 dan P4 sejalan dengan nyatanya penurunan konsumsi
ransum. Sesuai dengan pendapat Hasan et al (2013) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi bobot tubuh sebelum pemotongan ayam broiler antara lain
protein ransum dan konsumsi pakan. Menurut pendapat Kiramang dan Jupri
(2013) rendahnya bobot badan akhir ayam broiler dikarenakan penurunan
konsumsi ransum. Haryadi et al (2015) menyatakan bahwa menurunnya konsumsi
ransum mengakibatkan asupan nutrient yang dibutuhkan bagi ayam menjadi
rendah sehingga dapat menurunkan persentase bobot potong sekaligus
mempengaruhi bobot karkas.

Bobot Karkas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ransum berbahan lokal berprobiotik
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot karkas mutlak ayam broiler. Hasil uji
lanjut duncan menunjukkan bahwa bobot karkas mutlak dan relatif pada P1 dan
P2 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan P0, sedangkan pada P3 dan P4 nyata
(P<0.05) lebih rendah dari P0. Bobot karkas sejalan dengan bobot potong.
Semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi pula bobot karkas yang
dihasilkan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Resnawati (2004) yang
menyatakan bahwa bobot karkas yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain bobot potong, lemak dan taraf dalam pemberian ransum. Hal ini
juga diperkuat oleh pendapat Filawati (2008) yang mengatakan bahwa bobot
karkas mutlak erat kaitannya dengan bobot potong, sehingga semakin tinggi bobot
potong maka semakin tinggi bobot karkas yang dihasilkan begitu pula sebaliknya.
Bobot karkas yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 954,63-1325,25
gram/ekor, hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Widianti (2021)
dengan perlakuan penambahan tepung temulawak ke dalam ransum yang
mengandung bawang hitam berkisar antara 820,25-965,38 gram/ekor dengan lama
pemeliharaan 30 hari. Bobot karkas mutlak P4 (100% ransum lokal berprobiotik)
jauh lebih rendah yaitu 954,63 gram dibandingkan P0 (ransum control) yaitu
1307,13 gram. Namun pada P1 (25% ransum lokal berprobiotik) tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) dengan P0 dan memiliki bobot lebih tinggi dari
perlakuan kontrol yaitu 1325,25 gram.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbahan lokal
berprobiotik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot karkas relatif ayam
broiler. Bobot karkas relatif berkaitan erat dengan bobot potong dan bobot karkas
mutlak yang mana semakin tinggi bobot yang dihasilkan maka akan berpengaruh
pada bobot karkas relatif. Rataan persentase karkas yang dihasilkan pada
penelitian ini cukup tinggi yaitu 73,49-78,13% dibandingkan hasil penelitian
Noferdiman (2011) yang berkisar antara 66,40 sampai 70,42 dengan perlakuan
fermentasi BIS menggunakan jamur Pleurotus ostreatus dalam taraf yang berbeda
yang dipelihara sampai umur 35 hari.

Bobot Lemak Abdomen


Dari analisis ragam diketahui bahwa ransum berbahan lokal berprobiotik tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot lemak abdomen mutlak ayam broiler.

261
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Bobot lemak tertinggi yaitu pada P0 dan bobot lemak terendah dapat dilihat pada
P4, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan. Menurut
Wilson et, al., (1982) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
timbunan lemak adalah kandungan lemak dalam ransum. Hal ini juga didukung
oleh Rosebrough et al., (1999) yang mengatakan bahwa kandungan lemak dalam
ransum berpengaruh terhadap pembentukan lemak pada unggs.
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ransum berbahan lokal berprobiotik
tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot lemak relatif ayam broiler.
Rataan lemak yang diperoleh pada penelitian ini yaitu sebesar 1,14% sampai
1,42%. Rataan yang dihasilkan jauh lebih rendah dari hasil penelitian Mide (2007)
dengan persentase lemak abdominal yang diberi temulawak dalam ransum
berkisar antara 2,31% - 2,63%. Bobot lemak juga dipengaruhi oleh serat kasar
(Wahju, 1992).

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ransum berbahan lokal
berprobiotik dapat menggantikan 50% ransum komersil karena diperoleh bobot
karkas dan lemak abdomen ayam broiler yang sama.

Daftar Pustaka
Akhadiarto, S. 2014. Penyusunan Formula Pakan Ternak Ayam Kampung
Unggulan Rusli (KUR) Berbasis Sumberdaya Lokal di Gorontalo. Laporan
Penelitian, Badan Ketahanan Pangan dan Pusat Informasi Jagung, Propinsi
Gorontalo.
Filawati. 2008. Pengaruh penggunaan bungkil kelapa yang difermentasikan
dengan tape dalam ransum terhadap bobot karkas broiler. J. Ilmiah Ilmu
Peternakan. 11(4):93-99.
Hafid, H. 1998. Kinerja produksi sapi Australian Comercial Cross yang dipelihara
secara feedlot denga kondisi bakalan dan lama penggemukan yang berbeda.
Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Haryadi, R.D., Sutrisna, R.,Kurtini, T., 2015. The effect influence of different
feeding rations fibrous rough livin and carcass weight of rooster type
medium age 8 weeks. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 3 (2) : 85-91.
Hasan, N. F. U. Atmomarsono, E. Suprijatna. 2013. Pengaruh frekuensi pakan
pada pembatasan pakan terhadap bobot tubuh, lemak abdominal, kadar
lemak hati ayam broiler. Animal Agriculture Journal. 2 (1) : 336-343.
Hendelia, E., Manin, F., Sapdiyanto, A., Pratama, P., Nasution, B.N., 2017.
efektifitas penggunaan bacillus spp. dan lactobacillus spp. dalam meningkatkan
kualitas tepung bulu ayam sebagai sumber protein berprobiotik 0, 29–30.
Hendalia, E., Manin, F., Insulistyowati, A., 2018. Aplikasi teknologi probio_fm
untuk mengoptimalkan produksi pakan lokal berbasis ikan rucah di kabupaten
tanjung jabung barat 1, 236–244.
Hendalia, E. F. Manin dan Adriani. 2019. Peningkatan kualitas tepung ikan rucah
berprobiotik sebagai pakan sumber protein. Laporan Penelitian Tahun II
Universitas Jambi.
Hendalia, E., F. Manin dan Adriani. 2019. Composition and amino acid profile of

262
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

fish meal processed using probiotics and prebiotic sources. IOP Conf. Ser.:Earth
Environ. Sci. 387 012007.
Hendalia, E., F. Manin dan Adriani. 2019. The Use of Prebiotics and Probiotics in
Fish Meal Processing. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 391 012011.
Kiramang, K., Jupri, M., 2013. Pengaruh pemberian serbuk cengkeh (Syzygium
aromaticum) pada ransum terhadap performan ayam ras pedaging. J.
Teknosains. 7(2): 219-23.
Kompiang, I.P 2009. pemanfaatan mikroorgansme sebagai probiotik untuk
meningkatkan produksi ternak unggas di Indonesia. JPIP. 2(3):177-191.
Manin, F., Hendalia, E., Yatno, Rahayu, P., 2014. Dampak Pemberian Probiotik
Probio _ FM Terhadap Status Kesehatan Ternak Itik Kerinci (Impact of Probiotik
Probio _ FM to Health Status of Kerinci Duck ). J. Ilmu Ternak. 1:7–11.
Marzuki, A dan B. Rozi 2018. Pemberian Pakan Bentuk Cramble dan Mash
Terhadap Produksi Ayam Petelur. Jurnal Ilmiah Inovasi. 18(1).
Mide, Z. M. 2007. Pemanfaatan temulawak (curcuma xanthorriza roxb) dalam
ransum sebagai upaya menurunkan lemak abdominal dan kolestrol darah ayam
broiler. Balai penelitian veteriner. 2:572-576
Noferdiman, 2011. Penggunaan bungkil inti sawit fermentasi oleh jamur Pleurotus
ostreatus dalam ransum terhadap XIV. 35–43.
NRC. 1994. Nutrient Requirements of Poultry 9th ed. National Academy Press.
Washington D. C.
Parakasi, A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta:
Angkasa.
Rasyaf. 1992. Produksi Dan Pemberian Ransum Unggas. Yogyakarta: Kanisius.
Resnawati, H. 2004. Bobot potongan karkas dan lemak abdomen ayam ras
pedaging yang diberi ransum mengandung tepung cacing tanah (Lumbricus
rubellus). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 4-
5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Rosebrough, R.W., J.P. Murtry and R. Vasilatos-Younken. 1999. Dietary fat and
interaction in the broiler. Poultry Sci. 78 : 992-998.
Sinurat, A. P., 1999. Penggunaan bahan pakan lokal dalam pembuatan ransum
ayam buras. Wartazoa. 9:12–20.
Steel, R.G. dan H.J. Torrie. 1984. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu
pendekatan biometrik. Alih bahasa : B. Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Tammaludin, F. 2014. Panduan Lengkap Ayam Broiler. Penebar Swadaya Grup.
Wahju, J.1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Widianti, S. 2021. Penambahan Tepung Temulawak Ke Dalam Ransum Yang
Mengandung Bawang Hitam (Black Garlic) Terhadap Bobot Karkas Dan
Bobot Lemak Abdomen Broiler. Skripsi. Jurusan Peternakan. Fakultas
Peternakan. Universitas Jambi. Jambi.
Wilson, H. R., M. A. Boone, A. S. Arafa dan D. M. Janky. 1982. Abdominal fat
padreduction in broiler with thyroactive iodinated casein. Poultry Sci. 69: 811-818.
Yatno, E. Hendalia, F. Manin, Yusrizal dan D. Maryanti. 2012. Penggunaan
Bungkil Inti Sawit yang Diperkaya dengan Probiotik (BIS-Probio) dalam
Ransum terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. Prosiding Seminar Nasional dan
Rapat Tahunan BKS-PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Pertanian Tahun 2012.
807-812.

263
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PENGGUNAAN RANSUM BERBAHAN LOKAL


BERPROBIOTIK SEBAGAI PENGGANTI RANSUM KOMERSIL
TERHADAP EFISIENSI RANSUM DAN EFISIENSI PROTEIN

Syukriah*, Zubaidah, Ella Hendalia

Program studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi


Jl. Jambi-Ma. Bulian KM15 Mendalo Darat Jambi 36361
*Email korespondensi: syukriahlubis@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan ransum
berbahan lokal berprobiotik sebagai pengganti ransum komersil terhadap efisiensi
ransum dan efisiensi protein pada ayam broiler. Penelitian ini dilaksanakan di
Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tanggal 02 September 2020
sampai 07 Oktober 2020. Materi yang di gunakan pada penelitian ini yaitu 200
ekor DOC (MB 202-P) unsexed. Perlakuan yang diberikan yauitu P0 = 100%
Ransum Komersil (control), P1 = 75% Ransum Komersil + 25% Ransum
Berprobiotik, P2 = 50% Ransum Komersil + 50 % Ransum Berprobiotik, P3 =
25% Ransum Komersil + 25% Ransum Berpobiotik dan P4 = 100% Ransum
Berprobiotik. Rancangan percobaan yang di gunakan adalah rancangan acak
lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan. Peubah yang di amati
yaitu, konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konsumsi protein, efisiensi
pakan dan efisiensi protein. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ransum
berbahan lokal berprobiotik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan dan konsumsi protein sedangkan efisiensi
ransum dan efisiensi protein tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Taraf penggunaan
ransum berbahan lokal berprobiotik nyata (P<0,05) menurunkan konsumsi
ransum, pertambahn bobot badan dan konsumsi protein. Hasil uji lanjut Duncan
diketahui bahwa konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konsumsi
protein P1 dan P2 tidak berbeda (P>0,05) dibandingkan P0, sedangkan P3 dan P4
nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan P0. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa ransum berbahan lokal berprobiotik dapat menggantikan
ransum komersil sampai taraf 100% karna menghasilkan efisiensi ransum dan
efisiensi protein yang sama.

Kata kunci: efisiensi probiotik protein dan ransum.

Pendahuluan
Ransum merupakan kebutuhan primer dari satu usaha peternakan secara intensif
dengan biaya mencapai sekitar 60-75% dari total biaya produksi (Rasyaf, 2002).
Salah satu cara untuk menekan biaya ransum adalah dengan memanfaatkan bahan
ransum lokal disertai dengan upaya meningkatkan kualitasnya.
Efisiensi ransum merupakan indikator utama dalam menentukan besarnya biaya
untuk memproduksi satu kilo gram daging. Efisiensi ransum yang tinggi, dapat
dicapai bila zat makanan yang dikonsumsi, terutama protein, dapat dikonversikan

264
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

secara maksimal untuk pertumbuhan ternak. Untuk mencapai efisiensi ransum


yang tinggi biasanya industri ransum komersil menambahkan feed additives
berupa antibiotic growth promoter (AGP) untuk memacu pertumbuhan ternak.
Akan tetapi, dengan diberlakukannya larangan penggunaan AGP sebagai feed
additives (peraturan menteri pertanian no 14 tahun 2017), produktivitas ternak
cenderung mengalami penurunan sehingga akan berpengaruh negatif terhadap
efisiensi ransum. Untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mencari feed additives lain yang bersifat alami,
diantaranya adalah probiotik, prebiotik atau kombinasi keduanya (Haryati, 2011).
Salah satu probiotik yang dapat menggantikan peran AGP adalah Probio_FM.
Selain dapat di berikan lagsung kepada ternak melalui ransum dan air minum,
Probio_FM juga dapat digunakan untuk mengolah berbagai ransum lokal, seperti
bungkil inti sawit (BIS), tepung bulu ayam (TBA) dan tepung ikan rucah (TIR)
sehingga akan dihasilkan bahan ransum yang mengandung probiotik, yaitu BIS
berprobiotik (Hendalia, et al.2015), TBA berprobiotik (Hendalia et al, 2017) dan
TIR berprobiotik (Hendalia dan Manin 2021).
Hasil penelitian Hendalia et al, 2015 menunjukkan bahwa BIS berprobiotik dapat
digunakan sampai taraf 25% menggantikan ransum komersil. Sementara itu, TBA
berprobiotik dapat digunakan sampai taraf 4% di dalam ransum menggantikan
tepung ikan komersil (Hendalia et al., 2016), sedangkan TIR berprobiotik dapat
digunakan untuk menggantikan 100% tepung ikan komersial di dalam ransum
(Hendalia, et al., 2019). Selanjutnya Hendalia et al., 2019 melaporkan bahwa
ayam broiler yang diberi TIR berprobiotik pada taraf 10% mampu menghasilkan
efisiensi ransum dan eisiensi protein yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
ayam yang diberi tepung ikan komersil pada taraf yang sama.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk melihat efisiensi ransum dan efisiensi protein
ransum berbahan lokal berprobiotik pada ayam broiler dengan menggunakan
ransum komersil sebagai pembanding.

Metode
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 02 September 2020 sampai dengan 07
Oktober 2020 di Kandang percobaan ternak unggas dan Laboratorium Fakultas
Peternakan serta Laboratorium Pusat Universitas Jambi.

Materi dan peralatan


Materi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah 200 ekor Day Old Chick
(DOC) strain (MB 202-P) unsexed umur 1 hari. Bahan ransum yang digunakan
sebagai penyusun ransum perlakuan adalah tepung bulu ayam berprobiotik
(TBAB), tepung ikan rucah (TIRB0 berprobiotik, bungkil inti sawit berprobiotik
(BISB), jagung, minyak sawit, CaCO3, NaCl, premix, mineral mix, lisin, metionin
dan ransum komersil BR 1 dan BR 2. Probiotik yang diproduksi oleh Fakultas
Peternakan Universitas Jambi, bungkil inti sawit (BIS) berasal dari PT. Krisna
Duta Agroindo Kabupaten Sarolangun, bulu ayam diperoleh dari tempat
pemotongan ayam broiler pasar Angso Duo dan ikan rucah diperoleh dari tempat
pelelangan ikan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

265
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Peralatan yang digunakan terdiri atas peralatan untuk pengolahan ransum serta
peralatan untuk pemeliharaan dan pemotongan ayam. Untuk 10 ekor broiler.
Kandang dilengkapi dengan tempat ransum dan tempat minum, lampu 40 watt
sebanyak 20 buah sebagai pemanas, serta 1 buah termometer untuk mengukur
suhu kandang. Untuk menimbang pakan digunakan timbangan kapasitas 5 kg dan
2 kg, sedangkan untuk menimbang ayam digunakan timbangan kapasitas 2 kg
dengan ketelitian 0,1 gr.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) terdiri atas 5
perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan yang di berikan adalah penggunaan
ransum berbahan local berprobiotik sebagai pengganti ransum komersil dengan
susunan: P0 = Ransum Komersial 100% (Sebagai Kontrol), P1 = Ransum
Komersial 75% + Ransum Berbahan Loakal Berprobiotik 25%, P2 = Ransum
Komersial 50% + Ransum Berbahan Lokal Berprobiotik 50%, P3 = Ransum
Komersial 25% + Ransum Berbahan Lokal Berprobiotik 75% Dan P4 = Ransum
Berbahan Lokal Berprobiotik 100%.
Sebelum dilakukan penyusunan ransum, terlebih dahulu dilakukan pengolahan
bahan ransum yang akan digunakan, yaitu pembuatan tepung bulu ayam
berprobiotik (TBAB) menurut Hendalia et al. (2017), tepung ikan rucah
berprobiotik (TIRB) menurut Hendalia et al (2019) dan bungkil inti sawit
berprobiotik (BISB) Yatno et al. (2012).
Kandang koloni sebanyak 20 unit dibersihkan dan didesinfeksi menggunakan
desinfektan, lalu dilakukan pengapuran dan dibiarkan selama satu minggu.
Sebelum ayam datang, dilakukan pemasangan lampu sebagai pemanas pada
masing-masing unit kandang. Selanjutnya kandang diberi alas koran dan serbuk
gergaji. Peralatan kandang seperti tempat ransum dan tempat minum dibersihkan
dan disucihamakan.
Sebelum ayam datang disiapkan ransum dan air gula serta menghidupkan lampu
yang berfungsi sebagai pemanas. Saat ayam yang datang ditimbang dan diberi
label nomor di kaki, setiap kandang di isi 10 ekor ayam secara acak, dan
masukkan kedalam kandang perlakuan.
Komposisi ransum pada Tabel 1 dan Kandungan zat makanan ransum perlakuan
untuk fase starter dan finisher berturut turut dpat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Data
yang diambil meliputi konsumsi ransum, konsumsi protein, pertambahan bobot
badan, efisiensi ransum dan efisiensi protein. Pengambilan data konsumsi ransum
dilakukan setiap minggu selama 5 minggu pemeliharaan, dengan cara menimbang
ransum yang disediakan dan ransum yang tersisa pada setiap akhir minggu,
konsumsi protein diperoleh dengan cara menghitung konsumsi ransum yang di
berikan dengan kandungan protein ransum, Pertambahan bobot badan merupakan
rataan pertambahan bobot badan selama pemeliharaan dinyatakan dalam
gram/ekor/minggu, efisiensi penggunaan ransum di peroleh dengan cara
menghitung perbandingan pertambahan bobot badan dengan konsumsi ransum
perhari selam penelitian dan efisiensi protein merupakan perbandingan antara
pertambahan bobot badan (gram) dengan konsumsi protein (gram) selama
pemeliharaan.

266
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Komposisi ransum berbahan lokal berprobiotik (%)


Komposisi
Bahan Penyusun
Starter Finisher
TIRB 15,0 14,0
TBAB 3,5 1,0
BISB 4,5 8,0
Jagung 58,0 60,0
B. Kedelai 15,0 12,5
minyak sawit 2,3 2,5
Pre mix 0,25 0,25
NaCl 0,1 0,2
CaCO3 0,6 0,7
mineral mix 0,25 0,25
Meth 0,25 0,25
Lys 0,25 0,35
Total 100 100

Tabel 2. Kandungan zat makanan ransum perlakuan fase setarter (%) *


Zat makanan Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
Protein 23,00 23,04 23,08 23,12 23,15
Serat kasar 4,00 3,58 3,16 2,74 2,32
Lemak kasar 6,00 6,22 6,43 6,65 6,86
Kalsium 1,00 1,00 1,01 1,01 1,01
Posphor 0,60 0,61 0,61 0,62 0,62
ME (kkal/kg) 3000,00 3034,46 3068,92 3103,38 3137,85
Ket :P0, ransum Komersial 100% (sebagai kontrol); P1, Ransum Komersial 75%
+ Ransum Lokal 25%; P2, Ransum Komersial 50% + Ransum Lokal 50%: P3,
Ransum Komersial 25% + Ransum Lokal 75%; P4, Ransum Lokal 100%; *Hasil
perhituyngan.

Tabel 3. Kandungan zat makanan ransum perlakuan fase finisher (%)*


Zat makanan Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4
Protein 20,00 20,17 20,34 20,51 20,68
Serat kasar 5,00 4,43 3,86 3,29 2,72
Lemak kasar 6,00 6,25 6,50 6,75 7,00
Kalsium 1,00 1,00 1,01 1,01 1,02
Phosphor 0,60 0,60 0,60 0,60 0,59
ME (kkal/kg) 3100 3112,02 3124,05 3136,07 3148,09
Ket : P0, ransum Komersial 100% (sebagai kontrol); P1, Ransum Komersial 75%
+ Ransum Lokal 25%; P2, Ransum Komersial 50% + Ransum Lokal 50%: P3,
Ransum Komersial 25% + Ransum Lokal 75%; P4, Ransum Lokal 100%;
* Hasil perhitungan

267
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Analisis data
Data yang di peroleh di analisis menggunakan analisi ragam sesuai dengan
rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap. pada peubah
yang dipengaruhi perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.

Hasil dan Pembahasan


Data konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi ransum, konsumsi
protein, dan efesiensi protein dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini :
Tabel 4. Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konsumsi protein,
efisiensi ransum dan efisiensi protein pada ayam broiler umur 1-35 hari.

Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3 P4
c c bc b
KR (g/ekor/) 2788,61 2773,72 2678,24 2466,35 2165,51 a
c c bc b
PBB (g/ekor) 1744,75 1700,07 1626,12 1456,71 1304,64 a
KP(g/ekor) 593,90 c 602,24 c 561,12 bc 521,17 b 455,74 a
ER(%) 62,48 61,28 60,67 59,06 60,23
EP 2,93 2,83 2,90 2,79 2,87
Ket : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang
nyata (P<0.05); P0, ransum Komersial 100% (sebagai kontrol); P1, Ransum
Komersial 75% + Ransum Lokal 25%; P2, Ransum Komersial 50% + Ransum
Lokal 50%: P3, Ransum Komersial 25% + Ransum Lokal 75%; P4, Ransum
Lokal 100%: KR (Konsumsi Ransum), PBB, (Pertambahan bobot badan),KP
(Konsumsi Protein); ER (Efisiensi Ransum), dan EP (Efisiensi Protein).

Konsumsi Ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbahan pakan
lokal berprobiotik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum pada
ayam broiler. Berdasarkan Hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa P1 dan P2
menghasilkan rataan konsumsi ransum yang relatif sama dibandingkan dengan P0
sedangkan P3 dan P4 menghasilkan konsumsi ransum yang nyata (P<0,5) lebih
rendah dibandingkan P0. Hasil ini menunjukkan bahwa ransum berbahan pakan
lokal berprobiotik hanya dapat menggantikan ransum komersil sampai taraf 50%.
Rendahnya konsumsi ransum pada P3 dan P4 selain disebabkan oleh perbedaan
bentuk fisik ransum juga disebabkan oleh lebih tingginya kandungan energi
metabolis ransum (Tabel 2 dan 3). Ransum berbahan lokal berprobiotik pada
penelitian ini sengaja tidak dibentuk menjadi pellet karena dikhawatirkan bakteri
probiotik akan mati akibat panas yang timbul pada saat proses pembuatan pellet.
Bentuk pakan local berprobiotik yang seperti tepung menyebabkan ayam
mengkonsumsi ransum lebih sedikit karena ayam lebih menyukai ransum yang
berbentuk butiran. Hal ini didukung oleh pendapat Ensminger, dkk (1990)
mengatakan bahwa penentu tinggi rendahnya konsumsi ransum adalah bentuk dari
bahan ransum.
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa ransum berbahan lokal berprobiotik (P4)
mengandung energi metabolis sebesar 3137,8.kkal untuk fase starter dan 3148,09
kkal/kg untuk fase finisher, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ransum
komersil (P0) yaitu 3000 kkal/kg untuk fase starter dan 3100 kkal/kg untuk
finisher. Dengan demikian, semakin tinggi taraf penggunaan ransum berbahan

268
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

lokal berprobiotik (terutama pada starter), akan meningkatkan kandungan energi


metabolis ransum. Menurut Murtidjo (1992), semakin tinggi kadar energi
metabolis dalam ransum maka konsumsi ransum semakin sedikit, demikian
sebaliknya jika energi metabolis dalam ransum semakin banyak, maka konsumsi
ransum akan semakin menurun.

Pertambahan Bobot Badan


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ransum berbahan lokal berprobiotik
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler.
Semakin tinggi taraf penggunaan ransum berbahan lokal berprobiotik
menggantikan ransum komersil, maka pertambahan bobot badan akan semakin
menurun. Berdasarkan hasil uji duncan diketahui bahwa pertambahan bobot badan
pada P1 dan P2 tidak berbeda (P>0,05) dibandingkan dengan P0, P3 dan P4
nyata (P<0,5) lebih rendah di bandingkan dengan P0. Ini berarti bahwa ransum
berbahan lokal berprobiotik hanya dapat menggantikan ransum komersil sampai
taraf 50%.
Tinggi rendahnya pertambahan bobot badan pada masing-masing perlakuan
sejalan dengan tinggi rendahnya konsumsi ransum. Hal ini dikarenakan
petambahan bobot badan dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Menurut Ichwan
(2004) pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh jumlah ransum yang di
konsumsi. Uzer dkk (2013) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan sangat
berkaitan dengan ransum, dalam hal kuantitas yang berkaitan dengan konsumsi
ransum apa bila konsumsi ransum terganggu maka akan menggagu pertumbuhan.
Kandungan nutrisi dari suatu bahan ransum sangat di butuhkan ternak dalam
proses pertumbuhan sel dan jaringan serta perkembangan otot.

Konsumsi Protein
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbahan lokal
berprobiotik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi protein pada ayam
broiler. Hasil uji duncan menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf penggunaan
ransum berbahan lokal berprobiotik akan menurunkan konsumsi protein, dan
penurunan yang nyata (P<0,05) terjadi pada P3 dan P4. Penurunan konsumsi
protein pada P3 dan P4 sejalan dengan penurunan konsumsi ransum pada masing-
masing perlakuan tersebut.
Hasil ini menunjukkan bahwa ransum berbahan lokal berprobiotik hanya mampu
menggantikan ransum komersil sampai taraf 50%. Pada Tabel 4 dapat dilihat
bahwa semakin tinggi taraf penggunaan ransun berbahan lokal berprobiotik maka
konsumsi protein semakin menurun. Terjadinya penurunan konsumsi protein
disebabkan oleh terjadinya penurunan konsumsi ransum pada masing-masing
perlakuan. Menurut Tampubolon dan Bintang (2012) asupan protein dipengaruhi
oleh jumlah konsumsi ransum. Akibat penurunan konsumsi protein, maka
pertambahan bobot badan juga akan mengalami penurunan. Hal tersebut didukung
oleh pendapat Gultom (2014) yang menyatakan bahwa konsumsi protein yang
tinggi akan mempengaruhi asupan protein pula kedalam daging dan asam-asam
amino tercukupi didalam tubuhnya sehingga metabolism sel-sel dalam tubuh
berlangsung secara normal.

269
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Efisiensi ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbahan lokal
berprobiotik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap efisiensi ransum pada
ayam broiler. Hal ini berarti Efisiensi ransum yang berbahan loakal berprobiotik
sama dengan ransum komersil. Hal ini mungkin disebabkan kualitas ransum lokal
berprobiotik yang bisa di manfaatkan sama dengan kualitas ransum komersil.
Efisiensi ransum ditentukan oleh pertamban bobot badan dengan konsumsi
ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Scott et al (1982) menyatakan bahwa
besar atau kecilnya efisiensi ransum ditentukan oleh banyaknya konsumsi ransum
dan pertambahan berat badan.
Efisiensi penggunaan ransum pada penelitian ini adalah 62.48 – 59,06%. Hasil
penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian (Hakim 2013)
pada ayam broiler yang diberi tepung bulu ayam hasil fermentasi dengan bacillus
spp dan lactobacillus spp yang efesiensi penggunaan ransun sebesar 14,07-
52,82%, pada perlakuan kontrol yang menggunakan ransum komersil di peroleh
52,82%. Hasil penelitian ratryanto dan mentari (2018) pada ayam broiler betina
yang di beri ransum yang mengandung metionin yang cukup yang disuplementasi
betain di peroleh efesiensi ransum 41,32 – 40,49%, pada perlakuan kontrol di
peroleh 41,32%.

Efisiensi protein
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum berbahan pakan
lokal berprobiotik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap efisiensi protein
pada ayam broiler. Hasil ini memberi gambaran bahwa nilai biologis protein
terkandung didalam ransum lokal berpobiotik relatif sama, sehingga banyaknya
protein yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ternak juga relatif
sama. Menurut Wahju (1997) Untuk menilai kualitas protein adalah dengan
mengukur nilai biologis protein, salah satunya adalah dengan melihat efisiensi
protein. Semakin tinggi nilai efisiensi protein berarti semakin efisien ternak
menggunakan protein, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh juga pada
pertumbuhan (Yatno, 2009).
Hasil efisiensi protein pada penelitian ini 2,93-2,87. Nilai efisiensi protein ini
tidak berbeda nyata karna pertambahan bobot badan dan konsumsi protein pada
penelitian ini sama. Banyaknya protein yang dikonsumsi sejalan dengan
pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Efisiensi protein dipengaruhi oleh
pertambahan bobot badan dan konsumsi protein pada ransum. Sesuai dengan
pendapat Mahfudz (2010), bahwa faktor yang mempengaruhi efisiensi ransum
adalah pertambahan bobot badan dan konsumsi protein. Penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa efesiensi protein dipengaruhi oleh kandungan protein dan
energi dalam ransum (Kamran,2008; Ratriyanto, Indreswaari dan Sunarto, 2014).
Menurut Mahfudz (1997), bahwa efisiensi protein menunjukan penggunakan
protein untuk pertumbuhan, dimana diperoleh dari perbandingan pertambahan
bobot badan dan konsumsi protein. Sehingga tinggi nilai efesiensi protein ternak
memanfaatkan protein yang dikonsumsi.

270
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ransum berbahan lokal
berprobiotik dapat menggantikan ransum komersil sampai taraf 100% karna
menghasilkan efisiensi ransum dan efisiensi protein yang sama.

Daftar pustaka
Anggorodi, R. 994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Ensminger, J. E., J. E. Oldfield dan W. W. Heinemann. 1990. Feed Nutrition.
Ensminger Pub. Co. California.
Forbes, I. M. 1986. The Voluntary Intake of Farm Animal. Buterworths, London.
Gultom, S. M., Supratman, R. D. H. Abun., 2014. Pengaruh Imbangan Energi dan
Protein Ransum Terhadap Bobot karkas dan bobot lemak abdominal ayam
broiler umur 3-5 minggu. Jurnal Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran,
Bandung.
Haryati, T. 2011. Probiotik dan prebiotik sebagai pakan imbuhan
nonruminansia.Wartazoa. 21(3):125 – 132.
Hendalia, E. F. Manin dan A. Insulystiowati. 2016. Produksi Pakan Konsentrat
Berprebiotik Berbasis Ikan Rucah di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Ekspose Hasil Penelitian Seminar Hasil Pengabdian. LPPM Universitas Jambi-
2016.
Hendalia, E., F. Manin, R. Asra dan Helda. 2017. Aplikasi Probio_FM Plus
melalui Air Minum pada Ayam Broiler di Politani Kupang. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan . 20 (1):33-38.
Hendalia, E. F. Manin, A. Sapdiyanto, P. Pratama & B.N. Nasution. 2017.
Efektifitas penggunaan Bacillus spp. dan Lactobacillus spp. dalam
meningkatkan kualitas tepung bulu ayam sebagai sumber protein berprobiotik.
Prosiding Seminar Nasional Industri Peternakan I. 5(2):248-251.
Hendalia, E., F. Manin, dan Adriani. 2018. Peningkatan kualitas tepung ikan
rucah berprobiotik sebagai pakan sumber protein. Hal. 1-23 dalam: Artikel
Ilmiah. Universitas Jambi, November 2018. Jambi.
Hendalia, E., Manin, F., Adriani, 2019. Tepung Ikan Berprobiotik.
Hendalia, E. Yusrizal dan Manin. F. 2010. Pemanfaatan Berbagai Spesies Bakteri
Bacillus dan Lactobacillus dalam Probiotik Untuk Mengatasi Polusi
Lingkungan Kandang Unggas. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains.
12(3):26-32.
Hutapea, P. M. H., 2003. Pengaruh Pemberian Tingkat Energi dan Penambahan
Lisin dalam Ransum Menggunakan Ubikayu Fermentasi Terhadap Penampilan
Produksi Ayam Pedaging. Program Studi Magister Ilmu Ternak. Program
Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis Magister)
Khodijah, S., Abun., Wiradimadja, R., 2012. Imbangan Efisiensi Protein yang
diberi Ransum Mengandung Ekstrak Kulit Jengkol (Pithecellobium jiringa
(Jack) Prain). Jurnal Universitas Padjajaran. 1 (1).
Leeson,S. dan J.D. Summers. 1997. Commercial Poultry Nutrition. Second Ed..
Department of animal and poultry science.University of Guelph.University
Books. Guelph., Ontario, Canada.

271
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Mide, M.Z., Harfiah., 2013. Pengaruh penambahan tepung daun katuk (saoropus
Androgynus) dalam ransum berbasis pakan lokal terhadap Performans broiler.
Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 9 (1) : 18-26.
Murtidjo, B.A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Yogyakarta: Kanisus.
NRC, 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Rev. Ed. Washington, D.C:
National Academies Press.
Resnawati, H. 1998. The Nutritional Requirements for Native Chickens. Bulletin
of Anim. Sci., Supplement ed. 1998: 552-557.
Scott, M.L., M.C.Nesheim and R.J.Young. 1982. Nutrition of The Chickens.
Second Ed. M.L. Scott and Associates Ithaca, New York.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan prosedur statistika. Edisi Kedua.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Uzer, F., N. Iriyanti, dan Roesdiyanto. 2013. Penggunaan pakan fungsional dalam
ransum terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan ayam broiler.
J. Ilmiah Peternakan. 1(1): 282-288.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Yatno. 2009. Isolasi Protein Bungkil Inti Sawit Dan Kajian Nilai Biologinya
Sebagai Alternative Bungkil Kedelai Pada Puyuh. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Bogor
Yatno, E. Hendalia, F. Manin, Yusrizal dan D. Maryanti. 2012. Penggunaan
Bungkil Inti Sawit yang Diperkaya dengan Probiotik (BIS-Probio) dalam
Ransum terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. Prosiding Seminar Nasional dan
Rapat Tahunan BKS-PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Pertanian Tahun 2012.
Hal 807-812.

272
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PENAMBAHAN FITOBIOTIK JAMU DAN ACIDIFIER


ASAM JAWA SEBAGAI ADITIF PAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK
KARKAS DAN DISPOSISI DAGING ITIK HIBRIDA

Sjofjan, O. 1,*, Audrey T.2, Natsir, M. H.1, dan Nuningtyas, Y. F.1


1
Dosen Nutrisi dan Makanan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
2
Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternak, Universitas
Brawijaya
*
Email korespondensi: osfar@ub.ac.id

Abstrak
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh penambahan fitobiotik jamu dan
acidifier asam jawa dalam pakan terhadap karakteristik karkas meliputi persentase
karkas, persentase potongan karkas, disposisi daging, dan kadar kolestrol daging
itik hibrida. Materi penelitian itik hibrida berumur 21 hari sebanyak 180 ekor.
Metode penelitian adalah percobaan lapang dengan Rancangan Acak Lengkap,
dengan 6 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan : P0 = Pakan Basal tanpa
penambahan aditif pakan, P1 = Pakan Basal + Antibiotik 0,5%, P2 = Pakan Basal
+ Campuran Fitobiotik Jamu dan Acidifier Asam Jawa 0,25%, P3 = Pakan Basal
+ Campuran Fitobiotik Jamu dan Acidifier Asam Jawa 0,5%, P4 = Pakan Basal +
Campuran Fitobiotik Jamu dan Acidifier Asam Jawa 0,75%, P5 = Pakan Basal +
Campuran Fitobiotik Jamu dan Acidifier Asam Jawa 1%. Variabel yang diamati
adalah karkas (%), potongan karkas (%),disposisi daging dada (%), dan kadar
kolesterol daging itik hibrida (mg/100 g sampel). Data dianalisis dengan analisis
kovarian (ANCOVA) dari Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan Uji Jarak
Berganda Duncan’s. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan memberikan
pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap persentase karkas, persentase potongan
karkas, dan persentase disposisi daging itik hibrida, tetapi memberikan pengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap kandungan kolestrol daging itik hibrida.
Disimpulkan penambahan campuran fitobiotik jamu dan acidifier asam jawa
dalam pakan belum meningkatkan persentase karkas, persentase potongan karkas,
dan persentase disposisi daging itik hibrida, tetapi mampu menurunkan
kandungan kolesterol daging itik hibrida. Penambahan campuran fitobiotik jamu
dan acidifier asam jawa sebesar 0,75% sebagai aditif pakan memberikan hasil
yang terbaik.

Kata Kunci : fitobiotik, acidifier, kolestrol itik, karakteristik karkas, itik hibrida

Pendahuluan
Pada tahun 2018 lebih dari 38.000 ton daging itik diproduksi oleh masyarakat
Indonesia (Dirjen Sumber Daya Peternakan dan Kesehatan Hewan 2019). Daging
itik merupakan salah satu sumber protein yang bermutu tinggi dan merupakan
ternak unggas penghasil daging yang cukup potensial selain ayam. Itik mudah
dipelihara, kuat, dan lebih rentan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan
ayam. Namun, daging itik memiliki kandungan lemak dan kolesterol tinggi yang
dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Penggunaan antibiotik growth
promotor (AGP) menimbulkan efisiensi pakan dan laju pertumbuhan yang lebih

273
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

baik, dan kematian serta penyakit yang lebih rendah (Rathnayake et al., 2021).
Terdapat peningkatan tekanan pada industri peternakan untuk meminimalkan
penggunaan antibiotik karena antibiotik berpotensi mentransfer bakteri resisten
dari produk unggas ke manusia melalui konsumsi daging yang terkontaminasi
patogen. Sehingga perlu dilakukan upaya untuk menemukan bahan alami yang
berpotensial sebagai alternatif pengganti antibiotik dan dapat menurunkan kadar
kolesterol.
Salah satu alternatif tersebut adalah pemanfaatan fitobiotik dan acidifier sebagai
bahan tambahan pakan dalam produksi ternak. Acidifier adalah asam yang
dimasukkan dalam pakan untuk menurunkan pH pakan, usus, dan sitoplasma
mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroflora patogen usus (Ishfaq et
al., 2015). Penghambatan ini mengurangi mikroflora yang bersaing untuk nutrisi
inang dan menghasilkan pencernaan nutrisi, kesehatan usus, pertumbuhan akhir
dan kinerja hewan yang lebih baik. Fitobiotik mencakup berbagai produk turunan
tanaman seperti herbal, rempah-rempah, dan ekstrak tumbuhan (terutama minyak
atsiri), fitobiotik memiliki berbagai aktivitas seperti menstimulasi peningkatan
konsumsi pakan, antimikroba, stimulasi kekebalan tubuh, meningkatkan performa
produksi, dan kualitas produk yang berasal dari hewan tersebut. Daging buah
asam jawa digunakan untuk berbagai keperluan, seperti makanan, minuman,
bumbu, dan bahkan obat-obatan. Asam jawa dapat digunakan sebagai acidifier,
yaitu asam yang berguna untuk mengawetkan dan melindungi pakan dari
penghancuran mikroba dan menciptakan suasana asam di usus halus. Ekstrak
ampas asam jawa mengandung sterol, terpen, saponin, asam sitrat, asam tartarat,
dan asam malat yang memiliki sifat antimikroba, antioksidan, dan
hipokolesterolemia, yang dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi konversi
pakan dan kinerja layer pada ayam, serta menurunkan kadar kolesterol serum
(Saleh et al. al., 2021). Juga telah dilaporkan bahwa ampas asam jawa dapat
meningkatkan palatabilitas dan meningkatkan stimulasi proses pencernaan pada
ternak.
Fitobiotik yang digunakan merupakan kombinasi dari beberapa bahan herbal
seperti kunyit, jahe, kencur, daun sirih, dan beluntas. Zat aktif yang terdapat pada
setiap bahan membuat kandungan fitobiotik lebih lengkap dan efektif. Kunyit
mengandung senyawa bioaktif tetrahydrocurcuminoid, curcuma, demethoxy-
curcumin, dan bisdemethoxycur-cumin yang dilaporkan bermanfaat untuk
meningkatkan produktivitas unggas (Etha et al., 2021). Kunyit dan kencur juga
berfungsi sebagai agen antimikroba dan berpengaruh pada bakteri gram positif
dan negatif. Senyawa penting utama dalam Jahe (Zingiber officinale) adalah
gingerol, gingerdiol dan gingerdione yang memiliki kemampuan untuk
merangsang enzim pencernaan, mempengaruhi aktivitas mikroba, dan memiliki
aktivitas antioksidan (Diemu et al., 2009). Berdasarkan uraian diatas, maka
dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan aditif pakan berupa
campuran fitobiotik jamu dan acidifier asam jawa terhadap karakteristik karkas,
disposisi daging dada, dan kadar kolesterol daging itik hibrida.

Materi dan Metode


Materi penelitian yang digunakan adalah 180 ekor itik hibrida hasil persilangan
antara itik Peking (jantan) dan Khaki Campbell (betina) berumur 21 hari tanpa

274
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dibedakan jenis kelaminnya (unsex) dengan rataan bobot badan 434,31 ± 108,85 g
dengan koefisien keragaman yaitu sebesar 25,06 %. Kandang yang digunakan
adalah kandang petak yang berjumlah 30 petak, setiap petak berukuran 2 × 1 × 1
m yang masing-masing diisi 6 ekor itik. Kandang dilengkapi tempat pakan dan
minum. Pakan dan air minum dalam penelitian ini diberikan secara ad libitum.
Fitobiotik jamu dan acidifier asam jawa diperoleh dari Laboratorium Nutrisi
Pakan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Pemberian pakan basal
yang digunakan adalah pakan komersial dengan kandungan Kadar Bahan Kering
87 %, Protein Kasar 17-19 %, Lemak Kasar 3 %, Serat Kasar 5 %, Abu 8 %,
Kalsium 0,9-1,2 %, Phospor 0,6-1 %, Lysin 0,8 %, Metionin 0,35 %, Met+Sis
0,65 %, dan Triptofan 0,18%. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
percobaan lapang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
6 perlakuan 5 ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah :
P0 : Pakan Basal ( Kontrol Positif )
P1 : Pakan Basal dengan antibiotic ( Kontrol Negatif )
P2 : Pakan Basal + 0,25% campuran Fitobiotik dan Acidifier
P3 : Pakan Basal + 0,5% campuran Fitobiotik dan Acidifier
P4 : Pakan Basal + 0,75% campuran Fitobiotik dan Acidifier
Variabel yang diamati adalah persentase karkas (%), persentase potongan karkas
(%), persentase disposisi daging dada (%), dan kadar kolesterol daging itik hibrida
(mg/100 g). Data yang diperoleh dianalis menggunakan analisis kovarian
(ANCOVA) dari rangacan acak lengkap (RAL). Apabila didapatkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05) atau berbeda sangat nyata (P<0,01) maka dilanjutkan
dengan uji Jarak Berganda Duncan’s.

Hasil dan Pembahasan


Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Karkas
Hasil analisis statistik Tabel 1. menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh
tidak nyata (P>0,05) terhadap persentase karkas itik hibrida. Hasil rata-rata
persentase karkas pada penelitian ini adalah 58,66%-61,36%, rata-rata persentase
karkas ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Suparyanto
(2004) yang menyatakan bahwa persentase karkas tanpa leher dan kepala pada itik
hasil silang PA (Peking & Alabio) sebesar 58,27%, sedangkan itik hasil silang PM
(Peking & Mojosari) sebesar 54,25%. Perlakuan dapat meningkatkan persentase
karkas meskipun tidak menimbulkan pengaruh berbeda nyata. Persentase karkas
yang tinggi disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan nutrisi terutama protein pada
pakan itik hibrida yang digunakan untuk proses metabolisme sel dan pembentukan
jaringan dan otot. Keseimbangan gizi dan nutrisi pada pakan yang diberikan pada
penelitian ini lebih tinggi dari standar kebutuhan nutrisi itik pedaging yang
ditetapkan oleh NRC (1984), dengan kadar protein kasar antara 17,03%-17,58%.
Ramina (2001) menyatakan bahwa kandungan protein dalam pakan yang
seimbang dan sesuai kebutuhan dapat meningkatkan bobot karkas dan persentase
karkas. Asupan asam-asam amino yang terpenuhi menyebabkan proses
metabolism sel di dalam tubuh berlangsung dengan baik yang akan berdampak
pada meningkatnya bobot karkas.

275
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

276
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Walaupun analisis statistik menunjukkan bahwa hasil perlakuan tidak


berpengaruh nyata, namun berdasarkan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 1.
perlakuan 4 (61,36 ± 1,96) yang merupakan penambahan pakan dengan 0,75%
feed additive menunjukkan hasil perlakuan terbaik jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain. Kandungan kurkumin pada kunyit menstimulasi proses
pengeluaran empedu sehingga aktivitas pada saluran pencernaan akan meningkat.
Sari kunyit berpengaruh terhadap absorbsi zat-zat makanan yang dimanifestikan
dalam bentuk produksi daging, dalam hal ini adalah bobot karkas, yang akan
berpengaruh pada persentase karkas. Semakin rendah kuantitas dan berat dari
bagian non karkas maka semakin tinggi dan baik persentase karkas itik pedaging.
Selviana, dkk (2019) menyatakan bahwa bobot karkas merupakan gambaran garis
lurus dari pertumbuhan jaringan dan tulang pada ternak. Tingginya bobot karkas
akan mempengaruhi tingginya persentase karkas yang dipengaruhi oleh bobot
hidup dan komponen non karkas.

Persentase Disposisi Daging Dada


Ditunjukkan bahwa hasil persentase tertinggi adalah P0 yang merupakan
perlakuan control pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena pada P0 memiliki
rata-rata bobot hidup dan bobot karkas paling tinggi jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya, sehingga perlakuan kontrol memiliki rata-rata berat dada lebih
besar karena berat dada dipengaruhi oleh berat karkas. Berat karkas bagian dada
yang ditimbang ditemukan berkorelasi secara statistic dengan berat karkas yang
kemudian akan berkorelasi dengan persentase berat daging dada (Kleczek et al.,
2009). Potongan karkas bagian dada merupakan bagian karkas yang terdiri dari
otot sehingga perkembangannya sangat bergantung pada zat makanan protein.
Pakan basal pada perlakuan P0 memiliki kadar protein kasar yang tinggi jika
dibandingkan dengan P1,P2,P3, dan P4. Hester et al., (1989) menyatakan bahwa
efek terbesar pada perlakuan dengan pengurangan kadar protein kasar dan
pengurangan konsumsi asam amino pada umur 6-12 minggu berat karkas adalah
penurunan berat dada dan berat otot dada.
Nilai desposisi daging dada pada perlakuan sudah baik dengan interval range rata-
rata antara 8,47-9,70 %. Hal ini dipengaruhi oleh factor nutrisi pada pakan yang
diberikan pada setiap perlakuan, pakan basal yang diberikan merupakan pakan
komersial penggemukan itik pedaging masa grower-finisher yang diformulasikan
memenuhi rekomendasi kebutuhan nutrisi itik pedaging yang direkomendasikan
oleh NRC (1984). Pakan basal yang diberikan mengandung 17,03-17,58 % kadar
protein yang dibutuhkan untuk memperbaiki jaringan yang rusak, pertumbuhan
jaringan baru khususnya otot, dan pensuplai asam amino. Moran and Bilgili
(1989) pada penelitiannya menyatakan perlakuan pakan dengan peningkatan
konsentrasi lisin yang progresif meghasilkan lebih banyak daging pada beberapa
bagian karkas secara linear.

Persentase Paha Atas


Tempat deposit daging pada karkas itik yang paling banyak selain bagian dada
adalah bagian paha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan persentase paha
atas berkisar antara 6,50%-8,51%. Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak
berbeda nyata (P>0,05) terhadap persentase paha atas, disebabkan oleh persentase

277
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

karkas yang rendah sehingga mempengaruhi persentase bagian-bagian karkas


yang lainnya. Persentase bobot paha dipengaruhi oleh besarnya bobot karkas dan
bagian-bagian karkas yang lainnya (Massolo,dkk., 2018). Pada Tabel 1.
ditunjukkan bahwa hasil persentase terbesar adalah P4, hal ini disebabkan oleh
terpenuhinya kebutuhan protein pada pakan ternak itik yang sudah melebihi
standar kebutuhan gizi itik pedaging pada NRC (1984). Paha atas merupakan
bagian dari potongan karkas yang menghasilkan daging kedua terbanyak setelah
dada yang berarti memiliki kandungan otot yang cukup besar dan
perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan.
Dengan terpenuhinya kebutuhan protein maka sintesis protein akan berjalan
lancar dan terjadi pertumbuhan otot pada paha atas. Yuniza, dkk (2011) pada
penelitiannya menyatakan bahwa lebih rendahnya (P<0,05) berat paha pada
perlakuan A menunjukkan bahwa pakan A defisiensi lisin sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan lisin ayam kampung, menyebabkan sintesis protein menjadi
terganggu dan mengakibatkan pertumbuhan pada otot paha terhambat.
Penambahan lisin dapat memperbaiki pertumbuhan termasuk otot paha dan dada.

Persentase Paha Bawah


Bagian paha merupakan salah satu bagian potongan karkas komersial. Paha utuh
terdiri dari dua bagian yaitu paha bagian atas dan paha bagian bawah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persentase paha bawah tidak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05). Otot paha lebih banyak berperan dalam
bergerak dan beraktivitas jika dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain.
Sehingga ukuran besar kecilnya otot pada paha ternak juga dipengaruhi oleh
aktifitas dari masing-masing ternak. Ramdani et al. (2016) menyatakan bahwa
paha bawah merupakan salah satu potongan karkas ayam broiler yang terdiri dari
perdagingan dan pertulangan serta merupakan alat gerak. Persentase paha bawah
dipengaruhi oleh persentase tulang, persentase otot, bobot karkas, dan bagian
bagian karkas lainnya. Pada P4 didapatkan hasil persentase paha bawah yang
paling tinggi. Hal ini dikarenakan pada P4 memiliki bobot karkas yang paling
tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lain. Massolo, dkk., (2018)
menyatakan bahwa persentase bobot paha dipengaruhi oleh besarnya bobot karkas
dan bagian-bagian karkas yang lainnya. Persentase potongan paha akan menurun
dengan menurunnya pertumbuhan tulang dan meningkatnya pertumbuhan otot
(Pribady 2008).

Persentase Sayap
Bagian sayap bukan merupakan bagian atau tempat deposisi otot daging yang
utama. Perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
persentase sayap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase sayap berkisar
antara 8,51%-8,87%. Dapat diamati bahwa persentase sayap pada penelitian ini
cukup rendah hal ini disebabkan karena sayap adalah bagian karkas yang terdiri
atas pertulangan dan mempunyai banyak bulu yang menyebabkan persentase
sayap lebih rendah daripada bagian lainnya. Dewanti, Irham, dan Sudiyono,
(2013) menyatakan bahwa kecilnya deposit daging sayap pada bagian-bagian
karkas disebabkan oleh bagian sayap yang didominasi dengan tulang dan deposisi
lemak sehingga pakan yang diberikan kepada ternak tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap bobot sayap. Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda

278
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

nyata terhadap persentase sayap dikarenakan kandungan mineral fosfor dan


kalsium dalam pakan yang relatif sama membuat pertumbuhan dan perkembangan
itik hibrida bagian sayap relatif sama juga. Sayap lebih didominasi oleh tulang
dan tidak mengandung banyak lemak sehingga pertumbuhannya lebih
membutuhkan peran dari kalsium dan mineral fosfor. Sayap bukan merupakan
bagian dari deposisi otot daging sehingga perlakuan pakan yang diberikan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase sayap.
Sukirmansyah,dkk.,(2016) menyatakan bahwa sayap merupakan bagian karkas
yang lebih banyak mengandung jaringan tulang dibandingkan dengan jaringan
otot, sehingga kandungan mineral dalam pakan lebih berpengaruh untuk
pertumbuhan dan perkembangan ternak bagian sayap.

Persentase Punggung Atas


Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase punggung atas itik hibrida.
Walaupun hasil menunujukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata namun
perlakuan dengan persentase penambahan 0,75% dan 1% terlihat berturut-turut
menunjukkan hasil yang paling tinggi yaitu P4(7,70±1,53) dan P5(6,89±1,88).
Berat punggung atas pada itik dipengaruhi bukan hanya oleh otot-otot jaringan
namun juga oleh kerangka tulang dan sel-sel penyusun punggung yang stabil.
Tidak adanya pengaruh nyata antar perlakuan disebabkan oleh kadar kalsium pada
pakan basal perlakuan yang relatif sama yaitu secara berurutan P0(1,18), P1(1,37),
P2(1,39), P3(1,29), P4(1,15), P5(1,15) persen sehingga memberikan hasil
pertumbuhan punggung yang sama juga. Dalam pembentukan berat punggung
atas yang besar dibutuhkan kandungan mineral dan kalsium yang cukup karena
persentase punggung tersusun atas sebagian besar kerangka tulang daripada otot.
Dewanti,dkk. (2013) menyatakan bahwa punggung merupakan bagian yang
didominasi oleh tulang dan kurang berpotensi menghasilkan daging. Pertumbuhan
tulang berlangsung secara terus-menerus dengan kadar laju yang relative lambat,
sedangkan pertumbuhan otot relative lebih cepat sehingga rasio otot dengan
tulang meningkat selama pertumbuhan.

Persentase Punggung Bawah


Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) terhadap
persentase punggung bawah. Dapat diamati bahwa persentase tertinggi didapatkan
oleh perlakuan dengan penambahan fitobiotik jamu dan acidifier asam jawa
dengan persentase 0,5%, 1%, dan 0,75% secara berturut turut. Analisis tidak
menghasilkan perlakuan yang berbeda nyata disebabkan karena kandungan
kalsium dan fosfor pada setiap pakan perlakuan yang hampir sama dengan range
kadar kalsium antara 1,15-1,39 % dan kadar fosfor dengan range 0,96-1,06 %.
Kedua kandungan ini dibutuhkan ternak itik hibrida untuk pertumbuhan dan
perkembangan punggung yang maksimal karena punggung tidak hanya disusun
oleh otot-otot jaringan namun juga disusun oleh kerangka tulang dan sel-sel
penyusun punggung yang stabil. Mait, dkk. (2019) menyatakan bahwa persentase
punggung tersusun atas sebagian besar kerangka tulang dan sedikit jaringan otot.
Surkimansyah, dkk.,(2016) menyatakan bahwa punggung banyak mengandung
jaringan tulang daripada otot, sehingga kandungan mineral pada pakan lebih
mempengaruhi masa pertumbuhan karkas khususnya pada bagian punggung.

279
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kadar Kolesterol
Perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) menurunkan kadar
kolesterol daging dada pada itik hibrida. Acidifier menyebabkan kondisi usus
ternak menjadi asam. Kondisi asam pada saluran pencernaan ternak menyebabkan
terjadinya ransangan sekresi garam empedu untuk menetralkan pH. Empedu
disekresikan di hati dengan menggunakan kolesterol yang berada di darah sebagai
bahan pembentuk cairan empedu, adanya penggunaan kolesterol dalam darah
mengakibatkan kolesterol yang dideposit ke jaringan (daging) menjadi lebih
sedikit (Hasanuddin, dkk., 2013). Sehingga kadar kolesterol daging dada itik
hibrida menjadi rendah seiring dengan peningkatan kadar campuran fitobiotik
jamu dan acidifier asam jawa yang diberikan.
Penambahan dosis campuran fitobiotik jamu dan acidifier asam jawa sampai
dengan 0,75% menyebabkan penurunan kadar kolesterol sebanyak 14,08 mg/100
g sampel jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga disebabkan oleh peran
kurkumin dan minyak astiri yang terkandung dalam fitobiotik jamu herbal
khususnya pada kunyit dan jahe. Selain minyak astiri, jahe juga mengandung zat
fitokimia berupa sineol, bomeol, Zingiberol, Gengerol, dan vitamin yang
mempunyai sifat sebagai antioksidan. Zat fitokimia yang mengandung antioksidan
tersebut dapat menghambat pembentukan kolesterol terutama dalam menghambat
aktivitas enzim 3-Hidroksi,3-Methyl-Gluteryl-ko-a reduktase sehingga
pembentukkan kolesterol di hati terganggu, sehingga kadar kolesterol total pada
daging dan darah akan menurun (Yadnya,dkk.,2011). Kadar kolesterol pada
serum darah berbanding lurus dengan kadar kolesterol pada daging, sehingga
apabila kadar kolesterol pada darah rendah maka kadar kolesterol pada daging
juga akan rendah. Kenedy,dkk (2020) menyatakan bahwa adanya penurunan kadar
kolesterol darah pada broiler disebabkan oleh kandungan zat bioaktif kurkumin
dan minyak atsiri dalam ramuan herbal dapat meningkatkan produksi dan sekresi
empedu, meningkatnya sekresi empedu ke dalam duodenum serta banyaknya
ekskresi asam empedu dan kolesterol dalam feses menyebabkan kolesterol dalam
darah dan tubuh berkurang.

Kesimpulan
Penambahan fitobiotik jamu dan acidifier asam jawa sebagai aditif pakan belum
meningkatkan persentase karkas, persentase potongan karkas, dan persentase
disposisi daging dada, tetapi mampu menurunkan kadar kolesterol daging dada
itik hibrida. Penambahan campuran fitobiotik jamu dan acidifier asam jawa dalam
pakan sebesar 0,75% sebagai aditif pakan memberikan hasil yang terbaik.

Daftar Pustaka
Dewanti, R., M. Irham, dan Sudiyono. 2013. Pengaruh Penggunaan Enceng
Gondok (Eichornia crassipes) Terfermentasi dalam Ransum terhadap
Persentase Karkas, Non Karkas, dan Lemak Abdominal Itik Lokal Jantan
Umur Delapan Minggu. Jurnal Peternakan. 37(1):19-25.
Hasanuddin, S., V.D. Yunianto, Tristiarti. 2013. Lemak dan Kolesterol Daging
pada Ayam Broiler yang Diberi Pakan Step Down Protein dengan Penambahan
Air Perasan Jeruk Nipis sebagai Acidifier. Buletin Nutrisi dan Makanan
Ternak. 9(1):47-53.

280
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kenedy, YY., Nurcholis, D. Muchlis. 2020. Efektifitas Jamu Herbal terhadap


Kadar Lemak dan Kolesterol Daging Ayam Petelur Umur 26 Bulan. Jurnal
Peternakan Nusantara. 6(2):57-63.
Kleczek,K., Wawro,K., Wilkiewicz-Wawro,E., Makowski,W., and
Konstantynowicz, D. 2009. Relationship Between Breast Muscle Thickness
Measured by Ultrasonography and Meatiness and Fatness in Broiler Chickens.
Journal of Animal Breeding. 52(2):538-545.
Mait, Y.S., J.E.G.Rompis, B. Tulung, J.Laihad, J.J.M.R.Londok. 2019. Pengaruh
Pembatasan Pakan dan Sumber Serat Kasar Berbeda terhadap Bobot Hidup,
Bobot Karkas dan Pootngan Komersial Karkas Ayam Broiler Strain Lohman.
Jurnal Peternakan. 39(1):134-145.
Massolo, R., A. Mujnisa, Laily Agustina. 2018. Persentase Karkas dan Lemak
Abdominal Broiler yang Diberi Prebiotik Inulin Umbi Bunga Dahlia. Buletin
Nutrisi dan Makanan Ternak. 12(2):50-58.
Moran, E.T., and S.F. Bilgili. 1995. Influence of Broiler Livehaul on Carcass
Quality and Further Processing Yields. Journal of Poultry Science. 4(1):13-22.
National Research Council (NRC). 1984. Nutrient requirement of poultry.
Washington DC (US): National Academy Press.
Pribady, W.A., 2008. Produksi Karkas Angsa (Anser cygnoides) pada Berbagai
Umur Pemotongan. Skripsi.Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Ramdani, I., D. Kardaya dan Anggraeni. 2016. Pengaruh Substitusi Pakan
Komersial dengan Tepung Ampas Kelapa terhadap Bobot Potong dan Bobot
Karkas Ayam Kampung. Jurnal Peternakan Nusantara. 2(1):1-10
Ramina, I.K., 2001. Suplementasi Probiotik dalam Ransum Berprotein Rendah
terhadap Bobot dan Komposisi Fisik Karkas. Karya Ilmiah Majalah Ilmiah
Peternakan. Fakultas Peternakan. Denpasar : Universitas Udayana.
Selviana, N.M., E. Suprijatna, L.D. Mahfudz. 2019. Pengaruh Penambahan Kulit
Singkong Fermentasi dengan Bakteri Asam Laktat sebagai Aditif Pakan
terhadap Produksi Karkas Ayam Kampung Super. Jurnal Peternakan. 3(1):53-
59
Sukirmansyah, Muhammad D., Herawati L. 2016. Evaluasi Produksi dan
Persentase Karkas Itik Peking dengan Pemberian Pakan Fermentasi Probiotik.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah. 1(1):719-730.
Suparyanto, A. 2004. Karakteristik Ukuran Karkas Itik Genotipe Peking x Alabio
dan Peking x Mojosari. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam
Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdayasaing.
Yadnya, T.G.B., Ida B.S., I Gede M., I.M. Mastika. 2011. The Effect of
Fermented Purple Sweet Potato (Ipomoe batatas L) in The Ration on The
Antioxidant Profile and Meat Cholesterol of Bali Duck. Journal of Animal
Science. 1(1):1-15.
Yuniza, A., Nuraini, dan S. Hafiz. 2011. Pengaruh Penambahan Lisin dalam
Ransum terhadap Berat Hidup, Karkas dan Potongan Karkas Ayam Kampung.
Jurnal Peternakan Indonesia. 13(3):199-204

281
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PENAMBAHAN CALCIDIFIER DAN PROBIOTIK DALAM


PAKAN TERHADAP KUALITAS EKSTERNAL TELUR ITIK PETELUR
MOJOSARI

Sjofjan, O1,*, Yoga, K. A. K2, Natsir, M. H1, dan Nuningtyas, Y. F1


1
Dosen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
2
Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
*
Email korespondensi: osfar@ub.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian calcidifier dan probiotik
dalam pakan terhadap kualitas eksternal telur itik petelur Mojosari. Materi
penelitian ini menggunakan itik Mojosari berumur 7-8 bulan sebanyak 100 ekor.
Metode yang digunakan adalah metode percobaan lapang dengan Rancangan
Acak Lengkap, menggunakan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari
P0: Basal diet tanpa penambahan calcidifier dan probiotik, P1: Basal diet + 0,2 %
calcidifier + 0,1% probiotik, P2: Basal diet + 0,4% calcidifier + 0,2% probiotik,
P3: Basal diet + 0,6% calcidifier + 0,3% probiotik dan P4: Basal diet + 0,8%
calcidifier + 0,4% probiotik. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi
berat telur (g), indeks telur (%), tebal kerabang (mm), berat kerabang (g) dan
volume telur (cm3) pada itik petelur Mojosari. Data dianalisis dengan
menggunakan analisis kovarian (ANAKOVA) dari Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dan Uji Jarak Berganda Duncan’s (UJBD). Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa perlakuan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) pada
semua variabel yang diujikan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penambahan
calcidifier dan probiotik dalam pakan belum meningkatkan berat telur, indeks
telur, tebal kerabang, berat kerabang dan volume telur.

Kata Kunci: calcidifier, kualitas eksternal, itik, probiotik,

Pendahuluan
Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki harga
terjangkau dan mudah di dapatkan oleh masyarakat. Badan Pusat Satistik (2020)
menunjukan adanya kenaikan produksi telur itik sebesar 4220,79 ton dari tahun
2019, hal ini menunjukan bahwa telur itik semakin diminati oleh masyarakat. Itik
dapat memproduksi telur dengan baik dan berkualitas bila tercukupi kebutuhan
pakan secara kualitas dan kuantitas. Biaya pakan meliputi 60-70% total biaya
produksi, maka untuk mengatasinya diberikan penambahan imbuhan pakan pada
pakan. Imbuhan pakan komersil yang mudah diperoleh oleh peternak adalah
Antibiotic Growth Promoter (AGP). Antibiotic Growth Promoter (AGP), dapat
meninggalkan residu zat kimiawi yang berpotensi membahayakan ternak dan
konsumen. Penggunaan imbuhan pakan komersil berupa Antibiotic Growth
Promoter (AGP), diatur berturut-turut dalam UU No. 41 tahun 2014 dan

282
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Permentan No. 14/ 2017. Oleh sebab itu penggunaan hormon dan antibiotik
sebagai imbuhan pakan dapat digantikan dengan calcidifier dan probiotik.
Calcidifier merupakan campuran antara kalsium (Ca) dan acidifier. Kalsium (Ca)
adalah mineral yang dibutuhkan bagi itik petelur untuk proses pembentukan
kerabang, warna kerabang dan meningkatkan produksi telur (Nur, Munir dan
Novieta, 2014). Acidifier merupakan asam organik alami yang berguna untuk
meningkatkan kecernaan dan menjaga keseimbangan mikroba dalam saluran
pencernaan (Natsir dan Sjofjan, 2008). Asam organik memiliki sistem kerja
dengan meningkatkan keasaman saluran pencernaan, keasaman tersebut dapat
menekan pertumbuhan mikroba pathogen berbahaya pada saluran pencernaan
ternak. Asam organik dapat di temukan di dalam buah belimbing wuluh.
Wijayanti dan Nugroho (2020) menyatakan bahwa asam yang terkandung dalam
belimbing wuluh terdiri dari asam laktat, asam sitrat, asam asetat, asam format
dan asam oksalat. Hasil beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa
belimbing wuluh merupakan acidifier yang baik.
Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang bermanfaat untuk melindungi
dan memelihara saluran pencernaan. Untuk pakan ternak probiotik difungsikan
sebagai pakan fungsional yang mempengaruhi arsitektur mikro usus, profil
mikroba dan kinerja itik (Sohail et al. 2013). Pemberian probiotik dalam pakan
dalam bentuk tunggal ataupun dengan campuran zat penghambat lain dapat
memiliki efek sinergis yang menguntungkan bagi ternak (Haryanto, 2000). Oleh
karena itu probiotik dapat di kombinasikan dengan calcidifier untuk
mengoptimalkan proses penyerapan nutrisi pada saluran pencernaan dan menekan
pertumbuhan mikoorganisme pathogen.
Kombinasi antara calcidifier dan probiotik memiliki peran yang sinergis. Kalsium
(Ca) yang berfungsi meningkatkan kualitas eksternal telur. Acidifier dan probiotik
berfungsi memberikan efek maksimal terhadap produksi ternak. Berdasarkan
uraian yang telah dijelaskan diatas, maka perlu dilakukannya penelitian tentang
pengaruh penambahan calcidifier dan probiotik dalam pakan terhadap kualitas
eksternal telur (berat telur, indeks telur, tebal kerabang, berat kerabang dan
volume telur) pada itik petelur Mojosari.

Materi dan Metode Penelitian


Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu itik petelur mojosari fase layer
berumur 7-8 bulan sebanyak 100 ekor dan dipelihara selama 35 hari dengan rataan
egg mass 37,69±9,68 kg/ekor dengan koefieisien keragaman sebesar 25,69%.
Kandang dari penelitian ini menggunakan petak-petak / plot yang berjumlah 20
plot, setiap plot memiliki ukuran 2 x 1 x 1 meter yang diisi 5 ekor itik petelur
Mojosari. Kendang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Pakan self mix
tersusun dari konsentrat, bekatul, kebi, dan karak. Pakan untuk itik petelur
diberikan secara restricted feeding atau pembatasan pemberian pakan sebanyak
160 gram/ekor/hari, dengan pemberian 50% di pagi hari dan 50% di sore hari.,
sedangkan pemberian air minum diberikan secara ad-libitum. Calcidifier dan
probiotik diperoleh dari Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Pemberian pakan basal yang digunakan adalah
pakan komersial dengan kandungan Kadar Air 4,63%, Bahan Kering 95,37%,

283
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Protein Kasar 14,68%, Lemak Kasar 1,55%, Serat Kasar 12,62%, Kalsium 3,64%,
Fosfor 0,39% dan Gross Energy 3586 call/g. Metode penelitian yang digunakan
adalah percobaan lapang, dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
P0 : Pakan Basal (Pakan Kontrol Positif)
P1 : Pakan Basal + Calcidifier 0,2% + Probiotik 0,1%
P2 : Pakan Basal + Calccidifier 0,4% + Probiotik 0,2%
P3 : Pakan Basal + Calcidifier 0,6% + Probiotik 0,3%
P4 : Pakan Basal + Calcidifier 0,8% + Probiotik 0,4%
Variable yang diamati adalah berat telur, indeks telur, tebal kerabang, berat
kerabang dan volume telur itik petelur Mojosari. Data yang diperoleh dianalisa
menggunakan analisis kovarian (ANAKOVA) dari Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) atau berbeda sangat
nyata (P<0,01) maka dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan’s.

Hasil dan Pembahasan


Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Telur
Berdasarkan rataan perlakuan pada Tabel 1. Diketahui bahwa nilai tertinggi
adalah P0 yang merupakan perlakuan kontrol pada penelitian ini. Hal ini
disebabkan karena P0 memiliki rata-rata berat telur yang paling besar jika
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini membuat hasil analisis statistik
pada tiap perlakuan pemberian calcidifier dan probiotik dalam pakan memberikan
pengaruh tidak nyata (P>0,05). Rata-rata berat telur pada penelitian ini sebesar
66,61 gram. Rataan tersebut sesuai dengan penelitian Thalib, dkk (2020) yang
menyatakan bahwa rata-rata berat telur itik petelur Mojosari sebesar 60-75 gram.
Nilai tersebut dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pada ransum perperlakuan. Sari,
Sudjarwo dan Prayogi (2014) menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi berat telur adalah besarnya kandungan protein dalam ransum yang
dikonsumsi. Hasil dari analisis proksimat dari protein kasar sebesar 13-14 dalam
satuan persen (%). Menurut SNI: 3910:2017 menyatakan bahwa kadar protein
kasar dalam ransum itik petelur sekurang-kurangnya senilai 17% dalam ransum
pakan. Kurangnya kadar protein kasar dalam ransum yang diberikan kurang dari
syarat mutu untuk itik petelur masa produsi dan menghasilkan pengaruh tidak
nyata pada hasil penelitian.

Tabel 1. Rataan jumlah berat telur, indeks telur, tebal kerabang, berat kerabang,
dan volume telur itik Mojosari.
Perlakuan
Parameter
P0 P1 P2 P3 P4
Berat Telur (g) 67,79±4,91 66,72±4,69 66,25±3,35 66,42±3,66 65,85±4,60
Indeks Telur (%) 80,37±0,03 80,40±0,03 79,98±0,02 80,95±0,02 80,38±0,01
Tebal Kerabang (mm) 0,402±0,01 0,400±0,184 0,404±0,015 0,405±0,017 0,404±0,163
Berat Kerabang (g) 6,38±0,55 6,12±0,42 6,11±0,42 6,12±0,35 6,04±0,43
Volume Telur (ml) 59,24±3,51 58,40±4,28 58,75±4,60 58,17±4,47 57,24±2,28

284
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pengaruh Perlakuan terhadap Indeks Telur


Hasil analisis statistik indeks telur menunjukan bahwa pemberian calcidifier dan
probiotik dalam pakan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap
indeks telur. Hal ini diduga karena indeks telur dipengaruhi oleh genetika dan
ukuran isthmus. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewanti, et al (2014) bahwa
faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur antara lain bangsa, status produksi,
genetik, variasi individu dan kelompok, bobot tubuh induk juga berpengaruh pada
bentuk telur,semakin besar bobot tubuhnya memungkinkan ukuran isthmus yang
semakin lebar dan besar, sehingga telur yang diproduksi memiliki bentuk yang
cenderung bulat. Indeks telur digunakan untuk melihat bentuk telur, semakin
tinggi indeks telur maka semakin bulat telur dan semakin rendah indeks telur
maka telur semakin lonjong. Ratnasari (2016) semakin besar indeks telur maka
semakin bulat bentuk telur tersebut, sedangkan semakin rendah indeks telur
bentuknya akan lonjong. Berdasarkan rataan perlakuan tersebut diketahui bahwa
persentase indeks telur tertinggi terjadi pada P3 yang memiliki nilai indeks telur
80,95%. Hal ini menunjukan bahwa tidak adanya korelasi antara indeks telur
dengan berat telur. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Luthfiana, Santoso dan
Rahayu (2020) yang menyatakan bahwa bahwa korelasi genetik antara bobot telur
dengan indeks telur bernilai tinggi yaitu semakin besar bobot telur maka indeks
telur juga semakin besar. Perhitungan korelasi ini juga menunjukkan bahwa
semakin bertambahnya bobot telur maka akan berpengaruh terhadap
bertambahnya panjang telur dan lebar telur.

Pengaruh Perlakuan terhadap Tebal Kerabang


Hasil analisis statistik menunjukan bahwa pemberian calcidifier dan probiotik
dalam pakan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap tebal kerabang.
Tebal kerabang pada telur dipengaruhi kemampuan penyerapan unggas betina
untuk menyimpan kalsium (Ca) kedalam kerabang telur. Hal ini didukung oleh
penelitian Ahmadi dan Rahmi (2011) bahwa unggas betina dewasa hanya dapat
menyimpan sejumlah kalsium (Ca) ke dalam kerabang telur. Suhu pada kandang
memiliki pengaruh untuk mempegaruhi ketebalan kerabang. Suhu lingkungan di
dalam kandang Kota Turen pada pagi dan sore hari mencapai 25-28⁰C dan
kelembapan 92%. Menurut Talukder, dkk. (2010) bahwa suhu lingkungan yang
tinggi menyebabkan ketebalan kerabang telur akan menurun dan pada suhu
rendah tidak ada pengaruh terhadap kualitas dan ketebalan kerabang telur. Zhu
(2015) juga menyatakan bahwa kualitas telur pada suhu yang tinggi mengalami
penurunan terutama pada kekuatan dan ketebalan kerabang.

Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Kerabang


Hasil analisis statistik menunjukan bahwa pemberian calcidifier dan probotik
dalam pakan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap berat kerabang.
Rataan berat kerabang tiap perlakuan pada penelitian ini <10% dari total berat
telurnya, yaitu sebesar 9% dari total berat telurnya. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian Amirullah (2003) yang menyatakan bahwa berat kerabang telur secara
kuantitatif adalah 10-13% dari total berat telurnya. Berat kerabang telur itik dapat
dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, kandungan nutrien ransum,
kecukupan nutrien ternak dan kondisi lingkungan (Widyantara et al, 2017).
Kandungan nutrisi pada ransum yang tidak berbeda signifikan membuat pengaruh

285
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tidak nyata terhadap pemberian calcidifier dan probiotik dalam pakan terhadap
berat kerabang.

Pengaruh Perlakuan terhadap Volume Telur


Analisis statistik volume telur itik petelur Mojosari menunjukan bahwa perlakuan
pemberian calcidifier dan probiotik dalam pakan memberikan pengaruh tidak
nyata (P>0,05) terhadap volume telur setiap perlakuan. Berdasarkan penelitian ini
dapat diketahui bahwa volume telur itik petelur Mojosari berkisar antara 57-59
ml. Volume telur itik petelur Mojosari dalam penelitian ini berkisar antara 85-
90% dari berat telur. Nilai volume telur yang tidak berbeda jauh antar perlakuan
disebabkan oleh kandungan nutrisi pada pakan yang memiliki selisih yang kecil
pada tiap perlakuan dan itik yang digunakan berasal dari spesies yang sama. Besar
kecilnya volume telur mempengaruhi kualitas telur baik sebagai telur tetas
maupun telur konsumsi (Saputra, Rosidi dan Mugiyono, 2021). Volume telur
yang besar akan meningkatkan nilai jual pada konsumen dan volume telur yang
kecil akan berpengaruh dalam minat konsumen.

Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan calcidifier dan
probiotik dalam pakan belum meningkatkan kulitas eksternal telur itik mojosari.

Daftar Pustaka
Ahmadi, F., & Rahmini, F.,2011. Factors affecting quality and quantity of egg
production in laying hens: a review. World Applied Sciences Journal, 12(3),
327–384.
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunungbudi: Bogor.
Badan Pusat Statistik, 2020. Produksi Telur Itik/Itik Manila Menurut Provinsi.
[Internet]. Diunduh pada: 2021 Nov 10. Tersedia pada: http://bps.go.id.
Dewanti, R., Yuhan, & Sudiyono, 2014. Pengaruh Bobot dan Frekuensi
Pemutaran Telur terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Itik Lokal.
Buletin Peternakan, 38(1), 16-18.
Haryanto, B., 2000. Penggunaan Probiotik dalam Pakan untuk Meningkatkan
Kualitas Karkas dan Daging Domba. JITV, 5(4), 1-5.
Luthfiana, N.Ade, B. Santoso, and A. Rahayu., 2020. Strategi Korelasi Genetik
Antara Bobot Telur Dengan Indeks Telur Itik Magelang Di Dusun Sempu,
Desa Ngadirojo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Seminar Nasional
UNS 4, (1), 382–87.
Natsir, M. H. dan O. Sjofjan, 2008. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Asam sitrat
dan Asam Laktat cair dan Terenkapsulasi sebagai Aditif Pakan Terhadap
Penampilan Produksi Ayam Pedaging. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner, 28, 636-640.
Nur, M. E., Munir dan I. D. Novieta, 2014. Kandungan Kalsium (Ca) dan Fospor
(P) Kacang Koro Pedang Pedang (Canacalia Esifoemis) Sebagai Alternatif
Pakan Konsentrat Pada Ransum Ternak dengan Menggunakan Lama
Perendaman NaCl yang Berbeda, Jurnal Galung Tropika 3 (2), 106–15
Ratnasari, N.A.,2016. Kualitas Fisik Telur Itik Magelang yang Diberi Pakan
Mengandung Tepung Daun Indigofera zollingeriana dan Minyak Ikan Lemuru.
Institut Pertanian Bogor.

286
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Saputra, R. Okta, and S. Mugiyono., 2021. Tebal Kerabang Dan Volume Telur
Berbagai Jenis Ayam Kedu Di Kelompok Ternak Makukuhan Mandiri
Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung Eggshell Thickness and Egg
Volume of Various Types of Kedu Chickens in The Makukuhan Mandiri
Livestock Group , Kedu District. Journal of Animal Science and Technology, 3
(1), 66–73.
Sari D. I., E. Sudjarwo dan H. S. Prayogi., 2014. Pengaruh Penamnahan Cacing
Tanah (Lumbricusrubellus) Segar Dalam Pakan Terhadap Berat Telur, Haugh
Unit (HU), dan Ketebalan Cangkang Itik Mojosari. J. Ternak Tropika,15 (2),
23–30.
Sohail, M. U., A. Ijaz, M. Younus, M. Z. Shabbir, Z. Kamran, S. Ahmad, H.
Anwar, et al., 2013. Effect of Supplementation of Mannan Oligosaccharide and
Probiotic on Growth Performance, Relative Weights of Viscera, and
Population of Selected Intestinal Bacteria in Cyclic Heat-Stressed Broilers.
Journal of Applied Poultry Research, 22 (3), 485–91.
Talukder, S., T. Islam, S. Sarker, and M. M. Islam. 2010. Effect of Environment
on layer Performance. J. Banglaesh Agril. Univ. 8(2): 253-258.
Thalib, K., F. J. Nangoy, J. R. Leke, dan M. N. Regar. 2020. Pengaruh Bobot
Telur Hasil Persilangan Itik Mojosari dan Alabio Terhadap Daya Tetas, Bobot
Day Old Duck (DOD), dan Mortalitas. Zootec 40 (1): 233–39.
Widyantara, P. R. A., G. A. M. K. Dewi dan I. N. T. Ariana., 2017. Pengaruh
lama penyimpanan terhadap kualitas telur konsumsi ayam kampung dan ayam
Lohman Brown. Majalah Ilmiah Peternakan,20(1), 5-11.
Wijayanti, D. A. dan D. F. Nugroho. 2020. Respon Produksi Ayam Petelur
Terhadap Pemberian Probiotik Tepung dan Tepung Belimbing Wuluh Dalam
Pakan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, 04 (02), 111–17
Zhu, Y.W., J.J. Xie, W.X. Li, L. Lu, L.Y. Zhang, C. Ji, X. Lin, H.C. Liu, J. Odle
and X.G. Luo. 2015. Effects of Environmental Temperature and Dietary
Manganese on Egg Production Performance, Egg Quality, and Some Plasma
Biochemical Traits of Broiler Breeders. Journal American Society of Animal
Science,93 (2), 3431-3440.

287
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

EFEK HERBAL PROFILAKSIS TEPUNG DAUN KARET (Hevea


brasiliensis) TERHADAP LEUKOGRAM AYAM BROILER

Ricky1,*, Sri Wigati2, Pudji3, Rahayu4


1
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jambi
2
Mahasiswa Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Jambi
Jl. Raya Jambi- Ma.bulian KM. 15 Mendalo Darat, Mendalo Jambi
Email korespondensi: rickydamanik311@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek herbal profilaksis daun karet
(Hevea brasiliensis) terhadap leukogram ayam broiler yang diberi perlakuan
penambahan tepung daun karet dengan level yang berbeda. Materi yang
digunakan 200 ekor Day old chick (DOC) unsex strain MB 202 dan pakan yang
digunakan adalah pakan komersil merk bravo 611no-AGP. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yaitu PO (0%),
P1(5%), P2(7,5%), P3 (10%) dan 5 ulangan setiap ulangan terdiri dari 10 ekor
ayam. Paubah yang diamati meliputi jumlah leukosit, Presentase deferensial
leukosit, dan jumlah leukosit diferensial. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan analisis varians (ANOVA), jika berpengaruh signifikan dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penambahan tepung daun karet (Hevea brasiliensis) ke dalam pakan komersial
tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah total leukosit dan diferensial
leukosit ayam broiler yang dipelihara selama 28 hari. Dapat disimpulkan bahwa
penggunaan tepung daun karet (Hevea brasiliensis) hingga 10% tidak memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah total leukosit dan diferensial leukosit
ayam broiler.

Kata kunci: Daun Karet, Leukosit, Deferensial Leukosit, Ayam broiler

Pendahuluan
Ayam broiler (ayam pedaging) merupakan jenis ternak yang banyak dikembang
biakkan sebagai sumber kebutuhan protein hewani. Ayam broiler merupakan
ternak ayam yang paling cepat pertumbuhannya, hal ini karena ayam broiler
merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi maju, sehingga memiliki
sifat-sifat ekonomi yang menguntungkan (Pratikno Herry 2010).
Sebagai konsekuensi dari tingkat produktivitas yang sangat tinggi, ayam broiler
menjadi ternak yang sangat peka terhadap pengaruh lingkungan seperti agen-agen
penyakit yang ada di sekitarnya.Untuk mengatasi pengaruh agen-agen penyakit
yang ada di lingkungan atau disebut sebagai agen penyakit endemik, maka perlu
menjaga kesehatan ternak dengan mengurangi jumlah infeksi bakteri lingkungan
yang dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen sanitasi, dan atau
memberikan obat-obatan anti bakteri dalam bentuk kemo-profilaksis. kemo-
profilaksis biasanya diberikan sebagai feed additive in feed/driling watter dan
sebagai contoh adalah Antibiotic growth prometer, coccodiosta sintetetis.

288
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Namun demikian, seiring dengan diberlakukan larangan pemberian kemo-


profilaksis untuk ternak karena dapat menimbulkan masalah drug residues dan
drug resintance yang membahayakan kesehatan konsumen, maka perlu dicari
pengganti alternatif kemo-profilaksis dengan herbal profilaksis yaitu
menggunakan daun karet (Hevea brasiliensis).
Daun karet sudah diteliti mempunyai aktivitas sebagai anti parasit gastrointestinal
pada ternak (Wigati,et al., 2015, dan 2016). Daun karet dalam bentuk tepung yang
ditambahkan pada ransum komersial no antibiotik growth promoter (AGP)
sebesar 3–9% juga telah dilaporkan mampu menurunkan infestasi koksidia pada
ayam kampung sebesar 60,8 – 67,7% (Wigati dan Manin, 2019). Efek herbal dari
daun karet dipersentasei oleh kandungan senyawa tannin yang terkandung dalam
daun karet, yaitu sebesar 2,95% dan kandungan tannin terkondensasinya
(condensed tannin) sebesar 2,03% atau sebesar 68,8% dari total tannin, berbasis
bahan kering (Wigati, et al., 2014; Wigati, et al., 2010).
Pemberian tepung daun karet diharapkan dapat memberikan efek herbal
profilaksis yang dapat meningkatkan kesehatan ternak, yang dapat diindikasikan
dari gambaran status sel-sel darah putihnya (leoukogram). Berdasarkan uraian
diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek herbal pemberian tepung
daun karet sebagai herbal profilaksis terhadap kondisi kesehatan ternak yang
dindikasikan oleh leoukogram pada ayam broiler.

Metode
Tempat dan waktu
Penelitian ini akan dilkukan di kandang percobaan Fapet Farm Fakultas
Peternakan Universitas Jambi. Analisisa leukogram akan dilakukan
dilaboratorium Fisiologi ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Penelitian
akan dilaksanakan pada Bulan September 2020 sampai dengan Desember 2020.

Alat dan bahan penelitian


Materi yang gunakan dalam penelitian ini adalah 200 ekor DOC ayam broiler
strain MB 202, pakan ayam komersial tanpa antibiotic growth promoter (non-
AGP) dengan merk dagang bravo 611 produksi PT Charoen Pokpan dan tepung
daun karet yang dihasilkan dari daun karet (Hevea brasiliensis). Bahan lain yang
digunakan adalah darah ayam, Anti koagulan EDTA, larutan BCB, methanol
absolut, larutan Giemsa, aquades dan minyak emersi.
Peralatan yang digunakan meliputi 20 buah unit kandang koloni yang dilengkapi
dengan tempat pakan dan air minum, pipet plastic, lampu, Peralatan yang
digunakan untuk membuat tepung daun karet yaitu belender, pisau, baskom,
ember. Bahan lain yang digunakan untuk analisis Leukosit dan Diferensiasi
Leukosit yaitu mikroskop, cover glass, objek glass, darah ayam, haemocytometer
pipet pengencer leukosit dan kamar hitung (Neubbauer improved ), tabung
penampung darah, bak celup untuk fiksasi, bak celup untuk pewarnaan
differensial counter dan penjepit.

289
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tahap persiapan
Meliputi persiapan kandang dan pembuatan tepung daun karet Daun karet (Hevea
brasiliensis) yang akan digunakan diambil dari perkebunan karet milik rakyat di
desa Pondok Meja kecamatan Mestong, Muaro Jambi, Jambi. Daun karet
dikeringkan dengan panas matahari selama kurang lebih 4 hari, setelah kering
daun karet digiling dengan grinder. tahap pencampura pakan komersil dengan
tepung daun karet sesuai dengan level perlakuan, untuk 1000g (1kg) pakan
komersial akan ditambah berturut-turut sebesar 50g, 75g dan 100g tepung daun
karet sesuai level perlakuan 5%, 7,5% dan 10%.

Pelaksanaan penelitian
Perlakuan pakan. Pakan perlakuan yang diberikan adalah suplementasi tepung
daun karet dengan level yang berbeda pada ransum komersial ayam broiler.
Pakan perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut:
P0 = 0% Tepung Daun karet + 100% Ransum Ayam Komersial
P1 = 5% Tepung Daun karet + 100% Ransum Ayam Komersial
P2 = 7,5% Tepung Daun karet + 100% Ransum Ayam Komersial
P3 = 10% Tepung Daun karet + 100% Ransum Ayam Komersial

Cara pemberian pakan perlakuan dan air minum


DOC yang baru sampai di kandang akan diberi air gula merah untuk
mengembalikan energi DOC selama perjalanan, untuk pakan perlakuan akan
diberikan secara ad libitum selama 28 hari (4 minggu), dimulai pada umur 5 hari.
Air minum juga diberikan secara ad libitum selama pemeliharaan.

Penenempatan ternak
200 ekor DOC broiler akan dikelompokkan dalam 20 unit kandang koloni sesuai
dengan perlakuan pakan yang diberikan, masing-masing perlakuan terdiri dari 5
ulangan dan masing-masing unit ulangan terdiri dari 10 ekor ayam. penempatan
ayam dan perlakuan di dalam kandang dilakukan secara acak. Kandang diberi no
1 sampai 20 kemudian dilakukan pengacakan perlakuan.selanjutnya dilakukan
pengacakan ayam ke dalam perlakuan. Anak ayam diberi tanda ditempatkan
kedalam masing – masing kadang yang mana masing – masing kadang terdiri dari
10 ekor ayam.

Pengambilan sampel darah


Sampel darah ayam diambil pada hari ke 28 atau di akhir penelitian, sampel darah
akan di ambil melalui vena jugularis dengan masing-masing kadang 10 ekor ayam
broiler.

Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah racangan acak lengkap (RAL)
Dengan 4 perlakuan level penambahan tepung daun karet (P0,P1,P2, dan P3) dan
5 ulangan yang masing- masing unit ulangan terdiri dari 10 ekor ayam broiler.

290
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil dan Pembahasan


Rataan jumlat total leukosit dan deferensial leukosit

Tabel 1 Rataan Jumlah Leukosit Dan Deferensial Leukosit.


Perlakuan
Variabel
PO P1 P2 P3
3
leukosit (10 /ml) 219,50 208,35 222,30 214,55
heterofil (%) 33,33 33,19 41,48 44,03
eosonofil (%) 5,25 5,30 4,38 4,26
limfosit (%) 53,56 54,63 57,18 58,50
monosit (%) 5,90 6,25 4,95 6,98
basofil (%) 1,44 1,93 1,40 1,22
Ket : Hasil analisis variansi non signifikan
P0 = Penambahan tepung daun karet 0%, P1= Penambahan tepung daun karet 5%,
P2= Penambahan tepung daun karet 7,5%, P3 = Penambahan tepung daun karet
10%

Jumlah total leukosit


Leukosit merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh
yang sanggat tanggap terhadap serangan agen penyakit yang menyerang secara
fagosit. Hasil perhitungan jumlah total leukosit ayam broiler yang di beri pakan
tepung daun karet disajikan pada tabel 1Hasil analisis statistik menunjukan
bahwa pemberian tepung daun karet berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap
jumlah total leukosit ayam broiler umur 28 hari.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah leukosit yang diberi tepung daun karet pada
perlakuan P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata (P>.0,05) dengan PO, Jumlah
leukosit pada penelitian ini berada pada kisaran 20835-21455 sel/mlᵌ. total
leukosit tersebut massih tergolong dalam keadaan normal. jumlah normal leukosit
pada penelitian ini sesuai dengan pendapat Weiss dan Wardrop, (2010) yang
menyatakan bahwa jumlah rataan normal leukosit bagi unggas yaitu berkisar
12.000–30.000/mmᵌ. hal ini terjadi dikarenakan ayam broiler dalam keadaan sehat
sehingga leukosit dalam keadaan normal. Leukosit merupakan unit aktif dari sel
darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dari serangan penyakit yang
dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan dan status fisiologis ayam
broiler. Hartoyo ea, al menyatakan bahwa fungsi dari leukosit yaitu menjaga
tubuh dari patogen dengan cara fagositosis dan menghasilkan antibodi.
Faktor-faktor yang menentukan jumlah leukosit antara lain aktivitas biologis,
kondisi lingkungan, umur dan pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Guyton dan
Hall (1997) yang menyatakan bahwa total leukosit yang menggambarkan tingkat
kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal yang meliputi jenis
kelamin, umur, penyakit dan hormon maupun faktor eksternal seperti keadaan
lingkungan, aktivitas ternak, stress dan pakan yang diberikan.

291
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Deferensial leukosit
Heterofil
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa pemberian tepung daun karet
berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap persentase hetrofil ayam broiler umur
28 hari. Hasil uji lanjut (Ducan) menunjukan bahwa heterofil pada perlakuan P1,
P2 dan P3 berbeda tidak nyata (P>0,05) dari P0, jumlah hetrofil yang di peroleh
pada penelitian ini berkisar 33.19 - 44.31%, 7011– 9358 (sel/ml3). kisaran hetrofil
yang di peroleh pada penelitian ini masih tergolong normal hal ini sesuai dengan
pendapat Hendro, ea,al (2013) bahwa persentase hetrofil yang normal pada darah
ayam berada pada kisaran 20 - 40%. tingginya hetrofil pada perlakuan P3 di
akibatkan tinggingya komposisi tepung daun karet yang menyebabkan
peningkatan hetrofil pada perlakuan P3 dibandingkan dengan p1 dan P2. Heterofil
adalah bagian dari leukosit yang termasuk kedalam kelompok granulosit dan
berada pada garis depan (first line) yang berfungsi sebagai pertahanan awal
terhadap penyakit yang dapat mengakibatkan infeksi atau peradangan.
Baratawidjaja dan Rengganis (2012) menambahkan bahwa sistem kerja heterofil
yaitu menghancurkan patogen melalui jalur oksigen independen (lisozom, enzim
proteolitik dan protein kationik) dan oksigen dependen. He et al. (2005) dan
Redmond et al. (2011) melaporkan bahwa heterofil mengandung zat antimikroba
yang berhubungan dengan resistensi penyakit pada tubuh dan dipengaruhi oleh
kontrol genetik dari ternak tersebut. Faktor-faktor yang menentukan tinggi
rendahnya heterofil antara lain kondisi lingkungan, tingkat stress pada ternak,
genetik dan kecukupan nutrien pakan (Puvadolpirod and Thaxton, 2000).

Eosinofil
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase eosinofil pada darah ayam
broiler berumur 28 hari dengan penggunaan tepung daun karet yang ditambahkan
ke dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05), persentase yang diperoleh
berada pada kisaran 4.26 - 5.30%, 987 - 905 (sel/ml3). dimana persentase tersebut
masih dalam keadaan normal hal Sesuai dengan pendapat Reece and Swenson
(2004), Dalam darah normal ayam broiler biasanya jumlah eosinofil sekitar 3%-
8% atau 600-2400 sel/mm3 dari jumlah leukosit. Keadaan ini dapat disebabkan
kandungan pada daun karet yang mempengaruhi eosinofil sehingga menyebabkan
tidak berbedanya nilai eosinofil, hal ini menunjukan bahwa ayam broiler yang
diberi perlakuan tepung daun karet tidak mengindikasi adanya infeksi oleh parasit
seperti cacing dan koksidia.
Menurut Purnomo et al., (2015) eosinofil merupakan bagian dari diferensial
leukosit yang dibentuk dalam sumsum tulang belakang yang berfungsi sebagai
respon parasitik, peradangan dan alergi. Lokapirnasari dan Yulianto (2014)
menyatakan bahwa eosinofil memiliki dua fungsi utama yaitu mampu menyerang
dan menghancurkan bakteri patogen serta mampu menghasilkan enzim yang dapat
menetralkan faktor radang. Dalam mencegah masuknya infeksi pada tubuh,
eosinofil bekerja dengan fungsi kimiawi secara enzimatik. Hal ini sesuai pendapat
Moyes dan Schute (2008) serta Isroli ea,.al. (2009) yang menyatakan bahwa
eosinofil melakukan fungsi imun melawan mikroorganisme dengan cara
sebagaimana fungsi kimiawi yakni secara enzimatik. Faktor- faktor peningkatan
eosinofil dapat terjadi karena hipersensitivitas misalnya karena parasit dan alergi
yang diakibatkan faktor lingkungan yang bising dan berdebu.

292
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Basofil
Hasil analisis statistik menunjukan persentase basofil tiak berpengaruh nyata
(P>.0,05) dari PO. Penambahan tepung daun karet kedalam ransum tidak
mempengaruhi persentase basofil. Persentase basoil yang diperoleh pada
penelitian ini masih tergolong normal yaitu pada kisaran 1.22-1.93%,352,36 -
383,65 (sel/ml3). Hal ini sesuai dengan pendapat Reece and Swenson (2004)
Menyatakan bahwa kisaran normal basofil pada leukosit unggas berkisar 1-4%
atau rentang 200-1200 sel/mm3. Walaupun secara statistika tidak menunjukkan
adanya perbedaan antar perlakuan, namun terdapat kecenderungan bahwa pada
penggunaan tepung daun karet menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel
basofil dibandingkan kontrol pada ayam tanpa di beri perlakuan, yang turut
berperan dalam respons kekebalan tubuh. Sesuai dengan pendapat Moreira
(2013), basofil memegang peranan penting dalam respons kekebalan tubuh, yang
diawali sejak kontak dengan substansi penyebab alergi denganmenghasilkan
bahan mediator kimiawi seperti histamin yang selanjutnya menarik sel-sel imun
lainnya.

Limfosit
Hasil analisis statistik pada penelitian penambahan tepung daun karet ke dalam
ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase limfosit darah ayam
broiler umur 28 hari. Persentase limfosit pada penelitian ini masih tergolong
normal yaitu berada pada 54,63 -58,50%,11491,61 - 12675,47 (sel/ml3) Hal ini
sesuai pendapat Smith dan Mangkoewidjojo (1988)serta Guyton dan Hall (1997)
yang menyatakan bahwa secara normal jumlah limfosit berada pada kisaran 24-
84%. Limfosit merupakan sel darah putih yang termasuk kedalam kelompok
agranulos. Salasia dan Hariono (2010) menyatakan bahwa limfosit bertugas
merespon adanya antigen dan stress dengan meningkatkan sirkulasi antibodi
dalam pengembangan sistem imun. faktor-faktor yang mempengeruhi limfosit
dapat disebabkan bebarapa seperti pana, faktor lingkungan dan stress. Hal ini
sesuai dengan pendapat Siegel (1995), Puvadolpirod and Thaxton (2000)
melaporkan bahwa faktor-faktor terbesar yang mempengaruhi jumlah limfosit
yaitu cekaman panas atau lingkungan dan stress, karena cekaman panas
mengakibatkan berkurangnya bobot organ limfoid timus dan bursa fabrisius yang
berdampak pada penurunan jumlah limfosit.

Monosit
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa penambahan tepung daun karet ke
dalam ransum berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase monosit. Persense
monosit yang di peroleh pada penelitian ini berkisar 4.95- 6.98%,905,50 - 987,73
(sel/ml3). dimana persentase monosit yang di peroleh pada penelitian ini masih
tergolong normal. Hal ini sesuai pendapat sesuai pendapat Eroschenko (2008)
yang menyatakan bahwa batasan normal nilai monosit pada darah ayam broiler
yaitu 3-10%. Peningkatan monosit terjadi dikarenakan kadung tepung daun karet
yang memiliki tanin sehingga monosit merespon sebagai benda asing. Monosit
merupakan diferensial sel darah putih yang termasuk kedalam kelompok
agranulosit yang dibentuk di sumsum tulang dan mengalami pematangan ketika
masuk kedalam sirkulasi sehingga menjadi makrofag dan masuk ke jaringan.

293
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Frandson et al.(2009) mengatakan bahwa monosit mampu memfagositosis 100 sel


bakteri patogen dan menjadi sistem pengatur ketika terjadi peradangan dan
merespon kekebalan. Monosit dimobilisasi bersama dengan heterofil sehingga
disebut sebagai pertahanan kedua terhadap peradangan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung daun
karet 5%-10% sebagai tamabahan dalam pakan komersil berpotensi sebagai herbal
profilaksi dan mampu mempertahankan tingkat kestabilitasan kesehatan dan
menjaga kondisi fisiologi ayam broilier

Daftar Pustaka
Baratawidjaja, K. G dan I. Rengganis. 2012. Imunologi dasar. Jakarta:Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Frandson R.D., W.,L, Wilke, dan A.,D.,Fails. 2009. Anatomy And Physiology Of
Farm Animal 7th Edition. Iowa (Us): Willey-Blackwell He, H., V. K. Lowry, P.
M. Ferro dan M. H. Kogut. 2005. CpG oligodeoxynucleotid stimulated chicken
heterophil degranulation is serum cofaktor and cell surface receptor dependent.
Dev Comp Immunol. 29: 225-264.
He, H., V. K. Lowry, P. M. Ferro dan M. H. Kogut. 2005. CpG
oligodeoxynucleotid stimulated chicken heterophil degranulation is serum
cofaktor and cell surface receptor dependent. Dev Comp Immunol. 29: 225-
264.
Hendro, L. Adriani dan D. Latipudin. 2013. Pengaruh pemberian lengkuas
(Alpinia galanga) terhadap kadar neutrofil dan limfosit ayam broiler. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan. 531-536.
Isroli, S. Susanti, E. Widiastuti, T. Yudiarti dan Sugiharto. 2009. Observasi
beberapa variabel hematologis ayam kedu pada pemeliharaan intensif.
Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. 548-557
Lokaspirnasari, W. R dan A. B. Yulianto. 2014. Gambaran sel eosinofil, monosit,
dan basofil setelah pemberian spirulina pada ayam yang diinfeksi virus flu
burung. J. Vet. 15 (4) : 499-505.
Moyes, C.D. and P. M. Schulte. 2008. Principles of animal physiology. NewYork
:Perarson International Edition.
Moreira LM, Behling B del S, Rodrigues R da S, Costa JAV, Soares LA de
Souza. 2013. Spirulina as a protein source in the nutritional recovery of Wistar
rats. Brazilian Archives of Biology and Technology. 56: 3.
Redmod, S. B, P. Chuammitri, C.B. Andreasen, D. Palic dan Lamont SJ. 2011.
Genetik control of chicken heterophil function in advanced intercross lines:
associations with novel and with know Salmonella resistance loci and a likely
mechanism for cell death in extracellular trap production. Immunogenetics. 63:
449-458Wigati, S., M. Maksudi dan A.Latief.2014 Analysis of Rubber leaf
Chevea brasilia ) Potency as Herbal Nutrition for Goat,In: proceedings of teh
16th Animal science Conggress vol.II. 10–14 November 2014, Gadjah Mada
university,Yogyakarta, indonesia.pp.497–500.
Reece, W.O. and Swenson, M. J. 2004. The composition and fuctions of blood. in:
Dukes’Physiology of Domestic Animal, 12th edn (ed. W.O. Recee). Cornell

294
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

University Press, Ithaca. NY:Repoduced with permission from Cornell


University Press.
Smith, J. B dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, pembiakan dan
penggunaan hewan percobaan di daerah tropis. Jakarta:Universitas Indonesia.
Puvadolpirod and Thaxton. 2000. Model of physiological stress in chicken.
Quantitative Evaluation. Departement of Poultry Science, Mississipi State
University. 79 : 391-395.
Purnomo, D., Isroli, dan Sugiharto. 2015. Total leukosit dan diferensial leukosit
darah ayam broiler akibat penggunaan tepung onggok fermentasi Rhizopus
oryzae pada ransum. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternak. 25:59–68.
Salasia, S. I. O dan B. Hariono. 2010. Patologi klinik veteriner. Samudra
Biru.Yogyakarta Wigati, S. 2010. Integrasi Tatalaksana Pemberian Pakan
Cassava dan Reproduksi untuk Meningkatkan Kinerja Kambing Bligon.
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Siegel, H. S.1995. Stress, strain and resistence. Brit. Poultry Sci. 36: 3-22.
Wigati S. M. Maksudi dan E Wiyanto. 2016a. The Use of Rubber Leaves (Hevea
brasiliensis) as Forage in Supporting the Development of Goats in In dong of
terkenal Seminare La stock Proshow and Veterinary Technology Promoting
Livestock and Veterinary Technology for Sustainable Rural Livestock
Development August, 10.12.2016. Rali Indonesia. DOL hup de datos 10 14334
Froe Intsem | PVT-2016-p 84-290.
Wigati, S. M. Maksudi dan E Wiranto. 2016b.Pemanfaatan Potensi Herbal Nutrisi
Daun Karet (Hevea brustliensis) dalam Mendukung tala engembangan "Ternak
Kambing Rakyat Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing 2015 Lembaga
Penelitian Universitas Jambi, Jambi.

295
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

OPTIMASI PELARUT DAN WAKTU MASERASI EKSTRAK BUAH


MENGKUDU DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN
BAKTERI E. coli DAN S. aureus

Azizah1, Abun2, Tuti Widjastuti3


1
Program Magister Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas
Padjadjaran
2
Bagian Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
3
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
Email korespondensi: azizah19003@mail.unpad.ac.id

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat optimasi penggunaan pelarut dan
waktu maserasi ekstraksi buah mengkudu terhadap daya hambat bakteri E coli dan
S. aureus. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap tersarang dengan 4
perlakuan pelarut dan 2 perlakuan waktu yang diulang sebanyak 3 kali. Adapun
perlakuan pelarut dan waktu yang diterapkan adalah P1 = etanol, P2 = methanol,
P3 = kloroform dan P4 = heksan dan waktu yakni W1= 24 jam, W2= 48 Jam.
Perbedaan yang nyata terhadap peubah dilakukan uji lanjut dengan Duncan
Multiple Range Test. Berdasarkan hasil analisis statistik bahwa waktu maserasi
yang tersarang ke pelarut berpengaruh signifikan terhadap daya hambat bakteri
E.coli (P<0.05). Maserasi buah mengkudu selama 48 jam memiliki daya hambat
E.coli yang lebih tinggi dibandingkan dengan 24 jam, sedangkan daya hambat S.
aureus dipengaruhi oleh jenis pelarut. Terdapat perbedaan yang signifikan
(P<0.05) ekstrak pelarut polar dan non polar dalam mengahambat pertumbuhan
bakteri S. aureus Pelarut polar baik etanol maupun methanol memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus.
Pelarut polar cenderung memiliki daya hambat yang lebih besar dibandingkan
dengan pelarut non polar, hal ini karena kemampuannya dalam menarik senyawa
– senyawa polar sekaligus non polar. Ekstrak buah mengkudu yang dimaserasi
dengan etanol dan methanol memiliki daya hambat bakteri E.coli dan S. aureus
yang lebih besaar dibandingkan dengan pelarut dan waktu perlakuan lainnya,
namun pelarut etanol cenderung lebih baik dalam keamanan penggunaannya
dibandingkan dengan pelarut methanol dan waktu maserasi terbaik adalah 48 jam.

Kata kunci: Maserasi, Buah Mengkudu, E.coli, S. aureus

Pendahuluan
Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan ternak sudah lama
diterapkan di seluruh dunia. Pemberian antibiotik growth promotor (AGP) sebagai
pakan tambahan biasanya diberikan kepada unggas. Badan Administrasi Makanan
dan Obat Amerika Serikat menyetujui penggunaan antibiotik sebagai pakan
tambahan ternak pada tahun 1951 (Jones and Ricke, 2003), dan Negara Eropa
pada tahun 1950-1960an (Castanon, 2007). Mekanisme kerja AGP merupakan
interaksi antara antibiotik dengan populasi mikroba dalam usus ((Dibner &
Richards, 2005) Menurut (Hamsah, 2013) beberapa mekanisme kerja AGP dalam
memacu pertumbuhan ternak diantaranya adalah mempengaruhi metabolisme dan

296
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menekan pertumbuhan mikroba dalam usus, menjaga nutrisi dari perusakan oleh
bakteri, peningkatan penyerapan nutrisi, menurunkan produksi racun yang
dikeluarkan oleh bakteri seperti amonia dan produk degradasi empedu, dan
mengurangi infeksi subklinis pada usus.
Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang besar secara terus menerus akan
menyebabkan ternak resisteni terhadap bakteri pathogen, serta berdampak buruk
bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ternak tersebut karena residu
antibiotik tersebut. Atas dasar ini penggunaan AGP sebagai pakan tambahan
ternak dilarang oleh WHO pada tahun 2006 dan Kementerian Pertanian Indonesia
pada awal tahun 2018.
Buah mengkudu merupakan salah satu alternatif potensial yang dapat
dimanfaatkan sebagai pengganti AGP. Buah mengkudu mengandung sejumlah
senyawa fitogenik dan zat aktif yang berfungsi sebagai antibakteri. Beberapa
metode pengolahan buah mengkudu telah banyak dilakukan, mulai dari jus, air
perasan maupun ekstrak buah mengkudu, namun karena aroma yang cukup
menyengat, senyawa aktif yang tidak stabil dan masalah dalam penyimpanan,
ekstrak merupakan pilihan terbaik. Menurut Fasina et al., (2016) bahwa
pemberian ekstrak daun mengkudu dalam ransum mampu menghambat
pertumbuhan Salmonella typhimurium dan menurunkan angka mortalitas burung
puyuh. Kandungan senyawa aktif buah mengkudu baik secara kualitatif maupun
kuantitatif dipengaruhi oleh jenis pelarut dan waktu maserasi. Jenis pelarut dan
waktu maserasi akan mempengaruhi jenis dan jumlah senyawa aktif yang akan
ditarik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai
optimasi pelarut dan waktu maserasi ekstak buah mengkudu dalam menghambat
pertumbuhan bakteri E.Coli dan S. Aureus.

Metode
Penelitian ini merupakan eksperimental, menggunakan rancangan acak lengkap
tersarang (nested design) dengan 4 perlakuan pelarut dan waktu maserasi sebagai
faktor tersarang. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Adapun perlakuan yang
diterapkan adalah :
P1W1= Pelarut etanol, 24 jam
P1W2= Pelarut etanol, 48 jam
P2W1= Pelarut methanol, 24 jam
P2W2= Pelarut methanol, 48 jam
P3W1= Pelarut kloroform, 24 jam
P3W2= Pelarut kloroform, 48 jam
P4W1= Pelarut heksan, 24 jam
P4W2= Pelarut heksan, 48 jam

Pembuatan ekstrak buah mengkudu


Pembuatan ekstrak buah mengkudu dilakukan dengan menimbang 50gr tepung
buah mengkudu dan ditambahkan 150ml masing-masing pelarut (1:3) dengan
waktu maserasi 24 dan 48 jam,. Lakukan pengadukan selama 7-10 menit, lalu
tutup toples dengan menggunakan alumunium foil. Lakukan pengadukan setiap 24
jam. Saring filtrat denganmenggunakan kertas saring sesuai dengan perlakuan
waktu maserasi, filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan rotary
evaporator.

297
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Uji daya hambat bakteri


Daya hambat ekstrak buah mengkudu diuji dengan metode Kirby-Bauer.
Pengujian dilakukan dengan mempersiapkan cawan petri steril yang terbagi
menjadi 4 juring, yakni masing-masing pelarut dengan waktu yang sama dalam
setiap juring, kemudian masukkan medium MHA kedalam cawan petri dan
tunggu hingga memadat, selanjutnya suspensi bakteri 1 mL dimasukkan ke dalam
cawan petri menggunakan ose dengan hati-hati. Kertas cakram dimasukkan
kedalam ekstrak pelakuan dengan konsentrasi 75%, ditiriskan dan ditempatkan
pada setiap juring, lakukan inkubasi pada suhu 37℃ selama 24 jam. Hasil
pengamatan terlihat berupa zona bening yang terbentuk disekitar cakram dan
diukur diameter zona hambat secara vertikal dan horizontal. Selanjutnya diameter
yang terbentuk dihitung rata-ratanya, dianalisis dan digolongkan menurut Davis &
Stout (1971).

Lokasi penelitian
Penelitian dilkukan di Laboratorium Pengujian dan Bioteknologi, Fakultas
Peternakan, Universitas Padjadjaran yang berlangsung selama 3 bulan.

Analisis data
Data dianalisis dengan analisis ragam (Anova), apabila terdapat pengaruh yang
nyata pada parameter pengukuran dilakukan uji lanjut dengan menggunakan
Duncan Multiple Range Test.

Hasil dan Pembahasan


Buah mengkudu mengandung komponen aktif senyawa fenolik, khususnya
senyawa kumarin, flavonoid, dan iridoid yang bermanfaat sebagai antioksidan,
anbakteri dan antialergi (Saraphanchotiwitthaya and Sripalakit, 2015). Dalam
kemampuannya sebagai antibakteri, buah mengkudu dapat menghambat
pertumbuhan beberapa jenis bakteri baik gram negatif maupun gram positif.
Berikut adalah tabel rataan daya hambat ekstrak buah mengkudu terhadap bakteri
E. coli dan S. aureus.
Berdasarkan hasil analisis statistik bahwa waktu berpengaruh signifikan (P<0.05)
terhadap daya hambat E.coli. Ekstrak buah mengkudu yang dimaserasi selama 48
jam berbeda nyata dengan 24 jam. Ekstrak buah mengkudu yang dimaserasi
dalam waktu 48 jam cenderung memiliki rataan daya hambat bakteri E.coli yang
lebih besar dibandingkan dengan 24 jam. Ekstrak methanol 48 jam memiliki daya
hambat bakteri E.coli 12.958 mm dan etanol 12.167 mm dengan kategori daya
hambat bakteri yang kuat. Hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan
ekstraksi selama 24 jam dengan pelarut yang sama yakni 6.555 mm dengan etanol
dan 6.787 mm dengan methanol dengan kategori daya hambat sedang. Perbedaan
yang nyata pada waktu yang tersarang kedalam pelarut ini mungkin disebabkan
oleh semakin lama waktu maserasi maka semakin banyak pula substrat yang
terlarut sehingga senyawa aktif yang terangkat akan semakin besar. Semakin lama
waktu ekstrak maka waktu kontak antara pelarut dan zat yang terlarut akan
semakin lama, sehingga proses transfer massa juga akan semakin banyak
(Tambunan et al., 2014), selain itu karakteristik bakteri itu sendiri juga
mempengaruhi daya hambat pertumbuhan yang dihasilkan.

298
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

299
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil analisis statistik jenis perlarut juga menunjukkan perbedaan yang signifikan
(P<0.05) terhadap daya hambat bakteri S. aureus. Ekstrak methanol dan etanol
buah mengkudu yang dimaserasi selama 48 jam memiliki daya hambat bakteri S.
aureus terbesar dibandingkan dengan ekstrak buah mengkudu yang diekstrak
dengan pelarut dan waktu maserasi lainnya, yakni 16.35 mm dan 15.50 mm. Niai
daya hambat S. aureus terkecil terdapat pada ekstrak heksan buah mengkudu baik
yang dianalisis selama 24 maupun 48 jam, yakni 7.983 mm dan 7.512 mm dengan
kategori daya hambat yang sedang. Perbedaan yang nyata antara ekstrak buah
mengkudu dengan pelarut polar dan non polar ini mungkin disebabkan oleh
kandungan senyawa aktif yang ikut terekstrak berbeda antara pelarut polar dan
non polar. Pelarut polar mampu menarik senyawa-senyawa aktif yang bersifat
polar dan non polar, sedangkan pelarut non polar hanya mampu menarik senyawa-
senyawa yang bersifat non polar, sehingga senyawa aktif yang dapat ditarik
kemungkinan lebih sedikit dibandingkan dengan ekstrak pelarut polar. Menurut
Salamah dan Widyasari (2015) bahwa metanol merupakan pelarut yang bersifat
universal sehingga dapat menarik sebagian besar senyawa yang bersifat polar dan non
polar pada bahan. Jayaraman et al., (2008) melaporkan bahwa ekstrak metanol
buah mengkudu menghasilkan senyawa antibakteri yang lebih besar dari pada
pelarut etil asetat dan n- heksan. Ekstrak etil asetat buah mengkudu positif
mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, fenol dan steroid, sedangkan dengan
pelarut etanol positif mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, fenol, terpenoid
(Hasri et al., 2018), saponin dan tannin (Prasetyorini et al., 2019).
Penggunaan pelarut etanol dan methanol pada kedua parameter tidak berbeda
nyata antara satu sama lain, sehingga dalam penentuan pelarut terbaik perlu
beberapa pertimbangan, diantaranya adalah 1) Tingkat selektivitas pelarut, yakni
pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan diekstrak dengan cepat dan sempurna.
2) Titik didih pelarut, mempunyai titik didih yang cukup rendah sehingga mudah
diuapkan dan tidak meningggalkan residu dalam minyak. 3) Tidak larut dalam air, 4)
Tidak bereaksi dengan komponen lain, 5) Harga yang murah, 6) Pelarut mudah
terbakar (Susanti et al., 2012) serta tingkat keamaan pelarut dalam penanganan
ekstraksi dan didalam tubuh nantinya. Dilihat dari hasil analisis statistik dan beberapa
pertimbangan pemilihan pelarut diatas, etanol merupakan pelarut yang cenderung
lebih baik dibandingkan dengan methanol, karena memiliki tingkat keamanan
penggunaan yang lebih baik dibandingkan dengan methanol. Batas penggunaan
etanol bisa lebih tinggi dibandingkan methanol, yakni ≤5% sedangkan methanol
0.01% atau setara dengan 50 ppm.

Kesimpulan
Etanol dan methanol merupakan pelarut terbaik dalam ektraksi buah mengkudu,
namun penggunaan pelarut etanol lebih aman untuk digunakan didalam ekstraksi
dan waktu maserasi adalah 48 jam.

Daftar Pustaka
Castanon, J. I. R. (2007). History of the use of antibiotic as growth promoters in
European poultry feeds. Poultry Science, 86(11), 2466–2471.
Dibner, J. J., & Richards, J. D. (2005). Antibiotic growth promoters in agriculture:
History and mode of action. Poultry Science, 84(4), 634–643.
Fasina, Y. O., Newman, M. M., Stough, J. M., & Liles, M. R. (2016). Effect of

300
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Clostridium perfringens infection and antibiotic administration on microbiota


in the small intestine of broiler chickens. Poultry Science, 95(2), 247–260.
Hamsah. (2013). Respon usus dan karakteristik karkas pada ayam ras pedaging
dengan berat badan awal berbeda yang dipuasakan setelah menetas. Skripsi.
Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan: Universitas Hasanudin.
Hasri, Maryono, & Sari, T. (2018). The analysis total phenolic extract Noni Fruit
(Morinda citrifolia L.) as inhibiting activity of bacteria. Analit: Analytical and
Environmental Chemistry, 3(01), 22–29.
Jayaraman, S. K., Manoharan, M. S., & Illanchezian, S. (2008). Antibacterial,
antifungal and tumor cell suppression potential of Morinda citrifolia fruit
extracts. International Journal of Integrative Biology, 3(1), 44–49.
Jones, F. T., & Ricke, S. C. (2003). Observations on the history of the
development of antimicrobials and their use in poultry feeds. Poultry Science,
82(4), 613–617.
Prasetyorini, Utami, N. F., & Sukarya, A. S. (2019). Uji aktivitas antibakteri
ekstrak buah dan daun mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap bakteri
penyebab jerawat (Staphylococcus epidermis). Fitofarmaka Jurnal Ilmiah
Farmasi, 9(2), 123–130.
Salamah, N., & Widyasari, E. (2015). Aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun
kelengkeng (Euphoria longan (L) Steud .) dengan metode penangkapan radikal
2 , 2 ’ diphen yl-1-picrylhydrazyl. Pharmaciana, 5(1), 25–34.
Saraphanchotiwitthaya, A., & Sripalakit, P. (2015). Anti-inflammatory effect of
Morinda citrifolia leaf extract on macrophage RAW 264.7 cells. ScienceAsia,
41(1), 5–11.
Susanti, A. D., Ardiana, D., Gumelar, G., & G, Y. B. (2012). Polaritas pelarut
sebagai pertimbangan dalam Pemilihan pelarut untuk ekstraksi minyak bekatul
dari bekatulvarietas ketan (Oriza sativa glatinosa). Simposium Nasional RAPI
XI FT UMS, 8–14.
Tambunan, A. P., Bahtiar, A., & Tjandrawinata, R. R. (2014). Influence of
extraction parameters on the yield, phytochemical, tlc-densitometric
quantification of quercetin, and LC-MS profile, and how to standardize
different batches for long term from ageratum conyoides L. leaves.
Pharmacognosy Journal, 9(6), 767–774.

301
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Reproduksi dan Pemuliaan Ternak

302
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KUALITAS SEMEN KAMBING KACANG DALAM PENGENCER


SITRAT YANG DISUPLEMENTASI DENGAN SUSU KACANG KEDELAI

Arjon Ratu Amah1,*, Alexander Kaka2, Yessy Tamu Ina3


1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
2,3
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: arjhonratuamah10@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas semen kambing kacang dalam
pengencer sitrat yang disuplementasi dengan susu kacang kedelai. Materi
penelitian ini smenggunakan 2 ekor kambing kacang sebagai sumber semen.
Penampungan semen menggunakan vagina buatan yang ditampung 2 kali dalam
seminggu. Semen yang diperoleh dilakukan evaluasi secara makroskopis yang
meliputi volume, warna, konsistensi, pH dan bau. Sedangkan evaluasi
mikroskopis meliputi gerakkan massa, gerakan individu, konsentrasi, viabilitas
dan abnormalitas. Sperma menunjukkan >75% sperma motil dibagi menjadi
empat perlakuan dengan masing-masing pengencer yaitu: P0 = Pengencer sitrat
100%, P1 = pengencer sitrat 95% + susu kacang kedelai 5%, P2 = pengencer sitrat
90% + susu kacang kedelai 10%, P3 = pengencer sitrat 85% + susu kacang
kedelai 15%. Hasil analisis statistic menunjukkan bahwa perlakuan P2 berbeda
nyata (P<0,05) antara P0, P1 dan P3 pada hari ke-5 penyimpanan terhadap
motilitas dan viabilitas spermatozoa kambing kacang. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pengencer sitrat dengan penambahan susu kacang kedelai
dapat mempertahankan motilitas dan viabilitas spermatozoa dengan perlakuan
terbaik terdapat pada perlakuan P2 dengan persentase susu kacang kedelai 10%.

Kata Kunci: kambing kacang, sitrat, susu kacang kedelai, kualitas semen

Pendahuluan
Ternak kambing merupakan salah satu sumber protein hewani yang diterima oleh
semua lapisan masyarakat. Namun demikian, kambing kacang belum mendapat
perhatian dalam pemanfaatan teknologi tepat guna yang berdampak pada
lambatnya laju peningkatan populasi ternak kambing cenderung lambat. Untuk
mendukung peningkatan populasi kambing kacang maka perlu adanya inovasi
teknologi tepat guna seperti Inseminasi Buatan (IB). Dalam pelaksanaan IB
membutuhkan semen cair maupun semen beku. Untuk penggunaan semen cair
adalah salah satu alternatif pelaksanaan program IB namun, penggunaan semen
cair dalam pelaksanaan IB akan mudah mengalami penurunan kualitas jika tidak
ditambah dengan pengencer yang tepat. Menurut Futino et al. (2016) menyatakan
bahwa semen segar tidak bertahan lama dalam penyimpanan invitro yang
diakibatkan oleh kematian sperma yang berlangsung secara cepat.

303
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Syarat penting yang harus dimiliki bahan pengencer yakni bersifat toxic terhadap
spermatozoa dan dapat mempertahankan motilitas dan viabilitas, mengandung
buffer, mengandung sumber energi, dan menghambat pertumbuhan bakteri dan
bahan anti cold shock (Hardijanto dkk., 2010). Melihat syarat tersebut
memungkinkan pengunaan sitrat dengan susu kacang kedelai sebagai pengencer
semen. Susu kacang kedelai memiliki kecenderungan terkontaminasi bakteria
lebih kecil dari pada sitrat, mampu menekan stres oksidatif dan memiliki bahan-
bahan lesitin sehingga melindungi spermatozoa dari cold shock selama proses
pengolahan semen (Ogbuewu et al., 2010). Sedangkan sitrat merupakan bahan
pengencer yang mengandung buffer yang mempunyai peranan sebagai penyangga
atau mempertahankan pH selama proses penyimpanan spermatozoa dan berfungsi
melindungi spermatozoa dari cold shock. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kualitas semen kambing kacang dalam pengencer sitrat yang
disuplementasi dengan susu kacang kedelai.

Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2021 yang berlokasi di
Kelurahan Kambajawa, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur
sebagai tempat penampungan semen. Sedangkan evaluasi dan pengenceran semen
dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Kristen Wira Wacana Sumba.

Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian adalah dua ekor kambing kacang jantan
dengan kondisi sehat, telah dewasa kelamin, berumur ±1 tahun. Pejantan tersebut
ditempatkan di dalam kandang individu. Pakan diberikan berupa gamal, lamtoro
dan rumput lapangan. Peralatan yang digunakan dalam penampungan semen
terdiri dari (vagina buatan, thermometer, tissue, pH meter), peralatan untuk
pemeriksaan kualitas semen (gelas obyek, gelas penutup, pipet, mikroskop).
Peralatan untuk pembuatan pengencer semen (gelas piala, gelas ukur, tabung
erlenmeyer, corong gelas, pemanas air, pinset, pipet), peralatan untuk
penyimpanan semen (lemari es, tabung reaksi, gelas piala) dan peralatan lain yang
diperlukan. Bahan pengencer yang digunakan terdiri dari sitrat, susu kacang
kedelai, fruktosa, aquabidest, antibiotic (penicillin).

Metode penelitian
Metode penelitian ini menggunakan eksperimen dilaboratorium universiras kristen
wira wacana sumba yang terdiri dari: 1). Persiapan alat dan bahan, 2) persiapan
pejantan, 3). Persiapan bahan pengencer sitrat, fruktosa, susu kedelai, 4). Evaluasi
semen secara makroskopis (volume, warna, konsistensi, pH dan bau) dan
mikroskopis (gerakan massa, gerakan individu, konsetrasi, viabilitas dan
abnormalitas), 5). Pengenceran semen sesuai dengan rancangan acak lengkap
yang terdiri dari 4 perlakuan dan 5 ulangan. Adapun keempat perlakuan yang
dicobakan yaitu: P0 = pengencer sitrat 100%, P1 = pengencer Sitrat 95% + susu
kacang kedelai 5 %, P2 = pengencer sitrat 90% + susu kacang kedelai 10%, P3
pengencer sitrat 85% + susu kacang kedelai 15%. Sedangkan variabel penelitian
meliputi pengujian motilitas dan viabilitas spermatozoa. Data evaluasi semen
segar dianalisis menggunakan analisis deskriptif statistik untuk mencari nilai

304
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

rataan dan nilai standar deviasi sedangkan data motilitas dan viabilitas digunakan
analisis of farience (Anova), jika ditemukan adanya perbedaan yang nyata antar
perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995). Data
diolah mengunakan program SPSS versi 23

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Semen Segar
Karakteristik semen segar merupakan salah satu indikator penting yang perlu
diperhatikan sebelum semen di proses ketahap selanjutnya. Hasil evaluasi
makroskopis dan mikroskopis semen segar kambing kacang dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Rataan kualitas semen segar kambing kacang


Pengamatan Parameter Rataan Nilai
Makroskopis Volume (ml) 1,2 ± 0,22 1-1,5
Konsistensi Sedang Sedang-kental
Warna Putih kream Putih kream
Bau Khas ternak Khas ternak
pH 6,46 ± 0,13 6,4-6,7
Mikroskopis Gerakan massa +++ ++-+++
Motilitas individu (%) 83,00 ± 2,73 80-85
Viabilitas (%) 84,05 ± 2,39 81,45-87-47
Abnormalitas (%) 9,82±0,63 9,20-10,79
Konsentrasi (10 6) juta/ml 4644,2±43,01 401-502

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semen yang diperoleh dapat diguanakan
untuk proses lebih lanjut. Hasil evaluasi secara mikroskopis telah memperlihatkan
gerakan massaberkisar +++/sangat baik, motilitas rata-rata 83,00 ± 2,73, viabilitas
84,05 ± 2,39, abnormalitas 9,82±0,63 dan konsetrasi 4644,2±43,01×106. Menurut
Arifiantini dan Purwantara (2010), menyatakan bahwa, pada umumnya
abnormalitas pada semen dikatakan baik apabila tidak melebihi 20%.

Pengaruh Perlakuan terhadap Motilitas


Motilitas spermatozoa semen segar kambing kacang yang diencerkan dengan
bahan pengencer sitrat yang disuplementasi dengan susu kacang kedelai dalam
penyimpanan pada suhu 3-5 0C dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan tabel 2 menunjukan bahwa pada hari kelima penyimpanan diperoleh


rata-rata persentase motilitas tiap perlakuan sebesar P0 36,00%, P1 36,00%, P2
44,00% dan P3 sebesar 32,00%. Hasil Analisis statistika menunjukan bahwa,
pemberian konsentrasi susu kacang kedelai dalam bahan pengencer sitrat selama
lima hari penyimpanan menunjukan bahwa P2 memberikan motilitas tertinggi
kemudian diikuti oleh P0, P1 dan P3.

Hasil uji duncan menunjukan bahwa, perlakuan menunjukan pengaruh yang


signifikan (P<0,05) sejak hari pertama antara P2 terhadap P0 dan P1, sedangkan
pada P3 baru mulai terlihat sejak 2 hari penyimpanan, dimana P2 memiliki

305
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

motilitas sebesar 78,00%, sedangkan P0 76,00%, P1 69,00% dan P3 sebesar


72,00%.

Tabel 2. Motilitas spermatozoa kambing kacang


Rataan Persentase Perlakuan
Motilitas (Hari) P0 P1 P2 P3
0 76,00±2,24ab 69,00±4,18c 78,00±4,47a 72,00±2,73bc
1 70,00±3,53a 64,00±4,18b 73,00±4,47a 64,00±4,18b
2 62,00±2,73b 59,00±4,18bc 68,00±4,47a 54,00±4,18c
3 52,00±2,73b 54,00±4,18b 61,00±2,23a 46,00±4,18c
4 42,00±2,73bc 46,00±4,18b 52,00±5,73a 41,00±4,18c
5 36,00±2,23b 36,00±4,18b 44,00±2,23a 32,00±2,73b
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan adanya
perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05).

Namun demikian pemberian sitrat dengan penambahan susu kacang kedelai pada
semen segar kambing kacang dengan konsentrasi yang tepat dapat
mempertahankan motilitas semen kambing selama lima hari penyimpanan. hal ini
disebabkan karena susu kacang kedelai memiliki kandungan lesitin yang dapat
memenuhi kebutuhan semen selama penyimpanan. Sedangkan Rahayu et al.,
(2014), menyatakan bahwa adanya kandungan lesitin pada susu kedelai mampu
melindungi spermatozoa dari cekaman dingin (cold shock) selama penyimpanan.

Pengaruh Perlakuan terhadap Viabilitas


Rataan persentase viabilias spermatozoa kambing kacang dalam pengencer sitrat
yang disuplementasi dengan susus kacang kedelai yang berbeda dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Viabilitas spermatozoa kambing kacang


Pengamatan hari Perlakuan
ke- P0 P1 P2 P3
b b
0 78,18±2,56 77,99±2,11 82,94±3,60 66,79±2,48c
a

1 73,96±3,10b 75,33±3,27ab 78,28±2,11a 61,09±1,85c


2 68,53±1,92b 72,05±2,29a 74,01±2,44a 50,43±3,12c
3 61,16±2,84b 64,43±2,43ab 68,11±3,38a 39,95±2,68c
4 51,78±1,28c 55,77±1,02b 58,19±0,73a 34,59±0,85c
5 39,51±1,23c 42,90±2,15b 52,31±1,76a 32,10±1,35c
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan adanya
perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05).

Kusumawati et al., (2016) menyatakan bahwa, dibutuhkan 50% spermatozoa


yang hidup untuk dilanjutkan pada tahap IB. Jika mengacu pada ketentuan ini,
maka hanya perlakuan P2 yang dapat lanjutkan pada tahap IB pada hari ke lima,

306
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

sedangkan perlakuan P0 dan P1 dapat digunakan pada hari ke empat. Sedangkan


perlakuan P3 hanya bisa digunakan pada hari ketiga penyimpanan.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa viabilitas spermatozoa kambing


kacang pada hari ke-5 penyimpanan menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
antara perlakuan P0, P3 P1 dengan P2. Tetapi Rendahnya nilai viabilitas semen
kambing kacang pada perlakuan P0 dan P3 di disebabkan karena perlakuan P0
tidak mendapat penambahan susu kacang kedelai. Namun pada perlakuan P3
mendapat penambahan susu kacang kedelai sebanyak 15% sehingga persetase
yang terlalu tinggi dapat menurunkan viabilitas spermatozoa. Sedangkan
perlakuan P1 viabilitas dicapai 42,90±2,15% hal ini disebabkan persentasi susu
kacang kedelai hanya 5% sehingga komposisi bahan pengencer yang ada belum
mampu menyediakan kebutuhan spermatozoa yang seimbang sehingga pengencer
cenderung bersifat asam. Pada perlakuan P2 viabilitas pada hari ke lima
penyimpanan masih memperlihatkan 52,31±1,76% spermatozoa yang bertahan
hidup. Hal ini dpengaruhi oleh ketersediaan bahan pengencer yang lengkap dan
seimbang dalam mempertahankan viabilitas spermatozoa kambing kacang.
Danang et al., (2012), menyatakan bahwa penurunan kualitas spermatozoa
dipengaruhi bertambahnya lama simpan nutrisi spermatozoa dalam pengencer
ikut mengalami penurunan.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengencer sitrat dengan
penambahan susu kacang kedelai dapat mempertahankan motilitas dan viabilitas
spermatozoa dengan perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P2 dengan
persentase susu kacang kedelai sebesar 10%.

Daftar Pustaka
Arifiantini, R.I., dan Purwantara, B. 2010. Motility and viability of Friesian
Holstein spermatozoa in three different extender stored at 5 0C. Journal of The
Indonesian Tropical Animal Agriculture, 35(4), 222-226.
Danang, D.R., Isnaini, N., dan Trisunuwati, P. 2012. Pengaruh lama simpan
semen terhadap kualitas spermatozoa ayam kampung dalam pengencer ringer’s
pada suhu 4 0C. Ternak Tropika Journal of Tropical Animal Production, 13(1),
47-57.
Fafo, M., Hine, T.M., dan Nalley, W.M. (2016). Pengujian Efektivitas Ekstrak
Daun Kelor Dalam Pengencer Sitrat-Kuning Telur Terhadap Kualitas Semen
Cair Babi Landrace. Jurnal Nukleus Peternakan, 3(2), 184-195.
Hardijanto, S.S., Hernawati, T., Sardjito, T., dan Suprayogi, T.W. 2010. Buku
Ajar Inseminasi Buatan. Surabaya: Universitas Airlangga.
Kusumawati, E.D., Leondro, H., Krisnaningsih, A.T.N., Susilawati, T., Isnaini,
N., dan Widhad, R. 2016. Pengaruh suhu dan lama simpan semen segar
terhadap motilitas dan abnormalitas spermatozoa Kambing Peranakan Etawa
(PE). Seminar Nasional Hasil Penelitian. Hal (pp. 199-208).
Ogbuewu, I.P., Aladi, N.O., Etuk, I.F., Opara, M.N., Uchegbu, M.C., Okoli, I.C.,
dan Iloeje, M.U. 2010. Relevance of oxygen free radicals and antioxidants in
sperm. Research Journal of Veterinary Sciences, 3, 138-164.

307
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Rahayu, W., dan WM, A.P. 2014. Kualitas semen segar Kambing Boer pada
temperatur penyimpanan 4 0C dengan menggunakan pengencer sitrat dan
suplementasi susu kedelai bubuk. Biotropika: Journal of Tropical
Biology, 2(1), 55-60.
Steel dan Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Biometrik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

308
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH LEVEL MADU SUMBA DALAM PENGENCER TRIS


KUNING TELUR TERHADAP KUALITAS SEMEN SAPI SUMBA
ONGOLE

Yulius Wulang Kamataramu1,*, Alexander Kaka2, Yessy Tamu Ina3


1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi , Universitas
Kristen Wira Wacana Sumba
2,3
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi , Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: yuliuswulang6@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas semen segar sapi Sumba
Ongole (SO) yang diencerkan pada pengencer Tris kuning telur dengan level
madu. Materi yang digunakan berupa semen segar pejantan Sapi Sumba Ongole.
Penelitian mengunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 4 perlakuan
dan 5 ulangan, P0 (100 % TKT), P1 (99 % TKT + 1 % Madu), P2 (98 % TKT + 2
% Madu), dan P3 (97 % TKT + 3 % Madu). Parameter yang diamati adalah
warna, bau, konsistensi, pH, volume, motilitas, viabilitas dan abnormalitas
spermatozoa. Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik semen normal,
warna semen putih krem, volume semen 4,6 ml, konsistensi sedang, pH 6,3, bau
khas sapi SO, motilitas 80 %, gerakan massa +++, konsentrasi 758 juta/ml,
viabilitas 74,24% dan abnormal 16,12 % dan kualitas spermatozoa menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara empat perlakuan. Motilitas dan
viabilitas spermatozoa pada masing-masing perlakuan mampu bertahan hingga
hari ke-3. Karakteristik spermatozoa sapi SO berkategori normal. Pengencer TKT
dengan penambahan level madu mampu mempertahankan kualitas spermatozoa.

Kata Kunci: sapi sumba ongole, tris kuning telur, madu, kualitas semen

Pendahuluan
Sapi sumba ongole (SO) merupakan komoditas unggulan yang perlu
dikembangkan dan dilestarikan untuk mendukung ketahanan pangan hewani
dalam negeri. Salah satu upaya pengembangan sapi SO melalui peningkatan mutu
genetic dengan pemanfaatan teknologi reproduksi peternakan seperti teknik
Inseminasi Buatan (IB). IB merupakan salah satu teknologi reproduksi yang
mampu dan telah terbukti meningkatkan perbaikan mutu genetik ternak (Yulyanto
et al., 2014).

Keberhasilan IB tergantung pada kualitas semen yang di gunakan, upaya untuk


mempertahankan kualitas semen dapat di lakukan melalui pengenceran semen
menggunakan bahan pengencer. Pengencer yang baik bagi spermatozoa sapi SO
harus mampu menyediakan nutrisi bagi kebutuhan spermatozoa selama
penyimpanan dan memungkinkan sperma dapat bergerak secara progresif, tidak
bersifat racun dan melindungi spermatozoa dari cekaman dingin, sebagai
penyangga sehingga dapat mencegah perubahan pH, mempertahankan tekanan

309
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

osmotic dan keseimbangan elektrolit serta mengandung antibiotik yang dapat


mengurangi pertumbuhan bakteri.

Salah satu bahan yang diharapkan dapat menjadi alternatif pengencer sapi SO
adalah madu. Madu merupakan sumber energi dan berperan sebagai anti
coldshock serta memiliki daya anti bakteri (Sari et al., 2015). Sedangkan
pengencer tris kuning telur sebagai penyangga untuk menstabilkan pH,
mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit dan melindungi
sprematozoa dari kejutan dingin (Novita et al., 2019).

Penambahan berbagai level madu dalam pengencer tris kuning telur diharapkan
dapat mempertahankan kualitas spermatozoa selama proses pengenceran dan
penyimpanan untuk mendukung program IB. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh level madu sumba dalam pengencer tris kuning telur
terhadap kualitas semen sapi sumba ongole.

Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2021 yang berlokasi
Kambaniru, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur sebagai tempat
penampungan semen. Sedangkan evaluasi dan pengenceran semen dilakukan di
Laboratorium Terpadu Universitas Kristen Wira Wacana Sumba.

Materi Penelitian
Materi yang digunakan adalah semen berasal dari 1 ekor Sapi SO jantan dengan
kondisi tubuh yang sehat dan bereproduksi normal serta terlatih. Semen yang di
hasilkan di tampung dengan mengunakan vagina buatan dilakukan 1 kali dalam
seminggu. Peralatan yang digunakan terdiri dari vagina buatan, thermometer,
tissue, pH meter, alminium foil, gelas obyek, gelas penutup, pipit mikroskop,
gelas piala, gelas ukur, tabung erlenmeyer, corong gelas, pemanas air, lilin, pinset,
pipet, lemari es, tabung reaksi, gelas piala. Sedangkan bahan yang digunakan
berupa NaCI fisiologis, eosin 2%, dan aquades serta alkohol 96% untuk sterilisasi
alat-alat yang di gunakan.

Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan eskperimen dilaboratorium yang terdiri dari:
1). Persiapan alat dan bahan, 2). Persiapan pejantan, 3). Persiapan bahan
pengencer tris kuning telur dan madu, 4). Evaluasi semen secara makroskopis
(volume, warna, konsistensi, pH dan bau) dan mikroskopis (gerakan massa,
gerakan individu, konsetrasi, viabilitas dan abnormalitas), 5). Pengenceran semen
sesuai dengan rancangan acak lengkap yang terdiri 4 perlakuan dan 5 ulangan.
Adapun keempat perlakuan yang dicobakan yaitu: P0 : Pengencer tris kuning telur
(TKT) 100%; P1 = TKT 99% + pengencer madu (PM) 1%; P2 :TKT 98% + PM
2%; P3: TKT 97% + PM 3%. Sedangkan variable penelitian meliputi pengujian
motilitas dan viabilitas spermatozoa. Data evaluasi semen segar dianalisis
menggunakan analisis deskriptif statistik untuk mencari nilai rataan dan nilai
standar deviasi sedangkan data motilitas dan viabilitas dianalisis menggunakan
analisis of varience dan dilanjutkan Duncan (Steel et al., 1993).

310
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil dan Pembahasan


Krakteristik semen segar sapi sumba ongole
Data karakteristik semensapi SO dapat dijabarkan padaTabel 1.Terlihat bahwa
rataan karakteristik semen segar sapi SO yang diperoleh dalam kategori normal.
Dari hasil evaluasi secara makroskopis menunjukkan bahwa volume semen sapi
SO mencapai 4,6 ± 1,5 ml/ejakulat. Warna semen segar sapi yang diperoleh dalam
penelitian ini berwarna putih susu sampai krem dengan konsistensi sedang-kental.
Menurut (Ndeta et al., 2015) bahwa volume semen sapi berkisar antara 5-8
ml/ejakulasi. Sedangkan (Savitri dan Suharyati, 2017) yang mengatakan bahwa
semen sapi normal berwarna putih susu atau krem keputihan dan keruh.
Sedangkan konsistensi yang dicapai dalam kategori sedang sampai kental dengan
rataan pH yang diperoleh 6,64±0,22. Menurut Savitri & Suharyati, 2017)
mengatakan bahwa setiap bangsa sapi mempunyai nilai pH semen segar yang
berbeda-beda.

Tabel 1. Karakteristik semen segar SO


Pengamatan Parameter Mean ± SD
Makroskopis Volume (ml) 4,6 ± 1,5
Warna Putih susu/krem
Konsistensi/kekentalan Sedang
pH 6,3 ± 0,00
Bau Khas Sapi
Mikroskopis Gerakan massa +++
Motilitas individu ( %) 80,00 ± 0,00
Konsentrasi (10⁶/ml) 758,00 ± 484,42
Viabilitas (%) 85,84 ± 3,79
Abnormalitas (%) 16,12 ± 3,07

Hasil evaluasi secara mikroskopis memperlihatkan gerakan massa berkisar


+++/sangat baik, motilitas rata-rata 80,00 ± 0,00%, konsentrasi 758,00 ± 484,42
x106sel/ml, viabilitas 85,84 ± 3,79% dan abnormalitas mencapai 12,24 ± 5,16%.
Menurut (Nugroho et al., 2016) menyatakan bahwa abnormalitas spermatozoa
tidak boleh melebihi melebihi 20%. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh pakan,
umur, frekuensi penampungan dan faktor lainnya (Masyitoh et al., 2018).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Motilitas Semen Sapi SO


Data pengaruh perlakuan terhadap Motilittas Semen Sapi SO dapat dilihat pada
tabel 2. Pada tabel 2 tersebut memperlihatkan pengaruh perlakuan terhadap
motilitas spermatozoa sapi SO. Hasil analisis statistik terhadap pengaruh level
madu dalam pengencer tris menunjukkan adanya pengaruh nyata (P<0,05) pada
setiap perlakuan. Pengaruh pengencer terhadap motilitas spermatozoa terlihat dari
hari ke-0 sampai pada hari ke-3 penyimpanan terutama pada perlakuan P0 dan P1.
Hal ini diduga bahwa semakin rendahnya pengencer madu dalam pengencer tris
kuning telur akan mempengaruh persentase motilitas spermatozoa atau karena
tidak adanya keseimbangan antara pengencer tris dan madu sehingga peran dari
pengencer tris sebagai buffer tidak mampu menstabilkan pH.

311
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap motilitas semen Sapi SO


Pengamatan Perlakuan
hari ke- P0 P1 P2 P3
a a b
0 71,00 ± 4,18 72,00 ± 2,73 78,00 ± 2,73 77,00 ± 2,73b
1 57,00 ± 2,73a 59,00 ± 4,18a 71,00 ± 4,18b 69,00 ± 6,51b
2 35,00 ± 3,53a 44,00 ± 7,41b 61,00 ± 4,18c 58,00 ± 4,47c
3 17,00 ± 2,73a 30,00 ± 5,00b 49,00 ± 6,51d 42,00 ± 4,47c
Keterangan: notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan terdapat
perbedaan nyata (p<0,05) antara setiap perlakuan

Hasil ini membuktikan bahwa penambahan 2% dan 3% level madu dalam


pengencer tris kuning telur dapat mempertahankan motilitas spermatozoa sapi SO
mencapai 49,00 ± 6,51% dan 42,00 ± 4,47%. Dari data persentase tersebut terlihat
bahwa perlakuan P2 dengan level 2% madu merupakan pengencer terbaik dalam
mempertahankan motilitas spermatozoa. Hasil ini mengindikasikan bahwa
pengencer tris kuning telur dengan penambahan pengencer madu 2 dan 3%
terdapat keseimbangan sehingga mampu menyediakan nutrisi dan melindungan
spermatozoa sapi SO selama proses penyimpanan 3 hari. Selain itu, pengencer
tris kuning dengan penambahan madu menjalankan fungsinya masing-masing,
dimana tris kuning mengandung lecitin dan lippo protein sebagai sumber energi
untuk melindungi dari kejutan dingin serta melindungi spermatozoa. Menurut
Novita et al., (2019), fungsi tris kuning telur sebagai penyangga atau buffer,
menstabilkan pH, mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit,
melindungi spermatozoa dari kejutan dingin. Madu mengandung glukosa dan
fruktosa yang berfungsi sebagai energi dan juga sebagai antioksidan dan anti cold
shock (Malik et al., 2017).

Pengaruh perlakuan terhadap Viabilitas semen Sapi (SO)


Viabilitas merupakan daya hidup spermatozoa yang dapat menjadi faktor penting
keberhasilan inseminasi buatan.Viabilitas semen sapi SO pasca pengenceran dapat
disajikan pada tabel 3 dibawah

Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap viabilitas semen Sapi (SO)


Pengamatan Perlakuan
hari ke- P0 P1 P2 P3
a a b
0 70,72 ± 0,72 70,73 ± 0,58 72,50 ± 1,09 71,24 ± 0,58a
1 58,24 ± 1,74a 61,75 ± 1,38b 66,89 ± 2,01d 64,13 ± 1,53c
2 45,26 ± 2,26a 52,83 ± 2,05b 60,47 ± 1,72c 58,88 ± 1,55c
3 16,27 ± 2,73a 23,84 ± 3,70b 51,05 ± 4,44c 50,33 ± 1,68c
Keterangan: notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan terdapat
perbedaan nyata (p<0,05) antara setiap perlakuan

Berdasarkan hasil analisis ragam persentase viabilitas semen sapi SO diketahui


bahwa persentase tris kuning telur dalam penembahan level madu pada semsen
sapi SO selama 3 hari, menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) dalam
setiap perlakuan P0, P1, P2 dan P3 terhadap kualitas semen sapi SO. Pada
perlakuan P2 dan P3 mampu memberikan nilai tertinggi dengan kualitas

312
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pengencer tris kuning telur dalam penambahan level madu 2% dan 3%, dengan
nilai 51,05 ± 4,44% dan 50,33 ± 1,68%. Hal tersebut pengencer tris kuning telur
dan madu membuktikan bahwa pengencer ideal sehingga mampu melindungi dan
menyediakan nutrizi spermatozoa selama 3 hari. didukung oleh (Ndeta et al.,
2015) menyatakan bahwa pengencer yang ideal memiliki beberapa persyaratan
antara lain dapat menyediakan sumber energi (karbohidrat) mengandung bahan-
bahan yang dapat melindungi spermatozoa terhadap efek pendinginan dan
pembekuan, bersifat buffer yang berguna mencegah perubahan pH yang
membunuh spermatozoa akibat terbentuknya asam laktat.

Hal ini Rendahnya nilai viabilitas semen sapi SO pada perlakuan P0 dan P1 pada
hari ke-3 disebabkan karena kemungkinan persentase madu dalam pengencer
terlalu rendah sehingga belum mampu menyedidakan nutrisi bagi spermatozoa
selama penyimpanan. Menurut Jacket (2013) melaporkan bahwa penurunan
viabilitas dapat terjadi akibat suhu dingin, ketersedian energi dalam pengencer
makin berkurang dan menurunnya pH karena terjadi peningkatan asam laktat hasil
metabolisme, adanya kerusakan membran plasma, dan akrosom, lebih rendah dari
kontrol.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh pemberian level
madu dalam pengencer tris kuning telur dapat mempertahankan motilitas dan
viabilitas spermatozoa dengan perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P2 dan
P3 dengan penembahan pengencer maadu sebesar 2% dan 3%.

Daftar pustaka
Jacket, W.W. 2013. Daya hidup spermatozoa Sapi Limousin yang dipreservasi
dengan metode water jacket dan free water jacket, 14(3), 379–386.
Malik, A., Fauzi, R., Zakir, M.I., dan Sakiman, S. 2017. Subtitusi madu asli
pengganti gliserol dalam pembekuan pada kualitas pasca-thawing spermatozoa
Sapi Bali. Acta Veterinaria Indonesiana, 5(2), 98–104.
Https://Doi.Org/10.29244/Avi.5.2.98-104
Masyitoh, H., Suprayogi, T.W., Praja, R.N., Srianto, P., Madyawati, P., dan
Saputro, A.L. 2018. Persentase motilitas dan viabilitas spermatozoa Kambing
Sapera dalam pengencer tris kuning telur dan susu skim kuning telur before
freezing. In J Med Vet (Vol.1,Issue3). Https://E-Journal.Unair.Ac.Id/Jmv.
Ndeta, A.K., Belli, H.L.L., dan Uly, K. 2015b. Pengaruh sari wortel dengan level
yang berbeda pada pengencer sitrat kuning telur terhadap motilitas, viabilitas,
derajat keasaman spermatozoa Babi Landrace, Via. 2(2), 117-128.
Nugroho, Y., Susilawati, T., dan Wahjuningsih, S. 2016. Kualitas semen sapi
limousin selama pendinginan menggunakan pengencer Cep-2 dengan
penambahan berbagai konsentrasi kuning telur dan sari buah jambu biji
(Psidium Guajava). J. Ternak Tropika (Vol. 15, Issue 1).
Novita, R., Karyono, T., dan Rasminah. (2019). Kualitas semen Sapi Brahman
pada persentase tris kuning telur yang berbeda. Jurnal Sain Peternakan
Indonesia, 14(4), 351–358. https://doi.org/10.31186/jspi.id.14.4.351-358
Sari, N.M. D.P., Bebas, W., dan Trilaksana, I.G.N.B. 2015. Madu meningkatkan
kualitas semen kalkun selama penyimpanan, 7(2), 164–171.

313
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Savitri, F., dan Suharyati, S. 2017. Kualitas semen beku Sapi Bali dengan
penambahan berbagai dosis Vitamin C pada bahan pengencer skim kuning
telur.
Steel, R.G.D., dan Torrie, J.H. 1991. Prinsib dan Prosedur Satistika: Suatu
Pendekatan Biometrik (Bambang Sumantri, Ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Yulyanto, C.A., Susilawati, T., dan Ihsan, M.N. 2014. Penampilan reproduksi sapi
Peranakan Ongole (PO) dan sapi Peranakan Limousin di Kecamatan Sawoo
Kabupaten Ponorogo dan Kecamatan Tugu Kabupaten Trenggalek Cahyo.
Jurnal Lmu-Ilmu Peternakan, 24 (2), 49–57.

314
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH LEVEL SUSU SKIM DALAM PENGENCER TRIS


TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA SUMBA ONGOLE

Fiktor Ngguli Hunggu Mila1,*, Alexander Kaka2, Yessy Tamu Ina3,


1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi,Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
2,3
Program Studi Peternakan,Universitas Kristen Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: fiktormila96@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Level Susu Skim Dalam
Pengencer Tris Terhadap Kualitas Spermatozoa Sumba Ongole. Materi yang
digunakan berupa semen segar pejantan sapi SO. Penelitian mengunakan
Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 3 perlakuan dan 4 ulangan, P0 (100 %
tris), P1 (88 % tris + 12 % Susu skim), dan P2 (86 % tris + 14 % Susu skim).
Parameter yang diamati adalah warna, bau, konsistensi, pH, volume, motilitas,
viabilitas dan abnormalitas spermatozoa. Hasil penelitian menunjukan bahwa
karakteristik semen normal, warna semen putih krem, volume semen 4,6 ml,
konsistensi sedang, pH 6,3, bau khas sapi SO, motilitas 82,50%, gerakan massa
+++, konsentrasi 1.1675 juta/ml, viabilitas 73,40% dan abnormal 6,03%dan
kualitas spermatozoa menunjukkanterdapat perbedaan yang signifikan antara
ketiga perlakuan. Motilitas dan viabilitas spermatozoa pada masing-masing
perlakuan mampu bertahan hingga hari ke-3. Karakteristik spermatozoa sapi SO
berkategori normal. Pengencer tris dengan penambahan Susu Skim mampu
mempertahankan kualitas spermatozoa.

Kata Kunci: sapi sumba ongole, tris, susu skim, kualitas semen.

Pendahuluan
Sapi Sumba Ongole (SO) merupakan salah satu sapi lokal di Indonesia yang telah
menyebar dan beradaptasi dengan baik di Pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Sapi SO memiliki peluang dan potensi yang cukup baik untuk
dikembangkan sebagai penghasil daging dalam Negeri. Salah satu upaya
peningkatan produktivitas dan mutu genetik sapi SO dapat dilakukan melalui
aplikasi IB. Menurut Lodu et al. (2021) bahwa keberhasilan program IB pada
ternak tidak hanya ditentukan oleh kualitas semen yang diejakulasikan pejantan,
tetapi juga bergantung pada kesanggupan untuk mempertahankan kualitas,
memperbanyak volume semen dan keterampilan dari inseminator.

Kendala dalam pelaksanaan IB menggunakan semen cair adalah daya tahan hidup
spermatozoa hanya mampu bertahan 2-3 jam. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut perlu ditambahkan bahan pengencer sehingga spermatoza dapat bertahan
lama. Beberapa bahan pengencer yang umum digunakan sebagai bahan pengencer
semen pada ternak sapi antara lain tris Hoesni (2016) fruktosa Safitri et al.
(2018), asamsitrat Novita et al. (2019), nira lontar Kaka & Ina, (2021) dan
Beltsville Thawing Solution yang dimodifikasi dengan susu kedelai (Lodu et al.,
2021)

315
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Bahan pengencer yang digunakan dalam penelitian ini adalah tris dan susu skim.
Pengencer tris berfungsi sebagai bahan penyangga untuk mencegah terjadinya
cold shock akibat penurunan temperatur yang mendadak, perubahan pH akibat
asam laktat, serta mempertahankan tekanan osmotik, keseimbangan eloktrolit dan
sumber energi (Hoesni, 2016). Susu skim berfungsi sebagai sumber energi. Susu
skim mengandung zat nutrisi serta mengandung zat lipoprotein dan lesitin
sehingga dapat digunakan dalam pengencer semen untuk melindungi spermatozoa
dari cekaman dingin (Safitri et al., 2018). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui Pengaruh Level Susu Skim Dalam Pengencer Tris Terhadap Kualitas
Spermatozoa Sumba Ongole.

Metode
Lokasi penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Kelurahan Kambaniru, Kecamatan Kambera,
Kabupaten Sumba Timur sebagai tempat penampungan semen. Sedangkan
evaluasi pengenceran serta penyimpanan semen, dilakukan di Laboratorium
Terpadu Universitas Kristen Wira Wacana Sumba. Penelitian ini berlangsung dari
bulan Juni sampai Juli 2021.

Materi penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah semen Sapi SO jantan, tris,
fruktosa, asam sitrat, susu skim, aquabides, NaCI fisiologis, eosin 2%, dan
aquades sedangkan alkohol 96% untuk sterilisasi alat-alat yang digunakan.
Sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah vagina buatan,
thermometer, tissue, pH meter, alminium foil, gelas obyek, gelas penutup, pipit
mikroskop, gelas piala, gelas ukur, tabung erlenmeyer, corong gelas, pemanas air,
lilin, pinset, pipet, lemari es, tabung reaksi, gelas piala

Metode penelitian
Metode penelitian ini menggunakan eskperimen dilaboratorium yang terdiri dari:
1). Persiapan alat dan bahan, 2). Persiapan pejantan, 3). Persiapan bahan
pengencer tris dan susu skim, 4). Evaluasi semen secara makroskopis (volume,
warna, konsistensi, pH dan bau) dan mikroskopis (gerakan massa, gerakan
individu, konsetrasi, viabilitas dan abnormalitas), 5). Pengenceran semensesuai
denganrancangan acak lengkap yang terdiri 3 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun
ketiga perlakuan yang dicobakan yaitu: P0 : Pengencer tris 100%; P1 = tris 88% +
susu skim 12%; P2 : tris 86% + susu skim14%. Sedangkan variabel penelitian
meliputi karakteristik semen segar, pengujian motilitas dan viabilitas
spermatozoa. Data evaluasi semen segar dianalisis menggunakan analisis
deskriptif statistik untuk mencari nilai rataan dan nilai standar deviasi sedangkan
data motilitas dan viabilitas dianalisis menggunakan analisis of varience dan
dilanjutkan dengan uji Wilayah Ganda Duncan (WGD) (Effendi et al., 2008).

316
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil dan pembahasan


Karakteristik semen segar sapi SO
Karakteristik semen segar sapi SO hasil pengamatan secara makroskopis dan
mikroskopis.

Tabel 1. Karakteristik semen segar Sapi SO


Karakteristik semen segar Parameter Mean ± SD
Makroskopis Volume (ml) 4,6±1,51
Warna Putih susu/krem
Konsistensi Sedang
pH 6,3±0,00
Bau Khas
Mikroskopis Motilitas (%) 82,50±2,89
Gerakan massa +++
Kosentrasi (106/ml) 1.1675±498,22
Viabilitas (%) 73,40±3,80
Abnormalitas (%) 6,03±3,1,56

Berdasarkan tabel 1 rataan volume semen yang diperoleh dalam penelitian ini
sebesar 4,6 ± 1,51 ml. Warna semen sapi SO yang diperoleh dari hasil penelitian
ini berwarna putih susu atau krem dengan konsistensi-sedang. Rataan derajt
keasaman (pH) diperoleh 6,3±0,00 dan bau khas sapi SO. Secara umum volume
semen sapi berkisar 5-8 ml (Hoesni, 2016). Menurut Kaka dan Ina (2021) yang
menyatakan bahwa warna semen pada umumnya yaitu berwarna putih kekuningan
atau seperti putih susu. Sedangkan konsistensi yang diperoleh sedang dengan
rataan pH yang diperoleh 6,3±0,00. Menurut Kaka dan Ina (2021) yang
menyatakan bahwa pH semen sapi dalam kategori normal yaitu 6,4-7,8.

Hasil evaluasi secara mikroskopis memperlihatkan gerakan massa berkisar


++/+++, motilitas rata-rata 82,50±2,89, konsentrasi 1.1675±498,226sel/ml,
viabilitas 73,40±3,80%, dan abnormal peroleh 6,03±3,1,56. Menurut Kaka dan
Ina (2021) melaporkan bahwa motilitas semen segar pada sapi potong sebesar 70-
90%. Sedangkan menurut Lodu et al. (2021) yang menyatakan bahwa tingkat
abnormalitas spermatozoa tidak melebihi 20%

Pengaruh perlakuan terhadap motilitas semen Sapi SO


Data pengaruh perlakuan terhadap motilitas semen sapi SO seperti pada tabel 2
terlihat bahwa pemberian pengencer tris dan susu skim menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05) terhadap motilitas spermatozoa sapi SO yang disimpan pada
suhu 3-50c.

317
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Nilai rataan motilitas semen sapi SO


Pengamatan hari ke Perlakuan
- P0 P1 P2
a a
0 85,00±0,00 85,00±0,00 85,00 ± 0,00a
1 58,75±8,53a 67,50±6,45b 78,75 ±2,50b
2 35,00±4,08a 50,00±7,07b 67,50 ± 6,45c
3 17,50±6,45a 22,50±6,45b 46,25 ±4,78c
a-c
superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (p<0,05).

Pada perlakuan P2 memberikan hasil terbaik kemudian dikuti pada perlakuan P1,
P0. Kondisi ini diduga pada perlakuan P2 pemberian tris dan susu skim yang ideal
dimana terjadinya pergantian antara zat-zat nutrisi yang terkandung dalam bahan
pengencer tris dan susu skim untuk mempertahankan motilitas spermatozoa yang
disimpan pada suhu 3-50c selama 3 hari penyimpanan.

Dari hasil rataan masing-masing perlakuan terhadap spermatozoa dapat dilihat


bahwa pada perlakuan P0, P1,menunnjukkan kecenderungan motilitas menurun,
kondisi ini diduga terjadi perubahan pH meskipun belum berakibat fatal terhadap
spermatozoa. Berbagai bahan penyangga dapat dipakai untuk mempertahankan
pH semen, antara lain penyanggah sitrat, tris yang dapat mempertahankan pH dari
kejut dingin (cold shock) sehingga pH tidak mengalami penurunan akibat asam
laktat yang berpengaruh terhadap motilitas spermatozoa. Selain itu diduga karena
perlakuan masih memiliki cadangan energi untuk bertahan hidup dan melakukan
proses metabolisme dengan cara memanfaatkan glukosa. Hal ini sesuai dengan
Hoesni (2016) menyatakan bahwa agar dapat melakukan pergerakan, spermatozoa
membutuhkan energi untuk kelangsungan hidupnya.

Pada perlakuan P0 rataan motilitas spermatozoa terjadi penurunan keadaan ini


diduga karena pada P0 tidak terdapat susu skim sehingga tidak dapat
mempertahankan pH semen netral. Hoesni (2016) bahwa spermatozoa
menghasilkan asam laktat dalam jumlah yang tinggi dari metabolisme fruktosa
sehingga penting untuk memberikan unsur penyanggah didalam medium.
Menurut Lodu et al. (2021) melaporkan bahwa syarat persentase semen untuk
pelaksanaan inseminasi buatan (IB) berdasarkan standar SNI adalah motilitas
spermatozoa minimal 40%.

Pengaruh perlakuan terhadap viabilitas semen Sapi SO


Data pengaruh perlakuan terhadap viabilitas semen sapi SO seperti pada tabel 3
terlihat bahwa pemberian pengencer tris dan susu skim menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05) terhadap persentase hidup spermatozoa sapi SO yang
disimpan pada suhu 3-50C.

318
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Nilai rataan viabilitas spermatozoa


Pengamatan hari ke Perlakuan
- P0 P1 P2
0 72,42 ± 2,00a 72,86±2,60 a
75,34±1,64a
1 53,27± 2,23a 60,26±1,15b 63,64±4,01b
2 32,22± 7,92a 44,40±4,03b 57,84± 4.10c
3 15,91±4,48a 25,65±0.92b 40,74±6,12c
a-c
superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05).

Pada perlakuan P2 memberikan hasil terbaik kemudian dikuti pada perlakuanP1,


P0. Kondisi ini diduga pada perlakuan P2 pengencer tris dan susu skim
mempunyai kandungan penyangga yang terdapat dalam pengencer yang dapat
menetralisir hasil metabolisme seperti asam latktat sehingga spermatozoa dapat
bertahan hidup. Sejalan dengan Rezki et al. (2016) bahwa tris juga berfungsi
sebagai penyangga untuk mencegah perubahan pH. Pada perlakuan P1 dan P0
diduga bahan pengencer tris dan susu skim dalam menetralisir sisa metabolisme
akibat aktifitas spermatozoa meningkat sehingga banyak spermatozoa yang mati,
hal ini sejalan pernyataan Hoesni (2016) terjadinya metabolisme akan
mengakibatkan penimbunan sisa metabolisme, penurunan pH dan kehabisan
bahan keperluan metabolisme, peningkatan suhu semen akan mengakibatkan
kecepatan metabolisme dan aktifitas spermatozoa sehingga spermatozoa mati.
Menurut Lodu et al. (2021) melaporkan bahwa syarat persentase semen untuk
pelaksanaan inseminasi buatan (IB) berdasarkan standar SNI adalah viabilitas
spermatozoa minimal 20%.

Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suplementasi susu skim mampu
mempertahankan motilitas dan viabilitas spermatozoa dengan level 14% pada hari
ke-3 penyimpanan.

Daftar pustaka
Effendi, F.I., Wahjuningsih, S., dan Ihsan, M.N. 2008. Pengaruh pengencer Tris
Aminomethane kuning telur yang disuplementasi sari kulit Manggis (Garcinia
Mangostana) terhadap kualitas semen Sapi Limousin selama penyimpanan
suhu dingin 50C Fredyan. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 25(3), 69–79.
Hoesni, F. 2016. Efek penggunaan susu skim dengan pengencer tris kuning telur
terhadap daya tahan hidup spermatozoa sapi. Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi, 16(3), 46–56.
Kaka, A., dan Ina, A.T. 2021. Kualitas spermatozoa Sumba Ongole dalam
pengencer tris kuning telur dengan penambahan level nira lontar (Borassus
flabelifer L) yang berbeda quality. Jurnal Peternakan Indonesia, 23(3), 255–
261. https://doi.org/10.25077/jpi.23.3.255-261.2021
Lodu, A.U.J., Kaka, A., dan Sirappa, I.P. 2021. Karakteristik dan kualitas semen
Sapi Sumba Ongole dalam pengencer bts yang dimodifikasi dengan susu
kedelai. Jurnal Sains Dan Teknologi Peternakan, 2(2), 64–73.
Novita, R., Karyono, T., dan Rasminah, R. 2019. Kualitas semen Sapi Brahman
pada persentase tris kuning telur yang berbeda. Jurnal Sain Peternakan

319
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Indonesia, 14(4), 351–358. https://doi.org/10.31186/jspi.id.14.4.351-358


Rezki, Z.M., Sansudewa, D., dan Ondo, Y.S. 2016. Pengaruh pengencer
kombinasi sari kedelai dan tris terhadap kualitas mikroskopis spermatozoa
pejantan Sapi PO Kebumen. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 11(2), 67–74.
https://doi.org/10.31186/jspi.id.11.2.67-74
Safitri, A.M., Sardjito, T., Wibawati, P.A., Mustofa, I., Saputro, A.L., dan
Prastiya, R.A. 2018. Kualitas semen segar Sapi Rambon Banyuwangi dalam
pengencer tris kuning telur dan susu skim kuning telur. Jurnal Medik Veteriner,
1(3), 62–67. https://doi.org/10.20473/jmv.vol1.iss3.2018.62-67

320
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

EFEKTIFITAS ANDROMED DALAM PENGENCER NIRA LONTAR


SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANKAN KUALITAS SPERMATOZOA
SAPI SUMBA ONGOLE

Amos Pura Tanya1,*, Alexander Kaka2, Yessy Tamu Ina3


1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
2,3
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: amospuratanya@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektifitas Andromed dalam Pengencer
Nira Lontar Sebagai Upaya Mempertahankan Kualitas Spermatozoa Sapi Sumba
Ongole (SO). Materi penelitian ini menggunakan 2 ekor sapi SO sebagai sumber
semen. Penampungan semen menggunakan vagina buatan yang ditampung 2 kali
dalam seminggu. Semen yang diperoleh dilakukan evaluasi secara makroskopis
yang meliputi volume, warna, konsistensi, pH dan bau. Sedangkan evaluasi
mikroskopis meliputi gerakkan massa, gerakan individu, konsentrasi, viabilitas
dan abnormalitas. Sperma menunjukkan >75% sperma motil dibagi menjadi
empat perlakuan dengan masing-masing pengencer yaitu: P0 = Pengencer
Andromed 100%, P1 = pengencer Andromed 95% + nira lontar 5%, P2 =
engencer Andromed 90% + nira lontar 10%, P3 = engencer Andromed 85% + nira
lontar 15% dan P4 = Andromed 80%+ nira lontar 20%. Hasil analisis of variance
menunjukkan bahwa perlakuan P1 berbeda nyata (P<0,05) antara P0, P3, P4
terhadap kualitas spermatozoa sapi SO. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penambahan nira lontar efektif mempertahankan kualitas spermatozoa
dengan level nira lontar terbaik 5%.

Kata Kunci: sapi sumba ongole, kualitas semen, andromed, nira lontar

Pendahuluan
Sapi sumba ongole (SO) merupakan sumber daya genetik (SDG) ternak sapi lokal
Indonesia yang dikembangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan
wilayah sebaran secara geografis berada di Pulau Sumba (Ditjennak, 2014).
Peningkatan mutu genetic dan produktivitas sapi SO pada kenyataannya tidak
diimbangi oleh performan bibit, kinerja reproduksi yang belum optimal dan
aplikasi teknologi tepat guna yang sangat terbatas terutama di daerah. Melihat
persoalan diatas, maka perlu adanya upaya peningkatan mutu genetik dan
produktivitas sapi SO sebagai langkah untuk mempertahankan eksistensi sapi SO
sebagai plasma nutfah indigenous.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
populasi ternak sapi SO dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan
perbaikan mutu genetik ternak dapat dipercepat dengan penerapan teknologi
inseminasi buatan (IB). Keberhasilan IB tergantung pada kualitas semen,
keterampilan inseminator, cara mempertahankan kualitas semen segar setelah

321
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ejakulasi. Semen segar tidak bertahan lama dalam penyimpanan in vitro, bahkan
penggunaan semen segar pada suhu ruang sebaiknya tidak lebih dari 3 jam
(Kusumawati et al., 2017). Dengan demikian, perlu preservasi semen dengan
bahan pengencer spermatozoa yang mengandung unsur-unsur yang hampir sama
dengan sifat fisik dan kimiawi sperma dan tidak bersifat toksik terhadap
spermatozoa dan organ reproduksi ternak betina. Kandungan gliserol dalam
pengencer andromed yang mampu mempertahankan kualitas spermatozoa dengan
pengencer andromed 65%-79,33% (Savitri et al., 2014). Untuk mengurangi
penggunaan andromed maka perlu ditambahkan bahan pengencer local yang
mengandung karbohidrat. Nira lontar merupakan salah satu sumber karbohidrat
berupa gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa. Sedangkan Susilawati,
(2011), menyatakan bahwa fruktosa adalah gula dasar sebagai sumber energi yang
sangat baik bagi spermatozoa melalui proses fruktoliasis. Pemanfaatan nira lontar
sebagai bahan pengencer semen SO belum banyak dilaporkan, padahal nira lontar
berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengencer semen, mudah diperoleh
serta harga yang relatif murah.Penelitianinibertujuanuntukmengetahuiefektifitas
andromed dalam pengencer nira lontar (Borassus flabeliver L) sebagai upaya
mempertahankan kualitas spermatozoa sapi sumba ongole.

Metode
Materi
Materi yang digunakan adalah volume semen sapi SO yang berasal dari 1 ekor
Sapi Pejantandengan umur ± 3 tahun, kondisi tubuh yang sehat dan berproduksi
normal, serta terlatih. Semen yang dihasilkan ditampung dengan metode vagina
buatan (Johnson et al. 2000).Peralatan yang digunakan meliputi vagina buatan,
thermometer, tissue, pH meter, gelas obyek, gelas penutup, pipet mikroskop, gelas
piala, gelas ukur, tabung erlenmeyer, corong gelas, lilin, pinset, haemocytometer,
objek glass, spoit, gelas ukur, alat tulis, cover glass, kertas saring, kertas lakmus,
kulkas, tabung reaksi. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pengencer
andromed, nira lontar, aquabides, alcohol 70%, eosin 2%.

Persiapan penjantan
Berasal dari 1 ekor pejantan sapi Sumba Ongole dengan umur ±3 tahun sebagai
pejantan dan menggunakan sapi betina dewas ±3 tahun sebagai pemancing yang
tujuan untuk meningkatkan libido ternak jantan.

Evaluasi semen
Secara makroskopis terdiri dari: Volume semen, dapat diamati dari angka yang
ada pada dinding tabung dengan cara meletakkan tabung reaksi berskala dengan
posisi tegak lurus. Angka yang terbaca adalah volume dari satu kali ejakulasi
libido serta volume dan konsentrasi spermatozoa menurun (Limbong, 2008). Bau
semen, dapat diketahui dengan cara mendekatkan hidung pada mulut tabung. Bau
khas semen adalah amis khas sperma. Bau dipengaruhi oleh cairan pada kelenjar
pelengkap (Ichmy, 2010).

Konsistensi semen dapat diamati dengan cara memiringkan tabung dan


kenkentalan semen yang terpantau dari cepat atau lambatnya semen mengalir
kedasar tabung. pH normal pada sapi antara 6,4 – 6,8. pH Semen ≥ 6,4 adalah

322
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

asam dan pH Semen ≤ 6,8 adalah asam basah (Dethan et al., 2010).Sedangkan
secara mikroskopis meliputi Evaluasi secara mikroskopis meliputi gerakan massa,
motilitas, viabilitas abnormalitas dan konsentrasi dan persentase hidup mati
spermatozoa. Semen yang memenuhi syarat motilitas ≥70 dan persentase
abnormalitas spermatozoa tidak lebih dari 20%. Evaluasi dilakukan minimal 200
sel spermatozoa yang diamati menggunakan mikroskop perbesaran dengan 10x40
kali (Herdis, 2015). Evaluasi gerakan masa di lakukan dengan meneteskan satu
tetes semen di atas objek glass dengan pembesaran mokroskopis 10X10. Gerakan
massa digolongkan sangat baik (++) jika terlihat adanya golongan besar, cepat dan
aktif seperti gumpalan awan hitam bergerak secara cepat berpindah-pindah
tempat, baik (++) bila terdapat gelombang-gelombang kecil tipis, kurang jelas dan
bergerak lambat, kurang baik (+) jika tidak terlihat gelombang gerakan-gerakan
individual aktif progresif dan buruk (0) bila ada sedikit gerakan-gerakan
individual. Satu tetes semen dengan dua tetes pewarna eosin 2% dihomogenkan,
lalu dibuat preparat ulas pada gelas objek dan difiksasi menggunakan api lilin.
Pemeriksaan dilakukan dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x40.
Spermatozoa dihitung minimal 200 sel dari 10 lapang pandang. Spermatozoa yang
hidup ditandai dengan tidak menyerap warna (bening) pada bagian kepala.
Sedangkan spermatozoa ditandai dengan menyerap warna eosin pada
kepala.Kosentrasi ditentukan mengunakan kamar hitung Neumbauer dengan cara
mengisap semen sampai tanda 0,5 dengan mengunakan pipet eriosit. Kemudian
dilakukan pengamatan di bawa mikroskopis dengan pembesar 10x40.

Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan 4 ulangan sehingga memperoleh 20
unit percobaan.P0 : Pengencer Andromed 100%; P1 : Pengencer
Andromed 95% + nira lontar 5%; P2 : Pengencer Andromed 90% + nira lontar
10%; P3 : Pengencer Andromed 85% + nira lontar 15%; P4 : Pengencer
Andromed 80% + nira lontar 20%

Evaluasi pasca pengencer dan penyimpanan semen


Evaluasi pasca pengenceran bertujuan untuk memastikan proses pengenceran
semen berhasil dilakukan dengan motilitas ≥70%. Selanjutnya semen yang
memenuhi syarat disimpan pada suhu antara 3-5 0C. Pengamatan semen cair
dilakukan setiap 24 jam penyimpanan.

Pengujian motilitas
Persentase motilitas spermatozoa dinilai secara subjektif kuantitatif dengan
membandingkan spermatozoa motil yang bergerak ke depan (progresif) dan yang
tidak progresif dari 5 lapangan pandang. Penilaian diberikan dari angka 0% (tidak
motil) sampai 100% (motil seluruhnya) (Campbell et al. 2003).

Spermatozoa hidup dan mati (viabilitas)


Spermatozoa dihitung minimal 200 sel dari 10 lapang pandang. Spermatozoa yang
hidup ditandai dengan tidak menyerap warna (bening) pada bagian kepala
(Tambing et al.,2001).
Analisis data

323
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Data yang di analisis menggunakan ANOVA dengan taraf 5%. Apabila perlakuan
menunjukan pengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) (Steell dan Torrie, 1993). Data diolah dengan program SPSS versi
23,0.

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik semen segar
Semen segar diperoleh dari 2 ekor sapi jantan SO yang ditampung 2 kali dalam
seminggu yang dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Karakteristik semen segar


Evaluasi Semen Indikator Penilaian Rataan±Standar Deviasi
Volume (ml) 5,60±0,65
Konsistensi/Kekentalan Sedang-Kental
Makroskopis Warna Putih Krem
pH 6,64±0,22
Bau Khas
Gerakan Massa ++/+++
Motilitas (%) 83,00±2,74
Mikroskopis Konsentrasi (10 juta/sel/ml) 1563,80±311,64
Hidup (Viabilitas) (%) 86,88±2,19
Abnormalitas (%) 7,47±1,61

Berdasarkan tabel 1 diatas, diperoleh rata-rata volume semen sapi SO mencapai


5,60±0,65 ml/ejakulat. Warna semen segar sapi yang diperoleh dalam penelitian
ini berwarna putih krem dengan konsistensi sedang-kental. Rataan derajat
keasaman (pH) diperoleh 6,64±0,22 dan bau khas sapi SO. Secara umum volume
semen sapi normal berkisar antara 5-8 ml (Feradis, 2010). Hasil evaluasi secara
mikroskopis memperlihatkan gerakan massa berkisar ++/+++, motilitas rata-rata
83,00±2,74%, konsentrasi 1563,80±311,646 sel/ml, viabilitas 86,88±2,19% dan
abnormalitas mencapai 7,47±1,61%. Menurut Susilawati (2011), menyatakan
bahwa motilitas semen segar pada sapi potong sebesar 70-90%. Sedangkan Garner
and Hafez (2008) yang menyatakan bahwa tingkat abnormalitas spermatozoa
tidak melebihi 20%.

Pengaruh perlakuan terhadap motilitas


Persentase motilitas spermatozoa sapi SO merupakan salah satu indikator
keberhasilan dari IB. Hasil penelitian terhadap motilitas dapat dijabarkan pada
tabel 2.Pada tabel tersebut memperlihatkan pengaruh perlakuan terhadap motilitas
spermatozoa sapi SO. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan
nyata (P<0,05) antara perlakuan terlihat dari hari ke-1 sampai hari ke-3
penyimpanan. Berdasarkan hasil tersebut bahwa menunjukkanbahwapengencer
andromed dengan penambahan nira lontar efektif mempertahankan kualitas
spermatozoa sapi SO sampai pada hari ke-3 penyimpanan sebagai syarat minimal
IB yakni motilitas 46,25±4,79%.

324
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap motilitas spermatozoa Sapi SO


Motilitas Perlakuan
(hari) P0 P1 P2 P3
ab a bc
0 75,00±4,08 78,75±2,50 72,50±2,89 68,75±2,50cd
1 62,50±6,45b 72,50±2,89 a 61,25±4,79b 53,75±4,79c
2 50,00±9,12b 62,50±2,89 a 47,50±6,45b 43,75±4,79 bc
b a ab
3 33,75±7,50 46,25±4,79 37,50±6,45 27,50±6,45 bc
Keterangan: a,b,c Superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata (P<0,05)

Pengaruh perlakuan terhadap persentase hidup


Pengaruh konsentrasi nira lontar terhadap persentasi spermatozoa dapat dilihat
pada table 3.Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa persentase hidup
spermatozoa sapiSO menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) antara P1 dan P2
dengan P0 dan P3. Persentase hidup spermatozoa sapi SO terjadi penurunan setiap
hari. Meskipun demikian, perlakuan P1 dan P2 mampu mempertahankan
persentase hidup 48% dan 50,70% (Tabel 2). Sedangkan pada perlakuan P0 dan
P3 hanya mempertahankan persentase hidup spermatozoa sapi SO sampai dengan
hari ke tiga penyimpanan. Sedangkan pengencer nira lontar merupakan sumber
energi bagi spermatozoa SO sehingga mampu mempertahankan motilitas
spermatozoa sapi SO sampai pada hari ke-4 penyimpanan

Tabel 3. Viabilitas (hidup mati spermatozoa)


Viabilitas Perlakuan
hidup (hari) P0 P1 P2 P3
0 68,75±5,73a 68,50±4,72 a 67,25±1,50 a 64,00±3,26 a
1 61,00±5,29 a 62,00±2,82 a 57,75±3,94 ab 53,25±3,77b
2 48,00±5,89 a 52,25±5,18 a 46,50±9,67 a 49,00±3,46 a
3 31,25±6,50 b 49,25±6,39 a 39,75±6,65 ab 40,25±5,67 ab
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan adanya
perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa persentase hidup spermatozoa sapi SO


menunjukkan perbedaan nyata (p< 0,05) antara P1 dan P2 dengan P0 dan P3.
Persentase hidup spermatozoa sapi SO terjadi penurunan setiap hari. Meskipun
demikian, perlakuan P1 dan P2 mampu mempertahankan persentase hidup 48%
dan 50,70% (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena pengencer nira lontar
mengandung sukrosa 75-90%. Perbedaan ini disebabkan perbedaan komposisi
masing-masing pengencer terutama penambahan leve nira lontar yang berbeda
dalam pengencer andromed, kondisi ini disinyalir bahwa pengencer hanya mampu
menyediakan kebutuhan spermatozoa sampai dengan hari ke empat penyimpanan

Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan nira lontar efektif
mempertahankan kualitas spermatozoa dengan level nira lontar terbaik 5%.

325
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Daftar Pustaka
Campbell, J.R., Campbell, K.L. and Kenealy, M.D. 2003. Artificial Insemination.
In: Anim. Sci. 4th Ed. New York: Mc Graw-Hill.
Dethan, A.A. 2010. Kualitas dan kuantitas sperma kambing Bligon jantan yang
diberi pakan rumput gajah dengan suplementasi tepung darah. Tesis Program
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ditjennak. 2014. Pemerintah pusat dan daerah berkomitmen melaksanakan
pembangunan peternakan dan kesehatan hewan nasional.
Feradis. 2010. Reproduksi ternak. Bandung: CV Alfabeta.
Garner, D.L., and Hafez, E.S.E. 2008. Spermatozoa and plasma semen.
Reproduction in Farm Animal.
Herdis, D. 2015. Daya motil dan keutuhan membran plasma spermatozoa domba
Garut (Ovisaries) pada penambahan kolesterol dalam pengencer semen tris
kuning telur. JSTI, 17(1): 18.
Ismaya. 2014. Bioteknologi inseminasi buatan pada sapi dan kerbau. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. ISBN 979-420-848-5.
Ichmy. 2010. Uji persentase motilitas dan daya hidup spermatozoa domba dengan
bahan pengencer. FakultasKedokteranHewan. Surabaya: UniversitasAirlangga.
Johnson L.A, Weitze K.F, Fiser P, Maxwell W.M.C. 2000. Storage of boar semen.
J Anim Sci 62: 143-172.
Kusumawati, E.D., Krisnaningsih, A.T.N., dan Lele, Y.U. 2017. Motilitas dan
viabilitas spermatozo semen sexing menggunakan metode sedimentasi putih
telur dengan pengencer yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian. Universitas Kanjuruhan Malang. 5(1): 171-177
Limbong. 2008. Pengaruh frekuensi perkawinan dan sex ratio terhdap lama
bunting dan litter size pada kelinci persilangan. Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara, Medan. (Skripsi).
Savitri, F.K., Suharyati, S. dan Siswanto. 2014. Kualitas semen beku sapi Bali
dengan penambahan berbagai dosis vitamin C pada bahan pengencer skim
kuning telur. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 2(3): 30-36.
Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan prosedur statistika, suatu
pendekatan biometrik. Alih bahasa: B. Sumantri. Bogor: Gramedia Pustaka
Utama.
Susilawati, T. 2011 . Tingkat keberhasilan inseminasi buatan dengan kualitas dan
deposisi semen yang berbeda pada sapi peranakan Ongole. J. Ternak Tropika
12(2): 15-24.
Tambing, S.N., Toelihere, M.R. Yusuf, T.L. dan Sutama, I.K. 2001. Kualitas
semen beku kambing peranakan Etawah setelah ekuilibrasi. Jurnal Ilmu Hayati
8: 70-75.

326
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING KACANG DALAM


PENGENCER ADROMED® YANG SUPLEMENTASI DENGAN
PENGENCER EKSTRAK DAUN KELOR YANG DISIMPAN PADA SUHU
3-5 0C

JitroUmbu Lay Rya1,*, Alexander Kaka2, DenisiusUmbu Pati3


1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
2,3
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: umbujitro333@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas spermatozoa kambing kacang
dalam pengencer adromed® yang suplementasi dengan pengencer ekstrak daun
kelor yang disimpan pada suhu 3-5 0C. Materi penelitian ini menggunakan 2 ekor
kambing kacang sebagai sumber semen. Penampungan semen menggunakan
vagina buatan yang ditampung 2 kali dalam seminggu. Semen yang diperoleh
dilakukan evaluasi secara makroskopis yang meliputi volume, warna, konsistensi,
pH dan bau. Sedangkan evaluasi mikroskopis meliputi gerakkan massa, gerakan
individu, konsentrasi, viabilitas dan abnormalitas. Sperma menunjukkan >75%
sperma motil dibagi menjadi empat perlakuan dengan masing-masing pengencer
yaitu: P0 = Pengencer andromed (AND) 100%, P1 = pengencer AND 95% +
ekstrak daun kelor (EDK) 5%, P2 = pengencer AND 90% + EDK 10%, P3 =
pengencer AND + EDK 15%. Hasil analisis of variance menunjukkan bahwa
perlakuan P1 berbeda nyata (P<0,05) antara P0, P2, P3 terhadap motilitas
spermatozoa dan viabilitas spermatozoa kambing kacang. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penambahan EDK berpengaruh pada motilitas spermatozoa
dengan persentase terbaik yakni 5%.

Kata Kunci: kambing kacang, andromed, ekstrak daun kelor, kualitas semen

Pendahuluan
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatan populasi dan
produktifitas ternak kambing adalah melalui penerapan bioteknologi reproduksi
yakni IB. Untuk mendukung keberhasilan IB diperlukan semen yang memiliki
kualitas baik. Secara umum semen kambing hanya bertahan selama 1-2 jam
setelah koleksi. Selama penyimpanan, kualitas semen dapat menurun karena
selama penyimpanan semen pada suhu 3-50C proses metabolisme spermatozoa
berlangsung baik secara aerob dan anaerob (Husin et al., 2007).

Upaya mempertahankan kualitas semen cair dapat dilakukan dengan cara


pemberian bahan pengenceran yang dapat memenuhi kebutuhan spermatozoa dan
memenuhi syarat pengencer yang baik. Syarat bahan pengencer yang baik adalah
mampu mempertahankan pH semen. Pengencer yang baik tidak bersifat racun
terhadap spermatozoa, mengandung unsur yang sifat fisik dan kimiawinya hamper
sama dengan semen, tetap bias mempertahankan dengan fertilitas spermatozoa,

327
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mengandung buffer, mengandung sumber energi, menghambat pertumbuhan


bakteri (Lestari et al., 2002). Penambahan bahan pengencer ekstrak daun kelor
dalam pengencer adromed diharapkan dapat mempertahankan kualitas
spermatozoa selama proses pengenceran dan penyimpanan untuk mendukung
program IB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas spermatozoa
kambing kacang dalam pengencer adromed yang disuplementasi dengan
pengencer ekstrak daun kelor yang disimpan pada suhu 3-50C.

Metode
Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium terpadu Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Kristen Wira Wacana Sumba. Waktu penelitian selama 4
bulan yang terdiri dari 1 bulan masa persiapan dan penyesuaian (preliminary) dan
2 bulan pengambilan (koleksi) data dan 1 bulan penulisan hasil penilitian.

Materi penelitian
Semen diperoleh dari hasil penampungan 1 ekor kambing jantan dengan kondisi
tubuh yang sehat dan bereproduksi normal serta terlatih. Semen yang dihasilkan
ditampung dengan menggunakan vagina buatan. Sedangkan bahan yang
digunakan terdiri dari adromed dan ekstrak daun kelor. Peralatan yang digunakan
terdiri dari tabung penampungan semen, thermometer, tissue, pH meter, gelas
obyek, gelas penutup, pipet mikroskop, gelas piala, gelas ukur, tabung erlenmeyer,
corong gelas, pemanas air, lilin, pinset, pipet,lemari es, tabung reaksi, gelas piala.

Metodelogi penelitian
Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Persiapan pejantan, 2).
Persiapan alat dan bahan, 3). Evaluasi secara makroskopis dan mikrolopis, 4).
Pengenceran semen, 5). Pengambilan data.Persentase dari data tersebut dianalisis
dengan menggunakan analisis of varience (ANOVA). Jika terjadi perbedaan antar
perlakuan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Prabowo et al.,
2021). Data diolah dengan program SPSS versi 23,0.

Hasil Dan Pembahasan


Karakteristik semen segar Kambing Kacang
Data karakteristik semen segar dapat ditampilkan pada tabel 1. Pada tabel 1
diperoleh volume sebanyak 2,1 ± 0,40 ml. Hasil penelitian ini tergolong tinggi
jika dibandingkan dengan penelitian Kusumawati et al. (2017) memperoleh
volume semen kambing kacang per ejakulasi berkisar antara 0,5-1,5 ml.
Perbedaan volume semen dipengaruhi frekuensi penampungan semen (Lestari et
al., 2002).

Warna semen dalam penelitian ini diperoleh warna putih krem dengan pH 6,5.
Hasil penelitian ini dalam kategori normal yakni warna semen kambing secara
umum putih hingga krem dengan pH berkisar antara 6,4-6,8% (Kusumawati et al.,
2017). Sedangkan konsistensi dalam penelitian ini diperoleh dalam kategori
kental. Semakin kental semen mengindikasikan bahwa konsentrasi spermatozoa
semakin tinggi. Adapun bau semen yang diperoleh dalam penelitian ini yakni bau
khas dari ternak itu sendiri yang artinya semen dalam kategori normal. Bau khas

328
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

semen disertai dengan bau dari ternak tersebut yang menandakan semen tersebut
normal (Kusumawati et al., 2016).

Tabel 1. Kualitas semen segar Kambing Kacang


Parameter Rataan ± Standar Deviasi
Evaluasi secara makroskopis
▪ Volume (ml) 2,1 ± 0,40
▪ Warna Putihkrem
▪ pH 6,5 ± 0,25
▪ Konsistensi Kental
▪ Bau Khas
Evaluasi secara makroskopis
▪ Gerakan massa ++/+++
▪ Motilitas (%) 73,33 ± 2,58
▪ Spermatozoa hidup (%) 74,95 ± 2,40
▪ Abnormal (%) 5,58 ± 2,65
▪ Konsentrasi (juta/ml) 1587,50 ± 553,12

Gerakan massa semen kambing kacang yakni ++ (2+) dengan motilitas mencapai
73,33 ± 2,58%. Menurut Anwar et al. (2019), semen kambing kacang yang
normal berkisar antara 70-85% dengan gerakan massa ++/+++. Konsentrasi
spermatozoa kambing kacang dalam penelitian ini rata-rata mencapai 1587,50±
553,12 x106/ml dan viabilitas rata-rata 74,95±2,40% dan abnormalitas
spermatozoa kambing kacang diperoleh yakni 5,58 ± 2,65%. Meskipun demikian
setiap ternak memiliki perbedaan ini disebabkan adanya variasi bangsa, individu
dan factor lingkungan (Hendri & Afrianti, 2020).

Pengaruh perlakuan terhadap motilitas semen kambing kacang


Data motilitas dijabarkan pada tabel 2. Pada tabel 2 tersebut menunjukan bahwa
selama penyimpanan terlihat adanya penurunan motilitas spermatozoa pada hari 0
hingga hari ketiga penyimpanan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin
bertambahnya spermatozoa yang rusak dan mati akibat suhu dingin, ketersediaan
energy dalam bahan pengencer semakin kurang, semakin menurunnya umur
spermatozoa dan meningkatnya tingkat keasaman semen.

Hasil analisis statistik terhadap motilitas spermatozoa menunjukkan bahwa


perlakuan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P1 dengan P0, P2 dan P3.
Perbedaan tersebut terlihat sejak hari pertama penyimpanan hingga pada
penyimpanan hari ketiga. Hal ini memberi gambaran bahwa perlakuan P1 dengan
level ekstrak daun kelor sebesar 5% menghasilkan motilitas sperma terbaik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pemberian ekstrak daun kelor yang tepat
memberikan hasil yang maksimal untuk mencegah peroksidasi lipid pada
membran plasma spermatozoa dengan cara mencegah atau memutus reaksi rantai
peroksidasi lipid pada spermatozoa, sehingga mampu mengurangi kerusakan
yang terjadi pada membran plasma spermatozoa bahwa daun kelor kaya akan
nutrisi, dengan kandungan antioksidan daun kelor (Rizal et al., 2021).

329
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 2. Rataan motilitas semen segar kambing kacang


Motilitas hari Perlakuan
ke PO P1 P2 P3
0 68,33±2,58 b 73,33±2,58 a 68,33±2,58b 59,17±2,04 c
1 48,33±5,16 b 55,83±3,76 a 40,00±5,45 c 55,83±3,76 c
2 32,50±2,74 b 41,67±2,58 a 22,50±4,19 c 18,33±06,06 c
3 12,50±2,74 b 20,00±4,47 a 10,00±5,48 c 5,83±3,76 c
Ket: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan adanya perbedaan
yang nyata antara perlakuan (P<0,05)

Pengaruh perlakuan terhadap viabilitas spermatozoa


Data pengaruh perlakuan terhadap viabilitas spermatozoa kambing kacang dapat
dilihat pada tabel 3. Hasil analisis statistic menunjukkan bahwa viabilitas
spermatozoa kambing kacang pada hari ke-3 penyimpanan menunjukkan
perbedaan nyata (p<0,05) antara perlakuan P1 dengan P0, P2 dan P3. Penurunan
nilai viabilitas semen kambing pada setiap perlakuan diikuti peningkatan
persentase esktrak daun kelor.

Tabel 3. Rataan viabilitas semen segar Kambing Kacang


Perlakuan
Viabilitas hari ke
PO P1 P2 P3
b a b
0 70,76±3,55 74,96±2,40 71,81±1,74 62,85±3,56c
b a c
1 48,66±4,04 59,27±5,63 41,95±5,72 38,10±4,13c
2 34,71±1,20b 50,00±1,49a 24,30±3,97c 20,40±5,80c
b a b
3 14,47±2,86 20,59±6,03 11,79±6,06 7,81±4,98c
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan adanya
perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05).

Rendahnya nilai viabilitas spermatozoa kambing kacang diduga akibat


penambahan ekstrak daun kelor. Penambahan vitamin C dan vitamin B3 pada
pengencer semen dapat menyebabkan perubahan pH karena vitamin C bersifat
asam. Spermatozoa sangat peka terhadap perubahan pH medium yang dapat
berdampak pada penurunan kualitas sperma (Rizal dan Herdis, 2010). Pemberian
ekstrak daun kelor yang tepat memberikan hasil yang maksimal untuk mencegah
peroksidasi lipid pada membran plasma spermatozoa dengan cara mencegah atau
memutus reaksi rantai peroksidasi lipid pada membrane plasma spermatozoa,
sehingga mampu mengurangi kerusakan yang terjadi pada membran plasma
spermatozoa. Selain itu, daun kelor kaya akan sumber makro nutrient maupun
mikro nutrien yang jug amengandung β karoten, protein, vitamin C, kalsium, dan
kalium; dan juga bertindak sebagai sumber antioksidan alami. Makro nutrient dan
mikro nutrient tersebut sangat bermanfaat untuk menunjang motilitas sperma
(Johnson et al., 2000). Antioksidan sebagi senyawa yang dapat menunda,
memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid, dengan cara menunda atau
mencegah terjadinya reaksi out oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Shui
et al., 2004).

330
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa motilitas dan viabilitas
spermatozoa kambing kacang dalam pengencer andromed dengan penambahan
ekstrak daun kelor yang berbeda pada suhu 3-5 0C mampu bertahan sampai hari
ke-2 penyimpanan sebagai syarat IB yakni motilitas 41% dan viabilitas
spermatozoa hanya 50%. Sedangkan perlakuan terbaik dalam penelitian ini adalah
perlakuan P1dengan motilitas pada hari ke-3 mencapai 41,67% sebagai syarat IB.

Daftar Pustaka
Anwar, Solihati, N., dan Rasad, S.D. 2019. Pengaruh medium dan lama inkubasi
dalam proses sexing sperma terhadap kualitas semen kambing Boer. Jurnal
Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran, 19(1): 53–61.
Hendri, J., dan Afrianti, F. 2020. Kualitas spermatozoa epididimis Kambing
Kacang dalam bahan pengencer tris kuning telur pada suhu 5 ° C. Jurnal
Peternakan, 17(1): 1–5.
Husin, N., Suteky, T., dan Kususiyah. 2007. Uji kualitas semen Kambing Nubian
dan Peranakannya (Kambing Nubian X PE) serta Kambing Boer berdasarkan
lama penyimpanan. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 2(2): 57–64.
Johnson, L.A., Weitze, K. F., Fiser, P. and Maxwell, W.M.C. 2000. Storage of
boar semen. J Anim. Sci. 62:143-172.
Kusumawati, E.D., Leondro, H., Krisnaningsih, A.T.N., Susilawati, T., Isnaini,
N., dan Widhad, R. 2016. Pengaruh suhu dan lama simpan semen segar
terhadap motilitas dan abnormalitas spermatozoa Kambing Peranakan Etawa
(PE). Seminar Nasional Hasil Penelitian, 409–412.
Kusumawati, E.D., Utomo, K.N., Krisnaningsih, A.T.N., dan Rahadi, S. 2017.
Kualitas semen Kambing Kacang dengan lama simpan yang berbeda pada suhu
ruang menggunakan tris aminomethan kuning telur. Jurnal Ilmu Dan Teknologi
Peternakan Tropis, 4(3): 42.
Lestari, T.P.S., Ihsan, M.N., dan Nurul, I. 2002. Pengaruh waktu simpan semen
segar dengan pengencer andromed pada suhu ruang terhadap kualitas semen
Kambing Boer. J. Ternak Tropika, 15(1): 43–50.
Prabowo, T.A., Peternakan, F., dan Mada, U.G. 2021. Motilitas dan abnormalitas
spermatozoa X dan Y kambing lokal pada berbagai persentase gradient percoll
menggunakan metode swim down. 4(1): 1–8.
Rizal dan Herdis. 2010. Peranan antioksidan dalam meningkatkan kualitas semen
beku. Wartazoa, Vol. 20 No. 3 th 2010.
Rizal, M., Nisa, C., dan Norliani, R. 2021. Daya hidup spermatozoa Kambing
Peranakan Boer yang dipreservasi dengan pengencer laktosa dan ekstrak daun
kelor. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah, 6 (3).
Shui, G., Wong, S.P., Leong, L.P. 2004. Characterization of antioxidants and
change of antioxidant levels during storage of Manilkarazapota L. Agric Food
Chemi, 52: 7834-7841.

331
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PENGENCER ANDROMED YANG DI SUPLEMENTASI


DENGAN NIRA LONTAR TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA
KAMBING KACANG

Yonatan Kambadi Nganggu1,*, Alexander Kaka2, Denisius Umbu Pati3


1
Program Sarjana Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
2,3
Program Studi Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Kristen
Wira Wacana Sumba
*
Email korespondensi: yonatanajha55@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengencer andromed yang di
suplementasi dengan nira lontar terhadap kualitas spermatozoa kambing kacang.
Materi penelitian ini menggunakan 1 ekor kambing kacang sebagai sumber
semen. Penampungan semen menggunakan vagina buatan yang ditampung 2 kali
dalam seminggu. Semen yang diperoleh dilakukan evaluasi secara makroskopis
yang meliputi volume, warna, konsistensi, pH dan bau. Sedangkan evaluasi
mikroskopis meliputi gerakkan massa, gerakan individu, konsentrasi, viabilitas
dan abnormalitas. Motilitas spermatozoa menunjukkan >75% dibagi menjadi
empat perlakuan dengan masing-masing pengencer yaitu: P0: Pengencer
Andromed 100%, P1: Pengencer Andromed 95% + 5% Nira Lontar, P2:
Pengencer Andromed 90% + 10% Nira Lontar, P3 : Pengencer Andromed 85%
+ 15% Nira Lontar, P4: Pengencer Andromed 80% + 20% Nira Lontar. Hasil
analisis of variance menunjukkan bahwa perlakuan P1 berbeda nyata (P<0,05)
antara P0, P2, P3 dengan P4 terhadap motilitas spermatozoa dan viabilitas
kambing kacang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan 5%
nira lontar dapat mempertahankan motilitas dan viabilitas spermatozoa kambing
kacang sampai pada 4 hari penyimpan.

Kata Kunci: kambing kacang, semen, andromed, nira lontar, kualitas


spermatozoa

Pendahuluan
Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Timur dengan kondisi geografis yang sangat cocok sebagai sentra
pengembangan usaha peternakan. Sumba Timur memiliki luasan padang sabana
sebesar 1.150 hektar (BPS, 2014). Ketersediaan padang sabana yang cukup luas
dapat memberikan peluang pada petani/ternak untuk mengembangkan ternak
kambing kacang (Capra aegagrus hircus). Kambing kacang memiliki tubuh yang
relatif kecil, bobot badan dewasa kambing jantan mencapai 24,67 kg dan betina
21,61 (Batubara et al., 2012).
Keberhasilan IB tergantung pada kualitas semen, keterampilan inseminator, bahan
pengencer yang digunakan. Semen segartidakbertahan lama dalam penyimpanan
in vitro, bahkan penggunaan semen segar pada suhu 3 - 5 0C sebaiknya tidak lebih
dari 3 jam (Kusumawati et al., 2017). Untuk mempertahankan kualitas semen
dapat dilakukan dengan menggunakan bahan pengencer yang tepat dan tidak

332
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

bersifat toxic terhadap spermatozoa, mampu mempertahankan fertilisasi


spermatozoa, mengandung buffer, mengandung sumber energi dan menghambat
pertumbuhan bakteri (Susilawati, 2011).
Pengencer andromed merupakan salah satupengencer semen komersial yang tidak
mengandung kuning telur yang di produksi Minitübe Jerman. Pengencer semen
komersial ini selain tidak terkontaminasi mikroorganisme yang berasal dari
kuning telur juga mudah digunakan karena telah tersedia dalam paket siap pakai.
Menurut Savitri et al. (2014), pengencer Andromed mengandung gliserol dan
mampu mempertahankan kualitas semen mencapai 65-79, 33%. Sedangkan Nira
lontar merupakan sumber karbohidrat berupa gula yang berfungsi sebagai substrat
bagi sumber energy krioprotektan atau senyawa kimia yang memiliki kemampuan
melindungi sel sperma dari kerusakan akibat penyimpanan pada suhu yang
sangatrendah, sehingga dapat menunjang dan melindungi spermatozoa selama
proses preservasi/pengawetan.

Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian ini di laksanakan pada bulan April-Juli 2021 yang berlokasi di KM 3,
Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur sebagai tempat
penampungan semen. Sedangkan evaluasi dan pengenceran semen di lakukan di
Laboratorium Terpadu Universitas Kristen Wira Wacana Sumba.

Materi penelitian
Materi yang di gunakan adalah semen berasal dari 1 ekor kambing kacang jantan
dengan kondisi tubuh yang sehat dan berproduksi normal serta terlatih. Semen
yang di hasilkan di tampung dengan mengunakan vagina buatan di lakukan 2 kali
seminggu. Peralatan yang di gunakan terdiri dari vagina buatan, thermometer,
tissue, pH meter, alminium foil, gelas obyek, gelas penutup, pipit mikroskop,
gelas piala, gelas ukur, tabung Erlenmeyer, corong gelas, pemanas air, lilin,
pinset, pipet, lemari es, tabung reaksi, gelas piala. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah andromed, nira lontar, dan aquabides

Metode penelitian
Metode penelitian ini di menggunakan eskperimen dilaboratorium yang terdiri
dari: 1). Persiapan alat dan bahan, 2). Persiapan pejantan, 3). Persiapan bahan
pengencer andromed dan nira lontar, 4). Evaluasi semen secara makroskopis
(volume, warna, konsistensi, pH dan bau) dan mikroskopis (gerakan massa,
gerakan individu, konsetrasi, viabilitas dan abnormalitas, 5). Pengencaran semen
semen sesuai dengan rancangan acak lengkap yang terdiri 5 perlakuan 4 ulangan.
Adapun kelima perlakuan yang di cobakan yaitu: P0: Pengencer Andromed 100%,
P1: Pengencer Andromed 95% + 5% Nira Lontar, P2: Pengencer Andromed 90%
+ 10% Nira Lontar, P3: Pengencer andromed 85% + 15 Nira Lontar, P4:
Pengencer Andromed 80% + 20% Nira Lontar . Sedangkan variabel penelitian
meliputi pengujian motilitas dan viabilitas spermatozoa. Data evaluasi semen
segar di analisis menggunakan analisis deskriptip statistik untuk mencari nilai
rataan dan nilai standar deviasi sedangkan data motilitas dan viabilitas dianalisis
menggunakan Analisis of Variance dan di lanjutkan dengan uji Duncun.

333
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil dan Pembahasan


Krakteristik semen segar kambing kacang
Karakteristik semen segar kambing kacang hasil pengamatan secara makroskopis
dan mikroskopis

Tabel 1. Karakteristik semen segar kambing


Karakteristik semen segar Parameter Mean ± SD
Makroskopis Volume (ml) 0,8±0,15
Warna Putih krem
Konsistensi Sedang-Kental
pH 6,6±0,17
Bau Khas Kambing
Mikroskopis Motilitas (%) 81,25±2,50
Gerakan massa ++-+++
Kosentrasi (106/ml) 187.02
Viabilitas (%) 82,80±0,60
Abnormalitas (%) 6,30±1,02

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa kualitas semen segar kambing
kacang yang digunakan dalam penelitian diatas memiliki kualitas yang baik,
dimana volume semen/ejakulasi berkisar antara 0,8 ml. Hasil ini penelitian ini
dalam kategori normal yakni volume semen segar kambing berkisar antara 0,5-1,5
ml/ejakulasi. Warna semen yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah putih
krem, hal ini sesuai dengan Sekosi et al. (2016) yang menyatakan bahwa warna
semen kambing yang normal adalah putih hingga putih krem. pH semen yang
dihasilkan adalah 6,6, pH normal umumnya berkisar antara 6,4 – 6,8 dengan
konsistensi sedang-kental. Gerakkan massa pada semen diperoleh +++ dengan
rataan motilitas yang dihasilkan dalam penelitian ini mencapai 81,25%, nilai ini
lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kusumawati et al. (2017)
yaitu rataan motilitas semen segar kambing kacang berkisar antara 75,2%.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh umur ternak, pakan, dan manajemen pemeliharaan.
Berdasarkan hasil evaluasi semen segar kambing kacang yang dihasilkan dalam
penelitian diatas mempunyai kualitas yang baik. Hal ditunjukan dengan persentase
motilitas spermatozoa sebesar 81,25%, yang artinya dapat dilanjutkan pada tahap
pengenceran atau IB.

Pengaruh perlakuan terhadap motilitas semen kambing kacang


Data pengaruh perlakuan terhadap motilitas semen kambing kacang seperti pada
tabel 2 memperlihatkan pengaruh perlakuan terhadap motilitas spermatozoa
kambing kacang. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa motilitas
spermatozoa sampai dengan hari ke-4 penyimpanan pelakuan P1 mencapai
45,00±4,08 tertinggi bila dibandingkan dengan perlakuan P0; P2; P3 dan P4
secara berurutan dicapai 33,75±2,50%; 32,50±2,89%; 31,25±2,50 dan
23,75±2,50. Berdasarkan hasil analisis ANOVA terdapat perbedaan nyata
(P<0,05) antara perlakuan P1 dengan P0, P2, P3 dengan P4 dari hari ke-1 sampai
hari ke-4 penyimpanan. Perbedaan ini disinyalir karena komposisi pengencer yang

334
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berbeda dari setiap perlakuan. Pada perlakuan P0 terdapat 100% pengencer


andromed yang berperan sebagai pengencer yang berperan sebagai sumber buffer
sehingga derajat keasamaan relatif stabil.

Tabel 2. Nilai rataan motilitas spermatozoa


Pengamatan Perlakuan
hari ke - P0 P1 P2 P3 P4
0 71,25±2,50 73,75±2,50 68,75±2,50b
ab a
62,50±2,89 58,75±2,50c
c

1 63,75±2,50b 68,75±2,50a 60,00±4,08b 53,75±2,50c 50,00±0,00c


2 55,00±0,00b 65,00±0,00a 51,25±4,79b 45,00±4,08c 41,25±2,50c
3 41,25±2,50b 51,25±2,50a 42,50±2,89b 36,25±2,50c 32,50±2,89c
4 33,75±2,50b 45,00±4,08a 32,50±2,89b 31,25±2,50b 23,75±2,50c
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan adanya
perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05).

Sedangkan pada perlakuan P1 terdapat penambahan 5% nira lontar, dimana nira


lontar merupakan sumber karbohidrat yang dapat dimetabolisir sel spermatozoa
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Meskipun demikian pada
perlakuan P2, P3 dan P4 masing-masing mendapat penambahan 10, 15 dan 29%
nira lontar dalam pengencer menurunkan motilitas spermatozoa. Hal ini diduga
bahwa semakin tinggi persentase nira lontar dapat menurunkan motilitas
spermatozoa yang disebabkan karena nira lontar bersifat asam sehingga peran dari
pengencer andromed sebagai buffer tidak mampu menstabilkan pH. Menurut
Heriyanta et al. (2013) menyatakan, bahwa peningkatan pH dapat mengakibatkan
penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa.

Pengaruh perlakuan terhadap viabilitas semen kambing kacang


Data pengaruh perlakuan terhadap viabilitas semen kambing kacang seperti pada
tabel 3 terlihat bahwa pemberian pengencer andromed dan nira lontar
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap viabilitas spermatozoa
kambing kacang yang disimpan pada suhu 3-5 0C.

Tabel 3. Nilai ratan viabilitas spermatozoa


Pengamatan Perlakuan
hari ke - P0 P1 P2 P3 P4
0 72,28±0,82 77,64±1,98 69,42±0,90 63,85±2,47 61,31±2,84c
b a b c

1 66,15±2,88b 72,43±0,94a 63,65±4,21b 56,40±2,93c 56,40±2,93c


2 61,31±2,37b 68,08±1,44a 59,21±0,92b 49,96±3,20c 46,00±2,46d
3 50,49±2,30b 61,27±1,61a 47,46±4,23b 40,68±2,18c 37,17±3,42c
4 47,65±1,41b 54,79±2,43a 45,91±1,38b 41,99±0,87c 37,27±0,86d
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukan adanya
perbedaan yang nyata antara perlakuan (P<0,05).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa viabilitas spermatozoa kambing


kacang pada hari ke-4 penyimpanan menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
antara perlakuan P1 dengan P0, P2, P3 dengan P4. Tetapi Rendahnya nilai

335
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

viabilitas semen kambing kacang pada perlakuan P2 dan P3 di disebabkan karena


kemungkinan persentase nira lontar dalam pengencer terlalu tinggi karena nira
lontar mempunyai tingkat keasamaan jika disimpan lebih dari 24 jam akibatnya
ikut berpengaruh terhadap nilai viabilitas kambing kacang. Sedangkan Pareira et
al., (2010) melaporkan bahwa penurunan viabilitas dapat terjadi akibat suhu
dingin, ketersedian energi dalam pengencer makin berkurang dan menurunnya pH
karena terjadi peningkatan asam laktat hasil metabolisme, adanya kerusakan
membran plasma, dan akrosom. Sedangkan Danang et al. (2012), menyatakan
bahwa penurunan kualitas spermatozoa dipengaruhi bertambahnya lama simpan
nutrisi spermatozoa dalam pengencer ikut mengalami penurunan.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengencer andromed yang
disuplementasi dengan nira lontar dapat mempertahankan kualitas spermatozoa
kambing kacang sampai dengan 4 hari penyimpanan dengan motilitas mencapai
45,00±4,08%. Sedangkan perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P1 dengan
persentase nira lontar sebesar 5%.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistika Kabupaten Sumba Timur 2014. Sumba Timur dalam
Angka 2014. BPS Sumba Timur. Wangapu.
Batubara A, Mahmilia F, Inounu I, Tiesnamurti B, Hasinah H. 2012. Rumpun
kambing kacang di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta: IAARD Press.
Danang, D.R., Isnaini, N., dan Trisunuwati, P. 2012. Pengaruh lama simpan
semen terhadap kualitas spermatozoa ayam kampung dalam pengencer ringer’s
pada suhu 4 C. Ternak Tropika Journal of Tropical Animal Production, 13(1),
47.
Heriyanta, E., Ihsan, M.N., dan Isnaini N. 2013. Pengaruh umur Kambing
Peranakan Etawa (PE) terhadap kualitas semen segar.
Kusumawati, E.D, Krisnaningsih, A.T.N., dan Lele, Y.U. 2017. Motilitas dan
viabilitas spermatozoa semen sexing menggunakan metode sedimentasi putih
telur dengan pengencer yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian. Universitas Kanjuruhan Malang. 5(1): 171-177.
Pareira G.R., Becker E.G., Siqueira L.C., Ferreira R., Severo C.K., Truzzi V.S.,
Oliveira J.F.C., Goncalves P.B.D. 2010. Assesment of Bovine spermatozoa
viability using different cooling protocols prior to cryopreservation. Italian
Journal of Animal Science 9 : 403- 407.
Savitri, F.K., S. Suharyati, dan Siswanto. 2014. Kualitas semen beku Sapi Bali
dengan penambahan berbagai dosis Vitamin C pada bahan pengencer skim
kuning telur. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 2(3):30-36.
Sekosi, P.P.P., Kusumawati, E.D., dan Krisnaningsih, A.T.N. 2016. Motilitas dan
viabilitas semen segar kambing peranakan etawa (PE) dengan menggunakan
pengencer cauda epididymal plasma (CEP-2) pada lama dan suhu simpan yang
berbeda. Jurnal Sains Peternakan, 4(1), 34-49
Susilawati, T. 2011. Spermatology. Malang: UB Press.

336
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

HUBUNGAN ANTARA UKURAN TUBUH DENGAN BOBOT KARKAS


AYAM KAMPUNG (Gallus domesticus) HASIL SELEKSI PADA
GENERASI KE-DUA

Selly Juniarti1, Eko Wiyanto2,*, Silvia Erina2

1
Mahasiswa Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi
2
Dosen Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi
*
Email korespondensi: ekowiyanto@unja.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keeratan dan bentuk hubungan antara
ukuran tubuh dengan bobot karkas ayam kampung hasil seleksi pada generasi
kedua. Hasil seleksi dari generasi pertama dikelompokkan menjadi dua kelompok
berdasarkan sifat kualitatif yaitu warna bulu (hitam dan non hitam). Materi yang
digunakan adalah DOC sebanyak 120 ekor yang terdiri dari masing-masing
kelompok 60 ekor. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis korelasi
dan regresi linier sederhana. Peubah yang diamati adalah bobot karkas 10 minggu
(peubah terikat), sedangkan untuk peubah bebas yaitu panjang punggung, lingkar
dada, panjang sayap, panjang femur, panjang tibia, dan panjang shank. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bobot karkas dari dua kelompok ayam
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan rataan bobot karkas pada
kelompok ayam hitam sebesar 737,2 ± 93,6 gram dan kelompok non hitam
sebesar 675,7 ± 103,0 gram. Korelasi yang paling erat antara ukuran tubuh dengan
bobot karkas pada kelompok ayam hitam adalah panjang femur dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,822 dengan persamaan regresi Y = 62,640 + 0,032X.
Sedangkan panjang femur pada kelompok ayam non hitam koefisien korelasi
antara ukuran tubuh dengan bobot karkas sebesar 0,936 dengan persamaan regresi
Y = 54,733 + 0,041X. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa panjang femur
memiliki korelasi yang paling erat dengan bobot karkas baik kelompok ayam
hitam dan ayam non hitam, sehingga bisa digunakan sebagai kriteria seleksi untuk
meningkatkan bobot karkas.

Kata Kunci : ayam kampung, korelasi, bobot karkas, ukuran tubuh

Pendahuluan
Ayam kampung (Gallus domesticus) adalah salah satu jenis ternak unggas yang
banyak dipelihara oleh masyarakat secara tradisional dan cukup digemari oleh
masyarakat Indonesia. Ayam kampung berasal dari keturunan ayam hutan (Gallus
– gallus) yang dipelihara untuk kebutuhan hidup masyarakat yang sekarang
disebut ayam kampung (Gallus domesticus). Berdasarkan data dari BPS Indonesia
(2020), populasi ayam kampung di Indonesia pada tahun 2018-2020 diperkirakan
mencapai 308.476.957 ekor dan untuk provinsi Jambi populasi ayam buras
sebanyak 11.202.597.
Ayam kampung umumnya memiliki beberapa keunggulan yaitu sistem
pemeliharaanya yang relatif mudah, tahan terhadap serangan penyakit, memiliki
nilai jual yang tinggi, memiliki cita rasa daging yang enak dan rendahnya

337
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kandungan kolesrtrol. Ayam kampung memiliki daya adaptasi yang tinggi


sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan (Mubarak et al., 2019). Akan
tetapi ayam kampung memiliki beberapa kelemahan yaitu, memiliki pertumbuhan
yang lambat, memiliki produktivitas yang rendah dan dibutuhkan waktu yang
lama untuk dipotong.
Keragaman pada ternak bersumber dari keragaman genetik, keragaman
lingkungan dan keragaman interaksi genetik lingkungan (Lukmanudin et al.,
2018). Ayam kampung memiliki tingkat keragaman tinggi yang disebabkan oleh
keragaman genetik dan keragaman lingkungan. Secara umum peningkatan mutu
genetik pada ternak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, seleksi dan
persilangan. Seleksi akan efektif dilakukan pada saat tingkat keragaman yang
tinggi, seleksi juga memiliki keuntungan yaitu dapat mempertahankan sifat-sifat
asli dari ternak tersebut, akan tetapi seleksi juga memiliki kekurangan yaitu,
dibutuhkan waktu yang lama dan juga biaya yang besar. Seleksi bisa dilakukan
secara langsung atau tidak langsung pada peubah yang menjadi kriteria seleksi.
Seleksi langsung bisa dilakukan pada pertumbuhan atau bobot badan ternak,
sedangkan seleksi tidak langsung bisa dilakukan misalnya pada bobot karkas.
Bobot karkas merupakan salah satu hal yang penting dalam menentukan hasil
produksi ayam kampung. faktor yang mempengaruhi karkas adalah umur, jenis
kelamin, dan bobot badan (Subekti et al., 2012).
Ukuran tubuh ternak berhubungan dengan bobot badan, dan dapat digunakan
untuk mengestimasi bobot badan ternak. Pengukuran ukuran tubuh misalnya
panjang punggung, panjang paha (femur), panjang betis (tibia), panjang ceker
(shank), lingkar dada dan panjang sayap. Berdasarkan hasil penelitian Subekti,
(2011) sifat kuantitatif yang paling beragam adalah panjang tibia untuk ayam
Kampung jantan dan panjang femur untuk ayam kampung betina. Dari
pengukuran setiap bagian tubuh ayam yang akan diteliti bertujuan untuk
mengetahui keeratan dan bentuk hubungan antara ukuran tubuh dengan bobot
karkas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keeratan dan bentuk hubungan
ukuran tubuh dengan bobot karkas ayam kampung hasil seleksi pada generasi
kedua.

Metode
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan Fakultas Peternakan Universitas
Jambi selama tiga bulan.

Materi Penelitian
Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah DOC ayam kampung hasil
seleksi dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat kulitatif (warna
bulu), jumlah DOC sebanyak 120 ekor. DOC didapatkan secara acak dari dua
kelompok ayam hitam dan non hitam. Peralatan yang digunakan dalam penelitian
adalah jangka sorong, pita ukur, kandang, mesin tetas, pisau, plastik, baskom,
timbangan digital, ember, serutan kayu (litter kandang), obat – obatan, lampu 25
watt.

338
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Metode penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan metode percobaan,
Ayam Kampung dipelihara sebanyak 120 ekor, setiap kelompoknya terdiri dari 60
ekor. Pemeliharaan dimulai dari DOC hingga berumur 10 minggu. Ayam
dipelihara di dalam kandang baterai dengan ukuran 1x1x0,5m3 yang digunakan
untuk memelihara sebanyak 6 ekor ayam/kotak. Pakan yang diberikan adalah
pakan komplit merek Novo produksi Charoen Phokpand. Pengambilan data untuk
bobot karkas pada umur 10 minggu, sedangkan untuk pengambilan data pada
ukuran tubuh dilakukan secara langsung pada umur 4,6,8 dan 10 minggu.

Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap (RAL)
dengan memelihara ayam didalam 20 kandang, 10 ulangan, setiap unit terdiri dari
6 ekor ayam. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara
random sampling untuk pengambilan bobot karkas, dari setiap unit diambil 3
ekor. masing-masing kelompok ayam kampung dipelihara sebanyak 60 ekor.

Peubah yang diamati


Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Bobot karkas : umur ayam 10 minggu diperoleh dari hasil penimbangan
setelah ayam dipotong tanpa darah, bulu, kepala, leher, kaki, dan organ dalam
kecuali ginjal dan paru-paru (gram).
2. Panjang punggung : panjang tulang dari perbatasan antara tulang punggung
dengan tulang leher sampai ujung tulang ekor dengan menggunakan pita ukur
(cm).
3. Panjang Femur : dari persendian tulang pangkal paha sampai dengan
persendian pangkal atas tulang tibia, diukur menggunakan pita ukur (cm).
4. Panjang tibia : dari persendian pangkal tulang atas tulang tibia sampai
dengan persendian bawah tulang tibia, menggunakan pita ukur (cm).
5. Panjang sayap : diukur dimulai dari pangkal humerus sampai ujung phalanges
dengan menggunakan jangka sorong (cm).
6. Panjang Shank : diukur sepanjang tulang tarsometatarsus yang diwakili oleh
tulang yang dibentuk dari persatuan tulang metatarsal yang kedua, ketiga dan
keempat menggunakan jangka soron (cm).
7. Lingkar dada, diukur melingkar menggunakan pita ukur dari ujung tulang
sternum dan kembali ke tulang sternum semula (satuan mm).

Analisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis mengunakan analisis korelasi
(Steel and Torrie, 1993) dan regresi linier Sederhana.

Hasil dan Pembahasan


Bobot Karkas
Bobot karkas merupakan suatu gambaran dari produksi daging dari seekor ternak
dan pengukuran untuk bobot karkas merupakan faktor yang penting untuk
mengevaluasi hasil produksi ternak. Hasiil penelitian pada bobot karkas dapat
dilihat pada table satu dibawah ini:

339
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Rataan bobot karkas mutlak ayam kampung kelompok hitam dan non
hitam
Kelompok Ayam Bobot Karkas
Hitam 737,2 ± 93,6a
Non Hitam 675,7 ± 103,0b
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05)

Dari Table 1. hasil uji T pada bobot karkas mutlak dari dua kelompok ayam
menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata (P<0,05) antara kelompok ayam hitam
dan ayam non hitam, dengan rataan bobot karkas mutlak pada kelompok ayam
hitam sebesar 737,2 ± 93,6 dan kelompok ayam non hitam sebesar 675,7 ± 103,0
gram. Bila dibandingkan dengan penelitian Utami et al. (2021) menunjukkan
rataan bobot karkas mutlak ayam kampung sebesar 669,68 ± 98,85 gram, maka
hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian utami, hal ini
dikarenakan bobot karkas dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, umur panen
sistem perkandangan dan lingkungan. Bobot karkas saling berkaitan dengan bobot
potong, semakin besar bobot potong ayam maka semakin besar pula bobot
karkasanya dan juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Daud et al.
(2017) bahwa apabila tingginya laju pertambahan bobot badan ternak maka
semakin besar bobot badan akhir dan bobot karkas yang diperoleh.

Ukuran tubuh
Hasil pengukuran ukuran tubuh pada dua kelompok ayam dapat dilihat pada table
dibawah ini.

Table 2. Rataan ukuran tubuh kelompok ayam hitam dan non hitam dari berbagai
umur
P.
L. Dada P. Sayap P. Femur P. Tibia P. Shank
Kelompok Umur Punggung
(cm) (mm) (mm) (mm) (mm)
(cm)
4 11,3 ± 1,8* 17,0 ± 1,8* 109,4 ± 7,7 45,5 ± 5,6 49,9 ± 5,0 36,2 ± 5,0*
6 14,9 ± 1,6* 20,9 ± 2,3 148,4 ± 12,6 61,0 ± 4,0 69,3 ± 6,3 49,2 ± 4,9
Hitam
8 17,6 ± 1,8* 24,9 ± 2,1 182,4 ± 11,6 73,7 ± 5,1* 88,3 ± 6,9 62,5 ± 4,7
10 19,5 ± 1,7 30,0 ± 2,5 230,0 ± 102,3 84,5 ± 4,5* 102,5 ± 6,0 72,6 ± 5,1
4 10,1 ± 1,5* 15,5 ± 2,0* 104,0 ± 11,2 43,0 ± 7,6 46,8 ± 6,0 33,0 ± 5,1*
Non 6 13,3 ± 1,4* 20,1 ± 1,8 146,68 ± 15,4 58,4 ± 5,5 67,1 ± 7,6 48,6 ± 5,5
Hitam
8 16,5 ± 1,7* 21,3 ± 1,6 179,9 ± 15, 1 69,9 ± 5,6* 84,2 ± 7,7 60,3 ± 5,6
10 19 ± 1,3 29,2 ± 2,6 202,4 ± 19,8 80,8± 5,2* 100,9 ± 6,4 71,1 ± 6,1
Keterangan: * = terdapat perbedaan yang nyata antara ukuran tubuh dengan bobot
karkas (P< 0,05)

340
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Koefisien korelasi (r) antara bobot badan dengan ukuran tubuh ayam
kampung kelompok hitam dan non hitam pada berbagai umur
Kelompok Umur P. Punggung L. Dada P. Sayap P. Femur P. Tibia P. Shank

4 0,201 0,003 0,567 0,708 0,269 0,494


6 0,647 0,692 0,590 0,735 0,457 0,514
Hitam
8 0,221 0,427 0,629 0,485 0,667 0,858
10 0,536 0,775 0,298 0,822 0,756 0,786
4 0,577 0,454 0,633 0,529 0,544 0,611
6 0,291 0,593 0,643 0,737 0,747 0,712
Non Hitam
8 0,193 0,808 0,711 0,754 0,690 0,709
10 0,423 0,614 0,600 0,936 0,788 0,873

Table 4.Persamaan regresi linier sederhana ayam kampung kelompok hitam pada
berbagai umur
Umur P. Punggung L. Dada P. Sayap P. Femur P. Tibia P. Shank

Y= 9,094 + Y= 16,946 + Y= 83,675 + Y= 22,179 Y= 41,976 + Y= 21,602 +


4 0,003X 0,004X 0,037X +0,034X 0,021X 0,021X
Y= 9,009 + Y= 11,647 + Y= 104,355 Y= 43,774 + Y= 52,134 + Y= 34,419 +
6 0,008X 0,013X +0,064X 0,025X 0,025X 0,021X
Y= 16,179 Y= 19,622 + Y= 139,341 Y= 59,189 + Y= 61,170 + Y= 38,743 +
8 +0,002X 0,008X +0,062X 0,021X 0,039X 0,034X
Y= 14,213 Y= 18,433 + Y= 50,032 + Y= 62,640 + Y= 75,694 + Y= 48,958 +
10 +0,008X 0,017X 0,261X 0,032X 0,039X 0,034X

Tabel 5. Persamaan regresi linier sederhana ayam kampung kelompok hitam pada
berbagai umur
Umur P. Punggung L. Dada P. Sayap P. Femur P. Tibia P. Shank

Y= 5,344 + Y =10,688 + Y= 65,918 + Y= 21,349 Y= 29,177 Y= 16,149 +


4 0,008X 0,008X 0,060X +0,034X +0,028X 0,027X
Y=11,755 + Y= 14,471 + Y= 93,371 + Y= 36,763 Y= 36,328 Y= 27,441 +
6 0,003X 0,009X 0,085X +0,034X +0,049X 0,034X
Y=14,719 + Y= 18,039 + Y=122,101 + Y=47,103 + Y= 55,726 Y= 38,757 +
8 0,003X 0,011X 0,092X 0,036X +0,045X 0,034X
Y=15,943 + Y= 20,608 + Y=138,450 + Y= 54,733 Y= 73,857 Y= 42,186 +
10 0,005X 0,014X 0,102X +0,041X +0,043X 0,046X

Berdasarkan hasil analisis pada masing-masing table, terlihat perbedaan rataan


ukuran tubuh, koefisien korelasi dan persamaan regresi dari dua kelompok ayam
yang berdasarkan sifat kualitatif (warna bulu). Data diperoleh dari masing-masing
peubah yang diamati dari berbagai umur mulai dari umur 4, 6, 8, dan 10 minggu.
Hasil uji T dari dua kelompok ayam menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata
antara kelompok ayam hitam dan non hitam, dengan rataan ukuran tubuh pada
kelompok ayam hitam sebesar 84,5 ± 4,5 mm (table 2), dan rataan kelompok
ayam non hitam sebesar 80,8± 5,2 mm (table 2). Koefisien korelasi antara ukuran
tubuh dengan bobot karkas yang paling erat adalah panjang femur pada kelompok
hitam sebesar 0,822 (table 3) dan pada kelompok ayam non hitam sebesar 0,936
(table 3), dengan persamaan regresi pada kelompok ayam hitam sebesar Y =
62,640 + 0,032X (table 4) dan ayam non hitam sebesar Y= 54,733 +0,041X (table
5). Bila dibandingkan dengan penelitian Sitanggang E, N, (2016) koefisien
korelasi ayam kampung pada panjang femur sebesar 10,85 dengan rataan panjang

341
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

femur sebesar 98,47 ±10,688 mm, maka hasil dari penelitian ini pada panjang
femur lebih rendah. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan,
Yatim (1991) menyatakan bahwa perbedaan yang terdapat suatu individu dapat
disebabkan oleh variasi genetik dan lingkungan.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan panjang femur memiliki korelasi yang
paling erat dengan bobot karkas baik kelompok ayam hitam dan ayam non hitam,
sehingga bisa digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan bobot
karkas.

Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Fakultas Peternakan yang telah
membiayai penelitian ini melalui dana DIPA PNBP Fakultas Peternakan
Universitas Jambi Tahun Anggaran 2021.

Daftar Pustaka
Balai Penelitian Ternak, 2011. Ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak). Badan
Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian RI.
BPS. 2020. Populasi ayam kampung di Indonesia dan provinsi Jambi 2018-2020.
Jakarta (Indonesia): Badan Pusat Statistik.
Daud, M., Fuadi, Z., dan Mulyadi, M. 2017. Performan dan persentase karkas
ayam ras petelur jantan pada kepadatan kandang yang berbeda. Jurnal Agripet,
17(1), 67–74.
Lukmanudin, M., Sumantri, C. dan Darwati, S. 2018. Ukuran tubuh ayam lokal
silangan IPB D-1 generasi kelima umur 2 sampai 12 Minggu. Jurnal Ilmu
Produksi Dan Teknologi Hasil Peternakan, 6(3), 113–120.
Mubarak, P.R., Mahfudz, L.D., dan Sunarti, D. 2019. Pengaruh pemberian
probiotik pada level protein pakan berbeda terhadap perlemakan ayam
kampung. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 13(4), 357–364.
Musa, A.M., Idam, N.Z., dan Elamin, K.M. 2012. Regression analysis of linear
body measurements on live weight in Sudanese Shugor Sheep. Online Journal
of Animal and Feed Research, 2(1), 27–29.
Sitanggang E.N , Hasnudi, dan H. 2016. Ayam Kampung, Ayam Katai, Ayam
Birma, Ayam Bagon. Jurnal Peternakan Integratif Vol. 3 No. 2 : 167-189.
Steel R.G.D., Torrie H.T. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Subekti, K. 2011. Karakteristik genetik eksternal Ayam Kampung di Kecamatan
Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan. XIV (2), 74–86..
Utami, S., Wiyanto, E. Ediyanto, H. 2020. Studi tentang pengaruh interaksi
genetik lingkungan (sistem perkandangan) pada tiga jenis ayam kampung
terhadap bobot karkas. Prosiding Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Seminar Nasional II. Jambi: Fakultas Peternakan Universitas
Jambi.
Yatim, W. 1991. Genetika, Edisi IV. Tarsito, Bandung.

342
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

EVALUASI BOBOT KARKAS AYAM KAMPUNG (Gallus domesticus)


HASIL SELEKSI PADA GENERASI KEDUA (G2)

Nadya Indriyani1, Eko Wiyanto2,*, Helmi Ediyanto2


1
Mahasiswa Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi
2
Dosen Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi
*
Email korespondensi: ekowiyanto@unja.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan bobot karkas dan persentase
karkas antara dua kelompok ayam kampung hasil seleksi pada generasi kedua.
Pengelompokan ayam pada generasi pertama (G1) berdasarkan sifat kualitatifnya
(warna bulu) yaitu hitam dan non hitam yang terdiri dari putih, coklat, abu-abu,
dan campuran hitam dan putih. Materi yang digunakan adalah 120 ekor ayam
kampung, masing-masing kelompok 60 ekor. Ayam dipelihara mulai dari DOC
sampai umur 10 minggu kemudian dilakukan pemotongan untuk pengambilan
data. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap
(RAL) dengan 2 perlakuan dan 10 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan uji T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot potong ayam
kampung kelompok berwarna hitam sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dari bobot
potong ayam kampung kelompok berwarna non hitam, masing-masing sebesar
1138,2 ± 135,7 gram dan 1022,4 ± 140,6 gram. Bobot karkas kelompok ayam
kampung kelompok berwarna hitam nyata lebih tinggi (P<0,05) dengan bobot
karkas kelompok ayam kampung berwarna non hitam, masing-masing sebesar
737,2 ± 93,6 gram dan 675,7 ± 103,0 gram. Persentase karkas ayam kampung
kelompok berwarna hitam berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan kelompok ayam
kampung berwarna non hitam, masing-masing sebesar 64,8 ± 1,7% dan 66,1 ±
2,6%. Jika dibandingkan dengan generasi pertama (G1), maka bobot potong dan
bobot karkas pada hasil penelitian ini (G2) lebih tinggi. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah ayam kampung kelompok warna hitam memiliki performans
yang lebih baik untuk dikembangkan pada generasi berikutnya melalui program
seleksi karena terdapat kenaikan bobot potong dan bobot karkas pada generasi
kedua (G2).

Kata Kunci : ayam kampung, generasi kedua, bobot potong, bobot karkas

Pendahuluan
Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang sangat dekat dengan
kehidupan masyarakat. Ayam kampung dapat dijumpai di daerah pedesaan
maupun perkotaan sehingga penyebarannya hampir terdapat diseluruh wilayah
Indonesia. Bila dikaji, 94% ayam kampung berada di pedesaan dan sisanya berada
di perkotaan (Rasyaf, 2011). Terdapat beberapa jenis ayam kampung yang populer
dikalangan masyarakat diantaranya adalah ayam kampung Lokal, ayam KUB dan
ayam kampung Super.

Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasinya yang tinggi


terhadap lingkungan, karena ayam kampung telah hidup di lingkungan tropis

343
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

selama berpuluh-puluh generasi. Sehingga ayam kampung memiliki daya tahan


yang lebih tinggi dibanding ayam broiler. Ayam kampung memiliki cita rasa yang
lebih gurih dibandingkan ayam broiler. Ayam kampung memiliki keragaman yang
tinggi pada sifat kualitatif maupun kuantitatif. Selain sebagai kelemahan,
keragamannya yang tinggi sebenarnya bisa menjadi peluang, karena bisa
digunakan untuk meningkatkan mutu genetik dengan cara seleksi. Menurut Milas
et al. (2020) keragaman sangat penting perannya dalam seleksi ternak karena
nilainya sangat bermanfaat untuk melihat potensi keragaman dalam populasi yang
menjadi landasan untuk tahap pemuliaan selanjutnya.

Bobot karkas merupakan salah satu indikator yang penting dalam menentukan
produktivitas ayam kampung. Oleh karena itu, bobot karkas bisa digunakan
sebagai tolak ukur memilih jenis ayam untuk dipelihara, dan untuk menghasilkan
keturunan serta untuk dijadikan bibit unggul. Upaya peningkatan produktivitas
dari segi genetik dapat dilakukan dengan metode seleksi dan perkawinan silang.
Perbaikan genetik dengan cara seleksi walaupun memerlukan waktu yang lama
namun dapat menghasilkan kualitas produksi yang bisa diwariskan kepada
keturunanya.

Hasil penelitian Utami et al. (2020) pada ayam kampung KUB, Super, dan Lokal
dilakukan seleksi bobot badan pada umur 10 minggu. Ayam kampung yang
terseleksi dikelompokkan berdasarkan sifat kualitatifnya (warna bulu) menjadi 2
kelompok yaitu warna hitam dan non hitam yang terdiri dari putih, coklat, abu-
abu, dan campuran warna hitam dan putih. Dari pengelompokan tersebut dapat
dijadikan dasar untuk pembentukan galur baru, apakah sebagai penghasil daging
atau sebagai penghasil telur. Sehingga nantinya didapatkan jenis ayam kampung
yang cocok dijadikan sebagai penghasil daging atau telur dengan performans yang
tinggi pada beberapa generasi berikutnya. Pada generasi pertama ayam Kampung
umur 10 minggu hasil penelitian Utami et al. (2020) menunjukkan rataan bobot
potong ayam kampung Lokal sebesar 832,41 ± 82,49 gram, ayam kampung Super
sebesar 1006,22 ± 150,52 gram dan ayam KUB sebesar 1035,37 ± 109,97 gram.
Data rataan bobot karkas ayam kampung Lokal sebesar 540,33 ± 68,94 gram,
ayam Kampung Super sebesar 630,93 ± 69,54 gram dan ayam KUB sebesar
665,78 ± 66,34 gram.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan bobot karkas dan persentase
karkas antara dua kelompok ayam kampung hasil seleksi pada generasi kedua.

Metode
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di kandang Percobaan Fakultas Peternakan Universitas
Jambi selama 3 bulan dari bulan Juli 2021.

Materi dan peralatan


Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 120 ekor ayam kampung yang
didapatkan dengan menetaskan 250 butir telur ayam hasil seleksi dari ayam KUB,
Super, dan Lokal. Ransum yang diberikan berupa pakan komplit butiran merk
Novo produksi Charoen Phokpand. Alat-alat yang digunakan adalah tempat air

344
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

minum, tempat pakan, timbangan digital dengan ketelitian 1 gram, 2 unit mesin
tetas dengan kapasitas 200 butir telur, 20 kotak kandang baterai berukuran
1x1x0,5 meter, lampu pijar 25 watt, gunting, peralatan sanitasi, obat-obatan
(vaksin), ember, plastik, pisau, nampan dan alat tulis.

Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan, dengan
memelihara 120 DOC ayam kampung yang masing-masing berjumlah 60 ekor
sampai berumur 10 minggu. DOC didapatkan dengan menetaskan 250 butir telur
ayam hasil seleksi dari ayam KUB, Super, dan Lokal, yang diambil secara acak.
Hasil seleksi dari 3 jenis ayam kampung tersebut, sebelumnya sudah
dikelompokkan berdasarkan sifat kualitatifnya (warna bulu) yaitu warna hitam
dan non hitam, yang masing-masing berjumlah 125 butir telur. Umur telur
maksimal yang dimasukkan dalam mesin tetas adalah 5 hari.

Pemeliharaan ayam kampung selanjutnya dilakukan didalam kandang baterai


dengan ukuran 1x1x0,5 meter. Setiap petak kandang diisi 6 ekor ayam,
Pengambilan data dilakukan pada umur 10 minggu dengan cara pemotongan.

Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 2 perlakuan dan 10 ulangan. Teknik pengambilan sampel pada penelitian
ini dilakukan secara random sampling, masing-masing kelompok ayam kampung
dipelihara sebanyak 60 ekor.

Peubah yang diamati


Peubah yang diamati pada penelitian ini yaitu bobot potong (gram), bobot karkas
(gram) umur 10 minggu dan persentase karkas (%).

Analisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis menggunakan uji T.
Sebelum dianalisa, bobot karkas terlebih dahulu disetarakan ke bobot karkas
jantan dengan menggunakan faktor koreksi jenis kelamin.

Hasil dan Pembahasan


Bobot potong
Rataan dan keragaman bobot potong pada dua kelompok ayam kampung dapat
dilihat pada Tabel 1.

345
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Rataan bobot potong berdasarkan dua kelompok ayam


Kelompok Ayam Bobot Potong (gram)
Non Hitam 1022,4 ± 140,6a
Hitam 1138,2 ± 135,7b
a,b
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)

Berdasarkan hasil uji T, bobot potong ayam kampung warna bulu hitam sangat
nyata lebih tinggi (P<0,01) dari bobot potong ayam kampung warna bulu non
hitam. Hasil pengelompokkan ayam kampung warna bulu hitam ternyata sebagian
besar berasal dari ayam KUB sedangkan ayam kampung warna bulu putih
sebagian besar berasal dari ayam kampung super dan lokal.

Bobot potong ayam kampung pada penelitian Generasi kedua (G2) ini lebih tinggi
dibandingkan pada generasi pertama (G1) hasil penelitian utami et al. (2019)
yang mendapatkan bobot ayam kampung yang dipelihara dikandang baterai
sebesar 1047,61 ± 130,60 gram. sedangkan pada penelitian generasi kedua (G2)
ini mendapatkan bobot potong ayam kampung berwarna hitam yang dipelihara
dikandang baterai sebesar 1138,2 ± 135,7 gram dan ayam kampung berwarna
campuran sebesar 1022,4 ± 140,6 gram.

Bobot karkas
Rataan dan keragaman bobot karkas pada dua kelompok ayam kampung dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan bobot karkas berdasarkan dua kelompok ayam


Kelompok Ayam Bobot Karkas (gram)
Non Hitam 675,7 ± 103,0a
Hitam 737,2 ± 93,6b
a,b
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05)

Hasil uji T menunjukkan bobot karkas kelompok ayam kampung warna bulu
hitam berbeda nyata lebih tinggi (P<0,05) dengan bobot karkas kelompok ayam
kampung berwarna non hitam. Bobot karkas yang berbeda nyata ini disebabkan
oleh bobot potong yang berbeda sangat nyata antar kelompok. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Ardiansyah et al. (2016) bahwa bobot karkas yang berbeda
tidak nyata disebabkan bobot akhir yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal
ini didukung oleh pendapat Fijana, et al. (2012) yang menyatakan bahwa bobot
potong berpengaruh terhadap bobot karkas, apabila pencapaian bobot potong tidak
maksimal, akan mempengaruhi pencapaian terhadap hasil bobot karkas pada ayam
kampung menjadi tidak maksimal pula, begitu juga sebaliknya.

Pada Tabel 2. Dapat dilihat bahwa rataan bobot karkas pada kelompok ayam
berwarna hitam lebih tinggi dibandingkan berwarna non hitam. Perbedaan bobot

346
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

karkas ini bukan disebabkan oleh warna bulu pada ayam kampung, karena warna
bulu merupakan sifat kualitatif. Tujuan pembedaan warna pada penelitian ini agar
nantinya ayam kampung dengan galur baru memiliki ciri khas pada warna yang
sama. Pengelompokkan ayam kampung warna bulu hitam sebagian besar berasal
dari hasil seleksi pada ayam KUB, sedangkan pada pengelompokkan ayam
kampung warna bulu non hitam sebagian besar berasal dari hasil seleksi dari ayam
kampung Super dan Lokal. Ayam KUB memiliki mutu genetik yang lebih baik
dibandingkan ayam kampung lainnya, seperti diketahui bahwa ayam KUB
merupakan merupakan hasil pemuliabiakan yang dilakukan oleh Balai Penelitian
Ternak Ciawi, Bogor (Balai Penelitian Ternak, 2011). Menurut Urfa et al. (2017)
Ayam Kampung Unggul Balitbangtan (KUB) merupakan ayam hasil seleksi ayam
kampung asli Indonesia galur betina (female line) selama enam generasi.
Sedangkan ayam kampung super merupakan ayam yang mampu dipanen dengan
kurun waktu 2 bulan hasil persilangan antara ayam kampung jantan dan ayam
petelur (ras) (Utami et al., 2020).

Bobot karkas pada generasi kedua (G2) lebih tinggi dibandingkan dengan generasi
pertama (G1) hasil penelitian utami et al. (2020) pada ayam kampung yang
dipelihara dikandang baterai yang mendapatkan bobot karkas umur 10 minggu
sebesar 669,68 ± 98,85 gram. Hal ini menunjukkan bahwa ayam kampung
kelompok warna hitam hasil penelitian generasi kedua memiliki mutu genetik
yang lebih baik dan menunjukkan respon seleksi yang positif, artinya bila
diseleksi kembali maka mendapatkan bobot karkas yang lebih baik dari pada
sebelumnya. Sehingga dengan adanya kenaikan bobot karkas generasi kedua
maka diharapkan dapat membentuk suatu galur baru yang dapat diwariskan
kepada keturunannya. Hal ini sependapat dengan Rusdiana dan Soeharsono
(2020) salah satu keunggulan ayam KUB dan Sensi yakni dapat dijadikan bibit
galur betina, dan sebagai bibit parent stock yang dapat dikawinkan dengan
pejantan ayam lokal lainnya.

Koefien keragaman bobot karkas pada kedua kelompok ayam kampung tersebut
relatif tinggi yakni ayam kampung berwarna non hitam dan hitam sebesar 15,2%
dan 12,7%. Hasil penelitian Utami et al. (2020) mendapatkan koefisien
keragaman pada ayam kampung yang dipelihara dikandang baterai sebesar 14,8%.
Keragaman pada ayam kampung tinggi, yakni pada sifat kualitatif dan kuantitatif
ayam kampung (Rafian et al., 2017). Tingginya keragaman bobot karkas ini dapat
dijadikan suatu modal untuk mendapatkan galur baru yang memiliki bobot karkas
lebih tinggi dibandingkan ayam kampung lainnya. Menurut Tantu (2007).
koefisien keragaman pada ayam kampung dapat dijadikan dasar untuk
memperbaiki mutu genetik melalui program seleksi

Persentase karkas
Rataan dan keragaman persentase karkas pada dua kelompok ayam kampung
dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji T menunjukkan persentase karkas ayam
kampung kelompok berwarna hitam berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan
kelompok ayam kampung berwarna non hitam.

347
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Rataan persentase karkas berdasarkan dua kelompok ayam


Kelompok Ayam Persentase Karkas (%)
Non Hitam 66,1 ± 1,7
Hitam 64,8 ± 2,6

Persentase karkas pada generasi kedua (G2) menunjukkan hasil yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan generasi pertama hasil penelitian Utami et al. (2020).
Yang mendapatkan persentase karkas ayam kampung pada kandang baterai
sebesar 63,87 ± 4,15%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kenaikan persentase
karkas dari generasi pertama (G1) ke generasi kedua (G2). Persentase karkas yang
tinggi ini dipengaruhi oleh bobot karkas, apabila bobot karkas tinggi maka
persentase karkas yang didapatkan juga akan tinggi. Menurut Fijana et al. (2012)
persentase karkas ayam dipengaruhi oleh bobot karkas, umur, dan jenis kelamin.

Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ayam kampung kelompok warna bulu hitam
memiliki performans yang lebih baik dibanding warna bulu putih sehingga dapat
dikembangkan pada generasi berikutnya melalui program seleksi karena terdapat
kenaikan bobot potong dan bobot karkas pada generasi kedua (G2).

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Fakultas Peternakan yang telah
membiayai penelitian ini melalui dana DIPA PNBP Fakultas Peternakan
Universitas Jambi Tahun Anggaran 2021. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada fakultas peternakan yang telah mengizinkan menggunakan kandang
percobaan

Daftar Pustaka
Ardiansyah, H., Muharlien dan VM Ani Nurgiartiningsih. 2016. Pengaruh
kandang individu (single cages) dan kelompok (group cages) terhadap bobot
akhir, bobot karkas, lemak abdominal dan efisiensi pakan pada Ayam Arab
Jantan. J. Ternak Tropika. 17(2): 50-57.
Balai Penelitian Ternak. 2011. Ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak). Badan
Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian RI.
Fijana, M.F., Suprijatna, E. Atmomarsono, U. 2012. Pengaruh proporsi pemberian
pakan pada siang malam hari dan pencahayaan pada malam hari terhadap
produksi karkas Ayam Broiler. Animal Agriculture Journal. 1 (1): 697–710.
Milas, Ezri S.S., Josephine L.P. Saerang, Lucia J. Lambey, Ben J. Takaendengan.
2020. Karakteristik fenotipe beberapa sifat kuantitatif ayam kampung di
minahasa. Zootec. 40(2): 603–614.
Rafian, T., Jakaria, dan N. Ulupi. 2017. Keragaman fenotipe sifat kualitatif Ayam
Burgo di Provinsi Bengkulu. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 12(1): 47-54.
Rasyaf, M. 2011. Beternak Ayam Kampung. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rusdiana, S. dan Soeharsono. 2020. Model indsutri ekonomi dan kelembagaan
pada usaha ayam lokal terintegrasi di peternak. Jurnal Ekonomi Pertanian dan
Agribisnis (JEPA). 4(3): 537-553.

348
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tantu, R.Y. 2007. Fenotipe dan genotipe Ayam Hutan Merah (Gallus gallus) dan
Ayam Kampung (Gallus Domesticus) di Watutela dan Ngatabaru Sulawesi
Tengah. Thesis. Program Studi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Urfa, S., H. Indrijani, dan W. Tanwiriah. 2017. Model kurva pertumbuhan Ayam
Kampung Unggul Balitnak (KUB) umur 0-12 minggu. Jurnal Ilmu Ternak.
17(1): 59-66.
Utami, S., E. Wiyanto, H. Ediyanto. 2020. Studi tentang pengaruh interaksi
genetik lingkungan (sistem perkandangan) pada tiga jenis ayam kampung
terhadap bobot karkas. Prosiding Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Seminar Nasional II. Jambi: Fakultas Peternakan Universitas
Jambi.

349
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH SUHU DAN LAMA WAKTU THAWING TERHADAP


KUALITAS SPERMATOZOA SEMEN BEKU SAPI BALI DAN SAPI
MADURA

Brilla Ismaya Safitri1, Sri Wahjuningsih2, Aulia Puspita Anugra Yekti2,*,


Trinil Susilawati2
1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: aulia_pay@yahoo.com

Abstrak
Keberhasilan Inseminasi Buatan salah satunya dipengaruhi oleh teknik thawing
yang dilakukan inseminator. Perbedaan teknik thawing dapat mempengaruhi
kualitas spermatozoa yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh suhu dan lama thawing terhadap kualitas semen beku sapi Bali dan
Madura. Materi yang digunakan adalah 80 straw semen beku sapi Bali dan sapi
Madura. Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan empat perlakuan dan
10 ulangan yaitu thawing dalam air suhu 37℃ durasi 30 detik, 28℃ durasi 30
detik, 28℃ durasi 45 detik dan 28℃ durasi 60 detik. Variabel yang diamati dalam
penelitian ini adalah kualitas spermatozoa yaitu motilitas, viabilitas, abnormalitas,
konsentrasi dan total spermatozoa motil. Data dianalisis menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan ulangan sebagai blok, kemudian motilitas dan
total spermatozoa motil dianalisis Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan
thawing pada durasi 28℃ 45 detik berpengaruh beda sangat nyata terhadap
motilitas (P<0,01); Viabilitas, konsentrasi dan total spermatozoa motil
berpengaruh beda nyata (P<0,05). Abnormalitas tertinggi pada perlakuan dengan
suhu thawing 28℃ dengan durasi 30 detik. Dapat disimpulkan bahwa hasil dari
keempat perlakuan tersebut berada di atas Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pencairan menggunakan air suhu 28℃ dengan durasi 45 detik merupakan metode
terbaik untuk mendapatkan kualitas spermatozoa post thawing.

Kata Kunci: motilitas, viabilitas, abnormalitas, konsentrasi, total spermatozoa motil.

Pendahuluan
Sapi Bali dan sapi Madura merupakan plasma nutfah sapi di Indonesia yang
memiliki potensi untuk diberdayakan sebagai penyokong kebutuhan daging dalam
negeri. Sapi Bali dan sapi Madura memiliki keunggulan antara lain mampu
beradaptasi pada suhu panas, pola pemeliharaan yang apa adanya dengan kualitas
pakan yang rendah, angka pertumbuhan yang cepat, dan penampilan reproduksi
yang baik (Susilawati, 2017). Menurut Kementrian Pertanian Direktorat Jendral
Peternakan dan Kesehatan Hewan (2021) solusi yang diberikan oleh pemerintah
yaitu dengan program Sikomandan atau Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri
yang diluncurkan pada awal tahun 2020. Program tersebut untuk meningkatkan
produksi sapi dan kerbau secara berkelanjutan dengan pemanfaatan teknologi
reproduksi peternakan melalui teknik Inseminasi Buatan (IB) dengan
menggunakan semen beku secara massal. Namun teknik ini tidak selalu berhasil,
seringkali terjadi kegagalan kebuntingan dikarenakan banyak faktor yang

350
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mempengaruhi tingkat keberhasilannya, salah satunya faktor dari inseminator


dalam melakukan thawing semen beku. Thawing yang dimaksud adalah pencairan
kembali semen beku dengan menggunakan media dan durasi tertentu agar dapat
digunakan dengan baik untuk dievaluasi maupun untuk inseminasi buatan
(Adnyani dkk., 2018). Proses pendinginan, pembekuan dan thawing menimbulkan
cold shock dan heat shock effect sehingga mempengaruhi kestabilan membran,
menurunkan viabilitas dan kemampuan memfertilisasi spermatozoa (Khalil et al.,
2018). Pencairan semen beku dapat merusak spermatozoa yang disebabkan oleh
perubahan suhu dan stres akibat perbedaan tekanan osmotik (Hezavehei et al.,
2018). Badan Standarisasi Nasional yaitu pada SNI 4869-1:2017 persyaratan
khusus thawing semen beku dengan menggunakan suhu air 37℃ - 38℃ selama
30 detik. Namun inseminator lebih sering menggunakan air ledeng bersuhu 28℃
karena lebih mudah didapat dibandingkan harus membawa air hangat. Hasil
penelitian Indriastuti et al. (2020) menyatakan bahwa suhu thawing 37℃ selama
30 detik menunjukkan nilai motilitas sebesar 69,37 ± 0,41%. Salim dkk. (2012)
menyatakan bahwa Teknik thawing memberikan pengaruh terhadap motilitas dan
viabilitas spermatozoa semen beku sapi Bali, sapi Madura dan sapi PO, dengan
suhu thawing 37℃ dan durasi 15 detik yang memiliki kualitas terbaik di setiap
bangsa. Sedangkan Kurniawan dkk. (2021) dengan suhu 26℃ selama 5, 15, 30,
60, 90, 120 detik memberikan hasil terbaik pada perlakuan lama thawing 60 detik
yaitu motilitas individu 68,27% dan viabilitas 93,28%. Bervariasinya kualitas
semen beku post thawing menunjukkan belum adanya suatu teknik thawing yang
memberikan hasil optimal untuk tercapainya fertilisasi dengan menggunakan
semen beku. Oleh sebab itu kemampuan memformulasikan teknik thawing
melalui variasi suhu dan durasi sangat menentukan kualitas semen beku post
thawing utamanya teknik yang dilakukan inseminator di lapang.

Metode
Lokasi penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.

Materi dan metode


Penelitian ini menggunakan 80 straw semen beku dari sapi Bali dan sapi Madura
yang diperoleh dari BBIB Singosari Malang. Bahan dan peralatan yang
dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya air hangat suhu 37℃, air ledeng
suhu 28℃, eosin-negrosin, NaCl 3%, mikroskop cahaya, hand tally counter,
container, pinset, timer, waterbath, thermometer, ose, object glass, cover glass,
gunting, mini tube, mikropipet (58µl-1000µl). Perlakuan yang diberikan antara
lain: P0. Thawing dengan air hangat suhu 37℃ selama 30 detik ; P1. Thawing
dengan air ledeng suhu 28℃ selama 30 detik ; P2. Thawing dengan air ledeng
suhu 28℃ selama 45 detik ; P3. Thawing dengan air ledeng suhu 28℃ selama 60
detik.

Pengujian kualitas post thawing


Motilitas Spermatozoa. Diletakkan satu tetes semen diatas object glass yang
ditutup dengan cover glass dan dilihat serta dinilai spermatozoa yang bergerak
secara progresif (Susilawati, 2011). Pengamatan dilakukan menggunakan

351
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mikroskop (Olympus CX21) dengan perbesaran 400x. Motilitas individu dinilai


dengan melihat lima lapang pandang dan dirata-rata. SNI 4869-1:2017
mencantumkan bahwa semen yang dapat didistribusikan dan diinseminasikan
harus memiliki persentase spermatozoa motil dengan post thawing minimal
sebesar 40%.

Viabilitas (Spermatozoa Hidup). Diteteskan satu tetes semen pada ujung object
glass dengan menggunakan ose lalu pewarna eosin-negrosin diteteskan sebanyak
satu tetes didekat semen ; Dicampur semen dengan pewarna eosin-negrosin
menggunakan ose lalu campuran tersebut diulas dengan menggunakan object
glass lain membentuk sudut 45° (Khalil et al., 2018). Diamati pada mikroskop
(Olympus CX21) perbesaran 400 kali dan dihitung persentase spermatozoa hidup
dengan rumus sebagai berikut:

Viablitias(%) = Σspermatozoa hidup x 100%


Σspermatozoa total

Abnormalitas. Abnormalitas spermatozoa dapat dibedakan menjadi dua yaitu


abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas dapat dihitung
menggunakan preparat ulas yang digunakan untuk menghitung persentase hidup
spermatozoa (Khalil et al., 2018). Rumus yang digunakan untuk menghitung
persentase abnormalitas yaitu:

Abnormalitas(%) = Σspermatozoa abnormal x 100%


Σspermatozoa total

Konsentrasi Spermatozoa. Sebanyak 10 µl semen yang dicampur dalam tabung


eppendorf berisi formol–saline (990 µl) kemudian dihomogenkan. Sampel semen
beku sebanyak 8-10 µl dimasukkan ke dalam chamber hitung yang telah ditutup
dengan cover glass pada haemocytometer. Evaluasi konsentrasi dilakukan dengan
menghitung spermatozoa dari lima kotak besar, 4 di pojok dan 1 di tengah.
Perhitungan konsentrasi menggunakan rumus sebagai berikut:

Σsperma/0.25ml = N x FP x 5 x 0.25 x 10.000

Keterangan:
N : Σ rata-rata spermatozoa di chamber A dan B
FP : Faktor pengencer (1 : 100)
5 : Faktor koreksi karena hanya menghitung 5 kotak dari 25 kotak
0.25 : Faktor koreksi karena ukuran straw 0.25 mL
10.000 : Faktor koreksi karena kedalaman slip penutup 0.0001 mL per
chamber
Sumber: Mahendra et al. (2018)

Total Spermatozoa Motil. TSM atau total sperm motility yaitu perhitungan total
spermatozoa motil yang diperoleh dengan cara mengalikan persentase motilitas
individu spermatozoa dengan konsentrasi spermatozoa dalam juta/straw, adapun

352
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

perhitungan total spermatozoa yang motil menurut Nikbakht and Saharkhiz


(2011) adalah sebagai berikut:

Total Sperm motil(juta/straw) = KS x SM

Analisis data
Data dianalisis menggunakan analisis ragam dengan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 10 kali ulangan sebagai blok. Kemudian, pada variabel motilitas
dan total spermatozoa motil dianalisis chi squere dengan nilai harapan 40% untuk
motilitas dan 10 juta/straw untuk total spermatozoa motil.

Hasil dan Pembahasan


Motilitas individu
Hasil pengamatan pada motilitas individu post thawing spermatozoa semen beku
sapi Bali dan sapi Madura tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan persentase motilitas individu pada berbagai tingkat perlakuan di kedua
bangsa sapi (%)
Kelompok Perlakuan
No Bangsa Sapi
P0 P1 P2 P3
Motilitas Semen Beku
1 Sapi Bali 52.00 ± 4.64 b 51.30 ± 7.57 ab 53.50 ± 3.63 b 46.00 ± 3.37 a
2 Sapi Madura 55.80 ± 2.66 a 51.40 ± 3.37 ab 57.30 ± 2.91 b 55.90 ± 5.55 b
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (p<0,01)

Hasil analisis ragam menunjukkan suhu dan lama thawing memberikan pengaruh
beda sangat nyata (p<0,01) terhadap motilitas semen beku pada sapi Bali dan sapi
Madura. Hasil statistik deskriptif berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku
menunjukkan motilitas tertinggi yaitu pada perlakuan P2 dengan suhu thawing
28ºC dan durasi 45 detik di bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura, sedangkan
motilitas terendah yaitu pada perlakuan P3 dengan suhu thawing 28ºC dan durasi
60 detik di bangsa sapi Bali dan perlakuan P1 dengan suhu thawing 28ºC dan
durasi 30 detik di bangsa sapi Madura. Dan diuji secara Chi Square menunjukkan
bahwa perlakuan P0, P1, P2 semen beku sapi Bali memberikan pengaruh beda
sangat nyata (P<0,01) terhadap motilitas individu, sedangkan hasil Chi Square
semen beku sapi Madura menunjukkan bahwa perlakuan P0, P1, P2, P3
memberikan pengaruh beda sangat nyata (P<0,01). Dapat disimpulkan bahwa
hasil dari ke4 perlakuan diatas Standard Nasional Indonesia. Hal ini tidak berbeda
jauh dengan hasil penelitian Kurniawan, dkk (2018) dengan suhu thawing 26℃
menghasilkan rataan motilitas sebesar 68,27%. Air yang digunakan untuk thawing
dengan suhu 37 °C, 35°C dan 28-30 °C tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan terhadap keberhasilan IB (Wulandari dan Prihatno, 2014). Pada
penelitian Goshme et al. (2021) semen beku yang di thawing pada suhu 35℃
selama 40 detik, suhu 37℃ selama 30 detik dan suhu 40℃ selama 40 detik
masing – masing menghasilkan persentase motilitas sebesar 36,23%; 41,6%; dan
33,4%. Kondisi ini disebabkan karena pada P2 suhu thawing sesuai dengan
temperatur ideal bagi aktivitas motilitas spermatozoa. Selanjutnya terlihat

353
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

persentase motilitas individu mengalami penurunan pada perlakuan ke satu dan ke


tiga pada teknik thawing dengan suhu 28℃ berdurasi 30 detik dan teknik thawing
suhu 28℃ berdurasi 60 detik. Ini menunjukkan bahwa thawing yang terlalu cepat
pada semen beku dapat menyebabkan kristal-krital es belum mencair secara
sempurna sehingga menghambat pergerakan sel spermatozoa secara aktif,
sedangkan thawing yang terlalu lama dapat menurunkan kualitas spermatozoa
(Adnyani dkk., 2018) hal ini sesuai dengan pendapat Utami et al. (2014) bahwa
Durasi thawing yang terlalu lama menyebabkan aktivitas metabolisme meningkat
dan berlangsung secara massal, sehingga terjadi peningkatan produksi asam laktat
akibatnya konsentrasi asam laktat yang bersifat toksik meningkat dan berakibat
pada rendahnya daya gerak spermatozoa sehingga terjadi kematian. Susilawati et
al. (2018) selama proses pembekuan dan thawing dapat merusak membran
spermatozoa yang menyebabkan penurunan motilitas serta semen mengalami
berbagai perubahan suhu dan tekanan osmotik yang mengakibatkan konfigurasi
lipid protein membran spermatozoa tidak seimbang. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Khan and Ijaz (2008) bahwa persentase motilitas secara signifikan
menurun pada semen setelah di thawing dibandingkan semen segar. Hal ini
menunjukkan bahwa selama pembekuan dan proses pencairan, terjadi perubahan
tekanan osmotik secara mendadak (osmotic shock) menyebabkan kerusakan
spermatozoa (~50%) dan mengakibatkan penurunan motilitas.

Viabilitas
Hasil pengamatan pada viabilitas post thawing spermatozoa semen beku kedua
bangsa sapi tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan persentase viabilitas pada berbagai tingkat perlakuan di kedua bangsa
sapi (%)
Kelompok Perlakuan
No Bangsa Sapi
P0 P1 P2 P3
Viabilitas Semen Beku
1 Sapi Bali 67.41 ± 11.73 a 70.96 ± 5.74 ab 76.89 ± 5.26 b 74.82 ± 7.03 b
2 Sapi Madura 71.22 ± 4.53 ab 74.40 ± 7.09 b 75.60 ± 3.17 b 68.40 ± 5.54 a
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (p<0,05)

Hasil analisis ragam menunjukkan suhu dan lama thawing memberikan pengaruh
beda nyata (p<0,05) terhadap viabilitas semen beku pada sapi Bali dan sapi
Madura. Hasil statistik deskriptif berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku
menunjukkan viabilitas tertinggi yaitu pada perlakuan P2 dengan suhu thawing
28ºC dan durasi 45 detik di bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura, sedangkan
viabilitas terendah yaitu pada perlakuan P0 dengan suhu thawing 37ºC dan durasi
30 detik di bangsa sapi Bali dan perlakuan P3 dengan suhu thawing 28ºC dan
durasi 60 detik di bangsa sapi Madura. Kondisi ini disebabkan P2 dengan thawing
pada air bersuhu 28℃ berdurasi 45 detik belum menyebabkan terjadinya tekanan
osmotik secara ekstrim pada membran spermatozoa, sehingga permeabilitas
membran spermatozoa utuh dan belum banyak mengalami kerusakan, hal ini
menjamin fluiditas dan keseimbangan homeostatis membran sel karena proses
pertukaran senyawa berlangsung secara normal. Selain itu durasi thawing yang

354
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

sesuai belum menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas metabolisme


spermatozoa yang berakibat menurunkan daya tahan hidup. Yavas and Bozkurt
(2011) menyatakan bahwa laju pencairan sangat penting dalam menjaga
kelangsungan hidup spermatozoa, umumnya thawing dilakukan dengan suhu
tinggi dan sesuai untuk menghindari rekristalisasi, suhu yang tinggi diperlukan
untuk memulihkan stabilitas membran atau metabolisme spermatozoa, dan
aktivitas enzim lebih reaktif. Jika terjadi perubahan suhu yang ekstrem atau tidak
sesuai secara ekstraseluler, maka permeabilitas fosfolipid hidrofilik akan rusak
yang menyebabkan fluiditas membran terganggu sehingga terjadi kematian
spermatozoa. Yendraliza et al. (2021) menyatakan suhu thawing dan durasi yang
tidak sesuai mengakibatkan membran spermatozoa mengalami kerusakan sebagai
akibat dari cekaman panas dan kontak dengan oksigen. Integritas membran
plasma berkorelasi positif dengan viabilitas dan integritas akrosom. Membran
plasma memainkan peran penting dalam mengatur seluruh proses di dalam sel
(Gordon, 2017).

Abnormalitas
Hasil pengamatan pada abnormalitas post thawing spermatozoa semen beku kedua
bangsa sapi tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan persentase abnormalitas pada berbagai tingkat perlakuan di kedua bangsa
sapi (%)
Kelompok Perlakuan
No Bangsa Sapi
P0 P1 P2 P3
Abnormalitas Semen Beku
1 Sapi Bali 5.07 ± 3.53 a 6.06 ± 3.73 a 5.09 ± 1.84 a 5.24 ± 1.99 a
a b a
2 Sapi Madura 4.56 ± 1.01 6.35 ± 1.31 4.04 ± 1.55 5.05 ± 1.70 ab
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (p<0,01)

Hasil analisis ragam menunjukkan suhu dan lama thawing memberikan pengaruh
beda sangat nyata (p<0,01) terhadap abnormalitas semen beku pada sapi Madura.
Hasil statistik deskriptif berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku
menunjukkan abnormalitas tertinggi yaitu pada perlakuan P1 dengan suhu
thawing 28ºC dan durasi 30 detik di bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura,
sedangkan abnormalitas terendah yaitu pada perlakuan P0 dengan suhu thawing
37ºC dan durasi 30 detik di bangsa sapi Bali dan perlakuan P2 dengan suhu
thawing 28ºC dan durasi 45 detik di bangsa sapi Madura. Hasil pengamatan
menunjukkan abnormalitas dari empat perlakuan diperoleh angka persentase
abnormalitas spermatozoa semen beku kurang dari 10% atau persentase
spermatozoa normal masih di atas 90 % pada ke empat jenis perlakuan. Hasil ini
sudah sesuai dengan SNI semen beku yang merekomendasikan abnormalitas di
bawah 20%, masih layak untuk Inseminasi Buatan. Penyebabnya apabila suhu dan
durasi thawing terlalu ekstrim sehingga spermatozoa menjadi abnormal.
Abnormalitas spermatozoa dibagi dalam abnormalitas primer dan abnormalitas
sekunder atau tersier. Salah satu ciri abnormalitas tersier yaitu ekor atau
kepalanya terputus atau patah. Namun, hal ini bukan disebabkan oleh thawing,

355
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

melainkan diduga pada saat pembuatan preparat ulas yang menyebabkan kepala
atau ekor spermatozoa putus (Susilawati, 2013).

Konsentrasi
Hasil pengamatan pada konsentrasi post thawing spermatozoa semen beku sapi
Bali dan sapi Madura tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan persentase konsentrasi spermatozoa pada berbagai tingkat perlakuan di


kedua bangsa sapi (%)
Kelompok Perlakuan
No Bangsa Sapi
P0 P1 P2 P3
Konsentrasi Semen Beku
1 Sapi Bali 21.25 ± 4.70 a 30.00 ± 6.57 b 32.63 ± 5.96 b 28.38 ± 5.06 b
2 Sapi Madura 18.00 ± 5.05 b 17.94 ± 3.74 b 20.63 ± 3.05 b 13.13 ± 2.59 a
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (p<0,05)

Hasil analisis ragam menunjukkan suhu dan lama thawing memberikan pengaruh
beda nyata (p<0,05) terhadap konsentrasi semen beku pada sapi Bali dan sapi
Madura. Hasil statistik deskriptif berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku
menunjukkan konsentrasi tertinggi yaitu pada perlakuan P2 dengan suhu thawing
28ºC dan durasi 45 detik di bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura, sedangkan
konsentrasi terendah yaitu pada perlakuan P0 dengan suhu thawing 37ºC dan
durasi 30 detik di bangsa sapi Bali dan perlakuan P3 dengan suhu thawing 28ºC
dan durasi 60 detik di bangsa sapi Madura. Pengisian semen ke dalam straw
dilakukan dengan sistem terkomputerisasi yang memungkinkan untuk mengatur
konsentrasi yang akan diisikan ke dalam straw dengan nilai minimal 25x106
sel/0.25 ml. Akantetapi, perhitungan secara manual dengan menggunakan kamar
hitung Neuber juga harus dilakukan sebagai alat pengecekan ulang terhadap
keakuratan penghitungan konsentrasi yang dilakukan oleh komputer. Penetapan
nilai konsentrasi sebesar 25x106 sel/0.25 ml di Indonesia dilakukan untuk
mempertahankan kelayakan semen beku sampai diinseminasikan ke ternak
(Mahendra et al., 2018). Menurut Sophian and Gunawan (2015) tingkat
keberhasilan dalam inseminasi harus didukung oleh ternak yang memenuhi
persyaratan kondisi fisik dan reproduksi yang baik, manajemen pemeliharaan
yang baik.

Total Spermatozoa Motil (TSM)


Hasil pengamatan pada total spermatozoa motil post thawing spermatozoa semen
beku sapi Bali dan sapi Madura tertera pada Tabel 5. Hasil analisis ragam
menunjukkan suhu dan lama thawing memberikan pengaruh beda nyata (p<0,05)
terhadap total spermatozoa motil semen beku pada sapi Bali dan sapi Madura.
Hasil statistik deskriptif berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku
menunjukkan total spermatozoa motil tertinggi yaitu pada perlakuan P2 dengan
suhu thawing 28ºC dan durasi 45 detik di bangsa sapi Bali dan bangsa sapi
Madura, sedangkan total spermatozoa motil terendah yaitu pada perlakuan P0
dengan suhu thawing 37ºC dan durasi 30 detik di bangsa sapi Bali dan perlakuan
P3 dengan suhu thawing 28ºC dan durasi 60 detik di bangsa sapi Madura. Dan

356
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

diuji secara chi squere menunjukkan bahwa perlakuan P0 dan P3 semen beku sapi
Bali memberikan perbedaan pengaruh yang tidak beda nyata (P>0,05) dan
memberikan pengaruh beda sangat nyata (P<0,01) pada perlakuan P1 dan P2
terhadap total spermatozoa motil, sedangkan hasil chi squere semen beku sapi
Madura menunjukkan bahwa perlakuan P0, P1, P2, P3 memberikan perbedaan
pengaruh yang tidak beda nyata (P>0,05) terhadap total spermatozoa motil.

Tabel 5. Rataan persentase total spermatozoa motil pada berbagai tingkat perlakuan di
kedua bangsa sapi (%)
Kelompok Perlakuan
No Bangsa Sapi
P0 P1 P2 P3
TSM Semen Beku
1 Sapi Bali 10.86 ± 2.87 a 13.39 ± 5.69 a 17.46 ± 3.60 b 13.00 ± 2.22 a
2 Sapi Madura 10.05 ± 2.91 bc 9.18 ± 1.87 ab 11.79 ± 1.58 c 7.91 ± 1.87 a
Keterangan: Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (p<0,05)

Total spermatozoa motil dihitung setelah thawing adalah nilai yang menunjukkan
jumlah spermatozoa yang dapat bergerak setelah proses pembekuan. Nilai ini
penting karena menunjukkan ketersediaan jumlah spermatozoa yang motil untuk
inseminasi buatan (Branigan et al. 2017). Teknik thawing terbaik pada perlakuan
ke dua dengan suhu 28℃ berdurasi 45 detik, ini menunjukkan bahwa pada teknik
ini tidak menimbulkan tekanan yang ekstrim bagi daya tahan hidup spermatozoa,
sehingga total spermatozoa motil masih mendekati separuh dari kosentrasi
spermatozoa per straw. Hal ini karena pada suhu 28℃ berdurasi 45 detik belum
menyebabkan terjadi perubahan permiabilitas membran sehingga fluiditas
membran spermatozoa tetap berlangsung secara baik. Nikbakht and Saharkhiz
(2011) menyatakan bahwa nilai minimal total spermatozoa motil sebesar 10x106
memiliki tingkat keberhasilan inseminasi buatan lebih tinggi.

Kesimpulan
Teknik thawing memberikan pengaruh terhadap motilitas, viabilitas, abnormalitas,
konsentrasi dan total spermatozoa motil semen beku sapi Bali dan sapi Madura
dengan suhu thawing 28℃ selama 45 detik yang memiliki kualitas terbaik di
setiap bangsa dengan rataan angka motilitas tertinggi pada sapi Madura yaitu
57,30% ± 2,91; viabilitas tertinggi pada sapi Bali yaitu 76,89% ± 5,26;
Abnormalitas tertinggi pada perlakuan P1 yaitu 6,35% ± 1,31; Konsentrasi
tertinggi pada sapi Bali yaitu 32,63% ± 5,96 dan total spermatozoa motil tertinggi
pada sapi Bali yaitu 17,46% ± 3,60.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya melalui
Program Hibah Penelitian Pemula Tahun 2021 dan kepada semua pihak yang
telah membantu penelitian secara teknis.

357
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Daftar Pustaka
Adnyani, N.L.A., Sumardani, N.L.G. dan Sarini, N.P. 2018. Pengaruh lama
thawing pada uji kualitas semen beku Sapi Bali produksi UPT BIBD Baturiti
sebelum didistribusikan. Journal of Tropical Animal Science. 6(3): 626-636.
Branigan, E., Ester, A. and Walker, K. 2017. The effect of processed total motile
sperm counts and twenty four hour sperm survival on the efficacy of
intrauterine insemination in male infertility. Androl. 6:1-4.
Goshme, S., Asfaw, T., Demiss, C., and Besufekad, S. 2021. Evaluation of
motility and morphology of frozen bull semen under different thawingmethods
used for artificial insemination in North Shewa Zone, Ethiopia. Journal Pre-
proof: 1-11. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e08183.
Hezavehei, M., Sharafi, M., Kouchesfahani, H.M., Henkel, R., Agarwal, A.,
Esmaeili, V., Shahverdi, A. 2018. Sperm cryopreservation: A review on current
molecular cryobiology and advanced approaches epigenetic offspring health
proteome sperm cryopreservation. Reprod. BioMed. 37, 327-339.
Indriastuti, R., Ulum, M.F., Arifiantini, R.I., Purwantara, B. 2020. Individual
variation in fresh and frozen semen of Bali Bulls (Bos sondaicus). Vet. World.
13, 840-846.
Khalil, W.A., El-Harairy, M.A., Zeidan, A.E.B., Hassan, M.A.E. and Mohey-
Elsaeed, O. 2018. Evaluation of bull spermatozoa during and after
cryopreservation: structural and ultrastructural insights. International Journal of
Veterinary Science and Medicine. 6(1): S49-S56.
https://doi.org/10.1016/j.ijvsm.2017.11.001
Khan, M.I.R and Ijaz, A. 2008. Effects of osmotic pressure on motility, plasma
membrane integrity and viability in fresh and frozen-thawed buffalo
spermatozoa. Department of Theriogenology, Faculty of Veterinary Science,
University of Veterinary and Animal Sciences, Pakistan. 2(4): 548-553.
doi:10.1017/S1751731108001596
Kurniawan, A.V., Faruq I., dan Zulfanita. 2021. Kualitas semen beku Sapi
Simmental terhadap lama thawing yang digunakan dalam program inseminasi
buatan di Kabupaten Wonosobo tahun 2020. The 13th University Research
Colloqium 2021. Klaten: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Klaten.
Nikbakht, R. and Saharkhiz, N. 2011. The influence of sperm morphology, total
motile sperm count of semen and the number of motile sperm inseminated in
sperm samples on the success of intrauterine insemination. Int. J. Fertil. Steril.
53: 168-173.
Salim, M.A., Susilawati, T. dan Wahyuningsih, S. 2012. Pengaruh metode
thawing terhadap kualitas semen beku Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi PO.
Agripet. 12(2): 14-19.
Sophian, E., dan Gunawan, M. 2015. Inseminasi buatan pada Kerbau Lumpur
dengan straw Kerbau Belang setelah dilakukan sinkronisasi berahi dengan
PGF2α. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2015.
Pp. 100-105.
Susilawati, T. 2013. Pedoman Inseminasi Buatan pada Ternak. Malang: Penerbit
UB Press.
Susilawati, T. 2017. Sapi Lokal (Jawa Timur dan Bali). Malang: Penerbit UB
Press.

358
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Susilawati, T., Ratnawati, D., Isnaini, N., Kuswati and Yekti, A.P.A. 2018.
Character of liquid semen motility in various diluents on Balinese Cattle during
cold storage. Asian Jr. Of Microbiol Env. 20(2) : 166-172.
Wulandari, I.A., dan Prihatno, S.A. 2014. Pengaruh berbagai temperatur thawing
semen beku terhadap keberhasilan inseminasi buatan pada sapi potong. Jurnal
Sain Veteriner. 32(1): 40-45.
Yavas, I. and Bozkurt, Y. 2011. Effect of different thawing rates on motility and
fertilizing capacity of cryopreserved grass carp (Ctenopharyngodon Idella)
sperms. Biotechnol. & Biotechnol, 25(1): 2254-2257.
https://doi.org/10.5504/BBEQ.2011.0018
Yendraliza, M. Rodiallah, Zumarni and Sadarman. 2021. Effect of three diluent
types and equilibration times on the quality and fertility of buffalo (Bubalus
Bubalis) semen. J. Anim. Health Prod, 9(2): 164-169.
http://dx.doi.org/10.17582/journal.jahp/2021/9.2.164.169

359
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENAMBAHAN EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis) DALAM


BAHAN PENGENCER YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS
SPERMATOZOA DOMBA SAPUDI PADA PENYIMPANAN SUHU
DINGIN SELAMA LIMA HARI

Suherni Susilowati*

Departemen Reproduksi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas


Airlangga
*
Email korespondensi: suhernifkhunair@gmail.com

Abstrak
The purpose of this study was to determine the benefits of green tea exstract in
skim milk, egg yolk citrate and egg yolk milk extender to maintain the quality of
Sapudi sheep spermatozoa in chilled storage. A total of 12 ejaculates from three
healty sheep with weight and age of 45 kg and 3-5 years, respectively, were
devided into three groups treatment. Treatment I contained sheep semen diluted in
skim milk extender with added green tea extract 0,05 mg /100 ml extender,
treatment II contained sheep semen diluted in egg yolk citrate extender with added
green tea extract 0,05 mg/ 100 ml extender and treatment III contained sheep
semen diluted egg yolk milk extender with added green tea extract 0,05 mg/100
ml extender. This three groups were chilled at 5oC and evaluated daily for 5 days.
Observed variables were motility, viability and intact plasma membrane (IPM).
The result of this study the addition of green tea extract in skim milk, egg yolk
citrate and egg yolk milk can maintaining motility, viability and integrity
membrane plasma spermatozoa of goat. The conclusion of this research was
green tea extract in egg yolk milk extender the best maintaining the percentage of
motility, viability and IPM of Sapudi sheep spermatozoa in chilled temperature
storage until five days.

Kata Kunci: Sapudi sheep, green tea extract, quality of spermatozoa, extender
and chilled temperature

Pendahuluan
Domba merupakan hewan ternak yang banyak dipelihara masyarakat desa sebagai
salah satu sumber pendapatan (Rizal dan Herdis, 2010).Salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi ternak domba dan perbaikan mutu
genetik dapat ditunjang melalui teknologi inseminasi buatan (IB). Teknologi IB
memudahkan peternak untuk mengawinkan ternak tanpa harus memiliki ternak
jantan (Hardijanto dkk., 2013). Inseminasi buatan dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi ternak karena semen dari seekor pejantan dapat
digunakan untuk menginseminasi hingga ratusan ekor betina
perejakulasi.Teknologi inseminasi buatan telah berkembang di Indonesia dengan
hasil yang memuaskan, khususnya pada ternak besar.Akan tetapi aplikasi
teknologi ini pada ternak kecil masih rendah. Pada masa depan, inseminasi buatan

360
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

akan memegang peran penting dalam program peternakan pada domba dan
kambing di Indonesia (Susilowati et al, 2019).
Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan program inseminasi buatan adalah
proses penyimpanan semen dalam bahan pengencer. Jenis bahan pengencer dan
kualitas bahan pengencer yang digunakan memegang peran penting untuk
keberhasilan penyimpanan semen dingin maupun semen beku. Susu skim
digunakan sebagai bahan pengencer karena mengandung nutrisi yang dapat
dimanfatkan oleh spermatozoa sebagai sumber energi. Selain itu pemanasan air
susu diatas 80oC akan melepaskan gugusan sulfhydryl (-SH) yang berguna untuk
zat reduktif yang mengatur metabolisme oksidatif spermatozoa (Widjaya, 2011).
Kuning telur mengandung lesitin yang berguna untuk melindungi spermatozoa
dari cold shock (Susilowati, dkk, 2019).

Semen yang disimpan pada suhu dingin (5oC) dapat disimpan sampai beberapa
hari dan dapat digunakan untuk inseminasi buatan (Macias et al 2017).
Permasalahannya adalah daya tahan hidup spermatozoa setelah ejakulasi hanya 8
jam dan segera diikuti dengan bertumpuknya asam laktat, produk metabolisme
spermatozoa yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Am in et al, 2011).

Radikal bebas dapat dihambat dengan menambahkan antioksidan yang terdapat


dalam ekstrak teh hijau (Sundari dkk., 2009). Teh hijau (Camellia sinensis)
mengandung polifenol yang memiliki aktivitas antioksidan yang sangat
kuat.Penambahan antioksidan pada bahan pengencer semen memberikan manfaat
yang cukup baik, karena mampu mencegah aktivitas radikal bebas yang
mengakibatkan kerusakan membran spermatozoa. Kerusakan membran
spermatozoa akan berpengaruh terhadap viabilitas dan fertilitas spermatozoa
(Swari dkk., 2019). Teh hijau mengandung komponen bioaktif polifenol yang
memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat.Golongan terbesar dari polifenol
yang efektif sebagai antioksidan adalah flavonoid (Kusmiyati, 2015).Golongan
flavonoid yang paling tinggi kadarnya adalah epigallokatekin gallat (EGCG)
(Sulistyo dkk, 2003).

Adanya polifenol khusunya katekin dalam teh hijau dapat menekan produksi
reactive oxygen species (ROS).Oleh sebab itu, ekstrak teh hijau (Camellia
sinensis) dapat digunakan sebagai bahan pilihan yang ditambahkan ke dalam
bahan pengencer semen sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal
bebas (Susilowati et al., 2018).

Metode

Hewan coba
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Inseminasi Buatan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga. Semen ditampung dari domba jantan sebanyak 3
ekor dengan berat badan kira-kira 45 kg dan berumur 3-5 th. Sebelum ditampung
semennya domba diadaptasikan terlebih dahulu selama 2 minggu.Semen
ditampung dengan menggunakan vagina buatan sebanyak 6 kali dengan interval 2

361
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kali dalam seminggu. Segera setelah penampungan , semen dibawa ke


laboratorium untuk diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis.

Bahan pengencer
Bahan pengencer terdiri dari tiga macam yaitu susu skim, kuning telur sitrat dan
kombinasi susu kuning telur. Sepuluh gram susu skim ditambah dengan 100 ml
air, dipanaskan sampai suhu 92-95oC kemudian didinginkan sampai suhu kamar
20-27oC. Kuning telur dipisahkan dari putihnya kemudian ditambah larutan sitrat
dengan perbandingan 1:4. Bahan pengencer kombinasi susu skim dan kuning telur
dengan perbandingan kuning telur sebanyak 5%. Ketiga bahan pengencer
ditambah penicillin 1000 IU / ml dan streptomicyn 1 mg/ml. Semen yang
ditampung setelah memenuhi syarat yaitu motilitas dan viabilitas nya ≥ 70%
kemudian ditambahkan kedalam bahan pengencer dengan perbandingan 1: 10.
Perlakuan I terdiri dari bahan pengencer susu skim + ekstrak teh hijau 0,05 mg/
ml + semen. Perlakuan II terdiri dari bahan pengencer kuning telur sitrat +
ekstrak teh hijau 0,05 mg/ml + semen. Perlakuan III terdiri dari bahan pengencer
susu kuning telur + ekstrak teh hijau 0,05 mg/ml + semen. Semua perlakuan
dimasukkan pada suhu dingin (5oC) dan diperiksa terhadap motilitas, viabilitas
dan membran plasma utuh

Pemeriksaan variabel
Motilitas
Sebanyak 10 µl semen ditambahkan dengan 10 µl Na Cl fisiologis kemudian
dihomogenkan dan diteteskan pada objek glas. Dihitung spermatozoa yang
bergerak maju dengan menggunakan mikroskop fase kontras dengan perbesaran
400 x. (Susilowati dkk, 2010)

Viabilitas
Semen segar diteteskan pada objek glas dan ditambah eosin negrosin, dicampur
sampai homogen dan dibuat preparat ulas dan difiksasi diatas nyala api.
Spermatozoa yang hidup bagian kepala berwarna transparant dan yang mati akan
berwarna kemerahan. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop fase kontras
perbesaran 400x. (Asia, dkk, 2017)

Membran Plasma Utuh (MPU)


Keutuhan membran plasma diperiksa dengan menggunakan HOS (Hipo Osmotic
Swelling) test. Sebanyak 1 ml larutan hipoosmotic (7,35 g Na Citrat 2 H2O, 13,52
g fruktosa dilarutkan dalam 1000 ml akuadest) ditambah dengan 0,1 ml semen
kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit dan diperiksa dengan
mikroskop perbesaran 400 x. Spermatozoa yang membran plasma nya utuh,
bagian ekor menggelembung dan ekornya melingkar. Membran plasma yang
rusak bagian leher sampai ekor menggelembung. (Ranu and Jeyendran, 2013)

Analisis statistik
Data yang diperoleh ditabulasikan kemudian dianalisis dengan ANOVA dan
apabila ada perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT ( Santoso dan Fandy, 2001).

362
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil dan Pembahasan


Penelitian ini menggunakan semen segar yang awalnya perlu diperiksa secara
makroskopis meliputi volume, pH, warna, baud an konsistensi, sedangkan secara
mikroskopis meliputi gerakan massa, gerakan individu, konsentrasi dan viabilitas
spermatozoa (tabel 1). Penambahan ekstrak teh hijau dalam bahan susu skim,
kuning telur sitrat dan susu kuning telur motilitas, viabilitas dan MPU
menunjukkan perbedaan yang nyata (p≤0.05) baik pada pemeriksaan hari 1
sampai hari ke 5. Hasil yang paling baik dari ketiga bahan pengencer tersebut
adalah kombinasisusu kuning telur. (Tabel. 2; Tabel 3 dan Tabel 4).

Tabel 1.Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis semen segar domba Sapudi


Indikator Karakteristik
Warna Putih kekuningan
Bau Khas
Konsistensi Kental
pH 6,8
Volume (ml) 2,5±0,35
Konsentrasi 3990x106
Pergerakan massa +++
Pergerakan individu (%) 85±3,35
Viabilitas (%) 90±2,30
MPU (%) 83±1,50

Pada penelitian ini, semen segar domba Sapudi mempunyai kualitas baik dan
memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut (Tabel 1). Domba yang mempunyai
volume semennya ≥ 0,5 ml dan mempunyai motilitas dan viabilitas ≥70% dapat
digunakan untuk inseminasi buatan baik bentuk segar maupun yang ditambah
bahan pengencer, Berkurangnya kesuburan spermatozoa akan terjadi tergantung
pada lamanya penyimpanan (Korkmaz et al, 2017).

Tabel 2. Pengaruh penambahan ekstrak teh hijau dalam bahan pengencer susu, kuning
telur sitrat dan susu kuning telur yang disimpan selama 5 hari terhadap motilitas
spermatozoa (%) domba Sapudi
Kelompok Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5
Pengencer Susu 70,50±3,08b 65,20±2,70b 59,10±1,40b 55,17±2,35b 47,10±2,15b

Pengencer 68,40±2,75b 67,15±1,85b 60,30±2,05b 56,10±2,15b 49,25±1,80b


Kuning telur
sitrat

Pengencer Susu 76,25±3,10a 71,35±1.45a 67,15±3.15a 63,15±1,75a 57,25±1,50a


kuning telur
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05)

363
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penurunan suhu dan lamanya penyimpanan menyebabkan berkurangnya daya


tahan hidup dan motilitas spermatozoa yang ditandai dengan perubahan biokimia
akibat stress dingin, osmotik shock dan kerusakan membran sel yang disebabkan
oleh stress oxidatif (Sartozkan et al, 2013). ROS yang terbentuk akan memegang
peran terhadap fungsi spermatozoa dan fertilisasi (Aitken et al, 2012). Secara
fisiologis, ROS penting untuk mengatur fungsi spermatozoa antara lain untuk
maturasi, hiperaktifasi, reaksi akrosom dan fusi spermatozoa-oosit (Turk, 2015).
Pada kadar yang rendah ROS juga berperan terhadap fosforilasi tyrosin, oksidasi
sterol dan keluarnya kolesterol dari membran plasma dalam proses kapasitasi dan
fertilisasi (Takhesima et al, 2018).

Tabel 3.Pengaruh penambahan ekstrak teh hijau dalam bahan pengencer susu, kuning
telur sitrat dan susu kuning telur yang disimpan selama 5 hari terhadap viabilitas
spermatozoa (%) domba Sapudi
Kelompok Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5
Pengencer 72,50±3,10b 67,10±2,20b 61,10±1,40b 57,27±2,35b 48,10±2,15b
Susu

Pengencer 69,40±2,65b 68,25±1,85b 62,30±2,15b 58,10±2,15b 51,35±1,70b


Kuning telur
sitrat

Pengencer 78,25±3,20a 73,35±1.45a 68,15±3.15a 64,45±1,75a 59,15±1,40a


Susu kuning
telur
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05)

Membran plasma spermatozoa domba pada bagian lipid mempunyai konsentrasi


asam lemak tak jenuh tinggi apabila dibandingkan dengan ruminansia lain. Oleh
sebab itu pada proses pendinginan lipid membran akan rusak. Suhu dingin juga
dihubungkan dengan tingginya ratio asam lemak tak jenuh dengan asam lemak
jenuh, yang akan terbentuknya ROS yang tinggi (Bansal dan Bilaspuri, 2011).

Antioksidan yang ditambahkan dalam bahan pengencer dapat meningkatkan


motilitas, viabilitas dan membran plasma utuh spermatozoa pada suhu dingin.
Pada penelitian ini dosis ekstrak teh hijau sebesar 0,05 mg / 100 ml bahan
pengencer dalam susu kuning telur paling baik dalam mempertahankan kualitas
spermatozoa domba. Pengencer susu mengandung glukosa yang dapat
memberikan karbohidrat atau nutrisi , sedangkan kuning telur mengandung lesitin
yang dapat melindungi spermatozoa dari cold shock.Ekstrak teh hijau
mengandung polifenol yang dapat bertindak sebagai antioksidan yang dapat
menghambat reaksi peroksidasi sehingga radikal bebas tidak terbentuk (Susilowati
et al, 2018).

Makin lama waktu penyimpanan dalam bahan pengencer susu skim, kuning telur
sitrat dan susu kuning telur, baik motilitas, viabilitas dan membran plasma utuh
persentasenya menurun. Kondisi ini disebabkan karena berkaitan dengan
peningkatan Ca2+ yang ada di dalam sel sehingga cAMP juga akan semakin

364
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menurun juga. Selain itu juga disebabkan oleh pembentukan asam laktat dalam
medium sebagai hasil metabolisme spermatozoa. Semakin banyak asam laktat
yang terbentuk akan menyebabkan pH akan menurun, sehingga proses
metabolisme menjadi terganggu. Berkurangnya metabolisme menyebabkan
berkurangnya pembentukan ATP yang selanjutnya akan menurunkan motilitas
spermatozoa (Garner and Hafez, 2000).

Tabel 4. Pengaruh penambahan ekstrak teh hijau dalam bahan pengencer susu, kuning
telur sitrat dan susu kuning telur yang disimpan selama 5 hari terhadap MPU spermatozoa
(%) domba Sapudi Sapudi
Kelompok Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5
Pengencer 67,50±2,10b 61,10±2,20b 55,10±1,30b 49,20±2,15b 40,10±2,15b
Susu

Pengencer 60,35±2,25b 55,25±1,65b 52,30±2,25b 47,10±2,15b 41,35±1,60b


Kuning telur
sitrat

Pengencer 71,15±3,10a 67,25±1.45a 65,15±3.05a 63,45±1,75a 61,25±1,30a


Susu kuning
telur
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05)

Makin lama waktu penyimpanan, viabilitas juga semakin menurun karena


semakin tinggi pembentukan ROS oleh spermatozoa sehingga terjadi akumulasi
ROS yang mengakibatkan peroksidasi lipid pada membran spermatozoa
(Shekarriz et al, 1995).hal tersebut karena terjadi reaksi rantai dan putusnya rantai
asam lemak menjadi berbagai senyawa yang toksik terhadap sel (Suryohudoyo,
2000).

Daftar Pustaka
Aitken, R.J; Jones, K.T and Robertson, S.A. 2012. Review: Reactive oxygen
species and sperm function in sickness and in health. J.Androl. 33(6) : 1096-
1106.
Am-in,N; Tantasuparuk, W; Manjarin,R and Kirk-wood, R.N. 2011. Effect of site
of sperm deposition of fertility when sows are inseminated with aged semen.
J.Swine Health Prod. 19(5): 295-297.
Asia. P.D; Susilowati, S; Biyanti,R; Madyawati, S.P; Hernawati, T danRestiadi,
T.I. 2017. Pengaruh penambahan plasma seminalis sapi Simmental terhadap
motilitas dan viabilitas spermatozoa domba Ekor Gemuk setelah setelah
ekulibrasi pada proses pembekuan. Ovozoa. 6(1):50-54.
Aansal, A.K and Bilaspuri, G.S. 2011. Impacts of oxidative stress and
antioxidants on semen functions. Vet Med,Int,Article ID 686137.
Garner and Hafez.E.S.E. 2000.Reproduction in Farm Animals.7th Edition.
Philadelphia. Baltimore. New York London.

365
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hardijanto, I.A; Vidyana dan A. Ma’ruf. 2013. Motilitas dan Viabilitas


Spermatozoa Domba Sapudi pada Berbagai konsentrasi Ion Perak (Ag+) dalam
Pengencer Kuning Telur Sitrat Air Kelapa Muda [Jurnal]. Fakultas Kedokteran
Hewan. Surabaya.
Korkmaz, M.K; Emsen, E; Koker, A and Kocamuttuoglu, M. 2017. The duration
effect of fresh semen kept in vitro on sheep conception rate. Anim. Reprod.
14(4) :1147-1150.
Macias, A; Ferrer, L.M;Ramos, J.J; Lidon, I; Rebollar, R; Lacasta, D and Tejedor,
M.T. 2017. Technical note: Anew device for cervical insemination of sheep-
design and field test. J.Anim.Sci. 95(12):5263-5269.
Ranu, S and Jeyendran, R.S. 2013. The hypoosmotic swelling test for the
evaluation of sperm membrane integrity.Method. Mol. Biol. 027:21-25.
Rizal, M dan Herdis.2010. Inseminasi Buatan pada Domba. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
Santoso, S dan Fandy, T. 2001. Riset Pemasaran, Konsep dan Aplikasi dengan
SPSS. PT Gramedia. Jakarta.
Sulistyo.J; Nurdiana dan Elizar, H.2003.Pengembangan Kerja Sama Riset,
Teknologi, Produksi dan Pemasaran Produk Hilir Teh.Prosiding ‘’Simposium
Teh nasional 2003’’ Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. Bandung.
Sartozkan, S; Turk, G; Canturk, F; Yai, A; Eken, A and Akcay, A. 2013.The
effect of bovine serum albumin and fetal calf serum on sperm quality, DNA
fragmentation, lipid peroxidation of the liquid stored rabbit
semen.Cryobiology. 67(1) :1-6.
Shekarriz, M; Thomas, A.J and Agarwal, A. 1995.A Method of human semen
centrifugation to minimize the iatrogenic sperm injuries caused by reactive
oxygen species. Eur Urol.28: 31-35.
Sundari, D; Budi, N dan M. Wien, W. 2009.Toksisitas Akut (LD50) dan Uji
Gelagat Ekstrak Daun Teh Hijau (Camellia sinensis) pada Mencit. Media
Peneliti dan Pengembang Kesehatan, 14(4): 198-200
Suryohudoyo, P. 2000. Ilmu Kedokteran Molekuler. Cetakan Pertama. Jakarta.
CV. Sagung Seto. 31-47.
Susilowati, S; T Sardjito; OS Widodo; R Kurnijasant; W Wurlina; E Safitri and I
Mustofa. 2018. Effect of green tea extract supplementation in the semen
extender on post-thaw sperm quality of Simmental bulls. Philipp. J. Vet.
Susilowati, S; Triana, I.N; Wurlina,W; Arimbi, A; Srianto,P; Mustofa,I. 2019.
Addition of L-Arginine in skim milk extender maintains goat spermatozoa
quality in chilled temperature for five days. Veterinary World.12/Nopember.
Swari, W.R., Sabdoningrum, E. K., Wurlina W, Susilowati, S., Kurnijasanti,
R.,;Safitri, E. 2019. Pengaruh Penambahan Ekstrak Teh Hijau (Camellia
Sinensis) dalam Bahan Pengencer Susu Skim Kuning Telur terhadap Kualitas
Spermatozoa Domba Sapudi yang Disimpan pada Suhu Dingin. Ovozoa J
Anim Reprod. 8 (2): 122-126.
Takeshima,T; Kuroda. S and Yumura, Y.2018. Reactive Oxygen Species and
Sperm Cells.Ch 6.In Tech. Budapest.

366
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Turk, G. 2015. Physiological and Pathological Effects of Reactive Oxygen


Species on Spermatozoon Functions Telecom Regulatory Authority of India,
New Delhi.26-34.
Widjaya, N. 2011. Pengaruh pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris
Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu
Penyimpanan 5oC. Fakultas pertanian Universitas Bandung Raya.

367
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI PERSILANGAN LIMOUSIN


DENGANINSEMINASI BUATAN DOBEL DOSIS PADA KARAKTER
ESTRUS YANG BERBEDA

Nurul Layla1,*, Yadi Malda2, Aulia Puspita Anugra Yekti2, Asri Nurul
Huda3, Rizki Prafitri4, Kuswati2, Kusmartono3, Trinil Susilawati2,*
1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
4
Bagian Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: tsusilawati@ub.ac.id

Abstrak
Ketepatan waktu IB merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan kebuntingan pada ternak. Munculnya tanda-tanda estrus menjadi
pedoman untuk dilakukannya IB. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana keberhasilan kebuntingan pada sapi persilangan limousin
menggunakan metode IB dobel dosis pada jam ke 2 dan jam ke 8 dengan karakter
estrus yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sumber Pucung, Kab.
Malang. Materi yang digunakan sebanyak 45 ekor sapi betina dengan kriteria BCS
3-6 pada skala 1-9 dan berumur antara 1,8 – 8 tahun. Parameter karakter estrus
yang di amati adalah suhu vagina, warna dan kebengkakan vulva. Metode IB
menggunakan metode dobel dosis pada jam ke 2 dan jam ke 8 dengan deposisi
semen 4+ (cornua utery). Hasil penelitian menunjukkan nilai CR (conception
rate) pada ternak yang memiliki karakter estrus suhu vagina dengan kisaran 37-38
dan >38 sebesar 54,55% dan 41,18%, warna vulva pucat, merah tidak merata dan
merah merata sebesar 0%, 40,91% dan 52,38%, dan pada kondisi vulva sedikit
bengkak dan sangat bengkak sebesar 43,48% dan 45,45%. Kesimpulan penelitian
ini menunjukkan bahwa ternak yang memiliki karakter estrus warna vulva merah
merata, suhu vagina sebesar 37-38 dan keadaan vulva sangat bengkak pada saat di
IB memiliki tingkat kebuntingan yang lebih tinggi.
.
Kata Kunci: inseminasi buatan, karakter estrus, conception rate, non return rate

Pendahuluan
Pemenuhan protein hewani asal daging sapi merupakan sumber pangan yang
memberikan kontribusi kedua setelah daging unggas untuk memenuhi kebutuhan
protein masyarakat Indonesia (Rusdiana dan Maesya, 2017).Peningkatan populasi
dan produksi sapi pedaging dalam negeri perlu terus dilakukan, agar kebutuhan
daging sapi dapat terpenuhi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
cara menerapkan inseminasi buatan dalam sistem perkawinan ternak. Inseminasi
buatan (IB) merupakan salah satu teknologi reproduksi yang dapat diaplikasikan
di peternakan rakyat untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi, dengan cara
memanfaatkan spermatozoa pejantan unggul agar dapat mengawini lebuh dari satu
induk, sehingga meningkatkan jumlah keturunan dengan cepat (Susilawati, dkk.,
2016).

368
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Ketepatan waktu IB merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap


keberhasilan kebuntingan pada ternak. Munculnya tanda-tanda estrus menjadi
pedoman untuk dilakukannya IB. Peternak dan inseminator perlu melakukan
deteksi estrus dalam satu periode siklus estrus, sehingga dapat menentukan waktu
yang terbaik untuk dilakukan IB(Labetubun, dkk., 2020). Faktor lain yang
berpengaruh terhadap keberhasilan IB adalah kualitas semen. Peningkatan
kualitas semen dapat dilakukan dengan metode IB dobel dosis.Semakin banyak
volume semen yang di deposisikan, diharapkan akan meningkatkan motilitas,
konsentrasi dan viabilitas spermatozoa untuk fertilisasi, sehingga dapat
meningkatkan keberhasilan kebuntingan (Sá Filho, et al., 2010; Yekti, dkk.,
2019).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keberhasilan kebuntingan


pada sapi persilangan limousine menggunakan metode IB dobel dosis pada jam ke
2 dan jam ke 8 dengan karakter estrus yang berbeda.

Metode
Waktu danlokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 13 April – 25 Agustus 2021 di Desa
Sambigede, Desa, Ternyang dan Desa Senggreng, Kecamatan Sumber Pucung,
Kab. Malang. Jawa Timur.

Materi penelitian
Penelitian ini menggunakan sapi betina persilangan limousine sebanyak 45 ekor
dengan kriteria BCS 3-6 pada skala 1-9 dan berumur antara 1,8 – 8 tahun.
Penentuan umur dilakukan berdasarkan identifikasi jumlah gigi seri permanen
insisivus.Sapi yang digunakan dalam kondisi sehat dan menunjukkan tanda-tanda
estrus dengan baik.Semen yang digunakan pada penelitian ini merupakan semen
beku bangsa Limousine dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari,
Malang.

Metode penelitian
Metode Penelitian ini menggunakan metode eksperimental lapang (field
experiment), pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.
Inseminasi buatan dilakukan dengan metode dobel dosis yaitu pada jam ke 2 dan
jam ke 8 setelah ternak tersebut menunjukkan tanda-tanda estrus. Deposisi semen
dilakukan pada posisi 4+ (cornua utery).Metode thawing menggunakan air
dengan suhu 27-28oC selama 30 detik.Penyuntikan Bio ATP+ merk Rheinbio
dilakukan setelah IB menggunakan metode injeksi intramuscular dengan dosis 10
ml/ekor.

Variabel penelitian
Variabel yang diamati untuk mengetahui karakter estrus terdiri dari :
- Warna Vulva
Perubahan warna vulva dilakukan dengan mengamati perubahan warna pada
bagian labia minor vulva (Rachmawati, dkk., 2018).

369
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

- Suhu Vagina
Suhu vulva diukur menggunakan thermometer digital dengan cara
memasukkan thermometer ke dalam vulva kemudian ditunggu sampai alat
tersebut menunjukkan angka konstan (Rachmawati, dkk. 2018)
- Kebengkakan Vulva
Kondisi vulva yang mengalami pembengkakan saat IB diukur dengan cara
membandingkan pada kondisi sapi saat tidak estrus (Baliarti, et al., 2020).
Kebengkakan vulva dibagi menjadi 2 kategori yaitu sedikit bengkak dan
sangat bengkak.

Sedangkan evaluasi keberhasilan kebuntingan dinilai melalui indikator yang


terdiri dari :
- Non Return Rate (NRR-1 dan NRR-2)
Jumlah sapi di IB – jumlah sapi di IB ulang
% NRR = x100%
Jumlah sapi di IB
(Susilawati, 2011)
- Conception Rate
Jumlah betina bunting pada inseminasi pertama
% CR = x100%
Jumlah akseptor

(Sonjaya, et al., 2020)

Analisis data
Data yang diperoleh ditabulasi dengan Microsoft Exel kemudian dianalisa dengan
metode deskriptif kualitatif untuk mengetahui keberhasilan kebuntingan sapi
persilangan limousine berdasarkan karakter estrus yang dimiliki.

Hasil dan Pembahasan


Evaluasi keberhasilan inseminasi buatan pada sapi dapat dinilai melalui beberapa
indikator, antara lain adalah Non Return Rate dan Conception Rate. NRR
merupakan suatu indikator penilaian berdasarkan jumlah sapi yang tidak birahi
kembali pada siklus estrus berikutnya setelah IB, sehingga dapat diasumsikan
bahwa ternak tersebut dalam keadaan bunting (Dash, et al., 2016).

Keberhasilan IB berdasarkan karakter warna vulva pada penelitian ini dapat


dilihat pada Tabel 1.

Warna vulva sebelum ib dan keberhasilan kebuntingan pada sapi Pesilangan


Limousin
Berdasarkan tabel. 1 dapat diketahui bahwa ternak dengan kondisi warna vulva
yang merah merata pada saat IB memiliki nilai CR yang paling tinggi yaitu
sebesar 52,38%, kemudian pada kondisi vulva berwarna merah tidak merata
memiliki nilai CR sebesar 40,91% dan pada kondisi warna vulva yang pucat tidak
menunjukkan adanya ternak yang bunting. Pada kondisi vulva yang berwarna
merah merata menunjukkan bahwa karakter estrus yang ditunjukkan oleh ternak

370
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tersebut lebih jelas.Jannah, dkk.,(2020) Karakter estrus yang tampak jelas


menunjukkan kualitas birahi yang baik. Semakin jelas tanda-tanda estrus yang
tampak, maka keakuratan identifikasi birahi semakin tinggi, sehingga waktu
pelaksanaan IB akan semakin tepat. Sonjaya, et al. (2020) beberapa faktor yang
dapat memengaruhimunculnya tanda estrus pada ternak yaitu kondisi fisiologi
ternak, bangsa, umur, lingkungan, bobot badan serta nutrisi.

Tabel 1.Persentase kondisi warna vulva saat IB dan keberhasilan kebuntingan


pada sapi persilangan Limousin

Jumlah
Warna vulva sebelum IB NRR-1 (%) NRR-2 (%) CR (%)
sampel (%)

Pucat 2 (4,44) 2 (100,00) 2 (100,00) 0 (0)


Merah tidak merata 22 (48,89) 14 (63,64) 14 (63,64) 9 (40,91)
Merah merata 21 (46,67) 17 (80,95) 16 (76,19) 11 (52,38)
Total 45 (100)

Suhu vagina sebelum ib dan keberhasilan kebuntingan pada sapi Pesilangan


Limousin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu vagina yang berada pada kisaran 37-38
memiliki nilai CR sebesar 54,55% dengan NRR 1 dan NRR 2 yang sama yaitu
sebesar 72,73%. Sedangkan pada sapi dengan suhu vagina >38 memiliki nilai CR
sebesar 41,18% dengan NRR 1 73,53% dan NRR 2 70,59%. Pada sapi dengan
kondisi suhu vagina terjadi penurunan dari NRR 1 ke NRR 2.Hal ini dapat
disebabkan oleh tidak teramatinya kondisi birahi pada ternak pada NRR 1 oleh
peternak, terjadinya silent heat dan kematian embrio dini.Silent dan kematian
embrio dini dapat disebabkan oleh kualitas dan kuantitas nutrisi yang belum
tercukupi.Ojha, et al.,(2018)menyatakan bahwa rendahnya kualitas pakan dapat
menyebabkan abnormalitas pada organ reproduksi betina yang meliputi ovary,
oviduct, uterus, serviks dan vagina. Pakan sangat berperan dalam pembentukan
folikel sehingga dapat mempengaruhi siklus hormonal pada ternak.Pakan yang
kurang baik yang dapat dilihat dengan kondisi tubuh yang jelek. Kandungan
energi dan protein dalam pakan merupakan faktor utama yang diberikan dalam
jumlah besar dan menjadi prioritas dalam mengoptimalkan reproduksi.Selain itu
mineral dan vitamin juga memberikan pengaruh yang penting dan harus diberikan
dalam jumlah yang seimbang untuk mendukung kebutuhan nutrisi ternak.

Tabel 2. Persentase kondisi suhu vagina saat IB dan keberhasilan kebuntingan


pada sapi persilangan Limousin

Jumlah
Suhu vagina sebelum IB NRR-1 (%) NRR-2 (%) CR (%)
sampel (%)

37-38 11 (24,44) 8 (72,73) 8 (72,73) 6 (54,55)


>38 34 (75,56) 25 (73,53) 24 (70,59) 14 (41,18)
Total 45 (100)

371
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kebengkakan vulva pada saat ib dan keberhasilan kebuntingan pada sapi


Pesilangan Limousin
Berdasarkan tabel. 3 dapat diketahui bahwa ternak dengan kondisi vulva yang
sangat bengkak memiliki nilai CR yang lebih tinggi yaitu sebesar 45,45%
daripada ternak dengan kondisi vulva sedikit bengkak yaitu hanya sebesar
43,48%. Kebengkakan vulva pada ternak dapat dipengaruhi oleh kadar hormone
estrogen yang dimiliki. Baliarti, et al (2020) menyatakan bahwa penampilan
kualitas birahi berkaitan dengan konsentrasi hormone estrogen, semakin tinggi
kadar hormone estrogen yang dihasilkan oleh folikel, maka tanda-tanda estrus
akan tampak sangat jelas. Tingginya kadar hormon estrogen pada saat estrus akan
menyebabkan perubahan fisik pada vulva yaitu vulva berwarna merah, suhu
meningkat dan mengalami pembengkakan akibat tingginya aliran darah yang
menuju vulva. Tampilan estrus pada waktu IB memengaruhi angka kebuntingan
pada ternak, tanda estrus yang tampak jelas menunjukkan bahwa sapi tersebut
memilki fertilitas yang baik sehingga memiliki peluang kebuntingan yang tinggi
dari pada sapi yang tidak menunjukkan tanda-tanda estrus (Madureira, et al.,
2019).

Tabel 3. Persentase kondisi kebengkakan vulva pada saat IB dan keberhasilan


kebuntingan pada sapi persilangan Limousin

Kebengkakan vulva Jumlah


NRR-1 (%) NRR-2 (%) CR (%)
sebelum IB sampel (%)

Sedikit bengkak 23 (51,11) 17 (73,91) 16 (69,57) 10 (43,48)


Sangat bengkak 22 (48,89) 17 (77,27) 17 (77,27) 10 (45,45)
Total 45 (100)

Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa ternak yang memiliki karakter
estrus warna vulva merah merata, suhu vagina sebesar 37-38 dan keadaan vulva
sangat bengkak pada saat di IB memiliki tingkat kebuntingan yang lebih tinggi.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPM) Universitas Brawijaya yang telah memberikan dana Hibah Penelitian
Unggul.

372
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Daftar Pustaka
Baliarti, E., Panjono, Ali, M.H.,Widi, T.S.M., Yulianto, D.E., Atmoko, B.A.,
Maulana, H., Effendy J., Prihandini P.W., and Pamungkas, D. 2020. Sexual
Behaviors of Ongole Crossbred Bulls and Cows with Colony Housing System.
In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science,465(1), p. 012045.
Dash, S., Chakravarty, A.K., Singh, A., Upadhyay, A., Singh M.,and Yousuf, S.
2016. Effect of Heat Stress on Reproductive Performances of Dairy Cattle And
Buffaloes: A Review. Veterinary World. 9(3), 235–244.
Jannah, R., Thasmi, C.N., Hamdan, H. dan Siregar, T.N. 2020.Kinerja Birahi pada
Sapi Aceh yang Mengalami Kawin Berulang. Ovozoa Journal of Animal
Reproduction. 9(2), 48-52.
Labetubun, J., Siwa, I.P dan Reressy, F. 2020. Penentuan Waktu Efektif Selama
Fase Luteal dalam Sinkronisasi Estrus Menggunakan PGF2α pada Kambing
Kacang. Agrinimal Jurnal Ilmu Ternak dan Tanaman. 8(1), 11-16.
Madureira, A. M. L., Polsky, L.B., Burnett, T.A., Silper, B.F., Soriano, S., Sica,
A.F., Pohler, K.G., Vasconcelos, J.L.M and Cerri, R.L.A. 2019. Intensity of
Estrus Following an Estradiol-Progesterone-Based Ovulation Synchronization
Protocol Influences Fertility Outcomes. Journal Of Dairy Science. 102(4),
3598-3608.
Ojha, L., Grewal, S., Singh, A. K., Pal, R. P., and Mir, S. H. 2018. Trace minerals
and its role on reproductive performance of farm animals. Journal of
Entomology and Zoology Studies. 6(4), 1406-1409.
Rachmawati, A., Ismaya, Widyobroto,B. P., Bintara, S., dan Susilawati, T. 2018.
Aplikasi Inseminasi Buatan pada Induk Sapi Potong Menggunakan Semen Cair
Sapi Peranakan Ongole dengan Cauda Epidydymal Plasma-2 + 0,6% Bovine
Serum Albumin. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 28(3), 247-258.
Rusdiana, S. dan Maesya, A. 2017.Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Pangan
di Indonesia.Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Jurnal Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 6(1),12-25
Sá Filho, M. F., H. Ayres, Ferreira, R.M., Nichi, M., Fosado, M., FilhoE.P.C. and
Baruselli,P.S. 2010. Strategies to Improve Pregnancy Per Insemination Using
Sex-Sorted Semen in Dairy Heifers Detected In Estrus. Theriogenology. 74(9),
1636-1642.
Siregar, T. N., Armansyah, T., Panjaitan, B., Gholib, G., Herrialfian, Sutriana,A.,
Abidin,Z., Reynaldi,M.A., Razak, F., Artaliani Y., dan Yuswar. 2019. Changes
in Cervical Mucus as an Indicator of Fertility in Aceh Cattle. Adv. Anim. Vet.
Sci, 7(4), 306-314.
Sonjaya, H., Rahim,L., Sari,D.K., Abdullah, A., Gustina S., and Hasbi, H. 2020.
Estrous and Pregnancy Rate Responses of Postpartum Bali Cattle to
Concentrate Supplementation with Different Protein Levels of Rice-Straw As
Basal Ration. In IOP Conference Series: Earth And Environmental Science,
492 (1), p. 012075).
Susilawati, T. 2011. Spermatologi. Malang: UB Press. ISBN : 978-602-8960-04-
5.
Susilawati, T., Isnaini, N., Yekti, A.P.A., Nurjannah, I., Errico, E. dan Costa,
N.D..2016. Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku dan

373
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

semen cair pada sapi Peranakan Ongole. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 26(3),
14-19.
Yekti, A. P. A., OctavianiE.A., Kuswati dan Susilawati, T. 2019. Peningkatan
Conception Rate dengan Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Sexing
Double Dosis pada Sapi Persilangan Ongole.Journal of Tropical Animal
Production. 20(2), 135-140.

374
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

BOBOT BADAN DAN BOBOT KARKAS ITIK PERSILANGAN


KERINCI X PEKING

Eko Wiyanto*, Silvia Erina, Sri Wigati

Fakultas Peternakan Universitas Jambi


*Email korespondensi : ekowiyanto@unja.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot badan dan bobot karkas itik hasil
persilangan antara itik Kerinci dengan itik Peking. Penelitian dilaksanakan di
kandang percobaan Fakultas Peternakan Universitas Jambi selama 5 bulan. Materi
yang digunakan adalah itik Kerinci sebanyak 6 ekor betina dan 3 ekor jantan, itik
Peking sebanyak 9 ekor betina dan 2 ekor jantan. Perkawinan dilakukan secara
resiprocal cross, rasio jantan dengan betina adalah 1 : 3. Itik dipotong pada umur
10 minggu untuk mendapatkan bobot karkas. Hasil penelitian menunjukkan bobot
DOD sampai bobot badan umur 8 minggu menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata (P>0,05) antara itik jantan dengan itik betina. Pada umur 8 minggu itik
jantan memiliki bobot badan sebesar 1397,3 ± 194,7 gram dan itik betina sebesar
1340,9 ± 155,9 gram Tetapi pada umur 9 dan 10 minggu terdapat perbedaan bobot
badan yang nyata (P<0,05) antara itik jantan dengan itik betina. Pada umur 10
minggu bobot badan itik jantan dan betina berturut-turut sebesar 1721,3 ± 169,3
gram dan 1437,2 ± 148,1 gram. Bobot karkas itik jantan nyata lebih tinggi
(P<0,05) dibanding bobot karkas itik betina, yaitu 930,5 ± 131,1 gram dan 811,4 ±
94,0 gram. Sedangkan persentase karkas menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata (P>0,05) antara itik jantan dengan itik betina, yaitu sebesar 56,6 ±2,6 % dan
56,4 ± 3,0 %. Kesimpulan dari penelitian ini adalah persilangan itik Kerinci x
Peking dapat menghasilkan bobot potong yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan itik Kerinci.

Kata Kunci : Itik Kerinci, itik Peking, persilangan

Pendahuluan
Provinsi Jambi mempunyai plasma nutfah berupa itik Kerinci. Itik Kerinci
merupakan populasi itik yang sudah diakui sebagai rumpun itik dengan Surat
Keputusan Menteri Pertanian nomor 2834 tahun 2012. Plasma nutfah merupakan
sumberdaya genetik yang bisa dimanfaatkan untuk membentuk bibit unggul.
Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.Bisa
saja bibit unggul ternak masa kini yang dibentukmelalui program pemuliaan
merupakan “rakitan” plasma nutfah yang mungkinmerupakan bibit unggul masa
lalu (Ollivier and Foulley, 2009).

Di sisi lain terdapat itik Peking yang merupakan itik tipe pedaging yang sudah
banyak dipelihara di Indonesia. Keunggulan dari itik Peking adalah memiliki
bobot badan yang besar dan pertambahan bobot badan yang cepat. Pada umur
tujuh minggu itik Peking bisa mencapai bobot badan 3124 gram di daerah sub
tropis (Kokoszynski and Bernacki, 2011). Akan tetapi di Indonesia yang

375
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

merupakan negara tropis bobot badan itik Peking pada umur enam minggu bobot
badannya adalah 1755 gram (Purba, et.al., 2017). Hal tersebut bisa dimengerti
bahwa itik Peking bukan itik asli Indonesia, sehingga kemampuan adaptasinya
terhadap lingkungan tropis akan berpengaruh terhadap produktivitasnya.

Persilangan antar bangsa bertujuan untuk menggabungkan keunggulan yang


dimiliki masing-masing bangsa. Sehingga keturunannya akan memiliki
produkvitas yang lebih baik dibanding rata-rata kedua bangsa yang disilangkan.
Keunggulan diatas rata-rata kedua bangsa disebut sebagai efek heterosis, oleh
karena itu persilangan biasanya bertujuan untuk memanfaatkan adanya efek
heterosis tersebut (Oldenbroek and Waaij, 2014).

Itik Kerinci memiliki keunggulan dalam daya adaptasinya terhadap lingkungan


tropis karena telah lama berada di Jambi yang merpakan daerah tropis. Sedangkan
itik Peking memiliki keunggulan dalam hal bobot badannya. Oleh karena itu
persilangan antara keduanya diharapkan akan menghasilkan itik dengan bobot
badan yang tinggi dan daya adaptasi terhadap lingkungan tropis yang baik.
Persilangan antara itik Kerinci dengan itik Peking diharapkan akan menghasilkan
anak yang mempunyai daya adaptasi yang baik dengan lingkungan tropis yang
didapat dari itik Kerinci dan pertambahan bobot badan yang tinggi yang didapat
dari itik Peking.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar performans itik
hasil persilangan antara itik Kerinci jantan dengan itik Peking betina pada
generasi pertama (F1).

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan, dilakukan dengan cara
mengawin-silangkan itik Kerinci jantan dengan itik Peking betina dengan rasio
jantan : betina 1 : 3. Itik jantan dan betina dipelihara dalam kandang ukuran 2x3
sebanyak 5 kandang. Tiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat
minum serta tempat bertelur. Tempat bertelur dibuat dari papan kayu berbentuk
kotak dengan ukuran 50x40 cm yang diberi alas daun-daun kering. Pakan yang
diberikan adalah campuran dari dedak, jagung dan konsentrat. Telur yang
dihasilkan selanjutnya ditetaskan dengan mesin tetas kapasitas 200 butir telur.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah nested design yaitu pengaturan
perkawinan antara itik jantan dengan betina. Sistem perkawinan yang digunakan
adalah tiap ekor itik Kerinci jantan dikawinkan dengan 3 ekor itik Peking betina
dan menghasilkan beberapa anak (unequal numbers per subclass) (Becker, 1985).

Tempat dan waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan Fakultas Peternakan Universitas
Jambi selama 6 bulan.

Materi penelitian
Materi yang digunakan adalah itik Kerinci sebanyak 6 ekor betina dan 3 ekor
jantan, itik Peking sebanyak 9 ekor betina dan 2 ekor jantan. Perkawinan
dilakukan secara resiprocal cross, rasio jantan dengan betina adalah 1 : 3.

376
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Alat dan bahan penelitian


Alat dan bahan yang digunakan adalah kandang semi umbaran dengan ukuran 9 x
3 meter yang disekat menjadi 3 kandang dengan ukuran 2x3 meter dan 1 kandang
berukuran 6x6 meter, pakan itik (terdiri dari dedak, jagung dan konsentrat),
tempat pakan, tempat minum, timbangan digital dan obat-obatan ternak (vaksin).
Kandang dibuat dari kayu dengan dinding pembatas terbuat dari papan kayu.
Tinggi kandang 2,5 meter dengan dinding pemisah setinggi 75 cm.

Peubah yang diamati


Pengambilan data dilakukan dengan cara melakukan penimbangan dengan
menggunakan timbangan digital yang reliabel pada masing-masing peubah.
Adapun peubah yang akan diukur adalah : bobot tetas, bobot badan umur 1
sampai 10 minggu, bobot karkas dan persentase karkas.

Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menghitung rataan dan ragam dari peubah-
peubah yang diamati. Untuk membedakan rataan peubah antara itik jantan dengan
betina digunakan uji t (Steel dan Torrie, 1995).

Hasil dan Pembahasan


Bobot badan
Hasil penimbangan pada bobot DOD dan bobot badan pada berbagai umur dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data bobot badan itik hasil persilangan antara itik Kerinci dengan itik
Peking
Bobot Badan Jantan Bobot Badan Betina
No Umur
(gram) (gram)
1 DOD 40,1 ± 3,4 40,7 ± 3,7
2 1 minggu 92,0 ± 16,4 96,7 ± 18,1
3 2 minggu 245,5 ± 48,5 255,2 ± 43,5
4 3 minggu 442,1 ± 79,3 445,8 ± 69,2
5 4 minggu 674,4 ± 101,8 671,6 ± 84,2
6 5 minggu 883,1 ± 116,6 865,9 ± 112,3
7 6 minggu 1054,4 ± 161,0 1026,9 ± 127,2
8 7 minggu 1242,7 ± 152,8 1188,6 ± 161,9
9 8 minggu 1397,3 ± 194,7 1340,9 ± 155,9
10 9 minggu 1574,7 ± 195,2a 1403,5 ± 170,9b
11 10 minggu 1721,3 ± 169,3a 1437,2 ± 148,1b
a,b
Superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P < 0,05)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan itik ersilangan itik Kerinci
dengan itik Peking terdapat perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) pada saat itik
berumur 1 hari sampai 8 minggu. Tetapi pada saat itik berumur 9 minggu dan 10
minggu itik jantan nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan itik betina.
Performan bobot badan itik persilangan Kerinci x Peking ini, lebih tinggi
dibandingkan dengan bobot badan itik Kerinci. Hasil penelitian Noferdiman, dkk

377
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

(2019) menunjukkan pertambahan bobot badan itik Kerinci jantan sampai umur 7
bulan adalah 1067 gram. Itik Kerinci x Peking jantan hasil penelitian ini pada
umur umur 7 bulan mempunyai pertambahan bobot badan 1202 gram. Namun jika
dibandingkan dengan bobot badan itik Peking, maka itik persilangan Kerinci x
Peking adalah lebih rendah. Hasil penelitian Purba, dkk. (2017) bobot badan itik
Peking pada umur 6 minggu bisa mencapai 1.699 gram.

Bobot badan itik persilangan Kerinci x Peking lebih rendah jika dibandingkan
dengan itik persilangan Peking x Mojosari. Hasil penelitian Purba, dkk (2017)
pada umur 6 minggu itik persilangan Peking x Mojosari mencapai bobot badan
1237 gram. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan bobot badan itik
Mojosari dengan itik Kerinci, dimana itik Kerinci lebih kecil ukuran badannya
jika dibandingkan dengan itik Mojosari. Selain itu perbedaan lingkungan juga bisa
menjadi penyebab perbedaan tersebut (Gibson, 2009).

Hasil persilangan itik Kerinci x Peking menunjukkan bahwa persilangan bisa


digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas itik lokal
(Gibson, 2009). Meskipun hasilnya tidak sebesar yang diharapkan, tetapi
persilangan Kerinci x Peking bisa digunakan untuk menghasilkan itik tipe
pedaging.

Bobot karkas
Hasil penelitian pada bobot karkas dan persentase karkas itik hasil persilangan itik
Kerinci dengan itik Peking dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Bobot Karkas dan Persentase Karkas itik Hasil Persilangan antara itik
Kerinci dengan itik Peking
No Umur Jantan Betina
1 Karkas (gram) 930,5 ± 131,1a 811,4 ± 94,0b
2 % karkas (%) 56,6 ±2,6 56,4 ± 3,0
a,b
Superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (P < 0,05)

Data hasil penelitian pada bobot karkas menunjukkan terdapat perbedaan yang
nyata (P<0,05) antara itik jantan dengan betina, dimana itik jantan memiliki bobot
karkas yang lebih tinggi (930,5 ± 131,1 gram) dibandingkan dengan itik betina
(811,4 ± 94,0 gram). Hal ini disebabkan olek karena bobot potong itik jantan juga
lebih besar dibandingkan dengan itik betina.

Persentase karkas itik persilangan Kerinci x Peking, lebih rendah jika


dibandingkan dengan persentase karkas itik persilangan Peking x Bali yang
mencapai 67,4 % (Ambara, 2013). Begitu juga jika dibandingkan dengan itik
persilangan Peking x Mojosari yang mencapai 76,8 % (Simanullang, dkk, 2015).
Rendahnya persentase karkas itik persilangan Kerinci x Peking ini kemungkinan
disebabkan oleh sistim pemeliharaan yang berbeda dengan penelitian tersebut.

378
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persilangan itik Kerinci x Peking
dapat menghasilkan bobot potong yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan itik
Kerinci.Perlu penelitian lanjutan untuk pengamatan terhadap produksi telur itik
persilangan Kerinci x Peking dengan manajemen pakan dan lingkungan yang
lebih baik.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Fakultas Peternakan yang telah
membiayai penelitian ini melalui dana DIPA PNBP Fakultas Peternakan
Universitas Jambi Tahun Anggaran 2021.

Daftar Pustaka.
Ambara, A.A., I.N. Suparta dan I.M. Suasta. 2013. Performan itik “Cili”
(persilangan itik Peking x itik Bali) umur 1-9 minggu yang diberi ransum
komersial dan ransum buatan dibandingkan itik Bali. Peternakan Tropika
vol.1 no.1 2013 : 20-33.
Becker, W.A., 1985. Manual of Quantitative Genetics. 4th ed. Academic
Enterprises, Pullman, USA Chen, Y.C., H.C. Liu, L.Y. Wei, J.F. Huang, C.C.
Lin, E. Blesbois and M.C. Chen, 2016. Sperm Quality Parameters and
Reproductive Efficiency in Muscovy Duck (Cairina moschata). J.Poult.Sci.
53 : 223-232.
Gibson, J.P. 2009. Livestock Genetic Resources: Preserving Genetic Adaptations
for Future Use . In AdaptationandFitness
inAnimalPopulationsEvolutionaryandBreedingPerspectives
onGeneticResourceManagementEditedbyJulius vanderWerf. Springer.
Australia.
Noferdiman, Lisna dan Y. Damayanti. 2019. Penggunaan Tepung Azolla
microphilla dan Enzim Selulase Dalam Ransum Terhadap Penampilan
Produksi dan Nilai Ekonomis Itik Lokal Kerinci Jantan. Pastura : Volume 8
Nomor 1 Tahun 2019..
Oldenbroek, K. And L. Van der Waaij, 2014. Texbook Animal Breeding. Centre
for Genetics Resources and Animal Breeding an Genomics Group.
Wageningen University and Research Centre, the Netherlands.
Ollivier, L. and J.L. Foulley. 2009. Managing Genetic Diversity, Fitness and
Adaptation of Farm Animal Genetic Resources. In AdaptationandFitness
inAnimalPopulations EvolutionaryandBreedingPerspectives
onGeneticResourceManagement Editedby Julius vanderWerf. Springer.
Australia.
Purba, M., A.P. Sinurat dan T. Susanti. 2017. Performa tiga genotipe itik pedaging
(Peking, PMp dan E-PMp) dengan pemberian dua jenis ransum selama enam
minggu. Proc. Semnas TPV-2017-p.388-396.
Simanullang, S., I. Setiawan dan N. Hilmia, 2015. Bobot Potong, Edible dan Non
Edible Itik Peking Mojosari (PMp) Pada Pemberian Pakan Sisa Rumah
Makan dan Komersial. Jurnal Universitas Pajajaran. Bandung.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT.
Gramedia. Terjemahan : B. Sumantri. Jakarta

379
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH SUPLEMENTASI L-ARGININ TERHADAP KUALITAS


SEMEN BEKU KAMBING

Reza Fahlevi1,*, Sri Wahjuningsih2, M. Nur Ihsan2


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi:rezafahlevi@student.ub.ac.id

Abstrak
Kambing Boer merupakan salah satu jenis kambing yang memiliki daya tahan
tubuh yang baik dan laju pertumbuhan yang cepat meskipun dikondisi yang
buruk. Upaya untuk meningkatkan mutu genetik dan populasi kambing Boer
dapat dilakukan melalui manajemen reproduksi dengan cara Inseminasi Buatan.
Kualitas semen merupakan salah satu faktor keberhasihan dalam IB, untuk itu
diperlukan pengencer yang mampu mempertahankan kualitas semen agar fertilitas
semen tetap baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
suplementasi L. Arginin terhadap kualitas semen beku kambing. Metode yang
digunakan adalah eksperimen dengan empat perlakuan dan 10 ulangan. Semen
diencerkan menggunakan Tris aminometan Kuning Telur dengan penambahan L-
Arginin. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah kulitas motilitas before
freezing dan post thawing, viabilitas before freezing dan post thawing. Rancangan
penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 10 ulangan.
Analisis data menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan
dengan Uji Jarak Berganda Duncanapabila terdapat perbedaan. Hasil penelitian
menunjukkan penambahan suplementasi L-Arginin memberikan pengaruh sangat
nyata (p < 0,01) terhadap motilitas pada pengamatan post thawingdan pengaruh
nyata (p < 0,05) terhadap motilitas, viabiltas pada pengamatan before freezing,
serta pengamatan viabilitas pada pengamatan post thawing. Dapat disimpulkan
bahwa hasil dari motilitas pada post thawing memberikan pengaruh sangat nyata
dengan perlakuan P2 yang terbaik.

Kata Kunci:motilitas, viabilitas, before freezing,post thawing.

Pendahuluan
Kambing Boer merupakan ternak ruminansia tipe pedaging yang memiliki
pertumbuhan relatif lebih cepatkarena mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan jenis kambing lainnya yakni ukuran tubuh yang besar, dan mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan (Suharyati dan Hartono, 2013).Upaya
untuk meningkatkan mutu genetik dan populasi kambing Boer dapat dilakukan
melalui manajemen reproduksi dengan cara Inseminasi Buatan (IB). Berhasilnya
suatu program kegiatan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak salah satunya
tergantung pada keualitas dan kuantititas semen segar yang diejakulasikan pada
seekor pejantan.Pemeriksaan kualitas semen merupakan langkah awal dalam
penerapan keberhasilan IB guna untuk semen layak di IB kan pada ternak betina
atau tidak.

380
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Spermatozoa pada kambing biasanya mengalami kurusakan pada saat proses


pembekuan. Semen beku merupakan usaha mempertahankan fertilitas
spermatozoa dalam periode yang lama yakni untuk mempertahankan daya tahan
hidup spermatozoan.Namun semen beku memilki kekurangan pada saat proses
pembekuan. Masalah yang timbul pada proses pembekuan adalah pengaruh cold
shock, cekaman osmotik (osmotic shock), pada sel yang dibekukan yang merusak
membran plasma sel sehingga berakibat kematian pada spermatozoa dan
berubahnya kondisi intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan
pembentukan Kristal-kristal es sehingga dapat menurunkan kualiatas dari semen
(Pamungkas, 2009).Berbagai usaha yang dilakukan untuk menjaga kualitas semen
dengan mengunakan pengencer yang ditambahkan aktioksidan tepat utuntuk
melindungi spermatozoa dari cold shock dan dapat mempertahankan kualitas
spermatozoa sedangkan penambahan antioksidan didalam pengencer berguna
untuk menekan reaksi radikal bebas.Penelitian ini menggunakan pengencer tris
aminometan dengan penambahan ekstrak semanggi air. Pengencer tris
aminometan merupakan pengencer yang juga dapat mempertahakan kualitas
semen, karena memiliki bahan atau zat yang diperlukan oleh spermatozoa yang
merupakan sumber makanan antara lain fruktosa, laktosa, rafinosa, asam amino
dan vitamin dalam telur, sehingga spermatozoa dapat memperoleh sumber energi
dalam jumlah yg cukup. Selain itu pengencer tris aminometan memiliki harga
yang murah sehingga mudah didapat. Pengenceran semen merupakan upaya untuk
memperbanyak volume semen, mengurangi kepadatan spermatozoa serta menjaga
kelangsungan hidup spermatozoa sampai waktu tertentu pada kondisi
penyimpanan di bawah atau di atas titik beku.Antioksidan merupakan salah satu
senyawa yang mampu melawan radikal bebas yang terbentuk dari hasil
metabolisme oksidatif.

Salah satu zat yang dapat ditambah pada pengencer semen adalah L-Argine.L-
Argine merupakan asam amino yang paling umum yang merupakan asam amino
semi esensial yang dapat menangkap hidrogen peroksida (H2O2) dan anion
superosidasi (O2-) L-Argine berperan menghambat aktivitas radikal bebas yang
membentuk NO (Nitric oxide)(Budiman, 2008).Menurut Simanjuntak (2012) ada
dua fungsi mekanisme antioksidan yaitu dengan mendonorkan atom hidrogen dan
memperlambat laju autooksidasi sehingga rantai autooksidasi terputus.

Metode
Penelitian menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan 4 perlakuan
10 kali ulangan dan percobaan laboratorium menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Perlakuan penelitian ini sebagai berikut : P0 : 0mM L-Arginin,
P1 : 5mM L-Arginin, P2 : 6mM L-Arginin, P3 : 7mM L-Arginin.

Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya Malang dan Laboratorium Lapang
Sumbersekar Universitas Brawijaya Malang dan akan dilaksanakan pada tanggal
19 Agutus – 21 Oktober 2021.

381
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Analisis data
Data dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA), apabila ada perbedaan
yang nyata atau sangat nyata maka dianalisis lanjut dengan menggunakan Uji
Jarak Berganda Duncan (UJBD).
Model linier Rancangan Acak Lengkap dapat dilihat dibawah ini :

Yij = µ + τi + εij
Keterangan :
i = perlakuan
j = ulangan i, j = 1, 2, 3,…,n
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = rataan umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hasil dan Pembahasan


Kualitas semen segar kambing boer
Semen segar kambing Boer yang diperoleh dari hasil penampungan vagina
buatan, kemudian dilakukan uji kualitas semen segar meliputi uji mikroskopis dan
makroskopis. Uji makroskopis yang dilakukan diantaranya uji pH, volume, dan
warna, sedangkan untuk uji mikroskopis yang dilakukan meliputi motilitas massa,
motilitas individu, konsentrasi, viabilitas, dan abnormalitas. Hasil uji kualitas
semen kambing Boer disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan semen segar kambing Boer


Parameter Rataan ± SD
Makroskopis
Volume (ml) 1,6 ± 0,5
Warna Putih Susu
Bau Khas Semen
Ph 6,6 ± 0,4
Konsistensi Kental
Mikroskopis
Motilitas Massa 2+
Motilitas Individu (%) 87± 5,37
Konsentrasi (juta/ml) 5561± 1604
Viabilitas (%) 88,56 ± 5,83
Abnormalitas (%) 2,83 ± 0,87

Hasil pengamatan menunjukan bahwa volume semen segar yangdidapatkan


1,6±0,4 ml/ejakulasi dan pH 6,6±0,4 hal ini tidak sebanding dengan Mahmilia dan
Taringan (2004) dalam Suyadi, Rachmawati, dan Iswanto (2012) menyatakan
volume semen segar untuk domba dan kambing berkisar antara 0,8-1,2 ml per
ejakulasi, pH 5,9-7,3, konsentrasi spermatozoa 2000-3000 juta/ml, motilitas 75%
dan spermatozoa normal mencapai 90% dikarenakan pada saat penelitian dilapang
ternak tidak dilakukan penampungan semen dan kawin alam namun dalam

382
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Motilitas degan hasil penelitian 87 ± 5,37 memiliki kualitas yang baik.Beragam


volume semen pada saat penampungan dipengaruhi oleh perbedaan individu
ternak,bangsa ternak, umur, nutrisi, frekuensi ejakulasi, interval korelasi semen
dan cara koleksi semen (Tambing, Toelihere, Yusuf, Purwantara dan Sutama,
2003).Dari hasil data yang didapat rata-rata pH 6,6 ± 0,4. Semen yang normal
memiliki pH berkisar 6,2-6,8 semen kambing dan domba biasanya sedikit
asam.Warna semen kambing Boer pada saat pengamatan putih susu yang pada
umumnya warna semen yang normal adalah putih kekuningan atau putih susu
(Susilawati, 2013).Hasil pengamatan menunjukkan semen kambing yang
ditampung memiliki bau khas semen kambing Boer. Menurut Kartasudjana (2001)
Semen yang normal, pada umumnya, memiliki bau amis khas disertai dengan bau
dari hewan itu sendiri.Dari hasil pengamatan yang didapat dialam 7 kali
penampungan didapatkan motilitas massa ++.Viabilitas merupakan salah satu
penentu kualitas semen karena berhubungan dengan hidup matinya spermatozoa
dalam hasil pengamatan didapatkan viabilitas sebesar 88,56 ± 5,83 hal ini masih
dianggap normal.Abnormalitas yang didapat dari hasil pengamatan yaitu 2,83 ±
0,87 ini masih sangat aman untuk dilakukan pengenceran dan dapat digunakan
untuk pembuahan.

Pensentase motilitas individu spermatozoa selama penyimpanan before freezing


dan post thawing
Motilitas digunakan sebagai acuan atau faktor sebagai kesanggupan membuahi
atau pengaruh fertilitas suatu ternak. Hal ini juga dapat dilihat dari pergerakan
spermatozoa Pengamatan motilitas individu spermatozoa dapat dilakukan dengan
meneteskan semen pada objek glas ditutup dengan cover glas dan diamati dengan
mikroskop pada perbesaran 400x. Susilawati (2011) menyatakan
mengklasifikasikan gerak motilitas individu spermatozoa mulai dari
pergerakanprogresif atau gerak maju yang merupakan gerak terbaik, gerak
mundur dan gerak melingkar sering murupakan tanda cold shock, gerakan
berayun atau berputar-putar ditempat sering dilihat pada semen yang tua,
kemudian apabila spermatozoa banyak yang berhenti bergerak dianggap mati.
Hasil dari data analisis statistik kualitas motilitas semen degan penambahan
suplementasi L-Arginin dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Pengaruh suplementasi L-Arginin terhadap motilitas


Perlakuan Pengamatan
Before Freezing Post Thawing
a
P0 75.40 ± 2.95 50.00 ± 7.29 ab
P1 77.50 ± 3.54 ab 46.40 ± 5.23 a
b
P2 79.90 ± 3.75 56.50 ± 4.77 b
P3 77.70 ± 3.06 ab 48.30 ± 6.77 a

Hasil analisis ragam menunjukkan suplementasi L-Arginin memberikan pengaruh


nyata (p < 0,05) terhadap motilitas pada pengamatan before freezing.Pada
penambahan suplementasi L-Arginin terhadap pengencer terlihat pada waktu
penyimpanan before freezingyang berlangsung dapat juga
menyebabkanmenurunnya motilitas sel spermatozoakarena adanya sel
spermatozoa yangmengalami cold shock. Penyimpanan yang lebih lama padasuhu

383
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

rendah selspermatozoa yang terkena kejutandingin akan lebih cepat mati (Danang,
Isnaini dan Trisunuwati, 2012). Dari Hasil deskripsi berdasarkan nilai rata-rata ±
simpangan baku motilitas before freezing menunjukkan motilitas tertinggi pada
perlakuan P2 (6 mM L-Arginin) dengan presentase 79,90, sedangkan motilitas
terendah pada perlakuan P0 (0 mM L-Arginin) dengan presentase 75,40. Hasil
tersebut sesuai dengan pendapat Mukminat dkk. (2014) yang mengatakan bahwa
motilitas semen yang telah didinginkan pada suhu 5°C tidak boleh berada di
bawah 55%.Namun dari data before freezing ke data post thawing mengalami
penurunan. Masalah yang sering timbul pada proses pembekuan semen adalah
rusaknya membran plasma spermatozoa akibat terbentuknya peroksidasi
lipid.Hasil deskripsi berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku motilitas post
thawing menunjukkan motilitas tertinggi pada perlakuan P2 (6 mM L-Arginin),
sedangkan motilitas terendah pada perlakuan P1 (5 mM L-Arginin).Hal sesuai
dengan menururt Gordon (1990) dalam Mukminat dkk. (2014) yaitu penambahan
antioksidandengan dosis tepat dapat lebih banyak menangkap reaksi radikal
peroksida lipid sehingga tidak terjadi reaksi radikal yang berkelanjutan.

Pensentase viabilitas individu spermatozoa selama penyimpanan before freezing


dan post thawing
Hasil analisis ragam menunjukkan suplementasi L-Arginin memberikan pengaruh
nyata (p < 0,05) terhadap viabilitas pada pengamatan before freezing dan post
thawing. Hasil deskripsi berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku viabilitas
before freezing menunjukkan viabilitas tertinggi pada perlakuan P2 (6 mM L-
Arginin), sedangkan viabilitas terendah pada perlakuan P1 (5 mM L-Arginin).
Hasil deskripsi berdasarkan nilai rata-rata ± simpangan baku viabilitas post
thawing menunjukkan viabilitas tertinggi pada perlakuan P2 (6 mM L-Arginin),
sedangkan viabilitas terendah pada perlakuan P1 (5 mM L-Arginin).Hasil dari
data analisis statistik kualitas viabilitas semen degan penambahan suplementasi L-
Arginin dapat dilihat pada Tabel 3.

Table 3. Pengaruh suplementasi L-Arginin terhadap motilitas


Perlakuan Pengamatan
Before Freezing Post Thawing
P0 83.39 ± 2.73 ab 71.78 ± 5.05 ab
P1 82.20 ± 3.04 a 68.17 ± 3.44 a
P2 86.10 ± 3.20 b 74.36 ± 4.77 b
b
P3 85.32 ± 3.43 70.86 ± 4.33 ab

Menurut Herdis (2005) kematian spermatozoa yang tinggi pada proses pengolahan
semen disebabkan oleh rusaknya membran plasma spermatozoa akibat peroksida
lipid.Menurut Sikka (2004) persentase hidup dan mati spermatozoa juga erat
kaitannya dengan keutuhanmembran plasma. Membran plasma spermatozoa
secara umum tersusun oleh proteindan fosfolipid dan akan menggunakan
mekanisme tertentu untuk mencegahkerusakan membran yang terkontrol.
Penyimpanan yang lebih lama padasuhu rendah selspermatozoa yang terkena
kejutandingin akan lebih cepat mati yang dikarenakan kerusakan membran plasma
spermatozoa (Danang, Isnaini dan Trisunuwati, 2012). Menurut Hartono (2008)
membran plasma berfungsi melindungi organel-organelsel dan mengatur tekanan

384
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

osmose selamaproses metabolisme berlangsung. Peroksidasi lipidyang terjadi


pada spermatozoa menyebabkanterjadinya kerusakan membran plasma
spermatozoa,sehingga terjadi gangguan keseimbangan tekananosmose di dalam
dan luar sel. Penurunan nilai viabilitas yang signifikan saat post thawing diduga
spermatozoa disimpan dalam suhu (-196˚C) sehingga memungkinkan adanya
perubahan selama proses pembekuan dan terjadi kontak antara semen dan udara
pada saat prosesing semen menyebabkan radikal bebas.Menurut Feradis
(2009)antioksidan berperan mencegah kerusakan membran plasma spermatozoa
yang disebabkan cekaman dingin dan memberikan perlindungan terhadap
perubahan yang disebabkan pembekuan dan mencegah peroksidasi lipid.

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan penambahan suplementasi L-Arginin memberikan
pengaruh sangat nyata (p < 0,01) terhadap motilitas pada pengamatan post
thawing dan pengaruh nyata (p < 0,05) terhadap motilitas, viabiltas pada
pengamatan before freezing, serta pengamatan viabilitas pada pengamatan post
thawing. Dapat disimpulkan bahwa hasil dari motilitas pada post thawing
memberikan pengaruh sangat nyata dengan perlakuan P2 yang
terbaik,penambahan antioksidan dengan dosis tepat dapat lebih banyak
menangkap reaksi radikal peroksida lipid sehingga tidak terjadi reaksi radikal
yang berkelanjutan.

Ucapan Terimakasih
Ingin mengucapkan terima kasih atas batuan dan dukungan dari Pengurus
Laboratorium Reproduksi Ternak Universitas Brawijaya Malangdan Dosen
Pembimbing Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.

Daftar Pustaka
Budiman, B. 2008. Peranan protektif dan non-protektif nitric oxides (Nos) pada
imun. Depkes RI. 31(2):74-82.
Danang, D. R., N. Isnaini, P., dan Trisunuwati. 2012. Pengaruh Lama Simpan
Semen Terhadap Kualitas Spermatozoa Ayam Kampung dalam Pengencer
Ringer’s Pada Suhu 4˚C. Jurnal Ternak Tropika. 13(1): 47-57.
Feradis. 2009. Peranan Antioksidan dalam Pembekuan Semen. Jurnal Peternakan.
6(2) : 63-70.
Hartono, M. 2008. Optimalisasi Penambahan Vitamin E dalam Pengencer Sitrat
Kuning Telur Untuk Mempertahankan Kualitas Semen Kambing Boer. J.
Indon. Trop. Anim. Agric. 33(1): 11-19.
Herdis, M. R. Toelihere, I. Supriatna, B. Purwantara dan Adikara. 2005.
Optimalisasi Kualitas Semen Cair Domba Garut (Ovis aries) Melalui
Penambahan Maltosa ke Dalam Pengencer Semen Tris-Kuning Telur. Media
Kedokteran Hewan. 21(2): 88-92.
Kartasudjana, R. 2001. Teknik Inseminasi Buatan Pada Ternak. Jakarta.
Mukminat, A., Sri S., Siswanto. 2014. Pengaruh Penambahan Berbagai Sumber
Karbohidrat Pada Pengencer Skim Kuning Telur Terhadap Kualitas Semen
Beku Sapi Bali. JIPT.

385
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pamungkas, F. A. 2009. Potensi Dan Kualita Semen Kambing Dalam Rangka


Aplikasi Teknologi Inseminasi Buatan. Loka Penelitian Kambing Potong.
Sumatra Utara. 19 : 1. 2(2): 87-92.
Sikka, S. C., 2004. Relative Impact of Oxydative Stress on Male Reproduction
Function. Curr Med Com. 8: 851-862.
Simanjuntak, K. 2012. Peran Antioksidan Flavonoid Dalam meningkatkan
Kesehatan. Bina Widya. 23(3) : 135-140.
Suharyati, S., dan M. Hartono. 2013. Peningkatan Kualitas Semen Kambing Boer
dengan Pemberian Vitamin E dan Mineral Zn. Jurnal Kedokteran Hewan. 7
(2): 91-93.
Susilawati, T. 2011. Spermatologi. Universitas Brawijaya Press. Malang.
Susilawati, T. 2013. Pedoman Inseminasi Buatan pada Ternak. UB Press
Universitas Brawijaya. Malang.
Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara, I.K. Sutama, dan P.Z.
Situmorang. 2003. Pengaruh Frekuensi Ejakulasi Terhadap Karakteristik
Semen Segar dan Kemampuan Libido Kambing Saanen. Jurnal Sain Veteriner.
21 (2): 57-65.

386
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PERFORMAN PRODUKSI AYAM BANGKOK BERDASARKAN WARNA


BULU

A.P. Bunga Maharani1, V. M. Ani Nurgiartiningsih2,*, M. Halim Natsir3,


Osfar Sjofjan3, Y. Frita Nuningtyas3
1
Program Sarjana Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
*
Email korespondensi: vm_ani@ub.ac.id

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui performan produksi ayam
Bangkok berdasarkan warna bulu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus
hingga Desember 2021. Lokasi penelitian berada di Berline Farm, desa Ngajum,
Malang, Jawa Timur. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 ekor
ayam Bangkok yang dibedakan berdasarkan warna bulu. Kategori warna bulu
yang digunakan adalah hitam penuh, dominan hitam dan abu. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa bobot badan ayam Bangkok hitam penuh (P1) adalah 3,68 ±
0,45 kg, dominan hitam (P2) 3,95 ± 0,40 kg dan abu (P3) 4,2 ± 0,42 kg. Rata-rata
panjang paruh ayam Bangkok dengan warna bulu hitam penuh (P1) adalah 3,45 ±
0,61 cm, dominan hitam (P2) 3,50 ± 0,73 cm dan abu (P3) 3,65 ± 0,79 cm.
Kesimpulan hasil penelitian adalah bahwa ayam Bangkok dengan bobot badan
tertinggi dan panjang paruh terpanjang adalah ayam dengan warna bulu abu.

Kata Kunci: ayam bangkok, warna bulu, bobot badan, panjang paruh

Pendahuluan
Ayam Bangkok (gallus gallus) berasal dari Thailand dan dikenal sebagai ayam
petarung.Ayam ini mempunyai gerakan yang cepat serta pukulan yang
mematikan, sehingga cocok untuk dijadikan sebagai ayam petarung (Gondang dan
Maloedyn, 2016).Peternak umumnya memelihara ayam bangkok secara khusus
dan tumbuh sebagai ayam aduan dalam perkembangan pemberian bahan ransum
sesuai fase pertumbuhannya (Prasetyo, et al., 2020).Pertama kali ayam Bangkok
masuk di Indonesia berasal dari kota Tuban, Jawa Timur. Ayam Bangkok
dipelihara secara khusus dengan tujuan digunakan sebagai ayam aduan. Bentuk
tubuh ayam Bangkok umumnya lebih besar dan lebih kekar apabila dibandingkan
dengan ayam kampung (Alfian, dkk., 2017). Selain persilangan ayam Bangkok
juga dapat meningkatkan performan ayam (Hijriyanto, dkk., 2017). Ciri-ciri ayam
Bangkok adalah memiliki ukuran tubuh yang tegap, leher yang panjang paruh
yang panjang dan tebal, bobot tubuh sekitar 4 kg, dan warna bulu yang beragam.

Warna bulu merupakan salah satu sifat kualitatif yang dimiliki oleh ayam
Bangkok. Perbedaan warna bulu antar masing-masing ayam Bangkok
mempengaruhi daya jual dan penampilan dari ayam (Permadi, dkk., 2020).
Keragaman warna bulu pada ayam disebabkan oleh pengaruh variasi gen. Gen
adalah bagian dari kromosom yang mengontrol sifat atau sifat suatu organisme

387
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang diturunkan dari induk/induk kepada keturunannya (Gemmati, et al. 2020).


Gen berfungsi sebagai penentu suatu sifat yang dimiliki oleh setiap individu ayam
dalam suatu spesies. Klasifikasi warna bulu dipengaruhi oleh berbagai pigmen,
termasuk pigmen melanoblast yang terbentuk pada awal embrio sekitar 8 jam
inkubasi (Yang, et al. 2015).

Karakteristik ayam Bangkok dapat dilihat dari warna bulu. Warna bulu ayam
Bangkok secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu hitam, bewarna dan putih
(Sitanggang, dkk., 2015). Bewarna dibagi menjadi beberapa warna yaitu wiring,
wangkas, klawu, blorok, dan Jali.Sedangkan warna hitam atau biasa disebut
jragem dibagi menjadi warna hitam penuh dan hitam dominan.Sedangkan warna
putih dibagi menjadi putih dominan dan abu.

Berdasarkan uraian tersebut, dilakukan penelitian dengan tujuan melihat


performan produksi ayam Bangkok berdasarkan warna bulu.Diketahui variasi
warna bulu pada ayam disebabkan oleh sifat genetik dari masing-masing individu
ayam Bangkok.Maka berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penelitian
terhadap performan ayam Bangkok pada umur 2 tahun berdasarkan warna bulu
hitam.

Metode
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus sampai dengan 31 Desember
2021.Penelitian ini berlokasi di Berline Farmyang berada di jalan Maguan nomor
11, Darungan Maguan, Maguan, Kecamatan Ngajum, Malang. Penelitian ini
menggunakan 40 ekor ayam Bangkok yang terdiri dari 12 ekor hitam penuh, 24
ekor dominan hitam dan 4 ekor abu. Pengukuran menggunakan Beberapa alat
yang digunakan antara lain timbangan gantung yang berfungsi sebagai alat ukur
berat badan ayam dan jangka sorong, serta penggaris yang berfungsi sebagai alat
ukur panjang paruh.

Hasil dan Pembahasan


Performan produksi ayam bangkok
Hasil penelitian performan ayam bangkok berdasarkan warna bulu yang meliputi
bobot badan dan panjang paruh selama penelitian disajikan pada tabel 1.

JALU HASIM MANTO

Gambar 1. Ayam Bangkok dengan masing-maisng warna bulu yang berbeda


(Jalu : hitam penuh, Hasim : hitam dominan, Manto : Abu).

388
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1.Rata-rata (X) dan simpangan baku (SB) bobot badan dan panjang paruh
ayam Bangkok
Warna Bulu
Variabel Hitam Penuh Hitam Dominan Abu
X ± SB X ± SB X ± SB
Bobot Badan (kg) 3,68 ± 0,45 3,95 ± 0,40 4,2 ± 0,42
Panjang Paruh (cm) 3,45 ± 0,61 3,50 ± 0,73 3,65 ± 0,79
Total (N) 12 24 4

Bobot badan
Hasil penelitian analisis ragam menunjukkan bahwa pola warna bulu tidak
berpengaruh nyata terhadap bobot badan ayam bangkok.Hal ini dapat dibuktikan
oleh Fitasari, dkk.(2016) yang menyatakan bahwa rata-rata bobot badan ayam
bangkok pada masing-masing warna bulu yang tidak terlalu berbeda. Rata-rata
bobot badan ayam bangkok pada penelitian adalah 3,68; 3,95 dan 4,2 kg. Bobot
badan rata-rata terberat dimiliki oleh ayam bangkok berbulu abu-abu.

Bobot badan ayam Bangkok tidak jauh berbeda dikarenakan umur yang
digunakan dalam penelitian sama atau seragam antar ayam Bangkok.Selain itu
kondisi lingkungan yang digunakan homogen, sehingga keseragaman antar
individu ayam tidak mempengaruhi. Menurut Pati, dkk. (2020) kondisi
lingkungan yang homogen terjadi karena adanya keseragaman antar individu
ternak, sehingga dapat mempengaruhi bobot badan ayam.Kabir, dkk.(2020)
menyebutkan bahwa rata-rata berat badan ayam bangkok pada umur 2 tahun
adalah 4 kg.Hal ini menunjukkan bahwa sifat kualitatif warna bulu tidak
berpengaruh terhadap bobot badan ayam bangkok.

Astuti dan Elisabet (2019) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ayam
broiler merupakan hasil interaksi antara 30% faktor genetik dan 70% faktor
lingkungan Faktor lingkungan adalah faktor yang ada di sekitar ternak seperti
iklim atau cuaca, penyakit, dan pakan (Munawaroh, et. al., 2015).

Panjang paruh
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pola warna bulu tidak berpengaruh
terhadap panjang paruh ayam bangkok. Diketahui bahwa hasil analisis ragam
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap panjang paruh ayam bangkok
berdasarkan warna bulu Rata-rata panjang paruh ayam bangkok adalah 3,45; 3,50
dan 3,65 cm. Kahadi (2018) mengatakan bahwa panjang paruh ayam bangkok
sekitar 2-4 cm. Ayam bangkok berbulu abu-abu memiliki paruh yang lebih
panjang dibandingkan ayam lainnya. Paruh memiliki peran untuk membantu ayam
makan dan minum (Li, et al. 2020).

Morfologi paruh sering disesuaikan dengan sumber makanan tertentu yang


tersedia di lingkungan ayam (Rumanasari, dkk. 2017).Paruh mempengaruhi daya
saing antar ayam.Panjang paruh mempengaruhi kehidupan ayam bangkok yang
pada dasarnya adalah ayam aduan.

389
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa warna bulu
pada ayam bangkok tidak berpengaruh terhadap penampilan ayam bangkok
seperti panjang paruh dan berat badan.Dan ayam bangkok berbulu abu-abu
memiliki bobot badan dan panjang paruh paling besar.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim Matching Fund Universitas
Brawijaya yang telah mendanai dan mendukung penelitian tentang ayam
Bangkok. Terima kasih kepada Berline Farm yang telah bersedia menyediakan
segala keperluan dan kebutuhan yang berhubungan dengan bahan dan materi
penelitian.

Daftar Pustaka
Anggitasari, S., O. Sjofjan, dan I.H. Djunaidi.2016. Pengaruh Beberapa Jenis
Pakan Komersial Terhadap Kinerja Produksi Kuantitatif dan Kualitatif Ayam
Pedaging.Buletin Peternakan, 40(3) : 187-196.
Alfian, Dasrul, dan Ashar. 2017. Jumlah Eritrosit, Kadar Hemoglobin Dan Nilai
Hematokrit Pada Ayam Bangkok, Ayam Kampung Dan Ayam Peranakan.
Jimvet.1 (3) : 533-539.
Dahlan, M. dan N. Hudi. 2011. Studi Manajemen Perkandangan Ayam Broiler di
Dusun Wangket Desa Kaliwates Kecamatan Kembangbahu Kabupaten
Lamongan. Jurnal Ternak, 2(1) : 24-29.
G. K., Indra, Achmanu, and A. Nurgiartiningsih. 2013. Performans Produksi
Ayam Arab (Gallus turcicus) Berdasarkan Warna Bulu. Journal Ternak
Tropika.14 (1) : 8-14.
Gemmati, D., B. Bramanti, M. L. Serino, et al. COVID-19 and Individual
GeneticChickens.Poultry Science.99(1) : 6715-6722.
Gondang, D. dan Maloedyn S. 2016.Ayam Pakoe. Agromedia Pustaka : Jakarta.
Hidayatullah, M. A., Kususiyah, dan D. Kahharudin. 2018. Performans Ayam
Ketarras pada Umur 2 Sampai 12 Minggu Berdasarkan Pola Warna
Bulu.Jurnal Sain Peternakan. 13(4) : 402-411.
Hijriyanto, M., Dasrul, and C. N. Thasmi.2017. Pengaruh Frekuensi
Penampungan Semen Terhadap Kualitas Spermatozoa Pada Ayam
Bangkok.Jimvet.1 (1) : 46-53.
Istiqamah, N., D. Suherman, dan B. Zain. 2019. Tingkat Kepuasan Aspek Sosial
Ekonomi dan Lingkungan Perusahaan Peternakan Ayam Broiler di Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Seluma. Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan, 8(1) : 35-47.
Li, J., X. He, Z. Wang, et al. 2020.Effects Of Plastic Antipecking Devices On The
Productionn Performance, Beak Length, And Behavior In Chinese Wannan
Might the Double X-Chromosome in Females Be Protective against SARS-
CoV-2 Compared to the Single X-Chromosome in Males. International
Journal of Molecular Sciences.21 (1) : 1- 23.
Pati, A. U., N. K. S. Rukmini, dan N. K. Mardewi. 2020. Effects Of Plastic
Antipecking Devices On The ProductionPerformance Of Chicken Crossbreed
Performance, Beak Length, And Behavior In Chinese Wannan Chickens. Gema
Agro.25 (2) : 103-106.

390
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Permadi, A. N. N., E. Kurnianto, dan Sutiyono. Karakteristik Morfometrik Ayam


Kampung Jantan dan Betina di Desa Tirtomulyo Kecamatan Plantungan,
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.Jurnal Peternakan Indonesia.22 (1) : 11-20.
Rumanasari, R. D., Saroyo, dan D. Y. Katili. 2017. Biodiversitas Burung pada
Beberapa Tipe Habitat di Kampus Universitas SamRatulangi.Jurnal Mipa
Unsrat. 6 (1): 43-46.
Sitanggang, E. N. Hasnudi, dan Hamdan. Keragaman Sifat Kualitatif Dan
Morfometrik AntaraAyam Kampung, Ayam Bangkok, Ayam Katai, Ayam
Birma,Ayam Bagon Dan Magon Di Medan. Jurnal Peternakan Integratif. 3 (2)
: 167-189.
Somya, R., A. Ardaneswari, D.A. Saputro, dkk. 2015. Perancangan Sistem
Pemantauan Pertumbuhan Ayam pada Peternakan Ayam Broiler dengan Pola
Kemitraan.Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Multimedia.Yogyakarta.
Wijayanti, D., M. Hartono, dan Riyanti. 2014. Gambaran Darah Ayam Petelur
Fase Grower (7-10 Minggu) Pada Kepadatan Kandang Berbeda.Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu, 2(3), : 71-80.
Yang, Y., X. Chen, B. Xu, et al. Phenotypeand Transcrip To Mean Alysis Reveal
Schloroplast Development And Pigment Biosynthesistogetherinfluencedtheleaf
Color Formation Inmutant So Fanthuriumandraeanum‘Sonate’. Frontiers.6(1)
: 1- 16.

391
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KORELASI ANTARA STATISTIK VITAL DENGAN LINGKAR


SKROTUM PADA SAPI BALI

Veronica Margareta Ani Nurgiartiningsih1,*, Ilmi Amalia Yasin2


1
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Program Sarjana Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: vm_ani@ub.ac.id

Abstrak
Seleksi merupakan suatu tindakan memilih ternak yang dianggap mempunyai
mutu genetik baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut.Ukuran statistik vital dan
lingkar skrotum dapat digunakan untuk seleksi ternak. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui korelasi antara statistic vital dengan lingkar skrotum pada sapi
bali. Materi yang digunakan 35 ekor sapi bali dan dibagi kedalam 3 kelompok
berdasarkan umur. Analisis yang digunakan yaitu korelasi dan regresi linear
sederhana.Hasil dari penelitian yaitu memiliki korelasi yang positif dari tinggi
hingga sangat rendah pada ketiga kelompok umur ternak yang diteliti.Setiap
pertambahan nilai statistik vital maka akan terjadi pertambahan nilai pada lingkar
skrotum. Nilai korelasi tertinggi adalah pada panjang badan kelompok I umur 1-2
tahun.Nilai korelasi terendah pada panjang badan kelompok III umur 5-11 tahun.

Kata Kunci: sapi bali, statistik vital, lingkar skrotum

Pendahuluan
Sapi bali merupakan sapi potong hasil domestikasi dari banteng liar dan
merupakan salah satu plasma nuftah yang cukup potensial untuk dikembangkan
sebagai sapi potong (Baaka, Murwanto dan Lumatauw, 2009). Sapi ini harus
dijaga kelestariannya karena memiliki keunggulan komparatif dibanding ternak
lainnya. Sapi Bali mampu beradaptasi di berbagai lingkungan pemeliharaan, serta
memperlihatkan kemampuan untuk berkembang biak dimana daya adaptasi sangat
tinggi terhadap lingkungan ditunjukan dengan kemampuan memanfaatkan pakan
yang berkualitas rendah, tetapi fertilitas dan conception rate yang baik (Rachma,
Harada and Ishida, 2011).

Keunggulan yang dimiliki sapi Bali sangat penting untuk dikembangkan sebagai
salah satu sumber daging sapi dalam negeri yang berperan untuk memenuhi
kebutuhan daging nasional.Produktivitas sapi Bali dapat ditingkatkan melalui
seleksi atau persilangan.Seleksi adalah suatu tindakan untuk memilih ternak yang
dianggap mempunyai mutu genetik baik untuk dikembangbiakkan lebih
lanjut.Seleksi yang tepat pada pejantan sangat berperan penting dalam
menentukan kualitas dan kuantitas semen karena semen dihasilkan oleh organ
reproduksi sapi jantan pada bagian testis (Ihsan, 2010).

Hasil seleksi yang baik perlu dilakukan seleksi sejak awal yaitu sejak pedet, berat
saat penyapihan dan saat umur dewasa kelamin. Seleksi tersebut dilakukan
dengan cara memilih pejantan yang memiliki bobot badan sesuai dengan standar

392
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pada tingkatan umur tertentu ataupun pejantan yang memiliki bobot badan lebih
tinggi dari rata-rata normal bobot badan pejatan. Seleksi pejantan yang biasa
dilakukan yaitu melalui uji performan. Performan ternak yang baik akan
diwariskan kepada anaknya, sehingga seleksi berdasarkan performan ternak
menjadi sangat penting. Uji performan meliputi pengukuran bobot badan, panjang
badan, tinggi gumba, lingkar dada, libido, kualitas semen serta kesehatan dan
penyakit (Susilawati, 2013).

Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Putra,


Sumadi dan Hartatik (2014) menyatakan faktor genetik menentukan kemampuan
produksi dimana faktor ini tidak akan berubah sepanjang tidak terjadiya mutasi
gen penyusunnya, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang
pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Faktor
genetik dan lingkungan memiliki peranan penting yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya, kedua faktor ini saling mendukung satu sama lain.
Metode pengujian yang dilakukan adalah memilih ternak berdasarkan sifat
kuantitatif dan kualitatif.Salah satu pengukuran terhadap sifat kuantiatatif yang
dilakukan dalam hal ini pengukuran lingkar dada, panjang badan dan tinggi
pundak.

Pengukuran terhadap lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak disebut
statistik vital.Statistik vital berfokus mengenai pertumbuhan tubuh dari ternak
dalam hal menghasilkan bobot hidup yang baik.Pengukuran lingkar skrotum
dilakukan untuk mengetahui keunggulan ternak jantan dalam reproduksi.Prasoj,
Arifiantini dan Mohamad (2010) menyatakan Ukuran panjang badan, tinggi badan
dan lingkar dada mempunyai korelasi positif terhadap ukuran testis dan dapat
dijadikan sebagai bahan evaluasi reproduksi. Hal ini didukung dengan pendapat
Zurahman dan Enos (2011) menyatakan pemerintah telah menetapkan bobot
badan, panjang badan, tinggi badan (tinggi pundak atau tinggi gumba) dan lingkar
dada sebagai ukuran statistik vital yang dijadikan sebagai kriteria pemilihan bibit
sapi potong di Indonesia. Berdasarkan uraian diatas mengenai pentingnya statistik
vital (lingkar dada, panjang badan, tinggi badan) dan lingkar skrotum dalam
menentukan kualitas pejantan unggul maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai korelasi antara statistik vital dengan lingkar
skrotum pada sapi bali.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September hingga Oktober 2021 dan
dilaksanakan di dua lokasi yaitu UPT Pelayanan IB dan Semen dan UPT
Pembibitan Ternak dan Hijauan Pakan Ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan pejantan sapi Bali
berjumlah 35 ekor yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu umur 1-2
tahun sebanyak 10 ekor, umur >2-3 tahun sebanyak 8 ekor dan umur 5-11 tahun
sebanyak 17 ekor dengan kondisi tubuh sehat dan alat kelamin normal.
Pemeliharaan pejantan dilakukan secara intensif dimana untuk UPT Pelayan IB
dan semen dilakukan penampungan semen pejantan sebanyak 1-2 kali
seminggu.Sedangkan untuk UPT Hijauan Pakan Ternak dipelihara secara intensif
untuk dijadikan bibit atau sapi potong.Pakan yang diberikan pada kedua UPT

393
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menggunakan rumput odot, BD atau Taiwan (85%) dan konsentrat (15%). Pakan
diberikan sebanyak 2 kali sehari (pagi dan sore hari) serta air minum yang
diberikan ditambahkan premix berupa trypi dan diberikan secara adlibitum.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus yaitu
dengan pengukuran secara langsung terhadap statistik vital meliputi lingkar dada,
tinggi badan, panjang badan dan bobot badan serta lingkar skrotum sapi Bali,
sedangkan untuk mengetahui pemeliharaan sapi Bali menggunakan data sekunder
yang diperoleh dari UPT Pelayanan IB dan Seme dan UPT Pembibitan ternak dan
Hijauan Pakan Ternak Provinsi Sulawesi Selatan.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah pengukuran statistik vital,
bobot badan dan lingkar skrotum pada pejantan sapi Bali.Pengukuran statistik
vital meliputi lingkar dada, panjang badan, dan tinggi pundak.Pengukuran bobot
badan dihitung berdasarkan rumus yang dikenal sebagai rumus schoorl dengan
menggunakan variabel lingkar dada (Abidin, 2002). Pengambilan data statistik
vital mengacu pada SNI 2015 :
a. Tinggi Pundak, diukur dari titik tertinggi di antara bahu (withers) sampai
tanah dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm
b. Lingkar Dada, diukur melingkar di sekeliling rongga dada melalui
belakang punuk dan di belakang sendi bahu (Os scapula) dengan
menggunakan pita ukur dalam satuan cm
c. Panjang badan (PB) dilakukan dengan mengukur jarak dari bonggol bahu
(tuber humeri) sampai tulang duduk (tuber ischii) menggunakan tongkat
ukur, dinyatakan dalam sentimeter (cm).

Data penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi dan regresi


sederhana. Analisis korelasi yang digunakan adalah analisis koefisien korelasi (r)
yaitu merupakan nilai tingkat keeratan hubungan antara peubah bebas (X) dengan
peubah tak bebas (Y) dan analisis koefisien determinasi (r2 ) yaitu menyatakan
besarnya peubah X yang mempengaruhi peubah Y. Adapun peubah X adalah
tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan dan peubah Y adalah lingkar
skrotum. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2007) menyatakan bahwa
keeratan hubungan dan bentuk hubungan dianalisis menggunakan analisis korelasi
dan regresi linear.Berikut rumus yang digunakan:

Keterangan :
r : Koefisien korelasi
X : variable bebas (Lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak)
Y : variable terikat (Lingkar skrotum)
n : Jumlah ternak

Apabila terdapat korelasi (uji t nyata), maka diteruskan dengan analisis regresi
linier sederhana. Persamaan garis regresi adalah y = a + bx. Untuk mencari nilai
koefisien regresi (b), digunakan rumus sebagai berikut:

394
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Setelah nilai b diketahui, maka nilai konstanta (a) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
y = variabel tidak bebas (lingkar skrotum)
x = variabel bebas (Lingkar dada, panjang
badan, tinggi pundak)
a = nilai konstanta
b = nilai koefisien regresi
n = jumlah data

Hasil dan Pembahasan


Hasil Pengukuran Statistik Vital dan Lingkar Skrotum
Hasil pengukuran statistik vital dan lingkar skrotum lingkar skrotum dapat diamati
pada nilai rata-rata dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Hasil pengukuran statistik vital dan lingkar skrotum


Kelompok Variabel
N
Umur LD PB TP LS
I (1-2 tahun) 10 123,67 ± 16,49 95,78 ± 11,74 100,44 ± 9,68 15,89 ± 6,09
II (>2-3 tahun) 8 155,75 ± 6,78 116,50 ± 3,30 116,13 ± 2,95 25,38 ± 1,69
III (5-11 tahun) 17 196 ± 8,139 145,941 ± 13,33 133,647 ± 7,123 28,176 ± 2,98

Dari data table diatas dapat diketahui bahwa pada ternak terjadi proses
pertumbuhan dimana ukuran tubuh ternak mengalami proses pertambahan ukuran
yang dapat dihitung secara kuantitatif. Hal ini didukung dengan pendapat Rianto
dan Purbowati (2009) bahwa pertumbuhan merupakan perubahan bentuk atau
ukuran seekor ternak yang dinyatakan dalam panjang, volume, ukuran lingkar dan
bobot badan.

Berdasarkan kriteria pejantan unggul sapi Bali milik UPT Pelayanan IB dan
Semen dan UPT Pembibitan Ternak dan Hijauan Pakan Ternak Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan memiliki ukuran sesuai standar
untuk kelompok II dan III khususnya pada bentuk tubuh hasil pengukuran statistik
vital dan lingkar skrotum yang menunjukkan hasil pengukuran melebihi standar
atau minimum standar yang ditetapkan SNI. Sedangkan pada kelompok I belum
memenuhi standar terlebih pada ukuran lingkar skrotumnya ada yang belum
memenuhi standar kriteria SNI.

Nilai rata-rata lingkar skrotum pada sapi Bali sesuai dengan penelitian Soeroso
dan Duma (2006) bahwa sapi Bali pada kisaran umur 2-3,5 tahun memiliki ukuran
lingkar skrotum terkecil yaitu 26 cm dan terbesar 46 cm. Nilai rata-rata lingkar
skrotum sapi Bali lebih besar dari penelitian Ratnawati dan Affandhy (2013)

395
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

bahwa nilai rata-rata ukuran lingkar skrotum sapi Bali didapatkan sebesar
22,1±2,7 cm. Hal ini dimungkinkan oleh umur pejantan sapi Bali yang diteliti
sudah mengalami masa dewasa kelamin dan dewasa tubuh serta sudah tercapainya
bobot dewasa rata-rata sapi Bali.

Perbedaan nilai statistik vital dan lingkar skrotum diduga akibat dari manajemen
pemberian pakan, lingkungan, genetik dan kemampuan adaptasi dari ternak.
Manajemen pakan dalam hal ini merupakan salah satu komponen input yang
sangat menentukan keberhasilan usaha secara finansial (Ginting, 2009). Pakan
yang diberikan di kedua UPT milik provinsi Sulawesi selatan ini beragam sesuai
dengan ketersediaan jenis hijauan yang ada di lahan pertanian.Pakan yang
diberikan umumnya rumput BD, odot dan Taiwan.

Selain hal diatas, lingkungan juga mempengaruhi hubungan antara statistik vital
dan lingkar skrotum.Faktor lingkungan contohnya adalah kondisi
kandang.Konstruksi kandang sapi Bali kelompok I dibuat dengan memanfaatkan
tanah sebagai alas kandang dan ukurannya kandangnya disesuaikan dengan
ukuran tubuh hewannya.Kebersihan kandang dilakukan dengan membersihkan
tempat pakan dan sisa pakan atau kotoran yang masih tertinggal di dalam
kandang.Peternak membersihkan kandang sebelum pemberian pakan.Kegiatan ini
dilakukan pada pagi dan sore hari.Kebersihan kandang penting dilakukan untuk
mempertahankan kesehatan dan pengendalian penyakit.

Selain itu yang juga berpengaruh adalah genetik dari ternak. Faktor ini ditentukan
oleh gen dan kromosom yang dimiliki individu ternak. Oleh karena itu, faktor
genetik sudah ada sejak terjadinya pembuahan atau bersatunya sel telur dengan sel
spermatozoa (Zein dan Sulandari, 2014).

Korelasi Lingkar Dada dengan Lingkar Skrotum

Tabel 2.Korelasi lingkar dada dengan lingkar skrotum


Kelompok N R R² (%) Persamaan Regresi
I (1-2 tahun) 10 + 0,94 88,16 Y= 0,34x + 27,00
II (>2-3 tahun) 8 + 0,72 52,19 Y= 0,179x+2,60
III (5-11 tahun) 17 -0,29 8,45 Tidak ada

Hasil analisis korelasi pada kelompok III merupakan nilai koefisien korelasi yang
paling rendah pada penelitian ini. Menurut Sugiyono (2007) nilai korelasi -0,1
sampai dengan +0,2 merupakan nilai korelasi yang rendah sehingga nilai tersebut
dapat diabaikan. Hasil uji statistic kelompok I diperoleh nilai korelasi yang sangat
tinggi yaitu +0,94 dengan nilai koefisien determinasi 88,16%. Nilai korelasi +0,94
artinya terdapat hubungan yang positif sedang antara lingkar dada dengan lingkar
skrotum. Kemudian dilanjutkan dengan uji persamaan regresi maka hasilnya Y=
0,34x + 27,00. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien regresi (b) sebesar 0,34
menunjukkan bahwa pertambahan lingkar dada 1 cm maka lingkar skrotum akan
naik sebesar 0,34 cm. Fourie et al (2002) menyimpulkan bahwa lingkar dada

396
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

memiliki korelasi positif dan sangat tinggi dengan berat badan dan memiliki
hubungan paling signifikan terhadap semua parameter pertumbuhan.

Korelasi Panjang Badan dengan Lingkar Skrotum

Tabel 3.Korelasi panjang badan dengan lingkar skrotum


Kelompok N R R² (%) Persamaan Regresi
I (1-2 tahun) 10 + 0,95 91,58 Y= 0,0065x + 15,261
II (>2-3 tahun) 8 + 0,83 69,92 Y= 0,427x+24,44
III (5-11 tahun) 17 -0,05 32 Tidak ada

Trisnawanto, Adiwinarti dan Dilaga (2012) menyampaikan bahwa Panjang badan


merupakan pencerminan adanya pertumbuhan tulang belakang yang terus
meningkat seiring bertambahnya umur. Berdasarkan hasil uji statistik koefisien
korelasi antara panjang badan dengan lingkar skrotum sapi Bali kelompok I
diperoleh nilai korelasi (r) sebesar +0,95 dengan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 91,58%. Menurut Sugiyono (2007) nilai korelasi +0,8-1,0 nilai yang
berarti positif sangat tinggi artinya terdapat hubungan yang positif sedang
sehingga hubungan antara panjang badan dengan lingkar skrotum sangat tinggi.
Berbeda dengan hasil nilai korelasi kelompok III sebesar -0,05 dengan nilai
koefisien korelasi determinasi sebesar 32% yang artinya sangat rendah. tidak
terdapat hubungan yang positif pada kelompok III sehingga dapat diabaikan.

Nilai signifikasi dapat diuji dengan uji T, hasil yang diperoleh sangat berpengaruh
nyata (P<0,05). Selanjutnya dilanjutkan pada persaman Regresi akan memberikan
hasil Y= 0,0065x + 15,261. Hal ini berarti koefisien regfresi (b) sebesar
0,0065cm yang menunjukkan bahwa setiap pertambahan 1 cm panjang badan
maka lingkar skrotum akan naik sebesar 0,0065cm.

Korelasi Tinggi Pundak dengan Lingkar Skrotum

Tabel 3.Korelasi tinggi pundakdengan lingkar skrotum


Kelompok N R R² (%) Persamaan Regresi
I (1-2 tahun) 10 + 0,89 80 Y= 0,56x + 15,826
II (>2-3 tahun) 8 + 0,01 3 Tidak ada
III (5-11 tahun) 17 -0,30 934 Tidak ada

Tinggi pundak merupakan tulang yang berhubungan dengan tulang penyusun kaki
depan yang mengalami pertumbuhan awal dibandingkan dengan komponen
lainnya. Tulang ini mengalami pertumbuhan yang paling cepat sesuai dengan
fungsinya sebagai penyangga tubuh (Septian, Arifin dan Rianto, 2015).
Hasil uji statistik koefisien korelasi antara tinggi badan dengan lingkar skrotum
dari ketiga data kelompok hanya satu yang memiliki hasil uji nyata (P>0,05) yaitu
kelompok 1 dimana nilai koefisien korelasinya sebesar +0,89 dengan nilai
keofisien determinasi sebesar 80% artinya terdapat nilai positif sangat tinggi.

397
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berdasarkan hasil analisis data didapatkan persamaan garis regresi yang sangat
nyata antara lingkar skrotum dengan tinggi pundak sapi Bali Y= 0,56x + 15,826.
Interprestasi dari hasil regresi dapat dinyatakan bahwa peningkatan ukuran lingkar
skrotum satu satuan (cm) akan meningkatkan tinggi pundak sebesar 0,56%.

Hasil berbeda pada ketiga kelompok umur dapat diketahui bahwa panjang badan
pada kelompok umur I berkorelasi positif sangat tinggi dan pada kelompok umur
II dan III berkorelasi sangat rendah.Hal ini disebabkan karena pada kelompok
umur I (1-2 tahun) sapi Bali dalam masa pertumbuhan tulang yang cepat
sedangkan pada umur 3 tahun keatas terjadi pertumbuhan yang lebih lambat atau
cenderung tetap.Mardhianna, Dartosukarno dan Dilaga (2015) menyatakan pada
panjang badan pada umur >0-3 sampai dengan umur >6-12 bulan terjadi
pertumbuhan sedangkan pada umur >12-18 bulan sampai dengan >18-30 bulan
melambat atau cenderung tetap.Selain itu faktor pakan, kesehatan, berat sapih,
serta manajemen pemeliharaan juga mempengaruhi pertumbuhan badan
(Wahyono, Kusumanigrum, Widiawati dan Suharyono, 2013).Berdasarkan
pertumbuhan lingkar skrotum Yunardi (1999) menyatakan peningkatan umur
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ukuran panjang lingkar dan volume
skrotum.Lebih lanjut Iqbal (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan lingkar
skrotum meningkat seiring bertambahnya umur ternak sampai mencapai dewasa.

Menurut pendapat Wijono (1998) bahwa perbaikan kondisi badan atau tampilan
bobot badan akan memberikan respon terhadap peningkatan produksi semen
disamping pembesaran dari ukuran skrotum dan persentase abnormalitas
spermatozoa akan semakin menurun dengan semakin bertambah baiknya bobot
badan/kondisi badan ternak. Ismaya (2014) juga menambahkan bahwa besar
skrotum berkorelasi positif terhadap besar atau bobot tubuh ternak, sedangkan
berat skrotum sangat berkorelasi dengan besar testis.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara statistik
vital dengan lingkar skrotum sapi Bali di UPT Pelayanan IB dan Semen dan UPT
Pembibitan Ternak dan Hijauan Pakan Ternak memiliki korelasi yang positif dari
tinggi hingga sangat rendah pada ketiga kelompok umur. Setiap pertambahan
nilai statistik vital maka akan terjadi pertambahan nilai pada lingkar skrotum.
Nilai korelasi tertinggi adalah pada panjang badan kelompok I umur 1-2
tahun.Nilai korelasi terendah pada panjang badan kelompok III umur 5-11 tahun.

Daftar Pustaka
Ihsan, M.N. 2010. Ilmu Reproduksi Ternak Dasar. Universitas Brawijaya Press
(UB Press). Malang.
Iqbal, M. 2012. Hubungan Bobot Badan, Lingkar Skrotum dan Konsentrasi
Spermatozoa pada Domba Garut Jantan. Skripsi.Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Ismaya.2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan pada Sapi dan Kerbau. Universitas
Gadjah Mada Press. Yogjakarta.

398
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Mardhianna, S. Dartosukarno dan I.W.S. Dalaga.2015 Hubungan antara Ukuran-


Ukuran Tubuh dengan Bobot Badan Kambing Jawarandu Jantan Berbagai
Kelompok Umur di Kabupaten ora. Animal Agriculture Journal 4(2): 264-267.
Prasojo, G., I. Arifiantini, & K. Mohamad. 2010. Korelasi antara lama
kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada
sapi bali. J. Veteriner. Vol. 11. No. 1 : 41-45.
Putra WPB, Sumadi and Hartatik T. 2014.The estimation of body weight of Aceh
cattle using some measurements of body dimension.JITP, 3(2), hal.76-80.
Rachma Sri AB, H Harada and Ishida. 2011. The estimation of growth curve of
Bali cattle at bone and barru districts, South Sulawesi, Indonesia using ten
body measurements. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture,
36(4), hal. 228-236. doi: 10.14710/jitaa.36.4.228-236.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta. Jawa Barat.
Susilawati, Trinil. 2013. Teknik Inseminasi Buatan. UB Press. Malang.
Trisnawanto, R., R. Adiwinarti, W.S. Dilaga. 2012. Hubungan Antara Ukuran-
Ukuran Tubuh dengan Bobot Badan Dombos Jantan. J. Anim. Agriculture. 1
(1) : 653-668.
Wahyono, T., Kusumanigrum, Widiawati dan Suharyono.2013. Penampilan
Produksi Kambing Kacang Jantan yang Diberi Pakan Siap Saji (PSS) Berbasis
Silase Tanaman Jagung.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.362-367.
Zurahmah, Nani, Enos The.2011. Pendugaan Boot Badan Calon Pejantan Sapi
Bali Menggunakan Dimensi Ukuran Tubuh.Buletin Peternakan Vol. 35(3):160-
164, Oktober 201.

399
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Sosial, Ekonomi, dan Agribisnis


Peternakan

400
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

POTENSI USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI DATARAN


RENDAH KABUPATEN MALANG

Nanang Febrianto1,*, Rizki Prafitri2, Tri Eko Susilorini3


1
Bagian Minat Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Minat Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Minat Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: nanangfeb@ub.ac.id

Abstrak
Usaha peternakan sapi perah mayoritas merupakan usaha peternakan rakyat
dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan subsistensi petani dan
keluarganya. Usaha peternakan rakyat bercirikan penerapan manajemen dan
teknologi konvensional, ukuran skala usaha kecil dan pendapatan rendah.
Penelitian dilakukan dengan tujuan menganalisis menkaji potensi yang dimiliki
usaha peternakan sapi perah rakyat. lokasi penelitian di tentukan dengan metode
multystage sampling method. Responden penelitian terdiri dari peternak, koperasi
susu, petugas penyuluh lapang. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak sapi perah di
dataran rendah kabupaten Malang didominasi dengan tingkat pendidikan SD dan
SMP dengan pengalaman beternak sapi perah 0-10 tahun. Produksi rata-rata sapi
perah 12 liter/ekor/hari. Struktur populasinya kurang baik jika ditinjau dari aspek
keberlanjutan usaha.

Kata Kunci: dataran rendah, malang, potensi, peternakan rakyat

Pendahuluan
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia saat ini sebagian besar (90%) masih
merupakan usaha peternakan rakyat yang merupakan defenisi usaha tani dalam
arti sempit dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan subsistensi petani
dan keluarganya. Peternakan rakyat merupakan suatu usaha keluarga yang tidak
menggunakan hukum ekonomi produksi secara ketat. Kesempatan ekonomi dalam
memanfaatkan setiap peluang yang menguntungkan sedangkan manifestasinya
berbeda-beda di berbagai daerah sesuai dengan pola pertanian dan pola tanam
(Lestari, 2015).

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia didominasi oleh usaha ternak sapi perah
skala kecil yang memiliki satu sampai lima ekor sapi. Pemeliharaan ternak yang
dilakukan para petani di pedesaan masih bersifat tradisional. Namun demikian,
usaha peternakan sapi perah sampai saat ini masih terus bertahan. Rendahnya
produktivitas sapi perah disebabkan oleh kondisi manajemen usaha sapi perah di
tingkat peternak yang masih tradisional.

Hasil produksi sapi perah adalah susu. Susu merupakan pangan hewani yang
memiliki nilai gizi sempurna yaitu protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral
dan kandungan asam amino yang lengkap. Protein susu merupakan asupan gizi

401
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dan nutrisi paling baik untuk dikonsumsi dalam melengkapi kekurangan zat gizi
yang berasal dari sumber pangan sehari-hari.

Kabupaten Malang merupakan salah satu sentra produksi susu di provinsi Jawa
Timur. Populasi ternak sapi perah di Kabupaten Malang mencapai 81.150 ekor
atau setara dengan 14,75% populasi ternak sapi perah nasional yang mencapai
550.141 ekor (Badan Pusat Statistik, 2018), sehingga upaya untuk menjaga dan
mengembangkan usaha ternak sapi perah di Kabupaten Malang sangat rasional.
Usaha ternak sapi perah umumnya diusahakan di daerah dataran tinggi, karena
daerah dataran tinggi memiliki kesesuain suhu dan kelembapan yang optimal
untuk produktivitas sapi perah. Ketinggian dan temperatur akan mempengaruhi
pola makan sapi perah sehingga berpengaruh terhadap produktivitas sapi perah.
Selain dipelihara didataran tinggi kabupaten Malang, usaha ternak sapi perah juga
dapat diusahakan di dataran rendah. Berdasarkan latar belakang tersebut
penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi pengembangan usaha sapi perah
rakyat di dataran rendah kabupaten Malang.

Metode Penelitian
Lokasi penelitian di Kabupaten Malang, lokasi di tentukan secara purposive dgn
pertimbangan merupakan Kecamatan yang berada di dataran rendah dikabupaten
Malang dengan ketinggian <400 mdpl (Istiawan dan Kastono, 2019), Jumlah
populasi ternak sapi perah terbesar di Kabupaten Malang dan berlokasi di dataran
rendah. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2021 – Agustus 2021. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Metode penelitian deskriptif kualitatif mencakup wawancara dan observasi, studi
kasus, survei, dan analisis historis dan dokumen. Data primer diperoleh langsung
melalui fokus group diskusi (FGD) dan wawancara mendalam dengan stakeholder
dan peternak. Responden penelitian meliputi peternak sapi perah dengan kriteria
pengalaman beternak minimal 3 tahun dan tergabung dalam kelompok peternak
sapi perah, koperasi susu, perwakilan dari Dinas Petenakan Kabupaten Malang.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu analisis deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis tentang
karakteristik peternak sapi perah dan potensi pengembangan usaha peternakan
sapi perah di dataran rendah Kabupaten Malang.

Hasil dan Pembahasan


Kondisi Peternakan Sapi perah di Kabupaten Malang
Subsektor peternakan Kabupaten Malang memegang peranan penting dalam
membangun sektor pertanian, khususnya dalam upaya perluasan kesempatan
kerja, pemasukan devisa negara, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
peternak dan keluarganya, serta peningkatan konsumsi protein hewani dalam
rangka peningkatan kecerdasan bangsa. Subsektor peternakan memberi
sumbangan langsung berupa kontribusi PDRB, penyerapan tenaga kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor, maupun
sumbangan tidak langsung seperti penciptaan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan subsektor dan sektor
lainnya. Sesuai visi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang,
subsektor peternakan diarahkan untuk mewujudkan agribisnis peternakan yang

402
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berdaya saing dan berbasis sumberdaya lokal. Kondisi tersebut dicirikan dengan
tingkat kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, kemampuan
menyesuaikan pola dan struktur produksi dengan permintaan pasar serta
kemampuan untuk pembangunan wilayah, memberikan kesempatan kerja,
pendapatan dan perbaikan taraf hidup serta berperan dalam pertumbuhan
ekonomi.

Mayoritas jenis sapi perah yang dipelihara oleh peternak di Kabupaten Malang
adalah jenis Peranakan Fries Holland (PFH), pengelolaannya masih sederhana
dengan tingkat pendapatan yang rendah dengan tingkat produksi susu rata-rata
sebesar 10-12/liter/ekor/hari. Sistem pemberian pakan dilakukan sebanyak dua
kali yaitu pagi dan sore hari. Pemberian pakan dilakukan setelah pemerahan
dengan hijauan segar diberikan sebanyak 25-30 kg setiap hari dan konsentrat jadi
sebanyak 4-5 kg. Pemberian air minum pada saat memberikan comboran tidak ad
libitum. Sistem pemeliharaanya semua ternak di dalam kandang tanpa adanya
penggembalaan. Pemberian pakan dilakukan secara cut and carry. Lokasi
kandang berada di belakang rumah bahkan ada beberapa kandang yang menempel
dengan rumah pemilik. Bangunan kandang umumnya merupakan bangunan semi
permanen mulai dari yang sederhana sampai dengan penggunaan konstruksi
beton. Lantai kandang terbuat dari semen sehingga tidak licin serta dibuat agak
miring agar mudah dibersihkan, atap kandang terbuat dari genting.

Peluang usaha sapi Perah


Pasar permintaan susu nasional maupun daerah, produksi susu nasional masih
sangat perlu untuk ditingkatkan. Kementrian Pertanian (2016) menunjukkan
bahwa konsumsi susu tahun 2016 sebesar 972.619 ton dan proyeksi peningkatan
hingga tahun 2022 sejumlah 1.142.393 ton, sedangkan produksi susu rata-rata
hanya sebesar 847,09 ribu ton. Sehingga diperkirakan Indonesia akan mengalami
defisit susu mencapai 103 ribu ton pada tahun 2022. Selain itu produksi susu
nasional baru dapat memenuhi sekitar 29,46% dari permintaan konsumen susu.
Permintaan pasar yang masih terbuka luas merupakan salah satu faktor yang
mendorong usaha ternak sapi perah mempunyai prospek yang bagus untuk di
kembangkan. Selain itu adanya kesadaran gizi, perubahan gaya hidup, perbaikan
tingkat pendidikan dan perkembangan populasi.

Kesesuaian Iklim dalam budidaya Sapi Perah


Kondisi topografis Kabupaten Malang sebagian besar merupakan dataran tinggi
yang dikelilingi oleh beberapa gunung dan dataran rendah atau daerah lembah
pada ketinggian 250-500 m dpl. Kondisi topografis pegunungan dan perbukitan
menjadikan wilayah Kabupaten Malang sebagai daerah yang sejuk dan banyak
diminati sebagai tempat tinggal dan tempat peristirahatan. Suhu udara rata-rata
berkisar antara 19,1º C hingga 26,6º C. Kelembaban udara rata-rata berkisar
antara 71º C hingga 89º C dan curah hujan rata-rata berkisar antara 2 mm hingga
780 mm. Curah hujan rata-rata terendah terjadi pada bulan Juni, dan tertinggi pada
bulan Desember. Beberapa daerah sentra produksi sapi perah Kabupaten Malang
merupakan dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0 sampai dengan
300 m di atas permukaan laut menjadikan Kabupaten Malang beriklim tropis.

403
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Sapi perah yang dipelihara peternak merupakan peranakan Friesian Holstein yang
sedikit banyak telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Kondisi suhu udara
yang relatif panas di daerah penelitian merupakan salah satu hambatan bagi sapi
perah keturunan import untuk berproduksi secara optimal, tetapi hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara kemampuan produksi
susu sapi PFH yang dipelihara di daerah dataran rendah yang suhu udaranya
relatif panas dengan di daerah dataran tinggi yang relatif bersuhu udara nyaman
dengan produksi rata-rata 10-12 ekor/liter/hari. Beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk mengantisipasi cekaman suhu udara yang panas adalah
pembangunan kandang yang menyesuaikan dengan iklim tropis, pemberian pakan
yang frekuensinya lebih sering dan dalam bentuk padat energi sehingga
kemampuan untuk berproduksi susu dapat tetap maksimal dan pengembangan
usaha ternak sapi perah di dataran rendah bisa optimal.

Pengembangan Sumber daya


Mayoriyas usaha peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Malang merupakan
usaha utama, tetapi masih ada usaha sampingan lainnya. Sebagai besar peternaka
sapi perah adalah petani. Keseluruhan usaha sapi perah itu merupakan usaha
utama, namun skala usahanya masih relative kecil. Di samping skala usahanya
yang relative masih kecil, komposisi sapi perah yang dipelihara adalah kurang
ekonomis. Hal ini didasarkan terlalu banyaknya sapi perah yang tidak atau non
produktif dibandingkan dengan jumlah sapi perah yang produktif atau laktasi.
Sapi perah non produktif menjadi tanggungan sapi perah laktasi akan berakibat
kepada biaya pemeliharaan yang tinggi. Kusnadi et al. (2004) menyatakan bahwa
usaha peternakan sapi perah yang ekonomis adalah apabila setiap ekor sapi
produktif atau laktasi hanya dibebani 0,40 ST (Satuan Ternak) sapi perah non
produktif. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan usaha peternakan sapi perah
di Kabupaten Malnag, diman sapi perah non produktif yang dipelihara masih
banyak dan harus dikurangi jumlahnya agar bisa mendapatkan keuntungan yang
maksimal. Pengurangan dapat dilakukan terutama sapi perah pejantan sehingga
usaha sapi perah akan lebih menguntungkan dan ekonomis dan hal ini akan
membuka peluang bagi pengembangan usaha sapi perah.

Populasi sapi perah di kabupaten Malang, masih dibawah populasi ternak lainnya.
Usaha peternakan sapi perah mengalami naik turun yang berdampak terhadap
populasi. Pengembangan usaha sapi perah akan sangat lamban kalau hanya
mengandalkan populasi sapi perah yang ada. Salah satu solusi dalam mengatasi
permasalahan ini dengan mendatangkan sapi perah betina dari luar daerah atau
mengimpor langsung dari luar negeri melalui koperasi susu/ KUD dalam rangka
penambahan populasi sapi perah di daerah tersebut.

Ketersediaan hijauan sebagai pakan utama sapi perah harus di penuhi dari
berbagai sumber seperti kebun rumput, tegalan dan persawahan. Mayoritas kebun
peternak ditanami dengan rumput gajah. Produksi rumput gajah berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan dengan manajemen dan pemupukan yang baik,
mencapai 1.076 ton/ha/tahun hijauan segar atau 223 ton/ha/tahun dalam bentuk
bahan kering dengan kandungan bahan kering 20,8%. Padang rumput sebagai
penghasil hijauan, diperkirakan hanya mampu menghasilkan hijauan segar

404
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

sebanyak 30 ton/ha/tahun atau 6,3ton bahan kering/ha/tahun dengan kandungan


bahan kering 21%. (Siregar, 2001). Selain menggunakan hijauan, pakan sapi
perah berupa konsentrat yang merupakan hasil samping pertanian seperti dedak
padi dan polard, hasil ikutan pabrik seperti bungkil kelapa dan ampas tahu serta
bahan-bahan lainnya yang umumnya berkualitas tinggi (berserat kasar rendah,
berprotein, dan berenergi tinggi). Bahan pakan konsentrat yang tersedia di
Kabupaten Malang adalah dedak padi dan ampas tahu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peternak sapi perah rakyat di dataran rendah kebutuhan
pakan konsentrat yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh bahan-bahan yang tersedia
di daerah tersebut. Oleh karena itulah bahan pakan konsentrat didatangkan dari
luar daerah atau dari KUD langsung dengan harga yang tetap terjangkau.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengembangan usaha
peternakan sapi perah rakyat di dataran rendah Kabupaten Malang dapat
dilanjutkan dan mempunyai potensi yang terbuka untuk dikembangkan dengan
penanganan ekstra pada lingkungan kandang, pemberian dan ketersediannya
pakan serta peremajaan sapi perah yang dipelihara para peternak.

Daftar Pustaka
BPS. 2018. Malang dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang.
Malang.
Kementerian Pertanian, 2016. Outlook Susu, Komoditas Pertanian Subsektor
Peternakan. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral-
Kementerian Pertanian
Lestari, N. F. (2015). Hubungan Antara Penerapan Good Dairy Farming Practice
Dengan Tingkat Pendapatan Peternak Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat
(Suatu Kasus di Wilayah Kerja KPBS Pangalengan Kabupaten Bandung).
Students E-Journal, 4(3).
Pasaribu A, Firmansyah dan Idris N. 2015. Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah Di Kabupaten Karo Provinsi
Sumatera Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Vol. XVIII No. 1
Putro, D.A.N, Setiadi, A dan Handayani, M. 2013. Analisis Potensi
Pengembangan Agribisnis Sapi Perah Di Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang. Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 33-40.
Siregar, S. B. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi
melalui pemberian pakan dan frekuensi pemberiannya. J. Ilmu Ternak dan
Veteriner No. 2: 76- 82.
Siregar, S.B dan Kusnadi, U. 2004. Peluang Pengembangan Usaha Sapi Perah di
Daerah Dataran Rendah Kabupaten Cirebon. Media Peternakan.Vol. 27 N0. 2.
Hal 78-87.

405
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

STRATEGI PENGEMBANGAN LEBAH MADU (Apis mellifera) DI


KECAMATAN SKANTO, KABUPATEN KEEROM, PAPUA

Ayunitasari Rachmawati 1,*, Adi Nurbiantoro Munthe2, Sri Minarti3


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: ayunitasari@student.ub.ac.id

Abstrak
Hutan merupakan salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran rakyat. Sumber daya hutan harus dikelola untuk pembangunan
sumber daya manusia dan lingkungannya dengan memperhatikan aspek
pengelolaan kawasan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan sosial-budaya
agar tercipta dampak positif berupa manfaat lestari fungsi ekonomi, lestari fungsi
ekologis dan lestari fungsi sosial-budaya. Potensi yang dimiliki oleh Kabupaten
Keerom khususnya Kecamatan Skanto sebagian besar memiliki kawasan hutan
dengan luas 173.456,00 Ha dan sumber pakan lebah madu yang tersedia cukup
banyak varietasnya. Lebah madu Apis mellifera merupakan sumber daya hutan
yang potensial untuk dikembangkan dalam pembudidayaannya. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari usaha pengembangan
lebah Apis Mellifera di Kecamatan Skanto Kabupaten Keerom Papua, guna
menemukan strategi yang baik untuk pengembangannya dengan menggunakan
matriks analisis SWOT. Hasil analisis SWOT dapat menunjukan titik kekuatan
dari adanya sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang professional
untuk memaksimalkan proses pengembangan Apis mellifera dengan
mengoptimalkan jumlah produksi, memperluas target pemasaran, membentuk
kelompok budidaya lebah madu Apis mellifera, menambah modal usaha untuk
melakukan pengembangan budidaya lebah madu Apis mellifera, mengadakan
pelatihan budidaya lebah madu Apis mellifera, mengoptimalkan penggunaan
lahan hutan untuk sumber pakan lebah dan menggunakan teknologi baru untuk
mengoptimalkan produksi lebah.

Kata Kunci: apis mellifera, analisis swot, strategi pengembangan.

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan sumber daya alamnya yang
melimpah menjadikan Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat
tinggi. Kekayaan yang terkandung di dalamnya sangat beraneka ragam mulai dari
hasil hutan. Hutan merupakan sebuah ekosistem kompleks yang sangat penting
dan bermanfaat bagi kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Luas kawasan hutan dan konservasi perairan yang ada di Indonesia pada tahun
2018 sebesar 125.921 ribu/ha yang meliputi 21,27% hutan produksi tebatas,
23,56% hutang lindung, 10,20% hutan produksi yang dapat dikonversikan,
23,19% hutan produksi tetap dan 21,78% suaka alam dan pelestarian alam
(Statistik Produksi Kehutanan.2019). Hutan dapat mengasilkan suatu produksi

406
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

baik berupa Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Kekayaan sumber
daya hutan mempunyai nilai ekonomi tinggi yang dapat menunjang kesejahteraan
masyarakat. Sumber daya alam yang berupa hasil hutan kayu (HHK) hanya
dimanfaatkan oleh beberapa orang tanpa memikirkan dampak buruk kedepannya.
Pembalakan liar terus terjadi dihutan tanpa memikirkan cara memanfaatkan hutan
dengan baik dan bijak agar ekosistem hutan dapat terus berjalan secara
berkelanjutan.

Daratan papua memiliki keanekaragaman hayati yang unik. Jenis-jenis hayati


yang terdapat di Papua separuhnya diketahui sebagai jenis-jenis endemik yang
tidak terdapat pada bagian bumi lainnya. Keunikan tersebut disebabkan karena
Papua termasuk salah satu daerah di Indonesia yang terletak dibawah garis
khatulistiwa sehingga tutupan hutan hujan tropis menciptakan keragaman spesies
flora dan fauna yang tinggi. Hal ini sangat berpotensial dan cocok untuk
membudidayakan lebah madu. Areal hutan dan perkebunan merupakan lahan
yang baik untuk perkembangan lebah karena terdapat banyak sumber pakan bagi
lebah. Lahan perkebunan seperti perkebunan jeruk, rambutan dan jenis
perkebunanan lainnya menjadi sumber pakan bagi lebah madu yang berbunga
dalam waktu relatif lama. Hampir semua tumbuhan yang menghasilkan bunga
dapat dijadikan sebagai sumber pakan lebah baik yang berasal dari tanaman hutan,
tanaman pertanian maupun tanaman perkebunan.

Lebah (Apis mellifera) berasal dari Eropa dan lebah ini memiliki daya adaptasi
yang baik terhadap berbagai jenis iklim serta memiliki tingkat produksi madu
yang paling banyak. Budidaya lebah madu jika dikelola secara intensif dan
modern akan memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat
langsung yang dapat diperoleh yaitu dihasilkannya berbagai produk dari lebah
seperti madu, royal jelly, propolis, tepung sari, lilin, perekat dan racun lebah yang
dapat menambah pendapatan perekonomian masyarakat. Sedangkan manfaat tidak
langsung dari budidaya lebah madu yaitu berkaitan dengan proses pelestarian
sumberdaya alam atau hutan, peningkatan produktifitas tanaman (lebah madu
sebagai polinator) dan adanya hubungan simbiosis yang saling menguntungkan.
Usaha budidaya lebah madu sangat potensial untuk dikembangkan di Kecamatan
Skanto Kabupaten Keerom, mengingat sumber daya alam yang dimiliki sangat
mendukung dan memenuhi berbagai persyaratan lokasi untuk budidaya lebah
madu, oleh karena itu dibutuhkan suatu manajemen strategi yang baik selama
proses pengembangan budidaya lebah madu. Manajemen strategi dilakukan
dengan mengamati lingkungan eksternal maupun internal, perumusan strategi,
implementasi strategi, serta melakukan analisis SWOT.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan


eksternal yang mempengaruhi pengembangan budidaya lebah madu dan
merumuskan strategi pengembangan budidaya lebah madu untuk diterapkan di
Kecamatan Skanto Kabupaten Keerom.

407
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Skanto, Kabupaten Keerom, Kota Jayapura,
Provinsi Papua.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis deskriptif dengan
menggunakan teknik analisis SWOT yang dilihat dari faktor internal (kekuatan
dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang, ancaman). Analisis SWOT
meliputi upaya-upaya untuk mengenali kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman yang menentukan kinerja didalam sebuah usaha. Berdasarkan analisis
lingkungan internal dan eksternal dapat diformulasikan alternatif strategi yang
dapat dilaksanakan. Formulasi alternatif strategi dilakukan dengan menggunakan
analisis SWOT yaitu menganalisis peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan.
Untuk menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan peluang dan
ancaman dilakukan teknik pengumpulan data. Penggunaan analisis SWOT sangat
membantu dalam menyusun suatu strategi dengan mengkombinasikan aspek-
aspek kekuatan dan kelemahan baik faktor internal dan dengan aspek-aspek
peluang dan ancaman pada faktor eksternal. Ada empat strategi alternatif yaitu:
1. Strategi SO adalah strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh
kekuatan yang dimiliki untuk menjadi peluang sebesar-besarnya.
2. Strategi ST adalah strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mencoba
mengatasi atau memperkecil ancaman yang dihadapi.
3. Strategi WO adalah strategi yang memanfaatkan peluang yang ada dengan
cara meminimalkan kelemahan.
4. Strategi WT adalah strategi yang berusaha meminimalkan kelemahan yang
ada serta menghindarkan ancaman.

Hasil dan Pembahasan


Gambaran umum lokasi
Kabupaten Keerom merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang
sebelum menjadi kabupaten merupakan bagian dari Kabupaten Jayapura. UU RI
No. 26 Tahun 2002 menjadikan Keerom resmi sebagai kabupaten yang berdiri
sendiri. Kabupaten Keerom memiliki luas wilayah 9.365 km2, dengan letak
geografis yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG) di
bagian Timur. Sedangkan wilayah bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Pegunungan Bintang, di bagian Utara berbatasan dengan Kota Jayapura dan di
bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Jayapura. Peta Kabupaten Keerom
dapat dilihat pada gambar 1, sebagai berikut :

408
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1. Peta Lokasi Kabupaten Keerom


Secara geografis kabupaten Keerom berada di antara 140o15’ – 141o0’ bujur timur
dan 2o37’0’’ – 4o0’0’’ lintang selatan dengan ketinggian berkisar antara 0 - 2000
mdpl dan memiliki lereng dengan kemiringan lebih dari 40%. Sebagian besar
wilayah yakni seluas 5.722,96 Km2 (61,11% dari total wilayah) memiliki
ketinggian antara 400-1.500 Mdpl. Sedangkan wilayah terendah dengan
ketinggian 0-1.000 Mdpl yaitu Distrik Arso, Skanto dan Arso Timur. Suhu udara
berkisar antara 25oC - 32,2 oC dengan kelembaban berkisar antara 75% sampai
90%. Menurut Budiwijono (2012) Kisaran suhu 31oC sampai 33oC dengan
kelembaban antara 64% sampai 68% koloni Apis mellifera dapat beraktivitas
secara optimal untuk meningkatkan produktivitasnya. Kondisi suhu yang panas
dapat diimbangi dengan curah hujan yang tinggi yaitu 2.783 mm dan hari hujan
215 hari. Kecepatan maksimum angin berkisar antara 8,9 – 10,8 Knot. Sedangkan
tekanan udara antara 1.008,5 mbps – 1.012,4 mbps. Kecamatan Skanto
merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Keerom dengan luas
wilayah kecamatan 1.504,65 Km2 atau sekitar 16,7% dari total wilayah Kabupaten
Keerom (BPS Papua. 2018).

409
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Potensi pengembangan lebah madu (Apis Mellifera) di Kecamatan Skanto,


Kabupaten Keerom
Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan di Provinsi perlu di laksanakan dalam berbagai proses
pembangunan berkelanjutan yang bertumpuk pada 3 faktor antara lain, kondisi
sumber daya alam yang dapat menopang proses pembangunan berkelanjutan perlu
memiliki kemampuan agar dapat berfungsi secara berkesinambungan, adanya
kualitas lingkungan beserta sumber daya alam dan sumber daya manusia mampu
menghasilkan timbal balik. Pembangunan Berkelanjutan dapat dilakukan dengan
pemanfaatan kawasan hutan di Provinsi Papua yang mencakup budidaya tanaman
obat, tanaman hias, jamur, penangkaran satwa liar, budidaya hijauan makanan
ternak, agroforestry, silvopasture, silvofishery dan budidaya lebah
(Luhukay.2021). Kabupaten Keerom ditutupi oleh hutan, dengan luas 942.157,31
ha (88,04% dari luas kabupaten). Pada tahun 2010 sub sektor kehutanan mampu
menyumbang PDRB Kabupaten Keerom sebesar 8,53 % dan menempati urutan
ketiga dalam sektor pertanian. Perencanaan tata ruang harus mengalokasikan
wilayah lindung dan budidaya hutan secara proporsional untuk menjamin
tercapainya pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Kabupaten
Keerom memiliki 5 macam kawasan hutan yang meliputi Hutan Lindung (HL),
Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi Terbatas
(HPT), dan kawasan suaka alam. Luas keseluruhan kawasan hutan tersebut
mencapai 841.857 ha (71,51% dari areal perhutanan). Berbagai komoditas yang
dapat dikembangkan pada sub sektor kehutanan antara lain meliputi yaitu kayu,
rotan, dan kulit kayu yang dapat dioilah menjadi plywood, block-board, veneer,
lumber-core, kayu gergajian dan poliyester. Selain itu dapat pula dikembangkan
produk non kayu seperti madu, plasma nutfah, dan jasa lingkungan hutan lainnya.
Kecamatan Skanto merupakan kecamatan yang terdiri dari 12 kampung dengan
mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan pengelolaan lahan hutan.
Jenis tanaman yang ditanam di Kecamatan Skanto, Kabupaten Keerom
diantaranya yaitu ubi-ubian (Ipomea batatas), pepaya (Carica Papaya), jagung
(Zea mays), nanas (Ananas Comosus), kacang tanah (Arachis hipogea) serta
tanaman sayur-sayuran seperti lilin (Dendrocalamus asper), labu (Cucurbita
moschata), bayam (Amanthus spinosum/A. Hybridus), kacang panjang (Vigna
sinensis), keladi (Xanthosoma violaceum), kasbi atau singkong (Manihot
utilisima), pisang (Musa paradidisiaca), sedangkan tanaman perkebunan dan
hutan seperti pisang (musa paradisiaca), jambu biji (psidium guajava), jeruk
(citrus), sukun (artocarpus altilis), mangga (mangivera Sp), rambutan (Nephelium
cepa), sagu (Metroxylon sp), buah merah (Pandanus Sp), pinang (Areca chatecu),
kelapa (Cocos nucifera), matoa (Pometia Sp), kakao (Theobroma cacao), lamtoro
(leucaena leucocephala), buah naga (pitaya) dan tebu (Saccharum officinarum).

Lahan pertanian dan juga lahan hutan yang luas merupakan tempat yang
berpotensi untuk dijadikan lahan pengembangan budidaya lebah madu.
Ketersediaan sumber pakan melimpah merupakan suatu kondisi lingkungan yang
sangat mendukung untuk hidup dan berkembang lebah madu. Pengaruh kondisi
geografi berupa wilayah, iklim, kelembaban tinggi, sumber pakan lebah
mempengaruhi periode panen madu, dan kondisi koloni lebah madu
(Fatma,dkk.2017). Ketersediaan nektar dan polen pada ekosistem akan

410
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mempengaruhi tingkat produksi dan kualitas dari sperma lebah jatan, sedangkan
ketersediaan nektar pada ekosistem dapat mempengaruhi jumlah pejantan yang
muncul pada suatu koloni. Untuk lebih memperjelas sumber pakan yang ada di
wilayah Kabupaten Keerom dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jenis tanaman dan sumber pakan lebah


Nama Tanaman Sumber
Ubi-ubian (Ipomea batatas) Nektar
Pepaya (Carica Papaya) Nektar dan polen
Jagung (Zea mays) Polen
Pisang (Musa paradisiaca) Nektar dan polen
Kacang tanah (Arachis hipogea) Nektar
Jambu biji (psidium guajava) Nektar dan polen
Jeruk (citrus) Nektar dan polen
Sukun (artocarpus altilis) Nektar dan polen
Mangga (mangivera Sp) Nektar dan polen
Rambutan (Nephelium cepa) Nektar
Sagu (Metroxylon sp) Nektar dan polen
Buah merah (Pandanus Sp) Nektar dan polen
Pinang (Areca chatecu) Nektar dan polen
Kelapa (Cocos nucifera) Nektar dan polen
Matoa (Pometia Sp) Nektar dan polen
Kakao (Theobroma cacao) Nektar
Buah naga (pitaya) Nektar dan polen
Tebu (Saccharum officinarum) Nektar dan polen

Berdasarkan tabel 1 jenis tanaman yang ada di wilayah Kecamatan Skanto,


Kabupaten Keerom dapat dijadikan sebagai sumber pakan lebah madu. Sumber
pakan lebah madu adalah tanaman yang meliputi tanaman buah-buahan, sayur-
sayuran, tanaman hias serta perkebunan yang mengandung nektar dan pollen
(Lima,dkk.2019). Tanaman pakan lebah merupakan semua jenis tanaman
berbunga (tanaman hutan, tanaman perkebunan, tanaman holtikultura, dan
tanaman liar) yang mengandung unsur nektar sebagai bahan madu dan polen.
Faktor yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan koloni lebah madu
adalah adanya ketersediaan pakan sebagai penghasil nektar dan polen, lingkungan
yang sesuai, populasi koloni yang tinggi dan kemampuan fisik lebah madu.
Ketersediaan pakan lebah secara berkesinambungan yang mampu menghasilkan
nektar dan polen sangat menentukan kehidupan lebah. Kunjungan lebah dari satu
bunga ke bunga yang lain meningkat jika nektar bunga cukup tinggi, sebaliknya
bila kuantitas nektar rendah maka frekuensi kunjungan cenderung turun, lebah
menyukai polen karena kandungan proteinnya dan menyukai nektar karena kadar
gulanya, semakin banyak nektar mengandung gula maka lebah akan sering
mengunjungi bunga tersebut (Prayoga,dkk.2020). Nektar merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan lebah madu di samping
faktor suhu, kelembaban udara, jumlah koloni, dan kemampuan lebah madu
dalam mengumpulkan nektar (Husna,dkk.2020). Nektar mengandung berbagai
karbohidrat dimana kandungan terbesar adalah sukrosa, glukosa dan fruktosa.
Nektar juga mengandung karbohidrat lain seperti laktosa, galaktosa yang

411
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Lebah madu mengumpulkan nektar dari
kelenjar nektar floral dan ekstra floral dari berbagai bunga. Lebah madu
membutuhkan pakan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
mineral, air dan lain-lain untuk kehidupannya. Pakan tersebut sangat penting
untuk perkembangan koloni, perawatan ratu, peningkatan produksi telur dan
produksi madu (Sihombing.2015).

Lebah Apis mellifera


Lebah Madu merupakan sekelompok serangga sosial yang hidupnya secara
berkelompok membentuk koloni yang tinggalnya didalam sarang dan
menghasilkan produk utama berupa madu. Lebah madu termasuk kedalam family
Apidae dan Genus Apis. Lebah madu hidup berkoloni dengan rata-rata setiap
koloni berkisar antara 10.000 sampai 100.000 lebah dalam sarang dengan
presentase lebah ratu 1 ekor, lebah pekerja 98,5% dan lebah pejantan 1,5%. Salah
satu jenis lebah yang banyak dibudidayakan di Indonesia yaitu Apis mellifera,
lebah madu yang berasal dari daerah subtropis, yaitu benua Eropa. Ciri khas lebah
madu Eropa ini adalah memiliki tubuh yang lebih besar dari Apis cerana,
memiliki gelang berwarna kekuningan di belakang abdomen dan mempunyai
perisai di antara sayapnya, warna tubuh bervariasi dari cokelat gelap sampai
kuning hitam, memiliki sifatnya tidak ganas atau jinak dan selalu menjaga
sarangnya agar tetap bersih. Lebah madu Eropa ini sudah lama dijinakkan dan
dibudidayakan, karena mampu menghasilkan produktivitas madu 35 sampai 60 kg
per tahun per koloni. Di daerah beriklim dingin, lebah ini tidak terlalu agresif dan
peka terhadap penyakit. Lebah madu Apis mellifera cukup banyak mengunjungi
atau menyukai beberapa jenis pakan. Lebah Apis mellifera merupakan lebah yang
sangat menarik, karena bergerak berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya
mengejar musim pembungaan. Peranan lebah madu ini sebagai serangga
penyerbuk bunga yang sangat besar (Baenal,dkk. 2021). Menurut Masawet, dkk
(2019) kehadiran serangga penyerbuk sangat dipengaruhi oleh ketersedian
tumbuhan berbunga pada suatu ekosistem. Serangga polinator merupakan jenis
serangga yang menguntungkan karena mempunyai peran sebagai perantara
penyerbukan tanaman. Penyerbukan tanaman oleh serangga merupakan proses
pemindahan serbuk sari (pollen) dari kepala sari ke kepala putik (stigma) sebelum
terjadi pembuahan pada tumbuhan berbunga. Serangga polinator yang sering
dijumpai di lahan pertanian umumnya adalah lebah (Hymenoptera) (Febryanti,
2020).

Strategi pengembangan dengan matriks SWOT


Strategi merupakan salah satu perangkat yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Pengembangan memiliki arti sebagai proses, cara, perbuatan. Strategi
pengembangan adalah kunci keberhasilan dalam menanggapi perubahan
lingkungan usaha. Strategi memberikan kesatuan bagi semua anggota organisasi.
Strategi dibutuhkan untuk penyusunan langkah kedepan dalam mencapai tujuan.
Menurut Ranita dan Zubaidah (2016) strategi dapat dikelompokan menjadi tiga
yaitu Strategi manajemen yang dapat dilakukan oleh suatu manajemen dengan
orientasi pengembangan strategi secara makro, misalnya strategi pengembangan
produk, strategi penerapan harga, strategi akuisisi, startegi pengembangan pasar,
strategi keuangan dan sebagainya. Strategi investasi merupakan kegiatan yang

412
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berorientasi pada investasi seperti perusahaan ingin melakukan strategi


pertumbuhan yang agregatif atau berusaha mengadakan penetrasi pasar, strategi
bertahan, strategi diinvestasi atau strategi pembangunan kembali pada suatu divisi
baru dan sebagainya. Strategi bisnis atau strategi fungsional berorientasi pada
fungsi-fungsi kegiatan manajemen seperti manajemen peamasaran, strategi
produksi, strategi distribusi dan sebagainya. Oleh karena itu untuk melaksanakan
strategi yang baik diperlukan penilaian terhadap lingkungan usaha. Hal ini
berdampak pada keberlangsungan kegiatan usaha dimasa yang akan mendatang.
Pengembangan budidaya lebah tidak bisa terlepas dari faktor-faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhinya, untuk dapat memahami faktor-faktor internal
dan eksternal dengan lebih detail, diperlukan sebuah klasifikasi faktor internal
yang meliputi faktor kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), sedangkan
faktor eksternal dikelompokkan ke dalam faktor peluang (opportunity) dan
ancaman (threat). Analisis faktor internal dan eksternal bermanfaat untuk
dipergunakan dalam perumusan strategi dan program pengembangan usaha
budidaya lebah.

1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal


Strategi pengembangan lebah madu dengan menggunakan analisis SWOT, yaitu
dengan cara mengidentifikasi terlebih dahulu faktor–faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi pengembangan budidaya lebah madu. Faktor internal dan
eksternal dalam budidaya lebah madu di Kecamatan Skanto Kabupaten Keerom
dapat dilihat berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3 berikut.

Tabel 2. Faktor Internal Pengembangan Lebah Madu (Apis Mellifera) di


Kecamatan Skanto, Kabupaten Keerom, Papua
No Kekuatan (Strength) No Kelemahan (Weakness)
1. Ketersediaan pakan yang 1. Kurangnya pengetahuan
melimpah tentang manajemen
pengembangan lebah madu
2. Ketersediaan lahan yang luas 2. Aktivitas penebangan pohon
untuk produksi
3 Memanfaatkan sumber daya
dan melestarikan hutan

Kekuatan (Strength)
a.ketersediaan pakan yang melimpah
Kecamatan Skanto memiliki lahan pertanian, lahan perkebunan dan lahan hutan
yang luas dengan berbagai varietas tanaman berbunga, hal ini merupakan potensi
yang sangat baik untuk mengembangkan usaha peternakan lebah madu. Budidaya
lebah madu dapat membantu para petani dalam proses penyerbukan tanaman,
seperti tanaman buah naga (pitaya) dan salak (salacca zalacca) sehingga dapat
mengurangi pekerjaan dari para petani. Febryanti (2020) menjelaskan bahwa
serangga polinator merupakan jenis serangga yang menguntungkan karena
mempunyai peran sebagai perantara penyerbukan tanaman. Penyerbukan tanaman
oleh serangga merupakan proses pemindahan serbuk sari (pollen) dari kepala sari
(anter) ke kepala putik (stigma) sebelum terjadi pembuahan pada tumbuhan

413
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berbunga. Serangga polinator yang sering dijumpai di lahan pertanian umumnya


adalah lebah (Hymenoptera) dan kupu-kupu (Lepidoptera).

b. Ketersediaan lahan yang luas untuk produksi


Masyarakat di Kecamatan Skanto memiliki lahan pekarangan rumah yang luas.
Rata-rata satu keluarga mempunyai lahan pekarangan berukuran 25 x 100 meter.
Lahan belakang rumah yang luas, sebagian masyarakat memanfaatkannya dengan
menanam sayuran dan beberapa pohon buah (mangga, kelapa, salak, kelengkeng),
akan tetapi sebagian masyarakat yang lain tidak memanfaatkan lahan tersebut
sehingga lahan tersebut di tumbuhi tanaman pengganggu. Adanya budidaya lebah
madu ini, pemanfaatan lahan yang ada akan lebih maksimal dan dapat memberi
penambahan penghasilan bagi masyarakat.

c.Memanfaatkan sumber daya dan melestarikan hutan


Budidaya lebah madu merupakan sebuah cara memanfaatkan Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) yang secara tidak langsung akan berpengaruh dalam menjaga dan
melestarikan keanekaragaman hayati di dalam hutan. Wirmayanti, dkk (2021)
menjelaskan bahwa hutan Indonesia kaya akan keragaman dan berbagai jenis
populasi di dalamnya akan tetapi saat ini hutan di Indonesia menjadi hutan yang
terancam di dunia karena akibat dari perusakan hutan dengan menebang pohon
secara liar. Penebangan hutan secara liar menjadi salah satu faktor dari kerusakan
dalam kawasan hutan saat ini. Penebangan liar semakin marak terjadi, khususnya
di Indonesia. Penebangan hutan secara liar ini tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat yang ada di sekitar hutan, namun terkadang hal tersebut juga
dilakukan oleh para pengusaha yang memanfaatkan hutan secara tidak baik.
Kepentingan makhluk hidup dibidang ekonomi dalam usaha kegiatan
pemanfaatan kawasan hutan akan memberikan dampak yang negatif bagi hutan
dan kehidupan makhluk hidup.

Kelemahan (Weaknes)
a.Kurangnya pengetahuan tentang pengembangan lebah madu
Budidaya lebah madu merupakan inovasi baru yang akan dikembangkan di
Kecamatan Skanto, Kabupaten Keerom. Masyarakat asli papua atau orang asli
papua tidak mudah menerima inovasi baru, dikarenakan kurangnya pengetahuan
akan cara dan teknik budidaya lebah madu yang baik dan benar. Masyarakat asli
papua hanya mengambil madu dari hutan tanpa melakukan budidaya, sehingga
perlu adanya pendekatan secara intensif kepada masyarakat adat untuk melakukan
budidaya lebah madu.

414
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Faktor eksternal pengembangan lebah madu (Apis Mellifera) di


Kecamatan Skanto, Kabupaten Keerom, Papua
No Peluang (Opportunity) No Ancaman (Threat)
1. Berpeluang sebagai wilayah 1 Keadaan musim yang tidak
pengembangan lebah madu teratur dapat mempengaruhi
hasil madu
2. Meningkatkan pendapatan dan 2. Serangan hama dan predator
nilai perekonomian masyarakat
3. Peluang pekerjaan untuk
masyarakat
4. Perkembangan teknologi dan
informasi

Peluang (Oppotunity)
1.Berpeluang sebagai wilayah pengembangan lebah madu
Keanekaragaman jenis tanaman berbunga di Kecamatan Skanto merupakan suatu
peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan budidaya lebah madu.
Ketersediaan pakan yang melimpah dapat memaksimalkan lebah madu pekerja
dalam mencari sumber pakan dan juga meningkatkan produktifitas dari lebah
madu. Harjanto,dkk(2020) menjelaskan bahwa kunci awal keberhasilan budidaya
lebah adalah pemilihan lokasi yang tepat untuk mendukung budidaya. Lebah
sangat membutuhkan lingkungan yang kaya akan sumber pakan dan material
sarang.

2.Meningkatkan pendapatan dan nilai perekonomian masyarakat


Usaha budi daya lebah madu menghasilkan produk diantaranya adalah madu,
royal jelly, polen lebah (bee pollen), lilin, perekat (propolis), dan racun lebah.
Produk-produk lebah madu ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi,
sehingga dapat meningkatkan upaya pemenuhan gizi dan menjadi tambahan
pendapatan bagi masyarakat Kecamatan Skanto. Rahmad,dkk (2021) menjelaskan
bahwa manfaat tidak langsung (indirect benefits) budidaya lebah antara lain
adalah berkaitan dengan proses pelestarian lingkungan dan sumber daya hutan,
peningkatan produktivitas tanaman, dan adanya hubungan simbiosis yang saling
menguntungkan.

3.Peluang pekerjaan untuk masyarakat


Pengembangan lebah madu di Kecamatan Skanto menjadi peluang pekerjaan bagi
masyarakat. Peternak lebah madu yang sedikit jumlahnya, menjadikan budidaya
lebah madu sebagai salah satu peluang untuk melebarkan sayap didunia bisnis
peternakan. Badan Pusat Statistik (2020) menjelaskan bahwa produksi madu di
Indonesia mengalami penurunan sebesar 89,7% dengan jumlahnya yang mencapai
51,34 ribu liter. Hal ini dapat menjadikan peluang usaha bagi masyarakat di
kecamatan Skanto.

4.Perkembangan teknologi dan informasi


Teknologi dan informasi yang terus berkembang merupakan peluang untuk
menggali informasi dan memasarkan produk yang dihasilkan. E-marketplace
merupakan tempat dimana pedagang menjual barang dagangannya dan dapat

415
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dijangkau oleh berbagai orang di belahan dunia. Pasar online dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat Kecamatan Skanto untuk memasarkan hasil produk dari
budidaya lebah madu. Dengan pola pemasaran yang luas, tentu permintaan produk
hasil lebah semakin tinggi.

Ancaman (Threat)
a. Keadaan musim yang tidak teratur dapat mempengaruhi hasil madu
Keadaan temperatur suhu dan kelembaban yang tinggi dapat mempengaruhi
aktivitas lebah madu dalam bereproduksi maupun berproduksi.
b. Serangan hama dan predator
Tingginya tingkat kelembaban pada sarang dapat membuat hama mudah
berkembang biak. Hama parasit yang sering menyerang koloni Apis mellifera
adalah Varroa jacobsoni dan Tropilaelaps clareae.
c. Aktivitas penebangan pohon di hutan
Papua merupakan salah satu pulau di Indonesia yang sebagian besar wilayahnya
adalah hutan. Hasil hutan kayu (HHK) merupakan salah satu sumber daya alam
yang terus di gali untuk kepentingan beberapa pihak tanpa memikirkan dampak
buruk terhadap ekosistem didalamnya. Penebangan pohon yang terus dilakukan
merupakan ancaman bagi beberapa tanaman dan dapat menghilangkan sumber
pakan bagi lebah maupun hewan lainnya.

2. Pendekatan Kualitatif Analisis SWOT


Setelah mengidentifikasi faktor internal yang meliputi kekuatan (Streangth) dan
kelemahan (Weakness), dan faktor eksternal yang meliputi peluang (Opportunity)
dan ancaman (Threat) dapat digunakan untuk menjadi tolak ukur strategi apa yang
harus lebih diutamakan. Selain itu dapat dijadikan bahan untuk merencanakan
strategi yang akan digunakan dalam pengembangan budidaya lebah madu Apis
mellifera di Kecamatan Skanto, Kabupaten Keerom, maka dengan menggunakan
analisis matriks SWOT diperoleh beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan
guna pengembangan budidaya lebah madu. Penentuan Strategi dengan Matrik
SWOT dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan analisis matriks SWOT, maka alternatif strategi yang diperoleh


adalah, sebagai berikut:
Strategi S-O,
Strategi S-0 (Strength-Opportunity) atau strategi kekuatan-peluang, yaitu :
1. Memanfaatkan wilayah Kecamatan Skanto yang berpotensi untuk dijadikan
lokasi pengembangan budidaya lebah madu.
2. Memanfaatkan dukungan pemerintah Kabupaten Keerom untuk melakukan
pengembangan budidaya lebah madu dan pemasarannya di Kecamatan
Skanto, Kabupaten Keerom.
3. Mengembangkan penggunaan teknologi untuk melakukan pengembangan
budidaya lebah madu.
Strategi W-O (Weaknesses-Opportunity) atau Kelemahan-Peluang, yaitu :
1. Memanfaatkan dukungan pemerintah untuk melakukan pendekatan,
penyuluhan dan pendampingan kepada msayarakat hingga pelaksanaan
pengembangan budidaya lebah madu berhasil meningkatkan perekonomian
masyarakat.

416
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 4. Penentuan Strategi dengan Matriks SWOT


Strength (S) Weakness (W)
1. Ketersediaan 1. Kurangnya
IFAS pakan lebah yang pengetahuan
melimpah mengenai
2. Ketersediaan lahan pengembangan
yang luas untuk lebah madu
budidaya lebah
EFAS madu
3. Memanfaatkan
sumber daya dan
melestarikan hutan

Opportunities Strategi S-O Strategi W-O


1. Berpeluang sebagai 1. Memanfaatkan 1. Memanfaatkan
wilayah pengembangan wilayah dengan dukungan
lebah madu ketersediaan pakan pemerintah untuk
2. Adanya dukungan melimpah bagi melakukan
pemerintah dapat lebah madu (S1, pendampingan
menambah jaringan S2, O1) berkelanjutan
pemasaran produk 2. Memanfaatkan (O3, W1)
3. Meningkatkan dukungan 2. Merubah pola
pendapatan dan nilai pemerintah untuk pikir
perekonomian mengembangkan masyarakat (O2,
masyarakat budidaya lebah W2)
4. Peluang pekerjaan madu dan
5. Perkembangan teknologi pemasarannya.
dan informasi pemasaran 3. Mengembangkan
teknologi
budidaya lebah
madu dan
pemasaran (S1,
S2, O4, O5)
Threats (T) Strategi S-T Strategi W-T
1. Keadaan musim yang 1. Penyuluhan dan 1. Memberikan
tidak teratur dapat pendampingan pengetahuan
mempengaruhi hasil mengenai melalui
madu pencegahaan penyuluhan
2. Serangan hama serangan hama tentang budidaya
3. Aktivitas penebangan dan iklim yang lebah madu
pohon di hutan tidak menentu. 2. Melakukan
kerjasama
dengan Pemeritah
dalam
memberantas
penebangan
hutan illegal

417
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Strategi S-T (Strength-Threat) atau strategi kekuatan-ancaman, yaitu :


1. Melakukan penyuluhan dan pendampingan mengenai prosedur pencegahan
hama yang menyerang lebah madu Apis mellifera.
Strategi W-T (Weaknesses-Threat) atau Kelemahan-Ancaman, yaitu :
1. Memberikan pengetahuan dalam pembasmian kutu lebah dengan teknik
memperbanyak sel lebah jantan sebagai pondasi sarang lebah dan
menempatkannya didalam koloni terinfeksi.
Memberikan penyuluhan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh adanya
penebangan hutan secara liar.

Kesimpulan
Kecamatan Skanto merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Keerom yang
memiliki potensi untuk pengembangan budidaya lebah madu Apis mellifera. Hal
ini dilihat dari faktor-faktor internal yang meliputi (kekuatan dan kelemahan) dan
eksternal (peluang dan ancaman) yang kemudian membentuk strategi untuk
pengembangan lebah madu di Kecamatan Skanto, Kabupaten Keerom, Papua.
Analisis strategi melalui matriks SWOT menghasilkan strategi alternatif yang
dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan budidaya lebah madu. Dengan
potensi alam yang menyediakan sumber pakan melimpah bagi lebah, Budidaya
lebah madu diharapkan dapat memanfaatkan sumber daya alam Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) dengan nilai ekonomis tinggi dan tetap menjaga kelestarian
serta ekosistem di dalamnya.

Daftar Pustaka
Beanal, P., T. M. Frans dan R. P. Kainde. 2021. Hubungan Antara Jenis Pakan
dengan Lebah Madu di Taman Hutan Raya Gunung Tumpa H.V. Worang. In
Cocos. 3(3): 1-7.
Budiwijono, T. 2012. Identifikasi Produktivitas Koloni Lebah Apis Mellifera
Melalui Mortalitas dan Luas Eraman Pupa di Sarang Pada Daerah Dengan
Ketinggian Berbeda. Jurnal Gamma. 7(2): 111-123.
Fatma, I. I., S. Haryanti dan S. W. A. Suedy. 2017. Uji Kualitas Madu Pada
Beberapa Wilayah Budidaya Lebah Madu di Kabupaten Pati. Jurnal Biologi.
6(2): 58-65.
Febriyanti. D, E.Rosa dan R. Agustrina. 2020. Types and Daily Activities of
Pollinator Insect in the Ornamental and Fruit Gardens of Liwa Botanical
Garden. Jurnal Ilmiah Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati. 7(2) :
32-45.
Harjanto. S, M. Mujianto, arbainsyah dan A. Ramlan. 2020. Budidaya Lebah
Madu Kelulut Sebagai Alternatif Mata Pencaharian Masyarakat.
Meliponikultur : Petunjuk Praktis.
Husna. I. S. H, H. Santoso dan R. D. Lisminingsih. 2020. Perbandingan Kadar
Gula dan Kadar Madu yang Dihasilkan Oleh Lebah (apis mellifera) di Pusat
Perlebahan Kota Batu. E-Jurnal Ilmiah Sains Alami. 2(2) : 39-44.
Lima, D. D., J. S. A. Lamerkabel dan I. Welerubun. 2019. Inventarisasi Jenis-
Jenis Tanaman Penghasil Nektar dan Polen Sebagai Pakan Lebah Madu Apis
Mellifera di Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat. Agrinimal.
7(2) : 77-82.

418
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Masawet, S., R. Koneri dan F. N. J. Dapas. 2019. Keanekaragaman Serangga


Penyerbuk di Perkebunan Sayuran Kelurahan Rurukan Kota Tomohon. Jurnal
Bioslogos. 9(1): 111-118.
Prayoga. S, Burhanudin dan E. Wardenaar. 2020. Potensi Vegetasi Mangrove
Sebagai Pakan Lebah Madu di Kawasan Hutan Mangrove Surya Perdana
Mandiri Kelurahan Setapuk Besar Singkawang Utara. Jurnal Hutan Lestari.
8(2) : 441-453.
Rahmad. B, N. Damiri dan Mulawarman. 2021. Jenis Lebah Madu dan Tanaman
Sumber Pakan Pada Budi Daya Lebah Madu di Hutan Produksi Subanjeriji,
Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan Faloak.
5(1) : 47-61.
Ranita, S. V dan Z. Hanum. 2016. Revenue Cost dan Analisis Swot Dalam
Pengembangan Usaha. Jurnal Bisnis Administrasi. 5(2): 14-19.
Sihombing. D. T. H. 2015. Ilmu Ternak Lebah Madu. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Wirmayanti. P. A. I, I. A. P. Widiati dan I. W. Arthanaya. 2021. Akibat Hukum
Penebangan Hutan Secara Liar. Jurnal Preferensi Hukum. 2(1) : 197-201.

419
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ANALISIS SOSIAL EKONOMI PENGUNAAN IB DENGAN TEKNOLIGI


DOUBLE DOSIS DAN PENAMBAHAN PAKAN PADA USAHA
PEMBIAKAN SAPI PEDAGING DI DESA SENGGARENG KECAMATAN
SUMBER PUCUNG KABUPATEN MALANG.

Rizki Prafitri1,*, Renaldy Azis2, Aulia Puspita Anugra Yekti3, Kusmartono4,


Trinil Susilawati3
1
Bagian Minat Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Program Sarjana Minat Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
3
Bagian Minat Produksi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
4
Bagian Minat Nutrisi Pakan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
Email korespondensi: rizkiprafitri@ub.ac.id

Abstrak
Keberhasilan kebuntingan memiliki peran penting dalam efisiensi usaha sapi
potong, Pelaksanaan Inseminasi Buatan dan pakan yang diberikan sangat
berkontribusi dalam keberhasilan kebuntingan sehingga terjadi kebuntingan dan
kelahiran pedet setahun sekali. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini
adalah IB dengan menggunakan teknologi IB double dosis dan penambahan pakan
konsentrat untuk menunjang keberhasilan IB. Penelitian ini dilakukan di Desa
Senggreng Kec. Sumberpucung Kab. Malang, yang bertujuan mengetahui
karakteristik peternak serta analisis ekonomi usaha sapi potong yang menerapkan
inovasi IB double dosis dan penambahan pakan konsentrat dengan 3 perlakuan,
yaitu P0 perlakuan kontrol di mana peternak memberikan pakan dengan biasanya
dan tidak ada acuan tertentu, P1 merupakan perlakuan pemberian pakan 1 minggu
sebelum IB dan 2 minggu setelah IB, sedangkan P2 perlakuan pemberian pakan 1
minggu sebelum IB dan 1 minggu sesudah IB. Setiap perlakuan tetap mengacu
pada peritungan R/C ratio guna menghitung pendapatan dan pengeluaran. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Data diperoleh
melalui wawancara terhadap 45 responden yang mendapatkan perlakuan IB
doubel dosis, penambahan pakan dan peternak kontrol yang tidak menerapkan
teknologi tersebut. Hasil penelitian yang didapat adalah umur peternak, tingkat
pendidikan, pengalaman beternak, kepemilikan hewan ternak serta pendapatan
dan pengeluaran biaya. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa rata-rata R/C pada
setiap perlakuan di Desa Senggreng Kecamatan Sumber Pucung Kab. Malang
pada P0 adalah 1,4; P1 sebesar 1,7 dan P2 sebesar 1,8. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa baik peternak yang menerapkan IB Double Dosis dan
penambahan pakan maupun tidak menerapkan tetap mendapatkan keuntungan
pada usaha sapi potong yang dilakukan.

Kata Kunci: analisa usaha; IB; double dosis; pakan tambahan

420
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pendahuluan
Daging sapi merupakan produk peternakan yang sering kita jumpai di pasar
modern maupun tradisional. Namun daging sapi masih di anggap pangan yang
mewah dan mempunyai harga yang relatif cukup mahal. Hal ini disebabkan
karena terdapat beberapa biaya produksi. Pernyataan ini sesuai dengan Hastuti D.,
Renan S., dan Muammar I. (2018) bahwa usaha peternakan sapi perah diperlukan
manajemen dalam merencanakan, mengorganisasikan dan melaksanakan serta
mengevaluasi suatu proses produksi. Proses produksi dipengaruhi oleh
berbagai aspek, antara lain tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, skala usaha,
besar kecilnya kredit, dan jenis komoditas.

Dalam pengembangan ternak sapi potong telah di kenalkan tentang teknologi


Inseminasi Buatan (IB) yang dapat membantu peternak dalam produktivitas. IB
akan tinggi keberhasilannya jika ternak sudah birahi dan langsung di inject oleh
inseminator. Hal ini sesuai dengan Kastalani, H.Torang, dan A. Kurniawan (2019)
bahwa pada waktu ternak sudah siap untuk kawin bisa langsung memanggil
inseminator dan akan memperbesar persentase keberhasilan IB dan
meningkatkan produktivitas dari ternak itu sendiri. Dalam menentukan efisiensi
keberhasilan kebuntingan perlu melihat tentang S/C rasio. S/C menujukan tingkat
kesuburan induk dan keberhasilan kebuntingan. Seperti pernyataan dari Yusuf M.
(2016) Service Per conception atau jumlah perkawinan per kebuntingan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi salah satu efisiensi reproduksi.
Nilai S/C yang normal antara 1,6-2. Makin rendah nilai tersebut makin tinggi
kesuburan ternak induk.

Oleh karena itu diperlukanlah inovasi lain yang lebih baik dan akurat guna lebih
meningkatkan daya produktivitas. Teknologi IB Double Dosis dapat menjadi
alternatif dalam menangani hal ini dikarenakan jumlah kapasitas spermatozoa
dalam straw yang di inseminasi lebih banyak dibandingkan single semen,
sehingga akan meningkatkan daya fertilitas antara spermatozoa dengan ovum. Hal
ini sesuai dengan Yekti dkk (2019) berpendapat jika IB double dosis dapat
meningkatkan keberhasilan IB hingga 90%. Selain itu penambahan pakan
konsetrat juga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan kebuntingan,
sehingga usaha peternakan sapi potong semakin efisien secara ekonomi.
Penelitian ini di lakukan di Desa Senggreng Kec. Sumberpucung Kab. Malang,
yang bertujuan mengetahui karakteristik peternak serta analisis ekonomi usaha
sapi potong yang menerapkan inovasi IB double dosis dan penambahan pakan
konsentrat.

Metode Penelitian
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli 2021 di Desa Senggreng Kecamatan
Sumber Pucung Kabupaten Malang dengan kisaran waktu kuranglebih satu bulan.
Pemilihan lokasi di lakukan secara sengaja (purposive sampling) karena di Desa
Senggreng Kecamatan Sumber Pucung Kabupaten Malang mayoritas peternak
memelihara sapi potong. Pertimbangan lain adalah Desa Senggreng Kecamatan
Sumber Pucung Kabupaten Malang merupakan daerah yang sangat potensial
untuk pengembangan ternak sapi potong dan pada daerah ini belum adaadopsi

421
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

inovasi tentang penggunan inseminasi buatan dengan metode IB double dosis


pada usaha peternakan sapi potong.

Analisis data
Analisi data penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di ambil dengan
wawancara terhadap responden dan mengajukan pertanyaan pada peternak sapi
potong yang telah melakukan IB doubel dosis dan penambahan bahan pakan
konsentrat terhadap hewan ternaknya maupun peternak kontrol yang tidak
menerapkan teknologi tersebut di Desa Senggreng Kecamatan Sumber Pucung
Kabupaten Malang.

Hasil dan Pembahasan


Umur responden
Usia pada peternak di Desa Senggreng kec. Sumber Pucung Kab. Malang
bervariasi. Berdasarkan data yang diperoleh, usia yang mendominasi adalah usia
41-50 yang berjumlah 26 orang dengan persentase 58%, sedangkan pada usia 51-
60 terdapat 18 peternak dengan persentase 40% dan pada usia 61-70 terdapat
hanya ada 1 orang dengan persentase 2%. Usia merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi produktivitas seseorang dalam melakukan kegiatan. Menurut
Waris., Nuril.., dan Dyah.. (2015) usia peternak sangat berkaitan dengan adopsi
inovasi suatu teknologi. Jika petani tergolong pada umur produktif (25-45
tahun), maka dapat dikatakan bahwa proses penerimaan inovasi cukup baik
bila dibandingkan dengan umur yang lebih muda atau yang lebih tua. Umur
responden dapat dilihat di pada Grafik 1.

Gambar 1. Usia responden peternak yang sapinya ikut dalam perlakuan

Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peternak di Desa Senggreng di


dominasi pada usia 41-50 dan itu termasuk usia yang cukup produktif. Hal ini
sesuai dengan Fauziah.,Rita.., dan Burhannudin (2015) umumnya seorang
wirausaha berusia 22-55 tahun. Memulai usaha di luar usia ini seseorang dapat
dimungkinkan kurang pengalaman atau terlambat melangkah. Setelah mencapai
usia 55 atau 60 tahun, kemampuan belajar dan berpengalaman semakin berkurang.
Hal ini berarti bahwa umur mempengaruhi kompetensi dan kinerja peternak.
Selain itu umur juga berpengaruh pada pengambilan keputusan dan menerima
sesuatu yang baru. Ediset dan Jaswandi (2017) berpendapat bahwa Umur

422
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

produktif ini akan berperan besar terhadap usaha yang dilakukan oleh
peternak, terutama dalam hal pengambilan keputusan.

Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan peternak diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun
diperoleh dari pendidikan non formal. Pendidikan formal diharapkan
memudahkan peternak untuk memperoleh inovasi dan pengetahuan baru.
Pendidikan non formal diberikan oleh dinas peternakan atau akademisi setempat
dalam rangka membina para peternak untuk meningkatkan pengetahuan dan
memperoleh teknologi baru dalam manajemen pemeliharaan sapi potong. Tingkat
pendidikan mempengaruhi pola pikir peternak, semakin tinggi pendidikan
semakin banyak juga wawasan yang di dapat. Tingkat pendidikan responden
dapat dilihat pada Grafik 2 .

Gambar 2. Tingkat Pendidikan peternak yang sapinya ikut dalam perlakuan

Grafik 18 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan peternak Desa Senggreng di


dominasi dengan lulusan SD ada 22 orang dengan persentase 49% dan lulusan
SMP ada 16 orang dengan persentase 36% dan lulusan SMA/SLTA ada 7 orang
dengan persentase 15%. Di lihat dari mayoritas pendidikan responden, lulusan
SD adalah yang paling banyak, ini menandakan bahwa tingkat pendidikan
responden masih relatif rendah. Sumarno. (2010) menyatakan tingkat pendidikan
mempunyai sumbangan efektif terkecil dibandingkan dengan ubahan yang
lainnya, tetapi tidak dapat diabaikan karena pendidikan formal mempunyai peran
yang sangat efektif untuk pembentukan dan pengembangan kepribadian, bakat,
sikap, mental, pengetahuan dan kecerdasan termasuk kreativitas dan daya analisis.
Meski begitu tidak menutup kemungkinan untuk para Peternak Desa Senggreng
untuk berkembang. Pendidikan non formal seperti pelatihan yang diberikan oleh
dinas, perguruan tinggi dan industri akan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan peternak.

Pengalaman beternak
Pengalaman merupakan sesuatu yang berharga jika berkecimpung pada dunia
usaha, karena dari pengalaman peternak dapat menentukan hal hal yang berkaitan
dengan usahanya dengan belajar dari masa lalunya. Berkat dari pengalaman
peternak mendapat pelajaran yang berharga.
Pengalaman peternak sangat erat kaitannya dengan keterampilan yang dimiliki.
Semakin lama pengalaman beternak seseorang maka keterampilan yang dimiliki

423
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

akan lebih tinggi dan berkualitas. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
responden memiliki pengalaman beternak yang bervariasi. 96% dari responden ini
memiliki pengalaman antara 5-10 tahun, sedangkan hanya 4% responden yang
memiliki pengalaman beternak. Semakin lama pengalaman yang dimiliki oleh
peternak diharapkan peternak memiliki pemahaman yang lebih baik tentang
manajemen sapi potong. Hendrayanti.., dan Dewi. (2009). Selain itu, Fitria. .
Dkk (2012) menyatakan bahwa pengalaman beternak berkorelasi positif dengan
sikap kritis dan hati-hati. Makatita. (2021) berpendapat pengalaman masa lalu
yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kecenderungan untuk merasa
memerlukan dan siap menerima berbagai pengetahuan baru. Pengalaman
beternak responden dapat dilihat di Grafik 3.

Grafik 3. Pengalaman beternak

Kepemilikan ternak sapi potong


Jumlah kepemilikan ternak merupakan salah satu faktor yang menentukan usaha
beternak sapi potong. Indrayani. , dan Andri (2018) menyatakan bahwa jumlah
ternak yang dipelihara berpengaruh nyata terhadap pendapatan usaha ternak sapi
potong. keuntungan yang akan diperoleh oleh peternak akan terlihat dengan jelas
(Rusdiana. , Umi. ., dan Rijanto., 2016). Jumlah kepemilikan ternak dapat dilihat
pada tabel 1.

Tabel 1. Kepemilikan sapi pada pemilik sapi akseptor


Kepemilikan sapi /Ekor
Responden
Jantan Induk Pedet Dara
P0 9 39 19 4
P1 1 27 21 9
P2 2 34 20 12
Total 12 100 60 25
Rata-rata 4 33 20 8

Analisis pendapatan peternak sapi potong


Biaya Produksi
Biaya produksi dalam sebuah usaha merupakan hal yang pasti, dalam biaya
prooduksi terdapat biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost).
Biaya tetap merupakan merupakan biaya yang harus di keluarkan selama proses

424
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

produksi dalam suatu usaha, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang di
keluarkan ketika ada faktor pendukung yang dapat meningkatkan produksi dalam
usaha, bisa di katakan biaya variabel adalah biaya yang di keluarkan dengan
keperluan tergantung besar dan kecilnya hasil yang diinginkan.

Biaya Tetap
Dilihat dari tabel 2. Merupakan biaya tetap yang meliputi beberapa keperluan
kandang, seperti halnya sabit untuk mencari makan, tempat makan dan minum,
dan rekondisi kandang yang rusak. Jumlah biaya yang sudah di tentukan
merupakan hasil rata rata kebutuhan satuan ekornya/tahun. Dengan asumsi biaya
Rp 25.000/ekor sebagai biaya penyusutan peralatan dan kandang, alat di
perkirakan dapat di gunakan hingga 4 tahun lamanya. Sunarto., Nono., Lole., dan
Henuk.. (2016) bahwa biaya tetap dalam usaha peternakan sapi potong antara
lain biaya penyusutan peralatan seperti skop, ember, sikat, selang dan
penyusutan kandang seperti perbaikan kandang, perbaikan atap dan lain-lain.

Tabel 2. Rata -rata biaya penyusutan peralatan dan perkandangan usaha ternak
sapi potong
No Perlakuan Jumlah Peternak Rata-rata Biaya Tetap/ekor
1 P0 15 orang Rp25.000
2 P1 15 orang Rp25.000
3 P2 15 orang Rp25.000

Biaya Variabel
Biaya variabel yang di keluarkan peternak Desa Senggreng Kec. Sumberpucung
Kab. Malang meliputi biaya IB, biaya pakan , dan biaya obat-obatan. Biaya di
keluarkan guna dapat menambah hasil yang maksimal guna meningkatkan
pendapatan. Pada penelitian kali ini biaya variabel di hitung dengan acuan waktu
1 tahun.

1. Biaya IB double dosis


IB merupakan teknologi reproduksi yang di ciptakan untuk memperbesar
keberhasilan kebuntian pada hewaan ternak. Hal ini sesuai dengan Herawati.. Dkk
(2012) bahwa Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya
memasukkan semen/mani ke dalam saluran reproduksi hewan betina yang
sedang birahi dengan bantuan inseminator agar hewan bunting. Selain itu IB juga
berpengaruh pada biaya produksi karena semakin banyak IB yang tidak jadi maka
itu akan memperbesar biaya produksi. Herawati.. dkk (2012) juga berpendapat
jika nilai service perconception (S/C) tinggi, secara langsung akan
memperbesar biaya untuk menghasilkan seekor pedet. Dengan demikian,
besar kecilnya pengeluaran biaya untuk menghasilkan pedet juga dipengaruhi
oleh keterampilan inseminator.

Pada penelitian kali ini menerapkan teknologi IB double dosis yang memasukkan
semen 2 kali dalam satu IB, hal ini di harap mampu meningkatkan keberhasilan
bunting pada ternak. Yekti dkk (2019) menegaskan bahwa banyaknya konsentrasi
spermatozoa pada semen sexing beku double dosis jika dibandingkan dengan

425
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

semen beku sehingga peluang spermatozoa mengadakan pembuahan semakin


besar yang mengakibatkan peluang kebuntingan semakin besar pula. Untuk
masalah tarif, peternak Desa Senggreng biasa mengeluarkan Rp50.000 untuk
sekali IB, berarti untuk menerapkan teknologi IB double dosis peternak
mengeluarkan Rp100.000. Rata rata peternak Desa Senggreng dapat melakukan 2
hingga 4 kali IB untuk mendapat kebuntingan.

2. Biaya Pakan
Pakan merupakan biaya yang wajib di keluarkan oleh peternak, besar kecil biaya
pakan yang di keluarkan tergantung pada kemauan peternak sendiri, semakin baik
pakan yang yang di berikan semakin semakin baik pula hasil yang didapatkan
Nurwahidah.,Toleng. dan Hidayat. (2016) berpendapat bahwa Peningkatan
produktivitas sapi potong dipengaruhi dengan mereka juga petani, pakan hijauan
yang sering mereka gunakan adalah rumput gajah selain dari itu pas musim panen
padi ataupun jagung peternak juga biasa menggunakan bahan pakan jerami padi
maupun jagung yang sudah dalam bentuk hay-lase. Selain pakan hijauan dan
jerami, peternak Desa Senggreng jugaa menggunakan konsentrat untuk memenuhi
kebutuan nutrisi ternak, karena konsentrat dapat membantu dalam penggemukan
ternak sapi potong. Nurwaidah.., Tolleng.., dan Hidayat.. (2016) menegaskan
bahwa konsentrat dapat meningkatkan pertambahan berat badan sapi potong,
yang mempunyai perbedaan masing-masing dimana pada pakan konsentrat
berperanan untuk meningkatkan nilai nutrien yang rendah agar memenuhi
kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat. Peternak
biasa mendapatkan konsentrat dengan harga Rp 10.000/kg nya, Konsentrat tidak
langsung diberikan pada ternak melainkan masih di campur dengan bahan bahan
lainya.

3. Biaya Obat Obatan dan Vitamin


Obat-obatan atau vitamin sangat penting adanya karena menunjang kesehatan
ternak, Peternak sering memberikan vitamin pada setiap bulannya guna
menunjang kesehatan agar produktivitas juga maksimal. Unsunnidhal..,
Kurniawan. , dan Asmarani.. (2021) berpendapat bahwa Manajemen kesehatan
reproduksi ternak merupakan proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengendalian faktor-faktor reproduksi melalui optimalisasi
sumber daya yang tersedia agar produktivitas ternak dapat maksimal,
Kesehatan ternak dapat dioptimalkan dan kualitas reproduksi ternak dapat
ditingkatkan sesuai dengan standar yang diinginkan. Peternak desa Senggreng
biasa memberikan vitamin atau obat pada 1 bulan sekali dan kondisional, artinya
ketika hewan dirasa kurang sehat atau menunjukkan tanda tanda sakit, peternak
segera memberikan obat tertentu pada ternaknya. Namun mayoritas peternak tidak
melakukan inject sendiri, melainkan memanggil dokter hewan, dengan tarif Rp
50.000- Rp 80.000 sekali IB.

Pemberian pakan mempunyai pengaruh yang paling besar (60%). Besarnya


pengaruh pakan ini membuktikan bahwa produksi ternak yang tinggi tidak bisa
tercapai tanpa pemberian pakan yang memenuhi persyaratan kualitas dan
kuantitas. Untuk peternak Desa Senggreng biasa menggunakan pakan hijauan dan

426
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

konsentrat untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka. Pakan hijauan masih
lumayan mudah di dapat karena mayoritas dari

Tabel 3. Rata -rata biaya variable responden P0, P1, dan P2


Pakan
IB double dosis Obat obatan
No Perlakuan Jumlah Peternak Pedet Sapi Induk Total
(Rp/Peternak/tahun) % (Rp/Peternak/tahun) % (Rp/Peternak/tahun) % (Rp/Peternak/tahun) %
1 P0 15 Rp 140.000 2,4 Rp 1.560.000 27 Rp 3.333.667 58 Rp 752.000 13 Rp 5.785.667
2 P1 15 Rp 140.000 2,6 Rp 1.500.000 28 Rp 3.040.667 57 Rp 688.000 13 Rp 5.368.667
3 P2 15 Rp 173.333 3,5 Rp 1.188.000 24 Rp 2.896.000 59 Rp 684.000 14 Rp 4.941.333

Keterangan
T0= Pakan Rumput + Bio ATP ;
T1 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 14 hari sebelum IB dan 7 setelah IB + Bio
ATP
T2 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 7 hari sebelum IB dan 7 hari setelah IB +
Bio ATP.

Di tinjau dari tabel 3. perbedaan biaya variabel antar perlakuan tidak


menunjukkan perbedaan yang besar antar peternak. Hal ini dikarenakan semua
yang berkaitan dengan produksi ternak sapi potong menggunakan inseminator,
pakan dan obat-obatan yang sama, hanya metode pemberian dan kapasitasnya saja
yang berbeda.

Pada penerapan IB double dosis P2 memiliki S/C nya paling tinggi, hal ini
menjadikan nilai biaya variabel naik, karena jika kegagalan dalam IB maka S/C
juga akan tinggi. Ihsan. dan Wahjuningsih.. (2011) Berpendapat bahwa tingginya
kegagalan inseminasi buatan sehingga S/C nya menjadi tinggi. Dengan rata
rata pengeluaran biaya IB double dosis dari setiap perlakuan Rp 151.000,
maka tingkat keberhasilan IB double dosis harus di maksimalkan. Hasil rata rata
S/C (service per conception) P0 P1 P2 adalah 1,5. Dengan rata rata demikian S/C
pada peternak Desa Senggreng masih terbilang normal dan baik. Ihsan.., dan
Wahjuningsih.. (2011) juga menjelaskan pada penelitiannya bahwa Nilai S/C
rata-rata dari tiga bangsa sebesar 1.37 pada paritas 2 dan 1.33 pada paritas 3,
merupakan angka yang sangat baik karena kisaran normal S/C berkisar
antara 1.5-2.0.

Pakan juga menentukan biaya variabel pada usaha peternakan sapi potong, karena
semakin bagus pakan yang di berikan juga semakin bagus hasil yang di dapatkan,
namun pakan yang bagus juga mengeluarkan biaya yang lumayan. Pakan
tambahan berupa konsentrat dapat mendorong bobot sapi yang maksimal.
Nurwahidah.J. dkk (2016) berpendapat bahwa pemberian pakan tambahan ialah
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan pakan yang berkualitas rendah dengan
cara meningkatkan fermentasi rumen melalui penyediaan sumber energi. Dengan
ketersediaan pakan basal yang sangat terbatas, mengakibatkan pengaruh
pemberian pakan tambahan memperlihatkan pengaruh yang baik terhadap
perbaikan pertambahan berat badan dibanding dengan sapi yang tidak diberi

427
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pakan tambahan (konsentrat). Pada penelitian kali ini biaya pakan induk dan biaya
pakan pedet di bedakan, hal ini di lakukan untuk memudahkan perhitungan
dengan asumsi pakan induk terhitung 1 tahun dan pakan pedet 6 bulan. Pada
penelitian kali ini P0 merupakan perlakuan yang mengeluarkan biaya variabel
terbesar untuk pakan, dengan rata rata biaya pakan induk sebesar Rp3.333.667
dan biaya pakan pedet Rp1.560.000. Hal ini di karenakan responden dengan P0
memberikan pakan secara adlibitum atau tidak terbatas.

Selain biaya IB double dosis dan pakan, biaya obat-obatan juga termasuk pada
biaya variabel, mengingat pentingnya obat obatan pada usaha sapi potong. Ternak
yang baik adalah ternak yang sehat dan terhindar dari berbagai macam penyakit,
karena dengan ternak yang sehat tingkat produktivitas juga akan bertambah.
Nuraini., dkk (2020) menegaskan bahwa Rendahnya pelaksanaan manajemen
kesehatan hewan berimbas kepada kerugian akibat adanya gangguan
kesehatan ternak termasuk kerugian untuk pengobatan ternak oleh mantri atau
dokter hewan, penurunan produksi, serta kematian ternak. Maka dari itu setiap
peternak diwajibkan mengerti tentang penanganan serta obat-obatan yang harus di
berikan pada ternak ketika ternak sedang sakit. Penyakit yang mayoritas sering
ditemukan pada peternakan Desa Senggreng adalah cacingan. Penyakit cacingan
merupakan penyakit yang lumayan bahaya karena dapat menyerang daya tahan
tubuh ternak. Nuraini., dkk (2020) juga berpendapat Manajemen kesehatan
hewan berhubungan erat dengan usaha pencegahan infeksi dari agen-agen
infeksi melalui upaya menjaga biosekuriti dengan menjaga higienitas dan
sanitasi kandang, manajemen pakan yang baik, dan peningkatan daya tahan
tubuh ternak melalui pemberian obat cacing dan multivitamin. Peternak sapi
potong Desa Senggreng biasa mengeluarkan obat-obatan maupun vitamin
Rp50.000 hingga Rp80.000 tergantung dengan kebutuhan. Pada data ini P0
merupakan perlakuan yang mengeluarkan biaya obat-obatan terbesar dengan rata
rata Rp752.000/tahun. Angka ini cukup tinggi karena peternak yang menerapkan
P0 lebih sering dan intens memberikan obat dan vitamin vitamin tertentu.

Penerimaan
Penerimaan merupakan pendapatan yang di hasilkan dari penjualan suatu barang
atau produk, jika di kaitkan pada usaha sapi potong penerimaan yang di dapatkan
adalah penjualan dari hasil ternak yang sudah di tentukan. Haloho. . dan Chaula. .
(2021) berpendapat bahwa Penerimaan pada usaha sapi potong berasal dari
penjualan sapi. Besarnya penerimaan usaha sapi potong bergantung pada
bobot hidup serta harga jual pada saat terjadi proses penjualan. Bentuk umum
penerimaan dari penjualan yaitu TR = P x Q; dimana TR adalah total revenue atau
penerimaan, P adalah price atau harga jual per unit produk dan Q adalah quantity
atau jumlah produk yang dijual. Rata rata penerimaan pada peternak Desa
Senggreng dapat dilihat pada tabel 4.

Berdasarkan data pada tabel 4, rata rata pendapatan peternak Desa Senggreng
Kec. Sumber Pucung Kab. Malang, dengan penerimaan yaitu P0 Rp 8.300.00, dan
P1 yaitu Rp 8.766.667 serta P2 Rp 8.466.667. Merajuk pada data tersebut
pendapatan peternak setiap perlakuan berbeda, hal ini di sebabkan karena
keperluan ataupun kebutuhan untuk menunjang ternak berbeda beda, serta harga

428
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

penjualan yang bersifat naik turun atau tidak tetap. Permintaan pasar juga
berpengaruh pada penerimaan. Biaya penerimaan di dapat dari penjualan pedet
yang berusia ± 6 bulan.

Tabel 4. Rata-rata penerimaan responden P0, P1, dan P2


No perlakuan jumlah peternak rata rata penerimaan
1 p0 15 Rp8.300.000
2 p1 15 Rp8.766.667
3 p2 15 Rp8.466.667
Keterangan
T0 = Pakan Rumput + Bio ATP ;
T1 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 14 hari sebelum IB dan 7 setelah IB + Bio
ATP
T2 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 7 hari sebelum IB dan 7 hari setelah IB +
Bio ATP.

Pendapatan
Pendapatan dalam suatu usaha merupakan hasil akhir yang dicapai, semakin tinggi
pendapatan berarti usaha bisa dikatakan berhasil. Nilai pendapatan di dapat dari
biaya penerimaan di kurangi dengan biaya selama produksi. Hal ini sepeti yang di
utarakan Sukmayadi.,. Ismail., . dan Hidayat., (2016) bahwa Pendapatan peternak
adalah hasil pengurangan total penerimaan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan
oleh peternak dalam satu kali periode, dan dikonversikan ke nilai pendapatan
dalam satu bulan dengan satuan rupiah. Perhitungan pendapatan dapat dilakukan
dengan total pendapatan dikurangi total penerimaan. Harry. (2014) menegaskan
Untuk mengetahui besarnya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh
peternak maka harus ada keseimbangan antara penerimaan dengan biaya-biaya
yang dikeluarkan dengan menggunakan alat analisis yaitu Profit = TR – TC di
mana Profit adalah pendapatan (keuntungan), TR adalah Total Revenue atau
total penerimaan peternak dan TC adalah total cost atau total biaya-biaya. Rata
rata pendapatan dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata pendapatan responden P0, P1, dan P2


No Perlakuan Jumlah Peternak Rata-rata Pendapatan
1 P0 15 Rp2.489.333
2 P1 15 Rp3.151.000
3 P2 15 Rp3.500.333
Keterangan
T0 = Pakan Rumput + Bio ATP ;
T1 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 14 hari sebelum IB dan 7 setelah IB + Bio ATP
T2 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 7 hari sebelum IB dan 7 hari setelah IB +
Bio ATP.

Dilihat pada tabel 5, rata rata pendapatan pada setiap perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. P0 pendapatan peternak mulai dari
Rp1.525.000 - Rp3.930.000, dan P1 mulai dari Rp1.530.000 - Rp4.965.000
sedangkan P2 mulai dari Rp2.065.000 - Rp4.925.000 dilihat dari pendapatan

429
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tersebut memang bervariatif, namun P2 lebih konsisten tentang masalah


pendapatan, konsisten yang di maksud adalah perbedaan pendapatan yang
cenderung kecil, hal ini menyebabkan rata rata pendapatan P2 lebih tinggi dari
pada perlakuan lainya.

R/C Ratio
R/C merupakan perbandingan antara pendapatan dan biaya produksi. Semakin
kecil biaya produksi yang di keluarkan semakin besar pendapatan yang di dapat.
Usaha pembiakan sapi potong di desa senggreng kecamatan Sumber Pucung
kabupaten malang akan mendapat keuntungan jika R/C >1 dan akan rugi jika R/C
<1. R/C dapat di jadikan acuan untuk menentukan pendapatan, semakin tinggi
R/C semakin tinggi keuntungan pada usaha. Return cost ratio pada peternak Desa
Senggreng Kec. Sumber Pucung Kab. Malang dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. R/C rasio pada responden P0, P1, dan P2


NO Nama R/C Nama R/C Nama R/C
Perlakuan Perlakuan Perlakuan
1 P0 1,3 P1 1,5 P2 1,6
2 P0 1,3 P1 1,2 P2 1,5
3 P0 1,5 P1 1,6 P2 1,3
4 P0 1,5 P1 2,0 P2 1,6
5 P0 1,8 P1 2,0 P2 1,7
6 P0 1,6 P1 1,7 P2 2,6
7 P0 1,2 P1 1,8 P2 2,4
8 P0 1,3 P1 1,6 P2 1,8
9 P0 1,7 P1 1,4 P2 1,5
10 P0 1,4 P1 1,4 P2 1,6
11 P0 1,6 P1 2,2 P2 1,7
12 P0 1,5 P1 1,5 P2 1,8
13 P0 1,2 P1 1,3 P2 1,8
14 P0 1,3 P1 1,9 P2 1,9
15 P0 1,4 P1 1,6 P2 1,6

Tabel 6 di atas merupakan hasil analisis R/C pada penelitian ini, jika di lihat lebih
dalam pencapaian peternak dalam setiap perlakuan menunjukkan hasil yang tidak
merugikan, adapun hasil rata rata R/C yang dapat di lihat pada tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata R/C rasio pada responden P0, P1, dan P2


No Nama perlakuan R/C
1 P0 1,4
2 P1 1,7
3 P2 1,8
Keterangan
T0 = Pakan Rumput + Bio ATP ;
T1 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 14 hari sebelum IB dan 7 setelah IB + Bio ATP
T2 = Pakan Rumput + Pakan Unggul 7 hari sebelum IB dan 7 hari setelah IB +
Bio ATP.

430
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Dilihat dati tabel 7, rata rata R/C pada P0 1,4 sedangkan P1 1,7 dan P2 1,8 hal ini
menunjukkan bahwa nilai R/C pada setiap perlakuan >1, dapat di simpulkan jika
pendapatan peternak sapi potong di Desa Senggreng masih di batas aman atau
mendapat keuntungan. Isyanto. . (2016) menegaskan bahwa Jika R/C>1 berarti
efisien, R/C=1 berarti keuntungan bernilai nol, dan R/C<1 berarti tidak efisien.

Kesimpulan
1. Peternak Desa Senggreng Kec. Sumber pucung Kab. Malang mayoritas laki
laki dan mayoritas berusia produktif, selain itu peternak di Desa Senggreng
mempunyai pekerjaan yang lain seperti petani, peternak dan buruh.
Pengalaman beternaknya pun juga relatif lama dengan rata rata 5-10 tahun.
2. Peternak Desa Senggreng biasa menggunakan pakan limbah pertanian seperti
jerami padi atau jagung, dengan di tambah pakan jadi yaitu konsentrat.
3. Dilihat dari R/C usaha pembiakan sapi potong di Desa Senggreng
menunjukkan hasil yang lumayan dengan P0 1,4 P1 1,7 dan P2 1,8. Dapat di
lihat P2 mendapat R/C paling tinggi daripada perlakuan P0 dan P1.
Diharapkan peternak di Desa Senggreng Kec. Sumberpucung lebih dapat
memaksimalkan sumberdaya pakan serta lebih mengetahui siklus repoduksi agar
hasil maksimal.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Melalui Program Hibah
Penelitian Unggulan (HPU) tahun 2021 yang telah membiayai serta mendukung
penelitian ini.

Daftar Pustaka
Ediset, E., & Jaswandi, J. (2017). Metode penyuluhan dalam adopsi inovasi
inseminasi buatan (Ib) pada usaha peternakan sapi di Kabupaten
Dharmasraya. Jurnal Peternakan, 14(1), 1-10.
Fitriza, Y. T., Haryadi, F. T., & Syahlani, S. P. (2012). Analisis pendapatan dan
persepsi peternak plasma terhadap kontrak perjanjian pola kemitraan ayam
pedaging di Propinsi Lampung. Buletin Peternakan, 36(1), 57-65.
Haloho, R. D. (2020). Analisis Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong
Molan Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai. Jurnal Penelitian Peternakan
Terpadu, 2(2).
Herawati, T., Anggraeni, A., Praharani, L., Utami, D., & Argiris, A. (2012). Peran
inseminator dalam keberhasilan inseminasi buatan pada sapi perah inseminator
role in the success of artificial insemination on dairy cattle. Informatika
Pertanian, 21(2), 81-88.
Ihsan, M. N., & Wahjuningsih, S. (2011). Penampilan reproduksi sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal
Production, 12(2), 77-74.
Indrayani, I., & Andri, A. (2018). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan
Usaha Ternak Sapi potong di Kecamatan Sitiung, Kabupaten
Dharmasraya. Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal
Science), 20(3), 151-159.

431
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Makatita, J. (2021). Pengaruh Karakteristik Peternak Terhadap Perilaku Dalam


Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Buru. Jago Tolis: Jurnal
Agrokompleks Tolis, 1(2), 51-54.
Nuraini, D. M., Sunarto, S., Widyas, N., Pramono, A., & Prastowo, S. (2020).
Peningkatan Kapasitas Tata Laksana Kesehatan Ternak Sapi Potong di
Pelemrejo, Andong, Boyolali. PRIMA: Journal of Community Empowering
and Services, 4(2), 102-108.
Nurwahidah, J., Tolleng, A. L., & Hidayat, M. N. (2016). Pengaruh pemberian
pakan konsentrat dan urea molases blok (UMB) terhadap pertambahan berat
badan sapi potong. Jurnal Ilmu dan Industri Peternakan, 2(2), 111-121.
Rusdiana, S., Adiati, U., & Hutasoit, R. (2016). Analisis ekonomi usaha ternak
sapi potong berbasis agroekosistem di Indonesia. Agriekonomika, 5(2), 137-
149.
Sukmayadi, K., Ismail, A., & Hidayat, A. (2016). Analisis pendapatan dan
optimalisasi input peternak sapi potong rakyat binaan sarjana membangun desa
wirausahawan pendamping (SMDWP) yang Berkelanjutan di Kabupaten
Tasikmalaya. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 4(2), 312-
318.
Sumarno, M. (2010). Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Pengusaha Sentra
Industri Kecil Kerajinan Gerabah Kasongan Kabupaten Bantul. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, 12(1), 1-10.
Sunarto, E., Nono, O. H., Lole, U. R., & Henuk, Y. L. (2016). Kondisi ekonomi
rumahtangga peternak penggemukan sapi potong pada peternakan rakyat di
Kabupaten Kupang. Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of
Animal Science), 18(1), 21-28.
Unsunnidhal, L., Prihantoko, K. D., & Kusumawati, A. (2021). Penyuluhan
Perilaku Sehat, Edukasi Pentingnya Manajemen Kesehatan Reproduksi Ternak
Potong Dan Penyerahan Bantuan Sembako Covid-19 Di Kelompok Ternak
Sapi Potong “Kalimasodo”, Karangdukuh, Jogonalan, Klaten, Jawa
Tengah. Jurnal Lentera, 1(1), 15-23
Waris, Nuril B, Dyah WA. 2015. pengaruh tingkat pendidikan, usia, dan lama
beternak terhadap pengetahuan manajemen reproduksi ternak sapi potong di
Desa Kedungpring Kecamatan Balongpanggang Kabupaten Gresik. J Ternak.
6:30-33.
Yekti, A. P. A., Octaviani, E. A., Kuswati, K., & Susilawati, T. (2019).
Peningkatan Conception Rate dengan Inseminasi Buatan Menggunakan Semen
Sexing Double Dosis pada Sapi Persilangan Ongole. TERNAK TROPIKA
Journal of Tropical Animal Production, 20(2), 135-140.

432
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ANALISIS KEPUASAN PENGUNJUNG PADA BISNIS STABLE


BERKONSEP HORSE RIDING SCHOOL

Dina Agustin Kusumawardani1,*, Bambang Ali Nugroho2, Kuswati3


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Email korespondensi: kadinagustin@gmail.com

Abstrak
Antusias kegiatan berkuda di masyarakat mulai meningkat seiring meningkatnya
fokus pemerintah Indonesia terhadap ajang olimpiade equestrian. Hal ini
menjadikan peluang bagi para pelaku bisnis untuk mengembangkan bisnis stable
yang dijalankan. Tujuan dilakukan penelitian untuk mengevaluasi tingkat
kepuasan customer dalam bisnis stable berkonsep horse riding school. Penelitian
dilakukan di Rumah Berkuda Yogyakarta yang beralamat di Jalan Monumen
Perjuangan TNI AU, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Pemilihan
sampel lokasi dan responden menggunakan metode pusposive. Responden yang
digunakan 15 pengunjung dengan spesifikasi telah mengambil paket latihan
minimal dua kali. Variable yang diamati adalah kepuasan dan persepsi pelanggan
yang meliputi pelayanan sarana, teknis dan hasil. Data dianalisis menggunakan
Importance performance analysis dan diteruskan dengan Customer Satisfaction
Index. Atribut penelitian meliputi tarif menunggang, harga pelayanan tambahan,
ketersediaan kuda, ketersediaan sarana prasarana, pelayanan
pelatihan/menunggang, keramahan karyawan, kemahiran pelatih, ketepatan waktu
menunggang, kemudahan komunikasi, kelengkapan peralatan dan hasil latihan.
Hasil dari rata-rata skor kinerja sebesar 3,37 dan kepentingan sebesar 3,33. Hasil
importance performance analysis menunjukan seluruh atribut berada di kuadran
2. Customer Satisfaction Index mendapat hasil akhir sebesar 83,45%.

Kata kunci: customer satisfaction index, importance performance analysis,


kepuasan customer, stable

Pendahuluan
Pemenuhan kebahagiaan dan kesejahteraan di era pandemi menjadikan perubahan
gaya hidup masyarakat. Hal ini sangat dihubungkan dengan hobi dan olahraga
yang diminati oleh masing-masing individu. Perkembangan hobi dan olahraga
yang meningkat dapat menjadi peluang bagi para pelaku bisnis yang
mengembangkan bisnisnya di sektor tersebut. Agribisnis peternakan adalah bisnis
yang berkaitan dengan kegiatan produksi ternak atau melibatkan ternak dalam
kegiatan bisnisnya. Stable merupakan salah satu bisnis yang menjadikan kuda
sebagai sumberdaya utamanya dalam kegiatan bisnis yang dijalankan.

Kuda merupakan hasil domestikasi dan memiliki peran di masyarakat (Wibisono,


Wandia, dan Suatha. 2017). Kuda memiliki beberapa tipe yaitu: hotblood,
coldblood dan warmblood. Kimball (2006) menjelaskan bahwa kuda warmblood
berada diantara rancangan kuda coldblood dan hotblood. Contoh kuda warmblood

433
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

adalah belgian warmblood, dutch warmblood, hanoverian, holsteiner, oldenberg,


swedish warmblood, dan trakehner (Pavia dan Posnikoff. 2005). Data Badan
Pusat Statistik Nasional (2020) mencatat bahwa jumlah populasi kuda nasional
pada tahun 2018 sebanyak 377.929 ekor dan di tahun 2019 sebanyak 393.454
ekor. Bisnis stable yang banyak ditemui di Indonesia antara lain stable yang
memfasilitasi latihan berkuda. Antusias berkuda masyarakat mulai meningkat
seiring dengan meningkatnya fokus pemerintah Indonesia terhadap ajang
olimpiade equestrian. Equestrian merupakan olahraga berkuda. Waran (2002)
equestrian membutuhkan pendekatan dari penunggang dan kuda, sehingga
penunggang berusaha membangun dominasinya diatas kuda. Equestrian memiliki
beberapa cabang olahraga. Waran (2002) menjelaskan cabang olahraga berkuda
terdapat beberapa disiplin yang diperlombakan diantaranya adalah dressage
(tunggang serasi), show jumping (lompat rintang) dan eventing (trilomba). Selain
berkuda, terdapat bisnis stable yang juga memberikan fasilitas para pemilik kuda
untuk menitipkan kuda miliknya untuk dirawat dan dilatih.

Pelaku bisnis harus pandai melihat serta membidik peluang dan potensi yang
mampu dikembangkan didalam bisnis stable yang dijalankan. Pelaku bisnis harus
memiliki kepekaan terhadap ancaman yang akan terjadi pada bisnis yang dikelola.
Kepekaan terhadap ancaman pada bisnis stable kuda digunakan untuk
meminimalkan ancaman bisnis yang akan terjadi dan mengoptimalkan langkah
pengembangan bisnis. Stable-stable harus mampu bersaing dengan stable kuda
lain yang berada di lingkungan sekitar khususnya Provinsi Yogyakarta ataupun di
Indonesia. Keberlanjutan bisnis stable melibatkan beberapa pihak, salah satunya
pihak eksternal contohnya pelanggan bisnis. Pelanggan dalam bisnis perlu diukur
tingkat kepuasan dan kepentingannya. Penghitungan kepentingan dan kepuasan
menggunakan importance performance analysis (IPA) dan customer satisfaction
index (CSI). Tampubolon, Simanjuntak, dan Simanjuntak (2019) didalam
penelitiannya menerangkan bahwa IPA digunakan untuk mengukur hubungan
antara kepentingan dengan kinerja pada atribur, sedangkan CSI digunakan untuk
mengukur tingkat kepuasan seseorang terhadap jasa yang diberikan ke pelanggan.
Tingkat kepuasan dan tidak puasan pengunjung pada dasarnya sangat dipengaruhi
oleh perilaku selanjutnya (Lupiyoadi. 2013). Berdasarkan hal tersebut maka perlu
adanya penelitian untuk mengetahuai tingkat kepuasan pengunjung guna
mendukung keberlanjutan bisnis stable.

Metode
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Bulan Desember 2020 sampai Februari 2021 di
Stable Rumah Berkuda Yogyakarta (RuBY). Lokasi ini beralamatkan di Jalan
Monumen Perjuangan TNI AU, Dusun Krobokan, Desa Tamanan, Kecamatan
Banguntapan, Kabupaten Bantul, Provinsi D.I Yogyakarta.

Metode penelitian
Penelitian ini dirancang menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Teknik pengambilan sampel lokasi menggunakan metode purposive
atau secara sengaja. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data
primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

434
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pelaksanaan penelitian antara lain dengan menggunakan observasi, kuisioner dan


wawancara, serta dokumentasi.

Metode pemilihan key informan


Metode pemilihan responden menggunakan metode purposive. Responden yang
digunakan sebagai informan berjumlah 15 orang. Responden yang digunakan
memiliki spesifikasi minimal telah mengambil paket latihan berkuda dua kali.

Variabel penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah kepuasan dan persepsi
pengunjung. Hal ini meliputi pelayanan sarana prasarana, teknis dan hasil. Atribut
penelitian yang digunakan adalah tarif menunggang, harga pelayanan tambahan,
ketersediaan kuda, ketersediaan sarana prasarana, pelayanan
pelatihan/menunggang, keramahan karyawan, kemahiran pelatih, ketepatan waktu
menunggang, kemudahan komunikasi, kelengkapan peralatan dan hasil latihan.

Analisis data penelitian


Hasil penelitian dianalisis menggunakan Importance performance analysis dan
diteruskan dengan Customer Satisfaction Index.

Hasil dan Pembahasan


Analisis IPA digunakan untuk mengukur tingkat kinerja dan pelayanan stable
kuda berdasarkan kepuasan pengunjung. Hasil dari penggunaan analisis ini dapat
menilai atribut yang perlu diperbaiki berdasarkan hasil kepentingan dan kinerja
yang didapatkan dari penilaian pengunjung. Skor kesesuaian yang mendapatkan
nilai 100% atau lebih menandakan bahwa atribut yang dimiliki sudah sesuai
dengan harapan para pengunjung. Skor kesesuaian antara kepentingan dan kinerja
setiap atribut di Rumah Berkuda Yogyakarta disajikan pada Tabel 1.

Table 1. Skor Kesesuaian Kepentingan dan Kinerja di Rumah Berkuda


Yogyakarta
No. Atribut Skor Skor Skor
Kinerja Kepentingan Kesesuaian
1. Tarif menunggang 55 54 101,85
2. Harga pelayanan tambahan 54 51 108
3. Ketersediaan kuda 49 49 100
4. Sarana prasarana 49 51 96,08
5. Pelayanan latihan/menunggang 53 52 101,92
6. Keramahan karyawan 50 49 102,04
7. Kemahiran pelatih 50 49 102,04
8. Ketepatan waktu menunggang 47 48 97,92
9. Kemudahan komunikasi 50 50 100
10. Kelengkapan peralatan 50 49 102,04
11. Hasil latihan 49 48 102,08

Berdasarkan hasil Tabel 1 menunjukan bahwa penilaian sebagian besar atribut


telah mencapai tingkat kesesuaian yang diterima oleh pengunjung. Hasil tabel
juga menunjukan bahwa beberapa atribut masih belum terpenuhi untuk nilai

435
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

keseuaiannya. Hasil skor yang diterima dari atribut sarana prasarana dan ketepatan
waktu masih kurang dari 100%. Hasil analisis kesesuaian terendah terhadap
atribut didapatkan hasil 96,08 untuk atribut sarana prasarana. Atribut ini
mendapatkan hasil yang rendah karena pelanggan banyak memberi masukan
untuk perbaikan fasilitas toilet di lokasi stable yang perlu diperbaiki. Atribut yang
mendapatkan hasil kesesuaian 97,92 adalah atribut ketepatan waktu menunggang.
Hal ini dikarenakan pelanggan sering terganggu karena waktu latihan yang
ditunda karena cuaca. Paddock yang berada di lokasi terbuka menjadikan
penundaan waktu latihan karena paddock terguyur air hujan. Paddock juga dapat
digunakan untuk mengumbar kuda. Maswarni dan Rachman (2014) menyatakan
bahwa paddock atau umbaran merupakan lapangan dengan ukuran tertentu yang
memiliki fungsi sebagai tempat melepaskan kuda untuk pergerakan kuda. Hasil
skor kesesuaian tertinggi merupakan atribut harga pelayanan tambahan dengan
skor 108. Hal ini dikarenakan harga pelayanan tambahan yang ditawarkan oleh
stable cukup terjangkau dengan fasilitas yang didapatkan oleh para pengunjung.
Harga dan fasilitas yang diberikan akan bermanfaat bagi pengunjung agar merasa
sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Kotler et al. (2002) juga berpendapat
bahwa konsumen lebih cenderung melihat harga akhir dan kemudian akan
memutuskan nilai apa yang akan mereka terima.

Analisis teingkat kinerja pelayanan dan kepentingan dirinci pada setiap aspeknya
guna memudahkan para pelaku bisnis untuk mengoreksi pelayanan yang
diberikan. Keterangan skor hasil rata-rata kinerja adalah skor 1,00 – 1,74 berarti
sangat tidak puas, 1,75 – 2,49 berarti tidak puas, 2,50 – 3,24 berarti puas dan skor
3,25 – 4,00 berarti sangat puas. Hasil perhitungan penilaian terhadap skor kinerja
pelayanan Rumah Berkuda Yogyakarta disajikan pada Tabel 2.

Table 1. Skor kinerja terhadap atribut di Rumah Berkuda Yogyakarta


No. Atribut Rata-Rata Skor Kinerja
1. Tarif menunggang 3,60
2. Harga pelayanan tambahan 3,33
3. Ketersediaan kuda 3,27
4. Ketersediaan sarana prasarana 3,40
5. Pelayanan pelatihan/menunggang 3,47
6. Keramahan karyawan 3,27
7. Kemahiran pelatih 3,27
8. Ketepatan waktu menunggang 3,20
9. Kemudahan komunikasi 3,33
10. Kelengkapan peralatan 3,27
11. Hasil latihan 3,20
Rata-rata skor kinerja 3,33

Berdasarkan hasil Tabel 2 didapatkan rata-rata skor kepentingan keseluruhan


atribut adalah 3,33. Hasil tabel menujukan bahwa keseluruhan atribut
mendapatkan nilai yang baik diatas nilai 2,50. Hal ini menujukan seluruh atribut
memiliki tingkat kepentingan yang tinggi. Hasil skor kepentingan ini didapatkan
nilai terendah adalah 3,20 dari atribut hasil latihan dan ketepatan waktu
menungang. Salah satu customer segmen yang dituju dari lokasi ini adalah para

436
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

orang tua anak. Menurut penunjung yang datang ke lokasi ini mengatakan tujuan
awal mereka untuk memperkenalkan kuda kepada anak-anak mereka dan juga
sebagai kegiatan positif ditengah keadaan pandemi seperti saat ini. Hal ini
menjadikan hasil latihan memiliki nilai yang masih rendah. Meskipun mendapat
nilai yang rendah, atribut hasil latihan ini akan terus ditingkatkan agar pengunjung
mendapatkan value yang lebih baik. Osterwalder dan Pigneur (2012) menyatakan
bahwa salah satu fungsi pelayanan adalah untuk menyampaikan value kepada
pelanggan. Atribut ketepatan waktu latihan juga memiliki nilai yang sama rendah.
Hal ini dikarenakan factor cuaca yang tidak bisa diprediksi, sehingga banyak
pengunjung yang memaklumi hal ini sehingga menjadikan nilai skor rendah. Hasil
skor kepentingan tertinggi adalah tarif menunggang dengan skor 3,60. Hal ini
menjadikan atribut ini cukup mejadi atribut sangat perlu bagi pengunjung.
Penawaran tarif menunggang yang terjangkau sangat perlu dipertahankan agar
tetap dapat dinikmati bagi para pengunjung.

Importance Performance Analysis.


Hasil matrik IPA merupakan titik potong antara hasil kinerja pelayanan dan
kepentingan terhadap hasil atribut yang ada di lokasi. Ong dan Pambudi (2014)
menyatakan bahwa IPA didalam tekniknya meminta responden untuk menilai
tingkat kepentingan dan kinerja dalam suatu bisnis. Hasil matrik Importance
Performance Analysis disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Matrik Importance Performance Analysis

437
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil matrik IPA pada Tabel 3 menunjukan bahwa semua atribut berada di
kuadran 2. Kuadran 2 merupakan kuadran pertahankan prestasi, sehingga prestasi
dari pihak pelayanan harus dipertahankan kualitasnya. Atribut-atribut yang berada
di kuadran ini dianggap penting bagi pengunjung dan pelayanan yang diberikan
dari pelaku bisnis.

a. Harga Menunggang
Atribut ini terdapat pada titik (3,67;3,60). Pengunjung mengatakan bahwa harga
yang ditawarkan lokasi dapat terjangkau oleh semua kalangan sekitar. Adanya
pilihan harga paket lebih dapat dikatakan lebih murah apabila dikalkulasi dalam
persekali datang. Hal ini terdapat beberapa pengunjung yang memilih mengambil
paket, namun juga masih ada pengunjung yang memilih membayar per sekali
datang. Penentuan harga yang dilakukan oleh pelaku bisnis ini juga akan
memberikan dampak kesesuaian dan kepuasan yang diterima oleh pengunjung.
Hal ini ditegaskan oleh Prasetio (2012) yang mengatakan bahwa adanya pengaruh
secara parsial yang signifikan antara harga terhadap kepuasan konsumen. Selain
itu, Sulistiyana, Hamid dan Azizah (2015) juga menjelaskan bahwa harga akan
memberikan pengaruh yang dominan terhadap tingkat kesesuaian dan kepuasan
konsumen atau pengunjung.

b. Harga pelayanan tambahan


Atribut ini berada di titik (3,60;3,40). Harga ini merupakan harga yang ditawarkan
untuk photo season untuk para pengunjung sekitar. Pengunjung mengatakan
bahwa harga yang ditawarkan cukup terjangkau. Hal ini dikarenakan pengunjung
dapat memilih konsep foto mereka sendiri. Selain itu, pelaku bisnis juga akan
membantu menyediaan fasilitas seperti property yang akan digunakan sehingga
pengunjung merasa cukup terbantu dengan adanya jasa ini. Hal ini ditegaskan
oleh Suwantoro (2004) yang mengatakan bahwa bahan penilaian pengunjung
terhadap apa yang disajikan dilokasi salah satunya adalah fasilitas dan harga yang
ditawarkan.

c. Ketersediaan kuda
Ketersediaan kuda berada di titik (3,27;3,27). Atribut ini merupakan hal utama
dalam menjalankan bisnis stable. Pengunjung cukup puas dengan atribut ini. Kuda
yang digunakan untuk kegiatan latihan dan pelayanan pengunjung berjumlah lebih
dari 2 ekor. Pengunjung menyarankan untuk dapat menambah jumlah kuda besar
untuk latihan bagi para junior yang akan berlatih menunggang kuda. Hal ini
disebabkan karena jumlah pengunjung yang berminat latihan berkuda mengalami
peningkatan. Kuda merupakan produk utama yang ada didalam berjalannya bisnis
stable. Tampubolon, Simanjuntak, dan Simanjuntak (2019) menjelelaskan bahwa
atribut produk dirasa penting dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan
pembelian yang perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis, selain itu pengelolaan
pengelolaan yang baik dapat menarik minat konsumen atau pengunjung.

d. Ketersediaan sarana prasarana


Ketersediaan sarana prasarana berada di titik (3,27:3,40). Atribut ini yang ada di
lokasi diantaranya adalah parkir, toilet, mushola dan ruang tunggu. Pengunjung
berharap agar sarana prasarana di lokasi ini dapat diperbaiki agar mampu

438
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

meningkatkan kenyamanan pengunjung yang datang. Nugraha (2013) juga


menjelaskan bahwa fasilitas memberikan pengaruh parsial yang signifikan
terhadap kepuasan dari konsumen atau pengunjung.

e. Pelayanan pelatihan/menunggang
Pelayanan pelatihan atau menunggang berada di titik (3,53;3,47). Pelayanan
pelatihan yang dilakukan di stable ini dilakukan dilakukan di pagi dan sore hari.
Pelayananan yang dilakukan mendapat nilai kepuasan yang tinggi dari
pengunnjung. Pengunjung mengatakan pelayanan latihan sangat menyenangkan.
Pelatih memberi arahan dengan jelas, tempo dan durasi latihan dapat membuat
pengunjung antusias dalam menjalankan proses latihan.

f. Keramahan karyawan
Atribut keramahan karyawan berada di titik (3,33;3,27) dan masuk kedalam
kuadran 2. Keramahan karyawan yang ada di lokasi ini sangat diterapkan saat
memberi pelayanan pada pengunjung. Pengunjung mengatakan bahwa karyawan
sangat ramah dan sopan dalam memberi pelayanan. Hal ini menjadikan
pengunjung puas dengan atribut ini. Selain itu, karyawan juga memberikan
edukasi untuk berinteraksi dengan kuda, seperti kegiatan pemberian rumput atau
wortel dan kegiatan persiapan kuda sebelum menunggang.

g. Kemahiran pelatih
Atribut ini berada di titik potong (3,33;3,27) di kuadran 2. Kemahiran pelatih
merupakan hal yang penting saat berada di bisnis stable yang berkonsep horse
riding school. Hal ini dikarenakan pelatih adalah orang yang akan mengajarkan
kepada pengunjung tentang tata cara berkuda. Pengunjung mengatakan bahwa
pelatih di lokasi ini sangat mahir. Hal ini dikarenakan pelatih di lokasi ini adalah
atlit berkuda yang sering memenangkan perlombaan berkuda.

h. Ketepatan waktu mengunggang


Atribut ketepatan waktu menunggang berada di titik (3,13;3,20). Titik potong
pada atribut ini berada di kuadran 2. Ketepatan waktu menunggang merupakan
atribut yang sangat berkaitan dengan cuaca. Hal ini menjadikan atribut ini sering
terganggu karena perubahan cuaca yang tidak menentu. Pengunjung berharap agar
lokasi dapat memiliki paddock yang berada di dalam ruangan agar jadwal waktu
mengunggang tidak terganggu kerena cuaca.

i. Kemudahan komunikasi
Kemudahan komunikasi berada di titik potong (3,33;3,33). Kemudahan ini sangat
dirasakan pengunjung yang akan membuat jadwal latihan ataupun hanya ingin
mencari informasi tentang kegiatan di lokasi ini. Kemudahan komunikasi ini
merupakan hal yang penting bagi pengunjung. Pengunjung mengatakan bahwa
respon dari pihak lokasi cukup cepat saat pengunjung membutuhkan informasi.

j. Kelengkapan peralatan
Kelengkapan peralatan berada di titik (3,33;3,27) dan mauk dalam kuadran 2.
Atribut ini merupakan atribut yang membantu memenuhi kepuasan pengunjung
dari peralatan pemeliharaan dan menunggang untuk pengunjung. Kelengkapan

439
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

peralatan untuk menunggang ini sangat penting bagi pengunjung. Hal ini sangat
mempengaruhi keselamatan saat menunggang bagi para pengunjung. Pengunjung
mengatakan bahwa peralatan di lokasi ini lengkap sehingga tingkat keamanan
bagi pengunjung yang berkuda cukup aman dan nyaman bagi para pengunjung.

k. Hasil latihan
Atribut ini berada di titik potong (3,27;3,20). Atribut ini cukup mendapatkan nilai
sangat puas dari pengunjung. Pengunjung yang ingin melakukan kegiatan
menunggang di lokasi ini menunjukan respon dan hasil yang baik pada setiap
pertemuannya. Tingkatan hasil latihan pun juga cukup jelas dan selalu ada sedikit
pengulangan materi dari pertemuan sebelumnya. Pengulangan dilakukan untuk
mengingatkan kembali tempo dan keserasian antara kuda dan penunggang.
Pengunjung mengatakan sangat senang dengan perkembangan kemampuan yang
didapatkan selama menunggang di lokasi ini.

Strategi yang digunakan di lokasi ini dengan selalu memberikan pelayanan yang
optimal dan memperbaiki serta meningkatkan kualitas stable secara bertahap.
Yola dan Budianto (2013) juga menjelaskan bahwa hasil IPA memudahkan dalam
usulan perabaikan kinerja dalam suatu bisnis. Pengadaan akan adanya paddock di
area tertutup dan perbaikan sarana prasarana akan dilakukan seiring
perkembangan lokasi guna menambah kenyamanan pengunjung yang datang.
Kualitas akan pelayanan saat latihan akan tetap dipertahankan dan senantiasa
ditambah dengan metode-metode baru yang agar bisa lebih efektif bagi
pengunjung maupun pelaku bisnis.

Tingkat kepuasan pengunjung stable diukur menggunakan Customer Satisfaction


Index (CSI). Pengukuran ini dilakukan guna mengetahui tingkat kepuasan
pengunjung dari besaran harapan pengunjung yang telah terpenuhi. Zeithaml, et
al. (2006) juga menjelaskan bahwa kepuasan konsumen juga mampu didefinisikan
sebagai evaluasi pelanggan dari produk atau jasa yang telah memenuhi ekspektasi
dan kebutuhan pelanggan. Tahapan metode CSI mulai dari Weighted Factor
(WF), Weighted Score (WS), Weighted Total (WT) dan Satisfaction Index (Amran
dan Ekadeputra. 2010). Hasil perhitungan CSI disajikan dalam Tabel 4.

440
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Table 4. Hasil Customer Satifaction Index di Rumah Berkuda Yogyakarta


No. Atribut MIS WF MSS WS
1. Tarif menunggang 3,67 9,89 3,60 0,36
2. Harga pelayanan tambahan 3,60 9,71 3,33 0,32
3. Ketersediaan kuda 3,27 8,81 3,27 0,29
4. Ketersediaan sarana prasarana 3,27 8,81 3,40 0,30
5. Pelayanan pelatihan/menunggang 2,53 9,53 3,47 0,33
6. Keramahan karyawan 3,33 8,99 3,27 0,29
7. Kemahiran pelatih 3,33 8,99 3,27 0,29
8. Ketepatan waktu menunggang 3,13 8,45 3,20 0,27
9. Kemudahan komunikasi 3,33 8,99 3,33 0,30
10. Kelengkapan peralatan 3,33 8,99 3,27 0,29
11. Hasil latihan 3,27 8,81 3,20 0,28
Jumlah Total 37,07 3,33
Hasil CSI 0,83

Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil WT sebesar 3,33. Hal ini menunjukan
bahwa terdapat atribut yang masih memiliki tingkat kepuasan yang kurang.
Atribut tersebut adalah ketersediaan kuda, sarana prasarana, ketepatan waktu
latihan, dan hasil latihan. Berdasarkan Tabel 4 didapatkan hasil CSI sebesar 0,83
atau skor persentase sebesar 83,45%. Nilai tersebut masuk kedalam range 0,81 –
1,00. Hal ini menujukan bahwa sebagain besar pengunjung merasa sangat puas
dengan pelayanan stable. Sisa persentase kepuasan pengunjung sebesar 16,55%
merupakan nilai harapan pengunjung yang belum terpenuhi. Perbaikan dan
peningkatan pelayanan masih perlu dilakukan oleh pihak pelaku bisnis untuk
memenuhi tingkat kepuasan pengunjung yang datang ke lokasi stable. Selain itu
inovasi-inovasi sebagai pengembangan dan keberlanjutan bisnis harus terus
dikembangkan agar mampu bersaing dengan stable lain. Mitchell dan Coles
(2004) menjelaskan bahwa penciptaan model bisnis yang inovatif akan
menghasilkan keunggulan bisnis dan akan mampu bersaing dengan para pesaing.
Tuomo Eskelinen et al. (2017) juga menekankan bahwa inovasi merupakan salah
satu faktor penting dan merupakan metode yang bermanfaat dalam pengembangan
bisnis yang baik dan tepat.

Kesimpulan
Keseluruhan pengunjung di lokasi merasa sangat puas dengan kinerja dan
pelayanan stable. Hasil IPA menunjukan seluruh atribut berada di kuadran 2.
Selain itu, hasil CSI dari stable sebesar 0,83 atau 83,45%. Saran yang bisa
diberikan yaitu untuk meningkatkan kualitas dan kinerja pelayanan yang masih
kurang serta mengoptimalkan social media agar dapat menarik minat pengunjung
di masa pandemi.

441
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Daftar Pustaka
Amran, T dan Ekadeputra, P. 2010. Pengukuran Keputusan Pelanggan
Menggunakan Metode Kano dan Root Cause Analysis (Studi Kasus PLN
Tangerang). Jurnal Teknik IIndustri. 1 (2): 164-168.
Badan Pusat Statistik Nasional. 2020. Populasi Kuda Menurut Provinsi.
https://www.bps.go.id/indicator/24/475/1/populasi-kuda-menurut-
provinsi.html. Diakses: 26 September 2020
Eskelinen, T., Rasanen, T., Santti, U., Happonen, A., and Kajanus, M. 2017.
Designing A Business Model for Environmental Monitoring Services Using
Fast MCDS. Technology Innovation Management Review. 7 (11): 36-47
Kimball, C. 2006. The Complete Horse. California (US): Voyageur Press
Kotler., Philip., Bowen, J., dan Makens, J. 2002. Pemasaran Perhotelan dan
Kepariwisataan. Alih Bahasa Alexander Sindoro dan Renata Pohan. Jakarta:
Prenhalindo
Lupiyoadi, R. 2013. Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta: Salemba Empat
Maswarni, dan Rachman, N. 2014. Kuda: Manajemen Pemeliharaan dan
Pengembangbiakan. Penebar Swadaya. Jakarta
Mitchell, D., and Coles, B. 2004. Business Model Innovation Breakthrough
Moves. Journal of Business Strategy. 22 (1) : 16-26
Nugraha, S. M. 2013. Pengaruh Fasilitas Wisata terhadap Tingkat Kepuasan
Berkunjung di Kawasan Wisata Situ Gede Kota Tasikmalaya. Antologi
Manajemen Resort and Leisure Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
1(2):1-12
Ong, J. C., dan Pambudi, J. 2014. Analisis Keputusan Pelanggan Dengan
Importance Performance Analysis Di SBU Laboratory Cibitung PT Sucofindo
(PERSERO). J@TI Undip. 9 (1).
Osterwlader, A., dan Pigneur, Y. 2012. Business Model Generation. Jakarta (ID):
PT Elex Media Komputindo. Terjemahan dari: Business Model Generation.
Prasetio, A. 2012. Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Harga terhadap Kepuasan
Pelanggan. Management Analysis Journal Universitas Negeri Semarang. 1(4):
1-12
Pavia, A. and Posnikoff J. 2005. Horses for Dummies, 2nd Ed. Indiana (US):
Wiley Publishing.
Sulistiyana, R. T., Hamid, D., dan Azizah, D. F. 2015. Pengaruh Fasilitas Wisata
dan Harga Terhadap Kepuasan Konsumen (Studi pada Museum Satwa). Jurnal
Administrasi Bisnis. 25(1): 1-9
Suwantoro, G. 2004. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi
Tampubolon, S.L., Simanjuntak, D.W.S., Simanjuntak, M. 2019. Analisis
Kepuasan Wisatawan terhadap Atribut Wisata Menggunakan Metode CSI dan
IPA Pada Wisata Pemandian Di Kabupaten Tapanuli Utara. Jurnal Sains dan
Teknologi. 19(2): 141 – 151
Waran, N. 2002. The Welfare of Horses. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands
Wibisono, H. W., Wandia, I. N., dan Suatha, I. K. 2017. Morfometri Kuda (Equus
Caballus) Jantan Dewasa yang Dipeliharaa di Kabupaten Lombok Timur, Nuda
Tenggara Barat. Indonesia Medicus Veterinus. 6 (1): 55-61

442
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Yola, M., dan Budianto, D. 2013. Analisis Kepuasan Konsumen Terhadap


Kualitas Pelayanan dan Harga Produk pada Supermarket Dengan
Menggunakan Metode Importance Performance Analysis (IPA). Jurnal
Optimasi Sistem Industri. 12(12): 301-309
Zeithaml., Valerie, A., Bitner, M. J., and Gamler, D. D. 2006. Services Marketing:
Integrating Customer Focus Across the Firm (4th edition). Singapore: Mcgraw
Hill.

443
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI PERAH DI DESA


KEMIRI KECAMATAN JABUNG

Siti Nur Aisyah1,*, Usman Ali2, Umi Kalsum3


1
Program Magister Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Islam Malang
2
Bagian Nutrisi dan Bioteknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Universitas Islam
Malang
3
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Islam
Malang
Email korespondensi: raisyah94@gmail.com

Abstrak
Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memegang peranan
penting dalam perekonomian nasional. Usaha peternakan yang masih berkembang
baik sampai saat ini adalah usaha peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi
perah di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat, yang menyebabkan
efisiensi usaha masih rendah. Keadaan ini menyebabkan kebutuhan susu nasional
baru terpenuhi sebesar 20%. Prospek pengembangan usaha sapi perah saat ini
cukup besar mengingat terus meningkatnya kebutuhan susu sapi skala nasional.
Salah satu faktor penting yang menentukan keberlanjutan usaha peternakan sapi
perah yaitu pendekatan sistem agribisnis. Hal ini disebabkan sistem agribisnis
memiliki peranan cukup strategis dalam penyerapan tenaga kerja dan penyedia
pangan nasional. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis menejemen agribisnis
yang diterapkan dalam usaha peternakan sapi perah di Desa Kemiri Kecamatan
Jabung dan strategi pengembangannya. Data primer diperoleh dengan
menggunakan kuisioner dan pengamatan langsung di lokasi penelitian, sedangkan
data sekunder diperoleh dari dinas terkait, studi literatur, dan penelitian terkait.
Penerapan menejemen agribisnis dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif
metode deskriptif, sedangkan strategi pengembangan usaha dianalisis
menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala
dalam usaha ternak sapi perah di Desa Kemiri Kecamatan Jabung yaitu kurangnya
pemahaman peternak mengenai menejemen kandang dan menjemen pakan.
Kondisi tersebut berdampak pada produktivitas sapi, jumlah produksi susu dan
kualitas susu yang dihasilkan ternak. Strategi pengembangan usaha yang perlu
diterapkan yaitu peningkatan kualitas SDM, peningkatan intensitas penyuluhan
menejemen agribisnis sapi perah oleh dinas terkait, optimalisasi lahan pertanian
sebagai media pemenuhan kebutuhan pakan ternak, optimalisasi pemanfaata
limbah pertanian dan peternakan, membangun sarana dan prasarana pendukung,
serta memperluas jangkauan pasar.

Kata Kunci: peternak, sapi perah, menejemen agribisnis, strategi, pengembangan


usaha

444
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pendahuluan
Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memegang peranan
penting dalam perekonomian nasional. Usaha peternakan yang masih bertahan
baik sampai saat ini adalah peternakan sapi perah. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya jumlah produksi susu di Indonesia dari 951.003 ton pada tahun
2018 menjadi 947.685 ton tahun 2020 (Ditjen PKH, 2021), dengan kata lain rata-
rata pertumbuhan produksi susu meningkat sebesar 0,95% per tahun (Ditjen PKH,
2021). Peningkatan produksi susu nasional per tahun nyatanya tidak menjadi
jaminan kebutuhan susu nasional terpenuhi. Menurut Ditjen PKH (2021),
kebutuhan susu nasional baru terpenuhi sebesar 20% dan sisanya diperoleh dari
impor. Salah satu penyebab keadaan tersebut adalah usaha peternakan sapi perah
di Indonesia didominasi oleh peternak rakyat (Indratmi, dkk. 2018), yang
menyebabkan efisiensi usaha masih rendah (Anindyasari, Setiadi, dan Mukson,
2019).

Jawa Timur merupakan penyumbang susu terbesar di Indonesia dengan produksi


susu sebesar 534.151,52 ton pada tahun 2020 (BPS, 2020), dimana wilayah
Malang merupakan penyumbang susu terbesar ke dua setelah Pasuruan (BPS,
2020). Desa Kemiri Kecamatan Jabung Kabupaten Malang merupakan salah satu
sentra usaha ternak sapi perah di Kabupaten Malang. Populasi sapi perah di Desa
Kemiri sebesar 6317 ekor, dengan produksi susu sebesar 15.300.000 liter per
tahun (Dapodes, 2020). Desa Kemiri Kecamatan Jabung terletak diketinggian
1500 mdpl, dengan suhu rata-rata 140C. Rerata curah hujan di Desa Kemiri yaiu
1500 mm/tahun. Luas Desa ini adalah 639 Km2, dimana 409 Km2 merupakan
lahan tegalan yang sebagian besar (90%) ditanami tanaman pakan ternak. Kondisi
tersebut mendukung pengembangan usaha ternak sapi perah.

Prospek pengembangan usaha sapi perah saat ini cukup besar mengingat
permintaan susu yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan
permintaan susu dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, kemajuan
ekonomi, dan prubahan preferensi konsumen (Widi, 2018). Salah satu faktor
penting yang menentukan keberlanjutan usaha peternakan sapi perah yaitu
pendekatan pengembangan agribisnis. Aviliani (2008), menyatakan bahwa usaha
sapi perah merupakan kegiatan agribisnis yang memiliki peranan cukup strategis
dalam menyerap tenaga kerja dan penyedia pangan nasional serta pemerataan
pembangunan dan hasil pembangunan di bidang pertanian. Tujuan penelitian ini
yaitu memberikan informasi penerapan mejemen agribisnis dalam usaha
peternakan sapi perah di Desa Kemiri Kecamatan Jabung dan prospek
pengembangan usahannya.

Metode
Penelitian dilakukan di Desa Kemiri Kecamatan Jabung Kabupaten Malang pada
bulan Oktober 2021 menggunakan metode survei. Jumlah responden yang diambil
dalam penelitian ini sebanyak 43 orang. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
langsung dari peternak yang menjalani usaha ternak sapi perah melalui
pengamatan langsung di lapangan, wawancara, dan pengisian kuisioner. Data
sekunder diperoleh dari hasil studi literatur dan informasi dari dinas terkait. Data

445
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

penerapan menejemen agribisnis selanjutnya dianalisis menggunakan pendekatan


kualitatif metode deskriptif, sedangkan strategi pengembangan usaha dianalisis
menggunakan analisis SWOT.

Hasil dan Pembahasan


Gambaran umum Desa Kemiri Kecamatan Jabung
Desa Kemiri Kecamatan Jabung terletak di ketinggian 1500 mdpl, dengan suhu
rata-rata 140C. Rerata curah hujan di Desa Kemiri yaitu 1500 mm/tahun. Luas
wilayah desa Kemiri adalah 639 Ha, dimana luas pemukiman penduduk adalah
146 Ha, luas perkebunan 261 Ha, dan luas perkantoran, pendidikan, dan
prasaranan umum lainnya 142,25 Ha. Populasi ternak di Desa kemiri didominasi
oleh peternakan sapi perah dengan populasi sebesar 7012 ekor yang mampu
memproduksi susu sebesar 15.300.000 liter per tahun, kambing 610 ekor, dan
kuda 11 ekor. Luas lahan yang ditanami hijaun seluas 350 Ha yang mampu
menghasilkan pakan hijauan sebesar 60 Ton per Ha per tahun.

Karakteristik peternak Sapi Perah


Karakteristik peternak menggambarkan tingkat kemampuan peternak dalam
mengelola usaha ternak mereka, khususnya dalam kegiatan menejemen usaha.
Menurut Soeyatno (2013), menejemen beternak dipengaruhi oleh umur peternak,
tingkat pendidikan peternak, jumlah kepemilikan ternak, dan lama beternak.

Umur peternak
Umur peternak merupakan informasi penting dalam penelitian ini. Perbedaan
umur responden akan mempengaruhi pengetahuan dan sikap dalam menjalankan
tatausaha beterenak. Tabel 1 menujukkan bahwa responden terbanyak berumur
antara 40-49 tahun yaitu 19 orang (44,19%), diikuti dengan responden usia 30-39
tahun sebanyak 13 orang (30,23%). Hal ini menunjukkan adanya distribusi
mencolok pada usia produktif. Menurut Soeyatno (2013), pada usia tersebut
biasanya seseorang memiliki aktivitas yang cukup banyak dalam kehidupan
perekonomian dan pengalaman beternaknya. Usia tersebut juga menandakan
kematangan fisik seseorang (Prayitno, 2011). Hal ini sangat penting dalam
berusaha ternak sapi perah karena peternak dituntut menyiapkan kebutuhan ternak
setiap hari terutama pakan hijauan yang diperoleh dari ladang yang jauh dari
tempat tinggal peternak, dengan demikian pada usia ini diharapkan resiko dalam
berusaha ternak dapat diminimalisir. Menurut Chamdi (2003), pada usia tersebut
umumnya rasa keingintahuan seseorang terhadap sesuatu semakin tinggi dan
minat mengadopsi introduksi teknologi semakin tinggi.

Tabel 1. Klasifikasi umur peternak


Umur (tahun) Jumlah Persentase (%)
20-29 5 11, 63
30-39 13 30,23
40-49 19 44,19
>50 6 13,95
Jumlah 43 100,00

446
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tingkat pendidikan
Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal. Semakin tinggi
tingkat pendidikan peternak maka semakin tinggi kualitas sumber daya manusia
yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas peternak (Soeyatno, 2013). Tabel
2 menunjukkan bahwa sebanyak 24 responden (55,81%), diikuti responden tidak
sekolah sebanyak 11 orang (25,58%), responden SMP sebanyak 5 orang
(11,63%), dan responden SMA sebanyak 3 orang (6,98%). Hal ini menunjukkan
bahwa peternak di Desa Kemiri Kecamatan Jabung masih berpendidikan dasar.
Persentase tertinggi adalah lulusan SD, hal ini menunjukkan bahwa ilmu beternak
diperoleh secara turun-temurun (Soeyatno, 2013).

Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Peternak


Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
Tidak sekolah 11 25,58
SD/sederajat 24 55,81
SMP/sederajat 5 11,63
SMA/sederajat 3 6,98
Jumlah 43 100,00

Pengalaman beternak
Pengalaman beternak berkaitan dengan tingkat pengalaman yang diperoleh
peternak dalam melakukan usaha ternak sapi perah. Semakin lama usaha ternak,
maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh. Menurut Soeyatno (2013),
pengalaman mempengaruhi pemahaman peternak untuk menunjang kegiatan
menejemen usaha ternak sapi perah. Tabel 3 menunjukkan bahwa pengalaman
beternak paling banyak pada kisaran 15-20 tahun sebanyak 14 responden
(32,56%), sedangkan pengalaman beternak kisaran 1-7 tahun sebanyak 9
responden (20,93%), pengalaman beternak kisaran 8-14 tahun sebanyak 11
responden (25,58%), pengalaman beternak >20 tahun sebanyak 9 orang (20,93%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa peternak sapi perah di Desa Kemiri Kecamatan
Jabung memiliki cukup pengalaman dalam usaha ternak sapi perah.

Tabel 3. Klasifikasi Pengalaman Beternak Peternak


Pengalaman Beternak (tahun) Jumlah Persentase (%)
1-7 9 20,93
8-14 11 25,58
15-20 14 32,56
>20 9 20,93
Jumlah 43 100,00

Jumlah kepemilikan betina produktif


Jumlah kepemilikan betina produktif perlu dibuat untuk mengetahui skala usaha
peternak. Menurut Sampurna (2016), peternakan di Indonesia diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok yaitu peternakan rakyat (tradisional) dengan jumlah
kepemilikan sapi betina produktif ≤ 3 ekor, peternak semi komersial memiliki
sapi betina produktif 4-6 ekor, dan peternak komersil memiliki sapi betina
produktif ≥ 7 ekor. Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan betina
produktif terbanyak adalah 1-3 ekor sebanyak 24 responden (55,81%), diikuti

447
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

peternak yang memiliki betina produktif 4-6 ekor sebanyak 15 responden


(34,88%), dan peternak yang memiliki betina produktif >7 ekor sebanyak 4
responden (9,30%). Rendahnya skala kepemilikan ternak menunjukkan bahwa
terbatasnya modal, lahan, dan kandang yang dimiliki peternak. Menurut Soeyatno
(2013), rendahnya skala kepemilikan ternak juga disebabkan teknologi yang
digunakan peternak masih sederhana.

Tabel 4. Jumlah Kepemilikan Betina Produktif


Jumlah kepemilikan betina Jumlah peternak Persentase (%)
produktif (ekor)
1-3 24 55,81
4-6 15 34,88
>7 4 9,30
Jumlah 43 100

Penerapan sistem agribisnis usaha ternak sapi perah.


Menejemen Subsistem Agribisnis Hulu Sapi Perah
Menurut Prasetyo (2016), subsistem praproduksi merupakan kegiatan ekonomi
yang menghasilkan sarana produksi peternakan seperti bibit, pakan, obat-obatan,
vaksin, peralatan, dan modal. Menurut Sudono (2003), bibit sapi perah yang akan
dipelihara menentukan keberhasilan dalam berproduksi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bibit sapi yang dipelihara peternak berasal dari pasar hewan
terdekat. Hal ini menyebabkan sulitnya identifikasi garis keturunan bibit sapi yang
dibeli. Soeyatno (2013), menyebutkan bahwa fakator-faktor yang perlu
diperhatikan dalam pemeliharaan bibit sapi perah yaitu keturunan, bentuk ambing,
penampilan, dan umur bibit. Lebih lanjut Soeyatno (2013) menjelaskan bahwa
kriteria bibit sapi perah yang baik yaitu produksi susu yang dihasilkan tinggi,
umur berkisar antara 3,5 sampai 4,5 tahun dan sudah pernah beranak, berasal dari
induk betina dan jantan yang memiliki keturunan produksi susu tinggi, bentuk
tubuh simetris, mata bercahaya, punggung lurus, jarak kaki depan dan belakang
cukup lebar, kulit halus, vena lebar dan panjang, putting susu tidak lebih dari
empat, tubuh sehat, dan beranak setiap tahun.

Pakan utama yang diberikan oleh peternak adalah konsentrat dan hijauan. Pakan
hijauan yang diberikan oleh peternak adalah rumput gajah (Pennisetum
purpureum) yang ketersediaannya cukup melimpah di Desa Kemiri, sedangkan
kebutuhan konsentrat diperoleh dari KUD setempat. Selain kebutuhan pakan,
kebutuhan air juga perlu diperhatikan. Ketersediaan air bersih di Desa Kemiri
Kecamatan Jabung cukup melimpah, sehingga dapat menutupi kebutuhan air
peternak dan ternak. Menurut Soeyatno (2013), ketersediaan air bersih yang
cukup sangat penting dalam usaha peternakan sapi perah. Hal ini disebabkan susu
yang dihasilkan oleh ternak terdiri atas 87% air, sehingga jumlah air yang
dibutuhkan seekor sapi tergantung pada tingkat produksi susu yang dihasilkan
ternak.

Jenis kandang yang dimiliki peternak umumnya adalah kandang permanen dan
tertutup. Ciri-ciri kandang peternak sapi perah di Desa Kemiri Kecamatan Jabung
yaitu memiliki genting, alas kandang terbuat dari semen, tinggi dinding kandang

448
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

antara 1 sampai 2 meter, kandang memiliki penerangan lampu untuk malam hari,
lantai dilapisi anyaman bamboo untuk menghindari luka pada sapi, memiliki
ventilasi udara dan pintu keluar-masuk kandang, tempat makan terbuat dari
palung semen, pembuangan limbah tertata dan terkelola dengan kurang baik.

Menejemen Subsistem Agribisnis On-farm Sapi Perah


Menejemen pemeliharaan ternak berpengaruh langsung terhadap kualitas dan
kuantitas susu yang dihasilkan. Usaha ternak yang dijalankan peternak di Desa
Kemiri Kecamatan Jabung merupakan usaha warisan keluarga dengan kandang
dan lahan yang dimiliki sendiri. Peternak disini melakukan kegiatan on-farm
dengan kemampuan pribadi yang mereka peroleh dari orang tua. Peran peternak
disini sangat penting dalam menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas yang
baik.

Periode inseminasi buatan di Desa Kemiri Kecamatan Jabung terjadi selama 3


sampai 5 bulan baru sapi dapat mengalami masa pembuntingan. Hal ini
membuktikan bahwa IB yang terjadi tidak normalkarena memakan waktu yang
cukup lama, sehingga harus ditunjang dengan saana pelaksanaan inseminasi
buatan yang memadai agar jangka periode IB lebih cepat. Masa kosong sapi dapat
dimanfaatkan dengan memberi perlakuan inseminasi buatan. Setiawan (2016),
menjelaskan bahwa semakin lama masa kosong maka produksi susu akan
menurun. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan peternak.

Salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan usaha ternak sapi perah
adalah fkctor kesehatan. Faktor ini memegang peranan penting dalam menjaga
stabiitas produksi yang optimal dan dalam meningkatkan produksi (Soeyatno,
2013). Ternak yang baik dan sehat menghasilkan produksi susu yang optimal,
sehingga pengendalian penyakit ternak menjadi salah satu bagian penting dalam
produksi ternak. Penyakit yang sering menjangkit sapi perah di Desa Kemiri
Kecamatan Jabung adalah mastitis. Mastitis adalah penyakit pada ambing sapi
akibat dari peradangan kelenjar susu. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
Streptococcus dan Staphylococcus cocci. Bakteri ini masuk melalui putting dan
berkembangbiak di dalam kelenjar susu. Hal ini disebabkan puting luka setelah
dilakukan pemerahan, kemudian mengalami gesekan dengan lantai atau tangan
pemerah. Pengobatan penyakit mastitits dapat dilakkan dengan pemberian
suntikan antibiotik seperti penicillin sulfamethazine, penicillin mastitis ointment,
atau oxytetracycline mastitis oinmenti (Soeyatno, 2013). Sapi yang sehat
menyebabkan produksi susu meningkat. Penyakit mastitis dapat menurunkan
produksi susu sebesar 30% (Soeyatno, 2013). Oleh karena itu, diperlukan
menejemen yang tepat dalam menjaga kesehatan ternak.

Menejemen Subsistem Agribisnis Hilir Sapi Perah


Subsistem agribisnis hilir adalah kegiatan yang mengelola komoditas primer
menjadi produk olahan beserta kegiatan perdagangan atau pemasaran (Soeyatno,
2013). Produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah tidak dapat langsung
dikonsumsi oleh konsumen, karena harus mengalami proses pengolahan terlebih
dahulu. Kegiatan subsistem hilir dilakukan peternak dan mitra dalam hal ini
adalah koperasi unit desa (KUD) dalam menangani susu segar. Susu hasil

449
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pemerahan yang telah siap didistribusikan ke koperasi diantar oleh peternak ke


pos Tempat Pengumpulan Susu (TPS) terdekat dari rumah peternak. Waktu
penyerahan susu adalah pagi (06.00 WIB) dan sore (15.00 WIB). Kendala dalam
penyetoran adalah keterlambatan penanganan susu seperti menunggu antrian yang
panjang.

Kegiatan pasca panen yang dilakukan oleh pihak koperasi adalah memeriksa
kualitas susu, menimbang susu, dan selanjutnya memasukkan susu ke dalam
cooling unit yang disediakan oleh koperasi pada pos TPS. Susu selanjutnya
dikirim ke pusat koperasi dan dilakukan pemeriksaan kembali kualitas susu yang
diperoleh. Susu selanjutnya dikirim ke IPS untuk diolah lebih lanjut. Produk susu
yang dihasilkan peternak dijual dalam bentuk segar dengan harga Rp. 5.700 per
liter. Susu sapi yang dihasilkan peternak terkadang tidak semuanya baik. Jika ada
susu yang kurang sesuai dengan standar KUD maka susu akan dikembalikan ke
peternak. Hal ini berpengaruh terhadap pendapatan peternak.

Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Perah


Berdasarkan kajian menejemen di atas, maka dapat tergambar bahwa menejemen
pengelolaan susu di Desa Kemiri Kecamatan Jabung masih dikelola oleh KUD.
Susu yang dikirim peternak adalah susu telah lolos sortasi dan memilikikualitas
yang baik sesuai standar koperasi. Sedangkan susu yang tidak lolos sortasi
dikembalikan ke peternak. Susu yang tidak lolos sortasi biasanya disebabkan
kebersihan kandang sapi yang kurang terjaga, susu yang diperoleh kotor, dan
kandungan air dalam susu tinggi. Oleh sebab itu diperlukan langkah strategis
dalam upaya peningkatan kualitas susu, pembinaan efisiensi usaha, dan pembinan
kelembagaan peternak. Selain itu, penanganan kualitas susu dapat dilakukan pada
tingkat peternak adalah dengan cara memperhatikan mutu pakan ternak,
membersihkan kandang dari kotoran, membilas ember penampung susu atau milk
can, dan ambing sapi dibilas dengan air hangat sebelum pemerahan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme dengan susu.

Pembinaan efisiensi usaha dan lembaga dapat dilakukan dengan pembuatan


program intesivitas penyuluhan menejemen agribisnis usaha ternak sapi perah.
Hal ini bertujuan meningkatkan pemahaman peternak terkait menejemen usaha
khususnya menjemen kandang, menjemen pakan, menjemen kesehatan, dan
menejemen produksi. secara garis besar strategi pengembangan usha ternak di
Desa Kemiri Kecamatan Jabung dapat dilihat pada Tabel 5.

450
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 5. Analisis Startegi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Perah


SO WO
- Memanfaatkan SDA yang - Intensivitas penyuluhan terarah
tersedia sebagai lahan dan terpadu
pemenuhan kebutuhan pakan
- Memperluas jangkauan pasar
- Memanfaatkan limbah
peternakan
ST WT
- Peningkatan kualitas sumber - Membangun sarana-prasarana
daya manusia dalam beternak pendukung pengembangan
- Peningkatan kualitas pendidikan peternakan sapi potong
formal

Kesimpulan
Berdasrkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa menejemen pengelolaan
susu di Desa Kemiri Kecamatan Jabung masih dikelola oleh KUD. Hal ini
menyebabkan peternak tidak dapat berkontribusi dalam menentukan harga jual
susu. Kurangnya pemahaman peternak dalam menejemen usaha ternak
menyebabkan kualitas susu rendah. Hal ini semakin mempersulit posisi peternak
dalam usaha ternak sapi perah. Strategi pengembangan usaha yang dapat
ditempuh yaitu menigkatkan intensivitas penyuluhan oleh instransi terkai untuk
meningkatkan kemampuan menejemen peternak.

Daftar Pustaka
Anidyasari, D., Setiadi, A., Mukson. 2019. Analisis Hubungan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pendapatan Peternak Sapi Perah pada Koperasi Susu di
Kabupaten Semarang. Jurnal Peternakan Lingkungan Tropis 2 (1) 23-30
http://e-journals.unmul.ac.id/index.php/ptk/article/view/2639.
Aviliani. 2008. Dukungan Perbankan Terhadap Agribisnis Sapi Perah
Menyongsong Perdagangan Bebas 2020. Bank Rakyat Indonesia. Prosiding
Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Puslitbang
Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Perbankan
Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2020. Produksi Susu Segar Menurut Provinsi 2009-2020.
https://www.bps.go.id/mod/exportData/exportPDF.php.
Chamdi AN. 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Kambing di Kecamatan
Kradenan Kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Puslitbang Peternakan Departrmen
Pertanian: 29-30 .
Direktoral Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
2021. Laporan Kinerja 2020. http://ditjenpkh.pertanian.go.id/pages/32/laporan-
kinerja.html.
Indratmi, D., Zalizar, L., Khotimah, K., Septiana, A., Puspitasari, N. D. 2018.
Profil Peternak Sapi Perah di Wilayah Desa Kemiri Kecamatan Jabung
Kabupaten Malang. Jurnal Aplikasi Sains dan teknologi (JAST) 2 (1) 29-34.
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/jast diakses 2 Juli 2021.

451
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Prayitno, C.B., Khotimah, K. 2011. Profil Peternak Sapi Perah di Desa Kemiri
Kecamatan Jabung Kabupaten Malang. GAMMA 7 (1): 13-19.
Soedono, W. A. 1990. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Bina Produksi
Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta (ID): Departemen
Pertanian.
Soeyatno, R. F. 2013. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi Susu di Desa Pandesari Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Tesis.
Bogor: Institusi Pertanian Bogor.
Widi, T., S., M. 2018. Current Situation and Future Prospects for Beff Cattle
Production in Indonesia- A Review. Asian-Australian Journal of Animal
ciences 31 (7) 976-983. doi: 10.5713/ajas.18.0233 diakses 25 November 2020.

452
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGEMBANGAN USAHA KELINCI DALAM MENDUKUNG


TERWUJUDNYA KAMPUNG KELINCI DI DESA TANJUNGSARI
KECAMATAN PANEKAN KABUPATEN MAGETAN

Sri Minarti1,*, Jamila Wijayanti3, Desi Dwi Priant4, Lilik Eka Radiati2,
Ria Dewi Andriani2
1
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
4
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Email korespondensi: minartiherman@ub.ac.id

Abstrak
Tahun 1983 Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menganugerahkan Desa
Tanjungsari sebagai juara pertama Desa Peternak Kelinci. Perkembangan ternak
kelinci menurun hingga dua dekade karena distribusi produk kelinci tidak terserap
pasar. Sewindu terakhir peternakan kelinci di Desa Tanjungsari mulai dibangun
kembali. Pada bulan Mei 2018 Menteri Pertanian melalui Program Bedah
Kemiskinan Rakyat Sejahtera memberikan bantuan berupa 500 ekor kelinci
kepada 25 peternak. Sebagai tindak lanjut pengembangan Kampung Kelinci telah
dilakukan identifikasi beberapa permasalahan baik manajerial maupun teknis
budidaya kelinci. Dalam pengembangan peternakan kelinci diperlukan sinergitas
dari berbagai pihak seperti peternak, Desa, Dinas terkait maupun Perguruan
Tinggi. Kegiatan ini direncanakan untuk waktu 3 (tiga) tahun. Tahun Pertama :
pelatihan dan pendampingan baik secara manajerial maupun teknis usaha
peternakan kelinci. Tahun kedua : dilakukan pengembangan produksi pakan
komplit berupa pellet sebagai usaha mandiri peternak kelinci. Tahun Ketiga :
pengembangan produk olahan dari peternakan kelinci, olahan daging maupun
kerajinan kulit kelinci. Selama program berlangsung perlu pendampingan dan
dukungan dari pihak terkait supaya konsep wisata berbasis edukasi dapat berjalan
baik.

Kata kunci : kelinci, desa, masyarakat, wisata, kesejahteraan

Pendahuluan
Desa Tanjungsari terletak di dataran dengan ketinggian 800-1000 mdpl dengan
luas wilayah sekitar 142.633 Ha. Sebagian besar penduduk bertani, kuli bangunan
hingga pedagang dengan usaha sampingan beternak kelinci. Masyarakat mulai
beternak kelinci tahun 1980 baik secara perorangan maupun berkelompok. Tahun
1983 Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menganugerahkan Desa
Tanjungsari sebagai juara pertama sebagai desa Peternak Kelinci. Perkembangan
ternak kelinci menurun hingga dua dekade karena distribusi produk kelinci tidak
terserap pasar. Hal ini terjadi karena peternak hanya menjual kelinci hidup dan
sebagian berupa daging serta kulit bulu tanpa diolah lebih lanjut. Sewindu terakhir
peternakan kelinci di Desa Tanjungsari mulai dibangun kembali, Pada bulan Mei
2018 Menteri Pertanian melalui Program Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera
(Bekerja) memberikan bantuan berupa 500 ekor kelinci kepada 25 petani kelinci.

453
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pemerintah Desa juga mendukung pengembangan peternak kelinci dengan


memasukkan Program Pengembangan Wisata Edukasi Kampung Kelinci ke
dalam APBDes. Selain itu, Pemerintah Daerah Magetan juga telah berkomitmen
dalam mengembangkan peternakan kelinci berbasis wisata sebagai salah satu
program prioritas produk unggulan lokal. Tindak lanjut Pemda Magetan dalam
mensukseskan program prioritas tersebut adalah inisiasi kerjasama dengan
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.

Hasil survey awal yang telah dilakukan oleh Tim Fapet UB pada Maret 2019
berhasil melakukan identifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi oleh
peternak kelinci. Adapun masalah tersebut adalah : (1) produktivitas kelinci masih
rendah, (2) angka kematian anak tinggi, (3) harga pellet tidak terjangkau, (4).
Keterbatasan dalam pemasaran produk. Oleh karena itu perlu adanya kegiatan
pelatihan dan pembinaan intensif dalam pengembangan manajerial peternakan
kelinci untuk mendukung terwujudnya wisata edukasi.

Metode
Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :
1. Sosialisasi secara Daring
Metode ini bertujuan untuk menyamakan persepsi terhadap kegiatan, pokok-
pokok materi budidaya kelinci dan meningkatkan pemahaman konsep Kampung
Kelinci berbasis masyarakat . Peserta dalam kegiatan ini adalah peternak, Ketua
kelompok peternak dan pendamping lapang. Kegiatan dilakukan secara
online/daring sebanyak 3 kali.

2. Penyuluhan
Metode ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan semua peserta yang terdiri
dari ketua kelompok dan peternak. Penyuluhan dilakukan secara tatap muka
langsung dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab. Adapun materi yang
diberikan adalah sebagai berikut :
a. Pemilihan Bibit Kelinci.
b. Perkandangan kelinci.
c. Bahan dan Nutrisi pakan.
d. Reproduksi.
e. Sanitasi.

Hasil dan Pembahasan


Sosialisasi kegiatan konsep kampung kelinci
Sosialisasi mengenai perencanaan kegiatan yang akan dilakukan dalam
mengembangkan Kampung Kelinci diantaranya:
▪ Materi kegiatan yang akan disampaikan.
▪ Survei lokasi dan kondisi peternakan kelinci.
▪ Pemanfaatan potensi yang ada pada Desa Tanjungsari dalam branding
kawasan.

454
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penyuluhan dan diskusi


1. Penyediaan Bibit
Peserta mendapatkan pengetahuan cara mengenali kelinci yang memenuhi syarat
untuk bibit dan juga cara membentuk bibit untuk menggantikan induk yang sudah
tua/tidak produktif. Berdasarkan diskusi dan tanya jawab di lapang, diperoleh
permasalahan peternak sebagai berikut :
a. Belum ada recording/pencatatan.
b. Perkawinan tidak terkontrol : breed/bangsa, silsilah.
c. Tujuan produksi belum jelas : daging, hias, anakan.
d. Belum ada breed unggulan/spesifik yang diproduksi.

2. Pembuatan Kandang
Pengetahuan tentang kandang akan menjelaskan tentang bahan-bahan untuk
pembuatan kandang, model kandang, konstruksi kandang, ukuran kandang dan
lokasi penempatan kandang agar ternak kelinci dapat hidup nyaman dan
produktif. Berdasarkan hasil diskusi dan tanya jawab, dapat diidentifikasi
permasalahan perkandangan, antara lain :
a. Belum ada standar : ukuran, model, bahan.
b. Lokasi kandang kurang diperhatikan.
c. Pembuangan feses dan urine belum diperhatikan .
d. Kebersihan kandang.
e. Perlengkapan kandang seadanya.

3. Penyediaan dan Managemen Pakan


Peserta mendapatkan pengetahuan tentang bahan pakan, cara menyusun pakan,
cara memberi pakan, cara menghitung kebutuhan pakan dan cara menyimpan
pakan sesuai perkembangan ilmu yang mutakhir. Berdasarkan hasil diskusi dan
tanya jawab, dapat diidentifikasi permasalahan pakan ini adalah :
a. Nutrisi belum menjadi prioritas.
b. Kuantitas belum jelas.
c. Tidak stabil – seadanya.
d. Belum berorientasi pada kebutuhan ternak.
e. Belum ada inovasi.

4. Reproduksi
Peserta mendapatkan pengetahuan tentang berahi, identifikasi umur, managemen
perkawinan, managemen laktasi, managemen perkawinan setelah melahirkan dan
managemen penyapihan anak serta teknologi tepat guna untuk mendapatkan nilai
reproduksi ternak yang baik dalam reproduksi. Adapun permasalahan yang
dihadapi peternak adalah :
a. Umur pertama kali dikawinkan terlalu awal.
b. Umur dan bobot badan tidak seimbang.
c. Belum dilakukan peningkatan pakan sebelum perkawinan, saat bunting,
saat menyusui.
d. Lama menyusui tidak standar.
e. Jarak perkawinan setelah melahirkan kurang diperhatikan.
f. Nutrisi belum menjadi prioritas.

455
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

5. Sanitasi dan Penyakit


Peserta mendapatkan pengetahuan cara menjaga kebersihan kandang, mengenal
beberapa penyakit penting pada kelinci dan cara mengobatinya. Sebelum
dilakukan pelatihan mengenai budidaya kelinci, tentu dilakukan penyuluhan
terlebih dahulu untuk meningkatkan tingkat kesadaraan peternak akan pentingnya
aspek manajemen dalam mewujudkan ternak mereka sebagai destinasi wisata. Hal
paling utama adalah sanitasi lingkungan ternak, baik kandang maupun ternak
kelinci itu sendiri. Adapun prioritas kedua adalah pengetahuan mengenai
budidaya kelinci dari pemilihan bibit hingga penanganan anakan kelinci, serta
mengatasi penyakit ternak. Pengetahuan ini nantinya tidak hanya dipraktekan
akan tetapi ditularkan sebagai materi dari wisata edukasi kelinci

Gambar 1. Pembukaan Acara Gambar 2. Observasi ke kandang

Kesimpulan
Kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang dilaksanakan dapat menjadi motivasi
bagi peternak kelinci di Desa Tanjungsari untuk mengangkat daerahnya menjadi
desa wisata Kampung Kelinci demi mengangkat perekonomian serta
kesejahteraan desa. Dengan adanya pembekalan melalui penyuluhan dapat
membuka pengetahuan baru bagi warga desa untuk kemudian dikembangkan lebih
jauh lagi.

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih diberikan kepada :
1. Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan dana melalui Program
Doktor Mengabdi.
2. Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan yang telah memberikan dukungan
dan membuka Kegiatan secata resmi
3. Kepala Desa Tanjungsari dan jajarannya Kecamatan Panekan Kabupaten
Magetan yang telah menyediakan fasilitas ruangan dan sarana pendukung
untuk pelaksanaan kegiatan lapang
4. Saudara Alfian dan para ketua Kelompok peternak Tanjungsari yang telah
mengkoordinir peternak dan membantu pelaksanaan kegiatan di lapang.

Daftar Pustaka
Anonim. 2018. Launching Bantuan Kelinci oleh Kementan sebagai Penyediaan
Sumber Protein Hewani Alternatif di Kabupaten Magetan. dilihat 17 Januari
2021 http://www.magetan.go.id/en/node/360

456
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Anonim. 2021. Rencanakan Bangun Kampung Ternak, Dinas Peternakan dan


Perikanan Kabupaten Magetan Kunjungi Fapet UB. dilihat 7 Januari 2021
https://fapet.ub.ac.id/rencanakan-bangun-kampung-ternakdinaspeternakandan
perikanan-kabupaten-magetan-kunjungi-fapet-ub/
Anonim. 2021. Tim Fapet UB Berkunjung ke Kelompok Ternak di Kabupaten
Magetan. dilihat 17 Januari 2021 <https://fapet.ub.ac.id/tim-fapet-
ubberkunjung-ke kelompok-ternak-di-kabupaten-magetan/> M. Ben Rabha,
M.F. Boujmil, M. Saadoun, B. Bessaïs, Eur. Phys. J. Appl. Phys. (to be
published)

457
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ANALISIS PENDAPATAN USAHA PETERNAKAN BROILER


KEMITRAAN SEBELUM DAN SAAT ERA PANDEMI COVID-19 DI
KABUPATEN MALANG

Hari Dwi Utami¹, Mahfud Ramadhan²,*

¹Bagian Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya


²Program Sarjana Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Email korespondensi: mahfud18@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilakukan di Kecamaatan Jabung, Kabupaten Malang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui (i) struktur modal, biaya produksi dan pendapatan,
(ii) keuntungan, dan (iii) efisiensi peternakan ayam pedaging sebelum dan selama
Covid-19. Sampel yang digunakan adalah dua peternakan ayam pedaging
(peternak-1 menggunakan strain DOC platinum dan peternak-2 menggunakan
strain Cobb), dipilih dengan teknik purposive sampling yang mewakili peternak
dengan memelihara sekitar 10.000 ekor ayam pedaging dan memiliki pengalaman
lebih dari 5 tahun dalam beternak ayam pedaging serta sedang aktif mengikuti
kemitraan. Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih satu bulan dari
tanggal 1 hingga 30 bulan April 2021. Data primer diperoleh dengan
menggunakan kuesioner terstruktur dengan wawancara peternak, sedangkan data
sekunder diperoleh dari instansi terkait. Analisis data menggunakan analisis
deskriptif dengan formulasi ekonomis yaitu biaya produksi, pendapatan,
keuntungan, R/C ratio dan profit margin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peternak-2 mewakili posisi keuangan yang lebih baik dibandingkan petani-1,
sebelum dan selama era covid-19. Pertama, usaha ini menggunakan modal
Rp.23.130/Kbh yang tersusun dari 42,27% modal tetap dan 57,73% modal kerja.
Biaya produksi sebesar Rp.16.852/Kbh terdiri dari 71,93% biaya konsentrat pakan
dan 21,42% biaya DOC. Pendapatan sebesar Rp 18.403/Kbh diperoleh dari
penjualan ayam pedaging hidup. Kedua, petani yang memelihara jenis DOC Cobb
mendapat keuntungan (Rp 1.571) sebelum Covid-19 dan penurunan pendapatan
hanya 12,48% selama era Covid-19. Ketiga, usaha ini melakukan kategori
efisiensi pendapatan berdasarkan rasio R/C (1,09) dan margin keuntungan
(8,54%) sebelum Covid-19, dan penurunan kecil sekitar 0,92% untuk rasio R/C
dan 9,37% untuk profit margin di era Covid-19.

Kata Kunci: r/c ratio, profit margin, covid

Pendahuluan
Peternakan merupakan segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan
pengembangbiakkan dan pemeliharaan hewan ternak untuk diambil manfaatnya
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Secara ekonomi, Indonesia merupakan Negara
berkembang. Seiring dengan naiknya pendapatan perkapita penduduk, maka
kebutuhan akan protein hewani bagi masyarakat juga meningkat. Ayam pedaging
(Broiler) menjadi salah satu komoditi unggas yang memberikan kontribusi besar
dalam memenuhi kebutuhan protein hewani. Secara teknis ayam pedaging
(Broiler) dipelihara selama kurang lebih 35 hari atau 4 sampai 5 minggu, ayam

458
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tersebut tidak dimaksudkan untuk berproduksi telur. Sebagaimana diketahui


bahwa ayam broiler merupakan ternak penghasil daging yang relatif cepat masa
produksinya dibandingkan dengan ternak potong lainnya. Dengan begu menjadi
salah satu alasan peternak untuk mulai memelihara broiler. Hal tersebut didasari
dengan data BPS populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Malang pada tahun
2017 dengan jumlah 28.927.203 ekor dan pengalami peningkatan pada tahun 2018
dengan jumlah 29.128.017 ekor namun mengalami penurunan pada tahun 2019
dengan jumlah 24.939.543 ekor. Berdasarkan penelitian terdahulu bahwa
mortalitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan
pengembangan usaha ternak Broiler (Nuryati, 2019). Mortalitas merupakan angka
kematian ayam yang terjadi dalam satu kelompok kandang. Besar kecilnya angka
mortalitas bergantung dengan cara manajemen hewan ternak, kualitas DOC, dan
lingkungan.

Keberhasilan usaha ternak broiler menunjukan besar tingkat pendapatan yang


diterima oleh peternak broiler. Faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha
yaitu faktor lahan, modal untuk membeli bibit, obat-obatan, tenaga kerja dan
aspek manajemen (Fitriza, 2012). Keberlanjutan usaha peternakan ditentukan oleh
pengetahuan peternakan tentang aspek-aspek kelayakan usaha. Suatu usaha
dikatakan layak jika memenuhi beberapa aspek yaitu aspek pemasaran, aspek
teknis, dan aspek finansial. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, aspek finansial
merupakan aspek paling utama yang harus diperhatikan.

Kabupaten Malang, khususnya di Kecamatan Jabung merupakan salah satu


wilayah yang mengembangkan peternakan ayam pedaging. Jumlah populasi
ternak ayam pedaging di Kecamatan Jabung berdasarkan data dari Dinas
Peternakan Kabutapen Malang tahun 2017-2019 mengalami peningkatan yang
pesat dari 808.538 hingga 1.911.300 ekor,

Jenis pola kemitraan merupakan jenis pola bisnis yang menghubungkan


Kerjasama antara peternak dengan perusahaan inti. Dalam UU No. 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada pasal 31 ayat 1 bahwa
peternak dapat menjalin bisnis kemitraan usaha di bidang budi daya ternak
berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan dan menguntungkan. Pada peran
peternak (plasma) hanya menyediakan kandang dan tenaga kerja, sedangkan pihak
perusahaan (inti) menyediakan sapronak seperti bibit DOC, pakan ternak, dan
obat-obatan. Untuk memberli sapronak memerlukan modal yang sangat besar,
sehingga dengan menggunakan system ini sapronak akan ditanggung oleh
kemitraan atau perusahaan inti.

Pola kemitraan yang paling sering digunakan oleh peternak adalah system kontrak
dan system bagi hasil. Setiap pola kemitraan memiliki keunggulan dan kerugian
masing masing dan dapat mempengaruhi besar atau kecilnya pendapatan peternak
broiler. Pola bagi hasil merupakan mekanisme kerja sama dimana penjualan hasil
panen dilakukan bersama tergantung dengan persetujuan awal dan harga sesuai
dengan harga pasar. Pada pola kontrak merupakan mekanisme kerja sama antara
peternak dengan perusahaan dengan perjanjian kontrak diawal tentang harga
penjualan hasil ternak, harga sapronak, bonus prestasi dan SOP.

459
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pendapatan merupakan penerimaan yang diperoleh dari hasil produksi suatu usaha
yang dapat berupa uang ataupun barang yang berasal dari pihak lain maupun
perusahaan. Besarnya pendapatan juga berpengaruh pada besar atau kecilnya
skala usaha yang dijalankan.

Diakhir tahun 2019 dan awal 2020, dunia digemparkan oleh corona virus
(COVID-19) yang mewabah seluruh bagian negara dan dipastikan terdapat 65
negara yang telah terjangkit virus tersebut. Coronavirus juga disebut sebagai virus
zoonotic yang merupakan virus yang bisa ditransmisikan dari hewan ke manusia
(Yuliana, 2020). Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersikulasi di
hewan. Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan
kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan. Hal tersebut
mengakibatkan turunnya harga broiler secara signifikan karena mewabahnya
Coronavirus.

Wabah Coronavirus ini bukanlah hal yang bisa diabaikan, banyak orang yang
beranggapan bahwa menyebarnya virus ini hanyalah sebatas penyakit biasa tidak
berbahaya, namun virus ini cukup berbahaya dan mematikan. Pemerintah
melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) untuk mencegah
penyebaran virus tersebut lebih lanjut, yang berarti tidak diperbolehkan menjalani
kegiatan di keramaian namun hal tersebut juga akan berdampak pada pedagang
bahan makanan pokok di pasar tradisional dan bagi peternak. Pada era pandemic
ini seluruh bentuk kegiatan akan dibatasi, sehingga akan sangat mengganggu
jalannya pekerjaan terutama dibagian distribusi pakan ternak dan hasil ternak
karena harus memiliki surat surat yang menyatakan seseorang itu sehat setelah
menjalani beberapa test kesehatan.

Permasalahan pada era pandemi Covid-19 dengan penyebaran virus yang cepat
menyebar sehingga diadakannya social distancing yang dapat mengganggu
jalannya produksi dan jumlah produksi. Berdasarkan dengan situasi tersebut maka
dapat mempengaruhi pendapatan peternak broiler. Oleh karena itu, Penulis ingin
mengadakan penelitian tentang “Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Broiler
Kemitraan Sebelum Dan Saat Era Pandemi Covid-19 Di Kabupaten Malang”.
Diharapkan dari penelitian tersebut pada peternakan broiler masih bisa
menguntungkan dan banyak peminat dibidang peternakan broiler.

Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Bagaimana struktur modal, struktur biaya produksi dan struktur penerimaan
peternak broiler kemitraan sebelum dan sesudah era Covid-19 di Kabupaten
Malang?
2. Bagaimana pendapatan peternakan broiler kemitraan sebelum dan sesudah era
Covid-19 di Kabupaten Malang?
3. Bagaimana efisiensi peternakan broiler kemitraan sebelum dan sesudah era
Covid-19 di Kabupaten Malang?

460
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:


1. Mengetahui struktur modal, struktur biaya produksi dan struktur penerimaan
peternak broiler kemitraan sebelum dan sesudah era Covid-19 di Kabupaten
Malang
2. Mengetahui pendapatan peternakan broiler kemitraan sebelum dan sesudah era
Covid-19 di Kabupaten Malang
3. Mengetahui efisiensi pendapatan peternak sebelum dan sesudah era Covid-19
di Kabupaten Malang.

Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Malang tepatnya di Kecamatan Jabung,
Malang selama satu bulan pada tanggal 1 April - 30 April 2021. Metode untuk
penelitian ini yaitu studi kasus yang merupakan penelitian terhadap latar pada satu
orang subjek atau suatu peristiwa tertentu, digunakan juga untuk suatu pendekatan
dengan memusatkan perhatian pada kasus yang intensif dan secara rinci. Diambil
sebagai lokasi penelitan juga karena memiliki tingkat populasi ayam pedaging
yang cukup tinggi dan sempat terjadi naik turun populasi ternak ayam pedaging di
daerah tersebut berdasarkan data BPS Kabupaten Malang.

Berdasarkan data dari BPS tersebut maka sasaran penelitian dapat berupa
manusia, peristiwa latar dan dokumen. Adapun kriteria peternak yang dapat
dijadikan sebagai peternak untuk penelitian yaitu: (a) peternak memiliki kandang
atau bertempat tinggal di wilayah Kecamatan Jabung, (b) peternak yang aktif
sebelum dan saat pandemi Covid-19.

Metode Analisis Data


Metode analisis data diambil dari data primer yang diperoleh meliputi biaya
investasi, biaya produksi, penerimaan, keuntungan pada periode sebelum dan saat
pandemi Covid-19 dengan menghitung dan membandingkan pendapatan sebelum
pandemic dan saat pandemic, dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh
selanjutnya dianalisa untuk menggambarkan keadaan usaha peternakan ayam dan
perhitungan yang digunakan adalah biaya total, penerimaan, keuntungan, r/c
ratio, profit margin

Hasil dan Pembahasan


Struktur modal usaha peternakan broiler kemitraan
Modal tetap atau biaya investasi merupakan biaya yang pada umumnya
dikeluarkan pada awal kegiatan usaha dalam jumlah yang cukup besar dan bersifat
tetap atau tidak berubah dengan jumlah produksi. Biaya yang termasuk dalam
modal tetap akan dihitung penyusutan sesuai dengan masa penggunaannya. Biaya
penyusutan asset akan dimasukkan kedalam biaya tetap sebagai biaya produksi.

461
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Susunan Modal Peternakan Broiler Kemitraan Sebelum dan Saat Covid-19
Peternak 1 Peternak 2

Keterangan Sebelum Covid Saat Covid-19 Sebelum Covid Saat Covid-19

Rp/kbh % Rp/kbh % Rp/kbh % Rp/kbh %

Kandang 2.258 9,76 2.258 10.42 2.421 8,30 2.421 8,43


Peralatan
2.645 11,44 2.645 12.20 1.806 6,20 1.806 6,29
Kandang
Kendaraan - - - - -
Rumah jaga 40 0,17 40 0.18 27 0,09 27 0,09
Lahan 28 0,12 28 0.13 8.071 27,68 8.071 28,12
Total Modal
4.971 21,49 4.971 22.93 12.326 42,27 12.326 42,94
Tetap
Total Biaya
590 2,55 589,78 2.72 646 2,21 646 2,25
Tetap
Total Biaya
17.569 76 16.120,17 74.35 16.187 55,51 15.736 54,82
Variabel
Total Modal
18.159 78.51 16.710 77.07 16.832 57,73 16.381 57,06
Kerja
Total Modal 23.130 100 21.681 100 29.158 100 28.707 100

Berdasarkan data table diatas bahwa peternak 1 memiliki total modal tetap pada
masa sebelum pandemic sebesar Rp.4.971/kbh atau 21,49% dari total modal,
sedangkan pada saat pandemic sebesar 22,93% dari total modal. Pada peternak 2
memiliki total modal tetap pada masa sebelum pandemic sebesar Rp.12.326/kbh
atau 42,27% dari total modal, sedangkan pada saat pandemic sebesasr 42,97%
dari total modal. Terdapat perbedaan biaya tetap pada kedua peternak yaitu pada
pengeluaran untuk lahan. Lahan yang digunakan pada peternak 1 adalah
menyewa, sedangkan peternak 2 menggunakan lahan sendiri sehingga terdapat
perbedaan dalam pengeluaran modal tetap.

Biaya produksi
Biaya produksi merupakan biaya yang diperlukan untuk kebutuhan produksi
selama satu periode pemeliharaan. Biaya produksi dapat digolongkan 2 bagian
yaitu biaya tetap dan biaya variable. Biaya tetap merupakan biaya yang
dikeluarkan dan tidak dipengaruhi jumlah produksi. Sedangkan biaya variable
adalah biaya yang dikeluarkan yang mengikuti jumlah besar kecilnya volume
produksi. Jika harga atau total pendapatan dapat menutupi biaya produksi, biaya
tetap maupun biaya variable maka hal tersebut akan menjadi keuntungan.
Sebaliknya jika total pendapatan tidak dapat menutupi semua biaya produksi,
biaya tetap maupun biaya variable maka akan terjadi kerugian.

Tabel 2 menunjukan bahwa pengeluaran biaya produksi terbagi oleh biaya tetap
dan biaya variabel. Didapatkan pengeluaran tertinggi pada biaya variabel yaitu
biaya pakan dan DOC. Pada peternak 1 terdapat nilai pembelian pakan sebesar
69,95% pada saat sebelum pandemi dan 70,32% dari total pengeluaran pada saat
pandemic covid, sedangkan peternak 2 mengeluarkan biaya pakan sebesar 71,93%

462
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pada saat sebelum pandemi dan 72,99% dari total biaya produksi saat pandemi
covid. Biaya tertinggi kedua yaitu bibit DOC, pada peternak 1 menunjukan nilai
pengeluaran untuk DOC sebesar 24,56% pada saat sebelum pandemic dan 23,72%
dari total biaya produksi pada saat pandemi covid, sedangkan pada peternak 2
mengeluarkan biaya bibit DOC sebesar 21,42% pada saat sebelum pandemic dan
19,81% dari total biaya produksi saat pandemi covid. Terjadi penurunan biaya
pengeluaran dalam pembelian DOC pada kedua peternak disebabkan oleh
pengurangan populasi broiler yang berawal 10.000 ekor menjadi 9.000 ekor.
Didapatkan penurunan Biaya Produksi Peternak-1: 7,98% > Peternak-2: 2,68%.
Tabel 2. Total biaya produksi peternak broiler pola kemitraan
Peternak 1 Peternak 2

Biaya Tetap Sebelum Covid Saat Covid Sebelum Covid Saat Covid

Rp/kbh % Rp/kbh % Rp/kbh % Rp/kbh %

Biaya Tetap
Sewa lahan 28 0,16 28 0,17 161 0,96 161 0,99

Pajak PBB 28 0,16 28 0,17 24 0,14 24 0,15


Tenaga Kerja 395 2,18 395 2,36 350 2,08 350 2,14
Penyusutan:
Kandang 40 0,22 40 0,24 43 0,26 43 0,26
Peralatan Kandang 95 0,52 95 0,57 65 0,39 65 0,40

Rumah jaga 3 0,02 3 0,02 2 0,01 2 0,01


Total Biaya Tetap 590 3,25 590 3,53 646 3,84 646 3,94

Biaya Variabel
DOC 4460 24,56 3963 23,72 3605 21,42 3245 19,81
Pakan 12703 69,95 11750 70,32 12107 71,93 11957 72,99
OVK 226 1,24 204 1,22 218 1,30 283 1,73
Listrik dan Air 62 0,34 85 0,51 81 0,48 75 0,46
Sekam 119 0,65 119 0,71 175 1,04 175 1,07

Total Biaya Variabel 17569 96,75 16120 96,47 16187 96,16 15736 96,06

Total Biaya Produksi 18159 100 16710 100 16832 100 16381 100

Biaya tetap
Biaya tetap merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh besarnya perubahan
pada produksi. Biaya tersebut dikeluarkan setiap periode untuk menjalankan suatu
produksi. Biaya tersebut meliputi biaya penyusutan kandang, biaya penyusutan
tempat makan minum, bunga peminjaman modal, PBB tahunan dan sewa lahan
peternakan.

463
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Biaya variabel
Biaya variable merupakan biaya yang dipengaruhi besarnya volume produksi dan
dikeluarkan setiap satu periode pemeliharaan. Biaya tersebut meliputi pembelian
DOC (day old chick), pakan, air minum, listrik. Biaya OVK, biaya tenaga kerja
dan untuk mendukung kegiatan operasional. Untuk biaya seperti DOC, pakan, dan
OVK akan dibebankan pada peternak pada saat masa panen.

Penerimaan
Hasil dari penjualan saat masa panen ternak broiler dari peternak kepada
perusahaan/kemitraan yang diikuti. Harga penjualan tidak mengikuti harga pasar
yang ada tetapi mengikuti harga kontrak yang ditanda tangani oleh peternak pada
saat melakukan perjanjian kontrak kerja sama. Masa panen ternak broiler
tergolong cepat yaitu sekitar 31-35 hari. Berat badan panen yang ditargetkan
adalah sekitar 2kg-2.2kg selama satu periode. Didapatkan penerimaan hasil
produksi dengan perhitungan sebagai berikut

Tabel 3. Total penjualan peternak broiler sebelum dan saat pandemi


Peternak 1 Peternak 2
Keterangan Sebelum Saat Sebelum Saat Covid-
Covid Covid Covid 19
Penerimaan
Jumlah ternak (Ekor) 9500 8120 9500 8732
Harga kontrak (Rp/kg) 18200 18220 18000 18168
Total Penjualan
19522 16872 18403 17756
(Rp/Kbh)

Berdasarkan table diatas yang menunjukan bahwa penerimaan pada kedua


peternak adalah dari penjualan ayam hidup. Pada kedua peternak menunjukan
bahwa penerimaan terbesar didapatkan dari penjualan ayam dengan nilai 100%.
Didapatkan nilai penerimaan peternak 1 pada periode sebelum covid sebesar
Rp.19.522/kbh dengan mortalitas 5% sedangkan pada periode saat pandemic
covid mendapat nilai sebesar Rp.16.872/kbh dengan mortalitas 9,78%. Pada
peternak 2 nilai penerimaan yang didapatkan pada periode sebelum covid sebesar
Rp.18.403/kbh dengan mortalitas 5% sedangkan pada periode saat pandemic
covid mendapat nilai sebesar Rp.17.756/kbh dengan mortalitas 2,98%. Penurunan
Penerimaan Peternak-1: 13,57% > Peternak-2: 3,52%

Keuntungan
Keuntungan merupakan hasil dari penerimaan dikurangi dengan total biaya
produksi. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pendapatan adalah harga
penjualan dan jumlah ternak yang dijual, semakin tinggi harga dan jumlah maka
semakin tinggi pendapatan yang didapatkan. Hasil yang didapatkan dari total
penerimaan dan menjadi keuntungan bersih pada peternak broiler.

Tabel 4 menunjukan bahwa keuntungan didapatkan dari total penerimaan


dikurangi dengan total biaya produksi. Didapatkan keuntungan tertinggi dari

464
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kedua peternak yaitu pada peternak 2 dengan nilai Rp.1.571/Kbh pada periode
sebelum covid, sedangkan keuntungan terendah didapatkan pada peternak 1
dengan nilai Rp.162/Kbh pada periode saat covid. Terjadi perbedaan keuntungan
pada kedua peternak yang disebabkan oleh jumlah panen ternak yang berbeda.
Jumlah keuntungan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya penjualan hasil ternak dan
biaya produksi. Didapatkan Penurunan profit Peternak-1: 88,11% > Peternak-2:
12,48%.
Tabel 4. Keuntungan Usaha Peternak Broiler Kecamatan Jabung Kabupaten Malang
Peternak 1 Peternak 2
Keterangan Sebelum Saat Sebelum Saat
Covid Covid Covid Covid
1. Penerimaan (Rp/Kbh) 19522 16872 18403 17756
2. Biaya Produksi
a. Total Biaya Tetap (Rp/Kbh) 590 590 646 646
b. Total Biaya Variabel
17569 16120 16187 15736
(Rp/Kbh)
Total Biaya Produksi (Rp/Kbh) 18159 16710 16832 16381
3. Keuntungan (Rp/Kbh) 1363 162 1571 1375

R/C Ratio
R/C ratio merupakan perhitungan dari total pendapatan bersih pada peternak
broiler dengan total biaya yang telah dikeluarkan pada periode tersebut.
Digunakan perhitungan tersebut agar mengetahui apakah layak usaha tersebut
dilanjutkan dikemudian hari atau harus segera berhenti untuk menghindari
kerugian yang berlanjut.

Tabel 5. R/C ratio


Peternak 1 Peternak 2
Keterangan
Sebelum Covid Saat Covid Sebelum Covid Saat Covid

Penerimaan (Rp/Kbh) 19522 16872 18403 17756


Total Biaya (Rp/Kabh) 18159 16710 16832 16381
R/C Ratio 1,06 1,01 1,09 1,08

Tabel R/C ratio menunjukkan bahwa kedua peternak memiliki R/C ratio yang
berbeda, peternak 1 pada masa sebelum covid memiliki nilai sebesar 1,06 yang
artinya setiap Rp.1.000.000 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
penerimaan sebesar Rp.1.060.000 dengan keuntungan Rp.60.000, pada masa saat
covid memiliki nilai sebesar 1,00 yang artinya setiap Rp.1.000.000 biaya yang
dikeluarkan makan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp.1.000.000 yang
hanya dapat menutup biaya produksi tanpa menghasilkan keuntungan. Peternak 2
masa sebelum covid memiliki nilai sebesar 1,09 yang artinya setiap Rp.1.000.000
biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp.1.090.000

465
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dengan keuntungan Rp.90.000, saat covid memiliki nilai sebesar 1,08 yang artinya
setiap Rp.1.000.000 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan
sebesar Rp.1.080.000 dengan keuntungan Rp.80.000. Hasil evaluasi menyatakan
bahwa peternak 2 memiliki hasil tertinggi dengan nilai R/C ratio 1,09 yang dapat
dikatakan bahwa usaha tersebut layak untuk dikembangkan lagi. Didapatkan
bahwa penurunan R/C ratio: Peternak-1: 4,72% > Peternak-2: 0,92%

Profit margin
Profit Margin merupakan jenis perhitungan yang digunakan untuk menganalisa
efisiensi usaha dengan perhitungan keuntungan dibagi dengan penerimaan dalam
bentuk persentase. Semakin tinggi nilai margin yang dihasilkan maka peternak
tersebut memiliki tingkat operasional yang baik. Berikut merupakan hasil
perhitungan Net Profit Margin dari kedua peternak.

Tabel 6. Profit Margin


Peternak 1 Peternak 2
Keterangan
Sebelum Covid Saat Covid Sebelum Covid Saat Covid
Keuntungan
1363 162 1571 1375
(Rp/Kbh)
Penerimaan
19522 16872 18403 17756
(Rp/Kabh)
Profit Margin (%) 6,98 0,96 8,54 7,74

Tabel profit margin diatas menunjukan bahwa kedua peternak mengalami


penurunan profit dari sebelum covid dan saat covid. Nilai profit margin tertinggi
didapatkan oleh peternak 2 pada masa sebelum covid dengan nilai 8,5% yang
artinya setiap Rp.1.000.000 penerimaan yang didapatkan maka akan
menghasilkan keuntungan sebesar Rp.85.000. Nilai profit margin terkecil
didapatkan oleh peternak 1 pada masa saat covid dengan nilai 1% yang artinya
setiap Rp.1.000.000 penerimaan yang didapatkan maka akan menghasilkan
keuntungan sebesar Rp.10.000. Naik turunnya profit margin disebabkan oleh
salah satu faktor yaitu jumlah penjualan ternak dengan total biaya yang cukup
besar sehingga keuntungan yang didapatkan rendah. Didapatkan bahwa
penurunan profit margin: Peternak-1:86,25% > Peternak-2: 9,37%.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan pada kedua peternak dapat
disimpulkan bahwa masa produksi sebelum terjadinya pandemic Covid-19
merupakan masa produksi yang menghasilkan profit lebih besar dibandingkan
pada saat terjadinya pandemic Covid-19, didukung dengan kriteria sebagai
berikut. Total modal yang diperlukan peternak 1 adalah Rp.23.130/kbh dengan
pembagian 21,49% modal tetap dan 78,51% modal kerja. Total modal yang
diperlukan peternak 2 adalah sebesar Rp.29.158/kbh dengan pembagian 42,27%
modal tetap dan 57,73% modal kerja. Total biaya produksi yang diperlukan
peternak 1 adalah Rp.18.159/Kbh dengan pembagian pembelian pakan sebesar
69,95% dan pembelian DOC sebesar 24,56%. Total biaya produksi yang
diperlukan peternak 2 adalah Rp.16.832/Kbh dengan pembagian pembelian pakan

466
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

sebesar 71,93% dan pembelian DOC sebesar 21,42%. Penerimaan yang dihasilkan
oleh peternak 1 adalah sebesar Rp.19522/Kbh dengan struktur penjualan broiler
hidup sebesar 100%. Penerimaan yang dihasilkan oleh peternak 2 adalah sebesar
Rp.18403/Kbh dengan struktur penjualan broiler hidup sebesar 100%. Sebelum
Covid-19, keuntungan Peternak ke-2 (menggunakan DOC strain Cobb) lebih
besar yaitu Rp. 1.571/KBH dibanding dengan Rp.1.363/KBH Peternak-1
(menggunakan strain Platinum). Pada era Covid-19, penurunan keuntungan pada
peternak ke-2 juga lebih kecil (12,48%) dibandingkan dengan Peternak-1
(88,11%). Sebelum Covid-19, Peternak ke-2 lebih efisien dibandingkan dengan
peternak-1 berdasarkan R/C ratio yaitu 1,09 : 1,06 serta profit margin yaitu 8,54%
: 6,98% setelah Covid-19. Penurunan tingkat efisiensi, pada peternak ke-2 lebih
kecil dibandingkan dengan Peternak-1, yaitu R/C ratio (0,92%: 4,75%) dan Profit
Margin (9,37 %:86,25%).

Saran
Saran yang dapat diberikan untuk kedua peternak adalah melakukan perbaikan
dalam manajemen pemeliharaan ternak maupun kandang serta dapat memilih bibit
DOC yang berkualitas sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pergantian cuaca,
sehingga dapat menekan angka kematian dan dapat meningkatkan keuntungan
atau profit.

Daftar Pustaka
Armelia Vony, Arkan Naofal Dhia, Ismoyowati dan Setianto Novie Andri. 2020.
Dampak social ekonomi Covid-19 terhadap usaha peternakan broiler di
Indonesia. Prosiding Seminar Teknologi dan Agribisnis Peternakan VII-
Webinar: Prospek Peternakan di Era Normal Baru Pasca Pandemi COVID-19,
27 Juni 2020.
Aznedra & Putra, Rizki Eka. 2020. Analisis Laporan Keuangan untuk menilai
kinerja perusahaan menggunakan analisis rasio profitabilitas pada PT Putra
Kundur Transportasi Batam. Measurement, Vol 14 No: 55-62, Juni 2020.
Barus, Andreani Caroline & Leliani. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang
mempengaruhi profitabilitas pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
bursa efek Indonesia. Jurnal Wira Ekonomi Mikroskil Vol. 3 Nomor 2,
Oktober 2013.
Cokorda B.D.P Mahardika, Wely. Y. Pello, & Marchy Pallo.2020. Performa
Usaha Kemitraan Ayam Ras Pedaging. 1270 Partner, tahun 25 nomor 1, hal:
1270-1281.
Dafitra Rian, Kurnia Dihan, dan Sasmi Meli. 2018. Analisis pendapatan usaha
peternakan ayam broiler kemitraan dan pola mandiri di Kecamatan Kuantan
Tengah. Jurnal Agri Sains Vol. 2 No. 2 Desember (2018)
Fatmaningsih Rania, Riyantib, Nova Khaira. 2016. Performa ayam pedaging pada
sistem brooding konvensional dan thermos. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu
Vol. 4(3): 222-229, Agustus 2016
Fitrah Hastirullah. 2013. Analisis breakeven point usaha peternakan ayam
pedaging di Desa Ujung Baru Kecamatan Bati-Bati Kabupaten Tanah Laut
Provinsi Kalimantan Selatan. EnviroScienteae 9 (2013) 72-80

467
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Fitriza, Yulien Tika; F. Trisakti Haryadi; Syahlani, Suci Paramitasari. 2012.


Analisis Pendapatan Dan Persepsi Peternak Plasma Terhadap Kontrak
Perjanjian Pola Kemitraan Ayam Pedaging Di Propinsi Lampung. Buletin
Peternakan Vol. 36(1): 57-65, Februari 2012.
Harianto, Asriani Putri Suci, Arianti Nyayu Neti. 2019. Perbandingan pendapatan
dan efisiensi usaha peternakan ayam potong pada berbagai pola usaha di
kabupaten bengkulu utara. AGRIC Vol. 31, No. 2, Desember 2019: 123-136
Ismail Imam, Utami Hari Dwi dan Hartono Budi. 2013. Analisa ekonomi usaha
peternakan broiler yang menggunakan dua tipe kandang berbeda. Jurnal Ilmu-
Ilmu Peternakan 23 (3): 11 – 16
Malangkab.bps.go.id. (2015, Maret). Populasi Ternak Unggas Menurut
Kecamatan di Kabupaten Malang (ekor) 2013-2019. Diakses pada 14 Februari
2021. https://malangkab.bps.go.id/statictable/2015/03/17/466/populasi-ternak-
unggas-per-kecamatan-di-kabupaten-malang-2013-2019-ekor-.html.
Muharlien, Achmanu dan R.Rachmawati. 2011. Meningkatkan produksi ayam
pedaging melalui pengaturan proporsi sekam, pasir dan kapur sebagai litter. J.
Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 38-45, 2011
Murti. Ariani Trisna, Suroto Karunia Setyowati, dan Karamina Hidayati. 2020.
Analisa keuntungan usaha peternakan ayam broiler pola mandiri di Kabupaten
Malang (Studi kasus di Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang). SOCA:
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 14 No.1, 31 Januari 2020, page 40-54
Nadzir, Tusi Ahmad, Haryanto Agus. 2015. Evaluasi desain kandang ayam
broilerdi desa rejo binangun, kecamatan raman utara, kabupaten lampung
timur. Jurnal Teknik Pertanian LampungVol. 4, No. 4: 255-266
Panius Penggu; Nansi M. Santa, Anie Makalew, Poulla O. V. Waleleng. 2014.
Hubungan biaya produksi dengan pendapatan usaha ternak ayam kampung
(studi kasus di desa pungkol kecamata tatapaan, kabupaten minahasa selatan).
Jurnal Zootek (“Zootek” Journal) Vol 34 (Edisi Khusus): 67-75 (Mei 2014)
Sanjaya, Surya & Rizky, Muhammad Fajri. 2018. Analisis Profitabilitas Dalam
Menilai Kinerja Keuangan Pada PT. Taspen (Persero) Medan. KITABAH:
Vol.2 No. 2 Juli – Desember 2018.
Santoso Zeni Budi, Sudjani Eddy Trijana, Andaka Adi. 2017. Analisis biaya
produksi peternakan ayam petelur di Kabupaten Tulungagung. Jurnal Aves,
Juni 2017 Vol 11(1)
Sidi, M. Arief Ibrahim Purnomo, M. Herawati, & A. Asek. 2018. Analisis
Pendapatan Usaha Kemitraan Ayam Broiler di PT. Ciomas Lampung 2016
(Studi Kasus di Samsul Arifin Farm, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung).
Jurnal Wahana Peternakan Vol.2 No.1 Maret 2018.
T. Nuryati. 2019. Analisis Performans Ayam Broiler Pada Kandang Tertutup Dan
Kandang Terbuka. Jurnal Peternakan Nusantara ISSN 2442-2541Volume 5
Nomor 2, Oktober 2019
Veren M. Momongan, Maasje T. Massie, Stevy P. Pangemanan, Jeane Pandey,
Franky N.S Oroh. 2020. Analisis pendapatan peternak broiler pola kemitraan
(studi kasus pada tiga peternakan di Desa Tateli 1 Kecamatan Mandoang).
Jurnal EMBA Vol.8 No.2 April 2020, Hal. 1-8

468
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Wibowo Sarwo Edy, Asmara Widya, Wibowo Michael Haryadi, Sutrisno


Bambang. 2013. Perbandingan Tingkat Proteksi Program Vaksinasi Newcastle
Disease pada Broiler. JSV 31 (1), Juli 2013
Yuliana. 2020. Corona Virus Disease (Covid-19). Wellness and Healthy
Magazine Volume 2, Nomor 1, Februari 2020, p. 187-192.

469
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

POLA PEMASARAN DIGITAL, KELINCI DAN TURUNANNYA SECARA


EFEKTIF UNTUK MEWUJUDKAN KAMPUNG KELINCI DI
KABUPATEN MAGETAN

Puji Akhiroh1,* , Sri Minarti1 , Dyah Lestari Yulianti1,*, Siti Nurul


Kamaliyah1, Wike Andre Septian1
1
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Email korespondensi: pujiakhiroh@ub.ac.id

Abstrak
Kelinci merupakan ternak pseudoriminan yang memiliki berbagai produk turunan.
Peternak melakukan pola pemasaran untuk meraih keberhasilan pada tahap
manajemen pemasaran. Pola pemasaran merupakan upaya dalam menyalurkan
produk kepada calon konsumen setelah melakukan proses produksi agar tepat
pada sasaran pasar. Penerapan pola pemasaran kelinci oleh peternakan dilakukan
secara konvensional. Hal tersebut diperlukan cara modern dalam melakukan
penerapan pola pemasaran. Pola pemasaran modern bertujuan agar dapat
melakukan pemasaran secara cepat dan tepat di era digital. Sasaran yang
dilakukan yaitu pada peternak. Solusi yang diberikan untuk peternak dalam
menggunakan pola pemasaran modern di era digital adalah memanfaatka fasilitas
Google seperti Google Maps, Google My Business, Google Ads dan SEO.

Kata Kunci: kelinci, produk turunan, pola pemasaran

Pendahuluan
Di Indonesia kebutuhan akan daging masih belum terpenuhi sehingga diperlukan
upaya peningkatan produksi daging. Salah satu alternative penghasil daging
dengan cara beternak kelinci untuk menjamin ketersediaan pangan asal ternak.
Hal ini dapat dilakukan dengan efektif yang disebabkan pengaruh
perkembangbiakan kelinci yang secara cepat. Populasi ternak kelinci di Indonesia
dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang cukup baik, dimana populasi
ternak kelinci terbesar berada di Provinsi Jawa Timur (Jatim) yakni sebesar 80%
dari total keseluruhan populasi kelinci yang berada di Indonesia. Berdasarkan data
statistik tahun 2019 populasi ternak kelinci di Jawa Timur sebesar 370.107 ekor.

Indikator keberhasilan peternak dalam menjual kelinci dipengaruhi dengan adanya


factor internal dan external seperti dalam melakukan manajemenan pemeliharaan
dan pemasaran kelinci sehingga bila indicator tersebut dilakukan secara baik dan
tepat maka akan memberikan pengaruh positif terhadap pendapatan peternak.
Manajemen pemeliharaan meliputi system perkandangan, system pemberian
pakan, dan system penangulangan penyakit. Sedangkan manajemen pemasaran
merupakan proses kegiatan dalam penyaluran produk dari produsen ke konsumen
(Desmiarti, dkk. 2020).

Di masyarakat Indonesia, pemeliharaan kelinci hidup sudah lama dijalankan dan


pada era digital produk turunan kelinci semakin berkembang yang disesuaikan
dengan permintaan pasar yang ada. Maka dari itu, pola pemasaran ternak kelinci

470
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

perlu dibangun melalui cara penjualan, kriteria penentuan harga dan waktu
penjualan.

Metode
Dalam rencana menyusun artikel ilmiah ini penulis menggunakan metode
kualitatif. Objek penelitian menggunakan akun Instagram peternak kelinci guna
mendapatkan data dan informasi sehingga penulis dapat melakukan analisis.
Analisis data dipergunakan sebagai kajian dalam bentuk deskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul.

Hasil dan Pembahasan


A. Pola pemasaran
Pola pemasaran dapat digunakan untuk dapat menyalurkan produk kepada
konsumen setelah proses produksi agar tepat pada sasaran pasar. Pola pemasaran
ternak kelinci dapat dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Peternak
Peternak melakukan pemeliharan kelinci yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasar seperti kelinci pedaging atau kelinci hias sehingga dalam proses
pemeliharaan peternak dapat menerapkan system manajemen agar dapat mencapai
tujuan profit yang maksimal.
2. Pedagang pengumpul
Peternak yang telah melakukan pemeliharaan akan menjual ternak kelinci kepada
pedagang pengumpul. Saat terjadi proses penjualan, pedagang pengumpul
membeli ternak kelinci secara keseluruhan dengan system pembayaran 70%
dibayar dimuka dan sisa 30% dibayar setelah ternak kelinci yang ada pada
pedagang pengumpul laku terjual seluruhnya.
3. Pedagang pengecer
Saat ternak berada pada pedagang pengumpul maka akan dilakukan penjualan
kepada pedagang pengecer dan akan dilakukan penjualan ternak secara satuan
kepada konsumen.
4. Konsumen
Konsumen melakukan pembelian ternak kelinci secara hidup pada pedagang
pengecer dalam jenis kelinci hias atau pedaging. Konsumen akan membeli kelinci
pedaging yang sudah berbentuk karkas sehingga mudah untuk diolah.

Pola pemasaran secara konvensional dapat dilakukan secara langsung ternak


kelinci tersebut dan dapat memasarkan menggunakan kios tertentu. Hal tersebut,
memberikan keuntungan para peternak karena dapat mengetahui secara langsung
calon pembeli sehingga interaksi yang terjalin dapat dirasakan oleh kedua pihak,
dapat meraih dengan mudah kepercayaan clon pembeli, dan melakukan akad
secara cepat. Namun, pola pemasaran secara konvensial memiliki kelemahan yaitu
waktu penjualan yang tidak fleksibel dan tidak efisien karena mengharuskan
melakukan penjualan pada pasar yang memiliki jarak jauh, dapat memberikan
tambahan cost terhadap biaya produksi.

Selanjutnya, terdapat pola pemasaran secara modern dapat dilakukan secara


digital dengan memanfaatkan media online seperti website, media social, aplikasi
social, iklan, email, dan blog. Pola pemasaran modern melibatkan konsumen

471
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dimana saja, kapan saja melalui perangkat digital yang dimiliki. Keuntungan pola
pemasaran digital yaitu dapat melayani calon pembeli secara luas, memudahkan
pelayanan dalam transaksi, dapat menyalurkan ternak ke berbagai daerah dan
dapat melakukan penjualan kapan saja dan dimana saja. Namun, ada pula
kelemahan dalam pola pemasaran secara online diantaranya adalah peternak harus
update setiap perkembangan digital, peternak harus dapat berhati-hati ketika
melakukan proses transaksi karena penipuan marak terjadi, peternak harus
berinovasi terus dalam upaya melancarkan usaha.

B. Produk Turunan
Dalam melakukan usaha ternak kelinci, peternak dapat melakukan penjualan jenis
kelinci hias atau kelinci pedaging. Terkait harga penjualan pada pihak peternak
dapat menentukan karena saat ini tidak terdapat standarisasi harga jual ternak
kelinci. Maka dari itu, pedagang pengumpul cenderung membeli keseluruhan
ternak kelinci pada peternak. Ternak kelinci dijual dengan berbagai jenis turunan
yang bertujuan agar mendapatkan nilai tambah dari produk yang dipasarkan.
Berikut merupakan produk turuna ternak kelinci yaitu:
1. Daging
Daging dapat dijual secara bentuk ekor ataupun kiloan yang biasanya ditawarkan
pada pihak pembeli rumah tangga ataupun penjual bidang kuliner. Daging
digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku pangan hewani.
2. Kulit dan bulu
Penjual memanfaatkan nilai ekonomis dari bagian kulit dan bulu sehingga
biasanya produk ini digunakan untuk kebutuhan bahan kerajinan yang nantinya
dapat diubah menjadi produk jaket, hiasan, souvenir dan lain-lainnya.
3. Kotoran
Kotoran dapat memiliki nilai ekonomis bila diolah menjadi pupuk. Pupuk organic
ini bisa ditawarkan pada petani dan konsumen lainnya yang membutuhkan pupuk
organic.
4. Pemeliharaan
Ternak kelinci hias termasuk dalam produk turunan kelinci karena bagian ini
mudah sekali ditawarkan pada pasar dibandingkan dengan yang lain. Ternak
kelinci hias memiliki pasar tersendiri bila di tawarkan.

C. Solusi Pemasaran Digital


Pada era digital penggunaan internet memiliki persentase yang cukup tinggi salah
satu nya di Indonesia berdasarkan hasil survei We Are Social pada bulan April
2021. Penggunaan internet di Indonesia mencapai 88,1% untuk melakukan
layanan e-commerce untuk membeli produk. Berdasarkan hasil survei Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJIL, 2019) menyatakan bahwa jumlah
internet di Indonesia mencapai 64,8% dari total populasi Indonesia 264,2 juta
jiwa. Banyaknya pengguna internet disebabkan karena internet memberikan
kemudahan aktivitas masyrakat seperti layanan ekonomi berupa media promosi
pemasaran yang dapat memudahkan produk dikenalsecara lebih luas sehingga
dampak positif dari internet dapat dirasakan oleh pelaku bisnis. Saat ini
pemasaran digital dapat memberikan solusi bagi konsumen untuk mengatasi
dampak era konvensional yang dapat merepotkan konsumen sehingga banyak hal

472
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang merugikan baik secara finansial maupun non finansial (Sari, 2020). Berikut
contoh usaha ternak kelinci yang menggunakan pola pemasaran modern yaitu:
1. Gimun Farms
Melakukan penjualan kelinci hias dengan memanfaatkan media social berupa
Instagram dan website
2. Hadi Speed Rabbit’s
Melakukan penjualan kelinci hias dan pedaging dengan memanfaatkan website
yang terhubung ke whatsapp

Dari contoh peternak modern diatas, memberikan gambaran suatu peluang pada
usaha ternak kelinci. Berikut keunggulan dalam melakukan usaha ternak kelinci,
diantaranya:
1. Modal usaha yang relative kecil
2. Pakan tidak tergantung pada bahan baku impor, mampu mengkonsumsi
hijauan dan produk limbah secara efisien sehingga tidak bersaing dengan
pangan
3. Mudah beradaptasi dengan lingkungan
4. Tidak membutuhkan lahan yang luas
5. Menghasilkan daging sehat dan halal
6. Menghasilkan beragamproduk selain daging seperti kulit, bulu, pupuk
organic dan kelinci hias
7. Kualitas daging mengandung protein tinggi dan rendah kolesterol

Dengan peluang besar yang ada usaha ternak kelinci modern dengan
memanfaatkan platform digital akan memberikan pengaruh terhadap pola
pemasaran. Solusi yang dapat dilakukan untuk dapat para peternak adalah
mendaftarkan lokasi di Google Maps, Google My Business, Optimalisasi SEO
dan Google Ads untuk SEO, Berikut langkah-langkah dalam mendaftar platform
google yaitu:

1. Google Maps

473
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

474
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

2. Google My Business

475
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

3. SEO

476
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

4. Google Ads SEO

477
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

478
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Solusi yang telah dipaparkan diatas sesuai dengan pendapat Sudaryono, dkk
(2021) yang menyatakan bahwa strategi pemasaran internet yang paling efektif
karena saat ini upaya dalam mencari informasi atau membeli sesuatu akan beralih
pada google. Maka dari itu, agar mendapatnya posisi teratar hasil pencarian
diperlukan teknik pengoptimalan mensin pencari.

Kesimpulan
Dalam usaha ternak kelinci dilakukan pola pemasaran untuk dapat menyalurkan
ternak kepada calon pembeli yang dilakukan setelah prose produksi agar tepat
pada sasaran pasar. Penerapan pola pemasaran di era digital perlu dilakukan
perubahan dari konvensional ke modern. Pola pemasaran secara modern dapat
memanfaatkan platform Google seperti Google Maps, Google My Business,
Google Ads dan SEO.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya melalui Program Hibah Dosen Berkarya Tahun 2021.

Daftar Pustaka
APJII. (2019). Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia Tahun
2018. 51. www.apjii.or.id
Desmiarti, J., Sutriyono, S. and Brata, B., 2020. Manajemen Pemeliharaan dan
Pola Pemasaran Kelinci di Kecamatan Kabawetan Kabupaten
Kepahiang. Buletin Peternakan Tropis, 1(1), pp.16-24.
Sari, S.P., 2020. Strategi Meningkatkan Penjualan Di Era Digital. Scientific
Journal of Reflection: Economic, Accounting, Management and
Business, 3(3), pp.291-300.
Oganda, F.P., Hardini, M. and Ramadhan, T., 2021. Pengaruh Penggunaan
kontrak cerdas pada Cyberpreneurship Sebagai Media Pemasaran dalam
Dunia Bisnis. ADI Bisnis Digital Interdisiplin Jurnal, 2(1), pp.55-64.

479
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN KAMBING


PERANAKAN ETAWA (PE) (STUDI KASUS DI UD. MADUKARA,
BUMIAJI, KOTA BATU)

Anie Eka Kusumastuti1,*, Deni Andrianto1


1
Bagian Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Email korespondensi: anieeka@ub.ac.id

Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan Kambing PE UD. Madukara Bumiaji
Kota Batu pada bulan Mei - Juni 2019. Tujuan penelitian adalah untuk: 1)
menganalisis faktor internal dan eksternal dari usaha peternakan Kambing PE di
UD. Madukara, serta 2). menentukan strategi yang tepat dalam pengembangan
usaha peternakan Kambing PE UD Madukara Bumiaji, Kota Batu. Metode
penelitian menggunakan studi kasus. Pengambilan data dilakukan dengan
observasi partisipatif dan wawancara menggunakan kuisioner terstruktur.
Pengambilan sampel responden dilakukan secara purposive sampling. Data
dianalisis menggunakan analisis matriks IFE dan matriks EFE, analisis matriks IE,
dan analisis SWOT. Hasil analisis dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan)
dan faktor eksternal (peluang dan ancaman), serta analisis matriks IE diketahui
bahwa UD. Madukara masuk dalam kuadaran V dengan alternatif strategi yang
tepat berupa hold and maintain. Dalam kondisi tersebut, UD. Madukara memiliki
dua strategi yang dapat digunakan yaitu penetrasi pasar dan pengembangan
produk. Berdasarkan analisis SWOT diperoleh enam alternatif strategi yang dapat
diterapkan oleh UD. Madukara. Alternatif strategi priotas pertama adalah
penetrasi pasar melalui penambahan populasi kambing PE periode laktasi untuk
meningkatkan produksi susu dan memaksimalkan pengolahan limbah (kotoran)
agar dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai tambah (add value) sebagai upaya
untuk meningkatkan pendapatan.

Kata kunci: peternakan kambing pe, ife, efe, swot analisis

Pendahuluan
Pembangunan bidang peternakan di Indonesia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam pembangunan pertanian yang mengacu pada pembangunan
perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Pembangunan peternakan
merupakan salah satu bagian dari pembangunan pertanian yang mendukung
penyediaan pangan asal ternak yang bergizi dan berdaya saing tinggi, serta
menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan (Sirait, 2009). Pada
hakekatnya pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja, meningkatkan
pemerataan pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu peranan
yang cukup penting dalam kegiatan ekonomi di bidang peternakan adalah
pertumbuhan populasi ternak. Adanya pertumbuhan populasi ternak akan
meningkatkan produksi daging, susu, dan telur sebagai sumber pendapatan
utamanya. Daging, susu, dan telur merupakan produk utama dari subsektor

480
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

peternakan yang memegang peranan penting dalam kontribusinya terhadap


peningkatan perekonomian negara yang menurut Adrianto (2014) untuk konsumsi
masyarakat belum sepenuhnya tercukupi.

Kontribusi bidang peternakan terhadap perekonomian Indonesia telah mengalami


peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan populasi
ternak di berbagai daerah setiap tahunnya di Indonesia. Badan Pusat Statistik
Peternakan (2007) mencatat mulai dari tahun 2003-2007 populasi ternak kambing
terus mengalami peningkatan. Di tahun 2007 populasi ternak kambing di
Indonesia mengalami peningkatan sebesar 7% dari 13.790 ekor (tahun 2006)
menjadi 14.874 ekor (tahun 2007). Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa Jawa
Timur menduduki peringkat kedua terbesar setelah Jawa Tengah yaitu sebesar
3.426.967 ekor (Badan Pusat Statistik Peternakan, 2018). Salah satu daerah di
Jawa Timur yang memiliki jumlah populasi kambing yang cukup tinggi adalah
Kota Batu yaitu sebanyak 6.385 ekor (BPS Jatim, 2017).

Kecamatan Bumiaji merupakan salah satu wilayah di Kota Batu yang berpotensi
dalam pengembangan usaha ternak kambing dengan jumlah populasi kambing
sebesar 3.610 (Badan Pusat Statistik Kota Batu, 2017). Hal ini menunjukkan
adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang maksimum bagi pelaku
usaha di sektor tersebut, sehingga dibutuhkan suatu strategi pengembangan usaha
yang tepat bagi setiap perusahaan atau peternakan agar dapat memanfaatkan
peluang tersebut dan mencegah berbagai ancaman yang datang dengan
menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan dengan sebaik-baiknya.

Salah satu usaha ternak kambing yang cukup potensial adalah kambing Peranakan
Etawa (PE). Kambing PE adalah jenis kambing tipe dual fungsi (dwiguna),
dimana bisa menghasilkan daging (pedaging) maupun susu (perah). Walaupun
kebanyakan peternak mengembangkan ternak ini dengan tujuan untuk diambil
susunya. Susu kambing dikenal mempunyai kandungan yang lebih unggul
dibanding susu sapi serta mempunya khasiat untuk menyembuhkan berbagai
penyakit seperti penyakit saluran pernafasan (asma, TBC, bronkhitis), membantu
menjaga kondisi kesehatan, meningkatkan imun/antibodi, baik untuk kesehatan
jantung, memperlancar ASI, serta mencegah stres (Sukmawati dan Suriasih,
2015). Kandungan laktosa susu kambing lebih rendah dari sapi susu sapi yaitu
3,64% sehingga lebih bermanfaat bagi individu yang memiliki lactose
intolerance. Selain itu, kandungan protein susu kambing sebesar 3,84% mampu
berperan sebagai zat pembangun dan mencerdaskan anak (Prihatini, 2008). Saat
ini, susu kambing PE sudah mulai popular dikalangan masyarakat dan mempunyai
segmen market khusus di masyarakat Indonesia.

UD. Madukara, Bumiaji, merupakan salah satu peternakan Kambing PE yang


cukup besar di Kota Batu. Dimana usaha utama yang dikembangkan adalah
sebagai penghasil susu kambing PE untuk masyarakat di daerah Batu, Malang dan
sekitarnya. Peternakan ini telah memanfaatkan peluang usaha yang cukup
prospektif dan mengembangkan konsep peternakan agribisnis dari hulu - hilir.
Proses produksi dalam peternakan (on farm) tidaklah mudah karena peternakan
merupakan salah satu subsektor yang sangat sensitif terhadap pengaruh

481
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal perusahaan (Sirait, 2009).


Menyikapi keterbatasan tersebut, dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan
serta mengoptimalkan peluang dan kekuatan yang ada, serta meminimalkan
ancaman dan kelemahan yang dimiliki. Oleh karenanya perlu adanya alternative
strategi yang tepat sehingga dapat menghasilkan kinerja yang optimal dan
kompetitif di tengah persaingan (Khaliq, dkk., 2017). Tujuan penelitian ini
adalah:1) untuk menganalisis faktor internal dan eksternal usaha peternakan
Kambing PE UD. Madukara, serta 2). menentukan alternative strategi terbaik
untuk penngembangan usaha peternakan Kambing PE UD. Madukara, Bumiaji,
Kota Batu.

Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan Kambing PE UD. Madukara Bumiaji,
Kota Batu, pada bulan Mei - Juni 2019.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dan survey. Pengambilan
data dilakukan dengan observasi partispasi, wawancara (interview) secara
langsung kepada owner sekaligus manajer farm UD. Madukara beserta para
karyawan, dengan menggunakan kuisioner terstruktur dan open question. Data
sekunder didapat melalui laporan tahunan UD. Madukara, literature, serta
dinas/instansi terkait. Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling
(sengaja) dengan pertimbangan bahwa responden dianggap mengetahui informasi
secara mendalam mengenai kondisi internal, eksternal dan dinamika usaha
peternakan yang dijalankan serta memiliki kapasitas dalam merumuskan strategi
pengembangan usaha peternakan tersebut.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis matrik IFE
(Internal Factor Evaluation), analisis matrik EFE (External Factor Evaluation),
Matrik IE (Internal-External), dan Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses,
Opportunities, Threats) (Rangkuti, 2003)

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor internal (meliputi faktor kekuatan
dan kelemahan) yang dimiliki oleh UD. Madukara sebagai berikut:

482
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Matrik IFE UD. Madukara, Bumiaji, Kota Batu


Kode Faktor Internal / IFE Bobot Rating Skor
(A) (B) (A×B)
Kekuatan (Strengths)
S1 Menjaga kualitas produksi susu yang dihasilkan 0,126 4 0,504
S2 Pembagian tugas dan tanggungjawab karyawan yang jelas 0,090 4 0,360
S3 Ketersediaan lahan yang luas 0,119 4 0,357
S4 Memberikan pelayanan yang bagus kepada pelanggan dan 0,126 3 0,378
konsumen
S5 Terlibatnya perusahaan secara rutin dalam acara pameran 0,133 3 0,532
tahunan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Batu

Sub Total 2,131


Kelemahan (Weaknsesses)
W1 Jumlah kambing periode laktasi yang masih sedikit 0,126 2 0,252
W2 Kualitas SDM kurang memadai 0,077 1 0,077
W3 Pemanfaatan sosial media dalam pemasaran yang kurang 0,098 2 0,196
efektif
W4 Pengelolaan limbah (kotoran) kambing kurang optimal 0,105 1 0,105

Sub Total 0,630


Total 1.00 2,761

Berikut hasil analisis matrik EFE UD. Madukara, Bumiaji, Kota Batu seperti
disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Matrik EFE UD. Madukara, Bumiaji, Kota Batu


Kode Faktor Eksternal / EFE Bobot (A) Rating Skor
(B) (A×B)
Peluang (Opportunies)
O1 Adanya pelanggan tetap yang 0,146 2 0,292
mengambil/membeli susu kambing PE
O2 Luasnya pangsa pasar yang belum dimasuki 0,244 3 0,732
O3 Respon masyarakat sekitar yang baik 0,170 2 0,340

Sub Total 1,364


Ancaman (Treaths)
T1 Banyaknya usaha peternakan kambing PE di area 0,220 3 0,660
sekitar
T2 Masuknya pesaing yang berasal dari luar Kota Batu 0,220 3 0,660
dengan populasi kambing lebih banyak

Sub Total 1
1,320
Total 1,00 2
2,684

Berdasarkan hasil skoring pada matrik faktor internal (Tabel 1) dan faktor
eksternal (Tabel 2), kemudian dilanjutkan ke analisis matriks IE untuk
mengetahui posisi Peternakan UD. Madukara, Bumiaji, Kota Batu (Gambar 1).

483
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1. Matrik IE UD. Madukara, Bumiaji, Kota Batu

Gambar 1 menunjukkan bahwa UD. Madukara masuk dalam kuadaran V dengan


alternatif strategi yang tepat berupa hold and maintain, yaitu mempertahankan
dan pelihara. Dalam kondisi tersebut, UD. Madukara memiliki dua strategi yang
dapat digunakan yaitu penetrasi pasar dan pengembangan produk. UD. Madukara
harus melakukan usaha-usaha intensif dalam upaya meningkatkan posisi
persaingan yang dihadapi. Strategi penetrasi pasar yang dapat dilakukan UD.
Madukara menurut Kotler (2002) dan David (2016), diantaranya adalah berusaha
untuk meningkatkan market share suatu produk atau jasa melalui usaha-usaha
pemasaran yang lebih besar. Strategi ini dapat diimplementasikan baik secara
terpisah atau bersama dengan strategi lain untuk dapat menambah jumlah tenaga
penjual, biaya iklan, items untuk promosi penjualan, dan/atau usaha-usaha
promosi lainnya. Jadi, tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pangsa pasar
dengan usaha pemasaran yang maksimal.

484
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berikut hasil analisis matrik SWOT UD. Madukara, Bumiaji, Kota Batu (Gambar
2)

Faktor internal Strengths (S) Weaknesses (W)


1. Menjaga kualitas produk susu yang 1. Jumlah kambing
dihasilkan periode laktasi yang
2. Pembagian tugas dan tanggungjawab sedikit
karyawan yang jelas 2. Kualitas SDM kurang
3. Ketersediaan lahan yang luas memadai
4. Memberikan pelayanan yang bagus 3. Pemanfaatan sosial
kepada pelaggan dan konsumen media dalam
5. Terlibatnya perusahaan dalam acara pemasaran yang
pameran tahunan oleh Dinas Pertanian kurang efektif
dan Peternakan Batu 4. Pengelolaan limbah
Faktor eksternal (kotoran) kambing
kurang optimal
Opportunities (O) Strategi S-O Strategi W-O
1. Adanya pelanggan 1. Penetrasi 1. Memaksimalkan
tetap yang pasar melalui penambahan populasi pengolahan limbah
mengambil susu kambing periode laktasi untuk (kotoran) agar dapat
kambing meningkatkan produksi susu (S1, S5, O1, dimanfaatkan dan
2. Luasnya pangsa O2, O3) dipromosikan kepada
pasar yang belum 2. Menamba pelanggan tetap untuk
dimasuki h konsumen atau pelanggan dengan menambah pendapatan
3. Respon memanfaatkan keikutsertaan peternakan (W4, O1)
masyarakat sekitar dalam pameran tahunan (S5, O1, O3)
Threats (T) Strategi S-T Strategi W-T
1. Banyaknya usaha 1. Meningkatkan kualitas produksi ternak 1. Mengefektifkan
peternakan untuk dapat bersaing dengan peternakan pemanfaat sosial media
kambing PE di kambing di area sekitar (S4, T1) agar menjangkau
area sekitar 2. Memaksimalkan perawatan ternak secara berbagai sektor
2. Masuknya pesaing intensif agar tidak ada ternak yang sakit pemasaran dan mampu
yang berasal dari dan mampu bersaing dengan peternak bersaing (W3, T1, T2)
luar Kota Batu kambing yang berasal dari luar Kota Batu
dengan populasi (S2, S3, T2)
kambing lebih
banyak
Gambar 2. Hasil analisis matrik SWOT UD. Madukara, Bumiaji, Kota Batu

Berdasarkan analisis SWOT diperoleh 6 (enam) alternatif strategi yang dapat


diterapkan oleh UD. Madukara yaitu: 1). penetrasi pasar melalui penambahan
populasi kambing masa laktasi untuk meningkatkan produksi susu, 2). menambah
konsumen/pelanggan dengan memanfaatkan keikutsertaan peternakan dalam
pameran tahunan, 3). memaksimalkan pengolahan limbah ternak agar dapat
dimanfaatkan dan meningkatkan add value sebagai upaya untuk menambah
pendapatan, 4). meningkatkan kualitas produksi ternak agar lebih kompetitif, 5).
memaksimalkan perawatan ternak secara intensif agar tidak ada ternak yang sakit
dan mampu bersaing dengan peternak kambing yang berasal dari luar Kota Batu,
serta 6). mengefektifkan pemanfaatan media sosial untuk mengembangkan
jangkauan pemasaran, target market, serta peningkatan volume penjualan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa prioritas alternative strategi yang
dapat dilakukan untuk pengembangan usaha peternakan kambing PE UD.
Madukara, Bumiaji, Kota Batu adalah penetrasi pasar melalui penambahan
populasi kambing PE periode laktasi untuk meningkatkan produksi susu dan
memaksimalkan pengolahan limbah (kotoran) agar dapat dimanfaatkan,

485
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

meningkatkan add value, serta dapat dipromosikan kepada pelanggan sebagai


upaya untuk menambah pendapatan.

Daftar Pustaka
Adrianto, T. T. 2014. Pengantar Ilmu Pertanian. Yogyakarta : Global Pustaka
Utama.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Peternakan. BPS Jakarta. Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Peternakan. BPS Jakarta. Jakarta
David, F. 2016. Manajemen Strategi: Konsep. Edisi 15. Salemba. Jakarta.
Dewi, T. 2010. Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Ternak Kambing Perah
(Kasus Peternakan Prima Fit Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Provinsi
Jawa Barat). Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor.
Hasdi, A. 2012. Strategi Pengembangan Usaha Pembibitan Domba (Studi Kasus
pada Peternakan Tawakkal Farm Desa Cimandea Hilir Kecamatan Caringin
Kabupaten Bogor). Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Khaliq, T, Marsudi, dan Fahrodi, U. 2017. Prospek Pengembangan Usaha
Peternakan Kambing Peranakan Etawa (PE) di Desa Pao-Pao Kecamatan Alu
Kabupaten Polewali Mandar. Seminar Nasional Peternakan. Universitas
Hasanuddin Makassar. 6 (1): 72-81.
Kotler, P. 2002. Manajemen Pemasaran. Prenhallindo. Jakarta.
Maesya, A dan Rusdiana, S. 2018. Prospek Pengembangan Usaha Ternak
Kambing dan Memacu Peningkatan Ekonomi Peternakan. Jurnal Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. 7 (2): 135-148.
Manalu H. 2004. Analisis strategi pemasaran produk susu segar kambing Farm
P4S Citarasa di Desa Ciherang Pondok Kecamatan Caringin Bogor [skripsi].
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Permadi G. 2008. Analisis tataniaga kambing Peranakan Etawa (PE) di Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah (kasus Desa Pandanrejo, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Prihatini, W. 2008. Analisis prospek dan strategi pengembangan usaha ternak
kambing Peranakan Etawah (PE) di Pondok Pesantren Modern Sahid Gunung
Menyan Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Priyanto, D. 2014. Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong dalam
Mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau. Jurnal Litbang
Pertanian. Bogor.
Rahmawaty, S. 2016. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Domba
PT Alam Desa Tapos di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. [skripsi].
Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Rangkuti, F. 2003. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategi Untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

486
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Sirait, J. 2009. Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Kambing Perah pada


PT. Caprito A.P Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor. [skripsi]. Departemen
Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sukmawati dan Suriasih. 2015. Hubungan Ukuran dan Bobot Badan dengan
Produksi Susu Kambing PE yang diternakkan di Dataran Tinggi dan Dataran
Rendah. Program Studi Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan Universitas
Udayana. Bali.

487
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

STRATEGI PEMASARAN E-COMMERCE PRODUK OLAHAN


DAGING AYAM MELALUI LAYANAN GO-FOOD PADA ERA NEW
NORMAL DI MALANG RAYA

Arengga Dean Prayoga1,*, Hari Dwi Utami2


1
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2
Bagian Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Email korespondensi: arenggadean@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian dilakukan di Universitas Brawijaya Kota Malang Provinsi Jawa Timur,
dari bulan April hingga Juni 2021. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (i)
karakteristik konsumen; dan (ii) strategi E-Commerce produk olahan daging ayam
melalui layanan Go-food di era new normal. 200 responden dipilih secara
purposive sampling dengan kriteria memiliki pengalaman minimal dua kali
pembelian online. Survei online dengan google form dilaksanakan untuk
mengumpulkan data primer. Analisis deskriptif dan analisis faktor digunakan
untuk kurang menganalisis data dengan menggunakan software SPPS versi 26.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen online adalah mahasiswi berusia
20-25 tahun dengan kiriman orang tua sekitar Rp 1.000.000 per bulan. Strategi
pemasaran e-commerce yang sangat dipertimbangkan konsumen dalam pembelian
produk online adalah Indeks Tampilan produk dan Harga. Variable harga unit
paket produk olahan daging ayam, bersama dengan beberapa variabel :
keragaman produk, kemasan produk, diskon/potongan harga resto, rating resto
dan penyajiannya serta promosi visual halaman utama secara bersama-sama
menjadi perhatian utama konsumen dalam membeli online produk olahan daging
ayam. Adapun strategi pemasaran e-commerce untuk indeks Kualitas, brand dan
saluran distribusi merupakan pertimbangan kedua dan indeks Service Go-food
dan Fitur rating customer kurang dipertimbangkan konsumen untuk
mendapatkan produk online olahan daging ayam melalui layanan Go-food.

Kata kunci: rating resto, paket produk, kemasan, promosi visual, brand

Pendahuluan
Go-food adalah layanan E-commerce produk pangan yang disediakan oleh
platform Go-jek untuk menjangkau pasar dan menyediakan seluruh kebutuhan
konsumen secara online. Perkembangan dari segi pengguna maupun transaksi Go-
food pun terus naik dari tahun ke tahun hingga memasuki masa pandemi covid-
19. Menurut Kompas (2020), dalam catatan Gojek, jumlah tranksaksi Maret-Mei
naik hingga 4,6 kali lipat untuk kenaikan pembelian produk. Siregar (2020)
menyatakan, kebutuhan pesan-antar makanan ke rumah makin meningkat di masa
pandemi. Hal ini dialami perusahaan transportasi daring Gojek yang mengaku
mendapat peningkatan transaksi untuk layanan Go-Food sebesar 20%. Hal ini
menunjukan bahwa pada era new normal perilaku konsumen E-commerce
terutama produk pangan bertindak lebih konsumtif, akibat perubahan perilaku
untuk lebih memilih membeli produk secara online. Untuk itu, faktor- faktor yang
berpengaruh dalam keputusan pembelian pada era new normal menjadi sangat

488
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

penting untuk diketahui serta diperhatikan bagi pemilik usaha yang bermitra
dengan platform Go food. Hutauruk (2020) juga menjelaskan akibatnya bahwa
dalam penelitiannya pada masa pandemi covid 19 telah terbentuk wajah market
yang baru dengan intervensi psikologis konsumen secara dominan, faktor produk
dan tempat agar dapat lebih diutamakan dalam mempengaruhi keputusan
pembelian.

Dua faktor yang menjadi pertimbangan konsumen untuk memutuskan dan


melakukan pembelian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal berupa psikologi
konsumen dan karaktristik konsumen, dan faktor eksternal adalah rangsangan
pemasaran dan rangsangan lain (Sendow dan Pio, 2012). Pelaku usaha harus
dapat mengembangkan strategi marketing mix memberikan pengaruh positif, yang
memperkuat keputusan pembelian ulang untuk suatu produk yang sama, dan jika
memberikan pengaruh negatif maka akan semakin memperlemah keputusan
pembelian (Barcelona, dkk, 2019). Putri (2020) menjelaskan Marketing mix
merupakan strategi pemasaran yang terdiri dari beberapa aspek atau dapat disebut
4P yang terdiri dari Produk, Price, Place, Promotion.

Penggunaan layanan Go-Food saat ini digunakan oleh banyak kalangan


termasuk mahasiswa. Mahasiswa berperan penting sebagai konsumen layanan
Go-food karena merupakan mayoritas yang lebih mengenal layanan berbasis
online saat ini. Burhan (2020) tentang data riset dari katadata insight center dan
kredivo yakni secara rata-rata semua kelompok umur bertransaksi online sekitar
17-20 kali dalam setahun. Namun, untuk kelompok konsumen usia 18 hingga 35
tahun mengalokasikan lebih banyak pendapatannya untuk berbelanja dengan
persentase 85% dari total transaksi. Oleh karena itu, penting untuk diteliti strategi
pemasaran e-commerce apa yang sesuai untuk pembelian online produk olahan
ayam, khususnya bagi mahasiswa di Universitas Brawijaya.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Universitas Brawijaya, Malang. 200 konsumen
mahasiswa Universitas Brawijaya dipilih melalui metode purposive dengan
kriteria pernah menggunakan layanan aplikasi go-food untuk membeli produk
olahan ayam di malang minimal 2 kali. Pengumpulan data melalui survei online
dilaksanakan pada tanggal 25 April–1 Juni 202. Survei online dengan
menggunakan kuesioner google form dilakukan untuk mendapatkan data primer.
Kuisioner google form disebarkan secara langsung dan online media sosial atau
grup - grup di lingkungan kampus Universitas Brawijaya Malang. Data sekunder
didapat dari berbagai sumber yaitulembaga terkait dan website resmi ataupun
kajian - kajian lainnya. Penggunaan sofware SPSS seri 26 untuk menganalisis
data secara deskriptif dan analisis faktor. Secara matematis, model analisis faktor
adalah sebagai berikut:

Keterangan:
Xi : variabel bauran pemasaran ke-i

489
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Am: koefisien korelasi dari variabel ke-i pada faktor umum i


F: faktor umum
Vi: koefisien korelasi dari variabel -i pada faktor khusus
Ui: faktor khusus bagi variabel i
m : jumlah faktor umum

Hasil dan Pembahasan


Profil Go-Food
Go-food adalah Layanan dari aplikasi Go-jek yang menyediakan pesan antar
makanan 24 jam. konsumen dapat dengan mudah memilih berbagai macam menu
makanan termasuk olahan daging ayam dari berbagai macam resto yang tersedia
atau sudah bermitra dengan go-food. Fitur dari layanan Go-food ini berbagai
macam seperti petunjuk resto/makanan terlaris, resto dengan jarak terdekat, resto
dengan promo menarik dan fitur pesan antar makanan yang memiliki tampilan
atau dapat dilacak sehingga memudahkan konsumen yang menggunakannya.

Karakteristik konsumen
Konsumen yang menggunakan food delivery produk olahan daging ayam lewat
Go-food oleh mahasiswa UB Malang menunjukan lebih banyak perempuan
dengan presentase sebesar 55,5% hal ini sesuai dengan Fitriani (2019) yang
menyatakan keputusan pembelian terhadap produk juga dipengaruhi oleh jenis
kelamin. Pria dan wanita memiliki pola tersendiri pada saat membelanjakan
uangnya terhadap produk. Gender merupakan bagian dari segmentasi pasar dari
sisi demografi yang menjadi pertimbangan produsen dalam memasarkan produk.

Konsumen yang menggunakan layanan go-food untuk membeli produk olahan


daging ayam oleh mahasiswa UB Malang didominasi oleh konsumen yang berusia
21-25 tahun sebesar 90,4% hal ini sesuai dengan Karnowati dan Erna (2020) yang
menyatakan karakteristik pribadi yang terdapat pada diri seseorang mempengaruhi
keputusan pembelian. Faktor-faktor pribadi meliputi usia dan tahap dalam siklus
hidup, pekerjaan, kondisi ekonomi, gaya hidup serta kepribadian dan konsep diri
pembeli.

Konsumen yang menggunakan layanan Go-food untuk membeli produk olahan


daging ayam oleh Mahasiswa UB malang menunjukan persentase yang lebih
besar untuk mahasiswa yang tidak bekerja sebesar 88%. Hal ini diduga
mempengaruhi perilaku konsumtif konsumen untuk memutuskan membeli atau
mengkonsumsi suatu produk. Menurut Dikria dan Sri (2016) Mahasiswa yang
memiliki pengendalian diri yang rendah akan berlaku konsumtif. Hal ini terjadi
karena mahasiswa tersebut mudah terpengaruh oleh hal-hal yang mendorongnya
untuk berkonsumtif. Mahasiswa yang tidak bekerja dapat memiliki pengendalian
diri yang rendah sehingga mendorong untuk berperilaku konsumtif.

Persentase pendapatan dari konsumen yang memesan produk olahan daging ayam
lewat Go-food oleh mahasiswa UB Malang pada penelitian ini terbesar dengan
pendapatan <1 juta/bulan sebanyak 41,1%. Hal ini dapat diartikan bahwa besar
kecilnya pendapatan berhubungan dalam pengambilan keputusan untuk pada

490
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

akhirnya membeli atau mengkonsumsi produk olahan daging ayam lewat go-food
pada penelitian ini. Menurut Yuliani dan Rahmatiah (2020) pengeluaran untuk
konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatan yang diperolehnya kemudian
dibelanjakan. Sementara bagian pendapatan yang tidak dipergunakan untuk
belanja dinamakan sebagai tabungan. Konsumsi masing masing individu dalam
pengeluaran belanja berbeda. besarnya belanja untuk pengeluaran konsumsi ini
bervariasi, dimana diantara idividu satu dengan lainnya berbeda tingkat konsumsi.

Strategi pemasaran e-commerce untuk produk olahan daging ayam


Analisis faktor dalam penelitian ini menggunakan metode rotasi Varimax, dimana
seluruh Variabel akan dirotasi sampai mengelompok pada faktor yang memiliki
hubungan antar variabel paling kuat. Hasil dari analisis ini dapat dijadikan strategi
dalam marketing mix dan dilihat pada Tabel 1. Dibawah ini.

Tabel 1. Strategi Pemasaran E-Commerce Produk Olahan Daging Ayam

Tabel-1 menunjukan 3 indeks yang dihasilkan dari analisis faktor. Indeks Indeks
1: “Tampilan produk dan Harga”, Indeks 2: “Kualitas, brand dan saluran

491
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

distribusi” dan Indeks 3 :“Service Go-food dan Fitur rating customer“ merupakan
strategi pemasaran e-commerce yang diterima oleh konsumen online. Paragraf
berikutnya menjelaskan secara detail indeks-1 , indeks-2 dan indeks-3

Indeks 1 “Tampilan produk dan Harga”


Indeks ini terbentuk atas 6 variabel antara lain keragaman produk, kemasan
produk, diskon/potongan harga resto, harga unit paket produk olahan daging
ayam, rating resto dan penyajiannya, promosi visual halaman utama. Indeks-1
mempunyai korelasi yang kuat (factor loading:0,771) dengan variabel harga unit
paket produk olahan daging ayam, dan korelasi yang cukup kuat dengan beberapa
variabel yaitu keragaman produk (factor loading:0,647), kemasan produk (Factor
loading: 0,618), diskon/potongan harga resto (Factor loading: 0,690), rating resto
dan penyajiannya (Factor loading: 0,569), dan promosi visual pada halaman
utama (Factor loading: 0,522). Variabel-variabel tersebut secara bersama-sama
menjelaskan variansi 30,774% penerapan strategi pemasaran e-commerce untuk
produk olahan daging ayam. Temuan ini menunjukan bahwa indek-1:”Tampilan
Produk dan Harga” merupakan strategi Pemasaran E-commerce yang sangat
diterima konsumen dalam pembelian produk olahan daging ayam. Oleh karena
itu pengusaha restoran perlu memberi perhatian lebih terutama pada variable:
harga unit paket produk olahan daging ayam, dan selanjutnya pada beberapa
variabel : keragaman produk, kemasan produk, diskon/potongan harga resto,
rating resto dan penyajiannya serta promosi visual halaman utama.

Indeks 2 “Kualitas, brand dan saluran distribusi”


Indeks ini terbentuk dari 4 variabel yaitu Kualitas produk, Brand/merk produk,
Jarak/lokasi tempat resto dan kemudahan akses produk. Indeks-2 mempunyai
korelasi yang kuat dengan variable Tempat resto yang mempunyai factor loading
sebesar 0,755 dan variabel Kualitas produk dengan factor loading 0,724. Variabel
brand (merk) produk mempunyai factor loading 0,449 dan kemudahan akses
dengan factor loading 0,533, kedua variabel ini mempunyai hubungan yang
cukup kuat dengan indeks-2. Empat variabel yang membentuk Indeks-2 secara
bersama-sama dapat menjelaskan 11,001% strategi pemasaran e-commerce
produk olahan ayam. Pengusaha restoran dapat memberi perhatian Indeks-2:”
Kualitas, brand dan saluran distribusi” sebagai pertimbangan kedua dalam
menggunakan strategi pemasaran e-commerce produk olahan daging ayam.

Indeks 3 “Service Go-food dan Fitur rating customer “


Indeks ini terbentuk dari 2 variabel antara lain “Service Go-food” dan “fitur rating
customer”. Indeks-3 mempunyai korelasi yang kuat dengan variable Fitur rating
customer dengan factor loading 0,857 dan korelasi yang cukup kuat dengan
variabel Service go-food dengan factor loading 0,613. Kedua variabel ini hanya
menjelaskan 9,458% strategi pemasaran e-commerce produk olahan daging ayam.
Pengusaha restoran dapat memberi sedikit perhatian Indeks-3:”Service Go-food
dan Fitur rating customer” sebagai pertimbangan terakhir dalam menggunakan
strategi pemasaran e-commerce produk olahan daging ayam.

492
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
1. Karakteristik konsumen yang melakukan pembelian olahan daging ayam
melalui layanan go-food di era new normal adalah mahasiswi berusia 20-25
tahun dengan kiriman orang tua sekitar Rp 1.000.000 per bulan.
2. Strategi pemasaran e-commerce yang sangat dipertimbangkan konsumen
dalam pembelian produk online adalah Indeks Tampilan produk dan Harga.
Variable harga unit paket produk olahan daging ayam, bersama dengan
beberapa variabel : keragaman produk, kemasan produk, diskon/potongan
harga resto, rating resto dan penyajiannya serta promosi visual halaman utama
secara bersama-sama menjadi perhatian utama konsumen dalam membeli
online produk olahan daging ayam.
3. Adapun strategi pemasaran e-commerce untuk indeks Kualitas, brand dan
saluran distribusi merupakan pertimbangan kedua dan indeks Service Go-
food dan Fitur rating customer kurang dipertimbangkan konsumen untuk
mendapatkan produk online olahan daging ayam melalui layanan Go-food.

Saran
Bagi pelaku usaha resto disarankan strategi pemasaran e-commerce
memfokuskan pada indeks Tampilan produk dan Harga. Penerapan strategi ini
diharapkan untuk meningkatkan minat konsumen untuk melakukan keputusan
pembelian online produk olahan daging ayam pada era new normal ataupun pada
era yang akan datang.

Daftar Pustaka
Barcelona, O., Tumbel, T. M., dan Kalangi, J. A. F. (2019). Pengaruh Marketing
Mix Terhadap Keputusan Pembelian Pada CV. Justiti Motor Lembata. Jurnal
Administrasi Bisnis, 8(2): 34-42
Hutauruk, M. R. (2020). Barang Kebutuhan Pokok Di Samarinda ( the Effect of
Pandemic Covid-19 on Factors Which Determine Consumer Behavior To Buy
Staple Goods in Samarinda ). Jurnal Riset Inossa, 2(1): 1–15.
Kotler, P., Kartajaya, H., dan Setiawan, I. (2020). MARKETING 4.0. Wiley. New
Jersey.
Putri, B. R. . (2020). Manajemen Pemasaran : Manajemen Pemasaran Modern. In
Universitas Udayana Press. Denpasar.
Sendow, G. E., dan Pio, R. J. (2012). Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap
Keputusan Konsumen Berbelanja Pada PT Jumbo Swalayan Manado. Jurnal
Ilmu Administrasi, 9(2): 1–9.

493
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Teknologi Pengolahan dan Produk


Peternakan

494
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH LAMA PELAYUAN TERHADAP KUALITAS FISIK


DAGING SAPI BRAHMAN CROSS MERAH DAN DROUGHTMASTER
PADA JENIS KELAMIN DAN UMUR BERBEDA

Shintia Sukmawati Cahya Maulid1,*, Agus Susilo2, Didiek Purwanto4,


Kuswati3
1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
4
Direktur Utama PT Karunia Alam Sentosa Abadi
*
Email korespondensi: cahyashintia@student.ub.ac.id

Abstrak

Daging merupakan salah satu jenis pangan dengan kandungan protein tinggi yang
dibutuhkan tubuh, sehingga harus diperhaikan kualitas daging yang dihasilkan.
Pelayuan sebagai upaya penanganan daging setelah dipotong untuk meminimalisir
pertumbuhan mikroorganisme dan peningkatan kualitas daging. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi perlakuan lama pelayuan (1 dan 24 jam) terhadap
kualitas fisik daging dengan faktor bangsa (sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster), jenis kelamin (steer and heifer), dan umur (PI0, PI2, dan PI4).
Materi yang digunakan yaitu 120 sampel daging otot Longissimus dorsi rusuk 12
dan 13 dari pemotongan sapi di RPH AM FARM, kemudian pelayuan daging (1
dan 24 jam) dan uji kualitas fisik daging di Mini Laboratorium Quality Control
PT KASA. Data hasil penelitian dianalisis dengan ANOVA dan RAL nested,
apabila terdapat perbedaan sangat nyata dilakukan uji LSD. Variabel yang diamati
dalam penelitian yaitu pH dan warna daging, daya ikat air, susut masak dan
keempukan daging. Hasil penelitian menunjukan bahwa lama pelayuan pada
faktor bangsa berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap kualitas fisik daging. Faktor
jenis kelamin tersarang bangsa dengan lama pelayuan menunjukan berbeda sangat
nyata (P<0.01) terhadap daya ikat air dan keempukan daging, sedangkan nilai pH,
warna daging dan susut masak berbeda tidak nyata (P>0.05). Lama pelayuan
dengan faktor umur tersarang jenis kelamin tersarang bangsa menunjukan
perbedaan sangat nyata (P<0.01) terhadap daya ikat air, susut masak dan
keempukan daging, sedangkan nilai pH dan warna daging menunjukan berbeda
tidak nyata (P>0.05). Kesimpulan hasil penelitian bahwa kualitas fisik daging
dapat diprediksi dengan keterikatan faktor bangsa, jenis kelamin dan umur serta
lama pelayuan.

Kata Kunci: kualitas fisik daging, lama pelayuan, bangsa, jenis kelamin, umur

Pendahuluan
Daging merupakan bagian dari otot skeletal dan komponen utama karkas dari
pemotongan ternak yang sehat, aman, dan layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Peranan lain daging sebagai salah satu pangan hewani dengan kandungan nutrisi
yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan. Soeparno (2015)
dan Toldra (2017) bahwa kandungan nutrisi daging yaitu air 75%, protein 19 %

495
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

(asam amino lengkap: leusin, isoleusin, fenilanin, sistin, metionin, treonin,


triptofan, valin, arginin, dan histidine; dan asam amino non essensial: glisin,
prolin, serin, tirosin, alanin, asam aspartat, asam glutamat), lipid 2,5%,
karbohidrat 1,2%, kandungan non protein terlarut 3,5%, vitamin larut air, dan
lemak rendah. Nilai nutrisi lengkap terutama protein tinggi menjadi alasan
tingginya konsumsi daging di Indonesia termasuk daging sapi. Berdasarkan data
Rakornis Kemenko, 2020: Berdikari, 2020) bahwa konsumsi dan kebutuhan
daging di Indonesia tahun 2020 diperkirakan sebesar 696.956 ton dengan produksi
daging sapi lokal sebesar 425.978 ton, sehingga menyebabkan defisit daging
nasional sebesar 270.978 ton atau 38.88%. Impor merupakan upaya yang
dilakukan pemerintah Indonesia untuk menangani defisit ketersediaan daging
nasional sesuai UU No 18 tahun 2012 dengan volume impor 40% dalam bentuk
daging beku (14% oleh Bulog dan Berdikari) dan sapi bakalan (25% pihak swasta
atau feedlot).

Jenis sapi bakalan yang banyak didatangkan ke Indonesia yaitu sapi Brahman
Cross merah dan Droughtmaster dengan keunggulan yaitu produksi karkas dan
kualitas daging lebih unggul dibandingkan sapi lokal Indonesia (Soeparno, 2015)
dan (Kuswati dan Susilawati, 2016). Kualitas fisik daging berfungsi sebagai acuan
pertimbangan bagi konsumen dalam memilih daging dengan beberapa parameter
yang digunakan yaitu pH dan warna daging, DIA, susut masak, dan keempukan
daging. Hui et al (2012) dan Soeparno (2017) bahwa faktor memengaruhi kualitas
fisik daging yaitu genetik (bangsa, umur, jenis kelamin, marbling) dan lingkungan
(sistem pemeliharaan, pengangkutan, pemotongan, stress ternak), sedangkan
pengaruh faktor sesudah pemotongan terkait penanganan pasca panen
(penyimpanan, pelayuan packaging, dll) hingga di tangan konsumen
(penyimpanan, pemasakan, dll). Pelayuan merupakan metode penanganan daging
setelah pemotongan untuk meningkatkan kualitas fisik daging. Soeparno (2015)
bahwa pelayuan mengaktifkan enzim yang menguraikan jaringan ikat daging,
sehingga meningkatkan DIA, tingkat keempukan dan flavour. Berdasarkan uraian
perlu dilakukan penelitian kualitas fisik daging sapi Brahman Cross merah and
Droughtmaster dengan faktor jenis kelamin dan umur (genetik) serta pelayuan
(pasca panen), sehingga dapat dijadikan sebagai pengembangan ilmu bagi civitas
akademik dan saran bagi stekholder (feedloter, butcher, retailer, dan konsumen)
dalam memprediksi kualitas fisik daging.

Metode
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bulan Maret – Mei 2021 di RPH AM Farm, Desa
Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu untuk pengambilan sampel daging daging dan
Mini Laboratorium Quality Control di PT Karunia Alam Sentosa Abadi,
Kampung Rengas, Kabupaten Lampung Tengah untuk pengujian kualitas fisik
daging.

Materi dan metode penelitian


Metode penelitian menggunakan purposive sampling dengan materi penelitian
yaitu 120 sampel daging dari pemotongan sapi yang telah dipelihara dengan
sistem feedlot dan dikelompokkan berdasarkan faktor bangsa (sapi Brahman

496
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Cross merah dan Droughtmaster), faktor jenis kelamin (steer dan heifer) dan
faktor umur (PI0 =1,5 tahun; PI2 =2 – 2,5 tahun dan PI4 = 3 tahun), sehingga setiap
kelompok terdiri 10 sampel daging. Kriteria lain sampel daging yaitu sampel
diambil dari otot Longissimus dorsi rusuk 12 dan 13, pelayuan daging dengan
suhu 0-7 ºC selama 1 jam dan 24 jam serta sudah di thawing. Peralatan yang
digunakan yaitu form penilaian uji kualitas fisik daging, refrigerator mini, pisau
karkas, timbangan digital daging “PS200”, baskom, pH meter digital “Tester: HI
9811 Xpiccolo Hanna”, beker gelas dan pengaduk, aquades, buffer pH 4 dan 7,
serta SNI 3932 tahun 2008.

Prosedur penelitian
Prosedur penelitian yaitu sampel daging diambil dari pemotongan sapi di RPH
(sesuai kriteria materi penelitian) sebesar 250 gram pada otot Longissimus dorsi
rusuk 12 dan 13, kemudian diletakkan pada kantong Polyethylene (PE). Dilakukan
pelayuan sampel uji fisik daging pada suhu 0 – 7ºC selama 1 jam dan 24 jam serta
thawing pada pada suhu kamar sebelum dilakukan pengujian kualitas fisik daging.

Varibel penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian dengan pelayuan 1 jam dan 24 jam yaitu
pH: penilaian pH daging dengan menghaluskan dan memasukan sampel ke dalam
beker gelas dan dihomogenkan dengan aquades, kemudian di uji dengan pH meter
yang telah dikalibrasi, kemudian diamati nilai pada layar pH meter digital. Warna
daging: penilaian warna daging dengan membandingkan warna daging otot
Longissimus dorsi dengan SNI 3932, 2008 yang paling sesuai. Daya ikat air:
penilaian DIA dari jumlah kadar air total (KAT) dikurangi kadar air bebas (KAB).
Susut masak: penilaian dari bobot awal dikurangi bobot akhir setelah pemasakan
dikali seratus persen). Keempukan daging: penilaian keempukan daging dengan
hardness tester pada daging setelah dimasak.

Analisis data penelitian


Hasil penelitian dari masing-masing variabel dianalisis menggunakan ANOVA
dengan Rancangan Acak Lengkap pola tersarang (RAL Nested Design) dan
apabila pada hasil terdapat perbedaan sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji
LSD (Least Significance Different).

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan Tabel 1 bahwa perlakuan lama pelayuan (1 dan 24 jam) pada faktor
bangsa (sapi Droughtmaster dan Brahman Cross merah), faktor jenis kelamin
(steer dan heifer) tersarang bangsa, dan faktor umur (PI0, PI2, PI4) tersarang jenis
kelamin tersarang bangsa menunjukan berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap pH
daging yang hampir sama dan masih batas normal. Meat Livestock Australia
(2018) menyatakan bahwa pengukuran pH awal 45 menit setelah pemotongan
(fase pra rigormortis) menurunkan pH sebesar 6 – 7 dan nilai pH 24 jam setelah
pemotongan (fase post rigormortis) menurunkan pH sebesar 5,3 – 5,7. Hasil
penelitian Yimin et al (2018) bahwa persilangan sapi Chinese pada pH daging
pelayuan 1 jam sebesar 6,77 dan pelayuan 24 jam sebesar 5,59. Hasil penelitian
lain Adhyatma, dkk (2017) bahwa sapi Brahman Cross memiliki pH daging 1 jam
sebesar 6,83 dan pH daging 24 jam sebesar 5,52. Hasil penelitian Rusdimansyah

497
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dan Khasrad (2012) bahwa nilai pH daging sapi Peranakan Simmental pada
pelayuan 1 jam sebesar 5,88 dan pelayuan 24 jam sebesar 5,68. Nilai pH daging
pelayuan 1 jam lebih tinggi dibandingkan pH daging pelayuan 24 jam pada
penelitian terdahulu dan hasil penelitian dipengaruhi kondisi ternak termasuk
stress yang dialami ternak sebelum pemotongan dan penerapan animal welfare
baik (nilai AW> 80%) memengaruhi laju penurunan pH daging. Farm Animal
Welfare Committee (2013) menyatakan bahwa ternak stress sebelum pemotongan
menyebabkan penggunaan energi berlebih karena metabolisme otot tinggi
sehingga menurunkan cadangan glikogen dan asam laktat yang berdampak pada
rendahnya penurunan pH daging (pH relatif tinggi). Beberapa faktor lain yang
memengaruhi penurunan pH daging yaitu jenis dan tipe otot, glikogen dan
metabolisme otot, enzim, temperatur, metode pemotongan dan penanganan pasca
pemotongan (Toldra, 2017).

Tabel 1. Pengaruh lama pelayuan terhadap nilai pH daging sapi Brahman Cross
merah dan Droughmaster dengan jenis kelamin (steer dan heifer) dan umur (PI0,
PI2, PI4) berbeda.
pH awal daging dengan pelayuan 1 Jam
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 6,74 ± 1,52 6,74 ± 1,44
Umur Steer Heifer Steer Heifer
PI0 6,70 ± 0,09 6,77 ± 0,09 6,70 ± 0,09 6,77 ± 0,09
PI2 6,77 ± 0,12 6,77 ± 0,05 6,77 ± 0,12 6,77 ± 0,05
PI4 6,72 ± 0,09 6,69 ± 0,14 6,72 ± 0,09 6,69 ± 0,14
Rata-Rata 6,73 ± 0,10 6,74 ± 0,10 6,73 ± 0,10 6,74 ± 0,10
pH ultimate daging dengan pelayuan 24 Jam
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 5,55 ± 0.12 5,58 ± 0,10
Umur Steer Heifer Steer Heifer
PI0 5,59 ± 0,14 5,56 ± 0,10 5,59 ± 0,07 5,59 ± 0,07
PI2 5,58 ± 0,10 5,49 ± 0,10 5,57 ± 0,08 5,63 ± 0,12
PI4 5,51 ± 0,10 5,60 ± 0,13 5,59 ± 0,12 5,50 ± 0,11
Rata-Rata 5,56 ± 0,12 5,55 ± 0,12 5,58 ± 0,09 5,57 ± 0,11
* Perbedaan superskrip pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata
(P<0.01)

Berdasarkan Tabel 2 bahwa perlakuan lama pelayuan (1 dan 24 jam) pada faktor
bangsa (sapi Droughtmaster dan Brahman Cross merah), faktor jenis kelamin
(steer dan heifer) tersarang bangsa, dan faktor umur (PI0, PI2, PI4) tersarang jenis
kelamin tersarang bangsa menunjukan berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap
warna daging. Nilai warna daging hasil penelitian pada 3 faktor (faktor bangsa,
faktor jenis kelamin tersarang bangsa, dan faktor umur tersarang jenis kelamin
tersarang bangsa) tergolong sama dan relatif sama yaitu warna merah gelap
(pelayuan 1 jam) dan merah cerah (pelayuan 24 jam) karena pengaruh laju
penurunan pH 1 jam dan 24 jam. Soeparno (2011), Hui et al (2012) dan Meat
Livestock Australia (2018) bahwa proses perubahan daging diawali dengan
daging segar setelah dipotong atau fase pra rigormortis (pH 7,2) akan

498
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menunjukan warna daging awal yaitu merah keunguan (tidak adanya oksigen pada
deoxymyoglobin).

Tahap selanjutnya yaitu fase rigormortis (pH 5,5-5,8) menunjukan perubahan


warna menjadi merah terang (pengikatan oksigen dengan deoxymyoglobin
menjadi oxymyoglobin). Tahap selanjutnya yaitu fase post rigormortis dengan
(pH 5,3 – 5,7) menunjukkan perubahan warna merah cerah menjadi coklat akibat
oksidasi terlalu lama (oksimioglobin terkoksidasi menjadi metmyoglobin).
Beberapa faktor lain yang memengaruhi warna daging antara lain faktor intrinsik
(jenis kelamin, tipe otot, metabolisme sifat otot, komposisi otot, lemak
intramuscular) dan faktor ekstrinsik (sistem manajemen pemeliharaan, pakan,
transportasi, penanganan karkas dan daging setelah pemotongan atau pasca
panen), dan faktor lingkungan) (Kuswati dan Susilawati, 2016). Nilai warna
daging hasil penelitian pada semua faktor (bangsa, jenis kelamin tersarang bangsa,
dan umur tersarang jenis kelamin tersarang bangsa) tergolong kelompok warna
daging merah gelap (pelayuan 1 jam) dan merah cerah (pelayuan 24 jam). SNI
3932 (2008) yaitu kategori 1 atau merah cerah (skor 1-5), kategori 2 atau merah
agak gelap (skor 6-7), dan kategori 3 atau merah gelap (skor 8-9).

Tabel 2. Pengaruh lama pelayuan terhadap nilai warna daging (SNI 3932, 2008)
sapi Brahman Cross merah dan Droughmaster dengan jenis kelamin (steer dan
heifer) dan umur (PI0, PI2, PI4) berbeda
Warna daging dengan pelayuan 1 Jam
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 7,35 ± 0,52 7,45 ± 0,50
Umur Steer Heifer Steer Heifer
PI0 7,30 ± 0,67 7,40 ± 0,52 7,40 ± 0,52 7,50 ± 0,53
PI2 7,20 ± 0,42 7,50 ± 0,53 7,30 ± 0,48 7,60 ± 0,52
PI4 7,10 ± 0,32 7,60 ± 0,52 7,20 ± 0,42 7,70 ± 0,48
Rata-Rata 7,20 ± 0,48 7,50 ± 0,51 7,30 ± 0,47 7,60 ± 0,50
Warna daging dengan pelayuan 24 Jam
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 5,00 ± 0,45 4,95 ± 0,67
Umur Steer Heifer Steer Heifer
PI0 4,70 ± 0,48 5,10 ± 0,32 4,40 ± 0,52 5,30 ± 0,48
PI2 4,80 ± 0,42 5,20 ± 0,42 4,50 ± 0,53 5,40 ± 0,52
PI4 4,90 ± 0,32 5,30 ± 0,48 4,60 ± 0,52 5,50 ± 0,53
Rata-Rata 4,80 ± 0,41 5,20 ± 0,41 4,50 ± 0,51 5,40 ± 0,50
* Perbedaan superskrip pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata
(P<0.01)

Daya ikat air (DIA) merupakan kemampuan protein dalam mengikat air termasuk
myofibril yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, ionic strength, dan
oksidasi mengikat protein myofibrill (Toldra, 2017). Berdasarkan Tabel 3 bahwa
perlakuan lama pelayuan daging (1 jam dan 24 jam) dengan faktor bangsa (sapi
Brahman Cross merah dan Droughtmaster) menunjukkan berbeda tidak
nyata(P>0.05), namun faktor jenis kelamin (steer dan heifer) tersarang bangsa,

499
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dan umur (PI0, PI2, PI4) tersarang jenis kelamin tersarang bangsa berbeda sangat
nyata (P<0.01) terhadap daya ikat air (DIA). Nilai DIA pada sapi Brahman Cross
merah dan Droughtmaster pada pelayuan 1 jam dan 24 jam relatif sama dan masih
dalam batas normal karena laju penurunan pH daging yang memengaruhi DIA.
Soeparno, dkk (2017) nilai pH mendekati nilai isoelektrik daging (5,0-5,1) atau pH
normal (5,4-5,8) menyebabkan daya ikat air (DIA) normal akibat keseimbangan gugusan
reaktif protein (kadar protein seimbang), sebaliknya semakin jauh nilai pH dari titik
isoelektrik dan pH tinggi (>6,00) dengan isoelektrik (>5,0-5,1) menyebabkan peningkatan
daya ikat air daging (DIA) akibat ketidakseimbangan gugus reaktif protein atau kadar
protein tinggi (penolakan miofilamen, membentuk ruang molekul air). Nilai DIA heifer
tersarang bangsa (sapi Brahman Cross merah dan Droughtmaster) lebih tinggi
dibandingkan steer tersarang bangsa (sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster) pada pelayuan 1 jam dan 24 jam karena pengaruh marbling pada
heifer yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan DIA. Toldra (2017) dan
Soeparno (2015) bahwa proporsi lemak termasuk lemak marbling tinggi dapat
melonggarkan mikrostruktur daging dan memberikan ruang lebih besar untuk
protein daging dalam mengikat molekul air sehingga meningkatkan DIA pada
heifer. Soeparno, dkk (2017) bahwa pelayuan dapat meningkatkan DIA (air
protein) karena absorbsi K+ dan pembebasan Ca++ atau perubahan struktur jalur Z
dan ban I. Nilai DIA pada PI4 tersarang heifer tersarang bangsa (sapi Brahman
Cross merah dan Droughtmaster) lebih tinggi dibandingkan PI4 tersarang heifer
tersarang sapi Droughmaster. Hasil penelitian Wahyuni, dkk (2018) bahwa daya
ikat air pada sapi Brahman Cross umur 2,5 -3 tahun dengan pelayuan 24 jam pada
penggemukan 0 bulan sebesar 42,7% dan penggemukan 1 bulan sebesar 41,54%.
Nilai DIA dari penelitian terdahulu dan hasil penelitian berbanding terbalik
dengan pendapat Kuswati dan Susilawati (2016) bahwa peningkatan deposisi
lemak seiring pertambahan umur dapat meningkatkan nilai daya ikat air. Nilai
DIA dengan pelayuan (1 dan 24 jam) pada semua faktor (bangsa, jenis kelamin
tersarang bangsa, dan umur tersarang jenis kelamin tersarang bangsa) tergolong
kelompok DIA normal. Soeparno (2015) menyatakan bahwa nilai DIA normal
yaitu 15 – 60%.

Susut masak merupakan refleksi dari fungsi temperature dan lama pelayuan
maupun pemasakan yang dipengaruhi beberapa faktor lain seperti pH, nilai DIA,
panjang potongan dan sarkomer otot, dan kinerja enzim (Soeparno dkk, 2017) dan
(Toldra, 2017). Berdasarkan Tabel 4 bahwa perlakuan lama pelayuan daging (1
jam dan 24 jam) dengan faktor bangsa (sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster) dan faktor jenis kelamin (steer dan heifer) tersarang bangsa
menunjukkan berbeda tidak nyata(P>0.05), namun faktor umur (PI0, PI2, PI4)
tersarang jenis kelamin tersarang bangsa berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap
susut masak. Nilai susut masak daging sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster maupun steer atau heifer tersarang bangsa pada pelayuan 1 jam
dan 24 jam relatif sama dan normal karena pengaruh pH daging dan daya ikat air.
Hasil penelitian Rusdimansyah dan Khasrad (2012) bahwa sapi Peranakan
Simmental memiliki nilai susut masak dengan lama pelayuan 0 jam sebesar
34,12% dan 24 jam sebesar 36,65%. Nilai susut masak daging dengan pelayuan
24 jam pada sapi SIMPO sebesar 34,83% dan Sapi Brahman Cross sebesar
36,21% (Ngadiyono et al, 2015). Hasil penelitian Ngadiyono, et al (2014) bahwa

500
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

nilai susut masak pada pelayuan 24 jam pada sapi SIMPO sebesar 26,24% dan
Peranakan Ongole sebesar 26,11%. Adhyatma, dkk (2017) bahwa nilai susut
masak pada sapi Brahman Cross steer sebesar 41,94%. Soeparno (2015) serta
Kuswati dan Susilawati (2015) bahwa laju penurunan pH daging yang rendah (pH
relatif tinggi) akibat pelayuan 1 jam yang menjauhi titik isoelektrik (>5,0-5,1)
menyebabkan peningkatan DIA dan menurunkan susut masak, sedangkan pH
daging ultimate normal yang mendekati titik isoelektrik (5,0 – 5,1) akibat
pelayuan 24 jam menyebabkan DIA dan susut masak normal. Toldra (2017)
menyatakan bahwa peningkatan durasi lama pelayuan menyebabkan penurunan
susut masak akibat reaksi enzimatik oleh enzime endogen yang berlangsung lebih
cepat seiring peningkatan durasi pelayuan. Nilai susut masak terbaik dengan lama
pelayuan 1 dan 24 jam pada PI4 tersarang heifer tersarang bangsa (sapi Brahman
Cross merah dan Droughmaster) lebih optimal (susut masak rendah)
dibandingkan PI0 tersarang jenis kelamin (steer dan heifer) tersarang bangsa
karena perbedaan umur pemotongan. Kuswati dan Susilawati (2016) bahwa
peningkatan umur ternak dapat menurunkan nilai susut masak daging. Nilai susut
masak dengan pelayuan 1 dan 24 jam pada hasil penelitia menunjukkan semua
faktor (faktor bangsa, faktor jenis kelamin tersarang bangsa, dan faktor umur
tersarang jenis kelamin tersarang bangsa) tergolong kelompok susut masak
normal. Soeparno (2015) menyatakan bahwa nilai susut masak normal sebesar 15
– 40%.

Tabel 3. Pengaruh lama pelayuan terhadap nilai daya ikat air sapi Brahman Cross
merah dan Droughmaster dengan jenis kelamin (steer dan heifer) dan umur (PI0,
PI2, PI4) berbeda
Daya Ikat Air (Pelayuan 1 Jam)
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 52,66 ± 1,91 52,29 ± 2,21
Umur Steer Heifer Steer Heifer
PI0 52,52 ± 1,81b 54,83 ± 1,39c 52,91 ± 1,46b 54,57 ± 1,88c
PI2 52,30 ± 1,89b 52,62 ± 1,60b 51,63 ± 1,12b 52,68 ± 0,96b
b b a
PI4 51,76 ± 1,76 51,91 ± 1,60 50,24 ± 3,20 51,74 ± 1,42b
Rata-Rata 52,20 ± 1,79w 53,21 ± 1,94w 51,59 ± 2,34x 53,00 ± 1,86w
Daya Ikat Air (Pelayuan 24 Jam)
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 38,38 ± 1,26 38,15 ± 1,90
Umur Steer Heifer Steer Heifer
c e c
PI0 38,72 ± 0,93 39,98 ± 0,56 38,72 ± 0,93 39,98 ± 0,56e
b d b
PI2 37,46 ± 1,04 39,08 ± 0,56 37,46 ± 1,04 39,08 ± 0,56d
PI4 36,95 ± 0,77b 38,10 ± 0,62d 36,95 ± 0,77a 38,10 ± 0,62d
Rata-Rata 37,71 ± 1,17w 39,05 ± 0,96x 37,71 ± 1,17w 39,05 ± 0,96x
* Perbedaan superskrip pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata
(P<0.01)

501
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 4. Pengaruh lama pelayuan terhadap nilai susut masak sapi Brahman Cross
merah dan Droughmaster dengan jenis kelamin (steer dan heifer) dan umur (PI0,
PI2, PI4) berbeda
Susut Masak (Pelayuan 1 Jam)
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 30,30 ± 1,74 29,83 ± 2,34
Umur Steer Heifer Steer Heifer
d c d
PI0 32,20 ± 0,73 30,39 ± 0,77 32,29 ± 1,83 29,37 ± 1,00c
c b d
PI2 31,90 ± 1,25 29,20 ± 0,94 31,88 ± 1,26 28,21 ± 1,64b
PI4 30,01 ± 0,77c 28,11 ± 1,50a 30,13 ± 1,06c 27,10 ± 1,79a
Rata-Rata 31,37 ± 1,33 29,23 ± 1,43 31,43 ± 1,67 28,23 ± 1,74
Susut Masak (Pelayuan 24 Jam)
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 38,47 ± 1,05 38,27 ± 1,34
Umur Steer Heifer Steer Heifer
b c b
PI0 38,69 ± 0,68 39,67 ± 0,61 38,80 ± 0,80 39,72 ± 0,87c
b b a
PI2 38,55 ± 1,03 38,11 ± 0,41 37,93 ± 0,96 38,47 ± 1,07b
PI4 37,88 ± 1,02a 37,94 ± 1,29a 37,23 ± 1,24a 37,45 ± 1,35a
Rata-Rata 38,37 ± 0,96 38,57 ± 1,15 37,99 ± 1,18 38,55 ± 1,44
* Perbedaan superskrip pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata
(P<0.01)

Susut masak merupakan refleksi dari fungsi temperature dan lama pelayuan
maupun pemasakan yang dipengaruhi beberapa faktor lain seperti pH, nilai DIA,
panjang potongan dan sarkomer otot, dan kinerja enzim (Soeparno dkk, 2017) dan
(Toldra, 2017). Berdasarkan Tabel 4 bahwa perlakuan lama pelayuan daging (1
jam dan 24 jam) dengan faktor bangsa (sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster) dan faktor jenis kelamin (steer dan heifer) tersarang bangsa
menunjukkan berbeda tidak nyata(P>0.05), namun faktor umur (PI0, PI2, PI4)
tersarang jenis kelamin tersarang bangsa berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap
susut masak. Nilai susut masak daging sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster maupun steer atau heifer tersarang bangsa pada pelayuan 1 jam
dan 24 jam relatif sama dan normal karena pengaruh pH daging dan daya ikat air.
Hasil penelitian Rusdimansyah dan Khasrad (2012) bahwa sapi Peranakan
Simmental memiliki nilai susut masak dengan lama pelayuan 0 jam sebesar
34,12% dan 24 jam sebesar 36,65%. Nilai susut masak daging dengan pelayuan
24 jam pada sapi SIMPO sebesar 34,83% dan Sapi Brahman Cross sebesar
36,21% (Ngadiyono et al, 2015). Hasil penelitian Ngadiyono, et al (2014) bahwa
nilai susut masak pada pelayuan 24 jam pada sapi SIMPO sebesar 26,24% dan
Peranakan Ongole sebesar 26,11%. Adhyatma, dkk (2017) bahwa nilai susut
masak pada sapi Brahman Cross steer sebesar 41,94%. Soeparno (2015) serta
Kuswati dan Susilawati (2015) bahwa laju penurunan pH daging yang rendah (pH
relatif tinggi) akibat pelayuan 1 jam yang menjauhi titik isoelektrik (>5,0-5,1)
menyebabkan peningkatan DIA dan menurunkan susut masak, sedangkan pH
daging ultimate normal yang mendekati titik isoelektrik (5,0 – 5,1) akibat
pelayuan 24 jam menyebabkan DIA dan susut masak normal. Toldra (2017)
menyatakan bahwa peningkatan durasi lama pelayuan menyebabkan penurunan

502
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

susut masak akibat reaksi enzimatik oleh enzime endogen yang berlangsung lebih
cepat seiring peningkatan durasi pelayuan. Nilai susut masak terbaik dengan lama
pelayuan 1 dan 24 jam pada PI4 tersarang heifer tersarang bangsa (sapi Brahman
Cross merah dan Droughmaster) lebih optimal (susut masak rendah)
dibandingkan PI0 tersarang jenis kelamin (steer dan heifer) tersarang bangsa
karena perbedaan umur pemotongan. Kuswati dan Susilawati (2016) bahwa
peningkatan umur ternak dapat menurunkan nilai susut masak daging. Nilai susut
masak dengan pelayuan 1 dan 24 jam pada hasil penelitia menunjukkan semua
faktor (faktor bangsa, faktor jenis kelamin tersarang bangsa, dan faktor umur
tersarang jenis kelamin tersarang bangsa) tergolong kelompok susut masak
normal. Soeparno (2015) menyatakan bahwa nilai susut masak normal sebesar 15
– 40%.

Tabel 5. Pengaruh lama pelayuan terhadap nilai keempukan daging sapi Brahman
Cross merah dan Droughmaster dengan jenis kelamin (steer dan heifer) dan umur
(PI0, PI2, PI4) berbeda
Keempukan daging (pelayuan 1 Jam)
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 5,91 ± 0,35 5,84 ± 0,56
Umur Steer Heifer Steer Heifer
PI0 6,26 ± 0,25c 5,75 ± 0,15b 6,39 ± 0,25d 5,62 ± 0,19b
PI2 6,19 ± 0,22c 5,65 ± 0,26b 6,28 ± 0,31c 5,40 ± 0,31a
c b c
PI4 6,10 ± 0,08 5,52 ± 0,24 6,08 ± 0,51 5,22 ± 0,43a
Rata-Rata 6,18 ± 0,20x 5,64 ± 0,23w 6,25 ± 0,39x 5,41 ± 0,36w
Keempukan daging (pelayuan 24 Jam)
Bangsa Brahman Cross Merah Droughtmaster
Rata-Rata 6,55 ± 0,36 6,49 ± 0,33
Umur Steer Heifer Steer Heifer
b a b
PI0 6,90 ± 0,31 6,46 ± 0,23 6,81 ± 0,22 6,40 ± 0,41a
b a b
PI2 6,83 ± 0,37 6,25 ± 0,18 6,71 ± 0,31 6,35 ± 0,23a
PI4 6,70 ± 0,14b 6,18 ± 0,11a 6,45 ± 0,26a 6,25 ± 0,12a
x w x
Rata-Rata 6,81 ± 0,36 6,29 ± 0,21 6,65 ± 0,30 6,33 ± 0,28w
* Perbedaan superskrip pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata
(P<0.01)

Berdasarkan Tabel 5 bahwa perlakuan lama pelayuan daging (1 jam dan 24 jam)
dengan faktor bangsa (sapi Brahman Cross merah dan Droughtmaster)
menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0.05), namun faktor jenis kelamin (steer dan
heifer) tersarang bangsa, dan umur (PI0, PI2, PI4) tersarang jenis kelamin tersarang
bangsa berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap keempukan daging. Nilai
keempukan daging sapi Brahman Cross merah dan Droughtmaster dengan
pelayuan 1 jam dan 24 jam relatif sama dan normal. Hasil penelitian
Rusdimansyah dan Khasrad (2012) bahwa sapi Peranakan Simmental memiliki
nilai keempukan daging dengan lama pelayuan 0 jam sebesar 8,47 kg/cm2 dan
pelayuan 24 jam sebesar 8,91 kg/cm2. Soeparno (2015) dan Kuswati dan
Susilawati (2016) bahwa nilai heritabilitas keempukan daging sebesar 60%
dengan tingkat keempukan daging Bos taurus lebih unggul dibandingkan Bos
indicus. Nilai keempukan dengan lama pelayuan 1 dan 24 jam pada sapi steer

503
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

tersarang bangsa (sapi Brahman Cross merah dan Droughtmaster) lebih rendah
(relatif empuk) dibandingkan heifer tersarang bangsa (sapi Brahman Cross merah
dan Droughtmaster). Hasil penelitian Adhyatma, dkk (2017) bahwa pelayuan 24
jam pada sapi Brahman Cross merah steer sebesar 7,75 kg/cm2. Hasil penelitian
lain dari Elzo, et al (2012) bahwa nilai keempukan daging Bos indicus steer (½
Angus x ½ Brahman) 5,64 kg/cm2 dan Bos taurus steer (¾ Angus x ¼ Brahman)
5,64 kg/cm2. Perbedaan nilai keempukan daging akibat pengaruh akivitas otot
pada jenis kelamin yang berbeda. Soeparno (2015) bahwa tingkat keempukan
daging sapi jantan lebih rendah (relatif keras) karena aktivitas tinggi yang
berdampak pada peningkatan metabolisme otot dan penurunan tekstur daging
menjadi lebih keras dibandingkan heifer. Nilai keempukan daging PI4 tersarang
heifer tersarang sapi Droughtmaster lebih rendah (cenderung keempukan daging
baik) dibandingkan PI0 tersarang steer tersarang sapi Droughtmaster karena
perbedaan umur pemotongan. Soeparno (2011) dan Toldra (2017) bahwa
penurunan keempukan daging akibat peningkatan umur ternak yaitu ternak muda
jaringan ikat dengan retikulun dan ikatan silang lebih rendah dibandingkan ternak
umur dewasa. Nilai keempukan daging dengan pelayuan 1 dan 24 jam dengan
hasil penelitian pada semua faktor (faktor bangsa, faktor jenis kelamin tersarang
bangsa, dan faktor umur tersarang jenis kelamin tersarang bangsa) tergolong
kelompok empuk dan agak empuk. Soeparno (2015) menyatakan bahwa
keempukan daging dengan penilaian warner blatzzer yaitu sangat empuk (<4,15
kg/cm2), empuk (4,15 - 5,86 kg/cm2), agak empuk (5,86 - 7,56 kg/ cm2), agak alot
(7,56 - 9,27 kg/ cm2), alot (9,27 - 10,97 kg/ cm2), dan sangat alot (> 10,97 kg/
cm2).

Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan data dapat disimpulkan bahwa perlakuan lama pelayuan
(1 dan 24 jam) terhadap kualitas fisik daging sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster memiliki nilai sama dan relatif normal terhadap kualitas fisik
daging. Pengaruh lama pelayuan (1 dan 24 jam) heifer pada sapi Brahman Cross
merah dan Droughtmaster lebih tinggi terhadap daya ikat air, Steer pada sapi
Brahman Cross merah dan Droughtmaster lebih tinggi terhadap keempukan
daging, serta Steer dan Heifer pada sapi Brahman Cross merah dan
Droughtmaster sama dan normal terhadap susut masak. Nilai kualitas fisik daging
dengan pengaruh lama pelayuan (1 dan 24 jam) PI0 pada heifer sapi Brahman
Cross merah lebih optimal terhadap daya ikat air, PI2 pada heifer sapi Brahman
Cross merah dan Droughtmaster lebih optimal terhadap susut masak, PI4 pada
steer sapi Droughtmaster lebih optimal terhadap keempukan daging. Nilai pH dan
warna daging umur PI0, PI2, dan PI4 pada steer atau heifer sapi Brahman Cross
merah dan Droughtmaster memiliki nilai sama dan normal.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terimaksih kepada Bapak Ir. Didiek Purwanto, IPU selaku
Direktur Utama PT Karunia Alam Sentosa Abadi, Bapak Benny Soekarno, SH
selaku pemilik RPH AM Farm dan Danar Putra Prayoga, S.Pt selaku Animal
Welfare Officer (AWO) atas izin fasilitas pendukung dalam penelitian.

504
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Daftar Pustaka
Adhyatma, M., Nuraini, H. dan Yani. A. 2017. Proses eksanguinasi dan kualitas
fisik daging sapi Brahman Cross dengan waktu istirahat berbeda sebelum
pemotongan. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 5(3),106 –
109.
Berdikari. 2020. Reinforcement for stronger business integration (annual report
2020). Jakarta: Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Elzo, M.A., Johnson, D.D., Wadin, J.G. and Driver, J.D. 2012. Carcass and meat
palatability breed differences and heterosis effect in an Angus – Brahman
multibreed population. Meat Science, 90, 87 – 92.
Farm Animal Welfare Committee. 2013. Annual Review Animal Welfare 2012 –
2013. Britain: The FAWC Press.
Hui, Y.H., Aalhus, J.L., Cocolin, L., Legarreta, I.G., Nollet, L.M., Purchas, R.W.,
Schillinh, M.W., Stanfield, P., and Xiong, Y.L. 2012. Meat and Meat
Processing: Second Edition. Amerika Serikat: CRC Press.
Kuswati dan Susilawati. T. 2016. Industri Sapi Potong. Malang: UB Press.
Meat Livestock Australia. 2018. Meat standars Australia beef information kit.
Sydney: Meat & Livestock Australia Ltd.
Ngadiyono, N., Soeparno., Setiyono., and Carvalho, M.C. 2014. Carcass
characteristics and meat quality of Ongole grade cattle and Simmental Ongole
crossbred cattle. In Procedings of the 16th AAP Animal Science Congress, Vol
II: 10 – 14 November 2014 in Gadjah Mada University Yogyakarta, Indonesia,
2299 – 2302.
Ngadiyono, N., Soeparno., Panjono, Setiyono, and Akhmadi, I. 2015. Growth,
Carcass Production and Meat Quality of Ongole Grade Cattle, Simmental
Ongole Crossbred Cattle and Brahman Cross. In The 6thInternational Seminar
on Tropical Animal Production,October 20-22 2015 in Yogyakarta, Indonesia,
343 - 347.
Rusdimansyah dan Khasrad, 2012. Kualitas fisik daging sapi Peranakan
Simmental dengan perlakuan stimulasi listrik dan lama pelayuan yang berbeda.
Jurnal Peternakan Indonesia, 14(3), 454 – 460.
Standar Nasional Indonesia (SNI 3932-2008). 2008. Mutu Karkas dan Daging
Sapi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soeparno. 2015. Ilmu dan Teknologi Daging: Edisi Kedua.Z Cetakan Keenam.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeparno, R.A., Rihastuti, Indratiningsih, dan Triatmojo, S. 2017. Dasar
Teknologi Hasil Ternak. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Toldra, F. 2017. Lawrie’s Meat Science: Eighth Edition. Cambridge: Elsevier.
Wahyuni, D., Priyanto, R., dan Nuraini, H. 2018. Kualitas fisik dan sensoris
daging sapi Brahman Cross yang diberi pakan limbah nanas sebagai sumber
serat. Jurnal Pertanian, 9(2): 97-105
Yimin. Z., Hopkins, D.L., Xiao, Z.X., Ven, R.V.D., Wei, M.Y., Xian, Z.L., Xing,
H.G., and Xin, L. 2018. Characterisation of pH decline and meat color
development of beef carcasses during the early postmortem period in a Chinese
beef cattle abattoir. Journal of Integrative Agriculture, 17(7), 1691 – 1695.

505
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KUALITAS FISIK CREPES BEBAS GLUTEN BERBASIS DAGING AYAM

Putery Permatasari1,*, Agus Susilo2, Khothibul Umam Al Awwaly2


1
Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: puteryps@student.ub.ac.id

Abstrak

Daging ayam merupakan sumber protein yang baik, karena mengandung asam
amino esensial yang lengkap. Penggunaan daging dalam pembuatan crepes bebas
gluten dari tepung mocaf untuk meningkatkan nilai ekonomi dan sebagai sumber
protein yang dapat dijadikan pangan ringan fungsional bagi penderita intoleran
gluten. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perlakuan pengggunaan
daging ayam dengan persentase yang berbeda terhadap crepes ayam bebas gluten
ditinjau dari kualitas fisik. Materi penelitian penggunaan daging ayam dengan
persentase yang berbeda untuk meningkatkan kualitas pada crepes. Penelitian ini
menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan yaitu P0 perlakuan daging ayam 20%, P1
perlakuan daging ayam 25%, P2 perlakuan daging ayam 30% dan P3 perlakuan
daging ayam 35%. Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis ragam
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan apabila terdapat
perbedaan. Variabel yang diamati dalam penelitian yaitu pick up loss, higroskopis,
kekerasan dan warna L* a* b*. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
daging ayam dengan persentase berbeda berpengaruh sangat nyata (p<0,01)
terhadap nilai higroskopis, kekerasan, warna a*, b*, berpengaruh nyata (p<0,05)
terhadap warna L* dan tidak berpengaruh nyata (p>0,01) terhadap pick up loss
crepes ayam bebas gluten. Kesimpulan dari penilaian bahwa persentase
penggunaan daging ayam yang berbeda memberikan pengaruh terhadap kualitas
fisik yaitu higroskopis, kekerasan dan warna crepes ayam bebas gluten, namun
tidak memberikan pengaruh terhadap pick up loss crepes ayam bebas gluten dan
penggunaan ayam dengan persentase 35% masih menghasilkan kualitas fisik
crepes ayam yang cukup baik.

Kata Kunci : crepes, daging ayam, bebas gluten, tepung mocaf,

Pendahuluan
Daging ayam merupakan salah satu produk dari hasil peternakan yang memiliki
beberapa kelebihan yaitu harganya relatif murah, bahan baku banyak dan mudah
didapat serta memiliki kandungan protein hewani yang dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi bagi manusia. Daging ayam memiliki komposisi kimia yang
terdiri dari air 65,95%, protein 18,6%, lemak 15,06%, dan abu 0,79% (Stadelman
et al., 1988); (Kartikasari dkk., 2018). Daging ayam sangat baik bagi pertumbuhan
dan perkembangbiakan mikroorganisme sehingga dapat menurunkan kualitas
daging. Penurunan kualitas daging diindikasikan melalui perubahan warna, rasa,
aroma bahkan pembusukan sehingga memerlukan penanganan dan pengolahan

506
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang baik salah satunya dapat diolah menjadi pangan ringan atau camilan yaitu
seperti crepes.

Crepes adalah makanan ringan atau camilan populer dengan bentuk penyajian
yang unik yakni tipis, dan dilipat, serta dapat dipadukan dengan beragam topping.
Di Indonesia crepes merupakan salah satu macam pangan yang digemari banyak
orang mulai dari anak-anak hingga dewasa sehingga pangan satu ini tidak pernah
sepi dari para penikmat kuliner. Crepes terdapat dua jenis varian, yaitu basah dan
kering atau renyah. Crepes dapat dikategorikan menjadi 2 macam rasa yaitu manis
dan asin. Crepes biasanya dibuat dengan bahan campuran tepung terigu, namun
tepung terigu secara alamiah mengandung protein gluten yang tidak semua orang
dapat konsumsi protein gluten.

Gluten merupakan protein lengket dan elastis yang terkandung di dalam beberapa
jenis serealia atau biji-bijian yang tidak dapat larut dalam air dan bersifat elastis
(lentur), namun gluten ternyata dapat memengaruhi kesehatan. Salah satunya yaitu
celiac disease. Penyakit celiac terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi terhadap
gluten dengan menyerang lapisan dinding usus kecil. Tanpa adanya lapisan usus
yang sehat, zat gizi yang dibutuhkan tidak dapat diserap oleh tubuh. Pertumbuhan
yang tertunda dan kekurangan zat gizi dapat mengakibatkan kondisi-kondisi yang
tidak baik, seperti anemia dan osteoporosis. Masalah serius pada kesehatan
lainnya yaitu diabetes, penyakit tiroid autoimun dan kanker usus (FDA); (Kahlon,
2016); (Salsabila dkk., 2019). Kondisi ini dapat dikatakan sebagai "intoleransi
gluten". Salah satu cara penanganan yang tepat bagi orang penderita penyakit
celiac yaitu harus menerapkan diet ketat bebas gluten (Benitez dkk., 2011);
(Salsabila dkk., 2019). Hal tersebut perlu adanya formula pembuatan crepes
dengan penggunaan tepung bebas gluten salah satunya yaitu tepung mocaf sebagai
pengganti tepung terigu.

Tepung mocaf adalah singkong yang telah dimodifikasi dengan perlakuan


fermentasi yang memiliki karakteristik mirip seperti tepung terigu sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pengganti tepung terigu. Kelebihan tepung mocaf dapat
meningkatkan viskositas (daya rekat), kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan
kemampuan melarut (solubility) sehingga memiliki tekstur yang lebih baik
dibandingkan tepung tapioka dan tepung singkong biasa. Tepung mocaf dengan
proses pengeringan yang optimal memiliki kandungan air 6,9%, sedangkan pada
tepung terigu memiliki kandungan air mencapai rata-rata 12,0%. Kandungan
protein pada tepung mocaf berkisar 8,13%, selain itu kadar abu pada tepung
mocaf berkisar 0,4%, sedangkan pada tepung terigu mencapai 1,3%. Mocaf
memiliki kadar abu yang dapat memengaruhi warna tepung mocaf tersebut, warna
dari tepung mocaf lebih putih dibandingkan dengan tepung terigu, serta
kandungan pati dalam mocaf mencapai 87,3% (Salim, 2011); (Mufidah dan Asrul,
2016).

Penggunaan daging dalam pembuatan crepes bebas gluten dari tepung mocaf
untuk meningkatkan nilai ekonomi dan sebagai sumber protein yang dapat
dijadikan pangan ringan fungsional bagi penderita intoleran gluten.. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian yang mengkaji karakteristik fisik crepes ayam.

507
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Rancangan ini terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan yaitu P0
perlakuan daging ayam 20%, P1 perlakuan daging ayam 25%, P2 perlakuan
daging ayam 30% dan P3 perlakuan daging ayam 35%.

Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 18 Januari sampai dengan 30 Agustus
2021. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.

Alat dan bahan penelitian


Alat yang digunakan dalam pembuatan crepes adalah timbangan digital, beaker
glass, sendok, wadah, spatula, crepes maker, kayu crepes, dan piring. Bahan
pembuatan crepes dalam penelitian ini adalah tepung mocaf, tepung beras, tepung
maizena, telur, susu, baking soda, daging ayam, bumbu knorr dan garam.

Analisis data
Data dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA), apabila ada perbedaan
yang nyata atau sangat nyata maka dianalisis lanjut dengan menggunakan Uji
Jarak Berganda Duncan (UJBD).

Hasil dan Pembahasan


Data analisis statistik kualitas analisis fisik pada crepes ayam dengan
pengggunaan daging ayam dengan persentase yang berbeda dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Fisik Pada Crepes Ayam


Perlakuan Warna
Pick up Higroskopis Kekerasan
daging
loss (%) (%) (Kgf) L* A* B*
ayam
20% 54,87 + 0,25 3,36a + 0,65 0,209a + 0,05 42,56b + 3,30 -3,86a + 0,71 14,38b + 1,19
25% 56,04 + 0,29 6,10b + 1,35 0,310b + 0,07 35,30a + 5,87 -4,77a + 1,50 12,56a + 1,66
30% 55,84 + 2,39 6,30b + 0,87 0,325b + 0,03 37,52a + 6,90 -1,61b + 1,35 15,77b+ 1,98
35% 56,80 + 1,22 6,50b + 1,05 0,341b + 0,03 33,50a + 6,37 -2,11b + 0,31 15,12b + 1,34
a-c
superskrip yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (p<0,05) dan perbedaan sangat nyata (p<0,01).

Pick up loss
Pick up loss adalah untuk mengetahui besarnya berat yang dipengaruhi oleh
proses pemanasan (Ogan et al., 2005). Data hasil analisis menunjukkan bahwa
nilai pick up loss pada crepes ayam dengan perlakuan penambahan daging ayam
dengan persentase yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,01).
Dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis nilai rata-rata pick up loss menunjukkan
bahwa berat awal adonan sebelum dipanggang mengalami penyusutan yang cukup
parah setelah dipanggang. Hasil analisis nilai pick up loss terendah pada perlakuan
P0 (penggunaan daging ayam 20%, dengan nilai rata-rata 54,87% sedangkan
hasil analisis pick up loss tertinggi pada perlakuan P3 (penggunaan daging ayam
35%), dengan nilai rata-rata 56,80%. Tingginya nilai pick up loss karena

508
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

penggunaan daging ayam yang semakin tinggi. Semakin tinggi penggunaan


daging ayam maka semakin tinggi viskositas adonan crepes, namun tidak
memengaruhi penurunan berat crepes setelah pemasakan terjadi karena adanya
proses pemanasan suhu tinggi yang menyebabkan kandungan protein pada daging
ayam menurun dan terjadi penurunan bobot daging ayam pada campuran crepes.

Higroskopis
Data hasil analisis menunjukkan bahwa nilai higroskopis pada crepes ayam
dengan perlakuan penambahan daging ayam dengan persentase yang berbeda
menunjukkan sangat berbeda nyata (p<0,01). Dapat dilihat pada Tabel 1. Data
analisis menunjukan bahwa nilai higroskopis terendah pada perlakuan P0
penggunaan daging ayam 20%) dengan nilai rata-rata 3,36a% sedangkan untuk
nilai tertinggi higroskopis pada crepes pada perlakuan perlakuan P3 (penggunaan
daging ayam 35%) dengan nilai rata-rata 6,50b%. Data analisis higroskopis
menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan daging ayam memberi pengaruh
yang sangat nyata terhadap higroskopis crepes ayam. Semakin banyak
penggunaan daging ayam maka nilai higroskopis semakin tinggi. Hal tersebut
diasumsikan karna daging ayam memiliki kandungan lemak dan kadungan
protein. Tingginya nilai higroskopis dapat berdampak pada penuruan kualitas
(Canuto et al., 2014). Sehingga tingginya nilai higroskopis memengaruhi tekstur
kerenyahan, sehingga crepes dapat mudah melempem.

Kekerasan
Data hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kekerasan pada crepes ayam dengan
perlakuan penambahan daging ayam dengan persentase yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Hasil analisis menunjukkan bahwa
penggunaan tepung mocaf dengan persentase yang berbeda memberikan pengaruh
yang nyata (P>0,05) terhadap kekerasan crepes daging ayam. Dapat dilihat pada
Tabel 1. Menunjukkan nilai rata-rata kekerasan crepes daging ayam terhadap
penggunaan tepung mocaf dengan persentase yang berbeda antara 0,209a + 0,05 –
0,341b + 0,03 Kgf. Produk seperti keripik yang menyerap air dapat melarutkan
dan melunakkan matriks pati atau protein terdapat pada sebagian besar bahan
pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik salah satunya yaitu
kerenyahan (Labuza, 1982; Latifah,2010; Puspitasari, dkk., 2020).

Warna L*A*B*
Warna adalah salah satu faktor yang penting pada suatu produk olahan karena
merupakan daya tarik yang akan menentukan suatu produk disukai atau tidak
disukai oleh konsumen (Despita, Yuliasih dan Rahmi, 2015). Dapat dilihat pada
Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan daging ayam dengan
persentase yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (p<0,01) terhadap
warna L* dan b*, namun memberikan pengaruh nyata (p<0,05) pada nilai warna
a* crepes daging ayam.

Lightness menetukan penampakan suatu produk berwarna gelap (hitam) atau


cerah (putih) dengan hasil pembacaan berupa interval angka 0 - 100. Semakin
kecil nilai angka yang dihasilkan, maka semakin gelap atau hitam penampakan
pada produk. Nilai rata-rata terendah warna L* crepes daging ayam terhadap

509
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

penggunaan daging ayam dengan persentase yang berbeda terendah pada P3


(penggunaan daging ayam 35%) dengan nilai rata-rata 33,50b + 6,37 sedangkan
nilai rata-rata tertinggi pada perlakuan P0 (penggunaan daging ayam 20%) dengan
nilai rata-rata 42,56a + 3,30. Redness menentukan intensitas warna merah pada
produk. Warna a* crepes daging ayam terhadap penggunaan daging ayam dengan
persentase yang berbeda terendah pada P1 (perlakuan tepung mocaf 25%) dengan
nilai rata-rata -4,77a + 1,50 sedangkan nilai rata-rata tertinggi pada perlakuan P2
(perlakuan daging ayam 30%) dengan nilai rata-rata -1,61b + 1,35.

Yellowness menentukan intensitas warna kuning pada produk. Hasil pembacaan


menetukan interval negatif dan positif, pada nilai positif menunjukkan warna
kuning, sedangkan nilai negatif menunjukkan warna biru (Maureen dkk., 2016).
Warna b* crepes daging ayam terhadap penggunaan daging ayam dengan
persentase yang berbeda tertinggi pada P2 (penggunaan daging ayam 30%)
dengan nilai rata-rata 15,77+ 1,98 sedangkan nilai rata-rata terendah pada
perlakuan P1 (penggunaan daging ayam 25%)) dengan nilai rata-rata 12,56 +
1,66.

Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan data dapat disimpulkan bahwa persentase penggunaan
daging ayam yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap
nilai higroskopis dan warna L*, b*, memberikan pengaruh nyata (p<0,05)
terhadap nilai kekerasan dan warna a*, tidak memberikan pengaruh nyata
(p>0,01) terhadap nilai pick up loss crepes ayam bebas gluten. Penggunaan ayam
dengan persentase tertinggi 35% masih menghasilkan kualitas fisik crepes ayam
yang cukup baik.

Ucapan Terima Kasih


Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas dorongan dan dukungan dari Kepala
Laboratorium Teknologi Produk Peternakan dan Dosen Pembimbing Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya Malang.

Daftar Pustaka
Canuto, Canuto, H.M. Pereira, M.A.A. Afonso, & J.M.C.D. Costa. 2014.
Hygroscopic Behavior of Freeze-dried Papaya Pulp Powder with Maltodextrin,
Acta Scientiarum Technology Maringá, 36(1): 179-185.
Despita, R., Sri, Y. dan Ainu, R. 2015. Pengaruh Penambahan Tepung Tapioka
Terhadap Warna, Kerenyahan, Dan Rasa Kerupuk Ampas Susu Kedelai.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, 340-
345.
Kartikasari, L.R., Bayu, S.H., Iwan, S. dan Adi, M.P.N. 2018. Kualitas Fisik
Daging Ayam Broiler yang diberi Pakan Berbasis Jagung dan Kedelai dengan
Suplementasi Tepung Purslane (Portulaca Oleracea). Jurnal Teknologi Pangan.
12(2): 64-71.
Maureen S. B., Sutarjo, S. dan Indah, E. 2016. Pengaruh Proporsi Tapioka dan
Tepung Beras Merah Terhadap Sifat Fisikokimia Dan Organoleptik Kerupuk
Beras Merah. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi. 15(1): 43-52.

510
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Mufidah, N. N., dan Asrul, B. 2016. Pengaruh Substitusi Tepung Mocaf


(Modified Cassava Flour) dan Penambahan Puree Wortel (Daucus Carota L)
Terhadap Sifat Organoleptik Choux Paste. Journal Boga. 5(1): 229-238.
Ogan, S.F., Sahin, S. & Sumnu, G. 2005. Effect of soy and rice flour addition on
batter rheology and quality of deep-fat fried chicken nuggets. Journal of
Food Engineering. 71: 127–132.
Puspitasari, E., Sandra, M.S., Anang, L. 2020. Pendugaan Umur Simpan Keripik
Kelapa (Cocos nucifera L.) Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life
Testing (ASLT) Model Pendekatan Persamaan Arrhenius. Jurnal Keteknikan
Pertanian Tropis dan Biosistem. 8(1): 36-46.
Salsabila, K., Muhammad. A. dan Octavianti, P. 2019. Eksperimen Pembuatan
Cupcake Free Gluten Berbahan Dasar Tepung Biji Kluwih dengan
Campuran Tepung Beras. Teknobuga. 7(1): 31- 38.

511
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KAJIAN PANGAN TRADISIONAL ABON DAGING SAPI TERHADAP


PH, WARNA L*A*B*, ORGANOLEPTIK, WHC, DAN OHC

F.I. Nuraini1,*, D. Rosyidi2, A. Susilo3


1
Program Magister Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
2
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: fitriaindah55@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kajian pangan tradisional abon sapi
yang beredar di Kota Malang berdasarkan parameter pH, warna L*A*B*,
organoleptik, WHC dan OHC. Penelitian ini mengambil sampel abon sapi yang
beredar di Kota Malang sebanyak 12 merek berbeda (perlakuan) serta 3 ulangan
yang dibedakan dari kode produksi dan lama penyimpanan. Penelitian dilakukan
di Laboratorium Teknologi Hasil Peternakan Universitas Brawijaya Malang,
Laboratorium Nutrisi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Laboratorium
Kimia Universitas Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa abon sapi yang
beredar di Kota Malang memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)
berdasarkan pH, parameter warna organoleptik, tingkat kesukaan dan WHC. Abon
sapi dengan pH tertinggi pada P5 yaitu 5,67 dan pH terendah pada P7 yaitu 5,18.
Parameter warna organoleptik dengan nilai tertinggi pada P6 yaitu 4,80 dan
terendah pada P7 yaitu 3,33. Parameter organoleptik tingkat kesukaan dengan
nilai tertinggi pada P1 sebesar 4,60 dan terendah pada P4 yaitu 2,07. Abon sapi
dengan nilai WHC tertinggi pada P7 yaitu 1,75 dan terendah pada P4, yaitu 0,66.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa abon sapi yang beredar di Kota Malang
memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) berdasarkan parameter warna,
parameter organoleptik aroma, rasa, tekstur dan OHC. Abon sapi dengan warna
tertinggi terdapat pada P9 yaitu 56,21 dan terendah pada P1, yaitu 42,60.
Parameter aroma organoleptik dengan nilai tertinggi pada P1, yaitu 4,60 dan
terendah pada P4, yaitu 1,90. Parameter rasa organoleptik dengan nilai tertinggi
pada P6 yaitu 4,67 dan terendah pada P4, yaitu 1,60. Parameter tekstur
organoleptik dengan nilai tertinggi pada P1, yaitu 4,27 dan terendah pada P5 yaitu
2,00. Abon sapi dengan nilai OHC tertinggi pada P6 sebesar 2,49 dan terendah
pada P2 sebesar 0,96.

Kata Kunci: abon sapi, kualitas, makanan tradisional

Pendahuluan
Abon sapi merupakan salah satu bahan pangan tahan lama dengan kandungan
protein tinggi dan kadar kolesterol rendah yang sudah dikenal masyarakat. Abon
biasanya terbuat dari daging, ikan, dan berbagai makanan berserat tinggi. Kota
Malang merupakan salah satu kota yang menyediakan pasar yang luas dan
prospektif untuk peluang bisnis makanan. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya
pelajar dan wisatawan yang menjadikannya sebagai peluang bisnis makanan yang

512
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menguntungkan. Ada banyak jenis bahan abon sapi untuk meningkatkan nilai gizi,
rasa, dan nilai ekonomi. Penambahan bahan ini juga sering digunakan sebagai
bahan palsu sehingga keaslian abon dapat dibandingkan dengan standar mutu
abon yang telah diatur dalam SNI 3707 Tahun 1995. Interaksi dengan bahan atau
substitusi dengan perbandingan yang berbeda mempengaruhi kandungan protein,
rasa, warna, dan tekstur daging abon. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan
penelitian untuk mengkaji karakteristik berbagai jenis abon sapi di Kota Malang.

Metode
Sampel dari 12 merek abon sapi dengan berbagai kode produksi digunakan dalam
penelitian, dengan tiga ulangan tergantung pada umur simpan. Sampel daging
abon dikumpulkan dari berbagai toko suvenir, toko kelontong, dan supermarket di
Malang, Jawa Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
observasional dengan rancangan acak lengkap. Variabel penelitian ini adalah nilai
pH, daya ikat air (WHC), daya ikat minyak (OHC), intensitas warna L*a*b*, dan
kualitas organoleptik yang meliputi warna dengan kategori 1 (P9), 2 (P1). ), 3
(P5), 4 (P4), 5(P7), rasa dengan kategori 1 (P1), 2 (P9), 3 (P5), 4 (P11), 5 (P2),
aroma dengan kategori 1 ( P6), 2 (P1), 3 (P2), 4 (P8), 5 (P9), tekstur dengan
kategori 1 (P7), 2 (P9), 3 (P1), 4 (P12), 5 (P4) dan level favorit dengan kategori 1
(P1), 2 (P8), 3 (P6), 4 (P10), 5 (P2). Uji nilai pH berdasarkan Soeparno (2005), uji
WHC dan OHC berdasarkan prosedur Zayas (1997), uji intensitas warna L*a*b*
berdasarkan CIE 2007 L*a*b*. Pengujian kualitas organoleptik dilakukan dengan
menggunakan 5 panelis terlatih.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian untuk pengambilan sampel dari berbagai took souvenir, took
kelontong dan supermarket di Kota Malang, Jawa Timur. Pelaksanaan uji
dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, Laboratorium Kimia Universitas Malang dan
Laboratorium Gizi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varians (ANOVA). Jika
terdapat perbedaan akan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT).

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis variabel penelitian yang meliputi nilai pH, WHC, OHC dapat dilihat
pada tabel 1.

513
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Hasil nilai rata-rata pH, WHC dan OHC


WHC OHC
Sampel pH
(%) (%)
P1 4.73 ± 0.13abc 0,83 ± 0,05abc 1,16 ± 0,17ab
P2 4.67 ± 0.10bcde 0,85 ± 0,19 abc 0,96 ± 0,32ab
P3 3.40 ± 0.15cde 0,70 ± 0,16 abc 1,30 ± 0,15ab
P4 4,33 ± 0,03bcde 0,66 ± 0,11 abc 1.11 ± 0.11ab
P5 2,93 ± 0,09e 1,17 ± 0,17 abcde 1,00 ± 0,12ab
P6 4.80 ± 0.13de 1,47 ± 0,43 cde 2.49 ± 1.15c
P7 3,33 ± 0,01abc 1,75 ± 0,42e 1,0 ± 0,12ab
P8 4,07 ± 0,06 bcde 1,12 ± 0,21 abcde 1,58 ± 0,38abc
P9 3,60 ± 0,07abcd 0,98 ± 0,19 abcde 1,64 ± 0,52abc
P10 4.2 ± 0.07bcde 1,34 ± 0,40abcde 1,29 ± 0,09ab
P11 3,60 ± 0,08a 1.56 ± 0.24de 1,13 ± 0,14ab
P12 4,53 ± 0,12ab 1,38 ± 0,38bcde 2.08 ± 1.10bc
Catatan: Perbedaan superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
pada setiap perlakuan.

Nilai pH
Perbedaan merek dan umur simpan abon sapi berpengaruh nyata terhadap nilai PH
abon (p<0,01). Nilai pH terendah adalah 2,93 pada sampel abon P5 dan nilai pH
tertinggi adalah 4,8 pada sampel abon daging sapi P1. Perbedaan nilai pH daging
abon dapat dipengaruhi oleh kandungannya. Nilai pH rata-rata sampel mengalami
penurunan selama masa penyimpanan yang menunjukkan bahwa kualitas sampel
tetap terjaga. Penurunan nilai pH dalam sampel daging abon dapat disebabkan
oleh aktivitas metabolisme yang intens yang terjadi dalam makanan, yang
mengarah pada produksi produk alkali yang meningkatkan pH matriks makanan.
Penurunan nilai pH merupakan konsekuensi dari kelarutan CO2 dalam matriks
makanan (Rodriguez et al., 2013). Nilai pH bahan baku dapat menentukan nilai
pH produk yang dihasilkan,

Bahan-bahan lain juga akan menghasilkan titik keseimbangan hidrogen baru


dalam produk. Selain itu, perubahan struktur daging sebagai protein daging juga
dapat mempengaruhi pH produk (Swarno dkk., 2013). Nilai pH sampel abon sapi
di Malang tergolong rendah. PH benang yang tinggi memungkinkan kontaminasi
oleh mikroorganisme seperti jamur. Jamur akan tumbuh pada pH 3-8 yang akan
menyebabkan kerusakan pada benang. Dalam hal ini perlu dilakukan antisipasi
pencemaran dengan menerapkan teknologi pengemasan yang baik.

Kapasitas Penampungan Air (WHC)


Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis merek dan lama penyimpanan abon sapi
berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap daya ikat air abon. Nilai WHC
terendah sebesar 0,66% pada sampel P4 dan tertinggi sebesar 1,46% pada sampel
P5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kemampuan daging menahan air
selama ada power effect adalah pemotongan daging, pemanasan dan tekanan.
Proses pembuatan abon sapi melibatkan proses pengukusan atau perebusan,
pemotongan, dan penggorengan sehingga dapat merombak jaringan daging dan
mengurangi kadar air pada jaringan daging.

514
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kenaikan nilai WHC diiringi dengan peningkatan nilai pH (Purnamasari dkk.,


2012). Hal ini sesuai dengan nilai WHC pada penelitian ini, dimana nilai WHC
tertinggi adalah 1,46 pada P5 dengan nilai pH tertinggi 4,8. PH tertinggi memiliki
efek nyata pada kapasitas otot untuk menahan air alami. Hal ini dapat terjadi
karena penipisan glikogen menjadi alasan rendahnya produksi asam yang
meningkatkan ruang yang tersedia untuk lebih banyak air dalam protein
myofibrillar. Kapasitas untuk menahan air dalam daging penting untuk kualitas
daging dan memiliki kepentingan ekonomi yang cukup besar (Bamidele et al.,
2020). Kadar air yang diatur dalam SNI 2707 2013 adalah 7%, kadar air yang
berlebihan dapat menyebabkan mikroorganisme berkembang biak di dalam abon
dan kadar air yang terlalu rendah akan mengurangi volume serta berat daging
abon yang dapat mempengaruhi nilai ekonomis dan mempengaruhi tekstur abon.

Kapasitas Penampungan Minyak (OHC)


Hasil analisis menunjukkan bahwa merek dan lama penyimpanan daging giling
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap daya ikat minyak. Nilai OHC terendah
sebesar 1,00% pada sampel P5 dan tertinggi sebesar 2,08% pada sampel P12.
Kapasitas penyimpanan air dan minyak dari protein penting dalam aplikasi
industri makanan. Nilai OHC pada sampel abon sapi di Kota Malang tergolong
rendah dengan kisaran 1,00-2,08%. Peningkatan OHC menyebabkan denaturasi
protein dan paparan berikutnya dari kelompok hidrofobik. Secara umum, WHC
menunjukkan tren yang berlawanan dengan hidrofobisitas permukaan (Yu et al.,
2018). Titik asap minyak mempengaruhi kadar air dan penyerapan minyak pada
daging saat digoreng. Penyerapan kadar minyak dan air juga akan mempengaruhi
susut masak daging ayam. Selain itu, deep frying memungkinkan penyerapan
minyak berlebih. Titik asap mempengaruhi daya serap minyak, minyak dengan
titik asap tinggi, penyerapan rendah, dan sebaliknya, minyak dengan titik asap
rendah memiliki daya serap tinggi. Minyak jagung memiliki titik asap yang lebih
tinggi (230-238°C) dibandingkan minyak kelapa (232°C) dan minyak sawit
(220°C). Meskipun minyak jagung memiliki titik asap yang lebih tinggi daripada
minyak kelapa dan kelapa sawit, minyak ini memiliki stabilitas panas yang rendah
karena mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang menyebabkan
pembusukan minyak. Kerusakan oksidasi akibat pemanasan di atas 100°C terjadi
lebih cepat pada minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi.
Pemanasan pada suhu 100-300 °C menggunakan minyak goreng jagung lebih
banyak mengalami pemutusan ikatan rangkap pada ikatan asam lemak tidak jenuh
dibandingkan dengan minyak goreng kelapa sawit. minyak dengan titik asap
tinggi, daya serap rendah, dan sebaliknya, minyak dengan titik asap rendah
memiliki daya serap tinggi. Minyak jagung memiliki titik asap yang lebih tinggi
(230-238°C) dibandingkan minyak kelapa (232°C) dan minyak sawit (220°C).
Meskipun minyak jagung memiliki titik asap yang lebih tinggi daripada minyak
kelapa dan kelapa sawit, minyak jagung memiliki stabilitas panas yang rendah,
karena mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang menyebabkan
pembusukan minyak. Kerusakan oksidasi akibat pemanasan di atas 100°C terjadi
lebih cepat pada minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi.
Pemanasan pada suhu 100-300 °C menggunakan minyak goreng jagung lebih
banyak mengalami pemutusan ikatan rangkap pada ikatan asam lemak tidak jenuh

515
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dibandingkan dengan minyak goreng kelapa sawit. minyak dengan titik asap
tinggi, daya serap rendah, dan sebaliknya, minyak dengan titik asap rendah
memiliki daya serap tinggi. Minyak jagung memiliki titik asap yang lebih tinggi
(230-238°C) dibandingkan minyak kelapa (232°C) dan minyak sawit (220°C).
Meskipun minyak jagung memiliki titik asap yang lebih tinggi daripada minyak
kelapa dan kelapa sawit, minyak ini memiliki stabilitas panas yang rendah, karena
banyak mengandung asam lemak tak jenuh yang menyebabkan pembusukan
minyak. Kerusakan oksidasi akibat pemanasan di atas 100°C terjadi lebih cepat
pada minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pemanasan
pada suhu 100-300 °C menggunakan minyak goreng jagung lebih banyak
mengalami pemutusan ikatan rangkap pada ikatan asam lemak tidak jenuh
dibandingkan dengan minyak goreng kelapa sawit. Minyak jagung memiliki titik
asap yang lebih tinggi (230-238°C) dibandingkan minyak kelapa (232°C) dan
minyak sawit (220°C). Meskipun minyak jagung memiliki titik asap yang lebih
tinggi daripada minyak kelapa dan kelapa sawit, minyak jagung memiliki
stabilitas panas yang rendah, karena mengandung banyak asam lemak tak jenuh
yang menyebabkan pembusukan minyak. Kerusakan oksidasi akibat pemanasan di
atas 100°C terjadi lebih cepat pada minyak dengan kandungan asam lemak tak
jenuh yang tinggi. Pemanasan pada suhu 100-300 °C menggunakan minyak
goreng jagung lebih banyak mengalami pemutusan ikatan rangkap pada ikatan
asam lemak tidak jenuh dibandingkan dengan minyak goreng kelapa sawit.
Minyak jagung memiliki titik asap yang lebih tinggi (230-238°C) dibandingkan
minyak kelapa (232°C) dan minyak sawit (220°C). Meskipun minyak jagung
memiliki titik asap yang lebih tinggi daripada minyak kelapa dan kelapa sawit,
minyak jagung memiliki stabilitas panas yang rendah, karena mengandung banyak
asam lemak tak jenuh yang menyebabkan pembusukan minyak. Kerusakan
oksidasi akibat pemanasan di atas 100°C terjadi lebih cepat pada minyak dengan
kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pemanasan pada suhu 100-300°C
menggunakan minyak goreng jagung lebih banyak mengalami pemutusan ikatan
rangkap pada ikatan asam lemak tidak jenuh dibandingkan minyak goreng kelapa
sawit. Kerusakan oksidasi akibat pemanasan di atas 100°C terjadi lebih cepat pada
minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pemanasan pada
suhu 100-300°C menggunakan minyak goreng jagung lebih banyak mengalami
pemutusan ikatan rangkap pada ikatan asam lemak tidak jenuh dibandingkan
dengan minyak goreng kelapa sawit. Kerusakan oksidasi akibat pemanasan di atas
100°C terjadi lebih cepat pada minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh
yang tinggi. Pemanasan pada suhu 100-300°C menggunakan minyak goreng
jagung lebih banyak mengalami pemutusan ikatan rangkap pada ikatan asam
lemak tidak jenuh dibandingkan dengan minyak goreng kelapa sawit. Kerusakan
oksidasi akibat pemanasan di atas 100°C terjadi lebih cepat pada minyak dengan
kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pemanasan pada suhu 100-300°C
menggunakan minyak goreng jagung lebih banyak mengalami pemutusan ikatan
rangkap pada ikatan asam lemak tidak jenuh dibandingkan minyak goreng kelapa
sawit. Kerusakan oksidasi akibat pemanasan di atas 100°C terjadi lebih cepat pada
minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi.

Asam lemak bebas yang terbentuk selama penggorengan juga mempengaruhi titik
asap minyak sehingga minyak dengan titik asap yang tinggi dapat menurunkan

516
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

titik asap dan menyebabkan peningkatan penyerapan minyak. Penyerapan minyak


berhubungan dengan tingkat kontak daging ayam dengan minyak. Asam lemak
bebas teroksidasi yang terbentuk dapat bertindak sebagai surfaktan, sehingga
meningkatkan kontak produk dengan minyak yang akan menyebabkan
peningkatan penyerapan minyak. Berdasarkan hal tersebut, daging yang digoreng
dengan minyak kelapa sawit memiliki daya serap minyak yang lebih rendah
dibandingkan daging yang digoreng dengan minyak kelapa dan minyak jagung.
Berdasarkan kandungan asam lemaknya, minyak jagung mengandung 13% asam
lemak jenuh dan 86% asam lemak tidak jenuh. Minyak kelapa mengandung
minyak sawit yang mengandung 49,45% asam lemak jenuh dan 50,49% asam
lemak tidak jenuh. Minyak kelapa mengandung 90,69% asam lemak jenuh dan
9,31% asam lemak tak jenuh. Penyerapan minyak juga dipengaruhi oleh
viskositas, yaitu semakin besar viskositas fluida maka semakin rendah kecepatan
alirannya, sebaliknya semakin kecil viskositasnya. Minyak jagung memiliki
viskositas 28,7 cP, lebih kecil dari minyak kelapa 39,8 cP dan minyak sawit 44 cP
(Ntau et al., 2017).

Intensitas Warna L * a * b *
Hasil analisis intensitas warna L*a*b* dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Intensitas Warna Rata-rata L * a * b *


Nilai rata-rata
Sampel
L* A* B* E*
P1 30,99 17.64 24.22 42.60a
P2 34.27 16.07 25.01 45.32a
P3 39.06 14,79 27.50 50.06abc
P4 25.00 19.92 31.24 49.85abc
P5 37.10 13.83 28.20 48.51abc
P6 31.12 18.79 26.18 44.45a
P7 36.20 16.42 28.79 49.02abc
P8 25.93 13.97 28.84 47.01ab
P9 38.41 18.56 36.91 56.21abc
P10 35.56 15.86 30.91 49.75c
P11 38.29 19.68 33.33 54.28bc
P12 23.55 18.11 27.45 45.46a
Catatan: Perbedaan superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
pada setiap perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa merek dan lama penyimpanan daging abon
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap intensitas warna L*a*b*. Nilai intensitas
warna terendah sebesar 42,60 pada sampel P1 dan tertinggi sebesar 56,21 pada
P9. Rata-rata nilai L* (kecerahan) terendah sebesar 23,55 pada sampel abon sapi
berkode P12 dan nilai L* tertinggi sebesar 39,06 pada sampel abon dengan kode
P3. Nilai L* menunjukkan nilai kecerahan, dimana semakin rendah nilainya atau
mendekati 0, kecerahan robekan semakin rendah atau cenderung gelap, sedangkan

517
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

semakin tinggi nilainya mendekati 100 maka warna robekan akan semakin cerah.
Nilai a* menunjukkan bilangan positif yang artinya memiliki warna kemerahan
dengan nilai terendah 13,83 pada sampel P5 dan tertinggi 18,76 pada sampel
berkode P6.

Kecerahan abon abon dipengaruhi oleh proses pembuatan dan bahan yang
ditambahkan. Proses pemasakan akan menyebabkan karamelisasi gula,
pencoklatan terjadi karena warna melalui karamelisasi gula yang dipanaskan atau
dari senyawa yang dihasilkan Maillard antara gula dan asam amino yang
terkandung dalam protein pangan. Perbedaan warna ini erat kaitannya dengan
jumlah sukrosa yang ditambahkan pada abon lele. Semakin banyak sukrosa yang
ditambahkan, semakin besar proses karamelisasi dan akibatnya warna menjadi
lebih gelap/coklat.

Penambahan gula dimaksudkan untuk memberikan rasa manis dan warna coklat
yang diinginkan. Penggunaan gula harus dikontrol dan dibatasi karena dapat
menyebabkan warna menjadi terlalu gelap pada reaksi Maillard selama proses
penggorengan suhu tinggi. Sukrosa berfungsi untuk membuat makanan terlihat
menarik dengan warna coklat, melalui karamelisasi dari gula yang dipanaskan
atau dari senyawa Maillard antara gula dan asam amino yang terkandung dalam
protein makanan. Penambahan gula dimaksudkan untuk memberikan rasa manis
dan warna coklat yang diinginkan (Bulkaini dkk., 2020).

Kualitas organoleptik
Pengujian kualitas organoleptik menggunakan uji hedonik menghasilkan analisis
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Rata-Rata Analisis Kualitas Organoleptik Daging Abon


Tingkat
Sampel Warna Aroma Rasa Tekstur
Favorit
P1 4,73b 4,6b 4.47 3.93 4.60
P2 4,2b 4.07ab 4,4 2.47 3.80
P3 3,6ab 2,47ab 3,6 3.53 3.67
P4 4,53ab 3.53a 1.6 3.80 2.07
P5 4.67a 4.27a 2 3,00 2.53
P6 3,4b 3,73b 4.67 2.00 4.13
P7 4.33ab 1.93ab 2,4 4.20 2.60
P8 2.93ab 2ab 4,4 2.40 4.20
P9 4,8ab 4,4ab 3.87 4.20 3.53
P10 3,33ab 2,47ab 3.87 3.80 3.93
P11 4.07ab 4,13ab 2.07 3.67 2.53
P12 3,6ab 3,47ab 3.53 3.93 3.40
Catatan: Perbedaan superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
pada setiap perlakuan.

518
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

• Warna
Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis merek dan lama penyimpanan abon sapi
berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap parameter warna pada uji
organoleptik. Uji organoleptik terendah pada nilai warna adalah 3,33 pada sampel
P10 dan tertinggi 4,8 pada sampel P9. Hasil yang tampak menunjukkan bahwa
perbedaan lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap warna daging
abon. Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan warna pada abon adalah
karena teroksidasi sehingga mempengaruhi warna. Selain itu, warna abon juga
sangat dipengaruhi oleh perlakuan sebelum dan sesudah digoreng, perbedaan
kadar air. Selama penggorengan, abon juga mengalami reaksi Maillard sehingga
menimbulkan efek kecoklatan.
• Aroma
Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis merek dan lama penyimpanan daging
abon berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap uji parameter aroma
organoleptik. Uji organoleptik nilai aroma terendah sebesar 1,93 pada sampel P7
dan tertinggi sebesar 4,6 pada sampel P1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap aroma abon sapi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan rasa pada abon adalah aroma
yang berasal dari aroma asli daging sapi dan bahan tambahan yang digunakan
pada saat proses pembuatannya (Sigit dkk.,2017). Pada P7 panelis memberikan
1,93 yang menunjukkan bahwa aroma abon mendekati ketengikan. Aroma tengik
yang muncul juga dipengaruhi oleh kandungan lemak pada abon yang mulai
teroksidasi sehingga mempengaruhi aroma.

• Rasa
Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis merek dan lama penyimpanan daging
abon tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap uji parameter rasa organoleptik.
Uji organoleptik terendah pada nilai rasa 1,6 pada sampel P4 dan tertinggi 4,67
pada sampel P6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan lama
penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap rasa abon daging. Hasil penilaian
yang dilakukan panelis memberikan nilai 1,6 pada sampel P4 karena dirasa
rasanya melenceng dari rasa khas abon. Hal ini bisa terjadi karena kemungkinan
adanya campuran banyak bahan tambahan untuk menambah bobot sehingga
mempengaruhi rasa yang dihasilkan. Pada sampel P6, nilai tertinggi adalah 4.

• Tekstur
Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis merek dan lama penyimpanan abon
daging sapi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap parameter tekstur uji
organoleptik. Uji organoleptik memiliki nilai tekstur terendah pada sampel P6
sebesar 2,00 dan tertinggi pada sampel P7 dan P9 sebesar 4,20. Hasil yang muncul
menunjukkan bahwa perbedaan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata
terhadap tekstur abon. Tekstur abon sapi dipengaruhi oleh kondisi awal daging
yang digunakan dan bahan-bahan yang dicampurkan. Panelis cenderung menyukai
abon dengan serat halus namun tetap memiliki cita rasa abon yang khas. Hasil
penilaian yang dilakukan panelis memberikan 2.0 pada sampel P6 karena
teksturnya lembut. Hal ini karena ada kemungkinan dalam proses pembuatan abon.

• Tingkat Favorit

519
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis merek dan lama penyimpanan abon
sapi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap uji organoleptik untuk parameter uji
kesukaan. Nilai uji organoleptik terendah pada uji preferensi sebesar 2,07 pada
sampel P4 dan tertinggi sebesar 4,60 pada sampel P1. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbedaan waktu penyimpanan berpengaruh signifikan
terhadap tingkat kesukaan. Faktor yang mempengaruhi tingkat kesukaan
sebenarnya adalah selera masing-masing panelis. Namun, para panelis
memberikan tingkat kegembiraan yang masih bersifat sensoris.

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa abon sapi di kota Malang memberikan
pengaruh yang sangat nyata berdasarkan pH antara 5,39 sampai 5,35, memberikan
pengaruh yang sangat nyata berdasarkan daya ikat air antara 0,66 sampai 1,75%,
memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya ikat minyak. antara 0,96 dan
2,49%, serta memberikan pengaruh yang signifikan terhadap intensitas warna
L*a*b* antara 2,93 – 4,80. Hasil uji organoleptik memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap warna dan aroma, memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap uji kesukaan, dan tidak berpengaruh nyata terhadap rasa dan tekstur.

Ucapan Terima Kasih


Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:
1. Prof.Dr.Ir. Djalal Rosyidi, MS., IPU., ASEAN Eng., Selaku
Pembimbing Utama
2. dr Agus Susilo. S.Pt., MP., IPM., ASEAN Eng., Selaku Pembimbing
3. Prof.Dr.Sc. Ag. Ir. Suyadi, MS., IPU., ASEAN Eng., Selaku Dekan
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
4. Dr.Ir. Tri Eko Susilorini, MP., IPM., ASEAN Eng., Selaku Ketua
Program Magister Ilmu Peternakan Universitas Brawijaya
5. Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk menjadi bagian dari civitas akademika Universitas
Brawijaya.
6. Bapak Muhammad Nuryasin dan Ibu Erni Susanti, selaku orang tua
kami, atas doa, dukungan, kesabaran, dan pengorbanannya bagi
penulis
7. Myrza Thifalludin N.A. sebagai suami dan keluarga yang selalu
memberikan doa, semangat, dan motivasi.
8. Teman-teman dan semua pihak yang selalu memberikan dukungan,
doa dan, bantuannya.

Daftar Pustaka
Bamidele, S., Akinleye, K. Daniel, Afolabi, Luka, J.S., Niran, N., Ayanniyi, S.
Abimbade dan Adeyemi, 2020. Sifat gizi dan kandungan mikrobiologi benang
daging terbuat dari daging kambing dari empat jenis domba. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Pangan Eropa, 8(33): 23-33.
Bulkaini, C., Chotimah, D., Kisworo, Maskur, Wulandani, B.R.D., Yasin, M., dan
Fudholi, A. 2020. Aktivitas antioksidan dan nilai gizi abon ayam petelur

520
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menolak perendaman dalam ekstrak kulit nanas. Jurnal ulasan kritis, 7(19):
4504-4510.
Ntau, L., Sumual, M.F., dan Assa1, J.R. 2017. Pengaruh fermentasi Lactobacillus
Casei terhadap sifat fisik tepung jagung manis (Zea Mays Saccharata Sturt). J.
Ilmu dan Teknologi Pangan, 5(2): 45-52.
Purnamasari, E., Zulfahmi, M., dan Mirdhayati, I. 2012. Sifat fisik daging tolak
ayam petelur yang direndam ekstrak kulit nanas (Ananas comosus L. Merr)
dengan konsentrasi yang berbeda. Jurnal Ilmu Hewan, 9(1): 12-19.
Rodriguez, M.B.R., Junior, C.A.C., Carneiro, C.S., Franco, R.M., dan Mano, S.B.
2013. Pengaruh karbon dioksida terhadap umur simpan abon dada ayam siap
saji yang disimpan di lemari es. Asosiasi Ilmu Unggas Inc. 93: 194-199.
Sigit, M., Akbar, M. dan Fianti, L. 2017. Kualitas organoleptik abon ayam dengan
perlakuan substitusi kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Jurnal Cendekia Filia,
2(1): 1-8.
Swarno, G., Rosidi, D., dan Thohari, I. 2015. Fisik; Kualitas (pH, WHC, Susut
Masak, dan Organoleptik Bakso).
Yu, C., F. Wu, Y. Cha, H. Zou, J. Bao, R. Xu and M. Du, 2018. Pengaruh
homogenisasi tekanan tinggi pada sifat fungsional dan struktural protein
myofibrillar kerang (Mytilus edulis). Jurnal Internasional Makromolekul
Biologis, 118, 741-746.

521
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

MUTU KIMIAWI DAN ORGANOLEPTIK NAGET HATI AYAM DENGAN


SUBTITUSI DAGING AYAM

Hasna Nur Khoirunnisa1, Della Eka Rahmadhani1, Dedes Amertaningtyas2,*


1
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya,
2
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
*Email korespondensi: dedesfptub@ub.ac.id

Abstrak

Hati merupakan produk hasil samping yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku naget. Naget merupakan olahan daging umumnya menggunakan bahan
utama daging ayam. Tujuan penelitian adalah mengetahui kadar air, aktifitas air
(Aw), WHC (Water Holding Capacity), kadar abu, kadar protein dan mutu
organoleptik naget hati ayam dengan substitusi daging ayam. Metode penelitian
adalah eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 5 ulangan sebagai berikut: P1 (100% hati ayam), P2(50% hati ayam
50% daging ayam) dan P3 (100% daging ayam). Analisis data menggunakan
analisis ragam, jika diperoleh hasil yang berbeda, dilanjutkan dengan Uji Jarak
Berganda Duncan (UJBD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan pada aktifitas air (Aw), kadar protein dan kadar abu tetapi berbeda
sangat nyata (P<0,01) pada kadar air, WHC, mutu organoleptik meliputi aroma,
rasa dan warna. Nilai kadar air 8,09-10,11%; Aw 0,893-0,895; WHC 28,51-34-
80%; kadar protein 27,51–28,98%; kadar abu 3,63–3,85%; aroma 3,35–4; rasa
3,2–3,9 dan warna 2,75–4. Naget daging ayam (P3) memberikan hasil terbaik
terhadap kadar air, aktifitas air (Aw), WHC, kadar abu, kadar protein dan mutu
organoleptik. Perlu upaya peningkatan nutrisi dan mutu organoleptik naget hati
ayam.

Kata Kunci : naget, hati ayam, mutu, organoleptik

Pendahuluan
Daging ayam termasuk bahan yang sering digunakan dalam pembuatan naget
atau yang lebih dikenal dengan sebutan chicken naget. Menurut Direktorat Gizi,
Departemen Kesehatan (2010) daging ayam memiliki kandungan protein sebesar
18,20g, lemak sebesar 25g, serta memiliki kalori sebesar 404 Kkal per 100g
daging ayam. Naget merupakan salah satu olahan daging yang cukup popular di
kalangan masyarakat, tetapi tidak banyak kalangan masyarakat dapat
mengkonsumsi naget ayam karena harganya yang relatif mahal. Naget merupakan
produk yang dibuat dari daging tanpa kulit dan tulang yang dicincang, diberi
bumbu, ditambah dengan remahan roti selanjutnya proses penggorengan (Bintoro,
2008). Naget memiliki rasa gurih yang disebabkan komponen dasar yaitu berupa
protein hewani dan lemak serta penambahan garam dan bumbu penyedap lainnya.
Bahan makanan lain dapat menggantikan atau disubstitusikan pada pembuatan
naget daging ayam adalah hati ayam yang diperoleh dan harga terjangkau serta
memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan. Menurut
Astawan (2012) secara umum hati ayam mengandung banyak zat gizi,

522
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

diantaranya pada 100g hati ayam terdapat 1,6g karbohidrat, 27,4g protein, 16,1g
lemak, 100 mg vitamin A, dan 8 mg vitamin C. Vitamin yang terdapat pada hati
ayam yaitu B kompleks, vitamin A, vitamin B12, dan asam folat. Cecilia dan
Melva (2018) menambahkan bahwa kandungan kolesterol hati ayam pedaging
sebesar 592/mg. Fungsi hati sebagai organ detoksifikasi perlu diperhatikan
apabila dikonsumsi berlebihan. Hal ini disebabkan pada hati ayam terdapat
kandungan kolesterol dan toksik. Amertaningtyas, dkk (2021) meneliti kualitas
nugget hati terbaik dibuat dari hati sapi yang dikukus terlebih dahulu (suhu 100oC
selama 10 menit), digiling untuk formulasi adonan nugget dibandingkan dari hati
ayam atau hati sapi mentah/segar, yaitu kadar protein 23,22%; kadar lemak
22,37%; serat kasar 0,66%, kadar berat kering 49,34% dan kadar abu 2,67%.
Penelitian sebelumnya oleh Wijayanti, Hintono dan Pramono (2013) bahwa
proses pengukusan pada hati ayam broiler merupakan salah satu alternatif untuk
melarutkan kandungan kolesterol dan toksik yang berlebihan pada hati ayam
broiler, dengan cara dikukus terlebih dahulu selama ±10 menit pada suhu diatas
100ºC sebelum digiling

Kriteria pertama yang dinilai konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk


misalnya naget yaitu penampakan produk itu baik atau tidak, karena sifat mutu
dinilai dengan penglihatan seperti bentuk, ukuran dan warna produk yang
dipengaruhi oleh komposisi dan formulasi naget. Menurut Sari, Marliyanti,
Kustiyah, Khomsan dan Gantohe (2014) menyatakan bahwa uji organoleptik
dilakukan pada empat atribut yaitu warna, aroma, rasa, dan tekstur. Berdasarkan
uraian diatas, perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh substitusi daging ayam
pada pembuatan naget hati ayam terhadap kadar air, aktifitas air (Aw) dan WHC,
kadar abu, kadar protein dan mutu organoleptik.

Metode
Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Daging Divisi Pengolahan Hasil Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang untuk pembuatan naget, uji
mutu organoleptik, analisis kadar air, aktifitas air (Aw) dan WHC (Water Holding
Capacity). Analisis kadar abu dan kadar protein di Laboratorium Nutrisi dan
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang.

Materi dan metode penelitian


Materi penelitian adalah hati ayam dan daging ayam pedaging bagian dada yang
dibeli di pasar tradisional Karangploso Malang. Bahan lainnya antara lain tepung
tapioka merek Pak Tani, minyak goreng merek bimoli, bawang putih, telur ayam,
merica halus merek ladaku, garam halus merek cap kapal, gula pasir merek
gulaku, dan tepung roti. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan naget terdiri
dari kompor LPG, chopper daging, loyang aluminium, alat pengukus dan
penggorengan dan timbangan digital. Peralatan pengujian WHC yaitu timbangan
analitik merk SF 400, plat kaca, beban 45 kg, kertas saring whatman 42 dan
kertas mm, peralatan untuk uji Aw antara lain Aw meter Rotronic Probe tipe HC2-
AW-(USB), cawan porselin dan wadah untuk menempatkan ke dalam Aw meter
dan peralatan untuk uji kadar air adalah timbangan analitik merk Metter Toledo,
oven merk memmert, botol kaca dan cawan petri kecil, penjepit dan eksikator.

523
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan dengan


menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan
5 ulangan sebagai berikut: P1: 100% hati ayam, P2: 50% daging ayam dan 50%
hati ayam dan P3: 100% daging ayam dengan Uji Jarak Ragam Duncan (UJBD).
Model Linier Rancangan Acak Lengkap (RAL). Kadar air, aktifitas air (Aw),
WHC, kadar abu, kadar protein menurut AOAC (2005) dan mutu organoleptik
dengan uji hedonik atau kesukaan, menurut Setyaningsih, dkk. (2010).

Analisis data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan jika terdapat
perbedaan antar perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Ragam Duncan
(UJBD). Model Linier RancanganAcak Lengkap (RAL).

Hasil Pembahasan
Hasil penelitian yaitu P1 (naget 100% hati ayam), P2 (naget hati ayam dengan
daging ayam 50:50 %) dan P3 (naget daging ayam 100%) tidak menunjukkan
perbedaan pada uji Aw, kadar protein dan kadar abu tetapi berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap kadar air, WHC dan mutu organoleptik meliputi aroma, rasa
dan warna. Rataan nilai kadar air, Aw, WHC, kadar abu, kadar protein dan mutu
organoleptik dapat dilihat pada Tabel.1.

Tabel 1. Rataan nilai kadar air, Aktifitas air (Aw), WHC, kadar protein, kadar abu
dan mutu organoleptik naget.
Kode Kadar Aw WHC Kadar Kadar Mutu organoleptik
air (%) protein Abu
Aroma Rasa Warna
(%) (%) (%)
10,11
0,895 ± 29,43 ± 27,51 3,63 ± 3,40 ± 3,20 ± 2,75 ±
P1 ± a
0,01 5,36 ± 1,81 0,17 0,60a 0,99a 0,91a
1,63 b
8,92
0,893 ± 28,51 ± 28,66 3,70 ± 3,35 ± 3,60 ± 2,80 ±
P2 ± a
0,01 5,28 ± 0,99 0,04 0,75a 0,83ab 0,89a
1,04 a
8,09
0,894 ± 34,80 ± 28,98 3,85 ± 4,00 ± 3,90 ± 4,00 ±
P3 ± b
0,01 1,25 ± 1,02 0,15 0,69b 0,67b 0,73b
0,36 a
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda (a,b) pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01).

Kadar air
Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air naget hati ayam sebesar 10,11%
campuran daging ayam dengan hati ayam 8,92% dan naget daging ayam 8,09%,
menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung masing-masing perlakuan
berbeda sangat nyata (P<0,01). Hal tersebut dimungkinkan karena kadar air pada
hati ayam lebih tinggi dari pada daging ayam yaitu kandungan air pada daging
ayam sebesar 55,90g dan hati ayam sebesar 69,70g (Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, 2010). Kadar air bahan akan mempengaruhi mutu naget yang
dihasilkan. Kadar air yang tinggi akan mengakibatkan mudahnya mikroba

524
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berkembang biak, sehingga berbagai perubahan akan terjadi pada produk naget
tersebut. (Laksono, Bintoro dan Mulyani, 2012).

Penggunaan tepung tapioka sebagai binder agent atau bahan pengikat juga
mempengaruhi kadar air dan tekstur produk yang dihasilkan. Hal tersebut
dimungkinkan karena perbedaan emulsi adonan naget dari bahan yang berbeda
antara hati ayam dan daging ayam. Kadar air pada bahan baku dapat dikurangi
dengan proses pengeringan atau penambahan bahan lain bertujuan untuk
mengawetkan bahan- bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan
kimiawi maupun mikrobiologi (Gita dan Danuji, 2018). Naget hasil penelitian
memenuhi standar kualitas naget yaitu dibawah batas maksimal kadar air naget
yang ditetapkan pada syarat mutu dalam SNI 01-6683-2002 tentang naget daging
ayam maksimal 60%. Laksono, dkk (2012) meneliti kadar air naget ayam yang
disubtitusi dengan jamur tiram putih sebesar 60,06% sampai 61,19%. Subtitusi
daging ayam dengan jamur tiram putih hingga 50% tidak banyak mempengaruhi
kadar air naget daging ayam. Naget ayam penelitian.

Aktifitas air (Aw)


Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi Aw naget. Naget hati
ayam (P1) sebesar 0,895, naget campuran hati ayam dan daging ayam (P2) yaitu
sebesar 0,893 dan naget daging ayam (P3) sebesar 0,894. Menurut Alamsyah
(2004) aktivitas air diatas 0,8 menyebabkan laju kerusakan mikrobiologis kimiawi
dan enzimatik berjalan dengan cepat. Julianti dan Nurminah (2006) menambahkan
bahwa mikroba umumnya berkembang pada Aw 0,6 hingga 0,99 antara lain
bakteri pada Aw minimal 0,90, khamir dan kapang pada Aw minimal 0,62, bakteri
osmofilik pada Aw minimal 0,75 dan ragi osmofilik pada Aw minimal 0,61. Nilai
Aw yang tinggi pada suatu bahan pangan akan menunjukkan resiko kerusakan
mikrobiologis. Gita dan Danuji (2018) menjelaskan bahwa aktifitas air merupakan
faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering selama
penyimpanan. Aktivitas air yang tinggi dapat meningkatkan jumlah
mikroorganisme yang tumbuh pada bahan pangan selama penyimpanan. Dede
(2017) menunjukkan bahwa subtitusi pati kentang pada naget ayam menghasilkan
nilai yang berbeda nyata pada kadar air naget. dan nilai organoleptik, dimana nilai
Aw 0,932.

WHC (Water Holding Capacity)


Tabel 1 menunjukkan bahwa yang terkandung pada naget hati ayam (P1), naget
campuran daging ayam dengan hati ayam (P2) dan naget hati ayam (P3) berbeda
sangat nyata (P<0,01) erat kaitannya dengan kadar air naget. Hasil pengujian
WHC menunjukkan bahwa nilai WHC naget berkisar 28,51 hingga 34,80%,
dengan nilai terendah yaitu 28,51% yang diperoleh dari perlakuan campuran
daging ayam broiler dengan hati ayam broiler (50:50) (P2), sedangkan nilai WHC
yang tertinggi yaitu 34,80% yang diperoleh pada naget daging ayam (100%) (P3).
Menurut Soeparno (2005) bahan baku yang digunakan memperlihatkan proses
penghancuran, misalnya pembuatan produk daging cacah atau daging dibekukan
dan dijual dalam kondisi dicairkan maka kemampuan untuk menahan air dari
daging adalah pertimbangan penting, selain ditentukan oleh jenis daging, WHC
juga ditentukan oleh fungsi otot, pH, dan komposisi kimia daging serta bahan-

525
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

bahan yang ditambahkan dalam daging lumat. Proses pengukusan pada suhu
96⁰C selama 20 menit dapat mengakibatkan perubahan terhadap WHC. Selama
proses pemanasan berlangsung, protein dan air didalam produk pangan saling
berinteraksi dan mempengaruhi kemampuan naget untuk menahan air yang
terkandung.

Daya ikat air merupakan kemampuan protein daging untuk mengikat air selama
ada pengaruh kekuatan dari luar misalnya pemanasan, penggilingan dan tekanan.
Fungsi protein dalam produk adalah untuk mengikat air sehingga dapat
meningkatkan WHC (Della, 2017). Hal ini sesuai dengan pendapat Wijayanti, dkk
(2013) menyatakan bahwa proses pengolahan naget dari bahan baku hati kukus
mempengaruhi rendahnya nilai WHC. Disamping itu proses pengukusan
menurunkan WHC karena terjadi denaturasi dan koagulasi protein. Purnomo
(2000) menambahkan bahwa pengolahan daging dengan menggunakan suhu
tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan
menurunkan kelarutan dan WHC.

Kadar abu
Tabel 1 menunjukkan kadar abu naget tidak berbeda, dengan nilai kadar abu P1
(100% hati ayam) sebesar 3,63% , P2 (sunstitusi hati dan daging ayam) sebesar
3,70 dan P3 (daging ayam pedaging 100%) sebesar 3,85%. Hafid, Nurani,
Agustina, Fitrianingsih, Inderawati, Ananda, and Nurhidayati (2019) menyatakan
bahwa nilai kadar abu ditentukan oleh bahan baku dan bahan tambahan yang
digunakan seperti bahan pengisi (filler) dan bumbu yang digunakan. Kadar abu
berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan
dan kemurnian pangan. Uji kadar abu ditentukan untuk mengukur jumlah total
mineral setelah menghilangkan air dan bahan organik naget (Abdullah, Hassan,
Norlelawati dan Huda, 2018; Yusuf and Suyanto, 2011).

Hasil penelitian Hafid, et al (2019) menunjukkan bahwa pembuatan naget ayam


subtitusi tepung sukun menghasilkan kadar abu dari yang terkecil yaitu 1,51%
sampai yang terbesar adalah 1,99%; dan penelitian Nugraha (2019) menunjukkan
bahwa pembuatan naget ayam dengan penambahan jenis tepung berbeda
menghasilkan kadar abu sebesar 0,62% sampai 0,89%. Kadar abu hasil penelitian
ini tidak berbeda dimungkinkan karena adanya penambahan daging ayam
pedaging dan hati ayam pedaging pada pembuatan naget yang menyebabkan
terjadinya penurunan kadar abu pada naget. Yuliana, dkk (2013) meneliti bahwa
kadar abu naget daging ayam yang disubstitusi dengan hati ayam terjadi
penurunan kadar zat besi pada naget ayam yang disubstitusi dengan hati
ayam, dikarenakan adanya proses pengolahan hati ayam sebanyak tiga kali,
yaitu 1). pengukusan hati ayam sebelum digunakan untuk substitusi
bertujuan untuk menghilangkan kandungan toksik yang ada pada hati ayam, 2).
pengukusan adonan naget dan 3). penggorengan naget daging ayam yang telah
disubstitusi dengan hati ayam. Penelitian Rahman, Soliman, Wahab and Ahmed
(2010) menyebutkan bahwa kadar abu frozen chicken naget dan strips sebesar 0,5
sampai 2,9%,.
Kadar protein

526
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar protein tidak berbeda pada naget hasil
penelitian. Naget P1 (100% hati ayam) sebesar 27,51%, P2 (hati ayam dan daging
ayam 50%:50%) sebesar 28,66% dan P3 (100% daging ayam) sebesar 28,98%.
Naget dengan menggunakan 100% daging ayam menghasilkan kadar protein
terbaik dibandingkan perlakuan lainnya. Kandungan protein pada daging ayam
yang lebih tinggi dibanding kandungan protein hati ayam sehingga pada naget
daging ayam 100% (P3) juga lebih besar kadar proteinnya dibandingkan naget
hati ayam 100% (P1). Sesuai dengan Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan
(2010) yang menyatakan bahwa daging ayam memiliki kandungan protein 18,20-
23,5%, sedangkan hati ayam pedaging memilki kandungan protein
16,60%.Wijayanti, dkk (2013) menyebutkan bahwa substitusi hati ayam kukus
pada pembuatan naget mempengaruhi kadar protein, pH dan selanjutnya
mempengaruhi WHC dan tekstur. Pembuatan naget ayam yang disubtitusi dengan
hati ayam menghasilkan kadar protein antara 16,01% sampai 19,30%. Nandini,
Roifah dan Ahmad (2019) menambahkan bahwa pembuatan naget dengan
kombinasi kacang merah dan hati ayam menghasilkan kadar protein sebesar 11,60
sampai 12,83%. Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (2002) standar kadar
protein minimum chicken naget sebesar 12%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
penelitian pembuatan naget subtitusi daging ayam pedaging dan hati ayam
pedaging memiliki kadar protein yang telah melebihi batas minimum dan
memenuhi standar.

Mutu organoleptik
Tabel 1 menunjukkan bahwa mutu organoleptik aroma, rasa dan warna naget
hasilpenelitian, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Mutu
organoleptik aroma naget yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki rataan
antara 3,35 sampai 4,00. Hasil penelitian Hamidiyah (2018) menunjukkan bahwa
pada naget ayam yang disubtitusi hati ayam menghasilkan mutu organoleptik
aroma sebesar 2,3 sampai 3,2, penelitian Nandini, dkk (2019) pada naget
kombinasi kacang merah dan hati ayam menghasilkan mutu organoleptik aroma
sebesar 3,3 sampai 3,93. Berdasarkan SNI 01-6683-2002 naget ayam, aroma naget
yaitu normal. Aroma naget hasil subtitusi daging ayam pedaging dengan hati
ayam pedaging memperoleh rataan skor 3 sampai 4, termasuk dalam kategori suka
atau dikategorikan normal. Aroma yang terdapat dalam naget ayam dikarenakan
adanya protein dan lemak formulasi bahan naget (Hendronoto, dkk. 2000).
Nugraha (2019) menambahkan bahwa aroma yang terdapat pada naget
dipengaruhi oleh adanya lemak pada daging ayam. Menurut Winarno (2008)
bahwa aroma produk daging dapat dipengaruhi oleh jenis, lama, dan temperatur
pemasakan, selain itu aroma produk daging juga dapat dipengaruhi oleh bahan
yang ditambahkan selama pembuatan dan pemasakan produk daging terutama
bumbunya.

Hasil mutu organoleptik rasa naget penelitian sebesar 3,20 sampai 3,90. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan rasio antara hati ayam pedaging dan daging ayam
pedaging yang memberikan pengaruh terhadap cita rasa naget. Menurut
Hamidiyah (2018), rasa dan aroma khas daging pada pengolahan makanan
berbahan dasar unggas dipengaruhi oleh adanya lemak. Lemak dapat
mempengaruhi rasa naget karena lemak memiliki komponen-komponen yang

527
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

akan menimbulkan suatu flavor pada suatu produk. Naget yang diuji organoleptik
adalah naget yang telah digoreng. Ketika sampel digoreng, air akan menguap dan
konsentrasinya di dalam sampel menurun dengan cepat. Jumlah air yang hilang
akan digantikan dengan jumlah minyak yang diserap proporsional. Hamidiyah
(2018) meneliti naget ayam subtitusi hati ayam menghasilkan mutu organoleptik
rasa sebesar 2,7 sampai 3,3. Yuliana, dkk (2013) menambahkan bahwa pada naget
ayam dengan substitusi hati ayam menghasilkan mutu organoleptik rasa sebesar
3,3 sampai 4,1. Berdasarkan SNI 01-6683-2002 naget ayam, rasa naget yaitu
normal. Rasa naget hasil subtitusi daging ayam pedaging dengan hati ayam
pedaging memperoleh rataan skor 3,2 sampai 3,9, termasuk dalam kategori suka
atau dikategorikan normal. Pencapaian kriteria ini diduga disebabkan karena
lemak dan cairan daging meleleh pada saat pengukusan, sehingga menyebabkan
naget menjadi kurang juicy. Naget memiliki rasa gurih yang disebabkan
komponen dasar yaitu berupa protein hewani dan lemak serta penambahan
garam dan bumbu penyedap lainnya (Muhazalin, dkk. 2015). Evanuarini (2010)
pun menyatakan bahwa rasa gurih dalam naget ditentukan karena adanya
asam amino glutamat, yaitu asam amino dalam protein yang mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan cita rasa. Menurut Herawati (2008) bahwa
produk dengan rasa daging yang khas dan tekstur yang agak kasar adalah kriteria
naget dengan nilai penerimaan lebih diterima konsumen. Naget hati ayam
memberikan rasa naget lebih pahit dibandingkan dengan naget daging ayam.
Penambahan substitusi hati ayam lebih mempengaruhi rasa dibandingkan dengan
penggunaan bumbu, proses pengolahan serta pemasakan sehingga menyebabkan
adanya pengaruh nyata pada cita rasa naget.

Hasil mutu organoleptik warna naget penelitian sebesar 2,8 sampai 4. Hal ini
dimungkinkan karena perbedaan jumlah hati ayam dan daging ayam sebagai
bahan utama naget. Bahan tersebut mempunyai kandungan protein yang termasuk
komponen reaktif pada bahan makanan sehingga bereaksi dengan gula pereduksi,
lemak dan produk oksidasi sehingga memberikan warna lebih gelap. Penelitian
Hamidiyah (2018) pada naget ayam yang disubtitusi hati ayam menghasilkan
mutu organoleptik warna dengan rataan sebesar 1,8 sampai 3,2. Penelitian
Nandini, dkk (2019) pada naget kombinasi kacang merah dan hati ayam
menghasilkan mutu organoleptik warna sebesar 3,1 sampai 3,7. Berdasarkan SNI
01-6683-2002 naget ayam, warna naget yaitu normal. Warna naget hasil subtitusi
daging ayam pedaging dengan hati ayam pedaging memperoleh rataan skor 2,75
sampai 4, termasuk dalam kategori agak suka atau dikategorikan normal. Warna
dalam kualitas organoleptik dapat dinilai dengan indera penglihatan untuk
memberikan ketertarikan visual awal pada suatu produk (Lawless and Heymann.
2010). Fang (2015) berpendapat bahwa warna suatu benda yang diamati oleh mata
manusia disebabkan oleh pantulan cahaya dari benda tersebut yang mana
merupakan warna penting untuk penerimaan konsumen dan preferensi produk
makanan.

Laksmi, Legowo dan Kusrahayu (2012) menyatakan bahwa penurunan sifat


organoleptik pada warna naget dipengaruhi oleh warna daging ayam serta putih
dan kuning telur rebus. Hasil penelitian ini, naget P1 100% hati ayam
menunjukkan warna naget paling hitam dibandingkan dengan yang lain.

528
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penyebab lainnya yang memberikan perubahan warna pada naget yaitu proses
penggorengan. Utami, dkk (2015) menambahkan bahwa warna naget ayam
dipengaruhi saat coating, batttering menggunakan tepung panir (tepung roti)
yang berwarna kuning, breading dan faktor lainnya adalah lama penggorengan
dan suhu saat penggorengan. Fang (2015) menyatakan untuk chicken naget,
warna breading adalah emas (par-frying) atau coklat (fully frying), akibat reaksi
Maillard. Warna breading dipengaruhi oleh satu atau lebih faktor termasuk
minyak goreng, waktu menggoreng, dan suhu penggorengan.

Kesimpulan
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa naget hati ayam yang disubstutusi
dengan daging ayam berbeda pada kadar air, WHC dan mutu organoleptic
(aroma, rasa dan warna), tetapi tidak berbeda pada kadar protein, kadar abu dan
aktifitas air (Aw). Naget dari 100% daging ayam memberikan hasil terbaik pada
kadar air, aktifitas air (Aw), WHC, kadar abu, kadar protein dan mutu
organoleptik dengan nilai kadar air 8,09%; Aw 0,894 dan WHC 34,80%, kadar
abu 3,85%; kadar protein 28,98%; mutu organoleptik aroma 4; mutu organoleptik
rasa 3,9 dan mutu organoleptik warna 4. Perlu upaya peningkay=tan mutu atau
kualitas naget hati ayam.

Daftar Pustaka
Abdullah, N.S., Hassan, C.Z., Norlelawati, A., and Huda, F.N. 2018.
Physicochemical properties and consumer preference of imitation chicken
nagets produced from chickpea flour and textured vegetable protein, 25(3):
1016-1025.
Amertaningtyas, D, Evanuarini, H., dan Apriliyani, M.W. 2021. Kualitas nugget
hati dengan perbedaan jenis hati dan cara pemasakan. Procedding of Seminar
Nasional Teknologi Dan Agribisnis Peternakan Seri 8 (STAP VIII). 24-25 Mei
2021 di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Page: 454-459
AOAC. 2005. Official methods of analysis. association of officials analysis
chemist, 14th ed. Assoc. Agric. Chemist, Washington, D.C
Badan Standardisasi Nasional. 2002. Standardisasi Nasional Indonesia. SNI 01-
6683-2002. Naget Ayam (Chicken naget). Badan Standardisasi Nasional.
Jakata.
Bintoro, V.P. 2008. Teknologi pengolahan daging dan analisis produk. Badan
Penerbit UniversitasDiponegoro, Semarang.
Dede, H. 2017. Pengaruh subtitusi pati kentang (Solanum Tuberosum) terhadap
pH, Kaadar Air, Aktivitas Air (Aw), Gross Energy dan Organoleptik Naget
Ayam. Skripsi Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. Malang.
Della, Y.O. 2017. Kajian pembuatan naget ayam dengan subtitusi umbi keribang
terhadap tepung terigu. Artikel Ilmiah. Fakultas Pertanian. Universitas
TanjungpuraPontianak. Pontianak.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 2010. Daftar komposisi bahan
makanan. Jakarta: Penerbit Bhratara.
Evanuarini, H. 2010. Kualitas chicken naget dengan penambahan putih telur.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 5(2): 17-22.
Fang, J. 2015. Feasibility of functional fibers in soy chicken nagets. Doctoral
Dissertation. A&M University. Texas.

529
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gita, R.S.D & Danuji, S. 2018. Studi pembuatan biskuit fugsional dengan
substitusi tepung ikan gabus dan tepung daun kelor. Jurnal Pendidikan Biologi
dan Sains. 1(2): 155-162.
Hafid, H., Nurani, D. Agustina, Fitrianingsih, Inderawati, S.H. Ananda, D.U.
Anggraini, and F. Nurhidayati. 2019. Chicken naget nutrition composition with
an additional variation of breadfruit flour. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science, 382(1): 1-7.
Hamidiyah, A. 2018. Composition of chicken liver naget to organoleptic and
hemoglobin levels in the efforts to prevent adolescent female anemia.
International Conference on Sustainable Health Promotion, 1(1): 114-118.
Hendronoto, A., Lengkey, A.W., Suryaningsih, L. dan Anshory, M.I. 2009.
Pengaruh penggunaan berbagai tingkat persentase pati ganyong (Canna
edulis ker) terhadap sifat fisik dan akseptabilitas naget ayam. Seminar
Nasional Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Herawati. 2008. Produksi karkas, hasil olahan dan perubahan histologi
organ dan jaringan Ayam Broiler dengan suplemen fitobiotik jahe merah.
Disertasi. Program Studi Ilmu Peternakan Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Julianti, E. dan Nurminah, M. 2006. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Medan:
Universitas Sumatera Utara– Press.
Laksmi, R.T., Legowo, A.M. dan Kusrahayu. 2012. Daya Ikat Air, Ph Dan Sifat
Organoleptik Chicken Naget yang Disubstitusi dengan Telur Rebus. Animal
Agriculture Journal, 1(1): 453-460.
Laksono, M.A., Bintoro, V.O., dan Mulyani, S. 2012. Daya ikat air, kadar air dan
protein naget ayam yang disubtitusi dengan jamur tiram putih (Pleurotus
Ostreatus). Animal agriculture journal. 1(1):685-696.
Lawless, H.T. and Heymann, H. 2010. Sensory Evaluation of Food : Principles
and Practises. Springer Sciences and Bussiness Media. Doi:10.1007/978-1-
4419-6488-5.
Muhazalin, N., Hidayati, L. dan Soekopitojo, S. 2015. Evaluasi mutu dan
kandungan serat nagets berbahan dasar ampok jagung. Tekologi dan Kejuruan,
38 (2): 157-166.
Nandini, A.P., Fajri, R. dan Yani, A. 2019. Daya terima dan kandungan protein
naget kombinasi Kacang Merah (Phaseolus Vulgaris. L) dan hati ayam sebagai
pangan alternatif sumber protein untuk pencegahan stunting. Journal of
Holistic and Health Sciences, 3 (2) : 83-88.
Nugraha, B.D. 2019. Sifat fisiokimia dan organoleptik naget ayam dengan jenis
tepung yang berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian.
Universitas Semarang. Semarang.
Purnomo, H. 2000. Teknologi hasil ternak kaitannya dengan keamanan pangan
menjelang abad 21. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu
Teknologi Hasil Ternak pada Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya,
Malang
Rahman, H.A.A, Soliman, S.A., Wahab, M.M.A., and Ahmed, A.M. 2010.
Proximal chemical quality of frozen and fried chicken nagets and strips.
SCVMJ, 15 (1): 111-119.
Setyaningsih, D. Apriyanto, A, dan Sari, M.P. 2010. Analisis sensori untuk
industri pangan dan agro. Bogor: IPB Press.

530
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Yogyakarta:


GadjahMada University Press.
Utami, E.Y., Rosyidi, D. dan Widyastuti, E.S. 2015. Pengaruh subtitusi daging
ayam broiler dengan jamur salju (Tremella fuciformis) pada kualitas naget
ayam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, 10 (2): 63-75.
Wijayanti, D.A., Hintono, A. dan Pramono, Y.B. 2013. Kadar protein dan
keempukan naget ayam dengan berbagai level substitusi hati ayam broiler.
Animal Agriculture Journal.2(1): 295– 300.
Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
Yuliana, N., Hintono, A. dan Pramono, Y.B. 2013. Kadar lemak, kekenyalan
dan cita rasa naget ayam yang disubstitusi dengan hati ayam broiler. Animal
Agriculture Journal, 2(1): 301-308.

531
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KUALITAS FISIK DAN BAKTERI PADA TELUR ITIK YANG DI JUAL DI


PASAR TRADISIONAL KOTAMADYA JAMBI

Rani Malenta Br Tarigan*, Afriani, Zubaidah

Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi


Jl. Jambi – Ma. Bulian KM. 15 Mendalo Darat kode pos 36361
*
Email korespondensi: ranimalenta07@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fisik dan jumlah bakteri
pada telur itik di pasar tradisional Kotamadya Jambi dan untuk mengetahui pasar
tradisional terbaik dari kualitas fisik dan jumlah bakteri pada telur itik. Penelitian
ini dilaksanakan pada tanggal 10 Januari sampai 28 Februari 2021. Penelitian ini
menggunakan telur itik sebanyak 216 butir yang diperoleh dari pasar tradisional
Kotamadya Jambi yaitu pasar tradisional Keluarga, pasar Aurduri, pasar Talang
Banjar. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan
dalam penelitian ini berupa pasar tradisional Talang Banjar (TB), pasar tradisional
Keluarga (PK), pasar tradisional aurduri (AD) dan 6 pengulangan merupakan
periode pengambilan telur itik selama 1 kali seminggu. Peubah yang diamati yaitu
nilai Haugh unit, pH putih dan kuning telur itik, dan jumlah bakteri. Hasil
penelitian menunjukkan Nilai rata-rata Haugh Unit yang di dapat dari hasil
penelitian ini yaitu dari telur itik pada masing-masing pasar adalah 84,30 pasar
talang banjar, 83,61 pasar aurduri, 83,17 pasar keluarga dengan memili tingkat
derajat kesegaran kualitas AA. Nilai ph putih telur pada masing-masing pasar
berturut-turut yaitu 8.41, 8.36, 8.28. Rata-rata nilai pH kuning telur itik pada
masing-masing pasar tradisional berturut-turut yaitu 6.68, 6.49, 6.40. Dimana
rataan jumlah bakteri pada pasar berturut-turut adalah 7,06 ± 0,14 cfu/g, 7,00 ±
0.10 cfu/g dan 6,94 ± 0.11 cfu/g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pasar
tradisional Kotamadya Jambi (Talang banjar, Keluarga dan Aurduri) tidak
berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah bakteri pada telur itik begitu juga
tidak berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kualitas fisik telur itik berdasarkan
pada nilai Haugh unit, pH putih dan kuning telur itik. Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kualitas fisik telur itik AA dan jumlah
cemaran bakteri masih dalam batas yang dizinkan. Tidak terdapat perbedaan
Kualitas fisik dan jumlah bakteri antara pasar tradisional di kotamadya jambi.

Kata Kunci: bakteri, kualitas fisik, pasar tradisional, telur itik.

Pendahuluan
Telur merupakan salah satu hasil produksi peternakan yang berasal dari ungas dan
bahan pangan yang sering dipilih sebagai sumber protein untuk dikonsumsi, telur
memiliki nilai gizi yang tinggi, mudah dicerna, mudah diperoleh dan harganya
terjangkau. (Menurut Komala, 2008) telur merupakan salah satu makanan yang
mengandung gizi yang cukup tinggi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh guna
menjaga berlangsungnya metabolisme tubuh. Di masyarakat telur sudah banyak

532
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dimanfaatkan untuk kebutuhan makanan, karena telur memiliki rasa enak, mudah
didapat dan murah harganya. Namun telur yang hendak di konsumsi harus
memenuhi standar kriteria layak konsumsi.

Kurtini dkk. (2011) menyatakan telur itik memiliki kelemahan yaitu mudah rusak.
Kualitas telur dapat diartikan sebagai sekumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh
telur dan memiliki pengaruh terhadap penilaian konsumen. Menentukan kualitas
telur terutama bagian isi dalam telur dapat diketahui dengan peneropongan dan
melakukan penilaian kualitas internal telur dengan memecahkan telur kemudian
menempatkannya pada meja kaca, selanjutnya penilaian utama dilakukan terhadap
putih dan kuning telur kemudian penentuan kualitas internal telur yang paling baik
adalah berdasarkan HU yang merupakan indeks dari tinggi putih telur kental
terhadap berat telur. Semakin tinggi nilai HU, semakin baik kualitas putih telur,
ini menandakan telur masih segar. Kerabang telur meliputi bentuk, kelicinan,
ketebalan,keutuhan,dan kebersihan. Salah faktor lain yang menyebabkan
kerusakan pada telur diantaranya: suhu lingkungan, faktor penanganan dan
kondisi penyimpanan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan
telur diantaranya adalah kebersihan di sekitar tempat penyimpanan, lama
penyimpanan dan suhu penyimpanan. Menurut Sudaryani (2003: 22) bahwa
“Suhu optimum penyimpanan telur antara 12-15℃ dan kelembaban 70-80 %, di
bawah atau di atas suhu tersebut akan berpengaruh kurang baik terhadap kualitas
telur”. Telur itik yang berasal dari peternakan pada umumnya banyak
diperdagangkan di pasar tradisional, menurut (Elvira dkk, 1994),telur yang dari
peternak ke pengecer memerlukan waktu 1-8 hari Setelah itu telur -telur tersebut
yang dijual di pasar tradisional hanya ditempatkan di rak-rak telur seperti karton
yang bercekung cekung tanpa disimpan di ruangan yang ber-AC dan biasanya
hanya disimpan pada ruang terbuka. Telur-telur tersebut yang dijual di pasar
tradisional ada yang di simpan lagi selama beberapa hari, apabila belum laku
terjual, padahal kondisi ketahanan telur yang disimpan tanpa pengawetan hanya
mampu bertahan sekitar delapan hari, ditinjau dari batas telur ekonomis untuk
dikonsumsi (Sarwono, 1994 :39).

Pasar tradisional merupakan salah satu yang mungkin dapat memicu perubahan
kualitas telur baik secara fisik maupun secara biologis. Seperti diketahui pasar
tradisional merupakan tempat dimana telur diperjual-belikan. Dan umumnya asal
telur serta lingkungan dari pasar tradisional berbeda beda, seperti dalam penelitian
ini menggunakan 3 pasar tradisional tentunya lingkungan dan asal telurnya juga
berbeda beda. Maka dengan itu muncul pemikiran untuk meneliti telur ayam ras
yang dijual dipasar tradisional kotamadya jambi untuk dapat mengetahui kualitas
fisik telur ayam ras serta berapa jumlah cemaran bakteri yang terdapat di telur itik
dan juga ada tidaknya pengaruh pasar tradisional yang ada di kotamadya jambi
terhadap kualitas fisik serta jumlah cemaran bakteri pada telur itik.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas
Jambi, di mulai pada tanggal 23 September 2020 sampai dengan 20 Oktober
2020.

533
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur itik sebanyak 216 diambil
dari pasar tradisional pasar keluarga kel.simpang III sipin, pasar aurduri, dan
talang banjar. Timbangan digital untuk mengukur botot telur, Jangka sorong
digital untuk mengukur tinggi putih telur, pH meter untuk mengur pH putih dan
kuning telur, medium PCA (Plate Count Agar) untuk pertumbuhan bakteri,
coloni counter untukmenghitung jumlah coloni..

Metode penelitian
Perlakuan pada penelitian ini adalah pasar tradisional di kotamanya Jambi sebagai
beriku pasar talang banjar, pasar aurduri dan pasar keluarga. Pengambilan sampel
telur dilakukan seminggu sekali sebanyak 12 butir telur itik dari masing masing
pasar tradisional yang telah ditentukan dan dilakukan pengulangan 6 kali,
berturut-turut selama 6 minggu dan dari setiap pasar tradisional pengambilan telur
itik dari dua pedagang jadi total sampel telur itik adalah sebanyak 216 butir telur
itik. Setelah sampel diambil dari masing-masing pasar kemudian sebanyak 8 butir
telur ayam ras di uji kualitas fisiknya nya dan sisanya sebanyak 4 butir telur itik
diteliti jumlah bakterinya. Pengujian fisik telur itik terlebih dahulu menimbang
berat telur itik dan kemudian dipecahkan dan diletakkan di atas tripod untuk
mengukur tinggi putih/albumen telur ayam ras, tujuan dari penimbangan dan
pengukuran tinggi putih telur adalah untuk mengukur nilai Haugh unit, dihitung
menggunakan rumus (Raymond dan Haugh, 1937).

Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan.

Peubah yang diamati


Pada pengukuran haugh unit tujuannya untuk mengetahui kekentalan telur
ditentukan berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm) dengan berat
telur (gr), selanjutnya dihitung menggunakan rumus Nilai pH putih dan kuning
telur diukur dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan pH meter
dikalibrasi pada pH 7 dan pH 4. Pengukuran pH dilakukan dengan menyiapkan
sebanyak 5 gram putih dan kuning telur lalu tambahkan 50 ml aquades kemudian
di homogenkan. Lalu ukur pH menggunakan pH meter digital dan amati hasilnya.
Penghitungan total mikroba dilakukan dengan metode Total plate coun yaitu
dengan menyiapkan 1 gr sampel telur. Kemudian siapkan 6 tabung reaksi berisi
larutan pepton yang sudah steril dan tambahkan 1 gr telur. Kemudian lakukan
pengenceran dengan memasukkan ke dalam tabung pertama 10-1 lalu homogenkan
tabung pertama dengan Vortage. Kemudian lakukan pengenceran ke-2 dengan
mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen pada tabung pertama
tersebut menggunakan mikro pipet 10-2 dan homogenkan dengan Vortage.
Lakukan hal tersebut sampai pengenceran 10-6. Setelah dilakukan pengenceran
ambil 1 ml larutan pada pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6 kemudian masikkan
kedalam cawan petri steril. Tuangkan ± 15-20 ml media PCA (plate count agar)
kedalam cawan petri. Homogenkan larutan dengan menggoyang cawan petri
membentuk angka 8 kemudian biarkan sampai beku. Setelah beku cawan petri
dilapisi dengan plastik perekat lalu dimasukkan kedalam inkubator denga cara

534
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dibalik kemudian inkubasi selama 48 jam. Selanjutnya hitung jumlah mikroba


yang tumbuh menggunakan coloni conter.

Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam. Sesuai rancangan yang
digunakan.

Hasil dan Pembahasan


Haugh Unit

Keterangan: tidak beda nyata (P>0,05).


Gambar 1. Histogram nilai haugh unit telur itik yang dijual dipasar tradisional
kotamadya jambi

Nilai rata-rata Haugh Unit yang di dapat dari hasil penelitian ini yaitu dari telur
itik pada masing-masing pasar adalah 84,30 pasar talang banjar, 83,61 pasar
aurduri, 83,17 pasar keluarga dengan memili tingkat derajat kesegaran kualitas
AA setiap pasarnya menunjukkan bahwa telur itik yang dijual di pasar tradisional
kotamadya jambi masih dalam keadaan yang segar dilihat dari rendahnya pasokan
telur itik yang dijual di pasar tersebut dan tingginya permintaan konsumen
membuat telur itik cepat terjual sehingga mengurangi lamanya penyimpanan pada
telur dan kualitas kesegaran telur tetap terjaga. Lama penyimpanannya telur juga
dapat mempengaruhi turunnya Haugh Unit. Telur yang disimpan sampai 10 hari
masih menghasilkan nilai rataan HU yang tinggi dan setelah lewat dari 14 hari
nilai rataan HU-nya akan menurun karena penguapan air (proses evaporasi) dan
kekentalan pada putih telur juga semakin menurun sehingga putih telur menjadi
encer (Anonimus, 2009). Penentuan kualitas Haugh Unit menurut standar United
States Departement of Agriculture (2009) adalah <31 digolongkan kualitas C, 31-
60 digolongkan kualitas B, 60-72 digolongkan kualitas A, >72 digolongkan
kualitas AA. Haugh Unit (HU) merupakan nilai yang meyatakan kualitas telur
yang ditentukan berdasarkan bobot dengan tinggi putih telur (Jazil dkk., 2013).

535
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pH Putih Telur
8.45
8.41
8.40
8.36
8.35

8.30 8.28

8.25

8.20
TB (pasar talang banjar) AD (pasar aurduri) PK (pasar keluarga)

Keterangan: tidak beda nyata (P>0,05).


Gambar 2. Histogram nilai pH putih telur itik yang dijual dipasar tradisional
kotamadya jambi

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pasar tradisional kotamadya jambi


memiliki Nilai ph putih telur pada masing-masing pasar yaitu 8.41 pasar talang
banjar, 8.36 pasar aurduri, 8.28 pasar keluarga. perbedaan pH setiap pasarnya di
sebabkan oleh keadaan pasar tersebut perbedaan suhu dan lamanya penyimpanan
pasa telur di setiap pasarnya. Menurut Belitz and Gorsch (2009), pH putih telur
yang baru dikeluarkan atau telur segar kira-kira 7,6-7,9 dan meningkat sampai
nilai maksimal 9,7 tergantung temperatur dan lama penyimpanan. Peningkatan pH
telur diakibatkan oleh adanya penguapan CO2 sehingga merubah keseimbangan
CO2, ion bikarbonat, dan protein. CO2 yang hilang mengakibatkan konsentrasi ion
bikarbonat menurun dan merusak sistem buffer dan akhirnya pH putih dan kuning
telur menjadi meningkat (Hiroko et al. 2014). Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa tidak dapat perbedaan yang nyata antara pasar tradisional pada pH putih
telur itik (P>0,5).

pH Kuning Telur
6,75 6,68
6,70
6,65
6,60
6,55 6,49
6,50
6,45 6,40
6,40
6,35
6,30
6,25
TB (pasar talang AD (pasar aurduri) PK (pasar
banjar) keluarga)

Keterangan: tidk beda nyata (P>0,05).


Gambar 3. Histogram nilai pH kuning itik yang dijual dipasar tradisional
kotamadya jambi

536
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Rata-rata nilai pH kuning telur itik pada masing-masing pasar tradisional yang ada
di Kotamadya Jambi adalah 6.68 pada pasar Talang Banjar, 6.49 pada pasar
Aurduri, 6.40 pada pasar Keluarga. Sedikitnya pasokan telur itik yang masuk dan
tingginya permintaan membuat telur itik cepat terjual sehingga mengurangi
lamanya penyimpanan telur itik dipasar. Kuning telur yang baru memiliki pH 6.0
dan akan mengalami kenaikan sampai maksimal 6.9 tergantung temperatur dan
lama penyimpanan (Kurtini et al., 2011). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
pasar tradisional Kotamadya Jambi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap
nilai pH kuning telur.

Lama penyimpanan telur ayam ras yang terjadi di pasar tradisional Kotamadya
Jambi akibat dari lama terjualnya telur atau tingkat laku telur menyebabkan
penguapan CO2 yang tinggi yang dapat meningkatkan derajat keasaman putih dan
kuning telur. Terjadinya penguapan CO2 menyebabkan sistem buffer pada putih
telur menurun sehingga terjadi pengenceran putih telur dan perembesan H2O dari
putih telur ke kuning telur. Perpindahan H2O dari putih telur ke kuning telur
menyebabkan berat kuning telur meningkat serta terjadi peregangan membran
vitelin sehingga terjadi percampuran antara putih telur dan kuning telur yang
menyebabkan peningkatan pH kuning telur (Soekarto, 2013)

Total Bakteri
7,08 7,06 x 105
7,06
7,04 7,00 x 105
7,02
7,00
6,98 6,94 x 105
6,96
6,94
6,92
6,90
6,88
6,86
pasar keluarga pasar aurduri pasar talang banjar

Keterangan: Pasar tradisional kotamadya jambi tidak berpengaruh nyata (P>0.05)


terhadap total bakteri.
Gambar 4. Histogram jumlah bakteri telur itik

berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan media PCA (plate count


Agar) bahwa telur itik pada pasar tradisional kotamadya jambi yaitu pasar talang
banjar, pasar keluarga dan pasar aurduri masih dalam standar. Menurut BSN
(2008) bahwa persyaratan mikrobiologi telur konsumsi tidak boleh ada cemaran
mikroba lebih dari 1x105. Dimana rataan jumlah bakteri pada pasar keluarga
adalah 7,06 ± 0,14 cfu/g, pasar aurduri 7,00 ± 0.10 cfu/g dan pasar talang banja
6,94 ± 0.11 cfu/g. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pasar tradisional
kotamadya jambi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap total bakteri yang
tercemar pada telor itik. Tidak adanya perbedaan cemaran mikroba antar
kelompok pasar menunjukkan kemungkinan umur telur yang berada di semua

537
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kelompok pasar memiliki umur simpan yang relatif sama. Hal ini ditunjukkan
juga dengan semua sampel memperlihatkan jumlah cemaran yang sama-sama
tidak melebihi batas maksimum yang diizinkan dalam SNI, yaitu 105 cfu/ g.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kualitas fisik
telur itik AA dan jumlah cemaran bakteri masih dalam batas yang dizinkan.
Tidak terdapat perbedaan Kualitas fisik dan jumlah bakteri antara pasar
tradisional di kotamadya jambi.

Daftar Pustaka
Badan Standarisasi Nasional, 2008. SNI 3926:2008 Telur Ayam Konsumsi.
Standar Nas. Indones. 1–8.
Belitz, H.D and Grosch, W. 2009. Food chemistry. Edisi 4 Revisi. Berlin.
Hiroko, S.P., Kurtini, T., Riyanti. 2014. Pengaruh lama simpan dan warna
kerabang telur ayam ras terhadap indeks albumen, indeks yolk, dan pH telur.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 2(3): 108-114
Jazil, N, Hintono, A. dan Mulyani, S. 2013. Kerabang berbeda selama
penyimpanan. Penurunan kualitas telur ayam ras dengan intensitas warna
coklat kerabang berbeda selama penyimpanan 2:43–47.
Kurtini, T., Nova, K. dan Septinova, D. 2011. Produksi Ternak Unggas.
Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Soekarto, S. 2013. Teknologi Penanganan dan Pengolahan Telur. Alfabeta,
Bandung.
SSteel, R.G.D dan Torrie, J.H. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Penerjemah: Sumantri, B. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Sudaryani. 2000. Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta.

538
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

DAMPAK COVID-19 TERHADAP JUMLAH PENYEMBELIHAN HEWAN


KURBAN DI KOTA BATU, JAWA TIMUR

Eko Saputro1,2, Djalal Rosyidi3*, Lilik Eka Radiati3, Warsito4


1
Balai Besar Pelatihan Peternakan, Batu – Kementerian Pertanian RI
2
Program Doktor Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
3
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
4
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya,
Malang
*Email Korespondensi: djalal_tht@ub.ac.id

Abstrak

Di masa pandemi COVID-19, jumlah penyembelihan hewan kurban terlaporkan


tahun 2020 di Kota Batu sebanyak 4.486 ekor kurban atau mengalami penurunan
sebesar 827 ekor atau 15,566% dari tahun 2019. Jumlah titik penyembelihan
hewan kurban di Kota Batu pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020 sebanyak
386 lokasi atau turun sebanyak 79 lokasi atau 16,989% dari jumlah titik
penyembelihan hewan kurban tahun 2019. Penyebab penurunan tersebut
diperkirakan selain karena kontraksi ekonomi di Jawa Timur dampak pandemi
COVID-19. Selain itu juga akibat tidak dilaksanakannya tradisi penyembelihan
hewan kurban di instansi-instansi pemerintah atau swasta dan sekolah-sekolah.
Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo di masa pandemi COVID-19 ini, menjadi desa
dengan jumlah hewan kurban yang paling banyak se-Kecamatan Junrejo dan se-
Kota Batu sebesar 609 ekor atau 13,576% dari total hewan kurban se-Kota Batu.
Hewan kurban di masa pandemi COVID-19 tahun 2020, di Kota Batu terdiri dari
sapi, kambing dan domba. Hewan kurban yang paling banyak dipilih oleh ummat
muslim di Kota Batu adalah domba sebanyak 2.074 ekor atau 46,233% dari total
hewan kurban. Berdasarkan jumlah hewan kurban di masa pandemi COVID-19
tahun 2020, total pekurban di Kota Batu sebanyak 8.188 orang (1 ekor kambing
atau domba untuk 1 orang dan 1 ekor sapi untuk 7 orang). Ada penurunan jumlah
pekurban sebanyak 1.199 orang atau 12,773% jika dibandingkan dengan jumlah
pekurban sebelum pandemi COVID-19 di tahun 2019 yang sebanyak 9.387 orang.
Tingkat partisipasi berkurban bagi umat Islam di Kota Batu tahun 2020 sebesar
3,909% dari total penduduk Kota Batu yang beragama Islam yang sebanyak
209.479 jiwa atau 95,767% dari total penduduk Kota Batu.

Kata Kunci: COVID-19, hewan kurban, jumlah hewan kurban, Kota Batu,
penyembelihan hewan kurban

Pendahuluan
Masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia baru-baru ini sedang
menghadapi sebuah pandemi, wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
yang menimbulkan sebuah risiko kesehatan yang sangat serius. Langkah-langkah
telah diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk memerangi COVID-19 yang
mematikan di negara ini. Ibadah kurban adalah salah satu pertanyaan yang paling
penting, yang muncul dalam keadaan berbahaya ini. Ini adalah ritual tahunan yang

539
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dilaksanakan oleh ummat muslim di dunia, termasuk Indonesia. Menurut


Kementerian Pertanian, Indonesia, penyembelihan hewan kurban yang terlaporkan
selalu meningkat 10% tetapi di tahun 2020 ini diprediksi turun 3,5% dari tahun
2019 karena dampak COVID-19. Tahun 2020 ini penyembelihan hewan kurban
diprediksi berjumlah 1.802.651 ekor (Kementerian Pertanian, 2020).

Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan secara resmi pertama kali melaporkan


kasus COVID-19 di negaranya sejak 7 Maret 2020 dengan jumlah 4 kasus
konfirmasi positif COVID-19 (3 kasus dari Kota Depok, Jawa Barat dan 1 kasus
dari DKI Jakarta). Indonesia dalam 5 bulan terakhir, hingga Hari Raya Idul Adha,
31 Juli 2020, kasus konfirmasi positif COVID-19 terus meningkat dan telah
mencapai 106.336 kasus secara nasional dan Jawa Timur sendiri sebanyak 21.772
kasus, terbanyak kedua setelah DKI Jakarta (Kementerian Kesehatan, 2020).
Sejak 31 Maret 2020, Pemerintah Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) untuk percepatan penanganan COVID-19, dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020. Selanjutnya di hari
yang sama, Presiden Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) karena kondisi negara dinilai sudah dalam kegentingan
yang memaksa. Perpu tersebut adalah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi COVID-19 dan / atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan / atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Kementerian Pertanian Indonesia sejak 8 Juni 2020 atau sekitar 2 bulan sebelum
pelaksanaan ibadah kurban, telah menerbitkan Surat Edaran Nomor
0008/SE/PK.320/F/06/ 2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan Kurban dalam Situasi
Wabah Bencana Nonalam COVID-19. Surat edaran tersebut mengatur penjualan
hewan kurban dan penyembelihan hewan kurban dengan memperhatikan protokol
kesehatan untuk mencegah dan mengendalikan potensi penularan COVID-19.

Pandemi COVID-l9 telah diprediksi berdampak pada penurunan jumlah


penyembelihan hewan kurban tahun 2020 di Indonesia (Kementerian Pertanian,
2020). Hal ini karena COVID-l9 secara nyata telah mengganggu aktivitas
ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar
negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global
diperkirakan akan menurun dari 3% menjadi hanya l,5% atau bahkan lebih rendah
dari itu. Indonesia diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi
mencapai 4% atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa
parah penyebaran pandemi COVID- 19 mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan
kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi (Presiden Indonesia, 2020). Badan
Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada tanggal 5 Agustus 2020 telah merilis
laporan bahwa ekonomi Indonesia triwulan II 2020 turun 5,32% (BPS, 2020).

Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Menurut Kementerian


Agama (2020), penduduk yang beragama Islam sebanyak 231.069.932 jiwa atau
86,694% dari total jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak 266.534.836 jiwa.
Data Dukcapil (Kependudukan dan Catatan Sipil) per November 2019, penduduk
Indonesia sebanyak 266,5 juta (Kementerian Komunikasi dan Informasi, 2020).

540
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua
setelah Jawa Barat. Menurut Kementerian Agama (2020), penduduk Jawa Timur
yang beragama Islam sebanyak 39.554.069 jiwa atau 97,170% dari total penduduk
40.706.075 jiwa. Luas wilayah Jawa Timur adalah yang paling luas di antara 34
propinsi di Indonesia yakni seluas 47.963 km2 yang meliputi dua bagian utama:
Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Secara administratif, Propinsi Jawa
Timur terbagi menjadi 29 kabupaten dan 9 kota, dengan Kota Surabaya sebagai
ibukota propinsi. Ini menjadikan Jawa Timur sebagai propinsi yang memiliki
jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia (Dinas Kominfo Jawa Timur,
2020). Kota Batu adalah salah satu dari 9 kota di Jawa Timur dengan jumlah
penduduk 218.739 jiwa per tahun 2020 yang 95,767% atau 209.479 jiwa
beragama Islam (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batu, 2020) dan
luas wilayah secara keseluruhan sekitar 199,09 km2 atau sekitar 0,42% dari total
luas Jawa Timur sehingga kepadatan penduduknya sebesar 1.092 jiwa per km2
(BPS Kota Batu, 2020). Kota Batu selain dikenal sebagai kota wisata, juga
terkenal sebagai daerah penghasil susu sapi. Menurut BPS Kota Batu (2020),
tahun 2019 populasi ternak terutama sapi perah cukup besar yaitu mencapai
12.431 ekor. Selain itu terdapat pula sapi potong sebanyak 2.526 ekor, kambing
5.975 ekor dan domba 7.950 ekor. Secara administratif, Kota Batu terbagi menjadi
3 kecamatan yang terdiri dari 19 desa dan 5 kelurahan. Kecamatan Bumiaji terdiri
dari 9 desa, Kecamatan Batu terdriri dari 4 desa dan 4 kelurahan, sedangkan
Kecamatan Junrejo terdiri dari 6 desa dan 1 kelurahan.

Artikel ini akan membahas dampak COVID-19 terhadap jumlah penyembelihan


hewan kurban di Kota Batu, Jawa Timur. Artikel ini ditulis berdasarkan laporan
penyembelihan hewan kurban dari 3 kecamatan di Kota Batu yang berhasil
dihimpun oleh peneliti dari beberapa titik penyembelihan hewan kurban di Kota
Batu, antara lain: masjid, mushalla, pondok pesantren, instansi pemerintah dan
swasta, rumah potong hewan (RPH) dan data penyembelihan hewan kurban dari
Dinas Pertanian Kota Batu sejak tahun 2019 dan 2020.

Metode
Desain penelitian ini adalah statistik deskriptif yaitu teknik statistik yang
memberikan informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud
untuk menguji hipotesis dan kemudian menarik inferensi yang digeneralisasikan
untuk data yang lebih besar atau populasi. Penelitian ini menggunakan metode
statistik yang meringkas, menyajikan dan mendeskripsikan data dalam bentuk
yang mudah dibaca sehingga memberikan kemudahan dalam memberikan
informasi, gambaran dan penjelasan mengenai data. Data yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder, baik yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif. Data sekunder diantaranya berupa laporan jumlah
penyembelihan hewan kurban terlaporkan sebelum masa pandemi COVID-19 atau
tahun 2018 dan 2019 yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Batu. Data primer
diantaranya berupa laporan jumlah penyembelihan hewan kurban terlaporkan di
masa pandemi COVID-19 atau tahun 2020 saat ini yang diperoleh peneliti dari
beberapa takmir masjid dan Dinas Pertanian Kota Batu. Pengumpulan data
statistik dalam penelitian ini menggunakan cara sensus di 19 desa dan 5 kelurahan
di 3 kecamatan se-Kota Batu. Sensus adalah cara mengumpulkan data dengan

541
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

jalan mencatat atau meneliti seluruh elemen yang menjadi objek penelitian
(populasi). Kata lain dari sensus adalah pencatatan data secara menyeluruh atau
dikenal dengan complete enumeration. Data yang telah terkumpul dalam
penelitian ini dianalisis dengan metode statistika deskriptif dengan menyajikan
data dalam tabel, grafik, ukuran pemusatan data dan penyebaran data.

Hasil dan Pembahasan


Jenis Hewan Kurban di Kota Batu
Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban tahun 2020 yang bertepatan pada
hari Jum’at, 31 Juli 2020 dilalui oleh segenap ummat Islam di Indonesia di saat
pandemi COVID-19. Jumlah hewan kurban tahun 2020 nasional diprediksi oleh
Kementerian Pertanian turun 3,5% dari tahun 2019 karena dampak COVID-19.
Tahun 2020 ini penyembelihan hewan kurban diprediksi berjumlah 1.802.651
ekor (Kementerian Pertanian, 2020). Jumlah penyembelihan hewan kurban paling
banyak diprediksi di Propinsi Jawa Barat dan terbanyak kedua di Propinsi Jawa
Timur jika didasarkan pada jumlah penduduk beragama Islam. Penduduk muslim
di Jawa Barat mencapai 44.374.684 jiwa sedangkan penduduk muslim di Jawa
Timur mencapai 39.554.069 jiwa atau 17,118% dari total penduduk beragama
Islam secara nasional (Kementerian Agama, 2020).

Hewan kurban di Kota Batu, Jawa Timur terdiri dari sapi, kambing dan domba
seperti tersaji pada Gambar 1. Masa pandemi COVID-19 ini, hewan kurban yang
paling banyak dipilih oleh ummat muslim di Kota Batu, Jawa Timur adalah
domba sebanyak 2.074 ekor atau 46,233% dari total hewan kurban. Desa
Mojorejo, Kecamatan Junrejo di masa pandemi COVID-19 ini, menjadi desa
dengan jumlah domba kurban yang paling banyak sebesar 469 ekor atau 22,613%
dari total domba kurban se-Kota Batu. Hal ini berbeda dengan ibadah kurban
tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19, dimana kambing yang paling banyak
dipilih oleh ummat muslim di Kota Batu, Jawa Timur. Menurut Dinas Peternakan
Propinsi Jawa Timur (2020), kambing selalu menjadi pilihan yang paling disukai
dan paling banyak dipilih oleh ummat muslim di Jawa Timur dari tahun ke tahun.
Tiga tahun berturut-turut persentase kambing kurban selalu diatas 60% dari total
hewan kurban setiap tahunnya. Mulai 2018, 2019 dan 2020 berturut-turut
persentase kambing kurban adalah 69,081 ; 68,289 dan 69,321% dari total hewan
kurban.

Masa pandemi COVID-19 ini, kambing dijadikan hewan kurban oleh ummat
muslim di Kota Batu sebanyak 1.795 ekor atau 40,013% dari total keseluruhan
hewan kurban. Menempatkan kambing diposisi kedua yang paling banyak dipilih
setelah domba di tahun 2020 ini. Tahun sebelumnya, di tahun 2019 kambing
menempati posisi pertama sebanyak 2.357 ekor atau 44,363% dari total
keseluruhan hewan kurban di Kota Batu. Desa Pendem, Kecamatan Junrejo di
masa pandemi COVID-19 ini, menjadi desa dengan jumlah kambing kurban yang
paling banyak sebesar 205 ekor atau 11,421% dari total kambing kurban se-Kota
Batu.

Masa pandemi COVID-19 ini sama seperti sebelum pandemi di tahun 2019, sapi
menempati urutan ketiga dan dipilih oleh ummat muslim di Kota Batu sebanyak

542
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

617 ekor atau 13,754% dari total keseluruhan hewan kurban. Tahun sebelumnya,
di tahun 2019, sapi kurban ada sebanyak 679 ekor atau 12,780% dari total
keseluruhan hewan kurban. Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo di masa pandemi
COVID-19 ini, menjadi desa dengan jumlah sapi kurban yang paling banyak
sebesar 78 ekor atau 12,642% dari total sapi kurban se-Kota Batu.

Jumlah penyembelihan hewan kurban di Jawa Timur


Masa pandemi COVID-19 ini, jumlah penyembelihan hewan kurban terlaporkan
tahun 2020 di Kota Batu mengalami penurunan sebesar 15,566% dari tahun 2019
atau 827 ekor hewan kurban. Penurunan terseut paling banyak disumbang dari
penurunan jumlah kambing kurban yang mencapai 67,957% dari total penurunan
hewan kurban. Total jumlah penyembelihan hewan kurban terlaporkan tahun
2020 di Kota Batu mencapai 4.486 ekor hewan kurban sedangkan tahun 2019
mencapai 5.313 ekor hewan kurban.

Gambar 1. Grafik berbagai jenis hewan kurban di Kota Batu tahun 2020

Gambar 2. Grafik jumlah titik penyembelihan dan hewan kurban di Kota Batu
tahun 2020

543
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Perbandingan jumlah penyembelihan berbagai jenis hewan kurban tahun


2019 dan 2020
Selisih
Hewan Kurban 2019 2020
Angka (%)
Kecamatan Batu
Sapi 345 241 -104 -30,145
Kambing 1.188 764 -424 -35,690
Domba 952 609 -343 -36,029
Jumlah Hewan 2.485 1.614 -871 -35,050
Kecamatan Junrejo
Sapi 130 195 65 50,000
Kambing 793 638 -155 -19,546
Domba 986 924 -62 -6,288
Jumlah Hewan 1.909 1.757 -152 -7,962
Kecamatan Bumiaji
Sapi 204 181 -23 -11,275
Kambing 376 393 17 4,521
Domba 339 541 202 59,587
Jumlah Hewan 919 1.115 196 21,328
Total
Sapi 679 617 -62 -9,131
Kambing 2.357 1.795 -562 -23,844
Domba 2.277 2.074 -203 -8,915
Hewan Kurban 5.313 4.486 -827 -15,566

Kambing kurban di masa pandemi COVID-19 ini turun paling signifikan dan
paling banyak sebesar 562 ekor atau 23,844% dari total kambing kurban di tahun
2019 atau 67,957% dari total penurunan hewan kurban. Domba kurban turun 203
ekor atau 8,915% dari total domba kurban di tahun 2019 atau 24,547% dari total
penurunan hewan kurban. Sapi kurban turun 62 ekor atau 9,131% dari total sapi
kurban di tahun 2019 atau 7,487% dari total penurunan hewan kurban.

Jumlah titik penyembelihan hewan kurban di Kota Batu pada masa pandemi
COVID-19 ini turun sebanyak 79 lokasi atau 16,989% dari jumlah titik
penyembelihan hewan kurban tahun 2019. Jumlah titik penyembelihan hewan
kurban tahun ini sebanyak 386 lokasi sedangkan tahun 2019 sebanyak 465 lokasi.
Jumlah titik penyembelihan hewan kurban yang terbanyak berada di Kecamatan
Batu sebanya 177 titik lokasi atau 45,855% dari total titik penyembelihan hewan
kurban se-Kota Batu. Selanjutnya disusul Kecamatan Junrejo sebanyak 118 titik
lokasi (30,570%) dan terakhir Kecamatan Bumiaji sebanyak 91 titik lokasi
(23,575%). Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu yang paling banyak se-Kota Batu
untuk jumlah titik penyembelihan hewan kurbannya sebanyak 44 titik lokasi dan
disusul Kelurahan Temas, Kecamatan Batu sebanyak 36 titik lokasi dan Desa
Pendem, Kecamatan Junrejo sebanyak 33 titik lokasi. Desa Sumbergondo,
Kecamatan Bumiaji menjadi desa yang paling sedikit se-Kota Batu untuk jumlah
titik penyembelihan hewan kurbannya sebanyak 3 titik lokasi.

544
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penurunan jumlah titik penyembelihan hewan kurban di Kota Batu karena tidak
ada lagi tradisi penyembelihan hewan kurban di beberapa sekolah negeri atau
swasta dan beberapa instansi pemerintah atau swasta. Hal ini akibat ditutupnya
semua sekolah tingkat dasar sampai menengah baik negeri atau swasta di Kota
Batu, yang diganti dengan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini sebagai
konsekuensi PSBB yang diberlakukan pemerintah sejak 31 Maret 2020 melalui
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan
COVID-19. Menurut Dinas Pendidikan Kota Batu (2020), pada tahun 2019,
jumlah sekolah tingkat dasar sampai menengah baik negeri atau swasta di Kota
Batu sebanyak 151 unit sekolah. Komposisinya adalah 91 SD Sederajat, 31 SMP
Sederajat dan 29 SMA Sederajat. Seluruh fasilitas pendidikan tersebut
menampung 19.620 murid SD/MI, 9.898 murid SLTP/MTs dan 12.042 murid
SMA/SMK/MA.

Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo di masa pandemi COVID-19 ini, menjadi desa
dengan jumlah hewan kurban yang paling banyak se-Kecamatan Junrejo dan se-
Kota Batu sebesar 609 ekor atau 13,576% dari total hewan kurban se-Kota Batu.
Komposisi terbanyak hewan kurban yang tersebar di 16 titik penyembelihan
hewan kurban di Desa Mojorejo berupa domba sebanyak 469 ekor (77,0115%).
Disusul sapi sebanyak 78 ekor (12,808%) dan kambing sebanyak 62 ekor
(10,181%).

Sementara itu, Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji tempat dimana terdapat


Objek Wisata Pemandian Air Panas Cangar, Taman Hutan Rakyat Raden Soerjo,
di masa pandemi COVID-19 ini, menjadi desa dengan jumlah hewan kurban yang
paling sedikit se-Kecamatan Bumiaji dan se-Kota Batu sebesar 42 ekor atau
0,936% dari total hewan kurban se-Kota Batu. Komposisi terbanyak hewan
kurban yang tersebar di 7 titik penyembelihan hewan kurban di Desa
Sumberbrantas berupa kambing sebanyak 26 ekor (61,905%). Disusul domba
sebanyak 10 ekor (23,810%) dan sapi sebanyak 6 ekor (14,286%).

Meskipun jumlah penduduk beragama Islam di Kecamatan Junrejo yang paling


sedikit se-Kota Batu tetapi di masa pandemi COVID-19 ini, Kecamatan Junrejo
menjadi kecamatan yang paling banyak jumlah penyembelihan hewan kurbannya
se-Kota Batu sebanyak 1.757 ekor hewan kurban atau 35,979% dari total hewan
kurban (Lihat Tabel 1). Disusul berikutnya oleh Kecamatan Batu, dengan jumlah
penyembelihan hewan kurbannya 1.614 ekor atau 39,166% dan terakhir
Kecamatan Bumiaji sebanyak 1.115 ekor atau 24,855% dari total hewan kurban.
Kecamatan Batu merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk beragama Islam
yang paling banyak se-Kota Batu tetapi di masa pandemi COVID-19 ini jumlah
penyembelihan hewan kurbannya tidak demikian. Kecamatan Batu di tahun
sebelumnya, di tahun 2019, menjadi kecamatan yang paling banyak jumlah
penyembelihan hewan kurbannya se-Kota Batu sebanyak 2.485 ekor hewan
kurban atau 46,772% dari total hewan kurban. Jadi tahun ini di Kecamatan Batu
berkurang sangat banyak sebanyak 871 ekor atau 35,050% dari jumlah
penyembelihan hewan kurban tahun 2019. Tahun 2019, Kecamatan Junrejo
menjadi terbanyak kedua jumlah penyembelihan hewan kurbannya sebanyak

545
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

1.909 ekor hewan kurban dan di masa pandemi COVID-19 tahun ini berkurang
sebanyak 152 ekor atau 7,962% dari jumlah penyembelihan hewan kurban tahun
2019. Di Kecamatan Junrejo tahun ini, sapi kurbannya bertambah 65 ekor atau
naik 50% dari jumlah sapi kurban tahun 2019. Sementara itu, Kecamatan Bumiaji
setiap tahunnya selalu menjadi kecamatan yang paling sedikit jumlah
penyembelihan hewan kurbannya meskipun jumlah penduduk beragama Islam
lebih banyak dibandingkan Kecamatan Junrejo. Masa pandemi COVID-19 ini,
Kecamatan Bumiaji menjadi satu-satunya kecamatan yang tidak berkurang
bahkan bertambah jumlah penyembelihan hewan kurbannya sebanyak 196 ekor
hewan kurban atau naik 21,328% dari tahun 2019. Tahun lalu, di 2019 jumlah
penyembelihan hewan kurbannya sebanyak 919 ekor dan tahun ini sebanyak
1.115 ekor hewan kurban. Penambahan hewan kurban disumbang oleh domba
kurban (202 ekor) dan kambing (17 ekor) sedangkan sapi kurban turun sebanyak
23 ekor atau 11,275% dari tahun 2019.

Masa pandemi COVID-19 ini, dari 118 titik penyembelihan hewan kurban di 7
desa wilayah Kecamatan Junrejo, Desa Mojorejo menjadi desa dengan jumlah
hewan kurban yang paling banyak se-Kecamatan Junrejo sebesar 609 ekor atau
34,661% dari total hewan kurban se- Kecamatan Junrejo. Disusul berikutnya
secara berurutan oleh Kelurahan Junrejo (293 ekor), Desa Pendem (247 ekor),
Desa Beji (189 ekor), Desa Torongrejo (166 ekor), Desa Dadaprejo (162 ekor)
dan yang paling sedikit, Desa Tlekung (91 ekor). Total penyembelihan hewan
kurban di Kecamatan Junrejo sebanyak 1.757 ekor. Komposisinya paling banyak
berupa domba kurban sebanyak 924 ekor atau 52,590% dari total hewan kurban
se-Kecamatan Junrejo. Selanjutnya disusul kambing kurban sebanyak 638 ekor
(36,312%) dan sapi kurban sebanyak 195 ekor (11,099%). Desa Pendem menjadi
desa dengan titik penyembelihan hewan kurban terbanyak se- se-Kecamatan
Junrejo sebanyak 33 titik lokasi.

Ibadah kurban di 177 titik penyembelihan hewan kurban di 8 desa/kelurahan


wilayah Kecamatan Batu di masa pandemi COVID-19 ini, paling banyak jumlah
penyembelihan hewan kurbannya dan paling banyak titik penyembelihannya
berada di Kelurahan Sisir sebanyak 424 ekor hewan kurban atau 26,270% dari
total hewan kurban se-Kecamatan Batu yang tersebar di 42 titik lokasi. Disusul
berikutnya secara berurutan oleh Kelurahan Temas (424 ekor), Desa Oro-oro
Ombo (228 ekor), Desa Sumberejo (214 ekor), Kelurahan Ngaglik (189 ekor),
Desa Pesanggrahan (123 ekor), Desa Sidomulyo (84 ekor), dan paling sedikit
Kelurahan Songgokerto (65 ekor). Total penyembelihan hewan kurban di
Kecamatan Batu sebanyak 1.614 ekor. Komposisinya paling banyak berupa
kambing kurban sebanyak 764 ekor atau 47,336% dari total hewan kurban se-
Kecamatan Batu. Selanjutnya disusul domba kurban sebanyak 609 ekor
(37,732%) dan sapi kurban sebanyak 241 ekor (14,932%).

Kecamatan Bumiaji yang merupakan kecamatan dengan luas wilayah terluas se-
Kota Batu, di masa pandemi COVID-19 ini, paling banyak jumlah penyembelihan
hewan kurbannya berada di Desa Giripurno sebanyak 187 ekor atau 16,771% dari
total hewan kurban se-Kecamatan Bumiaji. Disusul berikutnya secara berurutan
oleh Desa Tulungrejo (159 ekor), Desa Bumiaji (156 ekor), Desa Gunungsari (145

546
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ekor), Desa Punten (1 43 ekor), Desa Bulukerto (141 ekor), Desa Pandanrejo (90
ekor), Desa Sumbergondo (52 ekor) dan paling sedikit Desa Sumberbrantas (42
ekor). Total penyembelihan hewan kurban di 91 titik penyembelihan hewan
kurban di 9 desa wilayah Kecamatan Bumiaji sebanyak 1.115 ekor atau 24,855%
dari total hewan kurban se-Kota Batu. Komposisinya paling banyak berupa
domba kurban sebanyak 541 ekor atau 48,520% dari total hewan kurban se-
Kecamatan Batu. Selanjutnya disusul kambing kurban sebanyak 393 ekor
(35,247%) dan sapi kurban sebanyak 181 ekor (16,233%). Desa Tulungrejo
menjadi desa dengan titik penyembelihan hewan kurban terbanyak se-Kecamatan
Bumiaji sebanyak 16 titik lokasi.

Jumlah penduduk beragama islam yang melaksanakan ibadah kurban


Jika didasarkan kepada syariat Islam tentang ibadah kurban, maka 1 ekor kambing
atau domba untuk 1 orang pekurban dan 1 ekor sapi atau kerbau untuk maksimal 7
orang pekurban. Meskipun untuk 1 atau 7 jiwa saja tetapi pahala seekor hewan
kurban bisa diniatkan untuk seluruh anggota keluarga pekurban. Berdasarkan
jumlah hewan kurban di masa pandemi COVID-19 ini, di Kota Batu ada sebanyak
3.869 ekor kambing dan domba kurban serta 617 ekor sapi kurban. Jika setiap
sapi kurban diperuntukkan bagi 7 orang pekurban maka ada sekitar 4.319 orang
pekurban. Dengan demikian dapat dihitung total pekurban di Kota Batu sebanyak
8.188 orang atau hanya 3,909% dari total penduduk Kota Batu yang beragama
Islam yang sebanyak 209.479 jiwa.

Ada penuruanan jumlah pekurban sebanyak 1.199 orang atau 12,773% jika
dibandingkan dengan jumlah pekurban sebelum pandemi COVID-19 di tahun
2019. Pelaksanaan ibadah kurban tahun 2019 di Kota Batu ada sebanyak 4.634
ekor kambing dan domba kurban serta 679 ekor sapi kurban. Jika setiap sapi
kurban diperuntukkan bagi 7 orang pekurban maka ada sekitar 4.753 orang
pekurban. Dengan demikian dapat dihitung total pekurban tahun 2019 di Kota
Batu sebanyak 9.387 orang atau hanya 4,481% dari total penduduk Kota Batu
yang beragama Islam yang sebanyak 209.479 jiwa.

Masa pandemi COVID-19 ini, total pekurban di Kecamatan Junrejo mengalami


kenaikan sebanyak 238 orang atau 8,851% dari tahun 2019. Tahun 2020 ini,
jumlah pekurban menjadi 2.927 orang pekurban atau hanya 5,531% dari total
penduduk Kecamatan Junrejo yang beragama Islam. Tahun lalu, di 2019, jumlah
pekurban mencapai 2.689 orang pekurban atau hanya 5,081% dari total penduduk
Kecamatan Junrejo yang beragama Islam. Total pekurban tahun 2020 ini
didasarkan pada jumlah kambing dan domba kurban sebanyak 1.562 ekor dan sapi
kurban sebanyak 195 ekor. Jika setiap sapi kurban diperuntukkan bagi 7 orang
pekurban maka ada sekitar 1.365 orang pekurban. Tahun ini jumlah sapi kurban
bertambah 65 ekor atau 50% dari tahun 2019. Hal inilah yang paling banyak
menyumbang peningkatan jumlah pekurban di Kecamatan Junrejo. Penduduk
beragama Islam di Kecamatan Junrejo sebanyak 52.923 jiwa atau 24,195% dari
total penduduk Kota Batu (BPS Kota Batu, 2020) atau 96,087% dari total
penduduk Kecamatan Junrejo yang sebanyak 55.078 jiwa (Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kota Batu, 2020).

547
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Selain di Kecamatan Junrejo, pekurban di Kecamatan Bumiaji di masa pandemi


COVID-19 ini juga bertambah sebanyak 58 orang pekurban atau 2,706% dari
tahun 2019. Tahun 2020 ini, jumlah pekurban menjadi 2.201 orang pekurban atau
hanya 3,524% dari total penduduk Kecamatan Bumiaji yang beragama Islam.
Tahun lalu, di 2019, jumlah pekurban mencapai 2.143 orang pekurban atau hanya
3,431% dari total penduduk Kecamatan Bumiaji yang beragama Islam. Total
pekurban tahun 2020 ini didasarkan pada jumlah kambing dan domba kurban
sebanyak 934 ekor dan sapi kurban sebanyak 181 ekor. Jika setiap sapi kurban
diperuntukkan bagi 7 orang pekurban maka ada sekitar 1.267 orang pekurban.
Jumlah penduduk Islam di Kecamatan Bumiaji sebanyak 62.466 jiwa atau
28,557% dari total penduduk Kota Batu (BPS Kota Batu, 2020) atau 98,372% dari
total penduduk Kecamatan Bumiaji yang sebanyak 63.500 jiwa (Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batu, 2020).

Jumlah pekurban di masa pandemi COVID-19 ini di Kecamatan Batu mengalami


penurunan yang sangat signifikan, berkurangnya mencapai 1.495 orang pekurban
atau -32,821% dari tahun 2019. Di masa pandemi COVID-19, Kecamatan Batu
menjadi satu-satunya kecamatan yang berkurang jumlah pekurbannya di antara 3
kecamatan se-Kota Batu. Tahun ini, jumlah pekurban menjadi sebanyak 3.060
orang pekurban atau hanya 3,252% dari total penduduk Kecamatan Batu yang
beragama Islam. Tahun lalu, di 2019, jumlah pekurban mencapai 4.555 orang
pekurban atau hanya 4,841% dari total penduduk Kecamatan Batu yang beragama
Islam. Total pekurban tahun 2020 ini didasarkan pada jumlah kambing dan domba
kurban sebanyak 1.373 ekor dan sapi kurban sebanyak 241 ekor. Jika setiap sapi
kurban diperuntukkan bagi 7 orang pekurban maka ada sekitar 1.687 orang
pekurban. Jumlah penduduk Islam di Kecamatan Batu sebanyak 94.090 jiwa atau
43,015% dari total penduduk Kota Batu (BPS Kota Batu, 2020) atau 93,939% dari
total penduduk Kecamatan Batu yang sebanyak 100.161 jiwa (Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batu, 2020).

COVID-19 dan jumlah penyembelihan hewan kurban


Penurunan jumlah penyembelihan hewan kurban secara nasional, termasuk di
Kota Batu sudah dapat dipastikan dampak pandemi COVID-19 di Indonesia yang
telah terkonfirmasi pertama kali sejak 7 Maret 2020 sampai saat ini. Pandemi
COVID-19 menyebabkan semua sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia
ditutup dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebagai konsekuensi
PSBB yang diberlakukan pemerintah sejak 31 Maret 2020 melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.
Sekolah tingkat dasar sampai menengah baik negeri atau swasta di setiap
menjelang Hari Raya Idul Adha selalu menyelenggarakan tradisi arisan atau iuran
hewan kurban oleh siswa dan wali murid beragama Islam di setiap sekolah. Hal
ini bertujuan untuk mendidik dan melatih berkurban bagi segenap siswa muslim.
Oleh karena di masa pandemi COVID-19 ini sekolahan tutup, tradisi yang baik
tersebut tidak dilaksanakan sehingga sangat signifikan mengurangi jumlah
penyembelihan hewan kurban. Potensi pengurangan hewan kurban dari beberapa
sekolah di Kota Batu lebih dari 151 ekor. Hal ini jika didasarkan pada jumlah
sekolah tingkat dasar sampai menengah baik negeri atau swasta di Kota Batu

548
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

sebanyak 151 unit sekolah. Komposisinya adalah 91 SD Sederajat, 31 SMP


Sederajat dan 29 SMA Sederajat (Dinas Pendidikan Kota Batu, 2020).

PSBB juga memberikan konsekuensi instansi-instansi pemerintah atau swasta


harus memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah (work from home / WFH).
Hal ini untuk mencegah dan mengendalikan penularan COVID-19. Banyak
instansi pemerintah atau swasta selama ini melaksanakan tradisi penyembelihan
hewan kurban di instansinya masing-masing setiap tahunnya. Oleh karena
instansi-instansi tersebut dibatasi jam operasionalnya dan jumlah stafnya yang
bekerja, maka tahun ini mereka tidak melaksanakan tradisi tersebut. Hal ini juga
sangat signifikan mengurangi jumlah penyembelihan hewan kurban di masa
pandemi COVID-19 ini. Selain itu, anjuran pemerintah yang lebih
merekomendasikan penyembelihan hewan kurban tahun ini dilaksanakan di
rumah potong hewan (RPH) di kabupaten/kota masing-masing sesuai
Rekomendasi Kementerian Pertanian Indonesia melalui Surat Edaran Nomor
0008/SE/PK.320/F/06/2020 tanggal 8 Juni 2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Kurban dalam Situasi Wabah Bencana Nonalam COVID-19.

Kondisi perekonomian nasional, termasuk di Jawa Timur yang mengalami


kontraksi atau pertumbuhan yang negatif akibat pandemi COVID-19 sangat
signifikan menurunkan pendapatan dan daya beli masyarakat yang mayoritas
beragama Islam. Menurut laporan BPS (2020), secara year on year, pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur Triwulan II-2020 tumbuh negatif sebesar -5,90%. Hampir
semua subkategori industri di Jawa Timur tumbuh minus akibat terdampak
COVID-19 kecuali industri makanan dan minuman dan industri kimia, farmasi
dan obat tradisional. Pengeluaran konsumsi rumah tangga terkontraksi akibat
wabah COVID-19 menyebabkan adanya kebijakan dari pemerintah dengan
memberlakukan PSBB sehingga membatasi ruang gerak aktivitas masyarakat
untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari, termasuk kegiatan produktif. Untuk
sebagian orang, kontraksi ekonomi ini bisa menjadi sumber kesulitan, karena di
saat kontraksi, banyak orang kehilangan pekerjaan. Mayoritas penduduk
Indonesia memeluk agama Islam. Saat ini ada lebih dari 207 juta muslim di
Indonesia atau 87,2%. Data Dukcapil (Kependudukan dan Catatan Sipil) per
November 2019 penduduk Indonesia sebanyak 266,5 juta (Kementerian
Komunikasi dan Informasi, 2020). Menurut BPS, penduduk Jawa Timur sebanyak
38.828.061 jiwa sesuai hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun
2015 (BPS, 2015) dan 96,36% beragama Islam (BPS, 2010). Oleh karenanya,
resesi ekonomi pandemi COVID-19 ini sangat signifikan menurunkan jumlah
penyembelihan hewan kurban. Hal ini akibat sebagian besar masyarakat muslim
yang biasanya memiliki tradisi berkurban setiap tahunnya, tahun ini mengalami
kesulitan ekonomi.

Kesimpulan
Masa pandemi COVID-19 ini, jumlah penyembelihan hewan kurban terlaporkan
tahun 2020 di Kota Batu mengalami penurunan sebesar 827 ekor atau 15,566%
dari tahun 2019. Total jumlah penyembelihan hewan kurban terlaporkan tahun
2020 di Kota Batu mencapai 4.486 ekor sedangkang sebelumnya di tahun 2019
sebanyak 5.313 ekor hewan kurban. Jumlah titik penyembelihan hewan kurban di

549
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kota Batu pada masa pandemi COVID-19 ini turun sebanyak 79 lokasi atau
16,989% dari jumlah titik penyembelihan hewan kurban tahun 2019. Jumlah titik
penyembelihan hewan kurban tahun ini sebanyak 386 lokasi sedangkan tahun
2019 sebanyak 465 lokasi. Penyebab penurunan tersebut diperkirakan selain
karena kontraksi ekonomi di Kota Batu juga karena tidak dilaksanakannya tradisi
arisan atau iuran hewan kurban oleh siswa dan wali murid beragama Islam di
setiap sekolah karena ditutup serta tidak dilaksanakannya tradisi penyembelihan
hewan kurban di instansi-instansi pemerintah atau swasta. Desa Mojorejo,
Kecamatan Junrejo di masa pandemi COVID-19 ini, menjadi desa dengan jumlah
hewan kurban yang paling banyak se-Kecamatan Junrejo dan se-Kota Batu
sebesar 609 ekor atau 13,576% dari total hewan kurban se-Kota Batu. Desa
Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji di masa pandemi COVID-19 ini, menjadi
desa dengan jumlah hewan kurban yang paling sedikit se-Kecamatan Bumiaji dan
se-Kota Batu sebesar 42 ekor atau 0,936% dari total hewan kurban se-Kota Batu.
Tahun 2019, Kecamatan Batu menjadi kecamatan yang paling banyak jumlah
penyembelihan hewan kurbannya se-Kota Batu sebanyak 2.485 ekor hewan
kurban atau 46,772% dari total hewan kurban. Masa pandemi COVID-19 ini,
Kecamatan Junrejo menjadi kecamatan yang paling banyak jumlah
penyembelihan hewan kurbannya se-Kota Batu sebanyak 1.757 ekor hewan
kurban atau 35,979% dari total hewan kurban. Disusul berikutnya oleh Kecamatan
Batu, dengan jumlah penyembelihan hewan kurbannya 1.614 ekor atau 39,166%
dan terakhir Kecamatan Bumiaji sebanyak 1.115 ekor atau 24,855% dari total
hewan kurban se-Kota Batu. Hewan kurban di masa pandemi COVID-19 ini, di
Kota Batu terdiri dari sapi, kambing dan domba. Hewan kurban yang paling
banyak dipilih oleh ummat muslim di Kota Batu adalah domba sebanyak 2.074
ekor atau 46,233% dari total hewan kurban. Selanjutnya kambing sebanyak 1.795
ekor atau 40,013% dari total keseluruhan hewan kurban dan terakhir sapi
sebanyak 617 ekor atau 13,754% dari total keseluruhan hewan kurban.
Berdasarkan jumlah hewan kurban di masa pandemi COVID-19 ini, total
pekurban di Kota Batu sebanyak 8.188 orang jika 1 ekor kambing atau domba dan
1 ekor sapi masing-masing dihitung untuk 1 dan 7 orang pekurban. Ada
penuruanan jumlah pekurban sebanyak 1.199 orang atau 12,773% jika
dibandingkan dengan jumlah pekurban sebelum pandemi COVID-19 di tahun
2019 yang sebanyak 9.387 orang. Tingkat partisipasi berkurban bagi umat Islam
di Kota Batu masih rendah yaitu tahun 2020 sebesar 3,909% dan tahun 2019
sebesar 4,481% dari total penduduk Kota Batu yang beragama Islam yang
sebanyak 209.479 jiwa atau 95,767% dari total penduduk Kota Batu.

Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu dan Dinas Pertanian Kota Batu tahun
depan bisa melaksanakan pelatihan penyembelihan hewan kurban, pelatihan
manajemen pelaksanaan ibadah kurban dan pelatihan pemeriksaan antemortem
dan postmortem hewan kurban dengan prioritas peserta dari desa/kelurahan yang
paling banyak jumlah hewan kurban dan jumlah titik penyembelihan hewan
kurbannya. Desa/kelurahan tersebut, berurutan adalah Kelurahan Sisir, Kelurahan
Temas, Desa Pendem dan Desa Oro-oro Ombo. Pemeriksaan dan pendataan
hewan kurban tahun depan sebaiknya dilakukan oleh petugas yang diseleksi dan
dilatih dengan cakupan kerja per petugas 5-10 titik penyembelihan hewan kurban.
Jadi bukan lagi 1 desa/kelurahan 1 petugas seperti tahun ini. Meskipun ini akan

550
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berdampak pada penyiapan anggaran yang memadai oleh Pemerintah Kota Batu.
Pemeriksaan dan pendataan hewan kurban tahun depan sebaiknya melibatkan
pengurus Dewan Masjid Indonesia Kota Batu yang telah memiliki jaringan di
masjid-masjid hingga tingkat RW dan dengan menggunakan aplikasi teknologi
informasi yang mutakhir untuk memudahkan pelaporan dan pengarsipan.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya melalui
Program Hibah Penelitian Guru Besar Tahun 2021. Terima kasih yang agung
disampaikan kepada segenap pejabat struktural dan fungsional medik
veteriner/paramedik veteriner serta petugas pelapor desa/kelurahan Dinas
Pertanian Kota Batu atas kerjasamanya dalam pelaksanaan pemeriksaan dan
pendataan hewan kurban tahun 2020. Selain itu penulis sampaikan terima kasih
kepada segenap pengurus Dewan Masjid Indonesia Kota Batu di masjid-masjid
atau mushalla desa/kelurahan hingga tingkat RW atas perkenannya turut serta
melaporkan pemeriksaan dan pendataan hewan kurban tahun 2020 di
masjid/mushalla masing-masing. Semoga kerjasama yang sangat baik ini
senantiasa berlanjut dan berkualitas. Hanya Allah SWT Yang Maha Pembalas
Segala Kebaikan Bapak/Ibu sekalian dengan kebaikan yang lebih banyak dan
berkah. Jazakumullah ahsanul jaza’. Aamiiin.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. 2010. Sensus penduduk 2010. Diakses
pada 8 Agustus 2020, https://sp2010.bps.go.id/
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. 2016. Profil penduduk Indonesia Hasil
Supas 2015. Diterbitkan pada 30 Nopember 2016,
https://www.bps.go.id/publication/2016/11/30/63daa471092bb2cb7c1fada6/pro
fil-penduduk-indonesia-hasil-supas-2015.html
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. 2020. Ekonomi Indonesia Triwulan II
2020 Turun 5,32 Persen. Diterbitkan pada 5 Agustus 2020,
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/08/05/1737/-ekonomi-indonesia-
triwulan-ii-2020-turun-5-32-persen.html
Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur. 2019. Jumlah Penduduk dan Laju
Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur,
2010, 2016, dan 2017. Diterbitkan pada 15 Oktober 2019,
https://jatim.bps.go.id/statictable/2019/10/15/1920/jumlah-penduduk-dan-laju-
pertumbuhan-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-timur-2010-
2016-dan-2017-.html
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batu. 2020. Statistik Daerah Kota Batu 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batu. 2020. Jumlah Penduduk Menurut
Kecamatan dan Agama yang Dianut di Kota Batu, 2017. Diterbitkan pada 12
Desember 2018, https://batukota.bps.go.id/statictable/2018/12/12/315/jumlah-
penduduk-menurut-kecamatan-dan-agama-yang-dianut-di-kota-batu-2017.html
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batu. 2020. Sebaran Penduduk.
Diakses pada 8 Agustus 2020, https://dispendukcapil.batukota.go.id/sebaran-
penduduk.html
Dinas Kominfo Jawa Timur. 2020. Sekilas Jawa Timur. Diterbitkan pada 09 Juli
2015, http://jatimprov.go.id/read/profil/sekilas-jawa-timur

551
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kementerian Agama. 2020. Data Penduduk Menurut Agama per Provinsi. Diakses
pada 8 Agustus 2020,
https://data.kemenag.go.id/agamadashboard/statistik/umat
Kementerian Kesehatan. 2020. Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus
Disease (COVID-19) 31 Juli 2020. Diterbitkan pada 31 Juli 2020,
https://covid19.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/info-corona-
virus/situasi-terkini-perkembangan-coronavirus-disease-covid-19-31-juli-
2020/#.XzNW4zUxXIU
Kementerian Komunikasi dan Informasi. 2020. Agama. Diakses pada 8 Agustus
2020, https://indonesia.go.id/profil/agama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2020. Jumlah Data Satuan Pendidikan
(Sekolah) Per Provinsi : Prov. Jawa Timur. Diakses pada 8 Agustus 2020,
https://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php?kode=050000&level=1
Kementerian Pertanian. 2020. Kementan Atur Pelaksanaan Kurban di Tengah
Pandemi. Diterbitkan pada 14 Juli 2020,
https://ditjenpkh.pertanian.go.id/kementan-atur-pelaksanaan-kurban-di-tengah-
pandemi
Presiden Indonesia. 2020. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan / atau
dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan / atau Stabilitas Sistem Keuangan.

552
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

KUALITAS EGG TOFU KOMPOSIT DITINJAU DARI WARNA,


AKTIVITAS AIR (Aw) DAN PROFIL PROTEIN

Anik Sulistiyowati1, Imam Thohari2,*


1
Alumni Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2
Dosen Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: itohfptub@ub.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan telur dengan


persentase yang berbeda dan untuk mengetahui perlakuan terbaik dalam
pembuatan egg tofu. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan sehingga
akan diperoleh 15 unit percobaan. Perlakuan penelitian ini menggunakan telur
pada pembuatan egg tofu. Adapun untuk perlakuan tersebut adalah P0 (100 %
kedelai sebagai perlakuan kontrol), P1 (100 % kedelai : 25 % telur), P2 (100 %
kedelai : 50 % telur), P3 (100 % kedelai : 75 % telur), P4 (100 % kedelai : 100 %
telur). Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah pengujian warna L*a*b*,
aktivitas air (Aw) dan profil protein. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
Microsoft Office Excel dengan analisis ragam (ANOVA) dengan Rancangan
Acak Lengkap. Apabila terjadi perbedaan pengaruh antar perlakuan maka
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD). Hasil penelitian bahwa
penambahan telur dengan persentase yang berbeda pada pembuatan egg tofu
memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai rata-rata pada
warna L*(Lightness) 62,43-65,50, warna a* (Redness) 12,13-13,73, warna b*
(Yellowness) 19,20-31,37, pada aktivitas air (Aw) tidak memberikan pengaruh
yang nyata (P>0,05) dengan nilai rata-rata 0,89-0,92 serta tidak meingkatkan nilai
profil protein dengan berat molekul 26,75-30,25 kDa. Kesimpulan dari penelitian
ini yaitu pada perlakuan P4 dengan perbandingan antara 100% kedelai dan 100%
telur memberikan hasil terbaik dengan rataan warna L*(Lightness) 62,43, warna
a* (Redness) 13,73, warna b* (Yellowness) 31,37, nilai aktivitas air (Aw) 0,89 dan
nilai profil protein 26,75kDa.

Kata Kunci: egg tofu, warna, aktivitas air, profil protein.

Pendahuluan
Telur merupakan salah satu sumber protein hewani di samping daging, ikan, dan
susu. Telur adalah bahan pangan hasil ternak unggas yang memiliki sumber
protein hewani yang memiliki rasa lezat, mudah dicerna dan bergizi tinggi.
Teknik pengolahan telur telah banyak dilakukan untuk meningkatkan daya tahan
serta kesukaan konsumen (Irmansyah dan Kusnadi, 2009). Telur mempunyai nilai
nutrisi yang tinggi namun mudah mengalami kerusakan sehingga perlu
dilakukannya pengawetan untuk mencegah kerusakan, memperpanjang daya
simpan serta mempermudah transportasi dan distribusi. Pengolahan telur dapat
dijadikan sebagai tahu dengan penambahan persentase telur yang berbeda.

553
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kedelai merupakan salah satu diantara beberapa komoditas tanaman yang


memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia. Kedelai (Glycine max) adalah
komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kedelai
berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat penting dalam rangka
peningkatan gizi masyarakat karena aman bagi kesehatan dan murah harganya.
Kedelai dapat diolah sebagai bahan industri olahan pangan seperti tahu, tempe,
kecap, susu kedelai, tauco, snack dan sebagainya (Wahyudin, dkk., 2017).

Tahu sebagai salah satu olahan pangan dari kedelai tentulah tidak asing lagi untuk
didengar, karena tahu sudah menjadi makanan paling favorit bagi orang Indonesia
yang digunakan sebagai lauk pendamping nasi maupun sebagai camilan, baik itu
tanpa olahan maupun dengan dimodifikasi menjadi bentuk panganan lainnya yang
berbasis tahu. Tahu merupakan salah satu produk olahan kedelai yang diproses
melalui penggumpalan ekstrak protein kedelai. Menurut SNI 01-3142-1998
(1998). Definisi tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang
dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycine Species) dengan cara
pengendapan proteinnya, dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya yang
diijinkan. Menurut Widianingrum (2015), kandungan gizi dalam tahu, memang
masih kalah dibandingkan lauk pauk hewani, seperti telur, daging dan ikan.
Namun, dengan harga yang lebih murah, masyarakat cenderung lebih memilih
mengkonsumsi tahu sebagai bahan makanan pengganti protein hewani untuk
memenuhi kebutuhan gizi.

Egg tofu atau tamagodofu (Jepang), dan doufu, riben doufu (Cina) adalah tahu
dengan rasa gurih yang dibuat dengan memasukkan telur kocok yang disaring ke
dalam sari kedelai sebelum koagulan ditambahkan. Campuran diisi ke dalam
tabung plastik dan dibiarkan mengental. Tahu itu kemudian dimasak dalam
kemasannya dan dijual. Tahu telur memiliki warna emas pucat yang diperoleh
dari bahan telur. Hampir semua masyarakat Indonesia mengenal tahu akan tetapi
belum banyak teknologi atau cara mengolah tahu menjadi oalahan yang lainnya
seperti halnya egg tofu (Rohaman, Enie, Hanafi, dan Syarief, 1994). Penelitian
tentang pengaruh persentase telur yang berbeda masih jarang dilakukan, oleh
karena itu egg tofu dengan campuran sari kedelai (komposit) adalah suatu produk
yang perlu dilakukan penelitian penambahan persentase telur yang berbeda.

Metode
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian dan analisis dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya untuk pembuatan egg tofu dan
pengujian aktivitas air (Aw). Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya untuk pengujian warna L*a*b* dan
Laboratorium Inbio Indonesia Malang untuk pengujian profil protein. Penelitian
dilakukan pada bulan Desember 2020 hingga Februari 2021.

Materi penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu egg tofu yang terbuat dari
kacang kedelai (Glycine max) yang diperoleh dari Pasar Dinoyo Malang, telur
ayam ras dari Peternakan Pak Indra di Junrejo Kota Batu dan GDL (batu tahu)

554
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang dibeli dari toko online. Peralatan yang digunakan dalam penelitian egg tofu
ini adalah blender, timbangan analitik, baskom, panci, pengukus, kompor, sendok,
kain saring, plastik kemasan, kertas label. Peralatan yang digunakan untuk analisis
pengujian warna yaitu color reader, aktivitas air dengan Aw meter dan profil
protein dengan seperangkat alat elektroforesis.

Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan laboratorium dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan, sehingga
diperoleh 15 unit percobaan. Perlakuan kontrol (P0) dibuat dengan menggunakan
kedelai 100% dan tanpa penambahan telur, P1 dibuat dengan penambahan telur
25%, P2 dibuat dengan penambahan telur 50%, P3 dibuat dengan penambahan
telur 75%, dan P4 dibuat dengan penambahan telur 100%.

Analisis data
Data yang diperoleh dari pengujian warna, aktivitas air (Aw) dan profil protein
pada pembutan egg tofu dengan penambahan persentase telur yang berbeda
dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel dengan analisis ragam (ANOVA)
dengan Rancangan Acak Lengkap. Apabila terjadi perbedaan pengaruh antar
perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD).

Variabel Pengamatan
1. Uji warna menggunakan metode color reader menurut Setyowati dan Fithri
(2014).
2. Uji aktivitas air (Aw), menggunakan metode pengukuran Aw meter menurut
Suharyanto (2009).
3. Uji profil protein, menggunakan metode SDS-PAGE menurut (Fatchiyah
dkk., 2011).

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis Egg Tofu dengan perlakuan penambahan telur dengan persentase
yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap warna (L*a*b*) dan
aktivitas air. Nilai rata-rata hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan
profil protein dapat dilihat di Gambar 2.

Tabel 1. Rata-rata Nilai Warna (L*a*b*) dan Aw Egg Tofu Kkomposit


Perlakuan L* a* b* Aw
b b a
P0 65,50 ± 0,21 13,63 ± 0,15 19,20 ± 0,36 0,90 ± 0,01
b a b
P1 65,33 ± 0,32 12,13 ± 0,25 27,87 ± 0,35 0,92 ± 0,02
P2 65,30b ± 0,78 13,13b ± 0,32 29,60b ± 0,36 0,90 ± 0,03
a b c
P4 63,63 ± 1,33 13,60 ± 0,20 30,93 ± 2,12 0,91 ± 0,03
P5 62,43a ± 0,79 13,73b ± 0,15 31,37c ± 0,90 0,89 ± 0,01

Pengaruh Persentase Telur terhadap Warna L*a*b* Egg Tofu


Pengujian warna pada egg tofu dengan penambahan persentase telur
menggunakan alat yaitu color readerdengan menggunakan simbol L* (Lightness),
a* (Redness), b* (Yellowness). Nilai L (Lightness) menunjukan tingkat
gelap terang dengan kisaran 0-100 dimana nilai 0 menunjukan warna cenderung

555
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

hitam atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menunjukan kecenderungan warna
terang atau putih. Warna a* menunjukan parameter warna kromatik campuran
merah hijau ditunjukan oleh kirasan a+ = 0-100 untuk warna merah sedangkan a-
= 0-(-80) untuk warna hijau. Warna b* menunjukan parameter warna kromatik
campuran biru kuning ditunjukan oleh isaran b+ = 0-70 untuk warna kuning
sedangkan b- = 0-(-70) untuk warna biru (Engelen dkk., 2017).

Pengaruh Persentase Telur terhadap Warna L* (kecerahan) Egg Tofu


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa persentase telur pada pembuatan egg
tofu memberikan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap warna L*. Data pada
Tabel 1 menunjukan bahwa nilai rata-rata warna L* antara 62,43˗65,50. Hasil
analisis pada perlakuan persentase penambahan telur terhadap nilai L* egg tofu
pada perlakuan P0, P1 dan P2 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan P3
dan P4. Nilai warna L* tertinggi diperoleh dari P0 nilai L* terendah diperoleh
dari P4. Penurunan tingkatan warna L* egg tofu pada setiap perlakuan diduga
dipengaruhi oleh persentase penambahan telur yang semakin banyak. Nilai rata-
rata warna L* pada perlakuan P0 yaitu 65,50 menunjukan warna paling cerah.
Menurut Engelen (2017) bahwa nilai L* (Lightness) menunjukan tingkat gelap
terang dengan kisaran 0-100 dimana nilai 0 menunjukan warna cenderung hitam
atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menunjukan kecenderungan warna terang
atau putih.

Pengaruh Persentase Telur terhadap Warna a* (kemerahan) Egg Tofu


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa persentase penambahan telur pada
pembuatan egg tofu memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap warna
a* Nilai rata- rata warna a* dapat dilihat pada Tabel 2.

Nilai rata-rata warna a* pada egg tofu berkisar antara 12,13-13,73. Warna a* pada
P0 dengan perlakuan kontrol atau perlakuan tanpa menggunakan penambahan
telur menunjukkan nilai rata-rata 13,63, kemudian P1 mengalami perununan pada
nilai 12,13. Selanjutnya untuk P2, P3 dan P4 mengalami peningkatan. Warna a*
tertinggi pada P4 hal ini dikarenakan pada perlakuan tersebut dengan persentase
penambahan telur sebesar 100%, sehingga warna pada egg tofu cenderung
berwarna merah. Warna kemerahan pada egg tofu diduga oleh kuning telur yang
mempunyai pigmen atau warna karotenoid. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Yamamoto, Juneja, Hatta dan Kim (2007) yang menyatakan bahwa karotenoid
merupakan pigmen alami dan dikenal secara luas dari warnanya terutama warna
kuning, oranye dan merah.

Pengaruh Persentase Telur terhadap Warna b* (kekuningan) Egg Tofu


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa persentase penambahan telur pada
pembuatan egg tofu memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap warna
b*. Nilai rata- rata warna b* pada egg tofu berkisar antara 19,20-31,37.

Peningkatan tingkatan warna b* egg tofu pada setiap perlakuan diduga


dipengaruhi oleh persentase penambahan telur yang semakin banyak. Sehingga
peningkatan warna b* berbanding lurus dengan peningkatan persentase telur.
Semakin banyak penambahan telur maka akan meningkatkan nilai warna b* pada

556
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

egg tofu. Hal ini sesuai dengan Argo, Tristiarti dan Mangisah, (2013).menyatakan
bahwa warna kuning telur dipengaruhi zat-zat yang terkandung dalam pakan
seperti xanthofil, beta karoten, klorofil, dan cytosan.

Pengaruh Persentase Telur terhadap Aktivitas Air (Aw) Egg Tofu


Aktivitas air (Aw) dalam suatu produk merupakan jumlah air bebas yang terdapat
di dalam suatu produk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sakti dkk., (2016) yang
menyatakan bahwa aktivitas air bahan pangan adalah jumlah air bebas yang
terkandung dalam bahan pangan, yang dapat digunakan oleh mikroba untuk
pertumbuhannya. Aktivitas air (Aw) merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kerusakan pangan karena aktivitas air dapat menggambarkan
kebutuhan bakteri akan air.

Hasil analisis berdasarkan Tabel 4 menunjukan bahwa persentase telur


berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai aktivitas air (Aw). Nilai rata-rata
aktivitas air (Aw) berkisar antara 0,89 ˗ 0,92. Nilai aktivitas air (Aw) tertinggi
diperoleh dari P1 dengan perlakuan penambahan telur sebesar 25% sedangkan
nilai aktivitas air (Aw) terendah diperoleh dari P4 dengan perlakuan penambahan
telur sebesar 100%. Semakin banyak penambahan telur pada pembuatan egg
tofu, akan menyebabkan persentase aktivitas air (Aw) menurun. Nilai aktivitas air
(Aw) berkaitan dengan konsentrasi kadar air, semakin tinggi kadar air maka
semakin tinggi pula nilai aktivitas air (Aw). Apabila nilai kadar air naik maka
berhubungan dengan terurainya komponen egg tofu yang disebabkan oleh bakteri.

Tahu pada umumnya mempunyai daya simpan yang singkat dan terbatas rata-rata
1-2 hari dalam kondisi suhu kamar. Penambahan telur dapat meningkatan
kapasitas menahan air dan dapat menyerap air dalam egg tofu. Banyaknya
kandungan air dalam egg tofu dapat menyebabkan kerusakan dan peluang
mikroorganisme tumbuh dan berkembang sehingga dapat membuat egg tofu tidak
akan bertahan lama dalam penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Suharyanto (2009) yang menyatakan bahwa aktivitas air (Aw) menggambarkan
banyaknya air bebas pada bahan pangan yang dapat digunakan untuk aktivitas
biologis mikroorganisma. Oleh karenanya nilai Aw berkaitan dengan tingkat
keawetan suatu bahan pangan. Serta pendapat Mamuja (2016) pertumbuhan
mikroba tidak pernah terjadi tanpa adanya air. Air dalam subtract yang dapat
digunakan untuk pertumbuhan mikorba biasanya dinyatakan dengan istilah water
activity (Aw).

Pengaruh Persentase Telur terhadap Profil Protein Egg Tofu


Hasil analisis profil protein menggunakan uji SDS-PAGE (Sodium Dodecyl
Sulphate Poly Acrylamide Gel Electrophoresis) terhadap egg tofu dengan
persentase yang berbeda ditampilkan pada Gambar 2.

557
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 2. Profil protein dengan elektroforesis SDS-PAGE pada egg tofu.


Keterangan: M (Marker/penanda berat molekul protein

Uji SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Poly Acrylamide Gel Electrophoresis)


merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui berat molekul suatu protein
pada sampel. Menurut Afrianti dkk., (2013) prinsip yang di gunakan dalam
elektroforesis untuk memisahkan molekul-molekul protein dengan muatan yang
berbeda. Protein merupakan suatu makromolekul kompleks yang tersusun dari
rantai asam amino yang membentuk bahan dasar dari protein. Protein juga dapat
dipisahkan satu dari yang lain oleh elektroforesis. Protein yang dipisahkan dengan
SDS-PAGE dapat dikarakterisasi berdasarkan berat molekulnya dengan satuan
Kilo Dalton (kDa).

Hasil analisis profil protein pada perlakuan P0 terdapat 2 pita protein dengan berat
molekul 22,5 kDa dan 38 kDa sedangkan pada perlakuanP1, P2, P3, dan P4 juga
terdapat 2 pita protein dengan berat molekul yang sama yaitu 22,5 kDa dan 31
kDa. Hasil dari P0 dengan perlakuan kontrol 100% kedelai atau perlakuan tanpa
menggunakan penambahan telur memiliki berat molekul lebih besar dibandingkan
dengan perlakuan P1, P2, P3, dan P4. Profil protein pada egg tofu terdeteksi
kurang baik karena hanya terdapat 2 pita protein, tebal tipisnya pita protein yang
muncul pada uji profil protein tergantung pada jenis protein. Menurut Fukusima
(2004) sekitar 90% protein kedelai merupakan protein simpanan yang sebagaian
besar terdiri dari glisinin (11S globulin) dan β- konglisinin (7S globulin). Pada
penelitian ini pita protein kedelai yang muncul yaitu protein glisinin. Hal ini
didukung dengan pendapat Fontes et al., (1984) glisinin terdiri atas polipeptida
asam dengan berat molekul sekitar 36 kDa. Glisinin mempunyai peran sebagai
antioksidan dan dapat menurunkan kadar kolesterol. Menurut Fitranti dan
Diassafons, (2016) mekanisme penurunan kolesterol adalah dengan meningkatkan
sekresi asam empedu dan menghambat absorbsi kolesterol yang diasup dari
makanan sehingga dapat menurunkan kolesterol total.

558
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Profil protein egg tofu pada penelitian ini memiliki berat molekul rata-rata 26,75
kDa hal tersebut hampir sama dengan protein yang ada pada putih telur yaitu
protein ovomucoid. Andriani dkk., (2015) menyatakan bahwa ovomucoid adalah
bagian yang menggumpal pada saat putih telur dipanaskan. Menurut Ismoyowati
(2020) ovomucoid memiliki berat molekul 28 kDa dikenal sebagai inhibitor
trypsin. Ovomucoid dapat digunakan untuk mengendalikan mikroorganisme
sehingga dapat digunakan sebagai agen antimikroba untuk suatu makanan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan persentase
telur sebanyak 100% memberikan hasil terbaik pada produk egg tofu ditinjau dari
warna L*a*b*, aktivitas air (Aw), dan profil protein. Nilai rata-rata warna
L*(Lightness) 62,43, warna a* (Redness) 13,73, warna b* (Yellowness) 31,37, nilai
aktivitas air (Aw) 0,89 dan nilai profil protein 26,75kDa. Namun, perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai penambahan bahan-bahan tertentu yang dapat
meningkatkan mutu egg tofu dan dengan variabel yang berbeda.

Daftar Pustaka
Afrianti, M., Dwiloka, B. dan Setiani, B.E. 2013. Perubahan warna, profil protein,
dan mutu organoleptik daging Ayam Broiler setelah direndam dengan ekstrak
daun senduduk. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2(3): 116-120. Glycinin and
β-conglycinin Subunits. Plant Physiology. 76 : 840-842.
Fukusima D. 2004. Soy proteins in Yada RY (Eds) proteins in food processing.
Woodhead Publishing Limited Cambridge. 123-140.
Ismoyowati. 2020. Potensi telur sebagai immunomodulatory food di masa new
normal pasca pandemi Covid 19. Prosiding Seminar Teknologi dan
Agribisnis Peternakan. ISBN: 978-602-52203-2-6.
Mamuja, C.F. 2016. Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan. Manado: UNSRAT
ISBN : 978-979- 3660-48-6.
Rohman, M.M., Enie, A.B., Hanafi dan Syarief, R. 1994. Studi penggunaan
varietas kedelai dan penambahan telur pada pembuatan dan penyimpanan tahu
telur. Warta IHPI. 11 (1-2) : 1-7.
Sakti, H., S. Lestari dan A. Supriadi. 2016. Perubahan Mutu Ikan Gabus (Channa
striata) Asap selama Penyimpanan. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. 5(1): 11-18.
Setyowati, W.T. dan Nisa, F.C. 2013. Formulasi biskuit tinggi serat (kajian
proporsi bekatul jagung : tepung terigu dan penambahan baking powder).
Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2 (3) : 224-231.
Suharyanto. 2009. Aktivitas air (Aw) dan warna dendeng daging giling terkait cara
pencucian (Leaching) dan jenis daging yang berbeda. Jurnal Sain Peternakan
Indonesia. 4 (2): 113-120.
Wahyudin, A., Wicaksono, F.Y., Irwan, A.W., Ruminta dan Fitriani, R. 2017.
Respons tanaman kedelai (Glycine max) varietas Wilis akibat pemberian
berbagai dosis pupuk N, P, K, dan pupuk guano pada tanah Inceptisol
Jatinangor. Jurnal Kultivasi. 16 (2) : 333-339.
Widaningrum, I. 2015. Teknologi pembuatan tahu yang ramah lingkungan (Bebas
Limbah). Jurnal Dedikasi. 12 (2) : 14-21.
Yamamoto, T, Juneja, L.R., Hatta, H., Kim, M. 2007. Hen eggs: Basic and applied
science. Canada:University of Alberta.

559
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita


moschata) SEBAGAI STABILIZER PADA MAYONNAISE RENDAH
LEMAK DENGAN WAKTU PENYIMPANAN YANG BERBEDA

Hemas Azizila Nidhal1, Herly Evanuarini2,*, Imam Thohari2


1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
2
Dosen Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*Email korespondensi: herlyfpt@ub.ac.id

Abstrak

Mayonnaise rendah lemak merupakan suatu produk inovasi pangan fungsional


emulsi semi padat. Kandungan lemak pada mayonnaise rendah lemak berkisar 40-
60%. Mayonnaise rendah lemak mengalami ketidakstabilan emulsi dan akan
mengalami oksidasi selama penyimpanan. Penambahan tepung labu kuning
sebagai stabilizer pada mayonnaise rendah lemak dapat memperpanjang daya
simpan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kualitas mayonnaise rendah
lemak dengan penambahan tepung labu kuning pada waktu penyimpanan yang
berbeda di suhu ruang ditinjau dari pH, viskositas, dan bilangan peroksida. Materi
yang digunakan adalah mayonnaise rendah lemak yang dibuat dari kuning telur
ayam ras sebagai emulsifier, minyak bunga kanola, vinegar, mustard, garam, gula,
lada putih bubuk, dan tepung labu kuning. Metode yang digunakan adalah metode
percobaan laboratorium dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 4
ulangan. Perlakuan penyimpanan terdiri dari 0 hari, 5 hari, 10 hari, dan 15 hari.
Variabel yang diukur adalah pH, viskositas, dan bilangan peroksida. Hasil
penelitian menunjukkan apabila penggunaan tepung labu kuning berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap kualitas mayonnaise rendah lemak selama
penyimpanan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mayonnaise rendah lemak
lemak dengan penambahan tepung labu kuning masih memiliki kualitas yang
bagus selama 5-15 hari pada suhu ruang.

Kata Kunci: Mayonnaise rendah lemak, tepung labu kuning, stabilizer

Pendahuluan
Produk peternakan yang mengalami perkembangan cukup pesat di Indonesia
adalah telur ayam. Hal ini disebabkan karena berkembangnya teknologi
perunggasan di Indonesia.Upaya pengolahan telur ayam sedang dikembangkan
pada masyarakat. Produk olahan telur tersebut antar lain kerupuk telur, telur asin,
acar telur, telur pindang, dan mayonnaise. Mayonnaise terbuat dari kuning telur,
vinegar, minyak nabati, dan bumbu penambah cita rasa. Jenis mayonnaise
umumnya terbagi atas full fat mayonnaise, reduced fat mayonnaise, low fat
mayonnaise, light mayonnaise, dan salad dressing (Evanuarini, dkk., 2016).
Konsumsi full fat mayonnaise menyebabkan munculnya kekhawatiran pada
masyarakat apabila mengkonsumsi jumlah lemak yang berlebihan. Asupan lemak
yang berlebihan menyebabkan peningkatan insiden kasus penyakit kronis seperti
obesitas dan jantung coroner (Chung, et al., 2016). Upaya memodifikasi makanan

560
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

full fat dengan megurangi penggunaan jumlah lemak akan memberikan dampak
terhadap tekstur produk yang dihasilkan. Pembuatan reduced fat mayonnaise
merupakan tantangan, karena dengan lemak pada mayonnaise berfungsi sebagai
pembentuk struktur dan mempengaruhi kekentalan yang terbentuk.

Komponen utama pembentukan emulsi mayonnaise adalah kuning telur sebagai


agen penurun tegangan permukaan, minyak nabati sebagai media terdispersi, dan
vinegar atau larutan asam atau cuka sebagai media pendispersi. Ketiga komponen
tersebut dalam pembuatan mayonnaise harus dalam keadaan proporsional.
Penggunaan beta glucan pada mayonnaise sebagai pengganti lemak dan dapat
menstabilkan emulsi (Marinescu, et al., 2011). Guar gum dan xanthan gum
memberikan pengaruh positif terhadap kestabilan emulsi mayonnaise (Kumar, et
al., 2021). Muatan anionik carboxy methyl cellulose (CMC) meningkatkan
stabilitas emulsi minyak dengan air (Golchoobi, et al., 2016). Penggunaan tepung
kulit pisang sebagai stabilizer alami pada low fat mayonnaise meningkatkan
kualitas dan dapat diterima oleh panelis (Evanuarini and Susilo, 2020). Tepung
kulit semangka dapat digunakan sebagai bahan penstabil alami pada reduced fat
mayonnaise (Evanuarini, Amertaningtyas, and Utama, 2021).

Labu kuning merupakan tanaman lokal yang mempunyai kandungan nutrisi yang
baik untuk kesehatan tubuh. Penggunaan labu kuning di masyarakat umumnya
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pie dan soup. Labu kuning ialah
sumber senyawa antioksidan seperti polifenol serta karotenoid (Kulczynski,
Andrsej, and Anna, 2020). Labu kuning memiliki kandungan pektin yang
mempunyai asam anhydrogalakturonat serta metoksil yang besar, sehingga bisa
digunakan dalam industri makanan. Umur simpan labu kuning bisa diperpanjang
dengan memberikan perlakuan pengeringan dan penepungan yang telah banyak
diterapkan.

Stabilizer ialah bahan tambahan pangan yang memiliki kegunaan untuk


menstabilkan sistem emulsi, menaikkan viskositas emulsi, serta meningkatkan
kestabilan emulsi dengan mencegah pergerakan droplet emulsi. Stabilizer
dikategorikan sebagai bahan tambahan makanan yang dibutuhkan dalam
makanan. Stabilizer berfungsi untuk menghaluskan tekstur makanan dengan
menghomogenkan dua atau lebih bahan makanan yang tidak dapat dicampur.
Penggunaan stabilizer alami menggunakan bahan hidrokoloid mempunyai
keunggulan yaitu dapat diterima oleh konsumen karena aman untuk dikonsumsi,
yang berasal dari tanaman, hewan, dan mikroorganisme.

Kandungan pektin yang ada dapat dijadikan sebagai stabilizer pada produk
pangan dan memanfaatkan potensi labu kuning menjadi stabilizer untuk
mayonnaise yang aman bagi konsumen dan mampu memperpanjang masa
simpannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kualitas mayonnaise rendah
lemak dengan penambahan tepung labu kuning pada waktu penyimpanan yang
berbeda di suhu ruang.

561
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Metode
Penelitian dilakukan dengan percobaan laboratorium. Rancangan Acak Lengkap
digunakan digunakan sebagai design rancangan dengan 4 perlakuan dan 4
ulangan. Berikut perlakuan penelitian yang digunakan.

Tabel 1.Perlakuan pada mayonnaise rendah lemak


Perlakuan Deskripsi
T0 Penyimpanan 0 hari
T1 Penyimpanan 5 hari
T2 Penyimpanan 10 hari
T3 Penyimpanan 15 hari

Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Divisi
Pengolahan Telur Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya untuk pembuatan
mayonnaise, uji pH. Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya untuk pengujian viskositas
dan bilangan peroksida. UPT. Materia Medica Kota Batu untuk pembuatan tepung
labu kuning.

Analisis data
Data yang diperoleh ditabulasi dengan mikrosoft excel dan diambil rata-rata serta
standar deviasinya. Data dianalisis secara statistik dengan analisis ragam
(ANOVA) untuk data pengujian mayonnaise. Apabila terdapat hasil yang
menunjukkan pengaruh berbeda nyata atau sangat nyata diantara perlakuan maka
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD).

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis ragam menunjukkan waktu penyimpanan yang berbeda memberikan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap mayonnaise. Rata-rata nilai pH,
viskositas, dan bilangan peroksida mayonnaise dengan waktu penyimpanan yang
berbeda disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata nilai pH, viskositas, dan bilangan peroksida mayonnaise rendah
lemak
Bilangan Peroksida
Perlakuan pH Viskositas (cP)
(meq/kg)
T0 5,38±0,02 4443±17,08 0,40±0,09
T1 5,05±0,04 4335±12,91 0,31±0,09
T2 4,97±0,03 4225±12,91 0,26±0,03
T3 4,74±0,03 4145±34,16 0,18±0,02
a,b,c,d
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P>0,00) terhadap nilai pH, viskositas, dan bilangan peroksida mayonnaise.

562
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Nilai pH
pH yang dihasilkan oleh mayonnaise rendah lemak dipengaruhi oleh bahan-bahan
penyusun yang digunakan pada saat pembuatan yaitu vinegar, kuning telur, dan
mustard. Setiawan, dkk. (2015) melaporkan bahwa penggunaan berbagai jenis
kuning telur tidak berpengaruh terhadap pH mayonnaise, kuning telur yang
mengalami kerusakan akan mempengaruhi pH mayonnaise. Hal lain disampaikan
Keerthirathne, et al. (2016) bahwa pH isoelektrik protein pada kuning telur yang
berperan sebagai stabilitas emulsi dan pembentukan struktur mempengaruhi pH
mayonnaise. Hasil penelitian Ghazei, et al. (2015) pH mayonnaise dengan
perlakuan penggantian kuning telur dengan tepung kentang berkisar antara 3,1-
4,1. Penelitian yang dilakukan Puligundla, Yong, and Young (2015) menunjukkan
bahwa reduced fat mayonnaise penggantian minyak nabati menggunakan tepung
beras memiliki nilai pH antara 3,55-3,67. Waktu penyimpanan berpengaruh
terhadap nilai pH mayonnaise dikarenakan penambahan tepung labu kuning yang
memiliki nilai pH sebesar 6,0. Semakin lama waktu penyimpanan maka pH
semakin mengalami penurunan.

Viskositas
Viskositas merupakan pengukuran kekentalan pada suatu bahan. Viskositas
mayonnaise dipengaruhi oleh media terdispersi yang digunakan dan dapat
mempengaruhi sistem emulsi yang dihasilkan (Kovalcuks, et al., 2016).
Viskositas emulsi pada mayonnaise dapat mempengaruhi sifat organoleptik,
kenampakan secara menyeluruh, proses pengolahan, dan masa simpan produk
(Rusalim, dkk., 2017). Jenis minyak nabati yang digunakan akan mempengaruhi
viskositas mayonnaise yang dihasilkan (Usman, dkk., 2015). Hasil penelitian
terdahulu mengungkapkan perlakuan penyimpanan pada mayonnaise akan
mempengaruhi viskositas dan kestabilan emulsi, penurunan viskositas dapat
disebabkan oleh tetesan minyak yang terbentuk dan pengadukan bahan saat
pembuatan (Ng, Yih, Hong, and Oi, 2020). Semakin lama waktu penyimpanan
maka nilai viskositas mengalami penurunan.

Bilangan Peroksida
Bilangan peroksida merupakan oksidasi lemak diakibatkan adanya reaksi oksidasi
asam lemak tak jenuh oleh oksigen yang dapat menyebabkan ketengikan pada saat
proses penyimpanan makanan. Bakota, et al. (2015) melaporkan bahwa semakin
cepat terjadinya reaksi oksidasi menyebabkan meningkatnya pembentukan
molekul degradasi hidroperoksida yang berbentuk keton, aldehid, dan rantai
pendek asam karboksilat. Sainsbury (2019) menambahkan reaksi oksidasi terjadi
interaksi antara asam lemak dengan oksigen yang dapat membatasi daya simpan
produk dan mempengaruhi aroma produk karena terjadinya ketengikan. Gorji, et
al. (2016) mengungkapkan bahwa dengan mengurangi jumlah oksigen pada
mayonnaise dapat mencegah terjadinya ketengikan dan memperpanjang umur
simpan. Mayonnaise rendah lemak dengan penambahan tepung labu kuning
disimpan menggunakan wadah berupa pot film. Penggunaan tepung labu kuning
pada mayonnaise dapat memperpanjang masa simpan karena adanya antioksidan
pada tepung labu kuning berupa beta karoten, sehingga dapat menghambat
ketengikan atau rancidity

563
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Mayonnaise rendah lemak dengan penambahan tepung labu kuning masih
memiliki kualitas yang bagus selama 5-15 hari pada suhu ruang..

Daftar Pustaka
Bakota, E.L., Winkler-Moser, J.K., Berhow, M.A., Palmquist, D.E., and Liu, S.X.
2015. Antioxidant activity of hybrid grape pomace extracts derived from
midwestern grapes in bulk oil and oil-in-water emulsions. Journal of the
American Oil Chemists' Society, 92(9): 1333-1348.
Chung, C., Smith, G., Degner, B., and McClements, D. J. 2016. Reduced fat food
emulsions: physicochemical, sensory, and biological aspects. Critical reviews
in food science and nutrition, 56(4): 650-685.
Evanuarini, H., and Susilo, A. 2020. The quality of low fat mayonnaise using
banana peel flour as stabilizer. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 478: 1-6.
Evanuarini, H., Amertaningtyas, and Utama, D.T. 2021. Viscosity, fat content,
total acidity, and antioxidant capacity of reduced-fat mayonnaise made with
Watermelon (Citrullus lanatus) rind flour as stabilizer. IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science, 788(1): 1-8.
Evanuarini, H., Nurliyani, N., Indratiningsih, I. dan Hastuti, P. 2016. Kestabilan
emulsi dan karakteristik sensoris low fat mayonnaise dengan menggunakan
kefir sebagai emulsifier replacer. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak
(JITEK), 11(2): 53-59.
Ghazaei, S., Mizani, M., Piravi-Vanak, Z. and Alimi, M. 2015. Particle size and
cholesterol content of a mayonnaise formulated by osa-modified potato
starch. Food Science And Technology, 35(1):150-156.
Golchoobi, L., Alimi, M., Shokoohi, S. and H. Yousefi. 2016. Interaction between
nanofibrillated cellulose with guar gum and carboxy methyl cellulose in low-
fat mayonnaise. Journal Texture Studies. 1-10.
Gorji, S. G., H. E. Smyth., M. Sharma., and M. Fitzgerald. 2016. Lipid oxidation
in mayonnaise and the role of natural antioxidants: a review. Trends in Food
Science & Technology, 56: 88-102.
Keerthirathne, T. P., K. Ross., H. Fallowfield and H. Whiley. 2016. A Review of
Temperature, Ph, and Other Factors that Influence the Survival of Salmonella
in Mayonnaise and Other Raw Egg Products. Pathogens, 5(4): 1-11.
Kovalcuks, A., E. Straumite., and M. Duma. 2016. The Effect of Egg Yolk Oil on
The Chemical, Physical and Sensory Properties of Mayonnaise. Rural Sustain
Res, 35(330): 25-31.
Kulczyński, B., A. Sidor, and A. Gramza-Michałowska. 2020. Antioxidant
potential of phytochemicals in pumpkin varieties belonging to Cucurbita
moschata and Cucurbita pepo species. CyTA-Journal of Food, 18(1): 472-484.
Kumar, Y., S. Roy, A. Devra, A. Dhiman and P. K. Prabhakar. 2021.
Ultrasonication of Mayonnaise Formulated with Xanthan and Guar Gums:
Rheological Modeling, Effects on Optical Properties and Emulsion Stability.
Food Science and Technology. 149: 1-10.
Marinescu, G., Stoicescu, A., and Patrascu, L. 2011. The preparation of
mayonnaise containing spent brewer’s yeast β-glucan as a fat
replacer. Romanian Biotechnological Letters, 16(2), 6017-6025.

564
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Ng, S. P., Y. P. Khor., H. K. Lim., O. M. Lai., Y. Wang., ... and C. P. Tan. 2020.
Fabrication of Concentrated Palm Olein-Based Diacylglycerol Oil–Soybean
Oil Blend Oil-In-Water Emulsion: In-Depth Study of the Rheological
Properties and Storage Stability. Foods, 9(7): 877.
Puligundla, P., C. Yong-Hwa., and Y. Lee. 2015. Physicochemical and Sensory
Properties of Reduced-Fat Mayonnaise Formulations Prepared with Rice
Starch and Starch-Gum Mixtures. Emirates Journal of Food and agriculture,
27(6): 463-468.
Rusalim, M. M., T. Tamrin, dan G. Gusnawaty. 2017. Analisis Sifat Fisik
Mayonnaise Berbahan Dasar Putih Telur Dan Kuning Telur Dengan
Penambahan Berbagai Jenis Minyak Nabati. Jurnal Sains dan Teknologi
Pangan, 2(5): 770-778.
Sainsbury, J. 2019. Oxidative Stability and Shelf Life of Sunflower Oil-In-Water
Emulsions as Affected by Pro-And Antioxidants and Temperature (Doctoral
dissertation, University of Pretoria).
Setiawan, A. B., O. Rachmawan., dan D. S. Sutardjo. 2015. Pengaruh Penggunaan
Berbagai Jenis Kuning Telur Terhadap Kestabilan Emulsi, Viskositas, dan pH
Mayonnaise. Students e-Journal, 4(2):1-8.
Usman, A. N., E. Wulandari., dan K. Suradi. 2015. Pengaruh Jenis Minyak Nabati
terhadap sifat Fisik dan Akspetabilitas Mayonnaise (The Effect of Various
Vegetable Oils on Physical Properties and Accebtability of
Mayonnaise). Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran, 15(2): 22-27.

565
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENERAPAN PROTOKOL KESEHATAN DAN ASPEK KEHALALAN,


KESEJAHTERANAN HEWAN, HIGIENE PADA PROSES
PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN DI MASA PANDEMI COVID 19
TAHUN 2021

Agus Susilo1, Wike Andre Septian2,*, Kuswati2


1
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: wike.andre@ub.ac.id

Abstrak

Ibadah qurban tahun 2021 menghadapi tantangan yaitu dilaksanakan pada masa
pandemi covid 19 dan berada pada puncak kasus tertinggi di Indonesia. Sehingga
perlu adanya upaya pemantauan penerapan protokol kesehatan dalam upaya
pencegahan penyebaran covid 19. Selain itu aspek penting pada proses
penyembeihan hewa qurban juga masuk dalam kegiatan pemantauan pelaksanaan
qurban tahun 2021. Pengabdian Kepada Masyarakat ini bertujuan untuk
memantau pelaksanaan penyembelihan hewan qurban pada kondisi pandemi covid
19 di daerah yang tersebar sesuai dengan peserta. Selain itu kegiatan ini juga
membekali peserta dalam pengetahuan aspek animal welfare, kehalalan, higeine,
dan persyaratan sah hewan qurban. Handling hewan sebelum di Kondisi pandemi
yang meningkat pada bulan juni menjadikan pelaksanaan qurban tahun 2021
berbeda dari tahun sebelumnya. Aspek pelaksanaan protokol kesehatan menjadi
keharusan dalam pelaksanaan penyembelihan hewan qurban. Kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan dengan metode survei di daerah
tersebarnya peserta pemantau qurban. Data yang diperoleh selanjutnya di analisus
secara diskriptif kuantitatif. Hasil analisis data menunjukkan sebagian besar
kepanitian qurban di lokasi pemantauan menerapkan proses pemotongan
berdasarkan aspek kesejahteraan ternak, higene, dan protokol kesehatan.

Kata kunci: penyembelihan, hewan qurban, pandemi Covid 19

Pendahuluan
Hari Raya Idhul Adha merupakan salah satu moment rutin umat muslim setiap
tahun. Moment ini sangat erat hubungannya dengan ternak terutama sapi,
kambing dan domba. Pelaksanaan qurban mendorong permintaan akan ternak
pedaging khususnya sapi, kambing, dan domba meningkat. Pelakasanaan ibadah
qurban memiliki inti aktifitas penyembelihan ternak. Proses penyembelihan
hewan qurban bagian dari perayaan Hari Raya Idhul Adha.

Aspek penting dalam proses pemotongan hewan qurban antar lain adalah aspek
memenuhinya syarat sah hewan sesuai syari’at Islam. Kedua, aspek kehalalan atau
proses penyembelihan sesuai syari’at Islam. Ketiga, aspek kesejahteraan hewan,
dan ke empat aspek higeien daging. Selain ke empat aspek tersebut pada mas
pandemi covid 19 pelaksanaan penyembelihan hewan qurban juga harus

566
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

memenuhi aspek keselamatan yaitu dengan penerapan protokol kesehatan untuk


mencegah penularan covid 19.

Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban an distribusi hewan qurban merupakan


kegiatan yang membutuhakan partisipasi banyak orang, hal ini merupakan potensi
terjadinya kerumunan. Oleh sebab itu, perlu penerapan protokol kesehatan pada
proses penyembelihan hewan qurban. Proses penyembelihan hewan qurban pada
tahun 2021 menjadi fokus pemerintah mencegah terjadinya penyebaran covid 19
sehingga Kementrian Agama dan Kementrian Pertanian mengeluarkan surat
edaran penerapan protokol kesehatan pada pelaksanaan penyembelihan qurban.
Kementrian Agama Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran nomer 15
tahun 2021 sebagai upaya pencegahan penyebaran covid 19. Kementrian
Pertanian Republik Indonesia juga menerbitkan surat edaran nomor
8017/SE/PK.320/F/06/2021 tentang pelaksanaan kegiatan qurban di masa
pendemi covid 19. Oleh karena itu upaya dalam pemantauan penerapan surat
edaran tersebut dilakukan untuk memastikan pelaksanaan kegiatan qurban tahun
2021 berjalan dengan baik

Tujuan pelaksanaan kegiatan pemantauan pelaksanaan qurban pada tahun 2021


untuk mendata penerapan aspek kehalalan, aspek kesejahteraan hewan, aspek
syarat sah hewan, aspek higene, dan aspek penerapan protokol kesehatan pada
kegiatan qurban tahun 2021. Penyebaran peserta pemantau qurban juga
dimanfaatkan sebagai sarana edukasi kepada masyarakat dalam penerapan
protokol kesehatan dan aspek penting dalam proses penyembelihan hewan.

Metode
Pelaksanaan kegiatan pemantauan qurban dilaksanakan pada hari raya idhul adha
19 juli 2021. Proses pemantauan di awali dengan pembekalan materi terkait
proses pemotongan hewan berdasarkan syari’at Islam, kesejahteraan hewan,
higene, dan penerapan protokol kesehatan. Pembekalan ini dilaksanakan pada
tanggal 9-10 Juli 2021 dengan pemateri Ir. Hartono Harimurti sebagai auditor
halal BPJPH dengan materi dasar syarat penyembelihan hewan qurban. Pemateri
ke dua, Eko Saputro,S.Pt, MP dari BLPP Batu dengan materi prosedur
pemotongan hewan qurban. Pemateri ke tiga, Dr. Ir. Agus Budiarto, MS Dosen
Fakultas Peternakan UB dengan materi memilih ternak untuk qurban. Pemateri ke
empat, Dr. Sucipto, STP, MP. IPU Ketua Halal Qualified Industry Develeopment
(Hal-Q ID) dan koordinator auditor halal lembaga pemeriksa halal UB dengan
materi penanganan daging selama pandemi. Pelatihan hari ke dua, pemateri
pertama Dr. Ir. Agus Susilo, MP, IPM ASEAN Eng dengan materi penanganan
daging. Pemateri kedua Dr. Ir. Kuswati, MS, IPM ASEAN Eng dengan materi
pemilihan hewan qurban. Pemateri ke tiga Wike Andre Septian, S.Pt, M.Si
penerapan pemotongan sesuai syariat Islam, handling ternak, kesejahteraan
hewan, dan penerapan protokol kesehatan selama pandemi.

Lokasi penelitian
Proses pemantauan dilaksanakan di daerah peserta masing-masing yang tersebar
dibeberapa provinsi di Indonesia. Data dikumpulkan di pusat data di panitia
pemantau qurban Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.

567
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis secara diskripsi kuantitatif dan di diskusikan dalam
forum grup discusion untuk memastikan data benar dan menambahkan
pengalaman yang belum masuk dalam tabulasi data.

Hasil dan Pembahasan


Persebaran wilayah pemantauan, zona pandemi, dan penerapan protokol
kesehatan
Pelaksanaan qurban tahun 2021 secara umum dilakukan langsung dari hari
pertama hingga ke tiga dengan cukup baik. Kegiatan penyembelihan dilaksanakan
sebagian besar di Masjid atau fasilitas umum dan Rumah Potong Hewan.
Kegiatan pemantauan pelaksanaan qurban tahun 2021 di ikuti sebanyak 19 peserta
dengan peserta laki-laki jauh lebih banyak 12 peserta dibandingkan perempuan 7
peserta. Lokasi penyebaran peserta tersebar di lima provinsi seperti pada gambar
1.

Gambar 1. Lokasi Persebaran Peserta Pemantau Qurban

Pelaksanaan qurban tahun 2021 sebagian besar wialayah di Indonesia masuk


merah sehingga potensi penyebaran akan semakin besar. Akan tetapi, persebaran
wilayah pemantau qurban terlihat mendominasi zona orange dan hijau sehingga
cukup aman dilakukan pemantauan oleh peserta seperti pada gambar 2.

Gambar 2. Zona Penyebaran Covid 19 Di Lokasi

568
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berdasarkan gambar 3 menunjukkan terdapat 9 lokasi pemantauan yang


menerapkan physical distancing dan 10 lokasi pemantauan yang menerapkan
physical distancing. Terdapat 14 lokasi pemantauan yang menerapkan minimal
penggunaan masker dan 5 lokasi pemantauan yang tidak menerapkan minimal
penggunaan masker. Terdapat 15 lokasi pemantauan yang menyediakan tempat
cuci tangan dan 4 lokasi pemantauan tidak menyediakan tempat cuci tangan.
Terdapat 6 lokasi pemantauan yang menerapkan pengukuran suhu tubuh dan 13
lokasi pemantauan yang tidak menerapkan pengukuran suhu tubuh.

Gambar 3. Penerapan Protokol Kesehatan

Lokasi penyembelihan dilakukan di beberapa tampat sepeti Masjid, Mushola,


Lapangan atau Fasilitas Umum, Rumah Potong Hewan dan lainnnya. Pada hasil
pemaantauan lokasi yang paling banyak digunakan adalah masjid. Terdapat 2
lokasi peserta pemantauan menggunakan musholla sebagai lokasi pemotongan
hewan kurban. Terdapat 2 lokasi peserta pemantauan menggunakan lapangan
sebagai lokasi pemotongan hewan kurban. Terdapat 1 lokasi peserta pemantauan
menggunakan Rumah Potong Hewan (RPH) sebagai lokasi pemotongan hewan
kurban, dan terdapat 5 lokasi peserta pemantauan menggunakan tempat lainnya
sebagai lokasi pemotongan hewan kurban.

Jenis ternak dan penerapan syarat ternak


Berdasarkan data yang iperoleh diketahui bahwa total keseluruhan ternak yang
disembelih berjumlah 356 ekor. Terdapat 187 ternak kambing,107 ternak sapi, dan
terdapat 62 ternak domba yang dijadikan sebagai ternak kurban dari berbagai
lokasi peserta pemantau qurban 2021. Jenis kelamin merupakan salah satu hal
yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan qurban. Jenis kelamin jantan adalah
yang diajurkan digunakan demi menjaga populasi ternak. Pada pelaksanaan
qurban di lokasi pemantauan 100% ternak yang digunakan adalah ternak jantan.

Persyaratan umur juga menjadi salah satu aspek syarat sah ternak qurban,
sehingga perlu adanya upaya pemeriksaan sebelum membeli atau memotong
ternak. Pada pelaksanaan qurban di lokasi pemantauan 100% ternak memiliki
umur sesuai syarat sah yaitu kurang lebih di atas 1 tahun atau permanen incicivi 2.

569
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Aspek Kehalalan
Juru sembelih Halal
Data yang diperolah diketahui bahwa terdapat 4 lokasi penyembelihan yang juru
sembelih kurbannya memiliki sertifikasi sebagai juru sembelih halal, sedangkan
14 lokasi penyembelihan menggunakan juru sembelih yang tidak memiliki
sertifikasi juru sembelih halal, dan terdapat 1 lokasi penyembelihan yang tidak
valid juru sembelih memiliki sertifikasi atau tidak.

Aspek Kesehatan
Salah satu upaya dalam menjamin kesehatan daging adalah dengan melakukan
pemeriksaan ante mortem pada ternak qurban. Berdasarkan grafik dapat diketahui
bahwa terdapat 11 lokasi penyembelihan yang melakukan pemeriksaan
antemortem, terdapat 6 lokasi penyembelihan yang tidak melakukan pemeriksaan
antemortem, dan 2 lokasi penyembelihan tidak diketahui melakukan pemeriksaan
antemortem atau tidak.

Penanganan Daging
Data yang diperoleh menunjukkan 4 lokasi pendistribusian yang menggunakan
alat angkut daging tertutup, terdapat 14 lokasi pendistribusian daging yang tidak
menggunakan alat angkut daging tertutup, dan terdapat 1 lokasi pendistribusian
yang tidak valid system alat angkutnya entah terbuka atau tertutup. Sedangkan
metode pendistribusian terdapat 17 lokasi penyembelihan yang distribusi daging
atau pembagiannya menggunakan sistem door to door, terdapat 2 lokasi
penyembelihan yang system pendistribusian dagingnya menggunakaan sistem
pengambilan kupon dan ditukarkan dengan daging.

Pengamatan penggunaan wadah plastik pada pendistribus terlihat dalam data


terdapat 1 lokasi penyembelihan yang sistem pendistribusian dagingnya tidak
menggunakan media plastik sebagai wadah, entah menggunakan besek atau
sebagainya, terdapat 18 lokasi penyembelihan yang sistem pendistribusian
dagingnya menggunakan media plastik sebagai wadah dagingnya.

Gambar 4. Pendistribusia Daging

570
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Secara keseluruhan kepanitian qurban tahun 2021 di masa pandemi sebagian besar
telah menerapkan protokol kesehatan dalam pelaksanaan qurban. Pemeriksaan
aspek kehalalan dan kesesuaikan dengan syarat sah hewan qurban dilokasi
pemantau keseluruhan cukup baik. Sedangkan penanganan daging sebagian besar
baik dan sesuai dengan keaman daging.

Ucapan Terima Kasih


Terimakasih kami kepada beberapa pihak yang membuat Kegiatan Pengabdian
Kepada Mayarakat ini terlaksana antaraa lain dukungan dari Dana PNBP Fakultas
Peternakan tim pelaksana yang terlibat antara lain tim pengabdian masyarakat dan
UKM PENA Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.

Daftar Pustaka
Aji Winarso, Dodi Darmawan, Maxs Urias E Sanam. 2017. Praktik Higiene
Daging Dalam Penyembelihan Hewan Qurban di Kota Kupang. Jurnal Kajian
Veteriner.
Aan Awaludin, Yudhi ratna Nugraheni, Suluh Nusantoro. 2017. Teknik Handling
dan Penyembelihan Hewan Qurban. Jurnal Pengabdian Masyarakat.
Edi Puwono. 2020. Penerapan Higien Personal pada Proses Penyembelihan
Hewan Qurban di Masa PandemiCovid 19 di Kabupaten Manokwari Provinsi
Papua Barat. Prosiding Seminar Nasional Pembangunan dan Pendidikan
Vokasi Pertanian

571
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGABDIAN
KEPADA
MASYARAKAT

572
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA TERPENCIL DI KAWASAN


TAMAN NASIONAL BALURAN, KABUPATEN SITUBONDO

Anang Lastriyanto1*, Dimas Firmanda Al Riza1, Anggun Trisnanto Hari


Susilo2, Nanang Febrianto3, Mahmuddin Ridlo4
1
Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
2
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
3
Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
4
Pusat Layanan KKN, Lembaga Penelitian dan Pengamdian kepada Masyarakat,
Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: anangl@ub.ac.id

Abstrak
Taman Nasional yang berada di ujung timur pulau Jawa, yaitu Taman Nasional
Baluran sering disebut dengan Africa Van Java, atau Afrika yang berada di Pulau
Jawa. Taman Nasional masih memiliki ekosistem hewan dan tumbuhan yang
begitu banyak dan mungkin di sebagian tempat sudah punah. Taman Nasional
Baluran sebagai salah satu kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten
Situbondo dan berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi. Tim Doktor Mengabdi
Penguatan Institusi Universitas Brawijaya pada tahun pertama (2021) melakukan
upaya pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Baluran dengan
prinsip Sustainable yang juga secara tidak langsung ikut melestarikan alam namun
industri Pariwisata masih tetap bisa berlanjut melalui tekenologi
biogas.Pengabdian kepada masyarakat bagi mitra di Dusun Merak, Desa
Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, khususnya peternak
sapi yang berada di wilayah Taman Nasional Baluran direncanakan secara multy
years (2021) selama 5 tahun. Pemberdayaan masyarakat desa terpencil perlu
adanya kerjasama antara Universitas Brawijaya dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Situbondo. Kerjasama tersebut dilakukan secara swadana dan
swakelola serta dilakukan terus menerus setiap tahun sesuai dengan animo dan
kebutuhan peternak sapi liar di kawasan Taman Nasional Baluran. Selain itu,
peran yang utama adalah proaktif stakeholder peternak sapi di wilayah Taman
Nasional Baluran dalam keberhasilan program pemberdayaan masyaarakat dengan
prinsip Sustainable.

Kata Kunci: Biogas,Desa Terpencil, Peternakan

Pendahuluan
Perkembangan Baluran untuk menuju Ekowisata selalu getol dan semangat
dilakukan oleh masyarakat desa sekitar mengenai Ekowisata meski menggunakan
uang pribadi. Lewat konsep ekowisata, masyarakat desa bisa diberdayakan untuk
bersama-sama mengelola desa wisata secara mandiri. Masyarakat mengelola
ekowisata di sekitar Taman Nasional Baluran. untuk bisa menjadi pelaku
pariwisata atas daerahnya sendiri. Salah satu paket yang ditawarkan masyarakat
desa adalah petualangan wisata menyaksikan hewan liar di taman nasional pada
malam hari. Selain itu, masyarakat desa juga menawarkan paket menjadi

573
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

penggembala kambing bersama penduduk sekitar. Wisatawan dijemput


menggunakan gerobak sapi milik penduduk sekitar (Nugroho, 2018).
Lebih dari 1.600 ekor sapi ternak setiap hari terpantau menerobos masuk hingga
zona inti Taman Nasional (TN) Baluran, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur saat
digembalakan masyarakat peternak. Siang hari saat musim kemarau, sapi ternak
menguasai 5.596 hektare lahan atau 1/5 dari total luas TN hingga ke wilayah
pegunungan rendah Baluran, untuk mencari makan. Seorang peternak harus
berjalan kaki menggembala 20 ekor sapinya sejauh 10kilometer ke dalam hutan
setiap hari. Saat musim hujan ternaknya tumbuh secara normal. Namun saat
musim kemarau rumput pakan ternak sangat sulit didapat, diperparah adanya
kebakaran hutan bulan Juli lalu, sampai ternaknya harus dibawa masuk ke zona
inti kawasan hutan lindung untuk mencari makan.
Masuknya ribuan sapi menyebabkan adanya perubahan hewan liar yang
mengancam perkembangan mereka. Dampak terlihat jelas pada jenis satwa macan
tutul, kerbau dan terutama banteng, hewan endemik TN Baluran yang sangat
sensitif pada kehadiran manusia dan hewan ternak. Ketiganya sama sekali tidak
terlihat di area yang digunakan masyarakat menggembalakan sapi mereka, alias
menghindari wilayah itu. Banyaknya sapi dan manusia yang masuk hutan akan
menyebabkan banteng lebih banyak menghabiskan waktu untuk waspada, lari dan
menghindar daripada untuk makan. Dengan berkurangnya efektifitas makan,
pertumbuhan, kesuburan, dan kebugarannya juga turun sehingga akan
mengganggu perkembangbiakan mereka di masa mendatang.Padahal kehadiran
mereka telah terbukti mengganggu satwa yang harusnya dilindungi di TN seluas
25 ribu hektare itu (Suriani dan Razak, 2011). Populasi sapi ternak di Dusun
Sidomulyo dan Dusun Merak, Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih,
Kabupaten Situbondo, sebanyak 4.169 ekor. Sebagian yang biasa digembala
masyarakat masuk ke hutan berjumlah sekitar 1.600 ekor. Namun kegiatan
masyarakat menggembala sapi ke hutan lindung seperti itu sudah berlangsung
sejak lama, sekitar tahun 1960, sehingga sulit dihentikan. Selain itu rendahnya
tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial masyarakat dan kecilnya kesadaran akan
perlindungan alam dikatakannya jadi penyebab sulitnya merubah mereka ke pola
sapi ternak kandang. Ditambah belum selesainya masalah pendudukan tanah eks
hak guna usaha (HGU) PT Gunung Gumitir di Dusun Merak di dalam taman
nasional yang sekarang ditempati warga eks pekerja perkebunan PT Gunung
Gumitir, yang juga berternak ribuan sapi.

Metode Pengabdian
Metode yang digunakan dalam program kegiatan pengabdian ini adalah sebagai
berikut:
1. Observasi lokasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, mengamati langsung terhadap
obyek sasaran untuk memahami permasalahan-permasalahan dan peluang
pengembangannya.
2. Diskusi dan wawancara
Diskusi dilakukan dengan mitra terkait potensi-potensi yang akan dikembangkan.
a. Participatory Rural

574
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kegiatan dilakukan dengan melibatkan perangkat desa dan dan pengrajin tempe
yang mempunyai sapi pedaging sebagai usaha sampingan, secara langsung
sebagai subyek dan obyek kegiatan dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program yang akan dilaksanakan.
b. Parcipatory Tecknologi Development
Pendekatan ini berorientasi pada peningkatan peran para peternak sapi secara
langsung dalam program dan dapat memanfaatkan TTG yang di introduksi.
c. Edukatif:
Pendekatan sosialisasi, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan untuk sarana
transfer ipteks dan pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat peternak sapi
dengan usaha penggemukan.
d. Focus Group Discussion (FGD)
Penyusunan dan perencanaan program serta pelaksanaan kegiatan dengan jadwal
yang semuanya melibatkan masyarakat peternak sapi.
e. Evaluasi dan monitoring
Evaluasi dan monitoring berkelanjutan untuk menjamin tingkat keberhasilan
program dan pengembangan selanjutnya.

Hasil dan Pembahasan


Pelaksanan kegiatan pengabdian pada tahun pertama (2021), tim Doktor
mengabdi (DM) yang terdiri dari lintas keilmuan melaksanakan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat di Dusun Merak, Desa Sumberwaru, Kecamatan
Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Pelaksanaan program DM difokuskan pada
inisiasi teknologi biogas yang penerapannya dapat dimanfaatkan bagi masyarakat
yang masih terpencil dari pembangunan daerah. Berdasarkan survei dan perizinan
yang dilakukan oleh tim pengabdian, perjalanan dari Desa Sumberwaru menuju
Dusun Merak membutuhkan waktu sekitar 1 jam, baik menggunakan jalan darat
atau laut. Sementara, jalan darat tidak bisa dilalui apabila hujan datang.
Populasi sapi yang berada di Dusun Merak mencapai 2.600 ekor dengan populasi
penduduk Dusun Merak berumlah sekitar 846 jiwa. Pada pagi hari, sapi tersebut
akan dilepaskan dari kandangnya untuk mencari pakan di hutan. Ketika hari
menjelang petang, sapi tersebut akan kembali ke kandangnya masing-masing
tanpa ada yang tertukar. Dusun Merak berada dalam kawasan Taman Nasional
Baluran. Taman Nasional Baluran adalah kawasan konservasi yang terletak di
Kabupaten Situbondo dan berbatasan dengan Banyuwangi. Ekosistem didalamnya
terdapat berbagai macam flora dan fauna dengan beragam manfaat tangible
(dalam pemanfaatan skala terbatas) maupun intangible (berupa produk jasa
lingkungan).
Potensi sumber energi biomassa di Dusun Merak, Desa Sumberwaru, Situbondo
sangat melimpah dan belum dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi biogas berpotensi sebagai solusi
penyelesaian problem lingkungan dan sosial di Dusun Merak. Biogas merupakan
salah satu teknologi yang dapat ditransfer kepada masyarakat Dusun Merak.
Transfer teknologi ini berpotensi untuk mendorong masyarakat untuk lebih maju
dan diharapkan dapat menyelesaikan beberapa permasalahan sosial.
Pemberdayaan masyarakat desa terpencil di Kabupaten Situbondo dilaksanakan
dengan sinergi berbagai pemangku kepentingan di wilayah tersebut, yaitu

575
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pengelola Balai Taman Nasional Baluran (TN Baluran) dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Situbondo. Sinergi tersebut dilakukan secara swadana dan swakelola
serta dilakukan terus menerus setiap tahun sesuai kebutuhan manajemen
pengolaan sapi yang populasinya sangat tinggi di kawasan Taman Nasional
Baluran. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat mengembangkan Taman Nasional
Baluran dengan prinsip Sustainable, secara tidak langsung turut melestarikan
alam. Disisi lain industri pariwisata masih tetap bisa berlanjut melalui ternak
kendang dan biogas, sehingga mampu meningkatkan perekonomian daerah.
Tahapan konstruksi unit proses biogas di Dusun Merak dijelaskan
sebagaimana berikut:
1. Penggalian. dan Penyusunan Dinding Digester
Sebelum tahap penggalian, kondisi kedalaman tanah yang mengandung sumber
air, sehingga antisipasi dengan penyediaan diesel penyedot air. Penyusunan
dinding digester dengan cara bata keliling dipasang sebagai dinding digester
secara bertahap sesuai kerapatan, ukuran diameter dan ketinggian sebagaimana
pada design unitbiogas. Dinding digester dapat diberikan penyangga untuk
menahan kerangka bata dan semen yang belum kering.

Gambar 1. Penggalian digester biogas dan penyusunan dinding digester


2. Pemasangan Inlet dan Outlet
Setelah dinding digester dipasang, instalasi inlet dan outlet dipasang terlebih
dahulu sebelum digester ditutup dengan kubah. Setelah instalasi inlet dan outlet
dipasang, ujicoba menggunakan menometer untuk menghindari kebocoran pada
unit biogas.

Gambar 2. Pemasangan instalasi inlet dan outlet

576
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

3. Pemasangan Kubah Digester

Gambar 3. Pemasangan kubah digester dan instalasi pipa biogas

4. Finishing Inlet dan outlet

Gambar 4. Finishing dan pengecatan instalasi inlet kotoran sapi dan outlite
limbah slurry

Focus Group Discussion


Pelaksanaan Focus Group (FGD) sekaligus peresmian Biogas pada hari Sabtu,
tanggal 30 Oktober 2021 di Dusun Merak, Desa Sumberwaru, Kecamatan
Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Pelaksanaan kegiatan FGD dihadiri oleh tim
pengabdian dari Universitas Brawijaya, pihak Dusun yang diwakili tokoh
Kampung Habib Mustafa, Haris, Turi, Misran, perwakilan dari TN Baluran turut
hadir beserta perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Bappeda, Kabupaten
Situbondo. Hasil utama dari pelaksanaan FGD tersebut adalah pendampingan
secara keberlanjutan terhadap aplikasi Biogas dan ternak sapi secara komunal.
Sinergi stakeholder dalam hal ini Universitas Brawijaya, CSR Jatim, Taman
Nasional Baluran, Dinas Lingkungan Hidup, Bappeda dan masyarakat Dusun
Merak merupakan wujud nyata peran Academis, Bussines, Community and
Government (ABCG) dalam pengembangan kawasan berdasarkan prinsip
Sustainable.

577
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Dusun merak yang terletak di Desa Sumberwaru, KecamatanBanyuputih,
Kabupaten Situbono memiliki potensi biomassa yang sangat melimpah. Biogas
merupakan salah satu teknologi yang dapat ditransfer bagi masyarakat Dusun
Merak dalam memenuhi kebutuhan energi. Transfer teknologi biogas ini
berpotensi untuk mendorong masyarakat di Dusun Merak untuk lebih maju dan
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan. Peran
stakeholder Taman Nasional Baluran, Pemerintahan Kabupaten Situbondo
(Bappeda dan Dinas LH), Forum CSR Jatim (Bussiness) serta dengan Program
Doktor Mengabdi merupakan wujud nyata sinergi ABG dalam pembangunan
berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Novembri, A. 2011. Biogas sebagai alternatifenergi, www.irbmevembri.blogspot.
com, diunduh jam 18:00 tanggal 2 oktober 2013.
Price, F., dan Paul, N.C., 1981. Biogas Production and utilization. Ann Arbor
Science Publishers, Inc., Michigan, pp 6 – 8, pp 65 – 68.
Qian X., G. Shen, Z. Wang, C. Guo, Y. Liu, Z. Lei, and Z. Zhang. 2014.
Cocomposting of livestock manure with rice straw: characterization and
establishment of maturity evaluation system. Waste management. Vol 34 (2).
530-535.
Taufiq. Susilo, B. Hawa, L.C. 2016. Sistem Pengembangan “Desa Mandiri
Energi” (Dme) di Desa Sumber Bendo, Saradan, Kabupaten Madiun. Jurnal
Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem Vol. 4 No. 2, April 2016, 128-135.
Zakariah, M.A. Zakariah, M. Zakariah, A.H.N. 2019. Sistem Pertanian Terpadu
Pangan, Pakan, Pupuk dan Biogas di Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Kolaka
Timur. Jurnal Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Desa Volume 2
Nomor 1 Desember 2019, h. 30-45.

578
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PEMBUATAN KANDANG TERNAK ANTI HARIMAU UNTUK


MITIGASI KONFLIK MANUSIA DAN SATWALIAR

Moehar Maraghiy Harahap1,2,*, Alfan Gunawan Ahmad1,2, Pindi Patana1,2,


Apri Heri Iswanto1, Agus Purwoko1, Mariah Ulfa1,2, Adrian Hilman3
1
Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Jalan Tri Dharma Ujung No 1
Medan 20155, Sumatera Utara, Indonesia
2
KEHATI-Link – Pusat Kajian Keanekaragaman Hayati dan Jasa Lingkungan,
Universitas Sumatera Utara, Jalan Tri Dharma Ujung No 1 Medan 20155,
Sumatera Utara, Indonesia
3
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. A. Sofian No.3 Medan
20155, Sumatera Utara, Indonesia
*
Email korespondensi: mhr_mrghy@usu.ac.id

Abstrak

Desa Timbang Lawan terletak di Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat,


Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya menjadi zona penyangga Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL). Oleh karena itu, kondisi sumberdaya alam dan
dinamika kehidupan di desa ini memiliki pengaruh penting pada kelestarian
kawasan TNGL dan sebaliknya. Serangan harimau sumatera (Panthera tigris
sumatrae) terhadap ternak sapi warga yang telah terjadi berulang kali selama 3
tahun terakhir merupakan masalah yang hingga kini masih meresahkan. Konflik
ini mengakibatkan kerugian materi sekaligus berpotensi mengancam keselamatan
warga dan harimau. Pembangunan kandang anti harimau merupakan salah satu
bentuk pengabdian masyarakat dari Fakultas Kehutanan – Universitas Sumatera
Utara (USU) yang bertujuan untuk memitigasi konflik antara harimau dengan
manusia. Prinsip kerja kandang ini adalah memberikan pelapis kandang yang
dapat melindungi ternak sapi dari jangkauan serangan harimau, yaitu kawat
berduri. Kandang berukuran 200 meter2 telah berhasil dibangun dengan
memanfaatkan bahan baku yang tersedia di sekitar desa, partisipasi warga serta
dukungan dana dari USU. Kandang ini mampu menampung sekitar 40 ekor sapi
dan telah digunakan warga. Kegiatan ini juga diharapkan menjadi sarana
pembelajaran bagi warga untuk membangun kesadaran aksi bersama (collective
action) di dalam pelestarian harimau sumatera beserta habitatnya.

Kata Kunci: Timbang Lawan, harimau sumatera, Taman Nasional Gunung


Leuser, ternak sapi, konflik satwaliar.

Pendahuluan
Desa Timbang Lawan terletak di Kecamatan Bohorok Kabupaten Langkat yang
wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) di Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu, kesinambungan
kehidupan warga Desa Timbang Lawan ini sangat bergantung dengan kondisi
sumberdaya alam hayati yang ada di dalam kawasan TNGL. Kondisi sumberdaya
alam yang mendukung dan lingkungan yang relatif masih asri menjadikan
sebagian warga desa Timbang Lawan mengembangkan usaha ternak lembu atau

579
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kambing. Pada umumnya warga mengelola ternaknya secara konvensional dengan


menggembalakannya di areal terbuka atau di kebun kelapa sawit tanpa ada
kandang khusus ternak. Praktik penggembalaan tersebut dilakukan untuk
menghemat biaya operasional.
Kondisi tersebut mulai berubah sejak beberapa tahun terakhir dengan
ditemukannya ternak sapi mati. Hal tersebut diakibatkan oleh serangan binatang
buas, harimau sumatera. Berdasarkan pemberitaan di berbagai media massa,
setidaknya terdapat belasan ekor ternak sapi tewas akibat serangan harimau
sumatera di beberapa desa dalam Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat.
Sedikitnya 5 ekor sapi tewas diserang harimau sumatera di Desa Tumbang Lawan
pada tahun 2020. Sebanyak 2 ekor sapi warga Desa Timbang Lawan tewas
diterkam harimau pada Januari 2021 (DetikNews, 2021). Kejadian tersebut telah
berulang dan menimbulkan keresahan warga. Bagi pemilik ternak, mereka resah
dan khawatir akan keselamatan ternaknya. Bagi warga secara keseluruhan, mereka
khawatir serangan harimau tersebut akan menimbulkan korban jiwa.
Bertitik tolak dari uraian di atas maka Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera
Utara merasa perlu ikut berperan dalam program penyelamatan harimau melalui
mitigasi konflik antara harimau dengan manusia. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat berupa pembangunan
kandang ternak anti serangan harimau. Pembangunan kandang anti serangan
harimau ini selain bertujuan untuk mengamankan ternak sapi dari serangan
harimau, juga sebagai media pembelajaran bagi warga Desa Timbang Lawan
untuk membangun kesadaran aksi bersama (Collective action) didalam pelestarian
harimau sumatera beserta habitatnya.
Tujuan dilaksanakannya kegiatan pengabdian masyarakat ini, yaitu memberikan
solusi jangka pendek kepada warga berupa kandang anti serangan harimau dengan
pola partisipatif serta membangun aksi bersama (collective action) dalam
pelestarian harimau dan habitatnya melalui kegiatan pemberdayaan dan mitigasi
konflik.

Metode
Metode pelaksanaan yang dipakai dalam program desa binaan ini merupakan
teknik atau langkah praktis dan ilmiah dalam melaksanakan solusi atas
permasalahan. Solusi yang ditawarkan kepada mitra merupakan teknik yang
bersifat aplikatif sehingga mampu diulang kembali atau dilakukan oleh
masyarakat sekitar Desa Timbang Lawan.

Lokasi Penelitian
Kegiatan Pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan di Desa Timbang
Lawan Kecamatan Bohorok Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara
(Gambar 1). Desa Timbang Lawan dapat ditempuh dalam waktu sekitar dua jam
tiga puluh menit dengan menggunakan kendaraan mobil.

580
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1. Lokasi Pengabdian pada Masyarakat

Teknik Pembuatan Kandang


Beberapa tahapan analisis perlu dilakukan sebelum memulai pembangunan
kandang tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas ternak, dimensi
kandang, bahan baku yang tersedia, SDM sehingga proses pengerjaan menjadi
efektif dan efisien. Rangkaian tahapan analisis sampai dengan pengerjaan di
lapangan, antara lain:
1) Survey awal ke lokasi
Survey awal dibutuhkan dalam rangka mengumpulkan informasi lapangan dan ide
maupun saran dari mitra atas permasalahan yang ada. Survey awal akan semakin
memantapkan studi literatur yang telah dilakukan.
2) Persiapan alat dan bahan
Kegiatan ini bertujuan untuk menyiapkan peralatan dan bahan yang diperlukan
dalam proses pembangunan kandang ternak anti harimau. Alat dan bahan yang
digunakan akan disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya di sekitar lokasi
kegiatan serta dukungan dana yang ada.
3) Pembuatan Pondasi dan Atap Kandang
Kandang ternak yang akan dibangun berukuran sekitar 20m x 10m. Kandang
dengan ukuran tersebut akan mampu menampung sekitar 40 ekor lembu/sapi.
Pembuatan pondasi dan atap pada kandang bertujuan agar memberikan teduhan
kepada hewan ternak di saat kondisi cuaca panas terik atau hujan.
4) Pemasangan kawat
Pemasangan kawat diperlukan sebagai penghalang satwaliar predator, terutama
harimau masuk ke dalam kandang. Keberadaan kawat ini akan menyulitkan
pergerakan harimau ketika mencoba menerobos masuk ke dalam kandang.
5) Pemeriksaan ulang pada kandang
Kandang yang telah selesai dibangun akan diperiksa kembali kelayakannya. Hal
ini untuk memastikan bahwa semua komponen penyusun kandang telah terpasang
dengan benar dan kuat sehingga dapat digunakan dengan aman.

581
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

6) Kandang siap untuk digunakan


Kandang yang telah melalui proses pemeriksaan seluruh komponen dengan baik
akan dianggap telah layak pakai dan siap untuk digunakan. Keberhasilan
penggunaan kandang ini dalam menekan angka konflik manusia dan harimau akan
dapat ditiru dimodifikasi di lokasi lainnya.

Hasil dan Pembahasan


Kandang ternak dibangun dengan mengkombinasikan sumberdaya yang ada dan
mudah ditemukan di sekitar desa serta didukung pendanaan yang disediakan oleh
Universitas Sumatera Utara dalam rangka pengabdian pada masyarakat.
Masyarakat yang menjadi mitra turut serta bekerja membangun bersama kandang
ternak anti serangan harimau. Kandang ini menjadi milik bersama masyarakat
yang menjadi mitra kegiatan ini, yaitu warga Desa Timbang Lawan. Proses
pengerjaan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses pengerjaan kandang ternak anti serangan harimau

Pelaksanaan pembangunan kandang ini telah selesai dan sudah digunakan oleh
masyarakat. Kandang yang dibangun memiliki ukuran 20 m x 10 m. Kandang
tersebut mampu menampung lebih dari 40 ekor sapi milik warga. Berdasarkan
hasil pengamatan di lapangan, setidaknya terdapat 7 orang kepala keluarga yang
sudah memanfaatkan kandang ternak anti harimau ini. Pola pengandangan yang
dilakukan masyarakat yaitu setelah digembalakan seharian maka hewan ternak
akan dimasukkan ke kandang pada sore hari hingga keesokan harinya.
Pada umumnya keberadaan kandang ini mampu memberikan rasa aman pada
warga karena hewan ternaknya berada pada kandang yang mampu menyediakan
perlindungan terhadap adanya potensi serangan harimau yang kelaparan mencari
mangsa di luar hutan. Kandang ternak anti harimau yang telah selesai dapat dilihat
pada Gambar 3.

582
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 3. Kandang ternak anti serangan harimau yang siap untuk digunakan

Salah satu manfaat dari adanya kegiatan pengabdian masyarakat ini telah
dirasakan oleh masyarakat dan menjadi bagian dalam aktifitas kehidupannya.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk mitigasi konflik harimau
sumatera dengan manusia yang seringkali menimbulkan korban dari satu atau
kedua belah pihak.

Kesimpulan
Permasalahan warga Desa Timbang Lawan berupa adanya ancaman serangan
harimau pada hewan ternak dapat terselesaikan dengan membangun kandang
ternak anti serangan harimau secara kolaboratif dan bersifat jangka pendek. Perlu
adanya aktifitas pemeliharaan kandang secara berkala agar masa pakai menjadi
lebih lama dan tidak mudah rusak.

Ucapan Terima Kasih


Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat ini dibiayai oleh Universitas Sumatera
Utara melalui Program Desa Binaan Tahun 2021.

Daftar Pustaka
DetikNews. 2021. https://news.detik.com/berita/d-5336832/harimau-serang-2-
ekor-lembu-milik-warga-di-langkat-sumut. (28 Maret 2021)
Harahap, W. H., Patana, P., & Afifuddin, Y. 2013. The Mitigation of Wildlife-
Communities Conflict In Gunung Leuser National Park (Case Study of

583
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Timbang Lawan and Timbang Jaya Village, Bahorok Sub-District, Langkat


Regency). Peronema Forestry Science Journal, 2(3), 1-10.
Kuswanda, W., & Barus, S. P. 2017. Diversity and Determination of Wildlife
‘Umbrella Species' in the Gunung Leuser National Park. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, 6(2), 113-123.
Ministry of Environment and Forestry (MoEF). 2015. Gunung Leuser National
Park (GLNP) Action Plan. Directorate General Ecosystem and Natural
Resourcces Conservation. Ministry of Environment and Forestry of Republic
of Indonesia.
Sumitran, R., Yoza, D., & Oktorini, Y. 2014. Keberadaan Harimau Sumatera
(Panthera Tigris Sumatrae) Dan Satwa Mangsanya Di Berbagai Tipe Habitat
Pada Taman Nasional Tesso Nilo (the Existence of Sumatran Tiger (Panthera
Tigris sumatrae) Andanimal's Enemy in Various Types of Habitat at Tesso
Nilo Natio (Doctoral dissertation, Riau University).
Yoserizal, Y., & Irawan, R. E. 2014. Motif Perburuan terhadap Harimau Sumatera
pada Kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Kabupaten Indragiri Hulu
(Doctoral dissertation, Riau University).

584
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENINGKATAN KUALITAS PUPUK ORGANIK ASAL LIMBAH


TERNAK UNTUK MEWUJUDKAN KAMPUNG KELINCI DI
KABUPATEN MAGETAN

Dyah Lestari Yulianti1,*, Sri Minarti1, Siti Nurul Kamaliyah1, Wike Andre
Septian1, Puji Akhiroh1
1
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: dyahlestariyulianti@gmail.com

Abstrak

Pupuk organik memiliki manfaat untuk memperbaiki kondisi fisik, biologi, dan
kimia tanah. Materi organik yang bersumber dari limbah organik, yaitu limbah
hijauan, ekskresi ternak (feses, urin, manure), limbah pertanian, by-product
industri, dan limbah rumah tangga dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik
yang memiliki kandungan unsur hara lengkap dan bernilai ekonomis tinggi.
Proses dekomposisi limbah organik menjadi pupuk membutuhkan waktu relatif
lama yaitu 2-3 bulan. Dekomposer ditambahkan pada limbah organik dengan
tujuan untuk mempercepat pematangan pupuk. Program pengabdian kepada
masyarakat dilaksanakan di Desa Program pengabdian kepada masyarakat ini
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan khalayak sasaran
tentang teknik untuk kualitas pupuk organik dengan penambahan dekomposer
sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Khalayak sasaran adalah
kelompok petani dan peternak. Hasil pelaksanaan program pengabdian kepada
masyarakat ini menunjukkan peningkatan pengetahuan khalayak sasaran sebesar
26,5% dan pningkatan ketrampilan khalayak sasaran sebesar 73,8%. Estimasi
peningkatan pendapatan petani peternak kelinci melalui penjualan pupuk organik
padat (POD) dan pupuk organik cair (POC) yang berasal dari limbah kelinci
adalah Rp 1.384.450,00-Rp 2.768.901,00/bulan.

Kata Kunci: pupuk organik, limbah ternak, kampung kelinci

Pendahuluan
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti
pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat
berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada
kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa limbah hijauan, limbah
ternak, limbah pertanian (jerami, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa),
by-product industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah rumah
tangga.
Secara umum yang dimaksud dengan “limbah ternak” adalah feses, urin, atau
kotoran lainnya, emisi pencernaan, urea, atau zat sejenis yang dikeluarkan oleh
hewan (termasuk unggas dan ikan). Terminologi lain menyebutkan bahwa
“limbah ternak” termasuk kotoran hewan yang dicampur atau tercampur dengan

585
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

alas tidur, kompos, pakan, tanah, atau bahan lain yang biasanya ditemukan dengan
limbah tersebut (Vanderhoin, 1985).
Program pengabdian kepada masyarakat ini merupakan kegiatan strategis untuk
percepatan pembangunan Kampung Kelinci di Kabupaten Magetan. Program
Pengabdian Kepada Masyarakat ini merupakan Program Dosen Berkarya yang
diajukan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya tahun 2021 yang mengambil
konsep Wisata Edukasi Berbasis Kelinci. Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Magetan mengajukan prioritas kegiatan strategis, yaitu:
1. Meningkatkan produksi dan produktivitas budidaya ternak kelinci.
2. Memiliki kemandirian dalam pengelolaan pakan kelinci.
3. Meningkatkan kelembagaan kelompok tani ternak kelinci.
4. Mampu memasarkan hasil ternak kelinci beserta produk ikutannya.
5. Mampu memanfaatkan limbah dari peternakan Kelinci

Metode
Metode yang digunakan adalah transfer knowledge yang disajikan dalam kegiatan
penyuluhan dan demo plotting. Program pengabdian kepada masyarakat ini
direncanakan akan dilaksanakan dalam waktu enam bulan (terdiri dari empat
tahap, yaitu: persiapan, transfer knowledge melalui kegiatan penyuluhan, demo
plotting, dan pendampingan).
Identifikasi permasalahan yang dihadapi peternak ditabulasi sebagai berikut:
1. Masih minimnya pengetahuan peternak tentang pupuk organik asal limbah
peternakan, khususnya yang berasal dari komoditi ternak kelinci.
2. Masih minimnya pengetahuan peternak tentang teknologi dekomposer,
dan
3. Masih minimnya pengetahuan peternak tentang teknologi prosesing pupuk
organik dengan penambahan dekomposer.
Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut, tim pengabdi membuat
perencanaan kegiatan, yaitu:
1. Transfer knowledge melalui kegiatan penyuluhan tentang pupuk organik
asal limbah peternakan, khususnya yang berasal dari komoditi ternak
kelinci. Evaluasi kegiatan berdasarkan peningkatan pengetahuan peternak
yang diukur menggunakan instrument pre-test dan post-test,
2. Transfer knowledge melalui kegiatan penyuluhan dan demo plotting
pembuatan dekomposer sederhana dan pupuk organik cair (POC). Evaluasi
kegiatan berdasarkan peningkatan pengetahuan peternak yang diukur
menggunakan instrument pre-test dan post-test, dan
3. Transfer knowledge melalui kegiatan penyuluhan dan demo plotting
teknologi pengolahan pupuk organik . Evaluasi kegiatan berdasarkan: (a)
peningkatan pengetahuan peternak yang diukur menggunakan instrument
pre-test dan post-test, (b) Pengamatan parameter keberhasilan produk akhir
silase yang bersifat subyektif, meliputi: warna, bau, tekstur, dan pH, dan
(c) tingkat pendapatan peternak yang mengadopsi teknologi.

Instrument pre dan post test program pengabdian kepada masyarakat disajikan
pada Tabel 1.

586
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Instrument pre dan post test program pengabdian kepada masyarakat
INSTRUMENT PRE/POST TEST
Instruksi Pengerjaan:
Pilihlah jawaban yang paling benar
1. Pupuk organik memiliki peran yang penting, yaitu . . . . .
a. Memperbaiki unsur tanah menjadi subur dan mudah diolah
b. Mikroba dapat menguraikan bahan-bahan organik yang terkandung
di dalam pupuk dan tanah
c. Hasil panen pertanian dengan menggunakan pupuk organik akan
akan mengurangi kandungan racun yang terdapat dalam hasil
petanian
d. Semua jawaban benar
2. Bagaimana jika kompos yang belum matang diberikan pada tanaman?
a. Tanaman menjadi layu dan mati
b. Menyuburkan tanaman
c. Berdampak positif terhadap pertumbuhan tanaman
d. Tidak berdampak apa-apa
3. Bagaimana kondisi suhu dalam proses pembuatan kompos ?
a. Meningkat di awal, menurun di akhir
b. Menurun di awal, meningkat di akhir
c. Selalu meningkat
d. Selalu menurun
4. Ciri-ciri kompos yang sudah matang adalah sebagai berikut kecuali.
a. Berwana coklat tua hingga hitam
b. Teksturnya menggumpal
c. Memiliki suhu ruang
d. Tidak berbau atau berbau tanah
5. Pupuk organik dalam bentuk padat dan cair dapat digunakan untuk
memperbaiki . . . . .
a. Sifat fisik tanah
b. Sifat kimia tanah
c. Sifat biologi tanah
d. Semua jawaban benar
6. Sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik
adalah sebagai berikut, kecuali . . . .
a. Limbah pertanian
b. Plastik, logam, dan polyester
c. Limbah rumah tangga
d. Feses ternak dan limbah peternakan
7. Dekomposer adalah . . . . .
a. Bahan kimia untuk mempercepat reaksi dekomposisi
b. Mikroorganisme yang menguraikan/mendegradasi bahan organik
c. Alat untuk menghaluskan/menumbuk biji-bijian
d. Semua jawaban salah
8. Berapa persentase dekomposer yang digunakan dalam pembuatan pupuk
organik?
a. 0,5%
b. 0,25%

587
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

INSTRUMENT PRE/POST TEST


Instruksi Pengerjaan:
Pilihlah jawaban yang paling benar
c. 0,75%
d. 1%
9. Berapa persentase limbah/kotoran ternak dalam prosesing kompos?
a. 80-83%
b. 70-75%
c. 60-65%
d. 50-55%
10. Dekomposer dapat dibuat dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di
alam, antara lain . . . .
a. Bonggol pisang, air cucian beras
b. Rempah-rempah
c. Herbal
d. Semua jawaban benar

Lokasi pengabdian
Program pengabdian kepada masyarakat inidilaksanakan di Desa Tanjungsari,
Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan.

Analisis data
Data empiris yang diperoleh selama program pengabdian kepada masyarakat
ditabulasi dan dianalisis menggunakan analisis deskriptif.

Hasil dan Pembahasan


Penyuluhan tentang Pupuk Organik Asal Limbah Ternak Kelinci
Berdasarkan instrument pre test dan post test terdapat peningkatan pengetahuan
petani dan peternak di wilayah Kabupaten Magetan tentang pupuk organik asal
limbah ternak kelinci sebesar 26,5%. Rata-rata nilai pre test peserta kegiatan
penyuluhan adalah 60,3 dan rata-rata nilai post test adalah 76,3. Aktivitas dan
peserta kegiatan penyuluhan disajikan pada Gambar 1.

(a) (b)
Gambar 1. (a) Aktivitas kegiatan penyuluhan, (b) peserta kegiatan penyuluhan

588
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penyuluhan dan demo plotting pembuatan dekomposer sederhana dan pupuk


organik cair (POC)
Penyuluhan dan demo plotting pembuatan dekomposer menggunakan bahan-
bahan yaitu bonggol pisang, gula merah/molases, dan air cucian beras (Setiasih,
2011) Sedangkan pembuatan pupuk organik cair menggunakan bahan urin
kelinci, empon-empon, tanaman herbal, dekomposer, dan gula merah (Solikhah
dkk., 2018). Kegiatan dan penyuluhan demo plotting ini diikuti oleh 30 petani
dan peternak di Desa Tanjungsari Kabupaten Magetan. Tim pengabdi membuat
instrument untuk menilai ketrampilan peserta kegiatan. Berdasarkan instrument
penilaian ketrampilan peserta untuk mbuat dekomposer sederhana dan pupuk
organik cair (POC), terdapat peningkatan ketrampilan 73,8%. Dokumentasi
kegiatan penyuluhan dan demo plotting pembuatan dekomposer dan pupuk
organik cair disajikan pada Gambar 2.

(a) (b)
Gambar 2. Dokumentasi kegiatan penyuluhan dan demo plotting pembuatan
dekomposer dan pupuk organik cair (a) Proses pencampuran pupuk
organik asal limbah kelinci, (b) Proses pencampuran pupuk organik
cair

Kelompok petani dan peternak kelinci diberi informasi tentang estimasi


keuntungan yang diperoleh jika petani/peternak mengadopsi teknologi
tersebut.Estimasi keuntungan yang diperoleh jika petani/peternak mengadopsi
teknologi dekomposer dalam pembuatan pupuk organik padat dan pupuk organik
cair disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Estimasi keuntungan yang diperoleh jika petani/peternak mengadopsi


teknologi dekomposer dalam pembuatan pupuk organik padat dan pupuk
organik cair

Rata-rata skala kepemilikan ternak = 10-20 ekor


Produksi urin = 100 mL urin/ekor/hari
Produksi ekskreta = 0,3 lbs/day (feces+urin)
Produksi feses+urin = 136,0776 g/ekor/hari
Produksi feses = 36,0776 g/ekor/hari

589
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Jika rata-rata skala kepemilikan adalah 10-20 ekor, maka produksi:


Skala Kepemilikan
Produksi
10 ekor 20 ekor

Urin (mL/hari) 1.000,0 2.000,0

Feses (g/hari) 360,8 721,6


Jika 1 bulan =30 hari, maka:

Urin (mL/bulan) 30.000,0 60.000,0

Feses (g/bulan) 10.823,3 21.646,6


Penjualan pupuk organik*

Pupuk organik padat (POD) (Rp/bulan) 20.814 41.628

Pupuk organik cair (POC) (Rp/bulan) 1.363.636 2.727.273

Total pendapatan penjualan pupuk (Rp/bulan) 1.384.450 2.768.901


Keterangan:
1 lbs = 453,592 gram
*Harga pupuk organik di Kab. Magetan
Pupuk organik padat (POD) (Rp 25.000,-/13 kg) 25.000
Pupuk organik cair (POC) (Rp 50.000,-/1,1 L) 50.000
Pupuk organik padat (POD) (Rp/kg) 1.923
Pupuk organik cair (POC) (Rp/L) 45.455

Berdasarkan perhitungan yang disajikan pada Tabel 3., jika petani peternak
mengadopsi teknologi dekomposer dalam pembuatan pupuk organik padat dan
pupuk organik cair maka rata-rata peningkatan pendapatan adalah Rp 1.384.450-
Rp 2.768.901,00/bulan

Kesimpulan
Program pengabdian kepada masyarakat di Desa Tanjungsari Kecamatan
Panekan, Kabupaten Magetan diikuti oleh 30 peserta.Hasil pelaksanaan program
pengabdian kepada masyarakat ini menunjukkan peningkatan pengetahuan
khalayak sasaran sebesar 26,5% dan pningkatan ketrampilan khalayak sasaran
sebesar 73,8%. Estimasi peningkatan pendapatan petani peternak kelinci melalui
penjualan pupuk organik padat (POD) dan pupuk organik cair (POC) yang berasal
dari limbah kelinci adalah Rp 1.384.450,00-Rp 2.768.901,00/bulan.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya melalui
Program Hibah Dosen Berkarya Tahun 2021. Ucapan terima kasih disampaikan
oleh tim pengabdi kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten

590
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Magetan atas kerjasama dan fasilitas yang diberikan selama program Pengabdian
Kepada Masyarakat ini berlangsung.

Daftar Pustaka
Antara News Jawa Timur, 2012. Pemerintah-DPR Sepakat Tingkatkan Subsidi
PupukOrganik. http://www.antarajatim.com/lihat/berita/80677/pemerintah-dpr-
sepakat-tingkatkan-subsidi-pupuk-organik
Ashary F., 2012. Manfaat Pupuk Organik Kompos di Indonesia.
http://fadhlyashary.blogspot.com/2012/05/pupuk-organik-jual-manfaat-
pupuk.html.
Kaharudin dan Sukmawati, 2010. Petunjuk Praktis ; Manajemen Umum Limbah
Ternak untuk Kompos dan Biogas. Balai Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Balai Besar Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Kementerian Pertanian
Setiasih, 2011. Membuat Dekomposer Dari Bahan Lokal. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Timur.
Ummi Sholikhah, dkk. 2018. Pemanfaaatan Limbah Urine Kelinci Menjadi Pupuk
Organik Cair (POC). AJIE - Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship
(e-ISSN: 2477- 0574 ; p-ISSN: 2477-3824). Volume. 03, Issue. 02
Vanderhoin D. H., 1985. Agricultural Waste Manual Nzaei, Lincoln College,
Canterbury, New Zealand.

591
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PELATIHAN ECO-ENZYME UNTUK ANAK PANTI ASUHAN


MUHAMMADIYAH DI KOTA MALANG

Eko Widodo1,*, Yuli Frita Nuningtyas2

1
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: eko.widodo@ub.ac.id

Abstrak

Masalah sampah, khususnya sampah organik, adalah belum banyak yang


termanfaatkan. Secara konvensional, sampah organik diolah menjadi kompos.
Namun, di era pandemi covid-19 penyemprotan eco-enzyme telah diaplikasikan di
beberapa daerah. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan melakukan pelatihan eco-
enzyme bagi anak panti asuhan Muhammadiyah di kota Malang. Materi yang
digunakan adalah limbah nanas, molases, gallon bekas air mineral dan timbangan.
Metode yang dilakukan adalah memberikan pelatihan secara daring dan luring.
Pelatihan secara daring dilakukan menggunakan zoom, diikuti oleh anak panti dan
pengurus. Demikian pula pelatihan secara luring yang dilakukan di pani asuhan
Muhammadiyah malang juga diikuti anak panti dan pengurus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa life skill bagi anak panti penting dan mereka antusias
mengikuti pelatihan. Kesimpulan kegiatan ini adalah pelatihan eco-enzyme untuk
anak panti bermanfaat untuk memberikan life skill dan menumbuhkan kesadaran
memelihara lingkungan.

Kata Kunci: limbah nanas, sampah organik, eco-enzyme, anak panti, life skill

Pendahuluan
Panti asuhan adalah lembaga sosial yang didirikan oleh pemerintah atau
masyarakat untuk menyantuni masyarakat yang kurang beruntung. Sedangkan
panti asuhan anak adalah suatu panti asuhan yang memberikan pelayanan
kesejahteraan sosial pada anak telantar atau memberikan layanan pengganti orang
tua/wali anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan pendidikan anak asuh
sehingga diharapkan sebagai insan yang akan turut aktif dalam bidang
pembangunan nasional. Ada hal yang lebih penting, yaitu setelah keluar dari panti
anak akan memiliki ketrampilan untuk mandiri yang umumnya diistilahkan
sebagai life skill.
Panti asuhan Muhammadiyah Malang adalah sebuah panti asuhan Malang adalah
yang terletak di Jl. Bareng Tenes IVA/637 Malang. Panti asuhan ini salah satu
panti asuhan tertua di Malang khusus mengelola pelayanan kesejahteraan untuk
anak laki-laki.Malang sebagai kota besar kedua di Jawa Timur, tercatat memiliki
45 panti asuhan, termasuk yang mengelola panti asuhan anak, panti jompo, panti
asuhan disabilitas dll. Panti asuhan Muhammadiyah Malang memiliki jumlah
anak panti sebanyak 41 anak, terdiri dari anak SD 8 orang, SMP 15 orang dan
yang terbanyak SMK 16 orang serta MA 2 orang. Panti ini dipimpinoleh bapak
Drs H. Dasuki, MM dan dikelola oleh 11 orang pengurus.

592
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pemanfaatan sampah organik dari dapur, baik rumah tangga maupun lembaga
seperti panti asuhan yang memiliki lebih banyak anggota keluarga/penghuni.
Sampah tersebut selama ini hanya dibuang atau dibuat pupuk organik atau
kompos. Pembuatan kompos membutuhkan starter misalnya EM4 agar fermentasi
dapat berlangsung cepat. Alternatifnya, sampah organik dapat dimanfaatkan untuk
desinfektan penyemprotan kandang ayam dan lingkungan sekitar panti, untuk
membersihkan lantai, sebagai pupuk cair tanaman, untuk aditif pakan, dll. Oleh
karena itu, tim pengabdian masyarakat Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
melakukan pengabdian masyarakat pemanfaatan sampah organik sebagai eco-
enzyme.

Metode
Lokasi
Pengabdian masyarakat ini dilakukan di Panti Asuhan Muhammadiyah Malang
pada bulan Oktober 2021, adapun peserta dalam kegiatan ini ada 12 orang anak
(semuanya dari level SMK/MA) dan 2 pengurus panti asuhan.
Kegiatan pengabdian masyarakat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu 1) persiapan,
yaitu survei, persiapan dan wawancara ke lokasi panti asuhan Muhammadiyah
Malang, 2) pelaksanaan kegiatan dan 3) evaluasi, menganalisis capaian
peningkatan knowledge dan skill peserta.

Metode
Sedangkan metode pelaksanaan kegiatan pengabdian ini karena pandemic covid-
19 ada penerapan aturan PPKM harus dilakukan menggunakan metode blended
learning maksudnya sebagian kegiatan dilakukan secara luring (pelatihan
pembuatan eco-enzyme) namun sebagian lagi dilakukan secara daring
(penyuluhan cara pembuatan eco-enzyme dan pemanfaatannya.

Hasil dan Pembahasan


Hasil pengabdian masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Penyuluhan luring tentang pembuatan dan pemanfaatan eco-enzyme diikuti
oleh 12 anak panti dan 2 pengurus. Penyuluhan menggunakan media zoom
meeting, berlangsung selama 40 menit dan 20 menit tanya jawab. Dari
pertanyaan tersebut diantaranya menanyakan:
a. Apa bedanya dengan MOL (mikroorganisme lokal)? Bedanya adalah
MOL membutuhkan starter seperti ragi tape atau EM4, sedangkan eco-
enzyme tidak.
b. Kulit durian apa dapat digunakan? Sebaiknya tidak digunakan karena bau
dari dari pembuatan eco-enzyme kurang enak
c. Apakah nira dapat digunakan jika tidak ada molases? Dapat
d. Apa akibatnya jika fermentasi lebih lama dari 100 hari? Tidak masalah,
tetapi waktu minimal fermentasi 90 hari
e. Apa boleh menggunakan air PDAM? Boleh digunakan asalkan diendapkan
dulu minimal 12 jam.
2. Pelatihan daring diikuti oleh 13 pengurus panti dan 1 orang pengurus panti.
Pelatihan ini memperagakan pembuatan eco-enzyme dengan langkah-langkah
pembuatan menurut panduan Wuni dan Husaini (2021) dan Uptalasari dan
Dahliana (2020) sebagai berikut: (1) siapkan alat bahan yang dibutuhkan, (2)

593
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menyediakan limbah dapur yang berupa sayur dan buah, dalam pelatihan ini
digunakan limbah nanas (3) iris kecil-kecil sehingga mudah dimasukkan
dalam wadah (dalam pelatihan ini digunakan bekas gallon air mineral cleo),
(4) timbang irisan limbah nanas, molases dan air dengan perbandingan
3:1:10(dalam pelatihan ini digunakan limbah nanas 750 g : molases 250 g :
air 2500ml) (5) campuran dikocok dan wadah gallon air mineral ditutup, (6)
simpan ditempat sejuk dan kering selama 90-100 hari, (7) melakukan
pembukaan tutup gallon setiap 6 jam pada 1 minggu pertama agar botol tidak
meledak, namun setelah itu tidak diperlukan membuka tutup gallon lagi (8)
pada saat sudah selesai proses fermentasi, pisahkan cairan dan padatan.

Pemanfaatan eco-enzyme yang dihasilkan dalam pelatihan ini selanjutnya dapat


dimanfaatkan untuk :
1. Bagian cair dapat digunakan sebagai
a. desinfektan penyemprotan kandang ayam dengan cara bagian cair dari
eco-enzyme dilarutkan dengan air dengan perbandingan 1:100
b. desinfektan lingkungan sekitar panti, dengan cara bagian cair dari eco-
enzyme dilarutkan dengan air dengan perbandingan 1:100
c. untuk membersihkan lantai, khususnya lantai kamar mandi atau halaman
dengan cara bagian cair dari eco-enzyme dilarutkan dengan air dengan
perbandingan 1:25-50. Tidak direkomendasikan untuk lantai ruangan
dalam rumah atau kantor karena tidak mengandung parfum.
d. sebagai pupuk cair tanaman, dengan cara bagian cair dari eco-enzyme
dilarutkan dengan air dengan perbandingan 1:100 dan disemprotkan pada
tanaman.
e. untuk aditif pakan ternak ayam ikan lele, dengan cara bagian cair dari eco-
enzyme dilarutkan dengan air dengan perbandingan 1:100 dengan dosis
diampur pakan 1-2 ml/kg pakan.
2. Bagian padat dapat digunakan sebagai pupuk tanaman baik digunakan
langsung maupun dijemur dulu.

Evaluasi kegiatan pengabdian masyarakat ini menunjukkan bahwa:

No Kegiatan Luaran
1 Sosialisasi program 1. Pengetahuan tentang eco-enzyme
belum ada
2. Pengetahuan tentang pembuatan
eco-enzyme belum ada
3. Manfaat eco-enzyme belum tahu
2 Penyuluhan eco-enzyme 1. Pengetahuan tentang eco-enzyme
meningkat 80%
2. Pengetahuan tentang pembuatan
eco-enzyme meningkat 90%
3. Manfaat eco-enzyme meningkat
70%
3 Pelatihan eco-enzyme 1. Memahami tahapan pembuatan
eco-enzyme
2. Mampu membuat eco-enzyme

594
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Dokumentasi kegiatan pelatihan pembuatan eco-enzyme seperti ditunjukkan


pada Gambar 1.

Gambar 1. Pelatihan luring pembuatan eco-enzyme (kiri) dan hasil


praktekpembuatan eco-enzyme yang sudah dimasukkan gallon

Pembuatan eco-enzyme diharapkan dapat menjadi bekal life skill bagi anak panti
dan menumbuhkan kebiasaan hidup sehat melalui pengolahan sampah (Subekti,
2010) dan sifat peduli pada kelestarian lingkungan (Astra dkk, 2021).

Kesimpulan
Kegiatan pengabdian masyarakat melalui pelatihan pembuatan eco-enzyme telah
mampu meningkatkan pengetahuan dan diharapkan juga ketrampilan anak panti
asuhan Muhammadiyah Malang. Pelatihan ini diharapkan dapat menjadi life skill,
meningkatkan kebiasaan hidup sehat dan kepeduliaan akan kelestarian
lingkungan.

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan terima kasih atas dukungan finansial dari Fakultas
Peternakan hingga terselenggarakan kegiatan ini.

Daftar Pustaka
Astra, I. K. B., Wijaya, M. A., Artanayasa, I. W., & Happy, I. K. (2021).
PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK BERBASIS ECO ENZYME
SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER PEDULI
LINGKUNGAN PEMUDA DI KABUPATEN BULELENG. Proceeding
Senadimas Undiksha, 2065.
Subekti, S. (2010). PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 3R
BERBASIS MASYARAKAT. Prosiding SNST Fakultas Teknik, 1(1). 124-
130.
Utpalasari, R. L., & Dahliana, I. (2020). ANALISIS HASIL KONVERSI ECO
ENZYME MENGGUNAKAN NENAS (Ananas comosus) DAN PEPAYA
(Carica papaya L.). Jurnal Redoks, 5(2), 135-140.
Wuni, C., & Husaini, A. (2021). PELATIHAN PEMBUATAN ECO-ENZYME
DARI LIMBAH ORGANIK RUMAH TANGGA SEBAGAI ALTERNATIF
CAIRAN PEMBERSIH ALAMI. J-ABDI: Jurnal Pengabdian kepada
Masyarakat, 1(4), 589-594.

595
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK TERPADU DOMBA EKOR GEMUK


(DEG) DENGAN PRINSIP ECO-FARM UNTUK MEMBERDAYAKAN
KARANG TARUNA DI DESA GIRIWETAN, MAGELANG

Z. R. Fithron1,*, A. Kafi2
1
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
*Email korespondensi: Zfithron@ub.ac.id

Abstrak

Desa Giriwetan merupakan desa di kecamatan Grabag Kabupaten Magelang


dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan kondisi geografis yang
mendukung dalam sektor pertanian. Warga Giriwetan mendapat bantuan dari
pemerintah melalui program pengentasan kemiskinan berupa indukan Domba
Ekor Gemuk (DEG) setiap KK yang diajukan mendapat 1 pasang indukan, tetapi
pengolahan dan perawatan ternak belum maksimal. Hal ini dikarenakan sumber
daya manusia yang kurang mengerti dalam mengelolah dan merawat DEG.
Sehingga mengakibatkan limbah seperti kotoran, urine, dan sisa makanan
bercampur di kandang, yang menyebabkan domba kurang sehat dan bau tidak
sedap di lingkungan warga. Pemuda karang taruna Desa Giriwetan yang tengah
aktif dalam berbagai program kerja, tentu perannya dibutuhkan dan berpengaruh
bagi masyarakat. Berdasarkan analisis tersebut maka kegiatan pengabdian
masyarakat perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu SDM
karang taruna dengan memaksimalkan potensi di Desa Giriwetan. Kegiatan ini
menerapkan pengelolahan limbah ternak terpadu dengan prinsip eco-farm dengan
menggunakan kandang panggung terkoleksi dimana limbah hasil ternak bisa
terpisah antara kotoran, urine, dan sisa makanannya. Pelatihan dan edukasi
pengolahan limbah ternak domba kepada karang taruna desa Giriwetan. Luaran
yang diharapkan yaitu kandang panggung terkoleksi, sistem pengolahan limbah
terpadu, serta produk hasil pengolahan limbah berupa pupuk kandang dan
biourine yang dapat meningkatkan nilai ekonomis bagi karang taruna desa
Giriwetan. Berdasarkan evaluasi dan tindak lanjut terekam beberapa manfaat
praktis yang diperoleh karang taruna Desa Giriwetan yaitu mereka mendapatkan
informasi yang jelas dalam mengelolah limbah DEG dengan prinsip eco-farm
yang nanti akan diteruskan ke warga sekitar guna meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan warga sekitar dalam mengelola ternak DEG.

Kata Kunci : domba ekor gemuk, kandang terkoleksi, pengolahan limbah terpadu

Pendahuluan
Desa Giriwetan, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang dengan mayoritas
penduduknya bekerja menjadi petani. Warga Desa Giriwetan mendapat bantuan
dari pemerintah lewat Program Pengentasan Kemiskinan berupa indukan Domba
jenis DEG setiap KK yang diajukan mendapat 1 pasang indukan. Namun

596
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

pengolahan dan perawatan ternaknya sendiri belum berjalan maksimal, hal ini
dikarenakan SDM masyarakat desa yang kurang tau akan teknologi dan ilmu
peternakan yang benar. Padahal SDM dibidang peternakan harus diperhatikan,
bisa dengan cara penyuluhan dari lembaga peternakan atau pemerintahan, karena
peningkatan kinerja penyuluh sangat penting dalam meningkatkan kualitas SDM
peternak dan kelangsungan program (Kaharudin dan Sukmawati F, 2020).
Pengelolaan peternakan domba di Desa Giriwetan yang belum maksimal
berdampak di bagian pengolahan limbah. Hal tersebut mengakibatkan limbah
seperti kotoran/mendil, urine, dan sisa makanan bercampur jadi satu di kandang,
sehingga kondisi domba kurang sehat, dan lingkungan sekitar kandang tercemar
bau tidak sedap. Keluhan warga juga berada di pakan, rumput semakin lama susah
dicari karena memang setiap hari dipotong untuk pakan domba, dan belum ada
yang menggunakan pakan alternatif seperti konsentrat dan fermentasi. Kotoran
padat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman, penggunaan pupuk kandang dapat
menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Hartatik dkk, 2015).
Desa Giriwetan memiliki perkumpulan karang taruna dengan berbagai program
kerja, peran pemuda karang taruna sangat dibutuhkan dari sisi tenaga dan pikiran
untuk memajukan desa, oleh karena itu selaras dengan kegiatanpengabdian
masyarakat yang mengajak pemuda karang taruna sebagai mitra bertujuan untuk
bersinergi bersama masyarakat untuk meningkatkan SDM Desa Giriwetan dalam
mengelola peternakan domba.
Program dilakukan oleh pemuda karang taruna menggunakanprinsip eco-farm
dengankonsep kandang panggung terkoleksi. Limbah dari hasil ternak dapat
terpisah antara kotoran, urine, dan sisa pakan sehingga limbah bisa diolah menjadi
pupuk kandang dan bio urine. Program ini bertujuan untuk 1. Mengolah limbah
ternak domba di Desa Giriwetan, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, 2.
Memberikan pemahaman dan pembelajaran kepada karang taruna bahwa limbah
peternakan domba bisa diolah dengan prinsip pengolahan terpadu yang mampu
menjadi ladang bisnis dan menambah kas karang taruna, 3. Mampu meningkatkan
mutu SDM karang taruna dengan program pengabdian masyarakat di Desa
Giriwetan, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.

Metode
Lokasi dan waktu pengabdian kepada masyarakat
Program dilaksanakan di Desa Giriwetan, Kecamatan Grabag, Kabupaten
Magelang. Waktu pelaksanaan program pada bulan Juni sampai Agustus 2021.

Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dimulai dari pendekatan sosialisasi dan pelatihan, perancangan
teknologi, penerapan teknologi dan pelatihan, dan evaluasi.

a. Tahap sosialisasi dan pelatihan


Sosialisasi dan pelatihan dilakukan kepada Pemuda karang taruna Desa Giriwetan
dengan tujuan untuk mengetahui prinsip eco-farm dan pengolahan limbah terpadu
untuk dijadikan suatu produk berupa pupuk kandang dan bio urine.

597
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1.Sosialisasi danpelatihan secara daring

b. Perancangan teknologi
Perancangan teknologi diterapkan mulai dari membuat pembuatan kadang dan
desain kandang, pelaksanaan pembudidayaan ternak domba (Formula pakan, dan
penentuan perawatan), pengolahan limbah menjadi pupuk kandang dan bio urine
serta pemasaran produk olahan limbah ternak.

Gambar 2.Pembuatan kandang panggung terkoleksi

c. Penerapan teknologi
Penerapan program dilaksanakan secara hybrid dengan metode daring melalui
video telekonferensi aplikasi zoom dan luring dengan protokol kesehatan. Media
sosialisasi dan pelatihan meliputi PPT materi perancangan kandang panggung
domba dan sistem pengolahan limbah ternak, grand design rancangan visual
kendang panggung dan sistem pengolahan limbah ternak yang memudahkan
pemahaman mitra.

598
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 3. Penerapan teknologi kandang panggung terkoleksi

d. Evaluasi
Evaluasi keberhasilan dilakukan dengan pengisian kuisioner yang akan
merepresentasikan apakah penerapan teknologi sistem pengolahan limbah ini
berhasil atau tidak. Hasil kemudian akan dievaluasi bersama dengan pihak mitra
karang taruna.

Gambar 4. Pengolahan limbah ternak domba

Hasildan Pembahasan
Pendampingan dan Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Program
Indikator ketercapaian target diperoleh dari wawancara dan penyebaran kuesioner
mengenai pemahaman karang taruna akan kesadaran lingkungan dalam
pengolahan limbah ternak terpadu guna disalurkan kepada masyarakat Desa
Giriwetan. Sedangkan kuesioner dibagikan kepada pemuda karang taruna untuk
dijadikan parameter keberhasilan program mulai dari pembuatan kandang

599
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

panggung terkoleksi, perawatan kandang dan pengolahan limbah ternak domba


menjadi pupuk kandang dan bio urine.
Hasil yang didapat sebelum pelatihan, pemahaman mitra hanya sebesar 47,5%
kemudian setelah mengikuti program pengolahan limbah terpadu diberikan
kuesioner kembali menjadi 87,5%. Menurut Prasetyo (2016) menyatakan bahwa
penyuluhan bertujuan untuk memberikan ilmu kepada masyarakat guna untuk
meningkatkan SDM dan pemahaman yang diberikan oleh para penyuluh.

Gambar 5. Kandang sebelum program

Gambar 6.Sistem kandang terkoleksi

Gambar diatas menunjukkan bahwa adanya perubahan dalam sistem kandang


domba di Desa Giriwetan yang semula masih belom tertata dan kelihatan tidak
bersih, setelah adanya pelatihan bisa bersih karena kotoran bisa terkoleksi dengan
baik dan pembersihan kandang juga lebih mudah. Menurut Prasetyo, A. F., &
Apriliyanti, M. W. (2016) menyatakan bahwa pemanfaatan urine ternak menjadi
pupuk organik cair, guna maningkatkan pendapatan peternak pada kelompok
peternak domba

600
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Persentase Hasil Terhadap Target Kegiatan


Persentase capaian program ditargetkan hingga Monitoring & Evaluasi yaitu 90%
dari luaran yang diharapkan. Capaian berupa luaran Laporan Kemajuan, Sistem
Kandang Terkoleksi Ternak Domba, Produk Olahan Limbah Ternak Domba,
Buku Pedoman Mitra Pengolahan Limbah Ternak Domba, Rancangan Laporan
Akhir, Log Book Kegiatan PKM, Sistem Pengolahan Limbah Ternak Domba.

Tabel 1. Persentase Hasil terhadap Keseluruhan Target Kegiatan


No Kegiatan Bobot Capaian
1 Persiapan dan diskusi 5% 5%
program
2 Persiapan alat dan bahan 10% 10%
3 Pendampingan pembuatan 20% 20%
Kandang & operasional
perkandangan terkoleksi
4 Sosialisasi & pelatihan 25% 25%
Pengolahan limbah (Pupuk
Kandang & Bio Urine) S-
Tadom
5 Buku panduan pengolahan 10% 10%
limbah terpadu
6 Pembuatan video akhir 5% 5%
7 Publikasi kegiatan program 5% 5%
8 Laporan kemajuan 15% 15%
9 Laporan akhir 5% 5%
Ketercapaian Program 100% 100%

Potensi Keberlanjutan
Program pengabdian kepada masyarakat direncanakan berpotensi dalam
kelanjutan dengan kebersediaan pemuda karang taruna dalam pelaksanaannya,
yaitu pengolahan limbah ternak domba untuk bisa dimanfaatkan dan rencana bisa
sampai dipasarkan dalam skala yang lebih besar lagi. Selain itu, luaran yang
dicapai pada program pengabdian kepada masyarakat berupa produk pupuk
kandang bio urine. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan pemuda karang
taruna secara ekonomis dan mandiri. Menurut Londra IM (2018) menyatakan
bahwa pupuk kandang merupakan pupuk organik dari fermentasi kotoran padat
dan cair (urine) hewan ternak yang dapat meningkatkan pendapatan bagi peternak.

601
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 7. Produk pupuk kandang dan bio urine

Kesimpulan
Pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat dapat disimpulkan:
1. Pengolahan limbah ternak domba di Desa Giriwetan menjadi pupuk kandang
dan bio urine sudah terlaksana dengan baik oleh mitra.
2. Mitra mampu memahami apa yang tim berikan melalui pelatihan dan juga
sosialisasi tentang pengolahan limbah ternak domba dengan prinsip
pengolahan terpadu dengan menerapkan sistem kandang terkoleksi, yang
mampu memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar dan juga pemasukan kas
tambahan bagi mitra.
3. Dengan adanya program ini mitra sanggung berinovasi lebih lanjut dengan
perkembangan program yang mampu dilanjutkan dengan bekal pelatihan yang
telah diberikan.

Daftar Pustaka
Prasetyo, A. F., & Apriliyanti, M. W. (2016). Pemanfaatan Urine Ternak Menjadi
Pupuk Organik Cair, Guna Maningkatkan Pendapatan Peternak Pada
Kelompok Peternak Domba †œNusantaraâ€. Prosiding
Dalimunthe, L. 2019. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia guna
meningkatkan kinerja karyawan melalui analisis swot divisi Cash Processing
Center pada scm Kota Padang. JURNAL ILMU MANAJEMEN TERAPAN.
VOL.1:76-85.
Hartatik, W., D. Setyorini, L. R. Widodowati, dan S. Widati. 2015. Laporan Akhir
Penelitian.
Kaharudin dan Sukmawati F, 2020. Manajemen Umum Limbah Ternak untuk
Kompos dan Biogas. Mataram: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.
Londra IM, 2008. Membuat Pupuk Cair Bermutu Dari Limbah Kambing. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia 30 (6): 5-7.

602
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENDAMPINGAN PETERNAK SAPI POTONG DI DESA JANGGAN,


KECAMATAN PONCOL, KABUPATEN MAGETAN MELALUI
PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN

Rini Dwi Wahyuni*, Herni Sudarwati, Mashudi, Asri Nurul Huda

Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya


Malang
*Email korespondensi: rinidwi_w@ub.ac.id

Abstract

The target of this community service was Beef Cattle Farmer’s Group ‘USAHA
TANI II and USAHA TANI III’ which located in Janggan Village, Poncol District,
Magetan Regency. The most important factor in animal production system was
feeding. Nowadays, the farmers in those circumstances have not maximized yet
the utilization of agricultural by products for animal feeding. The aim of this
program was to increase the knowledge and skill of the farmers and improve the
feed quality to increase animal productivity. The activities to pursue that aim,
such as investigating the problem of the farmer, problem solving by extension
program, and practical work to improve farmer’s skills. The result of this
program was: (1) we found several problems faced by the farmers (2) problem
solving is conducted by doing extension regarding rice straw ammoniated,
complete feed technology and how to make urea molasses block (UMB).
Key words: animal feed, agriculture by-product, beef cattle, ammoniated rice
straw

Abstrak

Kegiatan pendampingan ini dilakukan dengan khalayak sasaran “Kelompok


Petani Ternak Sapi Potong USAHA TANI II dan USAHA TANI III di Desa
Janggan Kecamatan Poncol Kabupaten Magetan”. Salah satu proporsi terbesar
penentu usaha peternakan adalah faktor pakan. Desa Janggan dinilai masih kurang
maksimal dalam memanfaatkan sumber pakan lokal terutama yang berasal dari
limbah pertanian. Tujuan program ini adalahmeningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan khalayak sasaran dalam hal ini peternak sapi potong di dua
kelompok mitra serta meningkatkan nilai nutrisi limbah pertanian yang ada
sehingga meningkatkan produktifitas ternak. Metode yang dilakukan meliputi
inventarisasi masalah, penyuluhan, dan dilanjutkan dengan demoplot. Evaluasi
dilakukan dengan wawancara langsung ke peternak tentang dampak kegiatan
pendampingan. Hasil dari kegiatan ini adalah ditemukannya permasalahan yang
biasa dihadapi peternak. Program penyuluhan meliputi introduksi teknologi
amoniasi jerami padi, pembuatan pakan lengkap, dan pembuatan urea molases
blok (UMB). Untuk memperkuat ketrampilan peternak dilakukan demoplot.
Kata kunci: pakan, limbah pertanian, sapi potong, amoniasi jerami padi

603
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pendahuluan
Analisis situasi
Kabupaten Magetan merupakan salah satu wilayah pemasok sapi potong di Jawa
Timur, baik untuk bangsa sapi potong lokal maupun peranakan. Menurut data dari
BPS (2013),di Kabupaten Magetan dilaporkan bahwa populasi sapi dan kerbau
mencapai 107.608 ekor. Kecamatan Poncol, memiliki populasi sapi potong
tertinggi dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Magetan(11.567 ekor). Saat
ini berdasar data BPS (2021)populasi sapi dan kerbau di Magetan di tahun 2020
meningkat mencapai 117.550 ekor dan di Kecamatan Poncol mencapai 11.852
ekor. Desa Janggan merupakan salah satu desa di Kecamatan Poncol yang
menjadiwilayah sumber bibit sapi potong dengan populasi yang cukup tinggi. Di
desa tersebut metode penggemukan sapi masih menggunakan manajemen
pemeliharan konvensional yang diperoleh turun temurun dari orang tuanya.
Sejauh ini untuk meningkatkan kinerja usahanya, peternak di desa ini telah
membentuk kelompok tani, dan total jumlah kelompok tani yang ada adalah 4
(empat) kelompok. Berdasarkan hasil observasi di lokasi kegiatan dua kelompok
tani (USAHA TANI II dan USAHA TANI III) adalah mitra dalam kegiatan ini.
Salah satu tantangan besar dalam industri penggemukan sapi saat ini
adalahmengenai ketersediaan bahan pakan yang berkualitas. Terlebih pada saat
musim kemarau, masih banyak bahan pakan lain harus didatangkan dari luar
wilayah desa sehingga menambah biaya produksi. Selain itu kualitas sumber daya
manusia (SDM) untuk mengelola usaha peternakan masih cukup rendah, karena
mereka hanya mendapatkan ilmu atau keahlian secara turun temurun dari orang
tua mereka.
Di wilayah Kecamatan Poncol terdapat usaha pertanian intensif (sawah) dan
perkebunan kopi, dimana limbahnya dapat menjadi alternatif sumber bahan pakan
potensial. Limbah dari lahan pertanian (jerami padi, dedak padi, dan janggel
jagung) dan limbah perkebunan (kulit kopi)yang melimpah, setelah diolah akan
memiliki nilai nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan
produktivitas sapi potong. Penambahan urea pada jerami padi mampu
meningkatkan kualitas pakan termasuk palatabilitasnya (Mc Donald et al., 2002;
Ahmed et al., 2002). Limbah kulit kopi bisa diberi perlakuan seperti perlakuan
fisik (digiling), kimia dan dengan fermentasi. Janggel jagung maupun kulit kacang
tanah juga mudah didapatkan di sekitar wilayah desa tersebut, namun hanya
dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan lokal
yang tidak perlu didatangkan dari luar wilayah dan ketersediaanya mampu
mengatasi kekurangan hijauan dimusim kemarau. Jika bahan pakan yang berasal
dari limbah pertanian dan perkebunan tersebut diberikan bersamaan dengan pakan
lain dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan ternak sehingga produktivitas
ternak akan optimal.

Permasalahan Mitra
Desa Janggan, dimana dua kelompok peternak sapi potong mitra berada,
merupakan wilayah sumber bibit sapi potong dengan populasi yang cukup tinggi.
Topografi lahan meliputi tanah dataran tinggi dengan jenis tanaman pangan
berupa tegal, sawah padi dan perkebunan kopi. Tim pengabdian masyarakat telah
melaksanakan observasi pendahuluan untuk mengetahui permasalahan usaha

604
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mitra dengan cara inspeksi lokasi dan wawancara langsung dengan peternak mitra.
Berdasarkan observasi dan deskripsi analisis situasi, permasalahan yang bisa di
inventarisir antara lain adalah petani masih mengelola usaha peternakan sapi
secara konvensional dengan hanya memberi pakan ke ternaknya secara
tradisional. Kuantitas dan kualitas hijauan yang diberikan ke ternak kurang
memadai dan tidak mencukupi kebutuhan nutrisi ternak terlebih pada musim
kemarau. Selain rumput gajah, pakan sumber serat lain yang diberikan lebih
banyak bertumpu pada jerami padiyang kualitasnya rendah. Belum banyak
peternak yang memberi pakan suplemen yang kualitasnya lebih baik seperti
konsentrat (dedak, empok jagung dsb)serta UMB. Disamping itu komposisi dan
formulasi pakan yang diberikan belum sesuai dengan kebutuhan gizi pada periode
stadia fisiologi ternak (dewasa, dara, pedet). Satu hal lagi peternak belum
mempunyai alat pemotong hijauan (chopper) sehingga pemberian hijauan dalam
keadaan utuh atau dipotong ala kadarnya dan banyak tercecer dari tempat pakan.
Permasalahan yang dihadapi oleh mitra di atas perlu ditangani dengan prioritas
sebagai berikut :
1. Memberikan pengetahuan tambahan kepada peternak tentang manajemen
pemeliharaan khusunya manajemen pakan sapi potong.
2. Bagaimana memberikan ketrampilan kepada peternak untuk mengolah pakan
limbah pertanian dan perkebunan agar memiliki nilai nutrisi tinggi.
3. Bagaimana memberikan ketrampilan kepada peternak untuk menyusun
ransum sapi potong sesuai dengan kebutuhan ternaknya tersebut.
Tujuan
Kegiatan pengabdian masyarakat ini diharapkan dapat:
1. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan khalayak sasaran dalam hal ini
peternak sapi potong di dua kelompok mitra.
2. Meningkatkan nilai nutrisi limbah pertanian yang ada sehingga meningkatkan
produktifitas ternak.

Metode
Berdasarkan permasalahan yang telah dijustifikasi dan dirumuskan bersama di
kelompok peternak mitra Desa Janggan Kecamatan Poncol Kabupaten Magetan,
maka perlu dilakukan pendekatan yang humanis, dialogis, perspektif, dan
transparan dengan metode meliputi :
1. Pendekatan dengan peternak untuk tujuan observasi lapang dengan
wawancara dengan peternak secara langsung
2. Penyuluhan dan pelatihan yang atraktif, komunikatif dan dialogis yaitu dengan
cara mengumpulkan khalayak sasaran pada suatu tempat pertemuan untuk
diberikan penjelasan tentang materi kegiatan. Tujuan metode ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan khalayak sasaran mengenai materi kegiatan.
Kegiatan ini akan diikuti dengan diskusi tentang materi kegiatan yang
bertujuan untuk tukar pengalaman antara tim penyuluh dengan khalayak
sasaran. Khalayak sasaran juga akan diberi brosur yang berisi tentang materi
kegiatan pengabdian masyarakat ini.

605
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

3. Pelaksanaan demoplot
Pelaksanaan demoplot tentang berbagai teknologi peternakan seperti pembuatan
jerami amoniasi dan jerami terfermentasi, pembuatan UMB dan pembuatan pakan
lengkap berbasis limbah pertanian yang tersedia.
4. Mengaplikasikan semua teknologi peternakan di tingkat peternak (anggota
kelompok peternak mitra usaha) dengan harapan teknologi segera diadopsi.
5. Melakukan kunjungan ke lokasi peternak mitra secara berkala untuk
memantau, membimbing dan mengevaluasi pelaksanaan program di tingkat
peternak

Hasildan Pembahasan
Kegiatan Survei dan Inventarisasi Permasalahan Peternak serta Potensi di
Tingkat Peternak
Hasil yang telah dicapai pada keigatan awal di lokasi kegiatan pengabdian
masyarakat ini adalah sebagai berikut:
- Pertemuan dengan ketua kelompok tani yang menjadi khalayak sasaran
program ini, didampingi oleh perangkat desa, sekaligus menyampaikan
ijin tentang pelaksanaan kegiatan tersebut
- Diskusi dan menggali informasi tentang kondisi dan permasalahan yang
dihadapi peternak kelompok tani mitra dan penentuan waktu/jadwal serta
materi dari setiap tahap kegiatan penyuluhan maupun demoplot yang akan
dilakukan
- Inventarisasi bahan pakan lokal yang berpotensi sebagai bahan pakan
ternak baik hijauan maupun berbagai limbah pertanian maupun limbah
industri pertanian sebagai bahan pembuatan pakan lengkap, jerami
amoniasi, dan pembuatan UMB.
- Diskusi tentang metode pemeliharaan sapi potong yang telah dilakukan
oleh peternak selama ini termasuk manajemen pakannya

(a) (b)
Gambar 1. (a)Pertemuan dengan perangkat desa di kantor desa(b) Pertemuan
dengan ketua kelompok tani

606
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Diskusi informal dengan petani dirasakan cukup efektif untuk menggali


permasalahan dan mendiskusikan beberapa solusi yang potensial untuk dapat
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Upaya ini dilakukan agar petani
merasa dilibatkan dalam setiap proses kegiatan sehingga proses adopsi teknologi
bisa dengan mudah dilaksanakan.
Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan dilaksanakan untuk memberi gambaran umum dari kondisi
riil yang ada di lingkungan peternak Desa Janggan, Kecamatan Poncol,
Kabupaten Magetan berikut masalah serta alternatif solusi yang ditawarkan.
Secara umum permasalahan utama adalah penyediaan pakan dan kualitas pakan
yang baik. Kegiatan ini dilaksanakan di Balai Desa Janggan yang dihadiri oleh 41
peserta dan juga dihadiri oleh Kepala Desa Janggan dan juga perangkat desa yang
lain yaitu Sekretaris Desa dan para Kepala Dusun. Seluruh peserta kegiatan
mendapatkan brosur yang berisi informasi bagaimana membuat jerami amoniasi,
pembuatan pakan lengkap dan UMB.
Kegiatan penyuluhan dilakukan di sore hari sesuai dengan kesepakatan bersama
dengan petani. Waktu ini dipilih dikarenakan di sore hari diasumsikan semua telah
selesai melakukan pekerjaan rutin di lahan, sawah ataupun kebun maupun
pekerjaan utama lainnya sehingga kegiatan ini tidak akan menggangu waktu
petani.
Penyuluhan merupakan salah satu metode yang dianggap cepat untuk
menyebarkan informasi kepada petani. Sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan Far Far (2014) bahwa respon petani lebih banyak pada penyuluhan
dengan metode secara kelompok karena lebih efektif dan efisien.

Gambar 2. Kegiatan Penyuluhan di Balai Desa

Demoplot
Setelah kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan dalam bentuk presentasi dan
diskusi dengan peternak, dilanjutkan dengan demoplot. Kegiatan demoplot
dilaksanakan di halaman Balai Desa Janggan. Pada kesempatan tersebut dilakukan
demo pembuatan amoniasi jerami padi dan pembuatan UMB. Sedangkan
penyusunan pakan lengkap berbasis limbah pertanian yang tersedia dilakukan
pada kesempatan yang berbeda.

607
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pelaksanaan demoplot dipilih sebagai upaya untuk memotivasi petani untuk


segera mengadopsi paket teknologi yang ditawarkan. Berdasarkan permasalahan
yang ada paket teknologi yang telah diperkenalkan lewat penyuluhan dan diskusi
bersama dilanjutkan dengan demoplot untuk memberikan gambaran nyata tentang
bagaimana teknologi itu dapat diterapkan di lapangan. Berdasarkan hasil riset
Hanifah dan Hendayana (2011) ada beberapa faktor yang menjadi bahan
pertimbangan sebelum petani mengadopsi suatu paket teknologi, diantaranya
teknologi tersebut mudah dan tidak rumit dan juga menunjukkan hasil
peningkatan produktivitas yang tinggi.
Amoniasi jerami padi adalah salah satu teknologi yang telah banyak diteliti di
banyak negara termasuk Indonesia. Namun tidak semua peternak yang ada
mengetahui tentang teknologi sederhana ini. Demoplot memberi gambaran dan
praktek langsung kepada peternak tentang bagaimana membuat amoniasi jerami
yang ternyata sangat mudah dan tidak mahal. Bahan yang diperlukan juga mudah
didapatkan di sekitar mereka.
Complete feed (CF) atau pakan lengkap merupakan campuran dari konsentrat dan
sumber serat, bisa berupa rumput maupun sumber serat lainnya yang dicampur
dan diberikan secara bersama-sama. Manfaat pemberian CF adalah menstabilkan
pH rumen sehingg proses fermentasi di rumen bisa berjalan dengan optimal,
selain itu CF juga dapat memanfaatkan limbah pertanian yang selama ini tidak
pernah terpikirkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia (Konka
et al., 2016; Lailer et al., 2005). Di Desa Janggan banyak terdapat limbah kopi,
kulit kacang tanah, dan janggel jagung yang bisa dimanfaatkan sumber serat
dalam bahan penyusun CF. Pemberian CF juga mampu mengurangi pakan sisa
(Owen, 1979) yang secara tidak langsung meningkatkan palatabilitas limbah-
limbah pertanian yang ada. Adapun susunan CF per 100kg yang dibuat adalah
sebagai berikut: kulit kopi (12kg), kulit kacang (9kg), janggel jagung (4kg),
tepung gaplek (8kg), dedak padi (10kg), jagung giling (11kg), pollard (35kg),
bungkil kopra (10kg), molases (0.4kg), premix (0.4kg), dan garam (0.2kg).
UMB merupakan salah satu bentuk suplementasi untuk ternak sapi potong.
Komponen penyusun UMB secara garis besar adalah urea (sumber nitrogen),
molasses (sumber karbohidrat), mineral, serta bahan tambahan lain yang berfungsi
sebagai pemadat dan perekat. Nurhayu dkk (2010) melaporkan bahwa
suplementasi UMB mampu meningkatkan performans dari sapi potong dengan
pakan basal rumput dan limbah pertanian yang difermentasi. Pada kegiatan ini
bahan-bahan penyusun UMB per 10kg yang dibuat adalah sebagai berikut:
molasses (3.5kg), urea (0.4kg), dedak padi (3kg), garam (0.2kg), mineral premix
(0.4kg), kapur/gamping (0.7kg), bata tumbuk (0.7kg), semen (0.3kg), dan air
(0.8kg atau secukupnya).

608
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 3.(a) dan (b) Kegiatan demoplot pembuatan amoniasi jerami padi (c)
Produk hasil pembuatan UMB(d) Pembuatan pakan lengkap berbasis limbah
pertanian

Evaluasi
Evaluasi terhadap hasil kegiatan yang dicapai selama pelaksanaan kegiatan
pengabdian masyarakat ini adalah baik. Hal ini dapat dilihat dari:
- Respon yang diberikan anggota kelompok tani selama kegiatan penyuluhan
maupun demoplot berlangsung, termasuk antusiasme mereka untuk banyak
bertanya dan berdiskusi tentang bagaimana solusi dari berbagai permasalahan
yang sedang mereka hadapi.
- Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peternak yang sangat signifikan,
peternak sebagai kelompok tani merasa sangat terbantu dengan pelaksanaan
kegiatan ini, yaitu menambah wawasan dan pengetahuan tentang manajemen
pemelihaaran sapi mereka terutama masalah pakan.
- Perubahan perilaku dari peternak dalam upaya penerapan teknologi tepat
guna yang sederhana diantaranya:

609
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

o Pembuatan jerami padi amoniasi secara mandiri di rumah mereka


sekaligus diujicobakan ke ternaknya secara langsung.
o Pembuatan pakan konsentrat sendiri yang lebih murah dengan
memperhatikan kaidah penyusunan ransum serta telah
mempertimbangkan kebutuhan ternak (kualitas maupun kuantitas).
o Pembuatan pakan lengkap, untuk pembuatan pakan lengkap belum
banyak diaplikasikan karena teknis pelaksanaanya masih sulit, belum
ada mesin mixer yang bisa membantu dalam proses pencampuran.
o Pembuatan UMB telah dipraktekkan oleh masing-masing peternak
dan diujicobakan ke ternaknya juga.
Bahan evaluasi yang lain adalah bahwa dari hasil interaksi rutin antara tim
penyuluh dengan kelompok tani “USAHA TANI II DAN USAHA TANI III”
melalui ketua kelompok masing-masing, peternak anggota mereka sangat senang
dan merasakan manfaat langsung dari kegiatan ini.

Kesimpulan
Kegiatan pendampingan peternak sapi potong yang dilaksanakan di Desa Janggan,
Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan dirasakan sangat bermanfaat bagi
peternak di wilayah tersebut yaitu dapat meningkatan wawasan dan pengetahuan
peternak dalam mengelola peternakan sapi potongnya.
Kegiatan penyuluhan dilanjutkan dengan demoplot tentang teknologi sederhana
yang tepat guna (jerami padi amoniasi, pembuatan pakan lengkap, dan UMB)
memberikan solusi bagi peternak untuk memperbaiki nilai nutrisi dan
pemanfaatan dari limbah pertanian yang ada sehingga mampu meningkatkan
produktivitas sapi potong yang mereka miliki.
Respon dan antusiasme peternak sangat baik, mengingat kegiatan seperti belum
pernah mereka dapatkan sebelumnya dan dirasakan sangat bermanfaat.
Mengingat manfaat yang didapatkan dari kegiatan ini oleh khalayak sasaran maka
perlu dilakukan monitoring dan evaluasi rutin oleh pihak terkait. Peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan dari masyarakat setempat perlu disebarluaskan ke
desa yang lain sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan peternak secara
umum.

Daftar Pustaka
Ahmed, A., Khan, M.J., Shahjalal, M. and Islam, K. M. S.(2002). Effects of
Feeding Urea and Soybean Meal Treated Rice Straw on Digestibility of feed
Nutrient and Growth Performance of Bull Calves. Asian-Aus. J. Anim-Sci 15:
522-527.
BPS. (2013). Statistik Kabupaten Magetan. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
BPS. (2021). Populasi Ternak Menurut Kecamatan dan Jenis Ternak di
Kabupaten Magetan. In Badan Pusat Statistik (p. ).
https://magetankab.bps.go.id/statictable/2021/10/22/968/populasi-ternak-
menurut-kecamatan-dan-jenis-ternak-di-kabupaten-magetan-ekor-2019-dan-

610
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

2020.html
Far Far, R. A. (2014). Respon Petani terhadap Penerapan Metode Penyuluhan
Pertanian di Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian, Vol.
10. No 1: 48-51.
Hanifah, V.W., dan Hendayana, R. (2011). Kinerja Komponen Teknologi
Peternakan Penentu Percepatan Adopsi Inovasi Mendukung PSDS 2014 di
Jawa Timur. Widyariset, Vol. 14 No.2: 447-454.
Konka, R.K., Kumar, D.S., Ramana, J.V., Ravi, A. and Rao, E.R. (2016).
Fermentation pattern in Murrah buffalo bulls fed crop residue based
complete rations vis-a-vis conventional feeding system. Anim. Nutr. Feed
Technol.,16(1): 171-179.
Lailer, P.C., Dahiya, S.S. and Chauhan, T.R. (2005). Complete feed for
livestock concept, present status and future trend: Areview. Indian J. Anim.
Sci., 75(1): 84-91.
McDonald, P., Edwards, R.A. and Greenhalg, J.P. D.(2002). Animal Nutrition.
Sixth Ed. Prentice Hall. Gosport. London. Pp: 427-428.
Nurhayu, A., Pasambe, D., dan Sariubang, M. (2010). Kajian Pemanfaatan
Pakan Lokal dan Urea Molases Blok (UMB) untuk Penggemukan Sapi
Potong di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Seminar Nasional
TeknologiPeternakan dan Veteriner 2010: 194-199.
Owen, J.B. (1979). Complete Diets for Cattle and Sheep. Farming Press
Limited, Suffolk, England.

611
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGEMBANGAN DAN INTRODUKSI TEKNOLOGI PAKAN (UMB,


PAKAN LENGKAP) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS SAPI
POTONG DI UPT PT DAN HMT TUBAN DAN DI DESA BINAAN UPT

Mashudi1,*, Suyadi1, Wike Andre Septian1, Arfan Lesmana2, Ahmad Furqon1


1
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: mashudi@ub.ac.id

Abstract

Tuban Regency is one of the centers for beef cattle farming, especially PO
(Ongole Cross) cattle. In Tuban City, there are government agencies owned by the
East Java Provincial Government, namely UPT PT and HMT Jatim in Tuban. This
UPT is one of the UPTs which has the main tasks and functions of breeding PO
cattle and providing forage forage seeds. UPT PT and HMT have farmer groups
around Tuban, including Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Ngawi, etc. Two of the
farmer groups assisted by UPT are the Barisan Pemuda Klampean (Klampean
Village, Grabagan District, Tuban Regency) and the Ustan Mandiri Farmer Group
(Napis Village, Napis District, Bojonegoro Regency). The problem with the
business of raising cattle, especially in the UPT target areas, is the limited
availability of feed both in terms of quantity and quality, especially during the dry
season. In general, Tuban Regency is a dry area where the duration of the dry
season is long. This results in difficulty in obtaining quality animal feed crops so
that animal feed relies on agricultural waste which is of low quality. The
introduction of feed technology in the form of COMPLETE FEED and UMB lick
supplements to support the availability of quality feed for DM program partners is
very necessary. The goal of the DM program is expected to provide solutions,
especially in terms of providing feed both in terms of quality and quantity and are
expected to increase breeders' knowledge and skills. To achieve the DM goals that
have been proclaimed, several activities have been carried out starting from
discussions with UPT leaders and their apparatus, as well as to get farmer groups
who will become partners in this DM program. Furthermore, activities have been
carried out which include training, practice of complete feed manufacturing
technology, manufacture of UMB supplements, the concept of a mini feedmill, as
well as various feed technologies such as ammonia, silage, feed fermentation,
livestock health, livestock reproduction and how to plant animal feed crops. This
training was held at the UPT Hall with UPT employee participants, breeders from
the two UPT assisted groups. Furthermore, small-scale meetings have been held at
the Barisan Pemuda Klampean farmer group level and the Ustan Independent
Ustan Farmer Group to see a real picture of their farming model. In this case the
DM team also visited breeders' cages. The DM program team has also donated
several equipment such as UMB printers, both automatic and manual and a feed
mixer machine. With the increase in knowledge on how to raise livestock,
especially feed management, it is expected that the availability of quality feed will
be fulfilled and the performance of livestock in the form of growth and

612
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

reproduction from the cows being raised will increase which in the end the
welfare of breeders will increase.

Kata Kunci: UPT PT and HMT Tuban, livestock farmers group, feed technology

Pendahuluan
Kabupaten Tuban merupakan salah satu sentra peternakan sapi potong khusunya
sapi PO (Peranakan Ongole), dimanasebagianbesar penduduk memelihara sapi
ini. Namun demikian yang menjadi kendala dalam usaha peternakan sapi potong
diwilayah ini umumnya adalah masalah pakan baik kuantitas maupun kualitas
terlebih saat musim kemarau. Secara umum wilayah Kabupaten Tuban merupakan
wilayah yang kering dan tandus dimana durasi musim kemaraunya panjang. Hal
ini mengakibatkan kesulitan untuk mendapatkan tanaman pakan ternak yang
berkualitas sehingga pakan ternak bertumpu pada vegetasi lokal yang tumbuh
alami dan memiliki kualitas yang rendah. Implikasi dari pada fenomena ini adalah
kebutuhangiziternakmenjaditidakterpenuhisehinggapertumbuhanternakterbatasda
nakhirnya pendapatan peternak menjadi berkurang. Fenomena masalah pakan ini
menjadi issu utama di kalangan peternak sapi di kabupaten Tuban dan mereka
sangat mengharapkan sekali adanya sentuhan teknologi yang dapat membantu
memecahkan masalah ini.

Di Kota Tuban ada lembaga pemerintah milik pemerintah Daerah Proviinsi Jatim,
yaitu UPT PT dan HMT Jatim di Tuban. UPT ini merupakan salah satu UPT
yang memiliki tupoksi dalam Pembibitan ternak sapi PO dan menyediakan bibit
Hijauan Makanan Ternak.UPTPTdan HMT ini memiliki kelompok-kelompok
peternak binaan yang berada disekitar Tuban meliputi Tuban, Bojonegoro,
Lamongan, Ngawi dsb. UPT ini bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan
antara Tim DMdengan kelompok peternak. Dua dari sekian kelompok peternak
binaanUPT adalah Kelompok Peternak Barisan Pemuda Klampean (Desa
Klampean, Kec. Grabagan, Kab.Tuban) dan Kelompok Peternak Ustan Mandiri
(Desan Napis, Kec. Napis Kab.ojonegoro).

Berkenaan dengan hal masalah pakan ternak yang merupakan issue utama maka
teknologi yang ditawarkan kepada kelompok peternak termasuk lembaga UPT
PT dan HMT Tuban akan meliputi Introduksi teknologi pakan berupa PAKAN
LENGKAP berbasis bahan pakan lokal dan suplemen jilat UMB serta
introduksipabrik minipakanuntuk mendukung ketersediaan pakan baik bagi UPT
PT dan HMT sendiri maupun kelompok peternak binaannya yang.sangat perlu
dilakukan untuk tersedianya pakan secara berkelanjutan. Kegiatan yang telah
ditawarkan ini diterapkan secara intensif dengan tujuan meningkatkan pasokan
pakan ternak yang mempunyai nilai nutrisi tinggi atau berkualitas dan mudah
dikontrol pemanfaatannya.

Tujuan program DM yang sifatnya penerapan hasil ipteks diharapkan dapat


memberikan solusi khususnya dalam hal penyediaan pakan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas serta diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan peternak.Untuk mencapai tujuan DM yang telah dicanangkan, telah
dilakukan beberapa kegiatan mulai dari diskusi dengan pimpinan UPT dan

613
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

perangkatnyaberkaitan dengan program kegiatan DM, disamping itu juga untuk


mendapatkan pengarahan dan mendapatkan kelompok peternak yang akan
menjadi mitra program DM ini. Seluruh persoalan , khusunya yang berkaitan
dengan pakan ternak juga menjadi focus dalam diskusi.

Kegiatan yang telah dilaksanakan meliputi pelatihan yang berkaitan dengan


program DM, praktek teknologi pembuatan Pakan Lengkap, pembuatan suplemen
UMB, konsep Mini Feedmill, serta berbagai teknologi pakan seperti amoniasi,
silase, fermentasi pakan, kesehatan ternak, reproduksi ternak dan cara penanaman
tanaman pakan ternak. Pelatihan ini dilaksanakan di Balai UPT dengan peserta
pegawai UPT, peternak dari dua kelompok binaan UPT. Selanjutnya dilaksanakan
pertemuan skala kecil di tingkat kelompok peternak di Desa Klampean, Kec.
Grabagan, Kab.Tuban (Barisan Pemuda Klampean dan di desa Desa Napis, Kec.
Napis Kab.ojonegoro (Kelompok PeternakUstan Mandiri), untuk melihat
gambaran riil model beternak mereka. Dalam hal ini tim DM juga mengunjungi
kandang-kandang petenak. Tim program DM juga telah menghibahkan beberapa
peralatan seperti mesin pencetak UMB baik yang otomatis maupun manual dan
mesin pengaduk pakan.

Dengan meningkatnya pengetahuan cara beternak, khusunya manajemen pakan


maka diharapkan ketersediaan pakan yang berkualitas akan terpenuhi dan
performans ternak berupa pertumbuhannya dan reproduksinya dari sapi yang
dipelihara akan semakin meningkat dan pada akhirnya kesejahteraan peternak
semakin meningkat.

Metode
Survei
Untuk menyelesaikan persoalan yang telah dijustifikasi dan dirumuskan bersama,
maka perludilakukan berbagai kegiatan baik yang bersifat penyuluhan, pelatihan maupun
praktek.Metodeyangtelah dilakukan adalah:Kunjungan ke lembaga UPT PT dan
HMT untuk mengenalkan program DM dan mendiskusikan berbagai hal yang
berkaitan dengan persoalan pakan ternak sapi potong di wilayah Tubah dan
sekitarnya. Berdasarkan rekomendasi dari UPT PT dan HMT telah ditetapkan
dua kelompok peternak yang menjadi mitra program DM yaitu kelompok
peternak Barisan Pemuda Klampean (Desa Klampean, Kec. Grabagan,
Kab.Tuban) danKelompok PeternakUstan Mandiri (Desan Napis, Kec. Napis
Kab. Bojonegoro).Inventarisasi permasalahan dan potensi sosial ekonomi pada
kelompok ternak binaan UPT. Penyuluhan dan pelatihan yang atraktif,
komunikatif dan dialogis yaitu dengan cara mengumpulkan khalayak sasaran
baik dari UPT sendiri maupun dua kelompok peternak di gedung petemuan UPT
PT dan HMT untuk diberikan penjelasan tentang materi kegiatan. Inventarisasi
bahan pakan lokal baik berupa hijauan segar, limbah pertanian maupun limbah
agro-industri kecil sebagai bahan baku pembuatan “Pakan Lengkap”.

Pelatihan
Formulasi PL adalah kegiatan meracik ransum pakan ternak dengan
menggunakan bahan-bahan pakan lokal, dimana proporsi penggunaan masing-
masingbahan didasarkan pada kandungan nutriennya yang dihitung baik secara

614
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

manual maupun komputerisasi (dengan menggunakan software). Selanjutnya


diperoleh formulasi ransum PL standard yang mengandung zat-zat makanan
sesuai kebutuhanternak.Adapun langkah proses pembuatan PL (Pakan Lengkap)
sebagai berikut :

Prosesing
Kegiatan prosesing dimulai dari chopping (membuat potongan kecil), grinding
(menggiling) dan treatment (pengolahan) pada bahan baku, dan diakhiri dengan
mixing (pencampuran). Sebelum produk akhir didistribusikan ke peternak, akan
diuji laboratorium agar memenuhi standar SNI.

Pengemasan
Produk akhir dari prosesing akhirnya dikemas dalam karung (packaging).
Distribusi PL ke peternak. Produk PL yang sudah dikemas akhirnya
didistribusikan ke peternak untuk dijadikan sebagai pakan tunggal pada ternak
sapi. Mengaplikasikan semua teknologi pakan ternak di UPT PT dan HMT Tuban
dan ditingkat peternak (anggota kelompok peternak mitrausaha) dengan harapan
teknologi segera diadopsi meluas secara langsung.

Observasi Lapang
Melakukan kunjungan ke lokasi peternak mitra secara berkala untuk memantau,
membimbing dan mengevaluasi pelaksanaan program di tingkatpeternak.Memberi
pengertian bagaimana mengevaluasi seluruh program kegiatan DM dengan cara
memonitor produksi dan kualitas Pakan lengkap sebagai produk unit usaha
Feedmill, memonitor tingkat pertumbuhan ternak (aspek produksi) dan
mengevaluasi hasil analisis usaha dari aspekekonomi.Kegiatan ini juga bekerja
sama pihak terkait yang merupakan khalayak sasaran antara yang strategis,
dimana diharapkan dapat menjembatani dan membantu melancarkan proses
adopsi terhadap materi kegiatanini.

Hasil dan Pembahasan


Sesuai dengan proposal yang diajukan bahwa untuk merealisasikan kegiatan
program DM,beberapa kegiatan yang telah dikerjakan adalah sebagai berikut :
Kegiatan Persiapan untuk menentukan lokasi. Sebelum kegiatan program DM ini
dimulai, Tim DM beranjangsana ke lembaga UPT PT dan HMT Jatim di Tuban.
Lembaga ini merupakan UPT yang memiliki tupoksi untuk membuat bibit sapi
potong dan bibit hijauan makanan ternak disamping juga membina kelompok-
kelompok peternak sapi potong. Tim menganggap lembaga ini bisa dijadikan
jembatan untuk mengimplementasikan program DM langsung ke peternak yang
dianggap tepat untuk dijadikan mitra.

Selama beranjangsana Tim mengenalkan kegiatan DM dan menggali beberapa


persoalan seputar pakan ternak. Dari hasil petemuan dengan Kepala UPT maka
disepakati kegiatan DM akan diimplementasikan ke UPT PT dan HMT sendiri
dan dua kelompok peternak yaitu kelompok peternak Barisan Pemuda Klampean
(Desa Klampean, Kec. Grabagan, Kab.Tuban) dan Kelompok Peternak Ustan
Mandiri (Desan Napis, Kec. Napis Kab. Bojonegoro). Kelompok peternak ini

615
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

merupakan kelompok ternak yang relatif milenial dan inovatif. Adapun profil
kedua kelompok peternak adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Peternak“Barisan Pemuda Klampean”Tuban
- Baru 3 tahun berdiri25 anggota
- Kepemilikan rataan 2 ekor
- Jenis sapi simental, limosin dan PO
- Tujuan usaha adalah penggemukan
- Milenial dan sangat antusias
2. Profil Kelompok Peternak “Ustan Mandiri” Bojonegoro
- Sudah 12 tahun berdiri
- 45 anggota
- Kepemilikan rataan 3 ekor
- Jenis sapi PO
- Tujuan pemeliharaan adalah pembibitan
- Inovatif

Kunjungan Dan Komunikasi Dengan Kelompok Peternak


Selanjutnya Tim Pengabdi DM juga telah melaksanakan kunjungan dan
komuniakasi dengan kelompok peternak di desa dengan tujuan observasi lanjutan
dan untuk mengetahui potensi dan permasalahan sesungguhnya dari mitra
program DM khususunya yang berkaitan dengan usaha peternakan sapi
potong.Secara umum desa lokasi mitra DM ini merupakan sentra peternakan sapi
potong dimana sebagian besar penduduk memelihara sapi ini. Namun demikian
yang menjadi permasalahan dari usaha beternak sapi ini adalah terbatasnya
ketersediaan pakan baik dari segi kuantitas maupun kualitas terlebih saat musim
kemarau. Implikasi dari pada fenomena ini adalah kebutuhan gizi ternak menjadi
tidak terpenuhi sehingga pertumbuhan ternak terbatas dan akhirnya pendapatan
peternak menjadi berkurang. Namun demikian ditinjau dari segi ketersediaan
pakan sebenarnya desa dimana kelompok peternak ini berada memiliki potensi
pakan dimana limbah-limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami
kacang tanah, dsb cukup melimpah dimana bahan-bahan pakan ini sebenarnya
bisa diolah untuk menjadi pakan yang berkualiatas dimana salah satunya adalah
dalam bentuk “pakan Lengkap” dan suplemen jilat UMB.

Kegiatan Penyuluhan Dan Pelatihan


Kegiatan pertama DM adalah telah dilaksanakan penyuluhan dan pelatihan yang
atraktif, komunikatif dan dialogis yaitu dengan cara mengumpulkan khalayak
sasaran baik dari UPT sendiri maupun dua kelompok peternak di gedung
petemuan UPT PT dan HMT untuk diberikan penjelasan tentang materi kegiatan.
Tujuan metode ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuankhalayaksasaranmengenaimaterikegiatan. Dalam kegiatan ini juga
diperagakan berbagai teknologi pengolahan pakan seperti pembuatan UMB,
Pakan Lengkap, silase, amoniasi dan fermentasi pakan. Kegiatan ini juga diikuti
dengan diskusi tentang materi kegiatan yang bertujuanuntuk tukar pengalaman
antara tim DM dengan khalayak sasaran

616
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Penyuluhan Di Tingkat Kelompok Peternak Di Desa


Selanjutnya telah dilaksanakan pertemuan dan penyuluhan skala kecil di tingkat
kelompok peternak di Desa Klampean, Kec. Grabagan, Kab.Tuban (Barisan
Pemuda Klampean) dan di desa Desan Napis, Kec. Napis Kab.ojonegoro
(Kelompok Peternak Ustan Mandiri), untuk melihat gambaran riil model
beternak mereka. Dalam hal ini tim DM juga mengunjungi kandang-kandang
petenak. Tim program DM juga telah menghibahkan beberapa peralatan seperti
mesin pencetak UMB baik yang otomatis maupun manual dan mesin pengaduk
pakan.

Kegiatan pembuatan Pakan Lengkap


Telah dilaksanakan pembuatan “Pakan Lengkap” dengan produk utamanya berupa
Pakan Lengkap/ Complete Feed/TMR yang berbasis pada penggunaan bahan baku
lokal yang ketersediaannya melimpah. Unit pembuatan pakan ini dilaksanakan di
kedua kelompok mitra.Untuk pembuatan Pakan Lengkap ini ini Tim pengabdi
telah menghibahkan mesin mikser (pengaduk) manual dengan spesifikasi
kapasitas 100 kg per jam.
Selanjutnya telah dilaksanakan pelatihan tentang formulasi (peracikan,
pencampuran) “Pakan Lengkap (PL)” berbasis bahan baku pakan lokal, dimana
proporsi penggunaan masing-masing bahan didasarkan pada kandungan
nutriennya yang dihitung baik secara manual maupun komputerisasi. Produk PL
standard yang diperoleh mengandung zat-zat makanan sesuai kebutuhan ternak.
Metode formulasi berupa manual dengan program EXCEL biasa dan dengan
program software.

Kegiatan Demoplot “Pembuatan suplemen jilat UMB”


Telah dibentuk demoplot unit usaha pembuatan “suplemen jilat UMB” dengan
produk utamanya berupa UMB. Unit UMB ini dilaksanakan di kedua kelompok
mitra dan UPT PT dan HMT Tuban.Untuk pembuatan UMB ini Tim pengabdi
DM telah menghibahkan mesin pencetak UMB otomatis ke UPT dan mesin
pencetak manual ke kedua kelompok peternak.

Kegiatan Aplikasi Pemberian Pakan Produk Mini Feedmill Di Tingkat


Peternak
Produk dari usaha pembuatan Pakan Lengkap dan UMB telah diujicobakan ke
ternak milik peternak mitra. Hasilnya bahwa pakan dan suplemen ini
palatabilitasnya cukup tinggi (sangat disukai ternak). Hal ini wajar karena pakan
berbasis lokal ini telah diolah dengan penambahan bahan-bahan yang berkualitas
dan bahan imbuhan yang dapat meningkatkan selera makan. Produk ini mendapat
tanggapan yang cukup positif sekali.

Pendampingan Teknis Dan Konsultasi Berkala


Dikarenakan kondisi saat itu masih terjadi wabah pandemi covid 19, makan
pembinaan melalui pendampingan teknis dan konsultasi terhadap peternak mitra
dan UPT telah dilaksanakan secara berkala melalui komunikasi virtual. Kegiatan
pendampingan teknis ini dilakukan dengan harapan introduksi teknologi dapat
diadopsi secara efektif. Pendampingan bisa bersifat pembinaan, konsultatif dan
informatif terkini tentang usaha peternakan.

617
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Evaluasi
Evaluasi terhadap hasil yang dicapai selama kegiatan ini berlangsung cukup baik,
terlihat dari respon dan antusiasme peserta yang besar selama penyuluhan,
pelatihan ataupun demoplot. Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa tingkat
adopsi terhadap teknologi yang ditawarkan juga baik.

Luaran produk
Jenis luaran dan spesifikasinya yang telah dihasilkan.Jenis luaran yang dihasilkan
serta spesifikasinya adalah sebagai berikut : .
Pembuatan Pakan Lengkap
• Mesin mikser (pengaduk) dengan kapasitas 300 kg per jam
• Pakan Lengkap (PL; Complete Feed) yang berbasis limbah pertanian
dan agro industri
Spesifikasi PL:
a. Ternak sapi potong dewasa dan dara mengandung :
PK=12% dan TDN=60% ;
b. Ternak pedet mengandung :
PK=13% dan TDN=60%.

Pembuatan suplemen jilat “UMB”


Mesin pencetak UMB otomatis dengan kapasitas 500 kg per jam (atau 100
blok/jam)
Spesifikasi UMB:
- Dimensi Panjang 35 cm x lebar 20 cm x tinggi 7 cm
- Berat : 5 kg
- Kandungan nutrisi : PK= 30 % dan TDN=75% ;
- Formula :

Tabel 1. Formula UMB


Bahan Berat kg
1 Dedak padi 6
2 Pollard 10
3 Bungkil Sawit 7
4 Bungkil kelapa/Kopra 10
5 Tetes 50
6 mineral 7
7 Urea 6
8 Vitamin 1
9 Kanji 2
10 Kapur 1

Kesimpulan
Kabupaten Tuban merupakan salah satu sentra ternak sapi potong di Jawa Timur.
Oleh karena itu pemerintah Jatim telah mendirikan Balai UPT yaitu UPT PT dan
HMT Jatim (Unit Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan
Ternak) di Tuban. Salah satu tugas UPT ini adalah membina peternak sapi potong
disekitar UPT khusunya dan peternak di Jatim umumnya. Berkenaan dengan

618
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Tuban adalah ini adalah adanya
kendala dalam hal masalah pakan. Program DM UB yang sifatnya penerapan hasil
ipteks diharapkan dapat memberikan solusi dan diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan peternak, disamping itu dapat bermanfaat untuk
membantu peternak dalam meningkatkan produktifitas ternak dan pendapatan
peternak. Kelompok peternak yang menjadi mitra program DM ini adalah dua
kelompok peternak yaitu kelompok peternak Barisan Pemuda Klampean (Desa
Klampean, Kec. Grabagan, Kab.Tuban)dan Kelompok Peternak Ustan Mandiri
(Desa Napis, Kec. Napis Kab.ojonegoro).

Kegiatan yang telah dilakukan meliputi anjangsana ke UPT PT dan HMT Tuban
untuk memperkenalkan program DM dan meminta menjadi perantara kegiatan
DM untuk dan juga akhirnya membahas kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan. Selanjutnya juga telah dilaksanakan kegiatan Sosialisasi,
Penyuluhan dan Pelatihan, kegiatan pembuatan Pakan Lengkap dan formulasinya,
Pembuatan suplemen UMB dan evaluasi.

Kegiatan-kegiatan yangsudah terlaksana telah mendapatkan respon yang baik dari


mitra program DM. Diharapkan dengan terlaksananya semua kegiatan DM dapat
meningkatkan antusiasme kelompok peternak untuk menjalankan usaha
peternakannya dan pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan peternak.

Saran
Dari kegiatan yang sudah terlaksana maka disarankan bahwa kegiatan-kegiatan
yang sudah terlaksana , benar-benar diadopsi dan segera ditularkan dengan
peternak-peternak lain, sehingga tujuan meningkatkan kesejahteraan peternak di
Kabupaten Tubansemakin meningkat.

Daftar Pustaka
Anggraeny, Y.N, U. Umiyasih, N.H. Krishna Dan L. Affandhy. 2006. Strategi
Pemenuhan
Gizi Melalui Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Untuk Pembesaran Sapi Potong
Calon Induk. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner. 82 – 87.
Astuti, Ayu, Erwanto, dan Purnama Edy Santosa. 2015. Pengaruh Cara Pemberian
Konsentrat-Hijauan Terhadap Respon Fisiologis Dan Performa Sapi Peranakan
Simmental. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol. 3(4): 201-207. University
Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University
Broster, W.H., Sutton, J.D., and Bines, J.A. 1981. Concentrate: Forage for High-
Yielding Dairy Cow. In: Recent Development in Ruminant Nutrition (Eds. W.
Heresign and D.J.A. Cole). Butterworth. London.Devendra, C. 1989. The use
of shrubs and tree fodders by ruminants. In : Shrubs and tree fodders for farm
animals ( Ed. C. Devendra). Proceedings of workshop in Denpasar, Indonesia.
Didiek E W, Ruly H. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Pakan Lokal Untuk
Pengembangan Usaha Sapi Potong.. Lokakarya Nasional Sapi Potong
Ella, A., 2002. Produktivitas dan Nilai Nutrisi Beberapa Renis Rumput dan
Leguminosa Pakan yang Ditanam pada Lahan Kering Iklim Basah. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar

619
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi


Rumahtangga Peternak Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara.
Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 2005. Tabel
Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Natsir MH, Mashudi, Osfar S., Artharini Ii, Hartutik. 2019. Buku Teknologi
Pakan. UB Press. Malang
Ørskov, E. R and MacLeod, N.A. 1982. The Determination of The Minimal
Nitrogen Excretion in Steers and Dairy Cows and Its Physiological and
Practical Implications. British Journal of Nutrition47, 625--636.
Owen JB. Complete-diet feeding for cattle. Livest Prod Sci. 1984;11:269–285.
Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press.
Jakarta.
Reddy, M.R. 1988. Complete Rations Based on Fibrous Agricultural Residues for
Ruminants. In: Non-Conventional Feed Resources and Fibrous Agricultural
Residues- Strategies for Expanded Utilisation (Ed. C.Devendra). IDRC abd
ICAR. Hisar (p. 94-112)
Prawirokusumo, S., 1999. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE Yogyakarta
Sansoucy, R., G. Aarts and R.A.2016. Leng. Mollasses-Urea Block as a
Multinutrient Supplement for Ruminants. FAO.
http://www.fao.org/docrep/003/s8850e/S8850E24.htm. Retrieved: 10
September 2016
Sarwono, B dan H. B. Arianto., 2002. Penggemukan Sapi Secara Cepat. Cetakan.
ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta
Sirait, Purwantari Dan Simanihuruk, 2005). Produksi Dan Serapan Nitrogen
Rumput Pada Naungan Dan Pemupukan Yang. Jurnal JITV Santoso, P. 1980.
Analisa usahatani di Kabupaten Kediri. Bulletin Hortikultura VIII (7)
Siregar, S. B., 2003. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suharto, M. 2004. Dukungan teknologi pakan dalam usaha sapi potong berbasis
sumberdaya lokal. (Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sapi
Potong 2004). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal. 14
– 21.

620
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PEMANFAATAN BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI PAKAN KELINCI


BERKUALITAS DALAM MENDUKUNG PROGRAM “KAMPUNG
KELINCI” DESA TANJUNGSARI, KECAMATAN PANEKAN,
KABUPATEN MAGETAN

Siti Nurul Kamaliyah1*, Sri Minarti1, Dyah Lestari Yulianti1, Puji Akhiroh1,
Wike Andre Septian1
1
Fakultas Peternakan,Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi : snkamaliyah @ub.ac.id

Abstrak

Salah satu kendala utama dari keberhasilan budidaya kelinci adalah tersedianya
pakan berkualitas dengan harga yang dapat ditekan serendah mungkin. Program
ini bertujuan untuk meningkatan pengetahuan dan ketrampilan peternak kelinci
untuk menghasilkan pakan kelinci berkualitas dengan harga murah, yang
dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan yaitu : 1) Inventarisasi bahan pakan
lokal potensial. 2) Penyuluhan, untuk meningkatkan pengetahuan peternak tentang
a) prinsip pakan berkualitas, yang memenuhi kebutuhan nutrisi dan seimbang
antara protein-energi, b) bahan pakan lokal potensial, dan c) pengolahan bahan
pakan. 3) Pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan peternak dalam a) formulasi
pakan dengan metode sederhana, b) meramu, mencampur dan mengolah bahan
pakan lokal potensial menjadi pakan jadi, dan d) menganalisis biaya produksi
pakan. 4) Pendampingan berupa konsultasi teknis selama diperlukan. 5) Evaluasi
program. Implementasi dari kegiatan ini diharapkan agar peternak dapat
menghasilkan sendiri atau bahkan menghasilkan unit usaha produksi pakan
berkualitas yang murah, meningkatkan produktivitas kelinci, serta meningkatkan
pendapatan peternak.

Kata kunci : pakan kelinci, formulasi pakan, pakan lokal

Pendahuluan
Desa Tanjungsari, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan merupakan desa
produsen kelinci sejak tahun 1980, dimana sebagian besar penduduk desa ini
bermata pencaharian sebagai peternak kelinci, dan mencapai puncak popularitas
saat kelinci dari desa ini pernah meraih juara nasional pada tahun 1983. Seiring
berjalannya waktu, walaupun tidak aktif mengikuti kejuaraan, peternak kelinci di
desa ini tetap membudidayakan kelinci sebagai komoditi unggulan. Desa ini biasa
menyuplai kebutuhan di daerah wisata seperti Sarangan dan Tawangmangu selain
daerah lainnya seperti Trenggalek, Ponorogo, bahkan Batu dalam bentuk bibit,
daging dan tulang serta fillet. Akhirnya pada tahun 2018, desa yang berhawa sejuk
ini dianggap layak diangkat sebagai desa wisata “Kampung Kelinci” (Supriyatno,
2018).
Namun demikian dengan datangnya Pandemi Covid-19, usaha budidaya kelinci di
desa ini banyak yang gulung tikar terutama akibat pasar yang menurun drastis,
sehingga Tim “Dosen Berkarya” Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya

621
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

berusaha menggalakkan kembali Program desa wisata “Kampung Kelinci” di desa


ini dengan menawarkan beberapa solusi dari masalah yang telah diinventarisasi
sebelumnya yang diekstrak menjadi beberapa program seperti peningkatan
kemampuan sumberdaya manusia dalam budidaya ternak kelinci secara umum,
penyediaan pakan berkualitas dengan harga murah, perbaikan kelembagaan serta
mengenalkan dan meningkatkan kemampuan di bidang pemasaran melalui
berbagai platform.
Masalah penyediaan pakan berkualitas dengan harga terjangkau merupakan
masalah umum yang dihadapi peternak kelinci karena dapat mencapai 70% dari
biaya produksi yang dibutuhkan, sehingga peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan peternak untuk menghasilkan sendiri pakan yang berkualitas dengan
harga murah menjadi urgen untuk dilakukan.

Tujuan program ini meliputi :


1. Meningkatkan pengetahuan tentang :
1. Jenis-jenis bahan pakan lokal yang petensial sebagai bahan pakan kelinci
berkualitas, yang tergolong sumber serat (rumput-rumputan, limbah
pertanian, limbah agroindustri), dan suplemen (sumber energi, sumber
protein, sumber vitamin dan mineral).
2. Kandungan nutrisi dan energi dari masing-masing bahan pakan tersebut
serta harganya.
3. Standar pakan kelinci berkualitas (sesuai SNI).
4. Beberapa jenis pengolahan pakan.
2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tentang :
a. Prinsip dasar formulasi pakan berdasarkan kecukupan nutrisi dan
keseimbangan protein-energi.
b. Program formulasi pakan sederhana serta simulasinya dari bahan potensial
yang tersedia secara lokal sehingga dihasilkan formula pakan berkualitas
berdasarkan prinsip dasar formulasi pakan (poin a).
3. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tentang teknologi pengolahan
pakan menjadi pakan lengkap atau konsentrat

Metode Pelaksanaan
Program pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan di Desa Tanjungsari,
kecamatan Panekan, kabupaten Magetan.
Khalayak sasaran yang terlibat pada program ini meliputi :
1. Peternak kelinci terutama dari desa Tanjungsari, Sumberdodol dan beberapa
dari desa lainnya yang telah dipilih oleh pihak Disnakkan dengan kriteria dapat
menyerap dan menularkan inovasi yang diperoleh kepada peternak lainnya..
2. Narahubung dan fasilitator dari Disnakkan yang diharapkan juga akan menjadi
perpanjangan dari tim untuk menangani masalah darurat di lapangan.

Metode pelaksanaan program meliputi :


1. Penentuan permasalahan prioritas peternak khususnya di bidang penyediaan
pakan dari masalah yang teridentifikasi peternak secara spesifik, konkrit dan
riil yang telah dijustifikasi bersama dengan peternak dan dinas terkait (Dinas
Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Kabupaten Magetan)

622
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

2. Metode yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah yang telah dijustifikasi


dan dirumuskan bersama dengan pendekatan yang humanis, dialogis,
perspektif dan transparan difasilitasi oleh Disnakkan Kabupaten Magetan,
meliputi :
a. Pendekatan dengan peternak untuk tujuan observasi lapang tentang masalah
dan potensi wilayah tersebut serta koordinasi dengan Disnakkan kabupaten
Magetan dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2021.
b. Penyuluhan secara daring dengan zoom meeting, berupa pemaparan materi
dengan ppt presentasi dan diskusi dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2021.
c. Pelatihan yang dilaksanakan pada tanggal 2 dan 3 November 2021 di Balai
Desa Tanjungsari, kecamatan Panekan, kabupaten Magetan, dengan metode
pelatihan formulasi pakan secara manual dengan menggunakan program
excel dan praktek langsung pengolahan pakan menjadi bentuk konsentrat
dan PL.
1. Prinsip dasar formulasi pakan berdasarkan kecukupan nutrisi dan
keseimbangan protein-energi.
2. Program formulasi pakan sederhana serta simulasinya dari bahan
potensial yang tersedia secara lokal sehingga dihasilkan formula pakan
berkualitas berdasarkan prinsip dasar formulasi pakan.
d. Pelatihan teknologi pengolahan pakan menjadi pakan lengkap atau
konsentrat dengan praktek langsung formulasi dan pencampuran pakan dari
bahan pakan yang tersedia di daerah tersebut.
3. Evaluasi program dilaksanakan dengan cara :
a. Mengadakan pre-test pada sebelum dilakukan penyuluha dan post-test
setelah dilakukan pelatihan dan praktik pengolahan untuk menghasilkan
pakan kelinci berkualitas.
b. Observasi langsung ke lapang yang dilaksanakan oleh Disnakkan kabupaten
Magetan.

Hasil dan Pembahasan


Berikut hasil yang dicapai dari beberapa kegiatan yang dilakukan, meliputi :
1. Inventarisasi masalah dan potensi budidaya kelinci di bidang pakan.
a. Masalah utama pada budidaya kelinci, khususnya di bidang pakan yang
kemudian diberikan solusinya pada kegiatan berikutnya melalui penyuluhan
dan pelatihan, meliputi :
1. Pengetahuan peternak tentang jenis-jenis serta kemampuan menilai
potensi dan kualitas bahan pakan yang tersedia secara lokal masih
rendah.
2. Kemampuan/ketrampilan untuk memadukan atau meracik berbagai jenis
bahan pakan potensial untuk dijadikan pakan berkualitas masih rendah.
3. Kemampuan untuk mengolah bahan pakan potensial masih rendah.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah poin (1) adalah peningkatan
pengetahuan peternak tentang jenis-jenis serta kemampuan menilai potensi dan
kualitas bahan pakan yang tersedia secara lokal melalui penyuluhan yang
dilakukan secara daring pada tanggal 14 Oktober 2021, sedangkan masalah poin
(2 dan 3) diatasi dengan pelatihan formulasi dan pengolahan pakan lengkap dan
konsentrat pada tanggal 2-3 November 2021.

623
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

b. Potensi kualitas (terutama kandungan protein kasar/PK dan energi /TDN)


jenis-jenis bahan pakan yang secara kuantitas tersedia secara lokal, baik
yang tergolong sumber serat (rumput-rumputan, limbah pertanian, limbah
agroindustri), dan suplemen (sumber energi, sumber protein, sumber
vitamin dan mineral), disajikan pada tabel 1. Tabel ini kemudian digunakan
sebagai acuan pada pelatihan formulasi pakan.

Tabel 1. Kualitas Bahan Pakan Potensial yang tersedia secara Lokal di Desa
Tanjungsari dan Sekitarnya
No Jenis Bahan PK TDN No Jenis Bahan PK TDN
(%) (%) (%) (%)
1 Rumput-rumputan 3 Daun-daunan
Rumput lapangan 6.7 50 Daun singkong 24 60
Rumput gajah 9.7 55 Daun pisang 16 70
Rumput raja 13.2 55 Batang pisang 7.5 60
Rumput Setaria 12.7 55 Daun nangka 15 50
Rumput Pakchong 13 55 Daun pepaya 12 65
Rumput Taiwan 12 55 Daun Mangga 9 50
Rumput odot 13 55 Daun kelapa 7 50
A. nodosus 13.2 55 Daun komak 22 65
B. brizantha 13.5 55 Daun benguk 15 60
B. decumbens 11.4 55 Daun Jaranan 10 60
P. maximum 12.6 55 Daun Turi 18 60
P. repens 15 55 Daun Akasia 12 60
P. coloratum 13.5 55 Daun Gamal 25 60
P. muticum 12 55 Kaliandra 24 60
D. decumbens 12 55 Waru 13 45
Kelor 30 75
2 Jerami/limbah 4 Bahan Konsentrat Sumber
pertanian Energi
Jerami padi 4 45 Pollard 15 65
Jerami jagung 7 55 Bekatul 10 60
Jerami Kacang Dedak 7 60
tanah 12 62 Jagung 7 60
Jerami Kedelai 12 55 Gaplek 6 60
Jerami kacang Tetes 5 65
panjang 12 55
Jerami ketela 5 Bahan Konsentrat Sumber
rambat 15 60 Protein
Kulit kacang tanah 5.8 55 Bungkil kopra 22 65
Kulit kedelai 8 60 Bungkil sawit 15 60
Batang singkong 5.8 50 Bungkil kedelai 40 75
Klobot jagung 4 50 Bungkil kapuk 26 65
Janggel 4 50 Ampas tahu 40 70
Pucuk tebu 5 50
Sumber : Tabel Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak (2018)

2. Penyuluhan
Pelaksanaan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan peternak tentang jenis-
jenis serta kemampuan menilai potensi dan kualitas bahan pakan yang tersedia
secara lokal yang kemudian dapat diramu dan diolah menjadi pakan berkualitas

624
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

dengan harga terjangkau dalam bentuk konsentrat dan pakan lengkap (PL) melalui
pemaparan/presentasi ppt dilanjutkan dengan diskusi.
Materi yang diberikan pada saat penyuluhan meliputi :
1. Jenis-jenis bahan pakan lokal yang petensial sebagai bahan pakan kelinci
berkualitas, yang tergolong sumber serat (rumput-rumputan, limbah
pertanian, limbah agroindustri), dan suplemen (sumber energi, sumber
protein, sumber vitamin dan mineral).
2. Kandungan nutrisi dan energi dari masing-masing bahan pakan tersebut
serta harganya.
3. Standar pakan kelinci berkualitas (sesuai SNI).
4. Beberapa jenis pengolahan pakan, khususnya dalam bentuk konsentrat dan
PL.
Pengetahuan tentang berbagai jenis bahan pakan yang tersedia secara lokan
penting bagi peternak, agar peternak dapat memanfaatkan potensi bahan-bahan
pakan yang sebelumnya bahkan belum dimanfaatkan tersebut secara efisien untuk
menghasilkan pakan berkualitas dengan harga terjangkau yang dapat
meningkatkan produktivitas ternak kelinci serta dapat menekan biaya produksi.
Pengetahuan tentang kandungan nutrisi, terutama PK dan energi dalam bentuk
TDN dibutuhkan agar pakan yang dihasilkan mempunyai tingkat pemanfaatan
oleh ternak atau efisiensi pakan yang tinggi. Efisiensi pemanfaatan pakan yang
tersermin dari nilai kecernaan tinggi apabila imbangan antara protein dengan
energi pakan baik. Kecernaan yang dihasilkan sangat ditentukan oleh
imbangan protein dan energi dalam ransum. Protein kasar yang tinggi akan
meningkatkan kecernaan pakan, namun efisiensi penggunaan PK untuk
pembentukan jaringan tubuh sangat dipengaruhi oleh energi, sedangkan
pemanfaatan energi dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi termasuk
total digestible nutrient (TDN). Apabila energi pakan kurang, maka
pemanfaatkan protein untuk mencapai pertumbuhan yang optimal pada ternak
tidak akan tercapai (McDonald, et al., 2002). Peningkatan kadar protein kasar
dalam ransum akan meningkatkan laju perkembangbiakan dan populasi
mikroba rumen sehingga kemampuan mencerna menjadi besar (Arora, 1995).
Namun, peningkatan kadar protein ransum yang tidak diimbangi dengan
pemberian kadar TDN yang cukup tidak dapat menstimulasi pertumbuhan
mikroba dalam rumen, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ginting (2005)
bahwa imbangan protein dan TDN yang seimbang akan menunjukkan efisiensi
fermentasi yang optimal.
Peternak juga diharapkan untuk memahami bahwa pakan kelinci berkualitas
adalah pakan yang memenuhi atau setidaknya mendekati standar yang telah
ditetapkan untuk pakan yang digunakan sendiri, tetapi apabila pakan diproduksi
untuk tujuan komersial maka harus memenuhi SNI. Pemenuhan standar SNI
pakan yang diproduksi tidak terlepas dari pengetahuan tentang standar pakan
berkualitas. Pakan kelinci berkualitas haruslah dapat memenuhi kebutuhan ternak
kelinci terhadap PK dan energi, dengan kata lain apabila pakan yang tersedia
adalah hijauan, maka perlu diberikan pakan tambahan berupa konsentrat. Dengan
pertimbangan tersebut, maka pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat membuat
konsentrat berbasis bahan pakan lokal.

625
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Sementara itu pakan lengkap (PL) adalah pakan yang disajikan secara tunggal
yang merupakan sistem pencampuran komponen bahan pakan (hijauan dan
konsentrat) secara bersama-sama untuk meningkatkan palatabilitas dan
mengurangi seleksi bagian-bagian pakan oleh ternak (Beigh, Ganal dan Ahmad,
2016). Perhitungan kandungan nutrisi dari masing-masing bahan penyusun dan
tingkat kebutuhan nutrisi ternak yang diberi pakan sangat diperlukan dalam
pembuatan pakan lengkap. Imbangan serat kasar dan protein kasar adalah sebagai
acuan dalam memformulasikan pakan (Wahyono dan Hardianto, 2004). Namun
demikian, dengan tidak adanya seleksi pada ternak yang diberi PL akan
memungkinkan penggunaan bahan pakan yang berupa limbah pertanian yang
berkualitas rendah dengan dikombinasikan dengan bahan pakan berkualitas tinggi
sehingga tetap akan dapat memenuhi kebutuhan nutrien ternak.

3. Pelatihan
Pelatihan formulasi pakan secara manual dengan menggunakan program excel dan
praktek langsung pengolahan pakan menjadi bentuk konsentrat dan PL. Materi
pelatihan meliputi
1. Prinsip dasar formulasi pakan berdasarkan kecukupan nutrisi dan imbangan
protein-energi. ini merupakan materi penyegaran dari materi serupa yang
telah disampaikan pada saat penyuluhan agar peternak bisa mengingat
kembali apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan formulasi
pakan.
2. Program formulasi pakan sederhana serta simulasinya dari bahan potensial
yang tersedia secara lokal sehingga dihasilkan formula pakan berkualitas
berdasarkan prinsip dasar formulasi pakan dengan harga yang terjangkau.
Formulasi pakan secara manual menggunakan pram excel sederhana,
memungkinkan semua peternak dapat melakukannya melalui HP android
masing-masing. Simulasi dapat dilakukan hanya dengan mengubah/mengisi
kolom jenis bahan pakan, harga, % penggunaan, % PK dan % TDN dengan
jenis bahan yang dimaksud, kemudian kolom yang lainnya diisi dengan
spesifikasi dari bahan tersebut. Contoh formula PL dan konsentrat yang
ditawarkan disajikan pada tabel 2. Dari simulasi jenis pakan dan komposisi
pakan diperoleh bahwa semakin tinggi proporsi bahan pakan ber PK tinggi
maka kandungan PK pakan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai
TDN. Semakin banyak proporsi bahan sumber konsentrat maka kandungan
TDN pakan juga akan meningkat. Peningkatan ini akan diikuti dengan
peningkatan harga setiap kg PL yang dihasilkan.
3. Praktik pembuatan konsentrat dan PL dari bahan pakan yang tersedia secara
lokal menggunakan formulasi pakan lengkap seperti pada tabel 2. Tahap-
tahap pembuatan pakan lengkap dilakukan sebagai berikut :
a. Pastikan jenis bahan pakan yang tersedia serta jumlahnya.
b. Tentukan formulasi pakan yang akan digunakan, sesuaikan dengan jenis
jumlah bahan yang tersedia, kandungan nutrien (PK dan TDN), serta
harga pakan per kg yang diharapkan.
c. Timbang masing-masing jenis bahan pakan sesuai dengan formula yang
telah dipilih. Urutan penimbangan diawali dengan menimbang bahan
yang persentasenya paling banyak secara berurutan sampai yang
digunakan paling sedkit.

626
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

d. Pencampuran dapat dilakukan menggunakan mixer. Apabila


pencampuran dilakukan secara manual maka bagi tumpukan bahan yang
telah tersusun menjadi empat bagian. Masing-masing menjadi tumpukan-
1, tumpukan-2, tumpukan-3, dan tumpukan-4.
e. Setiap tumpukan diaduk hingga rata dan homogen. Tumpukan-1
dicampurkan dengan tumpukan-4, lalu diaduk lagi secara merata dan
homogen. Tumpukan-2 dicampur dengan tumpukan-3, lalu diaduk lagi
secara merata dan homogen. Campurkan kedua adukan tadi, lalu diaduk
lagi secara merata dan homogen.

Tabel 2. Contoh formulasi pakan lengkap dan konsentrat


Pakan Lengkap
Bahan Pakan Rp/kg % PK TD PK TDN Rp/kg %
(%) N PL PL
(%) (%) (%)
Jerami jagung 1000 5 5.9 50 0.295 2.5 50 40%
Jerami kacang
tanah 1000 20 12.9 60 2.58 12 200
Kulit kacang 1000 10 5.8 55 0.58 5.5 100
Daun glirisidia 2000 5 25,0 70 1.25 3.5 100
Bungkil 3500 17 22,0 75 3.74 12.75 595 60%
kelapa/ kopra
Bungkil
kedelai 7500 10 40,0 80 4,0 8 750
Pollard 5000 10 15,0 65 1.5 6.5 500
Dedak padi 3000 20 3.5 60 0.7 15 600
Tetes 5000 3 3,0 65 0.09 1.95 150
Mineral 6000 1 0 0 0 0 60
Total 101 14,74 64,7 3105

Konsentrat
Bahan Pakan Rp/kg % PK TD PK K TDN Rp/kg
(%) N (%) K (%)
(%)
Bungkil kelapa/ 3500 30 22,0 75 6.6 22.5 1050
kopra
Bungkil kedelai
7500 20 40,0 80 8,0 16 1500
Pollard 5000 10 15,0 65 1.5 6,5 500
Dedak padi 3000 30 3.5 60 1.05 18 900
Tetes 5000 10 3,0 65 0.3 6,5 500
Mineral 6000 1 0 0 0 0 60
Total 101 17,45 69,5 4510

627
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

4. Evaluasi Prgram
Evaluasi program dilakukan dengan 3 cara, yaitu :
1. Evaluasi terhadap peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peternak
dilakukan dengan membandingkan hasil pre-test dengan hasil post-test.
Nilai pre-test menunjukkan angka 40-50%, sedangkan post-test
menunjukkan angka 70-80%. Peningkatan nilai yang cukup signifikan
sebesar 20-40% ini menunjukkan tingkat pengetahuan peternak tentang
jenis-jenis bahan pakan potensial, pakan berkualitas, formulasi pakan dan
pengolahan bahan pakan menjadi pakan berkualitas dengan harga
terjangkau meningkat setelah pelaksanaan program.
2. Evaluasi terhadap antusiasme peternak dalam program ini sangat tinggi,
terlihat :
a. Jumlah peserta dari kalangan peternak mulai penyuluhan hingga
pelatihan dan praktik pembuatan PL dan konsentrat untuk ternak kelinci
ini tidak berkurang, bahkan semakin banyak dan tidak beranjak dari
tempat pelatihan hingga pelatihan berakhir.
b. Respon peternak di setiap materi yang diberikan cukup tinggi dengan
berbagai macam pertanyaan.
3. Hasil pelatihan berupa PL dan konsentrat mempunyai kandungan PK
sebesar 14,47% sangat mendekati SNI, TDN 64,7% cukup tinggi dan harga
Rp. 3105,00/kg, jauh di bawah harga pakan jadi kelinci yang beredar di
pasaran yaitu Rp. 5500,00/kg. Apabila diasumsikan biaya pengolahan
menjadi bentuk pelet Rp. 500,00/kg, maka harga pelet menjadi Rp.
3605,00/kg. Harga ini juga masih jauh di bawah harga pakan jadi kelinci
tersebut di atas. Selain itu, konsentrat yang dihasilkan pada program ini
dengan kandungan PK sebesar 17,45% dan TDN 69,5% dengan harga
Rp.4510,00/kg, apabila dikombinasikan dengan jerami ubi jalar yang konon
melimpah di desa Tanjungsari dengan rasio 60:40 akan menghasilkan pakan
dengan kandungan PK sebesar 16,47%, TDN 65,7% dan harga
Rp.3106,00/kg sangat layak disebut pakan kelinci berkualitas dengan harga
terjangkau.

Kesimpulan
Kesimpulan dari program ini adalah :
1. Pengetahuan peternak tentang jenis-jenis bahan pakan lokal yang petensial
sebagai bahan pakan kelinci berkualitas, kandungan nutrisi dan energi dari
masing-masing bahan pakan tersebut serta harganya, standar pakan kelinci
berkualitas (sesuai SNI), dan pengolahan pakan kelinci meningkat.
2. Meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan peternak tentang prinsip
dasar formulasi pakan berdasarkan kecukupan nutrisi dan keseimbangan
protein-energi, program formulasi pakan sederhana serta simulasinya dari
bahan potensial yang tersedia secara lokal sehingga dihasilkan formula
pakan berkualitas, dan pengetahuan dan ketrampilan tentang teknologi
pengolahan pakan menjadi pakan lengkap atau konsentrat berkualitas
dengan harga terjangkau.

628
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih kami kepada Rektor Universitas Brawijaya karena Program
ini dibiayai melalui Program Dosen Berkarya tahun 2021
Daftar Pustaka
Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gajah Mada
University. Edisi Indonesia, Jogyakarta.
Beigh, Y.A., A.M. Ganal and H. Ahmad. 2016. Prospects of complete feed system
in ruminant feeding : A review. Environmental Science, Medicine. Veterinary
World
Ginting, S.P. 2005. Sinkronisasi degradasi protein dan energi dalam rumen
untuk memaksimalkan produksi protein mikroba.Wartazoa 15 :1-10
McDonald, P., R.A. Edwards, dan J.F.D.Greenhalgh. 2002. Animal
Nutrition. 4rd ed. Longman Inc, London
Supriyatno, H. 2018. Desa Tanjungsari Kabupaten Magetan, Disiapkan Jadi Desa
Wisata. Harian Bhirawa. https://www.harianbhirawa.co.id/desa-tanjungsari-
kabupaten-magetan-disiapkan-jadi-desa-wisata/
Wahyono, D.E. dan R. Hadianto. 2004. Pemanfaatan sumberdaya lokal untuk
pengembangan sapi potong. Lokakarya Nasional. Jakarta.

629
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PEMBERDAYAAN SDM PONDOK PESANTREN NASY’ATUL


BAROKAH KECAMATAN PENABER KABUPATEN GRESIK BAWEAN
DALAM PENGEMBANGAN KOMODITAS POTENSIAL

A. Budiarto1,*, G. Ciptadi1, Y Oktanela2, S Rahayu3, Adelina1


1
Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Jurusan Biorep Fakultas Kedokteran Hewan,Universita Brawijaya
3
Jurusan Biorep Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya
*Email korespondensi: agusfpt@ub.ac.id

Abstrak

Masyarakat di kawasan Pulau Bawean sebagian besar bermatapencaharian


berdagang di luar pulau, yang yang paling banyak adalah bertani. Namun pada
sektor peternakan ini dipandang sangat kurang. Ternak yang cenderung dipelihara
masyarakat adalah Ruminansia besar seperti sapi, ruminansia kecil seperti
kambing dan domba. Perkembang biakannya sangat lamban, jenis ternaknya
sangat terbatas dan masih jenis lokal.. Kebutuhan masyarakat sangat besar,
sehingga masyarakat yang akan ber qurban lebih banyak dilakukan di luar pulau,
hal seperti ini merugikan kawasan Pulau Bawean banyak jumlah dana yang keluar
Pulau Bawean. Sehubungan dengan ini potensi yang dimiliki oleh pondok
pesantren penaber memiliki lahan yang luas dan lebih sesuai untuk budidaya
peternakan sapi, kambing dan domba. Selama ini usaha itu belum bisa
berkembang, padahal harapannya potensi itu untuk kelangsungan mitra tersebut,
karena sudah masuk dalam salah satu progranm kegiatannya untuk anak asuhnya.
Untuk mewujudkan upaya tersebut pada program Doktor Mengabdi Universitas
Brawijaya mengamati besarnya peluang tersebut dan menemukan celah yang bisa
di satukan yaitumenggandeng dua mitra tersebut, serta satu lagi mitra yang
bergerak dibidang jasa pemasok bahan bahan ke kawasan Bawean yang di
namakan KSBM(Koperasi saudagar Bawean Mandiri ). Telah dibuat program
lima tahap atau roadmap (5 tahunan), untuk mencapai target agar nantinya
terbentuk suatu instansi/lembaga yang bersifat mandiri, untk membiayai sendiri
kehidupan mitra tersebut. Pondok pesantren sebagai produsen ternk, KSBM
sebagai mitra pemasok saprodi. Kegiatan Awal dimulai dengan perbaikan
manajemen SDM / SDA, (Pemanfaatan lahan utk penyediaan HPT), teknologi:
pengolahan pakan,budidaya, reproduksi,handling kesehatan ternak.

Kata Kunci :pemberdayaan;SDM, potensial;pondok pesantren

Pendahuluan
Sebagian wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai dengan
panjang pantai 140 km, 69 km di daratan Pulau Jawa memanjang mulai dari
Kecamatan Kebomas, Gresik, Manyar, Bungah, Sidayu, Ujungpangkah, dan
Panceng serta 71 km di Kecamatan Sangkapura dan Tambak yang berada di Pulau
Bawean. Sebagian besar penduduk Bawean bermata pencaharian sebagai petani,
nelayan dan pedagang. Pertanian di Pulau ini sebagian besar masih dilakukan
dengan satu kali panen. Sawah produksi yang betul-betul dikelola baik akan dapat

630
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

menghasilkan 2-3 ton per hektar pada setiap musim panennya. Jumlah ini
memang selisih jauh bila dibandingkan dengan jumlah hasil panen yang diperoleh
petani-petani di pedesaan Jawa pada umumnya. Petani Rembang misalnya dapat
menghasilkan 5 ton per hektar meskipun sama-sama tadah hujan (Humaedi 2013).
Selain soal varietas bibit lokal yang menuntut waktu sedikit lama, teknik
pengelolaan sawah di masyarakat Bawean juga dinilai belum efektif.
Pondok pesantren merupakan mekanisme penting dalam proses penyebaran Islam,
khususnya di Jawa. Tidak dapat dinafikan, perkembangan dan kemajuan Islam
adalah hasil daripada peranan yang dimainkan oleh pondok pesantren. Aktivitas
ekonomi masyarakat di Pulau Bbawean juga tidak terlepas dari peran Pondok
Pesantren. Kultur pesantren dan masyarakat menjadi pemberdayaan ekonomi dan
penguatan industri masyarakat Diantara banyak potensi, pesantren memiliki
peluang besar dalam mekanisme pengkaderan di kalangan masyarakat, mampu
mencetak SDM dan program pemberdayaan masyarakat. Pondok Pesantren
Penaber merupakan salah satu ponpes yang didirikan pada tahun 2001 dan
memiliki sejumlah santri asli Pulau Bawean. Beberapa kegiatan seperti Ngaji
Batik, Eco Pesantren Penaber, dan pengembangan peternakan kambing dan sapi
merupakan bentuk kegiatan ekstrakulikuler yang diajarkan dan berpotensi
meningkatkan minat santri dalam menggerakkan ekonomi kreatif lokal.
Hal ini pun sejalan sengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Pasal 1, Ayat 3
menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh
pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha,
pembinaan dan pengembangan sehingga usaha kecil mampu menumbuhkan dan
memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan usaha kecil dan usaha yang tangguh dan mandiri serta
dapat berkembang menjadi usaha menengah.
Hasil survey diketahui bahwa mata pencaharian utama penduduknya adalah
bertani. Petani ini mempunyai lahan yang digarapnya untuk menghasilkan padi.
Sedangkan usaha perkebunan disini sebahgian petani memiliki minimal 20 batang
kakao bahkan ada yang memiliki sampai 80 batang tanaman kakao di samping
rumah ataupun di lahan kebunnya .Setiap panen padi menghasilkan limbah berupa
jerami hanya sebagian kecil dimanfaatkan dan lebihnya dibakar atau dibiarkan
saja. Jerami padi merupakan limbah pertanian yang tersedia dalam jumlah cukup
banyak dibanding dengan limbah pertanian lainnya, serta mudah diperoleh untuk
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan sebagian menjadi kompos. Jika saatnya
kemarau maka rumput akan kurang, maka peternak pada kelompok ini
menggunakan jerami. Produksi jerami padi dapat mencapai 12 - 15 ton per hektar
per panen, bervariasi tergantung pada lokasi dan jenis varietas tanaman padi yang
digunakan (Berita Resmi Statistik, 2013). Jerami padi memiliki protein rendah
juga sedikit vitamin dan mineral. Selain itu, jerami padi juga sulit dicerna karena
kandungan serat kasarnya yang sangat tinggi. Untuk meningkatkan kwalitas
nutrisi jerami padi yang selama ini banyak digunakan untuk pakan ternak
pengganti rumput, untuk hewan ruminansia perlu dilakukan proses fermentasi.
Sebagai pemacu proses degradasi komponen serat dalam jerami padi bisa
menggunakan molasses atau probiotik (ragi tape jerami), sehingga akan lebih
mudah tercerna dalam rumen sapi dan sekaligus bisa meningkatkan kwalitas
nutrisinya.

631
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Rata-rata petani atau peternaknya memiliki 2-5 ekor sapi. Pemeliharaan sapi
masih secara tradisional dengan pemberian pakan apa adanya, tentu saja dari sisi
bisnis tidak banyak menguntungkan karena laju pertumbuhan sapi rendah Laju
pertumbuhan sapi relatif rendah, dimana sapi yang telah berumur 1,5-2,0 tahun
hanya mempunyai berat badan 170-220 kg, dengan laju pertambahan berat badan
per hari sekitar 350 gr.
Prinsip dasar pertanian terpadu merupakan suatu sistem berkesinambungan dan
tidak berdiri sendiri serta menganut prinsip segala sesuatu yang dihasilkan akan
kembali ke alam. Ini berarti limbah yang dihasilkan akan dimanfaatkan kembali
menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan. Model integrasi tanaman ternak
yang dikembangkan di lokasi beberapa daerah dan negara berorientasi pada
konsep ”zero waste production system” yaitu seluruh limbah dari ternak dan
tanaman didaur ulang dan dimanfaatkan kembali ke dalam siklus produksi.
Inovasi teknologi untuk mendukung model tersebut telah dilakukan di Sulawesi
Selatan antara lain meliputi: Teknologi penyimpanan/pengolahan limbah
pertanian (jerami padi) untuk produksi pakan.
Pakan yang biasa diberikan kepada sapi umumnya hijauan, berupa rumput lapang
yang nilai protein kasarnya sekitar 6,8% dan TDN 52%, dan sebagaian diberikan
jerami. Komposisi nutrisi jerami padi yang telah difermentasi dengan
menggunakan starter mikroba sebanyak 0,06% dari berat jerami padi dapat
meningkatkan nilai protein kasar jerami padi dari 4,3% menjadi 8,15% dan diikuti
dengan penurunan nilai serat kasar, dan tidak adanya pemberian konsentrat karena
harga konsentrat yang mahal yang diimbangi dengan pertamabahan berat badan
sapi yang tinggi. Namun selama ini kelompok tani belum memanfaatkan jerami
untuk dijadikan sebagai konsentrat ternak sapi dikarenakan ketidaktahuan akan
teknologi pengolahan jerami dan fermentasi limbah tersebut.
Rendahnya laju pertumbuhan ternak salah satunya dikarenakan tingkat reproduksi
yang masih rendah sehingga membutuhkan teknologi yang mampu mengatasi
masalah inbreeding, selain itumanajeman pakan , perkandangan dan
pengendalian penyakit yang kontinyu.

Metodepengabdian kepada masyarakat


Metoda yang digunakan dalam pengabdian kepada masyarakat ini adalah
1. Pendekatan partisipasi masyarakat, (FGD) dengan harapan masyarakat yang
menyadi subyek kegiatan (kelompok peternak) dapat menerima inovasi baru,
mengetrapkan teknologi tepat guna dan mengembangkan wawasan sesuai
kreativitasnya.
2. Kolaboratif kegiatan yaitu diawali penyuluhan, demoplot.
3. Evaluasi hasil dengan menentukan target pertahun/pertahapan program
kegiatan

Lokasi pengabdian
Lokasi pengabdian masyarakat di pondok pesantren Nasy’atul Barokah
PENABER Bawean Kabupaten Gresik bulan Juli sampai September 2021 secara
daring dan luring.

632
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Analisis data

Dari data sekunder dan data yang diperoleh dari hasil FGD secara luring (data
kualitatif). Sugiyono (2009) mengutip pendapat Miles and Hubrman (1984)
bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara secara interaktif
dan berlangsung terus menerus sapai tuntas, sehingga sampai datanya sidah jenuh.
Akivitas dalam analisis data yaitu
1. flow model
2. interaktif model
Kemudian analisis data luring (dilapangan) mengikuti model Spradly (1980) yang
disitir Sugiyono (2009), yaitu diawali dengan membagi dalam beberapa tahapan :
1. Menetapkan sesorang informan kunci “ Key informant” ( syarat berwibawa
dipercaya mampu membukakan pintu untuk memasuki obyek.
2. Melakukan wawancara kepada informan tersebut dan mencatat hasilnya.
3. Memfokuskan (pertanyaan) pada obyek yang akan di perbaiki/ditingkatkan
performansnya.
4. Analisis terhadap hasil wawancara

Hasil dan Pembahasan


Hasil wawancara melalui media zooming, dapat ditemukan permaslahan
masyarakat Pulau Bawean pada umumnya dan khususnya pada pondok pesantren
sebagai berikut
1. Masih kurangnya keingininan masyarakat untuk mengembangkan dan
mengelola potensi Pulau Bawean secara maksimal. Hal ini dikarenakan masih
belum banyak memperoleh pelatihan dan bimbingan serta pembinaan yang intesip
terkait pengembangan pada sektor peternakan. Peran pondok pesantren dalam
menghasilkan SDM berkualitas, berakhlak mulia, berlatarbelakang nilai-nilai
spiritualitas merupakan aspek penting dalam kegiatan ini.
2. Keberadaan mitra mempunyai potensi sumberdaya alam berupa lahan
untuk dikembangkan ternak ruminansia besar (sapi) dan ruminansia kecil
(kambing domba), hal seiring dengan salah satu programnya yaitu penanaman
mental dan karakter yang di dukung oleh lingkungan, fasilitas, tradisi dan budaya
yang bersifat ekni, maka lahan yang tersedia dapat diperdayakan sebagai sumber
pakan ternak. Namun sampai sekarang belum dimananfaatkan secara maksimal.
3. Masyarakat Pulau Bawean dikenal orang orang perantau ke luar daerah
dan usahanya sukses, sampai sekarang mempunyai komunitas yang luas.
Komunitas yang luas menyebar di daerah rantau ini peluang sebagai pasar dari
barang barang produk produk dari Pulau Bawean.
4. Masyarakat Bawean yang berdomisili di daerah Bawean sendiri,
khususnya pada saat hari raya qurban, tidak bisa melakukan ibadah qurban di
wilayah Bawean sendiri, karena populasi ternak yang sangat terbatas
mengakibatkan harga ternak tinggi.
Kondisi alam yang subur sebagaian besar masyarakat mempunyai lahan yang luas
ditanamai padi. Hasil samping padi berupa jerami padi dan sekam yang
berlimpah, hanya dibakar, belum ada wawasan IPTEK terkait model pertanian-
peternakan terintegrasi sehingga pemanfaatan limbah pertanian belum maksimal.

633
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kendala yang dihadapi dari masyarakat di Pulau Bawean, khususnya pada


pondok pesantren masih kurangnya keingininan masyarakat untuk
mengembangkan dan mengelola potensi Pulau Bawean secara maksimal. Peran
pondok pesantren dalam menghasilkan SDM berkualitas, berakhlak mulia,
berlatarbelakang nilai-nilai spiritualitas merupakan aspek penting dalam kegiatan
ini.
Kemudian, berdasarkan kondisi alam, di sekitar wilayah Ponpes cukup subur dan
sebagaian besar masyarakat mempunyai lahan yang luas dan ditanamai padi. Hasil
samping padi berupa jerami padi dan sekam yang berlimpah, belum ada wawasan
IPTEK terkait model pertanian-peternakan terintegrasi sehingga pemanfaatan
limbah pertanian belum maksimal. Keberadaan kedua mitra mempunyai potensi
sumberdaya alam berupa lahan untuk dikembangkan ternak ruminansia besar
(sapi) dan ruminansia kecil (kambing domba), hal ini seiring dengan salah satu
programnya yaitu penanaman mental dan karakter yang di dukung oleh
lingkungan, fasilitas, tradisi dan budaya yang bersifat ekni, maka lahan yang
tersedia dapat diperdayakan sebagai sumber pakan ternak. Namun sampai
sekarang belum dimananfaatkan secara maksimal.
Masyarakat Bawean yang berdomisili di daerah Bawean sendiri, khususnya pada
saat hari raya qurban, tidak bisa melakukan ibadah qurban di wilayah Bawean
sendiri, karena populasi ternak yang sangat terbatas mengakibatkan harga ternak
tinggi. Masyarakat Pulau Bawean dikenal orang orang perantau ke luar daerah dan
usahanya sukses, sampai sekarang mempunyai komunitas yang luas. Komunitas
yang luas menyebar di daerah rantau ini peluang sebagai pasar dari barang barang
produk produk dari Pulau Bawean.
Kegiatan FGD secara daring dilakukan untuk mensosialisasikan dan
merencanakan program kegiatan agar sejalan dengan harapan mitra Sehingga
diperoleh perumusan solusi dari masalah-masalah yang telah diuraikan
berdasarkan hasil FGD tim dan mitra di Pulau Bawean yang difokuskan kepada
kegiatan berikut:
1. Melakukan penyuluhan secara daring serta pendampingan pada mitra santri
Pondok Pesantren Paraben khususnya terkait pengetahuan tentang budidaya
peternakan, baik dari sisi pemilihan bibit, manajemen pakan dan manajemen
reproduksi (termasuk penanganan penyakit ternak),mengingat pondok pesantren
tersebut telah memiliki peternakan sapi dan kambing yang digunakan sebagai
sarana pembelajaran ekstrakulikuler bagi para santri.
2.Untuk manajemen pengolahan pakan asal limbah pertanian, dalam workshop
akan dikenalkan jenis-jenis sumber tanaman pakan ternak baik rumput unggul
maupun legumenosa sebagai sumber protein serta dapat menggantikan sementara
pakan yang kaya protein atau rendah serat kasar.
3. Pengenalan pakan konsentrat dan formulasinya untuk ternak tipe daging dan
tipe susu juga menjadi poin tambahan pada materi manajemen pakan.
Pengenalan teknologi tepat guna yang sudah di kenalkan seperti, pengolahan
pakan ternak yang bersumber jerami padi(amoniasi Jerami padi), teknologi
penyusunan formula pakan, pembuatan permen ternak, Teknik penanaman
legume indigofera, eknik penanaman rumput unggul,sepeti rumput alfafa,
pembuatan pupuk eknik . Demikian, tim memberikan cara memilih bibit
betina/pejantan/ yang siap digunakan sebagai pejantan unggul di ponpes.
Penanganan induk pra dan pasca melahirkan. Pemberian colostrum untuk anak

634
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kambing domba yang baru lahir, Kebutuhan akan bibit unggul sangat penting
karena rendahnya produktivitas ternak kambing dan domba di mitra, Sebagai
tindak lanjut untuk lebih mendapatkan hasil dari usaha ternak, maka akan dikirim
3 (tiga) santri yang mengikuti kursus di UPTHMT Singosari Malang (mendalami
dalam hal cara beternak yang baik dan benar) sebagai satuan petugas peternakan
di lingkungan pondok. Dan diharapkan dapat meningkatkan usaha peternakan.

Kesimpulan
1. Sikap pengurus serta pimpinan pondok sebagai pengasuh dan sekaligus sebagai
key informan memberikan perubahan pola ekni dalam usaha ternak.
2. Perubahan sikap penghuni pondok dalam menerima inovasi baru dalam usaha
ternak, ditunjukkan dengan mengetrapkan scara mandiri.
3. Penyampaian inovasi dan teknologi tepat guna pada bidang pakan ternak yang
dipraktekan langsung, diharapkan dapat merbah system beteernak yang benar.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Brawijaya Sesuai dengan
Kontrak Nomor : 540.16.5/UN10.C10/PM/2021 serta laporan penggunaan dana
pengabdian kepada Masyarakat Universitas Brawijaya melalui Program Hibah
Doktor Mengabdi Tahun 2021.

Daftar Pustaka
Kresno Suharto, 2010. Penyakit kambing dan Penangannya (disampaikan pada
Kursus IB pada kambing di L2SS Fapet UB) . Disadur Buku Pengobatan
Tradisional pada Ternak. 2009, Departemen Pertanian Balai Besar Pelatihan
Peternakan – Batu,Jl. Songgoriti No 24 Batu.
Marjuki, 2010, Strategi Manipulasi Pakan Untuk Meningkatkan Penampilan
Reproduksi Ternak. (Makalah disampaikan pada Kursus IB pada kambing di
L2SS Fapet UB)
Parmawati R, Mashudi Mashudi, A Budiarto, Suyadi Suyadi, AS Kurnianto. 2018.
Developing sustainable livestock production by feed adequacy map: A case
study in Pasuruan, Indonesia. Tropical Animal Science Journal. 2018/4/6 pg
67-76
Sri Wahjuningsih, Hermanto, Nuryadi, A Budiarto, Panji Bhintoro. 2007. Effect
of Sperm Concentration and Length of Storage at 50 C on Motility of Goat
Spermatozoa. https://publications.waset.org/7412
Seseray, D.Y., E.W. Saragih, dan Y. Katiop. 2012. Pertumbuhan dan Produksi
Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) pada Interval Defoliasi Yang Berbeda.
Jurnal Ilmu Peternakan, Juni 2012, hal 31 – 36.Vol 7 No1.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif da Kualitatif dan R & D. Penerbit
Alfabeta Bandung.
Suyitman.2014. Produktivitas Rumput Raja (Pennisetum purpupoides) pada
Pemotongan Pertama Menggunakan Beberapa Sistem Pertanian.Jurnal
Peternakan Indonesia, Juni 2014. Vol. 16 (2): 119-127.
Umi Wisaptiningsih, 2010. Analisa Usaha Kewirausahaan, Makalah di sampaikan
pada Kursus IB pada kambing di L2SS Fapet UB)

635
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

IMPLEMENTASI KONSEP TROPICAL PERMACULTURE SEBAGAI


METODE IMPROVEMENT KELOMPOK TERNAK SAPI PERAH DI
KABUPATEN MALANG

J.A. Putritamara1,*, A.E. Kusumastuti2, M.B. Hariyono3


1
Minat Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
*
Email korespondensi: jaisyap@ub.ac.id

Abstrak

Upaya dalam meningkatkan ketahanan masyarakat perdesaan di wilayah potensi


sapi perah adalah stimulasi bottom up melalui regional network dengan
mengoptimasikan potensi wilayah. Salah satunya adalah implementasi
permaculture yang menekankan aspek nilai tambah. Maka dalam pelaksanaan
pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan dalam improvement bisnis sapi perah
dalam studi kasus kelompok ternak dan juga aktif menjadi anggota koperasi susu.
Metode penelitian menggunakan studi kasus dengan pendekatan PRA
(Participatory Rural Appraisal) melalui pemberian pelatihan yang diisi oleh pakar
tropical permaculture yaitu Ir. Luky Bambang Santosa. Implementasi
permaculture di Desa Donowarih oleh Kelompok Ternak Sumber Abadi
melakukan mapping potensial wilayah dengan mengintegrasikan sapi perah
dengan tanaman jeruk. Pelatihan permaculture membantu desain artistik
kelompok ternak dalam memahami kontur tanah dan improvisasi bisnis sapi perah
yang terintegrasi dengan lahan jeruk. Hasil pretest mengindikasikan bahwa
anggota kelompok ternak belum memahami konsep permaculture dan belum bisa
mengidentifikasi sumberdaya potensial. Kegiatan pelatihan, target distimuasi
untuk mapping visual dari kondisi lahan dan perkandangan sapi perah. Harapan
setelah diperolehnya pelatihan ini tingkat keterampilan peternak dalam mapping
lahan potensial dan menjadikan hal tersebut sebagai nilai tambah yang saling
terintegrasi dalam sektor agrokompleks sehingga dapat menstimulasi produk
peternakan dan pertanian yang memiliki value tinggi dari perspektif produksi.
Maka dengan peserta memahami permaculture dapat mengengaged konsumen
dengan nilai personal branding yang tinggi, sehingga peternak sapi perah bisa
mandiri.

Kata Kunci: nilai tambah, permaculture, PRA, sapi perah

Pendahuluan
Konsep regional network menjadi alternatif pemerintah dalam pembangunan
perekonomian masyarakat sejak konsep growth pole memiliki backwash effect
yang luar biasa sehingga menyebabkan kesenjangan yang massive terhadap desa
dan kota. Pembangunan perekonomian melalui regional network merupakan
upaya bijak pemerintah dalam mendorong perekonomian bersifat buttom-up. Hal
ini didukung oleh tingkat resiliensi masyarakat perdesaan di masa pandemi yang
leboh tough dibandingkan dengan masyarakat kota, ketika pandemi berdampak
terhadap perekonomian negara dan dunia, konsep ini menjadi peluang besar

636
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mengingat jumlah petani semakin meningkat di era krisis. Salah satu konsep yang
mendukung optimasi regional network adalah permaculture. Di dalam konsep
ekowisata peranan masyarakat lokal juga harus diikutsertakan. Konsep
keterlibatan masyarakat lokal juga merupakan konsep utama permakultur.
Menurut Mollison (1988), permakultur adalah kesadaran desain dan pemeliharaan
ekosistem pertanian produktif memiliki keragaman, stabilitas, dan ketahanan
ekosistem alam. Tujuan utama dari permakultur adalah menjaga keharmonisan
lingkungan (landscape) dengan manusia.

Permaculture mendorong petani yang ada di perdesaan semakin berdikari karena


memiliki kemampuan tinggi dlaam efisiensi sarana produksi yang saling
menguntungkan antar sektor, hal ini diperlukan bagi masyarakat kelompok ternak
yang ada di Desa Donowarih Kecamatan Karangploso degan jumlah sapi perah
yang tinggi dan lahan pertanian yang bervariasi mulai dari tanaman pakan ternak
dan lahan pertanian sayuran. Sebagai upaya adding value setiap komoditas maka
permaculure memberikan solusi bagi petani dan peternak untuk dapat
mengembangakan budidaya peternakan dan pertanian. Tidak hanya sebagai
pendukung perekonmian masyarakat, namun konsep permaculture juga digunakan
sebagai pendukung self sufficiency bagi masyarakat dan hilirisasi produk UMKM
yang sedang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dalam stimulasi
perekonomian negara, Umumnya permculture juga mendukung sektor agro
eduwisata yang dapat menjadi passive income masyarakat perdesaan.

Tujuan Program dan Sasaran Program


Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak sapi perah dan petani
dalam mengaplikasikan tropical permaculture sebagai upaya optimasi tingkat
kesejahteraan masyarakat.

Konsep pengabdian kepada masyarakat melalui kegiatan pelatihan dengan


pendekatan PRA bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kemandirian peternak
sapi perah dalam mengintegrasikan dengan sektor lain yang mendukung
imporvisasi bisnis. Kelompok sasaran berpusat pada anggota kelompok ternak
Sumber Abadi yang memiliki 23 peternak sapi perah dan juga merupakan anggota
koperasi susu. Kelompok ternak Sumber Abadi berkeinginan untuk improvisasi
bisnis sapi perah dan menjadi kelompok ternak mandiri dengan memanfaatkan
potensi wilayah yang ada sehingga harapannya dapat membuat mapping wilayah
yang tidak hanya mendukung aktivitas beternak sapi perah namun juga sekaligus
meningkatkan performa bisnis lain yang terintegrasi dengan sapi perah. Oleh
karena itu kelompok ternak mendapatkan dukungan dari perangkat desa untuk
mengoptimumkan potensi wilayah Desa Donowarih.

Hasil yang Diharapkan


Hasil yang diharapkan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat adalah
pelatihan implementasi dari konsep permaculture di Desa Donowarih yang
diinisiasi oleh kelompok ternak Sumber Abadi untuk mewujudkan wilayah
potensi yang memiliki nilai tambah bagi masyarakat yang harapannya dapat
berkontribusi dalam penyediaan pangan masyarakat sekitar yang dapat
berkembang menjadi desa wisata berbasis potensi alam. Selain sumbangsih

637
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

ketahanan pangan, implementasi permaculture juga dapat memberdayakan


masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan per kapita di Desa
Donowarih.

Kegunaan Program
Meningkatkan pemahaman dan skill kelompok ternak Sumber Abadi dalam
mapping wilayah potensial di Desa Donowarih menjadi wilayah yang memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif dalam mendukung ketahanan pangan dan
kesejahteraan peternak sapi perah. Adanya pelatihan implmentasi permaculture
memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap tropical permaculture di Desa
Donowarih dalam meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan Program
Pelaksanaan pelatihan menggunakan metode edukasi kepada masyarakat melalui
zoom meeting, tanya jawab melalui dialog interaktif dengan pakar dan pre test
serta post test dalam mapping lahan potensial dan tanaman yang menjadi sektor
unggulan yang bisa diintegrasikan dengan sapi perah serta membuat
desain/gambar wilayah yang akan berintegrasi dengan sapi perah dan pemanfaatan
limbah sapi perah untuk menudukung tanaman lain.

Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pengabdian masyarakat melalui


sistem pelatihan adalah PRA, melalui metode ini sasaran dapat membuat desain
perencanaan wilayah potensial yang sesuai dengan kemampuan dan anggaran
serta kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara mandiri atau yang
biasa disebit sebagai Community Action Plan/CAP. Metode PRA menstimulasi
masyarakat untuk mandiri dalam mengidentifikasi masalah dan keunggulan yang
ada di Desa Donowarih karena masyarakat merupakani subjek dalam
pembangunan. PRA merupakan instrumen yang tepat dalam asesmen kebutuhan
masyarakat lokal (Mueller, 2010:1).

Metode
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat menggunakan metode PRA yang artinya
sasaran sebagai subjek sehingga tingkat partisipastif lebih besar. Pemateri dalam
pelatihan implementasi permeculture hanya sebagai fasilitator yang mendukung
kegiatan pelatihan melalui edukasi dan praktik virtual dalam desain grafis
mapping potensi wilayah di Desa Donowarih. Secara konseptual PRA
menstimulasi kemampuan berpikir sasaran untuk terdorong dalam keikutsertaan
sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup kelompok sapi
perah. PRA lebih menekankan pada praktik dibandingkan dengan pengetahuan.
PRA merupakan metode yang memiliki kredibilitas tinggi sebagai program
pemberdayaan masyarakat (Sinha, 1997; Mikkelson, 2011)

Langkah – Langkah Pelaksanaan Kegiatan Pengabdian Masyarakat


1. Tim pengabdian menghubungi pembina kelompok ternak Sumber Abadi
untuk diskusi lebih lanjut dengan anggota kelompok
2. Tim pengabdian melakukan survei awal dan berdiskusi dengan kelompok
ternak terkait dengan permasalahan dan kebutuhan yang dapat meningkatkan
kapasitas bisnis sapi perah dan sumberdaya potensial di wilayah Donowarih.

638
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

3. Tim pengabdian masyarakat menentukan waktu yang tepat dalam kegiatan


pelatihan
4. Tim penagbdian masyarakat melaksanakan kegiatan pelatihan melalui zoom
meeting dengan pakar dan sasaran
5. Tim pelaksana pengabdian melakukan pengawasan dan membantu sasaran
dalam implementasi permaculture
6. Tim pelaksana pengabdian mendampingi sasaran untuk berkonsultasi dengan
pakar

Hasil dan Pembahasan


Webinar “Implementasi Konsep Tropical Permaculture Kawasan Desa Potensi
Sapi Perah Sebagai Supporting Regional Network” bertajuk pelatihan yang
diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dalam skema
hibah PNBP untuk Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2021, dengan pengusul
Jaisy Aghniarahim Putritamara, S.Pt.,MP (minat Sosial Ekonomi Peternakan).
Webinar ini bertajuk pelatihan dengan sasaran utama kelompok ternak “Sumber
Abadi” yang ada di Desa Donowarih Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.
Pada webinar ini, pemateri yang diundang adalah pemateri di bidang keahlian
permaculture yaitu founder Rumah Kayu Permaculture Bandung Bapak Luky
Lambang Santoso, ST. Pemateri memiliki pengalaman yang panjang di bidang
pertanian organik dan permaculture. Konsep permaculture pertama kali diadopsi
bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan menghasilkan energi yang dapat
diintegrasikan dengan komodtas lain yang minimal dapat meningkatkan self
sufficiency di tingkat rumah tangga. Sama halnya seperti pertama kali konsep
permaculture yang diilustrasikan seperti “ a cup of tea” sehingga dari satu cangkir
teh, manusia dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada baik dari air, teh dan gula
di dalam satu wilayah potensial tanpa harus mendatangkan dari tempat lain, selain
untuk human need namun juga dapat meningkatkan nilai tambah petani teh jika
dalam keadaan produksi telah surplus. Sehingga dalam webinar pelatihan ini
memang bertujuan sebagai regional network atau stimulasi perekonomian secara
bottom-up. Dari potensi yang ada oleh petani dan kembali lagi untuk
kesejahteraan petani.

Pada webinar pelatihan, pemateri (Pak Luky) mengawali dengan menceritakan


pengalaman terhadap aktivitas terhadap permaculture dengan membina petani
untuk meningkatkan komoditas pertanian yang berkelanjutan yang termasuk
komoditas peternakan. Permanent agriculture atau yang disebut sebagai
permaculture merupakan implementasi dari konsep yang diadopsi oleh Anam
Masrur dalam sebuah bentuk desain pertanian yang berada pada permukaan bumi
sehingga dapat menghasilkan manfaat bagi manusia untuk mewujudkan
keseimbangan alam karena seluruh makhluk hidup di dalamnya saling
bekerjasama untuk memberikan manfaat. Dari tanah yang sehat akan
menghasilkan produk yang sehat. Tanah yang sehat juga menentukan kualitas
susu yang baik secara tidak langsung. Apa yang dikonsumsi oleh ternak baik
hijauan maupun konsentrat semuanya berasal dari kontribusi tanah. Beliau
menjelaskan bahwasannya siklus permaculture yang diawali dari tanah akan
berkorelasi dengan makanan, tempat tinggal yang sehat dan penuh sirkulasi
dengan ventilasi angin sebagai saniter alami yang bisa menghemat energi dan

639
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

bahkan justru dapat menghasilkan energi. Jika masyarakat dapat mengaplikasikan


konsep ini, maka masyarakat dapat save energi dan biaya, sehingga hal ini
mendukung kelestarian lingkungan hidup, maka bumi akan subur. Konsep ini juga
mendukung pencegahan bencana alam akibat kelalaian manusia terhadap alam.
Pada konsep ini, pemateri juga mengenalkan etika dari permaculture yaitu 1)
earthcare, 2) people care dan 3) fair share.

Konsep permaculture diperdalam oleh pemateri bahwasannya kehidupan manusia


yang paling utama adalah makanan dan kehidupan sehat yang sustainable.
Makanan sehat dari pertanian yang dapat mengurangi kandungan pestisida dengan
memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk alami. Ketika pakan ternak dapat
dioptimumkan secara mandiri, maka kualitas akan mudah dipantau dibandingkan
dari industri, Catatan utama yang diberikan oleh pemateri adalah “bekerja dengan
alam, bukan melawan alam”. Bagi peternak sapi perah, perlu dikaji ulang apakah
memelihara sapi perah hanya bisa mendapatkan susu saja, bagaimana produk susu
yang dihasilkan dapat meningkatkan nilai tambah dan bagaimana proses
pemanfaatan limbah untuk menjadi biogas, kompos, berkontribusi menjadi POC,
meningkatkan produktivitas hijauan ruminansia yang berkualitas dan dapat
meningkatkan produktivitas susu yang selama ini menjadi kendala peternak.
Peternak juga dapat mengembangkan budidaya lahan hijauan untuk lahan lain
seperti indigofera dengan kontribusi vermicompos sdengan cacing columbricus,
tiger atau ANC sehingga bisa meningkatkan nilai tambah peternak. Lahan hijauan
juga dapat dioptimumkan dengan kebun bunga estetik yang bisa mendatangkan
lebah sehingga dari wilayah daat menghasilkan produk beragam. Yang paling
utama dikenalkan kepada peternak adalah use small, slow solution dan use edges
and value the marginal, setiap tepi lahan yang ada dapat mengahsilkan nilai bagi
peternak. Pada konsep ini peternak harus mendalami potensi di wilayah yang ada
dan dikembangkan secara bertahap. Pada pelatihan ini, peternak akan diujicoba
untuk membuat desain landscape permaculture komoditas sapi perah dan
komoditas pertania lain yang bisa diintegrasikan. Pertanyaan dan jawaban yang
dilakukan berkaitan dengan pre dan post test untuk memahami seberapa jauh
sasaran dapat mengetahui sistematis pelaksanaan permaculture di wilayah
berpotensi. Berikut merupakan pernyataan yang dikategorikan dalam pre-dan pos
test.

640
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1. Pemahaman kelompok ternak terhadap permaculture.


No Pernyataan Pre-test Post-test Strategi
1 Konsep permaculture Setuju, karena Setuju, karena Diskusi dan
mendukung masyarakat meningkatkan meningkatkan QnA dengan
agar mampu jumlah eknik pemateri
menghasilkan produk produksi budidaya
pangan sendiri dan pertanian pertanian yang
mendukung ketahanan terintegrasi
pangan
2 Semua wilayah memiliki Tidak setuju, Setuju, seluruh Diskusi dan
potensi lahan yang lahan subur wilayah QnA dengan
mendukung saja memiliki pemateri
permaculture potensi yang
mendukung
keragaman
pertanian
3 Permaculture Setuju, namun Setuju, seluruh Diskusi dan
mendukung bisnis sulit dilakukan media yang QnA dengan
pertanian organik pemula treintegrasi pemateri
dapat
memberikan
manfaat yang
mendukung
eknik
budidaya
organik
4 Permaculture Setuju, harus Setuju, Diskusi dan
meningkatkan nilai ada memanfaatkan QnA dengan
tambah pertanian pendampingan pemuda pemateri
mutlak dari perdesaan
awal untuk
menginisiasi
desain
5 Menangkap dan Setuju, untuk Setuju, untuk Diskusi dan
menyimpan energi meminimalisir mendesain QnA dengan
sangat penting dalam biaya keunggulan pemateri
permaculture wilayah
dengan
sumberdaya
yang ada dan
saving energi

641
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Berikut merupakan sesi diskusi pemateri dan peserta saat pelatihan permaculture :

Tabel 3. QnA saat sosialisasi program permaculture


No Pertanyaan Jawaban
1 Bagaimana perlakuan Air hujan di 2-5 menit awal terdapat
penampungan air hujan di polutan sehingga bisa dibuang selanjutnya
daerah minim akses air untuk air dapat diberikan secara langsung kepada
meningkatkan ketersediaan ternak
air minum ternak ? Jika air
hujan mengandung alkali,
maka apa manfaatnya bagi
ternak?
2 Bagaimana metode Bisa menggunakan inseknet atau jaring
penangkapan air embun untuk double, kabut yang lewat akan menempel
minum ternak? dan ketika jatuh bisa tertampung dengan
kadar pH netral yang dapat diminum baik
oleh ternak bahkan manusia. Atau jika
membutuhkan dengan debit besar bisa
menggunakan swill dengan air yang
diperoleh dari air hujan yang ditangkap
oleh pohon. Semakin banyak air hujan
yang ditangkap maka ketersediaan air akan
berlimpah,

3 Apakah konsep permaculture Permaculture lebih kompleks untuk


sama dengan pertanian menghasilkan hulu sampai hilir secara
organik atau kombinasi zero terpadu, sedangkan pertanian organik
waste? adalah produk dari aplikasi permaculture
yang telah advanced dan memang arahnya
akan ke pertanian organik, namun boleh
dimulai dengan tidak organik.
4 Bagaimana implementasi Memanfaatkan rooftop, memisah sampah
permaculture di lahan rumah tangga menjadi vermicompos dan
sempit/urban farming? maggot. Hal tersebut juga meminimalisir
jumlah limbah rumah tangga, selain itu
bisa untuk integrasi.

5 Apakah permaculture bisa Asalkan ramah dengan konsep


dilakukan bersamaan dengan permaculture dan dapat diimpelemntasikan
teknologi informasi? dalam mendukung pertanian ke arah
organik.

6 Langkah apa yang perlu Tahap pertama harus memahami konsep


ditempuh peternak sapi perah dengan membuat desain yang ingin dibuat
untuk memulai permaculture? sesuai dengan lahan yang ada, maka
dengan ini peternak perlu observasi
terlebih dahulu lahan yang ada sesuai
dengan lahan hijauan dan perkebunan

642
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

yang potensial. Setelah observasi peternak


dapat membuat desain permaculture,
Peternak juga dapat memanfaatkan ternak
angsa di rumah warga sebagai sanitasi
hama perusak pertanian. Jika kegiatan
tersebut dapat dilakukan konsisten untuk
menuju wisata halal.

7 Bagaimana langkah pertama bisa memulai dengan menggunakan sun


yang harus ditempuh ketika breaker pada pohon (seperti mangga) yang
harus membudidayakan sapi bisa menahan panas matahari sehingga
perah di daerah dengan suhu suhu bisa turun 2 derajad celcius.
tinggi ? Usahakan estetika tetap diutamakan.
Observasi, analisis sumberdaya dan
optimasi berikutnya akan mudah
mengaplikasikan eduwisata bagi
masyarakat.

Berikut merupakan sistematika inti desain hasil pelatihan kelompok ternak sapi
perah untuk inisiasi konsep permaculture.
1. Desain lokasi peternakan di area yang menopang rumput dan leguminosa dan
terintegrasi dengan tanaman pangan seperti sayur dan buah dengan
memanfaatkan nutrient dari biogas dan kompos
2. Membuat keterhubungan wilaya potensial yang meminimalisir resiko
pembuangan sumberdaya dari jarak terdekat dengan eknik sampai dengan
jarak terjauh dengan eknik .
3. Memilih tanaman pakan dan pangan yang saling memiliki eknik s
mutualisme, seperti tanaman herbal, buah seperti jeruk yang berpotensi di
wilayah Donowarih dan rempah-rempah.

Kesimpulan
Pendekatan PRA melalui program pelatihan implementasi tropical permaculture
di lingkungan potensial sapi perah dan tanaman jeruk berhasil membangun
kesadaran masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup per kapita dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal Donowarih. Pendekatan PRA secara aspiratif
menstimulasi sasaran untuk mengenali keunggulan wilayah yang dapat dijadikan
nilai tambah. Hal ini menumbuhkan semangat sasaran untuk mewujudkan wisata
alam melalui konsep permaculture sehingga peternak sapi perah dapat
mandiri.Berdasarkan hasil pre tes, post test serta pendampingan selama 2 minggu
secara virtual oleh pakar menunjukkan progress yang baik yang sebelumnya target
tidak memahami mapping wilayah dan aktor potensial yang terlibat, setelah
dilakukan pelatihan dan pendampingan target sudah dapat menintegrasikan
mapping yang dibuat dalam bentuk visual desain.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya melalui
skema pengabdian masyarakat dana PNBP. Penulis juga mengucapkan terima

643
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kasih kepada Bapak Luky selaku penggiat tropical permaculture dan konsep
tanaman organik di Indonesia serta Bapak Rendy selaku pembina kelompok
ternak yang telah membantu mensukseskan kegiatan pelatihandan pendampingan.

Daftar Pustaka
Mikkelsen, B., 2011. Metode Penelitian Parttisipatoris dan Upaya Pemberdayaan.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mollison, B., 1988. Permaculture: A Designer’s Manual Second Edition Australia:
Tagari, 2002
Mueller, J. G., 2010. Evaluating Rapid Participatory Rural Appraisal as an
Assessment of Ethnoecological Knowledge and Local Biodiversity Patterns.
Dalam Conservation Biology, 24(1): 140–150.
Sinha, K. Prabhakar., 1997. In Defence of Paticipatory Rural Appraisal dalam
Economies and Political Weekly, 32 (13): 672.

644
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

PENGOLAHAN PAKAN TERNAK DAN PEMANFAATAN FESES


SEBAGAI KOMPOS DI DESA TIMBANG LAWAN KECAMATAN
BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

Edhy Mirwandhono*¹, Tati Vidiana Sari¹, Achmad Sadeli¹, Pindi Patana²,


Achmad Siddik Thoha², Apri Heri Iswanto², Adrian Hilman³, Agus
Purwoko², Mariah Ulfa²

¹Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara


²Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Ura
3
Program Studi Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas
SumateraUtara
*
Email korespondensi: r.edhy@usu.ac.id

Abstrak

Desa Timbang Lawan merupakan Desa yang terletak di Kecamatan Bahorok,


Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara dan lokasi tersebut menjadi zona
penyangga (buffer zone) Taman Nasional Gunung Leuser. Salah satu
permasalahan desa adalah kemunculan harimau sumatera yang menyerang ternak
sapi warga desa sehingga menyebabkan warga desa harus mengkandangkan
ternaknya. Ternak yang dikandangkan mengharuskan pengelola memberikan
kebutuhan pakannya kepada ternak. Oleh karena itu kegiatan Pengabdian Desa
Binaan LPPM USU ini dilakukan dengan tujuan agar warga sekitar dapat
mengolah bahan pakan dari limbah perkebunan dan dapat memanfaatkan kotoran
ternaknya sebagai kompos. Kegiatan ini terdiri dari pembuatan pakan ternak
berbahan dasar pelepah sawit (tanpa lidi) yang difermentasi serta pembuatan
kompos dari kotoran ternak sapi. Tujuan fermentasi pelepah sawit adalah untuk
meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan tersebut sedangkan pembuatan kompos
dari kotoran ternak adalah untuk dimanfaatkan sebagai pupuk eknik . Metode
yang digunakan adalah penyuluhan dan pemberian pengetahuan serta pelibatan
masyarakat melalui praktek langsung di lapangan. Pemerintah desa sangat
mendukung kegiatan ini dan masyarakat antusias mengikutinya, karena dapat
memberikan solusi langsung terhadap permasalahan warga yang ada di desa
tersebut. Hasil yang diperoleh masyarakat desa berupa brosur (petunjuk praktis
pembuatan pakan fermentasi), demontrasi dan praktik penggunaan alat pencacah
(chopper) serta teknik pengolahan pakan fermentasi dan eknik pembuatan
kompos.

Kata Kunci : timbang lawan, pengolahan pakan, kompos

Pendahuluan
Penyebab terjadinya konflik manusia dan hewan (harimau sumatera) di Taman
Nasional Gunung Lauser (TNGL) adalah kegiatan perambahan hutan dan
pembangunan pemukiman yang meluas ke dalam kawasan TNGL. Berbagai
akibat dari kerusakan juga telah dirasakan oleh masyarakat Desa Timbang Lawan,
seperti terjadinya banjir, kerusakan terhadap lahan pertanian dan perkebunan

645
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

warga, konflik manusia dan hewan, mati nya ternak warga, serta permasalah
lainnya yang sangat merugikan masyarakat sekitar TNGL khususnya warga Desa
Timbang Lawan.
Konflik antara manusia dan hewan ini menyebabkan harus ada perubahan pola
manajemen peternakan sapi yang dikelola masyarakat Langkat terutama warga
Desa Timbang Lawan, sehingga tidak lagi dirugikan akibat dimangsa harimau.
Perubahan pola manajemen peternakan sapi yang paling disarankan adalah
merubah pola pemeliharan dari penggembalaan (ektensifikasi) ke pola
perkandangan (intensifikasi). Ternak sapi harus dikandangkan dan tentunya
kendang yang dibutuhkan adalah kandang yang aman dari serangan hewan
pemangsa (harimau).
Permasalahan yang lain dan prinsip berkaitan dengan hal tersebut di atas adalah
masalah pakan. Mengandangkan ternak maka dengan sendirinya ternak tidak
dapat mencari makan sendiri. Pakan ternak harus dicari dan dibawakan oleh
peternaknya. Dalam hal pemberian pakan ini, akan menjadi efektif dan efisien
untuk menjadikan ternak bukan saja bisa hidup baik, tetapi juga bisa cepat tumbuh
dan meningkat pertambahan bobot badannya serta berproduksi, maka pola
pemberian pakan yang konvesional diubah dengan menggunakan pendekatan
teknologi pengolahan pakan ternak.
Ragam Kegiatan yang dilaksanakan dalam program desa binaan ini antara lain
dengan memanfaatkan pelepah sawit hasil dari limbah perkebunan yang ada di
desa tersebut dengan cara difermentasi guna sebagai pakan ternak yang ramah
lingkungan dan ekonomis, serta memanfaatkan kotoran ternak menjadi kompos
sebagai pupuk organik yang sangat berguna untuk tanaman pertanian dan
perkebunan. Kegiatan ini dilakukan Bersama mitra desa dengan tujuan
membangun kapasitas sumberdaya manusia dalam rangka menuju desa mandiri.
Metode
Kegiatan Pengabdian kepada masyarakat desa binaan ini dilaksanakan di Desa
Timbang Lawan Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera
Utara. Jarak Kota Medan ke Desa Timbang Lawan sejauh ± 74,7 Km dan dapat
ditempuh dalam waktu sekitar dua jam tiga puluh menit dengan menggunakan
kendaraan mobil.
Langkah-langkah kegiatan dalam pelaksaan kegiatan ini adalah:
1) Studi Literatur
Studi literatur dilakukan untuk menentukan metode yang akan digunakan,
teknis kegiatan, cara kerja yang efektif dan efisien.
2) Survey awal lokasi
Survey ini dilakukan untuk menetukan perencanaan dan pengumpulan
informasi dari lokasi dan ide maupun saran dari mitra atas permasalahan yang
ada. Survey awal ini jugaberguna untuk memantapkan studi lokasi yang akan
dipilih dalam melaksanakan kegiatan. Dalam survey ini juga dilakukan
wawancara dengan apparat desa dan tokoh masyarakat.
3) Mempersiapkan alat dan bahan
Alat dan bahan yang diperlukan untuk mendukung kelancaran semua kegiatan
yang telah direncanakan secara matang. Alat dan bahan yang digunakan akan
disesuaikan dengan ketersediaan dana yang ada dan sumberdaya di sekitar lokasi
kegiatan yang akan dilaksanakannya proses pengabdian.

646
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

4) Pelaksanaan kegiatan
Kegiatan yang dilaksanakan di Desa Timbang Lawan antara lain :
a. Melakukan Pre-Test sebelum kegiatan penyuluhan dilaksanakan.
b. Melakukan Post-Test setelah kegiatan penyulujan dilaksanakan.
c. Melaksanakan kegiatan penyuluhan pembuatan pakan ternak dari limbah
pohon kelapa sawit (pelepah sawit tanpa daun sawit dan lidi)
d. Melaksanakan kegiatan penyuluhan pembuatan kompos dari feses (kotoran
sapi).

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik Masyarakat
Masyarakat desa Timbang Lawan dapat kita nilai merupakkan masyarakat yang
mau berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian ini, oleh karena itu membutuhkan
pendekatan dalam melaksanaksan program desa binaan ini dengan lebih
mengedepankan aspek sosiologi masyarakat. Dilakukannya pendekatan ini
bertujuan agar program yang dilakukan ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Dapat diketahui karakteristik masyarakat ini menjadi alat ukur untuk merancang
kegiatan dan memetakan pola penghidupannya sehingga sasaran yang akan
dicapai dari kegiatan desa biinaan ini bisa lebih efektif dan efisien. Dapat kita
lihat karakteristik responden masyarakat Desa Timbang Lawan pada Tabel. 1.

Tabel 1. Karakteristik Masyarakat Desa Timbang Lawan


No. Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 Usia
a. 21 - 27 tahun 17 10
b. 28 - 34 tahun 31 19
c. 35 - 41 tahun 30 18
d. 42 - 48 tahun 31 19
e. 49 - 56 tahun 17 10
f. 56 - 62 tahun 18 11
g. 63 - 69 tahun 10 6
h. 70 - 76 tahun 11 7
2 Pekerjaan
a. Petani-Ternak 85 51,5
b. Buruh 11 6,7
c. Wiraswasta 38 23
d. Karyawan Swasta 5 3
e. Ibu Rumah Tangga 26 15,8
3 Pendidikan Terakhir
a. Tidak Ada 6 3,6
b. SD 94 56,9
c. SMP 41 24,8
d. SMA 23 13,9
e. S1 1 0,6
Jumlah 165 100
Sumber; Pindi Patana et all., 2021

647
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 87% (143 jiwa) usia masyarakat
Desa Timbang Lawan termasuk dalam kategori usia produktif berdasarkan
pernyataan dalam Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan, 2011). Data
di atas juga memperlihatkan bahwa sebesar 51,5 % (85 jiwa) bermata pencaharian
sebagai petani (petani-peternak : 60 jiwa – 36,3 %, Tabel 2), dan sebanyak 96,3 %
berpendidikan formal baik tingkat SD (56,9 %), SMP (24,8 %), SMA (13,9 %),
serta sarjana-S1 (0,6 %).
Tingginya persentase umur produktif, mata pencaharian sebagai petani-ternak dan
masyarakat yang berpendidikan dari warga Desa Timbang Lawan ini
menggambarkan bahwa masyarakat desa tersebut memiliki potensi yang besar
untuk bisa menerima perubahan ke arah perkembangan yang lebih baik, baik dari
sudut merubah pola pemeliharaan ternak pola ekstensifikasi ke pola intensifikasi.
Perubahan untuk menggunakan teknologi pada pemberian pakan ternak serta
pemanfaatan limbah ternak sapi (feses) sebagai kompos.
Lahan perkebunan yang ada di Desa Timbang Lawan dijadikan warga sebagai
lokasi untuk menggembalakan ternaknya. Sapi dan kerbau merupakan salah satu
ternak yang dipelihara oleh warga setempat. Pemeliharaan ternak oleh warga
dilakukan beberapa cara dalam memenuhi kebutuhan pakannya seperti pada Tabel
2.
Pemelihara liar adalah kegiatan mengembalakan ternak untuk mencari pakan di
dalam kawasan hutan sesuai dengan pendapat Violita (2014). Ternak yang
digembalakan ditinggalkan di lahan perkebunan/hutan oleh pemiliknya sehingga
ternak – ternak bebas berkeliaran area perkebunan yang dapat merusak tanaman.

Tabel 2. Pemeliharaan Ternak Masyarakat


No. Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 Tidak punya 105 63,6
2 Pengembalaan ternak 37 22,4
3 Kandang ternak (semi 23 13,9
Intensif)
Jumlah 165 100
Sumber; Pindi Patana et all., 2021

Tabel 2 di atas juga menunjukkan bahwa dari 60 jiwa yang memiliki ternak,
sebesar 37 jiwa (61 %) tidak mengandangkan ternak dalam pola pemeliharaannya,
sedangkan 23 jiwa (39 %) memelihara dengan pola semi intensif dalam artian
ternak dikandangkan pada malam hari tetapi digembalakan pada siang hari.
Pola semi intensif maupun pengembalaan menunjukkan rentannya ternak
dimangsa oleh predator (harimau), karena pengembalaan ternak berada di
Kawasan Hutan Lindung.

Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan meliputi 2 (dua) tema yakni : 1. Pembuatan Pakan Ternak
Fermentasi, 2. Pembuatan kompos dari kotoran (feses) sapi. Adapun produk
penyuluhannya adalah berupa transfer pengetahuan mengenai tema di atas serta
praktek pembuatan produk tersebut.

648
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pembuatan Pakan Ternak Fermentasi


Pembuatan pakan yang berkualitas (kandungan nutrient yang seimbang)
diterapakan pada tingkat petani peternak di Desa Timbang Lawan melalui
pemberian pakan fermentasi (Complete Feed). Teknik pemberian pakan
berkualitas (kandungan nutrien yang seimbang) dapat diterapkan pada tingkat
petani peternak antara lain melalui pemberian pakan fermentasi (completefeed).
Peternakan rakyat banyak mengandalkan sumber hijauan yang berasal dari lahan
(hijauan) lapangan. Kualitas nutrisi hijauan alam sangat bervariasi dan
berfluktuasi tergantung kepada musim dan umumnya mempunyai kualitas nutrisi
yang lebih rendah dibandingkan hijauan yang berasal dari sub tropis (Riwu Kaho,
1993; Poppi et al. 1997). Pemberian pakan fermentasi untuk peternakan skala
rakyat sangat tepat diterapkan mengingat teknologinya tidak terlalu rumit dan
sesuai dengan tipikal pemeliharaan sapi potong rakyat yang memainkan
keseluruhan struktur dalam industri peternakan sapi potong yaitu bertindak
sebagai pembibit (breeder), penghasil bakalan (multiplier), maupun melakukan
penggemukan (feedloter).
Pakan fermentasi dapat dibuat dengan mengunakan inokulum yang berasal dari
produk komersil seperti Starbio atau EM4 atau dibuat sendiri MOL (Syamsuddin
dkk, 2004). Dengan teknologi fermentasi kita dapat memanfaatkan hasil samping
pertanian, perkebunan dan industri yang cukup berlimpah dan mudah didapat
dilingkungan sekitarnya.Di samping itu, pemanfaatan hijauan yang melimpah
pada saat musim penghujan bisa difermentasi sebagai persediaan pakan saat
musim kemarau.Pemberian pakan fermentasi kepada ternak memberi manfaat
antara lain:
• Meningkatkan nafsu makan sehingga penggemukan semakin cepat
• Memperbaiki proses pencernakan
• Meningkatkan produksi susu
• Ternak lebih kebal terhadap penyakit
• Mengurangi bau kotoran dan air kencing

Gambar 2. Demonstrasi dan Praktik Pembuatan Pakan Ternak

Pemanfaatan Kotoran Ternak sebagai Kompos


Kegiatan lain yang dilakukan yang sinergis dengan ternak adalah pemanfaatan
limbah ternak menjadi kompos/ pupuk organik. Dapat kita ketahui manfaat dari

649
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kompos/pupuk organic ini sangat banyak dan memiliki kandungan unsur hara
yang lengkap baik har amikro maupun makro. Kandungan dari kompos/pupuk
organic tersebut dapat memperbaiki struktur maupun sifat fisik tanah sehingga
dapat mengikat air (Lubis, 2020). Dari kegiatan pembuatan kompos/pupuk
organik ini diharapakan warna yang ada di desa ini dapat membangun kesadaran
penanganan limbah kotoran ternak menjadi pupuk berkualitas untuk guna
kemandirian usaha dan dapat menjalankan dan melakukan kegiatan ini jadi lebih
berdaya guna dan menjadikan sumber pendapatan baru bagi warga Desa Timbang
Lawan.

Ganbar 3. Demonstrasi Pembuatan Kompos dari Feses Sapi

Hasil dari pre-test dan post-test menunjukkan adanya peningkatan baik


pengetahuan dan kemampuan peserta dalam hal pengolahan pakan ternak
fermentasi dan pembuatan kompos dari feses sapi.
Dengan adanya kegiatan ini diharapkan terjadinya kemandirian mitra dalam hal
penyediaan pakan fermentasi berbasis limbah perkebunan kelapa sawit untuk
ternaknya dan dalam jangka panjang menjadi produsen Complete Feed yang dapat
digunakan oleh peternak lainnya yang ada di sekitar lingkungan mitra. Hasil
tersebut akan dicapai dengan baik apabila proses alih teknologi sederhana ini
dapat diadopsi oleh mitra.

Kesimpulan
Kegiatan pengabdian Desa Binaan USU di Desa Timbang Lawan telah
membukakan jalan agar warga daerah mengetahui perlunya membangun pola
penghidupan yang berdampingan dengan upaya komplik manusia dengan harimau
yang meresahkan warga sebelumnya, kini telah membukakan jalan untuk
mengembangkan program – program pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi
lintas sector dan ramah lingkungan. Program pemberdayaan warna desa ini
diharapkan sangat mendukung kemandirian desa dalam mitigasi konflik satwa liar
dan membangun kesadaran warga terhadap penanganan pakan ternak dan limbah
kotoran ternak.

Ucapan terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Konservasi
Sumberdaya Alam Sumatera Utara, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung
Leuser, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Kepala Kesatuan
Pengelolaan Hutan I Stabat, Kepala Desa Timbang Lawan, Camat Bahorok, yang
telah memfasilitasi pelaksanaan kegiatan ini. Apresiasi yang tinggi bagi
masyarakat Kelompok Masyarakat Pulau Pisang Peduli Konservasi Harimau
(BITCO) yang terlibat langsung dan sangat antusias dalam kegiatan ini. Ucapan
terimakasih secara khusus kami sampaikan Kepada Ketua LPPM USU yang telah

650
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

mendanai kegiatan pengabdian ini melalui Skim Desa Binaan berdasarkan Surat
Perjanjian Penugasan No: 199/UN5.2.3.2.1/LPPM/2021 sehingga kegiatan ini
dapat terlaksana dengan lancar.

Daftar Pustaka
Lubis, SPA (2020). 10 Keunggulan Pupuk Organik Dibandingkan Pupuk
Anorganik. Pusluhtan Kementan. http://cybex.pertanian.go.id/detail-pdf.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan.2011. Profile Kesehatan
Indonesia. Pusat Data dan Informasi – kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (kemenkes.go.id).
Pindi, P. Yulia, S.M. Apri, H.I. Adrian, H. Agus, P. Mariah, U. Alfan, G, H,
Ma’rifatin, Z. Oding, A. Nurdin, S. Edhy, M, Achmad, S.T. Moehar, M, H.
Tati, V,S. Achmad, S,P. Ahmad, B,R. Erni, J. Yunus, A. 2021. Upaya
Membangun Harmoni Penghidupan Manusia dan Konversi Harimau Sumatera
Utara Melalui Program Desa Binaan USU. Timbang Lawan, Langkat.
Sumatera Utara.
Riwu Kaho LM, 1993. Studi Tentang Rotasi Merumput pada Biom Sabana Binel
TTS. Thesis Pascasarjana (S2) IPB, Bogor.
Syamsuddin, N.J.A. Syamsu, E.F. Puspita, Nurhawni. (2004). Kualitas Fermentasi
Silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Penambahan Inokulan
Bakteri Asam Laktat dan Molases Bull. Nutrisi dan Makanan Ternak.5(1), 67-
75.
Violita, C. Y. Dewi BS, dan Harianto, S.P. (2014). Peran Perhutani terhadap
Masyarakat Petani Hutan pada Pengembangan Liar (Studi Kasus RPH Kepoh
Jawa Tengah Indonesia).

651
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

APLIKASI TEKNOLOGI, GMP DAN SSOP DALAM DOSEN BERKARYA


GUNA MENCIPTAKAN WIRAUSAHA TANGGUH MENGHADAPI
MASA PANDEMIDI KABUPATEN SUMENEP

Abdul Manab1,*, Manik Eirry Sawitri1, Ria Dewi Andriani1, Premy Puspita
Rahayu1, Rositawati Indrati1, Suprih Bambang Siswijono1, Tama Mayna
Kusuma Ningrum2
1
Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2
Mahasiswa Program Magister Ilmu Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya
*
Email korespondensi: manabfpt@ub.ac.id

Abstrak

Tujuan Program Dosen Berkarya 2021 adalah memperluas kerjasama dengan


menerapkan ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi di kampus sebagai
bagian dari transfer knowledge kepada mitra yang membutuhkan uluran tangan
dan menciptakan wirausaha yang tangguh dengan memberdayakan potensi local
daerah menjadi produk unggulan sehingga mitra dapat berdaya dalam menghadapi
masa pandemi. Lokasi Program Dosen Berkarya 2021 di SMKN-1 Kalimook,
Kalianget, Kabupaten Sumenep yakni terhadap siswa-siswa SMKN-1 dengan
materi penerapan ilmu pengetahuan dan peningkatan ketrampilan tentang
restructured meat dan fermented milk product yang diperkaya dengan serat
pangan (fiber) dan antioksidan. Metode Program Dosen Berkarya 2021 dilakukan
secara hybrid, yakni dengan penyampaian materi secara daring melalui zoom dan
praktek secara berkelompok melalui luring. Produk restructured meat dan
fermented milk product hasil praktek dan peningkatan ketrampilan dilakukan uji
terhadap nilai pH dan pengujian organoleptik sehingga diharapkan produk
nantinya dapat disukai oleh konsumen. Disimpulkan bahwa kegiatan Program
Dosen Berkarya 2021 di Kabupaten Sumenep dapat meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan siswa SMKN-1 Kalianget, Kabupaten Sumenep sehingga mampu
secara mandiri memproduksi produk olahan ternak dengan memanfaatkan potensi
lokal di daerah yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai modal dasar ber
wirausaha tangguh untuk menghidupkan perekonomian dalam menghadapi masa
pandemic serta tercipta jalinan kerjasama dosen dan mitra di luar kampus dalam
mengembangkan hasil penelitian. Berdasarkan uji organoleptik produk
restructured meat telah memenuhi SNI yang berlaku untuk produk sosis, nugget
dan bakso dan produk fermented milk yoghurt bunga telang paling disukai.

Kata Kunci: GMP, SSOP, serat pangan, antioksidan, wirausaha tangguh

Pendahuluan
Kinerja dosen dalam Tri Darma Perguruan Tinggi selama ini lebih banyak sebagai
agen pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
penulisan karya ilmiah baik di tingkat nasional maupun international, sedangkan
sarana dan apresiasi dalam pengabdian kepada masyarakat dirasakan masih sangat
kurang serta memerlukan penerapan iptek yang komprehensip. Pengembangan

652
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

kompetensi professional dosen dalam pengabdian kepada masyarakat memerlukan


jalinan kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam menjalankan tugas dosen
untuk pengabdian kepada masyarakat.
Tugas pengabdian kepada masyarakat bagi dosen adalah untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi oleh mitra, umumnya permasalahan yang sangat
kompleks terutama yang berkecimpung di produk olahan pangan hasil ternak,oleh
karena itu dibutuhkan keilmuan dan keahlian dari berbagai disiplin ilmu yang
menyatu untuk menyelesaikan permasalahan kompleks yang dihadapi mitra mulai
dari permasalahan kualitas bahan baku, teknologi pengolahan, teknologi
pengemasan dan aspek keamanan pangan terutama dalam masa pandemi.
Melalui Program Dosen Berkarya Universitas Brawijaya tahun 2021 ini dapat
digunakan untuk mengkaji kualitas dan kinerja dosen yang berkegiatan di luar
kampus, dengan mitra kerjasama untuk menentukan mutu, produktivitas dan
kinerja dosen baik sebagai praktisi ataupun tenaga ahli/konsultan independent di
mitra kerjasama.
Permasalahan yang terjadi di SMKN-1 Kalimook, Kalianget, Kabupaten Sumenep
adalah peralatan produksi yang merupakan bantuan bagi SMKN Centre of
Excellent (COE) belum dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan
pengetahuan dan penerapan hasil penelitian yang sebetulnya telah dilakukan oleh
dosen di Perguruan Tinggi, serta keterbatasan sumberdaya manusia untuk
mentransfer ilmu kepada peserta didik disertai dengan kendala terjadinya pandemi
pada awal tahun 2020 hingga sekarang.
Program Dosen Berkarya Universitas Brawijaya tahun 2021 melalui Fakultas
Peternakan, minat studi Teknologi Hasil Ternak, wadah dilakukannya penelitian
yang terkait dengan pangan sebagai gayung bersambut untuk turun tangan
membantu SMKN-1 Kalimook, Kalianget dalam mengatasi permasalahan yang
ada, guna menciptakan modal dasar berwirausaha mandiri tangguh bagi lulusan
SMKN-1 Kalimook, Kalianget. Terjadi pula keselarasan dengan program
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep yang sedang giat membudidayakan
potensi lokal daerah yakni kelor (Moringa oleifera), buah naga merah
(Hylocereus pholyrezus) dan pisang (Musa paradisiaca) yang dapat
difortifikasikan ke dalam pangan olahan.
Dirasakan perlu untuk dilakukan Program Dosen Berkarya tahun 2021 di SMKN1
Kalimook, Kalianget tentang Aplikasi Teknologi dan GMP serta SSOP Berbasis
Potensi Lokal dalam Menciptakan Lulusan menjadi Wirausaha yang Tangguh
Guna Mendukung Ketahanan Pangan, di SMKN1 Kalianget, Kabupaten
Sumenep.

Metode
Metode observasi lapang/survey pendahuluan dilakukan untuk memetakan lokasi
dan mengkaji peralatan serta ruang kelas dan ruang laboratorium yang dapat
digunakan untuk menstransfer pengetahuan dan ketrampilan kepada siswa SMKN
1 Kalianget secara virtual melalui zoom disebabkan masih dalam masa pandemi.
Wawancara dan diskusi dengan Kepala Sekolah dan jajarannya dilakukan dengan
metode Focus Group Discussion tentang pengetahuan dan ketrampilan yang akan
di transferkan kepada siswa SMKN-1 Kalimook, Kalianget sehingga terjadi
keselarasan antara kebutuhan, ketersediaan peralatan dan bahan serta luaran yang
diharapkan oleh kedua belah pihak.

653
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan metode Hybrid dimana sebagian tim


Dosen Berkarya 2021 melakukan presentasi secara online/daring melalui zoom
dan sebagian tim melakukannya secara luring tentang pengetahuan dan teknologi
restructured meat product danfermented milk product begitu pula diskusi dan
tanya jawab dilakukan secara hybrid. Bahan baku berupa susu pasteurisasi Ultra
High Temperature (UHT), susu skim bubuk kelor (Moringa oleifera), buah naga
merah (Hylocereus polyrhezus), ekstrak bunga telang (Clitoria ternatea) , bubuk
inulin, starter yoghurt dan kefirgrain/kefirgranule.Praktek pengolahan
restructured meat product dan fermented milk product serta pengujian
kualitasdilakukan secara luring. Pengujian kualitas dilakukan terhadap uji
organoleptik ditinjau dari rasa, warna, aroma dan tekstur oleh 10 orang panelis
berdasarkan skor berikut :

Tabel 1. Skor Uji Organoleptik Restructured Meat Product


Skor Warna Aroma Rasa Tekstur
1 Sangat abu- Sangat tidak Sangat tidak Sangat keras
abu beraroma daging terasa daging
2 Agak abu-abu Sedikit beraroma Sedikit terasa Keras
daging daging
3 Putih keabuan Agak beraroma Agak terasa Agak kenyal
daging daging
4 Agak putih Beraroma daging Khas daging Kenyal
5 Sangat putih Sangat beraroma Sangat khas Sangat kenyal
daging daging

Tabel 2. Skor Uji Organoleptik Fermented Milk Product


Skor Warna Aroma Rasa Tekstur
1 Sangat pudar Sangat tidak asam Sangat tidak asam Sangat cair
2 Pudar Tidak asam Tidak asam Cair
3 Agak pekat Agak asam Agak asam Agak kental
4 Pekat Asam Asam Kental
5 Sangat pekat Sangat asam (busuk) Sangat asam Sangat kental

Lokasi penelitian
Lokasi pegabdian di SMKN 1 Kalianget, Sumenep, Madura dan Malang, Jawa
Timur.

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan diskusi dan wawancara dengan Kepala Sekolah dan jajarannya
dengan metode Focus Group Discussion dihasilkan Skala Prioritas Permasalahan
Mitra dan Solusinya seperti pada Tabel 3.

654
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Tabel 3. Skala Prioritas Permasalahan Mitra dan Solusinya


Permasalahan Mitra Solusinya
Belum pernah dilakukan transfer ilmu Dilakukan transfer ilmu dan teknologi
bidang fermentasi terutama yoghurt fermetasi yakni fermented milk
product(yoghurt)
Belum pernah dilakukan transfer ilmu
tentang yoghurt sinbiotik sebagai Dilakukan transfer ilmu dan teknologi
pangan fungsional dengan fortifikasi pangan fungsional yakni yoghurt
serat pangan (fiber) dan sumber sinbiotik dengan fiber (kelor), buah
antioksidan dari pangan potensi lokal naga merah, telang dan inulin.
Belum pernah dilakukan transfer ilmu Pemanfaatan produk lokal misal tepung
dan teknologi restructured meat dengan biji jalar dalam produk olahan
fortifikasi serat pangan (fiber) potensi restructured meat:bakso sosis dan
lokal nugget
Belum pernah dilakukan transfer ilmu Dilakukan transfer ilmu GMP dan
tentang GMP dan SSOP SSOP
Belum pernah dilakukan transfer ilmu Dilakukan transfer ilmu pengemasan
tentang pengemasan, labelling dan dan labelling, keamanan pangan
keamanan pangan

Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan metode Hybrid dimana sebagian tim


Dosen Berkarya 2021 melakukan presentasi secara online/daring melalui zoom
dan video dan sebagian tim melakukannya secara luring tentang pengetahuan dan
teknologi restructured meat product dan fermented milk product begitu pula
diskusi dan tanya jawab dilakukan secara hybrid.
Pelaksanaan kegiatan Program Dosen Berkarya 2021 yakni presentasi dan praktek
ilmu dan teknologi pengolahan meliputi :
• ilmu dan teknologi restructured meat product(bakso, sosis, nuggets).
• ilmu dan teknologi fermented milk product(yoghurt).
• diskusi tentang GMP, SSOP, keamanan pangan, pengemasan dan labelling.
• praktek secara berkelompok restructured meat dan fermented milk product
• Dilakukan pengujian organoleptik restructured meat product dan fermented
milk product (warna, aroma, rasa dan tekstur)
Penyampaian materi baik daring dan luring serta praktek secara berkelompok
dilakukan seperti pada dokumentasi pada Gambar 1.

655
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Gambar 1. Kegiatan daring dan luring dosen Berkarya 2021 serta praktek secara
berkelompok.

Tabel 4. Uji Organoleptik terhadap restructured meat product (sosis, nuggets dan
bakso)
Variabel Sosis Nugget Bakso
Warna 1,1 1,1 4,5
Aroma 4,5 4,5 3,2
Rasa 4,0 4,2 4,1
Tekstur 4,7 4,7 4,7

Warna merupakan faktor pertama penentu mutu restructured meat product secara
visual, karena warna adalah karateristik sensoris yang paling mudah terdeteksi
oleh panelis dibandingkan dengan karakteristik sensorik lainnya (Soeparno,
2007). Warna sosis dan nungget keabu-abuan berbeda dengan warna bakso yang
putih. Hal ini dipengaruhi oleh bahan baku daging yang digunakan yakni berupa

656
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

daging ayam. Bakso ayam berwarna putih karena terbuat dari ayam broiler yang
termasuk daging putih (Montolalu,dkk., 2013).
Rasa merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kesukaan panelis
terhadap produk. Rasa adalah faktor penting terhadap penerimaan bakso,
meskipun parameter lain nilainya baik, jika rasa bakso tidak enak atau tidak
disukai maka bakso akan ditolak (Harmayani, dkk., 2021).Restructured meat
productpada penelitian ini memiliki rasa daging yang dominan, didukung dengan
penggunaan bumbu, membuat produk semakin disukai. Penggunaan bumbu pada
adonan nugget, dapat meningkatkan citarasa nugget. Bumbu ikut berperan penting
dalam pembentukan rasa nugget ayam (Wulandari, dkk., 2016)
Hasil uji organoleptik pada restructured meat product umumnya disukai oleh
panelis. Restructured meat product pada penelitian ini memiliki aroma daging
dengan kekenyalan yang tinggi. Proses pemasakan berperan penting dalam
pembuatan nugget, dikarenakan pada saat pemasakan lemak pada nugget akan
menghasilkan komponen volatil yang menimbulkan munculnya aroma pada
nugget (Putri, 2018). Tekstur sosis dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan
salah satunya tepung terigu. Unsur karbohidrat pada proses pembuatan sosis
berfungsi meningkatkan tekstur dan menstabilkan daya ikat air yang berpengaruh
pada tekstur sosis (Hakim, et al., 2013).Warna dan tekstur bakso yang dihasilkan
telah sesuai SNI, dimana syarat mutu warna bakso daging kombinasi yaitu
normal, rasa dan aroma dominan daging, serta bertekstur kenyal (BSN, 2014).

Tabel 5.Uji Organoleptik terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur yoghurt
sinbiotik yang diperkaya dengan serat pangan (fiber) dan antioksidan
Variabel Plain Inulin Telang Kelor
Warna 1,1 1,1 4,5 2,4
Aroma 4,5 4,5 2,2 3,7
Rasa 4,0 4,2 2,1 2,5
Tekstur 4,7 4,7 4,7 4,7

Hasil uji organoleptik warna yoghurt plain dan inulin sangat pudar seperti warna
susu sebagai bahan bakunya, dengan fortifikasi serat pangan (fiber) dan
antioksidan baik dari telang dan kelor memberikan warna yang sangat pekat dan
menarik minat panelis. Warna biru dari yogurt berasal dari bunga telang karena
pada bunga telang mengandung antosianin (Widiyanti, dkk., 2019). Aroma
yoghurt plain dan inulin sangat asam, sedang yoghurt telang dan kelor agak asam.
Daun kelor mengandung senyawa flavonoid dan fenolik dan minyak atsiri
(essential oils) yang menyebabkan rasa dan aroma yang khas pada daun kelor.
Daun kelor memiliki aroma kuat yang khas dan aroma tersebut tidak berkurang
saat sudah menjadi tepung (Meiyana, dkk., 2018). Yoghurt plain dan inulin
memberikan rasa sangat asam serta tekstur pada semua sampel memberikan hasil
sangat menggumpal. Rasa asam yang timbul pada pembuatan yoghurt diakibatkan
terjadi proses fermentasi dari bakteri asam laktat. Inulin dimanfaatkan sebagai
sumber karbon oleh L. acidophilus untuk pertumbuhannya melalui jalur
metabolisme β-oksidasi sehingga menghasilkan asam laktat, menurunkan pH dan
meningkatkan keasaman (Setiarto, dkk., 2017).Tekstur yogurt terbentuk oleh
agregasi misel kasein oleh asam dan adanya interaksi antara misel kasein sehingga
terbentuk gel yang kuat dan halus (Manab, 2008).

657
Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SEMNAS HPPM)
“Meningkatkan Inovasi Teknologi untuk Membangun Peternakan Kreatif dan Berkelanjutan”
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, 23 November 2021, ISBN: 978-602-1398-28-9

Kesimpulan
Disimpulkan bahwa Program Dosen Berkarya 2021 dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman serta ketrampilan siswa SMKN-1 Kalimook,
Kalianget, Kabupaten Sumenep tentang restructured meat dan fermented milk
product sehingga mampu secara mandiri memproduksi produk olahan ternak
dengan memanfaatkan potensi lokal di daerah yang pada akhirnya dapat
digunakan sebagai modal dasar ber wirausaha tangguh untuk menghidupkan
perekonomian dalam menghadapi masa pandemi.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya melalui
Program Dosen Berkarya Tahun 2021.

Daftar Pustaka
Badan Standarisasi Nasional. 2014. Syarat Nasional Indonesia (SNI)
3818:2014 TentangSyarat Mutu Bakso Daging
Hakim U. N., Djalal R. dan Aris S. W. 2013 Pengaruh Penambahan Tepung Garut
(Maranta arrundinaceae) Terhadap Fisik Organoleptik Nugget kelinci. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Pangan 1(4): 29-38
Harmayani, R. and Fajri, N.A., 2021. Pengaruh Penambahan Jamur Tiram
(PLEUROTUS SP.) Terhadap Nilai Komposisi Kimia Dan Organoleptik Bakso
Ayam Broiler. JURNAL SAINS TEKNOLOGI & LINGKUNGAN, 7(1), pp.78-
90.
Manab, A. 2008. Kajian sifat fisik yogurt selama penyimpanan pada suhu 4ºC.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, 3(1), 52-58.
Meiyana, K.T., Dewi, D.P. and Kadaryati, S., 2018. Kajian sifat fsik dan serat
pangan pada gѐblek substitusi daun kelor (Moringa oleifera L.). Ilmu Gizi
Indonesia, 1(2) : 127-133.
Montolalu, S., Lontaan , N., Sakul, S., dan Mirah, A. D. 2013. Sifat Fisiko-Kimia
dan Mutu Organoleptik Bakso Boiler dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L). Jurnal Zootek, 01-13
Putri, V.D., 2018. Uji kualitas kimia dan organoleptik pada nugget ayam hasil
substitusi ampas tahu. Jurnal Katalisator, 3(2) : 143-152.
Setiarto, R.H.B., Widhyastuti, N., Saskiawan, I. and Safitri, R.M., 2017. Pengaruh
Variasi Konsentrasi Inulin pada Proses Fermentasi oleh L. acidophilus, L.
bulgaricus dan S. thermophillus-(The Inulin Variation Concentration Effect in
Fermentation Using L. acidophilus, L. bulgaricus and S.
thermophilus). Biopropal Industri, 8(1), pp.1-17.
Soeparno. 2007. Pengolahan Hasil Ternak. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Widiyanti, F., Tamaroh, S. and Yulianto, W.A., 2019. Sifat Kimia, Aktivitas
Antoksidan dan Kesukaan Yogurt Bunga Telang (Clitoria ternatea
L.). Berbasis Sumber Daya Lokal, : 102.
Wulandari, E., Suryaningsih, L., Pratama, A., Putra, D. S., dan Runtini, N. 2016.
Karakteristik Fisik , Kimia dan Nilai Kesukaan Nugget Ayam Dengan
Penambahan Pasta Tomat. Jurnal Ilmu Ternak, 16(2), 95–99.

658
i

Anda mungkin juga menyukai