Anda di halaman 1dari 982

ISBN: 978-602-51142-1-2

PROSIDING SEMINAR DAN


LOKAKARYA NASIONAL
FORUM KOMUNIKASI PERGURUAN TINGGI PERTANIAN INDONESIA (FKPTPI)

Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam


Menghasilkan Sumber Daya Manusia
di Era Revolusi Industri 4.0
PROSIDING SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL

FORUM KOMUNIKASI PERGURUAN TINGGI


PERTANIAN INDONESIA (FKPTPI)
Bandung, 23-24 September 2019

”Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam


Menghasilkan Sumber Daya Manusia di Era
Revolusi Industri 4.0”
SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL
FORUM KOMUNIKASI PERGURUAN TINGGI PERTANIAN
INDONESIA (FKPTPI)
Bandung, 23-24 September 2019

Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan Sumberdaya


Manusia di Era Revolusi Industri 4.0

PANITIA PENGARAH (STEERING COMMITTEE)


SEKRETARIS JENDERAL Dr. Ir. H. Sudarjat, M.P.
FORUM KOMUNIKASI Dekan Fakultas Pertanian
PERGURUAN TINGGI Universitas Padjadjaran
PERTANIAN INDONESIA
(FKPTPI) 2017-2019
Prof. Dr. Denny Kurniadie, M.Sc.
Wakil Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran

PANITIA PELAKSANA (ORGANIZING COMMITTEE)


KETUA Dr. rer. pol. Ernah, S.P.,M.Si.
SEKRETARIS Dr. Eliana Wulandari, S.P.,M.M.
Deden Junjunan, S.H
BENDAHARA Endah Djuwendah, S.P., M.Si.
Rikrik Tresna Sumirat, S.Sos., M.Si.
ACARA Oviyanti Mulyani, S.P.,M.Si.
Rani Andriani B. K., S.P., M.Si.
Gema Wibawa Mukti, S.P., M.P.
SEMINAR Sulistyodewi, S.P., M.P.
Syariful Mubarok, S.P., M.Sc., Ph.D.
Mahra Arari Heryanto, S.P., M.T.
PUBLIKASI, DOKUMENTASI, Budi Widarsa, S.Si.,M.Kom.
DAN LOGISTIK Deni Hendra Setiawan, S.Pd.
Iyan Hadiana
KONSUMSI Dr. Sri Hartati, S.P., M.Si.
Dr. Ir. Sri Fatimah, MAB.
Tjutju Juwita, S.E.
KESEKRETARIATAN Erni Maryani, S.E.
Radella Adi Putri
R. A. Sukma Ayu Hanipradja
© Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, 2019
ISBN: 978-602-51142-1-2

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional


Forum Komunikasi Perguiruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI):
Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan Sumber Daya Manusia di Era Revolusi
Industri 4.0

Bandung, 23-24 September 2019

Penyunting : Mahra Arari Heryanto


Sugeng Praptono
Reviewer : Ernah
Mahra Arari Heryanto
Sulistyodewi
Syariful Mubarok
Desain Sampul : Panitia Semiloka
Penata letak : Muhandisain
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselenggaranya kegiatan Seminar dan Lokakarya
Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI) Bandung 2019
sesuai jadwal dan waktu yang direncanakan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan Forum Komunikasi Perguruan Tinggi
Pertanian Indonesia (FKPTPI) sebagai salah satu rangkaian kegiatan Dies Natalies Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran yang ke 60.
FKPTPI merupakan forum komunikasi strategis terkait bidang ilmu-ilmu pertanian antar
perguruan tinggi se Indonesia. Salah satu kontribusi FKPTPI adalah dengan melakukan
pertemuan ilmiah tahunan dalam bentuk seminar dan lokakarya nasional (semiloknas) untuk
menyumbangkan gagasan dan kebijakan yang dapat diimplementasikan dalam pembangunan
pertanian di Indonesia. Semiloknas FKPTPI yang telah dilaksanakan pada tanggal 23-24
September 2019 di Bandung, Jawa Barat. Makalah yang disampaikan dalam kegiatan tersebut
mengangkat tema ”Peran Perguruan Tinggi Pertanian Dalam Menghasilkan Sumber Daya
Manusia Di Era Revolusi Industri 4.0” dan dirangkum dalam prosiding FKPTPI. Prosiding ini
merangkum berbagai makalah dari anggota dan peserta yang masuk ke dalam subtema: SDM,
pemberdayaan, sosiologi dan komunikasi pertanian; Sumberdaya lahan, alam dan lingkungan,
serta perubahan iklim; Budidaya tanaman, kehutanan, ketahanan pangan, keamanan pangan,
serta hama dan penyakit tanaman; Teknologi pangan dan pertanian berkelanjutan, peternakan,
dan start-up bisnis pertanian digital; dan Ekonomi, kelembagaan dan pembangunan pertanian.
Makalah yang dipaparkan dalam prosiding ini kaya dengan ide yang dianalisis dengan
beragam pendekatan dan metodologi sehingga diharapkan dapat memperkaya pemahaman
terkait pertanian Indonesia. Ucapan terima kasih disampaikan pada berbagai pihak yang telah
mendukung dan membantu dalam persiapan hingga penyelesaian prosiding Seminar dan
Lokakarya Nasional FKPTPI ini. Akhir kata, semoga prosiding ini dapat memberikan kontribusi
yang sangat berarti dalam pengembangan ilmu-ilmu pertanian di Indonesia. Salam FKPTPI.
#SATU HATI SATU FKPTPI

Jatinangor, 25 Desember 2019


Ketua Panitia Semiloknas FKPTPI Bandung 2019

Dr.rer.pol. Ernah, S.P., M.Si.

i
ii
Daftar Isi

I. Produksi Tanaman Pangan 1

Analisis Pertumbuhan Kedelai Akibat Pemberian Mulsa Kirinyuh dan Terang Bulan
▪ Hasanuddin, Gina Erida, Siti Hafsah, Jumini, dan Abdul Hakim Asma’i ................................... 3

Pengelolaan Air pada Budidaya Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Pasang Surut di Desa
Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir
▪ Idwar, Ardian, dan Adi Wibowo ................................................................................................. 8

Potensi Limbah Perkebunan dengan Penambahan Pupuk Anorganik untuk Peningkatan


Produksi Jagung di Lahan Lebak
▪ Iin Siti Aminah, Rosmiah, dan Yopie Moelyohadi ..................................................................... 20

Kemampuan Adaptasi Beberapa Jenis Ubi Banggai (Dioscorea Spp.) di Lahan Kering
Lembah Palu untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Sulawesi Tengah
▪ Muhardi, Ramadhanil, dan Muhd. Nur Sangadji ......................................................................... 27

Aplikasi Abu Sekam Padi yang dikombinasikan dengan Pupuk Hayati terhadap
Pertumbuhan tanaman Padi dan pH Tanah
▪ Sri Andayani, Edy Syafril Hayat, dan Rita Hayati ...................................................................... 34

Aplikasi Pupuk Pelengkap Cair pada Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L.) untuk
Pertumbuhan dan Komponen Hasil
▪ Elza Zuhry, Aslim Rasyad, dan Leona Listiarini Hutajulu .......................................................... 41

Pengaruh Cangkang Kerang terhadap Pertumbuhan Tinggi Tanaman Kedelai Hitam


(Glicine max (L) Merr)
▪ Mariani dan Sugiarta ................................................................................................................... 51

Pengaruh Paclobutrazol dan Kotoran Ayam terhadap Tinggi Batang Padi Hitam (Oryza
sativa L.) di Kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan
▪ Romaya Sitha Silitonga dan, Jumaria Nasution ................................................................................... 55

Optimasi Pola Tanam pada Usahatani Sawah Tadah Hujan berbasis Risiko Perubahan
Iklim di Kabupaten Takalar
▪ Sri Mardiyati, Mohammad Natsir, dan Nailah ............................................................................ 61

Aplikasi POC Daun Gamal untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Padi
Sawah Metode Salibu Berbasis Organik
▪ Jeanne M. Paulus, Jemmy Najoan, Paula C.H. Supit, dan Diana S. Tiwow .............................. 69

Komponen Hasil dan Hasil Tiga Ekotipe Kacang Tanah Lokal (Arachis hypogaea L.)
Berpotensi Unggul yang Diaplikasikan Pupuk Kompos Plus Pada Lahan Sub Optimal
▪ Nini Mila Rahni, Gusnawaty HS, Teguh Wijayanto, Suyati Yahya, Rahma Ekha Irawati, Gusti
Ayu Kadek Sutariati, Tresjia C. Rakian, La Ode Afa, Zulfikar, Arsy Aysyah Anas, Eka
Febrianti, dan Awaluddin Hamzah .............................................................................................. 76

iii
Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Paklobutrazol untuk
Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Ubi Jalar Lokal
▪ Nini Rahmawati, Jonatan Ginting, dan Muhammad Ridho Adha ............................................... 84

Respon Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis (Zea mays Saccharata) terhadap
Pemberian Lumpur Sawit dan Dolomit pada Ultisol
▪ Ricci H. Silitonga, Herry Gusmara, Bilman W. Simanihuruk ..................................................... 91

Kebutuhan Air Semai Nyamplung (Calophyllum inophylum) pada Media Tanam


Berbasis Limbah Serat Buah Kelapa Sawit
▪ Enggar Apriyanto, Edi Suharto, dan Mahmud Abadi .................................................................. 104

Pola Serapan Ion Fe2+ pada Fase Vegetatif dan Generatif pada Beberapa Padi Hibrida
di Lahan Sawah Ultisol
▪ M. Zulman Harja Utama, Sunadi, Widodo Haryoko ................................................................. 117

Eksplorasi dan Iventarisasi Padi Lokal pada Agroekosistem Lahan Dataran Tinggi
Propinsi Jambi
▪ Aryunis dan Fitry Tafzi ............................................................................................................... 124

Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula dan Biochar Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merril) pada Tanah Ultisol
▪ Al Ichsan Amri ............................................................................................................................ 130

II. Produksi Tanaman Hortikultura 143

Pertumbuhan dan Daya Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dengan
Aplikasi Pupuk Guano dan NPK pada Tanah Inceptisol
▪ Armaini dan M. Fahim Amin ...................................................................................................... 145

Peningkatan Produksi Stroberi dengan Aplikasi Beberapa Formula Pupuk Organik Cair
▪ Dian Indratmi, Ali Ikhwan, dan Kiky Destriawan ....................................................................... 152

Kajian Struktur Morfologi dan Kandungan Klorofil Pakoba (Syzygium sp) di Kawasan
Fakultas Pertanian Unsrat Manado
▪ Euis F. S. Pangemanan, Johny S. Tasirin, Maria Y. M. A. Sumakud ......................................... 159

Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Dua Varietas
Melon (Cucumis melo L.)
▪ Muhammad Ansar, Bahrudin, Kristoporous Tiou ....................................................................... 165

Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Okra (Abelmoschus esculentus L.)
▪ Erlida Ariani, Husna Yetti, dan Yusni Daniati ............................................................................ 178

Aplikasi Limbah Ampas Sagu yang Dikomposkan dengan Beberapa Aktivator untuk
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Terung (Solanum melongena L.)
▪ Sri Yoseva, Idwar, dan Elisa Apriliani ........................................................................................ 188

iv
Pertumbuhan Tanaman Sawi Pagoda (Brassica narinosa) pada Sistem Hidroponik NFT
(Nutrient Film Tecnique) dengan Rasio Nitrat : Amonium Berbeda
▪ Agung Gumelar, Cecep Hidayat, dan Budy Frasetya TQ ........................................................... 202

Pemanfaatan Kompos Pupuk Hijau Tanaman Pakis Lahan Gambut terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Sawi (Brassica juncea)
▪ Gt. Khairun Ni’mah dan Arif Hidayatullah ................................................................................. 208

Pengaruh Dosis Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Pakcoy (Brassica chinensis L) di Polybag
▪ Rosdiana dan Eghaf Aprilianno ................................................................................................... 214

Pengaruh Nutrisi dan Media Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada
(Lactuca sativa L) Varietas New Grand Rapid dengan Sistem Hidroponik Fertigasi
▪ Darso Sugiono, Wagiono, dan Deputri Amira ............................................................................. 224

Perbaikan Sifat Fisik Tanah dan Hasil Tanaman Bawang Merah Varietas Batu Ijo yang
diberi Bokhasi Paitan serta FMA Pada Tanah Galian C
▪ Hasna Marhama, Cecep Hidayat, dan Yati Setiati ...................................................................... 232

Daya Tumbuh Benih Bawang Merah TSS (True Shallot Seed) var. Trisula
▪ Pangesti Nugrahani, Ida R. Moeljani, Makhziah, dan Anggardha G. Viansyah ......................... 241

Perbandingan Produktivitas TBS Kelapa Sawit Subsitusi Pupuk Kimia dan Organik
▪ Salmiyati, Syofia Asridawati, dan Andi Dahliati ........................................................................ 246

III. Produksi Tanaman Perkebunan 255

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) terhadap Pemberian
Dolomit dan Trichokompos pada Media Tanah Bekas Tambang Batu Bara
▪ Sarman, Fitriani P. Tondang, dan Zulfahri Ghani ...................................................................... 257

Uji Beberapa Varietas Kelapa Sawit pada Beberapa Volume Pemberian Air di
Pembibitan Utama
▪ Fetmi Silvina dan Andriansyah ................................................................................................... 263

Respon Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glicyne max L.Merril) Terhadap Pemberian


Kompos Kulit Buah Kakao Pada Tanah Ultisol
▪ Cicilia Tri Kusumastuti dan Muh Kusberyunadi .......................................................................... 272

IV. Teknologi Benih 279

Potensi Produksi dan Ekonomi yang Diperoleh Melalui Penerapan Benih Padi Varietas
Unggul Bermutu di Jawa Barat
▪ Dian Firdaus dan Ronnie S. Natawidjaja ..................................................................................... 281

Respons Pertumbuhan Bibit Tebu (Saccharum officinarum L.) Asal Kultur Jaringan
terhadap Beberapa Komposisi Media Tanam pada Aklimatisasi Tahap Pisah II
▪ Mahoni Alfius Silitonga, Mochammad Arief Soleh, dan Mira Ariyanti ..................................... 291

v
V. Proteksi Tanaman 317

Aplikasi Herbisida Pra-Tumbuh untuk Mengendalikan Gulma Pada Tanaman Jagung


▪ Baidhawi ...................................................................................................................................... 319

Peran Kelembagaan Petani dalam Penggunaan Pestisida pada Usahatani Padi Sawah
untuk Mendukung Keamanan Pangan
▪ Hartina Batoa, Muhammad Aswar Limi, Awaluddin Hamzah, Rosmawaty, dan Putu
Arimbawa .................................................................................................................................... 324

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit-penyakit Utama dengan Pertumbuhan dan


Produksi Tanaman Jeruk Kalamansi (Citrus microcarpa) di Kabupaten Bengkulu
Tengah, Provinsi Bengkulu
▪ Tunjung Pamekas, Entang Inoriah, dan Andrian Junisa .............................................................. 330

V. Teknologi Pangan 341

Teknologi Pasca Panen Talas Bogor (Colocasia esculenta) untuk Penguatan


Agroindustri Berbahan Baku Sumber Daya Lokal
▪ Asmanur Jannah, Febi Nurmala, Andi Masnang, dan Refitria Febrian Ramdhiana ....................... 343

Penggunaan Berbagai Bagian Buah Nanas (Ananas comosus, (L.) Merr) dengan Tingkat
Penambahan yang Berbeda dalam Pembuatan Keju Cottage
▪ Deivy Andhika Permata, Ramona Pintadiati, dan Rini ............................................................... 351

Pengaruh Lama Pengasapan terhadap Karakteristik Fisik, Kimia serta Kandungan


Senyawa Benzo (a)pyrene Ikan Lele (Clarias batrachus) Asap
▪ Sahadi Didi Ismanto, Aisman, dan Rezki Akbar ......................................................................... 364

Karakteristik Kimia dan Sensori Permen Jelly Temu Mangga (Curcuma mangga Val.)
pada Berbagai Proporsi Penambahan Sari Buah Mangga Kuweni (Mangifera odorata
Griff)
▪ Fibra Nurainy, Tanto Pratondo Utomo, Susilawati, dan Laras Meindari .................................... 378

Studi Pelapisan Emulsi Minyak Sereh (Oleum citronellae) terhadap Mutu Buah Stroberi
(Fragaria chiloensis L.) Selama Penyimpanan
▪ Ifmalinda, Renny Eka Putri, Yulvi Resti ..................................................................................... 391

Pengaruh Konsentrasi Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B)


terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Sensori Fruit Leather Campuran Nenas Madu (Ananas
comosus L) dan Pepaya (Carica papaya L)
▪ Susilawati, Zulferiyenni, Suharyono AS, dan Shinta Selesteyani ............................................... 400

Implementasi Teknologi Pengolahan Pangan Komoditas Unggulan Jambu Biji di


Kabupaten Ngawi Jawa Timur
▪ Cahya Edi W. A, Diki Nanang S., dan Hendarwin M Astro ....................................................... 410

vi
VI. Teknologi Pertanian 421

Rekayasa Mesin Pembersih Ubi Cilembu


▪ Wahyu K Sugandi, Asep Yusuf, dan Asri Widyasanti ................................................................ 423

VII. Sosial Ekonomi Pertanian 433

Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah dan Preferensi Risiko Produksi Petani
di Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjung Jabung Barat
▪ Adlaida Malik, Saidin Nainggolan, dan Enda Pralitna SRN ....................................................... 435

Potensi Pengembangan Produk Sarang Walet Melalui Perluasan Areal dan Perbaikan
Manajemen di Kecamatan Antang Kalang Kabupaten Kotawaringin Timur
▪ Ahmad Wahyudianur, Tuti Heiriyani, dan Jumar ....................................................................... 443

Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Ikan Asin Laut di Kalimantan Selatan


▪ Arief Hidayatullah, Gusti Khairun Ni’mah, dan Yarna Hasiani .................................................. 448

Pengaruh Impor Kedelai terhadap Pasar Kedelai di Indonesia


▪ Elly Susanti, Safrida, Irfan Zikri, Sofyan, dan Risti A Putri ....................................................... 456

Efektivitas Penyuluhan Pada Petani Kangkung


▪ Ellyta dan Arni Setya Ningsih ..................................................................................................... 467

Kajian Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pada Lahan Bekas Tambang Emas di
Kecamatan Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin
▪ Emy Kernalis, Zakky Fathoni, dan Vinni Nover Yanti ............................................................... 474

Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Pada Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar
Legowo di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul
▪ Eni Istiyanti, Aris Slamet Widodo, dan Vionita Arum Sari ....................................................... 483

Analisis Peran Perempuan dan Alokasi Waktu Kerja pada Budidaya Rumput Laut
(Euchema cottonii) di Desa Sei Lancang Kecamatan Nunukan Selatan Kabupaten
Nunukan
▪ Etty Wahyuni dan Kisrawiah ....................................................................................................... 494

Deskripsi Wisata Alam dan Pertanian Serta Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga Petani Padi (Studi Kasus di Kampung Lembangsari, Desa Cipeundeuy,
Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta)
▪ Euis Dasipah dan Okta Sabriantie Murni .................................................................................... 500

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Sektor Pertanian dalam Pembangunan


Wilayah di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh
▪ Fadli, Eva Wardah, dan Risky Meyranti ..................................................................................... 511

Penguatan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Komoditas Pangan Lokal Non Beras


dalam Mendukung Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Kepulauan
Mentawai
▪ Faidil Tanjung dan Edi Indrizal ................................................................................................... 520

vii
Tingkat Kesejahteraan Petani Kakao Perkebunan Rakyat
▪ Gyska Indah Harya, Hamidah Hendrarini, Pawana Nur Indah, Sri Widayanti, Wahyu Santoso,
dan Yasinta Enggal Prayoga ........................................................................................................ 539

Skala dan Elastisitas Produksi Padi Lokal


▪ Inda Ilma Ifada, Suslinawati, dan Siti Erlina .............................................................................. 547

Penentuan Status Kawasan Agropolitan Melalui Pendekatan Indeks Pengembangan


Kawasan Agropolitan (IPKA)
▪ Indra Tjahaja Amir, Wahyu Santoso, Eko Nurhadi ...................................................................... 555

Analisis Permintaan dan Penawaran Telur Ayam Ras di Provinsi Aceh


▪ Irfan Zikri, Safrida, Indra, Sofyan, dan Rizqa Siti Hajar .............................................................. 563

Analisis Model Modal Sosial (Social Capital) dalam Pemberdayaan Petani Karet di
Provinsi Riau
▪ Kausar, Ahmad Rifai, Shorea Khaswarina, dan Didi Muwardi ................................................... 574

Pemberdayaan Perempuan Melalui Pengolahan Limbah Kulit Manggis Menjadi Bahan


Pewarna Alami dalam Pembuatan Sabun Cair Cuci Piring
▪ Linar Humaira, Srikandi, dan Anak Agung Eka Suarnata............................................................ 583

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Sebagai Penangkar Benih Padi di


Desa Senaning Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari
▪ Lupita Sari, Arsyad Lubis, dan Emy Kernalis ............................................................................. 590

Preferensi Konsumen terhadap Pemilihan Buah Jeruk Lokal dan Buah Jeruk Impor di
Kota Purwokerto (Studi Kasus Pada Pasar Wage Purwokerto)
▪ Lusiana Yuliantika, Pujiati Utami, dan Pujiharto ........................................................................ 598

Studi Implementasi Kebijakan Perdagangan Karet Indonesia dan Provinsi Jambi


▪ Mirawati Yanita, Ernawati HD, dan Dompak Napitupulu .......................................................... 607

Analisis Kepuasan Petani Padi Sawah Terhadap Kinerja Pelayanan Penyuluh Pertanian
di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar
▪ Mujiburrahmad, Edy Marsudi, T. Fauzi1, Elly Susanti, dan Norawati ....................................... 619

Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Buah Naga Merah Organik (Hylocereus


costaricensis) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
(Suatu kasus pada konsumen kelompok tani simpay tampomas Desa Cibeureum Wetan
Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang)
▪ Nur Rokhmah Ramadhan dan Dety Sukmawati .......................................................................... 635

Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Melalui Kegiatan Perluasan Lahan Sawah


(Kasus Program Pencetakan Sawah Baru di Kabupaten Solok Selatan)
▪ Nuraini Budi Astuti, Rusda Khairati, dan Elfi Rahmi ................................................................. 649

Efisiensi Sistem Pemasaran Karet Rakyat di Provinsi Jambi dengan Melibatkan Petani
Kecil
▪ Adlaida Malik dan Rikky Herdiyansyah ..................................................................................... 657

viii
Rekonstruksi Model Kelembagaan Petani Kakao Berbasis LEM (Lembaga Ekonomi
Masyarakat) di Kabupaten Kolaka Timur Provinsi Sulawesi Tenggara
▪ Rosida P. Adama, Suardi, Syamsuddin, Johanis Panggeso, dan Mario ..................................... 666

Pendapatan dan Pengembangan Cengkeh di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah


▪ Rustam Abdul Rauf, Muh. Fardhal Pratama, M. Alfit A. Laihi, Lien Damayanti, Made Krisna
Laksmayani, dan Shintami R. Malik ............................................................................................ 688

Model, Motivasi dan Kendala Masyarakat dalam Melakukan Pertanian Kota (Urban
Farming) di Kota Surabaya
▪ Setyo Parsudi dan Damaijanto ..................................................................................................... 695

Ketimpangan Pendapatan Petani Karet Di Pulau Sarak Kabupaten Kampar Riau


▪ Shorea Khaswarina ..................................................................................................................... 705

Efektifitas Peran Penyuluh Pertanian Lapangan dalam Pemberdayaan Kelompok Tani


▪ Siti Aisyah dan Achmad Faqih .................................................................................................... 716

Pengaruh Keputusan Petani Terhadap Tingkat Penerapan Good Agricultural Practice -


Standart Operating Procedure Usahatani Padi Organik (Studi Kasus di Desa
Kebonagung Kecamatan Imogiri dan Desa Wijirejo Kecamatan Pandak Kabupaten
Bantul DIY)
▪ Sriyadi .......................................................................................................................................... 726

Analisis Pendapatan dengan Menerapkan Atraktan pada Usahatani Cabai Merah


Keriting (Capsicum annum L.) (Suatu Kasus di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten
Garut)
▪ Sumarno Tedy dan Tuti Karyani ................................................................................................. 734

Analisis Fluktuasi Harga Karet dan Hubungannya dengan Ekonomi Rumah Tangga
Petani Penyadap Karet di Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, Kabupaten
Mandailing Natal
▪ Syahyana Raesi, Yusmarni, dan Adeni Sukma ........................................................................... 743

Disain Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian untuk


Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Kutai Kartanegara
▪ Thamrin dan Ince Raden ............................................................................................................. 759

Potensi Ekonomi dan Sosial Budidaya Gandum Tropika Varietas Guri 5


▪ Tinjung Mary Prihtanti, Djoko Murdono, dan Sarlina Palimbong .............................................. 769

Peran Wirausaha Sebagai Pelopor Pembangunan Ekonomi Perdesaan yang


Berkelanjutan
▪ Tuhpawana P. Sendjaja dan Kusnadi Wikarta ............................................................................. 778

Analisis Kelayakan dan Risiko Usahatani Jambu Kristal (Psidium guajava L.) di Desa
Karangcengis Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga
▪ Venti Lusyani, Pujiharto, dan Sulistyani Budiningsih ................................................................. 788

Kompetensi Kewirausahaan Pengusaha Industri Mikro dan Kecil Berbasis Pangan di


Kota Padang
▪ Zednita Azriani, Rika Hariance, dan Cindy Paloma .................................................................... 794

ix
Kinerja Aparatur Sipil Desa pada Implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) di
Kabupaten Aceh Besar
▪ T. Fauzi, Agussabti, Mujiburrahmad, M. Yuzan Wardhana, dan Ella Arini .............................. 802

Strategi Revitalisasi dan Pengembangan Komoditas Jagung Sebagai Pangan Lokal di


Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)
▪ Sari Anggarawati dan Anak Agung Eka Suwarnata .................................................................... 814

Mewujudkan Keberlanjutan Kelembagaan Rantai Pasok CPO Indonesia Melalui


Analisis Identifikasi dan Eliminasi Faktor Penghambat
▪ Roosganda Elizabeth, Delima Hasri Azahari, Inta PN Damanik, dan Achmad Faqih ................ 824

Pemberdayaan Kelembagaan dan SDM Pertanian Mendukung Keberhasilan


Implementasi Saprodi Tepat – Berimbang
▪ Roosganda Elizabeth ................................................................................................................... 846

Perceptions of Farmer to Organization of Islamic Community for Empowerment


Program in Paseh Subdistrict
▪ Utan Sahiro Ritonga dan Tri Hanifawati ..................................................................................... 865

Peluang dan Tantangan Pertanian Era Industri 4.0 dalam Mewujudkan Kemandirian
Pangan di Indonesia
▪ Asep Suherman ............................................................................................................................ 874

Strategi Pengembangan Usahatani Cabai Rawit di Kota Surabaya


▪ Pawana Nur Indah, Dian Ayu Fitriani, Ramdan Hidayat ............................................................. 886

Tata Kelola Agribisnis di Sub DAS Citarik (DAS Citarum Hulu)


▪ Alamsyah, Tuti Karyani, H. Tuhpahwana P. Sendjaja ................................................................. 899

VIII. Multidisiplin 911

Filosofi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi


▪ Teguh Wijayanto, M. Tufaila, Nini Mila Rahni, Andi Khaeruni, Awaluddin Hamzah, Tresjia
C. Rakian, Zulfikar, La Ode Afa, Aswar Limi, dan Rosmawaty .................................................... 913

Bahan Kimia Sebagai Penginduksi Ketahanan Tanaman


▪ Muhammad Habibullah dan Ayu Lestiyani ................................................................................. 923

Peranan Larva Black Soldier Fly (BSF) dalam Konversi Limbah Organik Pertanian
▪ Yayan Sanjaya. Suhara, Mimin Nurjhani, dan Mimi Halimah ...................................................... 935

Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Jenis Mikrobia untuk Menurunkan


Kandungan Saponin Buah Trembesi (Albizia saman)
▪ Ahimsa Kandi Sariri, Engkus Ainul Yakin .................................................................................... 938

Penggunaan Ampas Kelapa Fermentasi Dalam Ransum Terhadap Performans Ayam


Murung Panggang
▪ Muhammad Syarif Djaya dan Raga Samudera .............................................................................. 945

x
Keseimbangan Harga dan Kuantitas Pasar Susu Segar di Indonesia
▪ Lilis Imamah Ichdayati, Eny Dwiningsih, Risma Kurnia Putri ...................................................... 952

xi
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

I
Produksi Tanaman Pangan

1
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Pertumbuhan Kedelai Akibat Pemberian Mulsa Kirinyuh


dan Terang Bulan
Growth Analysis of Soybean as Affects Application Siam Weed and
Tithonia Mulches
Hasanuddin1, Gina Erida1, Siti Hafsah1, Jumini1, dan Abdul Hakim Asma’i2
1 Dosen Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2 Mahasiswa Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

ABSTRAK

Kata Kunci: Pola pertumbuhan tanaman akibat aplikasi mulsa dapat ditelusuri dengan
Mulsa menggunakan teknik analisis pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk
Kirinyuh mengetahui pengaruh jenis dan dosis mulsa terhadap beberapa karakteristik
Terang Bulan pertumbuhan tanaman. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Analisis Pertumbuhan Kelompok pola Faktorial. Faktor pertama adalah jenis mulsa yaitu: kirinyuh
Kedelai dan terang bulan sedangkan faktor kedua adalah dosis mulsa: 0; 8; 16; dan 24
ton ha-1. Peubah yang diamati adalah: indeks luas daun (ILD), laju tumbuh
tanaman (LTT), dan laju assimilasi bersih (LAB). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jenis mulsa tidak berpengaruh terhadap ILD, LTT, dan
LAB. Dosis mulsa berpengaruh terhadap LTT pada 28-42 HST.
ABSTRACT

Keywords: Crop growth pattern as effect by mulches application can using growth
Mulches analysis approach. The aim of this research was to study the effects of types
Neem and dosages of mulches on some crop growth charactersitics. Randomized
Thitonia completely block design (RCBD) was assigned with two factors, which were
Growth Analysis type of mulches and dosages. The mulches applied were siam weed and
Soybeans thithonia while the dosages were at 0, 8, 16, and 24 tones ha-1. The variables
observed were: leaf area index (LAI), crop growth rate (CGR), and net
assimilation rate (NAR). The results showed that the types of mulches not
significant for all variables. Dosages of mulch significant on CGR at 28-42
DAP.

Email Korespondensi: hasanuddin@unsyiah.ac.id

PENDAHULUAN
Pemulsaan merupakan salah satu teknik pengendalian gulma secara kultur teknis
(Thankamani et al., 2016) yang dapat menghambat pertumbuhan gulma dan memperkecil
kehilangan hasil tanaman (Chandra and Govind, 2001; Sari, 2015). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis mulsa gulma yang diberikan, semakin tinggi efisiensi
pengendalian gulma (Triyono, 2011) serta meningkatkan hasil tanaman (Hasanuddin, 2001).
Selanjutnya dijelaskan oleh Damaiyanti et al. (2013); Thankamani et al. (2016) bahwa mulsa
organik dapat meningkatkan tinggi tanaman, luas daun, jumlah daun, bobot segar buah, dan
diameter buah.
Beberapa mulsa organik yang sering digunakan untuk pengendalian gulma adalah kirinyuh
(Chromolaena odorata) dan terang bulan (Tithonia diversifolia). Hasil penelitian Migawati

3
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

(2018), menunjukkan bahwa pemberian mulsa kirinyuh sebanyak 24 ton ha-1 mampu
memberikan hasil yang lebih tinggi. Selanjutnya, mulsa terang bulan dengan ketebalan 5 cm
dapat menekan pertumbuhan gulma tanpa menghambat pertumbuhan tanaman kedelai (Akbar et
al., 2014; Lestari, 2016).
Pola pertumbuhan tanaman akibat pemberian beberapa jenis dan dosis mulsa dapat
dilakukan dengan pendekatan analisis pertumbuhan, misalnya indeks luas daun, laju tumbuh
tanaman, dan laju asimilasi bersih. Hasil penelitian Resdiar (2016) memperlihatkan bahwa
aplikasi mulsa kirinyuh sebanyak 12 sampai 18 ton ha-1 dapat meningkatkan indeks luas daun
(ILD), laju pertumbuh tanaman (LTT) dan laju asimilasi bersih (LAB) pada tanaman kedelai.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan tanaman kedelai akibat
pemberian beberapa jenis dan dosis mulsa kirinyuh dan terang bulan.

METODE
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari – April 2018 di Desa Rumpet
Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar serta Laboratorium Ilmu Gulma
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Alat-alat yang digunakan adalah :
hand tractor, timbangan analitik (Model KERN Max. 1000 g, d. 0,5 g), Leaf Area Meter (Model
GA-5), timbangan duduk (Y.M.C.CO 10 kg). Bahan yang digunakan adalah : benih kedelai
varietas Dega-1, insektisida karbofuran, insektisida deltametrin, daun kirinyuh, daun terang
bulan, pupuk urea, KCl, serta SP36.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 2 ×
4 diulang sebanyak tiga kali. Faktor pertama adalah jenis mulsa yaitu : mulsa kirinyuh dan mulsa
terang bulan dan faktor kedua yaitu dosis mulsa yaitu : 0, 8, 16, dan 24 ton ha-1.
Beberapa mulsa sebagai perlakuan diberikan pada saat tanam. Peubah yang diamati adalah
indeks luas daun (ILD), laju tumbuh tanaman (LTT) dan laju asimilasi bersih (LAB) yang
diamati pada 14, 28, 42, dan 56 HST. Analisis data menggunakan analisis ragam yang
dilanjutkan dengan uji DNMRT (Duncan New Multiple Range Test) apabila ada nilai
signifikansi antarperlakuan pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Luas Daun (ILD)


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jenis dan dosis mulsa secara
mandiri terhadap indeks luas daun (ILD). Hal ini dikarenakan bentuk daun kedua mulsa tersebut
memiliki permukaan daun yang relatif sama dibandingkan dengan jenis mulsa terang bulan.

Tabel 1. Rata-rata ILD pada 14-28, 28-42 dan 42-56 HST Akibat Aplikasi Jenis dan Dosis Mulsa.
Perlakuan Indeks Luas Daun (ILD)
14-28 HST 28-42 HST 42-56 HST
Jenis Mulsa
Kirinyuh 0,52 1,69 3,08
Terang bulan 0,43 1,60 2,23
Dosis (ton ha-1)
0 0,39 1,30 1,88
8 0,53 1,74 2,39
16 0,50 1,82 2,51
24 0,39 1,72 2,35

Terlihat juga pada Tabel 1 bahwa semakin tinggi dosis mulsa, maka semakin tinggi nilai
ILD walaupun peningkatannya tidak signifikan. Hal ini memperlihatkan bahwa permukaan tanah
telah tertutup sempurna sehingga dapat menghambat pertumbuhan gulma. Ditambahkan oleh

4
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Chandra dan Govind (2001); Zimdahl (2007), bahwa dengan pemberian mulsa dapat
memperkecil persaingan antara gulma dan tanaman. Keadaan ini dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman yang lebih baik dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang
semakin baik akan ditunjukkan dengan meningkatnya luasan aparat fotosintesis yang sekaligus
akan meningkatkan ILD.

Laju Tumbuh Tanaman (LTT)


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jenis mulsa terhadap laju tumbuh
tanaman (LTT). Dosis mulsa berpengaruh terhadap LTT pada umur 28-42 HST. Terlihat bahwa
mulsa nimba yang diaplikasi sebanyak 24 ton ha-1 mampu meningkatkan LTT tanaman kedelai
(Tabel 2). Hal ini berkaitan dengan meningkatnya peubah ILD pada perlakuan tersebut.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara peningkatan ILD dan LTT.
Semakin meningkat nilai ILD maka akan meningkat juga nilai LTT, walaupun pada suatu waktu
tertentu nilai ILD dan LTT akan menurun secara kuadratik. Terlihat bahwa semakin besar aparat
fotosintesis, maka akan besar pula penambahan laju penambahan bahan kering yang ditandai
dengan meningkatnya nilai LTT. Ditambahkan oleh Brown (1984), bahwa meningkatnya ILD
disertai dengan meningkatnya nilai LTT.
Semakin tinggi dosis mulsa yang diberikan, maka semakin besar nilai LTT (Tabel 2). Hal
ini memperlihatkan bahwa dosis mulsa tersebut telah mampu menutupi permukaan tanah dengan
sempurna sehingga dapat menghambat pertumbuhan gulma (Hasanuddin et al., 1997;
Thankamani et al., 2016). Terhambatnya pertumbuhan gulma akan memberikan kesempatan
bagi tanaman kedelai untuk mendapatkan unsur, air, cahaya yang lebih banyak yang selanjutnya
dapat meningkatkan laju penambahan bahan kering yang ditandai dengan meningkatnya nilai
LTT.

Tabel 2. Rata-rata LTT pada 14-28, 28-42 dan 42-56 HST Akibat Aplikasi Jenis dan Dosis Mulsa.
Perlakuan Laju Tumbuh Tanaman (LTT)
14-28 HST 28-42 HST 42-56 HST
Jenis Mulsa ....................(g m-2 hari-1).....................
Kirinyuh 2,99 12,59 13,40
Terang bulan 2,45 12,49 11,66
Dosis (ton ha-1)
0 2,36 8,59 a 12,47
8 3,04 13,18ab 11,53
16 2,92 13,88b 13,71
24 2,54 14,49b 12,42
Keterangan : Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DNMRT pada taraf 0,05.

Laju Asimilasi Bersih (LAB)


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jenis dan dosis mulsa serta
interaksi keduanya terhadap laju asimilasi bersih (Tabel 3). Tidak berpengaruhnya baik jenis
maupun dosis mulsa merupakan bagian tidak terpisahkan dari dua peubah analisis tumbuh
sebelumnya, yaitu ILD dan LTT yang tidak semuanya memberikan pengaruh yang nyata. Seperti
dijelaskan oleh Brown (1984); Gardner et al. (1991) bahwa ada hubungan antara ILD, LTT, dan
LAB. Nilai LTT merupakan hasil perkalian antara nilai ILD dan LAB. Dijelaskan selanjutnya,
bahwa apabila nilai LTT meningkat, maka nilai ILD juga meningkat, namun nilai LAB menurun.

5
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Rata-rata LAB pada 14-28, 28-42 dan 42-56 HST Akibat Aplikasi Jenis dan Dosis Mulsa
Perlakuan Laju Asimilasi Bersih (LAB)
14-28 HST 28-42 HST 42-56 HST
Jenis Mulsa ...............................(g m-2 hari-1)............................
Kirinyuh 7,86 7,94 4,81
Terang bulan 7,67 8,75 5,15
Dosis (ton ha-1)
0 8,30 6,74 5,50
8 7,67 8,15 4,25
16 8,05 8,75 4,94
24 7,09 9,72 5,22

SIMPULAN
Jenis mulsa tidak berpengaruh terhadap ILD, LTT, dan LAB pada setiap pengamatan.
Dosis mulsa berpengaruh terhadap LTT pada 28-42 HST.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tim penelitian mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Universitas Syiah Kuala melalui Skim Penelitian Profesor tahun 2018
sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, R. A. M., Sudiarso dan A. Nugroho. 2014. Pengaruh mulsa organik pada gulma dan
tanaman kedelai (Glycine max L.) var. Gema. J. Prod. Tan. 1(6) : 478-485.
Brown. R. H. 1984. Growth of the green plant. P. 153-174. In: M. B. Tesar (ed.) Physiological
basis of crop growth and development. ASA, CSSA. Madison, WI.
Chandra, R. and S. Govind. 2001. Effect of mulching on yield of ginger (Zingiber officinale
Rosc.). J. of Spices and aromatic crops. 10 (1):13-16.
Damaiyanti, D. R. R., N. Aini dan Koesrihati. 2013. Kajian penggunaan macam mulsa organik
pada pertumbuhan dan hasil tanaman cabai besar (Capsicum annuum L.). J. Prod. Tan.
1(2) : 25-32.
Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Hasanuddin, G. Erina, dan Jauharlina. 1997. Pemanfaatan eceng gondok sebagai pengendali
gulma serta pengaruhnya terhadap nodulasi dan hasil tanaman kedelai (Glycine max (L.)
Merrill]. J. Mon Mata. 26: 24-32.
Hasanuddin. 2001. Karakteristik Gulma dan Hasil Tanaman Kedelai Akibat Pemberian Mulsa
Eceng Gondok : II. Saling Tindak Antara Dosis dan Panjang Petiolus. J. Agrista. 5(2): 169-
173.
Lestari, S. A. D. 2016. Pemanfaatan paitan (Tithonia diversifolia) sebagai pupuk organik pada
tanaman kedelai. Iptek Tanaman Pangan. 11(1) : 49-56.
Migawati, S.W. 2018. Potensi terang bulan, kirinyuh, dan nimba sebagai mulsa pada tanaman
kedelai. (Skripsi). Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Syiah
Kuala. Banda Aceh.
Resdiar, A. 2016. Pemanfaatan mulsa organik kirinyuh (Chromolaena odorata (L.) King dan
Robinson) sebagai pengendali gulma pada tanaman kedelai dengan waktu aplikasi yang
berbeda. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

6
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sari, V. I. 2015. Pemanfaatan berbagai jenis bahan organik sebagai mulsa untuk pengendalian
gulma di areal budidaya tanaman. J. Cit. Wid. Edu. 7(2) : 56-62.
Suriyat. 2018. Analisis pertumbuhan tanaman kedelai pada berbagai jenis dan dosis mulsa gulma
kirinyuh dan nimba. Skripsi. Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh.
Thankamani, C.K., K. Kandiannan, S. Hamza, and K.V. Saji. 2016. Effect of mulches on weed
suppression and yield of ginger (Zingiber officinale Roscoe). Scientia Horticulture.
207:125-130.
Triyono, K. 2011. Penggunaan beberapa takaran dan jenis mulsa gulma serta pengaruhnya
terhadap efisiensi pengendalian gulma dan hasil kedelai. J. Inov Pert. 10(1) : 81-88.
Zimdahl, R.L. 2007. Fundamentals of Weed Science. Academic Press. New York.

7
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengelolaan Air pada Budidaya Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Pasang
Surut di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir
Water Management in Rice Cultivation (Oryza sativa L.) Tidal
in Sanglar Village Reteh District Indragiri Hilir Regency
Idwar1, Ardian1, dan Adi Wibowo2
1Dosen Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Riau, Pekanbaru, 28293
2Mahasiswa jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Riau, 28293

ABSTRAK

Kata Kunci: Teknologi pengelolaan air merupakan kunci utama keberhasilan budidaya
Pengelolaan Air padi di lahan pasang surut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara
Padi Pasang Surut pengelolaan air dan teknik budidaya padi yang dilakukan di lahan pasang
surut tipe B serta produktifitas padi di Desa Sanglar, Kecamatan Reteh
Kabupaten Indragiri Hilir. Penelitian ini menggunakan metode survei dan
wawancara dengan responden petani padi pasang surut. Pengambilan
responden petani dilakukan secara purposive sampling berdasarkan letak
kelompok tani di hilir, tengah dan hulu pada saluran sekunder. Setiap bagian
hulu, tengah dan hilir diambil 2 kelompok tani sebagai sampel, kemudian
oomasing-masing kelompok tani diambil 8 petani sebagai responden
penelitian. Sehingga didapatkan total responden sebanyak 48 petani padi
pasang surut. Hasil data penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan gambar
yang dijelaskan secara deskriptif. Teknik pengelolaan air yang digunakan di
Desa Sanglar adalah sistim trio tata air (tanggul, saluran dan pintu air) yang
tergolong sederhana yang ditandai dengan kondisi bangunan yang masih
terbuat dari tanah dan tidak ada bangunan pengukur dan penahan air.
Budidaya padi yang dilakukan petani di Desa Sanglar masih tradisional. Ini
bisa dilihat dari cara penanaman hingga panen, sebagian besar petani belum
menggunakan Alsintan dan inovasi pertanian. Produktivitas tertinggi
ditunjukkan pada saluran sekunder bagian hilir dengan 3,73 ton.ha-1.
Produktifitas padi pasang surut di Desa Sanglar ini tergolong rendah karena
pengelolaan air dan teknik budidaya yang dilakukan petani masih sederhana
dan perlu perbaikan dan penyempurnaan untuk meningkatkan
produktifitasnya.
ABSTRACT

Keywords: Water management technology is the main key to the success of rice
Water Management cultivation in tidal land . This study aims to determine how water
Rice Tidal Land management and rice cultivation techniques are carried out on tidal land type
B and rice productivity in Sanglar Village, Reteh District, Indragiri Hilir
Regency. This study uses a survey method and interviews with rice tidal
farmers. Farmers 'respondents were collected by means of targeted sampling
based on the location of farmers' groups downstream, in the middle and
upstream of the secondary channel. Each upstream, middle and downstream
part was taken by 2 farmer groups as a sample, then each farmer group was
taken 8 farmers as research respondents. So as to get a total of 48 respondents
tidal rice farmers. The results of the research data are presented in the form
of tables and figures that are described descriptively. The water management
technique used in Sanglar Village is a trio system of water systems (dykes,
channels and sluice gates) that is classified as simple which is characterized
by the condition of the building which is still made of soil and there are no

8
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

water measuring and retaining structures. Rice cultivation by farmers in


Sanglar Village is still traditional. This can be seen from planting to harvest,
most farmers do not use agricultural machinery and agricultural innovations.
The highest productivity was shown in the downstream secondary channel
with 3.73 tons.ha-1. Tidal rice productivity in Sanglar Village is relatively
low because the water management and cultivation techniques carried out by
farmers are still simple and need improvement and refinement to increase
their productivity.

Email korespondensi : idwarmansyur@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Padi merupakan tanaman pangan penting sebagai sumber karbohidrat yang banyak
dikonsumsi dan dibudidayakan masyarakat Indonesia. Provinsi Riau merupakan salah satu
daerah penghasil padi di Indonesia yang cukup menjanjikan. Menurut BPS Provinsi Riau (2018),
Kabupaten Indragiri Hilir merupakan salah satu daerah sentra produksi padi di Provinsi Riau
dengan luas lahan sebesar 23.423 ha dengan produksi padi 109.291 ton pada tahun 2017.
Kabupaten Indragiri Hilir umumnya memiliki lahan persawahan yang dipengaruhi oleh
kejadian pasang surut air laut. Sawiyo et al. (2006) menyatakan bahwa lahan pasang surut
merupakan lahan marginal yang potensial untuk tanaman pangan. Sumberdaya pertanian pada
lahan pasang surut harus dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan produksi padi nasional. Teknologi pengelolaan air merupakan kunci utama
keberhasilan usahatani pertanian di lahan pasang surut.
Pengelolaan air yang dilaksanakan oleh petani dapat berdampak baik atau buruk terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman padi. Pengelolaan air yang baik dicirikan dengan dapat
mengatur keluar masuknya air ke dalam lahan pertanian sehingga berpengaruh terhadap semakin
baik teknik budidaya yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan dan produksi tanaman
padi di lahan pasang surut. Parameter ukuran keberhasilan budidaya padi di lahan pasang surut
dapat dilihat dari cara petani melaksanakan pengelolaan air pasang surut yang baik dan teknik
budidaya yang sesuai.
Upaya peningkatan produksi padi tanpa disadari telah dikembangkan oleh petani Riau
dengan adanya beberapa inovasi dalam budidaya tanaman padi di lahan pasang surut tipe B. Para
petani telah menemukan cara-cara yang dapat mengatasi kendala dalam melakukan pengelolaan
air dan budidaya padi di lahan pasang surut. Pengumpulan informasi mengenai cara pengelolaan
air dan teknik budidaya padi yang telah dikembangkan oleh petani berguna untuk menentukan
upaya-upaya peningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman padi di lahan pasang surut.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Lahan pasang surut berpotensi mendukung peningkatan produksi padi nasional.
Ketersediaan lahan pasang surut untuk usaha tani padi merupakan syarat mutlak untuk
mewujudkan swasembada, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional. Keberadaannya yang
cukup luas di Riau dan telah dibudidayakan masyarakat secara turun temurun menjadi peluang
besar dalam peningkatan produksi padi. Kunci utama keberhasilan budidaya padi pasang surut
terletak pada pengelolaan air pasang surut yang terkendali dan teknik budidaya yang sesuai.
Upaya peningkatan produksi padi pasang surut tanpa disadari telah dikembangkan oleh
petani sawah pasang surut tipe B di Desa Sanglar, Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir
yaitu dengan menerapkan sistem trio tata air dalam kegiatan pengelolaan air pasang surut untuk
budidaya padi. Tersedianya informasi mengenai sistem pengelolaan air pasang surut dan teknik
budidaya padi yang telah dikembangkan oleh petani merupakan kunci yang berguna untuk

9
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

menentukan langkah-langkah strategis dalam perbaikan dan penyempurnaan budidaya tanaman


padi di lahan pasang surut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir
dalam kurun waktu 2 bulan yaitu pada bulan Agustus-September 2018.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis dan dokumentasi, serta bahan
yang digunakan adalah kuesioner.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan responden petani
dilakukan secara purposive sampling berdasarkan letak kelompok tani di hilir, tengah dan hulu
pada saluran sekunder. Setiap kelompok tani di bagian hulu, tengah dan hilir diambil 2 kelompok
tani sebagai sampel. Kemudian dari setiap kelompok tani diambil 8 petani sebagai responden
penelitian. Sehingga didapatkan total responden sebanyak 48 petani padi pasang surut. Data hasil
penelitian dianalisis secara deskriptif menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2007, dan disajikan
dalam bentuk gambar dan tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir memiliki luas wilayah seluas
8.994 km2 dengan jumlah penduduk 6.168 jiwa. Geografis Desa Sanglar terletak antara 104° 10'
Bujur Timur - 102° 32' Bujur Timur dan 0° 36' Lintang Utara - 1° 07' Lintang Utara dan memiliki
iklim tropis basah dengan curah hujan 2.300 Milimeter.
Desa Sanglar mengalami kejadian pasang surut 2 kali dalam satu hari (semi diurnal tide)
dengan selang waktu antara pasang, yaitu 12 jam 24 menit. Pasang besar terjadi dua kali dalam
satu bulan yaitu pada awal bulan dan pertengahan bulan dalam kalender bulan hijriah. Desa
Sanglar termasuk ke dalam pasang surut tipe luapan B (lahan terluapi saat pasang besar saja).
Teknik budidaya padi di Desa Sanglar secara keseluruhan dapat dikatakan masih secara
tradisional, mulai dari pengolahan tanah, penyemaian hingga panen. Perkembangan teknik
budidaya di Desa Sanglar terhambat akibat kondisi lahan yang memiliki lapisan pirit, sehingga
membutuhkan tindakan hati-hati dalam pengolahan tanahnya. Tanah sulfat masam potensial
dapat berubah menjadi tanah sulfat asam aktual apabila mengalami drainase berlebihan dan
pengolahan tanah yang dalam, pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob
akan teroksidasi apabila kondisinya menjadi aerob (Dent, 1986).

Pengelolaan Air Lahan Pasang Surut


Sistem pengaturan air di lahan pasang surut yang banyak digunakan di daerah Indragiri
Hilir adalah sistem trio tata air. Sistem trio tata air dapat diartikan sebagai tiga komponen dalam
sistem pengaturan air yang terdiri dari tanggul, saluran dan bangunan pintu–pintu air. Menurut
Syafrinal (2015) sistem trio tata air ini digolongkan pada suatu sistem irigasi non teknik yang
khusus diterapkan di lahan pasang surut. Sistem trio tata air diterapkan bertujuan untuk
mengatasi permasalahan banjir pada areal pertanian akibat adanya peristiwa pasang naik atau
peristiwa naiknya permukaan air laut.

Tanggul
Desa Sanglar memiliki 2 jenis tanggul. Tanggul utama berukuran besar yang ada sepanjang
saluran sekunder yang membatasi antara saluran dengan petakan sawah, tanggul ini berfungsi
juga sebagai jalan usaha tani (JUT). Tanggul sekunder yang lebih kecil berfungsi sebagai
pembatas antar petakan sawah milik petani dan mengatur tinggi muka air di sawah.

10
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 1. Klasifikasi Jalan Usaha Tani (JUT) di Desa Sanglar.


Ukuran Keterangan
Tinggi 1m
Lebar 1,5 m
Jenis bangunan Non permanen (Tanah)
Sumber : Petani Padi Desa Sanglar

Kondisi JUT di Desa Sanglar memiliki ukuran lebar + 150 cm dan tinggi + 100 cm. Lebar
JUT yang belum memadai sehingga menghambat proses penggunaan alsintan di lapangan, dan
menambah biaya pengangkutan hasil panen dari sawah petani. Menurut Permen PU No 13 tahun
2011 yaitu JUT utama memiliki lebar atas 3 m dan lebar bawah 4 m sedangkan jalan usaha tani
cabang lebar atas 2 m dan lebar bawah 3 m.
Tanggul utama JUT merupakan tanggul yang ada di pinggir saluran sekunder, tanggul ini
berfungsi untuk menahan air pasang agar tidak masuk ke dalam petakan sawah (Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No 13, 2011). Tanggul utama berfungsi sebagai jalan usaha tani
digunakan untuk sarana transprotasi dalam mengangkut input pertanian dan alat-alat pertanian
serta hasil panen.
Tanggul utama atau JUT berada di pinggiran saluran sekunder yang dibangun oleh Dinas
Pengairan, kemudian untuk di dalam petakan sawah maka terdapat tanggul atau pematang yang
dibangun secara mandiri guna membedakan kepemilikan sawah petani dan berfungsi mengatur
ketinggian air. Data klasifikasi pematang sawah petani ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Tinggi Pematang Sawah di Desa Sanglar.


Ukuran Hulu Tengah Hilir Rerata
Tinggi (cm) 39,1 40,6 39,4 39,7
Lebar (cm) 34,4 33,8 35,6 34,6
Jenis Non permanen Non permanen Non permanen Non permanen
bangunan (Tanah) (Tanah) (Tanah) (Tanah)
Sumber : Petani Padi Desa Sanglar

Tabel 2 menunjukkan bahwa pematang tertinggi berada pada bagian tengah saluran
sekunder dengan nilai 40,6 cm dengan rata-rata tinggi pematang yang ada di Desa Sanglar adalah
39,7 cm. Pematang terlebar berada pada bagian hilir saluran sekunder dan rata-rata lebar
pematang adalah 34,6 cm. Pematang sawah di Desa Sanglar umumnya dibangun dengan
mengambil tanah yang ada di dalam petakan sawah.
Perbedaan tinggi dan lebar pematang di petakan sawah tidak terlalu signifikan pada bagian
hilir, tengah dan hulu saluran sekunder. Hal ini dikarenakan fungsi dari pematang pada petakan
sawah tidak untuk menahan air pasang ketika pasang melainkan menjadi batas kepemilikan
sawah, tempat berjalan dan kedap air serta untuk mengatur ketinggian air. Syahbuddin et al,
(2013) menyatakan bahwa pembentukan pematang di sekeliling petakan sawah diharapkan
kedap air guna menekan rembesan antar petakan sawah.
Pematang sawah juga berperan penting dalam mengatur tinggi muka air bagi tanaman agar
sesuai dengan kebutuhan setiap fase pertumbuhan tanaman dan teknik budidaya yang
dilaksanakan. Tanggul yang ada di petakan sawah berfungsi sebagai pengaman dari pasang
sungai dan pengarah air drainase sehingga menuju saluran drainase yang telah direncanakan
(Firmansyah et al, 2014).

Saluran
Saluran yang ada di dalam sistem trio tata air pada Desa Sanglar yaitu saluran primer
Sungai Gangsal, saluran sekunder dan saluran tersier (saluran cacing).

11
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Klasifikasi Saluran Primer Dan Sekunder Desa Sanglar.


Saluran
Kriteria
Primer( (m) Sekunder (m)
Kedalaman 2 – 15 2–4
Lebar 25 – 150 4–6
Panjang 30.000 5.000
Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 3 menunjukkan bahwa, saluran primer di Desa Sanglar memiliki kedalaman berkisar
antara 2 – 15 m, lebar 25 - 150 m dan panjang mencapai + 30.000 m. Saluran primer atau Sungai
Gangsal merupakan salah satu sungai di Kabupaten Indragiri Hilir yang menjadi sumber air bagi
usahatani yang ada di Kecamatan Reteh, Kecamatan Keritang dan Kecamatan Batang Gangsal.
Tabel 3 menunjukkan bawah saluran sekunder memiliki kedalaman + 2 - 4 m, lebar + 4 -
6 m dan panjang + 5 km. Saluran sekunder terhubung langsung dengan sungai Batang Gangsal
yang berfungsi untuk mengalirkan air untuk dimanfaatkan dalam kegiatan usahatani yang
dilakukan oleh masyarakat. Menurut Firmansyah et al, (2014) saluran sekunder berfungsi
sebagai saluran pembawa dan dapat dimanfaatkan sebagai saluran drainasi ketika muka air surut.
Selanjutnya saluran tersier atau saluran cacing terletak di dalam petakan sawah petani pada
bagian hilir, tengah dan hulu saluran sekunder. Data klasifikasi saluran tersier dapat dilihat pada
Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi Saluran Tersier Desa Sanglar.


Ukuran Hulu Tengah Hilir
Kedalaman (cm) 40,9 42,5 41,9
Lebar (cm) 38,1 40,0 40,0
Panjang Mengikuti panjang petakan sawah
Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 4 menunjukkan bahwa, ukuran saluran tersier di dalam petakan sawah tidak berbeda
jauh kedalaman dan lebarnya pada bagian hulu, tengah dan hilir saluran sekunder sehingga
memiliki ketersediaan air yang hampir sama dan sekaligus dapat mencegah lapisan pirit
teroksidasi pada lahan sulfat masam potensial. Pengelolaan tata air makro dan mikro dirancang
dengan baik, karena berpeluang besar akan terjadinya oksidasi pirit jika lahan dalam keadaan
kering.
Saluran tersier berfungsi sebagai saluran yang memasukkan dan mengeluarkan air dari
petakan sawah untuk mengatur air pada kegiatan budidaya padi. Saluran tersier sangat membantu
dalam pengaturan tinggi muka air yang masuk ke dalam petakan sawah, serta mempermudah
dalam mengeluarkan air yang berlebihan. Menurut Direktorat Irigasi Pertanian (2017), salah satu
teknologi sederhana dan mudah dalam perawatan untuk memperbaiki kondisi lahan pasang surut
dengan memanfaatkan pola pergerakan pasang surut maka diperlukan saluran tersier atau tata air
mikro.

Pintu Air
Pintu air merupakan bangunan memotong tanggul sungai yang berfungsi sebagai pengatur
aliran air untuk kegiatan budidaya tanaman padi (drainase). Terdapat 2 jenis pintu air yang
digunakan di Desa Sanglar yaitu pintu air pipa dengan elbow dan pintu air pipa dengan karung.

12
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 5. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Penggunaan Pintu Air.


Hilir Tengah Hulu Total
Pintu air Petani Persen Petani Persen Petani Persen Petani Persen
(Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Pipa elbow 7 43,75 8 50 16 100 31 64,58
Pipa karung 9 62,75 8 50 0 0 17 35,42
Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 5 menunjukkan bahwa, penggunaan pintu air elbow banyak digunakan petani di
Desa Sanglar dengan persentase 64,58%. Penggunaan pintu air elbow dominan dipakai petani di
bagian hulu saluran sekunder dengan persentase 100%, kemudian pada bagian tengah saluran
sekunder 50%. Penggunaan pintu air dengan karung banyak digunakan oleh petani di bagian hilir
saluran sekunder dengan persentase 62,75%.
Pintu air elbow merupakan pintu air yang menggunakan pipa sebagai gorong-gorong yang
diujung (pada petakan sawah) dipasang elbow. Penggunaan pintu air pipa dengan elbow mampu
bertahan dari korosi oleh air asin sehingga pintu air dapat bertahan cukup lama (Sulaiman et al.,
2018). Sedangkan pintu air karung merupakan pintu air dengan pipa sebagai gorong-gorong dan
pada ujung (pada petakan sawah) dipasang karung sebagai pengatur keluar masuk air.
Penggunaan karung ini berfungsi sebagai pengganti pintu klep otomatis yang akan dibuka ketika
pasang dan ditutup ketika surut.

Budidaya Padi Pasang Surut


Pengolahan lahan
Hasil penelitian di Desa Sanglar, didapatkan data bahwa petani secara keseluruhan
melakukan tanpa olah tanah (TOT) dalam kegiatan persiapan lahan budidaya tanaman padi
pasang surut, baik yang berada di bagian hilir, tengah maupun hulu. Penggunaan TOT oleh petani
Desa Sanglar didasarkan pada pelaksanaan yang mudah, hemat biaya, pemanfaatan rumput
sebagai pupuk organik dan kondisi sawah yang tidak memungkinkan menggunakan alat
pengolahan tanah. Listyobudi (2011), menyatakan bahwa TOT juga efisien terhadap waktu dan
tenaga kerja yang dibutuhkan sehingga menguntungkan dibandingkan olah tanah sempurna.
Tahapan TOT yang dilakukan oleh petani padi di Desa Sanglar adalah (1) penyemprotan
gulma dengan menggunakan herbisida, (2) menggenangi petakan sawah, (3) gulma yang telah
kering, direbahkan menggunakan hand traktor dan (4) penyemprotan kembali saat hendak
dilakukan penanaman. TOT diyakini oleh petani di Desa Sanglar mampu menambah bahan
organik dari sisa sisa tanaman yang dikendalikan. Menurut Sebayang et al, (2002), bahwa gulma
yang tumbuh di atas permukaan tanah yang biasanya dikendalikan dengan cangkul, traktor atau
alat mekanisasi lainnya digantikan dengan penyemprotan herbisida untuk mematikan gulma
maupun sisa tanaman yang masih hidup, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai mulsa
dan bahan organik.

Persemaian
Hasil penelitian di Desa Sanglar, ternyata petani lebih banyak melakukan persemaian
campuran pada budidaya padi pasang surut. Data mengenai cara persemaian petani Desa Sanglar
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Cara Persemaian.
Hilir Tengah Hulu Total
Penyemaian Petani Persen Petani Persen Petani Persen Petani Persen
(Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Kering 7 43,75 8 50 4 25 19 39,50
Campuran 9 56,25 8 50 10 62,5 27 56,25

13
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Hilir Tengah Hulu Total


Penyemaian Petani Persen Petani Persen Petani Persen Petani Persen
(Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Tabela 0 0 0 0 2 12,5 2 4,25
Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 6 menunjukkan bahwa petani yang berada pada bagian hilir dan hulu saluran
sekunder lebih banyak menggunakan teknik penyemaian campuran (56,25% dan 62,5%)
dibandingkan teknik penyemaian kering. Sedangkan petani yang berada pada bagian tengah
cenderung menggunakan teknik penyemaian kering (50%) dan campuran (50%). Petani di
bagian hulu selain melakukan penyemaian kering dan campuran petani juga menggunakan cara
tebar benih langsun sebanyak 12,5%. Secara keseluruhan petani Desa Sanglar lebih banyak
melakukan cara penyemaian campuran (56,25%) dibandingkan cara persemaian yang lain.
Penggunaan penyemaian campuran di Desa Sanglar disebabkan oleh kondisi lahan yang
dapat sewaktu-waktu tergenang oleh air pasang. Air pasang yang mengandung salinitas tinggi
apabila masuk ke dalam petakan sawah dan menggenangi bibit padi yang berumur muda dapat
menyebabkan kematian. Menurut Artadana (2016), pertumbuhan bibit padi mulai terhambat
pada kondisi tercekam 5000 ppm NaCl yang ditandai dengan menguningnya daun dan terjadi
penurunan berat segar bibit.
Penyemaian campuran dilakukan dengan menyemai benih padi di tanah yang kering,
kemudian ditutupi daun kelapa atau karung yang lembab selama 1 minggu. Cara ini dilakukan
untuk merangsang pertumbuhan bibit padi agar tumbuh lebih cepat. Bibit padi kemudian
dipindahkan ke dalam petakan sawah untuk meningkatkan tingkat adaptasi bibit terhadap kondisi
lahan. Petani di hulu, tengah dan hilir menanam padi yang beragam varietasnya sesuai dengan
varietas yang ditanam sebelumnya yang disimpannya untuk benih. Varietas unggul yang ditanam
petani adalah Batang Piaman, IR-42, Cisokan dan Serai, sedangkan varietas lokal yang ditnam
petani adalah Padi merah, Padi Bugis, dan Padi Super.
Penggunaan varietas unggul lebih diuntungkan pada persemaian campuran dikarenakan
tingkat adaptasi varietas meningkat yang mengakibatkan produktifitas meningkat pula.
Penggunaan varietas unggul dengan teknik budidaya tepat guna telah memberikan kontribusi
yang besar dalam peningkatan produksi padi.

Penanaman
Hasil penelitian di Desa Sanglar, didapatkan data bahwa petani lebih banyak menggunakan
cara tanam jajar tandur dalam kegiatan budidaya padi pasang surut. Data mengenai cara
penanaman oleh petani Desa Sanglar dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Cara Penanaman.


Hilir Tengah Hulu Total
Cara tanam Petani Persen Petani Persen Petani Persen Petani Persen
(Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Tebar benih
0 0 2 11,5 0 0 2 4,2
langsung
Jajar tandur 14 87,5 12 75 14 87,5 40 83,3
Jarwo 2 12,5 2 12,5 2 12,5 6 12,5

Sumber : Petani Padi Desa Sanglar

Tabel 7 menunjukkan bahwa petani di Desa Sanglar menggunakan cara tanam jajar tandur
dengan persentase 83,3%, jajar legowo 12,5% dan cara tanam tabela 4,2%. Petani yang berada
pada bagian hilir, tengah dan hulu saluran sekunder secara umum lebih banyak menggunakan

14
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

cara tanam jajar tandur. Penggunaan jajar tandur ini disebabkan oleh adanya kesamaan kondisi
yang ada pada bagian hilir, tengah dan hulu saluran sekunder.
Sistem tanam jajar tandur atau tegel adalah penanaman padi dengan jarak 20 x 20 cm atau
lebih rapat dan tidak ada barisan yang dikosongkan (Anggraini et al, 2013). Jajar tandur
merupakan cara tanam yang sudah sejak lama diterapkan pada kegiatan budidaya padi, sehingga
dalam penerapan di lapangan dapat dengan mudah dilakukan oleh petani. Penerapan sistem
tanam tegel memiliki keuntungan diantaranya adalah penanaman bibit lebih mudah dan tidak
memerlukan keterampilan khusus dalam penanamannya, penggunaan bibit lebih sedikit dan
waktu penanaman lebih cepat.
Sistem tanam legowo merupakan cara tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan
tanaman yang diselingi satu barisan kosong (BPTP, 2012). Jajar legowo yang dilakukan di Desa
Sanglar adalah jajar legowo 4:1. Cara tanam jajar legowo 4:1 adalah menanam 4 baris tanaman
dengan jarak 20 cm dan diberi spasi antar 4 baris tanaman dengan jarak 40 - 50 cm.

Pemupukan
Hasil penelitian di Desa Sanglar, didapatkan data bahwa petani melakukan pemupukan
pada saat persemaian. Data mengenai cara pemupukan oleh petani Desa Sanglar dapat dilihat
pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah dan Persentase Petani Yang Melakukan Pemupukan di Persemaian.


Hilir Tengah Hulu Total
Pemupukan Petani Persen Petani Persen Petani Persen Petani Persen
(Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Memupuk 8 50 10 62,5 8 50 26 54,2
Tidak memupuk 8 50 6 37,5 8 50 22 45,8

Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 8 menunjukkan bahwa 54,2% petani padi di Desa Sanglar melakukan pemupukan
dan 45,8% petani tidak melakukan pemupukan di persemaian. Pada bagian hilir dan hulu saluran
sekunder, petani yang melakukan pemupukan dan tidak melakukan pemupukan memiliki
persentase yang sama yaitu 50%. Sedangkan pada bagian tengah saluran sekunder petani yang
melakukan pemupukan sebanyak 62,5% dan yang tidak melakukan pemupukan 37,5%.
Pemupukan di Desa Sanglar dilakukan pada saat penyemaian dengan pemberian + 5 kg
untuk satu petakan sawah. Hal ini disebabkan pemupukan pada saat penyemaian mampu
memaksimalkan pertumbuhan tanaman padi. Menurut Oliet et al., (2004), pemupukan pada
penyemaian penting karena dengan suplai hara dari pupuk dapat memacu pertumbuhan tunas
maupun akar dan dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekurangan air (water
stress), suhu yang rendah atau serangan penyakit.
Pemupukan pada persemaian hanya memberikan pupuk urea sebagai sumber unsur N.
Pemupukan dengan urea dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan tinggi bibit agar lebih
tahan terhadap genangan pasang surut. Pupuk urea mempercepat pertumbuhan tanaman (tinggi,
jumlah anakan, cabang dan lain-lain). Pupuk urea juga mampu menambah kandungan protein
di dalam tanaman (Suhartono, 2012)

Pengendalian Gulma
Hasil penelitian di Desa Sanglar, ternyata petani melakukan pengendalian gulma dengan
dua cara yaitu pengendalian secara kimia dan mekanis. Data mengenai cara pengendalian gulma
oleh petani Desa Sanglar dapat dilihat pada Tabel 9.

15
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 9. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Pengendalian Gulma.


Hilir Tengah Hulu Total
Pengendalian Petani Persen Petani Persen Petani Persen Petani Persen
(Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Kimia 9 56,3 11 68,75 16 100 36 75
Mekanis 7 43,75 5 31,25 0 0 12 25
Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 9 menunjukkan bahwa petani di Desa Sanglar lebih banyak menggunakan herbisida
untuk mengendalikan gulma (75%) dibandingkan penggunaan pengendalian mekanis (25%).
Penggunaan pestisida kimia oleh petani yang berada pada bagian hilir, tengah dan hulu saluran
sekunder terlihat bahwa pengendalian gulma menggunakan pestisida lebih banyak digunakan
petani dibandingkan dengan pengendalian mekanis. Persentase di atas 50% pada pengendalian
secara kimia untuk mengendalikan gulma menyebabkan tingginya penggunaan herbisida pada
kegiatan budidaya padi.
Pengendalian gulma dilakukan petani ketika gulma telah tumbuh dan dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan padi. Pengendalian gulma yang sering digunakan oleh petani
padi pasang surut di Desa Sanglar yaitu pengendalian menggunakan bahan kimia sintetis.
Pengendalian gulma secara kimiawi memiliki keunggulan yaitu mematikan tanaman tertentu
tanpa memberikan efek pada tanaman lainnya (Anderson, 1977).
Penggunaan pengendalian gulma dengan cara kimia menunjukkan bahwa kelas kelompok
tani di Desa Sanglar termasuk golongan pemula. Hal ini mengakibatkan ketergantungan akan
herbisida cukup tinggi, dan untuk lahan yang tidak luas cukup menggunakan cara manual
(mekanis) dalam mengendalikan gulma.

Pengendalian Hama dan Penyakit


Hasil penelitian di Desa Sanglar, ternyata petani melakukan pengendalian hama dan
penyakit dengan dua cara yaitu pengendalian secara kimia dan mekanis. Data mengenai cara
pengendalian hama dan penyakit oleh petani Desa Sanglar dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Cara Pengendalian Hama dan Penyakit.
Hilir Tengah Hulu Total
Pengendalian Petani Persen Petani Persen Petani Persen Petani Persen
(Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%) (Jiwa) (%)
Kimia 15 93,75 16 100 16 100 47 97,92
Mekanis 1 6,25 0 0 0 0 1 2,08
Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 10 menunjukkan bahwa pengendalian hama dan penyakit pada kegiatan budidaya
padi didominasi oleh pengendalian secara kimia dengan persentase 97,92% baik oleh petani di
bagian hilir, tengah maupun hulu, dan sedikit yang menggunakan pengendalian mekanis dengan
persentase 2,08%. Pengendalian hama dan penyakit secara kimia menjadi pilihan pertama dalam
kegiatan budidaya padi di Desa Sanglar. Pengendalian secara kimia dilakukan apabila serangan
hama atau penyakit telah mencapai ambang batas ekonomis. Prinsip penerapan PHT pada tingkat
petani salah satunya adalah petani sebagai ahli, petani sebagai pengambil keputusan sendiri di
lahannya sendiri (Abbas, 1997)
Serangan HPT yang sering mengganggu tanaman padi di Desa Sanglar adalah wereng,
walang sangit,tikus dan penyakit kresek. Pengendalian wereng menggunakan Pymetrozine 50

16
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

%, walang sangit menggunakan Asefat 75 %, kemudian untuk penyakit tanaman petani


menggunakan Parakuat Diklorida atau Pyraclostrobin 5% + Metiram 55%.
Pengendalian secara kimia memiliki beberapa kelebihan diantaranya praktis dan
mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar bagi petani. Penggunaan pestisida menunjukkan
hasil yang mengagumkan dalam efektifitas dan efisiensinya mengendalikan hama dibandingkan
cara-cara pengendalian mekanis (Arif, 2015). Berdasarkan keunggulan ini, petani di Desa
Sanglar terus menggunakan bahan kimia sintetis dalam mengendalikan hama dan penyakit yang
mengganggu tanaman padi.

Panen
Hasil penelitian di Desa Sanglar, ternyata petani melakukan panen dengan cara tradisional.
Pemanenan secara tradisional dengan menggunakan sabit atau ani-ani, dan dilakukan bersama
sama dalam 1 petakan sawah secara bergiliran. Kebiasaan pemanenan dengan cara tradisional
tetap dilakukan oleh petani di Desa Sanglar dikarenakan beberapa hal, yaitu petani sudah terbiasa
menggunakan cara panen tersebut, dan kondisi lahan yang tidak mendukung untuk menggunakan
combine harvester.
Pemanenan secara tradisonal memiliki keunggulan memberikan kesempatan kerja yang
banyak kepada para buruh panen, hasil pemotongan gabah dengan ani-ani ini lebih bersifat
terpilih dan harga alat panen sangat murah, bisa dimiliki oleh setiap petani. Cara panen
menggunakan ani-ani atau sabit dapat menurunkan mutu dari beras hasil panen akibat
penumpukan gabah hasil panen yang dibiarkan beberapa waktu sebelum dirontokkan. Menurut
Hutapea et al. (2005) peningkatkan kapasitas mutu beras pada kegiatan panen dapat dilakukan
dengan introduksi paket alat dan mesin panen berupa power thresher atau combine harvester.

Produktifitas Lahan Pasang Surut


Hasil penelitian di Desa Sanglar, ternyata produktifitas tanaman padi berkisar antara 3 - 4
ton.ha-1. Data produktifitas padi di Desa Sanglar disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Produktifitas Padi di Lahan Pasang Surut Desa Sanglar.


Produktifitas Kelompok Tani (ton.ha-1) Produktifitas
Lokasi Rata rata
Kelompok Tani 1 Kelompok Tani 2
(ton.ha-1)
Hulu 2,52 4,48 3,50
Tengah 3,01 4,33 3,67
Hilir 4,09 3,36 3,73
Produktifitas Desa Sanglar 3,63
Sumber : petani padi Desa Sanglar

Tabel 11 menunjukkan bahwa, produktifitas tertinggi terdapat pada bagian hilir saluran
sekunder dengan hasil 3,73 ton.ha-1, disusul dengan bagian tengah sebesar 3,67 ton.ha-1 dan
yang terakhir bagian hulu sebesar 3,5 ton.ha-1. Hasil panen di Desa Sanglar masih menunjukkan
angka yang berada di bawah produktifitas rata-rata lahan sawah sebesar + 5 ton.ha-1. Hal yang
mempengaruhi produktifitas suatu lahan antara lain sistem pengelolaan air, penyiapan lahan,
pemupukan dan amelioran, pengendalian gulma terpadu, penentuan pola tanam dan pemilihan
varietas unggul padi adaptif (Ar-Riza, 2005).
Pengelolaan air di Desa Sanglar belum efektif dalam mengatur sumber air pada kegiatan
budidaya. Hal ini menyebabkan air dapat keluar masuk ke dalam petakan sawah dan
menimbulkan bermacam kendala dalam kegiatan usahatani padi. Luapan air di areal pertanian
mengakibatkan petani sulit menerapkan teknologi dalam kegiatan usahatani padi sawah terutama
pemupukan dan keadaan tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan usaha tani padi di
lahan pasang surut (Syafrinal, 2015).

17
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengelolaan air juga mempengaruhi beberapa teknik budidaya, seperti pengolahan tanah
yang merupakan awal dari kegiatan budidaya padi, sangat dipengaruhi oleh pengelolaan air.
Petani di Desa Sanglar belum melakukan pengolahan tanah minimal maupun maksimal sehingga
lahan belum dalam kondisi optimal untuk kegiatan budidaya. Teknik tanpa olah tanah (TOT)
tidak merusak lahan, sehingga kekhawatiran terangkatnya lapisan pirit dapat dicegah (Karama
dan Sutisna 1998), namun TOT belum terbukti sebagai teknik pengolahan terbaik pada lahan
pasang surut untuk dapat meningkatkan produktifitas padi.
Di Desa Sanglar sebagian besar petani melakukan pemupukan hanya pada saat
penyemaian dan tidak melakukan pemupukan pada fase vegetatif menjadi sebab rendahnya
produksi. Penggunaan sistem irigasi sederhana sangat mudah dikelola, namun belum dapat
mendukung pertumbuhan dan produktifitas tanaman padi (Susanto, 2005)

PENUTUP
1. Pengelolaan air dengan istem trio tata air yang digunakan di Desa Sanglar diklasifikasikan
sebagai pengelolaan air sederhana, dicirikan dengan kondisi bangunan yang masih terbuat
dari tanah serta belum terdapat bangunan pengukur dan penahan air.
2. Teknik budidaya yang digunakan di Desa Sanglar tergolong tradisional, mulai dari
penanaman hingga panen, petani sebagian besar belum memanfaatkan alsintan dan inovasi
pertanian.
3. Produktifitas tertinggi 3,73 ton.ha-1 diperoleh oleh kelompok tani di bagian hilir saluran
sekunder. Produktifitas ini masih tergolong rendah karena pengelolaan air masih sederhana
dan teknik budidaya masih tradisional sehingga memerlukan perbaikan dan penyempurnaan
pengelolaan air dan teknik budidaya untuk meningkatkan produktifitasnya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada panitia pelaksana Seminar dan Lokakarya
Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian yang telah memperkenankan makalah
ini disampaikan pada seminar ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat Badan
Pengendalian Bimas. Departemen Pertanian. Jakarta.
Anderson, W. P. 1977. Weed Science: Principles. New York: USA. Pp 598
Anggraini, F., A. Suryanto dan N. Aini. 2013. Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman padi
sawah (Oryza sativa L.) varietas inpari 13. Produksi Tanaman 1(2)
Arif. A. 2015. Pengaruh bahan kimia terhadap penggunaan pestisida lingkungan. Jf Fik Uinam.
3:4.
Artadana, H. Poppy, dan VA. Steve. 2016, Pertumbuhan dan Degradasi Klorofil Bibit Padi Barak
Cenana yang Tercekam Natrium Klorida (NaCl). Program Studi Biologi. Fakultas
Teknobiologi.
Ar-Riza I., S. Saragih, M. Hatta dan Febrianti, 2005. Pengelolaan Lahan dan Sistem Tata Air
untuk Perbaikan Budidaya Padi dan Kelapa di Wilayah Sungai Kakap. Prosiding Semiloka
Primatani Mendukung Pengembangan KUAT di Kalimantan Barat. Pontianak. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007.
Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian. 2015. Panduan teknoologi budidaya padi tanam
benih langsung.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau. 2018. Luas Panen dan Produksi Padi di Provinsi Riau.
Pekanbaru.

18
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Dent, D. 1986. Acid Sulfate Soils: a baseline for research and development. ILRI, Wageningen.
202p.
Direktorat Irigasi Pertanian. 2017. Pedoman Teknis Rehabilitas/ Pembangunan Irigasi Rawa.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta.
Firmansyah F., S. Heri , dan H.W. Prima. 2014. Studi Perencanaan Jaringan Tata Air Di Daerah
Rawa Desa Batanjung Kecamatan Kapuas Kuala Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantah
Tengah. Mahasiswa Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Malang.
Hutapea. Y., B. Raharjo, Subowo Dan Rijallalah. 2005. Optimalisasi Budidaya Tanaman Padi
Pada Sawah Pasang Surut. South Sumatera Forest Fire Management Project dengan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan. Palembang.
Karama S, dan E. Sutisna. 1998. Peranan tanpa olah tanah (TOT) dalam melestarikan
swasembada beras. Prosiding Seminar Nasional VI Budidaya Pertanian Olah Tanah
Konservasi.
Listyobudi, R.V. 2011. Perlakuan Herbisida pada system tanpa olah tanah terhadap
pertumbuhan, hasil dan kualitas hasil tanaman jagung manis. Skripsi (Tidak
dipublikasikan), Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta
Oliet, J., Planelles, R., Segura, ML., Artero, F. dan Jacobs, DF. 2004. Mineral nutrition and
growth of containerized Pinus halepensis seedlings under controlled-release fertilizer.
Scienteia Horticulturae.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. 2011. Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan.
Kementrian Pekerjaan Umum. Jakarta.
Sawiyo, S. Indrajaya, dan B. Rahayu. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Iklim dan Hidrologi untuk
Mendukung Primatani Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Laporan Penelitian Prima Tani. Balai Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi. Jakarta.
Sebayang, H. T., S.Y. Tyasmoro & D. E. Pujiyanti. 2002. Pengaruh Waktu Aplikasi Herbisida
Glifosat dan Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea
mays) Sistem Tanpa Olah Tanah. Jurnal Agrista. 16 (3).
Suhartono. 2012. Unsur-unsur nitrogen dalam pupuk urea. UPN Veteran. Yogyakarta.
Sulaiman, A., K. Subagyono, T. Alihamsyah, M. Noor, Hermanto, A. Muharam, I.G.M. Subiksa
dan I.W. Suwastika. 2018. Membangkitkan Lahan Rawa, Membangun Lumbung Pangan
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Susanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Kanisius. Jakarta.
Syafrinal. 2015. Peranan sistem trio tata air terhadap keberhasilan usaha tani padi sawah pasang
surut di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. International Journal of Agriculture. 6
(2).
Syahbuddin, H., W.T. Nugroho, B. Rahayu, A. Hamdani, I. Las, dan E. Runtunuwu. 2013. Atlas
Kalender Tanam. hlm. 103–159. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

19
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Potensi Limbah Perkebunan dengan Penambahan Pupuk Anorganik


untuk Peningkatan Produksi Jagung di Lahan Lebak
Potential of Plantation Waste by Adding Inorganic Fertilizer to Increase
Corn Production in Lowland
Iin Siti Aminah1, Rosmiah1, Yopie Moelyohadi1
1 Staf Pengajar PS Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Palembang Jl A Yani 13 Ulu Palembang

ABSTRAK

Kata Kunci: Sumatera Selatan merupakan salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di
Limbah perkebunan Indonesia, disisi lain limbah kelapa sawit berupa tandan kosong (tangkos)
Pupuk anorganik dan tutupan lahan LCC (Legum Cover Crop) dapat dimanfaatkan sebagai
jagung pupuk organik untuk tanaman. Pemanfaatn limbah perkebunan sebagai
lahan lebak pupuk organik diharapkan mampu untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah terutama untuk peningkatan produksi tanaman jagung pada
lahan lebak. Lahan lebak yang ada di wilayah Sumatera Selatan merupakan
lahan suboptimal yang memiliki tingkat kesuburan rendah. Penggunaan
pupuk organik asal limbah perkebunan belum mampu memenuhi kebutuhan
hara tanaman dalam waktu singkat sehingga masih dibutuhkan penambahan
pupuk anorganik. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis kompos limbah
perkebunan yang dimanfaatkan untuk tanaman jagung (Zea mays. L) pada
berbagai tingkat pemupukan kimia. Penelitian telah dilaksanakan di kebun
percobaan Kampus C Universitas Muhammadiyah Palembang di Desa Pulau
Semambu Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatra
Selatan, dari bulan Mei sampai Agustus 2017. Percobaan lapangan
menggunakan rancangan petak terbagi (Split-plot design) dengan 12
kombinasi perlakuan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari petak utama yaitu jenis
pupuk organik limbah perkebunan dengan anak petak pemberian pupuk
anorganik NPK. Pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan kompos tandan
kosong kelapa sawit dengan pupuk anorganik NPK 100% menghasilkan
produksi tanaman jagung (Zea mays. L) tertinggi dengan rata-rata produksi
6,89 ton ha-1 pipilan kering.
ABSTRACT

Keywords: South Sumatra is one of the biggest oil palm producers in Indonesia, on the
Plantation waste other hand palm oil waste in the form of empty fruit bunches and LCC
Organic fertilizer (Legume Cover Crop) land cover can be used as organic fertilizer for plants.
Corn Utilization of plantation waste as organic fertilizer is expected to be able to
Lowland improve physical, chemical and biological soil properties, especially to
increase the production of maize on lowland. Lowland in South Sumatra is a
suboptimal land that has a low fertility rate. The use of organic fertilizer from
plantation waste has not been able to meet the needs of plant nutrients in a
short time so that the addition of inorganic fertilizer is still needed. This study
aims to determine the types of compost from plantation waste that is used for
corn (Zea mays. L) at various levels of chemical fertilization. The study was
conducted in the experimental garden Campus C of the Muhammadiyah
University of Palembang in Semambu Island Village, North Indralaya
District, Ogan Ilir Regency, South Sumatra Province, from May to August

20
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

2017. The field trial used a split-plot design with 12 treatment combinations
of 3 replications. The treatment consisted of the main plot, namely the type
of organic fertilizer of plantation waste with NPK inorganic fertilizer
subplots. Observations show that oil palm empty fruit bunch compost
treatment with NPK 100% inorganic fertilizer produced the highest
production of corn (Zea mays. L) with an average production of 6,89 tons ha-
1 dry shelled.

Email korespondensi: iin_siti.aminah@yahoo.com

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki luasan lahan lebak sekitar 13,28 juta Ha diantaranya tersebar di
Sumatera seluas 2,79 juta ha (21%) dengan luasan lahan yang berpotensi untuk pertanian dan
belum dibuka sekitar 10,6% (Nugoroho et al., 1992 dan Irianto, 2006). Sifat kimia lahan rawa
lebak memiliki kandungan C organik dan N tinggi sampai sangat tinggi, C/N ratio 9 – 16, KTK
23 – 48 me/100g tanah, kandungan P tersedia sedang – tinggi, pH tanah masam – sangat masam
4,5 – 5,5 (Subagyo, 2006).
Karakteristik lahan lebak dengan tingkat kesuburan rendah, penggunaan pupuk kimia
anorganik yang melebihi dosis anjuran, maka perlu dikembangkan melalui pengelolaan yang
tepat, diantaranya melalui pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, sehingga dapat dimanfaatkan
secara kerkelanjutan. Salah satu upaya pengelolaan yang tepat yaitu melalui pemanfaatan limbah
kelapa sawit.
Propinsi Sumatera selatan merupakan salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di
Indonesia dengan luasan pertanaman mencapai 866.763 Ha dengan total produksi Tandan Buah
Segar (TBS) pada tahun 2011 mencapai 2,11 juta ton (Dinas Perkebunan, 2011). Dari total TBS,
20-23% menghasilkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) atau tangkos. Tangkos yang
digunakan sebagai kompos dapat menghemat kalium hingga 20% (Naibaho, 1996).
Disamping tangkos sebagai bagian dari limbah sawit, tanaman penutup tanah yang berada
di sekitar area perkebunan sawit adalah LCC atau Leguminosa Cover Crop (LCC) salah satunya
adalah Mucunu bracheata (MB). Tanaman ini toleran tumbuh pada berbagai jenis tanah, sebagai
mulsa organik juga dapat dimanfaatkan sebagai hasil samping berupa kompos yang memiliki
biomasa yang tinggi dengan kandungan N lebih tinggi dari tanaman penutup lain (Siagian, 2003),
selain itu MB meningkatkan berat kering akar pada kelapa sawit menghasilkan (Sembiring,
2015).
Jagung sebagai komoditas tanaman penting setelah padi merupakan tanaman yang mampu
beradaptasi pada kondisi lahan yang masam, melalui teknologi budidaya inovatif yaitu
pemanfaatan limbah organik yang berada di sekitar area perkebunan kelapa sawit. Dari uraian di
atas maka dilakukan percobaan pemanfaatan limbah kelapa sawit dengan penambahan pupuk
kimia anorganik yang diaplikasikan untuk tanaman jagung di lahan lebak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan rawa lebak kebun percobaan Kampus C
Universitas Muhammadiyah Palembang di Desa Pulau Semambu Kecamatan Indralaya Utara
Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumaetra Selatan, pada bulan April sampai dengan bulan Juni
2016. Bahan dan alat yang digunakan yaitu : benih jagung hibrida varietas Pioneer 27, pupuk
organik (kompos tandan kosong, dan kompos LCC berasal dari pabrik sawit), , dolomit EM4,
dedak, gula dengan perbandingan 10 kg tangkos yang telah dicacah/LCC : 1 kg dedak : 1 kg gula
: 10 ml EM4, yang dikomposkan selama kurang dari satu bulan, pupuk Urea, SP36, KCl
diberikan sesuai dengan dosis anjuran, pestisida, alat yang digunakan yaitu : cangkul, gembor,
papan nama, paku, palu, tali rapia, parang, meteran, dan timbangan, sprayer. Aplikasi pemberian

21
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pupuk seminggu sebelum tanam, dengan dosis 10 ton/Ha, luas petakan 1,5 x 3 meter, sebanyak
36 petakan, dengan jarak tanam 60 x 25 cm, dan jarak antar petak 0,5 meter.
Penelitian ini menggunakan rancangan petak terbagi (Split-plot design) dengan 12
kombinasi perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali. Sebagai perlakuan petak utama adalah:
Kompos, dan perlakuan anak petak adalah pupuk kimia: Petak utama (Main Plot): Kompos (B):
B0 = Kontrol (tanpa kompos), B1 = Kompos tankos (tandan kosong), B2 = Kompos LCC,
Anak petak (Sub Plot): Pupuk kimia anorganik (K): K0 = 25 % , K1 = 50 %, K2 = 75 % , K3 = 100
% Dosis pupuk kimia (Urea: 400 kg/ ha, SP36: 150 kg/ ha, KCl: 75 kg/ ha). Peubah yang diamati
meliputi Tinggi tanaman (cm), Jumlah daun (helai), Panjang tongkol (cm), Berat tongkol
pertanaman (g), berat pipilan per petak (kg), produksi per Ha (ton). Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan dilakukan analisis sidik ragam dengan program SAS yang dilanjutkan dengan uji BNJ
taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis tanah sebelum penelitian, menunjukan bahwa kandungan pH H2O 4,64 (tergolong
asam), kapasitas tukar kation 16,34 cmol+ kg (tergolong rendah), C-Organik 3,88 % (tergolong
rendah), N-total 0,28 % (tergolong sedang), P Bray II 225.44 ppm (tergolong sangat tinggi), Ca
2,50 cmol+ kg (tergolong rendah), Mg 0,44 cmol+ kg (tergolong rendah), K 0,22 cmol+ kg
(tergolong rendah), Na 0,04 cmol+ kg (tergolong sangat rendah), Al-dd 3,01 % (tergolong sangat
rendah), tekstur tanah 34,58 % (pasir), 30,66 % (debu), 34,75 % (liat) tergolong tanah lempung
berliat. (PT. Binasawit Makmur Palembang , 2016).
Dilihat dari hasil analisis tanah tersebut, tingkat kesuburan tanah yang digunakan untuk
penelitian ini tergolong rendah. Hal ini ditandai dengan pH H2O tergolong sangat masam, C-
organik rendah, dan N-total sangat rendah, dengan demikian perlu adanya penambahan bahan
organik kedalam tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah berupa pupuk organik (kompos).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2013), yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan
hasil tanaman pada lahan suboptimal perlu dilakukan perbaikan dari aspek kesuburan tanahnya
seperti pengapuran tanah, dan penggunaan pupuk organik yang dalam hal ini memanfaatkan
limbah sawit.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan pemberian jenis kompos limbah
perkebunan dengan penambahan pupuk kimia anorganik pada berbagai tingkat pemupukan
berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati, dan terjadi interaksi antar
perlakuan sebagamana terlihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Hasil Analisis Keragaman Pengaruh Pemberian Jenis Kompos Limbah Perkebunan,
Pemberian Pupuk Kimia Pada Tingkat Pemupukan Dan Interaksi Antar Perlakuan Terhadap Semua
Peubah Yang Diamati
Peubah yang Diamati Perlakuan KK
B K I (%)
Tinggi Tanaman ** ** * 11,22
Jumlah Daun/ Tanaman ** ** ** 8,72
Berat Tongkol/ Tanaman ** ** tn 3,33
Panjang Tongkol/ Tanaman ** ** ** 8,80
Berat Pipilan/ Tongkol ** ** tn 4,97
Hasil Panen/ Hektar ** ** tn 3,34
Keterangan : * Berpengaruh nyata, ** berpengaruh sangat nyata, tn : tidak nyata, B Pupuk limbah perkebunan, K
Penambahan pupuk kimia anorganik, I interaksi, KK Koefisien keragaman

Tabel 1. menunjukkan bahwa semua perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap semua
peubah tanaman, pada interaksi berpengaruh tidak nyata untuk berat tongkol, berat pipilan dan
hasil panen pada tabel 2, 3 dan 4 berikut.

22
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Pengaruh Pemberian Jenis Kompos Limbah Perkebunan dan Pemberian Pupuk Kimia pada
Berbagai Tingkat Pemupukan Serta Interaksi Antar Perlakuan terhadap Peubah Tinggi Tanaman (cm)
Jenis kompos limbah Penambahan pupuk kimia anorganik Rerata
Perkebunan K1 K2 K3 K4 B
B0(tanpa limbah) 154,20a 159,70ba 165,33b 176,00c 163,81a
B1tangkos 179,70c 188,40dc 192,50ef 198,90f 189,87c
B2 LCC 162,00b 175,40c 177,60c 182,10cd 174,27b
Rerata K 165,30a 174,50b 178,48c 185,67d
BNJ B0,05 = 2,05 K0,05 = 2,63 I0,05 = 6,90
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama berarti berbeda
nyata pada taraf uji BNJ0.05

Tabel 3. Pengaruh Pemberian Jenis Kompos Limbah Perkebunan dan Pemberian Pupuk Kimia pada
Berbagai Tingkat Pemupukan Serta Interaksi Antar Perlakuan terhadap Peubah Jumlah Daun/Tanaman
(Helai)
Jenis kompos limbah Penambahan pupuk kimia anorganik Rerata
Perkebunan K1 K2 K3 K4 B
B0(tanpa limbah) 10,80aA 11,60b 12,13cb 12,68edc 11,80a
B1tangkos 12,30 cd 12,92 fed 13,47 gf 14,63h 13,57c
B2 LCC 11,47 b 12,73 edc 13,27 gfe 13,65g 12,78b
Rerata K 11,52 e 12,41 f 12,95 g 13,99h
BNJ B0,05 = 0,24 K0,05 = 0,31 I0,05 = 0,66
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama berarti berbeda
nyata pada taraf uji BNJ0,05

Tabel 4. Pengaruh Pemberian Jenis Kompos Limbah Perkebunan dan Pemberian Pupuk Kimia pada
Berbagai Tingkat Pemupukan Serta Interaksi Antar Perlakuan terhadap Peubah Panjang Tongkol/
Tanaman (cm)
Jenis kompos limbah Penambahan pupuk kimia anorganik Rerata
Perkebunan K1 K2 K3 K4 B
B0(tanpa limbah) 13,58a 16,42cb 17,00cb 17,56dcb 16,14a
B1tangkos 16,75cb 17,70dcb 18,50dc 19,55d 18,13c
B2 LCC 15,51ba 16,62cb 17,36dcb 18,55dc 17,01b
Rerata K 15,28a 16,91b 17,62c 18,65d
BNJ B0,05 = 0,16 K0,05 = 0,20 I0,05 = 2,32
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama berarti berbeda
nyata pada taraf uji BNJ0,05

Dari hasil analisis uji lanjut BNJ0.05 bahwa pemberian pupuk kompos tangkos memberi
hasil tertinggi pada beberapa peubah perlakuan dan terjadi interaksi berbeda sangat nyata pada
tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang tongkol dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk
organik maupun pemberian LCC. Dari hasil analisis laboratorium, kompos tankos memiliki
kandungan C-organik (40,97 %), N-total (1,89 %), P-total (0,341%) dan kandungan K-total
sebesar (0,74 %). Komposisi kandungan unsur hara kompos tankos ini jauh lebih baik
dibandingkan dengan komposisi unsur hara yang dimiliki oleh kompos LCC (C-organik 31,05
%, N-total 2,41 %, P-total 0,355%, K-total 0,19 %. (PT. Binasawit Makmur, 2016). Tangkos
dapat diaplikasikan langsung baik sebagai mulsa maupun kompos organik (Tobing, 2002).
Namun demikian penggunaan kompos tangkos hanya dapat memberikan subsidi sebesar 25%
saja penggunaan pupuk kimia anorganik dalam polybag (Goenadi dan Away, 1995). Pada
penelitian ini pemanfaatan kompos tangkos dengan kondisi lahan suboptimal masih dibutuhkan
penambahan pupuk kimia anorganik 100% untuk mendapatkan berat dan pipilan tertinggi.
Perlakuan pemberian kompos limbah sawit tangkos dengan penambahan pupuk kimia
anorganik pada peubah berat tongkol dan berat pipilan berbeda nyata tetapi tidak terjadi
interaksi, hal ini terjadi karena masing-masing perlakuan memberikan pengaruh yang tidak

23
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

berbeda nyata, (Gambar 1 dan 2). Pemberian kompos tangkos, selain dapat meningkatkan
ketersediaan unsur hara, juga dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas
menahan air, meningkatkan jumlah dan ukuran pori aerasi dan laju infiltrasi, serta memudahkan
penetrasi akar ke dalam lapisan tanah (Sumarni et al.,2010).

180.00 162.27
160.00 145.33 145.14
Berat tongkol/tanaman

140.00 128.24 123.09


120.00 108.74 113.68
111.12
98.72
100.00 93.00
(g)

80.00 75.49

60.00 56.07

40.00

20.00

0.00
B0K1B0K2B0K3B0k4 B1K1B1K2B1K3B1K4 B2K1B2K2B2K3B2k4
Kombinasi perlakuan

Gambar 1. Pengaruh Kombinasi Perlakuan Pemberian Berbagai Jenis Kompos Limbah Perkebunan
dengan Penambahan Pupuk Kimia Anorganik Terhadap Berat Tongkol/ Tanaman (g)

Dari gambar 1 diatas adanya peningkatan berat pada pemberian kompos tangkos dengan
100% penambahan pupuk kimia anorganik 100% sebesar 32% dibandingkan tanpa pemberian
pupuk tangkos dan 10% pada pemberian LCC, Hasil penelitian Ariani (2009) menunjukkan
bahwa aplikasi 250 kg mulsa tangkos /ha pada tanaman cabai dapat meningkatkan >50%
produksi buah cabai dibandingkan tanaman cabai dengan mulsa jerami dan sekam
padi.Pemberian kompos tangkos juga dapat meningkatkan hasil bobot kering biji kedelai dengan
perlakuan kompos 20 ton /ha (Ermadani dan Muzar, 2011).

140.00 129.27
112.33
Berat pipilan/tpmgkol (g)

120.00 108.14

100.00 95.24 86.09


78.12 76.68
80.00 66.74
51.00 61.72
60.00
33.49
40.00
14.07
20.00

0.00
B0K1B0K2B0K3B0k4 B1K1B1K2B1K3B1K4 B2K1B2K2B2K3B2k4
Kombinasi perlakuan

Gambar 2. Pengaruh Kombinasi Perlakuan Pemberian Berbagai Jenis Kompos Limbah Perkebunan
dengan Penambahan Pupuk Kimia Anorganik Terhadap Berat Pipilan/ Tongkol (g).
Aplikasi pemberian tangkos dengan 100% penambahan pupuk kimia anorganik mampu
meningkatkan hhasil panen pada tanaman jagung yang ditanam pada lahan lebak suboptimal.

24
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENUTUP
1. Pemberian tangkos kelapa sawit 10 ton/Ha dengan penambahan pupuk kimia anorganik
100% dosis anjuran mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman jagung yang
ditanam di lahan lebak suboptimal dengan hasil pipilan kering 6,89 ton ha-1
2. Secara statistik terdapat interaksi pada perlakuan pemberian pupuk kompos tangkos, LCC
dan perlakuan tanpa pupuk limbah sawit.

SARAN
Pemanfaatan limbah yang berasal dari perkebunan kelapa sawit berupa tandang kosong
kelapa sawit dan LCC 10 ton ha -1 dapat dimanfaatan sebagai kompos atau penutup tanah dengan
penambahan pupuk kimia anorganik 75% dan dapat meningkatkan hasil panen jagung pipilan
pada lahan lebak

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Gandha SP, yang berperan serta dalam
pelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Ariani, E. 2009. Uji Pupuk NPK Mutiara 16:16:16 dan berbagai jenis mulsa terhadap hasil
tanaman cabai (Capsicum annum L.). SAGU 8 (1): 5-9.
Barus, J. 2013. Pemanfaatan Lahan di bawah Tegakan Kelapa di Lampung. Jurnal Lahan Sub-
optimal. Vol. 2: 1. 68-74
Ermadani, M. dan Muzar, A. 2011. Pengaruh aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit terhadap
hasil kedelai dan perubahan sifat kimia tanah Ultisol. Jurnal Agronomi Indonesia 39
(3):160-167.
Goenadi, D. H dan Away. 1995. Cytophaga sp. And Trichoderma sp. As activators for
composting. Proc. Int. Cong. On Soil of Trop. Forest Ecosystems. 3 rd Conf. on Forest
Soil (ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8 : 184-192.
Irianto, G. 2006. Kebijakan dan pengelolaan air dalam pengembangan lahan rawa lebak.
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Terpadu, 28-29 Juli 2006.
Balittra. Banjarbaru. Hlm: 9-20.
Naibaho, P.M. 1996. Teknologi pengolahan kelapa sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa
Sawit.
Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, A. Adi, H. Suwardjo, dan IPG. Widjaya Adhi 1992.
Peta Areal Potensial untuk Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut, rawa, dan
Pantai. Lap. Hasil Proyek Penelitian SDL. Puslittanak. Bogar.
Sembiring, I. S. BR. 2015. Sifat kimia tanah dystrudepts dan pertumbuhan akar tanaman kelapa
sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang diaplikasi mulsa organik Mucuna bracteata. Skripsi
Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak dipublikasikan).
Siagian N. 2003. Potensi dan pemanfaatan Mucuna bracteata sebagai penutup tanah di
perkebunan karet. Warta Pusat Penelitian Karet. 24(1): 5-12.
Subagyo, A. 2006. Lahan rawa lebak. dalam Didi Ardi S et al. (eds.). Karakteristik dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan
Pertanian. Bogor. HIm. : 99-116.
Sumarni, N dan Roslaini. 2010. Pengaruh Naungan Plastik Transparan, Kerapatan Tanaman dan
Dosis N terhadap Produksi Umbi Bibit Asal Biji Bawang Merah. J. Hort.20 (1) : 52-59

25
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tobing, P. L. et al. 2003. Pengelolaan limbah PKS. Dalam Buana, L., D. Siahaan, dan Adiputra
S. (Eds.) Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Pusat Penelitian
Kelapa Sawit Indonesia. Medan. 5-1 – 5-18.

26
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kemampuan Adaptasi Beberapa Jenis Ubi Banggai (Dioscorea Spp.)


di Lahan Kering Lembah Palu untuk Mendukung Ketahanan Pangan
di Sulawesi Tengah
Muhardi1, Ramadhanil2, dan Muhd. Nur Sangadji1
1 Staf pengajar pada Program Studi Agroteknologi Fak. Pertanian Universitas Tadulako
2 Staf pengajar pada Jurusan Biologi Fak. MIPA Universitas Tadulako

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan paket input teknologi budidaya yang dapat meningkatkan
kemampuan adaptasi jenis ubi banggai yang layak dikembangkan sebagaimana hasil penelitian tahun
sebelumnya. Untuk mencapai tujuan ini dilakukan percobaan budidaya di luar habitat aslinya (di daerah
Lembah Palu) yang diberi perlakuan input ISFM (integrated Soil Fertilyzer Management). Metode
penelitian pada tahap ini adalah percobaan menggunakan rancangan acak kelompok pola petak terpisah
(Split Plot Design). Empat jenis ubi banggai yang dianggap layak dikembangkan dicoba untuk
dibudidayakan di daerah Lembah Palu yang dikombinasikan dengan teknologi budidaya berupa mulsa
dan pemupukan sebagai perlakuan (ISFM). Lokasi penelitian dilakukan di lahan percobaan Politeknik
Palu. Tahap kegiatan meliputi : persiapan (pengambilan bahan tanaman berupa umbi), analisis tanah
dan pembersihan lahan. Tahap kedua adalah pelaksanaan, meliputi : pengukuran dan pembuatan plot
percobaan, pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan, penanaman dan pemeliharaan. Tahap
ketiga adalah pengamatan pertumbuhan, panen dan pengamatan hasil. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat interaksi yang nyata antara jenis/varietas ubi banggai dengan input ISFM yang dicobakan
terhadap peubah diameter umbi dan produksi umbi per-ha. Interaksi yang nyata terjadi pada
jenis/varietas Baku Boan Memeila dan Baku Tu’u terhadap semua taraf input ISFM. Jenis/varietas ubi
banggai Baku Pusus memiliki kemampuan adaptasi agronomis yang lebih baik dibanding jenis/varietas
lainnya.

Email korespondensi: bedepe_adi@yahoo.co.id:

PENDAHULUAN
Badan Ketahanan Pangan melalui Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Kementerian
Pertanian telah mencanangkan salah satu program peningkatan pemanfaatan pangan lokal
berbasis tepung-tepungan. Tujuannya untuk meningkatkan penyediaan bahan pangan lokal dari
tepung-tepungan sebagai produk antara yang dapat mendukung usaha kecil bidang pangan lokal
dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional (BKP, 2011). Terdapat banyak potensi
pangan lokal di Sulawesi Tengah, diantaranya adalah umbi-umbian. Jenis ubi lokal yang belum
banyak mendapat perhatian yaitu dari kelompok ubi gadung atau suku Dioscoreaceae yang
banyak terdapat di Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep). Tanaman ini yang sering disebut
ubi banggai, telah lama menjadi bahan pangan asli (native food) yang dikonsumsi masyarakat
lokal. Oleh karena itu maka tanaman ini dapat dikembangkan sebagai salah satu komoditas
unggulan untuk pangan alternatif pengganti beras. Hingga kini komoditi ini masih menjadi
makanan pokok bagi sebagian masyarakat setempat, namun ditengarai sudah semakin berkurang
konsumsinya karena tergusur oleh komoditi bahan pangan lain seperti beras dan terigu. Dengan
demikian keberadaan ubi banggai di Kabupaten Bangkep makin terabaikan dan dikhawatirkan
kini telah mengalami deplesi jenis tanpa ada tindakan pelestarian terlebih lagi tindakan
peningkatan pemanfaatannya.
Penelitian berkaitan dengan pengembangan komoditas ubi banggai ini belum banyak
dilakukan. Akibatnya, informasi tentang jumlah dan jenis ubi banggai serta daya adaptasi

27
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

tumbuhnya, komponen kimia termasuk kandungan gizi dan antioksidan belum diketahui secara
lengkap. Kondisi ini menarik untuk dikaji agar potensi ubi banggai dapat dikembangkan untuk
menunjang program ketahanan pangan nasional
Hasil survei Rahmatu, Sangadji, dan Ramadanil (2001), menemukan bahwa terdapat
sebanyak 11 spesies ubi banggai yang tergolong dalam famili Dioscoreaceae dan dapat
dikonsumsi. Ubi banggai yang ditemukan di Kabupaten Bangkep memiliki tiga warna umbi yaitu
putih, kuning, dan ungu. Ketiga warna tersebut diduga mengandung antioksidan alami yang
sangat baik untuk kesehatan.
Hal lain yang menunjang kelebihan dari komoditas ubi banggai dari hasil penelitian
Rahmatu dan Nur Alam (2002), ditemukan komponen kimia yang relatif hampir sama dengan
komponen terigu, utamanya karbohidrat sebesar 77,4%, serat kasar 12,92%, air 6,85%, lemak
0,33%, protein 0,41%, dan abu 2,08%. Kelebihan yang dimiliki oleh komoditas tersebut belum
ditunjang dari sisi budidaya dan adaptasinya, sehingga produksi ubi banggai masih terbatas di
Kabupaten Banggai. Kondisi tersebut kurang menunjang ketersediaan bahan baku ubi banggai
sebagai pengganti tepung terigu secara berkelanjutan untuk memenuhi permintaan akan bahan
baku tepung dan produk lainnya.
Beberapa jenis Dioscorea yang tumbuh di Indonesia telah diketahui mempunyai
kandungan karbohidrat tinggi dan sudah biasa dimanfaatkan sebagai pangan. Kadar amilosa
beberapa jenis Dioscorea berkisar antara 14.0-62.3%. Tingginya kadar karbohidrat ini
menunjukkan potensi Dioscorea sebagai bahan pangan alternatif yang berfungsi menggantikan
tepung terigu karena bebas gluten. Meskipun kelemahannya ada beberapa jenis Dioscorea yang
mempunyai kadar HCN cukup tinggi, namun dengan cara pengolahan yang baik, umbi dapat
dikonsumsi (Wulandari, 2009).
Permasalahan pengembangan ubi banggai terkendala pada keterbatasan lahan yang ada di
habitat aslinya, sehingga diperlukan informasi apakah tanaman ubi banggai dapat beradaptasi
dan dikembangkan di luar Kepulauan Banggai. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk
mengetahui kemampuan adaptasi beberapa jenis ubi banggai yang di tanam di daerah Lembah
Palu. Adapun tujuan khususnya adalah mendapatkan jenis yang memiliki daya adaptasi yang
lebih baik, yang dibarengi pemberian paket input teknologi budidaya untuk meningkatkan
kemampuan adaptasi sehingga yang layak dikembangkan di luar habitatnya. Kemampuan
adaptasi merupakan informasi penting untuk melihat prospek pengembangan dari jenis-jenis ubi
banggai tertentu yang dapat diusahakan di daerah lain dengan tidak menghilangkan potensi
genetik dari jenis yang bersangkutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan paket jenis
yang adaptable dan teknologi budidaya yang sesuai sehingga ubi banggai dapat dibudidayakan
dan dikembangkan di tempat lain seperti di Lembah Palu.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan lanjutan tahun sebelumnya yaitu melakukan uji adaptasi dari
beberapa jenis ubi banggai hasil survei yang layak untuk dikonsumsi dengan memberikan input
teknologi budidaya berupa mulsa dan pemupukan. Kegiatan ini dilaksanakan di Kebun
Percobaan Kampus Politeknik Palu, yang terletak di Kelurahan Tondo Kecamatan Mantikulore,
Kota Palu, pada ketinggian 75 meter di atas permukaan laut.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : bibit yang diambil dari umbi
tanaman, bokashi dari limbah ternak sapi sebagai sumber pupuk organik, bahan mulsa jerami
padi, serta pupuk anorganik (Urea, SP36, KCL dan dolomit) yang diperoleh dari toko tani, serta
bamboo tanjaran. Alat yang digunakan adalah pacul, linggis, tali plastik, meteran, timbangan,
cetok tanah, mistar geser, gunting stek, pisau serta alat tulis menulis dan alat dokumentasi.
Penelitian ini dilakukan dalam bentuk percobaan budidaya di luar habitat aslinya (di daerah
Lembah Palu) terhadap 4 (empat) jenis ubi banggai yang dikombinasikan dengan aplikasi
pengelolaan kesuburan tanah secara terpadu atau integrated soil fertility management (ISFM).
Aplikasi ISFM ini berupa pemupukan (organik dan anorganik) dan pemberian mulsa yang diatur

28
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

secara komplementer sesuai taraf perlakuannya. Metode penelitian yang diterapkan pada tahap
ini adalah percobaan lapang dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diatur
secara petak terpisah (split-plot design). Perlakuan yang ditempatkan sebagai petak utama (main
plot) yaitu empat jenis ubi banggai yang diuji adaptasinya ditentukan berdasarkan
kecenderungan petani memilih jenis-jenis yang paling sering ditanam (informasi hasil penelitian
tahun pertama dengan metode Focus Group Discussion, FGD, Sangadji, dkk., 2013). Jenis-jenis
tersebut yaitu : Baku pusus (Dioscorea cf. alata); Baku Boan Memeila (Dioscorea sp1.), Baku
Sombok (Dioscorea cf. deltoidea Wallich ex Kunth) dan Baku Tu’u (Dioscorea glabra Roxb).
Sedangkan perlakuan yang ditempatkan sebagai anak petak (sub plot) yaitu input ISFM,
sebanyak 7 (tujuh) taraf termasuk kontrol, yaitu masing-masing : A = kontrol (tanpa ISFM), B =
Pupuk Anorganik, C = Pupuk Organik, D = Pupuk Anorganik + Mulsa; E = Pupuk Organik +
Mulsa; F = Pupuk Anorganik + pupuk organik; G = Pupuk Anorganik + pupuk organik + mulsa.
Jenis dan dosis pupuk anorganik yang diberikan disesuaikan dengan hasil analisis tanah,
terutama status hara tanah di lokasi penelitian. Status hara yang berada pada harkat dibawah
normal (sedang) akan diberikan hara dengan dosis mengacu pada selisih harkat tersebut.
Berdasarkan status tersebut, maka jenis pupuk anorganik yang diberikan dalam penelitian ini
yaitu (kg/ha) : urea (N), ZA (N dan S), SP36 (P), dolomite (Ca) dan Kisriet (Mg), masing-masing
dengan dosis 252 kg urea, 86 kg SP-36, 125 kg KCl, 290 kg dolomite, 370 kg Kisriet dan 208
kg ZA. Dosis pupuk organik diberikan juga disesuaikan dengan harkat C-organik dalam tanah
di lapisan olah, selisih harkat didapatkan kebutuhan pupuk organik sebanyak 20 ton/ha.
Sedangkan jumlah mulsa yang diberikan yaitu 5 ton/ha.
Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali sebagai kelompok, dengan
demikian terdapat 84 petak percobaan. Petak-petak percobaan dibuat dalam bentuk bedengan
berukuran 2,0 m x 3,0 m x 0,3 m, jarak antar bedengan 0,5 m dan jarak antar ulangan 1,0 m.
Tanah diolah dengan pacul kemudian diratakan dengan alat perata tanah. Selanjutnya dibuat
lubang tanam di atas bedengan dengan jarak 0,75 m x 1,0 m, sehingga dalam bedengan terdapat
8 tanaman. Sebelum penanaman terlebih dahulu diaplikasikan pupuk organik sesuai dengan
perlakuan. Bibit tanaman diambil dari irisan umbi berukuran 4-5 cm x 6-8 cm, kemudian
langsung ditanam dalam lubang tanam dalam posisi berdiri lalu ditutup kembali dengan tanah
pada kedalaman 4-5 cm dari permukaan tanah. Perlakuan pupuk anorganik diberikan sesaat
setelah penanaman, yang diberikan sekeliling bibit dengan radius 10 cm. Pupuk urea dan KCl
diaplikasikan dua kali yaitu pertama saat tanam dan kedua pada saat tanaman berumur 2 bulan
masing-masing setengah dari dosis yang ditetapkan. Aplikasi mulsa diberikan saat sudah muncul
tunas yaitu sekitar 2 minggu setelah tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi : penyiraman,
pemberian kayu tanjaran dan menyiangan gulma. Peubah atau parameter yang diamati yaitu :
peubah pertumbuhan (persentase tumbuh bibit, tinggi tanaman dan jumlah tunas), peubah
produksi tanaman meliputi : persentase tanaman berumbi, jumlah umbi, panjang dan diameter
umbi, bobot umbi per-petak dan hasil umbi per-ha. Data hasil pengamatan dianalisis sidik ragam,
jika terdapat pengaruh nyata atau sangat nyata dilakukan uji lanjut menggunakan Tukey test pada
taraf 95% menurut petunjuk Steel dan Torrie (1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komponen Pertumbuhan Tanaman
Berdasarkan analisis statistika memberi petunjuk bahwa faktor jenis/varietas ubi banggai
sebagai petak utama yang diujicobakan berpengaruh nyata terhadap peubah persentase tumbuh
bibit. Jumlah tunas dan tinggi tanaman umur 8 MST. Sedangkan faktor perlakuan ISFM sebagai
anak petak, dan interaksi antara kedua faktor tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata.
Uji BNJ pada taraf 95% menunjukkan bahwa jenis/varietas Baku Pusus dan Baku Boan Memeila
menghasilkan persentase tumbuh yang nyata lebih tinggi dibanding jenis Baku Sombok dan
Baku Tu’u (Tabel 1). Sedangkan jumlah tunas terbanyak dihasilkan oleh jenis Baku Pusus yang
berbeda nyata dibanding jenis lainnya. Demikian halnya untuk peubah tinggi tanaman,

29
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

nampaknya jenis Baku Tu’u memiliki tinggi tanaman terendah yang berbeda nyata dibanding
jenis lainnya.

Tabel 1. Rata-rata Persentase Tumbuh Bibit, Jumlah Tunas dan Tinggi Tanaman Umur 8 MST.

Persentase Jumlah Tinggi Tanaman


Jenis Tanaman
tumbuh bibit Tunas (cm)

Baku Pusus 84,11a 2,25a 57,61a


Baku Boan Memeila 93,65a 1,44b 61,85a
Baku Sombok 56,35b 1,12b 46,35a
Baku Tu'u 42,86b 1,07b 22,74b
Keterangan : angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut
Uji BNJ pada taraf 95%

Data pada Tabel 1 memberi petunjuk bahwa jenis/spesies yang memiliki daya adaptasi
yang baik adalah Baku Pusus jika dilihat dari aspek pertumbuhan vegetatif tanaman. Hal ini
ditunjukkan oleh ketiga peubah pertumbuhan yang diamati menempatkan jenis ini lebih baik
dibanding jenis lainnya.

Komponen Produksi
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata antara faktor
jenis/spesies ubi banggai sebagai petak utama yang diujicobakan dengan faktor perlakuan ISFM
sebagai anak petak terhadap ukuran diameter umbi dan produksi umbi per-ha luas lahan.
Sedangkan peubah produksi lainnya tidak dipengaruhi oleh interaksi antar kedua faktor
perlakuan yang dicobakan. Rata-rata diameter umbi dan produksi umbi dari berbagai
jenis/spesies dan taraf ISFM disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Diameter Umbi dan Produksi Per-Ha.
Perlakuan ISFM
Jenis/Spesies Ubi Banggai
A B C D E F G
Diamater Umbi (cm)
Baku Pusus 4,85ab 4,40b 5,29ab 4,86ab 5,05ab 5,21ab 5,14ab
Baku Boan Memeila 7,69ab 8,72a 6,64ab 7,25ab 4,50b 7,24ab 6,37ab
Baku Sombok 6,59ab 5,43ab 5,23ab 5,37ab 5,25ab 5,31ab 6,27ab
Baku Tu'u 4,44b 4,55b 5,64ab 6,70ab 5,79ab 8,33a 5,93ab
Produksi Umbi (t.ha-1)
Baku Pusus 5,69ab 3,78ab 6,22ab 6,34ab 6,40ab 4,05ab 6,23ab
Baku Boan Memeila 6,75ab 11,87a 3,95ab 6,75ab 2,65b 6,28ab 5,28ab
Baku Sombok 6,69ab 4,30ab 3,22b 4,12ab 4,22ab 3,17b 6,05ab
Baku Tu'u 2,71b 2,81b 5,20ab 7,83ab 6,97ab 9,82ab 5,13ab
Keterangan : angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji BNJ pada taraf 95%

Data pada Tabel 2 memberi makna perbedaan kemampuan adaptasi jenis/spesies ubi
banggai bila ditinjau dari taraf ISFM yang diberikan terhadap ukuran diameter dan produksi
umbi. Jenis/spesies baku boan memeila dan baku tu’u nampaknya lebih merespon secara nyata
pemberian ISFM dibanding jenis/spesies baku pusus dan baku sombok.
Selanjutnya pada peubah komponen hasil lainnya, yaitu persentase tanaman berumbi,
jumlah umbi dan bobot umbi per-petak nampaknya juga tidak terdapat pengaruh interaski antara
kedua faktor perlakuan yang dicobakan, namun secara tunggal nampak bahwa faktor jenis atau
spesies ubi banggai yang dicobakan berpengaruh secara nyata terhadap ketiga peubah tersebut.

30
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sebaliknya faktor pemberian ISFM tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap
ketiga peubah tersebut. Data rata-rata pengaruh jenis/spesies ubi banggai terhadap peubah
persentase tanaman berumbi, jumlah umbi dan bobot umbi per-petak diperlihatkan pada Tabel
3.

Tabel 3. Rata-Rata Persentase Tanaman Berumbi, Jumlah Umbi dan Bobot Umbi Per-Petak pada
Berbagai Jenis/Spesies Ubi Banggai Yang Ditanam di Lembah Palu

Persentase tanaman Bobot Umbi


Jenis Tanaman Jumlah umbi
berumbi (kg.petak-1)

Baku Pusus 81,75a 8,19a 1,38a


Baku Boan Memeila 57,94b 4,24b 1,04ab
Baku Sombok 46,83bc 2,81b 0,64b
Baku Tu'u 41,27c 2,67b 0,65b
BNJ 95% 0,81 2,2 0,45
Keterangan : angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut
Uji BNJ pada taraf 95%

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa diantara keempat jenis/spesies ubi banggai yang
dicobakan maka jenis Baku pusus lebih memberikan kemampuan beradaptasi yang lebih baik
dibanding jenis lainnya. Hal ini diindikasikan dari peubah persentase tanaman berumbi dan
jumlah umbi yang nyata lebih tinggi dibanding jenis lainnya, sedangkan pada bobot umbi per-
rumpun nampaknya jenis baku pusus tidak berbeda dengan jenis/spesies baku boan memeila. Di
daerah asalnya, baku pusus ditanam tidak lebih banyak dibanding baku tu’u, yang disebabkan
jenis ini penggunaannnya yang terbatas untuk makanan bayi dan penganan ringan. Selain itu,
produktivitasnya masih lebih rendah dibanding baku tu’u sehingga petani di Kabupaten Banggai
lebih banyak menanam jenis baku tu’u, namun dari aspek tekstur, rasa dan aroma jenis baku
pusus lebih menarik bagi konsumen tertentu.
Ukuran diameter umbi dan hasil umbi per-ha dipengaruhi secara nyata oleh interaksi jenis
dan ISFM yang diberikan. Interaksi ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan genetis tanaman yang
memiliki kemampuan yang berbeda dalam merespon kondisi lingkungan yang berkaitan dengan
variasi input pupuk dan mulsa sebagai bagian dari konsep ISFM. Kemampuan adaptasi yang
beragam karena adanya input yang beragam pula sehingga adaptasi akan dianggap lebih
maksimal apabila faktor genotype mampu mengeleminasi berbagai cekaman lingkungan
sehingga proses pertambahan ukuran diameter umbi dan hasil total per-ha berlangsung lebih baik
dibanding pada genotype yang kurang beradaptasi terhadap cekaman tersebut. Selain genetis,
faktor pembatas produksi utama adalah adanya cekaman lingkungan seperti cekaman air,
cekaman hara dan cekaman biologis seperti serangan hama dan penyakit sehingga produksi
tanaman tidak sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Fitter dan Hay (1981), adanya perbedaan
spesies dapat menyebabkan adanya perbedaan penyerapan hara tertentu, yang berarti jenis ubi
Boan Memeila dan jenis ubi Baku Tu’u memiliki genotype yang lebih respon terhadap perlakuan
ISFM. Sedangkan kedua jenis lainnya kurang responsive terhadap ISFM tersebut.
Kemampuan adaptasi yang berbeda dapat diakibatkan perbedaan susunan genetic,
merupakan salah satu faktor penyebab keragaman penampilan tanaman mencakup ekspresi pada
berbagai sifat tanaman termasuk bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan keragaman
pertumbuhan. Menurut Sitompul dan Guritno (1995) keragaman penampilan tanaman akibat
perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan
berasal dari tanaman yang sama. Kemampuan adaptasi dari jenis/varietas ubi banggai yang telah
dicobakan di Lembah Palu belum dapat memberi kesimpulan yang berarti karena masih
diperlukan rangkaian proses yang masih panjang yang tidak saja terkait aspek agronomi tapi juga

31
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

ekonomi dan sosial. Suatu jenis atau varietas dikatakan adaptif apabila dapat tumbuh baik pada
wilayah penyebarannya dengan produksi yang tinggi dan stabil, bernilai ekonomi tinggi, dapat
diterima masyarakat dan berkelanjutan (Somaatmadja, 1995).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dapat
disimpulkan :
1. Perlakuan berbagai jenis/varietas ubi banggai dan input ISFM berpengaruh nyata terhadap
semua peubah yang diamati, kecuali panjang umbi.
2. Terdapat interaksi yang nyata antara jenis/varietas ubi banggai dengan input ISFM yang
dicobakan terhadap peubah diameter umbi dan produksi umbi per-ha. Interaksi yang nyata
terjadi pada jenis/varietas Baku Boan Memeila dan Baku Tu’u terhadap semua taraf input
ISFM.
3. Perlakuan jenis/varietas berpengaruh secara tunggal terhadap komponen pertumbuhan
(persentase tumbuh bibit, jumlah tunas dan tinggi tanaman) serta komponen hasil (persentase
tanaman berumbi, jumlah umbi dan berat segar umbi). Jenis/varietas yang terbaik adalah
Baku Pusus karena menghasilkan semua peubah yang tertinggi dibanding jenis/varietas
lainnya.
4. Input ISFM yang diterapkan tidak berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi tanaman
secara agronomis yang ditunjukkan pada semua peubah pengamatan.
5. Jenis/varietas ubi banggai Baku Pusus memiliki adaptasi agronomis yang lebih baik
dibanding jenis/varietas lainnya.

Saran
Kemampuan adaptasi dari jenis/varietas ubi banggai yang telah dicobakan di Lembah Palu
belum dapat memberi kesimpulan yang berarti karena masih diperlukan rangkaian proses lebih
lanjut, tidak saja terkait aspek agronomi tapi juga aspek ekonomi dan sosial. Mengacu kepada
hasil penelitian yang telah diperoleh, disarankan untuk dilakukan penelitian pada lokasi yang
memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik dari yang dicobakan saat ini, agar diperoleh respon
input teknologi ISFM sehingga diharapkan menjadi dasar dalam menentukan tingkat adaptasi
jenis/varietas yang lebih nyata.

DAFTAR PUSTAKA
BKP. 2011. Pedoman Pelaksanaan Gerakan Program Percepatan Penganekaragaman Pangan
Konsumsi Pangan (P2KP) Tahun 2011. Pusat Penganekaragaman Konsumsi Pangan,
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian R.I., Jakarta.
Fitter, A.H dan R.K.M. Hay. 1987. Enviromental Physiology of Plants. Academic Press London.
Rostiati, Ramadhanil, P., dan M.N. Sangadji, 2001. Inventarisasi dan Identifikasi Tanaman Ubi
Banggai di Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah. Proyek Penelitian ARMP-II, Kerjasama
Universitas Tadulako dengan Balai Penelitian Tanaman Pangan, Palu:Universitas
Tadulako
Rostiati dan Nur Alam, 2002. Karakteristik kimia ubi banggai. Proyek Penelitian ARMP-II,
Kerjasama Universitas Tadulako dengan Balai Penelitian Tanaman Pangan,
Palu:Universitas Tadulako
Sitompul S.M., dan B. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjahmada University
Press, Yogyakarta.

32
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Somaatmadja, S., 1995. Peningkatan Produksi Kedelai Melalui Perakitan Varietas. Dalam
Susilawati, M., Sabran dan Rukayah. Uji Multilokasi Galur Harapan dan Varietas Padi
Terpilih di Lahan Pasang Surut. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/ index.php/
searchkatalog/byId/111500.
Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika (Terjemahan). PT. Gramedia,
Jakarta.
Wulandari, Dyah Retno. 2009. Pengembangan Dioscorea spp. sebagai bahan pangan fungsional
bebas gluten dan konservasinya secara in vitro : dipa. http://www. biotek.lipi.go.id. [26
September 2011].

33
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Aplikasi Abu Sekam Padi yang dikombinasikan dengan Pupuk Hayati


terhadap Pertumbuhan tanaman Padi dan pH Tanah
Application of Rice Husk Ash combined with Biofertilizer
on Rice Plant Growth and Soil pH
Sri Andayani1, Edy Syafril Hayat2, dan Rita Hayati3
1Universitas Panca Bhakti, Pontianak, sriyani.upb@gmail.com
2Universitas Panca Bhakti, Pontianak
3Universitas Tanjungpura, Pontianak

ABSTRAK

Kata Kunci: Lahan suboptimal memiliki keterbatasan kesuburan tanah, antara lain :
Abu rendahnya kadar pH tanah, hara N, P dan K, sehingga akan berdampak
Pupuk Hayati kurang bagus jika dilakukan budidaya tanaman. Alternatif penggunaan abu
pH Tanah sekam padi yang dikombinasikan dengan pupuk hayati merupakan solusi
terbaik untuk meningkatkan kesuburan tanah tersebut. Kondisi Indonesia
dengan kelimpahan keanekaragaman hayati yang cukup banyak dan sumber
daya alam maupun limbah pertanian yang cukup melimpah, memberikan
peluang strategis bagi pengembangan pupuk hayati berbasis bahan lokal.
Tujuan penelitian : untuk mengetahui pengaruh aplikasi abu sekam padi
yang dikombinasikan dengan pupuk hayati terhadap pertumbuhan tanaman
padi dan pH tanah. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen
dalam bentuk Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian dilaksanakan di
desa Sungai Rengas Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya, mulai
bulan Maret 2019 sampai dengan bulan Juli 2019. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan abu sekam padi yang dikombinasikan dengan
pupuk hayati (Trichoderma sp) berpengaruh sangat signifikan pada variable
pH tanah, dimana perlakuan a2j (kombinasi abu sekam padi 150 gr +
Trichoderma sp dari luar) menunjukkan rerata pH tanah tertinggi yaitu 4,92,
sementara untuk variable tinggi tanaman, jumlah klorofil dan jumlah anakan
produktif menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Namun secara umum
terdapat kecenderungan bahwa pemberian kombinasi abu sekam padi dan
pupuk hayati menunjukkan pengaruh terbaik pada jumlah klorofil dan jumlah
anakan produktif pada tanaman padi. Implikasi dari penelitian ini
diharapkan petani dapat memanfaatkan limbah pertanian berupa sekam padi
yang dijadikan abu yang dikombuinasikan dengan pupuk hayati untuk
memperbaiki kesuburan tanah sehingga berdampak pada membaiknya
pertumbuhan tanaman.
ABSTRACT

Keywords: Suboptimal land has limited soil fertility, including: low soil pH levels,
Ash nutrients N, P and K, so that it will have a less good impact if cultivated
Biofertilizer plants. Alternative use of rice husk ash combined with biofertilizer is the best
Soil pH solution to increase soil fertility. The condition of Indonesia, with its
abundant biodiversity and abundant natural resources and agricultural waste,
provides a strategic opportunity for the development of biofertilizers based
on local materials. The research purpose : to determine the effect of the
application of rice husk ash combined with biofertilizer on rice plant growth
and soil pH. The method used is an experimental method in the form of a
Completely Randomized Design (CRD). The research was conducted in

34
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sungai Rengas village, Sungai Kakap Subdistrict, Kubu Raya Regency,


starting in March 2019 until July 2019. The results showed that the
treatment of rice husk ash combined with biofertilizer (Trichoderma sp), had
a very significant effect on soil pH variable where the treatment of a2j
(combination of 150 gr rice husk ash + Trichoderma sp from the outside)
showed the highest average soil pH of 4.92, while for variable plant height,
the amount of chlorophyll and the number of productive tillers showed no
significant effect. But in general there is a tendency that the combination of
rice husk ash and biofertilizer shows the best influence on the amount of
chlorophyll and the number of productive tillers in rice plants. The
implication of this research is that farmers are expected to be able to utilize
agricultural waste in the form of rice husk which is turned into ash combined
with biofertilizer to improve soil fertility so that it will have an impact on
improving plant growth.

Email korespondensi : sriyani.upb@gmail.com

PENDAHULUAN
Indonesia saat ini memiliki lahan suboptimal seluas 157,2 juta hektar (ha). Secara biofisik
dan dengan sentuhan inovasi teknologi pertanian, sekitar 58 % dari lahan suboptimal tersebut
potensial untuk lahan pertanian (Haryono, 2013). Lahan suboptimal secara alamiah mempunyai
produktivitas rendah, sehingga pendekatan yang sudah biasa dilakukan pada lahan optimal tidak
bisa diterapkan pada lahan suboptimal. Lahan suboptimal terdiri dari dua tipologi yaitu lahan
suboptimal basah dan lahan suboptimal kering.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan budidaya tanaman di lahan suboptimal
basah adalah tingginya kemasaman tanah, fluktuasi rejim air, beragamnya kondisi fisiko-kimia
tanahnya, adanya zat beracun, intrusi air garam, dan rendahnya kesuburan alami tanahnya.
Selama ini usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan
pengolahan tanah minimum, tanpa olah tanah, pemupukan, pengapuran/ ameliorasi, introduksi
padi varietas spesifik lokasi, pengaturan air (tata air mikro) dan perbaikan teknik budidaya
(Masulili, A., 2015). Dari hasil penelitian pendahuluan yang telah Tim peneliti lakukan yaitu
aplikasi kompos tandan kosong kelapa sawit sebanyak 5 ton/ha yang dikombinasikan dengan
biomassa krinyu sebanyak 10 ton/ha pada tanah sulfat masam dapat meningkatkan pH dari 5,26
menjadi 6,22 (Hayat, E.S dan S. Andayani, 2014). Untuk itu perlu inovasi teknologi tambahan
yang mampu mengatasi masalah tersebut, salah satunya adalah penggunaan Trichoderma sp.
yang diintegrasikan dengan abu sekam padi. Penggunaan pupuk hayati asal Trichoderma sp
telah dilakukan beberapa penelitian diantaranya menurut paten nomor 44570 (nomor
pengumuman 2016/02991) tentang komposisi pupuk hayati padat yang mengandung kotoran
sapi, decomposer, kascing, mikoriza dan Trichoderma sp serta metode pembuatannya, menurut
penelitian tersebut bahwa komposisi pupuk hayati ini dapat meningkatkan hara bagi tanaman
(Wiku Bakti, B. Adisasmito, S. Aspendira , 2016). Trichoderma sp. dapat membantu
mendegradasi bahan organik sehingga menjadi lebih tersedia bagi pertumbuhan tanaman,
dijelaskan bahwa Trichoderma sp. mampu mendekomposisi lignin, sellulosa, dan kithin dari
bahan organik menjadi unsur hara yang diserap tanaman (Suryanti, T. , Martoedjo, A.H.
Tjokrosoedarmono, dan E. Sulistyaningsih, 2003).
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi spesifik aplikasi pupuk
hayati asal Trichoderma sp yang diintegrasikan dengan abu sekam padi untuk meningkatkan
produktivitas tanah suboptimal basah.

35
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Luas lahan suboptimal di Indonesia 157,2 ha, yang sesuai untuk pertanian mencapai 91,9
juta hektar (ha), dari luasan tersebut terdapat sekitar 21,5 juta ha (23,5 %) merupakan lahan
suboptimal basah (Lakitan, B, dan N. Gofar, 2013). Lahan suboptimal basah antara lain meliputi
lahan rawa pasang surut. Lahan rawa pasang surut dicirikan oleh kondisi aquik (jenuh air) dan
mempunyai bahan sulfidik (besi sulfida) yang lebih dikenal dengan pirit, umumnya bereaksi
masam ekstrim (pH<4) sehingga sering disebut sulfat masam (Subagyo , H. 2006). Pada lahan
sulfat masam, yang menjadi masalah dalam pengembangan pertanian meliputi : kemasaman
tanah dan air sangat tinggi; kandungan aluminium (Al), besi (Fe) dan hidrogen sulfida (H2S)
tinggi, dan ketersediaan unsur hara terutama P dan K rendah.
Produksi padi di lahan pasang surut hingga saat ini masih tergolong rendah. Rata-rata
produksi padi baru mencapai 2,5 ton/ha, padahal potensi hasil dapat mencapai 4,0-5,0 ton/ha
(Sabran M, R. Ramli, R. Massinai, dan MA Firmansyah, 2003). Rendahnya produktivitas
tersebut disebabkan kendala diantaranya kesuburan tanah rendah, pH rendah, adanya zat
beracun Fe dan Al, serta fluktuasi air yang tergantung pada pasang surut air sungai. Selain itu
pertumbuhan tanaman padi di lahan pasang surut terganggu jika tidak dipupuk dengan salah satu
dari ketiga unsur yaitu N, P, K (Masganti dan Fauziati, 2001).
Berkaitan dengan hal terserbut, pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan
pupuk merupakan faktor penting untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas
lahan. Bahan pembenah tanah tersebut dapat berupa kapur (kalsit dan dolomit) maupun abu (abu
sekam padi dan abu serbuk kayu gergajian). Takaran bahan amelioran secara tepat tergantung
kepada kondisi lahan terutama pH tanah (Nazemi, D., A. Hairani, dan Nurita, 2012). Pemanfaatan
abu sekam padi sebagai amelioran tanah suboptimal sudah banyak dilakukan, diantaranya
pemberian abu sekam padi sebanyak 10 ton/ha mempengaruhi sifat kimia tanah sulfat masam yaitu
berpengaruh nyata meningkatkan pH tanah, C, KTK, K, dan Ca dibandingkan perlakuan kontrol
(Masulili, A, W.H. Utomo, Syechfani MS, 2010). Penelitian tentang penggunaan bahan silika pada
tanaman padi sawah menunjukkan bahwa penambahan abu sekam dan pupuk silika agrosil yang
diaplikasikan pada tanah menunjukkan efek yang sama pada pengamatan sifat kimia tanah yaitu P
tersedia dan Si tersedia (Yohana, O., H. Hanum, dan Supriadi., 2013). Selanjutnya penelitian
aplikasi abu sekam padi berpengaruh nyata meningkatkan pH tanah, C-organik, N-total, C/N Ratio,
P-tersedia dan biji jagung (Njoku C, Urugu B.N., dan Mbah C.N. 2015). Pemberian abu sekam padi
dan trichokompos jerami padi berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, laju pertumbuhan
tanaman,berat kering tanaman dan panjang tongkol jagung tanpa kelobot, dan pemberian abu sekam
padi 9 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah gambut (M. Seipin, J. Sjofjan, E. Ariani. 2015). Hasil
penelitian Hayat, E.S., dan S Andayani, 2017, menunjukkan bahwa kompos tandan kosong kelapa
sawit yang di perkaya dengan lumpur laut mampu meningkatkan pH tanah suboptimal dan jumlah
anakan produktif tanaman padi.
Perbaikan kondisi kesuburan tanah yang paling praktis adalah dengan penambahan pupuk
ke tanah. Namun perlu diperhatikan keseimbangan kesuburan tanah sehingga pupuk yang
diberikan dapat efektif dan efisien. Penambahan pupuk anorganik yang menyediakan ion mineral
siap saji saja, akan merusak kesuburan fisik tanah, dimana tanah menjadi keras dan kompak.
Dengan demikian, aplikasi pupuk organik akan sangat memperbaiki kondisi tanah. Namun
pupuk organik lebih lambat untuk terurai menjadi ion mineral, apalagi jika aplikasinya hanya
berupa penambahan bahan organik mentah saja. Maka dari itu kandungan mikroorganisme tanah
juga perlu diperkaya untuk mempercepat dekomposisi, sehingga kesuburan tanah dapat terjaga.
Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah adalah
jamur Trichoderma sp. Spesies Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula
berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies
Trichoderma telah dilaporkan sebagai agensia hayati seperti T. harzianum, T. viridae, dan T.
konigii yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan jamur Trichoderma
diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah

36
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku
sebagai biofungisida,yang berperan mengendalikan organisme pathogen penyebab penyakit
tanaman (Herlina L., dan P. Dewi, 2010).

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan (experimental design),
dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian menggunakan abu sekam padi
(a) yang dikombinasikan dengan pupuk hayati berupa agensia hayati Trichoderma sp yang
berasal dari luar (j) dan agensia hayati Trichoderma sp lokal (p). Terdapat 7 perlakuan dalam
penelitian ini yaitu : (apj)0 = tanpa abu sekam padi dan tanpa Trichoderma sp, a1p = abu sekam
padi 75 gram + Trichoderma sp lokal, a2p = abu sekam padi 150 gram + Trichoderma sp lokal,
a3p = abu sekam padi 225 gram + Trichoderma sp lokal, a1j = abu sekam padi 75 gram +
Trichoderma sp luar, a2j = abu sekam padi 150 gram + Trichoderma sp luar, a3j = abu sekam
padi 225 gram + Trichoderma sp luar. Setiap perlakuan diulang 4 kali sehingga dihasilkan 28
unit percobaan. Penelitian dilakukan di polybag di Desa Sungai Rengas Kecamatan Sungai
Kakap Kabupaten Kubu Raya, dengan jumlah tanaman sampel sebanyak 84 tanaman (28 unit
percobaan x 3 polybag). Model matematika dari rancangan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
Yij = µ+ ai + Eij
Keterangan :
Yij = respon variabel pengamatan; µ = nilai tengah pupulasi (rata-rata); ai = aditif perlakuan
ke i ; Eij = galat dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j

Variabel pengamatan dalam penelitian ini adalah pH tanah, tinggi tanaman, jumlah klorofil
dan jumlah anakan produktif. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan terhadap
variabel pengamatan maka dilakukan analisis keragaman (anova) dengan menggunakan uji F
pada taraf kepercayaan 5 % dan 1 %, dan apabila dari uji F ini terdapat pengaruh yang signifikan
atau sangat signifikan, akan dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5 %.
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah : tanah suboptimal basah
yang berasal dari lahan pasang surut di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap,
Kabupaten Kubu Raya, benih padi varietas Sertani 13, abu sekam padi yang berasal dari limbah
penggilingan padi, pupuk hayati, yang mengandung agensia hayati utama : Trichoderma sp lokal
dan Trichoderma sp dari luar.
Penelitian dilakukan dengan tahapan : persiapan tanah, aplikasi abu sekam padi, aplikasi
Trichoderma sp., penyemaian benih padi, penanaman, pemeliharaan, panen, pengamatan
variabel penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis keragaman data aplikasi abu sekam padi dan pupuk hayati Trichoderma sp.
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Variabel pengamatan pH Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Akibat Aplikasi Abu Sekam
Padi Dan Pupuk Hayati Trichoderma sp.
Variabel Rerata Hasil Pengamatan Uji F
pH awal 3,78 -
pH setelah inkubasi 1 bulan 4,92 Sangat signifikan
Tinggi tanaman 103,23 cm Tidak signifikan
Jumlah Klorofil 34,68 unit Tidak signifikan
Jumlah anaakan produktif 12,18 anakan Tidak signifikan
Sumber : Hasil Analisis Data, 2019

37
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Berdasarkan Tabel 1 bahwa aplikasi abu sekam padi dan pupuk hayati Trichoderma sp.
memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pH tanah, sementara untuk tinggi
tanaman, jumlah klorofil dan jumlah anakan produktif memberikan pengaruh yang tidak
signifikan.

1. pH tanah
Berdasarkan hasil penelitian, setelah pemberian abu sekam padi yang diinkubasikan selama
1 bulan, dengan kombinasi perlakuan Trichoderma sp dapat meningkatkan pH tanah, awalnya
pH tanah 3,78 naik berkisar antara 4,22 sampai 4,92. Abu merupakan salah satu bahan yang
dapat digunakan sebagai pengganti kapur, hal ini disebabkan abu mengandung unsur Ca dan
Mg. Dari hasil analisis abu sekam padi yang digunakan dalam penelitian ini mengandung Ca
: 0,20%, Mg = 0,07% , K = 1,33% dan pH-nya = 9,04%. Menurut Soepardi (1983), Ca dan
Mg dapat menetralisir pH tanah, sehingga pH tanah meningkat. Kalsium mengadakan reaksi
dengan koloid tanah, hal ini disebabkan karena bahan koloid tanah akan terus menghalangi
reaksi-reaksi keseimbangan dengan mengadsorbsi ion kalsium. Akibat adanya adsorpsi Ca
tersebut, maka persentase kejenuhan basa dari komplek adsorbsi akan naik, dengan demikian
pH lartutan tanah juga akan meningkat (Hakim, 1986). Seperti halnya Ca, Mg juga dapat
mengurangi kemasaman tanah, dalam hal ini Mg berperan dapat menggantikan kedudukan
ion hydrogen dari kompleks adsorbsi.
Peningkatan pH tanah yang berkisar antara 4,22-4,92 sudah memenuhi syarat tumbuh
tanaman padi. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada pH tanah yang berkisar antara
4-7. Peningkatan pH tanah pada kisaran ini dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara
dalam tanah, sehingga serapan hara akan lebih baik, hal ini tentunya dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman padi. Naiknya pH tanah menyebabkan unsur hara yang terdapat dalam
tanah menjadi tersedia sehingga tanaman dapat dengan mudah menyerapnya. Semakin
banyak unsur hara yang diserap oleh tanaman terutama N, P, K, maka proses pembentukan
senyawa-senyawa organik meningkat melalui proses kimia dalam tanaman untuk membentuk
bagian-bagian tanaman.
Pengaruh Trichoderma sp terhadap peningkatan pH terjadi akibat proses dekomposisi
jerami padi yang diaplikasikan dalam perlakuan. Hasil proses dekomposisi tersebut
menghasilkan sejumlah kation-kation, OH- yang dilepas pada pembentukan kompleks
organik. Menurut Sanchez (1992) meningkatnya pH dikarenakan terbentuknya khelat, khelat
dapat terbentuk apabila asam humat dan asam fulvat terbentuk dari hasil dekomposisi jerami
yang bergabung dengan kation-kation tersebut.

2. Pertumbuhan tanaman padi


Pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor
dalam dan luar tanaman. Faktor dalam sering digambarkan sebagai kemampuan genetis yang
dimiliki oleh suatu tanaman. Faktor luar adalah faktor yang berasal dari luar tanaman, seperti
faktor lingkungan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman erat hubungannya dengan kedua
faktor tersebut, apabila salah satu atau semua faktor tidak mendukung maka pertumbuhan dan
perkembangan tanaman tidak dapat berjalan dengan baik. Pertambahan tinggi tanaman terjadi
akibat adanya pembelahan dan pemanjangan sel (Gardner et al., 1991). Daun berperan sebagai
tempat berlangsungnya proses fotosintesis bagi tanaman, hal ini tidak terlepas dari banyak
sedikitnya klorofil yang terdapat pada daun. Semakin banyak klorofil pada daun maka akan
semakin meningkat pula proses fotosintesis yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, bahwa perlakuan abu sekam padi dan Trichoderma sp memberikan pengaruh yang
tidak nyata terhadap tinggi, jumlah klorofil dan jumlah anakan produktif, sementara hal ini
diduga perlakuan yang diberikan belum mampu memberikan pertumbuhan yang baik bagi
tanaman padi

38
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENUTUP
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. Abu sekam padi memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas lahan pasang surut,
tetutama kemampuannya untuk meningkatkan pH tanah, mengingat tingginya
kandungan basa-basa dapat tukar seperti Ca, Mg, K, dan Na.
2. Pemanfaatan Trichoderma sp sebagai pupuk hayati dapat membantu
penguraian/pengomposan bahan organik tanah sehingga dapat meningkatkan kualitas
lahan

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi Dikti yang
telah membantu pendanaan sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA
Fahmi, A.,B. Radjagukguk dan B.H. Purwanto. 2014. Interaction of peat Soil and Sulphidic
material Substratum : Role of Peat Layer and Groundwater Level Fluctuations on
Phosphorus concentration. J. Tanah Trop.
Hakim, N., M. Yusuf, A.M. Lubis, Sutopo G.N., M. Amin, G. B. Hong, dan H. N. Barley. 1986.
Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung
Haryono. 2013., Strategi Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan
Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal, Palembang.
Hayat, E.S dan S. Andayani, 2014., Pengelolaan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit dan
Aplikasi Biomassa Chromolaena odorata terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi
serta Sifat Tanah Sulfaquent, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 17, No. 2,
Desember 2014, PTLR BATAN.
Hayat, E.S., dan S Andayani, 2017. Optimalisasi Lahan Suboptimal Pasang Surut melalui
Aplikasi Biochar Sekam Padi, Biomassa Chromolaena odorata dan Pupuk Hayati
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi serta Kualitas Tanah. Laporan Penelitian
Strategis Nasional Institusi, Universitas Panca Bhakti, Pontianak.
Herlina L., dan P. Dewi, 2010, Penggunaan Kompos Aktif Trichoderma harzianum dalam
meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Cabe, Jurnal Unnes Vol. 8 No. 2.
Kiswondo, S. 2011. Penggunaan Abu Sekam dan Pupuk ZA terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Tomat (Lycopersicum wsculentum Mill.). Embryo Vol 8 No.1 Juni 2011. ISSN
0216-0188.
Kuswadi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisius. Yogyakarta,.
Lakitan, B, dan N. Gofar, 2013. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan
Suboptimal Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal, Palembang
20-21 September 2013.
Masganti dan Fauziati, 2001, Pemupukan N,P dan K pada Tanaman Padi di Lahan Bergambut
Bukaan Baru. Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa, Puslitbangtan, Bogor.
Masulili, A, 2015., Pengelolaan lahan Sulfat Masam untuk Pengembangan Pertanian, Jurnal
Agrosain Vol 12, nomor 2.
Masulili, A. Suryantini, A.Tutik PI. 2014. Pemanfaatan Biochar untuk Memperbaiki Beberapa
Sifat Tanah Sulfat Masam Sungai Kakap, Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional

39
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Badan Penelitian dan Pengembangan


Pertanian.
Masulili, A, W.H. Utomo, Syechfani MS, 2010. Rice Husk Biochar for Rice Based Cropping
System in Acid Soil 1. The Characteristics of Rice Husk Biochar and Its Influence on the
Properties of Acid Sulfate Soils and Rice Growth in West Kalimantan, Indonesia. Journal
of Agricultural Science. Vol 2, No.1. March 2010.
M. Seipin, J. Sjofjan, E. Ariani. 2015. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Manis (Zea
mays saccharata Sturt) Pada Lahan Gambut yang Diberi Abu Sekam Padi dan
Trichokompos Jerami Padi.
Mulyani, A dan M. Sarwani. 2013. Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal untuk
Pengembangan Pertanian di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub Optimal
“Intensifikasi Pengelolaan Lahan Sub Optimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian
Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-501-9.
Nazemi, D., A. Hairani, dan Nurita, 2012., Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut
Melalui Pengelolaan Lahan dan Komoditas, Agrivor 5, 52-58.
Njoku C, Urugu B.N., dan Mbah C.N. 2015. Effect of Rice Husk Dust on Selected Soil Chemical
Properties and Maize Grain Yield in Abakaliki, South Eastern Nigeria. Applied Science
Reports, 12 (3), Retrieved from www.pscipub.com (DOI : 10.15192/
PSCP.ASR.2015.12.3.143149).
Sabran M, R. Ramli, R. Massinai, dan MA Firmansyah, 2003, Alternatif Kebijakan Peningkatan
Produksi Beras di Kalimantan Tengah. Prosiding Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian
Teknologi Pertanian, Balitbangtan, PSE, Bogor.
Subagyo, H. 2006. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Suryanti, T. , Martoedjo, A.H. Tjokrosoedarmono, dan E. Sulistyaningsih, 2003. Pengendalian
Penyakit akar Merah Anggur pada Teh dengan Trichoderma sp. Prosiding Kongres
Nasional XVII dan Seminar Nasional FPI, Bandung.
Wiku Bakti, B. Adisasmito, S. Aspendira. 2016. Komposisi Pupuk Hayati Padat yang
mengandung kotoran sapi, decomposer, kascing, mikoriza, dan trichoderma serta metode
pembuatannya (Nomor Paten : 44570, No. Pengumuman : 2016/02991).
Yohana, O., H. Hanum, dan Supriadi., 2013., Pemberian Bahan Silika pada Tanah Sawah
Berkadar P Total Tinggi untuk Memperbaiki Ketersediaan P dan Si Tanah, Pertumbuhan
dan Produksi Padi (Oryza sativa L,), Jurnal online Agroteknologi Vol 1, No. 4, September
2013.

40
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Aplikasi Pupuk Pelengkap Cair pada Beberapa Varietas Kedelai


(Glycine max L.) untuk Pertumbuhan dan Komponen Hasil
The Application of Liquid Folliar Fertilizer on Several Soybean
Varieties (Glycine max L.) for Growth and Yield Components
Elza Zuhry1, Aslim Rasyad1, dan Leona Listiarini Hutajulu1
1Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan dan hasil
pupuk daun, terbaik dari beberapa varietas kedelai yang diberi pupuk pelengkap cair
varietas kedelai, dengan berbagai konsentrasi. Penelitian ini telah dilaksanakan di kebun
pertumbuhan tanaman, percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau pada bulan Maret 2018
komponen hasil sampai Mei 2018 menurut rancangan petak terbagi dengan 3 ulangan. Petak
utama adalah pupuk daun terdiri dari 3 taraf yaitu tanpa pemberian pupuk
pelengkap cair (PPC), pemberian PPC konsentras 2 g.l-1 air dan PPC dengan
konsentrasi 4 g.l-1 air. Anak petak adalah lima varietas kedelai yaitu varietas
Anjasmoro, Burangrang, Dena 1, Dega 1 dan Detam 1. Parameter yang
diamati adalah tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, kecepatan
penumpukan bahan kering, waktu pengisian biji efektif, jumlah polong
bernas, jumlah biji per tanaman, berat 100 biji, berat biji per m2. Data
dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi dari
beberapa varietas kedelai yang diteliti. Terdapat peningkatan terhadap
komponen hasil dari pemberian PPC dengan konsentrasi yang berbeda.
Pemberian pupuk pelengkap cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap
tinggi tanaman, umur berbunga dan berat biji per m2 namun tidak
berpengaruh pada parameter lainnya. Interaksi antara varietas dengan
pemberian pupuk cair berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman
dan umur berbunga namun tidak berpengaruh pada parameter lainnya. Ini
menunjukkan pentingnya penggunaan pupuk daun untuk meningkatkan
pertumbuhan dan komponen hasil varietas kedelai. Dari hasil penelitian
disarankan menggunakan PPC melalui daun dengan konsentrasi 2 g.l-1 air,
dan varietas yang dianjurkan adalah Anjasmoro.
ABSTRACT

Keywords: This study attempt to determine the impact of liquid foliar fertilizer (LFF)
folliar fertilizer, application to several soybean varieties on crop growth and yield
soybean varieties, components. This experiment was conducted in the Experimental Farm of
crop growth, the Agriculture Faculty, the University of Riau from March 2018 to May
yield components 2018 in a split-plot design with three replications. Three rates of foliar
fertilizer; ie, without LFF, LFF with a concentration of 2 g.l-1 of water, and
LFF with concentration of 4 g.l-1 of water were assigned as the main plot.
Five soybean varieties, namely Anjasmoro, Burangrang, Dena 1, Dega 1 and
Detam 1 were used as subplot. Parameters observed were plant height,
flowering date, harvesting date, seed growth accumulation rate, effective
filling period, number of filled pods per plant, number of seeds per plant,
weight of 100 seeds, and seed weight per m2. Data were analyzed by the
analysis of variance then followed by Duncan's multiple range test at a level

41
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

of 5% probability. The results showed a variation of several soybean


varieties. There is a tendency of an increase in some yield components due
to application of LFF and between low to compare higher concentration of
LFF. Application of LFF as supplementary fertilizer has significant effect on
plant height, flowering date, and seed weight per m2 but has no effect on other
parameters. Interaction between varieties with LFF affected significantly
plant hight and flowering dates in which application of LFF tended to
shortened time to flower and resulted taller plant height. This indicates the
important use of foliar fertilizer to improve yield and yield components of
soybean varieties. From the research, suggested used PPC through the leaf
with concentrate 2 g.l-1 and varieties which suggested is Anjasmoro.

* Email Korespondensi : elzazuhry@gmail.com

PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max L.) merupakan komoditas pangan yang dijadikan sebagai sumber
makanan bergizi tinggi bagi manusia karena dalam bijinya terkandung protein 35%, lemak
mencapai 18% dan karbohidrat 35% berdasarkan berat basah serta berbagai vitamin dan mineral
(Suprapto, 1985). Selama ini produksi kedelai di Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan
kedelai yang banyaknya 2,56 juta ton per tahun, karena hanya mampu menghasilkan 960 ribu
ton (Food and Agriculture Organization, 2017). Oleh sebab itu, untuk mencukupi kebutuhan
dalam negeri dilakukan impor dari berbagai produsen luar negeri.
Salah satu sebab kurangnya produksi kedelai dalam negeri adalah rendahnya produktivitas
kedelai akibat teknik budidaya yang kurang baik dan lingkungan tanaman yang kurang
mendukung.
Teknologi pemupukan yang dilakukan melalui daun masih terbatas dipraktikkan petani
padahal cara ini mampu menyediakan unsur hara yang kurang atau bahkan tidak tersedia di
tanah. Pupuk Gandasil B mengandung unsur hara makro dan mikro yang sangat diperlukan pada
fase pertumbuhan generatif. Gandasil B merupakan pupuk kompleks yang lebih banyak
mengandung unsur P dan K dibanding N. Unsur P dapat merangsang pertumbuhan tanaman
(Sutiyoso, 2004), sedangkan unsur K berperan dalam asimilasi karbohidrat yang berpengaruh
terhadap pembentukan daun (Lingga, 2007).
Pupuk Gandasil B mengandung unsur hara nitrogen 6%, fosfor 20%, kalium 30% dan
magnesium 3%. Selain itu terdapat beberapa unsur hara mikro seperti cobalt (Co), tembaga (Cu),
boron (Br) dan seng (Zn) yang mempunyai beberapa manfaat di antaranya dapat mendorong dan
meningkatkan pembentukan klorofil, dan jumlah buah serta meningkatkan kemampuan
fotosintesis tanaman (Sutapraja dan Sumpena, 2003). Berdasarkan pertimbangan di atas, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Aplikasi Pupuk Pelengkap Cair pada Beberapa Varietas
Kedelai (Glycine max L.) untuk Pertumbuhan dan Komponen Hasil ”

KERANGKA TEORI
Rendahnya produktivitas kedelai sebenarnya dapat diminimalisir di antaranya dengan
perbaikan teknik budidaya melalui sistem pemupukan dan penggunaan varietas unggul. Selama
ini kedelai yang dibudidayakan di Indonesia adalah jenis yang berkulit kuning, sementara kedelai
berkulit hitam kurang mendapat perhatian. Kedelai hitam mengandung banyak anthosianin yang
mempunyai aktivitas antioksidan, sehingga dapat dijadikan bahan makanan sehat yang mampu
mencegah berbagai penyakit (Purwanto, 2004).
Pemberian pupuk yang banyak dilakukan oleh petani di Indonesia adalah melalui tanah,
sedangkan untuk pemupukan melalui daun masih terbatas diterapkan. Selain itu petani lebih
banyak menggunakan pupuk anorganik, karena pupuk anorganik memiliki beberapa kelebihan,

42
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

di antaranya adalah meringankan biaya angkutan, mudah diperoleh karena banyak terdapat di
pasaran, dapat disimpan lama dan nutrisi yang tersedia cukup tinggi.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini telah dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Riau,
Pekanbaru. Jenis tanah di lokasi percobaan adalah Ultisol dengan kesuburan yang relatif rendah.
Penelitian dilakukan selama 3 bulan dari Maret 2018 sampai Mei 2018.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai kuning dan kedelai hitam,
pupuk Gandasil B sebagai pupuk pelengkap cair (PPC), pupuk Urea, TSP dan KCl, Agrisoy,
insektisida Decis 25 EC, dan fungisida Dithane M 45.
Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari timbangan manual, timbangan analitik,
oven, meteran, sprayer gendong, cangkul, parang, gembor, selang air ukuran 50 meter, mistar,
pancang, ember, dan alat dokumentasi. Penelitian dilakukan secara eksperimen yang disusun
menurut rancangan petak terbagi. Sebagai petak utama adalah konsentrasi pupuk pelengkap cair
Gandasil B yang terdiri dari tiga taraf yaitu :
P1= Tanpa Gandasil B
P2= Konsentrasi Gandasil B 2 g. l-1 air
P3= Konsentrasi Gandasil B 4 g. l-1 air
Sebagai anak petak adalah lima varietas kedelai yaitu :
V1= Varietas Anjasmoro
V2= Varietas Burangrang
V3= Varietas Dena 1
V4= Varietas Dega 1
V5= Varietas Detam 1
Berdasarkan kedua faktor di atas, diperoleh 15 kombinasi perlakuan dimana setiap
kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 45 satuan percobaan. Peubah
yang diamati adalah tinggi tanaman, waktu berbunga, waktu panen, kecepatan penumpukan
bahan kering biji, waktu pengisian efektif biji, jumlah polong bernas, jumlah biji per tanaman,
bobot 100 biji dan hasil biji m-2. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan analisis
ragam kemudian di lanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman
Tabel 1 memperlihatkan bahwa pemberian PPC cenderung meambah tinggi batang dimana
semakin tinggi konsentrasi PPC yang diaplikasikan, semakin tinggi batang tanaman. Perbedaan
tinggi tanaman antar varietas juga terlihat karena genetik masing-masing varietas yang bervariasi
sehingga tanaman mengalami pertumbuhan yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa keragaman penampilan tanaman akibat
faktor genetik mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan sama.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa tanaman yang tidak diberi PPC, tinggi tanamannya
berbeda antar varietasnya kecuali Dena 1 dan Detam 1. Aplikasi PPC 2 g.l-1 air menunjukkan
tinggi tanaman antar varietas berbeda cukup signifikan dimana varietas Anjasmoro mempunyai
batang yang tertinggi dan Dega 1 yang terendah. Pada aplikasi PPC 4 g.l-1 air, urutan rankingnya
relatif sama dengan aplikasi PPC 2 g.l-1 air kecuali Anjasmoro. Dari ke tiga konsentrasi PPC di
atas dapat dilihat bahwa Dega 1 relatif tidak respon terhadap pemberian PPC pada parameter
tinggi tanaman, sementara varietas lainnya cukup respon. Pengaruh konsentrasi PPC
menunjukkan perbedaan secara nyata terhadap tinggi tanaman. Penggunaan PPC pada berbagai
varietas direspon positif terhadap pertumbuhan pada fase vegetatif, sehubungan dengan
komposisi pupuk Gandasil B mengandung 6% N, 20% P2O5, 30% K2O dan 3% Mg yang
mendukung proses pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihmantoro (1996) bahwa

43
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pupuk pelengkap cair merupakan pupuk anorganik yang mengandung unsur hara makro, salah
satunya adalah nitrogen yang merangsang pertumbuhan vegetatif terutama tinggi tanaman.

Tabel 1. Tinggi Tanaman Beberapa Varietas Kedelai yang Diberi PPC.


PPC (g.l-1)
Varietas
0 2 4 Rerata Varietas
.....cm.....
Anjasmoro 68,01 ab 83,9 a 83,14 b 78,35 ab
Burangrang 73,36 a 79,84 ab 92,41 a 81,87 a
Dena 1 63,89 b 76,61 b 86,28 b 75,59 b
Dega 1 51,42 c 50,92 d 56,67 d 53,00 d
Detam 1 65,82 b 70,37 c 75,01 c 70,40 c
Rerata PPC 64,50 C 72,33 B 78,70 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Umur Berbunga
Berdasarkan rataannya, pemberian PPC cenderung mempercepat umur munculnya bunga.
Tanaman yang diaplikasi PPC semakin cepat umur berbunganya sekitar satu sampai dua hari
dibandingkan dengan yang tidak diberi PPC. Cepatnya saat berbunga pada tanaman yang diberi
PPC disebabkan tingginya kandungan hara P yang dapat langsung diserap tanaman melalui
daun, sehingga mempercepat inisiasi bunga pada tanaman yang diaplikasi PPC.

Tabel 2. Umur Berbunga Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC


PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
.....hari.....
Anjasmoro 36,67 a 36,00 b 35,67 b 36,11 b
Burangrang 37,33 a 37,00 a 37,00 a 37,11 a
Dena 1 36,67 a 34,33 c 34,00 c 35,00 c
Dega 1 29,33 b 29,33 d 26,33 d 28,33 d
Detam 1 37,00 a 36,00 b 36,33 b 36,44 ab
Rerata PPC 35,40 A 34,53 B 33,87 C
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Rataan umur berbunga tanaman bervariasi antar varietasnya dimana umur berbunga yang
paling cepat adalah varietas Dega 1, sedangkan yang paling lambat berbunga adalah varietas
Burangrang. Dega 1 berbunga lebih cepat 7 hari dibandingkan varietas lainnya. Memper-hatikan
rangking varietas pada setiap konsentrasi PPC, terlihat antar varietas tanaman yang tidak diberi
PPC, waktu berbunganya hampir sama pada mayoritas varietas kecuali varietas Dega 1.
Tanaman yang dipupuk dengan PPC sebanyak 2 g.l-1 air dan 4 g.l-1 air menunjukkan perbedaan
yang cukup signifikan antar varietas dimana Burangrang berbunga lebih lambat diikuti
Anjasmoro dan Detam 1, Dena 1 dan yang tercepat Dega 1.
Varietas Dega 1 adalah varietas dengan umur berbunga yang lebih cepat dibandingkan
dengan varietas lainnya dan dalam penelitian ini lebih cepat umur berbunganya dibanding
deskripsi. Hal ini dapat disebabkan varietas ini menyerap unsur hara yang terkandung di PPC
lebih cepat sehingga berbunga lebih cepat. Pupuk pelengkap cair yang dipakai dalam penelitian
ini memiliki kandungan unsur hara fosfor sebanyak 20% sehingga mempercepat inisiasi bunga
pada tanaman.
Penambahan konsentrasi pada tanaman juga mempengaruhi umur berbunga yang semakin
cepat. Menurut Kartasapoetra dan Sutedjo (2005) dengan tersedianya unsur fosfor dalam jumlah

44
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

yang cukup akan mempercepat pembentukan bunga dan buah yang berkualitas. Setyamidjaya
(1986) menambahkan bahwa pemberian pupuk melalui daun lebih efesien, karena proses
penyerapan haranya lebih cepat. Namun yang perlu diperhatikan dalam aplikasinya ke tanaman
adalah faktor cuaca dan jenis tanaman yang dibudidayakan.

Umur Panen
Secara umum, pemberian PPC tidak memberikan pengaruh terhadap waktu panen tanaman
kedelai, akan tetapi umur panen berbeda di antara varietas (Tabel 3). Perbedaan umur panen
antar varietas sangat nyata kecuali antara Burangrang dan Dega 1 yang umur panennya relatif
sama. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa secara umum pemberian PPC dengan berbagai
konsentrasi berbeda tidak nyata dengan tanpa perlakuan yang memberikan indikasi tidak adanya
respon terhadap pemberian PPC.

Tabel 3. Umur Panen Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC.


PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
.....hari.....
Anjasmoro 88,67 a 89,33 a 89,00 a 89,00 b
Burangrang 86,67 a 88,00 a 85,67 a 86,78 c
Dena 1 83,33 a 83,00 a 83,00 a 83,11 d
Dega 1 84,67 a 84,67 a 88,00 a 85,78 c
Detam 1 95,00 a 95,67 a 95,33 a 95,33 a
Rerata PPC 87,67 A 88,13 A 88,20 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Melihat dari umur panen kelima varietas kedelai tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa peran
dari genetik lebih dominan dibanding dengan PPC. Kebanyakan tanaman semusim umur panen
berhubungan dengan waktu berbunga, dimana semakin lambat tanaman berbunga, maka umur panen
pun semakin lambat. Namun dalam percobaan ini, umur berbunga tidak mempengaruhi umur panen.
Menurut Hidayat (1985), umur berbunga dan umur panen tanaman kedelai dominan ditentukan oleh
faktor genetik suatu varietas dan juga ditentukan lingkungan dan kemampuan biji menerima asimilat.
Menurut Suyamto dan Musalamah (2010) varietas kedelai yang mempunyai jumlah bunga banyak
lebih lama masa berbunganya dibandingkan dengan jumlah bunga yang lebih sedikit, sehingga
mempengaruhi umur panennya.

Kecepatan Penumpukan Bahan Kering


Tabel 4 menunjukkan bahwa aplikasi PPC tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
kecepatan penumpukan bahan kering (KPBK). Berdasarkan rerata varietasnya dapat dilihat
adanya variasi nilai KPBK antara ke lima varietas dengan kisaran antara 2,90 mg. biji-1. hari-1
sampai 7,29 mg. biji-1. hari-1. Varietas dengan KPBK tertinggi adalah Dega 1, sedangkan yang
terendah adalah Detam 1. Dihubungkan dengan berat biji kering, terlihat bahwa varietas yang
mempunyai KPBK yang nilainya paling tinggi akan mempunyai berat biji kering yang lebih
besar (Dega 1), sementara varietas dengan KPBK yang rendah mempunyai berat kering yang
juga lebih ringan. Bervariasinya nilai KPBK antar varietas disebabkan perbedaan faktor genetik.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan biji adalah ketersediaan asimilat yang
dihasilkan oleh tanaman itu sendiri. Berbagai hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan biji pada beberapa tanaman pertanian adalah faktor genetik,
faktor lingkungan, kemampuan biji untuk menerima asimilat dan ketersedian bahan kering yang
akan ditumpuk ke biji. Menurut Tesar (1984) dan Rasyad et al. (1990), laju akumulasi bahan
kering biji bervariasi untuk setiap varietas. Setiap varietas memiliki respons yang berbeda pada

45
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

saat proses pembungaan dan perkembangan biji. Menurut Rasyad et al. (1990) faktor lingkungan,
kemampuan biji untuk menerima asimilat dan ketersediaan bahan kering mempengaruhi asimilat
yang akan ditumpuk ke dalam biji.

Tabel 4. Kecepatan Penumpukan Bahan Kering pada Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC.
PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
.....mg. biji-1. hari-1.....
Anjasmoro 3,59 a 3,52 a 3,46 a 3,52 c
Burangrang 5,21 a 5,68 a 5,10 a 5,33 b
Dena 1 4,50 a 5,78 a 5,20 a 5,16 b
Dega 1 7,10 a 7,37 a 7,39 a 7,29 a
Detam 1 3,35 a 2,58 a 2,78 a 2,90 c
Rerata PPC 4,75 A 4,99 A 4,79 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Waktu Pengisian Efektif


Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian PPC ke tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap
waktu pengisian efektif (WPE). Waktu pengisian efektif antar varietas biji kedelai bervariasi
antara 21,58 hari sampai 31,66 hari. Varietas Anjasmoro dan Detam 1 mempunyai waktu
pengisian efektif yang lebih lama, sementara tiga varietas lainnya mempunyai WPE lebih
pendek. Semakin tinggi nilai WPE suatu varietas menunjukkan semakin panjang waktu yang
dibutuhkan benih tersebut untuk mencapai masak fisiologis. Tabel 5 menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara KPBK dan WPE, dimana tanaman dengan KPBK yang tinggi
cenderung mempunyai WPE yang singkat. Hal ini terbukti pada varietas Burangrang dan Dega
1 yang mempunyai nilai KPBK yang tinggi dan memiliki nilai WPE yang pendek. Hal ini dapat
memberikan indikasi bahwa waktu panennya lebih cepat di banding varietas lainnya.
Bervariasinya waktu pengisian efektif pada penelitian ini diduga lebih dipengaruhi oleh faktor
genetik daripada faktor lingkungan. Menurut Rasyad et al. (1990), laju atau lamanya waktu
pengisian efektif ditentukan oleh faktor genetik, dan kemampuan biji untuk menerima asimilat
dan ketersediaan bahan yang akan ditumpuk ke biji.

Tabel 5. Waktu Pengisian Efektif pada Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC.
PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
.....hari.....
Anjasmoro 28,19 a 30,95 a 30,09 a 29,74 a
Burangrang 22,23 a 20,19 a 22,33 a 21,58 b
Dena 1 27,07 a 21,34 a 23,35 a 23,92 b
Dega 1 24,99 a 22,58 a 20,93 a 22,83 b
Detam 1 30,04 a 31,68 a 33,27 a 31,66 a
Rerata PPC 26,50 A 25,35 A 25,99 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Jumlah Polong Bernas


Tabel 6 menunjukkan bahwa tanpa pemberian PPC maupun yang diberi PPC cenderung
sama jumlah polong bernasnya dalam artian pemberian PPC tidak mempengaruhi jumlah polong
bernas. Varietas dengan jumlah polong bernas terbanyak adalah Anjasmoro sedangkan yang
paling sedikit adalah Dega 1. Perbedaan yang nyata dari jumlah polong bernas yang dihasilkan

46
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

ini disebabkan oleh variasi genetik tanaman. Berdasarkan Tabel 6 dapat diinterpretasikan bahwa
faktor genetik lebih dominan pengaruhnya dibandingkan pemberian PPC terhadap jumlah
polong bernas. Hidayat (1985) menyatakan bahwa jumlah polong bernas yang dihasilkan
dipengaruhi oleh jumlah bunga yang terbentuk, semakin banyak jumlah bunga yang terbentuk
maka kemungkinan terbentuknya polong semakin besar. Namun tidak semua bunga mampu
membentuk polong karena adanya faktor yang tidak mendukung terbentuknya polong seperti
faktor lingkungan dan genetik tanaman.
Tabel 6. Jumlah Polong Bernas pada Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC.
PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
.....buah.....
Anjasmoro 73,73 a 66,40 a 72,33 a 70,82 a
Burangrang 49,53 a 54,33 a 53,40 a 52,42 b
Dena 1 52,40 a 49,40 a 44,87 a 48,89 b
Dega 1 26,33 a 30,40 a 33,20 a 29,98 c
Detam 1 57,20 a 62,60 a 56,60 a 58,80 ab
Rerata PPC 51,84 A 52,63 A 52,08 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Jumlah Biji per Tanaman


Tabel 7 menunjukkan bahwa pemberian PPC tidak meningkatkan jumlah biji per tanaman.
Sedangkan, varietas memberikan perbedaan nyata terhadap jumlah biji per tanaman. Jumlah biji per
tanaman erat kaitannya dengan jumlah polong bernas (Tabel 6), dimana semakin banyak polong
bernas yang dihasilkan maka jumlah biji per tanamannya semakin banyak pula. Jumlah biji yang
semakin banyak pada suatu varietas cenderung menghasilkan biji yang semakin kecil dan ini
biasanya akan berdampak kepada berat biji per tanaman. Dapat kita lihat bahwa varietas Anjasmoro
dan Detam 1 memiliki jumlah biji yang tertinggi diikuti oleh varietas Burangrang dan Dena 1 serta
jumlah biji paling sedikit varietas Dega 1. Jumlah biji per tanaman erat kaitannya dengan persentase
polong bernas dimana semakin tinggi pesentase polong bernas cenderung meningkatkan jumlah biji
per tanaman. Harjadi (1991) menjelaskan bahwa jumlah polong per tanaman berkorelasi positif
dengan jumlah biji bernas dan jumlah hasil persatuan luas, sehingga apabila polong meningkat maka
jumlah biji per tanaman juga meningkat.
Tabel 7. Jumlah Biji per Tanaman pada Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC.
PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
..... buah.....
Anjasmoro 149,73 a 145,53 a 151,93 a 149,07 a
Burangrang 96,67 a 107,40 a 98,87 a 100,98 b
Dena 1 94,53 a 93,40 a 85,27 a 91,07 b
Dega 1 55,80 a 60,73 a 70,47 a 62,33 c
Detam 1 130,73 a 144,80 a 128,13 a 134,56 a
Rerata PPC 105,49 A 110,37 A 106,93 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Berat 100 Biji


Tabel 8 memperlihatkan bahwa pemberian PPC ke tanaman tidak menyebabkan perbedaan
berat 100 biji. Berdasarkan kriteria ukuran biji kedelai, varietas dengan berat 100 biji tertinggi
adalah Dega 1 dan yang terendah adalah varietas Detam 1. Hal ini diduga karena kemampuan

47
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

masing-masing tanaman dalam mentranslokasikan asimilat biji untuk menghasilkan biji berbeda
sesuai dengan genetiknya. Dapat diinterpretasikan bahwa faktor genetik dari masing-masing
varietas lebih dominan pengaruhnya dibandingkan pemberian PPC. Faktor genetik sangat
menentukan penampilan setiap karakter dari masing-masing varietas. Perbedaan genetik
menyebabkan adanya perbedaan penampilan fenotip tanaman dengan ciri dan sifat yang khusus
misalnya ukuran biji. Secara visual Dega 1 mempunyai biji lebih besar dibandingkan varietas
lainnya, hal ini menyebabkan berat 100 bijinya nyata lebih berat dibandingkan varietas lain.
Menurut Yulyatin dan Diratmaja (2015), benih kedelai yang lebih besar disebabkan cadangan
penyimpanan makanannya di dalam embrio lebih banyak seperti kandungan lemak, protein dan
karbohidrat.

Tabel 8. Berat 100 Biji pada Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC.
PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
.....g.....
Anjasmoro 16,03 a 15,25 a 14,32 a 15,20 c
Burangrang 16,36 a 17,23 a 16,61 a 16,73 b
Dena 1 17,46 a 17,40 a 16,57 a 17,15 b
Dega 1 26,64 a 25,34 a 24,27 a 25,41 a
Detam 1 14,12 a 12,57 a 13,16 a 13,28 d
Rerata PPC 18,12 A 17,56 A 16,98 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

Berat Biji per m2


Tabel 9 menunjukkan bahwa pemberian PPC pada tanaman meningkatkan berat biji per
m2 dibandingkan dengan tanpa pemberian PPC. Pemberian PPC dengan konsentrasi 2 g.l-1 air
mampu meningkatkan hasil biji per m2 sebanyak 27% dibanding kontrol, namun pemberian 4
g.l-1 air tidak berbeda hasilnya dengan yang diberi 2 g.l-1 air. Peningkatan hasil biji per m2
tanaman yang diberi PPC ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi pupuk yang diberikan
maka akan semakin banyak pupuk yang diterima oleh tanaman. Selain itu kandungan hara yang
lengkap dari pupuk pelengkap cair dan cara aplikasi pupuk yang dilakukan melalui daun
mengakibatkan terjadinya pertumbuhan yang lebih baik sehingga mampu menghasilkan biji
tanaman kedelai yang lebih banyak. Pupuk pelengkap cair yang diaplikasikan ke tanaman
mampu meningkatkan laju translokasi asimilat dari daun ke polong dan biji tanaman sehingga
produksi biji per satuan luas menjadi meningkat. Pupuk yang digunakan adalah PPC yang
mengandung 6% N, 20% P2O5 dan 30% K2O, dimana kandungan K yang cukup tinggi pada
PPC sangat berperan dalam translokasi asimilat dari daun ke biji. Djaelani et al. (2001)
menyatakan bahwa genotipe yang mampu mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan,
cenderung memiliki stabilitas yang baik sehinga mampu mengurangi resiko kegagalan panen
misalnya akibat lingkungan yang tidak dapat diprediksi atau lokasi penanaman yang berbeda.
Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa genotip menentukan potensi masing-masing varietas
dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan, namun lingkungan akan mempengaruhi
kemampuan tersebut mengekspresikan potensi genetisnya.
Anjasmoro memberikan hasil per m2 lebih banyak dibandingkan dengan ke empat varietas
lainnya. Varietas Burangrang, Dena 1 dan Detam 1 memiliki hasil yang sama, sedangkan varietas
dengan hasil per m2 paling rendah adalah Dega 1. Meningkatnya hasil biji persatuan luas pada
tanaman ini dapat disebabkan akibat terjadinya peningkatan pada jumlah polong bernasnya
(Tabel 6) sehingga mempengaruhi jumlah biji per tanaman (Tabel 7). Varietas Anjasmoro dan
Detam 1 adalah varietas dengan polong bernas terbanyak dan jumlah biji terbanyak sehingga
berat per m2 pada varietas ini tinggi. Varietas Dega 1 adalah varietas dengan berat 100 biji

48
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tertinggi (Tabel 8), namun pada varietas ini jumlah polong bernas dan jumlah biji per tanaman
yang dihasilkan sedikit, sehingga berat biji per m2 nya rendah.

Tabel 9. Berat Biji per m2 pada Beberapa Varietas Kedelai yang diberi PPC
PPC (g.l-1)
Varietas Rerata Varietas
0 2 4
.....g.m-2.....
Anjasmoro 160,00 a 221,94 a 198,33 a 193,42 a
Burangrang 126,67 a 157,22 a 201,67 a 161,85 b
Dena 1 138,89 a 163,89 a 178,33 a 160,37 b
Dega 1 106,11 a 136,39 a 101,11 a 114,54 c
Detam 1 128,33 a 164,44 a 155,00 a 149,26 b
Rerata PPC 132,00 B 168,78 A 166,89 A
Angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama dan pada baris yang diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak
nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Terdapat variasi antar varietas kedelai yang diteliti untuk semua parameter pertumbuhan dan
komponen hasil yang diamati dimana varietas Anjasmoro menunjukkan tampilan yang lebih
baik untuk jumlah polong bernas, jumlah biji per tanaman, bobot biji per tanaman dan berat
per m2. Varietas Burangrang pada parameter tinggi tanaman dan waktu pengisian efektif
(WPE). Dena 1 pada umur panen dan WPE. Dega 1 pada parameter umur berbunga,
kecepatan penumpukan bahan kering (KPBK), WPE dan berat 100 biji. Detam 1 hanya pada
parameter jumlah biji per tanaman.
2. Pemberian pupuk pelengkap cair dengan konsentrasi 2 g.l-1 dan 4 g.l-1 air meningkatkan
tinggi tanaman, mempercepat umur berbunga dan meningkatkan berat biji per m2, namun
tidak berpengaruh terhadap parameter lainnya.
3. Tidak terlihat interaksi antara varietas dengan pemberian pupuk pelengkap cair kecuali pada
tinggi tanaman dan umur berbunga.

Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk penanaman kedelai disarankan
menggunakan PPC melalui daun dengan konsentrasi 2 g.l-1 air, dan varietas yang dibudidayakan
adalah Anjasmoro .

DAFTAR PUSTAKA
Djaelani, Abdul Kadir., Nasrullah dan Sumartono. 2001. Interaksi G x E, adaptabilitas dan
stabilitas galur-galur kedelai dalam uji multi lokasi. Zuriat 12 : 27-33.
FAO [Food and Agriculture Organization]. 2017. Statistical database of food balance sheet.
FAOSTAT. http://www.fao.org/faostat/en/# ata/FBS. Diakses pada 16/3/2018
Gardner Franklin P., Pearce R. Brent., Roger L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta UI
press. Jakarta
Harjadi. 1991. Pengantar Agronomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hidayat, O. 1985. Morfologi tanaman kedelai pada lahan kering. Badan Penelitian dan
Perkembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Perkembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Kartasapoetra, Ance. G. dan Sutedjo. 2005. Pupuk dan Cara Pemupukannya. Rineka Cipta,
Jakarta.

49
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Lingga. 2007. Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Edisi revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Prihmantoro Heru. 1996. Memupuk Tanaman Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Purwanti, Setiyastuti. 2004. Kajian Suhu Ruang Simpan terhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam
dan Kedelai Kuning. Jurnal Ilmu Pertanian 11 (1) : 22-31.
Rasyad, Aslim dan, David Anthony Van Sanford and Denis Marion Te Kroni. 1990. Changes in seed
viability and vigor during what seed maturation. J. Seed Sci And Tehnol. 18:259-267
Setyamidjaja, Djoehana. 1986. Pupuk dan Pemupukan. Simplex. Jakarta.
Sitompul, S. M. dan Bambang. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
Suprapto. 1985. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sutapraja dan Sumpena. 2003. Pengaruh Konsentrasi dan Aplikasi Pupuk Gandasil B terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Program studi
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sutiyoso, Yos. 2004. Meramu Pupuk Hidroponik. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suyamto dan Musalamah. 2010. Kemampuan berbunga, tingkat keguguran bunga, dan potensi
hasil beberapa varietas kedelai. Buletin Plasma Nutfah(1): 38-43.
Tesar, M.B., 1984. Physiological basis of crop growth and development. America Soc. of
Agronomy, Crop Science. Soc. of America, Madison, Wisconsin. USA.
Yulyatin Atin., dan IGP Alit Diratmaja, 2016. Pengaruh ukuran benih kedelai terhadap kualitas
benih. Jurnal Agros. 17(2) : 166-172

50
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pengaruh Cangkang Kerang terhadap Pertumbuhan


Tinggi Tanaman Kedelai Hitam (Glicine max (L) Merr)
Effect of Conch Shell to Increase Growth of Plant Height
of Black Soybean
Mariani dan Sugiarta
SMKPPN Mataram

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cangkang kerang
Pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedelai hitam. Penelitian ini dilakukan
Cangkang Kerang pada bulan April sampai dengan Juni 2019 di Desa Jatisela Kecamatan
Kedelai Hitam Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Tinggi Tanaman Penelitian dilakukan menggunakan metode eksperimental dalam dua (2)
perlakuan, yaitu: perlakuan tanpa aplikasi cangkang kerang (k0) dan dengan
aplikasi cangkang kerang (kl). Selanjutnya dianalisis menggunakan uji-t.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cangkang kerang berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedelai hitam yaitu dapat
meningkatkan tinggi tanaman dari 37 cm menjadi 51 cm atau sekitar 27,45%.
ABSTRACT

Keywords: This research aimed to determine effect of conch shell to increase growth of
Effect plant height of black soybean. The research had been conducted in Jatisela
Conch Shell Village of Gunung Sari sub district of West Lombok, province of West of
Black Soybean Nusa Tenggara from April to June 2019. This research used method of
Plant Height experiment of two levels, namely: k1 (with conch shell) and k0 (without
conch shell), then analyzed with t-test. The result showed that conch shell
increased growth of plant height of black soybean from 37 cm tO 51 cm
(27,45%).

Email Korespondensi: marianiharamaM@gmail.com

PENDAHULUAN
Kedelai Hitam (Glicin max (L) Men) digolongkan ke dalam tanaman polong-polongan.
Kedelai hitam memiliki bunga kuning, biji keras berwarna hitam. Tinggi batang mencapai 51
cm sampai 100 cm dan memiliki akar tunggang yang bercabang. Tanaman ini dikenal dengan
nama daerah sebagai sayuran Lebui, terutama di Pulau Lombok (Mariani dan Patimah, 2019).
Kandungan gizi pada Lebui adalah protein, vitamin, antioksidan asam folat dan serat kasar, serta
kandungan asam lemak tak jenuh sebesar 60% (Utaminingrum, 2011) dalam Patimah (2019).
Selanjutnya menurut Kartika (2016) dalam Patimah (2019), Lebui sangat baik untuk kesehatan
tubuh karena memiliki kandungan Anthosianin yang tinggi. Kandungan Anthosianin dapat
diketahui dari warna ungu gelap pada biji yang menandakan bahwa Lebui memiliki kandungan
Anthosianin yang tinggi.
Masyarakat Lombok pada umumnya menanam Lebui masih dengan cara tradisional, yaitu
tanpa menggunakan pupuk atau pestisida secara intensif, karena sayuran ini belum

51
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dibudidayakan secara intensif. Petani pada uumnya menanam kedelai hitam di pematang sawah,
belum menanam pada areal yang cukup luas, sehingga produktivitas kedelai hitam per satuan
luas lahan belum ditargetkan oleh petani yang menanam. Sistem pertanian tradisioanal yang
diterapkan pada budidaya Lebui tentu mengakibatkan produktivitas Lebui menjadi rendah.
Untuk meningkatkan produktivitas Lebui maka dapat memanfaatkan pupuk organic yang murah
dan mudah diperoleh diantaranya adalah limbah rumah tangga seperti Cangkan-cangkangan,
diantaranya adalah limbah cangkang kerang (Mariani, 2019). Kerang digolongkan ke dalam
Filum Molusca, yang mempunyai ciri umum bentuk tubuh bilateral atau simetri tidak beruas-
ruas, tubuh lunak dan ditutupi mantel yang menghasilkan zat kapur, bernafas dengan paru-paru
dan insang. Tubuh kerang berbentuk pipih dan secara lateral memiliki dua cangkang yang
berengsel yang menutupi seluruh tubuh (Patimah, 2019).
Ketersediaan cangkang kerang sangat melimpah di Wilayah pesisir pantai dan cenderung
menjadi sumber pencemaran lingkungan karena masyarakat tidak mengelolanya dengan baik,
terutama yang dapat dilihat di Wilayah pesisir pantai Selatan Lombok Timur yaitu Di Desa
Pemongkong Kecamatan Jerowaru (Mariani, 2019), dengan potensi per hari mencapai 100 kg
sehingga dalam satu bulan maka limbah cangkang kerang dapat tersedia sejumlah 2.500 kg, yang
mana limbah cangkang kerang ini mengandung CaCO3 (Prasastyane, 2009) dalam Patimah
(2019). Kandungan CaCO3 sangat berperan untuk pertumbuhan tanaman karena merupakan
sumber kalsium organik, terutama pada budidaya tanaman pada lahan terdegradasi yang
cenderung memiliki pH masam atau mendekati masam. Tanah yang terlalu masam akan sulit
berproduksi dengan optimal (Mariani, 2016). Oleh karena itu, maka telah dilakukan penelitian
tentang pengaruh cangkang kerang terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedelai hitam (Glycine
max (L) Men)

KERANGKA TEORI
Kedelai Hitam (Glicin max (L) Men) adalah tanaman yang sering dikonsumsi masyarakat
sebagai sayuran dan bergizi. Kedelai hitam sangat baik untuk tubuh Karena memiliki
Anthosianin yang tinggi. Selanjutnya kerang adalah limbah laut yang ketersediaannya sangat
melimpah di Wilayah sekitar pesisir pantai, yaitu mencapai 2.500 kg per bulan. Hal ini jika tidak
dimanfaatkan maka akan terus menjadi limbah sebagai sumber pencemaran lingkungan. Oleh
karena itu, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cangkang kerang terhadap
pertumbuhan tinggi tanaman kedelai hitam

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2019 di Desa Jatisela
Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian
dilakukan menggunakan metode eksperimental dalam dua (2) perlakuan, yaitu: perlakuan tanpa
aplikasi cangkang kerang (k0) dan dengan aplikasi cangkang kerang (kl). Jumlah tanaman uji
ada penelitian ini adalah masing-masing 10 polybag dengan 2 tanaman per polybag, sehingga
diperoleh 20 tanaman kontrol (k0) dan 20 tanaman yang diperlakukan dengan cangkang kerang
(kl). Tanaman sampel yang diamati adalah semua tanaman total tanpa perlakuan cangkang
kerang dan semua tanaman yang diperlakukan dengan cangkang kerang, sehingga diperoleh 40
tanaman uji. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah parameter pertumbuhan tanaman
Lebui yaitu tinggi tanaman Lebui pada fase pertumbuhan optimum yaitu pada umur tanaman 10
minggu setelah tanam (MST). Selanjutnya, data hasil pengamatan dianalisis menggunakan uji-t
pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan dan uji t pengaruh cangkang kerang terhadap tinggi tanaman Lebui
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 10 mst. Hasil

52
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pengamatan dan uji t pengaruh cangkang kerang terhadap tinggi tanaman Lebui pada umur 10
mst disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Cangkang Kerang terhadap Tinggi Tanaman Lebui Pada Umur 10 MST.
Perlakuan Tinggi Tanaman Umur 10 mst (cm)
Tanpa Cangkang Kerang 37
Dengan Cangkang Kerang 51

Tabel 1, menunjukkan bahwa perlakuan cangkang kerang memberikan pengaruh yang


berbeda nyata terhadap tinggi tanaman Lebui pada umur 10 mst. Tinggi Tanaman yang
diperlakukan tanpa menggunakan cangkang kerang adalah 37 cm, sedangkan tinggi tanaman
yang diperlakukan dengan menggunakan cangkang kerang adalah 51 cm. Hal ini menunjukkan
bahwa perlakuan cangkang kerang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman Lebui.
Peningkatan tinggi tanaman Lebui akibat perlakuan cangkang kerang adalah sebesar 27,45%.
Selain cangkang kerang, cangkang-cangkangan lainnya juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Sanuriza (2015), melaporkan bahwa
penggunaan cangkang rajungan sebagai suplemen biokompos dapat meningkatkan pertumbuhan
kedelai di lahan kering. Menurut Mariani (2015), pertumbuhan tanaman kedelai yang
diperlakukan dengan tepung cangkang telur akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis,
yang mana tinggi tanaman kedelai paling tinggi diperoleh pada dosis cangkang telur paling tinggi
yaitu pada dosis 200 kg ha. Fungsi cangkang kerang dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman,
berkaitan dengan kandungan cangkang kerang yang dapat dimanfaatkan sebagai hara tanaman.
Menurut Abdullah dkk. (2010) dalam Patimah (2019), Cangkang kerang memiliki komposisi
berupa Kalsium, Magnesium dan Posfor. Rizky, Puspita dan Febrianti (2016), juga melaporkan
bahwa cangkang kerang mengandung Kalsium yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk untuk meningkatkan kualitas produk tanaman palawij a.

PENUTUP
Cangkang kerang berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman
kedelai hitam. Hal ini berkaitan dengan kandungan Kalsium yang terkandung pada cangkang
kerang yaitu berupa CaCO3. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian ini maka dapat disarankan
agar limbah cangkang kerang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman palawija seperti jagung, kedelai dan kedelai hitam.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Sekolah Menengah Kejuruan Pembangunan
Pertanian (SMKPP) Negeri Mataram, yang telah mendukung penulis dari pelaksanaan penelitian
sampai terdokumentasikannya hasil penelitian ini dengan baik, hingga dapat dipublikasikan
dalam bentuk karya tulis ilmiah di Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padj aj aran Tahun
2019.

DAFTAR PUSTAKA
Mariani, 2015. Potensi Tepung Cangkang Telur dan Mikoriza Arbuskular (MA) untuk
Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Kering. Lombok Timur: Al.
Haramain Lombok.
Mariani, 2016. Laporan Hasil Penelitian: Uji pH Tanah Sawah dan Tanah Lahan Kering. Tidak
dipublikasikan.
Mariani dan Patimah, 2019. Tabulasi Hasil Penelitian: Pengaruh Cangkang Kerang terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Hitam. Tidak dipublikasikan.

53
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Mariani, 2019. Survei Langsung: Potensi Cangkang Kerang sebagai Pupuk Organik di Desa
Pemongkong Kecamatan Jerowaru. Tidak dipublikasikan.
Patimah, 2019. Uji Dosis dan Jenis Aplikasi Limbah Cangkang Kzjing
(Pilsbryoconcha exsillis) untuk Memacu Pertumbuhan Lebui (Glycine (L) Merr) di Lahan
Kering. Proposal Penelitian Program Sarjana (Si). Mataram: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Nandlatul Wathan Mataram. Tidak dipublikasikan.
Rizky, A. N., Puspita, S. 0., dan Febrianti, M., 2016. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kerang
sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk Pertanian P alawija. Bandung: Sekolah
Farmasi, Institut Teknologi Bandung. https ://www. coursehero. c om/fi
1e/18237880/72973 -kelompok-20-PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG...
Diunduh Tanggal 10 September 2019.
Sanuriza, I., 2015. Aplikasi Biokompos dengan Beberapa Suplemen dan Biochar Tempurung
Kelapa Hasil Fermentasi Jamur Trichoderma sp. untuk Memacu Pertumbuhan dan Hasil
Kedelai (Glycine (L.) Merr) di Lahan Kering. Tesis Program Pascasarjana (S2). Mataram:
Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering Universitas Mataram. Tidak
dipublikasikan.

54
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pengaruh Paclobutrazol dan Kotoran Ayam terhadap Tinggi Batang Padi


Hitam (Oryza sativa L.) di Kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan
The Effect of Paclobutrazol and Chicken Manure to Stem of Black Rice
(Oryza sativa L.) in Batang Angkola District, South Tapanuli
Romaya Sitha Silitonga1 dan Jumaria Nasution2
1Universitas Graha Nusantara, Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan

ABSTRAK

Kata Kunci: Beras hitam yang berasal dari padi hitam (Oryza sativa L.) merupakan tanaman
Kabupaten Tapanuli yang masih sedikit dibudidayakan di Indonesia. Kandungan antosianin yang
Selatan tinggi membuat beras hitam ini menjadi pilihan alternatif sebagai pemenuhan
Kecamatan Batang nutrisi dan kesehatan tubuh. Adapun daerah penghasil beras hitam saat ini masih
Angkola terdapat di daerah-daerah Pulau Jawa, sementara di Pulau Sumatera, khususnya
Padi Hitam di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Batang Angkola beras hitam masih
Paclobutrazol tergolong tanaman padi jenis baru bagi para petani beras sehingga perlu
Kotoran Ayam dilakukan upaya perkenalan dan budidaya di daerah ini. Tanaman padi hitam ini
memiliki kekurangan secara vegetatif, yaitu tinggi batang hingga mencapai ±2
meter sehingga rentan tehadap kerobohan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya menghambat pertumbuhan padi secara vegetatif dengan menggunakan zat
penghambat tumbuh yaitu paklobutrazol dan kotoran ayam. Penelitian ini
bertujuan untuk menekan tinggi batang Padi Hitam yang tumbuh di Kecamatan
Batang Angkola, Tapanuli Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah
aplikasi paklobutrazol dengan konsentrasi 0, 25, 50 dan 75 ppm. Data dianalisis
menggunakan statistik analisis variansi pada taraf kesalahan 5%. Apabila ada
beda nyata dilanjutkan dengan DMRT. Hasil penelitian aplikasi paclobutrazol 75
ppm dapat menekan pertumbuhan tinggi batang padi hitam yang ditanam. Hasil
penelitian ini akan dapat membantu para petani padi dalam proses
membudidayakan dan mengembangkan padi hitam (Oryza sativa L.) di
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Batang Angkola.

ABSTRACT
Keywords: Black rice (Oryza sativa L.) is one of plant food which less cultivated in
South Tapanuli Indonesia. The high content of anthocyanins from black rice, an alternative
Batang Angkola choice a nutrition and health enhancer. At present, black rice producers are in
District Java, whereas in Sumatra, South Tapanuli District, Angkola Sub-District is a new
Black Rice type of black rice for rice farmers, so it is necessary to introduce and cultivate.
Paclobutrazol Black rice have vegetative disadvantages, stem height approximately 2 meters so
Chicken Manure it is susceptible to collapse. Therefore, it is necessary to inhibit the growth of rice
vegetatively using paklobutrazol and chicken manure. The aims of the research
was to decrease the height of black rice in Batang Angkola District, South
Tapanuli. This research method used was the application paklobutrazol with
concentrations of 0, 25, 50 and 75 ppm. Statistical analysis used Anova 5%. If
there is a difference followed by DMRT. Results of application paclobutrazol 75
ppm able to decrease the height of black rice. The results of this research will be
able to help rice farmers in the process of cultivating and developing black rice
(Oryza sativa L.) in South Tapanuli District, Batang Angkola Sub-District.

Email Korespondensi : romayasitha89@gmail.com

55
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Padi hitam merupakan padi lokal yang memiliki kandungan antosianin yang cukup tinggi.
Padi hitam sangat potensial untuk dikembangkan terutama di Kabupaten Tapanuli Selatan yang
masih belum mengenal padi hitam. Beras hitam yang berasal dari padi hitam memiliki rasa yang
lebih enak, aroma yang wangi dengan penampilan yang spesifik dan unik (Kristamtini, 2009)
dan bukan hanya kandungan antosianinnya yang cukup tinggi namun juga mengandung vitamin
B1 dan vitamin E yang cukup tinggi dibandingkan beras merah maupun beras putih (Suhartini
dan Suhardi, 2010). Namun, masa panen dari tanaman padi ini yang relatif lama dan memiliki
tinggi batang yang lebih tinggi dibandingkan padi lain sehingga tanaman padi hitam rentan
terhadap kerobohan.
Paklobutrazol merupakan salah satu jenis retardant sintetik yang dapat menghambat
pertumbuhan dan juga berfungsi menghambat pemanjangan internodus, membentuk tanaman
menjadi kompak, dan memiliki bentuk tanaman yang lebih menarik. Penelitian oleh Kulkarni
dkk. (2006) menyatakan metode aplikasi paklobutrazol yang terbaik dengan mencampur
paklobutrazol dengan 1 liter air kemudian dengan menyiramkannya ke daerah sekitar batang
tanaman. Widaryanto dkk. (2011) melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi paklobutrazol
yang diberikan akan semakin efektif menghambat tinggi tanaman. Oleh karena itu tinggi
tanaman padi hitam harus diturunkan dengan mengaplikasikan paclobutrazol dan kotoran ayam
sehingga akan memiliki masa panen yang relative singkat dan tahan terhadap kerebahan.

KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP


Keragaman hayati termasuk keragaman jenis padi memiliki peran penting dalam upaya
mewujudkan ketahanan dan diversifikasi pangan nasional. Upaya untuk melestarikan dan
memperkaya keragaman varietas padi menjadi saah satu tindakan strategis dalam pembangunan
pertanian. Padi hitam lokal mulai berkembang di beberapa daerah di Indonesia dengan nama yang
berbeda-beda. Menurut Sasongko dkk (2008), di Sleman Yogyakarta, beras hitam dikenal dengan
nama Cempo Ireng (Kristamtini, 2008) dan ada juga yang menyebut “beras jlitheng”(Kristamtini,
2009), sedangkan di Bantul dikenal dengan “beras Melik”. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), beras
hitam dikenal dengan “Aen Metan dan Hare Kwa” (Suhartini dan Suardi, 2010), di Magelang
dikenal dengan nama “ Jawa Melik” baik yang berbulu maupun yang tidak berbulu. Di daerah
lain, beras hitam belum memiliki nama spesifik sehingga hanya disebut beras hitam dengan asal
berkembangnya beras hitam tersebut. Sedangkan di Kabupaten Tapanuli Selatan, budidaya beras
hitam belum cukup popular oleh kalangan para petani beras, sehingga perlu memperkenalkan
beras hitam yang kaya akan manfaat dan dapat meningkatkan perekonomian kepada sejumlah
para petani beras yang ada di kabupaten Tapanuli Selatan khususnya yang ada di Kecamatan
Batang Angkola. Padi hitam merupakan padi lokal yang memiliki kandungan antosianin yang
cukup tinggi, sehingga aleuron berwarna ungu pekat mendekati hitam. Beras hitam memiliki rasa
yang lebih enak, aroma yang wangi dengan penampilan yang spesifik dan unik (Kristamtini,
2009). Padi hitam sangat potensial dikembangkan karena kandungan antosianin pada padi hitam
lebih tinggi dari beras merah maupun beras putih (Suhartini dan Suhardi, 2010). Namun, tanaman
padi hitam ini memiliki masa panen yang relatif lama serta memiliki tinggi batang semu yang
lebih tinggi dibandingkan padi yang lain sehingga tanaman padi hitam rentan terhadap kerobohan
(Fitriani, 2017).
Paklobutrazol merupakan zat penghambat pertumbuhan tanaman yang bekerja pada bagian
meristem dengan cara menghambat biosintesis geberelin, dengan cara menghambat aktivitas
enzim yang mengkatalis biosintesis ent-Kaurin menjadi asam Kaurenoic (Hedden, 2005).
Penghambatan sintesis giberelin mengakibatkan kandungan giberelin pada jaringan meristem
berkurang sehingga menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman. Paklobutrazol berperan dalam
menghambat pemanjangan batang, mempertebal batang, mendorong pembungaan, mendorong
pembentukan pigmen, mencegah etiolasi, memperpanjang perakaran setek, menghambat
senescence, meningkatkan ketahanan terhadap stres, mengurangi kerusakan yang disebabkan

56
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

oleh polutan udara seperti O3 dan SO2, serta dapat meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap
penyakit (Cathey, 2005 dan Kurkani dkk. 2006). Selain itu, aplikasi paklobutrazol dapat
meningkatkan ketebalan diameter batang tanaman (Berova dan Zlatev, 2004). Peningkatakan
ketebalan diameter batang tanaman mengakibatkan tanaman tidak mudah roboh.
Herliana dkk. (2016) dalam penelitian memperlihatkan pupuk kandang yang berasal dari
kotoran ayam akan menghasilkan pertumbuhan dan hasil padi hitam yang baik. Hal ini
dikarenakan, pupuk kandang ayam mempunyai kelebihan terutama karena mempunyai
kandungan nitrogen (58%) dan fosfor (1-2%) yang tinggi dibandingkan pupuk kandang yang lain
(Donahue dkk., 1997;
Kirchmann dan Witter, 1992). Penelitian Melati (2005) memperlihatkan perlakuan pupuk
kandang ayam juga berpengaruh terhadap produksi kedelai karena kandungan haranya, juga
karena kemampuannya meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di green house desa Pintu Padang Kecamatan Batang Angkola
dengan Rancangan Kelompok factorial. Faktor pertama adalah pemberian paklobutrazol (P)
dengan konsentrasi 0 (P0) , 25 ppm (P1), 50 ppm (P2) atau 75 ppm (P3). Faktor yang kedua
adalah pemberian kotoran ayam (C) dengan konsentrasi 0 g/pot (C0), 3g/pot (C1), 6g/pot (C2),
atau 9g/pot (C3). Masing-masing kombinasi perlakuan dengan 4 ulangan. Sampel tanaman padi
hitam Cempo ireng.
Parameter yang diamati adalah tinggi batang pada padi hitam. Analisis data dengan
menggunakan ANOVA pada taraf signifikansi 5% dan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (DMRT). Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Software SPPS untuk
mempelajari hubungan antara pemberian paclobutrazol dan kotoran ayam terhadap tinggi batang
tanaman padi hitam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari Hasil Tabel 1. didapatkan bahwa pada konsentrasi Paclobutrazol 75 ppm (P3)
cenderung terjadi penurunan tinggi tanaman padi hitam dibandingkan Paclobutrazol pada
konsentrasi 0 ppm (P0), Paclobutrazol pada konsentrasi 25 ppm (P1), Paclobutrazol pada
konsentrasi 50 ppm (P2) dan pada Gambar 1. juga lebih jelas terlihat pada konsentrasi kotoran
ayam 0 g/pot (C0) yaitu 54,583 dan pada konsentrasi kotoran ayam 3 g/pot (C1) yaitu 79,167
dan pada konsentrasi kotoran ayam 6 g/pot (C2) yaitu 57,125 serta pada konsentrasi kotoran
ayam 9 g/pot (C3) yaitu 60,375, disini terlihat bahwa penurunan tinggi batang terjadi pada
konsentrasi kotoran ayam 0 g/pot (C0), hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi
paklobutrazol yang diberikan maka tinggi batang tanaman padi hitam semakin berkurang.

Tabel 1. Tinggi Tanaman Padi Hitam Has Perlakuan Konsentrasi Paklobutrazol dan Kotoran Ayam.
Paclobutrazol Kotoran Ayam
(P) C0 C1 C2 C3
P0 83,500a 79,542 a 63,625a 87,167a
P1 60,875a 80,417 a 80,667a 81,417a
P2 82,917a 80,167 a 81,917a 81,167a
P3 54,583a 79,167a 57,125a 60,375a

Aplikasi paklobutrazol juga dapat meningkatkan ketahanan rebah tanaman padi sampai
20% dan 37% (Sinniah dkk., 2011; Na dkk., 2011). Tinggi tanaman padi hitam umumnya
mencapai 200 m, tetapi dengan aplikasi pakobutrazol dapat menurunkan dan mempertebal
diameter batang sehingga meningkatkan ketahanan tanaman padi hitam terhadap kerebahan.
Secara kuantitatif terdapat perbedaan kenaikan tinggi tanaman padi pada setiap perlakuan.
Menurut Putra (2012), pemberian kotoran hewan, baik jenis atau dosis memengaruhi

57
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Menurut Handojo (1991), salah satu fungsi unsur hara P
adalah untuk merangsang akar dan batang tanaman padi serta memperbesar pembentukan
anakan. Kandungan hara pada kotoran ayam lebih banyak dibandingkan pupuk kandang kotoran
sapi dan kambing.

Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Tinggi Tanaman.

Menurut Nyanjang (2003) bahwa pemupukan yang lengkap dan berimbang sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman padi karena dapat menambah dan
mengembalikan unsur hara yang telah hilang baik tercuci maupun yang terbawa tanaman saat
panen. Poulton dkk (1989) menambahkan bahwa unsur hara menjadi komponen penting bagi
tanaman khususnya unsur hara makro seperti unsur hara N, P, dan K dalam jumlah cukup dan
berimbang karena dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman baik pada fase pertumbuhan
vegetatif, maupun fase generatif, didukung dengan penelitian Putra (2012) yang menyatakan
bahwa pemberian pupuk baik itu jenis atau takaran pemupukan sangat mempengaruhi respons
tanaman padi sehingga berdampak terhadap pertumbuhan padi khususnya pada tinggi tanaman

Gambar 2. Tinggi Tanaman Padi Hitam (Pot Berwarna Merah) yang Hampir Memiliki Tinggi
dengan Padi Biasa (Pot Berwarna Hitam).

PENUTUP
Aplikasi Paclobutrazol pada konsentrasi 75 ppm (P3) memiliki pengaruh terhadap
penurunan tinggi batang tanaman padi hitam.

58
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih banyak kepada RISTEK DIKTI karena telah
memberikan dana hibah pada penelitian ini. Peneliti juga mengucapkan terimakasih banyak
kepada masyarakat Pintu Padang, Kabupaten Batang Angkola karena telah membantu dalam
proses penyelesaian penelitian ini serta kepada partner/teman penelitian ibu Jumaria dan adik
saya Risky Tumanggor karena telah memberikan waktu dan tenaganya dalam proses
penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Berova, M And Z, Zlatev. (2004). Physiological Respond And Yield Of Paclobutrazol Treated
Tomato (Lycopersicum Eaculntun Mill.). Plant Growth Regulation. 30:117-123
Bioresource Tech. 40:137-142 C.L.
Cathey, H, M. (2005). Comparative plant growth retardant activities at ancymidol with ACPC,
philsphon, chlormeqaunadt SADH on ornamenta plantspecies. HortSc1i. 13(3): 240216
Donahue, R., L., R. W. Miller, and J.C. Shickluna. (1997). An Introduction to Soils and Plant
Growt, 4th ed. p 284-301. Prentice Hall, Inc. New Jersey
Handojo, D. D. (1991). Pupuk dan Pemupukan. Petunjuk dan Teknis Usaha Tani Padi-Itik-Ikan
di Sawah. PT Aries Lima, Jakarta
Hedden, P. and Graebe, J. (2005). Inhibition of giberellin biosynthesis by paclobutrazol in
cellfree homogenates of Cucurbita maximaendosperm and Malus pumila Embryos. J.Plant
Growth Regul. 4: 111–122
Herliana, Okti., Ida, W., Kasmiatmojo., Anwar, S. (2016). Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan
Jumlah Bibit terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Hitam dengan Metode
System of Rice Intensification. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers.
Universitas Jenderal Soedirman.
Kircmann H., E. Witter.(1992). Composition of fresh, aerobic and anaerobic farm animal dungs.
Kristamtini .(2009). Mengenal Beras Hitam Dari Bantul. Tabloid Sinar Tani. 13 Mei 2009. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Yogyakarta.
Kristamtini dan H. Purwaningsih. (2009). Potensi pengembangan beras merah sebagai plasma
nutfah Yogyakarta. J. Litbang Pertanian 28(3):88-95
Kristamtini, Widyayanti, S., Sutarno, Sudarmadji, Wiranti, E. (2012). Pelestarian partisipatif
padi beras hitam lokal di Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Genetik
Pertanian. 101-109
Kristamtini. (2008). Penampilan Cempo Ireng sebagai sumber daya genetik lokal beras hitam .
hlm. 117-122. Dalam W.A. Yulianto, U. Santosa, A. Setyowati, S. Luwihono,S.
Tamaroh,
Kulkarni, V., Hamilton, D., And Mahon, G. (2006). Flowering And Fruiting In Mangoes In The
Top End With Paclobutrazol. Http:// Www.Nt.Gov.Au./Dpifm. (30 Desember 2015
Na, C.L Hayamen, M. Khan, and Lee, I.I. (2011). Influence of prohexadion-calcium,
tripenexapac-ethyl and hexaconezole on lodging characteristic and GA biosyintesis of
Rice. J. Biotech. 60:13097-13106
Nyanjang, R., A. A. Salim., Y. Rahmiati. (2003). Penggunaan Pupuk Majemuk NPK 25-7-7
Terhadap Peningkatan Produksi Mutu Pada Tanaman The Menghasilkan di Tanah
Andisols. PT. Perkebunan Nusantara XII. Prosiding The.

59
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Poulton, J.E, Romeo, J.T & Conn, E.E. (1989). Plant Nitrogen Metabolism. Recent Advances in
Phytochemistry. Vol.23. New York: Plenum Press.
Putra, S. (2012). Pengaruh pupuk NPK tunggal, majemuk, dan pupuk daun terhadap peningkatan
produksi padi gogo varietas Situ Patenggang. Agrotrop: Journal on Agriculture Science,
2(1), 55-61
Sasongko, T., D.P. Ferianti, dan W. Widya. (2008). Berkunjung ke Punclut : Menikmati Nasi
Hitam dengan Pesona Bandung di Malam Hari. http : //www-bango-mania. Down Load 26
September 2008
Sinniah, U. A. Wahyuni, S.Syahputra, B.S.A. and Gantait, S,. (2012). Aplication potensial
retardant for lodging resistance in derect seeded rice (Oryza sativa .L). Can. J. plant. Sci.
92:13-18.
Suryani, S. Hardjanti, A. Slamet, D.W.Prastuti, A. Wazyka, dan W. Kunetro (eds.). Prosiding
Seminar Nasional Pengembangan Produk Berbasis Sumber Pangan Lokal untuk
Mendukung Kedaulatan Pangan. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agro-
industri, Universitas Mercu Buana,Yogyakarta, bekerja sama dengan Perhimpunan Ahli
Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Yogyakarta dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Yogyakarta, 18 Desember 2008
Widariyanto, E. Baskara, M Dan Suryanto. (2001). Apliksi Paklobutrazol pada Tanaman Bunga
Matahari Sebagai Upaya Untuk Menciptakan TanamanHias dalam Pot. Makalah Seminar
Hortikultura Perhimpunan. 23-24 November 2011. Fakultas Pertanian Brawijaya

60
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Optimasi Pola Tanam pada Usahatani Sawah Tadah Hujan berbasis


Risiko Perubahan Iklim di Kabupaten Takalar
Optimization of Cropping Patterns on Rainfed Lowland Farming based
on Climate Change Risk in Takalar Regency
Sri Mardiyati1, Mohammad Natsir2, dan Nailah1
1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Makassar
2 Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pola tanam optimal dan alokasi
Pola Tanam sumberdaya optimal pada usahatani sawah tadah hujan dengan faktor risiko
Usahatani perubahan iklim. Penelitian dilaksanakan dengan sengaja pada wilayah lahan
Optimal sawah tadah hujan yang relatif lebih luas di Kecamatan Polombakeng Utara
Sumberdaya dan Polombakeng Selatan, Kabupaten Takalar. Pengambilan sampel
Pendapatan dilakukan secara purposif terhadap 147 petani responden. Analisis data
menggunakan Linier Programming dengan metode Motad. Hasil penelitian
menunjukkan pola tanam optimal usahatani sawah tadah hujan dengan faktor
risiko perubahan iklim adalah padi (musim tanam I/MTI) – jagung (musim
tanam II/MTII), sedangkan pola tanam padi–kacang hijau belum optimal.
Pendapatan maksimum dari pola tanam optimal sebesar Rp 20.152.835,66
per tahun per hektar. Alokasi sumberdaya optimal usahatani padi
membutuhkan: benih padi 41,6 kg, urea 165,53 kg, TSP 33,9 kg, NPK 109,26
kg, pestisida 2,86 liter, dan tenaga kerja 29,84 HOK. Untuk usahatani jagung
membutuhkan benih jagung 24,18 kg, urea 235,15 kg, TSP 21,88 kg, NPK
106,14 kg, pestisida 5,03 liter, dan tenaga kerja 39,32 HOK. Deviasi
pendapatan usahatani akibat perubahan iklim pada MT I, Rp 2.703.651,05
dan MTII, Rp 2.942.457,61. Ketersediaan sumberdaya lahan masih terbatas,
pada MTI, harga bayangan Rp 12.362.373,36 (maksimum 5,33 ha), dan MTII
Rp 7.790.462,30 (maksimum 4,1 ha).
ABSTRACT

Keywords: This study aims to formulate optimal cropping patterns and optimal resource
cropping patterns allocation in rainfed lowland farming with climate change risk factors. This
farming research was carried out intentionally in a relatively wider rainfed lowland
optimal area in the Districts of North Polombakeng and South Polombakeng, Takalar
resources Regency. Sampling was conducted purposively on 147 respondent farmers.
income Data analysis using Linear Programming with Motad method. The results of
this study indicate that the optimal cropping pattern in rainfed lowland
farming with risk factors for climate change is rice (planting season I) - corn
(planting season II), while the planting pattern of rice - green beans is not
optimal. The optimal planting pattern produces a maximum income of Rp.
20,152,835.66 per year per hectare. The optimal allocation of resources for
rice farming requires: 41.6 kg of rice seeds, urea 165.53 kg, TSP 33.9 kg,
NPK 109.26 kg, pesticides 2.86 liters, and labor 29.84 HOK (working day) .
While corn farming requires corn seeds 24.18 kg, urea 235.15 kg, TSP 21.88
kg, NPK 106.14 kg, pesticides 5.03 liters, and laborers 39.32 HOK. Deviation
of farming income due to climate change in the first planting season (rainy
season) reached Rp 2,703,651.05, while the second growing season (dry

61
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

season) Rp 2,942,457.61. Rainfed land resources have limited availability,


for the rainy season, a shadow price of Rp 12,362,373.36 with a maximum
area of 5.33 hectares, and a dry season of Rp 7,790,462.30, with a maximum
area of 4.1 hectares.

Email Korespondensi: sri.mardiyati@unismuh.ac.id

PENDAHULUAN
Kebutuhan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk
dan tingkat konsumsi domestik. Upaya peningkatan produksi tanaman pangan dipengaruhi,
bahkan terancam oleh dampak perubahan iklim, baik langsung maupun tidak langsung (Boer
dalam Widiarta, 2016). Sawah merupakan tumpuan utama sumberdaya lahan yang menjadi
sumber penghidupan masyarakat perdesaan untuk memproduksi tanaman pangan. Berusahatani
di lahan sawah irigasi memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan di lahan sawah tadah
hujan. Nuringsih, et al. (2016), pertanian lahan tadah hujan sangat rentan terhadap risiko
perubahan iklim. Pada daerah-daerah yang tidak ada sistem irigasi, ketersediaan air ditentukan
oleh kondisi curah hujan. Perubahan iklim berpotensi menyebabkan kesenjangan antara
ketersediaan air dengan kebutuhan air tanaman. Perubahan iklim mendorong petani melakukan
adaptasi dalam berusahatani.
Iklim yang ekstrim penyebab El Nino dan La Nina mengakibatkan gagal panen dan
menurunkan produksi usahatani serta pendapatan rumah tangga tani. Pada saat yang sama,
kebutuhan konsumsi terus meningkat, mendorong harga naik, sehingga sulit dijangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah. Rumah tangga tani yang tergolong peasant (petani kecil),
kelangsungan hidupnya menyandarkan diri pada produksi pertanian yang subsisten/
semisubsisten melalui usahatani yang tradisional dengan keterbatasan lahan, pendidikan, dan
pengetahuan, tanpa orientasi bisnis (Wolf dalam Lamusa, 2010).
Tekanan jumlah penduduk yang semakin meningkat mengharuskan pemecahan fenomena
ini menjadi lebih urgen untuk menentukan solusi optimal yang kompromis dengan berbagai
kendala. Petani yang rasional dituntut untuk selalu beradaptasi dengan fenomena perubahan
iklim global, sehingga kerentanan dan kerawanan pangan dapat ditekan serendah mungkin.
Kabupaten Takalar tercatat memiliki luas lahan sawah irigasi hanya 35,69 persen, dan
lahan sawah non-irigasi atau tadah hujan sebesar 64,31 persen (BPS, 2017). Tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa lahan sawah tadah hujan memiliki risiko yang tinggi terhadap perubahan
iklim global. Padahal lahan sawah merupakan tumpuan hidup sebagian besar masyarakat
perdesaan terutama dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, sehingga apabila ancaman risiko
perubahan iklim semakin tinggi tentu akan semakin mengancam tingkat ketahanan pangan.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pola tanam optimal dan alokasi sumberdaya optimal
pada usahatani sawah tadah hujan dengan faktor risiko perubahan iklim.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Usahatani Sawah Tadah Hujan
Lahan sawah tadah hujan adalah lahan yang dalam setahun minimal ditanami satu kali padi
sawah (lahan tergenang dan petakan berpematang) dengan air pengairan bergantung pada hujan.
Lahan sawah tadah hujan umumnya tidak subur (miskin hara), sering mengalami kekeringan,
dan petaninya tidak memiliki modal yang cukup, sehingga agroekosistem ini disebut juga
sebagai daerah miskin sumberdaya (Toha dan Juanda dalam Pirngadi dan Makarim, 2006). Ada
fenomena saling pengaruh-mempengaruhi antara kondisi lahan marginal dan kondisi ekonomi
petani. Pada lahan marginal, usahatani memerlukan input yang banyak sedangkan hasilnya
rendah, sehingga pendapatan dan modal usahatani rendah. Akibatnya, perbaikan kesuburan

62
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tanah sulit dilakukan, sehingga produktivitas makin rendah dan petani makin miskin (Pirngadi
dan Makarim, 2006).
Perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global telah terjadi dan berdampak pada
produksi tanaman pangan. Dampak negatif perubahan iklim mempengaruhi produktvitas dan
luas areal tanam serta luas panen tanaman pangan. Kenaikan suhu udara, perubahan hujan,
kenaikan salinitas air tanah, menurunkan produktivitas tanaman. Meningkatnya frekuensi dan
intensitas iklim ekstrem (banjir, kekeringan, angin kencang), ledakan hama/penyakit dan
meningkatnya muka air laut mempengaruhi pola tanam, indeks panen, dan mengurangi luas areal
pertanian dan areal panen (Widiarta, 2016).
Lamusa (2010), usahatani padi sawah merupakan usaha yang tergantung pada air, sehingga
air merupakan kebutuhan vital. Kehilangan air menyebabkan kekeringan. Kekeringan
diakibatkan oleh rendahnya curah hujan dan tingginya intensitas matahari dalam jangka waktu
yang relatif lama. Kedua faktor ini, merupakan penyebab utama menurunnya debit air pengairan,
sehingga tidak mencukupi kebutuhan fisiologis usahatani padi sawah yang dikembangkan. Air
yang terbatas, menghambat penguraian unsur hara, sehingga fungsinya tidak berjalan seperti
yang diharapkan.
Syukur (2016) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa kerentanan dan pemahaman
petani tadah hujan terhadap dampak dan risiko perubahan iklim ditandai oleh kesulitan
penentuan pola tanam, musim hujan yang tidak menentu, suhu udara panas, dan munculnya
penyakit baru pada tanaman padi. Sehingga menurut persepsi petani hal tersebut berdampak pada
penurunan produksi, gagal panen, lahan semakin kering dan sulit diolah. Strategi adaptasi yang
dijalankan petani dalam menghadapi dampak perubahan iklim adalah pembuatan sumur bor di
areal persawahan, menanam tanaman sayuran di pematang sawah, dan usaha-usaha di luar
pertanian.
Hasil penelitian Nuringsih, et al. (2016) bentuk adaptasi petani lahan tadah hujan
terhadap perubahan iklim dalam memenuhi kebutuhan air tanaman adalah praktek konservasi
lahan, irigasi suplementer, dan panen air. Ketersediaan air dan kepemilikan ternak berpengaruh
signifikan terhadap keputusan petani lahan tadah hujan untuk melakukan irigasi suplementer.

Risiko Perubahan Iklim


Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu, curah hujan,
kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, serta awan. Jadi, perubahan iklim merupakan
dampak dari peristiwa pemanasan global. Respon yang dapat dilakukan terkait perubahan iklim
yang telah, sedang, dan akan terjadi adalah dengan melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi.
Adaptasi dilakukan untuk mengatasi akibat atau dampak perubahan iklim, sedangkan mitigasi
untuk mengatasi penyebab perubahan iklim. Tindakan adaptasi adalah upaya mengatasi dampak
perubahan iklim sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat
positifnya (Aldrian, et al., 2011).
Dampak perubahan iklim terhadap pertanian bersifat langsung dan tidak langsung dan
mencakup aspek biofisik maupun sosial ekonomi. Dampak biofisik antara lain mencakup: (i)
efek fisiologis pada tanaman maupun ternak/ikan, (ii) perubahan sumberdaya lahan dan air, (iii)
meningkatnya organisme pengganggu tanaman (OPT), dan (iv) peningkatan permukaan laut dan
salinitas, dan sebagainya. Dampak sosial ekonomi lain meliputi: (i) turunnya produktivitas dan
produksi, (ii) fluktuasi harga komoditas pangan, (iii) meningkatnya jumlah penduduk rawan
pangan, dan sebagainya (Sumaryanto, 2012).
Adaptasi adalah upaya untuk mengelola hal yang tidak dapat dihindari. Beberapa
komponen utama kegiatan adaptasi perubahan iklim meliputi: (a) Atribusi komponen perubahan
iklim terhadap kegiatan sosial ekonomi dan biosfer; (b) Kajian dan studi dampak; (c) Kerentanan
terhadap perubahan iklim; (d) Kapasitas adaptasi dan kajian ketahanan terhadap perubahan
iklim. Tindakan mitigasi adalah upaya untuk mengatasi penyebab perubahan iklim melalui
kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca (GRK)

63
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dari berbagai sumber emisi. Mitigasi adalah upaya untuk menghindari hal yang tidak dapat
dikelola, upaya perubahan dilakukan pada sumber penyebab pemanasan global (Aldrian, et al.,
2011).
Kapasitas adaptasi didefinisikan sebagai derajat penyesuaian yang terjadi dalam praktek,
proses, atau struktur yang dapat meringankan atau mengatasi potensi kerusakan/kerugian atau
memetik manfaat dari kesempatan yang mungkin ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kapasitas adaptasi adalah faktor sosial ekonomi, teknologi, infrastruktur, dan kebijakan
pemerintah (Sumaryanto, 2012).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kecamatan Polombangkeng Utara dan
Polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penentuan lokasi
dilakukan secara purposif pada wilayah kecamatan yang memiliki areal persawahan tadah hujan
yang relatif luas. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling
yakni memilih sampel secara sengaja terhadap petani sawah tadah hujan yang relatif lebih
produktif dan memiliki pola tanam paling sedikit dua kali tanam dalam setahun. Total sampel
yang diambil sebanyak 147 petani responden.
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode survey, wawancara terstruktur,
dan observasi. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Metode analisis data yang digunakan adalah linier programming dengan model
MOTAD (Minimization of Total Absolute Deviation).
Untuk menentukan pola tanam dan alokasi sumberdaya optimal pada lahan sawah tadah
hujan yang memperhitungkan faktor risiko perubahan iklim, maka digunakan model MOTAD
Programming, seperti berikut (Hardaker, et al, 1997):
Maksimumkan : E = cx – f
Kendala : Ax ≤ b
-Dx – Iy ≤ u0
py ≤ M. M Varied
x,y ≥ 0,
Dimana :
E = Pendapatan
c = Matrik vektor 1 x n aktivitas yang dihitung pendapatannya
f = Pengeluaran masing-masing aktivitas
A = Matrik teknikal koefisien (m x n)
b = Matrik kendala sumberdaya (m x 1)
D = Deviasi masing-masing pendapatan terhadap rata-ratanya
p = Probabilitas

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pola Tanam Optimal dalam Usahatani Sawah Tadah Hujan
Pola tanam yang optimal dalam usahatani di lahan sawah tadah hujan dapat menghasilkan
tingkat pendapatan yang maksimum. Pola tanam optimal merupakan pola tanam yang sesuai
dengan kondisi lahan setiap musim dengan memperhitungkan kendala-kendala sumberdaya yang
ada seperti ketersediaan lahan, tenaga kerja, modal, dan risiko kerugian.
Pola tanam aktual yang telah dilakukan petani dalam usahatani sawah tadah hujan adalah
padi-jagung dan padi-kacang hijau. Tetapi dengan analisis optimasi menggunakan model
linier/motad programming pola tanam yang optimal dan memberikan pendapatan maksimum
adalah padi-jagung. Tanaman padi dibudidayakan pada musim tanam I atau musim hujan,
sedangkan tanaman jagung dibudidayakan pada musim tanam II atau musim kemarau I.
Tabel 1. Pola Tanam Optimal dan Pendapatan Maksimum per Hektar pada Usahatani Sawah Tadah
Hujan di Kabupaten Takalar.

64
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sumberdaya Lahan Pola Tanam Optimal Pendapatan Maksimum (Rp)


Musim Tanam I Padi 12.362.373,36
Musim Tanam II Jagung 7.790.462,30
Sumber : Analisis data primer, 2019.

Berdasarkan pola tanam optimal yang diperoleh maka usahatani padi memberikan
pendapatan maksimum sebesar Rp 12.362.373,36 per musim tanam per hektar, sedangkan
usahatani jagung memperoleh pendapatan maksimum senilai Rp 7.790.462,30 per musim tanam
per hektar (Tabel 1). Pendapatan maksimum tersebut merupakan pendapatan yang sudah
dianalisis dengan memperhitungkan faktor risiko kerugian, baik risiko produksi maupun risiko
harga. Risiko kerugian produksi yang dipertimbangkan dalam kajian ini adalah risiko akibat
terjadinya perubahan iklim, terutama kemarau panjang dan kekeringan.
Nilai sensitivitas pendapatan untuk setiap aktivitas usahatani lahan sawah tadah hujan
memiliki tingkatan yang berbeda. Hal ini berarti bahwa tingkat pendapatan dalam setiap aktivitas
usahatani masih memiliki peluang peningkatan tanpa mempengaruhi kondisi optimal. Perubahan
pendapatan yang terjadi selama masih dalam range sensitivitas (minimum dan maksimum) tidak
akan merubah kondisi optimalitas pendapatan usahatani. Semakin lebar jarak antara nilai
minimum dan nilai maksimum maka semakin rendah tingkat sensitivitasnya.

Tabel 2. Nilai Sensitivitas Pendapatan pada Aktivitas Usahatani Sawah Tadah Hujan di Kabupaten
Takalar.
Batas Sensivitas Pendapatan (Rp)
Aktivitas Usahatani Pendapatan (Rp)
Minimum Maksimum
Padi (Musim Tanam I) 12.362.373,36 11.889.959,43 tidak terbatas
Jagung (Musim Tanam II) 7.790.462,30 5.817.268,40 tidak terbatas
Total Pendapatan Maksimum Rp 20.152.835,66
Sumber : Analisis data primer, 2019.

Pendapatan maksimum usahatani padi dan jagung di lahan sawah tadah hujan memiliki
sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan pendapatan minimum. Apabila pendapatan usahatani
padi lebih kecil dari pendapatan minimum sebesar Rp 11.889.959,43 per musim tanam per hektar
maka akan merubah kondisi optimal, tetapi jika pendapatan maksimum yang diperoleh lebih
besar dari Rp 11.889.959,43 per musim tanam per hektar maka tidak akan merubah kondisi
optimalitas. Demikian juga untuk usahatani jagung pada musim kemarau (musim tanam II),
kondisi optimalitas akan berubah apabila pendapatan usahatani jagung lebih rendah dari Rp
5.817.268,40 per musim tanam per hektar (Tabel 2).

Alokasi Sumberdaya yang Optimal dalam Usahatani Sawah Tadah Hujan


Penerapan pola tanam dan alokasi sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal) yang optimal
akan menghasilkan produktivitas dan pendapatan yang maksimal. Teknik optimasi yang
menggunakan programasi linier mampu memberikan solusi optimal dalam pengalokasian
sumberdaya, sehingga dapat diketahui apakah sumberdaya tersebut dalam kondisi terbatas atau
melimpah. Hasil analisis programasi linier yang menghasilkan nilai dual (dual value) atau sering
disebut juga harga bayangan (shadow price) menunjukkan bahwa seluruh penggunaan
sumberdaya tersebut telah habis terpakai. Sumberdaya yang bersifat terbatas (finite/binding)
karena seluruhnya telah dialokasikan sehingga tidak ada lagi sisa (slack) merupakan perwujudan
dari penggunaan sumberdaya yang sudah efisien. Nilai dual menunjukkan arti bahwa
penambahan satu unit sumberdaya yang terbatas akan dapat merubah (menaikkan atau
menurunkan) pendapatan sebesar nilai dual itu sendiri.
Sumberdaya yang masih dalam kondisi terbatas adalah lahan sawah tadah hujan,
sedangkan ketersediaan tenaga kerja masih melimpah atau tidak terbatas. Adanya nilai dual lahan

65
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

menunjukkan bahwa perluasan lahan masih layak dilakukan karena tidak akan berpengaruh
terhadap solusi optimal. Menurut hasil analisis optimasi programasi linier yang sudah
mempertimbangkan faktor risiko diperoleh nilai dual lahan sawah tadah hujan untuk musim
tanam I sebesar Rp 12.362.373,36. Hal ini berarti bahwa apabila luas lahan sawah tadah hujan
tersebut ditambah satu hektar maka pendapatan usahatani tersebut akan naik sebesar Rp
12.362.373,36. Untuk musim tanam II, nilai dual lahan sawah tadah hujan sebesar Rp
7.790.462,30, sehingga menunjukkan bahwa jika luas lahan tersebut ditambah satu hektar maka
pendapatan usahatani akan meningkat sebesar Rp 7.790.462,30 (Tabel 3).
Ketersediaan tenaga kerja tidak menjadi kendala dalam usahatani lahan sawah tadah hujan
karena kondisi sumberdayanya masih banyak tersedia atau tidak terbatas. Ketersediaan
sumberdaya tenaga kerja untuk aktivitas usahatani masih belum sepenuhnya dialokasikan. Hal
ini menggambarkan bahwa alokasi tenaga kerja masih belum efisien, sehingga kelebihan tersebut
masih dapat dialokasikan pada berbagai aktivitas usaha lain. Pada kondisi sumberdaya tenaga
kerja yang tidak terbatas maka nilai dual adalah nol (Tabel 3), artinya penambahan jumlah tenaga
kerja tidak layak dilakukan karena berapapun penambahannya tidak akan dapat menaikkan
pendapatan usahatani yang maksimal.
Tabel 3. Nilai Right Hand Side, Nilai Sisa, dan Nilai Dual dari Sumberdaya pada Pola Tanam Optimal
Usahatani Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Takalar.
Ketersediaan Sumberdaya Nilai Right Hand Side Nilai Sisa Nilai Dual
Musim Tanam I
Lahan Sawah Tadah Hujan (ha) 1 0 12.362.373
Tenaga Kerja (HOK) 160 130 0
Musim Tanam II
Lahan Sawah Tadah Hujan (ha) 1 0 7.790.462
Tenaga Kerja (HOK) 160 121 0
Sumber : Analisis Data Primer, 2019.

Tabel 4. Alokasi Sumberdaya Optimal dan Range Right Hand Side untuk Pola Tanam Optimal Usahatani
Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Takalar.
Kondisi Optimal
Ketersediaan Sumberdaya Range Right Hand Side
Nilai RHS
Minimum Maksimum
Musim Tanam I
Lahan Sawah Tadah Hujan (ha) 1 0 5,33
Benih Padi (kg) 0 - 42
Pupuk Urea (kg) 0 - 166
Pupuk TSP (kg) 0 - 34
Pupuk NPK (kg) 0 - 109
Pestisida (liter) 0 - 3
Tenaga Kerja (HOK) 160 30 tidak terbatas
Produksi Padi (kg) 0 -4.210 tidak terbatas
Deviasi Pendapatan (Rp) 0 -2.704.000 tidak terbatas
Musim Tanam II
Lahan Sawah Tadah Hujan (ha) 1 0 4,10
Benih Jagung (kg) 24 - 24
Pupuk Urea (kg) 235 - 235
Pupuk TSP (kg) 22 - 22
Pupuk NPK (kg) 106 - 106
Pestisida (liter) 5 - 5
Tenaga Kerja (HOK) 39 39 tidak terbatas
Produksi Jagung (kg) 3.437 -3.437 tidak terbatas
Deviasi Pendapatan (Rp) 2.942.000 -2.942.000 tidak terbatas
Sumber : Analisis Data Primer, 2019.
Sumberdaya lahan sawah tadah hujan dan modal (benih, pupuk, pestisida) memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi terhadap perubahan penggunaan sumberdaya tersebut. Hal ini

66
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mengilustrasikan bahwa jika sumberdaya tersebut mengalami perubahan meskipun relatif kecil
maka akan menyebabkan terjadinya perubahan solusi optimal. Sebaliknya, apabila sensitivitas
sumberdaya tersebut rendah maka perubahan nilai sumberdaya relatif tidak mempengaruhi solusi
optimal. Sumberdaya lahan sawah tadah hujan untuk musim tanam I memiliki nilai maksimum
5,33, artinya apabila luas lahan tersebut akan ditambah maka tidak dapat melebihi 5,33 hektar,
karena jika lebih dari itu maka kondisi/solusi optimal tidak dapat tercapai. Demikian pula untuk
lahan sawah tadah hujan musim tanam II, luas lahan maksimum yang masih layak untuk
mencapai kondisi optimal adalah 4,1 hektar. Sumberdaya modal memiliki sensitivitas yang
sangat tinggi, karena memiliki range right hand side yang sangat sempit, sehingga apabila terjadi
perubahan sumberdaya yang melebihi sedikit saja dari nilai maksimum, maka kondisi
optimalitas tidak tercapai. Deviasi pendapatan usahatani sawah tadah hujan akibat perubahan
iklim memiliki sensivitas yang rendah, artinya dengan mempertimbangkan faktor risiko kerugian
maka kondisi optimalitas masih tercapai (Tabel 4).

PENUTUP
Hasil penelitian menunjukkan pola tanam optimal usahatani sawah tadah hujan dengan
faktor risiko perubahan iklim adalah padi (musim tanam I/MTI) – jagung (musim tanam
II/MTII), sedangkan pola tanam padi–kacang hijau belum optimal. Pendapatan maksimum dari
pola tanam optimal sebesar Rp 20.152.835,66 per tahun per hektar. Alokasi sumberdaya optimal
usahatani padi membutuhkan, antara lain: benih padi 41,6 kg, urea 165,53 kg, TSP 33,9 kg, NPK
109,26 kg, pestisida 2,86 liter, dan tenaga kerja 29,84 HOK. Untuk usahatani jagung
membutuhkan benih jagung sebanyak 24,18 kg, urea 235,15 kg, TSP 21,88 kg, NPK 106,14 kg,
pestisida 5,03 liter, dan tenaga kerja 39,32 HOK. Deviasi pendapatan usahatani akibat perubahan
iklim pada MT I sebesar Rp 2.703.651,05 dan MTII sebesar Rp 2.942.457,61. Ketersediaan
sumberdaya lahan masih terbatas, pada MTI, harga bayangan mencapai Rp 12.362.373,36
dengan maksimum perluasan lahan 5,33 hektar, sedangkan untuk harga bayangan MTII sebesar
Rp 7.790.462,30 dengan penambahan luas maksimum sebesar 4,1 hektar.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak DRPM Kemristekdikti yang telah
mendanai riset ini, yang merupakan bagian dari Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi
tahun kedua di Universitas Muhammadiyah Makassar. Terima kasih juga dihaturkan kepada
pihak Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP3M)
Universitas Muhammadiyah Makassar, dan semua pihak yang telah mendukung riset ini.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., Karmini, M., dan Budiman. (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di
Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Kedeputian Bidang Klimatologi,
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Jakarta.
BPS. (2017). Kabupaten Takalar Dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar.
Hardaker, J. Brian, Huirne, Ruud B.M. and Anderson, Jock R. (1997). Coping With Risk In
Agriculture. CAB International. New York.
Lamusa, A. (2010). Risiko Usahatani Padi Sawah Rumah Tangga di Daerah Impenso Provinsi
Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland 17 (3): 226-232, Desember 2010.
Nuringsih, T., Budiastuti, S., dan Komariah. (2016). Adaptasi Petani Lahan Tadah Hujan
terhadap Perubahan Iklim dalam Memenuhi Kebutuhan Air Tanaman di Daerah Aliran
Sungai Cokroyasan Kabupaten Purworejo. Jurnal EKOSAINS / Vol. IX, Nomer. 2, /
November 2016: 79 – 90.

67
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pirngadi, K dan Makarim, A.K. (2006). Peningkatan Produktivitas Padi pada Lahan Sawah
Tadah Hujan melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan Vol. 25 No. 2 2006: 116-123.
Sumaryanto. (2012). Strategi Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman Pangan
Menghadapi Perubahan Iklim. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 30 No. 2,
Desember 2012: 73 – 89.
Syukur, M. (2016). Adaptasi Sosial Petani Tadah Hujan terhadap Perubahan Iklim (Studi Kasus
pada Petani Tadah Hujan di Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone). Predestinasi: Jurnal
Penelitian, Gagasan, Sosiologi, dan Pengajaran, Volume IX No. 2, Oktober 2016: 100 –
114.
Widiarta, I. N. 2016. Teknologi Pengelolaan Tanaman Pangan dalam Beradaptasi terhadap
Perubahan Iklim pada Lahan Sawah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 10 No. 2, Desember
2016; 91-102.

68
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Aplikasi POC Daun Gamal untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan


Produksi Padi Sawah Metode Salibu Berbasis Organik
Jeanne M. Paulus, Jemmy Najoan, Paula C.H. Supit, dan Diana S. Tiwow
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK

Kata Kunci: Budidaya padi salibu merupakan salah satu teknologi produksi yang dapat
Budidaya Padi Salibu meningkatkan produktivitas tanaman padi per unit area dan per unit waktu
Berbasis Organik serta dapat meningkatkan frekuensi panen dari satu kali panen menjadi dua
Pupuk Organik Cair sampai tiga kali panen dalam satu tahun. Di Sulawesi Utara teknik budidaya
(POC) salibu belum dikenal oleh petani, hingga saat ini petani masih menerapkan
sistem budidaya konvensional yang sangat bergantung pada penggunaan
pupuk kimia, di pihak lain petani juga belum memanfaatkan jerami sisa panen
sebagai sumber bahan organik yang selama ini hanya dibakar, sehingga
teknik budidaya padi salibu sangat tepat diterapkan dalam upaya
meningkatkan produktivitas padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
pengaruh pemberian POC daun gamal untuk meningkatkan produksi padi
metode salibu berbasis organik
Penelitian lapangan telah dilaksanakan di Desa Taratara Dua Kecamatan
Tomohon Barat selama 8 (delapan) bulan dimulai pada bulan April 2018
sampai dengan Oktober 2018. Perlakuan dalam percobaan terdiri atas satu
faktor perlakuan, yaitu : konsentrasi POC gamal 0%, 5%, 10%, 15%, dan
20% per liter air. Variabel respon yang diamati, meliputi : tinggi tanaman,
jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas/malai, jumlah gabah hampa
/malai, hasil gabah kering panen (GKP) / petak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian POC daun gamal pada tanaman padi sawah
metode salibu dapat meningkatkan jumlah anakan produktif, jumlah gabah
bernas/malai, dan hasil gabah kering panen (GKP)/petak, dan sebaliknya
dapat menurunkan jumlah gabah hampa/malai. Hasil terbaik dicapai pada
konsentrasi POC daun gamal 10%,15%, dan 20% dengan hasil GKP/petak
sebesar 3,40 kg atau meningkat 20,59% dari kontrol atau tanpa pemberian
POC daun gamal. Disarankan kepada petani bahwa untuk meningkatkan
produksi padi sawah metode salibu, yaitu menggunakan POC daun gamal
dengan konsentrasi 10% POC per liter air.

Email korespondensi: jeannepaulus5@gmail.com

PENDAHULUAN
Padi merupakan tanaman pangan utama penghasil karbohidrat yang dikonsumsi oleh
sebagian besar penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk sejalan dengan peningkatan
kebutuhan akan beras, yaitu sekitar 265 juta jiwa penduduk Indonesia menghadapi tantangan
yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan. Ketergantungan pangan yang
bertumpu pada beras sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan ketahanan pangan
nasional.
Produksi padi secara nasional maupun regional masih tergolong rendah, dan dari tahun ke
tahun tidak mengalami peningkatan yang berarti. Penyebab penurunan produktivitas padi, antara
lain adalah terjadinya penurunan kesuburan lahan sawah sebagai dampak dari penggunaan pupuk
kimia dosis tinggi dan dalam kurun waktu yang lama. Penambahan input berupa pupuk kimia
tidak mampu lagi menaikkan produksi padi, dan petani harus mengeluarkan biaya produksi yang

69
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

lebih tinggi untuk satu kali musim tanam. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu model
program nasional berupa inovasi teknologi produksi padi yang dapat diterapkan oleh petani
untuk meningkatkan produktivitas padi dan menunjang program ketahanan pangan.
Teknik budidaya padi sawah metode salibu merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan produtivitas padi dan sekaligus menurunkan biaya produksi per satuan luas per
satuan waktu. Menurut Erdiman (2013) dan Santoso (2014), bahwa terdapat beberapa
keuntungan yang dari budidaya sistem salibu adalah : (1) hemat tenaga kerja, (2) hemat air, (3)
hemat biaya produksi karena tanpa pengolahan tanah, penyemaian, dan penanaman, (4)
kemurnian genetik lebih terjamin, dan (5) waktu panen lebih singkat. Budidaya padi salibu
merupakan salah satu inovasi teknologi untuk memacu produktivitas / peningkatan produksi padi
dengan memanfaatkan batang bawah setelah panen sebagai penghasil tunas/anakanyang akan
dipelihara. Tunas ini akan berfungsi sebagai pengganti bibit pada sistem pindah tanam (Dinas
Pertanian, 2015). Bank Indonesia (2015), melaporkan bahwa teknik budidaya salibu dapat
dijadikan salah satu model dari program nasional untuk mendorong peningkatan produksi padi,
dan merupakan inovasi sederhana dan mudah dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatan
petani.
Di Sulawesi Utara teknik budidaya salibu belum dikenal oleh petani, bahkan sebagian
besar petani masih menerapkan sistem budidaya padi konvensional yang sangat bergantung pada
input kimia yang tinggi. Bersamaan dengan hal tersebut petani juga belum memanfaatkan jerami
sisa panen sebagai sumber bahan organik, bahkan setelah panen sisa-sisa jerami hanya terbuang
dengan cara dibakar, sehingga teknik budidaya padi salibu sangat tepat diterapkan di Sulawesi
Utara sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas padi sawah dan untuk
menunjang program ketahanan dan keamanan pangan nasional.
Tanaman gamal (Gliricidia sepium) tergolong jenis tanaman leguminosa yang banyak
mengandung nitrogen karena jenis tanaman ini dapat mengikat nitrogen bebas dari udara. Unsur
nitrogen merupakan hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman padi selama pertumbuhannya,
disamping hara lainnya seperti fosfor, kalium, dan hara mikro lainnya. Tanaman gamal sangat
mudah diperbanyak melalui stek batang dan ditanam di pinggiran sawah atau sebagai pembatas
kebun. Proses pembuatan POC dari daun gamal sangat mudah dengan biaya yang murah, dan
proses fermentasi membutuhkan waktu yang singkat yaitu 10 -12 hari. Tingkat keefektifan dari
POC gamal masih perlu diuji pada tanaman padi dalam upaya untuk meningkatkan produksi padi
sawah berbasis organik.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa POC dapat meningkatkan pertumbuhan
dan produksi tanaman. Setianingsih (2009) dalam hasil penelitiannya pada tanaman padi,
melaporkan bahwa perlakuan priming dengan pupuk organik cair gamal dapat meningkatkan
daya kecambah benih, keserempakan tumbuh, panjang akar, berat brangkasan basah dan berat
brangkasan kering yang tinggi. Mukhlis, Purwaningsih, dan Anggorowati (2012), menyatakan
bahwa pemberian kombinasi MOL sayuran dan buah-buahan memberikan pertumbuhan yang
paling efektif pada tanaman bawang merah. Demikian halnya Rahayu dan Ariyadi (2014) dalam
percobaan tentang pengaruh kompos dan larutan MOL pada tanaman tomat, menunjukkan
bahwa larutan MOL memberikan respon yang baik pada pertumbuhan tanaman tomat, dan MOL
cebreng (gamal) memberikan angka tertinggi pada serapan N dan K2O. Yasin (2016)
melaporkan bahwa, pemberian POC daun gamal dengan konsentrasi 10 ml/l air menunjukkan
pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi padi pada semua parameter yang diamati
: tinggi tanaman, jumlah anakan, waktu keluar malai, jumlah malai, berat gabah per rumpun, dan
berat gabah sebesar 6,2 ton per ha. Hal yang sama dilaporkan oleh Oviyanti (2016) dalam hasil
penelitiannya menunjukkan hahwa pemberian POC daun gamal berpengaruh nyata pada
pertumbuhan tanaman sawi, pada konsentrasi 120 ml/l air memberikan pengaruh paling baik
pada pertumbuhan tinggi tanaman dan lebar daun tanaman sawi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aplikasi POC daun gamal pada pertumbuhan dan
produksi padi sawah sistem salibu. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi

70
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

kepada petani tentang keuntungan dari teknik budidaya padi sistem salibu dan konsentrasi POC
daun gamal terbaik untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi sawah.

BAHAN DAN METODE


Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian lapangan telah dilaksanakan di desa Taratara Dua Kecamatan Tomohon Barat,
Kota Tomohon, Sulawesi Utara, selama 4 (empat) bulan, dimulai sejak bulan Juni 2018 sampai
dengan Oktober 2018.

Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan adalah : bahan pembuatan kompos jerami dan POC (daun
gamal, larutan EM4, gula batu, air beras, air kelapa, urine sapi, pupuk kandang), alat pembuatan
POC gamal (ember plastik ukuran 20 l beserta penutup, selang aerator, botol aqua 1500 ml,
pengaduk, gayung, masker, sarung tangan), mesin pencacah jerami, terpal plastik, paranet, benih
padi var. IR-64, pupuk NPK, sprayer, timbangan analitis, alat tulis menulis.

Rancangan Percobaan
Percobaan terdiri atas faktor tunggal, yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Faktor yang diteliti terdiri atas 5 perlakuan, yaitu : konsentrasi POC daun gamal, yang
terdiri atas : 0% POC kontrol (P0) , 5% POC (P1), 10% POC (P2), 15% POC (P3), dan 20% POC
(P4). Setiap perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 15 petak percobaan.

Prosedur Kerja
Budidaya Tanaman Salibu
• Sisa tunggul dari tanaman pertama yang dipindahtanamkan dibiarkan selama 7-10 hari untuk
menunggu keluarnya tunas, jika tunas sudah keluar, lakukan pemotongan ulang tunggul sisa
panen secara seragam hingga tersisa 3-5 cm dari permukaan tanah dan melanjutkan
pemeliharaan dari pemotongan sisa batang tanaman utama sejak awal Hari Setelah
Pemotongan (HSP).
• Setelah tunas salibu keluar lakukan pengairan dengan ketinggian air 2-5 cm dari permukaan
tanah atau tunas yang keluar tidak tenggelam. Berkaitan dengan tanaman utama (tanaman
pertama).
• Penyulaman dilakukan dengan memanfaatkan tunas-tunas salibu yang ada, caranya dengan
memecah (membagi dua) tunas yang tumbuh hingga perakarannya, kemudian dipecah antara
2-3 anakan, lalu disulam pada lokasi tanaman yang tidak tumbuh.
• Pemupukan pada tanaman salibu dilakukan sama dengan tanaman utama atau sama dengan
rekomendasi spesifik lokasi. Dosis pupuk yang digunakan adalah 50 % dari dosis yang
direkomendasikan. Pemupukan dilakukan secara tabur pada kondisi sawah macak-macak,
pemupukan pertama diberikan sebesar 40 % dari dosis pada saat tanaman berumur 15-20
HSP. Pemupukan kedua diberikan dosis 60 % pada saat tanaman berumur 30-35 HSP.
• Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara pengendalian OPT yang didasarkan
pada ekologi, efisiensi, ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan
lingkungan berkelanjutan.
• Pengendalian gulma dilakukan dengan menggunakan gasrok atau cangkul kecil bertangkai
panjang. Penyiangan dengan alat gasrok selain membuang gulma juga dapat digunakan
untuk menggemburkan tanah dan perbaikan sistem perakaran.
• Panen dilakukan saat warna gabah menguning (95%) dan batang masih hijau. Teknologi
salibu dapat menghemat waktu panen sekitar 40 hari dibanding dengan tanam pindah.

71
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Variabel Pengamatan
Variabel respon yang diamati, meliputi : tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah
gabah bernas/malai, jumlah gabah hampa/malai, bobot 1000 butir gabah kering panen, dan hasil
gabah kering panen/petak.

Analisis Data
Semua variabel pengamatan diuji dengan analisis ragam dan jika terdapat perbedaan
dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf uji 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian POC daun gamal tidak memberikan
pengaruh terhadap tinggi tanaman, namun berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif,
jumlah gabah bernas/malai, jumlah gabah hampa/malai, dan hasil GKP/petak tanaman padi
sawah sistem salibu (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh Pemberian POC Daun Gamal terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Produktif,
Jumlah Gabah Bernas/Malai, Jumlah Gabah Hampa/Malai, dan Hasil GKP/Petak
Tinggi tanaman Jumlah anakan Jumlah gabah Jumlah gabah Hasil
Perlakuan (cm) produktif bernas/malai hampa/malai GKP/petak
(kg)
0% MOL(P0) 83,00 a 25,20 b 96,13 b 12,27a 2,667 b
5% MOL (P1) 82,60 a 25,80 b 97,60 b 11,33 ab 3,100 b
10% MOL (P2) 82,60 a 29,73 a 103,40 ab 9,40 c 3,400 a
15% MOL (P3) 82,46 a 28,87 a 113,40 a 8,73 c 3,466 a
20% MOL (P4) 82,26 a 28,67 a 111,33 a 10,80 b 3,433 a
BNT 5% 1,68 2,48 11.00 1,36 0,53
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada
taraf uji BNT 5%.

Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman tidak berbeda di antara perlakuan baik pada perlakuan 0% (kontrol), 5%,
10%, 15%, dan 20% POC gamal dengan kisaran tinggi tanaman antara 82,26 cm - 83,00 cm
(Tabel 1). Hal itu disebabkan oleh faktor internal yaitu sifat genetik tanaman padi varietas IR-
64 yang menurut deskripsi varietas IR 64 memiliki tinggi tanaman 70 cm – 80 cm (Suprihatno,
dkk., 2009). Faktor genetik seperti ini tidak dipengaruhi oleh faktor perlakuan konsentrasi POC
daun gamal.

Jumlah Anakan Produktif


Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi MOL daun gamal berpengaruh
terhadap jumlah anakan produktif. Jumlah anakan produktif tertinggi dicapai pada perlakuan
konsentrasi POC daun gamal 10%, 15%, dan 20% dengan nilai masing-masing 29,73 ; 28,87 ;
dan 28,67 anakan, dan terendah pada perlakuan kontrol dan konsentrasi 5% POC dengan nilai
25,20 dan 25,80 anakan. Hal tersebut sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Jamilah (2017),
bahwa pemberian 20% POC asal C.odorata yang diberikan setiap 3 minggu sekali dengan
konsentrasi 20% POC meningkatkan serapan hara kalium dan hasil gabah kering sebesar 11,14%
dibandingkan dengan konsentrasi 10% POC. Adanya peningkatan jumlah anakan produktif
sebagai respon tanaman padi terhadap pemberian POC daun gamal disebabkan oleh kandungan
beberapa unsure hara makro terutama N yang tinggi, hal ini ditunjang oleh pernyataan Ibrahim
(2002), bahwa dari daun gamal dapat diperoleh sebesar 3,15% N, 0,22% P, 2,65% K, 1,35% Ca,
dan 0,41% Mg. Dalam 1 ha tanah, biomassa gamal yang dibudidayakan secara alley cropping
dengan jagung mampu menyumbang hara sebanyak 150 kg N ha-1, 52 kg P ha-1, 150 kg K ha-1,

72
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

223 kg Ca ha-1, dan 33 kg Mg ha-1 per tahun. Selain itu juga, gamal memiliki keunggulan
dibandingkan jenis leguminoceae lain yaitu dapat dengan mudah dibudidayakan,
pertumbuhannya cepat, produksi biomassanya tinggi. Gamal juga mempunyai kandungan
nitrogen yang cukup tinggi dengan C/N rendah, menyebabkan biomasa tanaman ini mudah
mengalami dekomposisi (Jusuf, dkk, 2007).

Jumlah gabah bernas/malai


Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi POC daun gamal berpengaruh
terhadap jumlah gabah bernas/malai (Tabel 1). Jumlah gabah bernas/malai tertinggi dicapai oleh
perlakuan 10%, 15%, dan 20% masing-masing dengan nilai 103,40 ; 113,40 (nilai tertinggi) ;
dan 111,33 butir, sedangkan perlakuan 0% dan 5% dengan nilai lebih rendah, yaitu 96,13 9
(terendah) dan 97,60 butir.
Pupuk organik cair dari daun gamal memberikan pengaruh pada komponen pertumbuhan
tanaman padi seperti panjang malai dan jumlah gabah per malai, dilaporkan oleh Habibullah,
dkk. (2015) dalam hasil penelitiannya, bahwa perlakuan 0.69 N, 0.36 P2O5, 0.45 K2O g/polybag
dengan POC 700 ml/polybag dan 0.69 N, 0.36 P2O5, 0.45 K2O g/polybag dan POC 350
ml/polybag menghasilkan panjang malai dan jumlah gabah per malai terbaik. Nurman (2002)
menyatakan bahwa, unsur hara N membuat malai lebih panjang dan jumlah butiran gabah lebih
banyak, tidak terpenuhinya kebutuhan N akan menyebabkan jumlah dan kualitas bulir menurun.

Jumlah Gabah Hampa/Malai


Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi POC daun gamal berpengaruh
terhadap jumlah gabah hampa/malai (Tabel 1). Sebaliknya, jumlah gabah hampa/malai terendah
dicapai oleh perlakuan 10% dan 15% masing-masing dengan nilai 9,40 dan 8,73 butir (terendah),
kemudian dikuti oleh perlakuan 20% dengan nilai 10,80 butir. Nilai yang tinggi pada perlakuan
0% dan 5%, masing-masing12,27 (tertinggi) dan 11,33 butir.
Pemberian POC daun gamal ternyata dapat menurunkan jumlah gabah hampa
dibandingkan dengan perlakuan kontrol atau tanpa pemberian POC daun gamal. Kekurangan N
atau tidak terpenuhinya kebutuhan N akan menyebabkan jumlah dan kualitas bulir menurun.
Menurut Hakim (1986) rendahnya ketersediaan hara pada fase reproduktif menyebabkan
terhambatnya beberapa proses metabolisme tanaman yang berdampak pada penurunan hasil
tanaman, kekurangan P dapat mengakibatkan perkembangan akar terhambat, terhambatnya
pembentukkan bunga, dan penurunan jumlah biji. Demikian halnya dilaporkan oleh Yasin
(2016) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, perlakuan konsentrasi POC daun gamal
10 ml/l memberikan nilai berat gabah/rumpun yang paling berat yaitu 41,98 g, berbeda nyata
dengan kontrol yaitu 25,52 g. Menurut Syakhril dkk.(2014) unsur N berpengaruh terhadap
panjang malai, jumlah gabah per malai dan jumlah gabah bernas per malai.

Hasil Gabah Kering Panen/Petak


Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi POC daun gamal berpengaruh
terhadap jumlah gabah hampa/malai (Tabel 1). Hasil GKP/petak tertinggi dicapai oleh perlakuan
10%, 15%, dan 20% POC, masing-masing dengan nilai 3,400 kg ; 3,466 kg ; dan 3,433 kg,
sedangkan perlakuan 0% dan 5% dengan nilai lebih rendah, yaitu 2,667 kg dan 3,100 kg.
Yasin (2016) dalam hasil penelitiannya bahwa, hasil gabah saat panen dipengaruhi sangat
nyata oleh perlakuan POC daun gamal yang diberikan sehingga dapat meningkatkan bobot
gabah panen sebesar 41.98 gram dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hasil penelitian
Paulus, dkk., (2017) bahwa aplikasi POC daun gamal berpengaruh terhadap hasil tanaman
bawang merah var. Lansuna, hasil tertimggi dicapai pada konsentrasi 150 dan 200 ml POC/ liter
air.
Peningkatan hasil tanaman padi pada penelitian ini disebabkan oleh kandungan unsur hara
makro (N, P, K) dan hara mikro pada POC gamal, dimana unsur-unsur tersebut dibutuhkan

73
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

tanaman untuk proses fisiologi dan metabolisme dalam tanaman yang akan memacu
pertumbuhan tanaman dan apabila pertumbuhan tanaman optimal dapat meningkatkan hasil yang
optimal juga. Kandungan unsur hara makro terutama nitrogen mampu mendorong dan
mempercepat pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Dikemukan oleh Gardner, dkk. (1991),
bahwa unsur nitrogen sangat dibutuhkan tanaman untuk sintesa asam-asam amino dan protein,
terutama pada titik-titik tumbuh tanaman sehingga mempercepat proses pertumbuhan tanaman
seperti pembelahan sel dan perpanjangan sel sehingga meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman. Selain nitrogen, phosphor juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Poerwowidodo (1992), menyatakan bahwa unsur fosfor berperan dalam menyimpan dan
memindahkan energi untuk sintesis karbohidrat, protein, dan proses fotosintesis. Senyawa-
senyawa hasil fotosintesis disimpan dalam bentuk senyawa organik yang kemudian dibebaskan
dalam bentuk ATP untuk pertumbuhan tanaman. Unsur kalium yang terdapat pada POC daun
gamal yang berperan penting dalam setiap proses metabolisme tanaman, yaitu dalam sintesis
asam amino dan protein dari ion-ion ammonium. Fungsi utama asam amino adalah sebagai bahan
dasar pembentukan protein yang selanjutnya akan digunakan untuk pertumbuhan tanaman
(fungsi struktural) dan enzim (fungsi metabolisme). Asam amino ini dapat meningkatkan jumlah
klorofil dalam tanaman, meningkatkan aktivitas fotosintensis, dan meningkatkan pertumbuhan
akar. Asam amino juga dapat mengatur stomata secara optimal dengan mengendalikan
transpirasi tanaman dan meningkatkan reduksi karbondioksida yang akan diubah menjadi
karbohidrat yaitu berupa hasil gabah (Gardner, dkk., 1991).

KESIMPULAN
1. Pemberian POC daun gamal pada tanaman padi sawah metode salibu dapat meningkatkan
jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas/malai, dan hasil gabah kering panen
(GKP)/petak, dan dapat menurunkan jumlah gabah hampa/malai.
2. Konsentrasi terbaik diperoleh pada perlakuan 10% POC daun gamal dengan nilai-nilai , yaitu
jumlah anakan produktif 29,73 anakan; jumlah gabah bernas/malai 103,40 butir; jumlah
gabah hampa terendah 9,40 butir; dan hasil GKP/petak sebesar 3,40 kg atau setara dengan
5,54 ton/ha.

DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2014. Kegiatan BI dalam Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Klaster
Komoditi Unggulan (Panduan Replikasi). http://bankindonesia.bukuklaster.2014.pdf. 178
hal. [15 Maret 2017].
Dinas Pertanian. 2015. Teknologi Salibu, Budidaya Padi Tanpa Benih, Tanam Satu Kali Panen
Berkali-kali. http://dinastanamanpanganhortikulturadanperkebunan. [5 Maret 2017].
Erdiman. 2013. Teknologi Salibu Meningkatkan produktivitas Lahan (3-6 ton/ha/tahun) dan
Pendapatan Petani Rp 15-25 juta/tahun. BPTP Sumatera Barat. http://bptpsumbar.
padisalibu.pdf. ]1 Maret 2018].
Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas
Indonesia Press. 428 hal.
Habibullah, Idwar, Murniati, 2005. Pengaruh Pupuk N, P, K dan Pupuk Organik Cair (POC)
Terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Efisiensi Produksi Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa
L.) di Medium Tanah Ultisol. Department of Agrotechnology, Faculty of Agriculture
University of Riau, Vol 2 (2).
Hakim, N, Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.H. Diha, G.B. Hong, dan H.H.
Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.

74
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Ibrahim, B. 2002. Integrasi Jenis Tanaman Pohon Leguminosae Dalam Sistem Budidaya Pangan
Lahan Kering dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Tanah, Eroso, dan Produktivitas Lahan.
Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Hasanudin. Makassar.
Jusuf. L. 2016. Potensi Daun Gamal sebagai Bahan Pupuk Organik Cair Melalui Perlakuan
Fermentasi. Jurnal Agrisistem Vol.2 No.1, Juni 201r6.
Litbang Pertanian. 2015. Panduan Teknik Budidaya Padi Salibu. http://bbpadi.litbang. pertanian.
[13 Maret 2017].
Mukhlis, Purwaningsih, dan D. Anggorowati. 2012. Pengaruh Berbagai Jenis MOL Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah pada Tanah Aluvial. Skripsi S1. Fakultas Pertanian
Universitas Tanjung Pura Pontianak. http:www//11.83-3817-1-PB. [5 Oktober 2016].
Oviyanti, F. 2016. Pengaruh Pemberian POC Daun Gamal Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Sawi (Brassica juncea L.). Jurnal Biota Vol.2(1): 61-67. http://download. portalgaruda.org.
[4 Juni 2018].
Paulus .J, M, J. Najoan, dan B. Sumayku. 2017. Aplikasi Pupuk Organik Cair Pada Pertumbuhan
Dan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) var. Lansuna, Dalam Buku Abstrak
Seminar Nasional & Kongres Perhimpunan Hortikultura Indonesia (Perhorti). Bogor.
Rahayu, S., dan E. B. Ariyadi. 2014. Pengaruh Kompos Lamtoro dan Larutan MOL Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tomat (Lycopersicum esculentum). http://www.digilib.
unila.ac.id. [12 Mei 2015].
Santoso, M. B. 2014. Budidaya Padi Ratun. Balai Besar Pelatihan Binuang.
http://bbpbinuang.52212budidayapadiratun.pdf. [15 Maret 2017].
Setianingsih, R. 2009. Kajian Pemanfaatan Pupuk Organik Cair MOL dalam Priming, Umur
Bibit dan Peningkatan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L.) (Uji Coba Penerapan SRI).
Tesis Prodi Agronomi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
http://core.ac.uk/download. ]23 Agustus 2017].
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baihaki. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar
Tanaman Padi, Balitbangtan, Departemen Pertanian.
Syakhril, Riyanto dan H. Arsyad. 2014. Pengaruh Pupuk Nitrogen terhadap Penampilan dan
Produktivitas Padi Inpari dan Sidenuk. Agrifor Vol. XIII (1).
Yasin, S. M. 2016. Respon Pertumbuhan Padi (Oryza sativa L.) pada Berbagai Konsentrasi
Pupuk Organik Cair Daun Gamal. Jurnal Galung Tropika 5(1) : 20-27.
http://jurnalpertanianumpar.com/index.php/jgt/article/download/129/129. [6 Juni 2017]

75
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Komponen Hasil dan Hasil Tiga Ekotipe Kacang Tanah Lokal (Arachis
hypogaea L.) Berpotensi Unggul yang Diaplikasikan Pupuk Kompos
Plus Pada Lahan Sub Optimal
Nini Mila Rahni1, Gusnawaty HS1, Teguh Wijayanto1, Suyati Yahya2, Rahma Ekha
Irawati3, Gusti Ayu Kadek Sutariati1, Tresjia C. Rakian1, La Ode Afa1, Zulfikar1, Arsy
Aysyah Anas1, Eka Febrianti1, dan Awaluddin Hamzah1
1 Fakultas Pertanian UHO;Manggarai Residence, Blok E No.12 Anduonohu Kendari
2Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan, Konawe Selatan; Desa Baito, Konawe Selatan
3Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara; BTN. Pinang Kuning, Blok B No. 9, Anduonohu Kendari

ABSTRAK

Kata Kunci: Produksi kacang tanah (Arachis hypogaea L.) di Indonesia khususnya
Kacang Tanah Sulawesi Tenggara masih sangat rendah karena sebagian besar budidaya
Ekotipe kacang tanah dikembangkan pada lahan sub optimal. Di samping itu, kacang
Sub Optimal tanah terutama ekotipe lokal berpotensi unggul di beberapa daerah di
Bioteknologi Indonesia belum begitu tereksploitasi dengan baik. Potensi tersebut nampak
Kompos Plus pada sifat kacang tanah ekotipe lokal yang memiliki tingkat adaptasi tinggi
terhadap cekaman lingkungan dan rasa yang lebih gurih. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui respons tanaman berupa komponen hasil dan
hasil beberapa ekotipe kacang tanah lokal asal Muna terhadap aplikasi Pupuk
Kompos Plus (PKP) pada lahan sub optimal. Penelitian ini dilaksanakan di
lahan sub optimal Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara pada Bulan
Maret–Juli 2019. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 12 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan
terdiri dari ekotipe kacang tanah lokal asal Muna dan dosis pupuk kompos
plus yaitu: Ekotipe Wadaga + 0 ton ha-1, Ekotipe Wadaga + 3 ton ha-1, Ekotipe
Wadaga + 6 ton ha-1, Ekotipe Wadaga + 9 ton ha-1, Ekotipe Parigi + 0 ton ha-
1, Ekotipe Parigi + 3 ton ha-1, Ekotipe Parigi + 6 ton ha-1, Ekotipe Parigi + 9

ton ha-1, Ekotipe Lasehao + 0 ton ha-1, Ekotipe Lasehao + 3 ton ha-1, Ekotipe
Lasehao + 6 ton ha-1 dan Ekotipe Lasehao + 9 ton ha-1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi PKP berpengaruh signifikan
terhadap semua variabel komponen hasil (jumlah polong bernas per tanaman,
bobot polong dan bobot biji per tanaman, bobot 100 biji) dan hasil (bobot
polong dan bobot biji per hektar) ketiga ekotipe kacang tanah lokal. Namun,
pada variabel jumlah jumlah polong muda dan jumlah polong hampa, aplikasi
pupuk kompos plus tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Aplikasi
Pupuk Kompos Plus (PKP) mempengaruhi semua variabel pengamatan yaitu
komponen hasil (jumlah polong bernas, polong hampa dan polong muda per
tanaman; bobot polong per tanaman dan bobot biji per tanaman dan bobot
100 biji) dan hasil (bobot polong dan biji kering per hektar). Tanaman kacang
tanah Ekotipe Wadaga memberikan respons terbaik terhadap aplikasi PKP
diikuti oleh Ekotipe Lasehao dan Ekotipe Parigi. Pupuk Kompos Plus dengan
taraf dosis 6 t ha-1 memberikan pengaruh terbaik pada hampir semua variabel
komponen hasil dan hasil tanaman Ekotipe Wadaga dan Lasehao. Pada
Ekotipe Parigi, komponen hasil dan hasil meningkat seiring dengan
meningkatnya taraf dosis PKP.

Email Korespondensi: ninimasrul@yahoo.com, suyatiyahya@yahoo.com; rahmairawaty@gmail.com

76
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

LATAR BELAKANG
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu jenis tanaman semusim sebagai
sumber pangan yang cukup penting bagi masyarakat di Indonesia. Kacang tanah dapat menjadi
sumber protein nabati, bahan baku industri makanan dan kebutuhan rumah tangga. Sulawesi
Tenggara dengan luasan lahan kering yang cukup luas berpotensi untuk pengembangan kacang
tanah. Luas lahan kering Sulawesi Tenggara 214.175 ha dan yang belum termanfaatkan seluas
190. 680 ha. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2016) Sultra menunjukan bahwa terjadi penurunan
produksi sebesar 1.182 ton dalam kurun waktu setahun, pada tahun 2014 kacang tanah mencapai
4.652 ton dan pada tahun 2015 sekitar 3.470 ton dengan luas tanam 4.862 ha, (BPS, 2016).
Penurunan produksi kacang tanah tersebut selain disebabkan oleh menurunnya luas panen, juga
disebabkan oleh kondisi lahan pertanian yang didominasi oleh lahan sub optimal, dengan
beberapa faktor pembatas.
. Lahan sub optimal secara alamiah mempunyai produktivitas rendah dan memiliki
problema antara lain reaksi tanah masam, kekurangan bahan organik, KTK rendah, kejenuhan
Al-dd tinggi, kandungan Al, Fe dan Mn tinggi, kandungan hara (terutama fosfor) rendah serta
peka terhadap erosi (Abdurrahman et al., 2008; Kasno et al., 2006). Lahan sub optimal
merupakan lahan yang telah mengalami degradasi sehingga tidak mampu mendukung
pertumbuhan tanaman secara optimal (Prasetyo et al., 2011). Masalah lain dalam pengembangan
kacang tanah adalah kurang tersedianya benih bermutu. Sebagian besar petani tradisional yang
mengolah lahannya secara konvesional cenderung menggunakan benih asalan sebagai bahan
tanamnya (Purnomo et al., 2007)
Perbaikan dan peningkatan produktivitas lahan sub optimal dapat ditempuh dengan
perbaikan agroekosistem lahan tersebut dengan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari
alam. Pemanfaatan sumberdaya lokal berbasis vegetasi sekunder dan limbah hasil-hasil
pertanian yang banyak tersedia dan belum termanfaatkan secara optimal dapat digunakan sebagai
alternatif untuk mengatasi keterbatasan lahan sub optimal. Dengan teknologi tepat guna,
sumberdaya lokal tersebut dapat diolah menjadi produk bioteknologi berupa Pupuk Kompos Plus
yang memadukan pupuk organik dan pupuk hayati, bersifat low release fertilizer, ekonomis dan
ramah lingkungan.
Bioteknologi Kompos Plus (BKP) pada dasarnya adalah pupuk yang terbuat dari beberapa
jenis vegetasi sekunder dan limbah pertanian dan diperkaya dengan mikoriza dan beberapa
mikroorganisme efektif. Menurut Rahni (2012 dan 2013), aplikasi pupuk hayati dan vegetasi
sekunder Chromolaena odorata sebagai pupuk hijau mempengaruhi pertumbuhan dan
meningkatkan komponen hasil dan hasil biji jagung pada Ultisols. Vegetasi sekunder juga dapat
berasosiasi dengan mikroorganisme tertentu, bahkan mikoriza dapat berasosiasi dengan sebagian
besar gulma di bumi (Gupta dan Shubhashree, 2004). Karimuna et al. (2016) juga
mengemukakan bahwa vegetasi sekunder Chromolaena odorata mengakumulasi biomassa dan
stok hara yang banyak dan dapat dijadikan sebagai sumber hara dalam sistem pertanian.
Chromolaena odorata sebagai pupuk hijau pada lahan kering marginal dan sebagai pupuk hayati
dan biofos pada Ultisols mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil kacang tanah (Rahni,
2015; Rahni, 2016; Rahni et al., 2018).
Aplikasi BPK merupakan salah satu upaya konkrit dan tepat dalam perbaikan produktifitas
lahan sub optimal secara berkelanjutan. Menurut Tan (2008) dan Miyasaka et al. (2003), aplikasi
bahan organik berupa pupuk kompos dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas
menahan air dan meningkatkan keanekaragam mikroorganisme di dalam tanah, efisiensi
pemupukan dan mengurangi kebutuhan pupuk. Aplikasi pupuk kompos juga berperan penting
dalam meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
meningkatkan produksi tanaman serta mampu menghasilkan kualitas dan kuantitas hasil
pertanian (Simarmata, 2013; Bhattacharyya, 2017).

77
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret–Juli 2019 di lahan sub optimal Baito
Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara dengan ketinggian 530 m di atas permukaan laut dengan
suhu harian rata-rata 19 0C – 31 0C. Curah hujan rata-rata mencapai 1.783 mm/tahun. Bahan
digunakan adalah vegetasi sekunder, kotoran kambing, dedak, mosales, mikroorganisme efektif,
air dan benih kacang tanah loal asal Muna. Alat yang digunakan berupa beberapa peralatan olah
tanah, timbangan manual dan analitik, gembor, waring net, meteran, oven listrik, kantung kertas,
kamera digital, alat tulis menulis dan lain-lain.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
12 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari ekotipe kacang tanah ( lokal asal Muna dan
dosis pupuk kompos plus yaitu: Ekotipe Wadaga + 0 ton ha-1, Ekotipe Wadaga + 3 ton ha-1,
Ekotipe Wadaga + 6 ton ha-1, Ekotipe Wadaga + 9 ton ha-1, Ekotipe Parigi + 0 ton ha-1, Ekotipe
Parigi + 3 ton ha-1, Ekotipe Parigi + 6 ton ha-1, Ekotipe Parigi + 9 ton ha-1, Ekotipe Lasehao + 0
ton ha-1, Ekotipe Lasehao + 3 ton ha-1, Ekotipe Lasehao + 6 ton ha-1 dan Ekotipe Lasehao + 9
ton ha-1.
Penelitian diawali pembuatan pupuk kompos plus. Selanjutnya, dilakukan pengolahan
lahan dan pembuatan petak percobaan dengan ukuran 3 m x 2,5 m. Penanaman menggunakan
jarak tanam 30 cm x 25 cm dengan tiga benih per lubang tanam. Penjarangan dilakukan pada
saat tanaman berumur 14 hari setelah tanam dengan menyisakan 1 tanaman per lubang tanam
yang dipertahankan sampai panen. Penyiraman dilakukan sesuai dengan kondisi pertanaman.
Pembubunan untuk mempermudah masuknya ginofor ke dalam tanah dilakukan sebelum
tanaman memasuki fase generatif yaitu 27 hari setelah tanam.
Variabel pengamatan meliputi pengamatan komponen hasil dan hasil tanaman tanaman
yang dilakukan setelah panen. Data hasil pengamatan dari masing-masing variabel pengamatan
dianalisis berdasarkan sidik ragam. Jika F hitung lebih besar dari pada F tabel, maka dilanjutkan
dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf kepercayaan 95 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian dilaksanakan pada lahan sub optimal dan kondisi cuaca cukup mendukung
pertumbuhan tanaman kacang tanah. Pada fase pertumbuhan vegetatif, suhu rata-rata harian
berkisar antara 21 0C – 29 0C dan setelah memasuki fase generatif suhu berkisar 26 0C – 29 0C
dengan curah hujan rata-rata 218,23 mm/bulan. Selama percobaan tidak terdapat serangan hama
dan penyakit yang cukup berarti sehingga pertumbuhan tanaman tidak terganggu.

Jumlah Polong Bernas, Jumlah Polong Hampa dan Jumlah Polong Muda
Hasil analisis sidik ragan menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kompos plus berpengaruh
terhadap terbentuknya polong bernas per tanaman dan menekan terbentuknya jumlah polong
muda dan jumlah polong hampa per tanaman. Hasil uji masing-masing variabel komponen hasil
tersebut disajikan pada Tabel 1.
Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa jumlah polong per tanaman Ekotipe Wadaga lebih
tinggi bila dibandingkan dengan ekotipe lainnya pada semua taraf dosis Pupuk Kompos Plus
(PKP). Pada Ekotipe Wadaga sendiri, aplikasi aplikasi Pupuk Kompos Plus (PKP) 6 t ha-1
menghasilkan jumlah polong bernas tertinggi pada ekotipe Wadaga yaitu 30,00, namun tidak
berbeda nyata dengan aplikasi PKP 3 t ha-1 (29,56) dan 9 t ha-1 (26,67). Pada dua ekotipe lainnya,
perlakuan aplikasi PKP tidak berbeda secara signifikan pada hampir semua level dosis, kecuali
kontrol (tanpa aplikasi PKP). Hal tersebut diduga terjadi karena Ekotipe Wadaga lebih respons
terhadap aplikasi PKP dibandingkan dengan dua ekotipe lainnya. Namun, ketiga ekotipe
tersebut memiliki kecenderungan yang sama yaitu jumlah polong bernas akan semakin
meningkat bersamaan dengan meningkatnya taraf dosis PKP, kecuali pada taraf dosis tertinggi
walaupun hasilnya tidak berbeda secara signifikan dengan taraf dosis yang lain.

78
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pupuk Kompos Plus mampu menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
kacang tanah khususnya unsur hara P dan K yang berperan pada fase pembentukan dan pengisian
polong. Padapotan et al. (2016), mengemukakan bahwa pemberian kompos mampu merangsang
pembentukan polong lebih banyak dan menunjang pengisian biji lebih baik. Rahni et al. (2018),
juga melaporkan bahwa pupuk organik hayati dalam hal ini pupuk bokashi dapat meningkatkan
jumlah polong bernas tanaman kedelai karena peranannya sebagai penyedia unsur hara fosfat
baik dari hasil dekomposisinya sendiri maupun dari aktivitas mikroba pelarut fosfat yang
terkandung di dalamnya yang sangat mempengaruhi fase perkembangan dan pengisian polong.

Tabel 1. Jumlah Polong Bernas, Jumlah Polong Hampa dan Jumlahpolong Muda Per Tanaman Tiga
Ekotipe Kacang Tanah Lokal yang Diaplikasikan Pupuk Kompos Plus.
Perlakuan (Ekotipe + Pupuk Kompos Jumlah Polong Jumlah Polong Jumlah Polong
Plus) Bernas (polong) Hampa (polong) Muda (polong)
Ekotipe Wadaga + 0 ton ha-1 PKP 15,33a 4,33a 2,66a
Ekotipe Wadaga + 3 ton ha-1 PKP 29,56c 1,33 b 2,00a
Ekotipe Wadaga + 6 ton ha-1 PKP 30,00c 2,00 b 2,00a
Ekotipe Wadaga + 9 ton ha-1 PKP 26,67bc 2,33 b 2,33a
Ekotipe Parigi + 0 ton ha-1 PKP 7,00a 4,66 a 2,66a
Ekotipe Parigi + 3 ton ha-1 PKP 9,56a 1,33 b 2,00a
Ekotipe Parigi + 6 ton ha-1 PKP 15,44b 1,33 b 2,33a
Ekotipe Parigi + 9 ton ha-1 PKP 12,67b 1,00 b 2,00a
Ekotipe Lasehao + 0 ton ha-1 PKP 11,44a 4,00a 2,33a
Ekotipe Lasehao + 3 ton ha-1 PKP 19,56b 2,00 b 3,00a
Ekotipe Lasehao + 6 ton ha-1 PKP 20,11b 1,33 b 2,66a
Ekotipe lasehao + 9 ton ha-1 PKP 22,44b 1,66 b 3,33a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom tidak berbeda menurut Uji
Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf α 0,05.

Polong hampa dan polong muda yang terbentuk sangat sedikit. Rata-rata polong hampa
tertinggi pada setiap ekotipe tanaman semua terjadi pada tanpa perlakuan PKP yaitu rata-rata 4
polong per tanaman, sedangkan tanaman yang diaplikasi PKP tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan yaitu sekitar 0,6% dari jumlah polong bernas yang terbentuk. Jumlah polong
muda pada ketiga ekotipe baik yang diaplikasi maupun tanpa aplikasi PKP tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Hal tersebut diduga terjadi karena aplikasi PKP mampu memperbaiki
sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang mendukung pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman. Pupuk Kompos Plus dapat memperbaiki tekstur tanah, meningkatkan kandungan
bahan organik, unsur hara lahan sub optimal sehingga dapat menciptakan lingkungan yang baik
bagi berkembangnya mikroba tanah dan akar tanaman. Selain itu, kondisi tanah yang demikian
akan mempermudah penetrasi ginofor ke dalam tanah. Kondisi demikian akan meningkatkan
jumlah polong bernas yang terbentuk dan menekan terbentuknya polong hampa dan polong
muda. Setyawan et al. (2015), melaporkan bahwa persentase terbentuknya polong bernas, polong
hampa dan polong muda dipengaruhi oleh kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara
yang akan mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Pupuk organik berupa PKP
mengandung unsur hara yang lengkap karena umumnya mengandung hampir seluruh unsur hara
yang dibutuhkan tanaman seperti hara N, P, K, Ca dan Mg. Unsur-unsur tersebut berperan
penting dalam pertumbuhan dan pembentukan polong serta pengisian biji pada tanaman.

Bobot Polong, Bobot Biji dan Bobot 100 Biji


Hasil analisis sidik ragan menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kompos plus berpengaruh
secara signifikan terhadap bobot polong per tanaman, bobot biji per tanaman dan bobot 100 biji
tanaman kacang tanah. Hasil uji masing-masing variabel komponen hasil tersebut disajikan pada
Tabel 2.

79
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pada Tabel 2, tanaman kacang tanah Ekotipe Wadaga menunjukkan respons tertinggi
terhadap aplikasi PKP pada variabel bobot polong dan bobot biji per tanaman serta bobot 100
biji. Namun secara umum, aplikasi PKP secara signifikan mampu meningkatkan ketiga variabel
pengamatan tersebut jika dibandingkan dengan kontrol. Ketiga variabel komponen hasil
tertinggi pada Ekotipe Wadaga dan Lasehao pada aplikasi 6 t ha-1 PKP, namun tidak berbeda
signifikan dengan aplikasi 3 t ha-1 dan 9 t ha-1. Pada Ekotipe Parigi, ketiga variabel komponen
hasil tersebut menunjukkan hasil tertinggi pada taraf taraf dosis PKP 9 t ha-1, tetapi tidak berbeda
signifikan dengan dosis PKP 6 t ha-1. Hal tersebut terjadi karena PKP dengan taraf dosis 6 t ha-
1 telah mencukupi kebutuhan tanaman. Penambahan taraf dosis yang lebih tinggi lagi tidak akan

menyebabkan peningkatan jumlah biji per tanaman lebih tinggi lagi. Unsur P yang berlebihan
akan menghambat pertumbuhan tajuk tanaman dan hara N yang berlebihan dapat terus
merangsang pertumbuhan vegetatif walaupun tanaman telah memasuki fase reproduktif (Rahni
dan Karimuna, 2013). Akibatnya, terjadi persaingan pemanfaatan fotosintat antara organ
vegetatif dan organ reproduktif. Pada tanaman indeterminat, kompetisi terhadap produk
fotosintesis oleh pertumbuhan generatif akan mengurangi hasil tanaman (Rahni, 2016).

Tabel 2. Bobot Polong dan Bobot Biji Per Tanaman Serta Bobot 100 Biji Tiga Ekotipe Kacang Tanah
Lokal Yang Diaplikasikan Pupuk Kompos Plus.
Perlakuan (Ekotipe + Pupuk Kompos Bobot Polong Per Bobot Biji Per
Bobot 100 Biji (g)
Plus) tanaman (g) tanaman (g)
Ekotipe Wadaga + 0 ton ha-1 PKP 25,29a 17,25a 68,53a
Ekotipe Wadaga + 3 ton ha-1 PKP 41,12c 30,31c 125,88b
Ekotipe Wadaga + 6 ton ha-1 PKP 44,10c 34,92c 139,09c
Ekotipe Wadaga + 9 ton ha-1 PKP 39,15c 26,04b 118,80bc
Ekotipe Parigi + 0 ton ha-1 PKP 23,92a 14,88a 57,16a
Ekotipe Parigi + 3 ton ha-1 PKP 28,98a 19,87a 77,61a
Ekotipe Parigi + 6 ton ha-1 PKP 29,64b 21,11ab 89,48b
Ekotipe Parigi + 9 ton ha-1 PKP 31,77b 22,34ab 89,23b
Ekotipe Lasehao + 0 ton ha-1 PKP 25,82a 17,10a 57,39a
Ekotipe Lasehao + 3 ton ha-1 PKP 32,97b 26,53b 114,04bc
Ekotipe Lasehao + 6 ton ha-1 PKP 36,58bc 25,67b 100,52bc
Ekotipe lasehao + 9 ton ha-1 PKP 29,31b 22,37ab 91,43b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom tidak berbeda menurut
Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf α 0,05.

Hasil Polong dan Biji Kering


Hasil analisis sidik ragan menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kompos plus berpengaruh
secara signifikan terhadap hasil panen tanaman berupa bobot polong dan bobot biji per hektar
kacang tanah. Hasil uji masing-masing variabel hasil tersebut disajikan pada Tabel 3.
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa bobot polong dan bobot biji per hektar sangat
dipengaruhi oleh komponen hasil berupa bobot polong dan bobot biji per tanaman serta bobot
100 biji (Tabel 2). Kacang tanah Ekotipe Wadaga menunjukkan Bobot biji dan Bobot polong
tertinggi di semua taraf dosis diikuti oleh Ekotipe Parigi dan Lasehao. Hal tersebut terjadi karena
Ekotipe Wadaga lebih respons terhadap aplikasi PKP bila dibandingkan dengan kedua ekotipe
lainnya. Secara umum, pengaplikasian PKP mampu meningkatkan hasil tanaman, baik polong
kering maupun biji kering per hektar. Hal tersebut terjadi karena adanya perbaikan sifat-sifat
tanah sub optimal baik fisik, biologi dan kimia. Tekstur tanah terperbaiki, kadar air tanah dan
bahan organik meningkat sehingga akar tanaman dan ginofor dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik. Lingkungan perakaran yang baik akan mendukung kehidupan dan aktifitas
mikroorganisme (dalam tanah maupun dalam PKP) dan kandungan hara tersedia semakin
meningkat. Hal ini sejalan dengan Simanungkalit et al., (2006), bahwa mikroba sebagai pupuk
hayati membantu ketersediaan hara N (Rhizobium, Azospirillum dan Azotobachter), hara P

80
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(bakteri pelarut fosfat dan mikoriza) dan mempercepat proses dekomposisi bahan organik
(bakteri perombak selulosa dan mikroorganisme efektif) serta dapat menjaga keseimbangan dan
ketersediaan hara tanaman.

Tabel 3. Hasil Panen Tiga Genotipe Kacang Tanah Lokal Yang Diaplikasikan Pupuk Kompos Plus
Bobot Polong Per Hektar Bobot Biji Per Hektar
Perlakuan (Ekotipe + Pupuk Kompos Plus)
(ton) (ton)
Ekotipe Wadaga + 0 ton ha-1 PKP 1,027 a 0,899 a

Ekotipe Wadaga + 3 ton ha-1 PKP 5,467c 4,040c


Ekotipe Wadaga + 6 ton ha-1 PKP 5,878 c 4,655c
Ekotipe Wadaga + 9 ton ha-1 PKP 5,219 c 3,947b
Ekotipe Parigi + 0 ton ha-1 PKP 0,989a 0,718a
Ekotipe Parigi + 3 ton ha-1 PKP 3,867b 1,997ab
Ekotipe Parigi + 6 ton ha-1 PKP 3,862b 2,533ab
Ekotipe Parigi + 9 ton ha-1 PKP 4,233b 2, 978ab
Ekotipe Lasehao + 0 ton ha-1 PKP 1,102a 0,806a
Ekotipe Lasehao + 3 ton ha-1 PKP 4,392b 3,537b
Ekotipe Lasehao + 6 ton ha-1 PKP 4,874bc 3,422b
Ekotipe lasehao + 9 ton ha-1 PKP 3,907b 3,002ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama pada setiap kolom tidak berbeda menurut Uji
Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf α 0,05.

Bobot polong merupakan komponen hasil yang pokok bagi tanaman kacang tanah karena
bobot polong isi yang terbentuk menunjukkan kemampuan polong dalam menampung fotosintat
sebagai hasil akhir dari penyerapan air yang mengandung unsur dalam tanah dan CO2 dengan
bantuan cahaya matahari dan klorofil. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gardner et al.
(1991), bahwa polong menjadi daerah penyaluran asimilasi dan sebagian besar asimilasi akan
digunakan untuk meningkatkan bobot polong sebagai salah satu tempat untuk menyimpan
cadangan makanan. Bobot biji menunjukkan ukuran biji, sehingga semakin tinggi bobot biji
berarti semakin besar ukuran biji tersebut. Sumber fotosintat untuk pengisian biji berasal dari
hasil fotosintesis (fase pengisian biji).

KESIMPULAN
1) Aplikasi pupuk kompos plus berperan dalam meningkatkan komponen hasil dan hasil
tanaman kacang tanah pada lahan sub optimal.
2) Pemberian pupuk kompos plus dengan taraf dosis 6 t ha-1 menunjukkan respons tanaman
kacang tanah terbaik pada Ekotipe Wadaga dan Lasehao. Pada Ekotipe Parigi respons terbaik
ditunjukkan oleh tanaman yang diaplikasi dengan taraf dosis 9 t ha-1.
3) Aplikasi pupuk kompos plus dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan kimia tanah sehingga
produktivitas lahan sub optimal meningkat.

UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kemenristek Dikti atas bantuan biaya
penelitian pada Skim Penelitian Pascasarjana – Tesis Magister (PPs-TM) Tahun pelaksanaan
2019, Rektor Universitas Halu Oleo, Kepala LPPM UHO, Dekan FP-UHO, Ketua Jurusan
Agroteknologi FP-UHO, Kepala Laboratorium Analitik UHO serta Kepala Laboratorium
Agronomi dan Ilmu Tanah FP-UHO atas izin dan segala bantuan dalam penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Suyati Yahya dan Rahma Ekha Irawati (mahasiswa S2)
serta Resti Yuliati dan Novita Anggraeni (mahasiswa S1) yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian baik penelitian lapangan maupun analisis laboratorium.

81
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., Dariah A. dan Mulyani A. 2008. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. J. Litbang Pertanian. Vol. 27 No. 2. 43–49.
Badan Pusat Statistik. 2016. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2015. BPS Sultra.
Bhattacharyya, P.N., Baruah, C., Jha D.K. and D.K. Sharma. 2017. Potential application of microbial
resources in North East India. Future prospect and vhallenges. NeBIO. 2(3):12-18.
Gardner, P.F., R.B. Pearce dan R.L. Mitchel. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Gupta, N. and R. Shubhashree. 2004. Arbuscular mycorrhizal association of weed foind with
different plantation crops and nursery plants. Regional Plant Resource Centre. Nayapili
Bhubaneswar. India. http://www.cababstractsplus.org.
Karimuna, L., Rahni, N.M and B. Dirvamena. 2016. The use of bokashi to enhance agricultural
productivity of marginal soils in Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal of Tropical Crop
Science. 3(1):29-33.
Kasno, A., Setyorini D. dan Tuberkih E. 2006. Pemupukan Fosfat Pada Tanah Inveptisol dan
Ultisol. J. Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 8 No. 2. 91–98.
Miyasaka, S.S., M. Habte, J.B. Friday and E.V. Johnson. 2003. Manual on arbucular mycorrhizal
fungus production and inoculation techniques. Cooperative Extension Service.
http://www.ctahr.hawaii.edu.
Padapotan, S., Kristina N. Dan Muhsanti. 2016. Pengaruh frekuensi pemberian Kompos NT45
dan dosis urea terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah (Arachis hypogaea L.) di
Ultisols. Agrotrop. 2(1):43-52.
Prasetyo, N., Suharta H., Subagio dan Hikmatullah. 2011. Chemical and Mineralogical
Properties of Ultisols of Sasamba Area, East Kalimantan. J. Agric. Vol. 2 No. 2. 25–26.
Purnomo, J., Kasno A. dan Trustinah. 2007. Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-
Umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Rahni, N.M. 2012c. Karakteristik pertumbuhan dan hasil jagung (Zea mays L.) pada Ultisols
yang diberi pupuk hayati dan pupuk hijau. Jurnal Agriplus. 22(02):162-169.
Rahni, N.M. 2013e. Inokulasi bionodulin dan pupuk kotoran sapi terhadap karakteristik
fisiologis, komponen hasil dan hasil tanaman kacang tanah pada Ultisols. Jurnal Cefars.
4(2):12-17.
Rahni, N.M. dan L. Karimuna. 2013. Pengembangan bioteknologi pupuk hijau plus berbasis
vegetasi sekunder untuk meningkatkan kacang tanah lokal pada lahan kering marginal.
Jurnal Agroteknos. 4(2):23-27.
Rahni, N.M. 2015. Respons kacang tanah lokal (Arachis Hypogaea L.) terhadap aplikasi
bioteknologi pupuk hijau plus berbasis vegetasi sekunder pada lahan kering marginal.
Prosiding Kongres XI dan Seminar Nasional HITI, 28-31 Oktober 2015. Malang.
Rahni, N.M. 2016. Response of peanut (Arachis hypogaea L.) to P fertilization and manure on
Kendari’s Ultisols series South-East Sulawesi. Jurnal Agriplus. 19(1):46-52.
Rahni, N.M., L.O. safuan dan N.I. Wiyanti. 2018. Respons tanaman kedelai terhadap aplikasi
pupuk bokasi plus berbasis vegetasi sekunder pada lahan kering marginal Sulawesi
Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Tanaman Lokal untuk Pangan dan
Industri. Unpad Press. Bandung.

82
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Setyawan, F., Santoso, M. Dan Sudiarso. 2015. Pengaruh aplikasi inokulum Rhizobium dan
pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kacang tanah (Arachis
hypogaea L.). Jurnal Produksi Tanaman. 3(8):697-705.
Simarmata, T. 2013. Tropical bioresources to support biofertilizer industry and sustainable
agriculture in Indonesia. Presented in International Seminar on Tropical Bio-Resources for
Sustainable Bioindustry 2013 30-31 October 2013. Bandung, Indonesia.
Simanungkalit, R.D.M. 2006. Aplikasi pupuk hayati dan pupuk kimia : Suatu pendekatan
terpadu. Buletin AgroBio. 4(2):56-61.
Tan, K.H. 2008. Soils in the Humid Tropics and Monsoon Region of Indonesia. CRC Press.
Taylor and Francis Group. London New York.

83
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Paklobutrazol


untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Ubi Jalar Lokal
Utilization of Empty Fruit Bunches of Oil Palm and Paclobutrazol to
Increase Growth and Production of Local Sweet Potato
Nini Rahmawati1,2, Jonatan Ginting1, dan Muhammad Ridho Adha1
1Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Padang Bulan, Medan 20155, Indonesia
2 Pusat Kajian Umbi-Umbian Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Kata Kunci: Upaya peningkatan produksi ubi jalar dapat dilakukan dengan berbagai
Ubi Jalar Local teknik budidaya, di antaranya adalah pemberian kompos berbahan baku
Kompos Tanda limbah tandan kosong kelapa sawit dan aplikasi paklobutrazol yang dapat
Kosong Kelapa Sawit mengatur dominasi pertumbuhan pada ubi jalar. Penelitian dilaksanakan
Paklobutrazol bulan September 2018 sampai Januari 2019 di di lahan Desa Suka Raya,
Pancur Batu, Deli Serdang dengan ketinggian tempat ± 41 meter di atas
permukaan laut. Bahan tanam yang digunakan adalah stek batang ubi lajar
lokal asal Tanah Seribu Binjai, kompos tandan kosong kelapa sawit dan ZPT
Paklobutrazol. Penelitan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok
dengan dua faktor yaitu faktor pertama dosis Kompos Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS) (0 ton/ha, 2.5 ton/ha, 5 ton/ha , dan 7.5 ton/ha) dan faktor
kedua konsentrasi paklobutrazol (0 ppm, 500 ppm, 1.000 ppm dan 1.500
ppm). Hasil penelitian menunjukkan ubi jalar lokal yang diberi kompos
TKKS 7,5 ton/ha menghasilkan bobot umbi tertinggi. Aplikasi paklobutrazol
berpengaruh nyata terhadap peningkatan bobot umbi dan indeks panen,
konsentrasi paklobutrazol terbaik adalah 1.500 ppm.
ABSTRACT

Keywords: Efforts to increase sweet potato production can be done with a variety of
cultivation techniques, including the provision of compost made from palm
oil empty fruit bunch waste and the application of paklobutrazol that can
regulate the dominance of growth in sweet potatoes. The study was conducted
from September 2018 to January 2019 in the land of Suka Raya Village,
Pancur Batu, Deli Serdang with a height of ± 41 meters above sea level. The
planting material used was cuttings of local sweet potato stems from Tanah
Seribu Binjai, compost of oil palm empty fruit bunches and Paklobutrazol.
This research uses a Randomized Block Design with two factors, the first
factor is Oil Palm Empty Fruit Bunch Compost (TKKS) (0 tons / ha, 2.5 tons
/ ha, 5 tons / ha, and 7.5 tons / ha) and the second factor is the concentration
of paklobutrazol (0 ppm, 500 ppm, 1,000 ppm and 1,500 ppm). The results
showed that the provision of compost made from oil palm empty fruit bunch
waste significantly affected the increase in tuber weight per sample. Local
sweet potatoes that were given 7.5 tons / ha TKKS compost produced the
highest tuber weights. The application of paklobutrazol significantly affected
the increase in tuber weight and harvest index, the best concentration of
paklobutrazol was 1,500 ppm.pertanian.

Email Korespondensi nini@usu.ac.id

84
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Posisi ubi jalar sebagai komoditas pangan terus menunjukkan peningkatan. Ubi jalar tidak
hanya mengandung nutrisi, mineral dan vitamin tetapi manfaat lainnya. Ubi jalat dapat langsung
diolah menjadi berbagai jenis makanan dan dapat diproses sebagai bahan baku industry, seperti
tepung, sirup gula, kosmetik, bahan baku pembuat etanol dan alkohol ( (Warhamn et al, 2013).
Peningkatan produksi ubi jalar dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
mengaplikasikan pupuk organik. Bahan baku untuk pembuatan pupuk organik sangat beragam
salah satunya dalah limbah tandan kosong kelapa sawit. Ketersediaan limbah tanda kosong
kelapa sawit di Propinsi Sumatera Utara sebagai sentra produksi kelapa sawit sangat berlimpah
dan harus segera dimanfaatkan agar tidak mencemari lingkungan Persentase tandan kosong
kelapa sawit yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit berkisar antara 20 – 23%. %
(Darnoko et al. 2002) Tandan kosong kelapa sawit yang diolah menjadi kompos memiliki
berbagai manfaat yaitu bahan pembenah tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan
ketersediaan unsur hara, tidak mudah tercuci dan dapat diaplikasikan pada berbagai musim
(Darnoko dan Sutarta, 2006).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pengaplikasian kompos
tanda kosong kelapa sawit pada budidaya ubi jalar dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi (Pradana et al, 2016; Zulkadifta et al, 2018). Penggunaan kompos TKKS juga dapat
mengurangi penggunaakan pupuk kalium dan meningkatkan produksi ubi jalar (Astuti et al,
2011).
Produksi ubi jalar ditentukan oleh pembagian asimilat ke bagian umbi dan tajuk. Dominasi
pertumbuhan tajuk dapat menurunkan produksi umbi. Penggunaan zat pengatur tumbuh dapat
membantu mengatur alokasi asimilat sehingga keseimbangan pertumbuhan vegetatif dan
generatif dapat dipertahankan dan lebih banyak asismilat dari source yang dapat ditranlokasikan
ke sink (Serly, 2013). Paklobutrazol merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat menghambat
pemanjangan sel serta pemanjangan ruas batang dengan cara menghambat biosintesis giberelin.
Paklobutrazol yang diaplikasikan pada tanaman dapat menghambat biosintesis giberelin dengan
cara menekan kaurene sehingga tidak terjadi pembentukan kaurenoat yang mengakibatkan
penurunan laju pembelahan sel secara morfologis dimana terlihat adanya perpindahan asimilat
ke pertumbuhan umbi (Wattimena, 1989; Sambeka et al., 2012; Watson, 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan pertumbuhan dan produksi ubi
jalar lokal dengan memanfaatkan kompos limbah tandan kosong kelapa sawit dan paklobutrazol.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pemberian kompos berbahan baku limbah tandan kosong kelapa sawit dan paklobutrazol
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi ubi jalar local. Eleni (2014)
menyatakan bahwa kompos TKKS memiliki berbagai keunggulan yaitu memiliki kandungan
unsur hara K, P, Ca, Mg, C dan N yang dibutuhkan tanaman. Selain itu kompos TKKS juga
dapat meningkatkan kelarutan unsur hara. Tidak mudah tercuci, bersifat homogen dan dapat
diaplikasikan pada berbagai musim.
Peneltian mengenai aplikasi kompos TKKS pada budidaya ubi jalar telah dilakukan. Hasil
penelitian Wenny (2015) menunjukkan jumlah umbi meningkat pada ubi jalar yang diberi
kompos TKKS dengan dosis 5 ton/ha. Hasil penelitian yang sama juga disampaikan oleh Astuti
et al (2010) bahwa penggunaan kompos TKKS dapat mengurangi penggunaan pupuk KCl dan
meningkatkan produksi ubi jalar secara nyata.
Produksi ubi jalar ditentukan oleh laju dan jumlah asimilat yang ditranslokasikan ke bagian
umbi. Apabila pertumbuhan tajuk lebih dominan akan mengakibatkan terbentuk umbi yang
kecil. Upaya untuk meningkatkan produksi umbi adalah dengan cara mengontrol pertumbuhan
tajuk dengan mengaplikasikan zat penghambat tumbuh (Pulungan, 2017).
Zat pengatur tumbuh yang berperan menghambat pertumbuhan vegetatif adalah
paklobutrazol. Pengaplikasikan paklobutrazol dapat mempercepat proses pembentukan umbi

85
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dan dapat memacu pertumbuhan awal umbi, sehingga dapat meningkatkan produksi, seperti
ukuran umbi pada ubi jalar. Oleh sebab itu pemilihan konsentrasi pada saat pengaplikasian perlu
diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Saputra et al., 2017).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan bulan September 2018 sampai Januari 2019 di di lahan Desa Suka
Raya, Pancur Batu, Deli Serdang dengan ketinggian tempat ± 41 meter di atas permukaan laut.
Bahan tanam yang digunakan adalah stek batang ubi lajar lokal asal Tanah Seribu Binjai, kompos
tandan kosong kelapa sawit dan ZPT Paklobutrazol. Penilitan ini menggunakan Rancangan
Acak Kelompok dengan dua faktor yaitu faktor pertama dosis Kompos Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS) (0 ton/ha, 2.5 ton/ha, 5 ton/ha , dan 7.5 ton/ha) dan faktor kedua konsentrasi
paklobutrazol (0 ppm, 500 ppm, 1.000 ppm dan 1.500 ppm). Kompos TKKS diaplikasikan satu
minggu sebelum penanaman, sedangkan paklobutrazol diaplikasikan pada daun tanaman mulai
3 minggu setelah tanam (MST) sampai 10 MST dengan interval waktu 1 minggu sekali.
Tahapan pelaksanaan penelitian adalah persiapan lahan, pembuatan bedengan, pemupukan
dasar (urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan KCl 100kg/ha) dilakukan satu minggu setelah tanam,
penanaman bahan tanam, pemeliharaan tanaman dan pemanenan dilakukan 24 minggu setelah
penanaman dengan kriteria panen warna daun yang sudah menguning dan rontok.
Parameter yang diamati adalah pertambahan panjang tanaman pada 4 MST sampai 10
MST, volume akar, bobot umbi per sample dan indeks panen, Analisis data secara statistik
dengan menggunakan uji F dan uji lanjut dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada
taraf α = 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan pertambahan panjang tanaman pada 2 MST sampai dengan
10 MST tidak berpengaruh nyata akibat pemberian kompos TKKS dan aplikasi paklobutrazol
(Tabel 1). Pemberian kompos TKKS dengan dosis 7,5 ton/ha menghasilkan pertambahan batang
yang lebih tinggi dibandingkan dosis TKKS lainnya. Kandungan beberapa unsur hara pada
kompos TKKS dapat mendukung pertumbuhan tajuk tanaman ubi jalar dan membantu
meningkatkan kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman (Darnoko
dan Ady, 2006).
Pertambahan panjang batang pada tanaman ubi jalar yang tidak diberi paklobutrazol
cenderung lebih tinggi dibandingkan tanaman yang diberi perlakuan paklobutrazol. Hal ini
menunjukkan aplikasi paklobutrazol dapat menghambat pertambahan panjang batang yang
disebabkan karena paklobutrazol ditranslokasikan melalui jaringan xylem pada titik tumbuh
meristem sub apical meyebabkan terhambatnya produksi giberalin yang berfungsi menstimulir
perpanjangan sel (Wattimena, 1989; Sambeka et al, 2012). Penelitian Pulungan et al (2017) juga
menunjukkan pengurangan pertumbuhan panjang batang ubi jalar yang diberi perlakuan
paklobutrazol.
Pemberian kompos TKKS tidak berpengaruh nyata pada peubah amatan volume akar ubi
jalar lokal (Tabel 2). Data hasil penelitian menunjukkan pemberian kompos TKKS cenderung
meningkatkan volume akar. Peningkatan volume akar disebabkan karena kondisi lingkungan
sekitar perakaran yang semakin baik. Darnoko dan Sutarta (2006) menyatakan bahwa kompos
TKKS dapat memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi lebih ringan. Kurniawan et al
(2017) juga menyatakan kondisi tanah yang lebih remah dapat mempermudah perakaran
tanaman menembus tanah sehingga dapat mendukung perkembangan akar dan pertumbuhan
tanaman. Sistem peredaran udara dalam tanah lebih baik pada tanah yang remah sehingga
kebutuhan oksigen untuk respirasi akar tanaman dapat terpenuhi.

86
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 1. Pertambahan Panjang Tanaman pada Pemberian Kompos TKKS dan Aplikasi Paklobutrazol
pada Umur 4-10 MST.
Dosis Kompos Konsentrasi Paklobutrazol (ppm) Rataan
MST
TKKS (ton/ha) 0 500 1.000 1.500
..............................cm...........................
4 0 36,50 31,71 35,75 34,38 34,58
2,5 37,63 36,92 32,25 34,58 35,34
5 31,42 37,67 46,25 36,79 38,03
7,5 30,58 35,92 39,67 38,63 36,20
Rataan 34,03 35,55 38,48 36,09
5 0 25,63 23,71 26,58 23,17 24,77
2,5 28,88 27,13 30,46 24,25 27,68
5 35,29 27,46 29,25 25,04 29,26
7,5 26,50 34,04 29,96 30,92 30,35
Rataan 29,07 28,08 29,06 25,84
6 0 24,29 26,33 26,33 25,08 25,51
2,5 30,63 24,58 30,79 25,54 27,89
5 28,00 26,88 25,17 28,04 27,02
7,5 30,92 32,71 28,13 30,13 30,47
Rataan 28,46 27,63 27,60 27,20
7 0 27,67 26,08 26,04 25,67 26,36
2,5 28,63 25,96 28,29 26,08 27,24
5 29,75 28,71 25,58 27,38 27,85
7,5 27,21 27,75 28,46 28,79 28,05
Rataan 28,31 27,13 27,09 26,98
8 0 32,29 28,67 27,58 27,33 28,97
2,5 30,00 26,88 30,08 27,46 28,60
5 32,92 31,63 28,67 30,75 30,99
7,5 30,75 32,08 31,46 32,08 31,59
Rataan 31,49 29,81 29,45 29,41
9 0 29,50 25,75 25,00 25,04 26,32
2,5 26,83 24,58 27,50 25,21 26,03
5 31,33 28,67 24,50 27,21 27,93
7,5 28,33 29,00 28,71 27,63 28,42
Rataan 29,00 27,00 26,43 26,27
10 0 27,25 24,71 24,75 23,50 25,05
2,5 24,54 21,96 24,96 24,04 23,88
5 29,46 26,88 24,83 25,57 26,68
7,5 26,13 26,46 26,21 25,08 25,97
Rataan 26,84 25,00 25,19 24,55

Aplikasi paklobutrazol juga tidak berpengaruh nyata terhadap volume akar ubi jalar
(Tabel 2). Diduga paklobutrazol lebih mempengaruhi pertumbuhan batang disbanding dengan
pertumbuhan akar. Latimer (1991) menyatakan pemberian growth retardan memberikan sedikit
pengaruh terhadap pertumbuhan akar, hal ini juga didukung oleh Kim et al. (1989) yang
menyatakan bahwa penggunaan growth retardant lebih membatasi terhadap pertumbuhan batang
dibandingkan pada akar.

87
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 2. Volume Akar pada Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Aplikasi
Paklobutrazol.
Konsentrasi Paklobutrazol (ppm)
Dosis Kompos TKKS (ton/ha) Rataan
0 500 1.000 1.500
.............................................ml.....................................
0 2,75 1,75 2,00 1,92 2,10
2,5 2,17 2,42 2,25 1,67 2,13
5 2,00 2,50 2,50 2,75 2,44
7,5 3,00 2,42 2,33 2,17 2,48
Rataan 2,48 2,27 2,27 2,13

Data pada Tabel 3 menunjukkan aplikasi kompos TKKS berpengaruh nyata terhadap
peningkatan bobot umbi per sample. Bobot umbi per sample tertinggi dihasilkan dari tanaman
yang diberi perlakuan kompos TKKS 7,5 ton/ha yaitu 644,27 g/tanaman sample meningkat
33,19% dibandingkan tanpa pemberian kompos TKKS. Simanungkalit et al (2006) menyatakan
penambahan bahan organic dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan kimia tanah serta
menambah pasokan unsur hara. Ningtyas dan Astuti (2009) juga menyatakan bahwa keunggulan
kompos TKKS adalah dapat memperbaiki struktur tanah sehingga struktur tanah semakin
gembur dan semakin baik dan dapat mendukung perkembangan umbi di dalam tanah.

Tabel 3. Bobot Tumbi Per Sample pada Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Aplikasi
Paklobutrazol.
Dosis Kompos TKKS Konsentrasi Paklobutrazol (ppm)
Rataan
(ton/ha) 0 500 1.000 1.500
.............................................g.....................................
0 421,42 492,00 490,17 531,25 483,71 c
2,5 600,17 582,67 590,58 640,08 603,38 b
5 564,58 644,58 565,58 682,42 614,29 b
7,5 566,17 552,92 629,33 828,67 644,27 a
Rataan 538,08 c 568,04b 568,92 b 670,60 a
Keterangan : Angka-angka pada baris atau kolom yang sama diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 5 %

Aplikasi paklobutrazol berpengaruh nyata meningkatkan bobot umbi per sample (Tabel
3). Tanaman ubi jalar yang diberi paklobutrazol dengan konsentrasi 1.500 ppm menghasilkan
bobo tumbi tertinggi yang meningkat sebesar 24,63% dibandingkan tanpa pemberian
paklobutrazol. Hal ini diduga paklobutrazol membantu translokasi asimilat yang dihasilkan dari
fotosintesis lebih focus ke bagian umbi karena pertumbuhan tajuk sudah dapat dikurangi. Serly
(2013) menyatakan mekanisme kerja paklobutrazol yaitu menghambat produksi giberelin, yang
selanjutnya dapat menyebabkan pengurangan kecepatan dalam pembelahan sel, pengurangan
pertumbuhan vegetatif dan secara tidak langsung akan mengalihkan asimilat ke pembentukan
umbi.
Penentuan nilai ekonomi dapat dihitung dengan indeks panen. Indeks panen menunjukkan
efisiensi tanaman dalam mengkonversi hasil fotosintesis dalam bentuk nilai ekonomi. Aplikasi
kompos TKKS tidak berpengaruh nyata terhadap indeks panen ubi jalar. Pemberian kompos
TKKS cenderung meningkatkan indeks panen ubi jalar lokal. Sedangkan aplikasi paklobutrazol
secara nyata meningkatkan indeks panen ubi jalar lokal, hal ini menunjukkan aplikasi
paklobutrazol menunjukkan efisiensi tanaman dalam mengkonversi hasil fotosintesis lebih tinggi
dibandingkan perlakuan kontrol. Penelitian Manullang et al (2017) juga menunjukkan aplikasi
paclobutazol dengan konsentrasi meningkatkan indeks panen berbagai varietas ubi jalar. Sitepu
et al (2009) menyatakan peran paklobutrazol adalah mengontrol apical dominan, menekan
pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produksi.

88
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 4. Indeks Panen Pada Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Aplikasi
Paklobutrazol.
Dosis Kompos TKKS Konsentrasi Paklobutrazol (ppm)
Rataan
(ton/ha) 0 500 1.000 1.500
0 0,35 0,46 0,39 0,40 0,40
2,5 0,40 0,41 0,49 0,40 0,42
5 0,38 0,48 0,37 0,46 0,42
7,5 0,36 0,49 0,36 0,40 0,40
Rataan 0,37 c 0,46 a 0,40 bc 0,41 b
Keterangan : Angka-angka pada baris diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf α = 5 %

PENUTUP
Hasil penelitian menunjukkan pemberian kompos berbahan baku limbah tandan kosong
kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap peningkatan bobot umbi per sample. Ubi jalar lokal
yang diberi kompos TKKS 7,5 ton/ha menghasilkan bobot umbi tertinggi. Aplikasi
paklobutrazol berpengaruh nyata terhadap peningkatan bobot umbi dan indeks panen,
konsentrasi paklobutrazol terbaik adalah 1.500 ppm.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Linda Tri Wira, Hapsoh dan Luthfi Aziz Mahmud Siregar. (2010). Pertumbuhan Ubi
Jalar (Ipomoea batatas. L) Varietas Sari dan Beta 2 Akibat Aplikasi Kompos dan Pupuk
KCl. Jurnal Ilmu Pertanian Kultivar 5 (1) : 1 - 11.
Darnoko dan Ady Sigit Sutarta. (2006). Pabrik Kompos di Pabrik Sawit. Tabloid Sinar Tani, 9
Agustus 2006.
Eleni, W. (2014). Pengaruh Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit Pada Pertumbuhan Dan Hasil
Kacang Tanah. Program Studi Agroteknologi Fak. Pertanian Universitas Tamansiswa.
Padang.
Kim, H.Y., T. Abe, H. Watanabe and Y. Suzuki. (1989). Changes in flower bud development of
zinnia elegans as influenced by growth retardant s-07. J. Hort. Sci., 64(1):81-89.
Kurniawan, Dedi, Chairani Hanum, dan Lutfi Aziz Mahmud Siregar. (2017). Morfofisiologi
Akar Melalui Interval Penyiraman, Pemberian Mikoriza dan Modifikasi Media Tanam
Pada Pembibitan Kakao (Theobroma cacao L.). Jurnal Pertanian Tropik Vol.4, No.3.
Desember 2017. (25) : 209- 218
Latimer, Joyce G. (1991). Growth retardants affect landscape of Zinnia, Impatiens and Marigold.
Hortscience, 26(5):557-560.
Manullang, Dewi Rucci, Jonatan Ginting, Ferry Ezra Sitepu. (2017). Respons Pertumbuhan dan
Produksi Beberapa Varietas Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terhadap Pemberian
Paclobutrazol. J. Agroekoteknol. (5)4 . 806 – 815 hal.
Ningtyas, Venny Arnika dan Lia Yuni Astuti, (2009). Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit
Sisa media jamur merang (Volvariella volvacea) sebagai pupuk organik dengan
penambahan activator effective microorganism EM-4. Laboratorium Pengolahan Limbah
Industri, Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya.
Pulungan, Asyriani Syahfithri, Ratna Rosanty Lahay dan Edison Purba. (2017). Pengaruh Waktu
Pemberian dan Konsentrasi Paklobutrazol Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Jurnal Agroekoteknologi 5 (3) : 716- 721

89
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pradana, Ryan Eko, Nini Rahmawati dan Mariati. (2016). Pengaruh Pemberian Pupuk Organik
Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.). Jurnal
Agroekoteknologi Vol.4. No.4 (619) :2212 – 2217.
Sambeka, Frangki, Samuel D. Runtunuwu, dan Johannes E. X Rogi. (2012). Efektivitas Waktu
Pemberian dan Konsentrasi Paklobutrazol Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kentang
(Solanum tuberosum L.) Varietas Supejhon. Eugenia. 18(2).
Saputra, Indra, Nurbaiti dan Gunawan Tabrani. (2017). Pengujian Beberapa Konsentrasi
Paclobutrazol Dengan Waktu Aplikasi Berbeda Pada Tanaman Tomat (Lycopersicum
esculentum Mill.). J. Agroteknol. 4(1), 1-14 hal.
Serly. (2013). Respon Pertumbuhan dan Produksi Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Yang
Diaplikasi Paklobutrazol dan Growmore 6-30-30. Tesis Program Pascasarjana.
Universitas Hasanuddin. Makassar
Simanungkalit, R.M.D, Didi Ardi Suriadikarta, Rasti Saraswati, Diah Setyorini dan Wiwik
Hartatik. (2006). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian Bdan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sitepu, Ringkas, Dartius, Yaya Hasanah. (2009). Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Kentang (Solanum tuberosum L.) terhadap Pupuk Kalium dan Paklobutrazol. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Warhamni, Dirvamena Boer and Muzuni. 2013. Keragaman Morfologi Ubi Jalar (Ipomoea
batatas (L.) Lam.) di Kabupaten Muna. Jurnal Agroteknos 3 (2): 121-126.
Watson, Gary W. (2006). The effect of paklobutrazol treatment on starch content, mychorrizal
colonization, and fine root density of white oaks (Quercus alba L.). Journal of
Arboriculture 32 (3):114-117.
Wattimena, G. A. (1989). Zat Pengatur Tumbuh : Peran Fisiologis dan Dasar-dasar Pemakaian
Laboratorium Bioteknologi Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian.
Bogor.
Wenny, Setiawan. (2015). Pengaruh Dosis Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.). Diploma thesis. Program
studi Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang
Zulkadifta, Tri Andra, Jonatan Ginting dan Rosita Sipayung. 2018. Respons Pertumbuhan dan
Produksi Beberapa Varietas Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) terhadap Pemberian Kompos
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Jurnal Pertanian Tropik Vol.5, No.1. (16) : 120-
127

90
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Respon Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis (Zea Mays Saccharata)


terhadap Pemberian Lumpur Sawit dan Dolomit pada Ultisol
Response of Sweet Corn (Zea Mays Saccharata) on Palm Oil Sludge and
Dolomite on Ultisols
Ricci H. Silitonga1, Herry Gusmara1, dan Bilman W. Simanihuruk1
1Universitas Bengkulu, Bengkulu

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis lumpur sawit dan dolomit
Lumpur sawit yang optimal bagi pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis. Percobaan
Dolomit dilaksanakan dari bulan Desember 2017 sampai Maret 2018 menggunakan
Jagung manis Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan dua faktor perlakuan. Faktor
Ultisol pertama adalah dosis lumpur sawit yang terdiri atas tiga taraf yaitu 0, 10, dan
20 ton ha-1. Faktor kedua adalah dosis dolomit yang terdiri dari empat taraf
yaitu 0, 2, 4, dan 6 ton ha-1. Setiap unit percobaan diulang tiga kali. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa interaksi perlakuan terbaik diperoleh pada
lumpur sawit 10 ton ha-1 dan dolomit 3,61 ton ha-1 yang mampu menghasilkan
diameter batang tanaman jagung manis sebesar 1,98 cm. Pemberian lumpur
sawit tidak memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh variabel
pertumbuhan dan hasil yang diamati. Penambahan dosis dolomit hingga 6 ton
ha-1 mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman, total luas daun,
bobot tongkol tanpa kelobot, panjang tongkol tanpa kelobot, diameter
tongkol tanpa kelobot, bobot segar tanaman, dan bobot kering tanaman.
ABSTRACT

Keywords: This study aims to obtain optimal doses of palm oil sludge and dolomite for
Palm oil sludge the growth and yield of sweet corn. The experiment was conducted from
Dolomite December 2017 to March 2018 using a Complete Randomized Block Design
Sweet corn with two treatment factors. The first factor is the dose of palm oil sludge
Ultisols which consists of three levels, namely 0, 10, and 20 tons ha-1. The second
factor is dolomite dosage which consists of four levels, namely 0, 2, 4, and 6
tons ha-1. Each unit of experiment was repeated three times. The results
showed that the best treatment interactions were obtained in 10 tons ha-1 palm
oil sludge and 3.61 tons ha-1 dolomite which was able to produce a sweet corn
plant stem diameter of 1.98 cm. Palm oil sludge did not have a significant
effect on all growth and yield variables observed. The addition of dolomite
doses up to 6 tons ha-1 can increase plant height growth, total leaf area, weight
of ear without cob, ear length without ear, ear diameter without ear, ear
weight, and dry weight of plants

Email Korespondensi: herrygusmara@unib.ac.id

91
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Konsumsi akan jagung manis terus meningkat dan hampir semua bagian tanaman jagung
manis memiliki nilai ekonomis, sehingga budidaya jagung manis berpeluang memberi
keuntungan yang relatif tinggi bagi petani. Hal ini mendorong petani untuk melakukan perbaikan
teknik budidaya dalam meningkatkan produksi jagung manis. Salah satu usaha yang dilakukan
dalam meningkatkan produksi jagung manis adalah dengan meningkatkan produktivitas lahan
terutama lahan kering marginal. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang mendominasi
lahan kering marginal di Bengkulu. Tanah ini mempunyai sifat yang dapat menghambat
pertumbuhan tanaman. Beberapa permasalahan umum dari Ultisol adalah kemasaman tanah
tinggi (pH rata-rata <4,5), kejenuhan Al tinggi, daya simpan air rendah, kandungan unsur hara
rendah, dan kandungan bahan organik rendah. Reaksi tanah atau pH tanah yang rendah
menyebabkan kurang tersedianya unsur hara di dalam tanah, sehingga tanaman mengalami kahat
unsur hara yang berdampak pada hasil tanaman tidak optimal (Ispandi dan Munip, 2005).
Kompleksnya permasalahan pada Ultisol membutuhkan beberapa alternatif peningkatan
produktivitas tanahnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bahan
yang dapat memperbaiki sifat-sifat tanah. Beberapa bahan yang bisa digunakan untuk
memperbaiki kondisi tanah tersebut adalah pemberian bahan organik dan dolomit.
Bahan organik berperan dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pemberian bahan organik dapat meningkatkan hara tanah, memperbaiki struktur tanah, menjaga
stabilitas agregat, meningkatkan kadar air tanah, dan sumber energi bagi organisme tanah.
Lumpur sawit (LS) merupakan salah satu sumber bahan organik tanah yang sangat potensial di
Provinsi Bengkulu. Selain produksi limbah yang melimpah akibat dari kegiatan pabrik kelapa
sawit, kandungan unsur haranya juga berpotensi sebagai pupuk organik. Kandungan hara lumpur
sawit didominasi oleh N (27,03 kg/ton bobot kering (BK)), P2O5 (2,54 kg/ton BK), K2O (15,5
kg/ton BK), Ca (14,20 kg/ton BK), dan Mg (7,36 kg/ton BK). Bobot kering lumpur sawit dari
proses pengolahan limbah cair antara 24,2 – 68 kg/m3 dengan kandungan bahan organik
sebanyak 6,3 kg/m3. Rasio C/N-nya relatif rendah yaitu 5 (Wahyono et al., 2008). Hasil
penelitian Mukri (2009) menunjukkan bahwa pemberian lumpur sawit secara tunggal pada
tanaman jagung berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi, total luas daun, umur berbunga,
umur panen, jumlah baris per tongkol, diameter tongkol, panjang tongkol, dan bobot tongkol
dengan perlakuan terbaik 3,0 kg plot-1. Hasil penelitian Nugroho (2017) menunjukkan pemberian
150 kg ha-1 NPK mutiara + 20 ton ha-1 lumpur sawit memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik
pada variabel tinggi tanaman, biomassa kering bagian atas, bobot 100 biji, dan bobot pipilan
kering jagung.
Bahan lain yang dapat digunakan dalam meningkatkan produktivitas Ultisol adalah
dolomit. Dolomit merupakan salah satu bentuk kapur pertanian yang memiliki kandungan MgO
sebesar 20 % dan CaO sebesar 33% dan diharapkan dapat meningkatkan pH tanah dan mampu
menekan Aldd (Nyakpa et al., 1998). Dolomit dapat memperbaiki sifat kimia tanah dengan
menurunkan kandungan atau kejenuhan Al dapat dipertukarkan (Aldd), meningkatkan kandungan
Ca dan Mg, serta meningkatkan ketersediaan P pada lahan kering masam. Hasil penelitian
Jumakir et al. (2000) menunjukkan bahwa pemberian kapur 1 ton ha-1, 50 kg Urea ha-1, 180 kg
SP-36 ha-1, dan 50 kg KCl ha-1 diperoleh produksi polong kering kacang tanah tertinggi yaitu
2,28 ton ha-1, sedangkan hasil penelitian Ermadani (2010) menunjukkan bahwa pengapuran dan
pemupukan dapat meningkatkan serapan N, P, dan K serta berat kering tanaman Calopogonium
pada pengapuran 4 ton ha-1 dolomit, 50 kg Urea ha-1, 250 kg SP-36 ha-1, dan 50 kg KCl ha-1.
Mengingat bahwa pemberian lumpur sawit deran dolomit memiliki potensi yang tinggi
pada lahan kering dan mampu memperbaiki sifat biologi, fisik, dan kimia tanah pada lahan
masam, maka penelitian pemberian lumpur sawit sebagai sumber bahan organik dan dolomit di
Ultisol perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui interaksi pemberian
lumpur sawit dan dolomit terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis, (2) mengetahui dosis
lumpur sawit yang optimal untuk pertumbuhan dan hasil jagung manis, dan (3) mengetahui dosis

92
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dolomit yang optimal untuk pertumbuhan dan hasil jagung manis.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Jagung dapat tumbuh pada daratan rendah sampai dengan ketinggian 1800 m dpl, pada
semua jenis tanah asalkan gembur, subur, aerasi, dan drainase yang baik. Tekstur yang paling
baik untuk tanaman jagung adalah lempung berdebu dengan pH 5 – 7. Tanaman jagung sangat
efisien dalam penggunan energi matahari dan membutuhkan lebih banyak air pada masa
pertumbuhan vegetatif (Kuswara, 1982). Suhu minimum untuk pertumbuhannya adalah 8oC –
10oC. Suhu maksimum untuk pertumbuhannya adalah 40oC. Kebutuhan total air tanaman jagung
berkisar 700-800 mm yaitu 300 mm selama fase vegetative dan 400-500 mm pada fase
generative (Muamar et al., 2012).
Tanaman jagung manis membutuhkan unsur hara yang optimal bagi pertumbuhan dan
produksi tanaman jagung yaitu hara N, P, dan K. Setiap ton hasil biji, tanaman jagung
membutuhkan 27,4 kg N; 4,8 kg P; dan 18,4 kg K (Cooke 1985), sedangkan menurut Dauphin
(1985) tanaman jagung menyerap 23-34 kg ha-1 N; 6,5-11 kg ha-1 P2O5, dan 14-42 kg ha-1 K2O.
Hal ini sesuai dengan Sutedjo (2010) yang menyatakan unsur N yang diserap pada bagian buah
tanaman jagung sebesar 27 kg ha-1, unsur P2O5 sebesar 13 kg ha-1, unsur K2O sebesar 12 kg ha-
1, unsur CaO sebesar 1 kg ha-1, serta unsur MgO sebesar 4 kg ha-1. Pada bagian batang tanaman

jagung manis, unsur N yang diserap sebesar 10 kg ha-1, unsur P2O5 sebesar 4 kg ha-1, dan unsur
K2O sebesar 32 kg ha-1, sehingga diperlukan pengelolaan hara yang tepat agar kebutuhan
tanaman akan hara dapat terpenuhi secara optimal. Murni et al. (2010) menyatakan bahwa dosis
rekomendasi 100 % pupuk anorganik pada Ultisol di Lampung bagi tanaman jagung manis
adalah 300 kg Urea ha-1, 150 kg SP-36 ha-1, dan 100 kg KCl ha-1.
Ultisol saat ini menjadi sasaran utama perluasan pertanian. Namun dalam pemanfaatannya
sebagai lahan pertanian, Ultisol memiliki banyak permasalahan yaitu, kandungan bahan organik
tanah sangat rendah, kemasaman tanah tinggi, kejenuhan basa kurang dari 35 %, kejenuhan Al
tinggi, KTK rendah, kandungan N, P, dan K rendah, serta sangat peka terhadap erosi (Munir,
1996). Ketersediaan P yang rendah akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Fosfor
merupakan unsur hara makro esensial bagi tanaman yang berperan dalam fotosintesis, respirasi,
transfer dan penyimpanan energi, pembelahan dan pembesaran sel, serta proses-proses lainya
(Sudaryono, 2009). Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyatakan bahwa untuk mengatasi
produktivitas tanah yang rendah pada Ultisol perlu dilakukan usaha perbaikan kesuburan tanah
yang meliputi perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Salah satu usaha yang dapat
dilakukan dalam perbaikan kesuburan tanah ini adalah dengan pemupukan (Sudaryono, 2011).
Produktivitas Ultisol dapat ditingkatkan dengan melakukan pengapuran dan pemberian
bahan organik. Kedua bahan amelioran tersebut mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara
makro dalam tanah dan mampu memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, terutama Ultisol. Hasil
penelitian Adijaya dan Made (2014) menunjukkan bahwa pupuk organik dapat meningkatkan
kadar air tanah dari 31,11% menjadi 35,17%, meningkatkan total ruang pori tanah dari 53,64%
menjadi 56,23%, serta mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung lokal Seraya. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Saputra et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian pupuk
organik kascing dapat meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, luas daun, indeks luas
daun, laju pertumbuhan tanaman, laju asimilasi bersih, dan bobot kering akar dan tajuk pada
tanaman kedelai. Penggunaan bahan organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan
produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan sehingga penggunaannya dapat
membantu upaya konservasi tanah yang lebih baik (Puspadewi, et al. 2014). Salah satu sumber
bahan organik yang dapat digunakan adalah lumpur sawit.
Lumpur sawit memiliki sifat kimia sebagai berikut pH 5,23 (masam), N-total 1,12%
(sangat tinggi), P2O5 0,51 ppm (rendah), dan K2O 2,82 me 100 g-1 tanah (rendah) (Ramadhani et
al., 2015). Wahyono et al. (2008) menyatakan bahwa lumpur sawit mengandung N (27,03 kg
tonˉ¹ BK), P2O5 (2,54 kg tonˉ¹ BK), K2O (15,5 kg tonˉ¹ BK), CaO (14,20 kg tonˉ¹ BK), dan MgO

93
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

(7,36 kg tonˉ¹ BK). Rasio C/N-nya relatif rendah yaitu 5. Hasil penelitian Astuti (2014)
menunjukkan pemberian lumpur sawit 20 ton ha-1 berpengaruh nyata pada parameter tinggi
tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah baris per tongkol, diameter tongkol, panjang
tongkol, dan bobot tongkol. Penelitian Ramadhani et al. (2015) menunjukkan bahwa pemberian
lumpur sawit sebanyak 15 ton ha-1 merupakan dosis terbaik dalam meningkatkan ketersediaan N
pada Ultisol. Selain itu, pemberian lumpur sawit berpengaruh terhadap panjang tongkol,
diameter tongkol, bobot tongkol per tanaman, dan bobot tongkol per plot. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Nugroho (2017) bahwa pemberian 150 kg ha-1 NPK mutiara + 20 ton ha-1 lumpur
sawit memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik pada variabel tinggi tanaman, bobot
berangkasan kering bagian atas, bobot 100 biji, dan bobot pipilan kering tanaman jagung. Hasil
penelitian Sari (2017) menunjukkan bahwa kombinasi NPK mutiara dan lumpur sawit pada
jagung manis berpengaruh nyata pada variabel tingkat kehijauan daun, diameter batang, bobot
tongkol berkelobot per petak, dan bobot tongkol tanpa kelobot per petak.
Upaya lain untuk memperbaiki kesuburan Ultisol dapat juga dilakukan dengan pemberian
kapur. Pengapuran merupakan upaya untuk memperbaiki kesuburan tanah yaitu memperbaiki
sifat-sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Bahan kapur yang umum digunakan untuk pertanian
adalah dolomit. Dolomit berasal dari batu kapur dolomitik dengan rumus [CaMg (CO3)2]. Kapur
dolomit memiliki sifat fisik berwarna putih keabu-abuan atau kebiru-biruan. Pupuk dolomit
sebenarnya tergolong mineral primer yang mengandung unsur Ca dan Mg. Pupuk ini banyak
digunakan sebagai bahan pengapuran pada tanah-tanah masam untuk menaikkan pH tanah
(Hasibuan, 2008). Pengapuran dengan menggunakan dolomit mampu memperbaiki kesuburan
tanah mineral masam.
Hasil penelitian Setiono (2017) menunjukan bahwa pemberian dolomit 4 ton ha-1 mampu
memperbaiki pertumbuhan dan hasil kacang tanah di lahan masam Kabupaten Bungo. Hasil
penelitian Anitasari et al. (2015) menunjukkan bahwa pemberian dolomit sampai taraf 3,5 ton
ha-1 mampu meningkatkan tinggi tanaman, bobot polong kering, bobot biji kering, dan bobot
kering brangkasan bagian bawah kedelai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Noza et al.
(2014) yang menunjukkan pemberian 4 ton ha-1 dolomit dan pupuk N, P, K dengan dosis 300 kg
Urea ha-1 + 200 kg SP-36 ha-1 + 100 kg KCl ha-1 memberikan pengaruh produksi terbaik terhadap
bobot tongkol tanpa kelobot/sampel tanaman jagung manis. Berdasarkan hasil penelitian Sagala
(2010), pemberian dosis dolomit 2,5 ton ha-1 pada tanah masam mampu meningkatkan pH tanah
dari 4,60 menjadi 5,36 yang mampu memberikan kondisi media tumbuh optimal bagi tanaman
kedelai.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2017 sampai Maret 2018 bertempat di
Desa Air Sebakul, Kecamatan Talang Empat, Bengkulu Tengah pada koordinat peta 3°50'27.1"S
102°21'44.4"E dengan ketinggian tempat ± 17 m dpl.
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari benih jagung manis
Bonanza F1, Furadan 3G, pupuk NPK Mutiara 16-16-16, dolomit, lumpur sawit yang berasal
dari PT Agri Andalas Seluma, cangkul, koret, meteran, gembor, jangka sorong vernier calipers
tiga ring (150 x 0,05 mm), cutter, timbangan digital, tali rafia, handsprayer, terpal, label, oven,
kamera, dan alat tulis menulis.
Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAKL) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah dosis lumpur sawit yang
terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu 0, 10, dan 20 ton ha-1. Faktor kedua adalah dosis dolomit yang
terdiri dari 4 taraf yaitu D1 : 0, 2, 4, dan 6 ton ha-1. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali,
sehingga diperoleh 36 satuan percobaan.
Tanah diolah dengan menggunakan cangkul dengan cara membalik tanah dan memecah
bongkahan tanah sampai tanah menjadi gembur. Olah tanah kedua dilakukan pada saat satu
minggu sebelum tanam dengan menggemburkan tanah menggunakan cangkul. Lahan yang telah

94
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dibersihkan dan diolah kemudian dibuat petakan sebanyak 36 petakan dengan ukuran 2,8 m x
3,2 m. Dengan jarak antar petak 0,5 m dan jarak antar ulangan 1 m, lalu permukaan tanah
diratakan untuk siap ditanami.
Lumpur sawit dan dolomit diberikan satu minggu sebelum tanam dengan cara disebar
merata pada permukaan tanah sesuai dosis perlakuan masing-masing unit percobaan, kemudian
diaduk secara merata menggunakan cangkul sedalam mata cangkul. Bahan perlakuan diharapkan
tercampur merata dengan lapisan olah tanah.
Pupuk dasar diberikan pada saat tanaman jagung manis memiliki 3 sampai 4 plumula (daun
lembaga). Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk NPK dengan dosis 150 kg NPK ha-1 (Sari,
2017). Pupuk NPK diberikan dengan cara larikan di samping barisan tanaman sejauh 10 cm.
Larikan pupuk tersebut selanjutnya ditutup dengan tanah.
Benih jagung ditanam dengan cara ditugal sedalam 5 cm dari permukaan tanah. Tiap
lubang tanam diberi carbofuran sebanyak 3-5 butir per lubang tanam. Benih ditanam sebanyak
2 benih tiap lubang tanam, kemudian ditutup dengan tanah. Jarak tanam yang digunakan adalah
70 cm x 40 cm (Aziz dan Arman, 2013), sehingga diperoleh 32 tanaman petak-1. Tanaman
sampel ditentukan sebanyak 20% dari total populasi tiap unit percobaan. Tanaman sampel
digunakan untuk pengamatan fase vegetatif dan generatif tanaman jagung manis.
Tanaman jagung manis dipertahankan hanya memiliki satu tongkol per tanaman.
Penjarangan tongkol dilakukan dengan memotong baby corn atau jagung muda yang terakhir
tumbuh menggunakan cutter steril. Panen dilakukan pada saat 2/3 bagian dari jumlah tanaman
telah mencapai stadia masak. Hal tersebut dicirikan dengan rambut jagung mengalami perubahan
warna menjadi coklat, tongkol jagung telah terisi penuh, dan saat biji jagung manis ditekan
dengan ibu jari mengeluarkan cairan seperti pasta. Panen dilakukan secara manual dengan
melepaskan tongkol dari tanaman.
Variabel pengamatan utama yang diamati meliputi komponen pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung manis pada tanaman sampel. Variabel pertumbuhan tanaman meliputi tinggi
tanaman, diameter batang, jumlah daun, tingkat kehijauan daun, dan total luas daun. Sedangkan
variabel hasil tanaman jagung manis meliputi bobot tongkol tanpa, panjang tongkol tanpa
kelobot, dan diameter tongkol tanpa kelobot.
Data yang diperoleh dari setiap variabel yang diukur terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas data. Lalu dilakukan transformasi data pada data yang tidak normal menggunakan
rumus = √𝑥 + 0,5 (Hidayat, 2013) untuk mengubah skala pengukuran data asli sehingga distribusi
data normal dan memenuhi asumsi yang mendasari sidik ragam. Selanjutnya data dianalisis
secara statistik dengan sidik ragam (ANAVA) menggunakan uji F pada taraf 5 %. Hasil uji F
yang menunjukkan pengaruh nyata diuji lanjut dengan Polinomial Orthogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi antara perlakuan lumpur sawit dan
dolomit terhadap semua variabel pertumbuhan dan hasil yang diamati, kecuali pada diameter
batang tanaman. Pengaruh lumpur sawit sebagai faktor tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap
semua variabel pertumbuhan dan hasil yang diamati, sedangkan pengaruh dolomit sebagai faktor
tunggal memberikan pengaruh nyata pada seluruh variabel yang diamati kecuali pada jumlah
daun dan tingkat kehijauan daun. Data hasil sidik ragam pada uji F 5% disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rangkuman F-Hitung pada Perlakuan Lumpur Sawit dan Dolomit terhadap Variabel
Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis.
F hitung 5%
No Variabel Lumpur Sawit Dolomit (D) Interaksi
(L)
1 Tinggi Tanaman 0,86 ns 4,70 * 1,64 ns
2 Diameter Batang 1,76 ns 8,01 * 2,80 *

95
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

F hitung 5%
No Variabel Lumpur Sawit Dolomit (D) Interaksi
(L)
3 Jumlah Daunt 2,65 ns 3,00 ns 1,30 ns
4 Tingkat Kehijauan Daun 0,29 ns 1,00 ns 0,81 ns
5 Total Luas Daun 1,62 ns 5,88 * 2,13 ns
6 Bobot Tongkol Tanpa Kelobot 0,54 ns 3,90 * 1,18 ns
7 Panjang Tongkol Tanpa Kelobot 0,61 ns 4,40 * 0,96 ns
8 Diameter Tongkol Tanpa Kelobot 0,74 ns 4,15 * 1,31 ns
Keterangan : ns = berpengaruh tidak nyata, * = berpengaruh nyata pada taraf 5 %, t = data transformasi √x + 0,5

Interaksi Pemberian Lumpur Sawit dan Dolomit terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Jagung Manis
Hasil uji lanjut Polynomial orthogonal menunjukkan bahwa interaksi pemberian lumpur
sawit dan dolomit pada dosis lumpur sawit 0 ton ha-1 membentuk kurva linear positif dengan
persamaan regresi y0 = 1,5521 + 0,0416x. Nilai R2 0,1529 menunjukkan bahwa kontribusi dosis
dolomit terhadap variasi variabel diameter batang adalah sebesar 15,29 %. Gambar 1
menunjukkan bahwa penambahan dosis dolomit sampai dengan 6 ton ha-1 pada dosis lumpur
sawit 0 ton ha-1 diiringi dengan peningkatan diameter batang tanaman jagung manis, namun
belum diperoleh dosis dolomit yang optimum. Rerata diameter batang terbesar adalah 1,85 cm
pada dosis dolomit 6 ton ha-1.
Pemberian dosis dolomit pada lumpur sawit 10 ton ha-1 membentuk kurva kuadratik
dengan persamaan y1 = 1,5294 + 0,2606x – 0,0361x2 dengan koefisien determinasi R2 0,7936
(Gambar 1). Hal ini berarti bahwa kontribusi dosis dolomit pada lumpur sawit 10 ton ha-1
terhadap variabel diameter batang tanaman jagung manis adalah sebesar 79,36 %. Pemberian
dolomit pada lumpur sawit 10 ton ha-1, awalnya dapat meningkatkan diameter batang tanaman
hingga mencapai diameter batang maksimum sebesar 1,98 cm pada dosis dolomit optimum 3,61
ton ha-1, selanjutnya penambahan dosis di atas batas optimum akan menyebabkan menurunnya
diameter batang tanaman jagung manis sampai pada dosis dolomit tertinggi yang diuji.

2.50 y0 = 1,5521 + 0,0416x


Diameter Batang (cm)

R² = 0,1529
2.00

1.50
L0
1.00 y1 = 1,5294 + 0,2606x – 0,0361x2
R² = 0,7936 L1
0.50 y2 = 1,4167 + 0,2547x – 0,0324x2
R² = 0,4754 L2
0.00
0 2 4 6
Dosis Dolomit (ton ha-1)

Gambar 1. Interaksi Limpur Sawit dan Dolomit Terhadap Diameter Batang Tanaman Jagung Manis.
: Lumpur Sawit 0 ton ha-1 (y0), : Lumpur Sawit 10 ton ha-1 (y1), : Lumpur Sawit 20 ton ha-1 (y2).

Pemberian dosis dolomit pada lumpur sawit 20 ton ha-1 terhadap diameter batang tanaman
membentuk kurva kuadratik dengan persamaan y2 = 1,4167 + 0,2547x – 0,0324x2 dengan
koefisien determinasi R² 0,4754 (Gambar 1). Hal ini berarti pemberian dolomit berkontribusi
pada lumpur sawit 20 ton ha-1 sebesar 47,54 % terhadap diameter batang tanaman jagung manis.
Pada lumpur sawit 20 ton ha-1 penambahan dosis dolomit pada konsentrasi optimum 3,93 ton ha-
1 mampu menghasilkan diameter batang maksimum sebesar 1,88 cm, selanjutnya peningkatan

96
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dosis dolomit di atas batas optimum akan menyebabkan menurunnya diameter batang tanaman
sampai pada konsentrasi dolomit tertinggi yang diuji.
Berdasarkan hasil di atas, kombinasi perlakuan terbaik adalah kombinasi lumpur sawit
10 ton ha-1 dengan dosis dolomit 3,61 ton ha-1 yang menghasilkan rerata diameter batang sebesar
1,98 cm. Peningkatan diameter batang tanaman diduga dipengaruhi oleh kondisi tanah yang
mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara K yang diperoleh dari penambahan lumpur sawit
dan dolomit. Tersedianya unsur hara K membantu translokasi pati ke lingkar batang tanaman
semakin lancar, sehingga membentuk lingkar batang yang maksimal. Pemanfaatan unsur hara K
yang tinggi bagi tanaman diduga menyebabkan proses pertumbuhan tanaman pada masa
vegetatif lebih dominan dalam menyusun dan menstabilkan dinding sel. K dibutuhkan oleh
tanaman untuk pembentukan sel pada jaringan tanaman seperti batang sehingga memperkuat
batang agar tidak mudah rebah pada ekosistem alami (Thompson dan Troeh 1978, dan Aleel
2008). Tanaman yang cukup K dapat mempertahankan kandungan air dalam jaringannya
sehingga perkembangan diameter batang menjadi maksimal. Kandungan K-tersedia pada
analisis tanah awal sebesar 7,40 me 100 g-1 tanah yang tergolong sedang, diduga sudah mampu
memenuhi kebutuhan unsur K pada tanaman jagung manis dalam pembentukan diameter batang
yang maksimal dan menyebabkan terjadi interaksi perlakuan hanya pada variabel diameter
batang tanaman.

Pengaruh Lumpur Sawit terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis


Lumpur sawit memiliki potensi dalam meningkatkan kesuburan tanah karena memiliki
bahan organik dan kandungan hara (Jenny dan Suwadji, 1999). Berdasarkan uji statistik,
pemberian lumpur sawit pada penelitian ini memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap
seluruh variabel yang diamati. Hal ini diduga karena kandungan bahan organik yang berasal dari
lumpur sawit belum tersedia bagi tanaman, sehingga dosis lumpur sawit yang diberikan tidak
memberikan dampak yang signifikan. Bahan organik tanah berperan dalam meningkatkan
kesuburan dan produktivitas tanah yang kaitannya sebagai sumber hara dan energi bagi
organisme tanah. Indikasi bahan organik dalam tanah dapat dilihat dari kandungan C-organik
dan N-Total sehingga diperoleh nisbah C/N yang dapat dipakai untuk menduga ketersediaan hara
dari mineralisasi bahan organik (Susanto, 2005). Unsur hara dari bahan organik yang dapat
diserap oleh tanaman memiliki C/N ratio mendekati C/N ratio tanah yakni sekitar 12-15. Lumpur
sawit yang digunakan dalam penelitian ini diduga memiliki C/N ratio yang masih tinggi,
sehingga unsur hara yang ada dalam lumpur sawit tidak dapat digunakan oleh tanaman. Hasil
penelitian Siagian (2017) menunjukkan bahwa waktu pemberian lumpur sawit memberikan
pengaruh tidak nyata terhadap semua variabel vegetatif dan generatif tanaman jagung manis
kecuali jumlah daun. Hal ini karena ketersediaan bahan organik yang bersumber dari lumpur
sawit memerlukan waktu dekomposisi yang lebih lama agar mikroorganisme yang berperan
melakukan dekomposisi unsur hara menjadi efektif, sehingga lumpur sawit memiliki C/N ratio
yang rendah dan menyediakan unsur hara tersedia cukup bagi tanaman untuk menyelesaikan
siklus hidupnya (Atmojo, 2003). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pandapotan (2016)
menunjukkan bahwa pemberian limbah lumpur sawit berpengaruh tidak nyata terhadap
peningkatkan N –total, Kdd, dan KTK tanah. Hasil penelitian Gustianty dan Hasibuan (2017)
menunjukkan bahwa pemberian pupuk lumpur sawit secara tunggal berpengaruh tidak nyata
terhadap variabel vegetatif tanaman sawi yaitu tinggi dan jumlah daun umur 1 dan 2 minggu
setelah tanam. Kondisi tanah awal pada penelitian ini memiliki kandungan C-organik tanah
sebesar 2,91% yang tergolong sedang dan N total tanah sebesar 0,24 % yang tergolong sedang.
Kondisi tanah tersebut diduga sudah mampu memenuhi kebutuhan unsur hara bagi tanaman,
sehingga pemberian lumpur sawit berpengaruh tidak nyata pada seluruh variabel yang diamati.

97
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Dolomit terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis


Pertumbuhan vegetatif tanaman jagung adalah pertumbuhan yang berhubungan dengan
penambahan ukuran dan jumlah sel pada suatu tanaman. Pertumbuhan tanaman jagung meliputi
fase perkecambahan yang dilanjutkan dengan fase pertumbuhan vegetatif yang mencakup
perbesaran batang, daun dan akar tanaman yang akhirnya melambat ketika memasuki fase
generatif (Kanisius, 1993). Indikator pertumbuhan vegetative tanaman dapat dilihat dari
berangkasan segar tanaman karena merupakan akumulasi dari semua organ vegetatif tanaman.
Sitompul dan Bambang Guritno (1995) menyatakan bahwa biomassa tanaman meliputi semua
bahan tanaman yang, secara kasar, berasal dari hasil fotosintesis, serapan unsur hara dan air yang
diolah melalui proses biosintesis. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa dosis dolomit
berpengaruh nyata terhadap berat segar tanaman jagung manis. Berat segar tanaman adalah berat
tanaman pada saat masih hidup dan ditimbang langsung setelah panen sebelum tanaman menjadi
layu karena kehilangan air (Lakitan, 1996).

400.00 y = 233,44 + 5,406x


Berat Segar Tanaman

R² = 0,0643
300.00
(gram)

200.00

100.00

0.00
0 2 4 6
Dosis Dolomit (ton ha-1)

Gambar 2. Hubungan Dosis Dolomit terhadap Berat Segar Tanaman Jagung Manis.

Berdasarkan hasil uji lanjut polynomial orthogonal, pola hubungan dosis dolomit terhadap
berat segar tanaman jagung manis membentuk pola linier positif dengan persamaan y = 233,44
+ 5,406x dan koefisien determinasi R2 = 0,0643. Hal ini berarti setiap penambahan satu satuan
dosis dolomit akan diiringi dengan peningkatan berat segar tanaman jagung manis rata-rata
sebesar 5,06 g.
Berat segar tanaman dipengaruhi oleh organ vegetatif tanaman seperti tinggi tanaman. Tinggi
tanaman adalah salah satu faktor yang menentukan tingkat pertumbuhan vegetatif tanaman.
Berdasarkan hasil uji lanjut polynomial orthogonal, pemberian dolomit membentuk kurva hubungan
linier positif terhadap tinggi tanaman jagung manis dengan persamaan y = 161,99 + 2,479x dan
koefisien determinasi R2 = 0,1991, setiap penambahan satu satuan dosis dolomit akan diiringi dengan
peningkatan tinggi tanaman jagung manis rata-rata sebesar 2,48 cm.

200
Tinggi Tanaman (cm)

150
y = 161,99 + 2,479x
R² = 0,1991
100

50

0
0 2 4 6
Dosis Dolomit (ton ha-1)
Gambar 3. Hubungan Dosis Dolomit terhadap Tinggi Tanaman Jagung Manis.
Organ vegetatif tanaman yang juga mempengaruhi berat segar tanaman adalah total luas
daun. Total luas daun tanaman menunjukkan pengaruh nyata terhadap dosis dolomit yang
diberikan. Berdasarkan hasil uji lanjut polynomial orthogonal, pola hubungan dosis dolomit

98
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

terhadap total luas daun tanaman jagung manis membentuk pola linier positif dengan persamaan
y = 4627,4 + 127,95x dan koefisien determinasi R2 = 0,1307. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
penambahan satu satuan dosis dolomit akan diiringi dengan peningkatan total luas daun rata-rata
sebesar 127,95 cm2. Peningkatan total luas daun yang semakin besar diduga disebabkan oleh
ruang tumbuh tanaman yang optimal dengan jarak tanam 40 x 60 cm, sehingga antar tanaman
jagung manis memiliki tingkat kompetisi yang rendah terhadap penyerapan unsur hara, air, dan
intensitas cahaya matahari yang berhubungan dengan pembentukan luas daun tanaman jagung
manis. Bertambahnya total luas daun memungkinkan tanaman untuk memanfaatkan cahaya lebih
optimal dalam melakukan fotosintesis, sehingga menghasilkan fotosintat lebih banyak untuk
mendukung pertumbuhan daun dan organ lainnya.

7000
Total Luas Daun (cm2)

6000
5000
4000 y = 4627,4 + 127,95x
3000 R² = 0,1307
2000
1000
0
0 2 4 6
Dosis Dolomit (ton ha-1)

Gambar 4. Hubungan Dosis Dolomit terhadap Total Luas Daun Tanaman Jagung Manis.

Akumulasi organ vegetatif pada berat segar tanaman memiliki pengaruh pada berat kering
tanaman. Berat kering tanaman menunjukkan jumlah biomassa yang dapat diserap oleh tanaman
selama pertumbuhan vegetatif. Menurut Larcher (1975) berat kering tanaman merupakan hasil
penimbunan fotosintat dan asimilasi CO2 yang dilakukan selama pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa dosis dolomit juga
berpengaruh nyata terhadap berat kering tanaman jagung manis. Berat kering tanaman
merupakan indikator yang menggambarkan secara keseluruhan hasil akhir dari fotosintesis
berupa fotosintat pada tanaman yang sudah tidak mengandung air. Berdasarkan hasil uji lanjut
polynomial orthogonal, pola hubungan dosis dolomit terhadap berat kering tanaman jagung
manis membentuk pola linier positif dengan persamaan y = 115,76 + 5,384x dan koefisien
determinasi R2 = 0,2004. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu satuan dosis
dolomit akan diiringi dengan peningkatan berat kering tanaman jagung manis rata-rata sebesar
5,38 g.
200.00 y = 115,76 + 5,384x
Berat Kering Tanaman

R² = 0,2004
150.00
(gram)

100.00

50.00

0.00
0 2 4 6
Dosis Dolomit (ton ha-1)

Gambar 5. Hubungan Dosis Dolomit terhadap Berat Kering Tanaman Jagung Manis.
Pemberian dolomit berpengaruh terhadap seluruh komponen hasil yang diamati pada
penelitian ini, yaitu bobot tongkol tanpa kelobot, panjang tongkol tanpa kelobot, dan diameter
tongkol tanpa kelobot. Berdasarkan hasil uji lanjut polynomial orthogonal, pola hubungan dosis
dolomit terhadap bobot tongkol tanpa kelobot tanaman jagung manis membentuk pola linier

99
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

positif dengan persamaan y = 151,96 + 8,3843x dan koefisien determinasi R2 = 0,4281, setiap
penambahan satu satuan dosis dolomit akan diiringi dengan peningkatan bobot tongkol tanpa
kelobot tanaman jagung manis rata-rata sebesar 8,38 g.

250.00

Bobot Tongkol Tanpa 200.00


Kelobot (Gram) 150.00
y = 151,96 + 8,3843x
100.00 R² = 0,4281
50.00
0.00
0 2 4 6
Dosis Dolomit (Ton ha-1)

Gambar 6. Hubungan Dosis Dolomit terhadap Bobot Tongkol Tanpa Kelobot Jagung Manis.

Berdasarkan hasil uji lanjut polynomial orthogonal, pola hubungan dosis dolomit terhadap
panjang tongkol tanpa kelobot tanaman jagung manis membentuk pola linier positif dengan
persamaan y = 19,721 + 0,325x dan koefisien determinasi R2 = 0,5098. Hal ini berarti setiap
penambahan satu satuan dosis dolomit akan diiringi dengan peningkatan panjang tongkol tanpa
kelobot tanaman jagung manis rata-rata sebesar 0,325 cm.

25.00
Panjang Tongkol Tanpa

20.00
Kelobot (cm)

15.00 y = 19,721 + 0,325x


R² = 0,5098
10.00
5.00
0.00
0 2 4 6
Dosis Dolomit (ton ha-1)

Gambar 7. Hubungan Dosis Dolomit terhadap Panjang Tongkol Tanpa Kelobot Jagung Manis.

Hal ini juga berbanding lurus dengan bertambahnya nilai diameter tongkol tanaman jagung
manis. Diameter tongkol jagung manis berpengaruh nyata terhadap pemberian dolomit.
Berdasarkan hasil uji lanjut polynomial orthogonal, pola hubungan dosis dolomit terhadap
diameter tongkol tanpa kelobot tanaman jagung manis membentuk pola linier positif dengan
persamaan y = 3,8604 + 0,067x dan koefisien determinasi R2 =0,4182.
5.00
Diameter Tongkol Tanpa

4.00
Kelobot (cm)

3.00 y = 3,8604 + 0,067x


R² = 0,4182
2.00
1.00
0.00
0 2 4 6
Dosis Dolomit (ton ha-1)

Gambar 8. Hubungan Dosis Dolomit terhadap Diameter Tongkol Tanpa Kelobot Jagung Manis.

100
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Panjang tongkol dan diameter tongkol mempengaruhi hasil jagung manis karena semakin
besar panjang tongkol dan diameter tongkol yang dimiliki, maka semakin besar pula bobot
jagung manis pada penelitian ini. Peningkatan hasil jagung manis diduga karena pemberian
dolomit dapat meningkatkan pH tanah. Menurut Widodo (2000), penambahan dolomit 2-4 ton
ha-1 dapat meningkatkan pH tanah antara 1-2, sehingga tanah dapat mencapai pH 5,29–6,29.
Kondisi ini ideal untuk perkembangan tanaman jagung manis. Dolomit juga mampu menurunkan
kandungan atau kejenuhan Al, meningkatkan kandungan Ca dan Mg, serta memperbaiki
ketersediaan P di lahan Ultisol. Hal ini berdampak kepada peningkatan hasil jagung manis. Hara
P merupakan pembatas utama produktivitas pada tanah masam, sehingga pemberian dolomit
mampu meningkatkan ketersediaan hara P dan menurunkan kemasaman tanah (Mutert and Sri
Adiningsih, 1996). Kondisi ini juga memberikan dampak terhadap peningkatan ketersediaan
unsur hara N yang berperan dalam pertumbuhan generatif tanaman. Syarifudin (1990)
menyatakan bahwa unsur N sangat mempengaruhi pembentukan tongkol pada tanaman jagung.
Nitrogen merupakan komponen utama dalam sintesa protein. Apabila sintesa berlangsung baik
akan berkolerasi positif terhadap peningkatan ukuran tongkol baik dalam hal panjang maupun
diameter tongkol.

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Interaksi antara pemberian lumpur sawit 10 ton ha-1 dan dolomit 3,61 ton ha-1 menghasilkan
diameter batang tanaman jagung manis maksimum rata-rata sebesar 1,98 cm.
2. Pemberian lumpur sawit memberikan pengaruh yang tidak nyata pada seluruh variabel
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis yang diamati.
3. Penambahan dosis dolomit hingga 6 ton ha-1 mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi
tanaman, total luas daun, bobot tongkol tanpa kelobot, panjang tongkol tanpa kelobot,
diameter tongkol tanpa kelobot, bobot segar tanaman, dan bobot kering tanaman jagung
manis.

DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, I. N. dan R. Y. Made. 2014. Pengaruh pupuk organik terhadap sifat tanah, pertumbuhan
dan hasil jagung. In Proceeding of National Seminar “Inovasi Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi”, Banjarbaru August 06 2014. pp. 299-310.
Anitasari, F., Sarwitri, R., dan A. Suprapto. 2015. Pengaruh pupuk organik dan dolomit pada
lahan pantai terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. Prosiding Seminar Nasional &
Internasional. 1 (2) : 315-324.
Atmojo, S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press. Surakarta. 36 hlm.
Azis, A. H. dan Arman. 2013. Respons jarak tanam dan dosis pupuk organik granul yang berbeda
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis. Jurnal Agrisistem. 9 (1) : 16-
23.
Cooke, G. 1985. Fertilizing for maximum yield. Granada Publishing LMT. London. p.75-87.
Dauphin, F. 1985. Nutrient requirement of high yielding maize. In Pottasium in the Agricultural
Systems of the Humid Tropics. Proceeding of the 19th Colluqium of the International
Potash Institute. Bangkok. p. 265-275.
Ermadani, 2010. Perbaikan sifat kimia tanah ultisol dan pertumbuhan calopogonium dengan
pengapuran dan pemupukan N, P dan K. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains.
12 (2) : 07-12.

101
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gustianty, L. R. dan S. Hasibuan. 2017. Pengaruh pupuk solid dan sekam padi terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman pakcoy (Brassica rapa L). Bernas. 13 (1) : 22-30.
Hasibuan, B. E. 2008. Diktat Kuliah Pupuk dan Pemupukan. Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Hidayat, A. dan Mulyani. 2003. Lahan kering untuk pertanian dalam buku teknologi pengelolaan
lahan kering. Hal 1-34. Pusat Penelitian dan Pengembanga Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Ispandi, A. dan A. Munip. 2005. Efektifitas pengapuran terhadap serapan hara dan produksi
beberapa klon ubikayu di lahan kering masam. Jurnal Ilmu Pertanian. 12 (2) : 125-139.
Jenny, M. U. dan E. Suwadji. 1999. Pemanfaatan Limbah Minyak Sawit (Sludge) sebagai Pupuk
Tanaman dan Media Jamur Kayu. BATAN, Bogor.
Jumakir, Waluyo, dan Suparwoto. 2000. Kajian berbagai kombinasi pengapuran dan pemupukan
terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah (Arachis hypogea L.) di lahan pasang
surut. Jurnal Agronomi 8 (1) : 11-15.
Kuswara, J. 1982. Jagung. Departemen Agronomi Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Lakitan, B. 1996. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Larcher, W. 1975. Physiological Plant Ecology : Ecophysiology and Stress Physiology of
Functional Groups. Third Edition. Springer. New York.
Muammar, Z. A., Triyono, Tuti, dan B. Rosadi. 2012. Analisis neraca air tanaman jagung (Zea
mays) di Bandar Lampung. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. 1 (1) : 1-10.
Mukri, D. 2009. Permberian Lumpur Sawit NPK Organik Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Tanaman Jagung Manis. Skripsi. Universitas Islam Riau. Riau. (Tidak
dipublikasikan)
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Murni, A. M., J.M. Pasuquin, and C. Witt. 2010. Site specific nutrient management for maize on
Ultisols Lampung. Jurnal Trop. Soils. 15 (1) : 49-54.
Mutert, E. W. and J. Sri Adiningsih. 1996. Tropical upland improvement: comparative
performance of different phosphorus source. p. 97-108. In Nutrient Management for
Sustainable Crop Production in Asia. Proc. of an International Conference held in Bali,
Indonesia, 9-12 December 1996.
Noza, A., H. Yetti, dan M. A. Khoiri. 2014. Pengaruh pemberian dolomit dan pupuk n, p, k terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis (Zea mays Saccharata Sturt) di lahan
gambut. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Riau. 1(2) : 1-11.
Nugroho, J. S., H. Gusmara, dan B. W. Simanihuruk. 2017. Pengaruh lumpur sawit dan NPK
sintetik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Agritrop: Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian (Journal of Agricultural Science). 14 (2) : 114-119.
Nyakpa, M. Y., A.M. Lubis, M.A. Pulung, A.G.Amrah, A. Munawar, G.B. Hong, dan N. Hakim.
1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung.
Pandapotan, C.D. 2016. Pemanfaatan limbah lumpur padat (sludge) pabrik pengolahan kelapa
sawit sebagai alternatif penyediaan unsur hara di tanah ultisol. Jurnal Agroekoteknologi
Universias Sumatera Utara. 5 (2) : 271-276.
Puspadewi, S., W. Sutari, dan Kusumiyati. 2014. Pengaruh konsentrasi pupuk organik cair
(POC) dan dosis pupuk N, P, K terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis
(Zea mays L. Saccharata sturt.) Kultivar talenta. Jurnal Agriculture. 1 (4) : 198-205.

102
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Rosmarkam, A. dan N.W.. Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta.
Sagala, D. 2010. Peningkatan pH tanah masam di lahan rawa pasang surut pada berbagai dosis
kapur untuk budidaya kedelai. Jurnal Agroqua: Media Informasi Agronomi dan Budidaya
Perairan. 8 (2) : 1-5.
Saputra, R. R., S. Purwanti, dan R. Rogomulyo. 2013. Pengaruh takaran pupuk kascing terhadap
pertumbuhan dan hasil dua varietas kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Jurnal
Vegetalika. 1 (1) : 83-96.
Sari, D. P., H. Gusmara, dan B. W. Simanihuruk. 2017. Pertumbuhan dan hasil jagung manis
(Zea mays saccharata) dengan pengurangan pupuk NPK yang digantikan dengan lumpur
kelapa sawit (sludge) pada tanah ultisol. Agritrop: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian (Journal of
Agricultural Science). 15 (1) : 138-150.
Setiono, S. 2017. Efektifitas dolomit terhadap kacang tanah di lahan masam (Dolomite
effectiveness to the peanut in acidic soil). Jurnal Sains Agro. 2 (1).
Siagian, D. M. 2018. Waktu pemberian lumpur sawit dan dosis NPK pada pertumbuhan dan hasil
jagung manis (Zea mays saccharata sturt.) di ultisols. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu.
Sudaryono, S. 2011. Tingkat kesuburan tanah ultisol pada lahan pertambangan batubara
sangatta, Kalimantan Timur. Jurnal Teknologi Lingkungan. 10 (3) : 337-346
Sutedjo, M. M. 2010. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. Rieneka Cipta, Jakarta.
Thompson, L. M. and F. R. Troeh. 1978. Soil and Fertility. New York, Mc Graw-Hill Book
Company. 368 p.
Wahyono, S., F. L. Sahwan, J. H. Martono, dan F. Suyanto. 2008. Evaluasi Teknologi
Penanganan Limbah Padat Industri Sawit. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri,
BPPT.

103
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kebutuhan Air Semai Nyamplung (Calophyllum inophylum) Pada


Media Tanam Berbasis Limbah Serat Buah Kelapa Sawit
The Water Requirment of Nyamplung (Calophyllum Inophylum)
Seedling on The Media Based on Oil Palm Mesocarp Fiber Waste
Enggar Apriyanto1, Edi Suharto1, dan Mahmud Abadi2
1 Program studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu)
2 Alumni Program studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

ABSTRAK

Kata Kunci: Limbah serat buah kelapa sawit yang mencapai ±4 juta ton per tahun
Limbah, memiliki potensi sebagai media semai untuk tanaman pertanian dan
Serat buah kelapa kehutanan. Pemberian air yang tepat pada media semai berbasis serat buah
sawit kelapa sawit menjadi penting untuk menghasilkan bibit bermutu. Tanaman
Nyamplung, nyamplung Calophyllum inophylum) merupakan tanaman yang buahnya
Pertumbuhan, dapat dimanfaatkan sebagi bio-disel. Penelitian ini bertujuan untuk
Water menganalisis pemberian air dan frekuensinya terhadap pertumbuhan semai
nyamplung pada media tanam berbasis limbah serat buah kelapa sawit.
Penelitian dilaksanakan di persemaian Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu pada bulan Mei-Oktober 2017. Media tanam yang
digunakan adalah limbah serat buah kelapa sawit dan pupuk kandang sapi
(1:1). Rancangan penelitian adalah rancangan acak lengkap (RAL) 2 faktorial
dengan 5 ulangan. Dua faktor tersebut adalah volume penyiraman (60 (V1),
180 (V2), dan 300 (V3) ml/polibag)) dan frekuensi penyiraman ((1 (P1), 2
(P2), 4 (P3), dan 6 (P4)) kali per dua hari. Hasil analisis menunjukkan bahwa
pemberian air 180 ml tanaman-1 menghasilkan pertumbuhan semai
Nyamplung terbaik dengan tinggi (20,4±0,54 cm), diameter batang (5,7±0,29
mm), jumlah daun (11,95±0,50 helai), luas daun (21,92±1,70 cm2), berat
kering (4,37 g), dan khlorofil (59,98±0,79). Pemberian air empat kali setiap
dua hari (P2) sudah mencukupi untuk pertumbuhan semai Nyamplung pada
media semai berbasis limbah serat buah sawit, dengan tinggi semai
(20,6±1,77 cm), diameter batang (5,8±0,33 mm), jumlah daun (12,20±1,11
helai), luas daun (22,81±2,15 cm2), berat kering (4,78±1,17 g), khlorofil
(59,09±4,25).
ABSTRACT

Keywords: Oil palm mesocarp fruit fiber waste that reaching about 4 millions ton has a
Waste, potensial as a growth media for agricultural or forestry plants. Suitable water
Mesocarp fiber, requirment for plant which be growth in media based on the oil palm
Nyamplung, mesocarp fiber is an important factor to produce high seedling quality. The
Growth, fruit of Nyamplung (Calophyllum inophylum) is as raw material of bio-disel.
Water The aim of the study was to analyze the application of water valume and the
frequency of water application to the growth of nyamplung seedling in the
composite media of oil palm mesocarp fiber waste and cow manure. The
experiment had been conducted at the nursery, Forestry Department,
Agricultural Faculty, Bengkulu University since May-Oktober 2017. The
ratio of oil palm mesocarp fiber waste and cow manure for growth media was
about 1:1. The experimental design that ben used was complete random
design (CRD) with two factors and five repiclations. The first factor was

104
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

water volume such as: (60 (V1), 180 (V2), and 300 (V3) ml polybag-1) and
the second factor was the frequency of water application, such as: ((1 (P1), 2
(P2), 4 (P3), and 6 (P4)) during 2 days. Results showed that the water
application of 180 ml polybag-1 produced the best growth of nyamplung
seedling at the age of 112 days, height (20,4±0,54 cm), diameter (5,7±0,29
mm), leaf number (11,95±0,50 helai), leaf area (21,92±1,70 cm2), seedling
dry weight (4,37 g seedling-1), and khlorophyll (59,98±0,79). The water
application with a frequency of 4 times for 2 days the best growth of
nyamplung seedling at the age of 112 days, height (20,6±1,77 cm), diameter
(5,8±0,33 mm), leaf number (12,20±1,11 leaves), leaf area (22,81±2,15 cm2),
seedling dry weight (4,78±1,17 g seedling-1), and khlorophyll (59,09±4,25).

Email Korespondensi : enggavan@yahoo.com

PENDAHULUAN
Serat buah kelapa sawit merupakan salah satu limbah terbesar yang dihasilkan dalam
proses pengolahan minyak sawit. Limbah serat buah sawit pada industri minyak kelapa sawit
pada tahun 2015 dan 2016 adalah 4.023.361 dan 4.319.820 ton tahun-1 (Kementerian Pertanian,
2017). Limbah tersebut biasanya dijadikan bahan bakar dan ditimbun di dalam tanah saja. Berat
serat (fiber) buah sawit dalam 10 ton buah sawit adalah 130 kg atau sekitar 13% berat buah sawit
(Mandiri, 2012). Bahan ini mengandung protein kasar sekitar 4% dan serat kasar 36% (lignin
26%). Nilai kalori serat buah sawit adalah 4.875,7857 KK kg-1 atau 20.315,4489 KJ kg-1,
sehingga serat buah sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar (Kamal,2014).
Serat buah sawit merupakan bahan organik yang dapat memperbaiki struktur tanah dengan
meningkatkan kandungan bahan organik dan air tanah (Isro’i, 2007). Serat buah sawit memiliki
prospek untuk media tanam (Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014), Serat buah sawit juga dapat
digunakan sebagai alternatif bahan campuran dalam budidaya jamur tiram (Basri dan Parakkasi,
2005 dan Hidayati et al., 2015). Menurut Kamal et al. (2015) berat kering serat buah sawit
sebanyak 50% dari berat basahnya. Serat buah sawit memiliki kandungan N, P, K, Mg, dan Ca
secara berurutan adalah 0,32, 0,08, 0,47, 0,02, dan 0,11 % berat kering. Penggunaan limbah
sawit sebagai media tanam cemara laut mampu memberikan pertumbuhan yang memenuhi
standar kriteria bibit yang bagus. Ukuran media bahan organik berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman, 400 cm3 memberikan pertumbuhan cemara lebih baik dibanding ukuran
yang lebih kecil (Apriyanto, et al. 2016). Media tanam Top Soil + TKKS + Sludge menghasilkan
pertumbuhan tertinggi dan pemberian mikoriza mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman
(Munawan et al,. 2015).
Serat buah sawit memerlukan penambahan unsur hara apabila digunakan untuk media
tanam (Hoe, 2014). Nursyamsi dan Tikupadang (2014) menyatakan bahwa media tanam
merupakan tempat penyedia air, unsur hara, dan oksigen untuk proses fisiologi akar serta
kehidupan dan aktivitas mikrobia tanah. Media tanam tempat berkembangnya sistem perakaran
guna mendukung pertumbuhan bibit. Media tanam harus mampu menyediakan nutrisi,
menjamin keberhasilan pertumbuhan bibit tinggi, melindungi perakaran dari kerusakan dan
kekeringan selama pengadaan, penyimpanan, dan tranportasi, efisien dalam penanganan dan
transportasi, sesuai teknik penanaman dan peralatan, dan menjamin keberhasilan dan
pertumbuhan tanaman setelah tanam (Nyland, 2016).

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Media tanam merupakan tempat penyedia air, unsur hara, dan oksigen untuk mendukung
proses fisiologi dalam pertumbuhan akar, batang, dan daun, serta kehidupan dan aktivitas
mikrobia tanah (Nursyamsi dan Tikupadang, 2014: Nyland, 2016). Media tanam harus mampu
menyediakan nutrisi, menjamin keberhasilan pertumbuhan bibit tinggi, melindungi akar dari

105
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kerusakan dan kekeringan selama pengadaan, penyimpanan dan tranportasi, kesesuaian dengan
teknik penanaman dan peralatan, dan menjamin keberhasilan dan pertumbuhan tanaman setelah
tanam (Nyland, 2016).
Keuntungan penggunaan media tanam dalam pengadaan bibit diantaranya: memberikan
kondisi perkecambahan dan pertumbuhan terkontrol, relatif seragam, perakaran kompak, dan
perlindungan perakaran di persemaian, transportasi, dan pertanaman (Nyland, 2016). Media
tanam yang baik adalah media tanam dengan bahan organik dan unsur hara sesuai dengan
pertumbuhan bibit, sehingga dapat menghasilkan bibit bermutu dan meningkatkan pemapanan
tanaman di lapangan (Hendromono dan Durahim, 2004).
Serat buah sawit merupakan bahan organik yang memiliki potensi sebagai media tanam
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014; Apriyanto et al, 2016), yang selama ini masih banyak
digunakan sebagai bahan bakar (Kamal, 2014). Serat buah sawit merupakan limbah terbesar pada
industi pengolahan minyak sawit, 130 kg (13%) dalam 10 ton buah sawit (Mandiri, 2012). Bahan
ini mengandung protein kasar 4%, serat kasar 36%, dan lignin 26%. (Kamal,2014). Serat buah
sawit memiliki kandungan N, P, K, Mg, dan Ca sebanyak 0,32, 0,08, 0,47, 0,02, dan 0,11 %
berat keringnya. Berat kering serat buah sawit dapat digunakan sebagai alternatif bahan
campuran dalam budidaya jamur tiram (Basri dan Parakkasi, 2005; Hidayati et al., 2015) dan
media tanam (Aprianto et al., 2016). Limbah serat buah sawit memerlukan tambahan unsur N
dan K bagi pertumbuhan tanaman (Hoe, 2014; Aprianto et al., 2018).
Pupuk kandang sapi merupakan bahan organik yang bermanfaat sebagai penyediakan
unsur hara makro dan mikro bagi tanaman, penggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan
struktur tanah, meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi mikroorganisme tanah,
memudahkan pertumbuhan akar tanaman, memperbaiki daya serap dan tamping air tanah
(Hartatik dan Widowati, 2010). Pupuk kandang juga dapat memperbaiki habitat bagi kehidupan
mikroorganisme di dalam tanah. Mikroorganisme tanah berperan penting dalam proses
dekomposisi bahan organik sisa tanaman menjadi humus, yang kemudian disintesa menjadi
bahan-bahan yang berguna bagi tanaman (Sutedjo, 2010).
Kandungan unsur hara pada pupuk kandang sapi padat adalah 0,40% N, 0,20% P2O5 dan
0,10% K2O. Pupuk kandang siap digunakan apabila tidak terjadi lagi dekomposisi bahan organik
oleh mikroba. Karakteristik pupuk kandang berkualitas baik yaitu berwarna coklat kehitaman,
cukup kering, tidak menggumpal dan tidak berbau menyengat serta memiliki C/N ratio kecil
(Novizan, 2005), Pupuk kandang dapat diberikan sebagai pupuk dasar, dengan cara menebarkan
secara merata di seluruh lahan. Khusus bagi tanaman dalam pot, pupuk kandang diberikan
sepertiga dari media dalam pot (Lingga, 1994).
Penggunaan pupuk kandang sapi pada media tanam serat buah sawit ditujukan untuk
menambah ketersediaan unsur hara yang relative sedikit pada limbah serat buah sawit.
Komposite media tanam pupuk kandang dan serat buah sawit diharapkan dapat menjadi media
yang baik bagi pertumbuhan tanaman nyamplung.
Air berperan penting dalam proses fisiologi di dalam tanaman. Air memiliki beberapa
fungsi yaitu: 1) pelarut dan medium untuk reaksi kimia; 2) medium untuk transport, zat terlarut
organik dan anorganik; 3) menjaga turgor pada sel tanaman. Turgor menstimulasi pembesaran
sel, struktur tanaman dan pertumbuhan daun; 4) hidrasi dan netralisasi muatan pada molekul-
molekul koloid; 5) bahan baku untuk fotosintesis, proses hidrolisis dan reaksi-reaksi kimia
lainnya dalam tumbuhan; 6) transpirasi untuk mendinginkan permukaan tanaman (daun-daun)
(Gardner et al., 1991).
Tanaman muda sering dihadapkan pada kondisi kekurangan air yang menyebabkan
gangguan terhadap proses fisiologis di dalam tanaman. Proses fisiologis yang penting dalam
proses pertumbuhan tanaman adalah transpirasi dan fotosintesis. Keberlangsungan kedua proses
tersebut dapat menentukan produktivitas dan kemampuan beradaptasi suatu tanaman. Pemberian
air yang tepat pada persemaian menjadi penting agar supaya semai dapat tumbuh normal dan
berkualitas, tetapi juga meningkatkan kemampuan adaptasinya. Ketersediaan air yang sedikit

106
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pada media semai dapat menyebabkan rendahnya kualitas semai. Penggunaan semai yang
berkualitas rendah dapat menyebabkan kegagalan dan kematian tanaman saat ditanam di
lapangan. (Marjenah, 2010). Oleh karena itu pengetahuan tentang jumlah dan frekuensi
pemberian air yang sesuai bagi semai sangat diperlukan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2017 di Laboratorium
Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu. Media yang digunakan adalah media tanam komposit
limbah sawit (fiber) dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 1:1.
Bahan yang digunakan adalah semai nyamplung, gelas palstik, limbah serat buah sawit,
dan pupuk kandang, plastic transparan, paranet, dan pupuk NPK. Alat yang digunakan adalah
oven, timbangan analitik, komputer, caliper, alat tulis, gembor, dan gelas ukur.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 dua faktor atau perlakuan, volume air dan frekuensi
penyiraman. Perlakuan volume air penyiraman yang diberikan adalah 300 (V1), 180 (V2), dan
60 (V1) ml/tanaman. Perlakuan frekuensi penyiraman adalah 1, 2, 4, dan 6 kali setiap dua hari
sekali. Setiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan sehingga total unit percobaan sebanyak 60 semai.
Variabel yang diukur pada penelitian adalah tinggi (cm), diameter (mm), jumlah daun
(helai), luas daun (cm2), dan khlorofil daun semai. Tinggi, dameter, dan jumlah daun diukur
setiap 14 hari sekali setelah tanam di wadah semai sampai akhir penelitian (112 hari).
Pengukuran luas daun, kholofil, dan berat kering semai diukur pada akhir penelitian. Data yang
yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian dan uji lanjut DMRT pada tingkat kepercayaan
5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis varian didapatkan bahwa pengaruh pemberian
air terhadap pertumbuhan tinggi semai nyamplung pada media komposit serat buah sawit dan
pupuk kandang sapi mulai tampak pada semai umur 56 hari setelah tanam. Ujung apikal tanaman
merupakan titik tumbuh yang sangat aktif, sehingga pembelahan dan perkembangan sel pada
daerah tersebut sangat sensitif terhadap ketersediaan air pada media tanam. Dampak
kekurangan air dalam tanaman adalah terjadinya penurunan aktivitas daerah pertumbuhan,
dimana proses pertumbuhan sel lebih cepat dari pembelahan sel (Kramer dan Kozlowski, 1960).
Kondisi tersebut dapat memperlambar pertumbuhan tinggi tanaman.
Hasil uji lanjut dengan menggunakan DMRT didapatkan bahwa pemberian air sebanyak
300 dan 180 ml/polibag tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap pertumbuhan tinggi semai
nyamplung. Penyiraman air dengan volume 60 ml/l memberikan pertumbuhan tinggi terkecil
pada semai nyamplung (17,8±1,5 cm). Marjenah (2010) mendapatkan bahwa air pada media
tanah sebesar ≤40% tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tinggi semai Shorea
leprosula Miq. Pertumbuhan tinggi meningkat seiring dengan penambahan volume air yang
diberikan. Peningkatan pemberian air pada media komposite limbah serat buah sawit dan pupuk
kandang ada kecenderungan menghambat pertumbuhan tinggi semai. Kondisi tersebut
disebabkan karena aerasi, pertukaran gas pada media tanam kurang baik dan pelindihan unsur
hara, sehingga dapat berpengaruh pada proses fisiologi semai nyamplung. Menurut Harjadi
(1991) ketersediaan air bagi tanaman harus berada dalam keadaan seimbang, dimana kehilangan
air dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan dan defisiensi air berkelanjutan dapat
menimbulkan kematian tanaman.

107
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

22.0
19,9a
V1 V2 V3 19,5a 20,4a
18,8a 19,8a
20.0
19,1a
18,1a
18,2a
17,5b 17,8b
18.0 17,3b
Rerata Tinggi semai (cm)

16,3a
16,1ab 16,6b
15.7
15.2 15.4 15,7b
16.0 15.2 15.2 15.3 15.3 15.4 15.5

14.0

12.0

10.0
14 28 42 56 70 84 98 112
Umur Tanaman (hari)
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Semai Nyamplung pada Media Komposit Limbah Serat Buah Sawit
dengan Pupuk Kandang Sapi yang Mendapat Volume Penyiraman Air 60, 180, dan 300 Ml/L Semai
Selama Penelitian.

20,6a
20,0a

19,3ab
22.0

19,4ab
19,0ab
19,5a

P1 P2 P3 P4
18,9ab
18,5a

18,1b
18,4ab

18,0ab

17,9b
17,6ab

17,5ab

20.0
17,5b
Rerata tinggi semai (cm)

16,8b
16,6a

18.0
16,0b

15,9b
15,8b
15,7a
15,5a

15,5a
15,7a

15,4b
15,3b
15,3a

15,2b
15,1b
15,2b

15,1b
15,3b

16.0

14.0

12.0

10.0
14 28 42 56 70 84 98 112
Umur semai (Hari)
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Tinggi Semai Nyamplung pada Media Komposit Limbah Serat Buah
Sawit dengan Pupuk Kandang Sapi yang Mendapat Penyiraman dengan Frekuensi Berbeda (1, 2, 4, Dan
6 Kali Setiap Dua Hari).

Hasil pengamatan pengaruh frekuensi pemberian air berbeda pada media komposite
limbah serat buah sawit dan pupuk kandang sapi pada pertumbuhan tinggi semai disajikan pada
Gambar 2. Berdasarkan pada analisis varian diketahui bahwa terdapat pengaruh yang nyata
diantara perlakuan frekuensi pemberian air yang berbeda terhadap tinggi semai. Pemberian air
dengan frekuensi 4 kali setiap dua hari memberikan pertumbuhan semai nyamplung terbaik,
dengan tinggi semai nyamplung pada umur 112 hari lebih kurang 20,6±1,77 cm . Peningkatan
frekuensi penyiraman dapat menyebabkan penghambatan terhadap pertumbuhan tinggi semai.
Penyiraman yang terlalu sering dapat menyebabkan rongga-rongga media terpenuhi air, yang

108
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dapat berpengaruh terhadap pertukaran gas. Pelindihan unsur hara juga terjadi pada penyiraman
yang berlebih. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada perkembangan perakaran.
Perkembangan serabut akar sangat sensitif terhadap ketersediaan air tanah dan gas (Stephen et
al., 1996).
Penyiraman dengan frekuensi jarang dapat menyebabkan keterbatasan air dalam media.
Keterbatasan air pada media tanam dapat berpengaruh pada proses penyerapan unsur hara dan
sekaligus air itu sendiri, yang penting untuk menjaga proses fotosintesis dan transpirasi normal.
Stephen et al. (1996) menyatakan bahwa kematian serabut akar tanaman mulai terjadi pada akhir
musim penguhajan dimana ketersediaan air mulai terjadi; kematian serabut akar meningkat pada
musim kemarau. Kematian serabut akar dapat berpengaruh terhadap serapan air dan nutrisi, yang
pada akhirnya akan menurunkan intensitas fisiologis. Penurunan fisiologis dapat berdampak
terhambatnya pertumbuhan tanaman, terutama tinggi tanaman.

Diameter
Hasil pengamatan pengaruh pemberian volume air dan frekuensi pemberian air terhadap
pertumbuhan diameter semai nyamplung selama penelitian disajikan pada Gambar 3 dan 4.
Berdasarkan analisis varian diketahui bahwa perlakuan volume dan pemberian air berbeda tidak
berpengaruh nyata pada pertumbuhan diameter semai nyampung pada media komposit serat
buah sawit dan pupuk kandang sapi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan
diameter kurang sensitif terhadap ketersediaan air pada media tanam. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa pemberian air yang semakin sedikit terdapat indikasi adanya pertumbuhan
diameter semai yang lambat (Gambar3).

7.0
V1 V2 V3

5.7
5.6
5.6
6.0 5.5
5.4
5.3

5.3
5.1

5.1
5.1

4.8
4.6
4.5
4.5
4.3

5.0
4.2

4.3
4.3

4.3
4.1

4.2
4.1
4.1
Rerata diameter

4.1

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
14 28 42 56 70 84 98 112
Umur semai (hari)
Gambar 3. Rerata Diameter Semai Nyamplung pada Meda Komposit Serat Buah Sawit dengan Pupuk
Kandang Sapi yang Mendapat Penyiraman dengan Volume Air Berbeda, 300 (V1), 180 (V2), dan 60 (V3)
ml/l

Frekuensi pemberian air berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter semai


nyamplung pada media komposit limbah serat buah sawit dan pupuk kandang sapi. Pemberian
air dengan frekuensi 4 kali selama dua hari memberikan pertumbuhan diameter semai
nyamplung terbaik dibanding perlakuan yang lainnya. Rerata diameter semai nyamplung yang
mendapat penyiraman dengan frekuensi 4 kali selama 2 hari adalah 5,8±0,33 mm. Penyiraman
4 kali selama 2 hari dapat memberikan ketersediaan air pada media komposit limbah serat buah
sawit dan pupuk kandang sapi sesuai dengan kebutuhan semai nyamplung untuk melangsungkan
proses fisiologis secara baik. Pemberian air yang tidak berlebih dapat mengurangi terjadinya
pelindihan unsur hara keluar dari media tanam. Pemberian air dengan frekuensi 6 kali selama 2

109
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

hari pada media komposit limbah serat buah sawit dengan pupuk kandang menghasilkan
diameter lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena media terlalu basah, yang dapat
menyebabkan pori-pori media terisi oleh air sehingga proses respirasi pada akar terhambat dan
terjadinya pelindihan unsur hara oleh limpasan air pada saat penyiraman yang berlebih.

7.0
P1 P2 P3 P4

5,5abc
5,7ab
5,8a
5,4ab
5,4abc
5,7a
5,3ab
5,7a
5,2ab
5,3a
6.0

5,0bc
5,0bc

5,2c
4,7bc
4,7a
4,8a

4,8b
4,5a
4,5a

4,4c
4,4a
4,4a
Rerata diameter (mm)

4,3a
4,3a

5.0

4,2b
4,1b
4,1b
4,1b
4,0b
3,9b
3,9b
3,9b

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
14 28 42 56 70 84 98 112
Umur semai (hari)
Gambar 4. Grafik Pertumbuhan Diameter Semai Nyamplung pada Media Komposit Limbah Serat Buah
Sawit dengan Pupuk Kandang Sapi yang Mendapat Penyiraman dengan Frekuensi Berbeda (1, 2, 4, dan
6 Kali Setiap Dua Hari).

Pemberian air dengan frekuensi 1 dan 2 kali selama 2 hari menghasilkan pertumbuhan
diameter nyamplung terkecil. Pertumbuhan diameter yang lambat memberikan indikasi bahwa
pemberian air dengan frekuensi 1 dan 2 kali selama 2 hari tidak cukup untuk mendukung
pertumbuhan semai nyamplung dengan baik. Ketersediaan air yang kurang dapat meperlambat
pertumbuhan tanaman (Kurniawan et al., 2014)

Daun
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis varian pada taraf kepercayaan 5% diketahui
bahwa jumlah daun semai nyamplung berbeda nyata diantara perlakuan. Hasil uji lanjut
menunjukkan bahwa pemberian air dengan volume 180 ml polibag pada media tanam komposit
limbah serat buah sawit dan pupuk kandang sapi menghasilkan rata-rata jumlah daun tertinggi
(11,75±1,42 helai) (Tabel 1). Hasil tersebut memberikan indikasi bahwa pemberian air dengan
volume 180 ml pada media komposit limbah serat buah sawit dengan pupuk kandang sudah
cukup untuk digunakan dalam proses fotosintesis semai nyamplung.
Jumlah daun yang paling sedikit ditemukan pada semai nyamplung yang mendapat
penyiraman air dengan volume air 60 ml. Pemberian air dengan volume 60 ml pada media
komposite limbah serat buah sawit dan pupuk kandang sapi tidak mampu menyediakan air cukup
untuk pertumbuhan daun. Kekurangan air pada media dapat menyebabkan semai melakukan
penutupan stomata, dimana penutupan somata dapat berakhibat pertukaran gas, khususnya 02
dan C02 tidak berjalan normal, dimana kedua gas tersebut diperlukan dalam proses fotosintesis
(Stephen et al., 1996). Kondisi tersebut dapat menurunkan produktivitas proses fotosintesis, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan daun. Penutupan
stomata juga dapat menurunkan laju transpirasi yang berpengaruh terhadap penurunan
penyerapan dan translokasi air dari media tanam ke akar dan diteruskan ke bagian daun.
Pelambatan laju transpirasi semai S leprosula terjadi pada media dengan kandungan air rendah

110
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(Marjenah, 2010). Lambatnya penyerapan air oleh akar dapat menyebabkan penyerapan unsur
hara menurun. Penurunan penyerapan unsur hara berakibat terbatasnya energi yang diperlukan
tanaman untuk pertumbuhan tanaman.
Semai tanaman nyamplung pada media komposit limbah serat buah sawit dan pupuk
kandang sapi yang mendapat penyiraman 300 dan 180 ml memiliki luas daun yang lebih tinggi
dari semai nyamplung yang mendapat penyiraman air sebanyak 60 ml (Tabel 1). Kedua
perlakuan tersebut tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap luas daun semai nyamplung.
Marjenah (2010) juga mendapatkan hasil bahwa penurunnan ketersediaan air pada media semai
dikuti oleh menurunnya luas daun S. leprosula. Ketersediaan air pada media tanam yang cukup
membuat semai nyamplung cenderung memperluas permukaan daun. Kondisi ini disebabkan
tercukupinya unsur hara yang terserap akar tanaman bersama air untuk keperluan proses
fotosintesis.
Pemberian air dengan volume berbeda berpengaruh nyata terhadap klorofil daun.
Pemberian air dengan volume 180 ml memberikan klorofil tertinggi pada daun semai nyamplung
(Tabel 1). Tingginya nilai klorofil pada daun dapat meningkatkan produktivitas proses
fotosintesis. Pemberian air yang lebih sedikit dapat menurunkan klorofil pada daun nyamplung.
Deselina et al., (2018) menunjukkan bahwa pemberian volume air 200 ml menghasilkan klorofil
daun semai mahoni tertinggi,
Frekuensi penyiraman berpengaruh secara nyata terhadap jumlah, luas, dan klorofil daun.
Frekuensi penyiraman 2 dan 4 kali setiap dua hari sekali memberikan nilai tertinggi untuk ketiga
variabel pengamatan tersebut (Tabel 2). Frekuensi penyiraman 1 dan 6 kali setiap dua hari sekali
berpengaruh negatif atau mengahambat pertumbuhan jumlah, luas, dan klorofil daun. Siahaya
(2007) menunjukkan bahwa penyiraman setiap 3 hari sekali pada tanaman Salimuli (Cordia
subcordata, Lamk) memberikan pertumbuhan luas daun yang lebih luas dibanding dengan
penyiraman 2 dan 1 hari sekali. Media tanam komposit limbah serat buah sawit dengan pupuk
kandang memiliki porositas yang tinggi maka pemberian air yang berlebih dapat menyebabkan
terjadinya pelindihan unsur hara, sehingga ketersediaan hara menjadi kurang untuk pertumbuhan
semai nyamplung.

Tabel 1. Pengaruh Pemberian Air dengan Volume Berbeda (80, 160, dan 300 Ml) terhadap Jumlah Daun,
Luas, dan Klorofil Daun Semai Nyamplung pada Umur 112 Hari.
Daun
Perlakuan Jumlah (helai) Luas (cm2) Klorofil
V1 11,75±1,42ab 21,42±3,20ab 57,36±3,17a
V2 11,95±0,50a 21,92±1,70a 57,98±0,79a
V3 10,20±0,83b 16,51±1,88b 54,75±3,11b

Tabel 2. Pengaruh Pemberian Air dengan Frekuensi 1 (P1), 2 (P2), 4 (P3), Dan 6 (P4) Kali Setiap Dua
Hari Sekali) Berbeda terhadap Jumlah Daun, Luas, dan Klorofil Daun Semai Nyamplung pada Umur 112
Hari.
Daun
Perlakuan Jumlah (helai) Luas (cm2) Klorofil
P1 10,47±1,21b 14,26±1,33b 54,29±2,67b
P2 11,93±0,99a 21,96±1,00a 57,75±3,09a
P3 12,20±1,11a 22,81±2,15a 59,07±4,25a
P4 10,60±1,00b 20,76±4,11ab 55,67±4,18a

Berat Kering
Pemberian air dengan volume 180 ml pada semai nyamplung memberikan hasil teberat
atau tertinggi untuk kering akar, daun, dan semai dibandingkan dengan perlakuan lainnya
(Gambar 5). Meskipun tidak berbeda nyata secara statistik, pemberian air dengan volume 180

111
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

ml juga memberikan nilai berat kering batang relatif lebih tinggi dari perlakuan yang lainnya.
Tingginya berat kering semai nyamplung yang mendapat air dengan volume 180 ml sejalan
dengan hasil pengukuran variabel pertumbuhan semai; tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun,
dan klorofil daun. Jumlah, luas, dan klorofil daun yang lebih tinggi dapat meningkatkan
produktivitas proses fotosintesis. Peningkatan proses fotosintesis akan diikuti oleh tingginya
produksi biomasa atau berat kering semai. Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) proses
fotosintesis dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor jumlah daun, luas daun, dan
klorofil merupakan faktor.
Pelakuan frekuensi penyiraman berpengaruh nyata terhadap berat kering akar, batang, dan
semai nyamplung, kecuali berat kering daun (Gambar 6). Penyiraman dengan frekuensi 4 kali
setiap dua hari sekali memberikan nilai tertinggi pada variabel berat kering akar, batang, dan
semia nyamplung, Tingginya berat kering semai nyamplung tersebut disebabkan karena jumlah,
luas, dan klorofil daun semai nyamplung lebih tinggi dari perlakuan lainnya.

6.00
V1 V2 V3
Rearat berat kering semai

5.00

4.00
(g/semai)

3.00

2.00

1.00

0.00
BKT Akar BKT Daun BKT Batang BKT Semai
Bagian Semai
Gambar 5. Grafik Pertumbuhan Semai Nyamplung pada Media Komposit Limbah Serat Buah Sawit
dengan Pupuk Kandang Sapi yang Mendapat Volume Penyiraman Air 60, 180, dan 300 Ml/L Selama
Penelitian.

5.00 4,78a
4,14a
Rerata beratkering (g/semai)

4.50 3,59ab
P1 P2 P3 P4
4.00
2,83b
3.50
2,50a
3.00 2,24b
1,91a
2.50 1,80a
2.00 1,37a
1.50 1,12ab
0,91a 0,93b
1.00 0,78ab 0,75b
0,62c 0,41c
0.50
0.00
Akar Batang Daun Semai
Bagian Tanaman
Gambar 6. Berat Kering Akar, Batang, Daun, dan Semai Nyamplung pada Media Komposit Limbah
Serat Buah Sawit dengan Pupuk Kandang Sapi yang Mendapat Penyiraman dengan Frekuensi Berbeda,
1, 2, 4, dan 6 Kali Setiap Dua Hari.

112
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kombinasi
Berdasarkan hasil analisis varian didapatkan bahwa ada interaksi pengaruh perlakuan
frekuensi dan volume air penyiraman teradap tinggi, jumlah daun, berat kering semai
nyamplung. Hasil uji lanjut dua arah DMRT didapatkan adanya interaksi perlakuan volume dan
frekuensi pemberian air terhadap tinggi semai nyamplung, kombinasi terbaik adalah perlakuan
P3V1 (23,08 cm) pada umur 112 hst. Interaksi perlakuan terendah adalah P1V3 (16,18 cm)
(Gambar 7).
Rata-rata jumlah daun terbanyak terjadi pada interaksi perlakuan P3V1 sebanyak 13,40
helai dan paling sedikit pada P1V3 sebanyak 9,20 helai. Total luas daun terluas ditunjukkan oleh
semai nyamplung yang mendapat perlakuan P3V1 adalah 27,40 cm2 dan luas tersempit
diperoleh pada perlakuan P1V1 seluas 14,06 cm2 (Gambar 8). Keberadaan jumlah daun yang
banyak dengan luas daun yang terluas berpengaruh terhadap tingginya produktivitas proses
fotosisntesis, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan tanaman.

30

25 23.08
20.5 20.56 19.68 20.14 20.98
19.1
Tinggi semai (cm)

20 18.72 18.88
17.5 16.84
16.18
15

10

0
P1V1 P1V2 P1V3 P2V1 P2V2 P3V2 P3V1 P3V2 P3V3 P4V1 P4V2 P4V3

Kombinasi perlakuan

Gambar 7. Grafik Tinggi Semai Nyamplung pada Media Komposit Limbah Serat Buah Sawit dengan
Pupuk Kandang Sapi yang Mendapat Perlakuan Kombinasi Frekuensi Pemberian Air (P) dan Volume Air
(V) pada Umur 112 Hari.
Jumlah daun (helai) Luas daun (cm2)
35

30 27.4
25.38
25 23.08 23.26
21.14 22.02
19.36 19.02
20
Rerata

17.02 15.94
14.06 13.4
15 11.6 11.7 12.4 12.6 12 11.6
10.6 10.8 11.2 10.6
9.2 9.6
10

0
P1V1 P1V2 P1V3 P2V1 P2V2 P2V3 P3V1 P3V2 P3V3 P4V1 P4V2 P4V3
Kombinasi perlakuan
Gambar 8. Grafik Jumlah dan Luas Daun Semai Nyamplung pada Media Komposit Limbah Serat Buah
Sawit dengan Pupuk Kandang Sapi yang Mendapat Perlakuan Kombinasi Frekuensi Pemberian Air (P)
dan Volume Air (V) Pada Umur 112 Hari.

113
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Berat kering akar, batang, daun dan semai nyamplung tertinggi pada kombinasi perlakuan
P1V3 (Gambar 9). Kondisi tersebut didukung oleh karena jumlah dan luas daun semai yang
mendapat perlakuan P1V3 memiliki nilai yang paling tinggi, dimana fotosintesis dan transpirasi
dapat berjalan dengan intensitas yang terbaik. Berat kering tanaman akan meningkat jika
fotosintesis meningkat, sehingga biomassa akan terbentuk dengan berjalanya proses fotosintesis
Zulyana, (2011). Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perkembangan yang progresif dari suatu
makhluk hidup. Perkembangan suatu tanaman dapat ditunjukkan melalui berat kering tanaman
(Ma’shum, 2005). Nilai berat kering tanaman tinggi maka pertumbuhan tanaman baik,
sebaliknya jika berat kering tanaman rendah maka pertumbuhan tanaman kurang baik.

Akar Daun Semai


8.00

6.14
7.00
5.11

4.58
Berat Kering (g/semai)

6.00

4.03
4.01

5.00

4.2

3.9
3.57

3.4
3.02

3.31
2.82

4.00

2.61

2.23
2.13
2.25

2.18

3.00

2.06

2.05
1.99

1.71

2.00

1.00
1.02
0.95

0.89
0.86

0.84

0.81
0.76

0.72

0.68
0.60

0.55
1.00

0.00
P1V1 P1V2 P2V1 P2V2 P2V3 P3V1 P3V2 P3V3 P4V1 P4V2 P4V3
Kombinasi perlakuan
Gambar 9. Grafik Berat Kering Akar, Batang, Daun, dan Semai Nyamplung yang Mendapat Perlakuan
Kombinasi Frekuensi Pemberian Air (P) dan Volume Air (V) Pada Umur 112 Hari.

KESIMPULAN
Pemberian air dengan volume 180 ml/l memberikan pertumbuhan nyemai nyamplung pada
media composite serat buah sawit dan pupuk kandang sapi yang sesuai. Frekuensi pemberian air
4 kali setiap dua hari (dua kali setiap hari) yang dapat menghasilkan pertumbuhan terbaik semai
nyamplung pada media composite lmbah serat buah sawit dan pupuk kandang.

DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto, E. P. B Agung, L Saputra. 2016. Apriyanto E, Nugroho P.B.A, dan Saputra L. 2016.
The growth of Casuarina equisetiofolia seedling On various growth media densities of oil
palm fruit fiber. Paper presented at The 2nd International Multidiscplinary Conference
(2nd IMC), December, 24-2016. University Of Muhammadiyah Jakarta. Indonesia of oil
palm fruit fiber as growth media for ketapang (Terminalia catappa) seedling.
Apriyanto. E, Sudjatmiko. S, Susatya. A, Putranto. B.AN and Aulia. Ella. 2018a. The potency
of oil palm fruit fiber as growth media for ketapang (Terminalia catappa) seedling.
International Journal of Agriculture, Forestry and Plantation, Vol. 7 (Dec.), 73-78
Basri, M dan A. Parakkasi. 2005. Kecernaan serat buah sawit (Palm pressingfibre) yang
difermentasi dengan jamur tiram (Pleurotus sp) varietas florida. J. Agrisains. 6 (2):104-
113
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia: Kelapa sawit 2013-2015.
Jakarta. Growth. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.

114
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Deselina, Suharto. S, Vasteriska.G, 2018. Respon semai Mahoni (Swietenia macrophylla, king.)
terhadap kerapatan naungan dan jumlah pemberian air. Jurnal Agriculture Vol. XII No. 1,
Juli 2018
Munawan, M.D., C. Hanum, dan M.K. Bangun. 2015. Respon pertumbuhan bibit stek mucuna
(Mucuna Bracteata d.c.) pada media tanam limbah kelapa sawit dan mikoriza. Jurnal
Agroekoteknologi. 3(4):1585-1590.
Gardner, et al., 1991. Gardner, P.F. B.R. Pearce., and L.R. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta.
Hidayati, M.R. Hidayat, dan Asmawit. 2015. Pemanfaatan serat tandan kosong kelapa sawit
sebagai media pertumbuhan jamur tiram putih. Biopropal Industri. 6(2):73-80
Harjadi, M.M.S.S. 1991. Pengantar Agronomi. PT Gramedia. Jakarta.
Hartatik, W. dan L. R Widowati, 2010. Pupuk Kandang. http://www.balittanah.litbang.deptan.go.id
Hendromono dan Durahim. (2004). Pemanfaatan limbah sabut kelapa sawit dan sekam padi
sebagai medium pertumbuhan bibit mahoni afrika (Khaya anthoteca. C.DC). Buletin
Penelitian Hutan, 644. Bogor: Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan
Konservasi Alam.
Hoe, T.K., 2014. Utilization of oil palm fruits mesocarp fibres waste as growing media for
banana tissue culture seedling in Malaysia. Journal of Advanced Agricultural Technologies
Vol. 1, No. 1:52-55p
Isro’i. 2007. Pengomposan Limbah Kakao. Makalah Pelatihan TOT Budidaya Kopi dan Kakao.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. 25-30 Juni 2007
Kurniawan et al., 2014. Pengaruh jumlah pemberian air terhadap respon pertumbuhan dan hasil
tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum L.) the effect of giving water levels to response
of the growth and yield for tobacco (Nicotiana tabaccum L.). Jurnal Produksi Tanaman,
Volume 2, Nomor 1: 59-64p
Kementerian Pertanian, 2017. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Kementerian Pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian
Pertanian, Republik Indonesia
Kramer, P. J. and T. T. Kozlowski. 1960. Physiology of Trees. Me. Graw-Hill Book Company.
New York.
Kamal, N. 2014. Karakterisasi dan potensi pemanfaatan limbah sawit. lib.itenas.ac.id/kti/wp-
content/uploads/2014/04/JURNAL-Netty-Kamal-ED-15.pd
Marjenah. 2010. Pengaruh kandungan air tanah terhadap pertumbuhan dan transpirasi semaI
Shorea leprosula Miq. Jurnal Penelitlan Dipterokarpa Vol. 4 NO.1:11-24p
Mandiri. 2012. Manual Pelatihan Teknologi Energi Terbarukan. Jakarta
Ma’shum, 2005. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. Mataram. Mataram University Press.
Munawan, M.D., C. Hanum, dan M.K. Bangun. 2015. Respon pertumbuhan bibit stek mucuna
(Mucuna Bracteata d.c.) pada media tanam limbah kelapa sawit dan mikoriza. Jurnal
Agroekoteknologi. 3(4):1585-1590.
Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta
Nursyamsi dan Tikupadang. 2014. Pengaruh komposisi biopotting terhadap pertumbuhan
Sengon laut (Paraserianthes falcataria L. Nietsen) di persemaian. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea. 3(1):65-73

115
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Nyland, R.D. 2016. Silviculture concepts and applications. Third edition.Waveland Press, Inc.
Illinois, United States of America.
Lingga, P. 1994. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siahaya. 2007. Pengaruh media tumbuh dan frekwensi penyiraman terhadap pertumbuhan awal
semai salimuli (Cordia subcordata Lamk). Jurnal Agroforestri, Volume II Nomor 1 :19-
26p.
Stephen et al., 1996. Influence of seasonal drought on carbon balance of tropical forest plants.
In Tropical forest ecophysiology, Edited by Stephan S.Mulkey, Robin L. Chazdon, Alan
P. Smith, 187-216 pages. Chapman &Hall. New York.
Sutedjo, M.M. 2010. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.
Zulyana, (2011). Zulyana, U. 2011. Respon ketimun (Cucumis sativus) terhadap Pemberian
Kombinasi Dosis dan Macam Bentuk Pupuk Kotoran Sapi di Getasan. Skripsi. Program
Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

116
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pola Serapan Ion Fe2+ pada Fase Vegetatif dan Generatif


pada Beberapa Padi Hibrida di Lahan Sawah Ultisol
Patterns of Fe2+ Ion Absorption in Vegetative and Generative Phases
of Some Hybrid Rice in Ultisol
M. Zulman Harja Utama1, Sunadi1, dan Widodo Haryoko1
1ProdiAgroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa Padang
JL. Tamansiswa No.9 Padang 25138 Sumatera Barat, Indonesia.

ABSTRAK

Kata Kunci: Peningkatan produksi, banyak menghadapi tantangan yang semakin


Beras kompleks. Permasalahan, yang tidak kalah penting adalah terbatasnya
Sistem Bujur Sangkar varietas padi toleran cekaman besi. Tujuan penelitian mendapatkan pola
Utama (SBSU) serapan ion Fe2+ pada fase vegetatif dan generatif padi hibrida pada lahan
Sitiung sawah ultisol. Percobaan di Koto Baru, Sitiung I, Kabupaten Dharmasraya,
Zat Besi Sumatra Barat dari bulan Maret sampai Juli 2017. Percobaan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap, dengan lima ulangan. Faktor tunggal adalah
varietas padi, yaitu: Mekongga, Inpari 24, Inpari 27 dan Inpari 28. Lahan
sawah (ultisol) yang digunakan mengandung 104.69 mg kg-1 Fe2+,
konsentrasi tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan sehingga
menyebabkan keracunan. Pola distribusi besi pada empat varietas padi
hibrida terjadi melalui mekanisme serapan dan translokasi besi pada fase
vegetatif dan generatif kebagian akar, batang, daun, gabah, dan beras.
Perbedaan kadar besi pada setiap bagian, menunjukkan kemampuan dari
setiap varietas dalam beradaptasi terhadap cekaman besi. Perbedaan kadar zat
besi pada setiap bagian, menunjukkan kemampuan setiap varietas dalam
beradaptasi dengan kadar zat besi pada bulir beras 23 sampai 44 mg kg-1.

ABSTRACT

Keywords: Increased production, many face increasingly complex challenges. The


Iron problem, which is no less important is the limited variety of iron stress
Rice tolerant rice. The purpose of this study was to obtain the absorption pattern
Main Square System of Fe2 + ions in the vegetative and generative phases of hybrid rice in ultisol
(SBSU) rice fields. Experiment in Koto Baru, Sitiung I, Dharmasraya Regency, West
Sumatra from March to July 2017. The experiment used a completely
Sitiung
randomized design, with five replications. The single factor is rice varieties,
namely: Mekongga, Inpari 24, Inpari 27 and Inpari 28. Paddy fields (ultisol)
used contain 104.69 mg kg-1 Fe2 +, these concentrations greatly affect
growth and cause poisoning. The pattern of iron distribution in four hybrid
rice varieties occurs through the mechanism of iron absorption and
translocation in the vegetative and generative phases gaining roots, stems,
leaves, grain, and rice. The difference in iron content in each section shows
the ability of each variety to adapt to iron stress. The difference in iron content
in each section shows the ability of each variety to adapt to iron levels in rice
grains 23 to 44 mg kg-1.

Email Korespondensi: harja65@yahoo.com

117
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Proyeksi produksi padi Indonesia pada tahun 2018, diperkirakan mencapai lebih dari 56.54
juta Mg gabah kering giling setara dengan 32.42 juta Mg beras dengan luasan baku sawah 7.1
juta ha. Konsumsi beras di Indonesia sebesar 111.58 kg kapita-1 tahun-1, peningkatan produksi
terus diupayakan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta
meningkatkan ketahanan pangan nasional (Anonim, 2019; Utama, 2015). Peningkatan produksi
padi ke depan, akan banyak menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Persaingan dan alih
fungsi lahan untuk pertanian dengan berbagai keperluan pembangunan lainnya seperti prasarana
transportasi, perkantoran, waduk, perumahan dan diperparah lagi dengan kondisi cuaca dan
lingkungan yang berkaitan dengan cekaman unsur hara, iklim, gulma, hama dan penyakit.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah terbatasnya varietas padi toleran
terhadap cekaman lingkungan terutama cekaman besi (Fe2+) (Sahrawat, 2010; Utama et al., 2013;
Demidchik et al., 2017) yang banyak terdapat pada tanah mineral masam (ultisol). Konsentrasi
Fe2+ terlarut jumlahnya beragam dari 0.1 mg kg-1 sampai 600 mg kg-1. Pada kondisi tertentu,
konsentrasi Fe2+ mencapai lebih dari 5,000 mg kg-1 beberapa minggu setelah pengairan.
Permasalahan yang sering muncul adalah rendahnya tingkat kesuburan tanah karena terjadinya
pengikatan hara oleh logam berat (Utama et al., 2012).
Metode yang sering digunakan oleh para peneliti untuk mengetahui kemampuan adaptasi
suatu varietas tanaman terhadap cekaman, antara lain: 1) Kemampuan bersimbiosis dengan
mikroorganisme tanah (Utama dan Yahya, 2003; Chen et al., 2017), 2) Pertumbuhan perakaran
(Noor et al., 2012), 3) Detoksifikasi asam organik (Haryoko et al., 2012, Gao et al., 2016), dan
4) Memanfaatkan tanaman yang toleran terhadap cekaman lingkungan (Palupi et al., 2013;
Utama et al., 2010; Zaka et al., 2018).
Lahan subur untuk pertanian sangat terbatas, sedangkan lahan yang tersedia adalah lahan
marginal yaitu tanah ultisol dengan berbagai permasalahan. Pada tanah ultisol sering terjadi
keracunan besi, yang menyebabkan kerusakan perakaran dan rendahnya ketersediaan hara.
Upaya meningkatkan fungsi akar dan menetralkan pengaruh buruk besi menjadi semakin
penting, untuk pertumbuhan tanaman padi. Penanggulangan kendala tersebut adalah dengan
memanfaatkan tanaman toleran terhadap cekaman (Lestari et al., 2010; Saade et al., 2018).
Tanaman toleran mempunyai kemampuan mengembangkan berbagai mekanisme untuk
beradaptasi. Mekanisme adaptasi yang dikembangkan tanaman terjadi secara morfologi dan
fisiologi (Sunadi et al., 2010; Utama et al., 2016). Pengembangan varietas padi toleran cekaman
zat besi dapat dilakukan melalui penapisan dan rekayasa genetik.
Plasma nutfah padi memiliki variabilitas genetik sangat sempit untuk kandungan besi pada
endospermnya (bulir beras). Umumnya, tanaman menggunakan mekanisme reduksi atau chelat
untuk mendapatkan besi dari tanah. Mekanisme reduksi, yang digunakan oleh sebagian besar
spesies tanaman, melibatkan produksi Ferric Chelate Reductase yang mengurangi Fe3+ menjadi
Fe2+ pada permukaan akar. Fe2+ yang larut kemudian diangkut ke dalam sel akar oleh transporter
khusus, yaitu, Iron-Regulated Metal Transporter 1 (Boonyaves et al., 2017; Trijatmiko et al.,
2016). Upaya untuk menghasilkan varietas toleran, perlu didukung oleh informasi tentang
pertumbuhan, produksi dan pola sebaran zat besi pada varietas padi hibrida.
Penelitian tentang pola serapan ion Fe2+ fase vegetatif dan generatif pada beberapa padi
hibrida di sawah ultisol masih sangat terbatas. Hasil penelitian ini sangat penting untuk rekayasa
varietas padi toleran (Shi et al., 2018), khususnya toleran cekaman besi. Selain itu, juga untuk
memenuhi kebutuhan beras kaya zat besi dan peningkatan produksi melalui pengembangan
metode budidaya.

BAHAN DAN METODE


Percobaan dilaksanakan di lahan sawah ultisol bukaan baru tercekam Fe2+ Sitiung I
Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya. Percobaan faktor tunggal menggunakan

118
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Rancangan Acak Lengkap, dengan lima ulangan. Faktor tunggal tersebut adalah varietas padi
hibrida, yaitu: Mekongga, Inpari 24, Inpari 27, dan Inpari 28.
Satu minggu sebelum lahan sawah dibajak, dilakukan pengenangan selama tujuh hari dan
ditambahkan pupuk kandang sapi sebanyak 10 Mg ha-1 sebagai sumber bahan organik. Lahan
sawah diinkubasi selama dua minggu, setelah itu dibajak kembali dan dilanjutkan dengan
menggaru sampai lahan siap tanam. Ukuran plot yang digunakan pada percobaan ini adalah 6 m
x 3 m.
Benih padi direndam dalam larutan Deltametrin dengan konsentrasi 3 g L-1 selama 15
menit, setelah itu dibilas sampai bersih dan direndam 2 x 24 jam. Perkecambahan dilakukan
dengan membungkus benih padi menggunakan kertas buram basah di tempatkan dalam baki.
Penanaman dilakukan sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan. Pemeliharaan yang
dilakukan adalah pemupukan Urea 1/3 dosis, SP 36 dan KCl pada awal penanaman. Pemupukan
Urea selanjutnya 1/3 dosis saat tanaman berumur 6 minggu dan 1/3 ketika memasuki fase
generatif. Penyiangan pada umur 2 dan 6 minggu setelah tanam. Pengairan dilakukan secara
bergantian, dan air diusahakan tergenang saat primordial bunga.
Pengamatan dilakukan pada setiap unit percobaan, tiga sampel setiap unit terhadap
karakter agronomi dan fisiologi. Sampel tanaman padi dikeringkan dengan oven, lalu diblender
untuk dianalisis kadar Fe2+ pada akar, batang, daun, gabah dan bulir beras. Timbang 0.5 gram
sampel destruksi dengan H2SO4, HClO4, dan HNO3 pekat dan panaskan sampai ekstrak jernih.
Sampel diencerkan menjadi 50 ml, kemudian dianalisis kadar Fe2+ dengan alat AAS Farian AA
240 dengan metode SNI 6989.4.2009, di Laboratorium LLDikti Wilayah X.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Lahan sawah ultisol yang digunakan pada percobaan mengandung 104,69 mg kg-1 Fe2+,
konsentrasi tersebut menyebabkan terjadinya keracunan pada tanaman. Keracunan terjadi setelah
sawah digenangi, yang menyebabkan proses oksida Fe3+ direduksi menjadi senyawa Fe2+. Lahan
sawah yang mengalami keracunan besi, akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan tanaman terutama pada varietas peka. Pada tanah masam dengan kadar bahan
organik dan oksida berat yang tinggi dapat menghasilkan konsentrasi fero sampai pada tingkat
beracun pada tanah ultisol, oksisol, sulfat masam, dan tanah gambut daerah pasang surut
(Sahrawat , 2004; Utama et al., 2017).
Hasil analisis kadar besi pada bagian akar, batang, daun, gabah, dan beras memperlihatkan
adanya keragaman pada setiap varietas dan bagian tanaman. Keragaman tersebut
memperlihatkan, perbedaan toleransi tanaman padi terhadap cekaman besi (Tabel 1, 2 dan 3)
(Saade et al., 2018). Tanaman menggunakan mekanisme reduksi atau kelat untuk mendapatkan
besi dari tanah. Mekanisme reduksi yang digunakan spesies tanaman melibatkan produksi Ferric
Chelate Reductase yang mengurangi Fe3+ menjadi Fe2+ pada permukaan akar. Zat Fe2+ yang
terlarut kemudian diangkut ke dalam sel akar oleh transporter khusus yaitu Iron-Regulated Metal
Transporter 1 (Boonyaves et al., 2017). Plasma nutfah padi memiliki variabilitas genetik yang
sangat sempit untuk kandungan besi pada endosperm.
Pada Tabel 1 terlihat kadar besi pada akar dari fase generatif mengalami peningkatan
dibandingkan dengan fase vegetatif. Kadar besi meningkat pada varietas Mekongga, Inpari 24,
Inpari 27, dan Inpari 28 berturut-turut 1.41, 1.11, 2.82, dan 1.50 kali dibandingkan kadar besi
pada fase vegetatif. Kadar fero pada Inpari 27 dan 28 meningkat lebih besar dibandingkan
dengan Mekonggga dan Inpari 24 terutama pada fase generatif. Hasil penelitian pada tanaman
padi transgenik tercekam besi juga memperlihatkan lebih banyak zat besi ditranslokasikan ke
bagian akar dan daun. Hal ini, diduga merupakan mekanisme yang dikembangkan tanaman untuk
beradaptasi terhadap cekaman besi. Akar merespons dengan memodulasi metabolisme, ekspresi
gen dan aktivitas protein yang menghasilkan perubahan komposisi dinding sel, proses
transportasi, ukuran dan bentuk sel, dan arsitektur akar (Byrt et al., 2017). Meningkatkan kadar

119
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

besi merupakan mekanisme tanaman untuk mempengaruhi kemampuan adaptasi dari varietas
padi tersebut terhadap cekaman besi (Bashir et al., 2010; Slamet et al., 2015).
Serapan zat besi pada fase generatif bagian batang menurun jika dibandingkan dengan fase
vegetatif, hal ini terjadi pada semua varietas padi yang digunakan pada percobaan ini. Turunnya
kadar zat besi pada varietas padi Mekongga, Inpari 24, Inpari 27, dan Inpari 28 berturut-turut
yaitu 0.18, 0.33, 0.39, dan 0.09 kali (Tabel 1). Hal ini, berbanding terbalik dengan kadar besi
pada bagian akar. Akumulasi zat besi pada akar tanaman padi meningkat lebih tinggi pada fase
generatif.

Tabel 1. Kadar Fe2+ pada Akar, Batang, dan Daun Beberapa Varietas Padi Sawah Pada Fase Vegetatif
dan Generatif.
Varietas Kadar Fe2+ (%)
padi Akar Batang Daun
Vegetatif Generatif Vegetatif Generatif Vegetatif Generatif
Mekongga 2.86 ab 6.89 bc 0.051 ab 0.042 a 0.027 b 0.054 b
Inpari 24 3.42 a 7.23 b 0.046 ab 0.031 b 0.040 a 0.065 a
Inpari 27 2.51 b 9.59 a 0.054 a 0.033 b 0.032 b 0.059 ab
Inpari 28 2.61 b 6.52 c 0.044 b 0.040 a 0.026 b 0.039 c
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada parameter yang sama pada masing-masing perlakuan
menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% uji LSD

Pada parameter daun kadar zat besi yang diserap tanaman ketika memasuki fase generatif
meningkat dibandingkan fase vegetatif. Peningkatan kadar besi bervariasi pada varietas padi
Mekongga (100%), Inpari 24 (63%), Inpari 27 (84%), dan Inpari 28 (50%) dibandingkan kadar
besi pada fase vegetatif (Tabel 1). Perbedaan pola serapan kadar besi fase vegetatif ke generatif
menunjukkan mekanisme adaptasi setiap varietas padi tersebut berbeda dalam menghadapi
cekaman besi (Demidchik et al., 2017; 5, Dorlodot et al., 2005).

Tabel 2. Pola Sebaran Fe2+ pada Gabah dan Beras Beberapa Varietas Padi Sawah Pada Fase Generatif.
Kadar Fe2+ (mg kg-1)
Varietas Padi Gabah
Mekongga 56.40 a
Inpari 24 40.33 b
Inpari 27 51.30 a
Inpari 28 54.56 a
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada parameter yang sama pada masing-masing perlakuan
menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% uji LSD

Tabel 3. Pola Sebaran Fe2+ pada Gabah dan Beras Beberapa Varietas Padi Sawah pada Fase Generatif.
Kadar Fe2+ (mg kg-1)
Varietas Padi Gabah
Mekongga 44.78a
Inpari 24 29.47b
Inpari 27 27.60b
Inpari 28 23.42b
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada parameter yang sama pada masing-masing perlakuan
menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% uji LSD

Tabel 2 dan 3 menampilkan bahwa semua varietas padi menyerap zat besi untuk
ditranslokasikan ke bagian gabah maupun bulir beras dalam jumlah yang berbeda-beda. Pada
parameter gabah kadar besi tertinggi varietas Mekongga yaitu 56.40 mg kg-1, sebaliknya kadar

120
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

zat besi terendah pada varietas Inpari 24 yaitu 40.33 mg kg-1 berbeda nyata dengan varietas
lainnya (Tabel 2). Pada varietas Inpari 24 serapan besi pada gabahnya lebih rendah dari pada
varietas lainnya, yaitu 40.33 mg kg-1, akan tetapi serapan besi lebih tinggi pada bulir beras yaitu
sebesar 29.47 mg kg-1, kecuali Mekongga yaitu 44.78 mg kg-1 dan tidak berbeda nyata dengan
Inpari 27 dan 28 masing-masing 27.60 dan 23.42 mg kg1.
Kadar besi tertinggi pada parameter beras terjadi di varietas Mekongga yaitu 44.78 mg kg-
1 berbeda nyata dengan varietas lainnya seperti Inpari 24 (29.47 mg kg-1), Inpari 27 (27.60 mg

kg-1) dan Inpari 28 (23.42 mg kg-1) (Tabel 3). Serapan kadar besi tertinggi pada gabah dan bulir
beras adalah pada varietas Mekongga, masing-masing yaitu 56.40 mg kg-1 dan 44.78 mg kg-1
(Tabel 2 dan 3). Pendekatan rekayasa genetika telah menargetkan peningkatan penyerapan,
translokasi, dan penyimpanan besi di endosperm beras (Boonyaves et al., 2017). Mekanisme
semua varietas padi beradaptasi terhadap cekaman besi pada fase vegetatif dan generatif terletak
dari kemampuannya mengatur pola sebaran zat besi pada bagian akar, batang, daun, gabah, dan
beras. Pola sebaran Fe meningkat dari fase vegetatif ke generatif, terutama pada parameter akar
dan daun tetapi menurun pada parameter batang (Tabel 1, 2 dan 3).
Mekanisme internal terjadi dengan cara pengaturan serapan dan translokasi zat besi
kebagian akar, batang, daun, gabah dan bulir beras. Pada tanaman toleran terhadap cekaman
hara lebih banyak ditranslokasikan ke bagian akar (Bryt et al., 2017) terutama pada fase
pertumbuhan generatif. Adaptasi melalui mekanisme eksternal memerlukan adanya mekanisme
penghindaran, sebaliknya mekanisme internal memerlukan toleransi jaringan yang tinggi
terhadap cekaman besi atau penghindaran dari konsentrasi besi tinggi pada jaringannya (Gao et
al., 2016).
Hasil penelitian beberapa varietas tanaman toleran seperti jagung, kedelai, gandum, legum
penutup tanah, dan padi memperlihatkan kemampuan perakaran tanaman untuk tetap tumbuh
dan berkembang dengan baik walaupun pada kondisi tercekam hara (Utama dan Yahya, 2003;
Noor et al., 2012). Perbedaan utama mekanisme adaptasi adalah daerah tempat pengikatan
apakah di simplas atau apoplas. Mekanisme tersebut dapat terjadi secara bersamaan walaupun
dalam derajat berbeda sesuai dengan jenis tanaman dan kemampuan beradaptasi (Munns dan
Tester, 2008; Way et al., 2012).
Peubah bobot kering akar merupakan indikator penting, untuk melihat toleransi terhadap
cekaman dan kemampuan beradaptasi pada tanah masam. Kerusakan sel tudung akar, terjadi
karena tanaman mengalami defisiensi Ca yang berperan penting pada perkembangan dinding sel
(Bryt et al., 2017). Spesies tanaman toleran, memiliki lapisan lendir (mucilage) yang berperan
menyerap sebagian besar besi di rhizosfer sehingga tanaman terhindar dari kerusakan akar.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, diduga pada tanaman padi juga terdapat kesamaan
mekanisme toleransi terhadap kondisi cekaman lingkungan (Utama et al., 2017), seperti cekaman
Fe2+.
Mekanisme tersebut diduga digunakan oleh tanaman padi untuk beradaptasi terhadap
cekaman besi dengan mendetoksifikasi cekaman, secara eksternal dan internal. Varietas padi
toleran mempunyai kemampuan genetik dalam pengelolaan nutrisi dan pengaruh lingkungan
untuk dapat beradaptasi terhadap cekaman hara (Sahrawat, 2010; Demidchik et al., 2017). Zat
besi mempunyai peranan penting dalam pembentukan protein terutama untuk membantu
kegiatan metabolisme tanaman. Diduga protein memainkan peran yang berbeda dalam
detoksifikasi yang dikodekan dan dilokalisasi pada semua sel akar (Ma et al., 2014).
Penelitian ini sangat penting untuk pengembangan teknologi rekayasa pemuliaan terhadap
cekaman, khususnya varietas yang dibudidayakan pada lahan tercekam besi dalam rangka
ekstensifikasi dan intensifikasi padi sebagai sumber pangan. Pada pendekatan rekayasa genetika
menargetkan adanya peningkatan penyerapan besi, translokasi, dan penyimpanan di endosperm
beras.

121
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

KESIMPULAN
Pola distribusi besi pada empat varietas padi hibrida terjadi melalui mekanisme serapan
dan translokasi besi pada fase vegetatif dan generatif kebagian akar, batang, daun, gabah, dan
beras. Perbedaan kadar besi pada setiap bagian, menunjukkan kemampuan dari setiap varietas
dalam beradaptasi terhadap cekaman besi. Perbedaan kadar zat besi pada setiap bagian,
menunjukkan kemampuan setiap varietas dalam beradaptasi dengan kadar zat besi pada bulir
beras 23 sampai 44 mg kg-1.

UCAPAN TERIMA KASIH


Disampaikan kepada DRPM, Kemenristekdikti yang telah berkenan membiayai penelitian
dengan DIPA-042.06-1.401516/2017 tanggal 7 Desember 2016, dan Dipa
No.005/K10/KONTRAKPENELITIAN/2018, tanggal 12 Februari 2018. Ucapan yang sama
juga disampaikan kepada Yasid Amar dan Tomy Oktabeni mahasiswa yang telah banyak
membantu kegiatan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2019. Luasan panen dan produksi beras 2018, ringkasan eksekutif. Badan Pusat
Statistik. Jakarta-Indonesia.
Bashir, K., Y. Ishimaru., N. K. Nishizawa. 2010. Iron uptake and loading into rice grains. Rice.
3:122–130.

Boonyaves. K., T.Y. Wu., W. Gruissem and N.K. Bhullar. 2017. Enhanced Grain Iron Levels
in Rice Expressing an Iron-Regulated Metal Transporter, Nicotianamine Synthase, and
Ferritin Gene Cassette. Front. Plant Sci. 8:130.
Byrt, C.S., R. Munns., R. A. Burton., M. Gilliham., S. Wege. 2017. Root cell wall solutions for
crop plants in saline soils. Plant Science.
Chen, J., H. Zhang., X. Zhang., M. Tang. 2017. Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis Alleviates
Salt Stress in Black Locust through Improved Photosynthesis, Water Status, and K+/Na+
Homeostasis. Frontiers in Plant Science. Volume 8. Article 1739.
Demidchik. V., E.V. Tyutereva., O.V. Voitsekhovskaja. 2017. The role of ion disequilibrium in
induction of root cell death and autophagy by environmental stresses. Functional Plant
Biology. A-S.
Dorlodot .S., S. Lutts., P. Bertin. 2005. Effect of ferrous iron toxicity on the growth and mineral
competition of an interspecific rice. J. Plant Nutr. 28:1-20.
Gao, L., J. Chang., R. Chen., H. Li., H. Lu., L.Tao., J. Xiong. 2016. Comparison on cellular
mechanisms of iron and cadmium accumulation in rice: prospects for cultivating Fe-rich
but Cd-free rice. Rice 9:39.
Haryoko, W., Kasli., I. Suliansyah., A. Syarif., T.B. Prasetyo. 2012. Toleransi beberapa varietas
padi pada sawah gambut berkorelasi dengan kandungan asam fenolat. J.Agron. Indonesia.
40(2): 112-118.
Lestari, A.P., B. abdullah, A. Junaedi, H. Aswidinnoor. 2010. Yield stability and adaptability of
aromatic new plant type rice lines. J. Agron Indonesia. 38:199-204.
Ma, J.F., Z.C.Chen., R.F. Shen. 2014. Molecular mechanisms of Al tolerance in gramineous
plants. Plant Soil (2014) 381:1–12.

122
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Noor, A., I. Lubis, M. Ghulamahdi, M.A. Chozin, K. Anwar, D. Wirnas. 2012. Pengaruh
konsentrasi besi dalam larutan hara terhadap gejala keracunan besi dan pertumbuhan
tanaman padi. J. Agron. Indonesia. 40 (2): 91-98.
Saade. S., S. Negrão., D. Plett., T. Garnett., M. Tester. 2018. Genomic and Genetic Studies
of
Abiotic Stress Tolerance in Barley. Springer International Publishing AG, part of Springer
Nature 2018 259 N. Stein and G. J. Muehlbauer (eds.), The Barley Genome, Compendium
of Plant Genomes.
Sahrawat, K.L. 2004. Iron toxicity in wetland rice and the role of other nutrients. J.Plant Nutr.
27: 1471-1504.
Sahrawat, K.L. 2010. Reducing iron toxicity in lowland rice with tolerant genotypes and plant
nutrition. J. Plant Stress. 4:70-75.
Slamet-L.I.H., Johnson-Beebout SE, Impa S, Tsakirpologlou N. 2015. Enriching rice with Zn
and Fe while minimizing Cd risk. Front in Plant Sci 6:121.
Sunadi., I. Wahidi., MZH. Utama. 2010. Penapisan varietas padi toleran cekaman Fe2+ pada
sawah bukaan baru dari aspek agronomi dan fisiologi. J.Akta Agrosia. 13 (1):16-23.
Trijatmiko, K. R. et al. 2016. Biofortified indica rice attains iron and zinc nutrition dietary targets
in the eld. Sci. Rep. 6. 19792.
Utama, MZH. 2015. Budidaya padi pada lahan marginal, kiat meningkatkan produksi padi. CV.
Andi Ofset Yogyakarta.
Utama, MZH., I. Wahidi., Sunadi. 2012. Response of some rice cultivars seized with Fe2+ new
in aperture fields with multi package technology. J Trop Soils. 17 (3): 239-244.
Utama, MZH., S. Yahya. 2003. Peranan mikoriza va, rhizobium dan asam humat pada
pertumbuhan dan kadar hara beberapa spesies legum penutup tanah. Bul. Agronomi. 31(3):
94-99.
Utama, MZH., Sunadi, W. Haryoko. 2017. Bio fortification iron for brown rice variety on paddy
field gripped ferrous. Journal of agriculture and environmental sciences. 6 (1): 78-84.
Utama, MZH., Sunadi., W Haryoko. 2013. Effect to improve modification of the rice technology
package production gripped Fe2+. J Trop Soils. 18 (3): 195-202.
Utama, MZH., Sunadi., W. Haryoko. 2016. Cultivation of rice abundance super high levels of
iron by the method of biofortification. Journal of Scientific and Engineering Research.
3(6):131-138.
Way, Y., Shohag MU, Yang X, Yibin Z. 2012. Effects of foliar iron application on iron
concentration in polished rice grain and its bioavailability. J Agric Food Chem 60:11433-
11439.
Zaka M.A., K Ahmed., H. Rafa., M Sarfraz., and H. Schmeisk, 2018. Effectiveness of compost
and gypsum for amelioration of saline sodic soil in rice wheat cropping system. Asian J
Agri & Biol. 6(4):514-523.

123
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Eksplorasi dan Iventarisasi Padi Lokal pada Agroekosistem Lahan


Dataran Tinggi Propinsi Jambi
Exploration and Local Rice Iventarization Land in The Highlands
Province Jambi
Aryunis1 dan Fitry Tafzi2
1Prodi Agroekoteknologi Fakultas pertanian, Universitas Jambi, Jambi
2 Prodi Keteknikan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jambi, Jambi

ABSTRAK

Kata Kunci: Provinsi Jambi memilliki agroekosistem lahan kering yang luas.
Eksplorasi Pengembangan tanaman padi di Propinsi Jambi banyak dilakukan pada
Padi Lokal lingkungan tumbuh yang spesifik. Varietas yang ditanam adalah varietas padi
Lahan Dataran Tinggi lokal yang telah beradaptasi dan ditanam secara turun menurun. Varietas padi
Jambi lokal tersebut merupakan aset yang berharga jika dikelola dengan baik dan
menjadi sumber plasma nutfah yang berguna untuk merakit varietas baru
untuk agroekosistem lahan dataran tinggi. Penelitian bertujuan untuk
mengeksplorasi dan inventarisasi, padi lokal lahan dataran tinggi Kabupaten
Kerinci Propinsi Jambi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode survey dengan pengambilan sampel secara sengaja (Purposive
Stratified Sampling). Varietas padi lokal hasil eksplorasi di inventarisasi
untuk Koleksi Plasma Nutfah sumber genetik spesifik lokasi asal Jambi.
Hasil penelitian didapat sebanyak 12 aksesi koleksi varietas padi lokal
dataran tinggi pada agroekosistem rawa 9 aksesi dan sawah 3 aksesi di
Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi

Email Korepondensi: aryunis_oeddin@yahoo.com

PENDAHULUAN
Pengembangan tanaman padi di Propinsi Jambi banyak dilakukan pada lingkungan
tumbuh yang spesifik (agroecolgy specific) satu diantaranya adalah agroeksistem budidaya padi
lahan dataran tinggi. Lahan tersebut adalah faktor utama pembatas untuk pengembangan
budidaya padi adalah suhu dingin dan intesitas (lama penyinaran) cahaya . Varietas yang ditanam
pada umumnya adalah varietas lokal yang telah tumbuh dan beradaptasi dengan baik sesuai
kondisi lingkungan, dan telah ditanam secara turun temurun. Penggunaan varietas padi unggul
kurang berkembang karena daya adaptasinya pada lahan-lahan tersebut rendah.
Propinsi Jambi dengan luas tanam padi sebesar 75.100 Ha (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Jambi, 1996) banyak menyimpan varietas padi lokal. Padi tersebut telah ditanam secara
turun temurun serta telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya. Kultivar padi lokal ini
merupakan aset yang sangat berharga apabila dikelola dengan baik (Siwi, dan Kartowinoto,
1989). Dapat digunakan sebagai sumber genetik dalam program pemuliaan tanaman padi untuk
menperbaiki genetik dan atau menciptakan varietas unggul baru yang berdaya saing tinggi dan
spesisfik lokasi.
Keanekaragaman kultivar padi lokal di Jambi cukup tinggi, namun belum banyak diketahui
karakteristiknya. Informasi tentang keragaman morfologi, dan koleksi dari plasma nutfah padi
lokal asal Jambi belum tersedia, maka perlu dilakukan identifikasi, karakterisasi sebagai sumber
plasma nutfah. Plasma nutfah merupakan sekumpulan genetik yang perlu diinventarisasi untuk

124
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dilestarikan. Penelitian bertujuan untuk mengeksplorasi dan inventarisasi padi lokal dataran
tinggi asal Jambi.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pengelolaan sumber daya genetika tanaman padi meliputi upaya untuk melestarikan,
mengamankan sekaligus memanfaatkan keanekaragaman genetika seoptimal mungkin
sehingga berguna, baik bagi generasi sekarang, maupun yang akan datang. Pada species
tanaman budidaya, sumber genetik telah lama diketahui sebagai aset yang sangat berharga
bagi program perbaikan sifat tanaman (Oldfield, 1989).
Dalam pemuliaan tanaman padi sekarang ini dikembangkan karakteristik tanaman padi
yang adaptif (in situ) yaitu tanaman yang toleran terhadap kondisi lingkungan tercekam.
Tanaman yang adaptif ini disebut sebagai tanaman unggul spesifikasi lahan. Varietas unggul
yang ditujukan untuk adaptasi lingkungan spesifik memiliki beberapa keuntungan, antara lain
adaptasinya serasi dengan sifat lingkungan, hasilnya optimal, dan resiko kegagalan yang
disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang bersangkutan menjadi kecil dan low input external.
(Sumarno et al., 1993).
Eksplorasi adalah kegiatan mencari, mengumpulkan, serta meneliti jenis varietas di daerah
tertentu. Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi sifat-sifat penting
yang bernilai ekonomis, atau yang merupakan penciri dari varietas yang bersangkutan. Karakter
yang diamati dapat berupa karakter morfologis, karakter agronomis, karakter fisiologis, marka
isoenzim, dan marka molekular. Kegiatan karakterisasi dan evaluasi memiliki arti dan peran
penting yang akan menentukan nilai guna dari materi plasma nutfah yang bersangkutan.
Kegiatan karakterisasi dan evaluasi dilakukan secara bertahap dan sistematis dalam rangka
mempermudah upaya pemanfaatan plasma nutfah. Kegiatan tersebut menghasilkan sumber-
sumber gen dari sifat-sifat potensial yang siap untuk digunakan dalam program pemuliaan.
Aryunis et al. (2004), telah melakukan eksplorasi padi lokal lahan pasang surut di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Pada penelitian tersebut ditemukan 42 varietas padi lokal
pasang surut. Padi lokal tersebut mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada lahan pasang surut,
nasi yang dihasilkan berwarna putih, tidak beraroma dan rasanya enak. Tetapi kelemahannya
adalah umurnya panjang dan produktivitasnya rendah.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kerinci pada ketinggian tempat diatas 1000 mdpl,
dan Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Penelitian eksplorasi
padi lokal dilaksanakan di Kabupaten Kerinci pada ketinggian tempat diatas 1000 mdpl.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dengan pengambilan sampel
secara sengaja (Purposive Stratified Sampling). Padi hasil eksplorasi ditanam dan diidentifikasi
karakter morfologi dan sifat agronomisnya serta di inventarisasi sebagai sumber genetik plasma
nutfah. Terhadap padi hasil eksplorasi dilakukan identifikasi morfologi. Identifikasi dilakukan
terhadap sifat morfologi dan agronomis penting yang dimiliki plasma nutfah hasil eksplorasi.
Karakterisasi dilakukan terhadap 15 karakter morfologi dan 11 karakter agronomis (komponen
hasil dan hasil) menurut IBPGR, IRRI (1980), dan Chang dan Bardenas (1965). Panyajian data
hasil penelitian disajikan dalam tabel deskriptif dan gambar .Identifikasi morfologi dilakukan
terhadap :
a. Batang
Panjang Batang Jumlah Anakan Anakan produktif
3 = pendek (< 100 cm) 3 = sedikit (≤ 10 anakan 3 = sedikit (≤ 10 anakan
5 = sedang (100 – 125 cm) 5 = sedang (11 – 20 anakan) 5 = sedang (11 – 20 anakan)
7 = panjang (> 125 cm) 7 = banyak (> 20 anakan) 7 = banyak (> 20 anaka

125
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

b. Bunga dan Malai


Warna Kepala Putik Panjang Malai Warna Sterile Lemma
1 = putih 3 = pendek (< 20 cm) 1 = kuning jerami
5 = ungu 5 = sedang (20 – 30cm) 3 = merah
7 = panjang (31- 40 cm) 4 = ungu
9 = sangat panjang (> 40 cm)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Eksplorasi
Dari hasil kegiatan eksplorasi padi lokal dataran tinggi di Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi berhasil dikumpulkan 13 varietas padi local dataran tinggi (800 – 1300 mdpl) yang
berkembang di masyarakat/petani secara turun temurun yang tersebar di 6 desa dan 4 kecamatan
yaitu Desa Baru Lempur Kecamatan Gunung Raya, Desa Kebun Baru Kecamatan Gunung Raya,
Desa Pasar Semurup Kecamatan Air Hangat, Desa Tangkil dan Desa Pesisir Bukit Kecamatan
Gunung Tujuh dan Desa Sungai Tanduk Kecamatan Kayu Aro. Agroekologinya beragam yaitu
lahan rawa, sawah, dan gogo, Kecuali lahan sawah. Lahan rawa dan gogo (lahan kering) tersebut
termasuk lahan dengan agroekologi spesifik (suboptimal) untuk tanaman padi local (Tabel 1).
Kabupaten Kerinci secara geografis terletak diantara 010 41’ - 020 26’ Lintang Selatan dan
100 108’ - 100 140’ Bujur Timur. Kabupaten Kerinci termasuk dalam wilayah yang meliputi
daerah dataran tinggi dan topografi berbukit sampai dengan bergunung. Karakter wilayah
bergelombang dan berbukit-bukit membentuk eclave yang sangat luas dan sebagian ditutupi
hutan lebat yang alami. Sebagian besar (81,22%) wilayah Kabupaten Kerinci terletak di
ketinggian di atas 1000 m dpl. Daerah berketinggian antara 500-1000 m dpl seluas 72.246 Ha
(17,20%). Sedangkan yang berada di bawah 500 m dpl hanya 6.636 Ha (1,58%). Lahan
pertanian yang terdapat didaerah Kabupaten Kerinci umumnya dengan jenis tanah andosol (65,
65 %) , latosol (21,12 %), aluvial (9,41 %) dan komplek podzolik latosol (3,82 %).

Tabel 1. Daerah Asal/Data Paspor Varietas Padi Lokal yang Ditemukan Berdasarkan Agroekologi
Dataran Tinggi Provinsi Jambi.
No Nama Varietas Agroekologi Desa Kecamatan Keterangan
1 Payo Dukung Rawa Baru Lempur Gunung Raya Dataran tinggi 800 m dpl
2 Payo Halus Rawa Baru Lempur Gunung Raya Dataran tinggi 800 m dpl
3 Payo Kasa Rawa Baru Lempur Gunung Raya Dataran tinggi 800 m dpl
4 Payo Serampeh Rawa Baru Lempur Gunung Raya Dataran tinggi 800 m dpl
5 Payo Silang Rawa Baru Lempur Gunung Raya Dataran tinggi 800 m dpl
6 Ladang Gogo Kebun Baru Gunung Raya Dataran tinggi 1000 m dpl
7 Semeru Sawah Pasar Semurup Air Hangat
8 Surian Putih Sawah Tangkil Gunung Tujuh Dataran tinggi 1300 m dpl
9 Surian Putih Rawa Pesisir Bukit Gunung Tujuh Dataran tinggi 1300 m dpl
10 Surian Merah Rawa Pesisir Bukit Gunung Tujuh Dataran tinggi 1300 m dpl
11 Surian Putih Sawah Sungai Tanduk Kayu Aro Dataran tinggi 1000 m dpl
12 Surian Merah Sawah Sungai Tanduk Kayu Aro Dataran tinggi 1000 m dpl
13 Payo Sawah Sungai Tanduk Kayu Aro Dataran tinggi 1000 m dpl

Identifikasi Morfologi
Padi varietas lokal hasil eksplorasi dilakukan identifikasi morfologi. Identifikasi dilakukan
terhadap batang, bunga dan malai serta kompoen hasil padi tersebut.
Karakter Batang dan Anakan. Hasil peneitian menujukkan bahwa tanaman padi pada
agroekologi rawa memiliki karakter tanaman yang tinggi ,sedangkan agroekologi sawah
memiliki karakter tinggi tanaman beragam mulai dari sedang sampai tinggi umlah anakan tidak
berkaitan dengan anakan produktif. Selain Varietas Semeru dan Surian Putih, varietas yang

126
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mempunyai jumlah anakan yang banyak, umumnya mempunyai jumlah anakan produktif yang
sedang. (Tabel 2).

Tabel 2. Karakter batang dan anakan varietas padi lokal dataran tinggi Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi
No Nama Agroekologi Panjang Batang (cm) Jumlah Anakan Anakan Produktif
Varietas Panjang Kriteria Anakan Kriteria Anakan Kriteria
1 Payo Dukung Rawa 157 Panjang 26 Banyak 14 Sedang
2 Payo Halus Rawa 147 Panjang 26 Banyak 20 Sedang
3 Payo Kasa Rawa 166 Panjang 28 Banyak 16 Sedang
Payo
4 Serampeh Rawa 161 Panjang 25 Banyak 15 Sedang
5 Payo Silang Rawa 157 Panjang 24 Banyak 13 Sedang
6 Ladang Gogo 100 Sedang 20 Sedang 17 Sedang
7 Semeru Sawah 117 Sedang 23 Banyak 20 Banyak
8 Surian Putih Sawah 179 Sedang 29 Banyak 22 Banyak
9 Surian Putih Rawa 164 Panjang 21 Banyak 11 Sedang
10 Surian Merah Rawa 148 Panjang 18 Sedang 17 Sedang
11 Surian Putih Sawah 163 Panjang 22 Banyak 17 Sedang
12 Surian Merah Sawah 150 Panjang 22 Banyak 17 Sedang
13 Payo Sawah 169 Panjang 17 Sedang 12 Sedang

Karakter Bunga dan Malai. Ciri spesifik lain dari varietas padi lokal adalah bunga dan
malai. Hasil eksplorasi didapat padi lokal dataran tinggi dengan warna kepala putik putih, dan
lemma steril dengan warna kuning jerami. dan panjang malai sedang dan panjang (Gambar 3).

Tabel 3. Karakter Bunga dan Malai Varietas Padi Lokal Dataran Tinggi Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi.
No Nama Agroekologi Warna Warna Panjang Malai (cm)
Kepala Putik Lemma Steril Panjang Kriteria
1 Payo Dukung Rawa Putih Kuning Jerami 27,6 Sedang
2 Payo Halus Rawa Putih Kuning Jerami 28,4 Sedang
3 Payo Kasa Rawa Putih Kuning Jerami 27,6 Sedang
4 Payo Serampeh Rawa Putih Kuning Jerami 29,2 Sedang
5 Payo Silang Rawa Putih Kuning Jerami 25,0 Sedang
6 Ladang Gogo Putih Kuning Jerami 26,6 Sedang
7 Semeru Sawah Putih Kuning Jerami 25,0 Sedang
8 Surian Putih Sawah Putih Kuning Jerami 31,6 Panjang
9 Surian Putih Rawa Putih Kuning Jerami 30,2 Panjang
10 Surian Merah Rawa Putih Kuning Jerami 31,0 Panjang
11 Surian Putih Sawah Putih Kuning Jerami 31,6 Panjang
12 Surian Merah Sawah Putih Kuning Jerami 30,8 Panjang
13 Payo Sawah Putih Kuning Jerami 33,0 Panjang

127
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Putih
Gambar 1. Kepala Putik Padi Lokal Asal Jambi.

Karakter Komponen Hasil. Karakter komponen hasil dari padi lokal dataran tinggi
dengan agroekologi lahan rawa, sawah (padi sawah) dan ladang gogo sifat kerontokan gabahnya
beragam mulai dari sedang sampai mudah dirontok. Memiliki ukuran gabah sangat panjang
dengan bentuk lonjong.. Jumlah gabah per malai sangat beragam mulai dari 93 – 186 butir
dengan persentase gabah isi 61 - 85 %. Berat 1000 butir sangat beragam mulai dari 22 – 30 g.
Umur panen 137 - 194 hari (Tabel 5).

Tabel 4. Komponen Hasil Tanaman Padi Varietas Padi Lokal Dataran Tinggi Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi.
No Nama Varietas Agro- Kerontokan Panjang Gabah (mm) Lebar Bentuk Gabah
ekologi Gabah
Persen- Kriteria Panjang Kriteria (mm) Rasio Kriteria
tase P/L
1 Payo Dukung Rawa 32,8 Agak mudah 7,77 Sangat Panjang 2,97 2,62 Lonjong
2 Payo Halus Rawa 23,6 Sedang 7,65 Sangat Panjang 2,60 2,95 Lonjong
3 Payo Kasa Rawa 30,5 Agak mudah 8,23 Sangat Panjang 2,77 2,98 Lonjong
4 Payo Serampeh Rawa 26,0 Agak mudah 7,77 Sangat Panjang 2,97 2,62 Lonjong
5 Payo Silang Rawa 17,8 Sedang 7,75 Sangat Panjang 3,07 2,53 Lonjong
6 Ladang Gogo 62,8 Mudah 8,97 Sangat Panjang 2,97 3,03 Langsing
7 Semeru Sawah 16,0 Sedang 9,10 Sangat Panjang 2,67 3,33 Langsing
8 Surian Putih Sawah 30,8 Agak mudah 8,97 Sangat Panjang 2,97 3,03 Langsing
9 Surian Putih Rawa 13,4 Sedang 9,28 Sangat Panjang 2,93 3,18 Langsing
10 Surian Merah Rawa 24,8 Sedang 8,43 Sangat Panjang 3,16 2,68 Lonjong
11 Surian Putih Sawah 21,0 Sedang 8,63 Sangat Panjang 3,00 2,89 Lonjong
12 Surian Merah Sawah 35,7 Agak mudah 9,27 Sangat Panjang 3,00 3,09 Langsing
13 Payo Sawah 27,6 Agak mudah 8,88 Sangat Panjang 2,93 3,03 Langsing

Surian Putih
Gambar 2. Berbagai Bentuk dan Ukuran Gabah Padi Lokal Dataran Tinggi 1.300 mdpl Jambi.

128
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 5. Karakter gabah tanaman padi varietas padi lokal dataran tinggi Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi
No Nama Agroeko Jumlah Jumlah Gabah Isi per Berat 1000 Umur
logi Gabah Malai Butir Panen
per Malai Persentase Jumlah (gram) (Hari)
1 Payo Dukung Rawa 164 72 119 23 194
2 Payo Halus Rawa 93 74 69 37 194
3 Payo Kasa Rawa 146 76 112 23 194
4 Payo Serampeh Rawa 141 68 96 24 194
5 Payo Silang Rawa
6 Ladang Gogo 82 75 62 27 137
7 Semeru Sawah 135 61 83 27 137
8 Surian Putih Sawah 152 74 113 28 194
9 Surian Putih Rawa 128 76 97 30 193
10 Surian Merah Rawa 155 73 113 28 193
11 Surian Putih Sawah 125 82 102 22 194
12 Surian Merah Sawah 186 72 135 30 193
13 Payo Sawah 143 85 121 24 193

PENUTUP
Hasil dari kegiatan eksplorasi padi lokal dataran tinggi Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi
didapat 13 varietas dari berbagai agroekologi, yaitu dari lahan sawah 5 varietas, lahan kering
(gogo) 1 varietas dan lahan rawa 7 varietas dengan karakter spesifik malai panjang , bentuk
gabah lonjong dan umur panen lama (umur dalam).

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapkan terimakasih disampaikan kepada yang dihormati Kepala Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana pelaksanaan penelitian,
Ketua Lembaga Penelitian Universitas Jambi, dan Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian
Kota Sungai Penuh atas bantuan teknis pelaksanaan eksplorasi dilapang.

DAFTAR PUSTAKA
Aryunis, Esrita dan F. Tafzi. 2004. Eksplorasi Padi Lokal Pasang Surut dengan Rasa Nasi Enak di
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Laporan Penelitian Universitas Jambi.
Biro Pusat Statistik. 1996. Jambi Dalam Angka. Propinsi Jambi.
Chang, T. T., and E. A. Bardenas. 1965. The morphology and varietal characteristics of the rice
plant. IRRI Tech. Bull. (4).
Oldfield, M.L. 1989. The Value of Conserving Resources. Sinauer, Sunderland.
IBPGR-IRR1. 1980. Descriptors for rice Oryza sativa L. IRRI, Manila, Philippines.
Siwi, B.H. dan S. Kartowinoto. 1989. Plasma Nutfah Padi dalam Padi Buku 2. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Suhartini, T, Ida H.S dan Buang A. 2003. Rejuvenasi dan karakterisasi plasma nutfah spesies
padi liar. Buletin plasma Nutfah Vol 9 (1).
Sumarno, S. M. Adhi, dan R.P. Rodiah. 1993. Kesesuaian genotipe kedelai terhadap lingkungan
dan musim tanam spesifik. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus
1992, Vol.4. Palawija. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Terapan (AARP). Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

129
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula dan Biochar Terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merril)
pada Tanah Ultisol
Arbuskula Mycorrhizal Fungi and Biochar on the Growth and Yield of
Soybean (Glycine max (L.) Merril) in Ultisol Soil
Al Ichsan Amri
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru,

ABSTRAK

Kata Kunci: Kedelai adalah salah satu kebutuhan utama dan sumber protein nabati untuk
Fungi Mikoriza Indonesia. Kebutuhan kedelai nasional terus meningkat seiring dengan
Arbuskula pertambahan jumlah penduduk, tetapi produksi kedelai belum mampu
Biochar memenuhi kebutuhan nasional. Oleh karena itu, upaya perlu dilakukan untuk
Kedelai meningkatkan produksi kedelai dengan memanfaatkan lahan marginal
dengan menggunakan jamur mikoriza arbuskular dan biochar. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor tunggal jamur
mikoriza arbuskular (FMA), biochar dan interaksi kedua faktor ini terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai di tanah Ultisol. Penelitian ini dilakukan mulai
Desember hingga Maret 2019. Penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap faktorial 3 × 3 dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah dosis
AMF terdiri dari 3 taraf: M0 (0 g per tanaman), M1 (15 g per tanaman), M2
(30 g per tanaman) dan faktor kedua adalah jenis biochar yang terdiri dari 3
taraf: B0 (tanpa biochar), B1 (biochar sekam padi), B2 (biochar dari
tempurung kelapa). Data pengamatan yang diperoleh dianalisis secara
statistik menggunakan analisis varians (ANOVA). Hasil analisis varian
dilanjutkan dengan uji rentang berganda Duncan pada level 5%. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan FMA meningkatkan semua
parameter pertumbuhan dan hasil dan biochar tunggal tidak dapat
meningkatkan semua parameter pertumbuhan dan hasil. Interaksi antara
AMF dan biochar tidak meningkatkan semua parameter pertumbuhan dan
hasil kedelai.

ABSTRACT

Keywords: Soybean is one of the main needs and sources of vegetable protein for
Arbuskula Indonesian. National needs of soybean continue to increase in line with the
Mycorrhizal Fungi increase of population, but soybean production has not been able to meet
Biochar national needs. Therefore, efforts need to be made to increase soybean
Soybean production by utilizing marginal land with using arbuscular mycorrhizal
Ultisol Soil fungi and biochar. The aim of this study was to determine the effect of single
factors of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF), biochar and interaction of
these two factors on the growth and yield of soybean in Ultisol soil. This
research was conducted from December until March 2019. The research used
3 x 3 factorial completely randomized design with three replications. The first
factor was AMF dosage consist of 3 levels : M0 (0 g per plant), M1 (15 g per
plant), M2 (30 g per plant) and the second factor was type of biochar consist
of 3 levels : B0 (without biochar), B1 (biochar of rice husk), B2 (biochar of
coconut shell). The observation data that obtained were analyzed statistically
using analysis of variance (ANOVA). The results of variance analysis were

130
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

continued by Duncan's multiple range test at level 5%. The results showed
that the treatment of AMF improved all growth and yield parameters and the
single biochar can not improve all growth and yield parameters. The
interaction between AMF and biochar did not improve all parameters of
growth and yield of soybean.

Email Korespondensi : iksan.amri.unri@gmail.com

PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu kebutuhan pokok dan sumber protein nabati utama bagi
sebagian penduduk Indonesia. Kedelai biasanya dijadikan berbagai macam olahan seperti tempe,
tahu, kecap, susu, dan pakan ternak berupa bungkil kacang. Kebutuhan kedelai nasional terus
meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik (2018),
kebutuhan kedelai dalam negeri per tahun rata-rata mencapai 2,4–2,6 juta ton, sedangkan rata-
rata produksi kedelai dalam periode 2014–2017 hanya sebanyak 829.140 ribu ton biji kering,
sehingga kekurangannya ditutupi melalui impor. Salah satu penyebab rendahnya produksi
kedelai ini dikarenakan menurunnya luas panen kedelai. Penurunan yang signifikan terjadi pada
tahun 2017 yaitu sebesar 62,2% dari tahun 2016. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya peningkatan
produksi dengan cara ekstensifikasi mengingat potensi lahan pertanian di Indonesia saat ini
merupakan lahan dengan kondisi tanah marjinal dengan tingkat kesuburan yang rendah. Subagyo
et al. (2004) menyatakan bahwa jenis tanah marjinal yang dominan di Indonesia adalah tanah
dari ordo Ultisol.
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas
mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo et al., 2004).
Pengembangan tanah Ultisol dalam kegiatan budidaya pertanian dihadapkan oleh beberapa
kendala diantaranya kandungan bahan organik yang rendah, kejenuhan basa (KB) dan kapasitas
tukar kation (KTK) yang rendah, kejenuhan Al yang tinggi, reaksi tanah masam dan rendahnya
ketersediaan hara terutama unsur P (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Oleh sebab itu, perlu
adanya upaya yang tepat untuk memperbaiki kesuburan tanah agar dapat menjadi lahan yang
potensial untuk pengembangan pertanian khususnya kedelai. Upaya yang dapat dilakukan
diantaranya adalah pemanfaatan fungi mikoriza arbuskular (FMA) dan biochar.
FMA merupakan asosiasi simbiotik antara fungi dengan akar tanaman yang membentuk
jalinan interaksi yang kompleks. Akar tanaman yang terinfeksi FMA mampu menyerap unsur
hara makro maupun mikro lebih baik dibandingkan dengan akar tanaman yang tidak terinfeksi
FMA. Hal ini dikarenakan FMA memiliki hifa eksternal yang mampu memperluas daerah
penyerapan akar sehingga mampu menyerap air hingga ke pori-pori mikro tanah (Indriani et al.,
2011). FMA memiliki kemampuan yang spesifik untuk meningkatkan penyerapan P pada tanah-
tanah marginal dengan ketersediaannya yang sangat rendah (Clarke dan Mosse, 1981 dalam
Malik et al, 2016). Hifa FMA menghasilkan enzim fosfatase yang mampu melepaskan P yang
terikat di dalam tanah (Musfal, 2008). Selain penggunaan FMA, bahan alami yang dapat
meningkatkan kesuburan tanah adalah biochar.
Biochar merupakan arang hayati yang berasal dari bahan-bahan organik sisa-sisa hasil
pertanian yang diperoleh dari hasil pembakaran tidak sempurna (pirolisis). Aplikasi biochar ke
dalam tanah akan memberikan keuntungan melalui peningkatan produksi tanaman dan
kesuburan tanah (Gani, 2009). Aplikasi biochar dapat meningkatkan pH pada tanah masam (Putri
et al., 2017), meningkatkan KTK tanah (Tambunan et al., 2014) bahkan dapat menyediakan
unsur hara N, P dan K (Suryana et al., 2016). Kualitas dan karakteristik biochar ditentukan oleh
proses pembuatan dan bahan bakunya (Septiana, 2017). Bahan baku pembuatan biochar
umumnya adalah residu biomasa pertanian atau kehutanan, seperti kayu, tempurung kelapa, kulit
buah kakao, tandan kelapa sawit, tongkol jagung dan sekam padi (Nurida et al., 2010). Hasil

131
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

penelitian Sandiwantoro et al. (2017) menunjukkan bahwa pemberian biochar berbahan dasar
sekam padi sebesar 10-12 ton.ha-1 dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
manis.
Gusmailina (2010) menyatakan bahwa pemberian biochar dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah. Jika struktur tanah baik, maka kehidupan mikroorganisme tanah yang
berperan dalam tanah akan berkembang dengan lebih baik, sehingga memudahkan pembentukan
dan peningkatan jumlah spora mikroba dari ektomikoriza maupun endomikoriza.
Penambahan FMA dan biochar sebagai bahan pembenah diharapkan dapat mengatasi
permasalahan pada tanah Ultisol sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman kedelai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor tunggal pemberian
fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan biochar serta interaksi kedua faktor tersebut terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine max (L.) Merril) pada tanah Ultisol.

KERANGKA TEORI
Kedelai merupakan sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia, namun
ironisnya pemenuhan kebutuhan kedelai sebanyak 67,99 % harus diimpor. Maka perlu
meningkatkan produksi kedelai dengan pengembangan luas lahan budidaya di lahan marginal
seperti tanah Ultisol. Namun tanah Ultisol memiliki kendala tingkat kemasaman yang tinggi,
kandungan hara makro dan mikro yang rendah. Jenis tanah ultisol akan mudah mengalami
kekeringan pada musim kemarau yang menyebabkan cekaman kekeringan.
Upaya untuk mengatasi kendala tersebut perlu pupuk hayati dengan memanfaatkan
mikroorganisme tanah, seperti fungi mikoriza arbuskula (FMA). FMA dapat membantu dalam
penyerapan unsur hara makro, mikro dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan
pathogen sehingga tanaman dapat hidup pada kondisi ekstrim. Pemberian FMA pada tanaman
kedelai akan sangat membantu dalam meningkatkan penyerapan unsur hara dan produktivitas
tanaman.
Selain penggunaan FMA, bahan alami yang dapat meningkatkan kesuburan tanah adalah
biochar. Biochar merupakan arang hayati yang berasal dari bahan-bahan organik sisa-sisa hasil
pertanian yang diperoleh dari hasil pembakaran tidak sempurna (pirolisis). Aplikasi biochar ke
dalam tanah akan memberikan keuntungan melalui peningkatan produksi tanaman dan
kesuburan tanah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan di UPT kebun percobaan, Laboratorium Ekofisiologi
Tumbuhan dan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Riau, Kampus Bina Widya KM 12,5
Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Pekanbaru. Penelitian ini berlangsung selama
tiga bulan dimulai dari bulan Desember 2018 sampai dengan Maret 2019. Bahan yang digunakan
adalah tanah Ultisol, benih kedelai varietas Devon 2 (Deskripsi tanaman pada Lampiran 1), FMA
(campuran Glomus, Acaulospora, Scutellospora) yang di dapat dari Universitas Andalas,
agrisoy, sekam padi, tempurung kelapa, dolomit (CaMg(CO3)2), air, aquades, KOH 10%, H202
3%, larutan tinta cuka 5%, pupuk Urea, TSP, KCl, dan pestisida. Alat yang digunakan adalah
polybag, sekop, ajir, plastik, tali, drum, hand sprayer, timbangan analitik, ayakan, label, botol
film, mistar, gelas ukur, pipet tetes, batang pengaduk, gunting, cutter, mikroskop, lumpang dan
alu, cangkul, alat tulis, oven, karung, meteran, alat tulis dan kawat kasa.
Penelitian dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial dengan dua faKtor. Faktor pertama adalah dosis FMA yang terdiri atas tiga taraf
yaitu M0 (0 g per tanaman), M1 (15 g per tanaman) dan M2 (30 g per tanaman). Faktor kedua
adalah kenis biochar yang terdiri atas tiga taraf B0 (tanpa biochar), B1 (biochar sekam padi) dan
B2 (biochar tempurug kelapa).
Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam berdasarkan uji F pada taraf 5%.
Apabila hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang

132
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

diukur maka analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada
taraf 5% untuk membandingkan rerata masing-masing perlakuan. Parameter yang diamati adalah
tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah bintil akar efektif, jumlah polong per tanaman,
jumlah biji per tanaman, berat biji per tanaman, dan persentase infeksi akar mikoriza.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang Primer
Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada pemberian FMA 15 g per tanaman
berbeda tidak nyata dengan tanpa pemberian FMA, namun berbeda nyata dengan pemberian
FMA 30 g per tanaman. Pemberian FMA 30 g per tanaman mampu meningkatkan tinggi tanaman
kedelai dibandingkan pemberian FMA 15 g per tanaman dan tanpa pemberian FMA. Hal ini
diguga peningkatan dosis FMA yang bersimbiosis dengan akar tanaman dapat meningkatkan
kapasitas penyerapan unsur hara dan air di dalam tanah dengan bantuan hifa-hifa yang
berkembang pada akar. Valentina et al. (2017) menyatakan bahwa hifa eksternal jamur FMA
dapat membantu penyerapan air dan unsur-unsur hara yang digunakan dalam proses
metabolisme didalam tubuh tanaman sehingga dapat memacu pertumbuhan vegetatif tanaman.
Setiadi (2000) menjelaskan bahwa dengan meningkatnya absorbsi air dan unsur hara oleh
tanaman akan meningkatkan metabolisme karbohidrat, protein dan zat pengatur tumbuh kepada
inangnya sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman.

Tabel 1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang Primer Kedelai pada Tanah Ultisol dengan Pemberian
FMA dan Biochar.
Dosis FMA Jenis biochar
Rata-rata
(g per tanaman) Tanpa biochar Sekam padi Tempurung kelapa
----- Tinggi tanaman (cm) -----
0 43.83 49.17 46.17 46.40 b
15 46.00 47.67 52.33 47.11 b
30 49.00 51.83 53.17 51.33 a
Rata-rata 46.28 49.56 49.00
----- Jumlah cabang primer-----
0 2.67 4.00 3.33 3.33 b
15 5.00 4.00 4.33 4.67 a
30 5.33 5.33 4.67 5.11 a
Rata-rata 4.33 4.67 4.11
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah cabang primer pada pemberian FMA 30 g per
tanaman berbeda nyata dengan tanpa pemberian FMA, namun berbeda tidak nyata dengan
pemberian FMA 15 g per tanaman. Pemberian FMA mampu meningkatkan jumlah cabang
primer tanaman kedelai dibandingkan tanpa pemberian FMA. Hal ini diduga tanaman kedelai
yang diberikan FMA mengalami peningkatan dalam kemampuannya menyerap unsur hara,
sehingga proses metabolisme untuk pertumbuhan tanaman kedelai menjadi lebih baik. Musfal
(2008) menyatakan bahwa pemberian FMA dapat meningkatkan serapan nitrogen (N), fosfor (P)
dan kalium (K) pada tanaman jagung. Meningkatnya jumlah hara yang diserap oleh tanaman,
maka tanaman kedelai akan berfotosintesis dengan baik dan menghasilkan asimilat yang cukup
untuk pertumbuhannya sehingga akan memacu pembentukan cabang tanaman.
Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian biochar sekam padi, tempurung kelapa maupun
tanpa biochar menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah cabang primer yang berbeda tidak nyata.
Hal ini diduga karena pengaruh biochar dalam menyediakan dan membantu ketersediaan hara
belum dapat terlihat dalam waktu tiga bulan masa penanaman, namun akan terlihat dalam jangka

133
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

waktu yang panjang, sehingga belum dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini
didukung oleh pendapat Rismawan et al. (2018) yang menyatakan bahwa biochar belum mampu
untuk menyediakan hara dalam jangka waktu yang pendek. Sudhanta (2013) menyatakan bahwa
biochar tidak mengalami pelapukan lanjut sehingga jika diaplikasikan ke dalam tanah, maka
pengaruhya akan terlihat dalam jangka waktu yang lama. Cheng et al. (2008) juga menyatakan
bahwa oksidasi biochar dari waktu ke waktu dalam jangka panjang meningkat secara signifikan
sehingga meningkatkan jumlah muatan negatif (KTK) pada permukaan biochar. Hasil penelitian
Herman dan Elara (2018) menunjukkan bahwa pemberian biochar sekam padi tidak dapat
meningkatkan tinggi tanaman padi.

Jumlah Bintil Akar Efektif


Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah bintil akar efektif pada pemberian FMA 30 g per
tanaman berbeda nyata dengan pemberian tanpa FMA, namun berbeda tidak nyata dengan
pemberian FMA 15 g per tanaman. Pemberian FMA dapat meningkatkan jumlah bintil akar
efektif tanaman kedelai dibandingkan tanpa pemberian FMA. Hal ini diduga pemberian FMA
dapat menghasilkan hormon yang mampu mendukung pertumbuhan akar sehingga
meningkatkan aktivitas bakteri Rhizobium untuk membentuk bintil akar. Hapsoh (2008)
menyatakan bahwa pemberian FMA dapat meningkatkan produksi hormon seperti auksin,
sitokinin. Muis et al. (2016) menambahkan bahwa pemberian FMA sampai batas tertentu akan
meningkatkan bintil akar dikarenakan FMA dapat menghasilkan hormon yang dibutuhkan oleh
tanaman untuk membantu dalam penyerapan air dan unsur hara yang lebih banyak. Akibatnya,
karbohidrat yang dihasilkan tanaman cukup besar, sehingga mampu memberikan energi bagi
perkembangan bakteri Rhizobium untuk pembentukan bintil akar pada tanaman kedelai.

Tabel 2. Jumlah Bintil Akar Efektif Kedelai pada Tanah Ultisol dengan Pemberian FMA dan Biochar.
Dosis FMA Jenis biochar
Rata-rata
(g per tanaman) Tanpa biochar Sekam padi Tempurung kelapa
0 13.33 13.33 13.33 13.33 b
15 28.33 29.67 29.67 29.22 a
30 30.00 32.33 30.67 31.00 a
Rata-rata 23.89 25.11 24.56
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Bintil akar efektif mengandung leghaemoglobin yang berfungsi memfiksasi nitrogen dari
udara, dan dengan enzim nitrogenase akan diubah menjadi ammonium yang dapat diserap oleh
tanaman (Taufik dan Sundari, 2012). Hifa eksternal FMA yang dapat menyerap P tidak tersedia
menjadi tersedia juga dapat membantu pembentukan bintil akar pada akar tanaman kedelai
dikarenakan unsur P digunakan bakteroid sebagai nutrisi dalam membentuk bintil akar. Hal ini
didukung oleh pernyataan Simanjuntak (2005) yang menyatakan bahwa penambatan N berjalan
lancar jika P dalam jumlah yang cukup. Mikoriza akan menyumbang P untuk penambatan
nitrogen, dilain pihak bintil akar menyediakan N tersedia untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikoriza.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian biochar sekam padi, tempurung kelapa maupun
tanpa biochar menghasilkan jumlah bintil akar efektif yang berbeda tidak nyata. Hal ini diduga
karena pembentukan bintil akar dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang digunakan untuk
proses fotosintesis, karena fotosintat yang dihasilkan akan dimanfaatkan oleh bakteri bintil akar,
sedangkan pemberian biochar ke dalam tanah tidak mampu menambah unsur hara. Hal ini
dinyatakan oleh Apzani et al. (2015) bahwa biochar hanya membantu dalam menahan hara saja,
namun tidak mampu menjadi sumber hara bagi tanaman dalam waktu yang singkat. Gani (2009)
juga menambahkan bahwa biochar tidak dikatakan sebagai pupuk organik, kerena biochar tidak

134
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dapat menambah unsur hara dari kandungan yang terdapat didalamnya. Hasil penelitian Berek
(2018) mennjukkan bahwa pemberian jenis biochar tidak dapat meningkatkan jumlah bintil akar
efektif tanaman kedelai.

Gambar 1. Bintil Akar Efektif.

Jumlah Polong Per Tanaman, Jumlah Biji Per Tanaman, dan Berat Biji Per Tanaman
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah polong per tanaman pada pemberian FMA 30 g per
tanaman berbeda nyata dengan tanpa pemberian FMA, namun berbeda tidak nyata dengan
pemberian FMA 15 g per tanaman. Pemberian FMA dapat meningkatkan jumlah polong per
tanaman kedelai dibandingkan tanpa pemberian FMA. Hal ini diduga pemberian FMA dapat
membantu tanaman dalam meningkatkan ketersediaan dan penyerapan unsur hara terutama
unsur P. Prihastuti (2007) menyatakan bahwa pemberian FMA mampu meningkatkan
ketersediaan hara fosfor (P) pada lahan masam dikarenakan FMA mampu menghasilkan asam-
asam organik yang dapat membebaskan P terfiksasi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa P dimanfaatkan tanaman pada fase generatif yaitu dalam
pembentukan polong dan biji. Unsur P sangat berperan dalam pembentukan protein dan pati
yang berguna untuk penyusunan bagian sel dan organ tanaman sehingga dapat meningkatkan
jumlah polong tanaman. Penelitian Buhaira et al. (2013) bahwa pemberian FMA mampu
meningkatkan secara nyata jumlah polong per tanaman kedelai dibandingkan tanpa pemberian
FMA.
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah dan berat biji per tanaman pada pemberian FMA 30
g per tanaman berbeda nyata dengan pemberian FMA 15 g per tanaman dan tanpa FMA.
Pemberian FMA 30 g per tanaman menghasilkan jumlah dan berat biji per tanaman tertinggi
dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis FMA yang
diberikan, maka akan semakin meningkatkan jumlah dan berat biji per tanaman. Peningkatan
dosis FMA yang bersimbiosis dengan akar tanaman diduga mampu memperluas daya serap akar
terhadap unsur hara terutama P. Hal ini dikarenakan pemberian FMA pada tanaman mampu
meningkatkan infeksi akar FMA (Tabel 8) sehingga dapat meningkatkan kapasitas penyerapan
hara terutama P.
Musafa et al. (2015) menyatakan semakin tinggi derajat infeksi mikoriza dapat
mengindikasi semakin aktif mikoriza tersebut menginfeksi akar dan memperluas daerah serapan
akar terhadap air dan unsur hara. Menurut Santosa et al. (2016), unsur P lebih dominan berfungsi
pada saat tanaman memasuki fase generatif (pembentukan biji) sehingga dengan meningkatnya
dosis pemberian FMA diduga mampu meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap
unsur P. Novizan (2005) menyatakan bahwa unsur hara P dapat merangsang pertumbuhan bunga,
buah dan biji serta mampu mempercepat pemasakan buah.

135
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Jumlah Polong Per Tanaman Kedelai pada Tanah Ultisol dengan Pemberian FMA dan Biochar.
Dosis FMA Jenis biochar
Rata-rata
(g per tanaman) Tanpa biochar Sekam padi Tempurung kelapa
----- Jumlah polong per tanaman-----
0 26.67 26.00 22.00 24.89 b
15 48.67 38.00 40.33 42.33 a
30 43.67 55.00 40.00 46.22 a
Rata-rata 39.67 39.67 34.11
----- Jumlah biji per tanaman-----
0 40.00 43.00 41.33 41.44 c
15 49.33 53.67 45.33 49.44 b
30 52.00 62.67 63.33 59.33 a
Rata-rata 47.11 53.11 50.00
----- Berat biji per tanaman-----
0 5.49 5.53 5.60 5.53 c
15 9.17 9.20 10,27 9.55 b
30 9.58 12.42 10.71 10.90 a
Rata-rata 8,08 9.05 8.85
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Pemberian biochar sekam padi, tempurung kelapa maupun tanpa biochar menghasilkan
jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman, dan berat biji per tanaman yang berbeda tidak
nyata. Hal ini diduga karena biochar yang dihasilkan tidak memiliki kualitas dan daya adsobsi yang
baik karena proses pembuatannya (pyrolysis) yang sangat sederhana, sehingga tidak menunjukkan
pengaruh terhadap hasil tanaman kedelai. Septiani (2017) menyatakan bahwa sifat dan kualitas
biochar bergantung pada proses pembuatannya. Proses pembuatan yang dilakukan masih sangat
sederhana, yaitu pembakaran menggunakan kawat kasa dalam keadaan terbuka dimana masih
terdapatnya oksigen pada saat pembakaran. Menurut Syahrinudin et al. (2018), pembuatan biochar
dengan sistem terbuka ini memiliki beberapa kelemahan, seperti besarnya emisi yang dilepas dan
rendahnya rendemen arang hayati yang dihasilkan serta menghasilkan biochar yang kurang matang
sehingga mempengaruhi kualitasnya. Hasil penelitian Syahrudin et al. (2018) menunjukkan bahwa
teknik pembuatan biochar dengan drum tertutup (retort) lebih menghasilkan kualitas biochar yang
lebih baik dibandingkan dengan sistem terbuka, karena dapat menghasilkan arang sempurna tanpa
abu yang memiliki sifat dan daya benah serta rendemen lebih tinggi.
Hal lain juga diduga karena biochar yang dihasilkan belum dalam keadaan aktif atau belum
diaktivasi. Wulandari et al. (2015) menyatakan proses pembuatan karbon aktif terdiri dari dua
tahapan, yaitu karbonisasi dan aktivasi. Karbonisasi adalah proses pengarangan dalam ruangan
tanpa adanya oksigen dan bahan kimia lainnya dan hasilnya merupakan bahan penyerap yang
kurang aktif, sedangkan proses aktivasi merupakan suatu perlakuan terhadap arang yang
bertujuan untuk membuka atau memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan
hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami
perubahan sifat, baik fisik maupun kimia, yang menyebabkan luas permukaannya bertambah
besar dan meningkatkan daya adsorpsi. Penelitian Ndruru (2018) menunjukkan pemberian
biochar sekam padi, tempurung kelapa dan campuran keduanya dapat meningkatkan tinggi
tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif dan bobot kering jerami tanaman
padi setelah diaktivasi dengan NaOH 1% dan diinkubasi selama 1 hari.

Persentase Infeksi Akar Mikoriza


Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase infeksi akar mikoriza pada pemberian FMA 30 g
per tanaman berbeda nyata dengan pemberian FMA 15 g per tanaman dan tanpa FMA.
Pemberian FMA 30 g per tanaman dan 15 g per tanaman mampu meningkatkan persentase

136
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

infeksi mikoriza tanaman kedelai dibandingkan tanpa pemberian FMA. Pemberian FMA 30 g
per tanaman menunjukkan persentase infeksi mikoriza tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa infeksi mikoriza dipengaruhi oleh dosis FMA yang diberikan.
Semakin tinggi dosis yang diberikan maka tingkat infektivitasnya juga semakin tinggi. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Musfal (2008) yang menyatakan bahwa infeksi CMA pada akar
jagung tanaman sangat dipengaruhi oleh dosis CMA atau pupuk yang diberikan. Hasil yang lain
ditunjukkan oleh Oktaviani et al. (2014) bahwa pemberian FMA dengan berbagai dosis
menghasilkan derajat infeksi FMA yang berbeda-beda pada tanaman kedelai. Infeksi akar
mikoriza dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 4. Persentase Infeksi Mikoriza (%) pada Tanah Ultisol dengan Pemberian FMA dan Biochar.
Dosis FMA Jenis Biochar
Rata-rata
(g per tanaman) Tanpa biochar Sekam padi Tempurung kelapa
0 56.67 58.33 56.67 57.22 c
15 83.33 85.00 85.00 84.44 b
30 91.67 96.67 91.67 93.33 a
Rata-rata 77.22 80.00 77.78
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Gambar 2 menunjukkan bahwa infeksi akar mikoriza yang ditemukan pada penelitian ini
berupa vesikel. Pada perlakuan tanpa pemberian FMA, akar tanaman kedelai juga terinfeksi oleh
mikoriza. Hasil ini sejalan dengan penelitian Oktaviani (2014) menunjukkan bahwa tanaman
kedelai yang tidak diberi FMA menunjukkan persentase infeksi mikoriza sebesar 13,62 %.
Infeksi pada akar terjadi akibat adanya infeksi secara alami oleh spora mikoriza yang terdapat
pada medium tanam, akan tetapi spesiesnya belum diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa pada
setiap jenis tanah kemungkinan terdapat spora mikoriza. Hal ini sejalan dengan ungkapan
Simanungkalit et al. (2006) yang menyatakan bahwa di berbagai ekosistem terdapat mikoriza
yang dapat bersimbiosis dengan akar tanaman. Tamin et al. (2012) juga menyatakan mikoriza
jenis endomikoriza banyak ditemukan di alam dan hampir sebagian besar ditemukan di tanah
serta tidak memiliki inang yang spesifik. Setiap ekosistem mempunyai kemungkinan
mengandung endomikoriza dengan jenis yang sama atau berbeda, karena keanekaragaman dan
penyebaran endomikoriza sangat bervariasi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang
bervariasi juga.

a b

c d

Gambar 2. (A) Akar yang Tidak Terinfeksi Mikoriza, (B), (C) dan (D) Akar yang Terinfeksi Mikoriza

137
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemberian biochar sekam padi menghasilkan persentase infeksi mikoriza yang berbeda
tidak nyata dengan biochar tempurung kelapa maupun tanpa biochar. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian biochar tidak mampu meningkatkan persentase infeksi mikoriza. Hal ini
diduga karena infeksi mikoriza terjadi karena keberadaan spora mikoriza bukan tergantung
keberadaan biochar. Hasil ini sejalan dengan penelitian Dermiyati et al. (2016) bahwa pemberian
biochar tidak dapat meningkatkan jumlah spora mikoriza.
Interaksi pemberian FMA dan biochar tidak dapat meningkatkan semua parameter
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Hal ini diduga pemberian FMA sudah dapat mencukupi
ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman untuk proses pertumbuhannya, sedangkan
pemberian biochar dalam waktu singkat belum dapat meyediakan hara yang dibutuhkan tanaman
kedelai. Hal lain juga diduga karena sebelum penanaman, telah diberikan kapur dan pupuk kimia
yang sama dosisnya tiap perlakuan sehingga tidak terlihat pengaruh utama dari pemberian FMA
dan biocharnya. Penelitian Syahrul (2014) menunjukkan bahwa interaksi pemberian FMA dan
biochar berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Pemberian FMA dosis 30 g per tanaman dan 15 g per tanaman dapat meningkatkan semua
parameter pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai dibandingkan tanpa pemberian FMA.
2. Pemberian biochar tidak dapat meningkatkan semua parameter pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai.
3. Interaksi antara FMA dan biochar tidak meningkatkan semua parameter pertumbuhan dan
hasil tanaman kedelai.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disarankan untuk penanaman tanaman kedelai
di tanah Ultisol menggunakan FMA dengan dosis FMA 30 g per tanaman tanpa diikuti dengan
pemberian biochar serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai agar hasil tanaman
kedelai meningkat melebihi nilai deskripsi.

DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2008. Budidaya Kedelai dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan
Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Apzani, W., I Made, S. dan M, T. F. 2015. Aplikasi biokompos stimulator trichoderma spp. dan
biochar tempurung kelapa untuk pertumbuhan dan hasil jagung. Jurnal Agroteknologi.
9(1): 21-35.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. www.BPS.go.id. Diakses tanggal 28 Agustus 2018.
Berek, F. N dan Eduardus, Y. N. 2018. Pengaruh jenis biochar dan takaran pupuk kandang sapi
terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau (Vigna radiata L.). Jurnal Pertanian
Konservasi Lahan Kering. 3(3): 53-57.
Buhaira. Nerty. S., Ardiyaningsih, P. L. dan Yudi, A. 2013. Pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai dengan pemberian mikokompos dalam kondisi cekaman air. Jurnal Bioplantae.
2(3): 147-159.
Dermiyati, Herawati. D., Rini. M. V., Niswati. A., Lumbanraja. J dan Triyono. S. 2016. Pengaruh
pemberian kombinasi pupuk organonitrofos dan pupuk kimia serta biochar terhadap total
fungi mikoriza arbuskula selama pertumbuhan tanaman jagung. Prosiding Seminar
Nasional BKS PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Pertanian.
Dwiputra, A. H., Didik, I dan Eka, T. S. 2015. Hubungan komponen hasil dan hasil tiga belas
kultivar kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Jurnal Vegetalika. 4(3): 14-28.

138
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Fachruddin, L. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Kanisius. Yogyakarta.


Fazlini, Lestari. S. U dan Hapsari. R. I. 2015. Aplikasi biochar sekam padi dan pupuk kandang
ayam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb.).
Universitas Tribhuawana Tunggadewi. Malang.
Gani, A. 2009. Potensi Arang Hayati Biochar Sebagai Komponen Teknologi Perbaikan
Produktifitas Lahan Pertanian. Peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Gusmailina. 2010. Arang dan arang kompos alternatif pilihan untuk mengatasi degradasi lahan
dan mitigasi perubahan iklim. Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Balitbang
Kehutanan. Bogor.
Hapsoh. 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai di Lahan Kering.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanian
pada Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Herman, W dan Elara, S. 2018. Pemanfaatan biochar sekam dan kompos jerami padi terhadap
pertumbuhan dan produksi padi (oryza sativa) pada tanah ordo ultisol. Jurnal Ilmiah
Pertanian. 15(1): 42-50.
Indriani, N. P., Mansyur., Susilawati, I dan Islami, R. Z. 2011. Peningkatan produktivitas
tanaman pakan melalui pemberian fungi mikoriza arbuskular (fma). Jurnal pastura. 1(1):
27-30.
Lakitan, B. 2011. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Malik, M., Hidayat, K. F., Yusnaini, S dan Rini, M. V. 2017. Pengaruh aplikasi fungi mikoriza
arbuskula dan pupuk kandang dengan berbagai dosis terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai (glycine max [l.] merrill) pada ultisol. Jurnal Agrotek Tropika. 5(2): 63-67.
Muis, R., Munif, G., Maya, M., Purwono dan Irdika. M. 2016. Kompatibilitas fungi mikoriza
arbuskular dengan tanaman kedelai pada budi daya jenuh air. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan. 35(3): 229-238.
Musfal. 2008. Efektifitas Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) terhadap Pemberian Pupuk
Spesifik Lokasi Tanaman Jagung pada Tanah Inceptisol. (Tesis). Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Ndruru, J. I., Nelvia dan Adiwirman. 2018. Pertumbuhan padi gogo pada medium ultisol dengan
aplikasi biochar dan asap cair. Jurnal Agroteknologi. 9(1): 9-16.
Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Utama. Jakarta.
Nurida, N. L., Sutono, A Dariah, dan A Rachman. 2010. Efikasi pembenah tanah biochar dalam
berbagai bentuk (serbuk, granul, dan pelet) dalam meningkatkan kualitas lahan kering
masam terdegradasi. Balai Penelitian Tanah.
Oktaviani, D., Hasanah, Y., dan Barus, A. 2014. Pertumbuhan kedelai (Glycine max L. merrill)
dengan aplikasi fungi mikoriza arbuskular (fma) dan konsorsium mikroba. Jurnal Online
Agroekoteknologi. 2(2): 905-918.
Prasetyo, B. H. dan Suriadikarta, D. A. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan
tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian. 25(2): 39-46.
Prihastuti. 2007. Isolasi Dan Karakterisasi Mikoriza Vesikular-Arbuskular Di Lahan Kering
Masam, Lampung Tengah. Berk. Penel. Hayati. 12: 99–106.

139
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Putri, V. I., Mukhlis dan Benny Hidayat. Pemberian beberapa jenis biochar untuk memperbaiki
sifat kimia tanah ultisol dan pertumbuhan tanaman jagung. Jurnal Agroteknologi FP USU.
5(4): 824-828.
Rismawan. S., F., Anna. S., K dan Titiek. I. 2018. Pengaruh jenis bahan organic pada
pertumbuhan dan hasil tanamna kedelai (Glycine max (L) Merril). Jurnal Produksi
Tanaman. 6(7) : 1543-1548.
Santosa, C. A., Anom, E. dan Murniati. 2016. Efektifitas pemberian pupuk hayati mikoriza
terhadap serapan p, pertumbuhan serta produksi jagung manis (Zea mays saccharata sturt)
di lahan gambut. Jom Faperta. 3(2): 1-9.
Sandiwantoro, R. T., Murdiono, R. E. dan Islami, T. 2017. Pengaruh system olah tanah dan
pemberian biochar pada pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Jurnal Produksi
Tanaman. 5(10): 1600-1607.
Septiana, L. M. 2017. Karakteristik dan kualitas biochar dari berbagai limbah biomassa tanaman
pada pirolisis suhu rendah. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Setiadi. 2000. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Simanjuntak, D. 2005. Peranan trichoderma, mikoriza, dan posfat terhadap tanaman kedelai pada
tanah sangat masam (humitropets). Jurnal penelitian bidang ilmu pertanian. 3(1): 36-42.
Simanungkalit, R. D. M., D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik. 2006.
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian. Bogor.
Sopacua, R. A. B. 2014. Pengaruh inokulasi bakteri rhizobium japanicum terhadap pertumbuhan
kacang kedelai (Glycine max L). Jurnal Biopendix. 1(1): 2014.
Subagyo, H., N. Suharta dan A. B. Siswanto. 2004. Sumber Daya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Sudhanta, M. 2013. Potensi Jamur Endofit dan Saprofit Trichoderma Spp. untuk Pembuatan
Biofungisida, Bioaktivator, Biodekomposer dan Biochar dan Perannya dalam
Meningkatkan Kesehatan dan Ketahanan Pangan. Buah Pikiran Sang Profesor. 215-246.
Suryana, M. Sujana, P dan Suyadispura, N. L. 2016. Pengaruh penambahan dosis beberapa jenis
biochar pada lahan yang tercemar limbah cair sablon terhadap pertumbuhan tanaman sawi
hijau. Lembaga Penelitian Dan Pemberdayaan Masyarakat (Lppm) Unmas Denpasar.
Syahrinudin. Wijaya, A., Butarbutar, T., Hartati, W., Ibrahim dan Sipayung, M. 2018. Biochar
yang diproduksi dengan tungku drum tertutup retort memberikan pertumbuhan tanaman
yang lebih tinggi. Jurnal Hut Trop. 2(1): 49-58.
Syahrul. 2014. Pengaruh dosis mikoriza dan biochar terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kacang tanah (Arachis hypogea L.) pada tanah kritis. Skripsi.Universitas Syiah Kuala.
Banda Aceh.
Tambunan, S., Siswanto, B. dan Handayanto, E. 2014. Pengaruh Aplikasi Bahan Organik Segar
dan Biochar Terhadap Ketersediaan P Dalam Tanah di Lahan Kering Malang Selatan.
Jurnal Tanah dan Sumber daya Lahan 1(1): 89-98.
Tamin, R. P., Nursanti dan Albayudi 2012. Identifikasi jenis dan perbanyakan endomikoriza
lokal di hutan kampus Universitas Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri SAINS.
14(1): 23-28.
Taufik, A dan Sundari, T. 2012. Respons Tanaman Kedelai Terhadap Lingkungan Tumbuh.
Buletin Palawija. 23: 13–26.

140
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Valentina, K., Herlina, N dan Aini, N. 2017. Pengaruh pemberian mikoriza dan Trichoderma sp.
terhadap pertumbuhan dan hasil produksi benih melon hibrida (Cucumis melo L.). Jurnal
Produksi Tanaman. 5(7): 1085 – 1092.
Wulandari, F., Umiatin dan Budi, E. 2015. Pengaruh konsentrasi larutan naoh pada karbon aktif
tempurung kelapa untuk adsorpsi logam Cu2+. Jurnal Fisika dan Aplikasinya. 16(2) : 60-
64.

141
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

142
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

II
Produksi Tanaman Hortikultura

143
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

144
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pertumbuhan dan Daya Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)


dengan Aplikasi Pupuk Guano dan NPK pada Tanah Inceptisol
Growth and Result of Red Onion (Allium ascalonicum L.) with
Application Guano and NPK Fertilizer in Inceptisol
Armaini1 dan M. Fahim Amin1
1 Department of Agrotechnology, Faculty of Agriculture, University of Riau

ABSTRAK

Kata Kunci: Produktivitas bawang merah di Riau dari tahun 2013-2017 berkisar 3-4
Bawang merah ton.ha -1, masih jauh dibawah potensi hasil, karena penanamannya pada lahan
Fertilizer sub optimal diantaranya tanah Inceptisol. Tujuan penelitian ini untuk
produksi mengetahui interaksi pemberian pupuk Guano dan NPK, dan mendapatkan
Inceptisol perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan dan daya hasil tanaman bawang
merah (Allium ascalonicum L.). Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan
Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru. Penelitian dilaksanakan dari
bulan Januari 2019 sampai Maret 2019. Penelitian menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) Faktorial terdiri 2 faktor. Faktor pertama adalah
pemberian pupuk guano yang terdiri dari tiga taraf dosis yaitu: G1 (5 ton.ha-
1), G (10 ton.ha-1), G (15 ton.ha-1). Faktor kedua adalah pemberian pupuk
2 3
NPK dengan tiga taraf dosis yaitu : N1 (100 kg.ha-1), N2 (200 kg.ha-1), N3 (300
kg.ha-1). Hasil penelitian menunjukkan kombinasi perlakuan pupuk guano10
ton.ha-1 dan pupuk NPK 200 kg.ha-1 merupakan dosis terbaik dalam
meningkatkan pertumbuhan dan daya hasil tanaman bawang merah terhadap
semua parameter pengamatan.
ABSTRACT

Keywords: The productivity of red onion (Allium ascalonicum L.). in Riau from 2013-
Red onion 2017 ranges from 3-4 ton.ha -1 , still far below the potential yield, because of
Fertilizer its planting on sub-optimal land including inceptisol soil. This research aims
Production to determine the effect Guano dan NPK fertilizer for the get interaction
Inceptisol application Guano and NPK fertilizer for the growth and result of red union
This research was applied at Agriculture Experiment Station of Agriculture
Faculty, University of Riau, Pekanbaru City. This research start from January
to March 2019. This is are experiment researh by using Randomized Group
Design (RGD) consisting of two factor. The first factor is application guano
fertilizer for the three doses is G1 (5 ton.ha-1 ), G2 (10 ton.ha-11), G3 (15
ton.ha-1 ). The two factor is application NPK fertilizer to three doses is N1
(100 kg.ha-1), N2 (200 kg.ha-1) , N3 (300 kg.ha-1). The results of this research
showed combination application Guano 10 ton.ha-1 and NPK fertilizer 200
kg.ha-1 are the best doses for the can increases growth and result of red union
for the every parameters.

Email Korespondensi: armaini_unri@yahoo.co.id

145
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) mulai dikembangkan di Provinsi Riau pada tahun
2013, dengan produktivitas yang masih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas provinsi
lain ataupun nasional. Menurut Kementrian Pertanian Republik Indonesia (2019) produksi di
Riau tahun 2013-2017 adalah 12 - 303 ton, dengan luas tanam secara berturut-turut 3 ha,14 ha,
41 ha, 75 ha dan 85 ha dengan produktivitas 4 ton.ha-1, 4,23 ton.ha-1, 3,42 ton.ha-1, 4,04 ton.ha-
1dan 3,09 ton.ha-1. Badan Pusat Statistik Indonesia (2018) mencatat produksi bawang merah

tingkat nasional tahun 2017 sebesar 1,47 juta ton pada luas tanam 158.172 ha dengan capaian
produktivitas 9,295 ton.ha-1.
Rendahnya produktivitas bawang merah di Riau karena tanaman ini dibudidayakan pada
tanah sub optimal, diantaranya tanah Inceptisol, yang memerlukan upaya perbaikan dalam
banyak hal. Berdasarkan hasil analisis Inceptisol yang dilakukan Armaini, Idwar, Beatrix
Normauli Siagian (2018), diketahui bahwa tanah tergolong agak masam, kandungan K-total
rendah 14,74 mg.100g, C organic tinggi 3,55%, Nitrogen tinggi 0,62% , P-total tinggi dan C/N
berkisar 5,85 (rendah). Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas komuditas ini adalah
memperbaiki sifat dan karakteristik tanah Inceptisol sebagai lahan penanaman dengan
menambahkan pasokan bahan organik mengandung kalium tinggi, maupun anorganik,
diantaranya penggunan pupuk Guano dan NPK, dengan tujuan mendapatkan dosis pemberian
pupuk guano dan NPK yang terbaik untuk pertumbuhan dan peningkatan daya hasil tanaman
bawang merah.

KERANGKA TEORI
Tanaman bawang merah membutuhkan nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) dalam
jumlah yang cukup besar, yaitu Urea 500 kg.ha-1, TSP 200 kg.ha-1 dan KCl 200 kg.ha-1
(Berlian. Nur Venus Ali dan Rahayu Estu 2004). Hasil penelitian Sahputra, A., Asil, B. dan
Rosita, S. (2013) juga menyatakan bahwa keadaan lingkungan tumbuh yang baik untuk
pertumbuhan bawang merah juga memerlukan bahan organik untuk perbaikan sifat fisik tanah,
diantaranya adalah adalah perbaikan ruang pori tanah, kebutuhan air tercukupi, sehingga serapan
hara dapat ditingkatkan, proses fisiologis berjalan lancar dan hasil fotosintesis tanaman dapat di
distribusikan secara merata keseluruh anakan umbi sehingga meningkatkan pembentukan
anakan bawang merah. Menurut Prasetyo (2006) guano sebagai bahan organik yang berasal dari
Desa Pongangan, Manyar Gresik, mengandung nitrogen, C-organik dan kadar P dengan kategori
sangat tinggi. Menurut Lingga dan Marsono (2004) pupuk Guano banyak mengandung unsur
hara penting yaitu: 8-13% N, 5-12% P, 1,5-2% K, 7,5-11% Ca, 0,5-1% Mg, 2-3,5% S.
Rasantika (2009) menyatakan bahwa bahan organik berupa pupuk guano berasal dari
kotoran kelelawar yang sudah mengendap lama dalam gua, bercampur dengan tanah dan bakteri
pengurai. Pupuk guano ini mengandung nitrogen, fosfor dan potasium yang sangat bagus untuk
mendukung pertumbuhan, merangsang akar, memperkuat batang bibit, serta mengandung semua
unsur mikro. Hasil penelitian Ramadhan.Anjari.Fadila.Nur dan Titin.Sumarni (2018)
menujukan bahwa pemberian pupuk kandang dosis 20 ton. ha-1 dan dosis pupuk anorganik NPK
setengan anjuran, dapat menghasilkan jumlah umbi terbanyak yaitu 8,36 per rumpun dan setara
dengan pemberian pupuk anorganik sesuai dosis anjuran yang tidak diikuti dengan pemberian
pupuk kandang, Berdasarkan kajian Rosliani. Rini, Basuki, Rofik, Sinung . (2013) diketahui
bahwa tidak terjadi interaksi antara 2 varitas bawang merah yang diuji (Bangkok dan Kuning),
status K-tanah (rendah-sedang-tinggi), dan dosis pupuk Kalium, terhadap bobot umbi segar dan
bobot umbi kering bawang, dan terdapat hubungan yang kuadratik antara hasil umbi dengan
dosis pupuk K pada semua status hara K tanah, dimana semakin tinggi dosis pupuk K dan status
hara K-tanah semakin tinggi pula residu K dalam tanah.

146
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

METODOLOGI
Penelitian berlokasi di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Ketinggian
tempat 10 m di atas permukaan laut. Penelitian belangsung bulan Januari sampai Maret 2019.
Bahan yang digunakan adalah bibit bawang merah varietas Bima Brebes, pupuk guano, pupuk
NPK, Decis 2,5 EC, Dithane M-45. Alat yang digunakan adalah timbangan digital, shadingnet,
hand sprayer, alat dokumentasi dan lain lain.
Penelitian didesain secara eksperimen Faktorial menurut Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Faktor pertama perlakan adalah pupuk guano dengan taraf pemberiannya 5 ton.ha-1,10
ton.ha-1,15 ton.ha-1 Faktor kedua adalah pupuk NPK 100 kg.ha-1, 200 kg.ha-1 300 kg.ha-,
sehingga didapat 9 perlakuan, dan diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 27 unit
percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 25 tanaman. Parameter yang diamati antara lain
tinggi tanaman, jumlah umbi per rumpun, lilit umbi, berat segar dan berat kering umbi dengan
menyertakan bagian dari daun tanaman. Analisis data menggunakan aplikasi SAS versi 9.1, serta
dilanjutkan dengan Uji Duncan̓̓͗͗͗̓̓͗͗͗s New Mutiple Range Test taraf 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan pertumbuhan dan daya hasil tanaman bawang merah, setelah dianalisis
dengan sidik ragam menunjukkan bahwa, interaksi antara pupuk guano dan pupuk NPK
berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah umbi per rumpun dan lilit umbi, namun
berpengaruh secara nyata terhadap daya hasil berupa berat segar dan berat kering umbi dengan
menyertakan bagian daunnya. Hasil uji jarak berganda Duncan’s taraf 5% dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut ini

Tabel 1. Petumbuhan dan Daya Hasil Bawang Merah pada Perlakuan Perbedaan Dosis Pupuk Guano
dan NPK.
Kombinasi Perlakuan Tinggi Jumlah Lilit Berat segar Berat kering
Pupuk Guano dan NPK Tanaman Umbi per Umbi umbi/daun Umbi/ daun
Ton ha.-1 dan Kg.ha-1 (cm) rumpun (cm) (g) (g)
5 dan 100 19,40 c 6.20 cd 5,99 b 630,40 e 501,65 c
5 dan 200 19,33 c 5,60 d 6,01 b 691,73 de 561,88 bc
5 dan 300 20,33 bc 7,47 bcd 6,60 ab 694,67 de 562,88 bc
10 dan 100 20,40 bc 8,00 bcd 6,50 ab 712,53 de 591,84 b
10 dan 200 23,60 b 9,93 ab 6,81 ab 987,47 a 798,58 a
10 dan 300 26,93 a 11,13 a 7,53 a 953,87 ab 781,22 a
15 dan 100 21,00 bc 8,00 bcd 6,13 b 775,47 cd 620,38 b
15 dan 200 23,27 b 8,40 bc 6,61 ab 854,93 bc 644,32 b
15 dan 300 22,20 b 8,47 bc 6,59 ab 989,07 a 796,24 a
Angka-angka pada kolom untuk setiap parameter yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
berdasarkan uji jarak berganda Duncan’s taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah umbi per rumpun bawang merah
pada kombinasi perlakuan pupuk guano 10 ton.ha-1 dengan pupuk NPK 300 kg.ha-1
menghasilkan pertumbuhan tertinggi dibanding perlakuan lainnya, meskipun pada parameter
jumlah umbi per rumpun dengan dosis guano tetap 10 ton.ha-1 dan pengurangan dosis NPK dari
300 kg ke 200 kg, menunjukan perolehan jumlah umbi yang berbeda tidak nyata dengan
pemberian10 ton.ha-1 pupuk guano dan 300 kg.ha-1 NPK. Hal ini menunjukan bahwa dosis guano
10 ton.ha-1 diduga sudah mampu memberikan perubahan sifat fisik tanah menjadi lebih baik,
namun harus diikuti dengan pemupukan NPK dengan dosis yang mencukupi sebagai sumber
nutrisi tanaman, yakni melebihi 100 Kg.ha-1. Jika pupuk guano diberikan lebih sedikit (5 ton.ha-
1) meskipun diberikan pasokan pupuk NPK dari dosis 100-300 Kg.ha-1 tetap belum mampu

mencapai pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah umbi yang lebih tinggi. Sebaliknya jika
pupuk guano diberikan dalam dosis lebih tinggi 15 ton ha.-1, dan NPK 100-300 kg.ha-1, ternyata

147
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

tanaman juga tidak meresponnya dengan perolehan tinggi dan jumlah umbi per rumpun yang
maksimal.
Data ini menunjukan bahwa dosis antara pupuk organik dan anorganik juga harus
seimbang dan dalam jumlah yang tepat, sehingga bahan pembangun masing masing pupuk dapat
berperan sesuai ketersediaannya untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tanaman bawang
merah. Bahan organik mempunyai kelebihan yakni adanya kandungan unsur mikro yang
diperlukan tanaman, sedangkan pasokan hara makro lebih cepat tersedia melalui pemupukan
dengan pupuk anorganik. Ketersediaan unsur hara sangat menentukan pertumbuhan dan kualitas
umbi. Menurut Abidin Z (2018) pembentukkan umbi bawang merah memerlukan nitrogen,
khususnya untuk mendukung pertumbuhan daun. Kalium dan potasium juga diperlukan untuk
membentuk gula dan pati, sintesis protein, penetral asam organik, katalis reaksi enzimatis.
Berkaitan dengan pembentukkan umbi yang berasal dari pembesaran lapisan daun yang
menyatu, maka ketersediaan N menjadi sangat berpengaruh terhadap pembesaran
umbi.Ketersediaan K dalam jumlah yang cukup akan meningkatkan ion K+ untuk mengikat air
dalam tubuh tanaman sehingga fotosintesis berlangsung secara efisien dengan hasil yang
optimal.
Parameter lilit umbi sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa, perlakuan
pupuk guano 10 ton.ha-1 dengan pupuk NPK 300 kg.ha-1 menghasilkan lilit umbi tertinggi
dengan capaian 7,53 cm, meskipun berbeda tidak nyata dengan beberapa perlakuan lainnya.
Perlu dicermati bahwa jika pupuk guano diberikan dalam jumlah minimal yakni 5 ton.ha-1
meskipun diikuti dengan penambahan pupuk NPK 100-200 Kg.ha-1, maka tanaman bawang
merah ini menunjukan perolehan lilit umbi terendah dengan capaian hanya 5,99-6,01 cm. Jika
pupuk guano diberikan dalam jumlah maksimal 15 ton.ha-1 hanya diikuti dengan pemberian
NPK dosis minimal 100 Kg.ha-1, lilit umbi masih menunjukan hasil terendah yakni 6,13 cm,
meskipun berbeda tidak nyata dengan beberapa perlakuan lainnya.
Perolehan data tersebut mengindikasikan bahwa pasokan hara yang harus diberikan pada
tanah Inceptisol sebagai medium tanaman bawang merah, haruslah berupa kombinasi yang
seimbang antara pupuk organik dan anorganik, mengingat adanya kelebihan dan kekurangan
penggunaan bahan organik dan NPK sebagai sumber nutrisi.
Pupuk guano sebagai bahan organik dapat berperan untuk perbaikan fisik dan biolgi tanah
Inceptisol. Hasil analisis tanah Inceptisol menyatakan C organik tanah tersebut tergolong tinggi
(3,55%), tetapi ratio carbon dan Nitrogen rendah (C/N 5,85), maka sangatlah sesuai jika pasokan
bahan organik yang diberikan berasal dari pupuk guano, karena pupuk guano selain mengndung
unsur hara makro dan mikro juga mengandung mikroba yang berfungsi sebagai dekomposer.
Sesuai dengan pernyataan Risentika (2009) bahwa pupuk guano mengandung bakteri pengurai.
Kondisi ini akan mampu mebantu perkembangan bakteri pengurai yang berasal dari pupuk guano
untuk bertahan dan berfungsi sebagai perombak bahan organik yang sudah cukup tersedia dalam
tanah Inceptisol. Aktifitas bakteri pengurai akan berdampak terhadap perubahan karakteristik
tanah Inceptisol dari segi sifat fisik tanah yang akan berkaitan secara langsung dengan sifat
kimia tanah, dan akhirnya mampu memenuhi kebutuhan unsurhara makro dan mikro yang
diperlukan tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Susanto (2002) menyatakan bahwa dengan
pemberian pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P dan K serta unsur
mikro. Menurut Mengel Konrad, Kirkby Ernest.A (2010) Nitrogen, Fosfor dan Kalium
merupakan unsur hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah besar. Gardner,
Franklin. P., R. Brent. Pearce, dan Roger. L. Mitchell (1985) menyatakan bahwa daun dan
bagian hijau lainnya merupakan sumber asal asimilat, asimilat tetap tertinggal dalam jaringan
untuk perkembangan sel dan bila translokasi lambat dapat diubah menjadi tepung atau cadangan
makanan lainnya, sisanya ditranslokasikan kedaerah pemanfaatan vegetatif yang terdiri dari
fungsi-fungsi pertumbuhan, pemeliharaan dan cadangan makanan.
Hasil pengamatan terhadap berat umbi segar tanaman bawang merah menunjukkan adanya
interaksi terbaik, yakni antara pupuk guano 10 ton.ha-1 dengan 200 kg.ha-1. Dosis tersebut dapat

148
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

menghasilkan berat umbi segar tertinggi, dan dapat dikatakan sebagai dosis optimal yang sudah
mempu memenuhi kebutuhan hara tanaman. Hal ini diduga karena kombinasi pemberian pupuk
guano dan pupuk NPK pada perlakuan tersebut cukup berperan menciptakan kondisi lingkungan
yang baik dan menyediakan unsur hara yang cukup untuk dimanfaatkan tanaman dalam proses
fisiologinya, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan berat umbi segar. Meirina Triharini,
Sri Haryanti (2009) menyatakan bahwa unsur N, P dan K dalam perlakuan pupuk diserap oleh
tanaman dan digunakan untuk proses metabolisme didalam tanaman tersebut seperti pembelahan
dan pembesaran sel. Munawar (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman
berhubungan erat dengan ketersediaan unsur hara yang diserap oleh tanaman yang digunakan
dalam proses metabolisme tanaman. Keberadaan pupuk guano dapat memperbaiki sifat fisik
tanah seperti daya ikat air dan ruang pori sehingga dapat mendukung perkembangan akar di
dalam tanah serta keampuan tanah dalam mempertahankan keberadaaan air menjadi meningkat.
Rosmarkam (2002) menyatakan bahwa air sebagai pelarut dan pembawa ion-ion hara dari
rhizosfer ke dalam akar kemudian ke daun. Menurut Gardner Franklin. P, R. Brent Pearce,
Roger. L. Mitchell (1985) pengambilan nutrisi oleh tanaman memerlukan pendekatan fisik atau
kimiawi, baik melalui pertukaran bentuk, pertukaran air tanah dengan H atau difusi air serta
aliran masa air kedalam akar ataupun pemanjangan akar kedalam sumber air. Pupuk guano
mengandung unsur hara N, P dan K sebagai sumber energi makanan bagi tanaman bawang
merah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yetti Husna, Evawani Elita (2008) bahwa pemberian
pupuk organik sangat baik digunakan untuk memperbaiki sifat fisik tanah dan biologi tanah,
meningkatkan efektifitas mikroorganisme tanah dan lebih ramah terhadap lingkungan dan
berpengaruh terhadap jumlah dan bobot umbi bawang merah. Menurut Rismunandar (1986)
bobot umbi segar di pengaruhi oleh pertumbuhan vegetatif tanaman seperti tinggi tanaman dan
jumlah daun. Menurut Salisbury Frank.B, Ross.Cleon.W.(1995) unsur esensial digolongkan
kedalam dua kelompok yakni berperan dalam struktur senyawa penting dan berperan
mengaktifkan enzim. Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim yang penting
untuk fotosintesis dan respirasi. Kalium juga mengaktikan enzim yang diperlukan untuk
membentuk pati dan protein serta penentu utama tekanan turgor, sedangkan N dan P merupakan
komponen struktural dari senyawa penting. Winarso (2005) menyatakan bahwa jika unsur hara
dalam keadaan cukup maka biosintesis dapat berjalan lancar,sehingga karbohidrat yang
dihasilkanakan semakin banyak dan dapat disimpan sebagai cadangan makanan, dengan
demikian timbunan dari karbohidrat ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan daya hasil
dari tanaman bawang merah diantaranya berat basah tanaman.
Hasil penelitian tentang pengamatan berat umbi layak simpan bawang merah setelah
dianalisis dengan sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara pupuk guano dan pupuk
NPK. menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pupuk guano 10 ton.ha-1 dengan pupuk NPK
200 kg.ha-1 hingga 300 kg.ha-1 serta kombinasi perlakuan pupuk guano 15 ton.ha-1 dan pupuk
NPK 300 kg.ha-1 menunjukkan perolehan berat kering tertinggi dan tidak berbeda nyata
sesamanya, namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dengan capaian berat kering secara
berturut-turut per plot adalah 798,58 g, 781,22 g dan 796,24 g. Hasil konversi berat umbi layak
simpan ke hektar berkisar 6,6-6,7 ton.ha-1. Hal ini dikarenakan adanya kesesuaian kombinasi
pupuk guano dan pupuk NPK yang lebih baik, sehingga mampu menyediakan unsur hara yang
dibutuhkan tanaman pada proses fotosintesis untuk pembentukan umbi tanaman bawang merah.
Pupuk guano dan pupuk NPK menyediakan sejumlah unsur hara seperti unsur hara K. Unsur
hara K berperan terhadap berat umbi layak simpan. Tanaman bawang merah yang mendapatkan
unsur hara K yang cukup dapat meningkatkankan berat umbi layak simpan. Mahdiannoor (2011)
menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang
dibutuhkan dalam jumlah yang cukup, yang dapat diperoleh dari penambahan unsur hara dari
luar.
Bassiony. A. M (2006) menyatakan bahwa pupuk K berpengaruh dalam meningkatkan
berat kering bawang merah. Napitupulu Delima, Winarto (2009) menyatakan bahwa kalium

149
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

berperan dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman seperti pembentukan,


pembesaran dan pemanjangan umbi serta berpengaruh dalam meningkatkan bobot bawang
merah.
Secara biologi pupuk guano dapat berperan dalam meningkatkan aktivitas dan
populasi mikoorganisme tanah. Aktivitas mikroorganisme dapat membentuk struktur tanah
menjadi gembur dan mempengaruhi aktivitas akar menyerap unsur hara dan dari hasil sekresi
mikroorganisme tanah tersebut dapat menghasilkan sejumlah unsur hara yang tersedia untuk
tanaman sehingga berpengaruh terhadap berat umbi layak simpan.
.
PENUTUP
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa
pemberian pupuk guano dengan dosis 10 ton.ha-1 dan pupuk NPK 200 kg.ha-1 , merupakan
kombinasi perlakuan dengan dosis terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan daya hasil
tanaman bawang merah. Untuk itu dalam upaya pemamfaatan pupuk guano sebagai sumber
bahan organik dan pemberian NPK sebagai sumber nutrisi tanaman bawang merah, khususnya
pada tanah Inceptisol dengan kadar Kalium rendah dianjurkan menggunakan kombinasi
perlakuan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zainal. (2018). Rahasia agar Umbi Bawang Merah Berukuran Besar. Diambil pada 2 Juli
2019 pada Pakarbudidaya.blogspot.com.
Armaini, Idwar, Beatrix Nauli Siagian. (2018). Aplikasi Mikorhiza dan Pupuk Hijau Lamtoro
untuk Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L). di Tanah
Inceptisol. ProsidingSeminar Lokakarya FKPTPI Fakultas Pertanian Unversitas Syiah
Kuala
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Tanaman Sayuran dan Buah-buahan. Diambil 2 Juli 2019
pada. bp shq@bps.go.id
Bassiony. A. M. (2006). Effect of Potassium Fertilization on Growth, Yield, and Quality of
Onion Plants. Journal.Appl. Scie. Res. 2(10):780-785.
Berlian Nur Venus Ali dan Rahayu Estu (2004). Bawang Merah Mengenal Varietas Unggul dan
Cara Budidaya Secara Kontinue. Penebar Swadaya, Jakarta.
Gardner Franklin. P, R. Brent Pearce, Roger. L. Mitchell. (1985). Physiology of Crop Plant.
Penerjemah Herawati Susilo (1991). UI Press, Jakarta.
Kementrian Pertanian RI. (2019). Data Luas Hektar Produksi 2013-2017. Diambil 2 Juli 2019
dari www.pertanian.go.id.
Lingga Pinus, Marsono. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mahdiannoor. (2011). Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabe Besar (Capsicum annum
L.) terhadap Pemberian Arang Sekam Padi dan Dosis Pupuk Kandang Kotoran Itik di
Lahan Rawa Lebak. Journal Agroscientiae. 18(3).
Meirina Triharini, Sri Haryanti. (2009). Produktivitas Kedelai (Glycine max (L.) Merril var.
Lokon yang Diperlakukan dengan Pupuk Organik Cair Lengkap pada Dosis dan Waktu
Pemupukan yang Berbeda. Jurnal Anatomi Fisiologi, 17 (2).
Mengel Konrad, Kirkby Ernest.A (2010). Principles of Plant Nutrition. Inter.Potash. Inst.864 p.
Munawar Ahmad. (2011). Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Pers, Bandung.
Musnamar Effi Ismawati. (2003). Pupuk Organik, Cair dan Padat. Penebar Swadaya, Jakarta.

150
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Napitupulu Delima, Winarto Loso. (2009). Pengaruh Pemberian Pupuk N dan K terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah. Jurnal Hortikultura, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Jakarta,
Indonesia.
Prasetyo Sulung. (2006). Guano Bahan Pupuk Organik yang di Remehkan.
http://jurnalbumi.wordpress.com/2006/01/18/guano-bahan-pupuk-organik-yang-
diremehkan-2. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018.
Ramadhan Anjari Fadila Nur, Titin Sumarni . (2018) Respon Tanaman Bawang Merah terhadap
Pupuk Kandang dan Pupuk NPK. Jurnal Produksi Tanaman vo l6 no 5 Mei 2018. 815-822
ISSN 25278452
Rismunandar. (1986). Membudidayakan lima jenis bawang. Sinar Baru, Bandung.
Rosliani Rini, Basuki Rofik Sinung. (2012). Pengaruh varitas, Status K Tanah dan dosis pupuk
kalium terhadap pertumbuhan , hasil umbi dan serapan hara K tanaman bawang merah.
Jurnal Hortikultura 22, 233-241.
Rosmarkam, Afandie, Yuwono, Nasih Wydia. (2002). Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius,
Yogyakarta.
Sahputra Ari, Asil Barus Rosita Sipayung. (2013). Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah
(Allium ascalonicum L.) terhadap Pemberian Kompos Kulit Kopi dan Pupuk Organik.
Jurnal Online Agroteknologi, 2 (1): 26-35.
Salisbury Frank.B, Ross Cleon.W. (1992). Plant Physioloy. Terjemahan Diah R Lukman dan
Sumaryono 1995. Penerbit ITB, Bandung.
Susanto Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta.
Winarso. 2005. Kesuburan Tanah. Gava Media, Yokyakarta.
Yetti Husna, Evawani Elita. 2008. Penggunaan Pupuk Organik dan KCl pada Tan Tanaman
Bawang Merah (Allium ascalonicum L). Jurnal Sagu, 7(1):13-8

151
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Peningkatan Produksi Stroberi dengan Aplikasi Beberapa Formula


Pupuk Organik Cair
Increased Strawberry Production with The Application of Several
Liquid Organic Fertilizer Formulas
Dian Indratmi, Ali Ikhwan, dan Kiky Destriawan
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

ABSTRAK

Kata Kunci: Stroberi (Fragaria sp.) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang memiliki
Stroberi nilai ekonomi tinggi dan banyak manfaat. Permintaan buah stroberi terus
Pupuk Organik Cair mengalami peningkatan, tetapi produksi stroberi dalam negeri belum dapat
Limbah Udang memenuhinya. Perbaikan teknik budidaya stroberi yang berkelanjutan dapat
Keong Mas dilakukan dengan pemberian pupuk kimia anorganik maupun organik secara
Buah Maja seimbang. Salah satu pupuk organik yang potensial dikembangan adalah pupuk
organik cair hewani dari limbah udang dan keong mas, serta buah maja.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian beberapa jenis
formula pupuk organik cair dan konsentrasinya yang tepat terhadap pertum-
buhan dan hasil tanaman stroberi. Penelitian dilaksanakan menggunakan ranca-
ngan acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Faktor I berupa macam
formula pupuk organik cair (POC), yang terdiri dari : kontrol (tanpa pemberian
POC); POC limbah udang; POC keong mas; dan POC buah maja. Faktor II
berupa konsentrasi POC, yang terdiri dari : 25%, 50%, dan 75%. Hasil penelitian
menunjukkan aplikasi POC limbah udang mampu meningkatkan produksi
stroberi mencapai 2,3 kali lipat (130,3%); aplikasi POC keong mas
meningkatkan produksi mencapai 2,5 kali lipat (152,4%); dan aplikasi POC buah
maja meningkatkan produksi mencapai 3,3 kali lipat (228,4%).

ABSTRACT

Keywords: Strawberry (Fragaria sp.) is one type of fruit that has high economic value and
Strawberry many benefits. Demand for strawberries continues to increase, but domestic
Liquid Organic strawberry production has not been able to fulfill it. Improvement of sustainable
Fertilizer strawberry cultivation techniques can be done by providing inorganic and
Shrimp Waste organic chemical fertilizers in a balanced way. One of the potential organic
Golden Snail fertilizers to be developed is animal liquid organic fertilizer from shrimp waste,
Maja Fruit golden snail, and maja fruit. The study aims to determine the effectiveness of the
administration of several types of liquid organic fertilizer formulas and their
proper concentration on the growth and yield of strawberry plants. The study was
conducted using a factorial randomized block design with three replications.
Factor I is in the form of liquid organic fertilizer (LOF) formula, consisting of:
control (without LOF); shrimp waste LOF; golden snail LOF; and maja fruit
LOF. The second factor is LOF concentration, which consists of: 25%, 50%, and
75%. The results showed that the application of shrimp waste LOF was able to
increase strawberry production up to 2.3 times (130.3%); gold snail LOF
application increased up to 2.5 times (152.4%); and maja fruit LOF application
increased production up to 3.3 times (228.4%).

Email Korespondensi : indratmi_dian@yahoo.co.id

152
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Stroberi (Fragaria sp.) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Hal ini tampak dari permintaan masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Tingginya permintaan buah stroberi ternyata belum dapat dipenuhi dari produksi dalam
negeri. Di daerah Malang, stroberi terutama dibudidayakan di Desa Pandanrejo Batu mencapai
luas 7-8 Ha. Benih stroberi umumnya berasal dari stolon / anakan. Salah satu masalah yang
dirasakan petani stroberi adalah penurunan produktivitas stroberi yang terus terjadi (Balitjestro,
2014). Menurut Masi dkk (2015) permintaan buah stroberi pada tahun 2014 mencapai jumlah
3600 ton / tahun. Produksi stroberi di Bandung (sentra utama buah stroberi) baru mencapai 1519
ton/ tahun.
Hasil produksi dan kualitas stroberi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya teknik
budidaya seperti sistem penanaman, teknologi pemupukan, dan teknologi pengendalian jasad
pengganggu (Susilowati dkk, 2018). Selama ini petani stroberi umumnya masih menggunakan
teknik pemupukan menggunakan pupuk kimia anorganik, dengan hasil belum memuaskan.
Menurut Musnamar (2003) penggunaan pupuk kimia anorganik secara terus menerus dengan
dosis tinggi akan menjadi tidak efisien dan mengganggu keseimbangan sifat tanah baik secara
kimia, fisik dan biologi. Berakibat menurunkan produktivitas lahan dan tanah makin gersang,
mempengaruhi produksi tanaman serta meninggalkan residu yang merusak lingkungan dalam
jangka panjang. Untuk itu diperlukan inovasi inovasi baru dalam upaya meningkatkan produksi
stroberi. Beberapa jenis pupuk yang potensial dikembangkan adalah pupuk organik cair limbah
udang, keong mas, dan buah maja.
Respon pertumbuhan vegetatif dan perkembangan generatif tanaman dengan pemupukan
akan meningkat jika pemberian pupuk cair sesuai dengan dosis, konsentrasi dan waktu yang
tepat pada saat pengaplikasian. Aplikasi pupuk organik dalam formula cair, yang perlu
diperhatikan adalah konsentrasinya, karena setiap jenis tanaman memiliki tingkat kebutuhan
pupuk organik cair yang berbeda-beda

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Tanaman Stroberri
Produksi Potensi pupuk organik
• Mempunyai nilai
ekonomi tinggi

cair padat
• Rendah
• Permintaan
meningkat • Bahan melimpah
• Mengandung unsur hara POC
• Belum mencukupi
makro dan mikro
• Teknologi pembuatan
terjangkau
• Aplikasi mudah Limbah Buah Keong
udang maja mas
Pupuk Pupuk
anorganik organik

Konsentrasi

Jenis POC dan


konsentrasi yang
efektif

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian.

153
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
faktorial dengan 3 kali ulangan. Faktor I macam formula pupuk organik cair (POC), terdiri dari
: P0 = kontrol (tanpa pemberian POC), POC limbah udang, POC keong mas, dan POC buah
maja. Faktor II konsentrasi POC, terdiri dari : 25%, 50%, dan 75%. Pupuk organik cair dengan
ke 3 bahan tersebut disiapkan dengan cara memfermentasinya selama 25 hari. Perbandingan
yang digunakan adalah 1: 1: 1 (Bahan utama : air bersih : air cucian beras), kemudian diberi
starter sebanyak 20 ml, dan molase 500 ml. Masing-masing POC diberikan dengan dosis 50 ml
per tanaman. Bahan tanam berupa bibit stroberi varietas California dari stolon. Pengamatan
meliputi: jumlah daun, tinggi tanaman, diameter buah, jumlah buah, produksi per tanaman, serta
analisis kandungan unsur kimia masing masing POC yang dilaksanakan di laboratorium ilmu
tanah Universitas Brawijaya Malang.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Buah Stroberi, Jumlah Buah, dan Tinggi Tanaman
Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan macam
formula pupuk organik cair dengan macam konsentrasi terhadap parameter hasil buah stroberi,
jumlah buah, dan tinggi tanaman. Hasil uji beda rata rata ketiga parameter tersebut disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Tinggi Tanaman, Jumlah Buah, dan Hasil Buah Stroberi sebagai Respon Masing-
masing Perlakuan pada Umur 7 Minggu Setelah Tanam.
Tinggi Hasil buah
Perlakuan Jumlah buah
Tanaman (cm) (g/tan)
Tanpa POC, konsentrasi 25% 13.20 ab 10,7 a 12,80 a
Tanpa POC, konsentrasi 50% 13.00 a 12,1 a 10,34 a
Tanpa POC, konsentrasi 75% 12.70 abc 8,6 a 14,36 a
POC limbah udang, konsentrasi 25% 15.30 d 40,1 d 33,03 bc
POC limbah udang, konsentrasi 50% 13.25 ab 24,0 b 29,44 bc
POC limbah udang, konsentrasi 75% 13.50 abc 27,5 bc 23,78 b
POC buah maja, konsentrasi 25% 13.22 ab 38,0 d 34,12 c
POC buah maja, konsentrasi 50% 13.60 abc 35,2 d 47,39 e
POC buah maja, konsentrasi 75% 14.90 cd 31,7 cd 42,24 de
POC keong mas, konsentrasi 25% 13.90 abc 24,0 b 26,06 b
POC keong mas, konsentrasi 50% 14.40 cd 32,4 cd 32,26 bc
POC keong mas, konsentrasi 75% 15.41 d 31,0 cd 36,19 c
Keterangan: Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji
Duncan taraf 5 %.

Aplikasi POC limbah udang, keong mas dan buah maja pada semua level konsentrasi
tampak lebih unggul meningkatkan jumlah buah dan hasil buah stroberi dibandingkan dengan
perlakuan tanpa pemberian POC (Tabel 1). Aplikasi POC limbah udang mampu meningkatkan
produksi stroberi mencapai 2,3 kali lipat atau 130,3%; aplikasi POC keong mas meningkatkan
produksi mencapai 2,5 kali lipat 152,4%; dan aplikasi POC buah maja meningkatkan produksi
mencapai 3,3 kali lipat 228,4%. Perlakuan POC buah maja dengan konsentrasi 50 % merupakan
perlakuan yang lebih baik daripada POC limbah udang dan keong mas. Aplikasi POC limbah
udang dan keong mas berpengaruh lebih baik pada fase pertumbuhan / fase vegetatif tanaman
stroberi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh parameter tinggi tanaman dan jumlah daun yang lebih
baik daripada perlakuan lainnya. Pada fase perkembangan atau generatif, POC buah maja
ternyata merupakan perlakuan yang lebih baik dalam meningkatkan jumlah buah, diameter
buah, dan hasil buah stroberi. Hal ini disebabkan karena POC limbah udang, keong mas, maupun
buah maja mengandung cukup nutrisi atau unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan

154
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

perkembangan tanaman stroberi. Vigor tanaman juga tampak lebih baik dengan aplikasi ketiga
formula POC tersebut baik pada konsentrasi 25%, 50%, maupun 75%.
Fakta ini didukung oleh data hasil analisis kandungan unsur hara masing masing pupuk
organik cair (Tabel 3). Berdasarkan hasil uji Laboratorium menunjukan bahwa POC limbah
udang, keong mas, dan buah maja mengandung unsur hara makro yang dibutuhkan tanaman
stroberi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Diantara unsur hara makro tersebut adalah
unsur nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), dan Magnesium (Mg).
Unsur N,P,K, Ca, dan Mg termasuk unsur hara makro primer, yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah banyak. Unsur N berfungsi menyusun asam amino / protein dan klorofil tanaman,
sehingga mempercepat pertumbuhan tanaman (jumlah daun, anakan, dan cabang; serta tinggi
tanaman). Unsur P berfungsi sebagai penyimpan dan transfer energi untuk metabolisme
tanaman. Unsur P berperan memacu pertumbuhan akar, dan membentuk sistem perakaran yang
baik. Pertumbuhan jaringan tanaman yang membentuk titik tumbuh meningkat, memacu
pembentukan bunga dan pematangan buah dan biji, mempercepat masa panen, serta
meningkatkan persentase pembentukan bunga menjadi buah (Rina, 2015). Menurut Adzhani
(2015) buah merupakan bagian dari tumbuhan yang paling bernilai ekonomis. Hampir
keseluruhan dari buah stroberi dapat dimanfaatkan dan dikonsumsi. Bagian yang dapat
dikonsumsi dari buah stroberi mencapai 96%. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi
tanaman stroberi terus digalakkan guna memperoleh hasil yang maksimal. Priyambudi dkk
(2017) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil buah stroberi
adalah lingkungan tumbuh dan ketersedian unsur hara.
POC buah maja mengandung unsur kalium (K), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg) yang
lebih tinggi daripada POC limbah udang dan keong mas (Tabel 3). Fakta ini menjadi jawaban
mengapa stroberi yang diberi perlakuan POC buah maja pada beberapa level konsentrasi,
produksi / hasil buahnya paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Manfaat unsur
K bagi tanaman antara lain membantu penyerapan unsur hara dan air dari dalam tanah, serta
membantu mendistribusikan hasil asimilasi dari daun untuk pembentukan buah dan biji.
Dilain pihak, ternyata POC limbah udang dan keong mas mengandung unsur N dan P yang
lebih tinggi daripada POC buah maja. Hal ini berhubungan langsung dengan peningkatan tinggi
tanaman dan jumlah daun yang lebih baik dengan perlakuan kedua POC tersebut. Menurut Astuti
dkk (2015) tanaman memerlukan unsur N untuk pertumbuhan dan perkembangannya, terutama
fase awal yaitu fase vegetatif seperti pemanjangan sel. Pertumbuhan cabang, daun, batang, serta
tinggi tamanan. Unsur N juga berguna dalam proses pembentukan klorofil yang berperan penting
dalam proses fotosintesis. Unsur hara fosfor berguna dalam proses pembentukan akar tanaman,
juga sebagai bahan dasar penyusunan protein. Mempercepat penuaan buah serta memperkuat
batang tanaman. Oktariana (2017) menjelaskan bahwa tanaman stroberi pada fase generatif,
mulai dari pembungaan sampai menghasilkan buah, unsur P dan K merupakan unsur hara yang
paling banyak dibutuhkan tanaman, sedangkan unsur hara lainnya sebagai pendukung.

Jumlah Daun
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata antara macam formula
pupuk organik cair dengan macam konsentrasi terhadap parameter jumlah daun dan diameter
buah, tetapi faktor macam pupuk organik cair berpengaruh sangat nyata. Hasil uji beda rata rata
jumlah daun dan diameter buah disajikan pada Tabel 2.

155
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Daun dan Diameter Buah Stroberi akibat Pemberian
Masing- Masing Perlakuan pada Pengamatan 7 Minggu Setelah Tanam.
Perlakuan Jumlah daun Diameter buah (cm)
Faktor I
Kontrol 9.93 a 0.80 a
Limbah Udang 13.11 bc 1.08 abc
Buah Maja 13.87 cd 2.29 c
Keong Mas 14.61 d 1.70 bc
Faktor II
Konsentrasi 25% 12.22 a 1.53 a
Konsentrasi 50% 12.59 a 1.19 a
Konsentrasi 75% 14.29 b 1.40 a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom menunjukkan
berbeda tidak nyata menurut uji Duncan taraf 5 %.

Perlakuan POC buah maja, limbah udang, dan keong mas menghasilkan jumlah daun yang
lebih banyak daripada tanpa pemberian POC. Daun merupakan salah satu organ tanaman yang
memiliki kemampuan mengolah unsur hara menjadi fotosintat dengan bantuan sinar matahari
melalui proses fotosintesis. Seyogyanya dengan semakin banyaknya jumlah daun yang
terbentuk dalam tanaman maka semakin meningkat pula proses forosintesis. Jumlah daun dapat
menggambarkan pertumbuhan tanaman stroberi pada fase vegetatif. Menurut Mappanganro dkk
(2011), unsur hara yang tersedia dalam jumlah cukup dan seimbang dapat meningkatkan
pertumbuhan jumlah daun dan tinggi tanaman stroberi.

Diameter Buah
Perlakuan POC buah maja menghasilkan rata-rata diameter buah yang lebih besar daripada
perlakuan lainnya (Tabel 2). Kecukupan unsur hara selama perkembangan tanaman
berkontribusi terhadap perkembangan buah. Buah maja selain mengandung unsur N dan P, juga
mengandung unsur K, yang dari hasil analisis laboratorium ternyata lebih tinggi daripada
perlakuan lainnya, sehingga menghasilkan rata-rata diameter buah yang lebih besar. Diameter
menggambarkan ukuran buah stroberi, ukuran ditentukan oleh bunga stroberi. Bunga stroberi
ada 2 jenis, yaitu primer dan sekunder. Buah dari bunga primer umumnya lebih besar besar
daripada dari bunga sekunder (Priyambudi dkk, 2017). Ditambahkan oleh Mardiah dkk (2016),
tingkat produksi tanaman stroberi juga dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan vegetatif stroberi.
Dalam penelitian ini hasil produksi stroberi dapat dikatakan belum maksimal. Hal ini diduga
disebabkan oleh ketinggian dan lingkungan tumbuh yang kurang sesuai dengan syarat tumbuh
optimal stroberi. Dalam penelitian ini, stroberi ditanam pada dataran medium (500 mdpl). Suhu
dan kelembapan selama penelitian sering berfluktuasi. Suhu rata rata harian 27-29 °C, dengan
kelembapan rata-rata 80 -85%. Suhu yang tinggi ini tampak mempengaruhi proses pembungaan
dan perkembangan buah yang lebih lambat.
Stroberi merupakan tanaman yang berasal dari daerah beriklim subtropik. Di Indonesia
stroberi dapat tumbuh dan berproduksi baik di daerah pegunungan yang udaranya sejuk.
Ketinggian yang ideal/ sesuai adalah 1.000 – 1.500 m dpl., dengan suhu udara 14 – 24° C.
Kelembaban relatif yang tinggi yaitu 85-95%, serta tidak mengalami temperatur dan kelembaban
yang ekstrim (Sutopo, 2016). Menurut Oktariana dkk (2017), di Indonesia yang beriklim tropis,
tanaman stroberi akan tumbuh dan berbuah dengan baik jika ditanam di daerah dengan
ketinggian lebih dari 600 m dpl, suhu udara optimum 17-200C, dan kelembapan relatif 80-90%.

156
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Kandungan Unsur Kimia pada Masing-Masing POC


Hasil uji laboratorium kandungan unsur hara pada POC limbah udang, keong mas, dan
buah maja disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Laboratorium Kandungan Unsur Kimia POC Limbah Udang, Keong Mas, dan Buah
Maja
Kode N total P K Ca Mg S (SO4)
HNO3 + HCIO4
mg/l
POC Limbah
Udang 6538,34 1193,92 1114,40 56,32 3,17 615,00
POC Keong Mas 4796,29 397,97 1133,67 70,40 4,22 415,00
%
POC buah maja 0,043 0,032 0,149 0,028 0,002 Tak terukur

Pupuk organik cair limbah udang, keong mas, dan buah maja terbukti mengandung unsur
hara makro primer yaitu N, P, K, Ca, dan Mg. Glick et al. (2007) .menyatakan bahwa pupuk
organik cair selain mengandung unsur nitrogen yang penting untuk menyusun protein, klorofil,
dan asam nukleat juga mengandung unsur hara mikro meliputi unsur Mn, Zn, Fe, S, B, Ca dan
Mg. Kandungan unsur hara makro ini masih kurang tinggi bila dibandingkan dengan standar
kualitas POC yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian (3%), sehingga dalam aplikasinya
sebaiknya dilakukan beberapa kali. Minimal 3 kali yaitu pada awal pertumbuhan, awal fase
berbunga, dan fase berbuah.

PENUTUP
Berdasarkan pada hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa
pemberian pupuk organik cair limbah udang, keong mas, dan buah maja mampu meningkatkan
produksi tanaman stroberi baik pada konsentrasi 25, 50, maupun 75%. Perlakuan POC buah maja
dengan konsentrasi 50% merupakan perlakuan yang lebih baik daripada perlakuan lainnya.
Guna informasi yang lebih lengkap, perlu juga dianalisis kandungan kimia unsur mikro
masing-masing POC. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dalam kegiatan budidaya syarat
tumbuh tanaman stroberi lebih disesuaikan, seperti lingkungan, iklim, kelembaban, dan
ketinggian tempat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Universitas Muhammadiyah Malang atas dukungan
dananya melalui hibah blog grant fakultas tahun 2018.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, P. D., Rahayu, A. Dan Ramdani, A. 2015. Pertumbuhan dan Produksi (Fragaria vesca L.)
pada Volume Media Tanam dan Frekuensi Pemberian Pupuk NPK Berbeda. Jurnal
Agronida ISSN: 2407-9111 Volume 1 Nomor 1, Hal. 46-56.
Adzhani, I. F. 2015. Aplikasi Rizobakteri Dan Pupuk Nitrogen Untuk Meningkatkan Produksi
Dan Mutu Fisiologis Benih Jagung (Zea mays L.) Fajrina Ishmah. Departemen Agronomi
dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Balitjestro. 2014. Pengembangan Wisata Petik Stroberi di Kota Wisata Batu. Balitjestro.
Litbang Pertanian.
Glick, B.R, Cheng Z, Czarny J, and Duan J. 2007. Promotion of planth growth by ACC
deaminase producing soil bacteria. Plant Pathol. 119: 329–339

157
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Mappanganro., N., Sengin., E., L. dan Baharuddin. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Strawberry Pada Berbagai Jenis dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair dan Urine Sapi
Dengan Sistem Hidroponik Irigasi Tetes. Jurnal Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin. Makasar.
Mardiah., Syamsuddin, dan Efendi. 2016. Perlakuan Benih Menggunakan Rizobakteri Pemacu
Pertumbuhan Terhadap Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Tanaman Cabai Merah
(Capsicum Annuum L.). J. Floratek 11 (1): 25-35.
Masi,R, Novaty, E.D., dan Cri, W.B.Y. 2015. Peningkatan kualitas produksi Stroberi melalui
Pemanfaatan Bioslury Cair. J.Agrotan. 1 (1) : 45-56.
Musnamar, E.I. 2003. Pupuk Organik: Cair dan Padat, Pembuatan, Aplikasi. PS Jakarta.
Oktariana, O. D., Armiani. dan Ardian. 2017. Pertumbuhan dan Produksi Stroberi (Fragaria Sp)
Dengan Pemberian Berbagai Konsentrasi Pupuk Organik Cair (POC) Secara Hidroponik
Substrat. Jom Faperta Ur Vol. 4 No. 1 Hal. 1-12.
Priambudi, E., Sitawati, dan Nugroho A. 2017. Pengaruh Model Penanaman dan Aplikasi P dan
K Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Stroberi (Fragaria Sp.).
Rina, D. 2015. Manfaat Unsur NPK bagi Tanaman. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Kaltim.
Susilowati, Y.E. dan Rahayu, S. 2018. Meningkatkan Hasil Tanaman Stoberi dengan Urin
Kelinci. Jurnal Ilmu Pertanian Tropika dan Subtropika. 3 (1) : 25 – 29.
Sutopo. 2016. Teknologi Budidaya Stroberi di Lahan. Balitjestro. Balitbangtan Kementerian
Pertanian.

158
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kajian Struktur Morfologi dan Kandungan Klorofil Pakoba


(Syzygium sp) di Kawasan Fakultas Pertanian Unsrat Manado
Study of Morphological Structure and Chlorofil Content of Pakoba
(Syzygium sp) in the Area of The Faculty of Agricultural Unsrat Manado
Euis F. S. Pangemanan1, Johny S. Tasirin2, dan Maria Y. M. A. Sumakud3
1Fakultas Pertanian, UNSRAT, Manado

ABSTRAK

Kata Kunci: Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah yang terkenal akan kekayaan
Biodiversitas alamnya, baik flora maupun fauna, karena terletak di kawasan Wallacea.
Pakoba Kurangnya pengetahuan maupun kepedulian tentang pentingnya
Syzygium sp. keanekaragaman hayati, menyebabkan tingkat penurunan biodiversitas saat
Morfologi ini cukup tinggi. Untuk mengurangi laju penurunan biodiversitas, perlu
Klorofil dilakukan pendataan dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada, baik
untuk kebutuhan lokal, nasional, regional bahkan global.
Pakoba adalah salah satu jenis tumbuhan dari family Myrtaceae dalam ordo
Myrtales. Tumbuhan ini merupakan jenis endemik dari Sulawesi Utara yang
saat ini populasi alaminya tak banyak lagi dan semakin sulit ditemukan.
Upaya konservasi untuk melindungi kepunahan jenis ini perlu dilakukan.
Selama ini belum banyak literature yang mengulas tentang tanaman ini,
terlebih dari segi morfologi maupun anatominya. Deskripsi struktur
morfologi pakoba diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih jauh
tentang tumbuhan ini untuk membantu upaya konservasinya.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi struktur morfologi serta kandungan
klorofil pakoba (Syzygium sp), yang berada di Fakultas Pertanian Universitas
Sam Ratulangi Manado. Data dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan, secara morfologi, tumbuhan pakoba dapat
dideskripsikan sebagai berikut : tinggi mencapai 25 m, memiliki akar banir,
percabangan monopodial, permukaan batang memperlihatkan kerak, daun
tunggal, bunga tunggal berwarna merah muda dengan benang sari dan putik
berada pada satu bunga. Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total
berturut-turut adalah : 1,346427 ppm, 1.51407 ppm dan 3.60071 ppm
ABSTRACT

Keywords: North Sulawesi is one area that is famous for its natural wealth, both flora
Biodiversity and fauna, because it is located in the Wallacea region. Lack of knowledge
Pakoba and concern about the importance of biodiversity, causing the current rate of
Syzygium sp decline in biodiversity is quite high. To reduce the rate of biodiversity
Morphology reduction, it is necessary to do data collection and management of existing
Chlorophyll biodiversity, both for local, national, regional and even global needs.
Pakoba is a type of plant in the family Myrtaceae in the order Myrtales. This
plant is an endemic species from North Sulawesi, where there is currently no
more natural population and is increasingly difficult to find. Conservation
efforts to protect this type of extinction need to be done. So far, not much
literature reviews about this plant, especially in terms of morphology and
anatomy. Descriptions of pakoba's morphological structure are expected to
provide further understanding of this plant to help its conservation efforts.

159
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

This study aims to identify the morphological structure and chlorophyll


content of pakoba (Syzygium sp), which is located in the Faculty of
Agriculture, Sam Ratulangi University, Manado. Data were analyzed
descriptively.
The results showed that morphologically, pakoba plants can be described as
follows: height reaches 25 m, has buttressed roots, monopodial branches, the
stem surface shows crust, single leaves, pink single flowers with stamens and
pistils in one flower. The total chlorophyll a, chlorophyll b and total
chlorophyll content are: 1.346427 ppm, 1.51407 ppm and 3,60071 ppm

Email Korespondensi: euisfspangemanan@gmail.com

PENDAHULUAN
Keanekaragaman tumbuhan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
sumberdayahayati Indonesia yang amat besar. Pengelolaan yang baik diperlukan supaya
keanekaragaman tersebut tidak berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Pengelolaan
keanekaragaman tersebut dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ, oleh pemerintah
maupun pihak-pihak yang peduli terhadap kekayaan alam Indonesia tersebut. Program maupun
kegiatan sebagai upaya konservasi tersebut perlu dilakukan secara terencana antara lain dengan
mengenal dan memahami terlebih dahulu sumberdaya hayati yang akan dilestarikan tersebut.
Oleh karena itu dibutuhkan data yang cukup. Eksplorasi terhadap flora maupun fauna merupakan
salah satu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data sebanyak-banyaknya
tentang sumberdaya hayati yang akan dikelola.
Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah yang terkenal akan kekayaan alamnya, baik
flora maupun fauna, karena terletak di kawasan Wallacea. Kurangnya pengetahuan maupun
kepedulian tentang pentingnya keanekaragaman hayati, menyebabkan tingkat penurunan
biodiversitas saat ini cukup tinggi. Untuk mengurangi laju penurunan biodiversitas, perlu
dilakukan pendataan dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada, baik untuk kebutuhan
lokal, nasional, regional bahkan global.
Irwanto (2007) menjelaskan bentuk yang paling umum untuk konservasi ex-situ untuk pohon
adalah tegakan hidup, yang seringkali bermula dari koleksi sumber benih dan dipelhara untuk
pengamatan. Dalam upaya melestarikan tanaman pakoba yang saat ini semakin jarang ditemui, maka
dilakukan konservasi secara ex-situ. Penanaman di komplek Fakultas Pertanian Universitas Sam
Ratulangi Manado, selain menyediakan lokasi yang terlindung bagi tanaman ini, juga menjadi
sarana pendidikan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Program Studi Kehutanan, untuk lebih
mengenal berbagai tumbuhan, terlebih tumbuhan endemic dan jenis-jenis langka
Pakoba adalah salah satu jenis tumbuhan dari family Myrtaceae dalam ordo Myrtales.
Tumbuhan ini merupakan jenis endemik dari Sulawesi Utara yang saat ini populasi alaminya tak
banyak lagi dan semakin sulit ditemukan. Upaya konservasi untuk melindungi kepunahan jenis
ini perlu dilakukan. Selama ini belum banyak literature yang mengulas tentang tanaman ini,
terlebih dari segi morfologi maupun anatominya. Deskripsi struktur morfologi pakoba
diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih jauh tentang tumbuhan ini untuk membantu
upaya konservasinya.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pakoba adalah jenis tumbuhan dari family Myrtaceae dalam ordo Myrtales. Banyak
literatur yang mengulas tentang pakoba hanya memberi nama Syzygium sp. Selama ini dianut
paham bahwa nama ilmiah dari tumbuhan ini adalah Syzygium xxx. Ada beberapa jenis dalam
genus Syzigium yang memiliki ciri berdekatan dan sering dipertukarkan nama ilmiahnya yakni
(1) Syzygium polyanthum (Wight) Walp., (2) Syzygium cumini (L.) Skeels, dan (3) Syzygium

160
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

luzonense (Merr.). Ada juga tulisan-tulisan lain yang menyebutkan pakoba dengan nama
ilmiah Trichalsia minahasae. Hasil penelitian tahap I (Pangemanan dkk, 2019), menunjukkan
bahwa ternyata bahwa barcode DNA pakoba memiliki 99% kesamaan dengan S. sandwicense.
Sebagai tumbuhan endemic, sejak dahulu pakoba banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
Sulawesi Utara. Buah pakoba walaupun rasanya sangat masam banyak dijadikan camilan, baik
dalam bentuk asinan, manisan, maupun dijadikan olahan lainnya. Kayu pakoba juga banyak
dimanfaatkan untuk bahan bangunan.
Secara umum, struktur tubuh tumbuhan tingkat tinggi terdiri dari organ vegetative (akar,
batang dan daun) serta organ generative (bunga, buah dan biji). Biji mengandung embrio
tumbuhan yang diselubungi dan dilindungi oleh kulit biji serta dilengkapi dengan sumber bahan
cadangan makanan. Dalam kondisi pertumbuhan yang memadai biji akan berkecambah dan
membentuk tumbuhan muda. Tumbuhan muda tersebut kemudian tumbuh lebih lanjut,
membentuk tumbuhan dewasa, menghasilkan bunga dan buah.
Batang merupakan tumbuhan yang umumnya terletak di atas tanah dan tempat melekatnya
bagian tumbuhan yang lain seperti akar, daun bunga maupun buah. Mengingat tempat serta
kedudukannya tersebut, maka batang dapatlah disamakan dengan sumbu tumbuhan. Batang
tumbuhan dapat dibedakan atas beberapa jenis, tergantung keras lunaknya batang. Selain itu arah
pertumbuhan cabang serta permukaan batang dapat dijadikan penciri suatu tumbuhan.
Secara umum, daun terdiri atas helai dan tangkai daun, namun, daun disebut lengkap jika
memiliki bagian-bagian : tangkai, pelepah serta helai. Daun yang hanya mempunyai helai dan
tangkai saja disebut daun bertangkai, daun yang hanya mempunyai helai dan pelepah seja disebut
daun berpelepah dan daun yang hanya memiliki helai daun saja disebut daun duduk. Beberapa
dikotil memiliki dua stipula, yang muncul dalam bentuk helai kecil, duri atau sulur.
Bunga merupakan organ reproduksi pada angiospermae. Pada bunga terdapat 4 bagian
utama : sepal, petal, stamen dan pistil. Pistil (putik) memiliki satu atau lebih karpel (bakal buah).
Pistil disebut juga ginosium (alat kelamin betina). Sepal akan membentuk kaliks (kelopak
bunga), dan petal akan membentuk corola (mahkota bunga). Jika kaliks dan corola tak dapat
dibedakan disebut perianthum (tenda bunga) yang terdiri dari tepal. Stamen terdiri atas filamen
(tangkai sari), antera (kepala sari) dan polen (serbuk sari). Stamen disebut juga androsium (alat
kelamin jantan). Kaliks dan korola adalah perhiasan bunga sedangkan stamen dan pistil adalah
alat kelamin bunga. Stamen, pistil, kaliks dan korola terletak pada reseptakulum (dasar bunga).
Bunga yang memiliki keempat bagian bunga tersebut disebut bunga lengkap. Jika stamen dan
pistil ditemukan pada satu bunga disebut bunga sempurna sedangkan jika stamen dan pistil
ditemukan pada bunga yang berbeda disebut bunga tak sempurna. Tumbuhan disebut monoseus
jika stamen dan pistil ditemukan pada satu pohon yang sama dan disebut dioseus jika stamen dan
pistil ditemukan pada pohon yang berbeda.
Buah adalah ovarium yang matang. Ada 3 tipe buah, yaitu : buah tunggal, buah berganda
dan buah majemuk. Selain itu dikenal juga buah kering dan buah berdaging.

METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel daun menggunakan teknik purposive sampling. Sampel daun yang
berada di tepi jalan raya, daun terdapat pada urutan nomor 5 kebawah (daun tua), berada di
ketinggian + 5 m dari permukaan tanah, tidak ternaungi dan dari percabangan yang menghadap
ke arah jalan raya
Analisis karakteristik morfologi menggunakan metode identifikasi berdasarkan
Tjitrosoepomo, 2016. Penentuan kadar klorofil menggunakan metode ekstraksi klorofil
(metode Wintermans and de Mots, 1965.) sebagai berikut : mengambil sampel daun segar,
dipotong-potong kecil dengan menyisihkan tulang daun. Potongan terebut diaduk dan ditimbang
sebanyak 1 gram, ditambah alkohol 96% dan digerus dengan mortar. Sampel diekstraksi dengan
penambahan alkohol 96% sebanyak 50 ml hingga seluruh klorofil terlarut. Filtrat yang diperoleh
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml kemudian ditambahkan alkohol 96% hingga volume

161
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

100 ml. Diamkan selama 24 jam, hingga klorofil terlarut seluruhnya. Ekstrak kemudian disaring
dengan kertas saring.. Larutan yang diperoleh dimasukkan pada tabung cuvet spektrofotometer
sampai garis batas yang ditentukan. Absorbansi diukur dengan menggunakan optical density
menggunakan pelarut alkohol 96% sebagai blanko dengan mengukur absorbansi (A) pada
panjang gelombang (λ) 665 nm dan 649 nm. Data absorbansi yang didapat dari spektrofotometer
kemudian diubah menjadi kadar klorofil dalam satuan ppm dengan rumus Winterman de Mots,
1965:
Klorofil Total (mg/l) = [(20 x OD649 + 6,1 x OD645)] x V/1000 x 1/W
Klorofil a (mg/l) = [(13.7 x A665) – (5.67 x A649)] x V/1000 x 1/W
Klorofil b (mg/l) = [(25.8 x A649) − (7.7 x A665)] x V/1000 x 1/W
Dimana V adalah volume dari ekstrak (ml)
W adalah bobot basah dari sampel (gr).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pakoba merupakan pohon dengan batang berkayu (lignosus), berbentuk bulat dan arah
tumbuh batang tegak lurus (erectus) Percabangan bersifat monopodial, dengan arah tumbuh
cabang condong ke atas (patens). Permukaan batang beralur dan memperlihatkan lepasnya kerak.
Pakoba memiliki akar papan (plank root)

Gambar 1. Pangkal Batang Pakoba.

Daun pakoba adalah daun tunggal, dan merupakan daun tidak lengkap, karena hanya
terdiri dari helai daun dan tangkai daun (lamina dan petiole), dengan sistim pertulangan daun
menyirip (penninervis). Helai daun berupa lembaran tipis dengan daging daun seperti kertas
(162ersama). Tidak terdapat organ tambahan seperti duri, bulu, stipula ataupun ocrea. Bentuk
daun bulat memanjang/lonjong (oblongus) dengan bagian terlebar berada di tengah daun. Ujung
daun meruncing (acuminate), tepi daun rata (entire), pangkal daun meruncing (acuminate).
Letak daun berseling (opposite). Permukaan daun tanpa rambut (glabrous), berwarna hijau muda
saat daun masih muda dan hijau tua saat daun sudah tua.
Pakoba merupakan tumbuhan berumah satu (monoecious), Bunga pakoba merupakan
bunga lengkap, karena pada bunga dapat ditemuka mahkota bunga (corolla), kelopak bunga
(calyx), tangkai bunga (pedicellus), stigma dan stamen. Calyx bersifat persisten (tumbuh
bersama buah). Sepal bersifat gamosephalus (berlekatan satu dengan lainnya) dan berlekuk.
Corolla dengan petal yang lepas, simetri radial (actinomorphus). Dasar bunga (reseptaculum)
bersifat inferior. Stamen terletak di atas calyx, jumlah stamen banyak, dan kepala sari duduk
pada tangkai. Carpel 1 per bunga (monocarpus), terdiri dari kepala putik (stigma), tangkai
(stilus) dan bakal buah (ovarium). Kepala putik berbentuk bulat. Bakal buah superior, beruang
dua. Buah pakoba merupakan buah berdaging (buni).

162
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Gambar 2. Bunga dan Buah Pakoba.

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan rumus Wintermans dan de Mots (1965),
kandungan klorofil daun pakoba adalah : klorofil a, klorofil b dan klorofil total berturut-turut
adalah : 1,346427 ppm, 1.51407 ppm dan 3.60071 ppm

PENUTUP
Secara morfologi, tumbuhan pakoba dapat dideskripsikan sebagai berikut : tinggi
mencapai 25 m, memiliki akar banir, percabangan monopodial, permukaan batang
memperlihatkan kerak, daun tunggal, bunga tunggal berwarna merah muda dengan benang sari
dan putik berada pada satu bunga. Rasa buah asam dan sepat. Kandungan klorofil a, klorofil b
dan klorofil total berturut-turut adalah : 1,346427 ppm, 1.51407 ppm dan 3.60071 ppm.

UCAPAN TERIMA KASIH


Diucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini, sehingga
penelitian ini bisa terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2016a. Diplospora minahassae Koord. [family RUBIACEAE]. Diambil 1 April
2018, dari http://plants.jstor.org/stble/10.5555/al.ap. specimen.k000763118..
Anonimous. 2016b. Tricalysia minahasae. Diambil 1 April 2018 dari
http://science.mnhn.fr/taxon/species/tricalysia/minahassae.
Anonimous. 2016c. Tricalysia minahassae. Diambil 1 April 2018, dari
https://science.mnhn.fr/institution/mnhn/collection/p/item/p03804745.
Anonimous. 2016d. Daftar jenis kayu perdagangan di Sulawesi. Diambil 1 April 2018, dari
http://www.dephut. go.id/INFORMASI/INTAG/bpkh6/Jenis%20 Pohon3.htm.
Irwanto, 2007. Konservasi Biodiversitas, https://www.irwantoshut.com. 1 April 2018
Nurrani, L. dan S. Tabba. 2012. Sifat fisis mekanis kayu pakoba dan penggunaannya sebagai
jenis endemik lokal Sulawesi Utara. Proceeding Seminar dan Pameran hasil-hasil
Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado, 23-24 Oktober 2012. Hal 125-133.
Pangemanan E. F. S., Tasirin J. S., Saroinsong F. B., 2019. Pakoba genetic diversity : A
Preliminary study of pakoba diversity. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiersitas, Vol 5 No 2 (2019), hal 276-279
Plantlist. 2016a. Syzygium polyanthum (Wight) Walp. Diambil 1 April 2018, dari
http://www.theplantlist.org/ tpl1.1/record/kew-200120.
Plantlist. 2016b. Syzygium cumini (L.) Skeels. Diambil 1 April 2018, dari
http://www.theplantlist.org/tpl1.1/ record/kew-199476.
Tjitrosoepomo, Gembong., 2016. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

163
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Wintermans, J. F. G. M. & de Mots, A. 1965. Spectrophotometric characteristics of chlorophyll


and their pheophytins in ethanol. Biochem. Biophys. Acta,109: 448-453.

164
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan dan


Hasil Dua Varietas Melon (Cucumis melo L.)
Effect of Various Dosage of NPK Fertilizer on Growth and Yield of
Two Melon Varieties (Cucumis melo L.)
Muhammad Ansar1, Bahrudin1, dan Kristoporous Tiou1
1Universitas Tadulako, Palu

ABSTRAK

Kata Kunci: Melon merupakan salah satu buah unggulan yang banyak digemari, karena
Pertumbuhan selain rasanya yang manis juga banyak mengandung vitamin dan mineral
Hasil yang penting bagi kesehatan. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
Pupuk NPK pengaruh berbagai dosis pupuk NPK (16:16:16) terhadap pertumbuhan dan
Varietas hasil dua varietas melon, telah dilaksanakan pada Juni-Agutus 2018 di
Melon Kelurahan Mamboro Kota Palu. Pada penelitian ini digunakan Rancangan
Petak Terpisah (Split Plot) dengan 3 (tiga) kali ulangan. Petak Utama adalah
varietas melon, yaitu: (V1) ME 1175 dan (V2) FR 628, sedangkan Anak
petak (Sub Plot) adalah dosis pupuk NPK (16:16:16) yaitu: (N1) 13
g/tanaman, (N2) 18 g/tanaman dan (N3) 23 g/tanaman. Hasil penelitian
menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi nyata antara varietas melon
dengan dosis pupuk NPK (16:16:16) terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman melon; Varietas melon tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan, namun melon varietas ME 1175 memberikan hasil bobot
perbuah dan bobot buah per hektar tertinggi yaitu 21,35 t.ha-1 dibandingkan
melon varietas FR 628 yaitu 17,26 t.ha-1); dan Dosis pupuk NPK 23
g.tanaman-1 menghasilkan pertumbuhan panjang tanaman dan jumlah daun
tanaman melon lebih tinggi, namun dosis pupuk NPK tidak berpengaruh
nyata terhadap hasil buah melon.
ABSTRACT
Keywords: Melon is one of the favorite fruits that are much loved, because in addition to
Growth its sweet taste it also contains many vitamins and minerals that are important
Yield for health. The research aimed to determine the effect of various doses of
NPK fertilizer NPK fertilizer (16:16:16) on the growth and yield of two varieties of melon,
Varieties was carried out in June-Agutus 2018 in Mamboro Village, Palu City. This
Melons research used Split Plot Design with 3 (three) replications. Main plot is a
variety of melons, namely: (V1) ME 1175 and (V2) FR 628, while subplot is
a dose of NPK fertilizer namely (N1) 13 g/plant, (N2) 18 g/plant and (N3) 23
g/plant. The results showed that there was no siginificant interaction between
varieties and NPK fertilizer dosages on growth and yield of melon, but the
dose of NPK fertilizer significantly affected the length of melon plants in age
21 and 28 days after planting (DAP) and number of leaves age 28 DAP. The
dose of NPK fertilizer 13 g/plant gives the highest yield of melon planting
compared to the dose of 18 g/plant and 23 g/plant. Two varieties tested did
not significantly affect the growth of melon, but the ME 1175 melon variety
produced a fruit weight of 21.35 tons/ha and significantly different from the
FR 623 variety of 17.26 tons/ha.

Email Korespondensi: apasigai@yahoo.com

165
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura penghasil buah
unggulan yang banyak digemari karena selain rasanya yang manis, juga dalam buah melon
terkandung zat-zat yang baik untuk kesehatan seperti vitamin, sodium, serta sumber potasium
yang diperlukan tubuh manusia. Potensi pasar yang baik karena tingginya permintaan buah
melon menjadi faktor pendorong bagi para petani untuk membudidayakan tanaman melon secara
intensif.
Berdasarkan data BPS (2017), produksi melon di Indonesia mengalami penurunan pada
tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2015 sebanyak 137.887 ton, dengan produktivitas 18,64
ton.ha-1 dan turun menjadi 92.434 ton dengan produktivitas 15,73 ton.ha-1 pada tahun 2017.
Produksi melon di Sulawesi Tengah mengalami peningkatan dari total produksi 1.152 ton dengan
produktivitas 12,66 ton. ha-1 pada tahun 2015 menjadi 1.713 ton dengan produktivitas 16,94
ton.ha-1 pada tahun 2017 (BPS Sulteng, 2018), namun angka produksi melon di Sulawesi Tengah
tersebut masih rendah dibandingkan dengan produksi nasional. Rendahnya produksi tanaman
melon per tahunnya selain disebabkan oleh semakin berkurangnya lahan produksi juga
disebabkan oleh manajemen produksi tanaman melon yang masih kurang, yang menyebabkan
tidak maksimalnya produktivitas tanaman melon pada suatu lahan. Rendahnya produktivitas
tanaman pada suatu lahan disebabkan oleh pengelolaan tanaman yang kurang optimal. Kegiatan
produksi tanaman termasuk di dalamnya yaitu kegiatan pemupukan dan pemilihan varietas
tanaman, kurangnya pengetahuan dalam pemupukan dan dosis anjuran yang kurang tepat serta
penggunaan varietas yang kurang sesuai dengan kondisi lingkungan menjadi penyebab
rendahnya produktivitas tanaman (Yuwono et al. 2009).
Upaya untuk mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas melon yang disebabkan
oleh masalah pemupukan, dapat dilakukan dengan penggunaan jenis dan dosis pupuk yang
sesuai. Siswadi (2016) menyatakan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, maka harus
mengikuti kaidah pemupukan diantaranya penggunaan jenis pupuk dengan dosis yang tepat.
Pemupukan tanaman melon dapat dilakukan menggunakan pupuk organik atau pupuk anorganik,
namun pupuk anorganik memperlihatkan hasil lebih cepat dibandingkan pupuk organik,
sehingga untuk meningkatkan produktivitas tanaman dapat menggunakan pupuk anorganik.
Menurut Triwulanningrum (2009), pupuk anorganik memperlihatkan hasil lebih cepat karena
unsur haranya berada dalam bentuk ion yang mudah tersedia bagi tanaman.
Pupuk anorganik dapat mengguanakan pupuk majemuk untuk peningkatan efisiensi
penggunaan pupuk. Menurut Amin (2014), pupuk majemuk mudah dalam pengaplikasiannya
juga dapat menurunkan penggunaan pupuk sebesar 33,33% dibanding pupuk tunggal. Salah satu
pupuk majemuk yang dapat digunakan yaitu pupuk NPK dengan kadar perbandingan unsur hara
16:16:16.
Penggunaan varietas sangat mempengaruhi produktivitas tanaman melon karena setiap
varietas memiliki syarat tumbuh dan adaptasi yang berbeda, sehingga penggunaan varietas yang
sesuai untuk kondisi lingkungan tertentu sangat diperlukan. Upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi rendahnya produtivitas yang disebakan oleh varietas yaitu dengan penggunaan
varietas hibrida, karena varietas hibrida memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap berbagai
kondisi lingkungan tumbuh tanaman. Di Indonesia saat ini terdapat berbagai varietas melon
hibrida diantaranya varietas ME 1175 dan Gracia F1. Kedua varietas ini memiliki respon tinggi
terhadap pemupukan dan memiliki daya adaptasi yang cukup baik pada dataran rendah.
Margianasari (2012), melon hibrida memiliki keunggulan diantaranya buahnya seragam, tahan
terhadap hama penyakit, respon terhadap pemupukan serta memiliki kualitas buah yang baik.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui
pengaruh berbagai dosis pupuk NPK (16:16:16) terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas
melon.

166
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pertumbuhan dan hasil tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, demikian
pula dengan tanaman melon. Hasil uji stabilitas dan ketahanan lima genotip melon yang
dibudidayakan pada tiga ketinggian tempat dan melaporkan bahwa melon varietas King dan
Bravo memiliki daya hasil per hektar dan ketahannan genotip terhadap lingkungan melebihi rata-
rata umumnya, serta lebih unggul dari varietas pembandingnya yaitu varietas Golden aroma dan
Ladika Iqbal et al. (2018). Disamping varietas di atas, di Indonesia terdapat berbagai jenis
tanaman melon diantaranya varietas ME 1175 dan FR 628. Melon varietas ME 1175 (Jumbo F1)
merupakan melon hibrida berasal dari dalam Negeri yang diproduksi oleh PT. Benih Citra Asia
pada tahun 2015. Melon ini merupakan hasil persilangan dari varietas ME 1034 dan ME 1077.
Melon varietas ME 1175 memiliki bentuk batang bersegi berwarna hijau terang dengan diameter
1,18 sampai 1,45 cm. Varietas ini memiliki bentuk daun membulat berwarna hijau gelap,
memiliki bunga dengan kelopak berwarna hijau terang, mahkota bunga serta kepala putiknya
berwarna kuning. Umur berbunga 25 sampai 26 HST dan umur panen 55 sampai 63 HST. Buah
berbentuk bulat telur dengan panjang buah 18,83-19,35 cm, diameter buah 15,75-16,80 cm, dan
berat perbuah yaitu 2,36-3,01 kg. Kulit buahnya berwarna hijau dengan tipe berjaring (netting)
serta daging buahnya berwarna orange kuning terang dengan rasa yang manis, kadar gula 12,50-
13ºbrix, aroma buahnya lemah dan memiliki ketebalan daging 4,03-4,65 cm daya simpan buah
pada suhu 25oC-30ºC yaitu 8-10 hari setelah panen. Biji melon ini berbentuk lonjong pipih,
berwarna putih krem dengan berat 1.000 biji yaitu 26,3 sampai 29,9 g. Kebutuhan benih per
hektar 842-947 g dengan populasi tanaman 32.000 tanaman per hektar dan hasil produksi 23,23-
29,48 ton.ha-1. Keunggulan varietas ini yaitu produksi tinggi, buahnya besar, daging buahnya
tebal dan rasanya manis. Wilayah adaptasi yaitu cocok ditanam pada dataran rendah 100 sampai
200 m dpl. (DPH, 2012).
Melon varietas FR 628 (Gracia F1) merupakan melon yang berasal dari dalam negeri hasil
produksi PT. East West Seed indonesia. Melon ini tergolong dalam varietas hibrida hasil
persilangan dari 6903-10-1-1-1A-0 (F) x 8414-B-C-A-2-1-A (M). Varietas melon ini memiliki
diameter batang 1,5-1,7 berwarna hijau, memeiliki daun berbentuk bangun jantung, dengan
ukuran daun sepanjang 17,8-19,4 cm dengan lebar 18,3-20,5 cm, berwarna hijau. Kelopak bunga
berwarna hijau dengan mahkota bunga berwarna kuning serta kepala putiknya berwarna hujau
muda, umur berbunga 23-26 HST dan umur panennya 61-64 HST. Melon varietas ini memiliki
buah berbentuk bulat dengan panjang 19,86-21,23 berdiameter 17,5-18,8 cm. Kulit buahnya
berwarna hijau kekuningan dengan tipe kulit buah berjaring (netting), daging buahnya berwarna
hijau muda pada bagian luar dan dalamnya, rasa buahnya manis dengan kandungan gula 9,6-
11,31ºbrix, kandungan air 81,32-86,04% dan aroma buah yang harum, ketebalan dagingnya yaitu
4,80-5,06 cm, berat segar per buah yaitu 1,99-2,29 kg. Biji melon ini berbentuk elips pipih
berwarna coklat kuning muda dengan berat 1.000 biji yaitu 24,37-26,64 g. Kebutuhan benih
yaitu 761,56-832,50 g.ha-1, populasi per hektar 25.000 tanaman dengan hasil 49,50-51,89 ton.ha-
1. Varietas ini memiliki keunggulan yaitu sangat tahan terhadap virus gemini, produksinya tinggi,

daging buahnya tebal serta daya simpan lama yaitu pada suhu 23oC-26ºC, buah tahan 9-10 hari
setelah panen.Wilayah adaptasi yang sesuai untuk varietas melon FR 628 yaitu pada dataran
rendah 200 m Dpl. (DPH, 2012).
Salah satu syarat agar pertumbuhan dan hasil tanaman dapat ditingkatkan adalah
kecukupan unsur hara selama periode pertumbuhannya, terutama unsur hara makro seperti unsur
N, P dan K. Pemberian pupuk kascing dan NPK (16:16:16) pada tanaman bawang merah
menunjukkan bahwa pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap bobot kering umbi per plot dengan
hasil tertinggi yaitu dengan dosis 56,4 g.plot-1 tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman, jumlah anakan, jumlah daun, bobot basah umbi dan jumlah siung per sampel bawang
merah varietas kuning (Sembiring et al., 2013). Pemberian pupuk kandang kotoran ayam dan
NPK (16:16:16) pada tanaman bawang daun, diperoleh hasil tertinggi pada kombinasi pupuk

167
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kandang ayam dan dosis NPK 45,0 g.m-2 dengan rerata tinggi tanaman 57,33 cm, rata-rata jumlah
anakan 4 buah serta berat tanaman 140,50 g.rumpun-1 (Nurhadiah dan Aprianus, 2018).
Pemberian pupuk kandang sapi dan pupuk NPK (16:16:16) pada tanaman terung ungu
diperoleh bahwa pupuk NPK berpengaruh sangat nyata terhdap tinggi tanaman terong ungu
umur 30 dan 45 HST, jumlah buah pertanaman, berat buah pertanaman serta panjang buah,
dengan perlakuan terbaik yaitu dosis NPK 20 g.tanaman-1 (Hendri et al., 2015). Sebaliknya,
perlakuan kombinasi antara biodegradable absorbent polymer dan pupuk majemuk NPK
(16:16:16) dosis 187,5 g.plot-1 (15 g.tanaman-1) serta 250 g.plot-1 (20,83 g.tanaman-1) pada tanah
miskin hara tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, umur mulai berbunga,
umur panen, berat buah, diameter buah dan jumlah buah per plot tanaman melon (Suryawati dan
Wijaya, 2012).
Menurut Lingga dan Marsono (2013), pupuk NPK merupakan pupuk majemuk yang tidak
hanya mengandung dua unsur hara saja melainkan mengadung tiga unsur hara yang dibutuhkan
tanaman sekaligus yaitu unsur Nitrogen, Posfat dan Kalium. Pupuk NPK yang ada saat ini sangat
beragam dengan kandungan unsur hara yang berbeda. Salah satu pupuk NPK yang dikenal saat
ini yaitu NPK (16:16:16).
Unsur hara Nitrogen, Posfat dan Kalium dalam pupuk NPK memiliki peran masing-masing
dalam pertumbuhan. Menurut Hardjowigeno (2010), nitrogen berfungsi untuk memperbaiki
pertumbuhan vegetatif tanaman, meningkatkan klorofil daun serta berfungsi dalam pembentukan
protein. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian Putriantari dan Santosa (2014), yang
melaporkan bahwa pemberian unsur hara N dengan cara penambahan pupuk nitrogen sebanyak
50 kg.ha-1 meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman seperti tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah cabang, jumlah akar dan panjang akar.
Unsur hara posfat berfungsi dalam proses pembentukan bunga, buah dan biji, mempercepat
pematangan, memperkuat batang dan membantu perkembangan akar serta memperkuat
imunisasi tanaman agar tahan terhadap penyakit (Hardjowigeno, 2010). Fosfor berpengaruh
nyata terhadap umur berbunga, jumlah bunga dan buah, panjang buah serta berat buah pada
tanaman timun, dengan dosis terbaik pupuk Fosfor yaitu 200 kg ha-1 (Adam, 2013).
Unsur hara Kalium berfungsi sebagai pembentuk pati, mengaktifkan Enzim,
mempengaruhi penyerapan unsur hara lain dalam hal ini mempercepat, meningkatkan daya tahan
terhadap kekeringan dan serangan penyakit, serta berperan dalam proses perkembanan akar.
Kalium adalah unsur hara makro yang banyak dibutuhkan tanaman, dan diserap tanaman dalam
bentuk ion K+. Kalium tergolong unsur yang mobile dalam tanaman baik dalam sel, jaringan
maupun xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma. Peran kalium dalam
mengatur turgor sel berkaitan dengan konsentrasi kalium dalam vakuola. Kalium dalam
sitoplasma dan kloroplas diperlukan untuk menetralkan larutan sehingga mempunyai pH 7-8
(Rahman, 2008). Bentuk K mudah tersedia adalah K dalam larutan tanah dan K yang diadsorbsi
koloid tanah. Bentuk K yang lambat tersedia adalah dalam bentuk mineral tanah (Sofyan dkk,
2011).
Pertumbuhan dan hasil tanaman mentimun pada pemberian pupuk NPK di dalam polibag,
diperoleh bahwa perlakuan pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada semua
umur pengamatan, panjang buah, diameter buah, jumlah buah per tanaman sampel dan produksi
mentimun per plot dengan perlakuan dosis NPK terbaik yaitu 600 kg.ha-1 yaitu 58 kg.plot-1 setara
dengan 9 g.polibag-1 (Purba, 2016).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2018, pada lahan petani di
Dusun Labuan Baru, Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu benih melon yang telah berumur 14 hari
di persemaian polibag dengan tinggi 5-7 cm dan telah memiliki 3-4 helai daun, yang terdiri atas
varietas ME 1175 dan FR 628, pupuk majemuk NPK (16:16:16) dengan merek dagang Mahkota,

168
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pupuk kandang ayam, fungisida Bio-M, insektisida Instop, polibag, mulsa plastik hitam perak,
selang drip, ajir, plastik sampel serta tali plastik. Alat yang digunakan yaitu cultivator, cangkul
dan sekop, pompa air, artco, knapsac sprayer, pemotong polibag, ember, timbangan analitik,
timbangan 5 kg, gunting, meteran, pelubang mulsa, dan arit.
Penelitian disusun menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan Petak
utama yaitu varietas melon (V), terdiri atas: (V1) Varietas ME 1175 dan (V2) Varietas FR 628.
Anak petak/Sub Plot yaitu Dosis pupuk mejemuk NPK (N), terdiri atas: (N1) 13 g.tanaman-1
(109,24 kg ha-1), (N2) 18 g.tanaman-1 (151,26 kg ha-1) dan (N3) 23 g.tanaman-1 (193,27 kg ha-
1). Setiap Perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 18 petak percobaan.

Lahan yang telah digemburkan, kemudian dibuatkan bedengan dengan ukuran panjang 38
m x lebar 70 cm x tinggi 20 cm. Pada bagian tengah bedengan dibuatkan larikan untuk
menempatkan pupuk kandang ayam sebanyak 4 kg/m2, kemudian tanah diratakan kembali.
Untuk pengairan digunakan sistem slang (drip irrigation), dengan cara memasang selang drip di
atas permukaan bedengan, setelah itu permukaan bedengan ditutup dengan mulsa plastik hitam-
perak, dimana bagian yang berwarna perak menghadap ke atas dan warna hitam ke bawah. Jarak
tanam melon dalam barisan tanaman adalah 70 cm, sedangkan jarak antar barisan adalah 1 m.
Pemasangan ajir dilakukan dengan cara menancapkan ajir berukuran tinggi 2 m pada bagian tepi
bedengan dengan jarak 25 cm dari lubang tanam. Setiap lubang tanam dipasang dua ajir, dan
pada bagian atasnya diikat menggunakan tali, sehingga membentuk huruf A. Pemasagan ajir ini
berfungsi sebagai tempat merambatnya tangkai tanaman dan untuk menopang buah melon.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan penyiangan. Penyiraman tanaman melon
dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari menggunakan knapsak sprayer, hingga
tanaman melon berumur satu minggu setelah tanam. Setelah itu penyiraman dilakukan
menggunakan selang drip selama 5 menit setiap bedengnya dan dilakukan 2-3 kali seminggu.
Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut semua gulma yang tumbuh
di area penelitian.
Pemupukan dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara disiramkan di sekitar akar
tanaman dan dengan cara dibenamkan di sekitar akar tanaman. Pemupukan dengan cara
penyiraman mulai dilakukan pada saat tanaman berumur 1-5 MST. Teknik pemupukan dengan
penyiraman dilakukan dengan cara melarutkan pupuk NPK (16:16:16) sesuai dosis ke dalam
wadah (bekas botol aqua gelas) yang berisi air sebanyak 200 ml, kemudian disiramkan pada
lubang tugalan pemupukan yang telah dibuat sebelumnya. Untuk pemupukan dengan cara
pembenaman pupuk dilakukan pada saat tanaman berumur 42 HST dengan cara memasukkan
pupuk NPK ke dalam lubang tugal kemudian ditutup. Pemupukan dilakukan sekali seminggu
sesuai dengan dosis yang telah ditentukan, seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Dosis Perlakuan Pemupukan NPK pada Tanaman Melon.


Umur Tanaman Dosis Pupuk NPK(gram/tanaman)
Cara Aplikasi
(HST) N1 N2 N3
7 0,5 1,0 1,5 Disiramkan
14 0,5 1,0 1,5 Disiramkan
21 1,5 2,0 2,5 Disiramkan
28 2,5 3,0 3,5 Disiramkan
35 3,5 4,0 4,5 Disiramkan
42 4,5 7,0 9,5 Dibenamkan
Jumlah 13,0 18,0 23,0

Pada tanaman melon dilakukan pemangkasan bentuk dan pemangkasan produksi.


Pemangkasan bentuk meliputi pemangkasan pucuk cabang utama dan pemangkasan batang
utama. Pemangkasan pucuk batang utama dilakukan saat tanaman melon berumur 14 HST,
dengan cara menghilangkan bagian pucuk batang utama dengan tujuan agar pertumbuhan cabang

169
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

tanaman melon lebih cepat. Pemangkasan batang utama dilakukan ketika batang utama telah
mengeluarkan cabang dengan ukuran 5-7 cm pada umur 21 HST. Pemangkasn batang utama
dilakukan dengan cara memotong batang utama dengan jarak satu ruas dari cabang yang akan
dipelihara. Cabang yang dipelihara dalam penelitian ini yaitu dua cabang yang tumbuh bersama
serta memiliki ukuran yang sama. Pemangkasan produksi meliputi pemangkasan pucuk cabang
utama (topping), pemangkasan buah dan daun. Topping dilakukan ketika tanaman berumur 42
HST, dengan cara memotong bagian pucuk cabang sebanyak tiga ruas. Tujuan pemangkasan ini
yaitu menghentikan pertumbuhan cabang, sehingga menambah bobot serta diameter buah.
Pemangkasan buah dilakukan ketika tanaman berumur 35 HST, sekaligus untuk menyeleksi
buah, dimana pada setiap cabang hanya dipelihara satu buah saja yaitu buah yang berada pada
ruas ke 5 sampai ke 7. Pemangkasan daun dilakukan bersamaan dengan pemangkasan buah, daun
dipangkas mulai dari ruas pertama sampai pada ruas ke7, dengan tujuan untuk mengurangi
kelembaban sehingga kerusakan yang disebabkan oleh hama dan penyakit dapat dikurangi.
Pengikatan dilakukan dengan cara mengikatkan cabang tanaman pada ajir agar rambatan cabang
teratur juga untuk mengikat dan menggantung tangkai buah yang posisi buahnya rendah serta
menyentuh tanah.
Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman melon dilakukan 1-2 kali setiap minggu,
tergantung pada tingkat serangan hama dan penyakit yang menyerang pada tanaman melon.
Pengendalian hama dilakukan menggunakan pestisida kimia yang diaplikasikan menggunakan
knapsak sprayer. Serangan hama dikendalikan menggunakan isektisida berbahan aktif
Sipermetrin dengan merek dagang Instop, untuk pengendalian penyakit dilakuakan dengan
menggunakan fungisida dengan merek dagang Bion-M.
Pemanenan dilakukan dalam dua tahap, dengan kriteria buah telah mencapai ukuran yang
maksimal, kondisi nat pada kulit buah telah terbentuk sempurna dan tidak terdapat lagi bulu
halus pada kulit buah, pemanenan pertama dilakukan ketika tanaman melon berumur 52 HST
dan untuk pemanenan kedua dilakukan ketika tanaman berumur 60 HST dan pemanenan kedua
varietas melon dilakukan secara bersama-sama. Pemanenan buah melon dilakukan dengan cara
memotong bagian tangkai buahnya.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, maka dilakukan pengamatan terhadap komponen
pertumbuan dan hasil tanaman melon, meliputi:
1. Panjang tanaman diukur dimulai dari pangkal batang sampai bagian pucuk tanaman dan
pengukuran dilakukan pada umur 21, 28, 35 dan 42 HST.
2. Jumlah daun yang terbentuk sempurna pada dua kedua cabang utama dihitung pada umur 21,
28, 35 dan 42 HST.
3. Diameter buah, diukur pada saat buah dipanen, dari masing-masing dua buah per tanaman.
4. Bobot per buah, ditimbang saat buah dipanen, dari masing-masing dua buah per tanaman.
5. Bobot buah per tanaman, dilakukan dengan cara menimbang kedua buah yang ada pada
masing-masing tanaman.
6. Bobot buah per hektar, dihitung berdasarkan data hasil bobot buah per tanaman yang
dikalikan dengan populasi tanaman per hektar (popuasi 6.723 tanaman/ha).

Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F atau analisis ragam pada taraf α=0,05
untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Hasil analisis ragam yang menunjukkan ada pengaruh
nyata (signifikan), dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf α=0,05 untuk
mengetahui perbedaan pertumbuhan dan hasil tanaman melon pada setiap perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Panjang Tanaman
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi nyata antara varietas dengan
pupuk NPK, begitu pula dengan perlakuan varietas tidak berpengaruh nyata, namun dosis pupuk

170
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

NPK berpengaruh nyata terhadap panjang tanaman pada umur 21 dan 28 HST. Hasil uji BNJ
0,05 (Tabel 1) menunjukan bahwa perlakuan N3 (NPK 23 g.tanaman-1) menghasilkan tanaman
melon terpanjang, sedangkan tanaman melon terpendek diperoleh pada perlakuan N1 (NPK 13
g. tanaman-1).

Tabel 1. Rata-rata Panjang Tanaman Melon Umur 21 dan 28 HST dengan Dosis Pupuk NPK Berbeda.
Jumlah daun (helai) pada
Dosis Pupuk Panjang tanaman (cm) pada umur
umur
NPK
21 HST 28 HST 28 HST
13 g/tanaman (N1) 66,08 b 127,21 b 32,83 b
18 g/tanaman (N2) 67,21 b 130,50 ab 34,46 b
23 g/tanaman (N3) 74,88 a 140,67 a 37,71 a
BNJ 5 % 6,12 12,80 3,20
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji
BNJ α=0.05.

Jumlah Daun
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi nyata antara dosis
pupuk NPK dengan varietas melon yang digunakan, begitu pula pada faktor tunggal varietas
tidak terdapat pengaruh nyata, namun dosis pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap jumlah daun
melon pada umur 28 HST. Hasil Uji BNJ α=0,05 (Tabel 1) menunjukan bahwa perlakuan N3
(NPK 23 g.tanaman-1) menghasilkan jumlah daun terbanyak (37,71 helai) serta berbeda nyata
dengan perlakuan N1 (NPK 13 g.tanaman-1) dan N2 (NPK 18 g.tanaman-1).

Diameter Buah
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa pengaruh interaksi serta pengaruh tunggal varietas
dan pupuk NPK tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap diameter buah melon. Grafik
diameter buah dua varietas melon dan dosis Pupuk NPK berbeda, seperti pada gambar 1 dan 2.

V1 (ME 1175) V2 (FR 628) N1 (13 g) N2 (18 g) N3 (23 g)

14.00 13.79
14.50 14.07
Diameter Buah (cm)
Diameter buah (cm)

13.61
14.00 13.50 13.27
13.50
13.04 13.00
13.00

12.50 12.50

Gambar 1. Rata-rata diameter buah pada dua Gambar 2. Rata-rata diameter buah dengan
varietas melon dosis NPK Berbeda

Dari Gambar 1 diketahui bahwa varietas ME 1175 (V1) menghasilkan buah dengan
diameter lebih besar dibandingkan dengan varietas FR 628 (V2), begitu pula pada perlakuan
dosis NPK terdapat kecenderungan bahwa N1 memberikan diameter buah lebih besar dibanding
dengan perlakuan N2 dan N3.
Bobot Per Buah
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi nyata antara varietas dan
dosis pupuk NPK, demikian pula dengan perlakuan dosis NPK, namun terdapat pengaruh yang

171
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

nyata terhadap varietas melon. Hasil Uji BNJ α=0,05 (Tabel 2) menunjukkan bahwa varietas ME
1175 (V1) menghasilkan bobot per buah tertinggi (rata-rata 1,58 kg.buah-1), dan berbeda nyata
dengan varietas FR 628 (V2) dengan rata-rata bobot perbuah hanya sebesar 1,28 kg.buah-1.

Tabel 2. Rata-rata Bobot Per Buah dan Bobot Buah Melon Per Hektar dengan Varietas
Berbeda.
Rata-rata bobot per buah Rata-rata bobot buah melon
Varietas
(kg) per hektar (ton)
ME 1175 (V1) 1,58 a 21,35 a
FR 628 (V2) 1,28 b 17,26 b
BNJ 5 % 0,22 2,98
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji
BNJ α=0.05.

Bobot Buah Per Hektar


Hasil sidik ragam menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi nyata antara varietas dan
dosis NPK, demikian pula dengan perlakuan dosis NPK, namun terdapat pengaruh yang nyata
terhadap varietas melon. Hasil Uji BNJ α=0,05 (Tabel 2) menunjukkan bahwa varietas ME 1175
(V1) menghasilkan bobot per buah per hektar tertinggi (rata-rata 21,35 ton.hektar-1), dan berbeda
nyata dengan varietas FR 628 (V2) dengan rata-rata bobot perbuah hanya sebesar 17,26
ton.hektar-1.

Pembahasan
Pengaruh Interaksi Varietas dan Dosis Pupuk NPK
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata
antara varietas melon dengan dosis pupuk NPK (16:16:16) pada semua parameter pengamatan
pertumbuhan dan hasil tanaman melon. Hal ini diduga karena kedua varietas yang digunakan
merupakan varietas hibrida, yang sama-sama memiliki respon yang baik terhadap pemupukan
serta kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan tumbuh, sehingga keduanya
memiliki respon yang sama terhadap dosis pupuk NPK yang diberikan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Siangian (2005), bahwa varietas hibrida selain memiliki produktivitas tinggi, juga
dirancang agar memliki sifat unggul lainnya seperti umur panen yang relatif singkat, responsif
terhadap pemupukan serta tingkat adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan.

Pengaruh Varietas
Kedua varietas melon yang dicobakan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter
pertumbuhan tanaman melon. Hal ini diduga dipengaruhi oleh teknik pemeliharaan dua cabang
pada satu tanaman, berdasarkan pengamatan di lapangan sebelum dilakuakan pemangkasan
bentuk dan pemilihan dua cabang yang akan dipelihara terlihat perbedaan pertumbuhan dari dua
varietas yang digunakan, dimana varietas FR 628 menghasilkan lebih banyak cabang lateral
dibanding dengan varietas ME 1175. Perbedaan jumlah cabang yang dihasilkan ini berpengaruh
terhadap panjang cabang, dimana varietas ME 1175 yang menghasilkan lebih sedikit cabang
lateral cenderung memberikan cabang yang lebih besar dibanding varietas FR 628, namun ketika
dilakukan pemangkasan bentuk dan pemilihan dua cabang, pertumbuhan varietas FR 628
menjadi terfokus pada pertambahan panjang cabang, sehingga panjang cabang varietas melon
ME 1175 dan FR 628 tidak terjadi perbedaan yang nyata. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yadi
et al. (2012), bahwa pemangkasan tanaman dapat meningkatkan pertumbuha karena akan terjadi
peningkatan suplai air, nutrisi dan fotosintat yang mendorong proses-proses pembelahan sel,
pembesaran sel, dan pemanjangan sel pada batang atau cabang tanaman. Begitu pula dengan
jumlah daunnya yang tidak dari kedua varietas. Hal ini karena daun tanaman melon tumbuh pada
setiap ruas cabang, karena tanaman melon yang memiliki panjang cabang hampir sama

172
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

cenderung memiliki jumlah ruas cabang yang hampir sama pula, sehingga jumlah daun yang ada
pada dua varietas tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Sama halnya dengan lilit cabang,
perlakuan varietas tidak memberikan pengaruh nyata, diduga karena pemeliharaan dua cabang
pada setiap tanaman.
Varietas tidak memberikan pengaruh terhadap diameter buah melon. Hal ini diduga
dipengaruhi oleh perlakuan dua buah pertanaman yang menyebabkan diameter buah lebih rendah
bila dibandingkan dengan deskripsi masing-masing varietas melon. Kondisi ini menyebabkan
rata-rata diametar buah pada kedua varietas melon yang digunakan tidak terjadi perbedaan yang
nyata terhadap diameter buah. Hal ini sesuai pendapat Purba et al. (2015), bahwa tanaman yang
menyisahkan dua buah per tanaman akan menghasilkan buah yang lebih kecil dibandingkan
dengan memelihara satu buah per tanaman, karena pada dua buah hasil fotosintat menjadi
terbagi-bagi sehingga buah melon masing-masing hanya mendapatkan sedikit hasil fotosintesis
dan menyebabkan ukuran buah menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan hanya satu buah
per tanaman.
Perlakuan varietas berpengaruh terhadap bobot per buah, dimana V1 (varietas ME 1175)
menghasilkan rata-rata bobot per buah tertinggi yaitu 1,58 kg, dibandingkan dengan V2 (varietas
FR 628) yang hanya menghasilkan rata-rata bobot per buah sebesar 1,28 kg. Hal ini diduga
dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman dinaman varietas melon ME 1175 secara genetik
memang memiliki bobot perbuah lebih beasar, dibandingkan dengan varietas FR 628. Menurut
DPH (2012), varietas melon ME 1175 memiliki buah berbentuk bulat telur dengan panjang buah
18,83-19,35 cm, diameter buah 15,75-16,80 cm, dan berat per buah yaitu 2,36-3,01 kg,
sedangkan varietas FR 628 memiliki buah berbentuk bulat dengan panjang 19,86-21,23,
berdiameter 17,5-18,8 cm dengan berat segar buah 1,99-2,29 kg per buah.
Varietas melon berpengaruh terhadap rata-rata bobot buah per tanaman dan rata-rata bobot
buah per hektar. Melon V1 (varietas ME 1175) menghasilkan bobot buah sebesar 21,35 ton ha-1
sedangkan V2 (varietas FR 628) hanya menghasilkan bobot buah 17,26 ton ha-1. Varietas ME
1175 lebih produktif dibanding dengan varietas FR 628 diduga karena rekomendasi wilayah
adaptasinya lebih mendekati kondisi lokasi tempat penelitian, bila dibandingkan dengan varietas
FR 628. Lokasi penelitian berada pada ketinggian kurang lebih 26,5 m Dpl. Menurut DPH (2012)
varietas ME 1175 wilayah daptasinya berada pada dataran rendah 100-200 m Dpl., sedangkan
varietas FR 628 memiliki lingkungan adaptasi lebih tinggi dari varietas ME 1175 yaitu 200 m
Dpl. Hal ini sesuai pendapat Sobir dan Siregar (2014), tanaman melon yang ditanam pada
wilayah di bawah rekomendasi wilayah adaptasinya akan menghasilkan buah dengan ukuran
yang relatif kecil, selain itu buah yang dihasilkan juga agak kering akibat dari rendahnya kadar
air pada daging buah melon.
Walaupun kondisi iklim sudah cukup sesuai untuk pertumbuhan kedua varietas melon
tersebut, karena menurut Menurut data BMKG (2019), rata-rata suhu dan kelembaban udara
pada waktu penelitian dilaksanakan yaitu masing-masing sebesar 27,73ºC dan dan 78,56%.
Menurut Daryono dan Dwi (2017), rata-rata suhu udara yang dikehendaki tanaman melon
berkisar antara 27-30ºC, dan pada suhu kurang dari 18ºC tanaman melon tidak dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik. Tanaman melon membutuhkan kelembaban udara sebesar 70-80% jika
kelembaban udara terlalu tinggi maka akan mengundang berbagai macam hama dan penyakit
yang dapat menurunkan kualitas bahkan dapat mematikan tanaman melon yang dibudidayakan.
Dari hasil penelitian diperoleh produktivitas kedua varietas lebih rendah dibanding dengan
deskripsi varietasnya khususnya pada varietas FR 628 terdapat perbedaan yang cukup besar
antara deskripsi dan hasil penelitian. Hal ini diduga selain dipengaruhi oleh faktor ketinggian
tempat juga sangat dipengaruhi oleh perbedaan teknik budidaya yang menyebabkan terjadi
perbadaan jumlah populasi tanaman antara deskripsi dan penelitian yang dilakuakan dimana
untuk varietas ME1175 pada deskripsi populasi tanaman per hektarnya sebesar 32.000 tanaman
ha-1 dan varietas FR 628 sebesar 25.000 tanaman ha-1, sedangkan pada penelitian yang dilakukan

173
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dengan teknik budidaya yang diterapkan populasi tanaman melon per hektarnya hanya sebesar
6.723 tanaman ha-1.

Pengaruh Dosis Pupuk NPK


Dosis pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap panjang tanaman melon pada umur 21 dan
28 HST, dimana perlakuan N3 (23 g.tanaman-1) menghasilkan tanaman lebih panjang
dibandingkan perlakuan pupu NKP lainnya. Hal ini diduga karena pada umur 21 sampai 28 HST
tanaman melon berada pada fase vegetatif, dimana tanaman membutuhkan unsur hara makro
dalam dosis yang lebih besar untuk mendukung pertumbuhannya, termasuk untuk pertumbuhan
batang. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Purwanto (2005), bahwa proses pertambahan tinggi
atau panjang tanaman berada pada fase vegetatif yaitu pada minggu ketiga dan keempat setelah
penanaman, karena pada saat itu tanaman memiliki respon yang tinggi untuk menyerap unsur
hara, sedangkan pada minggu pertama dan kedua setelah tanam, tanaman masih mengalami
penyesuaian akibat proses pemindahan dari pembibitan. Selanjutnya, pada umur 35 dan 42 HST
perlakuan dosis NPK tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang tanaman,
karena diduga tanaman telah berada dalam masa generatif dimana hasil fotosintesis lebih
terfokus digunakan untuk pembentukan dan perkembangan buah, sehingga pertambahan panjang
tanaman berjalan lambat atau konstan dan menyebabkan tidak terdapat perbedaan panjang
tanaman pada perlakuan yang dicobakan. Hal ini sejalan dengan pendapat Munif et al. (2006),
bahwa pertambahan ukuran tinggi tanaman lebih aktif terjadi pada awal pertumbuhan yaitu pada
pembentukan organ vegetatif dan terhenti setelah memasuki fase generatif yang dimulai dari
munculnya bunga pertama hingga pemasakan buah atau biji.
Dosis pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada pengamatan umur 28
HST dengan dosis NPK 23 g tanaman-1 menghasilkan rata-rata jumlah daun tertinggi yaitu 37,71
helai dan rata-rata jumlah daun terendah yaitu 32,83 helai pada perlakuan dosis NPK 18 g
tanaman-1. Hal ini diduga karena selain tanaman masih berada dalam fase vegetatif, juga
dikarenakan kegiatan pemangkasan bentuk yang dilakukan pada umur 21 HST., sehingga unsur
hara yang diberikan melalui penambahan pupuk NPK terfokus pada pertumbuhan cabang lateral
dan meningkatkan jumlah daun yang ada pada pada cabang lateral tanaman melon pada umur 28
HST. Menurut Lakitan (2001), batang tanaman mempunyai kandungan karbohidrat yang obtimal
dan seimbang, karena hasil fotosintesis pada saat tanaman berada pada fase vegetatif cenderung
digunakan untuk pertumbuhan batang utama, apabila dilakukan pemangkasan batang, maka
berpengaruh tehadap pertumbuhan cabang dan daun tanaman. Sebaliknya, perlakuan dosis NPK
tidak berpengaruh terhadap jumlah daun umur 21, 35 dan 45 HST. Pada umur 21 HST dosis
NPK tidak memberikan pengaruh yang nyata, hal ini diduga terjadi karena pemangkasan bentuk
yang dilakuan pada umur 14 HST hanya memangkas bagian pucuk batang utama untuk
merangsang munculnya cabang lateral, sehingga pertumbuhan tanaman melon belum terfokus
pada pertumbuhan cabang lateral karena hasil fotosintesis masih terbagi antara cabang lateral
dan batang utama dan menyebabkan dosis NPK tidak berpengaruh terhadap jumlah daun umur
21 HST. Selanjutnya, perlakuan dosis pupuk NPK tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap jumlah daun pada umur 35 dan 45, karena tanaman telah berada dalam fase generatif,
sama halnya yang terjadi pada pertumbuhan panjang tanaman umur 35 dan 45 HST .
Dari hasil penelitian diketahui bahwa perlakuan N3 (NPK 23 g.tanaman-1) memberikan
hasil tertinggi terhadap pertumbuhan tanaman melon, yaitu terhadap panjang cabang dan jumlah
daun. Hal ini diduga karena pada perlakua N3 (NPK 23 g tanaman-1) mengandung jumlah unsur
hara yang lebih tinggi dan sesuai yang dibutuhkan tanaman melon dalam proser
pertumbuhannya, dibandingkan dengan perlakuan dosis NPK lainnya, terutama kandungan
unsur hara Nitrogen yang berperan dalam pembelahan sel untuk menghasilkan pertumbuhan
tinggi atau panjang batang tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suwardi dan Roy (2009),
bahwa penambahan unsur hara N yang tinggi dan masih berada di bawah batas maksimal yang
dapat diserap perakaran tanaman akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, dimana

174
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

semakin besar jumlah N hingga batas optimum, akan menyebabkan tinggi, diametar dan jumlah
daun tanaman akan semakin besar pula.
Dosis pupuk NPK tidak berpengaruh terhadap parameter panjang dan jumlah daun pada
umur 42 HST, diduga karena tanaman melon sudah berada pada fase generatif sehingga tidak
tejadi lagi penumpukan hasil fotosintat pada organ daun tanaman melainkan hasil fotosintat
digunakan untuk pembungaan, pembentukan dan pengisian buah serta sebagian masih digunakan
untuk pertumbuhan cabang yang terjadi pada bagian pucuk cabang. Hal ini sepeti dikemukakan
Wijaya et al. (2018) bahwa pada fase generatif sebagian hasil fotosistesis digunakan untuk
perkembangan bunga dan buah tanaman serta sebagiannya lagi masih digunakan untuk
pertumbuhan vegetatif yaitu pertumbuhan pada sekitar pucuk tanaman, dan dalam keadaan
normal pada fase ini hasil fotosintat sebagian besar digunakan untuk perkembangan bunga dan
buah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dosis pupuk NPK tidak berpengaruh nyata terhadap
rata-rata diameter buah, bobot per buah, dan bobot buah per hektar. Dari hasil penelitian juga
terlihat kecenderungan penurunan hasil tanaman melon akibat dari peningkatan dosis pupuk
yang diberikan. Hal ini diduga terjadi akibat suplai unsur hara nitrogen yang terlalu tinggi yang
menyebabkan hasil tanaman menurun seiring dengan meningkatnya dosis pupuk NPK yang
diberikan. Besarnya suplai unsur nitrogen disebabkan oleh pemupukan dasar menggunakan
pupuk kandang ayam dengan dosis kurang lebih 40 ton ha-1, yang berarti total unsur nitrogen
yang diberikan yaitu sebesar 400 kg ha-1, karena menurut Baherta (2008), unsur hara yang
terkandung dalam pupuk kandang ayam setiap tonnya adalah 10 kg nitrogen, 8 kg P2O5 dan 4 kg
K2O. Ketika dilakukan pemupukan susulan menggunakan pupuk NPK dosis sesuai perlakuan,
maka jumlah unsur nitrogen semakin meningkat, dan diduga sudah melebihi kebutuhan nitrogen
tanaman melon terhadap unsur nitrogen. Hal ini seperti dikemukakan Samadi (1995), bahwa
kebutuhan nutrisi tanaman melon yaitu sebesar 182,25 kg nitrogen.ha-1, 378 kg P205.ha-1 dan 567
kg K2O.ha-1. Jika dikalkulasi suplai nitrogen dari pupuk dasar dan dosis pupuk NPK dari
perlakuan, maka nitrogen yang diberikan telah melebihi kebutuhan tanaman melon, namun
jumlah suplai unsur P dan K untuk tanaman melon pada dasar belum tercukupi. Perlakuan NPK
yaitu N1, N2 dan N3 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil melon, diduga
karena perlakuan N2 dan N3 dengan dosis yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan N1 tidak
terjadi peningkatan hasil tanaman melon seiring dengan peningkatan dosisnya melainkan
menyebabkan hasil tanaman menurun akibat dari pertumbuhan vegetatifnya yang dominan,
sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perlakuan dosis NPK yang diberikan.
Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Ruhnayat (2007), bahwa tanaman yang dipupuk
nitrogen berlebihan hanya akan mengakibatkan peningkatan hara pada jaringan tanamannya
yang ditandai dengan lebatnya pertumbuhan tanaman tetapi buahnya sedikit serta mengakibatkan
hasil panennya menurun.

PENUTUP
Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Tidak terdapat interaksi nyata antara varietas melon dengan dosis pupuk NPK (16:16:16)
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman melon.
2. Varietas melon tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, namun melon varietas ME
1175 memberikan hasil bobot perbuah dan bobot buah per hektar tertinggi yaitu 21,35 t.ha-1
dibandingkan melon varietas FR 628 yaitu 17,26 t.ha-1).
3. Dosis pupuk NPK 23 g.tanaman-1 menghasilkan pertumbuhan panjang tanaman dan jumlah
daun tanaman melon lebih tinggi, namun dosis pupuk NPK tidak berpengaruh nyata terhadap
hasil buah melon.

175
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Saudara Tri Ariyadi atas dukungannya
memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di kebun melonnya serta bantuan teknis
lainnya, sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
Adam, S.Y., 2013. Pengaruh Pemberian Pupuk Fosfor pada Pertumbuhan Dan Produksi
Tanaman Mentimun (Cucumis sativum L.). [Skripsi]. Agroteknologi Fakultas Pertanian,
Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.
Amin M.N., 2014. Sukses Bertani Buncis. Garudhawaca, Yogyakarta. 145 hal.
Baherta, 2009. Respon Bibit Kopi Arabika pada Beberapa Takaran Pupuk Kandang Kotoran
Ayam. Jurnal Ilmia Tambua Vol 8 No. 1 :467-472
BMKG, 2019. Data Rata-Rata Kelembaban dan Suhu Udara Bulanan Stasiun Meteorologi
Mutiara Sis Al Jufri Palu Tahun 2018. Kota Palu.
BPS Sulteng, 2018. Data Produksi Tanaman Melon. BPS, Sulawesi Tengah. Kota Palu
BPS, 2017. Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan Indonesia 2016.
Melaluiwww.bps.go.id/publicatiaon/2017/10/02/ statistiktanaman buah-buahan dan
sayuran tahunan indonesia.html. Jakarta. Diakses 30 November 2018.
DPH, 2012. Pengumukman Hasil Pemeriksaan dan Penilaian Dokumen Pendaftaran Varietas
Hortikultira. Direktorat Perbenihan Hortikultura. www.varitas.net. Diakses 20 Januari
2019.
Hardjowigeno, S.H., 2015. Ilmu Tanah. Cetakan Ke VIII, Cv. Akademika Pressindo. Jakarta
305 hal.
Hendri, M., M. Napitupulu, dan A. P. Sujalu, 2015. Pengaruh pupuk kandang sapi dan pupuk
NPK terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman terung ungu (Solanum melongena L.).
Jurnal Agrifor, 14(2):213-220.
Iqbal, M., E. Ambarwati, dan S. Mitrowihardjo, 2018. Stabilitas Hasil dan Ketahanan Lima
Genotip Melon (Cucumis melo L.) yang Dibudidayakan di Tiga Ketinggian Tempat.
Vegetalika, 7(2):30-38.
Lakitan, B., 2001. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lingga, P. dan Marsono, 2013. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Edisi Revisi. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Margianasari, A.F., 2012. Bertanam Melon Eksklusif di Dalam Pot. Penebar Swadaya, Bogor.
74 hal.
Munif, G., A.A. Sandra, M. Maya, D. Nurwita dan A. Sri, 2006. Aktifitas Nitrogenase, Hara dan
Pertumbuhan Dua Varietas Kedelai pada Kondisi Jenuh Air dan Kering. Buletin
Agronomi, Vol 34 No. 1 : 32-38
Nurhadila dan Aprianus, 2018. Pengaruh Pupuk Kandang Kotoran Ayam dan NPK Mahkota
Terhadap Pertumbuhan Serta Hasil Tanaman Bawang Daun (Allium fistulosum L.) pada
Tanah PMK. Piper 14:286-297
Purba, D. W., 2016. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis sativum L.)
Terhadappemberian Pupuk NPK dan Air Kelapa di Polibag. Jurnal Penelitian BERNAS,
10(2):52-63.

176
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Purba, J.O., A. Barus, dan Syukri, 2015. Respon Pertumbuhan dan Produksi Semangaka
(Citrullus vulgaris S.) terhadap Pemberian Pupuk NPK dan Pemangkasan Buah. Jurnal
Online Agroteknologi. Vol 3 No. 2 :595-605.
Purwanto, A. 2005. Usaha Tani Cabai Rawit. Cetakan Ke VI. Kanisius, Yogyakarta.
Putriantari, M., dan E. Santosa 2014. Pertumbuhan dan Kadar Alkaloid Tanaman Leunca
(Solanum americanum) pada Beberapa Dosis Nitrogen. Jurnal. Hort. Indonesia. 5(3):175-
182.
Ruhnayat A., 2007. Penentuan Kebutuhan Pokok Unsur Hara N,P, K untuk Pertumbuhan
Tanaman Panili (Vanilla planifolia A.) Bul. Littro, Vol 18 No.1 :49-59
Sembiring N., B.J.D. Sengli, dan J. Ginting, 2013. Tanggapan Pertumbuhan dan Produksi
Bawang Merah (Allium ascolanicum L.) Varietas Kuning Terhadap Pemberian Kompos
Kascing Dan Pupuk NPK. Jurnal Online Agroteknologi. 2(1):226-278.
Siagian M.H., 2005. Budidaya Jagung Lokal dan Varietas Unggul Dengan Memanfaatkan
Kelimpahan Air Embung di Ekafalo Timur Tengah, NTT. Balitbang Botani-LIPI, Bogor.
Siswadi, H., 2016. Panduan Praktis Agribisnis Kelapa Sawit Rakyat Berwawasan Lingkungan.
Deepublish. Yogyakarta 223 hal.
Sobir dan F. D. Siregar, 2014. Berkebun Melon Unggul. Penerbar Swadaya. Jakarta..
Suryawati dan R. Wijaya, 2012. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Melon Terhadap
Kombinasi Biodegradable Super Absorbent Polymer dengan Pupuk Majemuk NPK di
Tanah Miskin Hara. Agrium 17:155-162.
Suwardi dan E. Roy, 2009. Efisiensi Penggunaan Pupuk N pada Jagung Komposit Menggunakan
Bagan Warna Daun. Balai Penelitian Tanaman Serealia.115 Hal..
Triwulanningrum, W., 2009. Pengaruh pemberian pupuk kandamg sapi dan pupuk fosfor
terhadap pertumbuhan dan hasil buncis tegak (Phaseolus vulgaris L.) Jurnal Ilmiah
Pertanian. Vol 23 No. 4 :154-162.
Wijaya, K.A., S. Mastur dan Suparto, 2018. Peran dan Pengelolaan Hara pada Tanaman Tomat
untuk meningkatkan produktivitas Tomat. Jurnal Prespektif No. 14 :73-86.
Yadi, S., L. Karimun dan L. Sabaruddin, 2012. Pengaruh Pemangkasan dan Pemberian Pupuk
Organik Terhadap Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis sativum L.). Jurnal Penelitian
Agronomi. 1(2):107-114.
Yuwono N.W., 2009. Membangun Kesuburan Tanah Dilahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan. Vol 9, No 2 :137-141.

177
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Defoliasi terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Okra (Abelmoschus esculentus L.)
The Effect of Cocoa Pod Compost and Defoliation on The Growth and
Yield of Okra Plants (Abelmoschus esculentus L.)
Erlida Ariani1, Husna Yetti1, dan Yusni Daniati1
1Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru

ABSTRACT

Kata Kunci: Okra merupakan jenis sayuran bergizi tinggi yang apabila dikonsumsi secara
Okra rutin mampu mencegah berbagai penyakit. Okra memiliki daun bentuknya
Kompos Kulit memanjang dan melebar menyebabkan daun bawah tidak terkena sinar matahari
Buah Kakao dan bersifat sebagai sink, sehingga menjadi kompetitor bagi buah, maka perlu
Defoliasi dilakukan defoliasi. Pemenuhan kebutuhan hara tanaman okra dapat
memanfaatkan bahan organik berupa limbah kulit buah kakao yang diolah
menjadi kompos. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh interaksi
kompos kulit buah kakao dan defoliasi serta mendapatkan kombinasi dosis
kompos kulit buah kakao dan defoliasi yang terbaik terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman okra. Penelitian ini telah dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas
Pertanian Universitas Riau bulan Mei–Agustus 2018 dalam bentuk eksperimen
dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Faktor pertama
kompos kulit buah kakao (0, 4, 8 dan 12 ton.ha-1). Faktor kedua defoliasi (tanpa
defoliasi dan defoliasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi kompos
kulit buah kakao dan defoliasi berpengaruh nyata terhadap laju fotosintesis
tanaman, jumlah buah total pertanaman dan berat buah total pertanaman.
Pemberian kompos kulit buah kakao berpengaruh tidak nyata terhadap semua
parameter, sedangkan defoliasi berpengaruh nyata terhadap intensitas cahaya
diteruskan.

ABSTRACT
Keywords: Okra is a type of high nutritious vegetable which, if consumed regularly, can
Okra prevent various diseases. The elongated and widening okra leaves cause the
Cocoa Pod leaves located under the shade and are not exposed to sunlight, so the lower
Compost leaves become photosynthate competitors between the lower leaves and the fruit.
To fulfillment of nutrient needs of okra plants can utilize organic material in the
Defoliation
form of cocoa pod waste which is processed into compost. The aim of this study
was to determine the effect of interactions and the main factors of cocoa pod
compost and defoliation and to obtain a dose combination of cocoa pod composts
and the best defoliation on the growth and yield of okra plants. This research has
been carried out at the University of Riau Faculty of Agriculture Research Station
in May-August 2018 in the form of experiments with a faction arranged
according to CRD. The first factor was cocoa pod compost (0, 4, 8 dan 12 ton.ha-
1). The second factor was defoliation (without defoliation and defoliation). The

results showed that the interaction of cocoa pod compost and defoliation had
significant effect on the parameters of total fruit weight of plants and plant
photosynthesis rates. The application of cocoa pod compost has no significant
effect on all parameters, while defoliation has a significant effect on the intensity
of the light being continued.

Email Korespondensi: erlidaariani1963@gmail.com

178
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Okra merupakan jenis sayuran yang mengandung vitamin, mineral, protein, karbohidrat,
lemak, sumber kalori, serat dan mengandung flavonoid yang tinggi. Menurut El-Kader (2010)
pentingnya gizi yang terkandung dalam buah okra menjadikan tanaman tersebut banyak
diproduksi secara komersial. Mengkonsumsi okra secara rutin mampu mencegah berbagai
penyakit, seperti berpotensi menurunkan kolesterol, mencegah kanker, menurunkan berat badan,
meringankan gejala asma dan menyeimbangkan gula darah (Idawati, 2012). Akan tetapi khasiat
dari okra ini belum diketahui oleh masyarakat secara luas, sehingga membuatnya perlu
dikembangkan.
Salah satu cara untuk mengembangkan tanaman ini yaitu dengan membudidayakan
tanaman okra dengan tepat. Tanaman okra dapat tumbuh tinggi hingga 2 m, buahnya dapat
tumbuh memanjang hingga 18 cm, daunnya mempunyai ukuran 10 – 20 cm memanjang dan
melebar (Idawati, 2012).
Daun okra yang memanjang dan melebar pada jarak tanam yang rapat akan menyebabkan
daun-daun yang terletak di bawah ternaungi, akibatnya daun-daun tersebut tidak dapat
menghasilkan fotosintat (source) melainkan hanya sebagai pengguna fotosintat (sink), sehingga
daun bawah menjadi kompetitor fotosintat antara daun dengan buah. Menurut Gardner et
al.(1991) daun yang ternaungi tidak dapat berfotosintesis dengan maksimal, sehingga untuk
memenuhi kebutuhannya dalam respirasi daun tersebut akan mengambil hasil fotosintesis dari
daun di atasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan defoliasi terhadap daun bagian bawah
sehingga fotosintat tidak lagi terbagi pada bagian tanaman yang tidak produktif.
Pemanfaatan bahan organik adalah salah satu teknik budidaya pertanian organik.
Penggunaan bahan organik berperan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Berdasarkan data statistik perkebunan (2006) dalam Isroi (2007), buah kakao
menghasilkan 6.200 kg.ha-1 kulit buah dan 2.178 kg.ha-1 biji basah, dengan proporsi limbah dan
biji basah sebesar 74% : 26%. Apabila dilihat dari banyaknya limbah kulit buah kakao dapat
berpotensi mencemari lingkungan, namun dapat dimanfaatkan menjadi kompos.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis telah melakukan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Defoliasi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Okra (Abelmoschus esculentus L.)”.

KERANGKA TEORI
Okra merupakan jenis sayuran yang memiliki banyak khasiat, namun khasiat dari okra ini
belum diketahui oleh masyarakat secara luas, sehingga membuatnya perlu dikembangkan. Salah
satu cara untuk mengembangkan tanaman ini yaitu dengan membudidayakan tanaman okra
dengan tepat.
Daun yang ternaungi tidak dapat berfotosintesis dengan maksimal, sehingga untuk
memenuhi kebutuhannya dalam respirasi daun tersebut akan mengambil hasil fotosintesis dari
daun di atasnya (Gardner et al., 1991). Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan defoliasi
terhadap daun bagian bawah sehingga fotosintat tidak lagi terbagi pada bagian tanaman yang
tidak produktif. Untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah perlu upaya pemberian
pupuk organik, salah satunya adalah dengan pemberian kompos kulit kakao.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau,
Kampus Bina Widya km 12,5 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru.
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Mei sampai Agustus 2018.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih okra varietas Graniee, kompos
kulit buah kakao yang didapat dari BICCOM Fakultas Pertanian.

179
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Alat yang digunakan adalah cangkul, meteran, gunting, tali rafia, plank nama penelitian,
paranet, mistar, gembor, hand sprayer, ajir, timbangan digital, jangka sorong, lux meter, klorofil
meter, phortabel fotoshystem(licor), alat dokumentasi, dan alat tulis.
Penelitian dilakukan secara eksperimen dalam bentuk faktorial 4 x 2 yang disusun menurut
Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama yaitu pemberian kompos kulit buah kakao yang
terdiri dari:
K0 : tanpa kompos kulit buah kakao
K1 : 4 ton.ha-1
K2 : 8 ton.ha-1
K3 : 12 ton.ha-1
Faktor kedua yaitu defoliasi yang terdiri dari :
D0: Tanpa defoliasi
D1: Defoliasi
Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis
sidik ragam. Hasil analisis ragam dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Intensitas Cahaya Diteruskan

Tabel 1 menunjukkan tanaman yang tidak diberi pupuk kompos kulit buah kakao dengan
didefoliasi memperlihatkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan pemberian pupuk
kompos kulit buah kakao dengan berbagai dosis (0 kg.plot-1,1,3 kg.plot-1,2,6 kg.plot-1, 3,9
kg.plot-1) dengan tanpa defoliasi, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya terhadap
intensitas cahaya diteruskan. Hal ini diduga teknik defoliasi mengurangi jumlah daun tajuk
tanaman sehingga intensitas cahaya matahari dari atas akan diteruskan sampai kebawah,
sehingga intensitas cahaya matahari diatas tajuk dan dibawah tajuk sama. Semakin tinggi
intensitas cahaya yang diteruskan maka fotosintesis dari tanaman juga semakin optimal,
sehingga hasil fotosintesis berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan hasil tanaman.
Menurut Salisbury dan Ross (1992) cahaya matahari mempunyai peranan besar dalam proses
fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan
membukanya stomata, dan perkecambahan tanaman, metabolisme tanaman hijau, sehingga
ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat produksi tanaman.

Tabel 1. Intensitas Cahaya Diteruskan dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit


Buah Kakao dan Defoliasi (Lux).
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 702,3 b 1256 a 979,15 A
1,3 742,3 b 931,7 ab 837 A
2,6 707,3 b 1034,3 ab 870,8 A
3,9 741 b 916,3 ab 828,65 A
Rerata 723,25 B 1034,58 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan pemberian pupuk kompos kulit kakao tidak terjadi perbedaan yang
nyata antar perlakuan terhadap intensitas cahaya diteruskan. Hal ini diduga pemberian kompos
kulit buah kakao dengan berbagai dosis tidak berpengaruh terhadap intensitas cahaya diteruskan,
intensitas cahaya diteruskan ditentukan oleh tajuk yang ada disekitar tanaman, tajuk tersebut
terbentuk dari kumpulan daun, batang, dimana akan membentuk suatu kerapatan, kerapatan
tegakan yang akan menentukan ruang pertumbuhan antar tanaman serta mempengaruhi

180
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

morfologi tanaman yang menimbulkan kompetisi dalam mendapatkan cahaya, air dan unsur
hara. Tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat untuk akar, sedangkan akar
menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tajuk (Wijayanto dan Araujo
2011)
Tabel 1 menunjukkan tanaman yang didefoliasi berbeda nyata dibandingkan dengan
tanaman yang tidak didefoliasi terhadap intensitas cahaya diteruskan tanaman okra. Hal ini
diduga tajuk tanaman tersebut menjadi jarang setelah didefoliasi, sehingga mengakibatkan
intensitas cahaya matahari yang diteruskan masuk ke permukaan tanah lebih banyak. Semakin
banyak intensitas cahaya yang masuk maka tanaman dapat berfotosintesis dengan maksimal.
Peningkatan intensitas cahaya matahari merupakan sumber energi utama untuk melakukan
fotosintesis (Lakitan, 1993).

Klorofil
Tabel 2 menunjukkan pemberian pupuk kompos kulit buah kakao (1,3 kg.plot-1) dan tanpa
diberi pupuk kompos kulit buah kakao dengan masing-masing didefoliasi meningkatkan jumlah
kandungan klorofil secara nyata dibandingkan dengan pemberian pupuk kompos kulit buah
kakao 3,9 kg.plot-1 dengan defoliasi, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Hal
tersebut diduga pemberian pupuk kompos kulit buah kakao 1,3 kg.plot-1 dapat mencukupi
kebutuhan nitrogen tanaman sehingga pembentukan klorofil dapat berjalan dengan optimal,
kandungan N Total dari kompos kulit buah kakao sebesar 1,20% ditambah dengan total-N 0,62%
dari tanah lahan penelitian menunjukkan persentase N-total tinggi, dimana nitrogen tersebut
sudah dapat memenuhi untuk pembentukan klorofil. Selain itu kandungan Mg Total dari kompos
kulit buah kakao sebesar 0,61% membantu dalam penyusunan klorofil. Menurut Hanafiah (2004)
Peranan Mg terutama berperan sebagai penyusun klorofil, sintesis protein, dan sebagai aktivator
enzim. Selain itu defoliasi yang dilakukan pada tanaman okra berhubungan dengan cahaya
matahari yang diteruskan, dimana semakin banyak daun yang terkena cahaya matahari secara
langsung maka kapasitas penyerapan cahaya semakin meningkat, sehingga merangsang
pembentukan klorofil lebih banyak, yang mengakibatkan pembentukan luas daun akan
bertambah.

Tabel 12. Kandungan Klorofil dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit Buah
Kakao dan Defoliasi (μmol m-2)1.
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 41,51 ab 46,56 a 44,03 A
1,3 42,00 ab 46,73 a 44,36 A
2,6 42,86 ab 40,20 ab 41,53 A
3,9 42,73 ab 37,20 b 39,96 A
Rerata 42,27 A 43,05 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Laju Fotosintesis
Tabel 3 menunjukkan laju fotosintesis tanaman yang tidak diberi pupuk kompos kulit buah
kakao dengan defoliasi berbeda tidak nyata dengan tanaman yang diberi pupuk kompos kulit
buah kakao 3,9 kg.plot-1 tanpa defoliasi, 1,3 kg.plot-1 dengan defoliasi ataupun tidak didefoliasi,
namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga defoliasi berhubungan dengan
cahaya matahari yang diteruskan, sehingga cahaya matahari tersebut akan merangsang
pembentukan klorofil daun sebagai sumber energi bagi pertumbuhan tanaman, baik untuk tinggi
tanaman, penambahan daun, munculnya tunas, dan lain-lain. Pembentukan daun baru berkaitan

181
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dengan kapasitas penyerapan cahaya, dimana cahaya tesebut digunakan untuk sintesis klorofil,
yang menyebabkan pembentukan luas daun sehingga berpengaruh terhadap laju fotosintesis.
Pemberian pupuk kompos kulit buah kakao (1,3 kg.plot-1) melengkapi kebutuhan nutrisi
bagi tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh. Kandungan hara N 1,20% membantu memenuhi
kebutuhan unsur hara guna pertumbuhan dan perkembangan tanaman, utamanya untuk
pembentukan daun. Kandungan Mg total 0,61% yang terdapat didalam pupuk kompos kulit buah
kakao berperan sebagai penyusun klorofil. Pada parameter sebelumnya yaitu klorofil
menunjukkan kandungan klorofil yang paling tinggi yakni pada perlakuan K0D1 dan K1D1, hal
ini sejalan dengan parameter laju fotosintesis dimana laju fotosintesis paling tinggi yakni pada
perlakuan K0D1 dan K1D1. Elly et al.(2012) menyatakan semakin banyak kandungan klorofil
daun maka laju fotosintesis juga semakin cepat. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil berperan
penting sebagai perangkat penangkap energi sinar matahari yang dalam proses fotosintesis akan
menghasilkan ATP (adenosine-5'-triphosphate) dan NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate).

Tabel 3. Laju fotosintesis dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit Buah Kakao dan
Defoliasi (μmol CO2 m-2 s-1)
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 16,61 c 29,03 a 22,82 A
1,3 19,97 abc 26,91 ab 23,44 A
2,6 16,34 c 19,45 bc 17,89 A
3,9 21,85 abc 17,30 c 18,97 A
Rerata 18,70 A 23,17 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Tinggi Tanaman
Tabel 4 menunjukkan bahwa tanaman yang tidak diberi pupuk kompos kulit buah kakao
dan didefoliasi dapat meningkatkan tinggi tanaman okra secara nyata dibandingkan dengan
tanaman yang tidak diberi kompos kulit buah kakao dan tanpa defoliasi, namun berbeda tidak
nyata dengan perlakuan lainnya terhadap tinggi tanaman okra. Hal ini diduga pertumbuhan tinggi
tanaman okra dipengaruhi oleh defoliasi, dimana daun bawah yang didefoliasi menyebabkan
jumlah daun berkurang, berkurangnya jumlah daun memberikan pengaruh terhadap fotosintat
yang dihasilkan, fotosintat akan ditranslokasikan ke organ tanaman (sink) yang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Fotosintat pada tanaman yang didefoliasi akan
ditranslokasikan kearah pertumbuhan vegetatif menuju pertumbuhan generatif, sedangkan pada
tanaman yang tidak didefoliasi fotosintat akan ditranslokasikan pada daun-daun bawah yang
bersifat sebagai sink, sehingga perlakuan K0D1 berbeda dengan K0D0. Berdasarkan penelitian
Nadira (2009) pemberian 2 tablet pupuk dekaform dengan defoliasi pada tanaman okra
memberikan pengaruh terbaik terhadap tinggi tanaman okra.
Berdasarkan analisis tanah awal kandungan N Total, P Total, dan K Total yaitu 0,62%,
51,90% dan 14,74% menunjukkan persentase N-total tinggi, P Total tinggi, K total rendah,
ketersediaan hara didalam tanah ini sebelum penelitian cukup tinggi, sehingga hara dan mineral
yang terdapat didalam tanah cukup untuk pertumbuhan awal tanaman okra, kandungan hara
tersebut mampu menunjang pertumbuhan tanaman okra. Selain itu pada parameter sebelumnya
yakni klorofil dan laju fotosintesis, tanaman yang didefoliasi dengan tanpa pemberian kompos
kulit buah kakao (K0D1) menunjukkan kandungan klorofil yang cukup tinggi (46,56 μmol m-2),
dan laju fotosintesis tertinggi (29,03 μmol CO2m-2s-1) dibandingkan dengan perlakuan lainnya,
sehingga daun sebagai source akan mentranslokasikan fotosintat ke organ sink untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, seperti pembentukan daun, pertambahan tinggi

182
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tanaman, dan pembesaran batang. Menurut Lingga dan Marsono (2000) fungsi hara N bagi
tanaman adalah untuk merangsang pertumbuhan secara keseluruhan, khususnya batang, cabang,
dan daun, selain itu nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan hijau daun.

Tabel 4. Tinggi Tanaman Okra dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit Buah Kakao dan
Defoliasi (cm).
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 110,66 b 159,66 a 135,16 A
1,3 140,08 ab 137,83 ab 138,95 A
2,6 151,08 ab 152,58 ab 151,83 A
3,9 141,58 ab 130,25 ab 137,70 A
Rerata 135,85 A 145,60 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Diameter Batang
Tabel 5 menunjukkan pemberian pupuk kompos kulit buah kakao dosis 2,6 kg.plot-1
dengan tanpa defoliasi dapat meningkatkan diameter batang okra secara nyata dibandingkan
dengan tanaman yang tidak diberi pupuk kompos kulit buah kakao dan tanpa defoliasi serta
tanaman yang diberi pupuk kompos kulit buah kakao 3,9 kg.plot-1 dengan defoliasi, namun
berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga bahwa pemberian pupuk kompos
kulit buah kakao 2,6 kg.plot-1 dapat meningkatkan ketersediaan hara di dalam tanah dan
memperbaiki kesuburan tanah. Hara N-total sebesar 1,20%, total P2O5 0,73 % dan total K2O
5,34% yang berasal dari kompos kulit buah kakao ditambah dengan N, P dan K yang sudah
tersedia di tanah (N total 0,62%, P Total 51,90 %, K Total 14,74% ) maka N Total dengan
pemberian kompos kulit buah kakao 2,6 kg.plot-1 (N-total 145 kg.ha1) sudah melebihi kebutuhan
N okra, dimana kebutuhan N okra yaitu 100 kg.ha1, sehingga diameter batang okra dengan
perlakuan K2D0 melebihi dari deskripsi tanaman, dimana diameter dari perlakuan yang
didapatkan yaitu 3,17 cm sedangkan yang pada deskripsi 1,5 - 2 cm. Rosman et al.(2012)
menyatakan bahwa penambahan pupuk yang mengandung unsur N dan P pada tanaman dapat
meningkatkan tinggi tanaman dan diameter batang.

Tabel 15. Diameter Batang Tanaman Okra dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit Buah
Kakao dan Defoliasi (cm).
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 2,48 b 2,96 ab 2,72 A
1,3 2,60 ab 2,74 ab 2,67 A
2,6 3,17 a 2,71 ab 2,94 A
3,9 2,83 ab 2,41 b 2,62 A
Rerata 2,77 A 2,71 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Umur Berbunga Pertama


Tabel 6 menunjukkan tanaman yang tidak diberi pupuk kompos kulit buah kakao dan
didefoliasi dapat mempercepat umur berbunga tanaman okra 10,34 hari dibandingkan tanpa
pupuk kompos kulit buah kakao dan tanpa defoliasi. Peningkatan juga terlihat pada tanaman
yang diberi pupuk kompos kulit kakao dengan masing-masing dosis 2,6 kg.plot-1 baik yang
didefoliasi dan yang tidak didefoliasi namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Hal
ini diduga defoliasi pada tanaman okra menyebabkan translokasi fotosintat lebih terkonsentrasi

183
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pada fase generatif, karena fase vegetatif telah berkurang dan konsentrasi aktivitas tanaman
terutama ditujukan untuk perkembangan generatif tanaman. Menurut Kuruseng dan Hamzah
(2008) hasil fotosintesis hanya digunakan untuk fase generatif dan distribusi fotosintat tidak lagi
terbagi ke bagian daun-daun yang tidak berfungsi optimal, sehingga penggunaan cahaya matahari
lebih efisien dalam menghasilkan produksi tanaman.

Tabel 6. Umur Berbunga Tanaman Okra dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit Buah
Kakao dan Defoliasi (HST).
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 56,00 a 45,66 b 50,83 A
1,3 48,66 ab 48,33 ab 48,49 A
2,6 45,33 b 47,33 b 46,33 A
3,9 50,33 ab 48,33 ab 49,33 A
Rerata 50,08 A 47,41 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Kombinasi pemberian pupuk kompos kulit buah kakao 2,6 kg.plot-1 dengan defoliasi dan
tanpa defoliasi dapat mempercepat umur berbunga dibandingkan dengan tanpa pemberian
kompos kulit buah kakao dan tanpa defoliasi, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan
lainnya. Hal ini diduga kombinasi perlakuan tersebut saling menunjang pertumbuhan tanaman
antar satu dan yang lainnya. Kompos kulit buah kakao 2,6 kg.plot-1 mampu memberikan
lingkungan tumbuh yang baik bagi tanaman okra, terutama perkembangan akar sehingga akar
dapat menyerap unsur hara dengan optimal. Menurut Gardner et al.(1991) ketersediaan kalium
dan fosfor yang optimal bagi tanaman akan meningkatkan laju translokasi fotosintat yang sudah
tersedia dari hasil fotosintesis, sehingga mempercepat dan meningkatkan pembungaan.
Selain itu umur berbunga tanaman K0D1, K2D0 dengan K2D1 dapat mempercepat umur
berbunga 45 HST, 45 HST dan 47 HST dibandingkan dengan deskripsi yaitu 50 HST, hal ini
diduga kompos yang diberikan dengan dosis 2,6 kg.plot-1 mencukupi kebutuhan unsur hara dari
tanaman okra , salah satu unsur hara yang berperan dalam pembungaan yaitu P (phospor), adapun
kandungan P yang terdapat didalam kompos yaitu total P2O5 0,73% sedangkan berdasarkan
penelitian Rani (2017) kandungan fosfor yang terdapat di dalam kompos kulit buah kakaonya
sebesar 0,413 %, lalu ditambah dengan P yang sudah ada di tanah dengan P Total 51,90 %
menunjukkan kandungan P yang tinggi sehingga memungkinkan tanaman untuk masuk ke fase
reproduktif lebih cepat. Menurut Hanafiah (2012) unsur P akan berpengaruh terhadap fase
primordia dan pembentukan bagian reproduktif tanaman.
Defoliasi pada tanaman okra membantu mengefisiensikan fotosintat agar translokasi
fotosintat dapat terkonsentrasi pada masa pembungaan yang akan berpengaruh terhadap umur
berbunga pertama tanaman okra. Menurut pernyataan Gardner et al.(1991) fotosintat banyak
ditranslokasikan ke organ generatif sehingga dapat meningkatkan hasil dari tanaman tersebut.
Selain itu senyawa-senyawa organik dan anorganik yang terdapat didalam tanah juga digunakan
untuk perkembangan generatif tanaman. Menurut Lakitan (1993), translokasi fotosintat melalui
floem tidak saja senyawa-senyawa hasil fotosintesis tetapi juga senyawa-senyawa organik
lainnya dan beberapa senyawa anorganik.

Umur Panen Pertama


Tabel 7 menunjukkan tanaman yang tidak diberi pupuk kompos kulit buah kakao dan
didefoliasi dapat mempercepat umur panen tanaman okra 10,34 hari dibandingkan tanpa pupuk
kompos kulit buah kakao dan tanpa defoliasi. Peningkatan juga terlihat pada tanaman yang
diberi pupuk kompos kulit kakao dengan masing-masing dosis 2,6 kg.plot-1 baik yang didefoliasi

184
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dan yang tidak didefoliasi namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga
defoliasi dapat mempercepat umur panen buah okra, dimana tanaman yang didefoliasi akan
berkurang jumlah daunnya, yang menyebabkan translokasi fotosintat akan terkonsentrasi pada
pengisian buah. Hal ini dikarenakan pada fase generatif, fotosintat banyak di tranlokasikan ke
organ generatif sehingga dapat meningkatkan hasil dari tanaman tersebut ( Gardner et al., 1991).

Tabel 7. Umur Panen Tanaman Okra dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit Buah Kakao
dan Defoliasi (HST).
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 60,00 a 49,66 b 54,83 A
1,3 52,66 ab 52,33 ab 52,49 A
2,6 49,33 b 49,33 b 49,33 A
3,9 54,33 ab 52,33 ab 53,33 A
Rerata 54,55 A 50,91 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Kombinasi pemberian pupuk kompos kulit buah kakao 2,6 kg.plot-1 dengan defoliasi dan
tanpa defoliasi dapat mempercepat umur panen dibandingkan dengan tanpa pemberian kompos
kulit buah kakao dan tanpa defoliasi, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Hal
ini dikarenakan kombinasi keduanya mampu meningkatkan umur panen tanaman okra, selain itu
tanaman yang tidak diberi kompos kulit buah kakao mempercepat umur panen juga. Menurut
Dwijoseputro (1997) pemasakan buah ada hubungannya dengan pertumbuhan dan cepatnya
muncul bunga pertama yang mendukung cepatnya umur panen.
Perlakuan K0D1, K2D0 dan K2D1 meningkatkan umur panen tanaman okra 49 HST, lebih
cepat dibandingkan dengan deskripsi dari tanaman, hal tersebut berhubungan dengan parameter
sebelumnya dimana umur berbunga dari perlakuan diatas lebih cepat dari perlakuan yang
lainnya.

Jumlah Buah Total Pertanaman


Tabel 8 menunjukkan bahwa tanaman yang tidak diberi kompos kulit buah kakao dengan
defoliasi berbeda nyata dengan tanaman yang diberi kompos kulit buah kakao 1,3 kg.plot-1 baik
didefoliasi maupun yang tidak didefoliasi, serta tanpa kompos kulit buah kakao dan tanpa
defoliasi, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga bahwa jumlah
buah okra ditentukan oleh tinggi tanaman okra tersebut, semakin tinggi tanaman, semakin
banyak terbentuk buku pada batang okra, sehingga dari setiap buku akan muncul calon bunga
yang akan menjadi buah. Defoliasi menyebabkan terangsangnya tinggi tanaman okra sehingga
tanaman tersebut memiliki buku yang banyak pula, dari buku tersebut akan muncul calon buah,
banyaknya buah yang terbentuk dipengaruhi oleh kandungan P (fosfor) dan K (kalium) yang
dibutuhkan untuk perkembangannya. Berdasarkan analisis tanah awal kandungan N Total, dan
P Total yaitu 0,62%, dan 51,90% menunjukkan persentase N-total tinggi, P Total tinggi.
Kushendaro menyatakan (2015) kecukupan unsur hara fosfor dalam bentuk cadangan makanan
pada batang akan membantu merangsang pembentukan buah. Drotleff (2010) peran hara K bagi
tanaman dapat meningkatkan jumlah dan ukuran buah.
Perlakuan K0D1 juga menunjukkan laju fotosintesis yang tinggi pada parameter
sebelumnya, akibatnya fotosintat yang di translokasikan akan lebih cepat diterima sink untuk
pengisian buah ataupun perkembangan generatif lainnya

185
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 8. Jumlah Buah Total Pertanaman Okra dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit
Buah Kakao dan Defoliasi (Buah).
Pupuk Kompos Kulit Defoliasi
Rerata
Buah Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 9,33 c 25,33 a 17,33 A
1,3 17,67 b 17,67 b 17,67 A
2,6 23,33 ab 19,00 ab 21,17 A
3,9 18,67 ab 19,33 ab 19,00 A
Rerata 17,25 A 20,33 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Berat Buah Total Pertanaman


Tabel 9 menunjukkan bahwa tanaman yang tidak diberi pupuk kompos kulit buah kakao
dengan didefoliasi dapat meningkatkan berat buah total pertanaman, peningkatan juga terlihat
pada tanaman dengan pemberian kompos kulit kakao 2,6 kg.plot-1 tanpa defoliasi dibandingkan
dengan pemberian pupuk kompos kulit buah kakao 1,3 kg.plot-1 tanpa defoliasi, 3,9 kg.plot-1
dengan defoliasi, dan tanpa pemberian pupuk kompos kulit buah kakao dengan tanpa defoliasi,
namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga defoliasi menyebabkan
hasil fotosintesis lebih terkonsentrasi pada fase generatif yaitu pada masa pengisian buah.
Menurut Wiria (1966) dalam Nadira (2009), bahwa adanya pemangkasan (defoliasi) pada
tanaman dapat menyebabkan hasil (produksi) total lebih besar dan buah kelihatan lebih bersih.
Selain itu pada parameter sebelumnya yakni kandungan klorofil (46,56 μmol m-2) dan laju
fotosintesis (29,03 μmol CO2m-2s-1) pada perlakuan ini menunjukkan peningkatan, semakin
besar kandungan klorofil dan laju fotosintesis maka kemampuan menghasilkan fotosintat juga
semakin banyak, sehingga akumulasi fotosintat dapat dimanfaatkan untuk pengisian buah.

Tabel 9. Berat Buah Total Pertanaman Okra dengan Pemberian Pupuk Kompos Kulit Buah
Kakao dan Defoliasi (g).
Pupuk Kompos Kulit Buah Defoliasi
Rerata
Kakao (kg.plot-1) D0 D1
0 137,00 c 283,00 a 210,00 A
1,3 170,83 bc 195,00 abc 182,92 A
2,6 245,00 ab 209,67 abc 227,34 A
3,9 198,00 abc 176,67 bc 187,34 A
Rerata 187,71 A 216,19 A
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama atau huruf besar yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Menurut Wardlaw (1991) pada fase reproduktif pertumbuhan dan perkembangan buah dan
biji mendominasi pertumbuhan tajuk. Hal tersebut sesuai dengan perlakuan diatas dimana daun
yang di defoliasi berupa daun bawah yang ternaungi oleh daun atas sehingga hasil fotosintat dari
tanaman dapat terkonsentrasi pada pembentukan buah. Selain itu pemberian pupuk kompos kulit
buah kakao 2,6 kg.plot-1 tanpa defoliasi dapat memperbaiki kesuburan tanah serta meningkatkan
hara K pada tanah, sehingga proses pengisian buah lebih optimal. Menurut Drotleff (2010) peran
K bagi tanaman adalah meningkatkan jumlah dan ukuran buah.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Interaksi pemberian kompos kulit buah kakao dan defoliasi berpengaruh terhadap laju
fotosintesis, jumlah buah total pertanaman dan berat buah total pertanaman okra.

186
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

2. Pemberian pupuk kompos kulit buah kakao maupun defoliasi tidak berpengaruh terhadap
semua parameter pengamatan kecuali intensitas cahaya diteruskan.

Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk penanaman okra, disarankan
lebih dikembangkan lagi untuk penelitian lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Abd El-Kader , A.A., Shaaban, S.M and. M.S.Abd El-Fattah 2010. Effect of Irrigation Levels
and Organic Compost on Okra Plants (Abelmoschus esculentus L.) Grown in Sandy
Calcareous Soil. Agriculture And Biology Journal of North America.
Drotleff, T. 2010. Potassium is important. Keep almond orchads well-fertilized to avoid
potassium depletion. Journal Agric ProQuest: 130(1): 3-4.
Driyunitha. 2003. Pengaruh Waktu dan Intensitas Defoliasi Tanaman Jagung Terhadap Mutu
dan Hasil Benih Kedelai Dalam Sistem Tumpangsari. Tesis (Tidak dipublikasikan).
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Elly, F.H. M.A.V. Manese dan D. Polakitan. 2012. Pemberdayaan Kelompok Tani Ternak Sapi
Melalui Pengembangan Hijauan di Sulawesi Utara. Journal of Tropical Forage Science.
2(7):61-65.
Gardner Franklin P., Pearce R. Brent., Roger L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta UI
press. Jakarta
Goenadi. 2000. Teknik Pembuatan Kompos. Rajawali, Jakarta.
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta.
Idawati, Nurul. 2012. Peluang Besar Budidaya Okra. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
Isroi, M., 2007, Model Pengolahan Sampah Organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia Bogor. Bogor
Kuruseng M.A. dan F Hamzah. 2008. Produksi Beberapa Varietas Tanaman Jagung Pada Dua
Dosis Pupuk Urea dan Waktu Perompesan Daun di Bawah Tongkol. Jurnal
Agrivigor.7(2):158–169.
Lakitan, Beyamin. 2010. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lingga, Pinus dan Marsono. 2000. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Marschner, Horst. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Institut of Plant Nutrition Univ
Hobenheim. Fed Rep. Jerman.
Nadira, S, Hatidjah, B dan Nuraeni. 2009. Pertumbuhan dan hasil tanaman okra (Abelmoschus
esculentus) pada perlakuan pupuk dekaform dan defoliasi. Jurnal Agrisains.10 (1): 10-15.
Rosman, Rosihan., Octivia, Trisilawati dan Setiawan. 2012. Pemupukan Nitrogen, Fosfor, dan
Kalium pada Tanaman Akarwangi. Jurnal Littri. 19(1):33-40.
Salisbury, Frank. Boyer. and Cleon. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. ITB. Bandung.
Wijayanto, Nurheni., Araujo Juliao De. 2011. Pertumbuhan Tanaman Pokok Cendana
(Santalaum album Linn) pada Sistem Agroforestri di Desa Sanirin, Kecamatan Balibo,
Kabupaten Bobonaro, Timur Leste. Jurnal Silvikultur Tropika. 2(1):119-123.
Wardlaw, Ian F.1991. The Control of Carbon Partitioning in Plant. Transley No.24. New Phytol.
116:341-381.
Winarso, Sugeng. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gravamedia.
Yogyakarta.

187
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Aplikasi Limbah Ampas Sagu yang Dikomposkan dengan Beberapa


Aktivator untuk Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Terung
(Solanum melongena L.)
The Application of Composted Waste Sago with Several Activators for
Growth and Yield of Eggplant (Solanum melongena L.)
Sri Yoseva1, Idwar2, dan Elisa Apriliani3
1Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru

ABSTRAK

Kata kunci : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk
Kompos kompos ampas sagu dengan aktivator yang berbeda, serta perlakuan terbaik
Ampas sagu dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman terung. Penelitian
Aktivator telah dilaksanakan di UPT Fakultas Pertanian Universitas Riau pada bulan
Tanaman terung Mei sampai Agustus 2018 secara eksperimen dengan menggunakan
Kualitas kompos Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari enam perlakuan dan tiga
ulangan. Perlakuan meliputi S0 = Tanpa pemberian kompos, S1 = Ampas
sagu, S2 = Kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran ayam, S3 = Kompos
ampas sagu dengan aktivator EM4, S4 = Kompos ampas sagu dengan
aktivator Trichoderma, dan S5 = Kompos ampas sagu dengan aktivator
Bacillus, masing-masing sebanyak 5 ton.ha-1 atau 1,26 kg per 2,52 m2.
Parameter pengamatan meliputi kandungan N-total, P-total, K-total, pH, C-
organik, tinggi tanaman, diameter batang, hari berbunga, hari panen, berat,
diameter dan panjang buah, berat buah dan jumlah buah per tanaman, dan
produksi per plot pada tanaman terung. Kandungan unsur hara N, P, K dari
hasil kompos menggunakan masing-masing aktivator telah memenuhi
standar kualitas kompos SNI (2004). Pupuk kompos ampas sagu dengan
aktivator EM4 memiliki kandungan kimia terbaik dengan nilai pH 7,12, N-
total 0,92%, P-total 1,26%, K-total 1,16% dan C/N 33,54 dan mampu
meningkatkan produksi berat buah, diameter buah, panjang buah, jumlah
buah per tanaman, berat buah per tanaman mencapai 21,39 ton.ha-1 dan
produksi per plot tanaman terung mencapai 16,71 ton.ha-1 dalam masa empat
kali panen. Kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran ayam mampu
meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman yaitu tinggi tanaman dan
diameter batang tanaman terung.
ABSTRACT

Keywords: This research aim to find out the difference of growth and yield of eggplant
compost that treated composted waste sago with several different activators and get
sago waste the best dosage. The research was done at Experimental Garden of
activator Agriculture Faculty, Universitas Riau in Mei until August 2018
eggplant, compost experimentally using completely randomize design (CRD) that consist of six
quality treatments and repeated three times. The treatments were S0 = without
compost, S1 = sago waste, S2 = composted waste sago with chicken manure
activator, S3 = composted waste sago with EM4 activator, S4 = composted
waste sago with Trichoderma activator, and S5 = composted waste sago with
Bacillus activator, each treatment was 5 tons.ha-1 or 1,26 kg per 2,52 m2. The
observation parameters were N.total, P.total, K.total, pH, C-organic, plant
height, stem diameter, day of flowering, first day of harvesting, fruit weight,

188
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

fruit diameter, fruit length, number of fruit, fruit weight per plant, number of
fruits per plant, and yield per plot. The nutrient content of N, P, and K of
compost with several activator had qualified of compost SNI (2004). The
result of the research showed that composted waste sago with chicken manure
activator was able to increased the vegetative growth of plants that were plant
height and stem diameter of eggplant. Composted waste sago with activator
EM4 has the best chemical content with value of pH 7.12, N-total 0.92%, P-
total 1.26%, K-total 1.16% and C/N 33.54 and increased fruit weight, fruit
diameter, fruit length, number of fruits per plant, fruit weight per plant was
21.39 ton.ha-1 and yield per plot 16.71 ton.ha-1 in four times in harvesting.

Email Korespondensi: sriyoseva2018@gmail.com

PENDAHULUAN
Tanaman terung (Solanum melongena L.) merupakan komoditas sayuran yang diminati
masyarakat Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Riau tahun 2017, menunjukkan
adanya penurunan produktivitas tanaman terung di Provinsi Riau. Tahun 2014 produktivitas
tanaman terung mencapai 9,58 ton.ha-1 dan mengalami penurunan pada tahun 2015 menjadi 9,16
ton.ha-1. Perlu adanya usaha peningkatan produktivitas secara intensifikasi yaitu dengan cara
pengoptimalan lahan pertanian yang sudah ada menggunakan teknis-teknis pertanian seperti
pemupukan yang berimbang.
Pemupukan secara organik biasanya menggunakan bahan organik sisa tanaman atau
kotoran hewan dalam bentuk kompos. Bahan organik sisa hasil pengolahan batang sagu yang
berupa kulit batang dan ampas batang sagu merupakan limbah yang berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik. Namun, ampas sagu tidak dapat
langsung diberikan ke dalam tanah tanpa melalui pengomposan, Syakir (2010) menyatakan
ampas sagu segar selain banyak mengandung unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman juga
mengandung asam fenolat yang beracun sebagai penghambat pembentukan enzim metabolisme
bagi tanaman.
Proses pengomposan bahan organik yang optimal bergantung pada jenis dan aktivitas dari
berbagai jenis mikroorganisme dekomposer atau biasa disebut aktivator. Nurmajdi (2002)
melaporkan bahwa pemanfaatan EM4 sebagai aktivator dalam pengomposan pupuk kandang
sapi terbukti mampu meningkatkan hasil bawang merah dibandingkan penggunaan aktivator
lainnya seperti Aspergillus, Trichoderma dan Azotobakter. Penelitian Jasmaniar (2006)
menunjukkan bahwa adanya peningkatan produksi tanaman jagung varietas Sukmaraga menjadi
7,2 ton.ha-1 yang awalnya hanya 6 ton.ha-1 dengan penggunaan pupuk kompos sampah kota
dengan aktivator Trichoderma dibandingkan dengan penggunaan jenis kompos lainnya.
Hasil perombakan bahan organik oleh mikroorganisme menurunkan nisbah C/N mendekati
nisbah C/N tanah dan meningkatkan kandungan unsur hara, sehingga nutrisi mudah diserap oleh
tanaman. Penggunaan bahan ampas sagu yang telah dikomposkan diharapkan mampu
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman terung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia ampas sagu setelah
dikomposkan, pengaruh kompos ampas sagu yang dikomposkan dengan beberapa aktivator,
serta perlakuan terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman terung.

KERANGKA TEORITIS
Produktivitas tanaman terung dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknik budidaya salah
satunya melalui pemupukan. Pemupukan secara organik dapat menggunakan bahan organik dari
sisa hasil pengolahan batang sagu berupa kulit batang dan ampas sagu. Bahan ini merupakan
limbah yang belum termanfaatkan dan mengandung senyawa asam fenolat yang berpotensi

189
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

sebagai pencemar lingkungan, sehingga diperlukan proses pengomposan agar dapat


dimanfaatkan sebagai pupuk.
Ampas sagu segar memiliki nisbah C/N yang tinggi sehingga tidak dapat langsung
diberikan ke tanah, tetapi perlu dikomposkan lebih dahulu dengan beberapa aktivator untuk
membantu mempercepatnya. Pembuatan kompos ampas sagu adalah salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kandungan unsur hara dalam ampas sagu sehingga dapat
digunakan untuk tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Syakir (2010) kandungan hara limbah
sagu terdiri dari N, P, K, Ca dan Mg, yang akan mengalami peningkatan setelah dikomposkan
jika dibandingkan kandungan awal ampas sagu.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Kebun Percobaan Fakultas
Pertanian Universitas Riau, selama tiga bulan dimulai bulan Mei sampai dengan bulan Agustus
2018. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Air, polybag, benih terung hijau
varietas Milano, terpal, mikroorganisme aktivator (Larutan EM4, kotoran ayam, jamur
Trichoderma sp., dan bakteri Bacillus sp.), limbah ampas sagu, pupuk kandang, pestisida, dan
plastik pembungkus buah.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, parang, meteran, kep sprayer,
gembor, timbangan, jangka sorong, alat tulis dan alat dokumentasi.
Penelitian telah dilaksanakan secara eksperimen di lapangan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap dengan enam perlakuan dan masing-masing perlakuan diulangi sebanyak tiga
kali, sehingga diperoleh 18 unit percobaan (plot) dengan besar plot (1,2 x 2,1) m2. Perlakuan
terdiri dari S0=Tanpa pemberian kompos, S1= Pemberian ampas sagu, S2= kompos ampas sagu
dengan aktivator kotoran ayam, S3= kompos ampas sagu dengan aktivator EM4, S4= kompos
ampas sagu dengan aktivator Trichoderma, dan S5= kompos ampas sagu dengan aktivator
Bacillus sp., masing-masing diberikan sebanyak 5 ton.ha-1 atau 1,26 kg per 2,52 m2.
Parameter yang diamati yaitu: kandungan N-total, P-total, K-total, nilai pH, dan C-organik
pada hasil kompos, serta tinggi tanaman, diameter batang, hari berbunga pertama, hari panen
pertama, berat buah, diameter buah, panjang buah, berat buah per tanaman, jumlah buah per
tanaman, dan produksi per plot pada tanaman terung.
Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan analisis sidik ragam. Hasil
analisis sidik ragam diuji lanjut menggunakan uji DNMRT pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Kompos
Pengomposan bahan ampas sagu dilakukan secara serempak, dengan urutan matang dari
masing-masing kompos secara fisik adalah ampas sagu yang dikomposkan dengan aktivator
Bacillus sp. dan EM4 pada 41 hari setelah pengomposan (HSP), selanjutnya kompos dengan
aktivator Trichoderma pada 48 HSP, dan terakhir kompos dengan aktivator kotoran ayam pada
52 HSP.
Bahan ampas sagu mengalami perubahan kandungan unsur hara, nisbah C/N, fluktasi suhu
dan pH, serta perubahan warna ampas sagu dari putih menjadi coklat kehitaman selama terjadi
proses pengomposan. Proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme menjadi kompos
sangat bergantung pada kadar C/N pada bahan kompos. Mindawati et al. (1998) menyatakan
bahwa nisbah karbon dan nitrogen yang optimal untuk proses pengomposan yaitu 30 – 40.
Bahan ampas sagu memiliki nisbah C/N yang tinggi mencapai 166,25 dan mengandung
bahan-bahan yang sulit dirombak seperti lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Menurut Erden et
al. (2009) kandungan lignin yang tinggi pada ampas sagu menjadi faktor pembatas dalam
pengomposan karena lignin memiliki struktur kimia yang kompleks, bobot molekul yang tinggi,
dan sifat tidak larutnya dalam air membuat lignin sulit terdegradasi.

190
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Ampas Sagu Kotoran Ayam EM4

Trichoderma Bacillus sp

Gambar 1. Hasil Akhir Pengomposan dengan Aktivator Berbeda.

Pada tahap pengomposan mikroorganisme akan memperoleh asupan unsur karbon (C) dari
senyawa fenol pada ampas sagu. Mikroorganisme akan memecah senyawa fenol dan
memperoleh unsur karbon untuk pembentukan energinya dalam proses degradasi. Rustamsjah
(2001) menyatakan seiring dengan penyerapan unsur C oleh mikroorganisme dalam proses
degradasi, maka akan terjadi penurunan kadar fenol akibat pengrusakan cincin aromatik dari
senyawa fenol oleh mikroba dalam proses aerobik dan anaerobik. Pengomposan ampas sagu
dengan aktivator EM4 dan kotoran ayam lebih unggul dalam penurunan nisbah C/N menjadi
33,54 dan 35,94 dari nisbah C/N awal. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme yang bekerja
sebagai dekomposer pada penggunaan EM4 dan kotoran ayam terdapat lebih dari satu jenis
mikroorganisme dekomposer yang saling bersinergi, atau disebut dengan konsorsia
mikroorganisme.

Tabel 1. Analisis Kimia Kompos Ampas Sagu yang Telah Dikomposkan dengan Aktivator Berbeda.
Parameter
Sampel Analisis N-total P-total K-total C-organik
pH* C/N* C/P**
(%)* (%)* (%)* (%)*
Ampas Sagu 5,12 TS 0,32 S 0,36 S 0,15 S 53,2 TS 166,25 TS 147,77 M
Kompos + kotoran ayam 6,88 S 0,87 S 1,15 S 0,96 S 30,88 S 35,49 TS 26,85 M
Kompos + aktivator EM4 7,12 S 0,92 S 1,26 S 1,16 S 30,86 S 33,54 TS 24,49 M
Kompos + aktivator
7,01 S 0,75 S 1,17 S 0,83 S 30,63 S 40,84 TS 26,17 M
Trichoderma
Kompos + aktivator
6,90 S 0,72 S 1,12 S 1,49 S 26,94 S 37,41 TS 24,05 M
Bacillus sp.
Dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Riau, 2018
* Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 (S = Sesuai SNI, TS = Tidak sesuai SNI)
** Stevenson (1994), (M = Mineralisasi, I = Immobilisasi)
Djuarnani et al. (2005) menyatakan mikroorganisme yang terdapat dalam EM4 berupa
bakteri fotosintetik, bakteri Lactobacillus, Actinomycetes. Streptomyces sp., dan ragi.
Sedangkan mikroorganisme yang terdapat pada kotoran ayam berupa bakteri actinomycetes,
protozoa dan kapang (Suryani et al., 2010). Sehingga, dengan jumlah mikroorganisme
dekomposer yang lebih dari satu jenis, akan meningkatkan aktifitas degradasi dan dekomposisi
bahan organik. Seperti yang dinyatakan oleh Prakash et al. (2003), bahwa dengan penggunaan

191
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

konsorsium mikroorganisme akan memiliki hubungan saling bersinergi yang memberikan


pengaruh baik dalam proses pengomposan bahan organik.
Penggunaan aktivator Trichoderma dan Bacillus sp. telah mampu meningkatkan
kandungan unsur hara N, P dan K total sesuai dengan standar kompos SNI dan menurunkan
nisbah C/N bahan kompos dari nisbah C/N awal, meski belum sempurna. Hal ini diduga karena
jumlah bakteri dan aktifitas bakteri yang bekerja dalam dekomposisi sudah menurun sehingga
proses pelarutan N membutuhkan waktu lebih lama.
Pada akhir pengomposan, nisbah C/N belum memenuhi standar kualitas kompos SNI
(2004) untuk mendekati C/N tanah. Namun nisbah C/P yang mempengaruhi mineralisasi dan
pelepasan P ke dalam tanah menunjukkan nilai < 200, sehingga tingkat mineralisasi unsur hara
lebih besar dibandingkan immobilisasi (Stevenson, 1994). Kandungan N-total, P-total dan K-
total juga telah memenuhi standar kualitas kompos SNI (2004).

Tinggi Tanaman
Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran
ayam berbeda nyata dengan pemberian ampas sagu dan tanpa pemberian kompos, tetapi berbeda
tidak nyata dengan perlakuan lainnya dalam memacu pertumbuhan tinggi tanaman terung.
Pertumbuhan tanaman tertinggi terlihat pada pemberian kompos ampas sagu dengan
aktivator kotoran ayam, hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan unsur N yang cukup pada bahan
kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran ayam. Simanungkalit et al. (2006) menyatakan
bahwa aktivator berupa kotoran ayam relatif lebih cepat terdekomposisi dan menyediakan unsur
hara lebih cepat untuk diserap tanaman. Selain itu, penggunaan aktivator kotoran ayam dalam
pengomposan diduga membawa hormon pertumbuhan berupa sitokinin dan geberelin. Menurut
Stevenson (1994), pupuk kandang ayam mengandung asam humat, fulvat dan hormon tumbuh
yang akan memacu pertumbuhan tanaman.

Tabel 2. Tinggi Tanaman Terung dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan
Aktivator Berbeda.
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 97,44 a
Kompos dengan aktivator EM4 90,11 ab
Kompos dengan aktivator Trichoderma 88,44 ab
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 84,22 ab
Tanpa pemberian kompos 80,89 b
Ampas sagu 78,88 b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Rendahnya pertumbuhan tinggi tanaman yang diberi ampas sagu disebabkan karena
kandungan N-total pada medium tanah awal akan diimmobilisasi oleh mikroorganisme sebagai
sumber energi dalam mendekomposisi ampas sagu lebih lanjut, sehingga N tersedia bagi
tanaman menjadi berkurang dan pertumbuhan tanaman terhambat. Seperti yang dinyatakan oleh
Samekto (2008) apabila bahan organik yang diberikan ke dalam tanah memiliki nisbah C/N yang
tinggi, maka NH4+ akan terimmobilisasi oleh aktivitas mikroorganisme dalam proses
dekomposisi bahan organik lebih lanjut.
Diameter Batang
Tabel 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang tanaman terung yang diberi
kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran ayam berbeda nyata dengan pemberian ampas
sagu, tanpa pemberian kompos dan kompos dengan aktivator Trichoderma, namun berbeda tidak
nyata dengan perlakuan lainnya dalam memacu pertumbuhan diameter batang tanaman terung.
Perbedaan yang tidak nyata pada pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator berbeda
terhadap diameter tanaman, menunjukkan bahwa pemberian kompos pada media tanam akan

192
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah dalam mengikat partikel-partikel tanah sehingga


respirasi, serapan air dan hara serta perkembangan akar tanaman berjalan dengan baik.

Tabel 3. Diameter Batang Dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan Aktivator
Berbeda.
Perlakuan Diameter Batang (cm)
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 1,51 a
Kompos dengan aktivator EM4 1,48 ab
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 1,37 abc
Kompos dengan aktivator Trichoderma 1,30 bc
Tanpa pemberian kompos 1,28 b
Ampas sagu 1,25 b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf 5%

Pada penelitian Astari et al. (2014), membuktikan penggunaan pupuk hayati berpengaruh
terhadap diameter batang tanaman tomat, karena adanya optimasi kerja mikroorganisme yang
menghasilkan zat pengatur tumbuh sehingga mendukung pertumbuhan batang tanaman. Selain
itu kandungan unsur K pada tanaman turut mempengaruhi pertumbuhan diameter batang
tanaman. Rahmianna dan Bel (2001) menjelaskan adanya korelasi antara pertumbuhan tanaman
dan ketersediaan kalium pada daerah pembesaran. Apabila tanaman kekurangan unsur K pada
daerah pembesaran dan perpanjangan sel terhambat, akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Pada hasil analisis kimia kompos ampas sagu menunjukkan nilai K-total yang cukup untuk
dimanfaatkan oleh tanaman dan telah memenuhi standar kualitas kompos SNI.
Rendahnya pertumbuhan vegetatif pada tanaman yang diberi ampas sagu dipengaruhi oleh
kandungan asam fenolat yang tinggi pada ampas sagu, sehingga menghalangi pertumbuhan
vegetatif tanaman. Syakir (2005) menyatakan peningkatan asam fenolat pada tanaman
menyebabkan terhambatnya proses perpanjangan sel, menjadikan dinding sel lebih kaku dan
sulit untuk melebar dan memanjang.

Hari Berbunga Pertama


Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian kompos ampas sagu dan tanpa pemberian kompos
berbeda nyata dengan pemberian ampas sagu dalam mempengaruhi hari munculnya bunga
pertama. Hari berbunga tercepat terlihat pada pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator
kotoran ayam yaitu 38 HST dan hari bunga terlama terlihat pada pemberian ampas sagu yaitu 47
HST.
Pemberian kompos ampas sagu menunjukkan perbedaan nyata dalam mempercepat hari
berbunga dibandingkan dengan pemberian ampas sagu. Azhar et al. (2013) menyatakan umur
mulai berbunga dan mulai berbuah suatu tanaman dipengaruhi oleh genetik dan proses fisiologis
dari varietas tanaman itu sendiri. Selain itu faktor lingkungan yang berhubungan dengan proses
fotosintesis yaitu penyerapan unsur hara, air dan cahaya ikut berpengaruh terhadap munculnya
bunga. Sehingga lamanya waktu pembungaan diduga dipengeruhi oleh kurangnya ketersediaan
unsur hara bagi perkembangan tanaman akibat nilai C/N kompos yang masih tinggi dan proses
mineralisasi unsur hara di dalam tanah masih terus berjalan mengakibatkan tanaman kekurangan
unsur hara sementara.

193
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 4. Hari Berbunga Pertama dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan
Aktivator Berbeda.
Perlakuan Umur Berbunga (HST)
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 38,00 a
Kompos dengan aktivator EM4 39,66 a
Kompos dengan aktivator Trichoderma 40,00 a
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 41,00 a
Tanpa pemberian kompos 41,33 a
Ampas sagu 47,66 b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf 5%

Lama munculnya bunga pada pemberian ampas sagu, terjadi karena pengaruh kandungan
asam fenolat dan nisbah C/N yang tinggi pada ampas sagu mencapai 166,25 yang akan
mengganggu proses fisiologis tanaman. Mario (2002) mengemukakan bahwa asam-asam fenolat
di dalam tanah dapat bersifat racun bagi tanaman (fitotoksik) sehingga menghambat
pertumbuhan tanaman.

Hari Panen Pertama


Tabel 5 menunjukkan bahwa dengan pemberian ampas sagu, kompos ampas sagu dengan
aktivator berbeda, dan tanpa pemberian kompos menunjukkan hasil berbeda tidak nyata terhadap
hari panen pertama tanaman terung.

Tabel 5. Hari Panen Pertama dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan
Aktivator Berbeda.
Perlakuan Umur Panen (HST)
Kompos dengan aktivator EM4 65,00 a
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 67,66 a
Kompos dengan aktivator Trichoderma 68,33 a
Tanpa pemberian kompos 68,66 a
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 70,66 a
Ampas sagu 71,00 a
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf 5%

Ampas sagu segar yang diberikan pada tanah berupa serat kasar berkayu yang mengandung
senyawa lignin yang tinggi. Bahan organik dengan kandungan lignin yang tinggi memiliki
senyawa asam fenolat yang apabila dalam jumlah banyak akan mengganggu pertumbuhan
vegetatif dan generatif tanaman. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa tingginya
kandungan asam fenolat pada tanah akan meningkatkan kandungan asam absitat pada tumbuhan
sehingga dapat memacu pembentukan etilen, yang berdampak pada pengguguran bagian-bagian
pada tanaman seperti daun, bunga dan bakal buah.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4
memiliki hari panen tercepat yaitu 65 HST. Pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator
berbeda memiliki kandungan P-total yang telah memenuhi standar kualiatas kompos SNI,
dengan nisbah C/P < 200, sehingga akan meningkatkan mineralisasi dan pelepasan unsur P ke
dalam tanah yang dapat dimanfaatkan tanaman dalam pembentukan dan pemasakan buah.
Menurut Lingga dan Marsono (2002) unsur fosfor berperan dalam memacu pertumbuhan akar
muda dan dapat memacu pembentukan bahan-bahan penunjang proses respirasi dan mendorong
percepatan proses pembungaan dan pembentukan buah.

194
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Berat Buah
Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4 berbeda
nyata dengan tanpa pemberian kompos serta perlakuan lainnya dalam meningkatan berat buah
terung.

Tabel 6. Berat Buah dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan Aktivator
Berbeda.
Perlakuan Berat Buah (g)
Kompos dengan aktivator EM4 153,12 a
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 138,19 b
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 135,36 b
Kompos dengan aktivator Trichoderma 132,90 b
Tanpa pemberian kompos 120,61 c
Ampas sagu 101,75 d
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf 5%

Pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4 mampu meningkatkan berat buah
terung, hal ini disebabkan oleh kandungan P-total pada kompos dengan aktivator EM4 lebih
tinggi dibandingkan kompos lainnya yaitu 1,26%. Selain itu nisbah C/N dari kompos dengan
aktivator EM4 lebih rendah dari C/N kompos lainnya yaitu 33,54 yang memudahkan kandungan
unsur hara termineralisasi dan diserap oleh tanaman. Lingga dan Marsono (2002) menyatakan
bahwa unsur hara P berperan dalam proses asimilasi dan pembentukan bahan-bahan penunjang
proses respirasi, yang dapat menunjang proses pengisian dan pembentukan buah dapat terpenuhi
dan berjalan dengan baik.
Belum optimalnya pertambahan berat buah pada pemberian kompos dengan aktivator
lainnya disebabkan oleh nisbah C/N yang tinggi dan proses dekomposisi bahan kompos masih
berlanjut di dalam tanah. Novizan (2004) dalam Marvelia et al., (2006) menyatakan tanaman
akan tampak kekurangan unsur hara setelah diberi pupuk kompos yang belum terurai sempurna.
Selama proses penguraian sampai sempurna, tanaman akan bersaing dengan mikroorganisme
dekomposer dalam penyerapan unsur hara.
Pemberian ampas sagu pada tanaman menunjukkan hasil berat buah terendah yang berbeda
nyata dengan perlakuan pemberian kompos dan tidak diberi kompos. Hal ini disebabkan karena
unsur hara yang rendah dan kandungan asam fenolat yang tinggi pada bahan ampas sagu segar.
Tadano et al. (1992) menjelaskan bahwa asam-asam fenolat akan mempengaruhi proses biokimia
dan fisiologis tanaman, sehingga mempengaruhi fotosintesis dan proses metabolisme tanaman
yang berdampak pada pembentukan buah yang cenderung kecil. Sedangkan pada tanaman tanpa
diberi kompos memiliki berat buah yang lebih baik diduga karena telah tersedianya unsur hara
pada media tanah awal yaitu 0,26% N, 21,52% P dan 17,85% K yang dapat dimanfaatkan oleh
tanaman.

Diameter buah
Tabel 7 menunjukkan bahwa pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4
berbeda tidak nyata dengan kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran ayam, namun berbeda
nyata dengan pemberian perlakuan lainnya dalam meningkatkan diameter buah terung.

195
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 7. Diameter Buah Dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan Aktivator
Berbeda.
Perlakuan Diameter Buah (cm)
Kompos dengan aktivator EM4 5,48 a
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 5,35 ab
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 4,60 b
Kompos dengan aktivator Trichoderma 4,48 bc
Tanpa pemberian kompos 4,25 c
Ampas sagu 4,18 c
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Unsur makro yang utama mempengaruhi kualitas buah adalah unsur P dan K. Kandungan
P dan K total pada masing-masing kompos telah memenuhi standar kualiatas kompos SNI,
sehingga menunjukkan diameter buah yang berbeda tidak nyata. Cahyono (1995) menyatakan
bahwa unsur P berperan dalam merangsang pembentukan bunga, buah dan biji serta
mempercepat pematangan buah, sedangkan unsur K berperan dalam peningkatan karbohidrat
pada buah dan meningkatkan kualitas buah.
Pada pemberian ampas sagu menunjukkan diameter buah yang kecil, hal ini berhubungan
dengan tingginya kandungan fenol pada ampas sagu yang dapat menghambat pembentukan
Adenosin Trifosfat (ATP). Seperti yang dinyatakan oleh Suradikusumah (1996) bahwa senyawa
fenol mampu mengikat protein, sehingga akan menghambat kerja beberapa enzim dan
menghalangi pembentukan ATP. Akibat dari metabolisme yang tidak sempurna akan
mengganggu proses pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman secara keseluruhan. Terlihat
dari terganggunya transfer fotosintat dalam meningkatkan diameter buah terung.

Panjang buah
Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian ampas sagu yang dikomposkan dengan aktivator
EM4 berbeda nyata dengan pemberian ampas sagu dan tanpa diberi kompos, namun berbeda
tidak nyata dengan perlakuan lainnya dalam meningkatkan panjang buah terung.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa panjang buah pada pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator
berbeda, berbeda tidak nyata antar perlakuannya. Pada hasil analisis kimia kompos, P-total dan
K-total pada masing-masing kompos telah memenuhi standar kualitas kompos SNI. Kandungan
P-total dan K-total pada kompos dengan aktivator EM4 yang menunjukkan nilai panjang buah
terbaik adalah 1,26% dan 1,16%.

Tabel 8. Panjang Buah dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan Aktivator
Berbeda.
Perlakuan Panjang Buah (cm)
Kompos dengan aktivator EM4 24,36 a
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 23,41 ab
Kompos dengan aktivator Trichoderma 23,39 ab
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 23,32 ab
Tanpa pemberian kompos 21,37 bc
Ampas sagu 21,21 bc
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf 5%.

Menurut Novizan (2002), perkembangan buah memerlukan zat hara utama fosfor dan
kalium. Unsur P sebagai pembentuk protein dan sel baru juga untuk membantu dalam
mempercepat pertumbuhan bunga, buah dan biji. Unsur K berperan dalam memperbaiki kualitas
buah pada masa generatif.

196
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Panjang buah pada perlakuan tanpa pemberian kompos, dipengaruhi oleh perolehan unsur
hara tersedia pada tanah awal yang mengandung 0,26% N, 21,52% P dan 17,85% K yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Namun sifat fisik tanah yang padat akan menghambat pertumbuhan
akar dan penyerapan unsur hara dibandungkan dengan pemberian kompos.

Jumlah Buah per Tanaman


Tabel 9 menunjukkan bahwa pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4
berbeda nyata dengan pemberian ampas sagu, namun berbeda tidak nyata dengan pemberian
perlakuan lainnya dalam meningkatkan jumlah buah per tanaman.

Tabel 9. Jumlah Buah Per Tanaman dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan
Aktivator Berbeda.
Perlakuan Jumlah Buah per Tanaman (buah)
Kompos dengan aktivator EM4 6,11 a
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 5,66 ab
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 5,11 ab
Tanpa pemberian kompos 5,00 ab
Kompos dengan aktivator Trichoderma 4,78 ab
Ampas sagu 4,44 b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf 5%

Pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4 memiliki jumlah buah per tanaman
terbanyak yaitu masing-masing 6 buah per tanaman, sedangkan jumlah buah per tanaman
terendah pada pemberian ampas sagu tanpa pengomposan yaitu 4 buah per tanaman. Hal tersebut
karena kandungan hara yang disediakan oleh kompos ampas sagu lebih tinggi dibandingkan
unsur hara dari ampas sagu.
Unsur hara akan lebih mudah diserap oleh tanaman pada kompos ampas sagu dengan
nisbah C/N yang rendah dibandingkan nisbah C/N tinggi pada ampas sagu sebelum
dikomposkan. Seperti pernyataan Suryani (2006) bahwa bahan organik yang memiliki nisbah
C/N rendah lebih cepat menyediakan hara bagi tanaman, sedangkan bila bahan organik memiliki
nisbah C/N yang tinggi akan mengimmobilisasi hara sehingga sulit diserap oleh tanaman.

Berat Buah per Tanaman


Tabel 10 menunjukkan bahwa pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4
berbeda tidak nyata dengan pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran ayam,
namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dalam meningkatkan berat buah per tanaman.

Tabel 10. Berat Buah Per Tanaman dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan
Aktivator Berbeda.
Perlakuan Berat Buah per Tanaman (g)
Kompos dengan aktivator EM4 931,74 a
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 781,98 ab
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 652,05 bc
Kompos dengan aktivator Trichoderma 635,43 bc
Tanpa pemberian kompos 625,01 bc
Ampas sagu 498,93 c
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Jumlah populasi tanaman pada plot 2,52 m2 dengan jarak tanam 60 cm x 70 cm adalah 6
tanaman. Pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4 menunjukkan berat buah per

197
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

tanaman terbaik dari perlakuan lainnya, yaitu satu tanaman memproduksi 1 – 6 buah dalam
jangka waktu empat kali panen, tanaman dapat menghasilkan berat buah rata-rata 931 g per
tanaman setara dengan 21,39 ton.ha-1. Pada pemberian ampas sagu, tanaman memproduksi 1 –
4 buah per tanaman dalam jangka waktu empat kali panen, menghasilkan berat buah rata-rata
498 g per tanaman setara dengan 11,27 ton.ha-1.
Pembentukan buah bergantung pada tersedianya unsur N dalam proses fotosintesis pada
daun yang akan menghasilkan fotosintat untuk pembentukan dan pengisisan buah. Menurut
Soepardi (1983) jika bahan organik mempunyai nisbah C/N tinggi dimasukkan ke dalam tanah
maka flora heterotrofik yaitu bakteri, fungi dan aktinomicetes menjadi aktif dan berkembang
biak secara cepat. Keadaan tersebut akan menyebabkan nitrat di dalam tanah akan berkurang
karena dimanfaatkan oleh jasad mikro untuk membentuk jaringan tubuhnya.
Proses dekomposisis dan mineralisasi kompos ampas sagu dengan aktivator Trichoderma,
Bacillus masih terus berlanjut di dalam tanah akibat nisbah C/N yang masih tinggi, sehingga N
akan lambat tersedia bagi pertumbuhan tanaman. Khozim (2000) dalam Marvelia et al., (2006)
menyatakan bahwa bahan organik dengan nisbah C/N tinggi bila diberikan ke dalam tanah pada
awalnya akan mengalami immobilisasi N, namun selanjutnya N akan kembali tersedia karena
substrat dan sumber energi dari bahan organik menurun maka aktivitas mikroorganisme juga
akan menurun, dan N dalam biomassa mikroorganisme akan dilepaskan ke tanah.
Berat buah per tanaman yang rendah dengan pemberian ampas sagu dipengaruhi oleh
senyawa lignin yang terkandung pada serat ampas sagu menjadi toksik bagi tanaman. Hal ini
dijelaskan oleh Tadano et al. (1992) bahwa asam-asam fenolat akan mempengaruhi proses
biokimia dan fisiologis tanaman, sehingga proses fotosintesis dan pembentukan buah terung
terganggu dan produksi mengalami penurunan.

Produksi per Plot


Tabel 11 menunjukkan bahwa pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4
berbeda tidak nyata dengan pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator kotoran ayam,
namun berbeda nyata dengan pemberian perlakuan lainnya dalam meningkatkan produksi per
plot tanaman terung.

Tabel 11. Produksi Per Plot dengan Pemberian Ampas Sagu yang Dikomposkan Menggunakan Aktivator
Berbeda.
Perlakuan Produksi per Plot (g)
Kompos dengan aktivator EM4 4213,2 a
Kompos dengan aktivator kotoran ayam 3665,5 ab
Kompos dengan aktivator Bacillus sp. 3428,0 bc
Kompos dengan aktivator Trichoderma 2977,3 bc
Tanpa pemberian kompos 2751,1 cd
Ampas sagu 2223,0 d
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf 5%

Produksi buah per plot tertinggi dalam masa empat kali panen terlihat pada pemberian
kompos ampas sagu dengan aktivator EM4 yaitu 4.213 g per plot dengan ukuran plot 2,52 m2
atau 16,71 ton.ha-1. Kemudian diikuti dengan produksi pada pemberian kompos ampas sagu
dengan aktivator kotoran ayam yaitu 3.665 g per plot atau 14,54 ton.ha-1. Hal ini dipengaruhi
oleh kandungan unsur hara N, P, dan K serta nisbah C/N hasil kompos dengan aktivator EM4
dan kotoran ayam menunjukkan hasil terbaik (Tabel 1).
Hasil kompos dengan aktivator EM4 dan kotoran ayam memiliki keunggulan karena
adanya kandungan hormon giberelin dan sitokinin dalam kompos yang berguna sebagai ZPT
perangsang pertumbuhan bagi tanaman. Abidin (1989), mengemukakan bahwa zat pengatur

198
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tumbuh golongan sitokinin dan giberelin pada tanaman buah dapat mendorong pertumbuhan dan
peningkatan produksi. Bertambahnya akumulasi fotosintat meningkatkan ukuran volume, berat
buah serta produksi buah.
Belum optimalnya produksi tanaman dipengaruhi oleh bahan organik yang diberikan ke
dalam tanah masih mengalami dekomposisi lebih lanjut di dalam tanah untuk menurunkan
nisbah C/N. Musnamar (2003) menyatakan bahwa pupuk organik memiliki sifat lambat
menyediakan unsur hara bagi tanaman karena memerlukan waktu untuk proses dekomposisinya
(slow release), sehingga nutrisi kompos yang diberikan ke dalam tanah memerlukan waktu untuk
diserap seutuhnya oleh tanaman.
Rendahnya produksi tanaman dalam masa empat kali panen pada pemberian ampas sagu
yaitu 2.223 g per plot atau 8,82 ton.ha-1 disebabkan karena terganggunya pertumbuhan tanaman
akibat rendahnya pketersediaan hara dan adanya asam-asam fenolat yang berasal dari serat
ampas sagu yang menjadi racun (fitotoksik) bagi tanaman. Hal tersebut diperkuat dengan
pernyataan Einhellig (1995) bahwa asam fenolat pada tanaman dapat mempengaruhi aktivitas
metabolisme, fotosintesis, respirasi dan sintesis protein oleh tanaman.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Pengomposan bahan ampas sagu menggunakan aktivator yang berbeda menunjukkan hasil
akhir kompos dengan kandungan unsur hara N, P, dan K yang telah memenuhi standar
kualitas kompos SNI (2004), dan telah matang secara fisik yaitu memiliki warna kehitaman,
bau seperti tanah dan bertekstur remah. Peningkatan kandungan kimia kompos terbaik terlihat
pada penggunaan aktivator EM4 dengan nilai pH 7,12, N-total 0,92%, P-total 1,26%, K-total
1,16% dan C/N 33,54.
2. Pemberian kompos ampas sagu dengan aktivator EM4 (5 ton.ha-1) menunjukkan hasil terbaik
dalam meningkatkan produksi tanaman terung meliputi berat buah, diameter buah, panjang
buah, jumlah buah per tanaman, berat buah per tanaman mencapai 21,39 ton.ha-1 dan produksi
per plot (2,52 m2) mencapai 4.213 g atau 16,71 ton.ha-1 dalam masa empat kali panen.

Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman terung hijau varietas Milano, disarankan menggunakan kompos ampas sagu
dengan aktivator EM4.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 1989. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa,
Bandung.
Astari, Winda., Kristanti Indah Purwani., Warisnu Anugerahani. 2014. Pengaruh aplikasi pupuk
hayati terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman tomat (Solanum lycopersicum L.)
varietas Tombatu di PT Petrokimia Gresik. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2 (1): 1-4.
Azhar Mantali Adrian., Ikbal Bahua, dan Fitria S. Jamin. 2013. Pengaruh Pemberian Pupuk NPK
Pelangi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Terung (Solanum melongena L.).
Bone Bolango. Diakses pada 5 September 2018.
Cahyono, Bambang. 2003. Teknik Budidaya Terung. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta.
Djuarnani, Nan., Kristian dan Budi Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia
Pustaka. Jakarta
Einhellig Frank A. 1995. Allelopathy: Current Status and future goals. Chapter 1. Editor: Inderjit
KMM, Dakshini K, Einhellig FA. 1995. Acs Symposium Series: Allelopathy Organism,
Processes and Aplications. Washington DC : American Chemical Society.

199
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Erden Erme., Ucar M. Cigdem., Tekin Gezer dan Pazarlioglu Nurdan Kasikara. 2009. Screening
for lignolytic enzymes from autochthonous fungi and applicationsfor decolorization of
remazole marine blue. Braz J Microbiol. 40(2): 346-353
Simanungkalit R.D.M., Didi Ardi., Suriadikarta., Rasti Saraswati., Diah Setyorini, dan Wiwik
Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati Organic Fertilizer and Biofertilizer. Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Jasmaniar. 2006. Pengaruh Jenis Kompos dan Varietas Jagung Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Jagung. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Taman siswa
Padang
Lingga, Pinus dan Marsono. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Edisi Revisi Penebar Swadaya.
Jakarta.
Mario, Muljady D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut Dengan
Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya Oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marvelia, Awalita., Darmanti, Sri., Parman, Sarjana. 2006. Produksi Tanaman Jagung Manis
yang Diperlakukan dengan Kompos Kascing dengan Dosis yang Berbeda. Buletin Anatomi
dan Fisiologi XIV (2) : 7 – 18.
Kosasih, A.Saftari., Mindawati, Nina., Yana Sumarna dan M. Hesti Lestari Tata. 1998. Pengaruh
Beberapa Macam Limbah Organik Terhadap Mutu dan Proses Pengomposan dengan
Bantuan Efektif Mikroorganisme EM4. Buletin Penelitian Hutan. 614: 24-46
Musnamar, Effi Ismawati. 2003. Pupuk Organik Padat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Nurmajdi, I. 2002. Pemberian Beberapa Jenis Mikroorganisme Pada Pembuatan Bokashi Pukan
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Tamansiswa Padang.
Prakash, B., B.M. Veeregowda dan G. Krishnapa. 2003. Biofilms: A survival strategy of
bacteria. Curent science. 85 (9): 1299-1307.
Rahmianna, A.A., M. Bel. 2001. Telaah faktor pembatas kacang tanah. Penelitian Palawija. 5(1)
: 65-76.
Rustamsjah. 2001. Rekayasa Biodegradasi Fenol oleh Pseudomonas aeruginosa ATCC 27833.
Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Salisbury, Frank. Boyer. and Cleon. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. ITB. Bandung.
Samekto, Riyo. 2008. Bioteknologi dan Keharaan Tanaman (Mikroorganisme, Nitrogen dan
Fosfor). Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 7 (1): 66 - 84
Soepardi, Goeswono. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan tanah, Fakultas Pertanian, Institute
Pertanian Bogor. Bogor.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry Genesis, Composition, Reactien. John Willey and Sons.
New York
Suradikusumah, E. 1996. Pemisahan senyawa fenol dengan Kromatografi Kinerja Tinggi
(HPLC). Bul. Kimia 11:49-66.
Suryani, A. 2006. Kompos dan Proses Pengomposan. www.google.com//isroi.kompos_dan
_proses_pengomposan. Diakses pada September 2018.
Suryani, Yoni., Astuti., Bernadeta, Oktavia dan Siti, Umniyati. 2010. Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Asam Laktat dari Limbah Kotoran Ayam Sebagai Agensi Probiotik dan Enzim
Kolesterol Reduktase. FMIPA Biologi Universitas Negeri Yogyakarta.
Syakir, Muhammad. 2005. Potensi Limbah Sagu Sebagai Amelioran dan Herbisida Nabati Pada
Tanaman Lada Perdu. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syakir, Muhammad. 2010. Pengaruh Waktu Pengomposan dan Limbah Sagu Terhadap
Kandungan Hara, Asam Fenolat dan Lignin. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tadano, T., K. Yonebayashi, G.W. Smillie and N. Saito. 1992. Effect of Phenplic Acids on The
Growth and Occurrence of Sterility Crop Plans. In K. Kyuma, P. Vijarnsorn and A Zakaria

200
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(Eds). Coastal Lowland ecosystem in southern Thailand an Malaysia. Showado-Printing Co,


Sakyoku-Kyoto. 358-369.

201
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pertumbuhan Tanaman Sawi Pagoda (Brassica narinosa) pada Sistem


Hidroponik NFT (Nutrient Film Tecnique) dengan Rasio Nitrat :
Amonium Berbeda
Growth of Mustard Pagoda (Brassica narinosa) in the NFT (Nutrient
Film Hydroponic) System Tecnique) with Different Nitrate :
Ammonium Ratios
Agung Gumelar1, Cecep Hidayat1, dan Budy Frasetya TQ1
1UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Bandung

ABSTRAK

Kata Kunci: Hidroponik NFT merupakan salah satu sistem budidaya pertanian yang dapat
Sawi Pagoda meningkatkan pertumbuhan dan memperbaiki kualitas sayuran. Salah satu unsur
Hidroponik NFT hara yang diserap tanaman adalah Nitrogen (N). Nitrogen yang diserap tanaman
Rasio Nitrat:Amonium berupa Nitrat (NO3) dan Amonium (NH4). Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari pengaruh perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium terhadap
pertumbuhan tanaman sawi pagoda pada sistem hidroponik NFT. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2019 di screen house kelompok
tani Mekar Bayu Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten
Pangandaran, Jawa Barat. Menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
sederhana dengan lima taraf perbandingan konsentrasi nitrat dan ammonium
dengan lima kali ulangan, yaitu (100% : 0%, 75% : 25%, 50% : 50%, 25% : 75%,
0% : 100%). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan
konsentrasi nitrat dan amonium berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi
tanaman, jumlah daun, luas daun, nilai klorofil, warna daun, berat basah
brangkasan, berat segar tajuk tanaman, berat kering tanaman, dan kehilangan
berat saat masa penyimpanan. Pemberian nitrat : amonium 75% : 25% mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman sawi pagoda pada hidroponik sistem NFT.

ABSTRACT
Keywords: NFT hydroponics is one of the agricultural cultivation systems that can
Mustard Pagoda increase growth and improve the quality of vegetables. One of the nutrients
NFT Hydroponics absorbed by plants is Nitrogen (N). The nitrogen absorbed by plants is Nitrate
Nitrate:Ammonium (NO3) and Ammonium (NH4). This research aimed to study the effect of the
Ratio ratio of nitrate and ammonium concentrations on the growth of pagoda
mustard plants on the NFT hydroponic system. This research was conducted
from February to March 2019 in the screen house of Mekar Bayu farmer
group in Ciganjeng Village, Padaherang District, Pangandaran Regency,
West Java. Using a simple Complete Randomize Design (CRD) with five
levels of comparison of nitrate and ammonium concentrations with five
replications, namely (100%: 0%, 75%: 25%, 50%: 50%, 25%: 75%, 0%:
100%). Based on the results of the study showed that the ratio of nitrate and
ammonium concentration significantly affected the parameters of plant
height, leaf number, leaf area, chlorophyll value, leaf color, fresh weight,
fresh weight of yield, plant dry weight, and weight loss during storage.
Application nitrate : ammonium 75%: 25% can increase the growth of the
pagoda mustard plant on the NFT hydroponic system.

Email Korespondensi: cephidayat62@uinsgd.ac.id

202
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Tanaman sawi memiliki genus yaitu Brassica yang terdiri dari beberapa jenis yaitu sawi
putih, sawi hijau, sawi huma, dan sawi pagoda (Brassica narinosa) yang umumnya dimanfaatkan
daunnya sebagai bahan pangan baik segar maupun olahan. Telah banyak upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan dan kualitas sayuran secara konvensional tetapi hasil yang
dihasilkan masih belum memuaskan. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman yang
berdampak pada berkurangnya lahan pertanian juga salah satu faktor budidaya secara
konvensional tidak bisa diterapkan secara maksimal.
Hidroponik merupakan salah satu sistem budidaya pertanian yang dapat meningkatkan
pertumbuhan dan memperbaiki kualitas sayuran (Hendra & Andoko, 2014). Hidroponik
memiliki beberapa sistem budidaya yang berbeda berdasarkan cara kerjanya diantaranya sistem
irigasi tetes, sistem sumbu, sistem pasang surut, sistem Nutrient Film Technique (NFT), sistem
Deep Flow Technique (DFT), dan sistem rakit apung. Sistem yang sering digunakan dalam
budidaya sayuran adalah sistem NFT.
Nutrisi merupakan salah satu unsur keberhasilan dalam budidaya hidroponik karena terdiri
dari unsur hara makro dan mikro. Nitrogen (N) adalah salah satu unsur hara makro yang
dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang banyak. Nitrogen akan banyak berpengaruh pada
fase vegetatif. Menurut Sari et al. (2016) unsur N sangat dibutuhkan oleh tanaman, khususnya
pada proses pertumbuhan vegetatif. Unsur nitrogen ini sangat penting pada proses pembentukan
daun agar berwarna hijau dan mengandung serat yang cukup.
Penyerapan nitrogen oleh tanaman berupa nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+). Berdasarkan
dua sumber N yaitu nitrat dan amonium ini terdapat perbandingan diantara keduanya dalam N
total yang diserap oleh tanaman. Setiap spesies tanaman membutuhkan jumlah perbandingan
nitrat dan amonium yang berbeda untuk penyerapan dan pertumbuhan. Sebagian besar tanaman
tumbuh dengan baik ketika tanaman tersebut menyerap nitrat dan amonium daripada hanya salah
satunya saja. Acorus calamus, Lycopersicum esculentum, dan Cucumis sativus tumbuh dengan
baik dan mencapai berat kering tertinggi dengan rasio nitrat dan amonium yaitu 1 : 1 (Li et al.,
2007; Vojt et al., 2004).
Berdasarkan uraian di atas tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium yang menunjukkan hasil paling baik pada tanaman
sawi pagoda yang dibudidayakan secara hidropoik sistem NFT.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Sawi ini dapat ditumbuhkan secara hidroponik. Salah satu sistem hidroponik yang cocok
untuk budidaya sawi adalah sistem NFT. Sistem ini digunakan karena memiliki beberapa
kelebihan diantaranya: dapat dilakukan pada ruang yang terbatas dan tempat yang higienis.
Tanaman dapat tumbuh lebih cepat dan penggunaan pupuknya lebih hemat, lebih terjamin bebas
dari serangan hama dan penyakit. Efisien dalam teknis perawatan dan peralatan yang digunakan,
kualitas sawi yang dihasilkan lebih bagus dan tidak kotor (Haryanto et al., 2007).
Penunjang keberhasilan dari teknik budidaya hidroponik sistem NFT ditentukan oleh
media tanam, pH, Electrical conductivity (EC), dan komposisi kandungan unsur hara makro dan
mikro. Salah satu unsur hara yang banyak dibutuhkan tanaman sayuran adalah unsur nitrogen
(N). Penyerapan nitrogen tanaman berupa amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Jika tanaman
menyerap amonium saja maka tanaman akan mengalami kerusakan pada bagian perakaran, tetapi
proses reduksi amonium ini berlangsung cepat sehingga protein cepat tersedia. Sedangkan, jika
tanaman hanya menyerap nitrat maka ketersediaan protein bagi tanaman menjadi lambat karena
proses reduksi nitrat menjadi protein harus melalui beberapa proses, tetapi tidak akan
mengakibatkan kerusakan pada bagian perakaran. Sehingga tanaman lebih toleran dengan
penyerapan nitrat saja dibanding amonium (Hasiholan, 2000).
Spesies tanaman yang berbeda membutuhkan jumlah nitrat dan amonium yang berbeda
juga. Tanaman mentimun (Cucumis sativus L. var. Storm) memiliki total luas daun tertinggi

203
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pada perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium 75% : 25% dari N-total 200 ppm (Azarmi &
Esmaeilpour, 2010). Tanaman selada (Lactuca sativa L.) mendapatkan hasil terbaik terhadap luas
daun, berat brangkasan basah tanaman, berat brangkasan kering tanaman, dan rasio pucuk:akar
pada perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium 50% : 50% (Hasiholan, 2000). Dalam
keadaan seimbang pengaruh negatif dapat ditekan. Keadaan amonium dan nitrat tidak berlebih
memberikan keuntungan sistesis protein berjalan dengan baik sehingga sintesis klorofil dan
proses fotosintesis meningkat yang menyebabkan asimilat yang dihasilkan juga meningkat.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2019 di screen house
kelompok tani Mekar Bayu Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran,
Jawa Barat dengan ketinggian tempat sekitar 14 m di atas permukaan laut.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari lima taraf
perlakuan A, B, C, D, dan E dengan lima kali ulangan sehingga didapatkan 25 satuan percobaan.
Adapun variabel yang digunakan adalah perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium sebanyak
lima perlakuan dengan nilai EC yang digunakan pada fase vegetatif 1 yaitu pada tanaman
berumur 1-14 HST adalah 1,7 mS cm-1 dan pada fase vegetatif 2 yaitu pada tanaman berumur
15-35 HST adalah 2,4 mS cm-1 (Frasetya et al., 2018)..
Penelitian ini terdiri dari satu faktor yaitu perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium
dengan N-Total 250 ppm, yang terdiri dari:
A = 100% nitrat : 0% amonium
B = 75% nitrat : 25% amonium
C = 50% nitrat : 50% amonium
D = 25% nitrat : 75% amonium
E = 0% nitrat : 100% amonium
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji lanjut
Duncan pada taraf 0,05 atau 5%. Parameter yang diamati luas daun, klorofil, berat basah
brangkasan, dan persentase kehilangan berat selama masa simpan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Luas daun
Pengamatan luas daun (Tabel 1) secara umum diamati karena merupakan organ produsen
fotosintat utama. Daun berfungsi sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis sehingga pada
kebanyakan tanaman luas daun mempengaruhi laju fotosintesis (Sitompul & Guritno 1995).
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium
berpengaruh nyata terhadap luas daun tanaman sawi pagoda. Perlakuan B yaitu perbandingan
nitrat dan amonium 75% : 25% memiliki luas daun paling besar yaitu 1364,17 cm2. Hal ini
disebabkan karena sumber nitrogen nitrat dan amonium merupakan komponen utama di dalam
pembentukan daun tanaman. Sehingga dengan perbandingan konsentrasi yang tepat akan
menambah luas daun tanaman sawi (Furoidah, 2018). Konsentrasi nitrat dan amonium 75% :
25% menunjukkan hasil yang paling pada parameter tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun
tanaman mentimun (Cucumis sativus L. var. Storm) (Azarmi & Esmaeilpour, 2010).
Penyerapan nitrat dan amonium ini memiliki kelebihan dan kekurangan terhadap tanaman,
namun perbandingan antara nitrat dan amonium yang seimbang tidak menunjukkan hasil yang
paling baik dikarenakan tanaman lebih toleran terhadap penyerapan nitrat lebih tinggi dibanding
amonium. Penyerapan amonium yang berlebih akan bersifat racun untuk tanaman karena akan
merusak sistem perakaran yang menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Hasiholan,
2000). Sehingga perbandingan konsentrasi dengan nitrat lebih tinggi dari amonium
menunjukkan hasil yang lebih baik.

204
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Nilai klorofil (%)


Berdasarkan hasil uji Duncan (Tabel 1) perlakuan berbagai konsentrasi nitrat dan amonium
berpegaruh nyata terhadap nilai klorofil pada tanaman sawi pagoda. Tabel 1 menunjukkan bahwa
perlakuan perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium 75% : 25% memiliki nilai klorofil
tertinggi yaitu 63,94. Hal ini disebabkan karena nitrat dan amoium menghasilkan asam amino
yang merupakan penyusun protein. Protein ini pada daun hampir setengahnya berada di
kloroplas. Kloroplas merupakan plastid yang mengandung pigmen hijau yang disebut klorofil
(Lakitan, 2010). Sehingga dengan bertambahnya protein di dalam daun maka jumlah klorofilnya
juga ikut bertambah.
Sumber nitrogen dari nitrat lebih baik digunakan pada budidaya hidroponik. Tetapi,
konsentrasi nitrat yang berlebih akan menyebabkan akumulasi nitrat yang tinggi sehingga perlu
penambahan amonium ke dalam nutrisi. Penambahan amonium dapat meningkatkan klorofil
pada tanaman (Shang & Shen, 2018).
Berdasarkan penelitian Liu et al., (2017) peningkatan konsentrasi amonium dan perlakuan
100% nitrat akan mengurangi kandungan klorofil pada tanaman. Jumlah klorofil paling besar
ketika perbandingan nitrat dan amonium adalah 75% : 25%.

Tabel 1. Hasil uji Duncan.


Persentase
Perlakuan
Berat basah kehilangan berat
Konsentrasi Luas daun (cm2) Nilai klorofil (%)
brangkasan (g) selama masa
(Nitrat:Amonium)
simpan (%)
A (100%:0%) 903,54 ab 56,11 a 153,6 ab 40,40 ab
B (75%:25%) 1364,17 c 63,94 b 282,6 c 35,19 a
C (50%:50%) 1015,75 bc 60,67 ab 197,8 b 41,67 b
D (25%:75%) 537,40 a 61,13 ab 129,6 a 35,81 ab
E (0%:100%) 773,42 ab 60,98 ab 150 ab 50,64 c
Keterangan : Angka-angka pada lajur arah vertikal yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Berat basah brangkasan (g)


Berat basah brangkasan tanaman merupakan pengamatan hasil yang dilakukan pada saat
panen yaitu umur 41 Hari Setelah Semai (HSS). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi nitrat dan amonium berpengaruh nyata terhadap berat basah brangkasan
tanaman (Tabel 1).
Perlakuan konsentrasi nitrat dan amonium 75% : 25% menunjukkan berat basah
brangkasan tanaman tertinggi dengan rata-rata 282,6 g dibanding dengan perlakuan konsentrasi
nitrat dan amonium yang lainnya. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini untuk perlakuan B
dengan konsentrasi nitrat dan amonium 75% : 25% menunjukkan kandungan klorofil daun dan
hasil luas daun paling tinggi dibanding perlakuan yang lain sehingga dapat lebih banyak
menyerap cahaya matahari yang akan meningkatkan aktivitas fotosintesis dan karbohidrat hasil
fotosintesis juga akan meningkat (Hasiholan, 2000).
Tanaman akan lebih mudah menyerap amonium dibanding nitrat ketika keduanya tersedia
karena berat molekul amonium lebih rendah dari nitrat (Azarmi & Esmaeilpour 2010).
Konsentrasi amonium yang meningkat akan mengurangi pertumbuhan tanaman karena
penyerapan amonium yang berlebih akan merusak sistem perakaran sehingga pertumbuhan
tanaman menurun. Sesuai dengan penelitian Liu et al., (2017) pertumbuhan tanaman menurun
dengan meningkatnya konsentrasi amonium dalam larutan.

205
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Persentase kehilangan berat selama masa simpan (%)


Pengamatan ini dilakukan dengan mengamati kehilangan berat pada saat tanaman sawi
pagoda disimpan setelah panen. Penyimpanan dilakukan di suhu ruangan yaitu sekitar 20oC –
25oC. Tanaman sawi pagoda yang telah dipanen ini di simpan selama 3 hari kemudian diukur
kehilangan berat tanaman selama masa simpan (Tabel 1).
Hasil uji Duncan menunjukkan rata-rata kehilangan berat pada masa penyimpanan,
perlakuan B yaitu 75% nitrat dan 25% amonium dengan kehilangan berat 35,19%. Kehilangan
berat pada saat masa penyimpanan ini merupakan akibat dari proses respirasi yang terus
berlangsung setelah di panen (Fauziah, 2010). Menurut Salisbury & Ross (1995) laju respirasi
tergantung pada ketersediaan substrat, ketersediaan oksigen, suhu, jenis dan umur tumbuhan.
Dari semua faktor yang mempengaruhi respirasi, faktor ketersediaan substrat yang paling
membedakan diantara perlakuan.
Pada penelitian ini sebagian besar tanaman sudah mulai layu di hari kedua tapi tidak
dengan tanaman dengan konsentrasi nitrat dan amonium 75% dan 25%. Tanaman pada perlakuan
ini baru mulai layu di hari ketiga. Hal ini disebabkan karena tanaman pada perlakuan ini memiliki
berat berat kering yang lebih tinggi yang berarti hasil fotosintat di dalam tanaman lebih banyak
dan kandungan air yang lebih sedikit dibanding dengan perlakuan lain sehingga proses respirasi
berjalan lebih lambat yang terlihat dari penyusutan berat yang lebih sedikit.
Song et al. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi nitrat dan amonium 75% dan 25% pada
tanaman (Brassica campestris L.) menghasilkan protein yang paling tinggi dibanding perlakuan
lain. Protein ini merupakan substrat yang akan terurai jika bahan cadangan makanan lain seperti
pati telah direspirasi. Menurut Lakitan (2010) jika terjadi defisiensi bahan cadangan makanan,
maka protein dan senyawa yang mengandung nitrogen pada kloroplas akan terurai. Sehingga
proses respirasi akan berlangsung lebih lama.

PENUTUP
Kesimpulan
Perbandingan konsentrasi nitrat dan amonium berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman sawi pagoda yang dilihat pada parameter luas daun, nilai klorofil, berat brangkasan
tanaman, dan kehilangan bobot tanaman pada masa penyimpanan. Perbandingan konsentrasi
nitrat dan amonium 75% : 25% dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sawi pagoda
(Brassica narinosa).

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan konsentrasi nitrat dan
amonium pada ketinggian tempat yang lebih tinggi yaitu dataran medium atau dataran tinggi
dengan variasi nilai EC.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penelitian dan pembuatan naskah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Azarmi, R & Esmaeilpour, B. (2010). Effect of NO3- to NH4+ ratio on growth, yield and element
composition of cucumber (Cucumis sativus L.). Journal of Food, Agriculture &
Environment, 8(2), 607-610.
Fauziah, D., Sumartini., Asgar, A. (2010). Pengaruh suhu penyimpanan dan jenis kemasan serta
lama penyimpanan terhadap karakteristik tomat (Solanum lycopersicum L.) organik.
Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan, 11(30): 1-42.

206
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Frasetya, B., Taofik, A., & Firdaus, R. (2018). Evaluasi variasi nilai electrical conductivity
terhadap pertumbuhan tanaman selada (Lactuca sativa L.) pada sistem NFT. Jurnal Agro,
5(2).
Furoidah, N. (2018). Efektivitas penggunaan AB mix terhadap pertumbuhan beberapa varietas
sawi (Brassica sp.). Prosiding seminar nasional peran keanekaragaman hayati untuk
mendukung indonesia sebagai lumbung pangan dunia, E-ISSN: 2615-7721.
Haryanto, W., S. Tina, R. Estu, & S. Hendro. (2007). Sawi dan Selada. Penebar Swadaya:
Jakarta.
Hasiholan, B., Suprihati, M. S., & Isjwara M. R. (2000). Pengaruh Perbandingan Nitrat dan
Amonium Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca sativa L.) yang
Dibudidayakan Secara Hidroponik. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi
Hortikultura Memasuki Indonesia Baru, ISBN 979-9458-88-9.
Hendra, H. A & Andoko, A. (2014). Bertanam sayuran hidroponik ala paktani hydrofarm. Jakarta
: Agromedia Pustaka.
Lakitan, B. (2010). Dasar-dasar fisiologi tumbuhan. Jakarta : Rajawali Press.
Li, Juan., Zhou, Jian-min., Duan Zeng-qiang. (2007). Effects of elevated CO2 concentration on
growth and water usage of tomato seedlings under different ammonium/nitrate ratios.
Journal of enviromental sciences, 19, 1100-1107.
Liu, G., Du, Q., & Li, J. (2017). Interactive effect of nitrate-ammonium ratios and temperatures
on growth, photosynthesis, and nitrogen metabolism of tomato seedlings. Journal Scientia
Horticulturae, 214, 41-50.
Salisbury, F. B & Ross, C. W. (1995). Fisiologi Tumbuhan Jilid 1 (Sumaryono, Penerjemah).
Bandung : Penerbit ITB.
Sari, P. B., Santoso, M., & Koesriharti. (2016). Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Pupuk
Nitrogen terhadap Pertumbuhan Serta Hasil Tanaman Sawi Pak Choi (Brassica rapa L var.
chinensis). Jurnal Produksi Tanaman, 4(5), 399-405.
Shang, H & Shen, G. (2018). Effect of Ammonium/nitrate Ratio on Pak choi (Brassica chinensis
L.) Photosyntethic Capacity and Biomass Accumulation Under Low Light Intensity and
Water Deficit. Photosyntethica, 56.
Sitompul, S. M & Guritno, B. (1995). Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta : Gadjah
Mada University.
Song, S., Yi, L., Liu, H., Sun, G., & Chen, R. (2012). Effect of Ammonium and Nitrate Ratio on
Nutritional Quality of Flowering Chinese Cabbage. Applied Mechanics and Matherials,
142, 188-192.
Vojt, Lenka., Munzarov, E., Votrubov, O., Alena, R., & Juricova, B. (2004). Growth and biomass
allocation of sweet flag (Acorus calamus L.) under different nutrient conditions.
Hydrobiologia, 518, 9-22.

207
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemanfaatan Kompos Pupuk Hijau Tanaman Pakis Lahan Gambut


terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sawi (Brassica juncea)
Gt. Khairun Ni’mah1 dan Arif Hidayatullah1
1Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan

ABSTRACT

Kata Kunci: Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui pengaruh penggunaan kompos
Kompos Pupuk Hijau pupuk hijau tanaman pakis lahan gambut terhadap pertumbuhan dan hasil
Pakis sawi (Brassica juncea).
Lahan Gambut Sebagai bahan pertimbangan dan informasi dalam penggunaan vegetasi lahan
gambut yang selama ini dianggap sebagai tanaman pengganggu menjadi
pupuk hijau yang kaya akan unsur hara bagi tanaman. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Lahan Bentok Kampung Tanah Laut,
Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2017 sampai pembuatan laporan
sebesar 4 bulan. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan
rancangan percobaan 4 perlakuan, 3 ulangan dan 12 satuan percobaan.
Penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi tanaman di
lahan gambut di Anjir Muara Batola. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi dosis berpengauh terhadap jumlah daun. Hal ini diduga
karena peningkatan dosis (A4= 1000 g) berhubungan dengan kandungan
Nitrogen dalam pembentukkan daun. Perlakuan dengan penambahan dosis
tidak berpengaruh terhadap berat segar pertanaman. Hal ini diduga
kandungan P di dalam kompos pupuk hijau yang tersedia dilepaskan secara
lambat (slow Realis) sehingga menghambat pertambahan sel dan jaringan.

Email Korespondensi: gustiegom@gmail.com

PENDAHULUAN
Unsur yang diserap pertumbuhan tanaman dan metabolisme tanaman dinamakan hara
tanaman. Unsur hara tidak dapat digantikan oleh unsur lain dengan menggunakan unsur hara
tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya. Kekurangan unsur hara tanaman akan menunjukkan
organ tertentu yang spesifik (kekahatan). Unsur hara makro yaitu N, P, K Ca, Mg, S harus
terpenuhi dalam perkembangan tanaman. Unsur hara mikro yaitu, Cl, B, Cu, Mn, Fe, Zn dan
Mo apabila kekurangan juga dapat menimbulkan penurunan hasil produksi tanaman
Penambahan unsur hara dapat dilakukan dengan pemupukan tanaman baik pupuk
anorganik maupun pupuk organik. Salah satu pupuk organik yaitu pupuk hijau, salah satunya
kompos tanaman pakis lahan gambut. Gambut adalah akumulasi sisa tanaman yang sudah mati,
baik yang masih dapat dikenali bentuknya, maupun yang tidak dapat dikenali lagi karena telah
terdekomposisi. Gambut pada umumnya terdapat di cekungan-cekungan yang jenuh air dan
tertimbun dalam waktu yang lama (ribuan hingga jutaan tahun yang lalu). Kondisi jenuh air pada
cekungan membuat kondisi anaerob, sehingga proses penimbunan bahan organik lebih cepat
daripada laju dekomposisi. Luas lahan Gambut di Indonesia 20,6 juta ha dan di Kalimantan
Selatan seluas 1,484 juta ha (Arsyad, 2011). Pada saat sekarang sudah terjadi pengurangan luas
dikarenakan alih fungsi lahan menjadi perumahan dan lainnya.
Pakis air di Kalimantan Selatan dapat dikonsumsi menjadi sayuran tetapi lebih banyak
dianggap tanaman pengganggu. Berlimpahnya tanaman pakis ini belum dimanfaatkan untuk
pertanian padahal dapat digunakan menjadi pupuk organik. Gulma jenis pakis air dapat

208
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

memfiksasi Nitrogen di udara hal ini merupakan salah satu syarat yang dapat dipergunakan
dalam pembuatan pupuk hijau. Pertumbuhan tanaman fase vegetatif sangat dipengaruhi oleh
serapan Nitrogen oleh tanaman (Lingga, 2001) Fase vegetatif pada tanaman adalah pembentukan
daun, batang dan cabang. Dengan adanya pupuk hijau diharapkan pertumbuhan tanaman akan
semakin baik dengan kandungan Nitrogen yang dapat menunjang pertumbuhan. Hasil penelitian
Ni’mah, 2016, Hasil analisa hara makro N,P dan K serta pH pada pengomposan pupuk hijau
azolla dan Kelakai yang diambil dari lahan Gambut Anjir Muara yaiti N 0,736 %, P 0,524 (ppm),
0,525 (mg/100g). Dari hasli penelitian terdahulu maka akan dilakukan penelitian lanjutan
penggunaan kompos pupuk hijau pakis yang diaplikasikan kelapangan terhadap pertumbuhan
hasil tanaman sawi (Brassica juncea). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
penggunaan kompos pupuk hijau tanaman pakis lahan gambut terhadap pertumbuhan dan hasil
sawi (Brassicajuncea).

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pemupukan sangatlah penting dalam meningkatkan hasil produksi tanama dilahan
marginal seperti di Klaimantan Selatan. Pemupukan organik ramah akan lingkungan dan mampu
berikan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Pemanfaatan vegetasi lahan gambut seperti
tanaman pakis (kelakai) sebagai kompos pupuk hijau merupakan inovasi bagi dunia pertanian
karena pakis dianggap sebagai gulma di lahan gambut. Berbagai cara olahan pakis buat
kebutuhan manusia sebatas diolah menjadi sayuran dan belum ada yang menjadikan sebagai
pupuk. Pembuatan pupuk hijau pakis diharapkan mampu mengurangi pembelian pupuk buatan
karena kandungan unsur hara yang terkandung didalamnya. Pupuk pakis yang dihasilkan
dicobakan terhadap tanaman holtikutura seperti sawi yang sangat banyak di minati masyarkat
sebagai sayuran.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lahan Bentok Kampung Tanah Laut,
Kalimantan Selatan. Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu tahap persiapan, pengumpulan
data, tabulasi data, analisis data. Penelitian dilakukan dari bulan September 2017 sampai
pembuatan laporan selama 4 bulan. Bahan yang digunakan yaitu kompos pupuk hijau tanaman
pakis, polybag dengan berat tanah 10 kg, benih sawi, pupuk dasar, EM-4, tanah topsoil.
Penelitian ini menggunakan kompos pupuk hijau pakis dengan berbagai dosis pemberian
terhadap pertumbuhan dan hasil cabe rawit. Penanaman menggunakan polybag dilapangan
laboratorium lahan Fakultas Pertanian Bentok Tanah Laut. Menggunakan polybag dengan
empat perlakuan dan tiga ulangan, tiap ulangan ada tiga polybag sehingga mendapatkan 12
satuan percobaan.
Adapun perlakuan yang digunakan adalah :
A1 = Kontrol
A2 = Dosis kompos pupuk hijau 500 gram
A3 = Dosis kompos pupuk hijau 750 gram
A4 = Dosis kompos pupuk hijau 1000 gram

Pembuatan Pupuk Hijau dengan Cara Pengomposan.


Pengambilan dan penanganan sampel diambil dari lahan gambut Anjir Muara Batola
diambil dengan mengait atau menebas tanaman yang ada diatas rawa. Tanaman ditimbang 100
kg dimasukkan mobil pic-up, yaitu pakis air (kelakai). Kemudian dibawa ke tempat penelitian
Lahan Bentok Tanah laut. Bahan dan Komposisi, 50 kg hijau, 1 kg gula pasir/gula merah, 1 botol
bakteri,
500 liter air atau secukupnya. Cara Pembuatan : Hijau daun dicacah dan dibasahi,
campurkan hijau daun pakis. Cairkan gula pasir atau gula merah dengan air, masukkan bakteri
ke dalam air, campurkan dengan cairan gula pasir atau gula merah aduk hingga rata. cairan

209
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

bakteri dan gula disiramkan pada campuran hijau daun/sampah+bekatul. Aduk sampai rata,
kemudian digundukkan/ditumpuk hingga ketinggian 15-20 cm dan ditutup rapat. Penyiapan
lahan untuk pembibitan dengan memasukan setiap benih kedalam babybag dan ditanam dengan
naungan. Penyiapan tempat percobaan dan pemberian pupuk kompos berdasarkan dosis
perlakuan.
Peubah yang diamati :
- Berat bersih tanaman sawi
- Jumlah daun
Analisis data yang diperoleh dari hasil penelitian ini ditabulasi kemudian dianalisis
kehomogenannya dengan uji Barttlet, dilanjutkan dengan uji anova (uji F) pada taraf
kepercayaan 95% atau 99%. Apabila berpengaruh nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan
uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Gasperz, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah Daun Tanaman Sawi
Hasil pengamatan terhadap jumlah daun tanaman sawi yang diberi kompos pupuk hijau
tanaman pakis lahan gambut terhadap pertumbuhan dan hasil sawi (Brassica juncea) disajikan
dalam lampiran 2. Dari hasil uji homogenitas ragam menunjukkan bahwa data jumlah daun
bersifat homogen, dijanjutkan uji F anova dan menunjukkan bahwa data jumlah daun
berpengaruh sangat nyata terhadap pemberian pupuk kompos hijau tanaman pakis lahan
gambut. Analisa data dilanjutkan dengan ujin DMRT dimana rata-rata jumlah daun dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun (Helai).


No Perlakuan Rata-rata
1. A1 15.33a
2. A2 16.33ab
3. A3 17.66b
4. A4 20.33c
Keterangan: hurup yang berbeda yang mengikuti angka pada kolom rata-rata menunjukkan berbeda nyata pada
taraf 5%

Jerami Organik
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah daun tanaman sawi kontrol A1 (15,33
helai) berbeda nyata dengan A3 (17,66 helai) dan A4 (20,33 helai), tetapi pada A3 dan A4 tidak
berbeda kedua, sedangkan pada A4 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Peningkatan jumlah daun tanaman sawi dengan meningkatnya dosis pemberian kompos
pupuk disebabkan bertambahnya pemberian kompos pupuk hijau tanaman pakis lahan gambut
terhadap pertumbuhan sawi. Dari hasil penelitian Ni’mah, 2016 menyatakan bahwa kandungan
N dalam kompos pupuk hijau pakis adalah 0,73% cukup tinggi. .Menurut Supra (2013) fungsi
dari Nitrogen salah satunya adalah untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetative
tanaman, seperti daun, batang dan akar sedangkan menurut Lingga, 2007 peranan utama
Nitrogen menunjukkan bahwa rata-rata jumlah daun tanaman sawi kontrol A1 (15,33 helai)
berbeda nyata dengan A3 (17,66 helai) dan A4 (20,33 helai), tetapi pada A3 dan A4 tidak
berbeda kedua, sedangkan pada A4 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Produksi jumlah daun tanaman sawi yang tertinggi diperoleh pada perlakuan A4 dengan
dosis 1000 g perpolybag dengan jumlah daun rata-rata 20.33 helai. Diduga bahwa pemberian
kompos pupuk hijau tanaman pakis lahan gambut pada perlakuan A4 tersebut mampu
memenuhi kebutuhan akan Nitrogen yang fungsi untuk pertumbuhan tanaman Vegetatif dan
salah satunya adalah jumlah daun.

210
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sesuai dengan hasil penelitian Pristianingsih, 2015 hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian pupuk Urea (N) berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
sawi (tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot segar) dengan dosis 200 kg/ha. Hasil penelitian
Nursanti, 2009 Pemberian pupuk kandang kambing sebanyak 4 kg pada petak 2 x 2m
menyebabkan tanaman sawi tumbuh dengan baik ditandai dengan tanaman sawi daunnya lebih
banyak. Didukung dengan pendapat Nur dan Thorai, 2005 bahwa pemberian Nitrogen yang
optimal dapat meningkatkan laju pertumbuhan, meningkatkan sintesa protein, pembentukkan
klorofil menyebabkan warna daun menjadi lebih hijau.
Hasil penelitian yang sesuai oleh Kholidin, 2016 Pemberian pupuk organik pada tanaman
sawi hasilnya menunjukkan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun yang lebih banyak
dengan dosis NPK + Pupuk Kandang dan mulsa jerami. Penelitian Sumiati, 2012 menunjukkan
bahwa Jumlah daun dan berat segar tanaman berpengaruh sangat nyata dengan pemberian 10
ton per hektar mulsa

Berat Segar Daun Tanaman Sawi


Hasil pengamatan terhadap berat segar daun tanaman sawi yang diberi kompos pupuk
hijau tanaman pakis lahan gambut terhadap pertumbuhan dan hasil sawi (Brassica juncea)
disajikan dalam lampiran 3. Dari hasil uji homogenitas ragam menunjukkan bahwa data berat
segar daun bersifat homogen, dijanjutkan uji F anova dan menunjukkan bahwa data jumlah daun
tidak berpengaruh sangat nyata terhadap pemberian pupuk kompos hijau tanaman pakis lahan
gambut.
Tidak berpengaruhnya bobot berat segar tanaman sawi di duga kandungan unsur P dalam
kompos pupuk hijau tanaman pakis lahan Gambut tidak tersedia bagi tanaman karena
dilepaskan secara perlahan atau slow realis sehingga tanaman sawi tidak dapat menyerap
optimal untuk menambah bobot segar tanaman. Adapun fungsi dari unsur hara makro P adalah
untuk memperbesar atau merangsang pembelahan sel tanaman dan memperpanjang jaringan
sel. (Lingga, 2007). Didukung oleh pendapat Yuwono, 2002 penggunaan pupuk organik
memiliki dua keuntungan yaitu perbaikan fisik tanah dan kesuburan tanah, sekalipun dapat
memperbaiki tetapi kesuburan tanah tetapi unsur haranya umumnya sedikit dan lambat
dilepaskan. Dari latar belakang terebut maka disarankan untuk pemberian puuk organik juga
diimbangi dengan pemberian pupuk anorganik untuk mendapatkan pupuk yang berimbang.
Faktor lain yang diduga mempengaruhi bobot berat segar tanaman sawi yang tidak
berpengaruh terhadap pemberian dosis pupuk kompos hijau tanaman pakis lahan gambut yaitu
faktor cuaca tempat penelitian yang dilakukan pada saat musin hujan sehingga udara semakin
lembab dan kurangnya pencahayaan pada saat pertumbuhan. Hal ini didukung oleh
Talaumbuana M, 2016 berdasarkan hasil penelitiannya identifikasi pola pertumbuhan tanaman
sawi menunjukan bahwa faktor lingkungan yaitu, suhu, cahaya dan nutrisi saling memberikan
pengaruh pada pertumbuhan tanaman, suhu terbaik adalah 350C dalam kondisi hidrofobik.

KESIMPULAN DAN SARAN


Semakin tinggi dosis yang diberikan yaitu perlakuan A4 (1000g) maka semakin banyak
jumlah daun yang dihasilkan karena pupuk kompos hijau pakis dari lahan gambut mengandung
Nitrogen yang tinggi yang berfungsi untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetatif
tanaman. Tidak berpengaruhnya pemberian kompos hijau pakis terhadap berat segar daun sawi
diduga unsur P tidak tersedia bagi tanaman sehingga menghambat pertambahan sel dan jaringan
tanaman.
Sebaiknya pada pemberian pupuk pada tanaman diberikan pupuk berimbang antara pupuk
anorganik dan pupuk organik untuk mencukupi unsur hara makro dan mikro yang sangat
diperlukan oleh tanaman.

211
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, 2011 jurnal Hidrolitan volume 2 halaman 31-39 ISSN 2086-4825 Analisis Vegetasi di
Bawah Tegakan dyera lowii hook.f. di Areal Rehabilitasi Lahan Gambut Desa Lunuk
Ramba, Kalimantan Tengah Bina Swasta Sitepu 1. Balai Penelitian Teknologi Konservasi
Sumber Daya Alam.
Barus. 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Penerbit Kanisius,Yogyakarta
Dewi Rosani, 2013 Tipe Vegetasi Hutan Gambut Bekas Kebakaran Desa Kedaton Kabupaten
Ogan Komering Ilir. Jurnal sainmatika volume 10 no 2 desember 2013 hal 25-33.
Fiolita P, Husni Thamrin Sebayang, Titin Sumarni. Pengaruh Pupuk N, P dan K, azolla (Azolla
pinnata) dan Kayu Apu (Pistia stratiotes) pada Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah (Oryza
sativa). Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jurnal
Produksi Tanaman Vol. 1 No. 3 Juli-2013 ISSN : 2338-3976
Hasibuan, B.E.2006 Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Baon J B, 2003. Efisiensi pemupukan nitrogen, sifat kimiawi tanah dan pertumbuhan kakao
akibat dosis dan ukuran zeolit. Jurnal Perkebunan.
Dedi Supriadi, 2015 Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Anorganik dan Pupuk Hijau terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Varietas Lembah Palu. Untad Tadaluko, 2015
Volume 3 Nomor 1.
Rauf dan Henry N Barus, 2016. Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi. Agrotekbis.
Faperta Universitas Taduluko, Palu.
Lingga dan Marsona, 2001 Petunjuk Penggunaan Pupuk Penebar Swadaya Jakarta.
Lakitan, 2008 Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Magdalena F , Sudiarso dan Tintin Sumarni. Pengaruh pemberian berbagai bentuk azolla dan
pupuk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zea mays var. saccharata).
Jurnal Produksi Tanaman Pangan Vol. 1 No. 4 September-2013 ISSN: 2338-3976 Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya.
Ni’mah, 2016. Analisis Kandungan Hara Pupuk Hijau Azzola dan Pakis dari Vegetasi Lahan
Gambut di Anjir Muara di Barito Kuala. Penelitian Universitas Islam Kalimantan
(UNISKA). Banjarmasin.
Novizan, 2002. Pupuk dan Pemupukkan yang Efektif. Agromedia Jakarta.
Nursanti D F, 2009. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sawi
Caisim, Agrobis Vol 1 Nomor 1.
Sumanti, Andi Bahrun, La ode S, 2012 Pengaruh Takaran Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Sawi. Berkali, Penelitian Agronomi, Oktober 2012 Vol 1 Nomor 2.
Sumberini. 2002. Pemanfaatan Azolla sp sebagai Pupuk Organik. Buletin Pertanian dan
Peternakan.
Tie, Y.L. and J.S. Lim. 1991. Characteristics and classification of organic soils in.
Triadi AA, Pratama dan Abdurrahman, 2012. Pertumbuhan dan Efesiensi Penggunaan Nitrogen
Pada Padi dengan Pemberian Pupuk Urea Berbeda, Buletin Anatomi dan Fisiologi XX (2).

212
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pribadilla A, 2010 Jenis dan stuktur gulma pada tegakan di lahan gambut, Acacia crassicarpa
Weed and it Structure at Plantation on Peatland (Case Study at Plantation Forest Concesion
of PT Arara Abadi, Riau)
Yuwono, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah, Kanasius Jakarta.

213
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Dosis Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan


Produksi Tanaman Pakcoy (Brassica chinensis L) di Polybag
The Effect of Liquid Organic Fertilizer Dose on The Growth and Yield
of Pakchoy Plant (Brassica chinensis L) in Polybag
Rosdiana1 dan Eghaf Aprilianno1
1Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jakarta

ABSTRAK

Kata kunci: Pakcoy (Brassica chinensis L) merupakan sayuran dengan nutrisi dan nilai
Pupuk Organic Cair ekonomi tinggi, namun demikian produksi pakchoy masih rendah. Penelitian ini
Pertumbuhan bertujuan untuk mengetahui dosis pupuk organik cair yang tepat untuk
Produksi pertumbuhan dan produksi tanaman Pakchoy. Penelitian dilakukan di kebun
Pakchoy percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta, pada bulan
Januari-Maret 2019. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan lima perlakuan dan lima ulangan,
dimana setiap unit pengamatan 3 tanaman. Lima perlakuan tersebut yaitu dosis
pupuk organiik cair (TOP G2) 0, 1, 3, 5, dan 7 ml/l. Hasil analisis varian dan
beda nyata jujur (5%) menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk organik cair
(TOPG2) 5 dan 7 ml l-1 secara nyata dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi
(23,52 dan 23,63 cm), lebar daun (10,06 dan 10,62 cm), dan panjang daun (14,03
dan 14,96 cm) lebih baik dari dosis 0,1,dan 3 ml tanaman-1. Hubungan dosis
pupuk organik cair (TOPG2) dengan tinggi, lebar daun, dan panjang daun
mengikuti kurve linier, dimana semakin tinggi dosis pupuk pertumbuhan tinggi,
lebar daun dan panjang daun bertambah. Produksi konsumsi tanaman Pakchoy
dengan aplikasi dosis pupuk orgnik cair (TOP G2) 5 dan 7 ml l-1 adalah 213,13
dan 212,53 g tanaman-1(53,28 dan 53,13 ton Ha-1). Hubungan dosis pupuk
organik cair dengan produksi konsumsi mengikuti kurva polinominal y = -
1,5298x2 + 23,613x + 124,99, dengan R² = 0,98. Konsentrasi optimum untuk
menghasilkan produksi maksimum 7,5 ml/l
ABSTRACT

Keywords: Pakchoy (Brassica chinensis L) is a vegetable plant having high nutrition and
Liquid Organic economic; however, the production of Pokchay is still been low. The aim of this
Fertilizer study was to analysis the effect the liquid organic fertilizer and the dose optimum
Growth on the growth and yield of Pokchay plant. The study was conducted at the
Production research station belonging to the Agricultural Faculty, The University of
Pakchoy Muhammadiyah Jakarta during January-March 2019. Complete randomly block
design was used in the experiment with five treatments and five blocks as
replications. These threatments were five fluit organic fertilizer dose (TOP G2),
0, 1, 3, 5, and 7 ml/l. Based on the analysis of variant and Turkey’s Test (α=5%
) showed that 5 and 7 ml l-1 of the TOP G2 resulted in higher on the height (23.52
and 23.63 cm), leaf wide (10.06 and 10.62 cm), and length (14.03 and 14.96 cm)
of Pakchoy plants comparing to other treatments. The relation between the dose
of liquid organic with height, wide, and length of Pakchoy plant was curve linier.
Plants treated with a liquid organic fertilizer dose of 5 and 7 ml l-1 could produce
about 213.13 and 212.53 g plant-1(53.28 dan 53.13 ton Ha-1). The relationship
between the liquid organic fertilizer dose with the production of Pakchoy was

214
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

polynomial with the equation of y = -1,5298x2 + 23,613x + 124.99; R² = 0.98.


The optimum dose of liquid organic fertilizer was 7.5 ml/l.

Email Korespondensi: annamuchyn@gmail.com

PENDAHULUAN
Tanaman Pakchoy (Brassica chinensis L) merupakan jenis sayur sawi yang mudah
diperoleh dan bernilai ekonomis tinggi. Tanaman Pakchoy merupakan sayuran yang memiliki
nilai komersial dan banyak digemari masyarakat karena rasanya enak, renyah, dan segar
(Nurhasanah, 2015) dan mudah diperoleh dipasaran karena permintaan pasar yang tinggi
(Pranowo 2009). Kebutuhan masyarakat terhadap sayur Pakchoy selalu meningkat oleh karena
sayur Pakchoy dapat diolah menjadi berbagai masakan (Prasasti, 2014). Pada sisi lain produksi
Pakchoy mengalami penurunan, oleh karena teknik budidaya yang kurang tepat tidak
memperhatikan kemampuan tanah dalam jangka panjang. Teknik budidaya yang selama ini
berlangsung bertumpu pada pupuk organik dapat menimbulkan penurunan kualitas tanah, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Penurunan kualitas tanah tesebut
oleh karena hilangnya bahan organik tanah, pemanfaatan lahan yang tidak memperhatian daya
dukung, dan penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus (Nurhasanah, 2015). Penurunan
kualitas tanah pada lahan pertanian perlu mendapat penanganan sehingga kemampuan daya
dukungnya kembali normal. Pemulihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan hasil pertanian,
yang nantinya dapat digunakan untuk mendukung ketahanan pangan di Indonesia.
Pupuk organik adalah salah satu jenis pupuk yang banyak digunakan pada budidaya
tanaman pertanian. Pupuk organik umumnya berbentuk padat namun dengan teknologi pupuk
organik dapat dibuat dalam bentuk cair. Pupuk organik cair (POC) adalah pupuk yang berbentuk
ekstraksi berbagai limbah organik (limbah ternak, limbah tanaman, dan limbah alam lainnya)
yang diproses secara bioteknologi (Parnata, 2004). Kelebihan dari POC diantaranya ialah kadar
haranya lengkap untuk kebutuhan tanaman, penggunaannya lebih efektif dan efesien seperti
halnya pupuk kimia, serta kemampuannya setara dengan pupuk organik murni (Lingga dan
Marsono, 2001).
Pupuk TOP G2® merupakan pupuk organik cair yang berkualitas tinggi, dibuat dari bahan
organik pilihan (hewan dan tanaman) bukan berasal dari sampah limbah, sehingga tidak
mengandung racun atau mikroba yang berbahaya bagi kesehatan, serta ramah lingkungan.
Pupuk organik cair TOP G2® mengandung C-Organik tinggi, mengandung 14 Unsur hara makro
& mikro essensial yang di butuhkan tanaman dan mengandung Asam Organik, Enzim &
Vitamin, mikroba yang bermanfaat, Senyawa bioaktif (Anonim, 2010). Berdasarkan uraian
tersebut perlu dilakukan peningkatan produksi tanaman Pakchoy dengan menggunakan pupuk
organik cair. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis pupuk organik cair yang tepat
untuk pertumbuhan dan produksi tanaman Pakchoy.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pemupukan merupakan upaya pemberian unsur hara ke dalam tanah dengan jumlah dan
cara yang sesuai untuk tanaman dalam waktu tertentu (Setyaningsih et al, 2000). Pemupukan
dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas dan ketersediaan unsur hara tanah, sehingga tanaman
dapat tumbuh cepat, subur dan sehat serta berproduksi tinggi (Winarso, 2011). Kekurangan unsur
hara seperti nitrogen, fosfor dan kalium dalam tanah dapat ditambah dengan pemupukan,
sehingga ketersediaannya bagi tanaman terpenuhi (Triastuti et al, 2016). Unsur hara yang
terdapat pada pupuk diperlukan tanaman untuk pembentukan fase vegetatif dan generatif
(Sutedjo, 2008). Pemberian pupuk secara efisien dan efektif dapat dilakukan dengan
memperhatikan keperluan tumbuhan tersebut, agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

215
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemberian pupuk yang terlalu sedikit atau terlalu banyak juga dapat berbahaya bagi tumbuhan
(Sapsuha et al, 2012).
Pupuk organik cair merupakan salah satu bentuk pupuk yang dihasilkan dari proses
pembusukan bahan-bahan organik baik sisa tanaman, kotoran hewan maupun manusia yang
memiliki kandungan unsur hara makro dan mikro (Purwati, 2013). Kelebihan dari pupuk organik
adalah mampu mengatasi defisiensi hara secara cepat dan tidak bermasalah dalam pencucian
hara. Pupuk organik cair juga memiliki bahan pengikat sehingga larutan pupuk yang diberikan
ke permukaan tanah bisa langsung dimanfaatkan oleh tanaman (Hadisuwito, 2012). Pupuk
organik memiliki kemapuan untuk memperbaiki sifat biologi tanah dan mudah diaplikasikan
(Gilo, 2015).
Penggunaan pupuk organik cair dapat menjaga kualitas tanah dan mempertahankan daya
dukung tanah untuk budidaya tanaman secara berkelanjutan. Winarso (2011) menegaskan bahwa
penggunaan pupuk yang tidak bijaksana atau berlebihan dapat menimbulkan masalah bagi
tanaman yang diusahakan, seperti keracunan, rentan terhadap hama dan penyakit, kualitas
produksi rendah, biaya produksi tinggi dan dapat menimbulkan pencemaran.
Pupuk organik cair TOP G2® merupakan salah satu jenis pupuk organik cair yang dapat
digunakan dengan cara disiramkan atau disemprotkan ke daun, tanah dan akar. Kandungan TOP
G2® mengandung 14 unsur hara lengkap yang dibutuhkan tanah/tanaman dan mengandung asam
humat dan fulfat yang memacu mikroorganisme tanah dengan kandungan komposisi yang lengkap
dan seimbang, sekaligus untuk merehabilitasi kesuburan tanah dengan meningkatkan kesuburan
fisik, kimia dan biologi tanah sehingga memberikan fondasi yang kuat untuk usaha pertanian dan
perkebunan yang berkelanjutan untuk jangka panjang (Anonim 2010).
Pupuk organik cair TOP G2® mengandung C-Organik tinggi, mengandung 14 Unsur hara
makro dan mikro essensial yang dibutuhkan tanaman Kandungan unsur makro : N (Nitrogen),
P (fosfor), K (Kalium), Ca (Kalsium), Mg (Magnesium), Belerang dan Mikro : Zn (Seng), Cu
(Tembaga), Mn (Mangan), Co, Bo (Boron), Mo (Molibdenum), Fe (Besi). Pupuk organic cair
TOP G2 juga mengandung hormon pengatur tumbuh alami, seperti Zeatin/Sitokinin dan
Gibbrelin (GA3), dan 17 asam amino : Aspartat, Leusine, Threonine, Thyrosin, Serine,
Phenylalamine, Glutamine, Glysine, Arginine, Alanine, Proline, Valine, Tryptophan,
Methionine, Cystine, Isoleusine, Cyslein. Kandungan lain adalah asam organik, enzim dan
vitamin, Benefical Microbe (mikroba yang bermanfaat), senyawa bioaktif (Anonim 2010).
Pupuk organik cair TOP G2® merupakan pupuk organik cair lengkap yang dapat berfungsi
sebagai pembenah tanah, langsung diserap tanah, ramah lingkungan dan tidak mengandung
racun serta kadar bakteri bibit penyakit. Pupuk organik TOP G2® juga dapat menstimulasi
pertumbuhan dan kualitas kinerja akar tanaman, meningkatkan perkembangan pertumbuhan
tanaman secara total, memperbaiki tanaman dan tanah, pengganti pupuk kandang atau kompos.
Pupuk organik ini dapat diaplikasikan berdampingan dengan pupuk anorganik, pestisida,
pengendalin biologis. Penggunaan pupuk organik cair TOP G2 dalam budidaya sangat praktis
dan efisien serta ekonomis. Penggunaan pupuk tersebut dapat meningkatkan penyerapan pupuk
hingga 90-100%, dan efisiensi penggunaan pupuk organik 30 – 40%, efisiensi 100% untuk
tanaman hortikultura. Penggunaan pupuk TOP G2® dianjurkan pada awal pengolahan lahan atau
tanah sebelum tanam pada waktu pagi atau sore hari saat matahari tidak terik (Anonim, 2010).
Tanaman sawi pakchoy (Brassica chinensis L) merupakan tanaman sayuran dari suku
Brassicaceae yang dikenal dengan sawi sendok. Tanaman sawi Pakchoy berasal dari China dan
berkembang secara luas di Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Thailand (Anonim, 2012). Kandungan
gizi setiap 100 gram bahan yang dapat dimakan pada pakcoy adalah energi 15,0 kal, protein 1,8 g,
lemak 0,2 g, karbohidrat 2,5 g,serat 0,6 g, abu 0,8 g, P 31 mg, Fe 7,5 mg, Na 22 mg, K 225,0 mg,
vitamin A 1555,0 SI, thiamine 0,1 mg, riboflafin 0,1 mg, niacin 0,8 mg, vitamin C 66,0 mg dan Ca
102,0 mg (Haryanto dkk., 2003). Nutrisi tersebut berasal dari media tanam, sehingga ketersediaan
unsur hara yang memadai sangat diperlukan oleh pertumbuhan tanaman Pokcay. Pemenuhan nutrisi

216
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tersebut dapat disediakan oleh pemupukan yang sesuai, terutama pupuk yang memiliki nutrisi
lengkap seperti pupuk organic cair TOP G2 (Anonim, 2010).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Jakarta, yang berada di ketinggian ±25 meter diatas permukaan laut (m dpl)
pada bulan Januari sampai Maret 2019. Bahan yang digunakan adalah benih Pakchoy varietas
NAULI F1, tanah, pupuk kandang sapi, Furadan 3G®, polibag 30x30 cm, Pestona®, POC
TOPG2®. Alat yang digunakan antara lain cangkul, timbangan analitik, erlenmeyer, timbangan
analitik, kamera, penggaris, dan lebel.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) dengan 5 perlakuan dan 5 blok atau ulangan. Perlakuan tersebut yaitu konsentrasi pupuk
organic cair yaitu : 0 (P0), 2 (P1), 3 (P2), 5 (P3), dan 7 (P4) ml/l POC TOPG2®. Setiap satuan
percobaan terdiri 3 tanaman. ®Pemupukan dilakukan sesuai dengan perlakuan yang digunakan
yaitu pemupukan dengan konsentrasi 1, 3, 5, dan 7 ml/l POCTOPG2® dengan cara menyiramkan
pupuk ke media tanam (Sumiahadi, 2011), sedangan tanaman kontrol (tanpa pupuk) dilakukan
dengan menyiram air. Aplikasi pupuk dilakukan dua kali yaitu saat tanaman berumur 3 dan 5
MST, dimana dosis pupuk POC yang digunakan adalah 200 ml/tanaman pada perlakuan pertama
dan 300 ml/tanaman.
Variabel pengamatan adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai), lebar daun (cm),
panjang daun (cm), berat tanaman atau produksi. Pengukuran variable dilakukan satu minggu sekali
sampai umur 6 minggu setelah tanam (MST). Data hasil penelitian di analisis menggunakan analisis
varian pada taraf kepercayaan 5%, apabila terdapat beda nyata akan dilakukan uji lanjut dengan BNJ
(α=5%). Analisis regresi digunakan untuk menentukan dosis optimum.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman Pakchoy yang mendapat perlakuan POC TOG2 mengalami pertumbuhan
tinggi yang meningkat dan lebih tinggi dari tanaman control (Gambar 1). Hasil analisis varian
pada tingkat kepercayaan 5% terdapat beda nyata diantara perlakuan. Pertumbuhan tinggi
tanaman pada umur 6 MST tertinggi terjadi pada tanaman yang mendapat perlakuan 7 ml/l (P4)
dan 5 ml/l (P) tidak berbeda nyata yaitu 23,63 dan 23,52 cm. Tinggi tanaman Pakchoy tersebut
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Gambar 2). Tinggi tanaman terpendek terjadi pada
tanaman Pakchoy yang tidak mendapat POC atau control, yaitu 19,60 cm.

25
Tinggi Tanaman (Cm)

20 0
ml/l
15 1
ml/l
10 3
ml/l
5

0
3 4 5 6
Umur Tanaman (MST)

Gambar 1. Grafik Pengaruh Pemberian POC TOG2 (P0 = 0 ml/l, P1=1 ml/l, P2= 3ml/l, P3= 5 ml/l,
dan P4= 5 ml/l) terhadap Tinggi Tanaman Pakchoy Umur 6 MST

217
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

25.00 23,52 d 23,63 d

Rata-rata Tinggi tanaman (Cm)


22,15c
20,73 b
19,60 a
20.00

15.00

10.00

5.00

0.00
P0 P1 P2 P3 P4
Perlakuan

Gambar 2. Grafik Tinggi Tanaman Pakchoy Umur 6 MST pada Pemberian POC TOG2 (P0 = 0 ml/l,
P1=1 ml/l, P2= 3ml/l, P3= 5 ml/l, dan P4= 5 ml/l) dengan Konsentrasi Berbeda.

Hubungan antara konsentrasi POC dengan tinggi tanaman mengikuti kurve polinominal
dengan persamaan y = -0,0812x2 + 1,1536x + 19,6, dengan nilai R² = 0,994 (gambar 3).
Tingginya nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang sangat kuat antara konsentrasi
POC dengan tinggi tanaman, dimana semakin tinggi konsentrasi yang diberikan pada tanaman
akan berpengaruh terhadap peningkatkan tinggi tanaman Pakchoy. Namun demikian pada
tingkat konsentrasi tertentu berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tinggi Pakchoy.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan yang dihasilkan dalam penelitian
diperoleh konsentrasi optimal sebesar 7 ml/l dengan tinggi 23,70 cm. Peningkatan konsentrasi
lebih besar dari 7 ml/l dapat menurunkan tinggi tanaman.

25.00
24.00
Rerata tinggi tanaman (cm)

23.00
22.00
21.00 y = -0.0812x2 + 1.1536x + 19.6
20.00 R² = 0.994
19.00
18.00
17.00
16.00
15.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Konsentrasi POC (ml/l)

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi POC TOG2 (P0 = 0 ml/l, P1=1 ml/l, P2= 3ml/l, P3=
5 ml/l, dan P4= 5 ml/l) dengan Tinggi Tanaman Pakchoy Pada Umur 6 MST

Daun
Pertambahan jumlah daun tanaman Pakchoy sampai umur 6 MST di sajikan pada Gambar 4,
dimana pertambahan jumlah daun tanaman Pakchoy yang mendapat perlakuan POC (7,93-8,47
helai) hampir sama dengan control (8,07 helai) (Gambar 4). Hasil analisis varian menunjukkan
bahwa tidak ada beda nyata diantara perlakuan terhadap jumlah daun tanaman Pakchoy.
Pertumbuhan lebar dan panjang daun tanaman Pakchoy selama penelitian selalu
mengalami peningkatan, baik yang mendapat perlakuan POC maupun tanaman control.
Berdasarkan hasil analisis varian pada tingkat kepercayaan 5% didapatkan bahwa pemberian
POC baru berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan lebar daun setelah tanaman Pakchoy

218
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

berumur 4 sampai 6 MST (Tabel 5). Hasil uji lanjut BNJ pada taraf kepercayaan 5%
menunjukkan bahwa tanaman Pakchoy yang mendapat perlakuan POC TOG2 dengan
konsentrasi 5 ml/l dan 7 ml/l, memiliki lebar daun tertinggi sejak umur 4 sampai dengan 6 MST,
dimana keduanya tidak berbeda nyata. Pada umur 6 MST saat panen, lebar tanaman Pakchoy
yang mendapat perlakuan POC TOG2 dengan konsentrasi 5 ml/l dan 7 ml/l adalah 14,93 dan
14,96 cm. Pertumbuhan lebar daun. Pertumbuhan lebar daun yang terlebar tersebut dikarenakan
tersedianya unsur hara pada media yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
Menurut Gilo (2015) menyatakan bahwa pupuk organik cair merupakan pupuk yang dapat
memperbaiki sifat fisik kimia, dan biologi tanah; dapat meningkatkan produksi tanaman, kualitas
tanaman. Lebar daun tanaman Pakchoy kedua tertinggi terjadi pada perlakuan POC TOP G2 3
ml/l pada akhir penelitian (6MST) adalah 12,75 cm. Tanaman Pakchoy yang mendapat
perlakuan POC dengan konsentrasi 3 ml/l dan tanaman control memiliki lebar daun 11,46 dan
12,15 cm pada akhir penelitian (6 MST) terendah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
tanaman Pakchoy belum mendapatkan unsur hara yang tidak cukup untuk mendukung
pertumbuhannya.

19 0 ml/l

17 1 ml/l
Jumlah (Helai)

15 3 ml/l

13 5 ml/l

11 7 ml/l

9
7
5
3 4 5 6
Umur Tanaman (MST)
Gambar 4. Grafik Pengaruh Pemberian POC TOG2 (P0 = 0 ml/l, P1=1 ml/l, P2= 3ml/l, P3= 5 ml/l,
dan P4= 5 ml/l) terhadap Jumlah Daun Tanaman Pakchoy Umur 6 MST

10.00 8.40 8.47


8.07 8.13 7.93
Rerata Jumlah daun

8.00
6.00
(helai)

4.00
2.00
0.00
P0 P1 P2 P3 P4
Perlakuan

Gambar 5. Grafik Jumlah Daun Tanaman Pakchoy Umur 6 MST pada Pemberian POC TOG2 (P0 = 0
ml/l, P1=1 ml/l, P2= 3ml/l, P3= 5 ml/l, dan P4= 5 ml/l) dengan Konsentrasi Berbeda.

Pemberian POC juga berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang daun tanaman Pakchoy.
Respon pertumbuhan panjang daun lebih cepat dibanding respon lebar daun tanaman Pakchoy
terhadap pemberian POC, dimana pertumbuhan panjang daun mulai terlihat sejak 3 MST.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis varian (Tabel 5) dengan tingkat kepercayaan 5%
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan terhadap panjang daun
tanaman Pakchoy sejak umur 3-6 MST. Panjang daun tanaman Pakchoy tertinggi diperoleh oleh

219
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

perlakuan POC TOPG2 dengan konsentrasi 5 dan 7 ml/l, dengan panjang daun tanaman Pakchoy
14,03 dan 14,96 cm saat panen (umur 6 MST). Panjang daun tanaman Pakchoy kedua tertinggi
diperoleh pada perlakuan POC TOPG2 dengan konsentrasi 1 dan 3 ml/l dengan panjang 12,15
dan 12,75 cm pada saat panen (6 MST). Panjang daun terendah ditunjukkan oleh tanaman
control dengan ukuran 11,46 cm pada saat panen.

Tabel 5. Rata-rata Lebar Daun Tanaman Pakchoy yang Mendapat Perlakuan Pupuk Organik Cair
TOPG2®.
Perlakuan Rata-rata lebar daun tanaman Pakchoy (Cm)
(ml/l) 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST
Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang
0 5,91a 8,26a 6,66a 9,26a 7,65a 10,74 a 8,01a 11,46a
1 5,99a 8,66a 6,28a 9,66a 8,01a 11,47 b 8,43a 12,15 b
3 5,78a 8,38a 7,69b 9,45b 8,74b 12,02 b 9,00b 12,75 b
5 6,57a 9,32b 8,50c 11,05c 9,47c 13,25 c 10,06c 14,03 c
7 6,50a 9,51b 8,84c 11,16c 9,81c 13,56 c 10,62c 14,96 c
Keterangan: Angka angka yang di ikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
BNJ pada taraf 5%.

Hubungan antara konsentrasi POC dengan lebar dan panjang daun tanaman Pakchoy
bersifat linier (Gambar 6). Berdasarkan hasil analisis diperoleh persamaan Y= 0,3807x + 8,0059
, dengan nilai R² = 0,99 untuk lebar daun dan Y = 0,4924x + 11,494 , dengan nilai R² = 0,99.
Tingginya nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi POC akan secara
langsung diikuti oleh peningkatan lebar dan panjang daun. Kondisi tersebut juga memberikan
indikasi bahwa pertumbuhan lebar dan panjang daun sangat sensitif terhadap ketersediaan unsur
hara pada media tanaman. Hadjowigeno (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman
dipengaruhi oleh unsur-unsur hara dalam tanah (N, P, K, dan lain-lain).

(a) (b)

Gambar 6. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi POC TOG2 (P0 = 0 ml/l, P1=1 ml/l, P2= 3ml/l,
P3= 5 ml/l, dan P4= 5 ml/l) dengan Lebar Daun Tanaman Pakchoy (a) dan Panjang Daun (b)
pada Umur 6 MST.

Tanaman Pakchoy yang mendapat perlakuan POC TOP G2 5 dan 7 ml/l memiliki lebar
dan panjang daun tertinggi pada akhir pengamatan, meskipun tidak berpengaruh terhadap jumlah
daun. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas dan hasil tanaman Pakchoy.

Produksi
Hasil pengamatan terhadap produksi tanaman Pakchoy yang mendapat perlakuan
pemberian POC TOPG2 dengan berbagai konsentrasi (0, 1, 3, 5, dan 7 ml/l) disajikan pada Tabel
6. Produksi segar dan konsumsi bervariasi dianatara tanaman yang mendapat perlakuan pupuk

220
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dengan dosis berbeda. Bobot konsumsi tanaman Pakchoy berkisar antara 90,52 sampai dengan
81,10 % dari berat segar tanaman Pakchoy, yaitu sebanyak 125,13 – 212,53 g/tanaman atau
31,28-53,28 ton/ha.
Berdasarkan hasil analisis varian pada taraf kepercayaan 5% terdapat perbedaan yang
nyata baik pada bobot segar maupun bobot konsumsi tanaman Pakchoy yang mendapat
perlakuan POC TOPG2 dengan konsentrasi berbeda. Hasil uji lanjut dengan menggunakan BNJ
(α=5%) menunjukkan bahwa aplikasi POC TOG2 dengan konsentrasi 5 dan 7 ml/l memberikan
hasil tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dengan produksi konsumsi sebesar 213,13±
32,49 dan 212,53±31,45 g/tanaman atau 53,28 dan 53,13 ton/ha. Tingginya produksi tanaman
yang mendapat POC TOPG2 5 dan 7 ml/l dimungkinkan karena variable lebar dan panjang daun
pada tanaman tersebut lebih tinggi dari perlakuan lainnya sehingga proses fotosintesis berjalan
dengan intensitas yang lebih baik, yang pada akhirnya dapat memberikan produksi biomasa lebih
tinggi. Oktavia dan Dawam (2018) menyatakan bahwa bertambahnya pertumbuhan vegetatif
tanaman terutama daun berpengaruh terhadap peningkatan berat tanaman. Ketersediaan unsur
hara makro dan mikro pada media yang berasal dari POC TOPG2 dengan konsentrasi 5 dan 7
ml/l sudah cukup untuk meningkatkan bobot konsumsi secara nyata.
Produksi kedua tertinggi dicapai oleh tanaman Pakchoy yang mendapat perlakuan POC
TOPG2 dengan konsenttrasi 3 ml/l (173,87±28,09 g/tanaman atau 43,46 ton/ha). Produksi
terendah tanaman Pakchoy terjadi pada tanaman yang mendapat perlakuan POC TOPG2 dengan
konsentrasi 0 dan 3 ml/l, yaitu sebesar 149,60±22,42 dan 149,60±22,42 g/tanaman atau 31,28
dan 37,4 ton/ha.

Tabel 6. Rata-rata Bobot Kotor, Konsumsi, dan Tanaman Pakchoy yang Mendapat Perlakuan Pupuk
Organik Cair TOPG2® dengan Konsentrasi Berbeda pada Minggu 6 MST.
Perlakuan Rerata bobot pakchoy
(ml/l) Basa Konsumsi Limbah Ton/Ha
(g/tanaman) (g/tanaman) (g/tanaman)
0 151,47±21,27a 125,13±16,90 a 26,34 (17,33%) 31,28
1 173,87±27,02ab 149,60±22,42 a 24,27 (13,96%) 37,4
3 192,07± 25,20b 173,87±28,09 b 18,20 (9,48%) 43,46
5 262,67±23,60 c 213,13± 32,49 c 49,54 (18,86%) 53,28
7 252,73±24,15c 212,53±31,45 c 40,20(19,90% 53,13
Keterangan: Angka angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
BNJ pada taraf 5%.

225.00
Rerata bobot konsumsi

200.00
175.00
(g/tanaman)

150.00
Y = -1,5298x2 + 23,613x + 124,99
125.00 R² = 0,9749
100.00
75.00
50.00
0 2 4 6 8
Konsentrasi POC (ml/l)

Gambar 7 . Grafik Hubungan Antara Konsentrasi POC TOG2 (P0 = 0 ml/l, P1=1 ml/l, P2= 3ml/l,
P3= 5 ml/l, dan P4= 5 ml/l) dengan Bobot Konsumsi Tanaman Pakchoy Pada Umur 6 MST.
Berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara
pemberian POC TOPG2 dengan konsentrasi berbeda dengan bobot konsumsi tanaman Pakchoy.

221
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Hubungan tersebut dilukiskan dengan persamaan curve linier Y = -1,5298x2 + 23,613x + 124,99,
dengan nilai R² = 0,98 (Gambar 7). Tingginya nilai R2 tersebut memberikan indikasi bahwa
peningkatan konsentrasi pada titik tertentu mengalami penurunan bobot konsumsi tanaman
Pakchoy. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diprediksi bahwa konsentrasi POC TOPG2
optimum yang dapat menghasilkan bobot tertinggi adalah 7,5 ml/l.

PENUTUP
Pemberian POC TOG2 dengan konsentrasi minimal 5 ml/l telah dapat memberikan
peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman, lebar dan panjang daun, dan bobot konsumsi tanaman
Pakchoy daun secara nyata. Konsentrasi POC TOG2 optimum untuk mendapatkan hasil
tertinggi adalah 7,5 ml/l..

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Panduan Pnggunaan Pupuk TOP G2. https://ti2hwi. files. wordpress.
com/2010/04/1panduan-aplikasi-pupuk-organik-cair-top-g2. pdf (diakses 27 Agustus
2019)
Gilo. M. Tosin. 2015. Pupuk Organik dan Pestisida Nabati ala Tosin Gilo. PT Agromedia
Pustaka. Jakarta Selatan.
Hadisuwito, S. 2012. Membuat Pupuk Organik Cair. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Hardjowigeno, 2010. Ilmu Tanah. CV Akademika Pressindo. Jakarta.
Haryanto, W., T. Suhartini dan E. Rahayu. 2003. Sawi dan Selada. Edisi Revisi Penebar
Swadaya. Jakarta.
Lingga, P. dan Marsono, 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta.
Oktavia, J. dan Dawam M, (2018). Respon Pertumbuhan Hasil Tanaman Pakchoy (Brassica
chinensis L.) terhadap aplikasi EM dan PGPR. Universitas Brawijaya. Jurnal produksi
tananaman VOL. 6-8.
Prasasti, 2014. Perbaikan Kesuburan Tanah Liat dan Pasir Dengan Penambahan Kompos
Limbah Sagu Untuk Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Pakchoy (Brassica rapa var.
chinensis). Universitas Diponegoro. Buletin Anatomi dan Fisiologi. Volume 21 (2).
(November 2018).
Nurhasanah, 2015. Pemberian Kombinasi Pupuk Hijau Azolla pinnata dengan Pupuk Guano
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pakchoy (Brassica chinensis L.).
Universitas Riau. JOM FAPERTA. Vol 2 (1). (November 2018).
Parnata, 2004. Pupuk organik cair aplikasi dan manfaatnya. PT. Agromedia Pustaka. Tangerang.
Pranowo Tri, 2009. Pakchoy. Sayuran oriental yang paling populer. http://www. tanindo. com/.
(25 Desember 2018).
Purwati, M.S. 2013. Pertumbuhan bibit karet (Hevea brasiliensis L.) asal okulasi pada pemberian
bokashi dan pupuk organik cair bintang kuda laut. Jurnal Agrifor Vol 12 (1) : 1 - 10.
Sapsuha, R., A. Thomas., Marthen., T. Lasut., J.A.Rombang. 2012. Pengaruh pemupukan NPK
terhadap pertumbuhan bibit jabon putih Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. Fakultas
Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Setyaningsih, L. Y, Munawar dan M, Turjaman. 2000. Efektifitas Cendawan Mikoriza Arbusula
dan pupuk NPK terhadap pertumbuahan Bitti. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I.
Bogor.
Sutedjo, M. M. 2008. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta

222
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Triastuti, F., Wardati dan A.E. Yulia. 2016. Pengaruh Pupuk Kascing dan Pupuk Npk Terhadap
Pertumbuhan Bibit Tanaman Kakao (Theobroma cacao L). Jurnal JOM FAPERTA 3(1):
1-13
Winarso. 2008. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media.
Yogyakarta.

223
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Nutrisi dan Media Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil


Tanaman Selada (Lactuca sativa L) Varietas New Grand Rapid dengan
Sistem Hidroponik Fertigasi
The Influence of Various Dose of Nutrients and Planting Media on The
Growth and Yield of Lettuce (Lactuca sativa L) New Grand Rapid
Variety With Vertigation Hydroponic Systems
Darso Sugiono1, Wagiono1, dan Deputri Amira2
1Dosen Fakultas Pertanian Universitas Singaperbangsa Karawang, E-mail:
2Alumni Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Singaperbangsa Karawang

ABSTRAK

Kata Kunci: Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan kombinasi nutrisi dan media tanam
Nutrisi yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
Media Tanam Selada Varietas New Grand Rapid.
Pertumbuhan Penelitian dilakukan di lahan Desa Cintalaksana Kecamatan Tegalwaru
Hasil Kabupaten Karawang, dengan titik koordinat 6°21’58.20’’LS 107°10’23,37’’BT
Selada dengan ketinggian 200 meter diatas permukaan laut. Percobaan ini dilaksanakan
pada bulan Maret 2018 sampai Mei 2018.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen, dengan
Rancangan Acak Kelompok tunggal (RAK Tunggal) kombinasi perlakuan
terdiri dari 6 perlakuan dan 4 ulangan. A. Perlakuan Tanah + Larutan (AB Mix
+ Air), B. Tanah + Larutan (AB Mix + Air Beras), C. Cocopeat + Larutan (AB
Mix + Air), D. Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air Beras), E. Arang Sekam +
Larutan (AB Mix + Air), dan F. Arang Sekam (AB Mix + Air Beras).
Terdapat pengaruh nyata kombinasi nutrisi dan media tanam terhadap
pertumbuhan dan hasil pada tanaman selada (Lactuca sativa L) varietas New
Grand Rapid dan perlakuan E (Arang sekam + Larutan AB Mix + Air)
memberikan hasil tertinggi pada bobot segar tajuk dengan bobot 325g
pertanaman atau setara dengan 6-7 ton/ha.
ABSTRACT
Keywords: The goal of this experiment is to find out the combination nutrients and planting
Nutrient media to give best influence about growth and yield of lettuce new grand rapid
Planting variety.The experiment was conducted in land Bengle Village, Majalaya District,
Growth Karawang Regency with altitude 25 m above the sea level. The experiment has
Yield been carried from out march up to may 2018. The research method used in this
Lettuce experiment was the randomized block design with combination 6 treatments and
4 replications. The treatment is A. Soil + Solvent (AB Mix + Water), B. Soil +
Solvent (AB Mix + Rice Water), C. Cocopeat + Solvent (AB Mix + Water),
D.Cocopeat + Solvent (AB Mix + Rice Water), E.Husk charcoal + Solvent (AB
Mix + Water), and F. Husk charcoal (AB Mix + Rice Water).
Nutrients and growing media on growth and yield on lettuce (Lactuca sativa L)
New Grand Rapid and Eater varieties (Husk Charcoal + AB Mix + Water
Solution) gave the best results in fresh weight with 325 plantings or equal to 6-7
tons / ha.

Email Korespondensi: darso.sugiono@faperta.unsika.ac.id

224
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Selada (Lactuca sativa L) merupakan jenis tanaman sayuran yang dapat tumbuh baik
didataran rendah maupun dataran tinggi. Selada memiliki daun yang bergerigi dan merupakan
sayuran yang dikonsumsi daunnya baik dalam keadaan mentah maupun matang. Selada dikenal
dengan nama salada bokor (Sunda), dan orang Jawa pada umumnya menyebut selada atau sladah
(Jawa). (Wahyudi, 2005).
Menurut Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementrian Pertanian (2016) Impor
holtikultura pada tahun 2014 adalah sebesar 1.646.485 ton. Adanya impor komoditas holtikultura
termasuk selada, menunjukkan bahwa produksi Nasional belum bisa memenuhi permintaan
nasional. Oleh karena itu, perlu dikembangkan usaha budidaya untuk mendukung pemenuhan
permintaan khususnya komoditi selada.
Sistem hidroponik dapat memberikan suatu lingkungan pertumbuhan yang lebih
terkontrol. Dengan pengembangan teknologi, kombinasi sistem hidroponik dengan membran
mampu mendayagunakan air, nutrisi, pestisida secara nyata lebih efisien (minimalis system)
dibandingkan dengan kultur tanah (terutama untuk tanaman berumur pendek). Penggunaan
sistem hidroponik tidak mengenal musim dan tidak memerlukan lahan yang luas dibandingkan
dengan kultur tanah untuk menghasilkan satuan produktivitas yang sama (Lonardy, 2006).
Media tanam yang digunakan dalam hidroponik tidak mengandung nutrisi yang
dibutuhkan oleh tanaman. Penambahan nutrisi mutlak dibutuhkan untuk budidaya tanaman
sistem hidroponik, baik unsur hara esensial makro maupun mikro. Nutrisi hidroponik dapat
tersedia dipasaran yang dapat langsung digunakan dan yang biasa petani gunakan untuk
pemupukan tanaman. Larutan nutrisi yang diberikan terdiri atas garam-garam makro dan mikro
yang dibuat dalam larutan stok A dan B (Samanhudi dan Harjoko, 2010).
Penyerapan nutrisi tanaman dipengaruhi oleh media tanam. Media tanam merupakan
tempat akar tanaman menyerap unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Media tanam
yang baik merupakan media yang dapat mendukung pertumbuhan dan kehidupan tanaman.
Penunjang keberhasilan dari sistem budidaya hiroponik adalah media yang bersifat porus dan
aerasi baik serta nutrisi yang tercukupi untuk pertumbuhan tanaman (Perwatasari, 2012).
Prihmantoro dan Indriani (2005) menjelaskan bahwa untuk budidaya hidroponik media arang
sekam relatif murah, mempunyai porositas yang baik, tetapi media arang sekam hanya dapat
digunakan sebanyak dua kali periode tanam, sedangkan pasir dapat digunakan berulang kali
setelah dibersihkan lagi, tetapi kekurangan dari media pasir adalah berat dan porositas kurang
dibandingkan dengan arang sekam.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Dalam pengolahannya menjadi nasi, beras mengalami proses pencucian sebelum dimasak.
Pada proses pencucian beras biasanya dicuci atau dibilas sebanyak 3 kali sebagai upaya untuk
membersihkan beras dari kotoran. Air cucian beras atau sering disebut sebagai leri (bahasa Jawa)
berwarna putih susu, hal itu berarti bahwa protein dan vitamin B1 yang banyak terdapat dalam
beras juga ikut terkikis. Secara tidak langsung protein dan vitamin B1 banyak terkandung di
dalam air leri atau air cucian beras. Vitamin B1 merupakan kelompok vitamin B, yang
mempunyai peranan di dalam metabolisme tanaman dalam hal mengkonversikan karbohidrat
menjadi energi untuk menggerakkan aktifitas di dalam tanaman (Heni, 2011).
Menurut Alip, (2010) pada tanaman yang mengalami stres karena kondisi bare root (akar
yang terbuka) ataupun karena pemindahan tanaman ke media baru dengan pemberian vitamin
B1 maka tanaman tersebut dapat segera melakukan aktifitas metabolisme untuk beradaptasi
dengan lingkungan media yang baru. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Adrianto
(2007) yang menyatakan bahwa air leri atau air bekas cucian beras dapat merangsang
pertumbuhan akar tanaman Adenium. Hal tersebut disebabkan karena air cucian beras
mengandung vitamin B1 yang berfungsi merangsang pertumbuhan serta metabolisme akar.
Manfaat air cucian beras (leri) ini juga telah diteliti oleh Leonardo (2009), air cucian beras

225
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

bilasan pertama berpengaruh terhadap peningkatan jumlah daun dan tinggi tanaman tomat dan
terong. Salah satu kandungan leri adalah fosfor yang merupakan unsur hara makro yang sangat
dibutuhkan oleh tanaman.
Menurut Leandro (2009) dalam Nurul (2012), Air cucian beras dapat dimanfaatkan sebagai
penyubur tanaman karena air cucian beras mengandung karbohidrat, nutrisi, vitamin dan zat-zat
mineral lainnya. Semua kandungan yang ada pada air cucian beras itu umumnya berfungsi untuk
membantu pertumbuhan tanaman. kandungan air cucian beras ini menjadi perantara
terbentuknya hormon auksin dan giberalin. Auksin bermanfaat merangsang pertumbuhan pucuk
dan kemunculan tunas baru sedangkan giberalin berguna untuk merangsang pertumbuhan akar.
Mineral yang terkandung pada air cucian beras tersebut, secara umum memiliki satu zat
yang lain terkandung dalam cucian beras adalah Fosfor. Fosfor merupakan unsur hara makro
yang dibutuhkan oleh tanaman. Peranan fosfor bagi tumbuhan adalah memacu pertumbuhan akar
dan pembentukan sistem perakaran yang baik dari benih dan tanaman muda, mempercapat
pemasakan buah dan biji (Djoehana, 1989).
Serat sabut kelapa sangat berpotensi sebagai biosorben karena mengandung selulosa yang
di dalam struktur molekulnya mengandung gugus karboksil serta lignin yang mengandung asam
phenolat yang ikut ambil bagian dalam pengikatan logam. Selulosa dan lignin adalah biopolimer
yang berhubungan dengan proses pemisahan logamlogam berat (Pino, et al 2005).
Tanah bisa dikatakan bagian-bagian dari kombinasi sifat fisik, kimia, dan biologi yang
termasuk kedalam bangunan alami yang tersusun atas horizon-horizon yang terdiri dari bahan
mineral dan organik, dan memiliki tingkat ketebalan yang berbeda. (Rachman Sutanto, 2005).
Arang sekam memiliki kerapatan jenis (bulk density) 125 kg/m3, dengan nilai kalori 3.300-
3600 kal/g sekam (Hasril, 2011). Menurut Gusmini (2009), media sekam mengandung unsur
silika (Si) dan unsur P yang tinggi.
Banyak merk nutrisi yang diperdagangkan dipasaran, namun kualitasnya berbeda-beda.
Perbedaan kualitas nutrisi ini dipengaruhi banyak faktor. Perbedaan jenis, sifat, dan kelengkapan
kimia bahan baku pupuk yang digunakan tentu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pupuk
yang dihasilkan (Sutiyoso, 2006).
Susila (2006), menyatakan bahwa penggunaan pupuk daun dapat memperbaiki hasil
panen, sehinga aplikasi pupuk dengan melakukan kombinasi AB mix melalui akar dengan pupuk
melalui daun dapat digunakan untuk meningkatkan hasil dan kualitas tanaman selada.
Berdasarkan penelitian Perwatasari (2012) mengenai pengaruh media tanam dan nutrisi
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman pakcoy dengan sistem hidroponik substrat bahwa
perlakuan terbaik terdapat pada komposisi media arang sekam dan nutrisi yang digunakan adalah
Goodplant yang dibuktikan dengan rata-rata hasil tertinggi pada parameter panjang tanaman,
jumlah daun, luas daun, bobot basah dan bobot kering pada umur 4mst. Sedangkan menurut
penelitian Mas’ud (2009) mengenai sistem hidroponik substrat dengan nutrisi dan media
tanaman berbeda terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman selada diperoleh bahwa nutrisi buatan
sendiri yang terbaik karena memiliki unsur yang lebih lengkap dibandingkan dengan nutrisi yang
lain dan media tanaman pasir memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan dan hasil selada.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Adapun bahan yang digunakan adalah tiga jenis nutrisi yaitu air cucian beras putih, merah
dan AB Mix, benih selada Varietas New Grand Rapid, media tanah, arang sekam, dan serabut
kelapa. Penyemaian dilakukan dengan tray semai dengan media rockwool. Alat yang digunakan
tray semai, spray, alat ukur, poly bag ukuran 25cm x 20 cm, bambu, papan nama, bak atau ember
(tendon nutrisi), pH meter, alat ukur EC, nozel kabut, temperature control, pipa paralon, tower
tendon, atap plastik netral, selang, kamera, penggaris, pulpen, dan buku catatan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan
Rancangan Acak Kelompok tunggal (RAK Faktor Tunggal) kombinasi 6 perlakuan dengan 4
kali ulangan sehingga diperoleh 24 unit percobaan dan tiap unit percobaan menggunakan 2

226
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tanaman percobaan, sehingga keseluruhan digunakan 48 tanaman penelitian. Adapun perlakuan


sebagai berikut: A. Tanah + Larutan (AB Mix + Air), B. Tanah + Larutan (AB Mix + Air Beras),
C. Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air), D. Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air Beras), E. Arang
Sekam + Larutan (AB Mix + Air), F. Arang Sekam (AB Mix + Air Beras)
Variabel pengamatan terdiri dari tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, luas daun,
dan bobot segar. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F taraf 5% dan apabila terdapat
pengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengamatan tinggi tanaman menunjukkan terdapat pengaruh nyata dari penggunan
berbagai dosis nutrisi dan media tanam pada sistem hidroponik sistem fertigasi.

Tabel 1. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Penelitian Pengaruh Berbagai Dosis Nutrisi Media Tanam
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactusa sativa L) Varietas New Grand Rapid.
Kode Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
A Tanah + Larutan (AB Mix + Air) 32,45 b
B Tanah + Larutan (AB Mix + Air Beras) 30,02 b
C Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air) 31,62 b
D Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air Beras) 30,15 b
E Arang Sekam + Larutan (AB Mix + Air) 41,25 a
F Arang Sekam (AB Mix + Air Beras) 32,17 b
Koefisien Keragaman (%) 11,20
Keterangan : Nilai rata- rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji
DMRT pada taraf 5%.

Hasi uji DMRT taraf 5% pada Tabel 1 menujukkan bahwa percobaan berbagai dosis nutrisi
dan media tanaman memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman dengan nilai 41,25 cm.
Penggunaan dosis nutrisi dan media tanam dengan kombinasi arang sekam + larutan AB Mix +
air (pelakuan E) memberikan tinggi tanaman tertinggi berbeda nyata dengan semua perlakuan
lainnya.
Tinggi tanaman sangat berhubungan erat dengan jumlah daun, semakin banyak jumlah
daun maka ruas batang juga akan semakin banyak sehingga menambah tinggi tanaman. Suhu
yang cukup fluktuatif juga mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman, suhu yang cukup tinggi
mengakibatkan banyaknya evapo-transpirasi pada tanaman, sehingga air maupun nutrisi yang
diserap akan lebih sedikit. Karsono et al (2003) menyatakan pertumbuhan tanaman akan
terhambat jika suhu udara tinggi dan evapotranspirasi berjalan terus-menerus.
Pada pengamatan panjang akar hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh nyata dari penggunaan berbagai dosis nutrisi dan media tanam terhadap panjang akar.
Hasil uji DMRT taraf 5% pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan D yaitu Cocopeat
+ larutan (AB Mix + Air beras) yang memberikan nilai paling tinggi dibandingkan dengan yang
lainnya dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan F arang sekam + larutan (AB Mix + Air beras)
dan perlakuan C Cocopeat + larutan (AB Mix + Air) akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
A Tanah + larutan (AB Mix + Air), perlakuan B Tanah + larutan (AB Mix + Air beras) dan
perlakuan E Arang sekam + larutan (AB Mix + Air).

Tabel 2. Rata-rata Panjang Akar pada Penelitian Pengaruh Berbagai Dosis Nutrisi Media Tanam
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactusa sativa L) Varietas New Grand Rapid.
Kode Perlakuan Rata – Rata Panjang Akar (cm)
A Tanah + Larutan (AB Mix + Air) 4,75 c
B Tanah + Larutan (AB Mix + Air Beras) 6,37 c
C Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air) 12,87 a

227
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kode Perlakuan Rata – Rata Panjang Akar (cm)


D Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air Beras) 14,00 a
E Arang Sekam + Larutan (AB Mix + Air) 11,25 b
F Arang Sekam (AB Mix + Air Beras) 13,00 a
Koefisien Keragaman (%) 33,97
Keterangan : Nilai rata – rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata uji DMRT pada taraf 5%.

Penggunaan media cocopeat dengan larutan AB Mix yang ditambahkan dengan air cucian
beras memberikan hasil yang paling tinggi hal ini diduga karena penggunaan media organik
cocopeat memberikan ruang untuk pertumbuhan dan pergerakan akar lebih mudah tidak terlalu
padat seperti tanah sehingga nutrisi bisa terserap dengan baik dan menyimpan air lebih lama. Hal
ini sejalan dengan Prayugo, (2007) yang menyatakan keunggulan cocopeat sebagai media tanam
diantaranya dapat menyimpan air yang mengandung unsur hara, sifat cocopeat yang senang
menampung air dalam pori-pori menguntungkan karena akan menyimpan pupuk cair sehingga
frekuensi pemupukan dapat dikurangi dan di dalam cocopeat juga terkandung unsur hara dari
alam yang sangat dibutuhkan tanaman, daya serap air tinggi, menunjang pertumbuhan akar
dengan cepat. Penggunaan larutan AB Mix dan air cucian beras memeberikan pertumbuhan akar
yang optimal karena dalam AB Mix sudah mengandung unsur hara makro dan mikro ditambah
dengan air cucian beras. Disisi lain serbuk gergaji juga memiliki N, P, K, Ca, Mg, Si, Al, dan
Na, unsur-unsur tersebut tergabung dalam sejumlah senyawa organik (Fengel dan Wegener,
1995). Cocopeat memilki kandungan hara kalium, fosfor, kalsium, magnesium dan natrium, dan
mampu menyimpan air dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Laksono dan Sugiono
(2016) media tanam organik mampu meningkatkan daya simpan nutrisi dan air di sekitar
perakaran, meningkatkan aerasi, serta menjaga kondisi iklim mikro yang optimal pada media
tanam.
Pada pengamatan luas daun hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
nyata dari penggunan berbagai dosis nutrisi media tanam terhadap luas daun.

Tabel 3. Rata-rata Luas Daun pada Penelitian Pengaruh Berbagai Dosis Nutrisi Media Tanam terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactusa sativa L) Varietas New Grand Rapid .
Kode Perlakuan Rata – Rata Luas Daun (cm)2
A Tanah + Larutan (AB Mix + Air) 11,25 c
B Tanah + Larutan (AB Mix + Air Beras) 11,62 c
C Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air) 12,50 b
Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air 10,00 c
D
Beras)
E Arang Sekam + Larutan (AB Mix + Air) 13,62 a
F Arang Sekam (AB Mix + Air Beras) 11,00 c
Koefisien Keragaman (%) 9,24
Keterangan : Nilai rata- rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji
DMRT pada taraf 5%.

Hasil uji DMRT taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan E Arang Sekam + Larutan (AB
Mix + Air) memberikan hasil yang paling tinggi dengan nilai 13,62 cm yang berbeda nyata
dengan perlakuan yang lainnya yaitu perlakuan A, Tanah + Larutan (AB Mix + Air) B, Tanah +
Larutan (AB Mix + Air Beras) C, Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air) D Cocopeat + Larutan
(AB Mix + Air Beras) dan F Arang Sekam (AB Mix + Air Beras). Penggunaan arang sekam padi
dengan larutan AB Mix + air memberikan luas daun lebih tinggi hal ini diduga karena arang
sekam yang dapat menyimpan kandungan unsur hara dan daya simpan air yang baik disisi lain
kandungan yang ada pada bahan organik arang sekam memberikan pengaruh positif dimana
salahsatu kandungannya terdapat silika yang menyebabkan proses fotosintesis akan maksimal.
Silika juga dapat menggantikan fiksasi P oleh Al dan Fe sehingga P menjadi tersedia bagi

228
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tanaman. Menurut Kelik (2010) parameter luas daun memberi gambaran tentang proses laju
fotosintesis pada suatu tanaman. Permukaan daun yang luas, efektif dalam menangkap cahaya
dan cepat dalam pengambilan CO2 untuk bahan dasar proses fotosintesis, karena permukaan
daun merupakan organ utama tumbuhan untuk melakukan fotosintesis (Wachjar dan Rizkiana
2013). Fotosintesis yang berjalan lancar akan meningkatkan bobot segar dan bobot kering
tanaman.
Pada pengamatan bobot segar per tanaman hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh nyata dari penggunan berbagai dosis nutrisi media tanam terhadap bobot segar
per tanaman.

Tabel 4. Rata-Rata Bobot Segar Per Tanaman pada Penelitian Pengaruh Berbagai Dosis Nutrisi Media
Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactusa sativa L) Varietas New Grand Rapid.
Hasil rata – rata bobot segar per
Kode Perlakuan
tanaman (g)
A Tanah + Larutan (AB Mix + Air) 250 b
B Tanah + Larutan (AB Mix + Air Beras) 225 b
C Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air) 250 b
D Cocopeat + Larutan (AB Mix + Air Beras) 200 b
E Arang Sekam + Larutan (AB Mix + Air) 325 a
F Arang Sekam (AB Mix + Air Beras) 175 b
Koefisien Keragaman (%) 2,25
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji
DMRT pada taraf 5%.

Hasil uji DMRT taraf 5% pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan E Arang Sekam +
Larutan (AB Mix + Air) dengan nilai 325 gr memberikan hasil bobot segar per tanaman tertinggi
yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Arang sekam (biochar) merupakan ameliorant utama untuk meningkatkan kandungan
bahan organik. Menaik dan menurunkan pH serta produksi tanaman padi. Biochar merupakan
senyawa organik berkarbon tinggi yang efektif untuk memperbaiki kesehatan tanah dan mampu
bertahan lama di dalam tanah. Secara keseluruhan biochar ini mampu memperbaiki sifat fisik
tanah. Sebagai penyangga ketersediaan air tanah. Bahkan rumah bagi mikrob dan menyuburkan
tanah.
Sekam padi dapat diproses menjadi arang sekam (biochar) yang dapat dipergunakan
sebagai amiloran utama sejalan dengan pernyataan Lehmann dan Joseph (2009) bahwa biochar
merupakan senyawa organik berkarbon tinggi (40-60%) hasil proses pirolisis (karbonisasi) yang
resisten terhadap pelapukan sehingga mampu berfungsi sebagai amelioran organik yang efektif
untuk memperbaiki kesuburan tanah dan mampu bertahan hingga puluhan tahun di dalam tanah
serta mempertahankan kelembaban tanah dan kesehatan lahan pertanian.
Berat segar ini dipengaruhi oleh luas daun. Daun merupakan tempat terjadinya fotosintesis,
jika fotosintesis berjalan dengan baik maka fotosintat yang dihasilkan juga banyak. Hasil
fotosintat akan digunakan untuk pembentukan organ dan jaringan dalam tanaman, seperti daun,
sehingga berat segar tanaman akan meningkat.

PENUTUP
Dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh nyata kombinasi
nutrisi dan media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil pada tanaman selada (Lactuca sativa
L) Varietas New Grand Rapid. Dimana perlakuan E (Arang sekam + Larutan AB Mix + Air)
memberikan hasil tertinggi pada bobot segar tajuk dengan bobot 325g per tanaman atau setara
dengan 6-7ton/ha. Kombinasi media tanam arang sekam dengan larutan AB Mix dapat dijadikan
pertimbangan untuk bahan rekomendasi penelitian selanjutnya.

229
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kami sampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang
Prof. Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, SE.,MS, Ak, CPA serta Dekan Fakultas Pertanian Unsika
Muharam, Ir., MP, yang telah mensuport kami para dosen agar semangat dalam menghasilan
karya-karya ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, H. 2007. Pengaruh Air Cucian Beras pada Adenium. [Skripsi]. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Alip, N. 2010. Anti Stres dan Perangsang Akar Tanaman. Jakarta.
Fengel, D dan Wegener, G, 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan.
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Hasril Amril Lubis. 2011. Uji Variasi Komposisi Bahan Pembuat Briket Kotoran Sapi Dan
Limbah Pertanian. http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345678 9/28807/4/Chapter
%20II.pdf diakses 20 November 2018.
Heni. 2011. Pemberdayaan Masyarakat Ketahanan Pangan Guna Menciptakan Pemukiman
Sehat dan Produktif. Jakarta.
Karsono S, Sudarmodjo, Sutiyono Y 2003. Hidroponik Skala Rumah Tangga. Agro Media
Pustaka. Jakarta.
Kelik W. 2010. Pengaruh Konsentrasi dan Pemberian Pupuk Organik Cair Hasil Perombakan
Anaerob Limbah Makanan Terhadap Pertumbuhan Sawi (Brassica juncea). [Skripsi].
Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Lehmann J, JP da Silva Jr, C Steiner, T Nehls, W Zech & B Glaser (2003). Nutrient availability
and leaching in an archaeological anthrosol and a ferralsol of the Central Amazon basin:
fertilizer, manure and charcoal amendments. Plant and Soil. 249, 343–357.
Leonardo, H. 2009. Pengaruh Konsentrasi Air Cucian Beras Terhadap pertumbuhan Tanaman
Tomat dan terong. Jakarta
Lonardy, M.V., 2006. Respons Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Terhadap
Suplai Senyawa Nitrogen Dari Sumber Berbeda Pada Sistem Hidroponik. [Skripsi] (Tidak
Dipublikasikan). Universitas Tadulako, Palu.
Mas’ud, H.2009. Sistem Hidroponik dengan Nutrisi dan Media Tanam Berbeda Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Selada. Media Litbang Sulteng. 2 (2) : 131-136.
Perwatasari, B. 2012. Pengaruh Media Tanam dan Nutrisi Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil
Tanaman Pakchoi (Brassica juncea L.) Dengan Sistem Hidroponik. Agovigor. 5(1) : 14-
25.
Pino, G.H., Mesquita, L.M.S., Torem, M.L., and Pinto, G.A.S., 2005, Biosorption of Cadmium
by Green Coconut Shell Powder, Metallurgy and Material, 225- Gavea, 22453-900 Rio de
Janeiro-RJ, Brazil
Pusat Data dan Informasi Pertanian Departemen Pertanian RI.2016. Impor komoditi pertanian
subsector holtikultura (segar) periode Januari 2016. (terhubungberkala).
https://aplikasi.pertanian.go.id/eksim2012/hasilimporSubsek.asp (08 Januari 2018).
Prayugo, S.2007. Media Tanam untuk Tanaman Hias. Jakarta : Penebar Swadaya.
Prihmantoro, H.I dan H.Y Indriani. 2005. Hidroponik. Tanaman Buah untuk Hobi dan Bisnis.
Penebar Swadaya : Jakarta.

230
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Rachman Sutanto. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah (Konsep dan Kenyataan). Kanisius.
Yogyakarta
Silvina, F. dan Syafrinal. 2008. Penggunaan Berbagai Medium Tanam dan Konsentrasi Pupuk
Organik Cair pada Pertumbuhan dan Produksi Mentimun Jepang. Jurnal Korespondesi,
4(2): 18-26
Susila, A. D. 2006. Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran di dalam Greenhouse. Direktorat
Jenderal Holtikultura. Bandung.
Sutiyoso, Y. 2004. Hidroponik Ala Yos. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wachjar A, Rizkiana A. 2013. Peningkatan produktivitas dan efisiensi konsumsi air tanaman
bayam (Amaranthus tricolor L.) pada teknik hidroponik melalui pengaturan populasi
tanaman. Bul. Agrohorti, 1(1):127 - 134

231
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Perbaikan Sifat Fisik Tanah dan Hasil Tanaman Bawang Merah Varietas
Batu Ijo yang diberi Bokhasi Paitan serta FMA Pada Tanah Galian C
Improvement of Soil Physical Properties and Production of Shallot Batu
Ijo Varieties Given Tithonia Bokhasi and AMF in Sand Pit Soil
Hasna Marhama1, Cecep Hidayat1, dan Yati Setiati1
1UIN Sunan Gunung Djati, Bandung,

ABSTRACT

Kata Kunci: Banyaknya lahan yang digunakan untuk pertambangan membuat tanah
Bawang merah menjadi kehilangan bahan organik penyubur tanah. Tanah pasca galian C
Bokhasi paitan memiliki sifat fisik, kimia dan biologi yang kurang cocok untuk tanaman
FMA bawang merah sehingga tanah perlu diperbaiki, salah satunya dengan
Tanah galian C pemberian bokhasi paitan dan FMA. Tujuan dalam penelitian ini untuk
mengetahui interaksi dan dosis antara bokhasi paitan dengan FMA terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah Varietas Batu Ijo pada tanah
pasca galian C. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Mei 2019.
Bertempat di Desa Kutamandiri, Tanjungsari, Kabupaten Bandung dengan
ketinggian wilayah mencapai 800 mdpl. Penelitian ini menggunakan metode
Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial 2 Faktor dengan tiga kali
ulangan. Faktor pertama pemberian bokhasi paitan dengan 4 taraf, yaitu 0 t
ha-1, 3 t ha-1 , 6 t ha-1 dan 9 t ha-1. Faktor kedua pemberian FMA jenis
campuran sebanyak 5 taraf yaitu 0 g, 4 g, 6 g, 8 g dan 10 g. Hasil penelitian
menunjukan adanya interaksi antara bokhasi paitan dan FMA terhadap
porositas dan permeabilitas tanah. Terjadi pengaruh mandiri bokhasi paitan
mulai dari taraf 3 t ha-1 terhadap diameter umbi dan bobot segar umbi.
ABSTRACT

Keywords: Amount of land used for mining makes land eroded and loses organic
AMF material to fertilize the soil. Soil conditions in sand pit soil have physical,
Sand pit soil chemical and biological properties not suitable for shallots, so the soil need
Shallot to be improved, one of them to use of Tithonia bokhasi and AMF. The aim
Tithonia bokhasi of research was to know interaction and dosage amongst Tithonia bokhasi
with AMF on the growth and yield of shallots of Batu Ijo variety on mining
land C. This research was conducted in February - May 2019. The research
in Kutamandiri Village, Tanjungsari, Bandung Regency with an altitude of
800 mdpl. The Metode used way Factorial Random Design Factorial 2 factors
with three replications. The first factor was Tithonia bokhasi with 4 levels, 0
t ha-1 , 3 t ha-1, 6 t ha-1 and 9 t ha-1. The second factor with 5 levels of mixed
AMF, 0 g, 4 g, 6 g, 8 g and 10 g. The result showed there was interaction
effect of Tithonia bokhasi and FMA on soil porosity and soil permeability.
There is the independent effect Tithonia bokhasi from 3 t ha-1 levels such on
tuber diameter and fresh weight of tuber.

Email Korespondensi: cephidayat62@uinsgd.ac.id

232
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Bawang merah (Allium ascolanicum L.) di Indonesia masih banyak dibudidayakan
didataran rendah yang memilki iklim kering dan bersuhu agak panas. Menurut Rismunandar
(2016) produksi bawang merah saat ini belum optimal untuk mencukupi permintaan masyarakat,
sehingga perlu adanya perbaikan baik dalam sisi budidaya maupun distribusi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi bawang merah semakin meningkat
dari tahun 2016 hingga 2017, tapi tidak dibarengi oleh peningkatn luasan lahan produktif.
Peningkatan kualitas tanaman bawang merah harus ditunjang dengan lahan yang produktif
sehingga hasil yang didapatkan akan maksimal. Eksploitasi pertambangan sebagai salah satu
penyumbang devisa negara terbesar juga membuat lahan pertanian produktif menjadi lahan
marjinal. Kegiatan pertambangan menyebabkan penurunan produktivitas tanah, pemadatan
tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya
flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk, serta perubahan iklim mikro
(Latifah, 2003).
Tanah pasca galian C memiliki banyak kendala untuk dijadikan media tanam. Penggunaan
alat berat mengakibatkan adanya pemadatan tanah dan pori yang berkurang, oleh karena itu perlu
alternatif penambahan bahan organik dan inokulum Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) yang
bertujuan untuk membantu meningkatkan kualitas tanah, terutama perbanyakan pori dan
meningkatkan agregat tanah (Ginting et al ., 2018). Bahan organik dapat membuat tanah memiki
tekstur yang lebih remah dan meningkatkan kadar C-organik tanah, C-Organik merupakan
sumber makanan bagi mikroorganisme pengurai. Selain itu penambahan bahan organik dapat
mempertahankan ketersediaan air serta memperbaiki aerasi tanah (Elisabeth et al., 2013).
Bokhasi merupakan pupuk yang memiliki sifat slow release, artinya unsur hara dalam
pupuk dilepaskan secara perlahan-lahan dan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu,
sehingga unsur hara tidak langsung dapat tersedia bagi tanaman. FMA dapat merombak C/N
rasio yang terdapat dalam bokhasi, sehingga tanaman dapat cepat menyerap bahan organik yang
telah tersedia (Nurbaity et al., 2017). FMA merupakan salah satu jenis cendawan yang
mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kesuburan tanah dengan cara
meningkatkan serapan hara N, P, K, meningkatkan penyerapan air dan meningkatkan resistensi
terhadap kekeringan serta meningkatkan aktivitas mikroba tanah (Puspita, 2013).
FMA mampu menyerap unsur hara makro dan mikro, karena hifa ekstrenal yang dimiliki
FMA mampu memperluas daerah serapan hara hingga ke pori-pori mikro (Ramadhan et al.,
2015). Ketika bokhasi paitan dan FMA diaplikasikan bersamaan, maka mampu memperbaiki
sifat fisik tanah pasca galian C mulai dari agregasi, pori dan permeabilitas tanah sehingga
meningkatkan produktivitas tanaman bawang merah.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Rempah Indonesia yang banyak diminati oleh warga luar membuat bawang merah menjadi
salah satu komoditas ekpor pada tahun 2017. Tanaman yang memiliki daya adaptasi di dataran
tinggi maupun rendah ini pun menjadi anjuran untuk dibudidayakan. Lahan yang subur menjadi
salah satu media tanam yang baik dalam budidaya tanaman bawang merah. Namun semakin
tahun, lahan pertanian yang subur semakin sempit. Banyaknya lahan produktif yang dialih
fungsikan, salah satunya dengan adanya kegiatan pertambangan. Banyaknya kegiatan
pertambangan menjadikan tanah menjadi kurang subur, sehingga pemanfaatan lahan pasca
galian C menjadi solusi alternatif dalam kegiatan budidaya bawang merah.
Kegiatan pertambangan dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas air tanah
serta air permukaan, merubah tata guna lahan dan merusak kestabilan batuan dan tanah. Sehingga
tanah mengalami penurunan produktivitas, kesuburan, jumlah mikroorganisme dan daya serap
atau permeabilitas tanah (Latifah, 2003). Lahan bekas tambang menjadikan tanah cepat tererosi
dan kehilangan tingat kesuburanya (Yudhistira et al., 2011). Penambahan bokhasi adalah pilihan
yang tepat untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Pemberian bokhasi dapat

233
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

memperbaiki tekstur dan struktur tanah melalui perbaikan sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi
tanah karena kaya akan bahan organik.
Menurut Lestari (2016) tumbuhan paitan (Tithonia diversifolia) banyak tumbuh dilahan
yang subur, disemak pinggir jalan dan lereng-lereng. Paitan dimanfaatkan sebagai sumber hara
N dan K, sehingga pemberian bokhasi paitan dapat meningkatkan unsur hara tanah, memperbaiki
sifat fisik tanah dan meningkatkan produktivitas tanaman (Pieter, 2015). Kandungan yang
terdapat pada daun paitan yaitu kadar N 2,7-3,59%, P 0,14-0,47%, K 3,5-4,10% dan Mg 0,27%
yang dapat meningkatkan kehidupan biota tanah sehingga kualitas tanah dapat meningkat pula
(Lestari, 2016).
Bokhasi yang memiliki sifat slow release mengakibatkan bahan oganik dilepaskan secara
perlahan-lahan dan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, sehingga unsur hara tidak cepat
tersedia bagi tanaman. Untuk membantu proses dekomposisi bokhasi perlu adanya bantuan
mikroorganisme tanah. Salah satu mikroorganisme tanah yang dapat digunakan yaitu FMA.
Proses dekomposisi bokhasi dengan bantuan FMA menjadikan bahan organik menjadi tersedia
dalam tanah sehingga mudah diserap oleh tanaman. Selain itu FMA juga memiliki fungsi dalam
mempertahankan kesuburan tanah dengan cara meningkatkan serapan hara N, P, K,
meningkatkan penyerapan air dan meningkatkan resistensi terhadap kekeringan serta
meningkatkan aktivitas mikroba tanah (Sumarni, 2013).
FMA berpengaruh terhadap perbaikan agregat tanah, hal ini dikarenakan miselium FMA
yang menghasilkan glomalin dapat menyebabkan partikel tanah melekat satu dengan yang
lainnya. Glomalin merupakan glikoprotein yang dapat mengikat partikel-partikel tanah yang
dikeluarkan oleh hifa FMA (Lovelock, 2004). Tanah bekas galian C yang bersifat mudah tererosi
dengan diberikan FMA mampu meningkatkan stabilitas tanah. Menurut Hidayat et al., (2017)
pemberian FMA dan bahan organik dapat memperbaiki bobot isi dan porositas tanah.
Tanah yang memiliki bahan organik membuat perkembangan FMA menjadi meningkat.
FMA akan membentuk hifa-hifa yang dapat menjerap unsur hara yang dihasilkan oleh bokhasi.
Hifa yang terdapat dalam FMA akan memecah partikel tanah yang padat dengan membuat jalan
untuk air dan udara masuk kedalam tanah. Ketika unsur hara dan karbon yang dibutuhkan
banyak tersedia, maka proses fotosisntesis akan meningkat, dan menghasilkan pertumbuhan
umbi yang lebih baik. Sehingga pemberian bokhasi paitan dan FMA dapat berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Interaksi antara bokhasi paitan dan FMA dapat
memperbaiki sifat fisik tanah yang meliputi bobot isi, porositas, permeabilitas dan kandungan
bahan organik. Dengan adanya perbaikan sifat fisik tanah, mampu menciptakan kondisi media
tanam yang baik bagi tanaman bawang merah, sehingga pertumbuhan tanaman bawang merah
dapat stabil sehingga mempengaruhi pada hasil umbi baik segi kualitas maupun kuantitasnya.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada saat penelitian adalah metode eksperimental, menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 Faktorial dengan 20 taraf perlakuan dan 3 kali ulangan.
Faktor pertama yaitu dosis pemberian bokhasi paitan dengan empat taraf dan faktor kedua
merupakan pemberian FMA dengan lima taraf.
Percobaan ini dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, sehingga diperoleh sebanyak 20
perlakuan dengan tiga kali ulangan sama dengan 60 satuan percobaan. Pada percobaan di
lapangan setiap satuan percobaan dibuat dua unit dengan masing-masing satu tanaman. Adapun
rancangan percobaan yang dilakukan sebagai berikut :
Faktor 1 pemberian bokhasi paitan (b)
b0 : Kontrol (tanpa pemberian Bokhasi)
b1 : Bokhasi dosis 3 t ha-1 ( 9,37 g polybag-1 )
b2 : Bokhasi dosis 6 t ha-1 (18,75 g polybag-1 )
b3 : Bokhasi dosis 9 t ha-1 ( 28,12 g polybag-1 )
Faktor 2 pemberian FMA (m)

234
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mo : Kontrol (tanpa pemberian FMA)


m1 : 4 g Inokulum FMA polybag -1
m2 : 6 g Inokulum FMA polybag -1
m3 : 8 g Inokulum FMA polybag -1
m4 : 10 g Inokulum FMA polybag -1
Parameter yang diamati meliputi parameter penunjang dan utama. Adapun parameter
penunjang terdiri dari pengukuran suhu dan kelembaban setiap pagi dan sore serta pengamatan
hama penyakit yang dimulai 7 HST hingga panen. Adapun parameter utama terdiri dari analisis
sifat fisik tanah meliputi porositas tanah dan permeabilitas tanah, serta hasil tanaman bawang
merah meliputi jumlah umbi per rumpun dan bobot segar umbi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Porositas Tanah
Berdasarkan hasil analisis ragam terjadi interaksi antara perlakuan bokhasi paitan dan
FMA terhadap porositas tanah. Hasil Uji Lanjut Duncan pada taraf 5% dalam Tabel 4 terjadi
interaksi pemberian bokhasi paitan dan FMA mulai dosis 3 t ha-1 hingga 9 t ha-1 dan FMA 6 g
tan-1 mampu meningkatkan rata-rata persentase porositas tanah dibandingkan perlakuan lainnya.
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa rata-rata persentase porositas terendah (26,67 %) dan
tertinggi (81,67%). Menurut Wibowo (2009) pori tanah yang dibutuhkan bawang merah sekitar
60-75% hingga akhir masa generatif. Hal ini menunjukan bahwa pemberian bokhasi paitan 3 t
ha-1 dan FMA 6 g tan-1 sudah mampu memperbaiki porositas tanah. Hal ini selaras dengan
penelitian Hidayat et al. (2017) yaitu pemberian FMA dan berbagai jenis kompos kotoran ternak
mampu memperbaiki porositas tanah. Hasil penelitian dengan perlakuan m2b2 (74,00%), m3b0
(65,33%) dan m4b1 (62,00%) sudah mencukupi kebutuhan pori tanaman bawang merah. Ketika
pori tanah sudah terbentuk, maka akan berpengaruh pada perkembangan diameter umbi.

Tabel 1. Pengaruh Bokhasi Paitan dan FMA terhadap Porositas Tanah (%)
FMA Bokhasi
b0 (0 t ha-1) b1 (3 tha-1) b2 (6 t ha-1) b3 (9 t ha-1)
m0 (0 g) 44,33 ab 81,67 c 52,33 b 26,67 a
AB C BC A
m1 (4g) 42,00 ab 26,00 a 50,00 b 31,33 a
AB A B AB
m2 (6g) 49,00 a 57,00 ab 74,00 b 43,67 a
B B C AB
m3(8g) 65,33 b 46,67 a 24,67 a 47,67 ab
B AB A AB
40,67 a 62,00 b 42,67 a 53,67 ab
m4 (10g)
A BC AB B
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf
5%, huruf kecil arah horizontal (baris) dan huruf kapital dibaca arah vertikal (kolom).

Penambahan bahan organik dapat menentukan volume dan ukuran pori pada tanah (Zaffar
& Sheng-gao, 2015). Kandungan bahan organik dapat meningkatkan kualitas sifat fisik tanah
melalui perangsangan mikroba tanah sehingga menjadikan struktur tanah yang mantap. Bahan
organik juga membantu dalam proses granulasi tanah, semakin banyak granulasi tanah yang
terbentuk, semakin banyak pula total pori tanah yang tersedia.
Banyaknya C-organik yang tersedia sebagai sumber makanan mikroba menjadikan
kehidupan mikro fauna dalam tanah menjadi meningkat. Menurut Aurélio (2015) penambahan
FMA pada tanah mampu membantu dalam pembentukan agregat. FMA memiliki hifa yang dapat
mengeluarkan glomalin, glomalin mampu membuat partikel tanah melekat satu dengan yang
lainnya. Pada tanah berpasir, glomalin dari hifa FMA berperan sebagai perekat (pengikat)

235
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

partikel tanah sehingga struktur tanah menjadi granular dan pori banyak terbentuk. Pada tanah
yang memiliki porositas rendah, hifa FMA juga mampu menembus lapisan tanah untuk mencari
sumber air dan hara tanah. Ketika akar yang terinfeksi FMA tumbuh memanjang, akar tersebut
akan memecah lapisan tanah dan pori baru akan terbentuk didalam tanah.

Permeabilitas Tanah
Berdasarkan hasil analisis ragam terjadi interaksi antara bokhasi paitan dan FMA terhadap
permeabilitas tanah Berdasarkan hasil Uji Duncan pada taraf 5% (Tabel 2) terjadi interaksi
pemberian bokhasi paitan mulai dari dosis 3 t ha-1 (b1) dan FMA 6 g tan-1 (m2) mampu
meningkatkan nilai permeabilitas tanah dibandingkan perlakuan lainnya. Berdasarkan Tabel 2
nilai rata-rata permeabilitas tanah terendah (0,52) dan tertinggi (2,57) menunjukan permeabilitas
tanah pada penelitian termasuk dalam kriteria sedang. Hal tersebut mengacu pada kriteria kelas
permeabilitas menurut Uhland dan O’Neil, nilai 2,01-6,25 cm jam-1 termasuk dalam kriteria
sedang (Dariah et al., 2004).

Tabel 2. Pengaruh Bokhasi Paitan dan FMA terhadap Permeabilitas Tanah (cm jam -1).
FMA Bokhasi
b0 (0 g) b1 (24 g) b2 (48 g) b3 (72 g)
m0 (0 g) 1,55 c 2,57 d 1,37 b 0,52 a
B D A A
m1 (4g) 1,70 c 0,66 a 1,29 b 0,83 a
BC A A B
m2 (6g) 1,27 b 1,33 b 2,04 c 1,09 a
A C C C
m3(8g) 1,80 c 1,15 a 1,20 a 1,47 b
C B A D
m4 (10g) 1,28 a 2,37 d 1,47 b 1,66 c
A D B E
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata menurut uji Duncan pada
taraf 5%, huruf kecil arah horizontal (baris) dan huruf kapital dibaca arah vertikal (kolom).

Perlakuan berbagai dosis bokhasi paitan (3-9 t ha-1) dan FMA (6 g dan 10 g) menunjukan
nilai rata-rata permeabilitas tertinggi dibandingkan tanpa pemberian bokhasi paitan dan FMA.
Hasil pengamatan permeabilitas dengan perlakuan m2b2 (2,04 cm jam-1) dan m4b1 (2,37 cm jam-
1) termasuk kedalam kriteria sedang. Menurut Duaja et al. (2009) drainase yang cukup untuk

bawang merah yaitu memiliki kriteria sedang. Hal tersebut dapat dikaitan dengan persentase
porositas tanah, semakin banyak ruang pori total pada tanah semakin meningkatkan pergerakan
air dan meningkatnya stabilitas agregat (Masria et al., 2009). Pada penelitian porositas tanah,
perlakuan m2b2 (74,00%) dan m4b1 (62,00%) sudah mencukupi pada kebutuhan pori tanah
bawang merah.
Kemampuan tanah meloloskan air bukan hanya ditentukan oleh banyaknya pori makro
tanah, tetapi ditentukan juga oleh struktur dan tekstur serta bahan organik. Menurut hasil analisis
tanah galian C kandungan pasir mencapai 61%, debu 23% dan liat 16% dan termasuk kriteria
tanah lempung berpasir. Tekstur tanah ini memiliki potensi meloloskan air yang sangat tinggi,
maka dari itu dilakukan penambahan bahan organik untuk mengurangi kecepatan tanah dalam
meloloskan air. Menurut Hasibuan (2015) bahan organik yang sudah mengalami pelapukan
memiliki kemampuan dalam penyerapan air yang lebih tinggi yaitu dua kali lipat dari pada
masanya. Ketika bahan organik diberikan pada tanah, secara otomatis kemampuan tanah dalam
penyerapan air meningkat. Kandungan bahan organik yang kaya karbon dijadikan mikroba tanah
sebagai sumber energi salah satunya FMA. Ketika sumber energi FMA terpenuhi, ia mampu
aktif dalam menginfeksi akar. Menurut Yusrinawati (2016) terdapat pengaruh tidak langsung
dari FMA terhadap permeabilitas tanah, yaitu miselium eksternal yang dimiliki FMA mampu

236
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

membuat agregat tanah, sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat yang bertujuan
untuk menjaga kelembaban tanah.

Jumlah Umbi Per rumpun


Berdasarkan hasil analisis ragam tidak terjadi interaksi antara bokhasi paitan dan FMA
terhadap jumlah umbi per rumpun. Perlakuan taraf bokhasi paitan dan FMA juga tidak
memberikan pengaruh mandiri pada jumlah umbi per rumpun. Berdasarkan hasil Uji Duncan
pada taraf 5% (Tabel 3) terhadap pengamatan jumlah umbi per rumpun menunjukan pengaruh
tidak nyata antara taraf perlakuan bokhasi paitan dan FMA.

Tabel 3. Pengaruh Bokhasi Paitan dan FMA Terhadap Jumlah Umbi Per Rumpun.
Rata-rata Jumlah Umbi Per rumpun
Perlakuan
(buah)
Bokhasi Paitan
b0 (0 t ha-1) 3,93 a
b1 (3 t ha-1) 4,67 a
b2 (6 t ha-1) 5,13 a
b3 (9 t ha-1) 5,40 a
FMA
m0 (0 g) 4,83 a
m1 (4 g) 4,75 a
m2 (6 g) 4,67 a
m3 (8 g) 5,08 a
m4 (10 g) 4,58 a
Keterangan: Angka rata-rata pada tiap kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak nyata
menurut Uji Duncan 5%.

Pemberian bokhasi paitan dan FMA pada taraf 3 t ha-1 dan 8 g tan-1 sudah mampu dalam
meningkatkan jumlah umbi per rumpun, dibandingkan tanpa pemberian bokhasi paitan dan
FMA. Hasil penelitian rata-rata jumlah umbi per rumpun mencapai 3-5 buah. Mengacu pada
deskripsi potensi hasil jumlah umbi per rumpun mencapai 2-5 umbi. Namun pada analisis Uji
Lanjut Duncan pada taraf 5%, taraf perlakuan bokhasi paitan dan FMA menunjukan hasil yang
tidak nyata. Hal ini disebabkan karena bahan organik memiliki sifat slow release yang
mengakibatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah membutuhkan waktu yang cukup lama
sampai bisa diserap oleh tanaman, sehingga perbanyakan umbi menjadi terganggu (Hartatik,
2015).
Taraf perlakuan pemberian FMA juga menunjukan hasil yang tidak nyata dikarenakan
lingkungan yang kurang mendukung dalam perkembangan FMA. Kelembaban udara harian
mencapai 93,3% dengan intensitas curah hujan yang sedang menuju tinggi. Menurut
Yusrinawati (2016) FMA dapat berkembang pada kelembaban tanah yang rendah, yaitu 50-60%
karena FMA dapat berkembang dalam kondisi cekaman kekeringan. Berdasarkan penelitian
jumlah umbi per rumpun pemberian bokhasi paitan dan FMA tidak memberikan pengaruh nyata.
Dapat diartikan bahwa penggunaan media tanam tanah pasca galian C masih memiliki potensi
dalam pertumbuhan tanaman bawang merah. Tanah galian C yang masih memiliki unsur hara
dapat menopang dalam pertumbuhan tanaman bawang merah.

Bobot Segar Umbi


Berdasarkan hasil analisis ragam tidak terjadi interaksi antara perlakuan bokhasi paitan
dan FMA terhadap bobot segar umbi per rumpun. Namun terjadi pengaruh secara mandiri
perlakuan bokhasi paitan terhadap bobot segar umbi Hasil analisis Uji Duncan pada taraf 5%
(Tabel 4) terhadap pengamatan bobot segar umbi menunjukan adanya pengaruh nyata antara

237
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

taraf perlakuan b0 (tanpa pemberian bokhasi) dengan taraf perlakuan b1-b3 (pemberian bokhasi
3-9 t ha -1).
Taraf perlakuan bokhasi paitan mulai dari 3 t ha-1 menunjukan hasil bobot segar umbi per
rumpun yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa pemberian bokhasi paitan. Pemberian
bokhasi paitan dengan dosis mulai dari 3 t ha-1 sudah mampu menyediakan unsur hara yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan umbi karena kandungan P dan K dalam
bokhasi paitan dapat diserap oleh tanaman (Purwani, 2009). Hasil analisis bokhasi paitan,
terdapat kandungan P sebesar 1,89% dan K sebesar 3,50% yang mampu menunjang
pertumbuhan umbi. Kemudian unsur hara yang diperoleh tanaman akan dimanfaatkan untuk
pembentukan karbohidrat, protein dan lemak yang disimpan dalam umbi sehingga bobot segar
umbi akan meningkat (Yusmalinda, 2017) .

Tabel 4. Pengaruh Bokhasi Paitan dan FMA terhadap Bobot Segar Umbi Per rumpun.
Perlakuan Rata-rata Bobot Segar Umbi Per rumpun (g)
Bokhasi Paitan
b0 (0 t ha-1) 11,63 a
b1 (3 t ha-1) 26,43 b
b2 (6 t ha-1) 20,11 ab
b3 (9 t ha-1) 32,01 b
FMA
m0 (0 g) 21,13 a
m1 (4 g) 18,53 a
m2 (6 g) 23,11 a
m3 (8 g) 24,68 a
m4 (10 g) 25,28 a
Keterangan: Angka rata-rata pada tiap kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak nyata
menurut Uji Duncan 5%.

Mengacu pada deskripsi potensi bobot segar umbi per rumpun yakni ± 92 g rumpun-1.
Sedangkan pada hasil penelitian hanya menghasilkan bobot segar rata-rata 20-25 g rumpun-1,
hasil ini menunjukan bahwa bobot segar umbi per rumpun yang dihasilkan pada penelitian ini
termasuk rendah. Hal ini didukung dengan rata-rata diameter umbi hanya mencapai 1,2-1,6 cm.
Berdasarkan karakteristik tanaman bawang merah, umbi akan memiliki diameter 3-4 cm jika
iklim pada saat penanaman dalam kondisi optimal yaitu memiliki suhu 25-32 oC dan
mendapatkan sinar matahari lebih dari 12 jam (Wibowo, 2009). Tetapi dalam penelitian suhu
udara rata-rata harian hanya mencapai 23,3oC dengan kelembaban tinggi (93,3%) dan lama
penyinaran matahari ± 8 jam, sehingga pertumbuhan umbi menjadi terhambat.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemberian bokhasi paitan memberikan pengaruh nyata terhadap perbaikan sifat fisik tanah
pasca galian C dan hasil tanaman bawang merah varietas Batu Ijo.
2. Aplikasi bokhasi paitan pada 3 t ha-1 dan FMA pada 6 g tan-1 mampu memperbaiki porositas
dan permeabilitas tanah. Sedangkan untuk meningkatkan diameter dan bobot segar umbi
digunakan aplikasi bokhasi paitan pada 3 t ha-1.
Saran
Disarankan melanjutkan percobaan dengan media tanam penelitian ini, dikarenakan waktu
aplikasi bokhasi yang sudah lebih dari 30 hari, sehingga unsur hara dalam bokhasi sudah tersedia
bagi tanaman. Serta perlu adanya penyesuaian waktu untuk aplikasi FMA. Aplikasi FMA (6-10
g tan-1) disarankan ketika musim kemarau, karena kelembaban rendah sehingga FMA dapat
berkembang dengan baik.

238
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

UCAPAN TERIMA KASIH


Penyusun mengucapkan terimakasih khususnya kepada :
1. Dr. H. Cecep Hidayat, Ir.,M.P selaku dosen pembimbing satu.
2. Yati Setiati, S.P.,MP. selaku dosen pembimbing dua.
3. Bapak Mulyono dan Ibu Luk Luk Atin Marfuah, kedua orang tua yang senantiasa
memberikan bantuan do’a dan semangat serta materi dan moril. Terkhusus untuk Tami,
Amel, Ismet, Fahmi, Adli, Adim, Mba Ati dan Hikmaya saudara-saudara yang selalu ada dan
mendukung setiap langkah penulis baik secara moril maupun materil.
Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa disebutkan satu-persatu, yang telah berperan
serta membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Aurélio, M., Carneiro, C., Ferreira, D. A., & Souza, E. D. De. (2015). Arbuscular mycorrhizal
fungi in soil aggregates from fields of “ murundus ” converted to agriculture. JOurnal Of
Agropec Brasilia, (1), 313–321. https://doi.org/10.1590/S0100-204X2015000400007
Dariah, A., Yusrial, & Mazwar. (2004). Penetapan Konduktivitas Hidrolik Tanah Dalam
Keadaan Jenuh (Metode Laboratorium). (U. Jurnia, F. Agus, A. Adimiharja, & A. Dariah,
Eds.). Bandung: Departemen Pertanian.
Duaja, M. D., & Saputra, A. (2009). Evaluasi Hasil Dan Komponen Hasil Cabe Merah (
Capsicum annum L) Cma , Pupuk P Dan Ga 3. Jurnal Agronomi, 13(2), 24–30.
Elisabeth, D. W., Santosa, M., & Herlina, N. (2013). Pengaruh pemberian berbagai komposisi
bahan organik pada pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah ( Allium ascalonicum
L .). Produksi Tanaman, 1(3), 21–29.
Ginting, I. F., Yusnaini, S., & Rini, M. V. (2018). Pengaruh Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskular
Dan Galian C Terhadap Pertumbuhan Dan Serapan Hara P Tanaman Jagung ( Zea mays L
.). Jurnal Agrotek Tropika, 6(2), 110–118.
Hartatik, Wiwik , Husnain, dan L. R. W. (2015). Peranan Pupuk Organik dalam Peningkatan
Produktivitas Tanah dan Tanaman. Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol.2 No.2, 107–120.
Retrieved from
https://scholar.google.co.id/scholar?q=peranan+Pupuk+Organik+dalam+Peningkatan+Pr
oduktivitas+Tanah+dan+Tanaman+hartatik&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart
Hasibuan, A. S. Z. (2015). Pemanfaatan Bahan Organik dalam Perbaikan Beberapa Sifat Tanah
Pasir Pantai Selatan Kulon Progo. Journal Agro Science, 3(1), 31–40.
https://doi.org/10.18196/pt.2015.037.31-40
Hidayat, C., Rosdiana, R., Frasetya, B., & Hasani, S. (2017). Improvement of Physical Properties
of Inceptisols and Yield of Sweet Corn Affected by Arbuscular Mycorrhizal Fungi and
Manure Applications. J. KnE Life Sciences, 2017, 158–163.
https://doi.org/10.18502/kls.v2i6.1033
Latifah, S. (2003). Kegiatan Reklamasi Lahan Pada Bekas Tambang. USU Digital Library, 1–
17.
Lestari, S. A. D. (2016). Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia) sebagai Pupuk Organik pada
Tanaman Kedelai. Iptek Tanaman Pangan, 11(1), 49–56.
Lovelock, C. E., Wright, S. F., & Nichols, K. A. (2004). Using glomalin as an indicator for
arbuscular mycorrhizal hyphal growth : an example from a tropical rain forest soil. Journal
Soil Biology and Biochemistry, 36, 1009–1012.

239
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

https://doi.org/10.1016/j.soilbio.2004.02.010
Masria, Lopulisa, C., Zubair, H., & Rasyid, B. (2009). Karakteristik Pori Dan Hubungannya
Dengan Permeabilitas Pada Tanah Vertisol Asal Jeneponto Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu
Lingkungan, (1957).
Ningrum, D. P., Muhibuddin, A., & Sumarni, T. (2013). Aplikasi Cendawan Mikoriza
Arbuskular (CMA) Dan Bokashi Dalam Meminimalisir Pemberian Pupuk Anorganik Pada
Produksi Benih Tanaman Jagung Ketan (Zea mays ceratina). Jurnal Produksi Tanaman,
1(5), 398–407.
Nurbaity, A., & Yuniarti, A. (2017). Peningkatan Kualitas Tanah Bekas Tambang Pasir Melalui
Penambahan Amelioran Biologis. Jurnal Agrikultura, 28(1), 21–26.
Pieter, Y., Irmansyah, T., & Mawarni, L. (2015). Pengujian Kompos Tithonia (Tithonia
diversifolia) Pada Dua Varietas Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Di Desa Siopat
Sosor Kabupaten Samosir Testing. Jurnal Online Agroekoteknologi, 3(3), 923–928.
Purwani, J. (2009). Pemanfaatan Tithonia diversifolia (Hamsley) G Grey Untuk Perbaikan Tanah
Dan Produksi Tanaman. Balai Penelitian Tanah, (2008), 253–263.
Puspita Ningrum, Dona & Muhiddin, Anton & Sumarni, T. (2013). Dalam Meminimalisir
Pemberian Pupuk Anorganik Pada Produksi Benih Tanaman Jagung Ketan ( Zea mays
ceratina ). Jurnal Produksi Tanaman, 1(5), 398–407. Retrieved from
protan.studentjournal.ub.ac.id/index.php/protan/article/view/50/49
Ramadhan, M. F., Hidayat, C., & Hasani, S. (2015). Pengaruh Aplikasi Ragam Bahan Organik
dan FMA terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) Varietas
Landung pada Tanah Pasca Galian C. Jurnal Agro, 2(2), 50–57.
https://doi.org/10.15575/438
Rismunandar. (2016). Budidaya Lima Jenis Bawang. Bandung: Sinar Baru.
Wibowo, S. (2009). Budidaya Bawang. Depok: Penebar Swadaya.
Yudhistira, Hidayat , Wahyu & Hadiyarto, A. (2011). Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan
Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Merapi.
Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(2), 76–84.
Yusmalinda, A. (2017). Respon Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Dengan
Pemberian Beberapa Dosis Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Jurnal Online
Pertanian, 4(1), 1–10.
Yusrinawati, Sudantha, I. M. (2016). Topik Kusus Program Magister Pengelolaan Sumberdaya
Lahan Kering Program Pascasarjana Unram Periode 20 Januari 2016. Program Magister
Pengelolaan Sumberdaya, 1–17.
Zaffar, M., & Sheng-gao, L. U. (2015). Pore Size Distribution of Clayey Soils and Its Correlation
with Soil Organic Matter. Pedosphere: An International Journal, 25(2), 240–249.
https://doi.org/10.1016/S1002-0160(15)60009-1

240
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Daya Tumbuh Benih Bawang Merah TSS (True Shallot Seed)


var. Trisula
Vigor of Shallot Seed TSS (True Shallot Seed) var. Trisula
Pangesti Nugrahani1, Ida R. Moeljani1, Makhziah1, dan Anggardha G. Viansyah1
1Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya

ABSTRAK

Kata Kunci: Tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu
Daya Tumbuh Bibit komoditas sayuran utama yang sangat potensial dan bibit bawang merah
TSS (True Shallot mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bawang merah dapat dibudidayakan
Seed) dengan cara vegetatif dan generatif. Secara vegetatif yaitu menggunakan
Transplanting umbi bibit, sedangkan secara generatif menggunakan biji TSS (True Shallot
Seed). Kelebihan menggunakan biji TSS yaitu kebutuhan benih relatif sedikit
± 10 kg/ha, mudah didistribusikan, biaya transportasi relatif rendah, benih
lebih sehat, daya simpan benih lama, serta potensi hasil yang lebih tinggi dari
umbi bibit. Daya tumbuh bibit TSS saat ini masih rendah yaitu kurang dari
50%. Oleh karena itu, diperlukan teknik budidaya yang tepat untuk
meningkatkan daya tumbuh bibit TSS. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu cara
transplanting (T1: Cabutan, T2: Puteran, dan T3: Soil Block) dan diulang
sebanyak tiga kali. Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan persentase
daya tumbuh bibit TSS tertinggi diperoleh perlakuan Soil Block (T3) pada
umur 7, 21, dan 35 HST berturut-turut yaitu 100%, 81%, dan 45%.
ABSTRACT

Keywords: Onion (Allium ascalonicum L.) is one of the major vegetable crops and the
Seed Growing Power huge potential of onion seeds has high economic value. Onion can be
TSS (True Shallot cultivated by vegetative and generative. Vegetatively using seed tubers, while
Seed) the generative use seeds TSS (True Shallot Seed). Excess use TSS seed that
Transplantion needs relatively little seed ± 10 kg / ha, easily distributed, transportation costs
are relatively low, the seeds are healthier, longer shelf life of seeds, as well
as the potential for a higher yield of seed tubers. TSS seedlings growing
power is still low at less than 50%. Therefore, the proper cultivation
techniques are required to improve the power grow seedlings TSS. This study
uses a randomized block design (RAK) to a single factor, namely
transplantion (T1: Cabutan, T2: Puteran, and T3: Soil Block) and repeated
three times. Based on observations, the percentage of growing seedlings
obtained the highest TSS obtained treatment Soil Block (T3) at the age of 7,
21, and 35 days after planting, respectively, are 100%, 81% and 45%.

Email Korespondensi: pangesti_n@upnjatim.ac.id

PENDAHULUAN
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran utama
yang sangat potensial dan bibit bawang merah mempunyai nilai ekonomis tinggi. Produksi
bawang merah di Indonesia dari tahun 2015 sampai tahun 2017 mengalami peningkatan, pada
tahun 2015 yaitu sebesar 1,23 juta ton, pada tahun 2016 meningkat mencapai 1,45 juta ton, dan
pada tahun 2017 sebesar 1,68 juta ton (BPS, 2017).

241
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Perbanyakan bawang merah dengan biji masih belum banyak dilakukan oleh petani
bawang merah di Indonesia, hal ini disebabkan karena persentase tanaman hidup masih sangat
rendah dan belum didapatkan teknologi pembibitan dan budidaya bawang merah dengan biji
yang efisien. Bawang merah di Indonesia yang mampu memproduksi biji TSS (True Shallot
Seed) antara lain varietas Tuk-Tuk, Sanren, Bima Brebes, Trisula, Keta Monca dan varietas
Bauji.
Penggunaan biji TSS (True Shallot Seed) sebagai bahan tanam mempunyai banyak
keuntungan yaitu lebih sehat karena tidak membawa pathogen penyakit dari tanaman asalnya,
kebutuhan benih sedikit, tidak memerlukan gudang penyimpanan serta produksi lebih tinggi
dibandingkan dengan umbi. Kekurangan TSS yaitu benih harus disemaikan dahulu, hal ini yang
membuat petani masih sulit untuk menanam dengan biji karena melalui persemaian terlebih
dahulu. Biji TSS mampu berkecambah 70% hingga 80%, tetapi setelah transplanting kekuatan
tumbuh bibit (vigor) hanya mampu kurang dari 50%. Transplanting adalah cara memindahkan
tanaman dari tempat persemaian ke lahan. Transplanting merupakan langkah awal dalam
budidaya suatu tanaman khususnya untuk yang sulit dilakukan perbanyakan secara generatif atau
juga pada tanaman yang memiliki ukuran biji yang kecil seperti benih TSS. Oleh karena itu,
diperlukan metode transplanting yang tepat agar dapat meningkatkan daya tumbuh bibit bawang
merah TSS.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Benih Hortikultura Desa Sidomulyo,
Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur. Bahan yang digunakan adalah; benih TSS (True
Shallot Seed) Trisula, tanah, arang sekam, pupuk kandang, NPK Mutiara 16:16:16, media soil
block (tanah : arang sekam : kompos) dengan perbandingan 1:1:1, dan tepung tapioka.

Persiapan Media Semai


Membuat media semai dengan komposisi tanah : pupuk kandang : arang sekam (1:1:1).
Media semai kemudian diisi pada bak perkecambahan sampai 2/3 bagian bak. Untuk pembuatan
soil block dilakukan dengan cara dicetak menggunakan alat soil block sebanyak 150 soil block,
dengan cara mencampur komposisi media semai, kemudian diberi sedikit tepung tapioka sebagai
perekat lalu dibasahi dengan air hingga lembab, media tersebut kemudian dimasukkan ke alat
soil block dan dicetak diatas nampan. Selanjutnya diberi label sesuai perlakuan. Persemaian
dilakukan di dalam greenhouse.

Persemaian TSS Bawang Merah


Bak perkecambahan terlebih dahulu dibuat larikan sebanyak 10 larikan dan satu bak
dibuat 5 larikan. Masing-masing larikan ditanam sebanyak 10 benih TSS. Untuk soil block benih
dimasukkan ke dalam lubang pada soil block sebanyak satu benih untuk masing-masing soil
block. Benih tersebut kemudian ditutup menggunakan arang sekam.

Pemeliharaan
Pemeliharaan persemaian bawang merah dilakukan dengan cara penyiraman setiap pagi
dan sore hari, serta dilakukan penyiangan.

Transplanting
Penyiapan Lahan. Penyiapan lahan dilakukan dengan membersihkan gulma terlebih
dahulu, kemudian tanah dicangkul. Selanjutnya tanah diberi pupuk kompos dan dolomit, lalu
tanah dicangkul lagi agar pupuk dan dolomit tercampur merata. Setelah itu, dilakukan pembuatan
bedengan sebanyak 3 bedeng untuk 3 ulangan dengan ukuran lebar 1 m dan panjang 5 m dengan
tinggi bedengan 40 cm dan jarak antar ulangan 50 cm. Masing-masing bedengan dibagi menjadi

242
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

3 bagian/petak dengan ukuran 1 m x 1 m dan jarak antar perlakuan 50 cm. Lalu diberi label
sesuai perlakuan. Kemudian dilakukan penyiraman agar tanah menjadi lembab.
Proses Transplanting. Proses Transplanting dilakukan saat bibit berusia 6 MST.
Sebelum transplanting dilakukan pembuatan lubang tanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.
Bibit bawang merah kemudian dipindah ke lahan sesuai dengan perlakuan yaitu T1 = Cabutan,
dengan cara mencabut langsung bibit dari persemaian ; T2 = Puteran, dengan cara mengambil
bibit beserta tanah di sekitarnya menggunakan sendok kecil; T3 = Soil block, dengan cara
mengambil bibit beserta soil blocknya kemudian dimasukkan ke lubang tanam sesuai dengan
label perlakuan. Setiap petak berisi 25 bibit bawang merah.

a b c
Gambar 1. Proses transplanting (a) cabutan ; (b) puteran ; (c) soil block

Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman bawang merah meliputi penyiraman yang dilakukan setiap pagi dan
sore hari dan dilakukan leb satu minggu sekali. Pemupukan menggunakan NPK mutiara
16:16:16 sebanyak 5 gr/tanaman setiap satu minggu sekali, serta dilakukan penyiangan.
Penyemprotan insektisida dan fungisida dilakukan satu minggu sekali.

Panen
Panen dilakukan saat tanaman berusia 65-70 HST dengan ciri-ciri tanaman pangkal daun
sudah lemas, daun berwarna kuning, umbi sudah kompak dan menyembul ke permukaan tanah,
umbi berwarna merah tua keunguan, dan sebagian besar tanaman telah rebah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Daya Tumbuh Bibit
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara transplanting tidak berbeda
nyata terhadap daya tumbuh bibit bawang merah TSS (True Shallot Seed). Persentase daya
tumbuh bibit akibat perlakuan cara transplanting disajikan pada (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase Daya Tumbuh Bibit Bawang Merah Akibat Cara Transplanting
Persentase Daya Tumbuh Bibit (%)
Perlakuan
7 HST 21 HST 35 HST
Cara Transplanting
Cabutan 96 67 8
Puteran 85 64 33
Soil block 100 81 45
BNJ 5% tn tn tn
Keterangan: tn (tidak berbeda nyata), HST (Hari setelah tanam), TSS (True Shallot Seed).

243
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan cara transplanting menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata terhadap persentase daya tumbuh bibit dari 7 HST hingga 35 HST. Persentase
pertumbuhan bibit bawang merah tertinggi yaitu pada perlakuan soil block. Menurut Firmansyah
dan Hermawan (2017), bahwa penggunaan soil block dapat membantu bibit tanaman untuk
menyesuaikan dengan lingkungan baru lebih cepat, karena akar berkembang
secara bertahap cepat keluar dari balok tanah. Soil block terdiri dari beberapa campuran media
tanah, sehingga kelembaban dapat lebih terjaga. Penggunaan soil block meminimalisir gejala
stres dari guncangan transplantasi pada saat pindah tanam di lahan, serta sistem akar tetap dan
terlindungi. Sehingga tidak mengganggu pertumbuhan tanaman setelah transplanting.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suita, Sudrajat, dan Nurhasybi (2018), menyatakan
bahwa penggunaan media semai cetak mampu meningkatkan persentase bibit hidup sengon
merah (Albizia chinensis). Pertumbuhan yang lebih baik pada media semai cetak diduga
dipengaruhi oleh kandungan bahan organik yang lebih banyak. Kandungan bahan organik dalam
media semai mempunyai peran penting terhadap karakteristik fisik, kimia dan biologi media
(Osaigbovo, Nwaoguala, dan Falodun, 2010).

T1 T2 T3

Gambar 1. Hasil panen bawang merah TSS

PENUTUP
Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa perlakuan cara transplanting
memberikan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh bibit. Hasil persentase
daya tumbuh bibit tertinggi bawang merah yaitu pada perlakuan cara transplanting soil block.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada DRPM atas dana penelitian PDUT th 2019. Selain itu, penulis
berterima kasih pula kepada Kepala Kebun Percobaan Benih Hortikultura Desa Sidomulyo,
Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur yang telah memfasilitasi dalam pelaksanaan penelitian
ini serta kepada rekan – rekan yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2017). Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Sayuran di Indonesia.
Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, Jakarta. 99 hal.
Firmansyah I dan A Hermawan. (2017). Soil Block Teknologi Pembibitan Masa Depan. Inovasi.
10 (2) : 20-22.

244
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Osaigbovo, A. U., Nwaoguala, C. N. C., & Falodun, J. E. (2010). Evaluation of potting media
for the production of pepper fruit (Dennetia tripetala) seedlings. African Journal of General
Agriculture, 6(2), 47–51.
Suita E., D. J. Sudrajat, dan Nurhasybi. (2018). Pertumbuhan Bibit Sengon Merah (Albizia
chinensis (Osbeck) Merr.) pada Media Semai Cetak dan Perbandingannya dengan Bibit
Polybag. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 7 (2) : 141 – 149.

245
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Perbandingan Produktivitas TBS Kelapa Sawit Subsitusi


Pupuk Kimia dan Organik
Comparison of Oil Palm FFB Productivity of Chemical and Organic
Fertilizer Substitution
Salmiyati1, Syofia Asridawati1, dan Andi Dahliati2
1Agroteknologi, Sekolah Tinggi Teknologi Pelalawan, Riau, Indonesia
3 Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Riau, Indonesia

ABSTRAK

Kata Kunci: Kelapa sawit adalah tanaman primadona perekonomian di Provinsi Riau.
Kelapa Sawit Produktivitas buah yang diproduksi oleh tanaman ini perlu ditingkatkan
Produktivitas TBS melalui studi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
Pupuk Kimia penggunaan pupuk kimia, pupuk organik, dan penggabungan kedua jenis
Pupuk Organik pupuk ini terhadap produktivitas TBS. Penelitian ini dilakukan di Perusahaan
Subsitusi kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan. Pupuk kimia berasal dari pupuk
sintetis dan pupuk organik yang berasal dari, EFB (tandan kosong), abu
boiler, solid, dan kotoran ternak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan pupuk kimia dan organik secara terpisah tidak berbeda nyata.
Aplikasi pemupukan kombinasi pupuk kimia dan organik berbeda secara
signifikan. Produktivitas TBS meningkat secara signifikan setelah
menggunakan pupuk kombinasi antara pupuk kimia dan organik. Metode
pemupukan kombinasi pupuk kimia dan organik meningkatkan produktivitas
TBS secara berkelanjutan
ABSTRACT

Keywords: Oil palm is the belle of the economy in Riau Province. The productivity of
Oil Palm fruit produced by this plant needs to be improved through research studies.
FFB Productivity This study aims to compare the use of chemical fertilizers, organic fertilizers,
Chemical Fertilizers and the incorporation of these two types of fertilizers on FFB productivity.
Organic Fertilizers This research was conducted at oil palm Company in Kerumutan. Chemical
Substitution Fertilizers fertilizers come from synthetic fertilizers and organic fertilizers derived from,
EFB (empty fruit bunch), boiler ash, decanter solid, and manure. The results
of this study indicate that the use of chemical and organic fertilizers
separately is not significantly different. The application of fertilizing a
combination of chemical and organic fertilizers differs significantly. FFB
productivity increases significantly after using a combination fertilizer
between chemical and organic fertilizers. The method of fertilizing a
combination of chemical and organic fertilizers increases FFB productivity
in a sustainable manner.

Email Korespondensi: salmiyati@st2p-yap.ac.id

PENDAHULUAN
Tanaman kelapa sawit tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi Riau pada tahun
2014 memiliki luas 2,30 juta hektar perkebunan kelapa sawit. Lahan perkebunan kelapa sawit di
Provinsi Riau didominasi oleh tanah ultisol dan histosol (gambut) yang memiliki tingkat
keasaman tinggi dan kesuburan rendah, sulit, dan rentan terhadap kekeringan dan erosi (Yahya
et al., 2010).

246
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pemupukan adalah kegiatan utama perkebunan untuk meningkatkan produktivitas TBS


(Salmiyati et al., 2014). Pupuk adalah bahan yang diberikan kepada tanaman yang bersifat
organik dan anorganik dengan tujuan meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.
Kesalahan pemupukan dapat mengurangi produksi TBS hingga 13% dari produksi normal
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005). Pemupukan pada tanaman kelapa sawit bertujuan
untuk menyediakan kebutuhan nutrisi bagi tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan
baik dan dapat menghasilkan secara maksimal dan menghasilkan minyak sawit berkualitas baik
(Adiwiganda dan Siahaan, 1994). Untuk meningkatkan produksi maksimum minyak kelapa
sawit, pemupukan harus mengacu pada jenis, dosis, waktu, metode, penempatan, formulasi, dan
rotasi yang tepat. Ini dilakukan karena tingginya biaya pupuk 40 - 60% dari biaya perawatan.
Provinsi Riau adalah provinsi yang memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di
Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Produk Perkebunan (2005) pada tahun
2010 produksi Minyak Sawit Mentah (CPO) diperkirakan meningkat antara 5% - 6%, sedangkan
untuk periode 2010-2020 pertumbuhan produksi diperkirakan berkisar antara 2 % - 4%. Namun
perkembangan ini menimbulkan beberapa masalah, salah satunya adalah masalah kelestarian
alam. Proses pengolahan minyak sawit menghasilkan produk samping, yaitu limbah yang dapat
mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Limbah pabrik kelapa sawit yang berasal
dari pengolahan tandan buah kelapa segar menghasilkan dua jenis limbah, dalam bentuk limbah
padat dan cair. Limbah padat dihasilkan dari serat, cangkang, tandan kosong dan pelepah daun.
Limbah kelapa sawit padat memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Oleh karena itu, limbah
padat kelapa sawit digunakan sebagai pupuk organik di perkebunan kelapa sawit.

KERANGKA TEORI
Kandungan bahan organik dalam tanah berkurang dari waktu ke waktu. Pusat penelitian
tanah dan agroklimatologi menunjukkan bahwa sekitar 95% lahan pertanian di Indonesia
mengandung kurang dari 1% organik C. Batas minimum bahan organik dianggap layak untuk
lahan pertanian antara 4% -5%. Selain menurunkan kandungan bahan organik juga ada
kecenderungan untuk menurunkan pH pada lahan pertanian. Penggunaan pupuk kimia seperti
urea dan ZA terus menerus membuat tanah lebih asam. Karena itu, harus seimbang dengan
penggunaan pupuk organik.
Pupuk organik menghasilkan nutrisi di tanah, tetapi di Indonesia pupuk organik masih
digunakan sebagai pendamping pupuk kimia karena target produksi (ton / ha). Masih ada
anggapan bahwa tanaman yang hanya dibuahi secara organik sering mengalami kekurangan
nutrisi karena kandungan nutrisi yang diberikan tidak sebanding dengan kebutuhan tanaman plus
pelepasan nutrisi yang lambat. Padahal, efek pemupukan organik terhadap pertumbuhan tanaman
cukup menakjubkan. Dari hasil yang dilaporkan di Amerika, efek pemberian 14 ton pupuk
organik per tahun ke satuan luas lahan selama delapan tahun masih terasa empat puluh tahun
setelah aplikasi pupuk terakhir (Musnamar, 2003). Pemberian bahan organik berperan, antara
lain untuk memperbaiki struktur tanah, meningkatkan penyerapan air, mendukung aktivitas
mikroorganisme tanah yang berperan dalam proses pelapukan bahan organik segar menjadi
humus. Pemupukan tanaman belum menghasilkan (TBM) yang efisien dan efektif sangat penting
untuk mencapai produktivitas kelapa sawit yang baik

Pupuk organik yang berasal dari limbah padat kelapa sawit memiliki kandungan nutrisi
yang berbeda dengan jenis pupuk organik lainnya. Tandan kosong (EFB) adalah salah satu
limbah padat yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Tandan kosong berasal dari pemrosesan TBS
melalui pendidihan dan pemisahan antara tandan dan serat yang longgar. TBS yang telah
dipisahkan dari minyaknya disebut tandan kosong (EFB). Rata-rata produksi TBS kelapa sawit
berkisar antara 22% hingga 24% dari total berat tandan buah segar (TBS) yang diproses di pabrik
kelapa sawit. Kandungan nutrisi dalam tandan kosong adalah Nitrogen 1,5%, Posphat 0,5%,
Kalium 7,3%, dan Magnesium 0,9%. Tandan buah kosong terdiri dari beberapa bahan organik

247
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dengan komposisi 3,3% CaO, 2,9% MgO, 0,8% Na2O dan 40,1% K2O (Naibaho, 1996).
Menurut Syafwina et al. (2002) di EFB kelapa sawit adalah 41,30 - 46,50% selulosa, 25,30 -
33,80% hemiselulosa dan 27,60 - 32,50% lignin.
Abu boiler adalah sisa dari cangkang kernel dan serat mesocarp kelapa sawit yang
digunakan sebagai bahan bakar untuk kebakaran tungku di pabrik. Dosis yang digunakan adalah
25 kg / ha. Nutrisi yang terkandung dalam abu boiler adalah N 0,74%, P2O5 0,84%, K2O 2,07%,
Mg 0,62%. Abu boiler ini ditaburkan di EFB.
Solid adalah produk akhir dalam bentuk padatan dari pengolahan TBS di Palm Oil Mill
(POM) yang menggunakan sistem decanter. Decanter digunakan untuk memisahkan fase cair
(minyak dan air) dari fase padat ke partikel terakhir. Decanter dapat menghilangkan 90% dari
semua padatan dari minyak sawit dan 20% padatan terlarut dari minyak sawit (Pahan, 2008).
Nutrisi yang terkandung dalam decanter basah / mentah (wet decanter solid) didasarkan pada
hasil analisis sampel di beberapa perkebunan besar di Sumatera, yaitu N (0,472%), P (0,046%),
K (0,304%) dan Mg ( 0,070%). Kandungan nutrisinya hampir sama dengan janjang kosong,
tetapi kandungan Potassium (K) dalam solid decanter lebih rendah (Pahan, 2008).
Pupuk kandang biasanya terdiri dari campuran 0,5% N, 0,25% P2O5, dan 0,5% K2O.
Penambahan pupuk dapat meningkatkan kesuburan dan produksi pertanian. Pupuk kandang
mengandung banyak mikroorganisme yang dapat membantu membangun humus dalam tanah
dan mensintesis senyawa tertentu.
Ada beberapa keunggulan pupuk organik sehingga ia sangat disukai petani, antara lain
sebagai berikut: Memperbaiki struktur tanah. Meningkatkan daya serap tanah terhadap air,
Meningkatkan kondisi kehidupan di tanah. Pupuk organik sangat ramah lingkungan dan
mengandung zat makanan lengkap meskipun kadarnya tidak setinggi pupuk anorganik (Lingga
dan Marsono, 2001).
Penguraian tandan kosong kelapa sawit secara alami sangat lambat, membutuhkan waktu
yang lama antara 6 - 12 bulan. Menurut Khalid et al. (2000) kecepatan dekomposisi EFB di
lapangan dipengaruhi oleh iklim makro, iklim mikro, kualitas bahan dan aktivitas organisme di
daerah tersebut. Rata-rata sisa perkebunan kelapa sawit di lahan tersebut terurai selama 12-18
bulan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi. Penelitian ini dilakukan di perkebunan
kelapa sawit Kabupaten Pelalawan-Riau. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2018. Penelitian
ini dilakukan pada 13 Afdeling dan 337 blok.
Pemupukan menggunakan pupuk anorganik dilakukan dua kali setahun, yaitu semester
pertama (Februari - Juni) dan semester kedua (Agustus - Desember). Jenis pupuk yang digunakan
adalah NPK 16.4.25, Urea (45% N), Rock Phosfat (34% P2O5), Muriate of Potash / MoP (60%
K2O), Kieserite (27% MgO), dan Dolomite (50% CaCO3) ). Dosis pupuk ditentukan
berdasarkan hasil analisis daun atau unit sampel daun (LSU) yang dibuat oleh kantor pusat (HO).
Rekomendasi diserahkan ke kebun pada awal tahun dan digunakan sebagai referensi untuk
pemupukan tahun itu. Dalam satu aplikasi, EFB diterapkan dengan ukuran penutupan luas 1,5m
x 4m / pohon.
EFB diterapkan 180 kg / ha di tanaman belum menghasilkan dan 250 kg / ha dalam
memproduksi tanaman. EFB diatur di antara dua pohon. EFB tidak harus disusun berlapis-lapis
untuk mencegah pembusukan dan perkembangan hama dan penyakit. Dalam kombinasi pupuk
kimia dengan EFB, pupuk Urea ditaburkan di atas EFB yang telah disiapkan. Pupuk organik dari
abu boiler diberikan 25 kg / ha. Cara mengaplikasikan abu boiler diberikan sesuai umur tanaman.
Kelapa sawit berumur 3-6 tahun tersebar di sekitar lingkaran pohon dengan jarak 30 cm dari
pangkal pohon ke luar piringan. Minyak kelapa sawit >7 tahun di vegetasi gulma tidak merusak
tersebar merata di gawangan mati. Tanaman kelapa sawit berumur >7 tahun dalam vegetasi
gulma yang lebat dan merugikan yang tersebar sekitar 30 cm dari alas ke luar piringan. Decanter

248
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

solid diaplikasikan 9,5 ton / ha atau 70 kg / ha. Solid diberikan setahun sekali. Solid ditempatkan
di antara dua pohon. Aplikasi pupuk kandang ditunjukkan dalam rorak organik. Dosis pupuk
kandang diberikan 20 kg per unit rorak. Dosis pupuk kandang yang diberikan adalah 2,8 ton /
ha.
Data penelitian ini adalah data sekunder. Data yang dikumpulkan adalah data tentang jenis
pupuk, dosis pupuk, jumlah pupuk, rotasi pemupukan, dan produktivitas TBS
Data dianalisis oleh Excel dan SPSS. Analisis data menggunakan Uji Kruskal Wallis
karena data tidak terdistribusi secara normal. Jika data menunjukkan hasil yang sangat berbeda
maka lanjutkan dengan Uji Lanjutan Mann Whitney. Tes Mann Whitney dilakukan untuk
menemukan perbedaan antara satu perawatan dan lainnya. Analisis dilakukan dalam 3 tahap,
tahap 1: perlakuan antara 3 kelompok jenis pupuk (pupuk kimia / anorganik, pupuk gabungan
kimia dan organik, dan pupuk organik). Jika ada jenis pupuk yang tidak berbeda nyata, kelompok
data digabungkan. Tahap 2: dalam perlakuan 4 kelompok umur (tua, dewasa, remaja, dan muda).
Jika ada jenis pupuk yang tidak berbeda nyata, kelompok data digabungkan.
Hasil analisis Fase 1 dan Fase 2 dipertimbangkan untuk mengelompokkan campuran jenis
pupuk dan kelompok umur dalam tahap 3. Pada langkah 3: ada lima kombinasi perlakuan, yaitu,
kombinasi pupuk kimia dan organik pada tanaman tua dan dewasa ( PplusOG), gabungan pupuk
kimia dan organik pada tanaman remaja (PplusA), kombinasi pupuk kimia dan organik pada
tanaman muda (PplusY), pupuk organik pada tanaman tua dan dewasa (OrgOG), pupuk organik
pada tanaman remaja (Org)..

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil uji Mann Whitney pada Tabel 1 menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
perlakuan pupuk kimia dan pupuk organik yang diperoleh nilai p = 0,002 pada level 5%. Ini
diilustrasikan dari Gambar 1, pupuk organik tidak dapat menggantikan pupuk kimia.
Hasil uji Mann Whitney pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dan
pupuk organik berbeda secara signifikan dari penggunaan pupuk organik dengan nilai p = 0,000.
Ini berarti bahwa penggunaan pupuk kimia bersama dengan pupuk organik lebih baik
mempengaruhi produktivitas, diilustrasikan dalam Gambar 1. Pupuk organik adalah jenis pupuk
yang banyak diterapkan di perkebunan kelapa sawit terutama dari residu kelapa sawit, karena
murah, mudah diperoleh , ramah lingkungan (Chiew & Shimada, 2013).

The average of FFB productivity


16.2
18.0 14.2 14.9
16.0 13.6
14.0 11.5
12.0 8.8
10.0 7.4
8.0
6.0
4.0
2.0
0.0
PpC

PpCOrg

Old

Adolescent
Org

Grown up

Young

Fertilizer Type Age Group

Gambar 1. Rata-rata Produktivitas TBS.

249
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Rasio PpC dan PpCOrg tidak berbeda secara signifikan sehingga pada tahap selanjutnya
kedua pengolahan disatukan. Limbah dari pabrik kelapa sawit adalah pupuk organik yang
direkomendasikan untuk pemupukan (Haron et al., 2000). abu boiler adalah produk akhir dari
pembakaran EFB di insinerator pabrik kelapa sawit. Nutrisi dalam setiap 1 ton mengandung N
(0,14%), P (2,78%), K (21,1%), dan Mg (1,26%) (Haron et al., 2008). Aplikasi abu boiler sebagai
pupuk memiliki efek positif pada sifat fisik-kimia tanah, menghemat biaya pupuk anorganik
(Menon et al. 2003).

Tabel 1. Hasil Mann Whitney untuk Jenis Pupuk.


PpC PpCOrg Org
PpC - 0.439 0.002*
PpCOrg - 0.000*
Org -

Pupuk organik harus diaplikasikan secara teratur ke tanah lempung berpasir (Hillyslope)
untuk mempertahankan kesuburan tanah (Comte et al., 2013). Nutrisi makro dibutuhkan dalam
jumlah besar sehingga harus ada nutrisi tambahan yang harus diberikan melalui pemupukan
(Goh & Härdter, 2003).

Tabel 2. Hasil Mann Whitney untuk Kelompok Usia.


>21 14-20 9-13 3-8
>21 - 0.097 0.000* 0.000*
14-20 - 0.000* 0.000*
9-13 - 0.001*
3-8 -

Decanter Solid ditandai oleh beberapa sifat utama, seperti kelembaban yang tinggi,
biodegradabilitas yang tinggi, dan konten yang kaya nutrisi (Sahad et al., 2014). Hasil uji Mann
Whitney pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tanaman
tua dan dewasa dengan nilai p = 0,097, meskipun produktivitas rata-rata TBS untuk tanaman
yang lebih tua lebih tinggi daripada tanaman dewasa seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2
tetapi tidak berbeda secara signifikan.

The combination of the type of


fertilizer and plant age
20.0 15.5
15.0 12.0
9.3 8.5
7.5
10.0
5.0
0.0
PplusOG PplusA PplusY OrgOG OrgA

Gambar 2. Kombinasi Jenis Pupuk Dan Umur Tanaman.

Hasil uji Mann Whitney pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan gabungan pupuk
kimia dan organik pada tanaman dewasa berbeda secara signifikan dari penggunaan pupuk

250
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

organik pada tanaman yang lebih tua. Ini diilustrasikan dalam Gambar 2 bahwa jumlah
produktivitas TBS lebih tinggi pada tanaman dengan penggunaan pupuk kombinasi.
Tanaman kelapa sawit memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda berdasarkan
kematangannya, sehingga membutuhkan pupuk yang berbeda, menghasilkan jumlah TBS yang
berbeda (Goh, 2011). Penggunaan pupuk organik perlu diterapkan terus menerus bersama
dengan pupuk anorganik, karena setiap kategori umur membutuhkan nutrisi yang berbeda
(Comte, 2013).

Tabel 3. Hasil Mann Whitney untuk Jenis Kombinasi Pupuk dan Umur Tanaman.
PplusOG PplusA PplusY OrgOG OrgA
PplusOG - ,000* ,000* ,002* ,000*
PplusA - ,000* ,214 ,021*
PplusY - ,105 ,128
OrgOG - ,887
OrgA -

Hasil uji Mann Whitney pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi pupuk
kimia dan organik pada tanaman dewasa berbeda secara signifikan dari penggunaan pupuk
kombinasi pada tanaman muda yang diperoleh nilai p = 0,000. Hasil uji Mann Whitney pada
Tabel 3 menunjukkan bahwa kombinasi penggunaan pupuk kimia dan organik pada tanaman
dewasa berbeda secara signifikan dari penggunaan pupuk organik pada tanaman remaja dengan
nilai p = 0,000. Ini berarti bahwa pupuk organik tidak terlalu efektif pada tanaman muda dan
remaja. Gambar 2 menunjukkan bahwa produktivitas TBS rendah pada tanaman muda dan
remaja yang tidak memenuhi standar produksi buah pada usia tanam.
Hasil uji Mann Whitney pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kombinasi penggunaan pupuk
kimia dan organik pada tanaman dewasa berbeda secara signifikan dari penggunaan pupuk
organik pada tanaman matang dan nilai p = 0,002 diperoleh. Namun, Gambar 2 menunjukkan
bahwa produktivitas TBS dalam aplikasi gabungan pupuk kimia dan organik lebih tinggi
produktivitas TBS nya.

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kombinasi penggunaan pupuk
kimia dan organik pada tanaman tua dan dewasa berbeda secara signifikan dari penggunaan
pupuk organik pada tanaman tua dan dewasa. Penggunaan pupuk kimia dan organik kombinasi
dalam tanaman tua dan dewasa secara signifikan berbeda dari penggunaan pupuk kombinasi
pada tanaman muda. Penggunaan pupuk kimia dan organik kombinasi pada tanaman dewasa
secara signifikan berbeda dari penggunaan pupuk organik pada tanaman remaja. Ini
menunjukkan bahwa pupuk organik tidak terlalu efektif pada tanaman muda dan remaja.
Penggunaan pupuk kimia dan organik kombinasi di tanaman tua dan dewasa secara signifikan
berbeda dari penggunaan pupuk organik di tanaman tua dan dewasa. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa produktivitas TBS dalam pemupukan gabungan pupuk kimia dan organik
lebih tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada PT. Sari Lembah Subur (PT. SLS)
KerumutanPelalawan-Riau untuk memfasilitasi penelitian ini, Tim Sekolah Tinggi Teknologi
Pelalawan dan juga Yayasan Amanah Pelalawan sebagai penyandang dana kami dalam
penelitian ini.

251
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Adiwiganda, R dan M. M. Siahaan. 1994. Tanah dan Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit.
Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Medan. Medan
Chiew, Y. L., & Shimada, S. (2013). Current state and environmental impact assessment for
utilizing oil palm empty fruit bunches for fuel , fiber and fertilizer e A case study of
Malaysia. Biomass and Bioenergy, 51, 109–124.
http://doi.org/10.1016/j.biombioe.2013.01.012
Comte, I., Colin, F., Grunberger, O., Follain, S., Whalen, J. K., & Caliman, J. (2013). Agriculture
, Ecosystems and Environment Landscape-scale assessment of soil response to long-term
organic and mineral fertilizer application in an industrial oil palm plantation , Indonesia.
Agriculture, Ecosystems & Environment, 169, 58–68.
http://doi.org/10.1016/j.agee.2013.02.010
Goh, K., & Härdter, R. (2003). General Oil Palm Nutrition. Applied Agricultural Research
(AAR) Sdn. Bhd, 191–230.
Goh, K.J. 2011. “Fertilizer Recommendation Systems for Oil Palm; Estimating the Fertilizer
Rate.” Applied Agricultural Research (AAR) Sdn. Bhd, 1–37.
Haron, K., Mohammed, A. T., Halim, R. M., & Din, A. K. (2008). Palm-based bio-fertilizer from
decanter cake and boiler ash of palm oil mill. MPOB, 412, 26–29. Retrieved from ISSN
1511-7871
Haron, K., Zakaria, Z. Z., & Anderson, J. . (2000). Nutrient Cycling in an Oil Palm Plantation:
The effects of Residu Management Practices During Replanting on Dry Matter and
Nutrient Uptake of Young Palms. Journal of Oil Palm Research, 12(2), 29–37.
Khalid, H, Z.Z. Zin, J.M. AndersonSoil (2000) Nutrient dynamics and palm growth performance
in relation to residue management practices following replanting of oil palm plantations.
J. Oil Palm Res., 12 (1) (2000), pp. 25-45
Lingga, P. dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta
Mangoensoekarjo S dan H. Semangun. 2005. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit. Gadjah.
Mada University Press. Yogyakarta
Menon, N. R., Rahman, Z. A., & Bakar, N. A. (2003). Empty Fruit Bunches Evaluation : Mulch
in Plantation vs . Fuel for Electricity Generation. Oil PalmIndustry Economis Journal, 3
(2), 15–20.
Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasinya. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Naibaho, P.M., 1996, Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Medan.
Pahan, I. (2008). Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir
(5th ed.). Jakarta: Penebar Swadaya.
Sahad, N., Baharuddin, A. S., Mokhtar, N., Busu, Z., & Sulaiman, A. (2014). com
Physicochemical Characterization of Oil Palm Decanter Cake (OPDC) for Residual Oil
Recovery, 9(4), 6361–6372.
Salmiyati, Heryansyah, A., Idayu, I., & Supriyanto, E. (2014). Oil Palm Plantations Management
Effects on Productivity Fresh Fruit Bunch (FFB). APCBEE Procedia, 8(Caas 2013), 282–
286. http://doi.org/10.1016/j.apcbee.2014.03.041
Syafwina, Y., Honda., T. Watababe dan M. Kuwahara. 2002. Pedoman Pengelolaan Limbah

252
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Industri Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta


Yahya A, Sye CP, Ishola TA, Suryanto H (2010) Effect of adding palm oil mill decanter cake
slurry with regular turning operation on the composting process and quality of compost
from oil palm empty fruit bunches. Biores Technol 101(22):8736–8741

253
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

254
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

III
Produksi Tanaman Perkebunan

255
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

256
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)


terhadap Pemberian Dolomit dan Trichokompos pada Media Tanah
Bekas Tambang Batu Bara
Growth Response of Oil Palm Seedlings towards Dolomite and
Trichocompost Application on Media of Former Coal Mine Land
Sarman1, Fitriani P. Tondang1, dan Zulfahri Ghani1
Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Jambi
Jl. Raya Jambi – Ma. Bulian KM.15 Mendalo Darat, 36136 HP. 08127461838

ABSTRAK

Kata Kunci: Tanah bekas galian tambang batu bara memiliki masalah fisik, kimia dan
Bibit Kelapa Sawit biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Kegiatan
Trichokompos pertambangan mempengaruhi solum tanah dan mengakibatkan terjadinya
Dolomit pemadatan tanah, mempengaruhi stabilitas tanah dan bentuk lahan. Bahan
Tanah Bekas Tambang amelioran seperti dolomit dan trichokompos dapat digunakan untuk
mengatasi masalah pada tanah bekas tambang batu bara tersebut. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian Dolomit dan
Trichokompos terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada media tanah
bekas tambang batu bara. Penelitian ini dilakukan di Research and Teaching
farm Fakultas Pertanian Universitas Jambi dari bulan Februari-Mei 2017.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 5
taraf kombinasi dolomit dengan trichokompos. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kombinasi dolomit dengan trichokompos berpengaruh tidak nyata
terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun, diameter batang, dan bobot kering
akar bibit tanaman kelapa sawit akan tetapi berpengaruh nyata terhadap bobot
kering tanaman.
ABSTRACT

Keywords: Coal mining excavated land has physical, chemical and biological problems.
Palm Seedlings Mining activities improve soil solum and improve soil compaction, Improve
Trichocompost Soil and Land Form. Ameliorant materials such as Dolomite and
Dolomite Trichocompost can be used to overcome problems in the land of the former
Former Coal Mining coal mine. Dolomite and Trichocompost on the growth of oil palm seedlings
in the media. This research was conducted at the Research and Teaching
Farm Faculty of Agriculture, University of Jambi. This study uses a
completely randomized design consisting of 5 levels of combination dolomite
with trichocompost. The results showed that the combination of dolomite
and trichocompost had no significant effect on height increase, number of
leaves, stem diameter, and root dry weight of oil palm seedlings would be
better on plant dry weight.

Email Korespondensi: Fitrianiptondang@gmail.com

257
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki potensi yang besar dalam usaha
pembudidayaan kelapa sawit (Putranto, 2012). Tanaman kelapa sawit menghasilkan minyak
kelapa sawit yang merupakan bahan baku utama pembuatan minyak makan. Permintaan akan
minyak makan di dalam dan luar negeri akan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan
peningkatan penduduk. Produk yang dihasilkan dari kelapa sawit juga dapat digunakan dalam
industri non-pangan seperti industri kosmetika dan industri sabun (Pahan, 2010).
Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia, sub
sektor perkebunan memegang peranan yang sangat penting terhadap perekonomian di Provinsi
Jambi untuk itu, perlu dilakukan peningkatan produktivitas kelapa sawit di Provinsi Jambi
dengan cara memperluas areal penanaman kelapa sawit di Provinsi Jambi oleh karena itu salah
satu cara yang dapat digunakan adalah dengan memanfaatkan lahan marginal yang ada di
provinsi Jambi. Salah satu lahan marginal di Provinsi Jambi yang berpotensi untuk
dialihfungsikan menjadi lahan pertanian adalah lahan bekas tambang batu bara.
Wilayah pasca penambangan batu bara adalah lahan yang sangat potensial untuk
difungsikan sebagai lahan pertanian terutama untuk pengembangan tanaman tahunan.
Revegetasi adalah fungsi pemulihan lahan pasca tambang menjadi lahan pertanian dengan
menanam kembali tanaman produktif. Kegiatan ini merupakan salah satu langkah dalam
reklamasi lahan yang paling banyak digunakan dan diterima untuk reklamasi area pasca tambang
batu bara. Untuk memanfaatkan daerah ini, metode yang paling sesuai dan dapat diterapkan
sangat diperlukan karena tanah tersebut mengalami kekurangan kualitas tanah seperti kualitas
dan kuantitas kandungan air tanah. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan tanaman yang
sangat adaptif dengan kondisi lahan pasca tambang dan salah satunya adalah tanaman kelapa
sawit. Untuk memanfaatkan tanaman kelapa sawit sebagai salah satu tanaman di lahan pasca
tambang batu bara, persiapan bibit sebagai bahan tanaman perkebunan sangat penting. Secara
khusus, persiapan adalah untuk memastikan bahwa bibit memiliki daya adaptif dan mampu
tumbuh dan berkembang secara normal dalam kondisi marginal. Untuk alasan ini, salah satu
perawatan yang berlaku adalah dengan menambahkan bahan-bahan amelioran.
Jenis bibit yang baik akan menentukan kondisi pertumbuhan tanaman yang baik dan untuk
mendapatkan bibit yang baik maka diperlukan media tanam yang tepat karena penggunaan media
tanam akan menentukan pertumbuhan bibit yang ditanam. Secara umum media tanam yang
digunakan haruslah mempunyai sifat yang ringan, murah, mudah didapat, gembur dan subur,
sehingga memungkinkan pertumbuhan bibit yang optimum (Erlan, 2005). Selain itu media
tanam yang baik harus dapat menyediakan air, oksigen dan unsur hara dalam jumlah dan
keseimbangan yang menguntungkan guna menjamin proses pertumbuhan bibit kelapa sawit yang
baik (Sadjad, 1986).
Kriteria media tanam yang tepat untuk pembibitan kelapa sawit tidak dipenuhi oleh tanah
bekas tambang batu bara, oleh karena itu media tanam bekas tambang batu bara tidak mendukung
pembibitan tanaman sawit. Sehingga untuk dapat memperbaiki kualitas lahan bekas tambang
batu bara dapat dilakukan penambahan bahan amelioran.
Amelioran atau “pembenah tanah” merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam tanah
untuk memperbaiki lingkungan akar bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian amelioran
dimaksudkan sebagai sumber hara, mengurangi keasaman tanah dan sebagai sumber pengikat
atau penjerap kation-kation yang tercuci akibat aliran air serta meningkatkan kesuburan tanah di
lahan kering (Adimihardja dan Sutanto, 2005).
Bahan amelioran yang sering digunakan dalam budidaya tanaman di lahan kering adalah
dolomit dan pupuk kompos (dolomit atau kapur tanah mengandung unsur Ca sebesar 32,0% dan
Mg sebesar 4,03%) yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah, memperbaiki granulasi tanah
sehingga aerasi lebih baik, memperbaiki sifat kimia tanah yaitu menurunkan kepekatan ion H,
menurunkan kelarutan Fe, Al dan Mn, meningkatkan ketersediaan C, Mg, P dan Mo serta

258
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

meningkatkan kejenuhan basa, memperbaiki sifat biologi tanah yaitu meningkatkan kegiatan
jasad renik tanah (Harsono et al., 2011).
Trichokompos efektif sebagai penggembur tanah, penyubur tanaman, merangsang
pertumbuhan anakan, bunga dan buah. Selain itu, pupuk organik tersebut berfungsi sebagai
pengendali penyakit, seperti penyakit layu, busuk batang dan daun (Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jambi, 2009). Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pemberian dolomit dan trichokompos terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada media tanah
bekas tambang batu bara.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jambi yang
terletak di desa Mendalo Darat. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari-Mei 2017. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit kelapa sawit varietas D × P SJ-5 , bahan
ameliorasi kapur dolomit dan tricokompos tanah bekas lahan tambang, polybag, ajir, air.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, meteran, ember, gembor, paku,
kayu, pisau, tali, alat tulis, kamera, kantong plastik, timbangan digital, paranet.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) kombinasi dari Dolomit dan
Tricokompos yang terdiri dari 5 taraf yaitu :
t1 =Dolomit 100 % ( 13,52 gr/ polibag) + Tricokompos 0 %
t2 = Dolomit 75% (10,14 gr / polibag) + Tricokompos 25% (137,67 gr / polibag)
t3 = Dolomit 50 % (6,76 gr/ polibag) + Tricokompos 50% (275,355 gr/ polibag)
t4 = Dolomit 25 % (3,38 gr/ polibag) + Tricokompos 75 % (413,03 gr/ polibag)
t5 = Dolomit 0 % + Tricokompos 100 % (550,71 gr /polibag)
Penetapan dosis trichokompos didasarkan pada kebutuhan bibit kelapa sawit pada fase
main nursery tepatnya pada bibit tanaman kelapa sawit umur 4-6 bulan dan penetapan dosis
dolomit didasarkan pada Al-dd tanah. Perlakuan ini diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh
25 satuan percobaan yang terdiri dari 75 tanaman dan 2 pada satuan percobaan diamati sebagai
tanaman sampel.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian pada setiap perlakuan dianalisis secara statistik
dengan sidik ragam pada α 5 % dan diuji lanjut menggunakan uji BNT dengan taraf α = 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data pada Tabel 1. diperoleh bahwa takaran dosis
antara dolomit dan trichokompos belum memberikan berpengaruh yang nyata terhadap
pertambahan tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang, dan berat kering akar akan tetapi
berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk bibit tanaman kelapa sawit yang ditanam pada
media tanah bekas tambang batu bara. Adapun rata-rata variabel yang diamati dan hasil analisis
data disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Variabel Bibit Kelapa Sawit yang Diamati pada Umur 12 MST pada Kombinasi
Perlakuan Dolomit dan Trichokompos.
Jumlah Diameter Bobot Kering Bobot Kering
Kombinasi Perlakuan Tinggi Bibit
Daun Batang/ Bole Tanaman Akar
Dolomit (D) + Tricho (T) (cm)
(helai) (mm) (g) (g)
D 100% + T 0% 33,68 6,80 15,64 6,6 a 3,10
D 75% + T 25% 34,23 7,20 16,62 7,2 a 3,40
D 50% + T 50% 34,09 7,20 17,04 8,4 ab 3,60
D 25% + T 75% 33,16 7,00 17,72 6,9 a 3,90
D 0% + T 100% 34,06 7,60 15,64 9,4 b 3,90
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% melalui uji beda nyata terkecil

259
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Dolomit dan trichokompos memiliki fungsi yang sama yaitu dapat meningkatkan pH
tanah, semakin tinggi pH tanah maka semakin banyak unsur hara yang dapat diserap oleh
tanaman. Pemberian dolomit dengan dosis 100% untuk tanaman dapat meningkatkan pH tanah
akan tetapi tidak mampu menyediakan unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman, oleh
karena itu tanaman yang diberikan perlakuan dolomit dengan dosis 100% belum mampu bekerja
secara optimal pada tanaman. Berdasarkan hasil analisis awal pH tanah bekas tambang batu bara
yang digunakan pada penelitian ini adalah sekitar 4,28 sedangkan pH optimal yang dibutuhkan
tanaman sawit adalah sekitar 5,0-5,5 (Putranto,2012), namun hasil analisis tanah akhir setelah
diberikan perlakuan dolomit 100% per polibag pH tanah berubah menjadi 8,05. Dolomit
mengandung Ca dan Mg, salah satu fungsi cari Ca dan Mg yang terkandung didalam kapur
dolomit adalah mengoreksi keasaman tanah agar sesuai dengan pH yang diperlukan tanaman,
selain itu Ca dan Mg juga dapat menetralisis zat-zat yang meracuni tanah.
Pemberian trichokompos dengan dosis 100% dapat meningkatkan pH tanah, hal ini dapat
dilihat dari hasil analisis tanah yaitu pH awal tanah tanpa perlakuan hanya sekitar 4,28 namun
hasil analisis akhir setelah diberi trichokompos dengan dosis 100% pH tanah naik menjadi 6,49.
Peningkatan pH tanah dari 4,28 menjadi 6,49 diduga disebabkan karena pH Trichokompos yang
digunakan pada penelitian ini mencapai 8,01 sehingga trichokompos dapat meningkatkan pH
tanah serta menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Tingginya pH trichokompos
yang digunakan diduga akibat adanya reaksi kimia dalam proses dekomposisi bahan organik,
dimana proses dekomposisi tersebut dibantu oleh mikroorganisme. Hasil dekomposisi bahan
organik tersebut adalah humus. Humus yang menjadi hasil akhir proses dekomposisi
mengandung sumber muatan negatif dari gugusan karboksil dan gugusan phenol. Kenaikan pH
tanah yang diberi trichokompos dengan dosis 100% berpengaruh positif terhadap sifat kimia
tanah karena sudah dapat memenuhi syarat pH optimal untuk bibit tanaman kelapa sawit. Sejalan
dengan pendapat Putranto (2012), yang menyatakan bahwa pH optimal untuk tanaman sawit
hanya sekitar 5,0-5,5. Saat pH tanah optimal maka bibit tanaman sawit telah mampu menyerap
unsur hara secara optimal karena selain meningkatkan pH tanah trichokompos juga menyediakan
unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman.
Hasil penelitian diperoleh bahwa aplikasi dolomit dan trichokompos pada media tanah
bekas tambang batu bara belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi
bibit tanaman kelapa sawit di pembibitan utama yakni pada umur 12 minggu setelah tanam.
Adapun belum berpengaruhnya perlakuan ini diduga variabel tinggi tanaman dipengaruhi oleh
faktor genetis dari tanaman yang digunakan, karena pada penelitian ini menggunakan bibit
kelapa sawit dengan varietas D×P-SJ 5 yang merupakan bibit yang memiliki pertumbuhan tinggi
tanaman yang lambat yaitu hanya 57 cm pertahun. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nyakpa, et
al., (1988) bahwa respon tanaman terhadap pemupukan dipengaruhi oleh varietas yang
digunakan.
Pengaruh pemberian dosis dolomit dan trichokompos yang diberikan pada pembibitan
utama tanaman kelapa sawit yang ditanam pada media tanah bekas tambang batu bara
memberikan hasil yang berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan jumlah daun bibit kelapa
sawit. Pemberian trichokompos maupun dolomit yang berpengaruh tidak nyata dapat disebabkan
oleh adanya faktor genetis tanaman. Salah satu faktor yang diduga menjadi faktor utama tidak
berbedanya pertambahan jumlah daun bibit kelapa sawit di pembibitan utama adalah karena
tanaman sawit merupakan tanaman tahunan yang pertumbuhannya lambat. Hal ini didukung oleh
pernyataan Pangaribuan (2001) yang menyatakan bahwa jumlah daun merupakan sifat genetik
dari tanaman kelapa sawit. Pendapatan lain yang mendukung hasil penelitan ini adalah
pernyataan Hidayat (1994), yang menyatakan bahwa pertambahan jumlah daun ditentukan oleh
sifat genetis tanaman dan lingkungan, yaitu pada bibit kelapa sawit menghasilkan 1-2 helai daun
setiap bulannya sehingga pertambahan jumlah daun pada bibit kelapa sawit berlangsung relatif
sama setiap bulannya.

260
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pada pengamatan diameter bibit tanaman kelapa sawit dapat diketahui bahwa perlakuan
pemberian dolomit dan trichokompos dengan dosis yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap pertambahan diameter bibit tanaman kelapa sawit yang ditanam pada media tanah bekas
tambang batu bara. Hal ini diduga karena pada tanaman muda hasil fotosintesis akan dimanfaatkan
untuk pertumbuahn vegetatif tanaman seperti ujung akar. Hal ini sesui dengan pernyataan Lakitan
(2005), yang menyatakan bahwa bahan makanan berupa hasil fotosintesis dan asimilat yang
diperoleh oleh tanaman muda dimanfaatkan untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi
perkembangan ujung akar dan ujung batang sedangkan untuk perkembangan diameter batang
belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal. Sehingga masing-masing perlakuan tidak
menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya.
Bobot kering tanaman merupakan salah satu parameter yang digunakan pada penelitian
ini. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemberian perlakuan
dolomit dan trichokompos dengan dosis yang berbeda pada bibit tanaman sawit di main nursery
menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata. Trichokompos pada tanaman dapat menyediakan
unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan dolomit yang diberikan dapat menaikkan pH tanah
yang dapat membantu tanaman dalam menyerap hara . Menurut Syarif (1986), suatu tanaman
tersusun dari bahan cair dan bahan kering. Bahan kering tersebut terdiri dari unsur organik,
anorganik, dan mineral. Semua unsur ini dibutuhkan oleh tanaman untuk membangun jaringan
tanaman, jika tanaman kekurangan salah satu dari unsur-unsur tersebut maka pertumbuhan
tanaman akan terhambat. Hanya dengan memperhatikan bobot kering tanaman dapat diukur laju
tumbuh pertanaman dan laju pertumbuhan relatif. Fahmi (2013) melaporkan bahwa pemberian
trichokompos dengan dosis 20 g/polybag berpengaruh secara nyata terhadap bobot kering
tanaman bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan awal. Hasil ini menunjukkan
bahwa unsur hara yang telah diserap tanaman dapat di lihat dengan mengetahui bobot kering
tanaman.
Perlakuan pemberian dolomit dan trichokompos dengan dosis yang berbeda yang
diberikan pada pembibitan tanaman kelapa sawit umur 12 minggu setelah tanam pada media
tanah bekas tambang batu bara yang diberikan tidak berbeda nyata terhadap bobot kering akar.
Hal ini diduga karena dosis pupuk yang diberikan untuk tanaman masih kurang efektif sehingga
perakaran tidak berkembang secara baik di sisi lain, tanah harus cukup lunak sehingga akar
tanaman dapat berkembang dan menjalankan fungsinya tanpa mengalami hambatan yang berarti.
Namun media tanam yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah bekas tambang batu bara.
Tanah bekas tambang batu bara yang padat membuat akar sulit untuk berkembang. Hal ini sesui
dengan pendapat Damanik (2007) yang menyatakan bahwa tanah yang memiliki struktur yang
padat akan menghambat pertumbuhan tanaman. Tanah yang padat dapat mengurangi kandungan
aerasi tanah, mengurangi ketersedian air bagi tanaman dan menghambat pertumbuhan akar
tanaman.

KESIMPULAN
Pemberian kombinasi dolomit dan trichokompos belum memberikan pengruh terhadap
pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan bobot kering akar tanaman.
Namun pengaruhnya baik terhadap bobot kering tanaman. Pemberian kombinasi dolomit 50% +
trichokompos 50% memberikan pertambahan tinggi, jumlah daun serta bobot kering tanaman
dan bobot kering akar yang stabil dibandingkan perlakuan lainnya, selain itu penggunaan dosis
ini dapat menghemat biaya pemupukan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kami sampaikan kepada Sdri. Fitriani P. Aritonang dan Bpk. Zulfahri Gani
atas persetujuan dan kerjasamanya sehingga insyaAllah hasil penelitan ini dapat di publikasikan
di tingkat nasional melalui kegiatan SEMILOKA Forum Komunikasi Perguruan Tinggi
Pertanian Indonesia (FKPTPI) Tahun 2019 di Universitas Padjadjaran, Bandung.

261
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Adi Putranto. S. 2012. Kaya dengan Bertani Kelapa Sawit. Yogyakarta. Pustaka Baru Press.
Pahan, Iyung. 2010. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga
Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta
Erlan. 2005. Pengaruh Berbagai Media terhadap Pertumbuhan Bibit Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpha (Scheff.) Boerl.) di Polibag. Jurnal Akta Agrosia, 7 (2) 72-75.
Sadjad,S. 1986. Agronomi umum. Departemen Agronomi. IPB, Bogor.
Harsono A, Suryantini, Prihastuti, Sucahyono D, Sudarjo M. 2011.Efektifitas pupuk hayati
Rhizobium toleran masam bentuk pelet pada kedelai di lahan masam. Dalam Rasmayeti:
Prosiding Seminar Nasional Kajian Pemanfaatan Amelioran Pada Lahan Kering Dalam
Meningkatkan Hasil Dan Keuntungan Usahatani Kedelai. Banten, September 2015.
Adimihardja A, Sutono S. 2005. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan Berlerang. Dalam:
Marham (eds): Prosiding Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Petanian Produktif
dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
Bogor, 4-5 Juni 2005
Balai Pengkajian Teknologi Jambi. 2009. Pemanfaatan Trichokompos pada Tanaman
Sayuran. Buletin Agro Inovasi. BPTP Jambi.
Nyakpa, M.Y., A.M. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, Go Ban Hong, dan
Nurhayati Hakim, 1988. Kesuburan tanah. Universitas Lampung.
Pangaribuan Y. 2001. Studi karakter morfofisiologi tanaman kelapa sawit di pembibitan
terhadap cekaman kekeringan. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Hidayat, E.B. 1994. Morfologi Tumbuhan. Departemen Pendidikan Dan Directorat Jendral
Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Kerja.
Lakitan, B. 2005. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta
Syarif, E.S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana. Jakarta.
Fahmi. 2013. Aplikasi Trichokompos Jerami Padi Dan Abu Serbuk Gergaji Pada Pembibitan
Awal Kelapa Sawit. Skripsi Mahasiswa Pertanian Universitas Riau. Pekanbaru.
Damanik, P. 2007. Perubahan kepadatan tanah dan produksi tanaman kacang tanah akibat
intensitas lintasan traktor dan dosis bokasi. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor

262
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Uji Beberapa Varietas Kelapa Sawit pada Beberapa Volume


Pemberian Air di Pembibitan Utama
Test of Several Palm Oil Varieties on Several Volumes of
Water Suplly
Fetmi Silvina1 dan Andriansyah1
1Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru

ABSTRACT

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas kelapa sawit yang dapat
Kelapa sawit tumbuh baik pada beberapa volume pemberian air. Penelitian dilaksanakan
Volume air pada Januari – Mei 2019. Penelitian ini merupakan percobaan Rancangan
Marihat Acak Lengkap. Perlakuan pada penelitian adalah : Varietas dan volume
Topas pemberian air, yaitu : Varietas Marihat pada volume pemberian air 1000 ml,
Socfindo 1500 ml, 2000 ml, 2500 ml, Varietas Topaz pada volume pemberian air 1000
ml, 1500 ml, 2000 ml, 2500 ml, Varietas Socfindo pada volume pemberian
air 1000 ml, 1500 ml, 2000 ml, 2500 ml. Data hasil penelitian dianalisis
menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
taraf 5%. Parameter yang diamati adalah : pertambahan tinggi bibit,
pertambahan jumlah daun, pertambahan diameter batang, volume akar dan
berat basah bibit. Hasil penelitian disimpulkan bahwa varietas Marihat
memperlihatkan pertumbuhan yang terbaik dengan kadar air berkisar antara
1500 – 2500 ml.
ABSTRACT

Keywords: This study aims to obtain palm oil varietas that can grow well in given volume
Palm oil of flush water. The study was conducted ini January to Mei 2019. This
Water volume research conducted on a completetly Randomize Design. The treatment in
Marihat research is the Variety and water supply, such as: Marihat varieties with
Topas volume of water supply 1000 ml, 1500 ml, 2000 ml, 2500 ml, Topaz varieties
Socfindo with volume of water supply 1000 ml, 1500 ml, 2000 ml, 2500 ml, Socfindo
varieties with volume of water supply 1000 ml, 1500 ml, 2000 ml, 2500 ml.
Research data were analyzed using analysis of variance and DNMRT at level
5%. The parameters observed were increase in seedling height, increase in
number of leaves, increase in stem diameter, root volume and seedling wet
weight. The result of thestudy concluded that Marihat Varieties showed the
best growth with water supply from 1500 ml to 2500 ml

Email Korespondensi: fetmisilvina@gmail.com

PENDAHULUAN
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditi
perkebunan penting dalam mendorong perekonomian Indonesia khususnya Provinsi Riau.
Kelapa sawit juga merupakan sumber minyak nabati di samping beberapa minyak nabati lain,
seperti kelapa, kacang-kacangan dan biji-bijian lain.
Permintaan kelapa sawit yang meningkat menyebabkan perluasan areal pertanaman kelapa
sawit semakin meningkat. Peningkatan produksi menjadi keharusan di samping pengembangan
dan pembangunan perkebunan kelapa sawit di tanah air. Direktorat Jenderal Perkebunan (2016)

263
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

menyatakan luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2016 berkisar 11.672.861 ha
dengan produksi berkisar 33.500.691 ton, sedangkan untuk Provinsi Riau pada tahun yang sama
berkisar 2.462.095 ha dengan produksi berkisar 7.717.612 ton.
Usaha perluasan areal perkebunan kelapa sawit akan membutuhkan bibit kelapa sawit yang
relative banyak, baik kebutuhan bibit untuk penambahan luas tanaman (ekstensifikasi) maupun
untuk replanting atau penanaman kembali bagi kelapa sawit yang tidak produktif lagi. Bibit
berkualitas merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan produksi kelapa sawit yang tinggi.
Menurut Pahan (2012), bibit kelapa yang berkualitas akan mempengaruhi hasil dan kualitas
tandan kelapa sawit yang dihasilkan, maka penggunaan benih unggul merupakan persyaratan
utama dalam pengembangan budidaya kelapa sawit. Saat ini di Indonesia terdapat 15 produsen
benih kelapa sawit, tiga diantaranya adalah Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), PT. Tunggal
Yunus Estate dan PT. Socfindo Indonesia.
Bibit kelapa sawit PPKS Marihat berasal dari persilangan F1 antara pohon induk deli dura
dengan pisifera EXS dan H5, keunggulanya menghasilkan buah pasir pada umur 2,8 sampai 3
tahun, produksi CPO yang dihasilkan ditandan buah segar berkisar 20-30 %, kemudian produksi
minyak yang dihasilkan rata-rata 7,53 ton per hektar per tahun (Direktorat Perbenihan, 2004).
Bibit kelapa sawit Topaz 3 berasal dari persilangan dura deli dan pisifera Ekona E22 cepat
berbunga, tandan buah segar yang dihasilkan relatif tinggi, dan dapat beradaptasi di lahan
marjinal, sedangkan Socfindo berasal dari persilangan dura deli dengan pisifera Lame,
keunggulan bibit kelapa sawit Socfindo Lame yaitu toleransi terhadap serangan penyakit
(Kementerian Pertanian, 2004).
Tanaman kelapa sawit, sebelum dipindahkan ke lapangan dipelihara dalam du tahap
pembibitan, yaitu pembibitan awal (pre nursery) yang berkisar selama 3 bulan dan pembibitan
lanjutan (main Nursery) selama 8 bulan. Selama masa pembibitan, air merupakan salah faktor
yang menentukan pertumbuhan. Kekurangan air mengakibatkan tanaman mengalami cekaman
kekeringan, terlebih lagi saat ini akibat perubahan iklim global, tidak dapat diprediksi musim
hujan ataupun kemarau. Penyebab tanaman mengalami kekeringan diantaranya transpirasi tinggi
dan diikuti dengan ketersediaan air tanah yang terbatas pada saat musim kemarau.
Salisbury dan Ross (1996) menyatakan bahwa ketersediaan air yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman sangat penting. Peranan air pada tanaman sebagai pelarut
berbagai senyawa organik unsur hara dan media transportasi dari dalam tanah menuju ke dalam
tanaman, fotosintat dari sumber (source) ke limbung (sink), menjaga turgiditas sel dalam
pembelahan dan pembesaran sel, membuka dan menutupnya stomata, sebagai penyusun utama
dari protoplasma serta pengatur suhu tanaman. Keterbatasan air yang dibutuhkan berdampak
pada pertumbuhan bibit.
Pemberian air merupakan salah factor ayng penting di dalam pembibitan tanaman. Jumlah
air yang diberikan harus sesuai dengan umur dan jumlah yang dibutuhkan. Menurut Majalah
Media Perkebunan Sumber Inspirasi Agribisnis (2018) Standar penyiraman di pre nursery, tiap
bibit memerlukan 0.2-0.3 liter air/babybag/hari. Sedangkan di main nursery, tiap bibit
memerlukan 1.5-2 liter air/babybag/hari. Hasil penelitian Sukma et al. (2015) menunjukkan
bahwa pemberian air 2000 ml per hari per tanaman pada pagi hari pukul 07:30 pagi memberikan
efek yang baik pada pertumbuhan bibit kelapa sawit, sedangkan pemberian air 1500 ml per hari
per tanaman pada siang hari pukul 14:00 memberikan efek yang baik pada luas daun bibit kelapa
sawit di pembibitan utama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon tiga varietas kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di pembibitan utama terhadap pemberian beberapa volume air.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Kegiatan pembibitan kelapa sawit adalah untuk menyiapkan bahan bibit yang berkualitas
dan pertumbuhannya seragam sebelum dilakukan transplanting ke lapangan. Pembibitan

264
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

diperlukan karna tanaman kelapa sawit memerlukan perawatan yang tetap dan terus-menerus
pada umur 1-1,5 tahun pertama. Pembibitan kelapa sawit dilakukan 2 tahap yaitu pembibitan
awal (pre-nursery) dan pembibitan utama (main nursery). Pembibitan awal bertujuan untuk
mendeder benih yang telah berkecambah dari polybag kecil hingga berumur 3 bulan, sedangkan
pembibitan utama merupakan pembibitan lanjutan bibit kelapa sawit yang telah berumur 3 bulan
dari pembibitan awal yang telah diseleksi hingga berumur 10-12 bulan sehingga siap untuk
dipindahkan ke lapangan (Lubis, 2000).
Bibit merupakan salah satu faktor bahan tanaman yang dapat berpengaruh terhadap
pencapaian produksi. Pemilihan bibit yang baik diharapkan dapat menghasilkan tanaman yang
baik dan berkualitas. Bibit bermutu diproleh bila kecambah kelapa sawit yang digunakan berasal
dari produsen yang diakui oleh pemerintah. Produsen benih resmi yang telah ditetapkan oleh
mentri pertanian, yaitu pusat penelitian kelapa sawit (PPKS), PT . London Sumatra (PT.
Lonsum), PT. Socfindo Indonesia (PT. Socfindo), PT. Dami Mas Sejahtera, PT. Tunggal Yunus
Estate dan PT. Bina Sawit Makmur (Raisawati, 2006). Ketiga varietas ini mempunyai kelebihan
dan kekurangan masing, dimana hal ini sangat ditentukan oleh genotipe dari masing-masingnya.
Air merupakan komponen utama makhluk hidup, tidak terkecuali tanaman kelapa sawit.
Air merupakan komponen utama dalam proses fisiologis tanaman. Masing-masing tanaman
memiliki tingkat kebutuhan air yang berbeda-beda. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh
iklim (radiasi surya, suhu, kecepatan angin, dan kelembaban udara) dan tanah (sifat fisika tanah).
Salah satu kegiatan utama pemeliharaan bibit kelapa sawit agar dapat tumbuh dan
berkembang sesuia potensinya adalah penyiraman yang dilakukan rutin dan cukup. Penyiraman
bibit kelapa sawit dilakukan baik di areal pre nursery maupun main nursery, satu kali dalam
sehari yaitu pada pagihari selama 30 menit. Standar penyiraman di pre nursery, tiap bibit
memerlukan 0.2-0.3 liter air/babybag/hari. Sedangkan di main nursery, tiap bibit memerlukan
1.5-2 liter air/babybag/hari (Majalah Media Perkebunan Sumber Inspirasi Agribisnis).
Hilangnya air akibat evaporasi dan transpirasi (yang selanjutnya disebut sebagai
evapotranspirasi) yang tidak diikuti dengan irigasi/curah hujan yang cukup maka akan
menyebabkan cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan tersebut dapat mempengaruhi
pertumbuhan anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia tanaman. Gejala yang umum terjadi
adalah pertumbuhan yang terhambat dan penurunan produksi (Murdiyarso, 1991).

METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bibit kelapa sawit umur 3 bulan Varietas
Marihat, Varietas Topaz dan Varietas Socfindo. Penelitian ini merupakan percobaan rancangan
acak lengkap (RAL), penelitian ini terdiri dari V1 = Varietas Marihat dan Volume Pemberian air
1000 ml/hari/bibit, V2 = Varietas Marihat dan Volume Pemberian air 1500 ml/hari/bibit, V3
Varietas Marihat dan Volume Pemberian air 2000 ml/hari/bibit, V4 = Varietas Marihat dan
Volume Pemberian air 2500 ml/hari/bibit, V5 = Varietas Topas dan Volume Pemberian air 1000
ml/hari/bibit, V6 = Varietas Topas dan Volume Pemberian air 1500 ml/hari/bibit, V7 = Varietas
Topas dan Volume Pemberian air 2000 ml/hari/bibit, V8 = Varietas Topas dan Volume
Pemberian air 2500 ml/hari/bibit, V9 = Varietas Socfindo dan Volume Pemberian air 1000
ml/hari/bibit, V10 = Varietas Socfindo dan Volume Pemberian air 1500 ml/hari/bibit, V11 =
Varietas Socfindo dan Volume Pemberian air 2000 ml/hari/bibit, V12 = Varietas Socfindo dan
Volume Pemberian air 2500 ml/hari/bibit. Perlakuan diulang 3 kali, sehingga diperoleh 36 satuan
percobaan, tiap satuan percobaan terdapat 3 tanaman sehingga diperoleh 108 bibit tanaman
kelapa sawit.
Bibit yang digunakan adalah bibit kelapa sawit berumur 3 bulan. Penanaman dilakukan
dengan cara bibit kelapa sawit yang berumur 3 bulan dipindahkan ke polybag yang berukuran
35 cm x 40 cm yang sudah diisi media tanam sebanyak 10 kg per polybag. Sebelum dilakukan
penanaman dibuat lubang tanam pada media dalam polybag ukuran 35 cm x 40 cm, lubang tanam
dibuat menggunakan paralon ukuran diameternya sesuai dengan ukuran polybag sebelumnya.

265
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemberian air pada penelitian ini sesuai dengan perlakuan yaitu : (1000 ml, 1500 ml, 2000
ml, 2500 ml) per hari per bibit. Air diberikan dua kali dalam sehari yaitu pukul 07.30 WIB
sebanyak 60% dari total volume air pada masing-masing perlakuan, dan pukul 14.00 WIB
sebanyak 40% dari total volume air pada masing-masing perlakuan.
Pemeliharaan pada penelitian diantaranya pemupukan sesuai dengan umur tanaman kelapa
sawit, pengedalian hama dan penyakit, penyiangan gulma. Parameter yang diamati Pertambahan
tinggi bibit, pertambahan jumlah daun, pertambahan lilit bonggol, berat basah dan Volume akar.
Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda
taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Rata-rata Pertambahan Tinggi Bibit Tiga Varietas Bibit Kelapa Sawit Umur 7 Bulan pada
Beberapa Volume Pemberian Air.
Varietas dan Volume Pemberian Air Pertambahan Tinggi Bibit (cm)
(ml/hari/bibit)
Marihat ; 1000 25,67 b
Marihat ; 1500 26,33 b
Marihat ; 2000 25,33 bc
Marihat ; 2500 31,33 a
Topaz ; 1000 19,33 d
Topaz ; 1500 19,33 d
Topaz ; 2000 22,67 c
Topaz ; 2500 26,67 b
Socfindo ; 1000 19,33 d
Socfindo ; 1500 19,00 d
Socfindo ; 2000 24,67 bc
Socfindo ; 2500 27,33 b
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf
5%

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa volume pemberian air nyata meningkatkan


pertambahan tinggi tanaman dan dari ketiga varietas yang diamati, terlihat bahwa Varietas
Marihat menunjukkan pertambahan tertinggi pada pemberian air 2500 ml/hari/bibit dan berbeda
nyata dengan kedua varietas lainnya pada volume pemberian air yang sama. Pemberian air 1000
– 2000 ml/hari/bibit menunjukkan pertambahan tinggi yang menurun untuk ketiga varietas yang
diperlakukan, namun tidak demikian halnya dengan varietas Marihat, pemberian air yang
dimaksud tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk ketiga level pemberian air. Perbedaan
pertumbuhan dari ketiga varietas terhadap tinggi tanaman diduga karena sifat genetik bibit
masing-masing varietas.
Perbedaan sifat genetik dapat menyebabkan terjadinya keragaman penampilan tanaman.
Keragaman genetik akan diekspresikan pada suatu fase pertumbuhan yang berpengaruh, dapat
diekspresikan pada berbagai sifat bibit yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman yang
menghasilkan keragaman pertumbuhan tanaman. Keragaman penampilan tanaman akibat
susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari
jenis yang sama (Sitompul, 1995).
Pemberian air 1000 – 2000 ml/hari/bibit menunjukkan pertambahan tinggi yang menurun
untuk ketiga varietas yang diperlakukan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah air yang diberikan
menentukan pertambahan tinggi bibit, karena ketersediaan air menentukan tingkat kelarutan
unsur hara, tekanan turgor dan pembelahan sel. Menurut Jumin (2002), air berfungsi dalam
pengangkutan atau transportasi unsur hara dari akar ke jaringan tanaman, sebagai pelarut garam
mineral serta sebagai penyusun jaringan tanaman, tanaman akan tumbuh subur jika unsur hara

266
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tersedia dalam jumlah yang cukup dan dapat diserap. Kemudian Gardner et al. (1991),
menyebutkan bahwa bibit yang mengalami kekurangan air, turgor pada sel bibit kurang
maksimum, akibatnya penyerapan hara dan pembelahan sel terhambat, sebaliknya jika
kebutuhan air bibit terpenuhi maka peningkatan pertumbuhan tanaman akan berjalan dengan
baik.

Tabel 2. Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Tiga Varietas Bibit Kelapa Sawit Umur 7 Bulan pada
Beberapa Volume Pemberian Air.
Varietas dan Volume Pemberian Air Pertambahn Jumlah Daun (helai)
(ml/hari/bibit)
Marihat ; 1000 2,00 abc
Marihat ; 1500 2,33 abc
Marihat ; 2000 4,00 a
Marihat ; 2500 3,33 ab
Topaz ; 1000 1,33 c
Topaz ; 1500 2,33 abc
Topaz ; 2000 2,00 abc
Topaz ; 2500 3,33 ab
Socfindo ; 1000 1,33 c
Socfindo ; 1500 1,33 c
Socfindo ; 2000 2,33 abc
Socfindo ; 2500 2,67 abc
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf
5%

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa volume pemberian air nyata meningkatkan


pertambahan jumlah daun bibit dan dari ketiga varietas yang diamati, terlihat bahwa Varietas
Marihat menunjukkan pertambahan jumlah daun yang tertinggi yaitu pada pemberian air 2000
ml/hari/bibit, yaitu 4,00 cm. Pada varietas Marihat volume pembrian air (1000-2500)
ml/hari/bibit tidak berbeda sesamanya, namun volume pemberian air (1000-1500)
memperlihatkan pertambahan jumlah daun yang tidakberbeda nyata dengan varietas Topaz dan
Socfindo pada volume pemberian air (2000-2500) ml/hari/bibit dan pada kedua varietas ini pun
terlihat semakin berkurang air yang diberikan pertambahan jumlah daunnya menurun. Hal ini
menunjukkan bahwa varietas Marihat mampu menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan dengan kedua varietas lainnya dan air menentukan jumlah dan luas daun. Gardner
et al. (1991), mengemukakan bahwa jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan
lingkungan. Posisi daun pada tanaman yang terutama dikendalikan oleh genotipe, juga
mempunyai pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan daun, dimensi akhir dan kapasitas untuk
merespon kondisi lingkungan yang lebih baik seperti ketersediaan air.
Ketersediaan air sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanaman
yang memperoleh jumlah air yang cukup dalam pertumbuhannya akan memperlihatkan
pertumbuhan yang baik, sebaliknya kekurangan air akan mempelihatkan pertumbuhan yang
menurun. Menurut Ertek et al. (2006), secara umum semakin cukup jumlah air yang diberikan
ke tanaman maka tanaman akan semakin baik pertumbuhannya. Cekaman kekurangan air pada
fase vegetatif mengakibatkan tanaman menjadi lebih pendek. Islami dan Utomo (1995),
menyatakan bahwa tanaman yang menderita cekaman air, secara umum mempunyai ukuran yang
lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh normal.

Pertambahan Lilit Bonggol


Tabel 3 menunjukkan bahwa volume pemberian air nysts meningkatkan pertambahan lilit
bonggol bibit dari tiga varietas yang diamati. Varietas Marihat pada volume pemberian air 2500
ml/hari/bibit menunjukkan pertanaman lilit bonggol terbesar dan berbeda nyata dengan volume

267
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pemberian air yang sama pada dua varietas lainnya. Varietas Marihat juga memperlihatkan
pertambahan lilit bonngol yang tidak nyata pada volume pemberian air (1500-2000) ml/hari/bibit
pemberian air 2500 ml/hari/bibit, sedangkan pada varietas Topas volume pemberian air 2500
ml/hari/bibit berbeda tidak nyata dengan varietas Marihat pada volume pemberian air 1000
ml/hari/bibit dan volume pemberian air (1000-1500) terjadi penurunan lilit daun yang nyata,
kemudian pada varietas Socfindo volume pemberian air 2500 ml/hari/bibit berbeda tidak nyata
dengan pemberian air yang sama dengan Topaz, namun terlihat penurunan pertambahan lilit
bonggol seiring pengurangan volume pemberian air. Hal ini menunjukkan ketiga varietas kelapa
sawit memperlihatkan respon yang berbeda pada volume pemberian air, varietas Marihat
memperlihatkan pertambahan lilit bonggol yang terbaik pada volume pemberian air (1500-2500)
ml/hari/bibit.

Tabel 3. Pertambahan Lilit Bonggol Tiga Varietas Bibit Kelapa Sawit Umur 7 Bulan pada Beberapa
Volume Pemberian Air.
Varietas dan Volume Pemberian Air Pertmabhan Lilit Boggol (cm)
(ml/hari/bibit)
Marihat ; 1000 2,93 Bc
Marihat ; 1500 3,17 Ab
Marihat ; 2000 3,23 Ab
Marihat ; 2500 3,57 A
Topaz ; 1000 0,70 E
Topaz ; 1500 1,00 e
Topaz ; 2000 2,20 d
Topaz ; 2500 2,50 cd
Socfindo ; 1000 0,43 e
Socfindo ; 1500 0,43 e
Socfindo ; 2000 0,63 e
Socfindo ; 2500 2,33 cd
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf
5%

Volume pemberian air mempengaruhi diameter bonggol, dengan tersedianya air bagi
tanaman proses metabolisme tanaman juga berjalan lancar. Salah satu hasil dari proses
metabolisme tanaman adalah fotosintesis, fotosintesis berfungsi untuk pembelahan sel dan
perpanjangan sel yang menyebabkan terjadinya pertambahan diameter bonggol. Salisbury dan
Ross (1997) menyatakan bahwa bertambahnya ukuran organ tanaman secara keseluruhan
merupakan akibat dari bertambahnya jaringan dan ukuran sel. Menurut Fitter dan Hay (1991)
apabila terjadi kekurangan air secara internal pada tanaman akan berakibat langsung pada
penurunan pembelahan dan pembesaran sel.
Pada tahapan pertumbuhan vegetatif, air dibutuhkan oleh tanaman untuk pembelahan dan
pembesaran sel ditandai dengan pertambahan tinggi tanaman, pembesaran diameter,
perbanyakan daun dan pertumbuhan akar. Keadaan cekaman air menyebabkan penurunan turgor
pada sel tanaman dan berakibat pada menurunnya proses fisiologis. Naiola (1996) menyatakan
bahwa potensial turgor akan menurun hingga mencapai nol dan mengakibatkan kelayuan bahkan
plasmolisis jika kehilangan air dari tanaman ini berlangsung terus menerus diluar batas
kendalinya.

Berat Basah
Tabel 4 menunjukkan bahwa volume pemberian air nyata meningkatkan berat basah bibit
pada ketiga varietas. Varietas Marihat pada volume pemberian air 2500 ml/hari/bibit
menunjukkan berat basah bibit tertinggi berbeda nyata dengan varietas Topaz dan Socfindo.
Volume pemberian air 2500 ml/hari/bibit untuk ketiga varietas menghasilkan berat basah

268
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tertinggi dan ketiga varietas juga memperlihatkan respon yang berbeda pada penurunan volume
air. Varietas Marihat memperlihatkan penurunan berat basah pada pemberian (1000-1500)
ml/hari/bibit, varietas Topas dan Socfindo pada volume pemberian air (1000-2000) ml/hari/bibit.

Tabel 4. Berat Basah Tiga Varietas Bibit Kelapa Sawit Umur 7 Bulan pada Beberapa Volume
Pemberian Air.
Varietas dan Volume Pemberian Air Berat Basah Bibit (g)
(ml/hari/bibit)
Marihat ; 1000 74,26 def
Marihat ; 1500 84,74 bc
Marihat ; 2000 91,25 ab
Marihat ; 2500 95,08 a
Topaz ; 1000 66,50 f
Topaz ; 1500 70,82 ef
Topaz ; 2000 74,48 cde
Topaz ; 2500 84,72 bc
Socfindo ; 1000 65,29 f
Socfindo ; 1500 70,12 ef
Socfindo ; 2000 76,08 cde
Socfindo ; 2500 80,63 cd
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf
5%

Air merupakan komponen yang penting dalam pertambahan berat basah tanaman. dengan
kebutuhan air tanaman yang cukup maka pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan baik dan
berat basah tanaman akan meningkat sebaliknya apabila kebutuhan air pada tanaman kurang
maka pertumbuhan tanaman tersebut akan terganggu dan berpengaruh pada berat basah tanaman
tersebut. Salisbury dan Ross (1997) menyatakan bahwa ketersediaan air yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman sangat penting. Peranan air pada tanaman diantaranya
sebagai pelarut dan alat transportasi berbagai senyawa molekul organik (unsur hara) dari dalam
tanah ke dalam tanaman, transportasi fotosintat dari sumber (source) ke limbung (sink), menjaga
turgiditas sel diantaranya dalam pembesaran sel dan membukanya stomata sebagai penyusun
utama dari protoplasma serta pengatur suhu bagi tanaman.

Volume Akar
Tabel 5 menunjukkan bahwa volume pemberian air nyata meningkatkan volume akar bibit.
Volume pemberian air 2500 ml/hari/bibit pada varietas Marihat menghasilkan volume akar
terbesar dan berbeda nyata dengan semua taraf volume pemberian air pada varietas Topaz dan
Socfindo. Varietas Marihat memperlihatkan penurunan volume akar pada volume pemberian air
(1000-1500) ml/hari/bibit, varietas Topas dan Socfindo mulai terlihat (1000-2000) ml/hari/bibit).
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga varietas memperlihatkan responnya terdahap berbagai
volume air yang diberikan.

Tabel 5. Volume Akar Tiga Varietas Bibit Kelapa Sawit Umur 7 Bulan pada Beberapa Volume
Pemberian Air.
Varietas dan Volume Pemberian Air Volume Akar (ml)
(ml/hari/bibit)
Marihat ; 1000 24,12 cd
Marihat ; 1500 31,43 bc
Marihat ; 2000 34,28 ab
Marihat ; 2500 36,79 a
Topaz ; 1000 21,98 e

269
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Varietas dan Volume Pemberian Air Volume Akar (ml)


(ml/hari/bibit)
Topaz ; 1500 23,56 de
Topaz ; 2000 27,49 cd
Topaz ; 2500 30,05 bc
Socfindo ; 1000 21,35 e
Socfindo ; 1500 21,78 e
Socfindo ; 2000 23,84 de
Socfindo ; 2500 27,38 cd
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf
5%

Air merupakan komponen yang menentukan perkembangan akar, dimana pada kondisi air
yang tersedia, akar berkembang dengan baik sehingga akan meningkat volume akar. Air yang
tersedia akan meningkatkan kelarutan unsur hara, dan tersedia bagi tanaman. Hal ini akan
meningkatkan metabolism tanaman yang berdampak baik bagi pertumbuhan akar, karena
translokasi fotosintas ke akar berjalan lancar.
Menurut Taiz dan Zeiger (2002), jumlah air yang terbatas menyebabkan terbatasnya
perkembangan akar, sehingga mengganggu penyerapan unsur hara oleh akar tanaman.
Cekaman kekeringan akan mengakibatkan rendahnya laju penyerapan air oleh akar tanaman.
Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat transpirasi
menyebabkan tanaman menjadi layu. Tanaman dapat mengalami defisit air pada kondisi
lingkungan tertentu. Defisit air berarti terjadi penurunan gradien potensial air antara tanah,
akar, daun dan atmosfer, sehingga laju transpor air dan hara menurun dan menyebebkan terjadi
nya penurunan volume akar pada bibit kelapa sawit.

PENUTUP
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Berbagai volume pemberian air pada ketiga varietas berpengaruh nyata pada semua
parameter yang diamati.
2. Volume pemberian air 2500 ml/hari/bibit merupakan volume air yang terbaik untuk ketiga
varietas, hal ini terlihat pada pada semua parameter pengamatan.
3. Varietas Marihat masih memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada pemberian air 2000
ml/hari/bibit dan tidak berbeda nyata dengan pemberian 2500 ml/hari/bibit dan masih
memperlihat pertumbuhan yang lebih baik ketika volume air yang diberikan 1000-1500
ml/hari/bibit.
4. Varietas Topaz dan Socfindo mulai memperlihatkan penurunan pertumbuhannya pada
penurunan volume pemberian air 2000 ml/hari/bibit
Dari hasil penelitian disarankan untuk menggunkan bibit varietas Marihat jika ketersediaan
air terbatas, hingga 25% dari kebutuhan air untuk pertumbuhannya.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Perbenihan, 2004. Informasi Perbenihan Perkebunan Kelapa Sawit. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit
2013-2015. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Doorenbos, J. and Amir Kassam. 1979. Yield Response To Water. FAO Irrigation and Drainage
paper 33. FAO, Rome.

270
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Dwiyana, Sukma Rizky, Sampoerno, Ardian. 2015. Waktu dan Volume Pemberian Air pada
Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Main nursery. Jurnal online Mahasiswa
(JOM) Bidang Pertanian.2(1).
Ertek, Ahmed., Suat Sensoy, Cenk Kucukyumuk, and Ibrahim Gedik. 2006. Determination of
plant-pan coefficient for field-grown plant (Solanum molongena L.) using class A pan
evaporation values. Agricultural water management 85: 58-56.
Fitter, Alastair H. and Robert K. M. Hay. 1991. Fisiologi lingkungan Tanaman. (terjemah
Andini, S. dan E. D. Purbayanti dari Ecvironmental Physiology of plant). Gajah Mada
University Pres. Yogyakarta. 321 hal.
Gardner, Franklin.P, R.Brent Pearce dan Roger L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanamn Budidaya.
UI press. Jakarta.
Hakim, Nurhayati, M.Yusuf Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo Gani Nugroho, M. Rusdi Saul, M.
Amin Diha, Go Ban hong, H.H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung. Lampung.
Islami Titiek, Wani Hadi Utomo. 1995. Hubungan tanah, air dan tanaman. (ID): IKIP Press.
Semarang.
Jumin, Hasan Basri. 2002. Ekofisiologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi. Rajawali Press.
Jakarta.
Kementerian Pertanian, 2004. Pelepasan Varietas Kelapa Sawit DP Socfindo Sebagai Varietas
Unggul. Menteri Pertanian No. 440/Kpts/LB. 320/7/2004. Jakarta.
Lubis, 2000. Teknik Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Penerbit Sinar Medan. Sumatera Utara.
Majalah Media Perkebunan Sumber Inspirasi Agribisnis,Edisi Juli 2018(Hal 58-59)
Mangoensoekarjo, Soepadiyo dan Haryono Semangun. 2005. Manajemen Agribisnis Kelapa
Sawit. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Naiola, G.R. 1996. Regulasi osmosis pada tumbuhan tinggi. Hayati : Jurnal Biosains. 3(1) : 1-6.
Pahan, 2012. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.
Raisawati, T. 2006. Permasalahan Perbenihan Kelapa Sawit. Media Infotama. 1(3) : 40- 46.
Ruchjaningsih, Ali Imran, M. Thamrin, dan M. Zain Kanro, 2000. Penampilan Fenotif dan
Beberapa Parameter Genetik Delapan Kultivar Kacang Tanah pada Lahan Sawah. Zuriat
Komunikasi Pemuliaan Indonesia Jatinangor, Sumedang.
Sitompul dan Bambang Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
MadaUniversityPress. Yogyakarta
Salisbury, Frank. B dan, Cleon. W. Ross. 1997. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Dian Rukmana
dan Sumaryono.ITB. Bandung.
Sitompul, P, 1995. Pengaruh Beberapa Pupuk Daun Cair terhadap Pertumbuhan Bibit Okulasi
Karet di Polybag. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi.
Taiz, Lincoln. And Eduardo Zeiger, Ian E. Muller, Angus Murphy. 2002. Plant physiologi. Third
Edition. Massachusetts: Sinauer Associate Inc. Publisher Sunderland.

271
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Respon Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glicyne max L.Merril)


Terhadap Pemberian Kompos Kulit Buah Kakao Pada Tanah Ultisol
Cicilia Tri Kusumastuti 1*) dan Muh Kusberyunadi 2)
1,2) Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Yogyakarta

ABSTRAK
Kata Kunci:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan tanaman kedelai
Kedelai, terhadap pemberian kompos kulit buah kakao pada tanah ultisol. Penelitian ini telah
Kompos, dilakukan di Dusun Soboman, Ngestiharjo, Kasian .pada bulan Juni – Agustus 2019.
Ultisol Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan faktor tunggal yaitu
dosis kompos kulit buah kakao yang terdiri dari 7 aras (0, 50, 100, 150, 200, 250 dan
300) gr / tanaman dan diulang sebanyak tiga ulangan. Data hasil pengamatan
dianalisis dengan sidik ragam pada jenjang nyata 5 % dan untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range
Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis kompos kulit
buah kakao 300 gram per tanaman memberikan pengaruh terbaik terhadap
pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah ultisol

Email korespondensi: kusumastuti@upy.ac.id

PENDAHULUAN
Tanah marginal merupakan tanah yang sudah mengalami proses pelapukan lanjut. Salah satu
jenis tanah yang merupakan tanah marginal adalah jenis tanah ultisol. Luas ultisol di Indonesia
mencapai 45,9 juta ha atau 24,3 % dari daratan Indonesia (Subagyo et al., 2000).
Tanah ultisol mempunyai kandungan AL dan Fe terlarut yang tinggi sehingga
menyebabkan pH tanah menjadi rendah, miskin unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) serta
unsure hara mikro ( Zn, Mo, Cu dan B), bahan organic serta mengalami pelapukan lanjut dan
berasal di dominasi mineral tahan lapuk kuarsa seperti batuan granit dan pasir sehingga
cenderung mempunyai tekstur yang kasar (Soepardi 1994 dalam Naibaho 2018). Kondisi yang
demikian menyebabkan tanaman yang dapat dibudidayakan sangat terbatas. Untuk
meningkatkan kandungan unsur hara dan memperbaiki sifat tanah pada tanah ultisol dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan organik.
Pemberian bahan organik ke dalam tanah dapat meningkatkan cadangan total bahan
organik tanah. Pemberian kompos kulit buah kakao diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik
tanah dan meningkatkan kesuburan tanah. Kompos kulit buah kakao berpotensi sebagai sumber
bahan organik yang mempunyai peran penting dalam memperbaiki, meningkatkan dan
mempertahankan produktivitas lahan secara berkelanjutan. Kompos kulit kakao mempunyai
kandungan hara yang cukup tinggi terutama kalium dan nitrogen serta meningkatkan porositas
tanah sehingga dapat memperbaiki aerasi dan drainase tanah serta meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah (Novizan, 2002 dalam Naibahu 2017).
Unsur hara yang terdapat dalam kulit buah kakao adalah 1,81 % N, 26,61 5 C-Organic,
0,31 % P2O5, 6,08 K2O, 1,22 % CaO, 1,37% MgO dan 44,85 cmol/kg KTK. Penggunaan
kompos kulit kakao dapat meningkatkan produksi kakao hingga 19,48 % (Rosmiati dalam
Fitrianti, 2015).
Salah satu komoditas tanaman pangan yang cukup banyak dibutuhkan oleh masyarakat
dan merupakan sumber protein nabati. Kedelai merupakan bahan baku untuk pembuatan tahu,
tempe, dan kecap yang merupakan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Produksi kedelai
di Indonesia masih rendah dan belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah masih

272
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan kedelai. BPS (2015) menyatakan bahwa Produksi
kedelai di Indonesia pada tahun 2015 adalah 963,183 ton/ha. Pada kurun waktu 2010 – 2014
kebutuhan kedelai setiap tahunnya 2,3 juta ton biji kering sehingga setiap tahun harus
mengimpor kedelai sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produksi kedelai. salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan lahan marginal untuk
pengembangan kedelai. Pemanfaatan lahan marginal ultisol untuk tanaman kedelai masih
memerlukan kajian yang lebih mendalam dilihat dari aspek budidaya dan banyaknya bahan
organik yang sesuai untuk diaplikasikan di tanah ultisol. Oleh karena itu perlu diteliti tentang
karakter fisiologis tanaman kedelai di tanah ultisol.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian kompos kulit kakao
terhadap karakter agronomis tanaman kedelai (Glycine max L Merril).

KERANGKA PEMIKIRAN
Produksi kedelai cenderung menurun dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan
berkurangnya luas lahan untuk pertanaman kedelai. Lahan pertanian banyak beralih fungsi
menjadi perumahan maupun kawasan industry. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi
tanaman kedelai dapat dilakukan melalui perluasan areal pertanaman kedelai. Perluasan areal
pertanaman ini dilakukan dengan memanfaatkan tanah-tanah marginal seperti tanah ultisol yang
belum banyak dimanfaatkan untuk produksi pertanian.
Pemanfaatan tanah ultisol untuk sektor pertanian membutuhkan perlakuan khusus karena
pada tanah ultisol tingkat kesuburan tanahnya rendah selain itu reaksi tanah masam sampai
sangat masam dan kejenuhan Al juga sangat tinggi sehingga sering menghambat pertumbuhan
tanaman. Selain itu sifat fisik tanah ultisol juga dipengaruhioleh horizon Argilik sehingga pori
mikro dan makro berkurang dan aliran permukaan meningkat, hal ini mampu meningkatkan
terjadinya erosi tanah. Erosi tanah yang terjadi pada tanah ultisol akan sangat merugikan karena
manyebabkan kesuburan tanah semakin menurun (Prasetyo dan Suriandikarta, 2006). Upaya
untuk meningkatkan produktifitas tanah ultisol dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
dengan penambahan bahan organik.
Penambahan bahan organik pada tanah ultisol diharapkan mampu mengatasi
permasalahan yang ada pada jenis tanah tersebut. Bahan organik berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman karena dapat mempengaruhi ketersediaan hara dalam tanah yang
diperlukan untuk pertumbuhan tanaman (Prasetyo dan Suriandikarta, 2006). Selain berfungsi
sebagai sumber hara melalui proses mineralisasi oleh mikroorganisme tanah, bahan organik juga
berfungsi sebagai sumber bagi bakteri yang menambat N dari udara (Kertonegoro, 2006).
Kulit kakao merupakan salah satu sumber bahan organik yang berpotensi untuk dijadikan
sebagai bahan pembuatan kompos. Sebagai bahan organi, kulit buah kakao mempunyai
komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial untuk media tumbuh tanaman (Subali dan
Ellianawati 2010 dalam Megawati, dkk, 2015).

273
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian dengan judul Respon Pertumbuhan Tanaman


Kedelai (Glicyne max L.Merril) terhadap Pemberian Kompos Kulit Buah Kakao pada Tanah
Ultisol.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Soboman, Ngestiharjo, Kasian, Bantul, Yogyakarta
pada bulan Juni-Agustus 2019. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain,
pH meter, timbangan digital, leaf area meter dan klorofil meter, polybag ukuran 25 X 30 cm,
tanah ultisol, pupuk kandang, kedelai varietas Dena 1, kulit buah kakao, bekatul dan EM 4
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
dengan faktor tunggal yang diulang sebanyak tiga ulangan. Faktor tersebut adalah kompos kulit
buah kakao yang terdiri dari 7 aras yaitu (0, 50, 100, 150, 200, 250 dan 300) gr / tanaman. Setiap
perlakuan terdiri atas 10 polybag sehingga terdapat 210 polybag.
Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, klorofil daun, luas daun dan umur
berbunga tanaman. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA dan diuji lanjut
dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada jenjang nyata 5 % (Gomez,
et al, 2007)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis of varian dan untuk
mengetahui beda nyata antar perlakuan dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji jarak
berganda Duncan atau Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada jenjang nyata 5 %.

1. Tinggi Tanaman
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian kompos kulit buah kakao
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 14 dan 28 HST. Rerata
tinggi tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.

274
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman, Luas Daun dan Klorofil Daun Tanaman Kedelai
Dosis Tinggi Luas Daun Klorofil Tinggi Luas Klorofil
KKBK Tanaman (cm²) Daun Tanaman Daun Daun
(gr/Tnm) (cm) (μ mol) (cm) (cm²) (μ mol)
Umur 14 HST Umur 28 HST
0 13.4 c 62.6 b 10 b 20.6 b 86.23 c 11.5 c
50 14.5 b 64.1 ab 11.5 ab 21.2 b 93.2 bc 14.3 bc
100 15.7 ab 70.9 ab 12.5 ab 21.5 b 98.1 ab 15.3 bc
150 15.6 ab 68.7 ab 12.5 ab 22.5 b 97.8 ab 15.7 bc
200 16.2 a 76.5 ab 13.7 a 24.75 ab 98.3 ab 15.6 bc
250 16.4 a 75.5 ab 15.0 a 25.9 a 98.4 ab 15.6 bc
300 16.7 a 78.30 a 14.7 a 29.4 a 104.9 a 24.6 a
Keterangan : Angka yang didampingi dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan 5%.

Tabel 1. menunjukkan bahwa tinggi tanaman tertinggi diperoleh dari perlakuan


pemberian kompos kulit buah kakao dengan dosis 300 gr/tanaman yaitu 29.4 cm dan berbeda
nyata debgan dosis perlakuan 0, 50, 100 dan 150 gr/tanaman.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis kompos kulit buah kakao yang paling
efektif adalah 200 gr/tanaman dikarenakan dengan penambahan selisih dosis yang diberikan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 300 gr/tanaman. Ketersediaan unsur hara yang
dibutuhkan tanaman sangat mempengaruhi terhadap peningkatan tinggi tanaman. Selain itu
lingkungan yang menguntungkan dan serapan hara yang baik oleh tanaman mampu
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

2. Luas Daun
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian kompos kulit buah kakao
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan luas daun pada umur 14 dan 28 HST. Rerata tinggi
tanaman dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. menunjukkan bahwa rerata luas daun terbesar
diperoleh pada perlakuan pemberian kompos kulit buah kakao dengan dosis 300 gr/tanaman
(104.9) dan luas daun terkecil diperoleh dari perlakuan dosis 0 gr/tanaman (86,23). Meskipun
demikian pemberian kompos kulit biah kakao dengan dosis 100 gr/tanaman memberikan
pengaruh yang lebih efektif. Hal ini terlihat dari perlakuan kompos kulit buah kakao dosis 300
gr/tanaman tidak berbeda nyata dengan perlakuan kompos kulit buah kakao dengan dosis 100
gr/tanaman. Hal ini diduga karena pemberian dosis tersebut mampu menyumbangkan unsur hara
bagi tanaman sehingga unsur hara yang tersedia bagi tanaman relative tinggi. Ketersediaan unsur
hara yang tinggi menyebabkan laju fotosintesis meningkat sehingga fotosintat yang dihasilkan
juga meningkat dan selanjutnya ditranslokasikan ke organ-organ pertumbuhan vegetatif yang
digunakan untuk penambahan luas daun.

3. Klorofil Daun
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian kompos kulit buah kakao berpengaruh
nyata terhadap pembentukan klorofil daun pada umur 14 dan 28 HST. Rerata tinggi tanaman
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. menunjukkan bahwa rerata klorofil daun tertinggi tertinggi diperoleh pada
perlakuan pemberian kompos kulit buah kakao dengan dosis 300 gr/tanaman (24,6) dan berbeda
nyata dengan perlkuan pemberian kompos kulit buah kakao dengan dosis yang lain. Hal ini
disebebkan pemberian kompos kulit buah kakao dengan dosis yang tinggi mengakibatkan
ketersediaan unsur hara juga semakin tinggi sehingga laju fotosintesis semakin meningkat.
Peningkatan laju fotosintesis dapat meningkatkan hasil fotosintat yang berupa karbohidrat dan
oksigen dimana zat tersebut sangat berpengaruh dalam proses pembentukan klorofil daun. Selain

275
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

karbohidrat dan oksigen unsur nitrogen juga berpengaruh terhadap pembentukan klorofil. Dalam
kompos kulit buah kakao juga terdapat unsure nitrogen. Ketersediaan karbohidrat, oksigen dan
nitrogen serta didukung kondisi lingkungan yang mencukupi mampu meningklatkan
pembentukan klorofil daun (Dwidjoseputro, 1996).

4. Umur Berbunga
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian kompos kulit buah kakao berpengaruh
nyata terhadap umur berbunga tanaman kedelai. Rerata umur berbunga tanaman kedelai dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Rerata Jumlah umur berbunga
Umur Berbunga
Perlakuan Dosis KKBK(Gram/Tnm)
(HST)
0 35, 3 a
50 30.0 b
100 30.0 b
150 30.3 b
200 29.7 b
250 30,3 b
300 30,33 b
Keterangan : Angka yang didampingi dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji Duncan 5%.

Tabel 2. menunjukkan bahwa rerata umur berbunga terlama diperoleh dari perlakuan
pemberian kompos kulit buaha kakao dengan dosis 0 gr/tanaman atau tanpa kompos kulit buah
kakao yaitu 35,3. Pemberian kompos kulit buah kakao memberikan suplay unsur hara dan
ketersediaannya semakin meningkat sehingga mampu mempengaruhi pembungaan. Hal ini
menyebabkan laju fotosintesis juga meningkat sehingga mampu mempercepat proses
pembungaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lingga (2003) yang menyatakan bahwa
pembungaan dipengaruhi oleh metabolism karbohidrat dan N ratio yang tinggi mampu
merangsang kecepatan pembungaan.
Kompos kulit buah kakao juga mengandung unsur hara P dan K, dimana unsur P
merupakan unsur yang sangat berpengaruh pada fase pertumbuhan generative seperti
pembungaan, pembuahan dan pemasakan biji dan Buah. Unsur K juga berperan sebagai activator
berbagai enzim dalam reaksi fotosintesis dan respirasi yang dapat mempengaruhi proses
pembentukan bunga (Maryono dan Sigit, 2005 dalam Marlina et al, 2015).

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis kompos kulit
buah kakao dengan dosis 300 gram per tanaman memberikan pengaruh yang terbaik terhadap
pertumbuhan tanaman kedelai (Glicyne max L. Merril) pada tanah ultisol.

DAFTAR PUSTAKA
Damanik, MMB., Hasibuan, B.E., Fauzi, Sarifuddin, Hanum, H., 2010. Kesuburan Tanah dan
Pemupukan. USU Press. Medan.
Djuarnani, N., et al. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Dwidjosapoetro, D. 1996. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta.
Goenadi, H. D., J.B. Baon, Herman, & A. Purwoto. 2000. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Kakao Di Indonesia. Tim Tanaman Perkebunan Besar Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Lingga, P. 2003. Petunjuk Pe-nggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

276
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Marlina, E, E. Anom, dan S. Yoseva, 2015. Pengaruh Pemberian Pupuk NPK Organik terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (l.) Merril)
Naibaho, J., Nelvia dan A.I.Amri. 2017. Pemberian Kompos Kulit Buah Kakao Pada Medium
Ultisol untuk Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao, L) JOM FAPERTA, Vol 4
No. 2.
Purwaningsih O, Kusumastuti T, Kusberyunadi M, 2018. Tanggapan Agronomis Tanaman
Kedelai Pada Lahan pasir Pnatai Terhadap Pemberian Biochar Dan Pupuk Kascing.
Prihastuti. 2007. Peluang dan tantangan aplikasi pupuk hayati pada tanaman kacang-
kacangan. Agritek 15(3): 617-624.
Subagyo, H., N. Suharta dan A. B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia.
Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hlm. 21-66.
Suriadikarta, D.A., dan R.D.M. Simanungkalit, 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya lahan Pertanian. Bogor. 283 hal.
Sutanto R, 2002. Pertanian Organik, Kanisisus. Yogyakarta.

277
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

278
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

IV
Teknologi Benih

279
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

280
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Potensi Produksi dan Ekonomi yang Diperoleh Melalui Penerapan


Benih Padi Varietas Unggul Bermutu di Jawa Barat
Production and Economic Potentials Obtained Through the Application
of High-Grade Superior Variety Paddy Seeds in West Java
Dian Firdaus1 dan Ronnie S. Natawidjaja2
1Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
2Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Kata Kunci: Benih padi merupakan komponen utama dalam peningkatan produksi dan
Produksi ekonomi. Ketersediaannya akan sangat diperlukan dalam peningkatan
Padi produksi beras dengan target yang harus tercukupi sesuai kebutuhan
Beras konsumsi penduduk yang terus berkembang. Dalam Era Revolusi Industri 4.0
Ekonomi ketersediaan benih padi varietas unggul yang bermutu seharusnya dapat
dipastikan akan lebih mudah dijangkau banyak petani. Dengan ketersediaan
yang cukup dan diterima petani secara baik, benih padi tersebut akan
berfungsi meningkatkan produksi dan ekonomi padi dan beras. Permasalahan
utama saat ini adalah benih padi verietas unggul bermutu yang dihasilkan dari
industri perbenihan sektor formal hanya sebagian yang diterima petani dan
sebagian lagi pemenuhannya dari industri perbenihan sektor informal.
Permasalahan ini apabila dibiarkan berlarut akan mengabaikan potensi
produksi dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
seberapa besar potensi produksi dan ekonomi yang diperoleh melalui
penerapan benih padi varietas unggul bermutu dan menyusun suatu strategi
peningkatan produksi dan ekonomi padi dan beras. Penelitian menggunakan
data sekunder berseri waktu dan referensi yang relevan yang kemudian
diolah dan dianalisis secara deskriptif eksploratif.
ABSTRACT

Keywords: Its availability will be greatly needed in increasing rice production with a
Production target that must be fulfilled according to the population's growing
Paddy consumption needs. In the Industrial Revolution Era 4.0, the availability of
Rice high quality superior varieties of paddy seeds should certainly be more
Economic accessible to many farmers. With sufficient availability and well received by
farmers, the paddy seeds will function to increase the production and
economy of paddy and rice. The main problem at this time is superior quality
paddy seed varieties produced from the formal sector seed industry only
partially received by farmers and partly fulfillment from the informal sector
seed industry. This problem if left unchecked will ignore the potential for
production and the economy. This study aims to provide an idea of how much
production and economic potential is obtained through the application of high
quality superior varieties of paddy seeds and develop a strategy to increase
production and economic paddy and rice. The study uses secondary time
series data and relevant references which are then processed and analyzed
descriptively exploratory.

Email Korespondensi: d.firda7864@gmail.com

281
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Benih merupakan faktor penting awal kehidupan dari tanaman yang bersangkutan. Sifat
genetis, sifat fisik, dan sifat fisiologis tanaman ditentukan oleh sifat benihnya. Benih adalah input
utama dalam pertanian dan kualitas benih adalah salah satu penentu pertumbuhan output (Vashishta,
2013). Dalam konteks agronomi, benih harus mampu menghasilkan tanaman yang berproduksi
maksimum dengan sarana teknologi yang maju, karenanya benih dituntut agar memiliki mutu yang
tinggi (bermutu baik dan benar) berkemampuan memperlihatkan persentase perkecambahan yang
tinggi, persentase biji rumputrumputan yang rendah, kekuatan tumbuh yang tinggi, bebas dari hama
dan penyakit serta kontaminan-kontaminan lainnya. Kualitas benih sangat menentukan keberhasilan
suatu usahatani, sehingga apabila kemampuan tumbuhnya rendah, jumlah populasi per satuan luas
akan berkurang (Khoerul, 2013). Penggunaan benih bermutu dapat mengurangi risiko kegagalan
budidaya (Wirawan dan Wahyuni, 2002).
Benih padi merupakan komponen utama dalam peningkatan produksi dan ekonomi.
Ketersediaannya akan sangat diperlukan dalam peningkatan produksi beras dengan target yang
harus tercukupi sesuai kebutuhan konsumsi penduduk yang terus berkembang. Dalam Era
Revolusi Industri 4.0 ketersediaan benih padi varietas unggul bermutu seharusnya dapat
dipastikan akan lebih mudah dijangkau banyak petani. Dengan ketersediaan yang cukup dan
diterima petani secara baik, benih padi tersebut akan berfungsi meningkatkan produksi dan
ekonomi padi dan beras. Permasalahan utama saat ini adalah benih padi verietas unggul bermutu
yang dihasilkan dari industri perbenihan sektor formal hanya sebagian yang diterima petani dan
sebagian lagi pemenuhannya dari industri perbenihan sektor informal. Permasalahan ini apabila
dibiarkan berlarut akan mengabaikan potensi produksi dan ekonomi.
Jawa Barat Barat memiliki lahan sawah rata-rata seluas 1.010.938 hektar, terdiri atas lahan
sawah irigasi seluas 827.134 hektar (81,82%) dan lahan sawah non irigasi seluas 183.804 hektar
(18.18%). Produksi padi kebanyakan dihasilkan dari lahan sawah irigasi. Produksi padi Jawa
Barat rata-rata sebesar 11,419,829 ton per tahun dan dari produksi padi tersebut dihasilkan beras
sebanyak 7,307,397 ton per tahun. Dengan potensi tersebut dapat diperkirakan seberapa besar
sumbangan ekonomi padi dan beras untuk ekonomi Jawa Barat, tidak hanya dari produksi padi,
namun juga kontribusi produksi dan ekonomi benih padi.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pembangunan pertanian adalah suatu bagian integral daripada pembangunan ekonomi dan
masyarakat secara umum. Secara luas pembangunan pertanian bukan hanya proses atau kegiatan
menambah produksi pertanian melainkan sebuah proses yang menghasilkan perubahan sosial
baik nilai, norma, perilaku, lembaga, sosial dan sebagainya demi mencapai pertumbuhan
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat yang lebih baik. Pertanian
merupakan sektor utama penghasil bahan-bahan makanan dan bahan-bahan industri yang dapat
diolah menjadi bahan sandang, pangan, dan papan yang dapat dikonsumsi maupun
diperdagangkan, maka dari itu pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan
ekonomi (Mosher dalam Hadisapoetro, 1975).
Salah satu tujuan dari pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi pertanian, untuk
itu dibutuhkan pasaran dengan harga yang cukup tinggi untuk memasarkan hasil produksi tersebut
guna mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan petani dalam menjalankan usaha taninya serta
meningkatkan pendapatan petani. Menurut Mosher (1966) pertanian sebagai sejenis proses produksi
yang khas yang didasarkan proses pertumbuhan tanaman dan hewan yang dilakukan oleh petani
dalam suatu usahatani sebagai suatu perusahaan. Dengan demikian unsur pertanian terdiri dari
proses produksi, petani, usahatani, dan usahatani sebagai perusahaan.
Produksi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menciptakan atau menambah nilai
atau manfaat baru (Partadiradja, 1979). Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan
untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih

282
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Produksi padi merupakan salah satu hasil bercocok
tanam yang dilakukan dengan penanaman benih padi dan perawatan serta pemupukan secara
teratur sehingga menghasilkan padi yang kemudian diproses menjadi beras sebagai bahan
pangan utama. Dari uraian tersebut dapat digambarkan Kerangka Konsep Penelitian ini seperti
pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Kerangka Konsep Produksi Padi dan Beras.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Jawa Barat, bertujuan: 1) memberikan gambaran seberapa besar
potensi produksi dan ekonomi yang diperoleh melalui penerapan benih padi varietas unggul
bermutu dan 2) menyusun proyeksi peningkatan produksi dan ekonomi padi dan beras. Penelitian
menggunakan data sekunder berseri waktu selama sepuluh tahun, meliputi data: 1) Lahan
Sawah, 2) Produksi dan Produktivitas Padi, 3) Jumlah Penduduk, 4) Konsumsi Beras, 5) Luas
Lahan dan Produksi Benih Padi, 6) Harga GKG di tingkat Petani dan Penggilingan, 7) Harga
Beras di Tingkat Konsumen, dan 8) Harga Benih Padi. Untuk mendalami penelitian digunakan
referensi yang relevan yaitu: a) Konsep pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi, dan
b) Teori Produksi. Data yang terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif
eksploratif yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan suatu fenomena atau
menggambarkan apa adanya suatu variable, gejala atau keadaan dan kemudian digunakan
sebagai bahan untuk merumuskan strategi peningkatan potensi produksi padi dan beras melalui
penerapan benih padi varietas unggul.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produksi Padi Sawah
Produksi padi Jawa Barat Rata-rata sebesar 11,419,829 ton per tahun dan dari produksi
padi tersebut dihasilkan beras sebanyak 7,307,397 ton per tahun. Dengan jumlah penduduk Jawa
Barat rata-rata sebanyak 44,987,310 jiwa, dengan konsumsi beras sebesar 114.6 kg per kapita
per tahun maka konsumsi beras penduduk Jawa Barat sebesar 5,155,546 ton per tahun. Dengan
demikian produksi beras Jawa Barat surplus rata-rata sebesar 2,151,851 ton per tahun. Sebagian
besar produksi tersebut dihasilkan dari 15 Kabupaten/Kota basis produksi padi sawah dengan
Location Quotient (LQ) > 1, yaitu: 1) Kabupaten Bekasi, 2) Kabupaten Karawang, 3) Kabupaten
Subang, 4) Kabupaten Indramayu, 5) Kabupaten Cirebon, 6) Kabupaten Ciamis, 7) Kabupaten
Pangandaran, 8) Kabupaten Cianjur, 9) Kota Cirebon, 10) Kota Banjar, 11) Kota Bekasi, 12)

283
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kota Bekasi, 13) Kota Tasikmalaya, 14) Kota Sukabumi, dan 15) Kota Bandung (Bappeda
Provinsi Jawa Barat, 2017).
Tabel 1. Luas Lahan Sawah, Produksi Padi dan Beras, Jumlah Penduduk, Konsumsi Beras dan Surplus
Beras Jawa Barat, 2008-2017.
Lahan Sawah (ha) Produksi Konsumsi
Penduduk Surplus
Tahun Irigasi Non Irigasi Jumlah GKG Beras Beras.(ton)
(Jiwa) (ton)
(ha) (ha) (ha) (ton) (ton) *) **)
2008 944.888 183.756 1.128.644 10.113.538 6.345.234 42.194.869 4.835.532
1.509.702
2009 949.914 185.519 1.135.433 11.322.682 7.258.971 42.693.951 4.892.727
2.366.245
2010 942.411 185.519 1.127.930 11.737.069 7.524.635 43.021.826 4.930.301
2.594.334
2011 942.974 182.040 1.125.014 11.633.890 7.458.487 43.826.775 5.022.548
2.435.938
2012 756.757 181.301 938.058 11.271.861 7.226.390 44.548.431 5.105.250
2.121.140
2013 751.428 187.925 939.353 12.083.162 7.746.515 45.430.799 5.206.370
2.540.146
2014 749.033 187.496 936.529 11.644.899 7.465.545 46.029.668 5.275.000
2.190.545
2015 749.033 187.496 936.529 11.644.899 7.465.545 46.709.569 5.352.917
2.112.628
2016 748.267 180.827 929.094 11.373.144 7.291.323 47.379.389 5.429.678
1.861.645
2017 736.635 176.159 912.794 11.373.144 7.291.323 48.037.827 5.505.135
1.786.188
Rata-
827.134 183.804 1.010.938 11.419.829 7.307.397 44.987.310 5.155.546 2.151.851
rata
Sumber: BPS, 2008-2018 ; *) Angka konversi GKP ke Beras Tahun 2005-2007 = 62,74%; **) Konsumsi Beras =
114,6 kg/kapita/tahun; GKG = Gabah Kering Giling

Luas Lahan Produksi Benih


Luas lahan produksi benih padi kelas Benih Dasar (BD) rata-rata sebesar 411,60 hektar,
kelas Benih Pokok (BP) sebesar 5.487,63 hektar, dan kelas Benih Sebar (BR) sebesar 12.568,54
hektar. Luas lahan produksi benih padi cenderung fluktuatif hal ini disebabkan karena
permintaan produksi benih padi sangat ditentukan oleh: 1) seberapa besar pesanan
konsumen/distributor dan kebutuhan benih padi untuk pemenuhan program pemerintah, 2)
serapan penggunaan benih padi baru bersertifikat pada setiap musim tanam masih rendah. Bila
perbedaan harga gabah dan harga benih terlampau besar, dan petani belum memperoleh bukti
yang meyakinkan tentang keunggulan mutu benih suatu varietas, maka petani akan sangat hati-
hati untuk membeli benih tersebut (Nugraha dan Sayaka, 2009). Pola permintaan benih padi
tersebut mengakibatkan kinerja produksi benih padi sektor formal di Jawa Barat selama periode
2008-2017 cenderung tidak stabil, pada waktu tertentu mengalami peningkatan dan pada waktu
tertentu lainnya mengalami penurunan.

Tabel 2. Luas Lahan dan Produksi Benih Padi di Jawa Barat, 2008-2017.
BD BP BR
Tahun
Luas (ha) Produksi(ton) Luas (ha) Produksi(ton) Luas (ha) Produksi(ton)
2008 174,49 492,39 3.367,09 4.903,76 15.684,94 37.431,77
2009 210,69 653,39 2.035,54 2.963,34 14.171,57 39.596,94
2010 307,11 520,45 3.701,02 4.818,60 16.762,46 39.762,46
2011 233,94 1.015,60 2.906,12 6.596,49 15.141,98 46.489,54
2012 445,49 1.110,05 4.098,81 8.313,97 19.221,02 48.219,77
2013 437,88 657,61 6.845,51 12.046,06 14.928,13 20.534,44
2014 276,77 812,76 6.810,31 15.140,19 6.099,34 7.841,33
2015 332,35 1.173,69 7.473,65 17.894,47 6.776,17 11.876,31
2016 564,00 1.735,66 10.864,30 27.170,50 10.778,03 21.782,10
2017 396,00 1.332,15 6.773,93 16.100,81 6.121,80 13.623,70
Rata-rata 411,60 950,91 5.487,63 11,595,67 12.568,54 28.737,58
Sumber: BPSBTPH Jawa Barat, 2009-2018 (diolah)
Dalam periode tahun 2008-2017, rata-rata produksi benih padi Jawa Barat, yaitu: sebesar
950.91 ton BD, 11,595.67 ton BP 28,737.58 ton BR. Tabel 2 menunjukkan produksi benih padi

284
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pada tahun 2016, merupakan produksi benih padi terbesar dari dibanding produksi benih padi
pada tahun-tahun sebelumnya dan produksi benih padi pada tahun 2017.
Nilai Ekonomi Padi dan Beras
Nilai Ekonomi Padi
Berdasarkan jumlah produksi dan harga-harga yang berlaku, secara keseluruhan nilai
ekonomi padi setiap tahunnya terus meningkat, walaupun produksi padi di Jawa Barat cenderung
stagnan yaitu rata-rata sebesar 11.419.829 ton. Kenaikan nilai ekonomi tersebut disebabkan
karena terjadi kenaikan harga GKG setiap tahun dengan rata-rata pertumbuhan harga di tingkat
petani sebesar 6,88 persen dan di tingkat penggilingan sebesar 6,89 persen. Dengan pertumbuhan
harga GKG tersebut maka nilai ekonomi padi rata-rata sebesar Rp. 49,762 Milyar di tingkat
petani dan Rp. 50,697 Milyar di tingkat penggilingan. Dari uraian tersebut menggambarkan
terdapat margin harga di tingkat petani dan penggilingan sebesar 0,01 persen.

Tabel 3. Produksi, Harga, dan Nilai Ekonomi GKG di Jawa Barat, 2008-2017.
Harga GKG di Petani1 Nilai GKG
Produksi
Tahun Petani Pertum- Penggilingan Pertum- Petani (Rp Penggilingan
GKG (ton)
(Rp/Kg) buhan (%) (Rp/Kg) buhan (%) juta) (Rp juta)
2008 10.113.538 2.812 2.869 28.439,27 29.015,74
2009 11.322.682 2.987 5,86 3.049 5,90 33.820,85 34.522,86
2010 11.737.069 3.548 15,81 3.614 15,63 41.643,12 42.417,77
2011 11.633.890 4.046 12,31 4.118 12,24 47.070,72 47.908,36
2012 11.271.861 4.463 9,34 4.542 9,34 50.306,32 51.196,79
2013 12.083.162 4.593 2,83 4.672 2,78 55.497,96 56.452,53
2014 11.644.899 4.767 3,65 4.847 3,61 55.511,23 56.442,83
2015 11.644.899 5.303 10,11 5.402 10,27 61.752,90 62.905,74
2016 11.373.144 5.455 2,79 5.562 2,88 62.040,50 63.257,43
2017 11.373.144 5.411 (0,81) 5.527 (0,63) 61.540,08 62.859,37
Rata-rata 11.419.829 4.339 6,88 4.420 6,89 49.762, 30 50.697,94
1Sumber: Kementerian Pertanian 2016 dan 2018 (diolah)

Nilai Ekonomi Beras


Nilai ekonomi beras (Tabel 4) secara keseluruhan mengalami peningkatan rata-rata sebesar
6,04 persen, hanya pada tahun 2012 dan 2016 mengalami penurunan. Penurunan pada tahun
2012 dan 2016 tersebut disebabkan harga beras di tingkat konsumen mengalami penurunan
sebesar 1,99 pesen dan 2,25 persen. Dari rata-rata produksi beras sebesar 7.307.397 ton diperoleh
nilai ekonomi beras di tingkat konsumen sebesar Rp. 57,34 Milyar.

Tabel 4. Produksi, Harga, dan Nilai Ekonomi Beras Tingkat Konsumen di Jawa Barat, 2008-2017.
Produksi Beras Harga Beras1
Tahun Nilai (Rp juta)
(ton) (Rp/Kg) Pertumbuhan (%)
2008 6.345.234 5.288 33.553,60
2009 7.258.971 5.705 7,31 41.412,43
2010 7.524.635 6.755 15,54 50.828,91
2011 7.458.487 7.890 14,39 58.847,46
2012 7.226.390 7.736 (1,99) 55.903,35
2013 7.746.515 8.195 5,60 63.482,69
2014 7.465.545 8.345 1,80 62.300,94
2015 7.465.545 9.466 11,84 70.666,31
2016 7.291.323 9.258 (2,25) 67.501,76
2017 7.291.323 9.455 2,08 68.938,73
Rata-rata 7.307.397 7.809,30 6,04 57.343,62
1Sumber: BPS 2016 dan 2018 (diolah)

285
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Nilai Ekonomi Benih


Selain padi dan beras dalam raitai industri padi dihasilkan juga benih padi. Penangkaran
dan perbanyakan benih padi di Jawa Barat diselenggarakan di 18 Kabupaten/Kota oleh sebanyak
199 penangkar/produsen dengan potensi lahan penangkaran sebesar 13,870 hektar per tahun dan
potensi calon benih padi sebesar 56,232 ton per tahun. Penangkar/produsen benih padi tersebut
terdiri atas: 1) Perorangan, 2) Badan Usaha, 3) Unit Pengelolaan Benih Sumber (UPBS) pada
Balai Penelitian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, dan 4) UPTD Balai Benih Padi milik
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penangkar dan produsen benih padi menghasilkan
benih padi kelas BD, BP, dan BR yang masing-masing memiliki nilai ekonomi sesuai dengan
besaran produk yang dihasilkan.
Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai ekonomi benih padi sebesar Rp. 15,98 Milyar (kelas
BD), Rp. 144,91 Milyar (kelas BP) dan Rp. 102,18 Milyar (kelas BR). Nilai tersebut diperoleh
dari perkalian harga benih padi yang ditetapkan Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2016. Periode tahun 2008-2011 harga benih kelas BD Rp. 6.000 per Kg, kelas
BP Rp. 3.000 per Kg, dan Kelas BR Rp. 1.500 per Kg. Pada periode tahun 2012-2016 harga
benih kelas BD Rp. 9.000 per Kg, kelas BP Rp. 6.000 per Kg, dan Kelas BR Rp. 4.500 per Kg.
Pada tahun 2017 harga benih kembali mengalami perubahan menjadi kelas BD Rp. 12.000 per
Kg, kelas BP Rp. 9.000 per Kg, dan Kelas BR Rp. 7.500 per Kg.

Tabel 5. Produksi dan Nilai Ekonomi Benih Padi Jawa Barat, 2008-2017.
Produksi1 Nilai
Tahun
BD (ton) BP (ton) BR (ton) BD (Rp juta) BP (Rp juta) BR (Rp juta)
2008 492,39 4.903,76 37.431,77 2.954 14.711 56.148
2009 653,39 2.963,34 39.596,94 3.920 8.890 59.395
2010 520,45 4.818,60 39.762,46 3.123 14.456 59.644
2011 1.015,60 6.596,49 46.489,54 6.094 19.789 69.734
2012 1.110,05 8.313,97 48.219,77 9.990 49.884 192.879
2013 657,61 12.046,06 20.534,44 5.918 72.276 82.138
2014 812,76 15.140,19 7.841,33 7.315 90.841 31.365
2015 1.173,69 17.894,47 11.876,31 10.563 107.367 47.505
2016 1.735,66 27.170,50 21.782,10 15.621 163.023 87.128
2017 1.332,15 16.100,81 13.623,70 15.986 144.907 102.178
1Sumber: BPSBTPH Jawa Barat, 2009-2018 (diolah)

Perbandingan Tabel 4 dan Tabel 5 menggambarkan bahwa nilai ekonomi benih padi lebih
besar dibanding dengan nilai ekonomi GKP dan beras, hal ini karena harga satuan benih padi
lebih tinggi dibanding harga satuan GKP dan beras.

Peningkatan Potensi
Peningkatan potensi ekonomi padi dan beras di Jawa Barat seharusnya masih dapat
ditingkatkan. Sebagai wilayah agraris, Jawa Barat memiliki sumber daya benih padi yang
melimpah dan beragam yang dapat disediakan dari alur formal dan lokal/informal. Dari alur
formal benih varietas Ciherang adalah benih yang paling banyak diminati. Oleh karenanya
permintaan terhadap benih varietas Ciherang tertinggi diantara permintaan benih-benih padi
varietas lain. BPSBTPH Provinsi Jawa Barat (2017), melaporkan permintaan konsumen pada
benih varietas Ciherang tersebut mencapai 36,20 persen (kelas BD), 34,10 persen (kelas BP),
dan 41,26% (kelas BR).

286
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 6. Vairetas dan Kelas Benih padi yang Diproduksi di Jawa Barat, 2007.
BD BP BR
Varietas
ton (%) ton (%) ton (%)
Ciherang 482,27 35,49 5.489,97 34,10 5.620,46 40,81
Mekongga 239,49 17,62 3.665,59 22,77 3.516,03 25,53
Inpari 30 106,58 7,84 1.625,25 10,09 1.630,69 11,84
Inpari 32 96,56 7,11 1.404,10 8,72 712,96 5,18
Situ Bagendit 78,37 5,77 946,37 5,88 149,08 1,08
IR 64 26,85 1,98 887,8 5,51 757,8 5,50
Lainnya 328,883 24,20 2.081,72 12,93 1.385,78 10,06
Jumlah 1.359,00 100,00 16.100,80 100,00 13.772,80 100,00
Sumber: BPSBTPH Provinsi Jawa Barat, 2017 (diolah)

Faktor-faktor petani menyukai benih padi varietas Ciherang, yaitu karena: 1) selera petani
(71%), 2) produksi (52%), 3) luas lahan (58%), 4) kesesuaian lahan (78%) (Siata, 2016).
Berdasarkan ranking alasan utama petani memilih varietas Ciherang, adalah: a) hasil gabah
tinggi, b) rasa nasi enak, dan c) bentuk gabah ramping, dan d) harga beras yang tinggi (Wahyuni
et al., 2016). Upaya meningkatkan potensi produktivitas padi melalui penerapan benih padi
varietas unggul di Jawa Barat adalah dengan memaksimalkan potensi hasil dari beberapa
varietas padi yang disukai petani yaitu: Ciherang (5-7 ton/ha), Mekongga (6 ton/ha), Inpari 30
(7,2 ton/ha), Inpari 32 (6,3 ton/ha), Situ Bagendit (6 ton/ha), dan IR 64 (6 ton/ha) (BPTP Jawa
Barat, 2011 dan BB Padi, 2017). Potensi hasil varietas-varietas tersebut apabila dapat
dimaksimalkan maka akan meningkatkan produktivitas padi sawah di Jawa Barat yang saat ini
rata-rata hanya sebesar 60,40 kuintal (ku) per hektar.

Gambar 1. Produktivitas Padi Sawah Jawa Barat, 2008-2017.


Sumber: BPS Jawa Barat, 2009-2018 dan Kemeterian Pertanian 2016 dan 2018

Startegi memaksimalkan potensi produksi dan ekonomi padi dan beras melalui penerapan
benih padi varietas unggul dapat dilakukan jika benih padi yang disukai petani tersebut dapat
disediakan secara tepat, meluas dan berkelanjutan. Jika hal ini dapat dilakukan maka dapat
diproyeksikan seberapa besar nilai ekonomi dari padi dan beras dapat ditingkatkan.

287
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 7 menunjukkan dengan skenario memaksimalkan produksi melalui penerapan benih


varietas unggul Ciherang, Mekongga, Inpari 30, Inpari 32, Situ Bagendit, dan IR 64. Hasil
analisis menunjukkan terjadi peningkatan produksi GKG sebesar 1.901.873 ton dan beras
sebesar 1.037.423 ton. Peningkatan terjadi juga pada nilai ekonomi GKG yaitu sebesar Rp 14,94
Milyar atau sebesar 23,77% dan beras sebesar Rp 15,24 Milyar atau sebesar 18,10%.

Tabel 7. Proyeksi dan Pertumbuhan Nilai Eknomi Padi dan Beras.


Varietas Benih Padi
Uraian Mekongg Situ Total
Ciherang Inpari 30 Inpari 32 IR 64 Lainnya
a Bagendit
A. Kondisi Saat ini
Lahan sawah (ha) 412.548 258.080 119.694 52.332 10.943 55.623 101.718 1.010.938
Potensi hasil (ton/ha) 7,0 6,0 7,2 6,3 6,0 6,0 6,0
GKG di Penggilingan (ton) 4.641.199 2.903.427 1.346.572 588.740 123.106 625.767 1.144.333 11.373.144
Beras di Konsumen (ton) 2.975.473 1.861.387 863.288 377.441 78.923 401.179 733.632 7.291.323
GKG di Penggilingan (Rp juta) 25.651,91 16.047,24 7.442,51 3.253,97 680,40 3.458,62 6.324,73 62.859,37
Beras di Konsumen (Rp juta) 28.132,80 17.599,23 8.162,30 3.568,67 746,21 3.793,11 6.936,42 68.938,73
B. Proyeksi Produksi (IP 2 kali/tahun)
GKG (ton) 5.775.667 3.096.964 1.723.599 659.383 131.312 667.480 1.220.613 13.275.017
Beras (ton) 3.623.654 1.943.035 1.081.386 413.697 82.385 418.777 765.812 8.328.746
GKG di Penggilingan (Rp juta) 33.850,21 18.150,78 10.101,72 3.864,53 769,59 3.911,99 7.153,80 77.802,63
Beras di Konsumen (Rp juta) 36.622,27 19.637,18 10.928,97 4.181,01 832,62 4.232,35 7.739,64 84.174,05
C. Pertumbuhan
Produksi GKG di Penggilingan (ton) 1.134.469 193.537 377.026 70.643 8.206 41.712 76.279 1.901.873
Produksi Beras di Konsumen (ton) 648.181 81.648 218.098 36.256 3.462 17.597 32.180 1.037.423
Nilai Ekonomi GKG di Penggilingan (Rp) 8.198 2.104 2.659 611 89 453 829 14.943
Nilai Ekonomi Beras di Konsumen (Rp) 8.489 2.038 2.767 612 86 439 803 15.235
Persentase GKG di Penggilingan (%) 31,96 13,11 35,73 18,76 13,11 13,11 13,11 23,77
Persentase Beras di Konsumen (%) 23,18 10,38 25,32 14,65 10,38 10,38 10,38 18,10

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Jawa Barat memiliki potensi produksi dan ekonomi yang besar melalui penerapan benih padi
varietas unggul bermutu, seperti: Ciherang, Mekongga, Inpari 30, Inpari 32, Situ Bagendit,
dan IR 64.
2. Penerapan benih padi varietas unggul bermutu dengan memaksimal potensi produksi
Ciherang, Mekongga, Inpari 30, Inpari 32, Situ Bagendit, dan IR 64, memberikan
pertumbuhan positif nilai produksi dan ekonomi.

Saran
Agar potensi produksi dan ekonomi melalui penerapan benih padi varietas unggul bermutu
dapat terwujud maka ketersediaannya harus dipenuhi secara tepat, meluas, dan berkelanjutan
untuk keseluruhan petani. Disamping itu, membangun potensi penyediaan benih padi melalui
alur informal yang berperan dalam penyediaan benih padi unggul lokal. Berjalannya penyediaan
benih padi bermutu melalui alur industri benih padi formal dan informal akan dapat memenuhi
seluruh kebutuhan benih padi bermutu.

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Provinsi Jawa Barat. (2017). Kajian Ekonomi Pertanian tentang Ketahanan Pangan di
Jawa Barat. Laporan Akhir. Bappeda Provinsi Jawa Barat, Bandung.
BB Padi. (2017). Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi 2017. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi, Sukamandi, Subang.
BPS. (2008). Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta
_________. (2009). Statistik Indonesia 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta
_________. (2010). Produksi Tanaman Pangan, 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta

288
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

BPS Jawa Barat. (2009). Jawa Barat Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2010). Jawa Barat Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2011). Jawa Barat Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2012). Jawa Barat Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2013). Jawa Barat Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2014). Jawa Barat Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2015). Jawa Barat Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2016). Jawa Barat Dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2016). Statistik Harga Beras di Penggilingan Provinsi Jawa Barat 2016. Badan Pusat
Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2017). Jawa Barat Dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2018). Jawa Barat Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2018). Statistik Harga Beras di Penggilingan Provinsi Jawa Barat 2018. Badan
Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2018). Statistik Harga Produsen Gabah Provinsi Jawa Barat 2018. Badan Pusat
Statistik Jawa Barat, Bandung.
_________. (2018). Survei Konversi Gabah ke Beras (SKGB) 2018. Badan Pusat Statistik Jawa
Barat, Bandung.
BPSBTPH Provinsi Jawa Barat. (2009). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Benih Tanaman Pangan, Provinsi Jawa Barat Tahun 2009. Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih Tanaman Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
_________. (2010). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2010. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
_________. (2011). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2011. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
_________. (2012). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2012. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
_________. (2013). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
_________. (2014). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2014. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
_________. (2015). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2015. Bandung.
_________. (2016). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2016. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
_________. (2017). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2017. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.

289
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

_________. (2018). Laporan Tahunan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Beni Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat Tahun 2018. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Pangan, Provinsi Jawa Barat, Bandung.
BPTP Jabar, 2011. Deskripsi Varietas Padi, 2011. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa
Barat, Lembang, Bandung.
Hadisapoetro, Soedarsono. (1975). Pembangunan Pertanian. UGM, Yogyakarta.
Kementerian Pertanian, 2016. Statistik Pertanian, 2016. Kementerian Pertanian. Jakarta.
_________. (2018). Statistik Pertanian, 2018. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Khoerul, Amri. (2013). Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Kebun Benih
Padi pada Balai Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Wilayah Semarang. Jurusan
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Partadiredja, Atje. (1979). Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Mutiara, Jakarta.
Mosher, A.T. (1996). Menggerakkan dan Membangun Pertanian. C.V. Yasaguna, Jakarta.
Nugraha, S. Udin dan Bambang Sayaka. (2009). Industri dan Kelembagaan Perbenihan Padi.
Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. (2012) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2012 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku pada Kementerian Pertanian.
Pemerintah Republik Indonesia. (2016). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2016. Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Kementerian Pertanian.
Siata, Ratnawaty. 2016 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Penerapan Benih Padi
Varietas Ciherang di Desa Pudak Kecamatan Kumpeh Ulu. Sosiohumaniora, Volume 18
No. 3 Nopember 2016 : 240 - 247
Vashishta, Pragya. 2013 Economic Analysis of Formal and Informal Seed Supply Chain for Rabi
Sorghum in Marginal Environments of Sat India. Report Submitted to International Crops
Research Institute for the Semi-Arid Tropics Patancheru, 502 324. Andhra Pradesh, India.
Wahyuni, Sri, .A.F.V. Yningsih, dan M.L. Widiastuti. 2015. Teknik Pengelolaan dan Mutu
Benih yang Dihasilkan dari Sektor Perbenihan Informal. Prosiding Temu Teknologi Padi,
2015. Buku-2, ISBN 978-979-540-108-7. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Wirawan, Baran dan Sri Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat. Penebar Swadaya,
Jakarta.

290
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Respons Pertumbuhan Bibit Tebu (Saccharum officinarum L.) Asal


Kultur Jaringan terhadap Beberapa Komposisi Media Tanam pada
Aklimatisasi Tahap Pisah II
Sugarcane (Saccharum officinarum L.) Seedling Origin of Tissue Culture
Growth Responses on Several Media Composition in The 2nd Separation
Stage of Acclimatization
Mahoni Alfius Silitonga1, Mochammad Arief Soleh1, dan Mira Ariyanti1
Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK

Kata Kunci: Aklimatisasi bibit tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan proses
Blotong mengadaptasikan tanaman tebu hasil kultur jaringan dari media kultur
Cocopeat laboratorium ke media tanah pada ruangan terbuka sebelum tanaman mampu
Kultur Jaringan hidup di lapangan. Bibit tebu yang baru diaklimatisasi umumnya masih rentan
Tebu dan membutuhkan media tanam dengan kelembapan yang tinggi, yaitu sekitar
Varietas 65-80% agar tumbuh baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui media
tanam terbaik pada pembibitan tebu kultur jaringan. Penelitian dilakukan di
kebun percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran,
kabupaten Sumedang, Jawa Barat, mulai bulan April hingga Juli 2019
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan kombinasi perlakuan:
media tanam blotong:ampas tebu (2:1), blotong:cocopeat (2:1), blotong:tanah
(2:1), tanah; varietas tebu PSJT941, PS862, dan Bululawang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa media tanam blotong:cocopeat (2:1) dikombinasikan
dengan varietas PS862 dan PSJT941 berpengaruh paling baik terhadap
pertumbuhan bibit tebu kultur jaringan pada parameter tinggi tanaman, diameter
batang, jumlah anakan, jumlah daun, luas daun, indeks klorofil, suhu permukaan
daun, dan volume akar.

ABSTRACT
Keywords: Acclimatization of sugarcane seedling (Saccharum officinarum L.) is the process
Blotong of adapting sugarcane of tissue culture from laboratory culture media to soil in
Cocopeat an open space before the plant was able to live in the field. Newly acclimatized
Tissue Culture Seedling generally are very vulnerable and need the media with high humidity,
Sugarcane which is around 65-80% to grow well at the time of Acclimatization. This
Variety research was aimed to study the best nursery plant media composition to the
growth of sugarcane seedling nursery. This research was conducted at the
experimental field Ciparanje, Faculty of Agriculture , University of Padjadjaran,
Sumedang Regency, West Java, on April to July 2019, using a randomized block
design (RBD) with a combination of treatments: plant media composition
namely plant media blotong:bagasse (2:1), blotong:cocopeat (2:1), blotong:soil
(2:1), soil and sugarcane varieties namely PSJT941, PS862, and Bululawang.
The results of experiment showed that plant media composition
blotong:cocopeat combined with varieties PS862 and PSJT941 produced the best
growth of sugarcane seedling especially its influence well toward the plant heigh,
the increase of stem diameter, number of plant tiller, number of leaf, leaf area,
chlorophyll index, temperature of leaf surface, and volume of root.

Email Korespondensi: mahonisilitonga891@gmail.com

291
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Aklimatisasi bibit tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan proses mengadaptasikan
tanaman tebu hasil kultur jaringan dari media kultur in vitro di laboratorium ke media tanah pada
ruangan terbuka sebelum tanaman tebu mampu hidup di lapangan (Pardal et al., 2005). Tahapan
ini adalah tahapan paling kritis karena tahap ini merupakan peralihan dari keadaan yang
sebelumnya terkendali (in vitro) menuju ke lingkungan terbuka (in vivo) dimana suhu, iklim,
temperatur dan lainnya tidak terkendali lagi (Husni et al., 2004).
IPCC (Intergoverment Panel for Climate Change) melaporkan bahwa pada 10 tahun
terakhir telah terjadi peningkatan suhu bumi, dimana konsentrasi CO2 di atmosfer saat ini sudah
melebihi 400 ppm (IPCC, 2007). Akibatnya, suhu bumi meningkat dan menyebabkan sebaran
curah hujan yang tidak merata ke setiap penjuru dunia serta berpotensi mempengaruhi
pertumbuhan tanaman pada lahan pertanian, khususnya pada pembibitan tanaman tebu. Kondisi
kekeringan dapat menyebabkan pertumbuhan bibit tebu kultur jaringan yang tidak optimal. Hal
tersebut perlu ditanggapi dengan menyediakan media tanam yang baik dalam mempertahankan
kelembapan media tanam. Bibit tebu kultur jaringan yang baru diaklimatisasi umumnya masih
sangat rentan terhadap cekaman lingkungan seperti kekeringan, sehingga membutuhkan media
tanam dengan kelembapan yang tinggi, yaitu sekitar 65-80% agar tumbuh baik pada saat
aklimatisasi (Puslitagro, 2019).
Pada saat ini media tanam bibit tebu yang digunakan adalah blotong dan ampas tebu
(bagasse) yang berasal dari limbah pabrik gula dan sangat berlimpah jumlahnya pada pabrik gula
(Meizal, 2008). Blotong merupakan limbah berupa serat tebu yang bercampur kotoran, dengan
kandungan unsur hara sebesar 32,28% C-organik, 21,44 C/N, 8,03 pH, 1,51% N-total, 5, 63%
P-total, dan 0,26% K-total (Ariyanti et al., 2018). Sementara itu, ampas tebu (bagasse)
merupakan sisa bagian batang tebu dalam proses ekstraksi tebu yang memiliki 46-52% kadar air,
43-52% kadar serat dan 2-6% padatan terlarut (Meizal, 2008). Unsur hara tersebut telah mampu
memperbaiki sifat fisik tanah dan memberikan pertumbuhan yang cukup baik bagi bibit tebu
(Cairani, 2005), namun belum diketahui respons pertumbuhan bibit tebu jika dibandingkan
dengan media tanam lainnya yang juga memiliki potensi baik dijadikan sebagai media tanam
seperti Cocopeat.
Cocopeat merupakan limbah sabut kelapa berupa serat dan serbuk halus. Cocopeat juga
berpotensi sebagai media tanam karena jumlahnya yang sangat melimpah dan memiliki kapasitas
menahan air cukup tinggi, serta mengandung unsur-unsur hara esensial, seperti N, P, K, Ca, Mg
(Muliawan, 2009). Menurut Rockhman et al. (2014), selain faktor eksternal seperti media tanam,
pertumbuhan bibit tebu juga ditentukan oleh faktor internal yaitu genetik klon tanaman tebu,
sehingga akan berbeda-beda kemampuan tiap tanaman tebu dalam pertumbuhan dan
perkembangannya tergantung jenis varietasnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi media tanam dan varietas tebu
asal kultur jaringan yang memberikan hasil pertumbuhan terbaik pada tahap aklimatisasi, agar
dapat dijadikan sebagai informasi bagi peningkatan kualitas pembibitan selanjutnya.

KERANGKA PEMIKIRAN
Media tanam yang baik pada pembibitan tebu harus memiliki kemampuan mengikat air
dan mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman, mampu mengontrol kelebihan air
(drainase) serta memiliki sirkulasi dan ketersediaan udara (aerasi) yang baik, dapat
mempertahankan kelembapan di sekitar akar tanaman (Prayugo, 2007). Akar bisa tumbuh dan
berkembang menembus media tanam dengan mudah pada derajat kemasaman (pH) antara 6-6,5
(Wira, 2000). Menurut Wira (2000) bahan media tanam dapat dibuat dari bahan tunggal ataupun
kombinasi dari beberapa bahan, asalkan tetap berfungsi sebagai media tumbuh yang baik.
Blotong memiliki potensi untuk dijadikan media tanam, karena selain sebagai sumber hara
yang cukup lengkap juga dapat membantu memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Menurut penelitian Brilliyana et al. (2017) penggunaan kompos blotong memberikan hasil yang

292
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

cukup baik pada pertumbuhan bibit tebu dengan hasil analisa kandungan N pada kompos blotong
cukup tinggi yaitu sebesar 2,04% dan dapat memenuhi kebutuhan unsur hara N bagi
pertumbuhan bibit tebu. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yulianingtyas et al. (2015), yang menyatakan bahwa komposisi media tanam blotong, pasir dan
tanah dengan perbandingan 1:1:1 memberikan hasil yang terbaik terhadap pertumbuhan jumlah
ruas tertinggi pada bibit bagal tebu umur 100 hst (hari setelah tanam). Mulyadi (2000)
melaporkan bahwa pemberian blotong nyata meningkatkan tinggi tanaman tebu, diameter
batang, jumlah tanaman/rumpun, dan bobot kering tebu bagian atas berumur 4 bulan yang
ditanam di tanah kandiudox dengan dosis efektif 40 ton/ha. Hasil penelitian Parinduri (2005)
menunjukkan bahwa pemberian dosis 20 ton/ha blotong saja dapat meningkatkan jumlah anakan,
luas daun bobot kering tajuk dan bobot kering tanaman tebu terhadap kontrol pada umur 3,5
bulan berturut-turut 11,02 %, 20,43 %, 8,43 % dan 5,33 %. Menurut Fathir (2007), pemberian
kompos blotong dengan dosis 10 ton/ha dapat membantu meningkatkan efisiensi pemberian air.
Ampas tebu biasa disebut bagasse, merupakan limbah yang dihasilkan dari proses
pemerahan atau ekstraksi batang tebu. Satu kali proses ekstraksi menghasilkan ampas tebu
sekitar 35 – 40 % dari berat tebu. Ampas tebu (bagasse) biasa dimanfaatkan sebagai perenggang
struktur media tanam pada pembibitan tanaman kultur jaringan agar perakaran yang belum kuat
mampu tumbuh dengan baik. Pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan organik dapat berpotensi
untuk menjadi media tanam yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman (Andriyanti, 2011).
Penggunaan ampas tebu juga biasa digunakan pada budidaya jamur tiram, seperti pada penelitian
Pramitha (2013) dan Andini (2013) yang menyatakan bahwa media tanam ampas tebu 25% dapat
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan jamur tiram dan berpengaruh terhadap kualitas fisik serta
kandungan nutrisi jamur tiram. Hal ini juga dinyatakan pada penelitian Rahimah et al. (2015),
bahwa ampas tebu dengan volume 100 g/polybag, yang diberikan pada media tanam dengan
volume media 2 kg, menunjukkan peningkatan pertumbuhan semai Acacia crassicarpa terbaik.
Cocopeat merupakan bahan organik yang berasal dari serbuk kelapa yang memiliki
kapasitas menahan air cukup tinggi. Media tanam cocopeat memiliki pori mikro yang mampu
menghambat gerakan air lebih besar sehingga menyebabkan ketersediaan air lebih tinggi (Istomo
dan Valentino, 2012). Menurut Ramadhan et al., (2018), penggunaan cocopeat 25% dan 50%
yang dikombinasikan dengan tanah pada media tumbuh semai sengon laut merupakan komposisi
yang paling baik dalam penelitiannya karena berpengaruh baik terhadap tinggi, diameter, jumlah
daun, berat kering tajuk, berat kering akar dan nisbah pucuk akar. Redae dan Ambaye (2018)
juga melakukan penelitian mengenai media tanam pada proses aklimatisasi bibit tebu kultur
jaringan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa media cocopeat pada aklimatisasi tebu
varietas C86-165 memberikan persentase kehidupan planlet 98% dibandingkan dengan media
tanam lainnya.
Tanah merupakan media alami yang banyak mengandung unsur hara organik, dapat
menyimpan air, dan tempat hidup mikroorganisme. Menurut Foth (1998), tanah-tanah
permukaan yang banyak mengandung bahan organik dengan tekstur halus, serta mudah
ditemukan. Hal tersebut membuat tanah pada umumnya selalu digunakan pada kombinasi media
tanam tanaman pertanian.
Berdasarkan sifat-sifat baik dari jenis bahan organik diatas, belum diketahui respons
tanaman tebu terhadap kombinasi antar media tanam tersebut. Berbagai media tanam masing-
masing memiliki kandungan hara yang berbeda-beda. Jenis-jenis media tanam antara lain
blotong, ampas tebu, cocopeat, dan tanah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sehingga
perlu diketahui media tanam yang paling berpotensi menghasilkan unsur hara dan daya simpan
air yang optimal bagi bibit tanaman tebu hasil kultur jaringan. Untuk mengatasi kelemahan tanah
sebagai media tanam sebaiknya dilakukan kombinasi media tanam antar media tanam tersebut.
Selanjutnya Supriyanto et al. (2006), mengemukakan media tanam yang baik harus mempunyai
sifat fisik yang baik, lembab, berpori, drainase baik. Penelitian mengenai kombinasi media tanam

293
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pada aklimatisasi bibit tebu hasil kultur jaringan penting dilakukan guna mengetahui media
tanam yang terbaik dan meningkatkan kualitas pertumbuhan dalam pembibitan.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Percobaan
Penelitian akan dilaksanakan di rumah plastik Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran,
Jatinangor pada ketinggian ±760 m diatas permukaan laut (dpl). Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April hingga Juli 2019.

Bahan dan Alat Percobaan


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga varietas bibit tebu kultur jaringan
umur 2 bulan yaitu PSJT941, PS862, Bululawang dari Puslitagro (Pusat Penelitian Agro) PG
Jatitujuh, polybag ukuran 8 cm x 12 cm, tanah Inceptisol, blotong, ampas tebu (bagasse),
cocopeat, pupuk dasar NPK (15:15:15), pupuk silika Antero. Alat yang digunakan dalam
percobaan ini berupa meteran, penggaris, gunting, jangka sorong, soil moisture level, thermal
imaging camera (Flir inc), klorofilmeter, gelas ukur.

Gambar 1. Bibit Tebu Asal Kultur Jaringan Umur 2 Bulan.

Rancangan Percobaan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan
pertama adalah komposisi media tanam yang terdiri dari 4 komposisi yaitu blotong:ampas tebu
dengan perbandingan 2:1, blotong:cocopeat dengan perbandingan 2:1, blotong:tanah dengan
perbandingan 2:1 dan tanah. Perlakuan kedua adalah penanaman tiga varietas tebu asal kultur
jaringan yaitu PSJT941, PS862 dan Bululawang. Jumlah kombinasi perlakuan pada penelitian
ini sebanyak 4 x 3 = 12 perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 2 sampel tanaman sehingga
terdapat 24 tanaman. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga total tanaman tebu yang
digunakan adalah 72 tanaman. Perlakuan adalah sebagai berikut:
A : Media tanam blotong : ampas tebu (2:1) + Tebu varietas PSJT941
B : Media tanam blotong : cocopeat (2:1) + Tebu varietas PSJT941
C : Media tanam blotong : tanah (2:1) + Tebu varietas PSJT941
D : Media tanam tanah + Tebu varietas PSJT941
E : Media tanam blotong : ampas tebu (2:1) + Tebu varietas PS862
F : Media tanam blotong : cocopeat (2:1) + Tebu varietas PS862
G : Media tanam blotong : tanah (2:1) + Tebu varietas PS862
H : Media tanam tanah + Tebu varietas PS862

294
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

I : Media tanam blotong : ampas tebu (2:1) + Tebu varietas Bululawang


J : Media tanam blotong : cocopeat (2:1) + Tebu varietas Bululawang
K : Media tanam blotong : tanah (2:1) + Tebu varietas Bululawang
L : Media tanam tanah + Tebu varietas Bululawang

Rancangan Analisis
Untuk metode analisis yang digunakan yaitu metode Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan rumus sebagai berikut :
Yij = μ + τi + βj + εij
Dimana :
Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = Nilai tengah (median) pengamatan karakter yang diamati
τi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke- j
εij = Pengaruh galat pada percobaan dari perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Berdasarkan rumus tersebut, selanjutnya disusun dalam tabel Analisis of Varians


(ANOVA) yang dianalisis ragam menggunakan uji F pada taraf 5%. Apabila terdapat perbedaan
dalam perlakuan, dilakukan uji lanjut Scott-Knott pada taraf 5%. Analisis keragaman
menggunakan RAK dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Analisis Ragam Rancangan Acak Kelompok


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Kuadrat F Hitung
Ragam Bebas Tengah
Kelompok r-1 JKU=jΣYj2/t-FK KTU=JKK/(r-1) KTU/KTG
Perlakuan t-1 JKP=iΣYi2/r-FK KTP=JKP/(t-1) KTP/KTG
Galat (t-1)(r-1) JKG=JKT-JKU-JKP KTG=JKG/
(r-1)(t-1)
Total rt-1 JKT=ijΣYij2-FK
Sumber : Gomez dan Gomez (1995)
Keterangan :
r = Ulangan
t = Perlakuan
Yi = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i
Yj = Nilai pengamatan pada kelompok ke-j
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, kelompok ke-j
FK = Faktor Koreksi
JKU = Jumlah Kuadrat Ulangan
JKP = Jumlah Kuadrat Perlakuan
JKG = Jumlah Kuadrat Galat
KTU = Kuadrat Tengah Ulangan
KTG = Kuadrat Tengah Galat
KTP = Kuadrat Tengah Perlakuan

Pelaksanaan Percobaan
Persiapan tanam dan perlakuan
Kegiatan persiapan tanam dimulai dengan membersihkan tempat dan meratakan lahan
untuk naungan agar terhindar dari gulma dan organisme pengganggu tanaman serta
mempermudah penataan polybag sesuai perlakuan. Media tanam yang digunakan adalah
blotong, ampas tebu (bagasse), cocopeat dan tanah Inceptisol. Mencampurkan media tanam
tersebut dengan komposisi sesuai dengan perlakuan, diaduk hingga merata, lalu dimasukkan ke
dalam polybag berukuran 8 cm x 12 cm, media tanam disiram hingga lembab dan didiamkan

295
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

terlebih dahulu selama 3 hari sebelum dilakukan penanaman agar komposisi media tanam
menyatu.

Penanaman
Bibit yang telah berumur 2 bulan dipilih yang ukurannya sama kemudian ditanam pada
polybag. Penanaman bibit dilakukan dengan cara memasukkan bibit tebu ke dalam polybag yang
telah berisi media tanam. Penyulaman dilakukan apabila ada bibit tebu yang tidak tumbuh
sehingga nantinya diperoleh populasi tanaman tebu yang optimal. Penyulaman dilakukan 2 dan
4 minggu setelah tanam.

Pemeliharaan
Pemeliharan yang dilakukan yaitu penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma,
pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara mencabut gulma
secara langsung yang ada di sekitar pertanaman bibit tebu setiap 4 minggu sekali. Pada saat
setelah dilakukan pemindahan bibit tebu ke polybag, diberikan pupuk NPK mutiara 15:15:15
dengan dosis 10 g/polybag pada 2 MSP (minggu setelah perlakuan). Penyiraman dilakukan pada
pagi hari pukul 07.00 WIB dimulai sejak awal penanaman. Volume penyiraman disesuaikan
dengan kapasitas lapang media yaitu 120 ml/polybag. Frekuensi penyiraman dilakukan sekali
dalam 2 hari pada awal penanaman, dan setiap hari pada saat tanaman memasuki umur 5 MSP.
Selanjutnya diberikan pupuk silika Antero 10 g/tanaman pada 3 MSP, tujuannya agar
meningkatkan pertumbuhan tanaman, daya sanggah batang, dan meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap serangan hama.

Pengamatan
Pengamatan pada penelitian ini terdiri dari dua pengamatan, yaitu pengamatan utama dan
pengamatan penunjang. Data pengamatan utama dianalisis secara statistik, sedangkan data
pengamatan penunjang tidak dianalisis secara statistik.

Pengamatan Penunjang
a. Data Cuaca (Curah hujan, temperature dan kelembapan udara)
b. Hama dan penyakit
c. Gulma
d. Kelembapan media tanam
e. pH media tanam

Pengamatan Utama
Pengamatan utama penelitian ini mencakup :
1. Tinggi bibit tanaman (cm), diukur setiap dua minggu sekali. Pengukuran dilakukan dari
pangkal batang sampai ujung daun tertinggi. Pengukuran dilakukan pada 2, 4,6,8, dan 10
MSP (Masa Setelah Perlakuan).
2. Diameter batang (mm), pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong pada
ketinggian 2 cm dari pangkal batang bibit tebu. Pengukuran dilakukan setiap dua minggu
sekali pada 2, 4,6,8, dan 10 MSP.
3. Jumlah daun (helai), dihitung seluruh daun yang terbentuk dan telah membuka sempurna.
Penghitungan dilakukan setiap dua minggu sekali pada 2, 4,6,8, dan 10 MSP.
4. Luas daun (cm2), diukur 3 sampel daun yang telah membuka sempurna pada bagian tengah
dan diukur dengan menggunakan software Imagej. Daun diletakkan di atas kertas karton
secara berjejer sebanyak 3 helai bersama dengan mistar. Selanjutnya daun difoto dan hasil
gambar disimpan lalu dianalisa dengan software tersebut. Pengukuran dilakukan pada akhir
penelitian.

296
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

5. Klorofil daun, kandungan klorofil pada daun dihitung dengan menggunakan alat
klorofilmeter. Sampel diambil pada setiap perlakuan, setiap sampel diambil 3 daun yang telah
membuka sempurna pada bagian tengah dan dihitung rata-ratanya. Pengukuran dilakukan
pada umur 0 MSP, 4 MSP, dan 9 MSP, sehingga diketahui perbedaan kandungan klorofil
pada awal, pertengahan, hingga akhir penelitian.
6. Suhu daun (0C), suhu daun dihitung dengan menggunakan thermal imaging camera (Flir inc).
Pengukuran suhu daun dilakukan dua minggu sekali pada saat tanaman berumur 2, 4,6,8, dan
10 MSP. Hasil pengukuran diperoleh dari pengukuran rata-rata suhu 3 helai daun pada bagian
tengah. Suhu daun dihitung sebagai indikator status air tanaman.
7. Panjang akar (cm), pengukuran dilakukan pada akhir penelitian dengan mencabut tanaman
tebu dari polybag kemudian diukur dari pangkal akar sampai ujung akar terpanjang yang
diluruskan dan diukur dengan menggunakan mistar.
8. Volume akar (ml), pengukuran dilakukan pada akhir penelitian dengan cara memasukkan
akar ke dalam gelas ukur yang telah terisi air. Selisih volume air setelah akar dimasukkan
merupakan volume akar dengan satuan ml.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengamatan Penunjang
Data Cuaca
Curah hujan tidak berpengaruh secara langsung terhadap percobaan karena dalam
percobaan ini digunakan naungan dan paranet untuk melindungi bibit dari hujan dan sinar
matahari langsung. Dengan kondisi tanaman yang masih lemah, maka lingkungan aklimatisasi
merupakan hal penting yang harus diperhatikan dengan membuat naungan yang dilapisi paranet
agar terlidungi dari cuaca ekstrim. Pada fase pertumbuhan vegetatif, tanaman tebu membutuhkan
air 3,0—5,0 mm/hari (Tim Penulis PTPN XI, 2010). Penyinaran matahari rata-rata per hari
selama percobaan adalah 87,6%. Kondisi ini sudah cukup baik bagi pertumbuhan tebu di
lapangan karena sinar matahari yang masuk pada areal percobaan berkurang akibat adanya
naungan dan paranet. Tanaman tebu dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dengan
penyinaran matahari 70-80% (Tim Penulis PTPN XI, 2010).
Temperatur rata-rata pada setiap bulan selama percobaan paling tinggi yaitu mencapai
23,20 C dan temperatur terendah 22,3 0 C. Temperatur optimum untuk pertumbuhan vegetatif
tanaman tebu adalah 30 – 33ºC (Kuntohartono dan Thijsse, 2009). Kelembapan nisbi rata-rata
saat percobaan sebesar 97% untuk kelembapan udara maksimal dan 86% kelembapan udara
minimal. Kelembaban nisbi yang dikehendaki untuk tanaman tebu adalah adalah 65-70% (Tim
Penulis PTPN XI, 2010).

Hama yang Menyerang Selama Percobaan


Hama yang menyerang tanaman tebu selama percobaan diantaranya kumbang koksi
(Coccinellidae) dan belalang (Valanga nigricornis). Serangga kumbang koksi sering terlihat pada
daun tebu selama percobaan, namun tidak menyebabkan kerusakan pada daun. Salain itu,
terdapat hama belalang yang menyerang bagian daun tanaman tebu pada masa pertumbuhan awal
3-5 MSP. Gejala serangan hama belalang dapat dilihat dari kerusakan daun (Gambar 2), yang
menyebabkan berkurangnya luas permukaan daun dan mengganggu fungsi fisiologis dari
tanaman tebu. Kerusakan daun ini dapat memperlambat laju pertumbuhan tanaman tebu serta
turunnya kualitas dan produktivitas tanaman tebu. Meskipun demikian Intensitas serangan hama
kumbang koksi dan belalang termasuk ringan. Diduga pengaruhnya terhadap kehilangan daun
tidak terlalu berarti, karena daun yang rusak tidak dimakan habis. Walaupun dalam jumlah yang
rendah, hampir setiap minggu pada pengamatan serangga ini selalu ada. Pengendalian dilakukan
secara manual dengan menngusir langsung hama yang terlihat pada helaian daun. Selain itu,
pemberian pupuk silika pada 3 MSP juga memberikan ketahanan terhadap hama dan penyakit
bagi tanaman.

297
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

A B
Gambar 2. (A) Kumbang Koksi (Coccinellidae), (B) Belalang (Valanga nigricornis)

Selain baik bagi pertumbuhan tanaman, pupuk silika juga baik dalam menurunkan tingkat
serangan hama dan penyakit melalui dua mekanisme yaitu menjadi penghalang mekanik dan
mekanisme fisiologi dalam meningkatkan resistensi terhadap hama dan penyakit (Ashtiani et al.,
2012). Selama penelitian, tidak didapati gejala penyakit tanaman yang menyerang tanaman tebu.

Gulma yang Tumbuh Selama Percobaan


Gulma merupakan salah satu faktor pengganggu bagi pertumbuhan bibit tanaman tebu dan
perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan kompetisi dengan tanaman budidaya (Puspitasari,
2013). Gulma dapat menghambat pertumbuhan tanaman tebu akibat persaingan dalam
mendapatkan unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh, menurunkan kualitas hasil tanaman,
sebagai tanaman inang bagi hama dan penyakit, dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman
pokok yang dikenal sebagai alelopati dan mempersulit pekerjaan di lapangan (Wibowo, 2006)

Gambar 3. Gulma Lemon Balm (Melissa officinalis L.)

Gulma yang tumbuh di sekitar area pertanaman bibit tebu selama percobaan adalah gulma
Lemon Balm (Melissa officinalis L.). Menurut Almubarak dan Srivastava (2015), persaingan
tanaman tebu dengan gulma paling tinggi terjadi pada umur 60-120 hst. Gulma yang tumbuh
pada percobaan tidak terlalu banyak sehingga pengendalian dilakukan secara manual dengan
mencabut langsung gulma yang tumbuh di polybag. Pengendalian gulma dilakukan agar dapat
memberikan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan bibit tebu dan mengurangi kompetisi
dengan gulma sehingga bibit dapat tumbuh dengan baik.

298
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kelembapan Media Tanam


12

10

Nilai kelembapan
8

0
A B C D E F G H I J K L
Perlakuan

2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP 10 MSP

Gambar 4. Diagram Kelembapan Media Tanam.


keterangan : Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam
blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D=
tanah+varietas PSJT941; E= media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam
blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862, G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas
PS862; I= media tanam blotong: ampas tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas
Bululawang; MSP= Masa Setelah Perlakuan

Kelembapan media tanam selama percobaan diamati dengan menggunakan alat Soil
Moisture Meter. Pada alat tertera bahwa angka menunjukkan angka 1-10, dimana angka 1-3
menunjukkan kelembapan rendah/kering, 4-6 lembab dan 7-10 basah. Kelembaban yang baik
untuk pertumbuhan tanaman tebu pada fase vegetatif awal > 70%. Berdasarkan pada Gambar 4
diatas menunjukkan kelembapan dengan rata-rata tertinggi sebesar 90,06 % pada perlakuan J
(Blotong:Cocopeat (2:1)+varietas Bululawang) dan kelembapan terendah 70,38 % pada
perlakuan L (tanah+varietas Bululawang). Penggunaan media tanam dengan komposisi
blotong:cocopeat merupakan kombinasi yang ideal karena memiliki karakteristik kelembapan
dan aerasi yang sangat baik. Media tanam dengan volume blotong yang lebih besar mampu
mengikat air dalam jumlah besar (Budi, 2016). Sama dengan blotong, cocopeat sebagai media
tanam juga memiliki kelebihan dalam menyimpan air. Media tanam cocopeat memiliki pori
mikro yang mampu menghambat gerakan air lebih besar sehingga menyebabkan kelembapan
yang tinggi bagi media tanam (Valentino, 2012). Kelembapan tinggi sangat dibutuhkan tanaman
tebu pada fase awal pertumbuhan vegetatif. Pada fase tersebut kelembapan media tanam akan
sangat berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara dan pertumbuhan awal yaitu pada tinggi
tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan.

pH Media Tanam
pH (potential of hidrogen) tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kelarutan unsur hara dalam tanah. Menurut Soemarno (2003), ketersediaan unsur hara makro
dan mikro dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada tanah agak masam hingga agak
alkalis, ketersediaan unsur makro dan Mo meningkat (kecuali P), sedangkan hara P, Fe, Mn, Zn
Cu, and Co menjadi tidak tersedia sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

299
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

7.05
7
6.95
6.9
pH 6.85
6.8
6.75
6.7
A B C D E F G H I J K L
2 MSP 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9
4MSP 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9 6.9
6 MSP 6.9 6.9 7 6.8 6.9 6.9 7 6.8 6.9 6.9 7 6.8
8 MSP 6.9 6.9 6.9 6.8 6.9 6.9 6.9 6.8 6.9 6.9 6.9 6.8
10 MSP 6.9 6.9 6.9 6.8 6.9 6.9 6.9 6.8 6.9 6.9 6.9 6.8

Gambar 5. Diagram pH Media Tanam.


Keterangan : Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam
blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D=
tanah+varietas PSJT941; E= media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam
blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862, G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas
PS862; I= media tanam blotong: ampas tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas
Bululawang; MSP= Masa Setelah Perlakuan

Berdasarkan data pH media tanam pada Gambar 5, nilai rata-rata menunjukkan bahwa
masing-masing media tanam memiliki pH yang normal. Kesesuaian pH tanah pada budidaya
tebu antara 6,0—7,0 dan bila pH >7,5, maka produksi tebu akan terus menurun akibat
kekurangan P (mengendap). Ketersediaan P pada media tanam dipengaruhi oleh pH. Apabila pH
media tanam menuju netral maka logam berat seperti Al akan terkhelat sehingga unsur hara P
tersedia bagi tanaman (Purba, 2017).
Bila dilihat berdasarkan gambar diagram, meskipun pH normal, tren pH media tanam
menunjukkan angka yang semakin menurun di beberapa perlakuan seperti perlakuan D
(tanah+varietas PSJT941) dan H (tanah+varietas PS862). Hal ini disebabkan oleh adanya
pemberian pupuk NPK yang telah mempengaruhi penurunan pH media tanam. Starast et al.
(2003) juga menyatakan bahwa pemupukan menggunakan pupuk majemuk NPK dapat
menurunkan pH tanah karena pupuk ini mengandung sulfur dan ammonium yang akan
terhidrolisis menghasilkan ion H+ yang menyebabkan pH tanah menurun. Pada beberapa media
tanam menunjukkan pH yang konstan, hal ini terjadi karena adanya bahan organik yang mampu
mengimbangi pemupukan NPK seperti blotong, cocopeat dan ampas tebu. Menurut Suntoro
(2001), bahan organik yang sudah terdekomposisi lanjut (matang) pada media tanam telah
termineralisasi dan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
Pengamatan Utama
Tinggi Tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman tebu mulai dari 1 MSP. Berdasarkan
uji lanjut Scott-Knott menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam blotong:cocopeat
(2:1) hampir seluruhnya memberikan pengaruh paling baik terhadap tinggi tanaman pada setiap
varietas (Tabel 2). Tinggi tanaman pada kombinasi media tersebut tampak sangat berbeda nyata
dibandingkan kombinasi media tanam lainnya. Hasil terbaik pada 10 MSP adalah perlakuan F
(blotong :cocopeat (2:1)+varietas PS862) dengan tinggi tanaman 146,03 cm, sedangkan hasil
paling rendah, yaitu perlakuan I (blotong:ampas tebu (2:1) + varietas Bululawang) dengan tinggi
125,68 cm.

300
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Pertumbuhan Tinggi Bibit Tebu.
Tinggi Tanaman (cm)
Perlakuan
2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP 10 MSP
A 52.90 c 78.81 b 102.38 b 119.43 a 132.96 a
B 69.88 a 96.83 a 112.06 a 125.80 a 136.85 a
C 71.80 a 89.73 a 110.18 a 123.46 a 136.91 a
D 61.38 b 97.40 a 112.55 a 126.05 a 135.08 a
E 48.50 c 74.21 b 104.10 b 121.71 a 134.30 a
F 74.43 a 96.03 a 119.86 a 136.88 a 146.03 a
G 61.40 b 88.21 a 108.91 a 125.10 a 135.28 a
H 53.86 c 89.28 a 112.83 a 127.95 a 139.80 a
I 49.03 c 65.93 b 94.23 c 114.72 a 125.68 a
J 53.41 c 78.76 b 101.36 b 127.40 a 136.98 a
K 54.23 c 69.88 b 87.05 c 127.40 a 129.08 a
L 57.27 b 81.83 b 107.55 a 127.40 a 135.03 a
Keterangan.: 1). MSP = Minggu Setelah Perlakuan
2).Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji
Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
3).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Pertumbuhan tinggi tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu


lingkungan dan genotip tanaman. Ketersediaan air dan unsur hara merupakan faktor lingkungan
yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman. Menurut Budi (2016) dan Niechi
(2012), Penggunaan komposisi media tanam blotong dengan takaran yang lebih besar dan
cocopeat diteliti dapat mengikat air dalam jumlah yang besar, dan cukup baik dalam menekan
laju penguapan air tanah. Kombinasi media blotong dan cocopeat juga mengandung unsur-unsur
hara yang lebih baik bila dibandingkan dengan kombinasi media lainnya. Media tanam blotong
kaya akan unsur N (Ariyanti et al., 2018) dan didukung media cocopeat yang turut mengandung
unsur-unsur hara esensial, seperti nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), kalsium (Ca), dan
magnesium (Mg) (Muliawan, 2009).
Kombinasi media blotong dan cocopeat yang kaya akan unsur hara N menyebabkan
pertambahan tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan media tanam lainnya. Menurut
Kiswondo (2011), Nitrogen berfungsi dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman
seperti tinggi, pembentukan batang dan daun melalui peningkatan pembelahan dan pemanjangan
sel pada tanaman. Struktur media tanam yang lembab dan didukung oleh cocopeat dengan aerasi
yang baik menjadikan komposisi media tanam ini sangat ideal. Kelembapan dan aerasi yang baik
dari suatu media mempengaruhi pertumbuhan akar dan meningkatkan penyerapan unsur hara.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Subandi et al. (2015) yang menyatakan bahwa aerasi yang
buruk menyebabkan kurangnya oksigen dalam media tanam, dimana oksigen merupakan unsur
esensial dalam proses metabolisme, termasuk transport dan penyerapan unsur hara.
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2, varietas PS862 memberikan hasil tertinggi
terhadap tinggi tanaman. Varietas tanaman merupakan faktor genotip yang turut mempengaruhi
pertumbuhan tanaman, dimana setiap varietas tebu yang berbeda maka akan berbeda pula proses
pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan deskripsi karakteristik, varietas PS862 lebih
toleran pada media tanam kering dan basah, sedangkan varietas PSJT941 dan Bululawang
cenderung tumbuh lebih baik pada lahan tegalan yang kering. Hal ini terbukti pada Tabel 2, yang
menunjukkan bahwa perlakuan F (blotong:cocopeat+varietas PS862) dan H (tanah+varietas
PS862) memberikan hasil yang terbaik pada parameter tinggi tanaman. Menurut Pawirosemadi

301
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

(2011), tipe kemasakan tebu juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tebu.Varietas dengan tipe
masak awal akan menyelesaikan masa pertumbuhan awalnya dalam waktu yang pendek,
sedangkan varietas masak tengah sampai lambat memerlukan waktu yang lebih lama untuk
pertumbuhan awalnya. Varietas PSJT941 dan PS862 termasuk kedalam varietas masak tengah,
sedangkan Bululawang termasuk varietas masak tengah sampai lambat yang terbukti
menunjukkan rata-rata hasil tinggi tanaman terendah pada penelitian ini.

Pertambahan Diameter Batang


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap parameter pertambahan diameter batang
bibit tebu mulai dari 4 MSP. Perlakuan F (blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862) merupakan
perlakuan terbaik dengan nilai pertambahan diameter batang tertinggi pada 10 MSP, yaitu 10.95
mm, sedangkan perlakuan K (blotong:tanah (2:1)+varietas Bululawang) adalah yang paling
rendah dengan nilai 5,39 mm. Menurut data karakteristik varietas, diameter batang tebu varietas
PS862 secara deskripsi memiliki ukuran yang dikategorikan batang besar dibandingkan varietas
PSJT941 dan Bululawang. Ditunjang dengan penggunaan komposisi blotong dan cocopeat
sebagai media tanam dengan karakteristik yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman,
membuat varietas PS862 memiliki potensi dalam pertumbuhan dan pembesaran batang yang
lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pertumbuhan tanaman tebu akan optimal jika
media tumbuh memiliki kondisi tanah gembur, dengan harapan aerasi udara serta perakaran
tanaman mampu berkembang secara optimal atau sempurna (Indrawanto dan Chandra., 2010).

Tabel 3. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Pertambahan Diameter Batang Bibit
Tebu.
Pertambahan Diameter Batang (mm)
Perlakuan
2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP 10 MSP
A 2,00 4.11 b 5.38 b 7.94 a 9.13 a
B 3,10 5.49 a 7.04 a 9.15 a 9.78 a
C 2,63 3.86 b 6.15 a 8.06 a 9.54 a
D 2,05 4.59 b 5.25 b 6.61 b 8.27 a
E 2,20 4.19 b 4.96 b 6.79 b 8.15 a
F 2,95 6.49 a 7.11 a 9.67 a 10.95 a
G 1,55 3.68 b 5.09 b 7.23 b 9.06 a
H 2,22 4.03 b 5.11 b 6.79 b 8.38 a
I 1,44 2.91 b 4.26 b 5.91 b 6.53 b
J 1,90 3.96 b 5.24 b 7.25 b 8.6 a
K 0,97 2.37 b 3.16 b 4.15 c 5.39 b
L 1,54 3.15 b 4.37 b 6.29 b 7.52 b
Keterangan.: 1). MSP = Minggu Setelah Perlakuan
2).Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji
Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
3).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Tanaman tebu sangat memerlukan unsur nitrogen yang digunakan untuk pertumbuhannya.
Peranan nitrogen bagi tanaman tebu adalah untuk pertumbuhan vegetatif yaitu untuk
pertumbuhan tinggi, jumlah daun dan termasuk diameter batang (Gunadi, 2009). Menurut
Ariyanti et al. (2018), kompos blotong memiliki kandungan N sebesar 1,51 %, kandungan P
sebesar 5,63 %, kandungan K sebesar 0,26 % dan kandungan C-organik sebesar 32,28 %.

302
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Ditambah dengan cocopeat dengan kandungan N sebesar 0,37 %, P sebesar 0,44 %, kandungan
K sebesar 0,20 % dan kandungan C-organik 50,65 % (Ramadhan, 2018). Selain menyediakan
unsur hara nitrogen, blotong juga mampu meningkatkan kapasitas menahan air dan menurunkan
laju pencucian hara, sehingga unsur hara tidak mudah hilang (Hardjowigeno, 2002).
Ketersediaan air dalam media tanam berfungsi untuk melarutkan unsur-unsur hara agar dapat
diserap tanaman dengan baik. Dalam hal ini, adanya cocopeat sangat membantu dalam
memperbaiki struktur tanah (porositas, aerasi) dan mendukung difusi oksigen ke akar, yang
sehingga membuat penyerapan hara oleh tanaman melalui akar menjadi optimal. Semakin tinggi
dan optimal penyerapan unsur hara yang terjadi pada perlakuan F
(blotong:cocopeat(2:1)+varietas PS862) telah mempengaruhi peningkatan proses fotosintesis,
sehingga hasil fotosintat yang dihasilkan lebih banyak, lalu ditranslokasikan ke organ tanaman,
termasuk diameter batang sehingga menjadi lebih besar

Jumlah Anakan
Hasil sidik ragam jumlah anakan menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan
varietas tebu berpengaruh nyata mulai dari 5 MSP. Perlakuan F (blotong:cocopeat (2:1)+varietas
PS862) masih menjadi yang terbaik dengan jumlah anakan tertinggi pada 10 MSP, yaitu 3,83,
sedangkan jumlah anakan terendah ada pada perlakuan L (tanah; varietas Bululawang), yaitu 0,66
(Tabel 4). Setiap varietas memiliki kemampuan masing-masing dalam menghasilkan anakan.
Varietas PS862 memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan varietas PSJT941 dan
Bululawang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pawirosemadi (2011), bahwa jumlah anakan tebu
dipengaruhi oleh perbedaan tahap perkembangan dan fisiologi bibit tebu, sehingga terjadi perbedaan
dalam sistem metabolisme pertumbuhan tebu.

Tabel 4. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Jumlah Anakan Bibit Tebu.
Jumlah anakan
Perlakuan
2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP 10 MSP
A 0,33 2,00 3.17 a 3.50 a 3.66 a
B 0,33 3,00 3.50 a 3.83 a 3.66 a
C 0,83 1,33 2.00 b 2.00 b 2.16 b
D 0,00 0,33 0.50 bc 1.17 b 1.16 b
E 0,00 2,33 2.00 a 2.17 a 2.50 a
F 0,00 2,33 3.50 a 3.67 a 3.83 a
G 0,00 0,83 1.67 b 2.83 a 3.16 a
H 0,00 0,33 0.67 b 0.67 b 0.83 b
I 0,00 2,00 2.67 a 2.67 a 3.66 a
J 0,17 2,00 2.33 a 2.33 a 2.51 a
K 0,83 2,00 2.67 a 3.33 a 3.66 a
L 0,00 0,33 0.33 b 0.33 b 0.66 b
Ket.: 1). MSP = Minggu Setelah Perlakuan
2).Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji
Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
3).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Ketersediaan hara yang optimal memberikan kontribusi pada pertumbuhan anakan tebu.
Peningkatan jumlah anakan disebabkan oleh meningkatnya serapan nitrogen selama fase
vegetatif. Menurut Putri (2013) blotong mampu memberikan unsur nitrogen bagi tanaman.
Adanya unsur nitrogen yang banyak di dalam tanaman digunakan oleh daun untuk

303
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

berfotosintesis, sehingga menghasilkan luas daun besar dan memperluas permukaan yang
tersedia untuk fotosintesis. Kombinasi media tanam blotong dan cocopeat yang mampu
menyediakan unsur N yang lebih besar, serta memberikan pertumbuhan perakaran yang baik
bagi tanaman yang membuat proses penyerapan hara dan fotosintesis berlangsung dengan baik.
Fotosintat yang dihasilkan sebagian besar akan disimpan pada batang tanaman tebu dalam
bentuk sukrosa dan sebagian besar menumpuk pada bagian batang tebu yang memicu
pertumbuhan anakan (Nikmah, 2015). Hal ini tidak terjadi pada kombinasi media tanam pada
perlakuan lainnya, yaitu kombinasi media blotong:ampas tebu, blotong:tanah dan media tanah
karena ketersediaan unsur hara yang lebih rendah terutama pada tanah Inceptisol, dimana tanah
tersebut merupakan tanah yang terkenal miskin akan hara (Saribun, 2008) dan penyerapan unsur
hara yang kurang optimal. Ketiga media tanam ini memiliki struktur tanah yang lebih padat
dibandingkan dengan media blotong:cocopeat, hal ini juga mengakibatkan perkembangan akar
tanaman terganggu dan tidak dapat menyerap air dan unsur hara dengan baik sehingga
menghambat pertumbuhan anakan (Suriadikusumah, 2014). Pembentukan anakan akan berhenti
apabila kandungan N dalam daun menurun, laju pembentukan anakan meningkat secara linier
dengan meningkatnya kandungan N yang diserap tanaman (Purwanto, 2009).

Jumlah Daun

Tabel 5. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Jumlah Daun Bibit Tebu.
Jumlah daun (Helai)
Perlakuan
2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP 10 MSP
A 5,50 8,50 15.33 a 19.33 a 21.66 a
B 7,17 12,33 20.50 a 23.00 a 23.50 a
C 7,83 9,50 13.00 a 14.50 b 15.83 b
D 6,50 8,00 8.16 b 11.33 b 11.16 b
E 3,67 6,00 10.50 b 13.33 b 14.83 b
F 5,00 7,83 13.16 a 17.50 a 21.33 a
G 5,17 7,50 10.83 b 13.50 b 15.00 b
H 5,17 7,33 8.00 b 10.00 b 10.50 b
I 4,67 8,00 15.83 a 17.16 a 19.33 a
J 4,50 7,17 13.83 a 20.00 a 23.33 a
K 7,00 9,17 14.33 a 17.83 a 22.66 a
L 5,50 7,17 7.00 b 9.00 b 9.33 b
Keterangan.: 1). MSP = Minggu Setelah Perlakuan
2).Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji
Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
3).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tebu pada 6 MSP – 10 MSP. Perlakuan B
(blotong:cocopeat(2:1)+varietas PSJT941) merupakan perlakuan terbaik dengan jumlah daun
terbanyak yaitu 23,50 helai daun (Tabel 5). Sedangkan perlakuan L (tanah+varietas Bululawang)
adalah yang paling rendah dengan nilai 9,33 helai daun. Amina et al. (2014) berpendapat bahwa
pembentukan daun berhubungan erat dengan parameter tinggi tanaman, karena daun terbentuk
pada buku-buku batang sehingga meningkatnya tinggi tanaman juga diikuti bertambahnya
jumlah daun. Kombinasi media tanam blotong dan cocopeat masih menjadi yang terbaik sama
seperti parameter tinggi, karena selain dipengaruhi oleh ketersediaan air, jumlah daun juga

304
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara N. Akan tetapi varietas PSJT941 adalah yang terbaik
dengan jumlah daun terbanyak, karena termasuk kedalam tipe varietas masak tengah sama
seperti varietas PS862, dan berbeda dengan varietas Bululawang dengan tipe masak tengah
sampai lambat, sehingga pertumbuhan daunnya lebih lambat (Pawirosemadi, 2011).
Media tanam tanah adalah media yang menghasilkan jumlah daun paling sedikit.
Rendahnya jumlah daun yang dihasilkan oleh media tanam tanah diduga karena faktor fisik dari
media tersebut yang kurang baik dalam mengikat air dan unsur hara. Berbeda dengan media
tanam blotong;cocopeat yang mampu mengikat unsur hara lebih baik sehingga menghasilkan
jumlah daun paling banyak yang berbeda nyata dengan media tanam lainnya. Seperti yang
dijelaskan Istomo dan Valentino (2012), bahwa media tanam blotong dan cocopeat pada
dasarnya memiliki kemampuan mengikat dan menyimpan air yang sangat kuat serta memiliki
porositas dan aerasi yang baik sehingga memberikan pertumbuhan yang optimal.
Daun sangat berhubungan dengan aktivitas fotosintesis, karena mengandung kolrofil yang
diperlukan oleh tanaman dalam proses fotosentesis, semakain banyak jumlah daun maka hasil
fotosentesis semakin tinggi, dan mamacu pertumbuhan organ lainnya tumbuh dengan baik
(Ekawati et al.,2006).

Luas Daun Tanaman Tebu

Tabel 6. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Luas Daun Bibit Tebu.
Perlakuan Luas Daun (cm2)
A 92.71 b
B 133.40 a
C 117.73 a
D 105.83 a
E 113.05 a
F 130.76 a
G 110.75 a
H 98.73 b
I 84.85 b
J 123.25 a
K 88.55 b
L 76.65 b
Keterangan.: 1)Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
2).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu berpengaruh nyata terhadap luas daun tebu pada akhir pengamatan. Perlakuan B
(blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941) merupakan perlakuan terbaik dengan nilai luas daun
tertinggi yaitu 133,40 cm2 (Tabel 6). Sedangkan perlakuan L (tanah+varietas Bululawang)
adalah yang paling rendah dengan nilai 76,65 cm2. Perbedaan ukuran helaian daun antar tanaman
tentunya disebabkan oleh perbedaan tingkat pertumbuhan dan perkembangan genotip tanaman
serta perbedaan lingkungan tumbuh (Finkedey, 2005). Penggunaan media tanam dengan
komposisi blotong dan cocopeat memberikan hasil yang paling baik terhadap luas daun, karena
ketersediaan unsur N yang cukup tinggi mampu meningkatkan pertumbuhan daun tanaman yang
banyak dan tumbuh melebar sehingga menghasilkan luas daun yang besar (Brilliyana et al.,
2017).

305
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Daun merupakan organ yang sangat penting peranannya, daun diperlukan untuk
penyerapan dan pengubahan energi cahaya untuk pertumbuhan tebu, sehingga luas daun menjadi
parameter yang sangat berpengaruh. Prasetya (2009) menyatakan bahwa selain tinggi tanaman,
luas daun juga mempengaruhi bobot segar tanaman. Semakin tinggi tanaman dan semakin besar
luas daunnya maka bobot segar tanaman akan semakin tinggi. Luas daun yang besar
memungkinkan penangkapan cahaya dan CO2 menjadi lebih optimal, sehingga mampu
meningkatkan laju fotosintesis.
Apabila terjadi peningkatan laju fotosintesis maka fotosintat yang terbentuk juga semakin
meningkat, kemudian akan ditranslokasikan ke bagian-bagian vegetatif sehingga meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan merangsang pertumbuhan organ-organ baru (Novizan, 2007).

Klorofil Daun
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu berpengaruh nyata terhadap klorofil daun. Kandungan klorofil tertinggi terjadi pada umur
4 MSP, dimana perlakuan F (blotong:cocopeat (2:1)+ varietas PS862) merupakan perlakuan
terbaik dengan kandungan klorofil tertinggi yaitu 47,11 satuan. Sedangkan perlakuan L
(tanah+varietas Bululawang) adalah yang paling rendah dengan nilai 30,76 satuan. Sintesis
klorofil dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti cahaya, karbohidrat, air, temperatur, faktor
genetik, unsur-unsur hara seperti N, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, S dan O (Hendriyani dan Setiari, 2009).
Diantara beberapa faktor tersebut, kombinasi media tanam blotong dan cocopeat mengkehendaki
sifat yang mampu menahan ketersediaan air dan memiliki porositas yang ideal bagi akar,
sehingga penyerapan unsur hara dan respirasi berlangsung dengan sangat baik. Adanya unsur
hara N dan P pada media tanam tersebut yang didukung oleh ketersediaan air meningkatkan
pembentukan klorofil di daun (Li et al., 2006). Unsur hara N dan P merupakan faktor utama yang
dimiliki media tanam tersebut, yang berperan penting dalam proses fisiologi tanaman termasuk
pembentukan klorofil.
Berdasarkan Tabel 7, terjadi penurunan kandungan klorofil pada saat tanaman umur 9
MSP. Hal ini terjadi diduga karena ketersediaan unsur hara di dalam polybag semakin berkurang
akibat pencucian oleh air dan diserap oleh tanaman yang semakin besar. Kekurangan air akan
mempengaruhi kandungan dan kandungan klorofil dalam kloroplas pada jaringan. Apabila N
terbatas maka daun berwarna hijau kekuningan, sebaliknya bila unsur N meningkat maka warna
daun pada tanaman akan berwarna lebih hijau (Winarni, 2000).
Menurut Sarubin (2008), disamping itu penyerapan unsur hara pada media tanam yang
semakin kering dan berstruktur keras, membuat aliran permukaan air tanah menjadi cepat
sehingga mengurangi ketersediaan air dan penyerapan hara terhambat. Hal tersebut berdampak
pada ketersediaan unsur N dan Mg yang semakin berkurang dalam tanaman yang berperan
penting dalam sintesis klorofil (Syafi, 2008). Gen pada varietas tanaman juga turut berpengaruh
terhadap pembentukan klorofil tanaman. Penurunan kandungan klorofil akibat kekeringan
(dinyatakan dalam indeks SPAD) juga dilaporkan (Silva et al., 2010). Besarnya penurunan
tergantung pada karakter suatu genotipe. klon yang paling tidak tahan kering memiliki nilai
SPAD 10,10 satuan. Kelompok klon yang toleran kekeringan memiliki nilai SPAD 35,50–41,73
satuan, dan yang sedang 17,25–26,33 satuan. Berdasarkan pernyataan tersebut didapatkan hasil
bahwa varietas tebu PS862 dan PSJT941 memiliki rata-rata nilai SPAD 35-41 satuan dan toleran
kekeringan

Tabel 7. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Indeks Klorofil Daun Bibit Tebu.
Klorofil Daun (SPAD)
Perlakuan
0 MSP 4 MSP 9 MSP
A 33.61 b 40.90 a 29.73 c
B 39.53 a 44.43 a 36.26 b
C 44.51 a 38.68 a 31.66 c

306
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Klorofil Daun (SPAD)


Perlakuan
0 MSP 4 MSP 9 MSP
D 36.28 b 32.63 b 28.83 d
E 36.28 b 43.46 a 44.15 a
F 43.10 a 47.11 a 45.78 a
G 42.65 a 38.46 a 39.21 b
H 38.38 a 31.41 b 31.40 c
I 31.86 b 34.46 b 24.23 d
J 34.70 b 38.95 a 32.03 c
K 31.98 b 39.23 a 31.96 c
L 33.00 b 30.76 b 21.38 d
Keterangan.: 1). MSP = Minggu Setelah Perlakuan
2).Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
3).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Suhu Permukaan Daun


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan daun pada 4, 6, 8, dan 10 MSP. Suhu
permukaan daun tertinggi terjadi pada perlakuan A (Blotong:ampas tebu (2:1)+PSJT941) pada
umur 4 dan 6 MSP dengan nilai 30,13 dan 29,13, dan perlakuan L (tanah+ Bululawang) pada 8
dan 10 MSP dengan nilai 27,52 dan 25,78.
Tingginya suhu permukaan daun pada kedua media tanam tersebut menunjukkan status air
tanaman yang kurang tersedia pada media tanam sehingga penyediaan air ke sel-sel tanaman
terhambat, diikuti dengan penurunan laju transpirasi dan berpengaruh terhadap suhu dalam
tanaman. Adanya ampas tebu sebagai kombinasi media tanam menjadi penyebab kurangnya
kelembapan pada media tanam. Ampas tebu diteliti mengandung air, gula, serat dan mikroba
sehingga apabila ditumpuk akan mengalami fermentasi dan menghasilkan panas dan dapat
menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh/mati sehingga media tanam lebih kering
dibandingkan media tanam lainnya (Meizal, 2008). Begitu pun media tanah, yang memiliki
porositas dan aerasi buruk yang menyebabkan media cenderung kering dan padat sehingga akar
kesulitan dalam menyerap air dan air pun bergerak relatif cepat melalui lubang-lubang pada
polybag karena tidak terserap (Hanaifah, 2005).
Pada umur 4 dan 6 MSP, perlakuan dengan nilai suhu permukaan daun paling rendah
adalah perlakuan L (tanah+Bululawang) dan D (tanah+PS862) dengan nilai masing-masing
27,50 dan 23,9. Pada umur 8 dan 10 MSP, perlakuan dengan nilai suhu permukaan daun paling
rendah adalah perlakuan C (blotong:tanah(2:1)+PSJT941) dengan nilai masing-masing 22,48
dan 23,75. Hal tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan air pada media tanam. Komposisi media
tanam blotong:tanah (2:1) dan tanah, pada saat tertentu lebih basah dibandingkan media tanam
lainnya. Kondisi ini membuat tanaman tebu dapat menyerap air lebih banyak dan mempengaruhi
suhu permukaan daun menjadi rendah oleh adanya proses transpirasi, namun status air yang
berlebih tersebut, juga terlihat tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan yang baik bagi
tanaman. Struktur media tanam blotong:tanah (2:1) dan tanah tidak memiliki aerasi yang baik
dan sering menyebabkan media tanam pada kondisi jenuh air. Pada kondisi jenuh, seluruh ruang
pori tanah terisi oleh air dan berdampak buruk respirasi akar, aktivitas mikrobia aerobik seperti
bakteri amonifikasi dan nitrifikasi akan terganggu (Subandi et al., 2015), sehingga pada
penelitian ini tampak pertumbuhan daun yang lebih tipis dan berwarna kekuning-kuningan.
Kondisi ini juga menyebabkan proses nitrifikasi menjadi terhambat sehingga ketersediaan unsur

307
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

hara N dalam tanah (dalam bentuk NO3-) berkurang, karena proses perubahan nitrit (NO2-)
menjadi nitrat (NO3-) membutuhkan oksigen (Hanaifah, 2005).

Tabel 8. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Suhu Permukaan Daun Bibit Tebu.
Suhu Permukaan Daun
Perlakuan
2 MSP 4 MSP 6 MSP 8 MSP 10 MSP
A 29,45 30.13 a 29.13 a 23.35 b 24.37 b
B 28,92 29.18 a 28.72 a 22.70 b 24.30 b
C 28,02 28.58 a 27.63 a 22.48 b 23.75 b
D 29,97 28.27 a 23.95 b 27.38 a 25.42 a
E 28,72 28.82 a 27.62 a 22.58 b 23.95 b
F 27,68 28.70 a 27.72 a 23.05 b 24.10 b
G 28,32 28.40 a 27.38 a 22.92 b 24.68 b
H 29,58 27.83 a 23.08 b 26.83 a 25.50 a
I 29,27 28.12 a 27.45 a 24.00 b 25.17 a
J 28,07 28.05 a 27.73 a 22.67 b 24.72 b
K 28,63 28.77 a 27.47 a 22.93 b 24.18 b
L 29,63 27.50 a 23.17 b 27.52 a 25.78 a
Keterangan.: 1). MSP = Minggu Setelah Perlakuan
2).Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji
Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
3).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Berdasarkan Tabel 8, nilai suhu permukaan daun semakin hari menunjukkan hasil yang
semakin menurun. Menurut Munawaroh (2017), hal ini terjadi karena kanopi tanaman yang
semakin luas membuat lingkungan sekitar tanaman ternaungi dan menjaga kelembapan media
tanam bertahan lebih lama. Ketersediaan air berpengaruh terhadap suhu permukaan daun akibat
penguapan air dari proses transpirasi. Suhu permukaan daun memberi pengaruh terhadap suhu
udara dan kelembaban udara sehingga menjadi salah satu faktor yang memberi pengaruh
terhadap iklim mikro.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa gen pada varietas tanaman juga
berpengaruh terhadap suhu permukaan daun karena morfologi daun yang diteliti berbeda-beda
antar varietas. Berdasarkan tabel umur 8 dan 10 MSP, menunjukkan bahwa varietas PS862 pada
perlakuan E, F, G, H memiliki nilai rata-rata suhu permukaan daun paling rendah dibandingkan
PSJT941 dan Bululawang, yaitu 23-24 C. Besarnya pengaruh dari morfologi daun tidak
diketahui pasti karena adanya faktor dari dalam daun yang turut mempengaruhi, seperti faktor
dari dalam berupa jumlah stomata, klorofil, air daun dan faktor dari luar berupa angin (Wilson
et al., 1999).

Panjang Akar
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar tebu pada akhir pengamatan. Hal ini
menunjukkan bahwa semua perlakuan kombinasi media tanam mampu memberikan
pertumbuhan panjang akar yang sama.
Panjang akar tidak mutlak sebagai indikator pertumbuhan yang baik bagi tanaman, karena
panjang akar tidak pasti diikuti banyaknya jumlah akar yang tumbuh melebar. Menurut Benjamin
(2000) sistem perakaran tanaman dipengaruhi oleh kondisi tanah atau media tumbuh tanaman.
Seperti pada perlakuan G (blotong:tanah (2:1)+varietas PS862) yang memiliki akar cenderung

308
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

lebih panjang, yaitu 26,95 cm. Sedangkan perlakuan H (tanah+varietas PS862) adalah nilai
terendah dengan panjang akar 20,75 cm. Rendahnya daya ikat air dan asupan unsur hara pada
media tanah sebagai campuran mengakibatkan perkembangan akar cenderung memanjang
secara vertikal, namun tidak secara horizontal. Kondisi tersebut disebabkan akar berupaya untuk
mendapatkan air dan asupan nutrisi agar dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tanaman (Kurniasih
dan Wulandhany, 2009).

Tabel 9. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Panjang Akar Bibit Tebu.
Perlakuan Panjang Akar (cm)
A 25,53
B 26,87
C 26,92
D 20,75
E 24,65
F 24,25
G 26,95
H 23,15
I 25,00
J 25,47
K 24,57
L 21,17
Keterangan: 1)Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
2).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Kombinasi media tanam blotong dan tanah tidak memiliki porositas dan aerasi yang baik,
sehingga sering terjadi kejenuhan air dan juga kekeringan yang menghambat pertumbuhan akar
yang banyak karena menghalangi oksigen masuk bagi proses respirasi. Seperti yang disampaikan
oleh Priyaandika (2013) bahwa kelebihan air menyebabkan kurangnya aerasi yang akan
berdampak hampir sama dengan kekurangan air terhadap tanaman yang menyebabkan pori tanah
terisi oleh air dan membuat pertumbuhan akar menjadi terbatas, dan tidak dapat menyerap unsur
hara. Hal ini berbeda dengan media tanam lain seperti kombinasi media blotong:cocopeat,
walaupun akar tidak panjang tetapi mampu menghasilkan jumlah akar yang lebih banyak tumbuh
melebar. Pertumbuhan akar yang baik dipengaruhi oleh adanya kombinasi media tanam yang
dapat mendukung aerasi dan kemampuan menyimpan air yang baik, sehingga akan memberikan
pertumbuhan tanaman yang optimal (Yuhasnita, 2007).

Volume Akar
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi media tanam dan varietas
tebu berpengaruh nyata terhadap volume akar tebu pada akhir pengamatan. Perlakuan B
(blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941) merupakan perlakuan terbaik dengan nilai volume
akar tertinggi yaitu 50,83 ml. Sedangkan perlakuan L (tanah+varietas PS862) adalah yang paling
rendah dengan nilai 7 ml. Menurut Song Ai dan Patricia (2013). Meningkatnya jumlah dan
volume akar merupakan respon morfologi yang penting dalam proses adaptasi tanaman terhadap
kekurangan air. Semakin panjang dan banyak jumlah akar mencerminkan bahwa media tanam
yang digunakan gembur sehingga akar dengan mudah memanjang untuk mendapatkan air.
Kombinasi media tanam blotong dan cocopeat mempunyai karakteristik mampu menahan
air, memiliki aerasi dan drainase yang baik sehingga mampu memfasilitasi pertukaran gas yang

309
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

keluar masuk melalui media tanam. Hal ini membuat kombinasi media tanam blotong dan
cocopeat termasuk media yang ideal karena membuat nutrisi yang diberikan menjadi lebih
mudah diserap oleh tanaman dan meningkatkan pertumbuhan akar (Nikmah, 2015).

Tabel 10. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Varietas Terhadap Volume Akar Bibit Tebu.
Perlakuan Volume Akar (ml)
A 24.50 ab
B 50.83 a
C 15.50 b
D 8.33 b
E 19.00 ab
F 35.16 ab
G 17.00 b
H 7.00 b
I 12.83 b
J 20.00 ab
K 9.16 b
L 10.50 b
Keterangan.: 1)Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
2).Perlakuan A= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PSJT941; B= media tanam blotong:cocopeat
(2:1)+varietas PSJT941; C= media tanam blotong: tanah (2:1)+varietas PSJT941; D= tanah+varietas PSJT941; E=
media tanam blotong:ampas tebu (2:1)+varietas PS862, F= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas PS862,
G= media tanam blotong:tanah (2:1)+varietas PS862; H= tanah+varietas PS862; I= media tanam blotong: ampas
tebu (2:1)+varietas Bululawang; J= media tanam blotong:cocopeat (2:1)+varietas Bululawang; K=media tanam
blotong:tanah(2:1)+varietas Bululawang; L= tanah+varietas Bululawang.

Semakin banyak jumlah akar yang ada dengan keadaan kondisi tak jenuh air menyebabkan
penyerapan hara menjadi optimal sehingga proses fisiologis akan berlangsung lebih baik dan
dapat mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan tunas (Nurhayati, 2000).

PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan, yakni :
1. Kombinasi beberapa media tanam dan varietas tebu kultur jaringan memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan tinggi, pertambahan diameter batang, jumlah anakan, jumlah daun,
luas daun, indeks klorofil dan volume akar bibit tebu.
2. Media tanam blotong;cocopeat (2:1) dikombinasikan dengan varietas PSJT941 dan PS862
adalah perlakuan terbaik dengan rata-rata hasil pertumbuhan tertinggi.
Saran
Untuk perbaikan kedepannya, saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut
:
1. Sebaiknya dilakukan analisis kandungan unsur hara terhadap masing-masing media tanam
tersebut agar mengetahui lebih pasti konsentrasi unsur hara yang ada dan tidak hanya melihat
respon pertumbuhan pada tanaman.
2. Penelitian mengenai topik ini perlu dilakukan tidak lama setelah bibit tebu hasil kultur
jaringan di aklimatisasi, sehingga tanaman lebih sensitif dan perbedaan respon pertumbuhan
akan terlihat lebih jelas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. Agr. Moch. Arief Soleh, SP., M.Agr. Sc dan
Dr. Mira Ariyanti, SP., MP. selaku dosen pembimbing saya.

310
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

DAFTAR PUSTAKA
Almubarak, N. F. dan T. K. Srivastava. 2015. Effect of Weed Control Methods on Growth and
Development of Weeds in Sugarcane (Saccharum officinarum L) Fields. International J.
Applied Agricultural Sciences 1(3):49-54
Amina, S., Yusran dan Irmasari. 2014. Pengaruh dua spesies fungi mikoriza arbuskular terhadap
pertumbuhan dan ketahanan semai kemiri (Aleurites moluccana Willd.) pada cekaman
kekeringan. Warta Rimba. 2 (1) : 96-104.
Andriyanti, Wiwien. 2011. Optimasi pembuatan selulosa dari ampas tebu sebagai dasar
pembuatan polimer super absorben. Jurnal vol. 13. Universitas Islam Indonesia.
Yogyakarta.
Andini, I. 2013. Pengaruh komposisi ampas tebu sebagai media pertumbuhan terhadap kualitas
jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 2, No. 1. hlm 2337-
3520.
Ariyanti, M., S. Rosniawaty, H. A. Utami. 2018. Pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) dengan pemberian kompos blotong disertai dengan frekuensi
penyiraman yang berbeda di pembibitan utama. Jurnal Kultivasi. Vol. 17 (3). 723-731
Ashtiani, F.A., J. Kadir, A. Nasehi, S.R.H. Rahaghi, H. Sajili. 2012. Effect of silicon on rice
blast disease. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 35:1-12.
Benjamin, L., 2000. Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo.
Bidang Tanaman PT Perkebunan Nusantara VII (persero). 1997. Vademicum Tanaman Tebu.
PTPN VII. Bandar Lampung.
Brilliyana, Y.M, W. S. D. Yamika, K. P. Wicaksono. 2017. Pengaruh media tanam terhadap
pembibitan bud chip tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) varietas BL. Jurnal
Produksi Tanaman, Vol. 5: 355-462 hlm.
Budi, S. (2016). Teknologi Pembuatan Bibit Tebu (Saccharum officinarum L.) Unggul
Bersertifikat. Malang: UMM Press.
Cairani. 2005. Pengaruh pemberian pupuk organik blotong dan pupuk sulfomag plus terhadap
sifat kimia tanah, pertumbuhan dan produksi tanaman jagung (Zea Mays L.) pada tanah
typic paleudult. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 3 (3) : 73-78
Donaldson, R. A, K. A. Redshaw, R. Rhodes & R. V. Antwerpen. 2008, Season effects on
productivity of some commercial South African sugarcane cultivars I: Biomass and
radiation use efficiency, Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass. 81:517–527.
Ekawati, M, 2006. Pengaruh Media Multipikasi terhadap Pembentukan Akar dan Tunas in Vitro
Nenas (Ananas comosus L Merr) cv. Smooth Cayeene pada Media Penangkaran. Skripsi
Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Finkeldey, R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Penerjemah: Jamhuri, E. I.Z. Siregar, U.J.
Siregar, dan A.W. Kertadikara. Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree
Breeding, Georg-August-UniversityGöttingen.
Fathir, A. 2007. Pengaruh pemberian kompos blotong terhadap efisiensi penggunaan air dan
serapan hara pada tebu lahan kering (Saccharum officinarum L.). Skripsi. Program Studi
Agronomi Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas gajah Mada Press. Yogyakarta.
Gunaidi. 2009. Kalium sulfat dan kalium klorida sebagai sumber pupuk kalium pada tanaman
bawang merah. Jurnal Holtikultura. 19(2):174-185

311
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Hendriyani, I. S dan N. Setiari. 2009. Kandungan klorofil dan pertumbuhan kacang panjang
(Vigna sinensis) pada tingkat penyediaan air yang berbeda. J. Sains & Mat. 17(3): 145-
150.
Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hardjowigeno, S. 2002. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Pratama: Jakarta.p.80-109.
Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan I. Mariska. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai untuk
meningkatkan sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Laporan Tahunan Penelitian
TA 2003. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian, Bogor. 16 hlm.
IPCC. 2007. Climate change 2007: The physical science basis. Summary for policy makers.
Website: http://www.ipcc.ch
Irawan, A. dan Hidayah, H., N. 2014. Kesesuaian Penggunaan Cocopeat Sebagai Media Sapih
pada Politube dalam Pembibitan Cempaka (Magnollia elegans (Blume,) H. Keng). Balai
Penelitian Kehutanan Manado 1(2): 73-76.
Indrawanto, C. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Jakarta: ESKA Media.
Indriani dan Sumiarsih. 1992. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Penebar
Swadaya. Jakarta
Istomo dan Valentino. N. 2012. Pengaruh perlakuan kombinasi media terhadap pertumbuhan
anakan tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser). Jurnal Silvikultur Tropika. 3
(2): 81-84
Kirana, K. 2008. Penentuan dosis pemupukan kompos blotong pada tebu lahan kering
(Saccharum officinarum L.) Varietas PS 862 dan PS 864. Skripsi Faperta IPB
Kiswondo, S. 2011. Ketersediaan nitrogen tanah dan pertumbuhan tanaman bayam (Amaranthus
tricolor L.) yang diperlakukan dengan pemberian pupuk kompos azolla. Embryo 8(1):9-
17.
Kuntohartono, T. dan J. P. Thijsse. 2009. Detil Data Saccharum officinarum Linn.
http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php? docsid=698 [5 Sept.2019]
Kumar, O. A., Tata, S. S., and Rupavati, T. 2010. In vitro induction of calluso genesis in chili
peppers (Capsicum annuum L.). International Journal of Current Research. 3:42-45.
Kurniasih B, Wulandhany F (2009) Penggulungan daun, pertumbuhan tajuk dan akar beberapa
varietas padi gogo pada kondisi cekaman air yang berbeda. Agrivita 31:118-128
Lahay, R. R. 2009. Pemuliaan Tanaman Tebu. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. 19 hlm.
Lay dan A. Bey 1990. Metode Kausal dan Time Series Dalam Analisis Data Iklim. Institut
Pertanian Bogor. 45 halaman.
Leiwakabessy, F. M. dan Sutandi. 1988. Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Li, M. H., E. H. Robinson, 2006. Use of cottonseed meal in aquatic animal diets: a review. North
Am. J. Aquaculture, 68 (1): 14-22
Marlina, N., dan D. Rusnandi, 2007. Teknik Aklimatisasi Planlet Anthorium Pada Beberapa
Media Tanam. Buletin Teknik Pertanian Vol 12(1).
Meizal. 2008. Pengaruh kompos ampas tebu dengan pemberian berbagai kedalaman terhadap
sifat fisik tanah pada lahan tembakau deli. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu. 1 (1) : 83-88.

312
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Muliawan, L. 2009. Pengaruh media semai terhadap pertumbuhan pelita (Eucalyptus pellita F.
Muell). Skripsi IPB. Bogor.104 hlm.
Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan terak baja pada tanah Kandiudoxs Pelaihari
dalam upaya memperbaiki sifat kimia tanah, serapan N, Si, P dan S serta pertumbuhan
tebu. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Munawaroh H. 2017. Suhu permukaan daun dan iklim mikro di Hutan Kota Cijantung. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Novizan. 2007. Petunjuk Pempukan yang Efektif. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Nurhayati. 2000. Pengaruh bahan stek dan rootone-F terhadap pertumbuhan seuseureuhan
(Piper aduncum Linn.) [skripsi]. Bogor:Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Pardal, S.J., G.A. Wattimena, H. Aswidinoor, dan M. Herman. 2005. Transformasi genetik
kedelai dengan gen proteinase inhibitor II menggunakan teknik penembakan partikel.
Jurnal Agro Biogen 1(2). 53−61.
Parinduri, S. 2005. Respon Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap Pemberian
Blotong yang Diperkaya dengan Bakteri Pelarut Fosfat dan Azospirillum. Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pawirosemadi M. 2011. Dasar-dasar Teknologi Budidaya Tebu dan Pengolahan Hasilnya.
Sujanto S, editor. Malang (ID): IKIP Malang
Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. 2013. Teknik Aklimatisasi
Tanaman Kultur Jaringan. Informasi teknis Vol.11 No. 2, 49 – 56
Puspitasari, K., H. T. Sebayang , dan B. Guritno. 2013. Pengaruh aplikasi herbisida ametrin dan
2,4-D. dalam mengendalikan gulma tanaman tebu (Saccharum officinarum L.). J.
Produksi Tanaman 1(2):72-80
Prasetya, B., S. Kurniawan, dan M. Febrianingsih. 2009. (Brassica juncea L.) pada Entisol. Jurnal
Agritek 17 (5) : 1022-1029.
Prayugo, S. 2007. Media Tanam untuk Tanaman Hias. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pramita, E.S. Pemanfaatan ampas tebu sebagai media pertumbuhan alternatif pada budidaya
jamur tiram (Pleurotus ostreatus).). ITS. Surabaya
Priayaandika, Dimas. 2013. Pengaruh komposisi media tanam dan interval pemberian air
terhadap pertumbuhan salada (Lactiva sativa). Skripsi. Malang. Universitas Brawijaya
Pusat Penelitian Agro (Puslitagro) PG Jatitujuh. 2019. Tahapan Perbanyakan Tebu secara In
Vitro. Jatitujuh
Putri, Sudiarso dan T. Islami. 2013. Pengaruh Komposisi Media Tanam Pada Teknik Bud Chip
Tiga Varietas Tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Produksi Tanaman 1(1):16-23.
Rakimah, M. Mardhiansyah, D. Yoza. 2015. Pemanfaatan kompos berbahan baku ampas tebu
(Saccharum sp.) dengan bioaktivator Trichoderma spp. Sebagai media tumbuh semai
Acacia crassicarpa. Jom Faperta Vol. 2 No.1
Ramadhan, D., M. Riniarti, T. Santoso. 2018. Pemanfaatan cocopeat sebagai media tumbuh
sengon laut (Paraserianthes falcataria) dan merbabu darat (Intsia palembanica). Jurnal
Sylva Lestari Vol. 2: 22-311 hlm.

313
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Redae, M. H., T. G. Ambaye. 2018. In vitro propagation of sugarcane (Saccharum officinarum


L.) variety C86-165 through apical meristem. Biocatalysis and Agricultural Biotecnology
14 (2018) 228-234
Riyono, S. H. 2007. Beberapa sifat umum dari klorofil fitoplankton. Pusat Penelitian
Oseanografi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Rokhman, H., Taryono, & Supriyanta.(2014). Jumlah anakan dan rendemen enam klon tebu
(Saccharum officinarum L.) asal bibit bagal, mata ruas tunggal, dan mata tunas tunggal.
Vegetalika, 3(3): 89-96.
Saribun, S. Daud. 2008. Pengaruh pupuk majemuk NPK pada berbagai dosis terhadap pH, P-
potensial dan P-tersedia serta hasil caysin (Brassica juncea) pada Fluventic Eutrudepts
Jatinangor.
Silva, E.N, R. V. Ribeiro, S. L. Ferreira, R.A. Viegas and J.A.G. Silveira. 2010. Comparative
effects of salinity and water stress on photosynthesis, water relations and growth of
Jatropha curcas plants. J. Arid Environ., 74:1130-1137
Soemarno. 2013. Bahan Ajar Matakuliah Dasar Ilmu Tanah: Reaksi Tanah (pH). www.marno.
lecture.ub.ac.id. [diunduhTgl.10 Desember 2013].\
Song Ai, N dan T. Patricia. 2013. Karakter morfologi akar sebagai indikator kekurangan air pada
tanaman. 32 Jurnal Bioslogos, februari 2013, Vol 3 No. 1.
Starast, M., K. Karp, U. Moor, E. Vool, and T. Paal. 2003. Effect Of Fertilization on Soil pH
and Growth of Low Bush Blueberry (Vaccinium angustifolium Ait). Estonian Agricultural
University.
Steenis, V. 2006. Flora. Jakarta: Pradnya Paramita
Supriyanto, Kaka E. Prakasa. 2006. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Rootone-F Terhadap
Pertumbuhan Stek Duabanga mollucana. Blume. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 03 No.
01, Hal. 59-65
Suntoro, Syekhfani, Handayanto, E., dan Sumarno (2001c). Pengaruh pemberian bahan organik
, dolomit dan pupuk K terhadap produksi kacang tanah (Arachis hypogaea) pada Oxic
Dystrundept. Di Jumapolo , Karang anyar , Jawa tengah. Agrivita 23 (1), 57-65.
Syafi, S. 2008. Respons Morfologis dan Fisiologis Bibit Berbagai Genotipe Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) terhadap Cekaman Kekeringan. Tesis. IPB. Bogor
Taufik, Supari, Hendy hendro HS. 2013. Pengkajian Pengelolaan Limbah Padat (Blotong dan
Abu Ketel) Pada Pabrik Kompos Organik (Crusher) Biotan Alam lestari Koperasi
Karyawan Pabrik Gula Trangkil.
Tim Penulis PTPN XI. 2010. Panduan Teknik Budidaya Tebu. PT Perkebunan Nusantara XI.
Surabaya. Hlm 204.
Toharisman, A. 1991. Potensi dan pemanfaatan limbah industri gula sebagai sumber bahan
organik tanah. Berita (4): 6669.
Valentino, N. 2012. Pengaruh Pengaturan Kombinasi Media Terhadap Pertumbuhan Anakan
Cabutan Tumih [Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser]. [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor.
Wibowo, A. 2006. Gulma di Hutan Tanaman dan Upaya Pengendaliannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.Bogor.

314
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Wijayanti, W. A. 2008. Pengelolaan tanaman tebu (Saccharum Officinarum L.) di Pabrik Gula
Tjoekir PTPN X, Jombang, Jawa Timur. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Winarni, Agnes Sri (2000) Pengaruh dosis pemupukan urea (Co(NH2)2) dan posisi daun
terhadap kandungan Klorofil dan kadar protein daun Selada (Lactuca sativa L. Var Grand
rapida). Skripsi, FMIPA Undip.
Wira, N.J. 2000. Pengaruh campuran bahan organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
seledri. Skripsi Faperta Universitas Mataram 149h.
Yuhasnita RM. 2007. Pengaruh jenis media tanam dan dosis pupuk urea terhadap pertumbuhan
bibit salam (Eugenia polyantha Wight) [skripsi]. Bogor: Program Studi Agronomi
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Yulianingtyas, A. P., H. T. Sebayang, S. Y. Tyasmoro. 2015. Pengaruh komposisi media tanam
dan ukuran bibit pada pertumbuhan pembibitan tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal
Produksi Tanaman Vol. 3. No. 5. hlm. 362–369
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agro Media
Pustaka. Jakarta.

315
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

316
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

V
Proteksi Tanaman

317
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

318
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Aplikasi Herbisida Pra-Tumbuh untuk Mengendalikan


Gulma Pada Tanaman Jagung
Baidhawi
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini betujuan untuk membandingkan dan mengevaluasi efektivitas
pra tumbuh metolachlor dan pendimethalin pada tanaman jagung. Percobaan ini
metolachlor dilaksanakan di Desa Luengdaneun Kecamatan Peusangan Siblah Krueng
pendimethalin Kabupaten Bireun, Provinsi Aceh. Percobaan ini menggunakan Rancangan
jagung Acak Kelompok dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Hasil penelitian
menunjukkan aplikasi herbisida herbisida dapat menurunkan kompetisi
antara gulma dengan tanaman jagung dimana bobot kering gulma lebih
rendah 80% dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan tersebut adalah tanpa
aplikasi herbisida, aplikasi herbisida metolachlor dan pendimethalin. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa menunjukkan aplikasi herbisida metolachlor
dan pendimethalin dapat meningkatkan persentase pengendalian gulma dan
menurunkan persentase penutupan gulma. Aplikasi herbisida metolachlor
dan pendimethalin dapat menekan pertumbuhan gulma sehingga memberikan
jumlah biji per tanaman, bobot biji pertanaman serta bobot kering per petak
yang lebih tinggi.

Email Korespondensi: Baidhawi@unimal.ac.id

PENDAHULUAN
Penggunaan herbisida dalam sistem pertanian modern sampai saat ini masih dianggap
efektif dalam pengelolaan gulma sehingga dapat meningkatkan hasil panen dalam peningkatan
ketahanan pangan. Produksi jagung sangat dipengaruhi oleh kehadiran gulma. Kehadiran gulma
pada tanaman jagung akan terjadi proses kompetisi terhadap unsur cahaya, air, unsur hara dan
faktor pembatas lainnya.
Jagung sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis nasional setelah kedelai dan
padi. Kebutuhan jagung di Indonesia setiap tahun selalu meningkat seiring dengan pertambahan
penduduk dan perbaikan pendapatan perkapita. Jagung mempunyai arti penting dalam
pengembangan industri di Indonesia sebagai bahan baku untuk industri pangan maupun industri
pakan ternak, selain itu di beberapa daerah di Indonesia jagung merupakan bahan makanan
pokok kedua setelah beras (Bakhri, 2007).
Pengendalian gulma dengan herbisida sampai saat ini masih dianggap yang terbaik, karena
selain efektif dalam menekan populasi gulma, juga jauh lebih praktis dalam pelaksanaannya.
Disamping itu, pengendalian gulma dengan herbisida mempunyai keunggulan lain yaitu tidak
membutuhkan tenaga kerja yang banyak, waktu yang relatif singkat, dan biaya yang relatif
rendah khususnya pada areal yang luas dibandingkan dengan pengendalian secara mekanis,
karena cara yang terakhir masih merupakan cara yang diandalkan oleh petani
Besarnya penurunan hasil ini menunjukkan betapa pentingnya pengelolaan gulma yang
baik untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Menurut Mulyono et al., (2003), pengelolaan gulma
dimaksudkan untuk menekan atau mengurangi populasi gulma sehingga penurunan hasil secara
ekonomis menjadi tidak berarti. Herbisida yang diaplikasikan ke tanah bertujuan untuk
mengendalikan gulma selama periode kritis dan saat awal pertumbuhan tanaman, yang bertujuan

319
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

untuk meniadakan atau meminimalkan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sampai musim
tanam berikutnya (Muller et al., 1999).
Metolachlor [2 chloro-N-(2-ethyl-6-methylphenyl)-N-(2-methoxy-1-methyl-ethyl)
acetamide] dan pendimethalin [N-(1-etilpropil)-3,4-dimetil-2,6-dinitrobenzen amina]
merupakan herbisida yang sering digunakan untuk mengendalikan gulma di pertanaman jagung
dan jagung (Anderson, 2007; Rao, 2000; Vencill, 2002). Metolachlor efektif mengendalikan
gulma berdaun lebar, teki dan rerumputan semusim, sedangkan pendimethalin selain efektif
untuk mengendalikan gulma rerumputan juga efektif mengendalikan gulma berdaun lebar yang
berbiji kecil (Greatvista, 2005; OMAFRA, 2011; Seybold dan Mersie, 2002;).
Vencill (2002) menambahkan bahwa kedua herbisida tersebut merupakan herbisida yang
diaplikasikan ke tanah sebagai herbisida pratumbuh berdasarkan tempat aplikasinya. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas herbisida metolachlor dan pendimethalin untuk
mengendalikan gulma pada tanaman jagung.

BAHAN DAN METODE


Percobaan dilaksanakan mulai bulan April–Agustus 2019 Desa Luengdaneun Kecamatan
Peusangan Siblah Krueng Kabupaten Bireun terletak pada ketinggian 30 m dari permukaan laut.
Tanah percobaan tergolong dalam ordo Inceptisol, dengan pH 6.1, sedangkan tipe iklim
berdasarkan curah hujan selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir termasuk C (agak basah)
menurut Schmidt dan Ferguson (1951).
Tanah tempat percobaan dianalisis sifat fisika dan kimia untuk diketahui karakteristikanya
secara umum. Sebelum dilaksanakan pengolahan tanah dilakukan inventarisasi gulma di lokasi
percobaan. Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode kuadrat (Tjitrosoedirdjo et
al., 1986). Tanah dibajak dan digaru hingga remah, kemudian dibuat petak dengan ukuran 600
x 200 cm sebanyak 48 petak. Tinggi petak 25 cm, jarak antara petak 30 cm yang berfungsi
sebagai saluran drainase, serta jarak antar ulangan 50 cm.
Penanaman jagung kultivar bisi 9 dilakukan secara tugal sedalam 3 cm, tiap lubang tanam
diisi dua butir benih jagung dengan jarak tanam 75 x 25 cm. Setelah tanaman jagung berumur
10 hari, dilakukan penjarangan dengan meninggalkan 1 (satu) tanaman per lubang tanam.
Pemupukan dilakukan dengan dosis 200 kg ha-1 Urea, 150 kg ha-1 SP 36, dan 50 kg ha-1 KCl
diberikan pada saat tanam. Pemupukan diberikan dengan larikan tanaman sejauh 5 cm pada
kedalaman 3 cm di atas permukaan tanah.
Pemeliharaan meliputi pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan ketika hama dan penyakit menyerang tanaman dan disesuaikan dengan jenis hama dan
penyakit yang menyerang tanaman kedelai dan jagung. Aplikasi herbisida sebagai perlakuan
yang bertujuan mengendalikan gulma dilakukan sesuai perlakuan dan diaplikasikan saat tanam.
Teknik kalibrasi semprotan dilakukan agar keakuratan penyemprotan terjaga. Aplikator yang
digunakan adalah hand pressure sprayer dengan nozzle flat fan 8002 bertekanan 250 kPa dan
volume semprotan yang digunakan adalah 500 L ha-1. Pemanenan jagung dilakukan pada saat
umur tanaman 90 HSA (masak fisiologis) yang dicirikan dengan daun dan kolobotnya telah
mengering serta menguning.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Persentase Pengendalian Gulma
Berdasarkan sidik ragam terlihat aplikasi herbisida berpengaruh terhadap persentase
pengendalian gulma. Aplikasi herbisida metolachlor dan pendimethalin memberikan persentase
pengendalian gulma yang berbeda nyata dibandingkan dengan yang tidak diaplikasi kedua
herbisida tersebut. (Tabel 1). Pada Tabel 1 terlihat bahwa aplikasi herbisida metolachlor dan
pendimethalin dapat menekan pertumbuhan gulma pada tanaman jagung. Hal ini dapat dipahami
bahwa herbisida metolachlor dan pendimethalin merupakan herbisida yang direkomendasikan
untuk mengendalikan gulma rerumputan serta berdaun lebar pada tanaman jagung, jagung dan

320
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

kapas (Vencill et al., 2002).


Tabel 1. Persentase Pengendalian gulma (%) pada 21,42, 56 HSA pada Pertanaman Jagung
yang Diaplikasi Herbisida Metolachlor dan Pendimethalin.
Waktu Pengamatan (HSA)
Herbisida (H) 21 42 56
-------- % --------
Tanpa Herbisida 0,00 a 0,00 a 0,00 a
Metolachlor 82,65 b 78,85 b 65,45 b
Pendimethalin 70,86 b 72,59 b 61,20 b
Keterangan : Angka-angka yang ditandai dengan huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tiap tiga baris
tidak berbeda nyata menurut uji BNT 0.05.
Data ditranformasi dengan x + 0,5 sebelum dianalisis dengan statistika.

Gulma Axonopus compressus yang dijumpai pada lokasi percobaan merupakan gulma
yang baru tumbuh akibat pengolahan tanah sebelum dilakukan penanaman. Gulma Axonopus
compressus tersebut dapat dikatakan masih berumur muda atau baru tumbuh. Gulma yang
berumur muda mempunyai persentase jaringan meristematik yang tinggi sehingga aktivitas
biologinya sangat tinggi. Gulma berumur muda dan memiliki rhizoma sangat aktif menyerap
unsur dari luar termasuk herbisida. Peterson et al. (2010) menjelaskan bahwa herbisida
dinitroanilin dapat mengendalikan beberapa jenis gulma rerumputan setahun dan tahunan. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Alabi et al. (1999) menunjukkan bahwa herbisida metolachlor
dengan dosis ba. 0.7–1.65 kg ha-1 dapat mengendalikan gulma Cleome retuduspermae,
sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mitchell et al. (2004) menunjukkan bahwa,
herbisida pendimethalin dapat menekan atau mengendalikan beberapa jenis gulma berdaun lebar
seperti Rumex obtusifolius, Chenopodium album, dan Convolvulus arvensis.

Persentase Penutupan Gulma


Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa aplikasi herbisida berpengaruh nyata terhadap
persentase penutupan gulma pada 21 dan 42 HSA. Aplikasi herbisida metolachlor dan
pendimethalin memberikan persentase penutupan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
tanpa aplikasi herbisida pada 21 dan 42 HSA (Tabel 2). Rendahnya persentase penutupan gulma
pada perlakuan pemberian herbisida metolachlor dan pendimethalin menggambarkan bahwa
kedua herbisida tersebut telah menekan pertumbuhan gulma. Tertekannya pertumbuhan gulma
akibat aplikasi herbisida metolachlor dan pendimethalin dapat berupa terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan gulma bahkan kematian gulma secara total.

Tabel 2. Persentase Penutupan Gulma Total (%) Pada 21 Dan 42 HSA Pada Pertanaman Jagung dan
Jagung Yang Diaplikasi Herbisida Metolachlor Dan Pendimethalin Serta Berbagai Dosis Kompos.
Waktu Pengamatan (HSA)
Herbisida (H) 21 42
-------- % --------
Tanpa Herbisida 38,88 b 80,50 b
Metolachlor 10,00 a 20,63 a
Pendimethalin 10,00 a 24,13 a
Keterangan : Angka-angka yang ditandai dengan huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak nyata berbeda
menurut uji BNT 0.05.
Data ditranformasi dengan x + 0,5 sebelum dianalisis dengan statistika.

Persentase penutupan yang rendah juga dapat diakibatkan terkendalinya beberapa spesies
gulma yang peka terhadap herbisida metolachlor dan pendimethalin. Spesies-spesies gulma
yang terkendali akibat aplikasi kedua herbisida tersebut memberikan persentase penutupan

321
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

gulma yang rendah bila dibandingkan dengan yang tanpa aplikasi herbisida. Reade dan Cobb
(2010) menjelaskan bahwa herbisida pendimethalin dapat mempengaruhi perkembangan akar
lateral dan nodus. Akar lateral dan nodus yang terpengaruh dapat berupa terhambatnya
pertumbuhan maupun kematian gulma.

Komponen Hasil dan Hasil Tanaman Jagung


Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa aplikasi herbisida berpengaruh terhadap terhadap
jumlah biji dan bobot kering biji per tanaman serta bobot kering per plot Perlakuan tanpa
pemberian herbisida metolachlor dan pendimethalin akan menghasilkan jumlah biji per tanaman
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian herbisida. Rendahnya jumlah biji per
tanaman pada perlakuan tanpa pemberian herbisida, memperlihatkan adanya daya saing yang
tinggi antara gulma dan tanaman jagung. Fenomena ini ditunjang dengan rendahnya persentase
pengendalian gulma dan tingginya persentase penutupan. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat
Zimdahl (2007), bahwa ada hubungan antara rendahnya tingkat pengendalian gulma dengan
hasil jagung. Persaingan yang tinggi antara gulma dengan tanaman jagung dapat mengakibatkan
proses fotosintesis terhambat, lebih sedikit fotosintat yang terbentuk, energi yang terbentuk
(ATP) rendah, serta translokasi fotosintat ke dalam polong menurun sehingga akan menurunkan
jumlah biji pertanaman.

Tabel 4. Komponen Hasil dan Hasil tanaman jagung yang diaplikasi herbisida metolachlor dan
pendimethalin serta berbagai dosis kompos
Jumlah Bobot Kering
Perlakuan Bobot Kering/plot (g)
Biji/tanaman Biji/tanaman
Tanpa Herbisida 28,80 a 5,64 a 80,68 a
Metolachlor 125,10 b 21,67 b 238,41 b
Pendimethalin 113,77 b 20,22 c 231,88 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama berbeda tidak nyata
pada taraf 0,05 uji BNT.

Zimdahl, 2007 menjelaskan bahwa peningkatan hasil tanaman merupakan gambaran


penurunan tingkat kompetisi tanaman dengan gulma, sehingga tanaman jagung mengalami
pertumbuhan yang baik dengan memanfaatkan faktor tumbuh yang ada. Pertumbuhan yang baik
memungkinkan aktivitas metabolisme tanaman meningkat sehingga terjadinya peningkatan
aktivitas metabolisme tanaman dan peningkatan pasokan fotosintat ke bagian limbung seperti
pada biji. Lebih lanjut (Aldrich, 1984) menjelaskan bahwa tingginya bobot kering biji per
tanaman akibat perlakuan herbisida mengindikasikan bahwa tanaman jagung lebih leluasa
dalam memanfaatkan faktor-faktor tumbuh seperti air, hara, serta cahaya akibat
tertekannya pertumbuhan gulma oleh herbisida. Faktor tumbuh yang tersedia, sangat menunjang
dalam translokasi fotosintat yang digunakan untuk membentuk dan memperbesar biji sehingga
mengakibatkan tingginya jumlah biji dan bobot kering biji per tanaman serta bobt kering per
petak

KESIMPULAN DAN SARAN


Aplikasi herbisida metolachlor dan pendimethalin dapat menekan gulma pada tanaman
jagung sehingga kompetisi antara gulma dengan tanaman rendah, rendahnya kompetisi tersebut
akan meningkatkan hasil tanaman jagung. Herbisida metolachlor dan pendimethalin dapat
diajurkan penggunaanya untuk mengendalikan gulma pada tanaman jagung.

DAFTAR PUSTAKA
Alabi, BS; A.O. Ayeni, and A.A. Agboola. 1999. Effect of selected herbicides on the control of
thorny mimosa in cassava. Nigerian Journal of Weed Science 12, 51-57.

322
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Aldrich. R.J. 1984. Weed-Crop Ecology. (Principles in Weed Management). Breton Publishers.
North Scituate, Massachusetts.
Anderson. P.W. 2007. Weed Science Principle. West Publishing Co. USA.
Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan (Jilid 1). Tarsito. Bandung.
Gomez, A.K dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan
E. Sjamsuddin dan J.S. Baharsjah. UI press. Jakarta
Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan (Jilid 1). Tarsito. Bandung.
Greatvista, C. 2005. Herbicide Metolachlor. Available at http://www.greatvistachemicals.com/
agrochemicals/metolachlor.html (diakses Januari 2015).
Hasanuddin. 2000. Saling tindak antara varietas, densitas tanaman, dan teknik pengendalian
gulma terhadap hasil tanaman jagung. J. Agrista. 4: 190-196.
Manwan, I., dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan penyebaran jagung. p:69-150. Dalam B.
Amang, M.H. Sawit, dan A. Rahman (ed.) Ekonomi Jagung di Indonesia. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Mitchell, R.B., R.F. Van Torr, and R.J. Abernethy. 2004. Effect of different soil preparation
methods and herbicides on weeds and establishment of coriander. Agresearch Invermay
Agricultural Center Mogiel. Available at http://www.engg.ksu.edu/hsrc/97Proceed/
Poster13/Pesticide.html (diakses Maret 2006)
Omafra. 2011. Guide to weed control. Publication 75, Toronto, ON, Canada, Omafra, 348 pp.
Pane, H., P. Bangun, dan S. Y. Jatmiko. 1999. Pengelolaan gulma pada pertanaman padi gogo
rancah dan walik jerami di lahan sawah tadah hujan. p. 321-334. Dalam S. Pantohardjono,
J. Soejitno, dan Hermanto (ed.) Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan
Peningkatan Produktifitas Padi di Lahan Sawah Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
Peterson, D.E., D.L. Regehr., C.R. Thomson., and K. Al-Khatip. 2010. Herbicide mode of
action. Kansas State University Agricultural Experiment Station and Cooperative
Extension Service.
Rao, V. S. 2000. Principle Of Weed Science 2nd Eds. Science Publisher, Inc. USA.
Reade, J.P.H., and A.H. Cobb. 2010. Herbicides: modes of action and metabolism. Pp: 134-170.
In R.E.L. Naylor (ed.) Weed Management Handbook. Blacwell Science. Ltd., Oxford, UK.
Seybold, C.A. and W. Mersie. 2002. Metolachlor fate and mobility in a tidal wetland. Oregon
State University Available at http://www.sws.org/wetlands/abstracts/volume19n1/
seybold.html (diakses Januari 2014)
Tjitrosoedirdjo, S., Utomo, H. I., dan Wiroatmodjo, J. 1986. Pengelolaan Gulma di Perkebunan.
PT. Gramedia. Jakarta
Yitnosumarto. S. 1990. Percobaan, Perancangan, Analisis, dan Interpretasinya. PT. Gramedia
Pustaka Utama Jakarta.
Vencill, W.K., K. Ambrust, H.G. Hancock, D. Johnson, G. McDonald, D. Kinter., F. Lichtner,
H. McLean, J. Reynold, D. Rushing, S. Senseman, and D. Wauchope. 2002. Herbicide
handbook. 8th Eds. Weed Sci. Soc. Am. Lawrence, KS.
Zimdahl, R.L. 2007. Fundamental of Weed Science. Academic Press, Inc., San Diego, CA.

323
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Peran Kelembagaan Petani dalam Penggunaan Pestisida pada Usahatani


Padi Sawah untuk Mendukung Keamanan Pangan
Hartina Batoa1, Muhammad Aswar Limi2, Awaluddin Hamzah1, Rosmawaty1,
dan Putu Arimbawa1
1Jurusan Penyuluhan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
2Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari

ABSTRAK

Kata Kunci: Keamanan pangan saat ini menjadi perhatian serius seiring dengan
Keamanan Pangan peningkatan jumlah penggunaan bahan kimia dalam memproduksi pangan.
Peran Kelembagaan Beras sebagai salah satu bahan pangan yang dihasilkan oleh petani
Pestisida keberhasilannya sangat tergantung pada penggunaan pestisida dalam
Perilaku Petani mengurangi resiko kegagalan panen dari serangan organisme penganggu.
Penggunaan pestisida dalam pengendalian organisme penganggu tanaman
masih menjadi pilihan utama oleh petani. Namun demikian, penggunaan
bahan kimia secara terus menerus berdampak pada keamanan pangan dari
residu bahan kimia yang dihasilkan untuk dikonsumsi. Diperlukan
pemahaman bagi pelaku atau produsen pangan dalam suatu kelembagaan
petani tentang dampak dari penggunaan bahan kimia pada produk pangan
yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran
kelembagaan petani dalam menunjang perilaku petani pada penggunaan
pestisida dalam usahatani padi sawah. Penelitian ini menggunakan metode
survai. Tempat penelitian di Kelurahan Welala Kabupaten Kolaka Timur
yang mayoritas masyarakat membudidayakan tanaman padi sawah. Populasi
dan sampel penelitian adalah petani padi sawah yang menjadi anggota
kelompok tani/Gapoktan. Adapun jumlah anggota Gapoktan sebanyak 273
petani. Penentuan sampel menggunakan teknik simple random sampling
dengan mengambil sebanyak 20% dari total populasi, sehingga jumlah
sampel dalam penelitian ini sebanyak 55 orang petani padi sawah. Teknik
pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Analisa data dianalisis
secara deskriptif, dan analisis rank spearman. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kelembagaan petani kurang berperan dalam membuat aturan
kelompok untuk penggunaan pestisida bagi petani anggota kelompok dalam
mendukung keamanan pangan. Tidak adanya aturan kelompok dalam
penggunaan pestisida memungkinkan setiap petani menggunakan pestisida
tidak sesuai dengan anjuran dan cenderung berlebihan, sehingga
membahayakan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Peran
kelembagaan petani berhubungan nyata dengan perilaku petani dalam
penggunaan dosis, sedangkan peran kelembagaan petani tidak berhubungan
nyata terhadap waktu dan frekuensi penggunaan pestisida oleh petani.

LATAR BELAKANG
Padi merupakan bahan pangan pokok, sehingga komoditas ini termasuk dalam komoditas
strategis bahkan sebagai komoditas politik. Hal ini terlihat dari perhatian dan campur tangan
pemerintah sangat besar dalam mengupayakan peningkatan produksi dan stabilitas harga.
Kecukupan beras dengan harga yang terjangkau telah menjadi tujuan utama kebijakan
pembangunan pertanian, guna menghindari kelaparan serta gejolak ekonomi dan politik
(Sudaryanto et al., 1999 dalam Darwis dan Saptana, 2010). Guna mengantisipasi kekurangan
pangan, ketersediaan pangan menjadi hal yang harus dipenuhi. Namun demikian, dalam

324
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

memenuhi ketersediaan pangan, keamanan pangan menjadi perhatian semua pihak khususnya
terhadap adanya residu bahan kimia pada produk pangan.
Petani sebagai produsen pangan mengetahui bahwa beras adalah kebutuhan pokok
masyarakat Indonesia sehingga memotivasi petani untuk dapat memproduksi sebanyak-
banyaknya. Namun demikian, untuk meningkatkan hasil padi (beras), petani sudah terbiasa
menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit yang mengganggu hasil tanam.
Disadari atau tidak penggunaan pestisida secara berlebihan dapat membahayakan kesehatan
petani, dan konsumen (Rario, et al,. 2005). Petani menggunakan pestisida sebagai alat utama
pengendalian hama maupun gulma. Penggunaan pestisida oleh petani padi sawah begitu masib
saat ini. Hampir tidak ada petani yang tidak menggunakan pestisida dalam melakukan
pengendalian hama pada tanaman padinya. Tanaman padi merupakan tanaman pangan yang
hasilnya berupa beras menjadi bahan konsumsi sumber kalbohidrat utama bagi rakyat Indonesia.
Itu artinya bahwa beras hasil panen petani akan dikonsumsi oleh manusia. Beras yang telah
terpapar pestisida secara berlebihan dapat berdampak negatif bagi tumbuh manusia jika
dikonsumsi.
Paparan pestisida yang mengenai tubuh petani wanita setelah melahirkan, pada saat
menyusui didapatkan kandungan pestisida dalam tubuhnya Dampak paparan pestisida juga
berbahaya pada janin atau anaknya bila orang tua terpapar pestisida, pada penelitian kasus
kontrol ternyata terdapat hubungan antara kejadian kanker pada anak dengan pekerjaan orang
tua yang terpapar pestisida (Waliszewski, 2009; Yuon K,Shim, et al, 2009 dalam Yunantari, et
al, 2015). Data yang dikumpulkan WHO menunjukkan 500.000-1.000.000 orang per tahun di
seluruh dunia telah mengalami keracunan pestisida dan sekitar 500-1.000 orang per tahun
diantaranya mengalami dampak yang sangat fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan
gangguan pada hepar. Pada tahun 2000 tercatat keracunan bahan kimia sekitar 300.000, serta
70.000 kematian pada anak (IPCS, WHO, 2004 dalam Yunantari, et al, 2015).
Kabupaten Kolaka Timur sebagai salah satu sentra produksi padi, penggunaan pestisida
kimia masih menjadi tumpuan utama petani padi dalam meningkatkan produksi padi sawahnya.
Data dari penggunaan pestisida kimia belum ada secara pasti di lokasi rencana studi, namun
kecenderungan permintaan pestisida kimia setiap tahunnya semakin meningkat seiiring dengan
peningkatan luas areal padi sawah. Melihat kenyataan tersebut, dimana beras sebagai bahan
makanan pokok, maka perhatian terhadap perilaku petani dalam berusahatani padi sawah dengan
menggunakan input produksi bahan kimia perlu diperhatikan secara baik dari segi ketepatan,
dosis, frekuensi dan keamanan pangan sehingga peran berbagai pihak terkait sangat penting.
Adanya kelembagaan petani seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani, penyuluh
pertanian dan lainnya diharapkan berperan bagi petani dalam memproduksi bahan pangan yang
aman dikonsumsi. Kelembagaan petani memiliki titik strategis dalam menggerakkan sistem
agribisnis di pedesaan. Saat ini potret petani dan kelembagaan petani (kelompok tani, gabungan
kelompok tani, asosiasi petani, dewan komoditas) di Indonesia diakui masih belum berperan
sebagaimana yang diharapkan baik dalam pemenuhan input maupun ketersediaan lahan
(Suradisastra, 2008; Oke Suwardi, et al (2016). Keberadaan kelembagaan petani diharapkan
dapat berperan dalam mengedukasi petani untuk melakukan kegiatan budidaya yang ramah
lingkungan maupun dalam pemenuhan input produksi khususnya pestisida kimia dan
menerapkannya sesuai dengan yang dianjurkan sehingga petani tidak hanya berorientasi pada
ekonomi atau produksi saja tetapi juga perlu memperhatikan keamanan konsumsi dan kelestarian
lingkungan. Untuk itu, peranan kelembagaan pertanian/petani sangat menentukan keberhasilan
pembangunan pertanian (Anantanyu, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan
penelitian ini adalah untuk mengetahui peran kelembagaan petani dalam menunjang perilaku
petani dalam penggunaan pestisida kimia pada usahatani padi sawah.

325
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan kuesioner sebagai instrumen
pengambilan data. Lokasi penelitian di Kelurahan Welala Kabupaten Kolaka Timur (Koltim).
Pertimbangan lokasi adalah petani telah membudidayakan tanaman padi sawah sejak tahun
1980an dan merupakan salah satu sentra produksi padi sawah. Waktu penelitian selama 4 bulan
yaitu bulan Juni sampai Oktober 2018. Populasi penelitian ini adalah petani padi sawah yang
tergabung dalam kelembagaan petani (kelompok tani). Jumlah populasi sebanyak 273 petani.
Teknik pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling yaitu mengambil sebanyak
20% dari total populasi sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 55 orang petani.
Besarnya sampel yang diambil sesuai dengan pendapat Arikunto (1998) bahwa jika populasi
diatas 100 pengambilan sampel dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%. Disamping itu,
penentuan jumlah sampel berhubungan dengan jenis penilitan dan alat analisis yang digunakan.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan korelasional sehingga memerlukan minimal 30
sampel (Silalahi, 2015), sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini telah memenuhi ketentuan.
Teknik random sampling dilakukan dengan cara undian dengan memberi label nomor mulai dari
nomor 001 sampai 275 pada populasi kemudian dikocok sebanyak jumlah sampel yang telah
ditentukan. Semua sampel terpilih diberikan angket/kuesioner yang penyebaran angket
difasilitasi oleh satu orang pengurus kelompok tani. Dari jumlah angket yang disebar semua
kembali dan setelah dilakukan pengecekan, semua angket yang kembali memenuhi untuk
penelitian ini. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis korelasi rank
spearmann dengan bantuan program SPSS.

HASIL PENELITIAN
Gambaran Kelembagaan Petani
Usahatani padi sawah oleh petani di lokasi penelitian didukung oleh beberapa
kelembagaan petani. Berdasarkan hasil penelitian beberapa kelembagaan petani yang terlihat
adalah kelompok tani, gabungan kelompok tani, penyuluh pertanian, perusahaan obat/formulator
obat (bayer, sygenta, agrikon, DGW), lembaga pemanenen, pengilingan, dan lembaga pembelian
gabah. Kesemua kelembagaan tersebut memiliki kontribusi dalam usahatani padi sawah baik
dalam kegiatan input produksi, budidaya, pengolahan hasil dan pemasaran hasil. Dalam
penelitian ini kelembagaan petani yang diteliti adalah kelompok tani (Poktan)/gabungan
kelompok tani (Gapoktan) dan penyuluh pertanian.

Peran Kelompok Tani dalam Penggunaan Pestisida


Keberadaan kelompok tani maupun gabungan kelompok tani dapat membantu petani
dalam pemenuhan usahatani padi sawah. Kelompok tani dan gabungan kelompok tani
diharapkan dapat berperan sebagai media belajar mengajar petani, unit produksi dan unit
kerjasama. Keberadaan kelompok berperan dalam pembuatan aturan kelompak dalam mengatur
berjalanya kelompok. Disamping itu, aturan/norma kelompok dapat menjamin keberlanjutan
kehidupan kelompok. Dengan adanya aturan kelompok akan menjamin ketentraman dan adanya
kepastian bagi anggota kelompok dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan khususnya terkait
dengan penggunaan pestisida dalam usahatani padi sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar (87.27%) petani responden menyatakan kelompok tidak memiliki aturan
kelompok dalam penggunaan pestisida dalam usahatani padi sawah. Tidak adanya aturan
kelompok yang dirasakan oleh sebagian besar petani anggota kelompok mengindikasikan tidak
berjalannya peran kelompok sebagai media belajar mengajar serta unit produksi dan kerjasama
dalam kelompok. Kegiatan usahatani padi sawah dilakukan sendiri-sendiri, sedangkan kelompok
hanya sebagai media dalam pemenuhan bantuan dari pihak lembaga lainnya. Disamping itu,
poktan dan gapoktan tidak memiliki jadwal pertemuan rutin. Pertemuan kelompok hanya
dilakukan pada saat tanamn untuk menentukan waktu tanam. Keberadaan poktan/gapoktan di

326
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tingkat lokal memiliki peran strategis untuk memfasilitasi petani dalam pemenuhan pangan
(Limi et al, 2018).

Peran Penyuluh
Keberadaan penyuluh pertanian bagi petani padi sawah diharapkan bermanfaat untuk
mendampingi petani dalam menentukan kegiatan usahatani padi sawah sesuai dengan
rekomendasi. Peran penyuluh pertanian dapat sebagai mitra petani dalam setiap permasalahan
yang dihadapi selama kegiatan usahatani padi sawah di lokasi studi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar (61,82%) petani responden menganggap penyuluh pertanian
telah berperan dalam kegiatan usahatani padi sawah, bahkan sebanyak 12,73 persen menganggap
penyuluh pertanian sudah sangat berperan bagi mereka dalam mendukung usahatani padi sawah.
Namun demikian, ada juga petani responden yang menganggap penyuluh pertanian kurang atau
tidak banyak perannya dalam kegiatan usahatani padi sawah yang diusahakannya selama ini.
Penyuluh sebagai mitra petani di era industri 4.0 dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam
menjalankan tugasnya sebagai fasilitator petani. melalui teknoloti informasi penyuluh dapat
melakukan komunikasi inovasi kepada petani secara lebih mudah dan cepat, seperti pada
informasi tentang penggunaan pestisida dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi
informasi melalui media kelompok (Cahyono dan Agunga, 2016).

Penggunaan Pestisida oleh Petani


Penggunaan pestisida oleh petani dalam pengendalian hama dan penyakit serta jamur
menjadi pilihan utama. Penggunaan pestisida secara tepat waktu, frekuensi dan dosis menurut
petani dapat menyelamatkan tanaman dari kerusakan dan gagal panen. Saat ini petani sebagian
besar menggunakan jenis pestisida maupun fungisida kimia dalam pengendalian hama dan
penyakit tanaman. Berdasarkan hasil penelitian bahwa penggunaan pestisida oleh petani
melebihi ketentuan yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian. Fakta ini dapat dilihat dari
frekuensi penyemprotan tanaman pestisida sebanyak di atas 7 (tujuh) kali penyemprotan dalam
satu kali musim tanam dengan dosis penggunaan pestisida sebagian besar melebihi jumlah yang
dianjurkan. Menurut Damalas dan Koutroubas, (2018) bahwa tingkat pengetahuan dan
kesadaran petani tentang risiko pestisida sangat penting dalam meningkatkan keamanan dalam
semua aspek penanganan pestisida.
Pengetahuan petani tentang dosis penyemprotan didasarkan pada beberapa alasan.
Penggunaan volume/Dosis penyemprotan oleh petani berhubungan dengan berat dan luasnya
serangan hama dan penyakit, luasnya serangan hama/penyakit, jumlah serangga yang terlihat di
persawahan dan jumlah atau kemampuan membeli pestisida. Adapun alasan penggunaan dosis
penyemprotan oleh petani dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alasan Penggunaan Dosis Penyemprotan Tanaman Padi Sawah Oleh Petani.
No Takaran dosis penyemprotan ∑ %
1 Berat dan luasnya serangan 39 70.91
2 Luasan serangan hama/penyakit 5 9.09
3 Jumlah serangga yang terlihat 8 4.55
4 Jumlah pestisida yang dimiliki 3 5.45
Jumlah 55 100.00
Sumber: Data primer diolah, 2018

Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa sebagian besar (70,91) petani responden
menggunakan dosis penyemprotan pada tanaman padi sawah didasarkan pada berat dan luasnya
serangan hama/penyakit menurut pengamatan petani. Namun juga ada yang menggunakan
pestisida dari segi dosis penggunaanya didasarkan pada kemampuan membeli pestisida. Jika
petani memiliki kemampuan modal yang lebih dalam membeli pestisida kimia, kemungkinan

327
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

besar petani akan menggunakan dosis yang lebih tinggi. Penggunaan pestisida secara berlebihan
baik dari dosis dan frekuensis dapat berdampak pada residu pestisida berupa bahan kimia
terhadap produk pangan (beras) yang dihasilkan petani. Contohnya apa yang terjadi pada produk
hortikultura akibat dari adanya paparan pestisida mengakibatkan terganggunya kesehatan seperti
keracunan, kadar kolinesterase dalam darah kurang normal dan mengalami gangguan
keseimbangan bagi seserang yang mengkonsumsi produksi pangan yang terpapar bahan kimia
(Samosir, et al., 2017).

Peran Kelembagaan Petani dan hubungannya dengan Penggunaan Pestisida oleh


Petani
Peran kelembagaan petani terhadap perilaku petani dalam penggunaan pestisida dapat
dilihat dari seberapa jauh keberadaan kelembagaan berhubungan dengan perilaku petani dalam
penggunaan pestisida pada usaha budidaya padi sawah (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai Koefisien Korelasi Antara Faktor-faktor Eksternal dengan Faktor Perilaku Petani
Faktor Perilaku Petani
No Kelembagaan Petani
Waktu Frekuensi Dosis
1 Peran kelompok tani 0,109 0,206 0,409**
2 Peran penyuluh pertanian -0,034 0,068 -0,107
Keterangan: **Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed)
*Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed)

Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa peran kelembagaan tani dalam


pembentukan aturan kelompok tani memiliki hubungan yang positif dan nyata dengan perilaku
petani pada penggunaan dosis input produksi yaitu pestisida dalam pelaksanaan budidaya padi
sawah oleh petani responden. Sedangkan peran kelompok tani dan penyuluh sebagai wadah
petani dalam proses belajar mengajar tidak memiliki hubungan yang nyata dengan perilaku
petani pada penggunaan input produksi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kelembagaan petani
memiliki keterhubungan atau pengaruh terhadap penggunaan pestisida dari segi volume oleh
petani, maka kelembagaan petani dapat melakukan kolaborasi dengan kelembagaan petani lokal.
Menurut Wilkinson et al., (2015) melalui kolaborasi dan penguatan kelembagaan lokal
diharapkan kelembagaan petani dapat berperan dalam menyampaikan informasi dan
pengetahuan kepada petani sehingga keberadaanya dapat mewujudkan kebijakan bersama
khususnya tentang penggunaan pestisida bagi tanaman secara berkelanjutan.

PENUTUP
Kelembagaan petani di lokasi penelitian tidak memiliki aturan penggunaan pestisida bagi
petani anggota kelompok dalam kegiatan budidaya padi sawah. Tidak adanya aturan kelompok
dalam penggunaan pestisida menyebabkan petani menggunakan pestisida sesuai dengan
kemampuan dan kemauan masing-masing petani. Kondisi tersebut menyebabkan penggunaan
pestisida kimia oleh petani tidak sesuai dengan anjuran dan cenderung berlebihan, sehingga
membahayakan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Berdasarkan analisis korelasi bahwa
peran kelembagaan petani berhubungan nyata dengan perilaku petani dalam penggunaan dosis,
sedangkan peran kelembagaan petani tidak berhubungan nyata terhadap waktu dan frekuensi
penggunaan pestisida oleh petani.

DAFTAR PUSTAKA
Anantayu, S. 2011. Kelembagaan petani: Peran dan strategi pengembangan kapasistasnya.
SEPA, 7 (2): 102-109.

328
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Cahyono, E.D., and Agunga, R., 2016. Policy and Practice of Participatory Extension in
Indonesia: A Case Study of Extension Agents in East Java Province. Journal of
Agricultural and Extension Education, 23 (3): 38-57.
Darwis V., dan Saptana. 2010. Rekontruksi kelembagaan dan uji teknologi pemupukan:
kebijakan stategis mengatasi kelangkaan pupuk. Analisis Kebijakan Pertanian, 8 (2): 167-
186.
Limi, M.A., Arimbawa, P., Budiyanto, Rahma, N., and Cahyono, E.D., 2018. The Roles of Local
Institutions to Improve Farmer Access to Foods and Production Capacities. WSEAS
Transactions on Business and Economics, 15: 488-494.
Rario B., Kasto, dan Ritohardoyo S., 2005. Persepsi dan perilaku petani dalam penanganan risiko
pestisida pada lingkungan di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau Kota
Palangka Raya. Manusia dan Lingkungan, 12 (l): 43-52.
Samosir, Kholilah., O. Setiani , Nurjazuli. 2017. Hubungan pajanan pestisida dengan gangguan
keseimbangan tubuh petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 16 (2): 63 – 69.
Uber, Silalahi. 2015. Metode Penelitian Sosial Kuantitatif. Refika Aditama. Bandung.
Wilkinson J., C. Cerdan and Dorigon C. 2015. Geographical indications and “origin” products
in Brazil-The Interplay of Institutions and Networks. World Development. 0305-
750X/2015 Elsevier Ltd. ARTICLE IN PRESS.
Yuantari, C., Kresnowati, L., and Hartini, E.,(2015). Rumusan Strategi Kesehatan dan Pertanian
Dalam Percepatan Pengentasan Kemiskinan Menuju Tercapainya Target MIDGs 2015.
Prosiding Seminar Nasional Banjar Negara. Editor: Eny Sofiyatun, Jiko Malis Sunarni,
Okti Hanayanti, dan Sapto Wibowo. Sukses Mandiri Press. Banjar Negara. Jawa Tengah.

329
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit-penyakit Utama dengan


Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jeruk Kalamansi (Citrus
microcarpa) di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu
Relationship Between Major Disease Severity and Growth and
Production of Kalamnasi Orange (Citrus microcarpa) in Central Bengkulu
District, Bengkulu
Tunjung Pamekas1, Entang Inoriah1, dan Andrian Junisa2
1Prodi Proteksi Tanaman, Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Petanian, Universitas Bengkulu,
2 Alumni Prodi Agroekoteknologi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

ABSTRAK

Kata Kunci: Jeruk kalamansi merupakan salah satu komoditi unggulan yang dikembangkan
Jeruk kalamansi di Propinsi Bengkulu, khususnya kabupaten Bengkulu Tengah. Permasalahan
Tingkat keparahan yang dihadapi dalam budidaya jeruk kalamansi adalah serangan penyakit
Penyakit utama jeruk tanaman. Ada tujuh jenis penyakit utama yang telah dilaporkan menyerang
tanaman jeruk kalamansi. Tujuan dari penelitian adalah mengevaluasi hubungan
tingkat keparahan penyakit utama dengan pertumbuhan dan produksi tanaman
jeruk kalamansi di Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi Bengkulu. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus 2017 di kebun jeruk
kalamansi Lembaga Pengembangan Pertanian Baptis, Desa Dusun Baru I,
kecamatan Pondok Kubang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi Bengkulu.
Penelitian dilakukan dengan metode survey dengan teknik stratified sampling
dan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
keparahan tujuh penyakit utama pada tanaman jeruk kalamansi pada lahan
miring dan lahan landai bervariasi dari 20% - hampir 100% dengan tingkat
keparahan tertinggi pada penyakit kudis. Secara umum terjadi peningkatan
tingkat keparahan penyakit utama selama 3 bulan pengamatan. Peningkatan
keparahan penyakit utama berdampak negatif terhadap pertumbuhan tinggi dan
jumlah cabang utama tanaman jeruk kalamansi serta produksi buah jeruk
kalamansi yang rendah.

ABSTRACT
Keywords: Kalamansi is one of major commodity that growth in Bengkulu Province,
Kalamansi orange especially in Central Bengkulu District. The major problem on kalamansi
Disease severity farming is plant disease. It has been reported that there are seven major disease
Major disease of that infected kalamansi orange. This research goal is to evaluate the relationship
kalamansi between major disease severity and the growth and production of kalamansi
orange in Central Bengkulu District, Bengkulu. The reaserach was conducted
on February to August 2017 at kalamansi orange plantation belongs to Lembaga
Pengembangan Petanian Baptis, Dusun Baru 1 Village, Pondok Kubang, Central
Bengkulu District. The research was conducted with stratified and purposive
sampling methods. The result of this research showed that disease severity of
seven major disease on kalamansi orange at sloopy land and flat land were 20 to
up to 100% with the highest of disease severity on scab disease. There were an
significant increasing on disease severity as long as three months observation.
Increasing diseases severity gave negative impact on the plant height and the
number of major branch of kalamansi orange, as well as the fruit production was
low.

Email Korespondensi: tunjungpamekas@unib.ac.id

330
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Tanaman jeruk kalamansi merupakan salah satu tanaman unggulan yang dikembangkan di
Provinsi Bengkulu melalui pendekatan One Village One Product dan mampu memberikan nilai
tambah dan berdaya saing serta meningkatkan ekonomi masyarakat (Junaidi, 2011). Lembaga
Pengembangan Pertanian Baptis (LPPB) di Desa Dusun Baru I, Kecamatan Pondok Kubang
Kabupaten Bengkulu Tengah merupakan lembaga yang pertama kali membudidayakan jeruk
kalamansi di Kabupaten Bengkulu Tengah, di lahan seluas 3 ha, dengan produksi jeruk
kalamansi sebesar 25-30 ton pada tahun 2016 (Tambunan, 2017). Pemerintah Propinsi
Bengkulu terus berupaya untuk meningkatkan produksi jeruk kalamansi dari Propinsi Bengkulu
mengingat jeruk kalamansi memiliki karakteristik yang unik (Ibrahim, 2017).
Salah satu permasalahan yang harus diantisipasi dalam upaya peningkatan produksi jeruk
kalamansi adalah penyakit tanaman. Penyakit tanaman akan mengganggu proses pertumbuhan
dan perkembangan tanaman sehingga bagian tanaman yang diganggu menjadi abnormal, seperti
bercak daun, lendir pada batang, daun menguning, busuk buah, dan lain-lain. Akibat yang
ditimbulkan adalah penurunan kuantitas dan kualitas buah. Dilaporkan bahwa tanaman jeruk
memiliki penyakit yang paling banyak di antara tanaman buah-buahan lainnya. Penyakit jeruk
yang biasanya menyerang di Indonesia adalah penyakit Blendok Phytophthora, Kulit Diplodia,
Antraknosa, Busuk Akar Armillaria, Kudis, Tepung, Kanker Jeruk, Citrus Vein Phloem
Degeneration (CVPD), Kapang Jelaga, Bercak Daun, Busuk Buah Phoma, Busuk Buah
Nematospora dan Busuk Buah Oospora (Semangun, 1989).
Kepala LPPB menyatakan bahwa tanaman jeruk kalamansi di kebun LPPB diserang hama
dan patogen, namun sejauh ini belum ada data tentang tingkat kerusakan penyakit-penyakit
utama pada tanaman jeruk kalamansi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi hubungan antara tingkat keparahan penyakit–penyakit utama dengan pertumbuhan
dan produksi jeruk kalamansi di kebun LPPB, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi
Bengkulu.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Agustus 2017 di Lembaga Pengembangan
Pertanian Baptis, Desa Dusun Baru I, Kecamatan Pondok Kubang, Kabupaten Bengkulu Tengah,
Bengkulu.
Penelitian menggunakan metode survei dengan teknik Stratified Sampling dan Purposive
Sampling. Stratified Sampling dilakukan dengan cara memilih satu dari tiga kebun yang ada di
LPPB, dengan memilih satu kebun dengan umur tanaman yang relatif seragam. Sedangkan
teknik Purposive Sampling dilakukan dengan memilih tanaman jeruk bergejala penyakit sebagai
sampel tanaman.
Dari survei lokasi perkebunan jeruk Kalamansi diperoleh data awal luas perkebunan adalah
30.000 m2, yang berada di tiga lokasi yang berbeda. Tanaman jeruk berasal dari stek pucuk
sehingga varietas yang ditanam sama, yaitu Kalamansi FR yang sudah terdaftar di Dinas
Pertanian Bengkulu Tengah dengan nomor registrasi 02/A.Jr.2012/Bkl/02/2012. Teknik
budidaya tanaman diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak LPPB yang berada di desa
Dusun Baru I, kecamatan Pondok Kubang, kabupaten Bengkulu Tengah.
Penentuan kebun penelitian dengan Stratified Sampling, karena terdapat tiga lokasi
tanaman jeruk dengan umur yang berbeda. Dari tiga lokasi kebun diambil satu kebun dengan
populasi tanaman berumur relatif seragam, yaitu berada di kebun ketiga dengan luas kebun +
satu hektar, jumlah populasi 375 tanaman, umur 8 tahun., dan jarak tanam 3m x 3m.
Penentuan sampel tanaman yang akan diteliti dengan metode Purposive Sampling. Sampel
diambil 10 % dari populasi tanaman. Metode Purposive Sampling dilakukan dengan cara
berjalan dari satu tanaman ke tanaman yang lain, rute berjalan dari baris tanaman pertama sampai
baris tanaman terakhir. Bila terdapat tanaman yang sakit maka dicatat gejala yang ada pada
semua bagian tanaman. Selanjutnya tanaman terpilih ditandai dengan label kuning..

331
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Variabel yang diamati adalah :


1. Tinggi tanaman diukur dari pangkal tanaman yang berada di permukaan tanah sampai pucuk
daun tertinggi menggunakan meteran setiap dua minggu sekali selama tiga bulan.
2. Jumlah cabang utama dihitung jumlah cabang yang ada pada batang tanaman jeruk
Kalamansi setiap dua minggu sekali selama tiga bulan.
3. Jumlah buah dihitung pada setiap panen dengan mengambil buah yang siap panen dari
tanaman sampel pada waktu panen.
4. Bobot buah diukur pada setiap panen menggunakan timbangan dengan memanen buah pada
tanaman sampel di kebun jeruk.
5. Persentase tanaman terserang penyakit dihitung berdasarkan pendekatan prinsip tingkat
kerusakan tanaman (Purnomo, 2016) dengan rumus umum sebagai berikut.
𝑛
𝑃 = × 100%
𝑣
Keterangan :
P = persentase kejadian penyakit
n = jumlah tanaman yang terserang
v = jumlah seluruh tanaman.
Persentase tanaman terserang dihitung untuk setiap gejala penyakit yang muncul dan
dilakukan dua minggu sekali selama tiga bulan.
6. Intensitas serangan penyakit diamati pada daun, batang dan buah yang bergejala penyakit
dan diamati dua minggu sekali selama tiga bulan.
Ukuran intensitas penyakit dihitung dengan rumus Townsend dan Humberger (Purnomo,
2016).
∑(n × v)
Intensitas serangan penyakit (I) = × 100%
N×Z
Keterangan :
n = jumlah daun/batang/buah sakit pada masing-masing kategori
v = nilai skala tiap kategori serangan tertinggi
N = jumlah cabang tanaman yang diamati
Z = skala tanaman sakit tertinggi
Skala serangan (modifikasi dari James, 1971) :
0 = tidak ada serangan pada tanaman
1 = 1-25% bagian tanaman terserang
2 = 26-50% bagian tanaman terserang
3 = 51-75% bagian tanaman terserang
4 = 76-100% bagian tanaman terserang

Intensitas serangan penyakit dihitung pada setiap gejala penyakit yang muncul.
Variabel pendukung yang diamati adalah :
1. Ketinggian tempat diukur menggunakan altimeter, iklim (suhu dan kelembaban) diukur
dengan thermo higrometer, dan arah angin. Pengukuran dilakukan di beberapa titik yang
mewakili luas kebun.
2. Sejarah tanaman, umur tanaman, teknik budidaya (pemupukan, pengairan, pengendalian
gulma, hama dan penyakit) didapatkan dengan metode wawancara kepada pengelola kebun
dan data yang mendukung penelitian.
Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif serta disajikan dalam bentuk tabel dan
gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada tanaman jeruk kalamansi di kebun LPPB Bengkulu Utara ditemukan 7 penyakit
utama, yaitu penyakit kudis, embun jelaga, bercak kuning daun, kekurangan zinc, bercak putih

332
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

cabang, bercak hitam cabang, dan gummosis. Perkembangan persentase serangan penyakit-
penyakit utama tersebut dapat dilihat pada Gambar 1a-g.
Persentase serangan penyakit kudis, bercak kuning daun, bercak putih cabang, dan bercak
hitam cabang menyerang tanaman jeruk kalamansi dengan persentase serangan 100% pada
pengamatan pertama sampai pengamatan terakhir. baik pada lahan landai maupun curam
(Gambar 1 a, c, e, dan f). Semangun (1989) menyebutkan bahwa penyakit kudis pada tanaman
jeruk umumnya tidak berkembang pada musim kemarau, jika mulai musim hujan maka gejala-
gejala penyakit akan mulai timbul
Persentase serangan penyakit embun jelaga yang menyerang tanaman jeruk kalamansi di
lahan landai mengalami kenaikan, dari 96% pada pengamatan pertama menjadi 100% pada
pengamatan kedua, sedangkan pada lahan miring persentase serangan mencapai 100% sejak
awal pengamatan (Gambar 1 b). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini sangat mudah
menyebar. Dilaporkan Nopitasari (2015) bahwa serangan penyakit embun jelaga pada tanaman
jeruk Gerga Lebong adalah 96% dan merupakan penyakit dengan persentase serangan tertinggi.
Tanaman jeruk yang terserang penyakit kekurangan unsur hara Zinc di lahan landai lebih
tinggi daripada di lahan miring, yaitu 84% dan 80% (Gambar 1 d). Dari data tersebut dapat
diartikan bahwa kandungan unsur hara Zinc di lahan landai lebih banyak dibanding di lahan
miring. Sementara itu, tanaman jeruk yang terserang penyakit gummosis pada lahan miring
tercatat 13%, sedangkan di lahan landai tidak ditemukan serangan penyakit ini (Gambar 1 g).
Tingginya angka persentase serangan penyakit kudis, embun jelaga, bercak kuning daun,
bercak putih cabang, dan bercak hitam cabang diduga sangat terkait dengan kondisi cuaca,
terutama curah hujan, suhu udara, dan arah angin. Berdasarkan data Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika, Bengkulu bahwa curah hujan pada bulan Februari sampai dengan
April 2017 berturut-turut adalah 12,12 mm, 8,94 mm, dan 11,49 mm (rerata 10,85 mm) sehingga
termasuk kategori hujan ringan. Suhu udara saat penelitian dilaporkan 30oC-40,5oC dengan arah
angin dari timur ke barat (dari lahan miring ke lahan landai). Kondisi cuaca saat penelitian
tersebut diduga sangat berperan dalam penyebaran penyakit-penyakit di atas.
Selain itu, pengelolaan Organisme Penggangu Tanaman juga berperan dalam penyebaran
penyakit. Di kebun jeruk LPPB telah dilakukan pengelolaan gulma dengan cara pemotongan
dengan mesin rumput atau penyemprotan herbisida, namun pengendalian hama dan penyakit
tidak pernah dilakukan (Tabel 1). Pihak kebun berusaha menjaga keseimbangan ekosistem
lahan menjadi seperti hutan dengan menghindari penggunaan pestisida. Akan tetapi dampak dari
pengelolaan hama dan penyakit yang sangat kurang mengakibatkan ditemukan berbagai penyakit
yang menyerang tanaman jeruk kalamansi, bahkan telah menyebar ke tanaman lain dengan
sangat cepat.
Gambar 2 a-g menunjukkan perkembangan tingkat keparahan penyakit-penyakit utama
pada tanaman jeruk kalamansi di kebnn LPPB Bengkulu Utara. Tingkat keparahan penyakit-
penyakit utama pada jeruk kalamansi secara umum mengalami peningkatan dari waktu ke waktu,
kecuali penyakit gummosis, baik pada lahan landai maupun lahan miring. Tingkat keparahan
penyakit kudis pada tanaman jeruk kalamansi di lahan landai dan lahan miring mencapai lebih
dari 60% pada awal pengamatan dan mengalami peningkatan hingga hampir 100%. Penyakit
kudis ditemukan pada buah yang masih sangat muda hingga buah matang, tetapi semakin
matang buah gejala kudis semakin berkurang.

333
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

100

Serangan Penyakit Kudis


80
60
40

(%)
LANDAI
20 MIRING
0
135
Pengamatan ke

a b
100
Serangan Penyakit Bercak
Kuning Daun (%)

50
LANDAI
MIRING
0
123456
Pengamatan ke

c d
Serangan Penyakit Bercak

100
Putih Cabang (%)

50
LANDAI
MIRING
0
123456
Pengamatan ke

e f
Serangan Penyakit

16
Gummosis (%)

12
8
LANDAI
4
0 MIRING
1 2 3 4 5 6
Pengamatan ke

Gambar 1. Perkembangan Persentase Serangan Penyakit-Penyakit Utama pada Tanaman Jeruk


Kalamansi.

334
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 1. Karakteristik kebun jeruk kalamansi LPPB Bengkulu Utara


No. Data Keterangan
1 Luas kebun 5000 m2
2 Jarak tanam 3m x 3m
3 Topografi Landai hingga miring
− Kemiringan 80 (lahan landai)
170 (lahan miring)
− Ketinggian 40 mdpl
4 Asal tanaman pertama kali Filipina
5 Asal bibit Batang atas tanaman jeruk Kalamansi
Batang bawah tanaman jeruk Citrun (Japan citron/JC)
6 Suhu (T) 300C – 380C (Pengamatan pukul 09.00 – 10.00 WIB)
310C – 410C (Pengamatan pukul 15.00 – 16.00 WIB)
7 Kelembaban (RH) 51% – 87% (Pengamatan pukul 09.00 – 10.00 WIB)
48% – 83% (Pengamatan pukul 15.00 – 16.00 WIB)
8 Pemeliharaan Jenis padat
− Pemupukan Dosis NPK 0,5 kg/batang
Dosis Kompos 25 kg/batang
Frekuensi pemupukan enam bulan sekali
Cara pemupukan, NPK dibenamkan dalam tanah dan
pupuk kandang dijadikan kompos.
Tidak ada
− Pengendalian OPT Mesin pemotong rumput dan Herbisida Gulma
− Pengendalian Gulma 2 kali selama penelitian (Januari dan Maret).
− Pemangkasan
Sumber: Prawoto (2016)

Tingkat keparahan penyakit embun jelaga relatif rendah, yaitu 20%-30%, di lahan landai
dan lahan miring (Gambar 2 b). Di lahan landai tidak terjadi peningkatan maupun penurunan
tingkat keparahan penyakit embun jelaga, berbeda dengan di lahan miring tingkat keparahan
penyakit embun jelaga terjadi sedikit fluktuasi. Fluktuasi tersebut terjadi berkaitan dengan
populasi kutu daun yang menyerang tanaman jeruk kalamnsi. Populasi kutu daun akan tinggi
pada lingkungan yang kering. Sekresi kutu daun menjadi bahan yang penting untuk
berkembangnya patogen embun jelaga. Pada lahan miring populasi kutu daun lebih tinggi
daripada pada lahan landai karena suhu yang lebih kering lebih disukai kutu daun.
Hal yang relatif sama juga terjadi pada tingkat keparahan penyakit bercak kuning daun dan
kekurangan zinc pada tanaman jeruk kalamansi di lahan landai dan miring mengalami fluktuasi
yang tidak terlalu signifikan dengan intensitas antara 20%-30% (Gambar 2 c dan d).
Pemangkasan yang teratur pada lahan landai menyebabkan intensitas penyakit bercak kuning
daun menurun, ketika mulai tumbuh daun muda maka tingkat keparahan penyakit akan
meningkat karena daun-daun muda terinfeksi penyakit. Sebaliknya tingkat keparahan penyakit
bercak putih pada cabang sangat berfluktuasi di lahan landai dan lahan miring dengan tingkat
keparahan yang hampir sama (Gambar 2 e). Sementara tingkat keparahan penyakit bercak hitam
pada cabang di lahan landai lebih tinggi dibandingkan di lahan miring selama tiga bulan
pengamatan (Gambar 2 f). Hal sebaliknya terjadi pada tingkat keparahan penyakit gummosis
yang tinggi pada lahan miring dan tidak ditemukan di lahan landai (Gambar 2 g).
Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat keparahan penyakit kudis, embun jelaga, bercak
kuning daun, kekurangan unsur hara zinc, dan bercak putih cabang relatif sama antara tanaman di
lahan landai dan miring. Hal yang berbeda terjadi dengan penyakit bercak hitam cabang dan
gummosis. Pemupukan yang dilakukan di lahan miring dapat terjadi leaching menuju lahan landai
sehingga tanaman di lahan landai memiliki tajuk yang lebih besar dibandingkan tanaman di lahan
miring. Iklim mikro tanaman di lahan landai lebih cocok bagi patogen penyakit bercak hitam cabang

335
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

sehingga penyakit ini lebih parah di lahan landai. Sementara itu, penyakit gummosis pada tanaman
di lahan miring sangat dipengaruhi oleh arah angin yang bergerak dari Timur ke Barat, sehingga
terjadi penyebaran penyakit dari lahan miring ke lahan landai. Cook (dalam Semangun, 1989)
menyatakan bahwa penyebaran penyakit gummosis lebih cepat pada suhu tinggi, yaitu 37oC,
sehingga serangan penyakit gummosis lebih banyak pada daerah-daerah yang beriklim panas
(Fawcett dan Klotz dalam Semangun, 1989).

100
Serangan Penyakit Kudis

80
60
(%)

40 LANDAI
20 MIRING
0
123456
Pengamatan ke b
a
Bercak Kuning Daun (%)

30
Serangan Penyakit

20

10 LANDAI
MIRING
0
1 2 3 4 5 6
Pengamatan ke
d
c

60
Bercak Putih Cabang (%)
Serangan Penyakit

50
Serangan Penyakit

60
Bercak Hitam…

40 50
30 40
LANDAI 30 LAND
20 AI
20
10 MIRING 10 MIRIN
0 0
G
123456 135
e Pengamatan ke f Pengamatan ke

6
Serangan Penyakit
Gummosis (%)

2 LANDAI
MIRING
0
123456
g Pengamatan ke

Gambar 2. Perkembangan Intensitas Serangan Penyakit-Penyakit Utama pada Tanaman Jeruk


Kalamansi.

336
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Peningkatan persentase serangan dan tingkat keparahan penyakit-penyakit utama tersebut


di atas berdampak terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang utama, jumlah buah, dan bobot buah
panen. Tinggi tanaman jeruk kalamansi terus meningkat selama pengamatan dengan
peningkatan lebih besar pada tanaman di lahan landai, sedangkan jumlah cabang utama lebih
banyak pada tanaman di lahan miring (Gambar 3 a dan b). Hal ini bisa terjadi karena adanya
pemangkasan tajuk pada tanaman jeruk di lahan landai. Pemangkasan tanaman dilakukan agar
tinggi tanaman tidak lebih dari 2,5 m dengan pertimbangan agar tidak menyulitkan proses
pemanenan.

3.5 8

7
3

Jumlah cabang utama (buah)


6
2.5
Tinggi tanaman (m)

5
2
4
1.5 LANDAI LANDAI
MIRING 3 MIRING
1
2
0.5
1
0 0
2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12
Minggu ke Minggu ke
a b

Gambar 3. Perkembangan Tinggi Tanaman (a) dan Jumlah Cabang Utama (B) Tanaman Jeruk.

Jumlah cabang utama tanaman pada lahan landai lebih rendah dari pada lahan miring karena
pemangkasan yang teratur. Adanya pemangkasan menyebabkan cabang utama berukuran lebih
besar, sedangkan pada tanaman di lahan miring jumlah cabang utama lebih banyak karena
pemangkasan tidak dilakukan karena sulitnya medan sehingga cabang utama mempunyai ukuran
yang lebih kecil. Tinggi tanaman dan jumlah cabang utama tanaman jeruk kalamansi sangat terkait
dengan jumlah dan bobot buah. Data jumlah buah dan bobot buah pada saat panen disajikan pada
Gambar 4.
487 9.5
Jumlah buah (buah/tanaman)

500 10
Bobot buah (kg/tanaman)

400 8
308
300 6 4.73

200 4

100 2

0 0
LANDAI MIRING LANDAI MIRING
Kondisi lahan Kondisi lahan
a b

Gambar 4. Rerata Jumlah Buah (A) dan Bobot Buah (B) Per Tanaman Jeruk Kalamansi.

337
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tanaman jeruk kalamansi di lahan landai mempunyai tinggi tanaman yang lebih tinggi
dengan jumlah cabang utama yang lebih rendah serta ukuran cabang lebih besar ternyata
menghasilkan jumlah buah yang lebih banyak dan bobot buah yang lebih besar. Sedangkan
tanaman di lahan miring mempunyai tinggi yang rendah dengan jumlah cabang utama yang
banyak dengan ukuran cabang kecil menghasilkan jumlah buah sedikit dan bobot buah yang
kecil.
Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah cabang utama, jumlah buah, dan bobot buah panen
sangat dupengaruhi oleh kondisi lahan (landai atau miring), tingkat keparahan penyakit-penyakit
yang menyerang tanaman jeruk kalamansi, serta tingkat pengelolaan kebun. Pengelolaan kebun
yang kurang baik akan berakibat pada kondisi iklim mikro di sekitar tanaman yang sangat
mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit serta menurunkan produksi tanaman jeruk.

PENUTUP
1. Persentase serangan untuk ketujuh penyakit utama pada tanaman di lahan landai dan miring
memiliki trend yang relatif sama kecuali penyakit gummosis.
2. Tingkat keparahan penyakit kudis, embun jelaga, bercak kuning daun, kekurangan unsur hara
zinc, dan bercak putih cabang relatif sama di lahan landai dan miring , tetapi berbeda pada
penyakit bercak hitam cabang dan gummosis.
3. Pertumbuhan tanaman di lahan landai lebih tinggi, jumlah cabang utama sedikit, dan jumlah
buah serta bobot buah banyak. Sedangkan tinggi tanaman yang lebih rendah di lahan miring,
jumlah cabang utama lebih banyak, dan jumlah serta bobot buah sedikit.
4. Tingkat keparahan penyakit pada tanaman jeruk kalamansi sangat terkait dengan
pertumbuhan dan produksi tanaman jeruk kalamansi.

Pengelolaan tanaman jeruk kalamansi yang lebih baik dan monitoring penyakit secara
berkala diharapkan dapat dilakukan di kebun jeruk kalamansi LPPB Bengkulu Utara agar dapat
menurunkan tingkat keparahan penyakit-penyakit utama.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala Lembaga Pengembangan Pertanian Baptis,
Desa Dusun I, kecamatan Pondok Kubang, kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi Bengkulu
beserta staf atas ijin, perkenan, dan bantuan yang telah diberikan selama penelitian ini
berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2018. Data harian curah hujan pos tahura dan
data kelembaban, suhu udara dan penyinaran matahari pos stasiun klimatologi bengkulu
bulan Februari – April 2017. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Bengkulu.
Ibrahim, H. 2014. Deskripsi jeruk nipis varietas kalamansi fr. Diambil 14 Juni 2017 dari
http://varitas.net/dbvarie tas/deskripsi/4120.pdf.
Junaidi, A. 2011. Pengembangan produk unggulan jeruk kalamansi kota Bengkulu dengan
pendekatan. Diambil 25 Agustus 2018 dari http://jurnal.smecda.com/index.php/
infokop/article/download/1 66/163.
Nopitasari. 2015. Inventarisasi dan identifikasi penyebab penyakit pada jeruk gerga lebong.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu, Bengkulu (tidak dipublikasikan).
Prawoto. 2016. Wawancara tentang jeruk kalamansi di Kecamatan Pondok Kubang, Bengkulu
Tengah. (Komunikasi Pribadi).

338
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Purnomo, B. 2016. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Fakultas


Pertanian, Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tambunan. 2017. Wawancara tentang jeruk kalamansi di LPPB Bengkulu Tengah. (Komunikasi
Pribadi).

339
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

340
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

VI
Teknologi Pangan

341
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

342
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Teknologi Pasca Panen Talas Bogor (Colocasia esculenta) untuk


Penguatan Agroindustri Berbahan Baku Sumber Daya Lokal
Post Harvest Technology of Bogor Taro (Colocasia esculenta) for
Strengthening Agro-Industry Based on Local Resources
Asmanur Jannah1, Febi Nurmala2, Andi Masnang1, dan Refitria Febrian Ramdhiana1
1Fakultas Pertanian Universitas Nusa Bangsa, Bogor
2 Fakultas MIPA, Universitas Nusa Bangsa, Bogor

ABSTRAK

Kata Kunci: Talas Bogor (Colocasia esculenta) sebagai ikon Kota Bogor, merupakan
Talas Bogor sumber pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan. Universitas Nusa
Pasca Panen Bangsa mempunyai koleksi 3 klon harapan talas bogor, satu diantaranya
Tepung Talas sudah berupa varietas yaitu : Febi 521, dua lainnya adalah B 1511 dan B1023
Perendaman (Nurilmala, 2017). Talas bogor mudah rusak, oleh karena itu perlu
Bahan Baku Industri penanganan pasca panen yang tepat agar ketersediaannya sebagai bahan baku
industri dapat terjamin, salah satunya dengan pembuatan tepung. Tujuan
penelitian ini adalah untuk membandingkan karakter tepung talas bogor
(Colocasia esculenta) yang dihasilkan melalui proses perendaman dengan 3
klon talas bogor koleksi UNB. Percobaan ini dilakukan di laboratorium
Kimia Universitas Nusa Bangsa dan Balai Besar Penelitian Pasca Panen,
Badan Litbang Pertanian. Perlakuan disusun secara faktorial dengan 2 faktor.
Faktor pertama adalah 3 klon talas bogor yaitu : B 1511, B 1023 dan Febi
511 sedangkan faktor kedua adalah perendaman yaitu : 1) tidak direndam
(K), 2) direndam dalam air (A) dan 3) direndam dalam larutan garam 5% (G)
selama 30 menit. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Variabel yang diamati:
rendemen (%), Kadar Air (%), densitas kamba (g/ml), kadar pati (%), kadar
amilosa(%) dan amilopektin (%). Hasil percobaan menunjukkan bahwa
1)Tidak ada interaksi antara dua faktor terhadap karakter tepung talas. 2)
Klon berpengaruh terhadap rendemen, kadar pati dan kadar amilopektin
tepung talas. 3) Perendaman berpengaruh terhadap densitas kamba. Dimana
perendaman dengan larutan garam memiliki densitas kamba tertinggi. 4)
Klon Febi 521 dengan rendemen dan kadar pati yang tinggi merupakan klon
yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan kontrol (tanpa
perendaman) dapat disarankan untuk pembuatan tepung talas sebagai bahan
baku indutri.

ABSTRACT

Keywords: Bogor Taro (Colocasia esculenta) as an icon of Bogor City, is a potential


Bogor Taro local food source to be developed. The University of Nusa Bangsa has a
Post Harvest collection of 3 Bogor taro hope clones, one of which is in the form of
Taro Flour varieties, namely: Febi 521, the other two are B 1511 and B1023 (Nurilmala,
Soaking 2017). Bogor Taro is easily damaged, therefore we need proper post-harvest
handling so that its availability as an industrial raw material can be
guaranteed, one of which is by making flour. The purpose of this study was
to compare the character of Bogor taro flour (Colocasia esculenta) produced
through immersion process with 3 bogor taro clones from UNB collection.
This experiment was carried out in the Post-Harvest Chemistry lab of UNB

343
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

and BB Post. The treatment was arranged in factorial with 2 factors: The
first factor was 3 bogor taro clones, namely: Febi 521; B 1511 and B 1023
and the second factor is immersion namely: 1) not soaked (K), 2) immersed
in water (A) and 3) immersed in a 5% (G) salt solution for 30 minutes. Each
treatment was repeated 3 times. Observed variables: yield (%), water content
(%), bulk density, starch (%), amylose content (%) and amylopectin (%).
The results showed that there was no interaction between the immersion
treatment on some of the Bogor taro clones to the observed variables, except
the bulk density. From the results of this study it can be concluded that the
control treatment (without soaking) can be recommended for making taro
flour as industrial raw material

Email Korespondensi: asmanurdjannah@yahoo.com

PENDAHULUAN
Talas bogor (Colocasia esculenta), adalah tanaman herba yang menjadi ikon Kota Bogor.
Talas bogor merupakan sumber pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan. Tanaman ini
seringkali dibudidayakan pada daerah tropis dengan curah hujan cukup (175-250 cm/tahun) serta
memerlukan tanah yang subur di daerah lembab dengan temperatur sekitar 21-27ºC. Talas bogor
dapat hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 m di atas permukaan laut, namun tidak
tahan terhadap temperatur sangat rendah (beku) (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Kandungan
utama umbi talas adalah karbohidrat dengan persentase di atas 70% (Syarif, Akhir, dan Satria,
2017) sehingga berpotensi sebagai sumber pangan alternatif. Pada umumnya, masyarakat
mengonsumsi umbi talas sebagai makanan tambahan dan bukan makanan pokok. Makanan
tambahan ini biasanya disajikan dalam bentuk rebusan, gorengan dan bahan olahan lainnya.
Terdapat banyak industri rumah tangga di Kota Bogor yang telah memanfaatkan talas
sebagai bahan bakunya. Namun, talas mudah rusak dan berlendir. Talas bogor hanya tahan
disimpan dalam kondisi segar selama lima hari, dengan susut bobot sebanyak 5%. Penyimpanan
lebih dari lima hari menyebabkan peningkatan persentase susut bobot dan berpotensi untuk
menimbulkan kerusakan mikrobiologis seperti tumbuh jamur serta tunas (Putri, Haryanti, dan
Izzati, 2017). Selain itu, lendir yang terdapat pada talas menyebabkan proses pengolahan talas
menjadi lebih sulit karena cenderung licin.
Untuk memperpanjang umur simpan talas dapat dilakukan dengan mengolah talas menjadi
tepung. Dalam bentuk tepung, pemanfaatan talas menjadi lebih luas baik sebagai bahan baku
pangan berbasis tepung maupun sebagai bahan kosmetik dan plastik (Setyowati,
Hanarida, dan Sutoro.2007). Disamping memperpanjang umur simpan, pengolahan talas
menjadi tepung juga mengurangi eksposur lendir. Inovasi ini berkembang menjadi
pemanfaatan tepung talas sebagai bahan baku industri yang sedang berkembang di wilayah
Bogor, yaitu untuk membuat brownis talas dan lapis talas. Pemanfaatan tepung talas ini
diproyeksikan dapat menggantikan penggunaan tepung gandum dalam pembuatan brownis,
cake, dan cookis.
Universitas Nusa Bangsa memiliki klon harapan talas bogor diantaranya : B 1023, B 1511
dan Febi 521. (Nurilmala, et al. 2017). Ketiga klon ini potensial untuk dikembangnya menjadi
substitusi tepung gandum sebagai bahan baku pembuatan cookies, brownies dan lain lain untuk
penguatan agroindustri berbahan baku sumberdaya lokal. Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan kemandirian pangan Indonesia sesuai dengan amanat UU RI Nomor 18 tahun
2012.
Proses pembuatan tepung dari umbi-umbian sering kali didahului dengan berbagai
perlakuan pendahuluan seperti : pengukusan atau blancing (), perendaman dalam air, dalam
larutan garam NaCl () atau dalam larutan natrium beta bisulfit (). Tujuan perlakuan pendahuluan

344
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

ini bermacam-macam diantaranya: untuk menguragi lendir agar tidak licin dan memudahkan
proses penanganan, untuk mengurangi rasa gatal atau untuk menghambat terjadinya browning.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakter fisik dan kimia tepung talas yang
dihasilkan melalui proses perendaman pada 3 klon koleksi UNB. Penelitian ini dilakukan untuk
melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu tentang studi pengaruh
proses perendaman dan perebusan terhadap kandungan kalsium oksalat pada umbi senthe
(Amalia dan Yuliana, 2013); pembuatan tepung talas (Chotimah dan Fajarini. 2013); Mayasari,
2010; dan pemanfaatannya untuk pembuatan roti tawar (Teridaute, 2011), cookies (Nurbaya dan
Es tiasih, 2013), pembuatan brownis (Haliza,. Kailaku dan Yuliani.2012), dan pembuatan cake
(Kafah, 2012).

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Gambar 1. Kerangka Konsep.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Nusa Bangsa (UNB) dan Balai
Besar Penelitian Pasca Panen (Badan Litbang Pertanian) Bogor mulai bulan Maret sampai
dengan Agustus 2019. Bahan penelitian yang digunakan adalah 3 klon harapan talas bogor

345
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

koleksi UNB yakni : B 1511, B 1023 dan Febi 521. Bahan lainnya adalah garam NaCl. Alat
yang digunakan dalam penelitian ini: slicer, drying oven. Metode penelitian eksperimental
dimana perlakuan disusun secara factorial dengan 2 faktor. Faktor pertama: klon (B 1511, B
1023 dan Febi 521) Faktor kedua : perendaman (tanpa direndam, direndam dalam air dan
direndam dalam larutan garam 5% selama 30 menit). Perlakuan diulang 3 kali dan setiap unit
percobaan ditempatkan secara acak lengkap.
Sebagai informasi bahwa 3 klon yang digunakan berasal dari tetua yang diberi sinar Gamma
dengan dosis irradiasi yang berbeda. Klon Febi 521 berasal dari penyinaran sinar gamma
dengan dosis 5 Gy, sedangkan B 1023 dengan dosis 10 Gy dan B 1511 dengan dosis 15 Gy
(Nurilmala et al. 2017)

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Talas.


Tahap pelaksanaan penelitian : talas bogor dari kebun Ciomas dipanen pada umur 9 bulan,
dikupas dan diiris menggunakan slicer dengan ketebalan 2 mm (Gambar 1). Talas yang sudah
diiris direndam sesuai perlakuan. Setelah itu dibilas dan ditiriskan. Setelah tdk ada air yang
menetes dimasukkan dalam lemari pengering dengan suhu 55oC sampai kering (kadar air

346
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

berkisar 6-7 %). Setelah kering di hancurkan dan diayak dengan saringan 100 mesh hingga
dihasilkan tepung. Variabel yang diamati meliputi: rendemen (%), kadar air (%) dan densitas
kamba (g/ml), kadar amilosa (Spektrofotometri) dan kadar pati (SNI 01-2891-1992) dan uji
organoleptik terhadap warna dan aroma tepung (Uji Kesukaan). Hasil pengamatan dianalisis
menggunakan uji F dan bilamana dari hasil tersebut ada pengaruhnya akan dilanjutkan dengan
uji Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf 5 persen.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengolahan talas bogor menjadi tepung merupakan salah satu penangan pasca panen untuk
memperpanjang daya simpan talas bogor. Perlakuan pendahuluan pada proses pembuatan tepung
talas dilakukan untuk beberpa tujuan antara lain: untuk kemudahan dalam proses pengolahan,
untuk mencegah terjadinya browning atau untuk mengurangi lendir. Rerata hasil pengamatan
terhadap karakter tepung talas disajkan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut diketahui bahwa
rendemen tepung talas yang dihasilkan berkisar antara 28,25 – 30, 76; kadar air antara 3,22 –
7,14 memenuhi standar KA tepung yaitu < 14 %. Kadar pati antara 39,06 – 67,35 %; Kadar
amilosa antara 11,53 – 13,64 % dan amilo pektin antara 27,34 – 53,56.

Tabel 1. Rerata Hasil Pengamatan.


Klon Perendaman Rendemen KA DK Pati Amil Amipektin
B1511 Kontrol 28,25 4,43 1,14 48,50 13,64 34,90
Air 28,31 4,98 1,15 46,35 11,53 34,82
Garam 29,59 7,14 1,15 39,69 12,35 27,34
B1023 Kontrol 30,76 5,10 1,16 47,93 12,95 35,00
Air 29,48 3,22 1,15 45,11 13,93 31,17
Garam 30,28 4,62 1,14 39,06 13,70 25,35
FEBI 521 Kontrol 29,67 4,23 1,12 67,37 13,46 53,56
Air 28,33 4,37 1,09 65,55 12,88 52,38
Garam 29,33 4,82 1,17 58,61 12,93 45,88

Interaksi Perlakuan terhadap Sifat Kimia Tepung


Dari hasil analisis ragam tidak dijumpai adanya interaksi antar kedua faktor terhadap
semua variabel yang diamati Dengan kata lain perlakuan perendaman pada 3 klon talas bogor
yang dicobakan tidak mempengaruhi karakter fisik dan kimia tepung talas khususnya yang
diamati pada percobaan ini.

Pengaruh Klon terhadap Karakterisik Tepung


Dari hasil analisis ragam, klon berpengaruh terhadap rendemen tepung, kadar pati dan
kadar amilopektin. Dari tabel di atas terlihat bahwa rendemen tertinggi terdapat pada klon B
1023 yang tidak berbeda nyata dengan Febi 521. Sedangkan kandungan pati dan amilopektin
tertinggi terdapat pada klon Febi 521. Sehingga dari ketiga klon tersebut, klon Febi 521
merupakan klon terbaik untuk dikembangkan dalam rangka penguatan agroindustry berbahan
baku sumber daya lokal. Sekalipun demikian kadar pati pada ketiga klon diatas masih
tergolong rendah, karena kurang dari 65 %.

Tabel 2. Pengaruh Klon terhadap Karakterisik Tepung.


Perlakuan Rendemen (%) Pati (%) Amilopektin (%)
B 1511 28,71 a 44,86 a 32,35 a
B 1023 30,18 b 44,03 a 30,50 a
FEBI 521 29,11 ab 63,84 b 50,61 b

347
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gambar 3. Grafik Pengaruh Klon terhadap Tepung Talas. Pengaruh Perendaman Terhadap Karakter
Tepung

Pengaruh perlakuan perendaman tidak berbeda nyata terhadap karakter tepung talas
kecuali densitas kamba. Nilai densitas kamba tertinggi diperoleh pada perendaman dengan
larutan garam. hal diduga molekul garam menambah bobot tepung. Larutan garam diperlukan
untuk menguragi rasa gatal yang ditimbulkan oleh kandungan calsium oksalat. Namun semakin
tinggi nilai DK semakin sulit dalam pengolahan.

Tabel 3. Pengaruh Perendaman terhadap Karakterisik Tepung.


Perlakuan Rendemen (%) KA (%) DK (g/ml)
Kontrol 28,71 4,19 1,13 a
dgn Air 29,56 4,59 1,14 ab
larutan Garam 29,74 5,52 1,15 b

Gambar 4. Pengaruh Perendaman terhadap Karakter Tepung Talas.

PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Tidak ada interaksi antara dua faktor terhadap karakter tepung talas.
2. Klon berpengaruh terhadap rendemen, kadar pati dan kadar amilopektin tepung talas.
3. Perendaman berpengaruh terhadap densitas kamba. Dimana perendaman dengan larutan
garam memiliki densitas kamba tertinggi.

348
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

4. Klon Febi 521 dengan dengan rendemen dan kadar pati yang tinggi merupakan klon yang
potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri
a. Berdasarkan hal tersebut, pembuatan tepung talas selanjutnya disarankan tanpa perendaman.
Untuk pengayakan disarankan menggunakan saringan 60 mesh.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih kepada LPPM Universitas Nusa Bangsa yang telah memfasilitasi dengan
membantu sebagian pendanaan sehingga penelitian ini bisa dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia R. dan R. Yuliana YS. 2013. Studi Pengaruh Proses Perendaman dan Perebusan terhadap
kandungan kalsium oksalat pada umbi senthe. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. Vol 2.
No.3. tahun 2013. Halaman: 17-23
Chotimah, S dan DT. Fajarini. 2013. Reduksi Kalsium oksalat dengan perebusan menggunakan
NaCl dan penepungan untuk meningkatkan kualitas sente (Alocasia macrorrhiza) sebagai
bahan pangan. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. Vol 2. No.2 tahun 2013. Halaman: 76-
83.
Haliza W, S. I. Kailaku dan S. Yuliani.2012. Penggunaan Mixture Response Surface
Methodology pada Optimasi Formula Brownies Berbasis Tepung Talas Banten
(Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai Alternatif Pangan Sumber Serat. J. Pascapanen
9(2) 2012:96 – 106.
Kafah, FFS.2012. Karakteristik Tepung Talas (Colocasia esculenta (L) Schott) dan
Pemanfaatannya dalam Pembuatan Cake. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian.IPB..
Mayasari,Novia.2010. Pengaruh Penambahan Larutan Asam Dan Garam SebagaiUpaya Reduksi
Oksalat pada Tepung Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Skripsi Fakultas Teknologi
Pertanian.IPB.
Minantyorini dan I. Hanarida. 2002. Panduan Karakterisasi dan Evaluasi Plasma Nutfah Talas.
Komisi Nasional Plasma Nutfah.Badan Litbang pertanian. Departemen Pertanian.
Nurbaya, SR, T. Estiasih, 2013. Pemanfaatan Talas Berdaging Umbi Kuning (Colocasia esculenta
(L.) Schott) dalam Pembuatan Cookies. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 1 No.1 p.46-
55.
Nurilmala, F, RP.Hutagaol, IM Widhyastini, U. Widyastuti and , Suharsono. 2017. Somaclonal
variation induction of Bogor taro (Colocasia esculenta) by gamma irradiation.
Biodiversitas. ISSN: 1412-033X Volume 18, Number 1, January 2017 . E-ISSN: 2085-
4722. Pages: 28-33
Putri1,JC S, S. Haryanti, M. Izzati, 2017. Pengaruh Lama Penyimpanan TerhadapPerubahan
Morfologi Dan Kandungan Gizi PadaUmbi Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott).
Jurnal Biologi, Volume 6 No 1, Januari 2017. Hal. 49-58
Rahmawati, W., Y. A. Kusumastuti dan N. Aryanti. Karakterisasi pati talas (Colocasia esculenta (L).
Schott) sebagai alternative sumber pati industry di Indonesia. J. teknologi Kimia dan
Industri.Vol. 1 No. 1. 2012. Hal.347-351.https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jtki
Setyowati, M., I. Hanarida, dan Sutoro.2007. Karakteristik Umbi Plasma Nutfah Tanaman Talas
(Colocasia esculenta). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Buletin Plasma Nutfah Vol.13 No.2 Th.2007.

349
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Syarif, Z., N. Akhir, and B. Satria.2017. Identification of Plant Morphology of Taro as a Potential
Source of Carbohydrates. International Journal on Advanced Science Engineering
Information Technology.Vol.7 (2017) No. 2: 573-579
Teridaute. AE, 2011. Pengembangan Proses Pengolahan Tepung Talas Bogor Dalam Pembuatan
Roti Tawar: Pengaruh Konsentrasi Ragi Terhadap Kualitas. Skripsi. Program Studi Tek.
Pangan. Fak. Teknologi Pertanian.Universitas Katolik Widya Mandala
Undang Undang Republik Indonesia. Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

350
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Penggunaan Berbagai Bagian Buah Nanas (Ananas comosus, (L.) Merr)


dengan Tingkat Penambahan yang Berbeda dalam Pembuatan
Keju Cottage
Use of Various Parts from Pineapple Fruit (Ananas comosus, (L.) Merr)
with Different Additions in Cottage Cheese Production
Deivy Andhika Permata1, Ramona Pintadiati1, Rini1
1Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Kata Kunci: Buah nanas merupakan salah satu sumber enzim protease yang dapat
Bromelin membantu proses pengumpalan protein susu dalam pembuatan keju. Bagian
Ketu cottage buah nanas yang berbeda menghasikan enzim protease dengan aktivitas
Nanas berbeda pula. Untuk itu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui interaksi antara penggunaan sari dari beberapa bagian buah nanas
dengan tingkat penambahan yang berbeda terhadap karakteristik keju cottage
yang dihasilkan, mengetahui pengaruh penggunaan sari dari berbagai bagian
buah nanas terhadap karakteristik keju cottage yang dihasilkan, dan
mengetahui pengaruh tingkat penambahan sari buah nanas terhadap
karakteristik keju cottage yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap dua faktor (faktor A berbagian buah nanas dan faktor
B tingkat penambahan sari buah yang berbeda), masing-masing 3 kali
ulangan. Data dianalisisxmenggunakanxAnalysis of ariance danxdilanjutkan
dengan ujixlanjut Duncan’s Multiple New Range Test pada taraf 5%. Hasil
penelitianxmenunjukkanxbahwa interaksi antara sari dari berbagai bagian
buah nanas dengan tingkat penambahan sari buah nanas yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar air, kadar protein, kadar lemak,
dan tekstur keju cottage, namun berpengaruh tidak nyata terhadap pH, total
asam, kadar abu, warna, aroma dan rasa dari keju cottage. Penggunaan sari
dari beberapa bagian buah nanas berpengaruh nyata terhadap rendemen, pH,
total asam, kadar air, kadar lemak, kadar protein, warna, rasa dan tekstur keju
cottage, serta berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu dan aroma keju
cottage. Tingkat penambahan sari buah nanas yang berbeda berpengaruh
nyata terhadap rendemen, pH, total asam, kadar air, kadar abu, kadar lemak,
kadar protein, warna, rasa, dan tekstur keju cottage, tetapi berpengaruh tidak
nyata terhadap aroma keju cottage. Berdasarkan hasil analisa organoleptik
diperoleh keju cottage terbaik dengan penambahan 100 mL sari daging buah
nanas, dengan skor warna 4,35; skor aroma 3,95; skor rasa 3,95 dan skor
tekstur 4,25.
ABSTRACT

Keywords: Pineapple is a source of protease that can help the process of milk protein
Bromelain coagulation in cheese production. Different parts of pineapple can be produce
Cottage cheese protease with different activities. For this reason, a study was conducted to
Pineapple determine the interaction between the use of juice from several parts of
pineapple with different levels of addition to the characteristics of the
resulting cottage cheese, determine the effect of using juice from various
parts of pineapple to the characteristics of the resulting cottage cheese and
determine the effect of the level addition of pineapple juice to the
characteristics of the resulting cottage cheese. This study used two complete

351
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

factor designs (factor A sharing pineapple fruit and factor B different levels
of fruit approval), each of 3 replications. Data was analyzed statistically by
using Analysis of ariance and continued with Duncan's Multiple New Range
Test at 5% significant level. Thexresults ofxthisxresearch showedxthat
interaction between juice from some parts of the pineapple fruit and levels of
addition juice were significantly effected rendemen, moisture content,
protein content, fat content, and texture of the cottage cheese, but not
significantly effected to pH, total acids, ash content, colour, aroma and flavor
of the cottage cheese. The treatment of juice from some parts of the pineapple
were significantly effected the rendemen, total acids, pH, moisture content,
fat content, protein content, colour, flavor, and the texture of cottage cheese,
but not significantly effected to ash content and aroma of the cottage cheese.
The treatment of levels of addition were significantly effected to rendemen,
pH, total acids, moisture content, ash content, fat content, protein content,
color, flavor, and the texture of cottage cheese, but not significantly effected
to aroma of the cottage cheese. The best product based on sensory analysis
was 100 mL juice of the flesh of pineapple, with score of colour 4.35 aroma
3.95 flavor 3.95 and texture 4,25.

Email Korespondensi: deivyandhikapermata@ae.unand.ac.id

PENDAHULUAN
Keju merupakan produk olahan susu, yang dapat memperpanjang daya simpan dan
meminimalkan kerusakan yang terjadi pada susu. Menurut Food and Agriculture Organization
(FAO), keju adalah produk segar atau peram yang dihasilkan dengan pemisahan cairan (whey)
dari koagulan setelah penggumpalan susu. Berdasarkan kadar air yang dikandungnya, keju
diklasifikasikan menjadi keju sangat keras, keju keras, keju semi keras, keju semi lunak dan keju
lunak. Contoh dari keju lunak adalah keju cottage (Daulay, 1991). Menurut Lampert (1965) keju
cottage merupakan jenis keju dengan tekstur yang lunak dan tanpa pemeraman yang dibuat dari
susu segar atau susu skim dengan penambahan asam dan enzim rennet sebagai koagulan. Rennet
dapat diisolasi dari lambung anak sapi, namun pada saat ini produktivitas rennet mengalami
penurunan yang mengakibatkan melambungnya harga enzim tersebut, hal ini tentu juga
mengakibatkan biaya untuk memproduksi keju menjadi semakin meningkat, sehingga perlu
dicari alternatif penggunaan rennet dalam pembuatan keju untuk menekan biaya produksi. Salah
satu enzim yang dapat digunakan sebagai penggumpal protein yaitu enzim bromelin yang berasal
dari tanaman nanas. Bromelin merupakan enzim proteolitik yang sifatnya dapat menghidrolisis
protein, seperti enzim rennin, papain, dan fisin (Nurhidayah et al., 2013). Beberapa keuntungan
dari penggunaan bromelin adalah selain mudah didapat harganya juga lebih murah dibanding
rennet.
Bromelin merupakan salah satu jenis enzim protease kelompok sulfhidril yang mampu
menghidrolisis ikatan peptida pada protein atau polipeptida menjadi molekul yang lebih kecil
yaitu asam amino (Winarno, 2010). Bromelin dapat diperoleh dari tangkai, kulit, daun, buah,
batang tanaman nanas, serta empulur buah nanas dalam jumlah yang berbeda (Ishak, 2012).
Menurut Ferdiansyah (2005) kandungan bromelin tertinggi terdapat pada batang sebesar 0,100-
0,600%, diikuti oleh daging buah masak 0,080-0,125% dan buah utuh masak sebesar 0,060-
0,080%. Pada penelitian ini digunakan buah nanas masak dengan bagian daging buah, empulur
dan kulit buah nanas. Hal ini bertujuan selain bromelin dapat mengumpalkan kasein juga
berperan dalam memberi cita rasa terhadap keju cottage yang dihasilkan, dibandingkan dengan
penggunaan bagian tanaman nanas lainnya. Menurut Anggraini et al., (2013), semakin banyak
penambahan ekstrak buah nanas cenderungn meningkatkan rendemen curd tahu susu yang
dihasilkan, dengan kata lain semakin banyak protein yang digumpalkan. Namun ditinjau dari

352
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

skala industri semakin banyak enzim yang digunakan tentu akan meningkatkan biaya produksi,
sehingga perlu diketahui tinggkat penambahan optimum dari enzim yang digunakan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara penggunaan sari dari beberapa bagian buah nanas
dengan tingkat penambahan yang berbeda terhadap karakteristik keju cottage yang dihasilkan,
mengetahui pengaruh penggunaan sari dari berbagai bagian buah nanas terhadap karakteristik
keju cottage yang dihasilkan, dan mengetahui pengaruh tingkat penambahan sari buah nanas
terhadap karakteristik keju cottage yang dihasilkan.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Berikut kerangka konsep dari penelitian yang dilakukan:

Aktivitas Koagulasi:
- bagian daging buah
- empulur
- kulit buah nanas Karakteristik
Keju Cottage

Jumlah Koagulan (sari berbagai bagian


buah nanas):
- 75 mL
- 100 mL
- 125 mL

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan, yaitu adalah buah nanas masak varietas cayenne, susu sapi
murni, asam cuka, garam, pereaksi biuret, H2SO4, akuades, NaOH 50%, asam borat, indikator
conway, garam fisiologis, batu didih, HCl 0,02 N, dan heksan.
Alat-alat yang digunakan, yaitu alat masak, alat gelas, timbangan analitik, saringan, kain
screen, laminar flow, labu kjhedal, pH meter, oven, soxhlet beserta kondensor, serta lemari
pendingin.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial, faktor
pertama yaitu bagian buah nanas (A) dan faktor kedua yaitu tingkat penambahan sari buah nanas
(B), dengan masing-masing 3 kali ulangan. Data hasil pengamatan dengan menggunakan analisa
sidik ragam, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test
(DNMRT) pada taraf nyata 5%. Berikut faktor perlakuan dari penelitian ini, yaitu:
Faktor A (bagian buah nanas) :
A1 = Daging buah nanas
A2= Empulur buah nanas
A3 = Kulit buah nanas
Faktor B (tingkat penambahan sari bagian nanas dalam 500 mL susu sai murni):
B1 = Penambahan 75 mL sari bagian buah nanas.
B2 = Penambahan 100 mL sari bagian buah nanas.
B3 = Penambahan 125 mL sari bagian buah nanas.
sehingga, diperoleh 9 kombinasi perlakuan yaitu:
A1B1 A1B2 A1B3
A2B1 A2B2 A2B3
A3B1 A3B3 A3B3

353
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan Baku Sari Buah Nanas
Buah nanas dicuci dengan air hingga bersih. Kemudian dilakukan pemisahan antara kulit,
daging, dan empulur buah nanas. Sari dari daging, empulur dan kulit buah nanas diperoleh
dengan cara dihancurkan menggunakan blender, kemudian disaring menggunakan kain screen.
Sari buah nanas yang akan digunakan untuk pembuatan keju cottage dipanaskan sampai
mencapai suhu 65oC.

Pembuatan Keju Cottage


Formulasi pembuatan keju cottage yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 1 dan diagram alir pembuatan keju cottage dapat dilihat pada Gambar 1.

Susu sapi murni

Pasteurisasi 60-65oC 30 menit

Penurunan suhu hingga 50oC

Penambahan sari buah nanas


Susu suhu 500C sesuai perlakuan:
a1b1 a1b2 a1b3
Asam cuka a2b1 a2b2 a2b3
Susu + sari buah nanas a3b1 a3b2 a3b3

Homogenasi

Didiamkan selama 1 jam

curd dan whey

Pemisahan curd dan whey


curd whey

Penyimpanan pada suhu 5oC selama


Garam
3 hari

Keju cottage

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Keju Cottage.

354
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 1. Formulasi Pembuatan Keju Cottage dengan Penambahan Sari Buah Nanas.
Tingkat Penambahan sari buah nanas
Bahan yang Digunakan
B1 (75 mL) B2 (100 mL) B3 (125 mL)
Sari Bagian Buah Nanas (mL)
A1 (Daging buah) 75 100 125
A2 (Empulur) 75 100 125
A3 (Kulit) 75 100 125
Susu Sapi (mL) 500 500 500
Asam cuka (mL) ±30,7 ±23,1 ±15,6
Garam w/w (%) 4 4 4

Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada keju cottage yang dihasilkan, yaitu kadar air, rendemen,
kadar abu, pH keju, total asam, kadar protein, kadar lemak, uji organoleptik, angka lempeng
total, dan uji koliform,.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar Air Keju Cottage
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DMNRT diketahui
adanya interaksi antara perlakuan dan pengaruh berbeda nyata dari masing-masing faktor (Tabel
2).

Tabel 2. Interaksi Antara Sari Berbagai Bagian Buah Nanas dengan Berbagai Tingkat Penambahan yang
Berbeda Terhadap Kadar Air Keju Cottage (%).
Faktor A Faktor B
B3 B2 B1
A3 62,16±0,58 c 65,33±0,36 c 66,14±0,70 c
A B C
A1 64,41±0,43 b 66,97±0,49 b 69,26±0,39 b
A B C
A2 66,26±1,02 a 69,63±0,508 a 72,31±0,51 a
A B C
Keterangan: angka-angka pada lajur (huruf kecil) dan baris (huruf besar) yang tidak sama menunjukan berbeda
nyata pada taraf nyata 5% menurut DNMRT.

Dari Tabel 2 dapat dilihat kadar air keju cottage tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan A2B1
(penambahan 75 mL sari empulur buah nanas) sebesar 72,31%, sedangkan kadar air terendah
ditunjukkan oleh perlakuan A3B3 (penambahan 125 mL sari kulit buah nanas) sebesar 62,16%.
Menurut United States Department Of Agriculture (2001) kadar air keju cottage tidak boleh
melebihi 80%. Keju cottage dengan penambahan sari dari kulit buah nanas memiliki kadar air
terendah, sedangkan keju cottage yang ditambahkan sari dari bagian empulur buah nanas
memiliki kadar air tertinggi. Adanya perbedaan kadar air ini disebabkan adanya perbedaan
aktivitas protrease dari masing-masing bagian buah nanas dalam menghidrolisis kasein. Protease
dari bagian kulit buah nanas memiliki aktivitas protease tertinggi yaitu 8,78 µg/mL dibandingkan
aktivitas enzim protease dari bagian daging (5,15 µg/mL) dan empulur buah nanas (8,59 µg/mL)
(Mazaya, 2018). Curd yang dihasilkan dengan penambahan sari kulit buah nanas memiliki
ukuran yang kecil bertekstur kenyal sehingga mudah dipisahkan dari whey, sedangkan curd yang
dihasilkan dengan penambahan sari daging buah dan empulur buah nanas memiliki ukuran lebih
besar dengan tekstur agak lunak dan mengandung whey. Sehingga dapat diasumsikan bahwa
semakin besar curd yang dihasilkan maka semakin banyak air yang terkandung di dalamnya.
Dari hasil penelitian juga diketahui, bahwa tingkat penambahan sari dari beberapa bagian buah

355
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

nanas juga berpengaruh terhadap kadar air keju cottage yang dihasilkan. Semakin banyak sari
dari berbagai bagian buah nanas yang ditambahkan semakin sedikit kadar air keju cottage yang
dihasilkan. Menurut Pelczar (1986) dalam Kusuma (2010) konsentrasi enzim berpengaruh
terhadap aktivitas enzim, semakin tinggi konsentrasi suatu enzim maka aktivitas enzim juga
semakin meningkat sehingga proses koagulasi terjadi secara sempurna. Hal ini sesuai dengan
Yuniwati et al., (2008) yang menyatakan bahwa penambahan koagulan secara optimal akan
menghasilkan produk yang tidak begitu besar tetapi kadar airnya rendah karena terjadinya
koagulasi yang sempurna.

Rendemen Keju Cottage


Berdasarkan hasil analisa sidik ragam yang dilanjutkan dengan DNMRT diketahui bahwa
perlakukan penggunaan sari dari berbagai bagian buah nanas dan tingkat penambahan yang
berbeda serta interaksi antara kedua faktor menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap
rendemen keju cottage (Tabel 3).

Tabel 3. Interaksi Antara Sari Berbagai Bagian Buah Nanas dengan Berbagai Tingkat Penambahan yang
Berbeda Terhadap Rendemen Keju Cottage (%).
Faktor A Faktor B
B3 B2 B1
A3 12,03±0,33 a 14,11±0,65 a 16,82±0,84 a
A B C
A1 16,71±0,79 b 18,74±0,84 b 20,41±0,11 b
A B C
A2 18,21±0,24 c 20,43±0,43 c 25,67±1,05 c
A B C
Keterangan: angka-angka pada lajur (huruf kecil) dan baris (huruf besar) yang tidak sama menunjukan berbeda
nyata pada taraf nyata 5% menurut DNMRT.

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa rendemen tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan
A2B1 (penambahan 75 mL sari empulur buah nanas) sebesar 25,67%, sedangkan rendemen
terendah ditunjukkan oleh perlakuan A3B3 (penambahan 125 mL sari kulit buah nanas) sebesar
12,03%. Hal ini berbading lurus dengan kadar air yang dimiliki oleh kadar air keju cottage.
Tingginya rendemen yang dihasilkan dengan penambahan 75 mL sari empulur buah nanas
disebabkan karena hasil yang diperoleh banyak mengandung air yang sulit dipisahkan dari
produk sehingga proses koagulasi berjalan kurang sempurna. Sedangkan penambahan koagulan
secara optimal akan menghasilkan gumpalan yang tidak begitu besar tetapi kadar airnya lebih
kecil, proses koagulasi yang terjadi lebih sempurna sehingga air mudah dipisahkan dari padatan.
Gumpalan yang terbentuk pada keju cottage dengan penambahan sari dari empulur buah nanas
lebih besar dengan tekstur yang lunak dan mudah hancur, sedangkan gumpalan yang terbentuk
dengan penambahan sari kulit buah nanas memiliki ukuran yang kecil dan tekstur yang sedikit
padat.

Kadar Abu Keju Cottage


Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pengujian kadar abu keju cottage, tingkat
penambahan yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Sedangkan perbedaan
penggunaan bagian buah nanas dan interaksi antara kedua faktor menunjukkan hasil yang
berbeda tidak nyata. Untuk perlakuan yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan DNMRT
pada taraf nyata 5% (Tabel 4).

356
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 4. Pengaruh Penggunaan Sari Berbagai Bagian Buah Nanas dan Tingkat Penambahan yang
Berbeda Terhadap Kadar Abu Keju Cottage.
Faktor A Rata-rata Kadar Abu Keju Cottage ( %)
A3 4,41±0,29
A2 4,43±0,29
A1 4,45±0,26

Faktor B Rata-rata Kadar Abu Keju Cottage ( %)


B1 3,92±0,10a
B2 4,39±0,08 b
B3 4,99±0,67 c
Keterangan: angka-angka pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, menunjukan berbeda nyata
menurut DMNRT pada taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 4, kadar abu keju cottage tertinggi masing-masing faktor ditunjukkan
oleh perlakuan A1 (sari dari daging buah nanas) dan B3 (tingkat penambahan sari sebanyak 125
mL) sebesar 4,45% dan 4,99%, sedangkan kadar abu terendah ditunjukkan oleh perlakuan A3
(sari dari kulit buah nanas) dan B1 (tingkat penambahan sari sebanyak 75 mL) sebesar 4,41%
dan 3,92%. Jika dibandingkan dengan SNI 01-2980-1992 tentang persyaratan kandungan keju
standar keju secara umum, kadar abu keju olahan tidak boleh melebihi 5,5%, hasil penelitian
telah memenuhi persyaratan ini. Dari hasil penelitian diketahui semakin tinggi tingkat
penambahan sari maka semakin tinggi kadar abu yang dihasilkan, hal ini dikarenakan keberadaan
mineral bertambah banyak dari sari buah nanas yang kemungkinan ikut terkoagulasi. Hal ini
sejalan dengan Winarno (2004), jika mineral yang terkandung didalam bahan pangan tinggi
maka tinggi pula kadar abu yang didapatkan. Mineral yang terkandung dalam sari buah nenas
diantaranya yaitu kalsium, fosfor dan besi sebanyak 35 mg, sedangkan kandungan mineral pada
susu sapi segar sebanyak 0,75% (Syarief dan Halid, 1993).

Derajat Keasaman (pH) Keju Cottage


Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, perlakuan perbedaan penggunaan bagian buah
nanas dan tingkat penambahan yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap
derajat keasaman keju cottage. Sedangkan tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut.
Untuk perlakuan yang berbeda nyata dilanjutkan dengan DNMRT pada taraf nyata 5% (Tabel
5).

Tabel 5. Pengaruh Penggunaan Sari Berbagai Bagian Buah Nanas dan Tingkat Penambahan yang
Berbeda Terhadap pH Keju Cottage.
Faktor A Rata-rata pH Keju Cottage
A2 4,94±0,06a
A1 5,24±0,07 b
A3 5,51±0,06 c
Faktor B Rata-rata pH Keju Cottage
B1 5,02±0,07a
B2 5,24±0,06 b
B3 5,43±0,06 c
Keterangan: angka-angka pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, menunjukan berbeda nyata
menurut DMNRT pada taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 5 nilai pH keju cottage tertinggi masing-masing faktor ditunjukkan oleh
perlakuan A3 (sari dari kulit buah nanas) dan B3 (tingkat penambahan sari sebanyak 125 mL)
sebesar 5,51 dan 5,43, sedangkan nilai pH keju cottage terendah ditunjukkan oleh perlakuan A2
(sari dari empulur buah nanas) dan B1 (tingkat penambahan sari sebanyak 75 mL) sebesar 4,94

357
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dan 5,02. Rendahnya derajat keasaman keju cottage dengan penambahan sari dari bagian
empulur buah nanas dikarenakan masih banyaknya terkandung whey pada produk tersebut,
dimana derajat keasaman whey lebih rendah dibandingkan curd. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukan semakin banyak sari buah buah nanas yang ditambahkan, maka pH keju cottage
yang dihasilkan akan semakin meningkat atau mendekati netral, hal ini disebabkan karena curd
tergumpal dengan sempurna sehingga tidak ada whey pada curd yang dapat menurunkan pH dari
keju cottage. Menurut United States Department of Agriculture (2001) untuk spesifikasi keju
cottage dan keju cottage kering, pH keju tidak lebih dari 5,2. Hasil penelitian yang diperoleh
menunjukan ada beberapa pH keju cottage tidak memenuhi standar tersebut, yaitu dengan
perlakuan penambahan sari sebanyak 125 mL dan perlakuan penggunaan sari dari kulit buah
nanas.

Total Asam Keju Cottage


Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, perlakuan penggunaan berbagai bagian buah nanas
dan tingkat penambahan sari buah yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap
total asam keju cottage, namun tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut Untuk
perlakuan yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan DNMRT pada taraf nyata 5%. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh Penggunaan Sari Berbagai Bagian Buah Nanas dan Tingkat Penambahan yang
Berbeda Terhadap Total Asam Keju Cottage.
Faktor A Rata-rata Total Asam Keju Cottage ( %)
A3 2,19±0,07a
A1 2,50±0,08 b
A2 2,96±0,07 c
Faktor B Rata-rata Total Asam Keju Cottage ( %)
B3 2,21±0,06a
B2 2,53±0,07 b
B1 2,92±0,09 c
Keterangan: angka-angka pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, menunjukan berbeda nyata
menurut DMNRT pada taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 6 diketahui, bahwa total asam keju cottage tertinggi masing-masing
faktor ditunjukkan oleh perlakuan A2 (sari dari empulur buah nanas) dan B1 (tingkat
penambahan sari sebanyak 75 mL) sebesar 2,96% dan 2,92%, sedangkan total asam keju cottage
terendah ditunjukkan oleh perlakuan A3 (sari dari bagian kulit buah nanas) dan B3 (tingkat
penambahan sari sebanyak 125 mL) sebesar 2,19% dan 2,21%. Konsentrasi total asam tertitrasi
dari keju cottage dihitung sebagai persen asam sitrat. Total asam merupakan banyaknya asam
yang terandung dalam suatu bahan. Asam organik yang terkandung dalam buah nanas adalah
asam sitrat, asam malat dan asam oksalat, dengan jenis asam yang paling dominan yakni asam
sitrat sebesar 78% dari total asam (Irfandi, 2005). Total asam tertitrasi dan nilai pH memiliki
hubungan berbanding terbalik, bila nilai total asam tertitrasi tinggi, kebalikannya nilai pH
menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, bahwa pada pengujian derajat keasaman
keju cottage perlakuan A3 dan B3 memiliki nilai pH tertinggi, dan pada hasil pengujian total
asam perlakuan A3 dan B3 memiliki nilai total asam terendah.

Kadar Protein Keju Cottage


Berdasarkan hasil analisa sidik ragam yang dilanjutkan dengan DNMRT diketahui bahwa
perlakukan penggunaan sari dari berbagai bagian buah nanas dan tingkat penambahan yang
berbeda serta interaksi antara kedua faktor menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar
protein keju cottage (Tabel 7).

358
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 7. Interaksi Antara Sari Berbagai Bagian Buah Nanas dengan Berbagai Tingkat Penambahan yang
Berbeda Terhadap Kadar Protein Keju Cottage (%).
Faktor A Faktor B
B1 B2 B3
A2 6,55±0,45 a 8,69±0,42 a 9,84±0,29 a
A B C
A1 8,87±0,25 b 9,53±0,54 b 11,15±0,39 b
A B C
A3 12,32±0,58 c 13,01±0,67 c 13,91±0,76 c
A B C
Keterangan: angka-angka pada lajur (huruf kecil) dan baris (huruf besar) yang tidak sama menunjukan berbeda
nyata pada taraf nyata 5% menurut DNMRT.

Berdasarkan Tabel 7 kadar protein keju cottage tertinggi terdapat pada perlakuan A3B3
(penambahan 125 mL sari dari kulit buah nanas) sebesar13,905%, sedangkan kadar protein
terendah ditunjukkan oleh perlakuan A2B1 (penambahan 75 mL sari dari empulur buah) sebesar
6,554%. Protein terkandung di dalam susu terdiri dari protein whey dan kasein, sedangkan yang
terkandung di dalam keju dalah kasein karena whey yang terbentuk telah dipisahkan dalam
proses pembentukkan keju. Tingginya kadar protein yang terkandung pada keju cottage dengan
penggunaan sari kulit buah nanas disebabkan karena adanya aktivitas protease bromelin pada
kulit buah nanas yang tinggi, sehingga terjadi proses koagulasi berjalan sempurna, dengan
ukuran gumpalan yang kecil dengan tekstur yang padat. Sedangkan kadar protein terendah pada
keju cottage yang ditambahkan sari dari bagian empulur buah nanas. Hal ini dikarenakan tidak
sempurnanya proses koagulasi kasein yang menyebabkan kasien susu larut dalam whey,
sehingga gumpalan terbentuk memiliki ukuran besar dengan tekstur yang lunak dan mudah
hancur. Disamping itu juga semakin banyak penambahan sari dari berbagian buah nanas maka
semakin banyak protein yang dapat digumpalkan. Susu yang ditambahkan 125 mL sari dari
beberapa bagian buah nanas akan membentuk gumpalan berukuran kecil dan padat, sedangkan
susu yang ditambahkan 75 mL sari dari beberapa bagian buah nanas berukuran besar dan lunak.
Jika dibandingkan dengan SNI 01-2980-1992 tentang persyaratan kandungan keju standar keju
secara umum, kadar protein keju olahan minimal sebanyak 19,5% dan hasil penelitian tidak
memenuhi standar. Rendahnya kadar protein keju cottage disebabkan karena belum
sempurnyanya proses koagulasi kasein.

Kadar Lemak Keju Cottage


Berdasarkan hasil analisa sidik ragam yang dilanjutkan dengan DNMRT diketahui bahwa
perlakukan penggunaan sari dari berbagai bagian buah nanas dan tingkat penambahan yang
berbeda serta interaksi antara kedua faktor menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar
lemak keju cottage (Tabel 8).

Tabel 8. Interaksi Antara Sari Berbagai Bagian Buah Nanas dengan Berbagai Tingkat Penambahan yang
Berbeda Terhadap Kadar Lemak Keju Cottage (%)
Faktor A Faktor B
B1 B2 B3
A2 15,19±0,25 a 16,26±0,64 a 16,95±0,37 a
A B C
A3 16,96±0,07 b 17,46±0,43 b 18,67±0,35 b
A B C
A1 17,24±0,03 c 17,74±0,42 c 21,72±0,48 c
A B C
Keterangan: angka-angka pada lajur (huruf kecil) dan baris (huruf besar) yang tidak sama menunjukan berbeda
nyata pada taraf nyata 5% menurut DNMRT.

359
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Berdasarkan Tabel 8 diketahui, bahwa kadar lemak keju cottage tertinggi ditunjukkan oleh
perlakuan A1B3 (penambahan 125 mL sari dari daging buah nanas) sebesar 21,72%, sedangkan
kadar lemak keju cottage terendah ditunjukkan oleh perlakuan A2B1 (penambahan 75 mL sari
dari empulur buah nanas) sebesar 15,19%. Terjadinya peningkatan kadar lemak keju cottage
disebabkan karena adanya lemak yang berasal dari lipoprotein mengalami pemutusan ikatan
proteinnya, sehingga lemak lebih bisa keluar. Menurut Winarti (2007) beberapa protease yang
dapat digunakan untuk memecah ikatan lipoprotein antara lain bromelin (nenas) dan papain
(pepaya). Reaksi hidrolisis ini membuat ikatan peptida dapat terputus sehingga protein akan
terhidrolisis menjadi bagian yang sederhana yaitu asam-asam amino dan komponen karboksil,
sehingga minyak yang terikat oleh ikatan tersebut akan keluar dan mengumpal menjadi satu
Semakin besar tingkat penambahan sari bagian buah nanas semakin tinggi juga kadar lemak yang
terkandung pada keju cottage. Disamping itu tingginya tingkat penambahan sari bagian buah
nanas, maka konsentrasi bromelin juga meningkat, sehingga aktivitas bromelin dalam memecah
ikatan peptida juga meningkat. Selain itu asam-asam organik juga dapat memecah ikatan peptida
pada protein. Menurut Chamidah et al. (2000), tingginya jumlah asam-asam organik dalam
proses koagulasi protein, maka lemak yang terikat dengan protein (lipoprotein) terlepas atau
keluar dari jaringan tersebut. Semakin banyak sari buah nanas ditambahkan maka jumlah asam-
asam organik juga meningkat, sehingga jumlah lemak yang terlepas dari jaringan lipoprotein
juga meningkat, yang mengakibatkan kadar lemak keju cottage meningkat. Berdasarkan standar
keju olahan menurut SNI 01-2980-1992 kadar lemak keju olahan maksimal sebesar 25% dan
hasil penelitian telah memenuhi standar tersebut.

Organoleptik Keju Cottage


Uji organoleptik dilakukan untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap keju
cottage yang dihasilkan. Penentuan produk yang paling disukai oleh panelis dilakukan dengan
cara menghitung luasan radar organoleptik (Gambar 2). Berdasarkan tersebut dapat dilihat keju
cottage dengan perlakuan A1B2 (penambahan 100 mL sari daging buah nanas) memiliki nilai
skor yang tinggi. Berikut penjelasan dari masing-masing parameter pengamatan.

Radar Organoleptik Keju Cottage


Wa
rna
5
4
3
2 A1B1 (75 ml sari daging)
A1B2 (100 ml sari daging)
1
Tek Aro A1B3(125 ml sari daging)
0 A2B1(75 ml sari empulur)
stur ma
A2B2(100 ml sari empulur)
A2B3(125 ml sari empulur)
A3B1(75 ml sari kulit)
A3B2(100 ml sari kulit)
A3B3(125 ml sari kulit)
Ras
Keterangan : 1 = Sangat tidak suka, 2 = Tidak suka, 3 = Biasa, 4 = Suka, 5 = Sangat suka

Gambar 2. Grafik Nilai Rata-rata Organoleptik Keju Cottage.

Berdasarkan Gambar 2, tingkat kesukaan panelis terhadap warna keju cottage yang
memiliki skor tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan A1B2 (penambahan 100 mL sari daging buah
nanas) dengan skor 4,35, sedangkan skor terendah ditunjukkan oleh perlakuan A3B3

360
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(penambahan 125 mL sari kulit buah nanas) dengan skor 2,50. Keju cottage dengan penambahan
sari kulit buah nanas memiliki warna putih kehijau-hijauan, semakin banyak sari kulit buah
nanas ditambahkan maka warna keju cottage akan semakin kehijauan, sedangkan untuk keju
cottage yang ditambahkan sari daging dan empulur buah nanas menghasilkan keju cottage
dengan warna putih kekuning-kuningan.
Dari Gambar 2 dapat dilihat, nilai skor aroma keju cottage tertinggi terdapat pada
perlakuan A1B1 (penambahan 75 mL sari daging buah nanas) sebesar 4,10, sedangkan nilai skor
terendah terdapat pada perlakuan A3B3 (penambahan 125 mL sari kulit buah nanas) sebesar
3,75. Semua keju cottage yang ditambahkan sari berbagai bagian buah nanas dengan beberapa
tingkat penambahan memiliki aroma yang sama yaitu buah nanas yang tidak terlalu dominan.
Rasa suatu produk sangat berpengaruh terhadap tingkat kesukaan seseorang. Berdasarkan
Gambar 2 rasa keju cottage yang memiliki skor tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan A1B1
(penambahan 75 mL sari daging buah nanas) sebesar 4,35. Sedangkan skor terendah
ditunjukkan oleh perlakuan A3B3 (penambahan 125 mL sari kulit buah nanas) sebesar 2,35.
Keju cottage dengan penambahan sari dari bagian kulit buah nanas memiliki nilai organoleptik
terendah atau kategori biasa. Hal ini disebabkan karena keju cottage yang dihasilkan memiliki
rasa sepat yang ditimbulkan oleh kulit buah nanas dan agak pahit akibat terlalu banyaknya
penambahan sari buah nanas.
Berdasarkan Gambar 2, tingkat penerimaan panelis tertinggi terhadap tekstur ditunjukkan
oleh perlakuan A2B2 (penambahan 100 mL sari daging buah nanas) dengan skor 4,25.
Sedangkan nilai skor tekstur keju cottage terendah ditunjukkan oleh perlakuan A3B3
(penambahan 125 mLsari kulit buah nanas) sebesar 2,40. Gumpalan yang terbentuk pada keju
cottage dengan penambahan sari dari empulur buah nanas lebih besar dengan tekstur yang lunak
dan mudah hancur, sedangkan gumpalan yang terbentuk dengan penambahan sari kulit buah
nanas memiliki ukuran yang kecil dan tekstur yang sedikit padat. Dari hasil penelitian diketahui
semakin banyak sari buah nanas ditambahkan maka tekstur keju cottage yang dihasilkan semakin
padat dan tidak banyak mengandung air.

Angka Lempeng Total dan Koliform Keju Cottage


Hasil analisis angka lempeng totaldan koliform pada keju cottage dengan berbagai tingkat
penambahan sari dari berbagai bagian buah nenas dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Angka Lempeng Total dan Koliform Keju Cottage.


Rata-rata Angka Lempeng Total Rata-rata Koliform Keju
Perlakuan
Keju Cottage (cfu/mL) Cottage (APM/g)
A1B1 1,2x102 < 3,0
A1B2 1,3x102 < 3,0
A1B3 1,3x102 < 3,0
A2B1 1,1x102 < 3,0
A2B2 1,5x102 < 3,0
A2B3 1,4x102 < 3,0
A3B1 1,3x102 < 3,0
A3B2 1,4x102 < 3,0
A3B3 1,2x102 < 3,0

Berdasarkan hasil penelitian, angka lempeng total keju cottage tertinggi terdapat pada
perlakuan A2B2 (penambahan 100 mL sari empulur buah nanas) sebesar 1,5x102 cfu/ mL dan
angka lempeng total keju cottage terendah terdapat pada perlakuan A2B1 (penambahan 75 mL
sari empulur buah nanas) sebesar 1,1x102 cfu/ mL . Jika dibandingkan dengan SNI 01-2980-
1992, jumlah bakteri yang ada pada keju maksimal sebanyak 3x102 koloni/gram, dan hasil
penelitian telah memenuhi standar. Disamping itu jumlah bakteri koliform yang terdapat pada

361
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

semua keju cottage yang dihasikan yaitu <3,0 APM/gram. Berdasarkan SNI 01-2980-1992,
jumlah bakteri koliform yang diizinkan ada pada keju maksimal sebesar 3 APM/g dan hasil
penelitian telah memenui standar.

PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitianxmenunjukkanxbahwa interaksi antara sari dari berbagai bagian buah
nanas dengan tingkat penambahan sari buah nanas yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
rendemen, kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan tekstur keju cottage, namun berpengaruh
tidak nyata terhadap pH, total asam, kadar abu, warna, aroma dan rasa dari keju cottage.
Penggunaan sari dari beberapa bagian buah nanas berpengaruh nyata terhadap rendemen, pH,
total asam, kadar air, kadar lemak, kadar protein, warna, rasa dan tekstur keju cottage, serta
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu dan aroma keju cottage. Tingkat penambahan sari
buah nanas yang berbeda berpengaruh nyata terhadap rendemen, pH, total asam, kadar air, kadar
abu, kadar lemak, kadar protein, warna, rasa, dan tekstur keju cottage, tetapi berpengaruh tidak
nyata terhadap aroma keju cottage. Berdasarkan hasil analisa organoleptik diperoleh keju cottage
terbaik dengan penambahan 100 mL sari daging buah nanas, dengan skor warna 4,35; skor
aroma 3,95; skor rasa 3,95 dan skor tekstur 4,25.

Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan disarankan adanya penelitian lanjutan untuk
menentukan umur simpan keju cottage.

UCAPAN TERIMA KASIH


Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Andalas yang telah memberi bantuan sarana dan prasarana sehingga penelitian ini dapat
terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, R.P.; A. Rahardjo dan R. Santosa. 2013. Pengaruh Level Enzim Bromelin Dari Nanas
Masak Dalam Pembuatan Tahu Susu Terhadap Rendemen Dan Kekenyalah Tahu Susu.
Vol.1 No 3. Hal 507-513.
Chamidah, A.; Yahya dan H. Kartikaningsih. 2000. Pengembangan Makanan Fermentasi
Tradisional Indonesia “Bekasam Ikan Mujair (Tilapia spp.)” Tinjauan Aspek Mikrobiologi
dan Kimia. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Vol.1 No 12. Hal 525-
532.
Daulay D. 1991. Fermentasi Keju. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Ferdiansyah, V. 2005. Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Udang Sebagai Matriks Penyangga
pada Imobilisasi Enzim Protease. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Irfandi. 2005. Karakterisasi Morfologi Lima Populasi Nanas (Ananas comosus L.Merr).
[Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ishak, M.C. (2012) Pengaruh Proses Pengeringan Dan Imobilisasi Terhadap Aktivitas Dan
Kestabilan Enzim Bromelain dari Buah Nenas. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas
Hasanudin, Makasar.
Kusuma, S.A.F. 2010. Karya Ilmiah: Enzim. Fakultas Farmasi UNPAD, Bandung.

362
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Lampert, L. M. 1965. Modern Dairy Products. Chemical Publishing Company, INC. New york.
pp 307-3011 .
Mazaya, A. 2018 . Pengaruh Penambahan Sari dari Berbagai Bagian Buah Nenas (Ananas
comosus, L. Merr) terhadap Karakteristik Dadih Selama Fermentasi. Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Andalas, Padang.
Nurhidayah.; Masriany dan M. Mashuri. 2013. Isolasi dan Pengukuran Aktivitas Enzim
Bromelin Dari Ekstrak Kasar Batang Nanas (Ananas comosus, L. Merr) Berdasarkan
Variasi pH. Jururan Biologi. Universitas Islam Negri Alaudin Makasar. Jurnal Ilmiah
Biologi 1(2) Bogor. 116-122 hal.
Syarief, R. dan H, Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta.
United States Departement of Agriculture. 2001. USDA Spesification for Cottage Cheese and
Dry Curd Cottage Cheese. Diambil 13 Januari 2012, dari http://www.ams.usda.gov/
amsv1.0/getfile?ddocname=steldev3004550.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F.G .2010.Enzim Pangan. Embrio Press, Bogor.
Winarti, S. 2007. Proses Pembuatan VCO (Virgin Coconut Oil) Secara Enzimatis Menggunakan
Papain Kasar. Jurnal Teknologi Pangan. 136-141 hal.
Yuniwati, M.; Yusran dan Rahmadany. 2008. Pemanfaatan enzim papain sebagai penggumpal
dalam pembuatan dangke. Prosiding. Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi.
Yogyakarta. 129-130 hal.

363
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Lama Pengasapan terhadap Karakteristik Fisik,


Kimia serta Kandungan Senyawa Benzo (a)pyrene Ikan Lele
(Clarias batrachus) Asap
The Effect of Smoking Time on The physical, Chemical Characteristics
and the Content of Benzo a(pyrene) Smoked Catfish (Clarias batrachus)
Sahadi Didi Ismanto1, Aisman2, dan Rezki Akbar1
1)Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas, Padang.
2)Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama waktu pengasapan
Benzo(a)pyrene terhadap karakteristik fisik, kimia serta kandungan benzo (a)pyrene ikan lele
Karsinogen (Clarias batrachus) asap. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Ikan Lele Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Analisis data dilakukan
Karakteristik dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Duncan’s
Lama Pengasapan New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%. Perlakuan pada
penelitian ini adalah lama waktu pengasapan 4 jam (perlakuan A); 5 jam
(perlakuan B); 6 jam (perlakuan C); 7 jam (perlakuan D) dan 8 jam
(perlakuan E). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama waktu pengasapan
berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, total polifenol, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak, protein dan pH ikan lele asap.
Pada perlakuan E dilakukan analisis benzo (a)pyrene dan didapatkan hasil
yang negatif pada sampel dalam penelitian ini.
ABSTRACT

Keywords: This study aims to determine are to know (1) The effect of smoking time on
Benzo a(pyrene) the physical, chemical characteristic and benzo (a)pyrene content, (2) The
Carsinogen effect of smoking time on benzo a(pyrene) content. This study designed
Catfish using Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 3
Characteristics replications. Data analysis was performed with Analysis of Variance
Smoking time (ANOVA) and continued with Duncan's New Multiple Range Test
(DNMRT) at the level of 5%. The treatment were smoking time for 4 hours
(treatment A); 5 hours (treatment B); 6 hours (treatment C); 7 hours
(treatment D) and 8 hours (treatment E). Benzo a(pyrene) content was
tested on the longest smoking time treatment. The results showed that
smoking time significantly affected on water content, ash content and
polyphenol content, but no significant effect on fat content, protein and pH
of smoked catfish. Benzo a(pyrene) test indicated negative content on the
smoke catfish.

Email Korespondensi: sahadididiismanto@gmail.com

364
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Ikan lele sebagai salah satu bahan pangan alternatif sumber protein, bahan pangan yang
mudah didapat dan murah, kaya zat gizi dan sangat baik bagi jantung karena rendah lemak
(Astawan, 2009). Daging ikan lele memiliki kandungan protein sebesar 17,7% dan kadar air
sebesar 76%, serta kandungan lemak yang rendah yaitu 4,8% (Astawan, 2009). Ikan lele
memiliki daging yang lebih banyak dari ikan air tawar lainnya, rendemen ikan lele
cukup tinggi yaitu 40% (Mahyuddin, 2008).
Pada saat jumlah produksi ikan lele meningkat, untuk mencegah proses pembusukan perlu
dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan yang bertujuan untuk menghambat
aktivitas zat-zat dan mikroorganisme perusak atau enzim-enzim yang dapat menyebabkan
kemunduran mutu dan kerusakan (Hasanah dan Suyatna, 2015). Dari beberapa jenis olahan
untuk mempertahankan nilai gizi dan protein ikan lele salah satu diantaranya adalah ikan asap.
Pengasapan merupakan salah satu metoda yang digunakan untuk pengawetan ikan dengan
kombinasi antara penggunaan panas dengan zat kimia yang dihasilkan dari kayu atau tempurung
kelapa (Sulfiani, Sukainah dan Mustarin, 2017). Pengasapan merupakan penggabungan antara
aktivitas penggaraman, pengeringan dan pengasapan. Adapun tujuan dari proses
penggaraman dan pengeringan adalah untuk membunuh bakteri dan membantu mempermudah
menempelnya partikel-partikel asap waktu proses pengasapan berlangsung. Pengasapan juga
berfungsi untuk menambah citarasa dan warna pada makanan serta bertindak sebagai
antibakteri dan antioksidan (Hasanah dan Suyatna, 2015).
Proses pengasapan dapat memperbaiki sifat sensoris dari ikan, dimana faktor penting
dalam proses pengasapan dapat dipengaruhi oleh suhu dan lama pengasapan. Menurut Doe
(1998) cit Ghazali, Swastawati dan Romadhon (2014), benzo (a)pyrene dianggap sebagai
indikator senyawa yang bersifat karsinogen pada makanan asap, yang merupakan salah satu
jenis senyawa PAH. Kandungan benzo (a)pyrene dari ikan asap yang diolah dengan pengasapan
panas berkisar antara 0,5-3,5 ppm, tergantung pada ukuran, preparasi dan kondisi pengasapan.
Kandungan PAH dipengaruhi oleh suhu pembakaran kayu, lama waktu pengasapan, ketebalan
asap, aliran udara, bahan baku dan kondisi pengasapan lainnya. Pada pengasapan terjadi proses
Pirolisis yang merupakan pengarangan dengan cara pembakaran tidak sempurna. Pirolisis dapat
memicu terbentuknya karsinogenik pada ikan asap (Netty dan Lumoindong, 2017). Umumnya
proses pirolisis berlangsung dalam waktu 4-7 jam. Sulfiani et al., (2017) menyatakan bahwa
proses pirolisis dapat dipengaruhi oleh lama waktu pengasapan, dimana juga dapat berpengaruh
terhadap mutu ikan lele asap. Dengan demikian, diperlukan pengontrolan waktu pengasapan
yang optimum untuk meminimalisir terbentuknya senyawa karsinogenik. Tujuan penelitian
adalah 1). mengetahui pengaruh lama waktu pengasapan terhadap karakteristik fisik dan kimia
ikan lele asap 2). mengetahui pengaruh lama waktu pengasapan terhadap kandungan
benzo(a)pyrene ikan lele asap.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Keunggulan ikan lele dibandingkan dengan produk hewan lainnya adalah kaya akan leusin
dan lisin. Leusin (C6H13NO2) merupakan asam amino esensial yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan anak-anak dan menjaga keseimbangan nitrogen. Leusin juga berguna untuk
perombakan dan pembentukan protein otot. Sedangkan lisin merupakan salah satu dari 9 asam
amino esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Lisin termasuk
asam amino yang sangat sangat penting dan dibutuhkan sekali dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak (Zaki, 2009)
Bahan bakar yang lazim digunakan dalam pengasapan adalah kayu yang pada dasarnya
tersusun atas banyak komponen kimia seperti lignin, selulosa hemiselulosa dan sebagainya.
Sebagian dari komponen tersebut, yaitu komponen organik kompleks seperti selulosa, lignin,
pentosa, tanin, protein, resin dan terpena yang dapat terbakar, sedangkan sebagian komponen
lainnya tidak dapat terbakar dan kemudian menjadi abu. Berikut komponen-komponen yang

365
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

terdapat pada asap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen-komponen yang Terdapat pada Asap.


Asam Fenol Karbonil Hidrokarbon
Asam Fermiat Siringols Formaldehid Benzperin
Asam Asetat Guatakols Propionaldehid Benzateracen
Asam Butirat Cresols Furfuraldehid Indene
Asam Ovalik Acrolein Napithalin
Asam Vanilik Xlylenols Metal etil keton Sulbene
Asam Fentalic Octal aldehid Phenanthren
Sumber : Adawyah, 2008

Asap memiliki sifat sebagai pengawet. Fenol yang dikandungnya memiliki sifat
bakteriostatik yang tinggi sehingga menyebabkan bakteri tidak berkembang baik, fungisidal
sehingga jamur tidak tumbuh dan antioksidan sehingga cukup berperan mencegah oksidasi
lemak pada ikan. Berikut komposisi kimia asap dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Asap Kayu


Komposisi Kimia Kandungan mg/m3 Asap Kayu
Formaldehid 30 – 50
Aldehid (termasuk furfural) 180 – 230
Keton termasuk aseton 190 – 200
Asam formiat 115 – 160
Asam Asetat dan Asam Lainnya 600
Metil Alkohol -
Tar 1.295
Fenol 25 – 40
Sumber : Adawyah, 2008.

Soeparno, 2005 menyatakan fungsi komponen asap adalah sebagai berikut :


1. Fenol berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan membentuk cita rasa.
2. Alkohol memiliki fungsi utama membentuk cita rasa, selain itu sebagai antimikroba.
3. Asam-asam organik dapat berfungsi sebagai antimikroba.
4. Karbonil memiliki fungsi untuk membentuk warna dan cita rasa spesifik.
5. Senyawa hidrokarbon memiliki fungsi negatif karena bersifat karsinogenik
Proses pengasapan dapat menyebabkan terbentuknya senyawa yang berbahaya bagi
kesehatan manusia. Proses pengasapan terhadap ikan dapat menyebabkan terbentuknya senyawa
karsinogen yang dapat menyebabkan kanker ataupun tumor karena adanya kandungan
polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Menurut Doe (1998) cit Ghazali, Swastawati dan
Romadhon (2014), benzo (a)pyrene dianggap sebagai indikator senyawa yang bersifat
karsinogen pada makanan asap, dimana benzo (a)pyrene merupakan salah satu jenis senyawa
PAH. Jumlah PAH yang terbentuk selama pengolahan tergantung pada kandungan lemak,
waktu dan suhu pengolahan.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2019 di
Laboratorium Teknologi Rekayasa dan Proses Hasil Pertanian, Kimia Biokimia Hasil Pertanian
dan Gizi Pangan, Mikrobiologi dan Bioteknologi, Instrument Pusat, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Andalas, Padang.
Bahan dan Alat

366
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan lele, garam dan kayu. Bahan kimia
yang digunakan NaOH 50%, Na2SO4 anhidrat, Etanol 95%, HCl 0,02 N, Na2CO3, H2SO4
pekat dan aquades serta bahan kimia lainnya untuk analisa. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah timbangan analitik, cawan aluminium, cawan porselen, tanur pengabuan,
gegep, labu ukur, corong, tabung reaksi, erlenmeyer, oven, spektrofotometer, gelas piala, gelas
ukur, desikator, pipet tetes, pH meter, spatula, termometer, stopwatch.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Data dianalisis secara statistika dengan uji F dan jika berbeda
nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata
5%. Penelitian ini menggunakan pengasapan panas, mengacu pada penelitian Sulfiani et al.,
(2017) menunjukkan hasil penelitian dengan perlakuan terbaik yaitu dengan lama waktu
pengasapan selama 6 jam pada suhu 50C.
Perlakuan dalam penelitian ini adalah perbedaan lama waktu pangasapan pada ikan lele
asap, dimana lama pengasapan sebagai berikut:
Perlakuan A = Waktu Pengasapan 4 Jam
Perlakuan B = Waktu Pengasapan 5 Jam
Perlakuan C = Waktu Pengasapan 6 Jam
Perlakuan D = Waktu Pengasapan 7 Jam
Perlakuan E = Waktu Pengasapan 8 Jam

Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Bahan Baku Ikan Lele
Bahan baku ikan lele yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari budidaya ikan
lele di Pantai Pasir Jambak. Ikan lele disortir berdasarkan ukuran dengan panjang ±20 cm dan
berat ikan ±150 gram. Kemudian dilakukan pembelahan punggung pada ikan lele, insang dan
isi perut ikan dibuang dan dibersihkan.

Pembuatan Ikan Lele Asap (Yuliastri et al.,2015 dengan modifikasi)


Pembuatan ikan lele asap, ikan yang telah dibersihkan kemudian direndam pada larutan
garam dengan konsentrasi 20% selama ± 2 menit. Selanjutnya ikan lele yang sudah digarami,
terlebih dahulu harus dikeringkan supaya larutan garamnya tidak ada lagi yang menetes pada
saat pengasapan. Ikan dikeringkan dengan digantung ditempat yang kering selama ±1 jam untuk
mengurangi kadar air dari ikan lele sebelum dilakukan pengasapan. Ikan diasapi pada suhu
65-75oC dengan variasi waktu sesuai perlakuan. Ikan yang telah diasapkan disimpan pada
kemasan plastik klip untuk menjaga mutunya.

Pengamatan
Pengamatan Bahan Baku
Pengamatan yang dilakukan pada bahan bahan baku adalah kadar air, kadar abu, kadar
lemak, kadar protein dan pH.
Pengamatan Ikan Lele Asap
Pengamatan yang dilakukan pada ikan lele asap adalah kadar air, kadar abu, kadar
lemak, kadar protein, pH, total polifenol, benzo (a)pyrene, Angka Lempeng Total (ALT).
Prosedur Analisis
Kadar Air (Sudarmadji, Haryono dan Suhardi, 1997)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 1100C dan didinginkan dalam
desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang (Wo). Sampel dimasukan dalam cawan dan
timbang (W1). Panaskan dalam oven selama 2-3 jam dan didinginkan selama 30 menit,

367
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kemudian timbang (W2). Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar Air (%) = Error! x 100%

Keterangan:
W0 = berat cawan kosong (g)
W1 = berat cawan kosong dan sampel sebelum dikeringkan (g) W2 = berat cawan kosong dan
sampel setelah dikeringkan (g)

Kadar Abu (Sudarmadji et al., 1997)


Siapkan cawan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C selama
1 jam, dinginkan dalam desikator dan timbang. Timbang sampel sebanyak 2-5 g dan masukkan
dalam cawan pengabuan tersebut. Sampel dibakar diatas hot plate selama 15-30 menit sampai
tidak berasap. Kemudian sampel diabukan di dalam tanur pada 5500C hingga menjadi abu.
Dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian timbang. Kadar abu dihitung dengan
rumus :

Kadar Abu (%) = Error! x 100%

Kadar Protein (AOAC, 1999)


Sampel ditimbang sejumlah 1 g kemudian ditambahkan 2 g selenium dan 15 ml H2SO4
pekat. Kemudian panaskan semua bahan dalam labu kjedhal dalam ruangan asam sampai warna
hijau muda dan jernih. Pindahkan larutan tersebut pada alat destilasi kjedhal dan tambahkan 20
ml NaOH 50%. Hasil tersebut ditampung dengan asam borat 10 ml dan 4 tetes indikator MM-
MB. Destilasi dilakukan sampai penampungan mencapai 100 ml. Kemudian hasil destilasi
dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terbentuk warna merah muda. Lakukan hal yang sama
terhadap blanko.

(ml HCl − ml blanko) x N HCl x FP x 14


%N=
007 ; mg sampel

% Protein = %N x FK
Keterangan:
FP = Faktor Pengenceran
N = Normalitas
FK = Faktor Konversi (6,25)

Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI No. 01-2354.3-2006)


Pengeringan labu lemak (105C, 1 jam), pendinginan labu lemak dalam desikator (15
menit). Sampel dimasukkan sebanyak 5 gram yang telah dihaluskan (W1). Labu lemak kosong
ditimbang (W2), sampel dimasukkan ke dalam selongsong kemudian alat soxhlet dirangkai.
Sampel dimasukkan ke dalam soxhlet. Sampel dimasukkan ke dalam soxhlet (1½ siklus),
ekstrasksi dilakukan selama 6 jam. Dilakukan pemisahan hexana dan hasil ekstraksi (50 rpm,
suhu 69 oC). labu soxhlet dipanaskan dalam oven 105oC selama 1 jam. Pendinginan labu soxhlet
dalam desikator 15 menit. Hasil ekstrasi lemak di timbang (W3).
% Lemak = Error! x 100%

368
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Keterangan
W1 = Bobot sampel (g)
W2 = Bobot labu lemak kosong (g)
W3 = Bobot labu lemak + lemak hasil esktraski (g)

Analisis pH (Apriyantono, et al. 1989)


pH meter dinyalakan dan biarkan stabil selama 15-30 menit. Selanjutnya, diukur suhu
larutan buffer, pengatur suhu pH meter diatur sesuai dengan suhu larutan buffer. Elektroda
dikeringkan dengan kertas tisu lalu dibilas dengan aquades. Bilas elektroda dengan contoh uji
(sampel). Celupkan elektroda dalam sampel sampai pH meter menunjukkan pembacaan yang
tetap. Catat hasil skala yang ditampilkan pada pH meter.

Total Polifenol (Kim, Woo, Kim, Kwno, Lee, Sung dan Koh, 2018)
Sampel ditimbang sebanyak 1 gram kemudian diekstrak menggunakan 10 ml etanol 95%
selama 30 menit didalam ultrasonic bath pada suhu 25C. Total polifenol diukur
menggunakan metode Folin-Denis. 1 ml ekstrak ditambahkan 2 ml air destilasi, 1 ml reagen
Folin-Ciocalteu. Diamkan selama 3 menit kemudian tambahkan 1 ml Na2CO3 10% kemudian
absorban dihitung pada panjang gelombang 725 nm menggunakan spektrofotometri. Standar
yang digunakan dalam penentuan total polifenol adalah asam galat. Dibuat dengan variasi
konsentrasi 10, 30, 50 dan 70 mg/L. Kandungan total polifenol dapat dinyatakan dalam mg
GAE/g dengan rumus yang diperoleh dari kurva standar sebagai berikut:

Y= aX + b

Keterangan : X = Konsentrasi (mg/ml)


Y = Absorbansi

Analisis Benzo(α)Pyrene dengan GC-MS (Hadiwiyoto, 2000)


Preparasi sampel (untuk analisis GCMS)
Pada sampel dimasukkan 3 g dalam labu pepisah, kemudian ditambah 10 ml kloroform
lalu digojog sebentar. Sampel didiamkan selama semalam dengan tujuan untuk mendapatkan
hasil ekstrak secara maksimal, lalu diambil fraksi bagian bawah pada erlenmeyer. Ditambah lagi
10 ml kloroform , digojog dan didiamkan selama semalam. Selanjutnya diambil fraksi bagian
bawah dan ditambahkan dengan yang pertama, dan disaring dengan kertas whatman 42 dengan
ditambahkan Na2SO4. Hasil saringan siap untuk dinjeksikan.

Kondisi Pengoperasian GC-MS (QP2010)


GCMS-QP2010 dioptimalkan pada suhu oven 100C yang dipertahankan selama 4 menit,
suhu kemudian ditingkatkan menjadi 200C dengan kenaikan 20C/menit dan dipertahankan
selama 2 menit, suhu ditingkatkan 300C dengan kenaikan suhu 20C/menit dan dipertahankan
selama 16 menit. Suhu pada sumber ion diatur pada 230C sedangan suhu injector diatur 260C.
Analisa ini menggunakan gas helium yang memiliki kemurnian 99,99% dengan tekanan gas
62,7 kPa. Sampel diinjeksikan dalam kromatografi gas sebanyak 1 µl, dianalisis dari berat
molekul 50,00 sampai 500,00 dalam waktu 3 sampai 32 menit.

Uji Lempeng Total (Fardiaz, 1993)


Timbang 5 g sampel dan masukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml yang berisi air steril (garam
fisiologis) 45 ml, lalu kocok-kocok dan didiamkan lebih kurang 10 menit dan dilanjutkan dengan
pengenceran 10-2, 10-3, 10-4. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml sampel dari
erlemeyer dan masukkan kedalam tabuk reaksi berisi 9 ml larutan garam fisiologis 10-2, untuk

369
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis 10-3 dan dipipet 1 ml dari pengenceran 10-3 untuk
dimasukkan lagi 9 ml larutan garam fisiologis pengenceran 10-4. Dipipet sebanyak 1 ml sampel
yang telah diencerkan kedalam cawan petri steril, kemudian tambahkan 15-20 ml media
PCA cair steril. Inkubasi pada suhu 37C selama 2 x 24 jam. Perhitungan mikroba yang tumbuh
dengan coloni counter.

Jumlah koloni (CFU/g) = n xError!

Keteranngan :
n = Jumlah koloni yang tumbuh
F = Faktor pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ikan lele (Clarias batrachus) segar
Analisis bahan baku dilakukan terhadap ikan lele (Clarias batrachus) segar di antaranya
adalah analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan pH ikan lele. Hasil analisis
rata-rata bahan baku ikan lele (Clarias batrachus) segar dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Kandungan Kimia Bahan Baku Ikan Lele.


Perlakuan Satuan Bahan Baku
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
Kadar Air % 77,25 ± 1,06
Kadar Abu % 0,87 ±0,04
Kadar Lemak % 3,09 ±1,17
Kadar Protein % 17,07 ±0,98
pH - 6,90 ±0,14

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa nilai pH dari ikan lele 6,9, dengan demikian hasil
yang didapatkan sudah memenuhi standar. Selain itu, sifat fisik dari ikan lele yang mudah
mengalami pembusukan akibat aktivitas mikroorganisme. Pada kisaran pH tersebut bakteri dapat
tumbuh dan berkembang sehingga ikan sangat mudah mengalami pembusukan.

Ikan Lele Asap


Kadar Air
Jumlah air dalam bahan pangan hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan terhadap
serangan mikroba. Untuk memperpanjang daya awet suatu bahan maka sebagian air pada bahan
dihilangkan sehingga mencapai kadar air tertentu (Adawyah, 2008). Rata-rata kadar air dari ikan
asap diperoleh setelah dilakukan pengasapan dengan lama waktu yang sudah ditentukan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Penurunan nilai kadar air pada produk dapat dipengaruhi oleh suhu, volume asap, lama
waktu pengasapan serta pemberian garam pada bahan. Menurut Mardiana, Wahyo dan Ali.
(2014), kadar air akan menurun menurut lama waktu pengasapan yang dilakukan, dimana hasil
penelitian menunjukkan lama pengasapan 4 jam dapat menurunkan kadar air mencapai
49,64%. Kadar air merupakan parameter bahan pangan yang harus diperhatikan karena sangat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, kadar air yang tinggi dapat mempercepat tingkat
kerusakan suatu bahan pangan (Afrianto, 1989 cit Sulfiani et al., 2017). Menurut Marassebesy
dan Royani (2011), lamanya proses pengasapan yang menyebabkan turunnya kadar air, tingginya
bahan-bahan membentuk asap pada permukaan ikan, serta suhu yang tinggi dalam proses
pengasapan menyebabkan sebagai antibakteri.

370
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 4. Nilai Rata-rata Kadar Air Ikan Lele Asap.


Kadar Air (%)
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
A (Lama Pengasapan 4 Jam) 38,59 ± 0,44 a
B (Lama Pengasapan 5 Jam) 32,03 ± 0,52 b
C (Lama Pengasapan 6 Jam) 29,72 ± 0,21 c
D (Lama Pengasapan 7 Jam) 24,67 ± 0,66 d
E (Lama Pengasapan 8 Jam) 21,01 ± 0,36 e
KK : 1,57%
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang tidak
sama berbeda nyata pada taraf 5% menurut DNMRT.

Kadar Abu
Kadar abu tersebut menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan- bahan
organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganik tidak, karena itulah
disebut sebagai kadar abu (Apriyantono, 1988 cit Sulfiani et al., 2017). Hasil analisa kadar abu
ikan lele asap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Rata-rata Kadar Abu Ikan Lele Asap.


Kadar Abu (%)
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
E (Lama Pengasapan 8 Jam) 3,79 ± 0,34 a
D (Lama Pengasapan 7 Jam) 3,11 ± 0,14 b
C (Lama Pengasapan 6 Jam) 2,84 ± 0,50 b
B (Lama Pengasapan 5 Jam) 1,96 ± 0,46 c
A (Lama Pengasapan 4 Jam) 1.91 ± 0,13 c
KK : 8,45%
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama
berbeda nyata pada taraf 5% menurut DNMRT.

Hasil perlakukan dengan pengasapan panas secara langsung menunjukkan bahwa


tingginya kadar abu dipengaruhi oleh lama pengasapan serta suhu yang digunakan. Semakin
lama pengasapan yang digunakan maka semakin tinggi kadar abu produk ikan lele asap yang
dihasilkan. Menurut penelitian Swastawati, Surti dan Agustina (2013), menyatakan dengan
pengasapan panas ±3 jam diperoleh kadar abu dari tungku tradisional sebesar 1,55%. Sedangkan
menurut penelitian Sulfiani et al., (2017), pangasapan panas dengan waktu 4 jam diperoleh kadar
abu sebesar 6,2%. Hal ini sesuai dengan penelitian Triwinarti dan Surriati (2013) yang
menyatakan bahwa tingginya kadar abu terjadi karena pengendapan unsur mineral yang terdapat
dalam garam saat proses perendaman larutan. Unsur yang terdapat dalam mineral adalah fosfor,
kalium, potossium, sodium, magnesium dan klorin.

Kadar Lemak
Lemak merupakan faktor pendukung dalam menghasilkan aroma dan rasa pada ikan asap.
Ikan lele yang diasap menggunakan pengasapan langsung dengan perlakuan lama waktu
pengasapan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5% untuk nilai kadar lemak pada
ikan asap dapat dilihat pada Tabel 6.

371
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 6. Nilai Rata-rata Lemak Ikan Lele Asap.


Lemak (%)
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
E (Lama Pengasapan 8 Jam) 4,93 ± 0,27
D (Lama Pengasapan 7 Jam) 4,69 ± 0,06
C (Lama Pengasapan 6 Jam) 4,46 ± 0,05
B (Lama Pengasapan 5 Jam) 4,41 ± 0,04
A (Lama Pengasapan 4 Jam) 4,36 ± 0,09
KK : 11,52%

Berdasarkan Tabel 6 dibandingkan bahan baku kadar lemak mengalami peningkatan. Hal
ini disebabkan karena semakin lama pengasapan yang dilakukan maka kadar air akan semakin
turun, dengan turunnya kadar air maka unsur-unsur organik maupun anorganik akan mengalami
peningkatan salah satunya kadar lemak. Menurut Mardiana et al., (2014), bahwa pengasapan
panas mengakibatkan lemak pada daging ikan akan meleleh keluar dan melapisi permukaan ikan
sehingga dapat meningkatkan laju reaksi lemak. Swastawati (2011), menambahkan bahwa kadar
lemak pada ikan asap selain dipengaruhi oleh jenis ikan juga dipengaruhi oleh jenis pengasapan,
suhu dan lama pengasapan. Dibandingkan dengan penelitian Muhamad, Mery dan Nora (2017),
nilai kadar lemak ikan patin asap dengan pengasapan panas diperoleh 4,35%. Kadar lemak yang
diperoleh tidak jauh berbeda.

Kadar Protein
Pemanasan dapat meningkatkan atau menurunkan fungsi dari karakter protein tergantung
dari proses pengolahannya, seperti pemanggangan menurunkan asam amino essensial ikan,
pengasapan menjadikan perubahan warna, kenampakan dan konsisten daging yang menarik pada
daging akan tetapi menyebabkan penurunan komponen protein yang signifikan (Winarno, 2009).
Protein merupakan bagian dari kandungan ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
lemak. Kadar protein pada penelitian ikan lele asap dengan perlakuan lama waktu pengasapan
disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Rata-rata Kadar Protein Ikan Lele Asap.


Protein (%)
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
A (Lama Pengasapan 4 Jam) 30,37 ± 6,84 a
B (Lama Pengasapan 5 Jam) 24,23 ± 0,68 b
C (Lama Pengasapan 6 Jam) 23,68 ± 1,76 b
D (Lama Pengasapan 7 Jam) 23,29 ± 1,77 b
E (Lama Pengasapan 8 Jam) 22,56 ± 0,61 b
KK : 13,32%
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang tidak
sama berbeda nyata pada taraf 5% menurut DNMRT.

Winarno (2009), menyatakan bahwa dengan berkurangnya kadar air bahan pangan, maka
akan meningkatkan komponen senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam
konsentrasi lebih tinggi. Hal ini berbanding terbalik pada hasil yang didapatkan dalam penelitian
ini. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan suhu dalam penelitian ini relatif lebih tinggi yaitu
70C. Hal ini sejalan dengan penelitian Elviani (2013), menyatakan bahwa menurun kadar
protein yang terkandung dalam sarang walet putih dimulai dari pada penggunaan suhu 55C
dengan lama waktu pemanasan 15 menit. Rendahnya kadar protein ini dapat disebabkan karena
terjadinya denaturasi yang dipengaruhi oleh lama pengasapan dan suhu yang digunakan selama
pengasapan. Sesuai dengan kajian Swastawati et al., (2013), yang menyatakan bahwa perubahan

372
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

nilai protein ikan, disebabkan oleh adanya proses pengolahan terutama menggunakan panas.
Kadar protein dapat menurun karena adanya proses pengolahan karena terjadinya denaturasi
protein selama pengasapan. Protein yang terdenaturasi akan mengalami koagulasi apabila
dipanaskan pada suhu 50C atau lebih (Ghozali, Dedi dan Yaroh, 2004). Semakin lama
pemanasan dapat merusak protein (Mao dan Wutao. 2008). Pemanasan menyebabkan struktur
protein terdenaturasi, menjadi bentuk yang lebih sederhana. Bentuk yang lebih sederhana dari
protein menjadikan protein tidak stabil dan mudah berubah (Geogiev, Penchev, Dimitriv dan
Pavlov 2008). Menurut Mardiana et al., (2014), proses denaturasi protein dapat terjadi pada
suhu 50C.

pH
Nilai pH merupakan salah satu indikator dari kualitas ikan asap, yang dapat mempengaruhi
kadar protein, fenol dan asam organik lainya. Adapun nilai pH yang diolah berdasarkan
perbedaan lama waktu pengasapan tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%. Data analisis pH ikan
asap dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Rata-rata pH Ikan Lele Asap


pH
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
A (Lama Pengasapan 4 Jam) 6,47 ± 0,06
B (Lama Pengasapan 5 Jam) 6,37 ± 0,15
C (Lama Pengasapan 6 Jam) 6,37 ± 0,06
D (Lama Pengasapan 7 Jam) 6,37 ± 0,06
E (Lama Pengasapan 8 Jam) 6,33 ± 0,06
KK : 1,34%

Pada Tabel 8 menunjukkan pH ikan asap dengan metode pengasapan panas secara
langsung didapatkan pH asam. Hal ini disebabkan oleh bahan bakar yang digunakan kayu. Dari
penelitian Rabiatul (2008), komposisi kimia asap kayu meliputi fenol 25-40 mg/m3, asam
asetat dan asam lainnya 600 mg/m3 dan asam formiat 115-160 mg/m3. Kandungan ini yang
menyebabkan pH menurun pada ikan asap. Perbedaan pH terjadi akibat tingkat atau aktivitas
dari bakteri asam laktat dan jumlah dari asam-asam organik dalam asap cair. Martinez (2005),
menjelaskan bahwa pengasapan menyebabkan turunnya pH, akibat dari penyerapan komponen
asam-asam yang terdapat dalam kayu. Reaksi antara fenol, polifenol dan komponen karbonil
dengan protein menyebabkan kehilangan kadar air sehingga menurunkan pH ikan asap.

Angka Lempeng Total


Menurut Hadiwiyoto, Naruki, Satyanti, Rahayu dan Raptakasari (2000), cepat lambatnya
kerusakan hasil pengolahan ikan secara mikrobiologis tergantung pada kecepatan pertumbuhan
mikroba yang ada terutama bakteri pembusuk. Berdasarkan pengaruh lama pengasapan ikan lele,
didapatkan perbedaan jumlah koloni pada ikan lele asap. Untuk hasil uji angka lempeng total
dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Rata-rata Angka Lempeng Total Ikan Lele Asap


Perlakuan Rata-rata Cfu/g
A (Lama Pengasapan 4 Jam) 3,70 x 105
B (Lama Pengasapan 5 Jam) 1,25 x 105
C (Lama Pengasapan 6 Jam) 1,90 x 104
D (Lama Pengasapan 7 Jam) 1,27 x 104
E (Lama Pengasapan 8 Jam) 1,08 x 104

373
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Berdasarkan Tabel 9 kandungan mikroba menurun seiring semakin lamanya proses


pengasapan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan mikroba semakin lama semakin terhambat.
Sedangkan pada pengasapan 6 jam sampai 8 jam sudah memenuhi SNI yaitu, 1,9 x 104 (6 jam),
1,27 x 104 (7 jam) dan 1,08 x 104 (8 jam). Rendahnya nilai kandungan mikroba atau koloni pada
produk dikarenakan banyaknya kandungan asap dan rendahnya kandungan air di dalam bahan,
sehingga pertumbuhan mikroba lebih lambat.

Total Polifenol
Asap merupakan hasil pembakaran kayu tidak sempurna yang mengandung senyawa-
senyawa seperti aldehid, keton, fenol, formaldehid, asam organik yang berperan dalam
antioksidan, antibakteri, pembentuk warna, rasa dan aroma yang khas (Goulas, Antonios,
Michael dan Kontominas, 2005). Fenol juga merupakan salah satu indikator yang menentukan
kualitas ikan asap, komponen fenol berperan sebagai flavour, bakteriostatik dan antioksidan
(Dwi, Yudhomenggolo dan Swastawati. 2015). Data analisis kandungan fenol pada ikan asap
dari perbedaan lama waktu pengasapan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai Rata-rata Total Polifenol Ikan Lele Asap

Total Polifenol (mg/g)


Perlakuan
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
E (Lama Pengasapan 8 Jam) 45,10 ± 0,95 a
D (Lama Pengasapan 7 Jam) 42,26 ± 2,46 a b
C (Lama Pengasapan 6 Jam) 40,38 ± 2,47 b
B (Lama Pengasapan 5 Jam) 35,23 ± 2,39 c
A (Lama Pengasapan 4 Jam) 32,69 ± 2,56 c
KK : 5,76%
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang
tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% menurut DNMRT.

Berdasarkan data pada Tabel 10 perbedaan lama waktu pengasapan memberikan pengaruh
yang nyata pada taraf 5%. Menurut Darmadji (1996), kadar fenol dalam asap sangat bervariasi
tergantung kayu yang digunakan sebagai bahan bakar. Kandungan selulosa yang tinggi akan
menghasilkan karbonil. Kandungan asap dari kayu meliputi fenol 25-40 mg/m3, asam asetat
dan asam lainya 600 mg/m3 dan asam formiat 115-160 mg/m3. Variasi dari kadar fenol dalam
asap memberikan pengaruh terhadap kandungan fenol dalam ikan. Berdasarkan penelitian
Birkerland, Sveinung, Anna, Torstein dan Bjorn (2004), peningkatan kadar fenol, terjadi akibat
adanya suhu dan lama waktu pengasapan maka akan tinggi pula fenol yang dihasilkan. Fenol
juga dapat berdampak negatif untuk kesehatan manusia jika konsentrasi dari fenol yang terdapat
dalam bahan pangan terlalu tinggi Girrand (1992) cit Ghazali et al., (2014), menyatakan bahwa
jumlah batas aman kadar fenol dalam pengasapan berkisar dari 0,06 mg/g sampai 5000 mg/g.

Benzo (a)pyrene
Senyawa polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) merupakan senyawa karsinogenik
yang umumnya terdapat diproduk yang menggunakan suhu tinggi, khususnya pada produk ikan
asap. Salah satu komponen PAH yang berperan dalam karsinogenik adalah Benzo (a)pyrene.
Pada penelitian ini setelah dilakukan uji dengan menggunakan GC-MS, tidak ada terdeteksi
senyawa benzo (a)pyrene sampai dengan lama pengasapan 8 jam dengan suhu 65oC-750C
(Perlakuan E). Tidak adanya senyawa benzo (a)pyrene yang terdeteksi oleh GC-MS. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, suhu tidak terlalu tinggi, lama pengasapan. Selain
melalui mekanisme suhu tinggi (200C-300C), molekul PAH diketahui dapat terbentuk pada

374
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

suhu relatif rendah, sekitar 100C-150C, namun dengan waktu yang lebih panjang
dibandingkan pirolisis dan pirosintesis (Morret, 1999 cit Fatmah dan Gugule, 2009). Benzo
(a)pyrene hasil dari proses penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik atau senyawa
kompleks menjadi tiga bentuk yaitu padatan, cairan dan gas yang disebabkan oleh adanya
pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar pada suhu yang tinggi. Mekanisme Benzo
(a)pyrene dapat mengakibatkan terbentuknya senyawa karsinogenik. Hasil analisis kandungan
benzo (a)pyrene dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Komponen-komponen Senyawa Benzo (a)pyrene ikan Lele Asap.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Lama pengasapan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air, kadar
abu, angka lempeng total dan total polifenol, tetapi berpengaruh tidak nyata pada kadar
lemak, kadar protein dan pH ikan asap yang dihasilkan
2. Senyawa Benzo (a)pyrene dengan menggunakan metode GC-MS, tidak terdeteksi sampai
pengasapan paling lama yaitu 8 jam.

Saran
1. Disarankan untuk melakukan pengasapan panas dengan ikan yang berbeda, karena
perbedaan kandungan gizi setiap ikan juga memberikan pengaruh terhadap senyawa yang
bersifat karsinogen.
2. Meningkatkan suhu pengasapan sehingga dapat mengefisienkan waktu pengasapan menjadi
lebih singkat, serta menggunakan bahan bakar lain yang dapat menghasilkan volume asap
lebih besar.
.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Andalas dan ketua Jurusan Teknologi Industri Pertanian serta Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas.

375
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Penerbit Bumi Aksara: Jakarta.
Astawan, M. 2009. Ensiklopedia Gizi Pangan untuk Keluarga. Dian Rakyat. Semarang.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto, 1989. Analisis
Pangan. Departemen Pendididikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Brikerlahd, Sveinung,. Anna, M.B.R., Torstein, S., Bjom, B. 2004. Effect of Cold Smoking
Prosedures and Raw Material Characteristics on Product Yield and Quality Parameters of
Cold Smoked Atlantic Salmon (Salmon salar L.) Fillets. Food Research Internasional 37
: 273-286.
Badan Standarisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia SNI 2725-2013 tentang Syarat
Mutu dan Keamanan Ikan Asap dengan Pengasapan Panas. Jakarta.
Darmadji, P. 1996. Aktivitas Antibakteri Asap Cair yang Diproduksi dari Bermacam-macam
Limbah Pertanian. Jurnal Agritech Vol. 16 No. 4. Hal :19-22. Universitas Gajah
Mada.Yogyakarta:
Dwi, Y. B. P., Yudhomenggolo, S. D. dan F. Swastawati. 2015. Efek Perbedaan Suhu dan Lama
Pengasapan Terhadap Kualitas Ikan Bandeng (Chanos forsk) Cabut Duri Asap. Jurnal
Aplikasi Pangan 4 (3). Indonesia Food Technologists. Hlm 94-98
Elviani, Y. 2013. Efek Suhu dan Jangka Waktu Pemanasan Terhadap Kadar Protein Yang
Terkandung Dalam Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphagus).
[eThesis].Universitas Kristen Maranatha diambil dari https://repository. maranatha. edu/
pada tanggal 30 April 2019.
Fatimah F. dan S. Gugule. 2009. Penurunan Kandungan Benzo(a)pyrene Asap Cair Hasil
Pembakaran. Journal Chem. Prog. Vol. 2 (1) : 15-21.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ghazali, R.R., F. Swastawati dan Romadhon. 2014. Analisa Tingkat Keamanan Ikan Manyung
(Arius thalassinus) Asap yang Diolah dengan Metode Pengasapan Berbeda. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol. 3 (4) : 31-38.
Ghozali, T., Dedi, M., Yaroh. 2004. Peningkatan Daya Tahan Simpan Sate Bandung (Chanos
chanos) dengan Cara Penyimpanan Dingin dan Pembekuan. Infomatek, Vol. 6 No. 1 :
Bandung.
Goulas, Antonios E., Michael G. Kontominas. 2005. Effect of Salting and Smoking Method
on the Keeping Quality of Chub Mackerel (Scomber japonius) : Biochemical and Sensory
Atributes. Food Chemistry 93 : 511 – 520.
Hadiwiyoto, S., S. Naruki, S. Satyanti, H. Rahayu dan D. Raptakasari. 2000. Perubahan
Kelarutan Protein, Kandungan Lisin (Available), Metionin dan Histidin Bandeng Presto
selama Penyimpanan dan Pemasakan Ulang. Journal Agritech. Vol. 19 (2):78-82.
Hasanah R. dan I. Suyatna. 2015. Karakteristik Mutu Ikan Baung (Mystus nemurus) Asap
Industri Rumah Tangga dari Tiga Kecamatan Kutai Barat, Kutai Tenggara. Jurnal
Akuatika Vol. 6 (2) :170-176.
Kim, B., S Woo, M. J. Kim, S. W. Kwon, J. Lee, S. H.Sung, H. J. Koh. 2018. Identification
and Quantification of Flavonoids in Yellow Grain Mutant of Rice (Oryza sativa, L.).
Food Chemistry. 241 : 154-162.
Mahyuddin, K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penerbit Swadaya. Jakarta.

376
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Marassebesy, I. dan Royani, D.S. 2011. Perbaikan Teknologi Pengasapan dan Manajemen
Usaha Pengolahan Ikan Asap. Jurnal Bakti.
Mardiana, N., Waluyo, S., Ali, M. 2014. Analisa Kualitas Ikan Sembilang (Paraplotosus
albilabris) Asap di Kelompok Pengolahan Ikan “Mina Mulya” Kecamatan Pasir Skati
Lampung Timur. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. Vol 3. N0 3 : Hal 283 – 290
Martinez, O. 2005. Textural and Physicochemical Changes in Salmon (Salmon salar) Treated
with Commercial Liquid Smoke Flavourings. Diambil dari http://elsevier.com : 498 -
503.pdf.
Mao L. And Wu, Tao. 2008. Influence of Hot Air Drying and Microwave Drying on Nutritional
Properties of Grass Crap (Ctenopharyngodon edellus) Fillets. Food Chemitry 110 : 647 –
653.
Muhamad, R.P.,Mery S., Nora, I.S. 2017. Karakteristik Mutu Ikan Patin (Pangasius sp) dengan
Metode Pengasapan Tradisional dan Cair.[eSkripsi] Fakultas Perikanan dan Kelautan,
Universitas Riau.33 hal diambeil dari www.conference.unsri.ac.id tanggal 28 Februari
2019.pdf.
Netty, S. dan Lumoindong, F. 2017. Aplikasi Asap Cair Cangkang Pala Untuk Pengolahan Ikan
Segar. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol. 5 No. 1 hlm 9-16.
Rabiatul, A. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Ed. 1 Cetakan 3. Bumi Aksara, Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging, Cetakan III. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sudarmadji, S., B. Hariyono dan Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Liberty. Yogyakarta.
Sulfiani, A. Sukainah dan A. Mustarin. 2017. Pengaruh Lama dan Suhu Pengasapan dengan
Menggunakan Metode Pengasapan Panas terhadap Mutu Ikan Lele Asap. Jurnal
Pendidikan Teknologi Pertanian Vol. 3 : 93 - 101
Swastawaati F. 2005. Some Investigation on the Quality of Smoked Mackerel (Tastreliger SP)
Using Various Wood Waste of Liquid Smoke. Jurnal of Coastal Development Vol. 8 No.
3. 201-205.
Swastawati, F. 2011. Qualityand Safety of Smoked Catfish (Riestal assinus) Using Paddy
Chaff and Coconut Shell Liquid Smoke. Journal of Coastal Devopment. Vol. 12 No. 1.
Hlm 47 - 55.
Swastawati, F., Surti, T.,Agustina, T.W. 2013. Karakteristik Kualitas Ikan Asap Yang Diproses
Mengunakan Metode dan Jenis Ikan yang Berbeda. Jurnal Aplikasi Pangan, 2(2) :126 -
132
Triwinarti dan Surriati. 2013. Pengaruh Terhadap Mutu Cerna Ikan Mujair (Tilapia mosambica).
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. diambil dari http: //www. repository.ipb.ac.id pada tanggal 29 Februari
2019.
Winarno, F.G. 2009. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yuliastri, V., R. Suwandi dan Uju. 2015. Hasil Penilaian Organoleptik dan Histologi Lele Asap
pada Proses Pre-Cooking. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol. 18 (2) :190-
204.
Zaki. 2009. Budidaya Ikan Lele (Clarias batrachus). Diambil dari http://journal biologi.com
pada tanggal 24 Agustus 2018.

377
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Karakteristik Kimia dan Sensori Permen Jelly Temu Mangga (Curcuma


mangga Val.) pada Berbagai Proporsi Penambahan Sari Buah Mangga
Kuweni (Mangifera odorata Griff)
Chemical and Sensory Characteristics of Mango Ginger (Curcuma
mango Val.) Jelly Candy in Various Proportions Addition to Kuweni
Mango Juice (Mangifera odorata Griff)
Fibra Nurainy1, Tanto Pratondo Utomo1, Susilawati1, dan Laras Meindari1
1Universitas Lampung, Bandar Lampung

ABSTRAK

Kata Kunci: Temu mangga merupakan salah satu jenis rimpang yang kaya antioksidan
Temu Mangga karena mengandung kurkuminoid. Untuk meningkatkan konsumsi temu
Mangga Kuweni mangga dilakukan diversifikasi olahan dalam bentuk permen jelly. Penelitian
Permen Jelly ini bertujuan untuk mendapatkan proporsi ekstrak temu mangga dan sari buah
mangga kuweni yang dapat menghasilkan permen jelly dengan sifat sensori
terbaik. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAKL) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan pada
penelitian ini adalah perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah
mangga kuweni sebesar 85:15 (T1), 80:20 (T2), 75:25 (T3), 70:30 (T4),
65:35 (T5), dan 60:40 (T6). Pengamatan pada penelitian ini meliputi sifat
sensori (rasa, warna, aroma, tekstur), fisik dan kimia (total padatan terlarut
dan kadar air). Permen jelly terbaik dari hasil pengujian sensori kemudian
dilakukan pengujian kimia meliputi kadar abu, kadar gula reduksi dan
aktivitas antioksidan. Data dianalisis dengan analisis ragam dan dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa permen jelly dengan rasio ekstrak temu mangga dan sari
buah mangga kuweni 65:35 (perlakuan T5) merupakan perlakuan terbaik
dengan skor warna 3,90 (kuning pekat), aroma dengan skor 3,70 (suka), rasa
dengan skor 3,83 (suka), tekstur dengan skor 3,82 (suka), kadar air 19,49%,
total padatan terlarut 38,85⸰brix, kadar abu sebesar 2,27%, kadar gula reduksi
sebesar 3,24%, dan aktivitas antioksidan sebesar 43,90%.
ABSTRACT

Keywords: Mango Ginger is one type of rhizome that is rich in antioxidants because it
Mango Ginger contains curcuminoids. To increase the consumption of mango ginger,
Kuweni Mango processed diversification is carried out in the form of jelly candy. This study
Jelly Candy aims to obtain the proportion of mango ginger extract and Kuweni mango
juice that can produce jelly candy with the best sensory properties. The study
design used a Complete Randomized Block Design (RCBD) with 6
treatments and 4 replications. The treatments in this study were the ratio of
mango ginger extract and Kuweni mango juice amounted to 85:15 (T1),
80:20 (T2), 75:25 (T3), 70:30 (T4), 65:35 (T5), and 60:40 (T6). Observations
in this study include sensory properties (taste, color, aroma, texture), physical
and chemical (total dissolved solids and water content). The best jelly candy
from the results of sensory testing is then carried out chemical tests including
ash content, reduced sugar levels and antioxidant activity. Data were
analyzed by analysis of variance and continued with the Least Significant

378
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Difference (LSD) test at 5% level. The results showed that jelly candy with a
ratio of mango ginger extract and Kuweni mango juice 65:35 (T5 treatment)
was the best treatment with a color score of 3.90 (dark yellow), aroma with a
score of 3.70 (like), taste with a score 3.83 (likes), texture with a score of 3.82
(likes), water content of 19.49%, total dissolved solids 38.85⸰brix, ash
content of 2.27%, reducing sugar content of 3.24%, and antioxidant activity
by 43.90%.

Email Korespondensi: fibranurainy@gmail.com

PENDAHULUAN
Temu mangga merupakan salah satu jenis temu-temuan yang banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai makanan pelengkap atau lalapan, jamu dan obat tradisonal. Bentuk fisik
temu mangga hampir menyerupai tanaman rimpang lainnya seperti temulawak dan kunyit,
namun memiliki aroma khas menyerupai mangga . Temu mangga memiliki rasa agak sedikit
pahit dan warna putih kekuningan Esvandiari, 2002).
Temu mangga mengandung senyawa antioksidan, diantaranya kalkon, flavon, flavanon
yang cenderung larut dalam air (Lajis, 2007; Suryani, 2009; Phytochemicals, 2012). Ekstrak
temu mangga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi berupa kurkuminoid sebanyak 132 ppm
sehingga mampu menekan radikal bebas (Pujimulyani, 2003), mampu menekan terbentuknya
peroksida selama oksidasi lipid (Tedjoet al., 2005) dan berperan sebagai antialergi (Tewtrakul
dan Subhadhirasakul, 2007). Pengolahan temu mangga saat ini cenderung masih sangat terbatas
karena hanya dimanfaatkan sebagai lalapan atau dijadikan obat tradisional. Inovasi pengolahan
temu mangga diperlukan dalam meningkatkan daya tarik masyarakat untuk mengkonsumsi temu
mangga sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomisnya. Salah satu usaha diversifikasi produk
olahan temu mangga adalah permen jelly.
Permen jelly merupakan salah satu produk olahan pangan yang banyak digemari oleh
semua kalangan. Berdasarkan SNI 3547-2-2008, permen jelly ialah permen bertekstur lunak
yang diproses dengan penambahan bahan pembentuk gel seperti karagenan dan gum arab.
Pemanfaatan temu mangga sebagai bahan baku pembuatan permen jelly sangat berpotensi.
Namun, temu mangga memiliki aftertaste yang kurang dikehendaki. Salah satu buah yang dapat
digunakan sebagai flavoring agent alami adalah mangga kuweni (Mangifera odorata Griff).
Perpaduan antara temu mangga dengan mangga kuweni diharapkan mampu meminimalisir
aftertaste yang kurang dikehendaki dari temu mangga. Menurut Antarlina (2009) buah mangga
kuweni mengandung vitamin A, C dan serat yang tinggi. Buah mangga kuweni masak
mengandung vitamin A sekitar 4800 IU (International Unit) dan sekitar 13-80 mg vitamin C per
100 g daging buah masak. Mangga kuweni memiliki keistimewaan yaitu rasanya yang manis
serta aromanya yang harum dan khas sehingga mudah dikenali.
Sejauh ini, belum dilakukan pemanfaatan temu mangga dengan buah mangga kuweni
sebagai bahan baku pembuatan permen jelly. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang
pembuatan permen jelly menggunakan ekstrak temu mangga dengan sari buah mangga kuweni
untuk mengetahui proporsi yang dapat menghasilkan permen jelly dengan sifat kimia dan sensori
terbaik sesuai SNI 3547-2.2008.

KERANGKA TEORI
Temu mangga mengandung kurkuminoid yang memiliki aktivitas antioksidan yang baik
bagi tubuh manusia. Temu mangga memiliki komposisi kurkumin 6,2%, demetoksi-kurkumin
2,3% dan bisdemetoksikurkumin 3,0% (Susmiati, 2010). Meskipun temu mangga memiliki
banyak manfaat, namun pengolahanya masih sangat terbatas. Untuk meningkatkan konsumsi

379
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

temu mangga pada masyarakat, perlu dilakukan diversifikasi produk olahan. Salah satu cara
yang dapat diterapkan adalah dengan mengolah temu mangga menjadi permen jelly.
Permen jelly pada umumnya diperoleh dari pencampuran sari buah, gula dan bahan
pembentuk gel (gelling agent) yaitu diantaranya gum arab dan karagenan. Fungsi penambahan
bahan pembentuk gel tersebut sebagai pembentuk tekstur gel permen jelly. Karagenan
merupakan salah satu gelling agent yang memiliki kelemahan yaitu gel yang dibentuk memiliki
tekstur yang rapuh dan kurang elastis sehingga diperlukan penambahan gelling agent lain salah
satunya yaitu gum arab. Berdasarkan penelitian Iwanda et al., (2016), konsentrasi perbandingan
gum arab dengan karagenan 25%:75%/ 200g bahan dan lama pemasakan 10 menit menghasilkan
jelly markisa dengan mutu terbaik. Penggunaan kombinasi gum arab dan karagenan dalam
pembuatan permen jelly diharapkan mampu memperbaiki tekstur permen jelly.
Menurut Ariviani et al., (2013) pembuatan ekstrak temu mangga sebagai minuman
fungsional dapat dilakukan dengan metode ekstraksi dengan sifat sensori terbaik yaitu
perbandingan temu mangga dan air sebesar 1:10. Menurut penelitian ini kadar antioksidan
tertinggi pada perbandingan proporsi temu mangga dengan air sebesar 1:10 dengan aktivitas
penangkapan radikal bebas 0,39 mg ekivalen kuersetin/100 ml minuman. Hal ini membuktikan
bahwa pemanfaatan ekstrak temu mangga yang kaya akan antioksidan sebagai bahan pembuatan
permen jelly akan memiliki sifat fungsional. Akan tetapi, temu mangga memiliki kelemahan
yaitu aftertaste yang kurang dikehendaki. Pembuatan permen jelly ekstrak temu mangga
memerlukan bahan tambahan yang dapat menutupi aftertasteyang kurang dikehendaki sehingga
dapat memperbaiki flavor. Bahan tambahan yang dapat digunakan yaitu penambahan sari buah
mangga kuweni. Sari buah mangga kuweni dapat dijadikan sebagai flavoring agent alami produk
permen jelly ekstrak temu mangga. Menurut Iriani (2005) mangga kuweni memiliki komponen
penyusun senyawa flavorseperti volatil(alpha pinene dan myrcene) yang termasuk senyawa
monoterpen.
Proporsi ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni terbaik akan menghasilkan
permen jelly yang dapat diterima konsumen dan memiliki sifat fungsional yang diharapkan.
Apabila proporsi temu mangga terlalu banyak akan menghasilkan permen jelly yang secara
sensori tidak disukai. Sebaliknya, apabila proporsi sari buah mangga kuweni yang digunakan
terlalu banyak maka pemanfaatan temu mangga yang memiliki sifat fungsional belum optimal.
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengkaji proporsi ekstrak
temu mangga dan sari buah mangga kuweniterbaik sehingga diperoleh produk permen jelly
dengan sifat kimia dan sensori terbaik.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium
Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Lampung dan Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pangan Politeknik Negeri
Lampung, pada Bulan Januari-Maret 2019.

Bahan dan Alat


Bahan utama yang digunakan adalah temu mangga (Curcuma mangga Val.) dan mangga
kuweni (Mangifera odorata Griff) yang diperoleh dari Pasar Tani yang berada di daerah
Kemiling Bandar Lampung. Bahan tambahan yang digunakan adalah asam sitrat, sukrosa, air,
gum arab dan karagenan. Bahan kimia yang digunakan untuk keperluan analisis antara lain
adalah reagen DPPH, etanol, aquades, NaCO3, larutan Luff schrool, indikator pati, KI 20%,
H2 SO4 dan Na-thiosulfat 0,1 N.
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan permen jelly temu mangga antara lain
timbangan, termometer, pengaduk, kompor, stopwatch, loyang, gelas ukur, pisau, sendok,
blender, baskom, nampan, wajan teflon, panci, sedangkan peralatan untuk analisis antara lain

380
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

neraca analitik, cawan porselin, oven, desikator, tanur, alat-alat gelas dan seperangkat alat untuk
uji sensori.

Rancangan Percobaan
Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)
dengan 4 kali pengulangan. Penelitian dilakukan menggunakan faktor tunggal dengan perlakuan
taraf perbandingan konsentrasi ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni sebesar
85:15 (T1), 80:20 (T2), 75:25 (T3), 70:30 (T4), 65:35 (T5), dan 60:40 (T6). Data yang diperoleh
diuji kehomogenannya dengan uji Bartlet dan kemenambahan data dengan uji Tuckey. Data
kemudian dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji
signifikasi antar perlakuan. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan data diuji
lebih lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan Ekstrak Temu Mangga
Pembuatan bubuk temu mangga dan ekstrak temu mangga dilakukan sebagai berikut: Temu
mangga dikupas dan dirajang tipis-tipis. Lalu temu mangga dikeringkan menggunakan oven blower
pada suhu 50℃ selama 24 jam. Setelah dikeringkan, temu mangga kemudian dihaluskan
menggunakan blender sampai menjadi bubuk. Penghalusan bertujuan untuk mengecilkan ukuran
partikel sehingga mempermudah bahan untuk kontak dengan pelarut ketika proses ekstraksi.
Ekstraksi temu mangga menggunakan pelarut air dengan proporsi temu mangga dengan air yaitu
1:10. Setelah itu, ekstrak temu mangga disaring menggunakan kain saring.

Pembuatan Sari Buah Mangga Kuweni


Pembuatan sari buah mangga kuweni dilakukan sebagai berikut: buah mangga kuweni
dikupas dengan menggunakan pisau, kemudian dicuci bersih, lalu mangga kuweni dipotong-
potong kecil-kecil dan ditimbang 100 g kemudian dimasukkan kedalam blender dan ditambah
air sebanyak 300 ml untuk memudahkan proses penghalusan, kemudian bubur buah mangga
kuweni disaring dengan kain saring sehingga diperoleh sari buah mangga kuweni.

Pembuatan Permen Jelly Ekstrak Temu Mangga dan Sari Buah Mangga Kuweni
Setelah pembuatan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni, dilanjutkan
dengan pembuatan permen jelly. Penelitian ini menggunakan perlakuan taraf perbandingan
konsentrasi ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni sebesar 85:15 (T1), 80:20 (T2),
75:25 (T3), 70:30 (T4), 65:35 (T5), dan 60:40 (T6) dengan total campuran 200 ml untuk setiap
perlakuan. Kemudian dilakukan pencampuran bahan tambahan yaitu air 50 ml untuk melarutkan
sukrosa, sukrosa 100g, gum arab 2g dan karagenan 10g. Selanjutnya seluruh bahan dimasak
sambil diaduk hingga mendidih dan mengental lalu ditambahkan asam sitrat sebanyak 0,3 g.
Kemudian tuang adonan permen jelly kedalam loyang dengan ketebalan ±1,5 cm. Adonan
didinginkan selama 1 jam pada suhu ruang lalu dilakukan pemotongan permen jelly dengan tebal
1×1 cm dan disimpan dalam lemari es suhu 10℃ selama 24 jam. Kemudian permen jelly
dikeringkan menggunakan oven blower pada suhu 50℃ selama 24 jam.

Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada permen jelly meliputi pengamatan sifat sensori yaitu
rasa, warna, aroma, tekstur (Setyaningsih et al. 2010) serta pengamatan kimia yaitu total padatan
terlarut (Muchtadi dan Sugiono,1989) dan kadar air menggunakan metode gravimetri (AOAC,
2005). Permen jelly terbaik dari hasil pengujian sensori kemudian dilakukan pengujian kimia
meliputi kadar abu (AOAC, 2012), kadar gula reduksi menggunakan metode Luff Schrool
(AOAC, 2005) dan aktivitas antioksidan Tang et al.(2002).

381
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

HASIL DAN PEMBAHASAN


Warna
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak temu mangga dan
sari buah mangga kuweni pada permen jelly berpengaruh sangat nyata terhadap warna permen
jelly. Hasil uji lanjut BNT pada taraf 5% warna permen jelly dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji BNT Warna Permen Jellyekstrak Temu Mangga dan Sari Buah Mangga Kuweni.
Perlakuan 
T6 (ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) 4,22 a
T5 (ekstrak temu mangga 65% : sari kuweni 35%) 3,90 ab
T4 (ekstrak temu mangga 70% : sari kuweni 30%) 3,72 b
T3 (ekstrak temu mangga 75% : sari kuweni 25%) 3,25 c
T2 (ekstrak temu mangga 80% : sari kuweni 20%) 3,00 cd
T1 (ekstrak temu mangga 85% : sari kuweni 15%) 2,65 d
BNT 5% = 0,425
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbedanyata pada uji BNT 5%
Keterangan skor uji skoring warna permen jelly sebagai berikut: 5 : Kuning jernih, 3 : Kuning kecoklatan, 1:Sangat
coklat, 4 : Kuning pekat, 2 : Coklat

Warna permen jelly perlakuan T6 (ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) tidak
berbeda nyata dengan perlakuan T5 (ekstrak temu mangga 65% : sari kuweni 35%) namun
berbeda nyata dengan perlakuan T4, T3, T2 dan T1. Perbedaan formulasi ekstrak temu mangga
dan sari buah mangga kuweni dalam pembuatan permen jelly menyebabkan perbedaan warna
pada produk permen jelly yang dihasilkan. Perlakuan dengan rasio sari buah mangga kuweni
sebesar 30% sudah mampu menghasilkan permen jelly dengan intensitas warna kuning pekat,
sedangkan perlakuan dengan rasio sari buah mangga kuweni dibawah 30% menghasilkan
intensitas warna kuning kecoklatan pada permen jelly. Perlakuan T6, T5, dan T4 merupakan
perlakuan yang menghasilkan permen jelly dengan intensitas warna kuning pekat sehingga rasio
sari buah mangga kuweni sebesar 30 % dapat memperbaiki sifat sensori warna pada produk
permen jelly yang dihasilkan.
Warna pada permen jelly yang dihasilkan merupakan warna alami dari penggunaan bahan
baku penyusunnya. Warna kuning pada permen jelly disebabkan oleh warna alami dari sari buah
mangga kuweni. Menurut (Higdon et al., 2009 dalam Nurrahmah dan Widiarnu, 2013) buah-
buahan seperti buah mangga memiliki karotenoid provitamin A dengan jumlah signifikan.
Karotenoid merupakan kelompok pigmen berwarna jingga, merah dan kuning.
Warna kuning kecoklatan pada permen jelly disebabkan oleh warna dari ekstrak temu mangga.
Menurut (Jitoe et al., 1992 dalam Pujimulyani, 2005) temu mangga mengandung kurkuminoid yang
menghasilkan warna kuning. Akan tetapi,setelah dilakukan proses pengupasan dan perajangan,
warna temu mangga menjadi sedikit kecoklatan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh terjadinya
reaksi pencoklatan enzimatis yang melibatkan enzim polifenol oksidase membentuk melanin
sehingga menyebabkan warna coklat. Temu mangga memiliki senyawa fenolik berupa kalkon,
flavon, flavanon, kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, asam galat, katekin,
epikatekin, epigalokatekin, epigalokatekingalat, dan galokatekingalat (Lajis, 2007; Suryani, 2009;
Abas et al., 2005; dan Pujimulyani et al., 2011).

Rasa
Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan ekstrak temu mangga dan
sari buah mangga kuweni pada permen jelly berpengaruh sangat nyata terhadap rasa permen
jelly. Hasil uji lanjut BNT pada taraf 5% rasapermen jelly dapat dilihat pada Tabel 2.

382
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Hasil Uji BNT Rasa Permen Jellyekstrak Temu Mangga dan Sari Buah Mangga Kuweni
Perlakuan μ
T6 (ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) 4,19 a
T5 (ekstrak temu mangga 65% : sari kuweni 35%) 3,83 ab
T4 (ekstrak temu mangga 70% : sari kuweni 30%) 3,65 bc
T3 (ekstrak temu mangga 75% : sari kuweni 25%) 3,42 c
T2 (ekstrak temu mangga 80% : sari kuweni 20%) 3,00 d
T1 (ekstrak temu mangga 85% : sari kuweni 15%) 2,77 d
BNT 5% = 0,382
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
BNT 5%. Keterangan skor uji hedonik rasa permen jelly sebagai berikut : 5 : Sangat suka, 3 : Agak
suka, 1 :Sangat tidak suka, 4 : Suka, 2 : Tidak suka

Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa permen jelly pada perlakuan perbandingan ekstrak
temu mangga dan sari buah mangga kuweni 60:40 (T6) tidak berbeda nyata dengan perlakuan
65:35 (T5) namun berbeda nyata dengan perlakuan perlakuan T4, T3, T2 dan T1. Perlakuan T6
(ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) menghasilkan skor kesukaan rasa sebesar 4,19
yang masih disukai panelis dan tidak berbeda dengan perlakuan T5, sedangkan perlakuan T1
(ekstrak temu mangga 85% : sari kuweni 15%) agak disukai panelis dan tidak berbeda nyata
dengan perlakuan T2.
Perbedaan formulasi ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni akan
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa permen jelly. Menurut (Suhirman et al.,
2006 dalam Yani, 2013) temu mangga mengandung damar yang merupakan getah dan tanin yang
merupakan senyawa penyebab rasa sepat. Hal inilah yang menyebabkan temu mangga memiliki
aftertaste yang kurang enak sehingga rasio ekstrak temu mangga yang tinggi menyebabkan
penilaian kesukaan panelis terhadap rasa permen jelly agak disukai. Sebaliknya rasio sari buah
mangga kuweni yang tinggi menyebabkan rasa permen jelly disukai panelis.Hal ini disebabkan
mangga kuweni memiliki aroma yang tajam dan rasa yang khas ( Antarlina, 2009). Pracaya
(2011) menambahkan rasa dan karakteristik dari buah mangga kuweni dipengaruhi oleh gula
yang terkandung didalamnya. Penelitian ini menggunakan buah mangga kuweni yang matang
sehingga kandungan gula yang terdapat pada buah mangga tinggi.Buah mangga kuweni
mengandung gula berupa sukrosa yang memberikan rasa manis, sehingga rasa atau aftertaste dari
temu mangga yang kurang disukai oleh panelis akan tertutupi oleh rasa dari buah mangga
kuweni.

Tekstur
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak temu mangga dan
sari buah mangga kuweni pada permen jelly berpengaruh sangat nyata terhadapteksturpermen
jelly. Hasil uji lanjut BNT pada taraf 5% teksturpermen jelly dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3, perlakuan perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga
kuweni 60:40 (T6) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 65:35 (T5) dan perlakuan 70:30 (T4)
namun berbeda nyata dengan perlakuan T3, T2 dan T1. Marwita (2008) menyatakan bahwa
tingkat kekenyalan mempengaruhi daya terima konsumen terhadap permen jelly yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian, perbedaan formulasi ekstrak temu mangga dan sari
buah mangga kuweni menghasilkan perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur permen
jelly. Rasio sari buah mangga kuweni yang tinggi menyebabkan penilaian terhadap tekstur
permen jelly disukai. Hal ini disebabkan buah mangga mengandung pektin sehingga
mempengaruhi tekstur pada permen jelly. Menurut (Muchtadi et al., 2014 dalam Saputro, 2018)
buah mangga mengandung pektin sebesar 0,35%. Keberadaan pektin dalam pembuatan permen
jelly berfungsi sebagai pengental, pemantap, dan pembentuk tekstur gel. Hal tersebut

383
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

membuktikan bahwa kandungan pektin yang tinggi menyebabkan tekstur permen jelly menjadi
lebih kenyal dan akan disukai panelis.
Tabel 3. Hasil Uji BNT Tekstur Permen Jellyekstrak Temu Mangga dan Sari Buah Mangga Kuweni
Perlakuan μ
T6 (ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) 3,99 a
T5 (ekstrak temu mangga 65% : sari kuweni 35%) 3,82 ab
T4 (ekstrak temu mangga 70% : sari kuweni 30%) 3,67 ab
T3 (ekstrak temu mangga 75% : sari kuweni 25%) 3,44 bc
T2 (ekstrak temu mangga 80% : sari kuweni 20%) 3,11 c
T1 (ekstrak temu mangga 85% : sari kuweni 15%) 2,62 d
BNT 5% = 0,412
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Keterangan skor uji hedoniktekstur permen jelly sebagai berikut : 5 : Sangat suka, 3 : Agak suka, 1 :Sangat tidak
suka, 4 : Suka, 2 : Tidak suka.

Selain kandungan pektin, nilai pH juga berhubungan erat dalam pembentukan tekstur
permen jelly. Berdasarkan hasil analisa nilai pH, sari buah mangga kuweni memiliki nilai pH
sebesar 3,58 sedangkan ekstrak temu mangga memiliki nilai pH sebesar 5,33. Dalam
membentuk tekstur permen jelly, nilai pHberkaitan dengan kandungan pektin. Kandungan
pektin yang tinggi maka menyebabkan nilai pH menurun. Hal tersebut diduga karena pektin
bersifat asam. Menurut Shahidi dan Marian (1995), pektin akan terhidrolisis menghasilkan asam
pektat dan asam pektinat sehingga kandungan pektin yang tinggi maka asam yang dihasilkan
juga tinggi dan nilai pH akan menurun. Nilai pH yang rendah menyebabkan ketegaran gel yang
terbentuk akan meningkat. Nilai pH yang terlalu rendah menyebabkan gel semakin keras (Sari,
2004). Hal ini membuktikan nilai pH yang rendah akan menyebabkan tekstur permen jelly akan
semakin kenyal sehingga meningkatkan nilai kesukaan terhadap tekstur permen jelly.Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Zulkifli (2018) semakin rendah nilai pH maka tekstur
permen jelly akan semakin kenyal sehingga tekstur permen jelly disukai panelis.

Aroma
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak temu mangga dan
sari buah mangga kuweni pada permen jelly berpengaruh nyata terhadaparomapermen jelly.
Hasil uji lanjut BNT pada taraf 5% aromapermen jelly dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Hasil Uji BNT Aroma Permen Jellyekstrak Temu Mangga dan Sari Buah Mangga Kuweni.
Perlakuan μ
T6 (ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) 3,86 a
T4 (ekstrak temu mangga 70% : sari kuweni 30%) 3,75 ab
T5 (ekstrak temu mangga 65% : sari kuweni 35%) 3,68 abc
T2 (ekstrak temu mangga 80% : sari kuweni 20%) 3,58 bc
T1 (ekstrak temu mangga 85% : sari kuweni 15%) 4,56 bc
T3 (ekstrak temu mangga 75% : sari kuweni 25%) 3,50 c
BNT 5% = 0,238
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Keterangan skor uji hedonikaroma permen jelly sebagai berikut : 5 : Sangat suka, 3 : Agak suka,1 :Sangat tidak
suka, 4 : Suka, 2 : Tidak suka.

Perlakuan perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 60:40 (T6)
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 70:30 (T4) dan perlakuan 65:35 (T5) namun berbeda nyata
dengan perlakuan T2, T1 dan T3. Perbedaan formulasi ekstrak temu mangga dan sari buah
mangga kuweni menghasilkan perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma permen jelly.

384
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Aroma yang dihasilkan pada permen jelly berasal dari bahan baku penyusunnya.
Berdasarkan hasil penelitian, rasio ekstrak temu mangga yang tinggi menyebabkan aroma
permen jelly agak disukai panelis. Menurut Sait dan Lubis (1989) aroma pada temu mangga
berasal dari kandungan minyak atsiri.Komponen utama minyak atsiri temu mangga adalah
golongan monoterpen hidrokarbon, dengan komponen utamanya mirsen (78,6%), β-osimen
(5,1%), β-pinen (3,7%) dan α-pinen (2,9%) (Wong et al., 1999).Sebaliknya, rasio sari buah
mangga kuweni yang tinggi menyebabkan aroma permen jelly disukai panelis. Hal ini
disebabkan mangga kuweni merupakan buah yang memiliki aroma yang khas dan sangat kuat
dari buah mangga jenis lainya, hal ini dikarenakan mangga kuweni memiliki komponen flavor
seperti volatil (alpha pinene dan myrcene ) yang termasuk senyawa monoterpen (Iriani, 2005).
Muchtadi (1994) menambahkan aroma khas mangga kuweni berasal dari senyawa flavor yang
terdiri dari 45% monoterpenten teroksigenasi dan 33 % ester dengan αterpineol sebagai
komponen utamanya sehingga penambahan mangga kuweni dapat mempengaruhi aroma pada
permen jelly.

Kadar Air
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak temu mangga dan
sari buah mangga kuweni pada permen jelly berpengaruh sangat nyata terhadapkadar airpermen
jelly. Hasil uji lanjut BNT pada taraf 5% kadar airpermen jelly dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5. Hasil Uji BNT Kadar Air Permen Jellyekstrak Temu Mangga Dan Sari Buah Mangga Kuweni
Perlakuan μ
T6 (ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) 20,00 a
T5 (ekstrak temu mangga 65% : sari kuweni 35%) 19,49 ab
T4 (ekstrak temu mangga 70% : sari kuweni 30%) 18,85 ab
T3 (ekstrak temu mangga 75% : sari kuweni 25%) 18,85 b
T2 (ekstrak temu mangga 80% : sari kuweni 20%) 16,46 c
T1 (ekstrak temu mangga 85% : sari kuweni 15%) 15,09 c
BNT 5% = 1,487
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Perlakuan perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah manggakuweni 60:40(T6)
tidak berbeda nyata dengan perlakuan perbandingan 65:35 (T5) dan 70:30 (T4)namun berbeda
nyata dengan perlakuan T3, T2 dan T1. Nilai kadar air permen jelly ekstrak temu mangga dan
sari buah mangga kuweni pada seluruh perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan nilai kadar
air maksimal yang ditentukan SNI 3547.2-2008 yaitu maksimal 20%, yang berarti produk
permen jelly yang dihasilkan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu pangan sehingga dalam pengolahan pangan,
air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan dan pengeringan (Winarno,
1990).Berdasarkan hasil penelitian, perbedaan formulasi ekstrak temu mangga dan sari buah
mangga kuweni mempengaruhi kadar air permen jelly. Rasio penambahan ekstrak temu mangga
yang tinggi menyebabkan nilai kadar air permen jellyrendah. Sebaliknya apabila rasio
penambahan sari buah mangga kuweni tinggi akan menyebabkan kadar air permen jelly tinggi.
Hal ini disebabkan adanya kandungan pektin dari mangga kuweni sebagai bahan baku permen
jelly. Buah mangga mengandung pektin sebesar 0,35% (Muchtadi et al., 2014 dalam Saputro,
2018). Rasio penambahan sari buah mangga kuweni yang tinggi menyebabkan kandungan
pektin dalam bahan tinggi. Menurut Sulihono et al. (2012) pektin merupakan senyawa polimer
yang dapat mengikat air, membentuk gel, dan mengentalkan cairan. Winarno (2008)
menambahkan pektin dapat membentuk gel dan memiliki kapasitas menahan air. Hal tersebut
membuktikan bahwa kandungan pektin yang tinggi maka akan menyebabkan kandungan air
pada permen jelly meningkat karena akan lebih banyak air yang diikat oleh pektin dibandingkan

385
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

air yang menguap akibat proses pemasakan adonan permen jelly.Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fahrizal dan Fadhil (2014), semakin tinggipenambahan
pektin maka kadar air akan semakin tinggi, hal ini disebabkansifat pektin yang mampu
memerangkap air bersama asam dalam bentuk gel pada saat proses pengolahan.

Total Padatan Terlarut


Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan ekstrak temu mangga dan
sari buah mangga kuweni pada permen jelly berpengaruh sangat nyata terhadap total padatan
terlarut permen jelly. Hasil uji lanjut BNT pada taraf 5% total padatan terlarutpermen jelly dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji BNT Total Padatan Terlarut Permen Jellyekstrak Temu Mangga dan Sari Buah
Mangga Kuweni.
Perlakuan μ
T6 (ekstrak temu mangga 60% : sari kuweni 40%) 40,82 a
T5 (ekstrak temu mangga 65% : sari kuweni 35%) 38,85 ab
T4 (ekstrak temu mangga 70% : sari kuweni 30%) 35,55 bc
T3 (ekstrak temu mangga 75% : sari kuweni 25%) 34,62 c
T2 (ekstrak temu mangga 80% : sari kuweni 20%) 32,82 c
T1 (ekstrak temu mangga 85% : sari kuweni 15%) 29,07 d
BNT 5% = 3,537
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Berdasarkan Tabel 12, perlakuan perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah
manggakuweni60:40 (T6) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 65:35 (T5)namun berbeda
nyata dengan perlakuan T4, T3, T2 dan T1. Nilai tertinggi total padatan terlarut permen jelly
yaitu pada perlakuan T6 sebesar 40,825⸰Brix dan nilai terendah total padatan terlarut permen
jelly yaitu pada perlakuan T1 sebesar29,075⸰Brix.
Berdasarkan hasil penelitian, rasio penambahan ekstrak temu mangga yang tinggi
menyebabkan kandungan total padatan terlarut rendah. Sebaliknya apabila rasio penambahan sari
buah mangga kuwenitinggi akan menyebabkan kandungan total padatan terlarut permen jelly tinggi.
Hal ini disebabkan mangga kuweni yang digunakan pada penelitian ini adalah buahmangga matang
sehingga kandungan sukrosa dan komponen asam-asam organik yang terdapat pada buah mangga
tinggi.Kandungan total padatan terlarut berhubungan dengan jumlah sukrosa yang terdapat pada
bahan baku pembuatan permen jelly. Menurut Buckle et al.(1987), semakin tinggi konsentrasi
sukrosa yang terkandung dalam suatu buah yang sudah matang, akan menghasilkan total padatan
terlarut yang tinggi.Selain kandungan sukrosa, adanya kandungan pektin pada buah mangga juga
berperan untuk meningkatkan kadar total padatan terlarut. Menurut Winarno (2008), total padatan
terlarut dipengaruhi oleh pektin yang larut.

Penentuan Perlakuan Terbaik


Penentuan perlakuan terbaik ditetapkan berdasarkan hasil dari uji organoleptik (aroma,
rasa, warna, dan tekstur). Rekapitulasi data pemilihan perlakuan terbaik dapat dilihat pada Tabel
7.
Penentuan perlakuan terbaik berdasarkan hasil uji skoring warna, uji hedonik (rasa, aroma,
tekstur) dan uji kimia yaitu kadar air. Untuk uji skoring warna penentuan perlakuan terbaik
berdasarkan skor tertinggi penilaian warna yaitu permen jelly cenderung berwarna kuning. Untuk
uji hedonik (rasa, aroma, tekstur) penentuan perlakuan terbaik berdasarkan pada skor kesukaan
tertinggi. Untuk kadar air permen jelly penentuan perlakuan terbaik berdasarkan syarat SNI 3547.2-
2008. Hasil rekapitulasi data yang disajikan pada Tabel 13, untuk parameter yang memiliki skor
tertinggi dan secara statistik tidak berbeda nyata diberikan tanda bintang. Perlakuan T6

386
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 60:40) dan T5 (perbandingan
ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 65:35)memiliki skor penilaian tertinggi untuk
sensori warna, rasa, aroma, tekstur dan secara statistik tidak berbeda nyata. Perlakuan terbaik yang
dipilih adalah perlakuan T5 (perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni
65:35). Permen jelly dengan perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 65:35
(T5) memiliki sensori warna kuning pekat, aroma disukai, rasa disukai, tekstur disukai, dan kadar air
sebesar 19,49% sehingga telah memenuhi syarat SNI 3547.2-2008yaitu maksimal 20%.Perlakuan
T6(perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 60:40) tidak dipilih sebagai
perlakuan terbaik karena presentase pemanfaatan ekstrak temu mangga lebih sedikit yaitu 60% jika
dibandingkan dengan perlakuan T5 yaitu sebesar 65% sehingga pemanfaatan temu mangga kurang
optimal. Selain itu perlakuan T6 memiliki kadar air yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan
T5 yaitu sebesar 20,00%.

Tabel 7. Rekapitulasi Data Pemilihan Perlakuan Terbaik Permen Jelly.


Parameter Perlakuan SNI
T1 T2 T3 T4 T5 T6
Warna 2,65d 3,00cd 3,25c 3,72b 3,90ab* 4,22a* -
Aroma 3,56bc 3,58bc 3,50c 3,75ab* 3,68abc* 3,86a* -
Rasa 2,77d 3.00d 3,42c 3,65bc 3,83ab* 4,19a* -
Tekstur 2,62d 3,11c 3,44bc 3,67ab* 3,82ab* 3,99a* -
Kadar Air 15,09c** 16,46c** 18,12b** 18,85ab** 19,49ab** 20,00a** Maks.
20%
Keterangan :
T1 = Perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 85:15
T2 = Perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 80:20
T3 = Perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 75:25
T4 = Perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 70:30
T5 = Perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 65:35
T6 = Perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 60:40
(*) = Tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan yang tertinggi
(**) = Memenuhi syarat SNI 3547.2-2008

Analisis Kimia Perlakuan Terbaik


Permen jelly perlakuan terbaik T5(perbandingan ekstrak temu mangga dan sari buah
mangga kuweni 65:35) dianalisis lebih lanjut sesuai kriteria uji permen jelly dalam SNI 3547.2-
2008 yaitu kadar abu, kadar gula reduksi dan aktivitasantioksidan. Hasil analisis komposisi
kimia permen jelly perlakuan terbaik disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi Kimia Permen Jelly Perlakuan Terbaik.


Ulangan Kadar Abu Kadar Gula Reduksi Aktivitas Antioksidan
(%) (%) (%)
1 2,82 2,66 47,13
2 1,92 4,02 48,55
3 2,07 3,03 36,03
Rata-rata 2,27 3,24 43,90
SNI Maks. 3% Maks. 25% -

Kadar abu dan kadar gula reduksi permen jelly perlakuan T5 telah memnuhi syarat SNI
3547.2-2008 . Aktivitas antioksidan permen jelly ekstrak temu mangga dan sari buah mangga
kuweni perlakuan T5 memiliki nilai rata-rata sebesar 43,90%. Kandungan antioksidan pada
produk permen jelly berasal dari bahan penyusunnya yaitu temu mangga. Berdasarkan hasil
analisa kandungan antioksidan, bubuk temu mangga mengandung antioksidan sebesar 81,21%.
Menurut (Sudewo, 2004) temu mangga mengandung senyawa antioksidan alamiah berupa

387
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kurkuminoid. Kandungan utama dari kurkuminoid adalah kurkumin yang berwarna


kuning.Temu mangga memiliki komposisi kurkumin 6,2%, demetoksi-kurkumin 2,3% dan
bisdemetoksikurkumin 3,0% (Susmiati, 2010). Antioksidan dalam permen jelly ini merupakan
keunggulan sehingga produk ini dapat dikonsumsi sebagai pangan fungsional.

PENUTUP
Permen jelly perlakuan T5 (ekstrak temu mangga dan sari buah mangga kuweni 65:35)
merupakan perlakuan terbaik yang memiliki warna dengan skor 3,90 (kuning pekat), aroma
dengan skor 3,70(suka), rasa dengan skor3,83 (suka), tekstur dengan skor 3,82 (suka), kadar air
19,49%, total padatan terlarut 38,85⸰brix, kadar abu sebesar 2,27%, kadar gula reduksi sebesar
3,24%, dan kadar antioksidan sebesar 43,90%. Kadar air, kadar abu, dankadar gula reduksi
permen jelly telah memenuhi Standar Nasional Indonesia permen jelly (SNI 3547-2.2008).

DAFTAR PUSTAKA
Abas, F., Lajis, N. H, Shaari,K., Israf,D. A., Stanslas,J., Yusuf,U. K., dan Raof,S. M. 2005. A
Labdane Diterpene Glucoside from The Rhizome of Curcuma Mangga. American
Chemical Society of Pharmacognosy, Published on Wed 28 Agustus 2005.
Antarlina, S. S. (2009). Identifikasi Sifat Fisik dan Kimia Buah-Buahan Lokal Kalimantan.
Buletin Plasma Nutfah. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa , Vol.15. No.2.
AOAC. 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist.
Benyamin Franklin Station. Washington D.C.
AOAC. 2012. Official Method of Analysis of the Association Agricultural Chemists. 10𝑡ℎ Ed.,
Washington DC.
Ariviani, S., Andriani, M. A. M., dan Yani, F. 2013. Potensi Temu Mangga (Curcuma Mangga
Val) sebagai Minuman Fungsional. Jurnal Teknosains Pangan. 2 (3): 27-33.Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
Buckle, K. A., Edward, R. A., Fleet, G.H., Wootton, M. 1985. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., And Wotton, M. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari
Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Esvandiari. 2002. Pengaruh Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria Christ. Rosc.) dan Kunir
Putih (Curcuma mangga Val.) pada Pertumbuhan Saccharomyces cereviseae. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fahrizal dan Fadhil, 2014. Kajian Fisiko Kimia dan Daya Terima Organoleptik Selai Nenas yang
Menggunakan Pektin dari Limbah Kulit Kakao. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian.
Vol.6, No.3 : Hal 14-17.
Iriani, Savitri, E., Said, G., Suryani, A., dan Setyadjit. 2005. Pengaruh Konsentrasi Penambahan
Pektinase dan Kondisi Inkubasi Terhadap Rendemen dan Mutu Jus Mangga Kuini
(Mangifera odorata Griff). Jurnal Pasca Panen, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pasca Panen Pertanian IPB. Vol.2.No.1.
Iwanda, D., Zulkifli, Lubis, dan Mimi, N. 2016. Pengaruh Perbandingan Gum Arab dengan
Karagenan dan Lama Pemasakan terhadap Mutu Jelly Markisa. J.Rekayasa Pangan dan
Pert., Vol.4 No. 4.
Lajis, N. H. 2007. Recent Aspect of Natural Products Research and Development in Malaysia.
International Symposium Biology, Chemistry, Pharmacology, and Clinical Studies of
Asian Plants. Surabaya-Indonesia.

388
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Marwita, R. 2008. Penerimaan Konsumen dan Mutu Permen Jelly yang Diolah dari Rumput
Laut. Skripsi (Tidak dipubliksaikan). Universitas Riau. Pekanbaru.
Muchtadi, D. dan Sugiyono, T. R. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Muchtadi, T. R., Wijaya, H., & Setiawati, T. (1994). Pembuatan Konsentrat Flavor Alami Kweni
(Mangifera odorata Griff). Buletin Teknologi dan Industri Pangan ,Vol.5. No. 3.
Nururrahmah dan Widiarnu, W. 2013. Analisis Kadar Beta Karoten Kulit Buah Naga
Menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Jurnal Dinamika Vol. 04 No. 1. Universitas
Cokroaminoto Palopo.
Pracaya. 2011. Bertanam Mangga. Jakarta : Penebar Swadaya.
Pujimulyani, D. 2003. Pengaruh Bleaching Terhadap Sifat Antioksidan Sirup Kunir Putih
(Curcuma mangga Val). Agritech, 23 : 137-141.
Pujimulyani, D., Wazyka, A., Anggrahini, S., and Santoso,U. 2004. Antioxidative Properties of
White Saffron Extract (Curcuma mangga Val.) in The β-Carotene Bleaching and
DPPHRadical Scavening Methods. Indonesian Food and Nutr. Progress. II(2): 35-40.
Safitri, A. A. 2012. Studi Pembuatan Fruit Leather Mangga – Rosella. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Sait, S. dan Lubis, E.H. 1989. Pengaruh Umur Tanaman Terhadap Komposisi Minyak Curcuma
Mangga Val. Warta IHP, Vol. 6(2): 24-26.
Santoso, B., Herpandi, Pitayati, P. A., dan Pambayun, R. 2013. Pemanfaatan karagenan dan gum
arabic sebagai edibe film berbasis hidrokoloid. Jurnal Agritech 33 (2) : 140-145.
Saputro, T. M. E. 2018. Pengaruh Penambahan Karagenan Terhadap Karakteristik Fisikokimia
dan Sensori Selai Mangga (Mangifera indiva L.) Lembaran. Skripsi. : Universitas Katolik
Soegijapranata. Semarang.
Sari, M. L. Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Pektin Terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik
Selai Stroberi. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
Setyaningsih, D., Apriyanto, A., dan Puspita, M. 2010. Analisis Sensori Untuk Industri Pangan
dan Agro. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Shahidi, F., dan Nezck, M. 1995. Foof Phenols. Sources Chemistry. Effect Applications.
Technomic Pubhlising Lancaster.
Standar Nasional Indonesia. 2008.Standar Nasional Indonesia Kembang Gula. SNI 3547.2-2008.
Badan Standarisasi Nasional. Indonesia.
Sudewo. 2004. Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit. Agromedia Pustaka.
Yogyakarta.
Sulihono, Tarihoran, A. B., Agustina, T.E. 2012. Pegaruh waktu, temperature, dan jenis pelarut
terhadap ekstraksi pektin dari kulit jeruk bali (Cytrus maxima). Jurnal Teknik Kimia, 4
(18) :5.
Susmiati, T., Sulistiyani, Sajuti D., dan Darusman, L. K. 2010. Kemampuan Akstrak Temu
Mangga (Curcuma mangga Val.) dalam Menghambat Proses Oksidasi Low Density
Lipoprotein. Forum Pascasarjana. 33 (1): 25-34.

389
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tang S.Z., Kerry,J.P., Sheehan, D., and Buckley, D.J. 2002. Antioxidative Mechanism of Tea
Catechins in Chicken Meat Systems. Journal of Food Chemistry. 76:45–51.
Tedjo, A., Sajuthi, D., dan Darusman, L. K. 2005. Aktivitas Kemoprevensi Ekstrak Temu
Mangga. Makara, Kesehatan, Vol. 9, No. 2, Desember 2005: 57-62.
Tewtrakul, S. and Subhadhirasakul, S. 2007. Antiallergic Activity of Some Selected Plants in
The Zingiberaceae Family. Journal of Ethnopharmacology 109, 535-538.
Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Winarno, F. G, Srikandi, F., Dedi, F. 1974. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : Gramedia.
Yani, F. 2013. Formulasi Minuman Fungsional Temu Mangga (Curcuma mangga Val.) ditinjau
dari Kualitas Sensoris dan Kapasitas Antioksidan. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.

390
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Studi Pelapisan Emulsi Minyak Sereh (Oleum citronellae) Terhadap


Mutu Buah Stroberi (Fragaria chiloensis L.) Selama Penyimpanan
Study on Coating of Lemongrass Oil (Oleum citronellae) Emulsion on
the Quality of Strawberry Fruit (Fragaria chiloensis L.) During Storage
Ifmalinda1, Renny Eka Putri1, dan Yulvi Resti2
1Dosen Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau Manis-Padang 25163
2Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau Manis-Padang 25163

ABSTRAK

Kata Kunci: Stroberi memiliki rasa yang manis dan segar serta warna buah yang terang.
Stroberi Kurangnya penanganan pascapanen membuat buah stroberi mudah
Emulsi Minyak Sereh mengalami kerusakan. Salah satu penyebab kerusakan buah stroberi adanya
Mutu proses respirasi yang mempengaruhi sifat fisik buah dan aktifitas
Penyimpanan mikroorganisme serta terjadinya pertumbuhan jamur. Untuk
Pelapisan mempertahankan kesegaran buah stroberi adalah dengan menghambat laju
respirasi yaitu salah satunyan dengan pelapisan. Pelapisan merupakan
teknologi yang berfungsi mempertahankan mutu dan mengurangi kerusakan
pada produk pertanian. Salah satu bahan pelapis yang aman dikonsumsi dan
murah didapatkan yaitu minyak sereh yang bersifat antimikroba. Tujuan
penelitian adalah mengkaji pengaruh pelapisan dan mengetahui konsentrasi
terbaik untuk mempertahankan mutu buah stroberi selama penyimpanan.
Penelitian dilakukan pada Mei sampai September 2018 di Laboratorium
Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (LTPPHP) Program Studi
Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas,
Padang. Metode penelitian yang dilakukan adalah metoda eksperimen
menggunakan rancangan acak lengkap perlakuan yaitu konsentrasi.
Konsentrasi yang diberikan yaitu kontrol, konsentrasi 0,3%, konsentrasi
0,5% dan konsentrasi 0,7%. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
konsentrasi terbaik yaitu 0,7% dengan suhu penyimpanan 10ºC. Perlakuan
konsentrasi emulsi minyak sereh dapat mempertahankan mutu buah stroberi
selama 13 hari penyimpanan pada suhu 10ºC.
ABSTRACT

Keywords: Strawberries have a sweet and fresh taste and bright fruit color. Lack of
Strawberry postharvest handling makes strawberries easily damaged. One of the causes
Citronella Oil of damage to strawberries is the respiration process that affects the physical
Emulsion properties of the fruit and the activity of microorganisms and the growth of
Quality fungi. To maintain the freshness of strawberries is to inhibit the rate of
Storage respiration, which is one of the layers. Coating is a technology that functions
Coating to maintain quality and reduce damage to agricultural products. One of the
safe and inexpensive coatings to obtain is antimicrobial lemongrass oil. The
purpose of this study was to examine the effect of coating and determine the
best concentration to maintain the quality of strawberries during storage. The
study was conducted in May to September 2018 at the Laboratory of Food
Processing and Agricultural Product Engineering (LTPPHP) Agricultural
Engineering Study Program, Faculty of Agricultural Technology, Andalas
University, Padang. The research method used was an experimental method
using a completely randomized design concentration. The concentrations

391
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

given were control, concentration of 0.3%, concentration of 0.5% and


concentration of 0.7%. Based on the research results obtained the best
concentration of 0.7% with a storage temperature of 10ºC. The treatment of
lemongrass oil emulsion concentration can maintain the quality of
strawberries for 13 days storage at 10ºC.

Email Korespondensi: ifmalinda@ae.unand.ac.id

PENDAHULUAN
Saat proses pengangkutan dan penyimpanan setelah panen buah stroberi sangat mudah
mengalami kerusakan. Kerusakan pada buah stroberi dapat terjadi karena reaksi enzimatis, reaksi
kimia dan aktifitas mikroorganisme. Salah satu akibat dari aktifitas mikroorganisme pada buah
stroberi yaitu dapat terserang penyakit busuk lunak oleh bakteri dan terjadinya pertumbuhan
jamur (Yuliasari et al., 2015). Penyakit ini ditandai dengan adanya gejala berupa bercak bulat
dengan berwarna merah muda dan kebasah-basahan. Bercak-bercak tersebut bersatu membentuk
bercak besar hingga menghasilkan pembusukan pada buah berwarna coklat dan lunak
(Martoredjo, 2013).
Salah satu usaha yang dilakukan untuk mencegah kerusakan pada buah stroberi dengan
penanganan pascapanen yaitu pelapisan. Pelapisan merupakan teknologi yang dapat digunakan
saat pascapanen yang terbuat dari bahan yang tidak berbahaya apabila dikonsumsi dan berfungsi
untuk mempertahankan mutu produk serta mengurangi kerusakan pada produk pertanian
(Rachmawati, 2010). Bahan pelapis yang dapat digunakan serta aman dikonsumsi dan murah
didapatkan seperti penggunaan bahan pelapis minyak nabati yaitu minyak sereh. Minyak sereh
dapat digunakan sebagai antimikroba, mempertahankan mutu dan umur simpan pada buah dan
sayur. Menurut Maizura et al., (2007) dalam Winarti et al., (2015) komponen minor dalam
minyak sereh seperti nerol, borneol, linalool, sinamaldehide, carvacrol, geraniol, myrtenal dan
eugenol yang bersifat antimikroba. Berdasarkan penelitian Prasetya (2015) pengaruh pelapisan
minyak wijen dan minyak sereh terhadap mutu dan masa simpan buah tomat pada konsentrasi
terbaik (0,5%) dapat memperpanjang umur simpan buah tomat selama 24 hari pada suhu kamar.
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh pelapisan minyak atsiri sereh terhadap
mutu dan masa simpan buah stroberi selama penyimpanan.

KERANGKA TEORI
Buah stroberi dapat tumbuh di daerah tropis seperti di Indonesia. Tanaman stroberi akan
tumbuh dengan baik pada daerah yang terletak pada ketinggian lebih dari 600 mdpl (dari
permukaan laut) dengan suhu udara pada siang hari 22-25ºC dan pada malam hari 14-18ºC, pada
suhu yang sejuk serta kelembaban udara relatif (RH) yang tinggi atau berkisar sekitar 85-95%
(Kurnia, 2005). Stoberi yang dibudidayakan di daerah Indonesia merupakan jenis introduksi,
dimana jenis ini hanya cocok dibudidayakan di daerah dataran tinggi atau di daerah pegunungan
dengan suhu udara yang dingin dan penyinaran matahari yang rendah (Rai et al., 2016). Tanaman
stroberi dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan kandungan gizi, buah stroberi kaya akan mineral dan vitamin esensial.
Stroberi memiliki kandungan vitamin C lebih tinggi dibandingkan buah jeruk. Vitamin C pada
buah stroberi dapat mencegah berkembangnya sel kanker. Buah stroberi adalah buah yang dapat
langsung dikonsumsi dalam keadaan segar ataupun dalam bentuk olahan seperti menjadi
berbagai macam makanan atau minuman. Stroberi memiliki rasa yang manis, lezat serta
menyegarkan dan tampilan buah stroberi yang menawan. Selain dari bentuk buah yang membuat
stroberi banyak diminati yaitu memiliki banyak kandungan yang bermanfaat bagi tubuh manusia,
seperti banyak mengandung antioksidan dan vitamin (Rai et al., 2016).

392
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Minyak sereh dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pelapis untuk buah. Selain
minyak sereh yang mudah didapatkan, minyak sereh juga mengandung antibakteri yang dapat
digunakan sebagai penghambat bakteri pada buah. Hal ini dapat digunakan sebagai salah satu
teknologi pascapanen yang diterapkan pada produk holtikultura. Menurut Moneim et al., (2015),
sereh merupakan salah satu tanaman yang paling penting karena memiliki banyak manfaat dan
mengandung citral yang tinggi. Sereh mengandung senyawa terpen, alkohol, keton, aldehid, ester
dan flavoid. Kandungan dari minyak sereh ini menunjukkan bahwa minyak sereh mengandung
antimikroba, antijamur, dan antibakteri.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen dan menggunakan rancangan acak
lengkap. Lapisan emulsi minyak sereh pada buah stroberi dengan konsentrasi 0,3%, 0,5% dan
0,7%. Penyimpanan buah stroberi dengan pemberian minyak sereh disimpan pada suhu dingin
10ºC. Bahan tambahan yang digunakan untuk pembuatan emulsi minyak sereh yang
dicampurkan ke setiap konsentrasi minyak sereh yaitu tween 80 sebanyak 5 ml, asam oleat
sebanyak 5 ml, alkohol sebanyak 30 ml, dan 952 ml aquades untuk konsentrasi 0,3%, 950 ml
aquades untuk konsentrasi 0,5% dan 948 ml aquades untuk konsentrasi 0,7%. Metoda yang
digunakan untuk pelapisan yaitu metoda pencelupan (dipping). Buah stroberi dicelupkan ke
larutan emulsi minyak sereh dengan konsentrasi 0,3%, 0,5% dan 0,7% selama 1 menit. Buah
stroberi yang telah selesai dilapisi emulsi minyak sereh kemudian dikeringkan di atas tray
berlubang selama 15 menit sampai buah kering dan dimasukkan kedalam cawan yang telah
disediakan sebelumnya. Stroberi yang telah dilapisi dengan emulsi minyak sereh disimpan pada
suhu suhu 10ºC.

Pengamatan
Susut Bobot
Susut bobot dilakukan berdasarkan persentase penurunan bobot komoditi dari awal
penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Stroberi ditimbang dengan menggunakan timbangan
digital untuk mengetahui nilai susut bobotnya. Pengamatan dan pengambilan data susut bobot
dilakukan setiap hari hingga komoditi membusuk. Persamaan yang digunakan untuk menghitung
nilai susut bobot (Alhassan dan Abdul-Rahaman ( 2014) dalam Darmajana et al., (2017)).
𝑊−𝑊𝑎
Sb (%) = x 100% (1)
𝑊
dimana :
Sb = susut bobot stroberi (%)
W = bobot stroberi awal penyimpanan (g)
Wa= bobot stroberi akhir penyimpanan (g)

Kadar Air
Berdasarkan Sudarmadji et al., (1997) dalam Windasari (2017) pengukuran kadar air dapat
dilakukan dengan metode oven. Bahan dari buah stoberi ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital dalam cawan aluminium yang telah diukur susut bobot keringnya dalam
timbangan digital. Bahan dikeringkan kedalam oven dengan suhu 105°C hingga berat bahan
konstan. Setelah bahan dikeringkan, bahan dari buah stroberi ditimbang kembali dengan
timbangan digital. Pengukuran kadar air terhadap bahan dilakukan setiap hari dari awal
dilakukan penyimpanan terhadap buah stroberi hingga buah tidak layak dikonsumsi. Persamaan
yang digunakan adalah :
𝑏−𝐶
Kadar air (M) = x 100% (2)
𝑏−𝑎
dimana :
M = kadar air (100%)
a = berat cawan (g)

393
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

b = berat cawan ditambah berat sampel stroberi sebelum di oven (g)


c = berat cawan ditambah berat sampel stroberi setelah di ovenkan (g)

Vitamin C
Pengukuran uji vitamin C dilakukan setiap hari, berdasarkan Jacobs (1962) dalam Agmy
(2017), pengukuran uji vitamin C dapat dilakukan dengan berdasarkan metode titrasi yodium.
Contoh bahan ditimbang sebanyak 25 gram, dihancurkan, kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 250 ml dan ditambahkan aquades sampai tanda tera. Larutan disaring menggunakan kertas
saring dan filtrat yang diperoleh dipipet sebanyak 25 ml kemudian dimasukkan kedalam
erlenmeyer 125 ml dan ditambah 2 ml larutan amilum 1% sebagai indikator. Larutan dititrasi
dengan yodium standar 0.01 N.
Perhitungan kadar vitamin C yaitu :
𝑉𝑥𝐹𝑥𝑃
C= (3)
𝐵
dimana :
C = kadar vitamin C ( mg/100g contoh )
V = jumlah larutan yodium 0.01 N hasil tittrasi (ml)
P = faktor pengenceran
B = berat contoh (g)

Uji Aktifitas Antibakteri Emulsi Minyak Sereh


Uji aktifitas antibakteri minyak sereh dilakukan setiap dua hari menggunakan media PCA
(Plate Count Agar). Sampel ditimbang sebanyak 5 ml dan dicampur dengan 9 ml larutan
fisiologis (0,86% NaCl) hingga didapatkan pengenceran sebesar 10−2 cfu/ml. Suspensi larutan
sebanyak 1 ml dicampurkan kedalam 9 ml larutan dengan pengenceran 10−2 cfu/ml. Hal ini
dilakukan secara terus-menerus hingga membentuk pengenceran 10−8 cfu/ml. Setiap larutan
dengan pengenceran 10−6 , 10−7 , dan 10−8 cfu/ml diambil sebanyak 0,1 ml untuk diisolasi pada
media PCA dengan teknik sebar dan diinkubasi selama 48 jam dengan suhu 35ºC. Setelah
diinkubasi koloni yang tumbuh pada media PCA dihitung.
Perhitungan total bakteri menggunakan metode TPC (total plate count). TPC merupakan
metode pendugaan jumlah mikroorganisme secara keseluruhan dari bahan. Analisis TPC dengan
media PCA yaitu dengan menanamkan 0,1 ml sampel dari pengenceran ke dalam cawan petri
dan diinkubasi selama 48 jam dengan suhu 35ºC. Perhitungan koloni dilakukan pada setiap seri
pengenceran. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan rumus berdasarkan
Fardiaz (1993) dalam Nufus (2016) :
1
Total bakteri = jumlah koloni bakteri x (4)
pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN


Susut Bobot
Hasil pengamatan susut bobot buah stroberi dengan menggunakan pelapisan emulsi
minyak sereh pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil pengukuran susut bobot buah stroberi
mengalami peningkatan setiap harinya selama penyimpanan. Menurut Okvitasari (2011),
peningkatan nilai susut bobot pada buah stroberi terjadi karena buah masih mengalami proses
respirasi dan transpirasi. Hal ini terjadi karena buah mengalami penguraian glukosa serta
kehilangan air. Kehilangan air terhadap buah menyebabkan buah menjadi kurang menarik dan
penurunan mutu. Semakin tinggi nilai susut buah, maka tingkat kesegaran dari buah akan
semakin berkurang.

394
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

55
50
45
40

Susut Bobot (%)


35
30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Hari Ke
A1B2 A2B2 A3B2 A4B2
A1B2: Konsentrasi 0% penyimpanan suhu 10˚C
A2B2: Konsentrasi 0,3% penyimpanan suhu 10˚C
A3B2: Konsentrasi 0,5% penyimpanan suhu 10˚C
A4B2: Konsentrasi 0,7% penyimpanan suhu 10˚C

Gambar 1. Grafik Nilai Susut Bobot Buah Stroberi pada Berbagai Konsentrasi yang Disimpan pada
Suhu 10˚C.

Perlakuan yang yang mengalami laju peningkatan susut bobot terendah yaitu pada
perlakuan konsentrasi 0,7% yang disimpan pada suhu 10˚C yakni sebesar 40,38% hingga hari ke
13. Menurut Purwanto (2005) dalam Okvitasari (2011) menyebutkan terjadinya susut bobot pada
suhu ruang disebabkan karena buah mentimun mengalami proses respirasi yang tinggi,
dibandingkan pada suhu 5ºC. Ooraikul dan Stiles (1991) dalam Fallah et al., (2018) menyatakan
bahwa laju respirasi akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu simpan, dengan demikian
umur simpan menjadi lebih pendek dan sebaliknya.
Setelah dilakukan uji statistik menggunakan SPSS 17, suhu, konsentrasi dan lama
penyimpanan menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan nilai susut bobot. Hal ini
dapat dilihat dari hasil signifikan yang menunjukan kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak. Hasil
analisis ANOVA dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2. Analisis ANOVA Susut Bobot Buah Stroberi Selama Penyimpanan.


Sumber keragaman Jumlah Derajat Kuadrat F hitung Sig.
kuadrat bebas tengah
Konsentrasi 1687.680 3 562.560 109.749 .000
Lama penyimpanan 15716.248 13 1208.942 235.850 .000
Konsentrasi * Lama 9769.622 32 305.301 59.560 .000
penyimpanan

Berdasarkan Tabel ANOVA susut bobot selama penyimpanan untuk pengaruh konsentrasi
dan lama penyimpanan memiliki nilai signifikan 0,000 dimana nilai tersebut <0,05 yang
menunjukkan adanya pengaruh setiap perlakuan terhadap nilai susut bobot dari buah stroberi,
sedangkan untuk interaksi meliputi interaksi konsentrasi dan lama penyimpanan.

395
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kadar Air
Hasil pengamatan kadar air buah stroberi dengan menggunakan pelapis emulsi minyak
sereh pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 2.

96
95
94
Kadar Air (%) 93
92
91
90
89
88
87
86
85
84
83
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Hari Ke
A1B2 A2B2 A3B2 A4B2
A1B2: Konsentrasi 0% penyimpanan suhu 10˚C
A2B2: Konsentrasi 0,3% penyimpanan suhu 10˚C
A3B2: Konsentrasi 0,5% penyimpanan suhu 10˚C
A4B2: Konsentrasi 0,7% penyimpanan suhu 10˚C

Gambar 2. Grafik Nilai Kadar Air Buah Stroberi pada Berbagai Konsentrasi yang Disimpan pada
Suhu 10˚C.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil pengukuran kadar air buah stroberi
mengalami penurunan setiap harinya selama penyimpanan. Penurunan kadar air pada buah
stroberi terjadi karena terjadinya proses respirasi pada buah, sehingga terjadinya pelepasan air
pada buah stroberi selama penyimpanan. Menurut Fallah et al., (2018), kestabilan kadar air pada
buah stroberi menunjukkan aktivitas metabolisme yang rendah karena terjadinya proses respirasi
pada buah sehingga terjadi pelepasan air serta karbondioksida dari pemecahan karbohidrat
dengan oksigen.
Nilai kadar air tertinggi terdapat pada konsentrasi 0,7% dengan nilai kadar air sebesar
86,66% hingga hari ke 12 pada suhu 10ºC. Hal ini terjadi karena buah yang disimpan pada suhu
10˚C dapat mengurangi terjadinya laju respirasi. Berdasarkan penelitian Fallah et al., (2018) nilai
kadar air pada buah dengan penyimpanan pada suhu rendah dapat terjadi karena berkurangnya
laju respirasi buah.
Setelah dilakukan uji statistik menggunakan SPSS 17, lama penyimpanan, interaksi suhu
dan konsentrasi menunjukkan adanya pengaruh terhadap penurunan nilai susut kadar air. Hal ini
dapat dilihat dari hasil signifikan yang menunjukkan kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak. Hasil
analisis ANOVA dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3. Analisis ANOVA Kadar Air Buah Stroberi selama Penyimpanan.


Sumber keragaman Jumlah Derajat Kuadrat F hitung Sig.
kuadrat bebas tengah
Konsentrasi 125.542 3 41.847 11.743 .000
Lama penyimpanan 453.941 12 37.828 10.615 .000
Konsentrasi * Lama penyimpanan 15.338 32 .479 .135 1.000

396
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Berdasarkan nilai output uji ANOVA variabel kadar air didapatkan nilai signifikan untuk
variabel konsentrasi, lama penyimpanan, menunjukkan adanya pengaruh lama penyimpanan
terhadap kadar air buah stroberi yang diberikan perlakuan.

Vitamin C
Hasil perhitungan vitamin C pada buah stroberi yang dilapisi dengan emulsi minyak sereh
dengan berbagai konsentrasi dan suhu penyimpanan. Nilai perhitungan buah stroberi yang
dilapisi dengan emulsi minyak sereh dapat dilihat pada Gambar 3.

0.13
Vitamin C (%)

0.11

0.09

0.07

0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hari Ke
A1B2 A2B2 A3B2 A4B2
A1B2: Konsentrasi 0% penyimpanan suhu 10˚C
A2B2: Konsentrasi 0,3% penyimpanan suhu 10˚C
A3B2: Konsentrasi 0,5% penyimpanan suhu 10˚C
A4B2: Konsentrasi 0,7% penyimpanan suhu 10˚C

Gambar 3. Grafik Nilai Vitamin C Buah Stroberi yang disimpan pada Suhu 10˚C

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil pengukuran vitamin C mengalami


penurunan selama penyimpanan. Penurunan kadar vitamin C terhadap buah stroberi terjadi
karena buah mengalami proses pematangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Marzuki et al.,
(2013), kadar vitamin C pada buah stroberi mengalami penurunan selama masa penyimpanan,
hal ini terjadi karena udara sekitar buah dapat mempercepat terjadinya oksidasi pada vitamin C
buah. Oksidasi dari vitamin C dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi seperti
tekanan, oksigen, suhu dan cahaya.
Nilai kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan 0,7% yang disimpan pada suhu
10˚C yakni sebesar 0,09% hingga hari ke 12. Berdasarkan hal tersebut suhu dapat mempengaruhi
penurunan kadar vitamin C pada buah. Berdasarkan penelitian Fallah et al., (2018), kadar vitamin
C pada buah stroberi dapat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, hal ini terjadi karena laju
repirasi akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu simpan buah. Berikut adalah nilai vitamin
C dari setiap perlakuan selama penyimpanan. Setelah dilakukan uji statistik menggunakan SPSS
17, konsentrasi menunjukkan adanya pengaruh terhadap penurunan nilai vitamin C. Hal ini dapat
dilihat dari hasil signifikan yang menunnjukan kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak. Hasil analisis
ANOVA dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 4. Analisis ANOVA Vitamin C Buah Stroberi Selama Penyimpanan.


Sumber keragaman Jumlah Derajat Kuadrat F
Sig.
kuadrat bebas tengah hitung
Konsentrasi .041 3 .014 29.098 .000
Lama penyimpanan .028 12 .002 4.911 .000
Konsentrasi * Lama
.002 32 5.960E-5 .128 1.000
penyimpanan

397
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Berdasarkan dari hasil uji ANOVA vitamin C buah stroberi didapatkan hasil output
variabel didapatkan nilai signifikan untuk variabel konsentrasi 0,000 dan lama penyimpanan
yang bernilai 0,000 yang menunjukkan adanya pengaruh terhadap nilai vitamin C buah.
konsentrasi dan lama penyimpanan, memiliki nilai signifikan > 0,05 yang menunjukkan bahwa
interaksi tersebut tidak berpengaruh terhadap Vitamin C buah stroberi.

Uji Aktifitas Antibakteri Emulsi Minyak Sereh


Nilai rata-rata pertumbuhan mikroba pada buah stroberi yang diberikan beberapa
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.

7.0.E+10
Jumlah Koloni (cfu/ml)

6.0.E+10
5.0.E+10
4.0.E+10
3.0.E+10
2.0.E+10
1.0.E+10
0.0.E+00
0 1 3 5 7 9 11 13
Hari Ke
A1B2 A2B2 A3B2 A4B2
A1B2: Konsentrasi 0% penyimpanan suhu 10˚C; A2B2: Konsentrasi 0,3% penyimpanan suhu 10˚C;
A3B2: Konsentrasi 0,5% penyimpanan suhu 10˚C; A4B2: Konsentrasi 0,7% penyimpanan suhu 10˚C

Gambar 4. Nilai Pertumbuhan Mikroba Buah Stroberi pada Berbagai Konsentrasi yang Disimpan pada
Suhu 10˚C.

Berdasarkan dari Gambar 4 pertumbuhan mikroba pada buah stroberi selama penyimpanan
menunjukkan peningkatan pertumbuhan mikroba pada buah stroberi setiap harinya. Hal ini
terjadi karena adanya aktifitas mikroorganisme yang disebabkan oleh proses penguapan air pada
buah selama penyimpanan. Menurut Santoso et al., (2004) dalam Supriadi (2015) kenaikan total
mikroba selama penyimpanan disebabkan oleh proses penguapan air dan sineresis yang dapat
meningkatkan permukaan bahan pangan, selain itu adanya penentrasi oksigen akan memacu
perkembangan mikroba aerob untuk tumbuh.
Jumlah mikroba terbesar terdapat pada perlakuan kontrol dibandingkan dengan konsentrasi
lainnya. Sementara itu pertumbuhan mikroba terendah terdapat pada konsentrasi 0,7% disuhu
10ºC, dimana pertumbuhan mikroba pada buah mencapai 2,3E+10 cfu/ml hingga hari ke 11.
Menurut Bennik et al., (1999) dalam Supriadi (2015) suhu rendah dapat memperlambat kenaikan
total mikroba karena suhu rendah menghambat laju metabolisme dan pertumbuhan mikroba.
Berikut adalah nilai pertumbuhan mikroba dari setiap perlakuan selama penyimpanan.

PENUTUP
Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan pada buah stroberi yang dilapisi emulsi
minyak sereh didapatkan konsentrasi terbaik 0,7% dan dapat mempertahankan mutu buah
stroberi selama 13 hari penyimpanan pada suhu 10ºC. Penulis menyarankan penelitian
selanjutnya untuk menambahkan bahan yang dapat menghilangkan bau sereh.

398
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

DAFTAR PUSTAKA
Falah, M., A., F., Yuliastuti, P., Hanifah, R., Sarayo, Pujo dan Jumeri. 2018. Quality of Fresh
Strawberry ( Fragaria sp Cv Holibert) from Ketep Magelang Central Java and its Storage
in Tropical Environment. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. DOI: 10. 31186/
Jagroindustri. 8.1.-10.
Kurnia, A. 2005. Bertanam Stroberi. Gramedia. Jakarta.
Martoredjo, T. 2013. Ilmu Penyakit Pascapanen. Bumi Aksara. Jakarta.
Marzuki, Q., Khabibi Dan Prasetya, N., B., A. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Windu (Peneus
monodom) sebagai Edible Coating dan Pengaruhnya terhadap Kadar Ion Logam Pb(11)
pada Buah Stroberi (Fragaria X ananassa). Universitas Diponegoro. Semarang. Vol 1, No
1, Hal 232-239.
Nufus, N, B. 2016. Populasi Bakteri Normal dan Bakteri Kitinolitik pada Saluran Pencernaan
Lobster Pasir (Panulirus homarus L.) yang diberi Kitosan. Universitas Mataram. Mataram.
Jurnal Biologi Tropis, Januari-April 2016: Volume16 (1):15-23.
Okvitasari, H. 2011. Kajian Gejala Chilling Injury terhadap Perubahan Mutu Buah Mangga
Varietas Gedong Gincu Selama Penyimpanan Dingin. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Prasetya, A, O. 2015. Pengaruh Pelapisan Campuran Minyak Wijen dan Minyak Sereh Terhadap
Mutu dan Masa Simpan Buah Tomat (Lycopersicon Esculentum Mill). [Skripsi].
Universitas Udayana. Bali.
Rachmawati, M. 2010. Pelapisan Chitosan pada Buah Salak Pondoh (salacca edulis reinw.)
Sebagai Upaya Memperpanjang Umur Simpan dan Kajian Sifat Fisiknya Selama
Penyimpanan. Universitas Mulawarman. Samarinda. ISSN 1858-2419 Vol. 6 No. 2.
Rai I N. Wijana G. Sudana P, I dan Cok W, W, I. 2016. Buah-Buahan Lokal Bali (Jenis
Pemanfaatan dan Potensi Pengembangannya. Pelawa Sari. Bali.
Supriadi, H. 2015. Pengaruh Penambahan Nano Partikel Zno dan Kalium Sorbat pada Edible
Coating Karagenan dalam Mempertahankan Kesegaran Buah Stroberi (Fragaria sp) Segar.
[Skripsi]. IPB. Bogor.
Winarti, C, M. Wedaningrum dan Miskiah. 2012. Teknologi Produksi dan Aplikasi Pengemas
Edible Antimikroba Berbasis Pati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian. Bogor. Agritech, Vol. 35, No. 1, Februari 2015.
Yuliasari M, M, Kawuri R dan Proborini M, W. 2015. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penyebab
Penyakit Busuk Lunak pada Buah Stroberi (Fragaria X Ananassa). Universitas Udayana,
Bali. Jurnal Metamorfosa Ii (1): 23-28 (2015).

399
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Konsentrasi Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus


campanulatus B) terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Sensori Fruit Leather
Campuran Nenas Madu (Ananas comosus L) dan
Pepaya (Carica papaya L)
Effect of Suweg Flour (Amorphophallus campanulatus B) Concentration
on Physical, Chemical and Sensory Properties of Mixed Honey Pineapple
(Ananas comosus L) and Papaya (Carica papaya L) Fruit Leather
Susilawati1, Zulferiyenni1, Suharyono AS1 dan Shinta Selesteyani2
1Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, Lampung 35145
2Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

ABSTRACT

Keywords: The aimed of the research was to obtain the concentration of suweg flour in
Fruit Leather making fruit leather mixed honey pineapple and papaya to produce fruit
Honey Pineapple leather with good physical, chemical and sensory properties. The research
Papaya arranged in a Complete Randomized Block Design (CRBD) with one
Suweg Flour factorial and four replications. The treatments are T1 (1% gum Arabic), T2
Crude Fiber (1% suweg flour), T3 (2% suweg flour), T4 (3% suweg flour), T5 (4% suweg
flour) and T6 (5% suweg flour) (w/w). The data obtained were analyzed for
the similarity of variance with the Bartlett test and the addition of the data
tested by the Tuckey test, the data were analyzed by variance to determine
the effect between treatments. If there is a significant effect, the data is further
analyzed by the Honest Significant Difference Test (HSD) at the level of 5%.
The results showed that fruit leather mixed honey pineapple and papaya were
the best with concentration suweg flour as a stabiliser were T2 treatments
(suweg flour 1%). The best treatment of fruit leather (T2) produce color with
a score of 4.49 (likes), flavour with a score of 4.35 (likes), texture with a score
of 4.07 (plastic), overall acceptance with a score of 4.37 (likes), tensile
strength 4.87 MPa , water content 11.04 %, ash content 1.57 %, fat content
0.45 %, protein content 1.86 %, crude fiber content 5.83 % and karbohidrat
by different 79.25 %.

Email Korespondensi: susilawati.unila@gmail.com

KERANGKA TEORI
Fruit leather secara umum terbuat dari bubur buah dengan penambahan sukrosa, asam sitrat
dan bahan penstabil.Buah yang digunakan pada pembuatan fruit leather adalah buah-buahan
yang memiliki kandungan pektin dan serat.Menurut Nurainy dan Koesoemawardhani (2007),
pektin dan serat pada buah berfungsi sebagai pembentuk utama tekstur dan kelenturan fruit
leather melalui viskositas dan pembentukan gel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas fruit leather yang dihasilkan adalah jenis buah
yang digunakan sebagai bahan baku, konsentrasi sukrosa yang ditambahkan, jenis bahan
penstabil yang digunakan, suhu pengeringan dan waktu pengeringan (Sari, 2008). Penggunaan

400
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

bahan penstabil pada pembuatan fruit leather menghasilkan tekstur yang tidak mudah patah
ketika digulung.
Bahan penstabil yang dapat digunakan salah satunya yaitu glukomanan yang terdapat
didalam umbi suweg.Menurut Kasno (2007), umbi suweg mengandung glukomanan sebanyak
30%. Glukomanan merupakan satuan polisakarida yang tersusun atas satuan-satuan D-mannosa
dan D-glukosayang bersifat sebagai thickening agent atau bahan pengental yaitu substansi yang
dapat membentuk tekstur, meningkatkan stabilitas dan daya suspensi dari produk. Glukomanan
dapat dimanfaatkan dalam pembuatan fruit leather karena glukomanan bersifat membentuk
lapisan tipis serta gel yang bersifat elastis (Susilowati, 2001).
Menurut Praseptiangga, dkk. (2016), mekanisme pembentukan tekstur pada pembuatan
fruit leather dimulai dengan adanya proses gelasi yang melibatkan ikatan silang dari rantai-rantai
polimer untuk membentuk jaringan tiga dimensi secara kontinyu dan mampu memerangkap
cairan, membentuk tekstur kaku, kokoh dan tahan saat diberikan suatu tekanan.
Menururt Historiasih (2010), masalah yang sering timbul pada fruit leather adalah
plastisitasnya yang kurang baik yaitu mudah patah ketika digulung. Oleh sebab itu, dibutuhkan
penambahan bahan penstabil untuk menghasilkan fruit leather dengan tekstur yang liat dan
kompak sehingga tidak mudah patah saat digulung. Bahan penstabil yang biasa digunakan dalam
pembuatan fruit leather adalah gum Arab. Hingga saat ini kebutuhan gum Arab di Indonesia
dipenuhi dengan impor dari negara MENA (Middle East and North Africa) (Herawati, 2018),
sehingga dibutuhkan alternatif bahan penstabil lain yang berasal dari dalam negeri. Bahan
penstabil lain yang dapat digunakan adalah glukomanan. Glukomanan termasuk polisakarida
yang mengandung glukosa dan kaya serat yang terdapat di dalam umbi suweg.
Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh konsentrasi tepung umbi
suweg dalam pembuatan fruit leather yang menghasilkan sifat fisik, kimia dan sensori yang baik.

BAHAN DAN METODE


Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi suweg varietashortensis
yang diperoleh dari Desa Negeri Jemanten Kecamatan Marga Tiga Kabupaten Lampung Timur,
Nenas madu tingkat kematangan mature yang diperoleh dari pedagang di Jalan Sultan Agung
Wayhalim, Pepaya Bangkok tingkat kematangan mature atau sepertiga bagian kulit buah
berwarna orange yang diperoleh dari pedagang di Jalan Pulau Tegal Sukarame, gula pasir merk
gulaku, asam sitrat merk cap gajah dan air mineral merk tripanca. Bahan kimia untuk analisis
adalah aquades, heksana, H2SO4, H3BO3NaOH, K2SO4, HCl dan Indikator PP.
Peralatan yang digunakan digunakan dalam penelitian ini antara lain loyang alumunium
ukuran 24 cm x 22 cm x 0,5 cm, wrapping, timbangan, blender, mangkok, baskom, sendok,
spatula, ayakan, kompor, panci, cabinet dryer, oven, disk mill, neraca analitik, desikator, cawan
porselin, thermometer, soxhlet, furnance, corong buchner, gelas ukur, labu kjedahl, erlenmeyer,
kertas saring, pipet tetes, Hydraulic Universal Testing Machine (UTM), alat-alat gelas penunjang
serta seperangkat alat uji organoleptik.

Metode Penelitian
Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan faktor
tunggal dan empat ulangan. Faktor yang dikaji yaitu konsentrasi tepung umbi suweg sebagai
kontrol (T1) digunakan 1% gum Arab, (T2) 1% tepung umbi suweg, (T3) 2% tepung umbi
suweg, (T4) 3% tepung umbi suweg, (T5) 4%tepung umbi suweg dan (T6) 5% tepung umbi
suweg. Data yang diperoleh diuji kesamaan ragamnya dengan menggunakan uji Bartlett dan
kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey.Selanjutnya data dianalisis dengan sidik ragam
untuk mendapatkan penduga ragam galat.Apabila terdapat pengaruh yang nyata, data dianalisis
lebih lanjut dengan menggunakan uji BNJ pada taraf 5%.

401
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan Tepung Umbi Suweg. Pembuatan tepung umbi suweg diawali dengan
menyortir umbi suweg untuk mendapatkan umbi suweg dengan kualitas terbaik. Umbi suweg
yang dipilih adalah umbi suweg siap panen yang ditandai adanya kuncup bunga dari dalam tanah
dan batang umbi yang memiliki ukuran besar. Setelah disortir, umbi di cuci dengan air mengalir
untuk membersihkan tanah yang melekat maupun debu.Umbi suweg dikupas kulitnya secara
manual dan diiris tipis-tipis sampai ketebalan 2 mm.Umbi suweg direndam dengan
menggunakan NaCl 10 % (b/v) selama 24 jam.Perendaman umbi suweg menggunakan NaCl
tersebut bertujuan untuk mengurangi kandungan kalsium oksalat pada umbi yang dapat
menimbulkan rasa gatal ditenggorokan dan mencegah browning sehingga warna tepung umbi
suweg yang didapat tidak terlalu coklat.Selanjutnya umbi dikeringkan dengan menggunakan
cabinet dryer pada suhu 50oC selama 24 jam.Umbi suweg yang telah kering selanjutnya di giling
dengan menggunakan disk mill dengan ayakan berukuran 80 mesh.
Pembuatan Puree Nenas Madu. Pembuatan puree nenas madu diawali dengan sortasi
buah nenas madu. Buah yang digunakan dalam kondisi mature yang ditandai dengan kulit buah
masih berwarna hijau, kemudian pengupasan kulit dan pembersihan mata nenas. Setelah itu
dilakukan proses pengecilan ukuran kurang lebih 1 cm lalu dilakukan penghancuran
menggunakan blender dengan perbandingan nenas madu dan air 2:1 selama 5 menit dengan
kecepatan 13.000 rpm.
Pembuatan Puree Pepaya. Pembuatan puree pepaya diawali dengan sortasi buah
pepaya. Buah yang digunakan adalah pepaya bangkok dalam kondisi mature atau sepertiga
bagian buah sudah matang kemudian pengupasan kulit dan pembuangan biji pepaya. Setelah itu
dilakukan proses pengecilan ukuran kurang lebih 1 cm lalu dilakukan penghancuran
menggunakan blender dengan perbandingan pepaya dan air 2:1 selama 5 menit dengan kecepatan
13.000 rpm
Pembuatan Fruit Leather. Pembuatan fruit leather menggunakan bahan baku puree
nenas madu dicampur puree pepaya dengan perbandingan 50%:50%, setelah itu ditambahkan
gula pasir dengan konsentrasi 20%, asam sitrat 0,2% dan tepung umbi suweg dengan konsentrasi
yang berbeda yaitu T1 (1% gum Arab), T2 (1% tepung umbi suweg), T3 (2% tepung umbi
suweg), T4 (3% tepung umbi suweg), T5 (4%tepung umbi suweg) dan T6 (5% tepung umbi
suweg). Campuran bahan selanjutnya diaduk di dalam panci sampai semua bahan bercampur
dan dimasak diatas kompor pada suhu 70oC selama 2 menit. Pemasakan dihentikan, lalu dituang
ke dalam loyang aluminium yang telah dilapisi wrapping. Loyang beserta isi dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam.Setelah kering dan mengeras, fruit leather dipotong-
potong dengan ukuran 4x4 cm dan digulung.

Pengamatan
Pengamatan sensori yang dilakukan adalah uji skoring meliputi tekstur sedangkan warna,
flavor dan penerimaan keseluruhan menggunakan uji hedonik dengan 4 kali
pengulangan.Penilaian dilakukan dengan 25 panelis semi terlatih yaitu panelis yang sudah
mengambil mata kuliah evaluasi sensori.Pengamatan fisik meliputi kuat tarik dengan standar
ASTM D 638 M-III (1998). Pengamatan kimia meliputi kadar air (AOAC, 2005), kadar abu
(AOAC, 2005), kadar lemak (AOAC, 2005), kadar serat kasar (Sudarmadji, 1984), kadar protein
(AOAC, 2005) dan kadar karbohidrat by different (Winarno,2004)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sifat Sensori
Warna. Hasil analisis ragam untuk parameter warna menunjukkan konsentrasi tepung
umbi suweg berpengaruh nyata terhadap warna fruit leather. Skor warna fruit leather berkisar

402
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

antara 2.63 – 4.49 (agak suka – suka). Hasil uji lanjut BNJ pada taraf 5% dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Uji Lanjut BNJ 5% pada Warna Fruit Leather dengan Konsentrasi Tepung Umbi Suweg
Sebagai Bahan Penstabil.
Perlakuan Skor
T2 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 1% 4.49a
T1 = Konsentrasi Gum Arab 1 % 4.26b
T3 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 2% 3.82c
T4 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 3% 3.30d
T5 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 4 % 2.83e
T6 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 5% 2.63f
BNJ (0.05) = 0.193
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada uji Beda Nyata Jujur
(BNJ) taraf 5%
1. Sangat tidak suka; 2. Tidak suka; 3. Agak suka; 4. Suka; 5. Sangat suka

Berdasarkan Tabel 1, warna fruit leather pada perlakuan T2 (tepung umbi suweg 1%) pada
taraf 5% berbeda nyata dengan perlakuan T1 (gum arab 1%), T3 (tepung umbi suweg 2%), T4
(tepung umbi suweg 3%), T5 (tepung umbi suweg 4%) dan T6 (tepung umbi suweg 5%). Skor
rata-rata warna fruit leather tertinggi sebesar 4.49 terdapat pada perlakuan T2 (tepung umbi
suweg 1%) dengan kriteria suka, sedangkan skor warna terendah sebesar 2.63 terdapat pada
perlakuan T6 (tepung umbi suweg 5%) dengan kriteria agak suka.Skor warna menunjukkan fruit
leather dengan konsentrasi tepung umbi suweg sebanyak 1% (T2)merupakan produk yang paling
disukai panelis. Nenas madu dan pepaya mengandung pigmen yang sama yaitu karotenoid.
Menurut Lubis, dkk. (2014) karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning,
orange, merah dan merah orange. Fruit leather campuran nenas madu dan pepaya yang dihasilkan
pada penelitian ini memiliki warna orange kecoklatan hingga kecoklatan akibat dari proses
pengeringan.
Pengeringan dapat menyebabkan bahan yang dikeringkan mengalami pencoklatan
(browning). Penggunaan konsentrasi tepung umbi suweg yang berbeda akan menghasilkan
perbedaan warna pada fruit leather. Tepung umbi suweg memiliki kandungan protein cukup
tinggu yaitu 7.20% yang disusun oleh asam amino. Asam amino akan bereaksi dengan gugus
gula reduksi yang menyebabkan terjadinya reaksi mailarddan menghasilkan warna kecoklatan.
Konsentrasi tepung umbi suweg yang berbeda menghasilkan warna fruit leather yang berbeda-
beda, sehingga akan mempengaruhi tingkat kesukaan panelis. Selain itu, tepung umbi suweg
memiliki sifat fisik yaitu berwarna kecoklatan.Adanya perubahan warna pada tepung umbi
suweg berkaitan dengan adanya proses browning enzimatis dari umbi. Warna coklat pada tepung
suweg sangat dipengaruhi oleh kadar polifenol dalam umbi. Polifenol akan menyebabkan
terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis. Enzim polifenolase dan polifenol oksidase akan
bereaksi dengan oksigen diudara yang akan mengubah polifenol menjadi hidroksi quinon yang
berwarna coklat. Enzim ini akan kontak langsung dengan substratnya yaitu polifenol ketika
proses pengupasan dan perajangan umbi suwegsehingga umbi yang dihasilkan memiliki warna
kecoklatan (Hasbullah, 2016).

Flavor
Hasil analisis ragam untuk parameter flavor menunjukkan konsentrasi tepung umbi suweg
berpengaruh nyata terhadap flavor fruit leather. Skor flavor fruit leather berkisar antara 3.10 –
4.35 (agak suka – suka). Hasil uji lanjut BNJ pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, flavor fruit leather pada perlakuan T2 (tepung umbi suweg 1%) tidak
berbeda nyata dengan perlakuan T1 (gum arab 1%), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan T3
(tepung umbi suweg 2%), T4 (tepung umbi suweg 3%), T5 (tepung umbi suweg 4%) dan T6
(tepung umbi suweg 5%). Skor flavor fruit leather tertinggi sebesar 4.35 terdapat pada perlakuan

403
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

T2 (tepung umbi suweg 1%) dengan kriteria suka, sedangkan skor flavor terendah sebesar 3.10
terdapat pada perlakuan T6 (tepung umbi suweg 5%) dengan kriteria agak suka.Skor flavor
menunjukkan fruit leather dengan konsentrasi tepung umbi suweg sebanyak 1% (T2)merupakan
produk yang paling disukai panelis.

Tabel 2. Uji Lanjut BNJ 5% pada Flavor Fruit Leather dengan Konsentrasi Tepung Umbi Suweg
Sebagai Bahan Penstabil.
Perlakuan Skor

T2 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 1% 4.35a


T1 = Konsentrasi Gum Arab 1% 4.13a
T3 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 2% 3.79b
T4 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 3% 3.51bc
T5 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 4 % 3.28cd
T6 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 5% 3.10d
BNJ (0.05) = 0.287
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada uji Beda Nyata Jujur
(BNJ) taraf 5%
1. Sangat tidak suka; 2. Tidak suka; 3. Agak suka; 4. Suka; 5. Sangat suka

Flavor pada fruit leather terbentuk selama proses pengeringan yang melibatkan gula
reduksi dan asam amino sehingga menyebabkan terjadinya reaksi mailard yang akan
mempengaruhi flavor fruit leather yang dihasilkan. Selain itu, perbedaan penambahan
konsentrasi tepung umbi suweg dalam pembuatan fruit leather campuran nenas madu dan pepaya
menyebabkan flavor fruit leather yang khas dengan buah nenas akan tertutupi oleh flavor tepung
umbi suweg. Hal ini disebabkan oleh sifat kimia tepung umbi suweg yang memiliki aroma
spesifik yaitu langu (Pitojo, 2007), sehingga konsentrasi tepung umbi suweg yang lebih besar
akan menghasilkan flavor fruit leather khas umbi suweg.

Tekstur
Hasil analisis ragam untuk parameter tekstur menunjukkan konsentrasi tepung umbi suweg
berpengaruh nyata terhadap tekstur fruit leather. Skor tekstur fruit leather berkisar antara 4.07 –
4.46 yakni plastis. Hasil uji lanjut BNJ pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji Lanjut BNJ 5% pada Tekstur Fruit Leather dengan Konsentrasi Tepung Umbi Suweg
Sebagai Bahan Penstabil.
Perlakuan Skor
T6 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 5% 4.46a
T5 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 4 % 4.36b
T1 = Konsentrasi Gum Arab 1 % 4.31bc
T4 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 3% 4.25cd
T3 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 2% 4.18d
T2 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 1% 4.07e
BNJ (0.05) = 0.091
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada uji Beda Nyata
Jujur (BNJ) taraf 5%.
1. Sangat tidak plastis; 2. Tidak plastis; 3. Agak plastis; 4. Plastis; 5. Sangat plastis

Berdasarkan Tabel 3, tekstur fruit leather pada perlakuan T6 (tepung umbi suweg 5%)
berbeda nyata dengan perlakuan T1 (gum arab 1%), T2 (tepung umbi suweg 1%), T3 (tepung
umbi suweg 2%), T4 (tepung umbi suweg 3%) dan T5 (tepung umbi suweg 4%). Skor parameter
tekstur fruit leather berkisar antara 4.07 – 4.46. Skor tekstur fruit leather tertinggi sebesar 4.46
terdapat pada perlakuan T6 (tepung umbi suweg 5%) dengan kriteria plastis, sedangkan skor
tekstur terendah sebesar 4.07 terdapat pada perlakuan T2 (tepung umbi suweg 1%) dengan

404
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

kriteria plastis. Perbedaan konsentrasi tepung umbi suweg mempengaruhi plastisitas fruit leather
yang dihasilkan.
Tepung umbi suweg memiliki kandungan glukomanan yang memiliki sifat dapat
memerangkap air sehingga saat dilakukan proses pengeringan air akan menguap dan
menghasilkan tekstur fruit leather yang plastis. Selain itu, tepung umbi suweg memiliki
kandungan serat kasar yang cukup tinggi yaitu sebesar 5.23% sehingga akan mempengaruhi
tekstur fruit leather yang dihasilkan. Konsentrasi tepung umbi suweg yang lebih besar akan
menghasilkan tekstur yang lebih plastis. Menurut Praseptiangga, dkk. (2016), tekstur plastis
pada fruit leather terbentuk dari proses pembentukan gel. Proses pembentukan gel dalam fruit
leather terjadi selama proses pemanasan dengan adanya pektin, asam, air dan senyawa
hidrokoloid.Senyawa hidrokoloid yang dimanfaatkan adalah glukomanan yang terdapat di dalam
tepung umbi suweg.
Menurut Kasno (2007), suweg mengandung pati terutama kandungan glukomanan
sebanyak 30% yang terdiri dari polisakarida manosa dan glukosa yang apabila dicampur dengan
air akan menjadi lengket. Mekanisme pembentukan tekstur gel dalam fruit leather dimulai
dengan adanya proses gelasi yang melibatkan ikatan silang dari rantai-rantai polimer untuk
membentuk jaringan tiga dimensi secara kontinyu dan mampu memperangkap cairan,
membentuk tekstur kaku, kokoh dan tahan saat diberikan suatu tekanan (Praseptiangga,
dkk.,2016).

Penerimaan Keseluruhan
Hasil analisis ragam untuk parameter penerimaan keseluruhan menunjukkan bahwa
konsentrasi tepung umbi suweg berpengaruh nyata terhadap penerimaan keseluruhan fruit
leather. Hasil organoleptik penerimaan keseluruhan fruit leather berada diantara nilai 2.73 –
4.37 (agak suka-suka). Hasil uji BNJ taraf 5% disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji lanjut BNJ 5% pada Penerimaan Keseluruhan Fruit Leather Dengan Konsentrasi
Tepung Umbi Suweg Sebagai Bahan Penstabil.
Perlakuan Skor

T2 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 1% 4.37a


T1 = Konsentrasi Gum Arab 1 % 4.12a
T3 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 2% 3.83b
T4 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 3% 3.43c
T5 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 4 % 3.05d
T6 = Konsentrasi Tepung Umbi Suweg 5% 2.73e
BNJ (0.05) = 0.276
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda pada uji Beda Nyata
Jujur (BNJ) taraf 5%
1. Sangat tidak suka; 2. Tidak suka; 3. Agak suka; 4. Suka; 5. Sangat suka

Berdasarkan Tabel 4, penerimaan keseluruhan pada perlakuan T2 (tepung umbi suweg 1%)
tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1 (gum arab 1%) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
T3 (tepung umbi suweg 2%), T4 (tepung umbi suweg 3%), T5 (tepung umbi suweg 4%) dan T6
(tepung umbi suweg 5%). Skor parameter penerimaan keseluruhan fruit leather tertinggi sebesar
4.37 terdapat pada perlakuan T2 (tepung umbi suweg 1%) dengan kriteria suka, sedangkan skor
warna terendah sebesar 2.73 terdapat pada perlakuan T6 (tepung umbi suweg 5%) dengan
kriteria agak suka.Skor penerimaan keseluruhan menunjukkan fruit leather dengan konsentrasi
tepung umbi suweg sebanyak 1% (T2) merupakan produk yang paling disukai
panelis.Penerimaan keseluruhan produk fruit leather campuran buah nenas madu dan pepaya
dipengaruhi oleh parameter sensori yaitu warna flavor dan tekstur.Perbedaan tingkat penerimaan
keseluruhan panelis disebabkan oleh penggunaan konsentrasi tepung umbi suweg pada

405
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pembuatan fruit leather.Konsentrasi tepung umbi suweg yang lebih banyak menyebabkan tingkat
penerimaan keseluruhan panelis tidak terlalu disukai.Friut leather dengan konsentrasi tepung
umbi suweg 1% sebagai bahan penstabil menghasilkan warna dan flavor yang paling disukai
panelis serta tekstur yang plastis.

Pemilihan Perlakuan Terbaik


Penentuan perlakuan terbaik berdasarkan hasil dari uji sensori (warna, flavor, tekstur dan
penerimaan keseluruhan).Rekapitulasi data pemilihan perlakuan terbaik disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi Data Pemilihan Perlakuan Terbaik.


Perlakuan
Parameter
T1 T2 T3 T4 T5 T6
Warna 4.26b 4.49a* 3.82c 3.30c 2.83e 2.63f
Flavor 4.13a* 4.35a* 3.79b 3.51bc 3.28cd 3.10d
Tekstur 4.31bc 4.07e 4.18 dc 4.25d 4.36b 4.46a*
Penerimaan Keseluruhan 4.12a* 4.37a* 3.83 b 3.43c 3.05d 2.73e
Keterangan :
T1 : Gum Arab 1%
T2 : Tepung Umbi Suweg 1%
T3 : Tepung Umbi Suweg 2%
T4 : Tepung Umbi Suweg 3%
T5 : Tepung Umbi Suweg 4%
T6 : Tepung Umbi Suweg 5%
* : Terbaik pada setiap parameter

Pengambilan perlakuan terbaik dilihat dari sifat sensori (warna, flavor, tekstur dan
penerimaan keseluruhan).Penentuan perlakuan terbaik dari uji organoleptik menggunakan
metode notasi bintang yaitu dengan pembobotan huruf menggunakan jumlah bintang.Bintang
diberikan kepada huruf yang dikategorikan terbaik berdasarkan parameternya serta kepada huruf
yang tidak berbeda dengan parameter terbaik. Fruit leather yang dihasilkan pada perlakuan
terbaik adalah fruit leather campuran nenas madu dan pepaya dengan penambahan tepung umbi
suweg sebesar 1% (T2).

Analisis Fisik Kuat Tarik Perlakuan Terbaik


Analisis fisik berupa uji kuat tarik dilakukan pada sampel fruit leather perlakuan terbaik
setelah pengujian sensori meliputi warna, flavor, tekstur dan penerimaan keseluruhan. Fruit
leather campuran nenas madu dan pepaya dengan konsentrasi tepung umbi suweg 1% merupakan
konsentrasi terbaik. Analisis kuat tarik fruit leather dengan penambahan tepung umbi suweg 1%
disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Analisis Kuat Tarik Fruit Leather dengan Penambahan Tepung Umbi Suweg 1%.
Kode Spesimen Tebal Lebar Fmax Kuat Tarik
(mm) (mm) (N) (MPa)
Komposit 1 2.37 5.75 66.37 4.87
Komposit 2 2.37 5.75 66.31 4.86
Komposit 3 2.37 5.75 66.33 4.87
Rata-rata 2.37 5.75 66.34 4.87
Sumber : Data Primer, (2019).

Kuat tarik diuji dengan cara menarik fruit leather menggunakan alat Universal Testing
Machine (UTM) hingga terputus. Kuat tarik dihitung berdasarkan gaya (Fmax) yang dibutuhkan
untuk meregangkan fruit leather hingga terputus. Pengukuran kuat tarik berguna untuk

406
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mengetahui besarnya gaya tarik maksimum setiap satuan luas pada bahan yang ditarik hingga
putus. Fruit leather yang mempunyai kekuatan tarik tinggi memiliki ketahanan terhadap gaya
tarik yang lebih baik sehingga tidak mudah putus dan robek (Marzelly, dkk., 2017).Nilai kuat
tarik yang dihasilkan fruit leather campuran nenas madu dan pepaya dengan konsentrasi tepung
umbi suweg 1% sebagai bahan penstabil menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 4.87 MPa yang
berarti fruit leather memiliki tekstur yang plastis sehingga tidak mudah patah ketika digulung.

Analisa Kimia Perlakuan Terbaik


Analisis kimia dilakukan pada sampel fruit leather perlakuan terbaik setelah pengujian
sensori maka didapatkan fruit leather campuran nenas madu dan pepaya dengan konsentrasi
tepung umbi suweg 1%.Komposisi kimia fruit leather dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis Kimia Fruit Leather dengan Penambahan Tepung Umbi Suweg 1% .
Parameter Nilai (%)
Kadar air 11.0422
Kadar protein 1.5674
Kadar lemak 0.4479
Kadar abu 1.8590
Kadar serat kasar 5.8349
Kadar karbohidrat by different 79.2486
Sumber : Data Primer, (2019).

Berdasarkan Tabel 15, kandungan gizi pada fruit leather campuran nenas madu dan pepaya
dengan konsentrasi tepung umbi suweg sebanyak 1% memiliki kadar air sebesar 11.0422 %,
kadar protein sebesar 1.5674 %, kadar lemak sebesar 0.4479%, kadar abu sebesar 1.8590, kadar
serat kasar sebesar 5.8349% dan kadar karbohidrat sebesar 79.2486%. Standar mutu untukfruit
leather menurut SNI belum ada. Akan tetapi, fruit leather yang baik memiliki kandungan air 10-
20% (Fauziah, dkk, 2015).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Fruit leather campuran nenas madu dan pepaya dengan konsentrasi tepung umbi suweg
terbaik adalah perlakuan 1% tepung umbi suweg.
2. Fruit leather perlakuan terbaik memiliki karakteristik warna dengan skor 4.49 (suka), flavor
dengan skor 4.35 (suka), tekstur dengan skor 4.07 (plastis), penerimaan keseluruhan dengan
skor 4.37 (suka), kuat tarik 4.87 MPa , kadar air 11.04 %, kadar abu 1.57 %, kadar lemak
0.45 %, kadar protein 1.86 %, kadar serat kasar 5.83 % dan kadar karbohidrat by different
79.25 %.

Saran
Perlu kajian adanya penelitian lanjutan mengenai pengemasan fruit leather apabila produk
akan dikomersialkan.

DAFTAR PUSTAKA
Association of Official Analitycal Chemist (AOAC). 2005. Official Method of Analysis of the
Associates of Official Analytical Chemist. AOAC.Inc. New York. 49 p.
Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan.
Subdirektorat Statistik Hortikultura. 99 Hlm.
Fauziah, E., Widowati, E dan Atmaka, W. 2015. Kajian Karakteristik Sensoris dan Fisikokimia
Fruit Leather Pisang Tanduk (Musa corniculata) dengan Penambahan Berbagai
Konsentrasi Karagenan. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 4 (1) : 11-16..

407
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Harahap, E. S., Karokaro, T dan Lubis, L. M. 2015. Pengaruh Perbandingan Bubur Buah Sirsak
dengan Pepaya dan Penambahan Gum Arab terhadap Mutu Fruit Leather. Jurnal Rekayasa
Pangan dan Pertanian. 3(2) : 164-170.
Hasbullah, U. H. A. 2016. Sifat Sensoris dan Principal Component Analysis Tepung Suweg di
Karisidenan Surakarta. Jurnal Ilmiah Teknosains. 2(2) : 107-111.
Herawati, H. 2018. Potensi Hidrokoloid Sebagai Bahan Tambahan pada Produk Pangan dan Non
pangan Bermutu. Jurnal Litbang Pertanian. 37(1) : 17-25.
Historiasih, R. Z. 2010. Pembuatan Fruit Leather Sirsak-Rosella.(Skripsi).Fakultas Teknologi
Industri UPN Veteran. Surabaya. 60 Hlm.
Kasno, 2007. Agribisnis Tanaman Suweg. GemaPertapa. Jakarta. Edisi 23-29 Mei 2007.78 Hlm.
Komaryanti, S. 2017. Ensiklopedia Buah-Buahan Lokal Berbasis Potensi Alam Jember.Jurnal
Biologi dan Pembelajaran Biologi 2(1).61-75.
Kurniawan, D. 2014. Analisis Pengeringan pada Proses Pembuatan Lembaran Buah (Fruit
Leather) Pepaya.(Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 29 hlm.
Lamban, L. S., Kandou, J dan Djarkasi, G. S. S. 2017. Pengaruh Proporsi Buah Naga Merah
(Hylocereus Polyrhisuz) dan Buah Sirsak (Annona muricata L) terhadap Tingkat Kesukaan
Panelis pada Fruit Leather. Universitas Sam Ratulangi. Manado. 13 Hlm.
Lubis, M. P., Nainggolan, R. J dan Yusraini, E. 2014. Pengaruh Perbandingan Nenas dengan
Pepaya dan Konsentrasi Gum Arab terhadap Mutu Fruit Leather.Jurnal Rekayasa Pangan
dan Pertanian. 2(3) : 62-68.
Marzelly, A.D., Yuwanti, S dan Lindriati, T. 2017. Karakteristik Fisik, Kimia dan Sensoris Fruit
Leather Pisang Ambon (Musa paradisiaca S.) dengan Penambahan Gula dan Karagenan.
Jurnal Agroteknologi. 11(2) : 172-185.
Nurainy dan Koesoemawardhani (2007) Efek PenambahanRumputLautterhadapKarakteristik
Fruit Leather Sirsak (online) .http://staff.unila.ac.id/harnowo/daftarpublikasi-ilmiah.
Diakses pada tanggal 25 September 2018.
Pitojo, S. 2007. Seri Budi Daya Suweg. Kanisius.Yogyakarta.153 Hlm.
Praseptiangga, D., Aviany, T. P. dan Parnanto, N. H. R. Pengaruh Penambahan Gum Arab
terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Sensoris Fruit Leather Nangka (Artocarpus
heterophyllus). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 9(1) : 71-83.
Putri, D. I. 2016. Pengaruh Konsentrasi Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus
B) sebagai Penstabil Es Krim Susu Kambing. (Skripsi). Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 58 Hlm.
Sari, 2008. Pengaruh Substitusi Pepaya (Carica papaya lourvar Bangkok) dan Konsentrasi
Gliserol Terhadap Karakteristik Fruit Leather Mix Mangga Kweni (Mangifera odorata
Grifft var Cikampek). (Skripsi). FakultasTeknik. Universitas Pasundan. Bandung. 98 hlm
Safitri, A. A. 2012. Studi Pembuatan Fruit Leather Mangga-Rosella. (Skripsi). Universitas
Hasanuddin. Makassar.59 Hlm.
Sudarmadji, S. 1984. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.172 Hlm.
Susilowati, 2001. Komposisi Kimia BerbagaiTepung Iles-Iles danKekukuhan Gel Tepung Iles-
Iles (Ammorphophallus variabilis) dengan Variasi Tambahan Ca(OH)2. (Skripsi). Fakultas
Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta.73 Hlm.

408
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Winarno, F. G. 2003. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 235 Hlm.
Yudha, N. P., Bekti, E dan Haryati, S. 2017. Kadar Gula dan CarboxyMethyl Cellulose terhadap
Sifat Fisikokimia dan Organoleptik pada Fruit Leather Labu Siam (Sechium edule).
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Semarang. Semarang. 20 Hlm.

409
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Implementasi Teknologi Pengolahan Pangan Komoditas Unggulan


Jambu Biji di Kabupaten Ngawi Jawa Timur
Cahya Edi W. A1, Diki Nanang S1, dan Hendarwin M Astro1
1Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna LIPI, Subang

ABSTRAK

Kata Kunci: Implementasi teknologi ke masyarakat penting dilakukan untuk membatu


Teknologi meningkatkan nilai suatu produk. Jambu biji (Psidium Guajava L)
Implementasi merupakan komoditas potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Ngawi.
Olahan Buah Jambu biji mempunya rasa dan aroma yang kuat sehingga dapat diolah
Diversifikasi menjadi produk olahan yang tahan lama. Potensi buah jambu yang dimiliki
Jambu Biji sampai saat ini masih belum terkena sentuhan teknologi tepat guna secara
optimal. Kegiatan ini bekerjasama dengan kelompok usaha mikro dan kecil
menengah (UMKM) serta melibatkan Pemerintah Kabupaten Ngawi. Metode
yang digunakan adalah pendampingan teknis (Technical Assistance) dan
pelatihan. Diversifikasi produk olahan jambu biji antara lain dengan
mengolah jambu biji menjadi selai dan dodol. Pendekatan melalui
pendampingan teknis dan pelatihan diversifikasi produk melalui pengolahan
jambu biji diharapkan dapat membantu UMKM untuk meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan.

ABSTRACT

Keywords: Implementation of technology to society is important to help improve the


Technology value of a product. Guava (Psidium Guajava L) is a potential commodity to
Implementation be developed in Ngawi Regency. Guava fruit has a strong taste and aroma so
Processed that it can be processed into a durable product. The potential of guava fruit
Diversification possessed until now is still not exposed to the touch of appropriate technology
Guava in this activity in collaboration with micro and small and medium enterprises
(MSMEs) and involving the Ngawi District Government. The method used
is technical assistance and training. Diversification of processed guava
products, among others, by processing guava into jam and dodol. The
approach through technical assistance and product diversification training
through guava processing is expected to help MSMEs to improve their
abilities and knowledge.

Email Korespondensi : cahya.anggara76@gmail.com

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris sehingga sektor pertanian yang meliputi (tanaman
pangan, hortikultur, peternakan dan perikanan) merupakan salah satu penyumbang terbesar
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi sebagian besar daerah di Indonesia. Hal ini
berarti bahwa untuk meningkatkan PDRB suatu daerah diperlukan inovasi pengolahan di sektor
pertanian dengan meningkatkan potensi lokal menjadi produk unggulan yang berkualitas dan
berdaya saing tinggi.

410
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Buah-buahan merupakan komoditas yang sangat rentan dan mudah mengalami kerusakan.
Hal tersebut dikarenakan proses pengolahan komoditas tersebut masih sangat terbatas dan
kebanyakan tidak diolah lebih dahulu menjadi produk turunan yang memiliki nilai tambah dan
hanya akan menjadi limbah pertanian jika tidak dimanfaatkan lebih lanjut. Oleh karena itu sangat
diperlukan inovasi teknologi pengolahan pasca panen tersebut menjadi produk yang dapat
memiliki nilai tambah dan berdaya saing tinggi di pasar. Inovasi teknologi tersebut meliputi
proses pasca panen buah segar dan pengolahan agar awet selama masa penyimpanan serta dapat
menjadi produk turunan yang berkualitas dan disukai konsumen. Proses pengawetan buah-
buahan segar biasanya dapat menggunakan bahan pembantu kimia yang aman sehingga
memperpanjang masa penyimpanan buah segar.
Kegiatan di kabupaten Ngawi ini, merupakan kegiatan yang bekerjasama dengan pihak
Bappelitbangda dan UKM Kabupaten Ngawi, terkait pengembangan potensi lokal hingga
menjadi komoditas produk unggulan. Potensi-potensi yang dimiliki sampai saat ini masih belum
terkena sentuhan teknologi tepat guna secara optimal. Pengolahan dari komoditas pertanian
masih mengandalkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah ada secara tradisional, meski
dalam beberapa hal sudah mendapat perhatian dari pihak pemerintah setempat. Pemerintah
setempat terus mendorong kegiatan usaha ekonomi produktif masyarakat yang berbasis potensi
lokal yang ada. Inovasi teknologi pengolahan produk berbasis penerapan teknologi tepat guna
diharapkan dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat. Teknologi tepat guna dapat
mendorong pemanfaatan potensi lokal secara optimal.
Berangkat dari berbagai kemungkinan pengembangan potensi lokal unggulan yang ada,
maka dalam hal ini TTG LIPI bekerja sama dengan pemerintah setempat melalui Bappelibangda
Kabupaten Ngawi akan melakukan kegiatan pengembangan potensi lokal unggulan tersebut
dengan penerapan teknologi tepat guna. Kegiatan penerapan teknologi tepat guna di kabupaten
Ngawi ini menjadi bagian penting didalam kegiatan pengembangan masyarakat. Teknologi tepat
guna menjadi alat yang dapat mendorong pemanfaatan potensi lokal secara optimal dengan
tujuan mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Produksi komoditas hortikultura (buah-buahan) dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, akan tetapi komoditi secara individu mengalami fluktuasi produksi. Fluktuasi
produksi individu buah pada umumnya disebabkan oleh produktivitas dan adanya pergeseran
permintaan pasar. Pergeseran permintaan terhadap buah segar maupun olahan disebabkan
adanya perubahan pola konsumsi karena perubahan gaya hidup, membanjirnya buah-buahan
impor (Dirjen PPHP Departemen Pertanian, 2005).
Menurut informasi (Bappeda Ngawi 2016) pemanfaatan terhadap buah-buahanan (Jambu
Biji, Durian, Mangga, Manggis dan Rambutan) di wilayah Ngawi masih menggunakan teknologi
sederhana, yang mempengaruhi rendahnya pendapatan usaha penanganan buah2an. Untuk
meningkatkan nilai tambah dan pendapatan UMKM pengolahan buah, diperlukan usaha
peningkatan penerapan dan pemanfaatan (adopsi) teknologi pengolahan di UMKM pengolahan
buah.
Usaha penanganan komoditi hortikultura di usaha masyarakat (UMKM), pada umumya
masih kurang ekonomis dan efisien. Hal ini disebabkan faktor sumber daya manusia (SDM),
akses pasar kurang, modal keuangan lemah, dan akses terhadap teknologi penanganan
pascapanen masih lemah (Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian, 2005). Salah satu strategi
dalam peningkatan nilai tambah komoditi hortikultura khususnya buah-buahan adalah melalui
usaha peningkatan dan pemanfaatan teknologi penanganan pascapanen, pengembangan
manajemen dalam peningkatan produksi dan mutu, pengembangan pemasaran hasil olahan
(Dirjen Hortikultura, 2006).
Adapun tahapan pascapanen komoditas hortikultura secara umum meliputi pemetikan,
pembersihan, sortasi dan grading, pengemasan dan penyimpanan sementara, transportasi dan

411
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

disribusi atau pemasaran. Sedangkan tahapan penanganan pascapanen (pengolahan) komoditi


buah meliputi: pengupasan, triming, pembuburan (pulping), pengektraksian, pencampuran,
pemasakan (pasteurisasi, sterilisasi), pengemasan, penyimpanan, tranportasi, dan pemasaran
(Dirjen PPHP Departemen Pertanian, 2005).
Usaha industri pengolahan buah memerlukan faktor-faktor input, seperti komoditi
pertanian (termasuk buah), bahan pembantu, pengemas, dan faktor input penting lain, seperti
teknologi yang memadai untuk sarana dan prasarana produksi (Dirjen PPHP Departemen
Pertanian, 2005).

Strategi Penerapan Teknologi


Penerapan teknologi dalam penanganan pascapanen (pengolahan) hasil pertanian
merupakan proses penerapan teknologi yang didasarkan pada kesesuaian potensi lokasi,
agroekologi, ekonomi, sosial dan budaya wilayah setempat. Teknologi tersebut dapat merupakan
teknologi yang sudah ada atau dikembangkan dari yang ada dengan perbaikan menggunakan
IPTEK, tetapi harus memiliki nilai tambah lebih (Widjajanto dan Sumarsono, 2005).
Usaha penanganan komoditi hortikultura buah-buahan di usaha masyarakat pada umumya
masih kurang ekonomis dan efisien. Hal ini disebabkan faktor sumber daya manusia (SDM),
akses pasar kurang (pemasaran), modal keuangan lemah, dan akses terhadap teknologi
penanganan pascapanen masih lemah. Salah satu strategi dalam peningkatan nilai tambah
komoditi buah, adalah melalui usaha peningkatan dan pemanfaatan teknologi penanganan
pascapanen, pengembangan manajemen dalam peningkatan produksi dan mutu, pengembangan
pemasaran hasil olahan (Dirjen Hortikltura, 2006). Usaha peningkatan dan penerapan) teknologi
dalam penanganan pascapanen buah di di usaha masyarakat, diperlukan usaha pengembangan
teknologi tepat dan seharusnya dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan
(Tridjadja, 2005).
Menurut Mizar et.al. (2008) kecepatan atau tingkat adopsi teknologi pada industri kecil
(UKM) yang bergerak di bidang pengolahan hasil pertanian masih rendah disebabkan oleh
beberapa kendala. Kendala-kendala di usaha masyarakat dalam mengadopsi teknologi
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan mengadopsi teknologi dan kebutuhan teknologi
kurang sesuai dengan kondisi wilayah. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa beberapa
faktor dominan yang mempengaruhi kecepatan adopsi adalah kesiapan dan kemampuan SDM,
termasuk pengetahuan dan pengalaman dalam keterlibatan mengelola usaha terkait dengan
pengolahan hasil pertanian.

Penerapan dan Pemanfaatan Teknologi


Menurut Rogers (2003), adopsi suatu teknologi adalah proses pengambilan keputusan
untuk menggunakan teknologi yang diintroduksikan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki
di suatu wilayah. Tahapan proses pengambilan keputusan dalam mengadopsi suatu teknologi
adalah sebagai berikut: 1) Pengenalan dan pemahaman (knowledge) terhadap teknologi; 2)
Persuasi (persuasion) agar seorang atau masyarakat mempunyai minat dan menyukai teknologi
yang diintroduksikan;3) Keputusan (decision) untuk mengadopsi atau menolak teknologi yang
diintroduksikan; 4) Penerapan (implementation), yaitu seseorang atau kelompok masyarakat
memanfaatkan (mengadopsi) teknologi yang diimplementasikan tersebut untuk digunakan dalam
suatu kegiatan; dan 5) Konfirmasi (confirmation), yaitu proses menilai, memastikan,
memutuskan untuk menggunakan teknologi tersebut.
Menurut Schumacher (1987) penerapan teknologi akan berhasil apabila ada kesesuaian
dengan potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), sumberdaya ekonomi
dan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Kesesuaian teknologi yang diterapkan
adalah kesesuaian pendekatan sebagai berikut:1) Pendekatan teknis, yaitu teknologi tersebut
mudah digunakan, sebagai sarana produksi yang mudah diperoleh, dan dapat meningkatkan
produksi; 2) Pendekatan ekonomi, yaitu sesuai dengan kemampuan masyarakat, menguntungkan

412
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

karena biaya operasional rasional, hasil produk diterima konsumen atau pasar, dan meningkatkan
nilai tambah dan pendapatan; 3) Pendekatan sosial-budaya, yaitu sesuai dengan karakteristik
sosial budaya masyarakat wilayah, dan teknologi tersebut diminati; 4) Pendekatan lingkungan,
yaitu sesuai kondisi lingkungan sekitarnya baik kondisi alam maupun kondisi lingkungan
masyarakat (mengganggu); 5) Pendekatan kelembagaan, yaitu adanya kelembagaan yang
mendukung dan mengelola usaha, seperti kelompok usaha (UMKM), asosiasi pemasaran,
koperasi, lembaga keuangan; dan 6) Pendekatan politik, yaitu adanya dukungan kebijakan baik
dari pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten).
Menurut Rogers (1995), respon masyarakat terhadap proses adopsi suatu teknologi
merupakan suatu proses yang memerlukan waktu malalui beberapa langkah atau tahapan. Tahap-
tahap tersebut antara lain: 1) Kesadaran (awareness) tentang adanya inovasi teknologi baru;2)
Adanya minat (interest) untuk mengetahui adanya hal baru karena ada kebutuhan untuk
memecahkan permasalahan; 3) Muncul penilaian (evaluasi), tentang baik dan buruk, manfaat
dan keuntungan; 4) Keinginan mencoba (trial) pada kondisi tertentu, sebelum ke skala yang lebih
luas; dan 5) Pengambilan keputusan menerima (adoption) atau menolak (rejection).
Menurut Sudaryanto dkk. (2005), keberhasilan pembangunan pertanian berhubungan
dengan keikut sertaan pastisipasi dan minat dan kemampuan wirausaha masyarakat agar proses
adopsi teknologi tersebut dapat berjalan baik. Faktor kunci dalam pembangunan pertanian adalah
hasil-hasil inovasi teknologi yang akan diterapkan di masyarakat dan harus dapat dimanfatkan
di usaha masyarakat.
Menurut Tridjadja (2005), proses munculnya inovasi teknologi tidak terlepas adanya
individu, kelompok, atau kelembagaan baik sebagai sumber teknologi maupun yang
menyebarkan dan mengimplementasi teknologi tersebut (penyedia teknologi). Menurut Said,
E.G (2006) dengan adanya inovasi teknologi, sumber daya alam (SDA) wilayah yang ada dapat
dimanfaatkan secara optimal, daya saing dapat ditingkatkan, serta ketergantungan pada teknologi
dari luar dapat dikurangi.
Menurut Rogers (2003), beberapa pemahaman yang mempengaruhi kecepatan atau tingkat
adopsi teknologi adalah sebagai berikut: 1) Keunggulan relatif (relative advantage), apakah
teknologi yang diintroduksikan memberikan manfaat atau keuntungan bagi seseorang atau
adopter; 2) Kesesuaian (compatibility), apakah teknologi yang diintroduksikan tepat dan
dibutuhkan sesuai dengan kondisi wilayah; 3) Kerumitan (complexity), apakah teknologi yang
dintroduksikan mudah dipahami dan mudah digunakan masyarakat; 4) Ketercobaan (trialability)
apakah teknologi yang diintroduksikan dapat dicoba dan kemudian mempertimbangkan untuk
diadopsi; dan 5) Keteramatan (observability), apakah secara pengamatan mudah dilakukan,
sehingga menstimulasi seseorang atau masyarakat mengadopsinya.

METODE PENELITIAN
Metodologi secara keseluruhan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah penelitian kaji
tindak, yang diawali kegiatan survei dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Creswell,
2010; Sugiyono, 2006; Widi, 2010) dan disertai dengan diskusi kelompok (FGD) dengan
masyarakat usaha, dan berapa informan kunci. Penelitian survei dalam hal ini bertujuan
mendeskripsikan tingkat penerapan dan pemanfaatan teknologi yang ada di masyarakat Ngawi.
Hasil analisis atau kajian untuk menentukan prioritas dari beberapa komoditi pertanian potensil
lokal beserta jenis kelembagaan (usaha).
Kegiatan peneltian selanjutnya, adalah, dilakukan pengembangan teknologi pengolahan di
PPTTG LIPI Subang. Kegiatan penelitian meliputi ; pengembangan teknologi pengolahan
(divresifikasi produk olahan),
Hasil pengembangan teknologi pengolahan, kemudian dipersiapkan untuk diterapkan atau
diimplementasikan di usaha masyarakat UMKM wilayah Ngawi, melalui pelatihan,
pendampingan teknis untuk membantu dalam penguatan UMKM dalam pemecahan masalah,
terutama teknologi dan apa saja yang sudah ada dan yang dibutuhkan oleh UMKM sehingga

413
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam melakukan kegiatan produksinya


(Christenson and Robinson, 1989). Salah satu definisi dari pendampingan teknis atau Technical
Assistance seperti yang dikutip dalam Wright 1978, p. 343 sebagai berikut “Technical Assistance
might be broadly defined as the provision of programs, activities, and services... to strengthen
the capacity of recipients to improve their performance with respect to an inherent or assigned
function”.
Kemudian di lakukan monitoring dan evaluasi, pelaporan kegiatan pengembangan dan
penerapan teknologi di masyarakat usaha wilayah Ngawi. Hasil evaluasi dan monitoring
kemajuan penerapan teknologi dilapangan dapat menjadi bahan pertimbangan langkah-langkah
strategi dalam program pengembangan dan penerapan teknologi di masyarakat kedepan.
Diharapkan dengan dilakukannya penerapan teknologi tepat guna yang sesuai dengan
potensi sumber daya lokal maka akan diperoleh rekomendasi tentang pengembangan usaha
masyarakat menjadi komoditas produk unggulan khususnya olahan jambu biji. Pengenalan
teknologi produksi olahan pangan berbasis potensi sumber daya lokal melalui pelatihan kepada
UMKM pengolah dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dalam
pengembangan produk berbasis potensi lokal unggulan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dari kegiatan ini adalah :
Menghasilkan UKM yang mempunyai diversifikasi produk olahan jambu biji yang
beragam. Tidak hanya olahan yang semula hanya Jus jambu biji, tetapi ada produk lain seperti
selai buah jambu biji dan dodol jambu biji sehingga menambah keanekaragaman produk dari
UKM. Dengan adanya keanekaragaman produk ini masyarakat dapat menikmati buah jambu
tidak hanya dalam bentuk segar tetapi bisa juga dengan bentuk dodol, jus dan selai buah.
Diversifikasi produk olahan jambu biji yang dilakukan meliputi :

Selai buah
Menurut SNI (1995), selai buah adalah produk pangan semi basah yang merupakan
pengolahan bubur buah dan gula yang dibuat dari campuran 45 bagian berat buah dan 55 bagian
berat gula dengan atau tanpa penambahan bahan makanan tambahan yang diizinkan. Campuran
ini kemudian dipekatkan sehingga hasil akhirnya mengandung total padatan terlarut minimal
65%. Dengan demikian selai mempunyai konsistensi yang cukup tinggi sehingga
mempertahankan bentuknya bila dikeluarkan dari wadahnya (Muchtadi et al. 1979). Bahan-
bahan yang digunakan dalam pembuatan selai jambu adalah buah jambu, gula, asam sitrat, agar-
agar, dan garam.
Selai adalah produk makanan yang kental atau setengah padat dibuat dari campuran ± 45
bagian berat buah (cacah buah) dan ± 55 bagian berat gula (Margono dkk,1993). Konsumen
umumnya menggunakan selai sebagai bahan makanan pelengkap roti atau dapat pula digunakan
untuk membuat kue kering dan biskuit atau makanan ringan lainnya. Penggunaan selai sebagai
bahan pelengkap roti semakin meningkat. Hal tersebut berkaitan dengan perubahan kebiasaan
masyarakat, terutama dengan pilihan makanan untuk sarapan. Banyak anggota masyarakat
memilih roti dengan selai sebagai pengganti nasi. Alasannya antara lain kepraktisan dan
menghindari rasa terlalu kenyang jika makan nasi (Suryani, 2004).
Selai yang digunakan sebagai pelengkap hidangan roti biasanya dikonsumsi bersama-sama
dengan olesan mentega atau margarin. Umumnya bentuk penyajiannya berupa roti yang mula-
mula diolesi dengan mentega atau margarin kemudian diolesi dengan selai. Tiga bahan pokok
pada proses pembuatan selai adalah pektin, asam, dan gula dengan perbandingan tertentu untuk
menghasilkan produk yang baik. Selai buah yang baik harus berwarna cerah, jernih, kenyal
seperti agar-agar tetapi tidak terlalu keras, serta mempunyai rasa buah asli (Margono dkk, 1993).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan selai adalah pengaruh panas dan
gula pada pemasakan serta keseimbangan proporsi gula, pectin dan asam. Pada pembuatan selai

414
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

jambu kali ini digunakan agar sebagai bahan pengental pengganti pectin. Gula dan agar/pectin
sebagai bahan pembentuk gel harus berada dalam keseimbangan yang sesuai. Bila gula yang
digunakan terlalu sedikit, maka selai akan keras. Bila gula terlalu banyak, maka selai akan seperti
sirup.
Beberapa jenis asam yang biasa digunakan dalam selai adalah asam sitrat, asam tartarat
dan asam malat. Penambahan asam yang berlebihan akan menyebabkan pH menjadi rendah,
sehingga air akan keluar dari gel atau sineresis. Sedangkan jika pH tinggi, akan menyebabkan
gel pecah. Gel dan aroma selai yang baik diperoleh pada pH 3.0 – 3.7. Standar mutu selai
menurut SNI disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Selai SNI 01-3746-1995.


No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
1.1 Bau - normal
1.2 Rasa - normal
1.2 Warna - normal
1.4 Tekstur - normal
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
2 Padatan terlarut % b/b Min. 65
3 Identifikasi buah (secara Sesuai tabel
mikroskopis)
4 Bahan tambahan makanan :
4.1 Pewarna tambahan - Sesuai SNI
4.2 Pengawet - Sesuai SNI 01-0222-1995
4.3 Pemanis Buatan (sakarin, - Negatif
siklamat)

5 Cemaran Logam
5.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1.5
5.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 10.0
5.3 Seng (Zn) mg/kg maks. 40.0
5.4 Timah (Sn) mg/kg maks. 40.1
5.5 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 1.0
7 Cemaran mikroba
7.1 Angka lempeng total koloni/ml Maks. 5x102
7.2 Bakteri bentuk E.coli APM 3
7.3 Kapang dan khamir koloni Maks. 30

Adapun tahapan proses atau pembuatan selai buah meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a) Trimming
Trimming bertujuan untuk membuang bagian dari buah yang tidak terpakai.
b) Pencucian
Pencucian buah bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada buah, buah
dibersihkan dengan air bersih yang mengalir.
c) Penghancuran
Penghancuran bertujuan untuk membuat bubur, dan tahapan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan blender.
d) Pemekatan 10%
Pemekatan bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam bubur buah, sehingga bubur
buah lebih kental. Tahapan ini dilakukan dengan memanaskan bubur buah pada suhu 50oC
hingga terjadi pengurangan bobot bubur buah sebanyak 10% .
e) Pemasakan

415
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Bubur buah ditambahkan sukrosa, pektin, agar-agar dan asam sitrat lalu dilakukan
pemasakan pada suhu 80-90oC. Asam sitrat ditambahkan sampai pH bubur mencapai sekitar
3,4 agar terbentuk gel.

Setelah itu selai kemudian dicampur dengan margarin yang sebelumnya dicairkan dahulu
pada suhu 60-70oC. Selai diaduk sampai homogen selama 2 menit. Margarin yang digunakan
pada pembuatan selai yaitu 2% - 2,5% karena telah cukup memperbaiki tekstur menjadi plastis
dan tidak lengket pada pengemas. Untuk diagram alur proses pembuatan dodol dapat dilihat
pada Gambar dibawah ini.

Buah Jambu

Trimming

Pencucian

Penirisan

Penghancuran

Bubur buah

Pemekatan

Sukrosa 50%;55%;60%
Pektin 0.75%;1%;1,25%
Agar-agar 1,5% Bubur Pekat
Asam Sitrat 0,1%
pH 3,2-3,4
Pemasakan
Margarine 2%
T=90oC-105oC

Selai

Gambar 1. Diagram Alur Proses Pembuatan Dodol.

Dodol Jambu biji


Pembuatan dodol beraneka ragam di Indonesia. Setiap daerah mempunyai ciri khas yang
berbeda dengan daerah lain walaupun pada prinsipnya sama. Terdapat berbagai nama yang
berbeda-beda untuk jenis makanan ini, dimana pada dasarnya sama yaitu merupakan makanan
olahan tepung yang bahan dasarnya tepung beras ketan, gula pasir atau gula merah, santan kelapa
dan berberapa bahan tambahan lain. Penamaan dodol biasanya berdasarkan nama daerah
produksinya atau jenis bahan utama yang digunakan, misalnya kota Garut memproduksi dodol
yang terkenal dengan nama dodol Garut. Beberapa penamaan khusus juga sering dijumpai,

416
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

misalnya dodol di daerah Kudus dikenal dengan Jenang, sedangkan di daerah Sumatra Barat
dikenal dengan nama Kalamai.
Dodol dikelompokan sebagai pangan semi basah, mempunyai kadar air 10 – 40 % dengan
aktivitas air (aw) antara 0.65 sampai 0.90 (Muchtadi 2008). Pada penggunaannya, produk ini
dapoat langsung dimakan tanpa mengalami rehidrasi, serta mempunyai bentukan yang cukup
kering sehingga stabil dalam penyimpanannnya. Standar mutu dodol menurut SNI disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat Mutu Dodol SNI 01-2986-1992.


Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan (normal, rasa, dan warna) - Normal
Air % Maks. 20
Abu % Maks. 1,5
Gula dihitung sebagai sacarosa % Min. 40
Protein % Min. 3
Lemak % Min. 7
Serat kasar % Maks. 1,0
Pemanis buatan - Tidak boleh ada
Logam berbahaya (Pb, Cu, dan Hg) - Tidak nyata
Arsen - Tidak nyata
Kapang - Tidak boleh ada

Adapun secara lengkap metode pengolahan dodol jambu adalah sebagai berikut :
a) Sortasi dan grading; jambu dipilih (sortasi dan grading) yang matang optimum, yaitu yang
berwarna rata. Sebaiknya dipilih yang baik dan tidak cacat (busuk, memar).
b) Pengupasan; pengupasan dilakukan dengan menggunakan pisau stainless steel. Kemudian
dibelah menjadi dua atau empat bagian.
c) Pencucian buah; pencucian dilakukan dengan cara perendaman dan penyemprotan dengan
air.
d) Pembuburan; pembuburan dilakukan dengan pemarut, waring blender
e) Pencampuran dan pemasakan; pencampuran bahan-bahan seperti bubur nenas, ketan, gula,
santan dan tepung ketan dan pengawet diaduk sebelum pemasakan diatas kompor.
f) Pengemasan; dodol nenas yang telah dimasak kemudian didinginkan selama satu malam.
Kemudian dipotong-potong serta dikemas dalam plastik yang sudah dipersiapkan.

Pada pembuatan dodol, pemakaian margarin dimaksudkan supaya lapisan luar dodol tidak
lengket bila dikemas. Margarin ditambahkan bila adonan sudah dianggap tua. Pemberian
margarin pada adonan yang belum tua akan mengakibatkan air dalam adonan sukar untuk
menguap sehingga adonan sukar untuk tua atau air terjebak di dalam adonan.

417
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Buah Jambu

Seleksi/Sortir

Pengupasan Kulit

Pencucian

• Gula
• Santan kelapa
• Tepung ketan Pemotongan
• Pengawet

Pembuburan Pulper

Dipanaskan sampai kental

Margarine

Dicetak dan didinginkan

Dipotong-potong

Dikemas

Dodol Jambu Siap di Pasarkan

Gambar 2. Diagram Alir Proses Pengolahan Dodol Jambu.

PENUTUP
Dengan adanya implementasi teknologi pengolahan pangan terutama komoditas jambu biji
di Kabupaten Ngawi diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengolah potensi daerah
yang ada. Selain itu dengan adanya proses pengolahan Jambu biji akan dapat meningkatkan nilai
tambah jambu biji serta menambah masa simpan dan menanggulangi kebusukan buah disaat
produksi buah melimpah.
Di masa yang akan datang pemerintah Kabupaten Ngawi diharapkan terus mendukung
perkembangan UKM yang ada di Ngawi baik dalam segi pendampingan, pelatihan ataupun
pemasaran.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous 2015 Ngawi Dalam Angka, BPS Kabupaten Ngawi

418
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Adimihardja, Kusnaka. 1999. Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian yang


Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan, dalam Petani: Merajut Tradisi Era
Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.
Creswell, J.W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Edisi
Ketiga, Terjemahan oleh Achmad Fawaid, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Christenson, J.A and Robinson, JR, 1989, Community Development in Perspective, First
Departemen Pertanian.2014. Produksi Buah-buahan Indonesia 2010-2014. http://www.
pertanian.go.id/EIS-ASEM-HORTI-2014/Prod-Buah-ASEM-HORTI2014.pdf (diaksespada 1 Mei 2015).
Direktorat PPHP Departemen Pertanian. 2005. Menyiasati ekspor hortikultura dengan
mempertahankan mutu. Departemen Pertanian, Jakarta.
Dirjend Hortikultura Departemen Pertanian. 2005. Membangun Hortikultura Berdasarkan Enam
Pilar Pengembangan, Jakarta.
Musyafak, A., dan Ibrahim, T.M. 2005. Strategi Percepatan Adopsi Dan Difusi Inovasi
Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 3 No 1, : 20-37.
Gumbira E., dkk. 2001. Manajemen Teknologi Agribisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Renstra Kementrian Perindustrian. 2010. Rencana Strategis Kementrian Perindustrian Tahun
2010-2014, Jakarta.
Rogers. E. M. 1995. (Third Edition) Diffusion of Innovations. Free Press, New York.
Rogers. E. M. 2003. (Fith Edition) Diffusion of Innovations. Free Press, New
Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori
Sosiologi dan Arah Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyuti, Nasrudin. 2005. Masyarakat Tani dan Pemanfaatan Inovasi Teknologi (Suatu Tinjauan
Sosial Budaya) yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional dan Ekspose Hasil
Penelitian, 18-19 Juli 2005. Kendari. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sudaryanto, T., Simatupang, P., dan Kariyasa, K. 2005. Konsep Sistem Usaha Pertanian Serta
Peranan BPTP Dalam Rekayasa Teknologi Pertanian
Tridjadja, N.O. 2005. Menumbuhkan sentra pengolahan buah untuk mendorong peningkatan
mutu dan nilai tambah. Dirjend Pengolahan dan Pemasaran hasil hortikultura, Dep.
Pertanian, Jakarta.
Braun, William. (2002). The System Archetypes. Diambil 8 Juni 2014, dari
http://www.albany.edu/faculty/gpr/PAD724/724WebArticles/sys_archetypes.pdf
Bruijn, Hans de, Bruijn, Haiko van der Voort, Willemijn Dicke, Martin de Jong, Wijnand
Veeneman. (2004). Creating System Innovation. A.A. Balkema Publisher
Ritzer, George dan Barry Smart. (2001). Handbook Teori Sosial. Handbook of Social Theory,
diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie. Penerbit Nusamedia, Bandung.
Rogers, Everett. (1995). Diffusion of Innovation. Fourth Edition. New York: The Free Press.
Yuliar, Sonny. (2009). Tata Kelola Teknologi. Perspektif Teori Jaringan Aktor. Penerbit ITB,
Bandung.

419
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

420
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

VII
Teknologi Pertanian

421
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

422
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Rekayasa Mesin Pembersih Ubi Cilembu


Wahyu K Sugandi1, Asep Yusuf1, dan Asri Widyasanti1
Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung
Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor

ABSTRAK

Kata Kunci: Ubi jalar merupakan produk lokal yang sangat digemari oleh konsumen
Ubi Cilembu domestik maupun mancanegara. Hal ini karena rasa manis yang khas ketika
Mesin Pembersih dikonsumsi langsung oleh konsumen. Desa Cilembu Kecamatan Pamulihan
Rekayasa Mesin Kabupaten Sumedang merupakan sentra produksi ubi cilembu yang selama
ini di ekspor ke Malaysia, Jepang, Korea dan Singapura dengan kapasitas
produksi 10 ton/ha. Namun kemampuan produksi ubi cilembu khususnya
pada proses pembersihan kulit ubi setelah panen masih rendah yaitu 50
kg/hari – 70 kg/hari karena dilakukan secara manual. Dalam rangka
meningkatkan kapasitas pembersihan ubi cilembu tentunya perlu dilakukan
suatu penelitian khusus berkenaan dengan teknologi mesin pembersih ubi.
Tujuan dari penelitian ini adalah merancang bangun prototipe mesin
pembersih ubi cilembu berkapasitas 100 kg/jam. Metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah metode rekayasa (engineering) yaitu melakukan
sesuatu kegiatan rencana (plan), perancangan (design), konstruksi
(construction), terapan (applied) yang tidak rutin, sehingga di dalamnya
terdapat suatu kontribusi baru, baik dalam bentuk proses maupun produk.
Adapun tahapan penelitian ini meliputi observasi kebutuhan, pembangkitan
ide berkenaan dengan desain dan mekanisme pembersihan ubi, rancangan
fungsional, rancangan struktural, gambar desain, analisis teknik, pembuatan
mesin, uji fungsional dan uji kinerja mesin pembersih ubi. Hasil Penelitian
ini diawali dengan pengukuruan karakteristik ubi cilembu adalah sebagai
berukut : bulk density ubi cilembu adalah 562,52 kg/m3, sudut angle of repose
70,50 kebundaran ubi cilembu 0,1 dan Kapasitas Aktual dari mesin pencuci
ini adalah 103 kg/jam dengan daya yang dihasilkan adalah 0,317 kW. Adapun
dimensi mesin pencuci ubi ini memiliki ukuran 400 mm (p) x 400 mm (l) x
490 mm (t) dengan penggerak motor listrik. Setelah dilakukan pengujian
fungsional mesin pencuci ubi telah berhasil mencuci ubi dengan baik sesuai
rancangan awal

Email Korespondensi : sugandiwahyu@gmail.com

PENDAHULUAN
Ubi Jalar (ipomoea batatas L) merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis
Amerika. Ubi jalar dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di pegunungan dengan suhu
270C dan lama penyinaran 11-12 jam perhari. Pada tahun 1960, ubi jalar sudah tersebar ke
hampir setiap daerah Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua dan
Sumatra. Namun sampai saat ini hanya Papua saja yang memanfaatkan ubi jalar sebagai
makanan pokok, walaupun belum menyamai padi dan jagung (Suprapti, 2003). Komposisi ubi
jalar sangat tergantung pada varietas dan tingkat kematangan serta lama penyimpanan.
Saat ini potensi ubi jalar merupakan salah satu produk pertanian yang mempunyai peluang
bisnis yang cukup potensial baik di dalam maupun diluar negeri. Desa Cilembu Kecamatan
Pamulihan Kabupaten Sumedang merupakan salah satu desa penghasil ubi jalar cilembu dengan

423
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kapasitas 10 ton/ha untuk sekali panen (Gambar 1). Selain dikonsumsi secara lokal oleh
konsumen di Indonesia, ubi cilembu juga diekspor ke negara Malaysia, Singapura, Korea dan
Jepang dalam bentuk utuh. Hal ini karena rasa ubi cilembu yang manis dan aroma yang khas
yang membedakan dengan ubi jalar yang lainnya. Beberapa Usaha Kecil Menengah (UKM) yang
ada di Desa Cilembu juga mengolah ubi cilembu menjadi bentuk olahan panganan seperti gaplek,
tape dan keripik mengingat daya simpannya lebih lama. Makanan ringan atau snack telah
berkembang dengan pesat baik dari jenis, cita rasa maupun kemasannya. Salah satu jenis
makanan yang mempunyai prospek yang baik untuk kedepannya yaitu keripik ubi, cake ubi dan
ubi utuh yang di oven. Produk makanan ringan dalam perkembangannya dapat diproduksi dari
berbagai macam bahan baku diantaranya makanan ringan berbahan baku ubi cilembu.

Gambar 1. Tanaman Ubi dan Hasil Panennya.

Permintaan konsumen domestik akan ubi cilembu terus meningkat apalagi ketika menjelang
hari Raya Lebaran. Hasil produksi ubi dibeberapa UKM yang ada di Desa Cilembu Kecamatan
Pamulihan Kabupaten Sumedang tidak hanya memenuhi konsumen di wilayah Jawa saja tapi sudah
merambah ke luar jawa hingga luar negeri . Namun kapasitas pembersih ubi khususnya pembersih
ubi yang dihasilkan masih rendah yaitu 50 kg/hari – 70 kg/hari sedangkan kebutuhan pangsa pasar
berkisar 500 kg/hari. Apalagi menjelang lebaran permintaan konsumen bisa mencapai lebih dari
1000 kg/ hari. Salah satu faktor penyebabnya adalah proses pembersihan ubi masih masih dilakukan
tradisional (Gambar 2) dengan sumber daya manusia yang terbatas dan fasilitas produksi yang sangat
minim. Beberapa penelitian berkenaan dengan mesin pembersih seperti mesin pembersih kentang,
mesin pembersih singkong dan mesin pembersih talas sudah banyak dilakukan tetapi khusus untuk
pembersih ubi belum ada. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian mengenai teknologi mesin
pembersih ubi cilembu. Mesin yang akan di rancang bangun berkapasitas 100 kg/jam dengan
harapan bila jam kerja petani 5 jam per hari maka kebutuhan pangsa pasar sebanyak 500 kg/hari akan
tercapai.

Gambar 2. Pembersihan Ubi Cilembu Secara Konvensional

424
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan metode rekayasa (engineering) yaitu melakukan suatu
kegiatan perancangan (design) yang tidak rutin sehingga terdapat suatu kontribusi yang baru baik
dalam proses maupun bentuk (Gambar 3).

Mulai

Observasi permasalahan yang ada di petani ubi cilembu

Analisis fisik dan mekanik ubi cilembu

Analisis sistem kerja mesin pembersih ubi

Analisi teknik, racangan fungsional dan rancangan struktural mesin


pencuci ubi

Blue print gambar teknik

Pembuatan prototipe mesin pencuci ubi


cilembu

Tidak

Uji Fungsional

Ya

Analisis tingkat Kebersihan Ubi Cilembu

Selesai

Gambar 3. Bagan Alir dari Tahapan Penelitian Rekayasa Pencuci Ubi Cilembu.

Secara rinci tahapan penelitian pada Gambar 3 dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Identifikasi Masalah : Melakukan observasi mengenai permasalahan yang ada di kelompok
tani ubi Tawakal Mandiri di Desa Cilembu. Memberikan solusi khususnya penanganan pasca
panen ubi. Melakukan penelitian dan kajian secara intensif berkenaan dengan rancang
bangun mesin pencuci ubi cilembu.
2. Mempelajari Karakteristik Ubi Cilembu : Melakukan pengukuran dimensi, bulk denstiy dan
kadar air ubi cilembu sebagai dasar untuk mendisain mesin pembersih ubi cilembu .
3. Analisis Sistem Kerja Mesin Pembersih Ubi Cilembu : Mekanisme pembersihan seperti apa
yang cocok diterapkan pada pembersih ubi, dengan harapan hasil rendemen diatas 70%.
4. Rancangan Fungsional : Rancangan fungsional ditekankan pada fungsi utama mesin secara
keseluruan dan output produk yang dihasilkan. Adapun rancangan fungsional ini yang

425
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

meliputi analisis mekanisme pembersihan ubi cilembu, dudukan silinder sikat pembersih,
analisis konstruksi mesin, analisis sistem transmisi, analisis daya pemberihan dan analisis
ergonomika dan anthopometrik mesin.
5. Rancangan Struktural dan Analisis Teknik : Rancangan Struktural merupakan bagian
penting dari desain akhir mesin pembersih ubi. Dimana posisi, sikat pembersih, silinder
pemutar, rangka mesin, dudukan motor penggerak dan lubang pengeluaran di rakit menjadi
satu kesatuan yang utuh dan diletakkan sesuai dengan fungsi dan rancangan awal. Analisis
teknik lebih pada perhitungan poros, pasak, bantalan, dimensi silinder, posisi sikat
pembersih, rangka, perhitungan las dan bubut.
6. Blue Print Gambar Desain Mesin : Seluruh rancangan strukutral mesin pembersih ubi
cilembu akan dituangkan dalam bentuk gambar 2 dimensi dan 3 dimensi dengan
menggunakan sofware Autocad dilakukan di Laboratorium Komputer dan Informasi FTIP
Unpad.
7. Pabrikasi Mesin Pembersih Ubi Cilembu : Setelah gambar desain dibuat dengan sempurna
maka langkah selanjutnya adalah pembuatan dan perakitan mesin pembersih ubi cilembu
yang akan dibuat di Laboratorium Alat dan Mesin Pertanian FTIP Unpad dan Bengkel LIK.
8. Uji Fungsional Mesin : Uji fungsional mesin akan dilakukan untuk mengetahui fungsi mesin
pembersih ubi cilembu pada saat dioperasionalkan. Apakah mesin pembersih ubi cilembu
sudah berfungsi sesuai perencanaan awal atau belum. Bila belum maka akan dilakukan kajian
desain lebih detail. Uji fungsional akan dilakukan di Laboratorium Alat dan Mesin Pertanian
Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem (TPB) Unpad.

Karakteristik Fisik Ubi


Karakteristik fisik hasil pertanian merupakan faktor yang sangat penting dalam hal yang
berkaitan dengan perancangan suatu alat khusus untuk produk atau bahan hasil pertanian.
Karakteristik fisik bahan hasil pertanian meliputi bentuk dan ukuran, volume, luas permukaan,
warna, kebulatan, kebundaran, dan densitas bahan (Suharto, 1991).

Bentuk dan Ukuran


Bentuk dan ukuran pada ubi merupakan dua karakteristik yang tidak dapat dipisahkan
dalam mendapatkan kriteria karakteristik fisik ubi secara jelas. Dalam penentuan beberapa
parameter termasuk bentuk dan ukuran dibutuhkan pengukuran tiga sumbu yang saling tegak
lurus dengan menggunakan jangka sorong yaitu sumbu a (mayor), sumbu b (intermediate) dan
sumbu c (minor). Untuk penentuan sumbu-sumbu tersebut lebih jelas dapat dilihat pada Gambar
7.

Gambar 7. Skema Penentuan Sumbu-Sumbu


Gambar 7. Bentuk dan ukuran umbi - umbian

Kebulatan
Menurut Zain, dkk (2005), kebulatan dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara
diameter bola yang mempunyai volume yang sama dengan objek dengan diameter bola terkecil
yang dapat mengelilingi objek. Nilai dari kebulatan berkisar antara 0-1. Apabila nilai kebulatan
mendekati 1 maka bentuk tersebut mendekati bentuk bola (bulat).

426
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Menurut Mohsenin (1980), dengan menganggap volume objek sama dengan volume elips
dengan tiga buah sumbunya masing-masing a, b, c maka kebulatan dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan 1 sebagai berikut:
1⁄
volume of solid 3
𝑆𝑝ℎ𝑒𝑟𝑖𝑐𝑖𝑡𝑦 = ( )
volume of circumscribed sphere
1⁄ 1
(π⁄6)abc 3 bc ⁄3
= [ (π )a3 ] = ( 2 )
⁄6 a
1
geometric mean diameter (abc) ⁄3
= = (1)
major diameter a

Dimana:
a = sumbu terpanjang (sumbu mayor)
b = sumbu terpanjang normal terhadap a (sumbu intermediate)
c = sumbu terpanjang norlam terhadap a dan b (sumbu minor)

Kebundaran
Menurut Mohsenin (1980), kebundaran adalah sebuah pengukuran ketajaman sudut dari
suatu benda padat. Kebundaran ditentukan dengan perbandingan antara luas permukaan proyeksi
terbesar terhadap luas permukaan proyeksi terkecil. Nilai kebundaran berkisar dari 0-1. Apabila
nilai kebundaran mendekati 1, maka ubi tersebut bundar. Cara menentukan luas terbesar dan
terkecil seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Penentuan Ap dan Ac untuk Menghitung Kebundaran.

Terdapat beberapa metode untuk yang digunakan dalam memperkirakan kebundaran, di


antaranya adalah:
r1 2
𝑅𝑜𝑢𝑛𝑑𝑛𝑒𝑠𝑠 = (2)
r2 2
Dimana :
r1 = Jari-jari lingkaran dalam (cm)
r2 = Jari-jari lingkaran luar (cm)

Bulk Density
Salah satu sifat penting dari suatu zat adalah kerapatan atau massa jenisnya. Berat satuan
bahan-bahan butiran biasa disebut juga bulk solid dan dibedakan menjadi dua jenis yaitu berat
satuan partikel (butiran tunggal) disebut solid atau parktikel densitas (𝛾𝑝 ) dan berat satuan curah
(bulk density).
berat padatan
Bulk density, adalah 𝜌𝑏 = + 𝑟𝑜𝑛𝑔𝑔𝑎.....................................(3)
volume padatan

427
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analisis Teknik
Analisis teknik yang dipertimbangkan dalam mesin pembersih ubi ini meliputi kebutuhan
daya, analisis poros, analisis pin, analisis spi, analisis bantalan, analisis unit transmisi, analisis
kekuatan rangka dan analisis kekuatan las. Analisis teknik bertujuan untuk mengetahui kekuatan
bahan dari setiap komponen mesin pembersih ubi dengan cara melakukan pengukuran dimensi,
perhitungan teoritis dan pengamatan langsung saat mesin beroperasi.

Kebutuhan Daya Penggerak


Analisis kebutuhan daya diperlukan untuk mengetahui besarnya energi atau daya yang
diperlukan mesin saat mulai proses pencucian dari awal pemasukan bahan hingga akhir
pembersihan. Daya yang dihasilkan pada saat mesin dioperasikan berasal dari pergerakan
transmisi mesin beserta komponen mesin lainnya yang saling berkaitan satu dengan lainnya.
Kebutuhan daya untuk menggerakkan mekanisme kerja mesin pembersih ubi tersebut
dihitung dengan menggunakan persamaan (Sularso dan Suga, 1997) sebagai berikut:
2π×Mt ×nc
Pt = (4)
60

Dimana:
Pt = daya teoritis (W)
nc = kecepatan putar silinder pembersih (rpm)
Mt = momen torsi (Nm)

Analisis Unit Transmisi


Adapun unit transmisi yang digunakan pada mesin pencuci ubi ini menggunakan sabuk
dan puli. Perbandingan transmisi pada sistem transmisi puli-sabuk dapat dengan menggunakan
persamaan (Sularso dan Suga, 1997) sebagai berikut:
nm Dp
= (5)
nc dp
Dimana:
nm = kecepatan putar motor penggerak (rpm)
nc = kecepatan putar silinder pencuci (rpm)
dp = diameter puli motor penggerak (mm)
Dp = diameter puli silinder pencuci (mm)

Dalam menentukan panjang sabuk yang digunakan dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan (Sularso dan Suga, 1997) sebagai berikut:
π 1 2
Lb = 2Cp + (Dp + dp ) + (Dp − dp ) (6)
2 4Cp
Dimana:
Lb = panjang sabuk (mm)
Cp = jarak antar pusat puli (mm)
Dp = diameter puli silinder pencuci (mm)
dp = diameter puli motor penggerak (mm)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Fisik Ubi Cilembu
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap karakteristik ubi cilembu hasilnya menunjukkan
bahwa nilai kebundarannya adalah 0,1, nilai bulk density sebesar 562,52 kg/m3, nilai rata-rata
angle of repose adalah 70,50. Nilai karakteristik tersebut digunakan sebagai dasar dalm
merekasaya mesin pembersih ubi.

428
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kriteria Rancangan
Menurut Harsokoesoemo (1999) perancangan (design) adalah kegiatan awal dari usaha
meralisasikan suatu produk yang keberadaaanya dibutuhkan oleh masyarakat untuk
meringankan hidupnya. Perancangan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membuat suatu
produk dari sebuag desain guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Adapun kriteria rancangan
mesin pembersih ubi cilembu adalah sebagai berikut :
1. Dapat menghilangkan kotoran tanah yang melekat pada kulit ubi tapi tidak mengupas
kulitnya.
2. Kapasitas mesin pembersih yang direncanakan adalah 100 kg/jam.
3. Mekanisme pembersihan menggunakan tipe spinner (pusingan) dengan media air dan sikat
sebagai alat pembersih.
4. Jumlah sikat sebanyak 1 buah yang dipasang tepat di tengah tabung silinder pembersih.
5. Terdapat lubang keluaran pada bagian bawah tabung silinder untuk keluaran ubi.
6. Terdapat keran untuk mengeluarkan air hasil pembersihan ubi.
7. Mesin pembersih ubi cilembu menggunakan penggerak motor listrik 1 HP .
8. Sistem transmisi menggunakan puli dan sabuk
9. Mesin yang dirancang mudah di bongkar pasang agar mudah dalam perawatannya.

Rancangan Fungsional
Tahap perancangan fungsional dilakukan untuk menentukan komponen-komponen apa
saja yang harus dipilih yang mengacu pada sistem mekanisme dan fungsi awal yang harus
dicapai oleh mesin ini. Pada fungsi pembersihan diperlukan sikat pembersih dan pada proses
pengeluaran yang lebih praktis dan dibutuhkan pintu keluar yang praktis seperti yang disajikan
pada Gambar 10.

Ubi bersih dari kotoran tanah yang


melekat pada kulitnya

Hasil Pembersihan Ubi secara maksimal Pengeluaran Ubi

Sikat Pembersih dan Air Lubang Pengeluaran

Gambar10 . Skema Desain Fungsional Mesin Pembersih Ubi.

Untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut maka dipilih komponen yang sesuai seperti yang
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pemilihan Komponen Fungsional.


Fungsi/Sub Fungsi Alternatif Kompenen Komponen yang dipilih
Menahan Semua Komponen - Besi Siku Besi siku
Mesin (Rangka mesin) - Besi Hollow
Wadah Tabung Pembersih - Stainless steel Stainless steel
- Plat Besi

429
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Fungsi/Sub Fungsi Alternatif Kompenen Komponen yang dipilih


Pembersih atau Pengupas - Sikat dengan menggunakan Sikat dengan
benang Nylon menggunakan benang
- Pisau nylon

Rancangan Strukutural
Berdasarkan hasil analisis teknik maka langkah selanjutnya adalah melakukan rancangan
struktural. Hasil desain mesin pebersih ubi dengan penggerak motor bensin dibagi menjadi 4
bagian yaitu rancangan rangka mesin pencuci ubi dan rangka dudukan motor bensin (Gambar
15), rancangan silinder pembersih dan rancangan sikat pembersih. Setelah rancangan selesai
maka kemudian dirakit dan digabung menjadi satu kesatuan mesin pembersih ubi.

Gambar 15. Rangka dan Dudukan Motor Listrik.

Kebutuhan Daya Penggerak


Berdasarkan berat komponen pada mesin pembersih ubi tanpa beban diperoleh bahwa daya
yang dibutuhkan oleh mesin pembersih ubi secara teoritis yaitu sebesar 0,280 kW. Sedangkan
berdasarkan beban komponen ditambah dengan beban bahan yang masuk ke dalam pembersih,
diperoleh kebutuhan daya sebesar 0,314 kW. Mesin pembersih ubi ini menggunakan tenaga
penggerak berupa motor listrik dengan daya 1 HP, sehingga secara teoritis daya dari motor listrik
sudah memenuhi kebutuhan daya penggerak yang dibutuhkan oleh mesin pembersih untuk
melakukan proses pembersihan.

Pabrikasi Mesin Pembersih Ubi


Mesin pembersih ubi dipabrikasi ketika gambar desain dan perhitungan analisis teknik
telah dibuat. Setiap komponen di rakit dan disusun sesuai gambar desain yang telah dibuat.
Untuk pembuatan rangka dibuat dengan besi siku 4 dengan pertimbangan agar dapat menahan
beban pada saat mesin beropersi. Adapun beban tersebut diantaranya, motor listrik, silinder

430
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pembersih, dan poros sikat. Khusus alas rangka dipasang roda agar mesin tersebut bisa bergerak
dengan mudah apabila akan dipindahkan pada suatu tempat ke tempat lain. Adapun pembuatan
pembuatan mesin pembersih ubi seperti yang terlihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Pabrikasi Mesin Pembersih Ubi Cilembu.

Dengan mengikuti kaidah-kaidah dalam mendisain suatu mesin, khususnya mesin-mesin


pertanian pada akhirnya mesin pembersih ubi dapat dipabrikasi dan diuji secara fungsional.
Mesin tersebut dapat membersihkan ubi cilembu dengan kapasitas 103 kg/jam seperti yang
disajikan pada Gambar 18.

(a) (b)
Gambar 17. (a) Mesin pembersih ubi cilembu dan (b) Ubi yang telah dibersihkan oleh mesin
pembersih ubi

431
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

KESIMPULAN
1. Hasil pengukuran terhadap karakteristik ubi cilembu menunjukkan bahwa, nilai kebundaran
adalah 0,1, nilai bulk density adalah 562,52 kg/m3, dan nilai rata – rata angle of repose adalah
70,50.
2. Prototipe mesin pembersih ubi dibagi menjadi 4 bagian yaitu silinder pembersih, sikat
pembersih, rangka mesin, dan lubang pengeluaran
3. Dimensi mesin pembersih ubi adalah panjang 400 mm, tinggi 400 mm dan lebar 490 mm
4. Kapasitas aktual mesin pembersih ubi adalah 103 kg/jam dengan daya yang dibutuhkan 0,314
kW.

UCAPAN TERIMA KASIH


Riset Penulis telah dibiayai oleh Hibah Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi
(PDUPT) Kemenristek DIKTI dengan No. Kontrak : 1627/UN6.N/LT//2019 tanggal 24 April
2019.

DAFTAR PUSTAKA
Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Prospek dan Peluang Agribisnis Ubi jalar.
Direktorat Kacang kacangan dan Umbi umbian. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Tanaman Pangan Departemen Pertanian. Jakarta
Hidayat, Chusnul. 2003. Operasi Mekanik. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Hariyadi. 2014. Satuan Operasi Satuan Pangan. Universitas Terbuka
Harsokoesoemo HD.1999. Pengantar Perancangan Teknik Direktorat jendral Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional Jakarta
Mohsenin, N. N 1980. Physical Properties of Plant and Animal Material. 3rd Edition. Gordon and
Breach Science Publishing. New York.
Rachmat, M. 2006. Buku Tahunan Hortikula Seri Tanaman Sayuran. Direktorat Budidaya
Tanaman Sayuran Biofarmaka. Jakarta
Sularso dan Kiyokasu, Suga. 1997. Dasar Perencanaan dan Perancangan Elemen Mesin. Cetakan
Kesembilan.Pradnya Paramita. Jakarta
Srivastava. 1993. Engineering Prinsiple of Agricultural Machine. ASAE Textbook Number 6
Published by American Society of Agricultural Engineers
Soemartono. 1984. Ubi Jalar. CV. Yasaguna Jakarta
Suprapti, L. M. (2003). Tepung Ubi Jalar Pembuatan dan pemanfaatanya. Penerbit Kanisius
Yogyakarta.
Zain, S., U. Suhadi, Sawitri, dan U. Ibrahim. 2005. Teknik Penanganan Hasil Pertanian. Cetakan
Pertama. Pustaka Giratuna. Bandung
Sahay, K. M., and K. K. Singh, 1994. Unit Operation Of Agriculture Processing. First Edition
Vikas Publishing House Ltd. New Delhi

432
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

VIII
Sosial Ekonomi Pertanian

433
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

434
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah dan Preferensi Risiko


Produksi Petani di Kecamatan Batang Asam
Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Adlaida Malik1, Saidin Nainggolan1, dan Enda Pralitna SRN2
1Dosen Jurusan/Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universita Jambi
2Alumni Jurusan/Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universita Jambi

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis efisiensi usahatani padi sawah
Efisensi Teknis di Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan 2)
Preferensi Risiko Menganalisis preferensi risiko produksi petani padi sawah di Kecamatan
Produsi Batang Asam Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Penelitian ini mengambil
Usahatani Padi Sawah dua desa sample yaitu Desa Sri Agung dan Desa Rawa Medang yang
ditentukan secara purposive dan penarikan sample petani menggunakan
metode Simple random sampling. Untuk mengetahui gambaran usahatani
padi sawah dilakukan dengan pengamatan langsung ke lokasi penelitian serta
wawancara. Untuk efisiensi teknis penggunaan faktor produksi pada
usahatani padi sawah digunakan model fungsi produktivitas, untuk preferensi
risiko produksi usahatani padi sawah digunakan model preferensi risiko
Khumbakar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Nilai rata-rata efisiensi
teknis sebesar 0,63, hal ini berarti penggunaan faktor produksi di daerah
penelitian masih belum efisien secara teknis. Efisiensi teknis dapat tercapai
apabila pengunaan, caradanwaktupemberianfaktorproduksi sesuai anjuran.
Preferensi risiko petani secara keseluruhan menunjukkan bahwa seluruh
petani padi yang ada di daerah penelitian bersifat risk averter (takut terhadap
risiko). Perlu adanya pendampingan penggunaan input-input produksi
sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai waktu dan dosis yang
dianjurkan.

Email Korespondensi: adlaida.malik@unja.ac.id

PENDAHULUAN
Produktivitas rendah dapat terjadi apabila dalam penggunaan input-input produksi belum
optimal. Belum optimalnya suatu kegiata produksi juga dapat disebabkan karena adanya risiko
dalam melakukan usahatani, melakukan kegiatan usahatani juga dipengaruhi dengan perilaku
petani dalam menghadapi risiko yang berhubungan dengan efisien atau tidaknya suatu kegiatan
usahatani tersebut. Semakun besarnya jumlah input produksi yang digunakan oleh petani maka
semakin besar pula risiko yang akan dihadapi oleh petani sehingga diperlukannya analisis
mengenai efisiensi dan sikap petani dalam mengahadapi risiko dalam menjalankan usahatani
padi sawah. Efisiensi teknis akan tercapai bila petani mampu mengalokasikan faktor produksi
sedemikian rupa sehingga produksi optimal dpat tercapai.
Analisis efisiensi teknis dilakukan untuk mengetahui kombinasi faktor-faktor produksi
yang efektif dalam usahatani padi sawah dan melihat faktor-faktor internal yang dpat
mempengaruhi kemampuan petani dalam berproduksi secara efisien, karena berproduksi secara
efisien dapat meningkatakan keuntungan petani itu sendiri. Cara ini dapat ditempuh dengan
menekan harga faktor produksi dan menjual hasil produksi pada harga relatif tinggi. Bila petani

435
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

mampu meningkatkan produksinya dengan harga ssarana produksi dapat ditekan dan harga jual
tinggi, maka petani tersebut melakukan efisiensi teknis (Soekartawi, 2014).
Analisis efisiensi teknis dilakukan untuk mengetahui kombinasi faktor-faktor produksi
yang optimal dalam memproduksi padi sawah agar produktivitas usahatani tidak rendah.
Produktivitas rendah dapat terjadi karena penggunaan input-input produksi belum optimal, hal
ini disebabkan adanya resiko produksi seperti luas lahan, pupuk, benih, obat-obatan, dan tenaga
kerja berhubungan erat dengan perilaku petani dalam menghadapi resiko produksi usahatani.
Risiko yang dihadapi petani dengan berbagai macam ketidakpastian hasil, baik berupa produksi
maupun pendapatan yang dipengaruhi oleh faktor alam sehingga petani lebih memilih untuk
menolak kemungkinan menanggung risiko. Pengambilan keputusan membuat petani untuk tidak
berinvestasi dalam mengembangkan usahanya sehingga yang dilakukan tetap sederhana dan
tidak efisien

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan lingkup Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjung
Jabung Barat. Lokasi penelitian ini dipilih dengan pertimbangan merupakan salah satu andalan
sebagai penghasil beras, sehingga kecamatan ini mendapatkan perhatian yang lebih dari
Pemerintah. Penentuan lokasi secara sengaja (Purposive) dengan memilih dua desa yaitu Desa
Sri Agung dan Desa Rawa Medang, dengan pertimbangan bahwa kedua desa ini memiliki luas
lahan sawah yang dialiri dengan irigasi teknis dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai
petani padi sawah. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 70 petani dengan pembagian
37 petani dari Desa Sri Agung dan 33 petani dari Desa Rawa Medang. Penarikan sampel petani
padi sawah menggunakan metode simple random sampling, sedangkan alokasi proporsi tiap desa
mengacu pada rumus Nazir (2009)..

MetodeAnalisis
yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor produksi terhadap hasil produksi padi
sawah yaitu analisis fungsi produksi Cobb Douglass Frontier yang ditulis dengan persamaan
sebagai berikut :

1n Y = β0 + β1 1nX1 + β2 1nX2 + β3 1nX3 + β4 1nX4 + β5 1nX5 + β6 1nX6 + β7 1nX7 + β81nX8


+ β9 Deu
Dimana :
Y = Jumlah Produksi Padi (kg)
β0 = Konstanta
X1 = Jumlah Benih (kg)
X2 = Pupuk Urea (kg)
X3 = Pupuk SP36 (kg)
X4 = Pupuk KCL (kg)
X5 = Pupuk Organik (kg)
X6 = Jumlah Obat-obatan (kg)
X7 = Tenaga Kerja (HOK)
X8 = Luas Lahan (Ha)
D = Variabel dummy untuk musim tanam (1=untuk musim tanam Oktober-Maret,
0=untuk musim tanam April-September.)
b1-b9 = Koefisien regres i variabel X1-X9
u = Kesalahan
e = Logaritma natural, e = 2,718

436
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Untuk menganalisis efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut :

ETi = E [ exp ( - Ui)/ԑi] i = 1,2,3,….N (1)


Dimana TEi adalah efisiensi teknis petani ke-i. Exp ( - E [Ui|ԑi]) adalah nilai harapan
(mean) dari 𝑈i dengan syarat ԑi jadi 0 ≤ ET, ≤ 1. Nilai ET petani dikatakan cukup efisien jika
bernilai > 0,7 dan dikategorikan belum efisien jika bernilai ≤ 0,7.

Untuk mengetahui risiko usahatani padi sawah dapat digunakan rumus risiko produksi:
𝑉𝑎
CVa = (2)
𝐸𝑎
Dimana :
Cva = Koefisien Variasi Risiko Produksi
Va = Simpangan Baku Produksi Usahatani padi (kw)
Ea = Produksi Rata-rata Usahatani Padi (kw).

Pilihan risiko yang dilakukan oleh produsen ditangkap oleh θ dan λ


(−AR. g(x) − DR. g 2 (x). a)
θ=
(1 + AR. g(x). a + 0,5DR. g 2 (x) + q2 (x)((b 2 + a2 )

(a + R. q(x)(b2 + a2 ) + 0,5DR. g 2 (x) + q2 (x). [a + c + 3ab2 + a3 ])


λ=
(1 + AR. g(x). a + 0,5DR. g 2 (x) + q2 (x)((b 2 + a2 )
Dimana:
a = E(u)
b = E(u – a)
c = E(u – a)
AR = - U"(μП) / U'(μП) adalah ukuran Arrow-Pratt dari absolute risk aversion
DR = U"'(μП) /U'(μП) adalah ukuran dari downside risk aversion

Perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi ditunjukkan oleh θ dan λ yang diperoleh
dari estimasi Maximum Likelihood tahap kedua, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Jika θ = 0 dan λ = 0 maka produsen bersifat netral terhadap risiko.
2. Jika θ > 0 dan λ > 0 maka produsen bersifat risk taker
3. Jika θ < 0 dan λ > 0 maka produsen bersifat risk averter

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari 70 responden padi sawah ini, diketahui
umurnya berkisar dari 31 sampai dengan 70 tahun, dengan hampir 90 % berusia 31 – 60 tahun.
Keadaan ini memperlihatkan bahwa masih besarnya potensi tenaga kerja yang dimiliki karena
responden berada sebagai tenaga kerja produktif. selanjutnya harapan untuk memperoleh
pendapatan dan keuntungan yang semakin besar dan akan berdampak kepada kesejahteraan
petani di daerah penelitian. Dilihat dar pengalaman berusatani padi sawah berkisar dari 5 sampai
dengan 40 tahun, dan 78,56% berpengalaman di atas 10 tahun. Hal ini terkait dengan
pengambilan keputusan dalam mengalokasi-kan faktor-faktor. Dilihat dari pendidikan
responden sebanyak 61,43% telah mengenyam pendidikan formal minimal SMP sederajat,
dengan jumlah anggota keluarga 3 – 5 orang sebanyak 88,56%.
Usahatani padi sawah yang dikelola responden umumnya berada pada lahan yang datar
dan sistem pengairannya beririgasi teknis dari Sungai Tatang. Luas lahan garapan berkisar dari
0,5 sampai dengan 2,5 Ha dengan rata-rata luas lahan 1,37 Ha. Benih yang digunakan adalah
benih label biru dengan jenis Impara 3.

437
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pendugaan Fungsi Produktivitas Usahatani Padi Sawah


Penggunaan model fungsi produktivitas frontier digunakan untuk menganalisis fungsi
produktivias usahatani. Adapun variabel-variabel produktivitas yaitu: benih, pupuk urea, pupuk
SP36, pupuk KCL,pupuk organik,insektisida cair, tenaga kerja, dan keikutsertaan dalam
kelompok tani. Hasil estimasi fungsi produktivitas pada daerah penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Batang Asam
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Dengan Metode MLF, Tahun 2018.
Variabel Coefficiet Std.Error z-Statistic Prob
LN_X1 0.326572 0.092493 3.530722 0.0004
LN_X2 0.032707 0.016699 1.95879 0.0502
LN_X3 -0.003835 0.006071 -0.631682 0.5276
LN_X4 0.014169 0.026999 0.524808 0.5997
LN_X5 0.329428 0.033621 9.798143 0.0000
LN_X6 0.020153 0.024918 0.808768 0.4186
LN_X7 0.0260381 0.100305 2.595879 0.0094
LN_X8 0.004038 0.052967 0.076237 0.9392
C 3.742.317 0.175635 21.30729 0.0000
Variance Equation
C 0.000199 0.000460 0.433291 0.6648
RESID(1)^ -0.059754 0.078929 -0.757069 0.4490
GARCH (-1) 1.079.832 0.094078 1.147.806 0.0000
R-squared 0.911072 Mean dependent var 8.324.928
Adjusted R-squared 0.901326 S.D. Dependent Var 0.590211
S.E. Of regression 0.185399 Akaike info criterion -0.629927
Sum Squared Resid 2.509.226 Schwarz criterion -0.277724
Log likelihood 3.782.700 Hannan-Quinn criter -0.488523
Durbin-Watson stat 1.732.143

Tabel 1 ini menunjukkan nilai Adjusted R-squared= 0,901326, hal ini berarti 90,13 persen
variasi dependent (output) mampu dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel independent
(benih, urea, SP36, KCL, organik, obat-obatan, tenaga kerja, dan frekuensi mengikuti
penyuluhan. Nilai elastisitas produktivitas dari variabel benih, urea, SP36, KCL, organik, obat-
obatan, tenaga kerja, dan keikutsertaan dalam kelompok tani berturut-turut sebesar 0.326572,
0.032707, -0.003835, 0.014169, 0.329428, 0.020153, 0.260381, 0.004038. jika variabel benih,
urea, SP36, KCL, organik, obat-obatan, tenaga kerja, dan ketidakikutsertaan dalam kelompok
tani ditambah sebesar 10 persen dengan asumsi cateris paribus maka dapat meningkatkan
produktivitas masing-masing sebesar 3,26 persen, 0,32 persen, -0,32 persen, 0,14 persen, 3,29
persen, 0,20 persen, 2,60 persen, 0,04 persen.
Nilai ∑ßὶ = 0,983598 <1 menunjukkan penggunaan faktor produksi pada daerah penelitian
berada pada daerah Decreasing Return To Scale yang artinya setiap penambahan proporsi input
akan menghasilkan penambahan output produktivitas yang semakin menurun. Variabel-variabel
yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas pada taraf α = 0.05 adalah benih, urea, organik,
dan tenaga kerja. Sedangkan pupuk SP36, pupuk KCL, obat-obatan dan frekuensi mengikuti
penyuluhan berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas.

Efisiensi Teknis Usahatani


Efisiensi teknis merupakan refleksi dari kemampuan petani untuk mendapat output
maksimum dari satu set input yang tersedia. Didefinisikan sebagai rasio dari produksi aktual dari
petani pada tingkat teknis kemungkinan produksi maksimum. Pada penelitian ini analisis
efisiensi teknik dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut : ETᵢ = E [ exp (-Uᵢ/ɛᵢ] i =
1,2,3,......N. Dimana TEᵢ adalah efisiensi teknis petani ke-i. Exp (-E[Uᵢǀɛᵢ] adalah nilai harapan

438
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(mean) dari Uᵢ dengan syarat ɛᵢ jadi 0 ≤ ET, ≤ 1. Nilai ET petani dikatakan cukup efisien jika
bernilai > 0,7 dan dikategorikan belum efisien jika bernilai ≤ 0,7. Hasil analisis efisiensi teknis
pada usahatani padi sawah di daerah penelitian dapat dilihat Tabel 2.
Tabel 2. Efisiensi Teknis Pada Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Tahun 2018.
Efisiensi Teknis Jumlah Petani Persentase (%)
0.46-<0.51 44 53,6
0.51-<0.56 27 32,9
0.56-<0.61 7 8.5
0.61-<0.66 1 1,2
0.66-<0.71 1 1,2
0.71-<0.76 2 2,4
Tertinggi 0.76
Terendah 0.45
Rata-rata 0.52

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis pada usahatani padi sawah
adalah 0.52, ini menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas yang dicapai petani padi sawah
sekitar 52,0 persen dari produksi batas (Frontier). Hal ini berarti, besarnya inefisiensi teknis
sebesar 0.48 (48,0 persen) atau potensi peningkatan produksi masih tersedia sebanyak 48 persen.
Hasil analisis efisiensi terendah petani adalah 0.45 serta tingkat tertinggi efisiensi teknis padi
sawah adalah 0.76. hal ini menunjukkan bahwa rata-rata usahatani padi sawah di Kecamatan
Batang Asam ini masih belum efisien secara teknis. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Natasa Apriana, et.al (2016) yang menyatakan bahwa sebagian besar petani padi
sawah di daerah Jawa Barat sudah efisien secara teknis. Hal ini dapat disebabkan karena
penggunaan input produksi yang tidak sesuai dengan anjuran. Hal ini merefleksikan bahwa
peluang untuk meningkatkan produktivitas cukup besar karena senjang antara tingkat
produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terbalik (the best
practiced) cukup besar. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan produktivitas usahatani secara
nyata diperlukan inovasi-inovasi yang lebih maju yang memerlukan terobosan teknologi yang
berasal dari aktivitas penelitian. .

Risiko Produksi Usahatani


Inflasi adanya risiko produksi dapat dilihat dari besarnya koefisien variasi (CV). Nilai
koefisien variasi produksi yang kecil menunjukkan variabilitas nilai rata-rata produksi yang rendah.
Hal ini menggambarkan risiko produksi yang rendah yang dihadapi untuk mendapatkan hasil
produksi kecil, demikian sebaliknya. Kondsi in disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3, menunjukkan bahwa risiko produksi yang terdapat pada daerah penelitian Cva =
0.5437 artinya sebaran produktivitas adalah 54,37 % dari produktivitas rata-rata, apabila
produktivitas berada di bawah produktivitas rata-rata berarti memiliki risiko. Pada penelitian ini
dilakukan pada saat musim tanam bulan Oktober-Maret yang mana curah hujan cukup tinggi
sehingga intensitas matahari jadi rendah yang tentunya berpengaruh pada proses fotosintesis.
Menurut Suharyanto, Jemmy Renaldy, Nyoman Nugraha (2015) yang menyatakan bahwa curah
hujan termasuk faktor yang mempengaruhi risiko produksi usahatani padi sawah. Selanjutnya
menurut Satoto et.al., (2013) beberapa upaya seperti: rekomendasi pemupukan, jarak tanam,
pengairan, dan pengelolaan hama dan penyakit tanam juga menyatakan hal yang sama.

439
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Produktivitas dan Risiko Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Batang Asam Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, Tahun 2018.
Produktivitas Usahatani Padi Sawah (ton/ha)
Uraian Jumlah
Produktivitas 4884,24
Standar Devisi 1592
Koefisien Variasi 0.5437
Perilaku Risiko Produksi Petani Padi Sawah
Hasil analisis fungsi produktivitas frontier, risiko produksi digunakan untuk menganalisis
perilaku risiko produksi petani padi sawah. Perilaku risiko petani dikategorikan menjadi 3 yaitu
: (1) petani yang berani mengambil risiko risk lover , (2) petani yang netral terhadap risiko risk
netral, (3) petani yang menghindari risiko risk averse. Hasil analisis perilaku risiko petani padi
sawah di Kecamatan Batang Asam dengan menggunakan model analisis perilaku risiko
menghasilkan besaran nilai θ dan λ yang dapat dilihat Tabel 4.

Tabel 4. Perilaku Risiko Produktivitas Petani Padi Sawah di Kecamatan Batang Asam Kabupaten
Batangha, Tahun 2018.
Input Produksi Rata-rata θ Rata-rata λ Perilaku Risiko
Benih 2.399 3.725 Risk Lover
Urea -3.141 3.215 Risk Averse
SP36 -3.393 3.282 Risk Averse
KCL 16.550 -4.221 Risk Averse
Organik 30.730 6.830 Risk Lover
Insektisida Cair 0.015 2.388 Risk Lover
Tenaga Kerja 0.134 2.358 Risk Lover
Keikutsertaan Kel.Tani -1.816 2.997 Risk Averse
Rata-rata 5.307 2.286 Risk Lover

Tabel 4, menunjukkan perilaku risiko petani padi sawah pada keseluruhan input produksi
yaitu benih, pupuk urea, pupuk SP36, pupuk KCL, pupuk organik, obat-obatan, tenaga kerja,
dan frekuensi mengikuti penyuluhan diperoleh nilai θ 5.307 dan nilai λ 2.286 pada usahatani
padi sawah. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perilaku risiko (Risk Lover), hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan penelitian Nurhapsa (2013) yang menunjukkan bahwa rata-rata perilaku
petani padi sawah adalah risk averse keputusan risk lover berimbas kepada penggunaan input
produksi lebih besar jika dibandingkan dengan petani yang risk averse.
Perilaku risiko produktivitas petani padi sawah pada input pupuk urea, pupuk SP36, pupuk
KCL bersifat risk averse. Hal ini dapat dikatakan bahwa petani masih menghindari risiko
penggunaan pupuk anorganik sehingga penggunaannya masih dibawah anjuran. Untuk input
benih, pupuk organik, obat-obatan, dan tenaga kerja petani berprilaku risk lover atau berani
mengambil risiko dalam penerapan input produksi. Hal ini menyatakan bahwa petani mengambil
risiko penggunaan input produksi dalam jumlah lebih besar pada usahataninya untuk
memperoleh produksi yang lebih tinggi.
Perilaku risiko petani yang risk lover pada benih ditunjukkan dengan menggunakan benih
yang sebesar 32,6 kilogram per hektar, penggunaan benih sebesar itu sudah optimal dan melebihi
anjuran Balitbang (2015) yang menyarankan penggunaan benih 25 kilogram per hektar. Hal ini
terjadi karena petani beranggapan semakin banyak menggunakan benih pada usahatninya akan
meningkatkan jumlah output. Petani berani menggunakan benih dalam jumlah yang banyak
selain karena ketersediaan benih yang mudah diperoleh di kios-kios terdekat, ada beberapa petani
yang juga memproduksi benih sendiri. Petani yang berprilaku risk lover terdapat input benih
sejalan dengan penelitian Nurhapsa(2013) dimana preferensi risiko petani terhadap benih adalah
berani mengambil risiko (risk taker). Perilaku risiko produktivitas petani padi sawah terhadap

440
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

input produksi pupuk urea risk averse atau menghindari risiko, sehingga alokasi penggunaan
pupuk urea masih rendah, dimana rata-rata penggunaan pupuk urea adalah 91,27 kilogram per
hektar sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 275-300 kilogram per hektar (Balitbang, 2013).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhapsa (2013) yang
menunjukkan bahwa petani berprilaku risk averse terhadap urea.
Penggunaan pupuk SP36 adalah risk averse dan rata-rata penggunaan pupuk SP36 adalah
74,1 kilogram per hektar yang belum mencukupi dosis anjuran yaitu 100 kilogram per hektar
(Balitbang, 2013). Hasil penelitian perilaku risiko petani padi sawah yang risk averse pada pupuk
SP36 tidak sejalan dengan penelitian Natasa Apriana et.al., (2015) yang menunjukkan preferensi
risiko petani terhadap pupuk SP36 adalah risk taker. Perilaku produktivitas petani padi sawah
terhadap input pupuk KCL adalah risk lover atau berani mengambil risiko produktivitas,
sehingga alokasi penggunaan pupuk KCL sesuai dosis yang dianjurkan yaitu 60 kilogram per
hektar (Balitbang, 2013). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nurhapsa (2013)
yang menyatakan bahwa preferensi risiko pupuk KCL adalah risk averse.
Perilaku risiko padi sawah terhadap penggunaan pupuk organik adalah risk averse.
Perilaku petani yang risk averse cenderung menahan penggunaan input tersebut. Hal ini terlihat
dari rata-rata penggunaan pupuk organik oleh petani sebesar 507,06 kilogram per hektar yang
belum mencukupi standar penggunaan pupuk organik yaitu 2000 kilogram per hektar. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Natasa Apriana, et.al (2016) yang
menunjukkan bahwa petani di daerah penelitian berprilaku risk lover atau berani mengambil
risiko. Dengan kata lain petani cenderung berani mengaplikasikan insektisida cair dalam jumlah
banyak. Hal ini terlihat dari estimasi fungsi produksi frontiernya yang menyatakan bahwa
penambahan penggunaan input insektisida cair berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi
sawah. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nurhapsa (2013) yang menyatakan
perilaku risiko petani di daerah penelitian berprilaku risk averse terhadap insektisida cair.
Perilaku risiko petani terhadap tenaga kerja adalah risk lover. Dengan kata lain, petani
cenderung mengalokasikan tenaga kerja pada usahataninya. Rata-rata penggunaan tenaga kerja
oleh petani padi sawah sebesar 88,56 per hektar. Petani padi sawah cenderung menggunakan
tenaga kerja karena usahatani padi sawah merupakan usahatani yang bersifat labour intensive
sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak. Disamping itu, ketersediaan tenaga kerja juga
mendukung penggunaan tenaga kerja lebih banyak. Petani padi sawah berprilaku risk lover
terhadap input tenaga kerja sejalan dengan penelitian Natasa Apriana, et.al (2016) dimana
preferensi risiko petani terhadap tenaga kerja adalah risk taker. Perilaku risiko petani padi sawah
terhadap keikutsertaan dalam kelompok tani selama setahun adalah 3,7 per tahun. Dimana jika
semakin sering petani melakukan pertemuan dengan kelompok tani untuk mendiskusikan
perkembangan usahatani dan bersama-sama mencari jalan keluar atas kendala yang terjadi dalam
kegiatan berusahatani tentu akan berdampak pada keberhasilan melakukan kegiatan
berusahatani.

PENUTUP
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa,
daerah penelitian merupakan salah satu sentra produksi padi sawah di Kecamatan Batang Asam
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Petani di Kecamatan Batang Asam telah menggunakan faktor
produksi seperti lahan, tenaga kerja, benih, pupuk, obat-obatan dan manajemen usahatani padi
sawah. Kecamatan Batang Asam memiliki luas lahan sawah mayoritas berpengairan irigasi.
Penggunaan input produksi di daerah penelitian masih belum efisien secara teknis karena rata-
rata tingkat efisiensi teknis hanya mencapai 0,63. Perilaku petani padi sawah di daerah penelitian
adalah risk averter atau menghindari risiko. Perilaku petani yang risk averse memiliki
konsekuensi terhadap alokasi input yang digunakan. Semakin menghindari risiko produktivitas,
maka semakin sedikit alokasi input yang digunakan sehingga produktivitas yang dicapai petani
semakin rendah.

441
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Aldila, Haris Fatori. (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Produksi
Jagung Manis (Zea mays Saccharata) di Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya
Kabupaten Bogor. Skripsi (Dipublikasikan). Fakultas Ekonomi Dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Diambil 4 September 2017, dari
https://repository.ipb.ac.id/handle/ 123456789/63077
Apriana, Natasa., Anna Fariyanti., dan Burhanuddin. (2015). Prefrensi Risiko Petani Padi di
Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur.
Badan Pusat Statistik. (2016). Jambi Dalam Angka 2012. BPS Provinsi Jambi. Jambi.
- . (2016). Batang Asam Dalam Angka 2016. BPS Provinsi Jambi. Jambi.
Balitbang. (2015). Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. Diambil 4 September
2017, dari http:www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/files/0104-PADI.pdf.
Hasibuan, Arfan. (2015). Swasembada Pangan atau Kesejahteraan Petani?. Diambil 4 September
2017, dari http://www.kompasiana.com/bang_buan/swasembada-pangan-atau-
kesejahteraan-petani_5516d6e991331ab64bc5fa7.
Kumbhakar, C.S. (2002). Spesification and Estimation of Production Risk, Risk Preference and
Tehnical Efficiency. American Journal of Agricultural Economics, 84(1) : 8-22.
Nazir, Moh. (2009). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Nurapsa. (2013). Analisis Efisiensi Teknis Dan Prilaku Risiko Petani Serta Pengaruhnya
Terhadap Penerapan Varietas Unggul Pada Usahatani Kentang di Kabupaten Enrakang
Provinsi Sulawesi Selatan. Tesis (Dipublikasikan) Ilmu Ekonomi Pertanian.Program Pasca
Sarjana Institue Pertanian Bogor. Diambil 4 September 2017, Dari : Http ;//
Repository.Ipb.Ac.Id/Jspui/ Bitstream/123456789/66823/1/2013 nur. Pdf.
Satoto, Y. Widyastuti., U.Susanto., dan M. J. Mejaya. (2013). Perbedaan hasil padi antar musim
di lahan sawah irigasi. IPTEK Tanaman Pangan 8 (2) : 55-61
Soekartawi. (2014). Prinsip Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo. Persada.
Jakarta.
Sumaryanto,Wahida dan M.Siregar. (2003). Determinan Efisiensi Teknis Usahatani Padi di
lahan sawah irigasi. Journal Agro Ekonomi, 21 (1) : 71-96.
Suharyanto, Jemmy Rinaldy, Nyoman Ngurah Arya. (2015). Analisis Risiko Produksi
Usahatami Padi Sawah di Provinsi Bali. Vol. 1 No.2

442
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Potensi Pengembangan Produk Sarang Walet Melalui Perluasan Areal


dan Perbaikan Manajemen di Kecamatan Antang Kalang Kabupaten
Kotawaringin Timur
Potency of Edible Bird's Nest Product Through Areal Expanding and
Management Improvement in Antang Kalang Sub-district Kotawaringin
Timur Regency
Ahmad Wahyudianurl, Tuti Heiriyanil, dan Jumarl
Vurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lanthung Mangicurat, Banjarbaru,

ABSTRAK

Kata Kunci: Sarang walet merupakan industri yang dijuluki "kaviarnya daerah titnur"
Sarang Walet karena harga yang berkisar 1.000-1.500 US Dollar per-kilogram, nilai ekspor
Investasi pada tahun 2018 mencapai 140,5 juta US Dollar. Indonesia merupakan
Sertifikasi eksportir terbesar dengan persentase 72,31 %, namun Indonesia mulai dapat
Ekspor tekanan dari Vietnam yang mulai melakukan investasi di industri sarang
Pendapatan negara walet dengan nilai 200 juta US Dollar pada tahun 2013 yang berdampak pada
meningkatnya ekspor ke beberapa negara dari 3,09 ton menjadi 84 ton pada
tahun 2018. Lembaga terkait harus mulai melakukan kebijakan terkait
industri sarang walet, khususnya kontrol kualitas karena negara importir
terbesar saat ini, yaitu Tiongkok hanya mengimpor produk yang
bersertifikasi dari Certification and Accreditation Administration of the
Peoples Republic of China (CNCA). Sarang walet produksi pedalaman pulau
Kalimantan terkenal dengan kualitas Original Nest A yang merupakan
kualitas terbaik, kecamatan Antang Kalang merupakan salah satu daerah
penghasil sarang walet kualitas terbaik. Tercatat 186 buah rumah walet
berada di kecamatan Antang Kalang dan memiliki potensi lahan 1.579 kin',
saat ini hanya 5,1 km' lahan yang digunakan oleh masyarakat. Perluasan areal
industri yang mencakup pengelolaan lahan industri yang luas dan perbaikan
manajemen industri akan berdampak pada ekonomi masyarakat lokal dan
negara. Masyarakat lokal hanya berharap dari pengepul luar daerah yang
ingin membeli tanpa pengelolaan produk secara berkelanjutan, sehingga
pendapatan petani sarang walet lebih rendah. Lembaga terkait perlu
memperbaiki manajemen terhadap lemahnya kebijakan dalam hal pengadaan
sosialisasi tentang sertifikasi dan fasilitas pengolahan produk sarang walet
yang bersertifikasi CNCA yang akan berdampak pada peningkatan ekonomi
masyarakat lokal dan pendapatan negara mulai dari devisa hingga
penerimaan pajak produk. Investasi fasilitas penunjang, seperti pabrik
pembersihan bulu sarang walet dan pengolahan sarang burung walet akan
meningkatkan nilai jual dari produk sarang walet.
ABSTRACT

Keywords: Edible bird's nest is an industry dubbed the "eastern caviar" because of prices
Edible bird's nest ranging from 1,000-1,500 US Dollars per kilogram, the value of exports in
Investation 2018 reached 140.5 million US Dollars. Indonesia is the largest exporter with
Certification a percentage of 72.31%, but Indonesia is starting to get pressure from
Export Vietnam which started investing in the edible bird's nest industry with a value
Country income of 200 million US dollars in 2013 which has an impact on increasing exports
to several countries from 3.09 tons to 84 tons in 2018. Relevant institutions

443
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

must start implementing policies related to the edible bird's nest industry,
especially quality control because the largest importing country at this time,
namely China, only imports products that are certified from the Certification
and Accreditation Administration of the People's Republic of China (CNCA).
Edible bird's nest production inland ofBorneo is famous for the quality of
Original Nest A which is the best quality, Antang Kalang district is one of
the best quality edible bird's nest producing regions. 186 edible bird's houses
are located in Antang Kalang district and have a potential land area of 1,579
km2, currently only 5.1 km2 of land is used by the community. The expansion
of industrial areas which includes the management of large industrial land
and the improvement of industrial management will have an impact on the
economy of local and state communities. Local people only expect from
collectors outside the region who want to buy without sustainable product
management, so that the income of edible bird's nest farmers is lower.
Relevant institutions need to improve management against weak policies in
the provision of socialization on certification and CNCA-certified edible
bird's nest product processing facilities that will have an impact on improving
the economy of local communities and state revenues ranging from foreign
exchange to product tax revenues. Investment of supporting facilities, such
as edible bird's nest feather cleaning and edible bird's nest processing will
increase the selling value of edible bird's nest products.

Email Korespondensi : ahmadwahyudi0911@gmail.com

PENDAHULUAN
Walet merupakan burung yang membuat sarang dengan cairan saliva yang mengeras,
berwarna putih dan berbentuk setengah mangkok. Sarang burung walet bernilai jual tinggi dan
memiliki manfaat yang bagus bagi kesehatan (Goh dkk, 2001).
Sarang walet merupakan industri yang dijuluki "kaviarnya daerah timur" karena harga
yang berkisar 1.000-1.500 US Dollar per-kilogram, nilai ekspor pada tahun 2018 mencapai 140,5
juta US Dollar. Sarang walet yang memiliki kualitas tinggi dan bersertifikasi harga jual di
Tiongkok bisa mencapai angka 45 juta Rupiah /kg (Sitanggang, 2019). Sarang walet pedalaman
Kalimantan terkenal dengan kualitas Grade A yang dicari oleh banyak pengepul dari luar pulau,
terutama pengepul dari pulau Jawa.
Antang Kalang merupakan suatu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten
Kotawaringin Titnur Provinsi Kalimantan Tengah. Wilayah dengan luas wilayah 1.579 kin' ini
memiliki lebih dari 186 buah rumah walet, saat ini hanya 5,1 km2 lahan yang digunakan oleh
masyarakat (BPS, 2018). Masyarakat lokal hanya berharap dari pengepul luar daerah yang ingin
membeli tanpa pengelolaan produk secara berkelanjutan, sehingga pendapatan petani sarang
walet lebih rendah. Jalur pemasaran yang masih belum diawasi dengan baik membuat transaksi
sarang burung walet sulit dipantau oleh lembaga terkait sehingga berdampak pada pendapatan
daerah. Harga jual produk mentah yang jauh dibawah harga produk yang sudah diolah
berdampak pada keuntungan petani lokal tidak maksimal. Pembersihan bulu dari sarang walet
dapat meningkatkan harga jual produk hingga dua kali lipat, sehingga fasilitas pembersihan bulu
sarang walet perlu dikelola dengan baik di Kecamatan Antang Kalang. Tujuan penulisan agar
lembaga terkait dapat membuat kebijakan terkait peningkatan kualitas produk dan manajemen
pemasaran sarang walet di wilayah Kecamatan Antang Kalang.

444
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA KONSEP

Pendapatan petani
lokal dan Negara tidak
maksimal

Perbaikan Regulasi dan Investasi


Fasilitas Pengolahan Sarang
Walet oleh Lembaga Terkait

Pendapatan Petani Lokal


dan Negara Meningkat

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode riset
yang sifatnya memberikan penjelasan dengan menggunakan analisis data, metode ini bersifat
subjektif dimana proses penelitian cenderung lebih fokus pada landasan teori. Data penelitian
diperoleh melalui studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, dokumen yang telah diperoleh kemudian
dianalisis, dibandingkan dan dipadukan membentuk satu hasil kajian yang sistematis.

HASIL ANALISIS
Sarang bumng walet mengandung glikoprotein, karbohidrat, asam amino dan garam-garam
mineral. Karbohidrat yang terdapat pada sarang burung walet adalah galaktosa (16.9%), asam
sialat (9%), galaktosamin (7.2%), glukosamin (5.3%), dan fucosa (0.7%) (Colombo et al., 2003).
Kandungan protein utama pada sarang walet adalah glikoprotein yang dapat meningkatkan
regenerasi set dan kesehatan kulit, sehingga dianjurkan sebagai produk kecantikan. Kandungan
lain dalam sarang burung walet adalah glukosamin, berdasarkan penelitian Tung dkk (2008)
glukosamin berperan penting dalam modulasi sistem imun.
Indonesia masih menjadi eksportir terbesar dengan kontribusi 72,3 1 %, disusul oleh
Malaysia, Brazil, Taiwan dan Australia (Mulyanto, 2018). Nilai ekspor sarang walet dari
Indonesia yang mencapai 140,5 juta US Dollar adalah faktor yang dapat diperhitungkan oleh
pemerintah untuk meningkatkan potensi industri sarang walet melalui perluasan areal dan
perbaikan manajemen. Pada tahun 20 13 Vietnam mulai berinvestasi pada sarang burung walet
senilai 200 juta US Dollars yang berdampak pada peningkatan ekspor sarang walet dari 3,09 ton
menjadi 84 ton pada tahun 2018 (Van Trong, 2018). Tiongkok merupakan negara importir sarang
walet terbesar, namun permintaan semakin banyak dari negara Amerika Serikat, Hong Kong,
Singapura dan Selandia Baru yang membuat potensi produk sarang walet semakin meningkat.
Lembaga terkait hams mulai melakukan kebijakan terkait industri sarang walet, khususnya
kontrol kualitas karena negara importir terbesar, yaitu Tiongkok hanya mengimpor produk yang
bersertifikasi dari Certification and Accreditation Administration of the People's Republic of
China (CNCA).
Pembeli dari China banyak yang belum mengetahui produk sarang walet banyak yang
berasal dari Indonesia. Produk sarang walet mentah banyak di ekspor ke negara ketiga, seperti
Malaysia yang petani lokal di negara tersebut mudah mengakses fasilitas rumah pembersihan
sarang walet yang selanjutnya dapat meningkatkan harga produk di pasar internasional.
Pemerintah Malaysia melalui Kementrian Pertanian dan Industri memberi perhatian terhadap

445
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kontrol kualitas dari sarang walet dan persaingan pasar internasional sarang burung walet (Ariff,
2018). Produksi sarang walet di negara Malaysia terbilang rendah yang hanya mencapai 18,85
% dibandingkan dengan Indonesia yang mencapai 72,31 %. Investasi dan kebijakan yang tepat
oleh lembaga terkait dapat membuat transaksi produk sarang walet berkembang dan
memperbesar pendapatan negara secara signifikan (Mulyanto, 2018). Pihak negara ketiga dalam
jalur pemasaran dalam industri sarang walet tentu menurunkan pendapatan petani lokal dan
pendapatan negara.
Sarang bumng walet yang sudah dibersihkan bernilai jual hingga tiga kali lipat harga
produk mentah, perlunya pengadaan fasilitas pembersih sarang walet sangat penting. China
sebagai negara importir terbesar hanya membeli produk yang memiki sertifikat dari CNCA,
sehingga perlunya kerjasama antara Badan Karantina Pertanian dan CNCA. Kebijakan dari
negara China terkait CNCA dapat membuat turunnya harga pasar sarang walet mentah dan
mempengaruhi volume ekspor sarang walet dari Indonesia. Perluasan areal industri sarang walet
di Kecamatan Antang Kalang dengan investasi rumah pembersihan sarang walet dan sosialisasi
kepada petani lokal sangat diperlukan. Fasilitas rumah pembersihan sarang walet hanya
tersentralisasi di pulau Jawa, sehingga petani lokal tidak dapat mengakses pasar internasional
yang sekarang sudah dapat diakses oleh banyak pihak dengan adanya internet. Perbaikan
manajemen pemasaran dan teknologi produksi sarang walet, pembuatan kebijakan tentang
kualitas sarang walet yang dapat diimpor merupakan bentuk manajemen pemasaran dan investasi
pembuatan rumah pembersihan sarang walet penting di Kecamatan Antang Kalang. Pendapatan
negara akan meningkat dengan penerapan manajemen dan teknologi yang tepat. Industri 4.0
yang dicanangkan oleh pemerintah dapat dimanfaatkan dengan terbukanya pasar internasional
kepada petani lokal yang ada di kecamatan Antang Kalang. Perbaikan jaringan internet di
pelosok daerah dan akses jalan yang layak dapat membuat industri sarang walet di Kecamatan
Antang Kalang sangat diperlukan.

PENUTUP
Kebijakan pemerintah terkait indutri sarang walet masih kurang tepat terkait dengan
kontrol kualitas dan impor produk, produk mentah yang tidak mengalami pengolahan lanjutan
dapat mempengaruhi nilai jual di dalam dan luar negeri. Kebijakan terkait pengolahan produk
sarang walet dengan fasilitas rumah pembersihan bulu sarang walet dan workshop pengolahan
produk mentah menjadi setengah jadi atau produk jadi dapat meningkatkan nilai jual produk
sarang walet dari Kecamatan Antang Kalang. Kebijakan yang tepat akan meningkatkan
pendapatan petani lokal, daerah dan negara.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Ibu h-. Hj. Tuti Heiriyani, MP sebagai pembimbing dalam penulisan
paper dan Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. H. Luthfi, MS sebagai pimpinan Fakultas
Pertanian dan pihak - pihak yang terlibat dalam pembuatan paper.

DAFTAR PUSTAKA
Ariff, S.U. et al. (2018). Sarang Burung Walet Sumber Pendapatan Lumayan. Berita Harian
Online. Diakses
dari https://www.bharian.com.my/berita/nasionall2018/03/401530/sarang-burung-walet-
sumber-pendapatan-lumayan
Badan Pusat Statistika Kabupaten Kotawaringin Timur. (2018). Luas Wilayah Menurut
Penggunaan Tanah per Desa/Kelurahan di Kecamatan Antang Kalang (km2). BPS Kotim.
Diakses dari https : //kotitnkab .bps . go. id/statictable/2018/05/25 /788/luas-wilayah-
menurut-penggunaan-tanah-per-des a-kelurahan-di-kecamatan-antang-kalang-km2-2016 -
.html

446
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Colombo, J.P., Garcia-Rodenas, C., Guesry, P.R., & Rey, J. (2003). Potential Effects of
Supplementation with Amino Acids, Cholineor Sialic Acid on Cognitive Development in
Young Infants, Acta Pediatr. Suppl, 46:92.
Goh, D.L.M. et al. (2001). Immunochemical Characterisation of Edible Bird's Nest Allergens. J
Allergy Clinical Immunol. 107 (6): 1082-1088.
Mulyanto. (2018). Sarang Walet Senilai 13 Miliar, Siap Terbang ke Negeri Panda. Kementrian
Pertanian
Republik Indonesia. Diakses dari https ://www.pertanian. go. id/home/?show=news
&act=view&id= 2273
Sitanggang, Parlin. (2019). Produksi Sarang Walet Kalteng 150 ton/tahun. ANTARA News.
Diakses dari https ://www.antaranews.com/berita/814081/produksi-sarang-walet-kalteng-
150-ton-tahun
Tung, C.H., Pan, J.Q., Chang, H.M. & Chou, S.H. (2008). Authentic Determination of Bird's
Nests by Saccharides Profile. JFood and Drug Analysis. 16 (4): 86-91.
Van Trong, Nguyen. (2018). Vietnam has Untapped Potential in Bird's Nest Production, Export.
Viet Nam News. Diakses dari https ://vietnatnnews .vn/economy/ 507840/vietnam-has-
untapped-potential-in-birds-nest-production-export. html4x1XZE9RiLqBvXeRf. 97

447
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Ikan Asin Laut


di Kalimantan Selatan
Development Strategy of Salty Sea Fish Processing Business
in South Kalimantan
Arief Hidayatullah1, Gusti Khairun Ni’mah1, dan Yarna Hasiani1
1Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, Banjarmasin

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal,
Strategi serta merumuskan alternatif strategi dalam mengembangkan usaha
Usaha pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan. Metode dasar yang
Pengolahan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan dilaksankan
Ikan Asin dengan teknik survey. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
SWOT data primer dan data sekunder. Metode analisis data yang digunakan adalah
(1) Analisis SWOT untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, (2) Matriks SWOT
untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan usaha pengolahan ikan
asin laut di Kalimantan Selatan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa (1)
kekuatan utama yang mendasar dalam mengembangkan usaha usaha
pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan adalah sarana produksi
mudah dijangkau, (2) sedangkan kelemahan utama yang mendasar adalah
pemasaran keluar daerah masih kurang, (3) peluang utama yang mendasar
dalam mengembangkan usaha pengolahan ikan asin laut di Kalimantan
Selatan adalah adanya bantuan dari pemerintah, (4) Sedangkan ancaman yang
mendasar adalah pengaruh musim kemarau. (5) Sedangkan hasil matriks
SWOT alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan
usaha pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan adalah
mempertahankan kualitas ikan kering dan meningkatkan produksi melalui
peningkatan penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengolahan,
Pemanfaatan teknologi pengeringan dan pelatihan-pelatihan bagi pelaku
usaha serta menambah jumlah alat pengeringan melalui dukungan
pemerintah untuk meningkatkan jumlah produksi, Meningkatkan kinerja
pelaku usaha dalam mengelola usaha pengeringan menjadi lebih optimal
dengan memberikan dorongan motivasi serta pengawasan dan evaluasi
terhadap kegiatan usaha pengeringan serta menjalin hubungan kerja sama
pada pihak instansi terkait untuk memaksimalkan produksi yang berdaya
saing.
ABSTRACT

Keywords: This study aims to identify internal and external factors, as well as formulate
Strategy alternative strategies in developing a salty sea fish processing business in
Business South Kalimantan. The basic method used in this research is descriptive
Processing method and dilaksankan with survey technique. The type of data used in this
Sea Fish study is primary data and secondary data. Data analysis methods used are (1)
SWOT SWOT analysis to identify internal and external factors that become strength,
weakness, opportunity and threat, (2) SWOT Matrix to formulate alternative
strategy of salty sea fish processing business in South Kalimantan. From the
results of the research, it is known that (1) the main strength that is
fundamental in developing drainage business of salty sea fish processing
business in South Kalimantan is accessible production facilities, (2) while the

448
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

main weakness is the marketing out of the region, (3) developing salty sea
fish processing business in South Kalimantan is the assistance from the
government, (4) While the underlying threat is the influence of the dry
season. (5) Whereas SWOT matrix result of alternative strategy that can be
applied in developing salty sea fish processing business in South Kalimantan
is maintaining dry fish quality and increasing production through
improvement of application of Standard Operating Procedure (SOP) of
processing, Utilization of drying technology and training for business actor
and increase the number of drying equipment through government support to
increase the amount of production, Improving business performance in
managing drying business becomes more optimal by providing motivation
motivation and supervision and evaluation of drying business activities and
establish cooperation relationships with related agencies to maximize
production powerless competitiveness.

Email Korespondensi: arief.uniska@gmail.com

PENDAHULUAN
Pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu sub sektor agribisnis yang bukan hanya
untuk mengubah bentuk dari bahan mentah menjadi setengah jadi ataupun sampai produk siap
untuk dipasarkan, akan tetapi agroindustri juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari
produk dan juga meningkatkan pendapatan produsen. Ikan Asin adalah salah satu makanan yang
digemari masyarakat pesisir pantai karena rasanya enak dan harganya pun terjangkau. Selain itu,
ikan asin juga makanan yang dapat bertahan lebih lama, tetapi proses pembuatannya memakan
waktu yang relatif cukup lama. Hal itu dikarenakan, proses penjemuran ikan asin mengandalkan
sinar matahari.
Di Indonesia sering kali dianggap sebagai makanan orang-orang golongan menengah
kebawah. Namun berbanding terbalik dengan di negara lain, ikan asin merupakan makanan
favorit bagi orang-orang golongan menengah keatas. Karena ikan asin tidak hanya dapat
diproduksi di Indonesia saja, melainkan juga diproduksi di negara-negara lain hanya cara
pengolahan dan jenis ikan yang digunakan untuk membuatnya berbeda. Di negara lain, jenis ikan
yang digunakan untuk membuat ikan asin biasanya ikan yang masih segar dan menggunakan
ikan dengan kandungan gizi yang tinggi. Sedangkan, di Indonesia seringkali ikan asin dibuat
dari ikan yang sudah tidak segar, dan menggunakan ikan dengan kandungan gizi yang rendah.
Kalimantan Selatan merupakan daerah penghasil ikan laut baik dalam bentuk segar
maupun ikan asin. Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru dikenal sebagai wilayah
penghasil ikan asin laut, karena terletak di wilayah strategis dalam usaha pengolahan ikan asin
laut. Hasil olahan ikan asin laut tersebut banyak diminati oleh masyarakat, tidak hanya
masyarakat ketiga Kabupaten tersebut, tapi sampai ke luar wilayah Kabupaten dan Propinsi
Kalimantan Selatan.
Usaha pengolahan ikan asin laut yang ada di Kalimantan Selatan merupakan usaha
pengrajin ikan asin yang sudah sangat lama dan turun temurun dilakukan oleh masyarakat.
Peluang untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha pengolahan ikan asin laut tersebut
masih cukup besar, antara lain melalui perbaikan proses pengolahan dan penggunaan kemasan
yang menarik. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan agribisnis pengolahan ikan asin laut
di Kalimantan Selatan yang bertujuan untuk mencapai produksi optimal.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistemastis untuk merumuskan
strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan

449
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

(Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan


kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats) Proses pengambilan keputusan kebijakan
strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan.
Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor
strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang saat ini.
Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah
analisis SWOT (Rangkuti, 2001).

Analisis Situasi Eksternal


Lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel (kesempatan dan ancaman) yang berada
di luar organisasi dan tidak secara khusus ada dalam pengendalian jangka pendek dari
manajemen puncak. Variabel-variabel tersebut membentuk keadaan dalam organisasi dimana
organisasi ini hidup. Lingkungan eksternal memiliki dua bagian yaitu lingkungan kerja dan
lingkungan sosial (Hunger and Wheelen, 2003).
Peluang dan ancaman eksternal merujuk pada peristiwa dan tren ekonomi, sosial budaya,
demografi, lingkungan politik dan hukum, pemerintahan, teknologi, dan persaingan yang dapat
menguntungkan atau merugikan suatu organisasi secara berarti di masa depan. Peluang dan
ancaman sebagian besar di luar kendali suatu organisasi. Perusahaan harus merumuskan strategi
untuk memanfaatkan peluang-peluang eksternal dan untuk menghindari atau mengurangi
dampak ancaman eksternal (David, 2004).

Analisis Situasi Internal


Kekuatan dan kelemahan internal adalah segala kegiatan dalam kendali organisasi yang
bisa dilakukan dengan sangat baik atau buruk. Kekuatan dan kelemahan tersebut ada dalam
kegiatan manajemen, pemasaran, keuangan/akutansi, produksi/operasi, penelitian dan
pengembangan, serta sistem informasi manajemen di setiap perusahaan. Setiap organisasi
berusaha menerapkan strategi yang menonjolkan kekuatan internal dan berusaha menghapus
kelemahan internal (David, 2004).
Lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan dan kelemahan) yang ada di
dalam organisasi tetapi biasanya tidak dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen
puncak. Variabel-variabel tersebut merupakan bentuk suasana dimana pekerjaan dilakukan.
Variabel-variabel itu meliputi struktur, budaya, dan sumber daya organisasi (Hunger and
Wheelen, 2003).

Analisis Strategi
Matriks SWOT. Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategi perusahaan adalah
Matrik SWOT. Matriks ini menggambarkan dengan jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal
yang dihadapi diselesaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal. Matriks SWOT ini dapat
menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi. Strategi SO menuntut perusahaan mampu
memaanfaatkan peluang melalui kekuatan internalnya. Strategi WO menuntut perusahaan untuk
meminimalkan kelemahan dalam memanfaatkan peluang. Strategi ST merupakan pengoptimalan
kekuatan dalam menghindari ancaman dan strategi WT menitikberatkan pada upaya meminimalkan
kelemahan dan menghindari ancaman (Rangkuti, 2001).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Selatan. Pelaksanaan penelitian selama
3 (tiga) bulan, yaitu bulan November 2018 sampai Januari 2019. Metode penelitian yang
digunakan ialah metode penelitian campuran antara kualitatif dan kuantitatif yang berdasarkan
strategi eksplorasi data dan observasi. Teknik pengumpulan data menggunakan metode
wawancara dibantu dengan kuesioner.

450
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan Matriks SWOT untuk
merumuskan alternatif strategi pengembangan agribisnis pengolahan ikan asin laut di
Kalimantan Selatan digunakan analisis Matriks SWOT. Matrik SWOT dapat menggambarkan
secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi suatu usaha sehingga dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan
empat sel kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi S-O, strategi W-O, strategi W-T, dan
strategi S-T.
Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matrik SWOT :
1) Menentukan faktor-faktor peluang eksternal.
2) Menentukan faktor-faktor ancaman eksternal.
3) Menentukan faktor-faktor kekuatan internal
4) Menentukan faktor-faktor kelemahan internal.
5) Menyesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S-O.
6) Menyesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W-O.
7) Menyesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S-T.
8) Menyesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W-T.

Tabel 1. Matriks SWOT.


Strenght (S)
Weakness (W)
Tentukan 5-10
Tentukan 5-10 faktorfaktor
faktor-faktor kekuatan
Kelemahan internal
internal

Strategi S-O Strategi W-O


Opportunities (O) Ciptakan strategi yang
Ciptakan strategi
Tentukan 5-10 faktorfaktor meminimalkan
Yang menggunakan
peluang eksternal kekuatan untuk kelemahan untuk
memanfaatkan peluang memanfaatkan peluang

Strategi S-T Strategi W-T


Threats (T)
Ciptakan strategi Ciptakan strategi yang
Tentukan 5-10 faktorfaktor
Yang menggunakan meminimalkan
ancaman
kekuatan kelemahan dan
eksternal
untuk mengatasi ancaman menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti 2001

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perumusan Strategi Pengembangan Agribisnis Pengolahan Ikan Asin Laut di
Kalimantan Selatan
Strategi pengembangan agribisnis pengolahan ikan asin laut menekankan pada
peningkatan produktivitas, mutu produk dan total produksi pada sentra produksi dan wilayah
pengembangan ikan laut di Kalimantan Selatan. Ikan laut merupakan salah satu komoditas
unggulan di Kalimantan Selatan yang diharapkan mampu untuk meningkatkan pendapatan
pelaku usaha pengolahan ikan asin.
Perumusan strategi dilakukan dengan meninjau faktor-faktor di dalam (internal) dan di luar
(eksternal) usaha agribisnis pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan. Analisis faktor
internal digunakan untuk menganalisis faktor-faktor internal yang tentunya akan berpenngaruh
pada pengembangan agribisnis pengolahan ikan asin laut. Sedangkan faktor-faktor eksternal

451
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dilakukan dengan melihat faktor-faktor di luar agribisnis pengolahan ikan asin laut untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi kecenderungan-kecenderungan yang berada diluar kontrol.

Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman


Berdasarkan hasil analisis faktor internal dan faktor eksternal maka dapat diidentifikasi
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang berpengaruh terhadap pengembangan
agribisnis pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan. Adapun faktor-faktor tersebut dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman dalam Pengembangan Agribisnis
Pengolahan Ikan Asin Laut di Kalimantan Selatan.
Faktor Internal Kekuatan Kelemahan
Kondisi keuangan • Memliki modal yang cukup -
• Memiliki SDM yang berkompetensi
Sumber Daya manusia -
dibidang pengolahan hasil perikanan
• Memiliki kemasan yang bagus • Pemasaran keluar daerah masih
Pemasaran • Kontinuitas produksi kurang
• Harga cukup tinggi
• Pengelolaan masih kurang optimal
Produksi/operasional - • Keterbatasan jumlah peralatan
pendukung
• Sarana produksi mudah dijangkau • Belum tertata rapi administrasi
tatausaha pengolahan ikan asin
Manajemen
laut

Faktor Eksternal Peluang Ancaman


• Kenaikan harga bahan baku dan
Kondisi perekonomian -
harga garam
• Permintaan semakin meningkat
Sosial dan Budaya • Kondisi lingkungan yang aman dan -
terkendali
• Adanya bantuan pemerintah
Politik dan Hukum -
• Adanya pelatihan bagi pelaku usaha
• Penggunaan teknologi pengolahan • Perkembangan teknologi dari luar
Teknologi
lebih modern
• Harga ikan asin laut dari luar lebih
murah
Persaingan -
• Adanya produk pengganti yang
menjadi pesaing
Kondisi Alam - • Pengaruh musim
Sumber : Analisis Hasil Penelitian

Matriks SWOT
Untuk merumuskan alternatif strategi yang diperlukan dalam mengembangkan agribisnis
pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan digunakan analisis Matriks SWOT. Matriks
SWOT menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat dipadukan
dengan kekuatan dan kelemahan internal sehingga dihasilkan rumusan strategi pengembangan
agribisnis pengolahan ikan asin laut. Matriks ini mengasilkan empat sel alternatif strategi, yaitu
strategi S-O. Strategi W-O, strategi S-T, dan strategi W-T.

452
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 3. Alternatif Strategi Matriks SWOT Pengembangan Agribisnis Pengolahan Ikan Asin Laut di
Kalimantan Selatan.
Kekuatan-S Kelemahan-W

Internal 1. Kontinuitas produksi 1. Belum tertata rapi administrasi tata usaha


pengolahan
2. Sarana produksi mudah
dijangkau 2. Keterbatasan jumlah bahan baku

3. Memiliki SDM yang 3. Pengelolalaan kurang optimal


Eksternal berkompetensi dibidang
pengolahan perikanan 4. Harga cukup tinggi

4. Memiliki permodalan yang 5. Pemasaran ke luar daerah masih kurang


cukup

5. Usaha turun temurun

Peluang-O Starategi S-O Strategi W-O

1. Adanya bantuan dari 1. Mempertahankan kualitas 1. Merapikan administrasi tata usaha


pemerintah ikan asin laut dan pengolahan serta melakukan pengawasan
meningkatkan produksi dan evaluasi terhadap kegiatan usaha
2. Permintaan semakin melalui peningkatan pengolahan
meningkat penerapan standar prosedur
operasional (SOP) 2. Pemanfaatan teknologi pengolahan dan
3. Adanya pelatihan bagi pengolahan pelatihan-pelatihan serta menambah
pelaku usaha jumlah unit usaha melalui dukungan
2. Menggunakan modal dalam pemerintah untuk meningkatkan jumlah
4. Kondisi yang aman dan menerapkan pengolahan produksi ikan asin
terkendali menggunakan teknologi
pengolahan, pelatihan bagi
5. Penggunaan teknologi pelaku usaha melalui
dukungan pemerintah

Ancaman-T Strategi S-T Strategi W-T

1. Harga ikan asin dari luar 1. Mempertahankan kualitas 1. Meningkatkan kinerja pelaku usaha
lebih murah dan produksi ikan kering dalam mengelola usaha pengeringan ikan
serta mengefesiensikan rawa menjadi lebih optimal dengan
2. Kenaikan harga bahan baku sarana produksi memberikan dorongan motivasi serta
pengawasan dan evaluasi terhadap
3. Perkembangan teknologi 2. Pemanfaatan modal dalam kegiatan usaha pengeringan serta
dari luar lebih modern penggunaan sarana mesin menjalin hubungan kerjasama pada pihak
pengering untuk menjaga instansi terkait untuk memaksimalkan
4. Adanya produk pengganti kontinuitas produksi produksi ikan asin yang berdaya saing
yang menjadi pesaing
2. Optimalisasi penggunaan dan
5. Pengaruh musim pengelolaan sumberdaya.

PENUTUP
KESIMPULAN
1. Usaha pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan mempunyai kekuatan dalam
mengembangkan usahanya yaitu memiliki kontinuitas produksi, sarana produksi mudah
dijangkau, SDM yang berkompetensi dibidang pengolahan perikanan, memiliki modal yang
cukup dan usaha yang sudah turun temurun. Sedangkan kelemahannya yaitu belum tertata
rapi administrasi tatausaha pengolahan, keterbatasan jumlah bahan baku, pengelolaan masih

453
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kurang optimal, harga cukup tinggi, pemasaran ke luar daerah masih kurang. Peluang yang
dimiliki yaitu adanya bantuan dari pemerintah, permintaan semakin meningkat, adanya
pelatihan bagi pelaku usaha, kondisi lingkungan yang aman dan terkendali, penggunaan
teknologi pengolahan. Sedangkan ancaman yaitu harga ikan asin dari luar lebih murah,
kenaikan harga bahan baku, perkembangan teknologi dari luar lebih modern, adanya produk
pengganti yang menjadi pesaing, dan pengaruh musim kemarau.
2. Berdasarkan hasil dari analisis matriks SWOT yang dapat diterapkan dipilih tiga alternatif
dalam mengembangkan usaha pengolahan ikan asin laut di Kalimantan Selatan yaitu
mempertahankan kualitas ikan asin laut dan meningkatlkan produksi melalui peningkatan
penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengolahan, pemanfaatan teknologi
pengeringan dan pelatihan-pelatihan bagi pelaku usaha serta menambah jumlah bahan baku
melalui dukungan pemerintah untuk meningkatkan jumlah produksi, dan meningkatkan
kinerja pelaku usaha dalam mengelola usaha pengeringan menjadi lebih optimal dengan
memberikan dorongan motivasi serta pengawasan dan evaluasi terhadap kegiatan usaha
pengeringan serta menjalin hubungan kerja sama pada pihak instansi terkait untuk
memaksimalkan produksi yang berdaya saing.

SARAN
Strategi dalam penelitian ini dapat dipertimbangkan untuk direalisasikan di Kalimantan
Selatan, untuk kemajuan masyarakat yang melakukan usaha di bidang Perikanan Laut.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima Kasih disampaikan kepada Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al
Banjari Banjarmasin yang telah memberikan dana bantuan penelitian dalam Hibah APBU
2018/2019.

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto E. dan E. Liviawati. 1990. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.Kanisius. Yokyakarta.
Antara. 2014. Ikan Lokal Kalsel. https://hasanzainuddin.wordpress.com.
Budiman, M.S. 2004. Teknik Penggaraman dan Pengeringan. Departemen Pendidikan Nasional.
David dalam Umar. 2010. Desain Penelitian Manajemen Strategik. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
David, F.R. 2004. Manajemen Strategis Konsep-konsep. Terjemahan. PT. Kelompok Gramedia.
Jakarta.
Direktorat Pemasaran Dalam Negeri. 2012. Warta Pasar Ikan dan Kemandirian Pangan. Dirjen
PPHP.
Halim. H, Noor. M, 2007. Rawa Lebak, Ekologi, Pemanfaatan dan Pengembangannya. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Hunger, J. David and Thomas L. Wheelen. 2003. Manajemen Strategis. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Ishikawa K.1988. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu (Terjemahan). di dalam Muhandri T dan
D. Kasarisma. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor. IPB Press.
KMIP Universitas Gajah Mada. 2014. Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia.
http://kmip.faperta.ugm.ac.id/potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia/.
Moeljanto R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

454
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

455
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Impor Kedelai terhadap Pasar Kedelai di Indonesia


Impact of Soybeans Import to the Domestic Market in Indonesia
Elly Susanti, Safrida, Irfan Zikri, Sofyan, dan Risti A Putri
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

ABSTRAK

Kata Kunci: Defisit neraca konsumsi dan produksi kedelai dalam negeri saat ini semakin
Kedelai melebar, sehingga ketergantungan terhadap impor masih tinggi. Makalah ini
Impor bertujuan mengindentifikasi dampak impor terhadap pasar domestik kedelai di
Pasar Indonesia. Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan data sekunder
Konsumsi dalam bentuk time series tahun 2003-2017. Analisis data menggunakan model
Produksi persamaan simultan dengan metode 2SLS (two stages least square). Hasil studi
menunjukkan pola kecenderungan permintaan kedelai dalam negeri yang secara
linier terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan
pertumbuhan industri pengolahan kedelai. Sementara kinerja produksi kedelai
menggambarkan kecenderungan pola kuadratik berbentuk parabola terbalik.
Oleh karena itu, ketergantungan terhadap impor masih tinggi mengikuti pola
permintaan yang terus meningkat. Estimasi model simultan menunjukkan bahwa
impor mempengaruhi pasar dalam negeri, terutama pada tingkat harga dalam
negeri yang dipengaruhi oleh rasio antara permintaan dan penawaran, serta
kebijakan proteksi harga dalam negeri. Pertumbuhan volume impor secara
signifikan dipengaruhi oleh tingkat produksi, permintaan, harga dalam negeri,
nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan harga pada tingkat global. Oleh karena itu,
kebijakan impor sejauh ini belum mampu merangsang produksi karena berbagai
kendala teknis, kelembagaan dan insentif yang belum memadai.
ABSTRACT

Keywords: Indonesia is facing a wide deficit between production and consumption of


Soybean soybeans, which dependency to import is still high to meet the gap. This paper
Import aims to identify the impact of the import to the domestic market of soybeans in
Market Indonesia. The study employs a descriptive analysis by using secondary data in
Consumption the form of time series 2003-2017. The data analysis uses simultaneous
Production equitation method with 2SLS model. The study finds that the domestic demand
tends to increase linearly following with the increasing population and number
of food industries. However, the performance of domestic production tends to
show a quadratic pattern which etimates in decreasing. Thus, the dependency to
the import is getting high in line with the increasing of the demand. Statistically
shows that the import has positive correlation to the domestic market, particularly
the local price that influenced by supply and demand rasio as well as the price
protection policy in Indonesia. The growth of import volume is significantly
influenced by performance of domestic production, consumption, local price,
exchange rate of Rupiah against US Dollar, and international price. Therefore,
the import policy is so far still unable to stimulate domestic production due to
technical, incentive and institutions constaints.

Email Korespondensi: irfanzikri@unsyiah.ac.id

456
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas strategis nasional setelah padi dan jagung.
Indoensia pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1990-an, namun kondisi ini tidak
bertahan lama. Kemampuan produksi kedelai Indonesia cenderung mengalami penurunan dari
tahun ke tahun sampai saat ini. Jika menilik pada kebutuhan konsumsi kedelai nasional, maka
permintaan terhadap kedelai mengalami pertumbuhan yang positif sejalan dengan pertumbuhan
penduduk, peningkatan kapasitas sosial ekonomi masyarakat dan juga pertumbuhan industry
pangan olahan kedelai. Secara statistic, populasi penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun
2003 lebih dari 220 juta jiwa menjadi 263 juta jiwa pada tahun 2017 (FAO, 2018; BPS 2017).
Demikian pula dengan pertumbuhan industry olahan produk kedelai seperti tempe, tahu, kecap,
keripik dan lain sebagainya yang tumbuh meningkat. Data dari Kementerian Pertanian Republik
Indonesia tahun 2017 menyebutkan bahwa tingkat konsumsi nasional kedelai pada tahun 2016
mencapai 2.85 juta ton, sementara kemampuan produksi hanya sekitar 860 ribu ton. Artinya,
Indonesia mengalami deficit antara konsumsi dan produksi sekitar 1.99 juta ton. Pun demikian
dengan laporan yang dirilis oleh Kementerian perdagangan Repubik Indonesia, bahwa tingkat
konsumsi nasional kedelai Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 1.73% per tahun,
sementara kinerja produksi cenderung menurun rata-rata 1.49% per tahun.
Untuk memenuhi melebarnya tingkat kesenjangan neraca keseimbangan antara produksi
dan konsumsi, maka pemerintah Indonesia melakukan kebijakan impor terhadap kedelai.
Alokasi dan distribusi konsumsi nasional kedelai utamanya terkonsentrasi pada kebutuhan
industry pangan olahan kedelai 84.9%, sisanya untuk kebutuhan lainnya. Jika merujuk pada
angka statistic, maka kinerja produksi kedelai lokal hanya mampu memenuhi sekitar 35% dari
kebutuhan konsumsi nasional, sementara sisanya mesti diimpor (Ningrum et al, 2018). Selama
priode 2013-2017, produksi nasional mengalami penurunan rata-rata sekitar 6.37%. Namun
demikian, produktivitas mengalami peningkatan, akan tetapi cenderung stagnan pada level
0.60% per tahun. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produksi, antara lain
pengurangan area tanam akibat konversi lahan kedelai ke komoditas atau peruntukan lainnya,
pengaruh perubahan iklim global yang ekstrim, dan rendahnya tingkat insentif yang diterima
petani terhadap kinerja kedelai (Nuhung, 2013). Oleh karena itu, ketergantungan terhadap impor
masih akan terus tinggi (Aimon dan Satrianto, 2014; Aldillah, 2015; Nungrum et al, 2018),
karena kecenderungan produksi yang terus menurun sementara permintaan konsumsi terus
meningkat. Selain itu, kualitas kinerja dan tingkat harga kedelai impor cenderung lebih baik dan
murah dibandingkan dengan kedelai lokal telah menjadikan preferensi bagi banyak konsumen
untuk memilih mengkonsumsi kedelai impor. (Nainggolan, 2008; Zakiah, 2012; Nuhung, 2013).

METODE PENELITIAN
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan menggunakan data sekunder dalam
bentuk time series tahun 2003-2017. Data diperoleh dari berbagai sumber, yaitu Food and
Agriculture Organization (FAO), Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat Data dan Informasi
Kementerian Pertanian Indonesia, dan dokumen resmi dari lembaga pemerintah Indonesia.
Untuk melihat kecenderungan dan peramalan terhadap permintaan, produksi dan impor, maka
dilakukan analisis tren dengan menerjemahkan pola grafik data (Nunung, 2013), dengan pola
sebagai berikut:

a. Jika data observasi cenderung menunjukkan pola linier, maka bentuknya adalah:

𝑌𝑖 = 𝑎 + 𝑏𝑋 (1)
dimana,
∑𝑌 ∑ 𝑋𝑌
𝑎 = , and 𝑏 = 2 (2)
𝑛 𝑥

457
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

b. Jika analisis grafik menunjukkan pola kuadratik, maka bentuknya adalah:

a 𝑌𝑖 = 𝑎 + 𝑏𝑋 + 𝑐𝑋 2 (3)
dimana,
∑𝑌 ∑ 𝑋2 ∑ 𝑋𝑌 ∑ 𝑋 2 ∑ 𝑌−𝑛 ∑ 𝑋 2 𝑌
𝑎= −𝑐 ,𝑏= , and 𝑐 = (4)
𝑛 𝑛 𝑋2 (∑ 𝑋 2 )2 +𝑛 ∑ 𝑋 4

c. Jika data observasi tidak menungjukkan gejala linier atau kuadratik, maka berbentuk
ekponensial:

𝑌 = 𝑎. 𝑏 𝑥 ; log 𝑌 = log 𝑎 + Xlog 𝑏 (5)


dimana,
∑ log 𝑌 ∑ (Xlog 𝑌)
∑ log 𝑌 = 𝑛 log 𝑎, log 𝑎 = , and log 𝑏 = ∑ 2 (6)
𝑛 𝑋
Keterangan:
Yi : Nilai tren pada periode X
X : Periode waktu
Y : Data yang diamati
a : Estimasi nilai Yi ketika X=0
b,c : Besarnya perubahan variable yang terjadi pada setiap perubahan satu unit variable X
n : Banyaknya data

Model analisis yang digunakan dalam studi ini adalah model ekonometrika persamaan
simultan dengan 2SLS (two stages least square). Model ini digunakan untuk menganalisis
hubungan dua arah antara variable regresi berganda. Variable endogen dalam persamaan ini
ditentukan oleh variabel eksogen, namun demikian beberapa variabel eksogen juga ditentukan
oleh persamaan endogen dalam persamaan lainnya. Estimasi terhadap persamaan simultan tidak
dapat dilakukan secara terpisah, tetapi harus memperhatikan terhadap setiap informasi lainnya.
Persamaan simultan biasanya mampu melakukan analisis kondisi pasar antara permintaan dan
penawaran. Akan tetapi, pengujian identifikasi terhadap model mesti dilakukan terlebih dahulu
sebelum melakukan analisis kasus dengan persamaan simultan.
Uji identifikasi model dilakukan dengan cara order condition, yaitu metode yang secara
cepat mampu menentukan apakah suatu persamaan simultan dapat ditaksir atau tidak. Hasil
pengujian diperoleh jika:
a. K-M < G-1: under identified
b. K-M = G-1: exactly identified
c. K-M > G-1: over identified

Keterangan:
K : jumlah variable yang terdapat dalam model
M : jumlah variable yang terdapat dalam suatu persamaan
G : jumlah persamaan

Model persamaan simultan akan memenuhi syarat apabila persamaan tersebut tergolong
exactly identified dan over identified. Berdasarkan hasil dari pengujian identifikasi model
dengan system order condition maka diperoleh model persamaan sebagai berikut:

M = a0 + a1 PW + a2 ER + a3 PRODL + a4 DL + a5 PL + a6 Mt-1 + a7 POLM + e1 (7)


DL = b0 + b1 PL + b2 TP + b3 TIS + e2 (8)
PL = c1 RasioDSL + c2 POLP + e3 (9)
SL = d0 + d1 PL + d2 M + d3 X + e2 (10)

458
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Keterangan:
M : volume impor (ton)
a0, b0, d0 : konstanta
a,b,c,d : koefisien regresi
e : error
PW : harga global (US$/ton)
ER : nilai tukar (Rp/US$)
PRODL : produksi dalam negeri (ton)
DL : perminataan dalam negeri (ton)
PL : harga dalam negeri (Rp/ton)
Mt-1 : lag volume impor (ton)
POLM : import tariff (%)
TP : jumlah penduduk (jiwa)
TIS : jumlah industry pangan olahan kedelai (unit)
RasioDSL : rasio permintaan dan penawaran dalam negeri
POLP : kebijakan proteksi harga kedelai
SL : penawaran dalam negeri (ton)
X : volume ekspor (ton)

Selanjutnya dilakukan analisis uji statistik untuk melihat tingkat signifikansi dan kekuatan
hubungan antara variabel. Uji F dilakukan untuk melihat signifikansi keseluruhan variabel bebas
dalam mempengaruhi variabel terrikat. Uji t dilakukan untuk melihat taraf signifikansi dari
masing-masing variabel bebas terhadap model regresi. Uji koefisien determinasi (R2) dilakukan
untuk melihat kekuatan hubungan antar variabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Analisis Trens dan Peramalan Terhadap Permintaan, Produksi dan Impor
Kedelai
Selama kurun waktu 2003-2017, perkembangan permintaan kedelai dalam negeri
cenderung berfluktuasi namun menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun.
Peningkatan secara drastis terjadi pada kurun waktu 2008-2011 dari 1.9 juta ton menjadi 2.9 juta
ton. Namun setelah itu perlahan-lahan menurun menjadi 2.5 juta ton pada tahun 2014, dan
kembali naik sebesar 24.42% pada tahun 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa trend
pertumbuhan jumlah penduduk dan industry pangan kedelai memiliki hubungan yang positif
terhadap permintaan dalam negeri. Maknanya, setiap peningkatan jumlah penduduk dan
peningkatan jumlah industry pangan kedelai akan mempengaruhi peningkatan jumlah
permintaan terhadap kedelai. Perbaikan kualitas pembangunan manusia terutama peningkatan
pendapatan perkapita, perubahan pola pangan dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap
kebutuhan gizi yang baik turut mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat terhadap kedelai.
Berdasarkan hasil analisis kecenderungan plot terhadap permintaan kedelai dalam negeri (Grafik
1), maka diperoleh model analisis secara linear dengan persamaan sebagai berikut:

459
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Y = 1,601,719 + 103,496X
3300000
y = 103,496x + 1,601,719
3100000 R² = 1

2900000
Domestic Demands (tons)

2700000

2500000

2300000

2100000

1900000

1700000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Year
Domestic Demand (tons) Linear (Domestic Demand (tons))

Gambar 1. Pola Perkembangan Permintaan Kedelai Indonesia 2003-2017

Sementara itu, produksi kedelai dalam negeri sangat berfluktuasi dengan laju pertumbuhan
0.93%, namum trend produksi menunjukkan kecenderungan penurunan (Grafik 2). Pada tahun
2003 total produksi dalam negeri mencapai 671,600 ton dan terus meningkat menjadi 808,353
ton pada tahun 2005. Setelah itu mengalami penurunan sampai tahun 2007 dan kembali
meningkat sampai tahun 2009. Kemudian, produksi kedelai perlahan turun sampai 2013 dan
sedikit naik dalam dua tahun berikutnya, namun anjlok menjadi 425,246 ton pada tahun 2017.
Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi rendahnya produksi kedelai dalam negeri adalah
penurunan areal tanam akibat alih fungsi lahan kedelai ke komoditas pangan lainnya, perubahan
iklim yang ektrem, dan rendahnya insentif yang diterima petani. Berdasarkan hasil analisis
kecenderungan plot terhadap produksi kedelai dalam negeri, maka diperoleh model analisis
secara kuadratik dengan persamaan sebagai berikut:

Y = 572,286 + 66,686X – 3,701.9X2


1200000

1000000
Production (tons)

800000

600000

y = -3701.9x2 + 66686x + 572286


400000 R² = 0.3051

200000

0
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Year
Production (tons) Poly. (Production (tons))

Gambar 3. Pola Perkembangan Produksi Kedelai Indonesia 2003-2017.

460
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Menurut beberapa studi terdahulu (Budhi & Aminah, 2010; Adetama, 2011; GAIN 2019)
menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dan industry pangan kedelai secara langsung
berpengaruh terhadap permintaan kedelai di Indonesia. Faktor utamanya adalah peningkatan
kesadaran terhadap pola pangan (nutrisi makanan) yang dipengaruhi oleh laju pertumbuhan
ekonomi (pendapatan perkapita). Disisi lain, tingginya permintaan hasil olahan pangan kedelai
dalam bentuk tempe, tahu, kecap, dan keripik tempe juga ikut mendorong tumbuhnya industry
pengolahan pangan kedelai. Terutama produsen tahu dan tempe membutuhkan lebih dari separuh
total kebutuhan nasional. Oleh karena itu, peningkatan permintaan kebutuhan kedelai Indonesia
yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan industri pengolahan pangan
kedelai. Total konsumsi kedelai domestic tahun 2017/2018 mencapai 3.01 juta ton, meningkat
sebesar 60,000 ton pada periode tahun berikutnya, dan diperkirakan akan meningkat menjadi
3,13 juta ton pada tahun 2019/2020.
Kecenderungan peningkatan permintaan yang tidak dibarengi dengan peningkatan
produksi memiliki implikasi bahwa Indonesia akan terus menghadapi defisit yang semakin besar.
Hasil ini analisis tren menunjukkan bahwa produksi kedelai dalam negeri akan terus menurun
dari tahun 2018-2022 dengan laju pertumbuhan minus -6.12%. Produksi kedelai adalah
diperkirakan akan meningkat 27.60% pada tahun 2018 dari tahun sebelumnya. Namun, secara
perlahan-lahan akan terus turun sehingga menjadi 425,246 ton pada tahun 2022. Penurunan yang
terus berlanjut ini adalah akibat dari kurangnya insentif yang diterima petani sehingga mereka
beralih ke komoditas yang lebih menguntungkan seperti padi dan jagung. Disisi lain, penetapan
kebijakan harga minimum dan pengetatan kebijakan import terhadap padi dan jagung ikut
mempengaruhi keyakinan petani untuk menanam komoditas ini. Oleh karena itu, swasembada
kedelai akan sangat sulit tercapai jika tidak dilakukan terobosan-terobosan untuk meningkatkan
produksi dalam negeri. Upaya peningkatan produksi tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis
semata, tetapi perlu didukung upaya memotivasi dan memperkuat partisipasi petani dalam
menanam kedelai, yaitu perbaikan tata niaga kedelai, penetapan harga dasar yang menarik, yang
didukung oleh penyediaan teknologi, penyuluhan dan pemberian insentif lainnya (Zakaria,
2010).
Proyeksi keseimbangan konsumsi dan produksi merupakan tantangan yang sangat besar
bagi pemerintah Indonesia saat ini. Proyeksi pertumbuhan permintaan yang tinggi yang tidak
sejalan dengan pertumbuhan produksi kedelai yang negative menyebabkan Indonesia akan terus
mengalami defisit yang semakin melebar. Mau tidak mau, pemenuhan permintaan kedelai dalam
negeri akan terus bergantung pada impor. Volume import kedelai meningkat dari 1.2 juta ton
pada tahun 2003 menjadi 2.5 juta ton pada tahun 2017, dengan laju pertumbuhan 6.19% per
tahun selama periode 2003-2017. Kondisi ini tentu memiliki implikasi yang kurang baik terhadap
iklim produksi kedelai dalam negeri jika tidak segera ditanggulangi. Oleh karena itu, program
peningkatan produksi dalam negeri harus menjadi prioritas, dengan memberikan insentif baik
bersifat teknis maupun non teknis untuk merangsang dan mendorong petani melakukan budidaya
kedelai. Hasil analisis trend dan proyeksi terhadap volume impor kedelai Indonesia secara
menunjukkan pola yang linear dengan persamaan (Grafik 3):

461
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Y = 840,666 + 103,114X

2900000
y = 103114x + 840666
R² = 0.8764

2400000
Import Volum (tons)

1900000

1400000

900000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Year

Import (tons)

Gambar 3. Pola Perkembangan Impor Kedelai Indonesia 2003-2017.

Volume impor kedelai diproyeksikan mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2018 dan akan terus
meingkat menjadi 2.9 juta ton pada tahun 2022, atau tumbuh sekitar 3.03% per tahun selama
priode 2018-2022. Kondisi ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan industry
pengolahan pangan kedelai.

Tabel 1. Hasil peramalan permintaan, produksi dan impor kedelai Indonesia 2018-2022
Tahun Permintaan (ton) Produksi (units) Volume impor (ton)
2018 3,257,655 691,576 2,490,490
2019 3,361,151 636,099 2,593,604
2020 3,464,647 573,218 2,696,718
2021 3,568,143 502,934 2,799,832
2022 3,671,639 425,246 2,902,946

Hasil estimasi model persamaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi impor


kedelai
Hasil analisis statistic (Tabel 2) menunjukkan bahwa harga luar negeri, nilai tukar,
produksi dalam negeri, permintaan dalam negeri, harga dalam negeri, volume impor tahun
sebelumnya dan kebjikan tariff impor secara serempak mempengaruhi volume impor kedelai
Indonesia. Nilai koefisien determinasi pada persamaan ini adalah 0.9997 yang bermakna
persamaan ini memiliki keragaman impor kedelai Indonesia sebesar 99.97%, sementara itu
0.03% dijelaskan oleh variable lain diluar model. Namun secara parsial, faktor yang paling
mempengaruhi impor secara nyata adalah produksi dalam negeri, permintaan dalam negeri, nilai
tukar rupiah terhadap dolar, harga dalam negeri dan harga global. Sementara volume impor
tahun sebelumnya dan kebijakan tariff tidak memiliki pengaruh nyata terhadap impor. Nilai
konstanta impor adalah 270066.2, bermakna bahwa pada saat faktor-faktor yang mempengaruhi
impor kedelai bernilai nol maka impor kedelai di Indonesia sebesar 270,066.2 ton. Nilai
konstanta yang positif menunjukkan bahwa terjadi penambahan impor kedelai di Indonesia pada
tahun tertentu sebesar 270,066.2 ton.
Permintaan dalam negeri memiliki hubungan positif terhadap volume impor. Ini bermakna
bahwa setiap peningkatan permintaan dalam negeri maka akan mempengaruhi peningkatan

462
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

impor kedelai. Secara statistic menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu ton permintaan akan
meningkatkan volume impor sebesar 0.99 ton. Disisi lain, jumlah produksi kedelai dalam negeri
memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan impor. Semakin tinggi produksi akan
mengurangi jumlah impor. Secara statistic menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu ton
produksi maka akan mampu mengurangi 1.02 ton impor. Oleh karena itu, kecenderungan
peningkatan permintaan kedelai setiap tahun menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk
melakukan kebijakan impor untuk mengurangi defisit kebutuhan karena produksi yang rendah.
Secara historis, Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai pada periode 1970-1974,
namun setelah itu perlahan-lahan perdagangan kedelai mengalami defisit sampai saat ini. Maka,
upaya terhadap peningkatan produksi menjadi sebuah keharusan dan prioritas bagi pemerintah
untuk mengurangi ketergantungan terhadap import, melalui peningkatan produktivitas,
perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan kualitas produk, perbaikan
akses pasar, perbaikan system permodalan, pengembangan infrastruktur, pengaturan tata niaga
dan insentif usaha (Sudaryanto & Swastika, 2007; Tastra et al, 2012).

Tabel 2. Hasil Analisis Statistik Impor Kedelai Indonesia.


Persamaan Variable Coefficient Std.Err tstat Pvalue
Volume Impor PW -376.284 172.362 -2.18 0.035
(M) ER -31.313 11.752 -2.66 0.011
PRODL -1.021 0.037 -27.55 0.000
DL 0.996 0.027 35.94 0.000
PL 0.026 0.011 2.23 0.031
Mt-1 0.024 0.021 1.12 0.268
POLM -755.728 1123.564 -0.67 0.505
constant 270066.2 110848.3 2.44 0.019
R2 0.9997
Fstat 3020.63
Pvalue 0.000
Permintaan PL -0.109 0.169 -0.65 0.521
Dalam Negeri TP 0.029 0.018 1.62 0.113
(DL) TIS 8274.646 6003.718 1.38 0.175
constant -6419930 3958763 -1.62 0.112
R2 0.8627
Fstat 23.23
Pvalue 0.000
Harga Dalam RasioDSL 5359876 475631.1 11.27 0.000
Negeri (PL) POLP 3175656 821003.2 3.87 0.000
R2 0.9854
Fstat 270.63
Pvalue 0.000
Penawaran PL 0.052 0.051 1.02 0.315
Dalam Negeri M 0.797 0.221 3.61 0.001
(SL) X -0.449 3.196 -0.14 0.889
constant 782352.9 146665.8 5.33 0.000
R2 0.9341
Fstat 50.27
Pvalue 0.000
Source: data diolah, 2018

Nilai tukar rupiah terhadap US$ memiliki hubungan negative dengan volume impor.
Implikasinya, penguatan nilai rupiah terhadap dolar maka akan mampu menurunkan volume
impor. Sementara itu, variable harga dalam negeri memiliki hubungan yang positif. Tingginya
harga kedelai dalam negeri merupakan implikasi produksi yang sedikit sehingga tidak mampu

463
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

mencukupi permintaan. Karenanya, kebijakan impor dilakukan untuk menutupi kekurangan


produksi. Secara statistic menunjukkan bahwa setiap kenaikan Rp.100 harga kedelai dalam
negeri maka akan menambah volume impor sebesar 2.6 ton/tahun. Disisi lain, harga kedelai luar
negeri memiliki hubungan yang negative terhadap volume impor. Secara statistic menunjukkan
setiap peningkatan satu US$ harga kedelai luar negeri maka akan mampu menurunkan volume
import sebesar 376.3 ton/tahun.
Permintaan dalam negeri secara serempak dipengaruhi oleh harga dalam negeri, jumlah
penduduk dan jumlah industry pengolahan pangan kedelai. Koefisien determinasi perminataan
adalah 0.8627 artinya model persamaan ini dapat menjelaskan permintaan kedelai dalam negeri
sebesar 86.27%, sementara 13.37% dijelaskan oleh variable yang lain diluar model ini. Secara
parsial, jumlah penduduk dan jumlah industry pengolahan pangan memiliki hubungan yang
positif terhadap permintaan, sementara harga dalam negeri memiliki hubungan yang negative
terhadap permintaan. Namun demikian, secara statistic semua variable ini tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap permintaan dalam negeri. Performa kualitas kedelai impor yang lebih
baik dibandingkan dengan kedelai local menjadikan harga domestik, jumlah penduduk dan
industry pengolahan tidak bergantung pada hasil produksi local. Implikasinya, kedelai impor
masih menjadi preferensi utama bagi produsen dan konsumen di Indonesia.
Pada persamaan harga kedelai dalam negeri, nilai koefisien determinasi adalah 0.9854,
maknanya kedua variable rasio antara permintaan dan penawan kedelai dalam negeri dan
kebijakan proteksi dari pemerintah dapat menjelaskan keragaman harga kedelai dalam negeri
98.54% sementara 1.46% dijelaskan oleh variable lain diluar model. Secara statistic, kedua
variable tersebut secara serempak berpengaruh terhadap harga dalam negeri. Pada rasio
permintaan dan penawaran, maka permintaan memiliki hubungan yang positif sementara
penawaran memiliki hubungan yang negative. Artinya, jika terjadi peningkatan permintaaan
dalam negeri maka harga kedelai dalam negeri akan meningkat, sebaliknya jika penawaran
dalam negeri meningkat maka harga dalam negeri akan menyebabkan harga dalam negeri
menjadi turun. Kondisi ini sesuai dengan teori permintaan dan penawaran dimana hubungan
antara variable-variabel tersebut saling berkorelasi. Defisit rasio antara permintaan yang tinggi
dan penawaran dalam negeri yang rendah, menyebabkan ketergantungan terhadap kedelai impor
menjadi sebuah keharusan. Sehingga, banyaknya jumlah kedelai impor yang beredar akan
mempengaruhi harga kedelai local menjadi turun dari harga sebelumnya. Kondisi ini
menyebabkan nilai insentif yang diterima petani terhadap produksi kedelai menjadi rendah.
Selain itu, politik komoditas Negara-negara importir kedelai yang mampu memproduksi
performa kedelai yang lebih efisien dapat menekan harga jual kedelai impor menjadi lebih
murah. Akibatnya kualitas dan harga kedelai local sulit untuk bersaing dengan kedelai impor.
Kebijakan proteksi penetapan harga dasar produsen oleh pemerintah juga memiliki
hubungan yang positif dan signifikan terhadap harga kedelai dalam negeri. Pemerintah telah
melakukan upaya untuk mengevaluasi kinerja kebijakan tariff bea masuk terhadap kestabilan
harga domestic. Namun kebijakan ini tidak berjalan dengan efektif, sehingga pemerintah
mengambil langkah untuk melakukan kebijakan pangamanan harga melalui monopoli dadang
Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk membeli dan menyalurkan kedelai local. Sejauh ini,
kinerja dari penerapan kebijakan tersebut juga belum membuahkan hasil yang diharapkan.
Penawaran dalam negeri secara serempak dipengaruhi oleh harga dalam negeri, volume
impor dan volume ekspor. Nilai koefisien determinasi pada persamaan ini adalah 0.9341 artinya
variable-variabel tersebut dapat menjelaskan keragaman penawaran kedelai dalam negeri
sebesar 93.41% sementara 6.59% dipengaruhi oleh variable lain diluar model. Secara statistic,
tanpa dipengaruhi oleh faktor lain, maka penawaran dalam negeri sebesar 782,353 ton/tahun.
Harga dalam negeri memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran. Semakin tinggi harga
yang diterima oleh petani, maka akan dapat memacu petani untuk memproduksi kedelai. Secara
statistic menunjukkan setiap kenaikan Rp. 100 harga dalam negeri maka akan meningkatkan
penawaran sebesar 5.2 ton per tahun. Disisi lain, volume impor memiliki hubungan yang positif

464
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dan signifikan terhadap penawaran dalam negeri, sementara volume ekspor memiliki hubungan
yang negative dan tidak signifikan terhadap penawaran dalam negeri. Secara statistic, setiap
peningkatan satu ton volume impor maka akan meningkatkan penawaran sebesar 0.80 ton.
Sebaliknya setiap peningkatan satu ton volume ekspor maka akan menurunkan jumlah
penawaran 0.45 ton per tahun.

PENUTUP
Impor memiliki manfaat dalam jangka pendek untuk menstabilkan defisit antara
permintaan dan produksi dalam negeri. Kebijakan impor diharapkan akan memberikan implikasi
untuk dapat merangsang produksi dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap impor dapat
dikurangi. Namun, hasil analisis statistic menunjukkan bahwa tren impor kedelai akan terus
meningkat selama neraca kesimbangan konsumsi dan produksi terus mengalami defisit. Proyeksi
permintaan yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan jumlah
industry pengolahan pangan kedelai. Perubahan pola pangan masyarakat yang baik terhadap
kebutuhan nutrisi ikut memicu konsumsi kedelai melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi
masyarakatnya. Dilain pihak, proyeksi produksi kedelai menunjukkan kecenderungan menurun,
sementara laju permintaan mengalami pertumbuhan. Rendahnya insentif kedelai local menjadi
faktor pemicu petani lebih memilih menanam komoditas pangan lainnya. Hasilnya, proyeksi
kebutuhan kedelai Indonesia kedepan masih akan sangat bergantung pada impor.

DAFTAR PUSTAKA
Adetama D S 2011 Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia Periode 1978-2008 [Thesis]
(Jakarta: Universitas Indonesia)
Agustian A dan Friyatno 2014 Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Kedelai di
Indonesia, Jurnal Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian
Polinela
Aldillah R 2015 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia, Jurnal Ekonomi Kuantitatif
Terapan, 8 (1) 9–23 

Alimoeso S 2008 Ketahanan Pengan Nasional: Antara Harapan dan Kenyataan (Jakarta:
Pameran Agrinex)
Aimon H dan Satrianto A 2014 Prospek Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2015-
2020. Jurnal Kajian Ekonomi, 3 (5) 9–23 

Atmaja L S 1997 Memahami Statistika Bisnis (Yogyakarta: Andi Offset)
Basri F dan Munandar H 2010 Dasar-dasar Ekonomi Internasional: Pengenalan dan Aplikasi
Metode Kuantitatif (Jakarta: Kencana)
BPS 2017 Statistik Manufaktur Indonesia (Jakarta: Badan Pusat Statistik)
Budhi G S dan Aminah M 2010 Swasembada Kedelai: Antara Harapan dan Kenyataan, Forum
Penelitian Agro Ekonomi, 28 (1) 55-68
Case K E dan Fair R C 2004 Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro –edisi kelima (Jakarta: PT Indeks
Chuang YC)
Ekananda M 2014 Ekonomi Internasional (Jakarta: Erlangga)
FAO 2018 FAO STAT, available from http://www.fao.org/faostat/eng/#data, diakses pada 12
Mei 2019
GAIN Report 2019 Indonesia Oilseeds and Products Annual Report 2019, Global Agricultural
Information Network (GAIN), USDA Foreign Agriculture Service, diakses melalui

465
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

https://gain.fas.usda.gov/Recent%20GAIN%20Publications/Oilseeds%20and%20Product
s%20Annual_Jakarta_Indonesia_3-15-2019.pdf pada 1 Juni 2019
Kasryno F D H, Darmawan I W, Rusastra dan Rasahan C A 1985 Pemasaran Kedelai di
Indonesia Kedelai, eds Somaatmadja et al. (Bogor: Puslitbang Tanaman Pangan)
Kementerian Perdagangan RI 2014 Laporan Outlook Pangan Kedelai 2015-2019 (Jakarta: Pusat
Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia)
Kementerian Perdagangan RI 2018 Analisis Perkembangan Harga Bahan Pangan Pokok di Pasar
Domestik dan Internasional Desember 2018 (Jakarta: Pusat Pengkajian Perdagangan
Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia)
Kementerian Pertanian RI 2017 Outlook Tanaman Pangan dan Hortikultura 2017 (Jakarta: Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Republik
Indonesia)
Nainggolan K 2008 Ketahanan dan Stabilitas Pasokan, Permintaan dan Harga Komoditas
Pangan, Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 6 (2) 114-139
Nuhung I A 2013 Kedelai dan Politik Pangan, Forum Penelitian Agro Ekonomi, 31 (2) 123-135
Ningrum I H, Irianto H and Riptanti E W 2018 Analysis of soybean production and import trends
and its import factors in Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 142 012059
Pusat Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 2015 Laporan Analisis Kebijakan Tahun 2015 (Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)
Sudaryanto T & Swastika D K 2007 Ekonomi kedelai di Indonesia Kedelai: Teknik Produksi
dan Pengembangan, eds Sumarno et al. (Bogor: Puslitbang Tanaman Pangan)
Tastra I K, Ginting E, dan Fatah G S A 2012 Menuju Swasembada Kedelai Melalui Penerapan
Kebijakan yang Sinergis. Iptek Tanaman Pangan 7 (1) 47–57
Zakaria A K 2010 Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam Peningkatan Produksi dan
Pendapatan Petani. Jurnal Litbang Pertanian, 29 (4) 147–153 

Zakiah 2012 Preferensi dan Permintaan Kedelai pada Industri dan Implikasinya Terhadap
Manajemen Usaha Tani. Jurnal Mimbar, 28 (1) 77-84

466
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Efektivitas Penyuluhan Pada Petani Kangkung


Effectiveness of Extension in Water Spinach Farmers
Ellyta1 dan Arni Setya Ningsih1
1Universitas Panca Bhakti, Pontianak

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas penyuluhan pertanian
Efektifitas terhadap petani kangkung. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah
Penyuluhan metode analisis kuantitatif. Pengambilan sampel dilakukan dengan Random
Kangkung Sampling dengan sampel yang diambil adalah 75 orang di Kelurahan Siantan
Pembelajaran Hilir Kota Pontianak. Data yang diambil meliputi data reaction, learning,
Sikap behavior, dan result. Data pengukurannya menggunakan skala likert. Hasil
penelitian menunjukan bahwa efektivitas penyuluhan diukur yaitu reaksi,
pembelajaran, perubahan sikap dan hasil akhir diperoleh rerata skor Hasil
rekapitulasi dari analisis penilaian efektivitas, yaitu reaksi, pembelajaran,
perubahan sikap dan hasil akhir diperoleh rerata skor sebesar 148,7. Nilai
tersebut berada pada interval 75-150 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa
keseluruhan penilaian efektivitas penyuluhan pada petani kangkung di
Kelurahan Siantan Hilir berada dalam kategori rendah. Masih belum
optimalnya penyuluh dalam melakukan penyuluhan menjadi hal yang perlu
diperhatikan dalam peningkatan usahatani kangkung.
ABSTRACT

Keywords: The research is aim to examine the effectiveness of agricultural extensionin


Effectiveness water spinach farmers. The method used is quantitative analysis method.
Extension Sampling was done by Simple Random Sampling with 75 samples, taken in
Water Spinach District of Siantan Hilir Pontianak City. Data were taken includes reaction,
Learning learning, behaviour, and result. Measurement data using Likert Scale. The
Behaviour result showed that the effectiveness of extension was measures in terms of
reactions, learning, behaviour change and the final result obtained a score of
148,7. This value is in 75-150 interval so that it can be interpreted that overall
assessment of the effectiveness of extension is low. The instructor was not
optimal in extension, and that was need to be more concern in improving
water spinach farming.

Email Korespondensi: el_lyta@yahoo.com

PENDAHULUAN
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan SDM pertanian, terutama
SDM petani, adalah melalui kegiatan penyuluhan pertanian. Melalui kegiatan penyuluhan
pertanian, masyarakat pertanian dibekali dengan ilmu, pengetahuan, keterampilan, paket-paket
teknologi baru di bidang pertanian dengan sapta usahanya. Diantaranya penanaman nilai-nilai
atau prinsip-prinsip agribisnis, mengkreasikan SDM dengan prinsip inovasi, yang lebih
utamanya mengubah sikap masyarakat tani di pedesaan agar tau dan mau menerapkan informasi
anjuran yang diberikan oleh penyuluh dalam tujuannya meningkatkan tingkat keberasilan usaha
petani. Tujuan penyuluhan pertanian yaitu menciptakan masyarakat tani yang kompeten yang

467
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

mampu menciptakan usaha yang tangguh, dengan better farming, better business, better living
dan better enviroment. Untuk mewujudkan semua itu tentunya diperlukan usaha khusus
penyuluhan melalui pembangunan sistem penyuluhan pertanian nasional yang mampu
membantu petani dan pelaku usaha pertanian lain untuk memperbaiki kehidupan dan
penghidupannya serta meningkatkan kesejahteraannya (Bahua, 2016). Pengalaman
menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian di Indonesia telah memberikan sumbangan yang
sangat signifikan pada pencapaian dari berbagai program pembangunan pertanian. Program
Bimbingan Massal (Bimas), penyuluhan pertanian dapat mengantarkan bangsa Indonesia
mencapai swasembada beras pada tahun 1984, yang dilakukan melalui koordinasi yang ketat
antar instansi terkait tapi masih dengan menggunakan pendekatan dari atas yang dimodifikasi
(Charina, 2015).
Potensi kangkung di Kota Pontianak khususnya Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan
Pontianak Utaracukup menjanjikan dilihat dari data produksi seperti yang ada di tabel 1 berikut
ini.

Tabel 1. Produksi Tanaman Kangkung (Ton).


Produksi Provita
Tahun Luas Panen (Ha)
(Ton) (Ton/Ha)
2013 36 6,875 0,191
2014 38 6,306 0,166
2015 38 6,493 0,171
2016 36 6,21 0,173
2017 176 14,926 0,085
Total 324 40,81 0,126
Sumber: Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, 2018.

Dapat dilihat dari tabel 1, bahwa produksi tanaman kangkung di Kota Pontianak khususnya
di Kelurahan Siantan Hilir mengalami peningkatan dan penurunan (tidak stabil). Hal ini dapat
dipengaruhi oleh cuaca, faktor kemampuan pengelolaan, penyuluhan, dan lain-lain. Rata-rata
produksi tanaman kangkung produksi di Kelurahan Siantan Hilir mengalami penurunan produksi
dilihat dari perbandingan jumlah produksi dengan luas panen, hanya pada tahun 2017 mengalami
peningkatan dikarenakan adanya peralihan lahan dari lidah buaya ke kangkung dan pembukaan
lahan yang baru. Adanya peningkatan lahan ini membuat petani membutuhkan penyuluhan
dikarenakan petani masih kurang pandai dalam mengtasi permasalahan yang ada. Peningkatan
lahan tidak sesuai dengan hasil produksi, dimana luas lahan sebesar 176 Ha tetapi hasil produksi
hanya sebesar 14.926 Ton.
Penyuluhan sangat penting dalam hal peningkatan produksi pertanian. Seperti yang
diutarakan oleh Afrinawati, dkk (2016) yaitu bahwa penyuluhan pertanian dapat meningkatkan
pendapatan yang sebelumnya 72,9% sebelum adanya penyuluhan kemudian meningkat menjadi
94,8% setelah adanya penyuluhan. Selain itu Sadono (2008) mengatakan bahwa Penyuluhan
pertanian mempunyai peran untuk membantu petani agar dapat menolong dirinya untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapinya secara baik dan memuaskan sehingga meningkat
derajat kehidupannya. Dengan demikian nilai penting yang dianut dalam penyuluhan adalah
pemberdayaan sehingga terbentuk kemandirian petani. Dengan adanya ketidakstabilan produksi
kangkung dari petani maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas penyuluhan
pertanian yang ada di Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha
agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses
informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk

468
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta


meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Kementerian Pertanian,
2016).
Efektivitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada
bagaiman cara mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan
outputnya (Siagaan, 2001 dan Djumhana, 2007). Menurut Kirkpatrick (2005) dalam Charina
(2015) model yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat efektivitas program pelatihan, yang
mana mencakup empat level evaluasi, diantaranya: reaction, learning, behavior, dan result.
Pada penelitian ini, akan dilakukan evaluasi ataupun pengkajian terhadap penyuluhan yang
telah dilakukan terhadap petani kangkung di wilayah Siantan hilir. Evaluasi akan dilakukan
dengan penilaian menggunakan skala likert. Adapun inti dari penialian adalah pada Reaksi
dimana reaksi dimaksud meliputi bobot materi yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani,
kualitas dari fasilitas yang diberikan, strategi pembelajaran yang digunakan penyuluh dan media
pembelajaran yang disediakan. Kemudian Pembelajaran, Dari pembelajaran yang didapat
diharapkan peranan penyuluh dalam meningkatan pengetahuan petani seputar pertanian, peranan
penyuluh dalam meningkatan pengetahuan petani seputar pengembangan usaha tani, dan
peningkatan pengetahuan dalam bercocok tanam. Selanjutnya Perubahan Sikap. Setelah
adanya penyuluhan, apakah petani menerapkan ilmu yang didapatkan dan menyampaikan ilmu
yang didapatkan kepada petani lain. Bagian terakhir adalah Hasil Akhir. Hasil dari penyuluhan
diharapkan dapat meningkatan produktivitas, meningkatan profit, meningkatan kemampuan
petani dalam bekerja sama, dan meningkatan solidaritas antar petani.
Setelah dilakukan evaluasi kemudian dilihat apakah penyuluhan yang dilakukan itu sudah
efektif atau sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Jika nilai efektivitas tidak sesuai dengan
kriteria, maka perlu diberikan solusi seperti perbaikan sistem dari penyuluhan tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota
Pontianak.. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah sebanyak 294 orang. Sampel diambil
sebanyak 75 orang dari 294 petani. Adapun ukuran sampel yang ditentukan dalam penelitian ini
adalah berdasarkan perhitungan Slovin sebagai berikut (Sugiyono, 2018):
𝑵
n= 𝟐
𝟏+𝑵(𝒅)
𝟐𝟗𝟒
n=
𝟏+𝟐𝟗𝟒(𝟏𝟎%)𝟐
𝟐𝟗𝟒
n=
𝟏+𝟐𝟗𝟒(𝟎.𝟏)𝟐
𝟐𝟗𝟒
n=
𝟏+𝟐𝟗𝟒(𝟎.𝟎𝟏)
𝟐𝟗𝟒
n=
𝟑.𝟗𝟒
n = 74.61
n = 75

Sampel sebanyak 75 diambil dengan menggunakan metode Simple Random Sampling.


Cara pengumpulan data primer dengan melalui penyebaran kuesioner kepada 75 orang petani
sampel. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan Kota Pontianak.
Data yang diambil meliputi data reaction, learning, behavior, dan result berdasarkan
penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya yang dilakukan oleh Charina (2015)
dimana pengukurannya dengan menggunakan indikator efektivitas Kirkpatrick (2005). Data
pengukurannya menggunakan skala likert. dengan mengacu pada pendapat (Umar, 2014),
dimana rentang skor dihitung dengan rumus sebagai berikut:

469
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Total Range = Error!


Dimana:
Skor tertinggi : 75 x 3 = 225
Skor terendah : 75 x 1 = 75

Rata-rata range dihitung dengan rumus:


Rs = Error!
Dimana
n= jumlah sampel
m= jumlah kategori

Kriteria skor untuk menunjukkan indikator efektifitas terdiri dari tiga yaitu tinggi dimana
kisaran skor pada interval 227-302, sedang (151-226), dan rendah (75-150).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden
Sebagian besar responden petani kangkung di Kelurahan Siantan Hilir masih dalam umur
produktif dengan kisaran umur 32-48 tahun (sebanyak 74%), rata-rata pendidikan sampai
dengan Sekolah Dasar, Rata-rata luas lahan yang dimiliki petani di Kelurahan Siantan Hilir yaitu
sebesar 0,56 Ha, sebanyak 36 petani atau sebanyak 48%, petani bergabung > 10 tahun, frekuensi
terbanyak yang diadakan penyuluh dalam 1 tahun yaitu < 3 kali dalam setahun sebesar 57%

Efektivitas Penyuluhan pada Petani Kangkung di Kelurahan Siantan Hilir


Berdasarkan hasil analisis terhadap masing-masing variabel Efektivitas menurut
Kirkpatrick (2005) diukur melalui Reaksi (Reaction), Pembelajaran (Learning), Perubahan Sikap
(Behaviour) dan Hasil Akhir (Result). Selanjutnya direkapitulasi dari keempat aspek yang ada
di penelitian ini guna untuk mengetahui kriteria respon dari 75 responden terhadap penyuluhan
yang diberikan penyuluh kepada petani kangkung di Kelurahan Siantan Hilir. Untuk lebih
jelasnya, rekapitulasi nilai responden pada masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel 2 di
bawah ini.
Secara keseluruhan dilihat dari aspek reaksi, maka petani menyatakan penyuluhan yang
telah dilakukan oleh penyuluh efektifitasnya adalah sedang, hal ini dapat dilihat dari rata-rata
skor penilaian yaitu 173,5, dimana nilai ini masuk dalam range nilai antara 151-226. Dilihat dari
aspek pembelajaran, maka petani menyatakan penyuluhan yang telah dilakukan oleh penyuluh
efektifitasnya rendah, hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata skor penilaian yaitu 115,8, dimana
nilai ini masuk dalam range nilai antara 75-150. Hal ini dikarenakan petani kangkung di
Kelurahan Siantan Hilir banyak yang tidak dapat menerapkan apa yang sudah mereka dapat dari
penyuluh dan petani merasa penyuluh tidak sepenuhnya memberikan fasilitas kepada petani
kangkung di Kelurahan Siantan Hilir.

Tabel 2. Rekapitulasi Efektivitas Penyuluhan Pada Petani Kangkung.


Pernyataan Rata-Rata Skor
Reaksi
Materi penyuluhan yang diberikan penyuluhan tentang penyakit sudah
156
sesuai dengan kebutuhan dalam berusaha tani kangkung
Materi penyuluhan yang diberikan penyuluhan tentang olah tanah
187
sudah sesuai dengan kebutuhan dalam berusaha tani kangkung
Materi penyuluhan yang diberikan penyuluhan tentang pemasaran
173
sudah sesuai dengan kebutuhan dalam berusaha tani kangkung

470
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pernyataan Rata-Rata Skor


Materi penyuluhan yang diberikan penyuluhan tentang pasca panen
174
sudah sesuai dengan kebutuhan dalam berusaha tani kangkung
Penyuluhan yang dilakukan penyuluh dengan bentuk demplot 186
Dapat menerapkan materi yang telah disampaikan secara tatap muka 165
Jumlah 1041
Rata-rata 173,5
Pembelajaran
Dapat menerapkan materi yang telah disampaikan dalam berusahatani
112
kangkung
Setuju dengan adanya tempat pertemuan untuk melakukan
117
penyuluhan
Setuju bahwa ada fasilitas alat untuk menerapkan materi dari
120
penyuluh
Setuju bahwa ada fasilitas bantuan dana dari pemerintah 118
Setuju bahwa ada fasilitas bantuan obat-obatan dari pemerintah 112
Jumlah 579
Rata-rata 115,8
Perubahan Sikap
Mendapatkan kesempatan untuk membagi (diseminasi) pengetahuan
158
tentang penyuluhan yang sudah diberikan
Berkomunikasi dengan petani lain untuk membagi (diseminasi)
155
pengetahuan tentang penyuluhan yang sudah diberikan
Sudah membagikan informasi kepada anggota kelompok tani lain 148
Jumlah 461
Rata-rata 153,7
Hasil Akhir
Berkesempatan untuk mengajukan usulan mengenai materi
148
penyuluhan
Berkesempatan untuk mengajukan usulan mengenai tempat
155
penyuluhan
Berkesempatan untuk mengajukan usulan mengenai waktu
151
penyuluhan
Jumlah 455
Rata-rata 151,7
Rerata Skor 148,7
Sumber: Hasil Analisis Data, 2019.

Dilihat dari aspek perubahan sikap, maka petani menyatakan penyuluhan yang telah
dilakukan oleh penyuluh dapat dilihat dari nilai rata-rata skor penilaian yaitu 153,7, dimana nilai
ini masuk dalam range nilai antara 151-226 masuk dalam kategori sedang. Hal ini dikarenakan
petani kangkung di Kelurahan Siantan Hilir banyak yang tidak dapat membagikan informasi
kepada anggota kelompok lainnya, karena petani masih kurang memahami isi dari penyuluhan
tersebut yang mengakibatkan petani tidak dapat membagikan informasi kepada yang lainnya.
Secara keseluruhan dilihat dari aspek reaksi, maka petani menyatakan penyuluhan yang telah
dilakukan oleh penyuluh efektifitasnya adalah sedang, hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor
penilaian yaitu 151,7, dimana nilai ini masuk dalam range nilai antara 151-226.
Hasil rekapitulasi dari analisis penilaian efektivitas, yaitu reaksi, pembelajaran, perubahan
sikap dan hasil akhir diperoleh rerata skor sebesar 148,7. Nilai tersebut berada pada interval 75-
150 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa keseluruhan penilaian efektivitas penyuluhan pada
petani kangkung di Kelurahan Siantan Hilir berada dalam kategori Rendah. Pada aspek
pembelajaran rata-rata nilai skor rendah. Ditunjukkan dari kemampuan menerapkan materi yang
telah disampaikan rendah karena materi yang diberikan penyuluh sesuai dengan kebutuhan

471
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

petani dalam menjalankan usahataninya. Hal ini sesuai dengan pendapat Daulay, dkk (2014)
yang menyatakan sejak urusan penyuluhan pertanian diserahkan kepada pemerintah daerah
sering ditemukan adanya permasalahan yang merugikan petani maupun penyuluh pertanian di
lapangan. Permasalahan yang ditemukan antara lain rendahnya tingkat profesionalisme penyuluh
pertanian, lemahnya administrasi penyuluh pertanian, dan kurangnya kemampuan manajerial
penyuluh pertanian.
Selain itu petani tidak setuju dengan adanya tempat pertemuan untuk melakukan
penyuluhan, karena penyuluh melakukan penyuluhan langsung ke rumah petani (jarangnya
pertemuan secara kelompok), tidak ada fasilitas alat untuk menerapkan materi dari penyuluh,
tidak ada fasilitas bantuan dana dan obat-obatan pengembangan usahatani. Dan juga disebabkan
rendahnya frekwensi penyuluhan yang dilakukan yaitu kurang dari 3 kali dalam setahun, dengan
metode yang dipakai hanya Metode Anjangsana dan kunjungan tersebut tidak rutin menjadikan
penyebab tidak efektifnya penyuluhan.

PENUTUP
Kesimpulan
Hasil rekapitulasi dari analisis penilaian efektivitas, yaitu reaksi, pembelajaran, perubahan
sikap dan hasil akhir diperoleh rerata skor sebesar 148,7. Nilai tersebut berada pada interval 75-
150 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa keseluruhan penilaian efektivitas penyuluhan pada
petani kangkung di Kelurahan Siantan Hilir berada dalam kategori rendah.

Saran
Penyuluh sebaiknya memberikan materi sesuai dengan kebutuhan petani dalam
menjalankan usahataninya. Selain itu perlu ditingkatkan frekwensi kunjungan ke petani dan
metode penyuluhan tidak hanya dengan anjangsana saja tapi juga dengan pertemuan kelompok
tani.

DAFTAR PUSTAKA
Afrinawati, Usman, Mustafa., & Baihaqi, Akhmad. (2016). Efektivitas Penyuluhan Pertanian
Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Sawah Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh
Besar. Volume 1. Nomor 1. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian.
Bahua, Iqbal. Mohamad. (2016). Kinerja Penyuluhan Pertanian. CV. Budi Utama. Yogyakarta.
Charina, Anne. (2015)..Kajian Kinerja Penyuluhan Pertanian di Kecamatan Sindangkasih,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Volume 4. Nomor 1. Jurnal Social Economic of
Agriculture.
Daulay, Marito, Pinta, Maryunianta, Yusak, Emalisa. (2014) Sikap dan Perilaku Petani terhadap
Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Padang Lawas. Volume 3. Nomor 4.Journal on
Social Economic of Agriculture and Agribusiness.
Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak. (2018). Produksi Tanaman
Kangkung.
Djumhana, Muhammad. (2007). Pengantar Hukum Keuangan Daerah. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Umar, Husein. (2014). Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Edisi-2 Cetakan ke-
13. Rajawali Pers. Jakarta
Kementerian Pertanian. (2016). Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
67/permentan/sm.050/12/2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani.

472
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kirkpatrick, L. Donald, & Kirkpatrick, D. James. (2005). Evaluating Training Programme. San
Fransisco: Berrett Koehler Publishers.
Sadono, Dwi. (2008). Pemberdayaan Petani: Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di
Indonesia. Jurnal Penyuluhan Volume 4. Nomor 1.
Siagian, Sondang P. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif. Cetakan ke-1. Alfabeta. Bandung.

473
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kajian Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pada Lahan Bekas Tambang


Emas di Kecamatan Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin
Review of Paady Farming Income on Former Gold Mining Land in
Pangkalan Jambu District, Merangin Regency
Emy Kernalis1, Zakky Fathoni1, dan Vinni Nover Yanti2
1) Staf Pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Unja
2) Alumni Jurusan Agribisnis Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Unja

ABSTRAK

Kata Kunci: Pangan merupakan kebutuhan paling mendasar yang harus dipenuhi oleh
Usahatani Padi Sawah negara maupun masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Untuk
Lahan Bekas Tambang mengetahui gambaran umum usahatani padi sawah pada lahan bekas
Pendapatan tambang emas, 2). Untuk mengkaji dan menganalisis pendapatan usahatani
padi sawah pada lahan bekas tambang emas. Data yang digunakan adalah
data primer dan data sekunder. Metode analisis yang digunakan adalah
analisis deskriptif kuantitatif, dan analisis pendapatan. Hasil dari penelitian
menyimpulkan bahwa : (1) Usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang
emas di daerah penelitian sudah menggunakan irigasi sederhana dengan
musim tanam 2 kali. Pengolahan lahan sudah menggunakan traktor dan
sistem tanam yang digunakan yaitu sistem tanam jajar legowo. Input-input
yang digunakan sudah sesuai dengan yang dianjurkan (benih, pupuk urea,
SP36, KCl, pupuk organik dan obat-obatan), (2) Rata-rata pendapatan
usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas di Kecamatan
Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin masih layak diusahakan dan
menguntungkan dilihat nilai R/C lebih besar dari 1.
ABSTRACT

Keywords: Food is the most basic need that must be met by the state and society. The
Paddy Farming objectives of this study are: 1). To find a general description of paddy farming
Former Gold Mining in a former gold mining land, 2). To study and analyze the income of lowland
Land rice farming in the former gold mining land. The data used are primary data
Revenue and secondary data. The analytical method used is quantitative descriptive
analysis, and income analysis. The results of the study concluded that: (1)
Lowland rice farming in the former gold mining land in the study area has
used simple irrigation with a planting season 2 times in a year. Land
management has used a tractor and the planting system used is the ‘jajar
legowo’ planting system. The inputs used are in accordance with those
recommended (seeds, urea fertilizer, SP36, KCl, organic fertilizer and
medicines), (2) The average income of lowland rice farming in the former
gold mining land in Pangkalan Jambu District, Merangin Regency is still
feasiblly cultivated and profitable seen R / C value is greater than 1.

Email Korespondensi: emykernalis@yahoo.co.id

474
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar yang harus dipenuhi oleh
negara maupun masyarakat, karena pangan merupakan hak azazi bagi setiap individu (Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996). Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki potensi yang cukup besar dibidang pertanian dan memiliki beragam komoditas
pertanian unggulan seperti kelapa sawit, karet dan padi. Selain itu peranan sektor pertanian dalam
menyerap tenaga kerja cukup penting karena mayoritas penduduk di Provinsi Jambi tinggal di
daerah pedesaan dan sektor pertanian masih merupakan andalan sebagian besar petani sebagai
mata pencaharian utama. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejak tahun 2013 hingga tahun
2017 luas panen dan produksi padi sawah di Provinsi Jambi mengalami fluktuasi yang cenderung
meningkat meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2015 yang diduga disebabkan
oleh beberapa faktor seperti alih fungsi lahan, ketersediaan modal, kualitas benih dan pupuk,
teknologi yang digunakan serta tingkat pengetahuan petani.
Kabupaten Merangin merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jambi memiliki luas
panen, produksi dan produktivitas padi sawah yang bervariasi. Pada tahun 2017 dengan luas
panen sebesar 16.566 ha, total produksi sebesar 81.340 ton dan produktivitas sebesar 4,91 ton/ha.
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Merangin tahun 2014-2018, luas panen, produksi
dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Merangin mengalami fluktuasi setiap tahunnya yang
disebabkan oleh adanya aktivitas pertambangan emas tanpa izin atau biasa disebut PETI.
Penurunan luas panen dan produksi padi sawah di Kabupaten Merangin secara drastis terjadi
pada tahun 2015, dimana luas panen menurun sebesar 29,91 persen dari tahun sebelumnya,
begitu juga dengan produksi padi sawah yang menurun sebesar 28,36 persen dibandingkan
dengan tahun 2014. Pada tahun 2016 hingga tahun 2017 luas panen padi sawah Kabupaten
Merangin kembali mengalami peningkatan yaitu sebesar 87,45 persen yang disebabkan oleh
adanya reklamasi lahan tambang emas menjadi lahan sawah kembali. Kecamatan yang terkena
dampak dari pertambangan emas yang mengakibatkan penurunan luas lahan dan produksi salah
satunya adalah Kecamatan Pangkalan Jambu.
Kondisi sawah di Kecamatan Pangkalan Jambu sangat memprihatinkan. Sekitar ±1200 ha
lahan sawah rusak akibat adanya PETI. Pada tahun 2015 akibat dilanda banjir, masyarakat
disekitaran kawasan PETI merasakan dampak dari lahan mereka akibat dikeruk mencari emas
dengan cara ilegal. Setelah produksi emas menurun, masyarakat di daerah PETI meminta agar
pemerintah melakukan reklamasi lahan bekas PETI tersebut menjadi lahan padi sawah kembali,
karena padi merupakan sumber pendapatan sebagian besar penduduk di Kecamatan Pangkalan
Jambu.
Pada tahun 2016 lahan bekas PETI sudah dialih fungsikan kembali menjadi lahan sawah,
namun yang menjadi masalah yang dihadapi petani adalah lahan sawahnya yang menjadi
tumpukan kerikil. Akibatnya petani membutuhkan factor-faktor produksi yang lebih banyak,
seperti pada pengolahan tanah yang harus menggunakan traktor atau alat berat untuk meratakan
tanah sehingga menyebabkan biaya yang dikeluarkan juga bertambah . Mubyarto (1995),
menyatakan, melalui pengelolaan factor produksi yang baik dapat meningkatkan produksi serta
produktivitas usahatani yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan, maka penelitian ini
bertujuan: 1) Untuk mengetahui gambaran umum usahatani padi sawah pada lahan bekas
tambang emas di Kecamatan Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin,2) Untuk mengkaji dan
menganalisis pendapatan usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas di Kecamatan
Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin dengan
pertimbangan Kecamatan Pangkalan Jambu telah melakukan reklamasi lahan bekas tambang .
Selanjutnya dari 8 desa yang ada, diambil 2 desa terluas lahan sawah yang telah direklamasi,

475
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

tepatnya di Desa Baru Pangkalan Jambu dan Desa Bukit Perentak. Objek dalam penelitian ini
adalah petani yang mengusahakan padi sawah pada lahan bekas tambang emas. Jumlah populasi
dalam penelitian adalah 50 petani dengan karakteristik petani yang mengusahakan padi sawah
pada lahan bekas tambang emas, Pengambilan sampel dilakukan dengan Total Sampling. karena
jumlah petani dibawah 100 maka, seluruh populasi dijadikan sampel.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi dan situasi
daerah penelitian yang berbentuk pernyataan-pernyataan, yang dilukiskan dengan perkataan
serta untuk melihat gambaran umum dan karakteristik responden. Sedangkan analisis kuantitatif
digunakan untuk menganalisis pendapatan usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas
di Kecamatan Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin. Adapun penjelasan mengenai metode
analisis data tersebut adalah sebagai berikut :
Untuk menganalisis pendapatan usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas
dapat digunakan formulasi sebagai berikut (Soekartawi, 2010) :
Pd = TR - TC
Dimana :
Pd = Pendapatan Usahatani (Rp)
TR = Total Penerimaan (Rp)
TC = Total Pengeluaran (Rp)
Untuk menghitung total penerimaan (TR) usahatani padi sawah digunakan rumus :
TR = Y. Py
Dimana :
Y = Produksi (Kg)
Py = Harga yang diterima (Rp/Kg)
Sedangkan untuk menghitung total pengeluaran (TC) usahatani padi sawah digunakan
rumus :
TC = FC + VC
Dimana :
FC = Biaya Tetap (Rp)
VC = Biaya Variabel (Rp)
Kemudian untuk melihat apakah usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas di
Kecamatan Pangkalan Jambu layak atau tidak untuk diusahakan, maka digunakan rumus :
R/C = Error!
R/C menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap rupiah biaya yang dilakukan dalam
usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas di Kecamatan Pangkalan Jambu. Semakin
tinggi nilai R/C, maka usahatani tersebut semakin layak untuk diusahakan. Jika nilai R/C lebih
dari satu (R/C > 1) maka usahatani tersebut layak untuk diusahakan, sementara jika R/C kurang
dari satu (R/C < 1) maka usahatani tersebut tidak layak untuk diusahakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden
Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani yang lahan padi
sawahnya merupakan bekas lahan tambang emas. Karakteristik petani responden dalam
penelitian ini dibatasi pada beberapa karakteristik yang diperkirakan dapat mempengaruhi
kemampuan petani dalam berusahatani. Adapun kriteria yang dimaksud adalah umur petani,
jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam berusahatani.
Tabel 1. Karakteristik Petani Sampel di daerah Penelitian.

476
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Identitas Petani Rata-rata Frekuensi Persentase


Umur Petani (Tahun) 44 – 49 17 34
Jumlah Anggota Keluarga
(orang) 3-4 35 70
Tingkat Pendidikan SMP/Sederajat 21 42
Pengalaman Berusahatani
(Tahun) 7 – 10 16 32

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rata-rata umur petani memiliki frekuensi terbanyak
adalah pada umur 44-49. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata berada pada usia produktif.
Umur memegang peranan penting dalam berusahatani. Soeharjo dan Patong (1973) menyatakan
bahwa umur adalah karakteristik petani yang dapat mempengaruhi pola pikir seseorang, semakin
tua umur seseorang akan semakin matang cara berfikirnya untuk mengatasi masalah.
Rata-rata jumlah anggota keluarga petani adalah 3-4 orang, petani dengan jumlah
tanggungan lebih besar maka kebutuhan keluarga akan lebih besar pula. Hernanto (1998),
mengatakan bahwa besarnya anggota keluarga akan berpengaruh dalam kegiatan
usahataninya, petani yang memiliki keluarga yang besar akan memakainya untuk kegiatan
usahataninya, sehingga tidak memakai tenaga upahan.
Tingkat pendidikan, Rata-rata tingkat pendidikan petani adalah SMP, tingkat
pendidikan akan berpengaruh pada tingginya keterampilan adopsi teknologi petani dalam
mengelola usahataninya keterbatasan tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir,
menerima, ataupun menolak hal-hal baru. Tingkat pendidikan juga akan berpengaruh terhadap
kecerdasan dalam hal menerima sesuatu yang baru atau penemuan baru, hal ini dikarenakan
pendidikan bertujuan merubah sikap dan tingkah laku manusia Hernanto (1998).
Pengalaman seseorang dapat dijadikan tolak ukur untuk pengembangan dimasa yang
akan datang. Pengalaman yang diperoleh dalam berusahatani dapat mempengaruhi kemampuan
dalam mengelola maupun mengambil keputusan bagi pengelolaan usahataninya. Menurut
Hernanto (1998), makin tinggi pendidikan dan pengalaman petani maka akan berhati-hati serta
menghitung kemungkinan resiko yang akan dihadapi. Rata-rata pengalaman berusahatani petani
di daerah penelitian cukup lama yaitu 7 - 10 tahun, lamanya pengalamam berusahatani ini juga
akan berpengaruh terhadap pola pikir dalam pengambilan keputusan .

Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah


Dengan bantuan pemerintah masyarakat di daerah penelitian telah melakukan reklamasi
lahan dimana kondisi usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas di daerah penelitian
saat ini cenderung mengalami peningkatan luas panen dan produksi. Musim tanam padi di daerah
penelitian adalah 2 kali musim tanam dalam satu tahun yaitu musim tanam satu dimulai dari
bulan Oktober hingga Maret dan musim tanam kedua dimulai dari bulan April hinga September.
Petani padi selalu melakukan kegiatan penanaman padi secara serentak.
Kegiatan usahatani padi sawah di daerah penelitian tidak jauh berbeda dari kegiatan
usahatani padi sawah pada umumnya. Dalam kegiatan usahatani padi sawah, kegiatan awal yang
dilakukan adalah pemilihan benih. Benih yang digunakan adalah benih unggul lokal dan benih
varietas IR 42. Benih tersebut dibeli petani dengan harga masing-masing Rp. 12.000 per kg dan
Rp. 6.500 per kg. Berdasarkan anjuran Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi,
rekomendasi penggunaan benih atau kebutuhan benih per ha adalah 25 kg. Petani di daerah
penelitian telah menggunakan benih berdasarkan anjuran sesuai dengan luas lahan yang
diusahakan. Sistem irigasi yang digunakan yaitu irigasi sederhana.
Kegiatan yang dilakukan dalam pengolahan tanah yaitu pembajakan, perataan,
pembersihan rumput dan memperbaiki pematang. Kegiatan membajak tanah di daerah penelitian
sudah menggunakan tenaga mesin, yaitu hand tractor. Pembajakan tanah biasanya tidak
mencapai sudut-sudut bawah, sehingga tanah yang tidak terbajak diselesaikan dengan cara

477
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dicangkul. Pada waktu yang bersamaan, biasanya petani memperbaiki pematang sawah.
Pematang sawah diperbaiki dengan cara dikikis dengan cangkul yang kemudian dilempar ke
lahan. Setelah itu, pematang kembali ditambal dengan tanah berlumpur sehingga rata.
Sebelum melakukan penanaman, benih disemai terlebih dahulu dan sebelum melakukan
penyemaian, benih direndam selama 24 jam, kemudian di peram juga selama 24 jam. Setelah
mulai tumbuh kecambah barulah benih ditabur di lahan yang telah diolah. Ketika benih telah
berumur 40 hari di tempat persemaian barulah bibit dipindahkan untuk ditanam pada lahan
sawah. Penanaman dilakukan dengan sistem jajar legowo dengan jarak 25 cm x 25 cm dengan
kedalaman 2-3 cm, setiap lubang diisi 3-5 bibit per lubang tanam. Ada beberapa tindakan yang
dilakukan pada tahap pemeliharaan, antara lain pengairan, pemupukan, penyiangan,
pengendalian hama dan penyakit.
Pengaturan air bertujuan untuk memperoleh aerasi dan pertumbuhan biota tanah yang
sempurna, memperoleh anakan yang produktif, usahatani hemat air, kualitas tani hemat air, dan
kualitas hasil panen lebih baik (kematangan gabah merata). Pengaturan air dilakukan pada saat
tanam air hanya ada di parit (macak-macak), setelah dua hari menjelang penyiangan petakan
digenangi air setinggi 2 cm sampai dengan selesai penyiangan. Kemudian pada saat pemupukan
susulan usahakan air macak-macak, dan dua minggu sebelum panen lahan dikeringkan.
Pemupukan bertujuan untuk menambah zat-zat unsur hara makanan yang dibutuhkan
tanaman dalam tanah sehingga diperoleh hasil panen yang tinggi. Tanaman padi membutuhkan
berbagai macam pupuk untuk pertumbuhan yang sehat. Pupuk dasar yang digunakan adalah
pupuk kompos dari olahan kotoran sapi, jerami dan trikoderma. Pupuk kompos digunakan
pertama kali setelah pengolahan lahan, sebelum dilakukannya penanaman, agar tanaman padi
dapat tumbuh dengan baik. Penggunaan pupuk kompos sebanyak 1000 kg/ha. Selain pupuk
kompos petani responden juga menggunakan pupuk kimia yaitu pupuk urea dengan anjuran 250
kg/ha, pupuk SP-36 100 kg/ha dan pupuk KCL 75 kg/ha. Waktu pemberian pupuk biasanya
dilakukan sebanyak 3 kali setelah tanam padi, yaitu pemberian pupuk pertama 7 hari, pemberian
pupuk kedua umur 20 hari dan pemberian pupuk ketiga pada umur 30 hari.
Pengendalian hama dan penyakit merupakan pencegahan atau pemberantasan OPT
(Organisme Pengganggu Tanaman) yang dilakukan seefektif mungkin. Apabila menggunakan
pestisida, dosisnya harus tepat dan caranya disesuaikan dengan rekomendasi setempat.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman ini bertujuan untuk memutus siklus hama penyakit
tanaman. Kemudian, kegiatan akhir dari budidaya padi sawah adalah panen. Waktu panen yang
tepat ditandai dari kondisi pertanaman 90-95 persen bulir sudah memasuki fase masak fisiologis
(kuning jerami) dan bulir padi pada pangkal malai sudah mengeras. Selain itu panen tanaman
padi juga dapat diketahui dengan ciri-ciri yaitu seluruh bagian tanaman berwarna kuning dan
malai merunduk. Setelah dilakukan pemanenan, hasil produksi padi sawah biasanya dijual petani
dalam bentuk GKP (Gabah Kering Panen) ke pabrik penggilingan padi dengan harga Rp. 5.000
per kg ataupun disimpan untuk dikonsumsi. Dalam penelitian ini hasil produksi padi sawah
diasumsikan dijual semua ke pabrik penggilingan.
Tenaga kerja yang digunakan yaitu tenaga kerja pria dan wanita dalam keluarga dan luar
keluarga. Tenaga kerja luar keluarga biasanya lebih banyak digunakan apabila luas lahan garapan
relatif luas, sedangkan untuk luas garapan yang relatif kecil dan jenis pekerjaan yang tidak terlalu
berat biasanya lebih banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Untuk lebih jelasnya
dapat kita lihat pada Tabel 2.

478
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Jumlah Rata-rata Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Padi Sawah pada Lahan Bekas
Tambang Emas di Daerah Penelitian Tahun 2018.
No Faktor Produksi Rata-rata Keterangan
Penggunaan
1 Luas Lahan 1,56 Ha Luas lahan termasuk golongan sedang menurut
Hernanto (1998)
2 Benih 26 Kg/Ha Penggunaan benih optimal sekitar 25 - 30 kg per ha
(Balitbang, 2013)
3 Pupuk Urea 286 Kg/Ha Penggunaan pupuk urea optimal sekitar 275 - 300 kg
per ha (Balitbang, 2013)
4 Pupuk SP36 153 Kg/Ha Penggunaan pupuk SP36 optimal sekitar 75 - 100 kg
per ha (Balitbang, 2013)
5 Pupuk KCl 76 Kg/Ha Penggunaan pupuk KCl optimal sekitar 60 kg per ha
(Balitbang, 2013)
6 Pupuk Organik 1012 Kg/Ha Penggunaan pupuk organik optimal sekitar 2000 kg
per ha (Balitbang, 2013)
7 Obat-obatan 3,11 L/Ha Disesuaikan dengan dosis pada label merek
8 Tenaga Kerja 57,71 HOK Terdiri dari Tenaga kerja Pria dan Wanita dan
bersumber dari dalam dan luar keluarga
9 Tenaga Kerja 4 HOK
Mesin

Berdasarkan Tabel 2 diatas, dapat diketahui bahwa :


1. Luas lahan, Rata-rata luas lahan padi sawah pada lahan bekas tambang emas di daerah
penelitian tahun 2018 adalah 1,56 ha. Luas lahan padi sawah pada lahan bekas tambang emas
di daerah penelitian tergolong sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat Hernanto (1998), yang
menyatakan bahwa lahan yang termasuk golongan sedang yaitu lahan dengan luas 0,5-2 ha.
2. Benih, Rata-rata penggunaan benih pada daerah penelitian yaitu 26 kg per ha. Menurut
BALITBANG (2013), rata-rata penggunaan benih optimal sekitar 25-30 kg per ha. Hal ini
berarti, penggunaan benih pada daerah penelitian sudah sesuai anjuran. Adapun varietas
benih yang digunakan, yaitu varietas benih unggul lokal dan varietas IR 42.
3. Pupuk Urea, Rata-rata penggunaan pupuk urea optimal sekitar 275-300 kg per ha
(BALITBANG, 2013). Hal ini berarti penggunaan pupuk urea pada daerah penelitian sudah
sesuai dengan anjuran, dimana rata-rata penggunaan pupuk urea pada daerah penelitian
adalah 286 kg per ha.
4. Pupuk SP36, Rata-rata penggunaan pupuk SP36 di daerah penelitian adalah 153 kg per ha,
sedangkan menurut BALITBANG (2013) rata-rata penggunaan pupuk SP36 optimal sekitar
75-100 kg per ha. Hal ini berarti penggunaan pupuk SP36 pada daerah penelitian melebihi
batas anjuran, karena menurut petani pupuk SP36 mampu menjadi sumber unsur hara bagi
tanaman padi sawah terutama pada lahan petani di daerah penelitian yang merupakan lahan
bekas tambang.
5. Pupuk KCl, Penggunaan pupuk KCl pada daerah penelitian melebihi batas anjuran dengan
rata-rata sebesar 76 kg per ha, sedangkan menurut BALITBANG (2013) penggunaan pupuk
KCl optimal pada penggunaan 60 kg per ha. Petani menganggap dengan melebihkan dari
dosis anjuran maka akan meningkatkan hasil panen dan kualitas panen.
6. Pupuk Organik, Rata-rata penggunaan pupuk organik pada daerah penelitian adalah
sebesar 1.012 kg per ha. Menurut BALITBANG (2013), rata-rata penggunaan pupuk organik
optimal sekitar 2.000 kg per ha. Hal ini berarti penggunaan pupuk organik di daerah
penelitian masih di bawah anjuran. Rendahnya penggunaan pupuk organik di daerah
penelitian disebabkan oleh lahan sawah yang merupakan lahan bekas tambang emas,
sehingga tanah pada lahan sawah tersebut membutuhkan unsur hara yang lebih tinggi dari

479
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pupuk organik, dimana unsur hara tersebut terdapat pada pupuk anorganik yang digunakan
oleh petani di daerah penelitian.
7. Obat-obatan, Penggunaan obat-obatan pada daerah penelitian dilakukan sesuai dengan
dosis yang diberikan pada label merek obat-obatan yang dibeli petani. Rata-rata penggunaan
obat-obatan pada daerah penelitian adalah 3,11 liter per ha.
8. Tenaga Kerja dan Tenaga Kerja Mesini, Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi
sawah pada lahan bekas tambang emas di daerah penelitian bersumber dari tenaga kerja
dalam dan luar keluarga, serta tenaga kerja mesin (hand tractor). Secara keseluruhan, baik
TKDK, TKLK dan TKM digunakan pada setiap kegiatan usahatani. Namun, secara spesifik
TKLK digunakan pada saat pengolahan lahan, penanaman dan panen, sedangkan TKM hanya
digunakan pada saat pengolahan lahan.

Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah pada Lahan Bekas Tambang Emas
Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui mengkaji besarnya pendapatan usahatani
padi sawah pada lahan bekas tambang emas di daerah penelitian. Pendapatan usahatani
didefinisikan sebagai sisa pengurangan dari nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya total
yang benar-benar dikeluarkan atau yang dibayarkan. Penerimaan menurut Suratiyah (2015)
adalah perkalian antara produksi dengan harga jual, besarnya penerimaan yang diterima oleh
petani untuk setiap rupiah yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi usahatani dipengaruhi oleh
jumlah produksi yang dihasilkan dan harga satuan produksi yang dihasilkan. Semakin tinggi
jumlah produksi dan harga satuan produksi yang dihasilkan maka penerimaan usahatani semakin
besar. Sebaliknya, semakin rendah jumlah produksi dan harga satuan produksi yang dihasilkan
maka penerimaan usahatani semakin Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata harga untuk gabah
kering panen adalah sebesar Rp. 5.000,- per kg, sehingga di dapat rata-rata penerimaan petani
sampel adalah sebesar Rp. 26.614.639,- per ha per musim tanam.
Dalam usahatani padi sawah, biaya produksi dibagi menjadi dua, yaitu biaya tetap dan
biaya variabel. Menurut Tuwo (2011), yang terdiri dari biaya tetap yaitu pajak, penyusutan alat,
bunga pinjaman, sewa tanah dan lain-lain, sedangkan yang termasuk biaya variabel adalah biaya
benih, biaya pemeliharaan seperti pemberian pupuk dan obat-obatan, upah tenaga kerja dan lain
sebagainya. Kemudian, dari penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel, maka hasil
penjumlahan tersebut merupakan total biaya. Total biaya adalah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan, baik yang dibayar maupun yang diperhitungkan dalam usahatani padi sawah pada
lahan bekas tambang emas di daerah penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada Tabel
3 berikut.

Tabel 3. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi Sawah pada Lahan Bekas Tambang Emas di Daerah
Penelitian Tahun 2018.
Uraian Jumlah
I. Penerimaan
1. Produksi 5.923 Kg/Ha/MT
2. Harga Rp. 5.000/Kg
3. Penerimaan Rp. 29.614.639/Ha/MT
II. Biaya
1. Yang diperhitungkan* Rp. 2.995.388/Ha/MT
2. Yang dibayarkan Rp. 9.540.552/Ha/MT
3. Total Biaya Rp. 12.535.940/Ha/MT
III. Pendapatan
1. Pendapatan dari total Biaya Rp. 17.078.699/Ha/MT
2. Pendapatan yang dibayarkan Rp. 20.074.087/Ha/MT
Keterangan : *biaya sewa lahan dan tenaga kerja dalam keluarga

480
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan dari total biaya usahatani padi sawah
pada lahan bekas tambang emas di daerah penelitian sebesar Rp. 17.078.699 per ha per musim
tanam, sedangkan rata-rata pendapatan yang dibayarkan yaitu sebesar Rp. 20.074.087 per ha per
musim tanam. Menurut SURATIYAH (2015) dari total biaya usahatani sudah termasuk biaya
sewa lahan, walaupun dalam hal ini petani responden tidak mengeluarkan biaya sewa lahan,
begitu juga dengan tenaga kerja dalam keluarga tidak menerima uang tunai dari hasil kerjanya.
Dari hasil penelitian ternyata petani responden dari kegiatan usahatani padi sawah pada lahan
bekas tambang masih memberikan keuntungan ( Rp. 17.078.699) dimana sewa lahan dan tenaga
kerja dalam keluarga diperhitungkan sebagai biaya Jika dilihat dari pendapatan usahatani padi
sawah di daerah penelitian lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Milfitra. Hasil penelitian Milfitra (2016) yaitu bahwa total biaya yang dibutuhkan dalam
usahatani padi sawah petani responden di Desa Rokan Koto Ruang adalah sebesar Rp.
16.439.377, yang terdiri dari biaya tunai sebesar Rp.10.637.977 dan biaya yang diperhitungkan
sebesar Rp. 5.801.400, sedangkan penerimaan Rp. 28.182.000. Pendapatan atas biaya tunai
sebesar Rp. 17.544.023 dan pendapatan bersih (keuntungan) sebesar Rp. 11.742.623.
Jika dilihat dari nilai R/C dari biaya yang dibayarkan dan dari total biaya, masing-masing
yaitu 3,17 dan 2,40 maka usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas di Kecamatan
Pangkalan Jambu Kabupaten Merangin layak untuk diusahakan, karena R/C > 1. Hal ini sejalan
dengan penelitian Supendy (2016) yang mengatakan bahwa usahatani padi sawah pasca tambang
emas di Desa Wumbubangka Kecamatan Rarowatu Utara memberikan keuntungan rata-rata
yaitu sebesar Rp. 3.848.750, pendapatan ini cukup signifikan bagi petani yang ada di Desa
Wumbubangka Kecamatan Rarowatu Utara. B/C ratio adalah 2,89, artinya usahatani padi sawah
layak diusahakan pasca tambang emas.

PENUTUP
Kesimpulan dari hasil penelitian adalah: (1) Usahatani padi sawah pada lahan bekas
tambang emas di daerah penelitian dimulai dari pengolahan tanah, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan (pemupukan, penyiangan, pemberantasan hama penyakit) dan sudah
menggunakan irigasi sederhana dengan musim tanam 2 kali. Benih yang digunakan bervariasi
yaitu benih unggul lokal dan benih varietas IR 42. Pengolahan lahan sudah menggunakan mesin
traktor dan sistem tanam yang digunakan yaitu sistem tanam jajar legowo. Tenaga kerja yang
digunakan adalah tenaga kerja wanita dan pria dalam dan luar keluarga, (2) Rata-rata pendapatan
usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang emas di Kecamatan Pangkalan Jambu
Kabupaten Merangin dari biaya yang dibayarkan sebesar Rp. 20.074.087 per ha per musim
tanam dan rata-rata pendapatan dari total biaya sebesar Rp. 17.08.699 per ha per musim tanam.
Usahatani padi sawah pada lahan bekas tambang masih layak diusahakan dilihat nilai R/C dari
biaya yang dibayarkan dan total biaya masing-masing sebesar 3,17 dan 2,40
Perlu perhatian pemerintah yang lebih dalam upaya pengembangan reklamasi lahan sawah
agar petani dapat mengusahakan padi sawah kembali guna meningkatkan produksi dan
pendapatan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian, Ketua
Jurusan/Program Studi Agribisnis Universitas Jambi yang telah memfasilitasi pelaksanaan
penelitian ini serta Tim Peneliti atas kerja samanya. Selain itu penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Kepala Desa Baru Pangkalan Jambu dan Bukit Perentak yang telah membantu
perizinan dalam penelitian dan petani-petani yang telah meluangkan waktunya untuk
diwawancarai.

481
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2018. Jambi dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi.
Jambi
_________. 2018. Kabupaten Merangin dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Merangin. Merangin
BALITBANG. 2013. Anjuran Penggunaan Input Padi Sawah. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Provinsi Jambi
_________. 2015. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. http:www.litbang.
pertanian.go.id/special/komoditas/files/0104-PADI.pdf. (Diakses 10 Maret 2018)
Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Pt. Penebar Swadaya. Jakarta
Makruf, Eddy, Yulie Oktavia dan Wawan Eka Putra. 2012. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Produksi Padi Sawah di Kabupaten Seluma. Artikel Ilmiah (Dipublikasikan). BPTP
Bengkulu. Kota Bengkulu
Milfitra, W. 2016. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah Di Desa Rokan Koto Ruang
Kecamatan Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu. Artikel Ilmiah (Dipublikasikan).
Universitas Pasir Pengaraian. Rokan Hulu
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta
Putu, Agus. 2013. Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah dengan Pola Jajar
Legowo di Desa Laantula Jaya Kecamatan Witaponda Kabupaten Morowali. Jurnal
(Dipublikasikan). Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Palu
Soekartawi. 2005. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-
Douglass. Raja Grafindo Persada, Jakarta
_________. 2010. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Jakarta
Supendy, R. 2016. Analisis Keuntungan Usahatani Padi Sawah Pasca Tambang Emas Di Desa
Wumbubangka Kecamatan Rarowatu Utara. Jurnal (Dipublikasikan). ISSN 0854-641X
Suratiyah. 2015. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta
Tuwo, M. Akib. 2011. Ilmu Usahatani Teori dan Aplikasi Menuju Sukses. Unhalu Press, Kendari

482
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Pada Usahatani Padi Sistem


Tanam Jajar Legowo di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul
The efficiency of the Use of Production Factors of Rice Farming in
Jajar Legowo Planting in Sewon District, Bantul Regency
Eni Istiyanti1, Aris Slamet Widodo1, dan Vionita Arum Sari 1
1Program Studi Agribisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

ABSTRAK

Kata Kunci: Sistem tanam jajar legowo merupakan suatu upaya memanipulasi lokasi
Efisiensi pertanaman agar memiliki tanaman pinggir yang lebih banyak sehingga
Faktor produksi tanaman akan mendapatkan intensitas sinar matahari yang lebih tinggi.
Jajar legowo Penelitian bertujuan menganalisis pendapatan dan keuntungan, faktor-faktor
Keuntungan yang mempengaruhi produksi dan efisiensi penggunaan faktor produksi pada
Pendapatan usahatani padi sistem tanam jajar legowo. Penelitian dilakukan secara survai
terhadap 41 responden yang diambil berdasarkan metode proporsional
random sampling pada kelompok tani Subur, Sedyo Tani dan Marsudi Tani
di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. Analisis data dilakukan secara
kuantitatif menggunakan fungsi produksi cobb douglass. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa usahatani padi sistem tanam jajar legowo pada luas
lahan 2.282 m2 membutuhkan biaya sebesar Rp 2.707.054,- dengan
pendapatan yang diperoleh Rp 5.168.219,- dan keuntungan Rp 4.229.312,-.
Secara bersama-sama faktor produksi lahan, benih, pupuk unsur N, pupuk
unsur K, pupuk unsur P dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap
produksi padi, sedangkan secara parsial hanya lahan yang berpengaruh nyata
terhadap produksi. Penggunaan faktor produksi lahan belum efisien dan
perlu ditambah agar efisien dan keuntungannya maksimum.
ABSTRACT
Keywords: Jajar Legowo planting system is an attempt to manipulate the location of
Efficiency plantations in order to have more edge plants so that plants will get a higher
Jajar Legowo intensity of sunlight. The study aims to analyze the income and profits, the
Net Revenue factors that affect production and the efficient use of production factors in
Production Factor rice farming in the jajar legowo planting system. The study was conducted
Profit by survey of 41 respondents taken based on the proportional random
sampling method in the Subur, Sedyo Tani and Marsudi Tani farmer groups
in Sewon District, Bantul Regency. Data analysis was performed
quantitatively using the cobb douglass production function. The results
showed that the jajar legowo planting system in an area of 2,282 m2 requires
the total cost of Rp 2,707,054, with an income of Rp 5,168,219 and a profit
of Rp 4,229,312. Together the factors of land production, seeds, element N
fertilizer, element K fertilizer, element P fertilizer and labor have a significant
effect on rice production, whereas only partially land has a significant effect
on production. The use of land production factors has not been efficient and
needs to be increased in order to be efficient and have maximum profit.

Email Korespondensi: eniistiyanti@umy.ac.id

483
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Padi merupakan sumber makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia yang dikonsumsi
dalam bentuk beras untuk mencukupi asupan gizi yang 80% nya merupakan sumber karbohidrat.
Produksi beras yang tinggi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus
mengimpor. Akan tetapi pada kenyataannya, dalam pemenuhan kebutuhan beras, Indonesia
masih bergantung pada impor negara lain. Ada beberapa penyebab yang memepengaruhi yaitu
pertumbuhan permintaan beras yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan
beras meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli
masyarakat dan perubahan selera. Sementara itu, kapasitas beras produksi nasional tumbuh
dengan peningkatan yang konsisten dan sering terkena masalah berkaitan iklim dan serangan
Organisme Penganggu Tanaman (OPT) (Kementerian Pertanian 2012).
Peningkatan produksi padi dapat dilakukan melalui intensifikasi dengan meningkatkan
efisiensi pertanaman. Pengaturan sistem tanam, penggunaan bibit dengan umur yang tepat dan
penggunaan varietas unggul, menjadikan pertumbuhan tanaman lebih efektif dan
produktivitasnya optimal (Anggraini, et al, 2012). Sebagian besar varietas padi mengalami
penurunan kualitas pertumbuhan, pada kondisi jarak tanam sempit, dicirikan oleh jumlah anakan
dan malai yang lebih sedikit, panjang malai yang lebih pendek sehingga jumlah gabah per malai
berkurang dibandingkan pada kondisi jarak tanam lebar (Litbang, 2013).
Sistem tanam padi jajar legowo merupakan pola tanam yang sengaja dibentuk berselang-
seling antara dua atau lebih baris tanaman dan satu baris kosong. Istilah Legowo diambil dari
bahasa Jawa, yaitu kata “lego” berarti luas dan “dowo” berarti memanjang. Legowo diartikan
pula sebagai cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan dan diselingi satu barisan
kosong (Litbang,2013). Beberapa kajian menunjukkan bahwa produktivitas padi sistem tanam
jajar legowo lebih tinggi dibandingkan sistem tanam yang lain, seperti yang terjadi di Kabupaten
Dili Serdang (Melasari, et al, 2013). Keadaan yang serupa terjadi di Kecamatan Seputih
Mataram Kabupaten Lampung Tengah, bahwa produksi padi sistem tanam jajar legowo lebih
tinggi dibandingkan sistem tegel (Permata, et al, 2017). Oleh karena itu, penanaman padi dengan
sistem jajar legowo diharapkan dapat meningkatkan produksi padi secara nasional, sehingga
dapat mengurangi impor.
Kabupaten Bantul merupakan sentra produksi padi di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
produksi 182.889 ton pada tahun 2016 (BPS, 2018). Bantul termasuk daerah yang dapat
mencapai kondisi ketahanan pangan yang baik pada tingkat kebutuhan beras per kapita per tahun
sebesar 86 ribu ton dan masih dapat mensurplus beras 34 ribu ton, dengan angka kecukupan
energi 3.064 kkal/kapita/hari dan kecukupan protein 76,31 gram/kapita/hari. Meskipun demikian
ada kecenderungan produksi padi menurun dari tahun ke tahun.
Upaya peningkatan produksi padi di Kabupaten Bantul, diarahkan pada peningkatan
produktivitas (intensifikasi) melalui penerapan sistem tanam jajar legowo (Jarwo). Penerapan
sistem jajar legowo di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul dibimbing melalui Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SL-PTT) dengan menggunakan faktor
produksi sesuai standar yang ditetapkan dan petani harus menerapkannya. Meskipun demikian
masih banyak petani tidak melakukan berdasarkan standar dengan alasan terbatasnya modal.
Kendala lain yang dihadapi petani dalam menerapkan sistem jajar legowo antara lain dalam
penggunaan tenaga kerja, terutama tenaga kerja untuk yang dibutuhkan untuk penanaman.
Berdasarkan uraian di atas, apakah usahatani padi sistem tanam jajar legowo
menguntungkan bagi petani, faktor produksi apa saja yang mempengaruhi produksi dan apakah
penggunaan faktor produksi telah efisien ?. Tujuan penelitian yaitu menganalisis pendapatan dan
keuntungan, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan efisiensi penggunaan faktor
produksi pada usahatani padi sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul.

484
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Sistem tanam Jajar Legowo merupakan suatu upaya memanipulasi lokasi pertanaman
sehingga pertanaman akan memiliki jumlah tanaman pinggir yang lebih banyak dengan adanya
barisan kosong. Tanaman padi yang berada dipinggir memiliki pertumbuhan dan perkembangan
yang lebih baik dibanding tanaman padi yang berada di barisan tengah. Hal ini disebabkan karena
tanaman yang berada dipinggir akan memperoleh intensitas sinar matahari yang lebih banyak.
Semakin banyak intensitas sinar matahari yang mengenai tanaman maka proses metabolisme
terutama fotosintesis tanaman yang terjadi di daun akan semakin tinggi sehingga akan
didapatkan kualitas tanaman yang baik ditinjau dari segi pertumbuhan dan hasil (Anonimous,
2009). Adanya baris kosong dalam sistem jajar legowo juga dapat mempermudah pelaksanaan
pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman yaitu dilakukan melalui
barisan kosong atau lorong. Penerapan sistem tanam jajar legowo dapat mengurangi
kemungkinan serangan hama dan penyakit terutama hama tikus. Terdapat beberapa tipe sistem
tanam jajar legowo, diantaranya tipe 2:1 dimana setiap dua barisan tanaman padi diselingi satu
barisan legowo (ruang yang tidak ditanami) dan tipe 4:1 jenis 1 dan jenis 2, dimana setiap empat
barisan tanaman padi diselingi satu barisan legowo (Sriyanto, 2010).
Efisiensi didefinisikan sebagai kombinasi antara faktor produksi yang digunakan dalam
kegiatan produksi untuk menghasilkan output yang optimal (Shinta, 2011). Tersedianya faktor
produksi atau input belum tentu produktifitas yang diperoleh petani akan tinggi, tetapi upaya
yang penting agar petani melakukan usahanya secara efisien.
Efisiensi juga dapat dikatakan sebagai upaya dalam penggunaan faktor produksi atau input
sejumlah tertentu untuk mendapatkan hasil produksi atau output yang optimal dan mendapatkan
keuntungan maksimal (Soekartawi, 1990). Keuntungan yang maksimal dapat dicapai jika Nilai
Produk Marjinal (NPM) input sama dengan harga input. Secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut:
π = TR – TC
= Py . Y – Px . X
Syarat π maksimal : d π/dX = 0
Py . dY/dX – Px . dX/dX = 0
Py . MPP – Px = 0
NPMx = Px
NPMx / Px = 1

Keterangan :
TR : Total Revenue (penerimaan total)
TC : Total Cost (biaya total)
P : Price (harga)
Y : Produksi
X : Faktor produksi
MPP : Marginal Physical Product (produksi marjinal)
NPM : Nilai Produksi Marjinal
Pada kenyataannya, NPMx tidak selalu sama dengan Px. Kasus yang sering terjadi adalah
sebagai berikut:
a. NPMx / Px > 1 artinya penggunaan faktor produksi x belum efisien, agar mencapai efisien,
penggunaan faktor produksi x harus ditambah.
b. NPMx / Px = 1; artinya penggunaan input produksi sudah efisien
c. NPMx / Px < 1 artinya penggunaan faktor produksi x tidak efisien, agar mencapai efisien,
penggunaan faktor produksi x harus dikurangi.

485
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul yang dipilih secara puposive
berdasarkan pertimbangan, di Kecamatan Sewon terdapat Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) berprestasi yang menerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara (APN) tahun
2015 untuk kategori Pelaku Pembangunan Ketahanan Pangan (produksi pangan). Sebanyak 41
petani sampel, dipilih secara random dari kelompok tani yang anggotanya menerapkan sistem
tanam jajar legowo yaitu Kelompok Tani Subur sebanyak 6 petani, Kelompok Tani Marsudi 6
petani dan kelompok tani Sedyo Mukti 29 orang.
Data yang diperlukan terdiri dari data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung
kepada petani dengan panduan kuisioner, meliputi identitas petani, luas dan status lahan garapan,
biaya dan penggunaan faktor produksi, produksi serta harga produk. Data Sekunder merupakan
data yang diperoleh dari instansi atau lembega terkait yaitu BPS, BPP Kecamatan Sewon, kantor
kecamatan dan kelompok tani. Data yang diambil meliputi : data keadaan umum wilayah,
keadaan pertanian, keadaan penduduk, topografi dan letak geografis.
Teknis analisis untuk menjawab tujuan pertama secara deskriptif, yang secara matematis
dituliskan sebagai berikut:
TC = TEC + TIC
TR = Y. Py
NR = TR – TEC
π = TR – TC
Keterangan:
TEC = Total Explicit Cost (total biaya eksplisit)
TIC = Total Implicit Cost (total biaya implisit)
NR = Net Revenue (pendapatan)

Tujuan kedua dan ketiga dianalisis menggunakan analisis fungsi produksi tipe Cobb-
Douglas. Menurut Soekartawi (1990) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi yang melibatkan
dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen (Y), dan
yang lain disebut variabel independen (X). Dalam penelitian ini yang termasuk variabel
independen yaitu: penggunaan lahan, benih, pupuk unsur N, unsur P, unsur K dan tenaga kerja,
sedangkan variabel dependennya produksi padi. Secara matematis dituliskan :
𝑌 = 𝑎𝑋1𝑏1 𝑋2𝑏2𝑋3𝑏3𝑋4𝑏4𝑋5𝑏5𝑋6𝑏6𝑒u
Keterangan:
Y = Produksi padi (kg)
a = konstanta
bi = koefisien regresi (i= 1,2,3,4,5,6)
e = logaritma natural, e = 2,718
u = kesalahan (disturbance term)
X1 = lahan (m2)
X2 = benih (kg)
X3 = pupuk unsur N (kg)
X4 = pupuk unsur P (kg)
X5 = pupuk unsur K (kg)
X6 = tenaga kerja (HKO)

Berdasarkan kandungan unsurnya pupuk dibedakan menjadi pupuk tunggal dan pupuk
majemuk. Pada pupuk tunggal yaitu pupuk urea mengandung 46% unsur N, pupuk TSP
mengandung 46% unsur P, pupuk ZA mengandung 21% unsur N dan pupuk KCL mengandung
60% unsur K. Sedangkan pupuk majemuk yaitu pupuk phonska mengandung 15%-15%-15%

486
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

unsur N-P-K dan pupuk kandang mengandung 1,67%- 1,11%-0,56% unsur N-P-K
(Windyasmara, 2012)
Perhitungan mendapatkan hasil pupuk berdasarkan unsur N, unsur P dan unsur K sebagai
berikut:
1. Unsur N = (46% x pupuk urea) + (21% x pupuk ZA) + (15% x pupuk phonska) + (1,67% x
pupuk organik)
2. Unsur P = (46% x pupuk TSP) + (15% x pupuk phonska) + (1,11% x pupuk organik)
3. Unsur K = (60% x pupuk KCL) + (15% x pupuk phonska) + (0,56% x pupuk organik)
Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan fungsi Cobb-Douglas, maka
persamaan tersebut diubah menjadi bentuk Linier logaritma, secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut

Ln Y = a + b1 In X1 + b2 In X2 + b3 In X3 + b4 In X4 + b5 In X5 + b6 In X6 + u
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi menggunakan uji F dan
uji t. Tingkat efisiensi penggunaan suatu faktor produksi ditentukan dengan menghitung rasio
antara NPM (Nilai Produk Marjinal) dengan harga input (Px) atau dapat ditulis dalam bentuk :

Error!= k
Dengan ketentuan:
NPMxi/Pxi = 1, artinya penggunaan input sudah efisien.
NPMxi/Pxi > 1, artinya penggunaan input belum efisien, agar efisien penggunaan input perlu
ditambahkan.
NPMxi/Pxi < 1, artinya penggunaan input tidak efisien, agar efisien penggunaan input perlu
dikurangi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Petani
Petani padi sistem jajar legowo di Kecamatan Sewon, Bantul sebagian besar (lebih dari
80%) berumur lebih dari 56 tahun yang berarti sudah tidak produktif. Meskipun demikian petani
masih kuat dan mampu dalam bekerja serta dapat mengelola usahataninya dengan baik. Tingkat
pendidikan petani masih relatif rendah yaitu SD dan SMP, keadaan ini sejalan dengan penelitian
Yasa et al (2015) bahwa sebagian besar petani padi sistem tanam jajar legowo di Subak Giri Bali
berpendidikan rendah. Namun demikian petani dapat menerapkan teknologi tanam jajar legowo
karena tingkat pendidikan bukan merupakan satu-satunya indikator penentu dalam pengelolaan
usahatani.
Pengalaman petani dalam berusahatani padi sudah lebih dari 50 tahun, akan tetapi
pengalaman menerapkan usahatani dengan sistem tanam jajar legowo baru sekitar 5 tahun. Hal
ini karena anjuran dari pemerintah Kabupaten Bantul, melalui program SL-PHT sehingga petani
mampu menerapkan standar budidaya padi sistem tanam jajar legowo secara benar. Berdasarkan
status lahan, 58% petani padi sistem jajar legowo menggunakan lahan milik sendiri untuk
usahataninya, yang berarti secara nyata tidak perlu mengeluarkan biaya sewa maupun melakukan
bagi hasil.

Pendapatan dan Keuntungan Usahatani


Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya eksplisit total, sedangkan
keuntungan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya eksplisit dan implisit (Suratiyah,
2015). Biaya eksplisit dalam usahatani padi sistem tanam jajar legowo meliputi biaya benih,
pupuk urea, Phonska, TSP, Za, KCl, pupuk organik, tenaga kerja luar keluarga, selamatan,
bawon, penyusutan, sewa lahan dan pajak. Sedangkan biaya implisit terdiri dari biaya tenaga
kerja dalam keluarga, sewa lahan milik sendiri dan bunga modal sendiri.
Tabel 1. Biaya, Penerimaan, Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar Legowo

487
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

di Kabupaten Bantul pada Luas Lahan 2.282 m2.


Uraian Usahatani
Biaya Implisit Total (Rp) 938.907
Total Biaya Eksplisit (Rp) 1.768.147
Produksi (Kg) 1.618
Harga (Rp/kg) 4.287
Penerimaan (Rp) 6.936.366
Pendapatan (Rp) 5.168.219
Keuntungan (Rp) 4.229.312

Biaya eksplisit terbesar dalam usahatani padi sistem tanam jajar legowo yaitu biaya tenaga
kerja luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga digunakan untuk kegiatan membajak sawah secara
borongan dengan biaya sebesar Rp. 150.000 untuk luas lahan 1.000 m², tenaga kerja penanaman
sistem borongan yaitu tiap 1.000 m² menggunakan enam orang penanam dengan upah sebesar Rp.
20.000/orang. Sedangkan biaya implisit terbesar adalah biaya sewa lahan sendiri.
Produksi padi sistem jajar legowo di Bantul 1.618 untuk luas lahan 2.282 m2 atau sebesar
7,09 kuintal per 1.000 m2. Produksi ini lebih besar dibandingkan target pemerintah Kabupaten
Bantul yaitu 6,5 kuintal per 1.000 m2. Produksi padi sistem tanam jajar legowo di Bantul juga
lebih tinggi dibandingkan produksi padi sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Seputih
Mataran Kabupaten Lampung Tengah yaitu sebesar 6,68 kuintal per 1.000 m2 (Permata et al,
2017), akan tetapi lebih rendah dibandingkan di Kampung Matang Ara Jawa Kecamatan Manyak
Payed Kabupaten Aceh Tamiang yaitu sebesar 7,14 kuintal/1.000 m2 (Ridha & Sulaiman, 2018).
Pendapatan usahatani padi sistem tanam jajar legowo di Kabupaten Bantul sebesar Rp
5.168.219 yang merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya eksplisit total.
Pendapatan ini lebih tinggi dibandingkan pendapatan padi sistem jajar legowo di Pekalongan
(Istiyanti et al, 2018) dan di Lampung Tengah (Permata et al, 2017).

Analisis Fungsi Produksi


Analisis fungsi produksi pada usahatani padi sistem tanam jajar legowo bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi.. Penelitian ini menggunakan
model fungsi produksi Cobb-Douglas dengan variabel independen faktor produksi lahan (X1),
benih (X2), pupuk unsur N (X3), unsur P (X4), unsur K (X5) dan tenaga kerja (X6) sedangkan
variabel dependen hasil produksi (Y).

Tabel 2. Analisis Fungsi Produksi Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar Legowo di Kecamatan Sewon
Kabupaten Bantul.
Variabel Koefisien Regresi T Hitung Sig
Lahan (X1) 1,169 2,861 0,007 *
Benih (X2) 0,161 0,401 0,691
Pupuk Unsur N (X3) -0,016 -0,098 0,922
Pupuk Unsur P (X4) -0,008 -0,098 0,922
Pupuk Unsur K (X5) 0,008 0,131 0,896
Tenaga Kerja (X6) -0,338 -0,910 0,369
Konstanta -0,964 -0,475 0,638
R² 0,827
Adj. R 0,797
F Statistik 27,131
Sig F 0,000
N 41

488
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Koefisien determinasi (R²) digunakan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan


variabel independen untuk menjelaskan variabel dependen. Hasil dari regresi dengan metode
OLS diperoleh R² (Koefisien Determinasi) sebesar 0,827, artinya kemampuan variabel
independen yaitu lahan (X1), benih (X2), pupuk unsur N (X3), pupuk unsur P (X4), pupuk unsur
K (X5) dan tenaga kerja (X6) dapat menjelaskan variabel dependen yaitu produksi padi (Y)
sebesar 82,7 % sedangkan sisanya sebesar 17,3 % dijelaskan oleh faktor lain yang tidak
dimasukkan dalam analisis, misalnya penggunaan pestisida. Berdasarkan uji F, diketahui bahwa
variabel lahan, benih, pupuk unsur N, unsur P, unsur K dan tenaga kerja secara bersama – sama
berpengaruh terhadap variabel produksi padi sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Sewon,
Bantul.
Berdasarkan pengujian menggunakan uji t, tidak semua faktor produksi berpengaruh nyata
terhadap produksi padi. Secara parsial faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi
padi yaitu lahan. Koefisien regresi variabel lahan sebesar 1,169, dan signifikan pada tingkat
kesalahan 1% artinya jika penggunaan lahan dinaikkan 1% dan faktor lain dianggap tetap maka
dapat menaikkan produksi padi sebesar 1,169%. Pemerintah Kabupaten Bantul sedang gencar
melakukan peninjauan lahan sawah untuk mengoptimalkan kembali undang-undang yang
berkaitan dengan pertanian yaitu daerah yang dijadikan lumbung padi atau dijadikan sebagai
jalur hijau. Hal ini dilakukan supaya lahan pertanian yang masih produktif tidak berkurang
karena adanya alih fungsi lahan yang sembarangan.
Koefisien regresi variabel benih sebesar 0,161, dan tidak signifikan, hal ini menunjukkan
jika penggunaan benih dinaikkan dan faktor lain dianggap tetap maka ada kecenderungan dapat
menaikkan produksi padi. Varietas benih yang digunakan pada sistem tanam jajar legowo ada
dua jenis yaitu varietas benih Situ Bagendit dan Pepe. Menurut petani varietas tersebut rentan
terhadap hama dan penyakit serta cocok dengan kondisi lahan di Kecamatan Sewon. Pengguanan
benih oleh petani rata-rata sebanyak 3 - 5 kg pada luas lahan 1.000 m². Berdasarkan panduan
sistem tanam jajar legowo (Balitbang Pertanian, 2013) dalam Arifin (2017) kebutuhan benih
untuk sistem tanam jajar legowo bervariasi sesuai dengan spesifikasi lokal daerah, sedangkan
standar jumlah benih adalah 25 - 30 kg/ha atau dalam 1.000m² hanya menggunakan benih
sebanyak 2,5 - 3 kg, dapat dikatakan penggunaan benih. Pengguanan benih ini berbeda dengan
sistem tanam tegel karena jarak tanam yang berbeda, biasanya sistem tegel berjarak (20x20) cm
sedangkan sistem tanam jajar legowo berjarak (25x12,5x50) cm dan 50cm sebagai jarak antar
barisan/lorong. Adanya jarak tanam ini dapat membuat pertumbuhan benih lebih baik karena
mendapat unsur hara yang cukup.
Menurut Ikhwani (2013), jarak tanam yang optimum akan memberikan pertumbuhan
bagian atas tanaman dan pertumbuhan bagian akar yang baik sehingga dapat memanfaatkan lebih
banyak cahaya matahari serta memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Sebaliknya, jarak tanam
yang terlalu rapat akan mengakibatkan terjadinya kompetisi antar tanaman yang sangat hebat
dalam hal cahaya matahari, air, dan unsur hara, akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat dan
hasil tanaman rendah.
Koefisien regresi pupuk unsur N sebesar -0,016, dan tidak signifikan, dapat diartikan jika
penggunaan pupuk unsur N dinaikkan dan faktor lain dianggap tetap maka ada kecenderungan
dapat menurunkan produksi padi. Sumber pupuk unsur N (Nitrogen) diperoleh pupuk urea,
pupuk Za, pupuk phonska dan pupuk organik. Pupuk urea mengandung 46% unsur N, pupuk Za
mengandung 21% unsur N, pupuk phonska mengandung 15% unsur N dan pupuk organik
mengandung 1,67% unsur N. Sebagian besar petani dalam memenuhi kebutuhan pupuk unsur
N menggunakan pupuk urea dan pupuk phosnka karena disamping mendapat bantuan subsidi
dalam pembeliannya, pupuk ini cocok digunakan di Kecamatan Sewon, Bantul. Dosis pupuk
urea sebanyak 20 kg per 1.000 m² yang diberikan pada saat padi berumur 15 hari dan 40 hari (2
kali) dalam satu musim tanam dengan pemupukan kedua dosis pupuk urea dikurangi seperempat
dari banyaknya jumlah pemupukan pertama. Unsur N atau nitrogen adalah unsur yang dapat
merangsang pertumbuhan vegetatif (batang dan daun), meningkatkan jumlah anakan dan

489
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

meningkatkan jumlah bulir/ rumpun. Manurut Endrizal & Julistia dalam Triadiati (2013) Pupuk
N dalam bentuk urea sudah menjadi kebutuhan pokok bagi petani padi khususnya di Indonesia
karena dianggap dapat langsung meningkatkan produktivitas sehingga pemborosan dalam
pemakaian urea di tingkat petani tidak dapat dihindari.
Koefisien regresi pupuk unsur P sebesar -0,008, dan tidak signifikan artinya jika
penggunaan pupuk unsur P dinaikkan dan faktor lain dianggap tetap maka ada kecenderungan
dapat menurunkan produksi padi. Pupuk unsur P (Fosfor) yang digunakan petani di Bantul yaitu
pupuk TSP, pupuk phonska dan pupuk organik. Pupuk TSP mengandung 46% unsur P, pupuk
phonska mengandung 15% unsur P dan pupuk organik mengandung 1,11% unsur P. Sebagian
besar petani dalam memenuhi pupuk unsur P pada tanaman padi menggunakan pupuk phonska
karena disamping mendapat bantuan subsidi dalam pembeliannya pupuk phonska sudah dapat
memenuhi kebutuhan tanaman padi untuk pertumbuhannya. Dosis pupuk phonska yang dipakai
sebanyak 25 kg per 1000 m² lahan. Unsur P atau pospor berfungsi memacu terbentuknya bunga,
bulir pada malai, menurunkan aborsitas, untuk perkembangan akar halus dan akar rambut,
memperkuat jerami sehingga tidak mudah rebah dan memperbaiki kualitas gabah. Menurut
Damayanti (2016) berdasarkan PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah) rekomendasi pemupukan
fosfat (P) (dalam bentuk SP-36) untuk padi sawah pada status P tanah rendah sebesar 100 kg/Ha,
sedang sebesar 75 kg/ha, dan tinggi sebesar 50 kg/ha.
Pupuk unsur K mempunyai koefisien regresi sebesar 0,008, dan tidak signifikan, hal ini
menunjukkan bahwa jika penggunaan pupuk unsur K dinaikkan dan faktor lain dianggap tetap
maka ada kecenderungan dapat menaikkan produksi padi. Pupuk unsur K (Kalium) diperoleh
dari pupuk KCL, pupuk phonska dan pupuk organik. Pupuk KCL mengandung 60% unsur K,
pupuk phonska mengandung 15% unsur K dan pupuk organik mengandung 0,56% unsur K.
Sebagian besar petani dalam memenuhi unsur K pada tanaman padi menggunakan pupuk
phonska karena pupuk phonska merupakan pupuk yang memiliki unsur lengkap yaitu unsur N-
P-K sebesar 15-15-15 %. Dosis pupuk phonska yang di pakai di Bantul sebanyak 25kg pada
satuan luas per 1000 m².
Pada tanaman padi sistem jajar legowo anjuran pengguanaan pupuk unsur K dengan pupuk
phonska sebanyak 300 kg untuk luas lahan 10.000 m², sehingga dapat dikatakan penggunaan
pupuk unsur K sudah cukup baik mengingat padi tumbuh dengan baik, tumbuh tinggi dan tidak
mudah terkena hama penyakit. Pemupukan dilakukan petani dengan cara disebar dan dilakukan
2 kali yaitu pada saat padi berumur 15 hari dan pada saat padi berumur 40 hari. Manfaat unsur
kalium yaitu ketegaran tanaman terjamin, merangsang pertumbuhan akar, tanaman lebih tahan
terhadap hama dan penyakit, memperbaiki kualitas bulir, dapat mengurangi pengaruh
kematangan yang dipercepat oleh posfor, mampu mengatasi kekurangan air pada tingkat tertentu.
Koefisien regresi tenaga kerja sebesar - 0,338, dan tidak signifikan artinya jika
penggunaan tenaga kerja dinaikkan dan faktor lain dianggap tetap maka ada kecenderungan
dapat menurunkan produksi padi. Menurut penelitian Ngastini (2017) penggunaan tenaga kerja
pada usahatani padi sistem jajar legowo di Desa Sumber Sari yaitu 60,13 HKO/hektar/MT atau
6,013 HKO/MT pada satuan luas per 1.000m², akan tetapi di Kecamatan Soewon, Bantul
menggunakan tenaga kerja y14,875 HKO/MT pada satuan luas per 2000m², hal ini yang
membuat variabel tenaga kerja tidak berpengaruh nyata dalam produksi padi. Tenaga kerja yang
digunakan berasal dari tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga. Hampir semua tenaga
kerja di Kecamatan Sewon dilakukan oleh laki- laki. Petani bekerja dilahan selama ± 8 jam sehari
dimulai dari pukul 07.00 – 12.00 dan dilanjutkan kembali pukul 13.00 – 16.00. Tenaga kerja
penting untuk menunjang proses budidaya padi sehingga apabila tenaga kerja digunakan secara
efisien dapat menaikkan produksi padi.

490
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Efisiensi
Efisiensi penggunaan faktor produksi sering disebut sebagai efisiensi alokatisf atau
efisiensi harga yaitu suatu keadaan dimana petani dapat memaksimalkan keuntungan yang akan
diperoleh. Untuk mengetahui tingkat efisiensi pengguanaan faktor produksi dilakukan dengan
membandingkan antara nilai produk marginal (NPM) dengan harga input (Px). Penggunaan
faktor produksi dikatakan efisien apabila nilai perbandingannya sama dengan 1. Jika nilai
perbandingannya lebih dari satu maka faktor produksi belum efisien sehingga perlu ditambah.
Akan tetapi, jika nilai perbandingannya kurang dari satu, maka faktor produksi tidak efisien dan
perlu untuk mengurangi faktor produksi tersebut.

Tabel 3. Nilai Produk Marjinal, Harga Produksi dan Efisisien Penggunaan Faktor Produksi pada
Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar Legowo.
Variabel NPM Px Ki T Hitung T Tabel Ket
Lahan 3.549,35 350 10,141 -2,578 2,00 Belum
Efisien
Keterangan : signifikan α = 5%

Berdasarkan perhitungan nilai NPM/Px untuk faktor produksi lahan sebesar 10,141 dan hasil
pengujian menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi lahan belum efisien. Keadaan ini sejalan
dengan usahatani padi Subak Carik Wongaya, Gede Tabanan, Bali bahwa penggunaan lahan belum
efisien dengan nilai NPM/Px sebesar 3,26 (Putra et al, 2018). Agar penggunaan lahan efisien dan
keuntungan usahatani maksimum maka perlu penambahan lahan. Penambahan lahan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan lahan kosong kas desa dengan cara menyewa lahan atau bagi hasil.
Apabila sulit untuk menambah luas lahan, minimal mempertahankan agar lahan sawah tetap
digunakan untuk usahatani. Hal ini perlu dilakukan karena lahan yang dimiliki petani di Kecamatan
Sewon banyak yang letaknya di pinggir jalan sehingga rawan terhadap pelebaran jalan atau pendirian
bangunan perumahan. Pemerintah harus tegas dalam mempertahankan daerah lumbung pangan
atau jalur hijau termasuk di Kecamatan Sewon.

PENUTUP
Produksi padi dengan sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Sewon sudah melampaui
target produksi padi yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul, sehingga petani
memperoleh pendapatan dan keuntungan yang tinggi. Meskipun demikian masih sedikit petani
yang menerapkan usahatani padi dengan sistem tanam jajar legowo. Oleh karena itu diperlukan
strategi dan upaya-upaya agar sistem tanam jajar legowo dapat diterapkan oleh semua petani,
melalui pendampingan yang lebih intensif.
Secara agregat semua faktor produksi yang terdiri dari lahan, benih, pupuk unsur N, pupuk
unsur P, pupuk unsur K dan tenaga kerja berpengaruh terhadap produksi padi, akan tetapi secara
parsial hanya lahan yang berpengaruh secara nyata. Penggunaan lahan pada usahatani padi
sistem tanam jajar legowo belum efisien, sehingga perlu penambahan lahan dengan cara
memanfaatkan lahan yang belum digunakan secara produktif. Kebijakan alih fungsi lahan perlu
dijalankan secara tegas, agar lahan sawah di Kecamatan Sewon tetap dapat dipertahankan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini merupakan bagian penelitian skema Unggulan Prodi yang didanai oleh
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada LP3M UMY yang telah menfasilitasi dana untuk pelaksanaan penelitian. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada petani di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yang telah
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

491
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini,F., Suryanto,A., Aini N. 2013. Sistem Tanam dan Umur Bibit pada Tanaman Padi
Sawah (Oryza sativa. L.) Varietas Inpari 13. Jurnal Produksi Tanaman. 1 (2): 52-60
Anonimous, 2009. Cara Tanam Jajar Legowo. Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi
Indonesia Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman PadIhttp://www.pustaka-deptan.go.id.
Diakses 11 Januari 2018.
Arifin, M. 2017. Deskripsi Sikap Petani dalam Penerapan Sistem Tanam Jajar Legowo pada Padi
Sawah. Agrica Ekstensia. 11 (1): 22-31
Badan Pusat Statistik. 2018. Bantul dalam Angka. BPS DIY. Diakses 5 Agustus 2019
Damayanti, K. 2016. Pemberian Pupuk P dan Zn untuk Meningkatkan Ketersediaan P dan Zn di
Tanah Sawah. Jurnal Agroekoteknologi. 4 (3): 2040-2047.
Ikhwani. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo.
Jurnal Iptek Tanaman Pangan. 8 (2): 72-79.
Istiyanti,E., Rahayu,L., Damayanti,A. 2018. Pengembangan Sistem Tanam Jajar Legowo Untuk
Meningkatkan Pendapatan Petani Padi di Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Prosiding
Seminar Nasional Pembangunan Pertanian Indonesia “Memperkuat Lumbung Pangan,
Fundamental Ekonomi dan Daya Saing Global”. Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta 16-17 November 2018.
Kementerian Pertanian. 2012. Refleksi 2012 dan Prospek 2013 Pembangunan Pertanian. Jakarta
: Kementrian Pertanian
Litbang. 2013. Panduan Sistem Jajar Legowo (Online). http://www. litbang. pertanian.
go.id/(dikases tanggal 22 Januari 2017).
Melasari, A., Supriana,T., Ginting,R. 2013. Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Melalui
Sistem Tanam Jajar Legowo dengan Sistem Tanam Non Jajar Legowo di Desa Sukamandi
Hilir, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang. Journal on Social of Agricutural
and Agribusiness 2 (8): 1-14
Ngastini. 2017. Efisiensi Alokatif Pengguanaan Tenaga Kerja Pada Usahatani Padi Sistem Jajar
Legowo di Desa Sumber Sari. Agrica Ekstensia. 11(1): 22- 31
Permata,L.A., Widjaya,S., Soelaiman,A. 2017. Analisis Perbandingan Usahatani Padi Sistem
Tanam jajar Legowo dengan Sistem Tegel di Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten
Lampung Tengah. JIIA 5 (1): 9-14
Putra,I.G.N.Y., Antara,M., Suardi,D.P.O. 2018. Efisiensi penggunaan Faktor-faktor Produksi
Padi Subak Carik Tangis, Wongaya Gede Tabanan Bali. Jurnal Manajemen Agribisnis.
6(1) : 70-77
Ridha,A., Sulaiman. 2018. Analisis Pendapatan Petani Padi Sistem tanam Jajar Legowo dan
Sistem Tradisional (Studi Kasus pada Kampung Matang Ara Jawa, Kecamatan Manyak
Payed. Jurnal Samudra Ekonomika 2 (2) : 108-114
Shinta, A. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press: Malang.
Soekartawi. 1990. Teori Ekomoni Produksi. CV Rajawali: Jakarta.
Sriyanto, S. 2010. Panen Duit dari Bisnis Padi Organik. PT Agro Media Pustaka: Jakarta.
Suratiyah, K. 2015. Ilmu Usaha Tani (Edisi Revisi). Niaga Swadaya: Jakarta.

492
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Triadiati, Pratama,A.A., Abdulrachman,S. 2013. Pertumbuhan dan Efisiensi Penggunaan


Nitrogen pada Padi (Oryza sativa L.) Dengan Pemberian Pupuk Urea yang Berbeda.
Buletin Anatomi dan Fisiologi Volume XX (2) : 1-14
Windyasmara, L. 2012. Pengaruh Jenis Kotoran Ternak Sebagai Substrat dengan Penambahan
Serasah Daun Jati (Tectona grandis) Terhadap Karateristik Biogas pada Proses Fermentasi.
Buletin Peternakan 36 (1) : 40-47.
Yasa, S.K.D., Kardi, C., Tariningsih,D. 2015. Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi
Menggunakan Sistem Tanam Jajar Legowo dengan Sistem Tanam Sri (System of Rice
Intensification) (Studi Kasus di Subak Giri Desa Bungbungan, Kecamatan Banjarangkan
Kabupaten Klungkung). Agrimeta: Jurnal Pertanian Berbasis Keseimbangan Ekosistem.
5(10) : 7-12

493
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analisis Peran Perempuan dan Alokasi Waktu Kerja pada Budidaya


Rumput Laut (Euchema cottonii) di Desa Sei Lancang Kecamatan
Nunukan Selatan Kabupaten Nunukan
Analysis of Women's Role and Working Time Allocation of Cultivating
Seaweed (Euchema cottonii) in Sei Lancang Village, Nunukan Selatan
District, Nunukan City.
Etty Wahyuni1 dan Kisrawiah1
1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Borneo Tarakan

ABSTRAK

Kata Kunci: Kabupaten Nunukan merupakan satu diantara 5 kabupaten/kota di Provinsi


Perempuan Kalimantan Utara yang memiliki wilayah pesisir sehingga potensi perikanan
Waktu Kerja dan kelautan menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat.
Budidaya Budidaya rumput laut adalah aktivitas yang banyak dipilih oleh masyarakat
Rumput Laut pesisir di Kabupaten Nunukan karena tidak memerlukan ketrampilan khusus
Nunukan dan memilik masa tanam yang pendek serta nilai jual yang tinggi sehingga
petani dapat segera memperoleh pendapatan. Kegiatan budidaya rumput laut
juga melibatkan partisipasi anggota keluarga terutama istri sebagaimana
umunya yang terjadi pada aktivitas usahatani lainnya. Penelitian ini memiliki
tujuan (1) mengetahui peran perempuan dalam budidaya rumput laut, (2)
mengetahui alokasi waktu kerja perempuan pada setiap perannya dalam
budidaya rumput laut, (3) mengetahui pendapatan perempuan dari perannya
dalam budidaya rumput laut. Lokasi penelitian ditetapkan dengan metode
purposive sampling yaitu metode penentuan lokasi yang dilakukan secara
sengaja berdasarkan pertimbangan tertentu, yaitu Desa Sei Lancang
Kecamatan Nunukan Selatan Kabupaten Nunukan karena merupakan
wilayah pesisir dengan masyarakat yang melakukan aktivitas budidaya
rumput laut. Responden dipilih secara acak sebanyak 50 orang dari para istri
yang terlibat dalam budidaya rumput laut. Adapun analisis data digunakan
analisis deskriptif dan analisis alokasi waktu. Hasil penelitian menunjukkan
peran perempuan hanya pada kegiatan pembibitan seperti pembuatan tali dan
dan pemanenan dengan alokasi waktu kerja terbesar diberikan pada kegiatan
pembibitan dengan nilai rata-rata 9,696 HKP (92,66%) dan waktu kerja
pemanenan hanya sebesar 768 HKP (7,34%). Pendapatan yang diperoleh
perempuan dari peran yang dilakukan rata-rata sebesar Rp. 2.538.000 per
bulan.
ABSTRACT

Keywords: Nunukan City is one of 5 cities in North Borneo Province which has a littoral
Woman area,therefore the potential of coastal community livelihood is fisheries and
Time Allocation marine resources. Seaweed cultivation is an activity that has been chosen by
Budidaya many coastal communities in Nunukan City because it does not require
Rumput Laut special skills and the cultivation period is short and high selling
Nunukan value.Accordingly, the farmers can immediately earn income. Seaweed
cultivation activities also involve the participation of family members,
especially wives as is generally the case with other farming activities. This
study aims to (1) determine the role of women in seaweed cultivation, (2)
determine the allocation of women's work time in each of their roles in

494
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

seaweed cultivation, (3) determine women's income from their role in


seaweed cultivation. The location of the study was determined by the method
of purposive sampling which was implement intentionally based on
considerations, namely Sei Lancang Village, South Nunukan district,
Nunukan City. The village represent a coastal area with people who organize
seaweed cultivation activities. Respondents were randomly selected as many
as 50 peoples from the wives involved in seaweed cultivation. The data
analysis used descriptive qualitative analysis and time allocation analysis.
The results showed the role of women only in nursery activities such as rope
making and harvesting with the largest allocation of working time given to
nursery activities with an average value of 9,696 HKP (92.66%) and
harvesting work time of only 768 HKP (7.34%). The income earned by
women from roles carried out on average is Rp. 2,538,000 per month.

Email Korespondensi: Ayyida30@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Perempuan memiliki peran aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat yang secara tidak
langsung telah meningkatkan kesejahteraan keluarga. Perempuan tidak hanya berperan sebagai
ibu rumah tangga dan pendidik bagi anak-anaknya, tetapi saat ini telah banyak perempuan yang
ikut terlibat untuk mencari nafkah guna menambah pendapatan keluarga. Pada rumah tangga
masyarakat pesisir di Indoensia peran perempuan dalam aktivitas mencari nafkah telah menjadi
pola strategi adaptasi penghidupan yang terkonstruksi baik secara tradisi maupun akibat dari
dinamika kondisi lingkungan sosial dan ekonomi (Astanty dan Arief, 2014). Demikian pula pada
kelompok nelayan tradisional, peran istri semakin besar untuk menyumbangkan pendapatannya
guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga apabila pendapatan rumah tangga yang dihasilkan
oleh suami masih kecil (Zein, 2006).
Kabupaten Nunukan merupakan satu diantara 5 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan
Utara yang memiliki wilayah pesisir sehingga potensi perikanan dan kelautan menjadi salah satu
sumber mata pencaharian masyarakat. Budidaya rumput laut adalah aktivitas yang banyak dipilih
oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Nunukan karena tidak memerlukan ketrampilan khusus
dan memilik masa tanam yang pendek serta nilai jual yang tinggi sehingga petani dapat segera
memperoleh pendapatan. Desa Sei Lancang di Kecamatan Nunukan Selatan Kabupaten
Nunukan adalah salah satu desa pesisir yang masyarakatnya membudidayakan rumput laut.
Kegiatan ini melibatkan anggota keluarga seperti istri dan anak dengan peran yang berbeda. Oleh
karena itu, maka perempuan sebagai ibu rumah tangga harus dapat mengalokasikan waktu untuk
kegiatan domestik (rumah tangga) dan publik (mencari nafkah). Besarnya pendapatan yang
diperoleh perempuan dalam budidaya rumput laut akan menjadi sumbangan yang sangat berarti
terhadap pendapatan keluarga.
Adanya peran perempuan dalam budidaya rumput laut seharusnya dapat didorong kearah
dukungan terhadap kualitas produksi rumput laut yang lebih baik bahkan kepada peningkatan
potensi rumput laut sebagai bahan baku industri. Hal ini dapat dicapai apabila peran perempuan
didukung oleh pengetahuan yang memadai terkait peran yang dilakukan dalam budidaya rumput
laut. Uraian diatas, menjadi pertimbangan mendasar untuk melakukan kajian tentang peran yang
dilakukan perempuan dalam budidaya rumput laut dan alokasi waktu yang mereka curahkan.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mengetahui peran perempuan dalam budidaya rumput laut, (2) mengetahui alokasi waktu kerja
perempuan pada setiap perannya dalam budidaya rumput laut, (3) mengetahui pendapatan
perempuan dari perannya dalam budidaya rumput laut.

495
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ditetapkan dengan metode purposive sampling yaitu metode penentuan
lokasi yang dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan tertentu, yaitu Desa Sei Lancang
Kecamatan Nunukan Selatan Kabupaten Nunukan karena merupakan wilayah pesisir dengan
masyarakat yang melakukan aktivitas budidaya rumput laut. Responden dipilih secara acak
sebanyak 50 orang dari para istri yang terlibat dalam budidaya rumput laut.
Analisis data untuk tujuan pertana digunakan analisis deskriptif untuk memberi gambaran
secara jelas tentang peran perempuan dalam budidaya rumput laut di lokasi penelitian,
sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Singarimbun dan Effendi (1989) bahwa
penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial
tertentu, dimana peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan
pengujian hipotesis.
Untuk tujuan kedua digunakan analisis alokasi waktu kerja yaitu analisis yang digunakan
untuk mengukur jumlah jam kerja yang dicurahkan pada suatu proses produksi yang dalam
penelitian ini adalah budidaya rumput laut. Satuan ukuran yang dipakai adalah jumlah setara pria
atau hari kerja pria (HKP) dengan ketentuan nilai untuk wanita 0,8 HKP (Hermanto, 1991).
Alokasi waktu kerja perempuan dalam budidaya rumput laut di Desa Sei Lancang adalah jumlah
curahan waktu yang digunakan untuk bekerja dalam budidaya rumput laut dalam sehari selama
satu bulan dengan rumus sebagai berikut:

HKP = JK x HKSP

Dimana: HKP = Hari Kerja Pria atau jumlah setara pria


JK = Jumlah Jam Kerja Perempuan (jam/hari)
HKSP = Hari Kerja Setara Pria (0,8)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Desa Sei Lancang Kecamatan Nunukan Selatan Kabupaten
Nunukan dan Karakteristik Responden
Desa Sei Lancang adalah desa pesisir di Kecamatan Nunukan Selatan Kabupaten
Nunukan. Masyarakat Desa Sei Lancang semula bermata pencaharian sebagai petani padi sawah
dengan masa tanam 3 bulan sampai 6 bulan, dan berkebun. Kemudian beralih menjadi petani
rumput laut karena masa tanam yang pendek yaitu ± 45 hari setelah penanaman serta nilai jual
yang tinggi sehingga petani memperoleh penghasilan yang lebih baik. Masyarakat Desa Sei
Lancang menempatkan secara tegas peranan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga,
dimana laki-laki bertanggungjawab untuk mencari nafkah adapun perempuan bertugas mengurus
rumah dan anak-anak. Namun karena desakan ekonomi maka perempuan ikut serta dalam
mencari nafkah untuk menambah penghasilan suami.
Karakteristik umur responden perempuan tergolong produktif dengan rata-rata umur 39
tahun sehingga diperkirakan dapat menjalankan aktivitas dalam budidaya rumput laut dengan
baik karena faktor umur akan besar pengaruhnya terhadap kemampuan fisik dalam bekerja dan
belajar. Untuk lebih jelasnya mengenai keadaan umur dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Keadaan Umur Responden di Desa Sei Lancang.


No Umur Responden (Tahun) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
1 Produktif (15-64) 48 96
2 Non Produktif ( > 65) 2 4
Jumlah 50 100
Responden pada umumnya telah menempuh pendidikan formal, baik pendidikan dasar,
menengah maupun atas sebagaimana tabel berikut:

496
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Keadaan Tingkat Pendidikan Responden di Desa Sei Lancang.


No Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
1 Tidak Sekolah 5 10
2 SD/ sederajat 30 60
3 SMP/ sederajat 10 20
4 SMA/ sederajat 5 10
Jumlah 50 100

Meski secara umum pendidikan responden masih pada pendidikan tingkat dasar, namun
cukup untuk mendukung responden dalam melakukan kegiatan pada budidaya rumput laut.
Pengetahuan mengenai budidaya rumput laut diperoleh dengan saling memberi informasi satu
sama lain.

Peran Perempuan dalam Budidaya Rumput Laut


Budidaya rumput laut dapat terdiri dari beberapa kegiatan utama seperti pemilihan lokasi,
pengadaan dan pemilihan bibit, mengikat rumput laut (penanaman), pemeliharaan dan
pemanenan. Adapun perempuan hanya terlibat pada beberapa kegiatan yang sesuai dengan
kondisi fisiknya. Pada Desa Sei Lancang keterlibatan perempuan lebih banyak pada kegiatan
pengadaan dan pemilihan bibit dan sebagian pada kegiatan pemanenan sebagaimana tabel
berikut:

Tabel 3. Peran Perempuan dalam Budidaya Rumput Laut di Desa Sei Lancang.
Distribusi Peran
No Budidaya Rumput Laut
Laki-Laki Perempuan
1 Pemilihan lokasi Berperan
2 Pengadaan dan Pemilihan Bibit Berperan
3 Mengikat Rumput Laut (Penanaman) Berperan
4 Pemeliharaan Berperan
5 Pemanenan Berperan Berperan

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa perempuan hanya berperan pada kegiatan (1)
pengadaan dan pemilihan bibit, (2) pemanenan. Adapun kegiatan lain seperti pemilihan lokasi,
penanaman dan pemeliharaan hanya dikerjakan oleh laki-laki. Untuk kegiatan pemanenan
biasanya dikerjakan bersama laki-laki dan perempuan.

Alokasi Waktu Kerja


Alokasi waktu kerja wanita tani yang ada di Desa Sei Lancang adalah keterlibatan wanita
tani dalam budidaya rumput laut yang dimulai dari pagi sampai siang, sore bahkan sampai malam
hari, setiap wanita tani memiliki waktu yang berbeda-beda. Alokasi waktu kerja wanita tani
dalam kegiatan yang produktif banyak tergantung pada faktor sosial ekonomi dan keadaan
keluarganya.
Pada kegiatan pengadaan dan pemilihan bibit jumlah jam kerja berbeda tergantung kepada
kecepatan responden dalam bekerja. Semakin terampil responden maka semakin kecil waktu
kerja namun hasil yang diperoleh lebih besar karena upah yang diberikan tergantung kepada
jumlah bentangan yang dihasilkan. Pengadaan dan pemilihan bibit dilakukan setelah
pengambilan bibit dilaut yang dilakukan oleh lelaki/suami responden, kegiatan pembibitan ini
didahului dengan pembersihan bibit dari tali kemudian bibit dipotong dan siap ditanam. Peranan
wanita tani dalam kegiatan ini adalah pemotongan dan pengikatan. Kegiatan pemanenan yang
dilakukan oleh wanita responden adalah penjemuran dan pemisahan rumput laut dari tali.

497
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 4. Peran dan Alokasi Waktu Kerja Perempuan Pada Budidaya Rumput Laut di Desa Sei Lancang
Kegiatan Jumlah Responden (orang) Alokasi Waktu Kerja
(HKP)
Pengadaan dan Pemilihan Bibit 50 9.696

Berdasarkan Tabel 4 alokasi waktu kerja perempuan pada pengadaan dan pemilihan bibit
rumput laut adalah 9.696 HKP dan keseluruhan responden yang dipilih melakukan kegiatan
tersebut. Adapun rata-rata alokasi waktu kerja perhari pada kegiatan tersebut sebesar 6,46 HKP
dengan jumlah jam kerja rata-rata sebesar 8 jam dalam sehari.
Berbeda dengan kegiatan pengadaan dan pemilihan bibit, untuk kegiatan pemanenan tidak
seluruh responden terlibat sebagaimana disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5. Peran dan Alokasi Waktu Kerja Perempuan Pada Budidaya Rumput Laut di Desa Sei Lancang
Kegiatan Jumlah Responden (orang) Alokasi Waktu Kerja
(HKP)
Pemanenan 8 768

Pada Tabel 5 alokasi waktu kerja 8 responden adalah 768 HKP dengan rata-rata alokasi
waktu kerja perhari 0,512 HKP dan jumlah jam kerja rata-rata perhari 4 jam. Kegiatan
pemanenan terdiri dari penjemuran dan pemisah rumput laut dari tali masing-masing. Kegiatan
pemanenan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki karena membutuhkan tenaga fisik yang lebih
besar terutama saat menarik bentangan dari laut atau perahu.

Pendapatan Perempuan dalam Budidaya Rumput Laut


Pendapatan keluarga berasal dari tiga sumber yaitu suami, wanita dan anggota keluarga
lainnya, maka pendapatan perempuan dari kegiatan budidaya rumput laut akan memberi
kontribusi terhadap pendapatan keluarga. Sistem pengupahan pada budidaya rumput laut di Desa
Sei Lancang adalah upah harian. Rata-rata perhari setiap responden menndapatkan upah Rp
84.600,- dengan rata-rata perbulan para responden mendapat upah Rp 2.538.000,-. Meski terlihat
besar, namun upah tersebut tidak tetap setiap bulannya karena tergantung pada kegiatan budidaya
yang ada dan curahan waktu yang diberikan oleh perempuan dalam kegiatan budidaya. Pada
Tabel 6 disajikan rata-rata pendapatan dan kontribusinya terhadap pendapatan keluarga.

Tabel 5. Rata-rata Pendapatan dan Kontribusi Perempuan terhadap Pendapatan Keluarga di Desa Sei
Lancang.
No Uraian Jumlah (Rp/ bulan) Persentase (%)
1 Pendapatan perempuan 2.538.000 47
2 Pendapatan suami dan keluarga lain 2.974.000 53
Total Pendapatan Keluarga 5.512.000 100

Berdasarkan tabel diatas, rata-rata pendapatan perempuan dalam budidaya rumput


tergolong tinggi apabila didasarkan kepada penggolongan pendapatan oleh Badan Pusat Statistik
karena berada pada kisaran Rp 2.500.000-Rp 3.500.000 per bulan. Namun demikian, karena
pendapatan ini dibayarkan harian maka seringkali tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan
keluarga. Adapun kontribusi pendapatan perempuan terhadap pendapatan keluarga tergolong
sedang sebagaimana dikemukakan oleh Sumantri (2004) rentang kontrbusi pendapatan wanita
sebesar 40-59% adalah tergolong sedang.

498
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENUTUP
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peran perempuan dalam budidaya rumput laut di Desa Sei Lancang adalah pada kegiatan
pengadaan dan pemilihan bibit serta pemanenan.
2. Besarnya alokasi waktu kerja dalam budidaya rumput laut untuk kegiatan pengadaan dan
pemilihan bibit sebesar 9.696 HKP dengan rata-rata jam kerja 8 jam perhari. Adapun untuk
kegiatan panen sebesar 768 HKP dengan rata-rata jam kerja 4 jam perhari.
3. Pendapatan perempuan dalam kegiatan budidaya rumput laut rata-rata Rp. 2.538.000 dan
berkontribusi sebesar 47% terhadap total pendapatan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Astanty dan Arief. (2014). Analisis Peran Kapasitas Perempuan Pesisir dalam Aktivitas
Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii di Kabupaten Takalar (Studi Kasus di Desa
Punaga Kecamatan Mangarabombang. Jurnal Galung Tropika, 3 (3) September 2014,
hlmn. 149-158 ISSN 2302-4178.
Hernanto, F. (1991). Ilmu Usaha Tani. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Singarimbun, M., dan Effendi, S., Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989
Sumantri. 2004. Kontribusi Pendapatan Ibu Rumah Tangga Terhadap Pendapatan Keluarga.
Jurnal Agrisep 2(2): 106-111.
Zein. (2016). Pengaruh Alokasi Waktu Kerja Wanita Nelayan Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga Nelayan Tradisional Di Sumatera Barat. Jurnal Mangrove dan Pesisir Vol. VI No.
2/200659.

499
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Deskripsi Wisata Alam dan Pertanian Serta Kontribusinya Terhadap


Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi (Studi Kasus di Kampung
Lembangsari, Desa Cipeundeuy, Kecamatan Bojong, Kabupaten
Purwakarta)
Description of Natural Tourism and Agricultural and Its Contribution
to the Income of Rice Farming Household (Case Study in Lembangsari
Village, Cipeundeuy Village, Bojong District, Purwakarta Regency)
Euis Dasipah1 dan Okta Sabriantie Murni2
1Universitas Winaya Mukti, Bandung

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana deskripsi wisata alam
Kontribusi Ekonomi Taman Batu terhadap pendapatan rumah tangga petani padi dan berapa besar
Penelitian Deskriptif kontribusinya terhadap perekonomian rumah tangga petani padi itu sendiri.
Pertanian Metode yang digunakan adalah metode studi kasus yang mana metode ini
Petani Padi bertujuan untuk mempelajari dan menyelidiki suatu kejadian atau fenomena.
Wisata Alam Wisata alam Taman Batu berdampak langsung dan tidak langsung terhadap
petani padi dan keluarganya, baik sosial, budaya terutama dari sektor
ekonomi. Pendapatan di kawasan wisata alam Taman Batu mencapai
Rp.31.829.667 per tahun dengan besaran kontribusi 53%. Mengupayakan
peluang yang ada dan meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan untuk
memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi.
ABSTRACT

Keywords: This study aims to find out how the description of Batu Batu natural tourism
Economics towards the household income of rice farmers and how much their
Contribution contribution to the household economy of rice farmers themselves. The
Descriptive Research method used is a case study method in which this method aims to study and
Farming investigate an event or phenomenon. Taman Batu’s natural tourism has a
Paddy Farmer direct and indirect impact on rice farmers and their families, especially from
Natural Tourism the economic sector. Income in the Taman Batu’s natural tourism area is Rp.
31,829,667 for one year with a contribution amount of 53%. Strive for
opportunities that exist and improve the quality of human resources can be
done to get even greater profits.

Email Korespondensi: euisdasipah@gmail.com

PENDAHULUAN
Perkembangan zaman saat ini setidaknya menambah satu daftaran kebutuhan masyarakat.
Tidak hanya kebutuhan terhadap pakaian, pekerjaan, tempat tinggal, tapi juga termasuk
kebutuhan terhadap wisata. Pesatnya perkembangan pariwisata tidak terlepas dari manfaat dan
perolehan dari keberadaannya yang menjanjikan. Pariwisata mampu memberi manfaat bagi
pemerintah, masyarakat maupun swasta. Tahun 2016 pariwisata berkontribusi terhadap devisa
negara sebesar 184 triliun rupiah (Kementrian Pariwisata, 2018).

500
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pada umumnya wisata alam berada di daerah pedesaan. Wisata alam sendiri merupakan
salah satu cara dalam pembangunan pedesaaan yang tengah marak dilakukan dibeberapa daerah.
Wisata alam dinyatakan sebagai suatu pembangunan pedesaan yang mampu memberikan
pendapatan tambahan bagi masyarakat terutama petani. Masyarakat disekitar objek wisata dapat
memanfaatkan peluang, seperti berdagang, menyediakan penginapan, sarana informasi, jasa
trasnportasi dan jenis kegiatan ekonomi lainnya. Berbicara mengenai wisata alam dan
pembangunan pedesaan, maka tidak terlepas dari keterlibatan dan peran masyarakat sebagai agen
pembangunan.
Kabupaten Purwakarta yang berada di Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
kabupaten yang memiliki beragam jenis wisata. Taman Batu sendiri merupakan salah satu
destinasi wisata yang tengah marak dikunjungi. Wisata alam ini menawarkan pemandangan alam
pesawahan dan sumber mata air yang dipadukan dengan pembangunan bak sebagai kolam
renang. Ciri khas daripada wisata Taman Batu ini, selain dari tata letak bebatuan yang dibiarkan
alami, yaitu aliran mata air yang digunakan sebagai tempat wisata juga menjadi aliran untuk
pesawahan.
Perkembangan wisata alam yang terjadi saat ini menimbulkan pertanyaan besar,
bagaimana dengan masyarakat terutama petani yang berada di sekitar lokasi tersebut. Sehingga
penting untuk dianalisis terkait kontribusi wisata alam Taman Batu terhadap sumber pendapatan
rumah tangga petani, khususnya petani padi. Sehingga dari hal tersebut kita bisa menilai apakah
adanya wisata alam Taman Batu ini mampu memberi pendapatan tambahan terhadap petani,
serta berapa besar kontribusi yang diberikan terhadap pendapatan rumah tangga petani padi.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Wisata Alam
Kanal Pengetahuan menyebutkan wisata alam adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari daya tarik alam dengan memanfaatkan potensi
sumberdaya alam, baik itu alami maupun budidaya (Kanal Pengetahuan, 2015) dengan tujuan
sebagai berikut :
a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
c. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya
d. Memupuk rasa cinta tanah air
e. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa
f. Mempererat persahabatan antar bangsa

Petani
Mosher (1987) memberi batasan bahwa petani adalah manusia yang bekerja dan bergerak
di bidang bisnis pertanian. Hanafie (2010) dalam Aryandi (2013) memberikan pengertian bahwa
petani adalah manusia yang bekerja dan bergerak di bidang bisnis pertanian dan menjadikan
pertanian sebagai sumber pendapatannya.

Sumber Pendapatan Petani


Struktur nafkah merupakan suatu komposisi pendapatan yang didapatkan oleh
rumahtangga petani atas segala aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota
rumahtangga (Prasetya, 2013) dalam (Rukito, 2018), dimana stuktur nafkah ini dapat dikatakan
sebagai sumber pendapatan. Turasih (2011) dalam Handayani (2014) sumber pendapatan petani
terdiri atas sektor pertanian dan sektor non-pertanian, sektor pertanian terdiri atas : (1) sektor on
farm dan (2) sektor off farm.

501
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pendapatan Usahatani
Pendapatan merupakan suatu hasil yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga dari
berusaha atau bekerja. Jenis masyarakat bermacam ragam,seperti bertani, nelayan, beternak,
buruh, serta berdagang dan juga bekerja pada sektor pemerintah dan swasta (Nazir, 2010) dalam
(Pertiwi, 2015). Usahatani adalah himpunan dari sumbersumber alam yang terdapat di tempat
itu yang diperlukan untuk produksi seperti tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah
dilakukan di atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan
sebagainya (Mubyarto, 1997) dalam (Rohmah, Suryantini dan Hartono, 2014).
Kegiatan usahatani bertujuan untuk mencapai hasil produksi di bidang pertanian. pada
akhirnya kegiatan tersebut akan dinilai dengan uang yang diperhitungkan dari nilai produksi
setelah dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan (Hermanto, 1996). Soekartawi (1995)
mengklasifikasikan biaya produksi usahatani menjadi 2 yaitu :
a. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang dipergunakan tidak habis dalam satu proses
produksi dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit,besar
biaya tidak tergantung pada besar kecilnya biaya produksi yang diperoleh. Biaya tetap
meliputi sewa tanah, pajak, biaya alat pertanian dan penyusutan alat pertanian.
b. Biaya Variabel (variable cost) adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh hasil
produksi. Biaya variable ini meliputi : biaya bibit, biaya pupuk, biaya pengolahan tanah dan
biaya tenaga kerja. Biaya adalah setiap kegiatan yang dilakukan pada suatu usaha
memerlukan pengorbanan fisik non fisik, baik langsung maupun tidak langsung.

Untuk menghitung total biaya dari usahatani padi di gunakan rumus:


TC = TFC + TVC
Dimana :
TC = Total Biaya (Rp)
TFC = Total Biaya Tetap (Rp)
TVC = Total Biaya Variabel (Rp)

Penerimaan di bidang pertanian adalah produksi yang di nyatakan dalam bentuk uang tunai
sebelum dikurangi dengan biaya pegeluaran selama kegiatan usaha tani tersebut (Daniel, 2002)
sedangkan menurut Soekartawi (1995), penerimaan adalah harga di kalikan dengan jumlah yang
di jual.
TR = Py.Y
Dimana :
TR = Total penerimaan (Rp)
Py = Harga pasar (Rp)
Y = Hasil Produksi (satuan)
Secara matematis dapat dilihat seperti :
TR = P.Q
Keterangan :
TR = Total Penerimaan (Total Revenue) (Rp)
Q = Kualitas barang yang dihasilkan (Quantity) (Kg)
P = Harga (Price) (Rp)
Soekartawi (1995) dalam Olivi, Qurniati dan Firdasari (2015) menyebutkan bahwa
pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya.

502
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pd = TR – TC

Keterangan :
Pd = Total Pendapatan Usaha Tani
TR = Total penerimaan
TC = Total Biaya

Pendapatan Non Usahatani


Menurut Turasih (2011) dalam Zulfanita (2016), menyebutkan bahwa salah satu
pendapatan keluarga petani diperoleh dari kegiatan non usahatani. Pendapatan usaha non
usahatani adalah seluruh pendapatan rumah tangga petani yang berasal dari usaha non usahatani
setelah dikurangi dengan pengeluaran selama proses usaha non usahatani, yang diukur dalam
satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pendapatan Rumah Tangga Petani


Zulfanita et al (2016) berkaitan dengan apa yang diungkapkan Turasih (2011) sumber
pendapatan rumah tangga petani diperoleh dari beragam sumber pendapatan yaitu dari kegiatan
budidaya (on farm), usahatani di luar kegiatan budidaya (off farm), dan usaha non pertanian (non
farm). Untuk menghitung pendapatan rumah tangga petani padi diperoleh dengan cara
menjumlahkan semua pendapatan anggota keluarga (usahatani dan non usahatani), dengan
rumus sebagai berikut (Handayani, 2019) dalam (Howara, Sulmi dan Noviyanty, 2016) :
It = Im + Ir + Io
Keterangan :
It = Pendapatan rumah tangga petani padi (Rp)
Im = Pendapatan suami (Rp)
Ir = Pendapatan istri (Rp)
Io = Pendapatan anggota lain (Rp)
Menurut Hastuti dan Rahim (2008) dalam Canita, Haryono dan Kasymir (2017), untuk
mengetahui pendapatan rumah tangga petani digunakan rumus sebagai berikut :
Prt = Pusahatani + Pnonusahatani
Keterangan :
Prt = Pendapatan rumah tangga petani per tahun
Pusahatani = Pendapatan dari usahatani
Pnonusahatani = Pendapatan dari luar usahatani

Kontribusi Pendapatan
Kontribusi terhadap pendapatan petani dapat diartikan sebagai sumbangan atau tambahan
pemasukan pendapatan yang diberikan oleh usahatani dan non pertanian terhadap pendapatan
petani. Sebagai salah satu komponen utama dalam penciptaan pendapatan rumah tangga petani,
maka besarnya kontribusi yang diberikan oleh usahatani dan non pertanian ini akan
mempengaruhi besarnya jumlah pendapatan petani, karena sumber pendapatan dari usahatani
maupun non pertanian merupakan pendapatan petani. Kontribusi terhadap pendapatan total
petani (Soeharjo, 1991) :
Kr = R/Pt x 100%
Keterangan :
Kr = kontribusi dari x (non usahatani)
R = pendapatan petani dari x (non usahatani)
Pt = pendapatan total

503
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODE PENELITIAN
Teknik Penelitian
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yaitu
metode yang bertujuan untuk mempelajari dan menyelidiki suatu kejadian atau fenomena (Bimo
Walgito, 2010) dalam Rahardjo dan Gunanto (2011) menyatakan bahwa studi kasus merupakan
metode yang diterapkan untuk memahami individu lebih mendalam dengan dipraktekan secara
integrative dan komprehensif.
Objek penelitiannya yaitu kontribusi wisata alam terhadap sumber pendapatan petani padi.
Dimana petani yang berstatus sebagai pemilik penggarap, dan memperoleh sumber pendapatan
lain disekitar kawasan wisata alam sebagai unit analisisnya.
Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Dimana
data primer diperoleh langsung dari lapangan tempat penelitian dan wawancara. Sedangkan data
sekunder sebagai data pendukung diperoleh dari data monografi desa, catatan desa, kajian,
pustaka, penelitian terdahulu dan segala sumber yang mendukung proses penelitian.

Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan dua jenis data yang akan diolah, yaitu data kualitatif dan data
kuantitatif. Dimana teknik analisis ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam membaca
informasi yang disampaikan. Data kualitatif hasil dari wawancara, dipilah, difokuskan dan
disederhanakan agar dapat sesuai dengan tujuan penelitian, sedangkan data kuantitatif yang
berasal dari kuisioner diolah dengan menggunakan Microsoft excel 2010 dalam bentuk
perhitungan finansial.
Data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh dengan kuisioner dan wawancara kemudian
dipaparkan dalam bentuk narasi, tabel, dan gambar untuk memperoleh informasi yang sesuai
dengan tujuan penelitian dan dapat dibaca dengan sederhana serta mudah. Adapun analisis yang
digunakan dalam penelitian yaitu analisis deskriptif yang digunakan untuk mendeskripsikan
karakteristik sosial ekonomi, strategi nafkah, dan pendapatan petani yang dimiliki oleh keluarga
petani sehingga dapat diketahui besaran kontribusi pendapatan setelah adanya wisata alam
terhadap pendapatan total.
a. Untuk mengetahui deskripsi rumah tangga petani dianalisa secara deskriptif, meliputi
identitas keluarga dan sumber pendapatan lain yang dilakukan.
b. Untuk mengetahui besaran kontribusi wisata alam terhadap pendapatan rumah tangga petani
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
c. Untuk mengetahui pendapatan usahatani dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
I=R–C
Keterangan :
I = Pendapatan (Rp)
R = Penerimaan (Rp)
C = Biaya (Rp)

Dimana R = P x Q dan C = FC + VC
Keterangan :
P = Harga (Rp)
Q = Jumlah output (Kg)
FC = Biaya tetap (Rp)
VC = Biaya variabel (Rp)

504
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Untuk mengetahui pendapatan non usahatani dilakukan dengan menjumlahkan semua


pendapatan diluar kegiatan pertanian.
P nut = x1 + x2 + …..
Keterangan :
P nut = Pendapatan diluar usahatani
x1, x2 dst = Pendapatan anggota keluarga petani (suami, istri, )
Untuk mengetahui pendapatan rumah tangga petani sebelum adanya wisata alam dilakukan
dengan menjumlahkan pendapatan usahatani dan pendapatan non usahatani.
Prt = Put + Pnut
Keterangan :
Prt = Pendapatan rumah tangga petani
Put = Pendapatan usahatani
Pnut = Pendapatan non usahatani (semua anggota keluarga)
Untuk mengetahui pendapatan rumah tangga petani setelah adanya wisata alam Taman
Batu dilakukan dengan menjumlahkan pendapatan total rumah tangga petani dengan pendapatan
total rumah tangga petani setelah adanya wisata alam.
Prt = Put + (Pnut + Pwa)
Keterangan :
Prt = Pendapatan rumah tangga petani
Put = Pendapatan usahatani
Pnut = Pendapatan non usahatani
Pwa = Pendapatan non usahatani di wisata alam
Untuk mengetahui kontribusi pendapatan setelah adanya wisata alam terhadap pendapatan
keluarga petani menggunakan rumus :
Kr = Pwa / Pk x 100%
Keterangan :
Kr = Kontribusi (%)
Pwa = Pendapatan non usahatani di wisata alam
Pk = Pendapatan setelah adanya wisata alam
100% = Presentase

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Wisata Alam dan Pertanian Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi
Wisata alam Taman Batu terletak di ujung pedesaan, sekitar 3 km dari kantor desa,
tepatnya di Kampung Lembangsari Rt.13/05 Desa Cipeundeuy Kecamatan Bojong Kabupaten
Purwakarta. Wisata alam ini merupakan wisata kolam renang yang berasal dari mata air Cijanun.
Bermula dari Imran Salim (48 tahun) selaku pengelola yang menyadari bahwa daerah Cijanun
memiliki potensi besar di bidang pariwisata, sehingga muncul ide untuk dibangun tempat wisata
alam di atas lahan pemerintah seluas 5.000 m2 dan mulai beroperasi sejak tahun 2017. Ciri khas
yang menjadi daya tarik tempat wisata ini yaitu bebatuan alam yang merupakan gugusan batuan
gunung burangrang dengan pemandangan pesawahan. Lokasi ini dulunya merupakan lahan
kosong milik pemerintah desa yang tidak aktif dan bukan area pesawahan. Pesawahan sendiri
berada tepat mengelilingi tempat wisata alam.
Kemunculan wisata alam Taman Batu memberi dampak langsung dan tidak langsung bagi
masyarakat. Dampak langsung adalah dampak yang berkaitan secara langsung dan
mempengaruhi wisata alam terutama dalam perekonomiannya, seperti adanya penyerapan tenaga
kerja sebagai penjaga karcis, penjaga gerbang, penjaga kolam, administrasi, petugas kebersihan,
buruh bangunan, pekerja mingguan, pekerja bulanan. Dampak tidak langsung merupakan

505
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dampak yang berkaitan secara tidak langsung dengan wisata alam Taman Batu akan tetapi
keberadaannya menjadi pendukung keberlangsungan wisata alam, seperti berjualan makanan
dan minuman (makanan dan minuman ringan, gorengan, nasi liwet, nasi rames, sate, tutut, es
kelapa, baso, lotek), alat berenang (ban, pelampung, dan kacamata renang), aksesories
(kacamata, topi, gelang, waterproof handphone), pakaian (celana dalam, training suit, kaos,
pakaian dalam, kerudung), ojek, penginapan, termasuk lahan parkiran dan jual bensin.
Wisata alam Taman Batu berdampak pula pada cara dalam memperoleh sumber
pendapatan. Hal ini terkait dengan dampak langsung dan tidak langsung dari wisata alam itu
sendiri. Sebelum adanya wisata alam Taman Batu sebagian keluarga petani responden hanya
memiliki satu jenis pekerjaan, maka setelah adanya wisata alam seluruh responden memperoleh
pendapatan lebih dari satu jenis pekerjaan.
Jenis pekerjaan yang cenderung dipilih responden yaitu berdagang makanan. Hal ini
dipilih karena responden menganggap berdagang makanan merupakan suatu pekerjaan yang
cenderung dicari pengunjung selama berwisata. Rata-rata responden menyebutkan bahwa
pekerjaan ini lebih mudah dan lebih banyak menghasilkan pendapatan dibandingkan dengan
jenis yang lain, karena makanan ataupun minuman umum dicari oleh siapa saja.
Dampak positif dari adanya wisata alam Taman Batu, dirasakan secara langsung oleh
masyarakat khususnya petani padi. Rata-rata dari seluruh responden menyebutkan bahwa dengan
adanya wisata alam Taman Batu perekonomian keluarga memiliki kenaikan dari hasil dan
sumber pendapatan serta adanya pekerjaan bagi mereka yang belum bekerja.
Selain terkait hasil dan sumber pendapatan serta peluang pekerjaan, wisata alam Taman
Batu juga mampu memberikan penghasilan yang menjadi alternatif pendapatan yang diandalkan,
dimana hasil padi tidak lagi dijual melainkan digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Hal ini
terutama bagi petani padi yang memiliki hasil panen rendah sedangkan kebutuhan tinggi. Maka
pendapatan yang diandalkan tidak lagi pada hasil padi melainkan pendapatan dari non usahatani
yang lebih besar.
Dampak sosial yang muncul dari adanya wisata alam Taman Batu meningkatkan interaksi
antar masyarakat. Dulunya hanya sebatas tetangga, kini berubah menjadi kelompok yang
kompak dengan kepentingan yang sama. Walaupun disamping dampak positif ini muncul juga
persaingan secara ekonomi, namun hal ini merupakan sesuatu hal yang baik untuk meningkatkan
usaha masyarakat dalam mengupayakan kesejahteraan.

Besaran Kontribusi Wisata Alam Taman Batu terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Petani Padi
Pendapatan usahatani padi diperoleh dari seluruh hasil penerimaan dikurangi dengan
jumlah biaya tetap ditambah dengan biaya variabel. Pendapatan dan seluruh biaya dihitung per
musim dalam kurun satu tahun, dimana dalam satu tahun terdiri dari tiga kali musim tanam.
Penerimaan diperoleh dari harga jual padi per kilogram dalam kurun satu tahun. Pendapatan ini
dihitung dengan pernyataan kondisi panen satu tahun terakhir. Adapaun besaran pendapatan
usahatani padi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pendapatan Usahatani Padi.


No Pendapatan/ Tahun (Rp) Jumlah Responden Persentase (%)
1 692.800 - 13.347.724 9 75
2 13.347.725 - 26.002.649 0 17
3 26.002.650 - 38.657.574 2 0
4 38.657.575 – 51.312.500 1 8
Jumlah 12 100

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata dalam kurun waktu satu tahun
biaya total yang dikeluarkan masing-masing petani padi dalam usahataninya sebesar Rp

506
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

8.895.767. Besaran ini digunakan dalam tiga kali musim tanam, yang berarti dalam satu kali
tanam kurang lebih Rp 2.965.256. Biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap
yang dikeluarkan petani padi, terdiri dari biaya penyusutan alat (cangkul, arit, handspray,
karung), sewa lahan, pajak lahan, dan sewa traktor.
Biaya variabel digunakan dalam membeli benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja. Pupuk
yang digunakan petani terdiri dari pupuk urea, TSP, dan phonska. Beberapa responden tidak
menggunakan pestisida dalam proses produksi sebab menganggap bahwa TSP ataupun phonska
sudah dapat menggantikan pestisida. Tenaga kerja sendiri terdiri dari tenaga kerja dalam
keluarga dan luar keluarga. Satu orang tenaga kerja pria sama dengan 0,8 tenaga kerja wanita.
Penerimaan sendiri dalam kurun satu tahun rata-rata diperoleh sebesar Rp.21.910.625 atau
kurang lebih Rp.7.303.542/ musim tanam untuk masing-masing responden. Penerimaan ini
dihitung berdasarkan harga jual padi per kilogram. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari hasil
usahatani dalam kurun satu tahun untuk masing-masing responden sebesar Rp.13.014.858 atau
Rp.4.338.286 per musim tanam setara dengan Rp.1.084.571 /bulan.
Pendapatan non usahatani merupakan pendapatan yang diperoleh diluar jenis usahatani
ataupun pertanian yang dihitung berdasarkan seluruh anggota keluarga yang bekerja. Pendapatan
ini diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan petani diluar dari mengelola sawah. Ada yang
bekerja sebagai kuli bangunan, pengelola air, tukang ojek, berjualan kripik. Adapun pendapatan
non usahatani padi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pendapatan Non Usahatani.


No Pendapatan/ Tahun (Rp) Jumlah Responden Persentase (%)
1 0 – 11.099.999 7 59
2 11.100.000 – 22.199.999 4 33
3 22.200.000 – 33.299.999 0 0
4 33.300.000 – 44.400.000 1 8
Jumlah 12 100

Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa penghasilan tertinggi dari kegiatan non
usahatani Rp.44.400.000 dan terendah Rp.3.000.000, dimana jumlah penghasilan dari kegiatan
ekonomi non usahatani dalam kurun waktu satu tahun Rp.141.600.000 dengan rata-rata
Rp.11.800.000 per tahunsetara dengan Rp.983.333/bulan.
Pendapatan non usahatani di wisata alam dihitung dalam kurun waktu satu tahun dengan
menjumlahkan seluruh pendapatan petani dan anggota keluarganya. Pendapatan non usahatani
dari kegiatan wisata alam taman batu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pendapatan Non Usahatani Wisata Alam.


No Pendapatan/ Tahun (Rp) Jumlah Responden Persentase (%)
1 3.460.000 – 18.469.999 2 17
2 18.470.000 – 33.479.999 6 50
3 33.480.000 – 48.489.999 1 8
4 48.490.000 – 63.500.000 3 25
Jumlah 12 100

Masing-masing responden memiliki pendapatan yang berbeda sesuai dengan jenis


pekerjaannya dan juga tergantung dari tingkat konsumen. Meskipun dengan jenis pekerjaan yang
sama bukan berarti penghasilannyapun akan sama. Pendapatan untuk jenis pakaian
Rp.20.250.000/tahun, alat renang Rp.8.050.000/tahun, hasil ojek Rp.4.730.000/tahun setara
dengan Rp.394.117/bulan. Pendapatan dari hasil warung eceran makanan dan minuman kurang
lebih Rp.32.508.571/tahun yang merupakan pendapatan yang paling tinggi dengan persentase
8,51%, maka tidak heran tujuh dari 12 orang responden memilih jenis pekerjaan ini.

507
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 4. Pendapatan Sebelum Adanya Wisata Alam Taman Batu.


No Pendapatan/ Tahun (Rp) Jumlah Responden Persentase (%)
1 692.800 – 13.347.724 9 75
2 13.347.725 – 26.002.649 2 17
3 26.002.650 – 38.657.574 0 0
4 38.657.575 – 51.312.500 1 8
Jumlah 12 100
Pendapatan sebelum adanya wisata alam Taman Batu diperoleh dengan menjumlahkan
pendapatan usahatani padi dengan pendapatan non usahatani padi. Pendapatan sebelum adanya
wisata alam Taman Batu dapat dilihat pada Tabel 4.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan responden sebelum adanya
wisata alam Taman Batu dari kegiatan usahatani dan non usahatani sebesar
Rp.13.014.858/tahun, berarti dalam satu bulan penghasilan yang dimiliki keluarga petani dari
kegiatan usatani padi dan non usahatani Rp.1.084.571.
Pendapatan setelah adanya wisata alam Taman Batu dihitung dalam kurun waktu satu
tahun dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pendapatan Setelah Adanya Wisata Alam Taman Batu.


No Pendapatan/ Tahun (Rp) Jumlah Responden Presentase (%)
1 13.586.000 – 37.337.699 2 17
2 37.337.700 – 61.089.399 5 42
3 61.089.400 – 84.841.099 4 33
4 84.841.100 – 108.592.800 1 8
Jumlah 12 100

Data dari hasil penelitian diperoleh rata-rata pendapatan keluarga petani padi setelah
adanya wisata alam Taman Batu dalam kurun waktu satu tahun Rp.56.644.525 atau
Rp.4.720.377/bulan. Hasil ini menunjukkan adanya kenaikan pendapatan setelah adanya wisata
alam taman batu, dimana sebelum adanya wisata alam hanya Rp.1.084.571 /bulan. Jika dihitung
maka kenaikan yang terjadi kurang lebih Rp.3.635.806/bulan atau sekitar 81% dari pendapatan
sebelum adanya wisata alam Taman Batu, dengan demikian hasil tersebut menunjukkan bahwa
kontribusi yang paling tinggi terhadap pendapatan keluarga petani padi berasal dari wisata alam
Taman Batu yang mencapai 53%.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Wisata alam Taman Batu memberi dampak terhadap sumber pendapatan masyarakat
Kampung Lembangsari termasuk petani padi dan keluarganya. Dampak tersebut terdiri dari
dampak langsung dan tidak langsung, serta dampak positif dan dampak negative. Perubahan
cara dalam memperoleh sumber pendapatan petani padi terdiri dari cara pola nafkah ganda,
mobilisasi keluarga dan cara memanfaatkan waktu. Adapun jenis pekerjaan yang dominan
dipilih petani dan keluarganya yaitu berjualan makanan dan minuman, dimana tujuh dari 12
orang responden menganggap jenis pekerjaan ini lebih banyak menghasilkan pendapatan
karena sifatnya yang umum.
2. Pendapatan sebelum adanya wisata alam Taman Batu Rp. 1.084.571 sedangkan setelahnya
Rp.4.720.377. Rata-rata pendapatan per tahun untuk usahatani padi Rp.13.014.858, non
usahatani Rp.11.800.000 dan pendapatan non usahatani di wisata alam Rp.31.829.667
dengan pendapatan tertinggi dari berjualan makanan. Jumlah ini di rata-ratakan, sehingga
besarnya kontribusi wisata alam Taman Batu terhadap pendapatan keluarga petani padi yaitu
53%, sisanya usahatani 24% dan non usahatani 23%.

508
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Saran
Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa saran yang diberikan. Adapun saran-saran
yang disampaikan sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh keuntungan baik bagi wisata alam maupun petani padi, dapat dilakukan
dengan mengupayakan peluang yang ada. Cara tersebut dapat dilakukan dengan
meningkatkan pelayanan yang dibutuhkan oleh pengunjung, misalnya penambahan jenis
makanan, perbaikan sarana dan prasarana, menganekaragamkan jenis penjualan, terutama
dalam menciptakan inovasi-inovasi baru.
2. Pendapatan akan meningkat seandainya produktivitas meningkat, untuk itu diharapkan petani
dan keluarga petani padi mampu meningkatkan keterampilan. Peningkatan keterampilan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas SDM sehingga mampu menghasilkan
produktivitas yang lebih baik dalam sektor usahatani maupun non usahatani.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini,
masyarakat terutama petani padi Kampung Lembangsari, Bapak Imran Salim selaku pengelola
wisata alam Taman Batu dan pemerintah Desa Cipeundeuy Kecamatan Bojong Kabupaten
Purwakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Aryandi, D. (2013). Persepsi Petani Binaan ICDF terhadap Peranan Public Relation dalam
Penerapan Budidaya dan Penanganan Pasca Panen Buah Jambu Kristal. Bogor.
Canita, P. L., Haryono, D., & Kasymir Eka. (2017). Analisis Pendapatan dan Tingkat
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Pisang di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten
Pesawaran. JIIIA, 5.
Daniel. (2002). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara.
Gulton, Stephanie, G., & Suharno. (2015). Kinerja Usaha Ternak Sapi Perah di Kelurahan Kebon
Pedes Kota Bogor. Forum Agribisnis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Handayaani, S. (2014). Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih terhadap Hasil
Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bogor.
Hermanto. (1996). Analisis Usahatani. Jakarta: Bina Aksara.
Howara, D., Sulmi, & Noviyanty, A. (2016). Analisis Pendapatan Keluarga Petani Sagu di Desa
Alindau Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala. J. Agroland, 94–100.
Kanal Pengetahuan. (2015). Pengertian Wisata Alam.
Kementrian Pariwisata RI. (2018). Ranking Devisa Pariwisata Terhadap 11 Ekspor barang
Terbesar Tahun 2011-2015. Jakarta: Kemenpar.
Mosher, A. T. (1987). Menggerakan dan Membangun Pertanian : Syarata-syarat Mutlak
Pembangunan dan Moderenisasi.Disadur Oleh S. Krisandhi Bahrin Samad. Jakarta:
Yasaguna.
Olivi, Rafin, Qurniati, R., & Firdasari. (2015). Kontribusi Agroforestri terhadap Pendapatan
Petani di Desa Sukoharjo 1 Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Syiva Lestari 3.
Pertiwi, P. (2015). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Tenaga Kerja di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Rahardjo, S dan Gudnanto. (2011). Pemahaman Individu Teknik Non Tes. Kudus: Nora Media
Enterprise.

509
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Rohmah, Wasilatur, Suryantini, A., & Hartono, S. (2014). Analisis Pendapatan dan Tingkat
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Tebu Tanam dan Keprasan di Kabupaten Bantul.
Agro Ekonomi.
Rukito, M. R. (2018). Stuktur, Strategi dan Resiliensi Nafkah Rumah Tangga Petani Tebu.
Bogor.
Soeharjo. (1991). Konsep dan Ruang Lingkup Agroindustri dalam Kumpulan Makalah Seminar
Agribisnis. Buku 1. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Soekartawi. (1995). Analisis Usahatani. Jakarta: UI Press.
Zulfanita, Utami, D. P., Mudawarach, R. E., Wicaksono, I. A., Windani, I., & Iskandar, F.
(2016). Pengembangan Sumber Daya Lokal Untuk Mewujudkan Kemandirian Pangan.
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu 1. Purwerejo: Fakultas
Pertanian Universitas Muhammaddiyah Purwerejo.

510
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Sektor Pertanian dalam


Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh
Fadli 1, Eva Wardah1, dan Risky Meyranti2
1Staff Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, Aceh Utara,
2 Mahasiswa Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, Aceh Utara

ABSTRAK

Kata Kunci: Sektor pertanian memiliki peran penting dalam pembangunan suatu wilayah.
Pertanian Sektor yang potensial ini telah memberikan sumbangan terhadap
Unggulan pertumbuhan dan perekonomian wilayah Kabupaten Bener Meriah.
Komoditi Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi
Sektor basis pertumbuhan sektor pertanian dalam pembangunan wilayah di Kabupaten
Wilayah Bener Meriah Provinsi Aceh. Analisis data yang digunakan adalah Shift
Share Analysis (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian
merupakan sektor basis yang berperan penting dalam pembangunan wilayah
Kabupaten Bener Meriah. Faktor pertanian di Kabupaten Bener Meriah
dipengaruhi oleh factor di dalam wilayah kabupaten dan juga faktor dari
wilayah provinsi Aceh.

Email Korespondensi: fadli@unimal.ac.id

PENDAHULUAN
Sejak keluarnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN 2004) yang berisi “SPPN adalah suatu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka panjang,
jangka menengah dan tahunan, yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat ditingkat pusat dan daerah”. Kedudukan perencanaan pembangunan daerah di
Indonesia menjadi semakin kuat.
Argumentasi yang semula berkembang tentang tidak perlunya pembangunan diatur
melalui sistem perencanaan dalam era otonomi daerah, otomatis sudah tidak perlu diperdebatkan
lagi. Adanya undang-undang tersebut, maka penyusunan perencanaan menjadi suatu kewajiban
yang harus dilakukan oleh setiap aparat pemerintah dalam melaksanakan kegiatan sehari-harinya
dan bila hal ini tidak dilakukan akan menimbulkan implikasi hukum tertentu. Hal ini menyatakan
bahwa disamping perencanaan pembangunan ditingkat nasional, dinyatakan pula peranan dari
perencanaan pembangunan pada tingkat daerah. Perencanaan pembangunan selain bertujuan
untuk efisiensi juga untuk mencari sector yang potensial yang akan dikembangkan untuk
percepatan tujuan pembangunan suatu wilayah. Setiap sector memiliki factor dan perannya
masing-masing dalam pembangunan wilayah, ada yang dipengaruhi oleh factor yang ada di
dalam maupun dari luar wilayah tersebut.
Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting dan potensial dalam
pertumbuhan perekonomian suatu wilayah. Hal ini terbukti bahwa peranan sektor pertanian
dalam pendapatan nasional juga sangat besar. Hampir setiap daerah sektor pertanian merupakan
sektor penyokong pembangunan. Sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak dalam
penyerapan tenaga kerja.
Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar dalam PDRB daerah Kabupaten Bener
Meriah. Konstribusi dari sektor pertanian selalu mengalami peningkatan, Tahun 2013 sektor ini
menyumbang sebesar 1.364.872 juta rupiah dan naik hingga mencapai 1.647.711,2 juta rupiah

511
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

di tahun 2017. Sector pertanian selama ini juga yang menjadi andalan Kabupaten Bener meriah
terutama subsektor tanaman perkebunan terutama tanaman kopi, sehingga subsektor ini menjadi
fokus utama dari pemerintah daerah serta masyarakat Kabupaten Bener Meriah.
Melihat besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan wilayah Kabupaten Bener Meriah terutama sektor perkebunan dan hortikultura,
maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai factor yang mempengaruhi pertumbuhan sektor
pertanian tersebut dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Bener Meriah.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah
Sampai saat ini belum ada satu pun teori yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi
daerah secara komprehensif. Akan tetapi, ada beberapa teori yang secara parsial dapat membantu
memahami arti penting pembangunan daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori-teori tersebut
berkisar pada dua hal yaitu pembahasan yang berkisar tentang metode dalam menganalisis
perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad, 1999).
Pengembangan metode untuk menganalisis suatu perekonomian suatu daerah penting
sekali, yang berfungsi sebagai sarana mengumpulkan data tentang perekonomian daerah yang
bersangkutan serta proses pertumbuhannya. Ada beberapa teori dalam pembangunan daerah
yang berhubungan dengan penelititan ini sebagai berikut :
1. Teori sektor
Teori ini berkaitan dengan perubahan relatif pentingnya sektor-sektor ekonomi dimana laju
perubahannya dijadikan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah. Adapun dasar bagi
terjadi perubahan bisa dilihat dari segi permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan,
elastisitas pendapatan dan permintaan barang dan jasa yang ditawarkan oleh industri dan
aktivitas jasa adalah lebih tinggi dari pada proyek pertanian, sehingga adanya peningkatan
pendapatan akan diikuti pengalihan relatif sumber-sumber dari sektor pertanian ke sektor
industri dan jasa. Pada sisi penawaran, pengalihan tenaga kerja dan modal terjadi akibat
adanya perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor eonomi tersebut.
Jadi teori sektor menekankan pada adanya perubahan internal dari pada adanya perubahan
eksternal. Namun sebagai suatu teori yang menjelaskan pertumbuhan, teori ini tidak memadai
karena tidak menawarkan pemahaman tentnag penyebab dari pertambahan tersebut.
2. Teori Basis Ekspor
Teori basis ekonomi adalah suatu teori atau pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan
perkembangan wilayah. Teori basis ekspor merupakan bentuk model pendapatan wilayah
yang paling sederhana. Pentingnya teori ini terletak pada kenyataan bahwa teori ini
memberikan kerangka teoritik bagi banyak studi multiplier (pengganda) wilayah secara
empiris. Asumsi pokok dari teori ini bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom
dalam pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan (Arsyad, 1999).
Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi
internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus mendorong pertumbuhan sektor
lainnya. Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat didalam daerah itu sendiri oleh karena itu pertumbuhannya tergantung kondisi
umum wilayah tersebut. Pertumbuhannya tergantung kepada kondisi perekonomian wilayah
secara keseluruhan (Tarigan, 2005).
3. Teori Pusat Pertumbuhan
Menurut Arsyad (1999), konsep pusat pertumbuhan diperkanalkan pada tahun 1949 oleh
Fancois Perroux yang mendefenisikan pusat pertumbuhan sebagai pusat dari pancaran gaya
sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal. Menurut Rondi Nelli dalam Arsyad (1999) bahwa
teori pusat pertmbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara

512
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan


melakukan investasi pada industri.

Sektor Pertanian dan Peranannya Dalam Pembangunan Daerah


Secara tradisonal dulunya peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya
dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang sektor lain semata. Berdasarkan pengalaman
historis dari negara barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi identik dengan
tranformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yakni dari perekonomian yang
bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri modren dan pelayanan masyarakat yang lebih
kompleks. Dengan demikian, peranan pertanian dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan
sumber bahan-bahan pangan murah demi berkembangnya sektor-sektor industri yang dianggap
sektor unggulan (Todaro, 2004).
Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara berkembang atau pun negara-negara
miskin. Pembangunan dalam pertanian menjadi sangat penting karena mayoritas masyarakat di
negara berkembang mengantungkan kehidupannya dalam sektor pertanian. Bagi suatu negara
berkembang maka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya harus melalui
pembangunan dalam sektor pertanian (Subandi , 2016).
Peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi negara berkembang sangat penting
karena sebagian dari masyarakat di negara-negara berkembang menggantungkan hidupnya pada
sektor tersebut. Jika para perencana dengan sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan
masyarakatnya, maka satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan kesejahteraan sebagian
besar anggota masyarakatnya yang hidup di sektor pertanian itu. Cara itu bisa ditempuh dengan
jalan meningkatkan produksi tanaman pangan dan tanaman perdagangan mereka atau dengan
meningkatkan harga yang mereka terima atas produk-produk yang mereka hasilkan dari sektor
pertanian (Arsyad, 1999).
Sektor pertanian memegang peranan penting di Indonesia sehingga sampai saat ini masih
mendominasi pendapatan suatu daerah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa seiring
perkembangan zaman kedudukan ini kian menurun kontribusinya dalam pendapatan
nasional/regional, digantikan oleh sektor yang lain (Soekartawi, 1994).

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh Ruang lingkup
penelitian ini mencakup factor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor pertanian dalam
pembangunan wilayah Kabupaten Bener Meriah. Penelitian ini juga melihat apakah sektor
pertanian menjadi basis atau tidak basis di wilayah Kabupaten Bener.

Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh
dari BPS Provinsi Aceh dan BPS Kabupaten Bener Meriah, Bappeda Provinsi Aceh dan Bappeda
Kabupaten Bener Meriah, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bener Meriah dan
Provinsi Aceh, jurnal-jurnal, skripsi, buku-buku serta literatur lain yang terkait dengan penelitian
ini.

Metode Analisi Data


Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan pertumbuhan
ekonomi pada suatu daerah digunakan analisis shift share. Shift share adalah salah satu model
pertumbuhan ekonomi wilayah yang yang dapat mengetahui apakah faktor yang mempengaruhi
tersebut berasal dari luar daerah maupun dari dalam daerah bersangkutan. Faktor luar daerah
dapat berasal dari perkembangan kegiatan ekonomi nasional maupun international sedangkan

513
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

faktor yang berasal dari dalam daerah biasanya timbul dari struktur perekonomian daerah serta
potensi khusus yang dimiliki daerah bersangkutan
Analisis shift share dewasa ini merupakan model pertumbuhan yang cukup populer dalam
ilmu ekonomi wilayah karena dapat mengidentifikasi peranan ekonomi nasional dan kekhususan
daerah bersangkutan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan. Sebagaimana telah
di jelaskan terdahulu bahwa kedua unsur ini merupakan aspek penting dalam ilmu ekonomi
wilayah. Formula matematis dalam SSA (Shift share analysis) yaitu :
SSA = [( Yt / Y0 – 1 )] + [(Yit / Yi0 – Yt / Y0 )] + [(yit / yi0 ) – (Yit / Yi0 )
a b c
Keterangan :
a = Komponen regional share
b = Komponen proportional share
c = Komponen differential share
Yt = Jumlah PDRB total/jumlah produksi total suatu komoditi Provinsi Aceh tahun 2017
Y 0 = Jumlah PDRB total/jumlah produksi total suatu komoditi Provinsi Aceh tahun 2013
Yit = Jumlah produksi suatu komoditi Provinsi Aceh tahun 2017
Yi0 = Jumlah produksi suatu komoditi Provinsi Aceh tahun 2013
yi t = Jumlah produksi suatu komoditi Kabupaten Bener Meriah tahun 2017
yi0 = Jumlah produksi suatu komoditi Kabupaten Bener Meriah tahun 2013

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi atau nilai tambah suatu
sektor di tingkat daerah dapat diuraikan atas tiga bagian, yaitu:
1) Regional Share
Regional Share adalah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan
oleh faktor luar yaitu: peningkatan kegiatan ekonomi daerah akibat kebijaksanaan nasional
yang berlaku pada setiap daerah atau karena dorongan pertumbuhan ekonomi dan
perdagangan dengan daerah tetangga. Regional share dianalisis untuk mengetahui pergeseran
struktur perekonomian suatu daerah yang dipengaruhi oleh pergeseran perekonomian
provinsi ataupun nasional.
2) Proportional Shift
Proportional Shift adalah komponen pertumbuhan ekonomi dari dalam daerah sendiri yang
disebabkan oleh struktur ekonomi daerah yang relatif baik, yaitu berspesialisasi pada sektor-
sektor yang secara nasional dapat pertumbuhannya cepat seperti sektor industri. Nilai
Proportional Shift menunjukkan bahwa suatu sektor atau suatu komoditi mengalami
pertumbuhan yang baik pada lingkup yang lebih luas lagi misalnya Provinsi. Proportional
shift dianalisis untuk mengetahui pertumbuhan nilai tambah bruto suatu sektor dibandingkan
total sektor ditingkat provinsi maupun nasional.
3) Differential Shift
Differential Shift adalah Komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena kondisi spesifik
daerah yang bersifat kompetitif. Unsur pertumbuhan inilah yang merupakan keunggulan
kompetitif daerah yang dapat mendorong pertumbuhan ekspor daerah bersangkutan.
Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketakunggulan suatu sektor atau
aktifitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain. Nilai
Differential Shift menunjukkan apakah suatu sektor atau komoditi mengalami pertumbuhan
yang bagus di daerah. Differensial shift juga melihat perbedaan pertumbuhan perekonomian
suatu daerah dengan nilai tambah bruto sektor yang sama di dearah provinsi maupun
nasional.

Nilai masing-masing komponen dapat saja negatif atau positif, tetapi jumlah keseluruhan
akan selalu positif, bila pertumbuhan ekonomi juga positif (Syafrijal : 2015). Dari formula

514
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

perbandingan tersebut dapat diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial pada wilayah
studi :
a. Nilai Proportional Shift positif ( + ) dan nilai Differential Shift (+ ) berarti pertumbuhan
sektor tersebut menonjol pada wilayah provinsi maupun wilayah kabupaten disebut dominan
pertumbuhan.
b. Nilai Proportional Shift positif (+) dan nilai Differential Shift negatif (-) artinya sektor
tersebut mempunyai pertumbuhan menonjol pada wilayah provinsi tetapi belum menonjol
pada wilayah kabupaten.
c. Nilai Proportional Shift negatif (-) dan nilai Differential Shift positif (+) artinya pertumbuhan
sektor tersebut tidak menonjol di wilayah provinsi tetapi pada wilayah kabupaten
pertumbuhan sektor tersebut menonjol.
d. Nilai Proportional Shift negatif (-) dan nilai Differential Shift negatif (-) berarti pertumbuhan
sektor tersebut adalah rendah baik di wilayah provinsi maupun wilayah kabupaten.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produk Domestik Regional Bruto
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator yang lazim
digunakan untuk menjelaskan kinerja perekonomian suatu daerah. Kinerja yang ditunjukkan
oleh PDRB suatu daerah sangat berguna bagi pemerintah dalam menyusun perencanaan
pembangunan yang hendak lakukan. Sesuai dengan perkembangan pembangunan daerah
Kabupaten Bener Meriah data statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB Kabupaten
Bener Meriah (berdasarkan harga konstan tahun 2010) selama periode 2013-2017 mengalami
peningkatan. Perkembangan dan pertumbuhan nilai PDRB Kabupaten Bener meriah tersebut
dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan dan pertumbuhan PDRB Kabupaten Bener Meriah Periode 2013 – 2017.
Nilai PDRB Pertumbuhan
No. Tahun
(juta rupiah) (%)
(1) (2) (3) (4)
1. 2013 2.804.213,20 5,39
2. 2014 2.929.388,50 4,45
3. 2015 3.070.582,00 4,82
4. 2016 3.207.521,50 4,46
5. 2017 3.337.614,70 4,06
Rata-rata 3.069.863,98 4,63
Sumber : BPS Kabupaten Bener Meriah Tahun, 2018

Tabel 1 menjelaskan nilai PDRB Kabupaten Bener Meriah yang mengalami peningkatan
setiap tahunnya memberikan harapan besar untuk memperoleh nilai PDRB yang lebih besar lagi
pada tahun berikut-berikutnya. Akan tetapi dilihat dari pertumbuhannya yang fluktuatif bahkan
untuk tahun 2016-2017 mengalami penurunan hal ini sangat perlu menjadi perhatian bagi pemerintah
daerah Kabupaten Bener Meriah. Penurunan laju pertumbuhan ini diakibatkan menurunnya kualitas
beberapa komoditi hortikultura seperti tomat, kentang dan wortel. Sehingga mengakibatkan
kurangnya minat masyarakat Kabupaten Bener Meriah untuk membeli produk lokal daerahnya
sendiri. Masyarakat lebih memilih membeli produk dari luar daerah seperti dari daerah Brastagi
karena produk sayurannya diyakini masyarakat lebih tahan lama.
Perencanaan pembangunan harus diikuti dengan pemilihan program-program
pembangunan yang tepat agar dapat memperbesar peluang perekonomian Kabupaten Bener
Meriah berkembang lebih pesat lagi serta pertumbuhan nilai PDRB diharapkan dapat mengalami
peningkatan ditahun-tahun berikutnya.

515
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemilihan program pembangunan yang tepat akan menentukan keberhasilan upaya


memacu pertumbuhan nilai PDRB maupun pendapatan asli daerah Kabupaten Bener Meriah.
Salah satu upaya yang digunakan untuk menentukan program pilihan yang tepat yaitu terlebih
dahulu menelusuri sektor yang memiliki peluang menjadi pendukung pembangunan
perekonomian daerah Kabupaten Bener Meriah. Sektor yang dimaksudkan dapat dilihat dan
dipelajari kontribusinya terhadap nilai PDRB.

Pertumbuhan Sektor Perekonomian


Pertumbuhan ekonomi menggambarkan peningkatan produksi seluruh barang dan jasa dalam
suatu perekonomian daerah. Perkenomian Kabupaten Bener Meriah terdiri 17 sektor pereko-nomian.
Pertumbuhan sektor perekonomian Kabupaten Bener Meriah dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Laju pertumbuhan sektor perekonomian Kabupaten Bener Meriah tahun 2013 – 2017 (%).
Tahun Rata-
No Lapangan Usaha
2013 2014 2015 2016 2017 Rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Pertanian,Kehutanan, Dan
1. 4,05 4,93 4,97 4,78 4,6 4,66
Perikanan
2. Pertambangan Dan Penggalian 2,13 3,06 3,28 3,01 -5,68 1,16
3. Industri Pengolahan 3,28 2,81 3,44 4,52 5,19 3,84
4. Pengadaan Listrik Dan Gas 4,31 5,6 7,53 8,87 1,89 5,64
Pengadaan Air, Pengolahan
5. Sampah, Limbah Dan Daur 3,66 5,74 4,94 4,25 3,84 4,48
Ulang
6. Kontruksi 4,84 4,95 7,57 4,26 2,58 4,84
7. Perdagangan Besar dan Eceran 5,41 4,21 3,17 3,68 3,28 3,95
8. Transportasi Dan Pergudangan 3,79 3,04 2,36 2,11 3,46 2,95
Penyediaan Akomodasi
9. 2,99 3,91 3,54 4,09 5,38 3,98
Makanan Dan Minuman
10. Informasi Dan Komunikasi 1,2 2,41 1,07 2,8 0,29 1,55
11. Jasa Keuangan Dan Asuransi 78,57 5,05 2,84 1,55 0,87 15,75
12. Real Estate 6,52 5,11 4,39 3,2 3,43 4,53
13. Jasa Perusahaan 1,98 3,97 5,49 3,22 3,86 3,7
Adminstrasi Pemerintahan,
14. 4,55 6,19 4,1 6,53 6,03 5,48
Pertahanan Dan Jaminan Sosial
15. Jasa Pendidikan 2 2,98 4,93 4,26 5,77 3,98
Jasa Kesehatan Dan Kegiatan
16. 4,7 5,54 4,78 5,36 5,8 5,23
Sosial
17. Jasa Lainnya 3,99 3 5,15 5,62 6,19 4,79
Jumlah 5,39 4,45 4,82 4,46 4,06 80,56
Sumber : BPS Kabupaten Bener Meriah, 2018

Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan sektor perekonomian
Kabupaten Bener Meriah setiap tahunnya mengalami fluktuatif. Sektor yang tumbuh dengan laju
pertumbuhan rata-rata yang tertinggi di tahun 2017 adalah sektor jasa keuangan dan asuaransi
dengan nilai 15,75 %. Hal ini dikarenakan berkembangnya sektor jasa keuangan setiap tahunnya.
Masyarakat bener meriah meyakini bahwa menyimpan uang atau pendapatan dari hasil kebun
ataupun lainnya lebih aman dan lebih menguntungkan di bank maupun tempat penyimpanan jasa
keuangan lainnya. Sebaliknya sektor yang laju pertumbuhan rata-rata terendah adalah sektor
pertambangan dan penggalian dengan nilai 1,66 %. Hal ini dikarenakan di Kabupaten Bener
Meriah memang tidak banyak kawasan pertambangan.

516
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Struktur Perekenomian Kabupaten Bener Meriah


Struktur perekonomian digunakan untuk menunjukkan komposisi atau susunan sektor-
sektor ekonomi dalam suatu perekonomian. Sektor yang dominan mempunyai kedudukan paling
tinggi dalam struktur tersebut dan menjadikan ciri khas dari perekonomian daerah yang
bersangkutan. Peranan atau kontribusi sektor pertanian menunjukkan besarnya kemampuan
masing-masing sektor ekonomi dalam menciptakan nilai tambah sekaligus menggambarkan
ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan memproduksi barang dan jasa dari setiap
sektor perekonomian yang ada dalam suatu daerah tersebut. Perubahan ataupun pergeseran ini
sering digunakan untuk indikator yang menunjukkan suatu proses pembangunan.
Struktur perekonomian regional atau daerah ditentukan oleh kontribusi masing-masing
sektor yang ada didaerah tersebut terhadap PDRB. Sektor dengan kontribusi terbesar merupakan
sektor yang menjadi penyokong utama dalam perekonomian regional dan berpengaruh terhadap
pola kegiatan sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Pengukuran struktur ekonomi
daerah dapat dihitung dengan menghitung kontribusi masing-masing sektor dalam nilai PDRB
daerah yang bersangkutan berdasarkan harga yang berlaku.

Tabel 3. Kontribusi Sektor Perekonomian Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Atas Harga yang
Berlaku Kabupaten Bener Meriah Tahun 2013–2017 (%).
Tahun
No Lapangan Usaha
2013 2014 2015 2016 2017
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Pertanian,Kehutanan, Dan Perikanan 48,19 48,33 48,33 48,41 48,41
2. Pertambangan Dan Penggalian 0,93 0,95 0,92 0,89 0,8
3. Industri Pengolahan 2,27 2,26 2,26 2,3 2,41
4. Pengadaan Listrik Dan Gas 0,08 0,08 0,09 0,09 0,09
5. Pengadaan Air, Pengolahan Sampah,
0,02 0,02 0,02 0,02 0,02
Limbah Dan Daur Ulang
6. Kontruksi 15,29 15,52 15,91 16 15,78
7. Perdagangan Besar Dan Eceran 7,15 7,09 7,15 7,19 7,18
8. Transportasi Dan Pergudangan 6,08 5,95 5,69 5,44 5,29
9. Penyediaan Akomodasi Makanan Dan
0,41 0,42 0,42 0,44 0,46
Minuman
10. Informasi Dan Komunikasi 1,6 1,52 1,44 1,39 1,32
11. Jasa Keuangan Dan Asuransi 2,97 2,74 2,64 2,56 2,51
12. Real Estate 2,04 2,04 2,01 1,99 2
13. Jasa Perusahaan 0,24 0,24 0,23 0,23 0,24
14. Adminstrasi Pemerintahan, Pertahanan
7,88 8,11 8,16 8,28 8,52
Dan Jaminan Sosial
15. Jasa Pendidikan 1,69 1,63 1,65 1,68 1,74
16. Jasa Kesehatan Dan Kegiatan Sosial 2,09 2,08 2,04 2,03 2,06
17. Jasa Lainnya 1,06 1,03 1,03 1,05 1,06
Sumber : BPS Kabupaten Bener Meriah, 2018

Keberhasilan pencapaian pembangunan yang telah dilaksanakan perlu diketahui sehingga


diperlukan alat yang dapat membantu memberikan gambaran tingkat keberhasilan pelaksanaan
pembangunan ekonomi dalam suatu daerah. Salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan
ekonomi yang telah dilaksanakan dalam suatu daerah adalah dengan melihat pendapatan daerah
tersebut. Kabupaten Bener Meriah dalam perekonomiannya terdiri dari 17 sektor yang
memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Bener Meriah. Masing - masing sektor
memberikan konrtribusi yang berbeda-beda setiap tahunnya.

517
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Struktur perekenomian masyarakat Kabupaten Bener Meriah didominasi oleh sektor


pertanian. Adapun kontribusi sektor perekonomian terhadap PDRB Kabupaten Bener Meriah
dapat dilihat pada Tabel 3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Sektor Pertanian


Komponen Diffrential Shift adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena
kondisi spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Unsur pertumbuhan inilah yang merupakan
keunggulan kompetitif daerah yang dapat mendorong pertumbuhan penjualan produk pertanian
daerah yang bersangkutan. Sektor pertanian yang memiliki nilai diffrential positif menunjukkan
bahwa sektor pertanian tersebut berdaya saing tinggi dibandingkan sektor yang sama didaerah
lainnya. Apabila nilai differintial negatif menunjukkan bahwa tidak memiliki daya saing
terhadap sektor yang sama di daerah lain.
Shift share analisis menggunakan data dari dua titik waktu untuk menganalisa pergeseran,
karena hanya menggunakan data 2 titik maka sebisa mungkin dicari rentang waktu yang
menunjukkan nilai pergeseran yang stabil. Berdasarkan hal tersebut dalam menghitung nilai shift
share analysis Kabupaten Bener Meriah periode 2013 - 2017 digunakan data PDRB sektor
pertanian Kabupaten Bener Meriah dan PDRB sektor pertanian Provinsi Aceh tahun 2013 dan
2017.
Hasil perhitungan shift share analysis sektor pertanian Kabupaten Bener Meriah
didapatkan nilai Regional Share = 0,035119, Proportional Shift = 0,139701 dan Differential Shift
= 0,032409. Sehingga dari ketiga komponen tersebut didapat nilai SSA = 0,207229. Sektor
pertanian Kabupaten Bener Meriah memiliki komponen Proportional shift dan Differential Shift
positif artinya pertumbuhan sektor pertanian dipengaruhi oleh factor yang ada pada wilayah
sendiri maupun di wilayah provinsi selama tahun 2013-2017. Nilai proportional shift positif
artinya sektor pertanian memiliki keunggulan komparatif terhadap sektor yang sama di daerah
lainnya. Untuk nilai differential shift positif menunjukkan bahwa sektor pertanian juga bersifat
kompetitif di Provinsi Aceh. Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui faktor yang berperan
dalam mendukung pertumbuhan sektor pertanian di Kabupaten Bener Meriah berasal dari dalam
wilayah kabupaten itu sendiri.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan sektor pertanian Kabupaten Bener Meriah
memiliki keunggulan yaitu :
a) Sumber daya alam Kabupaten Bener Meriah
Kabupaten Bener Meriah merupakan salah satu Kabupaten di provinsi Aceh yang kaya akan
sumber daya, tingkat kesuburan tanah yang relatif baik, serta dataran tinggi yang bagus
dijadikan lahan perkebunan kopi dan sayuran. Selain itu untuk objek-objek wisata juga
memiliki potensi yang sangat bagus. Potensi alam yang ada di kabupaten ini sangat potensial
untuk dikembangkan menjadi objek wisata yang indah, bersih dan juga nyaman.
b) Kebijakan Pemerintah daerah
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Bener Meriah salah
satunya adalah peningkatan produksi dan produktivitas pada produk pertanian, memberikan
bantuan bibit-bibit unggul pada petani kopi dan lainnya melalui kerjasama dengan kelompok-
kelompok tani di desa dan memperbaiki saluran-saluran pemasaran dan membentuk
koperasi-koperasi petani meskipun saat ini masih kebanyakan koperasi pertanian kopi.
Program-program yang telah berjalan pada tahun 2017 salah satunya program peningkatan
produksi kopi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh seperti rehabilitasi tanaman
kopi, pengadaan bibit unggul kopi, perluasan tanaman kopi di Kabupaten Bener Meriah.
c) Berdirinya Agroindustri
Pembangunan agroindustri yang menghasilkan produk jadi dari bahan bakunya sektor
pertanian menambah pendapatan bagi masyarakat Kabupaten Bener Meriah. Seperti halnya
produk kopi, telah banyak produk-produk jadi dari bahan baku kopi yang berasal dari daerah
Kabupaten Bener Meriah. Bisa dalam bentuk parfum kopi, masker wajah kopi, pengharum

518
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

ruangan kopi dan lain sebagainya. Hal ini diharapkan dari semua produk pertanian dapat
diolah serta memberikan harga jual yang lebih tinggi lagi bagi masyarakat Kabupaten Bener
Meriah.

PENUTUP
Sektor pertanian merupakan sektor penopang perekonomian Kabupaten Bener Meriah
dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB serta merupakan sektor basis dalam pembangunan
wilayah Kabupaten Bener Meriah. Factor yang mempengaruhi basisitas sector pertanian yaitu
dari dalam wilayahnya seperti ketersediaan sumberdaya alam yang sangat melimpah dan
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Factor dari luar daerah adalah banyaknya
penggunaan hasil sector pertanian dari Kabupaten Bener Meriah oleh daerah-daerah lain di
Provinsi Aceh, terutama subsector Tanaman Kopi..

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, L. (1999). Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan STIM
Yogyakarta
BPPS. (2017). Kabupaten Bener Meriah Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik. Kabupaten
Bener Meriah
BPPS. (2018). Kabupaten Bener Meriah Dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik. Kabupaten
Bener Meriah
BPS. (2017). Aceh Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Banda Aceh
BPS. (2018). Aceh Dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Banda Aceh
Soekartawi. (1994). Pembangunan Pertanian. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Subandi. (2016). Ekonomi Pembangunan. Bandung : Alfabeta.
Syafrijal. (2015). Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi. Jakarta PT Raja
Grafindo Persada.
Tarigan, R. (2005). Ekonomi Regional Teori Dan Aplikasi. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Todaro, M. (2004). Pembangunan Ekonomi. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

519
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Penguatan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Komoditas Pangan Lokal


Non Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan Rumahtangga di
Kabupaten Kepulauan Mentawai
Strengthening Community Accessibility to Local Non Rice Food
Commodities in Supporting Household Food Security in The Mentawai
Island District
Faidil Tanjung1 dan Edi Indrizal2
1 Program Studi Agribisnis Universitas Andalas, Padang
2 Departemen Antropologi, Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Kata Kunci: Pangan adalah hak asasi manusia, karena ketersediaannya diperlukan untuk
Ketahanan Pangan hidup yang layak dan semua pihak baik pemerintah dan masyarakat
Aksesibilitas Pangan bertanggungjawab untuk itu seperti diamanatkan dalam Undang-Undang
Kearifan Lokal Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Sejalan dengan UU tersebut, Penduduk
Ketahanan Pangan Mentawai tidak ada yang kelaparan, walaupun penduduk di bumi sikerey
Rumahtangga banyak yang tergolong miskin. Kebutuhan pangan mereka dapat dipenuhi
dari sumber pangan lokal yang sudah turun temurun menjadi pangan utama
seperti talas, sagu, pisang dan tanaman palawija lainnya. Mereka sepenuhnya
sudah memiliki ketahanan pangan baik pada tingkat rumahtangga maupun
wilayah. Kenyataan penduduk Mentawai berketahanan pangan dan tidak
mengenal kelaparan, mulai tergerus dengan introdusir beras. Kondisi ini
mereduksi pangan lokal utama mereka sekaligus budaya konsumsi dan relasi
sosial yang melekat pada masyarakat Mentawai sehingga ketahanan
pangannya terancam. Makalah ini membahas tentang kearifan lokal dan
aksesibilitas masyarakat terhadap komoditas pangan lokal non beras dalam
mendukung ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Penelitian ini menggunakan desain dominant less-dominant yakni
mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif pada suatu
penelitian. Pendekatan kualitatif berposisi dominant (utama) sedangkan
pedekatan kuantitatif berposisi less-dominant. Hasil penelitian menunjukan
bahwa potensi sumber pangan lokal penduduk Mentawai tersedia dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya.
Introdusir beras telah mengancam ketahanan pangan rumahtangga. Dengan
memperhatikan potensi ragam komoditas pangan lokal dan aksesibilitas
masyarakat terhadap pangan lokal non beras akan menjamin masyarakat
Mentawai memiliki ketahahanan pangan. Berketahanan pangan seperti di
Kabupaten Kepulauan Mentawai menjadi potret tersendiri bahwa masyarakat
dengan mengandalkan sumber pangan lokal (non beras) akan menjamin
ketahanan pangannya baik tingkat regional maupun pada tingkat
rumahtangga secara berkelanjutan.
ABSTRACT

Keywords: Food is a human right. Availability is needed for a decent life and all
food security, parties,without exception, the people of the Mentawai also must be of
local wisdom, concern to this food security. So far, there is a point of view that the
social accessibility, Mentawai people never be starving, although the majority population of the

520
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

non-rice food Sikerei Land are poor. Their food needs can be met from local food sources
that have hereditary become the main food such as sago, taro, bananas and
other crops. We can say that they have good food security at the household
level and region. But in the last few decades as increased rapidly changing
environment, reclamation of land, population growth and the introduction of
the rice program, has reduced their main local food at the same time the
consumption culture and social relations inherent in the Mentawai people
so that food security is threatened. This paper is about local wisdom and
accessibility of the local community towards non-rice food commodities to
support household food security in the Mentawai Islands. This study uses a
qualitative approaches to research. Results of this study warned of the
potential sources of local non - rice food in Mentawai that is actually still
available in sufficient quantities to meet the food needs of its people.
Precisely introduction of rice could threaten household food security. With
regard to the potential variety of local food commodities and accessibility of
the local community towards non-rice food will ensure the Mentawai people
have food security. Food security as in the Mentawai Islands became a
separate portrait that people relying on non- rice food will be able to ensure
their food security both regionally and at the household level for
sustainability.

Email Korespondensi: faidiltanjung@gmail.com

Pangan adalah hak azasi setiap


manusia Pangan itu hidup matinya suatu
bangsa Karenanya ketahanan pangan
perlu terus dijaga Dikelola secara
berkelanjutan dan bermakna
PENDAHULUAN
Ada pandangan menyatakan bahwa penduduk Mentawai tidak mungkin mengalami
kelaparan. Semua kebutuhan pangan baik sumber nabati maupun hewani tersedia melimpah di
Kepulauan Mentawai, tidak akan habis- habisnya di daerah itu. Sagu, keladi dan pisang asal
ditusukkan ke tanah dengan mudah tumbuh dan menghasilkan. Ikan bisa didapat dari sungai
dan muara. Babi tidak pula susah untuk diternakkan di sekitar permukiman dan ladang warga.
Binatang buruan bergelayutan dari pohon ke pohon. Dari hutan pun bisa mendapatkan rusa dan
aneka burung untuk dikonsumsi. Buah-buahan hutan seperti cempedak hutan, durian, duku
dan jambu pun ada. Mengikuti cara pandang seperti ini, Mentawai dikatakan memiliki
ketahanan pangan yang terjamin. Tetapi, itu dulu, yakni dalam gambaran ketika jumlah
penduduk di Kepulauan Mentawai masih amat jarang dan kehidupan masyarakat suku aslinya
masih berdaulat dengan corak kehidupan sederhana dan sistem kebudayaan tradisional yang
kental. Sekarang tidak seperti itu lagi. Berbagai tekanan pembangunan dan perubahan sosial
telah mengancam ketahanan pangan di negeri sikerei itu. Setidaknya patut dicatat bahwa
pembukaan hutan dan pembalakan oleh HPH di P. Sipora, P. Pagai Utara, P. Pagai Selatan,
hingga P. Siberut yang dilakukan secara besar-besaran sejak masa Orde Baru telah mencabut
sebagian hak-hak tradisional dan membawa dampak besar terhadap perubahan kehidupan
tradisional orang Mentawai. Di P. Siberut sebagian kawasan hutan alamnya telah pula
ditetapkan menjadi Taman Nasional Siberut (TNS), di satu sisi ini sungguh besar manfaatnya
untuk pelestarian hutan dan lingkungan, namun di sisi lain makin meng-subordinasi hak-hak
ulayat penduduk lokal terhadap tanah dan lahan.

521
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pascapemekaran menjadi Kabupaten Kepulauan Mentawai, alih fungsi kawasan dan


reklamasi lahan di wilayah ini terus berlangsung atas nama dalam rangka percepatan
pembangunan daerah. Kontak budaya yang semakin intensif dengan kebudayaan luar lewat
kemasan modernitas yang dipromosikan kepada orang Mentawai, termasuk arus
komersialisasi dan monetisasi telah membawa dampak perubahan sosial yang semakin
kompleks di Kepulauan Mentawai.
Sejak masa Orde Baru, pemerintah pun telah mempromosikan program mencetak sawah dan
memperkenalkan cocok tanam padi di Mentawai, namun kurang berhasil. Di era reformasi dan
otonomi daerah program introduksi beras kembali dijalankan Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Mentawai dengan melakukan perluasan areal sawah baru, sekaligus mengantisipasi
ketergantungan daerah ini pada program bantuan beras untuk penduduk miskin (RASKIN). Tapi
sayangnya upaya mengembangkan pangan lokal non-beras malah abai. Seiring perjalanan waktu
dalam belenggu keterisolasian dan kemiskinan, pertumbuhan penduduk di Kepulauan Mentawai
pun terus meningkat, kebutuhan pangan penduduk ikut meningkat pula. Sementara itu perubahan
sosial terus berlangsung dan semakin merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat,
termasuk dalam mempengaruhi perilaku konsumsi pangan pokok rumah tangga komunitas suku
asli Mentawai.
Tekanan pembangunan dan pesatnya perubahan sosial bahkan juga mempengaruhi
kondisi ketahanan pangan di Mentawai. Sehingga tidak berlebihan apabila kini muncul
kekhawatiran atas ancaman terjadinya kerawanan pangan di Mentawai. Di saat dunia
menghadapi krisis pangan pada periode 2007/2008 lalu, Kabupaten Kepulauan Mentawai
termasuk salah satu daerah yang mendapat sorotan media daerah maupun nasional. Setelah
sempat menghiasi pemberitaan di beberapa surat kabar di Padang, langsung sehari setelah itu
Jum‟at, 5 September 2008, surat kabar nasional Harian Kompas pun merilis berita bertajuk
“Rawan Pangan Ancam Mentawai”. Secara khusus disebutkan bahwa kerawanan pangan
mengancam masyarakat Mentawai di P. Siberut, sementara penghargaan dan rasa bangga
generasi muda Mentawai sendiri terhadap pangan pokok lokal pun makin berkurang.
Berkenaan dengan ini pembahasan seputar isu ketahanan pangan di Mentawai
dipandang urgen menjadi perhatian berbagai pihak. Peran nyata pemerintah maupun
masyarakat Mentawai sendiri amatlah penting untuk bersinergi mengatasi jangan sampai
kerawanan pangan benar-benar melanda daerah ini. Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber
pangan, terutama pangan pokok lokal perlu dijaga dan dikelola seserius mungkin. Adanya
kearifan lokal sesuai karakteristik daerah beserta aneka corak kehidupan masyarakat dan
kebudayaannya hendaknya juga menjadi perhatian khusus dalam penguatan aksesibilitas
masyarakat terhadap pangan pokoknya. Fungsionalisasi kearifan lokal dalam penguatan
aksesibilitas masyarakat terhadap keragaman sumber pangan pokok ini diyakini akan dapat
semakin mendukung terwujudnya ketahanan pangan daerah maupun nasional secara
berkelanjutan.
Makalah ini secara khusus hendak memaparkan permasalahan seputar aksesibilitas
masyarakat terhadap sumber pangan pokok non-beras di Kabupaten Kepualauan Mentawai.
Kami juga akan membahas pentingnya penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber
pangan pokok lokal non-beras berbasis kearifan lokal untuk mendukung ketahanan pangan
rumahtangga di Kepulauan Mentawai. Makalah ini disusun berdasarkan serangkaian penelitian
yang dilaksanakan pada tahun 2017 dan 2018. Di dalam penelitian ini kami mengandalkan
pendekatan kualitatif yang secara metodologis bertujuan menghasilkan narasi-deskripsi dan
pemaknaan atas temuan data dan informasi yang diperoleh lewat pengamatan, wawancara
mendalam dengan informan perorangan dan wawancara Focus Gorup Discussion (FGD). Selain
itu, data yang dikumpulkan juga meliputi data kuantitatif dan data statistik yang diperoleh melalui
studi kearsipan.

522
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Dalam arti yang luas, pangan mencakup segala yang berasal dari tanaman pangan, ternak
dan ikan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein dan vitamin serta mineral yang
bermanfaat untuk pertumbuhan dan kesehatan manusia. Kebutuhan terhadap pangan juga
merupakan kebutuhan paling dasar dalam kebidupan manusia. Itu sebabnya dikatakan bahwa
pangan adalah hak azasi manusia. Manakala terjadi pangan, itu sekaligus bisa menjadi ancaman
tragedi kemanusiaan.
Kekhawatiran terjadinya krisis pangan bukan saja jadi isu daerah dan nasional, tetapi juga
telah lama menjadi perhatian sebagian besar negara-negara di dunia, sampai-sampai dibuatlah
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah
memberikan peringatan kepada dunia yang sempat mengalami krisis pangan pada 2007/2008,
agar melakukan pencegahan sebab krisis pangan bisa saja berulang kembali. Menurut FAO
krisis pangan dapat terjadi karena komoditas pangan tidak terkelola dengan baik. Supaya
tidak terjadi lagi, maka setiap negara diharapkan dapat mengupayakan penyelamatan secara
mandiri. Itulah sebabnya negara-negara yang dikenal pengekspor beras seperti Thailand dan
Vietnam, ternak sapi dari Australia mulai mengamankan terlebih dahulu kebutuhan dalam
negerinya. Dalam hal ini Indonesia seyogyanya juga mewaspadai terjadinya krisis pangan dan
lebih bersiap diri sehingga dapat menjaga dan meningkatkan produksi pangan secara
berkelanjutan.
Yudohusodo (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan pada dasarnya memiliki
dimensi sangat luas dan melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan
ketahanan pangan akan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja tetapi
juga oleh sektor lainnya. Sinergi antar sektor maupun sinergi pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha merupakan kunci keberhasilan pembangunan ketahanan pangan. Pemerintah juga harus
mendorong masyarakat untuk semakin memahami dan memaknai pentingnya ketahanan
pangan dalam pembangunan ekonomi nasional. Sementara itu meski pemerintah kerap
mengklaim Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beberapa komoditas pangan
tertentu, namun harus diakui pencapaian swasembada belum mantap karena amat riskan
digoyang krisis ekonomi (Fariz, 2012; Haryono dan Irsal, 2011).
Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan pun mengatur
perlunya pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di
bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan
penyuluhan di bidang pangan. Bahkan kerjasama internasional dapat dilakukan dalam bidang
produksi, perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.
Soedjana (2007) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat diartikan sebagai
terpenuhinya pangan dengan ketersediaan untuk kebutuhan masyarakat secara nasional, mudah
memperolehnya, aman dikonsumsi dan harganya terjangkau oleh lapisan masyarakat, yang
dapat diwujudkan dengan bekerjanya subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan
subsistem konsumsi. Fagi et al. (2002) juga mempertegas betapa pentingnya ketersediaan
pangan dan didistribusikan ke seluruh wilayah melalui upaya pengembangan sistem distribusi
pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin
keamanan distribusi pangan. Berkenaan dengan ini Mewa (2004) pun menyebutkan
pentingnya program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan untuk mengopreasionalkan
pembangunan dalam rangka mengembangkan sistem ketahanan pangan di tingkat nasional
hingga tingkat rumahtangga. Ketahanan pangan hendaklah juga meliputi diversifikasi pangan
dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan
teknologi pengolahan dan produk pangan serta peningkatan kesadaran masyarakat untuk
mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang.
Sukirno (2006) menyatakan untuk mewujudkan ketahanan pangan, seharusnya juga
terintegrasi dengan upaya meningkatkan gizi. Sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya

523
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi
juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta
status gizi anggota rumah tangga. Oleh karena itu dalam memahami starategi ketahanan
pangan secara nasional, aspek mikro rumah tangga pun tidak boleh diabaikan. Sebagaimana
Handewi. et al. (2010) juga menyebutkan pada dasarnya ketahanan pangan memiliki 3 pilar,
yaitu: aspek ketersediaan (food availibility), aspek stabilitas ketersediaan atau pasokan (access
of supplies), dan aspek keterjangkauan (access to utilization). Dengan kata lain ketersediaan,
aksesibilitas, dan penyerapan pangan merupakan subsistem dari sistem ketahanan pangan yang
harus dipenuhi secara utuh. Jika salah satu subsistem tidak dipenuhi maka suatu negara belum
dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup
di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu atau rumahtangga untuk memenuhi
kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dapat dikatakan rapuh.
Sistem ketahanan pangan sendiri merujuk soal ketersediaan, akses dan penyerapan pangan,
sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan.
Dengan demikian artinya pangan harus tersedia dalam jumlah yang cukup, baik di musim
panen maupun paceklik, terdistribusi merata di seluruh peloksok negeri, harganya terjangkau oleh
orang yang miskin sekalipun dan aman serta bermutu. Ketahanan pangan itu berarti juga
menyangkut ketersediaan serta kemudahan dan keterjangkauan masyarakat untuk menikmatinya
di penjuru daerah manapun, termasuk pada komunitas adat suku asli Mentawai. Demikianlah
aksesibilitas masyarakat terhadap sumber pangan, utamanya sumber pangan pokok, harus bisa
menembus sekat-sekat perbedaan sosial dan budaya, serta adaptif dengan realitas keanekaragaman
masyarakat lokal dalam berbagai kekhasan keadaan setempatnya. Sebab ukuran paling riil dari
ketahanan pangan itu hendaklah dimaknai sebagai apa yang dialami dan dijalani oleh setiap
masyarakat, di penjuru manapun mereka berada.
Selanjutnya dalam membahas aksesibilitas masyarakat terhadap sumber pangan itu juga
perlu dikaitkan dengan kearifan lokal. Apalagi di daerah yang sering digambarkan memiliki
keamanan pangan di masa lalu, tetapi sekarang dikhawatirkan terancam rawan pangan. Selama
ini, kearifan lokal mungkin sudah cukup sering juga disebut-sebut, tetapi sayangnya masih
minim sekali upaya untuk mendefinisikannya secara lebih operasional terlebih dahulu.
Istilah kearifan lokal sering dipadankan dengan istilah dalam bahasa Inggrisnya disebut
local wisdom. Sebagai sebuah konsep, kandungan pengertiannya terutama terletak pada makna
dua kata dasarnya: arif dan lokal. Kearifan pada dasarnya berwujud ideasional yang sejatinya
menunjuk pada makna dan adanya fungsi-fungsi yang bersifat bernilai positif serta berdaya
guna. Sedangkan lokal menyangkut batasan berkonteks ruang, tempat atau lokasi sehingga
bisa ditunjukkan kekhasan apa dan dimana locusnya. Demikianlah misalnya juga jika disebut
penduduk lokal, masyarakat lokal, ataupun kebudayaan lokal, maka itu berarti harus jelas apa
dan dimana batasanya konteks lokalitasnya. Untuk ini kami mendefinisikan konsep kearifan
lokal merupakan seperangkat nilai, norma, aturan, kepercayaan, pengetahuan, ataupun tradisi
(yang masih berlaku maupun pernah ada) di dalam suatu masyarakat atau daerah tertentu
termasuk dalam pemanfaatan sumberdaya karena memiliki fungsi-fungsi positif atau bernilai
dan berdayaguna bagi kelangsungan hidup.
Secara antropologis kearifan lokal itu biasanya dianalisis sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan sistem sosial dan budaya. Dengan demikian ia juga dapat dijadikan sebagai
modal sosial budaya yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan maupun
implementasi pembangunan (Lihat juga: Barlet, 1980; Dove, 1985; dan Uphoff, 1988). Dalam
hubungannya dengan tujuan penguatan aksesibilitas masyarakat untuk mendukung ketahanan
pangan di Kepulauan Mentawai, kearifan lokal dimaksud dapat meliputi pemanfaatan sumber
bahan pangan pokok lokal non- beras yang khas oleh orang Mentawai yang berkaitan erat
dengan kebudayaan suku bangsa tersebut. Kearifan lokal bahkan bisa terkandung di dalam
kebijakan pemerintahan daerah, termasuk di bidang ketahanan pangan.

524
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat.
Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini akan difokuskan di daerah yang
disebut sebagai benteng pertahanan terakhir ketahan pangan di Mentawai, yakni di Pulau Siberut
sebagai vocal area penelitian. Peneliti akan membagi dua kategori utama daerah penelitian,
yakni: (1) Daerah perdesaan pedalaman yang relatif masih sedikit dijangkau arus modernitas di
bidang ketahanan pangan. Daerah ini meliputi desa dan kampung suku asli Mentawai yang
biasanya terletak di kawasan pedalaman hutan di hulu sungai. Pangan pokok sehari-hari
penduduknya masih mengandalkan pangan pokok lokal (non-beras) seperti sagu, keladi dan
pisang. (2) Daerah perdesaan yang relatif telah banyak mengalami desakan modernitas di bidang
pangan, yang ditandai sehari-harinya mereka sudah terbiasa dan semakin tergantung untuk
mengkonsumsi pangan pokok beras yang diintrodusir lewat kemasan modernitas oleh ‘the other’.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang lazim digunakan dalam ilmu antropologi
yakni studi etnografis dan dikombinasikan dengan metode penelitian aksi dengan pendekatan
partisipatif (participatory approach), dengan disain penelitian “dominant less- dominant”.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode Rapid rural appraisal (RRA) yakni: (1)
Pengamatan langsung (direct observation), peneliti secara langsung mengunjungi warga dan
daerah penelitian dengan melakukan pengamatan terhadap pola kehidupan keluarga / rumah
tangga dan lingkungan komunitasnya; (2) Wawancara mendalam (in-depth interview),
pengumpulan informasi yang dilakukan peneliti dengan cara mewawancarai para sumber
informasi secara individual baik tokoh formal maupun tokoh informal di tingkat desa/kecamatan
lokasi penelitian; (3) Kelompok Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD), pengumpulan
informasi dari warga masyarakat desa lokasi penelitian yang dilakukan peneliti dengan cara
berdiskusi kelompok yang difokuskan untuk mengetahui kompleksitas masalah pangan di
masing-masing daerah; (4) Studi Kearsipan, pengumpulan data sekunder melalui studi kearsipan
dan penelusuran kepustakaan. Studi kearsipan dan kepustakaan terutama ditujukan untuk
mendapatkan data sekunder tentang produksi, luas, budidaya, dan kebijakan pangan dari
berbagai sumber resmi maupun hasil penelitian yang relevan.
Analisis Data, data sekunder dan primer yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis
sejalan dengan tujuan yang akan dicapai dari kegiatan ini. Sintesis data dan informasi dilakukan
dengan cara emic dan etic. Analisis data dimulai pada saat pengumpulan data di lapangan,
kemudian memisahkan informasi yang diperoleh ke dalam kategori-kategori dan selanjutnya
disajikan secara kualitatif. Pada tahap awal data yang diperoleh dan dihimpun dari RRA (in-
depth interview) dan observasi serta dokumentasi di analisis melalui pendekatan emik.
Maksudnya peneliti melakukan kegiatan reduksi dan penyajian data sesuai dengan maksud dan
tujuan yang akan dicapai dari kegiatan ini. Reduksi data dilakukan dengan cara mengelompok
data dan keterangan (informasi) menurut fokus kajian. Selanjutnya data dan informasi yang
telah dikelompok tersebut kemudian ditafsirkan atau diinterpretasi untuk penyusunan model
ketahanan pangan dengan potensi pangan lokal non beras di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Letak Kabupaten, Sejarah Daerah, Kondisi Demografis dan
Komunitas Adat
Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan salah satu daerah yang terletak di Provinsi
Sumatera Barat, Indonesia. Secara administratif wilayah kabupaten ini di sebelah utara
berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Padang Pariaman, sebelah barat berbatasan dengan lautan lepas Samudera Hindia dan sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan.
Sejak Zaman Hindia Belanda pada tahun 1825, Kepulauan Mentawai bersama dengan P.
Batu dan Nias sebenarnya sudah diakui sebagai daerah administratif yang dinamakan afdeeling

525
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

(unit administratif setingkat kabupaten saat ini). Seiring meningkatnya interaksi ekonomi antara
penduduk Mentawai dengan saudagar dari Tanah Tepi (P. Suamtera), pada tanggal 2 Oktober
1901, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan keputusan menetapkan pusat
pemerintahan Kepulauan Mentawai di Sawang Tungku di Selat Sikakap. Di sekitar periode ini
juga ditandai permulaan aktivitas Pendeta A. Lett menyebarkan agama Kristen dan menjadi
tonggak sejarah yang mewarnai peralihan fundamental dalam aspek religius orang Mentawai.
Selanjutnya, pada tahun 1929 Kepulauan Mentawai secara resmi ditetapkan menjadi bagian
daerah administratif setingkat onder-afdeeling yakni Onder- afdeeling Mentawaian Eilanden dan
menjadi bagian Afdeeling Padang. Ketika Indonesia merdeka dan menjalani periode Orde Lama
hingga Orde Baru wilayah administratif Kepulauan Mentawai diidentifikasi sebagai bagian dari
wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Barulah di era awal reformasi,
daerah ini dimekarkan menjadi wilayah administratif pemerintahan kabupaten sendiri seperti
sekarang ini yaitu sejak dikeluarkannya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas 4 pulau besar ditambah gugusan pulau-pulau
kecil sebanyak 98 buah. Keempat pulau besarnya yaitu: P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara,
dan P. Pagai Selatan. Ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai berada di Tua Pejat, di P.
Sipora. Luas wilayah kabupaten ini kurang lebih 6.011,35 Km² dengan panjang garis pantai
758 Km. Menurut data yang lebih mutakhir Kabupaten Kepulauan Mentawai saat ini terbagi
menjadi 10 kecamatan, 43 desa dan 202 dusun. Kesepuluh kecamatan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Kecamatan Pagai Selatan, luas wilayahnya 901,08 km2 (14,99 %), ibukotanya di Malakopa‟;
2. Kecamatan Sikakap, luas wilayahnya 278,45 km2 (4,63 %), ibukotanya di Sikakap;
3. Kecamatan Pagai Utara, luas wilayahnya 342,02 km2 (5,69 %), ibukotanya di
Saumanganya‟;
4. Kecamatan Sipora Selatan, luas wilayahnya 268,47 km2 (4,47 %), ibukotanya di Sioban;
5. Kecamatan Sipora Utara, luas wilayahnya 383,08 km2 (6,37 %), ibukotanya di Sido
Makmur;
2. Kecamatan Siberut Selatan, luas wilayahnya 508,33 km2 (8,46 %), ibukotanya di Muara
Siberut;
3. Kecamatan Siberut Barat Daya, luas wilayahnya 649,08 km2 (10,80 %), ibukotanya di
Pasakiat Tailelu;
4. Kecamatan Siberut Tengah, luas wilayahnya 739,87 km2 (12,31 %), ibukotanya di Saibi
Samukop;
5. Kecamatan Siberut Utara, luas wilayahnya 816,11 km2 (13,58 %), ibukotanya di Muara
Sikabaluan;
6. Kecamatan Seberut Barat, luas wilayahnya 1.124,86 km2 (18,71 %), ibukotanya di
Simatalu.

Menurut laporan BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai (2016) jumlah penduduk


Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah 81.840 jiwa. Meski pertumbuhan penduduk di daerah
ini terus meningkat, namun jumlahnya masih dapat dikategorikan jarang. Laju pertumbuhan
penduduknya antara tahun 2000-2010 sebesar 2,27%, lebih tinggi dari rata-rata angka laju
pertumbuhan penduduk Provinsi Sumatera Barat (1,34%). Namun demikian secara proporsional
jumlahhanya hanya kurang lebih 1,63% saja dari jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat.
Adapun rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Kepulauan Mentawai tercatat
sekitar 13-14 jiwa/km² dengan distribusi cukup bervariasi antar kecamatan. Kepadatan
penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Sikakap (36 jiwa/km²), disusul Kecamatan Sipora
Utara lokasi ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai (24 jiwa/km²), dan Kecamatan Siberut
Barat merupakan kecamatan yang paling jarang penduduknya (6 jiwa/km²). Jumlah penduduk
antar kecamatan cukup bervariasi. Penduduk terbanyak adalah di Kecamatan Sikakap dengan

526
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

jumlah 10.106 jiwa (12,87%), disusul Kecamatan Sipora Utara sebagai lokasi ibukota
kabupaten sebanyak 9.180 jiwa (11,69%), Kecamatan Pagai Selatan sebanyak 9.109 jiwa
(11,60%), dan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Pagai Utara yakni
sebanyak 5.514 jiwa (7,02%). Adanya kecenderungan bertempat tinggal mengelompok pada
spot area tertentu di masing-masing dusun membuat penduduk antara satu dusun dengan dusun
lainnya bisa terpisah jauh jaraknya walaupun sedesa. Lokasi yang biasanya dijadikan
perkampungan penduduk adalah di daerah pesisir muara dan sungai hingga di bagian hulu
pedalaman hutan. Secara demografis pola sebaran penduduk seperti ini turut menyebabkan
distribusi penduduk di kabupaten ini menjadi kurang merata.
Kepulauan Mentawai juga dikenal sebagai daerah asal dan tanah leluhur etnik Mentawai.
Pemerintah mengkategorikan kelompok masyarakat ini sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT),
sebelumnya disebut dengan istilah Masyarakat Suku Terasing. Kebanyakan penduduk tempatan
atau komunitas lokal suku asli Mentawai inilah yang tinggal menetap di dusun dan desa di pelosok
pedalalaman di berbagai pulau-pulau besar yang ada di Kepulauan Mentawai. Sedangkan di daerah
pusat-pusat adminstratif (kabupaten dan kecamatan) yang biasanya terdapat juga pelabuhan dan
menjadi pusat perdagangan biasanya penduduk pendatang lebih banyak.
Komunitas adat suku asli Mentawai sering juga dikenal masih menjalankan hidup sebagai
masyarakat tradsional yang sangat tergantung dengan hutan dan sungai. Mereka amat menjunjung
tinggi keserasian dan keseimbangan hidup dengan alam. Meskipun sekarang orang Mentawai
umumnya sudah ikut menganut agama besar yang diakui negara, namun sistem kepercayaan
tradisional arat sabulungan tidaklah sepenuhnya mereka tinggalkan. Kepercayaan tradisional
tetap masih mewarnai banyak kehidupan orang Mentawai. Dalam penyelenggaraan pemenuhan
kebutuhan hidupnya termasuk dalam mata pencaharian orang Mentawai memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia dari alam tanpa merusaknya. Mereka menebang kayu hanya sekedar
untuk membuat rumah, perahu, perkakas hidup lainnya dan seperlunya untuk ladang.
Orang Mentawai masih dapat dikategorikan sebagai masyarakat peladang. Namun
berbeda dari kebanyakan kaum peladang di penjuru lainnya, orang Mentawai tidak mengenal
praktek tebang dan bakar (slash and burn). Jika melakukan pembukaan ladang baru mereka
menebang pohon secara selektif, lalu menunggunya lapuk dan membusuk secara alamiah
menjadi sumber protein dan hara untuk lahan perladangan. Di ladang ditanam keladi, ubi dan
pisang. Ada juga yang menanam sagu, meskipun sebagian besar sagu sebenarnya juga telah
tersedia karena tumbuh alami. Di sekitar ladangnya orang Mentawai biasa juga memelihara
ternak, khususnya babi dengan sistem dilepas tetapi tidak liar. Jadi, orang Mentawai bukan
pula peladang berpindah. Lokasi ladang ada yang terletak di sekitar dusun ada pula yang cukup
jauh ke arah pedalaman hutan sehingga membutuhkan waktu tempuh selama 1-2 hari
perjalanan dari lokasi permukiman permanen mereka. Untuk itu adakalanya peladang tinggal
di lokasi ladangnya dalam jangka waktu tertentu. Di hutan di sekitar areal ladang, mereka juga
menjalankan perburuan untuk manangkap rusa, kera, burung dan babi hutan, sert menangkap
ikan dari sungai terdekat. Meskipun orang Mentawai hidup di lingkungan alam kepulauan
yang dikelilingi lautan Samudera Hindia, namun mereka juga bukanlah suku bangsa nelayan
atau pelaut.
Di dalam rutinitas aktivitas kehidupannya ada pula jadual dimana orang Mentawai menjalan
tugas-tugas sosialnya di uma atau di dusun. Di dalam kehidupan masyarakat Mentawai tugas-tugas
sosial itu sudah diatur dan teratur sedemikian rupa, semua ada aturan dan tata caranya yang
dilengkapi ketentuan tentang pantangan (punen) dan denda (tulou). Naim (1992) juga melukiskan
betapa masyarakat Mentawai menjadi teratur karena di samping aturan ada kontrol dan ada sanksi.
Dari segi tatanan sosial ini mereka sama moderennya dengan orang kota sekalipun. Aturan-aturan
yang mereka ciptakan dasarnya adalah kesamaan, kebersamaan dan keadilan. Karena dasar tatanan
sosial mereka adalah kesamaan, kebersamaan dan keadilan itu maka praktek pelaksanaannya diatur
secara sangat logis dan rasional. Orang Mentawai bukanlah manusia emosional tapi rasional.
Mereka bisa bertengkar untuk kesamaan, kebersamaan dan keadilan itu. Mereka rata-rata vokal,

527
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pandai berhujjah dan berargumentasi. Kata Naim, padanannya di Indonesia ini hanyalah orang
Minangkabau yang juga vokal, pandai berhujjah dan berargumentasi. Ini dikarenakan
masyarakatnya yang sama-sama egaliter, demokratis dan menekankan pada keadilan. Orang
Mentawai kalau mendapat babi hasil berburu, dan yang pergi tiga orang, tidak membagi babi itu
menjadi tiga bagian: yang satu dapat kepala, yang satu badan, dan yang satu paha dan kakinya.
Tetapi, kepala dibagi tiga, badan juga dibagi tiga, dan paha dan kaki juga dibagi tiga, secara adil,
sampai pada pembagian yang terkecil sekalipun.
Secara tradisonal masyarakat Mentawai tidak mengenal sistem hirarki. Masyarakat ini tidak
mengenal adanya status yang satu lebih tinggi dari yang lain. Yang ada hanyalah pembedaaan
fungsi dan pembagaian kerja. Sibakat lagai sebagai kepala suku yang sekaligus mengatur tatanan
adat, kurang lebih padanannya Kepala Desa. Rimata sebagai pemimpin agama dalam agama
Sabulungan, padanan yang digantikan oleh pemimpin agama sekarang entah dari Protestan,
Katolik dan Islam. Ada pula Sikerei yang berfungsi sebagai spiritual healer, padanannya kurang
lebih dukun atau seorang yang bisa diminta untuk membantu pengobatan. Anggota masyarakat
yang laki-laki tugasnya berburu, menyagu, membangun rumah dan menjaga kampung. Di dalam
perubahan kehidupan modern mereka pulalah kemudian yang berkecimpung dalam urusan politik
dan sosial di desa. Sedangkan pembagian tugas kaum perempuan seperti menjaga anak, mengurus
dapur, memelihara kebun dan menangkap ikan. Di subuh buta, biasa ditemukan ibu-ibu Mentawai
sudah kembali dari menangkap ikan di sungai dengan perahu dan jaringnya, untuk kemudian
dimasak dengan sagu, keladi, pisang muda, dalam bumbung bambu, dan dibakar seperti membikin
lemang. Sebagaimana dilukiskan juga oleh Naim bahwa makan berepak di hadapan tungku adalah
bahagian dari seremoni hari-hari yang mengasyikkan dalam keluarga Mentawai.

‘Tekanan Pembangunan’ yang Membatasi Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Sumber


Pangan
Di dalam berbagai laporan resmi pemerintah, Kabupaten Kepulauan Mentawai sering
dikatakan sebagian besarnya merupakan kawasan hutan. Menurut data BPS (2013) total kawasan
hutan (terdiri dari hutan lebat, hutan sejenis, semak belukar) memiliki persentase terbesar yaitu
mencapai 85,06% (511.338 ha). Total kawasan hutan ini disebutkan sebagian besar merupakan lahan
tidur, meliputi 456.301 ha. berupa hutan lebat (75,91%), 12.348 ha. berupa hutan sejenis (2,05%),
dan selebihnya sebesar 42.689 ha. berupa semak belukar (7,10%). Sementara itu komposisi luas
lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya sektor pertanian adalah sebesar 86.501 ha. (14,39%),
meliputi 740 hektar luas lahan untuk sawah (0,12%), tegalan 131 ha. (0,02%), kebun campur 68.506
ha. (11,40%) dan untuk perkebunan 17.124 ha. (2,85%). Sedangkan luas lahan untuk pemukiman
atau rumah penduduk hanya seluas 3.096 ha. atau 0,052 persen dari total luas wilayah. Daerah
pemukiman penduduk tersebar di masing-masing kecamatan dan untuk mencapainya membutuhkan
waktu yang lama karena menggunakan kapal kecil (transportasi laut).

Tabel 1. Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2016.
No Kecamatan Luas (Ha)
Permuki- Sawah Kebun Perkebu- Hutan Semak Hutan Jumah
man Cam- nan belukar Sejenis
puran Lainnya
1 Pagai Selatan
2 Sikakap 304 8 6 454 2 316 68 584 8 202 4 240 90 108
3 Pagai Utara 453 193 3 781 1 097 17 298 3 751 1 272 27 845
4 Sipora Selatan 171 14 2 232 2 475 27 258 864 1 188 34 202
5 Sipora Utara 478 39 7 585 822 16 055 1 420 448 26 847
6 Siberut Selatan 424 126 6 608 4 437 19 168 5 352 2 144 38 308
7 Siberut Barat Daya 326 190 3 294 144 41 323 5 165 344 50 833
8 Siberut Tengah 240 6 5 300 1 936 48 940 7 294 992 64 908

528
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

No Kecamatan Luas (Ha)


Permuki- Sawah Kebun Perkebu- Hutan Semak Hutan Jumah
man Cam- nan belukar Sejenis
puran Lainnya
9 Siberut Utara 142 14 7 416 1 000 61 830 2 466 1 100 73 987
10 Siberut Barat 414 121 15 600 753 58 623 5 464 620 81 611
Jumlah 3.096 740 68.506 17.124 456.301 42.689 12.348 601.135
Sumber: Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka ( BPS, 2017).

Potensi kehutanan di Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan daya tarik yang


menggiurkan bagi kalangan pengusaha dari Padang maupun dari luar propinsi Sumatera Barat.
Areal hutan di kabupaten ini paling luas di Provinsi Sumatera Barat, kuranglebih 22,5 % dari luas
hutan di Sumatera Barat secara keseluruhan. Hutan produksi tetapnya 407.000 hektar atau 67 %
dari total luas hutan produksi tetap di Provinsi Sumatera Barat. Lahan hutan produksi ini tersebar
di pulau-pulau besar seperti P. Pagai, P. Sipora, dan paling luas di P. Siberut. Faktanya, sejak di
era Orde Baru Kepulauan Mentawai telah dijadikan sasaran aktivitas akumulasi kapital perusahaan
HPH yang sering disebut menandai „tekanan pembangunan‟ di daerah ini. Tidak saja di P. Pagai
dan P. Sipora yang lebih duluan dieksploitasi hutannya untuk pembalakan oleh perusahaan-
perusahan besar HPH, P. Siberut pun kemudian juga jadi incaran.
Disebut „tekanan pembangunan‟ karena telah lama dirisaukan telah membawa cukup
banyak dampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat lokal Mentawai (Lihat juga:
Naim, 1992). Jika melihat peta-peta lokasi konsesi HPH akan tampak betapa aktivitas perusahaan-
perusahaan akumulasi kapital di bidang penebangan itu luas sekali, meliputi titik-titik
perkampungan komunitas suku asli Mentawai dari muara sampai hulu pedalaman semua pulau
besar yang ada. Bukan saja hutan tempat mereka selama ini berburu dan mengumpulkan rotan,
manau, gaharu, damar, dsb. telah berada di bawah penguasaan pemegang HPH, tetapi bahkan juga
areal perladangan, peternakan dan perkampungan mereka. Hak-hak tradisional dan kedaulatan
komunitas adat Mentawai telah tercabut sehingga tidak begitu saja bisa lagi menebang kayu untuk
perumahan dan pembikinan perahu yang mereka perlukan sekalipun. Sementara kayu-kayu yang
ditebang secara besar-besaran dengan penggunaan alat-alat moderen justeru adalah juga kayu-kayu
yang biasa dipakai untuk pembikinan perahu dan perumahan mereka. Tak terkecuali pemberian
izin konsesi hutan dan aktivitas perusahaan konsesi hutan ini juga secara signifikan berdampak
membatasi akses masyarakat terhadap sumber pangan pokok lokal non-beras. Jangankan untuk
melakukan cocok tanam baru, orang Mentawai bahkan tidak mudah lagi untuk bisa mengambil
hasil sagu, keladi ataupun pisang dari ulayatnya sendiri.
Selain itu, Kepulauan Mentawai dikenal juga memiliki potensi perikanan yang besar
menympan kekayaan laut yang cukup potensial seperti kerapu, kakap, tongkol, teripang, dan
rumput laut. Kerapu dari perairan Kepulauan Mentawai bahkan menjadi komoditas ekspor. Daerah
penangkapan di sepanjang pesisir P. Pagai sampai P. Siberut. Kerapu hasil tangkapan dalam bentuk
beku segar dibawa ke Padang dan dikapalkan melalui pelabuhan Dumai, Riau menuju Singapura
dan Malaysia. Pun potensi pariwisata tidak kalah menarik. Perairan bagian barat Mentawai dikenal
sebagai tempat paling menantang untuk pecinta olahraga selancar air atau surfing sehingga
menjadi incaran wisatawan mancanegara, terutama dari Australia. Lokasi selancar terdapat di
Nyangnyang, Karang Bajat, Karoniki, dan Pananggelat Mainuk di Kecamatan Siberut Selatan,
Katiet Bosua di Kecamatan Sipora, serta pantai selatan dan barat Kecamatan Pagai Utara.
Sungguhlah ironis, berbagai derap pembangunan di Kepulauan Mentawai selama ini kiranya
belum dapat memecahkan masalah keterisolasian daerah dan ketertinggalan rakyatnya
dibandingkan daerah lain. Apalagi jika memperhatikan lebih khusus komunitas adat suku asli
Mentawai masih jauh tercecer untuk dapat menikmati taraf hidup yang lebih baik. Ujuk-ujuk
dengan otonomi daerah dan pascapemekaran menjadi Kabupaten sendiri, pun belum mampu
mengatasi persoalan kemiskinan dan keterbelakangan daerah ini. Menurut laporan BPS, jumlah
penduduk miskin dan prosentase penduduk miskin di Kabupaaten Kepulauan Mentawai masih

529
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

yang terbesar di Provinsi Sumatera Barat. Trendnya memang menurun dari tahun 2010 sampai
2012, namun gambarannya masih amat nyata menunjukkan kesenjangan pembangunan di
kabupaten ini. Pada tahun 2010 penduduk miskin di Kabupaten Kepulauan Mentawai tercatat
sebesar 15.100 atau 19,74% dari jumlah penduduk kabupaten itu. Berturut-turut memang telah
terjadi penurunan angka kemiskinan pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin 14.560 jiwa
(18,85%) dan tahun 2012 sebanyak 13.100 (16,71%). Namun jika dibandingkan dengan rata-rata
prosentase penduduk miskin di daerah provinsi Sumatera Barat, prosentasenya lebih dua kali lipat
dibanding angka prosentase penduduk miskin tingkat provinsi 2010 (9,44%), 2011 (8,99%), dan
2012 (8,00%).
Tekanan pembangunan itupun terkonfirmasi lewat kerisauan banyak pihak. Banyak
penolakan masyarakat baik yang langsung dilakukan oleh orang Mentawai maupun luar Mentawai
yang peduli pada daerah ini. Protes yang paling sering dilakukan terkait aktivitas eksploitasi hutan
oleh perusahaan-perusahaan besar yang diberi izin oleh pemerintah nasional maupun daerah,
terutama untuk penebangan dan perkebunan. Pada tahun 2011 bahkan muncul gerakan koalisi
masyarakat sipil di Sumatera Barat yang menggugat dengan menyampaikan petisi Darurat
Ekologis Mentawai. Koalisi ini memprotes Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang
dinyatakan semena-mena melawan hukum dengan memberikan izin perkebunan kelapa sawit
untuk dikelola perusahaan swasta besar di P. Siberut. Hal mana dikhawatirkan akan makin
meluluh-lantakkan eksistensi hak-hak ulayat komunitas adat Mentawai, yang meliputi hak-hak
dasar paling azasi orang Mentawai dalam memenuhi pangan pokoknya.

Menggencarkan Introdusir Beras: Terobosan Solusi atau Menambah Masalah Baru?


Konon orang Mentawai pertama kalinya sudah mengenal tanaman padi sejak periode tahun
1960an. Ketika itu ada pendatang dari P. Jawa yang beragama Bahai sempat singgah menetap dan
melakukan cocok tanam padi di daerah pedalaman di dusun Mattotonan di P. Siberut. Akan tetapi
tidak lama orang Jawa itu pergi, cocok tanam padi pun sirna. Pada periode 1980an di masa Orde
Baru dan ketika Kepualauan Mentawai masih menjadi bagian Kabupaten Padang Pariaman
introdusir beras ke daerah ini pun dilakukan atas inisiatif pemerintah. Karena menjadi bagian dari
program pembangunan, pencetakan sawah dilaksanakan cukup massif yakni di beberapa lokasi di
pulau- pulau besar yang ada di Kepulanan Mentawai: di P. Pagai, P. Sipora maupun P. Siberut.
Meskipun sawah-sawah yang dibuat ini dicetak hingga berproduksi, namun secara umum dapat
dikatakan program ini juga tidak berhasil. Di P. Pagai dan P. Sipora memang cocok tanam padi
dilanjutkan, namun itu dilakukan oleh penduduk yang berasal dari Jawa yang juga menetap di sana.
Sedangkan di kalangan penduduk suku asli Mentawai cocok tanam padi tetaplah asing bagi
mereka. Di P. Siberut cocok tanam padi ini bahkan sempat terhenti untuk kurun waktu yang cukup
lama.
Barulah di penghujung tahun 1990an seiring masuknya era reformasi dan pascapemekaran
Kabupaten Kepulauan Mentawai program perluasan areal sawah ini kembali dilakukan di
Mentawai, sekalipun pro kontranya juga tinggi. Pemerintah Kabuapten Kepulauan Mentawai
berargumentasi bahwa program pertanian ini dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan
pangan daereahnya. Tidak hanya itu, pemerintah daerah setempat sekarang ini bahkan semakin
mengukuhkan program ini menjadi bagian dari upaya mengurangi ketergantungan daerahnya
sebagai target penerima program bantuan beras untuk rumah tangga miskin, biasa disebut Program
RASKIN. Pada Tabel 2 berikut ini diperlihatkan gambaran keadaan luas tanam dan produksi
tanaman padi sawah di Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam kurun antara tahun 2008-2012.

530
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Tanaman Padi Sawah Menurut Kecamatan di Kabupaten
Kepulauan Mentawai Tahun 2012-2016.
No Kecamatan Luas Tanam Luas Panen Produksi (ton) Produktifitas
(Ha) (Ha) (ton/ha)
1 Pagai Selata 28,00 39,00 163,80 4,20
2 Sikakap 85,00 104,00 436,80 4,20
3 Pagai Utara 5,00 20,00 84,00 4,20
4 Sipora Selatan - 25,00 105,00 4,20
5 Sipora Utara 60,00 76,00 319,20 4,20
6 Siberut Selatan - - - -
7 Siberut Barat Daya 93,00 90,00 378,00 4,20
8 Siberut Tengah 2,00 2,00 8,40 4,20
9 Siberut Utara - - - -
10 Siberut Barat 34,00 83,00 348,60 4,20
Jumlah
2016 619,00 521 1843,80 4,20
2015 363,00 224 945,4 4,28
2014 630,00 619 2691,2 4,35
2013 398,00 221 1376,30 6,14
2012 307,00 439 1582,00 3,04
Sumber: Mentawai Dalam Angka (BPS, 2017)

Data ini memperlihatkan bahwa terdapat variasi keadaan luas lahan dan tingkat produksi
tanaman padi antar kecamatan di Kabupaten Kepualauan Mentawai. Perbandingan antara
keadaan luas lahan dan luas panen fluktuatif dan cukup tinggi perbedaannya. Perkembangan
tanaman padi sawah pada tahun 2016 di Kabupaten Kepulauan Mentawai mengalami kenaikan
dibandingkan dengan tahun 2015 dari segi luas tanam maupun luas panennya. Namun keadaan di
tahun 2015 sendiri ternyata rendah dan jauh lebih kecil dibandingkan tahun 2014. Luas tanam
padi sawah pada tahun 2012 ini adalah 307 hektar dengan luas panen mencapai 439 hektar. Data
pada tabel di atas juga memperlihatkan bahwa jumlah produksi padi sawah di Kabupaten
Kepulauan Mentawai mengalami kenaikan dari 945,40 ton pada tahun 2015 menjadi 1.843.80 ton
pada tahun 2016.
Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan dari lapangan di Kecamatan Siberut Selatan,
salah seorang pemilik sawah di Desa Puro menyebutkan di desanya juga sudah dibuka sawah pada
awal tahun 2013. Kawasan itu dahulunya masih rawa, ia bersama warga lainnya mencoba tetap
kuat dan optimis sawahnya akan behasil. Bermodal sedikit pengetahuan tentang teknik bercocok
tanam padi yang diperolehnya melalui warga dari Desa Madobag dan dibantu bibitnya dari
Pemerintah Kabupaten, ia mencoba memanfaatkan lahan ulayat keluarganya. Sawah itu telah
sempat satu kali dipanen, setelah itu ia menanam kembali di tahun 2014 dengan bibit padi yang
diperolehnya lagi dari Madobag. Menurut petani yang menjadi informan kami di Desa Puro ini,
hasil panen padinya hanya sebatas untuk konsumsi keluarga, jauh dari cukup untuk bisa dijual.
Menurut penuturannya dia dan keluarganya yang terdiri dari 5 anggota keluarga bisa
menghabiskan ± 2 liter beras per hari, itupun mereka masih tetap juga mengkonsumsi sagu dan
keladi yang secara turun temurun dijadikan pangan pokok orang asli Mentawai. Pertanian padi di
Siberut Selatan juga kami temukan di Desa Meileppet. Di sini keadaannya sedikit lebih
berkembang, bahkan sudah ada kelompok tani yang dibina oleh Balai Taman Nasional Siberut
(TNS). Namun berdasarkan hasil wawancara kami dengan petugas TNS, sulit baginya
membayangkan jika tidak ada pembinaan oleh orang luar, “jika tidak ada TNS akan sama saja
dengan di daerah lainnya di dusun-dusun asli Mentawai pertanian padi tidak akan bisa
berkembang”.
Dewasa ini cetak sawah baru terus gencar dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Hal ini tak lain sebagai upaya pemerintah mengantisipasi krisis ketahanan pangan
karena pergeseran pola konsumsi pokok dari sagu ke konsumsi beras yang semakin meluas di
Mentawai, termasuk di P. Siberut. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten

531
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kepulauan Mentawai pada tahun 2014 bahkan mencanangkan akan memperluas lahan pertanian
padi di P. Siberut, yang meliputi: Dusun Srilanggai di Desa Malancan di Kecamatan Siberut Utara,
Desa Sigapokna dan Tiniti di Kecamatan Siberut Barat, Desa Toro Laggok Katurai di Kecamatan
Siberut Barat Daya, dan Desa Saibi di Kecamatan Siberut Tengah. Kenyataannya berdasarkan hasil
pengamatan kami ini implementasinya mengalami kemangkrakan.
Semangat Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai saat ini untuk menggalakkan cetak
sawah baru dengan memperluas areal pertanian sawah bukannya tidak memiliki alasan objektif
sama sekali. Dalam sebuah diskusi di Kantor Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) di
Padang (2013), Wakil Bupati Mentawai Rijel Samaloisa mengatakan, “Pemerintah Kabupaten
Kepulauan Mentawai bermaksud akan menghapuskan program Raskin, karena biaya operasional
pendistribusian banruan beras raskin di Kepulauan Mentawai itu menyedot APBD hingga ± 2.5
Milyar pertahun. Strateginya ini dilakukan untuk menanggulangi ancaman krisis pangan, dengan
membuka lahan sawah 263 hektar lagi, sekaligus untuk menyiasati ketergantungan Mentawai
terhadap beras dari luar daerah”. Hal sama juga ditegaskan oleh Bupati Kepulauan Mentawai
Yudas Sabbagalet dengan menghitung ongkos pendistribusian bantuan raskin selama ini terlalu
besar dibandingkan jumlah bantuan raskin yang disalurkan itu sendiri. “Lebih baik uang Rp. 2,5
Milyar untuk biaya ongkos distribusi digunakan saja untuk mencetak sawah baru, dan ini recara
riil bermanfaat bagi penanggulangan krisis ketahan pangan di Mentawai”, katanya. Pada tahun
2010 sebelum terjadi bencana gempa dan tsunami di Mentawai, jumlah Rumah Tangga Sasaran
(RTS) terdiri atas 3.979 KK. Kemudian menurut pendataan di tahun 2012 setelah bencana gempa
dan tsunami 2010, jumlah RTS melonjak drastis mencapai 10.303 KK. Jika Pemerintah Daerah
memiliki dana banyak, bisa saja semua penduduk Mentawai diberikan bantuan Program
RASKIN. Sementara itu beras yang dijual di pasar-pasar ibukota kecamatan semuanya
didatangkan dari Padang, menggunakan tranportasi laut dan tidak dapat dipastikan lancar karena
tergantung cuaca. Untuk ini Bupati Yudas menyadari agar kegagalan mencetak sawah baru seperti
yang terjadi pada tahun 1980-an jangan sampai terulang lagi.
Sedangkan pihak-pihak yang berpandangan kontra menyebutkan bahwa sebenarnya
pertanian sawah tidaklah cocok dengan kondisi alam fisik Kepulauan Mentawai yang minim
sumber pengairannya. Tidak hanya itu, pertanian sawah dipandang juga tidak cocok dengan
sokoguru pertanian penduduk asli Mentawai yang tidak mengenal cocok tanam padi. Sebaliknya
mereka mengkritik pemerintah yang mengabaikan potensi pangan pokok non-beras yang
seyogyanya justru harus dipertahankan dan dikembangkan. Adapun terjadinya kecenderungan
masyarakat meninggalkan pangan pokok lokal non-beras dan semakin senang pada pangan pokok
beras mengikuti budaya „orang tepi‟ justru akibat Pemerintah selama ini tidak perhatian pada
potensi daerah dan kearifan lokal.
Trend peralihan konsumsi pangan pokok pada masyarakat Mentawai dari sagu ke beras
bahkan dinilai sebagian pihak merupakan bom waktu yang siap meledak nantinya. Introduksi beras
tidak akan menyelesaikan krisis ketahanan pangan, bahkan malah akan membuat ketergantungan
pangan terhadap sumber pangan pokok beras dari luar Mentawai. Pandangan ini juga memiliki
argumentasi ilmiah yang kuat. Menurut Frans R Siahaan, “Mengapa Harus Beras dan
Meminggirkan Sagu?”. Berdasarkan hasil penelitiannya Siahaan menyebut setidaknya ada
beberapa hal harus dipertimbangakan ketika pergeseran ini semakin terasa di Mentawai, khususnya
di P. Siberut, yaitu:
a. Hanya sedikit lahan di P. Siberut yang sesuai untuk tanaman padi, yaitu sekitar 7%-10% dari
luas total P. Siberut. Lahan ini umumnya lahan gambut yang terdapat pada satuan lahan (land
unit) alluvial dan marin di pesisir timur P. Siberut. Itupun tidak semua tanah pada kedua satuan
lahan tersebut dapat dibuat persawahan. Pada tanah Hydraquents, Tropohemists, dan
Troposamments pembuatan sawah sama sekali tidak direkomendasikan. Kalaupun pada
kedua satuan lahan tersebut dibuka areal sawah, maka harus mengeluarkan investasi yang
cukup besar untuk biaya input teknologi berupa pengaturan tata air, pengendalian erosi,
pelumpuran dan banjir, peningkatkan kesuburan tanah, dan tindakan konservasi.

532
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

b. Tanaman sagu, kebun campuran, bakau, dan semak belukar umumnya terdapat pada satuan
lahan alluvial dan marin. Ekosistem pada kedua satuan lahan ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan ekosistem lainnya yang terdapat di P. Siberut. Perubahan ekosistem karena
ketidak-cermatan dalam pembukaan lahan sawah untuk tanaman monokultur padi akan
mempengaruhi ekosistem lainnya, dan pada gilirannya akan merusak karakter hidro-orologis
Siberut yang memang sangat rawan. Pada akhirnya kerusakan ini bukan hanya berdampak pada
manusia, flora, fauna, dan bencana alam, tetapi juga akan turut menyusutkan luasan P. Siberut
dalam jangka panjang.
c. Sagu merupakan makanan pokok yang merupakan bagian dari budaya masyarakat asli P.
Siberut yang telah diwariskan sejak turun temurun. Tidak ada budaya menamam padi bagi
masyarakat asli Siberut. Kalaupun ada yang mencoba menanam padi, itu karena proyek
pemerintah dan pengaruh dari para pendatang, itupun umumnya tidak berhasil.

Informan penelitian yang berasal dari Dusun Salappa‟ Desa Muntei Kecamatan Siberut
Selatan yang sudah biasa juga berkunjung ke taha tepi Kota Padang pun mengungkapkan
gambaran perasaan orang Mentawai dalam mengkonsumsi beras. Sebagaimana dialaminya, bagi
orang Mentawai tetaplah saja serasa belum makan kalau belum makan sagu. Ini kurang lebih sama
saja dengan orang Minang atau orang Jawa yang merasa belum makan, kalau belum makan nasi.
Memang bagi orang asli Mentawai, terutama dari kalangan generasi tuanya, yang dinikmatinya
sebagai bahan pangan pokok itu adalah sagu. Kalaupun harus digantikan atau diselingi, ia bisa
ditukar dengan keladi, ubi atau pisang. Itu sebabnya keberadaan hutan dan ladang untuk memenuhi
kebutuhan pangan pokok dari tanaman ini teramat penting bagi masyarakat Mentawai secara turun
temurun.

Peranan Kearifan Lokal: Siberut Benteng Terakhir Ketahanan Pangan di Kepulauan


Mentawai
Temuan penelitian ini juga menunjukan sesungguhnya masih ada harapan dan optimisme
untuk menjaga dan mewujudkan ketahanan pangan di Kepulauan Mentawai. Kekhawatiran
terhadap ancaman rawan pangan ataupun krisis pangan sesungguhnya akan bisa dipecahkan
dengan cara Mentawai sendiri, yaitu berlandaskan kearifan lokalnya. Hal ini amatlah jelas bila
memperhatikan potensi sumber pangan, khususnya pangan pokok non-beras di daerah ini.
Berdasarkan data BPS (2013) secara umum terlihat bahwa perkembangan tanaman pangan
non-beras di Kepulauan Mentawai seperti sagu, keladi dan pisang, serta palawija mengalami
perubahan cukup besar setiap tahunnya. Kecamatan Pagai Utara merupakan daerah yang
mengusahakan keladi terluas di Kepulauan Mentawai dengan produksi 1.192 ton. Sedangkan
Kecamatan Siberut Utara tercatat sebagai daerah penghasil sagu terbesar yakni sebanyak 225 ton.
Kami juga masih menemukan secara langsung di Siberut Selatan, terutama di dusun-dusun di
pedalaman sepanjang aliran Sungai Silaoinan, seperti di Dusun Baikelluk, Salappa‟, Magosi dan
Tinambu masih banyak sekali ditemukan tanaman sagu, keladi, ubi dan pisang yang dijadikan
asupan pangan pokok rumahtangga.
Sagu merupakan bahan pangan pokok paling penting sekaligus paling populer dikonsumsi
oleh rumah tangga di dusun. Dengan menyagu, suatu rumah tangga atau kesatuan lebih besar uma
orang Mentawai akan menghasilkan tepung sagu untuk kemudian diolah menjadi makanan
pokok. Ada beberapa cara atau teknik tradisional yang biasanya mereka lakukan dalam mengolah
sagu menjadi makanan pokok. Variasi cara pertama, sagu diolah dengan cara dicetak dengan
batang bambu dan dibakar seperti membuat lemang, mereka sebut kaubu. Variasi kedua, sagu
diolah dengan cara dibungkus daun sagu atau biasa disebut kapurut. Sedangkan variasi ketiga, sagu
diolah dengan cara digoreng, disebut digajai. Makanan sagu paling pavorit bagi orang Mentawai
ialah masakan yang dicampur dengan ikan hasil tangkapan dari sungai atau muara. Memakan sagu
bisa juga dilengkapi dengan rebus daging dari hasil ternak ataupun hasil buruan sebagai lauknya.

533
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Bagi orang Mentawai sagu bahkan tidak saja berfungsi sebagai bahan makanan pokok
sehari-hari. Sagu juga memiliki kedudukan penting dalam kehidupan tradisional mereka. Pohon
sagu biasanya juga dijadikan mahar perkawinan, dan alat untuk membayar denda adat (tulou).
Oleh sebab itu memiliki tanah ulayat yang ada pohon sagunya ataupun memiliki ladang yang
ditanami sagu menjadi amat penting bagi orang Mentawai.
Pohon sagu biasanya tumbuh secara alami di tanah rawa. Sagu juga bisa juga ditanam warga
di ladang. Tumbuhan berumpun ini amat mudah hidup di Mentawai. Cara bercocok tanamnya pun
sederhana, menanamnya tidak susah, tidak perlu pengairan, tidak memakai pupuk, hemat biaya,
hemat tenaga dan pemeliharaannya tidak mengharuskan perlakuan khusus. Sesekali saja semak
yang tumbuh di sekitar rumpun sagu perlu dibersihkan agar tidak mengganggu pertumbuhan
tanaman sagu itu. Menurut informan kami Kuntadi (60 tahun) warga Dusun Sallapa‟ di Siberut
Selatan yang telah sedari kecil mengenal tanaman sagu, sagu bisa dipanen ketika sudah berumur
8-10 tahun. Tanaman sagu bahkan bisa hidup hingga umur 30 tahun, namun jika terlalu tua dipanen
maka tepung sagu yang dihasilkan kurang enak lagi rasanya.
Jika diperhatikan masa waktu tunggu panennya, sepertinya lama. Namun sistem penanaman
sagu di Mentawai tidak mengenal musim tanam. Pemanenannya pun bisa dilakukan setiap waktu.
Di beberapa kelompok masyarakat di P. Siberut, mengolah sagu biasa dilakukan secara bersama
dalam satu uma atau clan kesatuan keluarga luas tradisional orang Mentawai. Namun di dalam
perkembangan lebih akhir menyagu juga biasa dilakukan oleh masing- masing rumah tangga atau
keluarga inti sendiri-sendiri. Yang pasti, semakin banyak tenaga yang terlibat mengerjakannya,
biasanya semakin besar pula jumlah hasil tepung sagu yang diolah. Dibandingkan bercocok tanam
padi sawah, bertanam dan mengolah sagu lebih ekonomis.
Apalagi pohon sagu juga dapat tumbuh alamiah. Jika mengingat bahwa masyarakat dan
kebudayaan Mentawai merupakan salah satu contoh masyarakat yang tidak melewati zaman logam,
sesungguhnya dapat dipahami sebagian besar tanaman sagu yang tumbuh di Kepulauan Mentawai
sejak zaman dahulu lebih banyak merupakan hasil tumbuh alami anugerah Tuhan. Oleh karenanya
aksesibilitas masyarakat terhadap sagu di Mentawai juga sangat ditentukan oleh kepastian hak
mereka atas lahan dan hutan sebagai ulayatnya. Jika ini terganggu, maka dengan sendirinya
berdampak negatif membatasi akses masyarakat terhadap lahan maupun sumber pangan pokok
pokok sagu.
Selain sagu, keladi juga termasuk salah satu bahan pangan pokok orang Mentawai. Keladi
merupakan bahan makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari sebagai selingan pangan pokok
sagu. Untuk mengkonsumsinya, keladi direbus terlebih dahulu hingga umbinya empuk. Jika sagu
biasanya dikonsumsi di waktu pagi dan sore hari, sedangkan keladi biasanya dikonsumsi di tengah
hari atau siang. Bisa juga, paginya makan keladi, sementara sagu dikonsumsi untuk di siang dan
sore atau malam sebelum hari mulai gelap. Orang Mentawai menyadari manfaat keladi untuk
energi tubuh mereka tidak sama dengan sagu. Sagu tetap paling diandalkan, tetapi keladi tetap
diperlukan. Itu sebabnya mereka biasa mengkonsumsi keladi sebagai selingan dari sagu, agar
mereka juga bisa menjaga tubuh tidak lapar dan tidak pula kekenyangan.
Di setiap dusun permukiman penduduk asli Mentawai yang biasanya berada di sepanajang
sungai keladi sangatlah mudah ditemukan. Sebagaimana kami temukan di sepanjang Sungai
Silaoinan di Kecamatan Siberut Selatan, masyarakat dusun di Mentawai biasanya juga menanam
keladi di sepanjang jalan serta di lahan kosong di dekat permukiman mereka. Sama seperti halnya
pohon sagu, tanaman keladipun juga banyak yang tumbuh secara alamiah di Mentawai. Keadaan
kurang lebih sama juga bisa ditemukan semua kecamatan yang ada di P. Siberut, seperti: Siberut
Utara, Siberut Barat, Siberut Barat Daya dan Siberut Tengah. Dalam perkembangan lebih akhir di
dusun-dusun asli Mentawai di P. Siberut biasa juga ditemukan tanaman ubi, yang sengaja mereka
tanam dengan fungsi sama seperti keladi untuk dikonsumsi, seperti: talas dan ubi jalar.
Dibandingkan pulau-pulau besar lainnya, P. Siberut dapat dikatakan sebagai benteng terakhir
ketahanan pangan pokok berbasis sumber pangan non-beras di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

534
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Selain sagu dan keladi, ada pula pisang. Pisang dikenal masyarakat Mentawai sebagai salah
satu varian bahan pangan makanan pokok juga. Tanaman pisang mudah dijumpai di ladang atau
di sekitar permukiman orang Mentawai. Pisang biasanya dikonsumsi sebagai makanan pokok
selingan, seperti halnya keladi. Pisang juga dikonsumsi dengan cara merebusnya terlebih dahulu.
Pisang bisa saja disiapkan secara bersamaan waktunya melengkapi konsumsi sagu. Bisa juga untuk
sesekali menggantikan fungsi keladi sebagai makanan pokok selingan. Pada saat berkunjung ke pasar
di pusat kecamatan, hasil pisang biasanya juga dibawa orang Mentawai untuk dijual, namun tidak
berorientasi komersial. Meskipun orang Menatawai kini semakin dirasuki nilai-nilai ekonomi uang,
namun orientasi ekonomi subsisten dalam rumah tangga dan masyarakatnya tampak masih kuat.
Pemanfaatan variasi makanan pokok non-beras secara beragam yakni sagu, keladi dan
pisang sekaligus mencerminkan kearifan lokal orang Mentawai. Orang Mentawai telah turun
temurun terbiasa memanfaatkan sumberdaya yang banyak tersedia dan mudah diusahakan di
lingkungan alam mereka. Perilaku konsumsi pangan pokok mereka juga tidak tergantung secara
monokultur dari satu jenis tanaman pangan pokok tertentu saja. Secara tradisional mereka
mengenal pemanfaatan diversifikasi pangan pokok, dan mengkonsumsi secara tidak berlebihan.
Di tengah-tengah kuatnya tekanan pembangunan dan pesatnya perubahan sosial yang
berlangsung di Mentawai sejatinya belumlah sampai menggeser falsafah hidup masyarakat suku
asli Mentawai yang menjunjung tinggi keseimbangan hidup manusia dengan alam. Sebagian
kemasan modernitas yang dipromosikan orang luar kepada mereka, memang menyebabkan
kebudayaan tradisional orang Mentawai terdesak. Faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi
lebih dominan berupa faktor eksternal, bukan faktor internal yang dikehendaki oleh orang
Mentawai itu sendiri. Kesamaan dan kebersamaan yang bertumpu di atas keadilan untuk semua
makhluk mapun benda masih menjadi nilai hakiki dalam tatanan hidup orang Mentawai. Inilah inti
kearifan lokal yang hendaknya didayagunakan untuk menguatkan aksesibitas masyarakat
Mentawai dalam mendukung ketahanan pangan mereka.
Seperti halnya pergeseran yang terjadi dalam pola konsumsi pangan dari makanan pokok
lokal non-beras ke beras di Mentawai menurut hasil penelitian kami hal ini dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang tidak berdiri sendiri- sendiri, melainkan kompleks sifatnya. Namun demikian juga
lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Sekurang-kurangnya ada beberapa hal bisa
dicermati. Pertama, proses interaksi orang Mentawai yang kian intensif dengan masyarakat luar
daerahnya adalah suatu keniscayaan yang sulit dihindari, apalagi orang Mentawai tergolong tipikal
masyarakat terbuka terhadap pengaruh yang datang dari luar. Bagi orang Mentawai apa saja yang
dipandang enak dan baik oleh „orang tanah tepi‟, bagi mereka itupun juga akan mudah untuk
diterima sebagai suatu yang bernilai enak dan baik. Inilah sebabnya, setiap komoditas yang
diperkenalkan oleh orang luar, dengan cepat orang Mentawai juga menggandrunginya.
Pengalaman orang Mentawai berkenalan dengan cocok tanam cengkeh, nilam, kakao dan
sebagainya merupakan bukti sahih keterbukaan mereka menerima pengaruh dari luar. Demikian
puala yang terjadi pada animo terhadap beras. Persoalannya tinggal bagaimanakah Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Mentawai dan masyarakat Mentawai menindaklanjuti otonomi daerah
dengan mengedepankan semangat mewujudkan pembangunan yang lebih mengutamakan modal
sosial-budaya setempat. Inilah kearifan lokal di tingkat daerah yang perlu dikembangkan, sekaligus
mengantisipasi jebakan ketergantungan pada pengaruh yang datang dari budaya luar.
Kedua, program pemerintah selama ini adakalanya tumpang tindih. Contohnya program
beras bagi rumahtangga miskin (RASKIN) yang dipukul rata dari Sabang sampai Merauke tentu
secara tidak langsung dapat diartikan mengajak atau menghimbau masyarakat untuk
mengkonsumsi beras, dan memandang bahan pangan non-beras menjadi kurang penting. Padahal
di saat bersamaan Pemerintah juga mencanangkan perlunya diversifikasi pangan sebagai bagian
strategi ketahanan pangan, tetapi perhatian pada pengembangan pangan non-beras dinomor
sekiankan. Mestinya pandangan tentang pangan yang harus dicanangkan adalah bahwa baik makan
pokok non-beras maupun beras adalah sama-sama bahan pangan pokok, dan sama-sama istimewa

535
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

nilainya sebagai bahan pangan. Untuk ini justru Pemerintahlah yang harus belajar dari pengalaman
orang Mentawai dengan kearifan lokalnya dalam bidang pangan.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni:
1. Sumber pangan utama masyarakat Mentawai terdiri sagu, keladi, pisang dan beras. Beras
sebagai makanan pokok identik dengan penduduk Mentawai yang sudah maju (moderen)
yakni di daerah ibukota kecamatan dan kabupaten, atau kalangan masyarakat yang pola
konsumsi pangannya telah lebih dipengaruhi budaya luar Mentawai. Sedangkan mayoritas
penduduk suku asli Mentawai hingga kini masih mengandalkan bahan pangan pokok non-
beras seperti sagu, keladi dan pisang.
2. Sagu, keladi dan pisang bahkan tidak hanya sekedar berarti sebagai sumber bahan pangan
pokok, melainkan juga merupakan jatidiri budaya orang Mentawai. Sumber bahan pangan
ini merupakan bagian dari kesatuan lingkungan alam hidup mereka. Orang Menatawai sudah
sejak lama dan turun temurun menjadikannya bahan pangan non-beras ini sebagai makanan
pokok sehari-hari dengan pola pemanfaatan yang sekaligus mengandung kearifan lokal
dan bagian integral kebudayaan tradisional.
3. Upaya mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga
deawasa ini masih mengalami dilema. Di satu sisi, tekanan pembangunan utamanya di
sektor kehutanan telah cukup lama menyebabkan semakin terbatasnya akses masyarakat
suku asli Mentawai terhadap sumber pangan pokok non- beras (sagu, keladi, dan pisang).
Di sisi lain, introdusir beras oleh pemerintah nasional maupun daerah kini semakin
menggeser dan menjauhkan masyarakat dari pangan pokok lokal non-beras itu.
4. Ketahanan pangan masyarakat Mentawai akan terganggu, manakala pemerintah semakin
fokus untuk mengembangkan beras sebagai bahan makanan pokok, tetapi abai terhadap
pemanfaatan sumber pangan pokok lokal non-beras. Ketahanan pangan rumahtangga
penduduk Mentawai justru akan terjamin dengan mereaktualiasi kearifan lokal lewat
penguatan aksesibitas masyarakat terhadap sumber pangan pokok lokal non-beras tersebut.
Jadi, lebih dari sekedar suatu konsep, kearifan lokal bahkan sekaligus bisa juga dipandang
sebagai modal sosial budaya dan dijadikan intrumen dan model kebijakan dalam rangka
menjaga dan menguatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber pangan untuk
mendukung ketahanan pangan rumahtangga di daerah bersangkutan.

Saran-Saran
1. Komunitas adat Mentawai sesungguhnya memiliki rasionalitas dan landasan kultural
yang kuat dalam pemanfaatan pangan non-beras untuk konsumsi makanan pokok mereka
sehingga seyogyanya diperhatikan sebagai bagian dari potensi pembangunan. Semakin
kuatnya semangat Pemerintah Kabupaten mengembangkan beras sebagai makanan pokok,
hendaknya diikuti perhatian yang sama terhadap pengembangan bahan pangan pokok lokal
non- beras, utamanya sagu dan keladi atau talas. Dalam hal inilah kami memperingatkan
masih ada harapan di P. Siberut sebagai benteng terakhir pertahanan pangan dan
sesungguhnya juga dapat dijadikan fondasi untuk membangun kembali ketahanan pangan
yang lebih berdaulat di Kabupaten Kepualauan Mentawai.
2. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai dapat mengembangkan pemanfaatan pangan
pokok lokal non- beras selaras reaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal dan kontinuitas peranan
kebudayaan tradisional dalam pembangunan. Khususnya dalam perspektif ketahanan
pangan, ini sekaligus bukti sejatinya orang Mentawai sudah turun temurun mengenal
pemanfaatan diversifikasi makanan pokok. Oleh karena itu kalaupun program introdusir
beras masih terus dilanjutkan, janganlah dimaksudkan untuk menggantikan bahan pangan

536
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

lokal non-beras sebagai makanan pokok, melainkan dalam rangka memperkokoh ketahanan
pangan masyarakat di Kepulauan Mentawai.
3. Di balik kesemua itu, berdasarkan pengabaian perhatian terhadap pemanfaatan potensi
pangan non-beras selama ini di Kepulauan Mentawai, kami juga mencatat adanya “relasi
kuasa” antara masyarakat lokal Mentawai dengan orang luar Mentawai, meliputi relasi antara
pemerintah dengan komunitas adat suku asli yang juga menarik untuk dikaji secara lebih
mendalam dan lebih lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih disampaikan pada DP2M Kementerian Ristek Dikti atas dukungan dana
untuk penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. (2007). Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Pangan Peternakan Bermutu,
Utama dan Halal. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Bogor 27
Nopember 2007. Hal. 32-40.
Barlett, Feggy F. 1980. Agricultural Decision Making, Anthropological Contributions to Rural
Development. New York: Academic Press.
BPS. 2017. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka.
Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima
Pendekatan. Edisi 3.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Dove, Michael R (ed.), 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional
dalam Pembangunan. Jakarta: YOI.
Faisal Kasryno. 2007. Arah Pengembangan Agribisnis di Pulau Jawa pada Abad XXI.
Kebijakan Pembangunan Pertanian, Analisis Kebijakan Antisipatif dan Responsif. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. 2007. Monograph Series No. 17. September 1997.hal.
13-44.
Fagi.A.M., S. Partoharjono dan E.E. Amanto. 2002. Strategi Pemenuhan Kabutuhan Pangan
Beras 2010. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan Bogor, Nopember 2002, hal.45-52.
Geertz, Clifford. 1976 (1963). Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.
Jakarta: Bhratara.
Haryono dan Irsal Laras. 2011. Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pertanian Terhadap Dampak
Perubahan Iklim Global. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Kementrian Pertanian 2011 Nopember 2011, hal. 1-10.
Mewa Ariani. 2004. Analisis Keterkaitan dan Konsumsi Pangan Hewani. Monograp Series No.
24. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Agustus 2004,
hal. 67-83.
Naim, Mochtar. 1992. Dampak Pembangunan terhadap Tanah Adat: Kasus Mentawai, Pasaman
Barat dan Lombok Barat. Ditulis untuk Suara Pembaruan berdasarkan Survey Lapangan
Agustus-September 1992. Jakarta.
Schefold, Reimar. 1985. Keseimbangan Mentawai dan Dunia Modern dalam Michael R.
Dove. Peranan Kebudayaan Tradisional dalam Pembangunan. Jakarta: YOI.

537
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.
Jakarta: LP3ES.
Soedjana, T. D. 2009. Masalah dan Kebijakan Peningkatan Produk Peternakan untuk
Pemenuhan Gizi Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Bogor 27
Nopember 2007, hal.2-4.
Swastika, D.K.S. 2004. Developing Maize For Imporving Poor Farmers Income in Indonesia.
CGPRT Flash Vol. 2. No. 4, April 2004, hal. 45-53.
Tulius, Juniator. 2012b. Stranded People: Mythical Narratives about the First Inhabitants of
Mentawai Island. Wacana. 14(2): 215-240.
_. 2016. The Pig Story “Tiboi Sakkoko”: Storytelling of Kinship, Memories of the
Past, and the Rights to Plots of Ancestral Land in Mentawai. Wacana. 17(2): 336-373.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.7 Tahun 1996 tentang Pangan kantor Menteri
Neara Pangan Republik Indonesia (RI) tahun 1996-1997.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Pangan Secara Nasional Indonesia 2000.
Uphoff, Norman. 1988. Menyesuaikan Proyek pada Manusia dalam Michael M. Cernea (ed.).
Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan. Publikasi Bank Dunia. Jakarta: UI
Press.
Vredenbreght, J. 1982. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Wahyuni. K.S. dan K.S. Indraningsih. 2003. Dinamika Program dan Kebijakan Peningkatan
Produksi Padi. Forum Agro Ekonomi, Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
Vol. 21 No. 2 Desember 2002, hal.143-159. Wolf, Eric R. 1985 (1966). Petani Suatu
Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Pers.
Yudohusodo, Siswono. 2001. Kemandirian di Bidang Pangan Kebutuhan Negara Kita, Makalah
Kunci pada Seminar Nasional Teknologi Pangan. Semarang, 9-10 Oktober 2001.

538
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tingkat Kesejahteraan Petani Kakao Perkebunan Rakyat


The Level of Welfare of Plantation Cocoa Farmers
Gyska Indah Harya1, Hamidah Hendrarini1, Pawana Nur Indah1, Sri Widayanti1 ,
Wahyu Santoso1 dan Yasinta Enggal Prayoga2
1Agribusiness, University Pembangunan Nasional “Veteran”East Java,
2East Java Province Department of Plantation, disbun.jatimprov.go.id

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengeksplorasi tingkat
Kesejahteraan kesejahteraan petani kakao di kabupaten Madiun. Metode penelitian
Biji Kakao menggunakan analisis deskriptive kuantitatif dengan populasi penelitian ini
yaitu Petani Kakao Perkebunan Rakyat di Kabupaten Madiun dengan 45
responden pada masing – masing anggota kelompok tani kakao melalui
indikator : kinerja usaha tani kakao, pendapatan usaha tani kakao dalam
memenuhi kebutuhan belanja produksi sarana dan prasarana usaha tani
kakao, belanja kebutuhan pokok, pendidikan, sosial, komunikasi, rekreasi,
transportasi, perawatan rumah, dan biaya kesehatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa usahatani kakao perkebunan rakyat di Kabupaten
Madiun menguntungkan secara finansial tetapi tidak menguntungkan secara
ekonomi hal ini tentu saja melatar belakangi kesejahteraan petani kakao di
Kabupaten Madiun yang menunjukkan bahwa tingkat Kesejahteraan petani
kakao perkebunan rakyat di kabupaten Madiun belum secara konsisten
memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi.
ABSTRACT

Keywords: This study aims to explain and explore the level of welfare of cocoa farmers
Welfare in Madiun district. The research method uses quantitative descriptive analysis
Cocoa Beans with the population of this study, namely Farmers Smallholder Cocoa
Farmers in Madiun Regency with 45 respondents in each cocoa farmer group
members through indicators: cocoa farming performance, cocoa farming
income in meeting the expenditure needs of production of business facilities
and infrastructure cocoa farming, basic needs shopping, education, social,
communication, recreation, transportation, home care, and health costs. The
results showed that cocoa farming in Madiun District was financially
profitable but not economically profitable, of course, was the background of
the welfare of cocoa farmers in Madiun District which showed that the
welfare level of smallholder cocoa farmers in Madiun Regency had not
consistently had a level of welfare high.

Email Korespondensi: gyskaharya.agribis@upnjatim.ac.id

539
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Potensi subsektor perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian untuk dijadikan andalan
ekspor di masa-masa mendatang sebenarnya sangat besar. Prasyarat yang diperlukan hanyalah
perbaikan dan penyempurnaan iklim usaha dan struktur pasar komoditas perkebunan dari sektor
hulu sampai hilir. Mustahil kinerja ekspor akan lebih baik, jika kegiatan produksi di sektor hulu,
pola perdagangan dan distribusi komoditas perkebunan tidak terlaksana dengan baik (Arsyad
et.al, 2011; Arifin, 2001).
Salah satu subsektor pertanian yang dijadikan titik perhatian untuk terus dikembangkan
adalah subsektor perkebunan. Kakao (Theobroma Cacao, L) adalah salah satu komoditas
perkebunan yang memiliki peranan penting dalam pembangunan, karena dilihat dari peran
ekonomi kedepan dan kebelakangnya cukup besar (Kaplale, 2011).
Indonesia saat ini adalah negara terbesar ketiga dalam produksi kakao dunia dengan share
produksi 15 % setelah Ghana (16 %) dan Pantai Gading (40 %) (DEPTAN, 2006).
Perkembangan kakao Indonesia yang sangat menggembirakan tersebut ternyata belum dibarengi
dengan tingkat produktivitas dan kualitas produksi yang memadai. Produktivitas rata-rata
tanaman kakao di Indonesia tahun 2014 saat ini masih sekitar 728,814 kg/ha/th (Direktoral
Jenderal Perkebunan, 2015). Di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya di desa patanas bahwa
komoditas kakao merupakan komoditas unggulan utama dan paling menonjol dibandingkan jenis
tanaman perkebunan lainnya (Muslim et al., 2017). Pasar kakao biji dunia terintegrasi berbagai
tingkatan pasar dapat ditelusuri melalui saluran tataniaga, tampak ada banyak pilihan bagi petani
dalam menjual kakao biji, yaitu ke (i) pedagang pengumpul; (ii) pedagang desa; (iii) pedagang
kecamatan; (iv) pedagang besar; dan (v) eksportir. Adapun kakao biji yang dijual petani adalah
kakao biji tidak terfermentasi. Karena perbedaan harga kakao biji asalan dengan yang
terfermentasi sangat kecil (Rp 1.000/kg). Yantu (2005) juga melaporkan angka yang sama
(Yantu et al.,2010).
Jawa Timur merupakan salah satu wilayah yang berlimpah biji kakao. Di Jawa Timur,
komoditi kakao merupakan komoditi strategis untuk mengangkat martabat masyarakat dengan
meningkatkan pendapatan petani perkebunan dan tumbuhnya sentra ekonomi regional.
Komoditi kakao dikembangkan pada Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara
(PTPN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Areal kakao di Jawa Timur pada tahun 2012 .
Seluas 63.040 Ha terbagi atas 32.010 Ha Perkebunan Rakyat, 26.487 Ha PTPN, dan 5.143 Ha
PBS (Disbun, 2011). Sentra pengembangan kakao (Blitar, Trenggalek, Madiun, dan Pacitan),
baik produktivitasnya maupun kualitas produksinya juga masih relatif rendah. Disebabkan
rendahnya produktivitas kakao tersebut antara lain disebabkan petani belum sepenuhnya
menggunakan teknologi yang dianjurkan dalam budidaya kakao. Biji kakao Jawa Timur
memiliki potensi tinggi untuk pengembangan industri pengolahan kakao. Produk kakao olahan
di Jawa Timur tidak kompetitif di pasar nasional. Ini karena rendahnya teknologi dalam
pengolahan kakao. Selain itu, saat ini banyak perusahaan kakao olahan di daerah tersebut tidak
mampu berproduksi karena sulitnya pasokan bahan baku (Harya, G. I, 2019).
Kabupaten Madiun, merupakan salah satu daerah yang mengawali pengembangan kakao
rakyat di Jawa Timur. Pengembangan kakao di Kabupaten Madiun diawali melalui Proyek
Khusus P2WK (Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus) yang sumber anggaranya dari
APBN. Kabupaten Madiun cukup konsisten dalam melakukan pengembangan kakao dan
arealnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 areal kakao masih seluas 3.429 dan
terus mengalami peningkatan hingga mencapai areal seluas 5.481 ha, pada tahun 2014, tumbuh
rata-rata 11,98% per tahun. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
Permasalahan yang mengakibatkan rendahnya produksi dan produktivitas kakao di
Kabupaten Madiun diantaranya adalah (1) Kepemilikan lahan yang sempit, sehingga petani
hanya memiliki jumlah tanaman dibawah skala usaha ekonomis yang berakibat pada kurangnya
efisensi pengelolaan (2) Kelembagaan Petani yang belum berkembang secara baik (3)

540
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kurangnya pengetahuan petani pada varietas baru (4) Kurangnya modal petani (5) Adanya
serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada tanaman kakao yang mengakibatkan
menurunnya produktivitas hasil. (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Madiun).

Tabel 1. Areal dan Produksi Kakao Rakyat di Kabupaten Madiun.


Areal Produksi
No. Tahun
(HA) Tumbuh (%) Ton Tumbuh (%)
13 2008 3.429 - 443 124,87
14 2009 3.579 4,37 716 61,63
15 2010 3.852 7,63 903 26,12
16 2011 4.751 23,34 1.362 50,83
17 2012 4.784 0,69 1.763 29,44
18 2013 5.281 11,16 1.786 31,13
19 2014 5.481 14,57 1.812 2,78
Pertumbuhan 11,98 49,01
Sumber : Dinas Pertanian dan Perikanan Kab. Madiun, 2015

Rendahnya produktivitas perkebunan kakao rakyat juga tidak terlepas dari belum
diterapkanya teknologi budidaya anjuran, terutama oleh perkebunan rakyat serta belum
menggunakan varietas unggul, di samping banyaknya serangan hama dan penyakit (Rubiyo &
Siswanto, 2012).
Komponen biaya usahatani Kakao meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Penerimaan
adalah hasil kali jumlah produksi dengan harga komoditas, sedangkan pendapatan bersih berasal
dari selisih antara penerimaan dan biaya produksi (Masni, Y.B, Y.S, 2016). Kegiatan usahatani
kakao yang dilakukan tidak didasari oleh prinsip ekonomi, yaitu manajemen usaha. Petani tidak
pernah melakukan proses pencatatan dan perhitungan dari setiap biaya yang dikeluarkan selama
proses produksi, sehingga petani tidak mengetahui untung atau rugi dari usahatani kakao yang
dijalankan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian terhadap usahatani kakao yang dilakukan
oleh petani untuk mengetahui masalah - masalah yang dihadapi guna peningkatan produksi dan
perbaikan tingkat pendapatan petani yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan terhadap
keluarga petani tersebut (Kaplale, 2011). Dengan hal ini sangat perlu diketahui kondisi usaha
tani perkebunan kakao rakyat di tingkat petani serta kaitannya dengan tingkat kesejahteraan
petani kakao perkebunan rakyat secara ekonomi.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Teori Kesejahteraan
Menurut Albert dan Hanel dalam I Nyoman mahendra (2006:62) Pembahasan dalam teori
kesejahteraan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu :classical
utilitarian, neoclassical welfare theory dan new contarctarian approach. Pendekatan clasical
utilitarian menekankan bahwa kesenangan (pleasure) atau kepuasan (utility) seseorang dapat
diukur dan bertambah. Tingkat kesenangan yang berbeda dirasakan oleh individu yang sama
dapat dibandingkan secara kuantitatif. Prinsip bagi individu adalah meningkatkan sebanyak
mungkin tingkat kesejahteraannya. Sedangkan bagi masyarakat, peningkatan kesejahteraan
kelompoknya merupakan prinsip yang dipegang dalam kehidupannya.
Neoclassical welfare theory merupakan teori kesejahteraan yang mempopulerkan prinsip
Pareto Optimality. Prinsip Pareto optimality menyatakan bahwa “the community becomes better
off if one individual becomes better off and non worse off”. Prinsip tersebut merupakan
necessary condition untuk tercapainya keadaan kesejahteraan sosial maksimum selain prinsip
Pareto optimality, neoclassical welfare theory juga menjelaskan bahwa fungsi kesejahteraan
merupakan fungsi dari semua kepuasan individu. Secara matematis fungsi tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut:

541
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

u
W = f Σ k (i) U (i)
i=1

Dimana W : merupakan kesejahteraan masyarakat.


U : merupakan tingkat kepuasan individu
K : merupakan bobot tertimbang.

Teori Mutu
Mutu adalah keseluruhan ciri atau karakteristik produk atau jasa dalam tujuannya untuk
memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Pelanggan yang dimaksud disini bukan pelanggan
atau konsumen yang hanya datang sekali untuk mencoba dan tidak pernah kembali lagi,
melainkan mereka yang datang berulang-ulang untuk membeli dan membeli. pengukuran mutu
untuk produk fisik (barang) selain menekankan pada produk yang dihasilkan, juga perlu juga
diperhatikan mutu pada proses produksi. Bahkan, yang terbaik adalah apabila perhatian pada
mutu bukan pada produk akhir, melainkan pada proses produksinya atau produk yang masih ada
dalam proses (work in process), sehingga bila diketahui ada cacat atau kesalahan masih dapat
diperbaiki (Ariani, 2003).

Standar Mutu Kakao Internasional


Food and Drugs Adiministration (FDA) dari USA memprakarsai menyusun standar mutu
kakao internasional dengan mengadakan pertemuan antara produsen dan konsumen beberapa
kali pada tahun 1969 di Paris. Pertemuan tersebut menyepakati ditetapkannya Standar Kakao
Internasional. Standar ini sedikit banyaknya telah diadopsi oleh hampir semua negara penghasil
kakao di dunia tertuma yang mengekspor biji kakao ke Amerika. Secara umum persyaratan yang
tercantum dalam standar mutu kakao Indonesia sudah sesuai dengan yang ditentukan dalam
Standar Mutu Kakao International.
Batasan umum yang menggolongkan biji kakao yang layak untuk diperdagangkan di
pasaran internasional (Cocoa merchantable quality) adalah yaitu biji kakao harus difermentasi,
kering (kadar air 7 %) , bebas dari biji smoky, bebas dari bau yang tidak normal dan bau asing
dan bebas dari bukti-bukti pemalsuan, biji kakao harus bebas dari serangga hidup. Biji kakao
dalam satu parti (kemasan) harus mempunyai ukuran seragam, bebas dari biji pecah, pecahan
biji dan pecahan kulit, dan bebas dari benda-benda asing. (Sumber : SNI 01 – 2323 – 2008).
Berdasarkan SNI 2323:2008 tentang standar mutu biji kakao, biji kakao digolongkan
dalam dua jenis yaitu jenis mulia (fine cocoa/F) dan jenis lindak (bulk cocoa/B). Menurut jenis
tanamannya, biji kakao dari Kab. Luwu Sulawesi Selatan sebagian besar termasuk ke dalam jenis
lindak (bulk cocoa/B) yang berasal dari tanaman kakao jenis Forastero dan dikelola oleh petani
kakao setempat. Penggolongan biji kakao menurut ukuran berat bijinya, yang dinyatakan dengan
jumlah biji per 100 g contoh, biji kakao digolongkan dalam 5 golongan ukuran dengan
penandaan:
AA : maksimum 85 biji per seratus gram
A : 86-100 biji per seratus gram B : 101-110 biji perseratus gram C : 111-120 biji perseratus
gram
S : lebih besar dari 120 biji per seratus gram

Biji kakao kering menurut persyaratan mutunya terbagi menjadi 3 kelas, yaitu mutu kelas
I, II, dan III, dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan-
persyaratan tersebut sebenarnya telah tercakup dalam standar mutu biji kakao SNI 2323-2008.
Standar tersebut belum di implementasikan secara baik dan massal, sehingga biji kakao
Indonesia masih mempunyai citra yang kurang baik dengan ciri-ciri tidak difermentasi, kurang
kering, ukuran biji tidak seragam dan banyak mengandung kotoran (Mulato, 2011). Pulp kakao

542
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mengandung 82-87% air, 10–15% gula (60% sukrosa dan 39% campuran glukosa dan fruktosa),
2–3% pentosa, 1–3% asam sitrat, dan 1–1,5% pekti, protein, asam amino, vitamin (terutama
vitamin C), dan mineral (Puerari, 2012). Suksesi mikroba selama fermentasi biji kakao sudah
dievaluasi sebelumnya. Selain itu, suksesi mikroba selama fermentasi hibrida kakao yang
berbeda, serta pengaruhnya terhadap kualitas produk akhir, telah secara akurat dipelajari
sebelumnya (Gabriela et al., 2017).

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Metode
penelitian menggunakan analisis deskriptive kuantitatif dengan populasi penelitian ini yaitu
Petani Kakao Perkebunan Rakyat di Kabupaten Madiun dengan 45 responden pada masing –
masing anggota kelompok tani kakao melalui indikator : kinerja usaha tani kakao, pendapatan
usaha tani kakao dalam memenuhi kebutuhan belanja produksi sarana dan prasarana usaha tani
kakao, belanja kebutuhan pokok, pendidikan, sosial, komunikasi, rekreasi, transportasi,
perawatan rumah, dan biaya kesehatan. Penentuan wilayah penelitian mengenai kakao yang
dilakukan secara sengaja di Kabupaten Madiun provinsi Jawa Timur, berdasarkan pertimbangan
bahwa Kabupaten Madiun Jawa Timur merupakan salah satu wilayah penghasil kakao terbanyak
di Jawa Timur. Komoditas kakao banyak di budidayakan oleh petani kakao rakyat sedangkan di
wilayah lain sudah banyak di kelola oleh perkebunan besar artinya hal ini perlu
mengidentifikasi kebijakan pemerintah dalam mendukung tingkat kesejahteraan petani kakao
rakyat di Kabupaten Madiun Jawa Timur yang menjadikan dasar penelitian. Mengfidentifikasi
tingkat kesejahteraan petani kakao berdasarkan indikator kinerja kemampuan belanja petani
kakao Kabupaten Madiun Jawa Timur.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tingkat Kesejahteraan petani kakao menunjukkan bahwa Kabupaten Madiun belum
konsisten memiliki tingkat kesejahteraan petani Kakao. Upaya pemerintah untuk mendukung
produksi kakao dalam negeri cukup tinggi. Kebijakan pemerintah terhadap output diketahui
bahwa pemerintah memberikan proteksi biji kakao dalam negeri melalui peraturan bea keluar.
Namun, kebijakan tersebut menyebabkan harga kakao dalam negeri masih tergolong rendah
dibanding harga kakao di tingkat pasar internasional. Sementara itu, kebijakan pemerintah
terhadap input masih bersifat disinsentif terhadap petani. Petani kakao harus membayar input
lebih mahal dari seharusnya karena tingkat proteksi pemerintah terhadap input usahatani kakao
lemah. Namun secara bersama-sama, kebijakan input dan output usahatani kakao yang berlaku
di Indonesia masih mendukung terhadap produksi kakao dalam negeri. Kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan produktivitas kakao, meningkatkan harga jual kakao dan menurunkan biaya
produksi secara simultan dapat meningkatkan daya saing kakao di lokasi penelitian. Upaya
meningkatkan daya saing industri kakao berupa peningkatan mutu dan kualitas kakao olahan,
meningkatkan volume ekspor, mempertahankan harga ekspor, pengembangan klaster industri
kakao olahan, memudahkan akses permodalan, deregulasi kebijakan dan mengembangkan
infrastruktur (Harya, 2018).
Hasil analisis deskriptif yang diperoleh dari penyebaran kuesioner ke petani kakao yang
ada di madiun dengan jumlah 45 responden petani kakao di kabupaten Madiun. Berikut ini
merupakan tabel Deskriptive Statistics kesejahteraan petani kakao Kabupaten Madiun melalui
indikator : kinerja usaha tani kakao, pendapatan usaha tani kakao dalam memenuhi kebutuhan
belanja produksi sarana dan prasarana usaha tani kakao, belanja kebutuhan pokok, pendidikan,
sosial, komunikasi, rekreasi, transportasi, perawatan rumah, dan biaya kesehatan.

543
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 2. Analisis Deskriptif menggunakan SPSS Ver. 23


Descriptive Statistics
Maximu
N Minimum m Mean Std. Deviation
KSJT_1 45 3 5 3.78 .795
KSJT_2 45 3 5 3.67 .674
KSJT_3 45 2 5 3.22 1.146
KSJT_4 45 2 5 3.56 .967
KSJT_5 45 3 4 3.56 .503
KSJT_6 45 1 4 2.89 1.112
KJST_7 45 2 4 3.11 1.005
KSJT_8 45 2 4 3.11 1.005
KSJT_9 45 3 4 3.56 .503
Valid N (listwise) 45
Sumber : Hasil Analisis (2019).

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai mean atau rata-rata tertera pada pernyataan
pendapatan usaha tani mendukung belanja sarana produksi kakao (KSJT-1 sebesar 3,78 dengan
standart deviasi sebesar 0,795) artinya bahwa 45 petani kakao kabupaten Madiun memiliki
pandangan seragam jika pendapatan usaha tani yang diterima dapat mendukung belanja sarana
produksi musim tanam berikutnya. Hasil analisis deskriptif menunjukkan KSJT-2 sebesar 3,67
dan standart deviasi sebesar 0,674 yang dapat diartikan bahwa petani kakao kabupaten Madiun
memiliki pandangan seragam jika pendapatan yang peroleh dari usaha tani mendukung belanja
kebutuhan pokok dan (KSJT-3 sebesar 3,22 dan standart deviasi sebesar1,146) artinya bahwa 45
petani kakao kabupaten Madiun memiliki pandangan seragam jika pendapatan usaha tani
mamapu mendukung belanja pendidikan. Pendapatan usaha tani mendukung belanja sosial
seperti iuran RT/ RW,pengajian, kerja bakti dan lain- lain (KSJT-4 sebesar 3,56 dan standart
deviasi sebesar 0,967) artinya bahwa 45 petani kakao kabupaten Madiun memiliki pandangan
seragam jika pendapatan usaha tani sudah mendukung belanja sosial. Sementara untuk
mendukung belanja komunikasi (KSJT-5 sebesar 3,56 dan standart deviasi sebesar 0,503)
artinya bahwa 45 petani kakao kabupaten Madiun memiliki pandangan seragam jika pendapatan
usaha tani sudah mendukung belanja komunikasi. Dari hal ini diatas berbeda jauh dengan kondisi
kemampuan belanja rekreasi (KSJT-6 sebesar 2,89 dan standart deviasi sebesar 1,112) artinya
pendapatan usaha tani sudah mendukung belanja rekreasi. Pendapatan usaha tani mendukung
belanja transportasi (KSJT-7 sebesar 3,11 dan standart deviasi sebesar 1,005) artinya petani
kakao kabupaten Madiun memiliki pendapatan usaha tani yang mampu mendukung belanja
transportasi dan (KSJT-8 sebesar 3,11 dan standart deviasi sebesar 1,005) menunjukkan bahwa
pendapatan usaha tani sudah mendukung belanja perawatan rumah dan hasil analisis deskriptif
(KSJT-9 sebesar 3,56 dan standart deviasi sebesar 0,503) menunjukkan bahwa petani kakao
kabupaten Madiun memiliki pandangan seragam jika pendapatan usaha tani sudah mendukung
belanja kesehatan. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan petani kakao di kabupaten
Madiun dapat dikategorikan Sejahtera.

PENUTUP
Tingkat Kesejahteraan petani kakao menunjukkan bahwa Kabupaten Madiun dapat
dikategorikan Sejahtera. Upaya pemerintah untuk mendukung produksi kakao dalam negeri
cukup tinggi. Usahatani kakao di Kabupaten Madiun menguntungkan secara finansial tetapi
tidak menguntungkan secara ekonomi hal ini tentu saja melatar belakangi kesejahteraan petani
kakao di Kabupaten Madiun. dari hasil penelitian ini diharapkan terciptanya kebijakan baru yang
mampu mengontrol harga kakao di tingkat petani sehingga petani kakao tidak merasa dirugikan

544
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

yang pada kenyataanya saat ini kebijakan input dan output usahatani kakao yang berlaku di
Indonesia masih mendukung terhadap produksi kakao dalam negeri. Kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan produktivitas kakao, meningkatkan harga jual kakao dan menurunkan biaya
produksi secara simultan dapat meningkatkan daya saing kakao di lokasi penelitian.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar - besarnya kepada Universitas
Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

DAFTAR PUSTAKA
Ariani, D. 2003, Manajemen Kualitas; Pendekatan Sisi Kualitatif, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
2003), h. 12-14.
Arifin, B., 2001. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Arikunto, S., 2002.
Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar. Jakarta: Bina Aksara.
Arsyad, M., B. M. Sinaga, S. Yusuf, 2011. “Analisis Dampak Kebijakan Pajak Ekspor dan
Subsidi Harga Pupuk terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia Pasca Putara
Uruguai”. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Vol. 8, No. 1.
DEPTAN (2006) ‘Direktori dan Revitalisasi Agribisnis Kakao Indonesia dalam Menghadapi Era
Globalisasi’
Ditjen Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. 2015.
Buku Saku : Penghitungan Taksasi Kehilangan Hasil Akibat Organisme Pengganggu
Tumbuhan (OPT) Perkebunan.
Gabriela, M. et al. (2017) ‘LWT - Food Science and Technology Cocoa fermentation : Microbial
identi fi cation by MALDI-TOF MS , and sensory evaluation of produced chocolate’, LWT
- Food Science and Technology. Elsevier Ltd, 77, pp. 362–369. doi:
10.1016/j.lwt.2016.11.076.
Harya, G. I. (2018) ‘Analisys of Affecting Factors and Effort To Improve Competitiveness of
Cocoa In East Java’, Agridevina, 7(1), pp. 77–92.
Harya, G. I, et al (2019) ‘Competitiveness and development perspective of processed cocoa
industries in East Java Competitiveness and Development Perspective of Processed Cocoa
Industries in East Java’, 30002(October 2018).
Kaplale, R. (2011) ‘Analisis Tingkat Usahatani Kakao ( Theobroma cacao l ) Studi Kasus Di
Desa Latu Kecamatan Amalatu’, Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-
Ternate), 4(2), pp. 60–68.
Masni, Y.B, Y.S, et. a. (2016) ‘Kecamatan Taluditi Kabupaten Pohuwato ( Studi Kasus Desa
Pancakarsa II Kecamatan Taluditi Kabupaten Pohuwato )’, jurnal Ilmiah Agribisnis, I(1),
pp. 17–23.
Mulato, S., Widyotomo, Misnawi, Sanali, dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan
Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi
dan Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Muslim, C. et al. (2017) ‘Nilai tukar petani komoditas perkebunan’, SEPA, 13(2), pp. 142–158.
Puerari, et al (2012) ‘New cocoa pulp-based ke fi r beverages : Microbiological , chemical
composition and sensory analysis’, Food Research International journal(Elsevier). Elsevier
Ltd, 48(2), pp. 634–640. doi: 10.1016/j.foodres.2012.06.005.

545
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Rubiyo, & Siswanto 2012, Peningkatan produksi dan pengembangan kakao (Theobroma cacao
L) di Indonesia. Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri.
Yantu, M. R. et al. (2010) ‘Integrasi Pasar Kakao Biji Perdesaan Sulawesi Tengah Dengan Pasar
Dunia ( Integration of Cocoa Bean at the Rural Markets in Central Sulawesi Province with
the World Market’, Jurnal Agroekonomi, 28(2), pp. 201–225.

546
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Skala dan Elastisitas Produksi Padi Lokal


Scale and Elasticity of Local Rice Production
Inda Ilma Ifada1, Suslinawati1, dan Siti Erlina1
1 Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, Banjarmasin

ABSTRACT

Kata Kunci: Di Kalimantan Selatan mayoritas varietas padi yang ditanam adalah padi
Padi lokal. Hal tersebut ditunjang dengan mayoritas penduduk cenderung
Faktor Produksi mengonsumsi beras yang pera. Selain itu harganya juga relative lebih tinggi
Skala dibandingkan dengan beras unggul. Kabupaten Banjar merupakan salah satu
Produksi daerah penghasil Padi di Kalimantan Selatan yang mengalami penurunan
Elastisitas produksi sebesar 24.091,86 ton. Faktor produksi yang digunakan sangat
mempengaruhi terhadap produksi yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi skala dan elastisitas produksi dari penggunaan factor
produksi. Faktor produksi yang diteliti yaitu luas lahan, tenaga kerja dan
jumlah pupuk yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan ialah
metode penelitian campuran antara kualitatif dan kuantitatif yang
berdasarkan strategi eksplorasi data dan observasi. Metode penarikan sample
penelitian menggunakan simple random sampling terhadap petani padi local
dengan jumlah sample 30 orang. Fungsi produksi yang dihasilkan yaitu Ln Y
= 4,989 + 0,152 LnX1 + 0.354 LnX2 + 0.312 Ln X3. Variabel luas
lahan,bersifat inelastic yang artinya jika luas lahan naik sebesar 1% maka
produksi akan naik 0,152% dalam kondisi ceteris paribus. Variable pupuk
bersifat inelastic artinya jumlah pupuk yang digunakan naik sebesar 1% maka
produksi akan naik 0,354 % dalam kondisi ceteris paribus. Variabel Tenaga
kerja bersifat inelastic artinya jika tenaga kerja naik sebesar 1% maka
produksi akan naik 0,312% dalam kondisi ceteris paribus. Berdasarkan fungsi
produksi yang dihasilkan diketahui nilai skala produksi sebesar 0,818 atau
bersifat decreasing return to scale.
ABSTRACT

Keywords: In South Kalimantan the majority of rice varieties planted are local rice. This
Rice is supported by the majority of the population tends to consume pera rice.
Production Factor Besides that the price is also relatively higher compared to superior rice.
Scale Banjar Regency is one of the rice producing regions in South Kalimantan
Production which has decreased production by 24,091.86 tons. The production factor
Elasticity used greatly affects the production produced. This study aims to identify the
scale and elasticity of production from the use of production factors. The
production factors studied were land area, labor and the amount of fertilizer
used. The research method used is a mixture of qualitative and quantitative
research methods based on data exploration and observation strategies. The
method of sampling used a simple random sampling of local rice farmers with
a sample of 30 people.The production function produced is Ln Y = 4,989 +
0,152 LnX1 + 0.354 LnX2 + 0.312 Ln X3. The land area variable is inelastic,
which means that if the area of land rises by 1%, production will rise 0.152%
under ceteris paribus conditions. Variable fertilizer is inelastic meaning the
amount of fertilizer used rises by 1%, so production will rise 0.354% under
ceteris paribus conditions. The Labor variable is inelastic meaning that if
labor rises by 1% then production will rise by 0.312% under ceteris paribus

547
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

conditions. Based on the production function produced, it is known that the


scale of production is 0.818 or decreasing return to scale.

Email Korespondensi: inda.ifada@gmail.com

PENDAHULUAN
Padi merupakan tanaman pangan utama di Kalimantan Selatan. Jenis padi yang
dibudidayakan adalah padi local dengan varietas siam mutiara, karang dukuh, siam saba dan
lainnya. Padi local tersebut bersifat pera yang berbeda dari segi budidaya dan rasa yang
dihasilkan untuk berasnya dengan padi unggul. Masyarakat Kalimantan Selatan khususnya suku
banjar terbiasa mengonsumsi beras yang bersifat pera. Budidaya padi local tersebut dilakukan di
lahan rawa yang ditanami dan hasilnya diperoleh satu kali dalam setahun.
Adanya program yang digalakkan oleh pemerintah Kalimantan Selatan guna
meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas pertanaman padi di Lahan rawa yaitu
dengan program SERASI (Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani). Berdasarkan data dari Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan implementasi
program tersebut mencapai 250.000 hektare (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2019).
Luas panen padi di Kalimantan Selatan periode Januari-September 2018 sebesar 261.727
hektar. Dengan memperhitungkan potensi sampai Desember 2018, maka luas panen tahun 2018
adalah 278.853 hektar. Produksi Padi di Kalimantan Selatan periode Januari-September 2018
sebesar 1,6 juta ton Gabah Kering Giling(GKG). Berdasarkan potensi produksi sampai
Desember 2018, maka diperkirakan total produksi Padi Tahun 2018 sebesar 1,14 juta ton GKG.
Jika produksi Padi dikonversikan menjadi beras dengan menggunakan angka konversi GKG ke
beras tahun 2018, maka produksi padi tersebut setara dengan 668.984 ton beras. Tiga Kabupaten
yang memiliki luas panen terbesar di Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Barito Kuala 66.995
hektar, Kabupaten Banjar 53.278 hektar dan Tapin 31.284 hektar (BPS Kalsel, 2018).
Kabupaten Banjar merupakan salah satu daerah penghasil Padi di Kalimantan Selatan.
Dulunya daerah tersebut adalah daerah surplus padi terbesar di Kalimantan Selatan. Akan tetapi
beberapa tahun terakhir terjadi penurunan produksi sehingga Kabupaten Banjar tidak lagi
menjadi kabupaten terbesar penghasil padi Kalimantan Selatan. Menurut data dari BPS
Kalimantan Selatan, Tahun 2017 produksi padi sawah di Kabupaten Banjar sebesar 242.946,86
ton sedangkan Tahun 2018 produksinya menurun menjadi 218.855 ton. Kecamatan Gambut
merupakan salah satu wilayah lumbung padi di Kabupaten Banjar. Sebagian besar masyarakat
Kecamatan Gambut memiliki mata pencaharian sebagai petani. Produksi padi sawah di
Kecamatan Gambut juga mengalami penurunan dari 34.328 ton pada Tahun 2017 menjadi
32.138 ton pada tahun 2018 (BPS Kabupaten Banjar, 2018).
Selama ini budidaya padi tersebut dilakukan oleh usahatani yang masih bersifat subsisten.
Penurunan produksi yang terjadi dipengaruhi oleh factor produksi atau input yang digunakan.
Petani sebagai manajer harus mampu mengalokasikan factor produksi yang dimiliki. Hasil dari
usahatani menjadi sumber pendapatan utama keluarganya sehingga jika terjadi penurunan
produksi atau kegagalan panen, maka akan mempengaruhi pendapatan mereka. Penggunaan
factor produksi dalam usahatani sangat menentukan output yang dihasilkan dan keberlanjutan
usaha tersebut. Faktor Produksi yang digunakan terdiri dari luas lahan, pupuk dan tenaga kerja
yang besar kecil penggunaannya menentukan hasil yang diperoleh. Oleh karena itu dilakukan
penelitian ini tentang skala usaha dan elastisitas produksi padi local untuk mengidentifikasi
kemungkinan perluasan usaha dalam proses produksi tersebut dan melihat respon dari output
terhadap perubahan dari input yang hasil penelitiannya sebagai bahan pertimbangan perlu
tidaknya dilakukan pengembangan usaha lebih lanjut.

548
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Faktor produksi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan produk yang dihasilkan.
Produk sebagai output (keluaran) dari proses produksi sangat tergantung dari faktor produksi
sebagai input (masukan) dalam proses produksi tersebut. Besar kecilnya produksi yang diperoleh
sangat ditentukan oleh faktor produksi yang digunakan.Hubungan antara input dan output dalam
proses produksi, termasuk produksi pertanian tidaklah merupakan hubungan linear. Kenaikan
produksi akibat adanya penambahan masukan, melahirkan suatu hukum yang disebut kenaikan
hasil yang semakin berkurang atau The Law of Diminishing Returns. Fungsi produksi adalah
hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel
yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input
(Muin, 2017).
Analisis regresi fungsi produksi digunakan untuk menguji faktor-faktor produksi
yangberpengaruh nyata terhadap hasil produksi. Model fungsi produksi yang digunakan adalah
Cobb-Douglass. Fungsi produksi ini sesuai dengan produksi di bidang pertanian (Utami, 2016).
Menurut Sujarwo (2019) Karakteristik Fungsi Produksi Cobb-Douglas ditunjukkan
dengan persamaan sebagai berikut:
y = Ax1αx2β
Ln y = ln eA+αLnx1+βLnx2
𝜕𝑦 𝑦
=𝛼
𝜕𝑥1 𝑥1

Elastisitas Produksi
𝜕𝑦 𝑥_1
∝= .
𝜕𝑥1 𝑦

Total elastisitas fungsi produksi menunjukkan pula return to scale (RTS)


α + β = 1 (konstan RTS)
𝑛

∑ 𝛽𝑖 > 1 (𝐼𝑛𝑐𝑟𝑒𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑅𝑇𝑆)


𝑖=1
𝑛

∑ 𝛽𝑖 < 1 (𝐷𝑒𝑐𝑟𝑒𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑅𝑇𝑆)


𝑖=1

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar yang mulai dilaksanakan
pada bulan September 2018 sampai dengan Pebruari 2019. Metode penelitian yang digunakan
ialah metode penelitian campuran antara kualitatif dan kuantitatif yang berdasarkan strategi
eksplorasi data dan observasi. Metode penarikan sample penelitian menggunakan simple
random sampling terhadap petani padi local dengan jumlah sample 30 orang. Teknik
pengumpulan data menggunakan metode wawancara dibantu dengan kuesioner.
Analisis data yang digunakan untuk mengidentifikasi skala usaha dan elastisitas produksi
menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas
y = Ax1β0x2β1x3β2
Ln y = lneA+β0Lnx1+β1Lnx2+ β2Lnx3
Keterangan :
Y = Produksi
β0,...βn = Koefisien regresi
X1 = Luas Lahan
X2 = Jumlah Penggunaan Pupuk
X3=Jumlah Tenaga Kerja
μ = Error Term

549
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

𝜕𝑦 𝑥1 𝜕𝑦 𝑥2 𝜕𝑦 𝑥3
𝛽0 = 𝜕𝑥1 . , 𝛽1 = 𝜕𝑥2 . , 𝛽2 = 𝜕𝑥3 . = Elastisitas Produksi
𝑦 𝑦 𝑦

Total elastisitas fungsi produksi menunjukkan pula return to scale (RTS)


𝑛

∑ 𝛽𝑖 > 1 (𝐼𝑛𝑐𝑟𝑒𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑅𝑇𝑆)


𝑖=1
𝑛

∑ 𝛽𝑖 < 1 (𝐷𝑒𝑐𝑟𝑒𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑅𝑇𝑆)


𝑖=1
𝑛

∑ 𝛽𝑖 = 1 (𝐶𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡 𝑅𝑇𝑆)
𝑖=1

HASIL DAN PEMBAHASAN


Variable bebas yang diteliti adalah luas lahan(LnX1), tenaga kerja(LnX2),
pupuk(LnX3)Variabel terikat yang digunakandalam penelitian ini adalah produksi(LnY) dan
Analisis regresi tersebut menggunakan SPSS versi 16 yang outputnya dapat dilihat pada Tabel
1.

Tabel 1. Output SPPS Pendugaan Fungsi Produksi (Data Primer, 2019).


Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 4.989 .881 5.664 .000
LnX1 .152 .239 .121 .636 .530
LnX2 .354 .144 .416 2.458 .021
LnX3 .312 .325 .186 .963 .344

Fungsi produksi yang dihasilkan yaitu :


Ln Y = 4,989 + 0,152 LnX1 + 0.354 LnX2 + 0.312 Ln X3

Makna dari output yang dihasilkan tersebut yaitu nilai 4,989 artinya jika semua variable
bebas tersebut bernilai 0 maka produksi sebesar 5,294 kg. Nilai β0 sebesar 0,152 yaitu jika luas
lahan ditingkatkan sebesar satu hektar maka produksi akan meningkat sebesar 0,152 kilogram.
Nilai β1 sebesar 0,354 yaitu jika jumlah pupuk ditingkatkan penggunaannya sebesar satu
kilogram maka produksi akan meningkat sebesar 0,354 kilogram. Nilai β2 sebesar 0,312 yaitu
jika jumlah pupuk ditingkatkan penggunaannya sebesar satu kilogram maka produksi akan
meningkat sebesar 0,312 kilogram. koefisien determinasi R2 yang diperoleh 29,5% . Artinya
variasi perubahan produksi dipengaruhi oleh variasi luas lahan,pupuk dan tenaga kerja sebesar
29,5% sedangkan sisanya diduga dipengaruhi oleh variable di luar model seperti adanya
serangan hama penyakit, jumlah penggunaan bibit, tingkat pendidikan formal dan informal
petani dan lainnya.
Elastisitas produksi dari masing-masing variabel tersebut dilihat dari besarnya nilai
koefisien regresi setiap variabel bebas. Variabel luas lahan,bersifat inelastic yang artinya jika
luas lahan naik sebesar 1% maka produksi akan naik 0,152% dalam kondisi ceteris paribus.
Variable X2 bersifat inelastic artinya jumlah pupuk yang digunakan naik sebesar 1% maka
produksi akan naik 0,354 % dalam kondisi ceteris paribus. Variabel Tenaga kerja bersifat
inelastic artinya jika tenaga kerja naik sebesar 1% maka produksi akan naik 0,312% dalam
kondisi ceteris paribus. Ketiga variabel tersebut bersifat inelastic karena karena penyelenggaraan
usahatani tersebut ditentukan oleh ketersediaan modal usahatani untuk pengeluaran biaya

550
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

produksi. Contohnya untuk pupuk, adanya pupuk bersubsidi yang diberikan pemerintah
terkadang tidak tersedia sehingga mereka harus membeli pupuk yang non subsidi dengan harga
yang lebih mahal. Penelitian ini berbeda menurut Anwar (2005) yaitu sumber utama
pertumbuhan produksi padi rumahtangga adalah luas lahan garapan,hanya saja produksi padi
tidak responsive (inelastis) terhadap luas lahan garapan. Sedangkan penggunaan input produksi
yang lain seperti tenaga kerja luar keluarga dan dalam keluarga serta pupuk urea sangat
responsive (elastis) terhadap luas lahan garapan.
Berdasarkan persamaan fungsi produksi Cobb-douglas, skala usaha dapat dihitung dengan
cara menjumlahkan besaran nilai masing-masing koefisien regresi pada setiap variabel bebas.
Nilai β0=0,152, β1=0,354 dan β2=0,312 sehingga diperoleh nilai skala produksi sebesar 0,818
atau bersifat decreasing return to scale. Hal itu berarti penambahan factor produksi secara
bersama-sama akan memberikan penambahan proporsi produksi yang lebih kecil atau jika factor
produksi secara bersama-sama ditambah 1% maka produksi akan bertambah kurang dari 1% atau
hanya sebesar 0,818%. Hal itu sesuai dengan penelitian Zulfikar dan Saderi (1993) yang
menyatakan bahwa varietas padi local menunjukkan proses produksi berlangsung pada tahapan
decreasing return to scale sedangkan untuk penanaman varietas padi unggul berlangsung pada
tahapan Increasing return to scale. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian
(Muhyidin, 2010) yang menyatakan bahwa factor yang menyebabkan skala produksi dalam
keadaan decreasing return to scale diantaranya adalah pengelolaan petani buruk meliputi
pemupukan tidak tepat waktu, berlebihan, kurang, pestisida yang berlebihan serta penggunaan
tenaga kerja yang tdak produktif. Selain itu hanya dikelola oleh keluarga dengan pengelolaan
yang sederhana sehingga para petani tidak begitu memperhatikan efektivitas dan produktivitas
usahanya yang berpengaruh terhadap produksi serta dipengaruhi factor eksternal seperti cuaca.
Penyelenggaraan usahatani Padi Lokal di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar masih
sederhana. Petani Padi local juga cendrung untuk menjual gabah hasil panennya kepada
tengkulak atau pengumpul secara langsung pada saat musim guna memperoleh pendapatan
langsung untuk keluarga. Hanya sebagian kecil yang melakukan sistem tunda jual. Hal tersebut
juga menentukan modal untuk penyelenggaraan usahatani berikutnya. Harga gabah yang mereka
jual rata-rata Rp 5.430/kg.
Luas lahan yang dimiliki oleh petani tersebut rata-rata 0,4 Ha atau 14 borong. Mayoritas
tanaman yang dibudidayakan adalah padi local yang banyak dibudidayakan di Lahan Rawa.
Selain itu, ditunjang dengan selera konsumen dan kebiasaan masyarakat suku Banjar yang
mengonsumsi beras yang pera. Berbeda dengan beras yang berasal dari luar pulau Kalimantan
yang umumnya bersifat pulen. Produksi Padi Lokal yang dihasilkan rata-rata petani sebesar
1.683 kg atau sekitar 3.976/ha.
Penyelenggaraan budidaya padi local mulai dari tahap persiapan lahan sampai dengan
panen dan pasca panen untuk alokasi penggunaan tenaga kerja rata-rata menggunakan tenaga
kerja dalam keluarga (TKDK). Mereka menggunakan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) yang
bersifat upah harian atau borongan pada tahap penanaman dan panen. Sedangkan tahapan lainnya
mereka menggunakan tenaga kerja sendiri atau TKDK. Rata-rata tenaga kerja yang digunakan
sebesar 13,5 HOK. Sekarang ini sebagian petani sudah mulai menggunakan tekhnologi dalam
usahatani mereka yaitu pada saat pengolahan lahan, mereka menggunakan traktor dan combine
harvester yang digunakan dalam kegiatan panen. Alat mesin pertanian tersebut merupakan
bantuan pemerintah yang diserahkan kepada kelompok tani. Tetapi yang terjadi di wilayah
tersebut tidak semua petani memanfaatkan mesin tersebut karena terbatasnya ketrampilan dalam
penggunaan alat serta masih adanya kelompok tani yang tidak aktif.
Faktor produksi lainnya yaitu pupuk. Rata-rata pupuk yang digunakan oleh petani adalah
pupuk urea. Hanya sebagian kecil petani yang terkadang menambahkan pupuk jenis lain yaitu
NPK pada usahataninya. Jumlah pupuk yang digunakan rata-rata sebesar 138 kg/Ha atau setiap
petani rata-rata menggunakannya sebesar 58 kg. Pupuk urea mengandung unsur Nitrogen (N)
yang sangat dibutuhkan tanaman.

551
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Secara simultan variabel luas lahan, pupuk dan tenaga kerja berpengaruh terhadap
produksi yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Output SPSS Pengaruh Faktor Produksi Secara Simultan (Data Primer 2018)
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 8.978 3 2.993 3.618 .026a
Residual 21.505 26 .827
Total 30.483 29

Diketahui nilai sig 0,026 yang dapat disimpulkan bahwa variable bebas secara simultan
berpengaruh terhadap variable terikat pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini sesuai dengan
penelitian Khakim dkk(2013) yang menyatakan bahwa Uji F secara bersama-sama variabel
bebas yang terdiri luas lahan, tenaga kerja, benih dan pupuk mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap produksi padi di Jawa Tengah pada tingkat kepercayaan sampai dengan α =
99%.
Pengaruh faktor produksi secara secara parsial menggunakan uji t yaitu yang hasil
outputnya bisa dilihat pada Tabel 1. Diketahui bahwa secara parsial faktor produksi yang
mempengaruhi produksi padi adalah jumlah pupuk. Nilai sig pada variabel LnX2 sebesar 0,021
artinya jumlah pupuk berpengaruh terhadap produksi pada taraf kepercayaan 95%. Pupuk dilihat
dari hasil analisis, sangat berpengaruh terhadap produksi padi karena mereka walaupun pupuk
bersubsidi terkadang tidak memperoleh, para petani tetap membeli pupuk tersebut. Mereka
sangat merasakan adanya manfaat dari penggunaan pupuk tersebut. Hal ini sesuai dengan
penelitian santoso(2015) Faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi adalah realisasi pupuk
urea bersubsidi, realisasi pupuk SP-36 bersubsidi, dan realisasi pupuk ZA bersubsidi. Semua
faktor tersebut inelastis terhadap produksi padi baik dalam jangka pendek ataupun jangka
panjang.
Variabel luas lahan dan tenaga kerja tidak berpengaruh secara parsial terhadap produksi
padi. Nilai Sig pada variable luas lahan sebesar 0,530 artinya variable luas lahan tidak
berpengaruh terhadap produksi padi pada taraf kepercayaan 90%. Diduga luas lahan tidak
berpengaruh terhadap produksi karena dalam usahatani padi di desa tersebut, mereka tidak
memungkinkan lagi untuk perluasan lahan karena lahan tersedia untuk ditanami padi jumlahnya
terbatas dan sekarang relative terjadi alih fungsi lahan menjadi perumahan, sehingga petani lebih
memfokuskan kepada input atau factor produksi selain lahan yang bisa meningkatkan produksi.
Variabel tenaga kerja memiliki nilai sig sebesar 0,344 artinya variable tenaga kerja tidak
berpengaruh terhadap produksi pada taraf kepercayaan 90%. Variabel tenaga kerja tidak
berpengaruh terhadap produksi diduga karena petani lebih memberdayakan menggunakan
tenaga kerja sendiri dan keluarganya. Hal itu sesuai dengan penelitian (Sitorus dan Ramli,2013)
yang menyatakan bahwa tenaga kerja mempunyai pengaruh negative dan tidak signifikan
terhadap produksi padi dengan dasar kepercayaan 95%. Dengan nilai -7,53 yang artinya apabila
tenaga kerja ditambah 1 orang dengan mengganggap factor lain tetap amak akan menurunkan
produksi sebesar 7,53 kg.
Petani padi local biasanya setelah melakukan penanaman, pemeliharaan tidak rutin
dilakukan khususnya tidak dilakukan penyiangan sehingga mereka memanfaatkan waktu
tersebut untuk bekerja di luar usahataninya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Galib (1996)
kegiatan yang memerlukan curahan tenaga kerja besar yaitu kegiatan tanam dan pemupukan
dasar serta panen dan pasca panen. Pada bulan April,Mei dan Juni tenaga kerja yang dicurahkan
pada usahatani padi tidak ada sehingga petani biasanya melakukan kegiatan diluar usahatani
sendiri atau non usahatani.

552
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENUTUP
KESIMPULAN
1. Variabel luas lahan,bersifat inelastic yang artinya jika luas lahan naik sebesar 1% maka
produksi akan naik 0,152% dalam kondisi ceteris paribus. Variable X2 bersifat inelastic
artinya jumlah pupuk yang digunakan naik sebesar 1% maka produksi akan naik 0,354 %
dalam kondisi ceteris paribus. Variabel Tenaga kerja bersifat inelastic artinya jika tenaga
kerja naik sebesar 1% maka produksi akan naik 0,312% dalam kondisi ceteris paribus.
2. Nilai skala produksi sebesar 0,818 atau bersifat decreasing return to scale. Hal itu berarti
penambahan factor produksi secara bersama-sama akan memberikan penambahan proporsi
produksi yang lebih kecil atau jika factor produksi secara bersama-sama ditambah 1% maka
produksi akan bertambah kurang dari 1% atau hanya sebesar 0,818%.

SARAN
1. Perlu adanya penyuluhan dan bimbingan dan penyuluhan teknis tentang budidaya padi
2. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan lagi tentang ketersediaan dan distribusi atau
penyaluran pupuk subsidi di tingkat petani
3. Lebih diberdayakannya lagi kelompok tani dan pembentukan koperasi di tingkat petani

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima Kasih disampaikan kepada Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al
Banjari yang telah memberikan dana bantuan penelitian dalam Hibah APBU 2018/2019.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Khairil.2005. Analisis Respon Produksi dan Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani
Simulasi Perubahan Kebijakan Harga. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Diambil 16 September 2019. https://repository.ipb.ac.id/
BPS Kabupaten Banjar. 2018. Kabupaten Banjar Dalam Angka. BPS. Diambl 24 September
2018. https://www.bps.go.id/
BPS Provinsi Kalimantan Selatan. 2018. Berita Resmi Statistik. Diambil 3 Januari 2019.
https://kalsel.bps.go.id/
Galib, Rosita. 1996. Tingkat Curahan Tenaga Kerja dalam Usahatani Padi Sawah Tadah Hujan.
Diambil 16 September 2019. http://repository.pertanian.go.id/
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2019. Program Serasi menjadikan Kalsel Lumbung
Padi Nasional. Diambil 16 September 2019. http://www.pertanian.go.id
Khakim,Ludfil, Dewi Hastuti dan Aniya Widiyani. 2013. Pengaruh Luas Lahan, Tenaga Kerja,
Penggunaan Benih, dan Penggunaan Pupuk terhadap Produksi Padi di Jawa Tengah.
Mediagro VoL 9. No. 1. hal 71-79. Diambil 14 Mei 2015. https://www.publikasiilmiah.
unwahas.ac.id.
Muhyidin, Amat. 2010. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi Pada Usaha
Tani Padi di Kecamatan Pekalongan Selatan. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret. Diambil 24 September 2018. https://core.ac.uk/download/pdf/
12351324.pdf.
Muhyina, Muin. 2017. Pengaruh Faktor Produksi Terhadap Hasil Produksi Merica Di Desa Era
Baru Kecamatan Tellulimpoe Kabupaten Sinjai. Jurnal Economix Volume 5 Nomor 1 Juni
2017. Diambil 24 September 2018. http://ojs.unm.ac.id/

553
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Santoso, 2015. Pengaruh Luas Lahan dan Pupuk Bersubsidi Terhadap Produksi Padi Nasional.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) Vol 2(3): 208-212. Diambil 14 Mei 2015.
http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/JIPI/article/view/10732/8299
Sitorus, Sartika Frinces Juliana dan Ramli. 2013. Analisis Efisiensi Faktor Produksi Padi Sawah
dalam rangka Ketahanan Pangan Di Desa Tumpatan Kec.Beringin Kab.Deli Serdang Vol
1 No. 10. Diambil 16 September 2019. https://jurnal.usu.ac.id/
Sujarwo. 2019. Ekonomi Produksi Teori dan Aplikasi. Penerbit UB Press. Malang
Utami, Desy Cahyaning. 2016. Analisa Fungsi Produksi Dan Efisiensi Teknik Pada Usaha Tani
Jagung. Jurnal Agrinis Vol. 1, No. 1, Oktober 2016. Diambil pada 24 September 2018.
http://ejournal.kahuripan.ac.id/index.php/AGRONIS/article/download/12/7/.
Zulfikar, Ardiansyah dan Danu Ismadi Saderi. 1993. Analisis Produksi Padi Varietas Unggul
dan Varietas Lokal Di Lahan Pasang Surut Tidak Langsus Kasus Desa Pematang Panjang
Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar. Diambil 16 September
2019. http://repository.pertanian.go.id/

554
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Penentuan Status Kawasan Agropolitan Melalui Pendekatan Indeks


Pengembangan Kawasan Agropolitan (IPKA)
Determining the Status of Agropolitan Areas Through the Agropolitan
Area Development Index Approach
Indra Tjahaja Amir1, Wahyu Santoso1, dan Eko Nurhadi 1
1UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya

ABSTRAK

Kata Kunci: Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat berfungsi sebagai


Agropolitan pusat pertumbuhan ekonomi bagi pembangunan perdesaan, melalui
IPKA pengembangan usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil,
Kawasan pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya terlebih bagi Kabupaten
Pasuruan Pasuruan yang berada di delta jalur ekonomi Provinsi Jawa Timur. Penelitian
Pengembangan ini bertujuan untuk a) menganalisis penentuan kawasan agropolitan dan
merekomendasi zona baru kawasan agropolitan dan b) menganalisis
indikator pengembangan kawasan agropolitas. Metode IPKA didasarkan
pada Pedum Pengembangan Kawasan Agropolitan/Minapolitan, yang
memuat 7 indikator utama dengan 88 item pernyataan yang harus dipilih oleh
key informant yaitu Camat, Petugas Penyuluh (PPL) dan petani representatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan pengembangan agropolitan
tertinggi adalah Kecamatan Tutur, kemudian diikuti Purwodadi dan Puspo.
Rekomendasi penentuan kawasan agropolitan zona baru meliputi daerah
Kecamatan Rembang, Sukorejo dan Prigen.Indikator IPKA yang tertinggi
adalah kelembagaan petani, kualitas sumberdaya manusia dan
pengembangan sistem dan usaha agribisnis.
ABSTRACT
Keywords Agropolitan area development is expected to function as a center of economic
Agropolitan growth for rural development, through the development of agricultural
IPKA businesses (on and off farm), small industries, tourism, services, and other
Kawasan services especially for Pasuruan Regency which is in the economic delta of
Pasuruan East Java Province . The study aims to a) analyze the determination of
Development 5 agropolitan areas and recommend new zones of agropolitan areas and b)
: analyze the indicators of agropolitan area development. The IPKA method is
based on the Agropolitan/Minapolitan Area Development Guidelines, which
contains 7 main indicators with 88 statement items that must be selected by
key informants namely Camat, Extension Officers and representative
farmers. The results showed that the highest agropolitan development area
was Tutur Subdistrict, followed by Purwodadi and Puspo. The highest IPKA
indicators are farmer institutions, the quality of human resources and the
development of agribusiness systems and businesses. The recommendation
to determine the new zone agropolitan area namely the Sub-districts of
Rembang, Sukorejo and Prigen.

Email Korespondensi: indra_ta@upnjatim.ac.id

555
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Agropolitan merupakan suatu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena
berjalannya sistem dan usaha agrobisnis serta mampu melayani dan mendorong kegiatan
pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya/hinterland (Rustiadi dan Hadi, 2006). Konsep
dasar pengembangan agropolitan adalah sebagai upaya menciptakan pembangunan yang
berimbang, khususnya dengan meningkatkan keterkaitan pembangunan kota-desa (urban
linkage) melalui pengembangan kawasan perdesaan yang terintegrasi di dalam sistem perkotaan
secara fungsional dan spasial (Djakapermana, 2003). Pengembangan ekonomi masyarakat
pedesaan diupayakan melalui optimalisasi sumberdaya lokal dengan pengembangan ekonomi
dan investasi di bidang prasarana dan sumberdaya alam bisnis merupakan pembangunan
pertanian yang dilakukan secara terpadu, tidak hanya usaha budidaya (on farm) tetapi juga
meliputi pembangunan agrobisnis hulu (penyediaan sarana produksi pertanian), hilir (prosesing
dan pemasaran hasil pertanian) dan jasa-jasa pendukung lainnya (Hermanto, Bambang dkk.
2016).
Penentuan kawasan di Kabupaten Pasuruan mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian
No: 50/Permentan/CT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian dan
ketetapan Gubenur Jawa Timur No. 520/10269/201.2/2006 tanggal 30 Agustus 2006 serta
Pedoman Umum Kawasan Agropolitan dan Minapolitan Provinsi Jawa Timur Tahun 2015.
Perkembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Pasuruan hingga tahun 2015 menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan, namun keberhasilan program agropolitan belum berfokus
pada pendekatan kemitraan dan penguatan jaringan,masih lemahnya nilai tambah produksi pada
usaha-usaha kecil yang berorientasi pada pasar/ekspor sesuai dengan kompetensi ekonomi lokal
daerahnya. Masalah kelembagaan yang selama ini seringkali dijumpai di kawasan Agropolitan,
akibat ketidakjelasan dan lemahnya organisasi pengelola kawasan, lemahnya kelembagaan
petani/produsen, dan kelembagaan pemasaran yang umumnya dikuasai oleh tengkulak dan tidak
berpihak kepada petani (Rustiadi et al., 2006). Tujuan penelitian ini adalah a) menganalisis
penentuan kawasan agropolitan dan merekomendasi zona baru kawasan agropolitan dan b)
menganalisis indikator pengembangan kawasan agropolitas.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Kawasan Agropolitan
Kota pertanian (agropolitan) berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra
produksi pertanian) yang mana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap
mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Kota pertanian dapat merupakan kota
menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota pedesaan yang berfungsi sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa
hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas
sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti
usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-
lain. Batasan suatu kawasan agropolitan lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of
scale dan economic of scope (Bappeda Provinsi Jatim, 2011).
Sementara itu menurut Anwar (2005), pengertian agropolitan adalah merupakan tempat-
tempat pusat (central places) yang mempunyai struktur berhierarki, dimana agropolis
mengandung arti adanya kota-kota kecil dan menengah di sekitar wilayah perdesaan (Micro
Urban-village) yang dapat bertumbuh dan berkembang. Lebih lanjut Djakapermana (2003)
menambahkan agropolitan adalah suatu model pengembangan kawasan yang berbasis pada
pertanian dengan mengimplementasikan potensi sumberdaya wilayah yang ada dalam upaya
memenuhi permintaan produksi pertanian.
Beberapa hal yang searah antara pendekatan pembangunan agropolitan dengan
permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam pembangunan perdesaan saat ini adalah : 1)

556
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan; 2)


Menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan; dan 3)
Menekankan pada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan
dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Analisis Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan


Tingkat keberhasilan kegiatan pengembangan kawasan agropolitan dapat diukur melalui
Indikator Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan (IPKA), untuk mengukur keberhasilan,
berupa output (luaran) dan outcome (dampak) yang diharapkan dari pelaksanaan Program
Pengembangan Kawasan Agropolitan. Indikator Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan
tersebut perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Sebagai bahan
acuan untuk mengukur tingkat keberhasilan Pengembangan Kawasan Agropolitan, matriks
indikator indeks pengembangan kawasan agropolitan yang memuat 7 indikator utama dengan 88
item pernyataan yang harus dipilih (Pedum Pengembangan Kawasan Agropolitan/Minapolitan,
2015). Matrik Indikator Keberhasilan Pengembangan Kawasan Agroindustri dapat dilihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Matrik Indikator Keberhasilan Pengembangan Kawasan Agropolitan.


No Unsur Yang Dinilai/Indikator/Sub Unsur Nilai
Maksimal

1 Meningkatkan kualitas SDM Stakeholder kawasan agropolitan yang kreatif, 15


inovatif, berjiwa profesional
2 Meningkatkan kelembagaan petani dan desa/kecamatan kawasan agropolitan 15
3 Mengembangkan komoditas unggulan yang sesuai dengan kondisi kawasan 14,5
agropolitan setempat
4 Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana agropolitan yang strategis 14,5
5 Mengembangkan sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan 14
6 Mendorong terbukanya akses masyarakat agropolitan terhadap (1) 14
permodalan (2) teknologi (3) jaringan pemasaran
7 Meningkatkan pendapatan stakeholder agropolitan khususnya petani 13
Nilai Total Maksimum 100

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Pasuruan yang merupakan kawasan
pengembangan kawasan agropolitan di Provinsi Jawa Timur yang potensial. Kabupaten ini
merupakan daerah pengembangan agropotan yang meliputi Bromo-Nongkojajar-Purwodadi.
Pengembangan agropolitan yang utama yaitu apel, krisan dan paprika, peternakan sapi perah,
durian, dan mangga. Responden yang diambil adalah perangkat tingkat kecamatan yang
ditentukan secara purposive berdasarkan ditetapkan Gubenur Jawa Timur No.
520/10269/201.2/2006 tanggal 30 Agustus 2006 dan Surat Keputusan Bupati Pasuruan nomor
001545/HK1424.22/2006 tanggal 19 Juni 2006 tentang kawasan agropolitan Kabupaten
Pasuruan yaitu, kecamatan Tutur, Purwodadi, Puspo, Kejayan, Wonorejo, Tosari. Selain itu
diambil juga perangkat kecamatan yang potensi kawasan agopolitan diluar ketetapan Gubernur
dan Bupati, yaitu kecamatan Rembang, Sukorejo, Prigen, Pandaan, Purwosari dan Lumbang.
Metode analisis yang digunakan adalah Metode IPKA didasarkan pada Pedum Pengembangan
Kawasan Agropolitan tahun 2015, yang memuat 7 indikator utama dengan 88 item pernyataan
yang harus dipilih oleh key informan yaitu Camat, Petugas Penyuluh (PPL) dan petani
representatif.

557
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Adapun penentuan status dan keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan di


Kabupaten Pasuruan dilakukan berdasarkan kriteria dapat dilhat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Status dan Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Agropolitan.


No. Nilai Ipka Kategori
1. 0 – 25 Buruk
2. 26 – 50 Kurang Baik
3. 51 - 75 Baik
4. 76 - 100 Sangat Baik

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perkembangan Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan
Adapun perkembangan potensi komoditas pertanian/peternakan unggulan di 6 (enam)
wilayah kecamatan yang telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan, selama lima tahun
terakhir (tahun 2010 hingga tahun 2014) sebagaimana disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Luas Lahan Usahatani Pertanian/Peternakan Unggulan di Enam Kawasan


Agropolitan Tahun 2010-2014.
Luas Lahan *)
No. Desa Komoditi
2010 2011 2012 2013 2014
1. Tosari Kentang 2.454 2.473 2.700 3.126 3.642
2. Puspo a. Apel 87.447 85.701 86.051 152.507 144.603
b. Sapi
7.246 9.734 12.736 10.000 10.323
perah
c. Kopi 4.289 4.306 4.322 4.400 4.458
3. Tutur a. Apel 2.148.316 1.729.696 3.133.068 2.784.042 2.572.531
b. Kopi 1.114 1.110 1.115,75 1.133,00 1.125,25
c. Sapi 15.004 20.623 24.627 19.296 19.962
perah
4. Purwodadi Sapi perah 7.238 8.120 9.235 6.740 6.689
5. Kejayan a. Padi 8.483 8,878 8.709 9.384 9.773
b. Kedele 5.086 2.298 2.083 2.157 1.340
6. Wonorejo a. Padi 4.579 4,306 4.456 4.865 5.067
b. Kedele 1.638 1.444 1.229 1.234 911
Keterangan :*) Satuan luasan panen (hektar), populasi tanaman apel (pohon), ternak sapi (ekor)
Sumber : Buku Produksi Dinas Pertanian Tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014.

Tabel 3 dan 4 menunjukkan perkembangan luas lahan dan produksi usahatani yang
meningkat di enam kawasan agropolitan adalah tanaman kentang, apel kopi dan sapi perah.
Perkembangan yang stagnan yaitu tanaman kopi, sedangkan luas lahan tanaman yang mengalami
penurunan adalah tanaman kedele. Dari hasil kajian secara umum menunjukkan bahwa kawasan
agropolitan di enam Kawasan Agropolitan secara umum telah menunjukkan dampak positif
terhadap perkembangan ekonomi masyarakat perdesaan melalui peningkatan produktivitas
tanaman (luasan panen/jumlah populasi komoditas tanaman, produksi) dan produktivitas ternak
(sapi perah), serta perubahan cara produksi, penanganan, dan pemasaran komoditas di kawasan
yang berpengaruh terhadap nilai produksi. Perubahan yang paling dapat dirasakan manfaatnya
dengan adanya agropolitan adalah terbukanya akses pasar hasil pertanian sebagai akibat
perbaikan prasarana transportasi. Walaupun demikian kondisi ini belum optimal, khususnya
untuk komoditas kedele di wilayah kecamatan Kejayan dan Wonorejo; kecenderungan yang
terjadi adalah penurunan produktivitas tanaman (luasan panen dan produksi). Hal tersebut dapat
terjadi sebagai akibat komoditas kedele lokal kurang kompetitif dibanding komoditas tanaman
pangan lainnya (misalnya padi); dimana hasil panen dan harga jual pascapanen komoditas padi

558
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

masih lebih baik dibanding kedele, dan kedele lokal masih kalah kompetitif dibanding kedele
import terutama sebagai bahan baku tahu tempe.

Tabel 4. Perkembangan Produksi Usahatani Pertanian/Peternakan Unggulan di Enam Kawasan


Agropolitan Tahun 2010-2014.
Produksi *)
No. Desa Komoditi
2010 2011 2012 2013 2014
1. Tosari Kentang 39.651 39.235 58.722 64.934 88.384
2. Puspo a. Apel 30.470 18.700 37.918 100.855 72.376
b. Sapi perah 8.915.527 9.458.906 12.141.059 11.849.139 12.065.211
c. Kopi 1.090 1.092 1.176 1.183 1.283
3. Tutur a. Apel 373.583 498.964 1.350.198 1.295.716 1.330.077
b. Kopi 625,50 627,50 648.68 650,18 651,28
c. Sapi perah 18.745.331 23.469.864 22.916.349 23.303.208
20.351.783
4. Purwodadi Sapi perah 8.465.263 9.013.519 8.800.230 8.478.915 8.122.997
5. Kejayan a. Padi 53.226 61,250 59.386 61.712 68.847
b. Kedele 8.292 3.721 3.169 3.617 1.976
6. Wonorejo c. Padi 28.429 26,855 27.533 30.678 35.939
d. Kedele 2.543 1.895 2.006 2.238 1.504
Keterangan: *) Satuan produksi padi/kedele/kentang/kopi (ton), apel (kuintal), sapi perah (liter susu)
Sumber : Buku Produksi Dinas Pertanian Tahun 2010, 2011, 2012, 2013, 2014.

Analisis Penentuan Keberlanjutan Kawasan Agropolitan dan Rekomendasi


Kawasan Baru Agropolitan
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Indeks Pengembangan Kawasan
Agropolitan (IPKA) dan dilanjutkan dengan konfirmasi dan verifikasi serta triangulasi (metode
pengumpulan data secara simultan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi) keseluruh
pihak yang berkepentingan, maka dapat diketahui nilai IPKA dari masing-masing Kecamatan
yang ada di Kabupaten Pasuruan yaitu seperti tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan Per Kecamatan di Kabupaten


Pasuruan.
No. Kecamatan Nilai IPKA
1 Tutur 76.99
2 Purwodadi 70.43
3 Puspo 69.38
4 Kejayan 68.17
5 Wonorejo 66.39
6 Tosari 64.44
69.30

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Indeks Pengembangan Kawasan


Agropolitan (IPKA), maka dapat diketahui bahwa dari 24 Kecamatan yang ada di Kabupaten
Pasuruan hanya 9 (sembilan) Kecamatan yang memiliki nilai IPKA di atas 51 yaitu Kecamatan
Tutur, Purwodadi, Puspo, Kejayan, Wonorejo, Tosari, Rembang, Sukorejo, dan Prigen.
Kecamatan Tutur merupakan Kecamatan yang memperoleh nilai IPKA tertinggi sekaligus
masuk dalam kategori sangat baik dalam status dan keberlanjutan pengembangan kawasan
agropolitan di Kabupaten Pasuruan. Selain 6 (enam) Kecamatan yang telah ditetapkan Gubenur
Jawa Timur No. 520/10269/201.2/2006 tanggal 30 Agustus 2006 dan Surat Keputusan Bupati
Pasuruan nomor 001545/HK1424.22/2006 tanggal 19 juni 2006 tentang kawasan agropolitan
Kabupaten Pasuruan yaitu Kecamatan Tutur, Kejayan, Puspo, Tosari, Wonorejo, dan Purwodadi,

559
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

juga ada 3 (tiga) kecamatan yang merupakan zona baru untuk pengembangan kawasan
agropolitan di Kabupaten Pasuruan yaitu Kecamatan Rembang, Sukorejo, dan Prigen.

Tabel 6. Rekapitulasi Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan Per Kecamatan di Kabupaten


Pasuruan
No. Kecamatan Nilai IPKA
1 Rembang 64.43
2 Sukorejo 59.31
3 Prigen 58.85
4 Pandaan 50.69
5 Purwosari 49.58
6 Lumbang 43.74
54.43

Berdasarkan hasil analisis di atas, maka kesembilan kecamatan ini merupakan kecamatan
yang layak dan dapat dikembangkan sebagai bagian dari pengembangan kawasan agropolitan
Kabupaten Pasuruan. Sesuai dengan hasil analisis IPKA ini, maka selanjutnya dilakukan analisis
penentuan komoditas unggulan masing-masing dari 9 (sembilan) kecamatan tersebut.

Analisis Indikator Pengembangan Kawasan Agropolitan


Analisis Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan (IPKA) Kabupaten Pasuruan
dilakukan dengan menghitung Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan (IPKA) masing-
masing Kecamatan di Kabupaten Pasuruan. Unsur/indikator yang dinilai dalam menghitung
IPKA meliputi: [1] Kualitas SDM Stakeholder; [2] Kelembagaan Petani; [3] Pengembangan
Komoditas Unggulan; [4] Dukungan Sarana & Prasarana; [5] Pengembangan Sistem & Usaha
Agribisnis; [6] Terbukanya Akses Masyarakat; dan, [7] Peningkatan Pendapatan Stakeholder
khususnya Petani.

Tabel 7. Indikatator IPKA Kawasan Agropolitan


Non
No. Indikator IPKA Kawasan Nilai Total
Kawasan
1. Kualitas SDM Stakeholder 10.73 7.98 9.36
2. Kelembagaan Petani 12.14 10.05 11.10
3. Pengembangan Komoditas Unggulan 5.49 4.45 4.97
4. Dukungan Sarana & Prasarana 10.29 9.08 9.68
5. Pengembangan Sistem & Usaha Agribisnis 10.72 8.21 9.47
6. Terbukanya Akses Masyarakat 10.00 7.32 8.66
7. Peningkatan Pendapatan Stakeholder
9.93 7.35 8.64
Khususnya Petani.
Total 69.3 54.44 61.88

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Indeks Pengembangan Kawasan


Agropolitan (IPKA) dan dilanjutkan dengan konfirmasi dan verifikasi serta triangulasi (metode
pengumpulan data secara simultan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi) keseluruh
pihak yang berkepentingan, maka dapat diketahui nilai IPKA dari masing-masing indikator
IPKA yang ada di Kabupaten Pasuruan yaitu seperti tersaji pada Tabel 7.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Indeks Pengembangan Kawasan
Agropolitan (IPKA) di Kawasan Agropolitan, maka dapat diketahui bahwa hampir semua
indikator IPKA memiliki nilai IPKA di atas 8.00, kecuali indikator pengembangan komoditas
unggulan. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan agropolitan sudah berkembang dengan baik,
terutama kualitas sumberdaya manusia Stakeholder, kelembagaan petani, dukungan sarana dan

560
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

prasarana; pengembangan sistem dan usaha agribisnis, terbukanya akses masyarakat; dan,
peningkatan pendapatan Stakeholder khususnya Petani. Indikator pengembangan komoditas
unggulan memiliki nilai IPKA dibawah 7.28. Hal ini disebabkan kurangnya penyuluhan kepada
petani, terutama terkait teknologi tepat guna, kurangnya infrastruktur dan permodalan.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Indeks Pengembangan Kawasan
Agropolitan (IPKA) di Non Kawasan Agropolitan, maka dapat diketahui indikator IPKA
memiliki nilai IPKA di atas 8.00, adalah kelembagaan petani, dukungan sarana dan prasarana
dan pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Namun indikator yang masih kurang dukungan
adalah kualitas sumberdaya manusia Stakeholder, terbukanya akses masyarakat; dan,
peningkatan pendapatan Stakeholder khususnya Petani dan pengembangan komoditas unggulan.
Hal ini menunjukkan non kawasan agropolitan masih banyak yang harus dibenahi, terutama
kualitas sumberdaya manusia Stakeholder, terbukanya akses masyarakat; dan, peningkatan
pendapatan Stakeholder khususnya Petani dan pengembangan komoditas unggulan.

PENUTUP
Hasil penelitian dengan menggunakan Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan
(IPKA), diketahui sembilan kecamatan yang memiliki nilai IPKA di atas 51 yaitu Kecamatan
Tutur, Purwodadi, Puspo, Kejayan, Wonorejo, Tosari, Rembang, Sukorejo, dan Prigen.
Kecamatan Tutur merupakan Kecamatan yang memperoleh nilai IPKA tertinggi sekaligus
masuk dalam kategori sangat baik dalam status dan keberlanjutan pengembangan kawasan
agropolitan di Kabupaten Pasuruan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kawasan agropolitan di
enam wilayah kecamatan menunjukkan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi
masyarakat perdesaan melalui peningkatan produktivitas tanaman (luasan panen/jumlah
populasi komoditas tanaman, produksi) dan produktivitas ternak (sapi perah), serta perubahan
cara produksi, penanganan, dan pemasaran komoditas di kawasan yang berpengaruh terhadap
nilai produksi.
Berdasarkan hasil analisis Indeks Pengembangan Kawasan Agropolitan (IPKA) terdapat
ada 3 (tiga) kecamatan yang direkomendasikan menjadi zona baru untuk pengembangan
kawasan agropolitan di Kabupaten Pasuruan yaitu Kecamatan Rembang, Sukorejo, dan Prigen.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Pasuruan atas kerjasama
dengan Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.

DAFTAR PUSTAKA
Akkoyunlu, Sule. 2015. The Potential of Rural Urban Linkages for Sustainable Development
and Trade. International Journal of Sustainable Development and World Policy 4 (2) : 20-
40.
Anwar A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Tinjauan Kritis. P4W
Press. Bogor Indonesia.
BPS, 2013. Kabupaten Pasuruan dalam Angka. 2013. Biro Pusat Statistika Kabupaten Pasuruan.
Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jakarta;
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Deptan.
Djakapermana, 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan
Wilayah Berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Direktur Jenderal
Penataan Ruang Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia.

561
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Dokumen Pelaksanaaan Anggaran (DPA) Satuan Perangkat Daerah Tahun Anggaran 2016
Bappeda Kabupaten Pasuruan dengan Nomor DPA SKPD : 1.06.01 tanggal 31 Desember
2015.
Hermanto, Bambang dkk. 2016. Agropolitan Implementation in the Context of Sustainable
Agriculture Farmers and the Impact on Welfare. American Research Thoughts 2 (10) :
4159-4173.
Pedoman Umum Kawasan Agropolitan dan Minapolitan Provinsi Jawa Timur Tahun 2015.
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan No,.16 tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013 - 2018;
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan No. 12 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Pasuruan 2009 - 2029;
Peraturan Menteri Pertanian No: 50/Permentan/CT.140/8/2012 tentang Pedoman
Pengembangan Kawasan Pertanian dan ketetapan Gubenur Jawa Timur No.
520/10269/201.2/2006 tanggal 30 Agustus 2006
Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Permendagri No 29 tahun 2008. Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
Rustiadi, E., S. Hadi dan W. M. Ahmad. 2006. Kawasan Agropolitan Konsep Pembangunan
Desa-Kota Berimbang. Cetakan Pertama. Crestpent Press. Bogor.
Rustiadi. E dan S. Hadi, 2004. Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan
Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. P4W –IPB dan P3PT. Bogor.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Kawasan Agropolitan;
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.

562
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Permintaan dan Penawaran Telur Ayam Ras di Provinsi Aceh


Supply and Demand Analysis of Chicken Egg in Aceh Province
Irfan Zikri, Safrida, Indra, Sofyan, dan Rizqa Siti Hajar
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

ABSTRAK

Kata Kunci: Aceh saat ini mengalami tantangan yang sangat besar dalam hal defisit neraca
Penawaran keseimbangan produksi dan konsumsi telur. Makalah ini bertujuan untuk
Permintaan menginvestigasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan
Telur ayam penawaran telur ayam ras di Provinsi Aceh. Studi ini menggunakan
2SLS pendekatan analisis deskriptif dan model persamaan simultan 2SLS dengan
Aceh menggunakan data sekunder dalam bentuk time series dari tahun 2013-2017.
Temuan utama menunjukkan bahwa permintaan pada tingkat lokal dan harga
telur ayam ras mengalami pertumbuhan yang positif. Kondisi ini dipengaruhi
oleh peningkatan indikator sosioekonomi seperti pendapatan perkapita, dan
pertumbuhan industri pangan. Disisi lain, harga lokal telur ditentukan oleh
kemampuan kinerja produksinya. Secara statistik, permintaan telur memiliki
korelasi positif dengan harga lokal, harga di Sumatera Utara, pendapatan
perkapita, jumlah industri makanan dan restauran di Aceh. Variasi
permintaan dapat dijelaskan oleh variabel tersebut pada tingkat 94.4%.
Koefisien harga telur bernilai negatif yang menunjukkan bahwa peningkatan
harga –baik harga lokal maupun harga di Sumatera Utara, akan berdampak
pada menurunnya tingkat permintaan. Sementara itu, pendapatan perkapita
dan jumlah industri makanan memiliki hubungan yang signifikan terhadap
permintaan. Penawaran memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan
harga lokal, dengan tingkat variasi pada 78.8%. Lebih lanjut, permintaan,
penawaran dan harga Sumatera Utara berkontribusi signifikan terhadap harga
lokal. Ketidakmampuan meningkatkan produksi akan terus berimplikasi
terhadap defisit permintaan konsumsi serta harga lokal. Oleh karena itu,
diperlukan upaya strategis dan teknis termasuk insentif untuk merangsang
pertumbuhan produksi telur di Aceh.
ABSTRACT

Keywords: The balance deficit in egg production and consumption in Aceh is the biggest
Supply challenge today. This paper aims to investigate contributing factors to supply
Demand and demand chicken egg in Aceh Province. The study employs a descriptive
Egg analysis and simultaneous equation model with Two-Stage Least Square
2SLS method by using secondary data in the form of time series from 2013-2017.
Aceh The main finding shows that the local demand and prices of egg in Aceh
experience positive growth. The demand is in line with the improvement of
socio-economic indicators by income per capita, and the growth of food
industries. On the other hand, the local price of eggs determines by the local
capacity of production. Statistically shows that the demand for chicken egg
in Aceh has a positive correlation with the local price, the price in Sumatera
Utara, income per capita, number of the food industry and number restaurant
in Aceh. The variation in demand will explain by those variables in Aceh at
94.4%. The coefficients of eggs prices are negative means that increasing
prices will decrease in demand, but both local and Sumatera’s are not
significant. Meanwhile, the income per capita and the number of the food

563
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

industry are significant to the demand. The supply has a positive correlation
and significant with the local price, and the variation is 78.8%. The study
also finds that demand, supply, and the Sumatera’s price significantly
contributes to the local price. The inability to increase production will endure
implications for the deficit in consumption demand as well as local prices.
Therefore, it is necessary to encourage strategic and technical efforts as well
as incentives to stimulate the growth of egg production at the local level.

Email Korespondensi: irfanzikri@unsyiah.ac.id

PENDAHULUAN
Permintaan produk peternakan, khususnya telur ayam ras, terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk, industri makanan, peningkatan
pendapatan, serta kesadaran gizi masyarakat (Samuelson dan Nordhaus, 2003). Peningkatan
permintaan telur ayam ini, seharusnya diimbangi dengan peningkatan produksi sehingga
ketersediaan telur dapat mencukupi permintaan. Produksi telur di Provinsi Aceh terus mengalami
peningkatan, namun masih belum mampu memenuhi permintaan masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan produksi telur di Provinsi Aceh masih lebih rendah dibandingkan
peningkatan permintaan telur di tingkat masyarakat, sehingga untuk memenuhi permintaan
tersebut, Provinsi Aceh mendatangkan telur ayam ras dari Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan data Ditjennak (2017), permintaan telur ayam ras di Provinsi Aceh tahun 2017
sebesar 28.957.220 Kg atau meningkat sebesar 5,03% dari tahun sebelumnya. Sementara itu
produksi telur di Aceh hanya meningkat sebesar 0,36% atau meningkat sebanyak 14.128 Kg,
sehingga produksi hanya mampu memenuhi 14% persen dari total permintaan telur di
masyarakat. Oleh karena itu, Aceh belum mampu memenuhi permintaan telur ayam ras
didaerahnya, sehingga hampir 90% kebutuhan telur di Aceh didatangkan dari Provinsi Sumatera
Utara. Kondisi ini terus berlangsung hingga saat ini, dimana ketergantungan Provinsi Aceh
terhadap pasokan telur ayam ras dari Sumatera Utara semakin tinggi. Dengan demikian perlu
dilakukan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi pasar telur ayam ras di Provinsi Aceh,
yang ditinjau dari persamaan permintaan, penawaran dan harga telur ayam ras di Provinsi Aceh.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Teori Permintaan
Hukum permintaan yaitu apabila harga suatu barang makin rendah maka permintaan
terhadap barang tersebut akan meningkat. Sebaliknya, apabila harga suatu barang semakin tinggi
maka permintaan terhadap barang tersebut juga akan semakin sedikit. Dapat diketahui, apabila
harga suatu barang naik, maka pembeli akan mencari barang lain yang fungsinya dapat
menggantikan barang sebelumnya, dan sebaliknya apabila harga barang tersebut semakin
menurun, konsumen akan menambah konsumsinya terhadap barang tersebut. Selain itu
konsumen terpaksa mengurangi pembelian, terutama barang yang harganya akan naik
disebabkan kenaikan harga akan mengurangi pendapatan riil konsumen.

564
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Gambar 1. Kurva Permintaan.

Selain itu, beberapa faktor yang dapat menyebabkan perubahan permintaan suatu barang
antara lain pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, selera, harapan konsumen, dan harga
barang pengganti (substitusi). Dalam ilmu ekonomi pergeseran kurva permintaan adalah setiap
perubahan yang dapat meningkatkan permintaan pada setiap tingkat harga yang akan
menyebabkan pergeseran kurva permintaan ke arah kanan. Begitu pula sebaliknya, setiap
perubahan yang dapat menurunkan jumlah permintaan pada setiap tingkat harga maka akan
menggeser kurva permintaan ke arah kiri.
Secara umum sifat permintaan dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh harga suatu
barang. Dalam teori permintaan yang paling penting untuk diketahui adalah hubungan antara
permintaan suatu barang terhadap harga barang itu sendiri. Hukum permintaan yaitu keterkaitan
pembelian barang dengan harga. Yang semestinya adalah suatu hipotesis yang menyatakan
bahwa semakin rendah harga barang maka akan semakin banyak pula permintaan akan barang
tersebut begitu pula sebaliknya. (Sukirno, 2008). Pendapatan pembeli adalah faktor yang sangat
penting dalam perkembangan permintaan suatu barang. Perubahan pendapatan selalu akan
mempengaruhi perubahan berbagai jenis barang (Samuelson, 2006).

Teori Penawaran
Penawaran menyangkut hubungan antara pelaku bisnis dalam menjual berbagai produk –
produknya, dimana menunjukkan jumlah barang yang akan dijual pada berbagai tingkat harga.
Berdasarkan teori, penawaran adalah hubungan antara jumlah barang yang ditawarkan terhadap
harga. Sedangkan faktor lain dianggap tetap (cateris paribus), faktor lain yang dianggap tetap
adalah biaya produksi, harga barang terkait dan kebijakan pemerintah (Samuelson dan Nordhaus,
2003). Menurut McConnell (1990), menyebutkan bahwa hukum penawaran bersifar positif yaitu
ketika harga meningkat maka penawaran suatu barang juga akan meningkat, begitu pula
sebaliknya, dapat dijelaskan pada Gambar 2 dibawah ini :

Gambar 2. Kurva Penawaran.

565
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Untuk memeriksa kekuatan apa saja yang menentukan kurva penawaran, hal utama yang
harus dipahami adalah produsen menawarkan komoditinya untuk mencari keuntungan dan bukan
sekedar kesenangan atau perbuatan amal. Penawaran suatu barang ditentukan oleh berbagai
faktor diantaranya adalah harga barang itu sendiri, biaya produksi, harga input, kemajuan
teknologi, dan harga-harga barang terkait (Samuelson dan Nordhaus, 2003).

Teori Harga
Menurut Sukirno (2010) harga barang dan jumlah barang yang diperdagangkan ditentukan
oleh kekuatan permintaan dan penawaran barang di suatu pasar. Oleh karena itu, untuk
mengetahui pembentukan harga dan jumlah barang yang diperjualbelikan maka perlu dilakukan
analisis permintaan dan penawaran atas suatu barang tertentu. Keadaan suatu pasar dikatakan
memiliki keseimbangan apabila jumlah yang ditawarkan penjual pada suatu tingkat harga adalah
sama dengan jumlah yang diminta para pembeli pada tingkat harga tersebut. Harga suatu barang
dan jumlah barang yang diperjualbelikan ditentukan dengan melihat keadaan ekuilibrium dalam
suatu pasar.

METODE PENELITIAN
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data
runtun waktu (time series) dari tahun 2003 – 2017 dan diperoleh dari beberapa sumber, yaitu
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Dinas
Peternakan Aceh, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh dan Dinas Pariwisata Aceh.
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan persamaan simultan dengan
metode 2 SLS (Two Stage Least Square), yang terdiri dari 3 persamaan, yaitu: persamaan
permintaan telur ayam ras di Aceh, penawaran telur ayam ras di Aceh, dan harga telur ayam ras
di Aceh. Dalam persamaan simultan, jumlah persamaan harus sama dengan jumlah variabel
endogennya. Sementara variable eksogen terdiri dari harga telur ayam ras Sumatera Utara,
pendapatan perkapita, jumlah industri makanan, dan jumlah restoran, lag permintaan telur ayam
ras aceh, lag penawaran telur ayam ras Aceh, dan lag harga telur ayam ras. Metode ini dilakukan
dengan tahapan mengidentifikasi model dan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji F, uji
t dan uji R2.
Berikut model persamaan simultan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Dta = β0 + β1 Pta + β2 Ptm + β3 Pnda + β4 JIa + β5 JRa + β6 Dta-1 + et1 (1)


Sta = γ0 + γ1 Pta + γ2 Sta-1 + et2 (2)
Pta = ∂0 + ∂1 Dta + ∂2 Sta + ∂3 Ptm + ∂4 Pta-1 + et3 (3)

Keterangan :
Dta : Jumlah permintaan telur ayam ras di Aceh (Kg/thn)
Pta : Harga telur ayam ras di Aceh (Rp/Kg/thn)
Ptm : Harga telur ayam ras Sumut (Rp/Kg/thn)
Pnda : Pendapatan per kapita Aceh (Ribu rupiah/thn)
JIa : Jumlah industri makanan di Aceh (Unit/thn)
JRa : Jumlah restoran di Aceh (Unit/thn)
Dta-1 : Lag jumlah permintaan telur ayam ras di Aceh (Kg/thn)
et1,2,3 : Variabel gangguan atau residual
Sta : Jumlah penawaran telur ayam ras di Aceh (Kg/thn)
Sta-1 : Lag penawaran telur ayam ras di Aceh (Kg/thn)
Pta-1 : Lag harga telur ayam ras di Aceh (Rp/Kg/thn)

Nilai yang diharapkan dari persamaan:


- permintaan adalah β1, β2 < 0 ; β3, β4, β5 > 0 ; 0 < β6 < 1,

566
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

- penawaran adalah γ1 > 0 ; 0 < γ2 < 1, dan


- harga adalah ∂1, ∂3 > 0, ∂2 < 0 dan 0 < ∂4 < 1

Model persamaan simultan dapat diidentifikasi dengan menggunakan order condition


sebagai syarat kecukupan (Koutsoyiannis, 1997; Wooldridge, 2002) sebagai berikut:
(K-M) = (G-1) : exactly identified
(K-M) > (G-1) : over identified
(K-M) < (G-1) : under identified

Keterangan :
K : Total variabel dalam model
M : Total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang teridentifikasi
G : Total persamaan dalam model

Berdasarkan rumus diatas maka dapat diidentifikasi bahwa jumlah keseluruhan variabel
yang digunakan pada persamaan diatas berjumlah 10 dan jumlah persamaannya adalah 3. Berikut
Tabel 1 akan menunjukkan hasil perhitungannya.

Tabel 1. Hasil Perhitungan Order Condition.


Persamaan K M G (K-M)>(G-1) Keterangan
Dta 10 7 3 10-7 > 3-1 Over identified
Sta 10 3 3 10-3 > 3-1 Over identified
Pta 10 5 3 10-5 > 3-1 Over identified

Suatu persamaan yang teriidentifikasi over identified, dapat dianalisis dengan beberapa
metode seperti 2 SLS (Two Stage Least Square). Pengujian hipotesis dilakukan untuk
mengetahui pengaruh antara variabel yang mempengaruhi (eksogen) dengan variabel yang
dipengaruhi (endogen). Untuk mengetahui pengaruh tersebut dapat diketahui dengan
menggunakan pengujian menurut Ghozali (2012) sebagai berikut :

Fhitung Error! (4)


Dimana :
2
R : Koefisien Determinan
K : Variabel Peubah Bebas
n : Jumlah Sampel

Dengan kriteria :
1. Apabila Fhitung > Ftabel, maka Ha diterima dan H0 ditolak, yaitu variabel bebas mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat.
2. Apabila Fhitung < Ftabel, maka Ha ditolak dan H0 diterima, yaitu variabel bebas tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat.

thitung = Error! (5)


Dimana :
bi : Koefisien Regresi
Sbi : Standard error dari koefisien regresi

Dengan kriteria :
1. Apabila thitung > ttabel, maka Ha diterima dan H0 ditolak, yang berarti variabel bebas
berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.

567
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2. Apabila thitung < ttabel, maka Ha ditolak dan H0 diterima, yang berarti variabel bebas tidak
berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.

R2 = Error! (6)
Dimana :
R2 : Koefisien Determinasi
JKreg : Jumlah Kuadrat untuk Regresi
Yi2 : Jumlah Kuadrat Lokal

Dengan kriteria :
2
1. Apabila nilai R semakin mendekati angka nol, berarti menyatakan bahwa kemampuan variasi
variabel penjelas menjelaskan antara variabel endogen dalam kondisi tidak kuat.
2
2. Apabila nilai R semakin mendekati angka nol, berarti menyatakan bahwa kemampuan variasi
variabel penjelas menjelaskan antara variabel endogen dalam kondisi sangat kuat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Telur Ayam Ras di Provinsi Aceh
Pada penelitian ini, permintaan telur ayam ras di Aceh (Dta) dipengaruhi oleh harga telur
ayam ras di Aceh (Pta), harga telur ayam ras di Sumatera Utara (Ptm), pendapatan per kapita
Aceh (Pnda), jumlah industri makanan di Aceh (JIa), dan jumlah restoran di Aceh (JRa). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai R-sq = 0,9440 yang artinya variasi variabel penjelas
(explanatory variable) mampu menjelaskan variabel permintaan telur ayam ras di Aceh (Dta)
sebesar 94,40%. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model persamaan.
Hasil uji secara serempak memperlihatkan bahwa seluruh variabel penjelas berpengaruh
nyata terhadap variabel permintaan telur ayam ras di Aceh pada tingkat keyakinan 90% (α = 0,1).
Hasil analisis permintaan telur ayam ras di Aceh dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hasil Analisis Permintaan Telur Ayam Ras di Aceh.


Equation Obs Parms RMSE "R-sq" F-Stat P
Dta 14 6 1176543 0.9440 19.79 0.0000
Coef. Std. Err. t P>|t| [90% Conf. Interval]
Dta
Pta -13,88 615,08 -0,02 0,98 -1042,62 1014,87
Ptm -178,66 313,19 -0,57 0,57 -702,48 345,17
Pnda 0,89 0,19 4,68 0,00 0,57 1,21
JIa -3719,07 1175,59 -3,16 0,00 -5685,27 -1752,87
JRa 4686,48 5815,20 0,81 0,42 -5039,59 14412,54
Dta_L1 -0,21 0,29 -0,73 0,47 -0,69 0,27
_cons 2,15e+07 5059131 4,25 0,00 1,31e+07 3,00 e+07

Berdasar hasil analisis tersebut, maka model persamaan perrmintaan telur ayam ras di
Provinsi Aceh sebagai berikut :
Dta = 2,15e+07 – 13,88 Pta – 178,66 Ptm + 0,89 Pnda – 3719,07 JIa + 4686,47 JRa - 0,21
Dta-1 + e (eq 1)

Nilai koefisien harga telur ayam ras di Aceh (Pta) sebesar -13,88, yang menunjukkan bahwa
peningkatan harga telur ayam ras di Aceh sebesar Rp 1/Kg akan menurunkan permintaan telur
ayam ras di Aceh sebesar 13,88 Kg/thn. Kondisi ini sesuai dengan hukum permintaan suatu
barang, dimana jika harga meningkat, maka akan menurunkan jumlah permintaan terhadap
barang tersebut. Koefisien variabel harga telur ayam ras di Sumatera Utara (Ptm) adalah sebesar

568
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

-178,66, yang menunjukkan bahwa meningkatnya harga telur ayam ras di Sumatera Utara
sebesar Rp 1 maka akan menurunkan permintaan telur ayam ras di Aceh sebesar 178,66 Kg/thn.
Ditinjau dari respon peningkatan harga terhadap permintaan, memperlihatkan bahwa respon
peningkatan harga telur ayam ras Sumatera lebih tinggi dibandingkan peningkatan telur ayam
ras di Aceh. Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah telur ayam ras Sumatera Utara lebih banyak
beredar di Aceh dibandingkan jumlah telur ayam ras Aceh. Hal ini ditunjukkan oleh
ketergantungan Aceh terhadap telur ayam ras dari Sumatera Utara masih sangat tinggi.
Dari hasil analisis statistik uji t berdasarkan nilai probabiliti pada taraf α = 10%
menunjukkan bahwa harga telur ayam ras Aceh dan harga telur ayam ras Sumatera Utara tidak
berpengaruh nyata terhadap permintaan telur ayam ras di Aceh.
Koefisien pendapatan per kapita Aceh (Pnda) adalah sebesar 0,89, artinya peningkatan
pendapatan perkapita Provinsi Aceh sebesar Rp 1 maka akan meningkatkan permintaan telur
ayam ras di Aceh sebesar 0,89 Kg/thn. Kondisi ini menunjukkan bahwa telur merupakan protein
hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Aceh. Hasil analisis statistik uji t
memperlihatkan pendapatan perkapita Provinsi Aceh berpengaruh nyata terhadap permintaan
telur ayam ras di Provinsi Aceh.
Koefisien jumlah industri makanan di Provinsi Aceh (JIa) adalah sebesar -3.719,07
kondisi ini menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah industri makanan di Aceh sebesar 1 unit
akan menurunkan permintaan sebesar 3.719,07 Kg/thn. Kondisi ini tidak sesuai dengan
hipotesis. Namun analisis statistik uji t menunjukkan jumlah industri makanan di Aceh
berpengaruh nyata terhadap permintaan telur ayam ras di Aceh.
Di sisi lain jumlah restoran di Provinsi Aceh (JRa) adalah sebesar 4.686,48 kondisi ini
menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah restoran di Provinsi Aceh 1 unit maka akan
meningkatkan permintaan telur ayam ras di Aceh sebesar 4.686,48 Kg/thn. Hasil ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Kismantoro (2006) dimana semakin tinggi tingkat
konsumsi masyarakat terhadap jasa restoran berimplikasi kepada meningkatnya pertumbuhan
restoran baru disuatu daerah serta peningkatan permintaan restoran terhadap telur sebagai salah
satu bahan baku pengolahan makanan yang digunakan. Namun hasil analisis statistik uji t
menunjukkan bahwa jumlah restoran di Aceh tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan telur
ayam ras di Aceh.

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Telur Ayam Ras di Provinsi Aceh
Penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta) pada penelitian ini dipengaruhi oleh harga telur ayam
ras di Aceh (Pta) dan Lag penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta-L1). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai R-sq = 0,7883 yang artinya penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta) dapat dijelaskan
oleh faktor – faktor tersebut sebesar 78,83%. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar
model persamaan. Hasil pengujian secara serempak seluruh variabel penjelas berpengaruh nyata
terhadap variabel penawaran telur ayam ras di Aceh pada tingkat keyakinan 90% (0,1), yang berarti
harga telur ayam ras di Aceh (Pta) dan dan Lag penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta-L1),
berpengaruh nyata terhadap penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta).
Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien harga telur ayam ras di Aceh (Pta) sebesar
153,54 kg kondisi ini menunjukkan bahwa meningkatnya harga telur ayam ras di Aceh sebesar
Rp 1 akan meningkatkan penawaran telur ayam ras di Aceh sebesar 153,54 kg. Kondisi ini sesuai
dengan hipotesis yaitu apabila harga telur ayam ras di Aceh meningkat maka akan meningkatkan
penawaran telur ayam ras di Aceh. Dari hasil analisis statistik uji t berdasarkan nilai probabiliti
pada taraf α = 10% ho ditolak dan ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa harga telur ayam ras
di Aceh berpengaruh nyata terhadap penawaran telur ayam ras di Aceh.

569
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Hasil Olahan Data Persamaan Penawaran Telur Ayam Ras di Aceh
Equation Obs Parms RMSE "R-sq" F-Stat P
Sta 14 2 599865.6 0.7883 20.76 0.0000

Coef. Std. Err. T P>|t| [90% Conf. Interval]


Sta
Pta 153,54 70,47 2,18 0,03 35,68 271,41
Sta_L1 0,41 0,26 1,53 0,13 -0,04 0,85
_cons -827528,6 671463,3 -1,23 0,22 -1950566 295508,7

Dari tabel diatas dapat diambil kesimpulan persamaan simultan regresi 2 SLS sebagai
berikut :

Sta = - 827528,6 + 153,54 Pta + 0,41 Sta-1 + e (eq 2)

Hal ini sesuai seperti pada penelitian yang telah dilakukan Sitompul (2014) dimana jika
harga telur ayam ras naik maka akan memotivasi produsen peternak telur ayam ras untuk
menaikkan jumlah penawaran yang bertujuan untuk meningkat keuntungan peternak. Seperti
teori yang dikemukakan oleh Djojodipuro (1991) keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
memproduksi suatu barang akan naik apabila diikuti peningkatan harga, begitu pula sebaliknya,
sedangkan input yang dipakai tetap.

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Harga Telur Ayam Ras di Provinsi Aceh
Harga telur ayam ras di Aceh (Pta) pada penelitian ini dipengaruhi oleh permintaan telur
ayam ras di Aceh (Dta), penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta) dan harga telur ayam ras di
Sumatera Utara (Ptm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai R-sq = 0,9268 yang artinya
harga telur ayam ras di Aceh (Pta) dapat dijelaskan oleh faktor – faktor tersebut sebesar 92,68%.
Sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model persamaan.
Hasil uji secara serempak seluruh variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel
harga telur ayam ras di Aceh pada tingkat keyakinan 90% (0,1), maka Ho ditolak dan Ha
diterima, yang berarti permintaan telur ayam ras di Aceh (Dta), penawaran telur ayam ras di
Aceh (Sta) dan harga telur ayam ras di Sumatera Utara (Ptm), berpengaruh nyata terhadap harga
telur ayam ras di Aceh (Pta).
Dari hasil ini nilai konstansta adalah sebesar –2337,61 yang artinya adalah apabila
permintaan telur ayam ras di Aceh (Dta), penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta) dan harga telur
ayam ras di Sumatera Utara (Ptm) pada tahun tertentu dianggap konstan maka akan menurunkan
harga telur ayam ras di Aceh (Pta) sebesar Rp 2.337,61 Kg per tahun.

Tabel 4. Hasil Olahan Data Persamaan Harga Telur Ayam Ras di Aceh.
Equation Obs Parms RMSE "R-sq" F-Stat P
Pta 14 4 1401.357 0.9268 28.15 0.0000

Coef. Std. Err. t P>|t| [90% Conf. Interval]


Pta
Dta 0,0002 0,0002 1,30 0,20 -0,0000 0,0005
Sta 0,0001 0,0008 0,19 0,85 -0,0011 0,0014
Ptm 0,5913 0,3461 1,71 0,09 0,0125 1,1702
Pta_L1 0,1893 0,31 43 0,60 0,55 -0,3367 0,7150
_cons -2337,61 3524,82 -0.66 0,51 -8232,94 3557,73

570
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Hasil analisis menunjukkan juga bahwa koefisien permintaan telur ayam ras di Aceh (Dta)
sebesar 0,0002, yang berarti peningkatan permintaan telur ayam ras di Aceh sebesar 1 Kg akan
meningkatkan harga telur ayam ras di Aceh sebesar Rp. 0,0002 /Kg. Kondisi ini sesuai dengan
hipotesis yaitu apabila permintaan telur ayam ras di Aceh meningkat maka akan meningkatkan
harga telur ayam ras di Aceh. Dari hasil analisis statistik uji t berdasarkan nilai probabiliti pada
taraf α = 10% ho diterima dan ha ditolak, yang berarti permintaan telur ayam ras Aceh tidak
berpengaruh nyata terhadap harga telur ayam ras di Aceh.

Berdasarkan tabel diatas dapat dibentuk persamaan sebagai berikut :

Pta = - 2337,61 + 0.0002 Dta + 0,0001 Sta + 0,5913 Ptm + 0,1893 Pta-1 + e (eq 3)

Dari hasil diatas hal ini berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan Morijal (2013)
apabila permintaan telur ayam ras meningkat maka pedagang juga akan meningkatkan harga telur
ayam ras tersebut yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Hanafiah dan Saifuddin (1986) jika harga rendah maka banyak
konsumen yang akan membeli produk tersebut, pembeli juga akan membeli dengan jumlah yang
relatif banyak dibandingkan biasanya. Namun terjadi kebalikan pada pedagang yang ingin
memaksimalkan keuntungannya, ia akan menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan
harga.
Koefisien penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta) adalah sebesar 0,0001 kondisi ini
menunjukkan bahwa meningkatnya penawaran telur ayam ras di Aceh sebesar 1 Kg maka akan
meningkatkan harga telur ayam ras di Aceh sebesar 0,0001 Rp/Kg. Kondisi ini tidak sesuai
dengan hipotesis yaitu jika penawaran telur ayam ras di Aceh meningkat maka harga telur ayam
ras di Aceh akan menurun. Hasil analisis statistik uji t menunjukkan bahwa penawaran telur
ayam ras di Aceh tidak berpengaruh nyata terhadap harga telur ayam ras di Aceh.
Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa koefisien harga telur ayam ras di Sumatera
Utara (Ptm) adalah sebesar 0,5913 , arinya peningkatan harga telur ayam ras di Sumatera Utara
sebesar Rp 1 maka akan menaikkan harga telur ayam ras di Aceh sebesar 0,5913 Rp/Kg. Kondisi
ini sesuai dengan hipotesis yaitu jika harga telur ayam ras di Sumatera Utara meningkat maka
harga telur ayam ras di Aceh juga akan meningkat. Dari hasil analisis statistik uji t berdasarkan
nilai probabiliti pada taraf α = 10% h0 ditolak dan ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa harga
telur ayam ras di Sumatera Utara berpengaruh nyata terhadap harga telur ayam ras di Aceh.
Hal ini sesuai berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mulyadi (1993) mengatakan yang
menjadi patokan bagi produsen dalam menentukan berapa tingkat output yang digunakan untuk
menghasilkan keuntungan yang maksimal adalah harga output dan input secara bersama - sama,
serta kombinasi penggunaan input yang memiliki ongkos paling minimal, dimana harga output
iu sendiri terbentuk atas dasar mekanisme pasar. Jika dilihat dari besaran nilai signifikannya
(0.093), bahwa harga telur ayam ras di Sumatera Utara (Ptm) memberikan peran terbesar dalam
peningkatan harga telur ayam ras di Provinsi Aceh.

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka didapatkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Permintaan telur ayam ras di Aceh (Dta) secara signifikan hanya dipengaruhi oleh
pendapatan perkapita Aceh (Pnda) dan jumlah industri Aceh (JIa). Sedangkan variabel harga
telur ayam ras di Aceh (Pta), harga telur ayam ras di Sumatera Utara (Ptm), jumlah restoran
(JRa) tidak berpengaruh nyata (non significant). Kondisi ini menunjukkan bahwa telur
merupakan sumber protein utama bagi masyarakat Aceh, sehingga tinggi rendahnya harga
tidak mempengaruhi konsumsi telur ayam ras di aceh.

571
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2. Penawaran telur ayam ras di Aceh (Sta) secara signifikan hanya dipengaruhi oleh adalah
harga telur ayam ras di Aceh (Pta), sementara harga telur ayam ras di Aceh (Pta) secara
signifikan hanya dipengaruhi oleh adalah harga telur ayam ras di Sumatera Utara (Ptm).
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pasokan telur ayam ras di Aceh sangat
ditentukan oleh ketersediaan dan harga telur ayam di Sumatera Utara.

DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, I. 2012. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program IBM SPSS [Multivariate
Analysis Application with SPPPS IBM program]. Yogyakarta: Universitas Diponegoro.
Hariyati, Y. 2007. Ekonomi Mikro (Pendekatan Matematis dan Grafis) [Micro-Economy
(Graphic and Mathematic Approahes). Jember: CSS.
Isman, F. 2014. Analisis Permintaan Telur di Propinsi Aceh [Analysis of Egg Demand in Aceh
Province]. (unpublished Master’s thesis). Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh
Jacob, J. and Pescatore, T. 2011. Avian Female Reproductive System. Jurnal Cooperative
Extension Service, 4 (5): 25-38.
Kismantoro. 2006. Analisis Perkembangan dan Peranan Sektor Hotel dan Restoran dalam
Perekonomian Jawa Barat [Trend and Role Analysis of Restaurant and Hotel Sector in
Jawa Barat Economy]. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ilmu Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Intoroductory Exposition of Econometric
Methods Second Edition. London: The Macmillan Press Ltd.
Kusumosuwidho, S.1990. Sajian Dasar Dalam Pengantar Teori Ekonomi [Introduction to Theory
of Economics]. Jakarta: Rineka Cipta.
Marshall, Alfred. 1890. Principles Of Economics (8th edition). London: Macmillian And Co.,
Ltd, 1. 920.
McConnel, J., & H.Servaes. 1990. Additional Evidence on Equity Ownership and Corporate
Value. Journal of Financial Economics. 27: 595-612.
Mulyadi. 1993. Sistem Akuntansi -Edisi Ketiga [Accounting System, 3rd edition]. Yogyakarta:
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Rasyaf, M. 1994. Beternak Ayam Petelur -Edisi Revisi [Layer Poultry, revised edition]. Jakarta:
Penerbit Swadaya.
Rosidi, Suherman. 2005. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro
dan Makro [Introduction to Economics Theory: Approaches to Macro and Micro
Economics]. Surabaya: PT. Raja Grafindo Persada.
Samuelson, P.A and Nordhaus, W.D. 2003. Ilmu Mikroekonomi Edisi 17 (terjemahan Nur
Rosyidah, Anna Elly, dan Bosco Carvallo) [Micro-economics, 17th edition]. Jakarta: PT
Media Global Edukasi.
Samuelson, P. 2006. Ekonomi Mikro (terjemahan Burhanudin) [Micro-economics]. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Setiawan, B M, W Roessali dan S N Asiyah. 2006. Analisis Permintaan Daging Ayam Pedaging
Pada Pasar Tradisional di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak [Demand Analysis of
Broiler Meat at Traditional Market in Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak]. Jurnal
Sosial Ekonomi Pertanian. 2 (1) : 14 – 20.

572
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sitompul, N.M. 2014. Analisis Penawaran dan Permintaan Telur Ayam Ras di Sumatera Utara
[Demand and Supply Analysis of Layer Egg in Sumatera Utara]. Journal on Social
Eonomic of Agriculture and Agribusiness. 3 (3): 1.
Sitorus, S.A. 2015. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran
Ayam Ras (studi Kasus Pasar Petisah, Kecamatan Medan Petisah) [Contributing Factors
to Supply and Demand of Broiler]. Journal on Social Eonomic of Agriculture and
Agribusiness. 4 (10) : 1.
Spillane J.J. 1987, Pariwisata Indonesia Sejarah dan Prospeknya [Indonesia Tourism: History
and Prospect]. Yogyakarta: Kanisius.
Sukirno, S. 2008. Pengantar Mikro Ekonomi, Edisi Kedelapan [Introduction to Micro-
economics, 8th edition]. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sukirno, Sadono. 2010. Makroekonomi Teori Pengantar, Edisi Ketiga [Introduction to Macro-
economics, 3rd edition]. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Todaro, Michael P. and Smith, Stephen C. 2011. Economic Development (11th edition). United
States: Addison Wesley.
Wooldridge, J. M. 2002. Econometrics Analysis Of Cross Section And Panel Data. Cambridge:
MIT Press.

573
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analisis Model Modal Sosial (Social Capital) dalam Pemberdayaan


Petani Karet di Provinsi Riau
Social Capital Model Analysis in Empowering Rubber Farmers
in Riau Province
Kausar1, Ahmad Rifai1, Shorea Khaswarina1, dan Didi Muwardi1
1Dosen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau, Kota Pekanbaru

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi modal sosial,
Modal Sosial keberdayaan petani karet serta model modal sosial dengan keberdayaan
Pemberdayaan petani karet di Provinsi Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada dua kabupaten
Model yang ditentukan secara purposive berdasar kriteria daerah sentra produksi
Petani Karet karet rakyat di Riau, yaitu Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu.
Modal sosial petani karet di Provinsi Riau berada pada kategori tinggi dengan
skor 3,72. Keberdayaan petani karet berada pada kategori cukup dengan skor
2,90 Tingkat modal sosial yang baik seharusnya diikuti dengan tingkat
keberdayaan yang baik pula. Dengan modal sosial yang terpenuhi maka
secara otomatis akan terpenuhi juga keberdayaan petani karet. Akan tetapi,
kenyataan yang ada di lapangan, tingkat modal sosial petani karet di Provinsi
Riau berkategori “Tinggi” sementara tingkat keberdayaannya tergolong
“Cukup” serta hubungan yang tidak signifikan antara modal sosial dengan
tingkat keberdayaannya. Model persamaan struktural yang cukup tinggi
adalah model pada indikator Kepercayaan terhadap keberdayaan segi sosial.
Melalui kepercayaan sosial yang dibangun oleh petani karet, maka tingkat
keberdayaan petani lebih meningkat. Namun hal ini bukan hanya berlaku
untuk tingkat kepercayaan, walaupun mempunyai pengaruh yang lebih
sedikit, indikator jaringan sosial dan kerjasama atau norma sosial juga
berpengaruh positif terhadap keberdayaan petani karet di Provinsi Riau.

ABSTRACT

Keywords: This study aims to analyze the condition of social capital, the empowerment
Social Capital of rubber farmers and the model of social capital with the empowerment of
Empowerment rubber farmers in Riau Province. This research was conducted in two districts
Model determined purposively based on the criteria of the area of smallholder rubber
Rubber Farmer production centers in Riau, namely Kampar Regency and Rokan Hulu
Regency. The social capital of rubber farmers in Riau Province is in the high
category with a score of 3.72. Rubber farmer empowerment is in the
sufficient category with a score of 2.90 A good level of social capital should
be followed by a level of good empowerment as well. With social capital
being fulfilled, automatically rubber farmers will also be empowered.
However, the reality on the ground, the level of social capital of rubber
farmers in Riau Province is categorized as "High" while the level of
empowerment is classified as "Sufficient" and the relationship is not
significant between social capital and the level of empowerment. The
structural equation model which is quite high is the model on the indicator of
Trust in social empowerment. Through social trust built by rubber farmers,
the level of empowerment of farmers is increased. But this does not only
apply to the level of trust, although it has less influence, social network

574
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

indicators and cooperation or social norms also have a positive effect on the
empowerment of rubber farmers in Riau Province.

Email Korespondensi: kausar@lecturer.unri.ac.id,

PENDAHULUAN
Petani merupakan salah satu pelaku utama pembangunan pertanian dan merupakan bagian
dari masyarakat Indonesia, dengan demikian keberhasilan pembangunan pertanian lebih banyak
ditentukan oleh peranan petani itu sendiri. Sedangkan dalam kenyataannya keberhasilan petani
tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan pemerintah. Dalam banyak hal, modal sosial diyakini
mampu memberikan dampak yang besar bagi masyarakat dan anggotanya, sebagaimana yang
disampaikan oleh Bank Dunia bahwa modal sosial merujuk pada dimensi institusional, hubungan
yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam
masyarakat, dan sebagai perekat yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-
sama. Dimensi modal sosial yang tumbuh di dalam suatu masyarakat berisi nilai dan norma serta
pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya.
Komoditas karet merupakan salah satu komoditas perkebunan utama di Provinsi Riau
dengan luas tanam perkebunan karet sebesar 350.477 Ha dan produksi sebesar 500.949 ton
(Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2016). Kabupaten/kota yang memiliki areal perkebunan karet
terluas di Provinsi Riau adalah Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten Kampar. Kabupaten
Kuantan Singingi memiliki luas tanam karet sebanyak 146.475,67 ha pada tahun 2016 dan
Kabupaten Kampar memiliki luas areal kebun karet sebesar 101.572 ha pada tahun 2016.
Kondisi sosial ekonomi petani karet di Provinsi Riau masih belum sejahtera apabila
dibandingkan dengan kehidupan sosial ekonomi petani komoditas lainnya, khususnya apabila
dibandingkan dengan petani kelapa sawit. Kondisi ini salah satu penyebab banyak kebun karet
dialihfungsikan (konversi) menjadi kebun kelapa sawit di Provinsi Riau. Salah satu cara untuk
meningkatkan kesejahteraan petani karet di Provinsi Riau adalah dengan mengoptimalkan peran
modal sosial yang ada pada petani karet, sehingga petani tidak selalu tergantung dengan modal
secara ekonomi saja.
Berdasarkan hal di atas maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana
kondisi modal sosial dan kondisi keberdayaan petani karet yang ada di Provinsi Riau dan model
modal sosial dalam keberdayan petani karet di Provinsi Riau.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Provinsi Riau pada dua kabupaten yang merupakan daerah
sentra produksi karet pola swadaya di Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan
Kabupaten Kampar. Lokasi penelitian Kabupaten Rokan Hulu adalah di Kecamatan Tambusai
Utara yang meliputi Desa Mahato dan Desa Simpang Harapan, sedangkan untuk Kabupaten
Kampar di laksanakan di Kecamatan XIII Koto Kampar yang meliputi Desa Pongkai Istiqomah
dan Desa Batu Bersurat. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2017.

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah petani karet yang berada di Kabupaten Rokan Hulu
dan Kabupaten Kampar. Lokasi penelitian Kabupaten Rokan Hulu adalah di Kecamatan
Tambusai Utara Desa Mahato dan Desa Simpang Harapan, sedangkan untuk Kabupaten Kampar
di Kecamatan XIII Koto Kampar Desa Pongkai Istiqomah dan Desa Batu Bersurat.
Sampel adalah sebagian dari populasi, mengingat banyaknya populasi maka dalam teknik
pengambilan sampel, digunakan metode purposive sampling. Dalam penelitian ini teknik

575
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pengambilan sampel dengan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan maksud dan
kriteria tertentu. Maka yang menjadi kriteria utama sampel adalah petani karet pola swadaya
yang tergabung dalam kelompok tani. Diharapkan dengan menggunakan kriteria ini dapat
diketahui kondisi modal sosial yang ada pada petani karet pola swadaya dan dapat dihubungkan
dengan keberdayaan petani karet. Sampel dalam penelitian ini berjumlah total sekitar 120 orang,
dimana pada setiap kabupaten diambil dua kecamatan, pada satu kecamatan diambil dua desa
yang menjadi lokasi penelitian, pada setiap desa diambil 30 orang sampel petani karet pola
swadaya

Teknik Analisis Data


Dalam menganalisis peran model modal sosial dan tingkat keberdayaan petani karet maka
digunakan metode uji korelasi Rank Spearman. Variabel terikat dari model ini adalah peran
modal sosial dan tingkat keberdayaan petani karet. Variabel tak terikat adalah modal sosial yang
terdiri dari kelompok sosial dan kelembagaan, trust atau kepercayaan dan solidaritas, tindakan
bersama (colective action), informasi dan komunikasi, partisipasi dan kerjasama pemberdayaan
dan pembinaan pemerintah.
Untuk mengidentifikasi dan menganalisis modal sosial yang dimiliki petani karet di
Provinsi Riau menggunakan skala Likert yang ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif
berdasarkan indikator variabel.

Tabel 1. Indikator Modal Sosial


Variabel Sub-variabel Indikator

Modal Sosial Partisipasi dalam ✓ Kesukarelaan


(x) jaringan sosial (X1) ✓ Kesamaan
✓ Kebebasan
✓ Keadaban
Kepercayaan (X2) ✓ Kejujuran
✓ Keadilan
✓ Toleransi
✓ Keramahan
✓ Saling Menghormati
Norma-norma (X3) ✓ Pemahaman
✓ Nilai
✓ Harapan
✓ Tujuan

Adapun variabel Y yaitu tingkat keberdayaan terdiri atas empat sub-variabel (Y1 sampai
dengan Y4) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Indikator Tingkat Keberdayaan.


Variabel Sub-variabel Indikator
Tingkat Aksesibilitas ✓ Peluang
keberdayaan informasi (Y1) ✓ layanan
(Y) ✓ penegakan hukum
✓ efektivitas negosiasi
✓ pertanggung jawaban kebenaran
informasi
Keterlibatan atau ✓ siapa yang dilibatkan
partisipasi (Y2) ✓ bagaimana mereka terlibat
Akuntabilitas (Y3) ✓ pelaksanaan kegiatan
✓ pertanggung jawaban kegiatan

576
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Variabel Sub-variabel Indikator


Kapasitas ✓ kemampuan bekerja-sama
organisasi lokal ✓ mengorganisir warga masyarakat
(Y4) ✓ memobilisasi sumberdaya untuk
memecahkan masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN


Modal Sosial Petani Karet
Peranan modal sosial penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan
masyarakat. Modal sosial merupakan hubungan yang tercipta dan norma yang membentuk
kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spectrum yang luas, yaitu
sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama. Modal
sosial adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja sama, demi mencapai tujuan-tujuan
bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Dalam penelitian ini, terdapat tiga
indikator yang mampu menjelaskan bagaimana kondisi modal sosial Petani karet yang ada di
Provinsi Riau, meliputi Jaringan sosial, Kepercayaan Sosial dan Kerjasama/Norma Sosial.

Jaringan sosial
Jaringan sosial diperoleh dari berbagai kelompok baik dari dalam keluarga meliputi
anggota keluarga dan kerabat maupun di luar keluarga meliputi Teman, Sesama Petani dan Di
dalam Kelompoktani, Di luar Kelompoktani, Lembaga Pemerintahan, Toke, Rekan Kerja,
Kepala Desa, Tokoh Agama, Koperasi, Penyuluh. Pernyataan indikator Jaringan sosial Petani
Karet di Provinsi Riau dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Distribusi Nilai Jaringan Sosial Petani Karet.


No Indikator Jaringan Sosial Skor Kategori
1 Anggota Keluarga 4,37 Sangat Tinggi
2 Kerabat 4,15 Tinggi
3 Teman/tetangga 4,13 Tinggi
4 Sesama Petani 3,96 Tinggi
5 Di dalam Kelompoktani 3,91 Tinggi
6 Di luar Kelompoktani 3,71 Tinggi
7 Lembaga Pemerintahan 2,85 Cukup
8 Toke 4,35 Sangat Tinggi
9 Rekan Kerja 3,80 Tinggi
10 Kepala Desa 3,90 Tinggi
11 Tokoh Agama 3,51 Tinggi
12 Koperasi 2,83 Cukup
13 Penyuluh 2,57 Cukup
Rata-rata 3,69 Tinggi
Sumber : Data Olahan 2017
Rata-rata hubungan jaringan sosial yang diadopsi oleh petani karet di Riau tergolong
“Tinggi” dengan skor 3,69. Keseluruhan jaringan sosial, jaringan sosial antar petani dengan
lembaga pemerintahan, koperasi dan penyuluh hubungan dengan kategori cukup. Indikator
jaringan sosial berdasarkan parameter hubungan dengan Anggota keluarga mempunyai skor 4,37
dengan kategori “Sangat Tinggi”. Hubungan yang sangat kuat ini terlihat dari kebiasaan petani
yang ada di Provinsi Riau yang selalu menjalin hubungan dengan anggota keluarganya.Sebagian
besar petani mempekerjakan anggota keluarganya untuk mengelola ladang karet yang
dimilikinya.Dengan demikian, petani dapat membantu keluarganya karena rata-rata anggota
keluarganya berpendidikan rendah dan masih pengangguran.

577
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kepercayaan Sosial
Kepercayaan adalah pengharapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang
ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang
dianut bersama. Dalam kehidupan masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi,
aturan-aturan sosial yang cenderung bersifat positif dan hubungan yang bersifat kerjasama akan
menimbulkan interaksi yang begitu erat di dalam komponennya. Sehingga kepercayaan sosial
pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik.

Tabel 4. Distribusi Nilai Kepercayaan Sosial Petani Karet


No Indikator Kepercayaan Sosial Skor Kategori
1 Anggota Keluarga 4,41 Sangat Tinggi
2 Kerabat 4,01 Tinggi
3 Teman/tetangga 3,99 Tinggi
4 Sesama Petani 4,20 Sangat Tinggi
5 Di dalam Kelompoktani 4,03 Tinggi
6 Di luar Kelompoktani 3,85 Tinggi
7 Lembaga Pemerintahan 3,16 Cukup
8 Toke 4,05 Tinggi
9 Rekan Kerja 3,70 Tinggi
10 Kepala Desa 3,94 Tinggi
11 Tokoh Agama 4,21 Sangat Tinggi
12 Koperasi 2,58 Rendah
13 Penyuluh 2,65 Cukup
Rata-rata 3,75 Tinggi
Sumber : Data Olahan 2017

Berdasarkan data hasil olahan yang ada, nilai kepercayaan sosial yang ada dalam hubungan
petani karet dengan lingkungan sekitarnya mempunyai skor rata-rata 3,75 dengan kategori
“Tinggi”. Kepercayaan menjadi tingkat keyakinan bahwa orang lain akan bertindak seperti yang
mereka katakan atau diharapkan untuk bertindak, atau bahwa apa yang mereka katakan dapat
diandalkan.Berdasarkan hasil olahan, petani karet sangat mempercayai orang-orang yang berada
dilingkungan sekitarnya.

Kerjasama atau Norma Sosial


Norma terdiri dari pemahaman, nilai, harapan dan tujuan yang diyakinidan dijalankan
bersama oleh sekelompok orang. Hakekat kerjasama dan norma yang dipatuhi bersumber dari
agama, panduan moral, maupun standar-standar seperti halnya kode etik. Norma dibangun dan
tumbuh berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk
mendukung iklim kerjasama. Pernyataan modal sosial pada indikator kerjasama atau norma
sosial petani karet di Provinsi Riau dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Distribusi nilai Kerjasama atau Norma Sosial Petani Karet.


No Indikator Kerjasama/Norma Sosial Skor Kategori
1 Anggota Keluarga 4,47 Sangat Tinggi
2 Kerabat 3,98 Tinggi
3 Teman/tetangga 4,00 Tinggi
4 Sesama Petani 4,11 Tinggi
5 Di dalam Kelompoktani 4,06 Tinggi
6 Di luar Kelompoktani 3,91 Tinggi
7 Lembaga Pemerintahan 3,19 Cukup
8 Toke 3,95 Tinggi
9 Rekan Kerja 3,81 Tinggi

578
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

No Indikator Kerjasama/Norma Sosial Skor Kategori


10 Kepala Desa 3,69 Tinggi
11 Tokoh Agama 3,83 Tinggi
12 Koperasi 2,67 Cukup
13 Penyuluh 2,75 Cukup
Rata-rata 3,72 Tinggi
Sumber : Data Olahan 2017

Berdasarkan Tabel 5 Norma sosial dan kerjasama antara petani karet dengan anggota
keluarganya memperoleh skor 4,47 dengan kategori “Sangat Tinggi”. Berdasarkan temuan di
lapangan, Petani karet sangat menghargai dan menjunjung tinggi norma terhadap keluarganya.
Hubungan petani dan keluarganya saling melengkapi dan bekerjasama. Begitu juga dengan
kerabat dan tetangga yang ada dilingkungan sekitar petani. Saling menghargai dan mematuhi
peraturan-peraturan yang ada dimasyarakat yang berlaku menjadikan hubungan sosial yang kuat
satu sama lain. Dari hasil olahan data, diperoleh nilai norma sosial atau kerjasama petani karet
dengan kerabat adalah sebesar 3,98 dengan kategori “Tinggi” dan nilai untuk teman atau
tetangga adalah 4,00 dengan kategori “Tinggi”.Tidak jauh berbeda dengan anggota keluarga dan
kerabat, petani karet juga menghargai tetangga sekitarnya dan menjaga sopan santun.
Sama seperti hubungan dengan keluarga sebelumnya, norma atau kerjasama petani karet
dengan sesama petani tergolong “Tinggi” dengan skor 4,11. Norma-norma dijunjung tinggi
tanpa membeda-bedakan orang lain. Sebagai sesama petani, ada beberapa norma-norma dan
bentuk kerjasama yang harus ditaati.Salah satu contoh adalah mengenai patok atau batas lahan
antara lahan petani yang satu dengan lainnya. Ketika batas lahan sudah ditetapkan berdasarkan
kesepakatan bersama, kedua belah pihak harus mentaati peraturan dan norma yang berlaku, agar
tidak ada permasalahan dikemudian hari akibat sengketa lahan.

Keberdayaan Petani Karet


Keberdayaan merupakan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan suatu kegiatan
secara mandiri dan tepat yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman, maupun orang lain atau
lembaga sosial masyarakat. Keberdayaan yang dimiliki seseorang atau individu biasanya melalui
suatu pemberdayan.Upaya pemberdayaan masyarakat yang perlu diperhatikan yaitu dari
Indikator Ekonomi, meliputi Akses ke pasar, ketersediaan input (Bibit), ketersediaan kredit
(Modal), pendidikan, layanan (Gas, Air dan Listrik) dan Air minum serta MCK dan Indikator
Sosial, meliputi Layanan kesehatan, akses informasi dan layanan Penyuluhan.

Indikator Keberdayaan Segi Ekonomi


Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan
objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri.Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri baik secara ekonomi atau taraf hidup dan kualitas
hidup.Taraf hidup dikatakan optimal apabila sudah mampu memenuhi kebutuhan primer dan
sekunder.Indikator Ekonomi, meliputi Akses ke pasar, ketersediaan input, ketersediaan kredit,
pendidikan, layanan (Gas, Air dan Listrik) dan Air minum serta MCK Pernyataan keberdayaan
pada indikator segi ekonomi Petani Karet di Provinsi Riau dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Distribusi Nilai Keberdayaan Segi Ekonomi.


No Indikator keberdayaan segi ekonomi Skor Kategori

1 Ketersediaan Kredit (Modal) 2,20 Rendah


2 Pendidikan 2,37 Rendah
3 Ketersediaan input (Bibit) 2,81 Cukup

579
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

No Indikator keberdayaan segi ekonomi Skor Kategori

4 Akses ke Pasar 3,49 Tinggi


5 Layanan Air, Gas dan Listrik 2,99 Cukup
6 Layanan Air minum dan MCK 3,41 Tinggi
Rata-rata 2,88 Cukup
Sumber : Data Olahan 2017

Kondisi keberdayaan petani karet dari segi ekonomi berada pada kategori cukup skor 2,88.
Skor dan kategori yang tinggi pada indikator akses pasar dan layanan air minum dan MCK
karena pada indikator ini mudah didapat masyarakat. Kondisi keberdayaan petani karet masih
ada yang berada pada katagori rendah yaitu pada indikator ketersediaan kredit dan pendidikan.

Indikator Keberdayaan Segi Sosial


Bukan hanya keberdayaan segi Ekonomi, Keberdayaan juga dilihat dari tingkat capital
sosial yang ada di masyarakat yang dapat mempengaruhi pergeseran perilaku masyarakat
terutama petani karet.Indikator Sosial, meliputi Layanan kesehatan, akses informasi dan layanan
Penyuluhan.Pernyataan keberdayaan pada indikator segi sosial Petani Karet di Provinsi Riau
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 7. Distribusi nilai Keberdayaan segi Sosial.


No Indikator Keberdayaan segi sosial Skor Kategori

1 Informasi dan Layanan Penyuluhan 2,16 Rendah


2 Layanan Kesehatan 3,15 Cukup
3 Keamanan Sosial 3,50 Tinggi
Rata-rata 2,93 Cukup
Sumber : Data Olahan 2017

Kondisi keberdayaan segi sosial petani karet berada pada kategori cukup. Parameter
Informasi dan layanan penyuluhan mempunyai skor 2,16 dengan kategori “Rendah”. Hal ini
dikarenakan hampir tidak adanya layanan penyuluhan di Provinsi Riau. Penyuluh sangat jarang
berkunjung dan melakukan penyuluhan. Sementara itu tenaga penyuluh yang ada di Provinsi
Riau sangat minim.
Layanan kesehatan sebagai salah satu parameter keberdayaan sosial, memperoleh skor
3,15 dengan kategori “Cukup”. Tingkat keamanan sosial di Provinsi Riau berkategori “Tinggi”
dengan skor 3,50. Dari segi keamanan, Petani karet merasa aman karena di beberapa Desa
melakukan pos ronda siskamling. Hal yang selalu diwaspadai petani adalah adanya pencurian
getah karet dan perusakan tanaman karet oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Model Modal Sosial terhadap Keberdayaan Petani Karet


Aplikasi yang digunakan dalam mengolah data modal sosial dan keberdayaan adalah
LISREL 9.2.Setelah melihat model yang ada, maka dapat ditarik kesimpulan model mana yang
sebaiknya dipertahankan dan ditingkatkan oleh petani karet Provinsi Riau. Berdasarkan olahan
data diperoleh model hubungan modal sosial terhadap keberdayaan sebagai berikut.

580
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Gambar 1. Model Hubungan Modal Sosial Terhadap Keberdayaan Petani Karet.

Selain model antara modal sosial dengan keberdayaan, hasil olahan juga menunjukkan
nilai estimasi lainnya seperti Chi Squaredan Goodness Of Fit Indeks (GFI)(Ghozali, 2008)
dengan hasil sebagai berikut ;
a) Chi Square.
Tujuan analisis ini adalah mengembangkan dan menguji apakah sebuah model yang sesuai
dengan data. Chi Square sangat bersifat sensitif terhadap sampel yang terlalu kecil maupun
yang terlalu besar. Oleh karenanya pengujian ini perlu dilengkapi dengan alat uji lainnya.nilai
Probability Chi-squares > 0.05 menandakan data empiris identik dengan teori/model. Dari
hasil pengolahan diperoleh nilai Chi Squareadalah 0,052.Karena nilai nya > 0.05 maka model
dikatakan sesuai.
b) Goodness Of Fit Indeks (GFI)
Adalah Indeks yang mnggambarkan tingkat kesesuaian model secara keseluruhan yang
dihitung dari residual kuadrat dari model yang diprediksi dibandingkan data yang
sebenarnya. Nilai GFI > 0,90 mengisyaratkan model yang diuji memiliki kesesuaian yang
baik. Sementara dari hasil estimasi menunjukkan nilai GFI untuk model sebesar 1,00.
Artinya model yang dibuat telah sesuai dan baik untuk dijadikan sebagai model.

Berdasarkan tabel dan model yang dibangun, diperoleh hasil persamaan struktural sebagai
berikut :
K.Ekonomi = 0.357*Jaringan + 0.176*Kepercayaan + 0.0900*Kerjasama
K.Sosial = 0.1848*Jaringan + 0.426*Kepercayaan + 0.0735*Kerjasama
Berdasarkan hasil di atas, model persamaan struktural yang cukup tinggi adalah model
pada indikator Kepercayaan terhadap keberdayaan segi sosial. Melalui kepercayaan sosial yang
dibangun oleh petani karet, maka tingkat keberdayaan petani lebih meningkat. Namun hal ini
bukan hanya berlaku untuk tingkat kepercayaan, walaupun mempunyai pengaruh yang lebih
sedikit, indikator jaringan sosial dan kerjasama atau norma sosial juga berpengaruh positif
terhadap keberdayaan petani karet di Provinsi Riau.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Modal sosial petani karet di Provinsi Riau berada pada kategori tinggi dengan skor 3,72,
dimana untuk jaringan kategori tinggi skor 3,69, kepercayaan kategori tinggi skor 3,75, dan
kerjasama/norma kategori tinggi skor 3,72.

581
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2. Keberdayaan petani karet berada pada kategori cukup dengan skor 2,90, dimana untuk aspek
ekonomi kategori cukup dengan skor 2,88 dan untuk aspek sosial kategori cukup dengan skor
2,93.
3. Tingkat modal sosial yang baik seharusnya diikuti dengan tingkat keberdayaan yang baik
pula. Dengan modal sosial yang terpenuhi maka secara otomatis akan terpenuhi juga
keberdayaan petani karet. Akan tetapi, kenyataan yang ada di lapangan, tingkat modal sosial
petani karet di Provinsi Riau berkategori “Tinggi” sementara tingkat keberdayaannya
tergolong “Cukup” serta hubungan yang tidak signifikan antara modal sosial dengan tingkat
keberdayaannya.
4. Model persamaan struktural yang cukup tinggi adalah model pada indikator Kepercayaan
terhadap keberdayaan segi sosial. Melalui kepercayaan sosial yang dibangun oleh petani
karet, maka tingkat keberdayaan petani lebih meningkat. Namun hal ini bukan hanya berlaku
untuk tingkat kepercayaan, walaupun mempunyai pengaruh yang lebih sedikit,
5. Indikator jaringan sosial dan kerjasama atau norma sosial juga berpengaruh positif terhadap
keberdayaan petani karet di Provinsi Riau.

Saran
1. Perlu meningkatkan tingkat kondisi keberdayaan petani karet karena masih berada pada
kategori cukup, dengan cara meningkat pada aspek informasi dan layanan penyuluhan,
layanan kesehatan keamanan sosial.
2. Perlu adanya peran serta dari pemerintah dan pihak swasta untuk membantu dalam
meningkatkan keberdayaan petani karet dengan berbagai program yang berkesinambungan

DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The sosial virtues and the creation of prosperity. the Free
Press.New York.
Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-United
Press. Jakarta.
I Gede Adi Ambara, 2005. Peran Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Ekonomi Desa Adat /
Pakraman (Studi Kasus Lembaga Perkreditan Desa, Desa Pakraman Tibubiyu, Kabupaten
Tabanan, Bali). Tesis. Universitas Brawijaya
Riduwan 2010, Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam
Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.

582
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pemberdayaan Perempuan Melalui Pengolahan Limbah Kulit Manggis


Menjadi Bahan Pewarna Alami dalam Pembuatan
Sabun Cair Cuci Piring
Empowering Women Through Processing Mangosteen Peel Waste Into
Natural Coloring in The Manufacture of Dishwashing Liquid Soap
Linar Humaira1, Srikandi1, dan Anak Agung Eka Suarnata1
1Universitas Nusa Bangsa, Bogor

ABSTRAK

Kata Kunci: Kegiatan pemberdayaan perempuan ini difokuskan pada memberikan


Pemberdayaan pemahaman dan ketrampilan melalui pelatihan pembuatan ekstrak kulit
Kulit Manggis manggis untuk dimanfaatkan sebagai pewarna alami dalam pembuatan sabun
Ekstrak cair cuci piring. Mitra yang terlibat adalah anggota kader PKK Desa
Pewarna Barengkok Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor sebanyak 30 orang
Bahan aktif peserta. Kegiatan dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2019. Metode
pemberdayaan pada dasarnya menggunakan metode PRA (Participatory
Rural Apraissal) dengan wujud memberikan pemahaman materi melalui
penyuluhan dan memberikan ketrampilan melalui demo dan pelatihan. Hasil
kegiatan ini yaitu terjadinya peningkatan keberdayaan perempuan dalam
pemahaman dan ketrampilan pengolahan limbah kulit manggis hingga dapat
memberikan nilai ekonomis melalui pembuatan produk sabun cuci piring
berbasis ekstrak kulit manggis. Peserta yang menyatakan merasa puas dalam
kegiatan pelatihan ini adalah sebanyak 72,2% dan yang menyatakan sangat
puas 27,8%. Berdasarkan hasil evaluasi kegiatan masih perlu dilakukan
pendampingan lanjutan bagi mitra terutama dalam akses memperoleh
permodalan serta perijinan usaha.
ABSTRACT

Keywords: This womwn’s empoweriment activity is focused on providing understanding


Empowering and skills through training in making mangosteen peel extract to be used as a
Mangosteen Peel natural coloring in the manufacture of dishwashing liquid soap. The partners
Extract involved were members of the PKK village of Barengkok in the Leuwiliang
Coloring sub-district of Bogor, as many as 30 participants. Activities will take place
Active Ingredients in March until May 2019. The empowerment method basically uses the PRA
(Parcipatory Rural Apraissal) method by giving anunderstanding of the
material through counseling and providing benefits through demonstrations
and training. This result of this activity is that there is an increase in women’s
empowerment in understanding and skill’s in processing mangosteen peel
waste so that it can provide economic value through the manufacture of liquid
soap products based on mangosteen peel extract. Participants who stated that
they were sisfied in this activity were 72.2% and those who expressed
satisfaction were 27.8%. Based on the results of the evaluation of activities,
further assistance is needed for partners, especially in access to capital and
business licensing.

Email Korespondensi: linar.humaira@yahoo.com

583
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam agenda SDG’S di Indonesia
yaitu menghapus segala bentuk kemiskinan selama 15 tahun kedepan (BPS, 2016). Penduduk
miskin di Indosesia pada bulan Maret 2018 sebanyak 25,95 juta orang. Bicara masalah
kemiskinan ini tidak lepas juga dari peran kaum perempuan dalam perkonomian keluarga.
Sementara perempuan merupakan bagian dari penyumbang dalam pendapatan keluarga.
Sumbangan pendapatan perempuan dalam 8 tahun terakhir di beberapa provinsi dapat
dilihat tabel berikut.

Tabel 1. Sumbangan Pendapatan Perempuan menurut Provinsi 2010-2018.


Provinsi Sumbangan Pendapatan Perempuan (%)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
DKI Jakarta 35.91 36.53 36.55 36.72 36.9 37.54 37.57 37.74 37.8
Jawa Barat 27.29 27.38 27.69 28.05 28.41 29.03 29.07 29.45 29.51
Jawa Tengah 32.05 32.33 32.55 32.99 33.46 34.06 34.09 34.13 34.28
Jawa Timur 32.58 32.63 33.52 34.17 34.83 35.17 35.52 35.63 35.64
Banten 29.24 29.54 29.56 29.74 29.94 30.34 31.05 31.13 31.3
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019.

Bila dilihat pada Tabel 1 di atas sumbangan pendapatan perempuan di Provinsi Jawa Barat
merupakan sumbangan pendapatan terendah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya.
Maka dari itu pemberdayaan perempuan khususnya untuk wilayah Jawa Barat ini sangatlah
diperlukan.
Desa Barengkok merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, dengan potensi utamanya adalah penghasil buah manggis
dan durian. Buah manggis yang dihasilkan dari kecamatan Leuwiliang ini merupakan
penyumbang ekspor manggis di provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian Reny
Andriyanty dan Linar Humaira (2016), buah manggis yang lolos ekspor hanya sekitar 40-50 %
nya sementara sisanya dijual di pasar lokal.
Usahatani
manggis yang dibudidayakan di Desa Barengkok hanya dipanen dan dijual
dalam bentuk primer. Selama ini, yang dinikmati dari buah manggis adalah daging buahnya saja,
sementara kulitnya dibuang. Saat ini banyak penelitian yang membuktikan bahwa kulit buah
manggis yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Penelitian-penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa kulit manggis kaya akan senyawa antioksidan yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan manusia. Kulit buah ditemukan mengandung senyawa alpha-
Mangostin, beta-Mangostin, garcinone B, dan E garcinone, yang secara kolektif disebut
xanthones. Pemanfaatan kulit buah manggis hingga saat ini masih terbatas pada penyamakan
kulit, pewarna tekstil dan pengobatan tradisional.
Berdasarkan potensi wilayah dan hasil pertanian yang dimiliki Desa Barengkok, dengan
jumlah penduduk sebanyak 12.854 jiwa dimana 55 persen adalah laki-laki dan 45 persen adalah
wanita (Pemda Desa Barengkok, 2013), maka perlu upaya untuk meningkatkan pendapatan
perempuan sebagai penyumbang perekonomian keluarga, yaitu dengan meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan melalui pelatihan bagaimana memanfaatkan limbah kulit manggis
sehingga memiliki niai ekonomis tinggi. Salah satu kelompok perempuan yang diberdayakan
adalah kelompok kader PKK di Desa Barengkok kecamatan Leuwiliang.
Tujuan kegiatan ini adalah memberikan pelatihan pengolahan limbah kulit manggis menjadi
bahan pewarna dalam pembuatan sabun cuci piring, serta memberikan ketrampilan dalam membuat
packaging dan strategi pemasarannyan dan menganalisa penetapan harga pokok produknya. Dari
hasil kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan perempuan sehingga bisa
meningkatkan produktivitas perempuan sebagai menyumbang penghasilan keluarga.

584
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pemberdayaan Perempuan adalah usaha sistematis dan terencana untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Pemberdayaan
perempuan ”sebagai sumber daya insani, potensi yang dimiliki perempuan dalam hal kuantitas
maupun kualitas tidak dibawah laki-laki. Namun kenyataannya masih dijumpai bahwa status
perempuan dan peranan perempuan dalam masyarakat masih bersifat subordinatif dan belum
sebagai mitra sejajar dengan laki-laki” (bayoedarkockan.wordpress.com, 2019)
Perempuan masih sering dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang, khususnya
masyarakat desa yang jauh dari akses kehidupan. Hal ini tentu mengerdilkan perempuan untuk
turut serta dalam pembangunan. Pemberdayaan perempuan adalah proses penyadaran dan
pembentukan kapasitas terhadap partisipasi yang lebih besar, mengarah pada kekuasaan,
pengawasan, dan pengambilan keputusan serta tindakan transformasi yang mengarah pada
perwujudan persamaan derajat yang lebih besar antara perempuan dan laki-laki (Syafi’I Maarif,
2005). Posisi perempuan akan membaik hanya ketika perempuan dapat mandiri dan mampu
menguasai atas keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kehidupannya. Terdapat dua ciri
dari pemberdayaan perempuan. Pertama, sebagai refleksi kepentingan emansipartoris yang
mendorong masyarakat berpartisipasi secara kolektif dalam pembangunan. Kedua, sebagai
proses pelibatan diri individu atau masyarakat dalam proses pencerahan, penyadaran dan
pengorganisasian kolektif sehingga mereka dapat berpartisipasi. Salah satu upaya untuk
meningkatkan kehidupan kaum perempuan yaitu melalui pelatihan-pelatihan sehingga
ketrampilan kaum perempuan meningkat.
Dalam kehidupan sehari-hari kaum perempuan tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan
pekerjaan rumah tangga salah satunya adalah kegiatan membersihkan alat-alat rumah tangga
yaitu dengan menggunakan sabun, sehingga produk sabun pencuci piring ini merupakan
kebutuhan pokok diluar pangan yang dibutuhkan sehari-hari dalam rumah tangga. Namun
kebanyakan produk sabun pencuci piring yang beredar di pasaran yang berwarna hijau pekat
ataupun kuning pada umumnya menggunakan pewarna kimia, untuk itu perlu dilakukan upaya
untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dalam pembuatan sabun yaitu dengan menggatikan
pewarnanya dari bahan yang alami.
Hasil kegiatan Iptek Bagi Masyarakat Kelompok Wanita Tani manggis (KWT) yang
dilakukan oleh Linar Humaira, Srikandi dan Reny Andriyanty (2017), menunjukkan bahwa
antusias masyarakat perempuan yang terlibat dalam kegiatan IBM tersebut dan hasilnya mereka
mampu membuat ekstrak dan produksi cairan pembersih lantai secara mandiri, dengan kapasitas
produksi dalam dua minggu menghasilkan 120 botol kemasan 250 ml atau 240 botol per bulan,
dengan demikian terjadinya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan Kelomok Wanita Tani
Manggis. Berdasarkan hasil kegiatan ini maka pada kegiatan berikut ini dilakukan pemberdayaan
wanita yang tergabung dalam kader PKK di Desa Barengok melalui pemanfaatan limbah kulit
mangis untuk dijadika sebagai pewarna alami dalam pembuatan sabun cair cuci piring.

METODE PELAKSANAAN
Metode pemberdayaan yang digunakan pada dasarnya menggunakan metode PRA
(Participatory Rulal Apraisal) yitu pendekatan yang tekanannya pada keterlibatan masyarakat
dalam keseluruhan kegiatan. Metode pelaksanaannya digunakan dengan teknik ceramah melalui
penyuluhan, demonstrasi, pelatihan dan evaluasi kegiatan. Mitra sasaran adalah kelompok ibu-
ibu kader PKK Desa Barengkok Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor, yang terlibat
sebanyak 30 orang peserta. Pelaksanaan Kegiatan Pada Bulan Maret sampai dengan Juni 2019.
Ruang lingkup kegiatan mencakup: a) Memberikan penyuluhan seputar manfaat dari kulit
buah manggis, b) Memberikan pelatihan pengolahan kulit manggis menjadi ekstrak yang siap
pakai, c) memberikan pelatihan membuat sabun cuci piring berbasis ekstrak kulit manggis secara
berkelompok dan masing-masing kelompok minimal 5 orang, d) memberikan ketrampilan dalam

585
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

membuat packaging dan strategi pemasaran produknya, dan e) memberikan ketrampilan dalam
menghitung analisa usaha serta menentukan harga pokok produk.
Bahan dan alat yang digunakan mencakup bahan dasar utama membuat ektrak adalah kulit
buah manggis dan Ethanol. Bahan dasar pembuatan sabun cuci piring yaitu Sodium sulfat,
LABSA, EDTA, Sodium Hydroxide, CDEA, Ekstrak Kulit Manggis dan parfum. Alat yang
digunakan dalam membuat ekstrak yaitu blender, wadah, dan saringan; alat yang digunakan
dalam membuat sabun adalah wadah, pengaduk kayu atau kaca, masker, dan botol kemasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kegiatan diikuti oleh ibu-ibu anggota kader PKK Desa Barengkok sebanya 30 orang
peserta. Hasil pretest menunjukkan bahwa Kategori umur menurut Depkes RI (2009), bahwa
rata-rata peserta yang berusia dewasa akhir 35-45 tahun (37,5%), berpendidikan rata-rata SMA
45,83%, dan pekerjaan umumnya sebagai ibu rumah tangga 87%. Pelaksaan kegiatan dibagi
dalam tiga kali pertemuan dengan tenggang waktu 2-3 minggu berikutnya. Kegiatan pertama
merupakan sosialisasi program kepada mitra serta menetukan kesepakatan jadwal dan tempat
pelaksanaan. Pelaksanaan disepakati di rumah sekretaris PKK dan merupakan tempat kegiatan
pertemuan ibu-ibu PKK.
Kegiatan program berikutnya merupakan kegiatan penyuluhan dan pelatihan dalam
membuat ekstrak kulit manggis. Kegiatan dimulai dengan menyebar kuesioner pre test sebelum
peserta mendapatkan materi penyuluhan maupun materi pelatihan. Kegiatan dilanjutkan dengan
memberikan pemahaman akan manfaat dari kulit manggis dan teknik pengolahannya. Setelah
diberikan pemahaman langkah selanjutnya baru dilakukan pelatihan bagaimana mengolah kulit
manggis hingga menjadi ekstrak yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan baku idustri
rumah tangga lainnya. Pada kegiatan ini ekstrak yang dihasilkan akan dijadikan sebagai pewarna
alami pengganti pewarna kimia dalam prmbuatan sabun cair cuci piring.
Kegiatan pelatihan dilakukan secara partisipasi aktif dari peserta dimulai dari pemilihan
buah manggis yang segar kemudian pemisahan antara daging buah dan kulitnya. Kulit manggis
kemudian diiris-iris tipis untuk kemudian dikeringkan, pengeringan dapat menggunakan oven
selama 2x24 jam dalam suhu 80oC merujuk pada hasil penelitian I Gusti Ayu Manik (2013), atau
melalui penjemuran dibawah sinar matahari. Setelah proses pengeringan dilakukan
penghancuran kulit manggis kering dengan menggunakan blender sampai diperoleh serbuk halus
berbentuk tepung dari kulit manggis. Tepung kulit manggis kemudian dilakukan maserasi atau
perendapan dengan menggunakan ethanol dengan perbandingan 1 : 4, kemudian didiamkan
selama 2x24 jam sambil sesekali diaduk, setelah itu dilakukan penyaringan. Filtrat yang
dihasilkan kemudian dilakukan menguapkan pelarutnya dengan menggunakan waterbath atau
pada kegiatan ini yang dapat dilakukan pada skala rumah tangga dengan metode pengetiman,
hingga diperoleh kristal akstrak kulit manggis.

Gambar 1. Penyuluhan dan Pelatihan Membuat Ekstrak Kulit Manggis.


Kegiatan pelatihan ini diikuti oleh peserta dengan sangat antusias dan proaktif, hal ini
terlihat dari aktifnya peserta dalam melakukan tanya jawab, dan atusiasnya peserta terlihat dari
tidak adanya peserta yang meninggalkan kegiatan pelatihan sesi ini sampai selesai. Tampak dari

586
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Gambar 1 terlihat antusias dan proaktifnya peserta menyimak dan mendengarkan serta
memberikan pertanyaan-pertanyaan selama program pelatihan membuat ekstrak kulit manggis.
Luaran dari program pembuatan ekstrak kulit manggis adalah berupa simplisia kulit
manggis dan ekstrak kulit manggis yang siap dimanfaatkan, berikut adalah luaran produk pada
kegiatan pembuatan ekstrak.

Gambar 2. Luaran Produk Simplisia dan Ekstrak Kulit Manggis.

Program berikutnya adalah pelatihan membuat sabun cair cuci piring berbasis ekstrak kulit
manggis yang dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk sabun cair cuci piring. Kegiatan
dilakukan setelah diperoleh kristal ekstrak kulit manggis dari kegiatan program pelatihan
pertama. Pelatihan dibagi dalam beberapa kelompok kerja dengan masing-masing kelompok
beranggotakan 4-5 orang dan didampingi oleh satu orang pendamping dari tim pelaksana
program. Proses pembuatan sabun cair cuci piring diawali dengan menimbang bahan-bahan
dasar pembuatan sabun, kemudian melakukan pencampuran bahan dengan menggunakan
pengaduk sampai larutan tercampur merata dan terakhir diberikan pewarna dari ektstrak kulit
manggis. Program pelatihan ini kemudian dilanjutkan dengan pelatihan menentukan packaging
yang tepat untuk produk sabun cair cuci piring. Setelah itu dilanjutkan pelatihan bagaimana
strategi memasarkan produknya dan bagaimana menghitung analisa usaha serta menetapkan
harga pokok produk sebagai dasar untuk menetukan margin dari produk sabun cair cuci piring
yang berbasis ekstrak kulit manggis. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dengan sangat antusias
dan proaktif dari peserta, hal ini terlihat bahwa tidak adanya peserta yang meninggalkan acara
pelatihan sampai acara berakhir. Hal ini terlihat dari gambar hasil kegiatan program pembuatan
sabun cair cuci piring berikut.

Gambar 3. Pelatihan Membuat Sabun Cair Cuci Piring Berbasis Ekstrak Kulit Manggis.

Produk Luaran dari kegiata ini adalah berupa sabun cair cuci piring yang dikemas dalam
botol kemasan 500 ml, dengan menggunakan merek GARCIKLIN (dalam proses pengajuan
Paten Merek).

587
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gambar 4. Produk Sabun Cair Cuci Piring Berbasis Ekstrak kulit Manggis.

Kegiatan ini diakhiri dengan evaluasi seluruh kegiatan dan dengan melalui penyebaran
kuesioner post test untuk melihat keberhasilan dari jalannya kegiatan pemberdayaan perempuan
ini. Hasil post test menunjukkan bahwa peserta menyatakan puas dengan kegiatan pelatihan ini
sebanyak 72,2% dan yang menyatakan sangat puas adalah 27,8%. Peserta berharap ada kegiatan
pelatihan lanjutan dengan varian produk lainnya yang berbasis ekstrak kulit manggis.

PENUTUP
Hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa, terjadinya peningkatan keberdayaan perempuan
anggota kader PKK Desa Barengkok yaitu terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan
mitra dalam pemahaman serta pemanfaatan limbah kulit manggis hingga dapat memberikan nilai
ekonomis, melalui pembuatan sabun cair cuci piring dengan bahan baku pewarnaan alami dari ektrak
kulit manggis. Peserta sebanyak 72,2% merasa puas dan sisanya 27,8% sangat puas dengan kegiatan
program pemberdayaan ini. Peserta mengharapkan program lanjutan dari kegiatan ini dengan varian
produk lain yang berbasis limbah kulit manggis.
Perlu dilakukan pendampingan lanjutan bagi mitra terutama dalam akses perolehan modal
usaha dan perijinan usahanya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis ucapkan terimakasih kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Indonesia, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat yang telah mendanai kegiatan PKM ini,
sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Pengabdian Masyarakat
Perguruan Tinggi Swasta, Nomor: 2920/L4/PP/2019, Tanggal 19 Maret 2019.

DAFTAR PUSTAKA
Bayoedarkockan.wordpress.com. Pemberdayaan Perempuan. diunduh tanggal 27 Juli 2019
Badan Pusat Statistik. 2016. Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustaiable
Development Goals) di Indonesia. BPS.
Badan Pusat Statistik. 2019. Sumbangan Pendapatan Perempuan menurut Provinsi, 2010-2018.
bps.go.id. Diunduh Tanggal 27 Juli 2019.
Linar Humaira, Srikandi dan Reny Andriyanty. 2017. Pembuatan Pembersih Lantai ((SNI 06-
1842-1995) dengan Bahan Aktif dari Eksktrak Kulit manggis Pada Kelompok Wanita Tani
(KWT) di Desa Barengkok Bogor. Ethos Jurnal Penelitian Dan Pengabdian. Hal. 247-
250.
Pemda Desa Barengkok. 2013. Monografi Desa Barengkok.

588
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Reny Andriyanty and Linar Humaira. 2016. To Whom Farmer Must Sell Their Mangosteen,
Broker (Ijon) Or Exportier?. Proceeding International Conference Strengthtening
Indonesian Agribusiness: Rural Development and Global Market Linkages. IPB-
Indonesia
Syafi’I Ma’arif. 205. Pembangunan dalam persepektif Gender. Malang. UMM Press.
I Gusti Ayu Manik Widhyastini. 2013. Pengaruh suhu Pengeringan Kulit Bagian Luar dan
Bagian Dalam Manggis (Garcinia mangostana, L.) Terhadap Kandungan Proksimat,
Alkaloid, dan Flavonoid. Jurnal Sains Natural. Universitas Nusa Bangsa. Vol 3 No. 2, Hal.
193-200.
https://yhantiaritra.wordpress.com. Kategori Umur Menurut Depkes RI (2009). Diunduh pada
tanggal 29 Mei 2019.

589
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Sebagai


Penangkar Benih Padi di Desa Senaning Kecamatan Pemayung
Kabupaten Batang Hari
The Influence Factors of Farmer’s Decision As Rice Seed Breeders in
Senaning Vilage Pemayung District Batanghari Regency
Lupita Sari1, Arsyad Lubis1, dan Emy Kernalis1
1Universitas Jambi, Jambi

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gambaran usahatani penangkaran
Keputusan benih padi sawah di Desa Senaning Kecamatan Pemayung, dan melihat
Penangkar Benih Padi apakah faktor pengetahuan, pendapatan, keterampilan dan kesesuaian lahan
Padi Unggul berpengaruh terhadap keputusan petani dalam melakukan penangkaran benih
ataupun tidak melakukan penangkaran benih padi sawah di Desa Senaning
Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari. Pemilihan lokasi dilakukan
secara purposive. Dari Kecamatan Pemayung terpilih Desa Senaning yang
merupakan desa aktif dalam memproduksi benih padi unggul berkelanjutan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember sampai bulan Januari 2019.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan
Tkuantitatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis
Regresi Binary Logistic. Jumlah petani sampel dalam penelitian ini adalah 69
orang dengan pembagian 29 orang dari kelompok tani Payo dadap dan 40
orang dari kelompok tani Hikmah Tani. Dari hasil penelitian dapat diketahui
bahwa Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani untuk
melakukan penangkaran benih padi dalam penelitian ini antara lain
pengetahuan, pendapatan, keterampilan dan kesesuaian lahan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terdapat 3 faktor yang berpengaruh secara
signifikan dalam pengambilan keputusan petani untuk melakukan
penangkaran benih padi sawah di Desa Senaning Kecamatan Pemayung
Kabupaten Batang Hari , faktor yang dimaksud antara lain faktor
pengetahuan, pendapatan dan keterampilan dengan nilai signifikan dibawah
0,05. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa nilai signifikan dari
kesesuaian lahan diatas 0,005 tidak berpengaruh secara nyata terhadap
keputusan petani untuk untuk melakukan penangkaran benih padi sawah di
Desa Senaning Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari.
ABSTRACT

Keywords: This study is aimed to know the description of seed breeding farming in the
Decision senaning village of Pemayung Subdistrict, and to see whether the factors of
Rice Seed Breeders knowledge, income, skills and land affect the farmers' decisions in doing seed
Superior Seed breeding or not in senaning villages pemayung subdistrict batanghari district.
Location selection is purposively. selected from Pemayung Subdistrict is
Senaning village which is an active village in producing sustainable scattered
paddy seeds.This study is held in December until January 2019. Data analysis
method are used descriptive and quantitative methods. the data used are
primary and secondary data. The data analysis method used is descriptive
method, binary logistic regression analysis. The number of farmers
respondents in this study are 69 people with are the distribution of 29 people

590
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

from payo dadap farmer group and 40 people from Hikmah Tani farmer
group. The results of this study showed that the factors suspected of
influencing farmers’ decision to doing seed breeding in this study include
knowledge, income, ownership and success of land. The results of this study
show that there are 3 factors that significantly influence the decision making
of farmers to doing seed breeding in the village senaning, Pemayung
Subdistrict Batanghari district. the factors are factor of knowledge, income
and skills with a significant value below 0.05. The results of this study also
indicate that the significance value of land suitability above 0.005 does not
significantly influence farmers' decisions to doing seeds breeding in Senaning
village Pemayung Subdistrict Batanghari District.

Email Korespondensi: lupitasari0000@gmail.com

PENDAHULUAN
Lebih dari 90% varietas unggul baru padi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian
telah mendominasi areal pertanaman padi, terutama di lahan sawah yang merupakan tulang
punggung produksi padi nasional. Puslitbang Tanaman Pangan untuk pencapaian swasembada
pangan harus menyiapkan teknologi dan inovasi berupa varietas unggul baru padi, jagung,
kedelai, serta khusus untuk mendukung logistik dan distribusi benih unggul, akan dikembangkan
model-model wilayah mandiri benih, yang komplementer dengan 1000 desa Mandiri Benih yang
dikembangkan Ditjen Tanaman Pagan (BBI Padi, 2015). Secara historis benih unggul telah
berperan dalam peningkatan produksi padi sejak era Revolusi Hijau (Green Revolution) hingga
periode saat ini (swasembada pangan). Oleh karena itu, untuk mencapai dan mempertahankan
swasembada pangan yang berkelanjutan maka perangkat perbenihan harus senantiasa kuat. Salah
satu upaya untuk memperkuat perangkat perbenihan tersebut adalah dengan membentuk
penangkar-penangkar benih unggul di lapangan (Kementan, 2010).
Provinsi Jambi merupakan wilayah yang telah melakukan penangkaran benih padi sawah
berdasarkan data BPSPT Provinsi Jambi (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Pembenihan
Tanaman) yang telah menjadi penangkar benih padi sawah di Provinsi Jambi yaitu Dinas
Pertanian Provinsi Jambi dalam hal ini Balai Benih Induk (BBI) dan Kelompok Tani. Kabupaten
Batanghari merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jambi yang memproduksi benih padi
secara mandiri. Petani yang berusahatani padi sawah untuk benih atau disebut juga penangkar
benih padi di Kabupaten Batanghari telah terdaftar di Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Pembenihan Tanaman (BPSPT) Provinsi Jambi. Kabupaten Batanghari mempunyai 8 kecamatan
salah satunya adalah Kecamatan Pemayung dengan jumlahdesa yang ada sebanyak 19 desa,
Kecamatan Pemayung yang memproduksi benih padi bersetifikat secara berkelanjutan, terdapat
dua desa yang diandalkan untuk kegiatan penangkaran benih padi di Kecamatan Pemayung
Kabupaten Batang Hari, yaitu Desa Senaning dan Lubuk Ruso, akan tetapi kelompok tani yang
menjadi penangkar khususnya di Desa Senaning untuk pengiriman benih padi bersetifikat
semakin berkurang. terdapat 3 Kelompok tani yang memproduksi padi sawah, dan terdapat 3
kelompok tani yang tercatat sebagai penangkar benih padi sawah yaitu kelompok tani Payo
Dadap, Usaha Bersama dan Hikmah Tani dengan total luas garapan sebesar 93 hektar. Akan
tetapi pada tahun 2016 berdasarkan data dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Pembenihan
Tanaman (BPSPT) di Provinsi Jambi yang aktif melakukan sertifikasi benih hanya kelompok
tani Payo Dadap dan Usaha Bersama sedangkan Hikmah Tani pada tahun 2016 tidak
memproduksi benih padi sawah.

591
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Senaning Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (Purposive), dengan pertimbangan merupakan desa yang
aktif dalam memproduksi benih padi secara berkelanjutan dan memiliki lahan yang luas dan telah
menghasilkan produksi benih sedangkan Desa Lubuk Ruso pada bulan Desember 2009 baru
memulai melakukan penangkaran benih padi di wilayah Kabupaten Batang Hari.
Penelitian ini dilakukan pada petani penangkar benih padi. Jumlah petani responden adalah
69 petani dimana 29 petani tergabung dalam kelompok tani payo dadap dan 60 petani tergabung
dalam kelompok tani Hikmah Tani. Penarikan responden dilakukan dengan tekhnik Sampling
jenuh (Sugiyono, 2010).
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan
penangkaran benih padi dengan menggunakan alat analisis Regresi Binary Logistik
menggunakan aplikasi perangkat lunak SPSS. Model fungsi Regresi Binary Logistik yang telah
ditransformasikan sesuai dengan model ke dalam bentuk linier logaritmik adalah:
1
P (Xi) = 1+ 𝑒 β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3+ β4X4

Model diatas merupakan model probabilitas suatu kejadian X yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor X1, X2, X3, X4, persamaan ini bersifat nonlinear dalam parameter. Selanjutnya untuk
menjadikan model tersebut linear :
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4+ e
Keterangan :
Y = Keputusan petani dalam melakukan penangkaran benih
(1= apabila petani melakukan penangkaran benih padi)
(0 = apabila petani tidak melakukan penangkaran benih padi)
X1 : Pengetahuan
X2 : Pendapatan
X3 : Keterampilan
X4 : Kesesuaian Lahan
e = Kesalahan Penggunaan
β0 – βn = Koefisien Regresi
Untuk mengetahui pengaruh variable independen secara bersama-sama didalam model,
menggunakan uji signifikansi model menggunakan uji Hosmer and Lemeshow. Untuk
mengetahui Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa besar variasi dari
variabel dependenya dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel-variabel independenya.
Koefisien determinasi pada regresi binary logistic dapat dilihat dari nilai R² dan adjusted R².
Penggunaan adjusted R² sebagai acuan untuk melihat nilai koefisien determinasi berlaku untuk
regresi dengan lebih dari dua variabel bebas (Gujarati, 2003). Untuk mengetahui pengaruh
masing-masing variabel-variabel independen terhadap variabel dependen sehingga diketahui
variabel independen yang signifikan mempengaruhi variabel dependen menggunakan uji
signifikansi parameter. Dan untuk menginterpretasikan hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen yang memiliki perbedaan dengan regresi linear berganda variabel tak
bebas berbentuk kontinyu (kuantitatif) dilihat dari nilai odds ratio.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Petani Responden
Karakteristik petani ditinjau dari umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan
pengalaman berusahatani. Umur petani responden di daerah penelitian yang terbanyak adalah
pada umur 47-52 tahun dengan persentase sebesar 33,33%. Usia kerja mempengaruhi
produktivitas kerja petani dalam menggarap lahannya. Menurut Hernanto (1996), usia produktif
berada pada usia 15-50 tahun. Dengan kondisi petani rata-rata berumur produktif maka

592
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

diharapkan mampu mengelola usahataninya secara maksimal dengan menerapkan inovasi baru
guna meningkatkan produksi.

Tabel 1. Rata-rata Karakteristik Petani Responden di Daerah Penelitian Tahun 2018.


Penangkar Benih
No KarakteristikPetaniSampel
Rentang Persentase (%)
1 Umur Petani (tahun) 47 – 52 33,33
2 Pendidikan SD 44,93
3 Jumlah Anggota Keluarga (orang) 3–4 27,53
4 Pengalaman Usahatani (tahun) 3–7 42,03

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan lebih bijaksana dalam
pengelolaan usahataninya sehingga produksi akan meningkat baik kualitas ataupun kuantitas.
Berdasarkan pada tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan petani responden di daerah
penelitian sebagian besar tamatan SD yaitu 44,93% atau sebanyak 31 petani pada petani
penangkar benih padi. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan petani responden di daerah
penelitian merata.
Menurut Hernanto (1996), petani yang mempunyai jumlah tanggungan lebih besar akan
diburu oleh kebutuhan keluarga, demikian ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk
memenuhi kebutuhannya. Sebagian besar petani responden memiliki jumlah anggota keluarga
3-4 orang sebanyak 19 orang atau sebesar 27,53%. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan
mendorong petani untuk melakukan banyak kegiatan terutama dalam upaya menambah
pendapatan.
Pengalaman dalam berusahatani pada petani responden berada pada interval 3-7 tahun
dengan persentase sebesar 42,03% atau 29 orang. Lamanya pengalaman berusahatani ini akan
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan petani dalam pengalokasian faktor-faktor
produksi yang akan berdampak pada tingkat perekonomian petani.

Gambaran Umum Usahatani Penangkaran Benih Padi di Daerah Penelitian


Penangkaran benih padi di Kecamatan Pemayung merupakan penangkaran secara mandiri
dibawah pengawasan Badan Pengawasan dan Sertifikasi Perbenihan Tanaman (BPSPT) Provinsi
Jambi, yang bekerjasama antar kelompok tani dan produsen benih besar seperti PT Sang Hyang Seri
dan PT Pertani. Varietas padi yang digunakan adalah inpara 3 dan indragiri. Penanaman sangat
bergantung pada keadaan cuaca dan iklim di daerah penelitian, hal ini dikarenakan lahan sawah di
Kecamtan Pemayung adalah jenis tadah hujan, sehingga sebagian petani hanya bergantung pada
curah hujan untuk mengairi sawahnya yang mana air akan meluap saat curah hujan tinggi dan
kekeringan saat kemarau tiba. Namun sebagian petani lainnya telah menggunakan sistem
pompanisasi dan sumur bor yang merupakan bantuan dari pemerintah untuk mengatur air pada lahan
sawahnya sehingga kebutuhan air dapat terjaga dan terpenuhi.
Kegiatan dalam pengolahan tanah yaitu pembajakan, perataan, pencangkulan, dan
memperbaiki pematang.Kegiatan membajak tanah dilakukan dengan menggunakan alat hand
traktor. Sebelum melakukan penanaman, petani responden menyiapkan benih dan melakukan
kegiatan pembibitan. Selanjutnya untuk pemeliharaan meliputi penyiangan, pemupukan,
pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), Satdia/Roguing, selanjutnya kegiatan
pemanenan, dan dilakukan pengujian benih di laboratorium untuk mengetahui mutu dan kualitas
benih, selanjutnya pengemasan dengan menggunakan karung plastic dan dijahit dimasukkan
label biru pada kemasan benih padi tersebut untuk kegiatan terkahir adalah penyimpanan.
Kondisi penyimpanan yang baik adalah kondisi penyimpanan yang mampu mempertahankan
mutu benih seperti saat sebelum simpan sepanjang mungkin selama periode simpan. Benih yang
telah dikemas disimpan didalam gudang penyimpanan, yang memenuhi syarat seperti : tidak
bocor, lantai harus padat (terbuat dari semen/beton), mempunyai varietas yang cukup, agar

593
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

terjadi sirkulasi udara yang lancer sehingga gudang penyimpanan tidak lembab, bebas dari
gangguan hama dan penyakit (ruangan bersih, lubang ventilasi ditutup kain kasa), setiap benih
disimpan secara teratur, setiap varietas terpisah dari varietas lainnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Melakukan Penangkaran


Benih dan Tidak Melakukan Penangkaran
Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani yang melakukan
penangkaran benih dan tidak melakukan penangkaran benih di Desa Senaning Kecamatan
Pemayung Kabupaten Batang Hari dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Analisis Binary Logistic, Uji Signifikansi Model (Hosmer and Lemeshow Test)
Step Chi-square Df Sig.
1 3.385 7 .847
Sumber : Hasil Output Data Primer 2019

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0,847 > 0.05
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara model dengan nilai observasinya. Hal ini
menandakan bahwa variabel pengetahuan, pendapatan, keterampilan, dan kesesuaian lahan
dalam penelitian ini mampu menjelaskan dan memprediksi variabel keputusan. Model dalam
penelitian ini layak untuk digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya, untuk melihat koefesien
determinasi atau kecocokan (goodness of fit) dari model yang digunakan pada tabel. 3.
Tabel 3. Analisis Binary Logistic, Uji Koefesien Determinasi
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 47.224a .465 .637
Sumber : Hasil Output Data Primer 2019

Pada tabel 3 menunjukkan bahwa Nagelkerke R Square menunjukkan nilai sebesar 0.637.
Hal ini menunjukkan bahwa variabel pengetahuan, pendapatan, keterampilan, dan kesesuaian
lahan dapat mempengaruhi variabel Keputusan sebesar 63,7% yang artinya 36,3% lainnya
dipengaruhi oleh variabel di luar model. Namun interpretasi Nagelkerke R Square hanya sebuah
nilai pendekatan biasa seperti dalam koefisien determinasi (regresi linier biasa). Selanjutnya,
untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel-variabel independent yang sifnifikan
mempengaruhi variabel dependen dapat dilihat pada tabel. 4
Tabel 4. Analisis Binary Logistic, Uji Signifikansi dari Parameter (Uji Wald/W).
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a X1
X2 3.805 1.022 13.850 1 .000 44.926
X3 -1.983 .890 4.969 1 .026 .138
X4 .200 .764 .068 1 .794 1.221
Constan -3.623 1.053 11.839 1 .001 .027
Sumber : Hasil Output Data Primer 2019

Model persamaan regresi binary logistic yang diperoleh sebagai berikut:


Y = -3,623 + 3,158 X1 + 3,805 X2 – 1,983 X3 + 0,200 X4 + e + i
Berdasarkan pada tabel 4 dapat dilihat pada kolom signifikansi(Sig.) menunjukan
pengaruh variabel bebas atau variabel independen berpengaruh terhadap variabel terikat atau
variabel dependen. Hal ini menandakan bahwauntuk suatu variabel memiliki pengaruh yang
signifikan apabila memiliki nilai signifikansi dibawah 0,05. Selanjutnya, untuk melihat peluabng
kejadian keputusan petani dalam melakukan penangkaran benih dan tidak melakukan
penangkaran benih dapat dilihat pada Tabel.4

594
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 4. Analisis Binary Logistic, Intrepretasi Odds Ratio.


95,0% C.I.for EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Lower Upper
Step 1a X1 3.158 1.021 9.558 1 .002 23.514 3.176 174.063
X2 3.805 1.022 13.850 1 .000 44.926 6.056 333.268
X3 -1.983 .890 4.969 1 .026 .138 .024 .787
X4 .200 .764 .068 1 .794 1.221 .273 5.463
Constant -3.623 1.053 11.839 1 .001 .027

Dalam peneliatan ini, interpretasi odds ratio hanya dilakukan pada variabel yang
signifikan, dimana penelitian ini menggunakan alpha 5%.Berdasarkan hasil diatas, maka berikut
interpretasi masing-masing variabel diantaranya : Setiap kenaikan pengetahuan petani semakin
baik, menaikkan peluang petani untuk memutuskan pembuatan penangkaran benih sebesar 3
hingga 174 kali lebih tinggi. Variabel pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap keputusan
petani karena semakin bertambahnya pengetahuan seseorang, menyebabkan meningkatnya
keputusan petani untuk melakukan penangkaran benih. Setiap kenaikan pendapatan petani
semakin baik, menaikkan peluang petani untuk memutuskan pembuatan penangkaran benih
sebesar 6 hingga 333 kali lebih tinggi. Variabel pendapatan berpengaruh signifikan terhadap
keputusan petani karena semakin bertambahnya pendapatan seseorang, menyebabkan
meningkatnya keputusan petani untuk melakukan penangkaran benih. Setiap kenaikan
keterampilan petani semakin baik, menaikkan peluang petani untuk memutuskan pembuatan
penangkaran benih sebesar 0,024 kali lipat. Variabel keterampilan berpengaruh signifikan
terhadap keputusan petani karena semakin bertambahnya keterampilan seseorang, menyebabkan
meningkatnya keputusan petani untuk melakukan penangkaran benih. Variabel kesesuaian lahan
tidak mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan penangkaran benih.

Pengaruh Pengetahuan Terhadap Keputusan Petani Melakukan Penangkaran Benih


Dan Tidak Melakukan Penangkaran Benih
Variabel Pengetahuan (X1) berpengaruh positif secara nyata terhadap keputusan petani dengan
taraf kepercayaan 99,8%. Dengan nilai exp (B) atau odds ratio sebesar 23,514 yang artinya, jika
pengetahuan petani bertambah baik maka, ada peluang petani untuk memutuskan melakukan
penangkaran benih sebesar 3,1% hingga 174% kali lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang
memiliki pengetahuan yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Fadhilah (2017) menyatakan
bahwa semakin tinggi pengetahuan penerapan sistem agribisnis maka semakin tinggi produksi padi.
Sebaliknya, semakin rendah pengetahuan penerapan sistem agribisnis maka semakin rendah
produksi padi. Petani yang memiliki pengetahuan yang banyak akan memberikan suatu pilihan trbaik
dalam menentukan suatu keputusan karena pengetahuan menjadi elemendasar bagi petani dalam
adopsi inovasi. Menurut Mardiaknto (1993), menyatakan bahwa makna tahu tidak hanya sekedar
dapat mengemukakan atau mengucapkan tentang apa yang diketahui, akan tetapi juga dapat
menggunakan pengetahuan di dalam prakteknya serta lebih tinggi dari itu sampai tahap
menganalisis, mensintesa dan mengevaluasi segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan
tersebut. Adanya pengetahuan yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan
perilaku pada diri individu, dimana pengetahuan tentang manfaat suatuhal akan menyebabkan
seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut, demikian pula sebaliknya.

Pengaruh Pendapatan Terhadap Keputusan Petani Melakukan Penangkaran Benih


Dan Tidak Melakukan Penangkaran Benih
Variabel pendapatan (X2) berpengaruh positif secara nyata terhadap keputusan petani
dengan taraf kepercayaan 100%. Dengan nilai exp(B) atau odds ratio sebesar 44,926 yang
artinya, jika setiap pendapatan petani bertambah baik maka, ada peluang petani untuk
memutuskan melakukan penangkaran benih sebesar 6% hingga 333% lebih tinggi dibandingkan

595
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dengan petani yang memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ardiyono (2016) yang menyatakan bahwa pendapatan merupakan salah satu
faktor petani unruk memutuskan berusahatani padi ataupun tidak, dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa pendapatan usahatani padi sebesar 18.012,641,00 per Ha yang
menunujukkan bahwa rata-rata petani tidak mengalami kerugian. Menurut (Soekartawi, 1998)
Pendapatan usahatani yang tinggi seringkali ada hubungannya dengan tingkat difusi inovasi
pertanian.Kemauan untuk melakukan percobaan atau perubahan dalam difusi inovasi pertanian
yang cepat sesuai dengan kondisi pertanian yang dimiliki oleh petani, maka umumnya hal ini
yang menyebabkan pendapatan petani yang lebih tinggi.

Pengaruh Keterampilan Terhadap Keputusan Petani Melakukan Penangkaran Benih


Dan Tidak Melakukan Penangkaran Benih
Variabel keterampilan (X3) berpengaruh positif secara nyata terhadap keputusan petani
dengan taraf kepercayaan 97,4 %. Dengan nilai exp (B) atau odds ratio sebesar 0,138 yang
artinya, jika setiap keterampilan petani bertambah baik maka, ada peluang petani untuk
memutuskan melakukan penangkaran benih sebesar 2,4% hingga 78,7% lebih besar
dibandingkan dengan petani yang memiliki keteampilan yang rendah. Hal ini sejalan dengan
penelitian Fadhilah (2017) menyatakan bahwa semakin tinggi keterampilan penerpan sistem
agribisnis maka semakin tinggi produksi padi. Sebaliknya, semakin rendah keterampilan
penerapan sistem agribisnis maka semakin rendah produksi padi. Tinggi tingkat keterampilan
akan membuat meningkatnya efektivitas dan efesiensi. Selanjutnya, sesuai dengan pendapat
Simpson Dalam Dzahari (2011) menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam
bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Menurut Mosher dalam Waridin
(2012), bahwa keterampilan dalam melakukan setiap aktivitas maka diperlukan keterampilan
yang khusus, yang mana diantaranya diperoleh selama bekerja adapula yang diperolehnya
dengan cara membaca, dengan belajar sendiri, dengan memikirkan pekerjaan itu dan bagaimana
caranya untuk melakukan yang lebih baik, dan tentunya keterampilan ini diimbangi dengan
pengetahuan yang baik pula.

Pengaruh Kesesuaian Lahan Terhadap Keputusan Petani Melakukan Penangkaran


Benih Dan Tidak Melakukan Penangkaran Benih
Variabel kesesuaian lahan (X4) tidak berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani
karna di dasarkan hasil uji wald (Z) diketahui bahwa nilai signifikansi (0,794) lebih besar dari
nilai α (5% atau 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kesesuaian lahan tidak
berpengaruh secara nyata dengan keputusan petani untuk melakukan penangkaran benih.
Dengan arti lain petani dalam mengambil keputusan untuk melakukan penangkaran benih tidak
terpengaruh oleh kesesuain lahan untuk penangkaran benih padi sawah tersebut, karena
sebelumnya petani telah tercatat lahan yang digunakan adalah sesuai dengan syarat lahan untuk
penangkaran benih. Dan faktor luar yang diperkirakan sangat mempengaruhi keputusan petani
adalah adanya program pembagian bibit benih kepada petani, sehingga dengan adanya program
yang dijalankan oleh pemerintah dapat sangat membantu petani untuk memutuskan melakukan
penangkaran benih.

PENUTUP
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 3 faktor yang berpengaruh secara signifikan
dalam pengambilan keputusan petani untuk melakukan penangkaran benih padi sawah di Desa
Senaning Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari , faktor yang dimaksud adalah
pengetahuan, pendapatan dan keterampilan dengan nilai signifikan dibawah 0,05. Hasil
penelitian ini juga membuktikan bahwa nilai signifikan dari kesesuaian lahan diatas 0,005 tidak
berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani untuk untuk melakukan penangkaran benih
padi sawah di Desa Senaning Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari.

596
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan/Program Studi Agribisnis dan Sekretaris
Jurusan/Program Studi Agribisnis Universitas Jambi yang telah memfasilitasi pelaksanaan
penelitian ini. Selain itu ucapan terima kasih kepada petani-petani yang telah meluangkan
waktunya untuk diwawancarai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah
memberi bantuan dan dukungan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
UPTD-BPSPT Balai Pengawasan dan Sertifikasi Perbenihan Tanaman. 2016. Laporan realisasi
kegiatan sertifikasi benih padi Tahun 2012-2016. UPTD Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Perbenihan Tanaman Provinsi Jambi. Jambi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Jawa Barat, 2009
Balai Pengawasan Dan Sertifikasi Pembenihan Tanaman Provinsi Jambi (BPSPT). 2017
Hasan, M. Iqbal. (2002). Pokok-Pokok Materi Pengambilan Keputusan. Jakarta : Penerbit Ghalia
Indonesia
Iqbal, Muhamad dan Arif, Junardi. 2015. Komparansi Analisis Kelayakan Usahatani
Penangkaran Benih Padi dan Usahatani Padi Konsumsi di Provinsi Sulawesi Tengah
Ishaq, Iskandar. 2009. Petunjuk Teknis Penangkaran Benih Padi. BPTP Jawa Barat. Lembang.
2009.
Imam G. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Universitas Diponorogo,
Jawa Tengah
Nursyamsiah, D. 2013. Analisis Usahatani Penangkar Benih Padi dan Padi Konsumsi (Studi
Kasus di Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor). Skripsi Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Diunduh dari repository.ipb.
ac.id/handle/123456789/63910. (Diakses pada 26 Desember 2018)
Rudiansyah. 2010. Faktor Sosial Ekonomi Penangkar dan Hubungannya dengan Penerapan
Proses Sertifikasi Benih Padi di Desa Senaning Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang
Hari. Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Jambi
Setiawan dan Dwi EK. 2010. Ekonometrika. CV. Andi Offset, Yogyakarta.
Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Jurusan Tanah Faperta IPB. Bogor
Sugiyono. 2015. Statistik Nonparametris. Alfabeta, Bandung.
Susanti, Lisana Widi. 2008. Faktor-fakor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani
dalam Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo
Kabupaten Sragen. Jurnal agritexts No 24
Syamsi I. 2002. Pengambilan Keputusan. Bina Aksara, Jakarta
Wirawan, B, dan Wahyuni, S. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat: Padi, Jagung, Kedelai,
Kacang Tanah, Kacang Hijau. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

597
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Preferensi Konsumen terhadap Pemilihan Buah Jeruk Lokal dan Buah


Jeruk Impor di Kota Purwokerto
(Studi Kasus Pada Pasar Wage Purwokerto)
Consumer Preference on the Selection of Local and Imported Oranges in
Purwokerto (A Case Study on Wage Market Purwokerto)
Lusiana Yuliantika1, Pujiati Utami1, dan Pujiharto1
1Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik konsumen buah jeruk
Preferensi Konsumen lokal dan buah jeruk impor, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
Buah Jeruk preferensi konsumen, perilaku pembelian konsumen dan sikap konsumen
Sikap Konsumen terhadap buah jeruk lokal dan buah jeruk impor. Lokasi penelitian berada di
Pasar Wage Purwokerto. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, chi
square dan multiatribut fishbein dengan metode survey dan diambil sampel
sebanyak 40 responden menggunakan teknik accidental sampling. Analisis
chi square digunakan untuk mengetahui terdapat pengaruh yang signifikan
dari faktor jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah
anggota keluarga. Sedangkan untuk mengukur sikap konsumen digunakan
multiatributfishbein.
Hasil dari penelitian ini yaitu responden yang membeli jenis buah jeruk lokal
dan buah jeruk impor di Pasar Wage beragam. Dari faktor-faktor yang diuji
menggunakan chi square berdasarkan karakteristik responden untuk jenis
buah jeruk lokal menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pada
faktor umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota
keluarga. Sedangkan pada jenis buah jeruk impor terdapat pengaruh yang
signifikan pada faktor jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.
Perilaku responden yang membeli buah jeruk lokal dan buah jeruk impor
sebanyak 75% beralasan karena harga yang ditawarkan Pasar Wage
Purwokerto lebih murah, dengan jumlah rata-rata pembelian buah jeruk baik
buah jeruk lokal dan buah jeruk impor sebanyak 67.5% membeli dengan
kisaran 1-2 kg yang untuk di konsumsi sendiri. Atribut yang dianggap penting
oleh responden buah jeruk lokal yaitu atribut harga, rasa dan warna
sedangkan pada jenis buah jeruk impor yaitu atribut rasa, warna dan harga
pada hasil akhir nilai sikap konsumen. Sementara itu atribut yang bukan
menjadi pertimbangan utama oleh konsumen yaitu atribut tekstur, ukuran dan
aroma.

ABSTRACT

Keywords: This study aimed to find out the consumer characteristics on the selection of
Consumer Preference local orange and imported oranges, to find out the factors affecting consumer
Oranges preferences, and to investigate consumers' buying behavior and consumers'
Consumers' Attitudes attitudes towards local orange and imported oranges. The research was
conducted in Wage Market of Purwokerto. This research used descriptive
analysis, chi square and multiple attribute fishbein with survey method and
40 respondents were taken using accidental sampling technique. Chi square
analysis was used to find out that there was a significant influence of the

598
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

characteristics tested, namely sex, age, education, occupation, income, and


number of family members. Multiberibute fishbein was used to to measure
consumers' attitudes.
The study shows a variety result on the respondents' selection, they were
found some who bought local and imported oranges in the Wage Market.
From the factors tested using chi square based on the characteristics of
respondents for the type of local oranges showed that there was a significant
influence on the factors of age, education, occupation, income and number of
family members. In other hand, when seen from the type of imported oranges,
it showed a significant effect on gender, education, employment and income.
The behavior of respondents who bought local orange and imported oranges
was 75%. They said that the prices in Wage Market in were cheaper than in
other markets. The average purchase number of local orange and imported
oranges purchased both local oranges and imported was 67.5% with a range
of 1-2 kg for own consumption. Attributes that are considered important by
local orange buyers are price, taste and color attributes. Meanwhile, the
attributes of taste, color and price are the final result of consumer attitudes on
the imported oranges. Meanwhile the attributes that are not the main
consideration by consumers are the attributes of texture, size and aroma.

Email Korespondensi : yuliantikalusianal5@gmail.com

PENDAHULUAN
Indonesia dikenal dengan negara agraris yang menghasilkan berbagai macam komoditi
pertanian, salah satu diantaranya yaitu buah-buahan. Buah merupakan bahan makanan yang
banyak mengandung vitamin, mineral, lemak, protein dan serat. Setiap buah memiliki keunikan
dan kekhasan serta daya tarik tersendiri, seperti rasa yang lezat dan beraroma yang khas dalam
buah itu sendiri. Dewasa ini buah-buahan mendapat perhatian dari masyarakat, baik sebagai
menu makanan maupun sebagai komoditas ekonomi yang memiliki nilai yang tinggi
(Widodo,1996).
Jeruk adalah salah satu jenis buah yang mengandung gizi tinggi . Gizi yang terkandung
dalam buah jeruk antara lain Provitamin A, Vitamin C, Vitamin Bl, Vitamin B2, Asam folat,
Mineral besi, Kalsium, Fosfor, Potasium/kalium, Flavonoid, Coumarin dan Pektin. Buah jeruk
merupakan koniditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (high economic value commodity)
dan dibutuhkan oleh masyarakat dari berbagai kalangan. (Jannah dick, 2018).
Dalam memilih suatu produk konsumen pasti akan memiliki penilaian tersendiri terhadap
suatu produk yang akan dibelinya. Sikap konsumen itu dalam membeli produk dipengaruhi oleh
preferensinya terhadap jeruk serta dengan mempertimbangkan atribut dari jeruk tersebut.
Preferensi ini terbentuk dari persepsi terhadap merek salah satu produk atau jasa. Dalam hal ini
preferensi merek atau atribut terhadap suatu produk sangat berkaitan dengan penilaian konsumen
yaitu konsumen akan merasakan puas atau tidak terhadap suatu merek atribut produk atau jasa
yang akan membuat konsumen akan membeli produk tersebut. (Jono, dick, 2005)
Faktor-faktor yang sering kali dipertimbangkan oleh konsumen pada saat membeli produk
yaitu harga, kualitas, kemasan, kelengkapan fungsi, desain dan layanan penjualan (Wahyudi,
2005). Konsumen dapat mempengaruhi suatu produk dengan produk yang lainnya melalui
atribut yang ada pada suatu produk. Atribut yang dimiliki buah antara lain yaitu rasa, aroma,
ukuran, keadaan fisik serta harga dari buah itu sendiri (Riska, 2012).
Kota Purwokerto merupakan salah satu kota yang menjual buah jeruk lokal dan buah jeruk
impor baik di pasar modern maupun pasar tradisional. Pasar Wage merupakan salah satu pasar
tradisional terbesar yang berada di Kota Purwokerto dan berlokasi di tengah-tengah pusat Kota.
Melihat keadaan ini maka penulis tertarik untuk mengamati preferensi konsumen terhadap

599
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pemilihan buah jeruk lokal dan buah jeruk impor di Purwokerto dengan studi kasus pada pasar
tradisional yaitu Pasar Wage.
Perumusan Masalah, berdasarkan pendahuluan diatas yaitu : (1) Bagaimana karakteristik
konsumen buah jeruk lokal dan buah jeruk impor?; (2) Bagaimanakah perilaku pembelian
konsumen buah jeruk lokal dan buah jeruk impor; (3) Apa saja faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumen buah jeruk lokal dan buah jeruk impor; (4) Apa saja atribut yang menjadi
pertimbangan konsumen buah jeruk lokal dan buah jeruk impor.
Tujuan Penelitian, berdasarkan perumusan masalah tujuan dari penelitian ini yaitu : (1)
untuk mengetahui karakteristik konsumen buah jeruk lokal dan buah jeruk impor; (2) untuk
mengetahui perilaku pembelian konsumen buah jeruk lokal dan buah jeruk impor; (3) untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi preferensi konsumen; (4) untuk
mengetahui atribut apa saj a yang menjadi pertimbangan konsumen buah jeruk lokal dan buah
jeruk impor.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Perilaku konsumen adalah suatu ilmu yang relatif baru jika dibandingkan dengan ilmu
yang lainnya. Ilmu ini mulai dikembangkan ketika konsep pemasaran telah banyak diterapkan di
perusahaan-perusahaan. Secara menyeluruh perilaku konsumen dan perlunya memahami tentang
konsumen mendorong ilmu ini berkembang dengan mengkombinasikan disiplin ilmu lain yang
saling berkaitan untuk dapat menjelaskan mengenai perilaku konsumen dengan baik.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2007) dalam Suryani (2008) menjelaskan tentang perilaku
konsumen merupakan studi yang membahas bagaimana seorang individu membuat keputusan
untuk membelanjakan sumberdaya yang tersedia dan dimiliki (uang, waktu dan usaha) untuk
memperoleh barang atau jasa yang nantinya akan dikonsumsi.
Swastha (1999) mengatakan bahwa konsumen dalam pembelian suatu produk baik barang
maupun jasa dipengaruhi oleh faktor rasional dan faktor emosional. Dalam kenyataannya kedua
faktor tersebut jarang terjadi secara bersamaan. Biasanya hanya salah satu faktor saja yang
menyertai suatu proses pembelian. Faktor rasional adalah faktor mendasari akan kenyataan-
kenyataan atau yang menjadi suatu pertimbangan seperti faktor ekonomi, faktor penawaran,
permintaan dan harga. Selain itu juga ada faktor lain yaitu faktor kualitas, pelayanan,dan
kesediaan barang serta keterbatasan waktu yang ada juga menjadi salah satu pertimbangan.
Faktor yang dapat menjadi pertimbangan lain dalam pembelian rasional adalah berkaitan dengan
waktu. Dalam hal ini konsumen akan selalu mempertimbangkan sependek mungkin waktu yang
digunakan dalam proses pembelian.
Atribut dapat diartikan sebagai suatu karakteristik yang membedakan dengan merek atau
produk yang lain bahkan dapat juga sebagai faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan oleh
konsumen dalam pengambilan keputusan tentang pembelian suatu merek atau kategori produk
yang telah melekat pada produk atau bagian produk. Atribut yang dimilikipun biasanya memiliki
keunikan dan dapt menarik perhatian konsumen. Menurut Simamora (2005) atribut suatu produk
terdiri dari tiga tipe yaitu:
1. Ciri atau rupa (feature) dapat berupa ukuran, bahan dasar, karakteristik estetis, proses
manufaktur, servis atau jasa, penampilan, harga, susunan maupun trademark.
2. Manfaat (benefit) dapat berupa kegunaan, kesenangan, yang berhubungan dengan panca
indera, manfaat non material seperti waktu.
3. Fungsi (function) fungsi jarang digunakan dan lebih sering diperlakukan sebagai ciri-ciiri
atau manfaat.

METODE PENELITIAN
Penentuan responden dilakukan secara Accidental Sampling, yaitu dimana responden
dapat secara langsung dipilih di lokasi penelitian pada saat penelitian dilakukan. Pengumpulan
data dari responden dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara. Setelah memilih dan

600
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

menentukan responden maka selanjutnya dilakukan wawancara berstruktur, yaitu dengan


menggunakan teknik pengumpulan data melalui pertanyaan-pertanyaan berdasarkan panduan
kuesioner. Jumlah total sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 40 responden.
Meta& Pengumpulan Data. Penelitian dilakukan menggunakan metode survey,
tujuannya adalah konsumen yang membeli buah jeruk baik buah jeruk lokal maupun buah jeruk
impor di Pasar Wage Purwokerto. Sebagian besar data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
data primer, data ini diperoleh dari survey pada konsumen yang membeli buah jeruk lokal dan
buah jeruk impor sebagai pengambil keputusan untuk membeli buah jeruk. Dengan melalui
teknik wawancara dan dengan alat bantu kuesioner. Data sekunder diperoleh dari UPT Pasar
Wage dan lembaga yang berhubungan dengan penelitian ini.
Meta& Analisis. Analisis yang digunakan adalah analisis chi square untuk mengetahui
dari masing-masing jenis buah jeruk apakah faktor-faktor yang di uji berpengaruh signifikan
pada taraf kepercayaan 95%. Serta untuk mengukur sikap konsumen menggunakan Multiatribut
Fishbein.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden. Objek penelitian adalah masyarakat yang membeli buah
jeruk baik buah jeruk lokal atau buah jeruk impor di Pasar Wage.

Tabel 1. Karakteristik Responden Buah Jeruk berdasarkan Jenis Kelamin.


Jumlah Responden Jenis Buah Jeruk
No Jenis Kelamin %
(Orang) Lokal Impor
1 Laki-laki. 11 9 2 27,5
2 Perempuan 29 19 10 72,5
Total 40 28 12 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Responden buah jeruk lokal dan buah jeruk impor sebagian besar berjenis kelamin
perempuan dengan jumlah presentase sebesar 72.5% dan jumlah seluruh responden berjenis
kelamin perempuan yaitu 29 orang. Sedangkan responden berjenis kelamin laki-laki yang
membeli buah jeruk lokal maupun buah jeruk impor bejumlah 11 orang dengan presentase
27.5%.

Tabel 2. Karakteristik Responden Buah Jeruk berdasarkan Umur.


Kelompok Umur Jum1ah Responden (orang) Jumlah
No. %
(tahun) Jeruk Lokal Jeruk Impor (orang)
1 13 – 27 9 5 14 35
2 28 – 37 11 0 11 27,5
3 32 – 47 4 4 g 20
4 48 – 57 2 3 5 12,5
5 58 – 67 2 0 2 5
Total 28 12 40 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Responden yang cenderung membeli buah jeruk adalah responden yang memiliki rentang
umur 18-27 tahun dapat dilihat pada rentang umur tersebut memiliki presentase 35%. Dengan
distribusi responden terdapat 9 responden yang membeli buah jeruk lokal dan 5 responden yang
membeli buah jeruk impor. Selanjutnya pada rentang umur 28-37 tahun terdapat 11 responden
dengan presentase 27.5%, seluruh responden pada rentang umur ini membeli jenis buah jeruk
lokal.

601
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Karakteristik Responden Buah Jeruk berdasarkan Pendidikan.


No Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (Orang) Jumlah
%
Jeruk Lokal Jeruk Impor (Orang)
1 SD 4 0 4 10
2 SMP 7 0 7 17,5
3 SMA 12 10 22 55
4 Diploma 2 0 2 5
5 Sarjana 3 2 5 12,5
28 12 40 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Responden yang membeli buah jeruk baik buah jeruk lokal maupun buah jeruk impor
mempunyai latar belakang pendidikan yang beragam. Sebagian besar responden berlatar belakang
pendidikan SMA yaitu terdapat 22 responden dengan presentase 55%. Dari data tersebut dapat kita
ketahui bahwa konsumen di pasar wage yang menjadi responden penelitian ini hampir setengah dari
penduduknya atau sekitar 72.5% telah menempuh pendidikan tinggi hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA) bahkan ada yang melanjutkan pendidikan hingga Diploma dan Sarjana.
Tabel 4. Karakteristik Responden Buah Jeruk berdasarkan Pekerjaan.
Jumlah Responden (Orang) Jumlah
No Jenis Peker-jaan %
Jeruk Lokal Jeruk Impor (Orang)
1 Ibu Rumah Tangga 10 8 18 45
2 Karyawan Swasta 15 1 145 40
3 Pelajar/Mahasiswa 0 2 2 5
4 Wirausaha 3 1 4 10
Total 28 12 40 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Responden memiliki berbagai macam pekerjaan, namun peresentase terbesar yaitu 45% di
dominasi oleh ibu rumah tangga dengan jumlah 18 responden, selanjutnya ada 40% karyawan
swasta dengan jumlah 16 responden.
Tabel 5. Karakteristik Responden Buah Jeruk berdasarkan Pendapatan.
No Pendapatan (Rp) Jumlah Responden (Orang) Jumlah %
Jeruk Lokal Jeruk Impor (Orang)
1 600.000 – 1.500.000 10 0 10 25
2 1.600.000 – 3.000.000 12 10 22 55
3 3.100.000 – 4.500.000 2 1 3 7,5
4 4.600.000 – 6.000.000 4 1 5 12,5
Total 28 12 40 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Mayoritas responden yang melakukan pembelian di Pasar Wage adalah 55% responden
yang memiliki pendapatan sebesar Rp 1.600.000 — Rp 3.000.000.
Tabel 6. Karakteristik Responden Buah Jeruk berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga.
No Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Responden Jenis Buah Jeruk %
(Orang) (Orang) Lokal Impor
1 1–2 10 2 8 25
2 3–4 25 21 4 62,5
3 5–6 5 5 0 12,5
Total 28 12 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

602
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sebanyak 62.5% responden dengan jumlah 25 orang rata- rata memiliki jumlah anggota
keluarga 3 - 4 orang.
Perilaku Pembelian Konsumen. Perilaku konsumen dalam hal ini yang membeli atau
mengkonsumsi buah jeruk baik buah jeruk lokal maupun impor yaitu sebuah tindakan langsung
oleh konsumen untuk memperoleh, mendapatkan atau mengkonsumsi buah jeruk. Dengan
mempelajari perilaku konsumen ini maka kita akan memahami siapakah yang membeli buah
jeruk, bagaimana mereka membeli, kapan waktunya mereka membeli, serta mengapa mereka
membeli buah jeruk.

Tabel 7. Alasan Pembelian Buah Jeruk.


No Alasan Pembelian Jumlah Responden Jenis Buah Jeruk %
(Orang) Lokal Impor
1 Harga lebih murah 30 23 7 75
2 Tempat yang strategis 7 3 4 17_5
3 Suasana nyaman 3 2 1 7_5
Jumlah 40 28 12 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Responden buah jeruk baik buah jeruk lokal maupun buah jeruk impor memiliki alasan
pembelian buah di Pasar Wage karena harga jeruk lebih murah atau dengan kata lain harga masih
bisa ditawar oleh konsumen dapat dilihat dari presentase nya yaitu sebesar 75%, alasan yang
kedua yaitu sebanyak 17.5% konsumen memberikan alasan bahwa membeli buah jeruk di Pasar
Wage yaiu tempatnya yang strategis berada di tengah kota dan juga dekat dari rumah, alasan
yang terakhir yaitu 7.5% memberikan suasana nyaman. Susana nyaman yang dimaksudkan disini
dari hasil wawancara, konsumen sudah menganal pedagang buah dan sudah langganan dalam
membeli buah sehingga konsumen merasa nyaman berbelanja.

Tabel 8. Frekuensi Pembelian Buah Jeruk.


Jumlah Responden Jenis Buah Jeruk
No Frekuensi Pembelian %
(Orang) Lokal Impor
1 Seminggu sekali 10 6 4 25
2 Dua mimggu sekali 7 4 0 17,5
3 Sebulan sekali 7 3 4 17,5
4 Tidak tentu 16 13 3 40
Jumlah 40 28 12 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Dalam waktu satu bulan terdapat 40% responden yang membeli buah jeruk tidak tentu atau
kadang-kadang Baja memebeli buah untuk konsumsi. Frekuensi pembelian buah jeruk
selanjutnya yaitu 25% responden membeli buah dalam waktu seminggu sekali serta 17.5%
responden membeli buah dua minggu sekali dan sebulan sekali.

Tabel 9. Jumlah Pembelian Buah Jeruk


Jumlah Jumlah Jenis Buah
No (%)
Pembelian (kg) Responden (Orang) Lokal Impor
1 1 6 3 3 15
2 1–2 27 19 8 67,5
3 >2 7 6 1 17,5
Jumlah 40 28 12 100
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

603
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Sebanyak 67.5% responden membeli buah jeruk berkisar antara 1-2 kg, hal tersebut
berkaitan dengan jumlah anggota keluarga responden yaitu dalam penalitian kali ini rata-rata
jumlah anggota keluarga responden berjumlah 3-4 orang. Rencana Pembelian responden yang
diteliti yaitu 100% untuk konsumsi sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pereferensi konsumen dalam mengkonsumsi buah jeruk lokal atau buah jeruk
impor dianalisis menggunakan chi square yang pengolahannya menggunakan software SPSS.

Tabel 10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Preferensi Konsumen Buah Jeruk.


Faktor Preferensi Konsumen Jenis Buah
No
Lokal Impor
1 Jenis Kelamin 
2 Umur 
3 Pendidikan  
4 Pekerjaan  
5 Pendapatan  
6 Jumlah Anggota Keluarga 
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen pada buah jeruk lokal yaitu faktor
umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga. Sedangkan untuk buah
jeruk impor faktor-faktor yang mempengaruhi adalah faktor jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan.
Sikap Konsumen. Nilai sikap konsumen untuk jeruk lokal dan jeruk impor didapatkan
dari mengalikan nilai evaluasi kepentingan (ei) dengan nilai kepercayaan (bi) masing-masing
atribut. Penjumlahan nilai sikap untuk masing-masing atribut akan mendapatkan nilai sikap
secara keseluruhan (Ao). Penilaian sikap terhadap jeruk lokal dan jeruk impor dibagi menjadi
empat kategori, mulai dari -2 - (-1): sangat negatif, -0.99 — 0.01: negatif, 0.02 — 1.02: positif
dan 1.03 —2.03: sangat positif.
Berdasarkan kategori, diketahui bahwa untuk jeruk lokal atribut yang memiliki sikap
sangat positif adalah rasa, harga dan warna serta atribut yang mendapat sikap baik yaitu ukuran,
tekstur dan aroma. Jeruk impor mendapat sikap yang sangat positif pada atribut rasa, warna dan
harga. Hasil analisis sikap responden (ei.bi) dan total nilai sikap (Ao) terhadap atribut jeruk lokal
dan jeruk impor secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 11. Nilai Sikap Responden Buah Jeruk.


Atribut Evaluasi Buah Jeruk Lokal Buah Jeruk Lokal
(bi) Ao Kategori (bi) Ao Kategori
(ei bi) (ei bi)
Harga 1,08 1,50 1,62 Sangat Positif 1,00 1,08 Sangat Positif
Rasa 1,63 1.23 2,00 Sangat Positif 1,20 1,95 Sangat Positif
Warna 1,48 0,95 1,40 Sangat Positif 1,13 1,67 Sangat Positif
Tekstur 0,99 0,63 0,62 Positif 0,81 0,80 Positif
Ukuran 1,03 0,77 0,79 Positif 0,72 0,74 Positif
Aroma 1,03 0.45 0,46 Positif 0,72 0,74 Positif
Sumber: Data Primer, Diolah, 2019.

Analisis sikap fishbein menunjukkan bahwa jeruk impor dinilai oleh responden masih
lebih unggul dibandingkan dengan jeruk lokal. Tiga atribut jeruk impor mendapat sikap yang
sangat positif dari responden. Atribut yang mendapat sikap sangat positif yaitu rasa, warna kulit
dan harga, sedangkan atribut tekstur, ukuran dan aroma, positif. Saat membandingkan nilai sikap

604
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

antara jeruk lokal dengan jeruk impor, diperoleh hasil bahwa jeruk impor lebih disukai dari jeruk
lokal pada atribut warna kulit. Jeruk impor mendapat sikap positif dari segi warna kulit karena
warnanya yang orange dan menarik untuk dilihat. Sedangkan jeruk lokal mendapat sikap positif
tertinggi pada atribut rasa. Pada penilaian tingkat kepentingan jeruk, rasa menempati urutan
paling pertama yang dipertimbangkan oleh konsumen.

PENUTUP
Kesimpulan
Karakteristik konsumen buah jeruk lokal dan buah jeruk impor yang terdapat di Pasar
Wage Purwokerto didominasi oleh Karyawan Swasta dan Ibu Rumah Tangga, dengan kisaran
umur < 37 tahun dan rata-rata berpenghasilan perbulan Rp 1.600.000 — Rp 3.000.000 dengan
pendidikan terakhir SMA.
Perilaku konsumen dalam pembelian buah jeruk yaitu dengan beralasan harga yang di
tawarkan Pasar Wage Purwokerto lebih murah, namun rata-rata pembelian konsumen tidak tentu
kapan konsumen akan mambeli. Untuk jumlah pembelian konsumen rata-rata membeli 1-2 kg
buah jeruk untuk di konsumsi sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen buah jeruk lokal berdasarkan basil
analisis yaitu faktor umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen buah jeruk impor
berdasarkan hasil analisis yaitu faktor jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.
Atribut yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli buah jeruk lokal di Pasar
Wage secara berurutan adalah atribut rasa, harga, warna, ukuran tekstur dan aroma. Sedangkan
yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli buah jeruk impor di Pasar Wage secara
berurutan adalah atribut rasa, warna, harga, tekstur, ukuran dan aroma. Secara keseluruhan
responden memiliki sikap dan kepercayaan yang lebih positif terhadap buah jeruk impor
dibandingkan dengan buah jeruk lokal. Hal ini terjadi karena responden menilai secara
keseluruhan atribut.

Saran
Pasar Wage Purwokerto diharapkan mampu memenuhi keinginan konsumen terhadap
atribut buah jeruk terutama pada atribut yang dianggap penting oleh konsumen dalam pemilihan
buah jeruk. Hal tersebut dapat dilakukan oleh penjual buah jeruk dengan melakukan pengecekan
terhadap buah jeruk yang diterima dari distributor agar sesuai dengan keinginan konsumen.
Untuk melengkapi penelitian ini, diharapkan pada penelitian yang akan datang dibahas
juga mengenai sensitivitas harga baik buah jeruk lokal maupun buah jeruk impor di Pasar Wage
karena mengacu dari preferensi konsumen mengenai atribut harga, atribut tersebut dianggap
penting oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA
Jannah, Nur, Made Antara dan Effendy. 2018. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Konsumen Dalam Mengkonsumsi Buah Jeruk Impor di Kota Palu. Journal Agroland. Vol
25 No.2 Hal 121-129.
Jono, M. Munandar, Faqih Udin dan Meivita Amelia. 2005. Analisis Yang Mempengaruhi
Preferensi Konsumen Produk Air Minum Dalam Kemasan Di Bogor. Jurnal Teknik
Pertanian. Vol.13 No 3 Hal 97-107.
Riska, Isni Y. 2012. Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Buah Jeruk Lokal dan Buah Jeruk
Impor di Kabupaten Kudus. Journal Agrista. Vol 1 No 4 Hal 96-111.
Schiffman, Leon G dan Leslie Lazar Kanuk. 2007. Perilaku Konsumen. Edisi ke-7.
Diterjemahkan Oleh Zoelkifli Kasip. PT. Indeks Gramed: Jakarta.

605
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Simamora, Bilson. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Suryani, Tatik. 2008. Perilaku Konsumen: Implikasi pada Strategi Pemasaran. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
Swastha, Basu. 1999. Asas-asas Pemasaran. Edisi ketiga. Liberty. Yogyakarta.
Wahyudi, Handri Dian. 2005. Pengaruh Atribut Produk Terhadap Keputusan Konsumen
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. Journal Eksekutif; 2(3) 165-
170.
Widodo.W.D,. 1996. Pemangkasan Pohon Buah-buahan. Penebar Swadaya: Jakarta.

606
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Studi Implementasi Kebijakan Perdagangan Karet Indonesia dan


Provinsi Jambi
Study of Policy Implementation on Rubber Trade in Indonesia and
Jambi Province
Mirawati Yanita1, Ernawati HD1, dan Dompak Napitupulu1
1Fakultas Pertanian UNJA, Jambi

ABSTRAK

Kata Kunci: Kebijakan pertanian menggambarkan serangkaian peraturan yang terkait


Karet dengan pertanian dalam negeri dan impor pertanian serta ekspor, Penerapan
Kebijakan kebijakan pertanian untuk mencapai tujuan tertentu dalam pasar produk
perdagangan pertanian domestik, Tujuan ini dapat melibatkan tingkat pasokan yang
Kuota ekspor terjamin, stabilitas harga, kualitas produk, pemilihan produk, penggunaan
Harga lahan, dan tenaga kerja, Salah satu kebijakan pertanian yaitu kebijakan
komoditas karet, Walaupun Indonesia merupakan negara kedua terbesar
penghasil karet di dunia dan Provinisi Jambi menyumbangkan produksi
terbesar keempat di Indonesia, masih ditemui bahwa kebijakan tersebut tidak
serta merta dapat mencapai tujuannya, Tujuan penelitian adalah pertama,
mendeskripsikan kebijakan perdagangan komoditas karet di Indonesia;
kedua, menganalisis keberhasilan kebijakan kuota ekspor karet Indonesia
terhadap harga karet yang diterima petani di Provinsi Jambi, Penelitian
dilakukan secara sengaja di Kabupaten Bungo dan Merangin dengan
pertimbangan memiliki jumlah pekebun terbanyak di Provinsi Jambi, Data
dikumpulkan melalui wawancara secara mendalam kemudian disajikan
secara deskriptif analitik, Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
perdagangan karet di Indonesia telah dilakukan beberapa tahapan, dalam
periode tertentu, Kebijakan dilakukan untuk meningkatkan pendapatan
petani, melalui mekanisme pembatasan ekspor untuk menaikkan harga yang
diterima petani di Provinsi Jambi, Kebijakan perdagangan tersebut efektif
memberikan shock kepada pasar dalam jangka pendek tetapi dalam jangka
panjang kebijakan perdagangan tersebut masih perlu ditinjau kembali
terutama untuk menggerakkan lagi pengembangan industri hilir dari
komoditas karet Indonesia dan Provinsi Jambi selama ini,
ABSTRACT

Keywords: Agricultural policy describes a series of regulations relating to domestic


Rubber agriculture and imports and exports agriculture, The implementation of
Trade policy agricultural policies is to achieve certain goals in the domestic agricultural
Export quota product market, This objective can involve guaranteed supply levels, price
Price stability, product quality, product selection, land use, and labor, One of the
agricultural policies is the rubber commodity policy, Although Indonesia is
the second largest rubber producing country in the world and Jambi Province
contributes the fourth largest production in Indonesia, it is still found that the
policy does not achieve its objectives, The research objectives are first, to
describe the policy of rubber commodity trading in Indonesia; second,
analyze the success of Indonesia's rubber export quota policy on rubber prices
received by farmers in Jambi Province, The research was carried out
intentionally in Bungo and Merangin Regencies with the consideration of
having the highest number of planters in Jambi Province, The data is
collected through in-depth interviews and then presented in analytic

607
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

descriptive, The results showed that the rubber trade policy in Indonesia had
been carried out several stages, within a certain period, The policy is carried
out to increase farmers' incomes, through export restriction mechanisms to
increase prices received by farmers in Jambi Province, This trade policy is
effective in shocking the market in the short term but in the long run term this
trade policy still needs to be reviewed, especially to run again the
development of downstream industries of rubber commodities in Indonesia
and Jambi Province so far,

Email Korespondensi: mirawatiyanita@unja,ac,id

PENDAHULUAN
Pengusahaan perkebunan karet di Indonesia terbagi tiga yakni Perkebunan Rakyat,
Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta yang dikelola oleh perusahaan swasta,
Pada tahun 2017, luas perkebunan rakyat sebesar 3,12 juta hektar atau 84,85 persen dari total
luas areal karet di Indonesia, Tahun 2014 dan 2015 perkembangan produksi karet menunjukkan
produksi yang menurun tetapi pertumbuhan perkebunan karet positif (Dirjenbun, 2016), Angka
ini mengindikasikan bahwa terdapat perkebunan baru tetapi produktivitas tidak meningkat
searah dengan penambahan luas areal,
Indonesia adalah produsen karet terbesar kedua dan karet merupakan salah satu komoditas
ekspor yang memiliki kontribusi cukup besar untuk devisa negara, Karet adalah komoditas
ekspor utama yang mendukung perekonomian Indonesia, Lebih dari 2 juta rumah tangga
sekarang bergantung pada karet sebagai sumber pendapatan utama mereka, Karet rakyat
menyumbang 84,94 persen dari total luas karet Indonesia (3,6 juta hektar) dan 81,66 persen dari
total produksi karet bersama dengan produktivitas karet alam Indonesia dengan rentang dari 994
hingga 1,507 kilogram per hektar yang sangat rendah dibandingkan dengan negara produsen
karet tetangga seperti Thailand dan Malaysia (Dirjenbun, 2017), Kondisi ini mengindikasikan
bahwa terdapat penanaman karet baru dengan penambahan luas areal, tetapi produktivitas dari
lahan tersebut tidak meningkat seiring dengan kenaikan luas lahan, Perkembangan luas areal,
produksi karet di Indonesia tahun 2011-2017 dapat dilihat pada Tabel 1,

Tabel 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Karet di Indonesia Tahun 2011-2017.
Luas Areal Produksi Perkembangan Perkembangan
Tahun
(Ha) (Ton) Luas Areal (%) Produksi (%)
2011 3.456.128 2.990.184 0,31 9,34
2012 3.506.201 3.012.254 1,40 0,74
2013 3.555.946 3.237.433 1,42 7,48
2014 3.606.245 3.153.186 1,41 -2,60
2015 3.621.102 3.145.398 0,41 -0,25
2016 3.639.092 3.157.780 0,50 0,39
2017 3.672.123 3.229.861 0,91 2,28
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (Desember 2018)

Harga merupakan variabel yang penting dalam melakukan transaksi perdagangan. Bila
dilihat dari sisi harga terjadi kenaikan harga ekspor karet yang sangat signifikan dari tahun 2001
sampai dengan tahun 2011, kecuali pada masa krisis global tahun 2008/2009. Motivasi petani
mengusahakan komoditas karet adalah ingin mendapatkan harga yang lebih baik.
Bagaimanapun, semenjak tahun 2011 sampai dengan sekarang terdapat perubahan terhadap
harga karet, dari sebelumnya mencapai $4,5/kg untuk SIR 20, lalu harga terus berfluktuasi tetapi
cenderung menurun sampai menjadi hanya $1,45/kg. Pada dasarnya harga di tingkat petani tidak

608
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

hanya dipengaruhi oleh harga di pasar internasional tetapi juga oleh faktor lain seperti mutu dari
karet itu sendiri (Gapkindo, 2018).
Begitu pula halnya harga karet di tingkat petani di Provinsi Jambi. Sebagai daerah
penghasil karet terbesar ke-4 di Indonesia, pekebun di Provinsi Jambi juga mengalami imbas
dari perubahan harga pasar di tingkat internasional. Gambar 1 menunjukkan produksi karet
Jambi tahun 2016-2017. Dari pengusahaan karet tersebut sebagian besar (98,62%) diusahakan
oleh pekebun rakyat. Produksi karet tersebut disumbang dari luas areal sebesar 375.804 hektar
dengan rincian dari Tanaman Menghasilkan (TM) sebanyak 81,15 persen, dan Tanaman Belum
Menghasilkan (TBM) sebesar 15,01 persen, sisanya merupakan Tanaman Tidak Menghasilkan
(TTM).

(Ribu Ton)
Jambi 320.6
287 8,83%

Riau 362.8
338.5
2017 2016
SumUt 464.2
432.8

SumSel 998.1
962.4

0 200 400 600 800 1000 1200

Gambar 1. Produksi Karet Provinsi Jambi Tahun 2016-2017.


Sumber : BPS (2018)

Efek dari fluktuasi harga ini juga mengakibatkan perubahan harga di tingkat produsen
crumb rubber (SIR 20) di Provinsi Jambi. Harga SIR 20 berfluktuasi sepanjang tahun 2018.
Harga paling tinggi pada bulan Oktober dan paling rendah pada bulan Juli 2018. Sampai akhir
tahun 2018, harga di tingkat produsen crumb rubber ini menurun kembali di bawah Rp.
19.000/kg. Jika harga di tingkat pabrik sedemikian rupa, harga di tingkat petani untuk Bokar
(bahan olah karet) yang menjadi bahan baku SIR 20, akan lebih rendah lagi, ditambah dengan
penentuan harga atas dasar standar mutu seperti kadar karet keringnya (KKK).
Kestabilan harga merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kepastian berusaha,
terutama untuk kegiatan perdagangan karet di Provinsi Jambi. Untuk itu pemerintah pusat telah
menetapkan berbagai kebijakan di sektor perkebunan terutama kebijakan untuk komoditas karet
sebagai salah satu primadona ekspor, penyumbang devisa dari sisi non migas. Kebijakan yang
ditetapkan umumnya diimplementasikan untuk kebijakan periode jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang. Melalui negosiasi yang panjang dan beragam yang akan
berdampak bagi kebijakan secara nasional maupun internasional, yang akan berefek kepada
produsen karet di daerah. Kebijakan tersebut berlaku atas dasar persetujuan dan periode tertentu.
Salah satu kebijakan yang popular yang telah ditetapkan dan diterapkan berulang kali
adalah kebijakan pembatasan jumlah ekspor atau kuota ekspor karet antara 3 negara ITRC.
Selain itu ada juga kebijakan Supply Management Scheme (SMS) untuk mengatur produksi karet
dalam negeri. Secara khusus Kebijakan AETS bertujuan untuk menyeimbangkan jumlah
pasokan dan permintaan karet di pasar internasonal serta mendorong kenaikan harga. Kebijakan
ini efektif diterapkan pada tahun 2006, walaupun ITRC terbentuk tahun 2001, tetapi kebijakan
sebelumnya dianggap belum dapat menyelesaikan permasalahan harga karet yang turun pada

609
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

saat itu. Kebijakan AETS telah dilakukan sebanyak 4 kali, dan akan diberlakukan kembali tahun
ini tetapi masih dinegosiasikan bersama.
Kebijakan ini diharapkan dapat efektif supaya naiknya harga karet ke depan akan kembali
meningkatkan penghasilan pekebun dan juga memberikan insentif kepada pekebun untuk
menyadap pohon karet terutama kepada pekebun yang berada di Provinsi Jambi. Tujuan
penelitian ini adalah pertama mendeskripsikan kebijakan perdagangan komoditas karet di
Indonesia; kedua menganalisis keberhasilan kebijakan kuota ekspor karet Indonesia terhadap
harga karet yang diterima petani di Provinsi Jambi.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia disamping untuk memperoleh devisa negara,
juga ditujukan untuk melindungi produsen dalam negeri dari ancaman industry substitusi dari
luar negeri. Tarif impor yang tinggi dan insentif nilai tukar yang menguntungkan merupakan
salah satu upaya pemerintah untuk melindungi dan memacu laju pertumbuhan industri
komoditas yang berorientasi pasar (Anindita, 2002).
Secara umum kebijakan perdagangan internasional terbagi atas 1) Kebijakan perdagangan
bebas, 2) Kuota, 3) Larangan, 4) Kebijakan dumping, 5) Subsidi, dan 6) Kebijakan diskriminasi
harga (Krugman, 1999). Secara sederhana kebijakan perdagangan karet alam dapat diartikan
sebagai segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya memacu kinerja perdagangan
khususnya dalam upaya memperoleh netto perdagangan yang tinggi. Dengan demikian
penelusuran kebijakan perdagangan karet alam harus dimulai dari kebijakan pemerintah dalam
menstimulasi produksi dan produktivitas karet alam dapat dipilah menjadi kebijakan yang
ditujukan langsung pada stimuli industri karet alam maupun kebijakan yang berlaku umum pada
industri pertanian (Napitupulu, 2000).
Secara konseptual dapat ditunjukan bahwa, dengan asumsi tiga produsen karet alam dunia
yang bersepakat secara bersama-sama adalah cukup besar sehingga mampu mempengaruhi harga
maka dampak jangka pendek dari kuota ekspor adalah kelebihan permintaan pada pasar
internasional yang berakibat pada naiknya harga karet alam dunia.

P DM SM0 P P
MC
PM Pw2 SE0 DD
SD PM

PM
PD1

PD0
MR

DE0
0 QM0 QM1 QM1 0 Q10 0 QD2
QD0 QD1
A B C
Gambar 4. Dampak Pengurangan/Pembatasan Kuota Ekspor Terhadap Keseimbangan Perdagangan
Karet Alam Indonesia.
Gambar 4 menunjukkan pasar negara konsumen (4a), pasar negara produsen (4c) dan pasar
ekses (4b). Pada pasar autarky, diasumsikan bahwa keseimbangan pada pasar konsumen terjadi
dengan jumlah transaksi perdagangan sebesar QM0 dan harga sebesar PM0 (Gambar 4a) sementara
pada negara produsen keseimbangan pasar terjadi pada QD0 dan PD0 (Gambar 4c). Pelepasan
asumsi autarky yang berarti terjadi perdagangan luar negeri sehingga jumlah barang yang

610
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

ditawarkan pada pasar impor semakin besar dan jumlah penawaran di negara produsen
berkurang. Perubahan penawaran di masing-masing negara akan bergerak terus hingga harga di
kedua negara menjadi sama yakni sebesar PW1 pada Gambar 4b. Harga dunia PW yang
ditransmisikan ke pasar domestik menyebabkan produsen karet alam dosmestik alan
meningkatkan produksi menjadi QD1 pada Gambar 4c. Pada harga Pw pasar domestik hanya
akan meminta QD2. Selisih jumlah QD1QD2 pada Gambar 4c dan QM1QM0 pada gambar 4a
menjadi stok negara produsen.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di dearah utama penghasil karet yakni Kabupaten Bungo dan
Merangin. Ruang lingkup penelitian terbatas hanya mendeskripsikan kebijakan komoditas karet
terkait keberhasilan kebijakan kuota ekspor terhadap harga karet yang diterima pekebun di
Provinsi Jambi. Terutama pada tahun diterapkannya kebijakan tersebut pada tahun 2016 dan
2018.
Data dikumpulkan melalui kegiatan library research dan wawancara. Penulis menelaah
sejumlah literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, dokumen,
artikel dalam berbagai media. Untuk data statistik ekspor karet Indonesia, penulis menggunakan
data dari Statistik Perkebunan Indonesia, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo),
dan Food and Agriculture Organization of the United Nation. Selain itu untuk memperoleh data
yang lebih akurat dilakukan interview secara mendalam (indepth interview) di kabupaten
penghasil utama karet Jambi yakni, Kabupaten Bungo dan Merangin, kepada stakeholders yang
terkait dengan kebijakan ekspor karet di Provinsi Jambi serta Gapkindo.
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder merupakan
data yang diperoleh melalui studi literatur. Seperti buku, jurnal, artikel, majalah, handbook, situs
internet, institut dan lembaga terkait. Adapun, data yang dibutuhkan ialah data yang berkaitan
langsung dengan penelitian yaitu terkait kebijakan pembatasan ekspor dan pengaruhnya terhadap
jumlah perdagangan karet Provinsi Jambi dan harga di tingkat pekebun.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang menggunakan
pola penggambaran keadaan fakta empiris disertai argumen yang relevan. Kemudian, hasil
uraian tersebut dilanjutkan dengan analisis untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik.
Tipe penelitian deskriptif-analitik dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai
fenomena yang terjadi dan relevan dengan masalah yang diteliti. Metode deskriptif digunakan
untuk menjelaskan bagaimana perkembangan kebijakan perdagangan terhadap komoditas karet
Indonesia dan provinsi Jambi. Sedangkan kajian kebijakan perdagangan terutama kebijakan
pembatasan ekspor terhadap jumlah perdagangan karet di Provinsi Jambi dan harga di tingkat
pekebun akan dianalisis menggunakan analisis kualitatif dan disajikan secara persentase,
tabulasi serta grafik berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian menghubungkan fakta tersebut
dengan fakta lainnya sehingga menghasilkan sebuah argumen yang tepat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keragaan Komoditas Karet di Indonesia dan Provinsi Jambi
Sektor pertanian memainkan peran penting dalam kegiatan ekonomi di Indonesia; ini dapat
dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu sekitar 13,6 persen pada
2017 atau peringkat kedua setelah sektor manufaktur. Pada saat krisis ekonomi, sektor pertanian
merupakan sektor yang cukup kuat untuk menghadapi guncangan ekonomi dan terbukti andal
dalam pemulihan ekonomi nasional. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian
Republik Indonesia (RENSTRA) 2015-2019 menjelaskan bahwa 12 komoditas perkebunan
menunjukkan pola pertumbuhan produksi yang pasti dari tembakau, minyak kelapa sawit, kapas,
cengkeh, karet, tebu, lada, kopi, nilam, dan kelapa. Sedangkan tiga komoditas lainnya, yaitu
jatropha, teh dan jambu mete karena berbagai kendala menunjukkan pola pertumbuhan produksi
negatif dengan rata-rata tingkat penurunan sekitar -1,18 hingga -12,14%/tahun (Kementerian

611
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pertanian, 2015). Dari pernyataan di atas, dapat dijelaskan peran penting komoditas perkebunan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sektor perkebunan karet yang dibudidayakan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
sektor Perkebunan Rakyat (PR) yang dikelola oleh masyarakat, Perkebunan Milik Negara (PBN)
yang dikelola lembaga negara, dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang dikelola oleh
perusahaan swasta. Sebagian besar perkebunan karet yang dibudidayakan pada tahun 2017
dioperasikan oleh petani kecil yang sekitar 3,12 juta hektar atau 84,85 persen dari total area
perkebunan karet di Indonesia. Pada tahun 2014 dan 2015, peningkatan produksi karet
menunjukkan pertumbuhan produksi negatif tetapi pertumbuhan perkebunan karet menunjukkan
tanda positif (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2016) yang berarti ada sejumlah perkebunan karet
baru tetapi produktivitas perkebunan area (dalam hektar) tidak membaik karena sejalan dengan
peningkatan area. Perkembangan area penanaman dan produksi sektor perkebunan karet di
Indonesia dari 2011 hingga 2017 yang menunjukkan angka yang berfluktuasi.
Karet merupakan komoditas yang tidak dikonsumsi secara langsung oleh manusia, namun
lebih ke permintaan industri atau melalui suatu proses industri menjadi suatu bentuk baru agar
dapat digunakan. Oleh sebab itu permintaan karet dalam negeri di Indonesia didekati dari
perhitungan ketersediaan yaitu produksi dikurang volume ekspor dan ditambah volume impor.
Perkembangan ketersediaan konsumsi karet dalam negeri selama tahun 1980 - 2016 sangatlah
fluktuatif dan cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 29,29% per tahun,
dari sebesar 45,83 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 154,36 ribu ton pada tahun 2000, dan
menjadi 608,71 ribu ton pada tahun 2016.
Ketersediaan permintaan karet dalam negeri terbesar pada periode ini terjadi pada tahun
2016 sebesar 608,71 ribu ton, hal ini terjadi karena menurunnya volume ekspor karet.
Perkembangan ketersediaan karet untuk konsumsi, pada tahun 2014 kembali turun sebesar
0,44% dari 560,51 ribu ton menjadi 558,04 ribu ton, dan pada tahun 2015 kembali turun sebesar
1,83% menjadi 547,83 ribu ton, tapi di tahun 2016 meningkat sebesar 11,12% menjadi 608,71
ribu ton. Peningkatan ketersediaan permintaan karet dalam negeri pada tahun 2016 disebabkan
oleh meningkatnya produksi sebesar 0,39% dan menurunnya ekspor sebesar 1,98%. Sedangkan
penurunan ketersediaan konsumsi karet pada tahun 2015 disebabkan menurunnya produksi
sebesar 0,25%, sebaliknya ekspor karet meningkat sebesar sebesar 0,26%.
Selama periode tertentu ditemukan bahwa terjadi kenaikan harga karet alam yang
signifikan yaitu dari tahun 2001 hingga 2011 kecuali selama periode krisis global (2008/2009).
Mendapatkan harga karet alam yang lebih baik adalah salah satu motivasi untuk meningkatkan
penanaman karet oleh petani. Namun, pada periode sejak 2011 hingga sekarang, telah terjadi
perubahan yang sangat signifikan terhadap kondisi harga karet, di mana harga karet alam yang
sebelumnya mencapai sekitar USD 4,5 per kg SIR 20 pada 2011 terus menurun, dan harga
berfluktuasi (kondisi tidak stabil) untuk SIR 20. Harga karet di tingkat petani tidak hanya
dipengaruhi oleh pasar internasional tetapi juga dipengaruhi oleh kualitas karet itu sendiri
(Gapkindo, 2018).
Stabilitas harga merupakan suatu yang sangat penting menjadi perhatian, berbagai upaya
dilakukan oleh pemerintah, terutama di sektor kebijakan karet mulai dari perencanaan hingga
implementasi kebijakan. Kebijakan yang diterapkan adalah tiga jenis kebijakan: kebijakan
jangka pendek, menengah dan panjang. Ada berbagai negosiasi yang menghasilkan kebijakan
yang diterima secara internasional dan nasional. Kebijakan ini berlaku untuk periode yang
disepakati dan ditentukan.
Karet merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Perkembangan volume
ekspor karet Indonesia sejak tahun 1980 hingga tahun 2016 mengalami peningkatan walaupun
berfluktuasi. Volume ekspor karet tertinggi terjadi pada tahun 2013 sebesar 2,70 juta ton.
Sedangkan pertumbuhan volume ekspor karet tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 18,10%,
menjadi 2,35 juta ton dari sebesar 1,99 juta ton pada tahun 2009. Pada tahun 2009 merupakan
penurunan volume ekspor terbesar selama kurun waktu 1980-2015 yaitu sebesar 12,77%.

612
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Penurunan ini disebabkan terjadinya penurunan produksi karet Indonesia pada tahun 2009
sebesar 11,40%. Selama periode 1980-2016, bila produksi karet dibandingkan dengan volume
ekspornya maka sekitar 80% produksi karet Indonesia diperuntukkan ekspor. Pada tahun 2016
volume ekspor sedikit menurun dibandingkan tahun 2015, yaitu sebesar 1,98%.
Provinsi Jambi sendiri sebagai daerah penghasil karet terbesar keempat di Indonesia
dengan kontribusi sebesar 264,41 ribu ton (8,38%). Mengusahakan komoditas karet sudah
membudaya di Provinsi Jambi, dimana luas areal pengusahaan tanaman karet mencapai 379.930
Ha (98.37% merupakan karet rakyat) dengan jumlah petani sebanyak 214.168 KK petani. Selain
itu juga komoditas karet menghasilkan devisa (42,5 % dari total ekspor Jambi). Tetapi
sayangnya rata-rata pendapatan petani karet di Provinsi Jambi hanya sebesar Rp 3.090.573/tahun
lebih kecil dari Standard MDGs (Zulkifli, dkk 2008).
Karet sebagai produk andalam ekspor Provinsi Jambi, mengalami fluktuasi produksi dan
ekspor. Dapat dilihat bahwa produksi paling tinggi pada tahun 2011 dan paling rendah tahun
2016. Kondisi ini juga berdampak pada jumlah dan nilai ekspornya.

Gambaran Perkembangan Kebijakan Karet Indonesia


Kebijakan Karet Indonesia saat ini adalah menjadi lebih baik, dan memberikan tanggung
jawab kepada Gapkindo sebagai Tripartite Rubber Corporation di Indonesia untuk menerapkan
semua kebijakan ITRC (International Tripartie Rubber Council). Kapasitas saat ini untuk
pengolahan karet remah yang dijalankan oleh Gapkindo mencapai 5,2 juta ton, sementara
produksi karet mentah masih lebih rendah dari kapasitas yaitu sekitar 3,2 juta ton.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus ini adalah bahwa semua produksi karet dapat
diserap oleh industri karet remah di Indonesia. Produk karet yang diproduksi oleh Gapkindo
disalurkan kedua segmen pasar. Segmen pertama sekitar 600.000 ton disalurkan ke industri hilir
domestik seperti pabrik ban, vulkanisir ban, suku cadang otomotif dan industri peralatan medis,
dan sebagainya. 2.600.000 ton lainnya diekspor ke perusahaan barang jadi karet yang tersebar di
89 negara tujuan (Gapkindo, 2017).
Masalah utama adalah rendahnya harga karet di pasaran. Faktanya, pergerakan harga karet
dari 2011 ke 2015 telah menurun secara signifikan dari rata-rata US $ 4,60/kg pada tahun 2011,
menjadi US $ 1,40/kg pada tahun 2015 dan mulai tahun 2016 terus menurun dan mencapai US
$ 1,04/kg pada akhir Januari 2016. Sehingga devisa yang diperoleh dari US $ 11,7 miliar pada
tahun 2011 menjadi US $ 3,9 miliar pada 2015 (Gapkindo, 2016). Ada beberapa faktor penyebab
masalah ini. Pertama, kelebihan pasokan di mana dengan harga karet yang baik sejak 2008,
banyak negara di ASEAN membuka daerah baru (penanaman baru) untuk tanaman karet dan
akibatnya pertumbuhan produksi lebih tinggi daripada pertumbuhan konsumsi. Kedua,
penurunan harga minyak sebagai bahan baku karet sintetis mengalami penurunan yang kuat.
Terakhir, melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara besar seperti Cina, Amerika, dan
UE. Menghadapi semua masalah itu, dapat diketahui kebijakan yang saat ini berjalan pada skala
nasional untuk Indonesia. Itu adalah kebijakan paling penting yang akan menjadi faktor penentu
untuk menentukan keputusan akhir.
Selama Orde Baru, pemerintah mengadopsi kebijakan pengelolaan perkebunan karet
dengan membaginya menjadi dua, yaitu Perkebunan Besar dengan sistem manajemen
Perusahaan Terbatas Perkebunan (PTP) dan Perkebunan Rakyat dengan Perkebunan Inti Rakyat
(PIR) (Ahmad, 1998). Ketika masa demokrasi, tiga negara penghasil karet alam utama (Thailand,
Indonesia, dan Malaysia) sepakat untuk melakukan kerjasama dalam perdagangan karet alam
dengan mendirikan usaha patungan karet alam yang disebut International Consortium Limited
(IRCo). Ini merupakan upaya mengatasi penurunan harga karet alam di pasar internasional.
Perjanjian ini ditandatangani oleh ketiga negara pada tanggal 8 Agustus 2002.
Mekanisme operasi IRCo dapat dijelaskan dalam dua kondisi: a) jika harga karet alam
turun ke tingkat harga referensi yang disepakati, maka perlu untuk mengimplementasikan Skema
Manajemen Pasokan (SMS) dan langkah-langkah Skema Tonnage Ekspor (AETS) yang

613
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

disetujui; b) jika harga karet alam terus menurun secara drastis, dan mekanisme SMS dan AETS
gagal mengangkat harga karet alam pada tingkat harga yang wajar sesuai dengan harga referensi,
maka perlu untuk mengambil tindakan oleh Dewan Direksi IRCo, salah satunya adalah membeli
karet alam.
Pemerintah mengambil kebijakan untuk mengamati kembali keberadaan penanaman karet
rakyat pada tahun 2006 melalui Peraturan Menteri Pertanian RI 33/Permentan/ OT.140/7/2006
tentang Pengembangan Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Kebijakan
pemerintah ini ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No.117 / PMK.06 / 2006 tentang Kredit untuk Pengembangan Energi Berbasis
Tanaman dan Revitalisasi Tumbuhan (KPEN-RP). Selanjutnya, Peraturan Pemerintah No. 31
Tahun 2007 terkait dengan pajak pertambahan nilai untuk barang perkebunan sebesar 10 persen.
Tantangan utama dalam perdagangan karet adalah stabilitas harga di pasar internasional
dan domestik. Banyak upaya yang telah dilakukan secara internasional dan domestik untuk
meningkatkan stabilitas harga karet. Secara internasional sejak 1979 hingga 2017, terdapat
empat perjanjian karet internasional yaitu INRA, AFTA, GATT, dan ITRC. Semua kebijakan
tersebut memiliki fokus utama pada harga karet, sehingga ketika harga karet akan lebih stabil,
yang berarti bahwa ketidakpastian harga petani akan berkurang di negara-negara produsen karet.
Kebijakan domestik memiliki peran penting untuk menstabilkan produksi dan harga karet
di suatu negara. Kebijakan dalam negeri di Indonesia terdiri dari beberapa jenis yaitu konstitusi,
peraturan pemerintah, dan keputusan menteri. Kebijakan dalam negeri tampaknya lebih
ditargetkan pada peningkatan produksi karet alam Indonesia untuk meningkatkan ekspor.
Peningkatan produksi akan meningkatkan ekspor, tetapi peningkatan ekspor dapat menyebabkan
harga karet lebih rendah karena kelebihan pasokan di pasar karet dunia.

Kebijakan Pembatasan Ekspor dan Harga di Tingkat Petani Provinsi Jambi


Secara umum kebijakan perdagangan internasional terbagi atas 1) Kebijakan Perdagangan
bebas, 2) Kuota, 3). Larangan, 4) Kebijakan dumping, 5) subsidi, dan 6) Kebijakan diskriminasi
harga (Krugman, 1999). Secara sederhana kebijakan perdaganagn karet alam dapat diartikan
sebagai segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya memacu kinerja perdagangan
khususnya dalam uaya memperoleh netto perdagangan yang tinggi. Dengan demikian
penelusuran kebijakan perdagangan karet alam harus dimulai dari kebijakan pemerintah dalam
menstimulasi produksi dan produktivitas karet alam dapat dipilah menjadi kebijakan yang
ditujukan langsung pada stimuli industri karet alam maupun kebijakan yang berlaku umum pada
industri pertanian (Napitupulu, 2000).
Kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia disamping untuk memperoleh devisa negara,
juga ditujukan untuk melindungi produsen dalam negeri dari ancaman industry substitusi dari
luar negeri. Tarif impor yang tinggi dan insentif nilai tukar yang menguntungkan merupakan
salah satu upaya pemerintah untuk melindungi dan memacu laju pertumbuhan industry
komoditas yang berorientasi pasar (Anindita, 2002). Kebijakan perdagangan yang khusus
diberlakukan pada industri karet alam Indonesia adalah pelarangan ekspor karet alam yang
berkualitas rendah sejak tahun 1970.
Kebijakan yang telah berulang kali dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka
ITRC dmulai dari tahun 2001. Ada 6 fase implementasi Agreement Export Tonage Scheme
(AETS) dan Supply Management Scheme ( SMS) dalam waktu tahun 2001 hingga 2018 dan
negara-negara ITRC telah sepakat untuk mengimplementasikan fase 6 dari implementasi AETS
dan SMS. Menerapkan SMS dapat mencapai pertumbuhan produksi karet yang lebih baik yang
dapat diukur setiap tahun. Meningkatkan produksi tidak berarti bahwa setiap negara dapat
meningkatkan produksi seperti yang mereka inginkan tetapi mereka harus mencoba menerapkan
apa yang telah disepakati pada pertemuan reguler ITRC. Oleh karena itu, setiap negara harus
berkomitmen pada keputusan rapat ITRC untuk diimplementasikan. Di sisi lain, AETS akan
diimplementasikan jika ITRC merasa perlu untuk melakukan ekspor dalam bentuk pengurangan.

614
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sejak berdirinya ITRC, AETS telah dilaksanakan 6 kali (pada 2002, 2009, 2012, 2016, 2018,
dan 2019) dan memberikan dampak yang lebih baik pada harga karet. Di Malaysia dan Thailand,
pemangkasan dibayar oleh pemerintah tetapi ini merupakan kasus yang berbeda di Indonesia di
mana pemangkasan dibayar oleh anggota Gapkindo karena tidak ada alokasi anggaran
pemerintah untuk ekspor pemangkasan. Penerapan AETS membuat anggota Gapkindo
membayar bunga tambahan untuk memegang stok karet. Implementasi AETS dan SMS akan
lebih berhasil jika ITRC dapat mengundang negara-negara penghasil besar lainnya untuk
mendukung atau bergabung dengan program ini.
Data menunjukkan bahwa kebijakan AETS pada tahun 2016 dilakukan pada bulan Maret
sampai Agustus 2016. Kemudian dilanjutkan kembali pada bulan September sampai bulan
Desember 2016. Kuota AETS sebesar 700.000 ton yang dibagi ke 3 negara anggota ITRC.
Sebelum diberlakukan kebijakan harga karet berada pada level $ 1,09/ kg. Terjadi kenaikan
sebesar 18,65% atau menjadi $1,34 setelah kebijakan pembatasan ekspor dilakukan. Kegiatan
monitoring dilakukan setiap 3 bulan sekali. AETS ke 5 mulai Januari sampai Maret 2018. Harga
rata-rata karet alam menurut Daily Composite Price IRCo (14-day moving average) naik dari
USD 1,46 per kilogram pada 21 Desember 2017 menjadi USD 1,54 per kilogram pada 31 Januari
2018. Jalannya skema AETS kelima tersebut dimonitor dan dievaluasi tiap bulan oleh Komite
Monitoring dan Pengawasan dari ITRC. AETS kelima tersebut, seperti keputusan-keputusan
penerapan AETS sebelumnya, adalah langkah bersama negara produsen karet alam untuk
mendongkrak harga, terutama agar harga bergerak ke tingkat yang lebih menguntungkan petani.
Pelaksanaan AETS di Indonesia didukung dengan Keputusan Menteri Perdagangan
(Kepmendag) Nomor 67 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan AETS Kelima untuk Komoditas Karet
Alam. Indonesia, bersama-sama Thailand dan Malaysia. Pengurangan ekspor sebesar 350.000
ton. AETS kelima tersebut, seperti keputusan-keputusan penerapan AETS sebelumnya, adalah
langkah bersama negara produsen karet alam untuk mendongkrak harga, terutama agar harga
bergerak ke tingkat yang lebih menguntungkan petani. Kebijakan ini telah menaikkan harga
sebesar 5 persen semenjak diberlakukan.
Nilai ekspor karet alam Indonesia ke dunia turun dengan tren 20,69 persen pada periode
2012-2016, sedangkan volume ekspornya tidak berubah signifikan. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, nilai ekspor karet alam pada tahun 2012 mencapai USD 7,86 miliar dengan
volume 2,44 juta ton. Pada 2013, nilai ekspor turun menjadi USD 6,90 miliar dengan volume
ekspor naik menjadi 2,70 juta ton. Pada 2014, nilai ekspor kembali turun ke USD 4,7 miliar
dengan volume ekspor yang juga turun menjadi 2,62 juta ton. Tercatat, pada 2015, nilai ekspor
turun menjadi USD 3,69 miliar dengan volume ekspor naik ke 2,63 juta ton. Penurunan nilai
ekspor tersebut terus terjadi pada 2016, yang tercatat menjadi USD 3,37 miliar dengan volume
2,57 juta ton. Sedangkan pada periode Januari-November 2017, nilai ekspor mulai membaik
dan naik menjadi USD 4,77 miliar dengan volume ekspor naik menjadi 2,77 juta ton.
Selanjutnya untuk tahun 2019, AETS diberlakukan selama 6 bulan dengan pengurangan
sebesar 98.000 dari Indonesia. Tabel 2 adalah data perkembangan harga Internasional dan harga
di tingkat petani pada saat kebijakan diberlakukan mulai tahun 2016-2019.
Tabel 2. Perkembangan Harga Internasional Karet Saat Diberlakukan Kebijakan Pembatasan Ekspor
(US $/Kg).
Septem Nopem- Desem-
Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Oktober
ber ber ber
2016 1.23 1.27 1.46 1.71 1.63 1.49 1.59 1.55 1.57 1.66 1.87 2.23
-3.15% 3.25% 14.96% 17.12% -4.68% -8.59% 6.71% -2.52% 1.29% 5.73% 12.65% 19.25%
2017 2.56 2.71 2.35 2.21 2.1 1.72 1.75 1.84 1.86 1.64 1.57 1.65
14.80% 5.86% -13.28% -5.96% -4.98% -18.10% 1.74% 5.14% 1.09% -11.83% -4.27% 5.10%
2018 1.72 1.72 1.76 1.73 1.7 1.56 1.47 1.47 1.44 1.43 1.35 1.44
4.24% 0.00% 2.33% -1.70% -1.73% -8.24% -5.77% 0.00% -2.04% -0.69% -5.59% 6.67%
2019 1.59 1.65 1.72 1.72 1.77 1.93 1.67 1.5
10.42% 3.77% 4.24% 0.00% 2.91% 9.04% -13.47% -10.18%

615
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa, begitu kebijakan pembatasan ekspor diterapkan,
pasar merespon sangat cepat dengan meningkatnya harga. Tetapi setelah pemberlakuan
kebijakan selesai, harga kembali turun, yang efeknya akan dirasakan oleh petani, belum lagi
adanya perhitungan rendemen yang menyebabkan harga semakin rendah. Berikut harga yang
diterima petani pada saat kebijakan pembatasan ekspor diberlakukan.

Tabel 3. Perkembangan Harga Di Tingkat Petani di Kabupaten Bungo dan Merangin Saat Kebijakan
Berlangsung Tahun 2016-2019 (Rp/Kg).
Kabupate Tahu Februa Agus- Sep- Okto- Nopem- Desem-
Januari Maret April Mei Juni Juli
n n ri tus tember ber ber ber
Bungo 2016 8,750 5,500 5,655 6,328 7,000 6,550 6,550 6,550 9,399 6,400 7,600 7,600
2017 11,500 10,500 11,000 7,200 6,500 6,000 6,100 6,900 7,000 7,000 7,800 7,600
2018 8,000 8,000 8,200 8,100 8,000 8,300 9,200 8,000 7,700 7,800 7,700 7,700
2019 8,000 7,800 7,500 7,800 8,000 8,200 7,200 7,000 0 0 0 0
Merangin 2016 6,000 6,000 7,000 8,000 7,000 6,000 6,000 8,100 7,718 8,872 8,629 8,629
2017 8,000 9,500 9,500 7,500 8,200 7,200 8,200 8,500 8,600 8,000 7,000 7,500
2018 6,000 7,600 7,120 7,000 7,000 7,000 8,500 9,000 9,200 7,800 8,300 8,300
2019 8,200 8,000 7,800 8,000 8,200 8,500 7,500 7,300 0 0 0 0

Tabel 3 menunjukkan perkebangan harga di tingkat petani pada saat kebijakan pembatasan
ekspor diberlakukan. Hal yang sama terjadi, pasar mengikuti perubahan di tingkat internasional.
Perbedaannya adalah petani tidak mengetahui adanya kebijakan tersebut, sehingga petani hanya
menerima harga yang diberikan oleh para tengkulak ataupun pedagang pengumpul. Kebijakan
ini sebetulnya sangat baik diberlakukan, dengan dibuktikan oleh pemberlakuan untuk ke sekian
kalinya dalam kerangka ITRC. Tetapi masih perlu diberlakukan pengawasan dari internal dan
para anggota ITRC, karena sangat rawan untuk terjadi pelanggaran jika tidak diikuti dengan
reward dan punishment kepada pelaksana kebijakan dalam hal ini para pelaku usaha. Kebijakan
ini hanya efektif dilakukan dalam jangka pendek, dalam jangka panjang tidak menjamin bahwa
stok di pasar akan berkurang. Pasar akan merespon dengan cepat begitu kebijakan diberlakukan
terutama di level internasional, tetapi setelah itu mekanisme permintaan dan penwaran akan
kembali normal dengan masuknya komoditas dari kompetitor baru negara penghasil karet seperti
Kamboja dan Vietnam.
Terdapat kebutuhan untuk bekerjasama di antara negara-negara penghasil karet utama
dunia dalam menentukan pasokan yang seimbang dengan permintaan karet alam dunia sehingga
akan menghasilkan keseimbangan di pasar karet dunia. Dalam jangka panjang, ekspor karet alam
Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh produksi karet alam. Ini karena volume ekspor
tergantung pada produksi karet alam Indonesia. Jika produksi karet alam meningkat, volume
ekspor akan meningkat. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan membuka lahan baru
(harus dipertimbangkan kembali dalam jangka panjang), menemukan benih unggul yang
memiliki produktivitas tinggi, meningkatkan kualitas bahan olah karet sehingga harga Bokar
dapat meningkat. Dengan demikian, petani karet akan mendapat insentif untuk meningkatkan
produksi karet. Peningkatan infrastruktur dan fasilitas lainnya untuk meningkatkan efisiensi
perdagangan karet. Peningkatan industri hilir melalui peningkatan investasi pemerintah sehingga
karet alam dapat diproses terlebih dahulu sebelum diekspor. Dengan demikian dapat
meningkatkan nilai tambah karet alam. Peningkatan nilai tambah akan mendorong harga ke
tingkat yang lebih baik, hal ini akan menjadi insentif untuk petani dalam meningkatkan produksi
karet alam.
Indonesia harus menerapkan kebijakan satu pintu yang berarti bahwa semua kebijakan
hanya dapat dikeluarkan oleh satu badan pemerintah. Kebijakan akan memiliki kerangka kerja
yang sama dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan kolaborasi dan koordinasi yang
relevan di bawah beberapa Kementerian dan Badan Pemerintah Daerah. Selain itu, Pemerintah

616
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Indonesia dapat membangun lingkungan yang menarik untuk investasi asing melalui kebijakan
investasi efektif pada industri pertanian yang dikeluarkan yang akan meningkatkan kesejahteraan
petani. Di tingkat lapangan, pemerintah dan semua pemangku kepentingan karet dapat
meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur untuk mendukung produksi dan pemasaran karet.
Selain itu, juga penting untuk mempertimbangkan kembali skema kemitraan antara petani kecil
dan perusahaan perkebunan karet.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Kebijakan Perdagangan Karet Indonesia, terutama Kebijakan Pembatasan Ekspor telah
dilaksanakan 6 kali dalam periode mulai tahun 2001 sampai dengan 2019. Kebijakan ini
diberlakukan untuk meningkatkan harga di level internasional dan mengurangi pasokan di
pasar.
2. Kebijakan pembatasan ekspor, meningkatkan harga di tingkat internasional diikuti harga di
tingkat petani. Tetapi dalam jangka panjang kebijakan tersebut tidak efektif karena adanya
pasokan dari negara kompetitor sehingga harga akan kembali turun.

Saran
Ekspor yang dilakukan sebaiknya tidak dalam bentuk barang setengah jadi, tetapi berusaha
untuk melakukan hilirisasi komoditas karet dengan mningkatkan konsumsi di dalam negeri. Hal
ini dilakukan untuk menghindari turunnya harga internasional yang akan berimbas pada harga
yang diterima petani.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil., 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet.
Medan.
Anwar, Chairil., 2006. Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis Karet di Indonesia. Pusat
Penelitian Karet. Medan.
Anindita, R, 2002. Economics Effects of Trade Liberalization on The Indonesian Coffe,
Coconut, and Rubber Industries. Disertation. University of The Los Banos The Philipnnes.
Apriyantono, A,. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet Edisi Kedua. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Dan Agro Inovasi. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. 2005. Arah dan Pengembangan
Agribisnis Karet. Jakarta.
Direktorat Perundingan APEC dan Organisasi Internasional, Ditjen Perundingan Perdagangan
Internasional, Kementerian Perdagangan.2017. Pelaksanaan SMS dan AETS. Jakarta
Direktorat Jendral Perkebunan. 2016. Statistik Dirjen Perkebunan. Kementerian Pertanian.
Jakarta.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2017. Statistik Dirjen Perkebunan. Kementerian Pertanian.
Jakarta.
Elwamendri. 2000. Perdagangan Karet Alam Antara Negara Produsen Utama dan Amerika
Serikat. Tesis. Magister Sains. Institut Pertanian Bogor.
Gapkindo, 2018. Bulletin Karet: Informasi Pasar dan Perkembangan Karet Indonesia. Berbagai
terbitan softcopy. Jakarta.
Krugman, R dan Obsfeld. 2003. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

617
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Lembang, Marlina Banne dan Pratomo, Yulius. 2013. Ekspor Karet Indonesia ke-15 Negara
Tujuan Utama Setelah Pemberlakuan Kebijakan ACFTA. Trikonomika. Volume 12, No.
1, Juni 2013, Hal. 20–31. ISSN 1411-514X
Maryadi. 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Malian, A Husni. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas pertanian Indonesia. AKP.
Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 135-156. Bogor.
Napitupulu, Dompak MT. 2000. Model Perdagangan Karet Alam Indonesia: Simulasi Kebijakan
Menghadapi Kesepakatan Tripartite dan Perdagangan Bebas. Disertasi. Ilmu Pertanian.
UNiversitas Brawijaya.
Prabowo, Dwi Wahyuniarti. 2006. Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika Ekspor
Karet Alam Indonesia ke Negara Negara Impor Utama. Tesis Magister Sains. Institut
Pertanian Bogor.
Penulisan Daftar Pustaka (bibliography) dan Kutipan (citation) berdasarkan gaya Harvard
Format APA (American Psychological Association) Format penulisan dilihat pada:
Panduan Penulisan Daftar Pustaka APA Citation Style,
Braun, William, (2002), The System Archetypes, Diambil 8 Juni 2014, dari
http://www,albany,edu/faculty/gpr/PAD724/724WebArticles/sys_archetypes,pdf
Bruijn, Hans de, Bruijn, Haiko van der Voort, Willemijn Dicke, Martin de Jong, Wijnand
Veeneman, (2004), Creating System Innovation, A,A, Balkema Publisher
Ritzer, George dan Barry Smart, (2001), Handbook Teori Sosial, Handbook of Social Theory,
diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie, Penerbit Nusamedia, Bandung,
Rogers, Everett, (1995), Diffusion of Innovation, Fourth Edition, New York: The Free Press,
Yuliar, Sonny, (2009), Tata Kelola Teknologi, Perspektif Teori Jaringan Aktor, Penerbit ITB,
Bandung,

618
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Kepuasan Petani Padi Sawah Terhadap Kinerja Pelayanan


Penyuluh Pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Sukamakmur
Kabupaten Aceh Besar
Satisfaction Analysis Paddy Farmers to Performance of Agricultural
Extension Services in Agricultural Extension Center (BPP) Sukamakmur
Aceh Besar district
Mujiburrahmad1, Edy Marsudi1, T. Fauzi1, Elly Susanti1, dan Norawati1
1Program Studi Agribinis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,

ABSTRAK

Kata Kunci: Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten penghasil padi di Provinsi Aceh
Pertanian dan sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani padi sawah.
Penyuluh Tujuan penelitian untuk mengetahui kinerja pelayanan penyuluh pertanian
Kinerja melalui tingkat kepentingan dan tingkat kinerja dari atribut lima dimensi
Petani kualitas pelayanan (tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan
Padi emphaty) dan untuk mengetahui tingkat kepuasan petani padi sawah terhadap
kinerja pelayanan penyuluh pertanian di BPP Sukamakmur yang di ukur
berdasarkan lima dimensi kualitas pelayanan. Data yang diperoleh kemudian
di analisis menggunakan metode Importance Performance Analysis (IPA)
dan analisis Customer Satisfaction Index (CSI). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kinerja pelayanan penyuluh pertanian di BPP
Sukamakmur kepada petani padi sawah masih belum baik. Berdasarkan
diagram kartesius atribut kualitas pelayanan di BPP Sukamakmur yang
menjadi prioritas utama dalam peningkatan kinerjanya terdapat pada
Kuadran I yaitu: penyuluh aktif dan kreatif, menyampaikan informasi
teknologi terbaru, mengundang petani untuk menghadiri pertemuan
kelompok tani, dan praktek langsung dilapangan.Tingkat kepuasan petani
padi sawah terhadap pelayanan penyuluh pertanian di Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) Sukamakmur yaitu sangat memuaskan. Hal ini dapat dilihat
dari nilai satisfaction index (indeks kepuasan) sebesar 82,62% atau 0,8262.
Nilai tersebut didalam kriteria nilai CSI berada pada selang 0,81-1,00 yang
berarti sangat memuaskan.

ABSTRACT

Keywords: Aceh Besar is one of a district that produce the paddy in Aceh provinc and
Agricultural most of population work as paddy farmer. The purpose of this research is to
Extension know Performance of Agricultural Extension Services through the interests
Performance level and performace level of the five dimension attributes of services quality
Farmers (tangible, reliability, responsiveness, assurance, and emphaty) and to know
Rice paddy farmers satisfaction level to performance of Agricultural Extension
Services in BPP Sukamakmur it is measured in the five dimensions of service
quality. Next the data analysed by Importance Performance Analysis (IPA)
methods and by Customer Satisfaction Index (CSI) analysis methods. The
results showed that the performance of agricultural extension services at the
BPP Sukamakmur to lowland rice farmers was still not good. Based on the
Cartesian diagram the service quality attributes at BPP Sukamakmur which
are the top priority in improving their performance are found in Quadrant I,

619
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

that is: active and creative of Agricultural Extension Service, convey the
latest technology information, invite farmers to attend farmer group
meetings, and practice directly in the field. The level of paddy farmers
satisfaction with Performace of Agricultural Extension Services in
Agricultural Extension Center (BPP) Sukamakmur is very satisfactory. This
can be seen from the satisfaction index value of 82.62% or 0.8262. This value
in the CSI value criteria is in the interval of 0.81-1.00 which means it is very
satisfying.

Email Korespondensi: mujiburrahmad@unsyiah.ac.id

PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan oleh setiap negara guna
menciptakan kesejahteraan pada setiap golongan masyarakat. Di negara berkembang seperti
Indonesia pembangunan umumnya lebih diutamakan pada sektor pertanian yang menjadi fondasi
bagi pertumbuhan ekonomi negara. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2017 mencatat
bahwa penduduk Indonesia paling banyak bekerja pada sektor pertanian yaitu 31,86 % dari total
seluruh penduduk yang bekerja yaitu sebanyak 124,54 juta jiwa sedangkan 68,14% bekerja pada
berbagai sektor lainnya.
Aceh merupakan salah satu provinsi yang sangat membantu pertumbuhan ekonomi negara
terutama di sektor pertanian dan menjadi sebagai salah satu lumbung pangan Negara dengan luas
lahan sawah baik irigasi maupun non irigasi sebesar 307.417,2 Ha (BPS, 2017). Dari luas lahan
tersebut pada tahun 2013 Aceh menjadi salah satu penghasil beras terbanyak dengan
menyumbang stok beras sebanyak 46 ribu ton (Kompas, 2013), dan banyak masyarakat Aceh
yang berprofesi sebagai petani padi sawah. Salah satu daerah di Aceh yang menghasilkan beras
terbanyak yaitu kabupaten Aceh Besar selain dari kabupaten Aceh Timur, Pidie Jaya, Bener
Meriah, dan Nagan Raya. Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Aceh Besar telah membantu
dalam proses peningkatan produksi dan kualitas padi sawah dengan berbagai program salah
satunya melalui program penyuluhan pertanian. Akan tetapi program tersebut belum seutuhnya
dapat meningkatkan kualitas dan produksi padi secara maksimal.
Pelaksanakan penyuluhan pertanian dilakukan oleh penyuluh pertanian di Lembaga
Penyuluhan Pertanian yang telah ditempatkan di wilayah kerja masing-masing. Penyuluhan
pertanian ini sangat penting meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena dengan
meningkatnya kualitas sumber daya manusia akan meningkatkat pula kualitas usahataninya.
Kelembagaan penyuluhan pertanian menjalankan tugasnya dibawah pengawasan pemerintahan.
Oleh karena itu tata kerja penyuluh pertanian sudah di atur dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 154 Tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan. Sedangkan landasan hukum agar tujuan penyuluhan yang terarah efektif dan efesien
diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (SP3K).
Salah satu lembaga penyuluhan pertanian yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)
Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. Lembaga ini juga merupakan tempat terhubungnya antara
penyuluh dengan pelaku utama dan pelaku usaha pertanian. BPP Kecamatan Suka Makmur
berdiri sejak tahun 2011. Namun sebelum didirikannnya BBP Suka Makmur itu sendiri, seluruh
pelaku utama dan pelaku usaha tani Kecamatan Sukamakmur tergabung didalam wilayah kerja
BPP Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar.
BPP Sukamakmur memiliki 35 desa binaan dalam melaksakan tugasnya yang di bagi
menjadi empat Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP), yaitu Sibreh, Lam Lheu, Aneuk
Batee dan Sungai Limpah. Keempat wilayah kerja tersebut dibina oleh 17 orang tenaga kerja
penyuluhan pertanian yang terdiri atas tenaga PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan THL-TBPP

620
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian). Adapun kelembagaan petani yang
berkembang didalam kerja BPP Sukamakmur yaitu ada 51 kelompok tani yang terdiri dari
Gabungan Kelompok Tani (gapoktan) dan kelompok kegiatan. Gapoktan dan kelompok kegiatan
tersebut terdiri dari kelompok Tani Pangan (TP), kelompok ternak dan kelompok wanita tani.
Menurut Trimo (2006) kelompok tani merupakan kumpulan petani yang di bentuk atas dasar
memiliki kesamaan kepentingan, kondisi lingkungan sosial (sosial, ekonomi, sumberdaya,
keakraban, serta keserasial yang pada umumnya dipimpin oleh seorang ketua kelompok).

Tabel 1. Data Kelompok Tani di Wilayah Kerja BPP Sukamakmur Tahun 2016.
Desa WKPP Jumlah Kelompok Jumlah Anggota (Orang)
Dilib Bukti Sibreh 2 145
Dilip Lamteungoh Sibreh 1 90
Sibreh Keumude Sibreh 1 79
Baet Lampuot Sibreh 1 100
Baet Mesjid Sibreh 2 85
Baet Meusugo Sibreh 2 115
Seumereng Sibreh 1 90
Lambaro Sibreh Sibreh 1 52
Reuhat Tuha Sibreh 1 59
Weusiteh Sibreh 1 78
Luthu Dayah Krueng Sungai Limpah 1 78
Pantee Rawa Sungai Limpah 2 58
Luthu Lam Weu Sungai Limpah 2 145
Kayee Adang Sungai Limpah 2 45
Lam Birah Sungai Limpah 2 101
Lam Tanjong Sungai Limpah 1 73
Tampok Blang Lam Lheu 2 150
Tampok Jirat Rayah Lam Lheu 1 80
Lampanah Ineu Lam Lheu 1 87
Lam Lheu Lam Lheu 1 120
Lamgeu Tuha Lam Lheu 2 55
Lamteh Dayah Lam Lheu 1 78
Lamgeu Baro Lam Lheu 1 95
Lampisang Aneuk Batee 1 58
Meunasah Bakthu Aneuk Batee 1 63
Kling Manyang Aneuk Batee 2 120
Aneuk Batee Aneuk Batee 3 68
Meunasah Tuha Aneuk Batee 1 41
Blang Cut Aneuk Batee 3 45
Aneuk Galong Baro Aneuk Batee 1 110
Aneuk galong titi Aneuk Batee 2 113
Niron Aneuk Batee 2 103
Lambarih Bakmee Aneuk Batee 1 120
Lambarih Jr. Raya Aneuk Batee 1 70
Bukloh Aneuk Batee 1 46
Total 51 3015
Sumber: BPP Sukamakmur, 2015

Dari data diatas dapat dilihat bahwa semua desa di kecamatan Sukamakmur sudah
tergabung didalam kelompok tani. Kelompok tani tersebut terdiri dari kelompok tani gabungan
(gapoktan), kelompok tani ternak, dan kelompok tani wanita, dengan kelas kemampuan pemula,
lanjut dan madya.
Abubakar dan Amelia (2010) mengatakan bahwa pada dasarnya penyuluhan merupakan
proses pembinaan kepada masyarakat tani yang tergabung di dalam kelompok tani yang
memerlukan pengembangan dan penaatan yang dibantu oleh penyuluh. Maka dari itu, kegiatan
penyuluhan pertanian harus diikuti dengan kualitas pelayanan penyuluhan pertanian dan
penyuluh harus mengetahui apa yang diinginkan oleh petani. Kualitas pelayanan dapat di ukur

621
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

melalui besar kecilnya kepuasan yang didapatkan dari suatu barang atau jasa. Didalam
penyuluhan petani merupakan tujuan utama dari pelayanan dan penyuluh merupakan pihak
pemberi pelayanan. Sehingga pelayanan yang diberikan didalam penyuluhan sesuai dengan apa
yang diharapkan petani.
Besar kecilnya kepuasan petani terhadap pelayanan penyuluhan yang diberikan erat
kaitannya dengan kinerja yang diberikan oleh penyuluh itu sendiri. Kepuasan petani sangat
penting agar kegiatan penyuluhan yang disampaikan penyuluh pertanian berjalan secara efektif
dan efesien. Kepuasan yang diterima petani akan berpengaruh besar agar petani berkemauan
tinggi dan sadar untuk menerapkan inovasi yang dibawakan penyuluh serta mampu melakukan
perubahan dalam berusaha tani untuk tercapai keberhasilan dari usahatani yang mereka jalankan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu: a). Untuk mengetahui kinerja pelayanan penyuluh pertanian,
berdasarkan tingkat kepentingan dan tingkat kinerja dari atribut dimensi kualitas pelayanan, di
BPP Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar, dan (b) Untuk mengetahui tingkat kepuasan petani
terhadap kinerja pelayanan penyuluh pertanian, di BPP Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Balai Penyuluhan Pertanian


Sukamakmur

Visi dan Misi


BPP Sukamakmur

Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian

Importance
Kualitas Pelayanan Penyuluh: tangible, Kuesioner dengan Performance Analysis
reliability, responsiveness, assurance, Skala Likert (IPA) dan Costumer
dan emphaty satisfaction Index
(CSI)

Analisis Kinerja pelayanan dan


kepuasan Petani terhadap Pelayanan
Penyuluh Pertanian

Peningkatan Kualitas Pelayanan


Penyuluhan apabila pelayanan belum
maksimal

Keterangan: = Alur Proses


= Alat Analisis

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.

Penyuluhan pertanian bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani dan kelompok


tani dan untuk mengubah perilaku dalam berusahatani sehingga mampu meningkatkan produksi
guna untuk meningkatkan taraf hidupnya. Efektivitas penyuluhan dapat diukur melalui tingkat

622
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

kepuasan petani dalam memperoleh pelayanan penyuluh pertanian. Penelitian ini menggunakan
atribur-atribut dari lima dimensi kualitas pelayanan yaitu tangible (berwujud), reliability
(keandalan), responsiveness ( kesigapan), assurance (kepastian) dan emphaty (kepedulian).
Pengukuran dengan kuisioner dengan skala likert 1 sampai 5 yang kemudian di analisis
menggunakan Importance performance analysis (IPA). Melalui analisis IPA dapat diketahui
tingkat kepentingan dan tingkat kinerja dari setiap atribut kualitas pelayanan penyuluh di BPP
Sukamakmur. Apabila tingkat kepentingan lebih kecil daripada tingkat kinerja maka kinerja
pelayanan penyuluh sudah baik dan petani merasa puas, apabila tingkat kepentingan lebih besar
dari tingkat kinerja maka kinerja pelayanan penyuluh masih rendah dan perlu dtingkatkan lagi
agar petani tidak kecewa dan merasa sangat puas. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana
tingkat kepuasan petani secara menyeluruh, maka dilakukan pengukuran Customer Satisfaction
Index (CSI). Dari hasil analisis ini dapat digunakan sebagai acuan peningkatan mutu pelayanan
penyuluh di BPP Sukamakmur untuk kedepannya. Adapun rumusan kerangka pemikiran dapat
dilihat pada Gambar 1.

METODE PENELITIAN
Lokasi tempat penelitian ini dilakukan yaitu di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)
Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai
dengan bulan Desember tahun 2018. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani padi
sawah yang tergabung didalam kelompok tani dari 4 sampel desa dibawah wilayah kerja BBP
Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar. Metode pengambilan sampel penelitian yaitu
dengan teknik multistage random sampling (random bertingkat) yang merupakan pengembangan
atau bentuk komplek dari simple cluster random sampling.
Cara multistage random sampling yaitu dengan mengambil 4 desa yang memiliki luas
lahan terbesar dan produksi padi terbanyak di kecamatan Sukamakmur yaitu Desa Tampok
Blang, Lamlheu, Lamgeu Baro, dan Lambarih Bakmee, dari 4 desa tersebut terdapat 5 kelompok
tani dengan total anggota 485 orang petani. Menurut Gay dan Diehl (1992) sampel minimal
sebuah penelitian yaitu 10% dari jumlah populasi, maka jumlah sampel penelitian yaitu 49 orang
yang digenapkan menjadi 50 orang yang terbagi kedalam 4 desa tersebut.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya yang diajukan oleh petani responden tersebut.
Bentuk kuisioner adalah kuisioner yang bersifat tertutup yang sudah disedikan pertanyaan dan
diberikan alternatif pilihan jawaban yang sudah diberi skor atau bobot berdasarkan skala likert.
Bobot nilai skala likert dalam penelitian ini yaitu 1 sampai 5.
Listiawati (2010) mengatakan bahwa untuk mengetahui total penilaian tingkat kepentingan
dan tingkat kinerja dari masing-masing atribut yaitu dengan cara menjumlahkan hasil perkalian
setiap skor dari masing-masing skala dengan jumlah responden yang memilih pada skala likert.

Tabel 2. Kisaran Jumlah Nilai Tingkat Kepentingan dan Tingkat Kinerja.


No. Bobot Tingkat kepentingan (Y) Tingkat Kinerja (X) Selang
1 1 Tidak Penting Tidak Baik 50 – 90
2 2 Kurang Penting Kurang Baik 91 – 130
3 3 Cukup Penting Cukup Baik 131 – 170
4 4 Penting Baik 171 – 210
5 5 Sangat Penting Sangat Baik 211– 250

Untuk mengetahui bagaimana kinerja pelayanan penyuluh maka di analisis menggunakan


importance performance analysis (IPA) sedangkan untuk mengetahui tingkat kepuasan
konsumen di ukur dengan menggunakan metode Customer Satisfaction Index (CSI). Syukri

623
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

(2014) menyebutkan bahwa Customer Satisfaction Index (CSI) atau indeks kepuasan pelanggan
merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan
pelanggan secara menyeluruh dengan pendekatan yang mempertimbangkan tingkat kepentingan
dari produk atau jasa yang diukur. Stramford dalam Arifin (2015) menyebutkan kriteria tingkat
kepuasan konsumen dengan metode CSI dapat dilihatpada Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Tingkat Kepuasan Metode CSI.


No. Kriteria CSI Selang Nilai CSI
1 Tidak Puas 0,00 – 0,34
2 Kurang Puas 0,35 – 0,50
3 Cukup Puas 0,51 – 0,65
4 Puas 0,66 – 0,80
5 Sangat Puas 0,81 – 1,00

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa tidak ada petani responden yang berumur dibawah 25
tahun, sedangkan responden yang berumur antara 25 s/d 49 sebanyak 30 orang dan responden
yang berumur diatas 49 tahun sebanyak 20 orang. Artinya petani padi sawah di Kecamatan
Sukamakmur sebagian besar tergolong ke dalam usia setengah baya atau berusia antara 25-49
tahun. Dalam hal ini, agar penyuluhan berjalan dengan efektif dan efesien, dalam proses
pembelajaran penyuluh BPP Sukamakmur juga harus memerhatikan usia petani, karena tingkat
usia dapat berpengaruh dalam proses penyerapan ilmu yang diberikan penyuluh. Jumlah
responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 38 orang dan jumlah responden yang
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 12 orang. Seperti pada data diatas petani perempuan lebih
banyak dari pada petani laki-laki disebabkan pada umumnya di Kabupaten Aceh Besar usahatani
padi sawah lebih banyak dilakukan oleh perempuan daripada laki-laki berbeda dengan kabupaten
lainnya. Alasan lain juga karena perempuan lebih banyak yang mau bergabung ke dalam
kelompok tani daripada laki-laki. Ichsan et al. (2017) dalam penelitiannya di kecamatan Simpang
Tiga Kabupaten Aceh Besar dikatakan bahwa alasan utama penyebab banyaknya wanita yang
menjadi petani terutama padi sawah yaitu karena adat dan tradisi yang telah mendarah daging,
sementara laki-laki lebih memilih profesi lain sebagai pekerjaan utamanya seperti tukang
pedagang, peternak, dan lain sebagainya.
Hasil penelitian menujukkan petani padi sawah di Kecamatan Sukamakmur sebagian besar
(42%) berpendidikan terakhir SMA/Sederajat. Pada umumnya petani yang berpendidikan tinggi
lebih memudahkan penyuluh dalam menyampaikan informasi karena semakin tinggi pendidikan
semakin banyak ilmu yang dimilikinya. Dari Tabel 4 responden yang memiliki pengalaman
kerja 0-10 tahun sebesar 20%, pengalaman kerja 11-20 tahun sebesar 36%, responden yang
memilki pengalaman 21-30 tahun sebesar 30 %, dan responden dengan pengalaman kerja 31-40
tahun sebesar 14 %. Hal ini berarti sebagian besar petani di kecamatan Sukamakmur antara 11-
30 tahun. Adapun petani yang dengan pengalaman kerja 31-40 berjumlah sedikit dikarenakan
faktor usia yang tidak memungkinkannya untuk melakukan usahatani lagi.

Tabel 4. Karakteristik Responden di Wilayah Penelitian.


No. Variabel Skor %
Umur
a. < 25 Tahun 0 0
1
b. 25-49 Tahun 30 60
c. > 49 Tahun 20 40

624
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

No. Variabel Skor %


Pendidikan
a. SD/Sederajat 9 18
2 b. SMP/Sederajat 13 26
c. SMA/Sederajat 21 42
d. Diploma/Sarjana 7 14
Jenis Kelamin
3 a. Laki-laki 12 24
b. Perempuan 38 76
Pengalam Kerja
a. 0-10 10 20
4 b. 11-20 18 36
c. 21-30 15 30
d. 31-40 7 14
Status Kepemilikan Lahan
a. Pemilik penggarap 13 26
5 b. Penggarap 29 58
c. Gadai 0 0
d. Buruh Tani 8 16

Setiap petani memiliki status ekonomi dan sosial yang berbeda-beda. Umumnya petani di
Indonesia masih berpendapatan rendah dan tergolong ke dalam keluarga miskin terutama di
daerah pedesaan. Dalam menjalakan usahataninya petani memanfaatkan lahan milik sendiri,
menyewa lahan orang lain atau melakukan sistem bagi hasil. Hal tersebut tentunya juga
diterapkan oleh petani padi sawah di Kecamatan Sukamakmur. Dari tabel dapat dilihat
presponden yang berstatus sebagai pemilik penggarap sebanyak 13 orang, sebagai penggarap
sebanyak 29 orang, dan sebanyak 8 orang sebagai buruh tani. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
rata-rata petani padi sawah di Kecamatan Sukamakmur berstatus sebagai petani penggarap.
Untuk data lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Analisis Kinerja Pelayanan Penyuluh Pertanian


Analisis kinerja pada penelitian ini menggunakan metode analisis Importance Performance
Analysis (IPA). IPA digunakan untuk mengukur tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan petani
di wilayah kerja BPP Sukamakmur dengan cara mengukur sejauh mana kinerja dari atribut-
atribut kualitas pelayanan yang telah diberikan oleh penyuluh dalam melayani petani padi sawah
di kecamatan Sukamakmur. Pada perhitungan ini akan diketahui apakah kinerja yang diberikan
penyuluh berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kepuasan petani. Tahap pertama analisis IPA
yaitu menghitung tingkat kesesuaian (TKi) antara skor total tingkat kepentingan (𝑌𝑖 ) skor total
dan tingkat kinerja (𝑋𝑖 ) dengan cara menjumlahkan total skor tingkat kepentingan dan total skor
tingkat kinerja (Dengan kriteria, TKi > 100% = sangat baik, TKi < 100% = belum baik).
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Tingakat Kesesuaian (Tki) Antara Tingkat Kepentingan dan Tingkat Kinerja.
Kode Atribut Skor total tingkat Skor total tingkat Tingkat Kesesuian (Tki
kepentingan (𝑌𝑖 ) kinerja (𝑋𝑖 ) =100%)
T1 218 208 95,41*
T2 219 196 89,50
T3 158 215 136,08
T4 217 228 105,07
T5 206 199 96,60
RB1 220 186 84,54
RB2 219 191 87,21

625
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kode Atribut Skor total tingkat Skor total tingkat Tingkat Kesesuian (Tki
kepentingan (𝑌𝑖 ) kinerja (𝑋𝑖 ) =100%)
RB3 217 227 104,60
RB4 206 213 103,40
RB5 225 135 60
RB6 210 89 42,38
RB7 185 118 63,79
RS1 232 241 103,88
RS2 220 233 105,90
A1 233 231 99,15
A2 236 231 97,89
A3 232 228 98,28
E1 224 222 99,10
E2 227 225 99,11
E3 222 229 103,16
E4 234 226 96,56
E5 232 240 103,45
E6 218 214 98,17
Total 5010 4725 94,31
Sumber: data yang diolah
*𝑋𝑖 /𝑌𝑖 x 100 = 208 / 218 x 100 = 95,41

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai Tingkat Kesesuaian (TKi) adalah sebesar
94,31% yang berarti TKi<100%. Artinya kinerja pelayanan penyuluh di BPP Sukamakmur
masih belum baik (maksimal) sehingga masih perlu untuk ditingkatkan lagi. Tahap selanjutnya
yaitu menghitung nilai rata-rata tingkat kepentingan (𝑌̅𝑖 ) dan rata-rata tingkat kinerja (𝑿̅ 𝒊 ) dari
data yang sudah diperoleh pada saat penyebaran kuisioner dan menghitung rata-rata skor seluruh
atribut tingkat kepentingan (𝑌̿) dan rata-rata skor seluruh atribut tingkat kinerja (𝑋̿) Disini juga
akan diperoleh berapa kesenjangan (gap) anatara tingkat kinerja dan tingkat kepentingan.
Perhitungan rata-rata tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa masih banyak atribut-atribut dari dimensi kualitas
pelayanan yang belum maksimal karena masih terdapat kesenjangan antara tingkat kinerja dan
tingkat kepentingan. Oleh karena itu, BPP Sukamakmur harus memperbaiki kualitas pelayanan
pada beberapa atribut yang masih terdapat kesenjangan harapan petani terpenuhi.
Terakhir, memetakan hasil perhitungan pada tabel 6 kedalam diagram kartesius
menggunakan bantuan SPSS for windows ver. 16.0. Diagram kartesius yang terdiri atas empat
kuadran (I, II,III dan IV), skor rata-rata seluruh atribut tingkat kepentingan sebagai sumbu Y
(4,36) dan skor rata-rata seluruh atribut tingkat kinerja sebagai Sumbu X (4,11). Sedangkan
untuk titik-titik pada diagram menggunakan skor rata-rata tingkat kepentingan dan kinerja (tabel
6). Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 6. Hasil Perhitungan Rata-Rata Tingkat Kepentingan dan Rata-Rata Tingkat Kinerja.
Rata-rata tingkat kepentingan Rata-rata tingkat kinerja
Kode Atribut Gap
(𝑌̅𝑖 ) (𝑋̅𝑖 )
T1 4.36(a) 4.16(b) -0.2
T2 4.38 3.92 -0.46
T3 3.16 4.3 1.14
T4 4.34 4.56 0.22
T5 4.12 3.98 -0.14
RB1 4.4 3.72 -0.68
RB2 4.38 3.82 -0.56
RB3 4.34 4.54 0.2
RB4 4.12 4.26 0.14

626
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Rata-rata tingkat kepentingan Rata-rata tingkat kinerja


Kode Atribut Gap
(𝑌̅𝑖 ) (𝑋̅𝑖 )
RB5 4.5 2.7 -1.8
RB6 4.2 1.78 -2.42
RB7 3.7 2.36 -1.34
RS1 4.64 4.82 0.18
RS2 4.4 4.66 0.26
A1 4.66 4.62 -0.04
A2 4.72 4.62 -0.1
A3 4.64 4.56 -0.08
E1 4.48 4.44 -0.04
E2 4.54 4.5 -0.04
E3 4.44 4.58 0.14
E4 4.68 4.52 -0.16
E5 4.64 4.8 0.16
E6 4.36 4.28 -0.08
Total 4.35 4.11
Sumber: Data yang diolah
a. ΣYi : n = 218 : 50 = 4,36; b. ΣXi : n = 208 : 50 = 4,16; c. 𝑋̅ - 𝑌̅ = 4,16 - 4,36 = -0,2

II
I

III IV

Gambar 2. Hasil Diagram Kartesius

Berdasarkan gambar 2, ada 23 atribut kualias pelayanan yang mempengaruhi kepuasan


petani padi sawah yang menempati 4 kuadran. Kuadran I (Prioritas Utama) merupakan kuadran
yang menjadi tujuan utama meningkatkan kinerja pelayanan. Kuadran II (Pertahankan Prestasi).
Kuadran III (prioritas rendah) dan Kuadran IV (berlebihan).Adapun untuk penjelasan yang lebih
lengkap adalah sebagai berikut:
1. Kuadran I (Prioritas Utama)
Pada kuadran ini merupakan wilayah untuk atribut-atribut kualiatas pelayanan dengan tingkat
kepentingan tinggi namun tingkat kinerja rendah sehingga kepuasan petani juga rendah.
Atribut dalam kuadran I ini memiliki nilai tingkat kepentingan lebih besar dari nilai rata-rata
tingkat kepentingan (> 4,35) dan nilai tingkat kinerja lebih kecil dari nilai rata-rata tingkat
kinerja (< 4,11). Petani menganggap atribut kuadran ini sangat penting tetapi pelaksanaanya
masi kurang baik sehingga petani merasa kurang puas. Oleh karena itu, atribut yang termasuk
kedalam kuadran ini akan menjadi prioritas utama yang harus dilakukan oleh penyuluh di

627
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

BPP Sukamakmur dalam peningkatan kinerjanya sehingga kepuasan petani juga akan
meningkat. Adapun atribut yang termasuk kedalam kuadran I yaitu:

Tabel 7. Daftar Atribut Kualitas Pelayanan dalam Kuadran I.


No. Kode Atribut Pertanyaan Dimensi
1 RB5 Praktek langsung dilapangan Reliability
2 RB2 Mengundang petani untuk menghadiri pertemuan kelompok tani Reliability
3 RB1 Menyampaikan informasi teknologi terbaru Reliability
4 T2 Aktif dan kreatif Tangible

a. T2 (Aktif dan Kreatif).


Petani padi sawah memerlukan perkembangan pada usahataninya. Untuk itu, petani
memerlukan penyuluh yang aktif mengajari dan menciptakan hal-hal baru serta inovasi-
inovasi terkini yang bermanfaat guna membangun dan mengembangkan untuk usahatani
padi sawah. Atribut ini memiliki tingkat kepentingan yang tinggi menurut petani tetapi
pelaksaan oleh penyuluh masih kurang karena berdasarkan Tabel 18 nilai y untuk atribut
T2 yaitu 4,38 > 4,35 dan x 3,92 < 4,11.
b. RB1 (menyampaikan informasi teknologi terbaru)
Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas dan menunjang usaha tani padi sawah
petani memerlukan berbagai macam informasi teknologi terbaru seperti cara pemupukan,
cara pembuatan pupuk organik, cara penanaman, cara pengolohan tanah, cara
pengendalian hama dan penyakit tanaman dan lain sebagainya. Informasi teknologi
terbaru biasanya diperoleh petani dari penyuluh pertanian. Petani padi sawah Kecamatan
Sukamakmur menganggap irformasi tersebut sangat penting untuk usahataninya, tetapi
penyuluh masih kurang dalam penyampaian tentang informasi teknologi terbaru tersebut.
RB1 memiliki nilai y > 4,35 (4,4 > 4,35) dan x < 4,11 (3,72 < 4,11) (Tabel 18).
c. RB2 (mengundang petani untuk menghadiri pertemuan kelompok tani)
Pertemuan kelompok tani dengan penyuluh sangat penting untuk petani mendapatkan
berbagai info usahatani, pemecahan masalah usaha tani dan lain sebagainya. Bagi petani
pertemuan kelompok tani dengan penyuluh sangat penting di adakan tetapi penyuluh
masih kurang dalam pelaksanaanya. Pada Tabel 18 juga dapat dilihat RB2 memiliki nilai
tingkat kepentingan 4,38 > 4,35 dan tingkat kinerja 3,82 < 4,11.
d. RB5 (Praktek langsung dilapangan)
Agar bisa menerapkan teknologi yang dibawakan penyuluh pada usahataninya, petani
membutuhkan panduan berupa praktek langsung dilapangan sebagai contoh penerapan
supaya tidak ada kesalahan pada saat diterapkan sendiri. Contok praktek langsung yang
dilakukan dilapangan yaitu seperti motede penanaman padi, cara pemupukan yang baik,
cara pengendalian hama dan penyakit dan lain-lain. Berdasarkan Tabel 18, nilai y RB5
yaitu 4,5 > 4,35 dan nilai x 2,7 < 4,11 yang berarti petani sangat penting terhadap atribut
RB5, tetapi kinerja pelaksanaan penyuluh masih rendah.
2. Kuadran II (Pertahankan Prestasi)
Pada kuadran ini merupakan wilayah untuk atribut yang dianggap penting oleh petani dan
pelayanan yang diberikan penyuluh BPP Sukamakmur sesuai dengan harapan petani. Atribut
dalam kuadran ini memiliki nilai tingkat kepentingan lebih besar dari nilai rata-rata tingkat
kepentingan ( > 4,35)dan nilai tingkat kinerja lebih besar dari pada nilai rata-rata tingkat
kinerja ( > 4,11). Artinya seluruh atribut pada kuadran ini memiliki tingkat kepentingan tinggi
menurut petani padi sawah dan penyuluh telah memberikan pelayanan sesuai dengan
kepentingan petani, apabila pelaksanaannya sudah sesuai maka petani juga akan merasa puas.
Oleh karena itu, BPP Sukamakmur harus mempertahankan prestasi dari setiap atribut pada

628
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

kuadran ini agar kepuasan petani juga tidak menurun. Atribut yang termasuk dalam kuadran
II ini adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Daftar Atribut Kualitas Pelayanan dalam Kuadran II.


No. Kode Atribut Pertanyaan Dimensi
1 T1 Penyuluh memiliki jiwa kepemimpinan Tangible
2 RS1 Cepat tanggap menangani dan menyelesaikan masalah petani Responsiveness
3 RS2 Mampu dan cepat menanggapi pertanyaan yang diajukan Responsiveness
dilapangan
4 A1 Kemampuan menguasai materi penyuluhan Assurance
5 A2 Kemampuan dan pengetahuan mengetahui masalah yang Assurance
terjadi dilapangan
6 A3 Kemampuan memberi penjelasan yang mudah dimengerti Assurance
7 E1 Peduli terhadap permasalahan petani Emphaty
8 E2 Mudah dihubungi dan dijumpai Emphaty
9 E3 Mau meluangkan waktu untuk kepentingan petani Emphaty
10 E4 Berlaku adil pada setiap petani Emphaty
11 E5 Memnghadiri musyawarah /pertemuan yang diselenggarakan Emphaty
petani
12 E6 Menyediakan bahan bacaan, makanan dan minuman pada saat Emphaty
penyuluhan

Upaya yang dapat dilakukan oleh BPP Sukamakmur agar prestasi yang sudah diperoleh tetap
terjaga yaitu dengan melakukan monitoring dan evaluasi kinerja secara rutin serta setiap
atribut harus dikelola sebaik mungkin. Selain itu, BBP juga dapat melakukan pelatihan secara
berkala kepada penyuluh untuk mencegah timbulnya masalah yang dapat menurunkan
prestasi penyuluh.
3. Kuadran III (Prioritas Rendah)
Pada wilayah kuadran III merupakan wilayah untuk atribut-atribut dengan tingkat
kepentingan rendah dan tingkat kinerja rendah. Atribut dalam kuadran ini mempunyai nilai
tingkat kepentingan lebih kecil dari nilai rata-rata tingkat kepentingan (< 4,35) dan nilai
tingkat kinerja lebih kecil dari nilai rata-rata tingkat kinerja (< 4,11). Artinya petani padi
sawah menganggap atribut-atribut dalam kuadran ini kurang penting serta penyuluh BPP
Sukamakmur juga kurang baik dalam memberikan pelayanan. Adapun atribut-atribut yang
termasuk kedalam kuadran ini yaitu:

Tabel 9. Daftar Atribut Kualitas Pelayanan dalam Kuadran III.


No. Kode Atribut Pertanyaan Dimensi
1 T5 Kelengkapan dan kesiapan alat dan sarana penunjang penyuluhan Tangible
2 RB6 Menyampaikan informasi pasar Reliability
3 RB7 Membuat jalinan kerjasama antara patani dengan pihak lain Reliability

Meskipun petani menganggap atribut-atribut diatas kurang penting tetapi penyuluh jugatidak
boleh membiarkannya begitu saja, karena sewaktu-waktu kebutuhan dan keinginan petani
juga akan berubah seiring berjalannya waktu. Penyuluh harus meningkatkan pelayanannya
pada atribut-atribut di kuadran ini untuk mewaspadai penurunan kinerja. Upaya yang dapat
dilakukan yaitu dengan menyediakan sarana penunjang penyuluhan, rutin memberikan
informasi pasar terkini kepada petani, dan membuat jalinan kerjasama antara petani dengan
pihat lain agar usahatani berkembang.
4. Kuadran IV (Berlebihan)
Kuadran ini merupakan wilayah untuk atribut-atribut yang dianggap oleh petani kurang
penting, akan tetapi penyuluh di BPP Sukamakmur melakukan pelayanan dengan baik

629
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

sehingga kuadran ini dianggap berlebihan. Atribut dalam kuadran IV memliki nilai tingkat
kepntingan lebih kecil dari pada nilai rata-rata tingkat kepentingan (< 4,35) dan nilai tingkat
kinerja lebih besar dari pada nilai rata-rata tingkat kinerja (> 4,11). Artinya atribut dianggap
kurang penting oleh petani tetapi pelayanan yang diberikan penyuluh sangat baik. Adapun
atribut yang termasuk kedalam kuadran ini yaitu:

Tabel 10. Daftar Atribut Kualitas Pelayanan dalam Kuadran IV.


No. Kode Atribut Pertanyaan Dimensi
1 T3 Kebersihan dan kerapian penyuluh Tangible
2 T4 Kemampuan penyuluh menggunakan bahasa setempat Tangible
3 RB3 Membantu menyusun rencana kegiatan usahatani Reliability
4 RB4 Melakukan kunjungan dan pelatihan secara teratur Reliability

Petani menganggap atribut-atribut pada Tabel 10 kurang penting dilakukan oleh penyuluh.
Meskipun demikian, semua atribut dalam kuadran ini harus tetap dipertahankan prestasinya
oleh penyuluh guna untuk mempertahankan kinerja.

Analisis Kepuasan Petani Padi Sawah Terhadap Kinerja Pelayanan Penyuluh


Untuk mengetahui tingkat kepuasan petani terhadap kinerja pelayanan penyuluh di BPP
Sukamakmur secara keseluruhan maka dihitung dengan menngunakan metode CSI dengan
menghitung rata-rata tingkat kepentingan (MIS) dan rata-rata tingkat kinerja (MSS), kemudian
dihitung nilai weighted factor dan weighted score.
Didalam metode analisis CSI ada 5 kriteria nilai tingkat kepuasan yaitu tidak puas (0.00-
0,34), kurang puas (0,35 – 0,50), cukup puas (0,51 – 0,65), puas (0,66 – 0,80) dan sangat puas
(0,81 – 1,00). Dari perhitungan CSI pada Tabel 23, nilai Satisfaction index (indeks kepuasan)
yaitu sebesar 82,62% (0,8262). Nilai tersebut berada di antara selang nilai 0,81- 1,00 yang berarti
sangat puas. Dapat disimpulkan bahwa secara umum peniliaian petani padi sawah terhadap
kinerja pelayanan penyuluh BPP Sukamakmur sudah sangat memuaskan dan telah memenuhi
harapan petani. Oleh karena itu, penyuluh di BPP Sukamakmur harus dapat mempertahankan
mempertahankan prestasi tersebut.
Tabel 11. Hasil Perhitungan Customer Satisfaction Index (CSI).
Kode Rata-rata tingkat Rata-rata tingkat Weighted
No. Weighted factor (100%)
Atribut kepentingan (MIS) kinerja (MSS) score
1 T1 4.36 4.16 4.36(a) 0.18(b)
2 T2 4.38 3.92 4.38 0.17
3 T3 3.16 4.3 3.16 0.14
4 T4 4.34 4.56 4.34 0.20
5 T5 4.12 3.98 4.12 0.16
6 RB1 4.4 3.72 4.40 0.16
7 RB2 4.38 3.82 4.38 0.17
8 RB3 4.34 4.54 4.34 0.20
9 RB4 4.12 4.26 4.12 0.18
10 RB5 4.5 2.7 4.50 0.12
11 RB6 4.2 1.78 4.20 0.07
12 RB7 3.7 2.36 3.70 0.09
13 RS1 4.64 4.82 4.64 0.22
14 RS2 4.4 4.66 4.40 0.20
15 A1 4.66 4.62 4.66 0.21
16 A2 4.72 4.62 4.72 0.22
17 A3 4.64 4.56 4.64 0.21
18 E1 4.48 4.44 4.48 0.20
19 E2 4.54 4.5 4.54 0.20
20 E3 4.44 4.58 4.44 0.20

630
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kode Rata-rata tingkat Rata-rata tingkat Weighted


No. Weighted factor (100%)
Atribut kepentingan (MIS) kinerja (MSS) score
21 E4 4.68 4.52 4.68 0.21
22 E5 4.64 4.8 4.64 0.22
23 E6 4.36 4.28 4.36 0.19
Total 100.2 94.50 100
Weighted total 4.13
Satisfaction index 82,62(c)
Sumber: data yang diolah
(a) (MIS : total MIS ) x 100 = (4.36 : 100,2) x 100
(b) (Weighted factor x MSS) : 100 = (4.36 x 4.16) : 100
(c) (weighted total : n) x 100 = (4.13 : 5) x 100

PENUTUP
Kesimpulan
1. Kinerja pelayanan penyuluh pertanian di BPP Sukamakmur kepada petani padi sawah masih
belum baik. Berdasarkan diagram kartesius atribut kualitas pelayanan di BPP Sukamakmur
yang menjadi prioritas utama dalam peningkatan kinerjanya terdapat pada Kuadran I yaitu:
penyuluh aktif dan kreatif, menyampaikan informasi teknologi terbaru, mengundang petani
untuk menghadiri pertemuan kelompok tani, dan praktek langsung dilapangan.
2. Tingkat kepuasan petani padi sawah terhadap pelayanan penyuluh pertanian di Balai
Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sukamakmur yaitu sangat memuaskan. Hal ini dapat dilihat
dari nilai satisfaction index (indeks kepuasan) sebesar 82,62% atau 0,8262. Nilai tersebut
didalam kriteria nilai CSI berada pada selang 0,81-1,00 yang berarti sangat memuaskan.
Saran
1. Penyuluh di BPP Sukamakmur sebaiknya meningkatkan lagi pelayanan kepada petani dalam
hal praktek langsung dilapangan, memiliki jiwa kepemimpinan, menyampaikan informasi
teknologi terbaru dan lebih sering mengundang petani untuk menghapdiri pertemuan
kelompok tani agar kinerjanya lebih meningkat lagi dan petani padi sawah merasa puas.
2. Sebaiknya penyuluh lebih sering menyampaikan informasi pasar kepada petani, karena
menurut petani penyuluh BPP Sukamakmur jarang sekali menyampaikan informasi pasar
kepada petani.
3. Agar kinerja Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dibawah binaanya tetap baik, maka BPP
Sukamakmur sebaiknya rutin melakukan evaluasi kerja PPL secara berkala sehingga kegiatan
penyuluhan akan berjalan secara efektif dan efisien.
4. Untuk menunjang proses penyuluhan kepada petani pemerintah juga harus turun tangan
dengan mengevaluasi setiap kinerja BPP dan membantu penyuluh dalam kegiatan penyuluhan
melalui penyediaan sarana dan prasarana pendukung penyuluhan.

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar dan Amelia, N. S. (2010). Kualitas Pelayanan Penyuluh Pertanian dan Kepuasan
Petani Dalam Penanganan dan Pengolahan Hasil Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Jurnal
Penyuluhan Pertanian. Vol. 5 No. 1.
Amanah, S. (2007). Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia. Jurnal Penyuluhan.
Vol. 3 No. 1.
Anggraini, L. D., Panji, D. dan Dhita. M. I. (2015). Analisis Persepsi Konsumen Menggunakan
Metode Importance Performance Analysis dan Customer Satisfaction Index. Jurnal
Industri. Vol. 4 No. 2.
Anwas, A. (1992). Ilmu Usaha Tani. Cetakan II. Bandung: Alumni.

631
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Arifin, M. (2015). Analisis Tingkat Kepuasan Petani terhadap Kinerja Pelayanan Penyuluh
Pertanian (Studi Kasus Di BP3K Kalibawang, Kab. Kulon Progo, D. I. Yogyakarta). Jurnal
Agrica Ekstensia. Vol. 9 No. 1.
A. W. Van De Ban dan H. S. Hawkins. (1999). Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2005. Aceh Besar Dalam Angka 2005. Kota Janthoe.
Badan Pusat Statistik. (2006). Aceh Besar Dalam Angka 2006. Kota Janthoe.
. (2007). Aceh Besar Dalam Angka 2007. Kota Janthoe.
. (2008). Aceh Besar Dalam Angka 2008. Kota Janthoe.
. (2009). Aceh Besar Dalam Angka 2009. Kota Janthoe.
. (2010). Aceh Besar Dalam Angka 2010. Kota Janthoe.
. (2011). Aceh Besar Dalam Angka 2011. Kota Janthoe.
. (2012). Aceh Besar Dalam Angka 2012. Kota Janthoe.
. (2013). Aceh Besar Dalam Angka 2013. Kota Janthoe.
. (2014). Aceh Besar Dalam Angka 2014. Kota Janthoe.
. (2015). Aceh Besar Dalam Angka 2015. Kota Janthoe.
. (2016). Aceh Besar Dalam Angka 2016. Kota Janthoe.
. (2017). Aceh Besar Dalam Angka 2017. Kota Janthoe.
. (2017). Statistik Indonesian Tahun 2017. BPS. Jakarta Pusat.
. (2016). Kecamatan Sukamakmur Dalam Angka 2016. Aceh Besar.
. (2017). Provinsi Aceh Dalam Angka 2017. Banda Aceh.
Balai Penyuluhan Pertanian. (2015). Data Potensi Wilayah dan Agroekosistem Tahun 2016. BPP
Sukamakmur. Aceh Besar.
. (2015). Profil Balai Penyuluhan Pertanian Sukamakmur. BPP
Sukamakmur. Aceh Besar.
. (2015). Programma Balai Penyuluhan Peratanian Sukamakmur.
BPP Sukamakmur. Aceh Besar.
Barata, A. A. (2003). Dasar-Dasar Pelayanan Prima. Elex Media Kompetinda. Jakarta.
Bari, A. (2014). Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan dalam Berbelanja
di Cak-Cuk Surabaya. Jurnal Ilmu & Riset Manajemen.Vol. 3 No. 12.
Berkat dan Revi, S. 2015. Analisis Kepuasan Petani Terhadap Kegiatan Penyuluhan Pertanian
di Kelurahan Kalampangan, Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah. Jurnal Agribisnis.
Vol. 9 No. 1.
Diyahya, I., Ketut, S. dan Redy, B. (2016). Analisis Tingkat Kepuasan Petani Jagung Terhadap
Pelayanan Lembaga Pemasarannya Di Kecamatan Lubuk Pinang Kabupaten Mukomuko.
Jurnal AGRISEP. Vol. 16 No. 1.
Gay, L. R., dan Diehl, P. L. (1992). Research Methods for business and management. MacMillan
Publishing Company. New York.
Hadiati, S. dan Sarwi, R. (1999). Analisis Kinerja Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan
Pelanggan pada Telkomsel Malang Area. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan.Vol. 1
No. 1.

632
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Hayati, M., Elfiana dan Martina. (2017). Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Wilayah
Kabupaten Bireun Provinsi Aceh. Jurnal S. Pertanian. Vol. 1 No. 3.
Ichsan, M., Sofyan, dan Zakiah. (2017). Peran Wanita Tani Dalam Terhadap Pangan Rumah
Tangga Miskin Di Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pertanian Unsyiah. Vol. 2 No. 2.
Irfan, A. (2017). Sampling Acak Bertingkat. https://samplingkuliah.blogspot.com/
2017/02/sampling-acak-bertingkat.html. Diakses tanggal 26 Maret 2019.
Kartasapoetra, G. (1994). Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.
Kementrian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2015-2019.Menteri
Pertanian RI. Jakarta.
Kompas. (2013). 10 Provinsi Penghasil Bersa Tertinggi di Indonesia. https://ekonomi.
kompas.com/read/2013/01/03/16462125/Ini.10.Provinsi.Penghasil.Beras.Tertinggi.di.Ind
onesia. Diakses pada tanggal 16 Februari 2019.
Kopelman, E. E. (1998). Managing Productivity in Organization a Practice-oriented Perspective.
McGraw Hill Book Company. New York.
Kotler, P. (2002). Manajemen Pemasaran Edisi Milenium Jilid II. Penerjemah : Teguh, Hendra
et al. Jakarta. Indonesia.
. (2004). Manajemen Pemasaran Edisi Milenium Jilid II. Penerjemah : Teguh, Hendra
et al. Jakarta. Indonesia.
Kotler, P. dan Kevin, L. K. (2007). Manajemen Pemasaran Edisi Milenium Jilid XII.
Listiawati, L. (2010). Analisis Tingkat Kepuasan Petani Terhadap Kinerja Penyuluh Lapang di
BP3K Wilayah Ciawi Kabepaten Bogor. Skripsi. FEM IPB. Bogor.
Mariana, D. (2008). Demokrasi dan Politik Desentralisasi .Graha Ilmu, Yogyakarta.
Mujiburahmad, P. Mulyono dan D. Sadono. (2014). Kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten
Pidie Provinsi Aceh dalam melaksanakan tugas dan fungsi. Jurnal Penyuluhan 10 (2): 141-
150.
Nunnally, J. C. (1978). Psychometric Theory. McGraw-Hill. New York.
Ong, J. O. dan Jati, P. (2014). Analisis Kepuasan Pelanggan dengan Importance Performance Ana-
lisys di SBU Laboratory Cibitung PT. Sucifindo (Persero). Jurnal J@ti Undip. Vol IX No. 1.
Peraturan Menteri Pertanian. (2013). Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian. Menteri
Pertanian RI. Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia. (2014). Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan. Presiden RI. Jakarta.
Prabowo, B. P. S., Victor, P. K. L. dan Lucky, O. H. D. (2016). Pengaruh Tingkat Pendidikan
dan Penempatan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan pada PT. Industri Kapal
Indonesia, Bitung. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi. Vol. 16 No. 4.
Rangkuti, F. (2004). Manajemen Persediaan Aplikasi di Bidang Bisnis. PT. Rja Grafindo
Persada. Jakarta.
Rangkuti, F. (2006). Measuring Customer Satisfaction. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Robertson. (2002). Performance Measurement. Yogyakarta.
Rodjak, A. (2006). Manajemen Usaha Tani. Jilid II. Pustaka Gratuna. Bandung.

633
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Singarimbun, M dan Effendi, S. (1995). Metode Penelitian Survei. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Subagyo, A. (2010).Marketing in Business EdisiI. Mitra Wacana Media. Jakarta.
Suci hatiningsih DWP dan Waridin. (2010). Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyuluh
Pertanian dalam Meningkatkan Kinerja Usahtani Melalui Transaction Cost (Studi Emperis
di Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 11 No. 1.
Sucipto. (2013). Penilaian Kinerja Keuangan. Jurnal Ekonomi & Bisnis. FE. USU. Medan.
Susanti, M., Rosnita, dan Roza, Y. (2017). Analisis Kinerja Lembaga Penyuluhan di Kabupaten
Indragiri Hulu. Jurnal Ilmiah Pertanian. vol. 13 No. 2.
Sugiono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.
Sugiono. (2005). Memahami penelitian Kualitatif. Alfa Beta. Bandung.
Syukri, S. H. A. (2014). Penerapan Customer Satisfaction Index (CSI) dan Analisis Gap pada
Kualitas Pelayanan Trans Jogja. Jurnal JITI. Vol. 13 No. 2.
Tjiptono, F. (2008). Strategi Pemasaran Edisi III. ANDI.Yogyakarta.
Trijoko, P. (1980). Ilmu Budaya Dasar. Renika. Jakarta.
Trimo. (2006). Evaluasi Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press. Surakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16. 2006. Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan. Presiden RI. Jakarta.
Widyastuti, E. danNur, W. (2014). Analisis Kepuasan Petani Terhadap Pelayanan Penyuluh di
Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Magelang Tahun 2014. Jurnal Riset
Manajemen. Vol. 1 No. 2.
Zakaria, W. A. (2006). Ekonomi Makro Buku Ajar.Universitas Lampung. Lampung.
Zeithaml, B. danGremler. (2006). Service Marketing.Fourth Edition Prentice Hall. McGraw Hill
Book Company. New York.

634
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Buah Naga Merah Organik


(Hylocereus costaricensis) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
(Suatu kasus pada konsumen kelompok tani simpay tampomas Desa Cibeureum
Wetan Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang)
Analysis of Consumer Preferences for Organic Red Dragon Fruit
(Hylocereus costaricensis) and the Factors that Influence It
Nur Rokhmah Ramadhan1 dan Dety Sukmawati1
1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti
Jl. Raya Bandung – Sumedang km. 29 Tanjungsari Sumedang 45362

ABSTRAK

Kata Kunci: Kabupaten Sumedang memiliki perkebunan buah naga merah yang dikelola
Atribut oleh kelompok tani simpay tampomas di Desa Cibereum Wetan Kecamatan
Preferensi Konsumen Cimalaka Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Kondisi kelompok tani
Buah naga. saat ini perlu mengetahui bagaimana pilihan konsumen terhadap buah naga
merah organik melalui analisis preferensi konsumen. Karena konsumen
merupakan faktor terpenting dan produsen harus memahami bagaimana
preferensi konsumen pada suatu produk khususnya buah naga merah organik.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap buah
naga merah organik dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi buah
naga merah organik.
Metode yang digunakan adalah metode suatu kasus dengan unit analisisnya
yaitu 37 konsumen tetap buah naga kelompok tani simpay tampomas. Objek
penelitian adalah preferensi konsumen terhadap buah naga merah organik
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di analisis dengan regresi linier
berganda.
Preferensi konsumen terhadap buah naga merah organik dipengaruhi oleh
atribut grade B atau sebesar 48,6%, atribut rasa manis sebesar 79%, atribut
tekstur daging buah naga yang sedikit berair sebesar 59% dan atribut warna
sangat merah sebesar 62%. Konsumen buah naga dipengaruhi oleh harga,
pendapatan, pendidikan dan umur terhadap konsumsi. Namun demikian
faktor yang berpengaruh nyata adalah pendapatan. Jika pendapatan naik satu
rupiah, maka jumlah buah naga yang dikonsumsi bertambah 0,002 kg atau
0,023 kg. Buah naga masuk ke dalam kategori barang normal, maka artinya
peningkatan pendapatan akan mengakibatkan peningkatan permintaan.

ABSTRACT

Keywords: Sumedang Regency has a red dragon fruit plantation managed by the Simpay
Attributes tampomas farmer group in Cibereum Wetan Village, Cimalaka District,
Consumer Preferences Sumedang Regency, West Java Province. The current condition of farmer
Dragon fruit. groups needs to know how consumers choose organic red dragon fruit
through analysis of consumer preferences. Because consumers are the most
important factor and producers must understand how consumers' preferences
for a product, especially organic red dragon fruit. The purpose of this study
was to determine consumer preferences for organic red dragon fruit and the
factors that influence the consumption of organic red dragon fruit.
The method used is the method of a case with a unit of analysis that is 37
permanent consumers of dragon fruit simpay tampomas farmer groups. The

635
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

object of research is consumer preferences for organic red dragon fruit and
the factors that influence it are analyzed by multiple linear regression.
Consumer preferences for organic red dragon fruit are influenced by grade B
attributes or 48.6%, sweetness attributes by 79%, texture attributes of slightly
runny dragon fruit flesh by 59% and very red color attributes by 62%.
Consumers of dragon fruit are influenced by price, income, education and
age of consumption. However, the factor that significantly influences
income. If income rises by one rupiah, the amount of dragon fruit consumed
increases 0.002 kg or 0.023 kg. Dragon fruit is included in the category of
normal goods, so that means an increase in income will result in an increase
in demand.

Email Korespondensi: nurrramadhan06@gmail.com

PENDAHULUAN
Di Indonesia makanan organik (organic food) mulai dikenal di kota-kota besar seperti
Jakarta, Bandung dan Surabaya. Keadaan tersebut sejalan dengan tumbuhnya kesadaran
masyarakat walaupun konsumen menilai bahwa produk organik harganya mahal. Kondisi ini
disebabkan masih terbatas macam dan ragam produk organik di pasaran. Sedangkan untuk
restourant juga tidak sepenuhnya dapat menyajikan makanan organik secara sepenuhnya (100
%), namun setidaknya mencapai 75 %.
Harapannya konsep bisnis tidak hanya berorientasi pada profit (keuntungan) semata, tetapi
juga motivasi sosial dan lingkungan. Oleh karena itu diperlukan dukungan pemerintah yang
mempunyai wewenang. Jika tidak pengembangan organik masih menjadi kendala (Poulston dan
Kwong Yiu, 2011).
Perkembangan jaman telah mengubah sikap konsumen menjadi lebih bebas dalam memilih
produk yang akan dibeli. Hal ini terjadi karena produsen sengaja atau tidak sengaja menyediakan
berbagai pilihan produk baik produk organik ataupun produk anorganik, sehingga keputusan
untuk membeli ada pada diri konsumen dan tentunya konsumen berhak membeli produk sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk lebih
memahami perilaku konsumen dan dapat memproduksi suatu produk yang dapat memenuhi
kebutuhan dan kualifikasi konsumen. Maka analisis preferensi konsumen perlu diterapkan untuk
mengetahui keinginan konsumen.
Salah satu komoditas buah-buahan baru saat ini seperti tanaman buah naga atau dragon
fruit merupakan salah satu tanaman dari family cactaceae atau kaktus. Tanaman ini berasal dari
Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika bagian utara (Colombia). Buah naga masuk kedaratan
Asia, yaitu ke Negara Vietnam oleh orang Prancis sekitar tahun 1870 yang dibawa dari Guyana,
Amerika Selatan (Panjuantiningrum. 2009). Di Indonesia, buah naga mulai dikenal sekitar
pertengahan tahun 2000, itu pun bukan hasil budi daya di negeri sendiri, tetapi hasil impor dari
Thailand. Padahal sebenarnya pembudidayaan tidaklah sulit. Apalagi iklim Indonesia sangat
mendukung pengembangannya.
Buah naga yang paling diminati konsumen adalah jenis buah naga merah (Hylocereus
costaricensis) dan memiliki warna yang menarik. Buah naga merah mempunyai manfaat dan
berkhasiat untuk kesehatan tubuh. Kandungan zat gizi dalam 100 g buah naga merah dapat di
lihat pada tabel 1.

636
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 1. Kandungan Gizi Buah Naga Merah per 100 g


Komponen Jumlah
Kadar Air 90,20 %
Karbohidrat 11,50 %
Protein 0,53 %
Lemak 0,40 %
Serat 0,71 %
Calcium 6 – 10 mg/100 g
Fosfor 8,70 %
Vitamin C 9,40 %
Sumber : Petunjuk Teknis Budidaya Buah Naga : BPTP Balitbangtan Jawa Barat, 2016.

Selain itu, kandungan dan nutrisi buah naga sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia
diantaranya sebagai penyeimbang kadar gula darah, pencegah kanker usus, dan disamping itu
dalam buah naga tidak terdapat lemak atau kolestrol. Dalam biji buah naga yang berwarna hitam
mengandung lemak tak jenuh ganda (omega 3 dan omega 6) yang dapat menurunkan gangguan
kardiovaskular. Gangguan kardiovaskular merupakan penyebab utama gangguan pada sistem
jantung dan pembuluh darah. Oleh karena itu budidaya buah naga semakin banyak diminati oleh
petani karena nilai ekonomi, nilai guna, dan permintaan pasar yang tinggi dari buah naga
tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk melakukan kegiatan
penelitian mengenai analisis preferensi konsumen terhadap buah naga merah organik
(Hylocereus costaricensis) pada konsumen kelompok tani simpay tampomas Desa Cibereum
Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang Jawa Barat.
Adapun tujuan penulisan dan penelitian ini untuk mengetahui preferensi konsumen
terhadap buah naga merah organik dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumsi buah naga merah organik.

KERANGKA TEORI / KERANGKA KONSEP


Komoditas Buah Naga Merah
Buah naga merupakan tanaman tahunan dan kaktus merambat yang memiliki akar udara.
Tanaman ini memiliki buah yang paling indah diantara famili kaktus lainnya (Zee et al, 2004).
Buah naga dapat bertahan pada kondisi kering karena memiliki sistem fotosintesis
Crassulacean Acid Metabolism (CAM) yang efiesien dalam menyimpan air (Mizrahi dan Nerd,
1999). Pada umumnya, buah naga dibudidayakan dengan cara stek atau penyemaian biji.
Tanaman akan tumbuh subur jika media tanam porous (tidak becek), kaya akan unsur hara,
berpasir, cukup sinar matahari dan bersuhu antara 38-40 °C. Jika perawatan cukup baik, tanaman
akan mulai berbuah pada umur 11-17 bulan. Buah naga sangat adaptif dibudidaya di berbagai
daearah dengan ketinggian di 0–1200 m dpl.
Akar. Tanaman buah naga memiliki akar yang berbeda dengan tanaman pada umumnya.
Akar ini tahan terhadap kekeringan, namun tidak tahan terhadap genangan air terlalu lama.
Adanya akar udara membuat tanaman ini efisien dalam penggunaan air. Walaupun akar dicabut
dari tanah, tanaman masih dapat hidup dengan menyerap nutrisi dan air menggunakan akar udara
(Andoko dan Nurrasyid. 2012).
Batang (Sulur). Sulur merupakan istilah untuk batang pada kaktus. Sulur pada buah naga
merupakan batang sukulen serta mengandung air yang menjadi cadangan pada saat kondisi
lingkungan ekstrim.
Bunga. Bunga buah naga berbentuk corong memanjang dan memiliki ukuran sekitar 27-
30 cm tergantung pada spesies masing-masing (Jaya, 2010).
Buah. Menurut AL Leong dari Johncola Pitaya Food R&D buah naga merah cukup kaya
dengan berbagai zat vitamin dan mineral yang sangat membantu meningkatkan daya tahan dan
bermanfaat bagi metabolisme dalam tubuh manusia.

637
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pembagian kelas atau grade buah naga merah organik yaitu :


a. Kelas super, 1 buah / 1 kg
b. Kelas A, 2 buah / 1 kg
c. Kelas B, 3 buah / 1 kg
d. Kelas C, 4 buah / 1 kg
e. Kelas D, 5 sampai 10 Buah / 1 kg
Kulit. Kulit buah naga merah belum banyak dimanfaatkan menjadi produk olahan,
padahal kulit buah naga mempunyai nilai ekonomi. Kulit buah naga memiliki berat 30-35% dari
berat total buah naga (Wahyuni, 2009). Kulit buah naga sangat bermanfaat untuk kulit wajah
sehingga dapat membuat wajah tampak lebih awet muda.
Biji. Biji buah naga bentuknya bulat dan kecil. Berwarna hitam. Biji kulit sangat tipis
namun keras. Biji ini digunakan untuk perbanyakan tanaman, tetapi memerlukan waktu yang
lama sampai tanaman menghasilkan buah.

Atribut Produk
Atribut produk adalah unsur yang sangat penting dalam sebuah produk, dimana hal ini
dapat menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam mengambil keputusan pembelian. Menurut
Tjiptono (2008) atribut produk adalah unsur – unsur produk yang dianggap penting oleh
konsumen dan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen.

Pertanian Organik
Heriawan (2009) menyatakan bahwa Pertanian organik merupakan sebuah bentuk solusi
baru untuk menghadapi ‘kebuntuan’ yang dihadapi para petani berhubungan dengan banyaknya
intervensi bahan bahan sintetis dalam dunia pertanian akhir akhir ini.

Preferensi Konsumen
Frank (2011) preferensi adalah proses merengking seluruh hal yang dapat dikonsumsi
dengan tujuan memperoleh preferensi atas suatu produk maupun jasa. Menurut Kotler dan Keller
(2007) preferensi konsumen dapat berarti kesukaan, pilihan atau sesuatu hal yang lebih disukai
konsumen. Preferensi ini terbentuk dari persepsi konsumen terhadap produk. Sedangkan
pendapat Frank (2011) preferensi adalah proses merengking seluruh hal yang dapat dikonsumsi
dengan tujuan memperoleh preferensi atas suatu produk maupun jasa.

Konsumsi
Konsumsi dalam Kamus Besar Ekonomi diartikan sebagai tindakan manusia baik secara
langsung atau tak langsung untuk menghabiskan atau mengurangi kegunaan (utility) suatu benda
pada pemuasan terakhir dari kebutuhannya (Sigit dan Sujana, 2007).

Perilaku Konsumen
Menurut Schiffman dan Kanuk (2000) perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh
seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, & bertindak pasca konsumsi
produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya.

Manfaat Buah Naga


Dengan mengonsumsi 1 buah naga merah (250 gram) setiap pagi dan sore selama delapan
hari berturut-turut akan menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes.

Elastisitas Permintaan
Secara sederhana elastisitas dapat diartikan sebagai derajat kepekaan suatu gejala ekonomi
terhadap perubahan gejala ekonomi lain. Pengertian lain elastisitas dapat diartikan sebagai

638
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tingkat kepekaan perubahan kuantitas suatu barang yang disebabkan oleh adanya perubahan
faktor–faktor lain.
Permintaan adalah suatu hukum yang menjelaskan tentang keinginan atau kesediaan
konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu barang yaitu harga barang itu sendiri, harga
barang lain yang terkait, tingkat pendapatan per kapita (daya beli), selera atau kebiasaan, jumlah
penduduk, perkiraan harga di masa mendatang, distribusi pendapatan dan usaha-usaha produsen
meningkatkan penjualan (Rahardja, 2006).
Elastisitas harga (price elasticity) yaitu persentase perubahan jumlah barang yang diminta
atau yang ditawarkan, yang disebabkan oleh persentase perubahan harga barang tersebut.
Elastisitas pendapatan (income elasticity) yaitu persentase perubahan permintaan akan suatu
barang yang diakibatkan oleh persentase perubahan pendapatan (income) riil konsumen.

Regresi Linier Berganda


Secara umum ada dua macam hubungan antara dua variabel atau lebih, yaitu bentuk
hubungan dan keeratan hubungan. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui bentuk
hubungan antara dua variabel atau lebih, terutama untuk menelusuri pola hubungan yang
modelnya belum diketahui dengan sempurna, atau untuk mengetahui bagaimana variasi dari
beberapa variabel independen mempengaruhi variabel dependen dalam suatu fenomena yang
kompleks. Jika X1, X2,...Xi adalah variabel-variabel independen dan Y adalah variabel
dependen, maka terdapat hubungan fungsional antara X dan Y, dimana variasi dari X akan
diiringi pula oleh variasi dari Y. Secara matematika hubungan di atas dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Y = f(X1, X2,..., Xi, e), dimana Y adalah variabel dependen, X adalah variabel independen dan
e adalah variabel residu (disturbance term) (Abdurahman. 2011).
Uji statistik f pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen. Uji t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual
dalam menerangkan variasi variabel dependen.
Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran untuk mengetahui kesesuaian atau
ketepatan antara nilai dugaan atau garis regresi dengan data sampel.
Penjabaran di atas dapat dijelaskan pula melalui kerangka pemikiran dan bagan atribut
sebagai berikut :

Harga buah naga (X1)

Preferensi Pendapatan konsumen


konsumen (X2)
terhadap
konsumsi
Tingkat pendidikan
buah naga
konsumen (X3)
merah organik

Umur konsumen (X4)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.

639
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Warna

Rasa
Atribut buah
naga merah
Tekstur
organik
Grade

Gambar 2. Atribut Buah Naga Merah Organik.

Hipotesis Penelitian
Preferensi konsumen terhadap buah naga merah organik di pengaruhi oleh harga buah
naga, pendapatan konsumen, tingkat pendidikan konsumen, umur konsumen dan atribut buah
naga.

METODE PENELITIAN
Teknik Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode suatu kasus yang
bertujuan untuk mempelajari dan menyelidiki suatu kejadian atau fenomena mengenai individu,
seperti riwayat hidup seseorang yang menjadi objek penelitian. Metode pengumpulan data
dilakukan secara purposive (sengaja). Data yang diperoleh melalui wawancara dan kuisioner
atau daftar pertanyaan yang ditujukan kepada responden. Objek penelitian ini dikaitkan dengan
analisis preferensi konsumen terhadap buah naga merah organik. Unit analisis nya yaitu
konsumen tetap kelompok tani simpay tampomas Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka,
Kabupaten Sumedang Jawa Barat.

Tabel 2. Operasional Variabel


Variabel Dimensi Indikator
Harga Buah Naga Merah organik
Harga Buah Naga Merah Organik
yang diinginkan oleh konsumen
(X1)
(Rp/Kg)
Pendapatan Konsumen Buah Naga
Konsumsi Buah Naga Pendapatan Konsumen (X2)
Merah Organik (Rp/Bulan)
Merah Organik
Tingkat Pendidikan Konsumen
(kg/Bulan) Tingkat Pendidikan Konsumen
Buah Naga Merah Organik
(X3)
(Tahun)
Usia Konsumen Buah Naga
Umur Konsumen (X4)
Merah Organik (Tahun)

Teknik Penetapan Responden


Penetapan responden dilakukan dengan cara sensus. Sensus adalah cara pengumpulan data
seluruh elemen populasi yang diselidiki satu per satu. Data yang diperoleh tersebut merupakan
hasil pengolahan sensus yang disebut sebagai data yang sebenarnya (true value) atau sering juga
disebut parameter. Responden yang akan dimintai keterangan informasinya yaitu konsumen
tetap buah naga merah organik yang berjumlah 37 orang.

640
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Teknik Analisis dan Uji Hipotesis


Teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui atribut yang mempengaruhi prefrensi
buah naga dapat dianalisis secara deskriptif dengan menentukan berapa % pengaruh dan nilai
terbanyak dari setiap atribut dan untuk mengetahui preferensi konsumen dapat di analisis secara
verifikatif dengan menggunakan uji analisis regresi linier berganda dengan SPSS.
Menurut Hasan (2008), analisis linier berganda adalah di mana variabel terikatnya (Y)
dihubungkan atau dijelaskan lebih dari satu variabel, mungkin dua, tiga, dan seterusnya variabel
bebas (X1, X2, X3, ..., Xn) namun masih menunjukkan diagram hubungan yang linear.
Penambahan variabel bebas ini diharapkan dapat lebih menjelaskan karakteristik hubungan yang
ada walaupun masih saja ada variabel yang terabaikan.
Bentuk umum persamaan regresi linear berganda dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + e

Keterangan:
Y = Variabel terikat Konsumsi buah naga merah organik (Kg/Bulan)
a = Konstanta
b1, b2, b3, b4 = Koefisien regresi
X1, X2, X3, X4 = Variabel bebas
X1 = Harga buah naga merah organik (Rp/Kg)
X2 = Pendapatan konsumen (Rp/Bulan)
X3 = Pendidikan konsumen (Tahun)
X4 = Umur konsumen (Tahun)
e = Kesalahan pengganggu (Disturbance terma), artinya nilai- nilai dari variabel lain yang tidak
dimasukkan dalam persamaan. Nilai ini biasanya tidak dihiraukan dalam perhitungan. Nilai
duga dari Y (prediksi Y) dapat dilakukan dengan mengganti variabel X-variabel X-nya dengan
nilai-nilai tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Konsumen Berdasarkan Umur
Konsumen yang berbeda usia akan membeli produk yang berbeda. Perbedaan juga akan
mengakibatkan perbedaan preferensi terhadap jenis produk, berdasarkan hasil wawancara dan
kuesioner yang diajukan kepada responden (konsumen), dalam hal ini konsumen buah naga
merah organik kelompok tani simpay tampomas dapat dilihat berdasarkan pembagian kelompok
umur yang disajikan pada tabel 14.

Tabel 3. Karakteristik Konsumen Berdasarkan Pengelompokan Umur.


No. Kelompok Umur (Tahun) Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. 20 – 29 3 8
2. 30 – 39 16 43
3. 40 – 49 11 30
4. 50 – 59 5 13,5
5. ≥ 60 2 5,5
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Karakteristik Konsumen Berdasarkan Status Dalam Keluarga


Karakteristik konsumen buah naga merah organik kelompok tani simpay tampomas
berdasarkan pengelompokan status dalam keluarga, dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok
ibu rumah tangga, kelompok kepala rumah tangga dan kelompok yang belum berumah tangga.
Pengelompokkan berdasarkan status dalam keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.

641
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 4. Pengelompokkan Berdasarkan Status dalam Keluarga.


No. Status Dalam Keluarga Jumlah Pelanggan (Orang)
1. Ibu Rumah Tangga (Istri) 28
2. Kepala Rumah Tangga (Suami) 8
3. Belum Berumah Tangga (Anak) 1
Jumlah 37
Sumber : Data Primer (diolah)

Karakteristik Konsumen Berdasarkan Tingkat Pendidikannya


Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi buah
dikehidupannya. Umumnya pendidikan seseorang mampu mempengaruhi sikap dan prilakunya
dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik konsumen buah naga merah organik kelompok tani
simpay tampomas berdasarkan tingkat pendidikan dibagi menjadi 6 kelompok yaitu
sebagaimana terlihat pada tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Konsumen Berdasarkan Tingkat Pendidikan.


No. Tingkat Pendidikan (Tahun) Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. SD (6 Tahun) 4 11
2. SMP (9 Tahun) 7 19
3. SMA (12 Tahun) 13 35
4. D3 – S1
12 32
(15 - 16 Tahun)
5. S2 (18 Tahun) 1 3
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Karakteristik Konsumen Berdasarkan Lama Berlangganan Dan Frekuensi Belanja


Karakteristik konsumen berdasarkan lama berlangganan dan frekuensi pembelanjaan
cukup beragam. Lama waktu berlangganan ini disesuaikan dengan kondisi dilapangan dan
disesuaikan dengan kriteria konsumen tetap buah naga merah organik. Lebih jelasnya mengenai
lama berlangganan dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah ini.

Tabel 6. Lama Berlangganan Konsumen Pada Kelompok Tani Simpay Tampomas.


No. Lama Berlangganan Jumlah Konsumen (Orang)
1. 1 Tahun 9
2. 2 Tahun 12
3. 3 Tahun 16
Jumlah 37
Sumber : Data Primer (diolah)

4
Lama Berlangganan

3
3
2
(tahun)

2
1
1 Lama Berlangganan

0
9 12 16

Jumlah konsumen (Orang)

Gambar 3. Lama Berlangganan Konsumen Pada Kelompok Tani Simpay Tampomas.

642
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 7. Frekuensi Pembelanjaan.


No. Frekuensi Pembelanjaan (Kali/Bulan) Jumlah Konsumen (Orang)
1. 1 5
2. 2 11
3. 3 7
4. 4 14
Jumlah 37
Sumber : Data Primer (diolah)

Pendapatan, Pengeluaran Belanja dan Harga Buah Naga


Daya beli konsumen dapat dilihat dari pendapatannya. Jika pendapatan yang diperoleh
cukup tinggi, maka pada umumnya daya beli konsumen akan tinggi. Pendapatan konsumen buah
naga dapat digolongkan berdasarkan penggolongan pengeluaran perkapita per bulan yang cukup
bervariasi. Untuk lebih jelasnya pendapatan dan pengeluaran konsumen ditampilkan dalam tabel
berikut ini :

Tabel 8. Pendapatan Konsumen.


No. Pendapatan (Rp/Bulan) Jumlah Konsumen (Orang) Presentase (%)
1. Rp500.000,00 – Rp1.000.000,00 4 10,8
2. Rp1.100.000,00 – Rp2.000.000,00 15 40,5
3. Rp2.100.000,00 – Rp3.000.000,00 8 21,6
4. Rp3.100.000,00 – Rp4.000.000,00 7 18,9
5. Rp4.100.000,00 – Rp5.000.000,00 3 8,2
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Konsumen akan mengkonsumsi produk yang memberikan manfaat lebih khusus nya untuk
tubuh. Salah satunya dengan mengkonsumsi buah naga, maka akan memberikan manfaat yang
lebih baik untuk kesehatan. Dengan demikian konsumen rela untuk mengeluarkan pendapatan
nya dan menyisihkan uang nya membeli buah naga merah organik. Adapun penjelasan
pengeluaran konsumen dapat dilihat pada tabel 20.

Tabel 9. Pengeluaran Belanja Konsumen untuk Buah Naga Merah Organik.


No. Pengeluaran Belanja (Rp/Bulan) Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. Rp60.000,00 – Rp90.000,00 4 10,8
2. Rp100.000,00 – Rp140.000,00 8 22
3. Rp150.000,00 – Rp180.000,00 10 27
4. Rp200.000,00 – Rp250.000,00 9 24
5. Rp300.000,00 – Rp375.000,00 6 16,2
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Harga buah naga merah organik kelompok tani simpay tampomas, dibagi menjadi 5
kelompok harga, yaitu : Grade super Rp30.000,00, grade A Rp25.000,00, grade B Rp20.000,00,
grade C Rp15.000,00 dan grade D Rp10.000,00. Konsumen akan memilih harga yang sesuai
dengan preferensinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 21.

643
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 10. Harga Buah Naga Merah Organik.


Jumlah Konsumen
No. Harga Buah Naga Merah Organik Persentase (%)
(Orang)
1. Rp30.000,- 2 5,4
2. Rp25.000,- 11 29,7
3. Rp20.000,- 18 48,6
4. Rp15.000,- 5 13,6
5. Rp10.000,- 1 2,7
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Karakteristik Konsumen Berdasarkan Pengetahuan dan Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner, di dapat karakteristik konsumen
berdasarkan pengetahuan dan jenis kelamin konsumen. Pengetahuan konsumen cukup beragam,
dimana para konsumen memiliki persepsi sendiri tentang manfat buah naga yang dikonsumsinya.
Untuk lebih jelasnya pengetahaun konsumen khususnya tentang manfaat buah naga merah
organik, dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 11. Pengetahuan Konsumen terhadap Manfaat Buah Naga Merah Pada Kelompok Tani Simpay
Tampomas.
No. Manfaat Buah Naga Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. Menurunkan Kadar Kolestrol 8 22
2. Menjaga Kesehatan Kulit 12 32
3. Mengobati Penyakit Diabetes 6 16
4. Mencegah Panas Dalam 5 13,5
5. Melancarkan Pencernaan 2 5,5
6. Meningkatkan Daya Tahan Tubuh 3 8
7. Mengobati Lambung 1 3
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Konsumen berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12. Jenis Kelamin Konsumen Kelompok Tani Simpay Tampomas.


Jumlah Konsumen
No. Jenis Kelamin Persentase (%)
(Orang)
1. Laki – laki 8 22
2. Perempuan 29 78
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Preferensi Konsumen Terhadap Atribut Buah Naga Merah Organik


Atribut buah naga merah organik yang di nilai oleh konsumen meliputi atribut grade, rasa,
tekstur dan warna. Hasil dan pembahasan mengenai tingkat preferensi konsumen terhadap atribut
buah naga merah organik dapat dilihat di bawah ini :

Atribut Grade Buah Naga Merah Organik


Atribut grade merupakan salah satu hal penting yang dapat dinilai oleh konsumen untuk
menentukan pilihan buah naga merah organik. Konsumen dalam hal ini diminta pendapatnya
mengenai pilihan grade tersebut, diantaranya grade super 1 buah / 1 kg, grade A 2 buah / 1 kg,

644
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

grade B 3 buah / 1 kg, grade C 4 buah / 1 kg dan grade D 5 sampai 10 buah / 1 kg. Hasil
wawancara dan quesioner atribut grade dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 13. Preferensi Konsumen terhadap Grade Buah Naga Merah Organik.
No. Grade Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. Grade Super 3 8
2. Grade A 10 27
3. Grade B 18 48,6
4. Grade C 5 13,5
5. Grade D 1 2,7
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Atribut Rasa Buah Naga Merah Organik


Atribut rasa menjadi salah satu penentu pilihan konsumen dalam memilih buah naga merah
organik. Konsumen dalam hal ini diminta pendapatnya mengenai pilihan rasa tersebut,
diantaranya rasa asam, manis dan sangat manis. Pilihan rasa yang dipilih konsumen sangat
beragam, untuk lebih jelasnya atribut rasa dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 14. Preferensi Konsumen terhadap Rasa Buah Naga Merah Organik.
No. Rasa Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. Asam 2 5
2. Manis 29 79
3. Sangat Manis 6 16
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Atribut Tekstur Daging Buah Naga Merah Organik


Konsumen dimintai pendapatnya mengenai pilihan tekstur daging buah naga merah organik.
Diantaranya tekstur tidak berair, sedikit berair dan berair. Adapun hasil wawancara dan quesioner
atribut tekstur daging buah naga merah organik dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 15. Preferensi Konsumen terhadap Tekstur Buah Naga Merah Organik.
No. Tekstur Daging Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. Tidak Berair 11 30
2. Sedikit Berair 22 59
3. Berair 4 11
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Atribut Warna Daging Buah Naga Organik


Atribut warna sangat berpengaruh terhadap pilihan konsumen dalam memilih buah naga
merah organik. Konsumen dalam hal ini diminta pendapatnya mengenai pilihan warna daging
buah naga merah organik tersebut, diantaranya warna ungu, merah dan sangat merah. Adapun
hasil wawancara dan quesioner Atribut warna daging buah naga merah organik dapat dilihat pada
tabel di berikut ini :

645
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 16. Preferensi Konsumen terhadap Warna Daging Buah Naga Organik.
No. Warna Daging Jumlah Konsumen (Orang) Persentase (%)
1. Ungu 8 22
2. Merah 6 16
3. Sangat Merah 23 62
Jumlah 37 100 %
Sumber : Data Primer (diolah)

Analisis Preferensi Konsumen


Analisis preferensi konsumen buah naga merah organik adalah minat atau keinginan
konsumen untuk memilih buah naga yang di sukai untuk dikonsumsi. Konsumen ini merupakan
konsumen tetap yang selalu membeli buah naga ke kelompok tani simpay tampomas.
Model persamaan regresi linier berganda nya sebagai berikut :
Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + e.
Hasil analisis regresi linier berganda antara konsumsi buah naga merah organik (Y) dengan
Harga buah naga merah organik (x1), pendapatan konsumen (x2), pendidikan konsumen (x3)
dan umur konsumen (x4) di tingkat konsumen kelompok tani simpay tampomas atau sekitarnya,
maka didapatkan model linier sebagai berikut :
Y = 2,933 - 0,041 X1 + 0,002 X2 - 0,095 X3 - 0,001 X4 + e.
Koefisien regresi harga (b1) diperoleh sebesar -0,041, jika harga naik satu rupiah, maka
jumlah buah naga yang dikonsumsi berkurang 0,041 kg. Koefisien regresi pendapatan (b2)
diperoleh sebesar 0,002, jika pendapatan naik satu rupiah, maka jumlah buah naga yang
dikonsumsi bertambah 0,002 kg. Koefisien regresi (b3) diperoleh sebesar -0095, jika pendidikan
naik satu tahun, maka jumlah buah naga yang dikonsumsi berkurang 0,095 kg. Koefisien regresi
umur (b4) diperoleh sebesar -0,001. Jika umur naik satu tahun, maka jumlah buah naga yang
dikonsumsi berkurang 0,001 kg.

Uji Pengaruh Variabel Secara Serempak


Untuk membuktikan bahwa berpengaruh atau tidak nya variabel independen terhadap
variabel dependen secara simultan (bersama-sama) maka dilakukan pengujian hipotesis dengan
menggunakan uji-f.
Hasil dari pengujian menunjukan H0 ditolak dan hipotesis diterima yang berarti F hit > F
tabel yaitu F hit 37.601> F tabel 2,89. Maka artinya variabel harga (x1), pendapatan (x2),
pendidikan (x3) dan umur (x4) secara simultan berpengaruh terhadap variabel konsumsi (y).
Nilai signifikansi (Sig.) adalah sebesar 0,000 atau Sig. 0,000 < 0,05 maka uji f pada harga
(x1), pendapatan (x2), pendidikan (x3) dan umur (x4) secara simultan (bersama-sama)
berpengaruh terhadap konsumsi (y) yang berarti signifikan.

Uji Pengaruh Variabel Sacara Parsial


Untuk membuktikan bahwa ada atau tidak adanya pengaruh parsial maka dilakukan
pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t.
➢ Hasil dari pengujian variabel (x1) menunjukan H0 diterima atau hipotesis ditolak yang berarti
T hit < T tabel yaitu T hit -0,822 < T tabel 1,69. Tidak terdapat pengaruh variabel harga (x1)
terhadap variabel konsumsi (y).
➢ Hasil dari pengujian variabel (x2) menunjukan H0 ditolak atau hipotesis diterima yang berarti
T hit > T tabel yaitu T hit 10,086 > T tabel 1,69. Terdapat pengaruh variabel pendapatan (x2)
terhadap variabel konsumsi (y).
➢ Hasil dari pengujian variabel (x3) menunjukan H0 diterima atau hipotesis ditolak yang berarti
T hit < T tabel yaitu T hit -1,531 < T tabel 1,69. Tidak terdapat pengaruh variabel pendidikan
(x3) terhadap variabel konsumsi (y).

646
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

➢ Hasil dari pengujian variabel (x4) menunjukan H0 diterima atau hipotesis ditolak yang berarti
T hit < T tabel yaitu T hit -0,049 < T tabel 1,69. Tidak terdapat pengaruh variabel umur (x4)
terhadap variabel konsumsi (y).
Variabel harga (x1) nilai signifikansi t sebesar 0,417 Nilai yang diperoleh lebih besar dari
probabilitas atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa H0 diterima atau H1 ditolak, yaitu variabel
harga (x1) secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel konsumsi (Y).
Variabel pendapatan (x2) nilai signifikansi t sebesar 0,000. Nilai yang diperoleh lebih kecil
dari probabilitasnya atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa H0 ditolak atau H1 diterima, yaitu
variabel pendapatan (x2) secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel konsumsi (Y).
Variabel pendidikan (x3) nilai signifikansi t sebesar 0,136 Nilai yang diperoleh lebih besar
dari probabilitasnya atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa H0 diterima atau H1 ditolak, yaitu
variabel pendidikan (x3) secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel konsumsi (Y).
Variabel umur (x4) nilai signifikansi t sebesar 0,961. Nilai yang diperoleh lebih besar dari
probabilitasnya atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa H0 diterima atau H1 ditolak, yaitu variabel
umur (x4) secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel konsumsi (Y).
Nilai koefisien determinasi atau R square adalah sebesar 0,825. Nilai R square 0,483 atau
“R” yaitu 0,908 x 0,908 = 0,8244. Koefisien determinasi (R square) adalah 0,825 atau sama
dengan 82,5% yang berarti variabel harga (x1), pendapatan (x2), pendidikan (x3) dan umur (x4)
secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap variabel konsumsi (y) sebesar 82,5%.
Sedangkan sisanya (100% - 82,5% = 17,5 %) dipengaruhi oleh variabel lain di luar persamaan
regresi ini atau variabel yang diteliti. Variabel lain diantaranya yaitu variabel lingkungan internal
seperti iklim dan cuaca.
Elastisitas harga permintaan (Ep) terhadap harga buah naga dapat dibuktikan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
dY X
𝜖p = x
dX Y
Y = 2.933 – 0,41 X1 + 0,02 X2 – 0,95 X3 -0,01 X4 + 𝜀
Sebelum melanjutkan perhitungan, setiap variabel X dikalikan dengan hasil rata-rata dari setiap
variabel X untuk menghasilkan nilai Y dan hasilnya sebagai berikut :
Y = 2933 – 8,476 X1 + 51,058 X2 – 11,4 X3 – 0,4 X4
Y = 2,963,782.
20,675
𝜖p = (-0,41) X1 . = -0,41 . 0,0069
2,963,782
= -0,0028 < 1
Artinya buah naga merupakan barang yang inelastis.
2,963,782
𝜖i = . 0,02 X2 = 1,16 . 0,02 = 0,0232 > 0
2,552,941
Artinya buah naga merupakan barang normal.
Berdasarkan hasil perhitungan bahwa buah naga merupakan barang yang inelastis (E < 1).
Permintaan inelastis terjadi jika perubahan harga kurang berpengaruh pada perubahan
permintaan E < 1, artinya perubahan harga hanya diikuti perubahan jumlah yang diminta dalam
jumlah yang relatif lebih kecil. Elastisitas pendapatan 0,023 > 0, buah naga masuk ke dalam
kategori barang normal, maka artinya peningkatan pendapatan akan mengakibatkan peningkatan
permintaan.

PENUTUP
Preferensi konsumen terhadap buah naga merah organik dipengaruhi oleh atribut grade
super, A, B, C dan D. Sebanyak 18 orang cenderung memilih buah naga dengan grade B atau
sebesar 48,6%, atribut rasa manis sebanyak 29 orang atau sebesar 79%, atribut tekstur daging
buah naga yang sedikit berair sebanyak 22 orang atau sebesar 59% dan atribut warna buah naga
yang paling banyak diminati konsumen adalah buah naga dengan warna super merah sebanyak

647
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

23 orang atau sebesar 62%. Dari hasil keseluruhan, atribut yang paling dominan yaitu atribut
rasa sebesar 79%.
Konsumen buah naga dipengaruhi oleh harga, pendapatan, pendidikan dan umur terhadap
konsumsi. Namun demikian faktor yang berpengaruh nyata adalah pendapatan. Jika pendapatan
naik satu rupiah, maka jumlah buah naga yang dikonsumsi bertambah 0,002 kg atau 0,023 kg.
Buah naga masuk ke dalam kategori barang normal, maka artinya peningkatan pendapatan akan
mengakibatkan peningkatan permintaan.
Untuk itu kelompok tani simpay tampomas harus mempertahankan kualitas produk buah
naga merah organik agar konsumen atau pelanggan tetap memilih, mempertahankan serta
meningkatkan frekuensi konsumsi terhadap buah naga merah organik dengan beberapa
penunjang atribut yang dimiliki oleh buah naga merah tersebut. Selain itu Konsumen harus
mempertahankan minat konsumsi terhadap buah naga merah organik. Mengingat manfaat dan
nilai gizi yang terkandung dalam buah naga cukup baik untuk kesehatan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Dosen Penelaah Fakutas Pertanian Unwim yang telah
mendanai keberlangsungan jurnal ini. Kepada Kepala Desa Cibeureum Wetan dan kepada Ketua
kelompok tani simpay tampomas yang telah membantu dalam memenuhi kebutuhan penelitian
ini.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Iqbal. (2008). Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Penerbit PT. Bumi Aksara,
Jakarta.
Schiffman dan Kanuk. (2008). Perilaku Konsumen. Edisi 7. Indeks, Jakarta.
Sigit Winarno, Sujana Ismaya. (2007). Kamus Besar Ekonomi. Penerbit Pustaka Grafika,
Bandung.
Frank, R.H. (2011). Microeconomics and Behavior, 8th Edition. McGraw Hill International, New
York.
Wahyuni, Rekna. (2011). Pemanfaatan Kulit Buah Naga Supermerah (Hylocereus Costaricensis)
Sebagai Sumber Antioksidan Dan Pewarna Alami Pada Pembuatan Jelly. Jurnal Teknologi
Pangan 2 (1): 68–85.
Heriawan. (2009). Hasil Tanaman Sawi (Brassica Juncea L.) Terhadap Pemupukan Organik Dan
Anorganik. Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Rahardja P, Manurung. (2006). Teori Ekonomi Mikro. Edisi 3. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.

648
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Melalui Kegiatan


Perluasan Lahan Sawah
(Kasus Program Pencetakan Sawah Baru di Kabupaten Solok Selatan)
Supporting National Food Security Through Extension Activities of
The Paddy Field
Nuraini Budi Astuti1, Rusda Khairati1, dan Elfi Rahmi1
1Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Kata Kunci: Program pencetakan sawah baru dilakukan dengan latar belakang tingginya
Perluasan Sawah alih fungsi lahan sawah ke non pertanian. Penelitian yang akan dilakukan di
Lahan Sawah Kabupaten Solok Selatan ini bertujuan untuk mengukur pemanfaatan lahan
Target Produksi hasil program pencetakan sawah baru. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode survey. Populasi penelitian adalah semua petani yang
telah mendapat program pencetakan sawah baru di tahun 2016 sebanyak 136
orang yang tersebar di dua kecamatan dan lima nagari. Sementara sample
penelitian diambil secara proporsional random sampling sebanyak 50 petani
dengan memperhatikan keterwakilan nagari penerima program. Hasil
penelitian menunjukan bahwa: Melalui program pencetakan sawah baru telah
berhasil menambah 117,14 lahan sawah baru, dengan rata-rata Indeks
Pertanaman sebesar (IP) 2, namum produktifitas lahan di bawah 4 ton/Ha
dianggap masih belum sesuai dengan target. Kendala terbesar yang dihadapi
oleh petani dalam mengolah atau memanfaatkan sawah adalah ketersediaan
saluran irigasi yang belum memadai. Kurangnya pasokan air membuat
produksi padi menjadi tidak optimal. Oleh karena itu disarankan agar
pemerintah melalui dinas pertanian dapat memprioritaskan pembangunan
jaringan irigasi bagi sawah baru agar target produksi dapat dicapai.

ABSTRACT

Keywords: Newly opened ricefield program is held based on the increase of land
Extension conversion from agriculture use to non agriculture use. The objective of this
Paddy Field research is to measure the goal accomplishment of newly opened ricefield
Target Production program in Solok Selatan regency, West Sumatera. This research is held by
survey methode. The population All farmers who received the new opened
ricefield program in 2016 in South Solok Regency. About 136 farmers are
spread in two subdistricts and five villages (nagaris). The samples are taken
for 50 farmers represent all nagari by random sampling,. The result of this
research shows that the newly opened ricefield program have succeed to
increase the number of newly ricefield about 1 ha per farmer, with planting
indeks (IP) 2. The main problem faced by the farmers in processing the
ricefield is the availability of irrigation channel which is not fulfilled yet. The
lack of water supply causes the padi production is not optimal. It is suggested
to the government through the department agriculture to priority build the
irrigation channel for newly opened ricefield so the production target of rice
production can be attained.

Email Korespondensi: nurainibudiastuti96@gmail.com

649
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, sejatinya tidak hanya
berorientasi pada peningkatan produksi semata tetapi juga harus memastikan peningkatan
kesejahteraan bagi pelaku utamanya yaitu petani. Pembangunan pertanian memain banyak peran
strategis diantaranya: penyerap tenaga kerja, sumber devisa, menyumbang terhadap Produk
Domestik Brutto (PDB), sumber bahan pangan, sumber bahan baku industry dan lain sebagainya.
Strategi pembangunan pertanian secara umum meliputi dua pendekatan (ada juga ahli
mengelompokan menjadi tiga pendekatan) yaitu intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi
(Mardikanto, 2007; Saragih, 2014). Intensifikasi dilakukan dengan optimalisasi penggunaan
input pertanian dan penerapan teknologi. Program pembangunan pertanian yang mengakomodir
pendekatan ini contohnya BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRAINSUS dan yang terbaru adalah
UPSUS PAJALE. Ekstensifikasi merupakan upaya peningkatan produksi pertanian melalui
penambahan luas areal pertanian. Program pembangunan pertanian yang menggunakan
pendekatan ini contohnya Program Pencetakan Sawah Baru. Sementara pendekatan diversifikasi
diwujudkan dalam pentuk penganekaragaman komoditi pertanian. Program ini lebih kepada
upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan.
Pencetakan sawah baru memang bukan sebuah program baru, namun semenjak tahun 2015
pemerintah melalui Kementrian Pertanian melakukan program ini secara masif. Hal ini
dimaksudkan untuk mengimbangi laju konversi lahan sawah yang mencapai 100.000 ha per
tahun. Hingga triwulan II 2017 telah terealisasi seluas 150.959 ha sawah baru dari 200.000 ha
yang ditargetkan (Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, 2017). Sementara Dirjen PSP
Pending Dadih Permana menyebutkan bahwa realisasi program cetak sawah baru tahun 2015
adalah sebesar 120.000 Ha, tahun 2016 sebesar 129.000 Ha. Dan targetnya akan dikembangkan
cetak sawah seluas 1 juta hektar hingga tahun 2019. Daerah sasaran utama dari program ini
adalah luar jawa.
Program Pencetakan Sawah Baru memiliki tujuan sebagai berikut: a) menambah luas baku
lahan sawah dan b) menghasilkan produksi utamanya padi pada areal sawah baru, c) mengurangi
defisit lahan sawah akibat alih fungsi lahan dan d) meningkatkan perekonomian daerah
khususnya di perdesaan (Ditjen Prasarana dan Saran Pertanian, 2016 dan Petunjuk Pelaksanaan
Perluasan Sawah Pola Swakelola 2016.
Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi yang mendapatkan program pencetakan sawah
baru telah berhasil merealisasikan cetak sawah seluas 599,94 hektar tahun 2016 dan 600 hektar
tahun 2017. Sementara untuk tahun 2018 direncanakan akan dilajutkan pencetakan sawah baru
di tiga Kabupaten saja yaitu Pasaman Barat seluas 300 hektar, Solok selatan 100 hektar dan 50
Kota 100 hektar.
Kabupaten Solok Selatan, pada tahun 2016 telah merealisasikan pencetakan sawah baru
seluas kurang lebih 38,8 Ha, tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 117,14 hektar.
Sementara tahun 2018 ini ditargetkan mencetak 100 hektar lahan sawah baru. Jika sawah yang
telah dicetak tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik maka potensi produksi diperkirakan
468,58 Ton/ha (dengan asumsi 4 ton/hektar). Namun sayangnya lahan sawah yang sudah dicetak
ternyata belum bisa langsung dimanfaatkan karena berbagai alasan. Salah satu kendala
pemanfaatan lahan sawah baru, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan,
Hortikultura dan Perkebunan Sumbar adalah tanah yang belum subur (Iwan R. 2018). Hal yang
sama juga ditemukan oleh Astuti et al (2017), selain karena tanah yang belum subur, kendala
dalam pemanfaatan lahan sawah baru adalah karena tidak tersediannya air dan keterbatasan
modal dalam memulai usahatani. Hal ini tentu akan berdampak pada pencapaian tujuan program
secara umum.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menilai pencapaian
tujuan program pencetakan sawah baru pada tahun 2018 di Kabupaten Solok Selatan dan
menganalisis kendala dalam pemanfaatannya.

650
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Ketahan pangan nasional didukung oleh tiga pilar yaitu: produksi, distribusi dan aksesibilitas.
Program pencetakan sawah baru mendukung ketahanan pangan nasional melalui pilar produksi.
Program pencetakan sawah baru merupakan upaya untuk menambah luas baku lahan sawah
sekaligus sebagai salah satu solusi dan kompensasi terhadap alih fungsi lahan. Dukungan terhadap
ketahanan pangan nasional baru dapat terwujud jika tujuan dari program tersebut dapat tercapai
yaitu: a) menambah luas baku lahan sawah dan b) menghasilkan produksi utamanya padi pada areal
sawah baru, c) mengurangi defisit lahan sawah akibat alih fungsi lahan dan d) meningkatkan
perekonomian daerah khususnya di perdesaan. Tujuan program bisa tercapai jika lahan sawah yang
telah dicetak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dalam pelaksanaannya tidak semua tujuan
program dapat tercapai. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kendala dalam pemanfaatan lahan
sawah baru baik yang bersifat teknis maupun non teknis.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey di Kabupaten Solok Selatan.
Waktu penelitian adalah Bulan Juni hingga November 2018. Populasi dalam penelitian adalah
semua petani penerima Program Pencetakan Sawah Baru di Kabupaten Solok Selatan pada tahun
2016 yang tersebar didua Kecamatan yaitu Kecamatan Sangir dan Kecamatan Sangir Batang
Hari. Untuk kepentingan survey diambil sebanyak 50 orang sampel petani penerima program.
Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan studi literatur.
Variabel penelitian adalah sebagai berikut:
a. Penambahan luas baku lahan sawah
b. Padi sebagai produksi utama pada lahan sawah cetak baru
c. Produksi padi dan peningkatan perekonomian
d. Kendala dalam pemanfaatan lahan sawah
Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif kualitatif yang disajikan dalam bentuk narasi,
sementara data kuantitatif akan ditampilkan dalam bentuk tabulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Profil Petani Penerima Program
Berikut ini adalah profil dari petani penerima Program Pencetakan Sawah Baru di
Kabupaten Solok Selatan than 2016

Tabel 1. Profil Petani Penerima Program Pencetakan Sawah Baru.


No Keterangan Jumlah (orang)
1 Umur
a. 34 – 42 tahun 23(46%)
b. 43 – 51 tahun 22 (44%)
c. 52 – 60 tahun 5 (10%)
2 Pendidikan
a. SD 8 (16%)
b. SMP 23 (46%)
c. SMA 19 (38%)
3 Pengalaman bersahatani padi
a. 7 – 10 tahun 11 (22%)
b. 11 – 21 tahun 22 (44%)
c. 22 – 32 tahun 17 (34%)
4 Bertani sebagai
a. Pekerjaan utama tanpa pekerjaan sampingan 29 (58%)
b. Pekerjaan utama dan ada pekerjaan sampingan 17 (34%)
c. Pekerjaan sampingan 4 (8%)

651
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kondisi Lahan
Berikut ini adalah kondisi lahan sebelum cetak dan setelah kegiatan pencetakan sawah.

Tabel 2. Kondisi Lahan.


No Keterangan Luas Ha
1 Kondisi lahan sebelum dicetak menjadi sawah
a. Lahan tidur 41,47 (85%)
b. Ditanami tanaman muda 4,16 (6,5%)
c. Ditanami tanaman tahunan 3,16 (8,5%)
2 Kondisi sawah saat serah terima
a. Tidak ada pematang 4,86 (10%)
b. Tidak ada saluran irigasi 21,18 (43,4%)
c. Masih terdapat sisa-sisa tunggul tanaman 28,55 (58,5%)
3 Penanaman padi pada sawah baru sejak akhir tahun 2016 hingga Bulan Juli
2018
a. 2 kali 7 (14,3%)
b. 4 kali 36,5 (74,8%)
c. 5 kali 5,3 (10,9%)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar lahan yang diusulkan untuk dicetak
menjadi sawah, sebelumnya adalah lahan tidur atau belum dimanfaatkan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang ada dalam

Pencapaian Tujuan Program


Penambahan luas baku lahan sawah. Total sawah baru yang diterima oleh 50
responden adalah 48, 79 Ha. Artinya melalui Program Pencetakan sawah Baru, telah berhasil
meningkatkan kepemilikan lahan sawah pada petani rata-rata sekitar 1 hektar per petani.
Informasi ini sekaligus mennjukan bahwa melali Program Pencetakan sawah Baru telah berhasil
memenuhi tujan program yaitu penambahan luas baku lahan sawah. Lahan ini ke depan
diharapkan dapat memproduksi padi sebanyak 4 ton per hektar. Untuk memastikan hal tersebut,
petani penerima program telah menandatangani kesepakatan untuk tidak mengalihfungsikan
lahan tersebut untuk penggunaan lain.
Padi sebagai produksi utama pada lahan sawah cetak baru. Program Pencetakan
Sawah Baru di Kabupaten Solok Selatan pada tahun 2016 dilakukan di dua Kecamatan yang
tersebar di tiga nagari yaitu: Nagari Lubuk Gadang Utara dan Lubuk Gadang Timur di
Kecamatan Sangir dan Nagari Ranah Pantai Cermin di Kecamatan Sangir Batang Hari. Serah
terima sawah baru kepada petani berlangsung tidak serentak. Berikut ini adalah jumlah petani
berdasarkan waktu serah terima sawah baru.

Tabel 3. Jumlah Petani Berdasarkan Waktu Serah Terima dan Pemanfaatan Lahan Sawah.
Keterangan Luas lahan Jumlah petani
1. Waktu serah terima
a. Oktober 2016 23,37 (47,9%) 25 (50%)
b. November 2016 9,6 (19,6%) 10 (20%)
c. Desember 2016 15,56 (32,5%) 15 (30%)
2. Pemanfaatan lahan
a. ditanami padi saja 34,63 (71%) 36 (72%)
b. ditanami padi sawah dan digilir dengan 14,16 (29%) 14 (28%)
tanaman palawija
3. Indeks Pertanaman (IP)
a. 1 2,41 Ha (4,9%) 5 orang (12%)
b. 2 39,98 Ha (82%) 39 orang (76,3%)
c. 2,5 6,4 Ha (13,1%) 6 orang (11,7)

652
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Sebagian besar petani menerima sawah yang telah dicetak pada bulan Oktoberber 2016.
Perbedaan waktu serah terima disebabkan sawah yang sudah selesai dikerjakan langsung
diserahkan ke petani tanpa menunggu selesai semuanya.

Gambar 1. Lahan Sawah Baru yang Sedang Diolah.

Sejak serah terima hingga bulan Juli 2018 sawah yang baru tersebut telah ditanami padi
sawah sebanyak 2 hingga 5 kali musim tanaman. Dengan kata lain indek pertanaman telah
mencapai 1 hingga 2,5. Berdasarkan data yang tampak pada tabel, maka lebih dari 90% lahan
baru tersebut telah memenuhi target IP sebanyak minimal 2 dengan rata-rata produksi sekitar 2
ton per hektar.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Teknis Perluasan Sawah swakelola Tahun 2016,
sawah yang sudah selesai dicetak harus segera ditanami dengan tanaman utamanya yaitu padi.
Sawah yang telah selasai dicetak dilarang untuk dialihfungsikan untuk fungsi-fungsi lain lain.
Penjelasan tersebut telah sesuai dengan kondisi di lapangan, dimana sebagian besar petani telah
mampu menanami sawah baru sebanyak 2 hingga 5 kali MT atau atau IP 1 hingga 2,5 kali dalam
setahun. Hal ini sesuai dengan apa yang ditargetkan oleh Program. Sebagian kecil petani baru
bisa menanami sawahnya sebanyak 2 kali musim tanam, hal ini terjadi karena adanya serangan
hama wereng yang sedang mewabah sehingga petani memilih sementara untuk tidak menanam
padi tapi menggantinya dengan palawija. Ini terjadi di Nagari Ranah Pantai Cermin, Kecamatan
Sangir Batang Hari. Strategi ini sesuai dengan saran yang diberikan oleh Muslim (2014), bahwa
intensifikasi lahan dengan cara bertanam polikultur atau dengan kata lain tidak hanya bertanam
padi adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah pada lahan sawah yang
baru dicetak. Sementara itu terdapat 2,41 hektar lahan yang bisa 5 kali musim tanam. Ini terjadi
karena lahan tersebut berada di dekat saluran irigasi, sehingga mendapatkan pasokan air yang
lancar dan memungkinkan untuk ditanami padi sepanjang tahun.
Dalam aturan pemanfaatan sawah cetak baru, memang ditargetkan untuk ditanami padi
minimal 2 kali dalam setahun. Beberapa petani memanfaatkan lahan ini selain untuk padi juga
untuk tanaman lain. Terdapat sebanyak 14 orang petani yang melakukan pergiliran tanaman dari
padi ke palawija. Hal ini tidak bertentangan dengan aturan selama target Indeks Pertanaman
sebanyak 2 kali dapat dipenuhi.
Produksi Padi dan Peningkatan perekonomian. Hadirnya program pencetakan
sawah baru ini diharapkan selain dapat membantu pencapaian target produksi padi nasional
sebanyak 80 juta ton, juga diharapkan dapat membantu perekonomian masyarakat penerima
program. Sawah yang telah dicetak diharapkan dapat berproduksi sebanyak 4 ton/Ha. Sayangnya
target produksi ini belm bisa terpenuhi. rata-rata prodksi padi pada sawah baru di Kabupaten
Solok Selatan adalah 2 ton/Ha. Kondisi ini dapat dimaklmi, mengingat sawah bkaan baru

653
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

memang belm akan mampu berproduksi optimal karena masih ada masalah pada aspek
kesuburan. Seperti yang dinyataakan oleh Hikmatullah et al (2002), kendala pencetakan sawah
irigasi terdiri dari masalah topografi dan kesuburan. Masalah kesuburan dapat diatasi dengan
pemupukan dan penambahan bahan organic. Sementara masalah kemasaman tanah dapat
dikurangi dengan pengapuran dan penggenangan.
Terkait dengan penjelasan tersebut, sesuai dengan ketentuan, hingga dua tahun setelah
serah terima lahan, petani akan mendapatkan bantuan sarana produksi berupa pupuk, bibit dan
kapur senilai Rp 2.000.000 per hektar. Hal ini selain bertujuan untuk mengatasi masalah
kesuburan juga dimaksudkan untuk mengurangi beban petani dalam menyediakan modal guna
memulai usahatani. Berikut ini adalah pendapatan dari usahatani padi pada musim tanam
terakhir.

Tabel 4. Analisis Usahatani Padi pada Lahan Sawah Baru Pada Musim Terakhir Terakhir.
Jumlah petani 50 orang
Total luas lahan 48,79 Ha
Total Produksi 97,2 Ton
Harga gabah Rp 6000/kg
Total Penerimaan Rp 583.200.000
Total Biaya Produksi yang dibayarkan, terdiri dari Rp. 122.940.000
a. Biaya pengolahan tanah Rp 7.250.000
b. Biaya penanaman Rp 54.730.000
c. Biaya Pemeliharaan dan pemupukanu Rp 12.830.000
d. Biaya panen Rp 48.130.000
Total pendapatan Rp. 460.260.000
Rata-rata pendapatan per hektar per musim tanam Rp. 9. 433.490
Rata-rata pendapatan per petani per musim tanam Rp. 9.205.200

Dari hasil penghitungan pendapatan di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi penambahan
pendapatan pada rumah tangga petani sebesar rata-rata Rp. Rp. 9.205.200 pada musim tanam
terakhir. Hal ini didukung oleh penyataan petani yang menyatakan bahwa sawah baru ini selain
berdampak pada penambahan jam kerja, program ini juga memberikan dampak pada
peningkatan pendapatan mereka.

Kendala dalam Pemanfaatan Program


Rata-rata petani penerima program telah mampu mencapai Indeks pertanaman sebanyak
dua kali dalam setahun, sesuai dengan target program, sementara prodksi masih di bawah target.
IP ini sebenarnya masih bisa di tingkatkan menjadi 2,5 (5 kali dalam dua tahun). Hal tersebut
dapat dilakukan bila kendala yang saat ini mereka hadapi dapat diatasi. Berikut ini berbagai
kendala dalam pemanfaatan sawah baru.

Tabel 5. Kendala dalam Pemanfaatan Sawah Baru Di Kabupaten Solok.


No Kendala Jumlah Petani (orang) Keterangan
1 Saluran irigasi yang kurang memadai 20 (40%) Kendala teknis
2 Hama wereng 12 (24%) Kendala teknis
3 Jalan usahatani yang buruk 15 (30%) Kendala non teknis
4 Tanah yang kurang subur 3 (6%) Kendala teknis

Saluran irigasi yang kurang memadai membuat debit air yang mask kepetakan sawah
petani sangat terbatas. Kondisi ini membat petani hanya bisa menanami lahannya dengan padi
sawah sebanyak 1 kali setahun dan dilanjutkan dengan tanaman palawija. Sebenarnya sumber
air di dekat sawah yang baru dicetak ini menyediakan air dalam jumlah yang sangat banyak,

654
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

namun karena saluran irigasi yang ada kurang memadai, menyebabkan lahan sawah yang terletak
paling ujung mendapatkan air dalam jumlah yang sedikit. Hal ini menjadi kendala dalam
pemanfaatan lahan sawah secara optimal. Kondisi ini sesuai dengan informasi yang diperoleh,
bahwa 60% petani mengatakan sawah baru telah membuat persaingan untuk mendapatkan air
semakin meningkat. Mahalnya biaya dalam pembangunan irigasi membuat petani hanya mampu
secara swadaya membuat saluran-saluran air yang sederhana. Keadaan ini membuat tidak bisa
dilakukan penanaman secara serentak. Kecilnya debit air yang sampai ke areal persawahan
membuat petani harus menunggu giliran untuk memulai penanaman. Kondisi ini seperti yang
dikemukakan oleh Astuti et al (2017 dan 2018) bahwa kendala utama bagi petani dalam
memanfaatkan lahan sawah yang baru adalah tidak tersedianya irigasi dan tidak adanya modal
awal untuk memulai usahatani. Kondisi irigasi pada lahan sawah baru dapat dilihat pada gambar
berikut.

Gambar 2. Saluran Irigasi pada Sawah Baru.

Masalah lain yang dialami oleh petani adalah serangan hama wereng. Serangan hama ini
memang tidak dialami oleh selurh petani. Petani yang lahannya diserang hama wereng terutama
yang berada di Nagari Ranah Pantai Cermin yaitu sebanyak 12 petani. Serangan ini membuat
petani untuk sementara tidak menanami lahannya dengan padi sawah namun menggantinya
dengan palawija. Kendala lain yang juga dirasakan oleh petani adalah buruknya akses jalan ke
areal persawahan. Jalan usahatani yang buruk menyebabkan susahnya mengangkut saprodi
seperti pupuk dalam jumlah besar. Dan kendala lain yang juga dirasakan oleh petani adalah lahan
yang kurang subur karena masih terdapat sisa-sisa tunggul tanaman.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Tujuan Program Pencetakan Sawah Baru di Kabupaten Solok Selatan yang belum terpenuhi
adalah target produksi yang masih di bawah 4 ton per Ha.
2. Kendala utama yang dihadapi petani dalam pemanfaatan lahan sawah baru umumnya bersifat
teknis dan sebagian besar adalah saluran irigasi yang tidak memadai.
Saran
1. Mengingat air adalah faktor penting dalam budidaya padi sawah, serta besarnya biaya untuk
pembangunan saluran irigasi, maka perlu keterlibatan pemerintah melalui dinas PU untuk
membatu petani dalam pembangunan irigasi tersebut.
2. Untuk mengatasi masalah jalan usahatani yang buruk, bisa diatasi dengan mengalokasikan
sebagian dana desa untuk pembangunan jalan.

655
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

3. Terkait dengan masalah hama wereng, apa yang dilakukan oleh petani saat ini sudah tepat
yaitu dengan memutus siklus hidup hama melalui pergiliran tanaman. Cara lain yang bisa
ditempuh adalah dengan menanam varitas padi yang tahan hama.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih kepada Universitas Andalas yang melalui Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat telah membiayai penelitian ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya
juga ditujukan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran proses penelitian dan
penulisan artikel yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA
Muslim, Chaerul. 2014. Pengembangan lahan sawah (sawah bukaan baru) dan kendala
pengelolaannya dalam pencapaian target surplus 10 juta ton beras tahun 2014. Jurnal
SEPA: vol. 10 No. 2 Februari 2014 : 257 – 267 issn : 1829-9946
Astuti, Nuraini Budi dan Kurniawan, Benny. 2017. Analisis Pemanfaatan Program Pencetakan
Sawah Baru (Kasus Di Nagari Siguhung, Ke Camatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam,
Sumatera Barat). Artikel pada Prosiding Seminar Nasional Sub Optimal Unsri. Editor: Siti
Herlinda et. al. ISBN : 978-979-587-748-6. Palembang (hal. 569 – 575)
Astuti, Nuraini Budi. Hariance, Rika. Azhari, Rafnel. 2018. Analisis Kendala dalam
Pemanfaatan Lahan Sawah Pada Program Pencetakan Sawah Baru di Nagari Paru
Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat. Artikel pada Seminar Nasional Dalam
Rangka Dies Natalis UNS Ke 42 Tahun 2018. Suarakarta. Diunduh pada
http://jurnal.fp.uns.ac.id/index.php/semnas/author/submission/1067
Hikmatullah, Sawiyo dan Suharta. 2002. Potensi dan Kendala Pengembangan Sumberdaya
Lahan Untuk Pencetakan Sawah Irigasi Di Luar Jawa. Jurnal Litbang Pertanian 21 (4)
tahun 2002. Diunduh dari http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3214021.pdf
Mardikanto, Totok. 2007. Pengantar Ilmu Pertanian. Pusat Pengembangan Agribisnis dan
Perhutanan Sosial. Surakarta
Saragih, Bungaran. 2014. Suara Agribisnis, Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. PT Wacana
Permata Lestari, Jakarta

656
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Efisiensi Sistem Pemasaran Karet Rakyat di Provinsi Jambi


dengan Melibatkan Petani Kecil
Adlaida Malik dan Rikky Herdiyansyah
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi

ABSTRAK

Kata Kunci: Karet rakyat merupakan komoditas penting dalam perdagangan


Efisiensi internasional, dan merupakan bahan baku utama bagi banyak industri.
Fungsi Pemasarani Dengan areal perkebunan terbesar ketiga, provinsi Jambi adalah salah satu
Saluran Pemasaran kontributor terbesar untuk produksi karet di Indonesia (11,66%). Tujuan dari
penelitian ini adalah: 1) untuk menganalisis peran dan fungsi lembaga-
lembaga pemasaran di pasar karet di Provinsi Jambi, 2) untuk mengevaluasi
efisiensi pemasaran karet dengan mengamati margin pemasaran, farmer share
dan rasio Li / Ci di provinsi Jambi, dan 3) untuk mengkarakterisasi faktor-
faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh petani karet di
provinsi Jambi. Analisis efisiensi pemasaran melalui marjin pemasaran,
farmer share dan rasio keunntungan terhadap biaya (Li/Ci) diperlukan.
Selanjutnnya Multinomial Logistic Regression Model digunakan untuk
menentukan faktor yang mempengaruhi pilihan saluran. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setiap masing-masing lembaga pemasaran melakukan
fungsi pemasaran yang mempengaruhi kinerja pemasaran, yaitu ketiga fungsi
pertukaran (pembelian, dan penjualan), fisik (penyimpanan, pengolahan, dan
transportasi), dan fasilitas (sortasi, grading, risiko, keuangan, dan informasi).
Berdasarkan analisis margin pemasaran, farmer share dan rasio Li/Ci, saluran
4 (pabrik) merupakan saluran yang paling efisien di mana hasilnya
menggambarkan rendahnya persentase margin pemasaran (47,25%), farmer
share yang tinggi (58,02%) dan rasio Li/Ci yang tinggi (1.29). Secara
signifikan keputusan pilihan saluran pemasaran oleh petani karet adalah (1)
Lokasi, diwakili oleh jarak, (2) Akses Informasi, diwakili oleh partisipasi
dalam organisasi desa terkait, (3) Aspek keuntungan, diwakili oleh kuantitas
total dan harga, dan (4) Karakteristik Pedagang, diwakili pendidikan. Petani
cenderung memilih saluran yang lebih memberikan keuntungan bila jaraknya
lebih jauh, harga beli lebih tinggi, kuantitas karet lebih besar, dan pendidikan
yang lebih tinggi, dimana hasil analisis saluran pemasaran yang satu dengan
acuan perlu diperhatikan.

Email Korespondensi: Rikky@unja.ac.id

PENDAHULUAN
Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisa peran dan fungsi dari Lembaga
pemasaran karet serta mengkarakterisasi faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran.
Karet alam merupakan salah satu komoditi industry hasil utama tanaman tropis yang prospektif
dan mempunyai peranan penting dalam mendukung perekonomian suatu negara. Komoditas ini
memiliki berbagai jenis kegunaan terutama seabgai bahan baku berbagai produk industry
khususnya industry otomotif. Semakin tingginya perannan karet dalam kebutuhan sehari hari
dapat menjadi pemicu perkembangan ekonomi karet alam dunia baik dari sisi produksi maupun
konsumsi yang cenderung akan mengalami peningkatan. Dengan areal perkebunan terbesar

657
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

ketiga, Provinsi Jambi merupakan salah satu kontributor terbesar untuk produksi karet di
Indonesia sebesar (11,66%).
Pada tahun 2016 dilaporkan oleh Dewan Karet Malaysia bahwa produksi karet alam
mencapai 11.239 ribu ton, sementara konsumsi mencapai 10.997 ribu ton, sehingga dapat
diidentifikasi bahwa produsen karet telah mengelola produksi sesuai dengan permintaan
konsumen dan hal ini menunjukkan bahwa pasar karet telah berinteraksi secara dinamis. Di
Indonesia karet menjadi komoditas penting bagi perekonomian dan merupakan tanaman paling
berharga setelah kelapa sawit, jika dilihat dari perkembangan statistic bahwa volume nilai karet
yang diekspor mencapai 13.130 Juta USD (Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia 2016).
Indonesia dalam hal pengiriman karet memiliki peran yang cukup penting namun produktivitas
karet di Indonesia masih dianggap rendah sehingga pada masa yang akan datang pengembangan
agribisnis karet lebih diprioritaskan dalam rehabilitasi dan peremajaan karet dengan tujuan
untuk meningkatkan produktivitas dan memperluas perkebunan karet.
Beberapa Provinsi di Indonesia memiliki kontribusi dalam produksi karet salah satunya
adalah pulau Sumatera yang terdiri dari 10 Provinsi dengan kontribusi produksi karet sebesar
66% dari total produksi karet pada tahun 2015 dan diantara provinsi tersebut Jambi merupakan
penyumbang terbesar dalam produksi karet (Kementerian Pertanian Indonesia 2016).
Perkebunan daerah Jambi pada umumnya adalah perkebunan rakyat, produksi perkebunan rakyat
yang terbesar adalah karet dengan luas tanam 665.334 Hektar dengan produksi 334.463 ton.

Gambar 1. Produksi dan Luas Lahan Pekebunan Karet di Sumatera pada Tahun 2016.

Pada saat ini, ekspor karet di Indonesia hamper sepenuhnya masih dalam bentuk produksi
setengah jadi dan harus dilakukan proses perubahan lebih lanjut (lembaran Karet, Remah Karet
). Pabrik karet dan para eksportir masih memproduksi karet dalam bentuk remah karet dengan
tingat Standar International Rubber 20 (SIR 20). Walaupun demikian jika dilihat pada tingkat
petani kecil diketahui bahwa sebagian besar petani karet tidak melakukan tindakan apa-apa
selain menghasilkan karet dalam bentuk gumpalan atau bokar dan juga harga jula lateks pada
tingkat petani kecil masih ditemukan dengan harga yang sangat rendah. Rendahnya produktivitas
disebabkan oleh rendahnya kualitas benih karet yang digunakan pada saat diperkubenan.
Masduki (1996) menyebutkan bahwa masalah yang dihadapi oleh petani karet di Provinsi Jambi
adalah tingkat kualitas karet yang rendah, kadar air yang cukup tinggi serta kebersihan karet.
Sebagian besar harga karet yang diterima oleh petani didapatkan berdasarkan aliran
perubahan harga dari tingkat eksportir ke beberapa perantara sebelum sampai ke petani karet
sehingga hal tersebut dapat menjadi beberapa penyebab rendahnya harga karet yang diterima
oleh petani. Beberpa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kurangnya akses harga, tidak
begitu berfungsinya aktivitas pasar lelang dan informasi pasar serta adanya ketergantungan
petani pada pedagang desa menjadi salah satu penyebab rendahnya harga karet (Amalia 2013),
sehingga peran dan fungsi masing-masing Lembaga perlu dianalisa lebih lanjut.

658
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Flutuasi harga karet di tingkat pasar internasional diakibatkan oleh penawaran dan
permintaan di negara pengimpor dapat menjadi salah satu factor ketidakpastian harga yang
diterima oleh petani, dan disisi lain perbedaan yang mencolok antara harga ekspor karet dan
harga dipetani dapat menyebabkan keprihatinan dalam aspek pemasaran karet. Posisi ini
mengakibatkan petani sangat tidak mungkin tertarik untuk meningkatkan produktivitas terutama
kualitas karet dikarenakan posisi harga karet yang murah dan dengan adanya kondisi seperti ini
maka system pemasaran perlu dilakukan Analisa lebih lanjut.
Sekilas perkembangan harga karet di pasar internasional Singapura dan pasar Provinsi
Jambi sama-sama mengalami pergerakan yang fluktutif, apabila harga tingkat internasional
maka diikuti dengan pergerakan harga ditingkat domestic. Perubahan ini terjadi dikarenakan
harga pasar singapura merupakan harga patokan karet di pasar Provinsi Jambi.

Gambar 2 Grafik Perbandingan Perembangan Harga Karet Singapura dan Provinsi Jambi Tahun
2005-2017.

Terlihat perbedaan harga karet yang terjadi pada pasar Singapura dan harga karet di pasar
Provinsi Jambi, dimana harga karet di pasar Singapura lebih tinggi dibandingkan harga karet di
pasar Provinsi Jambi. Perbedaan harga yang terjadi di keduanya memiliki selisih harga yang
cukup tinggi dimana harga karet di pasar Singapura mencapai harga tertinggi Rp 55.817,-/kg,
sedangkan harga tertinggi karet di pasar Provinsi Jambi hanya mencapai harga harga Rp.
19.808,-/kg. Petani karet di Provinsi Jambi sebagian besar memperoleh lebih sedikit informasi
mengenai harga dan kualitas bahan olah karet (bokar) yang dibutuhkan oleh pasar akibatnya
pasar memberikan daya tawar kepada petani dengan tingkat rendah dengan kata lain pada kondisi
ini petani menjadi pengambil harga (price taker). Sehingga pada permasalahan ini menjadi acuan
untuk mengarah kepada pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran umum Lembaga
pemasaran yang tersedia di Provinsi Jambi sehingga dapat berperan dalam meningkatkan
kesejahteraan petani ?
Hal selanjutnya yang dapat menjadi penentu dalam pembentukan harga adalah saluran
pemasaran karet. Semua pelaku pemasaran menjadi sangat penting dalam pembentukan ini
sehingga dapat menyebabkan inefisiensi dalam system pemasaran. Coughlan et al (2006)
menyatakan bahwa untuk mendapatkan saluran pemasaran yang efektif dan efisien perlu
dibangun saluran pemasaran yang tepat. Dalam hal ini petani perlu memilih pembeli yang paling
menguntungkan untuk optimalisasi aktivitas perdagangan mereka, sehingga petani diharapkan
mendapat banyak manfaat dengan cara menjual langsung kepada eksportir. Namun pada kondisi
yang sebenarnya masih ada petani karet yang memilih saluran yang tidak tepat sehingga dapat
menciptakan ketidakefisienan terhadap saluran pemasaran. Berdasarkan Analisa sederhana ini

659
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

salah satu yang dapat menjadi pertanyaan adalah factor apa saja yang dapat mempengaruhi petani
dalam pemilhan saluran pemasaran karet di Provinsi Jambi ?

METODE PENELITIAN
Menjawab dari seluruh tujuan yang ada, maka penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi
dengan pertimbangan sebagai wilayah studi dan Indonesia merupakan wilayah referensi.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk data primer dilakukan dengan
wawancara langsung kepada petani, pengambilan data ke pihak perusahaan dan pedagang yang
terlibat. Waancara dilakukan dengan cara terbuka yaitu dengan cara menyebarkan angket.
Angket yang dimaksud adalah berisi pertanyaan berupa quisioner untuk mendapatkan data yang
dapat digunakan pada saat penelitian. Data dikumpulkan oleh beberapa tim yang dibentuk
dengan melibatkan beberapa tim pengumpul data dengan mengambil sumber data pada empat
Kabupaten yakni Kabupaten Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi dan Tebo. Pemilihan
kabupaten ini diambil sebagai pertimbangan tingkat produksi yang cukup tinggi dalam karet.
Kemudian data sekunder merupakan data yang dipakai berupa deret waktu perkembangan
harga karet dari tahun 2005 - 2017, beberapa referensi berupa buku, literature, pemikiran ahli,
publikasi data FAO, Asosiasi Karet Indonesia dan Internasional, Direktorat Jenderal Perkebunan
Indonesia dan Kementerian Pertanian Indonesia. Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 100
Petani yang akan diwawancara untuk 4 Kabupaten dengan menerapkan metode stratified random
sampling. Populasi pada penelitian ini melibatkan seluruh petani yang berperan aktif kecuali ada
beberapa petani yang sulit dikonfirmasi ketika berada pada lapangan dengan tujuan untuk
menurunkan biaya survei lapang tanpa mengurangi akurasi.

Analisa Lembaga Pemasaran


Secara garis besar semua pelaku pemasaran yang terlibat merupakan Lembaga pendukung
dalam agribisnis karet dan akan ditinjau dari pendekatan beberapa fungsi yaitu pemindaian,
analisis dan pengukuran. Pemindaian dipakai oleh peneliti bertujuan untuk mengidentifikasi
semua Lembaga pendukung di sepanjang saluran, Analisa dilakukan untuk menganalisis kondisi
semua Lembaga dan terakhir pengukuran dipakai untuk menilai kinerja semua Lembaga
pendukung secara kualitatif (Asmarantaka 2013).

Analisis Efisiensi Pemasaran Karet


Kohls dan Uhls (2002) menyatakan untuk melihat efisiensi pendekatan yang dapat
digunakan ada dua cara yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Untuk melihat analisis
efisiensi pemasaran dapat dilakukan dengan Efisiensi operasional yaitu menganalisis margin
pemasaran, pangsa petani dan juga rasio manfaat dan biaya. Margin pemasaran mencerminkan
perbedaan pendapatan yang diterima oleh masing-masing Lembaga pemasaran. Margin
pemasaran dalam saluran pemasaran tertentu dapat dinyatakan sebagai jumlah margin pada
setiap Lembaga pemasaran yang terlibat. Secara matematis dapat dilihat pada rumus berikut :

Mi = Psi - Pbi
Keterangan :
Mi = margin pemasaran pada setiap Lembaga
Psi = harga jual pada setiap lembaga
Pbi = harga beli pada setiap Lembaga

Secara matematis farmers share didefinisikan sebagai berikut (kohls dan uhls 2002) :

𝑃𝑓
Fs = X 100%
𝑃𝑟

660
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Keterangan
Fs. = Farmer Share
Pf =. Harga ditingkat petani
Pr. = Harga ditingkat Konsumen

Rasio laba terhadap biaya menunjukkan perbandingan antara biaya yang terjadi dan
keuntungan yang dihasilkan. Penyebaran rasio laba terhadap biaya pada masing-masing
Lembaga pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡𝑠 𝐿𝑖
=
𝐶𝑜𝑠𝑡𝑠 𝐶𝑖

Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Saluran Pemasaran oleh Petani Karet


Untuk menganalisa factor-faktor penentu dalam pemelihan saluran pemasaran oleh para
pedagang karet digunakan secara statistika yaitu pendekatan model Multinominal Logistic
Regresion (MLR) dengan harapan model ini dapat mempertimbangkan jenis variable dependen
yang ada, dalam hal ini adalah pemilihan saluran karet (Cameron dan Trivedi 2005).

a) Variable dependen
Berdasarkan hasil Analisa ada 4 saluran yang dipilih oleh pedagang yaitu 1) pedagang
kecil, 2) pedagang besar, 3) pasar lelang dan 4) pabrik
b) Variable indenpendent
Dalam penelitian ini variable independent dikelompokkan menajdi 5 faktor yaitu
karakteristik petani, aspek profitabiltas, akses informasi, akses kredit dan lokasi

HASIL PEMBAHASAN
Provinsi Jambi terletak di Pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan Sumatera
Barat, Riau dengan komoditas unggulan di Jambi adalah karet rakyat yang mendominasi
perkebunan kaert rakyat di Provinsi Jambi.

Tabel 1. Data Luas, Produksi dan Produktivitas Karet di Provinsi Jambi Pada Tahun 2015 – 2016.
Area (Ha) Produksi Produktivitas
Kabupaten
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
Kerinci 1850 1850 1880 345 345 70431 0.186 0.186 37.463
Merangin 132053 132299 139123 61758 62233 60814 0.468 0.470 0.437
Sarolangun 125213 126725 127125 58394 60797 74230 0.466 0.480 0.584
Batanghari 113398 113460 113566 73386 73810 29918 0.647 0.651 0.263
Muaro Jambi 55928 55901 55915 29625 29731 4597 0.530 0.532 0.082
Tanjung Jabung Timur 14806 13834 9511 6570 6435 3647 0.444 0.465 0.383
Tanjung Jabung Barat 7763 7777 7768 2852 3097 50769 0.367 0.398 6.536
Tebo 112365 111637 112458 50314 51465 46548 0.448 0.461 0.414
Bungo 101328 101851 101789 45337 46550 0 0.447 0.457 0.000
Kota Jambi 0 0 0 0 0 0 0.000 0.000 0.000
Kota Sungai Penuh 0 0 0 0 0 341313 0.000 0.000 0.000
Sumber : Badan Pusat Statistik 2017

Hamper sebagian besar petani karet menjadikan karet sebagai sumber utama pendapatan
petani, namun pada saat ini petani belum menjadikan usaha ini menjadi suatu bisnis yang cukup
menjanjikan dan petani hanya memandang bahwa usaha ini hanya sebagai suatu tradisi atau cara
hidup mereka. Produksi karet pada setiap tahunnya mengalami peningkatan, peningkatan ini

661
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

menggambarkan bahwa semakin tingginya partisipasi yang diberikan oleh industry karet di
Provinsi Jambi. Sebagian besar petani karet merupakan petani kecil dengan persentase 94,72%
memiliki lahan kurang dari 10 ha. Petani sulit untuk memenuhi permintaan pabrik dalam kualitas
yang cukup besar sehingga kondisi ini membuat Lembaga pemasaran karet seperti pedagang
kecil, pedagang besar, pasar lelang dan pabrik masih sangat diperlukan untuk mendukung petani
dalam mengelola kuantitas dan persyaratan kualitas yang dibutuhkan oleh eksportir.

Karakteristik Petani Karet di Provinsi Jambi


Sebagian besar petani karet didaerah penelitian adalah laki-laki dan hanya 6% adalah
petani perempuan. Sebagian besar petani berusia dibawah 60 tahun. Sebanyak 86,94% petani
melakukan kegiatan ini sebagai pekerjaan utama

Gambar 3. Umur Petani Karet di Provinsi Jambi.

Tabel 2. Fungsi Pemasaran karet rakyat Anggota Rantai Pasok di Provinsi Jambi pada Tahun 2017.
Fungsi Aktifitas Petani PPD Lelang PPK PB PK UPPB
Pertukaran Jual √ √ √ √ √ √
Beli √ √ √ √ √ √
Fisik Angkut √ √ √ √ √ √ √
Simpan √ √ √ √ √
Proses √
Fasilitas Sortasi √ √ √ √
Grading √ √ √
Info Harga √ √ √ √ √ √ √
Biaya √ √ √ √ √ √
Resiko √ √ √ √ √ √ √
Ket : (√) Melakukan Aktifitas

Sebagian besar petani merupakan petani dengan status pemilik lahan dan sebagian
merupakan petani garapan yang dipekerjakan oleh pemilik lahan dan sebagian besar petani telah
memanen produknya pada awal tahun 2000 sehingga dapat disimpulkan bahwa petani telah
melakukan penenaman karet lebih dari 19 tahun. Untuk melakukan penjualan petani tidak
melakukan sortir hasil produksinya sedangkan pembeli melakukan aktivitas pemasaran yaitu
melakukan sortir. Petani biasanya bertindak sebagai pengambil harga sehingga petani sering
dibebankan resiko akibat dari produksi mereka. Mengantisipasi hal tersebut petani saat ini lebih

662
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

kurang 90% telah bergabung dengan beberapa organisasi petani untuk lebih waspada akan
informasi sehingga memiliki daya tawar yang lebih besar.

Analisis Efisiensi Pemasaran karet


Efisiensi pemasaran karet diukur dengan tujuan untuk mengevaluasi kinerja pemasaran
karet. Pengukuran dapat dilakukan dengan melakukan Analisa margin pemasaran dan farmer’s
share (Asmarantaka, 2014) yang dapat memberikan gambaran biaya minimum yang dapat
dicapai dengan menerapkan beberapa penerapan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan,
pengangkutan, penyimpanan, pemrosesan, distribusi dan aktivitas lainnya disepanjang rantai
nilai.

Gambar 4. Sistem Pemasaran Karet Rakyat di Provinsi Jambi.

Efisiensi didalam pemasaran merupakan salah satu tujuan yang diperlukan untuk dicapai.
Hal ini dapat dicapai ketika system pemasaran telah memuaskan semua Lembaga pemasaran
yang terlibat dengan permulaan petani sampai konsumen akhir. Efisiensi didalam pemsaran
dapat dicapai ketika kegiatan pemasaran dilakukan dengan mengoptimalkan input tanpa
mengurangi kepuasan konsumen. Berikut merupakan temuan utama dari nilai efisiensi
pemasaran yang diamati oleh peneliti (Tabel 3).

Tabel 3. Nilai Efisiensi Pemasaran pada Setiap Saluran Pemasaran di Provinsi Jambi.
Saluran Pemasaran Harga Jual Petani Margin (%) Farmer’s Share Li/ci ratio
Saluran 1 6562.50 70.76 48.12 0.38
Saluran 2 6600.00 70.39 48.39 0.71
Saluran 3 7839.28 47.99 57.48 0.48
Saluran 4 7913.27 47.25 58.02 1.29
Sumber : perhitungan Sendiri

663
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Meskipun berdasarkan data kuantitatif dari hasil analisis efisiensi pemasaran saluran 4
merupakan saluran yang paling efisien, namun saluran tersebut tidak dapat disebut sebagai
saluran yang paling efisien. Beberapa kendala yang dihadapi oleh petani sehingga petani sulit
untuk mendistirbusikan langsung karet ke pabrik. Sebagian besar petani tidak memiliki
penyimpanan yang tepat, keadaan transportasi dan modal yang kurang sehingga kualitas dan
kuantitas untuk memenuhi permintaan pabrik tidak terpenuhi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitin menunjukkan bahwa setiap masing-masing lemabga pemsaran
melakukan fungsi pemasaran ang diperlukan untuk mempengaruhi kinerja pemasaran. Ketiga
fungsi tersebut adalah fungsi Pertukaran (pemberilan dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan,
pemrosesan dan transportasi) serta fungsi fasilitas (penyortiran, penilaian, resiko). Dengan
mempertimbangkan analisis marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio Li/Ci saluran 4
dinyatakan sebgai saluran yang paling efisien disbanding dengan saluran pemasaran karet lain
yang ada di Provinsi Jambi. Presentase yang didapat meliputi margin pemasaran (47,25%),
farmer share yang tinggi (58,02%) dan rasio Li/Ci yang tinggi (1.29). Secara signifikan
keputusan pilihan saluran pemasaran oleh petani karet adalah (1) Lokasi, diwakili oleh jarak, (2)
Akses Informasi, diwakili oleh partisipasi dalam organisasi desa terkait, (3) Aspek keuntungan,
diwakili oleh kuantitas total dan harga, dan (4) Karakteristik Pedagang, diwakili pendidikan.
Petani cenderung memilih saluran yang lebih memberikan keuntungan bila jaraknya lebih jauh,
harga beli lebih tinggi, kuantitas karet lebih besar, dan pendidikan yang lebih tinggi, dimana hasil
analisis saluran pemasaran yang satu dengan acuan perlu diperhatikan.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia DN . 2013 . Sistem Pemasaran Karet Rakyat di Provinsi Jambi dengan Pendekatan
Structure, Conduct, Performance (SCP) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Arifin Bustanul. 2005. Supply Chain of Natural Rubber in Indonesia. Associate Profesor Of
Agricultural Economics at the University Of lampung
Asmarantaka, RW. 1985. Analisis Pemasaran Jagung di Daerah Sentra Produksi di Provinsi
Lampung [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian bogor.
Asmarantaka RW. 2012. Agrimarketing. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor
Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2017. Statistik Perdagangan Provinsi Jambi 2014.
[Internet] [diakses pada 8 Januari 2017].
Dahl Dc, Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry. Mc.
GrawHill Book Company. Newyork..
[DISBUN] Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. 2013. Sektor Unggulan Perkebunan. [Internet]
[diakses pada 8 Juli 2014]. Tersedia pada : http://www.Jambiprov.go.id/?Show=
direktori&id=perkebunan-karet
[DITJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan
Mutu Tanaman Tahunan Kementrian Pertanian. Jakarta
Herdiyansyah, Rikky. 2015. Sistem Pemasaran Karet Rakyat di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
dengan Pendekatan Rantai Pasok [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Kohls dan Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. Prentice Hall. New
Jersey.

664
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kotler P, Armstrong G. 2008. Prinsip prinsip Pemasaran Edisi 12 Jilid 2. Jakarta (ID) Erlangga.
Masduki. 1996. Tataniaga Karet di Batumarta, Sumatera Selatan (Keragaan PTP Versus Swasta)
[Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

665
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Rekonstruksi Model Kelembagaan Petani Kakao Berbasis LEM


(Lembaga Ekonomi Masyarakat) di Kabupaten Kolaka Timur
Provinsi Sulawesi Tenggara
Institutional Reconstruction Model of CEI-Based Cocoa Farmers
(Community Economic Institutions) in East Kolaka District,
South Sulawesi Province
Rosida P. Adama1, Suardi1, Syamsuddin1. Johanis Panggeso2, dan Mario3
1 Department
of development Study, Faculty of Economy, University Tadulako,
2 Department of development Study, Faculty of Agriculture, University Tadulako,
3 Penyuluh Pertanian Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah

ABSTRAK

Kata Kunci: Rekonstruksi Model Kelembagaan Berbasis Petani Kakao Berbasis LEM
Rekonstruksi (Lembaga Ekonomi Masyarakat), mempunyai tujuan yaitu: (1)
Model mengidentifikasi terhadap implementasi LEM Sejahtera di Kabupaten
Lembaga Ekonomi Kolaka Timur Provinsi Sulawesi Tenggara, (2) Mengukur pengaruh Model
Masyarakat LEM Sehatera terhadap Kepuasan Anggota, dan (3) Merekonstruksi model
kelembagaan berbasis LEM yang akan diterapkan pada petani kakao di
Provinsi Sulawesi Tengah. Sampel penelitian dilakukan 2 (dua) LEM
Sejahtera yaitu LEM Sejahtera Desa Tinete dan Desa Wonoteo Kabupaten
Kolaka Timur. Metode analisis menggunkan analisis deskriptif kuantitatif
dan kualitatif serta regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
Secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa : (a) LEM Sejahtera Desa Tinete
dan Desa Wonoteo rata-rata umur anggota dibawah 45 tahun, dengan tingkat
pendididkan rata-rata SMP (b) rata-rata luas lahan antara 1-3 ha serta
produksi yang dicapai rata-rata 500 – 750 kg/ha, dengan tingkat pendapatan
rata-rata Rp. 15 – 32,68 juta per tahun; (c) Implementasi LEM Sejahtera di
Desa Tinete dan Wonoteo, dinilai dari tiga variabel yang diukur,
menunjukkan bahwa peran edukasi dan pembelajaran bagi anggota LEM
Sejahtera Wonoteo menduduki urutan pertama. Sedangkan LEM Sejahtera
Desa Tinete urutan pertama yang terpenting adalah kemampuan LEM
Sejahtera sebagai unit produksi/jasa; (d) LEM Sejahtera Tinte dan Wonoteo
telah memiliki AD-RT dan Akte Notaris, sebagai pedoman dalam
manajemen LEM yang ditaati bersama; (e) Kepuasan yang dirasakan
anggota LEM Sejahtera, baik Desa Tinete maupun Desa Wonoteo termasuk
dalam kategori sangat puas; (f) Model manajemen LEM Sejahtera
memberikan korelasi kuat dengan kepuasan anggota sebesar 50,14%.
Selanjutnya, besarnya pengaruh manajemen LEM Sejahtera terhadap
Kepuasan Anggota sebesar 26,40 %, dan yang dominan pengaruhnya adalah
variabel unit produksi dan jasa yaitu 41,60%. Namun, dua variabel lainnya
berpengaruh tetapi tidak signifikan dengan kepuasan anggota; (g)
Rekonstruksi model kelembagaan berbasis LEM di Sulawesi Tengara akan
diterapkan oleh petani kakao di Sulawesi dengan memperhatikan
karakteristik sosial ekonomi, budaya, heterogen anggota petani dan
keamanan.

666
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

ABSTRACT

Keywords: The Reconstruction of the CEI (Community Economic Institution) Cocoa


econstruction Farmer-Based Institutional Model has the objectives of: (1) identifying the
Model implementation of Prosperous CEI in the East Kolaka Regency of Southeast
Community Economic Sulawesi Province, (2) Measuring the effect of the LEM Model in Sumatra
Institutions on Member Satisfaction, and (3) Reconstruct CEI-based institutional model
that will be applied to cocoa farmers in Central Sulawesi Province. The
research sample was conducted 2 (two) CEI Prosperous namely CEI
Prosperous Tinete Village and Wonoteo Village, East Kolaka Regency. The
analytical method uses quantitative and qualitative descriptive analysis and
multiple regression. The results show that: Descriptively it can be explained
that: (a) Prosperous LEM of Tinete Village and Wonoteo Village, the average
age of members below 45 years, with an average level of junior high school
(b) average land area of 1-3 ha and production achieved an average of 500 -
750 kg / ha, with an average income level of Rp. 15 - 32.68 million per year;
(c) The implementation of CEI Sejahtera in Tinete and Wonoteo Villages,
assessed from the three measured variables, shows that the role of education
and learning for CEI Prosperous Wonoteo members ranks first. Whereas the
LEM Sejahtera Tinete Village first rank is the most important ability of CEI
Sejahtera as a production / service unit; (d) CEI Sejahtera Tinte and Wonoteo
already have AD-RT and Notary Deed, as a guideline in CEI management
that is adhered to together; (e) The satisfaction felt by members of CEI
Sejahtera, both Tinete Village and Wonoteo Village is included in the very
satisfied category; (f) The CEI Sejahtera management model provides a
strong correlation with member satisfaction of 50.14%. Furthermore, the
magnitude of the influence of CEI Sejahtera management on Member
Satisfaction is 26.40%, and the dominant influence is the variable unit of
production and services that is 41.60%. However, the other two variables are
influential but not significant with member satisfaction; (g) Reconstruction
of the CEI-based institutional model in Southeast Sulawesi will be applied by
cocoa farmers in Sulawesi with due regard to the socioeconomic, cultural,
heterogeneous characteristics of farmer members and security.

Email Korespondensi: rosida_adam@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Kelembagaan petani merupakan lembaga yang ditumbuh kembangkan dari, oleh dan untuk
petani, yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan sosial,
ekonomi, sumberdaya, kesamaan komoditas dan keakraban. Salah satu model kelembagaan
masyarakat yang telah dianggap berhasil adalah Kelembagaan Ekonomi Masyarakat (LEM)
Sejahtera yang dikembangkan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Keberadaan LEM Sejahtera telah
berkembang hampir diseluruh Desa yang ada di setiap Kabupaten Provinsi Sulawesi Tenggara.
Menurut Diany Faila Sophia Hartatri, dkk (2016) mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tenggara mengembangkan lembaga ekonomi berbasis masyarakat desa dalam wujud
Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera (LEM Sejahtera) pada tahun 2009. Lembaga ini
bertujuan untuk menghimpun segala potensi sumber daya desa dalam satu kekuatan untuk
meningkatkan perekonomian, kemandirian dan kesejahteraan warga. Lebih lanjut, dikatakan
bahwa sampai dengan tahun 2016 telah terbentuk sebanyak 122 LEM Sejahtera yang tersebar di
sembilan kabupaten yang turut berkontribusi dalam peningkatan pendapatan anggota kelompok.

667
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Penumbuhan dan pengembangan kelembagaan petani dilakukan melalui pemberdayaan


petani untuk mengubah pola fikir petani agar mau meningkatkan usahataninya dan
pendapatannya, serta meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan fungsinya sebagai :
1. Kelas belajar (peran edukasi)
2. Wahana kerjasama dan pemasaran
3. Unit produksi dan jasa
Ketiga fungsi kelembagaan tersebut, diharapkan mampu mengembangkan agribisnis dan
menjadi kelembagaan petani yang kuat dan mandiri. Hasil penelitian Suardi, dkk (2015),
kelembagaan petani yang telah terbentuk selama ini memiliki beberapa permasalahan antara lain
yaitu :
1) Sebagian besar petani terikat dengan sistem ijon, 2) masih rendahnya kualitas biji kakao,
3) rendahnya kemampuan dalam menjalin kerjasama dengan pelaku agribisnis dan kelembagaan
ekonomi pedesaan lainnya, 4) masih lemahnya kapasitas petani dan kelembagaan ekonomi
petani (belum berbadah hukum), 5) masih terbatasnya akses petani terhadap seumber
pembiayaan/ permodalan dan pemasaran, dan 6) masih terbatasnya akses petani terhadap IPTEK
dan informasi.
Mencermati beberapa kelemahan dalam kelembagaan petani Sulaewsi Tengah tersebut
diatas, maka salah satu upaya yang akan ditempuh dengan mencoba mengadopsi LEM Sejahtera
dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing masyarakat desa yang ada di Sulawesi
Tengah. Menurut Bambang (2015) menyatakan kelembagaan petani di perdesaan saat ini
dikembangkan secara sektoral setiap kementerian, pemerintah provinsi hingga kabupaten
berdasarkan program atau proyek dari masing-masing instansi tersebut. Lebih lanjut, dikatakan
bahwa kondisi tersebut menjadikan di setiap desa memiliki banyak kelembagaan petani namun
skalanya kecil-kecil, bersifat segmental-egosektoral, akibatnya kelembagaan tersebut tak mampu
memperkuat petani. Selanjutnya , dikatakan bahwa kelembagaan petani yang munculnya hanya
berdasarkan proyek tersebut, belum mampu meningkatkan daya saing dan kemandirian petani
untuk mewujudkan kesejahteraannya. Hal ini terlihat dari kondisi petani di perdesaan saat ini
masih terbelenggu dengan berbagai permasalahan mulai dari penyediaan sarana produksi
pertanian, budidaya, pasca panen, pengolahan hasil hingga permasalahan pemasaran hasil.
Fenomena pada umumnya, tingkat keuntungan kegiatan usaha tani lebih banyak dinikmati
oleh para pedagang dan pelaku usaha tani lainnya dihilir (Sumodiningrat, 2000; Suardi,
dkk,2016). Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan petani yang mampu memberikan kekuatan
bagi petani (posisi tawar yang tinggi). Hal ini senada dengan pendapat Suhud (2005) bahwa
penguatan posisi tawar petani melalui LEM merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak
dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan
usaha tani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penguatan posisi tawar petani melalui LEM
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan, agar mereka dapat
bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan, Oleh
Karena itu, desain kelembagaan petani hendaknya dibangun dengan skala lebih besar, melalui
jalinan jejaring antar lembaga dan tetap memposisikan desa sebagai unit otonomi, dan bersifat
universal.
Kelembagaan Petani Kakao di Indonesia, pada sektor pertanian, kelembagaan merupakan
salah satu pranata sosial yang berfungsi untuk memfasilitasi petani dalam berinteraksi dalam
suatu organisasi petani. Di samping itu, kelembagaan pertanian juga memiliki peran penting
dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Berbagai kelembagaan petani, mulai
kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi dan dewan komoditas telah difasilitasi oleh
pemerintah. Namun demikian, saat ini kelembagaan petani di Indonesia masih belum berperan
optimal seperti yang diharapkan.
Menurut Menurut Diany Faila Sophia Hartatri, dkk (2016), beberapa faktor penyebab
kelembagaan petani tidak optimal antara lain:

668
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

1. Sebagian besar kelompok tani dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan
koordinasi program-program pemerintah. Sehingga, kemandirian kelompok tani kurang
terjamin.
2. Pembentukan dan pengembangan kelompok tani umumnya bersifat top down, sehingga
kegiatan kelompok tani tidak berasal dari asprasi anggota.
3. Partisipasi dan keanggotaan anggota kelompok tani masih relatif rendah.
4. Pengelolaan kegiatan bersifat individual, terutama oleh ketua kelompok tani. Hal ini
5. mengindikasikan bahwa kelompok tani belum dapat berperan sebagai wadah kegiatan dan
bersosialisasi petani.
6. Pembinaan pada kelompok tani cenderung mengutamakan beberapa pengurus kelompok tani
saja, tidak merata kepada seluruh anggota kelompok tani.
7. Umumnya kelompok tani dibangun untuk memperkuat ikatan horizontal, yaitu kepada
8. sesama petani, bukan untuk memperkuat ikatan vertikal, misalnya dengan sektor swasta
(pembeli).
9. Belum terbangunnya jejaring antar organisasi petani.
Selain itu, Putu Gede Parma (2014) menjelaskan bahwa kelembagaan petani memiliki titik
strategis (entry point) dalam mengerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala
sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/ diprioritaskan dalam rangka peningkatan
profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani).

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pemberdayaan Petani
Pemberdayaan berasal dari kata:“empowerment” dan “empower” diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia menjadipemberdayaan dan memberdayakan yang mengandung dua pengertian
yaitu : pengertian pertamaadalah to give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to
give ability to or enable.
Pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan
ataumendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedang dalam pengertian kedua, diartikan sebagai
upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Pengertian pemberdayaan menekan-
kan pada aspek pendelegasian kekuasaan, memberi wewenang, atau pengalihan kekuasaan
kepada individu atau masyarakat sehingga mampu mengatur diri dan lingkungannya sesuai
dengan keinginan, potensi, dan kemampuan yang dimilikinya.
Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat
terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan, kesenjangan, ketidakberdayaan. Kemiskinan
dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak.
Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, papan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.
Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang
lemah, terbatasnya akses pada tanah padahal ketergantungan pada sektor pertanian masih sangat
kuat, melemahnya pasar-pasar lokal/tradisional karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan
perdagangan internasional.
Menurut Asia (2010), pemberdayaan pada petani meliputi :
a. Pemberdayaan petani, yaitu merubah perilaku petani dari petani yang subsisten tradisional
menjadi petani modern yang berwawasan agribisnis.
b. Pemberdayaan kelembagaan petani dengan menumbuh kembangkan kelembagaan petani
dari kelompok tani menjadi gabungan kelompok tani (Gapoktan), asosiasi, koperasi dan
korporasi (badan usaha milik petani), serta
c. Pemberdayaan usahatani dengan penumbuhkembangan jiwa wirausaha dan kerjasama
antarpetani dengan pihak terkait lainnya untuk mengembangkan usahataninya.
Salah satu permasalahan petani ialah lemahnya posisi tawar (bargaining power) petani
terhadap pedagang/tengkulak/pemborong. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
posisi tawar yaitu melalui konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak

669
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

ekonomi dari pra produksi hingga pemasaran. Hal ini dapat dilakukan dengan kolektifikasi
semua proses dalam rantai pertanian meliputi koletivitas modal, kolektivitas produksi hingga
pemasaran (Akhmad, 2007) dalam Nasrul (2012) sebagai berikut :
a. Kolektifikasi modal yaitu upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya.
Misalnyaadanya simpan pinjam produktif yang wajib bagi anggota untuk menabung dan
meminjamkansebagai modal produksi bukan untuk konsumtif.
b. Kolektifikasi produksi yaitu suatu perencanan produksi secara kolektif untuk
menentukanpola, jenis, kuantitas serta siklus produki secara kolektif. Kolektivitas produksi
perlu untukmencapai efisiensi produksi dengan skala produksi besar dari banyak produsen.
Sehinggadapat dilakukan penghematan biaya faktor produksi dan kemudahan dalam
pengelolaanproduksi seperti daLam penanganan hama.
c. Kolektifikasi pemasaran yaitu upaya mendistribusikan komoditas pertanian secara kolektif
dimana bertujuan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang
besar dan menaikkan prosisi tawar produsen dalam penjualan komoditasnya. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi dominasi tengkulak yang menekan posisi tawar petani dalam
penentuan harga secara individual, merubah pola relasi yang merugikan petani produsen,
serta membuat pola distribusi yang lebih efisien dengan pemangkasan rantai pemasaran yang
kurang menguntungkan.

Kelembagaan Kelompok Tani


Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 82/Permentan/Ot.140/8/2013 Tanggal : 19 Agustus
2013 Tentang Pedoman Penumbuhan Dan Pengembangan Kelompoktani Dan Gabungan
Kelompoktani menjelaskan dalam Bab II bahwa Penumbuhan dan pengembangan poktan
dilakukan melalui pemberdayaan petani untuk merubah pola pikir petani agar mau meningkatkan
usahataninya dan meningkatkan kemampuan poktan dalam melaksanakan fungsinya.
Pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan penyuluhan dengan
pendekatan kelompok. Kegiatan penyuluhan melalui pendekatan kelompok dimaksudkan untuk
mendorong terbentuknya kelembagaan petani yang mampu membangun sinergi antar petani dan
antar poktan dalam rangka mencapai efisiensi usaha. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan
kemampuan poktan dilakukan pembinaan dan pendampingan oleh penyuluh pertanian, dengan
melaksanakan penilaian klasifikasi kemampuan poktan secara berkelanjutan yang disesuaikan
dengan kondisi perkembangannya.
Pentingnya pemberdayaan kelompoktani sangat beralasan karena keberadaan kelompok
taniakhir-akhir ini, terutama sejak adanya otonomi daerah, kecenderungan perhatian pemerintah
terhadap kelembagaan kelompok tani sangat kurang, bahkan terkesan diabaikan sehingga
kelompok tani yang sebenarnya merupakan aset sangat berharga dalam mendukung
pembangunan pertanian belum berfungsi secara optimal”.
Lebih lanjut, usahatani merupakan kegiatan dalam bidang pertanian, mulai dari produksi,
budidaya,penanganan setelah panen, pengolahan komoditas, sarana prasarana produksi,
pemasaran hasil pertanian, dan/atau jasa penunjang (Peraturan Kementerian Pertanian no 82
Tahun 2013).
Najmudinrohman (2010) menyebutkan bahwa unsur pokok dalam usahatani meliputi
lahan, tenaga kerja, modal dan pengelolaan. Lahan merupakan tempat aktivitas produksi dan
tempat tinggal keluarga petani. Lahan merupakan faktor produksi yang dipengaruhi oleh tingkat
kesuburan, luas lahan, letak lahan, intensifikasi, dan fasilitas-fasilitas.
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang berpengaruh pada produktivitas. Modal
merupakan perpaduan faktor prouksi lahan dan tenaga kerja, modal ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas kerja dan kekayaan usahatani sendiri. Unsur terakhir yaitu
pengelolaan atau manajemen, pengelolaan merupakan kemampuan petani dalam menentukan,
mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi pertanian.

670
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pendapatan merupakan hasil pengurangan dari total penerimaan usahatani dengan total
biayayang dikeluarkan. Nilai pendapatan yang diterima menunjukkan balas jasa untuk modal
dan tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi usahatani (Saskia, 2012:15).
Tindakan kolektif/aksi kolektif (collective action) dapat diartikan sebagai “aksi yang
dilakukan sekelompok individu baik secara langsung maupun melalui organisasi, untuk
mencapai kepentingan bersama” (Siagian dan Neldysavrino; 2007).
Determinan bagi keberhasilan tindakan bersama ialah ukuran (size), homogenitas
(homogenity), dan tujuan kelompok (purpose of the group). Mengacu pada determinan tersebut.
Pertama, apabila semakin besar ukuran suatu kelompok kepentingan (interest group) maka
semakin sulit bagi kelompok tersebut untuk menegosiasikan mengenai kepentingan masing-
masing anggota kelompoknya. Demikian pula sebaliknya, ketika ukuran kelompok kepentingan
semakin kecil maka semakin efektif dalam bekerja.
Kedua, ketika suatu kelompok kepentingan memiliki beragam kepentingan dari anggota
kelompok tersebut maka tidak mudah dalam perumusan kesepakatan bersama. Hal ini karena
masing-masing anggota memiliki keinginan yang berbeda-beda, demikian pula sebaliknya.
Namun homogenitas kepentingan tidak selalu memudahkan kerja suatu kelompok, dimana ada
beberapa studi yang menunjukkan bahwa heterogenitas dalam suatu kelompok dapat
memfasilitasi tindakan kolektif.
Ketiga, fokus tidaknya tujuan suatu kelompok. Ketika tujuan kelompok telah fokus atas
pertimbangan kepentingan anggota kelompok maka semakin mudah untuk mencapainya
ketimbang tujuan kelompok yang masih secara luas (Yustika, 2008).

Kelembagaan Penunjang
Kelembagaan Pemasaran Kakao
Peran kelembagaan pemasaran terhadap keterbukaan dalam penentuan harga (Posisi
Tawar) kakao sangat besar bagi para petani, untuk itu dibutuhkan sebuah lembaga pemasaran
yang sanggup menampung hasil dari petani kakao sehingga kelompok tani dapat menentukan
harga jual. Kelembagaan pemasaran merupakan lembaga pemasaran bersama dari gabungan
kelompok tani (gapoktan) yang ada di seluruh kabupaten. Keberadaan kelembagaan pemasaran
berperan dalam menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan pengolahan kakao domestik.
Pasar merupakan kunci terakhir dalam pengembangan usaha bagi aktivitas usaha tani,
karena apabila tidak tersedianya pasar maka produksi yang dihasilkan oleh para petani tidak akan
memberikan manfaat dan kontribusi bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi
keluarga petani. (Anantanyu, 2011). Oleh karena itu, pasar akan sangat menentukan
kesinambungan usahatani. Seringkali pemasaran bagi petani menjadi kendala karena
dipengaruhi oleh masalah turunnya harga satuan produksi yang tiak seimbang dengan
pendapatan petani, karena besarnya biaya yang dikeluarkan seperti pupuk, tenaga kerja, bibit
maupun biaya-biaya lainnya.

Kelembagaan Keuangan
Menurut Zubaedi (2013) salah satu upaya pemberdayaan yaitu memperkuat potensi atau
daya yang dimiliki masyarakat salah satunya melalui pemberian modal yang mampu membuka
akses pada berbagai peluang lainnya untuk menjadikan masyarakat lebih berdaya. Dengan kata
lain, peran kelembagaan keuangan terhadap informasi fasilitas modal bagi petani sangat besar.
Adanya bantuan permodalan dari KUD mampu memberikan kemudahan pada anggota
kelompok dalam akses permodalan. Dengan adanya kepemilikan modal, seperti halnya ketika
bertransaksi dengan pedagang/tengkulak mereka akan cenderung memiliki daya tawar yang kuat
dibandingkan kepemilikan modal terbatas.

671
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kelembagaan Penyuluhan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Kelembagaan
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi
pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan
dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Penyuluhan dalam arti umum merupakan suatu ilmu sosial yangmempelajari sistem dan
proses perubahan pada individu dan masyarakat agar dengan terwujudnya perubahan tersebut
dapat tercapai apa yang diharapkan sesuaidengan pola atau rencananya. Penyuluhan dengan
demikian merupakan suatu sistem pendidikan yang bersifat non-formal atau suatu sistem
pendidikan di luar sistem persekolahan yang biasa, dimana orang ditunjukan cara-cara mencapai
sesuatu dengan memuaskan sambil orang itu tetap mengerjakannya sendiri, jadi belajar dengan
mengerjakan sendiri (Kartasapoetra, 1987 dalam Erwadi, 2012).
Penyuluhan pada dasarnya adalah kegiatan profesional pelayanan jasapendidikan
pembangunan yang bermartabat. Penyuluhan menempatkan manusia sebagai subyek
pembangunan yang mandiri dan berdaya dalam beradaptasi secara adil dan beradab terhadap
perubahan lingkungannya. Penyuluhan juga merupakan proses atau proses pemberdayaan yang
dilaksanakan secara partisipatif untuk mengembangkan kapital manusia dan kapital sosial dalam
mewujudkan kehidupan yang mandiri, sejahtera, dan bermanfaat (Sumardjo, 2010).
Menurut USAID (1995) dalam Mardikanto (2009) penyuluhan bukanlah instruksi,
pemaksaan atau tindakan menggurui, tetapi merupakan proses belajar yang partispatif untuk
menemukan masalah dan alternatif pemecahan yang terbaik, termudah dan termurah.
Penyuluhan adalah proses pemberdayaan masyarakat agar mengembangkan kapasitas individu,
kapasitas entitas (kelembagaan) dan kapasitas sistem (jejaring) dalam rangka optimasi
sumberdaya lokal.
Menurut Soedijanto (2003) penyuluhan merupakan syarat yg mutlak harus ada sebagai
pilar untuk mempercepat pembangunan pertanian-pertanian di Indonesia pada saat ini dan masa
yag akan datang. Penyuluhan mampu menjadi kegiatan untuk melakukan pengembangan SDM
petani yang merupakan kunci peningkatan kinerja pembangunan. Dalam tulisan yang sama
Soedijanto menyatakan penyuluhan dalam pembangunan pertanian harus mampu menjadikan
“petani sebagai manusia” dan petani sebagai subjek dalam pembangunan pertanian. Dengan
demikian citra pertanian seharusnya sebagai proses pemberdayaan.
Pengertian penyuluhan pertanian menurut rumusan UU No.16/2006 tentang SP3K pasal 1
ayat 2 adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama sertapelaku usaha agar mereka mau dan
mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan pruduktivitas,
efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Menurut Erwadi (2012) penyuluh pertanian merupakan agen bagi perubahan prilaku
petani, yaitu dengan mendorong masyarakat petani untuk merubah prilakunya menjadi petani
dengan kemampuan yang lebih baik dan mampu mengambil keputusan sendiri, yang selanjutnya
akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Melalui peran penyuluh, petani diharapkan
menyadari akan kekurangannya atau kebutuhannya, melakukan peningkatan kemampuan diri,
dan berperan di masyarakat dengan lebih baik.
Revikasari (2010) menyatakan penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai pendidikan
nonformal yang ditujukan kepada petani dan keluarganya dengan tujuan jangka pendek untuk
mengubah perilaku termasuk sikap, tindakan dan pengetahuan ke arah yang lebih baik, serta
tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat indonesia. Kegiatan

672
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

penyuluhan pertanian melibatkan dua kelompok yang aktif. Di satu pihak adalah kelompok
penyuluh dan yang kedua adalah kelompok yang disuluh.
Penyuluh adalah kelompok yang diharapkan mampu membawa sasaranpenyuluhan
pertanian kepada cita-cita yang telah digariskan, sedangkan yang disuluh adalah kelompok yang
diharapkan mampu menerima paket penyuluhan pertanian.
Lanjut, Mardikanto (2007) perlu dipahami penyuluhan pertanian merupakan proses
perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan
masyarakat melalui proses belajar bersama yang berpartisipatif, agar terjadi perubahan prilaku
pada diri semua stakeholder (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses
pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri dan partisipatif
yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.
Perubahan rumusan terhadap pengertian penyuluhan seperti itu, dirasakan penting karena:
1. Penyuluhan pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembangunan/
pengembangan masyarakat dalam arti luas.
2. Dalam praktek, pendidikan selalu dikonotasikan sebagai kegiatan pengajaran yang bersifat
“menggurui” yang membedakan status antara guru/pendidik yang selalu “lebih pintar”
dengan murid/ peserta didik yang harus menerima apa saja yang diajarkan oleh guru/
pendidiknya.
3. Pemangku kepentingan (stakeholder) agribisnis tidak terbatas hanya petani dan keluarganya.
4. Penyuluhan pertanian bukanlah kegiatan karikatif ( bantuan cuma-Cuma atas dasar belas-
kasihan) yang menciptakan ketergantungan.
5. Pembangunan pertanian harus selalu dapat memperbaiki produktifitas, pendapatan dan
kehidupan petani secara berkelanjutan.

Penyuluh bertugas untuk mendorong, membimbing dan mengarahkanpetani/ nelayan agar


mampu mandiri dalam mengelola usahataninya karena penyuluhan merupakan proses
pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan
mengorganesasikan dalam mengakses informasi informasi pasar, teknologi, permodalan dan
sumber daya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha,
pendapatan dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Penyuluh sangat membantu para petani untuk dapat menganilisis dan
menafsirkan situasi yang sedang berkembang, sehingga petani/nelayan dapat membuat perkiraan
ke depan dan memilimaliskan kemungkinan masalah yang akan dihadapi. Selain itu kegiatan
penyuluh pertanian sebagai proses belajar petani, nelayan melalui pendekatan kelompok dan
diarahkan untuk untuk terwujudnya kemampuan kerja sama yang lebih efektif, sehingga mampu
menerapkan inovasi, mengatasi berbagai resiko kegagalan usaha.
Penyuluh pertanian dilaksanakan untuk menambah kesanggupan parapetani dalam
usahanya memperoleh hasil-hasil yang dapat memenuhi keinginan mereka tadi. Jadi penyuluh
tujuannya adalah perubahan perilaku petani, sehinggamerekadapat memperbaiki cara bercocok
tanamnya, lebih beruntungusaha taninya dan lebih layak hidupnya, atau yang sering dikatakan
keluarga tani maju dan sejahtera.
Peranan penyuluh sangatlah penting melakukan perubahan perilaku petani terhadap
sesuatu (inovasi baru), serta terampil melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi
peningkatan produktifitas, pendapatan atau keuntungan, maupun kesejahteraan petani.
Menurut Novita (2013) peranan penyuluh dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu:
menyadarkan masyarakat atas peluangyang ada untuk merencanakan hingga menikmati hasil
pembangunan, memberikan kemampuan masyarakat untuk menentukan program pembangunan,
memberi kemampuan masyarakat dalam mengontrol masa depannya sendiri, dan memberi
kemampuan dalam menguasai lingkungan sosialnya.
Peran seorang pekerja pengembangan masyarakat dapat dikategorikan ke dalam empat
peran,yaitu :

673
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

(a) Peran fasilitator (facilitative roles),


(b) Peran pendidik (educationalroles),
(c) Peran utusan atau wakil (representasional roles), dan
(d) Peran teknikal (technical roles).

Dapat dilihat bahwa peran penyuluh sangat berat, mengharuskannya memiliki kemampuan
tinggi, Oleh karena itu kualitas dari penyuluh harus terus ditingkatkan sehingga mampu berperan
dalam memberikan penyuluh dan mewujudkan pembangunan pertanian. Peranan agen penyuluh
padalah membantu petani membentuk pendapat yang sehat dan membuat keputusan yang baik
dengan cara berkomunikasi dan memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan petani.
Peranan utama penyuluh lebih dipandang sebagai proses membantu petani untuk mengambil
keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan bagi mereka, dan menolong petani
mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi dari masing masing pilihan tersebut.

PENGUATAN KELEMBAGAAN PETANI MELALUI LEMBAGA EKONOMI


MASYARAKAT ( LEM) SEJAHTERA
Penguatan Kelembagaan
Berdasarkan UU No 19 tahun 2013 tentang pelindungan dan perberdayaan petani
dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewa-
jiban mendorong dan menfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi
petani.
Megorganisasikan petani secara formal merupakan pedekatan utama pemerintah untuk
pemberdayaan petani. Hampir pada semua program, petani disysratkan untuk berkelompok
dimna kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang tunai, dan
sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana
program ( badan PSDM deptan 2007).
Berbagai upaya peningkatan produksi dan mutu komoditi pertanian saat belum menjadi
jaminan memberikan keuntungan bagi petani bila tidak dikuti dengan proporsi pendapatan secara
adil antara petani yang bergerak disub system on farm dengan pelaku agribisnis disub sector of
farm. Peningkatan posisi petani hanya dapat dilakukan bila petani tidak lagi berjalan sendiri-
sendiri, melainkan menghimpun kekuatan dalam suatu lembaga yang kuat. Oleh karena itu
paradigm baru pemberdaayaan petani semestinya tidak lagi terfokus pada upaya peningkatan
produksi dan mutu produk semata, meliankan juga perlunya prioritas untuk memperkuat
kelembagaan petani.
Menurut Akhmad ( 2007 ), upaya yang harus dilakukan petani untuk menaikkan posisis
tawar petani adalah dengan :
1. Kosolidasi petani dalam suatu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai
pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilkukan
dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal,
kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya
membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerkan simpan pinjam
produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai
modal produksi, bukan kebutuhuan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal
kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantunga kredit
serta jeratan hutang tengkulak.
2. Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola,
jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai
efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisiensi dapat
dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi dapat dilakukan penghematan
biaya dalam pemenuhan factor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi,
misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat dihindari kompetisi

674
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

yang tidak sehat diantara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan
jadwal tanam.
3. Koletifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi
biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi awar produsen
dalam perdagangan produk pertanian. Koletifikasi pemsaran dilakukan untuk mengkikis
jarring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga
secara individual . uapaya kolektifikasi tersebut tidak berarti mengahapus peran dan posisi
pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah mengbah pola
relasi yang merugikan petani produsen dana membuat pola distribusi lebih efisien dengan
pemangkasan rantai tataniaga yang tidak menguntungkan.

Mengapa perlu penguatan kelembagaan?


Perhatian pemerintah melalui program, proyek dan kegiatan dari berbagai kementrian
lembaga terkait dengan alokasi anggaran yang cukup besar ternyata belum mampu meningkatkan
daya saing petani. Kelompok tani dengan gabungan kelompok taninya (Gapotkan) belum
berfungsi secara optimal untuk menjawab berbagai tantangan petani dipedesaan. Koperasi
sebagai soko guru perekonomian bangsa juga kurang dapat respon dari masyarakaat akibat
pengalaman pahit masa lalu. Hasil kajian deputi bidang pengkajiaan sumberdaya UKMK bekerja
sama dengan lembaga pengapdian kepada masyarakat Universitas Negeri sebelas Maret Sukarta
Tahun 2004, bahwa peran koperasi di sector off-farm (industri pengolahan) pada usaha pertanian
masih tergolong sangat rendah bila dilihat dari status badan hokum sebagai industri pengolahan
berbasis sektor pertanian kurang dari 1 % jumlah koperasi yang usahanya bergerak dalam
industri pengolahan pertanian, kecuali di sub sektor perternakan lebih dari 3 % (Togap
Tabungan, 2006). Kehadiran bergai program dan kegiatan pembangunan pertanian masih
bersifat segmental dan egosektoral.
Perjalanan panjang petani untuk mewujudkan kesejahtraannya dengan berbagai
permasalahan tersebut diatas, memberikan inspirasi perlunya penguatan kelembagaaan petani
yang mampu mengatasi berbagai persoalan menuju petani Indonesia yang mandiri dan
bermartabat.

METODE PENELITIAN
Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan perpaduan antara pendekatan deskriptif kuantitatif dan
kualitatif. Dalam hal ini digunakan metode studi kasus dengan mengamati fenomena yang terjadi
pada kelompok LEM Sejahtera yang dikembangkan Kabupaten Kolaka Timur, dengan
mengambil sampel 2 (dua) LEM Sejahtera yaitu : LEM-Sejahtera Desa Tinete dan LEM-
Sejahtera Desa Wonoteo.

Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini tehnik penentuan sampel menggunakan tehnik porposive sampling
yaitu tehnik penentuan sampel berdasarkan kreteria tertentu. Dimana kreteria ditentukan
berdasakan:
1. LEM-Sejhatera yang telah dinyatakan berhasil oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Kolaka
Timur
2. Telah mendapat binaan dari Bank Indonesia
Atas dasar kreteria tersebut di atas, maka yang menjadi sampel penelitian yaitu 2 (dua)
LEM Sejahtera yaitu :
• LEM-Sejahtera Desa Tinete
• LEM-Sejahtera Desa Wonoteo

675
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Metode Analisis
Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Skala
pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang
pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam
pengukuran yang akan menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono, 2014). Selanjutnya, metode
analisis menggunakan regresi berganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Kabupaten Kolaka Timur
Geografis dan Luas Wilayah
Kabupaten Kolaka Timur terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geografis
terletak di bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara, memanjang dari Utara ke Selatan di antara
2º00’-5º00’ Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur di antara 120º45’- 124º06’
Bujur Timur. Kabupaten Kolaka Timur di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka
Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan, sebelah Timur berbatasan
Kabupaten Konawe, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka. Sebagian besar
wilayah KolakaTimur merupakan Daratan, wilayah daratan 6.981,38 km2. Secara administrasi
Kabupaten Kolaka Timur terdiri atas dua belas wilayah kecamatan, yaitu Ladongi, Lambandia,
Tirawuta, Mowewe, Uluiwoi, Tinondo, Lalolae, Poli-Polia, ,Loea, Aere, Dangia, dan Ueesi. Di
Kabupaten Kolaka Timur juga terdapat pulau-pulau yang tersebar di masing-masing kecamatan
(BPS: Kabupaten Kolaka Timur, 2015)

Jumlah Kecamatan, Desa, Kategori Desa dan Jumlah Penduduk


Usaha Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka Timur dalam pembangunan desa bertujuan
untuk meletakkan sendi-sendi kehidupan desa, yaitu masyarakat desa yang berkecukupan
material dan spiritual serta makin adil dan merata guna terwujudnya Desa Pancasila. Kriteria dan
kategori pembangunan desa dibedakan menjadi desa maju dan desa tertinggal. Jumlah
kecamatan sebanyak 11 kecamatan, jumlah desa sebanyak 135 desa. Kategori desa maju
sebanyak 55 desa dan kategori desa tertinggal sebanyak 85 desa. Selanjutnya, jumlah penduduk
Kabupaten Kolaka Timur sebanyak 120.089 orang.

Sektor Pertanian dan Perkebunan


Setidaknya terdapat delapan jenis tanaman bahan makanan yang diusahakan di Kolaka
Timur yaitu: padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai
dan kacang hijau. Untuk masing-masing daerah kecamatan sample dapat disajikan pada Tabel
1. Berdasarkan Tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas dari lima komoditas
unggulan tersebut yang dicapai rendah, terutma komoditas kakao. Hal ini mengindikasikan
bahwa masalah penyakit dan hama tanaman secara nasional juga menyerang tanaman kakao
yang ada di kecamatan tersebut, sehingga produksi berkurang. Penyakit yang pada umumnya
menyerang adalah VCD atau kanker buah.
Tabel 1. Jumlah Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Komoditas Unggulan di Kecamatan Sampel.
No Komoditas Kec. Lambandia Kec. Aire
Luas Produksi Produktiv Luas Produksi Produktivita
(Ha) (Ton) (Ton/Ha) (Ha) (Ton) s (Ton/Ha)
1 Kakao 20.108 14.986,87 0,75 11.433,2 8.003 0,70
5
2 Kelapa 188 30,72 0,16 82,50 16,50 0,20
3 Lada 118 3,19 0,03 92,50 3,70 0,04
4 Cengkih 48 3,67 0,08 283 280,17 0,99
5 Kopi 39 2,41 0,06 34 3,06 0,09
Sumber : BPS, Kolaka Timur Dalam Angka, 2015. Diolah kembali

676
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera


Struktur Organisasi
Struktur organisasi LEM Sejahtera yang mencakup tugasdan fungsi masing bidang telah
diatur dalam AD-RT (Terlampir), sebagaimana ditampilkan pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Struktur Organisasi LEM Sejahtera.

Pembina LEM Sejahtera


Dalam AD-RT Bab IX Pasal 22 telah diuraikan tentang pembinaan LEM Sejahtera dan
tertuang juga dalam Akte Notaris Bab IX Pasal 22 (penjelasan dilampirkan). Yaitu: (1) Pembina
dapat berasal dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa/kelurahan dan (2). Pembina
bertugas Melakukan pembinaan terhadap manajemen lembaga dan unit-unit usaha dan anggota
lembaga.

677
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gambar 1. Struktur Organisasi Pembina LEM.

Peran LEM Sejahtera Bagi Pengembangan Kakao di Sulawesi Tenggara


LEM Sejahtera merupakan lembaga ekonomi yang berada di tingkat desa yang dibentuk
dari, oleh dan untuk masyarakat desa dengan pendekatan kearifan lokal, dimana seluruh warga
desa menghimpun kekuatan swadaya untuk mendayagunakan potensi sumber daya yang tersedia
guna mesningkatkan kesejahteraan seluruh anggotanya. LEM Sejahtera dibentuk oleh
Pemerintah Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2009. Sampai dengan
tahun 2016 telah terbentuk 122 LEM Sejahtera yang tersebar di sembilan kabupaten antara lain
di Kabupaten Kolaka, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka Timur, Kolaka Utara,
Bombana, Muna dan Buton.
Maksud pembangunan LEM Sejahtera adalah untuk mengatasi lemahnya daya saing petani
dengan pola usaha kelompok tani yang tidak memenuhi skala ekonomi.. Oleh karena itu, konsep
pembangunan LEM Sejahtera tersebut adalah satu desa satu lembaga petani. Peran LEM
Sejahtera dalam pengembangan kakao di Sulawesi Tenggara adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) petani melalui pemberdayaan.


Pemberdayaan petani pada LEM Sejahtera tidak hanya terfokus pada pemberdayaan
ekonomi, namun juga pemberdayaan aktivitas anggota pada aktivitas sosial, kemasyarakatan dan
keagamaan. Hal ini tampak di kegiatan pengolahan biji kakao bersama untuk peningkatan mutu.

2. Meningkatkan akses petani terhadap informasi dan pengetahuan.


Rendahnya akses petani terhadap informasi, pengetahuan dan teknologi disebabkan oleh
masih belum diprioritaskannya pembinaan sumber daya manusia (SDM) baik petani maupun
penyuluh lapangan. Hal ini diperparah dengan adanya sistem polivalen tugas seorang penyuluh,
yaitu seorang penyuluh harus dapat melakukan penyuluhan untuk berbagai bidang, meliputi
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Dengan demikian, hanya penyuluh
yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang perkebunan yang akan turun
ke lapangan. Hal tersebut telah menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya akses petani
terhdap informasi, pengetahuan dan teknologi dalam perkebunan kakao.Pada awal pendirian
LEM Sejahtera, anggota kelompok LEM Sejahtera diberikan penyuluhan yang bertujuan untuk
penguatan kelembagaan petani, meningkatkan motivasi petani dalam berorganisasi, dan
sebagainya. Di samping itu, setiap bulan LEM Sejahtera menyelenggarakan pertemuan rutin.
Dimana, dalam pertemuan rutin tersebut terdapat penyuluhan, baik bidang pertanian, termasuk
budidaya kakao maupun bidang lainnya bagi seluruh anggota LEM Sejahtera. Penyuluhan yang

678
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

diberikan kepada anggota LEM Sejahtera diberikan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah
setempat (Dinas Perkebunan), lembaga perbankan, pihak swasta (pembeli kakao, pedagang
pestisida) dan LSM. Sehingga, dengan adanya pertemuan rutin pada LEM Sejahtera telah
meningkatkan akses petani terhadap informasi dan pengetahuan terkait budidaya, pemasaran
kakao dan lainnya.

3. Meningkatkan akses petani terhadap pinjaman.


Pada awal pembentukan LEM Sejahtera, anggota organisasi ini sepakat untuk melakukan
investasi secara swadaya minimal Rp1.000.000,- per kepala keluarga anggota. Dana swadaya
tersebut selanjutnya digunakan sebagai modal simpan pinjam. Dengan adanya simpan pinjam
tersebut, telah meningkatkan akses petani terhadap fasiitas keuangan, terutama kredit yang dapat
digunakan oleh petani untuk membeli sarana produksi pertanian, membayar upah tenaga kerja
maupun mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di samping itu, dengan adanya simpan pinjam
di LEM Sejahtera telah mengurangi ketergatungan petani pada pinjaman yang diberikan oleh
tengkulak. Sehingga, diharapkan petani akan memperoleh harga kakao yang lebih tinggi.

Gambar 3. Pola Pembinaan dan Kemitraan LEM

Penggerak Peningatan Mutu dan Kerjasama Pemasaran Biji Kakao


Hingga saat ini, sebagian besar biji kakao yang dihasilkan oleh petani masih bermutu
rendah (asalan). Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya harga biji kakao yang diterima
oleh petani. Sejak tahun 2010, LEM Sejahtera di beberapa desa di Sulawesi tenggara, seperti
Desa Andomesinggo, Teteinea Jaya, Purema Subur, dan Iwooi Menggura telah melakukan
gerakan peningkatan mutu biji kakao, yaitu dengan menghasilkan biji kakao fermentasi. Dengan
adanya peningkatan mutu biji kakao tersebut, LEM Sejahtera saat ini telah memiliki mitra
pembelian biji kakao. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selain berperan dalam
peningkatan mutu, LEM Sejahtera juga berperan penting dalam pemasaran biji kakao. Misalnya
di Desa Andomesinggo, Kecamatan Besulutu. Anggota LEM Sejahtera di desa tersebut memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh harga yang lebih tinggi karena sistem
pemasaran yang lebih efektif. Hal ini dikarenakan LEM Sejahtera memiliki rantai pasar yang
lebih pendek. LEM Sejahtera di desa Andomesinggo telah memiliki hubungan jual beli dengan
beberapa perusahaan pengolahan biji kakao, seperti PT. Kalla Kakao Indonesia (PT. KKI) dan
PT. Bumi Tangerang. Sehingga, petani kakao yang tergabung dalam LEM Sejahtera memiliki
posisi tawar yang lebih tinggi. Lebih lanjut, hal ini telah meningkatkan harga kakao di tingkat
petani.

679
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Penyedia Sarana Produksi Pertanian


Umumnya, petani kakao di Indonesia menginvestasikan uangnya dalam bentuk pemberian
sarana produksi pertanian, seperti pupuk, pestisida dan tenaga kerja di kebun kakao dalam jumlah
yang terbatas. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain sulitnya memperoleh sarana
produksi pertanian (pupuk bersubsidi) di pasaran dan terbatasnya kemampuan petani untuk
membeli sarana produksi pertanian. Dengan adanya LEM Sejahtera, petani kakao memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pemupukan. Hal tersebut dikarenakan salah satu
unit usaha LEM Sejahtera adalah penjualan sarana produksi pertanian, meliputi pupuk
anorganik, pestisida dan alat-alat pertanian, seperti cangkul, sabit, hand sprayer dan sebagainya.
Sehingga, dengan adanya unit usaha penjualan sarana produksi pertanian diharapkan dapat
mendorong peningkatan produksi kakao dan komoditas pertanian lainnya.

Profil Responden Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera


Rekapitulasi Profil responden LEM Sejahtera Desa Tinete dan LEM Sejahtera Desa
Wonoteo, dapat disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Rekap Profil Responden LEM Sejahtera Desa Tinete dan Desa Wonoteo.
No Variabel Lem Sejahtera Desa
Tinete Wonoteo
1 Rata-rata Umur (Tahun) 42,56 43,00
2 Rata-Rata Pendidikan (Strata) SMP SMP
3 Rata-Rata Masuk LEM (thn) 2011 2013
4 Rata-Rata Luas Kakao (Ha) 2,90 1,9
5 Rata-Rata Produksi Kakao (Kg) /ha/Thn) 539,36 752,86
6 Rata-Rata Pendapatan (Rp/Thn) 31.687.500 15.057.143
Sumber: Data Primer, 2017 diolah kembali

Berdasarkan Tabel 2 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata umur responden LEM


Sejahtera Desa Tinete lebih muda dibandingkan dengan LEM Sejahtera Desa Wonoteo. Hal ini
mengindikasikan bahwa LEM Sejahtera Desa Tinete, pada saat dilakukan observasi lapangan
terlihat para pengurus dan ketua LEM masih berusia muda, bahkan Ketua LEM Bapak
Sudirman masih berusia 40 tahun dan nampak lebih energik dan memiliki wawasan yang luas
dan mampu memenej. usaha terutama dalam manajemen keuangan, walaupun pendidikan ketua
LEM hanya tingkat SMP. Selanjutnya Rata-rata luas lahan LEM-Sejahtera Desa Tinete lebih
luas dibandingkan dengan LEM Sejahtera Desa Wonoteo. Namun, hasil produksi yang dicapai
LEM Desa Wonoteo lebih tinggi daripada LEM Desa Tinete. Selanjutnya, dari segi pendapatan
LEM Sejahtera Tinete jauh lebih tinggi, karena pada umumnya anggota LEM tidak semata-mata
mengharapkan dari usahatani kakao, namun pendapatan lainnya adalah usaha dagang dan
uasahatani merica.

Kinerja LEM Sejahtera dan Hasil Evaluasi


Evaluasi kinerja LEM Sejahtera yang dilakukan Bank Indonesia Perwakilan Kendari tahun
2013 pada aspek keuangan, menunjukkan telah terjadi perubahan, baik dari sisi pola pikir petani
dalam hal aktivitas simpan pinjam, maupun dari sisi kuantitas keuangan yang sudah berjumlah
ratusan juta rupiah. Hasil evaluasi kinerja lima LEM Sejahtera pada aspek keuangan disajikan
dalam Tabel 3.

680
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 3. Hasil Evaluasi Kinerja Program LEM Sejahtera dari Aspek Permodalan
Uraian LEM Sejahtera
Teteinea Andomesinggo Tinete Iwooi Penanggosi
Menggura
A. AKTIVA
AKTIVA LANCAR
Kas 13.730.650 114.434.950 31.285.450 11.000.000 7.000.000
Bank 169.468950 52.178.200 3.300.500 17.000.000 5.000.000
Piutang 300.900.000 370.442.800 352.150.000 294.669.934 121.100.000
Persediaan Barang - 3.463.000 - - -
Sub Total 484.117.600 540.518.950 386.735.950 322.670.534 133.100.000
Aktiva Tetap
Peralatan Mesin 10.178.000 23.597.850 65.975.000 337.292.000 157.845.000
Kendaraan 175.092.500 - - 60.000.000 -
Bangunan 134.650.300 93.837.550 139.346.900 90.000.000 96.000.000
Tanah - 2.586.850 20.000.000 25.000.000 25.000.000
Sub Total 319.920.800 120.022.250 225.321.900 512.292.000 278.845.000
TOTAL AKTIVA 804.038.400 660.541.200 612.057.850 834.962.534 411.945.000
B. PASIVA
Hutang
Hutang Jangka Pendek - - 6.000.000 -
Hutang Bank - - 187.500.000 250.000.000
Sub Total - - 193.500.000 250.000.000 -
Modal
Simpanan Anggota 145.915.000 196.344.900 91.230.000 113.445.000 70.600.000
Bantuan Dana 252.973.850 199.500.000 108.300.000 100.000.000 100.000.000
Penguatan Modal
Bantuan Peralatan 315.276.600 121.293.650 166.475.000 337.517.000 212.345.000
Bangunan
Dana Cadangan 35.936.550 59.939.000 23.823.000 23.000.534 21.000.000
Mandiri
SHU Tahun Berjalan 35.936.400 83.463.650 28.729.850 11.000.000 8.000.000
Sub Total 804.038.400 660.541.200 418.557.850 584.962.534 411.945.000
TOTAL PASIVA 804.038.400 660.541.200 612.057.850 834.962.534 411.945.000
Jumlah Modal LEM Sejahtera = 3.323.544.984,-
Sumber: Bank Indonesia, 2014

Deskripsi Variabel Penelitian


Variabel penelitian terdiri atas variabel independen, yaitu (1) Peran LEM Sejahtera sebagai
tempat Edukasi/Pembelajaran (X1), (2) Kemampuan LEM Sejahtera Kerjasama dan Pemasaran
(X2), (3) Kemampuan LEM Sejahtera sebagai Unit Produksi dan Jasa (X3). Sedangkan Variabel
Dependen yaitu Kepuasan Anggota LEM Sejahtera (Y). Selanjutnya, hasil rekapitulasi variabel
dapat disajikan sebagai berikut.

Tabel 3. Rekapitulasi Variabel Penelitian.


Nilai Mean LEM Desa Nilai Mean LEM Desa
No Variabel Tinete Rank Variabel Wonoteo Rank Variabel
Independen Independen
1 (X1) Peran LEM Sejahtera sebagai 3,89 II 4,63 I
Edukasi/Pembelajaran
2 (X2) Kemampuan LEM Sejahtera 3,53 III 4,30 III
membangun kerjasama dan
pemasaran
3 (X3) Kemampuan LEM Sejahtera 3,90 I 4,48 II
sebagai unit produksi/jasa
4 (Y) Kepuasan Anggota LEM 4,61 Sangat Puas 4,68 Sangat Puas

681
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Berdasarkan Tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa masing-masing LEM Sejahtera Tinite


maupun Wonoteo memiliki tanggapan yang berbeda. Untuk LEM Sejahtera Tinete ranking
pertama yang terbaik adalah Variabel X3 yaitu: Kemampuan LEM Sejahtera sebagai unit
produksi atau jasa yang dianggap sangat penting. Selanjutnya, yang dianggap penting adalah
(X1) Peran LEM Sejahtera sebagai Edukasi/Pembelajaran dan urutan ketiga terpenting adalah
(X2) Kemampuan LEM Sejahtera membangun kerjasama dan pemasaran. Sedangkan LEM
Sejahtera Wonoteo variabel yang menduduki urutan pertama terpenting adalah variabel (X1)
Peran LEM Sejahtera sebagai Edukasi/Pembelajaran, dan disusul oleh variabel (X3) Kemampuan
LEM Sejahtera sebagai unit produksi/jasa, dan urutan terakhir adalah variabel Kemampuan LEM
Sejahtera membangun kerjasama dan pemasaran. Selain itu, variabel kepuasan nilai tertinggi
diperoleh LEM Sejahtera Wonoteo dan urutan kedua LEM Desa Tinete. Namun, dapat
disimpulkan bahwa kepuasan yang dirasakan oleh anggota termasuk kategori sangat puas, baik
LEM Sejahtera Desa Tinete maupun Desa Wonoteo.

Hasil Regresi (Pengaruh Peran LEM-Sejahtera Terhadap Kepuasan Anggota).


Berdasarkan hasil uji regresi berganda menunjukkna bahwa secara simultan (secara
bersama-sama) variabel X1, X2, dan X2 berpengaruh signifikan terhadap kepuasan anggota
LEM Sejahtera (Y), yang ditunjukkan oleh nilai F hitung sebesar 3,113 atau membandingkan
nilai signifikan F sebesar 0,045 < nilai alpha 0,05. Untuk lebih jelasnya dapat disajikan pada
tabel berikut ini.

Tabel 4. Ringkasan Hasil Ujio Regresi Berganda.


Dependen Variabel Y = Kepuasan Anggota
Variabel Independen Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
B Standar Beta t Sig
Error
C = Constanta 3,346 0,519 6,441 0,000
Edukasi/belajar (X1) -0,047 0,167 -0,066 -0,281 0,781
Kerjasama dan pemasaran (X2) -0,119 0,163 -0,196 -0,731 0,471
Unit produksi dan jasa (X3) 0,416 0,158 0,672 2,629 0,014
Multiple R = 0,514 Sig. F = 0,043 Sig Alpha = 0,05
R Square (R2) = 0,264 F = 3,113

Berdasarkan Tabel 4 di atas, uji t atau secara parsial menunjukkan bahwa X1 dan X2
berpengaruh tidak signifikan terhadap kepuasan anggota (Y), dengan nilai masing-masing sig
probabilitas X1 = 0,781 > Alpha 0,05, dan X2 nilai sig probabilitas = 0,471 > alpha 0,05. Namun,
variabel X3 berpengaruh signifikan terhadap kepuasan anggota (Y), nilai sig probabilitas sebesar
0,014 < alpha 0,05. Nilai pengaruh X3 terhadap Y sebesar 0,416 atau 41,6 %.
Selain itu, untuk melihat tingkat keeratan korelasi (hubungan) variabel X terhadap Y
dapat dilihat pada nilai Multiple R = 0.514. Artinya variabel X cukup erat hubungannya
untuk membentuk nilai variabel Y. Selanjutnya, dilihat dari besarnya pengaruh variabel X
terhadap Variabel Y ditunjuukan oleh nilai Square (R2) = 0.264 atau kontribusi pengaruhnya
sebesar 26,4 %. Dengan demikian masih banyak pengaruh lain yang belum diteli yaitu sebesar
73,6%.
menampung hasil dari petani kakao sehingga kelompok tani dapat menentukan harga jual.
Kelembagaan pemasaran merupakan lembaga pemasaran bersama dari gabungan kelompok tani
(gapoktan) yang ada di seluruh kabupaten. Keberadaan kelembagaan pemasaran berperan dalam
menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan pengolahan kakao domestik.
Rekonstruksi model kelembagaan berbasis LEM Sejahtera sesuai dengan kondisi
petani di Provinsi Sulawesi Tengah.

682
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Dirjen Perkebunan mempunyai program pengembangan LEM Sejahtera di tahun 2018 di


9 (sembilan) provinsi, salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tengah. Pembentukan LEM
Sejahtera di Kolaka Timur, dilatarbelakangi salah salahsatunya adalah sumber perolehan saprodi
petani dari pihak tengkulak sebesar 42,07 %. Untuk mengadopsi model pengembangan LEM
Sejahtera yang telah berkembang di 122 Desa di Provnisi Sulawesi Tenggara, Namun untuk
penerapannya di Provinsi Sulawesi Tengah, perlu diperhatikan adalah kesesuaian dengan tingkat
sosial ekonomi, budaya yang lebih hetorogen di desa-desa tertentu, tingkat komitmen
masyarakat, aparat desa dan pemerintah kabupaten dan provinsi. Beberapa identifikasi
keunggulan LEM Sejahtera dan kemungkinan Pengembangan Rekonstruksi Model LEM
Sejahtera di Sulawesi Tengah sebagai berikut:

Tabel 5. Rekonstruksi Model LEM Sejahtera, Jika Penerapannya di Sulawesi Tengah.


Keunggulan LEM Sejehtera Desa Tinete dan Wonotea Rekonstruksi LEM Penerapan di Sulteng
Kolaka Timur
1. Di desa-desa tertentu masyarakatnya homogen 1. Model pengembangan LEM khususnya di Sulawesi
artinya satu budaya/suku, seperti LEM Sejahtera di Tengah akan berbeda jika masyarakatnya heterogen,
desa Tinete dan Wonoteo, sehingga ikatan olehnya itu model manajemennya akan lebih
emosional ini dapat memicu berkembangnya LEM fleksibel.
Sejahtera di Desa Tinete dan Wonoteo.
2. LEM Sejahtera Desa Tinete dan Wonoteo telah 2. Tantangan LEM, jika dikembangkan di Sulawesi
mampu mengatasi praktek ijon yang pada umumnya Tengah, akan berhadapan dengan sistem ijon yang
merugikan petani dan masyarakat umumnya. sudah mengakar yang ada setiap saat kapan dan
dimana saja petani membutuhkan mereka siap.
Olehnya itu perangkat hukum tentang regulasi
larangan praktek ijon perlu dipikirkan oleh
pemerintah melalui peraturan bupati atau peraturan
gubernur.
3. LEM Sejahtera sistem penerimaan bantuan dari 3. LEM Sejahtera belum mengatur dalam AD-RT
pemerintah diputuskan oleh LEM Sejahtera siapa terhadap siapa yang berhak menerima bantuan
yang berhak menerima, sehingga lebih transparan pemerintah khususnya bantuan in cash. Tetapi
dan adil. bantuan peralatan menjadi milik LEM, bukan milik
kelompok. Jika LEM dikembangkan di Sulawesi
Tengah, maka bantuan program pemerintah harus
diatur dalam AD-RT.
4. Manajemen keuangan LEM Sejahtera mendapat 4. Di Sulawesi Tengah hendaknya buat MoU LEM
pembinaan langsung dari BI dan sudah Sejahtera dan Bank Indonesia.
menggunakan sistem yang on line atau terjalin
sistem NETWORK dengan keuangan BI, tetapi
belum dituangkan dalam MoU antara LEM
Sejahtera dengan Bank Indonesia.
5. LEM Sejahtera telah memiliki AD-RT dan berbadan 5. Akan sama penerapannya dengan LEM Sejahtera
hukum dengan legalitas notaris telah didaftarkan ke jika diadopsi oleh Sulten, namun, pasal-pasal dalam
Kemenkumham AD-RT akan disesuaikan dengan kebutuhan.
6. LEM Sejahtera mempunyai maksud dan tujuan 6. Masukan gotong royong dalam mengatasi sanitasi
dalam AD-RT belum teroperasionalkan dengan baik kebun dan pemangkasan diatur dalam AD-RT
secara teknik capaian indikatornya. Misalnya
kebersamaan gotong royong mengatasi sanitas pada
kebun petani.
7. LEM Sejahtera di Sulawesi Tenggara dalam struktur 7. Penerapan di Sulteng Lembaga Koperasi
organisasi masih ada pembentukan koperasi dipertimbangkan untuk tidak masuk dalam struktur
organisasi.

Berdasarkan analisis yang telah diuraikan pada Tabel 5 di atas, maka model Rekonstruksi
Struktur Organisasi LEM Sejahtera Di Sulawesi Tengah, sebagai berikut.

683
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gambar 4. Model Rekonstruksi Struktur Organisasi LEM Sejahtera Penerapannya di Provinsi


Sulawesi Tengah (Berdasarkan Kajian Empiris di Kolaka Timur, 2017)

PENUTUP DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
a) LEM Sejahtera Desa Tinete dan Desa Wonoteo rata-rata umur anggota dibawah 45 tahun,
dengan tingkat pendididkan SMP, dan rata-rata luas lahan antara 1-3 ha serta produksi yang
dicapai rata-rata 500 – 750 kg/ha, dengan tingkat pendapatan rata-rata Rp. 15 – 32,68 juta
per tahun.
b) Implementasi LEM Sejahtera di Desa Tinete dan Wonoteo, dinilai dari tiga variabel yang
diukur, menunjukkan bahwa peran edukasi dan pembelajaran bagi anggota LEM Sejahtera
Wonoteo menduduki urutan pertama terpenting. Sedangkan bagi LEM Sejahtera Desa Tinete
urutan pertama terpenting adalah kemampuan LEM Sejahtera sebagai unit produksi/jasa.
c) Kepuasan yang dirasakan anggota LEM Sejahtera, baik Desa Tinete maupun Desa Wonoteo
termasuk dalam kategori sangat puas.
d) Model manajemen LEM Sejahtera memberikan korelasi kuat dengan kepuasan anggota
sebesar 50,14%.
e) Pengaruh manajemen LEM Sejahtera terhadap Kepuasan Anggota sebesar 26,40 %, dan
yang dominan pengaruhnya adalah variabel unit produksi dan jasa yaitu 41,60%. Sedangkan
dua variabel lainnya berpengaruh tetapi tidak signifikan denga kepuasan anggota.
f) Rekonstruksi model kelembagaan berbasis LEM di Sulawesi Tengara dianggap oleh petani
sebagai solusi untuk menjawab kelemahan manajemen kelompok atau Gapoktan.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan penelitian, maka dapat direkomendasikan

684
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

1. Model LEM yang dikembangkan di Provinsi Sulawesi Tenggara, jika diterapkan di Sulawesi
Tengah, maka perlu rekonstruksi model LEM dengan menyesuaikan dengan kondisi budaya,
ekonomi, sosial, heterogen petani, dan keamanan.
2. Mensinergikan komitmen pemerintah provinsi dan kabupaten dengan penuh semangat untuk
memotivasi petani atau masyarakat secara luas.
3. Hendaknya pelantikan setiap pembentukan LEM di Sulawesi Tengah adalah Gubernur
seperti yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, hal ini terungkap bahwa petani
memiliki kebanggaan dan motivasi yang tinggi jika dilantik oleh Gubernurnya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tim Peneliti menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Jajaran Pimpinan Dirjen Perkebunan di Jakarta
2. Kepala Dinas, Kepala Bidang dan Staf Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah
3. Jajaran Pimpinan dan Staf Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Kota Palu
4. Jajaran Pimpinan dan Staf Station Kakao Kota Palu
5. Jajaran Pimpinan dan Staf Pemda Kabupaten yang menjadi sampel penelitian (Kolaka Timur)
6. Ketua LEM Sejahtera Desa Tinte dan Wonoteo beserta anggota LEM yang telah bersedia
dijadikan sampel.
7. Serta semua pihak yang berkontribusi yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, S.2011. Kelembagaan petani: Peran dan strategi pengembangan kapasitasnya. Jurnal
Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (SEPA), 7(2), 102-109.
Akhmad,S. 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan;
Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian. Tegalan
Diterbitkan oleh BABAD. Purwokerto. Jawa Tengah.
Asia. 2010. Kementerian Pertanian. Pusat Penyuluhan Pertanian. Badan Penyuluhan Dan
Pengembangan Sdm Pertanian 2010.
Bambang.2015. Mewujudkan Kemandirian Petani Melalui Penguatan Kelembagaan Lembaga
Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera.Yogyakarta: Disampaikan dalam diskusi Nasional
18 September 2015.
BPS. 2015. Koalaka Timur Dalam Angka
Bruijn, Hans de, Bruijn, Haiko van der Voort, Willemijn Dicke, Martin de Jong, Wijnand
Veeneman. (2004). Creating System Innovation. A.A. Balkema Publisher
Diany Faila Sophia Hartatri, Febrilia Nur Aini, dan Misnawi. (2016). Peran Lembaga Ekonomi
Masyarakat Sejahtera Sebagai Penguat Kelembagaan Petani di Sulawesi Tenggara.
Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Erwadi, Doli.2012. Peran Penyuluh Pertanian Dalam Mengaktifkan Kelompok Tani Di
Kecamatan Lubuk Alung. Universitas Andalas. Padang.
Yustika Ahmad Erani. 2008. Sistem Politik, Pembangunan Ekonomi, dan Kebijakan Afirmatif,
Jurnal Katalis, Edisi Khusus
Mardikanto.2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Mardikanto, Totok. 2007. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Pusat Penyuluhan Kehutunan
Republik Indonesia. Jakarta.
-----------. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. UNS Press. Surakarta.

685
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Najmudinrohman. 2010. Pengaruh kemitraan terhadap usaha tani tebu di Kecamatan Trangkil,
Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Nasrul, Wedy. 2012. Pengembangan Kelembagaan Pertanian untuk Peningkatan Kapasitas
Petani Terhadap Pembangunan Pertanian. Vol. 3, (No 29): 166-174
Revikasari. 2010. Peranan Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) Di Desa Tempuran, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi. Universitas Sebelas
Maret. Padang.
Ritzer, George dan Barry Smart. (2001). Handbook Teori Sosial. Handbook of Social Theory,
diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie. Penerbit Nusamedia, Bandung.
Rogers, Everett. (1995). Diffusion of Innovation. Fourth Edition. New York: The Free Press.
Saskia, Dita Yuniar. 2012. Biaya dan Pendapatan Usahatani Tebu Menurut Status Kontrak
(StudiKasus di PT IGN Cepiring, Kab Kendal). Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro.
Sugiyono.2014. Metode Penelitian Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung.
Siagian dan Neldysavrino.2007. Aksi Kolektif Penguatan Hak Masyarakat Atas Lahan. Jurnal
Nomor 35 (b) Forests and Governance Programme: Center for International Forestry
Research.
Suardi, Elimawati, dan Syamsuddin. 2016. Strategi Pengembangan Kemitraan Pemasaran
Komoditas Kakao di Koridor IV Terkoneksi dengan Makassar sebagai Market Center
dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Petani pada Sistem Ijon di Provinsi Sulawesi
Tengah. Palu: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Univ. Tadulako.
MPEI Tahun Kedua.
---------------.2015. Strategi Pengembangan Kemitraan Pemasaran Komoditas Kakao di Koridor
IV Terkoneksi dengan Makassar sebagai Market Center dalam Upaya Mengurangi
Ketergantungan Petani pada Sistem Ijon di Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Univ. Tadulako. MPEI Tahun pertama.
Suhud. 2005. Peran Koperasi sebagai Kelembagaan Agribisnis dalam Peningkatan Posisi Tawar
Petani.
Sumardjo.2010. Model Pemberdayaan Masayarakat Dan Pengelolaan Konflik Sosial Pada
Perkebunan Kelapa Sawit Di Propinsi Riau. Riau.
Soedijanto. 2003. Administrasi Penyuluhan Pertanian. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka,
Jakarta.
Sumodiningrat.2000. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Bina Rena
Pariwara, Jakarta. Cet.2.
Putu Gede Parma.2014. Pengembangan Model Penguatan Lembaga Pertanian Sebagai Prime
Mover Pembangunan Kawasan Daerah Penyangga Pembangunan (Dpp) Destinasi Wisata
Kintamani – Bali. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora Ssn: 2303-2898 Vol. 3, No. 1, April
2014
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014. Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2014 Tentang Desa.
Permentan 50 Tahun 2010. Tentang Pengembangan Kawasan Pertanian

686
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 82/Permentan/Ot.140/8/2013 Tanggal : 19 Agustus 2013


Tentang Pedoman Penumbuhan Dan Pengembangan Kelompoktani Dan Gabungan
Kelompoktani/
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Kelembagaan
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan Penyuluhan
UUD nomor 19 tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petrani.
Undang Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa
Widodo, N., dan Suradi, 2007. Penelitian Peranan Kelembagaan Lokal Dalam Pembangunan
Masyarakat. Dalam Jurnal Depsos RI.. Vol. 25 No. 5 Tahun 2007.
Yuliar, Sonny. (2009). Tata Kelola Teknologi. Perspektif Teori Jaringan Aktor. Penerbit ITB,
Bandung.
Zubaedi. 2013. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

687
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pendapatan dan Pengembangan Cengkeh di Kabupaten Tolitoli,


Sulawesi Tengah
Farmer Income and Clove Plantation Development in Tolitoli,
Central Sulawesi
Rustam Abdul Rauf 1, Muh. Fardhal Pratama1, M. Alfit A. Laihi1, Lien Damayanti1,
Made Krisna Laksmayani1, dan Shintami R. Malik1
1 Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah.

ABSTRAK

Kata Kunci: Cengkeh adalah salah satu tanaman penting di provinsi Sulawesi Tengah dan
Usahatani Cengkeh paling banyak dibudidayakan di Kabupaten Tolitoli. Tujuan penelitian ini
Pendapatan adalah untuk mengetahui pendapatan petani dan strategi untuk
Pengembangan mengembangkan perkebunan cengkeh di empat desa lokasi penelitian. Hasil
SWOT penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani cengkeh adalah Rp
24.620.685,27/ha/tahun. Analisis SWOT menunjukkan bahwa strategi
Weaknesses-Oppotunities (WO) sebagai pilihan terbaik dan memiliki
peluang besar untuk pengembangan usahatani.

ABSTRACT

Keywords: Clove is one of the important crops in Central Sulawesi province and the most
Farming cultivated in Tolitoloy regency. This study objective was to better understand
Income the farmer income and the strategy to develop the clove plantation in four
Development villages. We recorded that the income of clove farmer was Rp
SWOT 24.620.685,27/ha/year. SWOT analysis figured out that Weaknesses-
Oppotunities (WO) strategy as the best option since it has a great opportunity
to develop their farming.

Email Korespondensi: rustam@untad.ac.id

PENDAHULUAN
Sektor pertanian, gerak pembangunannya searah dengan dinamika yang terjadi sekarang.
Orientasi pembangunan sektor pertanian telah mengalami perubahan dari fokus peningkatan
produksi semata kearah orientasi peningkatan pendapatan (kesejahteraan), terutama petani di
perdesaan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan bertani. Berbagai kebijakan baik di tingkat mikro maupun makro telah ditetapkan oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani (Ruauw, 2010). Salah satu
komoditi yang cukup menjadi perhatian pemerintah adalah komoditi cengkeh.
Komoditi cengkeh memegang peranan penting guna menunjang kesejahteraanaan petani.
Menurut Hariyadi, (2017); Zepeda, (1997), Cengkeh adalah salah satu usaha pertanian yang
pernah menjadi komoditas unggulan petani. Lebih Lanjut menurut Arimalala et al.(2019),
Cengkeh menjadi komoditi ekspor yang mendatangkan devisa bagi pemerintah, serta
memberikan peluang ekonomi yang besar. Namun biaya yang besar juga merupakan kendala
dalam meningkatkan kesejateraan petani, di samping itu luas lahan dan produksi juga merupakan

688
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

acuan dan menjadi indikator melihat kesejahteraan petani. Di Indonesia terdapat 5 provinsi yang
memiliki luas lahan dan produksi tertinggi, dan provinsi Sulawesi Tengah memiliki luas lahan
terbesar ke 2 (dua) setelah Sulawesi Utara namun peringkat ke 4 (empat) menghasilkan produksi
cengkeh
Salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki lahan dan produksi yang
tinggi adalah Kabupaten Tolitoli. Data Badan Pusat Statistik (2018), menunjukkan bahwa luas
lahan tanaman cengkeh di Kabupaten Tolitoli menempati urutan pertama (37.718 ha) di Provinsi
Sulawesi Tengah dengan jumlah produksi mencapai 10.276,28 ton dengan tingkat produktivitas
0,27 ton/ha masih lebih rendah dari produktivitas rata-rata nasional antara 287-300 kg/ha
(Wahyudi Agus, 2012).
Namun permasalahan petani cengkeh hingga saat ini terletak pada harganya (Cortés-Rojas,
de Souza, & Oliveira, 2014; Hasheminejad, Khodaiyan, dan Safari, 2019). Kondisi harga
cengkeh di tingkat nasional sangat berfluktuasi dan biasanya tidak sebanding dengan biaya panen
dan pengolahannya, kondisi tersebut mengakibatkan komoditi cengkeh tidak dibudidayakan
berdasarkan kaidah agronomis, memberi pengaruh pada pertumbuhan dan berdampak pada
produksinya (Siregar, 2011). Faktor lain yang mempengaruhi produksi adalah tanahnya yang
tidak subur dan umur tanaman cengkeh yang sudah tua. Rata-rata umur tanaman di Kabupaten
Tolitoli antara 35 – 40 tahun padahal umur tanaman cengkeh menghasilkan produksi tertinggi
pada usia 15 – 20 tahun.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pendapatan petani cengkeh dan strategi pengembangannya di Kabupaten
Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode survei, dengan menetapkan 2 kecamatan secara
purposive yakni Kecamatan Baolan dan Kecamatan Ogodeide yang merupakan sentra
pengembangan usahatani Cengkeh di Kabupaten Tolitoli. Desa yang menjadi lokasi penelitian
adalah Desa Bilo, Desa Labuan Bajo, Desa Tuweley, dan Desa Lelean Nono. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober Tahun 2018. Penentuan responden petani cengkeh
menggunakan teknik sampling aksidental dengan mengambil responden yang memiliki
usahatani cengkeh. Menurut Sugiono (2010), petani yang berada pada satu diwilayah dapat
dijadikan sebagai sampel atau responden untuk sumber data, jumlah sampel berkisar 30 sampai
100 responden dengan metode teknik sampling aksidental.
Responden yang diambil dari setiap desa berjumlah 20 orang sehingga keseluruhan
responden pada ke 4 (empat) desa berjumlah 80 orang. Guna menggali informasi tentang
pengembangan usahatani cengkeh dilakukan focus grup discussion (FGD) dengan
mewawancarai pengambil kebijakan dinas perkebunan dan peternakan (2 orang), kepala kantor
kecamatan (2 orang), kepala desa (4 orang), tenaga penyuluh (4 orang) sehingga total
keseluruhan sampel dalam penelitian ini berjumlah 92 orang. Data sekunder diperoleh dari
dokumen resmi dari BPS seperti: Kabupaten Tolitoli dalam Angka 2018, Kecamatan baolan dalam
angka 2018 dan kecamatan ogodeide dalam angka 2018.

Analisis Pendapatan Usahatani,


Pendapatan usahatani cengkeh di Kabupaten Tolitoli dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
𝝅 = TR –TC
Keterangan :
 : Pendapatan usahatani Cengkeh
TR : Total Revenue (Penerimaan usahatani cengkeh)
TC : Total Cost (Biaya keseluruhan usahatani cengkeh)

689
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analisis SWOT
Guna menentukan strategi pengembangan usahatani cengkeh di Kabupaten Tolitoli dengan
menggunakan Analisis SWOT, untuk mengidentifikasi dan memaksimalkan kekuatan
(Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Suryana (2001), proses pengambilan
keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan.
Dengan demikian, perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor startegis, seperti:
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam kondisi yang ada pada saat ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pendapatan merupakan hasil dari penjualan faktor-faktor produksi yang dimilikinya pada
sektor produksi. Winardi (1992), mengemukakan bahwa pendapatan adalah hasil berupa uang
atau materi lain nya yang dapat dicapai dari penggunaan faktor-faktor produksi sedangkan
pendapatan petani merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh petani
dalam suatu periode tertentu. Pendapatan usahatani cengkeh adalah selisih antara penerimaan
dan biaya yang dikeluarkan oleh petani (Kae Veronika, et.al, 2019). Berdasarkan wawancara
dengan petani Cengkeh, dapat dikemukakan hasil penelitian sebagai berikut :

Penerimaan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa petani cengkeh di Kabupaten
Tolitoli menghasilkan produksi cengkeh kering sebesar 281,14 kg/ha/tahun dengan rata-rata
harga jual cengkeh sebesar Rp.104.500,38/kg, sehingga rata-rata penerimaan petani cengkeh
sebesar Rp. 29.379.236,83/ha/tahun.

Biaya Total
Total biaya usahatani cengkeh di Kecamatan Baolan dan Kecamatan Ogodeide di Kabupaten
Tolitoli terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Lebih jelasnya, biaya keseluruhan yang
dikeluarkan dalam berusahatani Cengkeh di Kabupaten Tolitoli dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Biaya yang dikeluarkan untuk Usahatani Cengkeh dalam satu hektar selama satu Tahun di
Kabupaten Tolitoli, Tahun 2018.
Uraian Satuan Rata-Rata
Biaya Tetap (FC)
Penyusutan Rp/ha 54.300,12
Pajak Lahan Rp/ha 82.000,00
Total FC Rp/ha 136.300,12
Biaya Variabel (VC)
Pupuk Rp/ha 467.170,16
Pestisida Rp/ha 310.312,05
Tenaga Kerja Rp/ha 3.844.769,23
Total VC Rp/ha 4.622.251,44
Biaya Total (TC) Rp/ha 4.758.551,56
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2018.

Mengacu pada tabel 1 di atas, sebagian besar pengeluaran digunakan untuk membayar
biaya variabel sebesar Rp. 4.622.251,54/ha/tahun (97,13 %), sedangkan biaya yang digunakan
untuk biaya tetap sebesar Rp. 164.223,52/ha/tahun (2,87 %).

Pendapatan Usahatani Cengkeh


Besarnya pendapatan usahatani Cengkeh dapat dihitung dari hasil pengurangan antara
penerimaan dengan total biaya. Lebih jelasnya, perhitungan pendapatan usahatani Cengkeh di
Kecamatan Baolan dan Kecamatan Ogodeide Kabupaten Tolitoli disajikan pada Tabel 2.

690
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Pendapatan Usahatani Cengkeh dalam satu hektar selama satu tahun di Kabupaten Tolitoli,
Tahun 2018.
Uraian Satuan Rata-Rata
Produksi kg/ha 281,14
Harga Rp/kg 104.500,38
Penerimaan Rp/ha 29.379.236,83
Biaya Tetap (FC)
Penyusutan Rp/ha 54.300,12
Pajak Lahan Rp/ha 82.000,00
Total FC Rp/ha 136.300,12
Biaya Variabel (VC)
Pupuk Rp/ha 467.170,16
Pestisida Rp/ha 310.312,05
Tenaga Kerja Rp/ha 3.844.769,23
Total VC Rp/ha 4.758.251,44
Biaya Total (TC) Rp/ha 4.758.551,05
Pendapatan Rp/ha 24.620.685,27
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2018.

Uraian hasil analisis pada Tabel 2, dapat dikemukakan bahwa pendapatan yang diperoleh
petani untuk menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk berusahatani Cengkeh di
Kecamatan Baolan dan Kecamatan Ogodeide Kabupaten Tolitoli sebesar Rp.
24.620.685,27/ha/tahun, jika diasumsikan petani hanya memiliki tanaman cengkeh maka setiap
bulannya memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2.051.723,77/bulan. Pendapatan yang diperoleh
petani cengkeh di Kabupaten Tolitoli tergolong rendah jika dibandingkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Kumaat Gogen K,et.al. (2015) di Desa Ranaan Baru Dua kontribusi usahatani
cengkeh terhadap pendapatan rumah tangga sebesar Rp. 90.571.350/ha/tahun atau
Rp.7.547.612,50/bulan. Namun memiliki kesamaan pendapatan dari penelitian yang dilakukan
oleh Asrawati dan Antara (2017), yakni rata-rata pendapatan Rp. 25.041.276/ha/tahun.

Strategi Pengembangan Usahatani Cengkeh di Kabupaten Tolitoli


Strategi pengembangan usahatani cengkeh di Kabupaten Tolitoli menggunakan 2 (dua)
tahap yaitu mengidentifikasi Faktor Internal, dan mengidentifikasi Faktor Eksternal. Hasil
identifikasi faktor internal dan eksternal dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Berdasarkan hasil analisis IFAS dan EFAS diperoleh nilai skor pada masing-masing
faktor, baik internal maupun eksternal, yakni sebagai berikut:
a. Faktor kekuatan (Strenghths) : 1,30
b. Faktor kelemahan (Weaknesses) : 1,95
c. Faktor Peluang (Oppotunities) : 1,37
d. Faktor Ancaman (Threats) : 1,14
Berdasarkan hasil analisis IFAS dan EFAS, maka matriks IFAS dan EFAS dapat disusun
sebagaimana tersaji pada Tabel 5.

691
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Analisis Matriks SWOT - IFAS Strategi Pengembangan Usahatani Cengkeh di Kabupaten
Tolitoli,Tahun2018.
No. Faktor Internal Bobot Rating Bobot x
Rating
Kekuatan (Strengths)
1. Motivasi petani tinggi untuk berusahatani cengkeh 0,08 4 0,32
2. Ketersediaan lahan yang masih cukup luas 0,06 3 0,18
3. Pengalaman berusahatani cengkeh cukup lama 0,06 3 0,18
4. Kesesuaian lahan yang sangat mendukung 0,05 2 0,10
5. Harga produk yang bersaing 0,05 2 0,10
6. Biaya dalam berusahatani Cengkeh di lahan marginal 0,05 2 0,10
rendah
7. Kualitas produk terjamin 0,08 4 0,32
Sub Total 0,43 20 1,30
Kelemahan ( Weakness)
1. Tidak melakukan pemupukan dan pengendalian hama 0,10 4 0,40
penyakit.
2. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan teknis dalam 0,07 3 0,21
bidang usahatani cengkeh
3. Modal rendah 0,06 2 0,12
4. Produks icengkeh rendah 0,07 3 0,21
5. Umur tanaman cengkeh sudah tua 0,10 4 0,40
6. Kelompok tani belum terbentuk 0,10 4 0,40
7. Petani kurang inovatif 0,07 3 0,21
Sub Total 0,57 23 1,95
Total 1,00 43 3,25
Sumber: Hasil analisis data primer, 2018.

Tabel 4. Analisis Matriks SWOT (EFAS) Strategi Pengembangan Usahatani Cengkeh di Kabupaten
Tolitoli,Toahun2018
No. FaktorEksternal Bobot Rating Bobot x
Rating
Peluang (Opportunities )
1. Dukungan kebijakan dari pemerintah. 0,07 3 0,21
2. Adanya peluang pasar bagi komoditas cengkeh yang 0,08 4 0,32
dihasilkan
3. Iklim/cuaca mendukung 0,07 3 0,21
4. Potensi daerah yang mendukung dalam pelaksanaan kegiatan 0,05 2 0,10
usahatani cengkeh di lahan marginal
5. Adanya Perkembangan teknologi dan informasi. 0,08 4 0,32
6. Kondisi demografis dan usia produktif masyarakat semakin 0,08 4 0,32
meningkat
7. Permintaan terhadap produksi cengkeh relatif tinggi 0,07 3 0,21
Sub Total 0,58 16 1,37
Ancaman (Threats)
1. Kurang tersedia lembaga keuangan, produksi dan pemasaran. 0,08 4 0,32
2. Adanya Pasar bebas. 0,05 2 0,10
3. Adanya Peraturan pemerintah 0,05 2 0,10
tentang lingkungan
4. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kualitas 0,05 2 0,10
cengkeh
5. Kerusakan Lingkungan 0,07 3 0,21
6. Tingkat bunga Bank yang tinggi sekitar 18 % 0,07 3 0,21
7. Jalanusahatanikurangmemadai 0,05 2 0,10
Sub Total 0,42 18 1,14
Total 1,00 34 2,51
Sumber: Hasilanalisis data primer, 2018.

692
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 5. Matriks IFAS dan EFAS Strategi Pengembangan UsahataniCengkeh di Kabupaten Tolitoli,
Tahun 2018.
IFAS
Strengths (S) (W)
EFAS
(O) Strategi (SO) Strategi (WO)
1,30 + 1,37= 2,67 1,95 + 1,37= 3,32
Threats (T) Strategi (ST) Strategi (WT)
1,30 + 1,14= 2, 44 1,95 + 1,14 = 3,09
Sumber : Hasil analisis data primer, 2018.

Nilai yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan pengembangan usahatani cengkeh di


Kabupaten Tolitoli memiliki nilai tertinggi 3,32 dan berada pada Strategi Weaknesses -
Oppotunities (WO) atau mendukung strategi surn around. Strategi tersebut memberi gambaran
bahwa dukungan pemerintah Kabupaten Tolitoli yang cukup besar, di sisi lain petani
menghadapi beberapa kendala atau kelemahan internal. Meskipun menghadapi berbagai
kelemahan, namun petani cengkeh masih memiliki peluang yang cukup besar untuk
mengembangkan usahataninya. Strategi yang harus dilakukan adalah Peningkatan pengetahuan
dan keterampilan dalam berusahatani, peningkatan produksi, menjalin kemitraan.
Berdasarkan hasil analisis dan perumusan kebijakan strategis, dapat dilakukan beberapa
aktivitas yang dapat dilakukan untuk mengembangkan usahatani cengkeh di Kabupaten Tolitoli
yakni : (a) membentuk dan mengaktifkan kembali fungsi kelompok tani; (b) mengadakan
penyuluhan tentang aspek teknis budidaya cengkeh; (c) mengadakan penyuluhan tentang aspek
ekonomi usahatani cengkeh. (d) mengganti tanaman cengkeh yang berumur tua; (e) melakukan
pemupukan dan pengendalian hama penyakit; (f) mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan
marginal untuk tanaman cengkeh; (g) membuat demplot di sentra produksi tanaman cengkeh.
(h) membuat MoU antara Kelompok Tani dengan Pengusaha; (i) menjalin kembali kemitraan
yang pernah ada; (j) meningkatkan dan mengembangkan kualitas.

PENUTUP
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, kesimpulan dalam penelitian ini dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1. Rata-rata penerimaan petani cengkeh sebesar Rp. 29.379.236,83/ha/tahun. Total biaya yang
dikeluarkan petani berusahatani cengkeh sebesar Rp.
4.758.551,05/ha/Tahun. Pendapatan Petani Cengkeh di Kabupaten Tolitoli sebesar Rp.
24.620.685,27/ha/tahun.
2. Pengembangan usahatani cengkeh di Kabupaten Tolitoli berada pada Strategi Weaknesses
-Oppotunities (WO), yang menghadapi berbagai kelemahan, namun petani cengkeh masih
memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan usahataninya.
Mengacu pada kesimpulan yang telah dikemukakan maka rekomendasi kebijakan
pengembangan usahatani cengkeh di Kabupaten Tolitoli :
1. Melakukan program peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dalam berusahatani Cengkeh
melalui kegiatan (a) membentuk dan mengaktifkan kembali fungsi kelompok tani; (b)
mengadakan penyuluhan tentang aspek teknis budidaya cengkeh; (c) mengadakan
penyuluhan tentang aspek ekonomi usahatani cengkeh.
2. Peningkatan Produktivitas Cengkeh melalui kegiatan (a) mengganti tanaman cengkeh yang
berumur tua; (b) melakukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit; (c)
mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan marginal untuk tanaman cengkeh; (d) membuat
demplot di sentra produksi tanaman cengkeh.
3. Menjalin kemitraan antara Kelompok tani dan Pengusaha melalui kegiatan (a) membuat
MoU antara Kelompok Tani dengan Pengusaha; (b) menjalin kembali kemitraan yang pernah
ada; (c) meningkatkan dan mengembangkan kualitas kemitraan

693
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Pemerintah Kabupaten Tolitoli Provinsi
Sulawesi Tengah melalui Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tolitoli yang telah
membiayai pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Arimalala, N., Penot, E., Michels, T., Rakotoarimanana, V., Michel, I., Ravaomanalina, H., Danthu,
P. 2019. Clove Based Cropping Systems on The East Coast of Madagascar: How History
Leaves Its Mark On The Landscape. Agroforestry Systems, 93(4), 1577–1592.
Asrawati dan Made Antara. 2017. Analisis Pendapatan Usahatani Cengkeh di Desa Talaga
Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala. e-J. Agrotekbis 5 (4) : 476-482, Agustus
2017. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Agrotekbis/article/view/10355/8164.
Badan Pusat Statistik, 2018. Profil Kesra Tolitoli. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli
Tahun 2018.
Badan Pusat Statistik, 2018. Kabupaten Tolitoli Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Tolitoli Tahun 2018.
Cortés-Rojas, D. F., De Souza, C. R. F., & Oliveira, W. P. 2014. Clove (Syzygium Aromaticum):
A Precious Spice. Asian Pacific Journal Of Tropical Biomedicine, 4(2), 90–96.
Hariyadi, B. W. 2017. Analysis of Results on Crop Loss Cloves Wooden Vessels Due To Attack
Bacteria Cloves (BPKC) Case Study in Sub-District Wonosalam District Jombang. Gontor
Agrotech Science Journal, 3(1), 23.
Hasheminejad, N., Khodaiyan, F., & Safari, M. (2019). Improving The Antifungal Activity of
Clove Essential Oil Encapsulated By Chitosan Nanoparticles. Food Chemistry, 275, 113–
122.
Kumaat, Gogen Klif N, Katiandagho, Theodora M, Sondakh, Mex L. 2015. Kontribusi Usahatani
Cengkeh terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani di Desa Raanan Baru 2, Kecamatan
Motoling Barat. ASE –Vol.11 (3A).November 2015: 75 –88.
http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=378184.
Ruauw Eyverson. 2010. Nilai Tukar Petani Sebagai Indikator Kesejateraan Petani. Universitas
Samratulangi, Manado. ASE – Volume 6 Nomor 2, Mei 2010:1-8.
Siregar.A.R. 2011. Analisis Disparitas Harga Dan Potensi Persaingan Tidak Sehat Pada
Distribusi Cengkeh. Jurnal Agribisnis Vol 10 (3) : 32-34.
Sugiono, 2010. Metode Penelitian Bisnis. Bandung :Alfabeta.
Suryana,2001. Kewirausahaan. Penerbit Salemba Empat.Jakarta.
Veronika Kae, Wiendiyati, Hans L. Telnoni, 2019. Analisis Pendapatan Usahatani Cengkeh Di
Kecamatan Golewa Selatan Kabupaten Ngada. Buletin Ilmiah IMPAS Volume: 20 (02).
Edisi: April 2019.
Wahyudi Agus. 2012. Produksi Cengkeh Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Infotek Perkebunan Volume 4(12), Desember 2012. https://perkebunan.
litbang.pertanian.go.id/produksi-cengkeh-nasional/.
Winardi. 1992. Pengertian Pendapatan. http://id.shvoong.com
Zepeda, A. (1997). Number of Cloves Per Bulb; Selection Criteria For Garlic Improvement. I.
Results With “Chileno” Type. Acta Horticulturae, (433), 265–270.

694
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Model, Motivasi dan Kendala Masyarakat dalam Melakukan


Pertanian Kota (Urban Farming) di Kota Surabaya
Model, Motivation and Community Constraints in Doing Urban
Farming in Surabaya City
Setyo Parsudi1 dan Damaijanto1
1UPN “Veteran” Jatim ,Surabaya,

ABSTRAK
Pertanian kota (urban farming) dapat menjadi upaya pemerintah untuk
Kata Kunci:
menguatkan ketahanan pangan negara, meningkatkan perekonomian
Pertanian kota
masyarakat, memperbaiki ekologi kota, dan mempertahankan nilai sosial dan
Model
budaya Indonesia. Di wilayah kota Surabaya masih banyak masyarakat yang
Motivasi
kurang maksimal dalam penerapan pertanian kotanya, pengetahuan akan
Kendala
pertanian masih minim sehingga model Pertanian kota yang di terapkan
Masyarakat
masih sederhana tidak sesuai dengan situasi dan kondisi tanpa
memperhatikan dampaknya berdasar latar belakang itulah penelitian ini
dilakukan.
Tujuan penelitian ini adalah 1). Mengidentifikasi penerapan model pertanian
kota di kota Surabaya 2). Mengetahui motivasi masyarakat melakukan
pertanian kota.dan 3).Mengetahui kendala-kendala yang dialami masyarakat
dalam penerapan pertanian kota di kota Surabaya.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa model pertanian kota yang banyak
dilakukan oleh masyarakat kota Surabaya secara berurutan adalah hidroponik
lalu disusul oleh vertikultur, perikanan dan terakhir adalah rooftop garden.
Motivasi masyarakat Surabaya dalam melakukan pertanian kota secara
berurutan kebanyakan adalah untuk menambah pendapatan, memanfaatkan
lahan kosong, menyalurkan hoby bertanam, dan memanfaatkan ruang
terbuka hijau (RTH).
Kendala atau masalah yang dihadapi masyarakat dalam melakukan pertanian
kota kebanyakan secara berurutan adalah terserang hama penyakit tanaman,
kekurangan modal untuk mengembangkan, adanya hambatan akibat cuaca
ekstrim dan kurangnya pengalaman dan pengetahuan dalam usaha pertanian
kota.

ABSTRACT

Keywords: Urban farming can be a government effort to strengthen the country's food
Urban farming security, improve the economy of the people, improve the ecology of the city,
Model and maintain the social and cultural values of Indonesia. In the city area of
Motivation Surabaya there are still many people who are not maximal in applying the
city agriculture, knowledge of agriculture is still minimal so that the urban
Constraints
farming model that is implemented is still simple not in accordance with the
Peoples. situation without regard to its impact based on the background of this
research.
The purpose of this study is 1). Identify the application of urban farming
models in the city of Surabaya 2). Knowing the motivation of the community
to do urban agriculture and 3). Knowing the obstacles experienced by the
community in implementing urban agriculture in the city of Surabaya.

695
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

The results of the study found that the urban farming model that is mostly
carried out by the people of Surabaya in sequence is hydroponics, followed
by verticulture, fisheries and finally the rooftop garden.
The motivation of the Surabaya community in conducting urban agriculture
in sequence is mostly to increase income, utilize empty land, channel farming
hobbies, and utilize green open space (RTH).
Constraints or problems faced by the community in conducting urban
agriculture are mostly sequentially attacked by plant pests, lack of capital to
develop, barriers due to extreme weather and lack of experience and
knowledge in urban agriculture

Email Korespondensi: setyoparsudi@gmail.com

PENDAHULUAN
Pertanian kota adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang
melibatkan keterampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan makanan. Hal
utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada
ketahanan pangan, menamah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai saranan rekreasi dan
hobi (Enciety, 2011). Pertanian kota memiliki berbagai macam komoditas yang dapat
diusahakan dan juga dapat di kombinasikan 1 dengan yang lainnya tidak hanya tanaman pangan
tetapi juga bisa berupa tanaman hotikultura, buah-buahan tanaman toga, bunga, ikan, ungas,
ternak, dan lain-lain. Definisi pertanian kota sendiri menurut Balkey M (2011) adalah rantai
industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi
kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metoda using dan re-using sumber
alam dan limbah perkotaan.
Di berbagai Negara maju yang juga masih melakukan proses usaha tani di negaranya telah
menerapkan sistem pertanian kota tersebut di wilayah perkotaannya sebagai upaya untuk
mempertahankan ketahan pangannya. Di Indonesia berbagai kota sudah berupaya untuk
menjalankan sistem pertanian kota,. salah satunya Di Surabaya sebagai salah satu kota yang
besar dan berkembang di Indonesia telah menerapkan sistem pertanian kota namun
perkembangan pertanian kota tersebut masih mengalami berbagai macam kendala yang
mengakibatkan pertanian kota terhambat perkembangannya. Model pertanian kota yang
sederhana dan tidak sesuai tempat dan kondisi, minat masyarakat terhadap pertanian, kurangnya
pengetahuan tentang pertanian dan semakin bertambahnya lahan yang terkonversi ke sektor
nonpertanian mengakibatkan perkembangan pertanian kota menjadi sulit berkembang.
(Rachmatullah T, 2016)
Kota Surabaya telah lama memberlakukan sistem untuk pertanian kota, pemerintah telah
merespon dan berupaya mendukung pemanfaatan lahan-lahan sempit atau pekarangan yang
dimiliki sebagai objek penerapan pertanian kota agar lahan kosong tersebut menjadi produktif
dan bermanfaat untuk membantu menigkatkan aspek perekonomian masyarakat kota atau
sekedar memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu juga dapat memperbaiki ekologi lingkungan
dan udara di perkotaan serta mempertahankan budaya akan pertanian atau sekedar memenuhi
kebutuhan pangan (Djoestmadji, 2017). Namun masih terdapat berbagai macam faktor yang
menghambat perkembangan sistem pertanian kota di Surabaya, sehingga sistem pertanian kota
sulit berkembang karena masih belum menyeluruh diterapkan dan memberikan dampak postif
yang besar pada masyarakat Surabaya khususnya pada faktor ekonomi. Untuk itu di perlukan
solusi atau penentuan model penerapan pertanian kota yang sesuai untuk diterapkan masyarakat
kota agar kendala kendala yang ada saat ini dapat teratasi dengan baik.
Menurut Rachmatullah T, et.all (2016) diberbagai wilayah Surabaya selain sebagai upaya
untuk meningkatkan efektifitas dan produktivitas lahan kosong dan bangunan yang terbengkalai

696
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

yang masih banyak di jumpai di Surabaya, pertanian kota juga dapat menjadi upaya pemerintah
untuk menguatkan ketahanan pangan negara, meningkatkan perekonomian masyarakat,
memperbaiki ekologi kota, dan mempertahankan nilai sosial dan budaya Indonesia. Apabila
penyelenggaraan pertanian kota tersebut dilaksanakan secara benar, berkelanjutan, dan
konsisten, maka secara perlahan pertanian kota akan berkembang dan berdampak pada
perekonomian masyarakat kota, kebutuhan pangan mereka akan terpenuhi dari hasil panen
kegiatan pertanian kota mereka, dan lahan – lahan sempit yang selama ini tidak berfungsi akan
bermanfaat. Penerapan Pertanian kota yang unik dan menarik akan mampu memperbaiki ekologi
perkotaan seperti menambah jumlah oksigen, memperindah pemandangan dll, khususnya
perkampungan, dan budaya akan pertanian di Indonesia akan tetap terjaga.
Di wilayah kota Surabaya masih banyak masyarakat yang kurang maksimal dalam
penerapan Pertanian kotanya, pengetahuan akan pertanian masih minim sehingga model
Pertanian kota yang di terapkan masih sederhana tidak sesuai dengan situasi dan kondisi tanpa
memperhatikan dampaknya. Salah satu contohnyata yang sering di jumpai adalah pohon mangga
yang tertanam di pinggiran jalan yang mengakibatkan kondisi jalanan rusak akibat pertumbuhan
pohon tersebut, ataupun batang pohon yang patah ketika terjadi hujan lebat yang menimpa rumah
tetangga, penanaman yang berjumlah sedikit atau tidak maksimal dalam penanamannya, masih
bnyaknya lahan yang di miliki masyarakat yang tidak dimanfaatkan untuk budidaya pertanian
kota dll. Konversi lahan ke sektor nonpertanian berkembang dengan pesat mengakibatkan secara
perlahan pertanian akan kehilangan eksistensinya. Lahan pekarangan rumah atau lahan-lahan
sempit di sekitar rumah yang mampu dijadikan sarana lokasi atau lahan sebagai penerapan sistem
pertanian kota adalah solusi terbaik untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga,
mempertahankan pertanian sebagai upaya untuk mempertahankan ketahanan pangan dan
perekonomian kota. Berdasar latar belakang tersebut penelitian yang bermaksud mengetahui
model dan motivasi masyarakat dalam melakukan pertanian kota kiranya sangat bermanfaat bagi
pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan pertanian kota di kota Surabaya tersebut. Untuk
itu maka tujuan penelitian ini adalah: 1). Mengidentifikasi penerapan model pertanian kota di
kota Surabaya 2). Mengetahui motivasi masyarakat melakukan pertanian kota.dan 3).
Mengetahui kendala-kendala yang dialami masyarakat dalam penerapan pertanian kota di kota
Surabaya.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Gaynor (2006) menyatakan bahwa motivasi yang dialami penduduk untuk melakukan
kegiatan pertanian kota bervariasi dan tergantung pada pergeseran konteks lingkungan, ekonomi,
dan budaya. Seperti pada penduduk perkotaan di Australia mereka melakukan kegiatan pertanian
kota dan menghasilkan produk pangan yang segar, sehat, dan berbeda dari produk pangan
komersial. Motivasi mereka adalah memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan penduduk perkotaan
lainnya, terkait koenteks ekonomi dan budaya mereka berhasil melangsungkan kehidupan
mereka dengan memanfaatkan alamnya sendiri yang juga mengantarkan mereka memenuhi
kebutuhan perekonomian.
Merujuk pada populasi yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang makin
menipis, terdapat manfaat sosial dari pertanian kota terkait ketahanan pangan yang
mengantarkan kegiatan ini menjadi gaya hirup masyarakat perkotaan. Beberapa negara maju,
terutama yang sangat bergantung pada impor pangan, sangat rentan terhadap kekurangan pangan
yang mungkin dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi atau politik serta kekurangan produksi ahan
pangan (Millstone & Lang, 2008). Oleh karena itu produksi pangan di kota-kota memberikan
kontribusi untuk ketahanan pangan nasional. Pertanian kota dijadikan gaya hidup masyarakat
terkait juga dengan manfaat dari segi ekonomi. Hasil dari produk pertanian kota dapat dijual
sendiri dan juga untuk penggunaan pribadi, hal ini menyebabkan penurunan yang signifikan
terhadap pengeluaran untuk bahan pangan bagi penduduk yang melakukan kegiatan pertanian
kota. Manfaat kesehatan yang didapatkan juga mengantarkan pertanian kota menjadi gaya hidup

697
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

masyarakat perkotaan. Penduduk perkotaan pada umumnya peduli dengan kesehatan mereka
terkait produk pangan yang mereka konsumsi. Seperti sistem penyimpanan bahan pangan,
kandungan gizi, dan kesegaran produk pangan (Feagan, 2007). Selain itu, risiko kesehatan
manusia berhubungan dengan diet kekurang gizi (malnutrisi) atau kelebihan (obesitas) berkurang
ketika individu memiliki akses dalam memproduksi bahan pangan mereka sendiri dan jumlah
makanan yang diproses (Dixon et al., 2007). Dapat disimpulkan bahwa kegiatan pertanian kota
menjadi marak dikarenakan sebagaian besar penduduk perkotaan sadar dan peduli akan
kelangsungan hidup mereka di tengah-tengah populasi penduduk yang makin meningkat tiap
tahunnya.
Di sisi lain, masih terdapat berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program
Pertanian kota. Secara garis besar berbagai kendala tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2,
yaitu kendala teknis dan non teknis. Kendala teknis berkaitan dengan semakin sempitnya lahan
pertanian di perkotaan yang disebabkan bergesernya tanah pertanian menjadi perumahan,
serangan hama, perubahan cuaca yang sulit diduga, serta minimnya pengetahuan masyarakat
tentang teknik budidaya yang baik. Kendala teknis ini berimbas pada ketidaksesuaian hasil panen
yang diharapkan. Sedangkan untuk kendala non teknis adalah kurangnya respon positif dari
masyarakat miskin yang menerima paket bantuan. Hal ini berimbas pada pemeliharaan dan
keberlanjutan program kedepannya. Permasalahan utama dalam pengembangan pertanian kota
adalah bagaimana memperkenalkan dan membangun kesadaran para pihak terkait. Bagi orang
awam pertanian kota tampak seperti kontradiktif, biasanya pertanian identik dengan kegiatan
yang dilaksanakan di pedesaan bukan di kota. Mougeot (2010) merekomendasikan pemerintah
kota seharusnya memulai dengan pertanyaan yang benar, apa yang dapat pertanian kota lakukan
bagi kota yang bersangkutan dan bukan apa yang dapat kota lakukan untuk mengembangkan
pertanian kota.
Martin Bailkey, seorang dosen arsitektur lanskap di Wisconsin-Madison, AS,
membuat definisi Pertanian kota sebagai rantai industri yang memproduksi, memproses dan
menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan
dilakukan dengan metode using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan. Namun,
menanamkan rasa suka pada bercocok tanam di masyarakat perkotaan saat ini agak relatif sulit.
Masyarakat tidak ingin repot berkotor-kotor , masyarakat saat ini sangat ingin segalanya lebih
ringkas, ditambah lagi lahan perkotaan yang semakin lama semakin terkonversi. Pertanian kota
memiliki berbabagi macam Model dalam penerapannya yaitu:

Hidroponik
Hidroponik merupakan salah satu media tanam tanpa menggunakan tanah sebagai
pertumbuhan tanaman. Penanaman ini merupakan hal baru dalam dunia pertanian, namun
banyak sekali masyarakat yang tidak mengetahui cara melakukannya dan apa keuntungannya.
Dengan menggunakan hidroponik, para petani akan dapat meningkatkan kualitas dan hasil
produksi tanaman yang dapat di lakukan dengan menggunakan lahan sempit di perkotaan dengan
media rumah kaca. Tanaman yang menggunakan hidroponik dapat di tanam menggunakan pot
atau wadah dengan menggunakan air atau bahan lainnya berupa kerikil, pecahan genteng pasir,
pecahan batu ambang dan lain sebagainya sebagai media penanaman.

Aeroponik
Aeroponik berasal dari kata aero yang berarti udara dan ponus yang berarti daya. Jadi dapat
di simpulkan aeroponik adalah memberdayakan dengan udara. Aeroponik merupakan salah satu
media tanam tanpa menggunakan tanah, tetapi hanya unsur air atau larutan air yang disemburkan
dalam bentuk kabut hingga mengenai akar tanaman. Salah satu keunggulan penanaman
aeroponik adalah oksigenasi dari tiap
butiran kabut halus larutan hara sehingga respirasi akar lancar dan menghasilkan banyak
energi untuk pertumbuhan dalam jangka lama. Selain itu, kualitas dan kuantitas produksi

698
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

merupakan tujuan dari para petani untuk menghasilkan tanamannya. Jenis tanaman yang sering
di budidayakan secara aeroponik pada umunya berupa sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias
di lakukan dengan cara yang sangat intensif dan efesien.

Urban Garden
Dalam bidang budidaya tanaman, ada banyak hal yang bisa diperhatikan dan metode yang
digunakan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini juga membawa dampak pada
perkembangan model atau metode budidaya tanaman tersebut. Berbagai macam jenis metode
banyak digunakan saat ini termasuk sistem hidroponik dan pertanian organik. Selain itu, dalam
penggunaan metode tersebut juga dikenal jenis kebun atau teknik budidaya tanaman misalnya
indoor gardening, vertical gardening atau urban gardening. Urban sering diartikan sebagai suatu
area perkotaan, jadi urban gardening diartikan sebagai pertanian di daerah perkotaan. Meskipun
demikian sebenarnya mengenal urban gardening bukanlah selalu tentang budidaya tanaman
diarea perkotaan akan tetapi juga disuatu tempat yang padat penduduk dan memiliki banyak
bangunan. Tidak seperti pertanian atau perkebunan pada umumnya, urban gardening lebih
mengedepankan pemanfaat lahan atau area yang tidak berfungsi dan biasanya metode yang
digunakan dalam pertanian kota lebih condong pada hidroponik karena metode tanam ini tidak
membutuhkan tanah dan dapat digunakan dimana saja terutama di lahan sempit. Tidak hanya
menggunakan metode hidroponik, urban gardening juga bisa dilakukan dengan teknik lainnya
seperti dengan menganut sistem budidaya tanaman organik yang hanya menggunakan bahan-
bahan alami untuk menumbuhkan tanaman.

Vertikultur
Vertikultur bisa diartikan sebagai budi daya tanaman secara vertical sehingga
penanamannya dilakukan dengan menggunakan sistem bertingkat. Tujuan vertikultur adalah
untuk memanfaatkan lahan yang sempit secara optimal sistem bertanam secara vertikultur
sekilas memang terlihat rumit, tetapi sebenarnya sangat mudah dilakukan. Tingkat kesulitan
bertanam secara vertikultur. tergantung kepada Model dan sistem tambahan yang dipergunakan.
Dalam Model sederhana, struktur dasar yang digunakan mudah diikuti dan bahan pembuatannya
mudah ditemukan, sehingga dapat diterapkan di rumah-rumah. Sistem tambahan yang
memerlukan keterampilan dan pengetahuan khusus, contohnya penggunaan sistem hidroponik
atau drive irrigation (irigasi tetes). Vertikultur berasal dari bahasa inggris, yaitu vertical dan
culture. Secara lengkap, dibidang budi daya tanaman, arti vertikultur adalah suatu teknik
bercocok tanam diruang sempit dengan memanfaatkan bidang vertical sebagai tempat bercocok
tanam yang dilakukan secara bertingkat (Temmy, 2003). Marsema Kaka Mone (2006),
menjelaskan bahwa vertikultur merupakan cara bertanam yang dilakukan dengan menempatkan
media tanam dalam wadah-wadah yang disusun secara vertikal, atau dapat dikatakan bahwa
vertikultur merupakan upaya pemanfaatan ruang ke arah vertikal. Teknik ini berawal dari ide
vertical garden yang dilontarkan oleh sebuah perusahaan benih di Swiss pada tahun 1944.
Popularitas bertanam dengan dimensi vertikal ini selanjutnya berkembang pesat dinegara Eropa
yang beriklim subtropis. Bahwa taman vertikal tersebut dapat dibuat dan ditanami jenis tanaman
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pemiliknya. Lebih lanjut Temmy (2003), menjelaskan
jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan biasanya adalah tanaman yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, berumur pendek atau tanaman semusim khususnya sayuran, dan memiliki sistem
perakaran yang tidak terlalu luas.

Aquaponik
Aquaponik adalah sistem pertanian berkelanjutan yang mengkombinasikan akuakultur dan
hidroponik dalam lingkungan yang bersifat simbiotik. Dalam akuakultur yang normal, ekskresi
dari hewan yang dipelihara akan terakumulasi di air dan meningkatkan toksisitas air jika tidak
dibuang. Dalam akuaponik, ekskresi hewan diberikan kepada tanaman agar dipecah menjadi

699
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

nitrat dan nitrit melalui proses alami, dan dimanfaatkan oleh tanaman sebagai nutrisi. Air
kemudian bersirkulasi kembali ke sistem akuakultur. Karena sistem hidroponik dan akuakultur
sangat beragam bentuknya maka sistem akuaponik pun menjadi sangat beragam dalam hal
ukuran, kerumitan, tipe makhluk hidup yang ditumbuhkan, dan sebagainya.

METODE PENELITIAN
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Daerah yang dipilih
sebagai tempat penelitian tentang adalah di Kota Surabaya. Pemilihan Kota Surabaya ini karena
Kota Surabaya merupakan salah satu Kota besar yang sebagian penduduknya memiliki lahan
pekarangan atau lahan sempit lain yang mampu dijadikan objek untuk lahan pertanian kota
seperti pekarangan rumah, halaman rumah, atap rumah, lahan sempit di sekitar lokasi umum
seperti halaman dan tembok masjid, sekolahan, sekitar trotoar jalan, dan juga pemerintah
memiliki banyak lahan kosong yang juga mampu dijadikan objek lahan pertanian kota seperti
taman kota halaman atau pekarangan di kantor pemerintahan di atap gedung dll. Selain itu di
Kota Surabaya pada waktu lima tahun terakir ini telah focus mengembangkan pertanian kota dan
juga pemerintah telah memberikan bantuan dukungan berupa sarana prasarana, lokasi,
penyuluhan dan lain lain. (Vika Jessy, 2016). Lokasi penelitian ini akan berpusat pada wilayah
Surabaya selatan dimana wilayah tersebut memiliki lebih banyak masyarakat yang tengah
melakukan usaha pertanian kota dibandingkan dengan wilayah Surabaya lain.
Sampel merupakan suatu bagian dari populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat
menggambarkan populasinya (Soehartono, 2004). Sedangkan populasi adalah keseluruhan
subjek atau totalitas subjek penelitian yang dapat berupa orang, benda, / suatu hal yang di
dalamnya dapat diperoleh dan atau dapat memberikan informasi (data) penelitian. Populasi pada
penelitian ini adalah masyarakat yang telah menerapkan sistem Pertanian kota di kota Surabaya
yang tercatat pada data dinas pertanian dan pangan Surabaya. Sampel dalam penelitian ini adalah
masyarakat atau rumah tangga di kota Surabaya yang tercatat pada dinas pertanian dan pangan
kota Surabaya yang memiliki atau melakukan pertanian kota dengan bermacam macam konsep
atau model pertanian kota yang ada, baik yang saat ini masih berlanjut maupun telah berhenti.
Adapun penentuan sampel dilakukan dengan metode clusterpurposive. Menurut Margono,
(2004), dikarenakan populasi sampel berkelompok, pengambilan sample di ambil secara cluster.
Pemilihan sekelompok subjek dalam purposive didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang
mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya,
dengan kata lain unit sampel dihubungkan dan disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang
diterapkan berdasarkan tujuan penelitian, dalam hal ini adalah sample yang melakukan pertanian
kota pada tahun terakhir baik masih aktiv menerapkan maupun tidak aktiv atau berhenti
menerapkan pertanian kota yang tercatat dalam data dinas pertanian kota Surabaya. Konsep atau
model pertanian kota yang diusahakan adalah pertanian pangan, perikanan, dan peternakan yang
dilakukan dilingkungan rumah maupun disekitar lingkungan pelaku pertanian kota. Jumlah
sampel yang diambil sebanyak 42 sample dari seluruh jumlah populasi yang ada di kota Surabaya
yang berasal dari 3 kecamatan di daerah Surabaya selatan sebagai perwakilan wilayah Surabaya
yaitu kecamatan Jambangan, Karangpilang, dan Gayungan. Dari 3 kecamatan tersebut
diklasifikasikan kembali pada 3 kelurahan dengan jumlah populasi terbanyak yaitu kelurahan
karangpilang, kebonsari, dan menanggal.
Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi data dari Badan Pusat Statistik, Dinas Pekebunan Provinsi Jawa Timur, Dinas
Pertanian Jawa Timur. Sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan dari hasil
wawancara dengan responden. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi
dan wawancara (interview) dengan responden dan dokumentasi atau studi kepustakaan.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Muhson
(2006), menyatakan analisis deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data
dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana

700
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

adanya tanpa bermaksut membuat kesimpulan yang dasar dalam bentuk deskriptif semata dalam
arti tidak mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau
melakukan penarikan kesimpulan. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan dan
menginterpretasikan model dan motivasi atau alasan yang dominan masyarakat kota Surabaya
melakukan pertanian kota.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Model Pertanian Kota di Kota Surabaya
Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem,
atau model, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa
model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau
rumusan matematis. Pada umumnya masyarakat kota Surabaya menerapkan berbagai macam
model pertanian kota beberapa di antaranya adalah Hydroponik, verticultur, memanfaatkan
RTH, mengoptimalkan kebun sekitar rumah, rooftop garden dan memanfaatkan lahan tidur.yang
dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Model dan Jumlah Pelaku Pertanian Kota di Kota Surabaya Tahun 2017.
No Jenis Model Jumlah Pelaku Persentase (%)
1 Hidroponik 11 26,19
2 Vertikultur 8 19,05
3 Perikanan 4 9,52
4 Rooftop garden 2 4,76
5 RTH 4 9,52
6 Rooftop garden & perikanan 1 2,38
7 Rooftop garden & vertikultur 1 2,38
8 Hidroponik & vertikultur 2 4,76
9 Berhenti 9 21,43
Jumlah 42 100.00%
Sumber; Wawancara dengan responden.

Dari hasil wawancara dengan seluruh sampel pelaku pertanian kota di kota Surabaya
bagian Selatan khususnya pada Kecamatan Karangpilang, Jambangan, dan Gayungan yang
tampak pada tabel 1 di atas dapat di simpulkan bahwa, hidroponik merupakan model pertanian
kota yang banyak diminati yaitu 11 pelaku (26,19%) hal ini dikarenakan Hidroponik merupakan
model yang paling sederhana. Hidroponik tidak membutuhkan peralatan yang kompleks untuk
dilakukan. Metode lain seperti rooftop garden memiliki jumlah yang sedikit dikarenakan model
tersebut lebih rumit, membutuhkan waktu dan modal yang cukup besar. Sedangkan 9 pelaku
(21,43%) pertanian kota yang saat ini telah berhenti dikarenakan mengalami kegagalan dalam
melakukan pertanian kota dan tidak memiliki modal yang cukup untuk melanjutkan.

Motivasi Masyarakat Melakukan Pertanian Kota


Secara umum definisi atau pengertian motivasi dapat diartikan sebagai suatu tujuan atau
pendorong, yang menjadi daya penggerak utama bagi seseorang dalam berupaya dalam
mendapatkan atau mencapai apa yang diinginkannya baik itu secara positif ataupun negatif.
Setiap responden memiliki berbagai macam motivasi atau alasan yang berbeda yang mendasari
kegiatan pertanian kota. Dari hasil wawancara kepada responden ditemukan berbagai macam
alasan atau motivasi yang paling umum di miliki oleh para responden yang secara terperinci
dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

701
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 2. Motivasi Masyarakat Surabaya Melakukan Pertanian kota di Kota Surabaya Tahun 2017
No Motivasi Masyarakat Melakukan Jumlah Pelaku Persentase (%)
Pertanian Kota
1 Memanfaatkan watu luang 25 26,32
2 Memanfaatkan lahan kosong yang 20 21,05
dimiliki
3 Menyalurkan hobi bertanam 12 12,63
4 Memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau 8 8,42
(RTH)
5 Menambah pendapatan keluarga 30 31,58
Sumber: Wawancara dengan responden.

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa motivasi para pelaku pertanian kota kebanyakan
menjadikan pertanian kota sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah pendapatan keluarga
dan memanfaatkan waktu luang saat mereka libur bekerja atau ketika pagi hari sebelum
berangkat bekerja, atau bagi para pensiunan
Pada awalnya pelaku usaha pertanian kota melakukan usaha tersebut karna coba-coba
unntuk sekedar memenuhi kebutuhan atau menghijaukan halaman, namun seiring dengan
berjalannya waktu kegiatan tersebut berkembang menjadi usaha yang komersil karena dengan
teknik dan teknologi dapat membantu proses usaha pertanian mereka sehingga dari hasil panen
pertanian kota mendapatkan keuntungan atau pendapatan yang cukup besar bagi rumah tangga
pelaku pertanian kota. Alasan ingin memanfaatkan atau memaksimalkan fungsi lahan kosong di
sekitar rumah juga menjadi alasan yang dominan mendasari para pelaku untuk melakukan
pertanian kota karna menurut para pelaku akan sangat rugi apa bila lahan atau halaman mereka
di biarkan kosong tanpa ada manfaatnya.
Sebagian besar para pelaku pertanian kota dulunya memiliki latar belakang dari keluarga
petani, seiring berjalannya waktu lahan pertanian mereka terkonversi atau dijual, namun
semangat akan bertani masih ada, sehingga jiwa bertani tersebut menjadi hobi mereka saat ini
yang di aplikasikan di lahan sekitar rumah.
Di daerah Surabaya selatan masih terdapat banyak ruang terbuka hijau yang belum banyak
dimanfaatkan baik oleh masyarakat, maka para pelaku pertanian kota di daerah Surabaya selatan
sebagian kecil menjadikan hal itu untuk dimanfaatkan menjadi pertanian kota yang bernilai
ekomi karerna selain milik umum juga tidak dipungut biaya dalam memanfaatkannya.

Kendala dalam Penerapan Pertanian kota


Dalam penerapan pertanian kota di kota Surabaya, para pelaku juga mengalami berbagai
macam kendala, baik kendala internal atau exsternal. Yang secara terperinci dapat dilihat pada
Tabel 3 berikut.
Dari Tabel 3 tampak bahwa hama dan penyakit tanaman menjadi faktor kendala exsternal
yang sulit untuk di atasi, sebagian besar dari pelaku kurang memahami teknik untuk mengatasi
kendala tersebut. contoh hama yang sering mengganggu usaha pertanian kota antara lain tikus
memakan sayuran hidroponik, penyakit pada tanaman yang mengakibatkan mati dan pencurian
oleh manusia.

702
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 3. Kendala-kendala dalam pertanian kota di kota Surabaya Tahun 2017.


No Kendala Pertanian Kota Jumlah Pelaku Persentase (%)
1 Kurang pengalaman tentang pertanian 8 9,64
kota
2 Kurang modal untuk mengembangkan 25 30,12
usaha
3 Terserang hama penyakit 30 36,14
4 Cuaca ekstrem sehingga gagal 20 24,10
5 Jumlah 83 100
Sumber: Wawancara dengan responden.

Modal adalah sesuatu hal yang di perlukan untuk suatau usaha dalam hal ini bukan uang
saja melainkan sarana prasarana listrik, air, lahan dan sebagainya yang juga menjadi modal
dalam usaha pertanian kota, dan seperti diketahui saat ini hal tersebut memerlukan biaya yang
mahal di daerah perkotaan, hal tersebutlah yang juga menjadi kendala atau menghambat kegiatan
pertanian kota. Kurangnya pengalaman atau pengetahuan tentang pertanian kota juga menjadi
kendala yang banyak di alami oleh pelaku, karena sebagian besar dari pelaku pada awalnya
hanya coba-coba dalam penerapan pertanian kota. Sehingga ketika mengalami kendala lain para
pelaku tidak mampu menyelesaikan kendala tersebut dengan baik, serta tidak mampu
mengembangankan pertanian kota mereka ke arah yang lebih baik dan bernilai ekonomi yang
tinggi.
Di daerah perkotaan iklim atau cuaca sering berubah ubah secara cepat dan tak terduga
sebagian besar pelaku pertanian kota sering mengalami gagal panen dikarnakan cuaca ekstrim,
missal ketika hujan lebat banyak dari tanaman sayuran yang rusak, pohon yang tumbang di
terjang angin dan hujan, dan juga banjir yang mengakibatkan ikan yang di pelihara hilang
terbawa air banjir.

PENUTUP
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut;
Model pertanian kota yang banyak dilakukan oleh masyarakat kota Surabaya secara
berurutan adalah hidroponik lalu disusul oleh vertikultur, perikanan dan terakhir adalah rooftop
garden.
Motivasi masyarakat Surabaya dalam melakukan pertanian kota secara berurutan
kebanyakan adalah untuk menambah pendapatan, memanfaatkan lahan kosong, menyalurkan
hoby bertanam, dan memanfaatkan ruang terbuka hijau (RTH).
Kendala atau masalah yang dihadapi masyarakat dalam melakukan pertanian kota
kebanyakan secara berurutan adalah terserang hama penyakit tanaman, kekurangan modal untuk
mengembangkan, adanya hambatan akibat cuaca ekstrim dan kurangnya pengalaman dan
pengetahuan dalam usaha pertanian kota.
Saran yang dianggap perlu yaitu adanya usaha atau peningkatan pembinaan oleh instansi
terkait dalam hal usaha pertanian kota dan adanya penyediaan modal bagi pelaku usaha yang
memerlukan guna pengembangan usahanya.

DAFTAR PUSTAKA
Dixon, J., Omwega, A., Friel, S., Burns, C., Donati, K. & Carlisle, R. (2007). The health
equity dimensions of urban food systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New
York Academy of Medicine, 84(1), 118-129.
Enciety.(2011). Definisi Urban Farming. www.berkebun-yuuk.blogspot.com.
Feagan, R. (2007). The place of food: Mapping out the local‘ in local food systems Progress
in Human Geography, 31(1), 23-42.

703
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gaynor, A.( 2006). Harvest of the suburbs: An environmental history of growing food in
Australian cities. Perth, Australia: University of Western Australia Press.
Margono. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Millstone, E. & Lang, T. (2008). The atlas of food: Who eats what, where and why. London:
Earthscan.
Mougeot LJA. (2006). Growing Better Cities: Urban Agriculture for Sustainable
Development International Development Research Centre. www.idrc.ca/info@idrc.ca.
Muhson, Ali. (2006). Teknik Analisis Kuantitatif. Yogyakarta: Universitas Negri Yogyakarta.
Soehartono. (2004). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja
Rachmatullah, Tyton dan Hertiari Idajati. (2016). Tingkat Deviasi Konversi Lahan di
Kawasan Lindung Kelurahan Wonorejo Surabaya dalam http://ejurnal.its.ac.id/
index.php/teknik/article/view/11182
Temmy. (2003). Vertikultur: Teknik Bertanam di Lahan Sempit. Jakarta: PT.Agromedia
Pustaka
Vika Jessy. (2016). Evaluasi Implementasi Program Urban Farming Oleh Dinas Pertanian di
Surabaya dalam http://journal.unair.ac.id/downloadfullpapers-kmpda2908f5e4full.pdf,

704
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Ketimpangan Pendapatan Petani Karet di Pulau Sarak Kabupaten


Kampar Riau
Inequality of Rubber Farmers' Income on Sarak Island Kampar Riau
Regency
Shorea Khaswarina
Agribusiness Education, University of Riau
HR. Soebrantas KM 12,5Pekanbaru 28293, Indonesia

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini untuk menganalisis struktur dan distribusi atau ketimpangan
Struktur dan distribusi pendapatan petani sampel karet di Pulau Sarak Kabupaten Kampar Riau.
pendapatan Penelitian dilakukan selama 3 bulan dengan menggunakan metode survei dan
Petani karet metode pengambilan sampel secara purposive sampling. Populasi di daerah
penelitian terdiri dari 378 KK. Dengan tingkat presisi sebesar 10% maka
jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 80 responden. Analisis data
pendapatan petani yaitu selisih penerimaan dengan biaya total yang
dikeluarkan tidak termasuk biaya tenaga kerja keluarga. Struktur pendapatan
menggunakan analisis persentase. Distribusi pendapatan rumahtangga
dianalisis menggunakan analisis penghitungan indeks Gini (Gini Index
Ratio). Hasil penelitian adalah struktur pendapatan petani sampel karet di
Pulau Sarak Kabupaten Kampar Riau adalah usaha tani karet, usaha tani
kelapa karet, karyawan, supir, buruh, dan dagang. Sedangkan kondisi
distribusi/ketimpangan pendapatan petani sampel menurut Bank Dunia,
ketimpangan rendah, hasil analisis angka gini ratio adalah 0,23 artinya
distribusi pendapatan agak merata dan menurut H.T Oshima dalam Widodo
(1990) angka koefisien gini lebih kecil dari 0,3 artinya ketimpangan
pendapatan rendah.

ABSTRACT

Keywords: This study aims to analyze the structure and distribution or payment
Structure and inequality of rubber sample farmers on Sarak Island, Kampar Riau Regency.
distribution of income The study was conducted for 3 months using survey methods and sampling
Rubber farmers methods by purposive sampling. The population in the study area consisted
of 378 households. With a precision level of 10%, the number of samples in
this study were 80 respondents. Analysis of Farmer Income data, which is the
difference between the income and the total costs incurred excluding family
labor costs. Revenue Structure using percentage analysis. Household income
distribution is analyzed using the analysis of Gini index calculation (Gini
Index Ratio). The results of the study are the income structure of rubber
sample farmers in Sarak Island, Kampar Riau Regency, are rubber farming,
rubber coconut farming, employees, drivers, laborers, and trade. Meanwhile,
the distribution of farmer samples according to the World Bank, low
inequality, the results of number analysis, the gini ratio is 0.23, the
distribution is somewhat complicated, and according to HT Oshima in
Widodo (1990).

Email Korespondensi: shoreakhaswarina@yahoo.co.id

705
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Kabupaten Kampar merupakan salah satu sentra produksi karet di Provinsi Riau. Tahun
2013 luas perkebunan karet rakyat di Kabupaten Kampar adalah 92.509 ha dengan produksi
60.714 ton/tahun. Luas areal perkebunan karet rakyat Tanaman Belum Mernghasilkan (TBM)
yaitu 15.201 ha, Tanaman Menghasilkan (TM) yaitu 56.729 ha, dan Tanaman Tua/Rusak (TTR)
yaitu 50.579 ha. Mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Kampar sebagian besar adalah
petani karet dan karet. Jumlah petani karet rakyat di Kabupaten Kampar adalah 52.289 Kepala
Keluarga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar, 2014).
Desa Pulau Sarak adalah salah satu desa sentra produksi karet di Kecamatan Kampar
Kabupaten Kampar. Sementara itu, tinggi rendahnya tingkat pendapatan petani karet belum
dapat menggambarkan dan menentukan tingkat distribusi pendapatan/tingkat ketimpangan
pendapatan petani karet di Desa Pulau Sarak. Tingkat distribusi pendapatan sering diukur dengan
ukuran koefisien gini ratio. Banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya disebabkan oleh
rendahya pendapatan yang diterima dan jumlah tanggungan keluarga yang banyak. Namun,
penyebab tersebut tidak sama untuk setiap kondisi.
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka identifikasi masalah yang dirumuskan adalah
sebagai berikut:
4. Bagaimana tingkat ketimpangan pendapatan petani karet di Pulau Sarak?
5. Bagaimana keragaman sumber pendapatan petani karet serta kontibusinya terhadap total
pendapatan petani karet di Pulau Sarak?
6. Bagaimana ketimpangan/distribusi pendapatan petani karet di Pulau Sarak?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur pendapatan dan ketimpangan
pendapatan petani karet di Desa Pulau Sarak Kecamatan Kampar Kabupaten Kampar. Manfaat
penelitian ini adalah sebagai informasi tentang sumber, struktur dan distribusi pendapatan petani
karet di Desa Pulau Sarak Kabupaten Kampar dan dapat dijadikan bahan wacana pembangunan
daerah dalam sub sektor perkebunan karet.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Analisis distribusi pendapatan petani penerima program pengembangan usaha agribisnis
pedesaan (PUAP) dan petani non PUAP di Desa Kualu Nenas Kecamatan Tambang Kabupaten
Kampar, diketahui ketimpangan pendapatan seluruh responden adalah rendah, disebabkan luas
lahan yang dimiliki petani nenas tidak begitu besar, yaitu antara 0,5 – 4 ha lahan nenas dan
kesempatan memperoleh pekerjaan selain budidaya nenas relatif sama. Artinya Program PUAP
tidak membantu para petani untuk mengembangkan usahanya karena belum tepat untuk
merangsang kelembagaan petani (Gapoktan Tunas Berduri) di tingkat pedesaan (Khaswarina,
2011). Struktur pendapatan petani sampel kelapa sawit di Kecamatan Kabun adalah usaha tani
kelapa sawit, usaha tani karet, karyawan, supir, buruh, dan dagang. Kondisi distribusi/
ketimpangan pendapatan petani sampel menurut Bank Dunia adalah rendah, hasil analisis angka
gini ratio adalah 0,20 artinya distribusi pendapatan agak merata dan menurut H.T Oshima dalam
Widodo (1990) angka koefisien gini lebih kecil dari 0,3 artinya ketimpangan pendapatan rendah
(Khaswarina, 2014). Hasil penelitian di Desa Sei. Tonang Kecamatan Kampar Utara Kabupaten
Kampar menunujukkan bahwa pendapatan petani karet di Desa Sei Tonang antara Rp. 2.095.913- Rp.
15.429.336. Dengan rata -rata pendapatan Rp.6.042.585. yang terdiri dari pendapatan sektor pertanian
97,26 % dan di luar sektor pertanian 2,74 %. Angka Indeks Gini Rasio 0,20 menunjukkan
distribusi pendapatan rumah tangga petani karet sudah cukup merata dengan tingkat
ketimpangan pendapatan rendah dan Kurva Lorenz mendekati garis kemerataan sempurna
(Khaswarina, 2014).

706
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

METODE PENELITIAN
Tempat dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pulau Sarak Kabupaten Kampar. Pemilihan lokasi ini
didasarkan pertimbangan adalah salah satu sentra produksi karet di Kabupaten Kampar.
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan.

Metode Pengambilan Sampel


Pemilihan sampel responden pada penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu:
pemilihan kecamatan dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan
sebagai sentra produksi karet di Kabupaten Kampar, yaitu Kecamatan Kampar. Selanjutnya
dipilih kecamatan dan desa. Agar responden petani dapat mewakili luas penguasaan lahan,
maka pada penelitian ini responden telah didistribusikan secara proporsional terhadap
penguasaan lahan tersebut.
n = Error! (1)
Keterangan:
n = Jumlah responden.
N = Jumlah populasi (kepala keluarga petani).
e = Galat yang dapat diterima (10 %).

Populasi di daerah penelitian pada dua desa di masing-masing kecamatan terdiri dari 174
KK. Dengan tingkat presisi sebesar 10% maka jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak
40 responden.

Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini memerlukan data primer dan sekunder. Untuk mendapatkan data primer
dilakukan dengan cara mewawancarai petani berdasarkan kuesioner yang telah dibuat.
Wawancara yang dilaksanakan meliputi pemilikan lahan, permodalan pendapatan keluarga dari
segala sumber anggota keluarga, pekerjaan pokok dan sampingan kepala keluarga. Data
sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan, laporan dari dinas perkebunan propinsi dan
karya tulis lainnya serta data-data dari instansi terkait yang bermanfaat bagi penelitian.

Analisa Data
Distribusi pendapatan rumahtangga dianalisis menggunakan alat analisis penghitungan
indeks Gini (Gini Index Ratio) (H.T Oshima dalam Widodo, 1990). Secara umum penghitungan
indeks Gini dirumuskan sebagai berikut:
GC = 1- ∑𝑛1 ( Xi-1 – Xi) (Yi + Yi-1) (2)

GC = 1- ∑𝑛1. 𝑓i (Yi + Yi-1) (3)


Dimana:
GC = Angka Gini Coefficient
Xi = Proporsi jumlah rumah tangga kumulatif dalam kelas i
fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas i
Yi = Proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif dalam kelas- i.

Penghitungan indeks Gini dilakukan untuk (a) pendapatan total rumah tangga, (b)
pendapatan yang bersumber dari pertanian dan non pertanian. Besaran masing-masing
pendapatan terstruktur dalam Rp/kapita dan dihitung selama di lokasi penelitian. Mengacu pada
batasan yang dirumuskan oleh Oshima (1976) dalam Widodo (1990) maka besaran indeks
Gini tergolong (a) ringan jika G < 0.4, (b) sedang jika 0.4 < G < 0.5, dan (c) berat apabila nilai
G > 0.5.

707
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sumber Pendapatan Petani Karet di Pulau Sarak
Secara agregat, kontribusi pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian terhadap
total pendapatan rumah tangga petani karet di Pulau Sarak cukup berbeda yaitu 88,43% vs 11,57
%. Kondisi ini sama dengan di Pulau Rambai, kontribusi pendapatan dari sektor pertanian
sebesar 85,62% sedangkan dari sektor non pertanian hanya sebesar 14,38%.

Tabel 1. Kontribusi Pendapatan Petani Karet di Pulau Sarak


Struktur Pendapatan Petani Karet di Pulau Sarak
No Pendapatan Pertanian Pendapatan Non Pertanian
Total
(Rp/Bulan) (Rp/Bulan)
1 3.770.000 - 3.770.000
2 3.782.000 400.000 4.182.000
3 1.430.000 - 1.430.000
4 3.504.000 1.500.000 5.004.000
5 1.608.000 - 1.608.000
6 2.210.000 400.000 2.610.000
7 1.920.000 - 1.920.000
8 2.272.000 - 2.272.000
9 1.920.000 - 1.920.000
10 2.420.000 - 2.420.000
11 1.920.000 - 1.920.000
12 1.170.000 - 1.170.000
13 1.440.000 - 1.440.000
14 1.500.000 - 1.500.000
15 1.870.000 - 1.870.000
16 1.482.000 400.000 1.882.000
17 1.600.000 1.700.000 3.300.000
18 1.300.000 - 1.300.000
19 1.638.000 - 1.638.000
20 2.560.000 - 2.560.000
21 2.400.000 - 2.400.000
22 720.000 500.000 1.220.000
23 2.000.000 - 2.000.000
24 2.600.000 - 2.600.000
25 1.800.000 - 1.800.000
26 1.600.000 - 1.600.000
27 2.800.000 - 2.800.000
28 1.800.000 - 1.800.000
29 750.000 1.250.000 2.000.000
30 780.000 575.000 1.355.000
31 2.000.000 - 2.000.000
32 2.000.000 - 2.000.000
33 4.500.000 - 4.500.000
34 1.800.000 500.000 2.300.000
35 4.000.000 - 4.000.000
36 4.448.000 - 4.448.000
37 2.496.000 1.500.000 3.996.000
38 2.520.000 1.000.000 3.520.000
39 5.840.000 1.000.000 6.840.000
40 5.256.000 1.500.000 6.756.000
 93.426.000 12.225.000 105.651.000
% 88,43 11,57
 2.335.650 305.625 2.641.275
Sumber : Data Primer, 2017
Kontribusi sektor pertanian pada lokasi penelitian jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
sektor non pertanian. Tingginya kontribusi sektor pertanian disebabkan tingginya peranan sektor

708
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pertanian terutama dari usahatani karet terhadap total pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa
sektor pertanian masih merupakan sumber utama pendapatan rumah tangga petani di Pulau Sarak
dan di Pulau Rambai.
Total pendapatan pertanian rumah tangga per bulan bervariasi, yaitu berkisar antara Rp.
1.170.000 sampai dengan Rp. 6.840.000. Total pendapatan pertanian rumah tangga per bulan
sebesar Rp. 93.426.000/bulan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan non pertanian
yang hanya sebesar Rp.12.225.000. Artinya peranan sektor petanian terutama dari usahatani
karet sangat besar dalam membantu perekonomian masyarakat sampel di Pulau Sarak.
Rata-rata pendapatan petani di Pulau Sarak adalah Rp. 2.641.275 yang bersumber dari
pertanian sebesar Rp. 2.335.650 dan rata-rata sumber pendapatan dari non pertanian Rp.
305.625. Sedangkan rata-rata pendapatan petani di Pulau Rambai adalah Rp. 3.881.800 yang
bersumber dari pertanian sebesar Rp. 3.259.300 dan rata-rata sumber pendapatan dari non
pertanian Rp. 547.500. Dengan mengacu pada sumber pendapatan rumah tangga, maka struktur
pendapatan rumah tangga di daerah penelitian ditampilkan pada Tabel 2.

Struktur Pendapatan Petani Karet


Struktur pendapatan rumah tangga menggambarkan tentang kontribusi dari setiap
kegiatan usaha terhadap total pendapatan rumah tangga di daerah penelitian. Pendapatan tersebut
merupakan pendapatan yang diterima petani setiap bulannya. Sumber pendapatan berasal dari
pertanian dan non pertanian. Pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar petani di Pulau
Rambai. Sebesar 85.62, % dari seluruh sumber pendapatan berasal dari pertanian, sedangkan
14,38 % berasal dari non pertanian. Meskipun demikian pendapatan non pertanian dapat
menambah pendapatan walaupun tidak significan. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel
2 tentang struktur pendapatan rumah tangga petani sampel di Pulau Rambai.

Tabel 2. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Sampel Karet.


No Sumber Pendapatan Jumlah (Rp.) Persentase (%) Persentase (%) masing-
sumber pendapatan masing sumber pendapatan
I. Pertanian
1. Karet 125.772.000 96,47 82,60
2. Kelapa Sawit 4.600.000 3,53 3.02
Sub Total 130.372.000 100,00 85,62
11. Non Pertanian
1. Karyawan 4.100.000 2,692550173 2,69
2, Dagang 9.200.000 6,041819901 6,04
3. Buruh 3.900.000 2,561206262 2,56
4. Supir 4.700.000 3,086581906 3,09
Sub Total 21.900.000 14,38215824 14,38
Total 152.272.000 100,00 100,00
Sumber : Data Primer, 2017

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa petani karet sampel sangat menggantungkan


pendapatannya pada hasil usaha tani karet. Besarnya ketergantungan tersebut dapat dilihat dari
tingkat persentase yang didapat yaitu 96,47 % dari total seluruh sumber pendapatan pertanian.
Sebanyak 14,38% merupakan sumbangan pendapatan dari luar usaha tani karet. Dari berbagai
sumber pendapatan luar usaha tani karet, dagang menempati urutan terbesar yaitu sebanyak 6,04
%. Meskipun tidak memberikan pengaruh nyata akan tetapi pendapatan dari luar usaha tani karet
sangat memberikan kontribusi dan berpengaruh terhadap menurunnya ketimpangan pendapatan
nantinya. Pendapatan di luar sektor utama akan menyebabkan menurunnya ketimpangan sumber
pendapatan, dengan kata lain penambahan pendapatan diluar sektor utama dalam keadaan faktor
lain adalah konstan akan mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan.

709
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Sumber pendapatan petani karet adalah usaha tani karet itu sendiri, karyawan, supir, buruh
dan dagang. Sebanyak 40 orang petani sampel mempunyai lapangan pekerjaan utama sebagai
petani karet dan sumber pendapatan lainnya sebagai pekerjaan sampingan. Selebihnya yaitu
sebanyak 13 orang petani sampel (32,5%) selain mempunyai pekerjaan utama sebagai petani
sampel karet juga mempunyai sumber pendapatan lainnya sebagai pekerjaan sampingan.
Pertanian juga merupakan sumber pendapatan terbesar petani di Pulau Sarak. Sebesar
88,43% dari seluruh pendapatan petani berasal dari usahatani karet, sedangkan 11,57% dari total
pendapatan tersebut berasal dari luar usaha tani karet. Tingginya kontribusi pendapatan dari
usahatani karet sangat logis oleh karena penelitian dilakukan di wilayah berbasis perkebunan
dengan komoditas karet. Pada wilayah tersebut terlihat bahwa diversifikasi pendapatan sektor
pertanian relatif kecil, terlihat dari rendahnya kontribusi pendapatan dari usaha non pertanian
maupun dari kegiatan buruh tani. Sementara itu, pada sektor nonpertanian, pendapatan rumah
tangga sebagian besar bersumber dari kegiatan buruh nonpertanian, usaha dagang, dan lainnya.
Struktur pendapatan ini hampir sama dengan hasil penelitian di Kecamatan Kabun pada petani
kelapa sawit yaitu usaha tani kelapa sawit, usaha tani karet, karyawan, supir, buruh, dan dagang
(Khaswarina, 2014). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel 1 tentang struktur pendapatan
rumah tangga petani sampel karet di Pulau Sarak.

Tabel 3. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Sampel Karet di Pulau Sarak.
No Sumber Pendapatan Jumlah (Rp.) Rata-rata Persentase
(Rp/Bulan) (%)
I. Pertanian
1. Petani Karet 42.270.965 3.522.580 40.00
2. Petani Kelapa Sawit 10.269.277 855.773 9.72
Sub Total 52.540.242 49.72
11. Non Pertanian
1. Buruh 31.811.516 2.650.960 30.11
2. Pegawai Negeri Sipil 3.792.871 316.073 3.59
3. Pengusaha Air Sikumbang 2.334.887 194.574 2.21
4. Pedagang Keliling 2.915.968 242.997 2.76
5. Peternak 8.758.468 729.872 8.29
6. Nelayan 2.915.968 242.997 2.76
7. Montir 581.081 48.423 0.55
Sub Total 53.110.758 50,28
Total 105.651.000 100,00
Sumber : Data Primer, 2017

Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa secara rataan, struktur pendapatan rumah tangga cukup
bervariasi. Pendapatan rumah tangga petani sampel yang didominasi oleh pendapatan petani
karet sampel, menunjukkan sangat menggantungkan pendapatannya pada hasil usaha tani karet.
Besarnya ketergantungan tersebut dapat dilihat dari tingkat persentase yang didapat yaitu 40%
dari total seluruh sumber pendapatan. Sebanyak 60% merupakan sumbangan pendapatan dari
luar usaha tani karet. Dari berbagai sumber pendapatan luar usaha tani karet, buruh menempati
urutan terbesar yaitu sebanyak 30.11%. Meskipun tidak memberikan pengaruh nyata akan tetapi
pendapatan dari luar usaha tani karet sangat memberikan kontribusi dan berpengaruh terhadap
menurunnya ketimpangan pendapatan petani karet di Pulau Sarak.

Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan merupakan ukuran kemerataan kemakmuran masyarakat pada saat
terjadi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Biasanya terjadi trade of antara pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan (Soekartawi, 1995). Distribusi pendapatan dalam penelitian
ini diukur dengan dua cara yaitu dengan menghitung Koefisien Gini dan menggunakan Kurva

710
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Lorenz. Penggunaan Kurva Lorenz akan lebih informatif dalam menjelaskan hubungan antara
proporsi pendapatan yang didistribusikan pada populasi yang ada dan dengan bantuan Kurva
Lorenz bisa diperoleh nilai koefisien gini.
Distribusi pendapatan pada penelitian ini digunakan untuk melihat ketimpangan
pendapatan yang terjadi antara keluarga petani sampel. Pendapatan rata-rata petani karet/sampel
setiap bulan merupakan pendapatan seluruh sampel yang bekerja.

Tabel 4. Distribusi Pendapatan Yang Diterima Petani Sampel.


No Golongan Jumlah Pendapatan Persentase Pendapatan
Sampel (Jiwa) Total (Rp) (%) rata-rata (Rp)
1 40 % terendah 16 29.402.000 23,37722228 1.837.625
2 40% menengah 16 50.170.000 39,88964157 3.135.625
3 20% tertinggi 8 46.200.000 36,73313615 5.775.000
Jumlah 40 125.772.000 100,00 10.748.250
Sumber : Data Primer, 2017

Salah satu cara untuk mengukur kemiskinan relative dengan menggunakan koefisien gini,
yaitu metode untuk mengetahui pemerataan pendapatan atau disebut dengan ditribusi pendapatan
diantara orang-orang di dalam satu komunitas. Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa 40 %
dari keluarga petani sampel pada golongan berpendapatan terendah memperoleh Rp. 29.402.000
(23,38 %) dari total pendapatan petani sampel. Kemudian 40 % dari keluarga petani sampel pada
golongan pendapatan menengah memperoleh Rp. 50.170.000 (39,89 %) dari total pendapatan
petani sampel dan selebihnya sebanyak 36,7 % dari keluarga petani sampel pada golongan
pendapatan tertinggi menerima Rp. 46.200.000 dari total pendapatan petani sampel.
Menurut ketentuan kriteria Bank Dunia dengan melihat besarnya bagian pendapatan yang
dinikmati oleh 40 % penduduk dalam kelompok pendapatan terendah dapat diketahui tingkat
keadaan distribusi pendapatan tingkat petani sampel. Tingkat ketimpangan tinggi apabila 40 %
penduduk (petani sampel) dalam kelompok pendapatan terendah menerima lebih kecil dari 12 %
dari total pendapatan, ketimpangan sedang apabila 40 % dari kelompok berpendapatan terendah
menerima 12 % - 17 % dari total pendapatan, dan dikatakan ketimpangan rendah apabila 40 %
kelompok penduduk berpendapatan terendah menerima lebih besar dari 17 % dari total
pendapatan petani sampel. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa sebanyak 16 petani sampel
termasuk dalam golongan 40% pendapatan terendah dengan pendapatan rata-rata petani sebesar
Rp. 1.837.625. Petani karet/ sampel sebanyak 16 orang yang termasuk dalam golongan 40%
pendapatan menengah dengan pendapatan rata-rata petani sebesar Rp. 3.135.625, dan 8 petani
termasuk dalam golongan 20% pendapatan tertinggi dengan pendapatan rata-rata petani karet
sebesar Rp. 5.775.000. Dari penjelasan tabel 2 dapat kita lihat bahwa 40 % penduduk
berpendapatan terendah memperoleh 23,38 % dari total pendapatan, sehingga dapat disimpulkan
menurut kriteria Bank Dunia, distribusi pendapatan petani sampel berada pada ketimpangan
yang rendah.
Menurut Gunarto (2001), angka gini ratio antara 0,20 – 0,39 menggambarkan ketimpangan
distribusi pendapatan yang agak merata. Dari tabel 5 diketahui angka gini ratio pada distribusi
pendapatan petani karet sampel adalah sebesar 0,23, sehingga dapat disimpulkan bahwa
ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut indeks gini ratio berada pada
distribusi yang agak merata. Tingkat ketimpangan rendah artinya kemerataan pendapatan petani
sampel tersebut sudah cukup baik meskipun ada beberapa petani memiliki pendapatan yang
besar atau jauh berbeda dengan petani lainnya. Ketimpangan rendah disebabkan oleh beberapa
faktor seperti luas lahan yang dimiliki tidak mempunyai perbedaan significan dan kesempatan
memperoleh atau mendapatkan pekerjaan di luar usaha tani karet relative sama proporsinya.

711
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 5. Indeks Gini Ratio Petani Sampel


Pendapatan Pendapatan Pendapatan (Yi+Y
No Kelompok Petani fi fi (Yi-1+Yi)
(Rp) (%) kumulatif i-1)
1 40% terendah 29.402.000 23,377 23,37 0,4 23,37 0,09348
2 40% menengah 50.170.000 39,889 63,27 0,4 86,64 0,34656
3 20% tertinggi 46.200.000 36,733 100,00 0,2 163,27 0,32654
Jumlah 125.772.000 100,00 1,0 0,76658
Indeks Gini Ratio 0,23342
Sumber : Data Primer, 2017

Menurut H.T Oshima dalam widodo (1990) koefisien gini lebih kecil 0,3 berarti
ketimpangan pendapatan rendah. Dari hasil analisis, angka gini yang didapat sebesar 0,23
sehingga distribusi pendapatan merata ketimpangan rendah.

120
Persentase Pendapatan

100

80

60 (63,27)

40

20 (23,37

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Persentase Populasi

Gambar 1. Kurva Lorenz Pendapatan Petani Karet di Pulau Rambai.

Gambar 1 menjelaskan distribusi pendapatan petani sampel karet adalah


merata/ketimpangan rendah. Hal ini dapat dilihat dari Kurva Lorenz dimana garis kumulatif
pendapatan berada tidak jauh dari garis 45o yaitu garis tolak ukur distribusi pendapatan merata.
Pendapatan rumah tangga petani sampel karet di Pulau Sarak selain dapat diukur dari
kontribusinya juga dapat dianalisis distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan akan
menggambarkan kondisi ekonomi rumah tangga petani yang tercermin dari ketimpangan
pendapatan rumah tangga petani karet. Ketimpangan distribusi pendapatan sering dikaitkan
dengan kemiskinan karena kemiskinan salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakmerataan
distribusi pendapatan. Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup absolut dari bagian
masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh
masyarakat.
Salah satu cara untuk mengukur kemiskinan relatif dengan menggunakan koefisien gini,
yaitu metode untuk mengetahui pemerataan pendapatan atau disebut dengan ditribusi pendapatan
diantara orang-orang di dalam satu komunitas. Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa 40 %
dari keluarga petani sampel pada golongan berpendapatan terendah memperoleh Rp. 25.453.000
(24,10 %) dari total pendapatan petani sampel. Kemudian 40% dari keluarga petani sampel pada
golongan pendapatan menengah memperoleh Rp. 40.472.000 (38,30 %) dari total pendapatan
petani sampel dan selebihnya sebanyak 37,60 % dari keluarga petani sampel pada golongan
pendapatan tertinggi menerima Rp. 39.726.000 dari total pendapatan petani sampel.

712
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 6. Distribusi Pendapatan Yang Diterima Petani Sampel Karet di Pulau Sarak.
No Golongan Jumlah Sampel Pendapatan Persentase Pendapatan
(Jiwa) Total (Rp) (%) rata-rata (Rp)
1 40 % terendah 16 25.453.000 24,10 1.590.812,5
2 40% menengah 16 40.472.000 38,30 2.529.500
3 20% tertinggi 8 39.726.000 37,60 4.965.750
Jumlah 40 10.5651.000 100,00 9.086.062,5
Sumber : Data Primer, 2017

Distribusi pendapatan pada penelitian ini digunakan untuk melihat ketimpangan


pendapatan yang terjadi antara keluarga petani sampel. Pendapatan rata-rata petani karet/sampel
setiap bulan merupakan pendapatan seluruh sampel yang bekerja. Distribusi pendapatan rumah
tangga yang akan menunjukkan kemerataan atau ketimpangan pendapatan antara rumah tangga
petani sampel karet di Pulau Sarak didekati melalui konsep World Bank, yaitu dengan melihat
besarnya bagian pendapatan yang dinikmati oleh 40 % penduduk dalam kelompok pendapatan
terendah dapat diketahui tingkat keadaan distribusi pendapatan tingkat petani sampel. Tingkat
ketimpangan tinggi apabila 40 % penduduk (petani sampel) dalam kelompok pendapatan
terendah menerima lebih kecil dari 12 % dari total pendapatan, ketimpangan sedang apabila 40
% dari kelompok berpendapatan terendah menerima 12 % sampai 17 % dari total pendapatan,
dan dikatakan ketimpangan rendah apabila 40% kelompok penduduk berpendapatan terendah
menerima lebih besar dari 17 % dari total pendapatan petani sampel.
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa sebanyak 16 petani sampel termasuk dalam golongan
40% pendapatan terendah dengan pendapatan rata-rata petani sebesar Rp. 1.590.812,5. Petani
karet/sampel sebanyak 16 orang yang termasuk dalam golongan 40% pendapatan menengah
dengan pendapatan rata-rata petani sebesar Rp. 2.529.500, dan 8 petani termasuk dalam
golongan 20% pendapatan tertinggi dengan pendapatan rata-rata petani karet sebesar Rp.
4.965.750. Dari penjelasan tabel 2 dapat kita lihat bahwa 40 % penduduk berpendapatan terendah
memperoleh 24,10 % dari total pendapatan, sehingga dapat disimpulkan menurut kriteria Bank
Dunia, distribusi pendapatan petani sampel berada pada ketimpangan yang rendah.

Tabel 7. Indeks Gini Ratio Petani Sampel.


Pendapatan Pendapatan Pendapatan
No Kelompok Petani fi (Yi+Yi-1) fi (Yi-1+Yi)
(Rp) (%) kumulatif
1 40% terendah 25.453.000 24,10 24,10 0,4 24,10 0,0964
2 40% menengah 40.472.000 38,30 62,40 0,4 86,50 0,3460
3 20% tertinggi 39.726.000 37,60 100,00 0,2 110,60 0,2212
Jumlah 10.5651.000 100,00 100 1,0 0,6636
Indeks Gini Ratio 0,3364
Sumber : Data Primer, 2017

Menurut Gunarto (2001), angka gini ratio antara 0,20 – 0,39 menggambarkan ketimpangan
distribusi pendapatan yang agak merata. Dari tabel 7 diketahui angka gini ratio pada distribusi
pendapatan petani karet sampel adalah sebesar 0,3364, sehingga dapat disimpulkan bahwa
ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut indeks gini ratio berada pada
distribusi yang agak merata. Tingkat ketimpangan rendah artinya kemerataan pendapatan petani
sampel tersebut sudah cukup baik meskipun ada beberapa petani memiliki pendapatan yang
besar atau jauh berbeda dengan petani lainnya. Ketimpangan rendah disebabkan oleh beberapa
faktor seperti luas lahan yang dimiliki tidak mempunyai perbedaan significan dan kesempatan
memperoleh atau mendapatkan pekerjaan di luar usaha tani karet relatif sama proporsinya.

713
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Menurut H.T Oshima dalam widodo (1990) koefisien gini lebih kecil 0,3 berarti
ketimpangan pendapatan rendah. Dari hasil analisis, angka gini yang didapat sebesar 0,3364
sehingga distribusi pendapatan merata ketimpangan rendah.

Persentase Pendapatan 120

100

80

60 (62,40)

40

20 (24,10)

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Persentase Populasi

Gambar 2. Kurva Lorenz Pendapatan Petani Karet di Pulau Sarak Kabupaten Kampar.

Gambar 2 menjelaskan distribusi pendapatan petani sampel karet adalah merata atau
ketimpangan rendah. Hal ini dapat dilihat dari Kurva Lorenz dimana garis kumulatif pendapatan
berada tidak jauh dari garis 45o yaitu garis tolak ukur distribusi pendapatan merata.

PENUTUP
Sumber pendapatan petani karet di Pulau Sarak dari pendapatan pertanian dan non
pertanian. Struktur pendapatan petani sampel karet di Pulau Sarak adalah usaha tani karet, usaha
tani sawit, karyawan, supir, buruh, dan dagang. Distribusi/ ketimpangan pendapatan petani
sampel menurut Bank Dunia, ketimpangan rendah, hasil analisis angka gini ratio adalah 0,3364
artinya distribusi pendapatan agak merata dan menurut H.T Oshima dalam Widodo (1990) angka
koefisien gini lebih kecil dari 0,3 artinya ketimpangan pendapatan rendah.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statisitik Kabupaten Kampar. 2014. Kampar Dalam Angka 2013.
Dajan, Anto. 1986. Pengantara Metode Statistik. Jilid II LP3ES. Jakarta
Gunarto, Toto. 2001. Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kesejahteraan di Provinsi
lampung. Jurnal Sosio Ekonomika Desember 2001. Fakultas Pertanian. Universitas
Lampng.
Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Khaswarina, S. 2007. Struktur Pendapatan Petani Kelapa Sawit di Distrik Kabun Kabupaten
Rokan Hulu Riau. Laporan Penelitian Jurusan/Prodi Agribisnis Universitas Riau.
Pekanbaru. Riau.
Khaswarina, S. 2014. Analisis Distribusi Pendapatan Petani Penerima Program Pengembangan
Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan Distribusi Pendapatan Petani Non PUAP di Desa
Kualu nenas kecamatan tambang Kabupaten Kampar. Prosiding Seminar Nasional dan
Lokakarya Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI), Padang,
8-10 September 2014. ISBN:978-602-96301-4-5.Hal:159-169. Web: faperta.unand.ac.id

714
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Khaswarina, S. 2015. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Petani Karet di Desa Pulau Jambu
Kecamatan Kuok Kabupaten Kampar. Journal Socio Economics Agricultural (J-SEA) Vol.
10. No. 2. Agustus 2015 ISSN 1693-4784. Hal : 117-127.
Widodo. H. S. T. 1990. Indikator Ekonomi Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia.
Kanisius. Yogyakarta.

715
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Efektifitas Peran Penyuluh Pertanian Lapangan


dalam Pemberdayaan Kelompok Tani
The Efectivness of Field Agriculture Extension Role in The
Empowerment of Farmer Group
Siti Aisyah1 dan Achmad Faqih1
1Program Studi Agribinis Fakultas Pertanian Univesitas Swadaya Gunung Jati
Jalan Pemuda No.32 Kota Cirebon

ABSTRAK

Kata Kunci: Program pemberdayaan kelompok tani memerlukan peran penyuluh


Efektifitas pertanian yang menggerakan kelompok tani untuk melakukan perubahan dan
Peran Penyuluh memantapkan serta mengembangkan kebutuhan dengan kelompok tani.
Pemberdayaan Keberhasilan program pertanian akan terwujud apabila didukung oleh
Kelompok Tani sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, diantaranya peran dan
kedudukan penyuluh pertanian lapangan
Penelitian dilakukan bertujuan untuk mengetahui (1) peran penyuluh
pertanian lapangan di Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan. (2)
pemberdayaan kelompok tani di Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan, dan
(3) hubungan antara peran penyuluh pertanian lapangan dengan
pemberdayaan kelompok tani. Penelitian ini dilakukan di Gapoktan Jaya
Mulya Desa Babadan Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Penelitian
dimulai pada bulan September sampai Desember 2018.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petani
responden, tehnik wawancara dipandu dengan kuesioner, data sekunder
diperoleh dari hasil studi pustaka dan dari instansi terkait. Sampel untuk
penelitian ini adalah 60 anggota kelompok tani. Untuk mengetahui efektifitas
peran penyuluh pertanian lapangan dalam pemberdayaan kelompok tani,
digunakan metode Likert. Untuk mengetahui hubungan tiap variabel yang
diteliti pada efektifitas peran penyuluh pertanian lapangan dalam
pemberdayaan kelompok tani digunakan Uji Koefisien Korelasi Rank
Sperman (rs).
Hasil penelitian menunjukan (1) peran penyuluh pertanian lapangan pada
Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan termasuk dalam kategori sangat efektif
(84,34%) dengan skor rata-rata harapan 16,0 dan skor rata-rata kenyataan
13,5, (2) pemberdayaan pada Gapoktan Jaya Desa Babadan termasuk dalam
kategori dinamis (82,38 %) dengan skor rata-rata harapan 9,0 dan skor rata-
rata kenyataan 7,45, (3) adanya hubungan yang nyata antara peran penyuluh
pertanian lapangan dan pemberdayaan kelompok tani dengan nilai rs = 0,620
dan t hitung 6,017.

Email Korespondensi: ais566474@gmail.com

716
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian ke depan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih
besar dalam rangka mengurangi kesenjangan dan memperluas kesempatan kerja serta mampu
memanfaatkan semua peluang ekonomi yang terjadi sebagai dampak globalisasi dan liberalisasi
perdagangan dunia (Stepen Robin, 2003). Untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan
sumberdaya manusia yang berkualitas dan handal dengan ciri mandiri, profesional, berjiwa
wirausaha, mempunyai dedikasi, etos kerja dan moral yang tinggi serta berwawasan global,
sehingga petani selaku pelaku utama pembangunan pertanian mampu mengembangkan
usahatani yang berdaya saing tinggi (Nyoman Oka Tridjaya, 2012).
Dalam mewujudkan kelompok tani yang efektif diperlukan keberpihakan pemerintah
yang terletak pada pengembangan kepemimpinan lokal terutama wawasan ekonomi, dan
keorganisasian, karena kepemimpinan tersebut telah memiliki energi sosial, kemampuan
manajemen kelompok informal dan lokal dengan pengembangan keanggotaan kelompok tani.
Penumbuhan dan pembinaan kelompok tani yang dilaksanakan secara berkesinambungan
diarahkan pada upaya peningkatan kemampuan kelompok tani dalam melaksanakan fungsinya
sebagai kelas belajar, wahana kerjasama dan unit produksi sehingga mampu mengembangkan
usaha agribisnis dan menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri (Hadisapoetro, 2002).
Efektifitas peran penyuluhan pertanian akan memberikan out put yang merupakan dampak
dari hasil kegiatan, dimana diharapkan dampaknya sesuai dengan tujuan semula yang akan
memberikan kontribusi secara langsung atau perlahan yang sangat bermanfaat bagi peningkatan
produktivitas petani yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Indikator efektifitas penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditunjukan pula oleh dinamika
kelompok tani yang selalu dinamis dan berkembang sehingga apa yang menjadi tujuan bersama
yang dituangkan dalam program penyuluhan bisa menjadi kenyataan. Masalah kelembagaan tani
adalah belum optimalnya kinerja kelompok tani dalam meningkatkan kemandirian petani
(Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2008)
Dalam pemberdayaan kelompok tani diperlukan pengelolaan kelompok yang dilakukan
dari, oleh dan untuk petani. Petani merupakan subjek sehingga diharapkan dapat
mengoftimalkan fungsi kelompok tani melalui pemberian kekuasaan sepenuhnya kepada petani
dalam bidang perannya, keahliannya dan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki. Kedudukan
kelompok tani sangat penting dalam penyuluhan pertanian. Hal ini dikarenakan kelompok tani
merupakan objek pengkajian awal dalam merencanakan kegiatan penyuluhan. Berbasis pada
sistem perencanaan bottom up yang dikembangkan di era otonomi daerah sekarang ini,
kelompok tani merupakan faktor penentu perencanaan kegiatan penyuluhan melalui pengkajian
sumberdaya secara partisipatif (Departemen Pertanian, 2006).
Program pemberdayaan kelompok tani memerlukan peran penyuluh pertanian yang
menggerakan kelompok tani untuk melakukan perubahan dan memantapkan serta
mengembangkan kebutuhan dengan kelompok tani. Peran penyuluh pertanian meliputi: (a) peran
sebagai guru yang memiliki fungsi dan tanggungjawab untuk mengubah perilaku masyarakat
sasarannya, (b) peran sebagai penganalisa yang melakukan pengamatan terhadap keadaan
sumberdaya, perilaku masyarakat, kemampuan kelembagaan, kebutuhan dan masalah, (c) peran
sebagai penasehat dalam proses pemilihan alternatif perubahan yang paling tepat, (d) peran
sebagai organisator untuk menumbuhkan kesadaran dan menggerakan partisipasi masyarakat
(Mardikanto, 2009).
Keberhasilan program pertanian akan terwujud apabila didukung oleh sumberdaya alam
dan sumberdaya manusia, diantaranya peran dan kedudukan penyuluh pertanian lapangan.
Kendala dan masalah yang dihadapi oleh penyuluh dalam pelaksanaan program pertanian
khususnya di Desa Babadan adalah sebagai berikut : (1) kelompok tani belum sepenuhnya
menguasai manajemen dan administrasi kelompok, (2) program dari pemerintah kadang tidak
sesuai dengan musim tanam yang efeknya berdampak pada menurunnya kinerja penyuluh dan
petani, (3) kurangnya sarana dan prasarana pertanian sehingga produktivitas hasil pertanian tidak

717
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

maksimal, (4) kendala musim yang tidak menentu dan ekstrim yang mengakibatkan menurunnya
produksi hasil pertanian. Efektifitas peran penyuluhan pertanian di gabungan kelompok tani
(Gapoktan) Jaya Mulya Desa Babadan Kecamatan Gunung Jati merupakan keterlibatan yang
utuh antara kelompok tani dan penyuluh pertanian lapangan, sehingga menghasilkan keluaran
berupa perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan. enelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektifitas peran penyuluh pertanian lapangan, mengetahui pemberdayaan kelompok
tani, dan mengetahui hubungan antara efektifitas peran penyuluh pertanian lapangan dengan
pemberdayaan kelompok tani di Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan.

KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep dasar efektifitas peran penyuluhan pertanian maknanya sangat luas mencakup
faktor dari dalam dan dari luar, konsep efektifitas belum mendapat keseragaman karena sudut
pandang yang dilaksanakan berdasarkan disiplin ilmu yang diminati. Permasalahan di Gapoktan
Jaya Mulya Desa Babadan yang mencakup efektifitas peran penyuluh pertanian lapangan dan
pemberdayaan kelompok tani.
Kegiatan penyuluhan di Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan merupakan kegiatan yang
rutin dengan tujuan untuk mengubah sikap, pengetahuan dan keterampilan petani. Peran
penyuluh pertanian lapangan disini di tuntut untuk lebih aktif dan produktif, sehingga kegiatan
penyuluhan diharapkan dapat memberikan out put kepada petani itu sendiri sehingga tujuan
peningkatan kesejahteraan bisa tercapai. Dinamika kelompok tani yang terjadi di Desa Babadan
ditunjukan dengan partisifasi anggota dalam kegiatannya dalam mengikuti penyuluhan
pertanian, penyerapan informasi yang diberikan oleh penyuluh dan kemudian diterapkan dalam
usahataninya.
Kenyataan di lapangan penyuluhan pertanian di Indonesia telah memberikan sumbangan
yang sangat signifikan pada pencapaian dari berbagai program pembangunan pertanian. Sebagai
contoh melalui Program Bimbingan Massal (Bimas) penyuluh pertanian dapat mengantarkan
bangsa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, yang dilakukan dengan
pendekatan dipaksa.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan Kecamatan Gunung Jati,
Kabupaten Cirebon dari bulan September sampai bulan Desember 2018. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan penarikan sampel secara survey dimana
dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
atau melukiskan keadaan obyek atau subyek (seseorang, lembaga, Masyarakat) pada saat
sekarang. Data yang dikumpulkan dan dianalisis bersumber dari data primer dan data sekunder.
Data primer Merupakan data pokok yang diperoleh dari lapangan langsung dan data yang
dikumpulkan langsung dari sumber aslinya untuk tujuan tertentu dengan pengumpulan data yang
telah ditentukan. Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari dokumen kelompok
tani, penyuluh, perangkat desa, Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan serta dari
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. Dokumen tersebut berupa
catatan dan gambaran mengenai perkembangan penyuluhan, kegiatan kelompok tani, arsip dan
dokumen penting lainnya.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan sampel acak sederhana
(Simple Random Sampling). Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan memiliki lima kelompok tani
dengan jumlah anggota 180 orang, kemudian diambil kelompok tani yang usahanya di bidang
pangan dengan tingkat kelas kelompok yang sama, maka populasi yang akan di sampel 151
orang.
Menurut Taro Yamane, 1967 dalam Jalaludin Rachmat (2009) cara pengambilan sampel
dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

718
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

N = Error!
Dimana : n : Jumlah sampel
N : Jumlah Populasi
d : Tingkat Presisi (10%)

Dari perhitungan pengambilan sampel diatas, maka sampel untuk penelitian ini adalah 60
anggota kelompok tani. Adapun jumlah populasi kelompok tani di Desa Babadan dapat dilihat
pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Jumlah Sampel Petani Berdasarkan Stratafikasi Kelompok.


Nama Jumlah Sampel
No. Ketua Kelompok
Kelompok Tani Anggota Petani
1. Sri Mukti Kursim 48 19
2. Mekar Kamuliyan H. Surip 35 14
3. Unggul Karya Ahmad 37 15
4. Mekar Asih Hj. Ade Cahyati 31 12
Jumlah 151 60
Sumber : UPT BP3K Gunung Jati

Untuk mengetahui efektifitas peran penyuluh pertanian lapangan dalam pemberdayaan


kelompok tani, digunakan metode Likert yaitu metode yang menjabarkan beberapa item
pertanyaan yang disusun dalam kuisioner dan setiap pertanyaan diberi skor senilai dengan
pilihan responden (James dan Dean,1992).
Untuk mengukur efektifitas peran penyuluh dalam pemberdayaan kelompok tani
digunakan empat indikator, yaitu sangat efektif, efektif, hampir efektif dan tidak efektif.
Keempat indikator tersebut dijabarkan dalam kuisioner dengan metode skoring/skala Likert
(Andi Hakim Nasution dan Ahmad Barizi, 1993), berikut ini tabel skor maksimum dan minimum
tingkat efektifitas peran penyuluh dalam pemberdayaan kelompok tani.

Tabel 2. Skor Maksimum dan Minimum Tingkat Peran Penyuluh terhadap Pemberdayaan Kelompok
Tani.
No Efektifitas Peran Penyuluh Pertanian Skor Skor
Dalam Pemberdayaan Kelompok Tani Minimum Maksimum
1 Peran edukasi terhadap efektifitas penyuluhan pertanian dalam
4 16
pemberdayaan kelompok tani
2 Peran diseminasi terhadap efektifitas penyuluhan pertanian
4 16
dalam pemberdayaan kelompok tani
3 Peran fasilitasi terhadap efektifitas penyuluhan pertanian dalam
4 16
pemberdayaan kelompok tani
4 Peran konsultasi terhadap efektifitas penyuluhan pertanian
4 16
dalam pemberdayaan kelompok tani
5 Peran supervisi terhadap efektifitas penyuluhan pertanian
4 16
dalam pemberdayaan kelompok tani
6 Peran evaluasi terhadap efektifitas penyuluhan pertanian dalam
4 16
pemberdayaan kelompok tani
Jumlah 24 96
Sumber : Mardikanto, 2010

Untuk menentukan interval kelas dapat menggunakan rumus (Suparman, 1996) sebagai berikut :
I = Error!
Dimana :
I = Interval kelas

719
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Xn = Skor maximum
XI = Skor Minimum
K = Jumlah kelas

Tabel 3. Interval Kelas Dan Tingkat Efektifitas Peran Penyuluh Pertanian Dalam Pemberdayaan
Kelompok Tani.
No Efektifitas Peran Penyuluh Pertanian Lapangan
Interval Kelas
Dalam Pemberdayaan Kelompok Tani
1 24 – 42 Tidak efektif
2 43 – 60 Hampir efektif
3 61 – 78 Efektif
4 79 - 96 Sangat efektif

Tabel 4. Skor Maksimum dan Minimum Kelompok Tani Dalam Kegiatan Pemberdayaan
Kelompok.
No Kegiatan Kelompok Tani Dalam Pemberdayaan Skor Skor
Kelompok Minimum Maksimum
1 Partisipasi kelompok tani dalam kegiatan pemberdayaan
3 9
kelompok
2 Dinamika kelompok tani dalam kegiatan pemberdayaan
3 9
kelompok
3 Produktivitas kelompok tani dalam kegiatan
3 9
pemberdayaan kelompok
4 Kemandirian kelompok tani dalam kegiatan
3 9
pemberdayaan kelompok
5 Struktur kelompok tani dalam kegiatan pemberdayaan
3 9
kelompok
6 Efektifitas kelompok tani dalam kegiatan pemberdayaan
3 9
kelompok
Jumlah 18 54
Sumber : Mardikanto, 2010

Untuk pengukuran pemberdayaan kelompok tani diperoleh dalam satuan skor sebagai
berikut: 3, 2 dan 1 dimana skor minimum 18 dan skor maksimum 54. Dari hasil interval kelas
tersebut maka diperoleh 3 kategori tingkat pemberdayaaan kelompok tani yaitu:
a. Kategori kurang dinamis dengan skor 18 – 30
b. Kategori cukup dinamis dengan skor 31 – 42
c. Kategori dinamis dengan skor 43 – 54

Untuk mengetahui hubungan tiap variabel yang diteliti pada efektifitas peran penyuluh
pertanian lapangan (edukasi, diseminasi informasi ,fasilitasi, supervisi dan evaluasi) dalam
pemberdayaan kelompok tani digunakan Uji Koefisien Korelasi Rank Sperman (rs). Rumus
Koefisien Korelasi Rank Sperman menurut wijaya, 2000 sebagai berikut:
6 ∑𝑑𝑖 2
𝑟𝑠 = 1 −
𝑛(𝑛2 − 1)
Keterangan : rs = Koefesien korelasi
di = Selisih rangking
n = ukuran populasi
Bila hasil pengamatan diperoleh data yang kembar atau berpasangan, maka uji statistik
yang digunakan adalah sebagi berikut :

720
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

X 2
+  Y 2 −  di 2
rs =
2 ( X 2 )(  Y 2 )
Keterangan :
X = Peran penyuluh pertanian
Y = Pemberdayaan kelompok tani
di = Selisih rangking
N3 − N t3 − t
X 2

12
= −  Tx,  Tx =
12
N3 − N t3 − t
Y 2 = 12 − Ty, Ty = 12
Keterangan :
N = Ukuran sampel
t = Rank kembar
Tx = Jumlah rank kembar x
Ty = Jumlah rank kembar y

Untuk menentukan tingkat keeratan hubungan, menurut Sutrisno Hadi (2003) terdapat
tingkat keeratan hubungan berdasarkan nilai rs, yaitu :

Tabel 5. Tingkat Hubungan Keeratan Variabel.


Interprestasi nilai rs Nilai rs
Sangat lemah 0,01-0,20
Lemah 0,21-0,40
Sedang 0,41-0,60
Kuat 0,61-0,80
Sangat kuat 0,81-1,00
Sumber : Sutrisno Hadi, 1993

Tingkat signifikan dari hubungan variabel peran penyuluh pertanian dengan kinerja
kelompok tani dilakukan dengan pendekatan uji t (t-test), dengan langkah-langkah dikemukakan
dalam Wijaya (2000), sebagai berikut :
1. Hipotesis
Ho : rs = o
H1 : rs ≠ o
2. Uji t
n−2
t hitung = rs
1 − (rs) 2
Dimana :
t : Distribusi t
n : Jumlah sampel
rs : Koefisien korelasi

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Peran Penyuluh Pertanian
Peran penyuluh pertanian dalam hal ini meliputi kegiatan edukasi, diseminasi informasi,
fasilitasi kegiatan yang menyangkut kegiatan usaha tani baik sosial dan ekonomi, konsultasi,
supervisi dan evaluasi. Mengenai hasil penilaian responden dapat dilihat pada Tabel 6

721
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 6. Skor Penilaian Peran Penyuluh.


No Kategori Jumlah (orang) Persentase ( % )
1 Tidak efektif (24 – 42) 0 0,00
2 Hampir efektif (43 – 60) 2 3,33
3 Efektif (61 – 78) 16 26,67
4 Sangat efektif (79 – 96) 42 70,00
Jumlah 60 100,00

Dari Tabel 6 menunjukan bahwa jumlah hasil penilaian responden yang termasuk dalam
kategori sangat efektif 42 orang atau 70 %, yang termasuk kategori efektif 16 orang atau 26,67
%, yang termasuk hampir efektif 2 orang atau 3,33 %. Peran penyuluh yang meliputi kegiatan
edukasi, diseminasi informasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi dan evaluasi menunjukan bahwa
jumlah nilai tertinggi terdapat pada jumlah responden 42 orang yang berarti menunjukan hampir
70 % dari responden memberikan penilaian yang tinggi terhadap peran penyuluh pertanian.
Peran penyuluh pada kategori ini ditunjukan pada kegiatan metode, tempat penyelenggaraan,
penyebaran informasi, pemecahan masalah, frekuensi konsultasi, tingkat kehadiran dan
informasi jenis kegiatan usaha tani.

Tabel 7. Skor Penilaian Pemberdayaan Kelompok Tani.


No Kategori Jumlah (orang) Persentase ( % )
1 Kurang dinamis (18 – 30) 0 0,00
2 Cukup dinamis (31 – 42) 20 33,33
3 Dinamis (43 – 54) 40 66,67
Jumlah 60 100

Tabel 7 menunjukan bahwa skor penilaian pemberdayaan kelompok tani yang termasuk
kategori dinamis 40 orang atau 66,67 %, yang termasuk kategori cukup dinamis 20 orang atau
33,33 % dan kategori kurang dinamis 0 %. Mengenai skor penilaian pemberdayaan kelompok
tani dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Penilaian Peran Penyuluh Pertanian Lapangan Terhadap Efektifitas Pemberdayaan di
Gapoktan Jaya Mulya Desa Babadan.
Komponen Peran Skor Persentase
No Kategori
Penyuluh Harapan Kenyataan (%)
1 Edukasi 16 14 87,5 Sangat efektif
2 Diseminasi 16 15 93,6 Sangat efektif
3 Fasilitasi 16 12 75,0 Efektif
4 Konsultasi 16 14 87,5 Sangat efektif
5 Supervisi 16 13 81,2 Sangat efektif
6 Evaluasi 16 13 81,2 Sangat efektif
Jumlah 96 81 506 Sangat efektif
Rata-rata 16 13,5 84,34
Keterangan : a. Tidak efektif (< 43,75%); b. Hampir efektif (43,75 – 62,5%); c. Efektif (62,5 – 81,25%);
d. Sangat efektif (> 81,25%)

Dari Tabel 8 tersebut menunjukan bahwa hasil penilaian peran penyuluh pada kegiatan
edukasi yang termasuk kategori sangat efektif sebesar 87,50 %, yang termasuk kategori sangat
efektif pada kegiatan diseminasi sebesar 93,75 %, yang termasuk kategori efektif pada kegiatan
fasilitasi 75 %, yang termasuk kategori sangat efektif pada kegiatan konsultasi 87,50 %, yang
termasuk kategori sangat efektif pada kegiatan supervisi sebanyak 81, 25 %. Sedangkan yang
termasuk kategori sangat efektif pada kegiatan evaluasi sebanyak 81,25 %. Komponen fasilitasi

722
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mendapatkan nilai rendah karena disini penyuluh belum mendapatkan hasil yang oftimal dari
hasil memfasilitasi kelompok terhapap akses permodalan dalam hal ini dengan lembaga
keuangan, juga memfasilitasi dalam kegiatan pengadaan sarana produksi secara berkelompok.
Kegiatan secara umum di lapangan menunjukan tingkat keberhasilan yang cukup bagus
ditunjukan dengan jenis informasi yang diberikan pada petani, metode penyuluhan yang
diberikan, kearifan lokal yang ada dalam pembelajaran, tempat penyelenggaraan penyuluhan,
frekuensi kehadiran penyuluh, kegiatan pemecahan masalah dan evaluasi penyuluh dalam
kegiatan pertanian.
Efektifitas peran penyuluh pertanian lapangan merupakan bagian dari sistem
pembangunan pertanian yang merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
tani secara persuasif edukatif dan seyogyanya dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip
penyuluhan partisipatif. Menurut madjid dalam Vitalaya (2005), tumbuh kembangnya kelompok
tani sebagai kelompok usaha dalam pengelolaan usaha tani akan meningkatkan efisiensi sebagai
akibat adanya kerjasama dalam kelompok. Sistim penyuluhan partisipatif terhadap kelompok
tani adalah (1) tidak ada paksaan untuk belajar, (2) materi pendidikan didasarkan atas kebutuhan
atau keinginan petani, (3) dilaksanakan dengan prinsip dari oleh dan untuk petani.

Pemberdayaan Kelompok Tani


Dari Tabel 9 menunjukan bahwa hasil penilaian pemberdayaan kelompok tani pada
kegiatan partisipasi (keikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
serta pemanfaatan hasil kegiatan) dengan kategori dinamis 87,78 %, penilaian pemberdayaan
kelompok tani pada kegiatan dinamika (tujuan, fungsi, pengembangan, kekompakan, suasana
dan tekanan) dengan kategori dinamis 88,89 %, penilaian pemberdayaan kelompok tani pada
kegiatan produktivitas dengan kategori dinamis 77,78 %, penilaian pemberdayaan kelompok tani
pada kegiatan kemandirian dengan kategori cukup dinamis 74,44 %, penilaian pemberdayaan
kelompok tani pada kegiatan struktur dengan kategori dinamis 88,89 %, penilaian pemberdayaan
kelompok tani pada kegiatan efektifitas dengan kategori dinamis 78,88 %.

Tabel 9. Hasil Penilaian Pemberdayaan Kelompok Tani di Gapoktan Sri Mukti Jaya Desa Babadan
Komponen Skor Persentase
No Kategori
Pemberdayaan Harapan Kenyataan (%)
1 Partisipasi 9 7,90 87,8 Dinamis
2 Dinamika 9 8,00 88,9 Dinamis
3 Produktivitas 9 7,00 77,8 Dinamis
4 Kemandirian 9 6.70 74,4 Cukup dinamis
5 Struktur 9 7,78 86,5 Dinamis
6 Efektifitas 9 7.10 78,9 Dinamis
Jumlah 54 44,48 494,3 Dinamis
Rata-rata 9 7,45 82,38
Keterangan : a. Kurang dinamis (< 55,56 % ); b. Cukup dinamis (55,56 – 77,77%); c. Dinamis ( > 77,77%)

Komponen kemandirian mendapatkan nilai terendah karena kelompok tani belum


sepenuhnya menerapkan administrasi kelompok secara sempurna dan profesional. Makna
pemberdayaan di Gapoktan Jaya Mulya dengan kategori dinamis yakni gapoktan ini selalu
bergerak dan berkembang untuk selalu meningkatkan usahanya yang ditunjukan dengan
peningkatan partisipasi, penyusunan rencana kerja, peningkatan kinerja pengurus, peningkatan
usaha tani, azas manfaat bagi anggota dan perlengkapan administrasi (Departemen Pertanian,
2007).
Hubungan Peran Penyuluh Dengan Pemberdayaan Kelompok Tani
Dari Tabel 10 menunjukan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara peran penyuluh
pertanian lapangan dengan pemberdayaan kelompok tani dengan nilai rs : 0,620 dan nilai

723
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

koefesien tersebut dalam kategori kuat. Hal ini berarti hubungan antara peran penyuluh pertanian
lapangan dengan pemberdayaan kelompok tani sebesar 0,620 yang artinya korelasi antara peran
penyuluh pertanian dengan pemberdayaan kelompok tani sebesar 62 % sedangkan yang 38 %
diluar dari variabel yang diteliti. Dari hasil uji signifikansi diperoleh t hitung 6,017 lebih besar
dari t 0,25 pada tarap nyata 5% artinya terdapat hubungan yang nyata antara peran penyuluh
pertanian lapangan dengan pemberdayaan kelompok tani. Dari hasil penelitian diatas dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi efektifitas peran penyuluh pertanian lapangan maka semakin
dinamis pula pemberdayaan pada kelompok tani tersebut. Menurut Stepen Robbin (2003),
menyatakan terdapat empat hal penting dalam membangun pemberdayaan kelompok kepada
para anggotanya antara lain : (a) suatu kelompok harus memiliki tujuan yang jelas yang hendak
dicapai, (b) suatu kelompok harus menetapkan tujuan organisasi secara bersama, (c) kelompok
harus mengikut sertakan anggota dalam menemukan masalah dan cara mengatasinya, (d)
kelompok harus mengembangkan sumber-sumber internal organisasi untuk mendukung adanya
perubahan.

Tabel 10. Hubungan Peran Penyuluh Pertanian dalam Pemberdayaan Kelompok Tani
Kategori rs
Variabel X Variabel Y rs t hitung t0,25
Pemberdayaan
Peran PPL 0.620 6,017 2.000 Kuat
Kelompok

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang efektifitas peran penyuluh pertanian
lapangan dalam pemberdayaan kelompok tani maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Peran penyuluh pertanian lapangan pada Gapoktan Jaya MulyaDesa Babadantermasuk dalam
kategori sangat efektif.
2. Pemberdayaan pada Gapoktan Jaya MulyaDesa Babadantermasuk dalam kategori dinamis.
3. Terdapat hubungan yang kuat dan nyata antara peran penyuluh pertanian lapangan dengan
pemberdayaan kelompok tani di gapoktan Jaya MulyaDesa Babadan.
Saran-saran
1. Peran penyuluh pertanian lapangan diharapkan berlangsung secara berkelanjutan dan bisa
diterapkan pada kelompok tani yang lainnya dalam upaya pengembangan kapasitas dan
efektifitas penyuluhan pertanian.
2. Perlu adanya peningkatan dalam pemberdayaan kelompok tani berupa manajemen
kelompok, akses terhadap lembaga permodalan dan akses terhadap informasi pasar.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Hakim Nasution dan Ahmad Barizi, 1993. Metode Statistik Untuk Penarikan Sampel. PT.
Gramedia, Jakarta.
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, 2008. Pemberdayaan Kelompok Tani.
Jakarta.
Departemen Pertanian, 2006. Undang-Undang Penyuluhan No 16 Tahun 2006. Tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Deptan. Jakarta.
Departemen Pertanian, 2007. Manajemen Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Pertanian, Jakarta.
Hadisapoetro, 2002. Pembinaan Usaha Tani Lahan Sempit. Gadjah Mada. Yogyakarta.

724
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Jalaludin Rachmat, 2009. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosida Karya, Bandung.
Mardikanto, 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Mardikanto, 2012. Metode Penelitian dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat. Sebelas Maret
University Press. Surakarta.
Nyoman Oka Tridjaya, 2012. Potret Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Badan
Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Jakarta. Tabloid Sinar Tani. Terbit Edisi
29 Pebruari-6 Maret 2012. Halaman 16.
Stepen Robin, 2003. Management. New Jersey. Prentice Hall Inc.
Sutrisno Hadi, 2003. Statistik. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Vitalaya, 2005. Penyuluhan Pembangunan Indonesia menyongsong Abad XXI. PT Pustaka
Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.
Wijaya, 2000. Statistika Non Parametrik Aplikasi Program SPSS. Alfabeta Bandung.

725
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaruh Keputusan Petani Terhadap Tingkat Penerapan Good


Agricultural Practice - Standart Operating Procedure Usahatani Padi
Organik
(Studi Kasus di Desa Kebonagung Kecamatan Imogiri dan
Desa Wijirejo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul DIY)
Sriyadi
Program Studi Agribisnis FP UMY

ABSTRAK

Kata kunci : Ketahanan pangan tidak hanya ketersediaan pangan yang cukup saja, tetapi
Pertanian organik juga memberikan keamanan baik bagi produsen maupun konsumen serta
Kkeputusan terjaminnya kelestarian lingkungan bagi produksi yang berkelanjutan. Sistem
Korelasi pertanian organik diharapkan mampu menjawab permasalahan bagi
Tingkat penerapan terwujudnya ketahanan pangan sekaligus peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
keputusan petani dalam menerapkan usahatani padi organik, mengetahui
tingkat penerapan SOP-GAP usahatani padi organik, dan mengetahui
pengaruh keputusan petani terhadap tingkat penerapan SOP-GAP usahatani
padi organik. Penelitian dilaksanakan di Desa Kebonagung Kecamatan
Imogiri dan Desa Wijirejo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan survei wawancara dengan petani padi oragnik.
Untuk menjawab keputusan petani dan tingkat penerapan SOP-GAP
usahatani padi organik digunakan deskriptif analisis. Sedangkan untuk
menjawab pengaruh keputusan terhadap penerapan SOP-GAP dianalisis
dengan analisis korelasi rank spermant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keputusan petani terhadap usahatani padi organik cukup baik, tingkat
penerapan SOP-GAP usahatani padi organik cukup tinggi dan tingkat
keputusan petani berhubungan dengan tingkat penerapan SOP-GAP
usahatani padi organik. pengembangan usahatani padi organik diperlukan
ketersediaan modal yang cukup, berkenaan dengan hal tersebut pemerintah
dalam hal ini dinas pertanian maupun badan ketahanan pangan perlu
mengucurkan atau memfasilitasi modal bagi petani dalam bentuk bantuan
bergulir maupun pinjaman dengan bunga rendah.

PENDAHULUAN
Masyarakat mulai sadar akan penggunaan pupuk kimia yang digunakan oleh para petani
yang tidak lagi sehat untuk dikonsumsi. Mereka akan cendrung mengalihkan cara mereka dalam
pemilihan produk pertanian yang dihasilkan petani agar dapat dikonsumsi dengan baik selain
lebih segar mereka juga akan mencari manfaat yang diberikan oleh produk tersebut, sehingga
mereka akan mengkonsumsi makanan yang lebih sehat. Anggapan bahwa kembali ke alam
adalah salah satu pilihan yang tepat untuk menggambarkan keinginan mereka.
Produk organik, termasuk beras organik merupakan pangan yang dihasilkan oleh pertanian
organik (Biao, 2003). Pangan organik diyakini lebih aman (Canavari et al 2002) karena
merupakan pangan alami yang dihasilkan tanpa menggunakan bahan kimia dan pupuk buatan
(Connor dan Douglas, 2002). Produk pangan organik dihasilkan dari pertanian organik, suatu
sistem produksi yang mempertahankan kesehatan tanah, ekosistem dan manusia (USDA 2010).

726
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Penggunaan pestisida yang tidak sesuai dan juga banyak menimbulkan kerusakan terhadap
tanah yang akhir-akhir ini banyak diberitakan. Pangan yang sehat dan memiliki nilai gizi yang
tinggi yang diproduksi oleh petani organik, merupakan jawaban atas keinginan konsumen saat
ini. Pertanian organik merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan oleh petani-petani
kecil Indonesia untuk memperoleh cukup pangan di tingkat rumah tangga sambil sekaligus
memperbaiki kualitas tanah, memperbaiki keanekaragaman hayati dan memberikan pangan
berkualitas kepada masyarakat kecil di sekitarnya. Manfaat pertanian organik telah diperlihatkan
dengan sistem pertanian organik yang terintegrasi, ekonomis, ramah lingkungan dan
meningkatkan kesehatan masyarakat. hhtp;//maporina.com
Pada 2009, sebanyak tiga persen dari total 58.000 hektar sawah di Yogyakarta menerapkan
sistem organik. Didaerah Kabupaten Bantul, dari 16.000 hektar lahan padi, baru lima persen
diantaranya tersertifikasi organik, (http://ibutani.blogspot.com). Mengingat setiap petani
memiliki kesadaran dan pemahaman yang berbeda-beda dalam pertanian organik, maka hanya
sebagian kecil saja petani yang menerapkan sistem organik untuk usahataninya. Petani khawatir
resiko gagal jika menggunakan pupuk organik. Mereka beranggapan bahwa penerapan sistem
organik dapat menurunkan hasil tani mereka dan ada juga yang belum mengerti tentang pertanian
organik sepenuhnya. Dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka perlu dan menarik
untuk diteliti dan diketahui bagaimana keputusan petani terhadap pertanian organik dan
penerapan SOP-GAP usahatani padi organik. Serta bagaimana pengaruh keputusan petani
terhadap tingkat penerapan SOP-GAP usahatani padi organik. Penelitian ini bertujuan
mengetahui keputusan petani dalam menerapkan usahatani padi organik, mengetahui tingkat
penerapan SOP-GAP usahatani padi organik, dan mengetahui pengaruh keputusan petani
terhadap tingkat penerapan SOP-GAP usahatani padi organik

METODE PENELITIAN
Penelitian Deskripsi (Sugiyono. 2014, Galo. 2012, Nasution. 2002 and Natsir.1999)
mengenai Pengaruh Keputusan Petani Terhadap Tingkat Penerapan Good Agricultural Practice
- Standart Operating Procedure Usahatani Padi Organik dilakukan dengan metode penelitian
survei pada petani padi organik di Kabupaten Bantul sebagai obyek penelitian. Lokasi penelitian
adalah Desa Wijirejo Kecamatan Pandak dan Desa Kebon Agung Kecamatan Imogiri yang
merupakan Sentra pengembangan padi organik di Kabupaten Bantul. Masing-masing desa
diambil sampel petani dengan proporsional random sampling. Pengambilan data dilakukan
dengan cara observasi dan wawancara dengan panduan kuesioner. Pada penelitian ini
menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan keputusan petani, penerapan SOP-GAP
usahatani padi organik, adapun pengaruh keputusan terhadap penerapan SOP-GAP dianalisis
dengan analisis korelasi rank spermant.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keputusan Petani
Proses Pengambilan Keputusan
Pengenalan. Tahap pengenalan bermula ketika seseorang mengetahui adanya inovasi dan
memperolah beberapa pengertian mengenai bagaimana inovasi itu berfungsi. Pengenalan
terhadap pupuk organik sebenarnya mulai dari tahun 1970, dan diperkenalkan oleh orang tua
petani yang pada sat itu masih organik biasa (hanya pupuk kompos biasa). Tahun 1985 mulai
ada program dari pemerintah terhadap pengenalan pupuk organik, Sekitar 15 tahun terakhir
barulah pupuk organik buatan seperti yang dicontohkan oleh kelompok tani dapat dikenal.
Persuasi. Sikap berkenan atau tidak terhadap inovasi baru, pada tahap persuasi seseorang
lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi. Pada tahap persuasi inilah persepsi umum
terhadap inovasi dibentuk. Sebagian besar petani berkenan menggunakan pupuk organik (74%).
Hal ini menunjukkan bahwa secara psikologis pertanian organik bisa diterima oleh petani.

727
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Sikap yang tidak berkenan menggunakan pupuk organik sekitr 26 persen petani dari
sampel yang diteliti dan dengan alasan yang beragam. Terlalu rumit dalam pengerjaannya, lahan
yang digunakan merupakan lahan sewa, serta yang paling banyak memberikan alasan masih ragu
dengan pupuk organik tersebut. Petani yang tidak berkenan karena belum mengetahui dengan
pasti terhadap pupuk organik yang ada. Minimnya pengetahuan petani tentang pupuk organik
yang ada sekarang membuat mereka kurang berkenan menggunakan.

Tabel 1. Proses Keputusan Petani terhadap Usahatani Padi Organik.


Proses Keputusan Jumlah (org) %
Persuasi :
- Berkenan menggunakan 74 74
- Tidak berkenan 26 26
Keputusan awal :
- Menggunakan 71 71
- Tidak menggunakan 29 29
Konfirmasi :
- Mencari Informasi 68 68
- Tidak mencari Informasi 32 32
Keputusan Akhir :
- Organik 15 15
- Campuran 65 65
- Anorganik 20 20

Keputusan awal. Tahap keputusan awal, seseorang terpilih dalam kegiatan yang
mengarah pada pemilihan untuk menggunakan atau tidak menggunakan inovasi. Keputusan ini
meliputi pertimbangan lebih lanjut apakah ia akan mencoba inovasi itu atau tidak, jika inovasi
itu dapat dicoba. Biasanya orang tidak menerima suatu inovasi tanpa mencobanya terlebih dulu
sebagai dasar untuk melihat kemungkinan kegunaan inovasi itu bagi situasi dirinya sendiri.
Keputusan petani untuk menggunakan pupuk organik sekitar 80 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa petani sudah mulai menerima dan mencoba pertanian organik. Petani yang tidak
menggunakan pupuk organik memiliki alasan tidak berani menanggung risiko, pengerjaan
pupuk yang rumit dan proses pengolahan tanah yang makin banyak menggunakan tenaga kerja.
Konfirmasi. konfirmasi berlangsung setelah ada keputusan untuk menerima atau
menolak inovasi selama jangka waktu yang tak terbatas. Pada tahap ini seseorang berusaha
mencari informasi untuk menguatkan keputusan inovasi yang telah dibuatnya, tetapi mungkin
dia merubah keputusannya semula jika ia memperoleh pesan-pesan yang bertentangan.
Kesadaran akan informasi yang lebih dalam lagi tentang pupuk organik oleh petani yang bisa
dikatakan lebih besar. Petani mulai mencoba mencari informasi lain yang terkait dengan pupuk
organik baik pada dinas maupun kelompok tani yang ada. Hanya sebagian kecil saja petani yang
tidak mau menggali informasi karena petani sibuk dengan usahatani dan tidak mau tahu. Minat
petani yang cukup besar untuk mencari informasi akan mempermudah petani dalam mengenali
lebih baik tentang pupuk organik. Petani lebih banyak berkoordinasi dengan kelompok tani dan
juga dinas terkait masalah pupuk organik. Akan tetapi petani yang sibuk dengan usahataninya
hingga tidak memiliki waktu lagi untuk mencari sumber informasi yang jelas tentang pupuk
organik.

Keputusan Usahatani Padi Organik


Pupuk organik khususnya pupuk kandang yang ramah terhadap lingkungan yang sudah
lama dikenal bahkan sudah digunakan semenjak nenek moyang kita dulu. Keputusan
penggunaan pupuk non organik lebih besar dibandingkan dengan petani yang menggunakan
pupuk organik. Sekitar 20 persen petani dari jumlah petani yang diteliti tidak mau menggunakan

728
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pupuk organik, karena lahan yang petani kelola bukan lahan milik sendiri, sehingga merasa rugi
jika menggunakan pupuk organik dan anggapan petani bahwa jika petani menggunakan pupuk
organik tidak akan dinikmati lagi setelah tidak mengusahakan lahan tersebut. Keputusan petani
didominasi pada pilihan menggunakan pupuk campuran organik dan pupuk anorganik.

Tabel 2. Keputusan akhir Petani terhadap Usahatani Padi Organik.


Keputusan Akhir : Jumlah (org) %
- Organik 15 15
- Campuran 65 65
- Non organik 20 20

Masih banyaknya petani yang enggan menggunakan pupuk organik secara total. Sekitar
15 persen petani sudah memutuskan untuk menggunakan pupuk organik murni. Sebagian besar
petani melakukan usahatani padi dengan pupuk campuran organik dan anorganik. Hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi risiko kegagalan atau produksi yang lebih rendah jika usahatani
secara drastis langsung menggunakan pupuk organik. Berdasarkan data tabel keputusan petani
di atas maka hasil analisis menunjukkan bahwa keputusan petani pada usahatani padi organik
termasuk dalam kategori cukup baik dengan rata-rata skor 1,95. Walau demikian masih ada 20
persen petani masih berusahatani non organik, hal ini karena tidak ada ketegasan dari kelompok
tani terhadap anggota yang tidak mengikuti keputusan.

Tingkat Penerapan SOP-GAP Usahatani Padi Organik


SOP-GAP Penggunaan Lahan
Pada umumnya petani sudah menerapankan penggunaan lahan berdasarkan (SOP-GAP)
Usahatani Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani
sering dan selalu menggunakan lahan berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Hal ini
dilakukan karena petani sadar akan manfaat pertanian organik bagi kesehatan, lingkungan dan
keberlanjutan usahatani.
Berdasarkan jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran
1, maka jumlah skor skala tingkat penerapannya adalah 325, dengan rata-rata 3,25, dapat
disimpulkan ke dalam tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani
dengan menggunakan lahan berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik akan
menghasilkan hasil yang maksimal untuk pertumbuhan tanaman.

SOP-GAP Penggunaan Benih


Pada umumnya petani sudah menggunakan benih berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi
Organik. Hasilnya mayoritas petani sering dan selalu menggunakan benih berdasarkan (SOP-
GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat
penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala tingkat penerapannya adalah 334, dengan
rata-rata 3,34, dapat disimpulkan ke dalam tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut
pendapat petani dengan menggunakan benih berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik
akan menghemat benih dan biaya produksi.

SOP-GAP Penggunaan Pupuk


Pada umumnya petani sudah menggunakan pupuk berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani
Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, mayoritas petani selalu
menggunakan pupuk berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah
responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala
tingkat penerapannya adalah 323, dengan rata-rata 3,23, dapat disimpulkan ke dalam tingkat
penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani dengan menggunakan pupuk

729
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

berdasarkan (SOP-GAP) akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi optimal, tanaman


selalu sehat terhindar dari serangan gulma dan terbebas dari organisme pengganggu tanaman
(OPT).

SOP-GAP Penggunaan Pestisida


Secara umumnya petani menggunakan pestisida berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi
Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani sering dan
selalu menggunakan pestisida berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik yaitu bio
pestisida. Berdasarkan jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada
lampiran 1, maka jumlah skor skala tingkat penerapannya adalah 310, dengan rata-rata 3,10,
dapat disimpulkan ke dalam tingkat penerapan yang sama, yaitu sering. Menurut pendapat petani
dengan menggunakan bio pestisida sesuai (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat menjaga
keseimbangan ekosistem dan ramah lingkungan.

SOP-GAP Penggunaan Alat


Secara umumnya petani menggunakan alat berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi
Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani selalu
menggunakan alat berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah
responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala
tingkat penerapannya adalah 339, dengan rata-rata 3,39, dapat disimpulkan ke dalam tingkat
penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani dengan menggunakan alat sesuai
(SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat mempermudah dalam pengelolaannya.

SOP-GAP Pengolahan Tanah


Petani di yang tergabung dalam kelompok petani padi organik secara umum telah
mengelola tanah berdasarkan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Dari hasil jawaban
responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani selalu mengolah tanah berdasarkan (SOP-
GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat
penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala tingkat penerapannya adalah 338, dengan
rata-rata 3,38, dapat disimpulkan ke dalam tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut
pendapat petani dengan mengolah tanah sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik
dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman lebih baik lagi sehingga menghasilkan produksi
yang maksimal.

SOP-GAP Penanaman
Pada umumnya petani dalam melakukan penanaman sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani
Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani sering dan
selalu melakukan penanaman sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan
jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor
skala tingkat penerapannya adalah 328, dengan rata-rata 3,28, dapat disimpulkan ke dalam
tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani dengan penanaman yang
sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman
lebih baik lagi sehingga menghasilkan produksi yang maksimal.

SOP-GAP Pemeliharaan
Pada umumnya petani dalam melakukan pemeliharaan sesuai dengan (SOP-GAP)
Usahatani Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani
selalu melakukan pemeliharaan sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan
jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor
skala tingkat penerapannya adalah 341, dengan rata-rata 3,41, dapat disimpulkan ke dalam
tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani dengan pemeliharaan yang

730
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat mengurangi gulma sehingga
pertumbuhan tanaman lebih baik lagi sehingga menghasilkan produksi yang maksimal.

SOP-GAP Pemupukan
Pada umumnya petani dalam melakukan pemupukan sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani
Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani selalu
melakukan pemupukan sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah
responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala
tingkat penerapannya adalah 342, dengan rata-rata 3,42, dapat disimpulkan ke dalam tingkat
penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani dengan pemupukan yang sesuai
dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman lebih
baik lagi sehingga menghasilkan produksi yang maksimal.

SOP-GAP Pengairan
Pada umumnya petani dalam melakukan pengairan sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani
Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani sering dan
selalu melakukan pengairan sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan
jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor
skala tingkat penerapannya adalah 326, dengan rata-rata 3,26, dapat disimpulkan ke dalam
tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani dengan pengairan yang
sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik yaitu air diberikan sesuai dengan kebutuhan
tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman lebih baik lagi sehingga menghasilkan
produksi yang maksimal.

SOP-GAP Pengendalian Hama dan Penyakit


Pada umumnya petani dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit sesuai dengan
(SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa
mayoritas petani selalu melakukan pengendalian hama dan penyakit sesuai dengan (SOP-GAP)
Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat
penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala tingkat penerapannya adalah 327, dengan
rata-rata 3,27, dapat disimpulkan ke dalam tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut
pendapat petani dengan pengendalian hama dan penyakit yang sesuai dengan Standar Operating
Prosedure-Good Agriculture Practise (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman lebih baik lagi sehingga menghasilkan produksi yang maksimal.

SOP-GAP Panen
Pada umumnya petani dalam melakukan panen sesuai dengan Standar Operating
Prosedure-Good Agriculture Practise (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Dari hasil jawaban
responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani selalu melakukan panen sesuai dengan (SOP-
GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah responden sesuai dengan tabel skor tingkat
penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala tingkat penerapannya adalah 346, dengan
rata-rata 3,46, dapat disimpulkan ke dalam tingkat penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut
pendapat petani dengan panen yang sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat
mengurangi risiko rusak dan mengurangi gabah yang tertinggal dalam batang padi (damen)
karena kurangnya kehati-hatian dalam perontokan.
Pada umumnya petani dalam melakukan pasca panen sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani
Padi Organik. Dari hasil jawaban responden dapat diketahui, bahwa mayoritas petani selalu
melakukan pasca panen sesuai dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan jumlah
responden sesuai dengan tabel skor tingkat penerapan pada lampiran 1, maka jumlah skor skala
tingkat penerapannya adalah 336, dengan rata-rata 3,36, dapat disimpulkan ke dalam tingkat
penerapan yang sama, yaitu selalu. Menurut pendapat petani dengan pasca panen yang sesuai

731
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dengan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik dapat mempengaruhi kualitas gabah misalnya
gabah yang terlalu lama dijemur akan mudah pecah bila digiling menjadi beras sehingga
menyebabkan kualitas beras menjadi tidak baik, maka sebaiknya dijemur sesuai dengan
ketentuan yang ada pada SOP.
Setelah diuraikan hasil penelitian diatas maka untuk mengetahui tingkat penerapan (SOP-
GAP) Usahatani Padi Organik dilakukan berdasarkan pada perhitungan dari keseluruhan
pertanyaan yang diajukan kepada 13 (tiga belas) unsur yang diwakili terhadap aspek-aspek
tingkat penerapan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut,
maka ditetapkan nilai maksimum adalah 52. Berdasarkan jumlah responden sesuai dengan tabel
skor tingkat penerapan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik pada lampiran 1, maka jumlah skor
tingkat penerapan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik adalah 43,15 sehingga dapat
disimpulkan bahwa tingkat penerapan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik di Kabupaten Bantul
tinggi.

Pengaruh Tingkat Keputusan Petani terhadap Penerapan SOP-GAP Usahatani Padi


Organik
Korelasi antara tingkat keputusan petani dengan tingkat penerapan (SOP-GAP) Usahatani
Padi Organik sebesar rs = 0,198 bergerak kearah positif. Korelasi tersebut termasuk kedalam
kriteria signifikan, hal ini dapat diartikan bahwa tingkat keputusan petani berusahatani padi
organik berhubungan dengan tingkat penerapan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik. Hal ini
berarti semakin tinggi tingkat keputusan petani berusahatani padi organik semakin tinggi pula
tingkat penerapan (SOP-GAP) usahatani padi organik. Hal ini sesuai dengan penelitian di
lapangan bahwa petani dengan tingkat keputusan yang tinggi biasanya selalu menerapkan (SOP-
GAP) usahatani padi organik.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Tingkat keputusan petani berusahatani padi organik cukup baik.
2. Tingkat penerapan (SOP-GAP) Usahatani Padi Organik di Kabupaten Bantul cukup tinggi.
3. Tingkat keputusan petani berhubungan dengan tingkat penerapan (SOP-GAP) usahatani padi
organik. Semakin tinggi tingkat keputusan petani untuk berusahatani padi organik semakin
tinggi tingkat penerapan (SOP-GAP) usahatani padi organik.

Saran/Rekomendasi
Keputusan petani untuk menerapkan usahatani padi organik cukup baik. Walau demikian
masih ada 20 persen petani masih berusahatani non organik, hal ini terjadi karena tidak ada
ketegasan dari kelompok tani terhadap anggota yang tidak mengikuti keputusan, maka
disarankan agar perlu ketegasan kelompok tani terhadap anggota yang tidak mengikuti dan
menjalankan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA
Biao, Xie., Wang Xiaorong, Ding Zhuhong dan Yang Yaping. 2003. Critical impact assessment
of organic agriculture. Journal of Agricultural and environmental Ethics vol. 16 pp. 297-
311
Canavari, M., Guido Maria Gazzani, Roberta Spadoni dan Domenico Regazzi. 2002. Food safety
and organic fruit demand in Italy: a survey. British Food Journal vol. 104 (3-5) pp. 220-
232
Connor, R. dan Lesley Douglas, 2002. Consumer attitudes to organic foods. Nutrition and Food
Science vol. 31 (4/5) pp. 254-258

732
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Galo, W., 2002. Metode Penelitian. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Nasution. 2002. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta.
Bandung.

Lampiran 1. Hasil Skor Skala Tingkat Penerapan.


Kreteria Interval Nilai Jumlah Rata-Rata Kesimpulan
0 1 2 3 4
I 0 3 17 32 48 325 3.25 Selalu
II 0 0 13 40 47 334 3,34 Selalu
III 0 0 26 25 49 323 3,23 Selalu
IV 0 10 15 30 45 310 3,10 Sering
V 0 0 13 35 52 339 3,39 Selalu
VI 0 1 12 35 52 338 3,38 Selalu
VII 0 0 18 36 46 328 3,28 Selalu
VIII 0 0 12 35 53 341 3,41 Selalu
IX 0 0 12 34 54 342 3,42 Selalu
X 0 0 20 34 46 326 3,26 Selalu
XI 0 7 13 26 54 327 3,27 Selalu
XII 0 0 11 32 57 346 3,46 Selalu
XIII 0 0 15 34 51 336 3,36 Selalu
Jumlah 4315 43,15
Rata-Rata 331,92 3,32 Selalu
Keterangan :
0,00 – 0,80 = Tidak Pernah
>0,80 – 1,60 = Jarang
>1,60 - 2,40 = Kadang-kadang
>2,40 – 3,20 = Sering
>3,20 – 4,00 = Selalu

733
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analisis Pendapatan dengan Menerapkan Atraktan pada Usahatani


Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L.)
(Suatu Kasus di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut)
Income Analysis by Applying Attractants to Curly Red Chili Farms
(Capsicum annum L.) (A Case in Pasirwangi Sub District, Garut
Regency)
Sumarno Tedy1 dan Tuti Karyani2
1Mahasiswa Pasca Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
2Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor Jawa Barat, Indonesia

ABSTRAK

Kata Kunci: Cabai merah keriting (Capsicum sp) merupakan komoditas hortikultura yang
Cabai Merah Keriting dikategorikan sebagai komoditas komersial, salah satu kendala usahatani
Atraktan cabai merah keriting adalah serangan lalat buah ((Bactrocera spp) yang
Pendapatan seringkali menurunkan produksi, sehingga diperlukan teknologi
pengendalian lalat buah, atraktan merupakan salah satu teknologi yang dapat
menekan populasi lalat buah. Penggunakan Atraktan diperkirakan dapat
menekan biaya produksi dan akhirnya dapat meningkatkan pendapatan
petani. Penelitian bertujuan : Menganalisis pendapatan petani cabai merah
keriting dengan dan tanpa menggunakan atraktan. Penelitian ini
dilaksanakan di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut pada musim tanam
2017/2018 dengan menggunakan rancangan penelitian quantitatif,
pengambilan responden dilakukan secara metode survei pada 72 petani cabai
merah keriting dan sensus pada 32 petani yang menerapkan atraktan. Data
yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis pendapatan
usahatani. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : Teknologi pengendalian
lalat buah dengan atraktan cukup efektif dalam meningkatkan produksi cabai
merah keriting, serta dapat menekan biaya produksi terutama dari
penggunaan pestisida yang berakibat terhadap peningkatan pendapatan yang
diperoleh. Pendapatan petani cabai merah keriting yang menggunakan
atraktan lebih tinggi daripada pendapatan petani yang tidak menggunakan
atraktan yaitu masing-masing sebesar Rp. 103.890.971,7 dengan nilai R/C
sebesar 2,37 dan Rp. 84.717.407,46 dengan nilai R/C sebesar 2,12. Perbedaan
ini terjadi karena yang menggunakan atraktan dalam penggunaan biaya lebih
rendah serta produksinya lebih tinggi.

ABSTRACT

Keywords: Curly red chili (Capsicum sp) is a horticultural commodity which is


Curly Red Chili categorized as commercial, one that uses curly red chilli farming is an attack
Attractants of fruit flies ((Bactrocera spp) which requires increased production, so it
Income requires the technology of fruit fly movers, attractants and one that can
support participation of fruit flies Use of attractants is expected to be able to
buy production costs and ultimately increase farmer budgets Research:
Analyzing the income of curly red chili farmers with and using attractants
This research was conducted in Pasirwangi Subdistrict Garut Regency in the
2017/2018 planting season using quantitative research designs, Respondents

734
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

were collected using a survey method of 72 curly red chilli farmers and a
census of 32 farmers who used attractants.The data collected were analyzed
using farm income analysis Research shows that: Technology control fruit
fish with attractants are quite effective in increasing the production of curly
red chili, and can increase production costs from the use of pesticides which
results in an increase in income earned. The income of curly red chillies
farmers who use attractants is higher than the income of farmers who do not
use attractants each Rp. 103,890,971.7 with R / C value of 2.37 and Rp.
84,717,407.46 with an R / C value of 2.12. This difference occurs because
those who use attractants use lower costs and higher production.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jawa Barat memegang peranan penting dalam menentukan pembangunan sub sektor
tanaman sayuran khususnya cabai, karena cabai merupakan salah satu produk komoditas sayuran
unggulan Jawa Barat yang telah lama dikenal dan diusahakan petani baik yang berada di dataran
tinggi maupun rendah. Keberhasilan ataupun kegagalan Jawa Barat dalam pengadaan cabai tetap
menjadi tolak ukur dari cermin keberhasilan pengadaan cabai secara nasional.
Sentra dan pengembangan tanaman cabai di Propinsi Jawa Barat tersebar di beberapa
Kabupaten antara lain Garut, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, dan
Sukabumi. Periode tahun 2011-2016 perkembangan luas tanam cabai di Jawa Barat cukup
berfluktuasi tercatat berkisar antara 15.850 ha - 17.903 ha). Dari beberapa sentra produksi dan
pengembangan cabai di Jawa Barat Kabupaten Garut merupakan wilayah terluas dibanding
kabupaten yang lainnya tahun 2011 seluas 5.031 ha, tahun 2012 seluas 5.125 ha, tahun 2013
seluas 7.217 ha, tahun 2014 seluas 6.476 ha, tahun 2015 seluas 5.625 ha dan tahun 2016 seluas
6.001 ha.
Berdasarkan Data BPS Tahun 2017 bahwa Produksi dan produktivitas Cabai di Jawa Barat
ternyata Kabupaten Garut merupakan produsen cabai terbesar dengan produksi tertinggi dicapai
pada tahun 2016 sebanyak 80.742 ton , sedangkan produksi terendah tahun 2012 sebanyak
49.591 ton, dengan rata-rata produksi selama 7 tahun terakhir adalah 67.216 ton per tahun.
Perkembangan produksi dan produktivitas Cabai di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Tingkat Produksi dan Produktivitas Cabai di Kab.Garut Tahun 2011-2016.
Tahun Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)
2011 56.195 11,17
2012 49.591 9,67
2013 93.142 12,90
2014 58.562 9,04
2015 75.720 13,46
2016 80.742 13,45
Rata-rata 67.216 11,47
Sumber : Data BPS Tahun 2012-2017

Pengembangan komoditas cabai di Kabupaten Garut tersebar dibeberapa kecamatan yaitu


Cikajang, Cisurupan Cigedug, Bayongbong, Sukaresmi, Pasirwangi, Samarang, Cilawu,
Wanaraja, Karangpawitan, Pangatikan, Banyuresmi, dan Leles. Menurut laporan Dinas
Pertanian Kabupaten Garut (2017). Kecamatan Pasirwangi merupakan wilayah sentra
pengembangan yang mempunyai prospek cukup bagus terlihat dari peningkatan luas tanam

735
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

setiap tahunnya cenderung meningkat. Untuk lebih jelasnya perkembangan luas tanam cabai di
beberapa kecamatan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Tanam Cabai di Beberapa Kecamatan Kabuten Garut.


Kecamatan Luas tanam (ha)
2012 2013 2014 2015 2016
Cikajang 1.031 971 468 427 545
Cisurupan 497 538 518 774 945
Cigedug 622 633 299 367 426
Bayongbong 318 229 239 208 191
Sukaresmi 109 102 165 174 260
Pasirwangi 153 121 184 225 348
Samarang 129 84 137 157 173
Cilawu 301 277 235 211 505
Wanaraja 363 353 316 240 275
Karangpawitan 246 199 172 167 249
Pangatikan 429 390 155 142 357
Banyuresmi 335 218 280 493 613
Leles 271 209 277 264 266
Sumber : BPS Tahun 2013 – Tahun 2017

Kecamatan Pasirwangi merupakan salah satu sentra produksi sayuran di Kabupaten


Garut, cabai merah keriting merupakan salah satu komoditas andalan dan hampir sepanjang
tahun selalu diusahakan. Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian dan pelaku usahatani
bahwa komoditas tersebut telah diusahakan sejak lama. Namun dalam pengusahaannya masih
dilakukan dengan sistem semi tradisional terutama dalam pelaksanaan pengelolaan pengendalian
hama dan penyakit. Hasil laporan kegiatan pengembangan Kawasan Hortikutura Komoditas
Cabai Merah BPTP Jawa Barat menunjukkan bahwa besarnya biaya usahatani cabai yang
dikeluarkan berkisar antara Rp. 70.000.000 – 90.000.000/ha, dari total biaya tersebut 30-50%
dialokasikan untuk pengendalian OPT terutama untuk pembelian pestisida. Informasi tingkat
serangan OPT pada tanaman cabai merah di Kecamatan Pasirwangi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Serangan Organisme Penyakit Tanaman Cabai Merah di Kecamatan Pasirwangi.


No Jenis OPT Tingkat Serangan
1. Lalat Buah 18,10
2. Trips 16,50
3. Tungau 9,20
4. Antraknose 27,00
5. Ulat grayak 7,30
6. Virus kuning 8,90
7 Lainnya 13,00
Jumlah 100,00
Sumber : POPT Kecamatan Pasirwangi

Hasil identifikasi jenis OPT pada pelaksanaan usahatani cabai merah di Kecamatan
Pasirwangi terdapat terdapat tiga jenis hama utama yang selalu timbul pada setiap musim baik
pada musim hujan maupun musim kemarau, hama tersebut antara lain : lalat buah sebanyak
18,10% , kemudian Trips (16,50%), dan ulat grayak (7,3%). Selama ini dalam pelaksanaan
usahatani cabai merah, terutama dalam hal pengendalian hama dan penyakit petani biasanya
lebih banyak mengandalkan penggunaan pestisida kimia, tetapi akhir-akhir sekitar 15-20%
petani cabai di Kecamatan Pasirwangi sudah mulai berpikir dan mencoba penggunaan pestisida
ramah lingkungan (atraktan).

736
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Salah satu usaha pengendalian yang aman bagi lingkungan dan cukup efektif dalam
menekan populasi lalat buah adalah penggunaan metil eugenol. Penggunaan metil eugenol
sebagai atraktan lalat buah tidak meninggalkan residu pada buah dan mudah diaplikasikan pada
lahan yang luas. Pengendalian OPT dengan menggunakan Atraktan diperkirakan dapat menekan
biaya produksi dan akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani cabai. Berdasarkan keadaan
di atas perlu penelitian berupaya memberikan gambaran dan informasi pendapatan petani cabai
merah keriting dengan dan tanpa penerapan atraktan dalam mengendalikan serangan hama lalat
buah di Kecamatan Pasir Wangi Kabupaten Garut.

KERANGKA PENELITIAN
Salah satu faktor pembatas produksi dalam bidang pertanian adalah hama tanaman. Hama
dapat menurunkan hasil panen 30 - 40%, bahkan pada beberapa kasus dapat mengakibatkan
gagal panen. Pada tanaman hortikultura, biaya produksi untuk pengendalian hama dapat
mencapai 40%, bahkan lebih karena pada tanaman hortikultura ada hama penting yang saat ini
menjadi isu nasional dan menjadi faktor pembatas perdagangan (trade barrier), yaitu lalat buah.
Komoditas ekspor suatu negara dapat ditolak oleh negara lain dengan alasan terdapat lalat buah.
Lalat buah merupakan salah satu hama utama pada komoditas hortikultura di Indonesia
(Muryati & Riska, 2008). Bactrocera spp. diketahui sebagai lalat buah yang paling banyak
menyebabkan kerusakan, bahkan hingga 65,75% (Herlinda dkk., 2007). Lalat buah
menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas hasil tanaman cabai, bahkan menjadi vektor
bakteri Eschericia coli penyebab penyakit pencernaan pada manusia (Wahyono & Tarigans,
2004).
Pengendalian lalat buah pada tanaman cabai merah sebagian besar petani menggunakan
pestisida sintetik dengan frekuensi aplikasi yang tinggi yaitu berkisar satu sampai dua kali
seminggu sehingga aplikasi selama satu musim tanam dapat mencapai 12 sampai 16 kali.
Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi kesejahteraan petani karena selain biaya yang
dikeluarkan sangat besar untuk pembelian pestisida juga penggunaan pestisida dengan aplikasi
yang sangat sering dapat mematikan organisme bukan sasaran seperti musuh alami sehingga
musuh alami tidak berperan dalam menekan hama
Fenomena diatas menunjukan perlunya upaya pengembangan dan penerapan teknologi
ramah lingkungan untuk menghasilkan cabai merah yang berkualitas dengan tanpa residu bahan
kimia sintetik termasuk penggunaan pestisida sintetik. Kebutuhan terhadap teknik pengendalian
yang ramah lingkungan sangat diharapkan, terutama yang efektif dan efisien serta mudah di
peroleh petani dalam operasionalnya di lapangan. Penggunaan perangkap beratraktan
merupakan cara pengendalian lalat buah ramah lingkungan, dan secara ekonomi cukup
menguntungkan karena dapat menekan biaya untuk pembelian pestisida yang digunakan untuk
mengendalikan lalat buah sehingga penggunaan perangkap beratraktan dapat meningkatkan
pendapatan petani cabai merah keriting.

METODE PENELITIAN
Pendekatan dalam penelitian ini didesain secara kuantitatif, pengambilan responden petani
cabai keriting dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Berdasarkan survey
pendahuluan, jumlah populasi petani cabai keriting di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut
yang menanam cabai merah menggunakan sistem tanam single crop pada musim tanam
2017/2018 sebanyak 42 orang. Pengambilan responden petani cabai merah yang menggunakan
atraktan dilakukan secara sensus (seluruh populasi diambil) sebanyak 30 orang. Pendapatan
usahatani tanaman cabai merah keriting dengan dan tanpa menggunakan atraktan dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Π = TR - TC
Dimana :
Π = Income/Pendapatan (Rp)

737
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

TR = Total Revenue/Penerimaan total (Rp)


TC = Total Cost/Biaya total (Rp)

Salah satu ukuran efisiensi pendapatan adalah penerimaan (R) untuk setiap biaya (C) yang
dikeluarkan. Semakin besar nilai R/C menunjukkan semakin besar juga penerimaan usahatani
yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Untuk mengetahui untung tidaknya
Usahatani cabai merah keriting, maka digunakan analisis R/C dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙
𝑅/𝐶 =
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙
Berdasarkan hasil perhitungan R/C dapat dilihat berapa rupiah penerimaan yang diperoleh
petani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam usahatani tersebut, dengan kriteria sebagai
berikut:
1. R/C > 1, maka setiap penambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan
penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya.
2. R/C < 1, maka tambahan biaya setiap rupiahnya menghasilkan tambahan penerimaan yang
lebih kecil.
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan atraktan terhadap pendapatan usahatani cabai
merah keriting di lokasi penelitian dilakukan uji Beda Dua Sampel Tidak Berhubungan
(Independent Sample T Test) Uji dua sampel tidak berhubungan ini merupakan uji yang
digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel
yang tidak berhubungan. Jika hasil yang didapat dimiliki perbedaan, maka uji ini akan
memeperlihatkan rata-rata manakah yang lebih tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Biaya Produksi Usahatani Cabai Merah Keriting dengan dan Tanpa Atraktan di
Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut.
Biaya produksi adalah semua biaya atau biaya total yang dikeluarkan petani untuk satu
kali proses produksi . Penggunaan input yang dihitung dalam penelitian ini adalah penggunaan
input untuk satu periode tanam cabai merah keriting musim tanam 2017/2018. Jenis input yang
digunakan terdiri dari : benih, pupuk kandang, pupuk kimia (Urea, Za, KCl, NPK), Pestisida
(Insektisida, Fungisida dan Atraktan), dan tenaga kerja.
Benih yang digunakan untuk usahatani cabai merah keriting semuanya dibeli dari kios.
Umumnya jenis benih cabai merah keriting yang digunakan oleh petani di Kecamatan
Pasirwangi adalah varietas Bianca dan Magma. Benih jenis ini digunakan secara luas karena
diakui oleh petani memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan jenis benih yang lain.
Kualitas tersebut tercermin dari hasil produksi yang lebih tinggi, lebih tahan terhadap serangan
hama dan penyakit, serta cabai hasil produksi lebih laku dipasaran. Sebanyak 60 persen petani
sampel menggunakan benih cabai jenis ini. Sementara petani lainnya menggunakan benih cabai
varietas Castilo, Lado, dan PM 999.
Biaya untuk pupuk meliputi pembelian pupuk organik yaitu pupuk kandang dan pupuk
anorganik (pupuk buatan) terdiri dari urea, ZA, SP-36, KCl dan NPK. Pupuk kandang yang
banyak dipakai oleh petani adalah pupuk kandang ayam. Harga pupuk kandang ayam bisa
mencapai Rp13.500- Rp19.500 per karung dengan berat sekitar 25 - 30 kg. Rata-rata
penggunaan pupuk kandang ayam di daerah penelitian bervariasi antara 14,5 ton – 16 ton per
hektar. Penggunaan pupuk organik dan anorganik pada setiap petani responden dosisnya
berbeda-beda tergantung dari kesediaan modal dan kebiasaan, tetapi secara keseluruhan petani
menggunakan jenis pupuk yang sama.
Obat-obatan meliputi obat-obatan padat dan obat-obatan cair. Obat-obatan padat yang
banyak dipakai oleh petani adalah dethane, antracol (fungisida), furadan (insektisida), dan Bion-

738
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

M. Sedangkan obat-obatan cair antara lain decis, agrimex, confidor dan curacron. Volume
penggunaan obat-obatan disesuaikan oleh kebutuhan petani dalam menangani pencegahan dan
atau menanggulangi organisme pengganggu tanaman (OPT). Pada umumnya penggunaan obat-
obatan dilakukan sejak awal dengan tujuan untuk mencegah serangan OPT.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman
cabai merah keriting cukup tinggi yaitu berkisar antar 19,68 – 24,38% dari jumlah biaya
produksi. Biaya yang dikeluarkan petani cabai merah keriting dialokasikan untuk pembelian
pestisida (insektisida dan fungsisida). Petani yang menerapkan pengendalian lalat buah dengan
atraktan mereka mengalokasikan biaya pembelian atraktan sebesar Rp. 720.000, biaya yang
dikeluarkan untuk pembelian atraktan jauh lebih murah dibanding dengan pembelian
insektisida untuk membasmi lalat buah.
Petani cabai umumnya selain menggunakan tenaga kerja keluarga juga menggunakan
tenaga kerja luar keluarga, terutama pada petani yang memiliki lahan luas. Upah yang berlaku
di Kecamatan Pasirwangi adalah Rp 50.000.hari untuk pria dan Rp 30.000/hari untuk wanita,
dengan jam kerja mulai 7.00 WIB – 12.00 WIB. Disamping biaya - biaya tersebut pada usahatani
cabai cabai merah keriting digunakan juga biaya pendukung diantaranya biaya pembelian mulai
plastik, ajir, dan lain-lain, Biaya penyusutan alat diperhitungkan dari nilai harga peralatan seperti
cangkul, parang dan sprayer, dan biaya untuk sewa lahan. Rincian penggunaan biaya rata-rata
usahatani cabai merah keriting per hektar per musim tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Biaya Rata-rata Usahatani Cabai Merah Keriting per Hektar dengan dan Tanpa Menggunakan
Atraktan di Kecamatan Pasirwangi Garut MT 2017/2018.
Petani yang Menggunakan
Jenis Biaya Atraktan Petani Tidak Menggunakan Atraktan
Rp % Rp %
Benih 3.870.470,32 512 3.509.723,96 4,58
Urea 665.959,91 0,88 751.725,22 0,98
ZA 648.650,73 0,86 730.191,34 0,95
KCl 385.538,94 0,51 363.566,50 0,47
NPK 1.521.468,77 2,01 1.570.483,06 2,05
P. Organik 8.080.185,04 10,7 6.755.018,82 8,82
Pestisida 14.868.774,09 19,68 18.671.894,60 24,38
Tenaga Kerja 22.987.818,04 30,43 21.638.895,86 28,25
Biaya Pendukung
(mulsa, tali, ajir) 14.458.365,46 19,14 14.635.351,32 19,11
Penyusutan 315.00,67 0,42 314.441,66 0,41
Sewa Lahan 7.731.303,01 10,24 7.658.720,20 10,00
Jumlah 75.533.623,31 100,00 76.600.012,54 100,00

Tabel 4. Memperlihatkan bahwa biaya total rata-rata yang dikeluarkan untuk usahatani
cabai merah keriting dengan dan tanpa menggunakan atraktan di Kecamatan Pasirwangi
Kabupaten Garut masing-masing sebesar Rp 75.533.623,31 .dan Rp 76.600.012,54 Proporsi
biaya terbesar ialah untuk biaya tenaga kerja, hal ini terjadi karena pada usahatani cabai merah
keriting memerlukan tenaga kerja secara rutin mulai dari membuat persemaian sampai pada
pelaksanaan.
Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani dengan menggunakan atraktan sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan biaya tenaga kerja pada petani yang tanpa menggunakan atraktan,
Penggunaan perangkap beratraktan dilakukan pada tanaman cabai menjelang fase generatif
sampai panen, dimana pada fase generatif tanaman cabai merah mulai terserang oleh lalat buah.
Pada luasan 1 ha dibutuhkan alat perangkap sebanyak 40 buah, dan setiap dua minggu sekali
harus diganti. Dosis Atraktan yang digunakan pada setiap unit sebanyak 1,5 ml, berarti dosis
untuk 1 ha sebanyak 60 ml dengan interval pemasangan 2 minggu 1 kali, bila diperhitungkan

739
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pemasangan antraktan selama satu musim tanam berjumlah sebanyak 6 kali dengan total
penggunaan sebanyak 360 ml.
Biaya pestisida dengan dan tanpa atraktan pada petani cabai merah keriting di Kecamatan
Pasirwangi Kabupaten Garut masing-masing sebesar Rp. 14.868.774,09 dan 18.671.894,60.
Penggunaan atraktan dalam mengendalikan serangan lalat buah dapat menghemat biaya pestisida
yaitu sebesar Rp. 3.803.120,51. Penelitian Hasyim.A., Setiawati.W. dan Lukman.F., (2014) Di
Kabupaten Ciamis pada tahun 2012, pengendalian OPT ramah lingkungan pada kondisi ekstrem
mampu menekan penggunaan pestisida 73,33% dengan hasil panen 15,46 t/ha.

Penerimaan
Penerimaan merupakan refleksi dari kinerja produksi dan dinamika harga, artinya besarnya
penerimaan ditentukan oleh dua aspek yaitu aspek produksi dan aspek harga, dengan kata lain
penerimaan bisa meningkat apabila produksi meningkat walaupun harga tetap, atau harga
meningkat walaupun produksi tetap, atau kedua aspek tersebut meningkat.
Pada satu musim tanam, panen cabai merah keriting dapat dilakukan beberapa kali (rata-
rata 10 – 12 kali panen) kadang-kadang bisa mencapai 15 kali. Produksi yang diperoleh berkisar
antara 11,009 – 12,164 ton/ha dengan tingkat harga yang bervariasi tergantung pada kondisii
pasar dan kualitas hasil. Untuk lebih jelasnya penerimaan hasil usahatani cabai merah keriting
dengan dan tanpa atraktan, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Penerimaan Rata-rata Pada Usahatani Cabai Merah Keriting Per Hektar dengan dan Tanpa
Atraktan di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut
Uraian Menggunakan Atraktan Tanpa Atraktan
Produksi (Kg) 12.164 11.009
Harga (Rp/Kg) 14.750,00 14.738,00
Penerimaan (Rp) 179.424.595,00 162.260.511,14

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa produksi cabai merah keriting pada petani yang
menggunakan atraktan dalam mengendalikan serangan lalat buah lebih tinggi daripada petani
yang tidak menggunakan atraktan, rendahnya produksi cabai merah keriting yang dihasilkan oleh
petani yang tidak menggunakan atraktan, salah satunya disebabkan oleh serangan lalat buah,
dengan tingkat serangan mencapai 45 - 50% (POPT Kecamatan Pasirwangi). Menurut Penelitian
Balitsa serangan lalat buah pada musim hujan bisa mencapai 90%. Serangan lalat buah pada
tanaman cabai menyebabkan banyak cabai buah busuk dan gagal panen, sehingga produksi cabai
yang dihasilkan tidak optimal.

Pendapatan dan R/C


Untuk mengetahui lebih jelas prospek usahatani cabai merah keriting ada baiknya kita
mengetahui perhitungan biaya dan untung ruginya. Berikut ini analisis pendapatan usahatani
cabai merah keriting dalam satu musim skala satu hektar di Kecamatan Pasirwangi dapat dilihat
pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis Usahatani Cabai Hibrida Per Musim Tanam Per Hektar di Kecamatan Pasirwangi
Kabupaten Garut.
Uraian Menggunakan Atraktan Tanpa Atraktan
Biaya (Rp) 75.533.623,31 76.600.012,54
Penerimaan (Rp) 179.424.595,00 162.260.511,14
Pendapatan (Rp) 103.890.971,7 84.717407,46
R/C 2,37 2,12

740
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pada Tabel 6. Terlihat bahwa hasil perhitungan analisis pendapatan dari usahatani cabai
merah keriting yang dilakukan oleh petani dengan menggunakan atraktan di Kecamatan
Pasirwangi lebih tinggi dengan nilai R/C ratio sebesar .2,37 dibanding dengan tanpa
menggunakan atraktan dengan R/C ratio 2,12 artinya setiap rupiah dari tambahan biaya
usahatani yang dilaksanakan dapat memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 2,37 pada
petani yang menggunakan atraktan dan sebesar Rp 2,12 pada petani yang tanpa menggunakan
atraktan. Bedanya pendapatan tersebut diakibatkan oleh perbedaan produksi antara petani yang
menggunakan atraktan dalam mengendalikan serangan OPT lalat buah dengan petani yang tanpa
menggunakan atraktan. Berdasarkan hasil analisis tersebut bahwa usahatani cabai merah keriting
baik petani dengan dan tanpa menggunakan atraktan di Kecamatan Pasirwangi menguntungkan.
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan atraktan terhadap pendapatan petani cabai
merah keriting di lokasi penelitian dilakukan uji beda. Hasil uji beda dengan dan tanpa Atraktan
pengaruhnya terhadap pendapatan petani cabai merah keriting dilihat pada Tabel 7
.
Tabel 7. Hasil Analisis Perbedaaan Pendapatan Petani Cabai Merah Keriting dengan dan Tanpa
Menggunakan Atraktan.
Levene’s Test t-test for Equality of Means
for Equality of
Variances
F Sig T df Sig.(2- Mean Std.Error 95 % Confidence
tailed) Difference Difference Interval of the
Difference
Lower Upper
Pendapatan 7.763 .007 3.118 70 .003 14781411 4740581.5 5326619 2E+007
Equal
variances
assumed Equal 2.954 49.577 .005 14781411 5003459.8 4729543 2E+007

Hasil analisis (Tabel 7) menunjukkan p-value untuk perbedaan pendapatan petani cabai
merah keriting dengan dan tanpa menggunakan atraktan sebesar 0,000. Jika dibandingkan
dengan taraf signfikan 5% maka p-value bernilai lebih kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang nyata antara petani yang menggunakan atraktan dan tidak menggunakan
atraktan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Moekasan et al. 2001 yang melaporkan bahwa
penerapan pengendalian OPT ramah lingkungan pada cabai lebih menguntungkan (R/C = 1,47)
daripada nonPHT (R/C = 0,84). Setiawati et al. (2013c) juga melaporkan pengendalian OPT
ramah lingkungan dapat menekan biaya penggunaan pestisida 96,39%.

PENUTUP
Teknologi pengendalian lalat buah dengan atraktan cukup efektif dalam meningkatkan
produksi dan produktivitas cabai merah keriting, serta dapat menekan biaya produksi terutama
dari penggunaan pestisida yang berakibat terhadap peningkatan pendapatan yang diperoleh.
Pendapatan petani cabai merah keriting yang menggunakan atraktan lebih tinggi daripada
pendapatan petani yang tidak menggunakan atraktan yaitu masing-masing sebesar Rp.
103.890.971,7 dengan nilai R/C sebesar 2,37 dan Rp. 84.717.407,46 dengan nilai R/C sebesar
2,12. Perbedaan ini terjadi karena yang menggunakan atraktan dalam penggunaan biaya lebih
rendah serta produksinya lebih tinggi. Tekologi pengendalian lalat buah dengan atraktan, mudah
dilakukan petani, dan bisa menggunakan bahan yang tersedia, dengan biaya yang relatif murah
dengan hasil cukup efektif. Oleh karena itu, penggunaan Atraktan dalam mengendalikan lalat
buah layak untuk dikembangkan. Pengendalian lalat buah dengan atraktan sebaiknya dilakukan
seara serentak dan terkonsolidasi antara satu kebun denga kebun yang lainnya, antara kelompok
dengan kelompok yang lainnya.

741
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2012. Provinsi Jawa Barat dalam Angka 2012.
Bandung: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.
_____________. 2013. Provinsi Jawa Barat dalam Angka 2013. Bandung: Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat.
_____________. 2014. Provinsi Jawa Barat dalam Angka 2014. Bandung: Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat.
_____________. 2015. Provinsi Jawa Barat dalam Angka 2015. Bandung: Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat.
_____________. 2016. Provinsi Jawa Barat dalam Angka 2016. Bandung: Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat.
_____________. 2017. Provinsi Jawa Barat dalam Angka 2017. Bandung: Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat.
Hasyim, A., W. Setiawati. Dan L. Lukman. 2015. Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan pada
Cabai. Upaya Alternatif Menuju Ekosistem Harmonis.
Herlinda, S., Mayasari. R., Adam, T dan Y. Pujiastuti. 2007. Populasi dan Serangan Lalat Buah
Bactrocera dorsalis (HENDEL) (Diptera: Tephritidae) serta Potensi Parasitoidnya Pada
Pertanaman Cabai (Capsicum annuum L.). Seminar Nasional dan Kongres Ilmu
Pengetahuan Wilayah Barat, Palembang, 3-5 Juni 2007
Muryati, A., Hasyim, dan Riska. 2008. Preferensi lalat Buah Terhadap Atraktan Methil Eugenol
dan Cue Lure dan Populasinya di Sumatera Barat dan Riau. J. Hort. 18
Muryati, A., Hasyim, dan Riska. 2008. Preferensi lalat Buah Terhadap Atraktan Methil Eugenol
dan Cue Lure dan Populasinya di Sumatera Barat dan Riau. J. Hort. 18
Soejitno, E., Nurawan, A. 2017. Laporan Kegiatan Pengembangan Kawasan Hortikultura
Komoditas Cabai Merah di Kabupaten Garut.

742
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Fluktuasi Harga Karet dan Hubungannya dengan Ekonomi


Rumah Tangga Petani Penyadap Karet di Desa Lumban Dolok,
Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal
Analysis of Rubber Price Fluctuation and Its Connection to Rubber
Farmers Household Economy in Lumban Dolok Village, Siabu Sub-
Districts, Mandailing Natal Regency
Syahyana Raesi 1, Yusmarni 1, dan Adeni Sukma 1
1Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Kata Kunci: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengelolaan perkebunan
Pendapatan petani karet, menganalisis pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani karet,
Kontribusi serta menganalisis kontribusi pendapatan petani karet terhadap pendapatan
Petani karet total rumah tangga petani karet di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu
Harga karet Kabupaten Mandailing Natal. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 16
Februari s.d 15 Maret 2017. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
yaitu metode survey. Responden dalam penelitian adalah petani penyadap
karet di Desa Lumban Dolok dengan jumlah 30 orang yang diambil secara
purposive sampling. Data dianalisis secara diskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebanyak 25 orang petani
responden tetap melakukan pengelolaan pada kondisi harga normal dan
terendah berupa penyadapan, pemupukan, penyiangan dan panen tetapi 5
orang responden tidak melakukan pengelolaan sebagaimana mestinya. pada
harga karet normal yaitu Rp 15.000/kg, rata-rata total pendapatan rumah
tangga petani responden sebesar Rp 2.160.000/bulan, pendapatan tersebut
masih cukup untuk memenuhi semua pengeluaran rumah tangga baik
pengeluaran pangan maupun pengeluaran non pangan. Tetapi pada harga
karet terendah yaitu Rp 5.000/kg , rata –rata total pendapatan petani
responden menurun menjadi Rp.562.800/bulan, pendapatan tersebut tidak
dapat mencukupi semua pengeluaran petani responden. Untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, mereka perlu melakukan pekerjaan lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Kontribusi pendapatan usahatani karet terhadap
pendapatan total rumah tangga petani adalah sebesar 64 ,4 % pada waktu
harga normal hal ini menunjukan bahwa usahatani karet merupakan sumber
pendapatan utama yang memberikan kontribusi cukup besar yang
digunakannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada kondisi harga
terendah kontribusi usahatani karet hanya 32,8 % terhadap pendapatan total
rumah tangga keluarga hal ini mencerminkan bahwa usahatani karet tidak
lagi merupakan sumber pendapatan utama bagi rumah tangga petani karet.

ABSTRACT

Keywords: The purpose of this research is to describe the management of rubber


Farmer’s income plantation, analyze the income and expenditure of rubber farmers'
Contribution households, and to analyze the contribution of farmers’income from rubber
Rubber farmers farming to household in Lumban Dolok Village, Siabu Sub-district,
Rubber price Mandailing Natal Regency. This research was conducted on 16 February s.d

743
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

March 15, 2017. The approach used in this research was descriptive with the
type of method used was survey . The respondents were rubber farmers was
selected by using purposive sampling method with 30 samples of households
. The results of this research show that the management of the farmers of the
respondents about 25 samples did not change before and after the price of
rubber down in the form of tapping, fertilizing, weeding and harvesting but 5
samples did not do it anything..The fluctuation of rubber prices affected the
income received by rubber famers. When the price of rubber was normally
Rp 15.000/kg, the total household income of respondent farmers amounted
to Rp 2.160.000/month, the income is still sufficient to meet all household
expenditures, both food expenditure and non-food expenditure. But after the
price of rubber has decreased was Rp 5.000/kg , the total income of farmers
of respondents decreased to Rp. Rp.562.800/month, the income is not
sufficient for all farmers' expenses. To meet the needs of households, they
need to do a survival strategy. Contribution of rubber farming to farmers
household total income before the price drops is 64,4% , it shows that rubber
farming is the main source that give big contribution to fulfill family’s needs.
On the condition of price drops, rubber farming contribution only 32,8% to
total household income, it shows rubber farming not become the main income
source for rubber farmers household anymore.

Email Korespondensi: raesi_s@yahoo.com

PENDAHULUAN
Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang selama ini masih diandalkan oleh negara
kita karena sektor pertanian mampu memberikan pemulihan dalam mengatasi krisis yang sedang
terjadi. Keadaan inilah yang menampakkan sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang andal
dan mempunyai potensi besar untuk berperan sebagai pemicu pemulihan ekonomi nasional.
(Dillon, 2004 : 26-27).
Pada sektor pertanian terdapat salah satu sub sektor yaitu perkebunan yang memegang
peranan strategis dalam perkonomian dan juga memberikan andil yang cukup besar terhadap
Produk Domestik Bruto ( PDB), kesempatan kerja dan sumber pendapatan. Pengembangan
subsektor perkebunan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan, pemerataan, dinamika
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan dalam bentuk kegiatan
agribisnis maupun agroindustri (Husin & wulan, 2011:2)
Salah satu komoditas perkebunan di Indonesia yaitu karet yang sudah dikenal dan
dibudidayakan dalam kurun waktu yang relatif lama dibandingkan dengan komoditi perkebunan
lainnya . Indonesia pada awalnya merupakan penghasil karet utama dunia sekarang sudah
digantikan kedudukannya oleh Malaysia (Nasution 2008,2 )
Berdasarkan data statistik perkebunan Indonesia Komoditas Karet (2014 – 2016), Luas
Areal dan Produksi Karet Menurut Status Pengusahaan dan Keadaan Tanaman Tahun 2010 -
2015 perkebunan karet banyak tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Perkebunan karet tidak
hanya diusahakan oleh perkebunan-perkebunan besar milik negara, tetapi juga diusahakan oleh
swasta dan rakyat. luas lahan perkebunan karet rakyat lebih besar daripada perkebunan milik
negara dan perkebunan swasta.
Di Sumatera Utara, lahan persawahan kebanyakan dialihkan menjadi lahan perkebunan
karet atau sawit. Perkembangan luas tanaman karet perkebunan rakyat di Sumatera Utara selalu
mengalami kenaikan, sedangkan produksi karet mengalami naik turun pada tiga tahun terakhir,
mulai dari tahun 2012-2014. Dari 25 kabupaten dan 1 kota yang tersebar di Provinsi Sumatera
Utara, Kabupaten Mandailing Natal merupakan kabupaten yang memiliki lahan tanaman karet

744
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

terluas pada tahun 2014 yaitu seluas 78.379,00 ha dan begitu juga dengan produksi karet yang
diperoleh sebanyak 83.921,00 ton
Sama halnya yag terjadi di masyarakat Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, Kabupaten
Mandailing Natal, mereka berusahatani dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
mereka menganggap usahatani karet adalah usaha yang menguntungkan.
Kabupaten Mandailing Natal mempunyai luas daerah 662.070 ha atau 9,23 persen dari
wilayah provinsi Sumatera Utara. Luas areal dan produksi karet perkebunan rakyat di
Mandailing Natal pada tahun 2015 seluas 66.012,57 hektar, dengan produksi sebesar 55.009,96
ton . Kabupaten ini terdapat sebanyak 23 kecamatan. dimana Kecamatan Siabu merupakan
salah satu kecamatan yang memiliki lahan karet cukup luas dimana pada tahun 2015 luas
tanaman perkebunan karet seluas 3.384,23 hektar dengan produksi sebesar 3.083,41 ton,
meskipun masih banyak lahan karet yang lebih luas di Kabupaten Mandailing Natal selain di
Kecamatan Siabu seperti di Kecamatan Panyabungan. Akan tetapi dampak penurunan harga
karet paling berpengaruh di Kecamatan Siabu, terutama di Desa Lumban Dolok. Karena
pekerjaan utama penduduk di desa Lumban Dolok adalah sebagai petani penyadap karet dan
desa tersebut jauh dari pusat kota/kabupaten. Perkebunan karet di desa Lumban Dolok
mempunyai rata-rata luas berkisar 0.5- 1 Ha dengan rata rata umur tanaman 17 tahun.
Perkebunan karet di Desa Lumban Dolok lebih di kenal dengan perkebunan karet rakyat,
yang dicirikan dengan produksi yang rendah, keadaan yang kurang terawat, serta rendahnya
pendapatan petani. Rendahnya produktivitas juga disebabkan oleh terbatasnya modal yang
dimiliki petani, sehingga petani tidak mampu menggunakan teknik-teknik budidaya yang sesuai
syarat-syarat teknis. Dengan terbatasnya modal yang dimiliki petani juga menghambat petani
untuk melakukan peremajan (replanting).
Harga normal bahan olahan karet (Bokar) Rp.15.000/kg. Jika panen mencapai 80
kg/panen maka rata-rata pendapatan petani penyadap karet bisa mencapai Rp.
1.200.000/panennya atau sebesar Rp.4.800.000/bulan. Dengan penghasilan yang demikian
sangat memungkinkan bagi para petani penyadap karet untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah
tangganya. Harga karet tertinggi mencapai Rp.20.000/kg – Rp.23.000/kg pada tahun 2011 dan
kemudian harga karet kembali normal pada tahun 2012 menjadi Rp.15.000/kg. Semenjak
terjadinya penurunan harga karet mulai dari tahun 2013 hingga sekarang harga karet menjadi
Rp.5000/kg .Petani penyadap karet tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan rumah tangganya .
Kondisi fluktuasi harga ini sangat mempengaruhi perilaku petani penyadap karet dalam
mengelola perkebunan karet karena tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga petani
karet.
Penurunan harga karet yang terjadi sekitar empat tahun terakhir ini, mulai dari tahun 2013
sampai sekarang sangat berdampak terhadap ekonomi rumah tanga petani penyadap karet di
Desa Lumban Dolok. Karena sebagian besar masyarakat di Desa Lumban Dolok memperoleh
penghasilan utamanya dari hasil produksi karet .
Dari permasalahan di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana petani penyadap karet mengelola usaha perkebunan karet di Desa Lumban Dolok
pada saat harga karet normal dan pada harga karet terendah?
2. Berapa perubahan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani penyadap karet di Desa
Lumban Dolok pada saat terjadinya fluktuasi harga karet ?
3. Bagaimana kontribusi pendapatan petani dari usahatani karet terhadap pendapatan rumah
tangga petani penyadap karet di Desa Lumban Dolok
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai
tujuan yaitu :
1. Mendeskripsikan pengelolaan perkebunan karet pada harga karet normal dan pada harga
karet terendah di Desa Lumban Dolok

745
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2. Menganalisis perubahan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani penyadap karet
dalam menghadapi fluktuasi harga karet di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu Kabupaten
Mandailing Natal.
3. Menganalisis kontribusi pendapatan rumah tangga petani penyadap karet dari usahatani
karet terhadap pendapatan total rumah tangga petani di Desa Lumban Dolok.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Subsektor perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam
perekonomian, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
penerimaan devisa negara melalui ekspor, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan
konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing
serta optimalisasi pengolahan sumber daya alam harus diselenggarakan, dikelola, dilindungi dan
di manfaatkan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional dan bertanggung-jawab, sehingga
mampu meningkatkan perekonomian rakyat, bangsa dan negara (Wulandari, 2015:3).
Pengertian rumah tangga berdasarkan BPS (2005) adalah sekelompok orang yang
mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal serta makan dari satu dapur.
Sedangkan rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang sekurang-kurangnya satu anggota
rumah tangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan,
beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau
penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian
dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual atau memperoleh
pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri .

Menurut Mubyarto (1989), produksi adalah hasil yang diperoleh petani dari hasil proses
pengolahan atau pengelolaan usahataninya dan produksi inilah yang menjadi ukuran besar
kecilnya keuntungan yang akan diperhitungkan. Menurut Soekartawi (2006). penerimaan atau
pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total
usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Penerimaan
usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di
dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Penerimaan usahatani adalah
sebagai nilai produksi total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun
yang tidak dijual. Penerimaan dapat dihitung dengan cara mengalikan jumlah produksi total
dengan harga yang berlaku di pasaran. Sedangkan pendapatan usahatani merupakan selisih dari
penerimaan dan pengeluaran total usahatani, dimana pengeluaran total usahatani adalah nilai
semua input yang habis dipakai atau dikeluarkan dalam proses produksi.
Menurut Soekartawi (2006), penerimaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
TR = Y . Py
dimana:
TR = total penerimaan (total revenue) (Rp/bulan)
Y = Jumlah produksi (Kg/Luas/bulan)
Py = Harga produksi (Rp/Kg)
Soedarsono dalam (Husin dan Sari, 2011:15), membedakan pengertian pendapatan yaitu
pendapatan yang diperoleh petani dalam usahataninya selama periode produksi yang
diperhitungkan dari hasil penjualan dalam rupiah dan pendapatan bersih yaitu sebagai
pendapatan kotor dikurangi dengan biaya produksi selama proses produksi atau biaya riil sarana
produksi yang digunakan.
Secara matematis pendapatan dapat diperoleh dengan rumus berikut :
Pd = TR – TC
Dimana :
Pd = Pendapatan (Rp/bulan)
TR = Penerimaan (Rp/bulan)

746
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

TC = Total Biaya (Rp/bulan) Soekartawi (2006).


Menurut Dumairy dalam (Husin dan Sari, 2011:16), Pengeluaran konsumsi seseorang
adalah bagian dari pendapatannya yang dibelanjakan. Sedangkan bagian pendapatan yang tidak
dibelanjakan disebut tabungan. Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam
satu negara dijumlahkan, maka akan menghasilkan pengeluaran konsumsi negara yang
bersangkutan. Mubyarto (1989).
Secara matematis pengeluaran dapat diperoleh dengan rumus berikut (Rahim dan Hastuti,
2007 : 173)
C = Cp + Cnp
Dimana :
Cp = Pengeluaran untuk pangan (Rp/bulan)
Cnp = Pengeluaran non pangan (Rp/bulan)
Menurut Pamuji (2008 : 36), defisit merupakan selisih antara total belanja (diluar
pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pendapatan. Menurut Suparmako dalam
Pamuji (2008 : 36), anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang
penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu, yang
biasanya adalah satu tahun. Defisit anggaran rumah tangga adalah selisih antara total pendapatan
rumah tangga (diluar pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pengeluaran rumah
tangga.
Tanaman karet (Havea braziliensis) merupakan tanaman perkebunan yang bernilai
ekonomis tinggi. Tanaman tahunan ini dapat disadap getah karetnya pertama kali pada umur
tahun ke-5. Getah dari tanaman karet (lateks) tersebut biasa diolah menjadi lembaran karet
(sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb rubber) yang merupakan bahan baku
industri karet. Kayu tanaman karet biasa diperoleh dari kebun karet yang hendak di remajakan.
Kayu tanaman karet juga dapat digunakan untuk bahan bangunan, misalnya untuk membuat
rumah, furnitur dan lain-lain

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu Kabupaten
Mandailing Natal. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan sengaja (purposive). Alasan dipilihnya
lokasi ini sebagai tempat penelitian didasarkan karena sebagian besar rumah tangga di desa
tersebut bekerja disektor pertanian terutama perkebunan karet, penduduk di Desa Lumban Dolok
merupakan penduduk yang memperoleh pendapatan pokoknya berasal dari tanaman karet.
Penelitian ini dilaksanakan selama lebih kurang satu bulan terhitung mulai tanggal 16
Februari s/d 15 Maret 2017.

Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pengambilan
responden pada penelitian ini diambil secara purposive atau secara sengaja dengan kriteria petani
yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Petani yang mempunyai lahan karet sendiri, mengelolanya sendiri dan yang menjadikan
perkebunan karet sebagai mata pencaharian utamanya.
2. Petani yang mempunyai perkebunan karet yang masih produktif (umur tanaman 10-30
tahun).
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 KK karena dengan
jumlah tersebut sudah mampu mewakili populasi.

747
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Data dan Teknik Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang
ada hubungannya dengan penelitian. Untuk pengumpulan data primer akan dilakukan melalui
dua teknik, yaitu: kuesioner dan pengamatan/observasi. Data sekunder dapat berupa data yang
tersaji dalam tabel, grafik dan lain sebagainya yang berasal dari lembaga pemerintah, lembaga
swasta maupun penelitian sebelumnya.

Variabel Yang Diamati


Berdasarkan tujuan penelitian, variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Karakteristik petani responden
Identitas petani yaitu nama, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, jumlah tanggungan,
dan pengalaman bertani.Lahan usahatani .Lahan dan umur tanaman karet
1. 1.Tujuan pertama yaitu mendeskripsikan pengelolaan perkebunan karet saat harga normal
dan saat harga karet terendah di Desa Lumban Dolok, maka variabel yang diamati adalah :
Pemeliharaan perkebunan karet pada saat harga karet normal pada tahun 2012 dan pada
harga terendah pada tahun 2016, yang meliputi : penyadapan , pemupukan, penyiangan, dan
jam kerja petani penyadap karet pada harga normal dan saat harga karet terendah.
2. 2.Tujuan kedua dan ketiga yaitu menganalisis perubahan pendapatan dan pengeluaran rumah
tangga petani karet dan kontribusi pendapatan usahatani karet di Desa Lumban Dolok
Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal, maka variabel yang diamati adalah :
a. Pendapatan yang berasal dari usahatani karet pada harga normal dan harga terendah
b. Pendapatan yang berasal dari sektor pertanian non usahatani karet yaitu padi dan cabe
dan sektor non pertanian pada harga normal dan harga karet terendah
c. Total pendapatan rumah tangga petani karet pada kedua kondisi harga tersebut
d. Pengeluaran pangan dan non pangan petani karet pada harga normal dan harga karet
terendah
e. Total pengeluaran rumah tangga petani pada harga normal dan harga karet terendah
f. Defisit anggaran rumah tangga petani pada harga normal dan harga karet terendah

Analisis Data
Analisis data yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk tujuan pertama yaitu mendeskripsikan pengelolaan perkebunan karet yang dilakukan
petani harga normal dan harga terendah menggunakan analisis deskriptif kualitatif,
2. Untuk tujuan kedua dan ketiga yaitu analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif
kuantitatif.
a. Penerimaan Petani
Penerimaan petani merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga jual. Untuk
menghitung penerimaan digunakan rumus berikut :
TR = Py. Y
Dimana :
TR = Penerimaan (Rp/bulan)
Py = Harga produksi (Rp/Kg)
Y = Jumlah produksi (Kg/Ha/bulan) (Soekartawi ,2006)
b. Pendapatan Petani dari Usahatani Karet
Pendapatan secara sistematis dirumuskan sebagai berikut :
PdK = TR – TC
Dimana :
PdK = Pendapatan Usahatani Karet (Rp/bulan)
TR = Penerimaan (Rp/bulan)
TC = Total Biaya Dibayarkan (Rp/bulan) (Soekartawi, 2006)
c. Pendapatan Petani dari Usahatani Padi Sawah dan Cabai

748
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PdP = TR – TC
PdC = TR - TC
Dimana :
PdP = Pendapatan Usahatani Padi
PdC = Pendapatan Usahatani Cabai (Rp/bulan)
TC = Total Biaya Dibayarkan (Rp/bulan)
TR = Total Penerimaan (Rp/bulan) (Soekartawi ,2006)
d. Total Pendapatan Rumah Tangga
RTK = PdK+ + PdP +PdC+ Pendapatan Sektor Non Pertanian
RTK = Total Pendapatan Rumah Tangga (Rp/bulan)
PdK = Pendapatan dari Usahatani Karet (Rp/bulan)
PdP = Pendapatan dari usahatani Padi (Rp/bulan)
PdC = Pendapatan dari Usahatani Cabai (Rp/bulan)
e. Pengeluaran Petani
Pengeluaran petani berasal dari pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan (Rahim
dan Hastuti, 2007 : 173)
C = Cp + Cnp
Dimana :
C = Total Pengeluaran Rumah Tangga Petani karet(Rp/bulan)
Cp = Pengeluaran untuk pangan (Rp/bulan)
Cnp = Pengeluaran non pangan (Rp/bulan)
f. Defisit anggaran rumah tangga = RTK– C
RTK = Total pendapatan rumah tangga (Rp/bulan)
C = Total pengeluaran rumah tangga (Rp/bulan) Utami (2014:15)
g. Kontribusi Pendapatan Usahatani Karet
K = PdK/RTK x 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Daerah Penelitian
Sejarah
Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk
Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing
Natal berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh
Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.
Sejak berdirinya Kabupaten Mandailing Natal Tahun 1998 telah mengalami (tiga) kali
pemekaran kecamatan dengan jumlah kecamatan yang ada saat ini sebanyak 23 Kecamatan

Letak Geografis dan Topografi Wilayah


Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10'-1°50' Lintang Utara dan 98°10'-100°10'
Bujur Timur dengan rentang ketinggian 0 - 2,145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah
Kabupaten Mandailing Natal ±6.620,70 km2 atau 9,23 persen dari wilayah Sumatera Utara .Desa
Lumban Dolok adalah suatu Desa yang ada di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal.
Kecamatan Siabu merupakan salah satu dari 23 kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal.
Luas Wilayah Desa Lumban Dolok adalah 765,36 Ha dengan rasio terhadap luas
kecamatan sebesar 8,01 % dan letak geografis topografi wilayah Desa Lumban Dolok berupa
dataran.

Kependudukan
Jumlah penduduk Desa Lumban Dolok pada tahun 2014 sebanyak 4.203 jiwa dengan 951
rumah tangga. Jumlah Penduduk berjenis kelamin perempuan 2.145 jiwa lebih banyak
dibandingkan penduduk berjenis kelamin laki-laki 2.058 jiwa . Desa Lumban Dolok juga

749
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

merupakan salah satu desa yang memiliki jumlah rumah tangga paling banyak (Kecamatan
Siabu Dalam Angka, 2015) .

Karakteristik Petani Responden


Semua responden dalam penelitian ini memiliki umur produktif yaitu dari umur 30 sampai
63 tahun. Karakteristik jumlah dan presentase dari responden dapat dilihat pada tabel 1 dibawah
ini.

Tabel 1. Karakteristik Petani Responden di Desa Lumban Dolok.


No Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)
1 Laki-laki 29 96,7
2 Perempuan 1 3,3
Total 30 100
Tingkat Pendidikan
1 Tidak Sekolah 1 3,3
2 SD 14 46,7
3 SMP 3 10
4 SMA 12 40
Total 30 100
Tanggungan Keluarga
1 1–2 8 26,7
2 3–4 11 36,7
3 5–6 9 30
4 7–8 2 6,6
Total 30 100
Pengalaman Bertani (tahun)
1 10 – 20 9 30
2 21 – 30 14 46,7
3 31 - 40 6 20
4 > 40 1 3,3
Total 30 100
Luas lahan karet (Ha)
1 <1 5 16,7
2 1 25 83,3
Total 30 100
Umur tanaman (tahun)
1 10 - 20 26 86,7
2 > 20 4 13,3
Total 30 100

Kegiatan usahatani perkebunan karet di desa Lumban Dolok sebahagian besar dilakukan
oleh kaum laki-laki. Karena pada kegiatan panen terutama mengangkat hasil usahatani karet
diperlukan tenaga ataupun stamina yang lebih kuat. Tingkat pendidikan responden yang
mayoritas masih rendah yaitu hanya sampai tingkat SD. Tingkat pendidikan akan berpengaruh
terhadap perilaku dan tingkat adopsi suatu innovasi .Hal ini akan berdampak terhadap petani
dimana menyebabkan petani tersebut sulit untuk mengadopsi teknologi pertanian yang semakin
maju dan akhirnya berpengaruh terhadap prouktifitas yang mereka peroleh.
Besar kecilnya jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi petani dalam
mempertimbangkan keputusan untuk menjalankan usahataninya. Seperti diungkapkan oleh
Soekartawi (2006), bahwa anggota keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan untuk menerima inovasi.

750
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pengalaman usahatani adalah jumlah tahun berupa pengalaman yang dilalui petani
responden sebagai bagian dari proses belajar baik itu dalam kegiatan budidaya, produksi dan
pemasaran hasil panen dalam rangka memperoleh penghasilan.Sebahagian besar petani yaitu
46,7 % memiliki pengalaman bertani 21- 30 tahun artinya petani memiliki pengalaman bertani
yng cukup lama. Meskipun sebagian besar petani responden memiliki pengalaman berusahatani
karet yang cukup lama, tetapi tingkat pendidikan yang mereka tempuh mayoritas masih sangat
rendah yaitu hanya sampai tingkat SD. Sehingga akan tetap sulit bagi mereka untuk mengadopsi
teknologi yang semakin maju.
Menurut Anwar dalam (Husin, 2011:45), bahwa rata – rata produksi ideal untuk karet
berusia 10 sampai 20 tahun, Umur tanaman karet yang dimiliki oleh petani responden dalam
penelitian ini sebahagian besar berkisar antara 10 - 20 tahun. Artinya mayoritas tanaman karet
responden masih produktif.

Pengelolaan Perkebunan Karet


Pada saat karet menjadi primadona ekspor Indonesia dan harga karet di tingkat petani
masih stabil dan usahatani karet masih menjadi sumber pendapatan utama mereka,dimana segala
kebutuhan rumah tangga dapat dipenuhi. Harga karet tertinggi mencapai Rp.20.000/kg tetapi
itu hanya bertahan setahun. kemudian harga karet kembali normal Rp 15.000 dan bahkan harga
karet turun Rp 5.000 sampai akhir tahun. Kondisi fluktuasi harga ini sangat mempengaruhi
perilaku petani dalam mengelola perkebunan karet karena tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan
rumah tangga petani karet. Bahkan ada yang tidak melakukan pemanenan sama sekali, lalu
beralih ke usaha lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Berikut adalah bentuk-
bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh petani karet di Desa Lumban Dolok saat harga karet
normal dan saat harga karet terendah.

Tabel 2. Pengelolaan Yang Dilakukan Petani Responden Saat Harga Normal dan Saat Harga Karet
Terendah.
No Jenis pengelolaan Jumlah (orang) Presentase (%)
Harga Harga Harga Harga
Normal Terendah Normal Terndah
1 Penyadapan
a. Melakukan penyadapan 30 25 100 83,3
b. Tidak melakukan penyadapan 0 5 0 16,7
Total 30 30 100 100
2 Pemupukan
a. Melakukan pemupukan 30 25 100 83,3
b. Tidak melakukan pemupukan 0 5 0 16,7
Total 30 30 100 100
3 Penyiangan
a. Melakukan penyiangan 30 25 100 83,3
b. Tidak melakukan penyiangan 0 5 0 16,7
Total 30 30 100 100
4 Jam Kerja
a. 6 jam/ hari 30 25 100 83,3
b.Tidak ada jam kerja 0 5 0 16,7
Total 30 30 100 100
.
Penyadapan
Dari tabel 2 diatas 5 orang atau 16,7 % responden tidak melakukan pengelolan uahataninya
sebagaimana mestinya seperti penyadapan, pemupukan, penyiangan lagi. Artinya petani tersebut
pada saat harga karet turun mereka bekerja pada sektor usaha lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam mempertahankan ekonomi. Sebanyak 25 orang responden tetap melakukan

751
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pengelolaan terhadap tanaman karet dan mencari tambahan pendapatan dari usaha lain untuk
mempertahan kondisi ekonomi rumah tangganya dan menjadikan usahatani karet sebagai sumber
pedapatan sampingan mereka pada saat harga karet terendah.
Penyadapan yang dilakukan oleh petani karet di Desa Lumban Dolok sebanyak 1-2 kali
sadap dan 1 kali panen dalam seminggu. Jumlah hari penyadapan pada pohon karet di pengaruhi
oleh faktor cuaca. Misalnya musim penghujan atau hari kurang cerah, sehingga petani tidak bisa
atau sulit melakukan penyadapan.

Pemupukan
Pemupukan yang dilakukan hanya pupuk asam cuka pada saat selesai dilakukan
penyadapan. Pada masa pertumbuhan tanaman karet tersebut, mereka hanya melakukan
penyiangan.Jumlah pupuk yang mereka berikan juga sama seperti sebelum harga karet turun,
Petani responden melakukan pemupukan hanya satu kali dalam seminggu yaitu setelah
dilakukan penyadapan, supaya getah karet yang sudah terkumpul didalam tempurung kelapa
tidak tercampur dengan air hujan jika sore atau malam harinya terjadi hujan .Tujuan diberikan
asam cuka adalah untuk menghindari tercampurnya air hujan dengan lateks apabila terjadi hujan.

Penyiangan
Penyiangan mereka lakukan 1 sampai 2 kali dalam sebulan, dan yang menjadi tenaga kerja
dalam melakukan penyiangan adalah tenaga kerja dalam keluarga termasuk suami dan istri.
Tujuan dilakukan penyiangan pada tanaman liar adalah supaya tidak mengganggu pertumbuhan
tanaman karet, serta mempermudah mereka dalam melakukan penyadapan.
Petani tidak melakukan pengendalian hama dan penyakit karena mereka merasa bahwa
tidak ada hama dan penyakit yang betul – betul menyerang tanaman karet mereka. Jika
penurunan produksi lateks terjadi, itu tidak disebabkan oleh adanya serangan hama dan penyakit
pada tanaman karet tetapi disebabkan oleh umur tanaman yang semakin tua, sehingga tidak
produktif lagi. Seharusnya yang dilakukan oleh petani adalah peremajaan (replanting), tetapi
mereka terkendala oleh biaya untuk melakukan peremajaan tersebut.

Jam Kerja
Jam kerja adalah waktu yang digunakan petani karet di Desa Lumban Dolok untuk
melakukan pengelolaan terhadap usahatani karet mereka. Petani mengelola usahatani karet
mereka selama 6 jam perhari, mulai dari jam 07.00 – 13.00 siang biasanya digunakan untuk
menyadap pohon karet. Penyadapan dilakukan 1 kali seminggu. Begitu juga di hari yang lain
jika petani karet melakukan pemanenan, waktu yang mereka gunakan adalah 6 jam perhari..
Sehingga tidak ada waktu yang harus mereka korbankan untuk mengelola usahatani karet.
Pada saat harga terendah (turun) 25 orang responden atau 83,3 % tetap melakukan
kegiatan seperti biasanya tetapi mencari usaha kegiatan lain seperti usahatani padi dan cabe
sebagai sumber pendapatan tambahan dan menjadikan usahatani karet sebagai sumber
pendapatan sampingannya. Petani tetap mengelola usahatani karet karena keahlian utamannya
yang dipunyai dalam berusahatani karet. . Sedangkan 5 orang responden atau 16,7 % tidak
melakukan pengelolaan sama sekali, baik penyadapan pemupukan, penyiangan dan panen.
Kemudian mereka beralih ke usaha lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Alasannya karena pendapatan dari usahatani karet tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan rumah
tangga mereka. Semua kegiatan banyak dilakukan oleh kaum laki laki sedangkan wanita
biasanya melakukan penyiangan dan pemupukan

752
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Responden


Pendapatan Petani Responden dari Usahatani Karet Pada Harga Normal dan Pada
Harga Karet Terendah
Pendapatan dari usahatani karet adalah penerimaan dari usahatani karet dikurangi dengan
total biaya yang dibayarkan termasuk biaya asam cuka Usahatani perkebunan karet merupakan
pekerjaan pokok serta sumber pendapatan petani responden di Desa Lumban Dolok.

Tabel 3. Rata-rata Pendapatan Petani Respoden dari Usahatani Karet Pada Harga Normal dan Harga
Terendah.
No Kondisi Penerimaan Total Biaya Pendapatan
Harga (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 Harga 2.168.000 8.000 2.160.000
Karet Normal
2 Harga 569.467 6.667 562.800
Karet Terendah

Berdasarkan tabel 3 diatas, rata - rata pendapatan petani responden dari usahatani karet
pada harga karet normal adalah Rp. 2.160.000/bulan, sedangkan pada harga karet terendah rata
– rata pendapatan petani responden dari usahatani karet adalah Rp.562.800/bulan. Rata – rata
pendapatan petani responden dari usahatani karet mengalami penurunan sebesar 73,94 %.

Pendapatan Petani Responden dari Usahatani Cabai (Capsicum Annum L) pada


Harga Karet Normal dan Harga Karet Terendah
Selain usahatani karet, petani yang menjadi responden dalam penelitian ini juga
mengusahakan usahatani cabai (Capsicum Annum L) sebagai sumber pendapatan rumah
tangganya dan merupakan pekerjaan sampingan bagi petani tersebut. Rata-rata pendapatan
petani responden dari usahatani cabai (Capsicum Annum L) pada harga normal dan harga karet
terendah dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4. Rata-rata Pendapatan Petani Respoden dari Usahatani Cabai pada Harga Karet Normal dan
Harga Karet Terendah
No Kondisi Penerimaan Total Biaya Dibayarkan Pendapatan
Harga (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 Harga 1.373.333 613.533 759.800
Karet Normal
2 Harga 1.373.333 613.533 759.800
Karet Terendah

Berdasarkan tabel 4 diatas, dapat dilihat bahwa rata – rata pendapatan petani responden
dari usahatani cabai (Capsicum Annum L) tidak mengalami perubahan baik pada harga karet
normal maupun maupun pada harga karet terendah yaitu sebesar Rp.759.800/bulan. Usahatani
tanaman cabai (Capsicum Annum L) merupakan usaha sampingan dan sumber pendapatan
sampingan petani responden.

Pendapatan Petani Responden dari Usahatani Padi Sawah (Oryza Sativa L) pada
Harga Karet Normal dan Harga Karet Terendah
Pendapatan dari usahatani padi sawah adalah penerimaan dari usahatani padi sawah
dikurangi total biaya dibayarkan. Usahatani padi sawah juga merupakan pekerjaan sampingan
bagi petani responden di Desa Lumban Dolok.

753
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani Responden dari Usahatani Padi Sawah (Oryza Sativa L) Pada
Harga Normal dan Harga Karet Terendah.
Total Biaya
Kondisi Penerimaan Pendapatan
No Dibayarkan Keterangan
Harga (Rp/bulan) (Rp/bulan)
(Rp/bulan)
1 Harga 512.500 94.500 418.000 Untuk Konsumsi
Karet Normal Sendiri
Harga Karet 468.333 94.500 373.833 Untuk Konsumsi
2 Terendah Sendiri

Dari tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa terjadi perubahan rata – rata pendapatan petani
responden dari usahatani padi sawah (Oryza Sativa L). Pada saat harga karet normal rata – rata
pendapatan petani responden dari usahatani padi sawah (Oryza Sativa L) adalah
Rp.418.000/bulan, sedangkan pada saat harga karet terendah rata – rata pendapatan petani
responden dari usahatani padi sawah (Oryza Sativa L) mengalami penurunan menjadi
Rp.373.833/bulan. Artinya, pendapatan petani responden dari usahatani padi sawah menurun
.Turunnya pendapatan dari usahatani padi sawah responden adalah disebabkan serangan hama.
Semua hasil panen dari padi sawah hanya untuk dikonsumsi oleh keluarga petani responden.

Total Pendapatan Rumah Tangga Petani Responden Pada Harga Karet Normal dan
Pada Harga Karet Terendah
Total pendapatan rumah tangga petani responden merupakan semua pendapatan yang
diperoleh petani responden dari semua sektor usaha yang mereka usahakan. Dari sektor pertanian
berupa usahatani karet, usahatani cabai, usahatani padi sawah dan dari sektor non pertanian yaitu
dagang. Hanya 1 orang responden yang melakukan usaha diluar sektor pertanian yaitu dagang.
Untuk jumlah dan presentase rata – rata total pendapatan rumah tangga petani responden dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 6. Rata-rata Total Pendapatan Rumah Tangga Petani Karet Responden Pada Harga Karet Normal
dan Harga Karet Terendah.
Pendapatan dari
Pendapatan dari Sektor
Kondisi Sektor Total Pendapatan
No Non Pertanian
Harga Pertanian (Rp/bulan)
(Rp/bulan)
(Rp/bulan)
1 Harga Karet Normal 3.337.800 16.000 3.353.800
2 Harga Karet Terendah 1.696.433 16.000 1.712.433

Berdasarkan tabel 6 diatas, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rata –rata total
pendapatan petani responden sebesar 48,94 % akibat perubahan harga karet. Dampak dari
perubahan pendapatan ini sangat terasa bagi petani karet karena usahatani karet merupakan
sumber pendapatan utama bagi rumah tangga mereka,

Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Petani Pada Saat Harga Karet Normal dan
Harga Karet Terendah
Total pengeluaran rumah tangga petani adalah jumlah total pengeluaran pangan dan total
pengeluaran non pangan rumah tangga baik pada kondisi saat harga karet normal maupun pada
saat harga karet terendah. Pengeluaran pangan dan non pangan petani responden dalam
penelitian ini ada beberapa jenis. Untuk jumlah dan presentase pengeluaran pangan dan non
pangan petani responden baik kondisi saat harga karet normal maupun pada saat harga karet
terendah dapat dilihat pada tabel dibawah berikut ini

754
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 7. Rata-rata Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Petani Responden Saat Harga Karet Normal
dan Harga Karet Terendah.
Biaya Pengeluaran (Rp/bulan)
Jenis Pengeluaran
No Harga Harga Karet
Pengeluaran Pangan (%) (%)
Karet Normal Terendah
1 Beras 453.333 453.333
2 Lauk Pauk 634.000 620.667
3 Bumbu Dapur 20.000 20.000
4 Gula/Kopi/Teh/Susu 38.167 38.000
5 Rokok 461.333 461.333
Jumlah 1.606.833 63 1.593.333 57,4
Pengeluaran Non Pangan Harga Normal (%) Harga Terendah (%)
1 Listrrik 21.600 21.600
2 Gas 2.333 4.200
3 Air Bersih 2.500 2.500
4 Biaya Anak Sekolah 608.667 608.667
5 Uang Jajan Anak 92.000 90.667
6 Pulsa 25.600 23.600
7 Bensin 191.333 304.800
8 Peralatan mandi & cuci 148.000 125.333
Jumlah 944.033 37 1.181.367 42,6
Total Pengeluaran 2.550.867 100 2.774.700 100

Dari tabel 7 diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah biaya pengeluaran pangan rumah
tangga petani responden mengalami penurunan pada kondisi harga terendah. Pada kondisi saat
harga karet normal jumlah biaya pengeluaran pangan rumah tangga petani responden sebesar
Rp.1.606.833/bulan atau 63% turun menjadi sebesar Rp.1.593.333/bulan atau 57,4%. Artinya
petani responden ada yang mengurangi biaya pengeluaran pangan rumah tangga mereka saat
terjadi penurunan harga karet. Biaya pengeluaran dikurangi dengan cara mengurangi dan
menganti konsumsi lauk pauk yang dikonsumsi setiap hari menjadi tahu, tempe ataupun telor.
Tetapi rata-rata jumlah biaya pengeluaran non pangan rumah tangga petani bertambah pada
saat harga karet terendah yaitu meningkat dari 37% menjadi 42,6 %. Kenaikan biaya
pengeluaran non pangan disebabkan kebutuhan non pangan rumah tangga ada yang mengalami
kenaikan harga termasuk harga bensin dan harga gas elpiji.
Dari tabel 7, dapat dilihat bahwa rata-rata total pengeluaran rumah tangga petani respoden
di Desa Lumban Dolok mengelami peningkatan sebesar 8.,06 % Meningkatnya pengeluaran
rumah tangga reponden pada kondisi harga karet terendah disebabkan oleh harga sebagian
kebutuhan non pangan ada yang meningkat. Untuk mencukupi kebutuhannnya dan untuk tetap
mempertahankan roda perekonomian mereka petani mengurangi pengeluaran rumah tangga, dan
juga melakukan beberapa usaha lain sebagai sumber pendapatan, baik di sektor pertanian selain
usahatani karet juga dari sektor non pertanian.

Defisit Anggaran Rumah Tangga Petani Responden pada Kondisi Harga Karet
Normal dan Harga Karet Terendah
Defisit anggaran rumah tangga petani karet adalah selisih antara total pendapatan rumah
tangga petani karet dengan total pengeluaran rumah tangga petani karet baik kondisi harga
normal maupun pada kondisi harga terendah Total pengeluaran rumah tangga petani terdiri dari
pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan.

755
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 8. Rata-rata Defisit Anggaran Rumah Tangga Petani Responden Pada Kondisi Harga Karet
Normal dan Harga Karet Terendah
No Kondisi Harga Total Pendapatan Total Pengeluaran Defisit Anggaran
Rumah Tangga Rumah Tangga Rumah Tangga
(Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
1 Harga 3.353.800 2.550.867 802.933
Karet Normal
2 Harga 1.712.433 2.774.700 -1.062.267
Karet Terendah

Dari tabel 8. dapat terlihat bahwa usahatani perkebunan karet sebagai sumber pendapatan
rumah tangga mereka masih mampu untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga mereka. Baik
untuk kebutuhan pangan maupun untuk kebutuhan non pangan. Hal ini dapat dilihat dari defisit
anggaran rumah tangga pada harga karet normal masih bernilai positif (+). Dengan demikian
bisa dikatakan kondisi ekonomi yang seperti itu, kehidupan sebagian petani karet di Desa
Lumban Dolok pada saat itu sejahtera. Dimana petani karet masih bisa menabung setiap
bulannya.
Pada saat harga karet terendah total pendapatan rumah tangga petani karet di Desa Lumban
Dolok tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka, karena total biaya pengeluran
rumah tangga mereka lebih besar daripada total pendapatan rumah tangga mereka, dimana defisit
anggaran rumah tangga petani diperoleh nilai negatif (-). Pada kondisi ini petani responden untuk
mencukupi kebutuhannya lebih menfokuskan usahanya ke usahatani cabai. Dipilihnya cabai
sebagai komoditi yang diusahakan karena secara agronomis cocok di daerah tersebut dimana
Desa Lumban Dolok merupakan dataran rendah.
Selain itu petani karet juga merangkap sebagai buruh tani Biasanya buruh tani tersebut
bekerja pada lahan orang lain yang usahataninya tidak dikelola sendiri oleh pemiliknya. Selain
menjadi buruh tani ada juga cara lain yang banyak dilakukan petani responden untuk
mempertahankan roda perekonomiannya yaitu pergi marsialap ari. Marsialap ari berasal dari
bahasa mandailing, yaitu dari kata marsialap yang artinya saling menjemput dan kata ari artinya
hari. Pergi marsialap ari tujuannya hampir sama dengan buruh tani, yaitu pergi bekerja ke lahan
orang lain. Mereka bekerja tidak diberi upah/ tidak dibayar dengan materi tetapi saling
membayar dengan mengorbankan tenaga dihari dan dilahan petani yang lain .

Kontribusi Pendapatan Usahatani Karet Terhadap Pendapatan Total Rumah Tangga


Petani
Usahatani karet di Desa Lumban Dolok merupakan sumber utama pendapatan rumah
tangga bagi petani karet . Selain berusahatani karet petani juga melakukan usahatani padi dan
cabai dari sektor pertanian sedangkan dari sektor non pertanian melakukan usaha dagang ,
Masing masing sektor memberikan kontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga petani
karet. Untuk lebih jelasnya besarnya kontribusi masing masing sektor pendapatan usahatani
terhadap pendapatan total rumah tangga petani dapat dilihat pada tabel 8.
Dari Tabel 8 terlihat bahwa yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan
total rumah tangga petani karet adalah sektor usahatani karet yaitu sebesar 64,41 % pada kondisi
harga karet normal. Dengan demikian dapat dikatakan usahatani karet adalah sumber utama
pendapatan bagi petani karet . Sedangkan pada harga karet terendah kontribusi usahatani karet
hanya 32.87 % artinya sumber utama pendapatan petani bukan lagi usahatani karet tapi adalah
usahatani cabai . Walaupun harga karet rendah aktivitas petani pada sektor pertanian selain karet
tidak mengalami perubahan ,petani tetap melakukan usahatani padi dan cabai dan berdagang

756
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 9. Kontribusi Pendapatan Usahatani Karet Terhadap Pendapatan Total Rumah Tangan Petani
Karet pada Harga Karet Normal dan Harga Karet Terendah.
No Pendapatan (Rp/bl) Harga Karet Kontribusi Harga karet Kontribusi
Normal % Terendah
1. Pendapatan sektor pertanian (Rp/bl)
a.Usahatani karet 2.160.000 64,41 562.800 32,87
bUsahatani cabai 759.800 22,66 759.800 44,37
c.Usahatani padi 418.000 12,46 373.833 21,83
2 Pendapatan non sektor pertanian
(Dagang) 16.000 0,47 16.000 0.93
Total Pendapatan (Rp/bl) 3.353.800 100 1.712.433 100

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, Kabupaten
Mandailing Natal dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada harga karet normal, 30 orang atau 100 % petani responden di Desa Lumban Dolok
melakukan pengelolaan terhadap usahatani karet yaitu penyadapan, pemupukan, penyiangan
dan panen. Tetapi pada harga karet terendah, hanya 25 orang atau 83,3 % petani responden
yang melakukan pengelolaan yaitu penyadapan, pemupukan, penyiangan dan panen
sedangkan 5 orang atau 16,7 % responden tidak melakukan pengelolaan lagi pada usahatani
perkebunan karet.
2. Pada harga karet normal rata-rata pendapatan rumah tangga petani sebesar
Rp.3.353.800/bulan dan rata-rata pendapatan rumah tangga petani pada harga karet terendah
sebesar Rp.1.712.433/bulan. Rata- rata total pengeluaran rumah petani karet pada harga karet
normal sebesar Rp.2.550.867/bulan dan rata – rata total pengeluaran rumah tangga petani
karet pada harga karet terendah sebesar Rp.2.774.700/bulan. Artinya, terjadi defisit anggaran
rumah tangga petani sebesar Rp.-1.062.267/bulan pada harga karet terendah.
3. Pada harga karet normal usahatani karet merupakan sumber utama pendapatan keluarga
dimana kontribusinya terhadap pendapatan total keluarga sebesar 64.41 % . Pada harga karet
terendah usahatani karet kontribusinya terhadap pendapatan total keluarga hanya sebesar 32,
87% dan lebih didominasi oleh usahatani cabai yaitu sebesar 44, 37 %..

Saran
Sebaiknya petani karet tetap melakukan kegiatan usahatani karet pada saat harga terendah,
karena ini akan membantu roda perekonomian dalam mencukupi kebutuhan mereka. Dan petani
karet tetap memperhatikan kegiatan usahatani lainnya seperti padi dan cabai karena usahatani
cabai pada saat kondisi harga terendah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi
pendapatan total rumah tangga petani.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. Pertanian di Indonesia tahun( 2005). (www.bps.go.id, diakses 02 Maret
2010)
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mandailing Natal. (2014). Siabu Dalam Angka
Dillon. 2004. Pertanian Sebagai Tarian Alam. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.
Husin, L dan Dwi ,W. (2011). Perilaku Ekonomi Rumah tangga Petani Karet di Prabumulih
dalam Alokasi Tsenaga Krja, Produksi dan Konsumsi.Universitas Sriwijaya. [Skripsi].Vol
: 96

757
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Mubyarto. (1989). Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan


Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
Putriani, Y. (2016). Fluktuasi Harga Karet Dan hubungannya Dengan Ekonomi Rumah Tangga
Petani Karet di Nagari Padang Laweh, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung.
[Skripsi].Universitas Andalas.
Rahim, A, Dan Hastuti, D.R.D. (2007). Pengantar Teori dan Kasus Ekonomika Pertanian.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Pamuji, T.(2008). Analisis Dampak Defisit Anggaran Terhadap Ekonomi Makro di Indonesia
(Tahun 1993-2007). [Tesis]. Universitas Diponegoro. Semarang. Vol : 161
Soekartawi.( 2006). Ilmu Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Press, Jakarta.
Supartama, M., Made A. dan Rustam A. R. (2013). Analisis Pendapatn dan Kelayakan Usahatani
Padi Sawah di Subak Baturiti Desa Balinggi Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi
Mautong. [Jurnal]. Fakultas Pertanian. Universitas Tadulako. Palu . Vol : 7
Utami, Tri. (2014). Strategi Buruh Penyadap Karet Desa Tlompakan Mengatasi Masalah
Ekonomi.Fakultas Ekonomi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. [Jurnal]. Vol:13
Wulandari, W. (2015). Peranan PDRB Sub-Sektor Perkebunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
di Kabupaten Bolaang Mongondow [Jurnal]. Universitas Samratulangi. Vol : 17. Hal : 3

758
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Disain Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan


Pertanian untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di
Kabupaten Kutai Kartanegara
Regional Development Design Based On Superior Commodities
Agriculture to Support Sustainable Development
in Kutai Kartanegara District
Thamrin1 dan Ince Raden1
1Lecturer in Agrotechnology Study Program, Faculty of Agriculture, University of Kutai Kartanegara, Tenggarong,

ABSTRAK

Kata Kunci: Pembangunan pertanian berbasis komoditas unggulan yang sesuai dengan
Komoditas unggulan agroekosistem wilayah merupakan bagian dari proses pembangunan
Pengembangan berkelanjutan. Pengembangan komoditas unggulan ini akan semakin optimal
wilayah jika dipadukan dengan konsep kewilayahan. Saat ini, Kabupaten Kutai
Pembangunan Kartanegara belum melakukan pengembangan komoditas unggulan daerah
berkelanjutan berbasis kewilayahan tetapi masih lebih cenderung bersifat parsial,
akibatnya, ada wilayah yang telah berkembang produk unggulannya, namun
keberlanjutannya tidak terjaga, sehingga jaminan terhadap pasokan bahan
bakunya menjadi persoalan yang serius. Selain itu, ada wilayah yang cukup
maju dalam pengembangan produk unggulannya, dengan pasar yang mampu
menampung seluruh produksi yang ada, namun nilai tambah tidak diciptakan
(agro processing), sehingga manfaat lebih banyak dinikmati oleh pihak luar.
Dengan demikian dilakukan penelitian untuk mendisain pengembagan
wilayah berbasis komoditi unggulan dalam rangka pembangunan
berkelanjutan di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Penelitian menggunakan metode analisis Location Quotient (LQ), analisis
komoditas unggulan dan andalan, analisis skalogram dan analisis sentralitas
dengan dukungan data sekunder dan data primer dari berbagai sumber. Sesuai
hasil analisis disimpulkan; a) Komoditas unggulan di Kabupaten Kutai
Kartanegara antara lain : padi sawah, jagung dan singkong (tanaman pangan);
kelapa sawit dan karet (tanaman perkebunan); sapi potong, kambing, ayam
kampung, ayam pedaging dan ayam petelur (peternakan); dan perikanan laut,
tambak, dan keramba (perikanan); b) Pembangunan pertanian berbasis
wilayah dibangun melalui tiga zona yaitu zona hulu berpusat di Kecamatan
Kota Bangun, zona tengah berpusat di Kecamatan Tenggarong, dan zona
pantai berpusat di Kecamatan Muara Jawa; dan c) Pembangunan pertanian
dilaksanakan dalam 3 tahap, yaitu tahap pertumbuhan (tahap 1), tahap
pengembangan (tahap 2), dan tahap pemantapan (tahap 3). Tahap 1 adalah
penguatan on-farm didukung pengembangan industri hulu. Tahap 2 dan 3
fokus pada pengembangan industri hilir (off-farm) dan perluasan investasi
pembangunan industri penunjang didukung oleh kegiatan on-farm; dan d)
Pembangunan pertanian berbasis wilayah akan mendukung pembangunan
berkelanjutan di Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu meningkatkan
kelestarian lingkungan melalui konservasi tanah, air dan tanaman.

759
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

ABSTRACT

Keywords: Leading commodity-based agricultural development in accordance with regional


Main commodity of agroecosystems is part of the sustainable development process. The development
agriculture of this superior commodity will be more optimal if it is integrated with the
Regional development regional concept. At present, Kutai Kartanegara Regency has not yet developed
Sustainable regional-based leading commodities but is still more likely to be partial, as a
development result, there are regions that have developed superior products, but their
sustainability is not maintained, so that the guarantee of raw material supply is a
serious problem. In addition, there are regions that are quite advanced in
developing superior products with markets that are able to accommodate all
existing production, but added value is not created (agro processing), so that the
benefits are more enjoyed by outsiders. This study aims to design the
development of leading commodity-based regions in the context of sustainable
development in Kutai Kartanegara Regency. The analysis used is the Location
Quotient (LQ) analysis, leading and reliable commodity analysis, scalogram
analysis and centrality analysis with the support of secondary data and primary
data from various sources. The results showed superior commodities in Kutai
Kartanegara Regency, namely, lowland rice, corn and cassava (food crops); oil
palm and rubber (plantation crops); beef cattle, goats, native chickens, broilers
and laying hens (livestock); and marine fisheries, ponds and cages (fisheries);
Agricultural-based development through three zones, namely the upstream zone
centered in Kota Bangun District, the central zone centered in Tenggarong
District, and the coastal zone centered in Muara Jawa District; and Agricultural
development is carried out in three stages, namely the growth stage (stage 1), the
development stage (stage 2), and the stabilization stage (stage 3). The first phase
is strengthening on-farm supported by the development of the upstream industry.
The second and third phases focus on the development of down-farm industries
and expansion of investment in supporting industrial development supported by
on-farm activities; and Regional-based agricultural development will support
sustainable development in Kutai Kartanegara Regency, namely improving
environmental sustainability through soil, water and plant conservation

Email Korespondensi: thamrin17@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan
sektor pertanian disamping pertambangan batubara dan migas. Namun untuk memenuhi
kebutuhan pangan bagi penduduknya, masih harus mendatangkan dari daerah lain. Disisi lain
masih terjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah terutama wilayah perdesaan dengan
wilayah perkotaan, sehingga perlu dilakukan pengembangan wilayah berbasis komoditas
unggulan pertanian.
Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan pertanian ini diharapkan dapat
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan
perdesaan dan wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai
pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha
pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan
lainnya. Penelitian bertujuan untuk mendisain pengembangan wilayah berbasis komoditi
unggulan pertanian dalam rangka pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

760
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KERANGKA TEORI
Teori Perencanaan Pengembangan Wilayah
Perencanaan pengembangan wilayah pada dasarrya adalah upaya penerapan konsep-
konsep pembangunan ekonomi pada dimensi keruangan. Konsep pengembangan wilayah
berdimensi keruangan ini dapat dibangun dengan memanfaatkan teori saling-ketergantungan
(dependency) pertumbuhan ekonomi neoklasik. Menurut perspektif neoklasik (Hirscman,1958)
setiap wilayah memiliki perbedaan potensi faktor pertumbuhan (sumberdaya alam, tenaga kerja,
modal dan teknologi). Perbedaan faktor pertumbuhan ekonomi ini mendorong spesialisasi
wilayah berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing. Wilayah akan berkonsentrasi
untuk menghasilkan barang dan jasa yang memanfaatkan secara intensif faktor produksi yang
relatif berlebih.
Perencanaan pengembangan wilayah ini diharapkan dapat memberikan impas positif bagi
pertumbuhan ekonomi daerah sekitar atau daerah dibelakangnya (hinterland), melalui
pengembangan sektor atau subsektor basis sebagai penggerak perekonomian daerah dan
keterkaitan ekonomi antar daerah.

Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan didefenisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup, serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 32 tahun 2009). Istilah pembangunan
berkelanjutan ini mulai dipopulerkan setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT-Bumi) di
Brazil pada tahun 1992. KTT-Bumi merupakan penegasan kembali kesepakatan bersama
bangsa-bangsa di muka bumi yang sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup atau
pentingnya mengatasi masalah lingkungan global. Hal ini bisa terjadi karena pelestarian
lingkungan hidup sangat penting dan tidak dapat dipisahkan begitu saja prioritasnya dengan
pembangunan sektor lainnya.
Pembangunan berkelanjutan muncul sebagai konsep penting untuk mengoreksi
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dan sering mengabaikan keberlanjutan
sumberdaya alam/lingkungan serta entitas sosial setempat. Dalam konsep ini, pertumbuhan
ekonomi dicapai dengan tidak mengorbankan tujuan sosial maupun integritas lingkungan agar
dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Komoditas Unggulan
Menurut Handewi Rachman (2003), dalam Hidayah (2010) yang dimaksud komoditas
unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu
wilayah. Posisi strategis ini didasarkan pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim),
sosial ekonomi dan kelembagaan. Penentuan ini penting dengan pertimbangan bahwa
ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan dan
memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif
terbatas. Disisi lain pada era pasar bebas saat ini baik ditingkat pasar lokal, nasional maupun
global hanya komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi
serta mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang akan mampu bersaing secara
berkelanjutan dengan komoditas yang sama dari wilayah lain.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan selama tujuh (7) bulan sejak bulan Juni sampai dengan bulan
Desember 2018. Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data
sekunder yang relevant dengan tujuan kajian. Pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan (Library Research), wawancara mendalam (deep interview) dan studi lapangan
(Field Work Research). Metode analisis data yang digunakan, antara lain:

761
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemilihan Komoditas Unggulan


Pemilihan komoditas unggulan menggunakan Analisis Location Quotient. Metode ini
menggunakan data produksi beberapa komoditas penting dengan rumus:
LQij = Error!
Dimana : Xkab = Produksi komoditas tertentu di tingkat kabupaten
Xskab= Produksi seluruh kelompok komoditas di tingkat kabupaten
XProv= Produksi komoditas tertentu tertentu di tingkat provinsi
XSProv= Total produksi seluruh kelompok komoditas di tingkat provinsi
Jika LQ > 1, merupakan sektor basis, artinya sektor tersebut menjadi komoditi unggulan
bagi wilayah tersebut.
Jika LQ = 1, merupakan sektor non basis, artinya komoditas disuatu wilayah tidak
memiliki keunggulan, produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
wilayah itu sendiri.
Jika LQ < 1, merupakan sektor non basis, artinya komoditas disuatu wilayah tidak dapat
memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar.
Penjelasan : Semakin tinggi nilai LQ sektor disuatu wilayah, semakin tinggi potensi
keunggulan sektor tersebut.

Pemilihan komoditas unggulan juga dianalisis dengan menggunakan metode analisis


komoditas unggulan dan andalan. Dalam analisis ini menggunakan tujuh kriteria, antara lain :
(1) Kesesuaian lahan, (2) Pengusahaannya dominan, (3) Tingkat produktivitas wilayah, (4)
Memiliki keunggulan komparatif, (5) Memiliki keunggulan kompetitif, (6) Komoditas
diperdagangkan antar wilayah, dan (7) Keterkaitan produk ke depan. Pemberian bobot pada
setiap komoditas yang dinilai mulai dari angka satu (1) sampai dengan lima (5). Keputusan
penilaian komoditas unggulan dan andalan seperti pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Keputusan Penilaian Komoditas Unggulan dan Andalan Komoditas Perkebunan.


Keputusan (total nilai)
No. Kelompok Komoditas
Unggulan Andalan
1. Pangan 6-20 21-30
2. Sayuran 6-20 21-30
3. Buah Buahan 6-20 21-30
4. Perkebunan 6-20 21-30
5. Peternakan 6-20 21-30
6. Perikanan 6-20 21-30

Disain Pengembangan Wilayah


Tingkat pertumbuhan wilayah disetiap kecamatan digunakan analisis skalogram dan
analisis sentralitas. Analisis skalogram digunakan untuk mengetahui jumlah dan jenis sarana
pelayanan (fasilitas) yang dimiliki oleh setiap wilayah. Secara umum, fasilitas yang dimiliki oleh
setiap unit wilayah dikelompokkan menjadi enam yaitu fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
fasilitas ibadah, fasilitas olah raga, fasilitas keamanan, dan fasilitas ekonomi.
Selanjutnya dilakukan analisis sentralitas untuk mengelompokkan hirarkhi wilayah
kecamatan berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana wilayah yang dimiliki.
1. Kelompok I (tingkat perkembangan tinggi) diasumsikan sebagai kelompok desa yang
memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana yang lebih besar atau sama dengan
rata-rata + 2 x tandar Deviasi
2. Kelompok II (tingkat perkembangan sedang) diasumsikan sebagai kelompok desa yang
memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, dan kepadatan penduduk antara
rata-rata sampai rata-rata + 2 x standar deviasi

762
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

3. Kelompok III (tingkat perkembangan rendah) diasumsikan sebagai kelompok desa yang
memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana dan kepadatan penduduk kurang dari
nilai rata-rata.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komoditas Unggulan
Penilaian kegiatan basis komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Kutai Kartanegara
menggunakan data luas panen komoditas tanaman pangan, produksi hortikultura, perkebunan,
perikanan; jumlah u populasi ternak; dan luas kawasan kehutanan dengan hasil analisis seperti
pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Nilai LQ Komoditas Pertanian di Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2017
Kab. Kukar Prov. Kaltim
Komoditi LQ
No (Hektar atau ton)
Tanaman Padi dan Palawija berdasarkan Luas Panen (Ha)
1 Padi Sawah 34.002 54.365 1,40
2 Padi Ladang 4.000 25.979 0,34
3 Jagung 420 4.948 0,19
4 Ubi Kayu 958 2.451 0,87
5 Ubi Jalar 509 694 1,64
6 Kacang Tanah 356 737 1,08
7 Kedelai 107 1.059 0,23
B Tanaman Buah-Buahan (Ton)
1 Alpukat 102,90 584,7 0,48
2 Mangga 1.418,90 5.180,5 0,75
3 Rambutan 9.649,80 14.928,7 1,77
4 Jeruk Besar 93,40 16.941,0 0,02
5 Durian 5.504,00 9.078,3 1,66
6 Sawo 952,80 1.754,3 1,49
B Perkebunan (Ton)
1 Karet 7.098,03 62.106 6,03
2 Kelapa 5.452,70 11.078 25,95
3 Kopi 27,57 392 3,71
4 Lada 2.541,32 4.727 28,35
5 Kakao 33,83 2.751 0,65
6 Kelapa Sawit 202.931,30 11.418.110 1,05
C Peternakan (Ekor)
1 Sapi Potong 28.968 118.712 1,10
2 Kambing 8.450 57.794 0,66
3 Babi 4.965 75.475 0,30
4 Kerbau 3.367 7.144 2,12
5 Itik 42.355 192.505 1,00
6 Ayam Kampung 1.371.900 4.768.534 0,42
7 Ayam Pedaging 13.179.400 60.747.455 1,00
8 Ayam Petelur 210.400 842.176 1,12
D Perikanan Tangkap (Ton)
1 Perikanan Laut 34.156,30 101.718,20 0,71
2 Perikanan Umum 33.566,70 41.462,30 1,71
E Perikanan Budidaya (Ton)
1 Budidaya Laut 628,67 5.521,60 0,13
2 Tambak 41.192,66 55.578,90 0,88
3 Kolam 1.445,59 2.859,90 0,60
4 Keramba 40.960,75 35.503,10 1,36
E Kehutanan (Ha)
1 Hutan Lindung 214.017 1.844.969 0,60
2 Suaka Alam dan Wisata 133.512 438.390 1,57
3 Hutan Produksi Terbatas 492.286 2.908.256 0,87
4 Hutan Produksi Tetap 756.279 3.027.099 1,29
Sumber : Data di Olah dari Data sekunder BPS Kukar, 2018 dan BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2018.

763
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa Kutai Kartanegara memiliki beberapa komoditas


komoditas basis (unggulan) dikembangkan oleh masyarakat seperti padi sawah, ubi jalar, dan
kacang tanah untuk tanaman pangan; rambutan, durian dan sawo untuk tanaman buah-buahan;.
karet, kelapa, kopi, lada, dan kelapa sawit untuk tanaman perkebunan; sapi potong, ayam
pedaging dan ayam petelur untuk peternakan. Pada perikanan tangkap, kegiatan basis adalah
perikanan umum dan perikanan laut dan keramba untuk perikanan budidaya. Sedangkan pada
kehutanan, yang menjadi komoditas basis adalah suaka alam dan wisata, serta hutan produksi
terbatas.
Berdasarkan hasil analisis Komoditas Unggulan dan Andalan, menunjukkan bahwa
komoditas padi sawah, ubi kayu, dan jagung merupakan komoditas unggulan untuk tanaman
pangan; kelapa sawit dan karet untuk perkebunan rakyat dan pada perkebunan besar swasta
komoditas kelapa sawit dan karet merupakan unggulan. Pada ternak ruminansia, komoditas yang
merupakan komoditas unggulan adalah sapi potong dan kambing. Sedangkan pada ternak unggas
yang merupakan komoditas unggulan adalah ayam pedaging, ayam kampung dan ayam petelur.
Adapun untuk perikanan, yang merupakan komoditas unggulan adalah tambak dan keramba.
Hasil penilaian komoditas unggulan disajikan pada tabel 3, 4, 5, 6, 7, dan 8.

Tabel 3. Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Kab. Kutai Kartanegara Tahun 2017.
Kriteria Penilaian Total
Komoditas Keputusan
a b c d e f g Nilai
Padi Sawah 1 5 1 2 2 1 3 15 Unggulan
Padi Ladang 2 2 2 5 5 5 5 26 Andalan
Ubi Kayu 3 1 3 3 3 3 2 18 Unggulan
Ubi Jalar 4 3 4 4 4 4 4 27 Andalan
Jagung 5 4 5 1 1 2 1 19 Unggulan

Tabel 4. Komoditas Unggulan Perkebunan Rakyat di Kab. Kutai Kartanegara tahun 2017.
Kriteria Penilaian Total
Komoditas Keputusan
a b c d e f g Nilai
Kelapa Sawit 1 4 1 1 1 1 1 10 Unggulan
Karet 2 3 2 2 2 2 2 15 Unggulan
Kelapa 3 2 3 4 5 4 5 26 Andalan
Lada 4 1 4 3 3 3 3 21 Andalan
Kopi 5 5 5 5 4 5 4 33 Andalan

Tabel 5. Komoditas Unggulan Perkebunan Besar Swasta di Kab. Kutai Kartanegara Tahun 2017.
Kriteria Penilaian Total
Komoditas Keputusan
a b c d e f g Nilai
Kelapa Sawit 1 4 1 1 1 1 1 10 Unggulan
Karet 2 3 2 2 2 2 2 15 Unggulan

Tabel 6. Komoditas Unggulan Ternak Ruminansia di Kab. Kutai Kartanegara Tahun 2017.
Kriteria Penilaian Total
Komoditas Keputusan
a b c d e f g Nilai
Sapi Potong 1 3 1 1 1 1 1 9 Unggulan
Kambing 2 4 2 3 2 2 2 17 Unggulan
Babi 3 2 3 2 4 4 3 21 Andalan
Kerbau 4 1 4 4 3 3 4 23 Andalan

764
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 7. Komoditas Unggulan Unggas di Kab. Kutai Kartanegara Tahun 2017.


Kriteria Penilaian Total
Komoditas Keputusan
a b c d e f G Nilai
Ayam Pedaging 1 3 1 1 1 1 1 9 Unggulan
Ayam kampong 2 1 2 3 3 3 3 17 Unggulan
Ayam Petelur 3 4 3 2 2 2 2 18 Unggulan
Itik 4 2 4 4 4 4 4 26 Andalan

Tabel 8. Komoditas Unggulan Perikanan Budidaya di Kab. Kutai Kartanegara Tahun 2017.
Kriteria Penilaian Total
Komoditas Keputusan
a b c d e f g Nilai
Tambak 1 1 1 1 1 1 1 7 Unggulan
Kolam 3 4 3 3 3 3 3 22 Andalan
Keramba 2 2 2 2 2 2 2 14 Unggulan
Sawah 4 3 4 4 4 4 4 27 Andalan

Tingkat Pertumbuhan Wilayah


Tingkat pertumbuhan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dianalisis dengan
menggunakan analisis Tipologi Wilayah. Metode analisis yang digunakan dalam analisis
tipologi wilayah ini adalah analisis Skalogram dan analisis Sentralitas. Dalam analsisi ini,
hirarkhi wilayah dibagi dalam tiga zona yaitu zona pantai meliputi Kecamatan Samboja, Muara
Jawa, Muara Badak, Anggana, Marang Kayu, dan Sanga-Sanga; wilayah tengah meliputi
Kecamatan Tenggarong, Tenggarong Seberang, Loa Kulu, Loa Janan, Sebulu, dan Muara
Kaman; dan wilayah hulu meliputi Kecamatan Kota Bangun, Muara Wis, Kenohan, Kembang
Janggut, Tabang dan Muara Muntai. Adapun tingkat perkembangan wilayah berdasarkan hasil
analisis sentralitas seperti pada tabel 9, 10, dan 11 di bawah ini.

Tabel 9. Tingkat Perkembangan Kecamatan di zona Pantai Kabupaten Kutai Kartanegara.


No. Perkembangan Kecamatan Indeks Sentralitas Kecamatan
Tingkat perkembangan tinggi
1. > 33,50
(maju)
Tingkat perkembangan sedang Samboja (31) Muara Jawa (32)
2. 33,50 - 28,50
Muara Badak (29)
Tingkat perkembangan rendah Sanga-Sanga (26) Anggana (25)
3. < 28,50
(relatif tertinggal Marang Kayu (28)

Tabel 10. Tingkat Perkembangan Kecamatan di Zona Tengah Kabupaten Kutai Kartanegara.
No. Perkembangan Desa Indeks Sentralitas Kecamatan
Tingkat perkembangan tinggi
1. > 41,66 Tenggarong (42)
(maju)
2. Tingkat perkembangan sedang 30,00 - 41,66 Tenggarong Seberang (34)
Tingkat perkembangan rendah Loa Janan (29) Loa Kulu (26)
3. < 30,00
(relatif tertinggal Sebulu (25) Muara Kaman (25)

Tabel 11. Tingkat Perkembangan Kecamatan di Zona Hulu Kabupaten Kutai Kartanegara.
No. Perkembangan Desa Indeks Sentralitas Kecamatan
Tingkat perkembangan tinggi
1. > 30,86 Kota Bangun (31)
(maju)
2. Tingkat perkembangan sedang 30,86 - 21,50 Muara Muntai (23)
Tingkat perkembangan rendah Muara Wis (17) Kenohan (19)
3. < 21,50
(relatif tertinggal Kembang Janggut (21) Tabang (18)

765
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Penetapan Pusat Pertumbuhan Wilayah


Dengan mengacu pada hasil analisis skalogram dan sentralitas di atas, maka wilayah
Kabupaten Kutai Kartanegara dapat ditetapkan sebanyak tiga (3) wilayah pusat pertumbuhan
pada tingkatan kecamatan berdasarkan tingkat perkembangan wilayah dan kemudahan akses
layanan barang dan jasa, antara lain:
(1) Pusat pertumbuhan wilayah I (zona pantai) yang berpusat di Kecamatan Muara Jawa dengan
daerah-daerah hinterland adalah kecamatan sekitar antara lain Kecamatan Samboja, Muara
Badak, Sanga-Sanga, Marang Kayu dan Anggana.
(2) Pusat pertumbuhan wilayah II (zona tengah) yang berpusat di Kecamatan Tenggarong
dengan daerah-daerah hinterland adalah kecamatan sekitar antara lain Kecamatan
Tenggarong Seberang, Loa Kulu, Loa Janan, Muara Kaman, dan Sebulu.
(3) Pusat pertumbuhan wilayah III (zona hulu) yang berpusat di Kecamatan Kota Bangun dengan
daerah-daerah hinterland adalah kecamatan sekitar antara lain Kecamatan Muara Muntai,
Kembang Janggut, Kenohan, Muara Wis dan Tabang.

Disain Pembangunan Wilayah


Berdasarkan kajian potensi wilayah dari berbagai aspek seperti Sumberdaya Manusia
(SDM), Sumberdaya Alam (SDA), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), dan kondisi
sosial-ekonomi dan budaya (SOSEKBUD) masyarakat, maka ada dua kegiatan utama yang perlu
dilakukan dalam pembangunan pertanian di kabupaten Kutai Kartanegara negara ini, yaitu
pembangunan kawasan dan pengembangan komoditas unggulan pertanian. Kedua kegiatan ini
dibagi dalam dua tahap pembangunan selama enam (6) tahun seiring berakhirnya masa RPJP
Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2005-2025.
Tahap I : 2019 – 2022
Terbangunnya fondasi pertanian di bagian hulu secara berkelanjutan sebagai sistem
pertanian terpadu untuk menjamin tercapainya ketahanan pangan, berdaya saing, dan menjamin
kesejahteraan petani. Pada tahap ini merupakan tahap pertumbuhan kawasan dimana pusat
pertumbuhan wilayah baru terbentuk pada tiga zona wilayah (hulu, tengah, dan hilir) disertai
pembangunan sarana dan prasarana wilayah yang diperlukan.
Tahap II : 2023 – 2025
Gambar 3 merupakan disain pembangunan wilayah di Kabupaten Kutai Kartanegara
berbasis komoditas unggulan pertanian

Gambar 3. Disain Pembangunan Pembangunan Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara Berbasis


Komoditas Unggulan Pertanian.

766
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pada tahap II ini merupakan tahap perkembangan wilayah yang merupakan kelanjutan dari
tahap I. Sarana dan prasarana pendukung wilayah semakin dikembangkan baik di daerah pusat
pertumbuhan maupun daerah belakang (hinterland) terutama industri hilir sebagai bagian dalam
penciptaan pasar sekaligus peningkatan nilai tambah dari komoditas unggulan yang ada. Pada
tahap ini diharapkan semakin berkembangnya pembangunan pertanian dalam pencapaian
ketahanan pangan dan pengembangan komoditas lainnya secara efisien sebagai penggerak
(penyangga) perekonomian daerah yang lebih berkualitas dan berkelanjutan didukung
pengembangan industri hilir pertanian untuk menjamin kesejahteraan petani.

Gambar 4. Ilustrasi Pembangunan Pertanian Berbasis Wilayah/Kawasan.

PENUTUP
Kesimpulan
1. komoditas unggulan yang potensi dikembangkan di Kabupaten Kutai Kartanegara antara lain
padi sawah, jagung dan singkong (tanaman pangan); kelapa sawit dan karet (perkebunan);
sapi potong, kambing, ayam kampung, ayam pedaging dan ayam petelur (peternakan); dan
perikanan laut, tambak, dan keramba (perikanan); serta suaka alam dan Hutan Produksi Tetap
(kehutanan).
2. Pertanian di Kabupaten Kutai Kartanegara dibangun berbasiskan wilayah dibangun dengan
membentuk pusat-pusat pertumbuhan wilayah yaitu di Kecamatan Kota Bangun untuk zona
hulu, di Kecamatan Tenggarong untuk zona tengah, dan di Kecamatan Muara Jawa untuk
zona pantai. Pembangunan pusat pertumbuahn wilayah ini harus didukung oleh daerah
belakang (hinterland) sebagai pusat produksi pertanian.
3. Pembangunan pertanian di Kukar dilaksanakan dalam dua (2) tahap dalam kurun waktu enam
tahun ke depan, yaitu (1) tahap pertumbuhan (2019-2022) dan (2) tahap pengembangan dan
pemantapan (2023-2025).
4. Fokus tahap pertama adalah penguatan on-farm didukung oleh pengembangan industri hulu
dan pada tahap 2 difokuskan pada pengembangan industri hilir (off-farm) dan perluasan
investasi pada pembangunan industri penunjang didukung oleh kegiatan on-farm

Saran
Sektor pertanian sudah harus dipacu pembangunannya disaat potensi sumberdaya alam
yang tidak terbarukan menurun/habis. Dalam membangun sektor pertanian, dilakukan
berbasiskan kewilayahan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan wilayah yang didukung
oleh daerah belakang (hinterland).

767
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
[BAPPEDA Kukar] Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kutai Kartanegara. 2012.
Grand Desain Pembangunan Pertanian Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2013-2025.
Bappeda Kukar. Tenggarong.
[BPS Kukar]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara. 2017. Kabupaten Kutai
Kartanegara Dalam Angka Tahun 2016. BPS Kukar. Tenggarong.
[BPS Kukar]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara. 2018. Kabupaten Kutai
Kartanegara Dalam Angka Tahun 2017. BPS Kukar. Tenggarong.
[BPS Prov. Kaltim]. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2017. Provinsi
Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2016. BPS Prov. Kaltim. Samarinda.
[BPS Prov. Kaltim]. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2018. Provinsi
Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2017. BPS Prov. Kaltim. Samarinda.
Budiharsono, B. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Kelautan. PT.
Percetakan Penebar Swadaya. Jakarta.
[DISTANAK Kukar] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Kutai Kartanegara.
2016. Rencana Strategis Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Kutai
Kartanegara Tahun 2016-2021. Distanak Kukar. Tenggarong.
[DKP Kukar] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara. 2018. Statistik
Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2017. DKP
Kukar. Tenggarong.
Hidayah, I. 2010. Analisis Prioritas Komoditas Unggulan Perkebunan Daerah Kabupaten Buru
(Pre-eminent Commodity Preference Analysis of Plantation of Sub-Province Buru). Jurnal
AGRIKA, Volume 4, Nomor 1, Mei 2010.
Hirscman.1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press. New Haven.

768
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Potensi Ekonomi dan Sosial Budidaya Gandum Tropika Varietas Guri 5


Social and Economic Potentials of Tropical Wheat Cultivation Guri 5
Tinjung Mary Prihtanti 1, Djoko Murdono2, dan Sarlina Palimbong3
1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian dan Bisnis, UKSW, Salatiga
2Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian dan Bisnis UKSW, Salatiga
3Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UKSW, Salatiga

ABSTRAK

Kata Kunci: Pola konsumsi pangan keluarga di Indonesia menunjukkan perubahan


gandum dibandingkan beberapa tahun lalu, dimana berkurangnya konsumsi beras,
Guri 5 dan meningkatnya konsumsi tepung gandum. Pola konsumsi keluarga
Potensi masyarakat petani biasanya adalah beras, ketela, dan jagung. Introduksi
Social-ekonomi budidaya gandum tropis merupakan upaya diversifikasi pangan keluarga,
Wates terutama pada keluarga petani di pedesaan. Hingga kini terdapat sekitar 10
varietas gandum yang merupakan varietas hasil-hasil penelitian yang
dikembangkan agar dapat tumbuh optimal di wilayah tropis, salah satunya
adalah Guri 5, yang merupakan tipe simpang varietas Dewata. Varietas Guri
5 memiliki potensi ekonomi tinggi karena potensi produktivitas mencapai 5
ton/ha dan adaptif ditanam di lahan dengan ketinggian 600 m dpl. Hasil
observasi di wilayah yang dilakukan pengenalan budidaya gandum, yakni di
Desa Wates, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang; potensi social
masyarakat petani masih relative rendah, ditunjukkan rendahnya persepsi dan
minat anggota kelompok tani untuk membudidayakan dan mengkonsumsi
gandum, yang disebabkan kurangnya pengetahuan tentang cara budidaya,
pengolahan hasil, dan pemasaran hasil.

ABSTRACT
Keywords: The pattern of family food consumption in Indonesia shows a change
Wheat compared to a few years ago, where the reduction in rice consumption, and
Guri 5 increased consumption of wheat flour. The consumption patterns of farming
potentials community families are usually rice, cassava and corn. The introduction of
socio-economic tropical wheat cultivation is an effort to diversify family food, especially in
Wates rural farming families. Until now there are about 10 varieties of wheat which
are varieties of research results developed so that they can grow optimally in
the tropics, one of which is Guri 5, which is a type of junction of the Gods
variety. Guri 5 variety has high economic potential because the productivity
potential reaches 5 tons / ha and is adaptively planted in land with an altitude
of 600 m above sea level. The results of observations in the area carried out
the introduction of wheat cultivation, namely in the Village of Wates,
Getasan District, Semarang Regency; The social potential of farming
communities is still relatively low, shown by the low perception and interest
of members of farmer groups to cultivate and consume wheat, which is
caused by a lack of knowledge about how to cultivate, process products, and
sell products.

Email Korespondensi: tinjung.prihtanti@uksw.edu

769
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Diversifikasi tanaman pangan dan diversifikasi pangan merupakan salah satu strategi
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi ketergantungan terhadap
konsumsi beras. Konsumsi beras yang tinggi, dipandang oleh pemerintah tidak mendukung
perbaikan harga beras dan kurang mendukung kesejahteraan petani padi. Diversifikasi tanaman
pangan merupakan upaya diversifikasi dari sisi produksi, sedangkan diversifikasi pangan
merupakan upaya diversifikasi dari sisi konsumsi. Diversifikasi pangan didefinisikan sebagai
memperbaiki mutu gizi makanan masyarakat agar lebih beragam dan seimbang (Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi III 2005), namun upaya ini belum terlihat nyata hingga saat ini.
Sebagai contoh ketergantungan pangan berbasis terigu yang merupakan produk impor dan
sampai saat ini belum dikembangkan serius di Indonesia. Dalam Sembiring dkk (2016), salah
satu komitmen penting pemerintah adalah tidak dengan mudah melakukan impor pangan.
Komitmen ini perlu disertai dengan komitmen untuk memanfaatkan sumber daya lokal atau
indigenous. Prinsipnya adalah mendorong pengembangan gandum di Indonesia sesuai dengan
UU 12 tahun 1992 dan undang-undang pangan.
Pengembangan gandum telah ditempuh pemerintah sejak awal abad ke-18, akan tetapi
tidak pernah menjadi tanaman penting dalam system usahatani. Upaya pengembangannya
diawali oleh Kementerian Pertanian melalui uji adaptasi gandum pada tahun 1978. Pada tahun
1981, Badan Litbang Pertanian melakukan penelitian gandum di Balai Penelitian Tanaman
Pangan (Balittan) Sukarami di Sumatera Barat. Penelitian mencakup pengujian adaptasi plasma
nutfah gandum yang diintroduksi dari berbagai negara. Dari sejumlah plasma nutfah introduksi
tersebut, beberapa di antaranya menunjukkan keragaan dan daya adaptasi yang cukup
menjanjikan pada lahan dataran tinggi, yang kemudian dilepas sebagai varietas unggul (Praptana
dan Hermanto, 2016).
Pengembangan komoditas gandum dirasa semakin penting mengingat semakin meningkat
pesatnya konsumsi masyarakat akan aneka pangan berbahan baku tepung gandum. Di tahun 2019
Kementrian Pertanian (Kementan) hendak mencoba mengembangkan budidaya tanaman
gandum di bagian timur Indonesia, antara lain Nusa Tenggara Timur dan Papua. Untuk
memenuhi kebutuhan pengembangan budidaya gandum tersebut, pemerintah dan Lembaga
penelitian berupaya mengembangkan berbagai varietas gandum yang dapat tumbuh optimal di
lahan tropis, memiliki karakteristik unggul, berdaya hasil tinggi, tahan penyakit, berumur
pendek, ataupun karakter lainnya. Salah satu varietas gandum yang memiliki karakter cukup baik
yakni Guri 5. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.
1160/Kpts/SR.120/11/2014, varietas Guri 5 Agritan memiliki karakter unggul dalam hal potensi
hasil biji mencapai 5,1 ton/ha dan tahan terhadap penyakit hawar daun (Helminthosporium
satnum). Varietas Guri 5 merupakan hasil seleksi tipe simpang varietas Dewata yang adaptif
ditanam pada dataran menengah hingga tinggi dengan ketinggian > 600 meter di atas permukaan
laut.
Pengembangan gandum secara bertahap diujicoba dan disebarluaskan kepada masyarakat
oleh beberapa lembaga, baik Lembaga pemerintah, Lembaga swadaya masyarakat, Lembaga
penelitian, maupun Lembaga Pendidikan, dalam bentuk penelitian maupun pengabdian
masyarakat. Tulisan ini berupaya menjelaskan potensi budidaya taaman gandum varietas Guri 5
dipandang dari sisi potensi ekonomi maupun social dengan mengambil studi kasus introduksi
budidaya gandum di Desa Wates, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Potensi
didefinisikan sebagai peluang baik berupa peluang material dan non material yang meningkatkan
nilai tambah suatu objek, dalam hal ini dilihat dari aspek ekonomi dan aspek social. Peluang
material dari budidaya gandum dapat ditinjau dari potensinya meningkatkan pendapatan atau
keuntungan usahatani bagi petani, potensinya menyediakan stok bahan pangan, serta pemenuhan
pangan bergizi bagi keluarga petani. Peluang non materal dari budidaya gandum dapat ditinjau
dari potensi lahan gandum sebagai objek pemandangan yang dapat pula mendukung potensi

770
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

ekonomi desa, maupun sebagai pendukung memelihara sumberdaya genetika atau


keanekaragaman hayati.
Tulisan ini menganalisis studi kasus introduksi budidaya tanaman gandum dalam program
pengabdian masyarakat yang dilakukan di Desa Wates, Kecamatan Getasan, Kabupaten
Semarang. Tanaman gandum yang diintroduksi adalah gandum varietas Guri 5 dan dari hasil
introduksi tersebut, hendak dilihat potensi ekonomi maupun potensi social budidaya gandum
menurut persepsi masyarakat mitra kegiatan tersebut. Melalui penelaahan potensi ekonomi dan
social ini, maka dapat diperoleh gambaran penerimaan masyarakat terhadap budidaya gandum,
kendala yang dihadapi dalam penyebarluasan budidaya gandum kepada masyarakat, sehingga
dapat diambil suatu kebijakan yang tepat jika dilakukan program diversifikasi tamanan pangan
maupun diversifikasi pangan.

KERANGKA KONSEP
Diversifikasi Pangan dan Tanaman
Diversifikasi pangan merupakan konsep terpadu yang memadukan berbagai perangkat
kebijakan dan tidak berdiri sendiri. Diversifikasi pangan terkait erat dengan diversifikasi
tanaman pangan, dimana diversifikasi pangan dari sisi konsumsi sedang diversifikasi tanaman
pangan dari sisi produksi. Diversifikasi tanaman pangan berkaitan dengan teknis pengaturan pola
bercocok tanam, maka diversifikasi konsumsi pangan akan mengatur atau mengelola pola
konsumsi masyarakat dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan. Pakpahan dan Suhartini
(1989) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup
pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan
pangan, dan diversifikasi produksi pangan.
Mengacu konsep pelaksanaan diversifikasi pangan selaras dengan konsep ketahanan
pangan (food security) yang diadopsi dari definisi ketahanan pangan dari Food and Agricultural
Organization (FAO). Ada empat pilar utama yang dibutuhkan untuk mewujudkan ketahanan
pangan, yaitu aspek ketersediaan (food availability), aspek stabilitas ketersediaan (stability of
supplies), aspek keterjangkauan (access to supplies). Dan aspek konsumsi pangan (food
utilization)
Permasalahan yang perlu diantisipasi dan diatasi dalam mewujudkan diversifikasi pola
konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang adalah: (1) besarnya jumlah penduduk
miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan rendah; (2) rendahnya pengetahuan
dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi; (3) masih dominannnya
konsumsi karbohidrat yang bersumber dari beras; (4) rendahnya kesadaran dalam penerapan
sistem sanitasi dan higienis rumah tangga; dan (5) rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
keamanan pangan (Elizabeth, 2011).

Budidaya Gandum di Lingkungan Tropis


Introduksi tanaman alternative sebagai tanaman pangan merupakan salah satu upaya yang
dapat ditempuh untuk mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan keluarga. Introduksi
gandum di Indonesia pernah dimulai oleh Departemen Pertanian, Seameo-Biotrop, dan PT
Bogasari Flours Mills. Gandum yang diujicoba merupakan gandum DWR-162 diintroduksi daei
India. Dalam Nur dkk (2016), materi genetic dalam introduksi gandum di Indonesia dirancang
untuk toleran terhadap suhu tinggi (heat toleran), dan merupakan awal mula rilisnya varietas
Dewata, dan selanjutnya pengembangan gandum di Indonesia melepas varietas lainnya, antara
lain Selayar dan Dewata.
Dalam Nur dkk (2012), gandum dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian >800 m dpl
dengan suhu 10-28 OC. Namun masih dapat dibudidayakan pada ketinggian ± 400 dpl meskipun
produktivitas yang diperoleh lebih rendah. Hasil penelitian Komalasari and Hamdani (2010)
menunjukkan beberapa varietas gandum dapat berproduksi hingga 5 ton pada ketinggian lebih dari
1000 dpl, dan mencapai 2,27 t/ha dengan ketinggian ±400 dpl pada iklim Indonesia.

771
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Budidaya gandum di Indonesia menghadapi keterbatasan dan kendala. Beberapa factor


pembatas, menurut Sleper dan Poehlman (2006) antara lain daya adaptasi terhadap iklim/
agroekosistem terutama respon terhadap fotoperiodisitas, dan perbedaan genetic yang
mempengaruhi kualitas biji yang pada akhirnya mempengaruhi karakteristik kimia dan fisika
gluten yang terkandung dalam biji gandum. Kendala dalam penyebarluasan budidaya gandum
dikemukakan beberapa peneliti, antara lain viabilitas polen yang rendah (Natawijaya (2012),
ketersediaan galur yang cocok ditanam di iklim tropis (Suwarti dan Safrudin (2016), pemasaran
dan rendahnya persepsi masyarakat terhadap budidaya gandum (Wicaksono (2018), dan
berbagai kendala teknis, ekonomi, maupun social lainnya.

Karakter Inovasi Teknologi


Penerimaan masyarakat akan suatu teknologi ataupun hal baru, semisal dalam hal ini adalah
penerimaan masyarakat akanbudidaya gandum, disebut sebagai adopsi. Rogers (1983) menyebutkan
adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang
paling baik. Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan, (cognitive),
sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima
“inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penerimaan mengandung arti
tidak sekadar “tahu”, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan
benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya.
Introduksi atau pengenalan suatu teknologi dipengaruhi karakter teknologi tersebut,
dimana menurut Rogers (1983) menjelaskan empat elemen kunci yang mempengaruhi yakni
karakter teknologi inovasi, sistem sosial, saluran komunikasi, dan waktu. Menurut model adopsi,
inovasi dapat dengan mudah diadopsi telah memenuhi kriteria tertentu, seperti jelas dan
keuntungan, selanjutnya, sebuah inovasi harus sederhana dan mudah dipahami, dibagi sebagai
praktek, terkait dengan risiko rendah dan kompatibel dengan nilai dan norma saat ini (Albrecht
1974;. Buttel et al 1990).

METODE PENELITIAN
Makalah ini merupakan hasil kegiatan pengabdian masyarakat berupa introduksi budidaya
gandum dan olahan pangan berbahan baku gandum kepada masyarakat petani (kelompok tani
Madyo Laras) di Desa Wates, Kecamatan getasan, Kabupaten Semarang. Kegiatan dilakukan
sejak bulan Juli 2019, dengan sasaran masyarakat yakni petani dan istri petani (wanita tani).
Petani merupakan mitra dalam membudidayakan gandum sedangkan istri petani menjadi mitra
dalam mengembangkan olahan pangan berbasis gandum yang dihasilkan dari hasil panen.
Kegiatan pengabdian tersebut menggunakan metode demplot 3 sistem pertanaman, yakni
budidaya gandum secara monokultur, budidaya secara tumpangsari gandum-brokoli, dan
gandum-tembakau.
Selain demplot, selama Kegiatan pengabdian dilakukan penyuluhan, pendampingan,
maupun pemberian modul untuk memperjelas pemahaman masyarakat mitra terhadap budidaya
dan pengolahan pangan gandum. Modul penyuluhan meliputi pengenalan gandum dan syarat
tumbuhnya, cara/teknis budidaya gandum meliputi persiapan lahan hingga panen dan pasca
panen, serta penyuluhan tentang produk tanaman gandum dan cara pengolahan secara sederhana.
Data penting yang diambil dalam kegiatan tersebut meliputi data pertumbuhan tanaman
gandum, maupun tanaman tumpangsarinya, dan data respon masyarakat untuk menyimpulkan
potensi ekonomi dan social budidaya gandum. Alat bantu pengambilan data meliputi logbook
dan kuesioner untuk mencatat setiap perkembangan tanaman maupun rincian kegiatan.
Kuesioner untuk melihat respon masyarakat digunakan setelah masyarakat mitra mendapatkan
kegiatan penyuluhan, pendampingan, dan membuat demplot. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan statistic deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN

772
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Karakteristik dan partisipasi masyarakat mitra


Kegiatan pengabdian masyarakat meliputi beberapa tahapan yakni observasi dan
sosialisasi kegiatan, penyuluhan pengenalan gandum dan cara/teknis budidaya, persiapan lahan,
penanaman, monitoring awal, serta evaluasi untuk dilakukan tindak lanjut. Setiap tahapan
kegiatan, baik sosialisasi, penyuluhan, maupun teknis budidaya di lahan, diikuti oleh setidaknya
15 petani anggota kelompok tani Madyo Laras dengan ketua kelompok pak Ma’mun.
Berdasarkan hasil observasi partisipasi kegiatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa respon
masyarakat cukup tinggi. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari peran ketua kelompok tani.
Dalam kegiatan ini, masyarakat aktif dalam pertemuan penyuluha tentang gandumn baik
di lapangan ataupun dalam pertemuan kelompok tani. Sejak awal mula kegiatan introduksi sejak
bulan Juli 2019, kegiatan penyuluhan rerata diikuti petani sebanyak 3-4 kali dan masih terus
berjalan hingga bulan Desember 2019. Selama kegiatan pengabdian ini, masyarakat mitra
memberikan respon yang positif dan saling mendukung. Dukungan masyarakat mitra
ditunjukkan oleh :
a. Penyediaan lahan untuk digunakan sebagai demplot, baik demplot budidaya monokultur
gandum, maupun demplot tumpangsari brokoli dan tembakau
b. Dukungan persiapan lahan budidaya oleh masyarakat mitra, dilakukan sekitar 15 petani yang
tergabung dalam kelompok tani
c. Dukungan kehadiran saat pertemuan sosialisasi kegiatan
d. Dukungan pemeliharaan berkala oleh beberapa petani
e. Dukungan penyediaan sarana produksi berupa alat penyiraman (sprinkle), mulsa, tiang, dan
pupuk
Profil petani mitra kegiatan antara lain umur dan pendidikan, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran Usia dan Pendidikan Petani Mitra.


Karakter % Rerata Terendah Tertinggi
Usia:
<= 30 tahun 10 %
31 – 40 tahun 20 %
41 – 50 tahun 50 % 44,2 tahun 30 tahun 58 tahun
51 – 60 tahun 20 %
>60 tahun 0%
Pendidikan:
Tidak sekolah 0%
SD 40 % Mayoritas SD SD Sarjana
SMP 10 %
SMA 20 %
Sarjana 30 %
Sumber: data primer (2019)

Berdasarkan hasil observasi kegiatan, ditemukan rata-rata petani sayuran di Kecamatan


Getasan berusia 44,2 tahun dan berpendidikan SD. Temuan tersebut menunjukkan bahwa petani
tidak selalu didominasi berusia tua diatas 60 tahun, sebagai contoh dengan hasil yang didapatkan
oleh Wicaksono dkk (2018) yang mengkaji respon masyarakat terhadap tanaman gandum
menyatakan bahwa rata-rata petani sayuran di Desa Arjasari Kabupaten Bandung berusia 43
tahunan dan penelitian Kurniawan dan Prihtanti (2018) menyatakan rerata usia petani padi di
Desa Pulutan, Kota Salatiga sekitar 55 tahun dan rerata pendidikan adalah SD.

773
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Hasil Budidaya: Pertumbuhan Tanaman Gandum


Hasil kegiatan penanaman gandum menunjukkan bahwa Petak monokultur memiliki
penampilan tumbuh yang paling baik dibandingkan pola tanam tumpangsari. Budidaya secara
monokultur menggunakan mulsa plastic sehingga terjaga kelembabannya. Petak tumpangsari
gandum – brokoli mencapai persentase yang tumbuh hanya 60% diduga disebabkan tanah yang
relative keras meskipun tanah basah. Petak tumpangsari gandum – tembakau, memiliki
penampilan tumbuh yang paling tidak bagus dimana persentase gandum yang tumbuh hanya
mencapai 30% diduga disebabkan daun tembakau menaungi lahan dan benih gandum.

Gambar 1. Tiga Demplot System Pertanaman Gandum.


(Gandum monokultur, Gandum-tembakau, dan Gandum-brokoli)
(Sumber: observasi 2019)

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, belum ditemukan gangguan hama dan penyakit
dalam pertanaman gandum varietas Guri 5

Respon Masyarakat Mitra terhadap kegiatan


Hasil kegiatan terhadap peningkatan pengetahuan, ketrampilan masyarakat mitra, dapat
dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kepuasan Masyarakat Mitra terhadap Kegiatan Introduksi Budidaya Gandum Guri 5.
(Sumber: observasi 2019)

Berdasarkan hasil analisis respon masyarakat yang tercatat dalam kuesioner, maka dapat
dikatakan masyarakat petani mitra sangat puas dengan kegiatan yang dilakukan dan berharap
dapat berlanjut di masa mendatang. Namun masih terdapat 20% petani yang cukup puas, dan
20% puas. Hal tersebut menjadi evaluasi agar hal-hal yang belum memuaskan dapat diperbaiki.
Manfaat yang didapatkan petani mitra beradarkan hasil wawancara, ditunjukkan pada
Gambar 3.

774
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

100.0%
80.0%
60.0%
40.0%
20.0%
0.0%

Gambar 3. Manfaat yang Didapatkan petani Mitra dalam


Kegiatan Introduksi Budidaya Gandum Guri 5.
(Sumber: observasi 2019)

Hingga di bulan September, kegiatan budidaya belum sampai pada tahapan panen sehingga
belum dapat disimpulkan produktivitas yang tercapai maupun keuntungan usahatani yang
didapatkan, baik dari tanam dengan system monokultur, maupun tumpangsari gandum-brokoli
dan gandum-tembakau.

Potensi Ekonomi dan Sosial Budidaya Gandum Guri 5


Hasil kegiatan introduksi gandum varietas Guri 5 pada masyarakat petani Desa Wates
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, menunjukkan beberapa peluang potensi yang dapat
dikembangkan. Potensi didefinisikan sebagai peluang materiil maupun non materiil yang
memberikan nilai tambah suatu objek dan atau kegiatan. Dalam aspek ekonomi, budidaya
gandum varietas Guri memnerikan potensi ekonomi, baik materiil dan non materiil, yakni:
1. Mengurangi risiko kegagalan panen dalam usahatani, dimana varietas Guri 5 merupakan
varietas yang adaptif terhadap ketinggian 600 m dpl dan berdasarkan hasil kegiatan yang
dilakukan di Wates, budidaya gandum Guri 5 tidak terserang hama dan penyakit;
2. Menambah pendapatan usahatani disamping budidaya tanaman utama (sayuran dan
tembakau) yang biasa ditanam, dilihat dari potensi pertumbuhan yang bagus dari budidaya
gandum secara monokultur maupun tumpangsari gandum-brokoli, dan potensi pendapatan
bagi petani lebih terbuka jika petani menjual hasil panan gandum untuk benih bukan untuk
konsumsi,
3. Menyediakan stok bahan pangan sumber protein jika gandum disimpan dengan cara yang
benar, dimana teknologi penyimpanan panen gandum mampu dilakukan oleh petani secara
sederhana,
4. Mendukung keanekaragaman hayati gandum, khususnya gandum varietas Guri 5.
Jika dibandingkan, pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani tembakau dan beberapa
jenis sayuran, maka usahatani gandum masih kalah memberikan potensi keuntungan usahatani.
Hal tersebut karena harga jual gandumm yang reltif rendah dan belum adanya pasar yang
menampung dengan harga lebih tinggi. Kebutuhan konsumsi gandum kasar maupun halus dari
hasil budidaya tingkat petani, masih terbatas, belum merambah di pasar lainnya, baik di tingkat
rumah tangga maupun industry. Peluang yang menjanjikan bagi pencapaian keuntungan bagi
petani adalah jika petani menjual hasil budidaya untuk kebutuhan benih gandum. Saat ini
pemerintah sedang gencar memperluas lahan untuk budidaya gandum, sehingga kebutuhan benih
gandum cukup tinggi. Di tahun 2019 Kementrian Pertanian (Kementan) mencoba
mengembangkan budidaya tanaman gandum di bagian timur Indonesia, dan untuk memenuhi
kebutuhan pengembangan budidaya gandum tersebut, pemerintah dan Lembaga penelitian
berupaya mengembangkan berbagai varietas gandum yang dapat tumbuh optimal di lahan tropis,
memiliki karakteristik unggul, berdaya hasil tinggi, tahan penyakit, berumur pendek, ataupun

775
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

karakter lainnya. Salah satu varietas gandum yang memiliki karakter cukup baik yakni Guri 5.
Potensi social dari budidaya gandum Guri 5 yang dilakukan di lokasi kegiatan pengabdian
masyarakat, antara lain:
1. Mendukung kualitas pangan keluarga, khususnya pangan sumber protein selain tahu, tempe,
telur, dan daging
2. Mendukung pembangunan masyarakat desa melalui pengembangan pemandangan gandum
dan agrowisata gandum.
Menurut Suarni dan Widowati (2016), mutu gandum bergantung pada jenis gandum dan
lingkungan tumbuhnya. Terdapat dua golongan, yaitu gandum keras (hard wheat) dan gandum
lunak (soft wheat). Menurut pemulia gandum Guri (Djoko Murdono), diperkirakan nutrisi Guri
ini akan mirip dengan nutrisi indukannya yaitu termasuk dalam kategori hard wheat/ durum
wheat. Dimana jenis hard wheat ini paling banyak dibudidayakan di dunia karena peruntukannya
dalam pembuatan roti sebab tinggi protein. Ciri benihnya yaitu kulit luar berwarna coklat, biji
keras, dan berdaya serap air tinggi, serta per bulir terdiri dari dua sampai lima butir gabah. Untuk
hasil analisis gandum Guri 5 belum ada sebab belum dilakukan analisa proksimat sehingga yang
akan dibahas adalah kandungan gizi gandum secara umum berdasarkan referensi.
Penelitian Widyawati dkk (2017) menyimpulkan hasil eksplorasi menunjukkan makanan
yang enak dan layak dijual berdasarkan uji organoleptik adalah sebanyak 21 jenis, yaitu:
1. Olahan berbahan dasar biji gandum utuh adalah: nasi goreng biji gandum, ampyang biji
gandum, wajik biji gandum, krasikan biji gandum, dan madu mongso biji gandum.
2. Olahan berbahan dasar biji gandum giling kasar adalah: bubur manis/gurih biji gandum, dan
jenang biji gandum.
3. Olahan berbahan dasar biji gandum giling halus adalah: kue talam, kue clorot, pastel, stick,
satru, nastar, kacang salju, bolu kukus, mie ayam, krupuk.
4. Olahan makanan berbahan dasar katul biji gandum adalah: adalah dodol dan cokies katul
gandum.
Penelitian Prihtanti dkk (2017) menyimpulkan bahwa agrowisata gandum di Desa Wates
memiliki potensi bagus dikarenakan iklim dan jenis tanah cukup sesuai untuk budidaya gandum,
vegetasii dominan berupa hamparan sayuran, dan adanya dukungan masyarakat dan pemerintah
untuk pengembangan wisata oleh masyarakat secara perorangan, perusahaan, maupun lembaga
pendidikan. Permasalahan yakni musim tanam gandum tidak selalu ada setiap bulan (periode
tanam gandum Mei-September), belum banyak masyarakat sekitar yang mau memanfaatkan
komoditas gandum sebagai tanaman budidaya ataupun produk usaha, dan fasilitas pendukung
yang belum mencukupi.

PENUTUP
Budidaya gandum memiliki potensi ekonomi dan social sebagai berikut:
1. keuntungan usahatani meskipun masih kalah dibandingkan budidaya tembakau dan
sayuran, namun resiko usahatani lebih rendah
2. Menambah pangan bergizi sebagai sumber protein
3. Petani dapat menjadi produsen benih gandum berkualitas dimana di Indonesia masih belum
ada
4. Mendukung keanekaragaman hayati gandum, khususnya gandum varietas Guri 5.
5. Memiliki potensi pemandangan yang eksotis untuk objek pariwisata pertanian desa
Pasar produk gandum yang terbatas perlu upaya yang konsisten memperkenalkan sumber
protein nabati

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kepada kelompok tani Madyo Laras, Bapak Ma’mun selaku ketua
kelompok tani, mahasiswa yang telah membantu selama kegiatan pengabdian masyarakat, dan
kepada Direktorat Jendral Riset dan Pendidikan Tinggi.

776
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Alfina. 2011. Pengaruh Model Tumpangsari terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Gandum dan tembakau. widyariset.pusbindiklat.lipi.go.id /index.php/
widyariset/ article/download/438/360
Kurniawan, Wijang Angga, dan Tinjung Mary Prihtanti. (2018). Jenjang Partisipasi dan
Determinan Partisipasi Petani dalam Introduksi Budidaya Padi Organik di Desa Pulutan,
Kota Salatiga. Jurnal Penyuluhan, Maret 2018 Vol 14 No. 1.: 158-167.
Nur, Amin, Muh. Azrai, dan Made Jaya Mejaya. (2016). Pembentukan Varietas Unggul Gandum
di Indonesia. Gandum: Peluang Pengembangan di Indonesia: 135-152.
Praptana, R. Heru. dan Hermanto. 2016. Gandum peluang Pengembangan di Indonesia. Peluang
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Indonesia Agency for Agricultural
Research and Development (IAARD) Press.
Prihtanti, Tinjung Mary, Nugraheni Widyawati, Theresa Dwi Kurnia. 2017. Potensi agrowisata
Komoditas Gandum Berbasis Daya Dukung Lingkungan. Prosiding seminar nasional
“Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan kearifan Lokal Berkelanjutan VII”
jurnal.lppm.unsoed.ac.id/ojs/index.php/Prosiding/article/ download/506/510
Suwarti dan Syafruddin. (2016). Teknologi Budidaya Gandum di Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru 20 Juli 2016.
Suarni, & Widowati, S. (2016). Struktur dan Komposisi Biji dan Nutrisi Gandum. In Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Wicaksono, Fiky Yulianto, Yudithia Maxiselly, Tati Nurmala, Putri Utami Suherman, Alfika
Fauzan, dan Andala Muhamad Nurdin. (2018). Respon Masyarakat terhadap Pengenalan
Tanaman GAndum dan Produk-Produknya di Desa Arjasari Kecamatan Arjasari
Kabupaten Bandung. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat Vol 7 No. 1
Maret 2018:32-37.
Widyawati, Nugraheni. (2012). Menekan Kerentanan Budidaya Gandum (Triticum aestivum
L.Var. Dewata) Akibat Perubahan Pola Hujan Melalui Model Tumpangsari dengan
Tembakau (Nicotiana tabacum L.). Jurnal Agric. Vol. 24 No.1
Widyawati, Nugraheni, Theresa DK, Djoko Murdono, Sony Heru Priyanto. 2015. Eksplorasi
Olahan Pangan berbasis Gandum. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.

777
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Peran Wirausaha Sebagai Pelopor Pembangunan Ekonomi Perdesaan


yang Berkelanjutan
The Entrepreneurs’ Roles As The Sustainable Rural Economic
Development Agents
Tuhpawana P. Sendjaja1, dan Kusnadi Wikarta2
1Kordinator Tim ALG SRED dan 2Anggota Tim ALG SRED

ABSTRAK

Kata Kunci: Pembangunan ekonomi di suatu wilayah baik di perdesaan maupun di perkotaan
Wirausaha sering berdampak pada kerusakan lingkungan. Secara ideal diusahakan
Agen Pembangunan pembangunan ekonomi di suatu wilayah sejalan dengan terpeliharanya
Daerah Aliran Sungai lingkungan di wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi perdesaan yang
Bakat Kewirausahaan berkelanjutan atau Sustainable Rural Economic Development atau disingkat
dengan SRED merupakan salah satu judul dari Fakultas Pertanian Unpad yang
termasuk dalam Program Academic Leadership Grant (ALG).. Judul penelitian
ini merupakan bagian dari SRED tersebut. Keberhasilan pembangunan ekonomi
perdesaan yang berkelanjutan bergantung pada peran para wirausaha setempat
dalam mengembangkan usahanya.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sampai sejauh mana peran para wirausaha setempat sebagai agen pembangunan
yang berkelanjutan. Daerah penelitian difokuskan pada beberapa desa di
Kecamatan Surian yang termasuk pada Wilayah Sub DAS Cikandung Bagian
Tengah DAS Cipunagara. Wawancara intensif dilakukan terhadap masing-
masing 1 wirausaha di tiap desa dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, Selain
itu, beberapa wirausaha di masing-masing desa dijadikan sampel untuk dikaji
bakat kewirausahaannya dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil
temuannya adalah sebagai berikut: Para wirausaha yang berhasil di desanya
pernah mengenyam kehidupan di tempat lain baik di kota- besar atau di kota
kabupaten.. Usaha baru yang mereka kerjakan ialah produksi dan memasarkan
produk-produk agribisnis baik tanaman baru, ternak sapi, ternak kambing atau
ternak unggas, atau produk agribisnis lainnya misalnya sarang burung wallet.
Bakat kewirausahaan mereka umumnya kuat di indikator ambitious dan risk
taker tapi lemah di persuader dan performer. Dihubungkan dengan umur dan
pendidikan responden wirausaha, bakat kewirausahaan tidak kuat hubungannya,
tua atau muda, pendidikan tinggi atau rendah relative sama.Bakat kewirausahaan
lebih dipengaruhi oleh lingkunan keluarga atau lingkungan komunitas sehari-
hari. Untuk sementara usaha mereka masih belum merusak kualitas lingkungan
terkecuali usaha sarang burung wallet yang berada di lingkungan pemukiman.
Prospek ke depan bantuan modal usaha dari ALG SRED akan dikaji bagaimana
mereka mengelolanya dan bagaimana perkembangan usahanya.

ABSTRACT

Keywords: Regional economic development both in rural and urban areas often has an
Entrepreneurship impact on environmental damage. Ideally, regional economic development
Development Agent should be pursued in line with the preservation of the environment in the
Wtershed region. Sustainable rural economic development or abbreviated as SRED is
Entrepreneurial Talent one of the research titles proposed by the Faculty of Agriculture Padjadjaran
University (Unpad) through the Academic Leadership Grant (ALG)
Program..Specifically the title of this research is part of the SRED. The

778
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

success of sustainable rural economic development depends on the role of


local entrepreneurs in developing their businesses. This study aims to
determine the extent of the role of local entrepreneurs as the agents of
sustainable economic development. The research area is focused on several
desaa in Kecamatan Surian Kabupaten Sumedang as part of the Middle
Stream Cikandung Sub Watershed of the Cipunagara River Basin Area..
Intensive interviews were conducted with one entrepreneur in each desa and
analyzed descriptive qualitatively.. In addition, several entrepreneurs in each
desa were sampled to study their entrepreneurial talents and analyzed
descriptive quantitatively. The findings are as follows: Successful local
entrepreneurs have spent their lifes in other places both in big cities or in
regency cities. The new business they are doing is producing and marketing
agribusiness products, new comercial plants, cow, , sheep, poultry, or other
agribusiness products such as bird's nest wallet. Their entrepreneurial talent
is generally strong in ambitious and risk takers indicators but weak in
persuaders and performers indicators. Associated with the age and education
of entrepreneurs respondents, entrepreneurial talent is not strongly related,
young or old, higher or lower education is relatively the same.
Entrepreneurial talent is more influenced by the family or the daily
community environment. For the time being, their businesses have not
damaged the quality of the environment, except for the bird's nest wallet,
which is located in a residential area. Prospects in the future, venture capital
assistance from ALG SRED will be examined how they manage it and how
it develops their business.

PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi suatu wilayah tidak lepas kaitannya dengan peran pelaku
kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Dengan kondisi fisik disertai dengan tingkat aksesibilitas
wilayah diantaranya keadaan infrastruktur jalan, jaringan irigasi, listrik, telpon setiap kepala
keluarga merespons kondisi tersebut dengan melakukan kegiatan ekonomi dalam memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Di dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tersebut tentu saja
tingkatannya akan berbeda-beda bergantung kepada tingkatan jiwa kewirausahaan masing-
masing. Bagi mereka yang berjiwa wirausahanya tinggi akan lebih cepat menangkap peluang
ekonomi yang ada dibandingkan dengan yang kebanyakan di lingkungannya. Melalui
kemampuan menangkap peluang tersebut untuk selanjutnya bisa menggunakan tenaga dari
sekitar lingkungannya atau bisa juga menciptakan rantai pasok rantai pasok yang baru. Secara
efek ganda akan terjadi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut dengan berkelanjutan karena
mereka melakukan kegiatan ekonominya di daerah sendiri. Untuk itu, penelitian ini ingin
mengungkap sampai sejauh mana wirausaha-wirausaha yang ada di daerah penelitian berperan
dalam membangun ekonomi wilayahnya yang berkelanjutan. Dari 4 desa yang diteliti sementara
terungkap minimal terdapat 1 orang wirausaha yang bisa memberikan dampak bagi tetangganya
sekitar, terutama para pemuda yang kebetulan masih banyak waktu untuk membantu. Bahasan
berikut secara deskriptif disampaikan secara kasus masing-masing wirausaha dalam
melaksanakan kegiatan ekonominya.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan ialah studi kasus (case study) dengan subyek yang diteliti ialah
para wirausaha yang dianggap menjadi pelopor dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi
yang ada di wilayahnya.. Jumlahnya bergantung pada jumlah wirausaha di desa atau dusun,
minimal dari masing-masing desa satu orang wirausaha. Obyek yang diteliti ialah peran
wirausaha tersebut dalam membuka peluang usaha, melaksanakan usaha tersebut, berapa banyak

779
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pihak lain yang terlibat keterkaitan dengan usaha yang dijalankannya baik berupa tenaga kerja
maupun sebagai rantai pasok. Analisis yang digunakan ialah deskrptif kualitatif tentang hasil
wawancara dan observasi di lapangan. Daerah yang diteliti ialah 5 desa di Kecamatan Surian
Sumedang yang berada di Sub Daerah Aliran Sungai Cikandung bagian tengah yaitu Desa
Wanajaya, Desa Ranggasari, Desa Wanasari, Desa Pamekarsari dan Desa Surian. Selain itu,
untuk mengetahui latar belakang bakat kewirausahaan para wirausaha di lima desa tersebut,
digunakan pendekatan kuantitatif dengan mengambil sampel wirausaha sebagai responden untuk
ditest bakat kewirausahaannya.
Test bakat kewirausahaan yang digunakan ialah yang diterbitkan Kemendikbud yang terdiri
atas 5 indikator : Risk Taker, Ambitious, Performer, Leader, dan Manager.Setiap indikator
terdapat 8 pernyataan dan setiap pernyataan dinilai 1 yang paling rendah sampai 5 yang paling
tinggi. Oleh karena itu setiap indikator nilainya 8 yang paling rendah dan 40 yang paling tinggi,
dengan klasifikasi sebagai berikut : ≤12 sangat rendah, 13-20 rendah, 21-28 sedang, 29-36 tinggi,
dan≥37 sangat tinggi.

HASIL ANALISIS.
Deskriptif Kualitatif
Dari 4 desa yang diteliti sementara terungkap minimal terdapat 1 orang wirausaha yang
bisa memberikan dampak bagi tetangganya sekitar, terutama para pemuda yang kebetulan masih
banyak waktu untuk membantu. Bahasan berikut secara deskriptif disampaikan secara kasus
masing-masing wirausaha dalam melaksanakan kegiatan ekonominya.
Bpk. Kosiwa dari Dusun Pari Desa Wanajaya. Beliau berumur 49 tahun saat penelitian
dilaksanakan, di usia sebelumnya, waktunya sebagian banyak dicurahkan di Kota Tanggerang
Jawa Barat. Selama itu,beliau berkecimpung dalam dunia tataniaga atau rantai pasok di kotanya.
Jaringan usaha dengan berbagai retailer besar sudah terjalin dengan baik. Atas dasar kelancaran
jaringan usaha rantai pasok beliau dengan berbagai retailer besar tersebut, beliau tertarik untuk
menjadi produsen di daerah asalnya yaitu di Dusun Pari Desa Wanajaya untuk beberapa
komoditas agribisnis yang mempunyai nilai tambah lebih besar dibandingkan dengan komoditas
konvensional yang sehari-harinya diusahakan di dusun asalnya itu. Dengan pertimbangan bahwa
dia usahatanikan dan sekaligus dia memasarkannya langsung tanpa perantara lagi. Artinya dari
segi pemasarannya tidak ada masalah. Banyak tenaga kerja yang beliau libatkan dalam membantu
usahatani komoditas agribisnis modern ini baik sebagai tenaga kerja langsung atau juga sebagai
tenaga tetap membantu usahataninya. Soal input, modal, faktor produksi lainnya, tidak ada
masalah , yang dirasakan olehnya saat ini ialah kualitas SDM yang membantu dia. Komoditas
agribisnis modern yang mempunyai nilai tambah yang tinggi memerlukan keterampilan yang
lebih teliti dan rumit dibandingkan dengan komoditas konvensional di desanya. Tidak mudah bagi
tenaga lokal untuk bisa lebih profesional dan teliti, diawal-awal tentu mengalami kelambatan
sikap untuk mengubahnya, tapi lama-lama bisa mengikutinya.
Walaupun demikian, jelas sementara peran Bp Kosiwa sebagai pelopor pembangunan
ekonomi di desa tersebut sudah eksis melalui pemanfaatan lahan yang tersedia, inovasi agribisnis
yang sebelumnya belum ada, pengenalan komoditas modern baru, tenaga sekitar termanfaatkan,
dan meningkatnya kegiatan transportasi dan angkutan
Bpk. Itok/Ade dari Dusun Bobos Desa Wanajaya. Beliau dari keluarga yang putra
putrinya banyak yang hidup di kota dan Bpk. Itok pun pernah tinggal di kota. Dimulai beberapa
tahun yang lalu beliau tertarik untuk kembali ke desa dan punya perhatian untuk membangun
desanya melalui berwirausaha yang menurut beliau bisa berkembang. Keinginannya untuk
memulai usaha baru itu cukup tinggi, jadi selalu ingin mencoba dan mencoba. Dimulai dengan
mengusahakan sawah dengan berbagai komoditi dengan menggunakan teknik budidaya yang
relatif modern, disertai dengan mengusahakan bebek untuk produksi telur. Di tegalan beliau
mencoba dan mengusahakan tanaman jeruk purut , selain itu beternak kambing juga yang
kotorannya bisa digunakan sebagai pupuk organik untuk tanamannya. Di luar usahatani beliau

780
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

juga memelihara sarang burung walet, untuk selanjutnya beliau merancang untuk mengusahakan
ternak sapi dengan modal hasil dari usaha di atas, dengan harapan suatu saat dapat bantuan bibit
dari Pemerintah
Bpk. Rudi Ardiansyah sebagai Ketua Kelompok Peternak Sapi Limosin di Desa
Ranggasari . Dengan keuletannya dalam memelihara sapi potong ditambah dengan sikap
kepemimpinannya yang amanah, ketua ini bisa membawa peternak sapi potong yang lainnya
untuk bergabung dalam kelompok untuk mengemban amanah dititipkan beberapa ekor sapi dari
Pemerintah Propinsi dan Kabupaten. Dengan kepemimpinannya, Alhamdulillah kelompok
peternak sapi potong ini berjalan dengan baik sampai saat ini dan mendapatkan penghargaan dari
Pemerintah atas keberhasilan mengembangkan eksistensinya . Tanpa kepeloporan ketua
kelompok tersebut peternak lainnya tidak akan memelihara sapi dengan telaten sehingga jumlah
sapinya makin bertambah rata-rata menjadi 4 ekor setiap peternak. Dengan keberhasilan
kelompok peternak sapi potong ini mengundang berbagai sumber pendanaan baik dari
Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten. Dengan bertambahnya jumlah ekor sapi yang
dipelihara berarti aktivitas ekonomi secara makro bertambah. Walaupun pengelolaan bersama
secara kooperatif belum terwujud tapi rasa kebersamaan dalam kelompoknya sudah terlihat.
Bpk.Toto Salya di Dusun Wanasari Desa Wanasari. Sama juga seperti yang lainnya Bpk
Toto Salya ini sebelumnya pernah hidup di kota dan pernah mencoba berusaha di kota. Memulai
usahatani dengan usaha di tegalan dan sedikit di sawah. Saat ini tanaman lada lagi ngetrend bagi
petani di sekitar ke 4 desa tersebut yaitu di tegalan disertai dengan tanaman pisang selain sebagai
pelindung tanaman lada juga sebagai tanaman produktif dan saat ini merupakan program
pengembangan agroindustri pengolahan hasil pisang yang sudah dicoba oleh beberapa
orang.Tidak lengkap kalau tidak disertai dengan usaha ternak baik ternak kecil /kambing maupun
ternak besar/sapi. Hal ini dilakukan dengan pola usahatani terpadu yang berkelanjutan.
Bpk. Jajang di Desa Pamekarsari. Beliau juga pernah mencurahkan hidupnya di perkotaan,
oleh karena itu pengalaman orientasi ekonominya relatif lebih tinggi dari yang lain. Sebagian
besar luasan Desa Pamekarsari ini ialah tegalan dibandingkan dengan lahan sawah. Oleh karena
itu, sebahagian usahataninya ialah di tegalan . Dua jenis tanaman yang bersaing satu-sama lainnya
di tegalan ialah kayu jati dengan tanaman lada. Pada saat ini banyak tanaman kayu jati yang
ditebang dan diganti dengan tanaman lada. Tanaman kayu jati umurnya panjang sering petani
harus menunggu lama hasilnya, tapi kalau tanaman lada cepat hasilnya untuk dipanen dan dijual.
Penanaman pisang sebagai pelindung tanaman lada sekaligus juga produktif.

Deskriptif Kuantitatif
Gambaran Umum Responden
1) Jumlah Responden. Jumlah wirausaha sebagai responden di tiap desa ialah sebagai berikut:
Desa Wanajaya 7 orang, Desa Ranggasari 14 orang, Desa Wanasari 10 orang, Desa
Pamekarsari 6 orang dan Desa Surian 7 orang. Jumlah responden seluruhnya 44 orang.
2) Umur Responden. Umur responden diklasifikasi menjadi 5 kelas dengan jumlahnya sebagai
berikut: < 30 tahun sebanyak 2 orang (4,54%), 30-39 tahun 9 orang (20,45%), 40-49 tahun
16 orang (36,37 %), 50-59 tahun 13 orang (29,56 %), ≥ 60 tahun 4 orang (9,08 %). Sebaran
umur responden menyerupai sebaran normal dengan frekwensi terbanyak di umur 40-49
tahun.
3) Pendidikan Responden. Pendidikan responden diklasifikasi menjadi 5 kelas dengan
jumlahnya sebagai berikut: Tidak tamat SD tidak ada (0%), Tamat SD 13 0rang (29,55 %),
Tamat SLTP 8 orang (18,18 %), Tamat SLTA 21 orang (47,72 %), dan Sarjana 2 orang (4,55
%). Sebahagian besar hampir setengahnya responden berpendidikan SLTA, SDM ini
merupakan potensi untuk membangun ekonomi perdesaan yang berkelanjutan di 5 desa
penelitian ini.
4) Matapencaharian Responden. Matapencaharian responden dalam analisis bakat kewira-
usahaan diklasifikasi hanya menjadi 2 kriteria dengan jumlahnya masing-masing sebagai

781
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

berikut: Bertani saja 18 orang (40,91 %) dan Bertani dan Usaha lain 26 orang ( 59,09 %).
Dengan melihat fenomena ini, para wirausaha bermatapencaharian ganda atau malahan ada
yang 3 atau 4 secara parallel, dengan lain perkataan SDM wirausaha banyak yang berkreasi
untuk melakukan kegiatan ekonomi kreatif.

Bakat Kewirausahaan
Gambaran Umum
Dari 44 responden wirausaha skor bakat kewirausahaan yang paling rendah ialah 15,8
(rendah) dan paling tinggi 32,7 (tinggi) dengan rata-rata 26,9 (sedang). Rata-rata per desa skor
bakat kewirausahaannya semuanya termasuk klasifikasi sedang, walaupun terdapat sedikit variasi
yaitu dari yang paling tinggi: Desa Pamekarsari 28,0, Wanajaya 27,4, Ranggasari 27,0, Surian
26,6, dan Wanasari 25,7. Dari sisi indikator bakat kewirausahaan dari seluruh responden, rata-
rata skor indikator berurut dari yang paling tinggi yaitu : Indikator ambitious 31,8 (tinggi), risk
taker 28,6 (tinggi), leader 27,1 (sedang), manager 26,1 (sedang), persuader 24,2 (sedang), dan
performer 23,8 (sedang). Dari sisi aspirasi target untuk dicapai para wirausaha di daerah penelitian
sudah dapat dibanggakan, Alhamdulillah relatif sudah mempunyai wawasan ke masa

Tabel 1. Skor Bakat Kewirausahaan Wirausaha di 5 Desa di Kecamatan Surian Sumedang.


N Desa RiskTaker Persuader Ambitious Performer Leader Manager Jumlah
1o Wanajaya 29.57 25.00 33.57 23.14 27.29 25.86 164.43
2 Ranggasari 28.86 24.64 31.07 23.21 27.36 26.71 161.86
3 Wanasari 26.8 23.5 29.3 24.3 25.5 24.5 153.9
4 Pamekarsari 30 24.83 33.67 25.33 26.83 27.33 168
5 Surian 27.86 22.86 31.29 22.86 28.43 26.14 159.43
Jumlah 143.09 120.83 158.90 118.84 135.41 130.54 807.62
Rata-rata 28.62 24.17 31.78 23.77 27.08 26.11 161.52
Klasifikasi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang

Keterangan: 12 Sangat Rendah, 3-20 Rendah, 1-28 Sedang, 9-36 Tinggi, 37 Sangat Tinggi

Gambar 1. Skor Bakat Kewirausahaan untuk Setiap Indikator.


depan. Untuk keberanian menanggung risiko walaupun tidak setinggi indikator ambisi sudah
lumayan dibandingkan dengan indikator lainnya. Bakat kepemimpinan, bakat mengelola, dan
tampil di depan publik masih perlu ditingkatkan lagi karena masih dalam klasifikasi sedang.
Demikian juga secara keseluruhan rata-rata per desa termasuk klasifikasi sedang diperlukan suatu
pelatihan untuk meningkatkan bakat/jiwa kewirausahaannya. Secara rinci data untuk gambaran
umum bakat kewirausahaan bisa dilihat di Tabel 1 dan Gambar 1.

782
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Umur Responden


Dari rata-rata skor, umur yang pling muda (< 30 tahun) memperlihatkan bakat
kewirausahaan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih tua yaitu 28,6
(tinggi) diikuti dengan yang berumur 50-59 tahun 27,2 (sedang), berumur 40-49 tahun 26,8
(sedang), berumur 30-39 tahun 26,3 (sedang), dan terakhir yang berumur ≥ 60 tahun 26,0
(sedang). Dilihat dari segi variasi bakat kewirausahaan di masing-masing klasifikasi umur,
dengan menggunakan konsep range dibagi rata-rata, dapat disimpulkan bahwa pada umur
yang relatif lebih muda yaitu di umur < 30 tahun dan umur 30-39 tahun bakat
kewirausahaannya relatif seragam yaitu dengan variasi 28,7% dan 22,8%, demikian juga bagi
yang sudah berumur paling tua yaitu di umur ≥ 60 tahun dengan variasi 35,8%. Sementara di
umur sedang puncak-puncaknya prestasi dan kinerja skor bakat kewirausahaannya relatif lebih
beragam dengan variasi 41,4 % di umur 4049 tahun, dan 57,7 % di umur 50-59 tahun. Fenomena
tersebut dapat dimengerti bahwa di usia muda usahanya baru dimulai demikian juga bahwa di
usia lanjut kegiatan usahanya sudah mulai redup. Untuk ini data rinci bisa dilihat di Tabel 2 dan
Gambar 2.

Tabel 2. Skor Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Umur Wirausaha di 5 desa di Kecamatan


Surian Kabupaten Sumedang.
Nomor Umur Jumlah Persent Skor Bakat Kewirausahaan Klasifikasi
(tahun) (orang) ase (%) Minimum Maksimum Range Rata-rata
1 < 30 2 4,54 24,5 32,7 8,2 28,6 Tinggi
2 30-39 9 20,45 23,2 29,2 6,2 26,3 Sedang
3 40-49 16 36,37 21,2 32,3 11,1 26,8 Sedang
4 50-59 13 29,56 15,8 31,5 15,7 27,2 Sedang
5 ≥ 60 4 9,08 20,2 29,5 9,3 26,0 Sedang
Jumlah 44 100,00 15,8 32,7 16,9 26,94 Sedang

Gambar 2. Skor Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Umur Responden.

Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Pendidikan Responden.


Dengan klasifikasi pendidikan responden wirausaha di atas dicoba dihubungkan dengan
bakat kewirausahaan responden dengan asumsi latar belakang lingkungan geografis saat
pertumbuhan anak-anak ke dewasa adalah relatif sama yang berbeda hanya lingkungan keluarga.
Gambaran umum tentang pendidikan responden telah digambarkan pada 3) di atas. Secara rata-
rata skor bakat kewirausahaan antar klasifikasi pendidikan tidak jauh berbeda yaitu semua berada
pada klasifikasi sedang tidak ada yang tinggi apalagi sangat tinggi atau rendah. Wlaupun

783
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

demikian, secara absolut berurut dari yang skornya paling tinggi ke yang paling rendah, yaitu:
Tamat SLTA (27,4), Lulus S1 (26,9), Tamat SLTP (26,9), dan terakhir Tamat SD (25,9). Sepintas
dapat disimpulkan bahwa latar belakang pendidikan secara formal tidak serta merta berkorelasi
dengan bakat kewirausahaan. Untuk meningkatkan bakat kewirausahaan diperlukan pendidikan
nonformal ataupun informal melalui pendidikan luar sekolah atau pelatihan-pelatihan disertai
dengan pendampingan dalam jangka waktu tertentu. Dilihat dari keragaman skor bakat
kewirausahaan dalam masing-masing klasifikasi pendidikan seperti berikut, dari yang paling
beragam : Tamat SD 50,2 %, Tamat SLTA 42 %, Tamat SLTP 31, 6 %, dan Lulus S1 15,6 %.
Secara rinci gambaran keterkaitan pendidikan dengan bakat kewirausahaan terlihat pada Tabel 3
dan Gambar 3.

Tabel 3. Skor Bakat Kewirausahaan berdasarkan Pendidikan Wirausaha di 5 Desa di Kec Surian
Sumedang
Jumlah Persentase Skor Bakat Kewirausahaan Rata-
Pendidikan
(orang) % Minimum Maksimum Range rata
Tidak Tamat SD 0 _ _ _ _
Tamat SD 13 29,55 15,8 29,0 13,2 25,9
Tamat SLTP 8 18,18 23,8 32,3 8,5 26,9
Tamat SLTA 21 47,72 21,2 32,7 11,5 27,4
Lulus S1 2 4,55 24,8 29,0 4,2 26,9
Jumlah 44 100,00 15,8 32,7 16,9 26,9

Gambar 3. Skor Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Pendidikan Wirausaha di 5 Desa di


Kecamatan Surian Kabupaten Sumedang.

Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Matapencaharian Responden


Seperti yang sudah dikemukakan pada Gambaran Umum 4) di atas, klasifikasi
matapencaharian hanya ada 2 yaitu bertani saja dan bertani serta usaha lain, dengan
pertimbangan bahwa yang berusaha lain di luar bertani tentu mempunyai bakat kewirausahaan
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya bertani saja. Apakah itu terbukti
pernyataan tersebut? Untuk itu skor bakat kewirausaan berdasarkan matapencaharian bisa dilihat
pada Tabel 1.4. Dilihat dari angka minimum, maksimum, range, rata-rata, serta indukator
keragaman, pemuda dan wirausaha di daerah penelitian, responden yang berusaha lain selain
bertani bakat kewirausahaanya lebih tinggi walaupun terlalu signifikan bedanya. Dengan
gambaran sebagai berikut: skor minimum dari semua 44 orang responden ialah responden yang

784
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

hanya bertani saja ( 15,8 rendah) dibandingkan dengan yang juga berusaha lain ( 21,2 sedang).
Skor maksimum dari semua 44 responden dicapai oleh responden yang berusaha lain selain
bertani (32,7 tinggi), dibandingkan dengan yang hanya bertani saja (31,5 tinggi). Dari sisi
keragaman skor, responden yang berusaha lain di luar bertani skor bakat kewirausahaannya
relatif seragam ( 42,78%) dibandingkan dengan yang hanya bertani saja ( 58,76 %). Dari skor
rata-rata, yang berusaha lain di luar bertani menunjukkan skor lebih tinggi (26,88 sedang)
dibandingkan dengan yang hanya bertani saja ( 26,72 sedang) walaupun perbedaannya hanya
0,16. Walaupun skor rata-rata nya relatif lebih tinggi, prioritas utama untuk mendapatkan
pelatihan dan pendampingan tentang jaiwa kewirausahaan, manajemen bisnis, penggunaan IT,
manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen lingkungan dan kearifan local ialah
mereka yang sudah mencoba berusaha lain selain bertani. Untuk itu bisa dilihat data di Tabel 4
dan Gambar 4.

Tabel 4. Skor Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Mata Pencaharian Wirausaha di 5 Desa di


Kecamatan Surian Kab.Sumedang
Jumlah Persentase Skor Bakat Kewirausahaan
Mata pencaharian Maksi
(orang) (%) Minimum Maksimum Rata-rata
Bertani Saja 18 40,91 15,8 31,5 26,72 31,5
Bertani dan
Usaha
Lainnya 26 59,09 21,2 32,7 26,88 32,7
Jumlah 44 100,00 15,8 32,7 26,94 32,7

Gambar 4. Skor Bakat Kewirausahaan Berdasarkan Mata Pencaharian.

KESIMPULAN
1. Secara deskriptif kualitatif, paling tidak di suatu lingkungan komunitas baik secara geografis
maupun secara administratif terdapat seorang wirausaha yang kadar kreativitas, keinovatifan,
dan keberanian ambil risikonya relatif lebih tinggi dari tetangganya. Para wirausaha tersebut
umumnya sebelum melakukan berwirausaha di desanya telah berpengalaman hidup di kota
dan banyak melihat peluang-peluang bisnis produksi komoditas agribisnis di desanya dengan
mengamati harga-harga produk agribisnis di kota.
2. a) Bakat kewirausahaan pada umumnya responden wirausaha di lima desa yang diteliti
berada pada tingkat sedang. Sekalipun demikian, untuk indicator kewirausahaan
ambitious dan risk taker memperlihatkan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan
indicator yang lainnya terutama yg skornya rendah untuk indicator persuader dan
performer yang terkait dengan keterampilan komunikasi dan kinerja bisnis yang perlu
ditingkatkan.
b. Bakat kewirausahaan berdasarkan umur responden wirausaha tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata satu sama lainnya, walaupun demikian para wirausaha muda
memperlihatkan skor yang paling tinggi akan tetapi dengan tingkat variasi yang relative

785
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

rendah artinya relative seragam pada umur yang sama demikian juga di umur yang paling
tua di atas 60 tahun. Sebaliknya di umur-umur lagi topnya berwirausaha yaitu 40-50
tahun tingkat variasinya cukup tinggi .
c. Bakat kewirausahaan berdasrkan pendidikan responden wirausaha juga tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata satu sama lainnya, walaupun demikian secara
rata-rata yang berpendidikan lulus SLTA skor bakat kewirausahaannya relative lebih
tinggidari yang lainnya yaitu 27.4 (sedang). Pada deskriptif kualitatif dimunculkan
beberapa wirausaha yang umumnya adalah lulusan SLTA tapi berpengalaman hidup di
kota atau di tempat lain. Sepertinya tingginya tingkat pendidikan tidak menjamin bakat
kewirausahaannya tinggi pula. Bakat kewirausahaan muncul karena lingkungan keluarga
dan lingkungan pekerjaannya.
d. Respoden wirausaha yang mata pencahariannya beragam lebih dari yang hanya bertani
saja memperlihatkan bakat wirausahanya relative lebih tinggi. Tentu saja hal ini
disebabkan tingkat keberanian mengambil risikonya

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Muhammad Arief. 2016. Perdagangan Ritel Agribisnis di Kabupaten Sumedang. ALG
SRED 2016.
Deliana, Yosini., Rani Andriani B. Kusumo, and Dini Rochdiani. 2016. “Green Entrepreneur in
Increasing Family’s Incobus. Faculty of Agriculture Padjadjaran University- Bandung –
INDONESIA. Seminar Internasional di Malang pada tanggal 2016.
Deliana, Yosini dan E. Kusnadi Wikarta. 2016. Aplikasi Green Marketing dalam Pembangunan
Ekonomi Perdesaan Berkelanjutan (The Aplication of Green Marketing in Sustainable
Rural Economic Development, SRED) . ALG SRED 2016.
Djuwendah, E., Tuhpawana. P Senjaya, E. Kusnadi Wikarta, and M. Arief Budiman. 2016.
Community Based Ecotourism Development in Jatigede Reservoir Region in Sumedang
Regence. Dosen Prodi Agribisnis Faperta UNPAD
Sendjaja. 2016. Peran Wirausaha sebagai Pelopor Pembangunan Ekonomi Perdesaan yang
Berkelanjutan (The Entrepreneurs Roles as the Sustainable Rural Economic Development
Agents). ALG SRED 2016.
Suminartika, Eti dan E. Kusnadi Wikarta. 2016. Membangun Agroindustri yang Berbasis Kedele
di Perdesaan. ALG SRED 2016.
Tawaf, Rochadi dan E. Kusnadi Wikarta. 2016. Peluang Pengembangan Agribisnis
Penggemukan Sapi Potong, Pemasaran, dan Kemitraannya di SubDAS Cikandung DAS
Cipunegara. ALG SRED 2016.
Trimo, Lucyana. 2016. Membangun Perdesaan Melalui Kegiatan Ekonomi Produktif dan
Kreatif. ALG SRED 2016.
Wikarta. E. Kusnadi dan Endah Djuwendah. 2016. The Strategy of Green Economy for Reducing
Population Pressure om Land of the Cimanuk River Basin and Jati Gede Reservoir. West
Java Province Indonesia. Lokakarya Nasional Evaluasi Resettlement Orang Terkena
Dampak (OTD) Waduk Jati Gede. Bandung November 2016.
Wikarta, E. Kusnadi dan Rochadi Tawaf, 2016. Tahapan Membangun Agribisnis Model LEISAs
Peternakan Sapi Potong dan Pola Pengembangannya di SubDAS Cikandung DAS Cipunegara
Lingkup Desa Ranggasari Kecamatan Surian Kabupaten Sumedang. ALG SRED 2016.

786
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Wikarta, E. Kusnadi; Tuhpawana P. Sendjaja, Endah Djuwendah, dan Muhammad Arief


Budiman. 2016. Meningkatkan Jasa Layanan Agroekosistem SubDAS Cikandung Daerah
Aliran Sungai (DAS) Cipunegara “. ALH SRED 2016.
Wikarta, E. Kusnadi, Eti Suminartika, Endah Djuwendah, dan Muhammad Arief Budiman. 2016.
Pengelolaan Limbah Agroindustri yang Berbasis pada Bahan Baku Kedele. ALG SRED
2016.

787
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analisis Kelayakan dan Risiko Usahatani Jambu Kristal (Psidium guajava


L.) di Desa Karangcengis Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga
Analysis of Feasibility and Risk of Crystal Guava (Psidium guajava L.)
Farming in Karangcengis Village, Bukateja Sub-District,
Purbalingga Regency
Venti Lusyani1, Pujiharto1, dan Sulistyani Budiningsih1
Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto

ABSTRAK

Kata kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek kelayakan usahatani jambu
Kelayakan Risiko kristal, menganalisis kelayakan usahatani jambu kristal, dan mengetahui besarnya
Usahatani Jambu risiko produktivitas, harga dan pendapatan usahatani jambu kristal di Desa
Kristal Karangcengis. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan penentuan
jumlah sampel menggunakan rumus slovin. Analisis deskriptif kualitatif untuk
menjelaskan aspek-aspek kelayakan usahatani jambu kristal. Kelayakan usahatani
dianalisis dengan menggunakan Break Event Point dan R/C Ratio. Analisis
koefisien variasi digunakan untuk mengetahui besarnya risiko produktivitas, risiko
harga dan risiko pendapatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa, usahatani jambu
kristal layak untuk dilaksanakan dilihat dari potensi pemasaran, teknik budidaya dan
dampak sosial, ekonomi, lingkungan yang baik. Jumlah penerimaan petani pemilik
dan sewa lahan dalam 1 tahun produksi adalah Rp. 17.040.190,48 dan Rp.
16.478.625,00 diatas nilai BEP penerimaan yang didapat. Dengan nilai R/C ratio
sebesar 3,11 dan 1,73 sehingga usahatani jambu kristal layak untuk dijalankan.
Koefisien variasi produktivitas sebesar 0,045, koefisien variasi harga sebesar 0,013,
dan koefisien variasi pendapatan diperoleh 0,108 Artinya petani jambu kristal
terhindar dari kerugian karena risiko produktivitas, harga dan pendapatan yang
ditanggung petani kecil

ABSTRACT

Keywords: This study aims to find out the aspects of the feasibility of crystal guava farms,
Feasibility Risk analyze the feasibility of crystal guava farms, and to determine the great risk of
Crystal Guava productivity, price and income of crystal guava farms in Karangcengis Village. The
Farming method used is a survey method and sampling techniques used the Slovin formula.
Qualitative descriptive analysis is used to explain the aspects of the feasibility of
crystal guava farming. The feasibility of crystal guava farms was analyzed using
BEP and R / C Ratio. The coefficient of variation analysis is used to determine the
magnitude of productivity risk, price risk and income risk. The results of the crystal
guava farms is feasible seen from the great marketing potential, proper cultivation
techniques and good social, economic, environmental impact. The income received
by the owner and rented- land farming in 1 year of production is Rp. 17,040,190.48
and Rp. 16,478,625above the acceptance BEP value obtained. With an R / C ratio
of 3.11 and 1.73, it is said that the crystal guava farming is feasible to run. The
coefficient of productivity variation of 0.045, the coefficient of price variation of
0.013, the coefficient of income variation was 0.108 means that guava farmers in
Karangcengis Village avoid losses due to productivity, price and income risks borne
by ordinary farmers.
Email Korespondensi: venti1usyani26Agmai1.com

788
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Pertanian merupakan salah satu sektor yang penting dalam pembangunan perekonomian
di Indonesia. Pertanian merupakan sektor utama dalam penyedia bahan pangan, penyedia bahan
baku industri, dan kesempatan kerja bagi penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (2017), sektor pertanian mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam Indonesia pada
tahun 2017 yaitu sebesar 13,6%.
Pembangunan pertanian tidak hanya di arahkan pada satu komoditas tertentu, tetapi pada
seluruh komoditas pertanian, salah satunya adalah tanaman hortikultura buah-buahan
(Saastratmadja, 1985). Salah satu komoditi yang memiliki potensi adalah jambu kristal (P sidium
giajava L.). Jambu kristal mempunyai ukuran buah yang besar, tekstur buah yang bersih dan biji
yang minim, oleh karena itu buah ini memiliki prospek yang menjanjikan untuk dikembangkan.
Desa Karangcengis merupakan salah satu desa yang muali memproduksi jambu kristal.
Usahatani jambu kristal dipilih petani di Desa Karangcengis sebagai pengganti komoditas lain
seperti jeruk yang sudah menurun produktivitasnya. Selain itu dari segi harga jambu kristal
tergolong stabil.
Namun pada umumnya masih terdapat kendala yang terjadi dalam kegiatan usahatani
jambu kristal seperti hama dan penyakit, dan penggunaan sarana dan prasarana produksi juga
masih sederhana. Tujuan penggunaan analisis kelayakan dan risiko usahatani dilakukan untuk
mengetahui layak atau tidaknya usahatani yang dijalankan serta mengetahui berapa besar tingkat
risiko yang akan ditanggung, terutama pada usahatani jambu kristal yang tergolong baru. Oleh
karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis kelayakan dan risiko usahatani jambu
kristal di Desa Karangcengis Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Penelitian mengenai kelayakan usahatani dan risiko usahatani jambu kristal bertujuan
untuk mengetahui kelayakan usahatani serta besar tingkat kemungkinan risiko salama proses
produksi berlangsung. Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan
sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.

789
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

METODE PENELITIAN
Metode penentuan lokasi penelitian dengan sengaja (purposive). Metode yang digunakan
adalah metode survei dan teknik pengambilan sampel menggunakan rumus slovin (Sarwono,
2006) dengan tingkat kesalahan 10% dan tingkat kepercayaan 90%.

n = Error!
n = Error!
n = 50 sampel

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan purvosive sampling. Metode


pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi dan dokumentasi. Metode
analisis data dilakukan menggunakan deskriptif kualitatif untuk menjelaskan aspek kelayakan
usahatani jambu kristal. Kelayakan usahatani dianalisis dengan menggunakan Break Event Point
dan R/C Ratio.
Menurut Suratiyah (2006), untuk menganalisis BEP secara sistematis dapat dirumuskan
seabagai berikut:

BEP (Penerimaan) = Error!

BEP (Produksi) = Error!

BEP (Harga) = Error!

R/C Ratio merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya yang
dikeluarkan selama proses produksi jambu kristal.

R/C = Error!
Keterangan :
R/C = Perbandingan antara penerimaan dengan total biaya.
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya

Analisis koefisien variasi digunakan untuk mengetahui besarnya risiko produktivitas,


risiko harga dan risiko pendapatan. Menurut (Hernanto, 1993) koefisien variasi (CV) secara
sistematis dapat dapat dirumuskan sebagai berikut:

CV = Error!
Keterangan :
CV = Koefisien Variasi
 = Standar Deviasi
X = Data Rata-rata
Untuk menghitung standart deviasidaat menggunkan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
CV = Koefisien Variasi
 = Standar Deviasi
X= Rata-rata

790
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Dengan ketentuan apabila CV < 0,5 maka risiko yang akan ditanggung oleh petani semakin
kecil.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Aspek-aspek Kelayakan Usahatani Jambu Kristal
Aspek-aspek nonfinansial yang diteliti meliputi aspek pasar dan pemasaran, teknis,
manajemen, dan sosial,ekonomi dan lingkungan. Analisis aspek kelayakan nonfinansial
usahatani jambu kristal menjadi penting diteliti karena usahatani yang baik harus mampu
memeberikan benefit baik finansial maupun sosial.
Berdasarkan Tabel 1 diatas, jumlah permintaan buah jambu kristal tidal( pernah
mengalami penurunan yang signifikan Rata-rata penawaran jambu kristal selama 1 tahun sebesar
2.357 kg dengan harga kisaran Rp. 6.000/kg — Rp. 8.000/kg ditingkat petani. Adapun distribusi
jambu kristal di Desa Karangcengis dijual langsung hasil panennya ke pedagang pengumpul
dengan harga yang sudah ditentukan. Selain itu ada juga petani yang langsung menjual hasil
pertaniannya sendiri dengan diecer, dengan harga kisaran Rp. 10.000/kg sampai dengan Rp.
12.000/kg.

Tabel 1. Aspek Nonfinansial Usahatani Jambu Kristal di Desa Karangcengis.


No Aspek Yang Diteliti Keterangan
1 Aspek Pasar dan Pemasaran
Permintaan Permintaan tergolong stabil, dilihat dari produk jambu kristal yang
selalu laku dipasaran
Penawaran dan estimasi penjualan Penawaran selama 1 tahun sebesar 2.357 kg dengan estimasi
penjualan seluruh hasil produksi dipasarkan oleh petani.
Harga Rp. 6.000/kg — Rp. 8.000/kg
Pemasaran langsung dipasarkan ke pengepul dan diecerkan sendiri
2 Aspek Teknis
Pengadaan dan Penggunaan Faktor Faktor produksi yang digunakan antara lain lahan, peralatan, pupuk
Produksi dan pestisida dan tenaga kerja.
Lokasi Usahatani Jambu Kristal Kondisi fisik Desa Karangcengis cocok dan sesuai untuk budidaya
jambu kristal.
3 Aspek Manajemen
Pengetahuan dan Pengalaman Mayoritas responden memproduksi 3-4 tahun terakhir. Adapun
Usahatani Jambu Kristal teknik budidaya yang dilakukan meliputi, persiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan, pemupukan, penyemprotan, dan
pemanenan.
Bentuk kerja sama dengan pengepul Tidak terdapat bentuk kerja sama secara tertulis dengan pengepul
Keterbatasan Pengetahuan Petani Keterbatasan petani pada manajemen pembukuan
Peran dan .... Kelembagaan Belum ada bantuan dari pemerintah kepada petani jambu kristal di
Desa Karangcengis
4 Aspek Sosial, Ekonomi, dan
Lingkungan
Aspek Sosial Mempererat hubungan sosial petani jambu kristal
Aspek Ekonomi Dapat memenuhi kebutuhan petani sehari-hari
Aspek Lingkungan Tidak ada dampak yang ditimbulkan
Sumber: Data Primer Diolah 2019.

Kelayakan Usahatani Jambu Kristal


Jumlah produksi yang dihasilkan petani yang melakukan usahatani diatas lahan pribadi
selama 1 tahun produksi dihitung sejak Juli 2018 hingga Juni 2019 adalah 2.355 kg dengan harga
rata-rata Rp. 7.238/kg. Sedangkan jumlah produksi yang dihasilkan petani yang melakukan
usahatani pada lahan sewa sebesar adalah 2.367 kg dengan harga rata-rata Rp. 6.875/kg. Adapun
untuk lebih jelasnya daat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.

791
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 2. Rata-rata Penerimaan dan Pendapatan Petani Responden Selama 1 tahun Produksi.
No Keterangan Jumlah Petani Pemilik Jumlah Petani Penyewa (Rp)
(Rp)
1 Penerimaan 17.040.190,48 16.478.625,00
Produksi (kg) 2.355 2.367
Harga (Rp) 7.238 6.875
2 Total Biaya 6.946.273,52 10.519.010,00
Pendapatan 10.093.916,95 5.959.615,00
Sumber: Data Primer Diolah, 2019.

Jumlah penerimaan petani pemilik dan sewa dalam satu tahun produksi adalah Rp.
17.040.190,48 dan Rp. 16.478.625,00 diatas nilai BEP penerimaan yang didapat. Dan besar
pendapatan yang diperoleh petani adalah Rp. 10.093.916,95 dan Rp. 5.959.615,00. BEP
Produksi pada petani pemilik lahan diperoleh hasil 38,43 kg, jumlah produksi yang dihasilkan
sebesar 2.355 kg. BEP produksi pada petani penyewa lahan sebesar 642,38kg jumlah produksi
yang dihasilkan adalah 2.367 kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan
BEP produksi usahatani jambu kristal menguntungkan. Nilai BEP harga yang diperoleh sama
dengan rata-rata harga perkilo jambu kristal di Desa Karangcengis yang berlaku. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Analisis Break Event Point Penerimaan, Produksi dan Harga Usahatani Jambu
Kristal Selama 1 Tahun Produksi.
No Keterangan Petani Pemilik Lahan Petani Penyewa Lahan
Jumlah Nilai BEP Jumlah Nilai BEP
1 Penerimaan (Rp) 17.040.190,48 278.103,97 16.478.625,00 4.416.338,36
2 Produksi (kg) 2.355 38,43 2.367 642,38
3 Harga (Rp) 7.238 7.238 6.875 6.875
Sumber: Data Primer Diolah, 2019.

Adapun nilai R/C ratio usahatani jambu kristal yang diperoleh adalah 3,11 dan 1,73
sehingga usahatani jambu kristal dikatakan menguntungkan dan layak untuk dijalankan.

Tabel 4. Nilai RIC Ratio Usahatani Jambu Kristal .


No Keterangan Nilai R/C Ratio
1 Petani Pemilik Lahan 3,11
2 Petani Penyewa Lahan 1,73
Sumber: Data Primer Diolah 2019.

Risiko Usahatani Jambu Kristal


Koefisien variasi produktivitas yang diperoleh petani jambu kristal adalah 0,045 atau 4,5%
risiko produktivitas pada usahatani jambu kristal yang dilakukan tidak memenuhi rata-rata
produktivitas yang diharapkan. Koefisien variasi harga sebesar 0,013 atau 1,3% risiko harga pada
usahatani jambu kristal tidak memenuhi rata-rata harga yang ada dilapang. Kofisien variasi
pendapatan diperoleh nilai 0,108 atau 10,8% risiko pendapatan pada usahatani yang dilakukan
tidak memenuhi rata-rata jumlah pendapatan yang diharapkan. Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa nilai koefisien variasi (CV) < 0,5, artinya petani jambu kristal di Desa
Karangcengis terhindar dari kerugian karena risiko produktivitas, harga dan pendapatan yang
ditanggung petani semakin kecil.

792
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Usahatani jambu kristal di Desa Karangcengis layak untuk dilaksanakan dilihat dari potensi
pemasaran, teknik budidaya dan dampak sosial ekonomi lingkungan yang baik
2. Jumlah penerimaan petani pemilik dan sewa dalam 1 tahun produksi adalah Rp.
17.040.190,48 dan Rp. 16.478.625,00 diatas nilai BEP penerimaannya. Dengan nilai R/C
ratio usahatani jambu kristal adalah 3,11 dan 1,73 sehingga usahatani jambu kristal layak
untuk dijalankan.
3. Koefisien variasi produktivitas petani jambu kristal adalah 0,045, koefisien variasi harga
sebesar 0,013, dan kofisien variasi pendapatan 0,108. Artinya petani terhindar dari kerugian
karena risiko produktivitas, harga dan pendapatan yang ditanggung petani kecil.

Saran
1. Perlu adanya pergantian tanaman yang produktivitasnya mulai menurun menjadi usahatani
jambu kristal untuk peningkatan produktifitas.
2. Perlunya pembentukan kelompok tani aktif sebagai wadah dalam mendapatkan informasi
mengenai usahatani jambu kristal.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Tuhan YME, kedua orang tua dan seluruh pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan jurnal ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2017. Produk Domestik Brut° Indonesia Triwulanan. BPS: Jakarta.
Hernanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. PT. Penebar Swadaya: Jakarta.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Kkuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sastraadmadja, E. 1985. Ekonomi Pertanian Indonesia, masalah, gagasan dan strategi. Angkasa,
Bandung.
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta: UI Press.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatzf, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suratiyah, Ken. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.

793
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kompetensi Kewirausahaan Pengusaha Industri Mikro dan Kecil


Berbasis Pangan di Kota Padang
Entrepreneurship Competencies Food-Based Micro and Small Industry
Entrepreneurs in Padang City
Zednita Azriani1, Rika Hariance1, dan Cindy Paloma1
1Program Studi Agribisnis Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Kata Kunci: Karakteristik kewirausaahaan menjadi suatu komponen yang penting dalam
Kewirausahaan menjalankan usaha, terutama bagi industri pengolahan berbasis pertanian.
Kompetensi Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik Industri Mikro
Industri Kecil dan Kecil yang berbasis pangan di Kota Padang dan menganalisis pengaruh
karakteristik kewirausahaan terhadap kompetensi kewirausahaan yang
dimiliki pelaku usaha. Penelitian ini menggunakan sampel pengusaha
Industri Mikro dan Kecil berbasis pangan di Kota Padang dengan metode
pengambilan sampel secara random sampling. Analisis data yang digunakan
yaitu deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan Partial Least
Square (PLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar Industri
berbasis pangan di Kota Padang merupakan usaha mikro dan industri
rumahtangga yang memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang. yang
merupakan ciri dari industri mikro atau industri rumah tangga. Perempuan
menjadi pelaku usaha IKM yang cukup besar di Kota Padang. Pengalaman
usaha dari pengusaha IKM sebagian besar dibawah 1 tahun, namun pada
umumnya pengusaha IKM pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan dan
pembukuan yang diadakan oleh Dinas Koperasi dan Perdagangan.
Karakteristik Psikologis Pengusaha IKM mempengaruhi kompetensi
Kewirausahaan. Karakteristik kewirausahaan yang terkait dengan
kepercayaan terhadap kemampuan diri akan mempengaruhi kompetisi
kewirausahaan berupa kemamuan dalam mengelola keuangan sendiri.
ABSTRACT

Keywords: Entrepreneurial characteristics become an important component in running a


Entrepreneurship business, especially for agriculture-based processing industries. This study
Competence aims to describe the characteristics of food-based micro and small industries
Small industry in Padang City and analyze the effect of entrepreneurial characteristics on
entrepreneurial competencies possessed by business actors. This study uses a
sample of food-based Micro and Small Industry entrepreneurs in the city of
Padang with a random sampling method. Analysis of the data used is
descriptive qualitative and quantitative using Partial Least Square (PLS). The
results showed that the majority of food-based industries in Padang City were
micro businesses and household industries that had a workforce of less than
5 people which is characteristic of the micro industry or home industry.
Women become quite large SMEs in the city of Padang. Most of the business
experience of SMEs is under 10 years, but in general SMEs have participated
in entrepreneurship and bookkeeping training conducted by the Department
of Cooperatives and Trade. Psychological Characteristics of SMEs
Entrepreneurs affect Entrepreneurship competence. Entrepreneurial
characteristics associated with confidence in self-ability will affect

794
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

entrepreneurial competition in the form of the ability to manage their own


finances

Email Korespondensi: zednitaunand@gmail.com

PENDAHULUAN
IKM dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional karena memiliki peran
yang besar, antara lain: (1) banyak menyerap tenaga kerja, (2) menciptakan nilai tambah dari
produk primer menjadi produk yang lebih memiliki nilai guna, dan (3) banyak menggunakan
bahan baku lokal Kuncoro (2003). Salah satu IKM yang berkontribusi besar adalah IKM yang
bahan bakunya berasal dari hasil pertanian tanaman pangan, seperti beras, jagung, dan lainnya.
Di sisi lain, IKM masih menghadapi berbagai kendala. Permasalahan yang sering timbul dalam
pengembangan IKM sangat berhubungan dengan karakteristik yang dimiliki oleh pelaku
IKM.Kendala yang dihadapi oleh IKM secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 faktor, yaitu
faktor internal dan eksternal(Hafsah, 2004). Kedua faktor tersebut sama-sama memiliki
kontribusi yang besar dalam meningkatkan kapasitas IKM dalam mengembangkan produk dan
usahanya. Beberapa kelemahan yang dimiliki oleh IKM tersebut membuat usaha IKM tersebut
seperti jalan ditempat. Jumlah unit IKM tersebut sangat besar, namun perkembangan usahanya
stagnan dari tahun ke tahun, teknologi dan produk yang dibuat tidak mengalami perkembangan
yang berarti. Jangkauan pasar dan metode pemasaran yang digunakan juga masih banyak yang
tradisional dan tidak berkembang. Sehingga, kemampuan dan karakteristik kewirausahaan dari
pelaku usaha IKM sangat diperlukan agar mampu beradapatasi dengan lingkungan usaha yang
semakin dinamis.
Karakteristik kewirausahaan dari pelaku IKM sangat mempengaruhi pengembangan usaha
dan kinerja usaha dari IKM. Karakteristik kewirausaahaan menjadi suatu komponen yang
penting dalam menjalankan usaha, terutama dalam IKM. Karakteristik kewirausahaan yang kuat,
akan berpengaruh terhadap kinerja usaha yang dijalankan oleh pelaku IKM. Salah satu cara
meningkatkan kinerja usaha yaitu dengan memperkuat karakteristik kewirausahaan yang
dimiliki. Baum et al. (2001) dalam Pramuswari (2018) menyatakan bahwa karakter seseorang,
kompetensi umum dan kompetensi khusus yang dimiliki serta motivasi berpengaruh secara
positif terhadap pertumbuhan usaha. Islam et al. (2011) juga menemukan bahwa karakter
pengusaha dan karakter IKM berpengaruh terhadap kesuksesan IKM.
Kota Padang merupakan salah satu daerah di Sumatera Barat yang memiliki jumlah IKM
yang cukup besar. Jumlah IKM yang ada di Kota Padang pada Tahun 2016 sebanyak 21 945
unit, dan lebih dari 50 persen merupakan IKM berbasis pangan. Jumlah unit usaha yang besar
juga didukung dengan peningkatan produksi dan usaha. Namun, orientasi pelaku usaha IKM
berbasis pangan masih dalam skala lokal dan belum melakukan inovasi-inovasi dalam
produknya. Hasil penelitian Azriani dan Rusda (2018) menunjukkan bahwa Jumlah pengusaha
IKM yang melakukan inovasi dalam bentuk produk, proses, teknologi, kemasan masih sangat
sedikit. Rendahnya inovasi yang dilakukan oleh pelaku IKM berkaitan dengan karakteristik
kewirausahaan yang dimiliki oleh pelaku IKM. Daya krekatifitas, motivasi berprestasi,
kemandirian, kemampuan pengambilan risiko, keuletan, orientasi masa depan, komunikatif dan
reflektif, kepemimpinan, dan penghargaan terhadap uang merupakan indikator kewirausahaan
yang dapat menjadi dasar bagi pelaku usaha IKM dalam meningkatkan kinerja usahanya.
Karakter seseorang, kompetensi umum dan kompetensi khusus yang dimiliki serta motivasi
berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan usaha. Dengan demikian penelitian ini akan
melihat Bagaimana karakteristik wirausaha dari pelaku usaha IKM, serta bagaimana pengaruh
karakteristik wirausaha tersebut terhadap kompetensi kewirausahaan pelaku usaha IKM.

795
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Karakteristik Kewirausahaan
Wirausaha adalah pelaku utama dalam pembangunan ekonomi dan fungsinya adalah
melakukan inovasi atau kombinasi-kombinasi yang baru untuk sebuah inovasi. Wirausaha
melakukan suatu proses yang disebut creative destructive untuk menghasilkan suatu nilai tambah
(added value) guna menghasilkan nilai yang lebih tinggi.Untuk itu keterampilan wirausaha
berintikan kreativitas (Hendro, 2011). Sedangkan, karakteristik kewirausahaan merupakan kualitas
atau sifat yang tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan
seorang pribadi, suatu objek, suatu kejadian, intergrasi atau sintesis dari sifat-sifat individual dalam
bentuk suatu atau kesatuan dan kepribadian seseorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis dan
moral (Faisal, 2002 dalam Setyawati et al., 2013).
Praktito (2015) juga menyatakan seorang wirausahawan tidak hanya memiliki skill
operasional unit usaha yang unggul tetapi harus memiliki keterpaduan pengetahuan, mental dan
watak yang harus diimplementasikan melalui kemampuan manajemen wirausaha yang tangguh.
Model terpadu kewirausahaan menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi tindakan dan keberhasilan berwirausaha. Faktor-faktor tersebut adalah
kepribadian wirausahawan, pengaruh sosial, kemampuan berkreasi, ketersediaan fasilitas
pendukung lokal, kemampuan mengontrol fasilitas pendukung dan sumberdaya lokal serta,
kemampuan akses permodalan.

Pengaruh Karakteristik Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha


Kinerja berasal dari pengertian performance, yaitu hasil kerja atau prestasi kerja.
Pengertian kinerja yang lebih luas selain sebagai hasil kerja juga proses pekerjaan itu
berlangsung. Kinerja dapat juga diartikan tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara
mengerjakannya (Wibowo, 2013).
Sari et al (2016) menemukan bahwa karakteristik kewirausahaan baik itu karaktersitik individu
maupun karakteristik psikologis berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha. Hal ini
menunjukkan pentingnya untuk membangun karakteristik kewirausahaan karena karakteristik
kewirausahaan menentukan keberhasilan usaha. Disamping itu penelitian Putri et al (2017)
menunjukkan variabel orientasi kewirausahaan yang meliputi tujuan perusahaan, penciptaan produk,
inovasi produk dan risiko berpengaruh secara simultan terhadap kinerja produk. Namun secara
parsial hanya inovasi produk dari variabel orientasi kewirausahaan yang msemiliki pengaruh
signifikan terhadap kinerja produk pada agroindustri kopi di Kota Bukittinggi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menjadi IKM pangan sebagai objek penelitian, karena IKM memiliki
kontribusi yang sangat penting dalam perekonomian, namun, disisi lain, juga memiliki banyak
kendala dan permasalahan yang harus diatasi. Aspek Internal dan eksternal IKM masih menjadi
kendala penting dalam pengembangan usaha IKM.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan menggunakan panduan wawancara dan kuesioner. Data sekunder
digunakan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan penelitian ini, seperti laporan, hasil
penelitian terdahulu serta studi kepustakaan lainnya. Data yang dikumpulkan terdiri dari data
IKM di Kota Padang, karakteristik individu pelaku IKM, karakteristik usaha IKM, yang terdiri
dari modal, penggunaan tenaga kerja, skala usaha, asset, aspek operasional dan sumber daya
manusia IKM, karakteristik wirausaha pelaku IKM, kinerja usaha yang terdiri dari produksi,
volume penjualan, dan keuntungan IKM. Variabel-variabel yang akan diamati dalam penelitian
ini terdiri dari variabel karakteristik individu pelaku IKM, yang terdiri dari: usia, pendidikan,
pengalaman usaha; karakteristik psikologis yang terdiri pekerja keras, percaya diri, disiplin,
berani mengambil resiko, innovatif, mandiri, motivasi, komunikatif, dan bertanggung jawab.

796
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kompetensi kewirausahaan, Populasi dari penelitian ini adalah IKM pangan yang ada di
beberapa kecamatan di Kota Padang. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa kecamatan
yang memiliki jumlah IKM terbesar, Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 56 sampel. Data
yang telah diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis dengan merode analisis deskriptif
kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif diolah dan dianalisis secara deskriptif. Sedangkan
data kuantitatif diolah dengan bantuan program Microsoft excel 2010 dan dianalaisis
mnggunakan pendekatan smart partial least square (PLS).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Responden IKM dalam penelitian ini tersebar di beberapa kecamatan yang ada di Kota
Padang, antara lain Kecamatan Kuranji, Kecamatan Koto Tangah, dan Kecamatan Pauh. Hasil
penelitian akan dibagi menjadi 2 pembahasan, yaitu karakteristik kewirausahaan dan kompetensi
kewirausahaan dari pengusaha IKM.

Karakteristik Kewirausahaan Pengusaha IKM


Responden IKM dari penelitian ini sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu
sekitar 82,14 persen, dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa
kewirausahaan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, kaum perempuan juga memiliki jiwa
wirausaha untuk menjalankan usahanya. Sebagian besar responden berumur antara 31 sampai
60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden IKM berada pada usia
produktif. Pengalaman usaha responden IKM pada umumnya masih dibawah 10 tahun. Lama
waktu menjalankan usaha akan lebih mengetahui kondisi usahanya dan paham dengan
lingkungan usahanya. Rata-rata jumlah tenaga kerja yang dimiliki pengusaha IKM adalah 3
orang. Hal ini menunjukkan bahwa IKM yang ada di Kota Padang masih merupakan usaha
Industri Mikro atau Industri Rumahtangga. Rata-rata volume penjualan yang diperoleh per bulan
dari pengusaha IKM adalah Rp. 13.028.571,-. Hal ini juga menunjukkan bahwa IKM yang ada
merupakan industri mikro atau industri rumah tangga. Sekitar 73 persen responden IKM telah
mengikuti pelatihan yang terkait dengan kewirausahaan dan pembukuan yang diadaakan oleh
Dinas Koperasi dan Perdagangan, perguruan tinggi seperti Universitas Andalas, dan pemerintah
daerah. Kegiatan pelatihan yang diikuti diharapkan akan meningkatkan kompetensi wirausaha
dan inovasi dari pengusaha IKM. Kegiatan Inovasi yang dilakukan oleh pengusaha IKM
meliputi inovasi produk, inovasi teknologi, inovasi kemasan, dan inovasi pasar. Tabel 1
menunjukkan kegiatan inovasi yang dilakukan oleh responden pengusaha IKM.

Tabel 1. Kegiatan Inovasi yang Dilakukan oleh Responden IKM


No Kegiatan Inovasi Jumlah Responden (%)
1 Inovasi Produk 55,4
2 Inovasi Teknologi 39,3
3 Inovasi Kemasan 44,6
4 Inovasi Pasar 44,6

Tabel 1 menunjukkan bahwa pengusaha IKM telah melakukan inovasi dalam kegiatan
usahanya, namun masih sedikit. Pengusaha IKM yang melakukan kegiatan inovasi masih
dibawah 50 persen. Sebanyak 40 persen responden IKM telah memiliki PIRT. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyak produk IKM yang belum memiliki PIRT, yang menunjukkan
keamanan produk IKM.

Kompetansi Kewirausahaan IKM


Karakteristik kewirausahaan akan mempengaruhi kompetensi kewirausahaan.
Karakteristik kewirausahaan terdiri dari karakteristik individu dan karakteristik psikologi.
Kompetensi kewirausahaan merupakan kemampuan maupun pengetahuan serta keterampilan

797
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

yang dimiliki oleh pemilik IKM. Kompetensi kewirausahaan dalam peneltian ini meliputi:
Kemampuan manajerial, Kemampuan konseptual, Kemampuan sosial, Kemampuan membuat
keputusan, dan Kemampuan mengatur waktu. Kompetensi kewirausahaan tersebut dijabarkan
dalam bentuk pernyataan yang diajukan ke responden. Tanggapan responden terhadap
pernyataan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tanggapan Responden terhadap Pernyataan Kompetensi Kewirausahaan (%).


No Pernyataan STS TS N S SS
Wirausaha yang sukses adalah yang tekun dan
1
gigih menjalankan usahanya 2 5 13 50 30
Ciri seorang wirausaha sukses yaitu yang percaya
2
akan kemampuan diri dalam menjalankan usaha 0 2 30 32 36
Ciri wirausaha sukses adalah yang tidak pernah
3
menunda melakukan pekerjaan 2 2 23 46 27
Ciri seorang wirausaha sukses yaitu tidak takut
4
terhadap perubahan harga. 0 2 21 61 16
Ciri wirausaha sukses adalah yang mampu
beradaptasi dengan situasi sulit dan ciri wirausaha
5
sukses adalah yang senang menghadapi tantangan
dalam berusaha. 0 4 9 54 34
Ciri seorang wirausaha sukses yaitu yang
6 menciptakan bentuk baru produknya dengan tujuan
meningkatkan penjualan. 0 4 18 50 29
Ciri wirausaha sukses adalah yang memulai
7
usahanya dengan modal sendiri. 0 13 23 43 21
Ciri seorang wirausaha sukses yaitu yang
8
memegang tanggung jawab dalam usahanya 0 7 27 48 18

Hasil jawaban responden pimilik IKM menunjukkan kondisi IKM pada saat ini. Dari 8
pernyataan yang diajukan kepada responden yang terkait dengan kompetensi kewirausahaan,
pada umumnya responden setuju dengan pernyataan tersebut. Artinya responden IKM mengakui
bahwa kompentensi wirausaha sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja usaha IKM.
Gambar 1 menunjukkan bahwa hasil analisis Smart PLS dari faktor kewirausahaan yang
mempengaruhi kompetensi wirausaha. Semua indikator mempunyai factor loading lebih besar
dari 0,5. Hasil ini menunjukkan bahwa semua indikator telah memiliki validitas konvergen yang
baik. Dengan demikian, indikator valid dalam mengukur masing-masing variabel latennya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator tersebut merupakan indikator yang valid sebagai
pengukur variabel laten. Sebelumnya, terdapat indikator yang mempunyai factor loading lebih
kecil dari 0,5 yaitu indikator Y1d, Y2a, dan Y2c. Indikator-indikator tersebut dibuang atau di-
drop. Angka-angka yang terletak pada setiap panah yang menghubungkan variabel laten dan
indikatornya merupakan nilai outer loading. Y1d merupakan indikator kompetensi yang
berhubungan dengan kemampuan membuat keputusan, Y2a merupakan indokator kinerja usaha,
yaitu produksi, sedangkan Y2c adalah keuntungan.
Nilai cross loading variabel karakteristik individu (X1) dengan indikator usia (X1a)
nilainya adalah 0,718 lebih besar daripada nilai korelasi dengan variabel karakteristik psikologis
(X2) nilainya adalah 0,473, lebih besar daripada nilai korelasi dengan variabel kinerja usaha
IKM (Y2) nilainya adalah 0,241, lebih besar daripada nilai korelasi dengan variabel kompetensi
kewirausahaan (Y1) dengan nilai 0,365. Artinya bahwa variabel dalam penelitian ini mempunyai
validitas diskriminan yang baik.

798
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Gambar 1. Hasil Analisis Model Pengaruh Karakteristik Kewirausahaan terhadap Kompetensi


Kewirausahaan.

Nilai R-square merupakan hasil (berupa persentase) atas representasi variabel independen
terhadap variabel dependen. Nilai R2 yang baik adalah diatas 0,2 (setara dengan 20%).

Tabel 3. Nilai R Square Pada Masing-Masing Variabel Penelitian.


R Square R Square Adjusted
Kerja Usaha IKM (Y2) 0,114 0,063
Kompetensi Kewirausahaan (Y1) 0,688 0,676

Berdasarkan nilai R2 yang tertera pada Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa :


1. Variabel Kinerja IKM (Y2) dapat dijelaskan oleh variabel karaktersitik individu (X1) dan
Karakteristik Psikologis (X2) sebesar 11,4 %, sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel
lainnya yang tidak diteliti.
2. Kompetensi Kewirausahaan (Y1) dapat dijelaskan oleh variabel karaktersitik individu (X1)
dan Karakteristik Psikologis (X2) sebesar 68,8 %, sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel
lainnya yang tidak diteliti.
Variabel kinerja IKM menunjukkan kurang dari 0.2, ini disebabkan oleh adanya pengaruh
tidak langsung dari kompetensi kewirausahaan dari indikator-indikator kompetensi
kewirausahaan, karakteristik individu dan karaktersitik psikologis

799
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Uji pengaruh ini merupakan analisis kausalitas yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan antar variabel. Analisis kausalitas dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh yang
terjadi antara variabel eksogen dengan variabel endogen. Variabel eksogen dinyatakan
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel endogen jika nilai p (probabilitas) < 0,05. Hasil
pengujian pengaruh disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values)


Original Standard Dev T Statistics P Values
Sample Sample Mean
Karakteristik Individu (X1) -> 0,474 0,453 0,063 7,577 0,001
Kinerja Usaha IKM (Y2)
Karakteristik Individu (X1) -> 0,057 0,077 0,094 0,604 0,572
Kompetensi Kewirausahaan (Y1)
Karakteristik Psikologis (X2) -> -0,237 -0,336 0,361 0,657 0,540
Kinerja Usaha IKM (Y2)
Karakteristik Psikologis (X2) -> 0,787 0,773 0,062 12,776 0,000
Kompetensi Kewirausahaan (Y1)
Kompetensi Kewirausahaan (Y1) -> -0,028 0,069 0,240 0,116 0,912
Kinerja Usaha IKM (Y2)

Variabel karakteristik psikologis (X2) berpengaruh signifikan terhadap kompetensi


kewirausahaan (Y1) dengan nilai P values sebesar 0,000 < 0,05 (α = 5%). Nilai original sample
(O) yaitu sebesar 0,787 yang menunjukkan bahwa karakteristik psikologis (X2) memiliki
hubungan positif terhadap kompetensi kewirausahaan (Y1). Peningkatan satu persen
karakteristik psikologis (X2) maka akan meningkatkan kompetensi kewirausahaan (Y1) sebesar
78,7 persen. Semakin baik karakteristik psikologis maka semakin meningkat kompetensi
kewirausahaan.

PENUTUP
Sebagian besar Industri berbasis pangan di Kota Padang merupakan usaha mikro dan
industri rumahtangga yang memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang, yang merupakan ciri dari
industri mikro atau industri rumah tangga. Perempuan menjadi pelaku usaha IKM yang cukup
besar di Kota Padang. Pengalaman usaha dari pengusa IKM sebagian besar dibawah 1 tahun,
namun pada umumnya pengusaha IKM pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan dan
pembukuan yang diadakan oleh Dinas Koperasi dan Perdagangan. Karakteristik Psikologis
Pengusaha IKM mempengaruhi kompetensi Kewirausahaan. Karakteristik kewirausahaan yang
terkait dengan kepercayaan terhadap kemampuan diri akan mempengaruhi kompetisi
kewirausahaan berupa kemamuan dalam mengelola keuangan sendiri. Semakin baik
karakteristik psikologis maka semakin meningkat kompetensi kewirausahaan. Pemerintah
sebaiknya meningkatkan pelatihan kepada pengusaha IKM baik dalam bentuk pelatihan
kewirausahaan maupun teknis produksi, agar kompetensi kewirausahaan pengusaha IKM dapat
meningkat sehingga kinerja usaha juga meningkat dan dapat bersaing di pasar.

REFERENSI
Azriani, Z., dan Khairati, R. (2018). Kajian Inovasi Industri Kecil Dan Menengah Dalam
Meningkatkan Kinerja Usaha Di Kabupaten Tanah Datar. Laporan Hasil Penelitian Hibah
Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang.
Hafsah J. M. (2004). Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Infokop, 25.
Islam MA, Keawchana T, Yusuf DHM. (2011) . Factors Affecting Business Success of Smal &
Medium Enterprises (SMEs) in Thailand. Journal Social Science. 7(5):180-190.

800
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kuncoro, M. (2003). Usaha Kecil di Indonesia: Profil, Masalah dan Strategi Pemberdayaan.
http://website.mudrajad.com/journals
Pramuswari. (2018) Pengaruh Kompetensi Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Industri
Kecil dan Menengah (IKM) Kerajinan Kayu di Propinsi DIY. Yogyakarta. Tesis. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sari, N. M. W., Suwarsinah, H.K., dan Baga, L.K (2016). Pengaruh Karakteristik Kewirausahaan
terhadap Kinerja Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Gula Aren di Kabupaten
Lombok Barat. Jurnal Penyuluhan, Volume. 12 (1).
Setyawati, E.C.N, Nugraha, H.S., dan Ainudin, I. (2013). Karakteristik Kewirausahaan Dan
Lingkungan Bisnis Sebagai Faktor Penentu Pertumbuhan Usaha (Studi IKM di Sentra
Kerajinan Rotan Amuntai Kab. Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan) . Jurnal
Administrasi Bisnis, Volume 2 (1).
Wibowo. (2013). Manajemen Kinerja. Rajawali Pers, Jakarta.

801
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Kinerja Aparatur Sipil Desa pada Implementasi Alokasi Dana Desa


(ADD) di Kabupaten Aceh Besar
Village Apparatus Performance on Implementation of Alokasi Dana
Desa (ADD) in Kabupaten Aceh Besar
T. Fauzi1 , Agussabti1, Mujiburrahmad1, M. Yuzan Wardhana1, dan Ella Arini1
1Program Studi Agribinis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,

ABSTRAK

Kata Kunci: Alokasi Dana Desa merupakan salah satu dana yang bersumber dari dana
Kinerja perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran dan Belanja
Aparatur Desa Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Penelitian
Alokasi Dana Desa ini bertujuan untuk mengetahui kinerja aparatur desa pada implementasi
Alokasi Dana Desa, mengidentifikasi faktor-faktor yang memilki hubungan
dengan kinerja aparatur dan mengetahui strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja aparatur desa. Lokasi penelitian ditentukan
berdasarkan topografi daerah yaitu Kecamatan Masjid Raya (Desa Neuheun
dan Desa Baro), Kecamatan Indrapuri (Desa Lamlueng dan Desa reukih
Keupula) Serta Kecamatan Jantho (Desa Jantho Makmur dan Desa Suka
Tani). Jumlah sample ditentukan secara kuota yaitu 42 sampel aparatur desa
dana 52 sampel masyarakat yang merupakan penduduk desa dan terlibat
dalam implementasi Alokasi Dana Desa. Penelitian ini menggunakan metode
Skala Likert dan analisis korelasi Spearman dan deskriptif. Hasil penelitian
didapat bahwa kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi Dana Desa
di Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori cukup baik dan menurut
masyarakat kinerja aparatur desa juga berada pada kategori cukup. Faktor
yang berhubungan dengan kinerja aparatur desa pada Implementasi Alokasi
Dana Desa yaitu variabel Kapasitas paratur desa (X1), Kompensasi (X2),
Lingkungan Kerja (X4) dan Aturan/Prosedur Kerja (X5), sedangkan Fasilitas
(X3) tidak memilki hubungan dengan kinerja aparatur desa. Strategi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja aparatur desa yaitu dengan
menerapkan strategi SO (Strength and Opportunities).
ABSTRACT

Keywords: Village Fund Allocation is one of the funds that flowed from the balance of
Performance, funds received by the district in the budget and expenditure of regency/city
Village Apparatus, after deducted by the Special Allocation Fund. The purpose of this research
VillageFund are knowing village apparatus performances on implementation of Village
Allocation, Fund Allocation, identify factors that have related with the performance of
the apparatus and know strategies can be used to improve the performance of
the village apparatus. The location of the research is determined based on the
topography of the area, it is Masjid Raya Sub-district (Neuheun village and
Baro village), Indrapuri Sub-district (Lamlueng village and Reukih Keupula
village) and Jantho Sub-district (Jantho Makmur village and Suka Tani
village). The results showed that the performance of the village apparatus in
the implementation of the Alokasi Dana Desa in Aceh Besar District was in
a good enough category and according the community that performance of
the village apparatus is also in the enough category. The factors who related
with the performance of the village apparatus on the implementation of

802
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Alokasi Dana Desa are the variables of Village Apparatus Capacity (X1),
Compensation (X2), Working Environment (X4) and Working Rules /
Procedures (X5), while Facility (X3) has no related with the performance of
the village apparatus. A strategy that can be used to improve the performance
of the village apparatus is by applying the SO (Strength and Opportunities)
strategy.

Email Korespondensi: tfauzi@unsyiah.ac.id

PENDAHULUAN
Sejak bergulirnya reformasi Mei 1998, bangsa Indonesia telah mengalami banyaknya
perubahan disetiap sendi-sendi kehidupannya. Sebelum terjadinya reformasi, pendekatan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu bersifat top down, dimana kewenangan
perencanaan pembangunan sepenuhnya berada pada pemerintah pusat, sedangkan pemerintah
daerah tidak ikut dilibatkan. Reformasi ini selanjutnya telah menuntut perlunya pembaharuan
pada sistem pemerintahan yaitu dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik, demikian
pula dengan sistem pembangunan. Desentralisasi yang berarti memberikan pelimpahan
wewenang kepada daerah otonom atau diberlakukannya sistem otonomi daerah, ini menjadikan
pembangunan yang sebelumnya berpusat di kota akhirnya dimulai dari desa karena adanya
otonomi tersebut. Konsep desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah telah menunjukkan tiga pola otonomi (1) otonomi provinsi sebagai otonomi terbatas; (2)
otonomi kabupaten/kota sebagai otonomi luas; (3) otonomi desa sebagai otonomi yang asli,
bulat, dan utuh bukan merupakan pemberian dari pemerintah serta berkewajiban menghormati
otonomi asli yang dimiliki desa tersebut. Diperkuat dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
desa, dimana desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah desa diyakini mampu melihat prioritas kebutuhan-kebutuhan masyarakat
dibandingkan pemerintah kabupaten, dimana pemerintah kabupaten secara nyata memiliki ruang
lingkup permasalahan yang lebih luas dan rumit. Oleh karena itu pemerintah pusat
mengalokasikan dana desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran
yang diperuntukkan bagi seluruh desa di Indonesia. Alokasi Dana Desa (ADD) ditransfer melalui
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota untuk membangun wilayah pedesaan
sebagai wujud kepedulian pemerintah pusat terhadap pengembangan wilayah pedesaan.
Kabupaten Aceh Besar, Alokasi Dana Desa (ADD) yang diterimana yaitu sebesar
Rp350.97l.062.000 untuk dibagikan kepada 604 Desa, termasuk Desa Neuheun dan Desa Baro
Kecamatan Masjid Raya, Desa Lamlueng dan Desa Reukih Keupula kecamatan Indrapuri, serta
Desa Jantho Makmur dan Desa Suka Tani Kecamatan Jantho. Alokasi Dana Desa ini
diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang meliputi
Pemenuhan Kebutuhan Dasar, Pembangunan Sarana dan Prasarana gampong, Pengembangan
Potensi Ekonomi Lokal, dan Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan (Peraturan Bupati Aceh Besar No. 1, 2016).
Namun dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD), masih terdapat aparatur desa yang
mengalami permasalahan dalam mengimplementasikan Alokasi Dana Desa, seperti yang
dikemukan oleh Harian Serambi tanggal 2 April 2015, bahwa masih banyak kepala desa yang
belum siap secara mental dan secara manajerial menyambuti penyaluran dana desa. Disamping
minim pengalaman dalam mengelola anggaran desa, tidak sedikit kepala desa di Aceh yang tidak
dibekali pemahaman dan pengetahuan tentang cara pengelolaan anggaran pemerintah. Dari

803
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

berita tersebut dapat dilihat bahwa masih ada kepala desa yang kurang mengetahui tentang cara
pengelolaan dana desa, padahal kepala desa dianggap ujung tombak dari pemerintahan, apabila
kepala desa kurang memahami tentang pengelolaan dana desa bagaimana dengan aparatur desa
yang mendapatkan pengetahuan dan informasi dari kepala desa. Selain itu seperti yang didapat
dari wawancara dilokasi penelitian bahwa rata-rata dari aparatur desa memiliki pekerjaan utama
atau pekerjaan lainnya yang juga menyita banyak waktu aparatur desa itu sendiri. Hal ini tentu
juga dapat mempengaruhi aparatur desa dalam mengimplementasikan Alokasi Dana Desa,
karena aparatur desa harus membagi waktu antara pekerjaan sebagai aparatur desa juga dengan
pekerjaan lainnya. Padahal pada dasarnya menjadi aparatur desa juga merupakan pekerjaan yang
berat. Sehingga hal ini dapat berdampak pada kinerja aparatur desa dalam implementasi Alokasi
Dana Desa (ADD). Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kinerja aparatur desa pada
implementasi Alokasi Dana Desa, mengidentifikasi faktor-faktor yang memilki hubungan
dengan kinerja aparatur dan mengetahui strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kinerja aparatur desa.

KERANGKA BERPIKIR
Rumusan kerangka berpikir dalam penelitian Kinerja Aparatur Sipil Desa Pada
Implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Gambar
1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

804
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

METODE PENELITIAN
Penelitian dilkakukan di Kabupaten Aceh Besar. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan
topografi daerah yaitu pesisir, dataran rendah dan dataran tinggi, hal ini disebabkan adanya
perbedaan penggunaan ADD dalam pembangunan infrastruktur karena perbedaan kebutuhan
pembangunan desa, sehingga pengambilan lokasi berdasarkan topografi akan mewakili perbedaan
kebutuhan tersebut. Dan desa yang menjadi tempat penelitian ditetapkan berdasarkan desa dengan
penerimaan ADD paling besar dan desa dengan penerimaan ADD paling kecil di kecamatan tersebut.
Sehingga lokasi yang terpilih yaitu daerah pesisir di Kecamatan Masjid Raya (Desa Neuheun dan
Desa Baro), daerah daratan rendah di Kecamatan Indrapuri (Desa Lamlueng dan Desareukih
Keupula) serta daerah daratan tinggi Kecamatan Jantho (Desa Jantho Makmur dan Desa Suka Tani).
Objek penelitian ini adalah apartur desa yang terlibat dalam implementasi Lokasi Dana Desa. Ruang
lingkup penelitian ini terbatas pada kinerja aparatur desa dalam mengimplementasikan Alokasi Dana
Desa, pada faktor-faktor yang memilki hubungan dengan kinerja aparatur desa serta strategi yang
digunakan untuk meningkatkan kinerja aparatur desa dalam implementasi Alokasi Dana Desa
(ADD).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Survey. Pengambilan jumlah
sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Quota Sampling. Kuota yang
ditetapkan yaitu berjumlah 96 sampel, dimana aparatur desa sebanyak 42 sampel dan masyarakat
yang terlibat dalam implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) sebanyak 54 sampel. Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Skala Likert, analisis korelasi Rank Spearman
dengan bantuan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences), dan deskriptif.

Kinerja aparatur desa pada Implementasi Alokasi Dana Desa


Pengukuran indikator untuk mengetahui kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi
Dana Desa dilakukan dengan Skala Likert. Kriteria kinerja aparatur desa pada implementasi
Alokasi Dana Desa (ADD) berkisar antara 20 sampai 60 untuk aparatur desa dan 19 sampai 57
untuk masyarakat. Penentuan rentang skala untuk kriteria penafsiran nilai dan kategori
menggunakan rumus sebagai berikut : (Putra, 2014)
(m − n)
RS =
b
Keterangan :
RS = Rentang Skala
m = Skor tertinggi dalam pengukuran
n = Skor terendah dalam pengukuran
b = Kategori yang dibentuk
Sehingga kriteria penafsiran nilai dan kategori untuk penilaian kinerja aparatur desa dalam
implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Nilai dan Kategori Hasil Evaluasi Penilaian Kinerja Aparatur Desa dari Sisi Aparatur Desa.
No. Nilai Kategori
1. 20 – 33 Kurang Baik
2. 34 – 46 Cukup
3. 47 – 60 Baik
Sumber : Data primer (diolah) 2017

Tabel 2. Nilai dan Kategori Hasil Evaluasi Penilaian Kinerja Aparatur Desa dari Sisi Masyarakat.
No. Nilai Kategori
1. 19 – 31 Kurang Baik
2. 32 – 44 Cukup
3. 45 – 57 Baik
Sumber : Data primer (diolah) 2017

805
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Faktor-Faktor yang Memiliki Berhubungan dengan Kinerja Aparatur Desa


Pada tujuan yang membahas tentang hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
digunakan metode korelasi. Korelasi atau korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui
hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya untuk
mempengaruhi variabel tersebut sehingga tidak terdapat manipulasi variabel (Faenkel dan
Wallen, 2008). Analisis statistik yang digunakan yaitu korelasi Rank Spearman, dimana korelasi
Rank Spearman ini digunakan untuk mengetahui hubungan bila datanya ordinal (Sugiyono,
2012). Jadi untuk melihat hubungan antara variabel Independent (variabel bebas) yaitu kapasitas
aparatur desa (X1), kompensasi (X2), fasilitas (X3), lingkungan kerja (X4) dan aturan/prosedur
kerja (X5) dengan variabel Dependent (variebel terikat) yaitu kinerja aparatur desa (Y)
digunakan uji statistik Rank Spearman dengan rumus :

𝟔∑𝒃𝒊𝟐
𝝆=𝟏− ...........................(Sugiyono, 2009).
𝒏(𝒏𝟐 −𝟏)
Keterangan :
𝜌 = koefisien korelasi spearman rank
𝑏𝑖 = selisih peringkat setiap data
n = jumlah data

Tabel 3. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi.


Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
Sumber : Sugiyono, 2009

Kriteria keputusan dengan taraf signifikan sebesar 0,05 yaitu :


Jika, nilai sig > 0,05 maka tolak Ha terima Ho
Jika, nilai sig < 0,05 maka terima Ha tolak Ho
Dimana :
Ha = Kapasitas aparatur desa, kompensasi, fasilitas, lingkungan kerja dan aturan/prosedur kerja
memilki hubungan yang signifikan terhadap kinerja aparatur desa.
Ho = Kapasitas aparatur desa, kompensasi, fasilitas, lingkungan kerja dan aturan/prosedur
kerja memilki hubungan yang signifikan terhadap kinerja aparatur desa.

Strategi dalam Peningkatan Kinerja Aparatur Desa


Pada tujuan 3 yang membahas strategi untuk meningkatkan kinerja aparatur desa
menggunakan metode deskriptis dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada
saat sekarang (Sudjana dan Ibrahim, 2007). Untuk mengetahui strategi yang digunakan dalam
peningkatan kinerja yaitu dengan mentabulasikan pendapat – pendapat, masalah – masalah dan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh aparatur desa berkaitan dengan kinerja aparatur dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja, serta saran – saran yang dikemukakan oleh
responden dalam kuesioner kritik dan saran.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tingkat Kinerja Aparatur Desa Pada Implementasi Alokasi Dana Desa
Keberhasilan implementasi Alokasi Dana Desa tidak terlepas dari peran aparatur desa,
Pada implementasi Alokasi Dana Desa aparatur desa dituntut menjalankan tugasnya dengan

806
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

baik. Baik atau tidaknya pemanfaatan Alokasi Dana Desa bergantung pada kinerja aparatur desa
yang mengembankan tugas pengelolaan Alokasi Dana Desa tersebut. Pada penelitian ini kinerja
aparatur desa diukur dengan menggunakan indikator capaian kualitas, capaian kuantitas, waktu
capaian dan disiplin kerja. Dari capaian kualitas dimana hasil penelitian diperoleh yaitu sebesar
45,2% responden aparatur desa memilki kualiatas kerja yang berada pada kategori Cukup,
sebesar 40,5% responden aparatur desa berada pada kategori Baik dan 14,3% berada pada
kategori Kurang Baik. Hasil penelitian yang didapat dari capaian kuantitas yaitu sebesar 66,7%
responden aparatur desa berada pada kategori Baik, sebesar 23,8% responden aparatur desa
berada pada kategori Cukup dan selebihnya berada pada kategori Kurang Baik. Waktu capaian
yang didapat dari hail penelitian yaitu sebesar 42,9% responden aparatur desa berada pada
kategori Cukup, sebesar 31,0% berada pada kategori Baik dan selebihnya berada pada kategori
Kurang Baik. Disiplin kerja aparatur desa yang didapat dari hasil penelitian yaitu sebesar 54,8%
responden aparatuir desa berada pada kategori Kurang Baik, sebesar 26,2% berada pada kategori
Cukup dan selebihnya berada pada kategori Baik. Untuk mengetahui kinerja aparatur desa pada
implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Aceh Besar secara keseluruhan dari
jawaban responden aparatur desa dapat dilihat pada 4.
Dari tabel 4 dapa dilihat bahwa sebanyak 26 (61,90%) responden aparatur desa berada
pada kategori cukup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja aparatur desa di
Kabupaten Aceh Besar pada implementasi Alokasi Dana Desa sudah cukup baik. Kinerja
aparatur desa yang cukup baik ini tentu tidak terlepas dari kerjasama aparatur desa dalam
mengimplementasikan Alokasi Dana Desa, sehingga kendala/masalah yang dihadapi oleh
aparatur desa dapat diselesaikan baik dengan musyawarah untuk pemecahan masalah tersebut
atau dengan langsung ikut membantu. Akan tetapi ada baiknya aparatur desa dapat meningkatkan
kinerja terutama pada disiplin kerja. Dari hasil penelitian didapat bahwa rata-rata aparatur desa
kurang disiplin dalam implementasi Alokasi Dana Desa (ADD).

Tabel 4. Tingkat Kinerja Aparatur Desa pada Implementasi Alokasi Dana Desa Tahun 2016.
Aparatur Desa
No. Kategori Kinerja Aparatur Desa Responden Persentase
(Orang) (%)
1. Kurang Baik (20 – 33) 8 19.05
2. Cukup (34 – 47) 26 61.90
3. Baik (48 – 60) 8 19.05
Jumlah 42 100
Sumber : Data Primer (diolah) Tahun 2017.

Dalam penilaian kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi dana desa, penilaian dari
sisi masyarakat juga sangat penting untuk dilakukan. Karena Alokasi Dana Desa merupakan dana
yang ditujukan untuk masyarakat dengan salah satu tujuannya yaitu untuk pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian penilaian dari masyarakat terhadap kinerja aparatur
desa dalam mengimplementasikan Alokasi Dana Desa perlu dilakukan. Penilaian yang dilakukan
terhadap responden masyarakat yaitu berdasarkan pendapat responden terhadap kinerja aparatur desa
yang meliputi capaian kualitas, capaian kuantitas, waktu capaian dan disiplin kerja dari aparatur desa.
Oleh karena hasil penlitian yang didapat dari capaian kualitas yaitu sebesar 68,5% responden
masyarakat menilai bahwa capaian kualitas aparatur desa berada kategori Baik dan sebesar 31,5%
berada pada kategori Cukup tidak ada yang berada pada kategori Kurang Baik. Capaian kuantitas
yang didapat dari hasil penelitian yaitu sebesar 96,3% responden masyarakat menilai capaian
kuantitas aparatur desa berada pada kategori Baik dan selebihnya berada pada kategori Cukup. Dari
Waktu capaian didapat bahwa sebesar 51,9% responden masyarakat menilai waktu capaian aparatur
desa berada pada kategori Baik dan selebihnya berada pada kategori Cukup. Untuk Displin kerja
hasil yang didapat yaitu sebesar 48,1% responden masyarakat menilai bahwa disiplin kerja aparatur

807
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

desa berada pada kategori Kurang Baik, sebesar 37,1% berada pada kategori Cukup dan sebesar
14,8% berada pada kategori Baik. Untuk mengetahui penilaian kinerja aparatur desa dari dari sisi
masyarakat pada implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Aceh Besar secara
keseluruhan dari jawaban responden aparatur desa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi Penilaian Kinerja Aparatur Desa pada Implementasi Alokasi Dana Desa dari Sisi
Masyarakat.
Responden Persentase
No. Kategori Kinerja Aparatur Desa
(Orang) (%)
1. Kurang Baik (19 – 31) 0 0
2. Cukup (32 – 44) 31 57.4
3. Baik (45 – 57) 23 42.6
Jumlah 54 100
Sumber : Data Primer (diolah) Tahun 2017

Dari tabel 5 didapat bahwa sebanyak 31 (57,4%) menjawab kinerja aparatur desa pada
implementasi Alokasi Dana Desa berada pada kategori cukup, sedangkan sebanyak 22 (40,74%)
dari masyarakat menjawab bahwa kinerja aparatur desa berada pada kategori baik dan tidak ada
dari responden masyarakat yang menjawab kinerja aparatur desa pada kategori kurang baik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja aparatur desa di Kabupaten Aceh Besar pada
implementasi Alokasi Dana Desa menurut masyarakat sudah cukup baik. Menurut beberapa
responden masyarakat menyatakan bahwa aparatur desa mendengar pendapat dari masyarakat
tentang apa yang dibutuhkan, semua program-program yang dilaksanakan sesuai dengan yang
telah direncanakan sebelumnya pada saat musrembang.

Uji Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kinerja Aparatur Desa Pada


Implementasi Alokasi Dana Desa
Kapasitas Aparatur Desa (X1)
Hubungan kapasitas aparatur desa (X1) dengan kinerja aparatur desa pada implementasi
Alokasi Dana Desa dapat dilihat dari hasil output SPPS pada Tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi Hubungan Kapaitas Aparatur Desa dengan Kinerja Aparatur Desa pada
implementasi Alokasi Dana Desa Tahun 2016.
Correlations
Kapasitas Kinerja
Aparatur Desa Aparatur
Spearman’s rho Kapasitas Aparatur Desa Correlation Coeffiction 1.000 .674**
Sig. (2-tailed) . .000
N 42 42
Kinerja Aparatur Correlation Coeffiction .674** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 42 42
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber : Data Primer (diolah) Tahun 2017

Berdasarkan hasil output diatas diperoleh nilai siginifikan yaitu 0,000 < 0,05 sehingga
kesimpulan hipotesis yaitu terima Ha tolak Ho. Artinya kapasitas aparatur desa memiliki
hubungan yang signifikan dengan kinerja. Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang didapat
yaitu 0,674, dimana sesuai dengan pedoman interprestasi koefesien korelasi menurut Sugiyono
(2009) termasuk dalam kategori kuat. Jadi kapasitas aparatur desa memilki tingkat hubungan
yang kuat dengan kinerja aparatur desa. Dengan nilai koefesien korelasi berada pada 0,60 –
0,799. Hal ini jelas dikarenakan aparatur desa sangat berperan penting dalam

808
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mengimplementasikan Alokasi Dana Desa, apabila aparatur desa tidak mampu mengambil sikap
dalam memutuskan program-program yang menjadi prioritas masyarakat, maka program-
program tersebut menjadi kurang berdampak bagi masyarakat. Begitu juga dalam pelaksanaan
program-program tersebut pasti tidak akan berjalan dengan baik, serta pada tahap pelaporan
pertanggungjawaban aparatur desa sangat berperan karena penentu pencairan dana berikutnya.

Kompensasi (X2)
Hubungan kompensasi (X2) dengan kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi Dana
Desa dapat dilihat dari hasil output SPPS pada Tabel 7.

Tabel 7. Rekapitulasi Hubungan Kompensasi dengan Kinerja Aparatur Desa pada implementasi Alokasi
Dana Desa Tahun 2016.
Correlations
Kinerja
Kompensasi Aparatur
Spearman’s rho Kompensasi Correlation Coeffiction 1.000 .647**
Sig. (2-tailed) . .000
N 42 42
Kinerja Aparatur Correlation Coeffiction .647** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 42 42
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber : Data Primer (diolah) Tahun 2017

Berdasarkan hasil output diatas diperoleh nilai siginifikan yaitu 0,000 < 0,05 sehingga
kesimpulan hipotesis yaitu terima Ha tolak Ho. Artinya kompensasi mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kinerja aparatur desa dalam mengimplementasikan Alokasi Dana Desa. Hal
ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang didapat yaitu 0,647, dimana sesuai dengan pedoman
interprestasi koefesien korelasi menurut Sugiyono (2009) termasuk dalam kategori kuat. Jadi
kompensasi memiliki tingkat hubungan yang kuat dengan kinerja aparatur desa. Dengan nilai
koefesien korelasi berada pada 0,60 – 0,799. Hal ini dikarenakan kompensasi yang diterima oleh
aparatur desa baik dari segi ekonomi yang berupa honor perbulan selama delapan bulan maupun
dari segi sosial yang berupa kepercayaan yang didapat dari masyarakat dapat memotivasi
aparatur desa untuk melaksanakan tugasnya pada implementasi Alokasi Dana Desa.

Fasilitas (X3)
Hubungan fasilitas (X3) dengan kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi Dana
Desa dapat dilihat dari hasil output SPPS pada Tabel 8.
Berdasarkan hasil output diatas diperoleh nilai siginifikan yaitu 0,204 > 0,05 sehingga
kesimpulan hipotesis yaitu tolak Ha terima Ho. Artinya Fasilitas tidak mempunyai hubungan
yang signifikan dengan kinerja aparatur desa dalam mengimplementasikan Alokasi Dana Desa.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang didapat yaitu 0,200, dimana sesuai dengan pedoman
interprestasi koefesien korelasi menurut Sugiyono (2009) termasuk dalam kategori rendah. Jadi
fasilitas memilki tingkat hubungan yang rendah dengan kinerja aparatur desa. Dengan nilai
koefesien korelasi berada pada 0,20 – 0,399. Hal ini dikarenakan walaupun fasilitas yang tersedia
sudah memadai, namun tidak semua fasilitas tersebut dapat digunakan/dimanfaatkan pada
implementasi Alokasi Dana Desa.

809
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 8. Rekapitulasi Hubungan Fasilitas Kerja dengan Kinerja Aparatur Desa pada implementasi
Alokasi Dana Desa Tahun 2016.
Correlations
Fasilitas Kinerja Aparatur
Spearman’s rho Fasilitas Correlation Coeffiction 1.000 .200
Sig. (2-tailed) . .204
N 42 42
Kinerja Aparatur Correlation Coeffiction .200 1.000
Sig. (2-tailed) .204 .
N 42 42
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber : Data Primer (diolah) Tahun 2017

Lingkungan Kerja (X4)


Hubungan lingkungan kerja (X4) dengan kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi
Dana Desa dapat dilihat pada Tabel 9 hasil output SPPS.

Tabel 9. Rekapitulasi Hubungan Lingkungan Kerja dengan Kinerja Aparatur Desa pada implementasi
Alokasi Dana Desa Tahun 2016
Correlations
Lingkungan Kinerja
Kerja Aparatur
Spearman’s rho Lingkungan Kerja Correlation Coeffiction 1.000 .428**
Sig. (2-tailed) . .005
N 42 42
Kinerja Aparatur Correlation Coeffiction .428** 1.000
Sig. (2-tailed) .005 .
N 42 42
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber : Data Primer (diolah) Tahun 2017

Berdasarkan hasil output diatas diperoleh nilai siginifikan yaitu 0,005 < 0,05 sehingga
kesimpulan hipotesis yaitu tolak Ho terima Ha. Artinya lingkungan kerja mempunyai hubungan
yang signifikan dengan kinerja aparatur desa. Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang didapat
yaitu 0,428, dimana sesuai dengan pedoman interprestasi koefesien korelasi menurut Sugiyono
(2009) termasuk dalam kategori sedang. Jadi lingkungan kerja memiliki tingkat hubungan yang
sedang dengan kinerja aparatur desa. Dengan nilai koefesien korelasi berada pada 0,40 – 0,599.
Lingkungan kerja yang baik dapat menambah semangat aparatur desa dalam meningkatkan
kinerjanya.

Aturan/Prosedur Kerja (X5)


Hubungan aturan/prosedur kerja (X5) dengan kinerja aparatur desa pada implementasi
Alokasi Dana Desa dapat dilihat dari hasil output SPPS pada Tabel 10.
Berdasarkan hasil output diatas diperoleh nilai siginifikan yaitu 0,000 < 0,05 sehingga
kesimpulan hipotesis yaitu tolak Ho terima Ha. Artinya aturan/prosedur kerja mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kinerja aparatur desa. Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi
yang didapat yaitu 0,726, dimana sesuai dengan pedoman interprestasi koefesien korelasi
menurut Sugiyono (2009) termasuk dalam kategori kuat. Jadi aturan/prosedur kerja memiliki
tingkat hubungan yang kuat dengan kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi Dana Desa.
Dengan nilai koefesien korelasi berada pada 0,40 – 0,599. Hal ini dikarenakan apabila
aturan/prosedur kerja tidak ada maka akan banyak terjadinya kesalahan, bahkan aparatur desa
tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena tidak mengetahui apa yang harus

810
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dikerjakan. Ini dapat berdampak pada tahap pencairan dana sampai pada tahap pelaporan
pertanggungjawaban.

Tabel 10. Rekapitulasi Aturan/Prosedur Kerja Kerja dengan Kinerja Aparatur Desa pada Implementasi
Alokasi Dana Desa Tahun 2016.
Correlations
Aturan/
Prosedur Kinerja
Kerja Aparatur
Spearman’s rho Aturan/Prosedur Kerja Correlation Coeffiction 1.000 .726**
Sig. (2-tailed) . .000
N 42 42
Kinerja Aparatur Correlation Coeffiction .726** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 42 42
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber : Data Primer (diolah) Tahun 2017

Strategi dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Desa pada Implementasi Alokasi


Dana Desa (ADD)
Strategi yang dapat digunakan oleh aparatur desa agar dapat meningkatkan kinerjanya
dalam mengimplementasikan Alokasi Dana Desa yaitu dengan merapkan strategi SO (strength
dan opportunities). Strategi SO strength dan opportunities) dilakukan untuk mengelola kekuatan
yang dimilki oleh aparatur desa agar dapat menangkap peluang yang ada. Dari kuadran ini
strategi yang didapat, yaitu :
1. Memanfaatkan sifat dan komitmen baik aparatur desa dengan pembagian tugas yang merata
dan memanfaatkan aturan/prosedur kerja untuk mempermudah pelaksanaan tugas.
2. Memanfaatkan pengalaman menjadi aparatur desa untuk mengeksplor potensi desa yang
sesuai dengan kondisi masyarakat dengan pengadaan capacity building bagi aparatur desa.
3. Mengkoordinirkan semua program-program ADD dengan pendamping desa, serta saling
berbagi dengan pendamping desa apabila terdapat masalah/hambatan pada saat pelaksanaan
agar bisa diselesaikan masalah/kendala tersebut.
4. Memanfaatkan pengetahuan yang didapat dijenjang pendidikan serta wewenang yang didapat
untuk mengelola ADD dengan baik sesuai kebutuhan desa.

PENUTUP
Kesimpulan
Adapun Kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten
Aceh Besar berada pada kategori Cukup, hal ini sejalan dengan penilaian masyarakat dimana
kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) juga berada pada kategori
Cukup. Artinya kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) di
Kabupaten Aceh Besar sudah cukup baik.
Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap kinerja aparatur desa dalam
mengimplementasikan Alokasi Dana Desa adalah kapasitas aparatur desa (X1), kompensasi
(X2), lingkungan kerja (X4), serta aturan/prosedur kerja (X5). Sedangkan yang tidak
berhubungan secara signifikan terhadap kinerja aparatur desa adalah fasilitas (X3). Hal ini
dikarenakan fasilitas yang dapat menunjang kinerja tidak semuanya dapat digunakan
/dimanfaatkan dalam mengimplementasikan Alokasi Dana Desa.
Strategi yang dapat digunakan aparatur desa agar dapat meningkatkan kinerja pada
implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) yaitu :

811
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

a. Memanfaatkan sifat dan komitmen baik aparatur desa dengan pembagian tugas yang merata
dan memanfaatkan aturan/prosedur kerja untuk mempermudah pelaksanaan tugas.
b. Memanfaatkan pengalaman menjadi aparatur desa untuk mengeksplor potensi desa yang
sesuai dengan kondisi masyarakat dengan pengadaan capacity building bagi aparatur desa.
c. Mengkoordinirkan semua program-program ADD dengan pendamping desa serta saling
berbagi dengan pendamping desa apabila terdapat masalah/hambatan pada saat pelaksanaan
agar bisa diselesaikan masalah/kendala tersebut.
d. Memanfaatkan pengetahuan yang didapat dijenjang pendidikan serta wewenang yang didapat
untuk mengelola ADD dengan baik sesuai kebutuhan desa.

Saran
Dari hasil penelitian yang didapat bahwa kinerja aparatur desa pada implementasi Alokasi
Dana Desa (ADD) masih cukup, sebaiknya aparatur desa lebih meningkatan lagi kinerjanya
dengan penerapan disiplin kerja untuk aparatur desa seperti penerapan hari kerja agar aparatur
desa lebih baik lagi dalam melayani masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dan desa yang sudah menerapkannya terus mempertahankan itu. Perlu ditingkatkannya
kapasitas aparatur desa dengan mengadakan pelatihan-pelatihan baik bidang teknologi maupun
pelatihan sesuai posisi masing-masing agar dapat menambah pengetahuan dan
memahami/mengetahui tugas-tugas yang dibebankan serta cara penyelesaiannya. Sehingga tidak
terjadinya penggandaan tugas akibat ada aparatur yang tidak memahami/kurang bisa dalam
mengerjakan tugasnya. Selain itu perlu adanya pemanfaatan potensi desa dengan
memberdayakannya untuk meningkatkan ekonomi desa, sehingga dari hasil tersebut dapat
memberikan honor terhadap aparatur desa sebagai tambahan honor pada pelaksanaan ADD.
Perlu adanya kemauan dari individu aparatur desa untuk dapat meningkatkan kapasitas diri agar
dapat meningkatkan kinerjanya, sehingga dapat lebih banyak berkonstribusi dalam implementasi
Alokasi Dana Desa.

DAFTAR PUSTAKA
Amstrong dan Baron, 1998 dalam Wibowo. 2013. Manajemen Kinerja. Rajawali Pers, Jakarta.
Asrori. 2014. Kapasitas Perangkat Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintah Desa di Kabupaten
Kudus. Jurnal Bina Praja. 6 (2):101-116.
Dana Desa, Rahmat atau Laknat. 2 April 2015. aceh.tribunnews.com. diakses pada tanggal 20
April 2016 pukul 22.10.
Candra, R. 2015. Strategi Peningkatakan Kapasitas Pemerintah Desa Di Desa Sungai Ringin
Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau. Jurnal Ilmu Pemerintahan. 4:2-15.
Dharma, A. 2003. Manajemen Supervisi. Rajawali, Jakarta.
Fraenkel, J.R dan Wellen, N.E. 2008. How to Design and Evaluate research in Education.
McGraw-Hill, New York.
Hasibuan, M. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Jaitun. 2013. Kinerja Aparatur Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Desa di Desa Sepala
Dalung Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. eJurnal Pemerintahan
Integratif. 1 (1):13-27.
Mangkunegara, A.P. 2009. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Nitisemito, A.S. 1996. Manajemen Personalia. Edisi III. Ghalia Indonesia, Jakarta.

812
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Paramitha, L.M., Domai, T., Suwondo. Kinerja Aparat Pemerintah Desa Dalam Rangka
Otonomi Desa Studi di Desa Gulun, Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan. Jurnal
Adminitrasi Publik Fakultas Ilmu Adminitrasi Universitas Brawijaya. 1(4):91-100.
Pasolong, H. 2010. Teori Adminitrasi Publik. Alfabeta, Bandung.
Peraturan Bupati Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2016.
Peraturan Bupati Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2106. Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Gampong.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 37 Tahun 2007. Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Desa. Pasal 18.
Putra, Z.F.S. 2014. Analisis Kualitas Layanan Website BTKP-DIY Menggunakan Metode
Webqual 4.0. Jurnal Jarkom. 1(2): 174-184.
Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi kesepuluh. PT Indeks Kelompok
Gramedia, Jakarta.
Sudjana dan Ibrahim. 2017. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Sinar Baru Algesindo.
Bandung
Sugiyono 2001, Metode Penelitian Administrasi. Penerbit Alfabeta, Bandung.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. CV.Alfabeta, Bandung.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 2016, Dana Desa untuk Aceh Rp 3,8
Triliun. 5 November 2015. aceh.tribunnews.com. diakses pada tanggal 17 April 2016
pukul 21:45.

813
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Strategi Revitalisasi dan Pengembangan Komoditas Jagung Sebagai


Pangan Lokal di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)
Revitalization Strategy and Development of Corn Commodities As
Local Food In Timor Tengah Utara Regency (TTU)
Sari Anggarawati1 dan Anak Agung Eka Suwarnata1
1Universitas Nusa Bangsa, Kota Bogor

ABSTRAK

Kata Kunci: Komoditas jagung di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mengalami
Strategi penurunan luas tanam, produksi dan produktivitas, padahal jagung merupakan
Revitalisasi makanan pokok masyarakat TTU. Bila hal ini dibiarkan, akan mengancam
Pengembangan ketahanan pangan lokal. Upaya mengembalikan TTU sebagai lumbung pangan
Pangan jagung, maka diperlukan kajian secara komprehensif tentang permasalahan dan
Jagung kendala, menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, serta
menentukan strategi alternatif dan prioritas untuk mengembangkan komoditas
jagung. Sampel penelitian ini adalah 20 orang yang terdiri dari 10 petani jagung
dan 10 pegawai instansi terkait. Data diperoleh melalui observasi, wawancara,
dan diskusi terfokus dalam kelompok. Data dianalisis menggunakan analisis
SWOT. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa kekuatan dan kelemahan
utama dari komoditas jagung di TTU adalah kesesuaian lahan dan produktivitas
jagung yang rendah, sedangkan peluang dan ancaman utama adalah permintaan
pasar masih tinggi dan gangguan hama serta penyakit. Strategi prioritas yang
diterapkan adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif meliputi: (1)
peningkatkan produksi sesuai kondisi agroklimat setempat, (2) peningkatan
produksi sesuai dengan kebijakan pemerintah, (3) pemanfaatan lahan kering
melalui pemberdayaan kelompok tani, dan (4) pembinaan petani dalam
pengelolaan produk berbahan baku jagung.

ABSTRACT

Keywords: Corn commodity in Timor Tengah Utara Regency (TTU) have been decrease in
Strategy the farm, production and productivity sectors, even though corn is the main food
Revitalization of the TTU community. If it is not handle well, it will threaten local food security.
Development Efforts to restore TTU as corn food granary, it is necessary to conduct a
Food comprehensive study of problems and constraints, analyze strengths,
Corn weaknesses, opportunities and threats, and determine alternative strategies and
priorities for developing corn commodities. The sample of this research was 20
people consisting of 10 corn farmers and 10 related agency employees. Data
obtained through observation, interviews, and focused discussion in groups. Data
were analyzed using SWOT analysis. The SWOT analysis results show that the
main strengths and weaknesses of the corn commodity at TTU are land suitability
and low corn productivity. The main opportunities and threats are high market
demand and pest and disease disturbances. The priority strategies adopted are to
support aggressive growth policies including: (1) enhancement production in
accordance with local agro-climate conditions, (2) increasing production in
accordance with government policy, (3) utilizing dry land through empowering
farmer groups, and (4) fostering farmers in the management of corn-based
products.

Email Korespondensi: sarianggarawati@gmail.com

814
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Secara geografis Kabupaten Timor Timur Utara (TTU) berbatasan dengan wilayah Negara
Timor Leste di sebelah utara. Kondisi wilayah secara umum berada antara 0 – 500 m di atas
permukaan laut dengan iklim yang kering, di mana sebagian besar adalah lahan kering yang
memiliki alam berbukit-bukit. Kondisi lahan di Pulau Timor termasuk daerah yang dekat dengan
perbatasan NKRI-Timor Leste, memang didominasi oleh lahan kering (Priyanto & Diwyanto
2014).
Seperti wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya, Kabupaten TTU dikenal
dengan musim kemarau yang panjang, secara umum, musim kemarau terjadi selama ± 8 bulan
pada April-Nopember, sedangkan musim hujan hanya empat bulan pada Desember sampai
dengna Maret. Namun setahun terakhir telah terjadi perubahan periode musim yang cukup
signifikan. Waktu hujan menjadi lebih panjang dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Komoditas jagung merupakan komoditas yang penting di NTT, karena komoditas ini
merupakan makanan pokok bagi masyarakat NTT. Sebagai bagian dari wilayah Provinsi NTT,
sumbangan produksi jagung dari Kabupaten TTU sebesar 8% dan menempati urutan keempat
dari 22 kabupaten yang ada. Berikut ini disajikan besarnya kontribusi produksi jagung dari
masing-masing kabupaten.

Gambar 1. Kontribusi Produksi Jagung (%) Masing-masing Kabupaten/Kota


di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2017

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten TTU, dapat dilihat gambaran posisi
tanaman jagung di antara tanaman pangan lainnya. Data yang disajikan pada Tabel 1 terlihat
bahwa luas panen tanaman jagung di posisi paling tinggi dari tahun ke tahun, hal ini memperkuat
kejelasan bahwa komoditas jagung merupakan tanaman utama bagi masyarakat Kabupaten TTU.
Posisi tanaman jagung pada Tahun 2017 menempati urutan pertama, baik dari luas panen
maupun produksi. Luas panen sebesar 24.827 Ha, produksi sebanyak 51.888 ton dengan tingkat
produktivitas hanya 2,09 ton per hektar, jauh di bawah angka nasional.

815
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Kabupaten TTU Tahun 2013-2017
2013 2014 2015 2016* 2017*
Luas Luas Produks Luas Luas Produks Luas Produks
Komoditi Produksi Produksi
Panen Panen i Panen Panen i Panen i
(Ton) (Ton)
(Ha) (Ha) (Ton) (Ha) (Ha) (Ton) (Ha) (Ton)
Padi 10.013 31.550 13.261 46.798 15.019 40.668 12.514 33.913 12.304 36.473
Jagung 25.114 63.677 26.726 73.114 27.092 56.655 21.940 45.855 24.827 51.888
Kacang 1.182 1.369 1.297 1.298
724 510 693 485 421 295
Tanah
Kacang 678 610 171 153
275 232 263 221 337 283
Hijau
Ubi Kayu 9.854 100.115 5.650 58.726 5.202 53,927 7.479 77.482 3.767 39.026
Ubi Jalar 293 2.476 347 2.636 273 2,227 428 3.488 344 2.804
*) Angka Sementara
Sumber Data : Dinas Pertanian Kab. TTU 2018

Perkembangan komoditas jagung dari tahun 2013 – 2017 menunjukkan perkembangan


yang fluktuatif, tidak saja di luas panen, produksi namun juga produktivitas. Tanaman jagung
menunjukkan puncak perkembangan terbagus di Tahun 2014, di mana produksi mencapai
73.114 ton, produktivitas tertinggi mencapai 2,74 ton/Ha dengan luas tanam 26.726 Ha.
Meskipun di Tahun 2015 ada kenaikkan luas panen menjadi 27.092, namun terjadi penurunan
produktivitas menjadi 2,09 ton/Ha, sehingga produksinya juga menurun menjadi 56.655 ton
(22,51%). Tahun 2017 mulai terjadi peningkatan luas tanam dan produksi, namun produktivitas
masih stagnan berada di angka 2,09 ton/Ha. Berikut, pada Gambar 2 disajikan diagram
perkembangan komoditas jagung.

80,000
73,114
70,000
63,677
60,000
56,655
50,000 51,888
45,855
40,000
30,000
25,114 26,726 27,092 24,827
20,000 21,940

10,000
0 2.54 2.74 2.09 2.09 2.09
2013 2,014 2015 2,016 2017

Luas Panen Produksi Produktivitas

Gambar 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas


Jagung dari Tahun 2013 – 2017.

Rendahnya produktivitas tanaman jagung diakibatkan karena cara tanam yang dilakukan
mempertimbangkan singkatnya musim hujan, rendahnya kesuburan tanah, dan kecilnya luasan
yang sanggup ditanami oleh rumah tangga petani, namun di sisi lain para petani
mempertimbangkan kecukupan pangan keluarga dalam satu tahun, sehingga mereka menanam
berbagai macam tanaman pada luasan lahan yang sama.
Musim hujan yang hanya berlangsung empat bulan, tanaman yang dibudidayakan terdiri
dari tanaman jagung, padi ladang, kacang tanah/hijau, ubi jalar dan singkong. Beberapa tanaman
tersebut harus mereka tanam dalam waktu yang singkat, dengan menggunakan pola budidaya

816
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

satu lubang ditanam 2–3 macam tanaman, biasanya dalam satu lubang dimasukkan benih jagung,
kacang tanah dan atau kacang hijau, dan ditanam berselang seling dengan bibit singkong
sementara di sela-sela tanaman tersebut disebar benih padi ladang. Cara tanam ini ada
hubungannya dengan pola pangan masyarakat setempat. Saat panen, masyarakat makan beras
yang bisa mencukupi kebutuhan selama tiga bulan ke depan, setelah itu mereka makan jagung
dari hasil panen yang telah disimpan di atas para-para atau di atas tungku dapur, selanjutnya
mereka masih memiliki bahan pangan, yaitu panen singkong yang sudah mencapai waktu panen.
Pola tanam ini sebetulnya merupakan salah satu kearifan lokal yang tetap dipertahankan
masyarakat dalam mencukupi kebutuhan pangan keluarga dari hasil ladang sendiri. Ketahanan
pangan keluarga ditentukan dari seberapa besar produktivitas yang dihasilkan. Selama ini,
sebagian besar petani menanam tanaman pangan untuk kebutuhan subsisten. Bila hasil ladang
berlebih baru mereka jual, tanaman yang biasa petani jual adalah tanaman jagung dan kacang-
kacangan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, sebagai upaya mengembalikan Kabupaten TTU
sebagai lumbung pangan jagung, maka diperlukan kajian secara komprehensif tentang
permasalahan dan kendala, menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, serta
menentukan strategi alternatif dan prioritas untuk mengembangkan komoditas jagung.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Keunggulan komperatif yang dicatat oleh Boomgaard (2002) adalah sebagai berikut.
Pertama, jagung memiliki produktivitas yang tinggi jika dihitung berdasarkan satuan lahan dan
satuan tenaga yang dikeluarkan. Jagung juga mampu tumbuh di lahan garapan yang “terlalu
tinggi, terlalu terjal, terlalu kering, dan terlalu tandus untuk padi “kering””. Kedua, keunggulan
lain adalah bahwa jagung bisa ditanam secara tumpang sari dengan tanaman lain, misalnya padi
“kering,” yang masing-masing memerlukan unsur hara yang berbeda, sehingga tidak saling
membawa efek negatif. Sistem penanaman seperti ini bisa memperkecil resiko gagal panen,
terutama berkaitan dengan serangan hama dan perubahan iklim. Ketiga, jagung juga
mengandung protein dan vitamin A yang lebih baik dari beras. Jika dikomparasikan dengan
tanaman pangan lain yang menghasilkan karbohidrat, seperti umbi-umbian, maka nilai gizi
jagung lebih tinggi. Karbohidrat yang terkandung dalam jagung adalah sebesar 72,5 gr/100 gr
bahan dengan kandungan gizi lainnya yang juga penting bagi tubuh manusia. Keempat, yang
juga patut dipertimbangkan adalah bahwa jagung dapat dijadikan sebagai pakan ternak.
“Manajer Proyek Nasional Food and Agriculture Organization (FAO) Indonesia, wilayah
NTT, Ujang Suparman mengatakan bahwa Kabupaten Timor Tengah Utara bisa menjadi Pusat
pengembangan pengolahan lahan kering. Suparman juga meminta masyarakat petani untuk
melestarikan lahan dengan beberapa langkah terutama mengembangkan kebiasaan nenek
moyang dengan menanam jagung dengan kacang-kacangan, menerapkan upaya melestarikan
lahan dengan beberapa langkah diantaranya penambahan pupuk organik, menutupi permukaaan
tanah dengan bahan organik, tidak membalik tanah sembarangan lantaran hasil analisis global
lahan tidak perlu terlalu dibalik sehingga tidak terlalu hanyut dengan erosi.” (Judith Lorenzo
Taolin, 2017).
Analisis SWOT merupakan suatu analisis yang digunakan dalam mengidentifikasi situasi
yang dikategorikan sebagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari sebuah satuan
bisnis. Setiap pebisnis perlu melakukan analisis keempat kategori dalam analisis SWOT. Hal ini
dikarenakan, dalam menentukan strategi yang tepat dalam memasarkan produk ataupun jasa,
haruslah ditetapkan dengan pertimbangan yang matang dengan menganalisis situasi yang terjadi
baik internal maupun eksternal. Oleh sebab itulah, SWOT menjadi salah satu instrumen yang
digunakan dalam melakukan analisis sebelum mengambil keputusan dalam suatu organisasi
(Rangkuti, 2006).
Menurut Ferrel dan Harline (2005), fungsi dari Analisis SWOT adalah untuk mendapatkan
informasi dari analisis situasi dan memisahkannya dalam pokok persoalan internal (kekuatan dan

817
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

kelemahan) dan pokok persoalan eksternal (peluang dan ancaman). Analisis SWOT tersebut
akan menjelaskan apakah informasi tersebut berindikasi sesuatu yang akan membantu
perusahaan mencapai tujuannya atau memberikan indikasi bahwa terdapat rintangan yang harus
dihadapi atau diminimalkan untuk memenuhi pemasukan yang diinginkan. Analisis SWOT
dapat digunakan dengan berbagai cara untuk meningkatkan analisis dalam usaha penetapan
strategi. Umumnya yang sering digunakan adalah sebagai kerangka / panduan sistematis dalam
diskusi untuk membahas kondisi altenatif dasar yang mungkin menjadi pertimbangan
perusahaan.
Pengertian strategi dikemukakan oleh beberapa ahli. Strategi merupakan tujuan jangka
Panjang dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumberdaya yang
penting untuk mencapai tujuan tersebut. Konsep strategi dibagi menjadi dua, yaitu Distinctive
Competence dan Competitive Advantage. Distinctive Competence merupakan suatu tindakan
yang dilakukan oleh perusahaan agar dapat melakukan kegiatan lebih baik daripada pesaingnya,
sedangkan Competitive Advantage adalah kegiatan spesifik yang dikembangkan perusahaan
agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya (Rangkuti, 2006).
Revitalisasi jagung menjadi produk utama pertanian sekaligus menjadikan bahan pangan
lokal untuk mendukung ketahanan pangan di Kabupaten TTU perlu dilakukan. Langkah awal
adalah melakukan identifikasi tentang permasalahan yang dihadapi petani dalam
mengembangkan usahatani jagung dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki serta menjaring
informasi tentang upaya atau solusi yang telah dan akan dilakukan oleh petani. Kondisi yang ada
di lapangan selanjutnya dituangkan dalam matriks yang memuat tentang faktor-faktor internal
yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan, faktor-faktor eksternal yang memuat peluang dan
ancaman. Setelah dilakukan penilaian dalam table IFAS dan EFAS selanjutnya dirumuskan
berbagai strategi pilihan, dari berbagai strategi yang ada (SO, ST, WO dan WT) dipilih salah
satu strategi yang memiliki nilai paling tinggi untuk dijadikan strategi utama dalam revitalisasi
pengembangan jagung di Kabupaten TTU. Berikut kerangka pikir dari penelitian ini.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran.


METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten TTU Provinsi NTT yang dilakukan pada bulan
Desember 2018 sampai dengan Juli 2019. Data primer diperoleh dari observasi langsung di

818
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

lapangan, wawancara dan FGD. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling
dengan pertimbangan bahwa untuk menggali data yang diperlukan tidak semua orang dapat
dijadikan sampel responden melainkan harus orang-orang yang benar-benar terlibat dan
memahami kajian yang sedang dilakukan (Nazir, 2005). Responden penelitian berjumlah 20
orang, terdiri dari petani jagung, petugas pertanian lapangan, dan stakeholder yang berhubungan
dengan masalah yang sedang diteliti. Data sekunder diperoleh dari arsip Dinas Pertanian,
Kabupaten TTU, buku literatur, serta penelusuran informasi melalui internet yang dapat
mendukung penelitian.
Metode analisis data yang digunakan meliputi analisis Internal Factor Evaluation (IFE)
dan External Factor Evaluation (EFE) dan analisis SWOT. IFE dan EFE digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi strategi pengembangan
jagung. Analisis SWOT untuk merumuskan altenatif strategi untuk memperoleh prioritas
strategi. Analisis SWOT dituangkan kedalam matrix yang menggambarkan korelasi diantara
faktor internal dan eksternal, yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi dalam pengembangan komoditas jagung dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki. Matriks ini menghasilkan empat kemungkinan
alternatif strategi, yaitu strategi SO (Strengths-Opportunities), strategi WO (Weaknesses-
Opportunities), strategi ST (Strengths-Threats) dan strategi WT (Weaknesses-Threats).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil wawancara dan pengisian kuisioner dalam pelaksanaan FGD di lapangan diperoleh
beberapa faktor hasil analisis IFAS dan EFAS (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman):
Kekuatan: hasil pengolahan data yang diperoleh kekuatan komoditas jagung adalah
kesesuaian lahan (agroekologi); ketersediaan lahan marjinal yang cukup luas; masyarakat sudah
lama membudidayakan jagung; jumlah KK yang bertani jagung cukup banyak (44.162 KK);
dan jumlah kelompok tani tanaman pangan di Kabupaten TTU sebanyak 1.559.
Kelemahan: faktor internal yang merupakan kelemahan bagi pengembangan komoditas
jagung adalah minimnya pemberian saprodi (pupuk, pestisida); tempat penampungan air pada
saat musim hujan yang masih sangat terbatas (embung dan cek DAM); produktivitas jagung
masih rendah; penguasaan teknik budidaya rendah; dan pola tanam satu lubang untuk 2
komoditas (jagung dan kacang tanah).
Peluang: faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai faktor strategis sebagai peluang
(opportunities) dalam pengembangan komoditas jagung adalah: permintaan pasar masih tinggi
(permintaan jagung terus meningkat); dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah;
pendayagunaan lahan kering; sumber makanan pokok masyarakat NTT; dan ragam olahan yang
banyak.
Ancaman: faktor-faktor yang dapat dijadikan faktor strategis sebagai ancaman (threats)
dalam pengembangan komoditas jagung adalah: keterbatasan bibit unggul (masyarakat masih
cenderung memproduksi benih sendiri); terbatasnya jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL); akses terhadap informasi dan permodalan rendah (terbatasnya modal petani); manajemen
pengelolaan kelembagaan pertanian (gapoktan, kelompok tani, koperasi, dll) masih rendah; dan
iklim kering untuk wilayah NTT yang panjang.
Hasil Analisis Internal Faktor Analysis Summary (IFAS) dan External Faktor Analysis
Summary (EFAS) disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis IFAS pada
Tabel 2 diketahui, bahwa faktor kekuatan mempunyai nilai sebesar 1,29 dan kelemahan
mempunyai nilai sebesar 1,17. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa usaha peningkatan produksi
jagung di lokasi penelitian memiliki kekuatan yang lebih besar yaitu 52% dibandingkan dengan
kelemahan sebesar 48%. Sedangkan hasil analisis EFAS pada Tabel 3 diketahui bahwa faktor
peluang mempunyai nilai sebesar 1,46 dengan ancaman mempunyai nilai sebesar 0,96. Nilai ini
dapat diartikan bahwa peluang yang dimiliki masih lebih besar yaitu 60% dibandingkan dengan

819
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

ancaman sebesar 40%, sehingga usaha peningkatan produksi jagung ini sangat memungkinkan
untuk dilaksanakan.

Tabel 2. Hasil Internal Factor Analysis Summary (IFAS).


No Penggolongan Faktor Bobot Rating Total
Kekuatan
1 Kesesuaian Lahan (Agroekologi) 0.10 2 0.20
2 Ketersediaan lahan marjinal yang cukup luas 0,08 2 0,16
3 Masyarakat sudah lama membudidayakan jagung 0.14 3 0.42
4 Jumlah KK yang bertani jagung 44.162 KK 0.11 3 0.33
Jumlah Kelompok Tani tanaman pangan di
5 0.09 2 0.18
Kabupaten TTU sebanyak 1.559
0.52 12 1.29 52%
Kelemahan
1 Minimnya pemberian saprodi (pupuk, pestisida) 0.09 3 0.27
Tempat penampungan air pada saat musim hujan
2 0.11 2 0.22
yang masih sangat terbatas (Embung dan Cek Dam)
3 Produktivitas jagung masih rendah 0.09 2 0.18
4 Penguasaan teknik budidaya masih rendah 0.12 3 0.36
Pola tanam satu lubang untuk 2 komoditas (Jagung
5. 0,07 2 0,14
dan Kacang Tanah)
0.48 12 1,17 48%
1,00 24 2,46 100
Sumber: Hasil analisis tim tahun 2019

Tabel 3. Hasil External Faktor Analysis Summary (EFAS).


No Penggolongan Faktor Bobot Rating Total
Peluang
1 Permintaan pasar masih tinggi dan terus meningkat 0.13 3 0.39
2 Dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah 0.08 2 0.16
3 Pendayagunaan lahan kering 0.05 2 0.15
4 Sumber makanan pokok masyarakat NTT 0.15 3 0.10
5 Ragam olahan yang banyak 0.12 3 0.36
0.53 13 1.46 60%
Ancaman
Keterbatasan bibit unggul (masyarakat masih
1 0.11 3 0.33
cenderung produksi benih sendiri)
2 Terbatasnya jumlah penyuluh pertanian (PPL) 0.08 2 0.16
Akses terhadap informasi dan permodalan rendah
3 0.12 2 0.24
(terbatasnya modal petani)
Manajemen pengelolaan kelembagaan pertanian
4 (Gapoktan, Kelompok Tani, Koperasi, dll) masih 0.07 2 0.14
rendah
5 Iklim kering untuk wilayah NTT yang panjang 0.09 1 0.09
0.47 10 0.96 40%
1,00 23 2,42 100
Sumber: Hasil analisis tim tahun 2019

Hasil analisis IFAS dan EFAS dapat dilihat nilai skor pada masing-masing faktor baik
internal maupun eksternal, yaitu faktor kekuatan (1,29), faktor kelemahan (1,17), faktor peluang
(1,46), dan faktor ancaman (0,96). Berdasarkan hasil analisis IFAS dan EFAS tersebut, disusun
matriks IFAS dan EFAS dengan cara memadukan kekuatan dengan peluang dan ancaman, serta
memadukan kelemahan dengan peluang dan ancaman sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.

820
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 4. Matrik IFAS dan EFAS Komoditas Jagung.


IFAS Kekuatan Kelemahan
EFAS (Strengths (S)) (Weaknesses (W))
Peluang (Opportunities Strategi (S - O) Strategi (W - O)
(O)) 1,29 + 1,46 = 2,75 1,17 + 1,46 = 2,63
Strategi (S - T) Strategi (W - T)
Ancaman (Threats (T))
1,29 + 0,96 = 2,25 1,17 + 0,96 = 2,13
Sumber: Hasil analisis tim tahun 2019

Pengaruh faktor kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan dan pengaruh dari faktor
peluang lebih besar dari faktor ancaman. Nilai yang diperoleh dari hasil analisis matrik IFAS
dan EFAS tersebut selanjutnya dijabarkan dalam suatu analisis diagram analisis SWOT seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram analisis SWOT strategi pengembangan komoditas jagung Kabupaten TTU.

Strategi diagram pada Gambar 4 dapat dijelaskan sebagai berikut.


Kuadran I: Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Petani maupun
pemerintah memiliki kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Strategi umum yang
dapat dilakukan dalam pengembangan tanaman jagung di Kabupaten TTU adalah menggunakan
kekuatan untuk mengambil setiap keunggulan pada kesempatan yang ada mendukung kebijakan
pertumbuhan yang agresif (Growth Oriented Strategy).
Kuadran II: Meskipun menghadapi berbagai ancaman, petani atau pemerintah masih
memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan peluang berupa strategi diversifikasi (produk/pasar).
Kuadran III: Petani atau pemerintah menghadapi peluang pasar yang sangat besar,
tetapi di lain pihak masih menghadapi kendala/kelemahan internal. Fokus strategi ini adalah
meminimalkan masalah internal sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik.
Kuadran IV: Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, bagi petani atau
pemerintah untuk menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.

821
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 5. Matrik SWOT


Kekuatan Kelemahan
(Strengths (S)) (Weaknesses (W))
1. Kesesuaian Lahan (Agroekologi) 1. Minimnya pemberian saprodi
2. Ketersediaan lahan marjinal yang (pupuk, pestisida)
cukup luas 2. Tempat penampungan air pada
3. Masyarakat sudah lama saat musim hujan yang masih
membudidayakan jagung sangat terbatas (Embung dan Cek
4. Jumlah KK yang bertani jagung Dam)
44.162 KK 3. Produktivitas jagung masih rendah
5. Jumlah Kelompok Tani tanaman 4. Penguasaan teknik budidaya
pangan di Kabupaten TTU rendah
sebanyak 1.559 5. Pola tanam satu lubang untuk 2
komoditas (Jagung dan Kacang
Tanah)
Peluang (Opportunities(O)) Strategi SO Strategi WO
1. Permintaan pasar masih tinggi 1. Meningkatkan produksi sesuai 1. Peningkatan produksi melalui
dan terus meningkat dengan kondisi agroklimat intensifikasi
2. Dukungan kebijakan pemerintah setempat 2. Perbaikan teknologi budidaya dan
pusat dan daerah 2. Peningkatan produksi sesuai pasca panen bagi petani
3. Pendayagunaan lahan kering dengan kebijakan pemerintah 3. Penambahan embung dan cek dam
4. Sumber makanan pokok 3. Pemanfaatan lahan kering melalui untuk mendukung produksi
masyarakat NTT pemberdayaan kelompok tani 4. Pelatihan industry rumah tangga
5. Ragam olahan yang banyak 4. Pembinaan petani dalam berbahan baku jagung
pengolahan produk berbahan baku
jagung
Ancaman (Threats (T)) Strategi ST Strategi WT
1. Keterbatasan bibit unggul 1. Program Desa Mandiri Benih 1. Meningkatkan kemampuan petani
(masyarakat masih cenderung untuk menyediakan benih jagung dalam penerapan teknologi
produksi benih sendiri) 2. Pemanfaatan kelompok tani dalam budidaya yang adaptif terhadap
2. Terbatasnya jumlah penyuluh penyebaran teknologi budidaya kondisi iklim kering
pertanian (PPL) 3. Pemberdayaan Poktan, Gapoktan 2. Mengoptimalkan fungsi
3. Akses terhadap informasi dan dan koperasi dalam penyediaan kelembagaan dalam mendukung
permodalan rendah (terbatasnya modal bagi petani pengembangan jagung
modal petani) 4. Penerapan system budidaya sesuai 3. Meningkatkan produksi dengan
4. Manajemen pengelolaan standar teknis wilayah NTT pemberian pupuk organic
kelembagaan pertanian 5. Menambah jumlah PPL yang 4. Mengoptimalkan penggunaan
(Gapoktan, Kelompok Tani, terampil dalam budidaya jagung sumberdaya lahan dan air dalam
Koperasi, dll) masih rendah peningkatan produksi
5. Iklim kering untuk wilayah NTT
yang panjang
Sumber: Hasil analisis tim tahun 2019

Berdasarkan analisis faktor internal (IFAS) dan faktor eksternal (EFAS) dengan
menggunakan metode SWOT, diperoleh hasil bahwa strategi yang dapat dilakukan dalam
pengembangan komoditas jagung yaitu prioritas terhadap pendekatan alternatif strategi S – O
yang memperoleh bobot skor tertinggi sebesar 2,75. Model strategi S – O berada pada kuadran
I dalam diagram analisis SWOT, yaitu pertemuan antara peluang dari faktor luar (eksternal)
dengan kekuatan dari faktor dalam (internal) yang merupakan pilihan strategi utama dalam
pengembangan agribisnis jagung di Kabupaten TTU. Mengacu pada faktor peluang dan kekuatan
yang tersedia, maka prioritas pilihan strategi yang harus dilakukan adalah:
1. Meningkatkan produksi sesuai dengan kondisi agroklimat setempat yang beriklim kering,
menjadi pilihan utama. Upaya meningkatkan produksi bisa dilakukan dengan pemilihan
varietas unggul yang tahan terhadap kondisi kering misalnya anjuran pemakaian varietas
bersari bebas terutama Lamuru disamping Piet Kuring yang lebih disukai citarasanya oleh
masyarakat.

822
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

2. Dukungan kebijakan pemerintah dalam peningkatan produksi jagung dengan memasukkan


varietas Lamuru dalam program Benih Bersubsidi dan dapat dilanjutkan dengan program
Desa Mandiri Benih untuk mendukung kebutuhan benih petani di desa-desa produsen.
3. Pemanfaatan lahan kering membutuhkan pengolahan lahan dan pemeliharaan tanaman yang
lebih intensif, untuk mengoptimalkan produksi jagung dapat dilakukan melalui
pemberdayaan kelompok tani (secara berkelompok).
4. Pembinaan petani dalam pengolahan produk berbahan baku jagung meliputi pelatihan
penanganan pasca panen jagung dan pelatihan aneka macam produk olahan berbahan baku
jagung beserta cara pengemasan yang menarik.

PENUTUP
Hasil analisis faktor internal (IFAS) dan faktor eksternal (EFAS), pengaruh faktor
kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan dan pengaruh dari faktor peluang lebih besar dari
faktor ancaman, sehingga usaha peningkatan produksi jagung ini sangat memungkinkan untuk
dilaksanakan. Hasil analisis dengan menggunakan matriks SWOT, diperoleh hasil bahwa
strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan komoditas jagung yaitu prioritas terhadap
pendekatan alternatif strategi S – O. Model strategi S – O berada pada kuadran I, yaitu pertemuan
antara peluang dari faktor luar (eksternal) dengan kekuatan dari faktor dalam (internal) dalam
pengembangan agribisnis jagung di Kabupaten TTU. Berdasarkan strategi utama, kegiatan yang
diusulkan meliputi: (1) Meningkatkan produksi sesuai dengan kondisi agroklimat setempat, (2)
Peningkatan produksi sesuai dengan kebijakan pemerintah, (3) Pemanfaatan lahan kering
melalui pemberdayaan kelompok tani, dan (4) Pembinaan petani dalam pengolahan produk
berbahan baku jagung.
Jumlah rumah tangga yang mengusahakan tanaman jagung cukup besar, demikian juga
jumlah kelompok tani dan Gapoktan cukup banyak, dua hal ini merupakan asset yang bisa
diberdayakan lebih optimal dalam peningkatan produksi jagung maupun hasil olahannya melalui
pembinaan kelompok usaha bersama dibawa pengawasan instansi terkait.

DAFTAR PUSTAKA
Boomgaard, P. (2002). Jagung Dan Tembakau Di Dataran Tinggi Indonesia, 1600-1940, dalam
Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
BPS Kabupaten TTU. (2018). Kabupaten Timor Tengah Utara Dalam Angka Tahun 2018.
Badan Pusat Statistik.
BPS NTT. (2017). Produksi Jagung (Ton) Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Diakses pada tanggal 11 Juli 2019, dari https://ntt.bps.go.id/
dynamictable/2018/10/30/862/produksi-jagung-ton-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-
nusa-tenggara-timur-2017.html
Ferrel,O.C and D, Harline.(2005). Marketing Strategy. South Western: Thomson Corporation
Nazir, Moh. (2005). Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Priyanto, D. & Diwyanto, K. (2014). Pengembangan Pertanian Wilayah Perbatasan Nusa
Tenggara Timur dan Republik Demokrasi Timor Leste. Pengembangan Inovasi Pertanian,
7(4), Pp.207–220.
Rangkuti, Freddy. (2006). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Taolin, J.L. (2017, 24 Maret). FAO: TTU Harus Jadi Pusat Pengolahan Lahan Kering. Diakses
pada 1 Agustus 2019, dari http://www.nttonlinenow.com/new-2016/2017/03/24/fao-ttu-
harus-jadi-pusat-pengolahan-lahan-kering/

823
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Mewujudkan Keberlanjutan Kelembagaan Rantai Pasok CPO Indonesia


Melalui Analisis Identifikasi san Eliminasi Faktor Penghambat
Indonesian CPO Institutional Supply Chains Sustainability Through
Identification and Elimination Inhibitor Factors Analysis
Roosganda Elizabeth1,2, Delima Hasri Azahari2, Inta PN Damanik3, Achmad Faqih4
1,2Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. Tentara Pelajar No. 3B. Cimanggu. Bogor
3Jurusan SEP Fakultas Pertanian UNPATI Ambon
4Program Studi Agribisnis Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

ABSTRAK

Kata Kunci: Dengan pangsa sekitar 60% total ekspor Indonesia, CPO merupakan produk
Keberlanjutan ekspor nonmigas potensial. Teridentifikasi faktor penghambat yang
Kelembagaan mempengaruhi kelembagaan manajemen rantai pasok dalam pengembangan
Rantai Pasok CPO sawit Indonesia. Berbagai regulasi terkait pengusahaan dan perdagangan
Identifikasi internasional sawit menciptakan ketidakpastian pelaku perdagangan
Faktor Penghambat penyebab harga sawit Indonesia tidak kompetitif di pasar global juga menjadi
penghambat peningkatan ekspor. Tulisan ini membahas secara
deskriptif kualitatif strategi mengeliminir factor penghambat untuk
mewujudkan keberlanjutan kelembagaan rantai pasok CPO Indonesia, dan
review literatur terkait untuk memperkaya tulisan. Berbagai faktor
penghambat dan isu negatif mutu CPO Indonesia, terbukti melemahkan
ekspornya Perlunya keberpihakan regulasi dan kebijakan pemerintah di
berbagai bidang terkait mewujudkan keberlanjutan kelembagaan manajemen
rantai pasok diselaraskan kepentingan nasional (pendapatan, kesejahteraan,
kelestarian SDA dan lingkungan/SDGs); memberdayaan dan
memaksimalkan dan kelembagaan pendukung yang berpihak.

ABSTRACT
Around 60% of Indonesia's total exports, CPO is a potential non-oil and gas
Keywords:
export product. Inhibiting factors identified that affect the supply chain
Institutional
management institutions in the development of Indonesian oil palm. Various
Sustainability
regulations related to palm oil business and international trade create
CPO Supply Chain
uncertainty of trade players who cause Indonesian palm oil prices are not
Inhibitor Factors
competitive in the global market also become an obstacle to the increase in
Identification
exports. This paper discusses descriptively qualitative strategies to eliminate
the inhibiting factors for realizing the sustainability of Indonesia's CPO
supply chain institutions, and reviewing related literature to enrich writing.
Various inhibiting factors and negative issues on the quality of Indonesian
CPO have been proven to weaken exports. The need for alignment of
government regulations and policies in various fields related to realizing the
sustainability of supply chain management institutions aligned with national
interests (income, welfare, sustainability of natural resources and the
environment / SDGs); empower and maximize and supportive institutional
support.

Email Korespondensi: roosimanru@yahoo.com,

824
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan subsektor perkebunan terkait erat dengan berfungsi aktifnya
peran kelembagaan di berbagai aspek sebagai pendukungnya, dan menjangkau faktor mikro dan
makro, serta keterkaitan yang disebabkan endogenous (internal) factor (faktor ekonomi dan
mindset petani) dan exogenous (eksternal) factor (faktor alam dan konversi lahan). Pada berbagai
perjanjian perdagangan, produk nonmigas merupakan salah satu mekanisme pembuka pasar
ekspor Indonesia. Dengan pangsa sekitar 60% total ekspor Indonesia (Hadiguna et al. 2012),
CPO merupakan produk utama kelapa sawit yang potensial. Teridentifikasinya berbagai faktor
penghambat usaha sawit, di dalam negeri terkait peningkatan produksi dan produktivitas yang
dipengaruhi kinerja kelembagaan manajemen rantai pasoknya. Masih kurangnya transparansi
Domestic Regulation terkait perdagangan dan investasi; gap antara applied tariff dan bound tariff
masih tinggi dan kompleks cenderung meningkat, additional duties dan pemberian label Retail
Maximum Price (seperti: ongkos kapal, asuransi, internal taxes) di negara importer, menciptakan
ketidakpastian pelaku perdagangan, serta pajak ekspor, menjadi penyebab harga sawit Indonesia
tidak kompetitif di pasar global dan menjadi penghambat peningkatan ekspor (Dharma. 2011;
dalam: Kustiari et al.2013).
Tulisan ini bertujuan mengemukakan secara lebih komprehensif mengenai mewujudkan
keberlanjutan kelembagaan rantai pasok minyak sawit Indonesia melalui analisis identifikasi dan
eliminasi faktor penghambat dengan metode deskriptif kualitatif, diperkaya review berbagai
hasil penelitian, dan literatur terkait. Diperlukan kelembagaan dan manajemen rantai pasok yang
terintegrasi antar setiap kegiatan yang mampu mengakomodir ketiga aliran aktivitas rantai pasok.
Peran dan keberpihakan kebijakan pemerintah serta pemberdayaan kelembagaan terkait sebagai
strategi pengantisipasiannya dalam mewujudkan keberlanjutan kelembagaan rantai pasok sawit,
CPO dan berbagai produk olahannya. Pentingnya peran kinerja dan manajemen rantai pasok
pengusahaan sawit dan produk olahannya (CPO). Berperannya kebijakan peningkatan investasi
dan strategi pengembangan komoditas berbasis pasar, pengembangan konektivitas, SDM,
teknologi serta penataan sistem manajemen dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan.
Pemberdayaan kelembagaan terkait dan keberpihakan kebijakan pemerintah diperlukan sebagai
strategi untuk mengantisipasinya. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut melalui
pendampingan aktif dan berkelanjutan sebagai keberpihakan pemerintah dengan tetap
memperhatikan prinsip keberlanjutan kelembagaan rantai pasok CPO.

METODOLOGI
Program pembangunan pertanian di masa lalu melalui strategi trickle down effect yang
mengedepankan pertumbuhan dan produksi semata, terbukti sulit diimplementasikan, karena di
satu sisi sumberdaya terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat, pemanfaatnya mayoritas
yang ekonomi relatif mapan. Campur tangan dan penetrasi pemerintah yang menjadi terlalu jauh
dalam proses globalisasi yang hegemoni dan kontrol global yang seringkali meminggirkan
norma dan nilai sosial lokal. Timbulnya berbagai kesenjangan social dan eonomi di masyarakat
di sekitar areal perkebunan, pemicu berbagai dampak dari strategi pembangunan perkebunan
yang tujuannya hanya menitikberatkan pada pertumbuhan semata, tanpa didukung tujuan
pemerataan (Elizabeth. 2008; 2017; 2019). Tanpa adanya pemerataan pembangunan melalui
pendistribusian diprediksi menjadi penyebab utama tumbuhnya kecemburuan social diantaranya
merasa menjadi masyarakat miskin (maupun kategori kekurangan) (Elizabeth. 2011; 2018).
Dengan metode deskriptif kualitatif tulisan ini mengemukakan lebih komprehensif strategi
mewujudkan keberlanjutan kelembagaan rantai pasok sawit dan CPO Indonesia melalui analisis
identifikasi dan eliminasi faktor-faktor penghambat, yang diperkaya berbagai hasil penelitian,
dan literatur terkait. Terindikasi berperan pentingnya kinerja dan manajemen rantai pasok sawit
dan produk olahannya, dengan memfungsikan peran aktif kelembagaan terkait di masyarakat
untuk memberdayakan asset yang dimiliki masyarakat, terutama tenagakerjanya, harapan dan
kepercayaan mendasar terhadap perbaikan hidup, niscaya program pembangunan perkebunan

825
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

yang sedang diusung akan mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat sebagai target
penerimanya.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sektor pertanian berperan penting dan strategis dalam meningkatkan perekonomian daerah
dan Nasional, yang terindikasi pada kontribusinya terhadap PDB setiap tahunnya, serta
perekonomian global. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian juga terkait dengan kinerja
perekonomian secara global, domestik dan berbagai program sektor lainnya. Kinerja
perekonomian global akan mempengaruhi kinerja perekonomian nasional (Elizabeth. 2017;
2018; dalam Elizabeth. 2019). Sektor pertanian menjadi salah satu sektor penting dalam
mendorong peningkatan perekonomian. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan
Indonesia, sehingga peningkatan produksi dan produktivitas terus menerus dilakukan agar
berkelanjutan, baik melalui perluasan areal tanam maupun intesnsifikasi budidaya dan
pemeliharaannya. Sebaran pengusahaan kelapa sawit dapat dicermati pada Gambar 1, dimana
kondisi iklim dan tanah merupakan factor lingkungan utama yang mempengaruhi keberhasilan
pengembangan budidaya dalam pengusahaan kelapa sawit, disamping berbagai factor lainnya
diantaranya bahan tanaman (genetic) dan perlakuan (kultur teknis) yang diberikan (Buana et al.
2006).

Gambar 2. Sebaran Pengusahaan Kelapa Sawit di Indonesia.


Visi Perkebunan 2020 berbasis kelapa sawit yaitu: 1) Revitalisasi Perkebunan 2007-2010,

826
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

2) Intensifikasi tanaman kelapa sawit rakyat, 3) Dukungan penyediaan lahan, 4) Dukungan


penyediaan benih unggul, 5) Dukungan pembangunan infrastruktur, 6) Pengembangan riset dan
development, 7) Penyediaan pembiayaan, dan 8) Meningkatkan penerapan pembangunan kelapa
sawit berkelanjutan (sustainable development). Produk domestik harus mampu berkompetisi,
dibutuhkan kewaspadaan dan antisipasi dampak negatif tarif yang rendah negara lain yang
menjadikan produknya lebih murah, diantaranya dengan analisis identifikasi dan mengeliminasi
faktor penghambatnya.

Analisis Identifikasi dan Eliminasi Faktor Penghambat


Berbagai faktor penghambat tentunya dapat mempengaruhi kinerja dan keberhasilan
program pembangunan untuk segera dibenahi dan diakomodir, beberapa diantaranya terindikasi,
seperti:
✓ Penurunan ouput sektor pertanian-perkebunan terkait dengan turunnya harga komoditi, yang
lebih dikarenakan keragaman karakteristik wilayah dan kearifan lokal (local wisdom) yang
relatif berbeda; mengindikasikan pentingnya memahami kondisi agrosistem spesifik lokasi
dalam pengembangan komoditi yang sedang dilaksanakan.
✓ Penurunan jumlah output sektor pertanian-perkebunan akan menyebabkan penurunan jumlah
penggunaan tenaga kerja. Penurunan terbesar terjadi di wilayah Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua-Maluku (di sektor gula misalnya, masing-masing sebesar 3,07%, 2,65%,
1,96%, dan 1,99%).
✓ Di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara penurunan tenaga kerja perkebunan sekitar 1,3%, dan
1,19%.
Pada usaha sawit, sedikitnya tiga factor penghambat yang mempengaruhi pertumbuhan
sawit, yaitu:
1) produksi (jenis, kualitas, kuantitas, kontiniutas ketersediaan, kapasitas, produktivitas
petani, insentif petani); 2) pasar (struktur pasar yang dikuasai beberapa pelaku, tingkat harga,
sistem bayar); 3) distribusi (tata niaga/pembentukan harga dikuasai beberapa pelaku pasar,
akses antar produsen, transportasi, tarif/non tarif, pajak. Di negara importir seperti: masih
kurangnya transparansi domestic regulation terkait perdagangan dan investasi; gap antara
applied tariff dan bound tariff masih tinggi dan kompleks cenderung meningkat; tarif produk
masih tinggi ditambah additional duties dan pemberian label Retail Maximum Price (MRP) dari
negara asal (ongkos kapal, asuransi, internal taxes yang tidak sama antar negara bagian).
Beredarnya isu negatif terkait CPO Indonesia pada voting UE untuk menghapus penggunaan
energi terbarukan dari minyak sawit sebagai penolakan CPO Indonesia karena tidak ramah
lingkungan; kerusakan lingkungan; legalitas kepemilikan lahan; sertifikasi produk; tingginya
konversi lahan; keterbatasan akses permodalan dan penyuluhan; adanya pajak ekspor; dan
sebagainya (Cifor. 2018). Faktor penghambat lainnya adalah yang terkait tata kelola dan
peraturan kelapa sawit Indonesia supaya lebih efektif dan efisien. Hal tersebut penyebab harga
sawit Indonesia tidak kompetitif di pasar global, dan menjadi penghambat peningkatan ekspor.

Tantangan Keberlanjutan Minyaksawit (CPO), Terkait Tata Kelola Sawit


Salah satu tantangan keberlanjutan paling mendesak adalah kebutuhan mengatur ekspansi
pasokan kelapa sawit Indonesia dengan lebih efektif dan efisien, harus mampu memitigasi
dampak negatif terhadap lingkungan, serta mengurangi kesenjangan produktivitas perkebunan
skala besar dan petani kecil (Sayer dkk. 2012; Rival dan Levang 2014). Tantangan ekspansi
sawit sekaligus dilema utama tata kelola adalah dampak kontradiktifnya, yaitu: (i) berkontribusi
dalam pendapatan fiskal dan devisa; (ii) menjadi mata pencaharian utama petani sawit rakyat
(Edwards 2015); (iii) tetapi, ekspansi sawit juga menghasilkan emisi karbon yang signifikan; (iv)
juga berkontribusi atas hilangnya keanekaragaman hayati apabila diproduksi melalui konversi
hutan primer (v) melemahkan berbagai komitmen pemerintah dalam melindungi
keanekaragaman hayati dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

827
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Espansi sektor minyak sawit yang pesat membuat tata kelola di dalam dan di luar rantai
pasoknya semakin kompleks, karena: semakin banyak pemangku kepentingan (actor-aktor),
terlibat dengan kepentingan berbeda, tersebar mulai industri pengolahan dan pengecer, produsen,
pemerintah, bank, lembaga teknis, dan masyarakat sipil. Sejumlah standar pribadi seperti: sistem
sertifikasi, memunculkan sebuah ‘kompleks rezim transnasional’, yang mendukung atau
bertentangan, yang melemahan keterpaduan kerangka peraturan, menumbuhkan saling bersaing..
Isu-isu terkait emisi deforestasi dan konversi lahan gambut. Diskoneksi, komplementaritas, dan
antagonisme menjadi karakter tata kelola minyak sawit saat ini. Secara bertahap diatasi dengan
membangun koneksi dan meningkatkan komplementaritas di antara instrumen skala global.
Koneksi dapat dibangun dengan menyelaraskan berbagai peraturan publik, serta antara peraturan
publik dan standar swasta di berbagai tingkat, dengan pendekatan rantai pasok dan pengelolaan
territorial, meski mengacu sektor minyak sawit global, t e tapi fokusnya sisi produksi di
Indonesia.

Tantangan Industri Kelapa Sawit Indonesia Masa Kini


Internal: 1) Keterbatasan lahan untuk pengembangan baru; 2) Peningkatan produktivitas
kelapa sawit rakyat, dengan: peremajaan, benih unggul, Best Management Practices; 3)
Permasalahan biaya dan ketersediaan tenaga kerja perkebunan; 4) Dinamika iklim yang
berpengaruh terhadap produksi.
Eksternal: 1) Tuntutan produk ramah lingkungan dan mampu telusur Trade barrier
perdagangan global melalui isu kesehatan, keamanan pangan, dan sustainability; 2)
Kemungkinan masuknya pathogen baru dari luar wilayah Indonesia; Kampanye negatif terhadap
industri kelapa sawit.

Tantangan Industri Kelapa Sawit Lestari Masa Depan


1) Menghilangkan kemiskinan; 2)Menghilangkan kelaparan; 3)Tersedianya lapangan
kerja layak dan pertumbuhan ekonomi; 4) Industri, inovasi dan infrastruktur berkembang; 5)
Kesenjangan berkurang; 6) Produksi dan konsumsi berkelanjutan; 7) Menangani perubahan
iklim; 8) Menjaga ekosistem daratan; 9) Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh;
10) Kerjasama untuk mencapai tujuan.
Untuk mewujudkan keberlanjutan kelembagaan dan rantai pasok CPO Indonesia, dengan
pemberdayaan dan penguatan kelembagaan untuk mendukung pencapaian keberlanjutan
kelembagaan rantai pasok CPO Indonesia. Upaya menjawab permasalahan isu keberlanjutan
dalam rantai pasok minyak sawit adalah penilaian risiko keberlanjutan dan mitigasinya.
Pentingnya mengelola risiko rantai pasok, stabilitas kerjasama dinamis antar mitra dalam rantai
pasok, pengaruh perubahan iklim terhadap keamanan produk pangan. Dalam konteks rantai
pasok CPO, risiko ketidakpastian berkelanjutan bersumber dari aspek ekonomi, lingkungan dan
sosial politik, yang dapat dideteksi melalui kinerja periode-periode saat ini atau sebelumnya
(Hahn et al. 2011; Jacxsens. 2010; Khan et al. 2007).

Kelembagaan Manajemen Rantai Pasok (SCM)


Tinjauan Konseptual Manajemen Rantai Pasok
Rantai Pasok. Rantai pasok (supply chain) adalah suatu sistem sebagai tempat organisasi
(sekumpulan aktivitas) menyalurkan barang produksi dan jasa kepada para pelanggannya
(Indrajit dan Djokopranoto. 2002; dalam: Margaretha. 2019). Rantai pasok merupakan
keterlibatan semua pelaku suatu usaha maupun bisnis, secara langsung maupun tidak langsung
dalam pemenuhan permintaan konsumen (pelanggan, costumer) yang mencakup produsen,
pemasok input, manufaktur, pergudangan, jasa transportasi, pengecer, bahkan si pelanggan itu
sendiri. Rantai tersebut merupakan jaringan atau jejaring dari berbagai kelembagaan yang saling
berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk sebaik mungkin
menyelenggarakan pengadaan maupun penyaluran barang (pasokan) yang mencakup juga proses

828
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

perubahan barang tersebut (jasa) (Margaretha. 2019). Rantai pasok dalam kelembagaan yang
saling terhubung merupakan jaringan penyaluran pasokan (barang, jasa) kepada pembelinya
(pelanggan, mitra).
Rantai pasok merupakan sekumpulan aktivitas dan keputusan yang saling terkait untuk
mengintegrasikan pemasok, manufuktur, gudang, jasa transportasi, pengecer, dan konsumen
secara efisien (Li. 2007); merupakan jaringan organisasi/kelembagaan usaha/bisnis yang yang
saling terlibat dalam pengubahan dan pemindahan material, informasi, dan uang yang kemudian
mengalami proses produksi hingga menjadi produk akhir dikirim ke pelanggan/costumer; saling
terhubung dan memiliki tujuan yang sama, yaitu memuaskan konsumen, yang dilakukan melalui
skema jaringan/jejaring manajemen rantai pasoknya (Heizer dan Render. 2011; dalam:
Margaretha. 2019).
Berbagai aktivitas tersebut termasuk juga aktivitas pencarian, aktivitas pembelian,
aktivitas outsourching disertai fungsi aktivitas lainnya yang penting dalam hubungan antara
produsen, supplier, dan distributor. Aktivitas yang mencakup aliran rantai pasok yang pada
umumnya terdapat sedikitnya tiga aliran yang harus dikelola (Pujawan. 2005; 2017; Emhar et al.
2014; dalam: Margaretha. 2019), yaitu:
(1) Aliran barang (material) dan produk (hasil olahan) yang mengalir dari hulu (upsteam) ke hilir
(downsteam), yaitu: bahan baku (material) dikirim pemasok (supplier) ke pabrik (diolah),
produk hasil pabrik dikirim ke distributor (penyalur), kemudian didistribusikan/ disalurkan
ke pedagang (besar, menengah, pengecer/retail) sampai ke tangan pemakai akhir (konsumen,
customers);
(2) Aliran uang yang mengalir dari hilir (market/pasar) ke hulu: yang merupakan aliran masuk
dan keluarnya uang di perusahaan;
(3) Aliran informasi, yang biasanya mengalir/terjadi dari hilir ke hulu, dan ataupun sebaliknya:
yang memberikan informasi terkait spesifikasi bahan baku (jenis, jumlah, waktu ketersediaan
bahan baku), jadwal pengiriman bahan baku, jumlah dan jadwal pengiriman produk jadi
(maupun produk setengah jadi)
Dari ketiga aliran tersebut, peran yang sangat vital menciptakan SCM yang unggul adalah
aliran informasi. Kinerja rantai pasok yang bagus dan handal pastilah usaha yang mampu
mengelola aliran informasi dengan transparan dan akurat, terindikasi pada: (i) informasi
ketersediaan produk di masing-masing supermarket/ gerai sangat dibutuhkan oleh distributor
maupun pabrik: (ii) informasi ketersediaan kapasitas produksi pemasok juga sering dibutuhkan
pabrik; (iii) informasi status pengiriman dibutuhkan oleh perusahaan pengirim maupun penerima
(Gambar 1).

Gambar 2. Aliran Rantai Pasok.

Manajemen Rantai Pasok CPO


Manajemen rantai pasok (supply chain management), merupakan integrasi atas proses-
proses bisnis dan usaha dari pengguna akhir (customer) melalui pemasok awal sebagai penyedia
produk, jasa dan informasi serta memberikan nilai tambah bagi pelanggan (Lambert, et al. 1998;

829
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Sumarau. 2014; dalam: Saptana. 2016). Nilai tambah bagi pelanggan yang dimaksud adalah rasa
dan nilai kepuasan costumer (pelanggan, pengguna akhir) atas produk tersebut. Manajemen
rantai pasok (Supply Chain Management/SCM) adalah pengelolaan berbagai aktivitas
pengadaan untuk mendapatkan material (bahan baku, pasokan) dan aktivitas service (pelayanan,
jasa), yang terintegrasi dengan aktivitas pengubahan barang yang mengubahnya menjadi barang
setengah jadi dan barang jadi, serta aktivitas jasa dalam bentuk proses pengiriman ke pelanggan
(Beamon. 2008; Blengini et al 2010; Carter et al. 2008: dalam: Cifor. 2018).
Manajemen rantai pasok (Supply Chain Management/SCM) CPO adalah pengelolaan
berbagai aktivitas pengadaan yang terintegrasi untuk mendapatkan material (bahan baku,
pasokan), yaitu TBS (tandan buah segar) dan service (pelayanan, jasa), dengan aktivitas
pengubah barang yang mengubahnya menjadi barang setengah jadi dan barang jadi, serta
pengiriman ke pelanggan; terlaksana karena adanya pengelolaan aliran barang, uang dan
informasi. Sebelum melakukan perjanjian kerjasama mitra, untuk mendapatkan TBS si petani
calon mitra, pelaku pengolah melakukan penelusuran memastikan asal TBS dan kepatuhan
pemasok mengikuti syarat pasokan TBS. Penelusuran asal usul TBS merupakan hal-hal teknis
terkait pemetaan rantai pasok yang menunjukkan komitmen pelaku usaha industry pengolah
CPO dalam: mengatasi masalah sosial dan lingkungan, memperbaiki tingkat efisiensi dan
kualitas rantai pasok, serta menghindari eksploitasi area dilindungi. Dengan memeriksa pemasok
sebelum menjadi mitra akan memberikan kepastian bahwa pasokan TBS nya bukan berasal dari
daerah terlarang. Penelusuran
melibatkan bidang (kelembagaan): Traceability (ketertelusuran), Purchasing (pembelian),
Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) dan R&D (Resourch and Development), yang diterapkan
kepada setiap mitra baru (calon mitra pemasok) yang ingin menjadi pemasok TBS. Awal
memulai sebagai calon mitra pemasok TBS baru wajib menyerahkan sejumlah dokumen tertentu
(Tim RSPO. 2015; Cifor. 2018).
Berikut dikemukakan rantai pasok industry CPO dengan mengambil contoh di salah satu
daerah produsennya, yaitu: kabupaten Bangka Barat.

Data untuk sistem ketelusuran mencakup: lokasi kebun, nama pemasok/pemilik, koordinat
GPS lokasi kebun, luas kebun, bentuk lembaga/organisasi (KUD, Asosiasi, Kelompok Tani,
importir, ataupun Perorangan), data produksi, dan asal-usul area kebun (dokumen legalitas jika
memungkinkan). Aktivitas tersebut merupakan salah satu bagian tahapan dari serangkaian
tahapan dalam rantai pasok yang bertujuan untuk memastikan seluruh pasokan TBS bukan
berasal dari area dilindungi (Hutan Lindung, Taman Nasional, Areal Konservasi, Suaka
Alam/Margasatwa, dll), diterapkan sistem yang sangat ketat (Tim RSPO. 2015; Cifor. 2018).
Dalam melaksanakan aktivitas penelusuran asal TBS dari petani mitra pemasok, pabrik

830
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

melakukan beberapa tahapan, sebagai berikut:


✓ Tim Purchasing melakukan kunjungan ke area kebun melihat kondisi umum (tanaman, jalan
panen, dll), mengecek langsung ke tempat pengumpulan hasil (TPH) dan menegosiasikan
harga awal.
✓ Pemasok memberi janjang TBS sampel ke pabrik diperiksa PMKS tingkat kualitasnya, untuk
buat kesepakatan harga akhir.
✓ Tim Traceability kembali melakukan kunjungan ke kebun mitra, tagging koordinat GPS di
lokasi kebun dan mengumpulkan berbagai bukti, data dan informasi yang dibutuhkan sesuai
daftar aturan asal usul TBS.
✓ Tim R&D memastikan apakah area dilindungi (terlarang), bila melanggar, perusahaan segera
memutuskan kontrak.
✓ Jika semua persyaratan telah dipenuhi, pemasok menandatangani kontrak dan mengirimkan
TBS nya ke pabrik mitra secara teratur.
✓ Untuk menghindari kecurangan, perusahaan menerapkan beberapa metode, yaitu: setiap
pemasok diberikan kuota TBS/bulan sesuai potensi kapasitas produksi (berdasarkan hasil
kunjungan langsung ke area kebun petani).
Metode tersebut dilakukan untuk mencegah pemasok membeli/mengirimkan lebih banyak
TBS dari pihak ketiga (yang tidak jelas asal lokasi area kebunnya), lalu dijual ke pabrik mitra.
Bila kuota hampir terlampaui, pabrik mitra sementara menghentikan penerimaan TBS dari petani
tersebut. Pabrik mitra kemungkinan kembali mengunjungi kebun mitra memastikan asal dan
kapasitas TBS nya sesuai. Mitra pemasok harus menunggu sampai kuota terpenuhi.

Kinerja Manajemen Rantai Pasok CPO


Kinerja, merupakan kata kunci keberhasilan suatu usaha, dan semua aktivitas dalam
seluruh kegistan terkait bisnis. Salah satu kunci keberhasilan dan kesuksesan pada setiap usaha,
kelembagaan maupun organisasi bisnis adalah kemampuan (kompetensi) kinerja untuk
mengukur, mengembangkan dan meningkatkan kinerjanya.

Gambar 2. Unsur dan Aspek serta Tahap Pelaksanaan Kinerja.


Dalam tulisan ini adalah kinerja kelembagaan rantai pasok sawit, terfokus pada
pengelolaan, pengintegrasian berbagai kegiatan dan aliran (barang, jasa, dan informasi) melalui

831
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

rantai pasok supaya responsif kebutuhan dan kepuasan pelanggan, secara simultan berupaya
menurunkan biaya total (Russel dan Taylor. 2006; dalam: Saptana et al. 2018). Manajemen rantai
pasok merupakan integrasi atas proses-proses bisnis dari pengguna akhir melalui pemasok awal
yang menyediakan barang, jasa, informasi, manufuktur, gudang, jasa transportasi, pengecer,
konsumen secara efisien, memberi nilai tambah (kepuasan) bagi pelanggan (Li. 2007; Sumarau.
2014; Margaretha. 2019).

Pentingnya Penerapan Manajemen Rantai Pasok CPO


Tujuan manajemen rantai pasok (SCM), adalah: (1) mengurangi resiko pasar; (2)
meningkatkan nilai tambah, efisiensi dan keunggulan kompetitif; (3) berguna dalam menyusun
strategi pengembangan produk; dan (4) strategi untuk memasuki dan memperluas segmen dan
tujuan pasar baru. Terdapat sedikitnya enam manfaat penerapan SCM, yaitu: meningkatkan
kepuasan pembeli, yaitu: (i) meningkatkan kepuasan pembeli, (ii) meningkatkan pendapatan
pelaku rantai pasok, (iii) efisiensi biaya; (iv) pemanfaatan asset semakin tinggi, (v) peningkatan
produksi dan produktivitas, serta (vi) peningkatan skala usaha (Jebarus 2001; Widyarto. 2012).
Pentingnya manajemen rantai pasok dimasa kini karena dengan konsep barunya pelanggan
menjadi peran kunci dalam keseluruhan rantai pasok suatu produk dan menjadi penggerak
ekonomi. Penerapan manajemen rantai pasok sawit menuntut pelaku untuk: (i) menyediakan dan
kontiniutas bahan baku TBS tepat waktu, jumlah dan kualitas; (ii) efisiensi dan efektivitas biaya
dalam bidang persediaan dan penyerahan barang; (iii) mengelola industry sawit secara cermat
dan fleksibel.
Empat alasan pentingnya penerapan manajemen rantai pasok sawit, yaitu:
1) Semakin rinci dan kompleksnya tuntutan permintaan costumer atas atribut produk, yaitu:
keamanan, nutrisi, nilai, lingkungan, ketelusuran/traceability, dan kemanusiaan. Bahkan
negara importir telah memasukkan aspek kesejahteraan petani, kelestarian SDA dan
lingkungan (SDGs);
2) Memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas rantai pasok, pengelolaan terintegrasi
vertical dari hulu hingga hilir (Saptana et al. 2018), mampu: (a) mencapai efisiensi dan
efektivitas tertinggi, fleksibel dan stabilitas yang dinamis; (b) menjamin harmonisasi proses
dan produk; dan (c) mengakomodasi kepentingan ekonomi (kesejahteraan) petani sawit
rakyat;
3) Dapat meningkatkan dan memperkuat dayasaing produk melalui peningkatan efisiensi,
ketepatan dan kepuasan pelayanan pada pelanggan;
4) Mampu meningkatkan akses pelaku usaha sawit memasuki pasar lebih (modern, global),
melaui pengembangan kerjasama/kemitraan (antar: produsen, distributor, retail, pelanggan:
asosiasi, importir, konsumen akhir) usaha agribisnis.
Hubungan kerjasama/kemitraan yang baik dapat mendukung efektivitas rantai pasok,
supaya berdayasaing melalui pendekatan SCM secara terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan.
Terpenting bagi perusahaan mitra: adanya jaminan pasokan (jenis, kualitas dan kontiniutas
pasokan. Bagi petani mitra (supplier): adanya jaminan pasar dan kepastian harga (Saptana. 2011;
Elizabeth. 2015; 2017; 2018; 2019), fluktuasi harga, dinamika ketersediaan input, ekspektasi
harga keluaran menentukan keputusannya dalam melakukan kegiatan memproduksi TBS.

Keberlanjutan Kelembagaan Rantai Pasok CPO


Kelembagaan. Kelembagaan adalah wadah orang-orang yang memiliki kejelasan:
identitas, kepentingan, aturan/kesepakatan dan struktur/peran/posisi dijalankan, saling interaksi
untuk tujuan yang sama. Dasar/inti dari kelembagaan adalah ‘interaksi’, apakah berbentuk
formal/ nonformal; berpola horizontal/vertical; berbasiskan ekonomi atau bukan (biasanya
disebut ”sosial”); berlangsung sesaat/lama; merupakan hal yang biasa/hal baru; berpola atau
acak; karena perintah atau bukan. Manfaat utama kelembagaan adalah pengendali/pengatur,
memiliki kekuatan sebagai pendukung keberhasilan program), sebagai sosial kontrol dalam

832
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pelaksanaannya; dapat merupakan usaha/upaya, perencana, pelaksana rencana, pelaku usahanya,


penikmat hasilnya, bahkan pendamping maupun pengawas pelaksanaan, yang idealnya memiliki
keterkaitan karena memiliki tujuan yang sama, yakni keberhasilan program yang dicanangkan
(target/tujuan, sistem, pelaksana target, serta wadah/institusinya).
Berbagai kelembagaan yang berperan sebagai pendukung keberhasilan suatu program
pembangunan (pertanian) meliputi: kelompok tani, kelembagaan tenaga kerja, kelembagaan
penyedia input, kelembagaan pemasaran maupun pengolahan output, kelembagaan permodalan,
kelembagaan konsumen, mencakup semua kegiatan, dari hulu hingga hilir. Tuntutan tinggi
tersebut umumnya hanya mampu diadopsi dan dinikmati petani berlahan luas, atau tenagakerja
dengan kemampuan SDM tinggi; menjadikan longgarnya ikatan nilai dan norma lokal (local
wisdom/kearifan lokal) berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge), yang
berorientasi social dan bersifat komunal karena hanya mengedepankan kepentingan dan efisiensi
ekonomi semata. Untuk itulah diperlukan pemberdayaan untuk penguatan peran dan fungsi
golongan terbatas tersebut (=kelembagaan) untuk menjembatani jarak antar aspek; yang
keberlanjutannya dengan pelatihan dan pendampingan sebagai keberpihakan.
Konsep manajemen rantai pasok (SCM) sawit adalah pengelolaan terintegrasi aliran
pengadaan TBS,serta aliran informasi yang dibutuhkan dari hulu ke hilir terhadap keberadaan
TBS sebagai bahan baku CPO; yang menuntut setiap pelaku pada setiap mata rantai pasok untuk:
(i) memenuhi kepuasan pelanggan; (ii) efektivitas dan efisiensi biaya penyediaan, distribusi TBS
dan produk olahannya (CPO) yang optimal, dan (iii) penyaluran (distribusi) tepat waktu secara
cermat dan fleksibel.
Terindikasi bahwa preferensi pembeli TBS dengan butiran buahnya berwarna merah cerah
keoranyean dan kelopak/pelepah tandan tidak tebal dan tidak banyak, serta sekitar 30 kg per
tandannya. Dari pihak petani, kelayakan dan kestabilan harga jual TBS serta ketersediaan saprodi
yang terjangkau harga dan jumlahnya sangat mempengaruhi kinerja pengembangan sawit
mereka.
Sistem jaringan rantai pasok sawit berimplikasi sangat penting terhadap manajemen rantai
pasok yang dibangun dalam pengusahaan sawit. Adalah merupakan suatu keniscayaan bila
membangun kelembagaan rantai pasok sawit terpadu tanpa pengetahuan memahami yang
memadai tentang sistem jaringan rantai pasok, yang mencakup deskripsi rantai pasok, struktur
dan pola-pola manajemen rantai pasok, volume dan pangsa pasar masing-masing segmen (tujuan
pasar), jumlah dan sistem pengadaan industry pengolahan, serta sistem distribusi dan pemasaran
sawit. Dalam manajemen rantai pasok sawit terpadu dan berkelanjutan, berperan dan
terintegrasinya koordinasi internal dan eksternal yang efektif dan harmonis jika disertai kejelasan
aturan main, pola interaksi dan pembagian kerja secara organic, pembagian hak dan kewajiban
secara adil, dan memiliki mekanisme penyesuaian/adaptasi jika terjadi gejolak harga di pasar,
menjadi kata kunci. Koordinasi internal dilakukan segmen pelaku usaha dalam kelembagaan
rantai pasok sawit, yaitu: anataranggota dalam kelompoktani, antar kelompok tani dengan
kelompoktani lain dalam wadah gapoktan. Koordinasi eksternal dilakukan antarkelembagaan,
misalnya antar kelompoktani/gapoktan dengan grower (pedagang pengumpul, pedagang besar,
supplier, industry pengolahan, asosiasi, eksportir, pengguna akhir). Koordinasi efektif
Strategi penting dalam keberlanjutan kelembagaan rantai pasok sawit adalah menciptakan,
membangun dan membagikan nilai tambah. Pengembangan dan peningkatan kelembagaan rantai
pasok (hubungan kemitraan) yang terpadu dan berkelanjutan, peningkatan jumlah produksi dan
perluasan pangsa pasar merupakan strategi utama dalam peningkatan dayasaing produk sawit;
hubungan antarkegiatan usaha sawit antar satu pelaku rantai pasok terkait lainnya bersifat
dinamis. Perlunya mengembangkan: (i) keterampilan dan kemampuan mengelola hubungan
antar kelembagaan bisnis; (ii) membangun hubungan harmoni antarpelaku rantai pasok yang
tergabung dalam jaringan manajemen rantai pasok; (iii) mengerti dan menghargai kondisi
masing-masing pihak yang tergabung dalam rantai pasok; (iv) mengembangkan kelembagaan
dalam SCM secara terpadu dari hulu hingga hilir; (v) memulai implementasi SCM terpadu secara

833
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

bertahap; serta (vi) memonitoring dan mengevaluasi perkembangan kelembagaan SCM yang
sedang maupun yang sudah berjalan (Hahn et al. 2011; Jacxsens. 2010; Khan et al. 2007;
Laeequddin et al 2009; dalam: Cifor. 2018)).
Target kebijakan utama untuk mencapai rantai pasok minyak sawit berkelanjutan dan
inklusif adalah: 1) membatasi ekspansi sawit di hutan yang stok karbon tinggi dan lahan gambut;
2) mengadopsi mekanisme meningkatkan transparansi dan akuntabilitas; 3) menciptakan insentif
bersyarat untuk meningkatkan pasokan minyak sawit, terutama petani kecil; 4) petani kecil
mengadopsi pendekatan baru untuk memperbaiki sistem budidaya; dan 5) menyelesaikan klaim
penguasaan tanah secara legal dalam berbagai jenis skema pengakuan hak. Hubungan
kelembagaan rantai pasok minyak sawit telah menjadi semakin kompleks sebagaimana halnya
aturan-aturan publik dan swasta yang mengatur sektor tersebut. Hal tersebut mempengaruhi
keputusan pemangku kepentingan dalam keberlanjutan kelembagaan rantai pasok minyak sawit
dan serta wilayah produksinya (Scheller-Wolf et al. 2009; Widodo; 2010; Elizabeth; 2017b;
2019; 2019a).
Kompleks dan beragamnya aktor/pihak dengan berbagai kepentingan dan pemangku
kebijakan mempengaruhi kelembagaan rantai pasok minyak sawit dan keberlanjutannya, serta
wilayah tempat minyak sawit diproduksi. Kompleksitas tersebut mencakup kombinasi aturan
negara dengan berbagai kelembagaan (misalnya, keuangan, perdagangan, fiskal, produksi, dan
lahan), serta standar swasta seperti kode etik, komitmen individu dan kolektif, serta kebijakan
perusahaan.
Inistiatif pengaturan mandiri menjadi semakin penting dalam kompleks kelembagaan
rantai pasok minyak sawit. Inisiatif lainnya untuk antara lain pembentukan Badan Pengelola
Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) di Indonesia; di mana pungutan ekspor minyak
sawit mentah (CPO) digunakan untuk berbagai program termasuk insentif bagi produksi
biodiesel dan mendukung petani kecil untuk meningkatkan produktivitasnya melalui
peremajaan (USDA 2015) (Berbagai penulis; dalam Cifor. 2018).

Memperkuat Keberlanjutan Kelembagaan Rantai Pasok (CPO) Indonesia


Keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit melalui diperolehnya produksi dan
produktivitas yang tinggi, bisa dicapai melalui penerapan prinsip dan kriteria berkelanjutan, dan
jika prinsip dan kriteria keberlanjutan telah menjadi norma bersama, keberlanjutan minyak sawit
juga akan mengalami permintaan pasar yang terus meningkat. Untuk membangun dan
memperkuat keberlanjutan kelembagaan rantai pasok minyak sawit, dibutuhkan keberpihakan
dan kebersamaan Pemerintah, pengusaha, petani dan LSM. Jika pasar minyak sawit terus
bertumbuh, yang dapat dipenuhi dari meningkatnya perolehan produksi dan produktivitas hasil
panen. Perusahaan pengolah tidak hanya dinilai berdasarkan kinerja, tetapi juga diharapkan
untuk menjalankan kegiatan operasional secara beretika dan bertanggungjawab atas rantai
pasoknya.
Memperkuat keberlanjutan kelembagaan rantai pasok dengan menerapkan komitmen dan
metode kemamputelusuran hingga ke kebun sawit (Traceability to the Plantation/TTP) untuk
semua pabrik kelapa sawit (PKS), dan para pemasoknya juga harus memenuhi standar yang
sama. yang juga diterapkan oleh para pemasoknya. Petani swadaya kelapa sawit sebagai mitra
pemasok TBS merupakan bagian penting dari rantai pasok dan pemangku kepentingan krusial
dalam perjalanan keberlanjutan perusahaan. Diprediksi karena sekitar 2 juta lebih petani
swadaya serta pemasok independen yang mengelola lebih dari 44% perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Perusahaan membantu mereka dengan berbagi pengalaman, praktik ketenagakerjaan
terbaik, Prosedur Operasi Standar, dan juga mendorong pemasok untuk mendapatkan sertifikasi
(ISPO) atau menerapkan standar terkemuka dalam industri minyak kelapa sawit seperti
metodologi Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock/HCS). Usaha membantu petani swadaya
kelapa sawit untuk menerapkan praktik produksi juga termasuk rantai pasok yang lebih
berkelanjutan serta mendukung Sasaran Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-

834
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Bangsa (United Nations Sustainable Development Goals atau “SDG), terutama konsumsi dan
produksi yang bertanggung jawab sesuai SDG12 (Ling. 2018).
Peraturan publik terpenting yang mengatur produksi minyak sawit di Indonesia adalah
standar wajib Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), diluncurkan
2011. ISPO pada dasarnya menggabungkan peraturan perundang-undangan terkait dengan
produksi minyak sawit ke dalam satu instrument, dengan tujuan utama, yaitu: 1) Pelaksanaan
sistem ini harus menjamin sektor sawit Indonesia dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan
landasan visi tersebut di atas; 2) Kepatuhan hukum (legal compliance) merupakan langkah awal
mencapai tujuan tersebut, menjadi salah satu instrumen memastikan seluruh TBS tujuan ekspor
berasal dari sumber legal, diolah dan diedarkan sesuai dengan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini; 3) Sistem ini juga harus dapat mendorong perbaikan
tata kelola di sektor perkebunan kelapa sawit secara khusus dan pengelolaan sumber daya alam
secara umum.
Secara khusus penguatan keberlanjutan kelembagaan rantai pasok sawit dan
CPO harus melalui penguatan sistem yang menerapkan hal-hal berikut (Tim RSPO.
2015; Cifor. 2018):
1. Prinsip Dasar
Skema yang diterapkan harus mengedepankan prinsip tata kelola yang baik yang meliputi
(i) transparansi, (ii) akuntabilitas, (iii) bertanggungjawab, (iv) imparsialitas, (v)
independensi, (vi) kewajaran & kesetaraan dan (vii) multi-pihak.
2. Identifikasi Aktor Dalam Rantai Pasok Sektor Sawit Di Indonesia
Aktor utama yang teridentifikasi dalam rantai pasok sawit meliputi (i) Pekebun, sesuai
dengan klasifikasi dalam peraturan perundang-undangan, (ii) Perusahaan Perkebunan, (iii)
Perantara/Pengepul, (iv) Pabrik Kelapa Sawit, (v) Kilang Penyulingan [refinery], (vi)
Pedagang, termasuk non-produsen. Agar sistem ini dapat dilaksanakan secara efektif, maka
lingkup sertifikasi harus meliputi keseluruhan aktor tersebut. Selain itu, berbagai skema
untuk verifikasi dan fasilitasi aktor-aktor seperti pekebun dan perantara/pengepul perlu
diidentifikasi dan dirumuskan.
3. Prinsip Dan Kriteria Harus Sesuai Struktur Rantai Pasok
Penyusunan dan penerapan prinsip, kriteria dan indikator dalam standar dari sistem ini
perlu mempertimbangkan struktur rantai pasok, termasuk seluruh aktor, kondisi dan
kapasitasnya. Penerapan prinsip dan kriteria dapat dilakukan secara bertahap dimana
kepatuhan hukum (legal compliance) menjadi unsur minimal kepatuhan bagi setiap aktor
sebagai prasyarat menuju praktek berkelanjutan.
4. Aspek Legalitas dalam ISPO
Legalitas dalam ISPO berdasar kepada aturan perundang-undangan yang berlaku di tingkat
nasional dan daerah yang meliputi kepatuhan hukum dalam aspek perizinan, produksi,
lingkungan dan sosial. Mengingat bahwa dampak dari industri perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan tidak terbatas pada satu sektor, aspek legalitas ini tidak bisa hanya dipandang
sektoral, tapi perlu dilihat secara holistik dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
juga landasan hukum dari berbagai sektor lain yang juga terkait dengan industri perkebunan
kelapa sawit berkelanjutan. Termasuk tapi tidak terbatas pada Undang-undang Konsumen,
Undang-undang Hak Asasi Manusia; Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan
lingkungan Hidup, serta Undang-undang Kehutanan.

5. Tata Kelola dan Proses Rancang Ulang Sistem Sertifikasi


• Prinsip Dasar Proses Rancang Ulang Sistem
Proses rancang ulang harus dilakukan secara (i) transparan, dengan keterbukaan akses
terhadap informasi melalui publikasi secara luas, mudah diakses dan dapat dipahami oleh
setiap pemangku kepentingan, (ii) partisipatif, dimana para pihak [pemerintah, non

835
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pemerintah, swasta, kelompok masyarakat sipil dan kelompok masyarakat] terlibat secara
aktif dalam proses pengambilan keputusan, (iii) mekanisme terbuka melalui konsultasi
publik di tingkat nasional dan daerah yang memastikan kesetaraan kapasitas.
• Penghentian Perluasan Perkebunan Sawit
Sejalan dengan seruan presiden Jokowi yang ditindaklanjuti oleh kementerian terkait,
reformasi tata kelola maupun sistem sertifikasi perlu diawali dengan langkah konkrit
untuk menghentikan perluasan perkebunan sawit, sehingga fokus yang diperlukan adalah
melakukan intensifikasi dan rasionalisasi atas target pencapaian ekspor kelapa sawit
nasional.
• Kaji Ulang Legalitas Lahan Kelapa Sawit yang saat ini ada
Proses rancang ulang sistem ini harus memprioritaskan kaji ulang legalitas lahan kelapa
sawit untuk mendukung pembenahan tata kelola lahan. Identifikasi status lahan akan
menunjukkan, diantaranya (i) proporsi lahan kelapa sawit yang beroperasi tanpa izin
dan/atau beroperasi di kawasan hutan maupun kawasan lindung dan konservasi, (ii)
proporsi lahan yang dikelola perusahaan dan masyarakat, dan (iii) proses penerbitan izin
secara kronologis. Hasil kaji ulang akan memberikan dasar konkrit bagi pemerintah untuk
dapat menentukan tindak lanjut penegakan hukum, perbaikan sistem perizinan maupun
program pembinaan pekebun rakyat dan masyarakat lokal serta program konservasi;
• Penguatan masyarakat terdampak [termasuk namun tidak terbatas pada
pekebun rakyat, buruh, masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal ]
Proses rancang ulang sistem ini harus memprioritaskan penguatan kapasitas masyarakat
terdampak terkait sosial, ekonomi dan lingkungan dengan memperhitungkan pendekatan
Nilai Konservasi Tinggi, Stok Karbon Tinggi (ekosistem essensial), Persetujuan atas
Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), serta kerjasama yang adil dan
kesetaraan.
• Reformasi Kebijakan & Kerangka Peraturan Menuju Usaha Perkebunan
Kelapa Sawit Berkelanjutan
Proses rancang ulang sistem ini harus mendorong reformasi kebijakan dan kerangka
peraturan Indonesia menuju transformasi industri perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan. Beberapa contoh diantaranya adalah tata kelola lahan gambut
berkelanjutan dan seruan Presiden Joko Widodo terkait perlindungan total lahan gambut,
review perizinan dan peningkatan kapasitas produksi sawit melalui intensifikasi. Terkait
dengan ini, maka target produksi 40 juta ton hingga Tahun 2020 harus ditinjau kembali
karena berpotensi mendorong ekspansi tidak terkendali usaha perkebunan kelapa sawit,
yang tidak sejalan dengan kebijakan dan komitmen pemerintah saat ini.
• Reformasi Birokrasi & Kapasitas Pemangku Kepentingan
Proses rancang ulang sistem ini perlu dilaksanakan secara paralel dengan upaya reformasi
birokrasi dan peningkatan kapasitas pemerintah di berbagai level dan/atau pemangku
kepentingan lainnya yang menjadi kunci pelaksanaan sistem secara efektif dan
percepatan menuju transformasi sektor sawit berkelanjutan.
6. Struktur Kelembagaan Sistem
• Untuk dapat menerapkan skema standarisasi secara konsisten dengan prinsip dasar, maka
dibutuhkan struktur kelembagaan yang (i) kredibel, (ii) mengedepankan partisipasi
publik, (iii) terbuka, dan (iv) akuntabel melalui mekanisme check and balance.
• Struktur kelembagaan tersebut dapat diwujudkan melalui rumusan pembagian peran dan
tanggung jawab, sebagai berikut:
(i) Peran Pemerintah sebagai Regulator, yaitu:
a. Pemerintah adalah pengembang sekaligus pemilik sistem sertifikasi.
b. Standard yang dikembangkan, didaftarkan kepada BSN (Badan Standardisasi
Nasional) untuk ditetapkan sebagai SNI (Standard Nasional Indonesia).
c. Pemerintah menyerahkan kewenangan akreditasi kepada KAN (Komite

836
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Akreditasi Nasional) untuk mengakreditasi LS (Lembaga Sertifikasi).


d. Pemerintah memberikan ruang dan pedoman, serta memberikan perlindungan
kepada Pemantau Independen untuk memantau penyelenggaraan sistem sertifikasi
sebagai mekanisme check and balance
e. Pemerintah membentuk komite untuk menjalankan mekanisme penyelesaian
sengketa sertifikasi apabila keberatan yang diajukan oleh masyarakat dan
pemantau independen tidak dapat diselesaikan di tingkat LS.
f. Pemerintah menindaklanjuti laporan hasil audit untuk memastikan perbaikan
kinerja yang berkelanjutan dari pelaku usaha kelapa sawit.
g. Pemerintah membuat sistem informasi sertifikasi melalui platform internet (dan
sarana lainya) sebagai informasi publik, memperkuat daya saing pasar, dan untuk
pengembangan kebijakan.
(ii) Lembaga Sertifikasi (LS), yaitu:
a. LS adalah lembaga independen atau pihak ketiga yang melakukan audit
kesesuaian, menjalankan mekanisme pengambilan keputusan sertifikasi, dan
menerbitkan sertifikat bagi usaha perkebunan.
b. LS harus memenuhi akreditasi KAN untuk dapat ditetapkan oleh Pemerintah
sebagai LS yang dapat melakukan penilaian /audit.
c. LS harus berkonsultasi dengan masyarakat dan pemantau independen dalam
seluruh proses penilaian atau audit.
d. LS harus menangani keberatan sertifikasi yang diajukan oleh masyarakat dan
pemantau independen, serta memberikan penjelasan dan keputusan atas keberatan
tersebut.
e. LS berkewajiban menyampaikan hasil penilaian dan laporan audit kepada
Pemerintah.
f. LS berkewajiban mempublikasikan resume hasil penilaian dan audit di website
milik LS dan website dari sistem ini.
(iii)Lembaga Akreditasi: Badan Standarisasi Nasional (BSN) – Komite Akreditasi
Nasional (KAN):
a. BSN membentuk Panitia Teknis untuk mengembangkan SNI khusus untuk sistem
sertifikasi ini, dengan melakukan seluruh tahapan pemrograman – perumusan
rancangan – jajak pendapat/ konsultasi publik – persetujuan – penetapan, serta
pemeliharaan SNI tersebut.
b. KAN menetapkan persyarat-persyaratan yang harus dipenuhi oleh LS dan
prosedur akreditasi yang harus diikuti oleh LS.
c. KAN melakukan akreditasi terhadap LS sebagai salah satu persayaratan dalam
mendapatkan penetapan oleh pemerintah.
(iv) Pemantau Independen (PI), yaitu:
a. Pemantau Independen adalah masyarakat madani baik perorangan atau lembaga
yang berbadan hukum Indonesia, yang menjalankan fungsi pemantauan terkait
dengan pelayanan publik.
b. Pemantau Independen menjalankan pemantauan terhadap penyelenggaraan sistem
sertifikasi sebagai mekanisme check and balance.
c. Dalam menjalankan peran tersebut Pemantau Independen memanfaatkan
mekanisme yang tersedia dalam sistem sertifikasi dengan mengikuti pedoman
yang diberikan.
d. Informasi yang diberikan dan keberatan yang diajukan Pemantau Independen
menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan sertifikasi yang
dijalankan LS, penyelesaian sengketa sertifikasi di Komite Sengketa Sertifikasi,
akreditasi LS oleh KAN dan penyusunan standard oleh Panitia Teknis – BSN.
(v) Unit Usaha Perkebunan (UP) dan Aktor-Aktor dalam Rantai Pasok, yaitu:

837
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

a. Aktor dalam rantai pasok yang wajib menerapkan sistem sertifikasi, meliputi: (i)
Pekebun sesuai dengan klasifikasi dalam peraturan perundang-undangan1, (ii)
Perusahaan Perkebunan, (iii) Perantara/Pengepul, (iv) Pabrik Kelapa Sawit, (v) Kilang
Penyulingan [refinery], (vi) Pedagang, termasuk non-produsen.
b. Dalam pelaksanaannya, pemerintah wajib melakukan pendampingan kepada
Pekebun Swadaya agar dapat tersertifikasi melalui skema sistem ini dan
melaksanakan praktek berkelanjutan.
(vi) Sistem Informasi, yaitu: Pemerintah mengelola sistem informasi yang bersifat terbuka,
mudah diakses, valid dan terkini.
7. Penegakan Hukum
Sistem sertifikasi usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus diikuti dan diperkuat
dengan penegakan hukum atas pelanggaran hukum yang terjadi-terlepas dari adanya
pelaporan atau tidak dan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang berwenang di setiap
level pemerintahan secara konsisten, transparan dan berintegritas tinggi.

Inisiatif lainnya untuk antara lain pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa
Sawit (BPDP-KS) di Indonesia; di mana pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO)
digunakan untuk berbagai program termasuk insentif bagi produksi biodiesel dan mendukung
petani kecil untuk meningkatkan produktivitasnya melalui peremajaan (USDA 2015). Kebijakan
fiskal dan produksi sejalan dengan peraturan tentang alokasi lahan dan perencanaan tata ruang
(Cifor. 2018). Kebijakan-kebijakan ini cenderung bersifat mengakomodasi, alih-alih
menghalangi, kepentingan sektor swasta; investor difasilitasi aksesnya untuk memanfaatkan
lahan negara melalui izin pemanfaatan hutan atau menjadikannya hutan produksi yang dapat
dikonversi). Kebijakan tata ruang merupakan mekanisme untuk menyelaraskan zonasi dan
alokasi lahan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten.
Namun, dalam praktiknya, mekanisme tersebut tidak berjalan karena adanya berbagai
kepentingan sektoral dan dan kerumitan teknis. Dampak pada pengurangan deforestasi menjadi
terbatas, isu-isu seputar pengelolaan lahan gambut lebih eksplisit direspon dengan
dikeluarkannya kebijakan pelarangan ekspansi kelapa sawit di lahan gambut yang terbakar, dan
dibentuknya mekanisme untuk memulihkan lahan gambut yang terkena dampak kebakaran
hutan. RSPO, didirikan pada 2004, melibatkan pemantauan kepatuhan oleh pihak ketiga terhadap
standar mereka, terutama mencakup masalah lahan dan lingkungan. Hanya kelompok-
kelompok perusahaan besar dengan sumber daya besar yang mengadopsinya. Produsen
yang lebih kecil menghadapi hambatan keuangan, teknis, dan legalitas untuk mencapai
kepatuhan (Brandi dkk. 2015) (Tim RSPO Indonesia. 2015).
Sistem sertifikasi lain yang semakin banyak diadopsi adalah International Sustainability
and Carbon Certification (ISCC). Gerakan nol deforestasi didorong terutama produsen barang
konsumsi, menciptakan tekanan untuk para pelaku di hulu (misalnya pedagang dan pengolah)
untuk membangun sistem yang dapat memutus keterkaitan pasokan dengan deforestasi. Pada
saat yang bersamaan, pemerintah membentuk CPOPC dan mengumumkan penguatan ISPO
(Cifor: 2018), dapat ditafsirkan sebagai strategi pemerintah untuk melemahkan legitimasi
komitmen dan platform sektor swasta dalam rangka meneguhkan kembali kewenangan
pemerintah dan peraturan perundangan- undangan dan penegakan hukumnya. Terkait dengan
peristiwa ini, kelompok perusahaan mengumumkan bahwa mereka akan terus melaksanakan
komitmen secara individual. Upaya multi-pihak untuk mengembangkan seperangkat definisi dan
prinsip nol deforestasi tetap berlanjut melalui inisiatif pendekatan stok karbon tinggi atau high
carbon stock approach (HCSA). Pada akhir 2016, pihak-pihak yang tergabung dalam inisiatif ini
mengumumkan rencana untuk menggabungkan dua pendekatan (HCS + dan HCS). Pada 2017,
rencananya instrumen HCSA yang menggabungkan dua pendekatan akan diselesaikan dan
semua perusahaan pemangku kepentingan utama diharapkan untuk mengadopsinya (HCSA
2016).

838
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Industri Kelapa Sawit Indonesia 2020:


Visi: Produksi 40 Juta Ton CPO/tahun pada 2020 (realisasi); Produktivitas terbaik 35 ton
TBS/ha/tahun, dengan Rendemen 26% (“35-26”); Total permintaan minyak sawit untuk bahan
bakar nabati mencapai 10% (~~ B10) (realisasi)
(Visi: Industri Kelapa Sawit Indonesia 2030-2045; disampaikan oleh para
pihak/Stakeholders. 2016) Produktivitas perkebunan rakyat minimal 5 ton CPO/ha/tahun dengan
prinsip “25-25” yaitu 25 ton TBS per ha tahun dengan Rendemen 25%, sehingga produksi
menjadi 60 Juta ton CPO/tahun; Hanya akan menghasilkan 100% produk sawit yang
berkelanjutan. (Cifor. 2018). Untuk itu harus diupayakan:
➢ Menjaga keseimbangan antara kepentingan masyarakat, lingkungan dan pelaku usaha
(Planet, People, Profit) berbasis ISPO;
➢ Menjadi industri multiproduk yang terintegrasi dan bernilai tambah;
➢ Menjaga keseimbangan peran perkebunan rakyat, negara, dan swasta untuk kesejahteraan
semua Kelembagaan dan kelengkapannya memimpin dan berperan aktif sebagai pilar
pengembangan dan keberlanjutan sawit.

Penguatan Kelembagaan Petani Menuju Pengelolaan Sawit Berkelanjutan


Dalam mendukung penerapan budidaya kelapa sawit yang optimal, kelembagaan petani
menjadi salah satu faktor yang berperan sangat penting sebagai wadah dan mesin penggerak
fungsi perencanaan, pengelolaan kebun yang tepat dan efisien, pengawasan dan evaluasi
kegiatan, serta peningkatan kapasitas petani secara terus menerus. Situasi umum yang dihadapi
oleh petani swadaya tradisional adalah masih bersifat sporadik dan belum terorganisir, baik
dalam bentuk koperasi, kelompok tani, atau badan usaha bersama lainnya. Di sisi lain
profesionalitas pengelolaan organisasi, kapasitas sumber daya manusia, pencatatan, pengaturan
tata kelola ke dalam (terhadap anggota) dan ke luar juga merupakan aspek yang masih relatif
lemah, perlu penguatan intensif sehingga kelembagaan petani dapat berperan sebagaimana
mestinya (Tim RSPO Indonesia. 2015).
Lemahnya elemen keorganisasian di atas menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
produktivitas kelapa sawit petani tidak maksimal. Selain produktivitas kebun sawit petani yang
masih rendah, alur penjualan Tandan Buah Segar (TBS) yang dilakukan secara langsung oleh
petani swadaya secara individual tanpa melalui suatu kelembagaan, merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan rendahnya daya tawar petani swadaya. Hal tersebut menyebabkan penjualan
TBS petani tidak menjadi prioritas di Pabrik Kelapa Sawit (PKS), bahkan tidak tertampung.
Yang terjadi kemudian adalah para petani menempuh jalan singkat dengan cara menjual TBSnya
kepada para tengkulak, dimana pada umumnya harga buah sawit petani kerap dihargai lebih
rendah.
Penerapan praktik budidaya kelapa sawit sesuai kaidah berkelanjutan, dengan disertai
penguatan kelembagaan petani, akan meningkatkan daya tawar petani tidak hanya dalam hal
akses penjualan TBSnya,
namun juga informasi dan pengetahuan dalam pengelolaan budidaya kelapa sawit. Dengan
memfokuskan pada penguatan kelembagaan, kinerja dan kompetensi SDM petani, dengan
melakukan pendampingan untuk pembentukan kelompok tani hingga menjadi Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan), serta berupaya mendorong petani guna mengimplementasikan
Prinsip & Kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) (Tim RSPO Indonesia. 2015).
Transformasi kelapa sawit bekelanjutan Indonesia harus berlandaskan visi bersama untuk:
• Menghentikan laju deforestasi pada tutupan hutan yang tersisa dan degradasi terhadap fungsi
lingkungan serta keanekaragaman hayati di dalamnya;
• Menghentikan alih fungsi dan meningkatkan perlindungan hutan serta perlindungan t otal
ekosistem lahan gambut; dan
• Memberikan jaminan hukum atas terjaganya hak masyarakat terdampak, termasuk namun

839
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

tidak terbatas pada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, pekebun rakyat dan pekerja,
secara nyata dan konsisten.
Dengan demikian, berbagai uraian yang dikemukakan hendaknya diantisipasi dan
dilaksanakan dengan partisipatif, inklusif, transparan, akuntabel, serta keseriusan dan
keberpihakan pemerintah dan pihak terkait demi mewujudkan keberlanjutan kelembagaan rantai
pasok sawit dan CPO Indonesia.

PENUTUP
Beberapa capaian program mendukung peningkatan produksi kelapa sawit berkelanjutan
lainnya juga diperoleh oleh para petani, termasuk: (i) Kelompok petani mandiri dan koperasi
petani yang sehat; (ii) Petani mandiri memiliki keahlian dan pengetahuan yang memadai dalam
mengimplementasikan praktek terbaik dalam mengelola kebun dan inisiatif keberlanjutan,
keanekaragaman, tidak melakukan deforestasi serta menjaga kawasan dengan nilai konservasi
tinggi; (iii) Petani mandiri memiliki kemampuan untuk melakukan audit internal, monitoring dan
evaluasi; (iv) Sertifikasi ISPO bagi kelompok petani kelapa sawit mandiri; Meningkatkan
keahlian dan kapasitas petani kelapa sawit mandiri terbaik dalam aktifitas kebun/Good
Agriculture Practices (GAP); memproduksi kelapa sawit berkelanjutan yang bebas dari
deforestasi, meningkatkan keuntungan sosial dan ekonomi bagi petani serta membuat produksi
kelapa sawit dan produk turunannya yang kompetitif di pasar global; Memacu dan
memicu/merangsang partisipasi calon dan para petani mandiri; Melatih trainers/lead farmers
untuk menyebarkan pengetahuan mengenai GAP dan ISPO; Melatih Internal Auditor untuk
membantu petani dalam melakukan assessment internal untuk sertifikasi ISPO; Sistem Kontrol
Internal/Intenal Control System (ICS) dan kelembagaan petani diperkuat melalui pelatihan dan
pendampingan yang diberikan kepada anggotanya; Self-assessment aplikasi akan dikembangkan
serta diimplementasikan untuk mempermudah pengumpulan data petani; Peningkatan produksi
dan pendapatan petani; terdapat sekurang-kurangnya satu buah pabrik pengelolaan CPO (PKS)
disekitar lokasi yang berkomitmen untuk membantu kelompok petani mandiri.
Kelembagaan terkait mengembangkan kerangka kerja berteknologi (IT-based framework)
dan aplikasi untuk evaluasi mandiri (self-assessment tool), cara dan kemudahan mengakses
informasi guna meningkatkan pengelolaan kebun dengan praktek terbaik, disesuaikan kebutuhan
dan kemampuan pribadi petani dengan menyediakan rencana kerja yang menjelaskan tindakan-
tindakan yang dibutuhkan dalam bidang agronomi, sosial, lingkungan dan ekonomi;
Pengembangan aplikasi kinerja kelembagaan disesuaikan dengan kebutuhan para petani kelapa
sawit mandiri, dengan menjembatani pendekatan program, penyebaran praktek pertanian terbaik,
dan mendukung tercapainya sertifikasi ISPO agar lebih mudah dikembangkan dan
diimplementasikan pada kelompok kelapa sawit mandiri lainnya di Indonesia; Implementasi
kegiatan ini bekerjasama dengan berbagai kelembagaan/organisasi lokal, KTNA, Pemda dan
nasional; Kelembagaan terkait akan mengelola program dengan dukungan mitra lokal.
Penyediaan sumberdaya yang dibutuhkan (termasuk kunjungan-kunjungan ke kebun sawit,
pelatihan/Sekolah Lapang) dan dukungan teknis lainnya) untuk menjalankan guna mendukung
program partisipasi para petani mandiri.
Meningkatkan produktivitas petani pemasok melalui implementasi GAP dan prinsip-
prinsip berkelanjutan dalam produksi minyak kelapa sawit di kebun; Managemen rantai pasok
produksi kelompok petani pemasok dikelola dengan baik untuk membantu para anggotanya
mengimplementasikan praktek- praktek berkelanjutan dalam pengelolaan kebun. Satu atau lebih
PKS CPO mendukung pasokan kelompok petani pemasok sebagai rantai pasok guna memastikan
keberlanjutan hubungan dagang dalam jangka panjang. Program kontiniutas pasokan dalam
rantai pasok di monitor dan di evaluasi. Perbaikan regulasi yang berpihak, antara lain terhadap:
Kebijakan kesepakatan/kerjasama perdagangan (Kebijakan Tarif & Non Tarif), keberagaman
komoditas potensial ekspor, sosialisasi kebijakan syarat mutu yang diminta negara pengimpor
kepada petani. Keberpihakan pemerintah, dalam hal ini terutama yang terkait dengan berbagai

840
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

program kebijakan pembangunan persawitan Indonesia terutama terhadap peraturan dan regulasi
di semua aspek dan tahapan kegiatan mulai dari hulu hingga hilir, serta pemberdayaan
kelembagaan terkait dan implementasi rantai pasok yang tepat, sangat diperlukan sebagai strategi
dalam mengantisipasinya.
Kebijakan fiskal dan produksi sejalan dengan peraturan tentang alokasi lahan dan
perencanaan tata ruang. Kebijakan tata ruang bersifat mengakomodasi, alih-alih menghalangi,
kepentingan sektor swasta, investor difasilitasi aksesnya untuk memanfaatkan lahan negara
melalui izin pemanfaatan hutan/menjadikannya hutan produksi yang dapat dikonversi.
Kebijakan tata ruang merupakan mekanisme untuk menyelaraskan zonasi dan alokasi lahan di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten. Kebijakan tata kelola kelembagaan dan manajemen
rantai pasok supaya lebih bermanfaat dan berdayaguna. Menindaklanjuti proses rancang ulang
sistem sertifikasi supaya lebih mengakomodir perkembangan regulasi sesuai pesatnya arus
globalisasi dengan peningkatan mutu produk yang diinginkan costumer. Implementasi program
kebijakan ini sebagai dukungan yang akan memastikan seluruh anggota yang terlibat mematuhi
prinsip dan kriteria keberlanjutan serta secara progresif mendukung tercapainya standar ISPO.
Manajemen rantai pasok produksi kelompok petani pemasok dikelola dengan baik untuk
membantu para anggotanya mengimplementasikan praktek-praktek berkelanjutan dalam
pengelolaan kebun.
Perlunya meningkatkan keahlian dan kapasitas petani kelapa sawit mandiri, dalam aktifitas
kebun/Good Agriculture Practices (GAP), dan ISPO; memproduksi kelapa sawit berkelanjutan
bebas deforestasi, meningkatkan keuntungan sosial dan ekonomi bagi petani, serta membuat
produksi kelapa sawit dan produk turunannya yang kompetitif di pasar global; dengan: Memacu
dan memicu/ merangsang partisipasi calon dan para petani mandiri; Melatih trainers/lead farmers
untuk menyebarkan pengetahuan mengenai GAP dan ISPO; Melatih Internal Auditor untuk
membantu petani dalam melakukan assessment internal untuk sertifikasi ISPO, dalam
implementasi GAP dan prinsip-prinsip berkelanjutan dalam produksi minyak kelapa sawit di
kebun. Sistem Kontrol Internal/Intenal Control System (ICS) dan kelembagaan petani diperkuat
melalui pelatihan dan pendampingan yang diberikan kepada anggotanya; Self-assessment
aplikasi akan dikembangkan serta diimplementasikan untuk mempermudah pengumpulan data
petani; Meningkatkan produktivitas petani pemasok melalui peningkatan produksi dan
pendapatan petani. Terdapat sekurang-kurangnya satu buah pabrik pengelolaan CPO (PKS)
disekitar lokasi yang berkomitmen untuk membantu kelompok petani mandiri, mendukung
pasokan kelompok petani pemasok sebagai rantai pasok guna memastikan keberlanjutan
hubungan dagang dalam jangka panjang. Program kontiniutas pasokan dalam rantai pasok di
monitor dan di evaluasi.
Kelembagaan terkait mengembangkan kerangka kerja berteknologi (IT-based framework)
dan aplikasi untuk evaluasi mandiri (self-assessment tool), cara dan kemudahan mengakses
informasi guna meningkatkan pengelolaan kebun terbaik, disesuaikan kebutuhan dan
kemampuan pribadi petani dengan membimbing di bidang agronomi, sosial, lingkungan,
ekonomi; dan sosialisasi kebijakan syarat mutu dari negara pengimpor kepada petani. Perlunya
kebijakan peningkatan investasi, strategi pengembangan pasar, pengembangan konektivitas,
SDM, teknologi serta penataan sistem manajemen rantai pasok agar tetap memperhatikan prinsip
keberlanjutan, dan peningkatan daya saing. Perlunya keberpihakan kebijakan pemerintah dan
pemberdayaan kelembagaan terkait diperlukan sebagai strategi untuk mengantisipasinya,
seperti: proteksionisme perdagangan diselaraskan kepentingan nasional (ketahanan pangan,
pengentasan kemiskinan); menciptakan iklim usaha kondusif dan menyediakan infrastruktur dan
kelembagaan pendukung yang baik dan berpihak.

841
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Bahan diskusi “Peta Jalan Menuju Pertanian 4.0” oleh Tabloid Sinar Tani, 24 Juli 2019 di Bogor.
Beamon, B. M. 2008. Sustainability and Future of Supply Chain Management. Journal
Operations and Supply Chain Management, 1(1), 2008, pp. 4-18.
Blengini, G. A., and Shields, D. J. 2010. Overview of the Building Products Supply Chain in
Italy, Management of Environmental Quality: An International Journal, 21(4), 2010, pp.
477–493.
Buana, L. D. Siahaan, dan S. Adiputra. 2006. Budidaya Kelapa Sawit. Puslit Kelapa Sawit.
Medan. Carter, C., dan Rogers, D. S. 2008. A Framework of Sustainable Supply Chain
Management:
Moving Toward New Theory, International Journal of Physical Distribution & Logistics
Management, 38(5), 2008, pp. 360-387.
CIFOR. 2018. Infobriefs. Memberi informasi mengenai topik terkini di bidang penelitian
kehutanan secara ringkas, akurat, dan telah melalui proses pencermatan oleh mitra bestari.
DOI: 10.17528/cifor/006896. cifor.org. No. 209, Mei 2018. Terjemahan dari No. 174.
Copra S, Meindl P. 2007. Supply Chain Management: strategy, planning, and operations. 3rd ed.
New Jersey (US): Pearson Education.
Dharma, R. A. 2011. Mewujudkan Kerja Sama Ekonomi Indonesia Dan India Yang Berimbang
Dalam Kerangka Comprehensive Economic Cooperation Agreement. Bulletin Kerja Sama
Perdagangan Internasional. Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional.
Kementerian Perdagangan.
Elizabeth. R. 2019. Peningkatan Dayasaing Tanaman Pangan Melalui Akselerasi Agroindustri
Dan Pemberdayaan Kelembagaan Pertanian. Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran
Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis. Vol 5, No 2 (2019): Juli 2019. Akreditasi
Nomor 34/E/KPT/2018 at SINTA 4 (S4) rank. Accreditation is valid from December 10,
2018 to December 10, 2023. DOI: http://dx.doi.org/10.25157/ma.v5i2.2411.
Elizabeth. R., Delima Hasri Azahari. 2019. Kaji Tindak Akselerasi Inovasi Teknologi Spesifik
Lokasi Mendukung Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Usahatani. Mimbar
Agribisnis: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis. Vol 5, No 2
(2019): Juli 2019. Akreditasi Nomor 34/E/KPT/2018 at SINTA 4 (S4) rank. Accreditation:
December 10, 2018 to December 10, 2023. DOI:
http://dx.doi.org/10.25157/ma.v5i2.2412.
Elizabeth. R. 2019a. Pengembangan Agribisnis Dan Pengolahan Mendukung Pensejahteraan
Petani Cabe Merah. Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah
Berwawasan Agribisnis. Vol 5, No 2 (2019): Juli 2019. Akreditasi Nomor 34/E/KPT/2018
at SINTA 4 (S4) rank. Accreditation is valid from December 10, 2018 to December 10,
2023. DOI: http://dx.doi.org/10.25157/ma.v5i2.2413.
Elizabeth. R. 2019b. Revitalisasi Implementasi Pemberdayaan Kelembagaan Pertanian
Berkesinambungan Mendukung Pencapaian Dayasaing Produk Olahan. Padang, UNES
Journal of Scientech Research Volume 4, Issue 1, June 2019.
Elizabeth. R. 2018. Akselerasi Agroindustri dan Nilai Tambah: Faktor Pendukung Pencapaian
Dayasaing Produk dan Percepatan Pembangunan Pertanian di Indonesia. Padang, UNES
OJS (Journal of Scientech Research). Vol.1 Issue 2. Peb. 2018.
Elizabeth. R. 2017. Restrukturisasi Implementasi dan Efektivitas Program Pembiayaan Menuju
Peningkatan Kapasitas dan Produktivitas Produk Perkebunan. Journal of Agricultural

842
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Scienties. UNES. (Universitas Ekasakti). Padang Sumatera Barat. Volume 1. Issue 1.


February 2017. ISSN Cetak: 2549-5909. ISSN Online: 2549-5917.
Elizabeth. R. 2017a. Akselerasi Pemberdayaan dan Peningkatan Kompetensi dalam Sistem
Produksi untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi di Indonesia. Journal of Agricultural
Scienties. UNES. (Universitas Ekasakti). Padang Sumatera Barat. Volume 2. Issue 1. June
2017. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.
Elizabeth. R. 2017b. Revitalisasi Industri Produk Olahan dan Pemberdayaan Lembaga
Kemitraan Mendukung Peningkatan Pemasaran, Daya Saing Dan Pensejahteraan Petani
Pisang. Journal of Agricultural Scienties. UNES. (Universitas Ekasakti). Padang Sumatera
Barat. Volume 2. Issue 1. June 2017. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.
Elizabeth. R. 2015. Pencapaian Daya Saing Melalui Peningkatan Teknologi Pengolahan,
Peningkatan Kelembagaan dan Pemasaran Produk Pangan Olahan. PERHEPI. Tema:
Indonesia Menuju Swasembada Pangan Dalam Tiga Tahun Kedepan: “Tinjauan Konseptual,
Teoritis dan Empiris”. Kendari, 9 Maret, 2015.
Elizabeth, R. 2011. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di
Perdesaan. Journal on Socio-Economics of Agricultural and Agribussines. (Jurnal SOCA).
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Udayana. Bali.
Elizabeth, R. 2008. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal untuk Menunjang
Perekonomian Rakyat di Perdesaan. Jurnal SOCA. Vol. 8. No. 2. Juli 2008. hal. 58-64.
Jur. Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Udayana. Bali.
Emhar A, Aji JMM, Agustin T. 2014. Analisis Rantai Pasok Daging Sapi di Kabupaten Jember.
Berkala Ilmiah Pertanian. 1(3):53-61.
Haryana A., Indarto, J., and Avianto, N. 2010. Kebijakan dan Strategi dalam Meningkatkan Nilai
Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia secara Berkelanjutan dan Berkeadilan,
Direktorat Pangan dan Pertanian, BAPPENAS.
Hahn, G. J., and Kuhn, H., Value-Based Performance and Risk Management in Supply Chains:
A Robust Optimization Approach, International Journal of Production Economics, 2011,
Doi: 10.1016/j.ijpe.2011.04.002.
Heizer J, B Render. 2011. Manajemen Operasi. Edisi 9. Sungkono, Chirswan, Penerjemah. Jaarta
(ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: Operation Management.
Indrajit RE, Djokopranoto R. 2002. Konsep dan Aplikasi Business Process Reengineering.
Jakarta. Grasindo.
Jacxsens, L., Luning, P. A., van der Vorst, J. G. J., Devlieghere, F., Leemans, R., and Uytten-
daele, M. 2010. Simulation Modelling and Risk Assessment as Tools to Identify the
Impact of Climate Change on Microbiological Food Safety– The Case Study of Fresh
Produce Supply Chain, Food Research International, 43(7), 2010, pp. 1925–1935.
Jebarus F. 2001. Supplu chain management. Usahawan. 2
Kaplinsky R, Morris M. 2001. A Handbook for value chain research. Brighton (U): Institute of
Development Studies, University of Sussex,
Khan, O., and Burnes, B. 2010. Risk and Supply Chain Management: Creating a Research
Agenda. The International Journal of Logistics Management, 18 (2), 2007, pp. 197-216.
Kustiari, R. Hermanto, Elizabeth, R, Helena JP, Soeprapto D. 2013. Prospek Kesepakatan India–
Indonesia FTA Terhadap Sektor Pertanian di Indonesia. LHP. PSEKP. Kementan.

843
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Laeequddin, M., Sardana, G. D., Sahay, B. S., Waheed, K. A., and Sahay, V. 2009. Supply Chain
Partners’ Trust Building Process through Risk Evaluation: The Perspectives of UAE
Packaged Food Industry, Supply Chain Management: An International Journal, 14(4),
2009, pp. 280–290.
Lambert DM, Cooper MC, Pagh JD. 1998. Supply Chain Management: implementation issues
and research opportunities. Int J Log Manag. 9(2):1-19.
Li L. 2007. Supply Chain Management: concept, techniques and practices enchanging value
through collaboration. Singapore (SG): World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
Lim Shu Ling. 2018. Melampaui Kemamputelusuran Hingga Ke Kebun: Rantai Pasok Minyak
Kelapa Sawit Yang Bertanggung Jawab; dalam Blog, Lingkungan Hidup, Masyarakat,
Petani Swadaya, Rantai Pasok. Posted: Maret 6, 2018.
Machfud, Eriyatno, Suryani, A., Yandra, and Hadiguna, R. A. 2010. Fuzzy Inventory Modelling
of Crude Palm Oil in Port Bulk Tank, Jurnal Industri, 9 (1), 2010, pp. 67-74.
Margaretha GIE. 2019. Penerapan Manajemen Logistik dan Rantai Pasok Aqua Cup 220 ml di
PT. Tirta Investama Plant Citeureup Bogor. Laporan Akhir Aspek Khusus. Prodi.
Manajemen Industri. Sekolah Vokasi. IPB. Bogor. (ID): IPB Press.
Marimin, Maghfiroh N. 2013. Tenik dan analisis pengambilan keputusan fuzzy dalam
manajemen rantai pasok. Bogor
Pujawan IN dan ER Mahendrawathi. 2017. Supply Chain Management. Ed ke-3. Yogyakarta
(ID): Andi Yogyakarta.
Pujawan IN. 2005. Supply Chain Management. Surabaya (ID): Guna Widya.
Hadiguna, RA. 2012. Model Penilaian Risiko Berbasis Kinerja untuk Rantai Pasok Kelapa Sawit
Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Teknik Industri Vol. 14. No. 1. Juni 2012. 13-24. ISSN
1411-2485 Print/ISSN 2087-7439 Online.
Hadiguna, R. A., Machfud, Eriyatno, Suryani, A., and Yandra., Manajemen Rantai Pasok
Minyak Sawit Mentah. Journal Logistic and Supply Chain Management, 2(1), 2008, pp.
12–23.
Hadiguna, R. A., and Machfud, Model Perencanaan Produksi pada Rantai Pasok Crude Palm Oil
dengan Mempertimbangkan Preferensi Pengambil Keputusan, Jurnal Teknik Industri,
10(1), 2008, pp. 38– 49.
Hadiguna, R. A., Disain Penunjang Keputusan untuk Optimasi Persediaan Minyak Sawit Mentah
dengan Pendekatan Logika Fuzzy, Proceeding Seminar on Application and Research in
Industrial Technology (SMART), Yogyakarta, 2009, pp. A040-A045.
Saptana, Daryanto A. 2013. Dinamika kemitraan Usaha Agribisnis berdayasaing dan
berkelanjutan. Bogor (ID). PSEKP. Kementan.
Saptana, C. Muslim, SH Susilowati. 2018. Manajemen Rantai Pasok Komoditas Cabai Pada
Agroekosistem Lahan Kering di Jawa Timur. Jurnal AKP. PSEKP. Kementan.
Saptana, Rangga DY. 2016. Penerpan Konsep Manajemen Rantai Pasok Pada Produk Unggas.
Jurnal AKP. PSEKP. Kementan.
Scheller-Wolf, A., and Tayur, S. 2009. Risk Sharing in Supply Chains using Order Bands-
Analytical Results and Managerial Insights, International Journal of Production
Economics, 121(2), 2009, pp. 715–727.
Syaukat, Y., Menciptakan Daya Saing Ekonomi dan Lingkungan Industri Kelapa Sawit

844
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Indonesia, Agrimedia, 15(1), 2010, pp. 16-19.


Sumarauw JSB. 2014. Evaluasi inerja manajemen rantai pasok. J EMBA. 2(4):117-232. Tim
RSPO Indonesia. 2015. Sustainability. 14 July 2015, 06:39 WIB. Hit: 1459.

845
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pemberdayaan Kelembagaan dan SDM Pertanian Mendukung


Keberhasilan Implementasi Saprodi Tepat - Berimbang
Agricultural Institutional and HRD Empowerment Supporting The
Success of Right and Balanced Saprody Implementation
Roosganda Elizabeth
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. Tentera Pelajar No. 3B. Cimanggu. Bogor

ABSTRAK

Kata Kunci: Pemberian saprodi tepat berimbang merupakan salah satu aspek penting
Pemberdayaan usahatani untuk memperoleh produksi dan produktivitas yang tinggi.
Kelembagaan Kemampuan SDM petani untuk mengaplikasikan dalam usahatani
Saprodi mencerminkan kemampuan kinerja dan sangat mempengaruhi pendapatan,
Tepat Guna akan lebih baik hasilnya bila petani mendapat informasi, teknologi dan
Berimbang inovasi tepat guna, pelatihan dan pendampingan berkelanjutan, melalui
kelompok tani, penyuluhan dari dinas terkait. Secara deskriptif kualitatif
tulisan ini mengemukakan pentingnya pemberdayaan kelembagaan dan SDM
pertanian mendukung keberhasilan implementasi saprodi yang tepat dan
berimbang, yang diperkaya dengan review berbagai kajian dan literatur
terkait. Teridentifikasi bahwa penggunaan pupuk cair/kimia dosis tinggi dan
menerus berakibat penurunan bahan organik lahan, mencapai < dari 1%,
selayaknya 4-5 %. Hubungan simbiosis saling menguntungkan dengan
pemanfaatan limbah pertanian dan kotoran ternak. Peran kelembagaan sangat
dibutuhkan terutama sosialisasi penggunaan saprodi tepat berimbang,
melalui berbagai inovasi dan alih teknologi. Pemberdayaan kelembagaan
penangkaran bibit, pembuatan kompos, dan pengimplementasian secara tepat
dan berimbang, menjadikan usahatani berkelanjutan. Penggunaan saprodi
yang tepat dan berimbang diyakini meningkatkan produksi dan produktivitas
usahatani.

ABSTRACT
Keywords: Balanced saprody input is important farming aspect to high production and
Institutional productivity, reflects performance and greatly influences income ability, if
Empowerment farmers get appropriate information, technology and innovation, training and
Input ongoing assistance, through farmer groups, counseling from related
Appropriate agencies. This paper aim in descriptive qualitatively the institutional
Balanced empowerment and agricultural human resources importance to support
successful implementation of appropriate and balanced input study, which is
enriched with a review of various studies and related literature. It was
identified that the use of high-dose liquid and chemical fertilizers resulted in
a decrease in soil organic matter, reaching <from 1%, should be 4-5%. The
symbiotic relationship is mutually beneficial with the utilization of
agricultural waste and livestock manure. The role of institutions is very much
needed, especially the socialization of the use of appropriate input balanced
input, through various innovations and technology transfer. Institutional
empowerment of seed breeding, composting, and proper and balanced
implementation, makes farming sustainable. The use of appropriate and
balanced production input is believed to increase farm production and
productivity.

Email Korespondensi: roosimanru@yahoo.com,

846
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

PENDAHULUAN
Di era globalisasi dan teknologi pertanian 4.0 saat ini, program kebijakan pembangunan
pertanian umumnya menganut paradigma modernisasi yang mengutamakan efektifitas dan
efisiensi untuk menghasilkan produk berbasis pertanian dengan produksi dan produktivitas
tinggi. Penekanan pada aspek efektivitas dan efisiensi tinggi merupakan peluang pengembangan
alsintan untuk mencapai hasil panen dan produktivitas yang tinggi pula. Untuk itu, dibutuhkan
peran SDM yang berkualitas dan berkompetensi tinggi agar mampu memahami dan
mengaplikasikan perkembangan dan kemajuan inovasi dan teknologi pertanian (Muchjidin et al.
2009; Swastika et al. 2006; Toha et al. 2005; Toha. 2007). Sementara itu, pada sebagian besar
petani, pendekatan produksi dan intensifikasi usahatani sejak jaman dulu telah menanamkan pola
sikap sangat ketergantungan pada keharusan menggunakan pupuk dosis tinggi hampir di semua
komoditi. Teridentifikasi bahwa penggunaan pupuk cair/pupuk kimia dosis tinggi dan secara
terus menerus berakibat pada penurunan bahan organik di lahan-lahan pertanian di Indonesia
mencapai lebih kecil dari 1%, dimana selayaknya adalah antara 4 – 5 % (Tuti. 2006; dalam:
Elizabeth. 2017).
Perlakuan dan pemberian saprodi secara tepat dan berimbang merupakan salah satu aspek
penting dalam usahatani untuk memperoleh produksi dan produktivitas yang tinggi, serta tetap
menjaga kesuburan dengan selalu memperhitungkan keberadaan unsur hara di lahan
usahataninya. Pemanfaatan pupuk organik berbahan limbah pertanian dan kotoran ternak
mempunyai hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Sosialisasi penggunaan pupuk
organik kepada para petani adalah sangat memungkinkan terlebih lagi dengan adanya upaya alih
teknologi pembuatan kompos dan menjadikan perlakuan usahatani berkelanjutan (Fagi. 2004;
dalam: Makarim. 2006; ). Peran dan pengaruh tersebut akan lebih baik hasilnya apabila petani
mendapat informasi, teknologi dan inovasi yang tepat guna, yang diperoleh baik melalui
kelompok tani maupun melalui penyuluhan dari dinas terkait (kelembagaan pertanian dan
pedesaan) secara berkelanjutan.
Peran dan pengaruh tersebut akan lebih baik hasilnya apabila petani secara berkelanjutan
mendapat informasi, teknologi dan inovasi yang tepat guna serta pelatihan dan pendampingan
yang berkelanjutan, yang diperoleh baik melalui kelompok tani maupun melalui penyuluhan dari
dinas terkait serta adanya pendampingan ((Demitria et al. 2006; Elizabeth. 2019). Tujuan
penulisan adalah untuk mengemukakan secara lebih komprehensif pentingnya pemberdayaan
kelembagaan dan SDM pertanian untuk mendukung keberhasilan implementasi saprodi yang
tepat dan berimbang di pedesaan. Turut dilakukan review berbagai hasil pengkajian dan tulisan
terkait untuk memperkaya wawasan tulisan, yang dikemukakan dengan metode deskriptif
kualitatif dengan harapan agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan yang
membutuhkannya.

METODOLOGI
Meningkatkan produksi dan produktivitas sektor pertanian melalui pemberdayaan
kelembagaan dan SDM pertanian, sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan implementasi
saprodi tepat dan berimbang. Kian maraknya penggunaan saprodi yang keliru dan pengaplikasiannya
di luar dosis anjuran, merupakan permasalahan usahatani yang kian mencemaskan belakangan ini,
yang makin sering dilakuan petani hanya mengejar capaian produksi usahatani yang tanpa
memperhitungkan kerusakan lahan usahataninya. Terkait hal tersebut, tulisan ini merupakan tinjauan
sosiologis peran kelembagaan dan SDM pertanian dalam menghadapi dilema semakin maraknya
penggunaan saprodi (terutama benih/bibit, pupuk dan racun HPT) yang berlebihan. Kekeliruan
tersebut menimbulkan berbagai permasalahan yang ambigu antara keinginan menghasilkan produk
dan produktivitas tinggi dengan munculnya masalah kerusakan lahan usahatani akibat penggunaan
pupuk dan racun HPT yang jauh melebihi dosis yang dianjurkan. Tulisan ini bertujuan
mengemukakan: konsep pemberdayaan serta pentingnya peran pemberdayaan kelembagaan dan
SDM pertanian untuk mendukung keberhasilan implementasi saprodi yang tepat dan berimbang di

847
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

pedesaan. Melalui sebagian hasil penelitian dan review berbagai tulisan dan hasil pengkajian terkait,
yang dikemukakan secara lebih komprehensif dengan metode deskriptif kualitatif. Penggunaan
saprodi berlebihan tersebut menyebabkan terjadinya kemiskinan unsur hara tanah (mengakibatkan
kerusakan lahan areal usahatani). Kerusakan yang menyebabkan produktivitas sebagian lahan sawah
di pedesaan yang diidentifikasi sedang mengalami pelandaian (leveling off).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keberhasilan suatu program kebijakan pembangunan pertanian terlihat pada pencapaian
peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian yang ditargetkan, sebagai salah satu indikator
keberhasilan pelaksanaannya (Nurmanaf et al. 2005; Pasaribu et al. 2012).. Mayoritas proyek
dan program pemerintah menekankan adanya pemberdayaan kelembagaan dan SDM petani
dalam pelaksanaannya, serta menempatkannya pada posisi strategis sebagai penentu
keberhasilan program kebijakan pembangunan pertanian. Meski demikian, pemberdayaan SDM
pertanian dalam prakteknya sering tidak sesuai bahkan disalahgunakan (sengaja maupun tidak
sengaja) (Andriati et al. 2007; Stefen. 2010; dalam: Elizabeth. 2019).
Pergeseran dan perkembangan sistem pertanian yang terdiri dari: (i) Sistem Pertanian
Tradisional: yang mengutamakan ekstensifikasi merupakan sistem pertanian yang masih
bersifat ekstensif dan tidak memaksimalkan input yang ada, yang salah satu contohnya adalah
sistem ladang berpindah dan tidak sesuai lagi dengan peningkatan lahan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan usahatani dikarenakan semakin meningkatnya pertambahan penduduk; (ii)
Sistem Pertanian Modern (intensif): yang mengutamakan sistem intensifikasi pada areal yang
sama. Diawali oleh program revolusi hijau yang mengusahakan pemuliaan tanaman untuk
menghasilkan varietas baru (lebih unggul/melebihi adaptasi dari varietas yang ada), yang
responsif terhadap pengairan dan pemupukan, adaptasi geografis yang luas, namun resisten
terhadap hama dan penyakit. (Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum
di Meksiko dan padi di Filipina). Revolusi hijau ditandai dengan bergesernya praktik budidaya
tradisional menjadi modern yang dicirikan dengan tingginya penggunaan input produksi (pupuk,
pestisida, herbisida, fungisida) dan intensifnya eksploitasi lahan (Mayamin. 2016; dalam:
Elizabeth. 2018).
Sistem ini telah nyata merubah kondisi pertanian di Indonesia, yang ternyata diikuti
oleh berubahnya kondisi lahan pertanian menjadi kritis/rusak dan resisten sebagai konsekuensi
dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik, pestisida, dan tindakan agronomi yang
intensif dalam jangka panjang. Terjadinya degradasi lahan, residu pestisida dan resistensi hama
penyakit, berkurangnya keanekaragaman hayati, serta gangguan kesehatan petani akibat
pengunaan pestisida dan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Timbulnya dampak
negatif dari sistem pertanian modern menuntut diupayakannya suatu sistem pertanian yang dapat
bertahan hingga generasi berikutnya dan tidak merusak alam Dalam dua dekade terakhir telah
mulai diupayakan dengan menggunakan konsep pertanian berkelanjutan, yaitu: (iii) Sistem
Pertanian Berkelanjutan: yang merupakan metode alternatif dalam melakukan praktik
pertanian yang berlandaskan kelestarian lingkungan dan berkelanjutan (environtmentally and
sustainable agriculture) (Mayamin. 2016; dalam: Elizabeth. 2018).
Dalam sistem pembangunan pertanian berkelanjutan, diarahkan pencapaian dan
peningkatan ketahanan pangan melalui revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemandirian
pangan, peningkatan dayasaing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta
kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam (SDGs). Pendekatan produksi dalam memacu
pembangunan pertanian melalui peningkatan produktivitas komoditas pertanian dimasa lalu,
implikasinya telah memicu hadirnya sedikitnya empat permasalahan terkait pada: (1) penurunan
unsur hara pada lahan pertanian; (2) munculnya beragam jenis hama dan penyakit yang
menyerang sejumlah tanaman pangan; (3) menurunnya kualitas tanah/lahan dan lingkungan; (4)
kandungan berbahaya dalam produk pangan (Elizabeth. 2019).

848
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Identifikasi, Dampak Over Dosis Saprodi: Solusinya


Saprodi (sarana produksi) merupakan faktor utama dalam usahatani, yang meliputi: modal,
benih, pupuk (bubuk, butiran, cair), obat-obatan/racun HPT (pestisida, herbisida, fungisida, dll),
peralatan dan tenagakerja (alsintan, manual). Saprodi (sarana produksi) yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah pupuk anorganik (kimia) dan obat-obatan/racun HPT (pestisida, herbisida,
fungisida, dll, yang berbahan zat kimia). Penggunaan pupuk dan obat-obatan (racun) HPT
memang sangat diperlukan sebagai factor pendukung keberhasilan usaha pertanian. Petani
menggunakan pestisida dan herbisida untuk membasmi hama dan gulma pada tanaman mereka,
tetapi juga memiliki banyak dampak negatif jika terlalu sering digunakan apalagi dengan dosisi
yang berlebihan (Putu. 1998; Dewi et al 2007.). Sangat penting diketahui para petani bahwa
penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida yang terus menerus pada jangka panjangnya
dberdampak buruk pada tanah dan ekosistem sekitar tanah, juga pada tanaman itu sendiri. Karena
dalam pengaplikasian pestisida dan herbisida ternyata tidak semuanya mengenai sasaran (hanya
20% saja terkena tanaman), sedangkan sisa 80% nya jatuh ke tanah dan ke ekosistim
sekitarnyadan merupakan polutan/racun bagi kelangsungan ekosistem lingkungan, termasuk
lahan usahatani.
Beberapa akibat penggunaan pestisida dan herbisida yang berlebihan pada tanah, diantaranya:
(i) kesuburan tanah berkurang (hilang); (ii) spesies organisme tanah punah. Hal ini terjadi
karena cacing tanah penggembur tanah berusaha menghindari tanah yang terkena pestisida tersebut,
atau mati. Polutan berbahaya yang diterbar di tanah bisa berbahaya dan dapat memicu pada
punahnya spesies hewan tertentu seperti cacing yang dapat menyuburkan tanah. Banyak jenis hewan
yang bisa keracunan oleh pestisida dan herbisida tersebut dan kemudian mati. Meskipun ada
beberapa jenis/spesis hewan yang memiliki kekebalan (dapat beradaptasi) dengan bahan kimia ini,
ketahanan tersebut ada batasnya, jika tidak segera dihentikan maka bisa berakibat kepunahannya.
Karena tanah yang kurang subur, maka penggunaan pupuk pun akan diperbanyak dan hal itu bisa
membuat tanah menjadi asam dan tambah tidak subur. Penggunaan pestisida dan herbisida secara
berlebihan dapat merusak dan mengurangi kesuburan tanah; (iii) peledakan hama: penggunaan
pestisida dan herbisida dapat meracuni fauna-fauna kecil yang menjadi makanan bagi predator
seperti semut, cacing, dan sebagainya. Jika terbunuh zat kimia, maka predator-predator kehilangan
makanan dan mati. Tanpa adanya predator, jumlah hama akan meledak dan dapat merusak tanaman
pertanian. Dengan jumlah hama yang lebih banyak, para petani akan menggunakan pestisida dan
herbisida yang lebih banyak lagi dan lebih merusak tanah; (iv) mencemari lingkungan
(ekosistim) lain: karena banyak pestisida dan herbisida yang tidak mengenai sasaran dengan tepat,
maka yang masuk ke tanah jauh lebih banyak dan bisa mengalir ke lingkungannya, bila semakin luas
dapat merusak lahan lainnya. Zat kimia tersebut juga bisa menuju ke aliran sungai atau danau yang
dibawa air hujan; (v) hama menjadi kebal: penggunaan pestisida dan herbisida yang berlebihan
dapat membuat para hama menjadi kebal yang lama kelamaan mampu beradaptasi (kebal) dan dapat
bertahan lebih lama dari yang diperkirakan, sehingga petani terpaksa meningkatkan dosis. Bila
berlangsung terus menerus maka penggunaan pestisida dan herbisida akan meningkat di luar kendali
dan (vi) merusak tanah; serta juga (vii) merusak tanaman itu sendiri.
Pupuk anorganik (berbahan zat kimia) merupakan salah satu faktor saprodi (padat maupun
cair) yang sering bahkan selalu digunakan dalam pertanian yang berfungsi untuk membantu
menyuburkan tanaman budidaya. Petani beranggapan bahwa tanaman akan sehat dan subur
dengan menggunakan porsi pupuk yang banyak. Padahal keliru, karena dengan penggunaan
pupuk yang berlebihan justru akan menyebabkan tanaman mudah layu dan membangun
konsentrasi garam/zat beracun dalam tanah, sehingga terjadi ketidakseimbangan kimia tanah dan
dapat mengubah pH alami tanah (merusak/membunuh/menghilangkan unsure hara dalam tanah).
Pupuk memang dibutuhkan untuk kesuburan dan pertumbuhan tanaman, dan penggunaan
pestisida sangat dibutuhkan karena mencegah meluasnya penyebaran OPT, menjaga produksi
tanaman, menjaga kualitas produk di gudang, asal pengaplikasiannya sesuai dosis dan jenis yang
dianjuran. Di lain sisi, penggunaan pupuk anorganik dan racun HPT secara berlebihan juga akan

849
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

menimbulkan berbagai masalah lain, diantaranya: mengakibatkan pemborosan biaya usahatani;


jika pemupukan urea terlalu banyak akan menjadikan tanaman sukulen sehingga tanaman akan
menjadi mudah terserang hama maupun penyakit; merusak kesuburan tanah, jika diberikan
berlebihan ke tanah akan mengakibatkan tanah menjadi masam yang mengakibatkan penyerapan
unsur hara tertentu menjadi terhambat; mengancam kelangsungan hidup mikroorganisme yang
berada dalam tanah; menjadikan ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik dan racun
HPT. Ibarat sudah ketergantungan dan menjadi keharusan, petani berprinsip tanpa pupuk panen
tidak akan diperoleh.
Selain pada usahatani tanaman pangan, penggunaan pupuk dan racun HPT yang berlebihan
ditemukan juga pada petani usahatani hortikultura. Petani bawang merah di Brebes, misalnya,
merupakan pengguna pestisida yang sangat besar. Sebagai sentra produksi bawang merah nasional
dengan luas tanam rata-rata mencapai 30 ribu hektar (ha)/tahun, biaya pestisida merupakan
komponen terbesar sekitar 20-30 persen dari biaya usaha tani sekitar Rp 100-150 juta/ha. Akibatnya,
biaya BEP usaha tani bawang merah di Brebes menjadi sangat tinggi mencapai Rp 12 ribu/kg,
akibatnya jika saat panen, harga bawang merah hanya Rp 10 ribu/kg, petani menjadi rugi. Padahal
sebagai perbandingan biaya BEP usahatani tebu, misalnya, hanya Rp 5.000/kg. Faktor lain yang
menyebabkan biaya pestisida tinggi adalah frekwensi penyemprotan pestisida juga sangat tinggi
sampai 3-5 hari sekali. Hal ini menyebabkan penggunaan pestisida menjadi banyak, tapi tidak efektif
dan justri merugikan budidaya bawang merah. Demikian halnya yang juga ditemukan pada petani
cabai merah, dari biaya usahatani sekitar Rp 80-120 juta/ha sekitar 40-60 persen merupakan
komponen biaya pupuk dan pestisida.
Dewasa ini produktivitas sebagian lahan sawah dan lahan usahatani lainnya diidentifikasi
sedang mengalami pelandaian (leveling off), yang salahsatunya diakibatkan penggunaan pupuk
dan racun HPT yang over dosis, jauh melampaui takaran yang dianjurkan. Pelandaian (leveling
off) sebagai akibat terjadinya pengurangan unsur hara dalam tanah, yang tidak diikuti dengan
upaya pengembalian bahan organic kedalam tanah. Dari hasil temuan lapang (hampir di semua
areal usahatani tanaman pangan), teridentifikasi bahwa petani padi menggunakan: pupuk cair
dengan dosis tinggi, pupuk Urea minimal 200-300 kg/ha; pupuk SP-36 sebanyak 100-200 kg/ha;
KCL sebanyak 100-150 kg/ha. Penggunaan pestisida yang berlebihan mengakibatkan beberapa
hama dan penyakit tanaman justru mengalami resistensi. Pengaplikasian pupuk yang berlebihan
penggunaan bahan kimia, terutama pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan menyebabkan
kondisi tanah pertanian di Indonesia mulai rusak. Teridentifikasi juga bahwa penggunaan pupuk
cair/pupuk kimia dosis tinggi dan secara terus menerus berakibat pada penurunan bahan organik
di lahan-lahan pertanian di Indonesia mencapai < dari 1%, dimana selayaknya adalah antara 4 –
5 %. Penggunaan pupuk dan racun HPT yang melebihi dosis tersebut menjadi salahsatu
penyebab terjadinya leveling off (pelandaian) lahan usahatani. Yang sangat mengkhawatirkan
sekarang ini adalah petani dalam penggunaan pupuk dan pestisida-herbisida-fungisida kimia
sudah diambang batas. Akibatnya beberapa hama dan penyakit tanaman justru mengalami
resistensi.
Karena pestisida dan herbisida (fungisida dan obat-obatan/racun HPT lainnya yang
berbahan zat kimia) merupakan bahan beracun dan bisa dampak negatif jika berlebihan, maka
perlu dikelola dengan penuh kehati-hatian. Pestisida dan herbisida yang digunakan petani harus
wajib terdaftar dan telah memiliki izin edar. Regulasi yang menjadi dasar hukumnya adalah UU
No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No.7/1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida, Permentan No.107/2014 tentang
Pengawasan Pestisida, dan Permentan No.39/2015 tentang Pendaftaran Pestisida (Anonimus,
2007). Pendaftaran pestisida, bukan hanya sebatas pestisida sintetik saja, pestisida alami pun
sebaiknya harus didaftarkan agar dapat dipertanggungjawabkan jika kemudian terjadi suatu
masalah; dan berbagai regulasi (peraturan) lainnya) yang seiring waktu kontiniu diperbaharui
agar mampu mengakomodir kondisi terkait pupuk dan obat-obatan kimia lainnya.

850
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Solusi: Mengurangi Penggunaan Saprodi Zat Kimia


Setelah mengetahui akibat penggunaan pestisida dan herbisida yang berlebihan pada tanah,
dianjurkan beberapa solusi yang dapat dilakukan supaya penggunaan zat kimia dapat dikurangi,
diantaranya: (1) Pembersihan Lahan Secara Rutin: tempat untuk menanam tanaman harus bersih.
Penanaman tanaman di tanah yang bersih setelah membersihkan lahan secara rutin sebelum dan
sesudah melakukan penanaman, akan dapat mengurangi dan membebaskan lahan dari hama dan
penyakit hama dan penyakit tanaman, terutama yang menyerang dalam tanah tanpa harus
menggunakan zat kimia; (2) Pengusiran Manual: jika sering mengkontrol pertanaman,
pengusiran hama secara manual juga dapat dilakukan. Hal ini akan lebih mudah dilakukan pada
lahan yang tidak luas dengan tenaga kerja manusia yang banyak. Dengan melakukan ini,
kerusakan tanah akibat pestisida dan herbisida pun dapat dikurangi; (3) Penggunaan Saprodi
(bibit, pupuk dan racun HPT) yang bebas (tidak mengandung) hama penyakit; (4) Pemberdayaan
Kelembagaan dan SDM pertanian agar memahami dan mampu mengaplikasikan saprodi secara
tepat dan berimbang; (5) Sosialisasi penggunaan pupuk organik untuk mengurangi penggunaan
pupuk kimia, dimungkinkan dengan adanya upaya alih teknologi dalam hal pembuatan kompos
kepada para petani tanaman pangan. Pembuatan kompos dengan pemanfaatan limbah pertanian
tersebut mempunyai hubungan yang simbiosis satu dengan lainnya, menjadikan usahatani
berkelanjutan di kemudian hari.
Selain berakibat pada besarnya pengeluaran untuk biaya usahatani dan kerusakan lahan
penggunaan pupuk dan racun HPT yang berlebihan juga mempengaruhi jaminan keamanan
produk panen, dalam jangka waktu tertentu yang akan sangat mengganggu kesehatan para
konsumen yang mengkonsumsinya. Meskipun belum merupakan produk olahan pabrik, namun
penggunaan pupuk dan racun HPT secara berlebihan tersebut sudah tentu menyalahi ketentuan
GMP (Good Manufacturing Product) yang mensyaratkan bahwa suatu produk berbasis pertanian
harus menjamin keamanan pangan. Oleh karena itu, dengan pemberdayaan kelembagaan
pertanian dan SDM nya diharapkan sesegera mungkin dan berupaya untuk memberikan
bimbingan kepada petani cara penggunaan pestisida yang tepat dan melakukan pengawasan
secara rutin. Untuk mendukung keberhasilan pengimplementasian saprodi (pupuk, racun
HPT/pestisida, herbisida, fungisida) secara tepat dan berimbang, maka dibutuhkan dukungan
kelembagaan dan kesiapan SDM pertanian yang dapat memahami serta berkemampuan dalam
pengaplikasiannya.

Multifungsi Kotoran Ternak dan Limbah Pertanian


Peran dan Manfaat Ganda Kotoran Ternak: Pukan dan Biogas
Pemeliharaan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dsb) maupun unggas (itik, bebek,
ayam, dsb) dalam sistem usahatani terpadu maupun sistem integrasi ternak, sangat memberi
perbaikan pendapatan bagi rumahtangga petani ternak yang mengusahakan pemeliharaannya,
baik sebagai penghasilan utama maupun sampingan (Saenab dan Waryati. 2005; Thalib 2008;
dalam: Rusdiana dan Priyanto. 2009. Bahkan kotorannya pun memberi manfaat setelah
difermentasi dan dikomposisi dengan beberapa bahan penunjang lainnya setelah diberi
perlakuan/diolah menjadi pupuk kandang/pupuk organik (Kusnadi et al. 2006; Daru. 2007),
sehingga disebut bermanfaat ganda. Di samping memberi manfaat sebagai pupuk dari
limbah/kotoran ternak berbagai pertanian merupakan sumber utama biogas atau renewable
energy (energy terbarukan) (Sasse. 1992; Junaedi. 2002; dalam: Elizabeth. 2016)
Secara sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan bertujuan untuk mengetahui besarnya
potensi dan kegunaan kotoran ternak yang dijadikan kompos dan sumber biogas (Anonimous.
1980; Karki dan Dixit. 1984; Indraswati. 2005. Abdullah et al. 2008). Untuk memperoleh suatu
sistem unit produksi biogas yang benar-benar menguntungkan, disarankan untuk
mengembangkan beberapa hal, seperti: (a). penanganan bahan dasar, manajemen proses, dan
pemilihan jenis mikroorganisme yang ikut aktif dalam proses pembentukan biogas (Harahap et
al. 1978; dalam: Elizabeth. 2016); (b) pemahaman mengenai variabel-variabel yang

851
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

mempengaruhi proses pembentukan biogas, komposisi gas, dan cara penanganan gasnya secara
aman; (c) perlu disusun strategi pemasyarakatan sistem biogas, khususnya di daerah pedesaan
(Harahap et al. 1978; Indrajit et al 2002; Elizabeth. 2017).
Manfaat ganda dari integrasi tanaman ternak sangat berguna untuk diusahakan, terutama
dalam upaya untuk menanggulangi pengeluaran masyarakat dalam penggunaan minyak dan gas
alam, menghemat (efisiensi) pengeluaran untuk biaya bahan bakar (bioenergi), pupuk kandang,
serta manfaat langsung dari ternak tersebut (yaitu: susu, daging, telur, anakan/bibit, kulit, tulang,
taring/gading, dsb) (Teguh et al. 2009. Ilham et al. 2011. Hutasoit et al. 2013).
Secara ringkas namun jelas, dapat dikemukakan bahwa biogas diproduksi oleh bakteri dari
bahan organik di dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobic process). Proses ini berlangsung selama
pengolahan atau fermentasi. Gas yang dihasilkan sebagian besar terdiri atas CH4 dan CO2. Jika
kandungan gas CH4 lebih dari 50%, maka campuran gas ini mudah terbakar, kandungan gas
CH4 dalam biogas yang berasal dari kotoran ternak sapi kurang lebih 60%. Temperatur ideal
proses fermentasi untuk pembentukan biogas berkisar 300C (Nandang et al. 1996. Musnamar.
2003. Murtiyeni et al. 2007). Air seni (kencing) ruminansia juga bermanfaat sebagai pupuk cair,
juga setelah diproses dengan beberapa campuran bahan pendukung pembuatannya.

Peran Ganda Pembentukan Biogas Dari Limbah Ternak Dan Tanaman


Membuat Bidang Pemicu Pembentukan Gas Sekitar dua bulan sebelum anda membuat unit
biogas untuk pertama kalinya, diperlukan membuat biang pemicu pembentukan gas. 2 liter
kotoran ternak (sapi, babi, ayam atau kuda) dan 2 liter air, campur dan aduk merata. Diusahakan
supaya biang pembentukan gas ini tetap hangat, kocok tiap dua hari sekali selama dua bulan
untuk wilayah berkelembaban rendah. Biang pembentukan gas ini, digunakan sebagai pemicu
(starter), untuk mempercepat pembentukan gas pada unit biogas (Sukoharjo, 2007; Kamaruddin
2008; dalam: Elizabeth. 2016a). Bahan-bahan organik berupa kotoran ternak dan limbah
tanaman yang tersedia, diberi air dengan komposisi 1:1, setelah merata mencampurnya,
selanjutnya aduk merata sampai terbentuk seperti pasta (adonan). Bila sudah yakin bahwa
campuran bahan organik telah memenuhi seluruh ruang drum gas, maka kran pengeluaran gas
ditutup rapat dan unit biogas mulai bekerja mengumpulkan gas yang terbentuk.
Sebagai indikasi telah terbentuk gas dalam drum, apabila drum itu mulai terangkat ke atas
melewati batas permukaan campuran pasta bahan organik. Bila pencampuran dan pengadukan
sudah sesuai dan merata, akan menghasilkan biogas yang bersih dan menyala biru bila
dinyalakan dengan bantuan mancis (korekapi). Setelah tampungan gas menyusut (hamper habis)
dipergunaan, sudah boleh menyiapkan kembali proses pembuatannya mulai dari awal, yang
sebisanya membersihkan dulu gorong-gorong (drum) tempat pengadukan dan penampungan gas.
Adukan kotoran sapi yang sudah habis kandungan gasnya sudah dapat dikeluarkan dan
didinginkan dari tabung/drum, didinginkan/didiamkan, jika sudah saatnya sudah menjadi pupuk
kandang (Rawung. 2016a; .

Peran Ganda Limbah Tanaman: Pupuk Organik dan Berbagai Multiguna lainnya
Jerami padi, merupakan limbah tanaman padi yang dapat dijadikan pupuk organik setelah
mengalami pembusukan dan fermantesi. Perlakuan lainnya adalah dengan dibakar menjadi
berupa arang yang banyak mengandung karbon yang sangat baik sebagai komposisi dalam
campuran pupuk organik (Tikupandang et al. 1995. Suyasa. 2005). Jerami padi biasanya
dicampur dengan sekamnya. Limbah ini juga memiliki banyak kegunaan lainnya, yaitu selain
sebagai campuran pakan ternak ruminansia, juga sebagai campuran pakan unggas, bahkan sangat
baik bila digunakan sebagai campuran pembuatan bata. Kegunaan lainnya adalah setelah
dilakukan penyulingan akan menghasilkan unsur pembuat bahan bakar spritus. Selain itu, setelah
mengalami beberapa tahapan perlakuan juga merupakan bahan pembuatan minuman bir; serta
berbagai manfaat lainnya.
Berbagai jenis limbah yang umum dan banyak terdapat di sekitar pemukiman perumahan,

852
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

terutama di daerah pertanian yang telah terbukti dapat diproses menjadi pupuk organik, yang
kandungannya sangat ramah lingkungan dan kesehatan. Meski demikian, pemanfaatannya
belumlah seoptimal yang diharapkan. Ketidak optimalan pemanfaatan limbah tanaman
ditenggarai lebih disebabkan kebiasaan turun temurun yang telah membudaya di kalangan para
pelaku usahatani. Kebiasaan harus memakai pupuk dan obat-obatan berbahan kimia yang sudah
membudaya mencerminkan kondisi ketergantungan yang sudah mengkhawatirkan karena
dipergunakan secara terus menerus dan jauh melebihi (over) dosis yang sewajarnya sesuai
anjuran pemakaian.
Bahkan sekarang ini sepertinya sudah menjadi status sosial (gengsi) bila petani rutin
mempergunakannya, karena dianggap mampu dan selalu menggunakannya dalam setiap musim
tanam. Bukti ketergantungan yang sudah merusak kesuburan lahan usahatani jelas terlihat pada
perolehan hasil panen yang jauh lebih rendah jika tidak memakai pupuk kimia dibandingkan
dengan memakainya. Tetapi lebih tingginya harga pupuk organik dan relatif lebih sulit didapat
menyebabkan pelaku usahatani menjadi terkendala untuk mengaplikasikannya. Untuk itulah
urgensi dilakukan pembimbingan yang berpihak terhadap pemakaian pupuk organik, harus
segera diimplementasikan dengan serius, melalui peningkatan peran aktif kinerja berbagai
kelembagaan dan SDM pertanian terkait di pedesaan untuk melaksanakan penggunaan pupuk
organik untuk usahataninya.

Definisi, Konsep Pemberdayaan Kelembagaan dan SDM Pertanian


Definisi Kelembagaan
Kelembagaan (social institution), oleh kalangan ilmuan sosial masih sering
diselaraskan/disandingkan sebagai organisasi (social organization), namun tetap memiliki
perbedaan (walau masih sangat kabur). Keambiguan antara lembaga dan organisasi yang jelas
digambarkan oleh Uphoff (1986), tentang: “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of
continuing debate among social scientist….. The term institution and organixation are commonly
used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion”. Organisasi merupakan
bagian dari kelembagaan. Organisasi sebagai organ kelembagaan. Organisasi adalah
kelembagaan yang belum melembaga. Yang sempurna adalah organisasi yang melembaga. Oleh
Koentjaraningrat (1997) diterjemahkan dengan istilah ‘pranata’ ada pula yang ‘bangunan sosial’.
Kelembagaan merupakan wadah (tempat/keberadaan/berkumpulnya) orang-orang yang
memiliki kejelasan: identitas, kepentingan, aturan/ kesepakatan dan struktur/peran/posisi (yang
harus dijalankannya secara benar), yang saling berinteraksi untuk tujuan yang sama. Dasar/inti
dari kelembagaan adalah ‘interaksi’, apakah berbentuk formal/ nonformal; (i) berpola
horizontal/vertical; (ii) berbasiskan ekonomi atau bukan (biasanya disebut ‘sosial’); (iii)
berlangsung sesaat/lama; merupakan hal yang biasa/hal baru; berpola atau acak; karena perintah
atau bukan.
Dari interaksi yang terjadi dalam kelembagaan, terdapat sepuluh prinsip dalam pengembangan
kelembagaan, yaitu: 1) Bertolak atas existing condition; 2) Kebutuhan; 3) Berpikir dalam
kesisteman; 4) Partisipatif; 5) Efektifitas; 6) Efisiensi; 7) Fleksibilitas; 8) Nilai tambah atau
keuntungan; 9) Desentralisasi; 10) Keberlanjutan (Syahyuti. 2006). Kesepuluh prinsip dalam
pengembangan kelembagaan, dalam perkembangannya seiring dengan pengembangan dan
peningkatan program kebijakan pembangunan pertanian, disertai dengan: terdapatnya peran dan
prinsip: (i) pelatihan; (ii) pendampingan; (iii) monitoring; dan (iv) evaluasi. Kelembagaan pertanian
mencakup semua aspek, tahapan kegiatan, dan pelakunya mulai dari hulu hingga hilir, yang meliputi,
diantaranya: lahan, tahapan/kegiatan usahatani mulai pengolahan hingga pascapanen dan pemasaran,
termasuk seluruh pelaku usahanya yang terkait dengan pertanian (Elizabeth. 2008). Oleh karenanya,
pengembangan kelembagaan dan SDM pertanian sudah seharusnya mencakup pengembangan di
seluruh aspek dan tahapan kegiatan serta pelakunya yang terkait pertanian.
Definisi Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan

853
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984; dalam: Elizabeth.
2008a); Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui
pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987; dalam: Elizabeth. 2017); Pemberdayaan
adalah sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam…, berbagi
pengontrolan atas…, dan mempengaruhi terhadap…, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga
yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan
kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons. et al. 1994; dalam Elizabeth. 2013);
Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak
beruntung (Ife. 1995; dalam: Elizabeth. 2015); Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang
(khususnya kelompok rentan dan lemah), untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber
produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh
barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Pemberdayaan atau empowerment (asal kata empower), sedikitnya memiliki tiga
tujuan/definisi, yaitu: 1) to build/make/enable/grow up the convident (membangun/membuat/
meningkatkan percara diri); 2) to give ability, (memberi kemampuan/dimampukan); dan 3) to
give power to (memberi kekuatan, mendelegasikan/mengalihkan kekuasaan/otoritas ke pihak
lain) (Hayami. 1998; Elizabeth 2016; dalam: Elizabeth. 2017). Pada pelaksanaannya di lapang
(action/implementation/aplication on field), pemberdayaan sebagai salah satu konsep dalam
model pembangunan, ternyata lebih mengarah ke model industri yang mayoritas kurang
memihak pada produsen usahatani (petani), karena lebih terkonsentrasi pada aspek/aktivitas
pascapanen hingga pemasarannya saja. Sementara di pihak petani, pemberdayaan hanya
terkonsentrasi pada aktivitas budidaya (usahatani), sehingga/dan kurang memperhatikan aspek
pascapanen dan pemasaran; sehingga cukup banyak program pemerintah yang bertujuan
memberdayakan petani namun kurang berhasil.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dan petani dapat dilihat dari tiga sisi/aspek
(Elizabeth. 2008; 2008a; 2016), yaitu; (1) menciptakan suasana/iklim yang memungkinkan
berkembangnya (enabling) potensi masyarakat; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat (empowering); (3) memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Ketiga aspek
tersebut bertitik tolak pada pengenalan bahwa setiap manusia masyarakat (termasuk petani)
memiliki potensi yang dapat dikembangkan (artinya, tidak ada masyarakat yang tanpa daya sama
sekali, karena jika demikian akan sudah punah) (Sumodiningrat. 1997; 1999). Pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya tersebut dengan mendorong, memotivasikan, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya. Dalam memperkuat, tidak hanya menciptakan iklim dan suasana, namun
diperlukan langkah-langkah lebih positif dan konkrit (nyata), serta menyangkut penyediaan
berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah
yang lemah menjadi bertambah lemah (karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.
Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang
lemah. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah menjadi sifat dasar
dalam konsep pemberdayaan masyarakat, baik petani maupun golongan masyarakat kurang
berdaya lainnya (Elizabeth. 2008; 2013; 2019).
Definisi pemberdayaan yang dikemukakan para pakar sangat beragam dan kontekstual.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pemberdayaan
masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat (bagaimana
menolong masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri) (Suharto, 2004). Di sisi lain,
kemampuan kelembagaan dan SDM pertanian (petani) untuk mengimplementasikan dan

854
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mengaplikasikannya dalam usahatani dan pengalaman di bidang usahatani mencerminkan


kemampuan kinerja mereka. Kondisi tersebut sudah tentu sangat mempengaruhi pencapaian
peningkatan tingkat pendapatan SDM pertanian tersebut (termasuk subsektor pertanian lainnya).

Konsep Pemberdayaan
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan
objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti
pendekatan sebagai berikut: (1) upaya pemberdayaan harus terarah; (2) program pemberdayaan
harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi
sasaran;
(3) menggunakan pendekatan kelompok, dengan: (a) Terarah, yang secara populer disebut
pemihakan; pemberdayaan harus ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program
yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya; (b) Mengikutsertakan
masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif
karena sesuai dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu,
sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,
melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan
ekonominya;
(c) Pendekatan kelompok, paling efektif karena jika secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, juga lingkup bantuan menjadi terlalu
luas bila penanganannya dilakukan secara individu dan lebih efisien dilihat dari penggunaan
sumberdaya (Elizabeth. 2017; 2019).
Konsep pemberdayaan diadaptasi dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai
abad pertengahan awal 90-an, kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang
belakangan. Pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan
kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh
mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan (Pranarka et al. 2000). Konsep
pemberdayaan berkembang yang oleh Friedman (1992) disebut sebagai “alternative
development”, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender
equality and intergenerational equaty” (dalam: Kartasasmita, 1997). Konsep pemberdayaan
disebut sebagai pembangunan alternatif yang menghendaki demokrasi inklusif, pertumbuhan
ekonomi yang tepat, kesetaraan gender dan kesetaraan antargenerasi.
Aplikasi konsep pemberdayaan mengandung dua proses, yaitu, proses: (i)
pemberian/pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada
masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya
membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi; dan (ii) sekunder, yaitu menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong
atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dengan demikian, konsep pemberdayaan menekankan
keutamaan/otonomi dalam pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat (SDM
petani) secara langsung melalui partisipasi, demokrasi dan sosialisasi (pembelajaran sosial)
(Elizabeth. 2015; 2018).
Peran Pemberdayaan Kelembagaan; SDM Pertanian Mendukung Keberhasilan
Implementasi Saprodi Tepat dan Berimbang

Pemberdayaan Kelembagaan dan SDM Pertanian (masyarakat tani)


Pemberdayaan kelembagaan masyarakat tani dan SDM pertanian adalah sebuah konsep
pembangunan pertanian yang merangkum nilai-nilai social dalam masyarakat tani dan SDM
pertanian, yang mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people
centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas

855
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dari hanya memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) semata atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Konsep yang kemudian banyak
dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif pengembangan konsep-konsep pertumbuhan di
masa lalu. Terkait pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat (termasuk petani), Ife (1995)
menyatakan bahwa: Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual
to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying,
using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so
on.
Pernyataan tersebut mendefinisikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya
memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu
organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif supaya mampu menyelesaikan tugasnya
sebaik mungkin. Dalam upaya meningkatkan volume produksi usahatani, khususnya produksi
dan produktivitas tanaman pangan dengan asumsi dapat meningkatkan pendapatan petani serta
mensejahterakan kehidupan masyarakat di pedesaan, pelaksanaannya didukung oleh sejumlah
program bantuan saprodi dan subsidi input produksi oleh pemerintah. Pemberdayaan peran
kelembagaan pertanian dan kompetensi SDM usahatani merupakan salah satu strategi
pemerintah dalam mencapai keberhasilan pembangunan pertanian. Pemberdayaan SDM
pertanian melalui pelatihan dan pendampingan merupakan salah satu solusi yang kerap kali
menghadapi kendala dalam pelaksanaan dan pengaplikasian pelatihan tersebut pada
usahataninya. Meningkatkan produksi dan produktivitas sektor pertanian melalui pemberdayaan
kelembagaan dan SDM pertanian juga diperlukan untuk mendukung keberhasilan implementasi
saprodi tepat dan berimbang.
Dari luasan sektor pertanian yang ada saat ini, penyerapan tenagakerja dalam kelembagaan
SDM pertanian menjadi tumpuan utama ekonomi masyarakat di perdesaan. Apabila kompetensi
SDM pertanian yang masih relatif terbatas saat ini ditambah kelembagaan yang belum
diberdayakan seoptimal mungkin, maka tingkat produtivitas lahan pertanian masih relatif
rendah, sehingga sangat dimungkinkan terkendalanya pencapaian peningkatan produktivitas
yang diharapkan. Keterbatasan tersebut tentunya sangat mempengaruhi besar kecilnya
pendapatan yang mereka peroleh. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai program
kebijakan pembangunan pertanian telah dilaksanakan pemerintah dan jajarannya, meski
pengimplementasiaanya belum seperti pencanangannya. Oleh karena itu, dibutuhkan akselerasi
pembangunan melalui berbagai kebijakan.
Sedikitnya terdapat ima kebijakan utama akselerasi pembangunan yaitu: (1) pemberdayaan
dan peningkatan kinerja kelembagaan pertanian; (2) pemberdayaan dan peningkatan
kelembagaan kinerja, kompetensi dan kualitas SDM berbasis pertanian di semua lini/aspek; (3)
memberdayakan dan mengembangkan berbagai program pertanian dan subsector terkait yang
memperhitungkan kearifan lokal dan spesifik lokasi setiap daerah, yang didedikasikan untuk
mendukung dan memfasilitasi sumber penghidupan masyarakat di masing-masing wilayah; (4)
membangun pertanian dengan memilih satu atau beberapa komoditas unggulan, supaya semua
upaya menjadi terfokus; (5) memanfaatkan endowment (faktor kelimpahan sumberdaya) daerah
dengan tetap mempertimbangkan prinsip kelestarian SDGs dan lingkungan sekitar. Membangun
daerah (terutama perekonomiannya) dengan membangun pertaniannya merupakan suatu prinsip
dan kebijakan yang cocok dan strategis. Hal tersebut terkait sebagai Negara agraris mayoritas
penduduk Indonesia bekerja dan memperoleh kehidupan dari sektor pertanian, dan sebagian
besar PDB daerah masih didominasi sector pertanian.
Pemberdayaan petani maupun masyarakat bukan untuk membuat mereka menjadi makin
tergantung pada berbagai program pemberian (charity)/bantuan, tetapi harus dihasilkan atas
usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain/peran sebagai pelaku
lembaga pemasaran). Pemberdayaan juga bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya; dengan pembaharuan institusi-institusi sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan dan keikutsertaan peranan (partisipasi)

856
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

masyarakat di dalamnya. Demikian pula perubahan mindset (pola pikir) dengan menanamkan
nilai- nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban
adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Yang terpenting adalah peningkatan
partisipasi petani dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri, usahatani dan
konsumen produknya (self farming system and public consumption); partisipasi masyarakat
menyangkut diri dan lingkungan kemasyarakatannya (socialization). Dengan demikian tujuan
akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat dan SDM petani amat erat kaitannya dengan pemantapan,
pembudayaan, pengamalan demokrasi, melalui partisipasi dan sosialisasi.

Urgensi Pemberdayaan Kelembagaan dan SDM Pertanian Terhadap Keberhasilan


Implementasi Saprodi Tepat Dan Berimbang
Seperti halnya berbagai program kebijakan pembangunan lainnya yang menghadapi
berbagai permasalahan, dalam membahas keberhasilan program kebijakan pembangunan juga
dihadapkan pada berbagai kendala dan permasalahan yang sudah seharusnya dianggap sebagai
tantangan dan peluang dalam mewujudan pencapaian keberhasilan pelaksanaannya. Perubahan
dan perkembangan dalam suatu proses pembangunan, pengimplementasiannya tentu untuk
pencapaian dan perwujudan keberhasilannya, seringkali disertai menimbulkan berbagai
permasalahan dan kendala, diindikasikan sebagai dilema. Dilema yang menjadi keambiguan
tersebut sudah selayaknya menjadi tantangan dan peluang pada program kebijakan
pembangunan pertanian di masa yang akan datang. Program kebijakan pembangunan pertanian
adalah peningkatan dan kontinutas ketersediaan pangan yang berkualitas dalam rangka
mewujudkan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Permasalahan dan tantangan yang
dihadapi dalam aspek ketersediaan produksi pangan dan ketahanan pangan, dipengaruhi oleh: (i)
perubahan cepat pada lingkungan global dan perubahan iklim (anomali iklim global) yang
semakin sulit diprediksi; (ii) terus bertambahnya kebutuhan pangan seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk dan semakin menyempitnya lahan pertanian akibat maraknya konversi
lahan untuk berbagai kepentingan lain di luar usahatani; (iii) semakin terbatas/kurangnya pekerja
generasi muda untuk bekerja di usahatani karena relatif rendahnya pendapatan dari usahatani
dibanding usaha lain; selain itu, juga karena (iv) relatif turunnya produksi dan produktivitas
pertanian; sebagai akibat dari (v) penggunaan saprodi (pupuk, pestisida, herbisida, fungisida)
yang berlebihan yang menyebabkan pelandaian (leveling off).
Pembangunan pertanian harus secara holistic (menyeluruh) di semua aspek dan tahapan
kegiatan), dimana semua infrastruktur pendukungnya harus tersedia di setiap daerah (pedesaan).
Strategi tersebut juga sebagai upaya mengurangi maraknya urbanisasi; dimana fasilitas di
perkotaan sudah seharusnya tersedia di pedesaan. Ketersediaan tersebut meliputi fasilitas:
transportasi, pendidikan, kesehatan, komunikasi, pendukung perekonomian, serta ketersedian
berbagai fasilitas pendukung lainnya yang modern (dan terkait prinsip membangun daerah
dengan membangun pertaniannya). Pemberdayaan, pengembangan dan peningkatan
kelembagaan pertanian serta kinerja, kompetensi dan kualitas kelembagaan SDM berbasis
pertanian di semua lini/aspek sangat dibutuhkan. Kualitas dan kompetensi SDM pertanian yang
mampu melaksanakan dan menjalankan serta berinovasi dalam semua instrument program
kebijakan pembangunan pertanian. Berubahnya paradigma pembangunan pertanian ke arah
konsep pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture development)
menumbuhkan kesadaran yang luas tentang perlunya pemberdayaan dan peningkatan kinerja dan
kompetensi SDM masyarakat tani (petani) dalam keseluruhan proses dan program kebijakannya.
Pemberdayaan kelembagaan dan SDM pertanian berperan penting dalam mewujudkan
pencapaian sepuluh pilar menuju pembangunan pertanian (modern) seperti 4.0, yaitu: 1)
pengembangan dan penyediaan alsintan; 2) penjaminan dan penyediaan dana bagi petani; 3)
penyediaan benih, pupuk dan pengendalian HPT dengan SDM yang mampu menghandle dan

857
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

mengandalkan teknologi; 4) menyediakan dan memperlancar pemasaran, dimana pasar menjadi


penentu keberhasilan semua usaha pertanian, pasar yang menjamin diperolehnya revenue
sebagai penentu diperolehnya keuntungan sebagai pemenuh ekonomi rumahtangga petani; 5)
pembangunan jalan pedesaan, JUT, dan jaringan irigasi (infrastruktur pertanian), untuk
mempermudah dan memperlancar akses keluar masuknya input-output produksi usahatani; 6)
membangun demfarm dan demplot di setiap daerah sebagai pusat percontohan serta berperan
sebagai pusat layanan informasi dan penyuluhan serta diseminasi teknologi; 7) membangun dan
meningkatkan peran commodity product centre, sebagai pusat penelitian dan pengkajian produk
komoditas unggulan dari/dan di masing-masing daerah untuk menjadi pusat pelatihan dan
percontohan penerapan paket- paket teknologi, serta menjadi wadah untuk meningkatkan
pengkajian dan pengembangan teknologi komoditas unggulannya; 8) perencanaan dan
koordinasi; 9) pendampingan, monitoring dan evaluasi; 10) akselerasi diseminasi teknologi
kepada para pengguna (petani dan pengusaha) serta diseminasi informasi produk dan
ketersediaannya kepada para stakeholders dan konsumen (domestik dan ekspor).
Ketersediaan kelembagaan dan SDM pertanian yang berkompeten dan berkualitas juga
sangat dibutuhkan, terutama untuk mengatasi kekurangtepatan dan kekeliruan dalam
penggunaan saprodi, terutama dalam pengaplikasian pupuk dan obat-obatan HPT dengan dosis
tinggi jauh di atas anjuran, yang akhir-akhir ini sudah sangat meresahkan. Dampaknya dapat
berakibat sangat fatal, yang sangat merusak kesuburan areal tanam dan bahaya yang dikandung
produk hasil panen terhadap kesehatan para konsumennya. Untuk itu, diperlukan pemberdayaan
kelembagaan, kinerja dan kompetensi SDM yang sangat dibutuhkan dalam merekayasa inovasi
tenologi dan kelembagaan sistem budidaya usahatani (terutama tanaman pangan), peternakan
dan perikanan sebagai sumber pangan dan protein nabati dan hewani. Perekayasaan inovasi
teknologi yang dihasilkan oleh kinerja dan kompetensi SDM yang tinggi (dan tersedia) untuk
dapat meningkatkan produk dan produktivitas, efektifitas dan efisiensi, nilai tambah dan
dayasaing produk berbasis pertanian, pengembangan agribisnis berbasis agroindustri dan
bioindustri, serta kelestarian SDA, keanekaragaman hayati (SDGs), dan jaminan keamanan
konsumsi produk berbasis hasil pertanian (selaras dengan sistem pembangunan pertanian
berkelanjutan).
Untuk percepatan pembangunan pertanian dan membangun dayasaing produk pertanian,
diperlukan fondasi yang kuat melalui perubahan menyeluruh tradisi birokrasi di tingkat
pemerintah dan masyarakat untuk memulai pembaharuan kapasitas manajemen. Perubahan
menyeluruh tersebut supaya terfokus pada perubahan mindset untuk penguatan SDM dan
pengembangan sistem manajemen dan kelembagaan agar terbuka pada penguasaan kemajuan
inovasi teknologi, penguasaan teknologi informasi, dan pentingnya kompetensi SDM. Perubahan
pola pikir (mindset) SDM sangat dibutuhkan untuk persamaan persepsi terhadap pencapaian
tujuan, yang dilandasi oleh: teamwork, trustworthiness, innovation, speed dan prosperity.
Keberhasilan sistem inovasi pertanian merupakan perwujudan keberhasilan pencapaian dari
pelaksanaan rangkaian berbagai kegiatan dari mulai penelitian, pengembangan pengkajian, dan
diseminasi (penyampaian hasil) kepada stakeholders. Untuk itulah, pemberdayaan kinerja dan
kompetensi SDM sangat diperlukan dan penentu tercapainya akselerasi diseminasi di segala
aspek terutama hasil penelitian dan pengkajian, yang sangat diperlukan sebagai dasar
kebersinambungan penyusunan rancangan kebijakan pembangunan pertanian yang
keberlanjutan.

PENUTUP
Sebenarnya petani telah sejak lama (sebelum era 1980-an) mengenal dan menggunakan
pupuk hijau (kelak dikenal sebagai pupuk kandang/kotoran ternak, dari limbah pertanian-ternak),
dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pertanian, terutama petani
tanaman pangan. Pada era 1980-an para petani (padi) mulai diperkenalkan penggunaan pupuk
padat dan cair (pupuk kimia/anorganik), seperti: Urea, TSP, KCL, dsb, dengan tujuan untuk

858
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

memperkaya humus lahan usahatani; serta penggunaan obat-obatan HPT (racun/zat kimia)
seperti: pestisida endrin untuk menghalau hama-wereng, pestisida, herbisida, fungisida, dsb, dan
menjadi ketergantungan, bahkan sudah dengan takaran/dosis yang berlebihan. Di masa itu,
penggunaan pupuk cair malah dinilai wujud status sosial petani/barometer petani mengikuti
zaman. Bila terus berlanjut, secara kumulatif menyebabkan perubahan struktur tanah yang
berimplikasi pada penurunan/pelandaian (leveling off) kualitas lahan dan kelak terjadi
penurunan kualitas produk bahkan frekwensi produksi tanaman itu sendiri.
Pemberian kompos pada usahatani terbukti memberi hasil lebih baik yang signifikan
dibanding bila tidak diberi kompos. Pemanfaatan limbah usaha pertanian-ternak terbukti
berkaitan nyata dengan upaya peningkatan produksi dan produktivitas usahatani.
Memasyarakatkan penggunaan pupuk organik tidak hanya mampu menghemat biaya, juga
usahatani berkelanjutan, bernuansa ramah lingkungan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan
hidup manusia, juga menghasilkan produksi yang sehat (clean production). Program Ketahanan
Pangan Nasional menjadi salah satu prioritas dalam pengembangan pertanian ke depan
(berkelanjutan) perlu didukung dengan upaya penggalakkan penggunaan pupuk organik oleh
para pembudidaya komoditas tanaman pangan. Dalam suatu sistim usaha tani, sesungguhnya
dapat dilihat adanya simbiosis (keterkaitan yang erat, bersifat saling melengkapi) antara kegiatan
usaha tani dengan usaha ternak.
Kebijakan penggunaan saprodi yang tepat dan berimbang merupakan faktor penting
penentu keberhasilan usahatani tercermin pada meningkatnya produksi dan produktivitas. Peran
regulasi, pengawasan berkelanjutan dan sanksi terhadap penggunaan pupuk, racun HPT
(pestisida, herbisida, fungisida) supaya tidak berlebihan (over dosis). Penggunaan berlebihan
juga diprediksi menjadi penyebab penurunan produksi dan produktivitas pertanian, resistensi
HPT, pengrusakan dan pemiskinan unsur hara; yang membutuhkan kesegeraan dan
keberpihakan berbagai pihak terkait untuk mengantisipasinya dengan pengimplementasian
berbagai inovasi teknologi. Kontiniutas ketersediaan dan terjaminnya keamanan pangan
berkualitas menjadi syarat utama untuk eksis dan berdayasaing di kancah perdagangan
Internasional. Perubahan mindset (pola pikir) dengan menanamkan nilai-nilai budaya kerja
modern (kerja keras, hemat, keterbukaan, partisipasi, kepercayaan dan kebertanggung jawaban)
adalah bagian pokok upaya pemberdayaan.
Meningkat dan eksisnya kelembagaan pertanian mencerminkan kemampuan (kompetensi)
dan kinerja SDM pertanian (petani dan pelaku usaha berbasis pertanian lainnya), terindikasi
dengan peningkatan produksi dan produktivitas usahatani, yang sangat mempengaruhi besar
kecilnya pendapatan dan tingkat kesejahteraan. Pemberdayaan petani bukan semata untuk
membuat semakin tergantung pada berbagai program bantuan (charity), tetapi harus dari hasil
usaha sendiri (dapat dijual = peran lembaga pemasaran). Pemberdayaan meliputi penguatan
individu anggota masyarakat dan juga kelembagaan pemerintah dan pranata-pranatanya.
Kebijakan penggunaan saprodi yang tepat dan berimbang merupakan factor penting
keberhasilan usahatani yang tercermin pada meningkatnya perolehan produksi dan
produktivitasnya. Peran aktif diseminasi berbagai hasil penelitian dan pengkajian sebagai
informasi dan masukan bagi semua pelaku/aktor (stakeholders, konsumen, industri, eksportir,
importir, dsb) terkait produk berbasis pertanian dan penyusun rancangan program kebijakan
pembangunan pertanian berkelanjutan dan berkesinambungan. Informasi, bimbingan dan
pelatihan inovasi teknologi tepat guna bagi petani dengan pendampingan aktif dan
berkesinambungan. Peningkatan dan pemberdayaan peran kelembagaan pertanian merupakan
salah satu strategi pemerintah untuk mendukung kemandirian dan ketahanan pangan
berkelanjutan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN


• Perlakuan dan pemberian saprodi secara tepat dan berimbang merupakan salah satu aspek
penting dalam usahatani untuk memperoleh produksi dan produktivitas tinggi, selain

859
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

bargaining position, yang sangat mempengaruhi besar kecilnya pendapatan petani.


• Kemampuan SDM petani untuk mengaplikasikan dan mengimplementasikannya dalam
usahatani dan pengalaman usahatani mencerminkan kemampuan kinerja mereka dan sangat
mempengaruhi besar kecilnya pendapatan.
• Kebijakan penggunaan saprodi tepat dan berimbang adalah factor penting keberhasilan
usahatani yang tercermin pada meningkatnya perolehan produksi dan produktivitas.
• Peran kelembagaan sangat dibutuhkan terutama untuk sosialisasi penggunaan saprodi yang
tepat dan berimbang kepada para petani dimungkinkan dengan adanya upaya berbagai
inovasi dan alih teknologi.
• Eksis dan meningkatnya peran dan fungsi kelembagaan pertanian mempengaruhi tingkat
kompetensi SDM dan kinerja petani.
• Alih teknologi dalam hal pembuatan pupuk organik/kompos kepada para petani tanaman
pangan, dapat membuka peluang usaha di pedesaan, juga dapat mengurangi ketergantungan
petani terhadap penggunaan pupuk cair.
• Pemberdayaan kelembagaan terkait pembuatan kompos, dan pengimplementasian saprodi
secara tepat dan berimbang, pertanian jadi berkelanjutan.
• Perlunya perubahan mindset (pola pikir) petani dengan menanamkan nilai-nilai budaya
modern (kerja keras, hemat, keterbukaan, partisipasi, kepercayaan, bertanggungjawab)
adalah bagian pokok upaya pemberdayaan.
• Peningkatan dan pemberdayaan peran kelembagaan pertanian merupakan salah satu strategi
pemerintah untuk mendukung kemandirian dan ketahanan pangan berkelanjutan. Diperlukan
segera keberpihakan, pengawasan dan pendampingan pihak terkait implementasi berbagai
inovasi teknologi pertanian

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah.M.A. A. Thalib. Y.T.Anggraeni dan Mariyono. 2008. Teknologi Peternakan Sapi
Potong Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Peternakan. Buletin Ilmu Peternakan
Indonesia- Wartazoa Vol. 10 No. 3. 2008, hal. 149-156.
Andriati dan Wayan Sudana. 2007. Keragaman dan Analisis Finansial Usahatani Padi (Kasus
Desa Primatani, kabupaten karawang, Jawa Barat). Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 2, Juli 2007 Hal. 106-118Basuki, P. 1985. Pemanfaatan
Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Rumah Tangga. Paper Seminar on Development
of Tropical Resources and Effective Utilization of Energy in Agriculture.
Anonimus, 2007. Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/04/2007 tentang
Rekomendasi Pemupukan N,P, Dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Anonimous. 1980. Petunjuk Praktis Membuat Gas Bio. BLPP, Departemen Pertanian.
Anugrah IS dan Elizabeth R. 2010. Sistem Kelembagaan Komunitas Petani Sayuran Di Desa
Baturiti, Tabanan. Bali. Seminar Nasional Padi 2016, pada tanggal 31 Agustus 2016 di
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Jawa Barat.
Daru. M. 2007. Pemanfaatan Kotoran Ternak dan Peningkatan Sanitasi Sumber Energi Alternatif
dan penimngkatan Sanitasi Lingkungan. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1,
Januari 2000: 27-32. http/www/bogs/energy/ donlit tanggal,76 September 2011.
Demitria. D, Harianto, Sjafri.M, dan Nunung. 2006. Peran Pembangunan Sumberdaya Manusia
dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Forum Pascasarjana. IPB. Vol.33. No.3. Juli 2010. hal. 155-164.

860
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Dewi S, Alam dan Haris. 2007. Analisis Titik Impas dan Sensitivitas Terhadap Kelayakan
Finansial Usahatani Padi Sawah. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian Bogor, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 10 No.
2, Juli 2007, hal, 119-125.
Elizabeth R. 2019. Peningkatan Dayasaing Tanaman Pangan Melalui Akselerasi Agroindustri
Dan Pemberdayaan Kelembagaan Pertanian. Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran
Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis. Vol 5, No 2 (2019): Juli 2019. Akreditasi
Nomor 34/E/KPT/2018 at SINTA 4 (S4) rank. Accreditation is valid from December 10,
2018 to December 10, 2023. DOI: http://dx.doi.org/10.25157/ma.v5i2.2411
Elizabeth R. 2019a. Revitalisasi Implementasi Pemberdayaan Kelembagaan Pertanian
Berkesinambungan Mendukung Pencapaian Dayasaing Produk Olahan. Padang, UNES
Journal of Scientech Research Volume 4, Issue 1, June 2019.
Elizabeth R. 2018. Akselerasi Penggunaan Biogas Mendukung Optimalisasi Pemanfaatan
Bioenergi Untuk Ketahanan Energi Dan Pemberdayaan Ekonomi. Seminar Nasional PSL.
IPB 16 Okt. 2018. Jurnal. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (JPSL Journal).
Elizabeth R. 2018a. Mewujudkan Produk Pangan Olahan Ekonomi Tinggi Dan Berdayasaing
Melalui Analisis Nilai Tambah Dan Pemberdayaan Kelembagaan Di Perdesaan. Buku
IPTEK. Vol.1. Jan. 2018. Puslitbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Elizabeth R. 2017. Restrukturisasi Implementasi dan Efektivitas Program Pembiayaan Menuju
Peningkatan Kapasitas dan Produktivitas Beras. Journal of Agricultural Scienties. UNES.
(Universitas Ekasakti). Padang Sumatera Barat. Volume 1. Issue 1. February 2017. ISSN
Cetak: 2549-5909. ISSN Online: 2549-5917.
Elizabeth R. 2017a. Akselerasi Pemberdayaan Dan Peningkatan Kompetensi Dalam Sistem
Produksi Untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi Di Indonesia. Volume 2. Issue 1. June
2017. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.
Elizabeth R. 2016. Biogas Sebagai Energi Yang Diperbaharui (Renewable Energy) Hasil
Limbah Pertanian, Solusi Efisiensi Biaya Bahan Bakar Skala Rumahtangga Di Perdesaan.
Journal of Agricultural Scienties. UNES. (Universitas Ekasakti). Padang Sumatera Barat.
Vol.1. Issue 2. Desember 2016. ISSN Cetak: 2528-5556. ISSN Online: 2528-6226.
Elizabeth R. 2015. Pencapaian Daya Saing Melalui Peningkatan Teknologi Pengolahan,
Peningkatan Kelembagaan Dan Pemasaran Produk Pangan Olahan. PERHEPI. Tema:
Indonesia Menuju Swasembada Pangan Dalam Tiga Tahun Kedepan: “Tinjauan
Konseptual, Teoritis dan Empiris”. Kendari, 9 Maret, 2015.
Elizabeth R. 2008. Diagnosa Kemarjinalan Kelembagaan Lokal untuk Menunjang
Perekonomian Rakyat di Pedesaan. Jurnal SOCA. Vol. 8. No. 2. Juli 2008. hal. 58-64.
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Udayana. Bali.
Fagi, A.M. 2004. Penelitian Padi Menuju Revolusi Hijau Lestari. Dalam: Inovasi Pertanian
Tanaman Pangan. A.K. Makarim, Hermanto dan Sunihardi (Eds). Puslitbangtan. Bogor.
Harahap. F.M., Apandi dan S. Ginting. 1978. Teknolohi Gasbio Pusat Teknologi Pembangunan
Institut Teknologi Bandung,
Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap
Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor. Indonesia. Jakarta.
Hutasoit, R. Rusdiana, S, dan Elizabeth, R. 2013. Potensi Sumberdaya Lokal Hijauan Pakan
Ternak Untuk Kecukupan Populasi Sapi Potong dalam Analisis Ekonomi. Seminar
Nasional "Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Komoditas Pertanian di Indonesia",

861
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Mei 2013. ISBN 978-602-19392-1-5.


Ilham, N., E. Basuno, Wahyuning, K. S., Roosganda E., Frans B. D, Sri N. Y, Ashari. 2011.
Keragaan, Permasalahan dan Upaya Mendukung Akselerasi Program Swasembada
Daging Sapi. Laporan Akhir Hasil Penelitian. PSE-KP. Bogor.
Indrajit RE, Djokopranoto R. 2002. Konsep dan Aplikasi Business Process Reengineering.
Jakarta. Grasindo.
Indraswati Serindit. 2005. Pembangkitan Biogas dari Kotoran Sapi: Hidrolisis Termal Pada
Tahap Pengolahan Pendahuluan, Jurnal Teknik Kimia, Institut teknologi sepuluh
Nopember, Surabaya
J. B. Markus Rawung, Elizabeth. R, dan Ratri Retno. 2016a. Prospek Unggul Kotoran Ternak:
Penghasil Biogas, Pupuk Dan Effisiensi Ekonomi Biaya Bahan Bakar Alternatif Di
Perdesaan. Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Agroinovasi Berbasis Sumberdaya
Lokal Menuju Kemandirian Pangan. Manado, 9 Agustus 2016. Buku II. ISBN 978-602-
7291-24-9. BBP2TP. Balitbang Pertanian.
Junaedi, M. 2002. Pemanfaatan Energi Biogas di Perusahaan Susu Umbul Katon Surakarta,
Laporan Program Vucer 2002, Dikti-UMS, Surakarta.
Kamaruddin. A.S. 2008. Pembuatan dan penggunaan Unit Produksi Biogas Sederhana Skala
Pedesaan. Penyuluh Pertanian Madya pada BPTP Makassar. http/www/bogs/energy/
Tanggal, 6 September 2011.
Karki, A.B dan Dixit. 1984. Biogas Fieldbook. Sahayogi Press. Khatmandu. Nepal.
Kusnadi.U., B. Setiadi dan E. Juarini. 2006. Analisis Potensi Wilayah Peternakan di Pulau
Sumatera. Prosiding Seminar Nasional Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Barat, Kerjasama, Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang Mangatas,
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat, Balai Besar Pengkajian Pengembangan
Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Padang 11-12
September 2006. hal. 32-41.
Mayamin M A. 2016. Strategi Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. 15 Oktober
2016Tak Berkategori. https//dinamikamasyarakatblog.wordpress.com/category/tak-
berkategori/ Download 17 September 2019.
Mayunar, Sri Redjeki, Pepi Nur Susilawati, Pramu Sunyoto, Achmad Basyarie, Waspada,
Undang Subarna dan Didi Urnadi, 2005. Pengkajian Sistem dan Model Pengelolaan
Lahan sawah Irigasi Dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi (laporan Kegiatan).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Banten.
Muchjidin H.R, Adreng P, Sugiarto, Supriyati, Supadi, Amar K. Z., Bambang W., Herman S.,
Tri B. P. Roosganda Elizabeth, Deri H., Tjetjep N., Chaerul M.,Mohamad M., Muhammad
I. Rizma A., 2009. Panel Petani Nasional: Indikator Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Departemen Pertanian. Bogor.
Murtiyeni, Elizabeth.J., Broto.W., Sofiyan.I., Isbandi dan R.asniru. 2007. Pemanfaatan Limbah
Pertanian dan Peternakan sebagai Pupuk Organik Guna Mengatasi Pencemaran
Lingkungan di Lahan Marjinal di Donggala. Laporan Akhir Penelitian, Balai Penelitian
Ternak bekerjasama dengan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi
(P4MI), Badan Litbang Pertanian, Kebutuhan Informasi, hal. 28-37.
Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik padat: Pembuatan dan Aplikasi. Seri Agritekno, Penebar
Swadaya, Jakarta.

862
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Nandang S. U.Kusnadi dan D. Sugandi. 1996. Pentyerapan Tenaga Kerja Keluarga Petni Ternak
oleh Usaha penggemukan Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) Sistem Keraman. (Studi
Kasus Desa Candimulyo, Kec. Kereteg, Kab, Wonosobo). Proseding Temu Ilmiah Hasil-
Hasil Penelitian Peternakan, Aplikasi Hasil Penelirtian untuk Industri Peternakan Rakyat.
Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitiand dan Pengembangan Peternakan Ciawi-Bogor
8-11 januari 1996, hal. 149-157
Nurmanaf, A. R, Sugiarto, A. Djulin, Supadi, N. k. Agustin, J. F. Sinuraya, A. K. Zakaria. 2005.
Panel Petani Nasional, Dinamika Sosial Ekonomi Rumahtangga dan Masyarakat
Pedesaan: Analisis Profitabilitas Usahatani dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Pasaribu, S, A. Agustian, Elizabeth R, J. Hestina. 2012. Kajian Alternatif Skema Pembiayaan
APBN Untuk Mendukung Swasembada Beras. LHP. PSEKP. 2012.
Pranarka AMW dan SP Onny. 2000. Pemberdayaan: Konsep, kebijakan, dan implementasi.
CSIC. Jakarta.
Putu, W. I. H., J. Purnomo dan Sukristyanubowo.1998. Pengaruh pengelolaan bahan organik
dan tingkat pemupukan dalam usaha mempertahankan produktifitas tanah etisol
Jambi. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat Bidang Kimia dan Biologi Tanah. Bogor.
Rusdiana S, dan D. Priyanto. Elizabeth R. 2009. Analisis Ekonomi Penggemukan Ternak Domba
Jantan Berbasis Tanaman Ubi Kayu di Perdesaan. Prosiding Seminar Nasional. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor, hal. 176-194, 1 April 2009.
Saenab A. dan Waryati. 2005. Strategi Pengembangan Tanaman Pakan Ternak di Wilayah
Perkotaan. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor 16 September
2005, hal. 83-86.
Sasse, L. 1992., Pengembangan Energi Alternatif Biogas dan Pertanian Terpadu di Boyolali
Jawa Tengah, Borda-LPTP, Surakarta. Tim Inventarisasi dan Seleksi KRENOVA
BAPPEDA.
Sayaka, B, I. K. Karyasa, Waluyo, T. Nursana, dan Y. Marisa. 2006 Provinsi Bali. Seminar
Nasional Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. (PSE-KP). Bogor. Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Suharto. 2000. Konsep Pertanian Terpadu (Integrated Farming System) Mewujudkan
Keberhasilan dengan Kemandirian. Bahan Pelatihan Revitaliasasi Keterpaduan Usaha
Ternak dalam Sistem Usaha Tani, Bogor dan Solo 21 Pebruari 6 Maret 2000 EAAP Publ.
Denmark. 102. : 117-120.
Suyasa, Nyoman. 2005. Jerami padi sebagai pupuk organik dan pakan ternak. Buletin Teknologi
dan Informasi Pertanian, Edisi 9, Tahun III: 2005, Bali.
Stefen. S. 2010. Sumber Daya Manusia Pertanian dan Indutrialisasi. Summaries 1 - 10 dari 116.
kunjungan ke 2.462 http://id.shvoong.com/social-sciences/1728774-sdm-pertanian-dan-
industrialisasi/http://id.shvoong.com/authors/drs.-stefan-sikone/ ditampilan pada tanggal
27 Okt 2010 19:21:48 GMT.
Syahyuti. 2006. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam
Penelitian Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. 123 hal.
Suharto. 2000. Konsep Pertanian Terpadu (Integrated Farming System) mewujudkan
keberhasilan dengan kemandirian. Bahan Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha
Ternak Dalam Sistem Usaha Tani. Bogor dan Solo, 21 Pebruari-6 Maret 2000. Puslitbang

863
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Peternakan Bogor. EAAP Publ. Denmark. 102: 117-120.


Sukoharjo. 2007. Laporan Akhir Inventarisai dan Seleksi Kreativitas dan Inovasi Masyarakat
(KRENOVA) Kabupaten Sukoharjo Tahun 2007, BAPPEDA Sukoharjo. Sukoharjo.
Sumodiningrat. G. 1997. Pembangunan Daerah dan pemberdayaan masyarakat. Bina Rena
Pariwara. Jakarta.
. 1999. Pemberdayaan masyarakat dan jaringan pengaman social. Gramedia. Jakarta.
Supriadi dan Murwati. 2009. Pembuatan Kompos dari Limbah kandang dengan sistem
Bumbung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Pusat
Penelitian dan Pengembahgan Peternakan. Bogor, 13-14 Agustus 2009, hal. 808-814
Swastika, D. K. S, J. Wargiono, B. Sayaka, A. Agustian, dan V. Darwis. 2006. Kinerja dan
Prospek Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia. Seminar Kinerja
Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
Teguh Wikan Widodo, Ana N, A Asari dan Elita R. 2009. Pemanfaatan Limbah Industri
Pertanian untuk Energi Biogas. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Download tanggal 7 September 2019.
Tikupandang.A., A. Prabowo dan D. Sugandi. 1995. Aspek Tenaga Kerja Kelurga dalam Sistem
Usahatani Ternak Terpadu di Daerah Transmigran Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Pengelolaan dan Komunikasi Hasil-hasil
Penelitian. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, hal. 539-545.
Tuti H. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Buletin Ilmu
Peternakan Indonesia- Wartazoa Vol. 10 No. 3. 2008, hal. 149-156.
Toha, H M. 2007. Peningkatan produktivitas padi gogo melalui penerapan pengelolaan tanaman
terpadu dengan introduksi varietas unggul. Penelitian Pertanian, Puslitbang Tanaman
Pangan, Badan Litbang Pertanian. No. 26 (3): 180-187.
Toha, H M, Prayitno, I Yuliardi dan K Permadi. 2005. Penelitian dan pengkajian model
pengembangan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) padi gogo. Laporan
tahunan 2004. Balai Penelitian Tanaman Padi, 25 hal.
Uphoff. N. 1986. Local Institution Development. Kumarin Press. USA

864
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Perceptions of Farmer to Organization of Islamic Community for


Empowerment Program in Paseh Subdistrict
Utan Sahiro Ritonga1 dan Tri Hanifawati1
1Universitas Muhammadiyah Bandung, Bandung

ABSTRAK

Kata Kunci: Di kecamatan paseh strategi dakwah ormas islam Muhammadiyah diarahkan
Persepsi petani memecahkan problematika ummat khususnya petani. Organisasi dengan
Partispasi pemahaman agama tentu memberikan penilaian tersendiri dalam
Ormas Islam berpartisipasi secara individu bagi petani. Untuk itu perlu diketahui persepsi
Pemberdayaan petani dalam tingkat partisipasi dan hubungan karakteristik petani terhadap
tingkat partisipasi dalam program pemberdayaan yang dilakukan oleh ormas
islam. Tujuannya agar diperoleh suatu rancangan strategis bagi pemerintah
dan ormas islam untuk meningkatkan partisipasi petani dalam program
pemberdayaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
gabungan dengan teknik konkuren, yaitu penelitian kuantitatif melekat pada
metode kualitatif yang dilakukan secara serempak terhadap sampel ditarik
secara sengaja di desa Cigentur Kecamatan Paseh sebanyak 36 orang petani.
Dari hasil penelitian diketahui partisipasi petani dalam program
pemberdayaan tergolong sedang pada kegiatan sosialisasi dan pelaksanaan
kegiatan. Tingkat penghasilan memiliki hubungan yang erat terhadap tingkat
partisipasi pada kegiatan sosialisasi program pemberdayaan. Karakteristik
petani yang meliputi usia, tingkat pendidikan, lama bertani, status
kepemilikan lahan, pengalaman ikut kegiatan sosialisasi, dan pengalaman
ikut pelaksanaan tidak memiliki hubungan terhadap tingkat partisipasi petani
dalam kegiatan sosialisasi program pemberdayaan. Sementara tingkat
partisipasi petani dalam pelaksanaan kegiatan program pemberdayan tidak
memiliki hubungan dengan karakteristik petani yang diteliti. Strategi ormas
islam yang perlu dilakukan untuk meningkatkan tingkat partisipasi petani
dalam program pemberdayaan di Kecamatan Paseh adalah dengan meninjau
tingkat penghasilan petani, semakin rendah tingkat penghasilan petani akan
semakin terbuka persepsi petani untuk dapat mengikuti program
pemberdayaan.

ABSTRACT

Keywords: In Paseh Sub district, the preaching strategy of organization of Islamic


Perceptions of farmer community Muhammadiyah is directed to solve the problems of the Ummah,
Participation especially farmers. An organization with an understanding of religion
Organization of certainly provides its own assessment in participating individually for
Islamic Community farmers. For this reason, it is necessary to know farmers 'perceptions in level
Empowerment of participation and relationship of farmers characteristics to level of
participation in empowerment programs carried out by Islamic organizations.
The goal is to obtain a strategic design for the government and Islamic
organizations to increase farmer participation in empowerment programs.
The research method used is a combined research method with concurrent
techniques, namely quantitative research attached to qualitative methods
conducted on samples taken intentionally in the village of Cigentur, Paseh
Sub district as many as 36 farmers. From the results of the study note that
farmers' participation in the empowerment program is classified as being on

865
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

the activities of socialization and implementation. The level of income has a


close relationship with the level of participation in empowerment program
socialization activities. The characteristics of farmers which include age,
level of education, experience in farming, land ownership status, experience
in participating in socialization activities, and experience in implementing
activities do not have a relationship to the level of participation of farmers in
empowerment program socialization activities. While the level of
participation of farmers in the implementation of the empowerment program
activities has no relationship with the characteristics of the farmers studied.
The organization of Islamic community strategy that needs to be carried out
to increase the level of farmer participation in the empowerment program in
Paseh sub district is to review the level of farmers income, the lower the level
of farmers income will be more open to farmers perceptions to be able to
participate in the empowerment program.

Email Korespondensi: utanritonga@gmail.com

PENDAHULUAN
Melis dkk, (2016) Pada Hakekatnya tujuan pembangunan suatu Negara adalah untuk
mensejahterakan masyarakat, demikian halnya dengan Negara Indonesia. Dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa tujuan Pembangunan Nasional Bangsa Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia.
Tanod dkk (2014) Pembangunan dengan pola top-down sudah tidak cocok dalam
menangani permasalahan di daerah-daerah. Dalam perkembangannya pola yang lebih banyak
dipakai adalah pola bottom-up dengan pemberdayaan masyarakat sebagai ujung tombaknya.
Iqbal (2007) mengemukakan pembangunan pertanian merupakan salah satu tulang
punggung pembangunan nasional dan implementasinya harus sinergis dengan pembangunan
sektor lainnya. Pelaku pembangunan pertanian meliputi departemen teknis terkait, pemerintah
daerah, petani, pihak swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya.
Koordinasi di antara pelaku pembangunan pertanian merupakan kerangka mendasar yang harus
diwujudkan guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Rendahnya kemampuan manajemen usaha tani seperti keterbatasan modal, akses pasar,
teknologi pertanian yang masih konvensional, dan lemahnya kelembagaan petani seringkali
menjadi penghambat usaha para petani. Luasan lahan yang relatif kecil dan terfragmentasi
menjadi alasan utama bahwa sebenarnya pemecahan masalah petani menjadi tanggungjawab
individu, kelompok, maupuan lembaga yang berkepentingan untuk mengarahkan pada upaya
pemberdayaan petani kecil agar tumbuh mandiri.
Yusuf B.A (2016) Keberadaan Organisasi Masyarakat (Ormas) di tengah-tengah
masyarakat merupakan suatu realitas yang harus diakui keberadaanya dengan berpola piker
kedepan dan berwawasan kedepan dalam rangka untuk memperkokoh pembangunan di segala
bidang. Sebagaimana bunyi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Masyarakat bahwa yang dinamakan Organisasi Masyarakat (Ormas) adalah
organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatun Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Organisasi dan persyarikatan dengan tujuan dakwah yang ada di masyarakat telah
melakukan hal serupa. Seperti yang dilakukan oleh persyarikatan Muhammadiyah melalui
Majelis Ekonomi baik di tingkat cabang, daerah, maupun wilayah telah dirancang untuk berperan

866
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

dalam problematika ekonomi nasional yang tercetus dalam Muktamar ke-41 di Solo tahun 1985
bersamaan dengan terbentuknya Majelis Ekonomi Muhammadiyah secara resmi (Valent, 2011)
Program-program pengentasan kemiskinan selain langsung ditujukan untuk membantu
masyarakat miskin juga diarahkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui
pemberdayaan. Tetapi menurut Karsidi (2007) pemilihan teknik sosial secara arif dan saling
melengkapi dalam pemberdayaan masyarakat harus dilakukan secara tepat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang mementingkan rakyat untuk menghindari masalah perbedaan harapan
terhadap pengetahuan dan inovasi dari luar masyarakat. (Deswati & Triyanti, 2015) jika
membicarakan pemberdayaan masyarakat maka erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat
tersebut. Untuk itu perlu diukur tingkat partisipasi petani dalam pemberdayaan yang dilakukan
oleh ormas islam. Menurut Lastinawati (2011) sedikit banyaknya partisipasi dipengaruhi oleh
karakteristik sosial ekonomi petani, sehingga diduga terdapat hubungan antara karakteristik
petani dengan partisipasi petani dalam mengikuti program.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


State of Art
Firdausyi (2017) ormas islam Muhammadiyah dalam bidang da’wah, sosial, ekonomi,
kesehatan, dan lain-lain yang secara operasional dilaksanakan melalui berbagai institusi
organisasi meliputi: majelis, badan/lembaga, ortom (Organisasi Otonom), dan amal usaha yang
didirikan. Menurut Jabbar (2007) oramas islam seperti Muhammadiyah melakukan dakwah
salah satunya dengan usaha yang salah satu diantaranya ialah dengan membina dan
memberdayakan petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Dalam mengaktualisasikan program-programnya, Muhammadiyah menggunakan sistem
"organisasi", dimana di dalamnya terdapat proses abstraksi dan transendensi cara beramal dan
berpikir sosial keagamaan Muhammadiyah. Sistem kerja organisasi ini sebenarnya merupakan
sistem kerja yang bersifat cooperative impersonal (kerja kolektif bersama dan tidak hanya
mengutamakan kepentingan individu). sehingga keberhasilannya pun tidak diukur sebagai
keberhasilan individu atau keluarga (trah), tetapi semata-mata sebagai keberhasilan kolektif
impersonal.
Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 dijelaskan pemberdayaan Petani adalah segala
upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik
melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan
sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan
akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani.
Syahyuti (2007); Pujiharto (2010) menyebutkan bahwa pemberdayaan petani dan usaha
kecil di pedesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu
kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan kelompok, karena tidak dilakukan
melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat
kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki.
Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan
lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan budaya yang berjalan. Pendekatan yang
top-down planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak tumbuh.
Pemberdayaan menurut Pujiharto (2010) dapat dilakukan terhadap individual, kelompok
sosial, maupun terhadap komunitas. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa dan
kelompok mereka untuk memperkuat diri dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan,
kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka
sendiri.
Strategi Pemberdayaan Petani menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 pasal 7 ayat
3 dilakukan melalui: a. pendidikan dan pelatihan; b. penyuluhan dan pendampingan; c.
pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian; d. konsolidasi dan jaminan luasan

867
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

lahan Pertanian; e. penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; f. kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan g. penguatan Kelembagaan Petani.
Menurut Anantanyu (2009) peran pihak luar untuk meningkatkan kapasitas petani,
dilakukan melalui: a. Peningkatan pendidikan baik formal maupun non-formal bagi petani yang
mendukung bidang usaha tani atau agribisnis; b. Memfasilitasi dalam berbagai kegiatan
agribisnis; c. Mendorong kemampuan berusaha untuk meningkatkan pendapatan; d.
Memfasilitasi penyediaan sarana kegiatan agribisnis bagi petani; e. Menyediakan sumber-
sumber belajar termasuk informasi yang diperlukan oleh petani.
Menurut (Deswati & Triyanti, 2015) jika membicarakan pemberdayaan masyarakat maka
erat sekali kaitannya dengan partisipasi dari masyarakat tersebut. Mengutip salah satu bentuk
partisipasi yang dikemukakan Kartika (2012) bahwa diantaranya adalah partisipasi dalam
pelaksanaan. Segi positifnya adalah program yang telah direncanakan dapat selesai dikerjakan.
Tetapi segi negatifnya adalah cenderung menjadikan warga masyarakat sebagai objek
pembangunan dimana warga hanya dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk
mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi. Sehingga warga masyarakat tidak
secara emosional terlibat dalam program, yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat
dihindari.
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap pengembangan masyarakat
dimana-mana, seolah-olah menjadi”lebal baru” yang harus melekat pada setiap rumusan
kebijakan dan proposal proyek. Dalam pengembanganya seringkali diucapakan dan ditulis
berulang-ulang tetapi kurang dipraktekan sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi
sepadan dengan arti peran serta, ikutserta keterlibatan, atau proses belajar bersama saling
memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota
masyarakat (Melis dkk, 2016).
Sadono (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor‐faktor yang mempengaruhi
partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), dan faktor dari luar
masyarakat (eksternal). (Deswati & Triyanti, 2015) faktor eksternal yang mempengaruhi
partisipasi yaitu sosialisasi, pelatihan, workshop/ lokakarya dan keberadaan Kelompok Usaha.
Lastinawati (2011) faktor yang mempengaruhi tingkat perbedaan partisipasi dianalisis atas
pendidikan petani, pelatihan yang pernah diikuti, sosialisasi program, status sosial
pendampingan. Status sosial adalah kedudukan petani dilihat dari jabatan yang dilekatkan
padanya, baik dalam masyarakat maupun dalam kelompok.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian gabungan yakni metode kualitatif pada satu
fase dan metode kuantitatif pada fase yang lain secara serempak (concurrent). Strategi penelitian
gabungan yang digunakan ialah embedded konkuren yaitu penelitian kuantitatif
menginduk/didalam/melekat dalam penelitian kualitatif (Yusuf, 2014).
Penentuan lokasi dan sampel penelitian dilakukan secara sengaja dengan memilih sampel
petani yang berada dilingkungan desa Cigentur yang merupakan desa tertinggal tempat
keberadaan ormas islam Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Paseh.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan secara
langsung melalui wawancara untuk menjawab kusioner sehingga diperoleh informasi yang
akurat dalam skala kategorikal. Adapun teknik analisa data yang digunkan yaitu
1. Tingkat Partisipasi Berdasarkan Persepsi
Partisipasi petani program pemberdayaan diukur dengan membandingkan perolehan skor
capaian partisipasi dengan skor partisipasi ideal sesuai indikator partisipasi menggunakan
rumus sebagai berikut:
∑n
i=1 Xi
𝑥= x100% (1)
n
Keterangan:

868
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

X = Persentase nilai skor partisipasi capaian terhadap nilai skor partisipasi ideal
Xi = Jumlah skor partisipasi capaian pada masing-masing kegiatan
n =Jumlah skor partisipasi ideal pada masing-masing kegiatan
Kisaran nilai skor dan interpretasi untuk tingkat partisipasi dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
rendah, sedang dan tinggi dengan perbandingan tingkat partisipasi program ditentukan
sebagai berikut:
Rendah = < 33.3
Sedang = 33.3-66.6
Tinggi = > 66.6
2. Hubungan Karakteristik Petani Terhadap Partisipasi Berdasarkan Persepsi
Untuk mengetahui hubungan variabel karakteristik petani terhadap program pemberdayaan
yang meliputi kegiatan sosialisasi dan pelaksanaan kegiatan, dianalisis menggunakan uji
statistik nonparametrik Chi-Square menggunakan SPSS dengan hipotesis sebagai berikut:
1) Ho = Usia petani tidak memiliki hubungan terhadap partisipasi pada salah satu
kegiatan pemberdayaan
Ha = Usia petani memiliki hubungan terhadap partisipasi pada salah satu
kegiatan pemberdayaan
2) Ho = Tingkat Pendidikan tidak memiliki hubungan terhadap partisipasi pada
salah satu kegiatan pemberdayaan
Ha = Tingkat Pendidikan memiliki hubungan terhadap partisipasi pada salah satu
kegiatan pemberdayaan
3) Ho = Lama bertani tidak memiliki hubungan terhadap partisipasi pada salah satu
kegiatan pemberdayaan
Ha = Lama bertani memiliki hubungan terhadap partisipasi pada salah satu
kegiatan pemberdayaan
4) Ho = Status kepemilikan lahan tidak memiliki hubungan terhadap partisipasi
pada salah satu kegiatan pemberdayaan
Ha = Status kepemilikan lahan memiliki hubungan terhadap partisipasi pada
salah satu kegiatan pemberdayaan
5) Ho = Tingkat penghasilan petani tidak memiliki hubungan terhadap partisipasi
pada salah satu kegiatan pemberdayaan
Ha = Tingkat penghasilan petani memiliki hubungan terhadap partisipasi pada
salah satu kegiatan pemberdayaan
6) Ho = Pengalaman ikut sosialisasi tidak memiliki hubungan terhadap pada salah
satu kegiatan pemberdayaan
Ha = Pengalaman ikut sosialisasi memiliki hubungan terhadap partisipasi pada
salah satu kegiatan pemberdayaan
7) Ho = Pengalaman ikut pelaksanaan tidak memiliki hubungan terhadap partisipasi
pada salah satu kegiatan pemberdayaan
Ha = Pengalaman ikut pelaksanaan memiliki hubungan terhadap partisipasi pada
salah satu kegiatan pemberdayaan

Kriteria pengujian:
Ho diterima jika 2hitung 2tabel maka dan Ha ditolak jika 2hitung 2tabel
Untuk mengukur keeratan hubungan tiap indikator partisipasi diuji dengan menggunakan rumus
koefisien kontingensi sebagai berikut:
2
𝐶=√ (2)
2 + 𝑛
Keterangan:
C = Koefisien Kontingensi

869
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

2= Nilai 2 yang diperoleh


Nilai C yang diperoleh dibandingkan dengan Cmax yang dapat langsung dilakukan dengan
membandingkan dengan tabel C (Deswati dan Triyanti, 2015). Kriteria pengujian jika nilai C <
nilai Cmax atau C tabel maka hubungan kedua variabel kurang kuat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Tabel 1 diketahui tingkat partisipasi petani dalam kegiatan sosialisasi sebesar
39 menunjukkan tingkat partipasi tergolong sedang. Untuk tingkat partisipasi petani dalam
pelaksanaan kegiatan sebesar 39 menunjukkan tingkat partisipasi tergolong sedang. Dapat
dinyatakan bahwa partisipasi petani secara keseluruhan pada program pemberdayaan berada
pada tingkat yang tidak tinggi sesuai harapan.

Tabel 1. Persepsi Tingkat Partisipasi Petani Dalam Program Pemberdayaan.


Kegiatan Sosialisasi Pelaksanaan Kegiatan
Kategori Keterangan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Tidak Ikut 1 2.8 3 8.3 Rendah
Ikut Sebagian 21 58.3 17 47.2 Sedang
Sering Ikut 14 38.9 16 44.4 Tinggi
Total 36 100.0 36 100.0
Partisipasi 85 39 85 39 Sedang
Sumber: data primer diolah

Tabel 2. Nilai Chi Square Berdasarkan Karakteristik Sosial Petani terhadap Tingkat Partisipasi pada
Kegiatan Sosialisasi Pemberdayaan.
Variabel Karakteristik Petani Df Chi square Exact. sig (2-sided) Kesimpulan
1. Usia 2 4.714 0.092 Ho diterima
2. Tingkat Pendidikan 4 3.997 0.242 Ho diterima
3. Lama Bertani 4 0.989 0.886 Ho diterima
4. Status Kepemilikan Lahan 4 5.979 0.170 Ho diterima
5. Tingkat Penghasilan Petani 6 15.925 0.037 Ho ditolak
6. Pengalaman Ikut Sosialisasi 4 2.290 0.653 Ho diterima
7. Pengalaman Ikut Pelaksanaan 4 2.208 0.696 Ho diterima
Sumber: data primer diolah

Berdasarkan Tabel 2 diketahui variabel tingkat penghasilan petani dengan kesimpulan Ho


ditolak dan Ha diterima yang berarti tingkat penghasilan petani memiliki hubungan terhadap
partisipasi pada kegiatan sosialisasi program pemberdayaan yang dilakukan oleh ormas islam.
Sementara variabel lainnya usia, tingkat pendidikan, lama bertani, status kepemilikan lahan,
pengalaman ikut sosialisasi dan pengalaman ikut pelaksanaan dengan kesimpulan Ho diterima
dan Ha ditolak yang berarti variabel yang diteliti tidak memiliki hubungan terhadap tingkat
partisipasi pada kegiatan sosialisasi program pemberdayaan yang dilakukan oleh ormas islam.

Tabel 3. Nilai chi Square Berdasarkan Karakteristik Petani Terhadap Tingkat Partisipasi Pada
Pelaksanaan Kegiatan Pemberdayaan.
Variabel Karakteristik Petani df Chi square Exact. sig (2-sided) Kesimpulan
1. Usia 2 0.971 0.752 Ho diterima
2. Tingkat Pendidikan 4 3.102 0.561 Ho diterima
3. Lama Bertani 4 1.753 0.827 Ho diterima
4. Status Kepemilikan Lahan 4 3.369 0.549 Ho diterima
5. Tingkat Penghasilan Petani 6 5.855 0.415 Ho diterima

870
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

6. Pengalaman Ikut Sosialisasi 4 2.208 0.696 Ho diterima


7. Pengalaman Ikut Pelaksanaan 4 5.255 0.291 Ho diterima
Sumber: data primer diolah

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa seluruh variabel karakteristik dengan kesimpulan


Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada variabel karakteristik petani yang memiliki
hubungan terhadap tingkat partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan program pemberdayaan yang
dilakukan oleh ormas islam.

Tabel 4. Nilai Koefisiensi Kontingensi Variabel Karakteristik Petani Dalam Kegiatan Sosialisasi dan
Pelaksanaan Program Pemberdayaan.
Kegiatan Sosialisasi Pelaksanaan Kegiatan
Variabel Karakteristik Petani
Value Exact sig. Value Exact. Sig
1. Usia 0.340 0.092 0.162 0.752
2. Tingkat Pendidikan 0.316 0.242 0.282 0.561
3. Lama Bertani 0.164 0.886 0.215 0.827
4. Status Kepemilikan Lahan 0.377 0.170 0.293 0.549
5. Tingkat Penghasilan Petani 0.554 0.037 0.374 0.415
6. Pengalaman Ikut Sosialisasi 0.245 0.653 0.264 0.688
7. Pengalaman Ikut Pelaksanaan 0.240 0.696 0.357 0.291
Sumber: data primer diolah

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa hanya variabel tingkat penghasilan terhadap


kegiatan sosialisasi yang memiliki nilai signifikansi < 0.05 yakni sebesar 0.03, yang berarti
bahwa tingkat penghasilan yang rendah memiliki hubungan yang erat dengan tingginya tingkat
partisipasi petani pada kegiatan sosialisasi program pemberdayaan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Berdasarkan persepsi petani di Kecamatan Paseh diketahui secara keseluruhan tingkat
partisipasi petani dalam program pemberdayaan yang dilakukan oleh ormas islam tergolong
sedang dan perlu ditingkatkan.
2. Tingkat penghasilan petani memiliki hubungan yang erat terhadap tingkat partisipasi petani
terhadap kegiatan sosialisasi program pemberdayaan.
3. Karakteristik petani secara umum tidak memiliki hubungan yang erat terhadap tingkat
partisipasi petani dalam program pemberdayaan yang dilakukan oleh ormas islam.

Saran
Tingkat partisipasi petani harus ditingkatkan dengan memperhatikan tingkat penghasilan
petani di daerah pelaksanaan program pemberdayaan karena tingkat penghasilan memiliki
hubungan yang erat dengan tingkat partisipasi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Kemenristekdikti atas hibah penelitian
yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, Sapja., 2009. Partisipasi Petani Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan
Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB.
Bogor

871
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Deswati, R. H dan Riesti Triyanti., (2105). Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (Pump)
Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Perikanan. J. Sosek KP Vol. 10 No. 1 Tahun 2015
Firdausyi, I. R., (2017). Perkembangan Persyarikatan dan Amal Usaha Muhammadiyah Cabang
Merden Purwanegara Banjarnegara. Khazanah Pendidikan Jurnal Ilmiah Kependidikan,
Vol. X, No. 2 (Maret 2017)
Iqbal, M., (2007). Analisis Peran Pemangku Kepentingan dan Implementasinya Dalam
Pembangunan Pertanian. Jurnal litbang Pertanian. 26(3).
Jabbar, U. A., (2007). Peran Muhammadiyah Dalam Pemberdayaan Civil Society Pasca
Reformasi. Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
Tidak dipublikasikan.
Kartika, R. S., (2012). Partisipasi Masyarakat Dalam Mengelola Alokasi Dana Desa (ADD) Di
Desa Tegeswetan dan Desa Jangkrikan Kecamatan Kepil Kabupaten Wonosobo. Jurnal
Bina Praja. Volume 4 No. 3 September 2012. 179 – 188
Karsidi, Ravik., (2007). Pemberdayaan Masyarakat untuk Usaha Kecil dan Mikro (pengalaman
empiris di wilayah Surakarta jawa tengah). Jurnal Penyuluhan. September 2007. Vol. 3
No. 2
Lastinawati, Endang., (2011). Partisipasi Petani dalam Pelaksanaan Program Pengembangan
Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) di Kab. OKU. AgronobiS, Vol. 3, No. 5, Maret 2011
Mursitama, T. N. dkk., (2011). Laporan Pengkajian Hukum Tentang Peran Dan Tanggungjawab
Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
HAM.
Pujiharto., (2010). Kajian Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sebagai
Kelembagaan Pembangunan Pertanian di Pedesaan. Agritech, Vol. XII No. 1 Juni 2010 :
64 – 80
Sadono, Yulian., (2013). Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung
Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Jurnal pembangunan
Wilayah & Kota. Biro Penerbit Planologi Undip Volume 9 (1): 53‐64 Maret 2013
Suparman, Deden., (2012). Kewirausahaan-Sosial Berbasis Organisasi Masyarakat (Ormas)
(Studi Analisis mengenai Pemberdayaan Ekonomi Ummat atas Unit Usaha-Sosial Persis,
NU, dan Muhammadiyah di Kabupaten Garut), Jurnal Istek Edisi Juli, Volume VI No. 1-
2, 2012.
Syahyuti., (2007). Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sebagai
Kelembagaan Ekonomi di Perdesaan. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1,
Maret 2007 : 15-35
Tanod. S.T., dkk., (2014). Partisipasi Masyarakat Kecamatan Madidir Terhadap Program
Pengelolaan Sampah Kota Bitung. Sabua vol.6, no.3: 263 - 272 November 2014
Valent, Etrinaldi. (2011). Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah Islam di Bidang Ekonomi.
Fakultas MIPA dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Riau.
Wihandoko, Agung., (2015). Persepsi dan Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) di Kabupaten Mesuji
(Studi Kasus Kecamatan Tanjungraya). JEP-Vol. 4, N0 2, Juli 2015
Yusuf, A. M. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan. Media
Group. Jakarta

872
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Yusuf B.A, M. (2016). Peran Organisasi Masyarakat Ikatan Pemuda Loktuan Bersatu (Ormas
IPLB) dalam Penyediaan Tenaga Kerja Pada Perusahaan di Kelurahan Loktuan Kecamatan
Bontang Utara. Ejournal Ilmu Pemerintahan, 4 (1) 2016: 428-441

873
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Peluang dan Tantangan Pertanian Era Industri 4.0 dalam Mewujudkan


Kemandirian Pangan di Indonesia
Opportunities and Challenges of Industrial Era 4.0 Farming in Realizing Food
Independence in Indonesia
Asep Suherman
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Wiralodra, Indramayu

ABSTRAK

Kata Kunci: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peluang dan tantangan pertanian era
Alih Fungsi Lahan Industri 4.0 dalam mewujudkan kemandirian pangan dan Kesejahteraan
Kemandirian Pangan petani di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
Kesejahteraan Petani penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan berdisain multiple
Pertanian era industri case studies. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan,
4.0 observasi, wawancara mendalam (indepth interview), mencatat dan
mendokumentasikan data yang diperlukan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa (1) peluang pertanian era industri 4.0 dalam mewujudkan kemandirian
pangan di Indonesia sangat besar (terbuka lebar), karena ditunjang oleh
sumber daya alam yang sangat mendukung (zamrud khatulistiwa), bonus
demografi. (2) Posisi pertanian sangat penting, selama manusia masih
mengkonsumsi pangan hasil dari kegiatan sektor pertanian, sehingga perlu
perhatian khusus. (3) Tantangan pertanian era industry 4.0 dalam
mewujudkan kemandirian pangan di Indonesia adalah kegiatan proses
produksi pangan masih bertumpu pada lahan-lahan petani yang berstatus hak
milik yang sangat heterogen dan sangat rentan akan terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian, sehingga tidak ada kepastian lahan sebagai
tempat produksi pertanian masa depan. (4) Kebijakan pemerintah kurang
berpihak pada sektor pertanian yang ditunjukkan dengan banyaknya alih
fungsi lahan pada lahan-lahan pertanian yang sangat produktif (lahan sawah
berpengairan teknis dan setengah teknis). (5) Alih fungsi lahan sangat
menguntungkan bagi pemilik lahan, maupun investor yang membeli lahan
petani. (6) Solusi untuk kemandirian pangan di Inonesia adalah “untuk
masalah pangan harus dilakukan pada lahan Negara” sehingga penerapan
industri 4.0 dalam sektor pertanian yang sangat membutuhkan data yang
akurat (pertanian presisi) dapat terpenuhi.

ABSTRACT

Keywords: The purpose of this study was to determine the opportunities and challenges
Transfer of Land of the Industrial era 4.0 farming in realizing food independence and welfare
Functions of farmers in Indonesia. The research method used is a qualitative research
Food Independence method with a case study approach and multiple case study designs. Data
Farmer's Welfare collection techniques are carried out with literature study, observation, in-
Industrial Era 4.0 depth interviews (in-depth interviews), recording and documenting the data
Farming needed. The results showed that (1) the agricultural opportunities of the
industrial era 4.0 in realizing food independence in Indonesia were very large
(wide open), because they were supported by natural resources that were very
supportive (emerald equatorial), demographic bonus. (2) The position of
agriculture is very important, as long as humans still consume food resulting
from the activities of the agricultural sector, so it needs special attention. (3)

874
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

The challenge of industrial era agriculture 4.0 in realizing food independence


in Indonesia is that food production activities are still based on farmers' land
which has a very heterogeneous status of ownership and is very vulnerable to
the conversion of agricultural land to non-agricultural land, so there is no
certainty land as a place for future agricultural production. (4) Government
policies are not in favor of the agricultural sector, which is indicated by the
large number of land conversion functions on highly productive agricultural
lands (paddy fields with technical and semi-technical waters). (5) Land use
change is very beneficial for land owners, as well as investors who buy
farmers' land. (6) The solution for food independence in Indonesia is "for
food problems to be carried out on State land" so that the application of
industry 4.0 in the agricultural sector which is in urgent need of accurate data
(precision agriculture) can be fulfilled.

Email Korespondensi : suhermanasep1106@gmail.com

PENDAHULUAN
Pertanian adalah suatu jenis kegiatan pada sebidang lahan yang menggunakan tanaman,
hewan, ikan dan air dengan bantuan sinar matahari oleh petani sebagai pengelola (Mosher,
1963). Oleh sebab itu pertanian dalam arti luas mencakup sub bidang pertanian tanaman pangan,
sub bidang pertanian hortikultura, sub bidang perkebunan, sub bidang kehutanan, sub bidang
peternakan, dan sub bidang perikanan. Peranan petani sangat penting sebagai satu-satunya
penghasil pangan dunia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia, selain kebutuhan
pangan dirinya sendiri.
Selama manusia makan dari hasil-hasil pertanian, maka pertanian sangat dibutuhkan dan
harus eksis (ada) untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia, terkecuali jika manusia
sudah tidak membutuhkan makanan dari hasil-hasil pertanian, karena sudah tergantikan oleh
produk yang lain. Faktanya hingga saat ini, manusia di dunia ini masih makan makanan dari
hasil-hasil pertanian. Artinya produk pertanian belum tergantikan oleh produk lain. Oleh sebab
itu dapat dikatakan bahwa sektor pertanian sebagai pemberi makan dunia (agriculture feeds the
world), perannya sangat penting. Permasalahannya adalah mengapa petani sebagai pemeran
utama atau aktor utama di bidang pertanian umumnya miskin (jauh dari sejahtera) terutama yang
berada di Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Lainnya halnya dengan petani-petani
di Negara maju, seperti : Jepang, Amerika, Korea, dan seterusnya. Mereka dihargai dan hidup
layak. Pertanian di Negara maju dapat menjadi pilihan hidup, bukan karena keterpaksaan.
Jika pertanian Indonesia ke depan, yang senantiasa bersandar pada lahan-lahan pertanian
dengan status hak milik, cepat atau lambat akan habis karena kegiatan alih fungsi lahan pertanian
ke non pertanian yang tidak bisa dicegah. Di sini kurang berpihaknya pemerintah terhadap
eksistensi sektor pertanian yang lebih mengejar pembangunan sektor ekonomi yang tinggi. Hal
ini juga sangat realistik karena kegiatan alih fungsi lahan sangat menguntungkan, baik bagi
petani sebagai pemilik lahan maupun pembeli lahan petani sebagai investor (Asep Suherman,
2013). Sesungguhnya kegiatan fungsi lahan ini, tidak secara langsung dilakukan oleh petani
pemilik, melainkan dilakukan oleh investor (pembeli lahan petani) dengan mengalihkan
penggunaan lahannya, dari sektor pertanian menjadi sektor yang lain seperti : kawasan
perumahan, kawasan industry dan lainnya, dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
yang mendesak setelah mendapat perizinan dari pemerintah setempat.
Oleh sebab itu perlu dicarikan solusi yang berupa jaminan terhadap eksistensi pertanian
era industri 4.0 yaitu berupa jaminan pengusaan dan pemanfaatan lahan pertanian bagi petani
sepanjang masa dengan luasan yang memadai untuk menopang kehidupannya menuju petani
yang sejahtera dalam rangka memenuhi kebutuan pangan Negara (kemandirian pangan) dan juga
pangan dunia. Untuk itu dibutuhan kebijakan pemerintah berupa keberpihakan atau perlakukan

875
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

yang adil terhadap pertanian dibanding dengan sektor lainnya seperti bidang ekonomi (Suherman
Asep dan Ujang Suratno, 2014; Suherman Asep, 2016).

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Pertanian Era Industri 4.0 (Pertanian Presisi/Precission Agriculture dan Pertanian
cerdas/smart farming)
Konsep pengembangan pertanian yang banyak dikembangkan pada saat ini adalah konsep
pertanian cerdas (smart farming) dan pertanian presisi (precision agriculture). Konsep ini
merujuk pada penerapan teknik informasi komputer (TIK) pada bidang pertanian. Tujuan utama
penerapan terknologi tersebut adalah untuk melakukan optimasi berupa peningkatan hasil
(kualitas dan kuantitas) dan efisiensi penggunaan sumber daya (A. Walter, R. Finger, R. Huber,
and N. Buchmann, 2017).
Ada empat desain prinsip industri 4.0. menurut Hermann, et al. (2016) yaitu :
1. interkoneksi (sambungan) yaitu kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan orang untuk
terhubung dan berkomunikasi satu sama lain melalui Internet of Things (IoT) atau Internet
of People (IoP). Prinsip ini membutuhkan kolaborasi, keamanan, dan standar.
2. transparansi informasi merupakan kemampuan sistem informasi untuk menciptakan salinan
virtual dunia fisik dengan memperkaya model digital dengan data sensor termasuk analisis
data dan penyediaan informasi.
3. bantuan teknis yang meliputi (a) kemampuan sistem bantuan untuk mendukung manusia
dengan menggabungkan dan mengevaluasi informasi secara sadar untuk membuat keputusan
yang tepat dan memecahkan masalah mendesak dalam waktu singkat; (b) kemampuan sistem
untuk mendukung manusia dengan melakukan berbagai tugas yang tidak menyenangkan,
terlalu melelahkan, atau tidak aman; (c) meliputi bantuan visual dan fisik.
4. keputusan terdesentralisasi yang merupakan kemampuan sistem fisik maya untuk membuat
keputusan sendiri dan menjalankan tugas seefektif mungkin.
Pertanian era Revolusi Industri 4.0 terdiri atas pertanian presisi (precision agriculture) dan
sistem pelacakan (traceability system) menuntut keakuratan data. Pertanian presisi
menggunakan pendekatan dan teknologi yang memungkinkan perlakukan presisi pada setiap
simpul proses pada rantai bisnis pertanian dari hulu ke hilir sesuai kondisi (lokasi, waktu, produk,
dan konsumer) spesifik yang dihadapi. Sistem pelacakan mengarahkan kepada perekaman
(akuisisi) data yang presisi terkait dengan rantai transformasi produk dan nilai tambah objek
(komoditas/produk pertanian) dari hulu ke hilir serta dokumentasi proses dan aktor yang terlibat
pada rantai produksi tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan dalam pendekatan pertanian presisi, ada empat pilar
utama dalam pendekatan pertanian presisi, yaitu : (1) Memandang aktivitas pertanian secara
holistik dan menyeluruh dari hulu ke hilir sebagai rantai proses yang terpadu dan
berkesinambungan untuk memastikan aliran konversi produk pertanian (tanaman, ternak, ikan,
dan turunannya) dengan aman, efisien, dan efektif dari lahan hingga ke meja makan. (2)
Memedulikan keragaman (heterogenitas) dan dinamika lokasi, waktu, objek bio, iklim, geografi,
kultur, pasar, dan konsumen. (3) Mendayagunakan teknologi yang memungkinkan pengamatan
dan perlakuan presisi. (4) Berbasis kepada data, informasi, dan pengetahuan yang sahih
(Seminar, K.B., (2016).
Kemudian Seminar, K.B, (2016) menyatakan bahwa dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas di mana pasar dan konsumen semakin cermat, peduli, dan teliti terhadap
produk pertanian yang dibeli maka kemudahan keterlacakan (treaceability) menjadi tuntutan
utama. Proses dan produk pertanian juga harus memenuhi standardisasi mutu dunia yang terukur
dan tertelusur sebagai syarat yang menentukan layak tidaknya suatu produk pertanian itu
diekspor atau diimpor dari suatu negara ke negara lain.
Ada lima teknologi utama yang menopang implementasi Industri 4.0, yaitu : Internet of
Things, Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, robotic technology dan sensor, serta

876
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

teknologi 3D Printing. Kesemuanya itu mentransformasi cara manusia berinteraksi hingga pada
level yang paling mendasar, juga diarahkan untuk efisiensi dan daya saing industry.
Internet of Thinsgs (IoT) adalah mengkomunikasikan benda-benda di sekitar kita satu
dengan yang lainnya melalui jaringan internet. Konteks dengan pertanian dengan adanya
aplikasi seperti Smart Farming yang mempermudah petani dalam memonitor dan kontrol
kelembapan tanah, penyiraman, pemupukan.
Artificial Intelligence adalah suatu sistem yang terkoneksi pada sensor tanah ke jaringan
melalui saluran tv yang tidak terpakai. Sensor tanah dapat menghasilkan gambar kondisi pada
lahan petanian. Apakah lahan itu masih kosong, bagian mana yang memiliki kadar asam tinggi
atau lebih banyak air, dan lain-lainnya.
Untuk mendukung revolusi industri 4.0, sektor pertanian yang akan datang sedang
bereksperimen dengan model dan inovasi bisnis baru, yaitu : pertanian presisi, pertanian vertikal,
pertanian pintar (smart farming). Data besar, sensor dan drone, alat analisis, internet pertanian
dan otomatisasi alsintan adalah beberapa teknologi yang mendukung industri 4.0. Pemanfaatan
Internet of Thing (IoT) dalam internet pertanian adalah untuk meng-connect benda-benda sekitar
kita dengan internet melalui smarphone maupun gadget lainnya.

Pertanian Kolektif (Colective Farming) dan Perusahaan Pertanian (Corforate


Farming) yang Mensejahterakan Petani
Yang terpenting bagi petani saat ini adakah adanya jaminan penguasaan dan penggunaan
lahan sepanjang waktu selama ia hidup, dalam luasan lahan yang cukup luas juga. Menurut
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dikatakan bahwa penguasaan lahan minimal bagi petani agar hidupnya dapat
sejahtera minimal 2,0 ha baik lahan sawah maupun lahan tegalan (ladang).
Yang terjadi selama ini adalah bagi petani penggarap adalh lahan sewapun mereka tidak
mempermasalahkan, selama biaya sewanya tetap terjangkau; tetapi yang harus kita pikirkan dan
pertimbangkan adalah jika tidak ada biaya untuk sewa lahan tentunya pendapatan petani akan
jauh lebih besar, sehingga peluang mereka menjadi petani yang sejahtera menjadi lebih besar.
Jadi bisnis lahan bagi pemilik modal sangat menguntungkan (menggiurkan), karena harga tanah
senantiasa meningkat terus, begitu juga sewa lahannya.
Di sisi lain bagi mereka (pemilik lahan/investor) tidak ada biaya pengelolaan, karena
semuanya sudah ditanggung (dibebankan) kepada petani penggarap, kecuali pajak yang harus
dibayarkan oleh pemilik lahan. Itu pun besarnya tidak seberapa, jika dibandingkan dengan sewa
lahan yang diperoleh pemilik lahan. Biaya sewa lahan suatu saat dapat berubah sesuai keinginan
pemilik lahan (investor). Dalam hal ini posisi (bargaining position) petani sangat lemah.
Kondisi saat ini, pemilikan lahan petani secara nasional di bawah 0,5 ha. Di Pulau jawa di
bawah 0,25 ha. Bagaimana petani bisa sejahtera, dengan luas yang relatif sempit ?. Oleh sebab
itu peluang lahan pertanian dijual menjadi besar. Artinya peluang alih fungsi lahan pertanian ke
non pertanianpun menjadi besar juga. Dalam hal ini, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
yang sebenarnya dilakukan oleh pembeli lahan atau investor yang tempat tinggalnya di luar
kabupaten dimana lahan itu berada (Suherman A., 2013).
Permasalahan lain adalah umumnya petani di Indonesia tergolong dalam kelompok petani
gurem dengan penguasaan lahan yang sempit serta pola manajemen yang individual dan
tradisional, menyebabkan usaha pertanian di Indonesia tidak dapat mencapai skala yang
diinginkan (Setiawan, 2008). Sejalan dengan pendapat Pasandaran E. dan Muhammad Syakir
(2018) bahwa pertanian di Indonesia dapat digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu pertanian
besar dan pertanian rakyat. Pertanian rakyat umunya adalah pertanian keluarga (family farm)
dengan ciri-ciri usahatani berskala kecil, berorientasi lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga (subsisten) atau pasar lokal. Dengan dapat dikatakan bahwa pertanian rakyat dewasa ini
identik dengan pertanian gurem.

877
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Dalam kondidi seperti itu maka kontinuitas, kualitas, dan kuantitas suatu produk pertanian
menjadi sulit untuk diwujudkan oleh petani-petani gurem atau pertanian rakyat. Salah satu cara
untuk mengatasi hal tersebut menurut Suherman A., (2017) adalah dengan cara kerjasama
(kooperatif) antar petani gurem dalam pengelolaan usaha pertanian dengan mengubah struktur
manajemen usaha pertanian dari semula secara individual menjadi manajemen bersama
(kolektif) yaitu usaha individual ke usaha kolektif (collective farming). Dengan pertanian
kolektif maka kontinuitas, kualitas, dan kuantitas dapat terwujud sebagaimana diharapkan oleh
pasar modern (Setiawan I, 2003).
Di samping itu Kerjasama tersebut akan membuat usaha pertanian lebih efisien dan
memiliki akses ke pasar yang lebih luas dalam bentuk seperti perusahaan (corporate farming).
Konsep corporate farming ini merupakan suatu langkah strategis agar petani gurem dapat
bersaing dalam pasar modern dan global saat ini dengan cara melakukan kontrak dengan pembeli
(buyer). Dengan demikian dapat dikatakan corforate farming merupakan usaha penggabungan
kekuatan dari para petani individual untuk membentuk suatu kelompok yang memiliki visi maju
bersama. Prinsip usahatani kelompok merupakan usaha dari petani, oleh petani dan untuk petani.
Dengan adanya penggabungan kekuatan ini, maka akan terbentuk sinergi dalam peningkatan
produksi dan produktifitas yang mampu secara stabil memenuhi kebutuhan pasar, baik dari sisi
jumlah, kualitas maupun keberlangsungan usahanya (Suherman A, 2018).
Selanjutnya untuk mendukung keberlanjutan (sustainability) pola di atas harus didukung
dengan adanya komitmen dan sinergitas berbagai pihak yang berkepentingn seperti antara lain :
Pemerintah, Petani Buah Lokal, Home Industri Buah Lokal, Perguruan Tinggi, Lembaga Riset,
Lembaga Keuangan, dan Investor dan seterusnya. Secara sederhana keberlanjutan upaya
membangun produksi pangan dalam persaingan global era industri pertanian 4,0 menurut
Suherman A. (2018) dapat dijelaskan melalui Gambar 1.

SISTEM PEMASARAN PRODUK


JAMINAN PRODUKSI PERTANIAN
PERTANIAN PERTANIAN KOLEKTIF (KELOMPOK
KUANTITAS, KUALITAS, DAN PETANI BUAH LOKAL),
KONTINYUITAS PERTANIAN KORPORASI DAN KONTRAK
(BAIK DALAM BENTUK SEGAR MAUPUN
OLAHAN)

KEBERLANJUTAN PROGRAM (SUSTAINABILITY PROGRAM) :


KOMITMEN dan SINERGITAS
(Pemerintah, Petani Buah Lokal, Home Industri Buah Lokal, Perguruan
Tinggi, Lembaga Riset, Lembaga Keuangan, dan Investor)

Gambar 1. Konsep 6 K + 1S (Kuantitas, Kualitas, Kontinuitas, Kolektifitas, Korporasi/Kontrak dan


Komitmen) dan Sinergitas dalam Mendukung Keberlanjutan Produksi dan Pemasaran Buah Lokal (Segar
dan Olahan)

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus dan berdisain multiple case studies. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
studi kepustakaan, observasi, wawancara mendalam (indepth interview), mencatat dan
mendokumentasikan data yang diperlukan.

878
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peluang
Beberapa kelemahan disektor pertanian yang masih dianggap mempunyai peluang untuk
diperbaiki antara lain adalah : (a) rendahnya hasil komoditi pertanian diwilayah-wilayah tertentu
diluar Jawa, ( b) regulasi ekspor dan impor komoditi pertanian tertentu seperti komoditi pangan,
dan komoditi hortikultura yang justru menjadi kendala dalam penguatan daya saing, dan (c) luas
usahatani yang umumnya kecil-kecil (kurang dari 0,5 ha) menyulitkan terwujudnya skala
ekonomi (Pasandaran E, Haryono dan Suherman (2014).
Untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional termasuk daya saing komoditi pertanian
diperlukan klaster wilayah yang berbeda yang selain mempertimbangkan pendekatan pulau-
pulau besar juga mempertimbangkan wilayah wilayah perbatasan baik perbatasan darat maupun
perbatasan pulau-pulau kecil terluar, dan pulau-pulau kecil lainnya yang jumlahnya sekitar
17.500 pulau. Posisi geopolitik wilayah perbatasan baik darat maupun pulau-pulau kecil terluar
menjadi sangat strategis dalam memperkuat daya saing bangsa mengingat keterkaitannya dengan
negara lain dan perannya untuk menjaga keutuhan NKRI.
Peluang pertanian era industri 4.0 dalam mewujudkan kemandirian pangan di Indonesia
sangat besar (terbuka lebar), karena ditunjang oleh sumber daya alam yang sangat mendukung
(zamrud khatulistiwa), bonus demografi. Posisi pertanian sangat penting, selama manusia masih
mengkonsumsi pangan hasil dari kegiatan sektor pertanian, sehingga perlu perhatian khusus.
Bertani kini tidak perlu lagi sulit, yang paling penting bagaimana caranya untuk memulai
karena yang menjadi pertanyaan saat ini adalah “bukan masalah kita bisa” tetapi “apakah kita
mau untuk meraih kedaulatan pangan”. Harus kita tanamkan dalam benak kita bahwa pertanian
adalah masa depan anak-anak muda Indonesia karena petani merupakan profesi yang tidak ada
matinya selama manusia masih hidup dan membutuhkan makan dari hasi-hasil pertanian.
Era revolusi industri yang ke-empat atau disebut juga Industri 4.0, ditandai dengan
penggunaan mesin-mesin otomasi yang terintegrasi dengan jaringan internet. Sektor pertanian
juga perlu beradaptasi untuk menjawab tantangan ke depan. "Melalui implementasi Industri 4.0
di sektor pertanian, diharapkan proses usahatani menjadi semakin efisien, sehingga terjadi
efisiensi, peningkatan produktivitas, dan daya saing. Ke depan olah lahan, tanam, panen hingga
pengolahan dilakukan menggunakan remote control dari rumah, maka diperlukan sumberdaya
manusia yang handal dan mumpuni. Siapa lagi, kalau bukan anak-anak muda yang kini,
umumnya sedang menimba ilmu di berbagai lembaga pendidikan dari TK (Taman Kanank-
kanak) hingga PT (Perguruan Tinggi (PT), karena petani yang ada sekarang adalah para petani
berusia tua, pendidikannya umumnya rendah tetapi sarat dengan pengalaman, baik pengalaman
yang manis maupun yang pahit.
Konsep dasar industri 4.0 ini memberikan ruang seberapa besar sumber daya manusia
dapat memanfaatkan peluang kemudahan di segala bidang dengan teknologi digital tinggi yang
dapat meningkatkan kinerja. Dengan demikian sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang
adaptif terhadap perkembangan teknologi yang ditawarkan, bagi petani kecil perlu difasilitasi
sehingga mereka terbantu dan dapat memanfaatkannya untuk meningkatakan produksi dan
produktivitas hasil usaha-taninya.
Anak-anak muda merupakan solusi yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas
pertanian Indonesia. Selain untuk melakukan regenerasi petani muda, anak-anak muda dipercaya
memiliki banyak ide kreatif untuk menciptakan produk inovatif yang bernilai jual tinggi. Saat
ini waktunya untuk meningkatkan nilai produk pertanian melalui optimalisasi value chain, yakni
melakukan hilirisasi hasil panen pertanian.

879
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tantangan
Tantangan pertanian era industry 4.0 dalam mewujudkan kemandirian pangan di Indonesia
adalah kegiatan proses produksi pangan masih bertumpu pada lahan-lahan petani yang berstatus
hak milik yang sangat heterogen dan sangat rentan akan terjadinya alih fungsi lahan pertanian
ke non pertanian, sehingga tidak ada kepastian lahan sebagai tempat produksi pertanian masa
depan.
Kebijakan pemerintah kurang berpihak pada sektor pertanian yang ditunjukkan dengan
banyaknya alih fungsi lahan pada lahan-lahan pertanian yang sangat produktif (lahan sawah
berpengairan teknis dan setengah teknis).
Sebagian besar petani berusia lebih dari 40 tahun dan lebih dari 70 persen petani di
Indonesia hanya berpendidikan setara SD bahkan di bawahnya. Pendidikan formal yang rendah
tersebut menyebabkan pengetahuan dalam pengolahan pertanian tidak berkembang serta
monoton. Petani hanya mengolah pertanian seperti biasanya tanpa menciptakan inovasi-inovasi
terbaru demi peningkatan hasil pangan yang berlimpah.
Penyebaran penduduk dan pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya merata. Hal
tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya “Lahan Tidur” atau lahan yang belum tergarap oleh
masyarakat di daerah-daerah pedalaman, sementara, lahan di suatu wilayah strategis justru
menjadi rebutan dengan harga mahal. Mengingat harga tanah yang semakin melonjak tinggi,
luas kepemilikan lahan pertanian para petani di Indonesia pun rata-rata kecil. Bahkan, sebagian
besar petani hanya bisa menggarap lahan milik orang lain sehingga hasilnya pun harus dibagi
dua. Selain itu, dampak akibat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian menyebabkan
petani kekurangan lahan untuk bercocok tanam.
Sistem alih teknologi dari tradisional menjadi modern dalam pengelolaan pertanian belum
mampu diterima secara luas oleh para petani yang masih banyak memilih menggunakan
peralatan tradisional dibanding peralatan teknologi canggih. Selain karena keterbatasan biaya,
keterbatasan pengetahuan juga menjadi faktor yang menghambat laju teknologi untuk merambah
sektor pertanian secara luas. Di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan
edukasi yang cukup bagi para petani agar dapat memajukan sektor pertanian di era revolusi
industri 4.0 ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan mungkin berupa memberikan penyuluhan
besar-besaran dan melakukan demo penggunaan alat pertanian yang dilengkapi dengan teknologi
modern.
Menurut Tanaya (2018), yang menjadi rintangan utama dalam dunia pertanian di Indonesia
adalah :
1. Semakin sempitnya lahan untuk pertanian karena berubah fungsi dari lahan pertanian
menjadi tanah komersial atau perumahan yang dilakukan pengembang.
2. Perubahan cuaca yang tidak dapat prediksi yang membuat petani sering gagal panen karena
tiba-tiba hujan dan banjir sehingga panen pun harus dipercepat
3. Masalah sosial seperti tidak ada regeransi anak muda yang ingin jadi petani karena
dianggapnya pekerjaan petani tidak mensejahterakan.
4. Tanah yang berkurang tiap tahun sekitar 96.500 ha karena petani menjual tanahnya kepada
pengembang.
5. Berkurangnya atau hilangnya sumber-sumber pertanian tanpa adanya diversifikasi pangan
Permasalahannya adalah manakala generasi kita, yang tadi disebut dengan anak-anak
muda telah siap untuk terjun ke dunia pertanian yang sangat menjanjikan untuk sejahtera, dimana
mereka akan mengimplementasikan (mempraktekkan) ilmunya ? Mereka tidak punya lahan,
rata-rata orang tua mereka petani gurem atau bukan anak petani. Jika orang tua mereka punya
lahan pertanian akan tidak efisien karena suatu saat akan dilakukan bagi baris, sehingga luasnya
menjadi sangat tidak efisien dan sangat jauh dari bias sejahtera.
Di sisi lain, sering kali petani kita saat ini banyak dikeluhkan dengan masalah kekurangan
modal usaha maka mungkin juga suatu saat banyak investor ingin menanamkan modalnya di
sektor pertanian, tetapi yang terjadi tidak ada yang orang mau menjadi petani dan lahannya tidak

880
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

ada karena sudah beralih fungsi ke lahan non pertanian. Alih fungsi lahan sangat
menguntungkan bagi pemilik lahan, maupun investor yang membeli lahan petani (Suherman
Asep, 2013).

Permasalahan dan Solusi


Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia harus selalu dapat dipenuhi setiap saat. Tingkat
kebutuhan pangan selalu berbanding lurus dengan jumlah populasi. Oleh sebab itu, peningkatan
jumlah populasi manusia harus selalu bisa diimbangi oleh peningkatan ketersediaan pangan.
Pemenuhan pangan menghadapi beberapa tantangan diantaranya adalah peningkatan populasi
yang berarti peningkatan kebutuhan, urbanisasi yang mengakibatkan penurunan jumlah petani
dan perubahan pola makan, keterbatasan sumberdaya (lahan dan air), perubahan iklim, dan
pemborosan makanan.
Era revolusi industri 4.0 saat ini khususnya di Indonesia belum identik dengan pertanian
4.0, karena pertanian era industri 4.0 mengandalkan robot, sensor, peta digital real time terkait
kondisi air, hara tanah bahkan hama untuk aplikasi sumber air, pupuk dan pestisida dengan tepat,
serta pemanfaatan lebih optimal energi matahari dan air laut untuk menghasilkan pangan. Jadi
dalam era Revolusi Industri 4.0 saat ini pertanian kita masih bermimpi, tetapi untuk memulai
membangunn pertanian Indonesia 4.0 adalah sesuatu hal yang sangat penting.
Oleh sebab itu perubahan paradigma pertanian di era 4.0 ini menjadi sangat penting, yaitu
mengubah pertanian konvensional menjadi pertanian yang efisien dan efektif dengan
menggunakan pendekatan teknologi informasi. Karena ketika pemerintah gagal menyiapkan
generasi penerus di bidang pertanian dapat dikatakan bahwa pemerintah telah gagal menjamin
keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang akan datang.
Pendekatan persiapan generasi pengelola pertanian era sekarang bukan dengan melahirkan
sebanyak-banyaknya buruh tani yang langsung memanggul pacul dan menanam padi di di sawah,
tetapi dengan memastikan bahwa di suatu wilayah atau desa terdapat tenaga ahli (usia muda)
yang mengerti cara-cara menggunakan drone dan manajemen farm ataupun lahan-lahan
pertanian.
Ketika petani millenial itu mampu berlari di era yang memaksa kita untuk berlari, sebuah
sektor pertanian impian dan berkelanjutan akan dirasakan oleh Indonesia pada masa yang akan
datang. "Kalau tidak kita siapkan dari sekarang, tidak menutup kemungkinan tenaga kerja asing
akan bekerja di sektor pertanian kita. Oleh sebab itu salah satu upaya untuk meningkatkan
kualitas pertanian adalah program pendampingan mahasiswa dan penumbuhan wirausahawan
muda pertanian atau mengkaji lagi konsep PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), PPM ( Penyuluh
Pertanian Madya) dan PPS (Penyluh Pertanian Spesialis).
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor ekonomi yang diharapkan pemerintah mampu
bersaing di era revolusi industri 4.0 khususnya melalui sektor makanan dan minuman. Oleh
karena itu, ketersediaan lahan pertanian sangat penting untuk mencukupi kebutuhan pangan
nasional. Untuk itu, maka implementasi program pertanian berkelanjutan penting dilakukan
dengan tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, selain untuk
penyediaan pangan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Upaya
peningkatan produksi di sektor pertanian ini perlu memperhatikan kuantitas, kualitas dan
kontinyuitas dengan harga produk yang murah agar bisa bersaing dengan produk-produk
pertanian yang dihasilkan Negara lain (dunia).
Untuk mendukung industri 4.0 di sektor pertanian maka perlu dilakukan beberapa upaya
dari pemerintah berupa peningkatan petani di usia produktif, meningkatan pengetahuan dan
teknologi informasi bagi petani. Selain itu, juga peningkatan peran petani dalam penentuan harga
komoditas.
Di lain pihak pangan sebagai kebutuhan dasar manusia harus selalu dapat dipenuhi setiap
saat. Tingkat kebutuhan pangan selalu berbanding lurus dengan jumlah populasi. Oleh sebab itu,

881
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

peningkatan jumlah populasi manusia harus selalu bisa diimbangi oleh peningkatan ketersediaan
pangan.
Pemenuhan pangan menghadapi beberapa tantangan diantaranya adalah peningkatan
populasi yang berarti peningkatan kebutuhan, urbanisasi yang mengakibatkan penurunan jumlah
petani dan perubahan pola makan, keterbatasan sumberdaya (lahan dan air), perubahan iklim,
dan pemborosan makanan.
Di sisi lain, data dari sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan perubahan signifikan
jumlah keluarga petani di Indonesia. Pada tahun 2003 jumlah keluarga petani sebanyak 31 juta
keluarga. Sedangkan pada tahun 2013 jumlah tersebut menurun menjadi 26 juta keluarga. Terjadi
penurunan sebanyak 5 juta keluarga petani dalam jangka 10 tahun atau dapat dikatakan terdapat
satu keluarga petani Indonesia yang beralih pekerjaan setiap menit (BPS, 2013). Seiring dengan
itu, luas lahan pertanian juga mengalami penurunan karena pengalihan fungsi lahan. Data dari
Departemen Pertanian menyatakan bahwa telah terjadi pengalihan fungsi lahan sawah sekitar
187.720 hektar setiap tahun (M. Iqbal dan Sumaryanto, 2007).
Solusi untuk kemandirian pangan di Inonesia adalah “untuk masalah pangan harus
dilakukan pada lahan Negara” (Suherman Asep dan Ujang Suratno, 2014), sehingga penerapan
industri 4.0 dalam sektor pertanian yang sangat membutuhkan data yang akurat (pertanian
presisi) dapat terpenuhi.
Agroindustri adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku,
merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Secara eksplisit
pengertian Agroindustri adalah kegiatan industri yang memproses bahan nabati (yang berasal
dari tanaman) atau hewani (yang dihasilkan oleh hewan) menjadi suatu produk baru. Proses yang
digunakan mencakup pengubahan dan pengawetan melalui perlakuan fisik atau kimiawi,
penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Produk Agroindustri ini dapat merupakan produk
akhir yang siap dikonsumsi ataupun sebagai produk bahan baku industri lainnya (Austin, 1981).
Agroindustri merupakan bagian dari kegiatan industri pertanian sejak produksi bahan
pertanian primer, industri pengolahan atau transformasi sampai penggunaannya oleh
konsumenmeliputi kegiatan yang saling berhubungan (interelasi) produksi, pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, pendanaan, pemasaran dan distribusi produk pertanian
(Soekartawi, 2000). Agroindustri merupakan bagian dari lima subsistem agribisnis yaitu
subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan. usaha tani, pengolahan hasil, pemasaran,
sarana dan pembinaan (Bungaran Sragih, ).
Pertanian tanpa limbah (zero waste agriculture) akan menghasilkan suatu lingkungan
bersih dan sehat. Lingkungan bersih dan sehat, untuk jangka panjang akan menjadi budaya
masyarakat Indramayu dan masyarakat bangsa Indonesia. Lingkungan bersih maka
masyarakatnya sehat. Masyarakat yang sehat maka akan beraktifitas artinya aktif dan kreatif
sehingga akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Dengan menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia akan mendapatkan penghasilan atau pendapatan/
penerimaan yang akan mensejahterakan masyarakat (Suherman Asep, 2017).
Kesempatan desentralisasi pembangunan dan kemudahan akses terhadap informasi
semakin tinggi dalam revolusi industri 4.0. Revolusi industri sebelumnya, baik revolusi 1.0, 2.0,
dan 3.0, belum mampu menyelesaikan berbagai masalah sosial, ketimpangan ekonomi, dan
lingkungan. Bahkan dalam beberapa hal memperparah masalah tersebut. Munculnya revolusi
industri 4.0 memungkinkan berbagai kelompok kepentingan berkomunikasi dan
mengembangkan inovasinya, salah satu bentuk penyelesaian masalah tersebut yaitu social
innovation (Agustina, N.K.A).
Pembangunan yang makin maju seiring dengan meningkatnya kualitas sumber daya
manusia. Akan tetapi, masalah sosial masih banyak yang mengintai dan terus bertambah. Seperti
isu youth unemployment. yaitu tenaga kerja yang berusia 15 hingga 24 tahun yang tidak bekerja
dan sedang mencari pekerjaan. Padahal usia muda merupakan masa yang penting untuk
melakukan pengembangan diri (Agustina N.K.A, a).

882
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Generasi millennial yang dapat dikatakan sebagai native teknologi digital, memiliki
potensi lebih besar untuk membuat inovasi dibidang teknologi. Isu youth unemployment, salah
satunya dapat tangani dengan pengembangan peluang bagi pemuda untuk membuat sebuah
inovasi yang sesuai dengan kondisi di sekitarnya. Negara yang selalu diharapkan untuk
menyelesaikan berbagai masalah
Pembangunan, sosial, dan ekonomi, untuk saat ini semakin sulit. Di sisi lain, kekuatan civil
society pun semakin menguat. Didukung dengan berkembangnya teknologi digital, kekuatan
tersebut semakin terlihat dengan kemudahan penyampaian pendapat dan juga berkelompok.
Terutama saat ini berbagai gerakan di media sosial pun banyak digerakkan oleh pemuda.
Social innovation merupakan sebuah strategi yang dapat dilakukan oleh setiap orang, baik
dari kelompok masyarakat, organisasi sosial, pemerintah, dan lainnya. Proses mewujudkannya
pun perlu melibatkan berbagai orang dengan latar belakang berbeda dan sektor yang berbeda
pula.
Terdapat beberapa peluang yang akan pengembangan revolusi industri 4.0 dan
memberikan manfaat bagi masyarakat di ASEAN. Seperti pertama yaitu meningkatkan
kesejahteraan melalui produktivitas. World Economic Forum dan Asian Development Bank
(ADB) (2017) menghitung bahwa revolusi industri 4.0 akan memberikan dampak ekonomi
mencapai $220-625 miliar setiap tahunnya kepada ASEAN. Angka tersebut sangat besar dan
dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Kegiatan ekonomi yang semakin banyak akan
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi ketimpangan yang ada
(Agustina N.K.A, Okt III).
Hal ini akan dapat dicapai dengan meningkatnya pilihan bagi pelanggan, biaya produksi
semakin murah, sehingga berbagai layanan dan produk dapat diakses oleh masyarakat dari
berbagai kelas sosial.
Kedua yaitu kekuatan dorongan terhadap inklusivitas ekonomi. Revolusi industri 4.0 akan
memungkinkan masyarakat untuk dapat saling berkomunikasi satu sama lain, bekerja sama,
bermitra dalam kegiatan ekonomi, serta kemudahan terhadap akses terhadap hal yang
sebelumnya sulit didapatkan. Inklusivitas ekonomi akan dapat tercapai dengan semakin
mudahnya pertukaran informasi.

PENUTUP
1. Peluang eksistensi pertanian era Industri 4.0 dalam mewujudkan kemandirian pangan di
Negara Indonesia sangat terbuka, bahkan pada tingkat dunia karena Indonesia memiliki
keunggulan dalam sumber daya alam dan sumber daya manusia yang merupakan bonus
demografi.
2. Tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kemandirian pangan pada pertanian Era
Industri 4.0 adalah adanya jaminan penggunaan dan pemanfaatan lahan pertanian bagi petani
sepanjang zaman dengan luasan yang layak dan memadai minimal 2,0 ha per petani, serta
jaminan pasar yang layak untuk setiap komoditas yang dihasilkan petani.
3. Solusi : untuk pangan harus dilakukan pada lahan Negara, yang jumlah luasannya cukup
untuk memenuhi pangan Negara, di samping pertanian pada lahan milik yang masih eksis
hingga saat ini. Untuk itu perlu perlu keberadaan lahan pertanian pada lahan Negara, karena
pertanian pada lahan status hak milik , suatu saat akan habis karena terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Rektor Universitas Wiralodra yang telah
memberi dukungan untuk mengikuti Seminar Lokakarya FKPTPI Tahun Anggaran 2019.

883
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

DAFTAR PUSTAKA
Agustina Nitia, Kala Ayu. Peluang Sosial Innovation dalam Revolusi Industri 4.0 di ASEAN.
Dimana Posisi Indonesia. Cetakan Pertama. Forbil Institute. Yogyakarta. file:///C:/Users/
ACER/Downloads/Forbil_
Ebook_Series_Nov-II_ Peluang_Nitya%20A.pdf.
Agustina Nitia, Kala Ayu. Persaingan Industri 4.0 di ASEAN. Dimana Posisi Indonesia. Cetakan
pertama. Forbil Institute. Yogyakarta. file: //C: /Users /ACER/Downloads/
Forbil_Ebook_Series_Okt-III_Persaingan Nitya%20A.pdf
A. Walter, R. Finger, R. Huber, and N. Buchmann, “Opinion: Smart farming is key to developing
sustainable agriculture,” Proc. Natl. Acad. Sci., vol. 114, no. 24, pp. 6148–6150, 2017.
Austin, J.E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. The Johns Hopkins University Prss. London.
BPS – Statistics Indonesia, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013. Badan Pus. Stat., vol. 1, pp.
1–30, 2013.
Hermann, M., Pentek, T., & Otto, B. 2016. Design Principles for Industrie 4.0 Scenarios.
Presented at the 49th Hawaiian International Conference on Systems Science.
M. Iqbal dan Sumaryanto, 2007. “Stategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu
Pada Partisipasi Masyarakat ”. Analisis Kebijakan Pertanian, vol. 5, no. 2, pp. 167–182,
2007.
Seminar K.B. 2016. Sistem Pertanian Presisi dan Sistem Pelacakan Rantai Produksi Untuk
mewujudkan Agroindustri Berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT Raja Grafindo Jakarta. Jakarta.
Suherman, Asep., 2013. Kehidupan petani Pasca Konversi Lahan Sawah Beririgasi. Disertasi.
Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Bandung.
Suherman, Asep dan Ujang Suratno, 2014. Efektifitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi
Lahan Sawah Berirgasi. dalam Haryono, Effendi Pasandaran, Muchjidin Rachmat, Sudi
Mardianto, Sumedi, Handewi P. Salim dan Agung Heriadi (Editor). Reformasi Kebijakan
Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementrian Pertanian Indonesia. IAARD Press, Jakarta.
Suherman, Asep, 2016. Perseroan Terbatas (PT) Pangan pada Lahan Sawah Beririgasi Teknis :
Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan dan Kemandirian Pangan Masa Depan. dalam
Pasandaran E, Rusman Heriawan dan Muhammad Syakir (Editor). Sumberdaya Lahan
dan Air Prospek Pengembangan dan Pengelolaan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementrian Pertanian Indonesia. IAARD Press, Jakarta.
Suherman, Asep, 2017. Menggali Sumber Unsur Hara dan Bahan Amelioran dar Sampah Kota
Untuk Mewujudkan Pembangunan Pertanian Organik Berkelanjutan yang
mensejahterakan Petani. Dalam Pasandaran E, Muhammad Syakir, Rusman Heriawan dan
Muhammad Prama Yufdy (Editor). Menuju Pertanian Modern Berkelanjutan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian Indonesia. IAARD Press,
Jakarta.
Suherman, Asep, 2018. Budidaya Pertanian Rakyat Berbasis Agribisnis Mangga di Kabupaten
Indramayu. dalam Pasandaran E, Muhammad Syakir dan Muhammad Prama Yufdy
(editor). Sinergi Inovasi Memperkuat Pertanian Rakyat Berbasis Tanaman Pangan dan
Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian
Indonesia. IAARD Press, Jakarta.

884
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tanaya, Ina (2018). Modernisasi Pertanian di Era Revolusi Industri 4.0. www.inatanaya.com/
5ccafb6d3ba7f7410522a262/modernisasi-pertanian-di-era-revolusi-industri-4-0?page=all
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria UUPA
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetatapan Luas Lahan
Pertanian.

885
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Strategi Pengembangan Usahatani Cabai Rawit di Kota Surabaya


Development Strategy Farming of Cayyene Papper In Surabaya
Pawana Nur Indah1, Dian Ayu Fitriani2, Ramdan Hidayat3

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Kota
SWOT, Surabaya dengan tujuan untuk menganalisis faktor internal dan eksternal usahatani
Usahatani, cabai rawit serta merumusakan strategi pengembangan usahatani cabai rawit. Key
Cabai Rawit informan yang dipilh sebagai responden adalah sejumlah 10 orang petani yang
melakukan kegiatan usahatani cabai rawit dalam kurun waktu 10 tahun. Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis lingkungan internal dan
eksternal menggunakan matriks IFAS dan EFAS setelah itu untuk merumuskan
strategi menggunkan matriks SWOT. Dari hasil analisis menggunakan matriks
IFAS dan EFAS diperoleh 7 faktor internal dan 6 faktor eksternal, sehingga
kemudian dirumuskan 8 strategi pengembangan, dengan 5 strategi prioritas yang
utama.

ABSTRACT

Keywords: This research was conducted in Sumur Welut Sub-District, Lakarsantri District,
SWOT, Surabaya City with the aim of analyzing internal and external factors of cayenne
Farming, farming and damaging the development strategy of cayenne pepper farming. The
Cayyene Papper key informants selected as respondents were 10 farmers who carried out cayenne
farming activities within 10 years. The analysis used in this study is internal and
external environmental analysis using the IFAS and EFAS matrix after that to
formulate a strategy using the SWOT matrix. From the results of the analysis using
the IFAS and EFAS matrix, 7 internal factors and 6 external factors were obtained,
so that 8 development strategies were formulated, with 5 main priority strategies.

PENDAHULUAN
Komoditas hortikultura memiliki peranan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi
masyarakat Indonesia. Komoditas hortikultura juga memiliki peranan yang besar bagi
perekonomian nasional diantaranya sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sebagai sumber
penghasilan, sebagai salah satu penyumbang devisa bagi negara melalui kegiatan ekspor
komoditi hortikultura, serta memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Cabai merupakan komoditas sayuran yang cukup strategis, baik cabai merah maupun
cabai rawit.Pada musim tertentu, kenaikan harga cabai cukup signifikan sehingga mempengaruhi
tingkat inflasi.Fluktuasi harga ini terjadi hampir setiap tahun dan meresahkan masyarakat.Upaya
pemerintah dalam mengatasi gejolak harga cabai dengan melakukan upaya peningkatan luas
tanam cabai pada musim hujan, pengaturan luas tanam dan produksi cabai pada musim kemarau,
stabilisasi harga cabai dan pengembangan kelembagaan kemitraan yang andal dan berkelanjutan.
Kecamatan Lakarsantri merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai lahan untuk
mengusahakan kegiatan usahatani cabai rawit yang paling luas yaitu sekitar 46 ha.Salah satu
kelurahan yang mengusahakan kegiatan usahatani cabai rawit merah adalah kelurahan sumur
welut pada kelompok tani sumur welut makmur. Dilihat dari sisi petani, para petani cabai rawit

886
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

merah pada kelompok tani sumur welut makmur di Kelurahan Sumur Welut memiliki
ketergantungan dengan pihak pedagang pengumpul desa. Hal ini terjadi akibat adanya masalah
keterbatasan ilmu dan pengalaman serta diperlukan modal yang besar seperti menyewa alat
transportasi dalam mendistribusikan cabai rawit merah sehingga menjadikan petani di Kelurahan
Sumur Welut tidak berani untuk terjun langsung ke pasar sehingga keuntungan yang didapat di
tingkat petani relatif kecil. Kondisi ini melemahkan posisi petani karena daya tawar petani yang
lemahkhususnya dalam penetapan harga. Selain itu, terbatasnya akses informasi pasar yang
diterima petani dimana informasi pasar berasal dari pedagang pengumpul desa serta kurangnya
jalinan kerjasama antar petani atau antar kelompok.
Berdasarkan kondisi tersebut petani menjadi pihak yang sering kali dirugikan akibat
adanya fluktuasi harga dan para pedaganglah yang mendapatkan akses lebih untuk memperoleh
harga yang lebih tinggi. Sebagai produsen, petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam
hal penentuan harga dipasar sehingga petani hanya berperan sebagai price taker.Oleh karena itu,
perlu adanya perbaikan pada sistem pemasaran, sehingga para petani cabai rawit merah
diharapkan dapat memperoleh bagian harga yang memadai bagi peningkatan usahataninya. Dari
uraian tersebut diatas maka tujuan untuk menganalisis faktor internal dan eksternal usahatani
cabai rawit serta merumusakan strategi pengembangan usahatani cabai rawit

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya.
Pemilihan lokasi penelitian ditentukan dengan metode purposive. Menurut Antara (2009)
purposive adalah suatu teknik penentuan lokasi penelitian secara sengaja berdasarkan atas
pertimbangan – pertimbangan tertentu.
Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan yaitu :
1. Kelurahan sumur welut, kecamatan lakarsantri merupakan salah satu penghasil cabai rawit
terbesar di kota Surabaya
2. Komoditas cabai rawit merupakan salah satu komoditas hortikultura dengan hasil produksi
paling banyak di kota Surabaya
3. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai pemasaran cabai di kelurahan sumurwelut,
kecamatan lakarsantri.
Waktu penelitian untuk memperoleh data informasi mengenai penelitian dilakukan pada
bulan maret sampai April 2018.Penentuan key informan yang diperlukan untuk pengisian
kuisioner faktor internal dan eksternal dipilih 10 orang petani dari 3 kelompok tani yang ada di
Kelurahan Sumur Welut. Petani yang dipilih sebagai key informan adalah petani yang sudah
berusaha tani lebih dari 5 tahun.
Matriks IFAS dan EFAS
Untuk menentukan strategi pengembangan dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT
bertujuan menganalisis potensi/kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman usahatani cabai
rawit di kelurahan sumur welut makmur. Potensi dan kelemahan merupakan faktor internal,
sedangkan peluang dan ancaman merupakan faktor eksternal. Analisis SWOT digunakan untuk
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kegiatan.
Analisis dilakukan untuk memaksimalkan kekuatan (strength), peluang (opportunities),
serta meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan
keputusan selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Dengan
demikian, perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategi kegiatan (kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman) sesuai kondisi saat ini (Rangkuti 1997). Lingkungan
diartikan sebagai tempat yang tidak terlepas dari suatu kondisi, situasi, dan peristiwa yang
memengaruhi perkembangan setiap usaha.
Setiap pengelolaan usaha diupayakan sedapat mungkin menyederhanakannya melalui
penyelidikan/observasi terhadap berbagai faktor lingkungan. Oleh karena itu perlu ditetapkan
kriteria untuk mempelajari lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan memiliki pengaruh

887
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

nyata terhadap kemungkinan keberhasilan dan kegagalan agribisnis sehingga timbul peluang dan
ancaman usaha. Melalui analisis peluang maka strategi usaha dapat disusun dengan
memerhatikan analisis faktor internal, yang terdiri atas unsur kekuatan dan kelemahan usaha
tani. Dengan demikian, identifikasi kekuatan dan kelemahan diarahkan untuk mengeksploitasi
peluang dan mengatasi ancaman. Sebagai suatu kegiatan ekonomi, usaha tani sayuran tidak
terlepas dari pengaruh lingkungan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri atas
pendidikan sumber daya manusia, produktivitas, modal, tenaga kerja, dan pengalaman berusaha
tani, sedangkan faktor eksternal meliputi kelembagaan, pemasaran, infrastruktur, dan kebijakan
pemerintah.

Matriks IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) dan EFAS (Eksternal Strategisc
Factors Analysis Summer)
Menurut Rangkuti (2008) langkah langkah yang dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
faktor internal dan eksternal dalam matriks IFAS dan EFAS adalah sebagai berikut :
1) Mengidentifikasi faktor faktor internal dan eksternal
Pada tahap ini dilakukan penelaahan kondisi actual lapangan dan kecenderungan yang
mungkin terjadi. Hasil penelaahan ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor faktor internal
dan eksternal yaitu mendaftarkan semua kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
pengembangan usahatani cabai rawit.
2) Penentuan Bobot Setiap Variabel
Penentuan bobot setiap variable yang telah didaftar dilakukan dengan identifikasi faktor
faktor strategis internal dan eksternal tersebut kepada yang dianggap berkaitan langsung dan
memiliki pengaruh terhadap kegiatan usahatani cabai rawit. Dalam menentukan bobot setiap
variable digunakan skala 1,2,3 dan 4. Kriteria yang digunakan untuk pengisian kuisioner sebagai
berikut : 1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju. Bentuk penilaian
pembobotan dapat diperolah dengan menentukan total setiap variable terhadap jumlah nilai
seluruh variable dengan menggunakan rumus :

𝐧𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐯𝐚𝐫𝐢𝐚𝐛𝐞𝐥
𝐁𝐨𝐛𝐨𝐭 = 𝐱 𝟏𝟎𝟎%
𝐓𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐧𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐯𝐚𝐫𝐢𝐛𝐞𝐥
3) Penentuan Peringkat (Rating)
Penentuan rating dilakukan terhadap peubah peubah hasil analisis pengembangan
usahatani cabai rawit. Hasil pembobotan dan rating dimasukkan dalam matriks IFAS dan EFAS.
Selanjutnya nilai dari pembobotan dikalikan dengan nilai rataan rating pada tiap faktor dan
semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertical untuk memperoleh total skor pembobotan.
Skala nilai rating yang digunakan untuk matriks IFAS yaitu : 1 = kelemahan utama, 2 =
kelemahan kecil, 3 = kekuatan kecil, 4 = kekuatan utama

Matriks SWOT
Analisis matriks SWOT berfungsi untuk memperoleh berbagai strategi prioritas yang
dapat dipilih dalam pengembangan usahatani cabai rawit. Matriks ini dapat menggambarkan
secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi petani dapat disesuaikan
dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Menurut rangkuti, faktor faktor kunci
eksternal dan internal merupakan pembentuk matriks SWOT yang menghasilkan 4 tipe strategi
yaitu :
a. Strategi SO (Strenght – Opportunity) yakni strategi yang menggunakan kekuatan internal
untuk memanfaatkan peluang eksternal
b. Strategi WO (weakness – opportunity) yakni mengatasi kelemahan internal dengan
memanfaatkan keunggulan peluang eksternal

888
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

c. Strategi ST (strength – threat) yaitu strategi yang menggunakan kekuatan internal untuk
menghindari pengaruh dari ancaman eksternal
d. Strategi WT (weakness – threat) adalah strategi bertahan dengan meminimalkan kelemahan
dan mengantisipasi ancaman lingkungan.
Matriks SWOT akan mempermudah perumusan strategi yang perlu dilakukan oleh suatu
kegiatan usahatani cabai rawit. Pada dasarnya startegi yang diambil harus diarahkan pada usaha
usaha untuk menggunakan kekuatan dan memperbaiki kelemahan, memanfaatkan peluang dan
mengantisipasi ancaman. Sehingga matriks SWOT tersebut akan diperoleh empat kelompok
strategi yang disebut dengan strategi SO,WO,ST dan WT (Kuncoro,2005). Penentuan ranking
prioritas strategi pengembangan usaha tani cabai rawit dengan menggunakan total skor masing
masing komponen unsure SWOT. Jumlah total skor yang paling tinggi dipilih sebagai strategi
yang paling prioritas untuk pengembangan usaha tani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut.

HASIL DANPEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Obyek Penelitian
Obyek penelitian pada penelitian ini adalah usaha tani cabai rawit yang diusahakan
oleh 3 kelompok tani yang berada di Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Kota
Surabaya.Kecamatan Lakarsantri termasuk wilayah Geografis Kota Surabaya yang merupakan
bagian dari Wilayah Surabaya Barat, dengan ketinggian ± 10 meter diatas permukaan laut.
Kecamatan Lakarsantri secara administrasi, merupakan salah satu dari beberapa
kecamatan yang ada di Kota Surabaya, dengan 6 kelurahan yang dimiliki antara lain Kelurahan
Bangkingan, Kelurahan Sumur Welut, Kelurahan Lidah Wetan, kelurahan Lidah Kulon,
Kelurahan Jeruk dan Kelurahan Lakarsantri. Adapun batas – batas kecamatan Lakarsantri adalah
:
• Sebelah utara : Kecamatan Sambikerep
• Sebelah timur : Kecamatan Wiyung
• Sebelah selatan : Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik
• Sebelah barat : Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik
Luas wilayah Kecamatan Lakarsantri adalah 17,78 km2, sedangkan luas wilayah
Kelurahan Sumur Welut sendiri adalah seluas 2,56 km2. Jumlah penduduk Kelurahan Sumur
Welut berdasarkan registrasi penduduk tahun 2017 adalah berjumlah 5.135 jiwa, dengan
kepadatan penduduk sebesar 2.006 jiwa/km. Rasio penduduk laki – laki dan perempuan adalah
sebesar 2.624 jiwa dan 2.511 jiwa.

Analisis Matriks IFAS dan EFAS


Matriks IFAS
Berdasarkan analisis faktor faktor internal yang mendukung keberhasilan
pengembangan usaha tani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut, melalui faktor kekuatan dan
kelemahan diperoleh faktor strategis internal. Selanjutnya setiap variabel dilakukan pembobotan
dan peringkat (rating) sehingga diketahui nilai skornya seperti terlihat pada tabel berikut
Tabel 1. Pembobotan Faktor Internal Strategis
No. Faktor Internal Strategis Bobot Rating Skor
Kekuatan (Strenght)
1. Pelaksanaan usahatani cabai rawit mudah dilakukan oleh petani 0.160 4 0.64
2. Kesuburan tanah yang cukup baik untuk melakukan kegiatan 0.13 3 0.40
usahatani
3. Lokasi usahatani dekat dengan sumber pengairan 0.13 3 0.39
4. Kemudahan dalam memperoleh saprodi 0.15 3 0.44
Sub Jumlah 0.57 1.87

889
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

No. Faktor Internal Strategis Bobot Rating Skor


Kelemahan (Weakness)
1. Keterbatasan modal dan akses ke sumber permodalan yang 0.15 3 0.45
susah
2. Produksi belum optimal 0.16 4 0.66
3. Serangan hama dan penyakit yang sering dijumpai 0.11 2 0.21
Sub Jumlah 0.43 1.32
Jumlah 1.00 3.19
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa Pelaksanaan usahatani cabai


rawit mudah dilakukan oleh petani menempati faktor kekuatan yang utama dengan bobot 0.16
dan rating 4 sehingga diperoleh skor dengan nilai yang diperoleh 0.64. Sedangkan faktor
kekuatan yang terkecil adalah lokasi usahatani dekat dengan sumber pengairan dengan bobot
0.13 dan rating 3 sehingga diperoleh skor dengan nilai 0.39.
Dari tabel tersebut diatas juga menggambarkan faktor kelemahan terbesar banyak
terdeteksi adalah produksi yang belum optimal dengan bobot 0.16 dan rating 4 sehingga
diperoleh nilai skor sebesar 0.66 sehingga faktor ini perlu diminimalkan. Faktor kelemahan
terkecil adalah serangan hama dan penyakit yang sering dijumpai dengan bobot 0.11 dan rating
2 dengan skor sebesar 0.21.

Matriks EFAS
Berdasarkan analisis faktor faktor internal yang mendukung keberhasilan
pengembangan usaha tani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut, melalui faktor kekuatan dan
kelemahan diperoleh faktor strategis internal. Selanjutnya setiap variabel dilakukan pembobotan
dan peringkat (rating) sehingga diketahui nilai skornya seperti terlihat pada tabel berikut
Tabel 2. Pembobotan Faktor Eksternal Stategis
No. Faktor Eksternal Strategis Bobot Rating Skor
Peluang (Opportunity)
1. Permintaan pasar akan cabai rawit tinggi 0.19 4 0.77
2. Cabai rawit merupakan komoditas unggulan 0.17 3 0.50
3. Tren akan makanan pedas semakin meningkat 0.16 3 0.48
Sub Jumlah 0.52 1.75
Ancaman (Threat)
1. Perubahan iklim global dan cuaca yang tidak 0.13 2 0.25
menentu
2. Ketidakpastian kepemilikan Lahan 0.17 3 0.50
3. Harga Pasar Cabai Fluktuatif 0.19 4 0.75
Sub Jumlah 0.48 1.51
Jumlah 1.00 3.26
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa permintaan pasar akan


kebutuhan cabai rawit dengan bobot 0.19 dan rating 4 dengan nilai skor sebesar 0.77 merupakan
peluang utama dalam pengembangan usahatani di kelurahan Sumur Welut. Faktor peluang
terkecil adalah tren akan makanan pedas semakin tinggi dengan bobot sebesar 0.16 dan rating 3
sehingga diperoleh skor 0.48.
Dari tabel tersebut diatas juga menunjukkan bahwa faktor ancaman terbesar adalah
harga pasar cabai yang fluktuatif dengan bobot 0.19 dan rating 4 sehingga diperoleh total skor
sebesar 0.75. sedangkan faktor ancaman terkecil adalah perubahan iklim global dan cuaca yang
tidak menentu dengan bobot 0.13 dan rating 2 sehingga diperoleh nilai skor sebesar 0.2

890
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Matriks SWOT


Setelah evaluasi faktor internal dan eksternal selesai dianalisis, proses berikutnya adalah
mencocokan kedalam matriks berdasarkan nilai skor yang telah diketahui. Matriks terdiri dari
sumbu x (absis) dan sumbu y (ordinat). Sumbu x merupakan faktor kekuatan (strength) dan
kelemahan (weaknesses) sedangkan sumbu y merupakan faktor peluang (opportunity) dan
ancaman (threat). Matriksnya adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Diagram SWOT

Dari Gambar 8. Diketahui bahwa nilai rata-rata faktor internal yaitu faktor kekuatan
adalah 0,47 sedangkan nilai rata-rata faktor kelemahan adalah 0,44. Sedangkan nilai rata-rata
faktor eksternal yaitu faktor peluang adalah 0,59 dan faktor ancaman adalah 0,5. Dari hasil rata-
rata nilai faktor internal dan eksternal diketahui bahwa usahatani cabai rawit di kelurahan cabai
rawit di Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri memerlukan strategi pertumbuhan
yang agresif karena kombinasi antara kekuatan dan peluang memiliki nilai tertinggi
dibandingkan dengan kombinasi yang lain. Kuadran yang cocok untuk fase saat tersebut yaitu
kuadran I dengan strategi agresif/pertumbuhan. Berdasarkan diagram SWOT yang telah
ditampilkan tersebut diatas maka bisa dirumuskan beberapa strategi meliputi strategi SO terdapat
2 strategi, strategi yang pertama dengan keterkaitan S4,O1,O3 sedangkan strategi yang kedua
dengan keterkaitan O1,O2, S1,S2,S3. Strategi WO terdapat 2 strategi, strategi yang pertama
dengan keterkaitan W3,W2,O1,O2 dan strategi yang kedua dengan keterkaitan W1,O1,O3.
Strategi ST terdapat 2 strategi, strategi yang pertama dengan keterkaitan W2, S1 dan strategi
yang kedua dengan keterkaitan T1,T3,S2,S3,S4. Strategi WT terdapat 2 strategi, strategi yang
pertama dengan keterkaitan W1,T2.T3 dan strategi yang kedua dengan keterkaitan W3,T1.
Uraian tersebuy dijelaskan dengan tabel 25 sebagai berikut.

891
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 3. Matriks SWOT Strategi Pengembangan Berdasarkan Faktor Internal dan Eksternal
Faktor Internal STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
1. Pelaksanaan usahatani cabai 1. Keterbatasan modal dan
rawit mudah dilakukan oleh akses ke sumber
petani permodalan yang susah
2. Kesuburan tanah yang 2. Produksi belum optimal
cukup baik untuk 3. Serangan hama dan
melakukan kegiatan penyakit yang sering
usahatani dijumpai
3. Lokasi usahatani dekat
dengan sumber pengairan
4. Kemudahan dalam
memperoleh saprodi
Faktor Eksternal
OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO : Strategi WO :
1. Permintaan pasar akan 1. Pemanfaatan program kartu 1. Peningkatan keterampilan
cabai rawit tinggi tani (S4,O1,O3) pengetahuan teknis
2. Cabai rawit merupakan 2. Memanfaatkan sumber daya budidaya di tingkat
komiditas unggulan alam, air dan lahan yang ada pembudidaya
3. Tren akan makanan pedas untuk menghasilkan cabai (W3,W2,O1,O2,)
semakin meningkat rawit dalam jumlah besar 2. Menigkatkan kerjasama
agar permintaan terpenuhi dengan berbagai sumber
(O1,O2,S1,S2,S3) permodalan (W1,O1,O3)

THREATS (T) STRATEGI ST : STRATEGI WT :


1. Perubahan iklim global dan 1. Evaluasi kebijakan 1. Memperluas dan
cuaca yang tidak menentu pemerintah daerah mengenai mempertahankan jaringan
2. Ketidakpastian akan alih fungsi lahan pertanian pemasaran (W1,T2.T3)
kepemilikan lahan menjadi perumahan (W2, 2. mengadakan penyuluhan
3. Harga cabai rawit fluktuatif S1) dan sekolah lapang
2. Meningkatkan produksi dan pengendalian hama
kualitas cabai rawit yang terpadu (W3,T1)
dihasilkan (T1,T3,S2,S3,S4)
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Strategi SO (Strenght – Opportunity)


1. Pemanfaatan program kartu tani
Kartu tani adalah salah satu program pemerintah yang diluncurkan untuk petani sebagai
pengganti uang tunai diganti dengan uang elektronik dengan bentuk kartu tani. Kartu tani dapat
digunakan untuk pembelian sarana produksi pertanian seperti bibit, pupuk, pestisida dan sarana
produksi pertanian lain yang dibutuhkan petani. Kartu tani dapat digunakan pada toko penyedia
jasa saprodi yang terintegrasi dengan kartu tani. Dengan pemanfaatan kartu tani secara maksimal
diharapkan petani menjadi lebih mudah mendapatkan saprodi guna menunjang usahatani
sehingga produksi yang dihasilkan lebih optimal.
2. Memanfaatkan sumber daya alam, air dan lahan yang ada untuk menghasilkan cabai rawit
dalam jumlah besar agar permintaan terpenuhi
Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan kesusuaian lahan serta ketersediaan cukup
air untuk pengairan harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menunjang kegiatan usahatani
cabai rawit. Jika semua hal tesebut telah dimanfaatkan dengan baik maka kegiatan usahatani bias
lebih efektif dan efisien sehingga produksi yang dihasilkan menjadi optimal dan bias memenuhi
permintaan pasar.

892
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Strategi WO (Weakness – Opportunity)


1. Peningkatan keterampilan pengetahuan teknis budidaya di tingkat pembudidaya
Dari data primer yang telah didapat di waktu pelaksanaan penelitian diketahui bahwa
sebagian besar petani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut hanya memperoleh pendidikan
sampai tingkat SMA dan dari beberapa narasumber dijelaskan juga bahwa pendidikan pelatihan
dan penyuluhan mengenai usahatani dari dinas pertanian terkait sangat jarang dilakukan, pernah
dilakukan itupun sudah lama sekali. Sehingga dianggap perlu diadakan pendidikan pelatihan dan
penyuluhan terkait usahatani cabai rawit. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas serta
kuantitas cabai rawit yang dihasilkan, dan diharapkan kegiatan ini dapat diikuti oleh semua
kelompok tani dan semua anggota kelompok tani yang ada di Kelurahan Sumur Welut.
2. Meningkatakan Kerjasama Dengan Berbagai Sumber Permodalan
Sumber permodalan utama bagi petani yang berusahatani cabai rawit di kelurahan Sumur
Welut adalah bersumber dari modal sendiri dan pinjaman dari rentenir. Petani dituntut untuk
meningkatkan kemampuan diri dalam menghadapi daya saing cabai rawit yang diusahakan.
Pemerintah sebenarnya telah menerapkan berbagai program untuk mendukung dan membantu
permodalan untuk para petani yaitu program KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan KUT (Kredit
Usaha Tani). Petani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut seharusnya dapat memanfaatkan
program tersebut dengan bantuan kelompok tani yang diikuti agar modal usahatani lebih mudah
di dapat dan tidak meminjam kepada rentenir karena bunga yang berlaku sangatlah tinggi dan
membebankan petani.

Strategi ST (Strenght – Threat)


1. Evaluasi kebijakan pemerintah daerah mengenai alih fungsi lahan pertanian menjadi
perumahan
Perlu pengkajian ulang terkait tata ruang terutama terkait dengan alih fungsi lahan
pertanian menjadi perumahan. Petani juga perlu mendapatkan kepastian berapa lama usahatani
mereka dapat berjalan agar bisa dihitung minimal resiko kerugian yang didapat jika sewaktu
waktu pihak pengembang mengambil hak tanah dari petani karena sebagian besar lahan yang
digunakan petani untuk berusahatani cabai rawit adalah milik pengembang.
2. Meningkatkan produksi dan kualitas cabai rawit yang dihasilkan
Dalam meningkatkan produksi dan kualitas cabai rawit, petani perlu melakukan
penanaman di waktu tanam yang tepat waktu, metode budidaya yang tepat, dan melakukan panen
dan perlakuan pasca panen yang tepat.

Strategi WT (Weakness – Threat)


1. Memperluas dan mempertahankan jaringan pemasaran
Informasi yang lebih memadai menganai potensi produk yang laku di pasaran sangat
penting bagi petani. Informasi pasar yang lengkap juga akan memudahkan penentuan jaringan
pemasaran yang sesuai untuk dikembangkan agar dapat menjangkau seluruh potensi pasar yang
ada.
2. Mengadakan penyuluhan dan sekolah lapang pengendalian hama terpadu
Perubahan iklim global yang sedang terjadi akhir – akhir ini perlu menjadi perhatian oleh
dinas terkait agar dilakukan kegiatan penyuluhan supaya kegiatan usahatani yang dilakukan
lebih terarah efektif efisien menyesuaikan dengan kondisi iklim yang sedang terjadi. Sekolah
lapang pengendalian hama terpadu juga diperlukan untuk mengatasi gangguan hama yang terjadi
dan meminimalisirkan resiko gangguan hama yang terjadi

Penentuan Prioritas Komponen SWOT Pengembangan Usahatani Cabai Rawit


Berdasarkan analisis komponen SWOT terhadap faktor faktor yang mendukung
keberhasil pengembangan usahatani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut menunjukkan bahwa

893
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

faktor kekuatan dengan skor 1,87, prioritas kedua adalah peluang dengan jumlah skor 1,75.
Faktor ancaman menempati prioritas ketiga dengan skor 1,51 dan faktor kelemahan dengan skor
1,32 menempati prioritas keempat. Hasil analisis prioritas komponen SWOT pengembangan
usahatani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut ditampilkan pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Prioritas Komponen SWOT Pengembangan Usahatani Cabai Rawit di Kelurahan Sumur Welut
Komponen SWOT Skor Prioritas
Strenght (S) 1,87 P1
Weakness (W) 1,32 P4
Opportunity (O) 1,75 P2
Threat (T) 1,51 P3
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Dari tabel 4 menunjukkan bahwa faktor kekuatan yang menduduki urutan prioritas utama
dengan skor 1,87. Faktor kekuatan pengembangan usahatani cabai rawit di Kelurahan Sumur
Welut antara lain Pelaksanaan usahatani cabai rawit mudah dilakukan oleh petani dan Kesuburan
tanah yang cukup baik untuk melakukan kegiatan usahatani merupakan salah satu kekuatan yang
harus dimanfaatkan secara optimal. Demikian pula Lokasi usahatani dekat dengan sumber
pengairan dan Kemudahan dalam memperoleh saprodi juga merupakan faktor kekuatan yang
harus dimanfaatkan secara optimal.
Untuk lebih merinci faktor yang berperan dalam pengembangan usahatani cabai rawit di
Kelurahan Sumur Welut berdasarkan analisis yang telah dilakukan, berikut disampaikan urutan
prioritas dari masing masing faktor pendukung yaitu : kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman.
A. Prioritas Pada Faktor Kekuatan
Hasil analisis prioritas pada faktor kekuatan melalui pembobotan skor dan rating
didapatkan hasil pada Tabel 5 sebagai berikut :

Tabel 5. Hasil Analisis Prioritas Faktor Kekuatan


Faktor Kekuatan (Strenght) Skor Prioritas
Pelaksanaan usahatani cabai rawit mudah dilakukan oleh petani 0,64 P1
Kesuburan tanah yang cukup baik untuk melakukan kegiatan 0,40 P3
usahatani
Lokasi usahatani dekat dengan sumber pengairan 0.39 P4
Kemudahan dalam memperoleh saprodi 0.44 P2
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa prioritas pertama faktor kekuatan adalah pelaksanaan
usahatani mudah untuk dilakukan dengan skor 0,64, usahatani yang dikakukan oleh para petani
di Kelurahan Sumur Welut merupakan kegiatan budidaya yang masih tradisional sehingga
mudah untuk dilakukan. Prioritas kedua pada faktor kekuatan adalah kemudahan mendapatkan
saprodi dengan skor 0,44, Petani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut mudah mendapatkan
saprodi karena ketua kelompok tani selalu menyediakan perlu di buka atau didirikan toko tani
penyedia saprodi yang bekerja sama dengan pemanfaatan program kartu tani agar saprodi lebih
mudah didapat. Prioritas ketiga pada faktor kekuatan adalah kesuburan tanah yang cukup baik
dengan skor 0,40, komoditas cabai rawit yang dibudidayakan petani di Kelurahan Sumur Welut
tumbuh subur karena kesuburan tanah sesuai dengan syarat tumbuh budidaya cabai rawit.
Prioritas keempat pada faktor kekuatan adalah lokasi usahatani dekat dengan sumber pengairan
dengan skor 0,39.

B. Prioritas Pada Faktor Kelemahan


Hasil analisis prioritas pada faktor kelemahan melalui pembobotan skor dan rating
didapatkan hasil pada Tabel 6 sebagai berikut :

894
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 6. Hasil Analisis Prioritas Faktor Kelemahan


Faktor Kelemahan (Weakness) Skor Prioritas
Keterbatasan modal dan akses ke sumber permodalan yang susah 0.45 P2
Produksi belum optimal 0.66 P1
Serangan hama dan penyakit yang sering dijumpai 0.21 P3
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Dari tabel tersebut diatas faktor prioritas pertama pada kelemahan adalah produksi kurang
optimal dengan skor 0,66, petani cabai rawit harus bisa memanfaatkan faktor faktor produksi
yang ada dengan baik agar produksi cabai rawit lebih optimal. Faktor prioritas kedua yang harus
diminimalkan adalah keterbatasn modal dan akses ke sumber permodalan yang sulit dengan skor
0,45, perlu kerjasama dengan lembaga keuangan seperti bank yang memberikan fasilitas kredit
kepada petani karena selama ini petani menggunakan modal sendiri dan jika melakukan
pinjaman petani meminjam modal kepada renternir dengan bunga yang cukup tinggi. Prioritas
ketiga pada faktor kelemahan yang harus diminimalkan adalah serangan hama dan penyakit yang
sering dijumpai dengan skor 0,21.

C. Prioritas Pada Faktor Peluang


Hasil analisis prioritas pada faktor peluang melalui pembobotan skor dan rating
didapatkan hasil pada Tabel 7 sebagai berikut

Tabel 7. Hasil Analisis Prioritas Faktor Peluang


Peluang (Opportunity) Skor Prioritas
Permintaan pasar akan cabai rawit tinggi 0.77 P1
Cabai rawit merupakan komoditas unggulan 0.50 P2
Tren akan makanan pedas semakin meningkat 0.48 P3
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Dari Tabel 7 diatas diketahui prioritas utama pada faktor peluang adalah permintaan pasar akan
cabai rawit yang tinggi dengan skor 0,77. Prioritas kedua pada faktor peluang adalah cabai rawit
merupakan komoditas unggulan dengan skor 0,50. Prioritas terakhir pada faktor peluang adalah
tren akan makanan peda semakin meningkat dengan skor 0,48.

D. Prioritas Pada Faktor Ancaman


Hasil analisis prioritas pada faktor ancaman melalui pembobotan skor dan rating
didapatkan hasil pada Tabel 8 sebagai berikut :

Tabel 8. Hasil Analisis Prioritas Faktor Ancaman


Faktor Ancaman (Threat) Skor Prioritas
Perubahan iklim global dan cuaca yang tidak menentu 0.25 P3
Ketidakpastian kepemilikan Lahan 0.50 P2
Harga Pasar Cabai Fluktuatif 0.75 P1
Sumber : Data Primer Diolah (2018)

Prioritas utama pada faktor ancaman yang harus diminimalkan adalah harga cabai yang fluktuatif
dengan skor 0,75. Kemudian prioritas kedua dari faktor ancaman yang harus diminimalkan
adalah ketidakpastian kepemilikan lahan dengan skor 0,50 hal ini harus diminimalkan untuk
mengatasi resiko usahatani. Prioritas terakhir pada faktor ancaman adalah perubahan iklim yang
tidak menentu dengan skor 0,25 dengan hasil tersebut petani harus pandai meramalkan cuaca
dan iklim yang cocok untuk kegiatan usahatani cabai rawit.

895
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Strategi Prioritas Pengembangan Usahatani Cabai Rawit di Kelurahan Sumur Welut


Strategi prioritas dalam pengembangan usahatani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut
Kecamatan Lakarsantri Kota Surabaya dengan melakukan perangkingan dengan menjumlahkan
skor masing – masing dari faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam matriks
IFAS dan EFAS yang berkaitan dalam setiap strategi untuk menentukan prioritas strategi.
Adapun hasil perangkingan strategi prioritas pengembangan usahatani cabai rawit di Kelurahan
Sumur Welut disajikan pada Tabel 9 berikut
Tabel 9. Strategi Prioritas Pengembangan Usahatani Cabai Rawit
No Strategi Prioritas Keterkaitan Skor Prioritas
1 Strategi SO
Pemanfaatan program kartu tani (S4,O1,O3) 1,69 6
Memanfaatkan sumber daya alam, air dan lahan yang (O1,O2,S1,S2,S3) 2,7 1
ada untuk menghasilkan cabai rawit dalam jumlah besar
agar permintaan terpenuhi
2 Strategi WO
Peningkatan keterampilan pengetahuan teknis (W3,W2,O1,O2,) 2,14 3
budidaya di tingkat pembudidaya
Menigkatkan kerjasama dengan berbagai sumber (W1,O1,O3) 1,7 5
permodalan
3 Strategi ST
Evaluasi kebijakan pemerintah daerah mengenai alih (T2, S1) 1,14 7
fungsi lahan pertanian menjadi perumahan
Meningkatkan produksi dan kualitas cabai rawit yang (T1,T3,S2,S3,S4) 2,33 2
dihasilkan
4 Strategi WT
Memperluas dan mempertahankan jaringan pemasaran (W1,T2.T3) 1,84 4
mengadakan penyuluhan dan sekolah lapang (W3,T1) 0,46 8
pengendalian hama terpadu

Tabel 9 diatas menunjukkan adanya pengelompokan strategi prioritas pengembangan


usahatani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut menjadi beberapa prioritas, yaitu dari 1 sampai
8. Strategi prioritas SO2 menempati strategi prioritas pertama pengembangan usahatani cabai
rawit di Kelurahan Sumur Welut. Urutan prioritas strategi yang disusun adalah sebagai berikut :
1. Memanfaatkan sumber daya alam, air dan lahan yang ada untuk menghasilkan cabai rawit
dalam jumlah besar agar permintaan terpenuhi (SO2)
2. Meningkatkan produksi dan kualitas cabai rawit yang dihasilkan (WO1)
3. Peningkatan keterampilan pengetahuan teknis budidaya di tingkat pembudidaya (ST2)
4. Memperluas dan mempertahankan jaringan pemasaran (WT1)
5. Menigkatkan kerjasama dengan berbagai sumber permodalan (WO2)
6. Pemanfaatan program kartu tani (SO1)
7. Evaluasi kebijakan pemerintah daerah mengenai alih fungsi lahan pertanian menjadi
perumahan (ST1)
8. Mengadakan penyuluhan dan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (WT2)
Berdasarkan analisis tersebut strategi yang paling prioritas untuk pengembangan
usahatani cabai rawit di Kelurahan Sumur Welut adalah (1) Memanfaatkan sumber daya alam,
air dan lahan yang ada untuk menghasilkan cabai rawit dalam jumlah besar agar permintaan
terpenuhi, (2) Meningkatkan produksi dan kualitas cabai rawit yang dihasilkan, (3) Peningkatan
keterampilan pengetahuan teknis budidaya di tingkat pembudidaya, (4) Memperluas dan
mempertahankan jaringan pemasaran, (5) Menigkatkan kerjasama dengan berbagai sumber
permodalan. Kelima strategi tersebut dapat dilaksanakan secara bersama sama karena
mendukung strategi satu dengan strategi lainnya.

896
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

KESIMPULAN DAN SARAN


Strategi yang paling prioritas untuk pengembangan usahatani cabai rawit di Kelurahan
Sumur Welut adalah (1) Memanfaatkan sumber daya alam, air dan lahan yang ada untuk
menghasilkan cabai rawit dalam jumlah besar agar permintaan terpenuhi, (2) Meningkatkan
produksi dan kualitas cabai rawit yang dihasilkan, (3) Peningkatan keterampilan pengetahuan
teknis budidaya di tingkat pembudidaya, (4) Memperluas dan mempertahankan jaringan
pemasaran, (5) Menigkatkan kerjasama dengan berbagai sumber permodalan. Kelima strategi
tersebut dapat dilaksanakan secara bersama sama karena mendukung strategi satu dengan strategi
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2017. Surabaya Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik. Surabaya
BPS. 2017. Kecamatan Lakarsantri Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik. Surabaya
Cramer, G.L., C.W. Jensen and D.D. Southgate, Jr. 1997. Agricultural Economics and
Agribusiness. Seventh Edition. John Wiley & Sons, New York.
Dahl, D.C and J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analisys. Mc. Graw Hill, New York.
Effendi, Muhammad Jufri. 2016. Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Desa
Tanjung Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan. Tesis. Fakultas Pertanian.
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Surabaya
Herlina. 2010. Tahun Depan Pemerintah Targetkan Produksi Cabai Sebanyak 145 Juta Ton.
http://investasi.kontan.co.id/v2/read/ind ustri/55442/Tahun-depan-
pemerintahtargetkan-produksi-cabai-sebanyak- 145-juta-ton
Irawan dan Sudjoni. 2001. Pemasaran: Prinsip dan Kasus. Edisi Kedua. Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 2002. Marketing Agriculture Product Ninth edition. Mac Millan
Publishing Company, New York.
Kotler P. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Milenium. Prenhalindo. Jakarta
Kumar, Naresh and Bhag Chandra Jain. Economic analysis of onion, chilli, coriander production
and marketing in Mungeli District of Chhattisgarh. 2018. International Journal of
Chemical Studies.New Delhi
Limbong WH, Sitorus P. 1985. Pengantar Pemasaran Pertanian. Bahan Kuliah. Jurusan Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Maimunah. 2018.Analisa Usaha Tani dan Strategi Pengembangan Usaha Tani Jambu Biji Merah
Di Kecamatan Palang Kabupaten Tuban. Tesis. Fakultas Pertanian. Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Surabaya.
Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan. Edisi
Kedelapan. Erlangga, Jakarta.
Ommani, Ahmad Reza. 2011. Strengths, weaknesses, opportunities and threats (SWOT) analysis
for farming system businesses management: Case of wheat farmers of Shadervan
District, Shoushtar Township, Iran. African Journal of Business Management Vol.
5(22)
Purcell, W.D. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash and Future Price. A
Prentice Hall Company, Virginia.
Rohmadona, Fariyanti & Burhanudin. 2015. Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Merah di
Kabupaten Majalengka. Agrise,15(2). 72 – 84
Sashimatsung. Giribabu. 2015. Economic analysis on production and marketing of Chilli in
Mokokchung District of Nagaland. Journal of Marketing and Consumer Research vol
13. Lumami
Shafeyan, Mohsen. Mahdi Homayounfar and Mehdi Fadaei. 2017. Identification of Strategies
for Sustainable Development of Rice Production in Guilan Province Using SWOT

897
ISBN: 978-602-51142-1-2 Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analysis. International Journal of Agricultural Management and Development


(IJAMAD). Iran
Sudiyono, Armand. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang: UMM Press
Sunarjono, Hendro. 2010. Bertanam 30 Jenis Sayuran. Penebar Swadaya: Depok.
Suyadi, 2002. Analisis Efisiensi Pemasaran Jeruk Besar di Kabupaten Magetan. Tesis. Magister
Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Surabaya
Utaminingsih, Watemin & Dumasari. 2009. Analisis Pemasaran Cabai Merah (Capsicum
annum) di Desa Gombong Kecamatan Belik Kabupaten Pemalang. Agritech, 9 (2). 116
- 124
Tatiek. 2013. Lembaga, Saluran dan Fungsi Pemasaran Dalam Tataniaga Agroproduk.
Universitas Brawijaya: Malang

898
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tata Kelola Agribisnis di Sub DAS Citarik (DAS Citarum Hulu)


Agribusiness Governance in Citarik Sub Sub Watershed Area (Upstream
Citarum)
Alamsyah1) Tuti Karyani2) H. Tuhpahwana P. Sendjaja3)
1) Mahasiswa Pascasarjana Program Ekonomi Pertanian, Universitas Padjadjaran
2) Dosen Pengajar Pascasarjana Program Ekonomi Pertanian, Universitas Padjadjaran, gelar Dr. Ir. MS
3) Dosen Pengajar Pascasarjana Program Ekonomi Pertanian, Universitas Padjadjaran, gelar Prof. Dr. Ir

ABSTRAK
Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan arah pembangunan pertanian
Kata Kunci: Indonesia ke depan. Salah satu pendekatan untuk mewujudkan arah
Pertanian pembangunan tersebut melalui pendekatan agribisnis. Dengan pendekatan sistem
berkelanjutan, dan usaha agribisnis tersebut maka pembangunan pertanian jelas berbasis pada
DAS, kerakyatan dan dijamin keberlanjutannya (Gumbira-Said, 2004). Kebijakan
Tata Kelola, tersebut selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang digagas oleh
PBB yang dikenal dikenal dengan SDGs (Sustainability Development Goals).
Agribisnis
Ada 17 tujuan dalam SDGs yang mencakup isu-isu pembangunan berkelanjutan
dan sangat relevan dengan Pertanian. Pada kenyataanya tidak semua ekosistem
pertanian berada pada kondisi yang lestari, salah satunya adalah Daerah Aliran
Sungai (DAS) Citarum. Sungai Citarum yang membentang 300 km ini ternyata
menyimpan berbagai permasalahan baik di hulu, tengah maupun di hilir.
Permasalahan tersebut diantaranya berupa banjir dan erosi. Penyebabnya diduga
salah satunya dari aktivitas pertanian masyarakat di daerah hulu. Sebagaimana
yang terjadi di Sungai Citarik Kecamatan Cicalengka sering terjadi banjir yang
diduga akibat rusaknya daerah hulu sungai akibat aktivitas pertanian yang kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan. Tujuan penelitian mendeskripsikan Tata
Kelola Ekosistem Agribisnis di Sub Sub DAS Citarik (Citarum hulu) yang
terintegrasi. Alat analisis dalam penelitian ini mengggunakan metode kualitatif
hasil pengolahan data primer maupun sekunder yang diexplorasi melalui kegiatan
Focus Group Discussion (FDG) dan kuesioner terhadap 120 Orang. Secara
kinerja tata kelola agribisnis di Sub DAS Citarik DAS Citarum Hulu yang
terintegrasi di Desa Tanjungwangi Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung
memiliki kinerja cukup. Hal ini berarti kinerja tata kelola agribisnis di Sub DAS
Citarik DAS Citarum Hulu belum mencapai titik maksimal atau masih bisa
dilakukan peningkatan kinerja pada setiap dimensinya terutama pada dimensi
akses terhadap Air dan Lahan. Rekomendasi hasil penelitian perlunya
peningkatan kesadaran dalam menjaga lingkungan dengan penerapan pola
pertanian agroforestry, perlunya peningkatan program reboisasi, peningkatan
kegiatan penyuluhan kepada petani dan usaha penurunan ketergantungan pada
penggunaan pupuk kimia.

E-mail korespondensi:

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan arah pembangunan pertanian
Indonesia ke depan. Paradigma tersebut sesuai dengan agenda PBB yang dikenal dengan
Sustainable Development Goals (SDGs). Secara keseluruhan SDGs sangat memberikan
perhatian dan memberi ruang untuk pengembangan agribisnis di negara berkembang dengan

899
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

berlancaskan pada ekosistem yang tangguh dan beragam. Salah satunya menghentikan dan
memulihkan degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati (point ke 15).
Upaya pendekatan untuk mewujudkan paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan
adalah melalui pendekatan agribisnis. Dengan pendekatan sistem dan usaha agribisnis tersebut
maka pembangunan pertanian jelas berbasis pada kerakyatan dan dijamin keberlanjutannya
(Gumbira-Said, 2004). Sementara pertanian yang sensitif keberlanjutan adalah pertanian di
daerah dataran tinggi. Usaha agribisnis di dataran tinggi sangat terkait dengan ekosistem yang
membentuknya. Bahkan menurut Altenberg (2007) dan Haggblade et al. (2012) bahwa sistem
agribisnis secara parsial sebagai kesatuan (entity) dari ekosistem.
Fungsi utama dataran tinggi sebenarnya adalah sebagai daerah konservasi. Di mana
penanaman tanaman tahunan atau tanaman kayu lebih diutamakan. Namun karena ekosistem
dataran tinggi lebih subur dan cocok secara agroklimatologi, daerah ini lebih banyak
dimanfaatkan untuk usaha pertanian tanaman pangan seperti palawija dan hortikultura. Dilema
antara kepentingan konservasi dan kebutuhan ekonomi sudah biasa dilakukan dimasyarakat
dengan pola pertanian tumpang sari. Sehingga kegiatan ekonomi tetap berjalan dan kondisi
ekosistem pertanian tetap lestari.
Pada kenyataanya tidak semua ekosistem pertanian berada pada kondisi yang lestari,
salah satunya adalah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Menurut (Imansyah, 2012)
permasalahan di bagian hulu DAS Citarum diantaranya adalah beralihnya daerah kawasan
lindung (hutan dan nonhutan) menjadi kawasan permukiman, pertanian, peternakan dan industri.
Kegiatan ekonomi masyarakat di pedesaan dataran tinggi yang mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani membuat petani sangat ketergantungan pada lahan untuk kegiatan pertanian dan
pemukiman.
Laporan Tim Sosialisasi Rencana Tindak Pengelolaan DAS Citarum terpadu
permasalahan di hilir disebabkan oleh erosi di bagian hulu. Erosi tersebut disebabkan oleh
aktifitas galian C, illegal loging, praktek teknologi pertanian konvensional. Penyebab
permasalahan tersebut adalah diakibatkan oleh agriculture masyarakat pedesaan di daerah hulu
DAS Citarum (Heryawan, 2018). Pembukaan lahan dengan cara menebang tanaman tahunan dan
membakar gulma. Cara ini kemudian menimbulkan tanah mudah erosi, menurunkan kualitas air
dan terjadinya banjir di daerah hilir.
Menurut data dari Tim Sosialisasi, Tahun 2013 DAS Citarum memiliki potensi erosi
lahan seluas 112,35 Juta Ton/Tahun. Total wilayah di DAS Citarum yang sangat prioritas
penanganan indeks erosi buruk dan sangat buruk yaitu seluas 100,641 Ha atau senilai 43,6%.
Indeks erosi buruk berada di Sub DAS Citarik (0,77), Cikeruh (0,57) dan yang tertinggi
Cikapundung (1,02). Sub DAS Citarik walaupun menurut nilai index erosi berada di bawah Sub
DAS Cikapundung, namun bagian hilir sungainya mengairi areal 8.216,6 Ha sawah di wilayah
rancaekek yang berpotensi terkena dampak banjir. Jika terjadi banjir pada lahan tersebut akan
mengakibatkan terjadinya gagal panen atau puso yang dikhawatirkan mengancam kerawanan
pangan.
Upaya Pengendalian Pencemaran Air (PPA) secara legal di Indonesia telah mulai
diperhatikan dengan dibuatnya Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian direvisi menjadi Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan saat ini menjadi Undang-undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diikuti
oleh berbagai aturan turunannya. Hingga berlakunya berbagai program pengendalian hulu DAS
Citarum maupun program pertanian dataran tinggi. Seperti Program OECF, Citarum Bestari,
PUAP, Model Desa Konservasi hingga Citarum Harum. Pada kenyataannya dampak kerusakan
dari daerah hulu masih tetap dirasakan.
Mencermati berbagai permasalahan tersebut maka tata kelola ekosistem agribisnis di
hulu DAS Citarum sudah merupakan suatu hal sangat mendesak. Tata kelola wilayah hulu DAS
Citarum sangat penting mengingat wilayah dataran tinggi hulu DAS Citarum merupakan sentra

900
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pengembangan komoditas agribisnis yang penting bagi pangan masyarakat. Oleh karena itu perlu
diteliti mengenai tata kelola ekosistem agribisnis yang seperti apa yang aman bagi kelestarian
ekosistem hulu DAS Citarum, dimana petani bisa megembangkan usaha agribisnisnya tetapi
lingkungan tetap lestari. Ini penting untuk memastikan keberlanjutan sosial, ekonomi dan
lingkungan di bagian hulu DAS.
Usaha untuk mendsekripsikan tata kelola tersebut harus secara utuh melihat secara keseluruhan
ekosistem dan sosiosistem yang ada di daerah hulu. Bagaimana selanjutnya merumuskan tata
kelola ekosistem agribisnis di hulu DAS Citarum yang terintegrasi. Dengan banyaknya program
pemberdayaan baik dari pemerintah, swadaya maupun swasta bagaimana pengaruhnya terhadap
tata kelola ekosistem agribisnis di daerah hulu.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel di Sub DAS Citarik DAS Citarum
hulu. Dimana di Sub DAS ini sudah dilakukan berbagai macam program pengendalian seperti
program dari pemerintah maupun swasta. Seperti program OECF, Citarum Harum, Model Desa
Konservasi, Citarum Harum hingga Program Wali Pohon di Gunung Masigit Kareumbi hasil
kerjasama Wanadri dan BKSDA. Program-program tersebut sudah lama berlangsung, namun
nilai index erosi Sub DAS Citarik tetap buruk.

KERANGKA TEORI / KERANGKA KONSEP


Salah satu upaya untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan adalah dengan pendekatan
agribisnis. Agribisnis adalah jumlah keseluruhan dari operasi yang meliputi pabrikan dan distribusi
input pertanian, produksi, operasi pada usahatani, serta penyimpanan, pengolahan dan distribusi
komoditas usahatani dan bahan yang terbuat dari komoditas usahatani tersebut (Goldberg & John
Davis, 1956). Sistem ini tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan ekosistem, hingga ada
terminologi agroekosistem. Selanjutnya pembangunan pertanian berkelanjutan bisa terwujud melalui
pendekatan agribisnis tentunya apabila terjadi tata kelola yang baik (good governance). Tata kelola
(governance) berkaitan erat dengan pengelolaan, pengaturan, seni manajemen dalam mengatur
sesuatu dalam banyak hal. Definisi tata kelola disampaikan oleh Arafat Wilson (2009) bahwa
Governance adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan dan institusi yang
memengaruhi pengarahan, pengelolaan serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi.
Menurut G. Marta & Rivera (2013) tata kelola ekosistem agribisnis (agroekosistem)
mempunyai 2 aspek pembahasan yaitu menyangkut aspek ekologis dan sosial. Selanjutnya ke 2
aspek tersebut berlaku menjadi dua subsistem yaitu subsistem ekosistem dan subsistem
sosiosistem. Persfektif lainnya disampaikan menurut (Setiawan dan Rasiska 2104) memandang
sistem pertanian (dan atau agribisnis di dataran tinggi sejatinya merupakan kesatuan dari sistem
lingkungan (ecosystem), sistem sosial (sociosystem) dan sistem kebumian (geosystem).

Ekosistem
Dari pendapat tersebut Perspektif kolektif dari Christopherson (1997) dan Marteen
(2001) dalam Setiawan (2015) mendefinisikan ekosistem (ecosystem) sebagai: ―a system
formed by the interaction of biological community with its chemical and physical environment.
An ecosystem includes everything at a particular location: biotic factors (plants, animals,
microorganisms) and abiotic factors (air, water, soil and human-built structures). An ecosystem
is everything in a specipied area – the air, soil, water, living organisms and physical structures,
including everything built by human.
Tanah dan air merupakan komponen penting di dalam proses agribisnis. Upaya
peningkatan kesejateraan petani kecil hanya dapat dilakukan melalui peningkatan akses mereka
terhadap tanah/lahan, ternak serta kesempatan kerja di wilayah pedesaan (Gumbira-Sa’id, 2014).
Luas penguasaan lahan oleh petani sangat menentukan volume produksi dan dan tingkat
pendapatan rumah tangga petani. Dengan demikian aksesibilitas terhadap air dan lahan dapat
dijadikan pertimbangan dalam pengukuran aspek Ekosistem.

901
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Sosiosistem
Selanjutnya Aspek Sosiosistem menurut Setiawan (2015) adalah menyangkut karakteristik
personal petani, karakteristik usaha petani, populasi, ekonomi, infrastruktur, pengetahuan/ Teknologi
Budidaya, pasar komoditas, teknologi komunikasi, institusi pertanian dan pedesaan: Nilai (Value)
dan Norma (Norm). Adapun pada penelitian ini yang akan diambil sebagai unit analisis adalah
populasi, ekonomi, infrastruktur, pengetahuan/ Teknologi Budidaya, pasar komoditas, teknologi
komunikasi, institusi pertanian dan pedesaan, Nilai (Value) dan Norma (Norm).

Kebijakan
Pengukuran Aspek Kebijakan dengan mempertimbangkan beberapa hal diantaranya
ketersediaan undang-undang, efektifitas lembaga / institusi dalam pengelolaan Hulu DAS Citarum,
serta implementasi program. Ketersediaan undang-undang mencakup undang-undang sebagai
payung hukum tingkat nasional, keputusan menteri, standar, pedoman, manual. Implementasi
program dengan menginventarisir seluruh program yang sudah dan sedang berjalan.

Pemberdayaan
Sesuai dengan teori-teori mengenai evaluasi pemberdayaan, maka uraian variabel terikat
berupa sikap dan cara pandang masyarakat terhadap keberlanjutan penerapan konsep
pembangunan berbasis masyarakat dalam penelitian ini dapat dilihat dari aspek tingkat
partispasi, kemampuan mengemukakan pendapat, perubahan kesadaran, kemampuan bertindak,
kemampuan menyusun tujuan baru, kemampuan negosiasi, tingkat kepuasan dan tingkat
kepercayaan diri. Adapun aspek pemberdayan yang dijadikan indikator pengukuran dalam
penelitian ini hanya mengambil indikator Partisipasi, Perubahan Kesadaran, Kerjasama dan
Kepdulian, Kemampuan manajerial dan Kemampuan Bertindak.

Agribisnis Berkelanjutan
Keberlanjutan merupakan indikator pembangunan sistem dan agroekosistem (Conwey
1987 dalam Setiawan 2015). Setiawan, 2015 mengkategorikan keberlanjutan pertanian dicirikan
dengan adanya keberlanjutan sosial, keberlanjutan ekonomi & keberlanjutan lingkungan.
Selanjutnya Setiawan menyimpulkan karakteristik 3 keberlanjutan dalam konteks karakteristik
kemandirian pelaku muda agribisnis, yaitu : (1) keberlanjutan sosial (terciptanya kesejahteraan,
kebahagiaan, budaya ramah lingkungan dan regenerasi pelaku agribisnis); (2) keberlanjutan
ekologis (terciptanya agribisnis yang ekologis, yang ramah lingkungan, yang adaptif, yang
produktif dan yang antisipatif). (3) keberlanjutan ekonomi-politik (terciptanya lapangan kerja,
wirausaha dan pasar agribisnis baru yang berkeadilan, humanis/memberdayakan, berjaringan
dan bermartabat).
Sedangkan menurut Iskandar Yusuf (2016) menguraikan keberlanjutan ekonomi terdiri
atas daya beli masyarakat (peluang mendapatkan pekerjaan, upah yang layak), keberlanjutan
sosial & teknis /lingkungan digambarkan menurut tabel berikut :

Tabel 1. Dimensi dan Aspek Keberlanjutan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

NO DIMENSI ASPEK
KEBERLANJUTAN SOSIAL
1 Tingkat pendidikan masyarakat − Rata-rata lamanya sekolah
− Kejuruan yang sesuai kebutuhan
2 Kepeduliah terhadap lingkungan − Tingkat kepedulian terhadap lingkungan
− Jumlah masyarakat yang peduli

902
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

NO DIMENSI ASPEK
3 Kontrol sosial masyarakat − Respon positif masyarakat
− Organisasi masa berbasis lingkungan
4 Dukungan terhadap kearifan lokal − Kreativitas lokal masyarakat
− Pelestarian kearifan lokal

KEBERLANJUTAN EKONOMI
1 Peluang mendapat pekerjaan − Mendapatkan pekerjaan mudah di desa
2 Upah yang layak − Upah yang diterima layak

KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN
1 Agribisnis yang ekologis − Perlakuan terhadap lahan
2 Ramah lingkungan − Penggunaan pupuk kimia dan pestisida

Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan
wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak
sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai
“A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams
such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”. Dari definisi
tersebut, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan
lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat
keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi.
Dalam rangka memudahkan pengelolaan sungai-sungai tersebut, pemerintah melalui
Kementerian Pekerjaan Umum mengelompokkan sungai-sungai kedalam Wilayah Sungai.
Masing-masing Wilayah Sungai memiliki badan bernama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)
yang bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan Wilayah Sungai tersebut. Penetapan dan
pembagian wilayah sungai dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya usaha-usaha
perlindungan, pengembangan air secara menyeluruh dan terpadu pada satu daerah pengaliran
sungai atau lebih. Kesemuanya itu, bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kepentingan masyarakat di segala bidang kehidupan dan penghidupan (Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum). Sungai Citarum tergabung dalam Wilayah Sungai Citarum. Wilayah Sungai
ini dibawahi oleh BBWS Citarum.
Wilayah Sungai Citarum merupakan wilayah sungai terbesar dan terpanjang di Propinsi
Jawa Barat. Wilayah Sungai ini meliputi 5 DAS yaitu DAS Citarum, DAS Cipunegara, DAS
Cilamaya, DAS Cilalanang dan DAS Ciasem. DAS Citarum sendiri memiliki Sub DAS
diantaranya adalah Sub DAS Citarik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di Sub DAS Citarik, Desa Tanjungwangi Kecamatan
Cicalengka Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan metode penelitian
kualitatif hasil pengolahan data primer maupun sekunder yang diexplorasi melalui kegiatan
Focus Group Discussion (FDG).
Penelitian ini menggunakan mix methods. Penelitian kombinasi dipilih karena di
dalamnya terdapat dua jenis penelitian, yakni kualitatif dan kuantitatif. Jenis kualitatif digunakan
untuk memperoleh hasil validasi dan implementasi produk. Sedangkan kuantitatif digunakan
untuk memahami proses validasi dan implementasi. Penelitian ini menggunakan metode survei.

903
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Analisis Data
Tata kelola ekosistem agribisnis yang berkelanjutan bisa terwujud salah satunya dengan
melakukan pemberdayaan tata kelola ekosistem kepada petani di hulu DAS Citarum. Hal
tersebut dengan mempertimbangkan karakteristik ekosistem, sosiosistem, kebijakan
pengendalaian hulu DAS Citarum

Analisis Ekosistem di Hulu DAS Citarum


Pengukuran akses terhadap air dan lahan dengan menggunakan metode Integrated Rural
Accesibility Planning (IRAP). Perhitungan nilai aksesibilitas dilakukan setelah mendapatkan
data dari lapangan. Tahapan perhitungan nilai aksesibilitas individu terdiri dari 3 tahap, yaitu :
1. Penentuan nilai indikator (I); Kuesioner yang sudah diisi dikuantifikasikan berdasarkan
tabel nilai indikator yang sudah pada Form. Pengelompokan dilakukan dalam 3 tiga
kelompok prioritas yaitu kelompok 1 (Baik), kelompok 2 (Sedang) dan Kelompok 3 (Buruk
).
2. Penentuan bobot indikator (B); Penentuan bobot indikator dilakukan oleh stakeholder
(lembaga yang terkait) di wilayah penelitian minimal 4 (empat) orang. Hasil penentuan yang
digunakan adalah nilai rerata bobot indikator Form 2 (lampiran 3). Para peserta diberikan 5
pilihan bobot, yaitu : 5 (indikator sangat penting), 4 (indikator penting), 3 (indikator agak
penting), 2 (indikator tidak begitu penting, 1 (indikator tidak penting sama sekali).

Nilai aksesibilitas diperoleh dengan cara sebagai berikut :

a. Mencari jumlah total perkalian nilai indikator (I) dengan bobot indikator (B).
 (Ii xB ) = (I1 xB1 )+ (I 2 xB2 )+ ......+ (Ii xBi )
b. Mencari nilai rerata hasil total perkalian nilai indikator (I) dengan bobot indikator (B)
dibagi dengan banyaknya indikator (i).
∑ 𝐼𝑖 × 𝐵𝑖
𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 ∑ 𝐼𝑖 × 𝐵𝑖 =
𝑖
Penyajian data hasil penelitian selanjutnya disajikan secara deskriptif dalam dalam bentuk
tabel dan grafik nilai aksesibilitas terhadap sumber air dan lahan.

Analisis Sosiositem di Hulu DAS Citarum


Komponen Sosiosistem yang menjadi unit analisis pada penelitian ini adalah :
1. Populasi
2. Ekonomi
3. Pengetahuan/Teknologi Budi Daya
4. Pasar Komoditas
5. Nilai (Value) dan Norma (Norm)
6. Institusi Pertanian dan Pedesaan

Analisis Kebijakan
Pengukuran aspek kebijakan dengan mempertimbangkan beberapa hal diantaranya ketersediaan
undang-undang, efektifitas lembaga / institusi dalam pengelolaan Hulu DAS Citarum, serta
implementasi program. Ketersediaan undang-undang mecakup undang-undang sebagai payung
hukum tingkat nasional, keputusan menteri, standar, pedoman, manual. Implementasi program
dengan menginventarisir seluruh program yang sudah dan sedang berjalan.

904
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Pemberdayaan
Pada pengukuran evaluasi pemberdayaan akan diambil 5 variabel saja yaitu : tingkat partisipasi,
perubahan kesadaran, kerjasama dan kepedualian, kemampuan manajerial, kemampuan
bertindak

Analisis Tata Kelola ekosistem Agribisnis yang Berkelanjutan


Berikut Dimensi dan Aspek untuk pengukuran keberlanjutan :
Tabel 2. Dimensi dan Aspek Keberlanjutan
NO DIMENSI ASPEK
KEBERLANJUTAN SOSIAL
1 Tingkat pendidikan masyarakat − Rata-rata lamanya sekolah
− Kejuruan yang sesuai kebutuhan
2 Kepeduliah terhadap lingkungan − Tingkat kepedulian terhadap lingkungan
− Jumlah masyarakat yang peduli
3 Kontrol sosial masyarakat − Respon positif masyarakat
− Organisasi masa berbasis lingkungan
4 Dukungan terhadap kearifan lokal − Kreativitas lokal masyarakat
− Pelestarian kearifan lokal

KEBERLANJUTAN EKONOMI
1 Peluang mendapat pekerjaan − Mendapatkan pekerjaan mudah di desa
2 Upah yang layak − Upah yang diterima layak

KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN
1 Agribisnis yang ekologis − Perlakuan terhadap lahan
2 Ramah lingkungan − Penggunaan pupuk kimia dan pestisida

Operasionalisasi Variabel
Tabel 3. Operasional Variabel

KONSEP VARIABEL INDIKATOR / PARAMETER SATUAN SKALA


DIMENSI
Karakteristik Akses Terhadap Air Likert
Ekosistem Akses Terhadap Lahan dengan sk
ala 1-4
Karakteristik Populasi 1= Sangat Tidak Likert
Sosiosistem Ekonomi Setuju dengan sk
Pengetahuan/ Teknologi 2= Tidak Setuju ala 1-4
Budidaya 3= Setuju
Pasar Komoditas
4= Sangat Setuju
Nilai dan Value
Istitusi Pertanian &
Pedesaan
Model Tata
Kebijakan Keberadaan 1= Sangat Tidak Likert
Kelola

905
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

KONSEP VARIABEL INDIKATOR / PARAMETER SATUAN SKALA


DIMENSI
Ekosistem Peraturan/Perundangan Setuju dengan sk
Agribisnis di Efesiensi Institusi 2= Tidak Setuju ala 1-4
Sub Sub DAS Implementasi Program 3= Setuju
Citarik DAS 4= Sangat Setuju
Citarum Hulu Pemberdayaan Partisipasi 1= Sangat Tidak Likert
Perubahan Kesadaran Setuju dengan skala
Kerjasama dan 2= Tidak Setuju 1-4
Kepedulian 3= Setuju
Kemampuan manajerial
4= Sangat Setuju
Kemampuan bertindak
Tata Kelola Keberlanjutan Sosial 1= Sangat Tidak Likert
Ekosisitem Keberlanjutan Ekonomi Setuju dengan skala
Agribisnis Keberlanjutan 2= Tidak Setuju 1-4

Berkelanjutan Lingkungan 3= Setuju


4= Sangat Setuju

Alat analisis Uji Structural Equation Model (SEM)


Uji statistik yang digunakan berupa analisis jalur (Structural Equation Model (SEM). SEM
adalah salah satu teknik analisis multivariat yang digunakan untuk menguji teori mengenai
sekumpulan relasi antar sejumlah variabel secara simultan (Dachlan, 2014). Sedangkan Grace
(2006) mendefiniskan SEM sebagai penggunaan dua atau lebih persamaan struktural untuk
memodelkan relasi multivariat.Hipotesis penelitian diterjemaahkan ke dalam paradigma sebagai
berikut :

Gambar 1. Model Penelitian Tata Kelola Ekosistem Agribisnis yang berkelanjutan

906
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Keterangan :
Z = Keberlanjutan
Z1 = Keberlanjutan Sosial
Z2 = Keberlanjutan Ekonomi
Z3 = Keberlanjutan Lingkungan
Y = Pemberdayaan
Y1 = Partispasi
Y2 = Perubahan kesadaran
Y3 = Kerjasama dan Kepedulian
Y4 = Kemampuan manajerial
Y5 = Kemampuan bertindak
X1 = Karakteristik Ekosistem
X11 = Akses terhadap Air
X12 = Akses terhadap lahan
X2 = Karakteristik Sosiosistem
X21 = Populasi
X22 = Ekonomi
X23 = Pengetahuan/Teknologi Budidaya
X24 = Pasar Komoditas
X25 = Nilai dan Norma
X26 = Institusi Pertanian dan Perdesaan
X3 = Kebijakan
X31 = Keberadaan peraturan-perundangan
X32 = Efesiensi Institusi/lembaga
X33 = Implementasi program
𝜀 = variabel sisa (residual variabel) yaitu variabel lain yang diduga turut mempengaruhi
variabel Z, namun tidak diidentifikasi jenisnya.

Pengambilan jumlah sampel


Pada penelitian ini Pengambilan sampel dengan menggunakan rumus Slovin (1960) sehingga
diperoleh jumlah sampel 120 orang petani dari populasi petani sebanyak 170 orang.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data penelitian ini adalah hasil dari kuesioner yang disebarkan kepada 120 orang. Analisis yang
akan disajikan terdiri dari dua bagian, yaitu analisis analisis deskriptif data penelitian dan analisis
PLS.

Deskripsi Data Penelitian


Deskripsi dan operasionalisasi konsep-konsep dalam angket ini dilakukan berdasarkan
pengamatan terhadap gejala-gejala dilapangan. Penulis memaparkan dan memberikan
penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah diklasifikasikan dalam kategori sangat
kurang, kurang, cukup, dan baik.
Tabel 5. Tabel Deskripsi Dimensi
Indikator Skor Kategori

Karakteristik Ekosistem
X11 Akses terhadap Air 9.99 Kurang
X12 Akses terhadap Lahan 10.72 Kurang
Rata-rata 10.35 Kurang

Karakteristik Sosiosistem
X21 Populasi 2.88 Cukup
X22 Ekonomi 3.23 Cukup
X23 Pengetahuan/Teknologi Budidaya 2.96 Cukup
X24 Pasar Komoditas 2.43 Kurang

907
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Indikator Skor Kategori


X25 Nilai dan Value 3.40 Baik
X26 Istitusi Pertanian & Pedesaan 3.08 Cukup
Rata-rata 3.00 Cukup

Kebijakan
X31 Keberadaan Peraturan/Perundangan 3.24 Cukup
X32 Efesiensi Institusi 3.06 Cukup
X33 Implementasi Program 2.68 Cukup
Rata-rata 2.99 Cukup

Pemberdayaan
Y1 Partisipasi 3.16 Cukup
Y2 Perubahan Kesadaran 3.54 Baik
Y3 Kerjasama dan Kepedulian 3.36 Baik
Y4 Kemampuan manajerial 2.94 Cukup
Y5 Kemampuan bertindak 3.32 Baik
Rata-rata 3.27 Baik
Tata Kelola Ekosisitem Agribisnis Berkelanjutan
Z1 Keberlanjutan Sosial 3.34 Baik
Z2 Keberlanjutan Ekonomi 3.18 Cukup
Z3 Keberlanjutan Lingkungan 2.80 Cukup
Rata-rata 3.11 Cukup

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden pada indikator karakteristik
ekosistem secara keseluruhan diklasifikasikan kurang dengan perolehan skor rata-rata 10,35
Indikator karakteristik ekosistem yang memiliki persepsi bobot paling positif pada akses
terhadap Lahan. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah pada akses
terhadap Air.
Pada indikator karakteristik sosiosistem secara keseluruhan diklasifikasikan cukup
dengan perolehan skor rata-rata 3,00. Indikator karakteristik sosiosistem yang memiliki persepsi
bobot paling positif pada nilai dan value. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot
paling rendah pada pasar komoditas.
Respon responden pada indikator kebijakan secara keseluruhan diklasifikasikan cukup
dengan perolehan skor rata-rata 2,99. Indikator kebijakan yang memiliki persepsi bobot paling
positif pada keberadaan peraturan/perundangan. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi
bobot paling rendah pada implementasi program.
Respon responden pada indikator pemberdayaan secara keseluruhan diklasifikasikan baik
dengan perolehan skor rata-rata 3,27 Indikator pemberdayaan yang memiliki persepsi bobot
paling positif pada perubahan kesadaran. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot
paling rendah pada kemampuan manajerial.
Respon responden pada indikator tata kelola ekosistem agribisnis berkelanjutan secara
keseluruhan diklasifikasikan cukup dengan perolehan skor rata-rata 3,11. Indikator tata kelola
ekosistem agribisnis berkelanjutan yang memiliki persepsi bobot paling positif pada
keberlanjutan sosial. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah pada
keberlanjutan lingkungan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Secara kinerja tata kelola agribisnis di Sub DAS Citarik DAS Citarum Hulu yang
terintegrasi di Desa Tanjungwangi Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung memiliki kinerja
cukup. Hal ini berarti kinerja tata kelola agribisnis di Sub DAS Citarik DAS Citarum Hulu belum

908
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

mencapai titik maksimal atau masih bisa dilakukan peningkatan kinerja pada setiap dimensinya
terutama pada dimensi akses terhadap Air dan Lahan.

DAFTAR PUSTAKA
Arafat Wilson. 2009. Smart Strategy for 360 Degree Good Corporate Governance. Jakarta :
Sicyrocketing Publisher. Asian Development Bank. 2006
Arifjaya NM. 2014. Kegiatan Sosialisasi Rencana Tindak Pengelolaan DAS Citarum Terpadu.
Bandung : Badan Pusat Statistik
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Kajian Model Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS) Terpadu.
Francois Ruf, 2004 Inovasi di dataran tinggi Indonesia : Dari Sistem Tebas Bakar Kes Istem
Peremajaan Kembali.The World Bank & Salemba 4.
Grashman JB, Achiere Agro-Ecosystem Health: Aggregation of Systems in Time and Space.
Wageningen Agricultural University.
Haryanto ET. 2006. Pemantauan Aliran Sedimen Melayang Sub-Sub DAS Di Citarum Hulu
Dalam Kaitannya Dengan Umur Operasional Waduk Saguling Laboratorium
Geomorfologi Dan Geologi Foto, Jurusan Geologi, FMIPA, UNPAD. Bulletin of
Scientific Contribution
Heliana Teixeira et.al, 2018 Linking biodiversity to ecosystem services supply: Patterns across
aquatic ecosystems. Science of the Total Environment Journal
Hjorth L . 2008. Technology and Society. Illinois. Institute of
Technology Hutagalung RA. 2010 Ekologi Dasar. Jakarta :
Bumi Aksara
Imansyah, 2012. Studi Umum Permasalahan dan Solusi DAS Citarum Serta Analisis Kebijakan
Pemerintah. Program Studi Teknik SipilFakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 25 Tahun 11
Mubarak Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau Dari Proses Pengembangan
Kapasitas Pada Kegiatan Pnpm Mandiri Perkotaan Di Desa Sastrodirjan Kabupaten
Pekalongan. Naskah Tesis. Semarang. Program Pascasarjana Magister Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro.
Nasdian FT.2014. Pengembangan Masyarakat. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Parikesit, Danang., Roberto Akyuwen., Latief Budi Suparma. (2003). Perencanaan Aksesibilitas
perdesaan Terintegrasi. Integrated Rural Accessibility Planning (IRAP). Universitas
Gadjah Mada, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan International Labour
Organization, Yogyakarta
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Agroekosistem. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Rahman, 2014. Status Kualitas Air dan Penatagunaan lahan di DAS Citarum Hulu Kabupaten
Bandung. Tesis pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung.
Rivera MG, Ferre. 2010. Rethinking Study and Management of Agricultural Systems for Policy
Design.

909
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Said EG. 2004. Pertanian Mandiri : Paradigma Peningkatan Pemanfaatan Teknologi Menuju
Pembangunan Pertanian Indonesia yang Berkelanjutan. Jakarta : Penebar swadaya.
Saridewi1 et.al, 2014 Penataan Ruang Daerah Aliran Sungai Ciliwung Dengan Pendekatan
Kelembagaan Dalam Perspektif Pemantapan Pengelolaan Usahatani. Forum Penelitian
Agro Ekonomi
Setiawan I, 2015. Perkembangan Kemandirian Pelaku Brain Gain Sebagai Alternatif Inovasi
Regenerasi Pelaku Agribisnis di Dataran Tinggi Jawa Barat. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Teknologi Bandung.
Suryamin, Sutopo A. 2014 Kajian Indikator Lintas Sektor. Kajian Indikator Sustainable
Development Goals (SDGs). Jakarta. Badan Pusat Statistik
Susilo, Rachmad K. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Rajawali Press
Sutopo, 2014 Kajian Indikator Sustainable Development Goals (SDGs). Badan Pusat Statistik
Wijayanto, Setyo Hari, 2015. Metodologi Penelitian Menggunakan Structural Equation
Modeling dengan Lisrel 9. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Cetakan pertama.
Yusuf , 2016 Analisis Pengendalian Pencemaran Air di Zona Hulu Sungai. Jurnal Sumber
Daya Air Vol.12 No. 1 Balai Lingkungan Keairan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Air

910
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

VIII
Multidisiplin

911
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

912
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Filosofi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi


Philosophy on Integrated Crop Management for Rice
Teguh Wijayanto, M. Tufaila, Nini Mila Rahni, Andi Khaeruni, Awaluddin Hamzah,
Tresjia C. Rakian, Zulfikar, La Ode Afa, Aswar Limi, dan Rosmawaty
Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara

ABSTRAK

Kata Kunci: Padi dan jagung merupakan komoditas tanaman pangan yang mempunyai
Padi peranan strategis dalam perekonomian nasional. Di beberapa daerah bahkan
Pengelolaan Tanaman beras/jagung merupakan sumber pangan utama bagi masyarakat. Kebutuhan
Terpadu (PTT) terhadap kedua komoditas ini terus meningkat, baik untuk pangan maupun
pakan dan industri. Pada saat produksi dalam negeri tidak mendukung,
pemerintah seringkali terpaksa mengimpor beras dan jagung untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional
dan menekan volume impor, pemerintah terus mencanangkan program
peningkatan produksi tanaman pangan, salah satu strategi dalam peningkatan
produksi adalah meningkatkan produktivitas. Dalam hal ini inovasi teknologi
memegang peranan penting. Banyak penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan varietas unggul yang dibudidayakan dengan pendekatan
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) mampu meningkatkan produksi dan
efisiensi input produksi. Selain pengetahuan dan pemahaman yang baik
terkait PTT padi atau jagung, berbagai pihak juga perlu mengetahui berbagai
filosofi terkait padi dan pengelolaannya.

ABSTRACT

Keywords: Rice and maize are food crop commodities that have a strategic role in the
Rice national economy. In some areas corn is even the main food source for the
Integrated Crop community. The need for these two commodities continues to increase, both
Management (ICM) for food and feed and industry. When domestic production is not sufficient,
the government is often forced to import rice and maize to meet those needs.
To meet national food needs and reduce the volume of imports, the
government continues to launch programs to increase food crop production,
one of the strategies in increasing production is to increase productivity. In
this case technological innovation plays an important role. Many studies have
shown that the use of improved varieties cultivated with an integrated crop
management (ICM) approach can increase production and production input
efficiency. In addition to good knowledge and understanding of ICM for rice
or corn, various parties also need to know various philosophies related to rice
and their management.

Email Korespondensi: wijayanto_teguh@yahoo.com

PENDAHULUAN
Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Data BPS (2018)
menunjukkan bahwa potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10.9 juta hektar dengan produksi
56.54 juta ton gabah kering giling atau setara 32.42 juta ton beras. Sementara itu, angka konsumsi
sebesar 29.5 juta ton dengan angka konsumsi per kapita 111.58 kilogram dalam setahun.
Produksi padi di Indonesia ini belum stabil menopang kebutuhan beras nasional yang terus

913
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

meningkat. Salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras impor
adalah dengan meningkatkan produksi beras domestik melalui penyaluran teknologi kepada pada
petani padi.
Pendekatan teknologi yang disalurkan adalah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, produksi, pendapatan, dan kesejahteraan petani
padi. Pendekatan teknologi PTT padi terdiri dari 12 komponen teknologi yang diciptakan untuk
meningkatkan produksi padi melalui efisiensi penggunaan input produksi dengan
memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara bijak. Penyaluran pendekatan teknologi
PTT melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu sebagai bagian dari Program
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) telah belangsung dari tahun 2008. Meskipun
secara umum berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PTT meningkatkan
produksi tanaman, namun berbagai hasil evaluasi dan penelitian juga menunjukkan bahwa
tingkat penerapan PTT bervariasi di kalangan petani, belum semua komponen PTT diterapkan
secara maksimal oleh petani, dan perlu terus dilakukan peningkatan agar hasil produksi padi
makin optimal. Perlu kajian lebih lanjut mengapa terkadang tingkat penerapan PTT yang
bervariasi serta dampaknya terhadap produksi usahatani padi. Penting untuk: 1) mengukur
tingkat penerapan PTT padi, 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
penerapan PTT pada usahatani padi, dan 3) menganalisis pengaruh tingkat penerapan PTT
terhadap peningkatan produksi usahatani padi.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen teknologi yang memiliki
persentase tingkat penerapan yang paling tinggi oleh petani antara benih Varietas Unggul Baru
(VUB), dan yang rendah antar lain jarak tanam jajar legowo 2. Beberapa faktor yang terkadang
mempengaruhi belum optimalnya tingkat penerapan PTT oleh petani antara lain: intensitas
keiikutsertaan petani dalam pertemuan SLPTT, jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang
diikuti petani, maupun status pekerjaan petani. Tingkat penerapan PTT yang belum optimal ini
tentu ikut berdampak pada produksi padi. Disamping itu, faktor-faktor produksi usahatani padi
yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi adalah pupuk NPK, pupuk urea, dan lahan.
Untuk meningkatkan penerapan PTT padi ke depannya, pemerintah melalui penyuluh
lapang, bekerja sama dengan pengurus kelompok tani perlu meningkatkan motivasi petani dalam
mengikuti pertemuan SLPTT. Dengan tingkat penerapan PTT yang optimal, maka diharapkan
dapat berpengaruh signifikan dan positif terhadap peningkatan produksi padi yang hasilnya dapat
bermanfaat bagi petani.

FILSAFAT BERTANAM PADI


Bahan renungan:
1. Menanam Mundur (Kalau maju terinjak-injak): “Mengalah untuk menang”. Mundur untuk
kemajuan
2. Menanam Menunduk (Kalau berdiri bibit tidak bisa tertanam): “Hidup harus kerja keras”
untuk mencapai tujuan. Sunnatullah (hukum alam)
3. Tugas manusia hanya menyemai, menanam, menyiangi. Selebihnya “Tawakkal/berserah
diri” dan Ikhlas dengan hasil akhir.
4. Menanam padi (“kebaikan”) biasanya rumput (“keburukan”) akan ikut tumbuh. Rumput
harus dicabut agar tidak lebih dominan dari padi. Bila kita menanam rumput (“keburukan’),
niscaya padi (“kebaikan”) tidak akan tumbuh.
5. Makin berisi makin merunduk (karena makin berat, malai tidak kuat): “Jangan sombong,
tetaplah rendah hati”

Sebagaimana dengan budidaya tanaman pangan lain, beberapa anggapan dan


praktek/prilaku petani yang kurang tepat di bawah ini, perlu menjadi perhatian atau paling tidak
perlu diluruskan dan didiskusikan. Secara filsafat, praktek ini dapat dikatakan tidak benar dan

914
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

tidak memberikan manfaat bagi petani, bahkan mungkin bisa cenderung merugikan. Diantara
anggapan-anggapan tersebut antara lain:
Anggapan bahwa varietas baru selalu tidak bagus dan tidak cocok. Akibatnya,
para petani enggan menanam varietas baru. Banyak varietas baru yang dominan ditanam di
Indonesia, memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas sebelumnya.
Bertolak belakang dengan anggapan di atas, banyak juga yang berpandangan bahwa
varietas lama (varietas asli daerah) tidak perlu dipertahankan dan dilestarikan
keberadaannya. Sekarang ini, hampir tidak ada lagi yang menanam varietas asli daerah. Lalu,
apa gunanya varietas ini dilestarikan? Jawabannya adalah sebagai sumber plasma nutfah atau
sebagai sumber keragaman genetik untuk keperluan pemuliaan tanaman, karena di dalam plasma
nutfah tanaman budidaya, terkandung beragam gen laten yang berguna untuk program pemuliaan
tanaman, termasuk tahan kekeringan. Dari segi pemuliaan, penggunaan sumber gen yang
berkerabat dekat lebih memungkinkan untuk berhasil dibanding bila menggunakan sumber yang
sangat asing.
Dari segi agronomi, ada pandangan bahwa banyak tanaman, banyak hasil. Ini mungkin
mirip dengan pandangan “banyak anak, banyak rezeki”. Implikasi buruk dari pandangan ini
adalah petani menanam tanaman dengan jarak tanam yang sangat rapat, ditambah lagi sangat
banyak tanaman dalam satu lubang tanam. Betapa tidak efisiennya bila kita menabur benih
terlalu banyak/berlebihan. Ini baru dilihat dari kebutuhan/biaya benih, belum lagi dari segi
tenaga kerja dan waktu yang terbuang percuma. Ini sungguh sangat boros dan tidak ekonomis.
Anggapan lain yang juga kurang tepat adalah semakin banyak air yang diberikan,
semakin banyak hasil. Akibatnya, pemakaian air sangat boros per-satuan luas lahan, sehingga
jumlah lahan yang dapat diairi menjadi lebih sempit dari yang seharusnya.
Pemikiran keliru lainnya adalah banyak pupuk, banyak hasil (apalagi pupuk kimia).
Pemeo ini sebenarnya tidak produktif dan bahkan sangat merusak lingkungan. Kita kadang-
kadang sudah keterlaluan dalam menggunakan pupuk, terutama pupuk anorganik. Barangkali
petani belum menghitung pemakaian pupuknya, tetapi bila kita hitung, bisa jadi pupuk yang
digunakan bisa mencapai dua kali lipat dari yang dianjurkan. Bisa jadi pula dosis anjuran pun
sudah terlalu banyak, karena belum ada kajian yang mendalam sebenarnya berapa dosis yang
aman untuk produktivitas tanaman dan kesehatan lahan yang berkelanjutan. Walaupun aplikasi
pupuk N anorganik telah memberikan keuntungan yang nyata pada produksi pangan dan
ketahanan pangan dunia dalam jangka pendek, namun ada keprihatinan yang meluas terhadap
keberlanjutan penggunaan teknologi ini untuk jangka panjang agar dapat terus memberi makan
seluruh populasi dunia yang terus meningkat. Penggunaan pupuk N anorganik secara terus
menerus akan menyebabkan perusakan tanah pertanian, antara lain sebagai akibat dari hilangnya
bahan organik, pemadatan tanah, peningkatan salinitas, dan pencucian nitrat anorganik.
Bahan organik tidak berfaedah adalah kesalahan lain. Sumber bahan organik tidak
dimanfaatkan. Sisa tanaman tidak dikembalikan ke lahan, melainkan diangkut dan sebagiannya
lagi dibakar. Barangkali ada kemalasan ikut terlibat di sini. Padahal dengan sedikit rajin,
penyerakan jerami ke permukaan lahan sawah dapat juga segera menghilangkan tumpukan yang
mengganggu, tanpa harus membakarnya. Membakar jerami sama artinya menghilangkan sumber
bahan organik dan yang tersisa hanya abu dengan sedikit bahan mineral. Menyerakkan jerami
sama artinya dengan memberikan sumber bahan organik ke dalam tanah, yang sangat berarti
bagi kesuburan dan kesehatan tanah, berikut tanaman yang tumbuh di atasnya. Lalu, apa gunanya
bahan organik pada tanah? Bahan organik berguna sebagai suplai unsur hara, kapasitas menahan
air, agregasi struktrur tanah, dan pencegah erosi. Lebih jauh lagi, sebenarnya bahan organik
dalam tanah bisa berfungsi seperti mediator, atau penyangga dari kondisi ekstrem di dalam tanah.
Bahan organik merupakan indikator kunci akan kesehatan tanah dan memainkan peran penting
pada sejumlah fungsi, seperti biologi, kimia, dan fisik.
Yang tidak kalah kelirunya juga ada pada pengendalian hama dan penyakit.
Menyemprotkan pestisida, terutama insektisida seperti sudah merupakan keharusan.

915
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Ada tidaknya hama dan penyakit di pertanaman tidak menjadi soal yang penting. Akibatnya,
residu pestisida terus terakumulasi. Tidak hanya mencemari tanah saja, air dan sumber air pun
ikut tercemar. Banyak mikroorganisme dan makroorganisme yang berguna ikut mati terbunuh
oleh pestisida, sehingga kesehatan tanah terus menurun dari tahun ke tahun. Pestisida seperti
DDT, aldrin, endrin, dan fosfor organik bila mencemari tanah pertanian akan merugikan sebab
senyawa tersebut dapat membunuh mikroorganisme yang sangat penting bagi tanah untuk proses
dekomposisi dan sintesis senyawa organik dan anorganik. Bila penggunaannya tidak terkontrol,
insektisida bisa juga menimbulkan pencemaran lingkungan, seperti air minum, merugikan
kesehatan, dan juga mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap senyawa tersebut. Selain itu,
insektisida ada juga yang bersifat karsinogenik, yaitu senyawa yang bisa menimbulkan
terjadinya penyakit berbahaya.

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) – PADI


Kementerian Pertanian mempunyai empat target sukses yaitu (i) Swasembada dan
swasembada berkelanjutan, (ii) Diversifikasi pangan, (iii) Peningkatan nilai tambah, daya saing
dan ekspor, dan (iv) Peningkatan kesejahteraan petani. Untuk mencapai target pertama banyak
kebijakan yang dilakukan pemerintah, diantaranya adalah program Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi, sehingga tujuan peningkatan produksi agar swasembada padi
dapat tercapai. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif dalam
upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem / pendekatan
dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara
partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi. Penerapan PTT didasarkan pada empat
prinsip. Pertama, PTT bukan merupakan teknologi maupun paket teknologi, tetapi merupakan
suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, lahan dan air dapat dikelola sebaik-baiknya.
Kedua, PTT memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan
dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi. Ketiga, PTT memperhatikan
kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial – ekonomi petani setempat.
Keempat, PTT bersifat partisipatif yang berarti petani turut serta menguji dan memilih
teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui proses
pembelajaran.
Penerapan PTT dalam intensifikasi padi merupakan penyempurnaan dari konsep
sebelumnya yang dikembangkan untuk menunjang peningkatan hasil padi seperti Supra Insus.
Food and Agriculture Organization (FAO) mengadopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu
(Integrated Crop Management) sebagai penyempurnaan dari Pengelolaan Hama Terpadu
(Integrated Pest Management). Dalam penerapan PTT (1) tidak lagi dikenal rekomendasi paket
teknologi untuk diterapkan secara nasional, (2) petani secara bertahap dapat memilih komponen
teknologi yang paling sesuai dengan keadaan setempat maupun kemampuan petani, (3) efisiensi
biaya produksi diutamakan, dan (4) suatu teknologi saling menunjang dengan teknologi lain.
Komponen Teknologi yang diterapkan terdiri atas 2 komponen yaitu Komponen Teknologi
Dasar dan Komponen Teknologi Pilihan. Komponen Teknologi Dasar adalah teknologi yang
dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi, dan memiliki pengaruh yang besar atau
berkontribusi tinggi terhadap peningkatan produktivitas atau hasil panen. Agar peningkatan
produktivitas terjadi secara nyata (signifikan), maka komponen teknologi yang tergolong ke
dalam teknologi dasar harus diterapkan secara baik dan benar. Komponen Teknologi Pilihan
adalah teknologi pilihan yang bersifat spesifik lokasi disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan
kemampuan. Komponen ini memiliki pengaruh atau kontribusi terhadap peningkatan
produktivitas atau hasil panen, walaupun pengaruhnya tidak sebesar pengaruh akibat penerapan
teknologi dasar.
Komponen Teknologi Dasar adalah: 1) Varietas Unggul Baru, inbrida (non hibrida), atau
hibrida, 2) Benih bermutu dan berlabel, 3) Pemberian bahan organik melalui pengembalian
jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos, 4) Pengaturan populasi tanaman secara optimum
916
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(jajar legowo 2:1 atau 4:1), 5) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah,
6) Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT,
Pengendalian Hama Terpadu).
Komponen Teknologi Pilihan adalah: 1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam,
2) Penggunaan bibit muda (< 21 hari), 3) Tanam bibit 1 – 3 batang per rumpun, 4) Pengairan
secara efektif dan efisien, 5) Penyiangan dengan landak atau gasrok, 6) Panen tepat waktu dan
gabah segera dirontok
Keuntungan Penerapan Teknologi PTT antara lain: 1) Meningkatkan kuantitas dan kualitas
hasil usahatani, 2) Efisiensi biaya usahatani dengan penggunaan teknologi yang tepat untuk
masing masing lokasi, 3) Kesehatan lingkungan tumbuh pertanaman dan lingkungan kehidupan
secara keseluruhan akan terjaga.

Komponen Teknologi Dasar


Varietas Unggul Baru
Varietas unggul baru (VUB) umumnya berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama penyakit
utama atau toleran cekaman lingkungan setempat dan dapat juga memiliki sifat khusus tertentu.
VUB dapat berupa padi inbrida seperti Ciherang dan Mekongga atau padi hibrida seperti Rokan,
Hipa 3, Bernas Super, dan Intani.
Pemilihan varietas inbrida atau hibrida disesuaikan dengan kondisi setempat, dan
dianjurkan yang tahan hama penyakit endemik seperti wereng coklat dan tungro, serta memenuhi
permintaan pasar. VUB yang sesuai dengan kondisi setempat diperoleh dari hasil uji varietas di
lahan SL-PTT atau lahan BPP yang diamati bersama oleh penyuluh dan petani. Selain daya hasil
tinggi dan ketahanan terhadap hama penyakit, aspek citarasa nasi, umur panen, bentuk gabah,
rendemen, dan kebeningan beras juga sering menjadi faktor penentu dalam pemilihan varietas
oleh petani. Hindari penanaman varietas yang sama secara terus menerus di satu lokasi untuk
mengurangi serangan hama dan penyakit.

Benih Bermutu dan Berlabel


Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi. Pada
umumnya benih bermutu dapat diperoleh dari benih berlabel yang sudah lulus proses sertifikasi.
Benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak. Mutu benih padi
inbrida dapat diuji dengan teknik pengapungan, dengan menggunakan larutan garam 2-3% atau
larutan pupuk ZA 20-30 g/liter air. Benih yang tenggelam dipakai sedangkan yang terapung
dibuang. Mutu benih padi hibrida diuji dengan uji daya kecambah.

Pemberian Bahan Organik


Bahan organik berupa sisa tanaman, kotoran hewan, pupuk hijau dan kompos (humus)
merupakan unsur utama pupuk organik yang dapat berbentuk padat atau cair. Bahan organik
bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Oleh karena itu jerami
perlu dikembalikan ke lahan sawah dengan cara dibenam atau diolah menjadi kompos atau
dijadikan pakan ternak yang kotorannya diproses menjadi pupuk kandang. Persyaratan teknis
pupuk organik mengacu kepada Permentan No 02/2006, kecuali diproduksi untuk keperluan
sendiri. Takaran pupuk organik dan pupuk anorganik mengacu pada Permentan No. 40/2007
tentang pemupukan spesifik lokasi.

917
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Pengaturan Populasi Tanaman, Antara Lain Melalui Pengaturan Jarak Tanam dan
Jajar Legowo
Sampai batas tertentu, semakin tinggi populasi tanaman semakin banyak jumlah malai per
satuan luas sehingga berpeluang menaikkan hasil panen. Tanam jajar legowo merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan populasi tanaman dan cukup efektif mengurangi serangan hama
tikus, keong mas, dan keracunan besi. Jajar legowo adalah pengosongan satu baris tanaman
setiap dua atau lebih baris dan merapatkan dalam barisan tanaman, sehingga dikenal legowo 2:1
apabila satu baris kosong diselingi oleh dua baris tanaman padi atau 4:1 bila diselingi empat baris
tanaman. Pertumbuhan tanaman yang sehat dan seragam mempercepat penutupan permukaan
tanah sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma dan meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap hama dan penyakit.

Pemupukan Berdasarkan Kebutuhan Tanaman dan Status Hara Tanah


➢ Pemberian pupuk berbeda antarlokasi, musim tanam, pola tanam, dan pengelolaan tanaman.
➢ Penggunaan pupuk spesifik lokasi meningkatkan hasil dan menghemat pupuk.
➢ Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun
padi dengan BWD (bagan warna daun) sedangkan kebutuhan P dan K tanaman dengan PUTS
(Perangkat Uji Tanah Sawah).
➢ Selain dengan cara di atas, kebutuhan tanaman akan pupuk juga dapat diketahui melalui:
• Uji petak omisi atau minus satu unsur. Pengujian langsung di lahan sawah petani dengan
petak perlakuan NPK (lengkap), NP (minus K), NK (minus P), dan PK (minus N). Di lokasi
tertentu, perlakuan serupa dapat dilakukan untuk menentukan apakah tanaman memerlukan
hara lain seperti S, Mg, dan Zn;
• Modul PuPS (Pemupukan Padi Sawah) spesifik lokasi;
• Peta status hara P dan K skala 1:50.000 untuk pemupukan P dan K;
• Permentan No 40/2007 tentang pemupukan spesifik lokasi.

Pengendalian OPT dengan Pendekatan PHT


➢ Identifikasi jenis dan populasi hama oleh petani dan atau pengamat OPT di lapangan.
➢ Penentuan tingkat kerusakan tanaman menurut kerugian ekonomi atau ambang tindakan.
Ambang tindakan identic dengan ambang ekonomi, yang sering digunakan sebagai dasar
teknik pengendalian.
➢ Taktik dan teknik pengendalian:
• Usahakan tanaman selalu sehat;
• Gunakan varietas tahan;
• Terapkan pengendalian hayati, biopestisida, fisik dan mekanis, feromon, dan atau
pestisida kimia sesuai anjuran.
➢ Hama utama: tikus sawah, wereng coklat, penggerek batang padi, dan keong mas.
➢ Penyakit utama: tungro dan hawar daun bakteri.

Komponen Teknologi Pilihan:


Pengolahan Tanah Sesuai Musim dan Pola Tanam
Pengolahan tanah hingga berlumpur dan rata dimaksudkan untuk menyediakan media
pertumbuhan yang baik dan seragam bagi tanaman padi serta mengendalikan gulma. Pada
kondisi tertentu seperti mengejar waktu tanam dan kekurangan tenaga kerja, pengolahan tanah
minimal atau bahkan tanpa olah tanah dapat pula diterapkan. Pengolahan tanah dapat dilakukan
dengan traktor atau ternak, menggunakan bajak singkal dengan kedalaman olah > 20 cm.
Tunggul jerami, gulma, dan bahan organik yang telah dikomposkan dibenamkan ke dalam tanah,
bersamaan dengan pengolahan tanah pertama. Pembajakan biasanya dilakukan dua kali lalu
diikuti penggaruan/pengglebekan untuk perataan lahan dan pelumpuran.

918
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Penggunaan Bibit Muda (< 21 hari)


Keuntungan tanam pindah menggunakan bibit muda (< 21 hari) adalah tanaman tidak stres
akibat pencabutan bibit di persemaian, pengangkutan, dan penanaman kembali di sawah,
dibandingkan dengan bibit yang lebih tua. Untuk mendapatkan bibit yang baik usahakan bibit
berasal dari benih bermutu dan sebelum disemai direndam selama 24 jam lalu ditiriskan selama
48 jam. Tambahkan bahan organik seperti kompos, pupuk kandang, dan abu pada persemaian
untuk memudahkan pencabutan bibit. Lindungi bibit padi di persemaian dari serangan hama.
Bila perlu, pasang pagar plastik dan bubu perangkap untuk mengendalikan tikus. Di daerah
endemi keong emas, gunakan bibit yang berumur lebih tua.

Tanam Bibit 1-3 Batang Per Rumpun


Bibit ditanam 1-3 batang per rumpun, lebih dari itu akan meningkatkan persaingan
antarbibit dalam rumpun yang sama. Rumpun yang hilang karena tanaman mati atau rusak
diserang hama segera disulam, paling lambat 14 hari setelah tanam. Di daerah endemi keong
emas, tanam bibit 2-3 batang per rumpun.

Pengairan Secara Efektif dan Efisien


Pengairan dengan teknik berselang, gilir giring, gilir glontor, dan basah-kering menghemat
pemakaian air hingga 30%. Teknik pengairan berselang: air di areal pertanaman diatur pada
kondisi tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu. Teknik gilir giring, air
didistribusikan 4-5 hari sekali kalau debit air sungai sekitar 40%. Teknik gilir glontor, air
didistribusikan 2-3 hari sekali kalau debit sungai 40-60%. Teknik basah-kering menggunakan
paralon berlubang untuk menentukan kapan sawah perlu diairi. Pada saat tanaman dalam fase
berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 3-5 cm.

Penyiangan dengan Landak atau Gasrok


Penyiangan awal gulma menjelang 21 hari setelah tanam, penyiangan selanjutnya
berdasarkan kepadatan gulma. Manfaatnya ramah lingkungan, hemat tenaga kerja,
meningkatkan jumlah udara di dalam tanah, dan merangsang pertumbuhan akar.

Panen Tepat Waktu dan Gabah Segera Dirontok


Tanaman dipanen jika sebagian besar gabah (90-95%) telah bernas dan berwarna kuning.
Panen terlalu awal, banyak gabah hampa, gabah hijau, dan butir kapur. Terlambat panen, terjadi
kehilangan hasil karena gabah rontok di lapang dan jumlah gabah patah pada proses penggilingan
meningkat. Perontokan gabah 1-2 hari setelah panen, menggunakan alat perontok. Gabah segera
dijemur untuk mendapatkan beras dengan mutu yang lebih baik dan harga yang tinggi.

TINGKAT PENERAPAN (ADOPSI) INOVASI TEKNOLOGI PTT, TINDAK


LANJUT DAN PERAN PENYULUH
Tingkat Penerapan Teknologi PTT dan Tindak Lanjutnya
Meskipun secara umum berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PTT
meningkatkan produksi tanaman, namun berbagai hasil evaluasi dan penelitian lain juga
menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi PTT masih bervariasi di kalangan petani.
Bahkan terkadang belum semua komponen PTT diterapkan secara maksimal oleh petani. Perlu
kajian lebih lanjut mengapa terkadang tingkat penerapan teknologi PTT masih bervariasi, serta
dampaknya terhadap produksi usahatani padi. Oleh sebab itu penting untuk: 1) mengukur tingkat
penerapan teknologi PTT padi, 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
penerapan teknologi PTT pada usahatani padi, 3) menganalisis pengaruh tingkat penerapan
teknologi PTT terhadap peningkatan produksi usahatani padi, dan 4) mengambil langkah-
langkah tindak lanjut dari hasil evaluasi tersebut.

919
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum komponen teknologi yang
memiliki persentase tingkat penerapan yang paling tinggi oleh petani antara benih Varietas
Unggul Baru (VUB), dan yang rendah antar lain jarak tanam jajar legowo. Beberapa faktor
yang terkadang mempengaruhi belum optimalnya tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani
antara lain: intensitas keiikutsertaan petani dalam pertemuan SLPTT, jumlah pelatihan pertanian
di luar SLPTT yang diikuti petani, maupun status pekerjaan petani. Tingkat penerapan teknologi
PTT yang belum optimal ini tentu ikut berdampak pada produksi padi. Disamping itu, faktor-
faktor produksi usahatani padi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi adalah pupuk
NPK, pupuk urea, dan lahan.
Hasil evaluasi dan temuan/umpan balik dari petani harus menjadi dasar tindak lanjut yang
harus dilakukan oleh penyuluh dan/atau pejabat terkait.
1. Komponen teknologi yang termasuk dalam kategori tidak sesuai harus menjadi prioritas
materi penyuluhan dan mendapatkan dukungan dari pemerintah supaya petani lebih paham
dan mau menerapkan teknologi PTT dalam upaya meningkatkan produktivitas.
2. Dukungan penyediaan benih harus disalurkan ke petani paling lama 1 (satu) minggu sebelum
jadwal tanam, sehingga petani dapat menanam padi tepat waktu.
3. Dukungan penyediaan sarana produksi pertanian oleh pemerintah sangat diperlukan karena
harganya belum terjangkau petani, sebagai contoh seperti pupuk dan alat mesin pertanian
terutama alat bajak sawah dan alat perontok padi dll.

Peran/Kompetensi Penyuluh
Sebagai suatu pendekatan, PTT dapat dipandang sebagai suatu inovasi bagi para petani.
Menurut Rogers (2003) inovasi adalah suatu ide, penerapan atau praktek teknologi atau sumber
yang dianggap baru oleh seseorang. Sebuah inovasi biasanya terdiri dari dua komponen yaitu
komponen ide dan komponen obyek yang berupa aspek material atau produk fisik dari ide
tersebut. Agar sebuah inovasi dapat diterapkan oleh petani, inovasi tersebut harus terlebih
dahulu diadopsi oleh para petani, melalui sebuah proses yang disebut proses adopsi. Adopsi
adalah proses mental dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru.
Adopsi juga didefinisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi
sampai akhirnya mengadopsi. Keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi terjadi dalam diri
individu. Adopsi dalam kaitannya dengan penyuluhan pertanian adalah suatu proses yang terjadi
pada pihak sasaran (petani) sejak sesuatu hal baru diperkenalkan (oleh penyuluh) sampai orang
tersebut menerapkan (mengadopsi) hal baru tersebut (Rogers, 2003).
Pada kenyataanya di lapangan, inovasi PTT yang telah dipelajari pada sekolah lapang tidak
selalu sepenuhnya mampu meningkatkan produksi petani. Berpijak dari kenyataan ini perlu
dicari faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi PTT di tingkat petani. Salah satu faktor
penentu dan berperan dalam adopsi inovasi tersebut adalah kompetensi penyuluh.
Kemampuan penguasaan materi dan berkomunikasi bagi seorang penyuluh sebagai
pemandu lapang merupakan faktor yang sangat penting dalam mensosialisasikan sekaligus untuk
menambah pengetahuan petani, membentuk sikap positif sekaligus merubah perilaku petani
untuk menerima inovasi PTT yang diperkenalkan.
Kemampuan berkomunikasi penyuluh dalam mempraktekkan berbagai alat peraga
penyuluhan dengan baik dan benar untuk memperjelas materi yang disampaikan merupakan
faktor penting. Hal ini menunjukkan penyuluh dalam berkomunikasi tidak hanya berbicara saja
tetapi perlu mencontohkan untuk memperjelas pesan-pesan yang dimaksud. Bagi petani yang
berpendidikan rendah maka memberi contoh atau memperagakan akan lebih mudah dimengerti
dan dipahami daripada hanya sekedar memberi penjelasan.
Penguasaan materi penyuluh, khususnya yang berkaitan dengan komponen komponen
inovasi yang akan disampaikan kepada petani merupakan faktor penting yang lain. Penyuluh
harus dapat menyampaikan materi PTT dengan jelas. Hal ini diantaranya disebabkan karena
penyuluh sudah diikutsertakan dalam pelatihan mengenai komponen komponen PTT sehingga
920
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

diharapkan penyuluh mampu menyampaikan materi PTT dengan jelas kepada petani. Dalam
menjelaskan materi PTT diharapkan penyuluh mampu menyampaikan secara sistematis dan
berjenjang dari hal yang mudah ke hal-hal yang rumit sehingga petani termotivasi untuk
mendengarkan sekaligus bersikap positif terhadap inovasi PTT.
Kemampuan penyuluh dalam memotivasi (memberikan dorongan kepada petani) adopsi
inovasi PTT dan memberikan harapan kepada petani mengenai hasil yang akan diperoleh petani
juga sangat penting. Intensitas pendampingan penyuluh yang bersifat aplikatif perlu lebih
ditingkatkan sehingga mampu memperbaiki keterampilan dan penerapan inovasi PTT. Penyuluh
juga harus memperhatikan dan menggunakan sifat-sifat inovasi PTT dalam melakukan
penyuluhan atau pendampingan kepada petani.

PENUTUP
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya
meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem / pendekatan dalam
perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif
oleh petani serta bersifat spesifik lokasi. Meskipun secara umum berbagai hasil di lapangan
menunjukkan bahwa pelaksanaan PTT meningkatkan produksi tanaman, namun berbagai hasil
evaluasi dan penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat penerapan pendekatan PTT masih
bervariasi di kalangan petani, belum semua komponen PTT diterapkan secara maksimal oleh
petani
Beberapa langkah yang penting untuk dilakukan antara lain: 1) mengukur tingkat
penerapan pendekatan PTT padi, 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
penerapan PTT pada usahatani padi, 3) menganalisis pengaruh tingkat penerapan PTT terhadap
peningkatan produksi usahatani padi, dan 4) mengambil langkah-langkah tindak lanjut dari hasil
evaluasi tersebut.
Untuk meningkatkan penerapan pendekatan PTT padi ke depannya, pemerintah melalui
penyuluh lapang, bekerjasama dengan pengurus kelompok tani perlu meningkatkan motivasi
petani. Dengan tingkat penerapan PTT yang optimal, maka diharapkan dapat berpengaruh
signifikan dan positif terhadap peningkatan produksi padi yang hasilnya dapat bermanfaat bagi
petani. Kemampuan penguasaan materi dan berkomunikasi bagi seorang penyuluh sebagai
pemandu lapang merupakan faktor yang sangat penting dalam mensosialisasikan sekaligus untuk
menambah pengetahuan petani, membentuk sikap positif sekaligus merubah perilaku petani
untuk menerima inovasi PTT yang diperkenalkan. PTT merupakan suatu pendekatan yang
sifatnya spesifik lokasi dan sangat tergantung pada kondisi dan kebutuhan petani setempat.
Sehingga strategi, pendekatan, dan rekomendasi yang digunakan mungkin saja berbeda pada
lokasi yang berbeda.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada UPTD BP-SDMP, Puuwatu, Kendari, Sulawesi
Tenggara.

DAFTAR PUSTAKA
Arafah, 2016. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Sulawesi Selatan.
Azzikra. (2016). Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah.
BPTP Balitbangtan Sulsel, 2018. Pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah
(PTT) di Sulawesi Selatan. BPTP Balitbangtan Sulsel.
Looviani. (2014). Evaluasi Penerapan Teknologi pada Program SL-PTT Padi di Kecamatan
Benua Kayong, Kabupaten Ketapang. Jurnal Social Economic of Agriculture, Vol. 3 (1).

921
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Maryani. (2014). Adopsi Inovasi PTT pada Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-
PTT) Padi di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Jurnal Manajemen Agribisnis Vol.
2 (2).
Purwantiningdyah dan Hidayanto. (2015). Kajian penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi
dan keragaan usaha tani padi sawah di Kalimantan Timur. Pros. Semnas Masy.
Biodiversitas Indonesia, Vol. 1 (2).
Watemin dan Budiningsih. (2012). Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah
di Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas. SEPA Vol. 9 (1): 34 – 42
Zaini. (2015). Pedoman Umum PTT Padi Sawah (Integrated Crop Management for Irrigated
Transplanted Rice) Kementerian Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.

922
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Bahan Kimia Sebagai Penginduksi Ketahanan Tanaman


Chemicals as Inducers of Plant resistance
Muhammad Habibullah dan Ayu Lestiyani
Universitas Tidar, Magelang

ABSTRAK

Kata Kunci: Penyakit tumbuhan meyebabkan terganggunya produksi tanaman, sehingga


Bahan Kimia perlu dikendalikan. Pengendalian penyakit tumbuhan telah dilakukan dengan
Induksi banyak cara, dan paling banyak digunakan adalah penggunaan pestisida
Ketahanan anorganik. Penggunaan pestisida anorganik terbukti menyebabkan masalah
Penginduksi terhadap lingkungan dan juga manusia. Hal ini menyebabkan perlu dicari
Tanaman pengendalian lain yang lebih ramah terhadap lingkungan dan manusia. Salah
satu cara yang dapat digunakan adalah dengan induksi ketahanan terhadap
tanaman yang dibudidayakan. Induksi ketahanan dapat memicu gen
ketahanan menjadi aktif sehingga tanaman lebih tahan terhadap patogen.
Salah satu bahan penginduksi yang dapat digunakan adalah bahan kimia.
Penggunaan bahan kimia ramah lingkungan di Indonesia hingga saat ini
masih sangat sedikit dilakukan. Penggunaan bahan kimia sebagai bahan
penginduksi dilaporkan dapat mereduksi penyakit hingga >70%.
Berdasarkan laporan yang ada, dapat disimpulkan bahwa bahan kimia ramah
lingkungan merupakan salah satu alternatif pengendalian penyakit tumbuhan
masa kini. Penggunaan bahan kimia sebagai inducer masih perlu diteliti lebih
lanjut, baik jenis maupun reaksinya.
ABSTRACT

Keywords: Plant disease causes disruption of plant production, so it needs to be


Chemicals controlled. Plant disease control has been done in many ways, and the most
Induce widely used is the use of inorganic pesticides. The use of inorganic pesticides
Resistance is proven to cause problems for the environment and also humans. This
Inducer causes the need to look for other controls that are more friendly to the
Plants environment and humans. One method that can be used is by induction of
resistance to cultivated plants. Induction of resistance can trigger resistance
genes to become active so that plants are more resistant to pathogens. One of
the inducer that can be used is chemicals. The use of environmentally friendly
chemicals in Indonesia is still very little to do. The use of chemicals as
inducers is reported to reduce disease by >70%. Based on existing reports, it
can be concluded that environmentally friendly chemicals are an alternative
to control plant diseases today. The use of chemicals as inducers still needs
to be investigated further, both the type and reaction.

Email Korespondensi: Muhammadhabibullah@untidar.ac.id

923
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

PENDAHULUAN
Penyakit tumbuhan merupakan masalah utama dalam proses budidaya tanaman dimana
terjadi proses penyimpangan fisiologis tanaman dari keadaan normalnya (Semangun, 2006).
Perubahan fisiologis tanaman dapat mengganggu pertumbuhan, reproduksi serta nilai ekonomis
dari suatu tanaman (Yudiarti, 2012). Terganggunya produksi tanaman merupakan masalah yang
perlu diatasi, sehingga muncul cara pengendalian penyakit tumbuhan. Cara pengendalian yang
paling banyak dilakukan hingga saat ini adalah dengan penggunaan pestisida anorganik.
Penggunaan pestisida anorganik telah dilakukan sejak lama dan berkelanjutan. Pestisida
anorganik sulit terdegradasi oleh alam sehingga memberikan dampak yang berbahaya bagi
lingkungan. Penggunaan pestisida anorganik juga menginduksi strain tahan dari mikroba
terhadap pestisida yang digunakan (Sumardiyono, 2008), sehingga penggunaan pestisida selalu
ditingkatkan dan pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan mikroba tanah. Selain dampak
pada lingkungan, petisida juga dapat berdampak pada penggunanya, yaitu manusia karena dapat
menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker, gangguan fungsi saraf, kejang, gangguan
reproduksi serta kerusakan organ penting pada manusia (Yuantari, 2011). Hal ini menyebabkan
perlu dicari langkah lain untuk mengendalikan penyakit tumbuhan.
Selain pestisida anorganik, adapula kimia ramah lingkungan yang juga diketahui memiliki
peran secara tidak langsung dalam menghambat perkembangan patogen. Penghambatan yang
diberikan oleh bahan kimia ini melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan induksi ketahanan
tanaman. Induksi ketahanan menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan
menjadi aktif dan atau menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang dengan
pengaplikasian bahan penginduksi eksternal. Menurut (da Rocha & Hammerschmidt, 2005)
beberapa perlakuan dapat menginduksi ketahanan tumbuhan. Induksi ketahanan ditandai dengan
ekspresi pertahanan seperti phytoalexins dan respon hipersensitif (Hammerschmidt &
Nicholson, 1999). Agrios (2005) juga menyatakan bahwa salah satu bahan yang dapat digunakan
sebagai bahan penginduksi eksternal (elisitor) adalah bahan kimia.
Penggunaan bahan kimia ramah lingkungan sebagai elisitor telah banyak dilakukan,
diantaranya oleh Abdel-Monaim (2011) yang menggunakan Riboflavin dan Thiamin untuk
mengendalikan penyakit busuk arang pada tanaman kedelai. Ahn et al. (2005) menguji thiamin
untuk meningkatkan ketahanan tumbuhan. Habibullah et al. (2018) menggunakan beberapa
bahan kimia ramah lingkungan untuk pengendalian P. maydis pada tanaman jagung.
Berdasarkan hal diatas maka penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah dengan judul
“Induksi Ketahanan Tanaman Menggunakan Bahan Kimia Ramah Lingkungan”. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi bagi para pengambil kebijakan dan peneliti untuk
menentukan pengendalian berbasis bahan kimia yang tepat.

KETAHANAN TANAMAN
Tanaman memiliki kemampuan untuk mempertahankan dirinya terhadap gangguan dari
luar yang disebut dengan ketahanan tanaman. Ketahanan tanaman dapat dibagi menjadi
ketahanan umum atau poligenik dan ketahanan spesifik atau monogenik (Semangun, 2006).
Ketahanan umum biasanya tidak spesifik terhadap ras tertentu sehingga dapat terinfeksi oleh
patogen namun tingkat kemajuan dan ekspresi gejala tidak signifikan dibanding tanaman rentan.
Crute & Norwood (1981), menyatakan bahwa tipe ini menunjukkan kejadian penyakit lebih
rendah yang disebabkan adanya pembatasan infeksi kebagian lain, sehingga mengurangi tingkat
perkembangan penyakit. Ketahanan spesifik menunjukkan ketahanan terhadap beberapa ras
fisiologi atau strain patogen, namun tidak menunjukkan ketahan terhadap ras lain. Ketahanan
spesifik memberikan perlindungan jangka pendek, hal ini terjadi dikarenakan adanya seleksi ras
patogen yang mempu menyerang tanaman tahan tersebut pada akhirnya. Semangun (2006)
menyatakan bahwa, ketahanan vetikal ini terjadi karena adanya peranan gen tertentu yang sangat
besar yang disebut gen ketahanan utama. Menurut Mauch-Mani (2007), terjadinya ketahanan
spesifik karena adanya interaksi antara produk dari gen avirulen (AVR) dalam patogen dan gen
924
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

resistensi (R) pada inang. Jika salah satu anggota dari pasangan gen tidak hadir atau tidak aktif
tanaman inang menjadi rentan terhadap patogen. Pendekatan molekuler untuk sistem gen-for-
gen dijelaskan dengan model elisitor-reseptor (Gabriel & Rolfe, 1990), di mana gen AVR akan
memicu produk yang dikenali oleh reseptor gen R yang sesuai. Respon pertahanan pada tanaman
akan aktif sehingga membatasi atau menghentikan masuknya patogen.

INDUKSI KETAHANAN
Induksi ketahanan merupakan suatu perlakuan yang menyebabkan ketahanan tumbuhan
menjadi aktif sehingga dapat bertahan dari serangan penyakit. Menurut Faoro et al. (2008),
kelebihan dari induksi ketahanan adalah: a) tidak didasarkan pada modifikasi genom tanaman;
b) relatif murah; c) tidak memiliki risiko lingkungan dan toksikologi; d) efektif terhadap berbagai
patogen tanaman. Induksi ketahanan mengakibatkan perubahan dalam sel dari situs yang
diinduksi yang memungkinkan sel-sel untuk secara cepat menyebarkan pertahanan. Ini adalah
bagian dari perlawanan sistemik yang sekarang dikenal sebagai 'priming' (Conrath et al., 2002).
Ketahanan tanaman terimbas/terinduksi dapat dipicu dengan sebuah metode yang disebut
elisitasi. Teknik ini dilakukan dengan pemberian elisitor berupa mikroorganisme non patogen,
patogen avirulen, serta dapat juga terjadi akibat pemberian bahan kimia (Agrios, 2005) dan
perlakuan fisik dengan air panas (Widiastuti et al., 2013). Barz et al. (1990) dan Buitelaar et al.
(1992) menyatakan bahwa elisitor menginduksi secara simultan pembentukan fitoaleksin,
metabolit sekunder konstitusif atau metabolit sekunder lain yang secara normal tidak
terakumulasi.
Elisitor dapat dikenali tanaman sehingga dapat direspon karena memiliki pola pengenalan.
Pengenalan tingkat pertama dikenal sebagai pathogen / microbe associated molecular patterns
(PAMPs atau MAMPs) (Schwessinger & Ronald, 2012). PAMPs atau MAMPs dikeluarkan oleh
mikroba dan bukan oleh inang. Aktivasi reseptor pengenalan pola daerah permukaan sel
menyebabkan sinyal intraselular, pemrograman ulang transkripsi, dan biosintesis dari respons
keluaran kompleks yang membatasi kolonisasi. Sistem ini dikenal sebagai PAMP-Triggered
Immunity atau sebagai Pattern-Triggered Immunity (PTI) (Jones & Dangl, 2006; Li et al., 2016).
Pengenalan tingkat kedua diperintah oleh produk gen R, sering disebut Efector Triggered
Immunity/ETI. ETI biasanya diaktifkan dengan adanya "efektor" patogen tertentu dan kemudian
memicu respons antimikroba yang kuat. Selain PTI dan ETI, pertahanan tanaman dapat
diaktifkan dengan pola molekul endogenous terkait kerusakan (Demage associated molecular
patterns (DAMPs)), seperti bagian dinding sel tanaman yang dilepaskan selama infeksi patogen.
Pola molekul ini dilepaskan dari tanaman karena patogen luka atau mengalami kerusakan dan
molekul yang dilepaskan berfungsi sebagai sinyal peringatan untuk memicu atau memperkuat
respon pertahanan tanaman (Ma et al., 2013; Yamaguchi & Huffaker, 2011).
Menurut (Pieterse et al., 2009) peningkatan ketahanan tanaman melalui SAR terjadi setelah
adanya infeksi patogen secara lokal pada tanaman, kemudian tanaman yang terinfeksi
mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam ketahanan (pathogenic related genes; PR) yang
memproduksi senyawa-senyawa kimia untuk pertahanan tanaman, seperti asam salisilat. Adanya
elisitor dapat mengaktifkan secara cepat berbagai mekanisme ketahanan tanaman. Diantaranya
akumulasi fitoaleksin dan peningkatan aktivias enzim kitinase, β-1,3-glukanase, dan β -1,4-
glukosidase. Salah satu senyawa fenol yang sangat sederhana, 2-hydroxybenzoic acid atau asam
salisilat, telah diketahui berperan penting sebagai molekul sinyal dari beberapa respon ketahanan
tanaman (Smith-Becker et al., 1998).

925
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gambar 1. Perbedaan SAR dan ISR.


Sumber. (Pieterse et al., 2009)

Menurut (Ryals et al., 1996) dan (Delaney, 1997) menerangkan bahwa mekanisme SAR
akan terjadi melalui tiga fase yaitu:
1. Fase pertama: Fase induksi. Induksi dapat terjadi oleh adanya infeksi patogen atau faktor
abiotik (bahan kimia), yang menyebabkan respon nekrosis yang terjadi terus menerus.
Respon ini kemungkinan bisa berasosiasi dengan respon lokal lainnya seperti reaksi
hipersensitif, pembentukan papilla, dll.
2. Fase kedua: Fase sinyal. Bersifat sistemik, ditranslokasikan melalui floem, bisa dipindahkan
melalui grafting/penyambungan dan berspektrum luas.
3. Fase ketiga: Fase ekspresi. Fase ini hanya akan terjadi jika terjadi infeksi berikutnya setelah
infeksi awal, jika ini tidak ada, maka hanya terjadi mobilisasi tanpa diikuti ekspresi gen.
Ekspresi gen ini dapat berupa bentuk ketahanan tanaman, bisa berupa ketahanan
fisik/struktural, kimia, maupun genetik.
Pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh
adanya infeksi mikrobia non patogen pada perakaran, seperti bakteri, jamur atau mikoriza bahkan
oleh bahan lainnya. Respon tanaman terhadap adanya infeksi nonpatogen, tanaman akan
memproduksi senyawa-senyawa pertahanan tanaman, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa
etilen (ET). Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa, mekanisme ISR terjadi sebagai akibat
perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang
berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen. Sumardiyono (2006) menyatakan bahwa
perubahan fisiologi tersebut dapat berupa peningkatan senyawa fenol yang menjadi racun bagi
patogen atau yang dikenal sebagai fitoaleksin atau berfungsi sebagai barrier struktural dengan
membentuk konjugat fenol, lignifikasi dan atau suberisasi dinding sel.
Pieterse et al. (2014) menyatakan bahwa ISR dikaitkan dengan peningkatan akumulasi
phytoalexin dan penebalan dinding sel di tempat infeksi patogen. Selain itu terjadi juga
penahanan oleh asam absisat (ABA) untuk pengendapan callose selama ISR, dimana hal ini akan
menyediakan lapisan perlindungan tambahan yang memperluas spektrum keefektifan ISR.
Banyak patogen daun menyerang tanaman dengan masuk melalui stomata pada permukaan daun.
ISR yang melindungi bagian tanaman yang tidak terinfeksi untuk memicu terjadinya penutupan
stomata yang dipercepat sebagai respons terhadap serangan patogen (Kumar et al., 2012), dimana
respon ketahanan menjadi penghalang struktural yang dapat menunda perkembangan penyakit.
Knoester et al. (1999) menerangkan bahwa sinyal ET dari bagian tanaman yang diinduksi
diperlukan untuk ekspresi ISR di daun dan menstranslokasi sinyal ISR kebagian tanaman
lainnya.
926
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

INDUKSI KETAHANAN MENGGUNAKAN BAHAN KIMIA RAMAH


LINGKUNGAN
Penggunaan bahan kimia sebagai penginduksi tanaman sudah banyak dilakukan. Induksi
ketahanan oleh bahan kimia ramah lingkungan merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk
mencegah penyakit yang disebabkan oleh patogen (Okubara & Paulitz, 2005). Berbagai macam
senyawa alami atau sintetis dapat menimbulkan respon pertahanan pada tanaman. Aplikasi asam
salisilat secara eksogen, atau analog fungsionalnya 2,6- dichloroisonicotinic acid (INA) atau
benzo(1,2,3)thiodiazole-7-carbothioic acid Smethyl ester (BTH) menginduksi SAR dan
mengaktifkan gen-gen PR yang sama (Ryals et al., 1996; Friedrich et al., 1996; Sticher et al.,
1997).
Selain asam salisilat dan analognya, senyawa organik lainnya seperti molekul sinyal asam
jasmonat, metil jasmonat dan etilen, asam lemak tak jenuh, asam baminobutirat, kitosan,
nicotinamide, probenazole, harpin dan riboflavin memiliki aktivitas induksi ketahanan terhadap
beberapa patogen (Schneider et al., 1996; Oostendorp et al.,2001; Yoshioka et al., 2001; Gozzo,
2004). Oostendorp et al. (2001) juga melaporkan bahwa saccharin, sebuah metabolit
probenazole, menginduksi ketahanan pada padi terhadap Magnaporthe grisea dan Xanthomonas
oryzae. Hasil penelitian (White, 1979), menunjukkan bahwa aplikasi eksogen asam salisilat (AS)
dan turunan asam benzoat tertentu lainnya dapat menyebabkan resistensi terhadap TMV dan
akumulasi PR protein. Menurut Xie & Chen (1999), aplikasi asam salisilat secara eksogen pada
konsentrasi 1-5 mM sejauh ini diketahui menginduksi ekpresi gen pathogen related (PR) dan
ketahanan melawan berbagai patogen mikroba.
Pengujian penggunaan bahan kimia sebagai elisitor selain menunjukkan penurunan index
penyakit, Percobaan yang dilakukan oleh Aleandri et al. (2010) menunjukkan bahwa perlakuan
dengan penggunaan bahan kimia pada tumbuhan dapat meningkatkan aktifivitas pertahanan
dengan mengaktifkan β1,3-glucanase, kitinase dan peroxidase (Gambar 2).

Gambar 2. Aktifitas pertahanan dengan induksi menggunakan bahan kimia dengan mengaktifkan, A.
β1,3-glucanase, B. kitinase dan C. Peroxidase. Sumber. (Aleandri et al., 2010)

Selain pengujian induksi ketahanan yang dilakukan oleh Aleandri et al. (2010) dengan
menggunakan bahan kimia, masih banyak penelitian lain yang juga membuktikan penggunaan

927
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

bahan kimia yang dapat menginduksi ketahanan tumbuhan, penelitian lainnya yaitu penggunaan
bahan kimia berupa sakarin (2,3-dihidro-3-oxobenzoisosulfonazol) sebagai inducer pertama kali
di coba oleh Siegrist et al. pada tahun 1998 (Boyle & Walters, 2005). Percobaan tersebut,
menunjukkan bahwa sakarin yang diaplikasikan memberikan efek resistensi tembakau terhadap
TMV, mentimun terhadap Colletotrichum lagenarium dan kacang Prancis melawan Uromyces
appendiculatus (Siegrist et al., 1998) (data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 1). Sakarin
adalah metabolit probenazol, yang digunakan untuk mengendalikan Magnaphorthe grisea dan
Xanthomonas oryzae pada padi, melalui induksi pertahanan inang (Oostendorp et al., 2001).
Selain hasil penelitian Siegrist et al. (1998), pengujian sakarin sebagai inducer terhadap induksi
ketahanan tanaman juga dilakukan oleh Boyle & Walters pada tahun 2005. Percobaan ini
menguji ketahanan tanaman kacang panjang terhadap jamur karat. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa induksi ketahanan baru muncul pada hari ke 14 setelah diberi perlakuan
menggunakan sakarin.

Tabel 1. Penekanan Penyakit Tanaman dengan Metode Induksi Ketahanan Menggunakan Sakarin.
Tanaman dan Perlakuan Patogen Penekanan Penyakit (%)
Tembakau TMV
Sakarin (3 Mm) 63,7
Timun Colletotrichum lagenarium
Sakarin (1 mM) 79,1
Kacang Perancis Uromyces appendiculatus
Sakarin (3 mM) 73,1
Sumber: (Siegrist et al., 1998)

Gambar 3. Pengaruh perlakuan asam salisilat 200 mM (SA) dan inokulasi Fusarium oxysporum f. Sp.
Lycopersici (Fol) pada tomat yang tumbuh secara hidroponik. (A) Pencoklatan vaskular; (B) layu pada
daun. Sumber. (Mandal et al., 2009)
928
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Gambar 4. Induksi resistensi pada tanaman tomat terhadap infeksi Fusarium oxysporum f. Sp
lycopersici dengan pemberian pada akar (a) dan semprotan daun (b) dengan 200 mM asam salisilat.
Sumber. (Mandal et al., 2009)

Asam salisilat yang merupakan sinyal pertahanan pada ketahanan terinduksi juga diuji
secara eksogen dengan pemberian asam salisilat sintetik sebagi inducer oleh Mandal et al. (2009)
pada tanaman tomat terhadap penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum
f.sp lyopersici. Pada penelitian ini diketahui bahwa senyawa asam salisilat tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap pertumbuhan miselium jamur tersebut pada media PDA. Induksi
ketahanan tanaman dicapai dengan memberikan 200 mM SA langsung ke bagian akar tanaman
serta dapat juga dengan melakukan penyemprotan ke bagian daun. Induksi ketahan dengan
pemberian asam salisilat ini terbukti dengan meningkatnya kandungan senyawa asam salisilat
pada tanaman tomat yang diuji dibanding tanaman kontrol serta terjadi penekanan gejala kuning
pada bagian vaskular dan daun tanaman tomat (Gambar 3) serta penekanan tingkat penyakit
(Gambar 4).
Akhir-akhir ini penggunaan bahan kimia sebagai inducer banyak dilakukan. Selain
pengujian bahan kimia berupa asam salisilat dan turunannya, bahan kimia berupa vitamin juga
diuji terhadap dampak induksi ketahanan tanaman. Salah satu yang dilakukan adalah pengujian
thiamin (vitamin B1) dan Ribovlafin (vitamin B2) yang dilakukan oleh Abdel-Monaim (2011).
Hasil percobaan menunjukkan penggunaan bahan kimia berupa Riboflavin dan Thiamin dapat
menekan penyakit busuk arang yang disebabkan oleh Macrophomina phaseolina pada tanaman
kedelai. Penggunaan Riboflavin dan thiamin dapat menekan penyakit busuk arang hingga
mencapai 9,25% untuk riboflavin dan 5,25% untuk thiamin. Pengujian yang dilakukan oleh
Abdel-Monaim (2011) selain menunjukkan penekanan terhadap penyakit busuk akar, juga
menunjukan aktifitas dari reaksi ketahanan secara biokimia dari tanaman yang diperlakukan
menggunakan bahan kimia. Reaksi yang diketahui yaitu meningkatnya reaksi dari peroxidase,
polyphenol oxidase, peningkatan terhadap jumlah fenol total dan meningkatnya reaksi lignifikasi
tumbuhan terhadap serangan patogen.
Selain Abdel-Monaim, penelitian induksi ketahanan dengan menggunakan vitamin yang
berupa bahan kimia juga dilakukan oleh Boubakri et al., (2012) terhadap penyakit downy mildew
pada tanaman anggur yang diserang oleh Plasmopara viticola. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa penggunaan thiamin dapat meningkatkan ketahanan tanaman anggur yang
diuji berdasarkan pada kejadian infeksi patogen dan gejala pada daun tanaman yang diinduksi
menggunakan thiamin dan diberi P. viticola (Gambar 5).

929
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Gambar 5. Pengaruh induksi ketahanan menggunakan thiamin pada tanaman anggur terhadap
serangan P. viticola. A. gejala pada tanaman dan B. gejala pada daun.
Sumber. (Boubakri et al., 2012)

Selain penggunaan vitamin sebagai bahan kimia penginduksi ketahanan tanaman, baru-
baru ini ahli perlindungan tanaman mencoba menggunakan bahan kimia berupa bahan pengawet
makan yang sering digunakan dalam produk sehari-hari untuk menginduksi ketahanan tanaman.
Diantara produk tersebut adalalah asam benzoat dan natrium benzoat. Kumar et al. (2003)
mengkaji dalam percobaan lapangan pengaruh perendaman beberapa bahan kimia terhadap
induksi ketahanan tanaman, dari hasil percobaan tersebut diketahui bahwa asam benzoat lebih
baik daripada bahan kimia lainnya dalam mengurangi kejadian penyakit busuk batang dan
tingkat keparahan pada padi yang disebabkan oleh Sclerotium oryzae yang diikuti oleh asam
asetat naftalena dan asam salisilat.
Jauh sebelum penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al. pada tahun 2003, penelitian
menggunakan asam benzoat telah dilakukan oleh Elad (1992). Hasil percobaan ini menunjukkan
bahwa asam benzoat meningkatkan aktivitas pengendalian pada daun tomat. Penelitian
berikutnya yang dilakukan oleh Kataria et al. (1997) menunjukkan bahwa asam askorbat dan
asam benzoat secara efisien mengendalikan penyakit damping-off pada Phaseolus vulgaries yang
disebabkan oleh Rhizoctonia solani.
Penelitian yang dilakukan oleh Fadel et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan
beberapa bahan kimia yang digunakan dapat menekan penyakit pada jagung yang disebabkan
Ustilago maydis, dimana pada penelitian ini menggunakan asam salisilat, natrium benzoat dan
kalium monofosfat. Percobaan ini, menunjukkan bahwa penggunaan bahan kimia pengawet
makan yang biasa digunakan pada produk makanan sehari-hari juga dapat digunakan sebagai
bahan pengimbas ketahanan tanaman, dimana penggunaan natrium benzoat dapat menekan
penyakit gosong bengkak pada jagung dibandingkan control (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh Hari Induksi Tiga Bahan Kimia Induser Terhadap Kejadian Penyakit (%) dan Tingkat
Keparahan Penyakit (%) Penyakit Gosong Bengkak pada Tanaman Jagung (Cv. Balady) di Rumah Kaca.
Bahan kimia hari induksi (hari) Kejadian penyakit (%) Keparahan penyakit
penginduksi (%)
8 15,3 10,12
Asam salisilat
16 22,7 15,93
8 12,0 9,37
Natrium benzoat
16 9,3 6,34
8 18,3 12,87
KH2PO4
16 6,7 5,83
8 21,7 13,28
Kontrol
16 21,7 13,28

930
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Berdasarkan keterangan penggunaan bahan kimia ramah lingkungan yang digunakan,


dapat diketahui bahwa semua hasil pengujian bahan kimia tersebut dapat menunjukkan bahwa
bahan kimia yang digunakan merupakan inducer yang dapat berperan sebagai elisitor, dimana
menurut van Loon & van Strien (1999), elisitor akan mengaktivasi jalur transduksi sinyal
umumnya sehingga menyebabkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS), biosintesis
fitoaleksin, penguatan dinding sel tanaman yang terkait dengan senyawa fenil propanoid,
pengendapan callose, sintesis enzim pertahanan, dan akumulasi PR protein terkait pathogenesis
dan beberapa yang memiliki sifat antimikroba. Selanjutnya Agrios (2005) menerangkan bahwa
ROS menyebabkan respon hipersensitif (HR) pada tanaman yang merupakan kematian lokal atau
kematian cepat dari satu atau beberapa sel di lokasi infeksi untuk membatasi pertumbuhan
patogen. Setelah aktivasi HR, bagian yang tidak terinfeksi dapat mengembangkan resistensi
terhadap infeksi lebih lanjut, fenomena ini yang dikenal sebagai ketahanan sistemik terimbas
yang efektif terhadap beragam patogen, termasuk virus, bakteri, dan jamur (Heil & Bostock,
2002).

PENUTUP
Berdasarkan penjabaran yang telah disampaikan dapat disimpulkan bahwa pengendalian
penyakit tumbuhan dapat dilakukan dengan cara mengaktifkan ketahanan tanaman dengan
metode elisitasi. Salah satu elisitor yang dapat digunakan yaitu bahan kimia ramah lingkunan
yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa bahan kimia yang dapat
digunakan diantaranya asam salisilat, BTH, aspirin dan turunan lainnya, vitamin seperti thiamin
dan ribovlafin, bahan kimia yang digunakan dalam produk makanan sehari-hari seperti sakarin,
asam benzoat dan natrium benzoat. Penggunaan bahan kimia ramah lingkungan pada tanaman
dapat meningkatkan reaksi ketahanan biokimia tanaman berupa 1,3-glukanase, peroxidase,
polyphenol oxidase, peningkatan terhadap jumlah fenol total dan meningkatnya reaksi lignifikasi
tumbuhan terhadap serangan patogen. Meskipun telah banyak diketahui bahwa penggunaan
bahan kimia dapat meningkatkan ketahanan tanaman, penggunaan bahan kimia harus diuji
terlebih dahulu untuk pengendalian penyakit tanaman. Hal ini dikarenakan reaksi yang berbeda
terhadap tanaman, penekanan penyakit dengan patogen yang berbeda dan bahan kimia serta
jumlah yang digunakan dalam pengendalian penyakit tanaman.

DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Monaim, M. F. (2011). Role of riboflavin and thiamine in induced resistance against
charcoal rot disease of soybean. 10(53), 10842–10855. https://doi.org/10.5897/AJB11.253
Agrios, G. (2005). Plant pathology: Fifth Edition. https://doi.org/10.1016/C2009-0-02037-6
Aleandri, M. P., Reda, R., Tagliavento, V., Magro, P., & Chilosi, G. (2010). Effect of chemical
resistance inducers on the control of Monosporascus root rot and vine decline of melon.
18–26.
Andrea B. da Rocha, & Hammerschmidt, R. (2005). History and perspectives on the use of
disease resistance inducers in horticultural crops. HortTechnology, 15, 518–529.
https://doi.org/10.21273/HORTTECH.15.3.0518
Barz, W., Bless, W., Börger-Papendorf, G., Gunia, W., Mackenbrock, U., Meier, D., Süper, E.
(1990). Phytoalexins as part of induced defence reactions in plants: their elicitation,
function and metabolism. Ciba Foundation Symposium, 154, 140–156.
Boubakri, H., Wahab, M. A., Chong, J., Bertsch, C., Mliki, A., & Soustre-gacougnolle, I. (2012).
Plant Physiology and Biochemistry Thiamine induced resistance to Plasmopara viticola in
grapevine and elicited host e defense responses, including HR like-cell death. Plant
Physiology et Biochemistry, 57, 120–133. https://doi.org/10.1016/j.plaphy.2012.05.016

931
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Boyle, C., & Walters, D. (2005). Induction of systemic protection against rust infection in broad
bean by saccharin: effects on plant growth and development. 167, 607–612.
https://doi.org/10.1111/j.1469-8137.2005.01439.x
Buitelaar, R. M., Casário, M. T., & Tramper, J. (1992). Elicitation of thiophene production by
hairy roots of Tagetes patula. Enzyme and Microbial Technology, 14(1), 2–7.
https://doi.org/10.1016/0141-0229(92)90017-I
Conrath, U., Pieterse, C. M. J., & Mauch-mani, B. (2002). Priming in plant–pathogen
interactions. TRENDS in Plant Science, 7(5), 210–216. https://doi.org/10.1016/S1360-
1385(02)02244-6
Crute, I. R., & Judith M. Norwood. (1981). The Identification of Field Resistance and
Characteristics to Lettuce Downy. Euphytica, 30, 707–717.
Delaney, T. P. (1997). Genetic dissection of acquired resistance to disease. Plant Physiology,
113(1), 5–12. https://doi.org/10.1104/pp.113.1.5
Elad, Y. (1992). The use of antioxidants (free radical scavengers) to control grey mould (Botrytis
cinerea) and white mould (Sclerotinia sclerotiom) in various crops. Plant Pathology, 41(4),
417–426. https://doi.org/10.1111/j.1365-3059.1992.tb02436.x
Fadel, F., El-Naggar, M., Tolba, S., & Farahat, G. (2006). Induction of disease resistance by
salicylic acid, sodium benzoate and potassium monophosphate against Ustilago maydis in
maize plants. In G. J. Kövics & I. Dávid (Eds.), 4th International Plant Protection
Symposium at Debrecen University and 11th Trans-Tisza Plant Protection Forum, 18-19
October, 2006, Debrecen, Hungary (pp. 240–250). Debrecen: Debreceni Egyetem,
Agrártudományi Centrum, Mezögazdaságtudományi Kar.
Faoro, F., Maffi, D., Cantu, D., & Iriti, M. (2008). Chemical-induced resistance against powdery
mildew in barley: The effects of chitosan and benzothiadiazole. BioControl, 53(2), 387–
401. https://doi.org/10.1007/s10526-007-9091-3
Friedrich, L., Lawton, K., Ruess, W., Masner, P., Specker, N., Rella, M. G., Ryals, J. (1996). A
benzothiadiazole derivative induces systemic acquired resistance in tobacco. Plant Journal,
10(1), 61–70. https://doi.org/10.1046/j.1365-313X.1996.10010061.x
Gabriel, D. W., & Rolfe, B. G. (1990). Working Models of Specific Recognition in Plant-
Microbe Interactions. Annual Review of Phytopathology, 28(1), 365–391.
https://doi.org/10.1146/annurev.py.28.090190.002053
Gozzo, F. (2004). Systemic acquired resistance in crop protection. Outlooks on Pest
Management, 15(1), 20–23. https://doi.org/10.1564/15feb10
Habibullah, M., Widiastuti, A., & Sumardiyono, C. (2018). Respons Awal Ketahanan Jagung
terhadap Peronosclerospora maydis dan Induksi Bahan Kimia. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, 22(1), 27. https://doi.org/10.22146/jpti.26877
Hammerschmidt, R., & Nicholson, R. L. (1999). A survey of plant defense responses to
pathogens. In A. A. Anurag, T. Sadik, & B. Elizabeth (Eds.), Induced Plant Defenses
Against Pathogens and Herbivores (pp. 55–71). Journal of Phytopathology.
Heil, M., & Bostock, R. M. (2002). Induced Systemic Resistance (ISR) Against Pathogens in the
Context of Induced Plant Defences. Annals of Botany, 89, 503–512.
https://doi.org/10.1093/aob/mcf076
Jones, J. D. G., & Dangl, J. L. (2006). The plant immune system. Nature, 444(7117), 323–329.
https://doi.org/10.1038/nature05286

932
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kataria, H. R., Wolmsmeier, B., & Buchenauer, H. (1997). Efficacy of resistance inducers, free-
radical scavengers and an antagonostic strain of Pseudomonas fluorescens for control of
Rhizoctonia solani AG-U in bean and cucumber. Plant Pathology, 40, 897–909.
Knoester, M., Pieterse, C. M. J., Bol, J. F., & van Loon, L. C. (1999). Systemic resistance in
arabidopsis induced by rhizobacteria requires ethylene-dependent signaling at the site of
application. Molecular Plant-Microbe Interactions, 12(8), 720–727. https://doi.org/
10.1094/MPMI.1999.12.8.720
Kumar, A., Singh, R., & Jalali, B. L. (2003). Management of stem rot of rice with resistance
inducing chemicals and fungicides. Indian Phytopath, 56(3), 266–269.
Kumar, A. S., Lakshmanan, V., Caplan, J. L., Powell, D., Czymmek, K. J., Levia, D. F., & Bais,
H. P. (2012). Rhizobacteria Bacillus subtilis restricts foliar pathogen entry through
stomata. Plant Journal, 72(4), 694–706. https://doi.org/10.1111/j.1365-313X.2012.05116.x
Li, B., Meng, X., Shan, L., & He, P. (2016). Transcriptional Regulation of Pattern-Triggered
Immunity in Plants. Cell Host and Microbe, 19(5), 641–650. https://doi.org/
10.1016/j.chom.2016.04.011
Mandal, S., Mallick, N., & Mitra, A. (2009). Plant Physiology and Biochemistry Salicylic acid-
induced resistance to Fusarium oxysporum f.sp. Lycopersici in tomato. Plant Physiology
et Biochemistry, 47(7), 642–649. https://doi.org/10.1016/j.plaphy.2009.03.001
Mauch-Mani, B. (2007). Host Resistance to Downy Mildew Diseases. In P. T. N. Spencer-
Phillips, U. Gisi, & A. Lebeda (Eds.), Advances in Downy Mildew Research (pp. 59–84).
New York: Advances in Downy Mildew Research.
Ma, Y., Zhao, Y., Walker, R. K., & Berkowitz, G. A. (2013). Molecular steps in the immune
signaling pathway evoked by plant elicitor peptides: Ca2+- dependent protein kinases, nitric
oxide, and reactive oxygen species are downstream from the early Ca2+ signal. Plant
Physiology, 163(3), 1459–1471. https://doi.org/10.1104/pp.113.226068
Okubara, P. A., & Paulitz, T. C. (2005). Root defense responses to fungal pathogens: A
molecular perspective. Plant and Soil, 274(1–2), 215–226. https://doi.org/10.1007/s11104-
004-7328-9
Oostendorp, M., Kunz, W., Dietrich, B., & Staub, T. (2001). Induced disease resistance in plants
by chemicals. European Journal of Plant Pathology, 107(1), 19–28.
https://doi.org/10.1023/A:1008760518772
Pieterse, C. M. J., Leon-Reyes, A., van der Ent, S., & van Wees, S. C. M. (2009). Networking
by small-molecule hormones in plant immunity. Nature Chemical Biology, 5(5), 308–316.
https://doi.org/10.1038/nchembio.164
Pieterse, C. M. J., Zamioudis, C., Berendsen, R. L., Weller, D. M., van Wees, S. C. M., & Bakker,
P. A. H. M. (2014). Induced Systemic Resistance by Beneficial Microbes. Annual Review
of Phytopathology, 52(1), 347–375. https://doi.org/10.1146/annurev-phyto-082712-
102340
Ramamoorthy, V., Viswanathan, R., Raguchander, T., Prakasam, V., & Samiyappan, R. (2001).
Induction of systemic resistance by plant growth promoting rhizobacteria in crop plants
against pests and diseases. Crop Protection, 20(1), 1–11. https://doi.org/10.1016/S0261-
2194(00)00056-9
Ryals, J. A., Neuenschwander, U. H., Willits, M. G., Molina, A., Steiner, H., & Hunt, M. D.
(1996). Systemic Acquired Resistance. 8 October, 1809–1819. https://doi.org/10.1105 /
tpc.8.10.1809

933
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Schneider, M., Schweizer, P., Meuwly, P., & Metraux, J. P. (1996). Systemic acquired resistance
in plants. Int. Rev. Cytol, 168, 303–340. https://doi.org/10.1016/S0074-7696(08)60887-6
Schwessinger, B., & Ronald, P. C. (2012). Plant Innate Immunity: Perception of Conserved
Microbial Signatures. Annual Review of Plant Biology, 63(1), 451–482.
https://doi.org/10.1146/annurev-arplant-042811-105518
Semangun, H. (2006). Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Siegrist, J., Muhlenbeck, S., & Buchenauer, H. (1998). Cultured parsley cells, a model system
for the rapid testing of abiotic and natural substances as inducers of systemic acquired
resistance. Physiological and Molecular Plant Pathology, 53, 223–238.
https://doi.org/https://doi.org/10.1006/pmpp.1998.0176
Smith-Becker, J., Marois, E., Huguet, E. J., Midland, S. L., Sims, J. J., & Keen, N. T. (1998).
Accumulation of salicylic acid and 4-hydroxybenzoic acid in phloem fluids of cucumber
during systemic acquired resistance is preceded by a transient increase in phenylalanine
ammonia-lyase activity in petioles and stems. Plant Physiology, 116(1), 231–238.
https://doi.org/10.1104/pp.116.1.231
Sticher, L., Mauch-Mani, B., & Metraux, J. P. (1997). Systemic Acquired Resistance. Annu.
Rev. Phytopathol, 35, 235–270. https://doi.org/10.1146/annurev.phyto.35.1.235
Sumardiyono, C. (2006). Ketahanan terimbas, transisi, dan prospeknya dalam mengendalikan
penyakit tanaman. Pidato pengukuhan jabatan guru besar di Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sumardiyono, C. (2008). Ketahanan Jamur terhadap Fungisida di Indonesia. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, 14(1), 1–5. https://doi.org/10.22146/jpti.11869
Yudiarti, T. (2012). Ilmu Penyakit Tumbuhan. Graha Ilmu. Yogyakarta
van Loon, L. C., & van Strien, E. A. (1999). The families of pathogenesis-related proteins, their
activities, and comparative analysis of PR-1 type proteins. Physiological and Molecular
Plant Pathology, 55, 85–97.
White, R. F. (1979). Acetylsalicylic acid (aspirin) induces resistance to tobacco mosaic virus in
tobacco. 412, 410–412.
Widiastuti, A., Yoshino, M., Hasegawa, M., Nitta, Y., & Sato, T. (2013). Heat shock-induced
resistance increases chitinase-1 gene expression and stimulates salicylic acid production in
melon (Cucumis melo L.). Physiological and Molecular Plant Pathology, 82, 51–55.
https://doi.org/10.1016/j.pmpp.2013.01.003
Xie, Z., & Chen, Z. (1999). Salicylic acid induces rapid inhibition of mitochondrial electron
transport and oxidative phosphorylation in tobacco cells. Plant Physiology, 120(1), 217–
225.
Yamaguchi, Y., & Huffaker, A. (2011). Endogenous peptide elicitors in higher plants. Current
Opinion in Plant Biology, 14(4), 351–357. https://doi.org/10.1016/j.pbi.2011.05.001
Yoshioka, K., Nakashita, H., Klessig, D. F., & Yamaguchi, I. (2001). Probenazole induces
systemic acquired resistance in Arabidopsis with a novel type of action. Plant Journal,
25(2), 149–157. https://doi.org/10.1046/j.1365-313X.2001.00952.x
Yuantari, M. G. C. (2011). Dampak Pestisida Organoklorin Terhadap Kesehatan Manusia dan
Lingkungan Serta Penanggulangannya. Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian
MDG’s of Indonesia. Prosiding Seminar Nasional. 187–199 pp.

934
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Peranan Larva Black Soldier Fly (BSF) dalam Konversi Limbah


Organik Pertanian
Yayan Sanjaya1. Suhara1, Mimin Nurjhani1, Mimi Halimah2
1Departemen Pendidikan Biologi , Universitas Pendidikan Indonesia,
2Program Studi Pendidikan Biologi, Univeritas Pasundan

ABSTRACT

Kata Kunci: Dalam kehidupan baik, di rumah, dan di kebun, para petani banyak
Larva BSF mempunyai kesulitan untuk membuang limbah organik, salah satu solusinya
Limbah Organik adalah dengan mengunakan larva “Black Soldier Fly” (BSF) yang mengubah
Konversi bahan orgnik menjadi biomasa . Tujuan dari peneltian ini adalah untuk
Instar 4 mengetahui kemampuan larva BSF untuk mengkonversi limbah. Metode
yang digunakan adalah metode deskriptif dengan membandingkan limbah
rumah, limbah sayuran dan limbah gulma yang dikonversi oleh larva BSF
menjadi berat tubuh pada Larva BSF instar 4. Hasil Penelitian menunjukkan
bahwa tiga jenis limbah dapat dikonversi dengan baik oleh larva BSF, juga
ditemukan bahwa limbah sebanyak 600 gram dapat dikonversi oleh Hermetia
illucens menjadi masa tubuh BSF yang mengalami kenaikan 100 % dalam
waktu 4 hari untuk larva BSF . Hal ini menunjukkan Larva BSF mempunyai
potensi untuk mengkonversi berbagai limbah organik.

PENDAHULUAN
Permasalahan sampah merupakan permasalahan di berbagai belahan dunia. Dengan
semakin bertambahnya penduduk, maka semakin bertambah pula produksi sampah. Seperti
diketahui bersama, volume produksi sampah semakin meningkat dari waktu ke waktu, semantara
itu ketersediaan lahan untuk mendirikan fasilitas tempat pembuangan sampah, di tingakat RT,
RW, Keluarahan maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) relatif terbatas. Permasalahan yang
lain adalah ketersediaan sarana dan prasarana untuk pengelolaan sampah yang juga sebagian
besar belum memadai termasuk pemilaham bahan anorganik dan organik.
Masalah pengelolaan sampah ini menjadi komplek karena bertumpuknya sampah, karena
belum berjalannya sistem pengelolaan sampah dengan maksimal sementara di tingat petani
petani dan pengepul sayuran banyak sekali limbah-limbah yang dianggap tidak dibutuhkan lagi
seperti sisa daun kubis, sisa brum kol, sisa daun jagung dan bonggolnya. Ada juga produk-produk
yang sudah busuk. Larva BSF terbukti dapat mengatasi beban sampah ini
Menurut Shepard et al. (2002) Proses bio composting dari larva BSF cukup efektif
sehingga dapat digunakan dalam skala luas dimana akumulasi bahan sisa orgnik khususnya
pakan ternak dapat menjadi polusi. Menurut Diener (2010) dalam hal ini larava BSF dapat
mengkonsumsi material organik secara luas dana sangat potensial dalam managment bahan
sisa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh samapah dapur, sampah panen
dan sampah gulma sebaai pakan bsf terhadap ketahanan dan konversi dari sampah menjadi
bioimasa

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif, mengambarkan
proses limbah organik menjadi biomasa . Prosedur penelitian: Limbah dapur, limbah sayuran
dan limbah gulma disiapkan sebanyak 500 gr sebagai makanan bsf. Bsf sebanyak 50 gr, 100 gr,

935
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dan 150 gr ditimbang dan disimpan pada wadah yang tidak bolong, dan dihitung jumlah larvanya
untuk masing-masing perlakuan dan amati samapai makanan habis.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan bahwa Black Solder Fly dalam ketiga jenih limbah mampu
mengkonversi limbah dengan rata-rata sebanyak 2 kali berat badannya (Gambar 1)

Gambar 1. Fase Pupa BSF yang Diberi Pakan Sampah Rumah, Sampah Dapur dan Sampah Gulma.

Tabel 1. Pakan Limbah dari Produk Sayuran.


Pakan limbah Jumlah awal/ekor Berat awal/gram Jumlah Berat akhir/gram
akhir/ekor
Sampah rumah 400 50 400 100
Sampah sayuran 410 50 410 150
Sampah gulma 405 50 405 100

Berdasarkan Tabel 1, Dari hasil pengamatan BSF dengan berat awal 50 gr mampu
mengkonversi sampah rumah, sampah sayuran dan sampah gulma masing-masing menjadi 100
gr, 150 gr dan 100 gr. Terlihat bahwa sampah sayuran sebagai makan bsf menghasilkan berat
badan yaang paling tinggi sedangkan sampah rumah dan sampah gulma mampu merubah
biomassa seberat 100 gr untuk masing-masing.

Tabel 2. Pakan Limbah Dari Produk Sayuran.


Pakan limbah Jumlah awal/ekor berat awal/gram Jumlah Berat akhir/gram
akhir/ekor
Sampah rumah 805 100 805 200
Sampah sayuran 800 100 800 250
Sampah gulma 810 100 810 200

Pola yang sama terjadi pada Tabel 2, Dari hasil pengamatan BSF dengan berat awal 100
gr mampu mengkonversi sampah rumah, sampah sayuran dan sampah gulma masing-masing
menjadi 200 gr, 250 gr dan 200 gr. Terlihat bahwa sampah sayuran sebagai makan bsf
menghasilkan berat badan yaang paling tinggi sedangkan sampah rumah dan sampah gulma
mampu merubah biomassa seberat 200 gr untuk masing-masing. Berdasarkan pengamatan larva
dengan berat yang lebih tinggi mampu mengkonrsi biomasa yang lebih tinggi

Tabel 3. Pakan limbah dari Produk sayuran


Pakan limbah Jumlah awal/ekor Jumlah Jumlah Berat akhir/gram
awal/gram akhir/ekor
Sampah rumah 1210 150 1210 300
Sampah sayuran 1205 150 1205 400
Sampah gulma 1207 150 1207 300
936
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Pada Tabel 3, terlihat semua perlakuan BSF terhadap sampah organik merupakan
perlakuan dengan menghasilkan berat yang yang paling tinggi dan juga tidak menghasilkan
kematian bagi masing-masing sampah serangga memiliki efisiensi pakan yang tinggi dan rasio
konversi pakan yang rendah, dengan kemampuan untuk dipelihara pada aliran bio-limbah;
mereka mampu tumbuh dan berkembang biak di bahan limbah (Diener 2011). Serangga dapat
memakan bahan limbah dan kemudian dapat diubah menjadi pakan yang sangat diinginkan untuk
ternak. Serangga yang telah dipelajari secara intensif dan ditemukan sebagai yang paling
menjanjikan untuk produksi pakan industri adalah lalat tentara hitam (Hermetia illucens), larva
lalat rumah tangga umum (Musca domestica), ulat sutera (Bombyx mori) dan cacing kuning
(Tenebrio molitor) ( FAO, 2012).
Penumpukan limbah organik terutama yang berasal dari restoran, pengolah ikan dan
peretnakan dapat menyebabkan pencemaran. Akumulasi limbah organik, terutama di fasilitas
peternakan, bisa menjadi isu pencemaran potensial. Lalat tentara hitam, Hermetia illucens L.
(Diptera: Stratiomyidae), dapat mengkonsumsi berbagai bahan organik dan berpotensi untuk
digunakan dalam pengelolaan limbah. Selain itu, tahap prepupa dari serangga ini dapat dipanen
dan digunakan sebagai pakan bergizi yang berharga untuk ternak hewan (Li, 2011. Lima jenis
limbah dengan berbagai bahan sumber organik dipilih secara khusus untuk mengevaluasi
kemampuan konsumsi dan pengurangan larva lalat tentara hitam. H. illucens mampu mengurangi
semua jenis limbah. Limbah organik yang dapat menyebabkan masalah atau kesempatan daur
ulang umumnya terbagi dalam empat kategori; 1) Pengolahan makanan dan limbah pabrik, 2)
Makanan bekas konsumen (rumah makan dan rumah tangga), 3) Kotoran dari operasi pemberian
makanan ternak terbatas, dan 4) Sisa hewan dan jeroan (Liu, 2012). Berdasarkan hasil
pengamatan terlihat bahwa BSF dapat mengurangi limbah organik dengan tidak meninggalkan
efek samping.

DAFTAR PUSTAKA
Craig Sheppard, D. et al., 2002. Rearing Methods for the Black Soldier Fly (Diptera:
Stratiomyidae). Journal of Medical Entomology, 39(4), pp.695–698.
Diener, S., 2010. Valorisation of Organic Solid Waste using the Black Soldier Fly, Hermetia
illucens, in Low and Middle-Income Countries. Ph.D. Zurich: Swiss Federal Institute of
Aquatic Science and Technology (Eawag).
Diener, S. et al., 2011. Biological Treatment of Municipal Organic Waste using Black Soldier
Fly Larvae. Waste and Biomass Valorization, November, 2(4), pp.357-363.
Food and Agriculture Organization, 2006. Livestock Impacts on the Environment. [Online]
November 2006. Available at: http://www.fao.org/ag/magazine/0612sp1.htm [Accessed
11 June 2015]
Huis, van A. et al, 2013. Edible insects - Future prospects for food and feed security. Food and
Agriculture Organization (FAO) Forestry Paper 17
Li, Q. et al., 2011. Bioconversion of dairy manure by black soldier fly (Diptera: Stratiomyidae)
for biodiesel and sugar production. Waste Management, 31(2011), pp.1316-1320.
Liu, Q. et al., 2012. Short-term effect of biochar and compost on soil fertility and water status
of a Cambisol in NE Germany under field conditions. Journal of Plant Nutrition and Soil
Science, [Online]. 2012 (000), pp.1-10.

937
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Jenis Mikrobia untuk


Menurunkan Kandungan Saponin Buah Trembesi (Albizia saman)
Fermentation by Using Different Types of Microbes for Decreased
Saponin Content in Fruit of Trembesi (Albizia saman)
Ahimsa Kandi Sariri, Engkus Ainul Yakin
Program studi Produksi Ternak FP Univet Bantara Sukoharjo Jl. Letjen S. Humardani No 1 Sukoharjo,
kode pos 57512, Telp. (0271)593156, Fax (0271)591065,

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fermentasi dengan
Fermentasi, menggunakan berbagai mikrobia terhadap kandungan saponin dan nutrient buah
Saponin, trembesi. Agensia fermentasi yang digunakan terdiri dari dua kelompok yaitu
Buah trembesi jamur Aspergillus niger dan bakteri Lactobacillus plantarum. Rancangan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola searah perlakuan diulang
sebanyak 3 kali sehingga terbentuk kombinasi perlakuan 12 unit percobaan.
Analisis yang dilakukan meliputi analisis kandungan saponin dan analisis
proksimat daun trembesi. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan
Aspergillus niger dan Lactobacillus plantarum dalam fermentasi dapat
menurunkan kandungan saponin dalam buah trembesi dan penggunaan
Aspergillus niger dan Lactobacillus plantarum dalam fermentasi dapat
menurunkan kandungan kandungan serat kasar dan meningkatkan protein kasar
buah trembesi.

ABSTRACT

Keywords: This objectives research to effect of using different microbial fermentation in


Fermentation, reducing the saponin content while increasing the nutrient content in trembesi
Saponin, pods (Albizia saman). Fermentation agents used consisted of two groups: the
Buah trembesi fungus is Aspergillus niger and bacteria is Lactobacillus plantarum. The design
used was completely randomized design pattern in the direction of the treatment
repeated six times to form the combined treatment of 12 experimental units.
Analysis was conducted on the saponin content analysis and proximate analysis
of trembesi pods This study concluded that the use of Aspergillus niger and
Lactobacillus plantarum in the fermentation can reduced the saponin content of
the trembesi pods and use of Aspergillus niger and Lactobacillus plantarum in
the fermentation can reduce the content of crude fiber content and increasing the
crude protein trembesi pods.

Email korespondensi: ak_sariri@ymail.com

PENDAHULUAN
Pohon trembesi adalah pohon yang memiliki kemampuan menyerap air tanah yang kuat,
dapat menyerap 28,5 ton/tahun karbondioksida dan mempunyai perakaran yang dapat
bersimbiosis dengan bakteri rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara. Sebaliknya banyak
riset menyatakan bahwa trembesi termasuk jenis pohon dengan evaporasi atau penguapan tinggi

938
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

sehingga berpotensi mengeringkan sumber air selain itu juga merupakan pohon yang mempunyai
perakaran yang dangkal sehingga pohon ini mudah roboh selain itu trembesi bersifat invasif
karena memiliki tajuk yang luas, sekaligus tebal. Kondisi ini membuat cahaya matahari sulit
menembus. tanaman di bawah naungan tajuknya sehingga tidak bisa tumbuh subur, bahkan mati.
Trembesi telah dimanfaatkan oelh masyarakat. Buah trembesi menjadi makanan ringan
bagi manusia. Daun dan kulit buah trembesi digunakan sebagai pakan ternak ruminansia. Ternak
ruminansia adalah ternak yang mempunyai lambung jamak dengan empat kompartemen dan
mengalami proses ruminasi. Keberlangsungan proses ruminasi sangat tergantung dengan adanya
bahan pakan yang mempunyai kandungan serat kasar tinggi. Bahan pakan dengan kandungan
serat kasar yang tinggi banyak terdapat pada hijauan tanaman. Ketersediaan hijauan pakan di
Indonesia tidak terjamin. Pada musim penghujan hijauan berlimpah tetapi pada saat musim
kemarau sangat kurang . Ketidaktersediaannya hijauan pakan sebagai kebutuhan pokok ternak
ruminansia, memaksa peternak untuk memberikan hijauan pakan seadanya yang biasanya
diperoleh dari tanaman tahunan.
Trembesi masuk dalam familia Mimosoideae. Daun, biji, dan kulit batang trembesi
mengandung saponin disamping itu daun dan bijinya mengandung polifenol. (Mc Donald et al.,
1988). Lebih lanjut Widodo (2005) menyatakan saponin ada pada seluruh bagian tanaman,
misalnya pada daun, batang, akar, bunga dan biji sedangkan jumlahnya bervariasi sesuai waktu
pemotongan. tetapi di sisi lain tanaman ini mempunyai perakaran yang dapat bersimbiosis
dengan bakteri rhizobium yang bisa mengikat N bebas
Saponin adalah glikosida yang setelah dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan
sapogenin (aglikon). Senyawa aktif permukaan dari saponin bersifat seperti sabun dan dideteksi
berdasarkan kemampuan membentuk busa pada pengocokan dan memiliki rasa pahit yang
mempunyai efek menurunkan tegangan permukaan sehingga merusak membran sel dan
menginaktifkan enzim sel serta merusak protein sel (Hostettmann, 1995).
Saponin dapat memberikan pengaruh terhadap proses biologis tubuh dan metabolisme
zat nutrisi dengan cara menghambat produktivitas kerja enzim seperti enzim kimotripsin
sehingga menghambat produktivitas dan pertumbuhan ternak. Efek biologis utama dari saponin
adalah saponin mampu menghemolisis sel darah merah karena interaksi saponin dengan
membran (protein, fosfolipida dan kolesterol) dari eritrosit. Hemolisis adalah terlepasnya
hemoglobin ke dalam plasma darah akibat pemecahan eritrosit ( Francis et al., 2002).
Pakan yang mengandung lebih dari 0,20% saponin akan berakibat buruk terhadap
pertumbuhan, konsumsi pakan dan efisiensi pakan. Saponin pada alfalfa dapat mengakibatkan
kembung pada ruminansia karena saponin merupakan agen-agen aktif pada permukaannya
dalam memproduksi sabun yang bersifat membusa. Level rendah penggunaan tepung alfalfa
menurunkan jumlah rata-rata pertumbuhan unggas, yang menjadi efek utama dari kandungan
saponin adalah pada palatabilitas dan feed intake dibandingkan pada efek metabolismenya.
Penggunaan strain rendah saponin meningkatkan level alfalfa menjadi bahan makanan untuk
ruminansi tanpa menurunkan penampilan pertumbuhannya ( Francis et al., 2002).
Fermentasi adalah proses pemecahan karbohidrat menjadi alkohol, asam laktat, asam
butirat dan asam karbonat serta pelepasan panas. Protein dirombak menjadi amonia, asam amino,
amida, asam asetat, asam butirat dan air. Suliantari dan Rahayu (1990) menyatakan bahwa
dengan fermentasi terjadi penghilangan zat anti nutrisi yang bersifat racun antara lain glukosida.
Selanjutnya fermentasi daun ubikayu dengan Aspergillus niger mampu meningkatkan protein,
nilai kecernaan dan penurunan serat kasar (Balitnak, 1994).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi, Kimia dan Mikrobiologi Fakultas
Pertanian Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Analisis proksimat dan saponin
dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Materi yang
digunakan adalah:

939
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Substrat
Substrat yang digunakan adalah buah trembesi yang terdiri dari kulit dan biji. Buah
trembesi yang digunakan diambil dari tiga tanaman trembesi yang tumbuh di Desa Munggur
Kecamatan/Kabupaten Karanganyar yang sering digunakan oleh peternak sebagai pakan ternak.

Agensia Fermentasi
Agensia fermentasi yang digunakan terdiri dari dua kelompok yaitu jamur: Aspergillus
niger dan bakteri: Lactobacillus plantarum.

Rancangan Percobaan
Penelitian ini dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan perlakuan
penambahan agensia fermentasi Aspergillus niger dan bakteri : Lactobacillus plantarum. Setiap
perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terbentuk kombinasi perlakuan 12 unit percobaan.

Pelaksanaan Penelitian
A.5.1. Preparasi agensia fermentasi :
1. Perbanyakan isolat
2. Menumbuhkan agensia, untuk A.niger dalam media potato dekstrose sedangkan
L.plantarum dalam media MRS
3. Inkubasi
A.5.2. Preparasi buah trembesi :
1. Buah trembesi diambil dari pohon kemudian dipisahkan antara kulit dan bijinya.
2. Kulit dan biji trembesi kemudian dibungkus koran untuk menahan respirasi sel selama
pengangkutan.
3. Untuk menunggu pelaksanaan fermentasi, kulit dan biji trembesi yang dibungkus koran
disimpan dalam lemari pendingin.
A.5.3. Fermentasi
1. Kulit dan biji trembesi yang dibungkus, dibuka kembali dan dicampur dengan urea
kemudian diaduk hingga merata. Setelah itu kulit trembesi dikelompokkan menjadi 6
kelompok dan biji trembesi dikelompokkan menjadi 6 sehingga ada 12 kelompok yang
kemudian menjadi unit percobaan.
2. Dari 6 unit percobaan kulit trembesi dibagi menjadi dua. 3 unit percobaan diberi A.niger
dan 3 unit percobaan diberi L.plantarum. Kemudian dicampur hingga merata.
6 unit percobaan biji trembesi juga dibagi menjadi dua. 3 unit percobaan diberi A.niger
dan 3 unit percobaan diberi L.plantarum. Kemudian dicampur hingga merata.
3. Semua unit percobaan, masing-masing dimasukkan ke dalam plastik dan ditekan
sedemikian rupa sehingga diusahakan tertutup rapat.
4. Peram selama 21 hari.

Analisis kandungan nutrien dan analisis kandungan saponin.


Daun trembesi sebelum dan sesudah fermentasi dilakukan analisis kandungan nutrien
yang meliputi bahan kering, kandungan air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, abu dengan
menggunakan analisis proksimat (AOAC, 1990) dan kandungan saponin dengan analisis
saponin.

940
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Analisis Statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola
seaarah. Bagi variable yang menunjukkan pengaruh yang nyata (P < 0,05) maka diuji lanjut
dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 % (Astuti, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kandungan nutrien dan penurunan
saponin dalam trembesi yang difermentasi dengan penambahan mikrobia yang berbeda yaitu
Aspergillus niger dan Lactobacillus plantarum. Kandungan nutrien dan saponin pada trembesi
sebelum difermentasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrien dan Saponin Trembesi


Bagian Tanaman KA Abu LK PK KH Saponin
Buah Muda 52,73 3,82 0,29 11,81 43,87 0,95
Kulit Buah 54,35 3,94 0,08 8,32 77,28 1,44

Setelah mengetahui kandungan nutrien dan saponin dalam trembesi maka dilakukan
fermentasi. Dalam fermentasi tersebut digunakan dua jenis mikrobia yang akan dipilih mikrobia
yang paling memberikan peningkatan nutrien dan menurunkan kandungan saponin buah
trembesi. Hasil fermentasi trembesi dengan penambahan mikrobia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrien dan saponin Trembesi Terfermentasi


Materi Penelitian KA Abu LK PK KH Saponin
B-An 59.14 a 4.44 a 5.21 b 42.58b 38.27a 0.06a
K-An 60.48b 4.73a 1.50a 22.54a 60.92b 0.92b
B-Lp 59.10 a 4.31 a 5.18 b 48.16b 33.25a 0.08a
K-Lp 60.58b 4.88a 1.57a 59.79c 59.79b 0.89b

KANDUNGAN NUTRIEN
Kadar Air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar air pada trembesi yang
difermentasi dengan Aspergillus niger ataupun Lactobacillus plantarum dibandingkan dengan
tanpa fermentasi. Hal ini bisa diakibatkan karena aktivitas Aspergillus niger dan Lactobacillus
plantarum akan menghasilkan asam. Aspergillus niger menghasilkan asam sitrat dan
Lactobacillus plantarum akan menghasilkan asam laktat. Dengan keadaan asam akan
menghambat aktivitas mikroorganisme dalam penguraian karbohidrat dan protein yang hasil
sampingannya adalah uap air.
Dari Tabel 2. Menunjukkan bahwa penambahan mikrobia dalam fermentasi kulit buah
trembesi dapat meningkatkan kadar air secara nyata dibandingkan kadar air buah muda trembesi.
Hal ini bisa diakibatkan oleh kadar air kulit buah trembesi yang memang lebih tinggi daripada
buah muda trembesi. Selain itu bisa diakibatkan karena kulit buah mempunyai tekstur yang lebih
tebal daripada buah muda, dilain pihak bahwa tanaman banyak mengandung selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Kulit buah dimungkinkan lebih banyak mengandung selulosa dan
hemiselulosa yang merupakan karbohidrat seperti yang tertera di Tabel 1. Fermentasi
karbohidrat akan menghasilkan asam dan hasil sampingan air. Dengan semakin banyak
karbohidrat yang dirombak oleh mikrobia maka akan semakin tinggi pula air yang dihasilkan.

941
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Abu
Perlakuan penambahan mikrobia dalam fermentasi ternyata dapat meningkatkan
kandungan abu pada trembesi. Peningkatan kandungan abu merupakan indikasi terjadi
peningkatan kandungan mineral pada trembesi.
Dari Tabel 2. Menunjukkan bahwa penambahan Aspergillus niger dan Lactobacillus
plantarum dalam fermentasi trembesi tidak mempengaruhi secara nyata peningkatan kandungan
abu pada buah muda dan kulit buah trembesi terfermentasi.
Kandungan abu pada buah muda dan kulit buah tidak berbeda nyata, tetapi kulit buah
mempunyai kandungan abu yang lebih tinggi dibandingkan buah muda. Hal ini menunjukkan
bahwa kulit buah trembesi mempunyai kandungan mineral yang lebih tinggi dibandingkan
dengan buah muda.

Lemak
Kandungan lemak kasar trembesi mengalami peningkatan setelah difermentasi dengan
penambahan mikrobia didalamnya. Lemak dalam tanaman lebih banyak yang merupakan lemak
sederhana ( Widodo, 2005). Lemak adalah kelompok senyawa heterogen yang berkaitan baik
secara aktual maupun potensial dengan asam lemak. Didalam tubuh, lemak berfungsi sebagai
sumber energi yang efisien secara langsung dan potensial bila disimpan dalam jaringan adiposa.
Dari Tabel 2. Menunjukkan bahwa penambahan mikrobia tidak mempengaruhi
peningkatan kandungan lemak kasar trembesi secara nyata, tetapi penambahan mikrobia dalam
fermentasi buah muda trembesi dapat meningkatkan kandungan lemak kasar secara nyata
dibandingkan kandungan lemak kasar pada kulit buah trembesi.
Lemak pada tanamana biasanya merupakan lemak sederhana. Lemak sederhana adalah
ester asam lemak dengan berbagai alkohol. Lemak sederhana terdiri dari lemak dan lilin
(Widodo,2005). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan lemak dan lilin dalam buah muda lebih
tinggi dibandingkan dengan kulit buah.

Protein
Perlakuan fermentasi ternyata memberikan peningkatan kandungan protein kasar yang
cukup besar pada trembesi. Penambahan mikrobia Aspergillus niger dan Lactobacillus
plantarum dalam fermentasi juga efektif dalam meningkatkan kandungan protein kasar trembesi.
Dari Tabel 2. Menunjukkan bahwa penambahan mikrobia Aspergillus niger dapat
meningkatkan kandungan protein kasar buah muda berbeda secara nyata dibandingkan dengan
kandungan protein kasar kulit buah trembesi. Penambahan Lactobacillus plantarum ternyata
lebih bisa meningkatkan protein kasar yang cukup besar pada kulit buah dan buah muda
trembesi.
Kandungan protein dalam pakan akan meningkatkan palatabilitas pakan tersebut. Dengan
palatabilitas yang tinggi maka akan meningkatkan konsumsi ternak pada pakan tersebut, yang
akhirnya diharapkan dapat meningkatkan produksitivitas ternak.
Lactobacillus plantarum lebih efektif dalam meningkatkan kandungan protein kasar pada
trembesi dibandingkan dengan Aspergillus niger, hal ini bisa diakibatkan karena bakteri
Lactobacillus plantarum merupakan bakteri penghasil asam laktat yang juga menghasilkan
bakteriosin. Bakteriosin merupakan senyawa protein yang bersifat bakterisidal (James et al.,
1992 dalam Afriani, 2010).

Karbohidrat
Karbohidrat trembesi terfermentasi menurun dibandingkan dengan trembesi yang tidak
difermentasi. Karbohidrat dalam suatu bahan terdiri dari serat kasar dan ekstrak tanpa nitrogen.
Walaupun bukan suatu kepastian tetapi penurunan karbohidrat bisa merupakan indikasi dari
penurunan serat kasar.

942
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Tabel 2. Menunjukkan bahwa Aspergillus niger dan Lactobacillus plantarum


memberikan kandungan karbohidrat kasar pada kulit buah lebih besar secara nyata dibandingkan
kandungan karbohidrat kasar pada buah muda. Hal ini bisa diakibatkan bahwa buah muda suatu
tanaman banyak mengandung protein dibandingkan dengan karbohidrat dan lipid
(Dwidjoseputro, 1991).
Karbohidrat akan memberikan kontribusi sebagai sumber energi dalam suatu ransum
pakan ternak. Melihat Tabel 1 dan Tabel 2. bisa dikatakan bahwa dengan fermentasi yang
menggunakan Aspergillus niger dan Lactobacillus plantarum dapat menurunkan kandungan
karbohidrat kasar trembesi tetapi masih mempertahankan karbohidrat kasar dalam keadaan di
cukup tinggi pada kulit buah. Diharapkan yang diturunkan pada fermentasi tersebut adalah serat
kasarnya. Pakan dengan serat kasar yang rendah akan meningkatkan nilai kecernaan suatu pakan
(Tillman et al., 1984).

Kandungan Saponin
Kandungan saponin trembesi menurun dengan perlakuan fermentasi yang menggunakan
mikrobia baik Aspergillus niger ataupun Lactobacillus plantarum. Hal ini sesuai dengan
pendapat Suliantari dan Rahayu (1990) yang menyatakan bahwa dengan fermentasi terjadi
penghilangan zat anti nutrisi yang bersifat racun antara lain glukosida. Widodo (2005)
menyatakan bahwa saponin merupakan suatu glikosida, apabila dihidrolisis maka menghasilkan
gula (glikon) dan sapogenin (aglikon).
Tabel 2. menunjukkan bahwa kandungan saponin buah muda berbeda nyata dengan
kandungan saponin kulit buah trembesi. Kandungan saponin pada kulit buah trembesi yang
difermentasi dengan Lactobacillus plantarum lebih rendah dibandingkan dengan yang
difermentasi dengan aspergillus niger. Hal ini bisa diakibatkan karena Lactobacillus plantarum
merupakan bakteri asam laktat, yaitu bakteri yang mengubah laktosa dan gula lainnya menjadi
asam laktat. Laktosa dan gula lainnya masuk dalam golongan karbohidrat. Trembesi mempunyai
kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga bisa lebih mengefektifkan kerja
Lactobacillus plantarum dibandingan Aspergillus niger. mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik (Jenie dan Rini, 1995 dalam
Taufik, 2004).

KESIMPULAN
Penggunaan Aspergillus niger dan Lactobacillus plantarum dalam fermentasi dapat
menurunkan kandungan saponin dalam buah trembesi dan dapat meningkatkan kandungan
nutrien buah trembesi dengan peningkatan kandungan protein kasar sebaliknya menurunkan
kandungan serat kasar buah trembesi.

DAFTAR PUSTAKA
Afriani. 2010. Pengaruh Penggunaan Starter Bakteri Asam Laktat Lactobacillus plantarum dan
Laktobacillus fermentum terhadap Total Bakteri Asam Laktat, Kadar Asam, dan Nilai
pH Dadih Susu Sapi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. Volume XIII No. 6.
Astuti, Maria. 1980. Rancangan Percobaan. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Balitnak, 1994. Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Limbah Pengolahan Tapioka/Sagu sebagai
Pakan Ternak. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
Dwidjoseputro,D. 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Francis, George; Zohar Kerem, Harinder P. S. Makkar and Klaus Becker (December 2002). "The
biological action of saponins in animal systems: a review". British Journal of Nutrition 88
(6): 587–605. doi:10.1079/BJN2002725. PMID 12493081

943
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Hostettmann, K.; A. Marston (1995). Saponins. Cambridge: Cambridge University Press. p. 3ff.
ISBN 0-521-32970-1. OCLC 29670810
McDonald, P., R.A. Edwards, and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. 4 edition.
Longman Scientific & Technical. England.
Sariri, A.K., 2012. Fermentasi dengan Menggunakan Berbagai Jenis Mikrobia
untukMenurunkan Kandungan Saponin Daun Trembesi (Albizia saman). Laporan
Penelitian Kompetitif. Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
Soejono, Mohammad. 2004. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Laboratorium
Teknologi Makanan Ternak Jurusan NMT fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta..
Suliantari dan W.P. Rahayu. 1990. Teknologi Fermentasi Biji-bijian dan Umbi-umbian. PAU-
IPB. Bogor.
Taufik, E. 2004. Dadih Susu Sapi Hasil Fermentasi berbagai Starter Bakteri Probiotik yang
Disimpan pada Suhu Rendah. Media Peternakan. 27(3): 88-133.
Tillman, Allen D., Hari H, Soedomo R, Soeharto P, P. Soekanto L. 1984. Ilmu Makanan Ternak
Dasar. UGM Press. Yogyakarta.
Widodo, Wahyu. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. UMM Press. Malang.

944
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Penggunaan Ampas Kelapa Fermentasi Dalam Ransum Terhadap


Performans Ayam Murung Panggang
Muhammad Syarif Djaya1 dan Raga Samudera1
1) Stap Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan MAB

ABSTRAK

Kata Kunci: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan ampas kelapa
Ampas Kelapa fermentasi dosis berbeda dalam ransum terhadap performans ayam murung
Fermentasi, Konsumsi panggang. Perlakuan dalam penelitian adalah kontrol (tanpa ampas kelapa
Ransum, Pertambahan fermentasi= AKF0), AKF5 (5% ampas kelapa fermentasi), AKF10 (10%
Berat Badan dan ampas kelapa fermentasi), AKF15 (15% ampas kelapa fermentasi), dan
Konversi Ransum. AKF20 (20% ampas kelapa fermentasi). Penelitian ini merupakan
eksperimen murni dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan ampas kelapa fermentasi sampai 20%
berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, ransum tertinggi pada AKF10
(1035,19 g/ekor) dan terendah pada AKF0 (884,67 g/ekor), pertambahan
berat badan tertinggi pada AKF10 (609,50 g/ekor) terendah pada AKF20
(438,67 g/ekor) serta konversi ransum tertinggi pada AKF15 (2,17) dan
terendah pada AKF5 (1,66).

ABSTRACT

Keywords: This study aims to determine the use of different doses of fermented coconut
pulp in the ration to the performance of grilled murung chickens. The
treatments in the study were control (without fermented coconut pulp =
AKF0), AKF5 (5% fermented coconut pulp), AKF10 (10% fermented
coconut pulp), AKF15 (15% fermented coconut pulp), and AKF20 (20%
fermented coconut pulp) . This study was a pure experiment using the
Completely Randomized Design (CRD) method with five treatments and four
replications. The results showed that the use of fermented coconut pulp to
20% significantly affected the consumption of rations, the highest ration in
AKF10 (1035.19 g / head) and the lowest in AKF0 (884.67 g / head), the
highest weight gain in AKF10 (609 , 50 g / head) the lowest at AKF20
(438.67 g / head) and the highest feed conversion at AKF15 (2.17) and the
lowest at AKF5 (1.66).

PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir, banyak pemerhati peternakan khususnya unggas yang
melakukan terobosan baru dengan cara melaksanakan perkawinan ayam dengan cara silang
(crossing) misalnya antara ayam pelung dengan ayam kampung. Seperti halnya yang dilakukan
oleh peternak di daerah Hulu Sungai Utara, telah melakukan perkawinan silang antara ayam
buras murung panggang dengan ayam ras pedaging. Sesuai dengan namanya, unggas ini bisa
ditemui di Desa Murung Panggang Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Provinsi Kalimantan Selatan. Selain disebut ayam Murung Panggang, masyarakat sekitar juga
biasa menyebut dengan istilah ayam kaldu, ayam padang atau ayam bilahan.

945
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Keunggulan yang dimiliki ayam Murung Panggang antara lain: ayam dwi guna (dual
purpose), yakni penghasil daging dan telur produktif, konversi pakan lebih rendah, relatif lebih
tahan terhadap penyakit, produksi daging dan telur lebih tinggi dibanding ayam kampung
lainnya, daya tetas telur lebih dari 75%, dan mempunyai sifat jarang mengeram. Selain itu, ayam
Murung Panggang mempunyai harga jual yang sama dengan ayam kampung yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ayam broiler. Harga jual daging berkisar antara 28.000 – 33.000/kg, atau
untuk ayam dewasa sekitar Rp. 100.000/ekor.
Besarnya biaya pakan dalam industri perunggasan bisa mencapai 70% dari total biaya
produksi (Arifin, 2009). Tidak adanya pakan khusus ayam murung panggang di pasaran
memaksa para peternak menggunakan pakan ayam pedaging starter karena kebutuhan nutrisinya
dapat memenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya ayam murung panggang. (Fadillah et al.,
2007). Dalam kondisi seperti ini mengharuskan adanya terobosan baru terutama dalam
pengadaan sumber bahan pakan yang ideal untuk dijadikan ransum dengan nutrisi yang
mencukupi kebutuhan ayam murung panggang. Salah satu diantaranya adalah dengan
pemanfaatan ampas kelapa yang difermentasi.

KERANGKA TEORI
Ampas kelapa merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang masih mudah
didapatkan dari sisa parutan kelapa. Ampas kelapa akan difermentasi untuk meningkatkan
kandungan nutrisinya. Ampas kelapa adalah sebagai berikut: protein 13,09%, karbohidrat
23,77%, lemak 9,44%, dan serat kasar 30,40% (Elyana, 2011). Menurut Yamin (2008),
kandungan nutrisi ampas kelapa yaitu protein 3,8% dan serat kasar 14,6%. Penggunaan
ampas kelapa sebagai campuran pakan ayam diharapkan mampu menurunkan biaya harga
pakan yang tinggi. Kerangka pikir dapat dilihat pada gambar berikut.

Ampas Kelapa Fermentasi

Pakan Ayam

Respon terhadap Performans

Tidak Dapat digunakan


Berbeda
sebagai pakan
nyata ayam

Ya

Tidak Tidak dapat


Berbeda digunakan sebagai
nyata pakan ayam

Ya

Dapat digunakan
sebagai pakan
campuran

946
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam hasil persilangan ayam
murung dengan ayam ras, ampas kelapa fermentasi, jagung kuning, dedak halus, tepung ikan,
minyak kelapa, mineral, dan vitamin. Dalam menunjang penelitian, digunakan alat lain seperti
kandang dan peralatannya, serta alat lain untuk pengukuran seperti timbangan merk Ohaux
dengan tingkat ketelitian 0,01 g.

Prosedur Penelitian
Tahap pertama dari kegiatan penelitian adalah melakukan fermentasi pada ampas kelapa
sebagai faktor peubah variabel, selanjutnya mencampur berbagai bahan baku pakan (ampas
kelapa fermentasi, jagung kuning, dedak halus, tepung ikan, minyak kelapa, mineral, dan
vitamin) berdasarkan masing-masing perlakuan yang ditetapkan.

Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah persentase karkas dan potongan karkas ayam
murung panggang. Adapun cara memperoleh data tersebut seperti berikut:
a. Konsumsi Pakan. Diperoleh dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah
pakan yang dikonsumsi (g/ekor)
b. Pertambahan Berat Badan. Diperoleh dari jumlah berat badan akhir dikurangi dengan jumlah
berat badan awal (g/ekor).
c. Berat Badan Akhir. Diperoleh dari jumlah berat badan akhir penelitian (g/ekor)
d. Konversi Ransum. Diperoleh dari perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi
dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan selama penelitian.

Rancangan Penelitian dan Analisis Statistik


Penelitian ini merupakan eksperimen murni dengan menggunakan metode Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan empat ulangan sehingga total unit percobaan
sebanyak 20 unit. Secara terperinci kelima perlakuan tersebut adalah:
AKF0 : Tanpa Ampas Kelapa Fermentasi
AKF5 : Ampas Kelapa Fermentasi 5 %.
AKF10 : Ampas Kelapa Fermentasi 10 %
AKF15 : Ampas Kelapa Fermentasi 15 %
AKF20 : Ampas Kelapa Fermentasi 20 %
Untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan, dilakukan analisis statistik menggunakan
uji F, bila ternyata ada efek yang bermakna, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda
Duncan (DMRT) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel and Torrie, 1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsumsi Ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ampas kelapa fermentasi dengan
dosis yang berbeda berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum ayam murung panggang. Rata-
rata konsumsi ransum selama penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Ransum Ayam Murung Panggang per Perlakuan Selama
Penelitian (g/ekor)
Perlakuan Rata-rata (g/ekor)
AKF0 884,67a
AKF5 917,58a
AKF10 1035,19b

947
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Perlakuan Rata-rata (g/ekor)


AKF15 948,08a
AKF20 894,00a
Keterangan: Huruf superscript yang tidak sama pada kolom rata-rata menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji
DMRT 5%

Rataan konsumsi ransum pada penggunaan ampas kelapa fermentasi 5% (917,58 g/ekor),
15% (948,08 g/ekor) dan 20% (894,00 g/ekor) tidak berbeda nyata dengan yang tanpa ampas
kelapa fermentasi 0% (884,67 g/ekor), tetapi keempat perlakuan ini berbeda nyata dengan
penggunaan ampas kelapa fermentasi 10% (1035,19 g/ekor). Adanya peningkatan konsumsi
ransum sampai dengan penggunaan 10% ampas kelapa fermentasi lebih disebabkan karena
aroma ransum yang lebih harum akibat adanya tambahan ampas kelapa fermentasi tersebut
sehingga ayam tertarik mengkonsumsinya, tetapi pada penambahan ampas kelapa fermentasi 15-
20% konsumsi ransum turun kembali. Hal ini dikarenakan aroma ransum yang sudah mulai
berubah kearah aroma tengik atau menyengat sehingga ayam pun mengurangi konsumsinya.
Menurut Wahju (1994), bahwa konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh imbangan energi
protein.
Berdasarkan Tabel 1 memperlihatkan bahwa penggunaan ampas kelapa fermentasi
menghasilkan konsumsi pakan yang signifikan pada pemberian ampas kelapa fermentasi 10%.
Hal ini selain disebabkan karena adanya perubahan aroma atau flavor dari ransum seperti yang
dinyatakan oleh Wahyu et al. (2008) bahwa meningkatnya konsumsi ransum pada ayam yang
mendapat ampas kelapa hasil fermentasi disebabkan meningkatnya palatabilitas ransum, karena
dengan proses fermentasi selain terjadi perubahan nilai gizi juga terjadi perubahan aroma atau
flavor yang timbul karena terbentuknya satu atau beberapa senyawa kimia hasil fermentasi, juga
karena kandungan proteinnya lebih banyak terserap ke dalam jaringan tubuh ayam atau
terkonversi menjadi daging.

Pertambahan Berat Badan


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ampas kelapa fermentasi dengan
dosis yang berbeda berpengaruh nyata terhadap pertambahan berat badan ayam murung
panggang. Rata-rata pertambahan berat badan selama penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.Rata-rata Pertambahan Berat Badan Ayam Murung Panggang Selama Penelitian
(g/ekor)
Perlakuan Rata-rata (g/ekor)
AKF0 504,58ab
AKF5 555,75bc
AKF10 609,50c
AKF15 448,17a
AKF20 438,67a
Keterangan: Huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji
DMRT 5%

Rataan pertambahan berat badan yang diberi ampas kelapa fermentasi selama penelitian
terlihat jelas mengalami perubahan terutama pada penggunaan 10% (609,50 g/ekor), tetapi
penggunaan ampas kelapa fermentasi diatas 10% menyebabkan penurunan nyata terhadap
pertambahan berat badan ayam, bahkan turun dibawah pertambahan berat badan pada tanpa
penggunaan ampas kelapa fermentasi walaupun secara statistik tidak berbeda satu sama lain.
Peningkatan pertambahan berat badan yang mencolok pada penggunaan ampas kelapa
fermentasi 10% ini dimungkinkan karena konsumsi pakan lebih tinggi juga sehingga proses
konversi nutrisi menjadi daging berjalan optimal dan efisien. Menurut Wahyuni et al. (2011)
yang menyatakan bahwa konsumsi ransum mempunyai implikasi terhadap konsumsi zat-zat

948
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

pakan yang terdapat dalam ransum dan akan berpengaruh terhadap laju pertambahan yang
dimanifestasikan dalam pertambahan bobot badan, sedangkan menurut Scott et al. (1992)
pertumbuhan ayam sangat sensitif terhadap tingkat nutrisi yang diperoleh sehingga
keseimbangan nutrisi sangat penting.
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan terjadinya pertambahan berat badan yang bervariasi
dengan persentase penggunaan ampas kelapa fermentasi berbeda. Menurut Wahyu (2004) ada
beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pertambahan berat badan ternak unggas yaitu
konsumsi ransum, kualitas ransum, jenis kelamin, lama pemeliharaan dan aktivitas ternak.
Berdasarkan hal tersebut, konsumsi ransum ransum sangat mempengaruhi pertambahan berat
badan.

Berat Badan Akhir


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ampas kelapa fermentasi dengan
dosis yang berbeda berpengaruh nyata terhadap berat badan akhir ayam murung panggang. Rata-
rata berat badan akhir selama penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Berat Badan Akhir Ayam Murung Panggang Selama Penelitian (g/ekor)
Perlakuan Rata-rata (g/ekor)
AKF0 683,58ab
AKF5 720,25ab
AKF10 798,58b
AKF15 670,67a
AKF20 623,17a
Keterangan: Huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
uji DMRT 5%

Rataan berat badan akhir ayam murung panggang yang diberi ampas kelapa fermentasi
sampai dengan 10% cenderung meningkat walaupun tidak berbeda nyata dengan tanpa
penggunaan ampaskelapa fermentasi dengan kisaran rata-rata 683,58-798,58 g/ekor, sedangkan
pada penggunaan ampas tahu fermentasi 5%, 15% dan 20% serta tanpa menggunakan ampas
kelapa fermentasi tidak berbeda satu sama lain, artinya bahwa antar perlakuan ini dengan
kandungan nutrisi yang sama serta ampas kelapa fermentasi yang kurang dan lebih dari 10%
tidak berdampak signifikan terhadap berat badan akhir dengan kisaran berat badan akhir sebesar
623,17-720,25 g/ekor.
Menurut Wahju (2004) pertambahan berat badan pada ayam sangat berpengaruh terhadap
nilai berat berat badan akhir ayam tersebut, hal ini dikarenakan nilai berat badan akhir ayam
sangat ditentukan oleh pertambahan berat badannya selama penelitian. Terjadinya peningkatan
berat badan akhir yang menggunakan ampas kelapa fermentasi 10% memberikan gambaran
bahwa ampas kelapa fermentasi dapat memberikan aroma tersendiri bagi ransum sehingga ternak
mengkonsumsinya lebih banyak dan ini memberikan dampak terhadap berat badan akhir yang
dihasilkan. Betha (2015) menambahkan bahwa semakin tinggi tingkat palatabilitas ransum akan
meningkatkan konsumsi ransumnya dan ini akan menghasilkan pertumbuhan bagus yang pada
akhirnya akan diperoleh berat badan akhir yang tinggi.

Konversi Ransum
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ampas kelapa fermentasi dengan
dosis yang berbeda berpengaruh nyata terhadap konversi ransum ayam murung panggang. Rata-
rata konversi ransum selama penelitian disajikan pada Tabel 4.

949
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Tabel 4. Rata-rata Konversi Ransum Ayam Murung Panggang Selama Penelitian


Perlakuan Rata-rata
AKF0 1,77ab
AKF5 1,66a
AKF10 1,71a
AKF15 2,17b
AKF20 2,07ab
Keterangan: Huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
uji DMRT 5%.

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ampas kelapa


fermentasi menghasilkan konversi ransum yang beragam. Terlihat bahwa antara ransum yang
tidak menggunakan ampas kelapa fermentasi (1,77) tidak berbeda nyata dengan ransum yang
menggunakan 5% (1,66), 10% (1,71), dan 20% (2,07) tidak berbeda nyata satu sama lain, begitu
juga dengan ransum yang menggunakan ampas kelapa 15% (2,17) dan 20% (2,07) tidak berbeda
nyata dengan ransum yang tanpa ampas kelapa fermentasi (1,77). Namun demikian, ransum yang
menggunakan ampas kelapa fermentasi 15% (2,17) berbeda nyata dengan ransum dengan ampas
kelapa fermentasi 5% (1,66) dan 10% (1,71). Perbedaan yang terjadi ini berkaitan dengan
efisiensi penggunaan ransum. Semakin efisien penggunaan ransum maka akan menghasilkan
konversi ransum yang semakin baik.
Keberagaman nilai konversi ransum ini unik mengingat bahwa nutrisi yang terkandung
di dalam pakan relatif sama. Hal ini diduga bahwa walaupun nutrisi sama tetapi dimungkinkan
terjadi konversi ransum berbeda yang diakibatkan oleh tingkat penggunaan ampas kelapa
fermentasi tersebut, dimana bahwa ada kecenderungan dengan jumlah ampas kelapa fermentasi
yang semakin banyak mnyebabkan tingkat efisiensi pakan pun menurun. Menurut Rasyaf (1998)
nilai konversi ransum didapatkan dari hasil perbandingan jumlah konsumsi ransum pada satu
minggu dengan pertumbuhan bobot badan yang dicapai, bila rasio kecil berarti pertambahan
bobot badan ayam memuaskan atau ayam makan dengan efisien.
Nilai konversi ransum berbanding terbalik dengan nilai efisiensi ransum, bila konversi
ransum semakin rendah maka efisiensi ransum semakin tinggi dan sebaliknya bila konversi
ransum tinggi maka efisiensi ransum semakin rendah (Heri et al., 2006). Nilai konversi yang
rendah menunjukkan jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menaikkan bobot badan semakin
menurun dan efisiensi ransum meningkat. Lebih lanjut Heri et la. (2016), mengemukakan bahwa
besar kecilnya nilai konversi ransum dipengaruhi oleh kualitas ransum dan kemampuan ayam
dalam mengubah ransum yang dikonsumsi menjadi daging.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penggunaan ampas kelapa fermentasi
sampai 10% dapat memperbaiki performans ayam murung panggang.
.
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap perlakuan percobaan yang ada serta
memvariasikan tingkat persentase bahan campuran perlakuan dedak pada penelitian ini sehingga
mendapatkan suatu formulasi pakan yang bersifat efisien dan ekonomis bagi peternak ayam.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, T. N. 2009. Industri Ternak Unggas. Laboratorium Ilmu Ternak Unggas Bagian Produksi
Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

950
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Betha Sutrisno, 2015. Fermentasi Ampas Kelapa. Bumi Ternak. Bumiternak-betha.blogspot.com


diakses pada tanggal 25 Agustus 2018
Fadillah, R., Agustin, P., Syamsirul, A., dan Eko, P. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler.
Agromedia Putaka. Jakarta
Mulyantono, B. dan Isman. 2008. Bertahan Ditengah Krisis. Agromedia Pustaka. Jakarta
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1982. Principle and Procedure of Statistics: A Biometrical
Approach. Second Edition. Mc. Graw – hill International Book Co. Tokyo.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Heri Kurniawan, Ristianto Utomo, Lies Mira Yusiati., 2016. Kualitas Nutrisi Ampas Kelapa
Fermentasi Menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Buletin Peternakan Vol. 40 (1): 26-33,
Februari 2016.
Wahyu, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

951
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

Keseimbangan Harga dan Kuantitas Pasar Susu Segar di Indonesia


1Lilis Imamah Ichdayati, 2Eny Dwiningsih, 3Risma Kurnia Putri
1,2,3Agribusiness Department, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Kata Kunci:
Pemenuhan kebutuhan susu dalam negeri cenderung meningkat, sejalan
pasar susu segar
dengan laju pertumbuhan penduduk. Namun produksi susu dalam negeri
permintaan dan penawaran
hanya mampu memenuhi kebutuhan permintaan konsumsi susu sebesar
susu segar
30 % saja, sisanya 70 % dipasok dari impor. Di sisi lain tingkat konsumsi
harga dan kuantiti susu segar
susu perkapita Indonesia relatif rendah. Hal ini menjadi peluang bagi
usaha ternak sapi perah dalam menyediakan susu sapi segar. Tujuan
penulisan artikel ini adalah mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi biaya produksi susu segar, harga dan kuantitas susu segar
sebagai keseimbangan permintaan dan penawaran dalam pasar susu
segar. Sumber data sekunder dengan kurun waktu 25 tahun periode 1993-
2017. Instrumen analisis keseimbangan harga dan kuantitas pasar susu
segar menggunakan metode persamaan simultan two stage least square
(2LSL) dengan alat bantu software statisc analysis system (SAS) 9.1
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa model persamaan biaya
produksi susu segar dipengaruhi oleh variabel biaya pakan, listrik dan air,
obat-obatan dan bahan bakar. Model persamaan produksi susu segar
dipengaruhi oleh variabel jumlah sapi laktasi dan jumlah pakan
konsentrat. Dari sisi pasar susu segar, model persamaan penawaran susu
segar dipengaruhi oleh variabel jumlah susu segar dan harga teh sebagai
komplementer, diikuti varibel harga susu segar dan harga kopi sebagai
substitusi. Sedangkan dari model persamaan permintaan yang
berpengaruh adalah variabel pendapatan perkapita, jumlah produksi,
harga teh dan harga kopi sebagai produk komplementer dan substitusi.
Model persamaan harga susu segar dipengaruhi oleh variabel total biaya
produksi dan jumlah permintaan susu segar.
ABSTRACT
Keywords: Meeting domestic milk needs tends to increase, in line with the rate of
the fresh milk market population growth. However, domestic milk production is only able to
supply and demand meet the demand for milk consumption by 30%, the remaining 70% is
price and quantity fresh milk supplied from imports. On the other hand, Indonesia's per capita milk
consumption level is relatively low. This is an opportunity for dairy cattle
businesses to provide fresh cow's milk. The purpose of writing this article
is to know the factors that affect the cost of producing fresh milk, the
price and quantity of fresh milk as a balance of demand and supply in the
fresh milk market. Secondary data sources for a period of 25 years 1993-
2017. Instrument for analyzing the price and quantity of the fresh milk
market using the two stage least square (2LSL) simultaneous equation
method with the software statisc analysis system (SAS) 9.1
Based on the results of the analysis show that the equation model of the
cost of producing fresh milk is influenced by variable costs of feed,
electricity and water, drugs and fuel. The equality model of fresh milk
production is influenced by the variable number of lactation cows and the
amount of concentrate feed. From the fresh milk market side, the
equation of fresh milk supply model is influenced by the variable amount

952
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

of fresh milk and the price of tea as complementary, followed by the


variable price of fresh milk and the price of coffee as a substitute. While
the influential demand equation model is the variable income per capita,
the amount of production, the price of tea and the price of coffee as a
complementary and substitute product. The fresh milk price equation
model is influenced by the total production cost variable and the amount
of fresh milk demand.
* Email korespondensi: lilis.imamah@uinjkt.ac.id

PENDAHULUAN
Sektor petenakan sebagai sumber pemenuhan gizi masyarakat terutama zat protein,
mampu menyumbang PDB tahun 2017 sebesar 15,33% dari total PDB sektor pertanian nasional.
Dengan pertumbuhan pertahun cukup mengesankan sebesar positif 15,02 – 15,33 % (BPS,
2018). Hal ini menunjukkan sektor peternakan memiliki keunggulan dan memiliki nilai strategis
dalam pemenuhan kebutuhan protein yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan
penduduk.
Salah satu produk peternakan adalah susu. Berdasarkan data Kementerian Pertanian
(2018), tingkat konsumsi susu dalam negeri tahun 2016 baru mencapai 4.284.000 ton atau setara
dengan 11,8 liter/ kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini tergolong rendah dibandingkan negara-
negara Asia Tenggara, seperti Malaysia mencapai tiga kali lebih besar yakni 36,2
liter/kapita/tahun. Ako (2013) menyatakan bahwa profil konsumsi susu segar sangat sedikit
hanya 18 % selebihnya 82 % susu yang dikonsumsi dalam bentuk susu putih bubuk.
Di sisi lain, ketersediaan susu dalam negeri baik dalam bentuk segar maupun olahan
belum mencukupi permintaan konsumsi susu. Kondisi ini mendorong kegiatan impor susu dari
negara penghasil susu. Hal ini terlihat dari data Kementerian Pertanian (2018) bahwa produksi
susu sapi segar dalam negeri hanya mampu menyediakan 30% dari kebutuhan susu dalam negeri,
sisanya dipasok melalui impor. Sehingga Indonesia berada pada posisi net onsumer dalam peta
perdagangan dunia produk-produk susu.
Posisi seperti ini secara langsung merugikan peternak sapi perah lokal yang
mengandalkan potensi sumberdaya alam. Upaya mendorong meningkatkan produksi susu dalam
negeri melalui kebijakan program percepatan peningkatan produktivitas dan kualitas hasil ternak
(Supianto, 2018). Tantangan pelaksanaan kebijakan ini menurut Siregar (2003) adalah
rendahnya harga susu di tingkat peternak. Harga yang rendah menyebabkan peternak tidak
termotivasi meningkatkan produktivitas susu segar, karena peningkatan produksi susu yang
diupayakan peternak tidak berdampak pada peningkatan penghasilannya.
Dari sisi permintaan konsumen susu segar, selalu lebih besar dari kemampuan peternak
sapi perah menyediakan susu segar secara nasional. Hal ini menunjukkan masih terbukanya
peluang pasar bagi produksi susu segar. Namun fungsi pasar tidak hanya sebatas penyerapan
produksi susu segar tetapi juga sekaligus sebagai penentu harga. Walaupun pasar masih terbuka
luas, namun bila harga yang terbentuk tidak sesuai dengan harapan peternak, maka tidak terjadi
peningkatan produksi yang signifikan.
Permasalahan tersebut mendorong perlunya analisis mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi, penawaran, permintaan dan harga susu segar dalam negeri di
Indonesia.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP


Teori yang dikemukakan Sugiarto dkk (2002) bahwa permintaan dan penawaran suatu
barang dengan sendirinya dapat mencapai keseimbangan harga dan jumlah barang yang
diperjual-belikan. Dengan demikian dalam pasar seimbang, variabel harga akan menjadi
penghubung antara variabel jumlah permintaan dan penawaran suatu barang. Sehingga harga

953
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dipengaruhi oleh perubahan jumlah permintaan dan selanjutnya dapat mempengaruhi


penawaran.
Dari sisi penawaran, terdapat produsen hasil-hasil pertanian seperti susu sapi perah.
Menurut Widjajanto dalam Hasanah (2015) komponen biaya dalam usaha ternak sapi perah
terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan
dengan jumlah yang tetap pada periode waktu tertentu tanpa melihat jumlah produksi yang
dihasilkan. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan dengan jumlah yang
berubah sesuai dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Selanjutnya, Hasanah (2015) dalam
penelitiannya menggunakan variabel biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan ternak, kandang
dan peralatan. Sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk pembelian
barang dan jasa dalam usaha ternak sapi perah. Menurut BPS dalam Survei Ongkos Usaha
Ternak (2017) komponen variabel dalam total biaya produksi ternak sapi perah diantaranya
adalah variabel biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya listrik dan air, biaya obat-obatan dan biaya
bahan bakar.
Kusnadi dan Juarini (2007) menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan produksi susu
dalam usaha ternak sapi perah dapat dilakukan salah satunya dengan memberikan suplementasi
pakan konsentrat dan frekuensi pemberiannya. Siregar (2003) menyatakan bahwa peluang untuk
meningkatkan produksi susu nasional juga terbuka dengan cara perbaikan pakan baik dari segi
kuantitas dan kualitas. Supriadi, dkk (2017) bahwa pemberian pakan konsentrat berbagai jenis
kualitas terhadap sapi yang sedang dalam masa laktasi mampu meningkatkan jumlah produksi
air susu sapi perah.
Produksi susu sapi perah yang dijual ke pasar susu segar, maka berlaku teori yang
dikemukakan oleh Rahardja dan Manurung (2010) bahwa variabel penawaran diantaranya
dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain, biaya input atau total biaya produksi
dan jumlah produksi barang yang nantinya akan ditawarkan. Harga barang itu sendiri memiliki
hubungan positif terhadap jumlah penawaran. Untuk memenuhi kaidah teori, maka barang lain
yang dapat menjadi komplemen dan substitusi susu segar adalah harga teh dan harga kopi.
Apabila harga suatu barang substitusi meningkat, maka penawaran suatu barang juga akan
meningkat (bersifat searah). Sebaliknya apabila harga barang komplementer meningkat, maka
penawaran suatu barang akan menurun (bersifat tidak searah). Menurut Syamsuddin dan Karya
(2018), posisi komplemen dan substitusi suatu barang dapat diukur menggunakan elastisitas
silang. Tanda negatif pada nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa kedua komoditas memiliki
hubungan komplementer, begitupun sebaliknya.
Dari sisi permintaan, teori Rahardja dan Manurung (2010) menyatakan bahwa
permintaan akan suatu barang dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain dan
pendapatan per kapita. Teori permintaan yang menyatakan bahwa harga suatu barang memiliki
hubungan tidak searah terhadap jumlah permintaan. Namun berbeda dengan harga susu sapi
segar, hasil penelitian Zuhriyah (2010) menunjukkan bahwa harga susu segar memiliki tanda
positif terhadap jumlah permintaan susu. Hal ini terjadi karena industri berbahan baku susu segar
masih belum terpenuhi oleh produksi susu segar domestik. Menurut Rahardja dan Manurung
(2010) bahwa pendapatan perkapita merupakan cerminan dari daya beli masyarakat. Makin
tinggi tingkat pendapatan masyarakat, maka daya beli masyarakat juga akan semakin meningkat.
Penetapan harga susu sapi segar sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Amir (2005)
bahwa faktor biaya merupakan bagian penting dalam penetapan harga. Selain itu, ditinjau dari
Permentan No. 25 Tahun 2017 tentang peredaran dan penyediaan susu, dinyatakan bahwa
penentuan harga susu segar dalam negeri selain melihat dari segi kualitas susu yang dihasilkan
oleh peternak, juga harus mempertimbangkan total biaya produksi dan keuntungan yang
diperoleh oleh peternak.

METODE PENELITIAN

954
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Penelitian ini menggunakan data sekunder berdasarkan deret waktu tahun 1993 – 2017.
Lembaga penyedia data adalah BPS dengan berbagai tahun. Analisis data yang digunakan adalah
metode deskriptif kuantitatif dengan persamaan simultan dengan metode Two Stages Least
Squares (2 SLS). Alat bantu yang digunakan adalah program Statistical Analysis System (SAS)
versi 9.1.
Jumlah variabel yang ditetapkan ada 18 unit terdiri dari 5 variabel endogen membentuk sistem
pasar pada kondisi seimbang dan 13 variabel eksogen. Asumsi dalam model berada pada
keseimbangan pasar dimana jumlah penawaran susu segar domestik akan sama dengan jumlah
permintaannya, karena keterbatasan data jumlah permintaan susu. Dengan demikian jumlah
permintaan susu segar diasumsikan sama dengan jumlah penawaran susu segar yang ditawarkan
oleh produsen/peternak sapi perah. Sesuai hukum permintaan dan penawaran, maka variabel
penghubung keduanya adalah harga susu segar.
Persamaan simultan penawaran dan permintaan susu sapi segar domestik digambarkan
sebagai berikut:

𝐻𝑇

𝑆𝐿
𝐻𝐾
𝑃𝐻

𝑃𝐾 𝑄𝑃 𝑄𝑆 𝐻𝑆 𝑄𝐷

𝑇𝐾
𝑇𝐵 𝐼𝑁

𝐵𝑃
𝐵𝐵
𝐵𝑇𝐾
𝐵𝑂 𝐵𝐿

Gambar 1. Dugaan Keterkaitan Hubungan antar Variabel dalam Model


Keterangan : = Variabel Endogen = Variabel Eksogen
Simbol 5 variabel endogen : QP=Jumlah produksi susu segar, QS = jumlah Penawaran Susu Segar, HS= Harga
Susu Segar Dalam Negeri, QD = Jumlah Permintaan Susu Segar, TB= Total biaya produksi
Simbol 13 variabel eksogen : SL=Jumlah Sapi Laktasi, PH= Jumlah Pakan Hijauan, PK= Jumlah Pakan Konsentrat,
TK= Jumlah Tenaga Kerja/Peternak, A= Jumlah Pemakaian Air, HT= Harga Teh, HK= Harga Kopi, BP= Biaya
Pakan, BTK= Biaya Tenaga Kerja, BO= Biaya Obat-obatan, BLA= Biaya Listrik dan Air, BB= Biaya Bahan Bakar,
IN= Pendapatan Per Kapita.

Berdasarkan variabel endogen pada Gambar 1 di atas, maka terdapat lima model persamaan
struktural dan satu model persamaan identitas sebagai berikut :

1. Model Persamaan Total Biaya Produksi


𝑇𝐵 = 𝛼0 + 𝛼1 𝐵𝑃 + 𝛼2 𝐵𝑇𝐾 + 𝛼3 𝐵𝐿𝐴 + 𝛼4 𝐵𝑂 + 𝛼5 𝐵𝐵 + 𝜇1 … … . (1)
Estimasi parameter yang diharapkan adalah 𝛼1 , 𝛼2 , 𝛼3 , 𝛼4 , 𝛼5 > 0.

2. Model Persamaan Produksi Susu Segar Dalam Negeri


𝑄𝑃 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑆𝐿 + 𝛽2 𝑃𝐻 + 𝛽3 𝑃𝐾 + 𝛽4 𝐴 + 𝛽5 𝑇𝐾 + 𝜇2 … … … ..(2)
Estimasi parameter yang diharapkan adalah 𝛽1 , 𝛽2 , 𝛽3 𝛽4 , 𝛽5 > 0.

955
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

3. Model Persamaan Penawaran Susu Segar Dalam Negeri


𝑄𝑆 = 𝛾0 + 𝛾1 𝐻𝑆 + 𝛾2 𝐻𝑇 + 𝛾3 𝐻𝐾 + 𝛾4 𝑄𝑃 + 𝛾5 𝑇𝐵 + 𝜇3 … … … … (3)
Estimasi parameter yang diharapkan adalah 𝛾1 , 𝛾2 , 𝛾3 , 𝛾4 > 0 dan 𝛾5 < 0.

4. Model Persamaan Keseimbangan Pasar (Equlibrium)


𝑄𝑆 = 𝑄𝐷 … … …(4)

5. Model Persamaan Harga Susu Segar Dalam Negeri


𝐻𝑆 = 𝛿0 + 𝛿1 𝑇𝐵 + 𝛿2 𝑄𝐷 + 𝜇4 ..........(5)
Estimasi parameter yang diharapkan adalah 𝛿1 , > 0 dan 𝛿2 < 0.

6. Model Permintaan Susu Segar


𝑄𝐷 = 𝜀0 + 𝜀1 𝐻𝑆 + 𝜀2 𝐻𝑇 + 𝜀3 𝐻𝐾 + 𝜀4 𝑄𝑃 + 𝜀5 𝐼𝑁 + 𝜇5 … … ….(6)
Estimasi parameter yang diharapkan adalah 𝜀1 < 0, dan 𝜀2 , 𝜀3 𝜀4 , 𝜀5 > 0.

Identifikasi model adalah syarat yang diperlukan untuk mengestimasi parameter pada setiap
persamaan struktural dalam sistem persamaan simultan. Identifikasi model persaman dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi orde (order condition) dengan rumus sebagai berikut
:
K–k>m–1
Dimana :
K = jumlah variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) dalam model termasuk intercept.
K = jumlah variabel yang ditetapkan dalam persamaan yang diberikan.
m = jumlah variabel endogen dalam persamaan yang diberikan.
Prinsip dalam menentukan identifikasi dalam model persamaan simultan, secara sederhana
adalah sebagai berikut :
a. Jika K-k > m-1, persamaan tersebut adalah overidentified.
b. Jika K-k = m-1, persamaan tersebut adalah teridentifikasi secara tepat.
c. Jika K-k < m-1, persamaan struktural tidak teridentifikasi.

Hasil identifikasi model persamaan dalam penelitian ini dapat diihat secara rinci pada Tabel 1.
Tabel 1. Identifikasi Persamaan Struktural Dalam Keseimbangan Harga Susu
Model K k M K-k m-1 Hasil Keterangan
Persamaan Identifikasi
TB 18 5 1 13 0 13>0 Overidentified
QP 18 5 1 13 0 13>0 Overidentified
QS 18 5 3 13 2 13>2 Overidentified
HS 18 2 3 16 2 16>2 Overidentified
QD 18 5 3 13 2 13>2 Overidentified

Pengujian model yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan uji autokorelasi, uji nilai F, uji
nilai t dan uji validasi model.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Variabel Penelitian
Model harga keseimbangan pasar susu segar dibangun dari 5 model persamaan struktural
mengacu kepada teori ekonominya, dengan jumlah variabel eksogen sebanyak 13. Lembaga
penyedia data statistik adalah Badan Pusat Statistik dengan berbagai referensi yang tersedia.
956
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Kurun waktu data selama 25 tahun dari tahun 1993 sampai 2017. Data tahun 2017 merupakan
data maksimum pada beberapa variabel yakni : variabel jumlah produksi susu, jumlah sapi
laktasi, pakan hijauan, jumlah penawaran / permintaan susu segar, total biaya produksi dan
pendapatan perkapita. Sebaran masing-masing variabel berdasarkan analisis deskripsi dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Deskriptif Masing-Masing Variabel Sistem Keseimbangan Harga Susu Segar

Variabel Satuan Mean Min Max Sd LP (%) Tahun 2017

QP (Liter) 42292048.4 16240950 126584000 22330519.87 10.3 126,584,000


SL (Ekor) 12031.32 4229 37610 6211.22 11.57 37,610
PH (Kg) 125606968 35637450 590373869.2 116032703.4 33.58 590,373,869
PK (Kg) 22832760.1 6933360 78347251.54 18459859.96 19.88 43,712,400
A (M3) 507105.97 50616 2476122 633977.46 20.16 937,414
TK (Orang) 2519.04 1316 4234 948.57 -1.66 1,318
QS (Liter) 41749738.9 15163335 124036117.9 21877680.42 9.85 124,036,118
HS (Rp/Liter) 2691.09 655.86 7941.0 1807.69 12.12 5,509
HT (Rp/Kg) 38774.25 6154.21 75000 23011.37 12 75,000
HK (Rp/Kg) 24281.67 4348.65 39210 11843.95 11.2 38,330
TB (Rp) 1.0359E+11 19267594000 4.02218E+11 1.02284E+11 21 402,218,460,000
BP (Rp) 6.0903E+10 11155960000 2.54542E+11 61646716314 19.7 254,541,890,000
BTK (Rp) 1.653E+10 4856413000 51621870000 12699514274 17 51,621,870,000
BLA (Rp) 2794533480 350200000 15224400000 3955272521 21.4 15,224,400,000
BO (Rp) 9641746320 585258000 95811920000 18917289345 185.4 19,962,520,000
BB (Rp) 3655844160 577320000 20438650000 4954288609 24.7 14,803,380,000
QD (Liter) 41749738.9 15163335 124036117.9 21877680.42 9.85 124,036,118
IN (Rupiah) 15198729.6 1334821.3 38375500 12097460.93 16.38 38,375,500.00

Bila dilihat dari laju pertumbuhan rata-rata pertahun, jumlah produksi susu segar
bertumbuh positif sebanyak 10,3 %. Jumlah ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju
pertumbuhan jumlah permintaan susu segar yakni 9,85 %. Yang perlu mendapat perhatian
adalah laju pertumbuhan tenaga kerja yang menyusut sebesar 1,66 % dan kebutuhan obat-obatan
dengan laju pertumbuhan sangat besar mencapai 185,4 %. Bila dilihat perkembangan tahunan,
ada pengeluaran untuk biaya obat-obatan sangat besar secara periodik lima tahunan, mungkin
ini akibat serangan penyakit yang muncul secara periodik. Di sisi lain, laju pertumbuhan
pendapatan perkapita masyarakat Indonesia mencapai 16,38 %, dapat menjadi peluang
penyerapan produksi susu segar masih tersedia cukup besar.
Tiga variabel harga yakni harga susu segar dan dua komoditas sebagai
komplemen/substitusi yaitu harga teh dan kopi, ternyata memiliki laju pertumbuhan yang relatif
sama yakni 11,2 – 12,12. Ini menunjukkan perubahan harga tiga komoditas tersebut selama 25
tahun relatif stabil.
Laju pertumbuhan biaya usaha sapi perah cukup tinggi mencapai 21 %. Biaya ini
dialokasikan untuk biaya pakan ternak yang mendominasi pengeluaran sebesar 59%,
pengeluaran berikutnya tenaga kerja 16 %, obat-obatan 9 %, BBM 3 % dan keperluan lain
sisanya.

Uji Validasi Model


Data yang telah dikumpulkan perlu divalidasi sebelum di analisis menggunakan simulasi
dengan metode Two Stages Least Squares (2 SLS). Uji validasi data menggunakan nilai U-Theil

957
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

dan nilai hasil uji autokorelasi. Tujuan pengujian nilai U-Theil untuk memastikan bahwa model
persamaan yang sudah dibangun dapat dikatakan valid, sedangkan uji autokorelasi digunakan
untuk memastikan bahwa tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya. Hasil pengujian tercantum pada Tabel 3
berikut :

Tabel 3. Hasil Pengujian Model Menggunakan Uji Validasi dengan Niai U-Theil.

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

TB 25 6.062E18 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0171 0.0085


QP 25 6.727E13 0.93 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.1723 0.0868
QS 25 6.938E13 0.92 0.01 0.01 0.99 0.01 0.98 0.1775 0.0886
QD 25 4.183E13 0.95 0.00 0.00 1.00 0.02 0.98 0.1378 0.0692
HS 25 180018 0.97 0.02 0.00 0.98 0.00 0.98 0.1317 0.0655

Uji Autokorelasi menggunakan metode uji Durbin-Watson, hasil pengujian tercantum


pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Hasil Pengujian Model dengan Uji Autokorelasi Durbin Watson
Nilai Durbin
Model Persamaan Pengambilan Keputusan Hasil
Watson
Total biaya produksi dU<d<4-dU
2,392 Tidak Terdapat Autokorelasi
(TB) (1,886<2,392<2,114)
Produksi Susu Segar dL < d < dU
1,744 Tidak Ada Keputusan
(QP) (0,953 < 1,744 < 1,886)
dU<d<4-dU
Penawaran Susu Segar
1,958 (1,886<1,958<2,114) Tidak Terdapat Autokorelasi
(QS)
Permintaan Susu Segar dL < d < dU
1,461 Tidak Ada Keputusan
(QD) (0,953< 1,461 < 1,886)
dU<d<4-dU
Harga Susu Segar (HS) 2,111 Tidak Terdapat Autokorelasi
(1,550<2,111<2,450)

Mengacu kepada pernyataan Sunyoto (2010) apabila nilai durbin watson berada diantara
nilai -2 dan 2, maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan tidak mengalami masalah
autokorelasi. Dengan demikian dari hasil pengujian di atas bahwa lima model persamaan yang
di bangun telah memenuhi syarat validasi sehingga dapat dibangun skema sistem keseimbangan
harga pasar susu sapi segar domestik di Indonesia sebagai berikut :

𝐻𝑇

𝐻𝐾
𝑆𝐿

𝑃𝐾 𝑄𝑆
𝑄𝑃 𝐻𝑆 𝑄𝐷

TK

𝑇𝐵 𝐼𝑁

𝐵𝑃
𝐵𝐵
𝐵𝑂
958 𝐵𝐿
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Gambar 2. Keterkaitan Hubungan antar Variabel dalam Model persamaan yang telah divalidasi.

Hubungan antara model persamaan satu dengan lainnya dapat diidentifikasi menggunakan
analisis simulasi dengan metode Two Stages Least Squares (2 SLS). Sistem keseimbangan harga
pasar susu segar dibangun dari lima model persamaan yaitu :
1. Model total biaya produksi dipengaruhi oleh biaya pakan, biaya listrik dan air, biaya
obat-obatan serta biaya bahan bakar yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 𝛼
sebesar 0,05.
2. Model produksi susu segar di Indonesia dipengaruhi oleh jumlah sapi laktasi dan
jumlah pakan konsentrat pada taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05.
3. Model penawaran susu segar dipengaruhi oleh jumlah produksi susu segar, harga teh
dan harga kopi bubuk yang berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penawaran
pada taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05.
4. Model permintaan susu segar dipengaruhi oleh variabel harga teh, harga kopi, jumlah
produksi susu segar dan jumlah pendapatan perkapita pada taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05.
5. Model harga susu segar dipengaruhi oleh total biaya dan jumlah permintaan pada taraf
nyata 𝛼 sebesar 0,05.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Total Biaya produksi


Model persamaan total biaya produksi susu segar memiliki nilai koefisien determinasi
(R ) sebesar 0,99 yang menunjukkan bahwa sebesar 99% keragaman nilai total biaya produksi
2

susu segar dapat dijelaskan oleh keragaman variabel biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya
listrik dan air, biaya obat-oabtan dan biaya bahan bakar. Dari hasil uji statistik F memiliki nilai
probabilitas sebesar <0,0001, maka dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel penjelas secara
serentak berpengaruh nyata (𝛼= 0,05) terhadap model persamaan total biaya produksi susu segar.
Adapun hasil uji statistik t dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji statistik t Model Persamaan Total Biaya Produksi Susu Segar
Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 3.83E9 1.9721E9 1.94 0.0671 Intercept


BP 1 0.975953 0.101973 9.57 <.0001 Biaya Pakan
BTK 1 0.558895 0.425283 1.31 0.2044 Biaya Tenaga Kerja
BLA 1 5.226691 0.800654 6.53 <.0001 Biaya Listrik dan Air
BO 1 1.112180 0.104897 10.60 <.0001 Biaya Obat-obatan
BB 1 1.574524 0.258978 6.08 <.0001 Biaya Bahan Bakar

Berdasarkan nilai uji statistik t diperoleh hasil bahwa biaya pakan, biaya listrik dan air,
biaya obat-obatan dan biaya bahan bakar berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata
𝛼 sebesar 0,05. Sedangkan variabel biaya tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap nilai total biaya produksi.
Nilai dugaan parameter semua variabel memiliki tanda positif yang menunjukkan adanya
hubungan searah antara semua variabel (pakan, tenaga kerja, listrik/air, obat-obatan dan bahan
bakar) dengan nilai total total biaya produksi. Tanda positif sesuai dengan hipotesis masing-
masing variabel pada model persamaan total biaya usaha sapi perah.
Dugaan parameter pada variabel biaya pakan dengan angka sebesar 0,97, berarti apabila
terjadi kenaikan satu rupiah biaya pakan maka total biaya produksi susu segar yang dikeluarkan
akan meningkat sebesar 0,97 rupiah dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini

959
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

sesuai dengan penjelasan Ako (2013) bahwa biaya pakan memiliki pengaruh yang signifikan
karena pakan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam pemeliharaan
ternak sapi perah dan memiliki persentase biaya pakan mencapai 60-70% dari total biaya.
Selanjutnya dugaan parameter biaya listrik dan air memiliki nilai positif dengan angka
sebesar 5,22. Ini menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan satu rupiah biaya listrik dan air
maka total biaya produksi susu segar yang dikeluarkan akan meningkat sebesar 5,22 rupiah
dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Adapun dugaan parameter biaya obat-obatan
dan vaksin memiliki nilai positif dengan angka sebesar 1,11. Ini menunjukkan bahwa apabila
terjadi kenaikan satu rupiah biaya obat-obatan maka total biaya produksi susu segar yang
dikeluarkan akan meningkat sebesar 1,11 rupiah dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris
paribus). Terakhir dugaan parameter bahan bakar memiliki nilai positif dengan angka sebesar
1,57. Ini menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan satu rupiah biaya bahan bakar maka total
biaya produksi susu segar yang dikeluarkan akan meningkat sebesar 1,57 rupiah dengan faktor
lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Segar


Model persamaan produksi susu segar memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0,863. Berdasarkan nilai koefisien determinasi tersebut dapat diartikan bahwa sebesar 86,3%
keragaman produksi susu segar dapat dijelaskan oleh keragaman variabel jumlah sapi perah
laktasi, jumlah pakan hijauan, jumlah pakan konsentrat, jumlah pemakaian air dan jumlah tenaga
kerja. Hasil uji statistik F memiliki nilai probabilitas sebesar <0,0001 maka dapat disimpulkan
bahwa variabel-variabel penjelas secara serentak berpengaruh nyata terhadap model persamaan
produksi susu segar. Hasil uji statistik t dalam pengolahan data dengan perangkat lunak SAS 9.1
dapat dilihat pada Tabel 6 berikut :
Tabel 6. Hasil Uji statistik t Model Jumlah Produksi Susu Segar
Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 16624231 9671670 1.72 0.1019 Intercept


SL 1 2013.709 567.9169 3.55 0.0022 Jumlah Sapi Laktasi
PH 1 0.033757 0.026696 1.26 0.2213 Jumlah Pakan Hijauan
PK 1 0.306111 0.135832 2.25 0.0362 Jumlah Pakan Konsentrat
A 1 4.276724 4.412099 0.97 0.3446 Jumlah pemakaian air
TK 1 -4747.05 3088.200 -1.54 0.1407 Jumlah Tenaga kerja

Dugaan parameter semua variabel pada model persamaan produksi susu segar bertanda
positif kecuali pada variabel tenaga kerja yang menunjukkan arah negatif terhadap jumlah
produksi susu segar. Sapi laktasi merupakan sapi perah betina yang sedang berproduksi
menghasilkan susu. Berdasarkan hasil uji t, diperoleh nilai probabilitas jumlah sapi laktasi
sebesar 0,0022 lebih kecil dari 𝛼 sebesar 0,05 yang menunjukkan pengaruh signifikan terhadap
jumlah produksi susu segar. Besarnya dugaan parameter sapi laktasi 2013,7 yang menunjukkan
makna apabila terjadi penambahan satu ekor jumlah sapi laktasi, maka jumlah produksi susu
segar yang dihasilkan akan meningkat sebesar 2.013,7 liter per tahun dengan faktor lain dianggap
tetap (ceteris paribus). Hal tersebut sesuai dengan Siregar (2003) yang menyatakan bahwa
penambahan populasi sapi perah betina merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan
produksi susu nasional.
Besaran dugaan parameter jumlah pakan konsentrat 0,306 dengan arah postif dan
signifikansi pada taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05. Maknanya, apabila terjadi penambahan pemberian
jumlah pakan konsentrat sebesar 1 kg, maka jumlah produksi susu segar akan meningkat sebesar
0,3 liter dengan asumsi faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil penelitian Siregar

960
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

(2001) membuktikan suplementasi pakan konsentrat yang lebih tinggi kandungan protein dan
energinya sebanyak 2,0–2,5 kg/ekor/hari dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari, dapat
meningkatkan kemampuan berproduksi susu sekitar 22,05–23,62%.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Susu Segar


Berdasarkan hasil uji determinan model penawaran susu segar, diperoleh nilai R2
sebesar 0,95. Nilai tersebut memiliki arti bahwa keragaman variabel penawaran susu segar dapat
dijelaskan oleh keragaman variabel jumlah produksi susu segar, nilai total biaya produksi dan
harga susu segar sebesar 95%. Dan nilai uji statistik F, diperoleh nilai probabilitas sebesar
<0,0001. Apabila dibandingkan dengan nilai taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa variabel-variabel eksogen berpengaruh signifikan terhadap variabel endogen secara
serentak. Adapun hasil uji estimasi parameter dari model penawaran susu segar dengan
perangkat lunak SAS 9.1.dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Statistik t Model Jumlah Penawaran Susu Segar.
Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -3.965E7 31488886 -1.26 0.2232 Intercept


HS 1 18410.21 11989.96 1.54 0.1412 Harga Susu Segar
HT 1 -784.284 277.4193 -2.83 0.0108 Harga Teh
HK 1 886.4216 443.3821 2.00 0.0601 Harga Kopi
QP 1 1.883196 0.780100 2.41 0.0260 Jumlah Produksi Susu Segar
TB 1 -0.00038 0.000316 -1.19 0.2490 Total Biaya Produksi

Arah dugaan parameter terhadap penawaran susu segar terdapat dua jenis yaitu harga
susu segar, harga kopi dan jumlah produksi susu segar bertanda postif, variabel lainnya yaitu
harga teh dan total biaya produksi memiliki arah negatif terhadap penawaran susu segar. Variabel
harga susu segar memiliki nilai probabilitas uji statistik t sebesar 0,14 lebih kecil dari taraf nyata
(𝛼) sebesar 0,15 sehingga berpengaruh nyata pada taraf (𝛼 = 0,15). Variabel harga teh dan jumlah
produksi memiliki nilai signifikansi pada taraf nyata (𝛼 = 0,1). Dan variabel harga kopi
berpengaruh signifikan pada taraf nyata (𝛼 = 0,05).
Dugaan parameter variabel harga susu segar memiliki tanda positif dengan nilai 18.410.
Artinya, bahwa apabila terjadi kenaikan harga susu segar sebesar 1 Rupiah, maka jumlah
penawaran susu segar akan bertambah sebanyak 18.410 liter per tahun dengan faktor lain
dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Rahardja
dan Manurung (2010) yang menyatakan bahwa harga suatu barang memiliki hubungan positif
terhadap jumlah penawaran. Artinya apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1 satuan, maka
produsen akan meningkatkan jumlah penawaran sebanyak 1 satuan.
Saat ini peternak sapi perah menjual susu segar dengan harga sekitar Rp. 3,800 sampai
dengan Rp. 5,300 per liter. Sedangkan, menurut perhitungan Asosiasi Peternak Sapi Perah
Indonesia (APSPI) dalam Sidik (2018) bahwa harga susu segar yang layak ditingkat peternak
berkisar pada harga Rp. 7,500 sampai Rp. 7,800 per liter. Dengan harga tersebut diyakini
peternak dapat konsisten memproduksi susu berkualitas dengan jumlah yang memenuhi
kebutuhan industry.
Dugaan parameter harga teh sebesar 784,28 dan tanda arah negatif, yang maknanya
apabila terjadi kenaikan harga teh sebesar 1 Rupiah, maka jumlah penawaran susu segar akan
berkurang sebanyak 784,28 liter per tahun dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).
Mengacu kepada teori Rahardja dan Manurung (2010) bahwa apabila harga suatu barang
substusi meningkat, maka penawaran suatu barang juga akan meningkat (bersifat searah).
Sebaliknya apabila harga barang komplementer meningkat, maka penawaran suatu barang akan

961
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

menurun (bersifat tidak searah). Dapat disimpulkan bahwa komoditas teh merupakan barang
komplementer bagi komoditas susu segar. Kesimpulan yang sama juga ditunjukkan oleh hasil
perhitungan elastisitas silang antara harga teh terhadap penawaran susu segar. Berdasarkan hasil
perhitungan elastisitas silang menghasilkan nilai sebesar – 0,73. Menurut Syamsuddin dan Karya
(2018), tanda negatif pada nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa kedua komoditas memiliki
hubungan komplementer.
Hal sebaliknya terjadi pada harga kopi, nilai probabilitas uji statistik t sebesar 0,06
dengan tanda positif. Nilai tersebut menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika
dibandingkan dengan nilai taraf nyata (𝛼) sebesar 0,10. Dugaan parameter harga kopi sebesar
886,4 yang memberikan makna apabila terjadi kenaikan harga kopi bubuk sebesar 1 Rupiah,
maka jumlah penawaran susu segar akan bertambah sebanyak 886 liter per tahun dengan faktor
lain dianggap tetap (ceteris paribus). Tanda positif arah variabel harga kopi terhadap penawaran
susu segar memposisikan harga kopi sebagai substitusi bagi harga susu segar. Diperkuat dengan
hasil perhitungan nilai elastisitas silang harga kopi bernilai positif 0,51 yang menunjukkan kedua
komoditas harga kopi dan harga susu segar sebagai substitusi.
Variabel produksi susu segar memiliki nilai probabilitas uji statistik t sebesar 0,026.
Nilai tersebut menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai
taraf nyata (𝛼) sebesar 0,05. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa banyaknya jumlah
produksi susu segar berpengaruh signifikan terhadap banyaknya jumlah susu yang akan
ditawarkan. Adapun dugaan parameter variabel jumlah produksi susu segar memiliki pengaruh
positif dengan nilai sebesar 1,88. Tanda positif bermakna bahwa jumlah produksi memiliki
hubungan searah dengan jumlah penawaran. Artinya, apabila terjadi peningkatan jumlah
produksi sebesar 1 liter, maka jumlah penawaran susu segar akan meningkat sebesar 1,88 liter.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Susu Segar


Berdasarkan uji determinan model permintaan susu segar, diperoleh nilai R2 sebesar
0,97. Nilai tersebut memiliki arti bahwa keragaman variabel permintaan susu segar dapat
dijelaskan oleh keragaman variabel eksogen sebesar 97%. Sedangkan hasil uji statistik F dengan
nilai probabilitas sebesar <0,0001 menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen berpengaruh
signifikan terhadap variabel endogen secara serentak pada taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05.
Berdasarkan uji statistik t diperoleh hasil bahwa harga teh, harga kopi, jumlah produksi susu
segar dan jumlah pendapatan perkapita berpengaruh signifikan terhadap jumlah permintaan susu
segar pada taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05. Secara rinci hasil uji statistik t dicantumkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Statistik t Model Permintaan Susu Segar
Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 2457141 3031220 0.81 0.4276 Intercept


HS 1 2041.087 1430.301 1.43 0.1698 Harga Susu Segar
HT 1 -1212.60 262.8975 -4.61 0.0002 Harga Teh
HK 1 1125.307 348.7785 3.23 0.0044 Harga Kopi
QP 1 0.881097 0.052983 16.63 <.0001 Jumlah Produksi susu segar
IN 1 1.067846 0.333465 3.20 0.0047 Jumlah Pendapatan perkapita

Arah dugaan parameter semua variabel bertanda positif kecuali pada harga teh yang
memiliki arah negatif terhadap permintaan susu segar. Variabel Harga susu segar bertanda positif
dan tidak berpengaruh terhadap permintaan susu segar, hal ini sejalan dengan penelitian
Zuhriyah (2010), yaitu harga susu segar memiliki tanda positif terhadap jumlah permintaan susu,
yang artinya bahwa apabila terjadi kenaikan harga susu segar satu Rupiah, maka jumlah
permintaan susu segar akan ikut meningkat sebanyak 1 satuan. Hal tersebut dapat terjadi karena

962
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

posisi susu segar sebagai bahan baku industri masih belum sepenuhnya dapat digantikan oleh
bahan baku susu impor. Permintaan susu segar sebagai bahan baku industri susu masih belum
maksimal terpenuhi oleh jumlah produksi susu segar. Sehingga berapapun hasil yang diproduksi
peternak maka susu segar tersebut habis terserap industri tanpa memperhatikan harga jualnya.

Analisis Kinerja Agribisnis Perbenihan Kedelai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Harga Susu Segar
Berdasarkan hasil estimasi model harga susu segar, diperoleh nilai R2 sebesar 0,97.
Nilai tersebut memiliki arti bahwa keragaman variabel harga susu segar dapat dijelaskan oleh
keragaman variabel total biaya produksi, jumlah permintaan susu segar dan jumlah pendapatan
perkapita sebesar 97 %. Hasil uji statistik F dengan nilai probabilitas < 0,0001 menunjukkan
bahwa nilai probabilitas F lebih kecil jika dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,05.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel eksogen berpengaruh signifikan terhadap
variabel endogen secara serentak. Berdasarkan uji statistik t diperoleh hasil bahwa total biaya
produksi, dan jumlah permintaan berpengaruh signifikan terhadap jumlah harga susu segar pada
taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05. Sedangkan hasil pendugaan parameter dari model harga susu segar
terdapat pada Tabel 9..
Tabel 9. Hasil Uji Statistik t Model Harga Susu Segar.
Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 2741.325 151.0998 18.14 <.0001 Intercept


TB 1 2.84E-8 1.166E-9 24.36 <.0001 Total Total biaya Produksi
QD 1 -0.00007 5.692E-6 -12.59 <.0001 Jumlah Permintaan

Variabel total biaya produksi dalam penelitian memiliki nilai probabilitas uji t sebesar
<0,0001. Apabila nilai tersebut dibandingkan dengan nilai taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05, maka
dapat diartikan bahwa total biaya produksi berpengaruh secara signifikan terhadap harga susu
segar. Nilai koefisien parameter variabel total biaya produksi memiliki hasil dengan tanda positif
dengan nilai sebesar 0,0000284. Artinya, apabila terjadi peningkatan jumlah total biaya produksi
sebesar 1 Rupiah, maka harga susu segar akan meningkat sebesar 0,000028 Rupiah.
Variabel jumlah permintaan susu segar dalam penelitian memiliki nilai probabilitas uji
t sebesar <0,0001. Apabila nilai tersebut dibandingkan dengan nilai taraf nyata 𝛼 sebesar 0,05
maka dapat diartikan bahwa jumlah permintaan susu segar berpengaruh secara signifikan
terhadap harga susu segar. Nilai koefisien estimasi variabel jumlah permintaan susu segar
memiliki pengaruh negatif dengan nilai sebesar -0,00007. Artinya, apabila terjadi peningkatan
jumlah permintaan susu segar sebanyak 1 liter, maka harga susu segar akan menurun sebesar
0,00007 Rupiah.

PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap total biaya produksi adalah biaya pakan, biaya
listrik dan air, biaya obat-obatan serta biaya bahan bakar.
2. Produksi susu segar di Indonesia dipengaruhi oleh jumlah sapi laktasi dan jumlah pakan
konsentrat yang berpengaruh positif.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap penawaran susu segar adalah jumlah
produksi susu segar, harga susu segar, harga teh sebagai komoditas komplementer dan harga
kopi sebagai komoditas substitusi.

963
ISBN: 978-602-51142-1-2Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019

4. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap permintaan susu segar adalah variabel
harga teh sebagai komplementer, harga kopi sebagai substitusi, jumlah produksi susu segar
dan jumlah pendapatan perkapita
5. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap harga susu segar adalah faktor total biaya
dan jumlah permintaan

Disarankan : perlunya ada kebijakan harga susu segar di tingkat peternak yang menarik
dan memberikan keuntungan yang optimal sehingga mampu memotivasi bagi peternak untuk
meningkatkan skala usaha sapi perah, selanjutnya akan mampu mendorong meningkatkan
produktivitas susu sapi segar dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Ako, Ambo. 2013. Ilmu Ternak Perah Daerah Tropis. IPB Press, Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2018. PDB Triwulanan Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut
Lapangan Usaha ; 1. https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/05/06/827/-seri-2010-
pdb-triwulanan-atas-dasar-harga-konstan-2010-menurut-lapangan-usaha-miliar-
rupiah-2014-2018.html. Diakses pada 09 Juni 2018 pukul 21.38 WIB.
Badan Pusat Statistik. 2017. Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Peternakan 2017. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. (berbagai tahun )
Hasanah, Ani Nasihatul. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah
dan Analisis Pendapatan Peternak Studi Kasus Peternakan Kampung 99 Pepohonan
[Skripsi]. Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Kementerian Pertanian RI. 2018. Kemitraan Tetap Lanjut Meski ada Permentan Persusuan yang
Baru ;1 http://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3322. Diakses
pada 14 Februari 2019 pukul 6:45 WIB.
Kusnadi, Uka dan E Juarini. 2007. Optimalisasi Pendapatan Usaha Pemeliharaan Sapi Perah
dalam Upaya Peningkatan Produksi Susu Nasional [jurnal]. Wartazoa Volume 17 No 1
Th 2007. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. 2010. Teori Ekonomi Mikro, Suatu Pengantar, Edisi
keempat. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Sidik, Syahrizal. 2018. Belum Memadai, Harga Susu yang Layak diTingkat Peternak Rp.7,500
– Rp. 7,800 per Liter;1. http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/07/30/belum-
memadai-harga-susu-yang-layak-di-tingkat-peternak-rp-7500-rp-7800-per-liter.
Diakses pada 31 Januari 2019 pukul 20:48 WIB.
Siregar, Sori B. 2003. Peluang dan Tantangan Peningkatan Produksi Susu Nasional [Jurnal].
WARTAZOA Vol. 13 No.2 Th. 2003. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Supianto. 2018. Kementan Target 2025 Kebutuhan Susu Nasional Terpenuhi;1.
http://www.jurnas.com/artikel/31201/Kementan-Target-2025-Kebutuhan-Susu-
Nasional-Terpenuhi/. Diakses pada 13 Februari 2019 Pukul 8:14 WIB.
Supriadi,dkk. 2017. Pengaruh Pemberian Ransum Berbagai Kualitas Pada Produksi Air Susu
Peranakan Sapi Perah Friesian Holstein Di Kabupaten Sleman Yogyakarta [Jurnal].
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta.
Syamsuddin, Syamri dan Detri Karya. 2018. Mikroekonomi untuk Manajemen. Rajawali Press,
Depok.
964
Semiloka Nasional FKPTPI, Universitas Padjadjaran Tahun 2019 ISBN: 978-602-51142-1-2

Zuhriyah, Amanatuz. 2010. Analisis Permintaan dan Penawaran Susu Segar di Jawa Timur
[Jurnal]. EMBRYO Vol.7 Desember 2010 No.2 ISSN 0216-0188. Jurusan Agribisnis,
Fakultas Ilmu Pertanian Universitas Trunojoyo, Jawa Timur.

965

Anda mungkin juga menyukai