Anda di halaman 1dari 78

PROSIDING

PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT)


HIMPUNAN SEMINAT FARMASI RUMAH SAKIT (HISFARSI)
IKATAN APOTEKER INDONESIA (IAI)

10-12 JULI 2019


BALI INTERNATIONAL CONVENTION CENTER
NUSA DUA BALI

BEKERJASAMA DENGAN
UDAYANA UNIVERSITY PRESS

IT’S ALL ABOUT MEDICATION SAFETY


PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya lah buku prosiding PIT dan MUNAS HISFARSI dengan nomor ISBN : 978-602-
294-364-8 dapat diterbitkan. Buku prosiding ini memuat sejumlah artikel hasil penelitian
apoteker klinis rumah sakit di seluruh Indonesia dengan tema “It’s All About Medication
Safety” yang telah dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Himpunan Seminat
Farmasi Rumah Sakit (HISFARSI) Indonesia.
Apoteker yang bekerja di rumah sakit merupakan salah satu bagian atau unit yang
menyelenggarakan kegiatan kefarmasian di rumah sakit yang dipimpin dan dimotori oleh
farmasis. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan farmasi non klinik (perencanaan, penetapan
spesifikasi produk dan pemasok, pengadaan, pembelian, produksi, penyimpanan, pengemasan,
distribusi perbekalan kesehatan lainnya yang beredar di rumah sakit) maupun kegiatan klinik
(pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, pelayanan farmasi di bangsal, pelayanan
informasi obat, penelitian dan pengembangan dll), sehingga apoteker rumah sakit menjadi
suatu bentuk organisasi produksi, pengembangan dan pelayanan jasa.
Dalam dekade terakhir, telah terjadi proses perubahan paradigma farmasi yang mendasar
yaitu perubahan dari paradigma yang hanya berorientasi pada produk (product oriented)
menjadi paradigma yang tidak hanya berorientasi terhadap produk tetapi juga berorientasi
pada pasien (patient oriented). Dalam terminologi patient oriented, peningkatan kualitas
hidup pasien menjadi konsen bagi seorang farmasis, untuk itu farmasis dituntut juga untuk
dapat memahami kompleksitas kesehatan masyarakat agar dapat berkontribusi positif dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya di bidang kesehatan sejalan dengan adanya ledakan terapeutik, penyakit,
informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang farmasi. Kemajuan di bidang kedokteran
dan farmasi telah banyak mengubah paradigma lama dan juga telah banyak ditemukan inovasi
mengenai diagnosis maupun pengobatan terbaru. Dalam konteks farmasi rumah sakit,
kompetensi farmasis rumah sakit di luar negeri menjadi acuan, dimana tersedianya SDM yang
memiliki kemampuan farmasi klinik dan non klinik yang memadai untuk melakukan kegiatan
kefarmasian di rumah sakit.
Melalui pertemuan ilmiah farmasi rumah sakit ini, diharapkan dapat menjadi salah satu
upaya dalam meningkatkan kemampuan apoteker yang berpraktik di rumah sakit. Rangkaian
kegiatan PIT dan Munas Hisfarsi telah terlaksana di Nusa Dua Bali selama 3 hari, yang
dimulai dari tanggal 10-12 Juli 2019, dengan rangkaian kegiatan simposium, workshop,
presentasi oral, presentasi poster, lomba olimpiade farmasi klinis, dan musyawarah nasional.
Akhir kata, jika ada yang kurang berkenan selama penyelenggaraan kegiatan PIT dan
Munas Hisfarsi maupun dalam penerbitan buku prosiding ini mohon dimaklumi. Semoga apa
yang telah kita lakukan ini bermanfaat bagi kemajuan Apoteker Indonesia.

Nusa Dua-Bali, 04 Agustus 2019


Ketua Panitia Pelaksana
PIT dan MUNAS HISFARSI 2019

I Nyoman Sumerthayasa, S.Farm., Apt


NA. 08041984024375

ii
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

EDITORIAL BOARD

Pelindung : Drs. Nurul Falah Eddy Pariang, Apt. (Ketua PP IAI)

Penanggung Jawab : Drs. Amrizal Marzuki, M.Kes., MARS., Apt. (Ketua HISFARSI

PP IAI)

Pembina : Drs. Cok Rai Bagus, Apt, M.M. (Ketua HISFARSI PD IAI Bali)

Ketua Panitia : I Nyoman Sumerthayasa, S.Farm., Apt.

Sekretaris : Sang Ayu Made Arenawati, S.Farm., Apt.

Bendahara : Gusti Ayu Satyaweni, S.Farm., Apt.

Reviewer : Dr. Dra. I.A. Alit Widhiartini, Apt, M.Si.

Dr. Sagung Chandra Yowani, S.Si, Apt., M.Si.

Dra. Siti Farida, Apt., Sp.FRS.

Mariyatul Qibtiyah, S.Si, Apt., Sp.FRS.

Editor : Desak Ketut Ernawati S.Si., Apt., PGPharm., MPharm PhD.

I.B.N. Maharjana, S.Farm, M.Farm-Klin, Apt.

Made Krisna Adi Jaya, S.Farm., M.Farm., Apt.

Cover Designer : I Made Wisnu Joniada, S.Farm.,Apt

Layout : Made Krisna Adi Jaya, S.Farm, M.Farm., Apt.

Steering committee : Drs. I G.N.G Warsika, Apt.

Ketut Agus Adrianta, S.Farm, Apt, M.Biomed.

iii
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

EDITORIAL BOARD ........................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iv

PENGARUH KOLABORASI ANTARA APOTEKER DENGAN DOKTER SAAT


VISITE TERHADAP DRUG RELATED PROBLEM DI RUANG PERAWATAN
INTENSIF PEDIATRIK (PICU) .......................................................................................... 1

INOVASI FORMULA PRODUK HAND RUB BERBASIS ALKOHOL SEBAGAI


UPAYA EFISIENSI PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI DI RUMAH SAKIT ........ 6

PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN TRAUMA KAPITIS DI KOTA


PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH INDONESIA .................................................... 11

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DIARE DI RUANG


RAWAT INAP PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT SWASTA TIPE B DI BALI
PERIODE JANUARI-DESEMBER 2018 ............................................................................ 18

KAJIAN EFEK SAMPING OBAT ARV DAN ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN


RAWAT INAP DENGAN HIV/AIDS DAN TUBERKULOSIS DI RSUD GAMBIRAN
KEDIRI ................................................................................................................................. 27

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM MENJAMIN


MEDICATION SAFETY ........................................................................................................ 34

GAMBARAN KOLABORASI APOTEKER DAN TENAGA TEKNIS


KEFARMASIAN (TTK) DALAM PENINGKATAN KEPATUHAN PENGGUNAAN
OBAT DI RUANG ANAK RSUD ULIN BANJARMASIN .............................................. 39

ANALISIS BIAYA DAN EFEKTIVITAS INJEKSI INTRAARTIKULAR ASAM


HIALURONAT (IIAH) PADA TERAPI OSTEOARTRITIS (OA) DI RSUD ULIN
BANJARMASIN................................................................................................................... 47

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPENSING ERROR PADA


PELAYANAN KEFARMASIAN RAWAT INAP RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO
SEMARANG......................................................................................................................... 54

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMS DAN EVALUASI LUARAN KLINIK DARI


OBAT PENEKAN ASAM LAMBUNG ............................................................................... 60

PERBANDINGAN KEJADIAN MEDICATION ERROR DAN WAKTU PENYIAPAN


PADA SISTEM UDD DENGAN MESIN ATDPS DAN NON ATDPS PASIEN
RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM KABUPATEN TANGERANG ................... 66

iv
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

PENGARUH KOLABORASI ANTARA APOTEKER DENGAN DOKTER


SAAT VISITE TERHADAP DRUG RELATED PROBLEM DI RUANG
PERAWATAN INTENSIF PEDIATRIK (PICU)

Astri Nirmala Dharmawati1*, Silvia Kusuma Mayasari1, Erwin Adi Nugroho1


1
Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang

Email Korespondensi : astri.nirmala17@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Saat ini prioritas pelayanan farmasi adalah keselamatan pasien, karena tidak
dapat dipungkiri bahwa DRPs kerap terjadi di rumah sakit. DRPs berpotensi fatal bila terjadi
di ruang perawatan intensif disebabkan karena kondisi pasien yang kritis, banyak komplikasi
dan polifarmasi. Salah satu upaya pencegahan terjadinya DRPs adalah dengan adanya
kolaborasi antar profesi yaitu antara dokter dengan apoteker. Tujuan: Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh kolaborasi antara apoteker dengan dokter saat visite
dokter terhadap Drug Related Problems di ruang perawatan intensif. Metode: Penelitian ini
dilakukan di ruang intensif pasien pediatric (PICU) di RSUD KRMT Wongsonegoro
Semarang selama bulan April 2019. Rancangan penelitian ini menggunakan 1 kelompok
sampel yaitu rekam medis yang ditulis dokter saat melakukan visite di ruang perawatan
intensif. Pengambilan data dilakukan secara prospektif terhadap 70 sampel rekam medis. Tiga
puluh lima rekam medis dikaji sebelum dilakukan kolaborasi dan 35 sampel dikaji setelah
dilakukan kolaborasi. Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan
antara DRPs sebelum dan sesudah kolaborasi dengan apoteker. Kegiatan kolaborasi apoteker
dan dokter perlu ditingkatkan sebagai awalan implemetasi farmasi klinik. Hal ini tentu saja
membutuhkan dukungan sistem manajemen rumah sakit agar komunikasi interpersonal
diantara profesi lebih mudah terwujud.

Kata kunci: Farmasi klinik, DRPs, kolaborasi apoteker

1. PENDAHULUAN lainnya. Masalah DRPs oleh


Apoteker berada dalam posisi Pharmaceutical Care Network Europe
strategis untuk meminimalkan terjadinya (PCNE) didefinisikan sebagai setiap
Drug Related Problem (DRPs), baik dilihat kejadian yang melibatkan terapi obat yang
dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan secara nyata atau potensial terjadi akan
lain maupun dalam proses pengobatan. mempengaruhi hasil terapi yang
Ruang perawatan intensif adalah untuk diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut
perawatan khusus yang dikelola untuk masalah terkait obat ila pasien mengalami
merawat pasien sakit berat dan kritis, kejadian tidak diinginkan baik berupa
cedera dengan penyulit yang mengancam keluhan medis ataugejala da nada
nyawa dengan melibatkan tenaga hubungan antara kejadian tersebut dengan
kesehatan terlatih serta didukung dengan terapi obat. PCNE mengidentifikasi
perlengkapan peralatan khusus. Drug permasalahan yang terkait dengan obat,
Related Problem (DRPs) kerap terjadi yaitu : (1) Reaksi Obaat yang Tidak
dirrumah sakit terutama diruang perawatan Dikehendaki/ ROTD, (2) masalah
intensif. Akibat DRPs di ruang perawatn pemilihan obat, (3) masalah pemberian
intensif berpotensi fatal bagi pasien apabila dosis obat, (4) masalah pemberian/
dibandingkan dengan ruang rawat inap

1
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

penggunaan obat, (5) interaksi obat, (6) medis dikaji sebelum dilakukan kolaborasi
masalah lainnya.8 dan 35 sampel dikaji setelah dilakukan
Di Amerika Serikat diantara 90.000 kolaborasi.
kasus klaim asuransi, DRPs termasuk
masalah kedua yang paling sering terjadi Tabel 1. Karakteristik Pasien
dan paling mahal biaya klaimnya.5 Dalam Karakteristik Pasien N Persentase
hal ini, bidang pediatric termasuk 6 (%)
Berdasarkan Jenis Kelamin
terbesar diantara 16 spesialis yang
Laki – Laki 40 57,1
seringkali mengalami DRPs. Pasien Perempuan 30 42,9
pediatric harus diprioritaskan dalam Total 70 100
penanganan DRPs karena kondisi Berdasarkan Usia
fisioligisnya masih belum sempurna 1 Bln - 6 Thn 45 64,3
sehingga faktor –faktor metabolism dan 7 Thn – 17 Thn 25 35,7
absorpsi obat tidak dapat disamakan Total 70 100
Berdasarkan Penyakit Penyerta
dengan pasien dewasa. Kejadian
Status Penyakit Penyerta
kesalahana dalam pengobatan serta resiko
Tanpa Penyakit Penyerta 28 40
kesalahan yang serius pada pasien
Dengan Penyakit Penyerta 42 60
pediatric lebih sering terjadi dibandingkan
Total 70 100
dengan pasien dewasa. Hal tersebut Jenis Penyakit Penyerta
mungkin terkait dengan perhitungan dosis Demam Berdarah Dengue 12 14,8
bagi pasien pediatric, tidak terdapat bentuk Febris 19 23,5
sediaan dan formulasi yang sesuai serta ISPA 5 6,2
penggunaan indikasi maupun dosis obat Kejang Demam Kompleks 16 19,8
secara ‘off-license’.3 Bronchopneumonia 9 11,1
Sepsis 7 8,6
Terdapat beberapa penelitian di
Lainnya 13 16
Indonesia terkait dengan drug related
Total 81 100
problems pada pasien pediatrik. Penelitian- Keterangan Lainnya: Asma, Diare, PJB, Epilepsi,
penelitian tersebut menunjukkan masih Dispepsia
tingginya kejadian DRPs yang terjadi pada
pasien pediatrik di bangsal rawat inap. Hasil identifikasi DRPs dicatat
Kejadian DRPs yang biasa terjadi adalah pada lembar observasi. Apoteker yang
obat tanpa indikasi, obat tidak tepat, melakukan kolaborasi membuat suatu
indikasi tidak tepat, dosis lebih, tidak tepat dokumentas. Dokumen tersebut mencatat
pasien, frekuensi pemberian obat tidak rekomendasi yang telah diberikan dan
tepat, waktu minum obat tidak tepat, persetujuan dokter terhadap rekomendasi
adverse drug reaction, gagal menerima tersebut. Selanjutnya data dianalisis
obat, dan pemilihan sediaan obat yang menggunakan analisis deskripti. Analisis
tidak tepat, dan interaksi obat.1-2,5 deskriptif untuk mendapatkan gambaran
mengenai DRPs di ruang perawatan
2. METODE intensif pada pasien pediatric dan
Penelitian ini dilakukan di ruang neonatus, jenis DRPs dan hasil
intensif pasien pediatric ( PICU) di RSUD pendampingan apoteker.
KRMT Wongsonegoro Semarang selama
bulan April 2019. Rancangan penelitian ini
menggunakan 1 kelompok sampel yaitu
rekam medis yang ditulis dokter saat
melakukan visite di ruang perawatan
intensif. Pengambilan data dilakukan
secara prospektif terhadap 70 sampel
rekam medis. Tiga puluh lima rekam
2
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 2 Perbandingan DRPs


Sebelum Kolaborasi Sesudah Kolaborasi
n % N %
Jumlah resep yang masuk 115 100 81 100
DRP
1. Ada DRPs 96 83,5 14 17,3
2. Tidak Ada DRPs 19 16,5 67 82,7
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah DRPs
3. HASIL sebelum dilakukan kolaborasi oleh apotekr
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah memiliki nilai paling besar (83,5%)
pasien yang terbanyak adalah laki-laki sedangkan DRPs paling sedikit ditemukan
(57,1%) dengan usia yang paling dominan setelah kolaborasi dengan apoteker
adalah 1 bulan – 6 tahun ( 64,35%). (17,3%). Mengenai DRPs yang ditemukan
Sebagian besar anak mengalami penyakit selama penelitian dapat dilihat pada tabel
penyerta (60%). Adapun penyakit penyerta 3.
yang paling banyak dialami oleh pasien
adalah febris ( 23,5%) dan diikuti dengan
kejang demam kompleks (19,8%).

Tabel 3. Distribusi Kategori DRPs di Ruang Picu


Sebelum Kolaborasi Setelah Kolaborasi
Kategori DRPs
Frekuensi % Frekuensi %
Ketidaktepatan Pemilihan Obat 0 0 0 0
Dosis Obat Kurang 17 14,8 2 2,5
Dosis Obat Lebih 17 14,8 1 1,23
Indikasi tanpa Obat 23 20 1 1,23
Obat Tanpa Indikasi 15 13 4 4,9
Interaksi Obat 24 20,8 6 7,4
Total 96 83,5 14 17,3
Berdasarkan tabel diatas, DRPs pasien dikatakan mengalami DRPs
menunjukkan bahwa DRPs paling banyak pada pengobatannya jika pasien
sebelum dilakukan kolaborasi terjadi pada mengalami satu atau lebih kategori DRPs.
kategori interaksi obat (20,8%) diikuti Pasien dikatakan tidak mengalami DRPs
kategori indikasi tanpa obat (20%) jika seluruh obat yang digunakan oleh
sedangkan setelah kolaborasi DRPs paling pasien tidak satupun mengalami kategori
banyak terjadi pada interaksi obat ( 7,4% ) DRPs tersebut.
diikuti obat tanpa indikasi (4,9%). Pada penelitian ini sebelum dan
sesudah dilakukan kolaborasi DRPs yang
4. PEMBAHASAN paling banyak terjadi yaitu kategori
Salah satu faktor potensial dalam interaksi obat. Interaksi obat yang terjadi
terjadinya DRPs di ruang perawatan merupakan semua interaksi obat yang
intensif pada pasien anak adalah mungkin atau potensial terjadi pada terapi
banyaknya obat yang diresepkan oleh obat yang diberikan pada pasien anak. Baik
dokter. Pada masalh ini peran farmasi interaksi obat yang dapat dihindari ataupun
sangat dibutuhkan untuk meminimalisisr interaksi obat yang tidak dapat dihindari.
terjadinya DRPs pada penggunaan obat. Interaksi obat berdasarkan tingkat
Evaluasi DRPs bertujuan untuk menjamin keparahannya dapat diklasifikasikan
pengobatan yang diberikan kepada pasien menjadi 3, yaitu mayor, moderat dan
berhasil mencapai efek terapi dan pasien minor. Tingkat keparahan mayor memiliki
mendapatkan pengobatan yang aman, efek yang serius dan dapat menyebabkan
berkhasiat dan bermutu. Pada evaluasi kematian, moderat memiliki efek yang
3
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

sedang dan memerlukan intervensi medis, pengobatan pasien. Kegiatan


minor memiliki efek yang kecil dan dapat pendampingan apoteker perlu ditingkatkan
ditoleransi.9 Pada penelitian ini interaksi sebagai awalan implementasi farmasi
obat yang terajdi antara lain interaksi obat klinik dan proses kolaborasi antara
antara rifampicin dan isoniazid. Regimen apoteker dan dokter. Hal ini membutuhkan
tuberkolusis pada anak yang paling sering dukungan sistem manajemen rumah sakit
digunakan adalah 2HRZ 4HR yaitu 2 bulan agar komunikasi interpersonal diantara
fase intensif menggunakan kombinasi profesi lebih mudah terwujud.
isoniazid, rifampicin dan isoniazid
dilanjutkan 4 bulan fase lanjutan insoniazid 5. KESIMPULAN
dan rifampicin. Penggunaan ketiga obat DRPs di ruang perawatan intensif
tersebut penting untuk menyembuhkan masih banyak ditemukan sebelum
penyakit dengan jumlah bakteri yang dilakukan kolaborasi antara apoteker
banyak dan mengurangi resiko resistensi dengan dokter pada saat visite sebesar
obat.6 Obat antituberkolusis selain 83,5% dan sesudah dilakukan kolaborasi
mempunyai efikasi yang baik juga sebesar 17,3%. Distribusi kategori DRP
memiliki adverse effect seperti dapat sebelum dilakukan kolaborasi menurut
menyebabkan hepatotoksisitas.2 Interaksi data yang diambil terbanyak pada kasus
obat juga terjadi pada diazepam dengan interaksi obat sebesar 20,8% sedangkan
asam valproate, dimana asam valproate setelah dilakukan kolaborasi terbanyak
meningkatkan kadar serum dari diazepam tetap pada interaksi obat sebesar 7,4%
sebesar dua kali lipat dengan cara tetapi mengalami penurunan angka
menurunkan glukoronidasu diazepam kejadian. Kegiatan kolaborasi antara
sehingga efek diazepam meningkat. Jika apoteker dengan dokter efektif
diazepam dan asam valproate digunakan menurunkan angka kejadian DRPs.
secara bersamaan, monitoring toksisitas Rekomendasi yang diberikan oleh apotker
diazepam (sedasi berlebih).10 Kombinasi mampu memberikan pengaruh terhadap
pemebrian Paracetamol dengan penurunan angka DRPs diruang intensif
fenobarbital menimbulkan interaksi dengan anak. Kolaborasi apoteker dengan dokter
tingkat keparahan moderate yaitu di rumah sakit untuk pelayanan perlu lebih
memberikan efek potensial ditingkatkan lagi agar kolaborasi tersebut
hepatotoksikdari paracetamol dapat menjadi suatu kebutuhan. Adanya saling
meningkat ketika fenobarbital diberikan pengakuan kompetensi profesi masing
dalam dosis yang besar. Efek terapi masing yang sangat dibutuhkan untuk
paracetamol juga akan berkurang. penanganan pasien dengan sebaik-baiknya
Pemberian Paracetamol dengan diazepam dan dilaksanaka dengan saling menghargai,
juga menimbulkan interaksi dengan beretika dan sesuai standar pelayanan
tingkat keparahan minor, diazepam pasien yang berlaku dirumah sakit.
menurunkan kerja dari paracetamol dengan
mempercepat metabolism. Peningkatan 6. DAFTAR PUSTAKA
metabolisme menyebabkan peningkatan 1. Ado, M.W. Identifikasi Drug Related
jumlah metabolit yang hepatotoksis. Problems Pada Pasien Pediatrik di
Pada penelitian ini dapat dilihat jika Bangsal Rawat Inap RSUD
kolaborasi antara apoteker dengan dokter Abunawas Kendari Periode
mempunyai pengaruh yang penting dalam November 2011-Januari 2012, Tesis,
pemberian terapi pada pasien. Namun Pasca Sarjana Universitas Gadjah
terciptanya kolaborasi tersebut Mada, Yogyakarta; 2012.
memerlukan waktu dan komunikasi yang 2. Akura, B., Oswari, H., Supriyatno,
efektif sehingga dokter- apoteker merasa B., Advani, N. Incidence and
saling membutuhkan dalam pengelolaan Characteristics of Antituberculosis
4
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Drug Induced Hepatotoxicity in


Children: A Preliminary Study,
Pediatrica Indonesiana; 2009.
49(6):342–348.
3. Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A.
Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy),
Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien, Elec
Media Komputindo, Jakarta; 2003
4. Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley,
P.C. Pharmaceutical Care Practice,
McGrow Hill, New York; 1998.
5. Dwiprahasto, I. Medication Error,
Makalah Ceramah Umum, Jurusan
Farmasi Fakultas MIPA Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta; 2005.
6. Graham, S.M. Treatment of
Paediatric TB: Revised WHO
Guidelines, Paediatric Respiratory
Reviews; 2011. 12(1): 22–26.
7. Medscape.com. Drug Interactions
Checker. Diakses Mei, 2019.
8. Pharmaceutical Care Network
Europe. (2006). Classification for
Drug related problems. Retrieved
from
http://www.pcne.org/upload/files/16_
PCNE_classification_V5.01.pdf
9. Siddiqui, M. T. A., Abhishek, A. S.,
Ashwini, K., & Uddin, M. A. Z.
Assessment of the Prevalence of
Drug – Drug Interactions in the
Medical Intensive Care Unit of a
Tertiary Care Teaching Hospital in
India. International Journal of
Pharmacy & Pharmaceutical
Research,; 2015. 4(3), 102–112.
10. Stockley, I. H. Stockley’s Drug
Interaction, 8th edition. London :
Pharmaceutical Press; 2008.

5
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

INOVASI FORMULA PRODUK HAND RUB BERBASIS ALKOHOL


SEBAGAI UPAYA EFISIENSI PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI
DI RUMAH SAKIT
Ahmad Subhan1*, Nusati1, Wasmen Manalu2, Min Rahminiwati., MS2, Huda Salahudin
Darusman2
1
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta-Indonesia
2
Program Studi Ilmu Faal dan Khasial Obat Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Email Korespondensi : ahmadsapt@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Hand rub adalah sediaan antiseptik yang digunakan untuk membersihkan
tangan tanpa menggunakan air. Rumah sakit, sebagaimana yang dicanangkan oleh WHO,
wajib berperan dalam mencegah terjadinya infeksi silang antar pasien, dalam hal ini akibat
kontak antara sumber infeksi kepada recipient yang diakibatkan oleh tenaga kesehatan.
Tujuan: menciptakan sediaan hand rub alcohol base yang bermutu dan terjangkau (efisien)
dibandingkan dengan produk pabrikan yang ada di Indonesia. Metode: hand rub dibuat
dalam prosedur bersih, dalam sediaan akhir 500 mL. kadar akhir kandungan alcohol sediaan
hand rub harus minimal >80%. Untuk mengetahui mutu sediaan handrub dilakukan dengan
uji percentage kill, dengan menggunakan sampel bakteri : Escherichia Coli; Staphylococcus
epidermidis; Pseudomonas aeruginosa; Methicillin resistance staphylococcus aureus
(MRSA). Uji percentage kill yang baik adalah jika hasil uji untuk tiap waktu kontak ≥90%.
Hasil dan Kesimpulan: Berdasarkan hasil uji percentage kill diketahui bahwa pada menit
kontak ke 1;2 dan 5, untuk bakteri Escherichia Coli diketahui mengalami eradikasi 99,90%.
Begitu juga untuk Staphylococcus epidermidis, diketahui untuk waktu kontak pada menit ke
1;2 dan 5, nilai percentage kill adalah 99,90%. Untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa
diketahui pada waktu kontak menit ke 1;2 dan 5, nilai percentage kill adalah 99,90%. Sama
halnya dengan bakteri MRSA, diketahui pada waktu kontak menit ke 1;2 dan 5, nilai
percentage kill adalah 99,90%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil kualitas produk hand rub
adalah baik, karena berdasarkan hasil Uji percentage kill diperoleh nilai untuk tiap waktu
kontak ≥90%.

Kata Kunci : hand rub, alcohol base, IFO, percentage kill

1. LATAR BELAKANG kasus tersebut mengarah ke tingkat yang


Penyakit infeksi masih menjadi salah sangat tinggi di semua belahan dunia.2
satu masalah kesehatan di dunia, termasuk Mekanisme resistensi baru selalu muncul
Indonesia. Penyakit infeksi ditinjau dari dan menyebar secara global setiap hari,
asal atau didapatnya infeksi dapat berasal mengancam kemampuan manusia untuk
dari komunitas (Community Acquired mengobati penyakit menular yang umum.
Infection) atau berasal dari lingkungan Peningkatan kasus resistensi tersebut
rumah sakit (Hospital Acquired Infection) terjadi pada beberapa kasus seperti infeksi
yang sebelumnya dikenal dengan istilah darah, pneumonia, tuberkulosis, dan
infeksi nosokomial.1 gonore, sehingga menjadikannya sulit atau
Menurut WHO, Penyakit infeksi saat bahkan kadang – kadang tidak mungkin
ini menjadi ancaman serius bagi umat untuk dapat disembuhkan, dan hal ini
manusia. Hal ini sejalan dengan semakin menyebabkan sebagai besar antibiotik
meningkatnya resistensi antibiotik, bahkan menjadi kurang efektif.
6
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Menurut laporan dari WHO’s new tersebut dan uji mikroorganisme. Sebagai
Global Antimicrobial Surveillance System contoh, isopropanol memiliki sifat lebih
(GLASS) mengungkapkan terjadinya lipofil dibandingkan etanol dan memiliki
resistensi antibiotik secara luas diantara aktifitas yang kecil terhadap virus hidrofil
500.000 orang yang diduga terinfeksi (contoh polivirus).4
bakteri di 22 negara. Bakteri resisten yang Sejumlah penelitian telah
paling sering dilaporkan adalah mendokumentasikan aktivitas antimikroba
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, alkohol secara in vivo. Studi kuantitatif
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus awal dari efek antiseptik handrub
pneumoniae. Kemudian diantara pasien menetapkan bahwa alkohol secara efektif
dengan dugaan infeksi aliran darah, mengurangi jumlah bakteri di tangan.
proporsi bakteri yang resisten terhadap Biasanya, pengurangan log pelepasan
paling sedikit satu antibiotik yang paling bakteri uji dari tangan terkontaminasi
banyak digunakan di berbagai negara yaitu secara artifisial rata-rata 3.5 log10 setelah
0-82%.3 30 menit aplikasi, dan 4.0-5.0 log10 setelah
Antiseptik tangan dengan basis 1 menit aplikasi.2
alkohol paling sering mengandung etanol,
isopropanol atau n-propanol, atau 2. METODE PENELITIAN
kombinasi dua dari jenis tersebut 1. Standarisasi Formula Handrub
(CH3CH2OH).2 Pada umumnya, Perbandingan standar formula handrub
isopropanol memiliki efikasi terhadap yang dikeluarkan oleh WHO (2009),
bakteri lebih besar (Coulthard dan dengan modifikasi formula untuk volume
Skyes,1936) dan etanol lebih poten total 10 liter, dengan perbandingan sebagai
terhadap virus, namun hal tersebut juga berikut,:
tergantung dari konsentrasi kedua zat aktif

Tabel 1. Perbadingan Formula WHO dan Modifikasi Formula Handrub dalam volume
total 10 mL
Handrub Formula WHO Handrub Modifikasi Formula
 Etanol 96% = 8333 ml  Etanol 96% = 8780 ml
 H2O2 3% = 417 ml  H2O2 3% = 100 ml
 Gliserol 98% = 145 ml  Gliserol 98% = 5 ml
 Aquades steril atau air dingin  Aquades steril atau air dingin
 yang telah didihkan ad 10 liter  yang telah didihkan ad 10 liter

2. Peralatan yang Digunakan 1) Tahap persiapan pembuatan


Di bawah ini merupakan peralatan a) Siapkan alat dan bahan yang
yang digunakan pada produksi handrub digunakan untuk proses produksi
sebanyak 10 liter. handrub.
 Jerigen, tangki tertutup untuk b) Pencatatan dalam dokumen
kapasitas 20 liter produksi tentang seluruh kegiatan
 Gelas ukur 500 ml produksi pembuatan handrub.
 Labu takar 5 liter c) Pembuatan etiket/ stiker botol
 Botol pengemasan ukuran 500 ml pengemasan dengan menuliskan
tanggal produksi, nomor batch,
3. Tahapan Pembuatan dan “sebaiknya digunakan
Berikut ini merupakan prosedur sebelum tanggal”.
pembuatan handrub, untuk volume total 10
liter:
7
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

2) Pelaksanaan proses pembuatan 3. Metode Pengujian


a) Masukan alkohol 96% ke dalam Setiap formulasi baru untuk antisepsis
wadah tertutup rapat (tangki/ tangan harus diuji mutu antimikroba
jerigen penampung) sebanyak
bersama dengan semua bahan
8780 ml.
b) Tambahkan H2O2 3% dengan tambahannya untuk memastikan bahwa
menggunakan gelas ukur sebanyak setiap eksipien ditambahkan untuk
100 ml. toleransi kulit yang lebih baik tidak
c) Tambahkan gliserol 98% dengan mempengaruhi aktivitasnya. Pengujian
menggunkan gelas ukur sebanyak yang mungkin dapat dilakukan untuk
5 ml. mendapatkan aktivitas antimikroba dari
d) Bilas sisa gliserol dalam gelas ukur
handrub termasuk in vitro test, seperti
hinga bersih dengan aquadest
steril. penentuan konsentrasi minimal bakterisida
e) Ukur kadar alkohol dengan alkohol (Minimal Bactericidal Concentration), kill-
meter; kadar akhir >80% curves dan uji kuantitatif suspense, atau
f) Tutup rangka tangki/ jerigen dengan protocol ex vivo menggunakan
penampung untuk mencegah eksplan hewan atau kulit manusia. Kondisi
penguapan. pada suspense dan uji in vitro atau ex vivo
g) Goyang/ kocok tangki atau jerigen
tidak dapat mencerminkan kulit manusia.
penampung selama 10 menit
supaya cairan tercampur secara Bahkan tes simulasi dengan subjek
merata. dianggap oleh beberapa orang sebagai
h) Tuang segera dalam botol "terlalu dikontrol", yang mendorong
pengemas 500 mL dan tutup rapat. pengujian di bawah praxi atau kondisi
lapangan. Pengujian lapangan seperti itu
sulit dikendalikan terhadap faktor asing.
Selain itu, dan yang terpenting, temuan-
temuan dari uji lapangan memberikan
sedikit data tentang kemampuan formulasi
yang diberikan untuk menyebabkan
pengurangan yang terukur dalam infeksi-
infeksi nosokomial yang ditularkan melalui
3) Pelaksanaan penyimpanan
tangan.2
a) Tempatkan dalam rak/ lemari
penyimpan. Pengujian time-kill merupakan metode
b) Diamkan selama 72 jam dalam dalam menentukan efektivitas antimikroba
suhu ruangan. (handrub) dengan teknik plate count dan
c) Berikan penanda “dalam masa analisis dari persen dan log reduksi.7
simpan, belum dapat digunkan”. Prosedur yang dilakukan dalam pengujian
d) Ukur kadar alkohol setelah ini adalah mengikuti standar dari ASTM
penyimpanan 72 jam dengan
(Antimicrobila Susceptibility Testing
alkohol meter; kadar akhir alcohol
tidak boleh kurang dari >80% Method) E-2313. Setelah dilakukan
persiapan kultur bakteri, tempatkan
sejumlah sampel uji yang cukup untuk
kegiatan pengujian kedalam cawan petri
steril. Kemudian sejumlah kultur bakteri
yang akan diuji (biasanya 1/10 atau kurang
8
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

dari volume sampel uji) diinokulasi ke Pseudomonas aeruginosa diketahui pada


dalam cawan petri sebelumnya dan waktu kontak menit ke 1;2 dan 5, nilai
kemudian segera diaduk. Setelah waktu percentage kill adalah 99,90%. Sama
halnya dengan bakteri MRSA, diketahui
kontak yang telah ditentukan, sejumlah
pada waktu kontak menit ke 1;2 dan 5,
kecil dari campuran bakteri dan sampel uji nilai percentage kill adalah 99,90%.
diambil, dan dimasukkan ke dalam cawan Hal ini menunjukkan bahwa hasil
berisi agar nutrisi, dan kemudian kualitas produk hand rub adalah baik,
diinkubasi pada suhu 37 selama 24 jam. karena berdasarkan hasil Uji percentage
Adapun rumus untuk menghitung reduksi kill diperoleh nilai untuk tiap waktu kontak
log.6-7 ≥90%. Handrub yang diujikan tersebut
merupakan preparat mengandung alkohol
yang dirancang untuk aplikasi ke tangan
3. HASIL PENGAMATAN untuk mengurangi jumlah mikroorganisme
Berdasarkan hasil uji percentage kill patogen. Alkohol merupakan komponen
diketahui bahwa pada menit kontak ke 1;2 utama antibakteri yang digunakan pada
dan 5, untuk bakteri Escherichia Coli sebagian besar agen antiseptik tanpa air.
diketahui mengalami eradikasi 99,90%. Handrub berbasis alkohol efektif terhadap
Begitu juga untuk Staphylococcus bakteri gram positif dan gram negative,
epidermidis, diketahui untuk waktu kontak patogen multi-resiten, jamur dan virus.2,9-10
pada menit ke 1;2 dan 5, nilai percentage
kill adalah 99,90%. Untuk bakteri

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan percentage kill


No. Jenis Bakteri Waktu Kontak Keterangan
1 Escherichia Coli 99,90% 99,90% 99,90% Baik; ≥90%.
2 Staphylococcus epidermidis 99,90% 99,90% 99,90% Baik; ≥90%.
3 Pseudomonas aeruginosa 99,90% 99,90% 99,90% Baik; ≥90%.
4 Methicillin-resistant staphylococcus 99,90% 99,90% 99,90% Baik; ≥90%.
aureus (MRSA)

Handrub dapat mengatasi hambatan pada sabun biasa atau apakah formulasi
dan kepatuhan kebersihan karena dengan zat tambahan yang ditambahkan
membutuhkan waktu yang sedikit dalam untuk meningkatkan toleransi terhadap
mencuci tangan yang ekeftif, lebih kurang kulit tidak mempengaruhi afek antimikroba
merusak kulit daripada sabun dan air dan dari handrub.2,8-10
lebih efektif dalam membunuh banyak
mikroorganisme. Pada formulasi 4. PEMBAHASAN
pembuatan handrub jenis alkohol yang Harga produk hand rub alcohol base
digunakan adalah etanol, isopropanol atau dengan kadar akhir alcohol >80%. Di e-
n-propanol, atau kombinasi keduannya. catalogue LKPP tahun 2018 sebesar
Adapun zat tambahan yang digunakan Rp.78.750/botol 500 mL. Diketahui untuk
adalah antara lain pengental (seperti asam biaya yang dihabiskan dalam pembuatan
poliakrilik untuk gel), humektan (seperti sediaan hand rub inovasi produk ini
gliserin untuk cairan handrub) atau sebesar Rp.30.500/botol 500 mL. Untuk
propilen glikol dan minyak esensial dari selama periode tahun 2018, hand rub yang
tanaman. Setiap formulasi dari handrub digunakan di RSUP Fatmawati sebanyak
tersebut harus dilakukan uji mutu terhadap 15.600 botol 500 mL, dengan rata-rata
antimikroba. Hal ini bertujuan agar penggunaan tiap bulan adalah 1.300/botol
memastikan apakah efikasinya lebih dari 500 mL. Sehingga dengan
9
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

diimplementasikannya produk ini di RSUP preservation, 3rd ed. Lea & Febiger,
Fatmawati Jakarta maka nilai efisiensi Philadelphia, Pa.
yang diperoleh selama tahun 2018 adalah 6. Larson, E. L., and H. E. Morton.,
Rp.752.700.000 (tujuh ratus lima puluh 1991. Alcohols, p. 191±203. In S. S.
dua juta tujuh ratus ribu rupiah). Block (ed.), Disinfection,
sterilization, and preservation, 4th
5. KESIMPULAN ed. Lea & Febiger, Philadelphia, Pa.
Dengan mengupayakan pembuatan 7. Oladosu, P., Isu, N.R., Ibrahim, K.,
handrub berbasis alcohol di rumah sakit Okolo, P., Oladepo, D.K., 2013.
maka rumah sakit akan dapat 1memenuhi Time kill-kinetics antibacterial study
seluruh kebutuhan penggunaan handrub of Acacia nilotica. African Journal
dalam upaya pencegahan infeksi dirumah of Microbiology Research, 7(46):
sakit, 2 meningkatkan efisiensi dalam 5248-5252.
pengelolaan sediaan farmasi,alat kesehatan 8. Nester, E.W., Anderson, D.G.,
dan bahan medis habis pakai di rumah Roberts, C.E. and Nester, M.T.,
sakit. 2009. Microbiology: a Human
Perspective, 6th edition. The
6. DAFTAR PUSTAKA McGraw-Hill Companies, Inc., New
1. Kemenkes RI., 2011, Pedoman York. pp 480-481.
Pencegahan dan Pengendalian 9. Osma S, Kahveci SF, Kaya FN,
Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Akalin H, Ozakin C, Yilmaz E, et
Pelayanan Kesehatan Lainnya, al., 2006. Efficacy of antiseptic-
Cetakan ketiga, Kemenkes RI., impregnated catheters on catheter
Jakarta. colonization and catheter-related
2. World Health Organisation., 2009. bloodstream infections in patients in
WHO guidelines in hand hygiene in an intensive care unit. J Hosp Infect
health care. 2006;62:156–62.
WHO/IER/PSP/2009.07, World http://dx.doi.org/10.1016/j.jhin.2005
Health Organisation, Geneva , .06.030
Switzerland. 2009 10. Quinn PJ, Markey BK, Carter ME,
3. World Health Organization., 2018. Donelly WJ, Leonard FC., 2002.
High Levels of Antibiotic Resistance Veterinary Microbiology and
Found Worldwide, New Data Microbial Disease. Iowa: Blackwell
Shows. Media Centre : News Publishing.
Release. Diakses dari
http://www.who.int/mediacentre/ne
ws/releases/2018/antibiotic-
resistance-found/en/ pada tanggal
18 Maret 2018 pukul 19.00 WIB.
4. Coulthard, C. E., and G. Skyes.,
1936. Germicidal effect of alcohol.
Pharm. J. 137:79-81
5. Klein, M., and A.
Deforest., 1983. Principles
of viral inactivation, p.
422±434. In S. S. Block (ed.),
Disinfection, sterilization and

10
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN TRAUMA KAPITIS


DI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH INDONESIA
Firdawati Amir Parumpu1*, Amelia Rumi1, Siti Hartina2
1
Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Tadulako
2
Akademi Farmasi Tadulako Farma Palu

Corresponding Author : firdaamirparumpu@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang : Trauma kapitis merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan
usia produktif yang terjadi di negara berkembang, hal ini diakibatkan karena mobilitas yang
tinggi, kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan rendah, dan penanganan yang terlambat
dari petugas kesehatan. Trauma kapitis juga menjadi salah satu penyakit yang memiliki
persentasi cukup banyak terjadi khususnya di Kota Palu. Tujuan : Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh data penggunaan obat pada pasien trauma kapitis di Kota Palu. Metode :
Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dengan menggunakan data sekunder yaitu catatan
rekam medik dan resep elektronik pada pasien rawat inap trauma kapitis. Subjek penelitian
adalah pasien rawat inap trauma kapitis usia produktif. Berdasarkan data yang diperoleh
periode Bulan Januari sampai Bulan Maret Tahun 2016 ada sebanyak 135 pasien trauma
kapitis yang menjadi populasi penelitian, kemudian diambil 57 pasien trauma kapitis untuk
menjadi sampel penelitian. Hasil : Dari hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin pasien
terbanyak laki – laki (64,92%), berdasarkan usia pasien terbanyak adalah kelompok usia 17 –
25 tahun (49,12%), berdasarkan status trauma kapitis terbanyak adalah status trauma kapitis
ringan (92,98%), berdasarkan pola pengobatan ada dua jenis bentuk sediaan obat yang
digunakan yaitu sediaan injeksi dan sediaan oral. Untuk sediaan injeksi yang paling banyak
digunakan adalah obat ketorolak golongan NSAID (91,22%) sedangkan sediaan oral yang
banyak digunakan adalah obat piracetam golongan neurotropik (52,63%). Kesimpulan :
Penggunaan obat diberikan dalam dua jenis bentuk sediaan obat yang banyak digunakan
yaitu sediaan injeksi adalah obat ketorolak (91,22%) dan sediaan oral yang banyak digunakan
adalah obat piracetam (52,63%).
Kata kunci: Trauma kapitis, Penggunaan Obat, Kota Palu, Ketorolak, Piracetam.

1. LATAR BELAKANG Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah


Di negara berkembang khususnya kesehatan yang pontensial di Indonesia
Indonesia, populasi pengendara kendaraan seiring makin giatnya pembangunan akhir-
bermotor sudah semakin padat, baik di akhir ini. Menurut Badan Kesehatan Dunia
kota besar maupun di kota kecil, sehingga (WHO) dalam dua tahun terakhir ini,
menyebabkan kemacetan dan sering kali kecelakaan lalu lintas di Indonesia dinilai
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Hal menjadi pembunuh terbesar ketiga, di
ini dikarenakan kurangnya kesadaran bawah penyakit jantung koroner dan
masyarakat dengan pentingnya rambu- tuberculosis/TBC2. Global Status Report
rambu lalu lintas. Di Indonesia pada Tahun on Road Safety 2013 menempatkan
2005 di RSCM terdapat jumlah pasien Indonesia sebagai negara urutan kelima
trauma kapitis sebanyak 777 pasien. Di tertinggi angka kecelakaan lalu lintas di
Rumah Sakit Siloam pada tahun 2005 dunia10. Departemen Kesehatan RI (1999)
terdapat 347 kasus trauma kapitis3. menyebutkan bahwa kecelakaan, data
11
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) (RE) pasien rawat inap dengan diagnosa
menunjukkan kontribusi kematian, bahwa trauma kapitis usia produktif pada periode
pada tahun 1986 kematian karena Bulan Januari sampai Bulan Maret Tahun
kecelakaan 4,7%, meningkat menjadi 5,3% 2016 sebanyak 135 kemudian dihitung
pada tahun 19925. dengan menggunakan rumus Slovin
Trauma adalah penyebab kematian sehingga total sampel adalah sebanyak 57.
nomor empat, tetapi kalau dijabarkan Kritetria Inklusi pada penelitian ini adalah
menurut kelompok umur, angka kematian Rekam medik dan resep elektronik pada
akibat trauma pada golongan usia pasien rawat inap trauma kapitis usia
produktif sangat tinggi, yaitu dalam produktif antara 15 - 55 tahun, sedangkan
peringkat penyebab kematian yang kriteria inklusi adalah Rekam medik dan
berkisar antara peringkat 1 sampai dengan resep elektronik yang tidak lengkap,
36. Trauma kapitis merupakan salah satu Rekam medik dan resep elektronik yang
penyebab kematian utama dikalangan usia belum pasti, Pasien usia non produktif.
produktif yang terjadi di negara
berkembang, hal ini diakibatkan karena 2.2 Data Penelitian
mobilitas yang tinggi, kesadaran untuk Data yang digunakan dalam penelitian
menjaga keselamatan di jalan rendah, dan ini adalah data sekunder yaitu data yang
penanganan yang terlambat dari petugas diambil tidak langsung dari sumber
kesehatan. Trauma kapitis juga menjadi aslinya. Penelitian ini menggunakan data
salah satu penyakit yang memiliki sekunder karena sampel penelitian yang
persentasi cukup banyak terjadi khususnya digunakan yaitu rekam medik dan resep
di Kota Palu, dimana rata-rata pasien kasus elektronik pasien rawat inap trauma kapitis
trauma kapitis di rumah sakit disebabkan usia produktif pada periode Bulan Januari
karena benturan pada kepala akibat dari sampai Bulan Maret Tahun 2016 di salah
kecelakaan lalu lintas atau terjatuh akibat satu rumah sakit di Kota Palu, Provinsi
korban kekerasan dijalanan. Sulawesi Tengah, Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka
dilakukan penelitian tentang penggunaan 2.3 Tekhnik Analisis Data
obat pada pasien trauma kapitis di Kota Teknik analisis data yang digunakan
Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. dalam pengelolaan pengobatan trauma
kapitis yaitu mengumpulkan data dalam
2. METODE PENELITIAN rekam medik dan resep elektronik yaitu
Metode penelitian ini bersifat identitas pasien, status trauma kapitis, dan
deskriptif retrospektif dengan pengobatan trauma kapitis meliputi (nama
menggunakan data sekunder yaitu catatan obat, bentuk sediaan obat). kemudian
rekam medik dan resep elektronik pada dilakukan pengolahan data, analisis data,
pasien rawat inap trauma kapitis. dan penyajian data.
2.1 Subjek Penelitian
Populasi penelitian ini adalah 3. HASIL
keseluruhan objek atau objek yang diteliti, Hasil penelitian tentang penggunaan
populasi yang dimaksud dalam penelitian obat pada pasien trauma kapitis di Kota
ini adalah himpunan yang lengkap dari Palu periode Bulan Januari sampai Bulan
rekam medik dan resep elektronik pada Maret Tahun 2016, diperoleh sampel
pasien rawat inap pada salah satu rumah berdasarkan jenis kelamin sebanyak 20
sakit di Kota Palu dengan diagnosa trauma RM berjenis kelamin perempuan dan
kapitis. Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 37 RM berjenis kelamin laki-
rekam medik (RM) dan resep elektronik laki:

12
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Hasil penelitian tentang Tahun sebanyak 28 RM, kelompok umur


penggunaan obat pada pasien trauma 26-35 Tahun sebanyak 13 RM, kelompok
kapitis di Kota Palu periode Bulan Januari umur 36-45 Tahun sebanyak 8 RM dan
sampai Bulan Maret Tahun 2016, kelompok umur 46- 55 Tahun sebanyak 8
diperoleh sampel berdasarkan umur RM :
produktif yaitu kelompok umur 17-25

Diagram 2. Persentase Karakteristik Responden Berdasarkan Umur


Produktif

49,12%
28 RM

22,80%
13 RM 14,04% 14,04%
8 RM 8 RM

17-25 Tahun 26-35 Tahun 36-45 Tahun 45-55 Tahun

Hasil penelitian tentang status Trauma Capitis Sedang (TCS)


penggunaan obat pada pasien trauma sebanyak 4 RM dan tidak terdapat pasien
kapitis di Kota Palu periode Bulan Januari dengan status Trauma Capitis Berat (TCB)
sampai Bulan Maret Tahun 2016, atau sebanyak 0RM.
diperoleh jumlah sampel berdasarkan
status trauma kapitis yaitu status Trauma
Capitis Ringan (TCR) sebanyak 53 RM,
13
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Diagram 3. Persentase Karakteristik Responden Berdasarkan Status Trauma Kapitis

92,98%
53 RM
7,02% 0%
4 RM 0 RM

Status TCR Status TCS Status TCB

Berdasarkan data resep elektronik Tahun 2016 yang diberikan kepada 57


pasien rawat inap dengan diagnosa trauma sampel dengan dua jenis sediaan yaitu
kapitis maka diperoleh distribusi hasil sediaan injeksi sebnayak 13 jenis obat dan
penggunaan obat pasien di Kota Palu sediaan oral sebanyak 9 jenis obat, adalah
periode Bulan Januari sampai Bulan Maret sebagai berikut.

Tabel 1. Distribusi Penggunaan Obat Sediaan Injeksi


No Nama Obat Golongan Obat Frekuensi Persentase
(kali) (%)
1 Ketorolak NSAID 52 91,22
2 Ondansentron Anti Emetik 8 14,03
3 Seftriakson Anti biotik 38 66,66
4 Deksametason 21 36,84
Kortikosteroid
5 Metilrednisolon 2 3,50
Ulkus Peptik
6 Ranitidin 51 89,47
(H2 Bloker)
Ulkus Peptik
7 Omeprazole 8 14,03
(Penghambat Pompa Proton)
8 Asam Traneksamat Anti fibritolitik 13 22,80
9 Piracetam 50 87,71
Neurotropik
10 Sitikolin 12 21,05
11 Neurosanbe 24 42,10
Vitamin Mineral
12 Mekobalamin 1 1,75
13 Manitol Diuretik 3 5,26

14
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 2. Distribusi Penggunaan Obat Sediaan Oral


No Nama Obat Golongan Obat Frekuensi Persentase
(kali) (%)
1 Ranitidin Ulkus Peptik
21 36,82
(H2 Reseptor Antagonis)
2 Lansoprazole Ulkus Peptik
3 5,26
(Penghambat Pompa Proton)
3 Asam Mefenamat NSAID 19 33,33
4 Sefadroksil Anti biotik 15 26,31
5 Betahistin 16 28,07
Anti Vertigo
6 Flunarizine 10 17,54
7 Piracetam Neurotropik 30 52,63
8 Neurodex 24 42,10
Vitamin Mineral
9 Mekobalamin 2 3,50

4. PEMBAHASAN umur 46- 55 Tahun sebanyak 8 RM


Berdasarkan hasil penelitian (14,04%). Hal ini sesuai dengan jurnal
terhadap karakteristik sampel yang (Manarisip.M.E.I, et al, 2014) yang
ditampilkan pada diagram 1 yaitu mengatakan bahwa trauma kapitis terutama
berdasarkan jenis kelamin pasien diperoleh melibatkan kelompok usia produktif 15 –
data bahwa jumlah pasien terbanyak 44 tahun. Usia >15 – 20 tahun sangat
dengan diagnosa trauma kapitis adalah rentan dengan keadaan yang beresiko
jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 37 tinggi trauma kapitis seperti kecelakaan
RM dengan persentase (64,92%) lalu lintas dan perkelahian. Selain itu, di
sedangkan jenis kelamin perempuan usia yang masih muda tersebut tingkat
sebanyak 20 RM dengan persentase kematangan emosional masih belum stabil
(35,08%). Dengan demikian dapat sehingga mudah terlibat dalam keadaan
diketahui bahwa pada penelitian ini jenis yang beresiko mengalami trauma kapitis.
kelamin laki-laki lebih sering mengalami Berdasarkan status trauma kapitis
trauma kapitis dibandingkan jenis sampel dapat dilihat pada diagram 3,
kelampin perempuan. Hal ini sesuai diperoleh hasil bahwa jumlah pasien
dengan jurnal yang mengatakan bahwa terbanyak adalah trauma kapitis ringan
trauma kapitis lebih didominasi oleh kaum (TCR) dengan jumlah 53 RM (92,98%)
laki-laki dibandingkan kaum perempuan dan pasien trauma kapitis sedang (TCS)
karena laki-laki lebih aktif secara fisik dengan jumlah pasien 4 RM (7,02%)
dibandingkan perempuan, selain itu laki- sedangkan pasien trauma kapitis berat
laki lebih sering berada dalam keadaan (TCB) tidak ada. Hal ini dikaitkan dengan
yang berbahaya seperti mengendarai jenis kelamin dan kelompok usia dari
kendaraan bermotor, perkelahian, buruh sampel yang ada, dimana dalam kasus
bangunan, bahkan berada ditempat-tempat tertentu seperti kecelakaan lalu lintas
tinggi untuk memperbaiki sesuatu9. dengan menggunakan aturan yang ada
Pada diagram 2 karakteristik yaitu penggunaan helm sebagai pelindung
sampel dilihat berdasarkan umur sampel kepala maka hal tersebut dapat mengurangi
yaitu pada umur produktif dengan tingkat keparahan pasien dan pada
pembagian kelompok umur 17-25 Tahun beberapa hal terkait dengan kesadaran
sebanyak 28 RM (49,12%), kelompok akan keselamatan kerja dan keselamatan
umur 26-35 Tahun sebanyak 13 RM kerja dari pasien itu sendiri4,8.
(22,80%), kelompok umur 36-45 Tahun Pada Tabel 1 dan 2 terdapat hasil
sebanyak 8 RM (14,04%) dan kelompok penggunaan obat yang diresepkan oleh

15
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

dokter kepada pasien dengan diagnosa persepsi, daya ingat, serta memiliki peran
trauma kapitis, adapun sediaan yang dalam fumgsi motorik (gerakan),
diberikan ada dua jenis yaitu sediaan kemampuan sosial, bahasa, dan
injeksi dan sediaan oral dengan data penyelesaian masalah. Obat ini juga dapat
distribusi yang berbeda-beda pada setiap mengatasi sakit kepala, vertigo12.
pasien. Sediaan injeksi diberikan sebagai Sediaan oral biasanya diberikan
pengobatan pertama disaat pasien dalam kepada pasien dengan tingkat keparahan
kondisi gawat atau emergency sedangkan rendah dan kesadaran tinggi, utamanya
sediaan oral diberikan sebagai pengobatan diberikan ketika sudah berada didalam
pemulihan pada pasien7. Pada sediaan ruang perawatan atau saat sudah berstatus
injeksi terdapat 13 jenis obat dengan pasien rawat inap. Pada data penelitian ini
berbagai golongan dan indikasi. sediaan pasien juga diberikan sediaan oral
injeksi yang paling banyak digunakan sebanyak 9 jenis obat dengan distribusi
yaitu obat ketorolak (91,22%), golongan yang berbeda-beda pada setiap pasien.
NSAID diberikan ketorolak untuk Sediaan oral terbanyak yang diberikan
penatalaksanaan nyeri jangka pendek, yaitu obat piracetam (52,63%), ranitidin
mengobati nyeri yang hebat pada pasien, (36,82%) dan golongan vitamin mineral
obat ini bekerja menghambat sintesis yaitu obat neurodex (42,10%) merupakan
prostaglandin (menghambat kerja vitamin neurotropik yang berfungsi
prostaglandin), memediasi produksi membantu memperbaiki gangguan atau
analgetik perifer, juga sebagai kerusakan saraf (neuropati) yang terjadi
antiinflamasi11. Sediaan injeksi selanjutnya pada pasien trauma kapitis. Neurodex
golongan H2 bloker yaitu obat ranitidin (42,10%) yang mengandung vitamin B
(89,47%) digunakan obat ranitidin karena kompleks (vitamin larut air) yang
hilangnya nafsu makan pada pasien ekskresinya melalui urin. Sisa metabolisme
sehingga menyebabkan timbulnya tukak akan dikeluarkan melalui ginjal setiap hari
lambung. Obat ini menjadi pilihan untuk sehingga tidak terjadi penumpukan dalam
gangguan tukak lambung ringan hingga tubuh sehingga obat ini aman untuk
menengah. Ranitidin termasuk golongan dikonsumsi setiap hari dalam jangka
H2 bloker yang bekerja dengan menekan panjang. Vitamin neurotopik ini sangat
sekresi asam lambung atau mengurangi penting bagi tubuh karena berperan besar
produksi asam lambung. Obat ini juga dalam menjaga fungsi saraf, terutama saraf
dapat mengatasi efek samping dari tepi agar tetap sehat1.
pemberian antibiotik berupa gangguan
pencernaan seperti gangguan lambung, 5. KESIMPULAN
mual, muntah. Trauma kapitis dapat Berdasarkan hasil penelitian yang
menyebabkan pasien mengalami telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
penurunan kesadaran, gangguan bahwa Hasil penelitian tentang
metabolisme otak, sehingga digunakan penggunaan obat pada pasien trauma
sediaan injeksi golongan neurotropik (zat - kapitis di Kota Palu periode Bulan Januari
zat yang dapat memperbaiki akal budi) sampai Bulan Maret Tahun 2016,
yaitu obat pirasetam (87,7%) diberikan penggunaan obat diberikan dalam dua jenis
obat piracetam karena pirasetam bentuk sediaan obat yang digunakan yaitu
merupakan senyawa mirip GABA suatu sediaan injeksi dan sediaan oral. Untuk
neurotransmitter yang penting di otak. sediaan injeksi yang banyak digunakan
Obat ini mempengaruhi otak dan sistem adalah obat ketorolak golongan NSAID
saraf, melindungi bagian otak yang (91,22%) sedangkan sediaan oral yang
bernama korteks serebri agar tidak banyak digunakan adalah obat piracetam
kekurangan oksigen. Korteks serebri golongan neurotropik (52,63%).
bertanggung jawab dalam proses berpikir,
16
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

6. UCAPAN TERIMA KASIH 9. Manarisip, M.E.I, et al. (2014).


Kami mengucapkan terimakasih Gambaran Ct Scan Kepala Pada
kepada pihak rumah sakit, pimpinan dan Penderita Cedera Kepala Ringan di
staf serta para pasien yang telah membantu Blu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
pelaksanaan penelitian ini dan telah Manado Periode 2012 – 2013.
bersedia untuk dilibatkan sebagai salah Jurnal e-CliniC (eCl), Volume 2,
satu bagian dari penelitian ini. Terimakasih Nomor 2 , Juli 2014: 1-6
untuk doa dan dukungannya dalam proses 10. Singh, S.K.A, et al. (2015). Angka
penyusunan penelitian ini. Kejadian Korban Kecelakaan Lalu
Lintas Berdasarkan hasil
7. DAFTAR PUSTAKA Pemeriksaan Luar Visum Et
1. Adams RD. (1997). Principles of Repertum di RSUP Dr.Mohammad
neurology. 6th ed vol.2 New York: Hoesin Palembang Tahun 2011-
McGraw Hill : 874-901 2013. MKS, Th. 47, No. 2, April
2. Arifin, M. (2013). Cedera Kepala. 2015: 106
Jakarta: Sagung Seto. 11. Soma, K, G. (1996). Pertolongan
3. Atmadja, A.S. (2016). Indikasi Pertama Dan RJP, Edisi II. Alih
Pembedahan pada Trauma Kapitis. Bahasa:Yusmini Asih. Penerbit
CDK-236/ Vol. 43 No. 1, Th. 2016: Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
29-30 12. Widyawati. (2012). Konsep Dasar
4. Damanik, R.P. (2013). Karakteristik Keperawatan. Jakarta : prestasi
Penderita Cedera Kepala Akibat pustaka.
Kecelakaan Lalu Lintas Darat
Rawat Inap di RSUD DR. H.
Kumpulan Pane Tebing Tinggi
Tahun 2010-2013. Jurnal of
epidhemiology: 1
5. Depkes RI. (1999). Rencana
Pembangunan Kesehatan Menuju
Indonesia Sehat 2010, Jakarta.
6. Haryatun, N dan Sudaryanto, A.
(2008). Perbedaan Waktu Tanggap
Tindakan Keperawatan Pasien
Cedera Kepala Kategori 1 – V Di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr.
Moewardi. Berita Ilmu
Keperawatan, ISSN 1979-2697,
Vol. 1. No.2, Juni 2008: 69
7. Krisanty. P, M. W. (2009). Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta: Trans Info Media.
8. Lahdimawan, T.F.I. Suhendar, A.
Wasilah, S. (2014). Hubungan
penggunaan helm dengan beratnya
cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas darat di RSUD Ulin bulan Mei
– juni 2013, Berkala Kedokteran ,
10(2), 51-63.

17
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DIARE DI


RUANG RAWAT INAP PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT SWASTA TIPE
B DI BALI PERIODE JANUARI-DESEMBER 2018

Fransiska Rosari Dewi1*


1
Peneliti Mandiri / Independent Researcher, Denpasar, Bali-Indonesia

Coresponding Author : dewidee8676@yahoo.co.id

ABSTRAK
Latar Belakang: Resistensi antibiotik saat ini menjadi isu terbesar bagi dunia kesehatan
karena dapat mempengaruhi peningkatan Length of Stay (LOS), peningkatan biaya
pengobatan, dan angka morbiditas dan mortalitas. Penggunaan antibiotik yang kurang tepat
dapat memicu masalah terbesar bagi kesehatan manusia. Salah satu penyakit dengan
penggunaan antibiotik yang tinggi adalah penyakit diare. Diare merupakan salah satu
penyebab terbesar dari kematian balita dan anak di Indonesia. Tujuan : Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui profil kuantitas penggunaan antibiotik serta rasionalitas
penggunaan antibiotik pada pasien pediatrik yang terdiagnosa diare infeksi. Metode :
Penelitian dilakukan di bangsal pediatrik Rumah Sakit Swasta X Bali, dibagi menjadi dua
studi yaitu profil kuantitas penggunaan antibiotik dan rasionalitas penggunaannya secara
restrospektif. Penelitian ini bersifat non-eksperimental dan analisa dilakukan secara deskriptif.
Profil kuantitas penggunaan antibiotik berdasarkan sistem Anatomical Therapeutic Chemical
(ATC) dengan metode pengukuran Defined Daily Dose (DDD) dan satuan DDD/100 hari-
pasien dan rasionalitas penggunaan antibiotik berdasarkan metode Gyessens. Hasil: Hasil
evaluasi didapatkan profil antibiotik ATC DDD/100 hari-pasien terbanyak berturut-turut
adalah ceftriaxone (27,07), cefotaxim (1,18), metronidazole injeksi (1,03). Hasil evaluasi
antibiotik berdasarkan Gyssens yaitu ditemukan kategori IIIB (durasi pemberian singkat)
sebesar 16%, kategori IIA (dosis) sebesar 3%, kategori IVA (alternatif lebih efektif) sebesar
1,5% dan kategori Nol (rasional) sebesar 78%. Pembahasan: Maka dapat dikatakan bahwa
penggunaan antibiotik pada pasien pediatrik yang menderita diare sebagian besar rasional
dengan penggunaan tertinggi yaitu sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone).

Kata kunci : Diare, pasien pediatrik, profil antibiotik, Metode Gyssens

1. PENDAHULUAN 2013, diare merupakan penyakit kedua


Global Surveillance of Antibiotic yang menyebabkan kematian pada anak-
Resistance yang dilakukan oleh World anak balita (bawah lima tahun). Anak-anak
Health Organization (WHO) menunjukkan yang mengalami kekurangan gizi atau
bahwa angka kejadian resistensi antibiotik sistem imun yang kurang baik seperti pada
meningkat tajam selama tahun 2013 orang dengan HIV sangat rentan terserang
hingga 2014 di benua Asia, dengan jumlah penyakit diare.2,28 Data Riset Kesehatan
tertinggi di Asia Tenggara dan terjadi pada Dasar (RISKERDAS) tahun 2013
hampir seluruh golongan antibiotik1. menunjukkan prevalensi diare tertinggi
Peningkatan penggunaan antibiotik karena juga ditemukan pada usia balita sebesar
adanya peningkatan penyakit infeksi yang 6,7%.3 Data tersebut juga diperkuat dengan
disebabkan oleh bakteri. Salah satu data berdasarkan Departemen Kesehatan
penyakit yang disebabkan bakteri adalah 2018 penderita diare Balita secara nasional
diare. Menurut data WHO pada tahun tahun 2017, dengan provinsi tertinggi yaitu

18
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Provinsi Nusa Tenggara Barat (96,94%), menurunkan angka kematian pada bayi dan
Kalimantan Utara (63,43%) dan anak yang mengalami infeksi diare.
Kalimantan Timur (56,91%), Provinsi Bali
34,96% sedangkan provinsi terendah yaitu 2. METODE PENELITIAN
Nusa Tenggara Timur (17,78%), Sumatera 2.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Utara (15,40%) dan Papua Barat (4,06%). Penelitian ini merupakan penelitian
Salah satu terapi diare diare akut yang bersifat non eksperimental dengan
adalah antibiotik namun pemberiannya mengumpulkan data secara retrospektif
harus berdasarkan adanya indikasi seperti yang dianalisis secara deskriptif. Penelitian
diare berdarah yang biasa disebut dengan ini dilakukan di salah satu rumah sakit
disentri (Ikatan Dokter Anak indonesia, swasta tipe B di Bali. Populasi dalam
2009). Pemberian antibiotik berguna pada penelitian ini adalah seluruh data rekam
diare inflamasi dan infeksi yang medik pasien diare anak (0-13 tahun) yang
disebabkan oleh parasit maupun patogen menjalani rawat inap di periode Januari-
yang biasanya ditandai dengan adanya Desember 2018.
darah, leukosit dan yeast cell pada tinja.4,5,6
Tingginya penggunaan antibiotik pada 2.2 Prosedur Penelitian
anak akan berkorelasi dengan resistensi Peneliti sebelumnya mengajukan ijin
antibiotik.1,2,28 Hal ini mengkuatirkan penelitian kepada rumah sakit dan telah
karena organ tubuh anak-anak belum mendapatkan persetujuan dari komite etik
memiliki aktifitas yang optimal sehingga pada salah satu RS X Bali dengan nomor :
jika penggunaan antibiotik yang tidak 172/PT.SIH/MED-SHBL/VIII/2018 pada
rasional akan menyebabkan dampak yang tanggal 2 Agustus 2018. Adapun proses
lebih besar di kemudian hari. Dampak pengumpulan data yaitu dengan
terbesar adalah terjadinya resistensi bakteri menggunakan data sekunder dan bersifat
terhadap antibiotik, yang berdampak pada retrospektif, yaitu data yang diperoleh
morbiditas dan mortalitas.7,8 Dampak lain peneliti dari sumber rekam medis yang
dari pemakaian antibiotik yang tidak tepat sudah ada. Pengambilan sampel
dapat menyebabkan layanan pengobatan menggunakan total sampling, yaitu semua
tidak efektif, biaya perawatan meningkat rekam medik pasien yang memenuhi
dan length of stay yang lebih lama.9,24,28 kriteria inklusi dan eksklusi diambil
Penelitian sebelumnya mengenai sebagai penelitian.
evaluasi penggunaan antibiotik penyakit Kriteria inklusi (1) pasien Anak usia
diare pada pasien anak telah dilakukan 0-13 tahun dengan tegak diagnosa utama
oleh Utami tahun 2012 yang infeksi diare, (2) pasien diare yang
menyimpulkan bahwa ketepatan menjalani rawat inap, (3) penulisan rekam
penggunaan antibiotik dilihat dari tepat medis lengkap. Kriteria eklusi : (1) Pasien
pasien adalah 100%, tepat dosis 20%, dan dengan rekam medis tidak lengkap, (2)
tepat frekuensi pemberian 56%.10 Namun pasien yang dirawat inap di HCU/ICU, (3)
penelitian tersebut tidak meneliti profil pasien anak dengan autoimun dan
antibiotik serta ketepatan indikasi, pengobatan rutin (OAT).
ketepatan obat dan ketepatan durasi
pemberian (Gyssens algoritme).11,12 Oleh 2.3 Metode Analisa
karena itu penelitian ini diadakan agar Analisa data untuk mengetahui profil
mengetahui profil antibiotik dalam penggunaan antibiotik yaitu menggunakan
penalatalaksaan diare secara rasional sistem Anatomical Therapeutic Chemical
sehingga dapat memberikan dampak (ATC) dengan metode pengukuran Defined
positif, antara lain menurunkan kerugian Daily Dose (DDD) dan satuan DDD/100
ekonomi, mengurangi kejadian resistensi hari-pasien dan evaluasi ketepatan
bakteri terhadap antibiotik dan penggunaan antibiotik berdasarkan metode
19
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Gyessens. Penilaian kualitatif inap. Sampel yang memenuhi kriteria


menggunakan beberapa standar yaitu ; inklusi dan eksklusi sebanyak 73 pasien
Pedoman Klinis Rumah sakit tersebut, selama Januari – Desember 2018. Data
Peraturan Menteri Kesehatan 2015, Ikatan tersebut terbagi dalam 2 macam kelompok
Dokter Anak Indonesia (2012) Clinical yaitu yang menggunakan antibiotik
guideline European Society for Pediatric sebanyak 62 pasien dan yang tidak
Gastroenterology, Hepatology, and menggunakan antibiotik sebesar 11 pasien.
Nutrition/European Society for Pediatric
Infectious Diseases 2014. Antibiotics for 3.1 Karakteristik Subyek penelitian
the empirical treatment of acute infectious Penggolongan usia anak yang
diarrhea in children, 2006 ; buku digunakan pada penelitian ini mengacu
Informatorium Obat Nasional Indonesia pada Departemen Kesehatan dimana usia
atau IONI (BPOM RI, 2008) dan BNF for bayi yaitu umur 0-< 1 tahun, balita 0- < 5
Children the Authority on the Selection tahun, anak balita 1-< 5 tahun, anak pra
and Use of Medicines in Children, 2018. sekolah 5 - < 6 tahun, anak remaja 10-18
tahun yang dibagi menjadi pra remaja (10 -
3. HASIL DAN PEMBAHASAN < 13 tahun) dan remaja (13 - < 18 tahun).
Data penelitian ini adalah bagian dari Pada penelitian ini pasien anak yang
populasi yang memenuhi kriteria. Total dirawat inap di bangsal pediatric yaitu
pasien yang terdiagnosa diare infeksi pasien yang tidak lebih dari 13 tahun
sebanyak 381 pasien yang menjalani rawat (ketetapan rumah sakit).

Tabel 1. Karakteristik Pasien Anak Diare di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X Periode
Januari – Desember 2018
No Karakteristik Jumlah Pasien (N=73) Persentase (%)
1 Jenis Kelamin
 Perempuan 30 41%
 Laki-laki 43 59%
2 Usia
 0 - < 1 tahun 20 28%
 1 – < 5 tahun 35 48%
 5 - < 6 tahun 1 1%
 6- < 10 tahun 11 15%
 10 - < 13 tahun 5 7%
1 1%
 13 - < 18 tahun

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisik tubuh cepat mengalami
prevalensi pasien anak diare yang berjenis penurunan termasuk penurunan sistem
kelamin laki-laki lebih banyak (43 pasien) kekebalan tubuh, sehingga lebih beresiko
dibandingkan dengan pasien anak terkena penyakit termasuk diare akut.14
perempuan (30 pasien) yang menjalani Berdasarkan Noerasidet et al, penyakit
rawat inap. Umumnya, diare tidak diare tidak dipengaruhi oleh perbedaan
terpengaruh pada jenis kelamin. Diare pada jenis kelamin, akan tetapi penyakit ini
anak kebanyakan disebabkan oleh sistem lebih oleh sistem kekebalan tubuh, pola
kekebalan tubuh, pola makan, status gizi, makan dan status gizi, serta higienitas
higienitas, dan aktivitas fisik. Risiko diare dan sanitasi lingkungan.15 Akan tetapi
lebih banyak terjadi pada laki-laki pendapat ini bertolak belakang dengan data
dipengaruhi oleh aktivitas.13 Aktifitas fisik yang dilakukan oleh RISKEDAS 2017
yang banyak pada laki-laki dapat membuat yang menyatakan bahwa kejadian diare
20
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

pada balita lebih banyak dibandingkan usia antibiotik ceftriaxone, cefotaxime,


diatas 5 tahun.3,18 metronidazole maupun azitromicin pada
Berdasarkan kelompok usia, pasien diare penelitian ini sesuai dengan IDSA dan
infeksi didominasi oleh balita (1-5 tahun) panduan praktik klinis ilmu penyakit anak
sebanyak 56 pasien dengan perincian usia tahun 2017 di rumah sakit tersebut dan
1 - 5 tahun yang memiliki persentase standar penilaian pada penelitian ini.
terbesar (76,71%) dan diikuti usia >5 - 12 Adanya penggunaan antibiotik amikasin
tahun (21,92%) dan usia > 12-18 tahun maupun chlarithromicin masing-masing
(1,37%). Data ini sesuai Data Riset digunakan secara kombinasi dengan
Kesehatan Dasar (RISKERDAS) tahun antibiotik sefalosporin. Hal ini dikarenakan
2013 menunjukkan prevalensi diare pasien mengalami komplikasi pneumonia.
tertinggi juga ditemukan pada usia balita Antibiotik golongan sefalosporin
sebesar 6,7%.3 generasi 3 yang sering digunakan adalah
sefotaksim dan seftriakson. Sefotaksim
3.2 Karakteristik Antibiotik memiliki aktivitas serupa dengan
Pola peresepan antibiotika pada seftriakson, namun memiliki waktu
penelitian ini meliputi jenis antibiotika dan paruh (t ½ ) yang lebih pendek.16
rute pemberian antibiotika pada pasien Sefotaksim merupakan antibiotik
anak diare di instalasi rawat inap RS X di golongan sefalosporin generasi ketiga
Bali pada bulan Januari-Desember 2018. yang dipilih untuk anak –anak terutama
Antibiotika yang diresepkan pada 62 kasus neonatus daripada seftriakson karena
termasuk penggunaan antibiotika secara sefotaksim tidak mempengaruhi
empiris, karena tidak dilakukan kultur metabolisme bilirubin seperti halnya
bakteri untuk semua kasus, sehingga tidak seftriakson.17
diketahui secara pasti bakteri penyebab Pada kasus diare spesifik, bakteri
diare pada anak. Berdasarkan Permenkes yang paling banyak menginfeksi adalah
RI 2015, penggunaan antibiotika empiris amuba dimana demam, dehidrasi sedang,
berspektrum luas masih dibenarkan pada convulsi merupakan karakteristik yang
keadaan tertentu, selanjutnya dilakukan signifikan yang terjadi pada diare yang
penyesuaian dan evaluasi setelah ada hasil disebabkan amuba.19,20 Terapi
pemeriksaan mikrobiologi dan data penggunaan yang sesuai mengatasi
penunjang lainnya. patogen entamoeba tersebut dengan
Terdapat 5 jenis antibiotika parenteral pemberian metronidazole. Hal ini sejalan
yang diresepkan, dan 3 antibiotik oral. dengan standar WHO 2005,
Antibiotik parenteral yaitu berurut-turut merekomendasikan metronidazole pada
ceftriaxone, cefotaxim, azithromycin, diare karena bakteri amuba. Penggunaan
metronidazole dan amikasin. Antibiotik antibiotik metronidazole dalam penelitian
oral yaitu cefixime, metronidazole dan ini merupakan kombinasi dengan antibiotik
clarithromycin. Jenis antibiotika yang golongan sefalosporin. Berdasarkan
paling banyak diresepkan yaitu antibiotika KEMENKES penggunaan antibiotik
parenteral ceftriaxone (79,9%). Jenis kombinasi diperbolehkan apabila: (1)
antibiotika parenteral yang paling sedikit kombinasi efek sinergis sehingga dapat
diresepkan adalah antibiotika injeksi meningkatkan aktivitas antibiotik pada
amikasin (1,66%); antibiotika per oral infeksi spesifik, (2) Memperlambat
tunggal yaitu cefixime sebanyak 1 kasus dan mengurangi resiko timbulnya
(0,27%), diikuti metronidazole (1,56%), bakteri resistensi, (3) Infeksi disebabkan
dan clarithromycin (4,16%). Penggunaan oleh satu bakteri.8,9,20,21

21
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 2. Profil Kuantitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pediatrik Diare di Rawat Inap
pada RS X Periode Januari-Desember 2018
Golongan Kode Nama generik Total DDD/100 Total Persentase
ATC DDD patient- Penggunaan
day
Sefalosporin J01DD08 Cefixime 1,4 0.66 1,94%
generasi 3 J01DD01 Cefotaxime 2,51 1,18 3,48%
J01DD04 Ceftriaxone 57,67 27,07 79,93%
Macrolida J01FA10 Azithromicin 3,04 1,43 4,21%
J01FA09 parenteral 3 1,41 4,16%
Clarithromicin
oral
Aminoglikosida J01CA01 Amikasin 1,2 0,56 1,66%
Parenteral
Turunan P01AB01 Metronidazol oral 1,125 0,53 1,56%
Imidazol J01XD01 Metronidazol 2,20 1,03 3,05%
Parenteral
TOTAL 72,14 33,87 100%

3.3. Evaluasi Penggunaan Antibiotik terapi antibiotika dari injeksi ke oral adalah
berdasarkan Gyssens. apabila setelah 24-48 jam kondisi klinis
Penelitian ini didapatkan bahwa ada pasien membaik, tidak ada gangguan
66 penilaian antibiotik pada 62 pasien yang fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi,
menggunakan terapi antibiotik. Hal ini gangguan menelan, dan diare berat),
dikarenakan ada 2 pasien yang kesadaran baik, dan tidak demam (suhu >
menggunakan 2 jenis antibiotik selama 360 C dan < 380 C).8,21,22,23
rawat inap. Masalah terbanyak yaitu pada Ketidaktepatan dosis merupakan dosis
kategori IIIB (pemberian antibiotik terlalu yang diberikan terlalu tinggi atau terlalu
singkat) 16%, kategori IIA (pemberian rendah dari dosis yang dianjurkan.
antibiotik tidak tepat dosis) 3%, kategori Pemberian dosis yang terlalu tinggi, akan
IVA(pemilihan alternative antibiotik lebih sangat beresiko timbulnya efek samping
efektif) 1,5% dan kategori Nol (pemberian dan efek toksisitas. Selain itu dapat
antibiotik rasional) sebanyak 78%. menyebabkan timbulnya resistensi
Rasionalitas penggunaan antibiotik antibiotika. Sebaliknya, dosis yang terlalu
memiliki hubungan positif dengan output rendah tidak akan menjamin tercapainya
terapi. Ada banyak faktor yang kadar terapi yang diharapkan, sehingga
menyebabkan resistensi terhadap antibiotik dapat pula menyebabkan bakteri akan
; antara lain dosis, interval, durasi,rute berkembang dan menyebabkan resistensi.
2,21,28
pemberian dan jenis pemilihan antibiotik.
Jika antibiotik diberikan terlalu singkat Kategori rasionalitas penggunaan
maka akan mengakibatkan resiko resistensi antibiotik menurut kategori Gyssens
dikemudian hari. Kriteria penggantian ditunjukkan pada Tabel 3.
.

22
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 3. Hasil Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Diare dengan
Metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap RS X Bali Periode Januari-Desember 2018

KATEGORI

NO ANTIBIOTIK TOTAL
0 1 II II II III III IV IV IV IV V VI
A B C A B A B C D
1 Azithromicin 1 1
injeksi
2 Amikasin 1 1
injeksi
3 Cefixime 2 1 3
syrup
4 Ceftriaxone 41 1 7 49
5 Cefotaxime 3 1 1 5
6 Clarithromicin 1 1
oral
7 Metronidazol 2 2
oral
8 Metronidazol 2 2 4
injeksi

Gambar 1. Hasil Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Diare Infeksi
dengan Metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap Pediatric RS X BAli Periode
Januari-Desember 2018

23
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

3.4 Profil Length of Stay (LOS) LOS lebih kecil pada kelompok pasien
Profil LOS pasien diare infeksi pada yang mendapatkan terapi antibiotika (2,7
studi retrospektif dari bulan Januari- hari) dibandingkan dengan kelompok
Desember 2018 terdiri dari dua kelompok, pasien yang tidak mendapatkan antibiotika
kelompok yang mendapatkan antibiotik (2,9 hari). Profil LOS dapat dilihat pada
dan tidak mendapatkan antibiotik. Nilai Tabel 4.

Tabel 4. Profil Length of Stay (LOS) Penderita Diare Selama Januari – Desember 2018
Kelompok yang Kelompok yang tidak Total LOS
mendapatkan terapi mendapatkan terapi Lama (a dan b)
antibiotik (a) antibiotik (b) Rawat
Total Total LOS Total Total LOS Inap
Pasien Lama Pasien Lama (a dan b)
Rawat Rawat
Inap Inap
62 172 2,7 11 32.5 2,9 204,5 5,6

Nilai LOS pada penelitian ini lebih kecil


dari rata-rata yang ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan RI (6 – 9 hari) dan 4. KESIMPULAN
nilai LOS ini menunjukkan bahwa mutu Profil antibiotik parenteral terbanyak
pelayanan Rumah Sakit A Bali terhadap yang digunakan adalah ceftriaxone 27,07
penyakit diare infeksi sudah baik.24,27,28 DDD/100 hari-pasien, cefotaxime 1,18
Berdasarkan analisis perhitungan DDD/100 hari-pasien dan metronidazole
statistik dengan metode Mann Whitney-U 1,03 DDD/100 hari-pasien. Hasil evaluasi
terhadap length of stay (LOS) pasien yang penggunaan antibiotik menggunakan
menggunakan antibiotik dibandingkan metode Gyssens menunjukkan terdapat
dengan pasien yang tidak menggunakan 78% penggunaan antibiotik rasional (0).
antibiotik didapatkan nilai Probabilitas (P) Hal ini dikarenakan ada pemberian
sebesar 0,684. Hasil ini menunjukan antibiotik terlalu singkat 16% (kategori
bahwa penggunaan antibiotik pada pasien IIIB), 1,5% karena ada antibiotik lain
diare pada anak-anak belum dapat yang lebih efektif (IVA), 3% untuk
dikatakan bahwa antibiotik mempengaruhi dosis antibiotik yang kurang tepat
lama rawat inap pasien tersebut. Hal ini (kategori IIA). Untuk profil lama rawat
dikarenakan persebaran sampel yang inap pasien pediatric yang menderita diare
menggunakan antibiotik dan yang tidak infeksi sebesar 2,7 hari.
menggunakan tidak tersebar merata.
Penggunaan antibiotik secara empiris
jarang diindikasikan pada pasien diare akut 5. UCAPAN TERIMAKASIH
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi Peneliti berterima kasih kepada
sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian seluruh staf pada departemen pediatric,
antibiotik. Antibiotik pada pasien anak rekam medis serta direktur di salah satu
tidak dianjurkan kecuali diindikasikan rumah sakit swasta A di Bali yang telah
pada pasien dengan gejala dan tanda diare
mendukung penelitian ini sehingga
infeksi, seperti demam, feses berdarah,
leukosit pada feses, diiare pada pelancong berjalan lancar.
dan pada pasien
25,26,28
immunocompromised.
24
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

6. DAFTAR PUSTAKA 9. Brahma, Marak, et al. ( 2012).


1. CDC, 2015. Antibiotic / Rational Use of Drug and Irrational
Antimicrobial Resistance | CDC. Drug Combination. The Internet
Center for Disease Control and Journal of Pharmacologi.Vol 10:1
Prevention, pp.0–2. Available at: 10. Utami, W. S. N. (2012). Evaluasi
http://www.cdc.gov/drugresistance/ Penggunaan Antibiotik Untuk
index.html Penyakit Diare pada Pasien Pediatri
2. WHO, 2014. Antimicrobial Rawat Inap di RSUD “X” Tahun
resistance. Bulletin of the World 2011, Skripsi. Fakultas Farmasi
Health Organization, 61(3), Universitas Muhammadiah
pp.383–94.
 Surakarta.
3. Balitbang Kemenkes RI 2013. 11. Gyssens, I.C., 2005, Audits for
Riset Kesehatan Dasar; Monitoring the Quality of
RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Antimicrobial Prescriptions, in
Kemenkes RI. Gould, I.M., Meer, J.W.M. van
4. Amin, L. Z. (2015). Tatalaksana der (Eds.), Antibiotic Policies,
Diare Akut. Continuing Medical Springer US, 197–226.
Education, 42(7), 504–508 12. Gyssens IC, et al, Optimizing
5. Coyle, C. M., Varughese, J., Weiss, Antimicrobial Therapy: A Method
L. M., & Tanowitz, H. B. (2012). for Antimicrobial Drug Use
Blastocystis: To treat or not to Evaluation, J. Antimicr Chemother.
treat.. Clinical Infectious Diseases, 1992; 30 : 724-7. PMID: 1493990
54(1), 105–110. 13. Astaqauliyah, 2010, Keputusan
http://doi.org/10.1093/cid/cir810 Menteri Kesehatan Republik
6. Guarino, A., Ashkenazi, S., Indonesia Nomor :
Gendrel, D., Lo Vecchio, A., 1216/Menkes/SK/XI/2001, Tentang
Shamir, R., Szajewska, H., ... Pedoman Pemberantasan Penyakit
European Society for Pediatric Diare, Edisi kelima, Dinkes Kab.
Infectious Diseases. (2014). Bantul, Yogyakarta.
European Society for Pediatric 14. Pudjiadi, A. H. et al. (2009)
Gastroenterology, Hepatology, and Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Nutrition/European Society for Dokter Anak Indonesia
Pediatric Infectious Diseases 15. Noerasid, H., Suraatmadja, S.,
evidence-based guidelines for the dan Asinil, P.O., 1998,
management of acute Gastroenterology Anak Praktis,
gastroenteritis in children in cetakan keempat, 51-76, Balai
Europe: update 2014. Journal of Penertbit Fakultas Kedokteran UI,
Pediatric Gastroenterology and Jakarta
Nutrition, 59(1). 16. Lacy, C.F., Armstrong, L.L.,
http://doi.org/10.1097/MPG.00000 Lance, L.L., Goldman, M.P.,
00000000375 2011, Drug Information
7. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Handbook with International
Diarrhea. In: Wilson WR, Drew Trade Names Index, Lexi-Comp
WL, Henry NK, et al editors. 17. Reese, R.E., M. D., Betts,
Current Diagnosis and Treatment in R.F., M. D., 1993, Handbook
Infectious Disease. New York: of Antibiotics, 2ndedition, Little
Lange Medical Books, 2003. 225 - Brown & Co, Boston.
68. 18. Kementrian Kesehatan Republik
8. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Indonesia, 2017, Data dan
Modul Penggunaan Obat Rasional. Informasi Profil Kesehatan
25
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Indonesia Tahun 2016, Jakarta : 26. IDAI., 2014. Bagaimana


Pusat Data dan Informasi Menangani Diare Pada Anak.
Kementrian Kesehatan RI. Ikatan Dokter Anak Indonesia
19. Al-Kubaisy, W., Al Naggar, (Online),
R.W., Al-Badre, A., and Osman, http://www.idai.or.id/about-
M.T, 2013, Clinical Presentations idai/keluhan- anak/bagaimana-
and Pathogenic Agents of menangani-diare-pada-anak/
Bloody Diarrhea among Iraqi diakses 8 Desember 2018.
Children, Indian Journal of Applied 27. WHO, 2005, The treatment of
Research volume : 3, diakses 14 diarrhoea: A manual for
November 2018. physicians and other senior
20. WGO, 2012, World health workers, 4-14, WHO Press,
Gastroenterology Organisation Geneva.
practice guidline: Acute diarrhea in 28. Tjaniadi, P., Lesmana, M., Subekti,
adults and children a global D., Machpud, N., Komalarini, S.,
perspective, 2012. Santoso, W., ... Oyofo, B. A.
21. Kementrian Kesehatan Republik (2003). Antimicrobial resistance of
Indonesia, 2011. Pedoman bacterial pathogens associated with
Pelayanan Kefarmasian Untuk diarrheal patients in Indonesia.
Terapi Antibiotik, Jakarta: American Journal of Tropical
Direktoral Jenderal Bina Medicine and Hygiene, 68(6), 666–
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 670
35-36.
22. Iswari Y, 2011, Analisis Faktor
Risiko Kejadian Diare Pada Anak
Usia Dibawah 2 Tahun di RSUD
Koja Jakarta, Tesis, Jakarta :
Universitas Indonesia, Fakultas
Ilmu Keperawatan.
23. Febiana T, 2012, Kajian
Rasionalitas Penggunaan
Antibiotika di Bangsal Anak RSUP
Dr. Kariadi Selama Periode
Agustus – Desember 2011, Skripsi,
Universitas Dipenogoro.
24. Bell, B.G. et al., 2014. A
systematic review and meta-
analysis of the effects of antibiotic
consumption on antibiotic
resistance. BMC infectious
diseases, 14, p.13. Available
at:http://www.pubmedcentral.nih.g
ov/articlerender.fcgi?artid=389798
2&tool=pmcentrez&
rendertype=abstract
25. Peraturan Menteri Kesehatan No.
8 Tahun 2015 Tentang Program
Pengendalian Resistensi
Antimikroba Di Rumah Sakit, 2015,
Jakarta
26
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

KAJIAN EFEK SAMPING OBAT ARV DAN ANTITUBERKULOSIS


PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN HIV/AIDS DAN
TUBERKULOSIS DI RSUD GAMBIRAN KEDIRI

Lelly Winduhani1*, Yuyun Pusposari1, Dani Aditya Kristanto1


1
Instalasi Farmasi RSUD Gambiran Kediri

Email korespondensi : farmasirsg@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang : Di Indonesia jumlah kasus HIV/AIDS sejak tahun 2005 terus mengalami
peningkatan. Pada pasien HIV positif diperlukan terapi ARV terus menerus seumur hidup,
sehingga diperlukan monitoring efek samping dari ARV yang digunakan. Pada pasien HIV
sering terjadi infeksi tuberkulosis dan mendapatkan terapi OAT. Pada penggunaan OAT efek
samping yang perlu diperhatikan adalah toksisitas pada hepar. Pada penggunaan obat ARV
bersamaan dengan obat lain rentan terjadi Interaksi Obat. Sehingga penggunaan ARV yang
disertai dengan OAT diperlukan monitoring munculnya efek samping pada hepar. Tujuan :
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi efek samping yang muncul setelah
penggunaan ARV dan OAT. Metode : Penelitian dilakukan secara observasional retrospektif
terhadap rekam medis pasien rawat inap dengan HIV/AIDS dan TB, yang menerima regimen
terapi ARV dan OAT. Penelitian dilakukan secara cross sectional pada periode 1 Januari
tahun 2017 hingga 31 Mei 2019. Efek samping yang dimonitor adalah toksisitas pada liver
yang ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT berdasarkan hasil laboratorium pada
pasien. Kriteria Inklusi dari penelitian ini adalah semua pasien rawat inap dengan HIV/AIDS
dan Tuberkulosis yang mendapatkan terapi ARV dan OAT. Hasil : Dari hasil pengamatan
didapatkan 49 pasien rawat inap dengan diagnosa HIV/AIDS dan Tuberkulosis, dan 16
diantaranya mendapatkan terapi ARV dan OAT. Dari hasil monitoring didapatkan 8 pasien
yang mendapat ARV dan OAT yang mengalami peningkatan SGOT dan SGPT. Kesimpulan
: Berdasarkan penelitian didapatkan kesimpulan bahwa efek samping toksisitas hepar yang
ditandai peningkatan SGOT dan SGPT terjadi pada pasien yang menggunakan ARV dan
OAT. Diperlukan kolaborasi antar profesi kesehatan dalam memonitor efek samping pada
pemberian ARV dan OAT secara bersamaan. Sehingga dapat dilakukan identifikasi dan
penatalaksanaan dari efek samping yang terjadi.

Kata Kunci : HIV/AIDS, ARV, OAT, Efek Samping, Hepatoksisitas

1. LATAR BELAKANG Infeksi oportunistik yang sering terjadi


HIV menyerang sel dari sistem adalah Tuberkulosis.
imun, sehingga daya tahan tubuh melemah HIV telah berlanjut menjadi isu
dan pasien yang terinfeksi HIV lebih kesehatan global, telah dilaporkan bahwa
mudah terkena infeksi. Virus ini 25 juta jiwa meninggal selama tiga dekade
menyerang sel CD4⁺ T yang memiliki ini. Dilaporkan WHO, kurang lebih 35.3
reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, juta manusia di dunia terinfeksi HIV pada
makrofag dan jenis sel lain. Ketika daya tahun 2012. Sejumlah 1.7 juta manusia di
tahan tubuh melemah maka akan semakin dunia meninggal karena AIDS. Menurut
mudah tubuh terserang penyakit, sehingga WHO sebanyak 0.8 % populasi manusia
memunculkan infeksi oportunistik.1-4 pada usia 15-49 terinfeksi HIV. Di
Indonesia data menunjukan peningkatan

27
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

jumlah kasus HIV dari tahun ke tahun. MDR1, breast cancer resistance protein
Jumlah kumulatif kasus HIV yang [BCRP], dan multidrug resistance protein 2
dilaporkan mulai tahun 2005 sampai [MRP2] di usus dan hati) dan dapat
dengan 2012 sebanyak 98.390 kasus. menunjukan perubahan absorsi, distribusi,
Sedangkan kasus AIDS juga mengalami atau ekskresi ketika digunakan bersama
peningkatan. Jumlah kumulatif kasus dengan obat yang mempengaruhi protein
AIDS dari tahun 2005 sampai dengan tersebut.8 Mungkin interaksi
tahun 2012 sebanyak 42.887.7 farmakokinetik yang paling penting
HIV dapat ditekan dengan terapi disebabkan oleh metabolism agen NNRTI
antiretroviral (ARV). Penggunaan terapi (nevirapine, dan efavirenz) oleh enzim
tiga kombinasi antiretroviral menurunkan CYP450, khususnya isoform 3A4. Karena
angka morbiditas dan mortalitas karena banyak dari obat tersebut merupakan
HIV. Pada pemakaian ARV kemungkinan penginduksi, penghambat, atau substrat
terdapat problem terkait penggunaan obat untuk isoform 3A4.6
baik yang aktual terjadi maupun potensial Pada pasien HIV rentan terjadi
terjadi. Problem ini misalnya interaksi obat infeksi oportunistik, seperti tuberculosis.
dan efek samping.3 Pada pasien HIV dan tuberkulosis selain
ARV golongan NRTI seperti mendapat terapi ARV juga mendapat
Zidovudine Stavudine Lamivudine OAT. Telah diketahui bahwa drug induce
Tenofovir bekerja melalui inhibisi liver injury dapat disebabkan oleh terapi
kompetitif reverse transcriptase HIV-1 OAT dan ARV. OAT lini pertama yang
dan juga tergabung dengan rantai DNA menyebabkan hepatotoksisitas adalah
virus yang sedang bertumbuh untuk isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamid.5
menyebabkan terminasinya.4 ARV NNRTI Mekanisme hepatotoksisitas adalah
seperti Nevirapine, dan efavirenz bekerja akibat dari toksisitas langsung dari primary
dengan menginduksi perubahan compound, metabolit atau dari respon
konformasi pada struktur 3 dimensi dari imunologi yang menyebabkan hepatosit,
enzim sehingga dapat mengurangi sel epitel bilier dan vasculature liver.
aktivitasnya dalam jumlah besar.4 Rifampicin secara bergantung-dosis dapat
Penggunaan NNRTI perlu dibatasi karena menggangu re-uptake bilirubin,
metabolismenya oleh CYP450 yang menyebabkan hiperbilirubinemia
menimbulkan potensi interaksi antarobat. unconjugated atau jaundice tanpa
Semua agen NNRTI merupakan substrat kerusakan hepatocelular. Pirazinamid
CYP3A4 dan dapat berpotensi sebagai secara bergantung dosis dan idiosinkrasi
penginduksi, penghambat, atau campuran dapat menyebabkan hepatotoksisitas.
pengiduksi-penghambat. Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan
Antiretroviral cenderung hepar pada beberapa kasus. Isoniazid
berinteraksi dengan obat-obatan dan dimetabolisme di liver utamanya
makanan yang menyebabkan konsentrasi diasetiliasi oleh N-acetyltransferase,
subterapetik dan supraterapetik. Interaksi mono-acetyl hydrazineadalah metabolit
obat biasa terjadi karena efek metabolism utama, metabolit yang reaktif ini
terhadap cytochrome P450 (CYP450) dan kemungkinan toksik untuk jaringan hepar
enzim uridine diphosphate melalui pembentukan radikal besar.
glucoronsyltransferase (UGT) dan transpor Hepatotoksisitas isoniazid dapat terjadi
oleh membrane protein (p-glycoprotein, dalam waktu minggu hingga bulan.
organic anion-transporting polypeptide).8 Hepatotoksisitas karena terapi ARV
Banyak dari ARV yang merupakan kemungkinan dapat disebabkan oleh
substrat dari protein transpor (organic restorasi imun dan perkembangan
anion-transporting polypeptide [OATP], kerusakan liver yang berhubungan dengan
organic cation protein 1 [OCT1] di hati, respon imun pada TB. Penggunaan ARV
28
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

golongan NRTI berhubungan dengan diagnosis HIV/AIDS dan TB, namun


toksisitas mitokondria pada sel hepar dan didapatkan total sampel 16 pasien yang
steatosis hepar. Sedangkan pada memenuhi kriteria inklusi yaitu : 1) pasien
penggunaan ARV golongan NNRTI juga rawat inap dengan diagnosa HIV/AIDS
berhubungan dengan hepatotoksisitas. dan TB. 2) Pasien telah mendapat terapi
Pada penggunaan efavirenz dilaporkan ARV dan OAT. Pasien yang terdapat
juga dapat menimbulkan hepatotoksisitas infeksi hepatitis dieksklusi. Efek samping
namun melalui mekanisme yang berbeda.5 yang diamati adalah efek samping yang
didasarkan atas bukti pemeriksaan obyektif
2. METODE yaitu hepatotoksik melalui hasil
Monitoring efek samping dilakukan laboratorium fungsi liver, yaitu nilai
dengan cara observasi retrospektif pada SGOT/SGPT. Analisa efek samping
rekam medis pasien rawat inap dengan dilakukan dengan algoritma Naranjo.
diagnosis HIV dan TB yang telah
menggunakan ARV dan OAT. Penelitian 3. HASIL
ini dilakukan secara cross sectional pada Pasien mendapat terapi ARV dan
periode 1 Januari tahun 2017 hingga 31 OAT. Regimen terapi ARV terdapat pada
Mei tahun 2019. Didapatkan 49 pasien tabel 1. Regimen terapi OAT terdapat pada
selama periode 1 Januari tahun 2017 tabel 2.
hingga 31 Mei tahun 2019 dengan

Tabel 1. Regimen terapi ARV


Regimen ARV Jumlah Sampel
Tenofovir (300mg) + Lamivudin (150mg) + Efavirenz (600mg) 13
Zidovudin (300mg) + Lamivudin (150mg) + Efavirenz (600mg) 2
Efavirenz (600mg) 1

Tabel 2. Regimen terapi OAT


Regimen OAT Jumlah Sampel
rifampicin 150 + INH 75 + Pyrazinamide 400 + ethambutol 275 2
rifampicin 450 + INH 300 + Pyrazinamide 500 + etambutol 250 10
INH 300 1
Rifampicin 600 mg 2
INH + Rifampicin 600 mg 1

Terdapat 8 pasien yang mengalami Efavirenz (600mg) dan rifampicin 450mg


peningkatan nilai SGOT/SGPT dari total + INH 300mg + Pyrazinamide 500mg +
16 sampel. Pada tabel 4 dapat dilihat etambutol 250mg dan 1 pasien yang
penggunaan regimen ARV dan OAT dan mengalami peningkatan nilai SGOT dan
nilai peningkatan SGOT/SGPT dari nilai SGPT. Ada 2 pasien yang mendapat
rujukan laboratorium di RS Gambiran. Tenofovir (300mg) + Lamivudin (150mg)
Dari tabel 3 dan 4 dapat dilihat bahwa + Efavirenz (600mg) dan Rifampicin 600
terdapat 8 pasien yang mendapat terapi mg dan semuanya mengalami peningkatan
Tenofovir (300mg) + Lamivudin (150mg) nilai SGOT dan SGPT.
+ Efavirenz (600mg) dan rifampicin 450 +
INH 300 + Pyrazinamide 500 + etambutol
250 dan 3 pasien yang mengalami
peningkatan nilai SGOT dan SGPT. Ada 2
pasien yang mendapat terapi Zidovudin
(300mg) + Lamivudin (150mg) +
29
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 3. Hasil pemantauan peningkatan SGOT dan SGPT


NILAI SGOT NILAI SGPT
NO REGIMEN ARV REGIMEN OAT
SGOT rujukan SGPT Rujukan
Tenofovir + rifampicin 150 + INH
1 Lamivudin + 75 + Pyrazinamide 13 15-37 15 12-41
Efavirenz 400 + ethambutol 275
2 Efavirenz INH 300 45 15-37 43 12-41
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
3 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 21 15-37 26 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
4 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 158 15-37 143 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Zidovudin + rifampicin 450 + INH
5 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 74 15-37 42 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir +
6 Lamivudin + Rifampicin 600 mg 90 15-37 45 12-41
Efavirenz
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
7 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 107 15-37 87 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
8 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 29 15-37 33 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
9 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 20 15-37 13 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir +
INH + Rifampicin
10 Lamivudin + 58 15-37 51 12-41
600 mg
Efavirenz
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
11 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 22 15-37 13 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir + rifampicin 150 + INH
12 Lamivudin + 75 + Pyrazinamide 17 15-37 13 12-41
Efavirenz 400 + ethambutol 275
Zidovudin + rifampicin 450 + INH
13 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 13 15-37 14 12-41
efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
14 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 24 15-37 38 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250
Tenofovir +
15 Lamivudin + rifampicin 600 43 15-37 52 12-41
Efavirenz
Tenofovir + rifampicin 450 + INH
16 Lamivudin + 300 + Pyrazinamide 41 15-37 51 12-41
Efavirenz 500 + etambutol 250

30
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 4. Regimen terapi ARV dan OAT dan peningkatan nilai SGOT/SGPT
Regimen ARV dan OAT SGOT/SGPT diatas nilai rujukan
Tenofovir (300mg) + Lamivudin (150mg) + Efavirenz 3
(600mg) dan
rifampicin 450 + INH 300 + Pyrazinamide 500 +
etambutol 250
Zidovudin (300mg) + Lamivudin (150mg) + Efavirenz 1
(600mg) dan rifampicin 450mg + INH 300mg +
Pyrazinamide 500mg + etambutol 250mg
Efavirenz (600mg) dan INH 300mg 1
Tenofovir (300mg) + Lamivudin (150mg) + Efavirenz 2
(600mg) dan Rifampicin 600 mg
Tenofovir (300mg) + Lamivudin (150mg) + Efavirenz 1
(600mg) dan
INH 300 + Rifampicin 600 mg

Ada 2 pasien yang mendapat Tenofovir menggunakan 10 poin penilaian (laporan


(300mg) + Lamivudin (150mg) + ESO sebelumnya, hubungan waktu dengan
Efavirenz (600mg) dan rifampicin 150 + kejadian, withdrawal, rechallenge,
INH 75 + Pyrazinamide 400 + etambutol alternatif penyebab lainya, plasebo, kadar
275 namun dan tidak ada yang mengalami obat dalam darah, dosis)
peningkatan SGOT dan SGPT. Ada 1 Dalam pemantauan ini dilakukan
pasien yang mendapat terapi Tenofovir penilaian efek samping menggunakan
(300mg) + Lamivudin (150mg) + analisa naranjo, dan didapatkan 8 sampel
Efavirenz (600mg) dan INH 300 + dengan kategori propable yang mengalami
Rifampicin 600 mg dan mengalami peningkatan nilai SGOT dan SGPT akibat
peningkatan nilai SGOT dan SGPT. Ada 1 dari pemberian terapi ARV dan OAT.
pasien yang mendapatkan terapi Efavirenz Ada 2 sampel yang mengalami
(600mg) dan INH 300mg dan mengalami hepatotoksik grade 2 (peningkatan
peningkatan nilai SGOT dan SGPT SGOT/SGPT >3x batas atas normal). Yaitu
pasien nomor 4 dan 7. Pada sampel nomor
4. PEMBAHASAN 4 terjadi peningkatan nilai SGOT hingga
Dari hasil pemantauan didapatkan 8 158 uL dengan nilai rujukan 15-37 uL,
pasien yang mengalami peningkatan nilai sedangkan SGPT hingga 143 uL dari nilai
SGOT SGPT dari total 8 sampel. normal 12-41 uL. Sampel nomor 4
Peningkatan SGOT dan SGPT adalah salah mendapatkan terapi Tenofovir (300mg) +
satu tanda terjadinya hepatotoksisitas, Lamivudin (150mg) + Efavirenz (600mg)
selain munculnya jaundice dan dan rifampicin 450mg + INH 300mg +
hiperbilirubinemia. Dari pengamatan ini Pyrazinamide 500mg + etambutol 250mg.
yang dapat dipantau hanya peningkatan pada sampel nomor 7 terjadi peningkatan
nilai SGOT dan SGPT. Dari hasil nilai SGOT hingga 107 uL dengan nilai
pengamatan dapat dilihat hanya terjadi rujukan 15-37 uL, sedangkan SGPT hingga
peningkatan nilai SGOT dan SGPT yang 87 uL dari nilai normal 12-41 uL. Pada
tidak terlalu tinggi. sampel nomor 7 mendapat terapi Tenofovir
Terdapat beberapa metode yang (300mg) + Lamivudin (150mg) +
dapat digunakan untuk melihat hubungan Efavirenz (600mg) dan rifampicin 450 +
kasualitas antara efek samping dengan INH 300 + Pyrazinamide 500 + etambutol
terapi yang diterima. Algoritma naranjo 250.
merupakan metode paling sering Dilaporkan bahwa penggunaan ARV
digunakan. Algoritma naranjo golongan NRTI (zidovudin, dan
31
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

lamivudin) seperti yang diberikan pada ini seperti yang ditunjukan dari hasil
pasien nomor 4 dan 7 dapat menyebabkan pengamatan bahwa 2 pasien yang
toksisitas pada mitokondria sel hepar, dan mendapat terapi OAT dengan dosis yang
ARV NNRTI (efavirenz) juga lebih rendah tidak mengalami peningkatan
berhubungan dengan hepatotoksisitas, SGOT dan SGPT.
sedangkan penggunaan OAT seperti
rifampicin, pirazinamid dan isoniazid juga 5. KESIMPULAN
dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Berdasarkan hasil pemantauan pada
Beberapa mekanisme pasien HIV dan TB setelah pemberian
diduga berperan dalam efek hepatotoksik terapi ARV dan OAT didapatkan
dari pirazinamid seperti peran peningkatan nilai SGOT dan SGPT yang
Mitochondrial Permeability Transition ringan, namun ada 2 sampel yang nilai
(MPT) dalam hepatotoksisitas serta stress SGOT dan SGPT meningkat drastis.
oksidatif telah diteliti Peningkatan SGOT dan SGPT merupakan
sebagai faktor penting dalam patogenisitas salah satu tanda hepatotoksisitas.
hepatotoksisitas (Chhabra, 2012). Terjadinya hepatotoksisitas pada pasien
Pirazinamid menunjukkan hepatotoksisitas merupak hal yang perlu diwaspadai oleh
yang tergantung dosis dan genetik. tenaga kesehatan, sehingga diperlukan
Pirazinamid mengubah kadar nicotinamide kerja sama antar profesi kesehatan dalam
acetyl dehidrogenase yang menyebabkan memonitor efek samping pada pemberian
pembentukan spesies radikal bebas yang ARV dan OAT secara bersamaan.
bisa mengaktifkan jalur apoptosis.2 Sehingga dapat dilakukan identifikasi dan
Sehingga penggunaan terapi ARV penatalaksanaan dari efek samping yang
dan OAT yang sama sama memiliki efek terjadi.
samping pada hepar yang diberikan
bersamaan dapat semakin meningkatkan 6. DAFTAR PUSTAKA
efek samping pada hepar. 1. Baratawidjaja, K. G., & Rengganis,
ARV golongan NNRTI seperti I. (2010). Imunologi Dasar. Edisi
efavirenz, merupakan CYP3A4 sehingga ke-9. Jakarta: Fakultas Kedokteran
berpotensi berinteraksi dengan obat lain Universitas Indonesia.
yang di metabolisme oleh CYP3A4, seperti 2. Chhabra, N. e. (2012).
isoniazid. Efavirenz menghambat Pharmacotherapy for multidrug
metabolisme isoniazid, sehingga kadar resistent tuberculosis. Journal of
isoniazid dalam darah meningkat karena Pharmacology and
metabolismenya tertunda, akibatnya akan Pharmacotherapeutics Volume 3,
meningkatkan efek sampingnya salah 98-104.
satunya pada hepar. 3. Eluwa, G. I., Badru, T., &
Pada 2 pasien yang mendapatkan Akpoigbe, K. J. (2012). Eluwa,
terapi Tenofovir (300mg) + Lamivudin George I., Badru, Titilope.Adverse
(150mg) + Efavirenz (600mg) rifampicin drug reactions to antiretroviral
150 + INH 75 + Pyrazinamide 400 + therapy (ARVs): incidence, type,
ethambutol 275 tidak mengalami and risk factors in Nigeria. Eluwa,
peningkatan nilai SGOT dan SGPT dari George I., Badru, Titilope.,
nilai rujukan. Hal ini kemungkinan terkait Akpoigbe, Kesiena J., 2012.
dosis pemberian OAT yang lebih rendah Adverse drug reactions to
dibandingkan dengan dosis pemberian antiretroviBMC Clinical
OAT pada sampel yang lain. Telah Pharmacology, Eluwa, George I.,
diketahui bahwa sifat hepatotoksisitas obat Badru, Titilope., Akpoigbe,
anti tuberkulosis seperti rifampicin dan Kesiena J., 2012. Adverse drug
pirazinamid adalah bergantung dosis. Hal reactions to antiretro12:7.
32
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

4. Flexner, C. (2006). Antiretroviral


agents and and treatment for HIV
infection. Dalam L. L. Brunton,
Goodman & Gillman’s the
Pharmacology Basis of
Therapeutic, Ed.11th. New York:
The McGraw-HillCompanies, Inc.
5. Jong, E., Conradie, F., Berhanu, R.,
Black, A., M, J., & Meintjes, G.
(2014). Consensus Statement:
Management of drug-induced liver
injury in HIV-positive patients
treated for TB. HIV Med, 113-119.
6. Jose, R. J., Marshall, N., &
Lipman, C. M. (2012). Important
antiretroviral drug interactions with
benzodiazepine used for sedation
during bronchoscopy. Chest.
7. KEMENKES. (2013). Profil
Kesehatan Indonesia. JAKARTA:
Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
8. Rathbun, R. C., & Liedtke Michelle
D. (2011). Antiretroviral Drug
Interactions: Overview of
Interactions Involving New and
Investigational Agents and the Role
of Therapeutic Drug Monitoring for
Managemen. Pharmaceutic, 745-
781.

33
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM MENJAMIN


MEDICATION SAFETY
Gunawan Widjaja1*
1
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Grogol, Jakarta

Corresponding Author : widjaja_gunawan@yahoo.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Medication safety adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah
terjadinya medication error, yang jika terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi pasien.
Medication safety senantiasa dihubungkan dengan kegiatan pelayanan kefarmasian yang
dilakukan oleh apoteker yang bekerja di puskesmas, rumah sakit maupun di apotek. Untuk
mencegah terjadinya medication error, apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian
diwajibkan untuk memastikan terlaksananya 4T dan 1W yang selanjutnya berkembang
menjadi 8T dan 1W. Tujuan: Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan bahwa
medication safety bukan hanya tanggung jawab apoteker yang bekerja di pelayanan
kefarmasian saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab dari apoteker yang bekerja di
industri dan distribusi obat. Metode: Penelitian ini adalah penelitian yang mempergunakan
metode deskrisptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Data yang dipergunakan adalah data
sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari hasil penelusuran literatur dalam rangka
memperoleh pemahaman utuh tentang medication safety, medication error dan peran apoteker
dalam pengertian yang luas. Dikatakan deskriptif karena penelitian ini menguraikan tentang
makna medication safety dan medication error; dan selanjutnya diikuti dengan analisis untuk
menjelaskan kaitannya dengan peran dan tanggung jawab apoteker untuk menciptakan
medication safety. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai medication
safety tidak hanya memerlukan kegiatan pelayanan kefarmasian yang serba tepat dan
waspada. Upaya medication safety sudah dimulai sejak proses pengadaan bahan baku yang
tepat serta pelaksanaan produksi yang juga tepat, penyimpanan dan proses pendistribusian
yang tepat hingga sampai pada tempat yang tepat di mana apoteker pada pelayanan
kefarmasian memulai kegiatannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan tentang pelayanan kefarmasian, baik di puskesmas, rumah sakit maupun
apotek. Kesimpulan: Pada prinsipnya apoteker bertanggung jawab penuh untuk menciptakan
dan menjamin medication safety bagi pasien, walaupun apoteker tersebut tidak melakukan
pelayanan kefarmasian yang berhubungan langsung dengan pasien.

Kata Kunci: medication safety, medication error, pelayanan kefarmasian, pekerjaan


kefarmasian.

1. LATAR BELAKANG pasien. Semua hal terjadi yang merugikan,


Sulit untuk menemukan pengertian termasuk membuat pasien menderita
atau definisi resmi tentang medication sebagai akibat dari pengobatan yang
safety (keselamatan pengobatan). Namun dijalani olehnya selalu dikatakan sebagai
demikian medication safety selalu medication error.
dikaitkan dengan berbagai macam upaya Dalam konteks yang demikian,
yang dilaksanakan untuk mencegah termasuk dalam pembelajaran kurikulum
terjadinya medication error, yang jika di Fakultas (Program Studi) Farmasi,
terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi pendidikan dan pengetahuan tentang
34
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

medication safety dan/ atau medication apoteker dalam menjamin medication


error senantiasa dihubungkan dengan safety.
kegiatan pelayanan kefarmasian yang Data dalam penelitian ini adalah data
dilakukan oleh apoteker yang bekerja di sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
puskesmas, rumah sakit maupun di apotek. hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data
Bahkan dalam pelajaran farmasi klinik dan diperoleh melalui proses penelusuran
pelayanan kefarmasian seringkali diajarkan literatur dengan menggunakan mesin
bahwa mencegah terjadinya medication “google search” dengan kata kunci
error, apoteker dalam melakukan “medication safety”, “medication error”
pelayanan kefarmasian diwajibkan untuk yang dikaitkan dengan “WHO”. Hasil yang
memastikan terlaksananya 4T (empat tepat diperoleh disaring secara berjenjang
yang terdiri dari tepat indikasi, tepat dengan melihat relevansinya pada
pasien, tepat obat dan tepat dosis) dan 1W permasalahan yang dikaji, dengan
(yaitu waspada efek samping obat). melakukan triangulasi terhadap data,
Konesp 4T dan 1 W tersebut selanjutnya konten dan sumber sacara bersamaan
berkembang menjadi 8T (tepat diagnosis, untuk memperoleh data yang paling dapat
tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat dipercaya.
pasien, tepat efektif, aman, mutu, harga
dan ketersediaan, tepat tindak lanjut dan 3. HASIL
tepat penyerahan) dan 1W yang Aronson mencoba untuk memberikan
merupakan bagian dari pemberian obat difinisi dan klasifikasi medication errors.
yang rasional.1 Dalam tulisannya tersebut, Aronson
Fakta tersebut diatas menunjukkan menyebutkan pengertian medication
seolah-olah medication safety hanya sebagai objek dan sebagai proses. Sebagai
menjadi tanggung jawab apoteker klinis objek, menurut Aronson medication tidak
yang bekerja di rumah sakit atau jauh berbeda dari produk yang
puskesmas, dan apoteker farmasi mengandung senyawa yang terbukti
komunitas yang bekerja di apotek. memberikan efek biologis ditambah
Dari fakta di atas, penelitian ini dengan zat tambahan lainnya. Aronson
dilakukan dengan tujuan untuk tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian
menunjukkan bahwa setiap apoteker medication sebagai proses. Dalam uraian
bertanggung jawab untuk menjamin lebih lanjutnya, medication error diartikan
terciptanya medication safety, termasuk olehnya sebagai kegagalan dalam proses
mereka yang bekerja pada industri dan pengobatan yang dapat mengarah pada
distribusi obat; dan bahwa medication atau memiliki potensi untuk melukai/
safety bukan hanya menjadi tanggung merugikan pasien2. Sedangkan Institute of
jawab apoteker yang bekerja di pelayanan Medicine sebelumnya telah menjelaskan
kefarmasian saja. bahwa yang dinamakan dengan medication
error itu adalah setiap error yang terjadi
2. METODE PENELITIAN selama proses penggunaan obat3.
Penelitian ini adalah penelitian yang Hal yang disampaikan oleh Aronson
menggunakan metode penelitian kualitatif tersebut mengingatkan tentang prinsip
dengan pendekatan deskriptif analitis. pengobatan yang semula berfokus pada
Dikatakan deskriptif karena penelitian ini obat (objek) menjadi berfokus pada pasien
bertujuan untuk menjelaskan terlebih (patient oriented) yang berujung pada
dahulu makna medication safety dalam keselamatan pasien (patient safety)
hubungannya dengan medication error. (proses). Dalam konteks yang
Selanjutnya dilakukanlah analisis untuk demikian,berarti medication bukan hanya
mencari tahu peran dan tanggung jawab bermula pada saat obat diresepkan oleh
dokter, namun sudah dimulai dari sejak
35
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

obat itu diproduksi, bahkan sejak suatu understanding, right questions being
senyawa obat ditemukan dan dinyatakan asked, right advice dan right response or
layak untuk dikonsumsi oleh manusia yang outcome5.
diharapkan dapat memberikan efek Bahwa medication error banyak
menyembuhkan suatu penyakit tertentu terjadi pada proses administrasi juga telah
dengan dosis yang tepat. dijelaskan oleh Committee on Patient
National Coordinating Council for Safety and Quality Infprovement The
Mediation Error Reporting and Prevention American College of Obstetricians and
(NCCMERP) mengartikan medication Gynecologies. Dalam temuannya tersebut
error sebagai setiap kejadian yang dapat Committe juga telah menjelaskan bahwa
dicegah yang dapat menyebabkan atau keberadaan obat baru dengan penamaan,
mengarah kepada penggunaan obat yang pengemasan, pelabelan yang menimbulkan
tidak benar atau menimbulkan kerugian persamaan juga menjadi masalah baru
kepada pasien pada saat pengobatan berada dalam medication error6. Untuk itu, WHO
di bawah pengawasan profesional pemberi dalam salah satu terbitannya mengatakan
layanan kesehatan, pasien, atau konsumen. bahwa setiap negara wajib memiliki
Kejadian tersebut dapat dihubungkan kebijakan obat nasional. Kebijakan obat
kepada praktik profesi, produk kesehatan, tersebut meliputi tiga hal, yaitu akses, yang
prosedur, dan sistem, termasuk peresepan, memungkinan seiap orang memperoleh
penyampaian komunikasi, pelabelan pengobatan yang tidak dipengaruhi oleh
produk, pengemasan, dan nomenklatur, ketersediaan dan kemampuannya; kualitas
peracikan, penyerahan, distribusi, yang meliputi juga keamanan/ keselamatan
administrasi, pendidikan, monitoring dan penggunaan dan kemanjuran obat; serta
penggunaan4. Dalam “The Ten ‘R’s of Safe penggunaan obat yang rasional termasuk
Multidiciplinary Drug Administration”, promosi dan cost effective penggunaan
Edwards dan Axe menyatakan bahwa salah obat7. Hal tersebut telah dituangkan dalam
satu masalah utama dalam medication Keputusan Menteri Kesehatan Republik
error adalah kesalahan dalam administrasi. Indonesia No.189/Menkes/SK/III/2006
Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tentang Kebijakan Obat Nasional
kesalahan dalam administrasi (KONAS). Dalam isi KONAS yang
diperkenalkanlah “five ‘R’s of drug menjadi lampiran Keputusan tersebut
administration” yang terdiri dari right dikatakan bahwa tujuan KONAS adalah
patient, right drug, right dosage, right time menjamin:
dan right route. Edwards dan Axe 1. Ketersediaan, pemerataan, dan
selanjutnya menghubungkan keterkaitan keterjangkauan obat, terutama obat
antara medication error yang terjadi esensial.
selama proses pembuatan dan penamaan 2. Keamanan, khasiat dan mutu semua
obat, pengemasan, peresepan dan obat yang beredar serta melindungi
penjelasan, penyimpanan dan penyiapan, masyarakat dari penggunaan yang
penyerahan, dan administrasi, dosis, salah dan penyalahgunaan obat.
jangka waktu pemberian, pemberian 3. Penggunaan obat yang rasional.
informasi obat, monitoring hasil dan reaksi Dalam terbitan selanjutnya WHO
dengan 5 R. Dalam penilaiannya ke 5 R menganjurkan pengaturan obat yang
tersebut tidak cukup mencakup masalah efektif di tiap-tiap negara untuk
medication error seluruhnya. Terkait memastikan keselamatan, kemanjuran dan
dengan hal tersebut maka untuk kualitas obat. Pengaturan tersebut
meningkatkan keamanan/ keselamatan diperlukan dalam rangka kegiatan yang
penggunaan obat dan mengurangi error, dimulai dari pembuatan, impor, ekspor,
maka ditambahkanlah 5 R yang lain, yaitu distribusi, promosi dan pengiklanan obat,
right to refuse, right knowledge and termasuk larangan terkait dengan obat
36
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

palsu; akses terhadap keselamatan, ketentuan pharmacovigilance yang diatur


kemanjuran, dan kualitas obat, pengawasan dalam Peraturan Kepala BPOM
terhadap pabrik, importir, perdagangan dan No.HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011
penyerahan obat, pengawasan dan tentang Penerapan Farmakovigilans bagi
monitoring kualitas obat yang beredar di Industri Farmasi.
pasaran, pengawasan promosi dan Apoteker yang melaksanakan clinical
pengiklanan obat, monitoring adverse trial, proses pembuatan obat yang bauk
reactions obat; dan pemberian informasi (sesuai CPOB), proses pendistribusian obat
independen kepada profesi kesehatan dan yang baik (sesuai CDOB), penyimpanan,
publik.6-8 WHO selanjutnya, untuk penyerahannya pada institusi pelayanan
memastikan bahwa obat yang sudah kefarmasian juga bertanggung jawab agar
beredar tetap aman dipergunakan, maka obat yang sampai pada institusi pelayanan
diperlukanlah tindakan kefarmasian tersebut memenuhi ketentuan
9
pharmacovigilance. Hal tersebut obat yang layak untuk dikonsumsi pasien.
menunjukkan bahwa kegiatan untuk Dengan demikian berarti pola pemberian
menciptakan medication safety jelas obat yang rasional yang meliputi
merupakan suatu proses yang tidak akan setidaknya tepat obat, termasuk tepat dosis
berhenti di satu titik, namun merupakan dan belum daluwarsa akan tetap terpenuhi.
satu rangkaian kegiatan yang jika sudah Selain itu apoteker yang melakukan
dimulai akan selalu berakhir pada fungsi pengawasan, seperti halnya fungsi
keselamatan pasien. pengendalian mutu pada pembuatan obat
(internal), maupun pengawasan oleh
4. PEMBAHASAN instansi pemerintah maupun non
Uraian dan tersebut diatas pemerintah juga memegang peranan
menunjukkan bahwa proses “penciptaan” penting agar obat yang masuk ke pasaran
medication safety adalah suatu proses yang bukanlah obat yang salah, obat palsu atau
panjang, mulai dari sejak suatu senyawa dipalsukan, obat hasil bajakan, atau obat
dinyatakan layak untuk dijadikan sebagai yang tidak lagi berkhasiat, termasuk
“obat”, proses produksi, pemasaran, kegiatan ekpor impor dan distribusinya.
pendistribusian, peresepan hingga sampai Dengan memastikan bahwa masing-
penyerahan dan dikonsumsi oleh pasien, masing apoteker melaksanakan fungsi
serta pengawasannya bahkan setelah obat pengawasannya dengan baik, maka
dikonsumsi pasien selama obat tersebut kepastian pola pemberian obat yang
masih berada di pasaran rasional juga terpenuhi dengan memastikan
(pharmacovigilance). Setiap kegiatan bahwa obat yang sampai ke pasien adalah
tersebut di atas memerlukan peran obat yang tepat, nama, dosis, harga dan
apoteker, termasuk dalam proses semua pelabelan dan kemasan yang tepat.
tahapan clinical trial hingga
pharmacovigilance. Peran apoteker klinis 5. KESIMPULAN
dan pelayanan kefarmasian, yang dimulai Medication safety adalah tanggung
dari pengadaan hingga pemusnahan dan jawab semua apoteker, baik yang secara
pelayanan klinis yang diatur dalam tiga langsung berhubungan dengan pasien pada
Peraturan Menteri Kesehatan tentang farmasi klinik dan yang bekerja pada
Pelayanan Kefarmasian (Permenkes No.72 pelayanan kefarmasian mulai dari
Tahun 2016 di rumah sakit, Permenkes pengadaan hingga pemusnahan di klinis,
No.73 Tahun 2016 di apotek dan peresepan hingga penggunaan obat oleh
Permenkes No.74 Tahun 2016 di pasien, maupun apoteker yang secara tidak
puskesmas) dengan variasinya adalah langsung berhubungan dengan pasien.
bagian dari upaya untuk menciptakan Termasuk dalam apoteker yang disebutkan
medication safety. Demikian pula terakhir adalah apoteker yang bekerja pada
37
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

industri dan distribusi; dan apoteker yang


bekerja pada instansi-instansi, baik instansi
pemerintah atau bukan yang melakukan
fungsi pengawasan terhadap obat dan
senyawa aktifnya, selama clinical trial,
pembuatan (termasuk ekspor impor),
distribusi, penyerahan, dan selama obat
dan senyawa aktifnya berada dalam
pasaran (pharmacovigilance).

6. DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Modul Penggunaan Obat
Rasional. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2011.
2. Aronson, JK. Medication Errors:
Definitions and Classification. BJCP.
2009; 76(6): 599-604.
3. Institute of Medicine. Preventing
Medication Errors. Washington DC:
National Academies Press; 2007.
4. National Coordinating Council for
Medication Error Reporting and
Prevention. Two Decades of
Coordinating Medication Safety Efforts.
N.P.: NCCMERP; 2015.
5. Edwards, Sharon dan Sue Axe. The Ten
‘R’s of Safe Multidiciplinary Drug
Administration. N.P.: MA Healthcare
Ltd.; 2015.
6. Committee on Patient Safety and
Quality Improvement The American
College of Obstetricians and
Gynecologies. “Improving Medication
Safety”. Committee Opinion. 2012;
531.
7. World Health Organization. 6. How to
Develop and Implement a National
Drug Policy. N.P., n.p.; 2013.
8. World Health Organization (b). 7.
Effective Medicines, Regulation:
Ensuring Safety, Efficacy and Quality.
N.P., n.p.; 2013.
9. World Health Organization. 9.
Pharmacovigilance: Ensuring the Safe
Use of Medicine. N.P., n.p.; 2014.

38
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

GAMBARAN KOLABORASI APOTEKER DAN TENAGA TEKNIS


KEFARMASIAN (TTK) DALAM PENINGKATAN KEPATUHAN
PENGGUNAAN OBAT DI RUANG ANAK RSUD ULIN BANJARMASIN
Reni Yustiati Saksono1*, Norhidayah1
1
Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin

Email Korespondensi : reniyustiati@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Kepatuhan penggunaan obat pada pasien anak adalah salah satu isu penting
yang harus menjadi fokus perhatian pada pelayanan di rumah sakit. Ketidakpatuhan adalah
problem yang besar di seluruh dunia khususnya di negara berkembang. Setidaknya satu dari
tiga pasien gagal menyelesaikan pengobatannya secara keseluruhan untuk regimen
pengobatan yang relatif jangka pendek. Hasil review penelitian lainnya menunjukkan
kepatuhan pengobatan pada pasien anak adalah 11-93 %. Problem ini banyak menimbulkan
implikasi yang perlu menjadi perhatian, khususnya pada pasien anak. PP 51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwasannya dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh TTK. Perubahan paradigma pelayanan kefarmasian
saat ini yang berorientasi pasien, juga berdampak signifikan terhadap perubahan peran TTK
dalam peningkatan pelayanan penggunaan obat seiring dengan peran apoteker secara klinik.
Bila apoteker dan TTK bekerja bersama dalam konteks lingkungan lokal mereka, dengan
fokus perkembangan pelayanan pasien maka pelayanan kefarmasian yang optimal dapat
diwujudkan. Tujuan: Untuk mengetahui hasil kolaborasi apoteker dan TTK dalam
peningkatan kepatuhan penggunaan obat pasien di ruang anak RSUD Ulin Banjarmasin.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental, dengan pengumpulan data
dilakukan secara prospektif dan non random sampling. Data diambil selama bulan Nopember-
Desember 2018 meliputi data laporan kegiatan farmasi dan data dari rekam medik pasien.
Sampel penelitian yang digunakan sebanyak 162 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yaitu
: dirawat lebih dari 2 hari dan mendapat obat oral selama perawatan. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karakteristik sampel yaitu 57.4% sampel laki-laki, 30.9% berusia 6-12
tahun, dan 43.2% pendidikan orang tua adalah SMA/SMK. Sebanyak 28.3% sampel dirawat
di ruang subbagian infeksi dan 67.3% sampel mendapatkan 1-2 jenis obat oral. Faktor
kesulitan minum obat yang terbanyak adalah rasa obat yang tidak enak sebesar 41.2%. Hasil
kepatuhan penggunaan obat awal diperoleh 68.5% meningkat menjadi 97.5% setelah
dilakukan kolaborasi TTK dan apoteker, dengan jumlah rekomendasi sebesar 86,4% pada
tataran pasien dan 13,6% pada logistik farmasi. Kesimpulan: Kepatuhan penggunaan obat di
Ruang Anak RSUD Ulin Banjarmasin meningkat dari 68.5% menjadi 97.5% dengan adanya
kolaborasi dari apoteker dan TTK.

Kata Kunci: Kolaborasi, Apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian, Kepatuhan, RSUD Ulin
Banjarmasin

1. LATAR BELAKANG termasuk perubahan gaya hidup, makanan


Ketaatan (adherence) atau kepatuhan yang baik, oleh raga dan informasi tentang
(compliance) mempunyai makna pokok obat seperti : waktu peresepan kembali,
yang sama yaitu berarti pasien mengikuti ketepatan dosis, ketepatan waktu
rekomendasi yang dibuat oleh tenaga pemberian, lama pengobatan, dan
.1
profesional kesehatan. Rekomendasi kepatuhan jadwal kontrol dokter
39
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Kepatuhan penggunaan obat pada seiring dengan peran apoteker secara


pasien anak adalah salah satu isu penting klinik.7,8 Bila apoteker dan TTK bekerja
yang harus menjadi fokus perhatian pada bersama dalam konteks lingkungan lokal
pelayanan di rumah sakit. Ketidakpatuhan mereka, dengan fokus perkembangan
adalah problem yang besar di seluruh pelayanan pasien maka pelayanan
dunia khususnya di negara berkembang. kefarmasian yg optimal dapat
9
Setidaknya satu dari tiga pasien gagal diwujudkan.
menyelesaikan pengobatannya secara
keseluruhan untuk regimen pengobatan 2. METODE PENELITIAN
yang relatif jangka pendek.2 Hasil review 2.1 Subyek Penelitian
penelitian lainnya menunjukkan kepatuhan Penelitian berupa quasi experimental,
pengobatan pada pasien anak adalah 11- dengan pengumpulan data dilakukan
93%.3 Problem ini banyak menimbulkan secara prospektif dan non random
implikasi yang perlu menjadi perhatian, sampling. Data diambil selama bulan
khususnya pada pasien anak.4 Nopember-Desember 2018 meliputi data
Faktor-faktor yang dapat berpengaruh laporan kegiatan farmasi dan data dari
terhadap ketidakpatuhan pengobatan dapat rekam medik. Sampel penelitian yang
dikategorikan diantaranya: faktor yang digunakan adalah pasien yang memenuhi
berfokus pada pasien, terkait dengan kriteria inklusi yaitu : dirawat lebih dari 2
terapi, faktor sosial ekonomi, sistem hari dan mendapat obat oral selama
pelayanan kesehatan, dan faktor penyakit. perawatan.
Beberapa faktor tersebut dampaknya
terhadap kepatuhan jelas tapi untuk faktor 2.2 Penilaian Klinik
lainnya dampaknya bisa tidak konsisten Karakteristik umum subyek seperti
dan kontradiktif.2 data demografi meliputi: jenis kelamin,
Pekerjaan apoteker di ruang anak umur, pendidikan orang tua, ruang
sangat luas termasuk mengoptimalkan perawatan dan jumlah obat oral yang
penggunaan obat pasien, pelayanan klinik, digunakan dicatat sebagai data dasar.2
peresepan obat baru, manajemen risiko dan Pengumpulan data dilakukan setiap hari
edukasi. Meskipun orang tua bertanggung terhadap pasien yang dirawat di ruang anak
jawab terhadap pengobatan, anak dapat yang sesuai kriteria inklusi yaitu : dirawat
dilibatkan dan diberi penjelasan untuk lebih dari 2 hari dan mendapat obat oral
mendapat persetujuan mereka. Anak dan selama perawatan. Pasien dinyatakan patuh
orang tua mereka dapat berbeda terkait jika menggunakan obat sesuai petunjuk
pemahaman tentang kesehatan, tujuan yang ada. Pasien yang menggunakan obat
pengobatan dan kebutuhan akan informasi. oral tidak sesuai petunjuk pengobatan
Hak anak, tanggung-jawab orang tua dan dicatat faktor penyebabnya. Selanjutnya
tugas tenaga profesional harus seimbang. diberikan komunikasi, informasi dan
Profesional kesehatan yang bekerja dengan edukasi (KIE) oleh TTK tentang cara
anak harus menguasai teknik komunikasi penggunaan obat yang benar. Selama
yang baik.5 dirawat dilakukan pemantauan dan apabila
PP 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan ditemukan kembali pasien masih
Kefarmasian menyatakan bahwasannya menggunakan obat tidak sesuai petunjuk
dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, dilakukan konseling oleh apoteker
apoteker dapat dibantu oleh TTK.6 menggunakan blanko konseling yang ada.
Perubahan paradigma pelayanan
kefarmasian saat ini yang berorientasi 2.3 Penilaian Hasil
pasien, juga berdampak signifikan Hasil penelitian berupa data faktor-
terhadap perubahan peran TTK dalam faktor yang mempengaruhi kepatuhan
peningkatan pelayanan penggunaan obat penggunaan obat, persentase kepatuhan
40
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

penggunaan obat, dan jumlah rekomendasi


yang dilakukan oleh apoteker. 2.4 Pengolahan dan Analisa Data
1. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan Karakteristik pasien dihitung dalam
penggunaan obat persentase, data faktor yang
Hasil faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan minum obat
mempengaruhi kepatuhan penggunaan didiskripsikan berupa modus dan
obat adalah data hasil komunikasi dihitung prevalensinya. Sedangkan
dengan pasien dan orang tua terkait untuk data kepatuhan minum obat dan
alasan kenapa obat tidak diminum data jumlah rekomendasi apoteker
sesuai petunjuk pengobatan.4 dihitung persentasenya dan dianalisa
2. Kepatuhan penggunaan obat secara deskriptif.
Pasien dinyatakan patuh jika
menggunakan obat sesuai petunjuk 3. HASIL
yang ada. Persentase kepatuhan 3.1 Karakteristik Sampel
penggunaan obat adalah jumlah pasien Penelitian dilakukan selama bulan
yang minum obat sesuai petunjuk Nopember-Desember 2018, diperoleh
pengobatan dibagi total sampel. Hasil jumlah pasien yang dirawat di Ruang Anak
dibandingkan antara kepatuhan RSUD Ulin Banjarmasin sebanyak 341
penggunaan obat awal dan setelah pasien. Sampel penelitian yang memenuhi
dilakukan kolaborasi KIE oleh TTK kriteria inklusi sebanyak 162 orang. Data
dan konseling oleh apoteker.1,10 karakteristik sampel penelitian ini
3. Jumlah Rekomendasi Apoteker meliputi: jenis kelamin, umur, pendidikan
Rekomendasi apoteker adalah jumlah orang tua, ruang perawatan dan jumlah
rekomendasi yang diberikan apoteker obat oral yang digunakan (Tabel 1).
terkait penggunaan obat oleh pasien
menggunakan klasifikasi PCNE.11
Tabel 1. Karakteristik Sampel
Karakteristik (n=162) Jumlah Persentase (%)
Jenis Kelamin
 Laki-laki 93 57,4
 Perempuan 69 42,6
Umur
 0 - < 2 tahun 42 25,9
 2 - < 6 tahun 30 18,5
 6 - <12 tahun 50 30,9
 12- <18 tahun 40 24,7
Pendidikan orang tua
 SD 37 22,8
 SMP 45 27,8
 SMA/D-3 70 43,2
 S-1/S-2 10 6,2
Ruang Rawat
 Gastro 30 18,5
 Gizi Metabolik 12 7,4
 Infeksi 46 28,4
 Kardiologi 5 3,1
 Nefrologi 26 16,0
 Neurologi 19 11,7
 Respirologi 24 14,8
Jumlah Obat Oral
 1 – 2 jenis 109 67,3
 3 – 5 jenis 43 26,5
 > 5 jenis 10 6,2
n = jumlah sampel

41
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

3.2 Evaluasi Faktor yang obat awal didapatkan sebanyak 51


Mempengaruhi Kepatuhan (31,5%) pasien tidak menggunakan obat
Penggunaan Obat sesuai petunjuk dan terdapat empat hal
Hasil evaluasi faktor yang yang menjadi faktor penyebab (Gambar 1).
mempengaruhi kepatuhan penggunaan

3.9%
Rasa Obat Tidak Enak
25.5% 41.2% Tidak Paham Aturan Pakai

29.4% Bentuk Sediaan Tidak Sesuai

Obat Terlalu Banyak

Gambar 1. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat

3.3 Evaluasi Kepatuhan Penggunaan evaluasi kepatuhan meningkat setelah


Obat dilakukan kolaborasi KIE TTK dan
Hasil evaluasi kepatuhan penggunaan konseling apoteker. Terdapat empat pasien
obat awal didapatkan sebanyak 51 pasien yang masih menggunakan obat tidak sesuai
tidak menggunakan obat sesuai petunjuk, petunjuk pengobatan setelah KIE dan
yang berarti jumlah pasien yang patuh konseling sehingga perlu dilakukan
sebanyak 110 orang atau 68,5% dan konseling ulang.

97.5%

68.5% 74.1%

Kepatuhan Awal Setelah KIE TTK Setelah Konseling Apoteker

Gambar 2. Persentase Kepatuhan Penggunaan Obat

3.4 Evaluasi Jenis Obat, Bentuk Sediaan tataran obat atau logistik farmasi. Data
dan Jumlah Rekomendasi Apoteker jumlah jenis obat, bentuk sediaan dan hasil
Pada klasifikasi PCNE, rekomendasi rekomendasi yang dilakukan apoteker
apoteker dibagi menjadi lima tataran dapat dilihat pada tabel 2, 3 dan 4.
intervensi. Rekomendasi apoteker terkait
kepatuhan penggunakan obat selama
penelitian hanya diperoleh pada dua
tataran, yaitu: pada tataran pasien dan

42
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 2. Jumlah dan Jenis Obat yang Digunakan Tidak Sesuai Petunjuk
Nama Obat (n=32) Jumlah Persentase (%)
Ambroksol puyer 5 6,2
Antasida sirup 2 2,5
Asam Folat puyer/tablet 7 8,6
Diasepam puyer 4 4,9
Fenitoin puyer 3 3,7
Fenobarbital puyer/tablet 3 3,7
Laktobasilus sp.serbuk 6 7,4
OMZ kapsul 2 2,5
Parasetamol drops/sirup/tablet 8 9,9
Prednison puyer/tablet 3 3,7
Propranolol puyer 3 3,7
Salbutamol puyer 4 4,9
Sefiksim sirup 4 4,9
Vitamin D sirup 6 7,4
Zink sirup/tablet 4 4,9
Lain-lain 17 21,1
Jumlah 81 100,0

Tabel 3. Jumlah Obat dan Bentuk Sediaan


Bentuk Sediaan Jumlah Persentase (%)
Tablet/kapsul 15 18,5
Puyer/serbuk 41 50,6
Sirup/drops 25 30,9
Jumlah 81 100,0

Tabel 4. Bentuk Sediaan dan Hasil Rekomendasi Apoteker


Hasil Rekomendasi Apoteker Tataran Pasien Tataran Obat
Tablet/kapsul 12 3
Puyer/serbuk 35 6
Sirup/drops 23 2
Jumlah (%) 70 (86,4) 11 (13,6)

4. PEMBAHASAN Sebagian besar, yaitu 41,2%


Karakteristik sampel pada penelitian menyatakan rasa obat yang tidak enak
ini laki-laki lebih banyak yaitu sebesar menjadi penyebabnya (gambar 1). Hampir
57,4%, dengan usia yang hampir merata, 1 dari 3 anak dengan penyakit kronis
dan terbanyak di rawat di ruang infeksi menolak pengobatan mereka sebagian
28,4% (tabel 1). Dari penelitian didapat besar dikarenakan oleh isu kenyamanan
pasien yang tidak menggunakan obat obat seperti: rasa, tekstur dan bau. Anak
sesuai petunjuk sebanyak 31,5%. yang menolak pengobatan karena alasan
Penolakan obat dikaitkan dengan rasa memiliki lebih tinggi sensitivitas
rendahnya tingkat kepatuhan pada anak genetik rasa pahit di bandingkan yang lain
yang dapat mengakibatkan mereka berisiko dan pada penelitian yang lain setidaknya
mendapatkan pengobatan yang sub jumlah yang sama gagal menyelesaikan
optimal, kegagalan terapi, pengobatan regimen obat yang diberikan bahkan untuk
yang tidak perlu, mengalami toksisitas dan waktu pengobatan yang relatif pendek.3-4
interaksi obat.1,3 Hasil review penelitian Pada penelitian ini sebagian besar sampel
lainnya menunjukkan kepatuhan yaitu sebanyak 67,3% hanya mendapatkan
pengobatan pada pasien anak adalah 11- obat oral 1-2 macam.
93%.2

43
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tingkat penerimaan obat pada anak meningkatkan pelayanan kepada pasien


tidak hanya dipengaruhi oleh rasa obat tapi perlu dilakukan kolaborasi yang baik
juga oleh bagaimana orangtua memberikan antara apoteker dan TTK sesuai aturan dan
obat dilingkungan keluarga mereka. prosedur yang ada. Dampak langsung
Pendidikan orang tua terbanyak adalah kolaborasi yang didapatkan di lapangan
SMA/SMK sebanyak 43,2%. Terdapat adalah: terkait jumlah temuan, kepastian
faktor dari dalam yang mempengaruhi waktu penanganan dan keberhasilan
kepatuhan pengobatan, tetapi kunci dari rekomenmdasi.
semuanya termasuk: faktor sosial ekonomi, Penelitian yang dilakukan oleh
pengetahuan tentang kesehatan, tingkat Bergene et al, 2017 menyarankan tenaga
pendidikan, penerimaan dan kenyamanan profesional kesehatan menggunakan
obat serta efek samping dari obat.3 Untuk strategi untuk berdiskusi dalam
beberapa alasan ini edukasi pasien sangat memberikan edukasi dengan orang tua dan
penting untuk meningkatkan kepatuhan, anak tentang pemberian obat oral. Tahap
termasuk memberikan edukasi terkait awal penelitian dilakukan KIE tentang
pengobatan dan penyakitnya.2 aturan pakai dan cara penggunaan obat
Selain faktor rasa yang tidak enak, oleh TTK diperoleh data pasien yang
pasien menyatakan tidak paham aturan menggunakan obat sesuai petunjuk naik
pakai juga cukup banyak yaitu 29,4%. Hal menjadi 74,1% dari sebelumnya 68,5%.
ini terkait dengan peran apoteker Tahap selanjutnya dilakukan konseling
khususnya dalam menemukan dan oleh apoteker dan kepatuhan meningkat
penanganan masalah terkait obat. menjadi 97,5% (gambar 2). Masih terdapat
Seharusnya saat pasien mendapatkan obat pasien yang menggunakan obat tidak
pasien sudah paham cara penggunaannya. sesuai petunjuk saat akan pulang dan telah
Kejadiannya banyak ditemukan pada di konseling ulang.
pasien rawat inap karena umumnya pasien Terdapat beberapa teknik yang
sudah mendapatkan obat sebelumnya. dilaporkan dari beberapa literatur seperti:
Evaluasi penggunaan obat harus sesegera mencampur obat dengan makanan atau
mungkin dapat dilakukan agar tidak minuman, memberikan pernyataan positif
menimbulkan dampak yang tidak dengan pendekatan persuasif dan
diinginkan. Untuk RSUD Ulin memberikan alasan yang melibatkan anak
Banjarmasin tiap apoteker rata-rata serta menggunakan kekuatan fisik. Tenaga
menangani pasien lebih dari 60 tempat profesional disarankan menggunakan
tidur dan masih ada tugas-tugas strategi 3 langkah sukses ketika berencana
manajemen lainnya. Dengan banyaknya memberikan obat oral kepada pasien yang
tugas dan jumlah pasien yang harus diilhami dari membuat keputusan bersama,
ditangani oleh apoteker sesuai PP 51 yaitu : menanyakan kepada orang tua
Tahun 2009 dalam menjalankan pekerjaan teknik yang mereka ketahui dan yang telah
kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh digunakan sebelumnya apakah berhasil,
TTK. tidak berhasil atau tidak nyaman; berikan
Dalam rincian kewenangan klinik TTK informasi kepada orang tua tentang strategi
RSUD Ulin disebutkan melaksanakan dan identifikasi pendapat awal mereka;
pelayanan farmasi klinik, yaitu: verifikasi berikan orangtua contoh spesifik dan
kesesuaian resep dan obat yang diberikan, teknik dasar berdasarkan pendapat awal
menyiapkan obat dan membuat etiket, orangtua dan diskusikan pilihan yang
menyiapkan kebutuhan obat untuk tiap kali relevan dengan mereka.4
penggunaan, melakukan penyerahan obat Terdapat 32 jenis obat, 3 bentuk
sesuai prosedur, membuat rincian sediaan dan 81 obat yang menyebabkan
pemakaian obat dan biayanya, serta pasien menggunakan obat tidak sesuai
menyusun laporan kegiatan. Untuk dapat petunjuk (tabel 2 dan 3). Durasi, aturan
44
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

pakai, bentuk sediaan, kenyamanan rasa, perkembangan pelayanan pasien maka


biaya, dan efek samping obat adalah faktor pelayanan kefarmasian yang optimal dapat
yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan. diwujudkan.9
Pada anak harus lebih berhati-hati sebab
fisik, perkembangan mental, sikap dan 5. KESIMPULAN
lingkungan yang berbeda.3 Kepatuhan penggunaan obat di Ruang
Hasil intervensi menggunakan Anak RSUD Ulin Banjarmasin meningkat
klasifikasi PCNE, pemberian rekomendasi dari 68.5% menjadi 97.5% dengan
melalui konseling yang dilakukan oleh adanya kolaborasi dari apoteker dan TTK.
apoteker diperoleh 86,4% pada tataran
pasien dan 13,6% pada tataran 6. UCAPAN TERIMAKASIH
obat/logistik farmasi (tabel 4). Tidak Kami mengucapkan banyak
banyak yang dapat dilakukan terkait terimakasih kepada staf medik, paramedik,
rekomendasi pada obat karena terbatasnya kepala ruangan dan staf di Ruang Anak
pilihan bentuk sediaan di pasaran RSUD Ulin Banjarmasin yang telah
khususnya untuk anak. Era jaminan memberikan dukungan sehingga penelitian
kesehatan juga berdampak terhadap jenis ini dapat terlaksana. Kami juga
ketersediaan merk obat, di lapangan berterimakasih kepada bagian riset dan etik
diperoleh tidak semua sediaan sirup pasti RSUD Ulin Banjarmasin atas ijin yang
dapat diterima dengan baik oleh anak. diberikan dan teman-teman di Instalasi
Sehingga penerapan rekomendasi di Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin
lapangan perlu kehati-hatian. Terdapat khususnya depo Tulip atas bantuan dan
keterbatasan pada beberapa penelitian koordinasinya.
terkait pengobatan pada anak untuk
meningkatkan kepatuhan yang sering kita 7. DAFTAR PUSTAKA
lakukan di lapangan yaitu: meracik tablet 1. Dawood O.T., Ibrahim M.I.M.,
dapat mempengaruhi potensi dan Palaian S. Medication Compliance
kepatuhan, penambahan volume jus jeruk Among Children. World J Pediatr.
dapat menutupi rasa dan meningkatkan 2010; 6 (3).
bioavailabilitas obat, serta efek bahan 2. Jin J., Sklar G.E., Oh V.M.S., Li
pemberi rasa pada farmakokinetik dan S.C. Factor Affecting Therapeutic
farmakodinamik sebagian besar belum Compliance: A Review from the
teruji.12 patient’s Perspective. Therapeutic
Prinsip umum yang dapat diterapkan and Clinical Risk management.
untuk meningkatkan kepatuhan 2008; 4(1): 269-286.
penggunaan obat, yaitu: meningkatkan 3. Winnicks S., Lucas D.O., Hartman
komunikasi antara tenaga kesehatan A.L., Toll D. How Do You
dengan pasien dan atau keluarga, Improve Compliance? Pediatrics.
memodifikasi atau mengubah regimen 2005; 115 (6): e718-e724.
obat, menekankan manajemen diri pasien 4. Bergene E.H., Ro T.B., Steinsbekk
terhadap penyakit, menggunakan regimen A. Startegies Parents Use to Give
obat yang paling sederhana dan efektif, Children Oral medicine: A
memanfaatkan peralatan dan teknologi dan Qualitative Study of Online
mengembangkan teknik komunikasi yang Discussion Forums. Scandinavian
lebih baik.3 Cara-cara ini telah dilakukan Journal of Primary Health Care.
selama memberikan rekomendasi pada 2017; 35 (2): 221-228.
tataran pasien melalui KIE dan konseling 5. Benn CE., Optimising Medicines
kepada pasien dan keluarga. Bila apoteker for Children; Consideration for
dan TTK bekerja bersama dalam konteks Clinical Pharmacists. Eur J Hosp
lingkungan lokal mereka, dengan fokus Pharm. 2014; 21: 350-54.
45
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

6. Pemerintah Indonesia. Peraturan


Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
2009; Kemkes RI.
7. Boughen M., Sutton J., Fenn T.,
Wright D. Defining the Role of The
Pharmacy Technician and
Identifying Their Future Role in
Medicines Optimisation. Pharmacy
Journal. 2017; 5 (40); doi:10.3390:
1-11.
8. Weber E., Hepfinger C., Koontz R.,
Cohn-Oswald L. Pharmacy
Technicians Supporting Clinical
Functions. Am J Health-Syst
Pharm. 2005; 62.
9. Koehler T., and Brown A.,
Documentating the Evolution of
The Relationship Between the
Pharmacy Support Workforce and
Pharmacists to Support Patient
Care. RSAP. 2016; 13 (2017): 280-
285.
10. Nieuwlaat R., et all., Interventions
for Enhancing Medications
Adherence. Cochrane Database
Syst Rev. 2014.CD 000011.pub4.
11. Foppe van Mil J.W., Horvat N.,
Westerlund T., PCNE
Classification for Drug Related
Problem. 2019; V8.03.
12. Benn CE., Optimising Medicines
for Children; Consideration for
Clinical Pharmacists. Eur J Hosp
Pharm. 2014; 21: 350-54.

46
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

ANALISIS BIAYA DAN EFEKTIVITAS INJEKSI INTRAARTIKULAR


ASAM HIALURONAT (IIAH) PADA TERAPI OSTEOARTRITIS (OA)
DI RSUD ULIN BANJARMASIN
Reni Yustiati Saksono1*, Dedi Hartanto2
1
Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin
2
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

Email: reniyustiati@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang menyerang
kartilago sendi. OA paling sering menyerang bagian lutut. Hampir 80% pasien mengalami
keterbatasan gerak dan 25% dari mereka tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Injeksi
Intraartikular Asam Hialuronat (IIAH) sering digunakan dalam praktik klinis untuk
meredakan nyeri dan peradangan lutut, yang merupakan manifestasi klinis dari OA lutut.
IIAH merupakan pilihan terapi bila pemberian NSAID tidak memberikan respon yang cukup.
Era JKN saat ini RSUD Ulin Banjarmasin sebagai salah satu rumah sakit rujukan untuk
pasien rematologi di Provinsi Kalimantan Selatan, maka dirasakan perlu untuk melakukan
analisis biaya dan mengkaji efektivitas penggunaan IIAH. Tujuan: Mengetahui hasil analisis
biaya dan efektivitas terapi IIAH pada pasien osteoartritis. Metode: Penelitian ini
merupakan studi analisis retrospektif non eksperimental. Data diambil selama tahun 2017
meliputi data laporan dari poli rematologi, laporan farmasi, laporan klaim JKN dan rekam
medik pasien. Sampel penelitian yang digunakan sebanyak 100 pasien yang memenuhi
kriteria inklusi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sampel adalah 45%
sampel berusia 55-64 tahun, 80% sampel berjenis kelamin perempuan, diagnosis OA tunggal
sebanyak 52%, grade penyakit OA 51% adalah grade-3. Hasil analisis biaya terapi OA
menggunakan IIAH menunjukkan nilai sebesar Rp. 404.436  112.481 dengan biaya terbesar
adalah injeksi Asam Hialorunat sebesar 58%. Biaya yang dihitung meliputi biaya langsung,
yaitu: biaya aministrasi, konsultasi/tindakan, pemeriksaan radiologi/laboratorium dan obat-
obatan. Efektivitas IIAH terhadap penurunan nyeri dengan nilai VAS adalah sebesar 72,8%
dari 6,46  1,584 menjadi 1,76  1,201. Uji t-test menunjukkan adanya perbedaan signifikan
pada pemberian IIAH pada grade 1 (CI 95%) dengan nilai p=0,00043. Kesimpulan:
Pengobatan OA menggunakan Injeksi Intraartikular Asam Hialuronat memiliki efektivitas
terapi dengan menurunkan nilai VAS sebesar 72,8%. Penurunan nyeri hanya berbeda nyata
pada pasien dengan OA grade 1. Jumlah rata-rata biaya langsung per kunjungan masih lebih
rendah dibandingkan dengan tarif INA-CBGs selama dan 3 bulan setelah pemberian IIAH.

Kata Kunci: osteoartritis, asam hialuronat, analisis biaya, efektivitas, RSUD Ulin
Banjarmasin

1. LATAR BELAKANG waktu.2 Perjalanan penyakit biasanya


Osteoartritis (OA) adalah penyakit lambat, namun dapat menyebabkan nyeri
degeneratif kronis yang paling sering sendi hebat hingga disabilitas berupa
ditemui dan menyebabkan rasa sakit dan kegagalan gerak sendi.3 Hampir 80%
kecacatan.1 OA berkembang berkaitan pasien OA mengalami keterbatasan gerak
dengan penuaai dan akan mempengaruhi dan 25% dari mereka tidak dapat
sendi secara terus menerus sepanjang melakukan kegiatan sehari-hari.4 OA dapat
47
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

terjadi pada sendi tangan, lutut, panggul, rekam medik pasien di poli remautologi
tulang belakang, dan juga bisa terjadi lebih RSUD Ulin Banjarmasin dengan diagnosis
dari satu sendi.5 utama Osteoarthritis (OA) lutut yang
OA merupakan penyakit sendi yang memenuhi kriteria inklusi selama tahun
paling sering terjadi.6 Di Indonesia 2017. Data biaya diambil dari laporan
prevalensi penyakit sendi yang didiagnosis klaim JKN dan laporan biaya rawat jalan
oleh tenaga kesehatan mengalami untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan,
peningkatan seiring dengan bertambahnya serta laporan biaya dari instalasi farmasi
usia. Prevalensi tertinggi terjadi pada usia untuk mengetahui rincian penggunaan obat
≤75 tahun.7 Angka kejadian osteoartritis di oleh pasien. Analisis efektivitas terapi
Indonesia sejak tahun 1990 hingga 2010 Injeksi Intraartikular Asam Hyaluronat
telah mengalami peningkatan yang (IIAH) dilihat dari catatan rekam medik
menyebabkan peningkatan beban pasien di poli Rematologi RSUD Ulin
kesehatan yang di ukur dengan DALY Banjarmasin berupa data pengukuran skala
(Disability Adjust Lost Years) sebanyak nyeri dengan Visual Analog Scale (VAS).
44,2%. Tahun-tahun kehilangan kualitas Kriteria inklusi: pasien dengan
hidup pada OA yang diukur berdasarkan diagnosis utama OA yang mendapatkan
DALY per 100.000 laki-laki dan terapi IIAH, memiliki catatan rekam medik
perempuan mencapai puncak pada usia 80 yang lengkap. Kriteria ekslusi: Pasien yang
tahun.8 menjalani fisioterapi, pasien yang
Injeksi Intraartikular Asam Hialuronat menderita penyakit lain yang
(IIAH) sering digunakan dalam praktik menggunakan analgetik, dan pasien yang
klinis untuk meredakan nyeri dan tidak melanjutkan terapi IIAH (5 siklus).
peradangan lutut, yang merupakan Analisis biaya dilakukan dengan
manifestasi klinis dari OA lutut. Onsetnya pendekatan payers perspektif yaitu Rumah
lambat, namun berefek jangka panjang, Sakit (RS). Komponen biaya yang diukur
dan dapat mengendalikan gejala klinis adalah biaya medik langsung (direct
lebih lama bila dibandingkan dengan medical cost) yang meliputi biaya
pemberian injeksi kortikosteroid administrasi, konsultasi/tindakan, biaya
intraartikular.9 obat, biaya radiologi dan laboratorium.
IIAH merupakan pilihan terapi bila Biaya medik langsung yang dihitung
pemberian NSAID tidak memberikan dalam penelitian ini adalah total biaya
respon yang cukup. Obat-obatan umumnya pengobatan 3 bulan sebelum, selama dan 3
untuk grade yang ringan yaitu grade 1 dan bulan setelah pasien menjalani terapi IIAH
2, sedangkan grade 3 selain nyeri juga untuk 1 siklus (5 kali selama 5 minggu).
telah ada kekakuan sendi dan grade 4 atau Biaya tersebut kemudian dibandingkan
berat dapat diobati dengan operasi dengan klaim JKN per rata-rata kunjungan
pergantian sendi. sehingga dapat diketahui kesesuaian biaya
Era JKN saat ini RSUD Ulin terapi yang ditanggung oleh rumah sakit.
Banjarmasin sebagai salah satu rumah Analisis efektifitas terapi IIAH dilihat
sakit rujukan untuk pasien rematologi di dari penurunan nilai VAS pada sebelum,
Provinsi Kalimantan Selatan, maka selama dan sesudah terapi IIAH secara
dirasakan perlu untuk melakukan analisis lengkap. Outcome dari terapi yang dilihat
biaya dan mengkaji efektivitas penggunaan adalah % penurunan nilai VAS. Nilai
IIAH. penurunan tersebut kemudian dianalisis
menggunakan paired t test dengan
2. METODE cofidence interval (CI) pada 95.
Penelitian ini merupakan studi analisis
retrospektif non eksperimental. Data
diambil secara retrospektif dari catatan
48
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

3. HASIL
Tabel 1. Karakteristik Sampel
Sampel Penelitian Jumlah
Jumlah Sampel 129
Data Tidak Lengkap 16
Kontraindikasi Diagnosa 13
Jumlah Sampel Sesuai Kriteria 100

Tabel 2. Karakteristik Pasien


Karakteristik n=100 Persentase (%)
Umur (tahun)
18-44 3 3
45-54 23 23
55-64 45 45
65 + 29 29
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 20
Perempuan 80 80
Dianosa
OA 58 58
OA + 42 42
Grade Penyakit
Grade 1 7 7
Grade 2 27 27
Grade 3 51 51
Grade 4 15 15

Tabel 3. Besaran Biaya Klaim JKN per Rata-rata Kunjungan


Sebelum Selama Setelah
Besaran Tarif INACBGs
Mean % SD Mean % SD Mean % SD
a. Klaim Pelayanan 383.700 93,9 109.832 638.100 99,7 0 264.803 94,2 174.498
b. Klaim Obat Kronis 24.768 6,1 91.292 1.440 0,3 6.797 16.178 5,8 77.206
Jumlah 408.468 100 147.938 639.540 100 6.764 280.981 100 201.447

Tabel 4. Biaya Pengeluaran Rumah Sakit per Rata-rata Kunjungan


Sebelum Selama Setelah
Besaran Tarif
Mean % SD Mean % SD Mean % SD
a. Konsultasi 131.040 34,9 41.210 144.000 35,6 0 96.190 55,6 67.537
b. LAB 110.891 26,8 181.053 25.151 6,2 111.473 43.102 24,9 128.722
c. Radiologi 106.164 25,7 368.137 1.785 0 17.761 0 0 0
d. Obat 52.064 12,6 130.828 233.500 58,2 0 33.663 19,5 111.578
Jumlah 400.159 100 475.190 404.436 100 112.481 172.955 100 208.446

Tabel 5. Biaya Obat Nyeri per Rata-rata Kunjungan


Biaya Obat Nyeri (Rp.) Sebelum Selama Setelah
Mean % Mean % Mean %
Kortikosteroid 1.121 2,6 965 0,4 827 4,6
NSAID 14.811 33,9 2.160 0,9 3.812 21,0
COX-2 inhibitor 0 0,0 1.831 0,7 0 0,0
Non NSAID 6.126 14,0 898 0,4 1.203 6,6
PPI 8.597 19,7 1.726 0,7 1.322 7,3
Suplemen Kalsium 12.984 29,8 5.013 2,0 3.312 18,3
Injeksi Asam Hialorunat 0 0,0 233.500 94,9 7.660 42,2
Jumlah 43.639 100,0 246.092 100,0 18.136 100,0
NSAID = non steroidal anti-inflamathory drugs, COX-2 = Cyclooxygenase-2, PPI = proton pump inhibitor

49
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 6. Penurunan Hasil Penilaian Nyeri


VAS % Penurunan VAS
Nilai VAS
Mean SD Mean P
Sebelum Penyuntikan 6,46 1,584
Selama (Setelah Penyuntikan ke 2) 4,17 1,490 35,4
Setelah Penyuntikan ke 5 1,76 1,201 72,8 3,89

Tabel 7. Penurunan Hasil Penilaian Nyeri berdasarkan Grade Osteoarthritis


VAS
Grade Penyakit
Mean SD % Penurunan VAS
Grade 1
a. Sebelum Penyuntikan 6,14 1,68
b. Selama (Setelah Penyuntikan ke 2) 3,71 0,76 40
c. Setelah Penyuntikan ke 5 1,00 0,58 84
Grade 2
a. Sebelum Penyuntikan 5,74 1,505
b. Selama (Setelah Penyuntikan ke 2) 3,63 1,159 37
c. Setelah Penyuntikan ke 5 1,67 1,155 71
Grade 3
a. Sebelum Penyuntikan 6,76 1,54
b. Selama (Setelah Penyuntikan ke 2) 4,45 1,64 34
c. Setelah Penyuntikan ke 5 1,90 1,16 72
Grade 4
a. Sebelum Penyuntikan 6,87 1,41
b. Selama (Setelah Penyuntikan ke 2) 4,40 1,45 36
c. Setelah Penyuntikan ke 5 1,80 1,47 74

4. PEMBAHASAN mekanisme aksi telah banyak diuraikan


Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui untuk menjelaskan efek klinik IIAH
bahwa usia pasien terbanyak yang diantaranya sebagai ekstra lubrikan yang
mengalami Osteoarthritis (OA) adalah 55- mempengaruhi bantalan pada sendi lutut,
64 tahun (45%). Hal ini sesuai dengan secara langsung berperan sebagai
penelitian yang dilakukan oleh Soeryadi et antiinflamasi, pelindung kondroitin serta
al, 2017 dimana jumlah pasien terbanyak berefek analgetik.13 IIAH merupakan
adalah pada umur 50-59 tahun. Ahmad et pilihan terapi bila pemberian NSAID tidak
al, 2018 menyatakan bahwa pasien memberikan respon yang cukup. Obat-
terbanyak adalah perempuan (83%), obatan umumnya untuk mengatasi nyeri
hampir sama dengan hasil penelitian ini grade yang ringan yaitu grade 1 dan 2,
yaitu jumlah pasien terbanyak adalah sedangkan grade 3 selain nyeri juga telah
perempuan dengan persentase 80%. ada kekakuan sendi dan grade 4 atau berat
Hasil penelitian juga menunjukkan diterapi dengan operasi pergantian sendi.
bahwa pasien OA terbanyak pada Penelitian ini juga melihat besaran
penelitian ini adalah dengan grade 3 klaim JKN yang akan diajukan kepada
sebanyak 51%. IIAH digunakan untuk pihak asuransi. Hal ini dilakukan agar bisa
pengobatan OA lutut yang telah terbukti didapat gambaran biaya selama terapi
mengurangi rasa sakit dan meningkatkan IIAH pada pasien OA lutut, salah satunya
fungsi sendi.10 Penggunaan IIAH secara karena injeksi Asam Hialorunat tahun
terus menerus harus mempertimbangkan 2017 belum terdapat dalam daftar obat
efektivitas terapi, misalnya IIAH Formularium Nasional. Berdasarkan tabel
dibandingkan dengan injeksi 3, diketahui jumlah klaim biaya JKN
kortikosteroid. Akan tetapi menurut terbesar yang dibayarkan adalah pada saat
Bannuru et al, 2009 IIAH akan lebih terapi sebesar Rp. 639.540  6.764. Biaya
efektif pada terapi OA dibandingkan terbesar yang dikeluarkan oleh RS adalah
dengan injeksi kortikosteroid. Berbagai pada saat terapi IIAH yaitu sebesar
50
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Rp. 404.436  112.481 dengan proporsi sesudah terapi OA menggunakan IIAH.


biaya terbesar adalah obat yaitu sebesar Sedangkan berdasarkan grade penyakit
Rp. 233.500 dengan persentase 58% (tabel (tabel 7) didapatkan penurunan VAS
4). Jumlah rata-rata biaya langsung per tertinggi adalah pada grade 1 dengan
kunjungan masih lebih rendah persentase penurunan nilai sebesar 84%.
dibandingkan dengan tarif INA-CBGs Uji paired t test yang dilakukan pada
selama dan 3 bulan setelah pemberian masing-masing grade menunjukkan
IIAH. perbedaan yang signifikan pada grade 1
Pada tabel 5 diketahui biaya obat yang dengan p value sebesar 0,00043.
digunakan untuk terapi OA antara lain American Academy of Orthopedic
kortikosteroid, non steroidal anti- Surgeon (AAOS) telah merevisi pedoman
inflamathory drugs (NSAID), pengobatan pada tahun 2013 yang
cyclooxygenase (COX)-2 inhibitor, proton memberikan rekomendasi yang
pump inhibitor (PPI), suplemen kalsium, berlawanan terhadap penggunaan IIAH,
dan injeksi asam hialuronat yang paling banyak terjadi perdebatan terhadap
besar dengan biaya sebesar Rp. 233.500. dampak klinik penggunaan injeksi ini.
IIAH hanya digunakan untuk 1 siklus Sebagai contoh : suatu penelitian meta
sebanyak 5-6 kali.9 Dari tabel 5 juga analisis memperlihatkan efek injeksi ini
didapat informasi penurunan biaya obat hanya berbeda sedikit dibandingkan
pada sebelum dan sesudah terapi dengan dengan injeksi placebo.14 dan penelitian
IIAH yaitu dari Rp. 43.639 menjadi Rp. meta analisis yang lain memperlihatkan
18.136 per pasien per kunjungan. Artinya IIAH lebih efektif dibandingkan obat oral
terapi IIAH dapat menurunkan biaya terapi untuk nyeri OA pada lutut.11
obat rutin OA sebesar Rp. 25.503. Asosiasi profesi medik yang berbeda
Penurunan biaya obat yang paling besar juga tidak menunjuk pada satu pedoman
adalah penggunaan NSAID yang turun dari yang sama. AAOS memberikan
Rp. 14.811 menjadi Rp. 3.812. Penurunan rekomendasi yang berbeda, akan tetapi
konsumsi NSAID mengurangi resiko pada tahun 2014 American College of
terhadap efek samping yang ditimbulkan Rheumatology (ACR) membuat
oleh NSAID, seperti resiko pada rekomendasi pada kondisi tertentu untuk
gastrointestinal yang dicegah salah satunya penggunaan IIAH yaitu untuk pengobatan
dengan obat golongan PPI, sehingga nyeri pada pasien yang tidak respon pada
berdampak konsumsi obat-obatan PPI juga pengobatan terapi non farmakologik dan
akan menurun. penggunaan analgetik.15 Sementara
Efektivitas terapi OA menggunakan Osteoarthritis Research Society
IIAH dapat dilihat pada tabel 6. IIAH International (OARSI) menyebutkan
diketahui aman dan efektif untuk tingkat manfaat penggunaan IIAH dan
mengurangi nyeri sendi dan meningkatkan American Medical Society for Sport
fungsi sendi pada pasien dengan OA lutut Medicine (AMSSM) merekomendasikan
dengan bukti ilmiah yang baik berdasarkan penggunaan IIAH pada pasien OA lutut
pada beberapa penelitian klinik.14 Hasil yang sesuai.16-17
penelitian menunjukkan terdapat
penurunan nilai VAS dengan pemberian 5. KESIMPULAN
IIAH dari 6,46 menjadi 1,76 dengan Pengobatan OA menggunakan IIAH
persentase penurunan nilai VAS adalah memliliki efektivitas terapi dengan
sebesar 72,8%. Nilai p value dari uji menurunkan nilai VAS sebesar 72,8%.
paired t test dengan tingkat kepercayaan Penurunan nyeri hanya berbeda nyata
95% didapatkan nilai lebih besar dari 0,05 pada pasien dengan OA grade 1. Jumlah
sehingga dinyatakan tidak terdapat rata-rata biaya langsung per kunjungan
perbedaan nilai antara sebelum dan masih lebih rendah dibandingkan dengan
51
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

tarif INA-CBGs selama dan 3 bulan Jakarta: Internal Publishing; p.3199-


setelah pemberian IIAH. 211.
6. Plotnikoff, R., Karunamuni, N.,
6. UCAPAN TERIMA KASIH Lytvyak, E., Penfold, C.,
Kami mengucapkan banyak Schopflocher, D., Imayama, et al.
terimakasih kepada staf medik, paramedik Osteoarthritis Prevalence and
dan staf di Poli Rematologi RSUD Ulin Modifiable Factors : A Population
Banjarmasin yang telah memberikan Study. 2015. BMC Public Health.
dukungan sehingga penelitian ini dapat BMC Public Health; pp. 1–10. doi:
terlaksana. Kami juga berterimakasih 10.1186/s12889-015-2529-0.
kepada bagian riset dan etik RSUD Ulin 7. Badan Penelitian dan
Banjarmasin atas surat keterangan Pengembangan Kesehatan,
kelayakan etika penelitian yang diberikan Kementrian Kesehatan RI. Riset
dan teman-teman di Instalasi Farmasi Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta:
RSUD Ulin Banjarmasin khususnya depo Kementrian Kesehatan.
BPJS atas bantuan dan koordinasinya. 8. Soeryadi, A., Gessal, J. and
Sengkey, L. S. Gambaran Faktor
7. DAFTAR PUSTAKA Risiko Penderita Osteoartritis Lutut
1. Arya, R.K. & Jain, V. Osteoarthritis di Instalasi Rehabilitasi Medik
of The Knee Joint : An Overview. RSUP Prof.Dr. R.D. Kandou. 2017.
2013;14(2): pp.154–162. Jurnal e-Clinic (eCl); 5(2): 267-273.
2. World Health Organization, WHO: 9. Kalim, H. Rekomendasi IRA untuk
Chronic Rheumatic Conditions. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Available at: Osteoartritis. 2015. Jakarta: Divisi
https://www.who.int/chp/topics/rheum Reumatologi Departemen Ilmu
atic/en/ accessed July, 5, 2019. Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
3. Bhaskar, A., Areekal, B., Vasudevan, 10. Ishijima, M., Nakamura, T.,
B., Ajith, R., Ravi, S. and Sankar, S. Shimizu, K., Hayashi, K., Kikuchi,
Osteoarthritis of Knee and Factors H., Soen, S., et al. Intra-articular
Associated with It in Middle Aged Hyaluronic Acid Injection Versus
Women in A Rural Area of Central Oral Non-steroidal Anti-
Kerala, India. 2016. International inflammatory Drug for The
Journal of Community Medicine and Treatment of Knee Osteoarthritis : A
Public Health, 3(10),pp.2926– Multi-Center: Arthritis Research &
2931.doi:http://dx.doi.org/10.18203/2 Therapy, 16(1), pp. 1–8. doi:
394-6040.ijcmph20163385. 10.1186/ar4446.
4. Ahmad, I. W., Rahmawati, L. D. and 11. Dasa, V., Dekoven, M., Sun, K.,
Wardhana, T. H. Demographic Scott, A. and Lim, S. Clinical and
Profile, Clinical and Analysis of Cost Outcomes from Different
Osteoarthritis Patients in Surabaya. Hyaluronic Acid Treatments in
2018. Biomolecular and Health Patients with Knee Osteoarthritis :
Science Journal; 01(01): pp. 34–39. Evidence from a US Health Plan
Available at: https://e- Claims Database Methods Data
journal.unair.ac.id/BHSJ. Source: Drug in Context. 2016; 2,
5. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, pp. 1–12. doi: 10.7573/DIC.212296.
Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. 12. Bannuru, R. R., Natov, N. S.,
In: Setiati S, Alwi I, Sudaya AW, Obadan, I. S. I. E., Price, L. L.,
Simadibrata M, Setiyahadi B, Syam Schmid, C. H., Alindon, T.E.M.C.,
AF, editors. Buku Ajar Ilmu et al. Therapeutic Trajectory of
Penyakit Dalam (6 the ed). 2015. Hyaluronic Acid Versus
52
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Corticosteroids in the Treatment of 50: 84-92.


Knee Osteoarthritis : A Systematic http://dx.doi.org/10.1136/bjsports-
Review and Meta-Analysis’, 2015-095683.
Arthritis & Rheumatism (Arthritis
Care & Research). 2009; 61(12), pp.
1704–1711. doi: 10.1002/art.24925.
13. Altman R.D., Manjoo A, Fierlinger
A, Niazi F, Nicholls M, The
Mechanism of Action for
Hyaluronic Acid Treatment in The
Osteoarthritic Knee: A Systemic
Review, BMC Musculoskelet
Disord. 2015;16:321.
http://dx.doi.org/10.1186/s12891-
015-0775-z
14. Strand V, Conaghan P.G.,
Lohmander L.S., Koutsoukos A.D.,
Hurley F.L., Bird H., et al. An
Integrated Analysis of Five
Double-Blind, Randomized
Controlled Trials Evaluating The
Savety and Efficacy of a
Hyaluronan Product for Intra-
Articular Injection in Osteoarthritis
of the Knee, Osteoarthritis
Cartilage. 2006; 14(9):859-66.
15. American College of Rheumatology
(ACR) Position Statement (cited
2016 May 31), Available from:
http://www.rheumatology.org
Practice-Quality/Administrative-
Support/Position-Statement.
16. McAlindon T.E., Bannuru R.R.,
Sullivan M.C, Arden N.K.,
Berenbaum F, Bierma-Zeinstra
S.M., et al. OARSI Guidelines for
The Non-Surgical Management of
Knee Osteoarthritis, Osteoarthr
Cartil, 2014, 22:363-88.
http://dx.doi.org/10.1016/j.joca.
2014.01.003.
17. Trojian T.H., Concoff A.L., Joy
S.M., Hatzenbuehler J.R.,
Saulsberry W.J., Coleman C.I.,
AMSSM Scientific Statement
Concerning Viscosupplementation
Injections for Knee Osteoarthritis:
Importence for Individual Patient
Outcomes. 2016. Br J Sports Med;

53
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPENSING ERROR


PADA PELAYANAN KEFARMASIAN RAWAT INAP RSUD K.R.M.T.
WONGSONEGORO SEMARANG
Silvia Kusuma Mayasari1*, Astri Nirmala Dharmawati1, Erwin Adi Nugroho1
1
Instalasi Farmasi RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang

email: silviakm49@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Kejadian medication error merupakan masalah serius dan dapat menjadi
sumber yang signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas dalam sistem pelayanan
kesehatan. Berdasarkan proses pengobatan, medication error dapat terjadi pada tahap
prescribing, transcribing, dispensing, dan administration Dispensing error menjadi salah satu
insiden kesalahan pengobatan yang paling umum dilaporkan di rumah sakit. Identifikasi tipe
dispensing eror dan faktor-faktor penyebabnya merupakan langkah awal untuk mengurangi
kejadian eror tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang
mempengaruhi dispensing error pada pelayanan kefarmasian rawat inap RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang (RSWN). Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan teknik pengambilan data secara prospektif melalui kuisioner kepada tenaga
kefarmasian yang bertugas di Depo Farmasi Rawat Inap RSWN. Data dianalisis
menggunakan analisis univariat. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan faktor penyebab
dispensing error meliputi kondisi lingkungan, interupsi bekerja, beban kerja, jumlah tenaga
kerja, pengalaman kerja dan komunikasi antar tenaga kefarmasian. Kesimpulan: Faktor
paling berpengaruh pada terjadinya dispensing error di Depo Farmasi Rawat Inap RSWN
adalah kondisi lingkungan yaitu rancangan ruang Depo Farmasi Rawat Inap yang belum
efisien untuk melakukan penyiapan obat.

Kata Kunci : medication error, faktor dispensing error, farmasi rawat inap

1. PENDAHULUAN tidak dapat diprediksi secara pasti


Terapi obat merupakan proses dikarenakan berbagai perbedaan misalnya
pemberian obat untuk pada definisi medication error, metode
meredakan/menghilangkan gejala, penelitian, atau populasi subjek uji.4
mencegah dan atau mengobati penyakit.1 Meskipun tidak dapat diprediksi secara
Tujuan terapi obat adalah mendapatkan pasti, kejadian medication error
manfaat klinis yang dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap
dipertanggungjawabkan untuk bertambahnya jumlah pasien yang
meningkatkan kualitas hidup pasien dirugikan akibat kesalahan pengobatan.5
dengan risiko minimal.2 Risiko dimaksud Kejadian medication error merupakan
adalah permasalahan terkait obat atau masalah serius dan dapat menjadi sumber
sering disebut medication error. yang signifikan terhadap morbiditas dan
Medication eror merupakan kejadian yang mortalitas dalam sistem pelayanan
merugikan pasien akibat pemakaian obat kesehatan.5 Berdasarkan proses
selama dalam penanganan tenaga pengobatan, medication error dapat terjadi
kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah.3 pada tahap prescribing, transcribing,
Menurut Asosiasi Farmasis Amerika, dispensing, dan administration. Kesalahan
angka medication error bervariasi dan pada salah satu tahap dapat terjadi secara
54
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

berantai dan menimbulkan kesalahan pada Data pelaporan medication error di


tahap selanjutnya.6 Dispensing error depo Farmasi Rawat Inap RSUD K.R.M.T
menjadi salah satu insiden kesalahan Wongsonegoro (RSWN) periode April
pengobatan yang paling umum dilaporkan 2018 s.d April 2019 sejumlah 35 laporan
di rumah sakit. Menurut data NHS kasus. Berdasarkan data pelaporan
England 19.4% dari medication error tersebut; diperoleh persentase dispensing
terjadi pada tahap dispensing, sedangkan error sebesar 57.14% yaitu sejumlah 20
data US Pharmacopeia mencatat kesalahan kasus. Kesalahan pada tahap dispensing
pada tahap dispensing mencapai 35%.7-8 paling sering terjadi di depo farmasi Rawat
Dispensing error mengacu pada kesalahan Inap RSWN adalah salah pengambilan
pengobatan yang terkait dengan tenaga obat, yaitu sejumlah 18 kasus. Sedangkan
kefarmasian. Dispensing error sisanya adalah 1 kasus salah pengambilan
didefinisikan sebagai ketidaksesuaian bentuk sediaan dan 1 kasus dispensing obat
antara obat yang diberikan atau rusak. Penelitian ini bertujuan mengetahui
didistribusikan oleh tenaga kefarmasian faktor yang mempengaruhi dispensing
dengan permintaan dalam resep.9 error pada pelayanan kefarmasian rawat
Tipe dispensing error di instalasi inap RSWN.
farmasi meliputi salah jumlah obat, salah
kekuatan dosis, salah pengambilan obat, 2. METODE PENELITIAN
obat tidak terdistribusi atau tidak Penelitian dilakukan di Depo
diserahkan, salah bentuk sediaan, Farmasi Rawat Inap RSWN menggunakan
dispensing obat rusak atau kadaluarsa, metode survei deskriptif dengan
kesalahan informasi pelabelan.5 Tipe pengambilan data secara prospektif.
dispensing eror paling sering dilaporkan Sampel yang dijadikan subjek penelitian
adalah salah pengambilan obat, salah adalah seluruh tenaga kefarmasian yang
kekuatan dosis dan salah bentuk sediaan. terlibat dalam proses dispensing (apoteker
Pada beberapa penelitian yang ditinjau, dan tenaga teknis kefarmasian). Teknik
dispensing error memiliki signifikansi pengambilan sampel yaitu total sampling;
klinis kecil atau tidak membahayakan.. didapat 40 responden. Instrumen yang
Meskipun begitu, beberapa kasus juga digunakan yaitu kuisioner dispensing
ditemukan cukup serius bahkan hingga diadaptasi dari Benawan (2019) dan Donsu
menyebabkan kematian sehingga (2016). Analisis data yang digunakan
dispensing error harus diperhatikan dalam dalam penelitian ini adalah analisis
rangka peningkatan keselamatan pasien.10 univariat atau statistik deskriptif. Penyajian
Saat ini, sistem penyiapan obat di data dalam bentuk tabel frekuensi dan
rumah sakit sangat beragam dan sistem persentase.12-13
tersebut dapat mempengaruhi kejadian
eror. Penelitian di Amerika, Inggris dan
Kanada menunjukkan penyiapan obat
dengan sistem unit dosis dapat mengurangi
tingkat kesalahan dari satu kesalahan
/pasien/hari menjadi dua hingga tiga
kesalahan/pasien/minggu.11 Faktor paling
sering menyebabkan dispensing error
adalah beban kerja yang tinggi, kurangnya
jumlah tenaga kerja, lingkungan kerja,
kurangnya pengetahuan/ pengalaman,
interupsi saat bekerja, serta permasalahan
komunikasi dalam tim yang melakukan
dispensing.10
55
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Karakteristik responden


NO Karakteristik Frekuensi Persentase
1 Umur
20-30 tahun 28 70
31-40 tahun 9 22,5
41-50 tahun 2 5
51-60 tahun 1 2,5
Total 40 100
2 Jenis Kelamin
Perempuan 38 95
Laki-laki 2 5
Total 40 100
3 Pendidikan
D3 24 60
S1 Profesi 14 35
S2 2 5
Total 40 100
4 Pekerjaan
TTK 24 60
Apoteker 16 40
Total 40 100
5 Lama Kerja
1 - 5 tahun 31 77,5
6 - 10 tahun 6 15
> 10 tahun 3 7,5
Total 40 100

Tabel 2. Faktor Penyebab Dispensing error


Faktor
Pernyataan Frekuensi Persentase
penyebab
Kondisi Rancangan ruang Depo Farmasi Rawat Inap efisien bagi tenaga
Lingkungan kefarmasian untuk melakukan penyiapan obat
Setuju 11 27,5
Kurang Setuju 29 72,5
Interupsi Tenaga kefarmasian merasa tidak terganggu dengan dering
bekerja telepon yang berbunyi tiba-tiba
Setuju 14 35
Kurang Setuju 26 65
Beban kerja Tenaga Kefarmasian mampu menyelesaikan sendiri setiap
pekerjaan
Setuju 17 42,5
Kurang Setuju 23 57,5
Jumlah Tenaga Jumlah tenaga kerja di depo farmasi rawat inap RSWN sudah
Kerja sesuai dengan beban kerja di depo farmasi rawat inap
Setuju 15 37.5
Kurang Setuju 25 62.5
Pengalaman Tenaga Kefarmasian merasa pengalaman bekerja di Rumah Sakit
kerja tidak menghambat penyiapan obat pasien
Setuju 21 52.5
Kurang Setuju 19 47.5
Komunikasi Komunikasi antar tenaga kefarmasian dalam penyiapan obat
pasien berlangsung baik
Setuju 31 77,5
Kurang Setuju 9 22,5

56
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 1 menunjukkan gambaran yang masuk berpengaruh terhadap baik


karakteristik responden, diperoleh data tidaknya peyiapan obat pasien. Dalam
mayoritas responden berusia 20-30 tahun penyiapan obat, tenaga farmasi melakukan
sebanyak 28 responden (70%), dengan pengkajian resep, menginput obat dan
mayoritas jenis kelamin responden adalah membuat etiket obat, menyiapkan obatat
perempuan sebanyak 38 responden (95%), untuk satu hari pemakian, pengemasan
tingkat pendidikan mayoritas responden obat, pengecekan serta distribusi.
adalah D3/sederajat sebanyak 24 Hasil jawaban kuesioner terhadap
responden (60%) dengan mayoritas beban kerja responden mayoritas
pekerjaan TTK sebanyak 24 responden menyatakan kurang setuju dengan tenaga
(60%) dan lama bekerja terbanyak 1- kefarmasian mampu menyelesaikan sendiri
5tahun sejumlah 31 responden (77.5%). setiap pekerjaan. Mayoritas responden juga
Identifikasi tipe dispensing eror dan menyatakan kurang setuju dengan jumlah
faktor-faktor penyebabnya merupakan tenaga kerja di depo farmasi rawat inap
langkah awal untuk mengurangi kejadian sudah sesuai dengan beban kerja di depo
eror tersebut.10 Berdasarkan hasil kategori farmasi rawat inap RSWN. Responden
faktor penyebab dispensing eror pada mempersepsikan beban kerja dan jumlah
Tabel 2, responden mempersepsikan tenaga kerja dapat menyebabkan
kondisi lingkungan kerja dapat dispensing error dengan persentase
menyebabkan medication error pada fase masing-masing 57.5% dan 62.5%.
dispensing dengan persentase terbesar Responden mempersepsikan
yaitu 72.5%. Responden menyatakan pengalaman bekerja dapat menyebabkan
kurang setuju bahwa rancangan ruang depo dispensing error, sebanyak 47.5%
farmasi rawat inap efisien untuk mayoritas responden menyatakan setuju
melakukan penyiapan obat. Rancangan dengan pengalaman bekerja di Rumah
apotek yang tidak efisien berkontribusi Sakit tidak menghambat penyiapan obat
terhadap dispensing dan meningkatkan pasien. Petugas Farmasi dengan
aspek communication error antar staf.14 pengalaman kerja beragam menunjukkan
Area dispensing harus didesain dengan pernah melakukan kesalahan yang
tepat untuk menghindari kesalahan yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi
berkaitan dengan kondisi lingkungan.15 keselamatan pasien.16
Faktor terbesar kedua penyebab Komunikasi menjadi faktor penyebab
dispensing eror menurut persepi responden dispensing error paling rendah dalam
dalam penelitian ini adalah interupsi/ penelitian ini, responden mempersepsikan
gangguan bekerja. Sebesar 65% responden dispensing error disebabkan oleh
menyatakan kurang setuju dengan tenaga komunikasi sebesar 22.5%. Mayoritas
kefarmasian tidak terganggu dering telepon responden setuju komunikasi antar tenaga
yang berbunyi tiba-tiba. Menurut kefarmasian dalam penyiapan obat pasien
Notoatmojo seperti dikutip Donsu et.al., berlangsung baik. Komunikasi dibutuhkan
dering telepon dapat menganggu untuk mewujudkan kerjasama yang efektif
konsentrasi kerja yang dapat menyebabkan dalam tim.12
pekerja cenderung berbuat kesalahan dan
akhirnya menurunkan produktivitas 4. KESIMPULAN
bekerja.12 Dispensing error merupakan
Dispensing error dapat terjadi
ketidaksesuaian antara obat yang diberikan
karena jumlah petugas yang tidak memadai
dan beban kerja yang berlebihan (Benawan atau didistribusikan oleh tenaga
et.al., 2019 dikutip dari Cahyono dan kefarmasian dengan permintaan dalam
Suharjo, 2008).13 Tenaga kefarmasian resep. Faktor paling berpengaruh pada
mengungkapkan jumlah pasien dan resep terjadinya dispensing error di Depo
57
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Farmasi Rawat Inap RSWN adalah kondisi J Health-Syst Pharm, 2004;61:993-


lingkungan yaitu rancangan ruang Depo 1000.
Farmasi Rawat Inap yang belum efisien 9. Leelavathi, D. A., Thomas, T.,
Venkatraghavan, S., Pandey, S.,
untuk melakukan penyiapan obat.
Mylapuram, R., An Observational
5. DAFTAR PUSTAKA Study to Evaluate The Factors
1. Hepler C. D., and Strand, L. M., which Influence The Dispensing
Opportunities and responsibilities in errors in The Hospital Pharmacy of
pharmaceutical care, Am J Hosp A Tertiary Care Hospital, Journal of
Pharm, 1990;47:533-43. Clinical and Diagnostic Research,
2. American Society of Health-System 2011;5(6):1214-18.
Pharmacists, ASHP Guidelines on 10. Aldhwaihi, K. A., Schifano, F.,
Preventing Medication errors in Pezzolesi, C., Umaru, N., A
Hospitals, Am J Health-Syst Pharm, systematic review of the nature of
2018;75(19):1493-1517. dispensing errors in hospital
3. NCCMERP, 2019, What is a pharmacies, Intregated Pharmacy
Medication error?, National Research and Practice, 2016;5:1-10.
Coordinating Council for 11. Anacleto, T. A., Perini, E., Rosa, M.
Medication error Reporting and B., Cesar, C. C., Drug-dispensing
Prevention, errors in the hospital pharmacy,
http://www.nccmerp.org/about- Clinic, 2007;62(3):243-50.
medication-errors (diakses 4 Mei 12. Donsu, Y.C., Tjitrosantoso, H.,
2019). Bodhi, W., Faktor Penyebab
4. Patel, N., Desai, M., Shah, S., Patel, Medication error pada Pelayanan
P., Gandhi, A., A Study of Kefarmasian Rawat Inap Bangsal
medication errors in a tertiary care Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
hospital, Perspect Clin Res, Manado, Pharmacon Jurnal Ilmiah
2016;7:168-73. Farmasi-UNSRAT, 2016;5(3):66-74.
5. Sonal S. M., Mathew, M. A., 13. Benawan, S., Citraningtyas, G.,
Abraham, S., Anand, A., Wiyono, W.I., Faktor Penyebab
Sasidharan, S., Study on dispensing Medication error pada Pelayanan
errors of inpatient prescriptions in a Kefarmasian Rawat Inap Bangsal
tertiary care hospital, Der Anak RSUD Tobelo, Pharmacon
Pharmacia Sinica, 2011;2(1):14-18, Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT,
ISSN:0976-8688. 2019;8(2):39-46.
6. Tajudin R. S., Sudirman I., Maidin 14. Szeinbach, S., Vasquez, E. S.,
A., Faktor Penyebab Medication Parekh, A., Hrderick, M.,
error di Instalasi Rawat Darurat, Dispensing errors in community
Jurnal Manajemen Pelayanan pharmacy: perceived influence of
Kesehatan, 2012;5(4):182-87. sociotechnical factors, International
7. Aldhwaihi, K. A., 2015, Types and Journal for Quality in Health Care,
contributing factor of dispensing 2007;19(4):203-9.
errors in hospital pharmacies, 15. Depkes RI, 2008, Buku Saku
Dissertation, United Kingdom, Tanggung jawab Apoteker Terhadap
University of Hertfordshire. Keselamatan Pasien (Patient
8. Hicks, R. W., Cousins, D. D., Safety), Ditjen Bina Kefarmasian
Williams., R. L., Selected dan Alat Kesehatan Departemen
medication-error data from USP’S Kesehatan Republik Indonesia,
MEDMARX program for 2002, Am Jakarta.

58
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

16. Risdiana, I., 2008, Identifikasi


Indikator Medication error di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta, Naskah Publikasi,
Yogyakarta, Universitas Gadjah
Mada.

59
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMS DAN EVALUASI LUARAN


KLINIK DARI OBAT PENEKAN ASAM LAMBUNG

Betti Mintarsih 1*, Agung Endro Nugroho2, Fita Rahmawati2


1
RSUD Kabupaten Temanggung
2
Magister Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Email Korespondensi : bettimintarsih.bm@gmail.com

ABSTRAK
Latar belakang: Obat penekan asam lambung banyak digunakan untuk berbagai indikasi,
namun penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat tersebut cenderung berlebihan
(overuse). Tujuan: Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pola
penggunaan, mengkaji Drug Related Problems (DRPs), serta mengevaluasi luaran klinik dari
obat penekan asam lambung pada pasien rawat inap di rumah sakit. Metode: Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan kohort. Pengambilan data secara
prospektif pada pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Temanggung periode Januari – Maret
2016. Analisis data secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran pola penggunaan dan
mengkaji DRPs, sedangkan analisis statistik menggunakan uji Chi Square untuk melihat
hubungan antara DRP dengan luaran klinik, serta analisis multivariat untuk mengetahui faktor
yang paling berpengaruh terhadap kejadian DRPs dan luaran klinik. Hasil: Subyek penelitian
sebanyak 204 pasien. Pola penggunaan obat penekan asam lambung terbanyak adalah
golongan H2RA 84,3%; golongan PPI 4,4%; sedangkan kombinasi H2RA dan PPI 11,3%.
Indikasi penggunaan obat penekan asam lambung terbesar adalah untuk mengatasi dispepsia,
sebagai profilaksis stress ulcer dan NSAID-induced ulcer. Dari hasil kajian DRPs, diketahui
bahwa DRPs terjadi pada 152 pasien (74,5% dari total 204 pasien), sebanyak 199 kejadian,
berupa terapi obat tidak diperlukan 45,2%; obat tidak efektif 17,6%; dosis obat terlalu tinggi
13,1%; dan timbulnya reaksi merugikan 24,1%. Dari evaluasi luaran klinik, diperoleh hasil
76,5% subyek dinyatakan membaik, 4,4% tidak membaik, dan 19,1% tidak dapat dievaluasi.
Dari hasil uji Chi-Square tidak ada hubungan antara DRPs dengan luaran klinik (p>0,05).
Kesimpulan: Hasil analisis multivariat terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi luaran
klinik, menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap luaran klinik adalah
tingkat keparahan penyakit yang dialami oleh pasien.

Kata kunci : penekan asam lambung, Drug Related Problems, luaran klinik.

1. LATAR BELAKANG obat penekan asam lambung pada pasien


Terapi obat penekan asam lambung rawat inap cenderung berlebihan
(Acid Suppressive Therapy) banyak (overuse).5 Penggunaan AST yang tidak
digunakan untuk berbagai tujuan tepat indikasi merupakan salah satu
pengobatan. Penelitian di Italy pada tahun kategori Drug Related Problems (DRPs)
2000 mengenai jenis obat penekan asam yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi
lambung yang paling banyak digunakan yang tidak diinginkan, interaksi obat, dan
adalah golongan antagonis reseptor peningkatan biaya perawatan.3
histamin-2 (H2-receptor antagonist/H2RA) Di RSUD Kabupaten Temanggung,
dan penghambat pompa proton (Proton jumlah penggunaan obat penekan asam
Pump Inhibitor/PPI.4 Penelitian di banyak lambung pada pasien rawat inap cukup
negara menunjukkan bahwa penggunaan tinggi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
60
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

pengkajian mengenai pola penggunaan membaik), variabel perancu (Umur, jenis


obat penekan asam lambung pada pasien kelamin, lama perawatan, riwayat
rawat inap, identifikasi kejadian Drug gangguan lambung, tingkat keparahan
Related Problems (DRPs), serta bagaimana penyakit, jenis obat penekan asam
luaran klinik setelah pasien menggunakan lambung, dan obat-obat lain yang
obat penekan asam lambung. mempengaruhi luaran klinik.
Data pasien diolah secara
2. TUJUAN PENELITIAN deskriptif, untuk mendapatkan gambaran
Penelitian ini bertujuan untuk mengenai profil pasien dan pola
memperoleh gambaran mengenai pola penggunaan obat penekan asam lambung.
penggunaan obat penekan asam lambung Data kejadian DRPs diolah secara
pada pasien rawat inap di RSUD deskriptif, untuk mendapatkan gambaran
Kabupaten Temanggung, mengetahui prevalensi DRPs yang paling sering terjadi
angka kejadian Drug Related Problems pada penggunaan obat penekan asam
(DRPs), dan hubungan antara kejadian lambung. Kejadian DRPs dianalisis sesuai
DRPs dengan luaran klinik. dengan klasifikasi DRPs menurut sistem
Cipolle, dkk. (2004). Data luaran klinik
3. METODE PENELITIAN diolah untuk mengetahui pengaruh
Penelitian ini merupakan penelitian kejadian DRPs terhadap luaran klinik.
deskriptif evaluatif dan analitik non Analisis yang digunakan adalah uji Chi-
eksperimental dengan rancangan kohort Square (variabel kategorik, tidak
prospektif. Penelitian dilaksanakan di berpasangan, tabel 2x2). Kesimpulan
bangsal rawat inap RSUD Kabupaten diambil berdasarkan nilai p (probabilitas).
Temanggung selama periode Januari – Data faktor-faktor perancu yang meliputi
Maret 2016. Subyek penelitian adalah usia, jenis kelamin, lama perawatan,
pasien rawat inap yang memenuhi kriteria riwayat gangguan lambung, tingkat
inklusi (pasien dewasa, usia >18 tahun; keparahan penyakit, jenis obat penekan
mendapatkan terapi obat penekan asam asam lambung, dan obat-obat lain yang
lambung) dan kriteria eksklusi (pasien mempengaruhi luaran klinik, dianalisis
keluar dari rumah sakit atas permintaan bivariat menggunakan uji Chi-Square.
sendiri, pasien meninggal pada masa Faktor perancu dengan nilai p<0,25
perawatan, pasien hamil atau menyusui). dilanjutkan ke analisis multivariat (regresi
Variabel operasional penelitian logistik) untuk mencari faktor perancu
terdiri atas variable bebas (ada atau tidak yang paling berpengaruh terhadap luaran
kejadian DRPs), variabel tergantung klinik .2
(luaran klinik membaik atau tidak

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian


61
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

4. HASIL PENELITIAN DAN sebanyak 204 subyek penelitian. Secara


PEMBAHASAN umum karakteristik subyek penelitian
4.1. Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Jumlah keseluruhan sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian


Karakteristik Jumlah %
Usia ≤ 60 tahun 133 65,2
> 60 tahun 71 34,8
Jenis kelamin Laki-laki 117 57,4
Perempuan 87 42,6
Lama perawatan ≤ 7 hari 146 71,6
(LOS) > 7 hari 58 28,4
Riwayat gangguan Ada riwayat 71 34,8
lambung Tidak ada riwayat 133 65,2
0 (Not ill) 86 42,2
Tingkat keparahan
1-2 (Mildly ill) 91 44,6
penyakit (indeks
3-4 (Moderate ill) 23 11,3
komorbid Charlson)
>4 (Severely ill) 4 1,9
Keterangan: LOS: Length of Stay; AST : Acid Suppresive Therapy; H2RA : H2-Receptor Antagonist;
PPI=Proton Pump Inhibitor

4.2. Pola penggunaan obat penekan asam lambung


Tabel 2. Pola peresepan obat penekan asam lambung
Obat Penekan Asam Lambung Jumlah pasien %
H2RA 172 84,3
- Ranitidin injeksi 171
- Ranitidin tablet 1
PPI 9 4,4
- Omeprazol injeksi 5
- Omeprazol tablet 1
- Pantoprazol injeksi 3
H2RA + PPI 23 11,3
- Ranitidin + omeprazol injeksi 6
- Ranitidin + omeprazol tablet 12
- Ranitidin + pantoprazol injeksi 5
Total 204 100,0

Pola peresepan obat penekan asam sebagai profilaksis stress ulcer dan
lambung tersaji dalam Tabel 2. Obat NSAID-induced ulcer.
penekan asam lambung yang tersedia di Selain menggunakan obat penekan
RSUD Kabupaten Temanggung adalah asam lambung, 52,9% subyek juga
golongan H2RA (ranitidin) dan PPI mendapat terapi obat-obat lain yang
(omeprazol dan pantoprazol). Indikasi mempengaruhi luaran klinik, yaitu obat
penggunaan obat penekan asam lambung penetral asam (antasida), sitoproteksif
terbesar adalah untuk mengatasi dispepsia, (sukralfat), dan obat antimual-muntah
(ondansetron, dimenhidrinat) (Tabel 3).

62
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 3. Obat-obat lain yang mempengaruhi luaran klinik


Kelompok Jumlah %
Menggunakan obat lain yang dapat mempengaruhi luaran 108 52,9
klinik
- Antasida 2
- Sukralfat 27
- Ondansetron 21
- Antasida+sukralfat 7
- Dimenhidrinat+sukralfat 1
- Ondansetron+antasida 8
- Ondansetron+sukralfat 23
- Ondansetron+dimenhidrinat 7
- Ondansetron+sukralfat+antasida 10
- Ondansetron+dimenhidrinat+sukralfat 2
Tidak menggunakan obat lain yang dapat mempengaruhi 96 47,1
luaran klinik
Total 204 100,0

4.3. Kajian DRPs dkk., (2014), dimana ditemukan 199


DRPs adalah kejadian yang tidak kejadian, yang disajikan dalam Tabel 4.
dikehendaki yang terkait dengan terapi
pengobatan, sehingga potensial 4.4. Evaluasi luaran klinik
Sebanyak 76,5% subyek
mengganggu keberhasilan terapi. DRPs
dinyatakan membaik; 4,4% tidak
terjadi pada 152 subyek (74,5%). DRPs membaik; dan 19,1% tidak dapat
dievaluasi menggunakan sistem Cipolle dievaluasi karena tidak ada keluhan terkait
gangguan lambung.

Tabel 4. Kategori DRPs dengan klasifikasi sistem Cipolle dkk. (2014)


Jumlah
No Kategori DRPs Kejadian %
DRPs
1 Terapi obat tidak diperlukan 90 45,2
- Tidak ada indikasi medik untuk terapi obat pada 69 34,7
waktu tersebut
- Penggunaan multiple drug pada kondisi yang hanya 21 10,5
memerlukan obat tunggal
2 Obat tidak efektif
- Bukan merupakan obat yang paling efektif untuk 35 17,6
masalah medik
3 Dosis obat terlalu tinggi 26 13,1
4 Timbulnya reaksi merugikan 48 24,1
- Obat menyebabkan reaksi alergi 1 0,5
- Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak 47 23,6
diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis
Total kejadian DRPs 199 100,0

63
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

4.5. Hubungan DRPs dengan luaran Confidence Interval (CI) dengan taraf
klinik kepercayaan 95%, nilai CI antara 0,103 –
Dari hasil analisis, diperoleh nilai p 4,107 (melewati angka 1), hal ini
sebesar 0,500 (p>0,05) yang berarti tidak menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
terdapat hubungan antara kejadian DRPs proporsi luaran klinik antara kelompok
dengan luaran klinik. Dilihat dari nilai DRPs dan non DRPs.

Tabel 5. Hasil analisis hubungan DRPs dengan luaran klinik


Luaran klinik
Tidak
Kategori Membaik Total p OR CI (95%)
membaik
n (%) n (%)
DRPs 2 (4,9) 39 (95,1) 41 (100,0)
Non DRPs 3 (7,3) 38 (92,7) 41 (100,0) 0,500 0,650 0,103 - 4,107
Total 5 (6,1) 77 (93,9) 82 (100,0)
Uji Fisher’s Exact

4.6. Evaluasi faktor-faktor yang dapat 5. KESIMPULAN


mempengaruhi luaran klinik Berdasarkan hasil penelitian dapat
Faktor-faktor perancu yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
mempengaruhi luaran klinik, meliputi usia, 1. Pola penggunaan obat penekan asam
jenis kelamin, lama perawatan, riwayat lambung menggunakan obat
gangguan lambung, tingkat keparahan golongan H2RA 84,3%; golongan
penyakit, jenis obat penekan asam PPI 4,4%; sedangkan kombinasi
lambung, serta obat-obat lain yang bertitik H2RA dan PPI 11,3%. Indikasi
tangkap di lambun. Masing-masing penggunaan obat penekan asam
variabel dianalisis bivariat, kemudian lambung adalah untuk mengatasi
variabel dengan nilai p<0,25 dianalisis dispepsia, profilaksis stress ulcer dan
multivariat, yaitu riwayat gangguan profilaksis NSAID-induced ulcer.
lambung (p=0,163); tingkat keparahan 2. Dari hasil kajian DRPs, diketahui
penyakit (p=0,006); serta obat-obat lain bahwa DRPs terjadi pada 152 subyek
yang mempengaruhi luaran klinik (74,5%) sebanyak 199 kejadian,
(p=0,010). berupa terapi obat tidak diperlukan
Dari analisis multivariat diketahui 45,2%; obat tidak efektif 17,6%;
bahwa faktor yang paling berpengaruh dosis obat terlalu tinggi 13,1%; dan
terhadap luaran klinik adalah tingkat timbulnya reaksi merugikan 24,1%.
keparahan penyakit dengan nilai p sebesar 3. Dari evaluasi luaran klinik, diperoleh
0,003 (p<0,05). Yang berarti ada hubungan hasil 76,5% subyek dinyatakan
antara tingkat keparahan penyakit dengan membaik; 4,4% tidak membaik; dan
luaran klinik. Dilihat dari nilai Odds Ratio 19,1% tidak dapat dievaluasi. Dari
(OR), sebesar 33,000 artinya pasien analisis statistik hubungan antara
dengan tingkat keparahan penyakit DRPs dengan luaran klinik, diketahui
moderate – severe atau indeks komorbid bahwa tidak ada hubungan antara
Charlson >2 mempunyai kemungkinan DRPs dengan luaran klinik (p>0,05).
(odds) 33 kali mengalami luaran klinik
yang memburuk dibandingkan kelompok 6. DAFTAR PUSTAKA
tingkat keparahan penyakit not – mild atau 1. Cipolle, R., Strand, L., dan P
indeks komorbid Charlson 0 – 2. Morley, 2004. Pharmaceutical
Care Practice: The Clinician’s
64
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Guide, Second Edition: The


Clinician’s Guide. McGraw-Hill
Compaies, Incorporated.
2. Dahlan, M.S., 2014. Statistik Untuk
Kedokteran Dan Kesehatan:
Deskriptif, Bivariat, Dan
Multivariat Dilengkapi Aplikasi
Menggunakan SPSS, Edisi 6. ed.
Epidemiologi Indonesia.
3. Mohamad, M.S., Shamsuddin, N.,
dan Tan, K.M., 2015.
Appropriateness of stress ulcer
prophylaxis among older adults
admitted to general medical wards
in a university hospital. European
Geriatric Medicine, 6: 119–123.
4. Parente, F., Cucino, C., Gallus, S.,
Bargiggia, S., Greco, S., Pastore,
L., dkk., 2003. Hospital use of
acid-suppressive medications and
its fall-out on prescribing in general
practice: a 1-month survey.
Alimentary pharmacology &
therapeutics, 17: 1503–1506.
5. Sheikh-Taha, M., Alaeddine, S.,
dan Nassif, J., 2012. Use of acid
suppressive therapy in hospitalized
non-critically ill patients. World
Journal of Gastrointestinal
Pharmacology and Therapeutics, 3:
93–96.

65
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

PERBANDINGAN KEJADIAN MEDICATION ERROR DAN WAKTU


PENYIAPAN PADA SISTEM UDD DENGAN MESIN ATDPS DAN NON
ATDPS PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM
KABUPATEN TANGERANG
Abiyoga Pradata1, Ayup Milladi*2 Heru Cahyono2
1
Program Magister Farmasi, Fakultas Farmasi,Universitas Indonesia
2
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang

Email Korespondensi : ayupmilladi@gmail.com

Latar Belakang :Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan meningkatkan


keselamatan dan pelayanan pasien, salah satunya dengan distribusi sistem Unit Dose
Dispensing (UDD) menggunakan Automatic Tablet Dispensing & Packaging System
(ATDPS), yaitu suatu mesin yang digunakan untuk penyiapan obat secara otomatis.
Penggunaan mesin ini masih sangat terbatas di Indonesia. Penelitian mengenai Automated
Dispensing Machine masih belum banyak di lakukan di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbandingan presentase kejadian medication error pada fase
dispensing dan waktu penyiapan obat secara UDD dengan mesin ATDPS dan Non ATDPS
(manual). Metode : Penelitian ini menggunakan metode observasional yang bersifat
deskriptif dan evaluasi. Prosedurnya dengan cara mencatat dan mengamati setiap medication
error yang terjadi dan waktu pada proses pengerjaan resep. Hasil : Hasil dari 1759 R/,
ATDPS memiliki rerata waktu 22,36 detik dan dispensing error sebesar 1,36%, sedangkan
pengerjaan manual dari 517 R/ memiliki rerata waktu 42.36 detik dan dispensing error
sebesar 5,42%. Kesimpulan : ATDPS memiliki presentase medication error yang lebih
rendah dan waktu pengerjaan resep yang lebih cepat dibandingkan Non ATDPS (manual).

Kata Kunci : Mesin ATDPS, Medication error, Standar Pelayanan Kefarmasian

1. PENDAHULUAN yang meliputi: pemilihan, perencanaan


Rumah Sakit adalah institusi kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
pelayanan kesehatan yang penyimpanan, pendistribusian,
menyelenggarakan pelayanan kesehatan pemusnahan dan penarikan, pengendalian
perorangan secara paripurna yang dan administrasi.6
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat Sistem distribusi dirumah sakit dapat
jalan, dan gawat darurat. Instalasi Farmasi dilakukan dengan beberapa cara yaitu
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Floor Stock, IP (Individual Prescribing),
Rumah sakit sebagai unit pelaksana UDD (Unit Dose Dispensing) dan ODDD
fungsional yang menyelenggarakan (Once Daily Dose Dispensing). Sistem
seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di distribusi Unit Dose Dispensing didalam
Rumah Sakit.6 Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah (SNARS) Edisi.1 merupakan salah satu
tolak ukur yang digunakan sebagai elemen penilaian yang mengharuskan ada
pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam bukti pelaksanaan penyerahan obat dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. bentuk yang siap diberikan kepada pasien.
Salah satu standar pelayanan kefarmasian Sistem distribusi UDD sangat dianjurkan
adalah pengelolaan sediaan farmasi, alat untuk pasien rawat inap mengingat dengan
kesehatan dan bahan medis habis pakai sistem ini tingkat kesalahan pemberian

66
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

obat (medication error) dapat Penelitian ini dilakukan dengan


diminimalkan sampai kurang 5% melakukan pengamatan secara langsung di
dibandingkan dengan sistem floor stock depo rawat inap instalasi farmasi RSU
atau resep individu dengan mencapai kabupaten Tangerang selama waktu
18%.6 tertentu. Pengumpulan data dilakukan
Medication error adalah suatu dengan menggunakan formulir yang telah
kegagalan dalam proses pengobatan yang dibuat sebelumnya oleh peneliti. Penelitian
memiliki potensi membahayakan pada ini bertujuan untuk mengetahui
pasien dalam proses pengobatan ataupun perbandingan waktu penyiapan obat pada
perawatannya.1 Kesalahan pengobatan ini sistem distribusi UDD dengan
dapat menyebabkan efek yang merugikan menggunakan mesin ATDPS dan Non
serta berpotensi menimbulkan risiko fatal ATDPS (Manual) dan kejadian medication
dari suatu penyakit.9 Kejadian medication error pada fase dispensing di rawat inap
error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase RSU Kabupaten Tangerang.
prescribing, fase transcribing, fase
dispensing dan fase administration.3 2. METODE PENELITIAN
Medication error pada fase prescribing Penelitian ini merupakan jenis
adalah error yang terjadi pada fase penelitian non eksperimental. Desain yang
penulisan resep. Fase ini meliputi: obat digunakan adalah cross sectional, yaitu
yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak pengumpulan data variabel yang
tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat digunakan untuk mendapatkan gambaran
obat atau ada obat yang tidak waktu penyiapan obat dan kejadian
adaindikasinya, tidak tepat dosis dan medication error pada sistem distribusi
aturan pakai. Transcribing error terjadi UDD di depo farmasi rawat inap dengan
pada saat pembacaan resep, dispensing menggunakan mesin ATDPS dan Non
error adalah kesalahan yang terjadi pada ATDPS (manual) pada waktu tertentu.
saat penyiapan resep oleh petugas apotek, Penelitian ini dilaksanakan pada hari dan
sedangkan administration error adalah jam kerja dari hari Senin sampai dengan
kesalahan saat penyerahan obat kepada hari Jumat selama bulan April 2019.
pasien. Penelitian dilakukan pada bulan April
Penelitian yang dilakukan Susanti 2019 di Depo Farmasi Rawat Inap Instalasi
pada tahun 2013 di RSUP Fatmawati, Farmasi Rumah Sakit Umum Kabupaten
potensi kesalahan pada fase dispensing Tangerang Metode pengumpulan data yang
sebesar 61%. Pada penelitian yang digunakan pada penelitian yaitu observasi
dilakukan oleh Purwoadi.,dkk pada tahun dan perekaman data. Sampel yang diambil
2016, di Bethesda Yogyakarta, penerapan adalah R/ obat dengan bentuk sediaan
Automated Dispensing Machine dapat tablet dan kapsul.
menurunkan medication error pada fase
dispensing sebanyak 69.78%. 3. HASIL PENELITIAN
Pelaksanaan UDD dapat dilakukan Proses penyiapan UDD dengan
dengan ATDPS dan manual. ATDPS atau ATDPS, dimulai saat penarikan data resep
mesin dispensing otomatis, diterapkan dari SIM RS, yang terintegrasi pada
dengan harapan dapat menurunkan angka aplikasi ATDPS yaitu OnCube, untuk
medication error serta meningkatkan kemudian diolah dan disesuaikan dengan
waktu penyiapan obat.4 Berdasarkan KIO (Kartu Intruksi Obat). Data resep
penelitian lain juga menyebutkan beberapa pada aplikasi Oncube yang telah diolah
kelebihan mesin ini yaitu menghemat dan diperiksa apoteker, selanjutnya
waktu, menurunkan beban kerja pegawai, diteruskan ke mesin ATDPS untuk proses
meningkatkan kepuasan perawat dan dispensing obat. Baik penulisan etiket dan
pegawai farmasi.12 proses memasukan obat kedalam kemasan
67
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

UDD, dilakukan secara otomatis oleh apoteker. Pada penelitian ini, waktu
mesin ATDPS. Hasilnya, kemudian di penyiapan obat baik pada ATDPS dan
periksa oleh apoteker yang bertanggung manual, dicatat mulai dari awal proses
jawab sebelum diserahkan kepada dokter penyiapan hingga obat yang sudah pada
atau perawat yang berwenang. Sedangkan, kemasan UDD, siap untuk diperiksa oleh
penyiapan UDD dengan Non ATDPS apoteker. Sampel penelitian yang diambil
(manual) dimulai saat penulisan etiket adalah R/ rawat inap, yang berupa obat
pada kemasan UDD berdasarkan KIO, dengan bentuk sediaan tablet atau kapsul,
yang selanjutnya obat dimasukan kedalam dan bukan merupakan R/ obat injeksi atau
kemasan UDD dan diperiksa oleh racikan.

Gambar 1. Prosedur penelitian

Tabel 1. Rerata Waktu Penyiapan Obat dengan Mesin ATDPS dan Non-ATDPS (Manual)
ATDPS Non ATDPS (Manual)
Waktu
Hari Waktu Waktu Waktu
Jumlah Jumlah Penyiapan
Penyiapan Penyiapan Obat Penyiapan
R/ R/ Obat per
Obat (detik) per R/ (detik) Obat (detik)
R/ (detik)
1 126 4691 37.2 16 652 40.8
2 95 2204 23.2 11 412 37.5
3 29 1045 36.0 14 545 38.9
4 80 1213 15.2 35 1583 45.2
5 139 2999 21.6 19 1079 56.8
6 63 1451 23.0 34 1775 52.5
7 426 5238 12.3 99 3088 31.2
8 73 1929 26.4 16 707 44.2
9 90 1489 16.5 23 846 36.8
10 231 2349 10.2 111 4275 38.5
11 55 1137 20.7 21 1174 55.9
12 77 1519 19.7 19 752 39.6
13 204 2924 14.3 81 2271 28.0
14 71 2597 36.6 18 855 47.5
Total R/ 1759 517
Rerata Waktu
Penyiapan
22.36 42.36
Obat per R/
(detik)

68
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

Tabel 2. Presentasi Jumlah Medication Error pada Penyiapan Obat dengan ATDPS dan Non
ATDPS (Manual)
ATDPS Non ATDPS (Manual)
Hari Jumlah Medication Jumlah Medication
Jumlah R/ Jumlah R/
Error Error
1 126 6 16 0
2 95 0 11 0
3 29 0 14 1
4 80 1 35 2
5 139 1 19 6
6 63 2 34 3
7 426 6 99 9
8 73 1 16 2
9 90 0 23 0
10 231 1 111 3
11 55 1 21 1
12 77 2 19 0
13 204 0 81 0
14 71 2 18 1
Total R/ 1759 517
Presentasi Jumlah
1.31% 5.42%
Medication Error

Tabel 3. Jenis Medication Error pada Penyiapan Obat dengan ATDPS dan Non ATDPS
(Manual)
Medication Error
Jenis Medication Error ATDPS Non ATDPS
Salah petunjuk di label 4 13
Salah bentuk sediaan 0 0
Salah kekuatan obat 2 0
Salah nama obat terdispensi 0 5
Salah jumlah obat terdispensi 9 4
Salah nama pasien 0 1
Kesalahan lain 8 5
Total Medication Error 23 28

Gambar 1. Perbandingan Rerata Waktu Pelayanan Obat ATDPS dan Non-ATDPS

69
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

4. PEMBAHASAN penelitian yang dipaparkan pada tabel 2,


Berdasarkan hasil penelitian pada presentase medication error dengan
tabel 1, rerata waktu penyiapan obat per R/ menggunakan ATDPS dari 1759 R/ adalah
dengan menggunakan ATDPS dari 1759 1,31%, lebih sedikit dibandingkan yang
R/ adalah 22,36 detik, lebih cepat menggunakan Non-ATDPS (manual) yaitu
dibandingkan yang menggunakan Non- 5,42% dari 517 R/. Hasil ini sesuai dengan
ATDPS (manual) yaitu 42,36 detik dari beberapa penelitian yang terkait penurunan
517 R/. Hal ini menjelaskan ATDPS dapat medication error dengan menggunakan
mempercepat waktu penyiapan obat UDD mesin dispensing otomatis.2,8,11 Hal ini
hingga dua kali lipat dibandingkan salah satunya dapat disebabkan karena
penyiapan UDD secara manual. Proses proses ATDPS dilakukan secara otomatis
penyiapan obat oleh ATDPS lebih cepat, dan mengurangi pengerjaan oleh manusia.
karena dilakukan secara otomatis oleh Semakin banyaknya keterlibatan manusia,
mesin, baik pada proses pencetakan etiket potensi kesalahan akan semakin besar.8
pada kemasan UDD, memilih dan Penurunan medication error, dapat
memasukan obat ke dalam kemasan. meningkatkan kualitas pelayanan dan
Berdasarkan pengamatan yang kesehatan pasien.
dilakukan pada penelitian ini, terdapat Medication error yang paling sering
kelebihan dan kekurangan terkait terjadi pada proses ATDPS adalah
kecepatan penyiapan obat oleh ATDPS kesalahan jumlah obat yang terdispensi
maupun manual. ATDPS memiliki pada kemasan UDD. Hal ini dapat
kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan disebabkan karena bentuk dan ukuran
manual, sehingga dapat mempercepat tablet yang berubah dari perusahaan
sampainya obat kepada pasien. Pemberian farmasi yang memproduksinya, sehingga
obat yang tepat waktu, dapat meningkatkan ukurannya tidak sesuai dengan cannister
pelayanan pasien dan memberikan pada ATDPS. Sedangkan medication error
pengaruh yang signifikan pada kondisi yang sering terjadi pada manual adalah
kesehatan pasien.2-3 Peningkatan kecepatan kesalahan penulisan petunjuk etiket, baik
penyiapan obat juga mengurangi beban berupa tanggal atau aturan pakai. Hal ini
kerja pegawai farmasi, sehingga memiliki umumnya terjadi ketika resep yang
waktu lebih untuk melakukan pelayanan dikerjakan dalam jumlah banyak sehingga
kepada pasien. Beban kerja yang tinggi, meningkatkan beban kerja pegawai farmasi
dapat mengurangi efisiensi pegawai dan yang berujung pada peningkatan potensi
mengurangi tingkat kesalahan.10 kesalahan.8 Keterangan pada kemasan
Kekurangan ATDPS sendiri adalah ketika UDD pada ATDPS juga lebih lengkap
obat pada ATDPS habis, harus melakukan apabila dibandingkan kemasan UDD
pengisian terlebih dahulu dan memakan manual, karena memiliki keterangan nama
waktu penyiapan obat. ATPDS dan sistem obat, jumlah obat, nama dokter
OnCube juga sangat tergantung pada listrik penanggung jawab, dan nomor rekam
dan sistem SIM RS, sehingga ketika terjadi medis pasien. Faktor- faktor lain yang
masalah listrik, ATDPS tidak dapat memperngaruhi medication error dan
bekerja. Kekurangan ini justru menjadi waktu penyiapan pada
kelebihan pada proses manual yang dapat .
tetap berjalan walau ada kendala listrik. 5. KESIMPULAN
Pengamatan medication error A. Rerata waktu penyiapan obat per R/
dilakukan pada proses penyiapan obat dengan menggunakan ATDPS dari
dengan ATDPS dan Non ATDPS. Setiap 1759 R/ adalah 22,36 detik, lebih
sampel R/ yang disiapkan, diperiksa dan cepat dibandingkan yang
dicatat kesalahannya, baik yang terjadi menggunakan Non-ATDPS (manual)
maupun yang near miss. Berdasarkan hasil yaitu 42,36 detik dari 517 R/.
70
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

B. Presentase medication error dengan 6. Menteri Kesehatan Republik


menggunakan ATDPS dari 1759 R/ Indonesia. (2010). Peraturan
adalah 1,31%, lebih sedikit Menteri Kesehatan Republik
dibandingkan yang menggunakan Indonesia Nomor
Non-ATDPS (manual) yaitu 5,42% Hk.02.02/Menkes/068/I/2010
dari 517 R/. tentang Kewajiban Menggunakan
Obat Generik di Fasilitas Pelayanan
6. UCAPAN TERIMA KASIH DAN Kesehatan Pemerintah.
LEGAL RESPONSIBILITY 7. Menteri Kesehatan Republik
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Indonesia. (2016). Peraturan Menteri
Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya Kesehatan Republik Indonesia
sehingga peneliti dapat menyelesaikan Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
penelitian ini. Ucapan terima kasih kami Standar Pelayanan Kefarmasian di
sampaikan kepada Direktur RSU Rumah Sakit. Jakarta.
Kabupaten Tangerang dan Seluruh staf 8. Ong YSP, Chen LL, Wong JA,
Instalasi Farmasi RSU Kabupaten Gunawan Y, Goh WJ, Tan MC, et
Tangerang. Naskah Yang saya ajukan al. (2014). Evaluating the Impact of
adalah naskah yang belum pernah Drug Dispensing Systems on the
diterbitkan di media lain, baik cetak Safety and Efficacy in a Singapore
maupun elektronik dan tidak sedang dalam Outpatient Pharmacy. Value in
pengajuan untuk diterbitkan pada penerbit Health 17. A719–A813
lain. 9. Perwitasari, Dyah Aryani. (2010).
Medication errors in outpatients of a
7. DAFTAR PUSTAKA government hospital in yogyakarta
1. Aronson, J.K. (2009). Medication indonesia. International Journal of
errors: what they are, how they Pharmaceutical Sciences Review
happen, and how to avoid them. and Research Page 8 Volume 1,
QJM; 102 (8): 513-521. Issue 1, Article 002.
2. Beard RJ, Smith P. (2013). 10. Siregar, C. J. P dan Amalia, L.,
Integrated electronic prescribing (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori
and robotic dispensing: a case dan Penerapannya. Penerbit Buku
study. Springerplus. 2:295. Kedokteran, Jakarta.
3. Ernawati DK, Lee YP, Hughes JD. 11. Sujatno P, Pinzon RT, Meliala A.
(2014). Nature and frequency of (2016). Evaluasi dampak penerapan
medication errors in a geriatric ward: automated dispensing machine
an Indonesian experience. terhadap dispensing error di farmasi
Therapeutics and Clinical Risk rawat jalan instalasi farmasi rumah
Management Dovepress 413. sakit bethesda yogykarta. Jurnal
4. European Directorate for the Quality Farmasi Sains dan Komunitas, Mei
of Medicines & HealthCare 2016, hlm. 7-14.
(EDQM). (2018). Automated Dose 12. Suryadinata H.U. (2017). The
Dispensing (ADD) Guidelines on benefits of automated dispensing
best practice for the ADD process, machine for hospital pharmacy in
and care and safety of patients. Indonesia: situation, implementation,
EDQM F-67081 Strasbourg France. and feasibility. Global Health
5. Komisi Akreditasi Rumah Sakit Management Journal, 2017, Vol. 1,
Agustus, (2017). Standar Nasional No. 1.
Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1.
Jakarta.

71
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

8. LAMPIRAN

Lampiran 1. Etiket Mesin ATDPS

Lampiran 2. Etiket dari Non-ATDPS (manual)

Lampiran 3. Mesin ATDPS (Automatic Tablet Dispensing and Packaging System )

Lampiran 4. KIO (Kartu Instruksi Obat)

72
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8
PROSIDING PIT & MUNAS HISFARSI 2019, BALI

73
Udayana University Press
ISBN : 978-602-294-364-8

Anda mungkin juga menyukai