Anda di halaman 1dari 215

Lungsoġ:

Terapi Uap Pereda Nyeri


Rematik Orang Daya
Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan

Titan A
Ishartono
Lulut Kusumawati

Penerbit
Unesa University Press

189
Titan A, dkk

Lungsoġ :
Terapi Uap Pereda Nyeri
Rematik Orang Daya
Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan

Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 – 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com

Bekerja sama dengan:


PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xv, 199 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN : 978-979-028-959-8
copyright © 2016, Unesa University Press

All right reserved


Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun
baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari
penerbit

190
SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)
Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes
Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH
drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat : Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE

iii
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna

iv
KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat


di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.

v
Surabaya, Nopember 2015
Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, MKes

vi
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ......................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
1.2.1. Tujuan umum penelitian ...................................................... 6
1.2.2. Tujuan khusus penelitian .................................................... 7
1.3. Metode ................................................................................. 7
1.3.1. Penentuan lokasi penelitian ................................................. 7
1.3.2. Pengumpulan data ............................................................... 9
1.3.3. Analisa data .......................................................................... 12

BAB 2 ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU ................................... 14


2.1. Gambaran umum Kabupaten OKU Selatan ........................ 14
2.2. Sejarah Jalma Daya Sunur .................................................. 19
2.3. Cerita asal mula Desa Padang Bindu ................................... 23
2.4. Desa Padang Bindu dan perkembangannya ....................... 28
2.5. Gambaran Umum Desa Padang Bindu................................ 33
2.5.1. Dari Muara Dua ke Desa Padang Bindu .............................. 39
2.5.2. Desa Padang Bindu di antara dua sungai ............................ 41
2.5.3. Pemukiman dan rumah adat suku Daya Padang Bindu ...... 43
2.6. Agama dan Kepercayaan orang suku Daya
Desa Padang Bindu.............................................................. 48
2.6.1. Sedekahan dalam lingkaran hidup Penduduk
Desa Padang Bindu............................................................. 50
2.6.2. Sedekahan ruwahan dan kepercayaanTerhadap

vii
dunia gaib ............................................................................ 54
2.6.3. Pesantren, usaha mempertahankan Islam
Di Desa Padang Bindu ......................................................... 57
2.6.4. Mitos Danau Upungan ......................................................... 59
2.7. Bertahan hidup dengan kopi ................................................ 61
2.8. Produksi pertanian di Desa Padang Bindu ........................... 64
2.9. Petani kopi dan kehidupan baru di Sapo ............................. 69
2.10. Sakai dalam kehidupan petani Desa Padang Bindu ............ 74
2.11. Organisasi sosial dan sistem kekerabatan ........................... 77
2.12. Adok dalam budaya suku Daya Desa Padang Bindu .......... 80
2.13. Adat pernikahan di Desa Padang Bindu ............................... 82
2.14. Konsep sehat dan sakit ........................................................ 87
2.15. Ribang bagi kehidupan penduduk Desa Padang Bindu ...... 88
2.16. Bahasa orang Daya Desa Padang Bindu ............................... 89

BAB III POTRET KESEHATAN JALMA DAYA ................................ 90


3.1. Status kesehatan .................................................................. 90
3.1.1 Menyapa pembaruan ............................................... 90
3.1.1.1. Tiga sumber air…………………………………. ..... . 90
3.1.1.2. Jamban………………………………………………...... 94
3.1.1.3. Cuci tangan dalam semangkuk air…… ........ .95
3.1.2 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)…………………………. ...... .97
3.1.2.1 Satu Desa Satu Bidan………………………… ..... 97
3.1.2.2 Mbay, Dukun Bayi Padang Bindu……… ...... .99
3.1.2.3 Budaya dan Adat Pada Kehamilan
dan Persalinan ........................................... 102
3.1.2.4 Bayi dan Balita……………………………………..... 109
3.1.3 Perilaku Merokok……………………………………………....... 115
3.1.4 Penyakit Menular ..................................................... 119
3.1.4.1 Penyakit Kusta dan TBC.................................. 119
3.1.4.2 Wabah Cikungunya ........................................ 120
3.1.4.3 Penyakit Kulit ................................................. 121

viii
3.1.3. Penyakit Tidak Menular (PTM)…………….…………… ...... .122
3.1.5.1 Rematoid…………………………..…………………… .... 123
3.1.5.2 Hipertensi dan Stroke…………………………….. .... 124
3.2 Ketersediaan Pelayanan Kesehatan ..................................... 126
3.2.1 Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan
Formal ....................................................................... 126
3.2.2 Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan
Tradisional .................................................................. 134
3.3 Pola Pencarian Pengobatan .................................................. 139

BAB IV Lungsoġ Ramuan Pereda Nyeri ..................................... 142


4.1. Lungsoġ ramuan Pereda Nyeri ............................................... 142
4.1.1. Lungsoġ dan Pembagiannya ........................................ 143
4.1.2. Manfaat Lungsoġ .......................................................... 143
4.1.3. Ramuan Lungsoġ ........................................................... 143
4.2. Lungsoġ Rematik .................................................................... 143
4.2.1. Definisi dan Ciri Rematik ............................................... 143
4.2.2. Causa Rematik, Demi Bulir Kopi .................................... 146
4.2.3. Obat Medis, Pengobatan Praktis Sementara ................ 152
4.2.4. Terapi Lungsoġ Rematik ................................................ 155
4.2.5. Rematik dan Lungsoġ Rematik dalam Pandangan Medi s159
4.3. Lungsoġ Moġian .................................................................... 163
4.3.1. Moġian, Penyakit Misterius .......................................... 163
4.3.2. Penyebab Moġian ......................................................... 166
4.3.3. Moġian Dalam Pandangan Medis ................................. 168
4.3.4. Lungsoġ Mogian Yang Diturunkan ............................... 169

BAB V POTENSI DAN TANTANGAN ........................................... 174


5.1. Sakai ..................................................................................... 174
5.2. Talang-Talang ...................................................................... 175
5.3. Rematik dan Lungsoġ ........................................................... 176
5.4. Kalangan dan Penjual Obat ................................................. 177

ix
Daftar Pustaka ............................................................................... 180
Indeks............................................................................................. 182
Glosarium....................................................................................... 186
Ucapan Terima Kasih ..................................................................... 192
Komponen SWOT ..........................................................................

x
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Gambar 3.1. Pemakaian Vaksin di Puskesmas Buay Runjung


PadaTahun 2014................................................ 98
Gambar 3.2. Kunjungan K1 dan K4 di UPTD Puskesmas
Gambar 3.3. Buay RunjungTahun 2014 ................................. 104
Gambar 3.4. Jumlah Kunjungan Pasien TB di
UPTD Puskesmas Buay RunjungTahun 2014 ..... 120
Gambar 3.5. Daftar 10 Penyakit Terbanyak
di Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014 .......... 123
Gambar 3.6. Jumlah Pegawai di UPTD Puskesmas
Buay Runjung Tahun 2014 ................................ 127
Gambar 4.1 Perbandingan Antara Lungsoġ Moġian
dan Lungsoġ Rematik ........................................ 173

xi
xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1. Travel Kota Palembang – Kota MuaraDua PP ... 15


Gambar 2.2. Peta Kab.OKU Selatan ....................................... 17
Gambar 2.3. Tugu Walet yang Ada di Taman MuaraDua ...... 18
Gambar 2.4. Ciri Fisik Orang Suku Daya, Jari Tangan
yang Agak Sedikit Bengkok ................................ 21
Gambar 2.5. Bukti Fisik Cerita tentang Sejarah
Desa Padang Bindu ............................................ 22
Gambar 2.6. Silsilah Keturunan Suku Daya Sunur dan
Desa Padang Bindu ............................................ 23
Gambar 2.7. Makam Phuyang Patih Mapak .......................... 24
Gambar 2.8. Makam Phuyang Mangkubumi
dan Bentuk Makam Jaman Dulu ....................... 26
Gambar 2.9. Benda-Benda Bersejarah Pedang
dan Kotak Peninggalan Phuyang ....................... 28
Gambar 2.10. Bekom, Sumber Penerangan Ketika Listrik Padam ...... 31
Gambar 2.11. MCK di Desa Padang Bindu yang
Belum Selesai Dibangun MCK
di Desa Padang Bindu yang Belum
Selesai Dibangun ............................................... 33
Gambar 2.12. Peta Desa Padang Bindu ................................... 34
Gambar 2.13. Contoh Tempat Untuk Mendapatkan Signal
dan Alat Penguat Signal..................................... 35
Gambar 2.14. Suasana Hari Kamis Saatnya Belanja
Di Kalangan ....................................................... 37
Gambar 2.15. Salah Satu Penjual Obat-obatan
yang Ada di Kalangan ........................................ 38
Gambar 2.16. Sungai Kima, Sumber Pengairan

xiii
di Desa Padang Bindu ........................................ 42
Gambar 2.17. Sungai Semingkap, Sarana MCK Masyarakat
Suku Daya Desa Padang Bindu .......................... 43
Gambar 2.18. Bentuk Rumah ................................................... 44
Gambar 2.19. Kayu Bulat Sebagai Pengunci Bangunan Rumah...... 45
Gambar 2.20. Penahan Lantai Berupa Kayu Bulat Utuh
yang Berfungsi Untuk Menahan
Goncangan Gempa Atau Tanah yang Bergerak. 46
Gambar 2.21. Masjid desa....................................................... 49
Gambar 2.22. Musholla yang ada di Dusun 2 .......................... 50
Gambar 2.23. Sedekahan Petunggu ......................................... 53
Gambar 2.24. Tradisi Ruwahan yang Biasa Dilakukan
Menjelang Bulan Puasa ..................................... 55
Gambar 2.25. Pemasangan Tulisan Arab di AtasPintu............. 57
Gambar 2.26. Kegiatan Khataman Murid Pesantren ............... 58
Gambar 2.27. Danau Upungan, Tempat yang
Dianggap Keramat Oleh Desa Padang Bindu .... 60
Gambar 2.28. Tanjing, Langkah Awal Dalam Proses
Penanaman Kopi ............................................... 64
Gambar 2.29. Biji kopi dalam 1 centeng .................................. 65
Gambar 2.30. Sistem Penanaman Padi Jajar Legowo .............. 69
Gambar 2.31. Sapo Panggung .................................................. 70
Gambar 2.32. Sapo Depok ....................................................... 71
Gambar 2.33. Aktivitas Didalam Sapo ...................................... 72
Gambar 2.34. Jalan menuju kebun kopi yang becek
pada saat musim hujan ..................................... 73
Gambar 2.35. Pakaian adat pernikahan masyarakat
Desa Padang Bindu ............................................ 83
Gambar 3.1. Masyarakat Mencuci Piring di Sungai ............... 92
Gambar 3.2. Bangunan Peninggalan Pamsimas
Yang Tidak Digunakan Oleh Masyarakat ........... 93
Gambar 3.3. Peta Santasi yang dimiliki Oleh Desa
Padang Bindu..................................................... 94

xiv
Gambar 3.4. Bangunan Wastafel yang Tidak Digunakan ....... 96
Gambar 3.5. Tali Pusar Bayi Yuk SR yang diobati dengan
Air Garam .......................................................... 101
Gambar 3.6. Mbay D yang Melakukan Urut Pasca Persalinan 106
Gambar 3.7. Proses Cuci Tangan Penolong Persalinan
Pasca Melahirkan .............................................. 108
Gambar 3.8. Langkut, Makanan Pelancar ASI ........................ 110
Gambar 3.9. Njami Sampot (bisul) Pada Balita ...................... 112
Gambar 3.10. Dek AU yang Mengenakan Obat Berupa Kalung 114
Gambar 3.11. Ritual Petunggu Dek AU .................................... 115
Gambar 3.12. Kebiasaan Merokok di Sekitar Balita................. 116
Gambar 3.13. Menikmati Rokok di Sapo ................................. 117
Gambar 3.14. Penjual Rokok di Kalangan ................................ 118
Gambar 3.15. Kondisi UPTD Puskesmas Rawat Inap
Buay Runjung .................................................... 128
Gambar 3.16. Polindes Desa Padang BIndu yang
Hanya digunakan Untuk Posyandu ................... 130
Gambar 3.17. Praktik Bidan UM Pada Hari Kalangan .............. 133
Gambar 4.1. Tingkatan Nyeri Sendi Menurut Masyarakat
Etnik Daya .......................................................... 145
Gambar 4.2. Sepatu Karet Untuk Ke Kebun ........................... 148
Gambar 4.3. Jalanan Yang Biasa di Lalui Warga Desa
Menuju Kebun ................................................... 149
Gambar 4.4. Penjual Obat yang Berjualan Bebas di Kalangan 153
Gambar 4.5. Obat Rematik yang Dibeli di Kalangan .............. 153
Gambar 4.6. Bahan Bahan Lungsoġ ....................................... 157
Gambar 4.7. Daun Capa ......................................................... 158
Gambar 4.8. Mbay SR dan Mbay ASH belungsoġ
Sepulang dari Kebun ......................................... 159
Gambar 4.9. Bahan Lungsoġ milik Mbay SR........................... 170
Gambar 4.10. Lungsoġ Moġian Milik bu ASR ......................... 171
Gambar 4.11. Lungsoġ Moġian Milik Yuk EP ............................ 172

xv
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mari mengenal lebih dalam Bumi Sriwijaya, Sumatera Selatan.
Budaya Melayu sangat kental disini. Karamahan khas serta kekayaan
alam tropis menjadi identitas khusus yang dapat kita temui di salah
satu provinsi wilayah Indonesia ini. Ada beberapa kabupaten yang
masuk dalam wilayah provinsi ini, salah satunya adalah Kabupaten
Ogan Komering Ulu Selatan atau lebih mudah menyebutnya dengan
OKU Selatan. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten
Ogan Komering Ulu. OKU Selatan dengan ibukotanya Muara Dua
merupakan kabupaten yang baru berdiri selama dua Belas tahun
terakhir berdasarkan Undang–undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang
pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Pada awal
pembentukannya, Kabupaten OKU Selatan hanya terdiri dari 10
kecamatan. Kemudian kabupaten ini terus berkembang sampai saat
ini menjadi 19 kecamatan dengan 7 kelurahan dan 252 desa (BPS,
2012).
Secara geografis Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan
terletak antara 103 21’ BT dan 04 14’ - 04 55 LS. Wilayah Kabupaten
OKU Selatan memiliki luas 549.394 Ha. Batas–batas wilayah
administratif Kabupaten OKU selatan adalah sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten OKU, sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Lampung Barat, sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Bengkulu Selatan (Provinsi Bengkulu) dan Kabupaten
Muara Enim (Kecamatan Semendo Barat Ulu) dan sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten OKU Timur (Kecamatan Martapura)
dan Kabupaten Way Kanan (Provinsi Lampung) (BPS, 2012).
Penduduk yang tinggal di daerah Kabupaten OKU Selatan ini
berasal dari bermacam–macam suku. Ada yang merupakan suku asli
Sumatera Selatan dan ada pula yang merupakan suku pendatang

1
namun telah menetap di wilayah OKU Selatan. Salah satu suku yang
ada di OKU Selatan adalah suku Daya atau Jalma Daya. Kelompok
masyarakat ini hidup dan menyebar di sepanjang aliran sungai yang
sekarang dikenal dengan nama sungai Komering. Menjadi tantangan
yang cukup besar untuk dapat belajar dan memahami lebih dalam
salah satu etnis di wilayah Kabupaten OKU Selatan ini. Masyarakat
Etnis Daya tersebar di sebagian besar wilayah di Kabupaten OKU
Selatan, termasuk di wilayah Kecamatan Buay Runjung, dan khususnya
Etnik Daya di Kampung Sunur. Kampung Sunur terdiri dari Desa Nagar
Agung, Desa Saung Naga, Desa Padang Bindu, dan Desa Padang Sari,
dimana adat istiadat dan budaya masyarakat Suku Daya masih sangat
kental di keempat desa itu.
Riset Etnografi Kesehatan dilakukan di Ogan Komering Ulu
Selatan atas dasar Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) Kementerian Kesehatan tahun 2013. Ogan Komering Ulu
Selatan menduduki peringkat 413. Riset ini secara umum bertujuan
mengangkat potensi budaya yang ada pada etnik Daya di Desa Padang
Bindu yang berkaitan dengan kesehatan seperti kesehatan ibu dan
anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta gambaran
perilaku hidup bersih dan sehat. Di desa ini masyarakat masih
menjalankan adat istiadat suku Daya, walaupun beberapa adat
istiadat sudah berubah karena kemajuan jaman.
Kemajuan jaman yang begitu cepat seringkali memiliki
pengaruh negatif bagi masyarakat. Hal ini juga terjadi pada etnik Daya,
walaupun tidak semua unsur budaya membawa pengaruh yang
negatif bagi masyarakat. Karakter masyarakat yang cenderung mudah
menerima kemajuan jaman cenderung tanpa melalui filter tertentu,
sehingga dapat dikatakan Etnik Daya mengalami masa transisi yang
tidak terkontrol dan tanpa pegangan.
Pelayanan tenaga kesehatan pada masyarakat sudah cukup
baik. Ketersedian fasilitas kesehatan dan sarana air bersih yang ada di
Desa Padang Bindu sudah mencukupi. Namun hal tersebut didasarkan

2
karena alasan kepraktisan semata, bukan serta merta merupakan
alasan pandangan masyarakat mengenai penyembuhan medis dan
perilaku masyarakat yang hidup bersih dan sehat.
Pertama kali peneliti memasuki wilayah Desa Padang Bindu,
kekaguman datang dari deretan rumah yang tersusun apik sepanjang
jalan Desa Padang Bindu. Rumah-rumah kayu tersebut mayoritas
rumah panggung dan kelihatan sangat khas sekali. Namun, kekhasan
tersebut disandingkan dengan wujud kemajuan teknologi informasi
yang dilihat dari parabola- parabola yang berdiri tegak di depan
hampir setiap rumah. Tradisi dan kemajuan jaman yang bersanding
bersamaan seringkali mengaburkan identitas asli dan merubah makna
serta fungsi yang terkandung dalam adat istiadat itu sendiri dalam
suatu masyarakat.
Masuknya teknologi informasi yang begitu cepat mempunyai
dampak yang begitu besar dalam mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Masyarakat dengan mudahnya menerima unsur–unsur
budaya dari luar, termasuk pula dengan terpengaruhnya pola pikir
masyarakat itu sendiri. Walaupun sudah banyak hal–hal baru yang
mempengaruhi pola pikir masyarakat, namun ada pula suatu adat
istiadat yang masih terpendam dan tersimpan yang bahkan tidak di
ketahui dan disadari oleh masyarakat itu sendiri.
Begitu pula dengan masyarakat Suku Daya yang ada di Desa
Padang Bindu. Masyarakat Suku Daya di Desa padang Bindutidak
menyadari bahwa selama ini mereka masih menjalankan adat istiadat
mulai dari jaman nenek moyang suku Daya. Akan tetapi mereka
beranggapan bahwa adat istidat mereka sudah berkurang dengan
alasan bahwa orang–orang tua yang masih menjalankan adat istiadat
Suku Daya sudah meninggal dan tidak ada yang mau meneruskannya.
Faktor masuknya teknologi dan informasi juga ikut mempengaruhi
pola pikir dan perilaku masyarakat Suku Daya itu sendiri.
Transformasi pengetahuan masyarakat itu sendiri tidak akan pernah
putus dan dilakukan secara turun temurun walaupun wujud nyata

3
adat istiadat masyarakat sudah berkurang, seperti halnya upacara
adat pernikahan, upacara peringatan hari besar keagamaan,
pengobatan–pengobatan tradisional dan mata pencaharian
masyarakat Desa Padang Bindu.
Tanah Desa Padang Bindu yang subur sebagian besar
diperuntukkan sebagai kebun tanaman kopi, sehingga mayoritas
masyarakatnya juga mempunyai mata pencaharian sebagai petani
kopi. Mata pencaharian sebagai petani tanaman kopi sudah dilakukan
sejak jaman nenek moyang. Tanaman kopi dan kehidupan masyarakat
Suku Daya Desa Padang Bindu tidak dapat di pisahkan. Masyarakat
sangat menggantungkan hidupnya dari tanaman kopi yang mereka
tanam. Tanah kebun kopi yang ada di Desa Padang Bindu merupakan
tanah warisan secara turun temurun sehingga sangat sulit untuk
ditinggalkan. Beberapa masyarakat tidak pulang ke rumah dan tidur
di pondok pada saat musim panen kopi hanya sekedar menjaga
tanaman kopi dari binatang ataupun dari manusia yang akan mencuri
buah kopi yang siap panen. Namun setiap paginya, sebagian besar
masyarakat rela menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki
selama berjam–jam dan pulang ke rumah pada sore harinya hanya
untuk melakukan perawatan ataupun memanen tanaman kopi yang
ada di kebun.
Sumber daya alam yang sesuai untuk tanaman kopi dan
terciptanya pekerjaan masyarakat sebagai petani kopi menjadi dua hal
yang mendorong munculnya kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
Kebiasaan yang timbul dari lingkungan alam tanaman kopi dan petani
kopi adalah kebiasaan untuk meminum kopi. Kebiasaan yangdilakukan
oleh masyarakat adalah menyeruput sedikitnya tiga gelas kopi dalam
satu hari. Kebiasaan minum kopi juga berlaku bagi tamu yang datang
ke rumah tetangga atau kerabat. minuman yang wajib disuguhkan
pada tamu adalah kopi. Kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Desa
Padang Bindu merupakan kewajiban, karena menurut keyakinan
masyarakat bahwa ketika bekerja tidak minum kopi seluruh badan

4
akan terasa lemas dan minum segelas kopi bisa memulihkan badan
menjadi sehat dan segar kembali. Masyarakat mempunyai keyakinan
bahwa kebiasaan meminum kopi akan dapat menambah semangat
kerja, akan tetapi pekerjaan masyarakat sebagai petani kopi tanpa
disadari membutuhkan tenaga fisik yang kuat. Bila kondisi tubuh tidak
sehat dan minum kopi terlalu banyak yang dilakukan masyarakat
dapat merugikan kesehatan maka akan dapat dengan mudah
terserang penyakit.
Penyakit tersering yang diderita oleh masyarakat di Desa
Padang Bindu, menurut keterangan salah satu bidan yang tinggal di
Desa Padang Bindu adalah ISPA pada usia anak–anak, sedangkan pada
orang dewasa adalah hipertensi, TB dan rematik. Penyakit – penyakit
tersebut sesuai dengan data yang ada di Puskesmas Buay Runjung,
bahwa penyakit yang paling banyak di derita oleh masyarakat adalah
rematik. Gejala utama dari penyakit ini biasanya terjadi nyeri pada
sendi terutama ketika di pakai untuk bergerak dan hambatan gerakan
sendi. Penyebab penyakit ini belum di ketahui secara pasti, tetapi
menurut pendapat masyarakat penyebab timbulnya penyakit rematik
ini yaitu karena mengkonsumsi makanan sejenis kacang –
kacangan,cuaca dingin di desa serta aktifitas fisik yang tinggi sebagai
petani kopi.
Beberapa anggota masyarakat membeli obat–obatan sejenis
pil yang di jual secara bebas di Kalangan (sebutan untuk pasar
tradisional) ataupun menggunakan pengobatan secara tradisional
untuk menghilangkan rasa nyeri pada sendi. Masyarakat hanya
sekadar membeli dan meminum obat tersebut tanpa mengetahui efek
samping dari minum obat tersebut. Cara minum atau aturan minum
obat tersebut hanya di dapat sekedarnya dari pedagang obat.
Pengobatan secara tradisional yang digunakan masyarakat adalah
Lungsoġ ( baca : Lungsorgh ). Lungsoġ adalah semacam pengobatan
dengan menggunakan ramuan atau rempah–rempah yang direbus.
Rempah-rempah direbus sampai mendidih dan mengeluarkan uap.

5
Uap tersebut kemudian dipakai untuk mengurangi nyeri sendi pada
kaki yang terkena rematik.
Pengobatan penyakit rematik secara tradisional dengan
menggunakan Lungsoġ tersebut sangatlah menarik. Cara
penggunaanya sangatlah mirip dengan mandi uap atau Spa yang ada
di kota–kota besar. Pengobatan rematik secara tradisional ini yang
membuat peneliti ingin mengetahui dan mempelajari secara lebih
mendalam tentang Lungsoġ, mulai dari proses peracikan rempah–
rempah yang digunakan sampai dengan penggunaannya. Dari hasil
rasa ingin tahu tentang pengobatan tradisional penyakit rematik
itulah, maka peneliti mempunyai pemikiran bahwa Lungsoġ yang
kemudian dijadikan tematik dalam Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini.
Peneliti menemui kesulitan dalam mengidentifikasi konsep emik
tentang Lungsoġ selama melakukan pengumpulan data. Terdapat
perbedaan konsep tentang Lungsoġ dari keterangan yang di berikan
oleh informan sehingga peneliti sering melakukan triangulasi.
Beberapa informan menyebutkan bahwa Lungsoġ adalah pengobatan
tradisional untuk mengurangi nyeri sendi dan beberapa informan lain
menyebutkan Lungsoġ untuk mengobati penyakit ibu pasca persalinan
sampai anak berumur 3 tahun. Dari perbedaan tentang konsep
tersebut, maka pada akhirnya peneliti memutuskan bahwa tematik
tetap Lungsoġ. Dalam bahasan tentang tematik, akan diberikan
gambaran keseluruhan tentang Lungsoġ, baik pengobatan tradisional
untuk penyembuhan rematik maupun untuk mengobati ibu pasca
persalinan sampai anak berusia 3 tahun.

1.2. Tujuan Penelitian


1.2.1. Tujuan Umum Penelitian
Tujuan Riset Etnografi Kesehatan tahun 2015 adalah untuk
mengidentifikasi secara holistik mengenai unsur–unsur kebudayaan
dalam masyarakat dan termasuk juga identifikasi profil kesehatan
masyarakat Suku Daya Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan di

6
Provinsi Sumatera Selatan. Unsur–unsur kebudayaan dalam
masyarakat yang terdiri dari sistem religi, mata pencaharian, bahasa,
pengetahuan, alat dan teknologi, organisasi sosial dan
kemasyarakatan, dan kesenian. Identifikasi profil kesehatan
masyarakat berisi tentang konsep sehat dan sakit, Kesehatan Ibu dan
Anak, Penyakit Tidak Menular, Penyakit menular dan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat, serta permasalahan kesehatan dan cara
mengatasinya sesuai dengan pemahaman yang di miliki oleh
masyarakat Suku Daya. Hal ini diharapkan nantinya dapat
menciptakan rekomendasi intervensi dalam menyelesaikan
permasalahan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat Suku Daya.

1.2.2. Tujuan Khusus Penelitian


Tujuan khusus dari riset ini adalah mengidentifikasi unsur-
unsur budaya suku Daya di Desa Padang Bindu yangmempengaruhi
pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan. Peneliti akan menggali
lebih dalam tentang pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam
upaya penyembuhan penyakit secara tradisional atau secara
biomedikal, dan keterkaitannya dengan kehidupan sosial budaya
msyarakat. Hasil identifikasi ini diharapkan nantinya akan memicu
penelitian lain yang berupa suatu intervensi yang dapat merubah
pengetahuan dan pola perilaku masyarakat.

1.3. Metode
1.3.1. Penentuan Lokasi Penelitian
Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini dilakukan di 23 Provinsi dan
30 Kabupaten di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan adalah salah
satu tempat yang terpilih dalam Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini.
Provinsi Sumatera Selatan mempunyai 14 Kabupaten/Kota, tetapi
yang terpilih menjadi lokasi penelitian adalah di Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan. Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Ogan

7
Komering Ulu Selatan yaitu berdasarkan Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat ( IPKM ). IPKM di Kabupaten Ogan Komering
Ulu Selatan yang paling rendah diantara Kabupaten/Kota yang lain di
Provinsi Sumatera Selatan___( IPKM Kemenkes, 2013 ).
Lokasi penelitian yang terpilih di Kabupaten OKU Selatan
berdasarkan data Komunitas Adat Terpencil dari Kementerian Sosial
berada di Desa Mehanggin Kecamatan Muara Dua. Namun kepastian
lokasi penelitian ditentukan pada saat kegiatan persiapan daerah.
Kegiatan persiapan daerah di lakukan sebagai langkah awal untuk
melakukan Riset Etnografi Kesehatan. Kegiatan persiapan daerah
meliputi yaitu mengumpulkan data awal tentang profil kesehatan,
meminta ijin penelitian ke Bakesbang Provinsi dan Bakesbang
Kabupaten serta melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan
Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten. Peneliti juga mengadakan
koordinasi dan berdiskusi dengan Bapak Arson Abadi selaku Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan. Menurut keterangan Bapak
Kepala Dinas Kesehatan, desa-desa di Kabupaten OKU Selatan sudah
mempunyai tenaga kesehatan di masing-masing desa, seperti Bidan
Desa, dan fasilitas kesehatan sudah cukup memadai walaupun akses
menuju ke desa mempunyai faktor kesulitan yang sama. Desa
Mehanggin tidak lagi menjadi desa yang terpencil , karena akses
menuju ke desa sudah bisa di lalui dengan menggunakan kendaraan
roda empat. Selain itu yang tinggal di desa ini bukan masyarakat suku
asli OKU Selatan melainkan heterogen dari berbagai suku. Dengan
pertimbangan itu maka Bapak Arson Abadi selaku Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten OKU Selatan akhirnya mengarahkan Riset
Etnografi Kesehatan ini dilakukan di Kecamatan Buay Runjung, di
tempat ini mayoritas masyarakatnya adalah suku asli OKU Selatan
yaitu Suku Daya. Namun setelah sampai di Kecamatan Buay Runjung,
Kepala Dinas Kesehatan menyarankan Peneliti untuk bertemu dengan
Kepala Puskesmas Buay Runjung karena Kecamatan Buay Runjung

8
terbagi menjadi 15 desa dan nantinya Kepala Puskesmas yang akan
menentukan desalokasi penelitian.
Peneliti menemui Kepala Puskesmas, sesuai dengan petunjuk
dari Kepala Dinas Kesehatan, untuk melakukan koordinasi dan
berdiskusi tentang pemilihan desa lokasi penelitian dilakukan. Kepala
Puskesmas menerangkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan
Buay Runjung merupakan etnis Daya. Namun penduduk di beberapa
desa sudah campuran antara Etnis pendatang dari Jawa dan Etnis
Daya. Pada akhirnya Desa Padang Bindu dipilih menjadi lokasi
penelitian. Mayoritas penduduk Desa Padang Bindu adalah
masyarakat Suku Daya dan mereka masih memegang teguh adat
istiadat dan budaya.

1.3.2. Pengumpulan Data


Peneliti Riset Etnografi Kesehatan 2015 terdiri dari dua orang
yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda. Satu orang dari disiplin ilmu
sosial dan satu orang lagi dari disiplin ilmu kesehatan masyarakat.
Peneliti dari disiplin ilmu sosial dan ilmu kesehatan masyarakat ini
diharapkan memperoleh gambaran budaya kesehatan Suku Daya.
Sebelum melakukan pengumpulan data di lokasi penelitian, peneliti
melakukan kegiatan persiapan daerah. Persiapan daerah dilakukan
untuk melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan
Dinas Kesehatan Kabupaten serta melakukan koordinasi dengan
Bakesbang Provinsi dan Kabupaten, Pengumpulan data Riset Etnografi
Kesehatan 2015 di lakukan selama 35 hari. Peneliti tinggal dan
menetap di rumah salah satu penduduk untuk mengamati dan
berinteraksi dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Selain itu juga
melakukan wawancara dengan penduduk. Riset Etnografi Kesehatan
ini merupakan kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang
berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam
kehidupan sehari–hari (Symon dan Cassel,1998). Riset Etnografi ini
bertujuan untuk mengamati fenomena yang menjadi kebiasaan

9
sehari–hari masyarakat etnis Daya di Kabupaten Ogan Komering Ulu
Selatan Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan teknik-teknik
pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Penelitian ini juga
untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif menggunakan istilah–
istilah yang di gunakan oleh Suku Daya dan kemudian
diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa peneliti. Riset
Etnografi ini akan menggambarkan bagaimana pola perilaku, adat
istiadat dan keseharian yangterjadi dalam masyarakat serta
pengetahuan dalam masyarakat etnik Daya, khususnya pengetahuan
mengenai kebiasaan terkait kesehatan.
Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara
In-dept interview atau wawancara mendalam, observasi atau
pengamatan, penelusuran dokumen dengan menggunakan foto
maupun video. Hal ini dilakukan supaya data yang terkumpul benar-
benar akurat dan terpercaya. Beberapa cara pengumpulan data
tersebut adalah sebagai berikut ini.

a. In-dept Interview
Cara pengumpulan data pertama adalah dengan in-dept
interview dengan menggunakan pedoman wawancara (Guiden
Interview). Pedoman wawancara berguna untuk mengarahkan
wawancara agar lebih terfokus dan dibuat sebelum melakukan
wawancara sesuai dengan informasi yang di butuhkan. Cara ini
dilakukan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dari
informan dan untuk mendapatkan informasi yang mendalam terkait
informasi yang kita butuhkan. In-dept interview dilakukan dengan
informan yang dianggap bisa memberikan gambaran yang jelas dan
mendalam terkait dengan kebudayaan Suku Daya, perilaku dan
kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan yang nantinya dapat
dipelajari dari informan. Ini penting dilakukan agar data yang
didapatkan lebih valid. Kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi,
kepala puskesmas, pemegang program kegiatan, tokoh adat, tokoh

10
agama, aparat desa dan tokoh masyarakat serta Bidan Desa menjadi
sumber informasi (informan) dalam penelitian ini . Pemilihan
informan disesuaikan dengan jenis informasi yang dibutuhkan atau
pokok pertanyaan penelitian. Seandainya informasi yang diberikan
oleh informan terpilih masih dianggap kurang, maka Peneliti akan
mencari informasi yang kurang tersebut dari informan yang lain.
Peneliti akan meminta informan pertama untuk memberitahu kepada
Peneliti siapa yang dapat memberikan informasi yang kurang tersebut.
Cara tersebut dikenal dengan metode snowball sampling.
Peneliti akan menulis semua data yang telah diperoleh dari
hasil in-dept interview tersebut dalam catatan harian dan melakukan
pemeriksaan catatan harian tersebut untuk memastikan tidak ada
informasi yang kurang. Apabila ada informasi yang dirasa kurang,
Peneliti akan menanyakan pada informan yang sama atau informan
lain yang memahami. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Data yang telah diperoleh
segera diproses untuk menghindari kesalahan persepsi dari data yang
telah diperoleh. Dalam in-dept interview , alat yang digunakan selain
panduan wawancara adalah voice recorder digital.

b. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan salah satu cara yang
digunakan dalam penelitian ini guna mendapatkan gambaran umum
penelitian. Observasi dilakukan terhadap masalah-masalah kesehatan
sesuai dengan topik penelitian yang akan diambil. Pengamatan
dilakukan atas dasar pengalaman langsung, yakni peneliti melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatat maupun memotret dan
merekam kejadian yang terjadi sebagai keadaan yang sebenarnya di
lapangan. Alat yang digunakan dalam observasi ini adalah kamera
digital dan handycam untuk mendapatkan gambaran secara visual
kegiatan di lokasi penelitian.

11
c. Penelusuran Dokumen
Peneliti juga mencari data-data sekunder untuk melengkapi
informasi yang diperoleh dari elain pengumpulan data di lokasi
penelitian. . Data-data tersebut berupa data statistik yang di
dapatkan melalui Biro Pusat Statistik (BPS) OKU Selatan ataupun Profil
Desa , data-data kesehatan secara umum yang berupa profil
kesehatan, buku, maupun penelusuran informasi melalui internet
yang dapat menunjang kelengkapan data yang berkaitan dengan suku
Daya di Desa Padang Bindu Kecamatan Buay Runjung Kabupaten OKU
Selatan Provinsi Sumatera selatan.

d. Foto dan Video


Foto dan video merupakan data lain yang juga penting untuk
dikumpulkan. Data visual ini diambil untuk memperkuat dan
menunjang bagi data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Data
visual ini diharapkan dapat memperjelas gambaran fenomena atau
peristiwa yang terjadi, yang tidak cukup hanya digambarkan dalam
bentuk tulisan.

e. Studi Kepustakaan
Teknik pengambilan data terakhir adalah dengan melakukan
studi kepustakaan. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah cara
memperoleh informasi atau data mengenai topik permasalahan yang
dibahas dari buku-buku maupun dari internet.

1.3.3. Analisa Data


Data yang telah terkumpul akan ditelaah pada tahap
selanjutnya yaitu melakukan analisa data. Analisa data dilakukan
sebagai upaya untuk mencari dan menata secara sistematis catatan-
catatan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mencapai
tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini.

12
Data yang akan dianalisa adalah data-data yang telah
ditriangulasikan, yaitu uji silang terhadap hasil wawancara dan
observasi untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan
antara hasil wawancara dengan observasi. Hasil wawancara dengan
informan juga perlu diteliti lagi dengan informan-informan
sebelumnya. Triangulasi data dilakukan setiap saat, tanpa menunggu
data terkumpul. Hal ini penting dilakukan agar data yang didapatkan
dapat segera dilakukan cross cek sehingga diharapkan dapat
memperoleh data yang benar-benar valid dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Tahapan analisis tematik dalam Riset Etnografi kesehatan ini
dapat dikemukakan sebagai berikut. Tahap pertama Peneliti membaca
dan memahami data yang diperoleh di lapangan, baik melalui kegiatan
in-dept interview, observasi, catatan lapangan maupun data visual.
Tahap kedua, Peneliti memilah-milah data yang diperoleh dan
mengambil hal yang pokok terkait dengan topik penelitian setelah
semua data telah dipahami oleh peneliti Tahap ketiga, Peneliti
menyusun data yang telah diperoleh dan mengklasifikasikan data
tersebut. Beberapa tahapan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
menyajikan data secara sistematis dan terstruktur, sehingga
memudahkan Peneliti untuk menarik kesimpulan. Penyajian data
penelitian ini dilakukan secara naratif yaitu bersifat deskriptif.

13
BAB 2
ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU
2.1 Gambaran Umum Kabupaten OKU Selatan
Ogan Komering Ulu Selatan, yang disingkat menjadi OKU
Selatan, secara resmi menjadi kabupaten baru pada tanggal 16 Januari
2004. Kabupaten OKU Selatan masuk ke dalam wilayah Provinsi
Sumatera Selatan, walaupun sebenarnya secara geografis wilayahnya
lebih dekat ke dalam Provinsi Lampung dan Provinsi Bengkulu. Jarak
Ibukota Provinsi yaitu Kota Palembang dengan Kota Muara Dua
sebagai Ibukota Kabupaten OKU Selatan sekitar 271 km.
Pada saat persiapan daerah, Peneliti sangat kesulitan untuk
memperoleh informasi tentang transportasi reguler yang melayani
rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua. Dari informasi yang Peneliti
dapatkan dari salah satu Kepala Bidang yang bertugas di Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, transportasi reguler yang
melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua lebih mudah
dengan menggunakan travel. Dan dari informasi itu Peneliti akhirnya
memanfaatkan salah satu travel yang melayani rute Kota Palembang
ke Kota Muara Dua dan juga rute sebaliknya dari Kota Muara Dua ke
Kota Palembang. Namun jasa travel ini tidak bisa menjemput
penumpang satu persatu, melainkan penumpang harus datang sendiri
ke kantor travel itu dan kemudian berangkat dari kantor tersebut
tetapi bisa mengantar penumpang sampai di tempat tujuan. Travel ini
melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua hanya dua kali
dalam satu hari, yaitu pada pagi hari jam 08.00 wib dan sore hari
sekitar jam 16.00 Wib. Sedangkan dari Kota Muara Dua ke Kota
Palembang juga melayani dua kali dalam satu hari, yaitu pagi jam
08.00 WIB dan siang hari pada pukul 14.00 WIB.

14
Gambar 2.1 Travel Kota Palembang – Kota Muara Dua PP.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Pada saat persiapan daerah, Peneliti melakukan perjalanan


pada waktu malam hari dari Kota Palembang. Pada saat pengumpulan
data, Peneliti melakukan perjalanan pagi hari dari Kota Palembang
agar tidak tertinggal dan dapat menumpang bus yang ke lokasi
penelitian di Desa Padang Bindu. Perjalanan pada malam hari
membutuhkan tenaga penglihatan ekstra dari sopir, karena ada
beberapa ruas jalan yang belum dilengkapi dengan lampu penerangan
sehingga hanya mengandalkan penerangan dari mobil. Selain itu akses
jalan dari Kota Palembang menuju ke Kota Muara Dua tidak terlalu
baik, banyak sekali lubang dan beberapa ruas jalan aspalnya sudah
mulai mengelupas. Apalagi kondisi tubuh yang mulai lelah, sehingga
sedikit saja lengah dapat menyebabkan kecelakaan. Dan ketika di
jalan, sangat jarang sekali bertemu dengan kendaraan yang lain dari
satu arah maupun dari arah yang berlawanan. Ada beberapa ruas
jalan yang tidak ada pintu perlintasan kereta api, hanya dijaga oleh
beberapa orang dengan membawa kaleng untuk meminta bantuan
secara sukarela. Perjalanan dari Kota Palembang ke Kota Muara Dua
pada saat itu memakan waktu sekitar 7 jam, sedangkan kalau dengan

15
istirahat maka memakan waktu sekitar 8 jam perjalanan. Sedangkan
perjalanan dari Kota Muara Dua ke Kota Palembang dilakukan pada
pagi hari. Waktu yang di tempuh pada saat perjalanan pagi hari relatif
lebih lama sekitar 1 jam, karena di beberapa tempat ada yang macet
terutama ketika memasuki Kota Palembang.
Di Provinsi Sumatera Selatan ada beberapa suku asli yang
menetap di tempat ini. Suku yang mendiami provinsi Sumatera
Selatan menurut Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia antara lain
Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Daya, Musi Banyuasin,
Ogan, Enim, Kayu Agung, Kikim, Komering, Lahat, Lematang, Lintang,
Kisam, Palembang, Pasemah, Padamaran, Pegagan, Rambang
Senuling, Lom, Mapur, Meranjat, Musi, Ranau, Rawas, Saling, Sekak,
Semendo, Pegagan Ilir, Pegagan Ulu, Penesak dan Pemulutan. Suku-
suku itu menyebar di beberapa Kabupaten termasuk di Kabupaten
OKU Selatan.
Suku yang berdiam di OKU Selatan adalah Suku Daya, Suku
Ogan, Suku Komering, Suku Kisam dan Suku Ranau. Suku Daya dan
Suku Komering memiliki bahasa yang hampir mirip, sehingga sangat
sulit membedakan antara suku Komering dengan Suku Daya. Sumber
informasi yang relevan untuk membedakan kedua suku itu sangat sulit
didapat oleh Peneliti, begitu pula dengan asal mula sejarah suku Daya
di OKU Selatan tidak terlalu banyak didapatkan. Menurut Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia, orang Daya adalah salah satu kelompok
masyarakat asli di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten
Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah
penyebarannya meliputi Kecamatan Baturaja Timur, Baturaja
Barat, Simpang, dan Muara Dua. Tidak dapat diketahui secara pasti
jumlah orang Daya, tetapi diperkirakan lebih dari 50.000 jiwa.
Pembentukan Kabupaten OKU Selatan merupakan salah satu
bagian dari perjuangan dan keinginan dari masyarakat OKU bagian
selatan. Sesuai dengan aspirasi dan semakin kuatnya kemauan
masyarakat untuk membentuk kabupaten yang terpisah dari

16
kabupaten induknya, maka tokoh masyarakat OKU bagian selatan
membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan (P3KOS) yang diketuai oleh Bapak H. Muhtadi
Sera’I (Bapak Bupati yang sekarang).

Gambar 2.2 : Peta Kab.OKU Selatan


Sumber : Balitbangnovdasumsel.com

Kabupaten OKU Selatan memiliki moto “Serasan Seandanan”.


Kata Serasan mempunyai makna seiya sekata setujuan, sedangkan
Seandanan mempunyai makna saling asih saling asuh. Berdasarkan
arti kata tersebut, moto Serasan Seandanan dapat diartikan bahwa
masyarakat Kabupaten OKU Selatan dalam mencapai tujuan untuk
menyukseskan pembangunan di berbagai bidang selalu didasari
musyawarah dan dilaksanakan secara gotong royong.
Kabupaten OKU Selatan memiliki luas wilayah 5.493,34 km2.
Wilayahnya sebagian besar merupakan dataran tinggi yang
membentuk bukit-bukit dan gunung-gunung. Ketinggian wilayahnya
berkisar antara 45 sampai dengan 1.643 mdpl. Wilayah tertinggi di
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan adalah Gunung Seminung di

17
Kecamatan Banding Agung, dengan ketinggian 1.888 mdpl (BPS OKU
Selatan, 2012).

Gambar 2.3 Tugu walet yang ada di Taman Muara Dua


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dialiri oleh dua sungai


besar yaitu Sungai Selabung dan Sungai Saka yang bermuara ke Sungai
Komering. Bertemunya dua sungai yang bermuara di sungai Komering
inilah yang menjadi sumber inspirasi masyarakat untuk menjadikan
nama kecamatan yaitu Muara Dua. Di Muara Dua ini akhirnya
diputuskan sebagai tempat Ibukota Kabupaten. OKU Selatan juga
dikenal dengan sebutan Kota Walet karena merupakan salah satu
potensi unggulan sehingga menjadikan inspirasi sebagai lambang
resmi Kabupaten OKU Selatan.
Wilayah di Kabupaten OKU Selatan pada umumnya beriklim
tropis dan basah. Kecamatan yang mempunyai temperatur udara
rendah umumnya merupakan daerah pegunungan, antara lain
Kecamatan Banding Agung, Pulau Beringin, Muara Dua Kisam, dan
Kisam Tinggi. Hanya 3 kecamatan, dari 19 Kecamatan yang ada, yang

18
memiliki alat penakar hujan. Ketiga kecamatan tersebut mempunyai
curah hujan yang sangat berbeda. Curah hujan tertinggi terdapat di
Kecamatan Banding Agung yang mencapai 4.411 mm pada bulan
Desember 2004, sedangkan curah hujan terendah terdapat di
Kecamatan Muara Dua Kisam yang hanya mencapai 64 mm pada
bulan yang sama (BPS OKU Selatan, 2012).

2.2. Sejarah Jalma Daya Sunur


Menurut keterangan tokoh masyarakat dan tokoh agama yang
tinggal di Desa Padang Bindu, Sunur merupakan sebutan dari
masyarakat Daya untuk 4 desa yang ada di Kecamatan Buay Runjung.
Keempat desa itu adalah Nagar Agung, Saung Naga, Padang Bindu dan
Padang Sari. Ada cerita yang berkembang di orang Daya tentang
istilah Sunur yang dikenal sebagai sebutan untuk 4 desa itu. Sejarah
asal mula 4 desa itu diberi nama Sunur yaitu berdasarkan sejarah
Kepuhyangan (Kepuyangan) atau keturunan bahwa orang Daya di 4
desa itu berasal dari 1 keturunan yang sama. Asal mula pemberian
nama Sunur berawal dari cerita bahwa dulunya wilayah di 4 desa itu
padang alang–alang yang pada musim kemarau dibakar oleh Puhyang
untuk dijadikan tempat tinggal. Ketika padang rumput itu dibakar
memancarkan cahaya yang menyilaukan mata, sehingga disebut
dengan istilah Sunor.
Asal mula Kepuhyangan (Kepuyangan) atau nenek moyang
masyarakat Daya Sunur adalah Pusma yang berasal dari daerah
Batanghari Sembilan. Anak Pusma yang paling bungsu inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal dari orang Jalma Daya di Sunur.
Dikisahkan bahwa anak yang paling bungsu, atau orang Daya Sunur
menyebutnya dengan Riya Dendam, merasa mendapatkan perlakuan
yang tidak adil dari orang tuanya sehingga pergi dari rumah dan
berkelana. Dia berkelana dengan menggunakan perahu menyusuri
sungai Komering sampai di Kali Kemung dan menemukan sisa batang
pohon (Punghoh) yang habis ditebang. Dia duduk di atas sisa batang

19
pohon yang habis ditebang itu dan bertapa. Proses bertapanya
memakan waktu bertahun–tahun, sampai pohon itu tumbuh kembali
dan menutupi seluruh tubuh Riya Dendam, kecuali wajahnya saja yang
kelihatan.
Tidak berapa lama waktupun berlalu, ada seorang pencari kayu
dengan ditemani anjing. Anjing pencari kayu itu menggonggong terus
menerus kearah pohon yang menutupi tubuh Riya Dendam.
Gonggongan anjing yang terus menerus menarik perhatian pencari
kayu, sehingga pencari kayu mencari sesuatu yang membuat anjing itu
menggonggong terus menerus. Perhatian pencari kayu tertuju pada
sebatang pohon yang lebat, namun alangkah kaget dan terkejutnya
pencari kayu setelah melihat wujud pohon itu. Ternyata di dalam
pohon itu ada sesosok manusia yang seluruh tubuhnya tertutup oleh
ranting-ranting, dan yang kelihatan hanya wajahnya saja.Pencari kayu
itu memotong ranting-ranting dan batang pohon yang menutup
seluruh tubuh manusia tersebut dengan kapak yang dibawanya.
Setelah selesai memotong ranting dan batang pohon, maka
terbebaslah tubuh Riya Dendam yang ada dalam batang pohon
tersebut. Tubuh manusia itu seluruhnya tampak hitam tertutup oleh
lali (daki) karena sudah terlalu lama di dalam pohon dan tidak mandi.
Tidak berapa lama, Riya Dendam pun mengambil rotan dan menyelam
ke dalam air untuk membersihkan daki yang menempel di seluruh
tubuhnya. Beberapa saat kemudian Riya Dendam pun keluar dari
dalam air. Ada perubahan yang sangat drastis ketika Riya Dendam
keluar dari dalam air. Seluruh tubuhnya yang semula hitam dipenuhi
oleh daki tampak sudah bersih dari daki dan tubuhnya berubah warna
menjadi putih ketika keluar dari dalam air. Begitu pula dengan rotan
yang semula masih utuh sebelum masuk ke dalam air, kini berubah
menjadi sabut karena untuk membersihkan daki dari tubuhnya.

20
Selain itu jari-jari tangan Riya Dendam yang semula lurus
berubah agak bengkok, karena terlalu lamanya jari tangan tersebut
memegang rotan untuk menggosok daki di seluruh tubuh.

Gambar 2.4. Ciri fisik orang Suku Daya, jari tangan yang agak sedikit bengkok
Sumber : Dokumentasi peneliti

Dari cerita ini, dipercaya oleh masyarakat suku Daya bahwa


nantinya seluruh keturunan dari Riya Dendam memiliki ciri fisik bahwa
jari tangannya agak sedikit bengkok dibandingkan dengan orang lain
yang bukan dari keturunan Riya Dendam.
Riya Dendam telah terbebas dari pohon dan tubuhnya menjadi
bersih, maka orang lebih mengenalnya dengan nama Semaġno. Si
pencari kayu yang membebaskan Riya Dendam merupakan Puhyang
dari Desa Nambak, atau yang dikenal dengan Si Berani Sakti. Semaġno
kemudian menetap dan membakar hutan untuk dijadikan tempat
tinggal, yang kemudian disebut dengan Kampung Sunur. Semaġno
mempunyai tiga orang putra di Kampung Sunur ini. Tiga putra
Semaġno inilah yang menjadi cikal bakal Kampung Sunur. Anak
pertama bernama Patih Gajahmada, yang kemudian menjadi nenek
moyang masyarakat di Desa Nagar Agung (Naga Agung). Anak kedua
bernama Patih Peneleh, yang menjadi nenek moyang masyarakat di
Desa Saung Naga (Sawong Naga/Sangkar Naga). Anak ketiga bernama
Patih Mapak, yang menjadi nenek moyang masyarakat di Desa Padang

21
Bindu. Berdasarkan cerita tentang Kepuhyangan tersebut, maka
penduduk di Kampung Sunur merupakan satu garis keturunan yang
disebut dengan Buay Semaġno.

Gambar 2.5. Bukti fisik cerita tentang sejarah Desa Padang Bindu
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Pada perkembangannya dan semakin banyaknya keturunan


dari Buay Semaġno, maka yang awalnya terdiri dari tiga desa yaitu
Desa Saung Naga, Desa Nagar Agung dan Desa Padang Bindu berubah
menjadi empat desa ditambah dengan Desa Padang Sari. Desa Padang
Sari merupakan pemekaran dari Desa Padang Bindu yang semakin
banyak penduduknya. Pemekaran Desa Padang Bindu tidak diketahui
dengan pasti waktu terjadinya, karena ketika melakukan wawancara
dengan informan yang sudah berusia 80 tahun pun tidak ada yang
mengetahui secara pasti.

22
Patih Gajahmada
( Phuyang Desa Nagar
Agung )

Ġak Sanga Tahu


Patih Penilih
( Phuyang Desa Saung
Semaġno
Naga )
Phuyang Mangkubumi
Patih Penilih
( Kampung Talang )
Patih Mapak
( Phuyang Desa Padang
Bindu dan Desa Padang
Sari )
Phuyang Umpun Singaji
( Kampung Renog )

Phuyang Umpun Kaġija (


Ġadja Penanggungan Kampung Ngaġaja
Wai/Jalan ke air )

Phuyang Umpun Pati


( Kampung Tengah )

Gambar 2.6 : Silsilah keturunan Suku Daya Sunur dan Desa Padang Bindu
Sumber : Ilustrasi Peneliti, 2015.

2.3. Cerita Asal Mula Desa Padang Bindu


Menurut cerita dari tokoh masyarakat dan tokoh agama di
Desa Padang Bindu adalah salah satu desa yang penduduknya
merupakan keturunan dari Phuyang (Puyang) Buay Semaġno. Dari tiga
orang keturunan dari Buay Semaġno, Desa Padang Bindu merupakan
garis keturunan yang paling akhir atau paling bungsu yang bernama
Patih Mapak. Dikisahkan bahwa pada mulanya sebelum terbentuknya
Desa Padang Bindu, wilayahnya merupakan suatu hutan yang
ditanami pohon Bendo. Pada saat itu Patih Mapak mempunyai niat
untuk menetap dan mendirikan tempat tinggal di hutan tersebut.
Pohon–pohon Bendo itu kemudian oleh Patih Mapak ditebangi untuk
dijadikan tempat tinggal, karena semakin berkembangnya keturunan
dari Patih Mapak maka semakin banyak tempat tinggal yang didirikan
di hutan pohon Bendo tersebut. Semakin banyaknya penghuni dan
tempat tinggal di hutan Bendo itu, maka tempat itu dinamakan
dengan sebutan Desa Padang Bindu.

23
Gambar 2.7 : Makam Phuyang Patih Mapak
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Padang Bindu semakin lama semakin berkembang, dari


seorang Patih Mapak memiliki banyak keturunan sampai saat ini.
Penyebaran keturunan dari Puhyang Patih Mapak menyebar sampai
ke Padang Sari. Dari Puhyang Patih Mapak yang tinggal di Padang
Bindu, mempunyai tiga orang putra. Putra yang pertama mempunyai
nama Ġak Sanga Tahu, putra yang kedua diberi nama Puhyang Patih
Penilih (nama yang sama dengan putra yang kedua dari Semaġno) dan
putra yang ketiga atau yang bungsu diberi nama Puhyang Ġadja
Penanggungan. Ketiga putra tersebut masing–masing juga mempunyai
keturunan. Namun dari ketiga putra Patih Mapak, hanya dari Puhyang
Ġadja Penanggungan sebagai putra paling Bungsu yang dapat
diketahui cerita sejarah keturunannya. Cerita sejarah garis keturunan
Puhyang Ġadja Penanggungan diperoleh dari informan maupun
catatan dari para Ketua Adat terdahulu. Berdasarkan catatan dari
Ketua adat terdahulu bahwa putra dari Puhyang Ġadja Penanggungan
ada tiga yaitu Puhyang Umpun Singaji adalah putra yang tertua, putra
yang kedua yaitu Puhyang Umpun Kaġija dan putra yang paling
bungsu adalah Puhyang Umpun Pati. Sedangkan putra Patih Mapak
yang paling tua yaitu Ġak Sanga Tahu, tidak diketahui secara pasti
garis keturunannya. Garis keturunan putra yang kedua yaitu Patih
Penilih, informan juga tidak ada yang tahu sampai garis keturunan
yang ke berapa putus. Cerita garis keturunan menyambung kembali

24
sampai ke Puhyang Mangkubumi. Puhyang Mangkubumi merupakan
cikal bakal adanya penduduk Kampung Talang pada saat ini.
Masing–masing putra dari Patih Mapak memiliki satu garis
keturunan, kecuali putra yang paling tua tidak diketahui secara pasti
cerita garis keturunannya dan putra yang kedua yaitu Patih Penilih
yang garis keturunannya sempat terputus dan cerita garis
keturunannya tersambung kembali mulai dari Puhyang Mangkubumi
sehingga tidak ada yang tahu Puhyang Mangkubumi ini merupakan
garis keturunan yang keberapa. Garis keturunan dari masing–masing
putra Patih Mapak itu yang kemudian disebut dengan Kampung Adat.
Kampung adat di Desa Padang Bindu ada empat, dan masing–masing
Kampung Adat terbentuk dari empat garis keturunan. Garis keturunan
dari putra Patih Penilih anak kedua dari Patih Mapak yang dimulai dari
Puhyang Mangkubumi, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung
Talang. Seperti diceritakan oleh Bapak Aliyidin sebagai berikut,

“…Phuyang Mangkubumi adalah phuyang kami dari Kampung Talang,


Phuyang Mangkubumi namanya Setajim. Gelarnya adalah Mangkubumi.
Istrinya ada dua, yang satu dari Desa Air Baru dan yang satunya dari Kota
Karang. Setelah itu saya kurang paham, kalau dari situ sampai sini terlalu
panjang. Kalau Cik Raden dari Kota Karang, kalau saya dari Air Baru. Salah
satu penemuan Phuyang kami adalah sarang walet…”

Makam Phuyang Mangkubumi ada di desa yang lama dan saat


ini masih terpelihara dengan baik. Menurut kepercayaan beberapa
penduduk Kampung Talang keturunan dari Phuyang Mangkubumi, bila
punya keinginan mereka akan datang ke makam Phuyang. Bila
keinginannya terkabul maka penduduk itu membeli kelambu dan
ditaruh di makam Phuyang Mangkubumi.

25
Gambar 2.8 Makam Phuyang Mangkubumi dan bentuk makam jaman dulu
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Garis keturunan dari Ġadja Penanggungan, putra yang tertua


yaitu Puhyang Umpun Singaji adalah merupakan cikal bakal
terbentuknya Kampung Renog. Putra yang kedua yaitu Puhyang
Umpun Kaġija, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Ngaġaja
Wai yang berarti jalan ke air. Putra yang paling bungsu yaitu Puhyang
Umpun Pati, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Tengah.
Masing–masing Kampung Adat itu dipimpin oleh seorang Ketua Adat.
Pada awal terbentuknya Kampung Adat, masing–masing
Kampung Adat tinggal secara mengelompok yang disebut dengan Way
Tupak. Kampung–kampung Adat itu tempatnya berada di dalam
hutan, karena pada saat itu di dalam hutan merupakan sumber
makanan. Kampung Adat Padang Bindu berada di antara dua aliran
sungai, yaitu sungai Kima dan Sungai Semingkap. Untuk bertahan
hidup pada saat itu, Puhyang mendirikan tempat tinggal. Tempat
tinggal masyarakat suku Daya Desa Padang Bindu pada awalnya
terbentuk dari kayu batang pohon dan bambu. Untuk menghindar dari
binatang buas, tempat tinggal dibuat di atas dalam bentuk rumah
panggung.
Semakin berkembangnya waktu, maka semakin padat
penghuni di kampung adat itu. Dalam proses kehidupan manusia ada
yang lahir dan ada yang meninggal. Di kehidupan masyarakat Suku

26
Daya Padang Bindu, bagi orang yang meninggal akan dimakamkan di
sekitar rumah tempat tinggal. Makamnya ditandai dengan nisan dari
batu, tanpa ada pemberian nama di nisannya. Seiring dengan
perkembangan waktu dan semakin padatnya penduduk di Kampung
Way Tupak, maka penduduk bergeser dan mendirikan tempat tinggal
yang dekat dengan aliran sungai Semingkap. Pada awalnya hanya
sekitar tujuh rumah yang berada di sekitar sungai Semingkap. Namun
karena perkembangan waktu, semakin banyak yang mengikuti dan
mendirikan tempat tinggal di sepanjang aliran sungai Semingkap. Pada
akhirnya, penduduk Kampung Adat Desa Padang Bindu meninggalkan
kampung yang lama atau Tiu Taha sampai tidak berpenghuni. Setelah
itu mereka mendirikan rumah–rumah baru di sepanjang aliran sungai
Semingkap mulai dari hulu sampai hilir, sehingga menjadi Desa Padang
Bindu sekarang yang letak rumahnya berada di sepanjang aliran
sungai Semingkap.
Phuyang Desa Padang Bindu pada jaman dulu tidak
meninggalkan bukti-bukti berupa tulisan. Bukti tulisan dibuat oleh
Ketua Adat sebelum generasi yang sekarang. Walaupun tidak
meninggalkan bukti berupa tulisan, namun Phuyang jaman dulu
mempunyai benda-benda atau alat-alat hasil kebudayaan yang
dipergunakan pada saat masih hidup. Benda-benda tersebut pada saat
ini masih ada yang disimpan oleh para Ketua Adat, dan ada yang
sudah tidak ada lagi. Benda-benda yang masih ada dan tersimpan
yaitu seperti kotak dari kayu, sebilah pedang, dan beberapa
perlengkapan makan. Ada juga sebuah piring besar yang dapat juga
menyembuhkan penyakit mata. Namun ada juga yang sudah tidak
ada, menurut cerita dari beberapa masyarakat bahwa dulu ada
sebuah mangkuk makanan. Bila mangkuk itu diisi makanan, makanan
itu tidak akan pernah basi. Namun mangkuk makanan dan alat
kesenian tradisional itu sekarang sudah tidak ada lagi. Hampir semua
tokoh adat atau tokoh masyarakat tidak ada yang mengetahui di mana
keberadaan benda-benda peninggalan Phuyang tersebut. Ada juga

27
alat kesenian tradisional yaitu gong dan gamelan yang biasa dipakai
pada saat ada pernikahan. Alat musik tradisional gamelan dan gong
pada tahun 1975 masih ada yang menggunakan, tetapi pada tahun
1980 sudah mulai hilang.

Gambar 2.9 Benda-benda bersejarah pedang dan kotak peninggalan phuyang


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

2.4. Desa Padang Bindu dan Perkembangannya


Awal pemerintahan Desa Padang Bindu, pemimpin yang
tertinggi dipegang oleh Sirah. Kalau pada saat ini, Sirah adalah
setingkat dengan Camat. Untuk pemegang kekuasaan yang tertinggi di
tingkat desa bukan Kepala Desa seperti pada saat ini. Pemimpin desa
pada awal pemerintahan disebut dengan Kriyo, dan wakilnya adalah
Punggawo. Pada saat ini jabatan punggowo sama dengan Kepala
Dusun, sedangkan pada jaman Kriyo belum ada Kepala Dusun tetapi
Ketua Adat. Pada jaman pemerintahan Kriyo, masa jabatannya tidak
dibatasi. Bagi siapa yang ingin menjabat menjadi Kriyo dan kebetulan
belum ada yang ingin menggantikan, maka tetap akan menjadi Kriyo.
Kriyo yang memimpin Desa Padang Bindu pertama kali adalah Gilang.
Kriyo ini tidak diketahui berapa lama masa jabatannya. Kriyo yang
kedua adalah Kriyo Tuni. Kriyo ini memegang jabatan selama 10
tahun. Kriyo yang ketiga adalah Kriyo Murot. Kriyo ini memegang
jabatannya selama 2 tahun. Yang terakhir adalah Kriyo Anwar, yang

28
memegang masa jabatannya selama 18 tahun. Walaupun dapat
diketahui masa jabatan yang dipegang oleh Kriyo di Desa Padang
Bindu, akan tetapi tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa
Kriyo–Kriyo itu memegang pimpinan. Setelah masa jabatan Kriyo
berakhir, maka jabatan Kriyo berubah nama menjadi Kepala Desa.
Perubahan nama kepemimpinan desa dari Kriyo menjadi
Kepala Desa ini merupakan dampak dari pengesahan UU No.5 tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam UU No. 5 tahun 1979 itu di
dalam pasalnya berisi tentang pembentukan desa, pemerintahan desa
dan juga tentang masa jabatan kepala desa. Dalam Pasal 7 UU No. 5
tahun 1979 itu menerangkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah
8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Adanya UU tentang
pemerintahan desa itu juga berlaku bagi pemerintahan di Desa
Padang Bindu, kemudian setelahnya Kepala Desa memegang masa
jabatannya selama 8 tahun.
Kepala Desa yang pertama di Desa Padang Bindu adalah Bapak
Cik Mas, beliau memimpin Desa Padang Bindu sekitar tahun 1985 –
1993. Sebelum beliau menjadi Kepala Desa, kondisi desa masih sangat
sepi dan akses penghubung antar desa masih sulit. Di desa belum ada
listrik dan sebelum tahun 1980 jalan masih setapak, dan hanya bisa
dilalui dengan berjalan kaki. Jalan penghubung antara Desa Padang
Bindu dengan Desa Simpang Saga masih dipisahkan oleh sungai,
sehingga akses antar desa dengan berjalan kaki. Pada tahun 1981,
dibangun jembatan penghubung antara Desa Padang Bindu dengan
Desa Simpang Saga. Jembatan pada waktu itu masih berupa kayu, dan
sudah bisa dilalui oleh sepeda motor. Pada tahun 1982 jalan di Desa
Padang Bindu mulai dilebarkan, mobil sudah bisa masuk tetapi jalan
masih berupa tanah. Kemudian jalan tersebut sudah diberi batu dan
koral. Setelah Bapak Cik Mas tiga tahun menjadi Kepala Desa, pada
tahun 1987 jalan desa mulai diperbaiki dan diaspal. Lima tahun
kemudian masa jabatan Bapak Cik Mas berakhir dan digantikan oleh

29
Bapak Cik Raden. Bapak Cik Raden memegang jabatan sebagai Kepala
Desa sekitar tahun 1993 sampai dengan 2001. Pembangunan yang
telah dicapai pada masa kepimpinan Bapak Cik Raden adalah listrik
masuk desa pada tahun 1995, walaupun pada saat itu hanya bisa
digunakan pada malam hari. Dua tahun kemudian listrik sudah masuk
secara penuh. Dengan sudah adanya listrik di desa, ada salah seorang
penduduk yang membeli televisi dan memasang parabola. Bagi yang
menonton pada saat itu diwajibkan membayar seharga seratus rupiah.
Setelah itu semakin banyak yang mempunyai televisi dan memasang
parabola seperti pada saat ini. Namun yang sungguh memprihatinkan
adalah kondisi jaringan sumber listrik. Walaupun sejak tahun 1997
jaringan listrik sudah masuk, namun jaringannya tidak terlalu stabil.
Pada saat ini, setiap hari jaringan listrik pasti pernah mati. Jaringan
listrik dalam satu hari bisa mati dan nyala lagi sampai sembilan kali,
dan kadang juga listrik mati sampai dua hari. Untuk menghindari
kerusakan pada alat-alat elektronik, biasanya penduduk memasang
alat untuk menetralkan jaringan listrik yang biasa disebut dengan
stavolt. Untuk membantu penerangan kalau jaringan listrik mati,
biasanya penduduk Desa Padang Bindu menyalakan bekom dan setiap
rumah sudah menyiapkan bloor. Kondisi itu sempat dirasakan oleh
Peneliti ketika tinggal di Desa Padang Bindu. Suatu ketika listrik mati
dari jam 21.00 WIB dan baru menyala pada keesokan paginya sekitar
jam 10.00 WIB.

30
Gambar 2.10 Bekom. Sumber penerangan ketika listrik padam.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Pada masa era kepimpinan setelah Cik Raden, masa jabatan
Kepala Desa hanya 5 tahun dan dibatasi dalam masa dua periode saja
sesuai dengan pasal 96 UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah. Kepala Desa selanjutnya setelah Cik Raden yaitu Bustari,
Bapak Bustari memimpin Desa Padang Bindu pada masa periode 2001
sampai dengan 2006. Namun sebelum masa jabatannya berakhir,
Bapak Bustari meninggal dunia karena sakit. Untuk menggantikan sisa
masa jabatan sebagai Kepala Desa, digantikan oleh Pemegang
Jabatan Sementara yaitu Bapak Sayuti. Setelah masa jabatan Bustari
benar-benar berakhir, jabatan Kepala Desa sepenuhnya digantikan
oleh Bapak Sayuti. Pada masa kepemimpinan Bapak Sayuti, ada
berbagai peristiwa yang terjadi di Desa Padang Bindu. Di Desa Padang
Bindu ada wabah penyakit kusta yang terjadi tahun 2005, tetapi bisa
diberantas oleh Dinkes OKU Selatan. Pada saat itu laporan dari Dinkes
Kab. OKU Selatan disampaikan kepada Dinkes Provinsi. Dinkes
Provinsi meneruskan laporan kepada WHO. Proses itu terjadi dalam
waktu 2 bulan. Setelah selama dua tahun dilakukan rehabilitasi dan
pengobatan terhadap penderita kusta, 19 warga yang menderita kusta
berhasil disembuhkan. Keberhasilan lain adalah adanya pembangunan
infrastruktur yaitu pembangunan 8 jembatan. Jembatan yang paling

31
panjang sekitar 17 meter dan yang lain merupakan jembatan
penghubung antar dusun. Pembangunan infrastruktur yang lain yaitu
perbaikan pasar kalangan dan jalan–jalan setapak yang dilakukan
pada tahun 2009 oleh program PNPM Mandiri. Ada juga
pembangunan fasilitas umum di desa yang dananya berasal dari
swadaya masyarakat, yaitu pembangunan masjid yang dananya dari
patungan warga atau pupuan. Dan setelah pembangunan masjid itu
berjalan, ada anggaran dari bagian Kesejahteraan Rakyat Kabupaten
senilai sembilan belas juta rupiah untuk memperbaiki fasilitas masjid .
Pada pertengahan tahun 2011, masa jabatan Bapak Sayuti
telah berakhir. Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan Kepala Desa
Padang Bindu,maka ditunjuklah Bapak Iskandar Bin Mustopa sebagai
pemegang jabatan sementara. Bapak Iskandar menjabat selama 6
bulan, dan setelah itu jabatan Kepala Desa dipegang oleh Bapak
Mustakim. Bapak Mustakim menjadi Kepala Desa Padang Bindu
sebagai calon tunggal pada saat pemilihan Kepala Desa. Bapak
Mustakim masih memegang masa jabatannya sampai saat ini. Pada
masa peralihan dari Bapak Iskandar ke Bapak Mustakim yaitu sekitar
tahun 2012, ada pembangunan fasilitas sarana air bersih dari program
Pamsismas (Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat). Pembangunan itu berupa pemasangan pipa dari
mata air yang disalurkan ke rumah–rumah penduduk. Namun setelah
tiga tahun, fasilitas sarana air bersih itu sudah jarang dimanfaatkan
oleh penduduk karena air yang kadang-kadang tidak keluar. Selain
pembangunan pipanisasi, juga ada pembangunan sarana mandi-cuci-
kakus (MCK) umum di Desa Padang Bindu. Ada dua MCK umum yang
akan dibangun, satunya dibangun di masjid dan satu lagi dibangun di
dekat tempat kalangan. Namun pembangunan MCK umum yang
berasal dari program Pamsismas itu sampai saat ini belum selesai.

32
Gambar 2.11 MCK di Desa Padang Bindu yang belum jadi
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

2.5. Gambaran Umum Desa Padang Bindu


Desa Padang Bindu secara administratif dan geografis masuk
ke dalam wilayah Kecamatan Buay Runjung. Batas wilayah Desa
Padang Bindu di sebelah utara berbatasan dengan Desa Nagar Agung
Kecamatan Buay Runjung, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Tanjung Menang Ulu Kecamatan Buay Sandang Aji, sebelah timur
berbatasan dengan Desa Simpang Saga Kecamatan Buay Runjung dan
sebelah barat berbatasan dengan Desa Padang Sari Kecamatan Buay
Runjung.

33
Gambar 2.12 Peta Desa Padang Bindu
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

Wilayah pemukiman di Desa Padang Bindu dikelilingi oleh


perbukitan, sehingga sarana informasi dan komunikasi sangat sulit di
daerah ini. Untuk mendapatkan siaran televisi, hampir semua
penduduk menggunakan parabola agar dapat menikmati siaran
televisi. Dengan menggunakan parabola, hampir semua stasiun
televisi baik dari dalam maupun luar negeri dapat dijangkau.
Sebenarnya harga parabola sendiri relatif terbilang mahal, penduduk
dengan rela membelinya hanya demi untuk mendapatkan sebuah
informasi. Namun tidak semua siaran televisi dapat ditangkap dengan
menggunakan parabola, ada beberapa siaran televisi yang tidak dapat
dengan menggunakan parabola. Misalnya ada siaran langsung
pertandingan sepak bola dari salah satu negara di Eropa yang
ditayangkan oleh salah satu televisi swasta di Indonesia, maka dengan
sendirinya siaran itu akan hilang dan akan dapat siaran televisi lagi
setelah siaran langsung pertandingan sepak bola itu selesai. Akses
informasi dengan sarana televisi menjadi suatu kebutuhan yang
langka dan mahal.

34
Penduduk Desa Padang Bindu sudah banyak yang memakai alat
telekomunikasi telepon genggam sebagai sarana komunikasi. Namun
sinyal yang didapatkan sangat sulit dan berlaku untuk semua layanan
operator. Sangat sulitnya untuk mendapatkan signal telepon genggam
dikarenakan memang tidak adanya tower pemancar BTS (Base
Transceiver Station) dari operator-operator telepon genggam. Untuk
mendapatkan signal, penduduk harus ada di tempat-tempat tertentu.
Tempat untuk mendapatkan sinyal terbaik biasanya ada di jendela
atau di dinding rumah. Ada juga penduduk yang memasang alat
sebagai penguat sinyal, biasanya alat tersebut dipasang di atap rumah
kemudian dipasang kabel dan kabel tersebut di dekatkan pada
telepon genggam. Namun apabila di lokasi perkebunan kopi, maka
signal telepon genggam akan sangat mudah didapatkan. Hal tersebut
merupakan pengalaman yang unik bagi Peneliti. Pada saat di lokasi
penelitian, untuk melakukan komunikasi atau pada saat sedang
telepon harus dengan menggunakan headset atau suara yang ada di
telepon dikeraskan. Pada saat sedang berbicara di telepon, telepon
genggam harus ditaruh di jendela atau di dinding rumah yang sudah
ada tempat menaruh telepon genggam. Bila telepon genggam di
angkat, maka secara langsung telepon akan putus karena tidak
mendapatkan sinyal.

Gambar 2.13 Contoh tempat tertentu untuk mendapatkan sinyal harus


dan alat untuk penguat sinyal
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Ada dua jenis persawahan yang ada di Desa Padang Bindu,
yaitu sawah lebak dan sawah darat. Yang dimaksud dengan sawah

35
lebak adalah sawah yang tidak membutuhkan saluran irigasi,
sedangkan sawah darat adalah sawah yang membutuhkan sarana
pengaturan pintu-pintu irigasi. Saluran irigasi untuk sawah darat
berasal dari sungai Kima dan sungai Semingkap. Selain itu tanah yang
paling banyak yaitu tanah perkebunan, terutama untuk perkebunan
kopi. Status tanah perkebunan yang ada di Desa Padang Bindu
merupakan tanah perkebunan milik perorangan, tetapi ada juga yang
merupakan perkebunan rakyat.
Desa Padang Bindu dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Untuk
menjalankan fungsi administrasinya, seorang Kepala Desa dibantu
oleh Kepala Urusan dan Sekretaris Desa. Kepala Urusan yang
membantu Kepala Desa antara lain, Kepala Urusan Pemerintahan yang
bertugas untuk menjalankan peran kepala desa ketika tidak ada di
tempat, Kepala Urusan Pembangunan yang bertugas untuk
menjalankan dana desa dan Kepala Urusan Kesejahteraaan Rakyat
yang bertugas untuk menyalurkan dana beras miskin (Raskin) dan
memimpin upacara hari besar keagamaan Islam. Wilayah Desa
Padang Bindu terbagi menjadi empat dusun. Keempat dusun itu tidak
memiliki nama khusus, hanya di bagi berdasarkan urutan yaitu Dusun
1, Dusun 2, Dusun 3 dan Dusun 4. Masing–masing dusun dipimpin
oleh satu orang Kepala Dusun. Kepala Dusun yang ada di Desa Padang
Bindu bertugas untuk membantu kinerja Kepala Desa, dan seorang
Kepala Dusun dipilih oleh Kepala Desa. Satu-satunya akses jalan yang
menghubungkan ke masing–masing dusun melalui jalan utama desa,
karena lokasi masing–masing dusun berbaris sejajar dengan Sungai
Semingkap. Letak Dusun 1 dimulai dari hulu, kemudian ke hilir ada
Dusun 2, selanjutnya ada Dusun 3 dan yang paling hilir ada Dusun 4.
Salah satu tempat yang sangat berharga di Desa Padang Bindu adalah
kalangan.

36
Gambar 2. 14 Suasana hari Kamis saat belanja di kalangan
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Kalangan merupakan pasar tradisional yang beroperasi setiap


satu minggu satu kali yaitu setiap hari kamis. Pedagang yang ada di
sini harus menyewa tempat dan membayar iuran. Setiap tempat
disewakan sekitar Rp.180.000,- sampai Rp. 200.000,- untuk setiap
tahunnya. Sedangkan setiap berjualan ada iuran sekitar Rp. 2.000,-
Pada hari kalangan ini seperti layaknya pasar tradisional yang lain,
namun yang membedakan adalah ada pedagang yang berjualan obat-
obatan untuk pertanian dan penjual obat-obatan serta ada jasa
tukang potong rambut. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi
pedagang karena di Desa Padang Bindu tidak ada koperasi yang
melayani kebutuhan petani dan apotik atau toko obat. Selain itu
setiap hari Kamis, tenaga kesehatan di Desa dan Puskesmas juga
membuka praktek di sekitar kalangan.

37
Gambar 2.15 Salah satu penjual obat-obatan yang ada di kalangan
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Penduduk Desa Padang Bindu merupakan keturunan asli dari


Suku Daya, namun ada beberapa orang yang berasal dari suku
pendatang. Suku pendatang itu menetap di Desa Padang Bindu karena
telah menikah dengan masyarakat suku Daya dan diajak untuk tinggal
dan menetap di desa. Proses pernikahan itu terjadi pada saat
penduduk asli Suku Daya pergi merantau untuk bekerja atau
menempuh pendidikan ke tempat lain dan bertemu kemudian
menikah. Suku pendatang yang tinggal dan menetap di Desa Padang
Bindu yang berasal dari berbagai macam suku. Ada sekitar 7 orang
suku Sunda, yang terdiri dari 3 orang laki–laki dan 4 orang perempuan,
dan 32 orang suku Jawa, yang terdiri dari 11 orang laki–laki dan 21
orang perempuan.
Desa Padang Bindu secara keseluruhan terdiri dari 341 kepala
keluarga. Penduduk Desa Padang Bindu ada 1.712 orang, terdiri dari
734 orang laki-laki dan 978 orang perempuan. Tingkat kepadatan di
Desa Padang Bindu sekitar 1 orang perkilometer, dan perbedaan
jumlah antara laki–laki dan perempuan tidak terlalu mencolok.
Penduduk di Desa Padang Bindu mayoritas beragama Islam. Masih ada

38
juga praktek perdukunan, terutama dukun bayi, dukun pengobatan
dan dukun untuk upacara inisiasi.

2.5.1. Dari Muara Dua ke Desa Padang Bindu


Jarak Desa Padang Bindu dengan ibukota kecamatan dan
Puskesmas sekitar 8 km. Tidak ada angkutan reguler untuk menuju ke
pusat ibukota kecamatan atau Puskesmas, jadi harus menggunakan
angkutan pribadi berupa sepeda motor maupun mobil yang ditempuh
dalam waktu sekitar 1 jam. Jarak ke ibukota kabupaten di Kecamatan
Muara Dua sekitar 30 Km dan ada angkutan regular berupa bus kecil
yang biasa melakukan perjalanan pulang pergi dari Desa Padang Bindu
ke ibukota kabupaten. Biasanya kalau menggunakan angkutan regular
yang berupa bus kecil berisikan 8-10 penumpang bisa ditempuh dalam
waktu sekitar 2 jam. Ongkos perjalanan dengan bus kecil dari Desa
Padang Bindu ke ibukota kabupaten sebesar Rp. 20.000,-. Dalam
perjalanannya, angkutan regular itu sewaktu–waktu bisa mengangkut
penumpang yang mempunyai tujuan ke ibukota kabupaten tetapi
ongkos yang harus dibayarkan beragam disesuaikan dengan jarak yang
ditempuh. Sebenarnya angkutan bus itu bisa untuk mengangkut
sampai 15 orang, akan tetapi bagian belakang dalam bus didesain
untuk mengangkut barang sehingga hanya bisa memuat 8–10
penumpang saja. Angkutan umum regular biasanya hanya satu kali
pulang pergi saja. Jumlah bus angkutan umum itu hanya berjumlah 3
buah; 1 bus berasal dari Desa Saung Naga, 1 bus yang berasal dari
Desa Padang Sari dan 1 bus lagi dari Desa Sugih Waras. Ketiga bus
tersebut berangkat dari Desa Padang Bindu ke ibukota kabupaten
sekitar pukul 06.00 - 06.30 WIB. Setelah jam itu tidak ada angkutan
regular yang lain. Angkutan regular itu hanya sampai di terminal
Muara Dua, yaitu tempat mangkalnya angkutan umum atau mobil
travel antar kota maupun antar provinsi. Di terminal Muara Dua, bus
hanya singgah sebentar kemudian berangkat lagi dan menunggu

39
penumpang di pangkalan bus yang disebut dengan Taman di
Kecamatan Muara Dua. Taman ini adalah tempat mangkalnya
angkutan umum yang melayani rute dalam kota saja. Angkutan
regular itu kembali menuju ke Desa Padang Bindu sekitar pukul 13.00
– 14.00 WIB dan sampai di Desa Padang Bindu pukul 16.00 – 17.00
WIB. Bus-bus itu mau menunggu penumpang apabila sudah membuat
janji terlebih dulu. Namun ongkos yang dibayar tidak sama dengan
ongkos penumpang umumnya. Ongkos yang dibayarkan bisa naik
sampai 100%, yaitu mencapai Rp. 40.000,- sampai Rp. 50.000,-.
Bus angkutan regular itu juga membantu masyarakat Desa
Padang Bindu untuk berbelanja, selain berfungsi sebagai sarana
transportasi penghubung dari Desa Padang Bindu ke ibukota
kabupaten. Biasanya yang memanfaatkan bus angkutan umum itu
adalah warga yang membuka toko kelontong di desa, dan menitipkan
catatan daftar belanjaan kepada sopir bus. Daftar belanjaan itu
berupa sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat yang dibeli
dalam jumlah besar atau grosiran untuk dijual kembali dalam jumlah
kecil. Warga yang menitipkan barang belanjaannya harus membayar
ongkos seperti penumpang umumnya.
Perjalanan dari Desa Padang Bindu ke ibukota kabupaten
dengan menggunakan angkutan pribadi bisa ditempuh dalam waktu
yang lebih cepat. Kalau menggunakan angkutan pribadi berupa mobil
bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam dan bial
menggunakan sepeda motor memakan waktu sekitar 1 jam. Kondisi
jalan yang dilalui untuk menuju ke ibukota kabupaten cukup sulit
karena ada bagian jalan yang menanjak. Jalan yang dilalui memang
sudah jalan aspal, meskipun ada beberapa ruas jalan yang berlubang
dan aspalnya sudah mengelupas. Lebar jalan sekitar 5 m sehingga bila
kendaraan roda empat berpapasan dengan truk atau bus maka salah
satu kendaraan terkadang harus keluar dari badan jalan untuk
menghindari tabrakan. Kondisi jalan sudah baik ketika memasuki Desa
Padang Bindu. Akses jalan yang sempit dan rusak ini yang

40
menghambat perjalanan dari ibukota kabupaten ke Desa Padang
Bindu.

2.5.2. Desa Padang Bindu di Antara Dua Sungai


Wilayah Desa Padang Bindu merupakan daerah berbukit dan
memiliki luas sekitar 1.909 Ha. Luas wilayah itu digunakan untuk
pemukiman, perkebunan, persawahan dan pekarangan. Desa Padang
Bindu dilalui oleh dua aliran sungai, yaitu sungai Semingkap dan
Sungai Kima. Letak pemukiman masyarakat Desa Padang Bindu
berjajar-jajar di sepanjang jalan Desa Padang Bindu dan mengikuti
arah aliran sungai Semingkap dari hulu sampai hilir. Sungai Kima dan
sungai semingkap merupakan salah satu sumber untuk pemenuhan
kebutuhan air bersih dan dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Padang
Bindu untuk kegiatan MCK air serta juga kadang-kadang untuk
pemenuhan kebutuhan air minum. Menurut cerita masyarakat, sungai
Kima tidak akan pernah kering walaupun pada musim kemarau. Pada
musim kemarau air sungai Kima akan bertambah banyak dibandingkan
pada saat musim hujan. Sedangkan sungai Semingkep pada saat
musim kemarau airnya akan menyusut. Sungai Kima airnya lebih
jernih dibandingkan dengan sungai Semingkap. Air sungai Semingkap
berwarna putih kecoklatan. Meskipun begitu masyarakat lebih banyak
memanfaatkan air sungai Semingkap untuk kegiatan MCK daripada
sungai Kima, karena sungai Semingkap jaraknya lebih dekat dari
rumah daripada ke Sungai Kima.

41
Gambar 2.16 Sungai Kima, sumber pengairan di Desa Padang Bindu.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Pemenuhan sumber air di Desa Padang Bindu selain dari


sungai Kima dan Sungai Semingkep juga berasal dari air sumur dan
sumber mata air. Sumber mata air tersebut dialirkan ke desa melalui
pipa-pipa yang kemudian di salurkan ke rumah-rumah penduduk.
Biasanya air dari mata air itu dipergunakan oleh masyarakat untuk
mandi dan mencuci, karena kualitas air yang keruh dan berwarna
kecoklatan. Namun kadang-kadang aliran dari mata air tersebut tidak
keluar karena tersumbat oleh kotoran. Untuk pemenuhan kebutuhan
air minum sehari-hari, masyarakat memanfaatkan dari sumber air
sumur gali yang kedalamannya mencapai 15 meter. Sumur gali itu
berada di belakang atau di depan rumah dan hampir semua sumur gali
itu tidak ada tutupnya. Jadi ketika hujan turun, air hujan akan masuk
ke dalam sumur gali. Tidak setiap rumah punya sumur gali, tetapi
masyarakat yang tidak punya sumur gali bisa minta ke tetangga. Air
dari sumur gali itu sangat jernih dan tidak pernah kering pada saat
musim kemarau. Namun ketersediaan air dari sumur gali itu sangat
terbatas, sehingga sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam
jumlah yang besar. Apalagi ketika pada saat musim hajatan atau
sedekahan, maka kebutuhan untuk air minum sangat banyak. Untuk

42
memenuhi kebutuhan pada saat hajatan atau sedekahan, biasanya
masyarakat mengambil air dari sungai Semingkap.

Gambar 2.17 Sungai Semingkap, sarana MCK masyarakat Suku Dayak Desa Padang
Bindu
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

2.5.3. Pemukiman dan Rumah Adat Suku Daya Padang Bindu


Lokasi pemukiman penduduk suku Daya Desa Padang Bindu
dikelilingi oleh lahan pertanian seperti perkebunan tanaman kopi dan
persawahan. Jarak lokasi perkebunan dan persawahan dengan
pemukiman penduduk relatif cukup jauh. Untuk menuju ke
perkebunan atau persawahan, biasanya dapat ditempuh dengan
menggunakan sepeda motor maupun dengan berjalan kaki. Mayoritas
penduduk Desa Padang Bindu menempuh perjalanan menuju ke
perkebunan dengan berjalan kaki karena akan lebih mudah melalui
jalan setapak dengan berjalan kaki. Lokasi perkebunan milik penduduk
Desa Padang Bindu jarak yang paling jauh diukur dari pemukimam
warga yaitu sekitar 2 jam apabila di tempuh dengan berjalan kaki.

43
Gambar 2.18 Sebelah kiri : bentuk rumah lama Sebelah kanan : bentuk rumah baru
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

Rumah-rumah penduduk di Desa Padang Bindu berbentuk


memanjang dan berjajar di tepi jalan utama desa. Dalam istilah Suku
Daya rumah disebut dengan bahan. Ada beberapa bahan yang tidak
berjajar melainkan di belakang bahan yang lain, seperti bahan-bahan
yang ada di Dusun 1 dan Dusun 2. Jarak antar bahan di Desa Padang
Bindu relatif sangat rapat. Bahan di Desa Padang Bindu berbentuk
limas, ada 2 jenis yaitu jenis Depok dan jenis Panggung. Bahan limas
Panggung yaitu bahan yang mempunyai tiang-tiang penyangga pada
bagian bawahnya atau lantai dasarnya dan tiang penyangga itu
menembus sampai ke atap. Bahan Depok adalah yang tidak memakai
tiang penyangga, lantainya berada di tanah. Mayoritas bahan di Desa
Padang Bindu adalah yang limas panggung dan hanya beberapa bahan
saja yang berupa Depok.

44
Gambar 2.19 Kayu bulat sebagai pengunci bangunan rumah.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

Pada jaman dulu rumah berfungsi untuk menghindar dari


serangan binatang buas, sehingga dibuat tinggi. Atap rumah pada
jaman dulu harus searah dengan jalannya matahari. Seperti apa yang
di ceritakan oleh Bapak Cik Mas,

“…atapnya harus ikut arah jalannya matahari timur ke barat, secara


kesehatan sinar matahari akan tembus, panas pagi sudah datang panas sore
juga suda kena. Rumah pada jaman dulu tidak dibuat melintang, karena bisa
menyebabkan sakit. Letak pintu jendela diusahakan untuk menghadap
matahari terbit…”

Bahan-bahan biasanya terbentuk dari kayu pohon rimba baik


dinding ataupun lantainya.

45
Gambar 2.20 Penahan lantai berupa kayu bulat utuh yang berfungsi untuk menahan
goncangan gempa atau tanah yang bergerak.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Kayu pohon rimba yang belum tua tidak akan ditebang.


Atapnya terbuat dari bambu atau yang disebut dengan gelumpai.
Namun sekitar tahun 1950an, atap-atap rumah sudah ada yang
menggunakan atap dari tanah liat atau genteng. Bahan di Desa
Padang Bindu memang sangat memungkinkan bila terbuat dari kayu,
karena memang wilayahnya dulu berupa hutan dan kayunya juga
didapatkan dengan mudah. Untuk merekatkan antar bagian bahan
jaman dulu tidak memakai paku melainkan hanya memakai kayu
sebagai pengunci. Ada kayu batang pohon yang bulat utuh sebagai
penopang lantai dan tidak ada paku atau tali untuk menguncinya.
Batang pohon kayu tersebut mempunyai fungsi untuk menggerakkan
bahan apabila ada gempa sehingga rumah hanya bergerak-gerak saja
tidak sampai ambruk. Tiap-tiap bagian bahan saling berhubungan,
mulai dari dinding atap sampai lantainya sehingga apabila
penguncinya dilepas maka seluruh bagian lepas dan dapat ambruk.
Suatu hal yang unik adalah pada jaman dulu bahan tersebut bisa
dilepas dan dipindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cara

46
diangkat secara bergotong royong. Konon menurut cerita dari mulut
ke mulut, bahwa barang siapa yang memegang pengunci bahan akan
dikenai sanksi. Sanksinya bisa berupa uang, namun denda yang
ditetapkan tidak ada yang tahu secara pasti berapa besaran
jumlahnya. Tidak ada pembagian ruang di bagian dalam bahan pada
jaman dulu, hanya ada pembatas dari kayu yang tingginya sekitar 25
cm. Pembatas ruang itu yang disebut dengan pada. Bagian-bagian dari
bahan adalah bagian depan yang disebut dengan lap ulap, bagian
tengah yang di sebut dengan peraduan, bagian belakang yang disebut
dengan penaksaan, bagian serambi yang berada di kanan kiri bahan
disebut dengan ambin.
Bahan limas di Desa Padang Bindu memiliki banyak tiang
penyangga. Tiang penyangga itu biasanya setinggi dua meter dari
tanah sampai lantai. Karena bahan Limas dan lantainya ada di atas,
untuk masuk ke dalam bahan diperlukan tangga. Tangga bahan
biasanya berada di bagian depan rumah yang berada di samping
kanan atau kiri. Di bahan Limas ada ruang kosong antara tanah dan
lantai bahan. Pada jaman dulu ruang kosong itu dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk menyimpan barang dan untuk tempat memelihara
hewan ternak. Namun pada saat ini ruang yang kosong di bawah
bahan dimanfaatkan untuk ruang tamu atau ruang untuk berdagang.
Pada saat ini rumah-rumah penduduk disesuaikan dengan
kebutuhan, sehingga bentuk rumahnya mengalami perubahan yang
sangat drastis. Rumah sudah tidak lagi menghadap arah sinar
matahari. Bagian dalam rumah sudah diberi pembatas dan ada ruang-
ruang khusus untuk tempat tidur, sehingga ruang dalam rumah kurang
mendapatkan cahaya matahari. Tempat memasak berada di bagian
belakang rumah, dan biasanya bahan bakar untuk memasak dengan
menggunakan kayu sehingga asap yang ditimbulkan masuk ke dalam
rumah. Rumah penduduk Desa Padang Bindu sangat sedikit sekali
memiliki ventilasi. Untuk menyambung kayu atau merekatkan kayu
sudah memakai paku, dan tidak ada lagi kayu bulat besar untuk

47
penyangga lantai yang berfungsi untuk meredam gempa. Keadaan
rumah jaman sekarang yang masih sama dengan rumah jaman dulu
dan tidak mengalami perubahan adalah di bagian dalam rumah tidak
ada ruang untuk kamar mandi. Hal ini memang sesuai dengan
kebiasaan masyarakat jaman dulu yang masih berlangsung secara
turun temurun bahwa untuk mandi, cuci dan buang air besar masih
memanfaatkan sungai di desa.

2.6. Agama dan Kepercayaan Orang Suku Daya Desa Padang


Bindu
Masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu merupakan
pemeluk agama Islam, tetapi masih ada beberapa masyarakat yang
mempercayai hal-hal gaib dan roh-roh halus serta masih ada praktek
perdukunan. Penduduk di desa ini layaknya pemeluk agama Islam
yang lainnya, yakni menjalankan kewajiban melakukan shalat Isya,
Subuh, Dhuhur, Ashar, Mahgrib serta shalat Jumat. Namun sebagian
penduduk beranggapan bahwa mereka sudah menjadi pemeluk
agama Islam walaupun belum pernah melaksanakan shalat. Mereka
memeluk agama Islam karena mengikuti orang tua yang menjadi
pemeluk agama Islam terlebih dulu. Hal itu seperti yang di jelaskan
oleh Bapak Alidin berikut ini : “…Jadi minimal, biar nggak sholat. Dia
ikut orang tuanya Islam. Istilahnya macam itu. Biar dia belum pernah
sholat, namanya orang tuanya Islam. Ditanya ya Islam juga, pokoknya
mayoritas Islam…”. Dengan adanya anggapan seperti itu, membuat
kehidupan keagamaan masyarakat di desa kurang taat terhadap
ajaran agama Islam. Di Desa Padang Bindu walaupun seluruh
penduduknya beragama Islam, akan tetapi belum ada penduduk yang
ikut organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama.

48
Gambar 2.21 Masjid desa
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Terdapat tempat ibadah masjid di desa ini, namun masjid


hanya dipakai pada saat shalat Jumat saja. Pada saat pelaksanaan
shalat lima waktu (Isya, Subuh, Dhuhur, Ashar, Mahgrib), masjid ini
tidak dipakai karena banyak warga yang pergi ke kebun dan ada pula
yang hanya shalat di rumah. Pada saat Peneliti berada di Desa Padang
Bindu, nyaris tidak pernah terdengar adzan ketika sudah masuk
pelaksanaan shalat lima waktu. Masjid di Desa Padang Bindu terletak
di Dusun 3, sedangkan musholla atau langgar ada di Dusun 1 dan
Dusun2. Musholla biasanya digunakan untuk anak-anak belajar
mengaji. Namun kondisi musholla di Dusun 1 sangat memprihatinkan.
Bila dilihat sekilas dari depan, orang tidak akan mengira bila tempat
itu adalah bangunan musholla.
Kegiatan keagamaan seperti Yasinan pada saat malam Jumat
tetap ada walaupun masih bersifat aksidental. Kegiatan Yasinan
biasanya dilakukan oleh bapak-bapak, sedangkan pemudanya jarang
ada yang mengikuti. Ada pemandangan yang ironis, ketika bapak-
bapak melakukan kegiatan Yasinan di salah satu rumah, pemuda desa
di sebelah rumah sibuk bermain gap walaupun permainan itu tidak
memakai uang. Ada kecenderungan para pemuda desa tidak mau
melibatkan diri dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan Yasinan biasanya
hanya di lakukan oleh penduduk di masing-masing dusun. Tradisi-

49
tradisi keagamaan Islam dan upacara peringatan hari besar agama
Islam juga masih dilakukan oleh sebagian penduduk Desa Padang
Bindu walaupun kelompok keagamaan di desa ini tidak ada.

Gambar 2.22 Mushola Dusun 2 Desa Padang Bindu.


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Upacara adat keagamaan oleh masyarakat Suku Daya Desa


Padang Bindu disebut dengan sedekahan. Sedekahan ini oleh
beberapa masyarakat masih ada yang menjalankannya dan ada juga
yang sudah tidak menjalankannya. Tradisi sedekahan dilakukan sesuai
dengan kemampuan ekonomi masing-masing penduduk. Tradisi
sedekahan itu berkaitan dengan lingkaran hidup manusia yaitu
semenjak dalam masa kehamilan sampai meninggal dunia.

2.6.1. Sedekahan dalam Lingkaran Hidup Penduduk Desa Padang


Bindu
Pada dasarnya semua manusia mengalami proses kehidupan.
Proses-proses itu dilalui dengan beberapa tahapan. Begitu pula
dengan penduduk yang ada di Desa Padang Bindu, tiap individu
manusia akan mengalami fase perubahan itu. Penduduk Desa Padang
Bindu mempunyai adat untuk menghadapi fase-fase dalam hidupnya,

50
yaitu adat sedekahan sebagai upacara yang di lakukan untuk
menghadapi fase-fase itu.
Pada fase awal sebelum manusia dilahirkan, manusia hidup
dalam kandungan atau pada masa kehamilan. Dalam masa kehamilan,
ibu-ibu di Desa Padang Bindu biasanya melakukan sedekahan pada
masa usia kehamilan 9 bulan atau sebelum melahirkan. Sedekahan
disebut dengan Koġoan Limau. Upacara adat ini bertujuan untuk
meminta keselamatan kepada Puhyang agar nantinya saat melahirkan
tidak ada halangan baik bayi yang dalam kandungan ataupun ibu yang
akan melahirkan. Sedekahan dilakukan dengan menyembelih 1 ekor
ayam putih pucat, 1 ekor ayam putih kuning, nasi taboh dan 1 ekor
ayam hitam. Ayam putih pucat melambangkan permohonan
keselamatan kepada kekunduan atau orang tua bayi yang mengasuh
selama dalam kandungan, ayam putih kuning adalah bentuk
permohonan keselamatan kepada Puhyang dan ayam hitam
melambangkan supaya waktu melahirkan tidak mengalami
pendarahan.
Setelah fase sedekahan pada masa kehamilan yang berusia 9
bulan, tidak ada lagi sedekahan yang dilakukan. Setahun kemudian
ada sedekahan lagi yang di lakukan untuk bayi itu. Sedekahan tersebut
biasanya dikenal oleh masyarakat Desa Padang Bindu dengan istilah
petunggu. Petunggu biasanya dilakukan akibat anak kecil tersebut
tidak sembuh-sembuh dari penyakit yang dideritanya. Penyakit yang
diderita anak kecil itu disebut njami. Njami mempunyai dua macam
bentuk yaitu sampot atau bisul dan njami tangis. Dalam kepercayaan
masyarakat setempat bahwa penyakit njami akan sembuh dengan
sendirinya bila dilakukan upacara petunggu. Upacara petunggu
dilakukan setiap satu tahun sekali layaknya orang berulang tahun. Bila
petunggu yang pertama dilakukan pada bulan Juni, maka pada tahun
berikutnya petunggu juga di lakukan pada bulan Juni. Upacara
petunggu tersebut tidak akan dilakukan lagi bila anak sudah bisa
mandi menyelam di sungai. Menurut kepercayaan warga, upacara

51
petunggu adalah proses pelepasan pengasuhan kekunduan dari tubuh
anak karena anak dianggap sudah memasuki masa remaja.
Persembahan untuk upacara petunggu hampir sama dengan upacara
koġoan limau, namun bahan yang digunakan lebih banyak upacara
petunggu.
Sedekahan untuk upacara petunggu yaitu : 1). Ayam 2 ekor, 1
ekor ayam yang berwarna putih kuning (berbulu putih, kaki kuning
dan paruh kuning) dan 1 ekor ayam yang berwarna putih pucat
(berbulu putih, kaki putih dan paruh putih). Ayam yang digunakan bisa
ayam betina atau ayam jantan. 2). Sirih, kapur, hampelot dan pinang.
Ada perbedaan dalam penempatan sirih. Di dekat ayam putih kuning
ditaruh 5 sirih, sedangkan di dekat ayam putih pucat ditaruh 7 sirih.
3). Air putih biasa, diberi cendana dan ditaruh di atas sirih. 4). Kan
Taboh atau nasi putih yang diberi santan.
Masing-masing bahan untuk sedekahan tersebut mempunyai
makna. Ayam putih kuning dan ayam putih pucat mempunyai makna
yang hampir sama dengan upacara koġoan limau. Ayam putih pucat
bermakna sebagai makanan yang diberikan kepada kedua orang tua
anak pada waktu dalam kandungan dengan tujuan supaya anak diberi
keselamatan. Ayam putih kuning bermakna sebagai pemberian
makanan kepada Phuyang dengan maksud supaya anak diberi
keselamatan. Sirih, kapur, hampelot dan pinang adalah sebagai
persembahan untuk ngasan orang tua yang mengasuh dan roh
Phuyang agar damai. Kan Taboh dan air putih adalah sebagai makanan
dan minuman roh dari Phuyang.
Ada upacara petunggu lain yang juga biasa dilakukan oleh
penduduk Desa Padang Bindu. Upacara itu biasa disebut dengan
petunggu bujang tua. Walaupun namanya bujang tua, akan tetapi
upacara itu dilakukan untuk anak kecil yang sering menangis. Ciri-ciri
anak kecil yang minta upacara petunggu bujang tua adalah dadanya
kelihatan cekung dan menangis terus menerus. Upacara itu dipercaya
oleh penduduk Desa Padang Bindu dapat menyembuhkan penyakit

52
karena ada roh remaja belum menikah pada saat meninggal (masih
gadis dan bujang) yang meminta ‘makan’ dan mengganggu anak-anak.
Dari kepercayaan tersebut maka dikenal dengan istilah petunggu
bujang tua. Upacara ini hampir sama dengan petunggu satunya yaitu
menyembelih ayam, namun ayam yang disembelih untuk petunggu
Bujang tua adalah ayam besar jantan atau betina dan warnanya tidak
ditentukan. Selain ayam besar, bahan-bahan yang digunakan dan cara
penyajian untuk petunggu bujang tua tidak mempunyai aturan yang
baku.

Gambar 2.23 Sedekahan Petunggu


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Sedekahan pada fase terakhir lingkaran manusia yang ada di


Desa Padang Bindu adalah fase kematian. Sedekahan untuk
memperingati kematian yang ada di Desa Padang Bindu adalah
dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran untuk memperingati
orang yang sudah meninggal. Biasanya dengan membacakan surat
Yasin pada hari ke-7 setelah hari kematian dan setelah itu hanya
setiap malam Jumat membacakan surat Yasin sampai hari kematian
yang ke 40. Setelah itu tidak ada lagi sedekahan untuk memperingati
upacara kematian. Upacara kematian dianggap sakral oleh penduduk

53
Desa Padang Bindu. Kelompok keagamaan yang ada di Desa Padang
Bindu yaitu kelompok kematian Rukun Tetangga. Kelompok kematian
ini yang nantinya membantu keluarga yang meninggal untuk
mengurus jenazah orang yang meninggal. Kebiasaan masyarakat Desa
Padang Bindu bila ada orang yang meninggal, maka para tetangga
atau kerabat memberikan bantuan orang yang kesusahan dengan
membawa paseh yang berisi 3 canting beras senilai dengan ¾ kg, 1
sabun mandi dan 1 sabun cuci.
Hal ini berbeda dengan adat petulong untuk orang yang punya
hajat pernikahan, nilai bantuan yang diberikan berbeda. Untuk
petulong hajat pernikahan biasanya yang diberikan berupa uang
sekitar 25 ribu rupiah jika yang punya hajat pernikahan tidak
mempunyai hubungan kekerabatan. Tetapi kalau yang punya hajat
pernikahan masih mempunyai hubungan kekerabatan, petulong itu
berupa uang 100 ribu rupiah dan ayam hidup satu ekor ditambah
dengan beras. Setelah memberikan petulong ke kerabat yang punya
hajat pernikahan, maka kerabat tersebut wajib memberikan nilai
petulong yang lebih banyak jika orang tersebut suatu saat
mengadakan hajat pernikahan.

2.6.2. Sedekahan Ruwahan dan Kepercayaan Terhadap Dunia Gaib


Tradisi lain di Desa Padang Bindu yaitu sedekahan ruwahan
yang dilaksanakan pada bulan Sya’ban sebelum Ramadhan. Penduduk
Desa Padang Bindu melakukan sedekahan ruwahan setiap hari Kamis
malam Jumat selama satu bulan penuh. Acara tersebut berupa
pembacaan doa kepada ahli waris atau puhyang yang sudah
meninggal, pembacaan ayat suci Al-Quran terutama surat Yasin.
Setelah itu ada acara makan dan minum bersama. Pada jaman dulu,
sedekahan ruwahan dilakukan tidak dengan membaca ayat suci Al-
Quran. Upacara dilakukan dengan membaca mantra-mantra yang
ditujukan kepada nenek moyang, dan ada juga acara membakar
kemenyan. Namun setelah mengalami perkembangan acara

54
membakar kemenyan sudah ditiadakan karena pengaruh banyaknya
warga yang sekolah di bidang keagamaan Islam termasuk Kepala
Urusan Kesejahteraan Masyarakat yang sekarang.

Gambar 2.24 Tradisi ruwahan, biasa dilakukan menjelang bulan puasa.


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Masih ada tradisi lain yang masih dilakukan penduduk Desa


Padang Bindu yaitu betegi. Betegi adalah tradisi melakukan sedekahan
sebelum membangun rumah. Orang satu dusun diajak untuk gotong
royong. Orang-orang yang datang membawa beras, ayam, atau telur
untuk di sumbangkan kepada orang yang membangun rumah. Namun
pada saat ini sudah jarang orang yang melakukan sedekahan betegi.
Tradisi betegi ini sudah jarang dilakukan karena kesibukan dari
masing-masing penduduk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri,
seperti apa yang di ceritakan oleh Bapak Cik Mas berikut ini :

”…upacara sebelum mendirikan rumah di sebut betegi, kadang-


kadang ada yang satu dusun di ajak semua, nah itu gotong royong juga. Itu
yang datang bawa beras, ayam kalau ada telur ya bawa telur untuk
disumbangkan kepada orang yang membangun rumah. Itu bukan hajatan

55
istilahnya, tapi untuk makan orang-orang yang ikut membangun rumah.
Tidak jarang juga ada yang memohon untuk sedekahan…”

Setelah rumah jadi tetapi belum ditempati, ada orang yang


menunggu rumah itu terlebih dulu, yang disebut dengan istilah
ngedok. Di bagian dalam rumah yang belum ditempati tersebut akan
diberi kertas yang ditulis dengan huruf arab, dikenal dengan nama
radja, dan dipaku di atas pintu. Selain radja, ada pula sebuah botol
yang di dalamnya diisi air atau kertas yang dipaku di dinding bagian
dalam rumah. Hal tersebut dilakukan penduduk dengan tujuan untuk
mengusir roh halus di rumah yang bisa mengganggu penghuni rumah.
Adat tata cara itu masih ada sampai sekarang dan dapat dilihat di
rumah penduduk Desa Padang Bindu dimana hampir di setiap pintu
rumah ada botol yang tergantung.
Kepercayaan terhadap roh halus masih ada dalam keyakinan
penduduk. Ada juga cerita penduduk yang kerasukan mahkluk halus,
dimana ada ibu yang tidak bisa jalan tetapi tiba-tiba ada di atas pohon
beringin, dan ibu itu tidak sadar bahwa dia memanjat pohon beringin
itu. Setelah kejadian itu, ibu tersebut melakukan sedekahan. Dalam
melakukan upacara sedekahan, air putih yang telah dipakai untuk
upacara dibagi-bagikan kepada seluruh warga. Dengan adanya hal
tersebut, menjadi suatu bukti bahwa beberapa warga di Desa Padang
Bindu masih ada yang mempercayai sesuatu yang mistis dan roh-roh
halus.

56
Gambar 2.25 Pemasangan tulisan huruf Arab di atas pintu.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

2.6.3. Pesantren, Usaha Mempertahankan Islam di Desa Padang


Bindu
Kegiatan keagamaan yang lain di Desa Padang Bindu adalah
pesantren anak. Pesantren ini merupakan pendidikan membaca Al-
Quran. Pesantren anak itu berada di masing-masing dusun dan setiap
pesantren memiliki nama. Pesantren di Dusun 1 bernama Nurul Huda, di
Dusun 2 bernama Nurul Islam, sedangkan di Dusun 3 dan Dusun 4
menjadi satu yang bernama pesantren Nurul Falah. Pesantren-pesantren
itu mengajari anak-anak membaca Al-Quran sampai khatam. Ada
beberapa guru yang mengajari untuk mengaji di pesantern tersebut,
namun masing-masing guru mengajarinya dengan cara bergantian. Satu
orang guru mengajari beberapa murid sampai tamat, kemudian berganti
dengan guru lain yang juga mengajari sampai tamat. Sistem mengajar
mengaji itu dilakukan secara terus menerus.
Ada acara khusus pada saat khataman mengaji, dan biasanya
dilakukan lomba seni membaca Al-Quran bagi anak yang tamat
mengaji. Seluruh perangkat desa juga ikut menghadiri acara khataman
mengaji itu. Acara itu dilakukan satu hari penuh. Orang tua wali murid
yang ikut khataman mengaji membuat makanan bagi murid-murid

57
yang ikut mengaji. Ketika Peneliti ada di lokasi penelitian, ada acara
untuk memperingati khataman mengaji. Pesantren Nurul Huda di
Dusun 1 mengadakan acara khataman mengaji. Satu hari sebelum
acara khataman mengaji dimulai, sudah terlihat ibu-ibu wali murid
sibuk memasak serta tenda dan dekorasi panggung sudah dipasang di
halaman rumah.
Acara khataman mengaji dimulai pada pagi hari. Acara
tersebut dihadiri oleh tokoh masyarakat, tokoh agama dan perangkat
Desa Padang Bindu serta ada juga penduduk yang menonton kegiatan
tersebut. Pada saat Peneliti datang ke acara khataman itu, acara
belum dimulai. Bermacam-macam makanan dan minuman sudah
disiapkan. Yang hadir di depan seluruhnya adalah laki-laki, tidak ada
satupun wanita yang ada di tempat duduk yang telah ada. Wanita
yang ikut hadir di tempat itu hanya menonton saja di belakang tenda
dan di belakang para santri. Selain itu ada juga santri dari dusun lain
yang ikut serta, dan juga ada beberapa tokoh agama dan santri dari
desa lain seperti Desa Padang Sari, Desa Saung Naga dan Desa Negeri
Batin Baru. Santri yang ikut khataman mengaji itu memakai toga
layaknya seorang sarjana yang baru lulus. Pada saat itu ada sekitar 25
orang orang santri yang ikut khataman Al-Quran. Santri-santri
tersebut sudah belajar mengaji selama satu tahun. Acara khataman ini
merupakan ajang untuk menunjukkan seni baca Al-Quran sebagai hasil
yang dipelajari selama 1 tahun itu.

Gambar 2.26 Kegiatan khataman murid pesantren.


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

58
Acara khataman itu terkesan dibuat formal, karena diawali
dengan acara sambutan dari Kepala Desa, dan beberapa juri yang
berasal dari tokoh masyarakat dan tokoh agama. Ada kesenian
rebana yang dimainkan oleh santri yang mau khataman. Santri-santri
itu diwajibkan untuk membaca ayat suci Al-Quran satu persatu.
Banyaknya santri yang tamat mengaji membuat acara itu belum
selesai hingga siang hari, sehingga acara khataman mengaji dihentikan
untuk istirahat makan dan shalat pada saat siang hari. Pada saat
istirahat makan, santri-santri peserta khataman, tokoh masyarakat
dan tokoh agama tidak berada dalam satu tempat. Setiap wali murid
membuat masakan bagi yang mengikuti acara khataman, jadi santri
atau tokoh masyarakat dan tokoh agama boleh memilih tempat yang
diinginkan. Wali santri khusus membuat masakan menggunakan biaya
sendiri. Wali murid dengan rela mengeluarkan uang demi acara
khataman itu. Setelah selesai istirahat shalat dan makan, acara
kemudian dilanjutkan lagi sampai diumumkannya pemenang lomba
seni baca Al-Quran. Acara tersebut baru selesai pada sore hari dan
penduduk secara gotong royong merapikan kursi-kursi dan
membersihkan sampah-sampah.

2.6.4. Mitos Danau Upungan


Ada suatu mitos yang beredar di masyarakat tentang Danau
Upungan. Danau Upungan merupakan suatu wilayah yang masuk Desa
Padang Bindu dan letaknya berbatasan dengan Desa Kenali
Kecamatan Buay Sandang Aji. Danau ini terletak di antara perkebunan
kopi. Untuk menuju ke Danau Upungan hanya bisa ditempuh dengan
berjalan kaki dengan waktu yang ditempuh sekitar dua jam dari
pemukiman Desa Padang Bindu.

59
Gambar 2.27 Danau Upungan, tempat yang dianggap keramat.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Desa Padang


Bindu, awal mula dari Danau Upungan adalah suatu desa yang
makmur dan tentram. Hampir tiap hari diadakan acara makan-makan
di desa tersebut. Pada suatu ketika, saat seluruh penduduk desa
sedang mengadakan pesta makan berbagai macam daging dan buah-
buahan, datanglah seseorang yang sudah tua renta dengan membawa
jamur. Orang tua tersebut ingin memakan jamur yang dia bawa dan
meminta pada penduduk yang sedang berpesta untuk memasakkan
jamur yang dibawanya. Namun penduduk yang sedang berpesta tidak
ada yang memperdulikan orang tua tersebut. Penduduk desa
mengacuhkannya saja. Penduduk desa itu merasa heran dengan
keinginan orang tua tersebut yang ingin makan jamur sedangkan saat
itu ada berbagai macam makanan yang lebih enak dari jamur yang
dibawanya. Lama kelamaan orang tua itu marah karena tidak ada yang
menuruti kemauannya. Dengan kemarahan yang meledak-ledak orang
tua itu menghentakan kakinya ke tanah. Tanah yang dihentaknya
menjadi retak dan lama kelamaan tanah menjadi amblas beserta
seluruh penduduk yang mengadakan pesta. Desa yang semula ramai
dengan hiruk pikuk suara penduduk yang mengadakan pesta berubah

60
menjadi sunyi karena sudah menjadi sebuah danau. Kemudian dari
cerita itu tempat itu disebut dengan Upungan.
Danau Upungan ini banyak dihuni jenis ikan air tawar, sehingga
banyak penduduk yang ingin memancing ke tempat itu. Konon pada
suatu ketika ada seorang yang pergi memancing di Danau Upungan.
Orang tersebut sudah mendapatkan ikan yang banyak sekali, namun
orang itu tetap saja memancing untuk mendapatkan ikan yang lebih
banyak lagi. Pada saat orang tersebut menarik kail ternyata yang
didapatkan bukan ikan melainkan emas. Alangkah kagetnya orang
tersebut, sehingga semakin bersemangat untuk memancing. Semakin
lama memancing emas yang didapatnya makin lebih besar. Orang itu
semakin berambisi untuk mengambil emas itu. Dan karena beban dari
emas itu yang berat, tenaga orang itu semakin lama semakin habis
dan badannya menjadi lemas. Akhirnya emas itu tidak dapat diambil
dan malah orang yang memancing itu ikut tercebur ke dalam Danau
Upungan.
Cerita rakyat tentang terjadinya Danau Upungan menjadikan
tempat tersebut dianggap sebagai tempat yang angker dan keramat.
Sampai sekarang warga banyak yang takut dengan cerita tersebut dan
jarang yang pergi kesana. Namun pada saat ini ada beberapa warga
yang pergi ke danau itu untuk memancing ikan, namun bila beruntung
bisa mendapatkan ikan yang banyak dan bila tidak beruntung maka
tidak akan mendapatkan ikan sama sekali. Selain itu ada kepercayaan
bahwa bila akan memancing ke tempat itu, sebaiknya sambil
membawa bekal nasi saja tanpa lauk maupun sayur. Dengan
membawa bekal nasi saja, maka roh penunggu danau itu merasa
kasihan sehingga memberi banyak ikan.

2.7. Bertahan Hidup dengan Kopi


Lingkungan alam dan manusia tidak dapat dipisahkan. Kondisi
alam dan manusia pada dasarnya memiliki hubungan timbal balik.
Hubungan timbal balik tersebut bisa saling menguntungkan atau

61
malah dapat merugikan manusia atau lingkungan alam. Adanya
hubungan lingkungan alam dan manusia inilah yang dapat
mengakibatkan manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda di
setiap wilayah tergantung dengan kondisi alamnya. Kondisi iklim dan
kualitas tanah juga dapat mempengaruhi fisik dari manusia, mulai dari
dataran yang paling tinggi maupun dataran yang paling rendah.
Kondisi lingkungan di Desa Padang Bindu yang dikelilingi
dengan perkebunan kopi ini mempengaruhi mata pencaharian dari
penduduknya. Mata pencaharian penduduk Desa Padang Bindu tidak
terlalu bervariasi, sebagian besar mempunyai mata pencaharian
sebagai petani. Walaupun ada beberapa orang yang menjadi guru dan
bidan, tetapi mereka juga bekerja di kebun kopi dan sawah pada
waktu musim panen. Semua penduduk di Desa Padang Bindu
mempunyai mata pencaharian sebagai petani kopi. Hasil komoditi
utama dari penduduk di desa ini adalah kopi. Sebagian besar lahan
wilayah desa ini diperuntukkan sebagai perkebunan kopi, dan sisanya
ada yang diperuntukkan sebagai persawahan untuk padi, perkebunan
karet dan saat ini ada yang dimanfaatkan sebagai perkebunan sawit.
Di sekitar tanaman kopi, ada juga yang ditanami pohon durian dan
pohon duku.
Tanah perkebunan tanaman kopi atau tanah persawahan yang
dimiliki oleh penduduk Desa Padang Bindu sebagian besar merupakan
tanah warisan dari orang tua. Beberapa tanah sudah dijual pada saat
musim paceklik dan dibeli oleh orang lain yang juga penduduk Desa
Padang Bindu. Musim panen biasanya pada bulan Januari sampai
dengan bulan Juni dan setelah bulan Juni adalah musim paceklik. Pada
saat musim paceklik beberapa warga mencari pekerjaan lain.
Beberapa warga yang pernah merantau akan kembali lagi merantau,
ada warga yang menjadi buruh tani di desa, ada warga yang menanam
tanaman yang lain seperti jengkol atau sayuran dan ada warga yang
hanya menjadi tukang batu di tempat lain. Hal ini sesuai seperti apa
yang telah diceritakan Bapak Mustakim berikut ini,

62
“…Ya hampir dikatakan tidak ada pekerjaan sampingan, ada pekerjaaan
sampingan ya ada jengkol yang buah ngambil jengkol kalau menanam jahe
waktunya panen jahe ya panen Itu diatur dari musim inilah, musim sampai
selesai berapa dapatnya itu diatur supaya sekian bulan bulan 4 bulan 3
kedepan bagaimana caranya sampai musim panen berikutnya itu sesuai
masing – masing orang yang sebagiann tidak punya lahan biasanya buruh
semprot ngrumput ya apa aja…”
Luas lahan perkebunan yang dimiliki tiap keluarga yang ada di
Desa Padang Bindu minimal 2 Ha, dan biasanya dikerjakan bersama
oleh masing-masing anggota keluarga. Tanah perkebunan kopi masih
dikerjakan dengan cara tradisional dan semata-mata masih
menggunakan tenaga manusia, sedangkan tanah persawahan sudah
ada yang menggunakan mesin. Penduduk Desa Padang Bindu
kebanyakan mempunyai jiwa pekerja keras, namun tidak berani untuk
mencoba sesuatu yang baru. Sejak jaman dulu, secara turun temurun,
mata pencaharian utama mayoritas penduduknya sebagai petani kopi
dan petani padi. Sebagai petani, pengetahuan dalam pengelolaan
lahan perkebunan kopi di peroleh secara turun temurun dari orang
tuanya.
Belum ada sama sekali penyuluhan dari Dinas Perkebunan
tentang perawatan tanaman kopi hingga saat ini. Warga setempat
perlu mendapatkan pengetahuan tambahan tentang pengelolaan
lahan kebun kopi, terutama tentang cara mengobati tanaman kopi
yang terserang hama atau semut. Biasanya penduduk lebih memilih
membeli obat untuk tanaman kopi di kalangan, sedangkan takaran
obat, cara meramu obat dan cara penyemprotannya tidak tahu.
Penduduk hanya mendapatkan penjelasan dari penjual obat tentang
pembenihan, penanaman, perawatan atau pemutilan. Hal ini berbeda
dengan pertanian padi sawah. Sejak lima tahun ini warga sudah
mendapatkan penyuluhan dari Dinas Pertanian Kabupaten OKU
Selatan.

63
Proses produksi perkebunan kopi dan padi sawah memerlukan
proses yang panjang. Penduduk yang mempunyai lahan perkebunan
atau sawah dekat dengan rumah tidak terlalu memikirkan mobilitas
kerjanya untuk pulang dan pergi ke kebun, apalagi yang mempunyai
kendaraan roda dua. Namun bagi penduduk yang lahannya jauh dari
rumah, mobilitas pergi dan pulang lahan merupakan suatu hal yang
sulit, terutama dari segi tenaga ataupun biaya. Sebagai alternative,
penduduk yang lokasi area perkebunannya relatif jauh biasanya
membangun sapo di sekitar kebun.

2.8. Produksi Pertanian di Desa Padang Bindu


Tanaman kopi dan masyarakat Desa Padang Bindu tidak dapat
dipisahkan Masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya dari
tanaman kopi. Dari tanaman kopi ini muncul suatu kebiasaan-
kebiasaan yang hadir dalam masyarakat. Proses produksi tanaman
kopi di Desa Padang Bindu memerlukan suatu kesabaran karena
tanaman kopi ini dapat dipanen setelah usia 3 tahun. Persipan
sebelum masa penanaman juga menunggu waktu yang lama. Proses
awal atau nebas dimulai pada bulan Juli, yaitu dengan menebang
pohon-pohon di hutan.

Gambar 2.28 Tanjing, langkah awal proses tanam kopi.


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

64
Proses menebang pohon ini bisa berlangsung selama 3 bulan.
Lahan kemudian dibakar untuk membersihkan sisa pohon yang habis
ditebang. Proses membersihkan dan membakar ini memakan waktu
sekitar 2 bulan. Lahan tersebut kemudian dipasangi tanjing sebagai
tanda tempat yang akan ditanami pohon kopi dan lahan tersebut
sudah siap untuk ditanami pohon kopi.

Gambar 2.29 Satu centeng biji kopi.


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Selain proses penanaman, pohon kopi yang perlu disiapkan


adalah benih kopi atau ambangkoh. Biji kopi dipilih yang paling bagus,
kemudian dipecah dan dijemur sampai kering. Orang Desa Padang
Bindu biasanya menyiapkan sekitar 1 sampai 3 centeng benih kopi,
dalam 1 centeng ada sekitar 3.000 benih kopi. Sebelum ditanam pada
lahan yang sudah di siapkan, benih ditanam terlebih dulu atau biasa
disebut dengan ngambang. Satu benih kopi bisa tumbuh menjadi 2-3
batang pohon kopi. Fase selanjutnya adalah menunggu sampai benih
kopi tumbuh berumur sekitar 1 tahun dengan tinggi 30 cm sehingga
bisa ditanam. Biasanya yang banyak ditanam di Desa Padang Bindu
adalah jenis kopi kecil atau timbay. Kalau menanam benih pohon kopi,
bisa dapat segera panen dalam masa usia sekitar 28 bulan sampai 36
bulan.

65
Namun pada saat ini ada penemuan baru untuk penanaman
pohon kopi, yaitu dengan cara menyetek pohon kopi. Setekan pohon
kopi didapatkan dari orang Lampung dan kemudian disetekkan
dengan pohon yang ada di Desa Padang Bindu, sehingga prosesnya
tidak menunggu waktu yang lama. Untuk pohon kopi yang
pertumbuhannya dengan stek, panen pertama kali bisa pada usia
sekitar 1 tahun. Seperti apa yang telah di ceritakan Bapak Muhtadun
berikut ini,

“…tapi sekarang ada model baru stek. Alhamdulillah sudah ada


perubahan sedikit-sedikit. Setekan diambil dari orang Lampung. Jadi kopinya
ngambil setekan dari orang Lampung, Kita setekkan ke pohon kopi kita. Jadi
kalau setekan dari orang Lampung buahnya besar-besar, kopi kita juga ikut
besar-besar, tapi kalau setekan dari orang Lampung buah kecil-kecil kopi kita
buahnya juga kecil. Tapi jenis pohonya kita tidak tahu, kita kan tidak ada
penyuluh hanya ikut-ikutan saja…”

Setelah proses pembibitan maka benih kopi tersebut sudah


bisa ditanam. Ada aturan dalam menanam pohon kopi, terutama jarak
antara satu pohon dengan pohon yang lainya. Hal tersebut dilakukan
yaitu untuk mencegah jika pada waktu besar nanti ranting pohon tidak
saling berkaitan sehingga dapat berbuah lebih banyak. Ukuran luas
untuk perkebunan kopi dihitung perseribu pohon, dengan
menggunakan ukuran pancang yaitu sekitar 10 x 20 batang pohon.
Dengan jarak tanam sekitar 1,8-2 cm, dalam 5 hari bisa menanam
sekitar 2.000 batang pohon kopi. Dalam 1 batang pohon kopi bisa
keluar 2-3 tunas. Semakin banyak tunas maka semakin sedikit buah
kopinya. Setelah itu pohon yang sudah ditanam tinggal dirawat saja
sampai berbuah. Satu batang kopi bisa mencapai hasil sekitar ½ - 1 kg
buah kopi.
Tanaman kopi bisa dipanen sekitar 1 tahun sekali, dan biasanya
pada saat musim panen sekitar bulan Januari sampai dengan bulan
Juni. Pada saat itu, penduduk sangat sibuk sekali dengan kegiatan

66
mutil kopi dan menjemur kopi. Di halaman depan rumah akan
kelihatan semua orang menjemur kopi. Proses selama menjemur kopi
bisa berlangsung 4-5 hari kalau sepanjang hari matahari bersinar
panas terus. Kalau pada saat musim hujan, proses menjemur bisa
memakan waktu sekitar 6-7 hari. Ada juga buah kopi yang dijemur di
tengah jalan dan dibiarkan terinjak ketika ada kendaraan roda 4
maupun roda 2 yang melintas untuk mempercepat proses
pengeringan. Penduduk Desa Padang Bindu hanya mengandalkan
indera pendengaran untuk mengetahui buah kopi itu sudah kering apa
belum, yaitu dengan mengambil buah kopi sebanyak sekepalan
tangan kemudian diguncang-guncangkan sambil didekatkan ke telinga
untuk didengarkan. Bila terdengar suara nyaring dari biji kopi
tersebut, maka buah kopi itu sudah kering.
Tanaman yang bisa dipanen adalah yang berusia sekitar 28-36
bulan untuk penanaman dengan benih, sedangkan kalau
menggunakan setek sekitar umur 12 bulan sudah bisa dipanen. Pada
saat mulai panen atau mangkal, biasanya yang didapatkan hanya
sekitar 3 pikul atau sama dengan 3 kwintal. Masa panen yang kedua
atau yang biasa di sebut dengan ngagung, pada masa ini adalah
berkah bagi petani kopi karena yang didapatkan begitu besar
mencapai sekitar 1 ½ ton. Pada saat ini 1 kg kopi dihargai sekitar Rp.
18.000 untuk yang sudah dikupas kulitnya. Biaya untuk menggiling
kopi seberat 100 kg adalah sekitar 5 kg kopi yang sudah digiling.
Setelah itu di jual pada toke yang ada di desa.
Selain itu di Desa Padang Bindu ada sistem sewa menyewa
tanah. Sewa tanah dihitung berdasarkan jumlah pohon. Untuk 1.000
batang pohon kopi, biaya yang dibayarkan pada pemilik tanah adalah
setara dengan kopi seberat 50 -100 kg. Semua biaya perawatan atau
upah tenaga buruh menjadi tanggungan dari yang menyewa kebun
itu. Menurut keterangan Bapak Mustakim berikut ini,

67
“…lahan sendiri sebagian, sebagian ada yang tidak ada , membuka lahan
orang. Biasanya dia rundingan untuk membuka lahan orang. Dikatakan
membuka lahan orang pertama membuka itu menanam padi itu sudah sewa.
Umpamanya sehektar itu berapa, 2 kwintal beras bagaimana. Kopinya itu
biasanya per 1000 batang kopi itu sekian umpamanya 1 kwintal dalam 1000
batang pohon kopi 1 ha 2500 batang kopi artinya mengeluarkan sewanya 2
kwital ½ pertahun itu biasanya bayar mulai Dia sewa kalau kopinya itu ya
habis mulai panen pertama, ke-2, ke-3, sudah 4, 5 sudah agak tua kopinya
mungkin dikurangi biasanya 2 kwintal ½ dikurangi atau ½ nya 2 kwintal
yang mampunya atau yang Agungnya kalau orang sini bilang yang kedua kali
mulai panen panen 1 dan panen 2 dia mampu 1 ha bisa 8 ton kalau yg bagus
tapi lihat tanahnya juga kalau tanahnya agak kurang juga kalau tanah disini
belum seperti di Jawa katakanlah pupuknya sekian 1 ha pupuknya dalam
sekian ton belum tapi mulai sekarang ini ya sudah ada yg menggunakan
pupuk untuk tanah yang belum subur ya harus di pupuk…”
Tanah sawah di Desa Padang Bindu ada dua jenis yaitu sawah
lebak dan sawah darat. Sawah lebak biasanya tidak memakai
pengaturan sistem pintu-pintu irigasi, sedangkan sawah darat adalah
sawah yang memakai pengaturan pintu-pintu irigasi. Sawah lebak
biasanya hanya 1 kali panen, sedangkan sawah darat bisa panen 2
Kali. Sawah di Desa Padang Bindu tidak terlalu luas, paling luas hanya
sekitar ¼ - ½ hektar. Penanaman padi biasanya dilakukan pada bulan
Desember, setiap pertengahan bulan dan biasanya di lakukan selama
3 hari. Dulu sistem tanamnya masih acak-acakan dan asal-asalan.
Sekarang ini ada kelompok tani binaan dari Dinas Pertanian. Di Desa
Padang Bindu ada demplot dari Dinas Pertanian yang mengajari untuk
melakukan penanaman legowo, yaitu cara menanam padi dengan cara
lurus berbaris tidak ada batas.

68
Gambar 2.30 Sistem penanaman padi jajar legowo.
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Kelebihan menanam dengan cara ini adalah buahnya besar-


besar, hasilnya banyak dan hama tikus berkurang. Pada tahun ini
semua petani harus memakai sistem legowo. Pada sistem ini yang
ditanam hanya 3 batang bibit padi saja, sedangkan pada acak-acakan
bisa menanam bibit sekitar 4-7 batang. Semakin banyak bibit padi
yang ditanam, semakin sedikit buah padi yang dihasilkan. Pada saat ini
yang memakai cara tanam ini di Desa Padang Bindu masih 2 orang.

2.9. Petani Kopi dan Kehidupan Baru di Sapo


Sapo merupakan tempat tinggal yang dipakai oleh masyarakat
Daya sebagai tempat tinggal di sekitar kebun kopi. Sapo dibangun
pada awalnya untuk mempunyai tujuan sebagai tempat berteduh
ketika musim hujan dan tempat untuk menjaga kebun dari binatang.
Sapo juga berguna sebagai tempat mengawasi tanaman dari pencuri
terutama pada saat musim panen. Pada saat musim panen, penduduk
yang punya sapo tidak akan pulang ke rumah, kecuali pada saat ada
kalangan pada hari Kamis. Namun setelah penduduk di Desa Padang
Bindu mengalami perkembangan, sapo dipakai sebagai tempat tinggal
dan menetap di area sekitar perkebunan kopi. Biasanya yang tinggal
dan menetap di sapo adalah penduduk yang telah menikah dan di
rumah sudah ada lebih dari satu kepala keluarga. Keuntungan tinggal

69
di sapo adalah tiap hari tidak perlu pulang pergi menempuh
perjalanan jauh ke kebun untuk beraktivitas di kebun. Seperti apa
yang telah diceritakan oleh Bapak Mustakim berikut ini,

“…Belum ada rumah dia buat pondok di kebun memang dari dusun desa kita
ini. Biasanya ada juga tapi mereka tinggal di pondok hanya pada waktu
musim panen saja nginapnya untuk jaga kopi itu lain. Itu ya tinggal, mereka
tinggal di dusun inilah ada 20 KK yang tinggal di sapo. Kadang-kadang dalam
1 rumah ada yang 3-4 KK, anak yang nikah belum bisa berkembang masih
ikut orang tua ada yang tinggal di kebun…”

Di setiap perkebunan kopi pasti ada sapo. Sapo di Desa Padang


Bindu ada dua jenis yaitu sapo yang berbentuk panggung dengan tiang
penyangga dan sapo depok yaitu tanpa tiang penyangga dan lantainya
menyatu dengan tanah. Jarak antara sapo yang satu dengan yang lain
agak jauh, tergantung dengan luas dari kebun kopi.

Gambar 2.31 Sapo panggung


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Sapo yang saling berdekatan membentuk kelompok sendiri


yang disebut dengan talang. Biasanya talang ini terdiri dari 3 sampai 5
sapo, bila semakin banyak sapo yang semakin mengelompok maka
disebut dengan umbulan. Penghuni sapo juga merupakan penduduk
Desa Padang Bindu, namun mereka membentuk kehidupan sendiri di
area perkebunan. Penduduk yang ada di sapo jarang sekali

70
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di desa, misalnya
pelayanan Posyandu untuk balita dan pemeriksaan kesehatan bagi
orang yang sakit. Memang jarak dari sapo ke desa lumayan jauh.
Penghuni sapo bila sakit akan pergi ke dukun yang ada dan tinggal di
sapo juga.

Gambar 2.32 Sapo depok


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

Aktivitas penduduk dalam pola produksi tanaman kopi akan


sangat padat sekali, terutama pada saat panen. Musim panen kopi di
Desa Padang Bindu berlangsung pada bulan Januari sampai dengan
bulan Juni. Pada saat-saat itu hampir semua penduduk bekerja di
kebun. Pada pagi hari sekitar pukul 6 pagi, baik perempuan dan laki-
laki sudah beranjak untuk berangkat ke kebun ataupun sawah. Pada
sore hari sekitar pukul 4 sore, penduduk sudah kembali dari kebun.
Dapat dipastikan pada saat siang hari, pemukiman di Desa Padang
Bindu sepi sekali seperti tidak berpenghuni. Bagi yang mempunyai
sapo, biasanya lebih memilih tinggal di sapo dan tidak pulang ke
rumah. Ada juga penduduk yang punya sapo, tetapi hanya suaminya
yang tinggal di sapo sedangkan istrinya lebih memilih tiap hari pulang
ke rumah. Ketika Peneliti ada di Desa Padang Bindu, Peneliti mencoba
berinteraksi dengan penduduk Desa Padang Bindu. Usaha berinteraksi
dengan penduduk adalah dengan ikut ke kebun salah satu penduduk.

71
Suatu pagi Peneliti akan ikut ke kebun dengan salah satu penduduk
desa. Kebetulan memang di pagi hari banyak ibu-ibu dan bapak-bapak
yang akan pergi ke kebun. Salah satunya adalah istri Pak Burlian yang
akan berangkat ke kebun. Jarak kebun kopi dari rumah Pak Burlian
lumayan cukup jauh. Menurut istri Pak Burlian, untuk ke kebun kopi
miliknya harus berjalan kaki sekitar 1 jam. Istri Pak Burlian setiap hari
pulang ke rumah, akan tetapi Pak Burlian tidak setiap hari pulang. Pak
Burlian tidur di pondok yang ada di kebun untuk menjaga tanaman
kopi supaya tidak diambil orang atau dimakan binatang. Pak Burlian
pulang ke rumah hanya pada waktu ada kalangan di desa yaitu pada
hari Kamis untuk membeli persediaan makanan dan rokok sebagai
kebutuhan sehari-hari selama 1 minggu tinggal di pondok.

Gambar 2. 33. Aktivitas di dalam Sapo


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

Jarak lokasi area perkebunan kopi dan persawahan dari lokasi


pemukiman penduduk relatif bervariasi. Jarak area perkebunan yang
paling jauh dengan lokasi pemukiman yaitu sekitar satu jam
perjalanan bila ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk area
perkebunan kopi yang paling dekat jaraknya dengan pemukiman
sekitar 10 menit perjalanan dengan berjalan kaki. Kalau ditempuh
dengan kendaraan roda dua, maka waktu yang di tempuh relatif lebih
cepat. Untuk menuju ke area perkebunan kopi dan area persawahan
hanya melalui jalan setapak. Untuk menuju ke area lokasi perkebunan

72
kopi dan persawahan, dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau
dengan menggunakan kendaraan roda dua. Akan tetapi apabila pada
saat musim hujan, jalan setapak itu menjadi licin dan becek sehingga
kendaraan roda dua akan sulit melintasinya. Bila tidak biasa naik
kendaraan roda dua di jalan setapak itu, bisa menyebabkan
kecelakaan. Tidak semua penduduk Desa Padang Bindu yang
mempunyai kendaraan roda dua, sehingga lebih banyak penduduk
yang memilih berjalan kaki. Aktivitas berjalan kaki maupun dengan
mengendarai kendaraan roda dua ke kebun dilakukan setiap hari oleh
penduduk, kecuali yang punya sapo.

Gambar 2.34. Jalan menuju kebun kopi yang becek pada saat musim hujan
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

Penduduk Desa Padang Bindu tidak akan melakukan aktivitas


ke kebun pada hari Kamis, mereka libur bekerja untuk beristirahat.
Hari Kamis itu adalah saat pergi ke kalangan untuk berbelanja
keperluan sehari-hari atau hanya sekedar berjalan-berjalan. Begitu
juga penduduk yang tinggal di sapo, mereka akan pergi ke kalangan
dan sekaligus dimanfaatkan untuk pulang ke rumah. Hari libur
penduduk Desa Padang Bindu tidak seperti kebanyakan masyarakat
pada umumnya. Pada umumnya masyarakat berhenti melakukan

73
aktivitas pekerjaannya atau libur pada Hari Minggu, namun penduduk
Desa Padang Bindu akan berhenti melakukan aktivitas pekerjaannya
pada hari Kamis di saat ada kalangan.
Aktivitas berjalan kaki pergi dan pulang kebun membutuhkan
fisik yang sangat berat. Hal ini banyak dikeluhkan oleh warga. Pada
saat ini banyak warga yang mengeluhkan nyeri pada persendiannya.
Ada yang mengatasi keluhan itu dengan membeli obat di kalangan
atau ada pula yang membuat ramuan untuk pengobatan tradisional.
Namun nyeri sendi tersebut tidak menyurutkan semangat warga
untuk tetap bekerja ke kebun.

2.10. Sakai dalam kehidupan petani Desa Padang Bindu

Mata pencaharian penduduk Desa Padang Bindu mayoritas


adalah petani. Hampir semua penduduk memiliki lahan perkebunan
sendiri, ada yang lahan kebun kopinya luas namun ada pula yang
hanya punya lahan yang sempit karena telah dijual. Walaupun luas
kepemilikan lahan berbeda, namun hampir semua penduduk Desa
Padang Bindu pernah merasakan menjadi buruh tani. Pada jaman dulu
untuk mengerjakan kebun atau ladang milik salah satu warga
dikerjakan secara gotong royong. Seperti yang diceritakan oleh Bapak
Cik Mas berikut ini,

“…kalau dulu gotong royong bikin ladang, bikin ladang untuk tanam
padi tidak pakai ngupah-ngupah, sakai atau gantian. Hari ini bekerja di kebun
orang lain kemudian berikutnya kerja di tempat orang lain lagi berputar jadi
sama-sama selesai. Untuk menanam padi atau ndugal kalau dulu bujang
gadis dikumpulkan. Malam kumpul besok ndugal. Ada juga yang dari dusun
lain…”

Sejak jaman dulu di Desa Padang Bindu sudah ada gotong


royong untuk mengerjakan sawah atau kebun, disebut dengan sakai.
Sakai ini hanya berlaku pada ibu-ibu saja. Sistem gantian kerja ini
semula karena semua ibu-ibu di Padang Bindu sudah punya kebun

74
semua dan kalau kerja sendiri membuat pekerjaan selesai dalam
waktu yang relatif lama. Ibu-ibu di Desa Padang Bindu kemudian
memiliki ide untuk membuat suatu sistem gantian kerja. Sakai adalah
semacam arisan tetapi hanya dalam hal bekerja di kebun. Sebagai
contoh kelompok 1 mempunyai anggota 5 orang petani kopi, yang
terdiri dari A, B ,C, D dan E. Hari ini dijadwalkan akan mutil kopi di
kebun milik A. Ibu B, C, D dan E akan bekerja bersama-sama untuk
mutil kopi di kebun A. Pada hari berikutnya akan mutil kopi lagi di
kebun milik B, maka anggota kelompok yang lain yaitu A ,C, D dan E
akan ikut mutil kopi di kebun milik B. Begitu seterusnya sampai semua
anggota mendapatkan giliran kerja.
Sistem gantian kerja itu tidak dilakukan tiap hari. Ada jadwal
yang telah disepakati oleh semua anggota walaupun tidak secara
tertulis. Sistem gantian kerja itu dilakukan dalam waktu seminggu 1-2
kali, dan waktu pelaksanaan gantian kerja biasanya sesuai dengan
kesepakatan seluruh anggota. Misalnya sesuai kesepakatan awal,
waktu pelaksanaan kerja adalah sekitar 6 jam yaitu jam 08.00 sampai
jam 14.00. Namun bila suatu ketika bekerja di kebun atau sawah salah
satu anggota dan waktu kerjanya tidak mencukupi 6 jam, maka yang
bekerja di kebun itu akan dikenakan sangsi. Bila kebun ibu yang
berhalangan ikut bekerja tersebut belum dikerjakan oleh anggota
yang lain, maka ibu tersebut tidak akan dikenakan sangsi. Sangsi atau
ganti rugi oleh masyarakat Etnis Daya disebut dengan nuġun.
Sangsi itu bisa berupa denda uang ataupun penambahan jam
kerja di hari yang lain. Kalau sangsinya berupa pembayaran uang,
maka dihitung harian sesuai dengan upah buruh tani yang berlaku di
desa. Dari upah harian yang dihitung perjamnya, kemudian
kekurangan jamnya itu yang harus dibayar. Ada juga suatu kasus
sebagai berikut : bila perjanjian kerja adalah jam 08.00-14.00 WIB dan
misalnya pada saat jam 13.00 WIB terjadi hujan dan kerja harus di
hentikan, maka semua anggota yang bekerja di kebun harus
membayar sisa jam kerja kepada orang yang punya kebun. Jadi aturan

75
sangsinya berupa denda untuk menggenapi jam kerja yang telah
disepakati walapun ada faktor alam atau cuaca yang mengganggu
pekerjaan. Sakai tidak harus mengerjakan pekerjaan yang sama. Bila
suatu ketika ada salah satu anggota yang minta untuk membersihkan
rumput di kebun, maka anggota yang lain bisa meminta bantuan
untuk menanam padi. Seperti apa yang sudah di ceritakan Ibu Ritawati
berikut ini,

“…kalau sakai nggak dihitung jam, pokoknya kerja sama Aku misalnya
sampai jam 2 kalau kerja sama Kamu juga jam 2. Kerjanya juga nggak harus
kalau sama. Aku merumput, kamu nggak harus merumput nggak harus gitu.
Kalau sama aku merumput nanti kalau aku bisa menanam padi atau me-
mutil kopi. Tapi waktunya sama dan jadwalnya sudah sudah ditentukan,
misal pada saat kerja di kebun aku, ketika istirahat ada yang bilang hari
Kamis besok atau hari Minggu besok kerja di tempat aku ya…”

Sakai di Desa Padang Bindu bukan saja merupakan suatu


system gantian kerja di bidang pertanian, akan tetapi merupakan
suatu wujud adanya gotong royong dan rasa kebersamaan dari para
perempuan. Selain itu juga dapat membina rasa kekeluargaan dan
kepercayaan antar penduduk di Desa Padang Bindu dengan adanya
aturan-aturan yang tidak dibuat secara tertulis. Walaupun peraturan
dalam kelompok sakai itu hanya disepakati dan disampaikan secara
lisan, namun semua anggota kelompok tetap mematuhi peraturan
yang sudah disepakati. Adanya sistem sakai ini yang membuat sistem
kekerabatan dan kekuargaan penduduk Desa Padang Bindu begitu
erat. Walaupun sudah ada sistem sakai, namun tenaga untuk
mengelola tanah sawah dan perkebunan tetap membutuhkan banyak
orang.
Untuk membantu dalam mengelola tanah sawah dan
perkebunan, biasanya penduduk Desa Padang Bindu membayar jasa
tenaga orang lain. Ngupah adalah istilah masyarakat Suku Daya untuk
membayar jasa buruh tani (bedandan) dalam mengerjakan sawah

76
atau kebun kopi. Jam kerja bedandan dalam satu hari bekerja adalah 7
jam. Berdasarkan cerita dari Bapak Muhtadun berikut ini,

“…tergantung rupiah, dulu dari Rp. 5.000 pun ada, Rp. 10.000 ada. Sekarang
kalau ibu-ibu Rp. 30.000 dan bapak-bapak Rp. 40.000 pas ada musim turun
dari musim turun juga makan dikasih. Yang jelas laki-laki dikasih rokok,
dikasih makan itu kalau perempuan nggak perempuan yang bawa makan
sendiri. Nggak tahu dari dulunya sudah gitu…”

Biasanya pekerjaan dimulai jam 7 sampai jam 12, kemudian


istirahat 1 jam dan dilanjutkan lagi mulai jam 13.00 dan selesai sampai
jam 15.00. Upah buruh untuk mengerjakan sawah atau di kebun kopi
antara laki – laki dan wanita berbeda, untuk upah buruh laki – laki
seharga Rp. 40.000 perhari dan untuk buruh wanita seharga Rp.30.000
perhari. Upah tersebut tidak termasuk makan, biasanya untuk
makannya membawa sendiri dari rumah dan untuk laki-laki ditambah
dengan rokok. Walaupun pekerjaan yang dilakukan antara laki-laki
dan perempuan sama. Upah untuk buruh hanya berlaku ketika pada
musim panen kopi atau pada waktu penanaman padi, Diluar musim
panen kopi dan padi atau biasa di sebut dengan musim ceklik maka
upah buruh lebih murah. Upah buruh pada saat musim ceklik untuk
yang laki – laki seharga Rp. 100.000 pertigahari, sedangkan yang
wanita seharga Rp. 25.000 perhari.

2.11. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan


Dalam sistem kekerabatan di Desa Padang Bindu, susunan
masyarakatnya sebenarnya mengikuti garis kekeluargaan secara
bilateral. Dimana anak-anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang
sah adalah anak ibu dan bapak, dalam artian masyarakat Desa Padang
Bindu menarik garis keturunan baik melalui garis ibu maupun garis
bapak. Namun pada kenyataannya, laki – laki pada masyarakat Suku
Daya di Desa Padang Bindu lebih di utamakan daripada perempuan.
Misalnya dalam sistem pembagian waris, maka apabila ada keluarga

77
yang memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Anak yang
laki-laki akan mendapatkan harta yang lebih banyak daripada anak
yang perempuan, jadi laki – laki mendapatkan haknya sekitar 70% dan
anak yang permpuan mendapatkan sekitar 30%. Apabila ada keluarga
yang memilik tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan, maka
perbandingan yang mendapatkan warisan yaitu laki-laki sekitar 50%
dan sisanya di bagi oleh dua orang wanita.
Begitu pula dalam sistem pembagian kerja di kebun, antara
laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan yang sama. Mulai dari
berangkat ke kebun, sampai melakukan panen kopi semua pekerjaan
yang di lakukan sama. Perempuan ketika pulang dari kebun berjalan
dengan membawah beban berat di pundaknya, entah itu kayu bakar
atau buah kopi. Sedangkan yang laki-laki berjalan di belakang tidak
membawah apa-apa, hanya sebuah landai yang ada di pinggang dan
kadangkala sambil merokok. Ada juga apabila ada suami dan Istri yang
punya Sapo, yang laki-laki akan lebih memilih untuk menjaga kebun
sedangkan yang perempuan rela berjalan kaki selama berjam-jam tiap
hari ke kebun. Selain itu, antara yang berusia muda dan yang berusia
tua tidak ada pembagian kerja. Pekerjaan yang dilakukan tidak di
bedakan , pemuda dan orang tua melakukan pekerjaan yang sama.
Selain itu pada masyarakat Suku Daya Padang Bindu, pola
pengambilan keputusan antara laki - laki dan perempuan yang paling
dominan adalah laki-laki. Dalam hal makan, maka laki-laki akan di
dahulukan daripada perempuan. Misalnya dalam acara sedekahan,
laki-laki yang makan terlebih dulu kemudian setelahnya yang
perempuan. Dominasi laki-laki juga terjadi dalam pola pengasuhan
anak, seorang istri akan salalu menurut setiap perintah Suaminya
walaupun untuk tujuan kesehatan melarang istrinya untuk
membawah anaknya imunisasi karena setelah di imunisasi badan anak
akan panas. Seperti yang di jelaskan oleh Ibu Mapy sebagai berikut :

78
“…kalau anaknya panas nggak boleh datang lagi ke Posyandu Kata
bapaknya. Karena mereka takut kadang sudah Posyandu Anaknya panas, jadi
kata suaminya nggak usah datang lagi ke Posyandu. Kebiasaan makan
yang di dahulukan laki-laki, terutama ketika sedekahan laki-laki tidak bekerja
keras, ada yang ikut sabung ayam. Mereka menyuruh istrinya bekerja keras.
Setiap pagi berangkat pulang sore…”

Penduduk Desa Padang Bindu seperti pada penduduk desa


pada umumnya yang bersifat homogen, sehingga masih ada rasa
gotong royong atau masyarakat menyebutnya dengan istilah royong.
Hal itu sesuai dengan prinsip hidup orang daya yang memiliki sifat
gotong royong dan musyawarah. Sifat kegotong royongan ini jelas
nampak dalam membuat gorong-gorong, membuat jalan,
memperbaiki jalan menuju ke kebun, memperbaiki saluran irigasi
sawah, kematian dan sedekahan. Namun ada sifat gotong royong yang
agak berkurang, yaitu ketika membangun rumah. Dulu kalau ada
orang yang membangun rumah dilakukan secara gotong royong oleh
masyarakat satu dusun, tetapi sekarang kalau membangun rumah
dengan memanggil tukang. Seperti apa yang telah di ceritakan oleh
Pak Cik Mas berikut ini,

“…prinsip hidup orang daya dari dulu semangatnya yang di


utamakan bergotong royong sama musyawarah, itu termasuk adat istiadat.
Falsafah hidup kekeluargaan, bantu membantu dan gotong royong. Dari dulu
membikin rumah nggak pakai tukang tapi gotong royong. Ada 1 atau 2 yang
tukang pahat. 1 kampung bikin rame-rame yang kurang kayu segala macam
di bantu atap dari bambu. Disini mengutamakan kekeluargaan itu ya
keluarga besar. Jadi dalam hubungan 1 keluarga anak-anak itu tidak serta
merta setelah nikah pisah, setelah nikah masih berkumpul malahan 2 anak 3
anak sudah nikah masih berkumpul yang disebut dengan seiring semasakan
tidak ada yang rebut. Tapi itu dulu sekarang sudah tidak lagi. Itu cerminan
tidak mandiri tapi rasa ingin bersama…”

79
2.12. Adok dalam budaya Suku Daya Desa Padang Bindu

Seperti di ceritakan tentang asal mula Desa Padang Bindu dan


Phuyang dari penduduk Desa Padang Bindu. Bahwa penduduk di Desa
Padang Bindu masih dalam satu keturunan Buay Semaġno. Anak-anak
dari Buay Semagno itu yang kemudian menjadi cikal bakal kampung
adat di Desa Padang Bindu. Kampung adat di Desa Padang Bindu yaitu
Kampung Talang, Kampung Tengah, Kampung Renog dan Kampung
Ngaġaja Wai. Masing – masing kampung adat mempunyai ketua adat
yang berasal dari keturunan Raden. Ketua adat Kampung Talang
adalah Cik Raden, Ketua adat Kampung Tengah Pak Asriwie, Ketua
adat Kampung Renog PaK Rustam dan Ketua Ngaġaja Wai adalah
Bapak Ferdinand Markos.
Bila di lihat dari garis keturunan, pernikahan penduduk Di Desa
Padang Bindu masih merupakan satu kekerabatan. Walaupun yang
menikah itu berasal dari Kampung yang berbeda. Setiap Kampung
yang ada di Desa Padang Bindu masing – masing memiliki seorang
ketua Adat. Ketua adat itu berasal dari garis keturunan anak yang
paling tua atau anak taha.
Di Kampung adat ada struktur sosial yang membedakan
kedudukan masyarakat, kedudukan struktur itu berdasarkan garis
keturunan. Garis keturunan yang paling tua akan mendapatkan
kedudukan yang paling tinggi. Struktur sosial yang ada di Kampung
adat disebut dengan Adok atau gelar. Adok adalah pemberian gelar
kepada laki-laki atau perempuan setelah menikah. Dalam Adok
kedudukan yang paling tinggi berdasarkan keturunan adalah Raden
Kemala ratu, yang kedua adalah Raden Kemala, yang ketiga Raden
Temenggung dan yang terakhir adalah Raden Mas. Setelah itu turun
ke Raden yang berikutnya, anak laki-laki Raden yang paling tua
otomaotis setelah menikah juga mendapatkan gelar Raden. Adok Ini
yang memberikan adalah ketua adat berdasarkan garis keturunan.
Pada saat ini keturunan yang paling tua atau anak taha mendapatkan

80
gelar Raden. Raden Adalah gelar yang paling tinggi dan dari
keturunan Raden inilah yang bisa menjadi ketua adat.
Kalau anak laki – laki yang paling tua mendapatkan gelar
Raden, maka anak laki – laki yang kedua, ketiga dan seterusnya juga
mempunyai gelar. Untuk gelar anak yang kedua setelah Raden adalah
Cahya Raden, yang ketiga adalah Mangku Raden, yang keempat
adalah Gimbar Batin. Dari keturunan mulai anak yang kedua sampai
anak yang keempat ini di klasifikasikan dalam golongan gelar besar.
Selanjutnya anak kelima akan mendapatkan gelar Ranting Mas, anak
yang keenam mendapat gelar Dasar. Gelar anak yang kelima dan
keenam ini di klasifikasikan ke dalam golongan sedang. Selanjutnya
keturunan yang ketujuh mendapatkan gelar Jalang Bibas, keturunan
yang kedelapan mendapatkan Cap Raya, keturunan yang ke Sembilan
mendapat gelar Alam bibas, keturunan yang kesepuluh mendapat
gelar Cinta batih dan keturunan yang kesebelas atau yang terakhir
mendapat gelar kunci raya. Dari keturunan yang ketujuh sampai yang
kesebelas masuk ke dalam golongan gelar yang kecil. Kalau anak yang
paling tua keturunan dari Raden adalah anak wanita, maka wanita itu
yang di beri gelar. Namun gelar wanita tidak sama dengan gelar laki-
laki. Gelar wanita yang paling tinggi adalah Ini ¸gelar ini di peroleh
apabila wanita yang tertua keturunan dari Raden Kemala Ratu. Gelar
wanita yang kedua adalah ini Ġajuh¸gelar wanita yang ketiga adalah
Ini Luwih.
Peran dan fungsi Adok hanya berlaku pada saat ada hajatan
nikahan saja. Pada saat tidak ada hajatan atau pada kehidupan sehari
– hari atau saat urusan masalah administrasi formal pemerintahan
desa, tetap struktur formal yang tertinggi dalam pemerintahan desa
dipegang oleh seorang Kepala Desa yang di bantu oleh Kepala Urusan
dan Sekretaris Desa serta beberapa Kepala Dusun sehingga peran dan
fungsi Adok tidak berlaku.
Bila ada hajatan nikahan, segala sesuatu yang mengatur
upacara pernikahan adalah yang mempunyai Adok yang paling tinggi.

81
Dan yang memiliki Adok di bawahnya akan menunggu perintah saja.
Walaupun dalam pemerintah desa seseorang menjabat sebagai
Kepala Dusun atau Kepala Urusan, namun apabila Adok yang di
milikinya randah maka orang tersebut tidak dapat memerintah atau
menyuruh orang yang mempunyai Adok Yang lebih tinggi. Seperti apa
yang di telah di jelaskan oleh Pak Rustam berikut ini :

“…yang kecil nggak bisa merintah Raden-Raden. Yang kecil harus


nunggu perintah. Makanya nggak bisa Kita beli, Nggak bisa. Adok Raden
Mangku harus meneliti jalur keturunan. Walaupun bodoh sekalipun Dia itu
harus memakai gelar Itu Adok. Dan juga pada waktu hajatan. Ini berlaku
sampai sekarang…”

Pemberian gelar tersebut berlaku kepada semua Kampung


adat yang ada di Desa Padang Bindu, akan tetapi pemberian gelar
tersebut hanya berlaku sesuai dengan masing-masing garis keturunan
dan yang berhak adalah masing-masing ketua adat. Misalnya ada
penduduk keturunan dari Kampung Talang yang akan menikah, maka
yang berhak memberikan Adok adalah ketua adat dari Kampung
Talang. Begitu pula yang berlaku dengan kampung yang lain.
Pada saat ini di Desa Padang Bindu untuk mengetahui garis
keturunan dalam satu kampung sangat sulit, tidak seperti pada jaman
dulu setiap satu garis keturunan kampung akan tinggal bersama-sama
dalam satu kelompok. Karena semakin cepatnya pertumbuhan
penduduk dan semakin sulitnya lahan untuk pemukiman, maka pada
saat ini masing-masing keturunan mendirikan tempat tinggal tidak lagi
mengelompok melainkan memilih lahan yang kosong dan sesuai untuk
mendirikan rumah sehingga masing–masing garis keturunan satu
kampung menyebar dalam satu desa.

2.13. Adat pernikahan di Desa Padang Bindu


Adat pernikahan memerlukan suatu proses, yaitu sebelum,
pada saat upacara pernikahan dan sesudah upacara pernikahan yang

82
mempunyai proses sendiri-sendiri dan satu sama lainya tidak dapat
dipisahkan. Mulai dari pencarian jodoh yang dimulai dari perkenalan
ataupun dengan melalui pendekatan antara laki-laki dan perempuan,
bisa di katakan masih pacaran atau dalam istilah bahasa Dayanya
cewekan. Proses yang selanjutnya yaitu penentuan jodoh. Di Desa
Padang Bindu tidak ada larangan dalam menentukan jodoh. Bagi yang
sudah siap menikah, maka orang tua akan mengikuti kehendak anak.
Usia pernikahan paling muda yaitu umur 14 tahun dan paling dewasa
umur 25 tahun. Kalau laki-laki biasanya yang paling muda berumur 18
tahun, sedangkan yang paling tua ada juga yang berumur sekitar 25
tahun.
Masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu mengenal 3 adat
pernikahan setelah menikah, yaitu bay-bay, semanda dan Ghohasan
Phahlujadi. Adat pernikahan bay-bay adalah biasanya perempuan
mengikuti laki-laki karena perempuan masih punya adik laki-laki yang
belum menikah. Laki-laki boleh membawa Istri ke tempat tinggal
orang tua laki-laki jika belum mampu secara ekonomi. Kalau sudah
mampu secara ekonomi, maka mereka bisa membangun rumah
sendiri dan tidak tinggal bersama orang tua laki-laki maupun orang tua
perempuan.

Gambar 2.35 Pakaian adat pernikahan masyarakat Desa Padang Bindu


Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

83
Adat yang kedua adalah semanda, yaitu laki-laki yang ikut perempuan
dalam waktu tertentu (berjangka) karena di rumah perempuan tidak
ada saudara laki-laki atau laki-laki lain. Walaupun masih punya adik
laki-laki tetapi masih kecil atau belum menikah, sehingga harus
menunggu adik laki-laki perempuan tersebut menikah terlebih dulu
dan baru bisa pergi untuk tinggal bersama orang tua yang laki-laki
atau bisa tinggal di rumah sendiri kalau sudah mampu secara
ekonomi.
Adat yang ketiga yaitu Ghohasan Phahlujadi, dimana adat
pernikahan yang berlaku bagi anak tengah. Setelah menikah, pihak
perempuan bisa ikut laki - laki, atau pihak laki-laki bisa ikut
perempuan. Adat pernikahan yang ini pada dasarnya tidak mengikat
antara kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan.
Adat pernikahan tersebut masih berlaku pada pengantin yang
baru menikah pada saat ini, namun ada beberapa penduduk yang
ingin hidup secara mandiri sehingga tidak ingin tinggal bersama orang
tua. Biasanya bagi pasangan yang baru menikah dan belum memiliki
cukup biaya untuk membuat rumah, maka memilih untuk tinggal di
kebun dengan mendirikan Sapo. Tinggal di Sapo selain tidak
membutuhkan biaya yang besar, juga dapat melakukan pengawasan
di kebun kopi. Namun ada juga pasangan baru menikah yang
perempuan ikut laki-laki, tetapi karena tempat tinggal antara yang
laki-laki dan perempuan cukup dekat sehingga kadangkala setiap satu
minggu sekali pulang ke rumah orang tua perempuan untuk tinggal
selama 2 sampai 3 hari kemudian balik lagi kerumah orang tua laki-
laki.
Upacara sebelum pernikahan ada beberapa proses yang harus
dilakukan dan beberapa jenjang serta berakhir dengan upacara
pernikahan. Proses sebelum pernikahan yaitu masing – masing calon
pengantin wanita dan laki – laki di tanyai oleh kedua orang tua
mereka, benar apa nggak mereka pacaran dan mau menikah.
Kemudian masing – masing menghadap kepala desa atau perangkat

84
desa yang lain bahwa mereka akan menikah, setelah itu Kepada Desa
atau perangkat desa membuat pernyataan. Setelah itu keluarga laki-
laki datang ke tempat perempuan bahwa sudah ada keterangan dari
Kepala Desa atau perangkat desa yang lain dan juga untuk
menentukan hari pernikahan. Setelah itu yang wanita di ajak untuk
menginap di rumah laki – laki, tetapi tidak tidur dalam satu kamar. Hal
ini bertujuan untuk memperkenalkan calon Istri kepada semua
kerabat laki – laki ini yang di sebut dengan Batok. Selain itu dalam
upacara batok juga ada acara bujang –gadis. Dalam acara ini ada gadis
yang membuat pempek dan yang bujang hanya melihat saja, setelah
membuat pempek selesai dan kemudian dimakan bersama-sama.
Setelah itu pada saat upacara pernikahan keluarga laki-laki
berembuk dengan tetangga lain dalam satu kampung adat yang
menceritakan kepada seluruh keluarga tentang waktu akad nikah.
Kemudian ada acara Mbuġau yang intinya memberitahu bahwa si A
dan si B di akad nikahkan pada hari tertentu sekaligus makan
bersama. Pada saat ini pula di beritahukan waktu hajatan dan minta
tolong pada waktu pelaksanaan upacara nikahan dari awal sampai
akhir. Selanjutnya ada acara siuġawan yaitu musyawarah untuk
pembentukan panitia dan menyerahkan hajatan kepada orang lain.
Kebiasaan yang harus di lakukan calon pengantin sebelum acara
prosesi pernikahan adalah Begawang, yaitu berkunjung ke makam
phuyang. Hal tersebut di lakukan agar acara hajatan berlangsung
dengan meriah tanpa ada gangguan dari roh halus. Namun kebiasaan
ini ada yang melakukan dan juga tidak, karena phuyang yang di miliki
penduduk Desa Padang Bindu tidak sama sehingga hanya yang memiki
kepercayaan terhadap nenek moyang yang melakukan kebiasaan itu.
Setelah itu seperti pada upacara pernikahan pada umumnya,
yaitu di mulai dengan akad nikah dan kemudian acara pernikahan.
Pada upacara pernikahn ini juga di sebutkan adok dari kedua
pengantin. Setelah melakukan upacara pernikahan, keesokan harinya

85
pengantin perempuan di ajak ke rumah Raden dengan tujuan untuk
mengenalkan pengantin perempuan kepada sesepuh adat.
Setelah itu ada upacara pernikahan di rumah mempelai laki –
laki yang di kenal dengan istilah Ngemantu oleh masyarakat Suku
Daya. Prosesi Ngemantu di lakukan setelah proses upacara
pernikahan, biasanya di lakukan setelah 7 hari pernikahan. Ngemantu
dilakukan dengan tujuan mengantarkan kedua pengantin untuk
pulang ke rumah mempelai laki – laki. Prosesi Ngemantu di mulai dari
rumah orang tua mempelai Perempuan. Kedua mempelai sebelum
berangkat ke rumah orang tua mempelai laki – laki, terlebih dulu
berpamitan dan memohon doa restu kepada Ketua Adat. Setelah
berpamitan dan memohon doa restu kepada Ketua Adat, kedua
mempelai berangkat menuju ke rumah orang tua laki – laki diantar
oleh kerabat mempelai perempuan. Setelah sampai di rumah orang
tua mempelai laki – laki, kedua mempelai dan kerabat mempelai
perempuan tidak langsung masuk kerumah orang tua mempelai laki-
laki tetapi terlebih dulu berkumpul di rumah kerabat mempelai laki –
laki. Di rumah itu, kerabat perempuan melakukan musyawarah
terlebih dulu. Musyawarah berlangsung sekitar 30 menit, selanjutnya
prosesi Ngemantu dilaksanakan. Kedua mempelai berjalan di depan
dan kerabat perempuan berjalan di belakangnya. Sesampai di rumah
orang tua mempelai laki – laki, sudah di sediakan tempat untuk
pengantin. Tempat tersebut berupa 2 bantal besar sebagai tempat
duduk kedua mempelai. Kerabat mempelai wanita duduk terpisah
antara laki – laki dan perempuan. Dalam upacara ini juga ada acara
pemberian Adok untuk kedua pengantin.
Ada pula upacara pernikahan ketika ada Adik yang melangkahi
Kakak dalam pernikahan, maka Adik yang akan menikah tersebut
harus memenuhi permintaan Kakak yang di langkahi. Bentuk dari
permintaan Kakak yang di langkahi biasanya berupa pakaian atau
uang. Bila ada Adik yang tidak memenuhi permintaan Kakak, maka
biasanya Adik yang melangkahi akan di kenai sangsi oleh keluarga.

86
Sangsinya biasanya berupa tidak akan menegur atau mengacuhkan
adik yang tidak memenuhi permintaan Kakaknya.

2.14. Konsep sehat dan sakit


Kebudayaan masyarakat pada saat ini sudah mengalami
perubahan dan perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi pada
masyarakat. Perubahan dan perkembangan itu terjadi karena di
pengaruhi dari dalam lingkungan masyarakat itu sendiri maupun dari
luar lingkungan masyarakat. Dari dalam lingkungan masyarakat pada
dasarnya karena perkembangan dan perubahan dari cara berpikir
masyarakat itu sendiri, dimana masyarakat menilai sesuatu itu selalu
ke arah yang lebih praktis, efisien dan ekonomis. Perubahan tersebut
cenderung ikut merubah nilai-nilai kebudayaan dan norma-norma
yang berlaku. Pengaruh dari lingkungan luar masyarakat itu sendiri,
yaitu alat komunikasi pada saat ini yang cukup memadai yaitu adanya
telepon genggam walaupun signal yang di dapatkan harus di tempat-
tempat tertentu. Adanya informasi dari televisi walaupun stasiun tv
hanya di dapatkan dengan menggunakan parabola justru di terima
masyarakat dengan mudah tanpa adanya suatu filter.
Seperti adanya perilaku masyarakat di Desa Padang Bindu
tentang kondisi tubuhnya ketika merasakan adanya gejala kesakitan.
Kalau merasa ketika batuk atau flu, maka tidak akan pergi ke bidan.
Yang di lakukan adalah membeli obat yang di jual di kalangan. Kalau
memang benar-benar tidak bisa bekerja ke kebun, yang di lakukan
adalah pergi ke bidan. Konsep sehat menurut penduduk Desa Padang
Bindu adalah ketika masih bisa pergi ke kebun, walaupun batuk-batuk
atau flu maupun merasa sakit kepala, nyeri di persendian kaki, sakit
perut dan masih bisa mandi. Sedangkan sakit menurut penduduk Desa
Padang Bindu adalah ketika memang benar-benar tidak bisa bekerja di
kebun. Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang mengaku bahwa
kalau makan nasi setiap pagi hari, maka pemuda itu akan muntah.
Tetapi ketika ditanya oleh peneliti bahwa apa perutnya sakit , pemuda

87
itu menjawab tidak sakit perut. Jadi setiap pagi, pemuda itu tidak
pernah makan.

2.15. Ribang bagi kehidupan Penduduk Desa Padang Bindu


Masyarakat Desa Padang Bindu juga mempunyai suatu
peninggalan budaya jaman phuyang selain benda – benda yang
mempunyai nilai sejarah, peninggalan jaman phuyang yang lain adalah
kesenian tradisional. Pada jaman dulu kesenian tradisional di Desa
Padang Bindu adalah seni pencak silat dan Ribang. Ribang adalah
semacam adi adi atau pantun yang di nyanyikan oleh dua orang secara
bersahutan yang di iringi musik petikan gitar tunggal. Pada jaman dulu
sebelum upacara pernikahan ada acara khusus untuk remaja yang
disebut dengan acara Bujang – Gadis, pada acara itu laki-laki dan
perempuan saling duduk berhadapan yang disebut dengan istilah
ningkuk dan ada yang menyanyikan lagu Ribang tersebut. Namun
pada saat ini, ketika ada acara Bujang – gadis sudah tidak diiringi lagi
dengan Ribang melainkan musik-musik disko yang di putar melalui
tape recorder. Seperti apa yang telah di ceritakan oleh Bapak Muh.
Tadun berikut ini,

“…dulu ada gitar-gitaran bujang – gadis ngumpul menyanyikan gitar


tunggal sekarang mana ada. Pengaruh budaya disko. Sekarang Kita coba
bunyikan mana ada bujang – gadis tahu tapi cobalah nenek-nenek bunyikan
petikan gitar lama pasti ada yang nangis. Itukan sebenarnya petikan gitarnya
lagu ada makna tidak sembarang lagu namanya adi-adi atau ribang…”

Macam – macam Ribang Sinar Matang, daweh dan daerah.


Masing –masing lagu itu memiliki petikan gitar yang berbeda. Kalau
sekarang memang hampir tidak ada yang menampilkan Ribang,
namun di Desa Padang Bindu masih ada yang bisa memainkan gitar
tunggal itu sambil bernyanyi. Suatu kebetulan ketika berada di Desa
Padang Bindu ada lomba PHBS untuk seluruh Kabupaten OKU Selatan
yang di laksanakan di Desa Peninjauan, dan pada saat itu ada

88
penampilan ribang yang di nyanyikan oleh satu orang laki-laki dan
satu orang perempuan.

2.16. Bahasa orang Daya Desa Padang Bindu


Suku Daya dan Suku Komering memang sulit di bedakan, karena
mereka menggunakan bahasa yang sama. Selain itu adanya referensi
tentang Suku Daya sendiri sulit di dapat oleh peneliti, referensi tentang
Suku Daya hanya di dapatkan dari ensiklopedia suku bangsa di Indonesia.
Ada banyak kesamaan antara bahasa Daya dan Komering. Namun, orang
– orang SuKu Daya merasa bahwa bahasa dan identitas mereka berbeda
dari Komering. Meski begitu, orang Daya tidak menyangkal bahwa ada
banyak kesamaan antara bahasa Daya dan Komering.
Dalam bahasa Suku Daya tidak ada yang membedakan antara
tulisan dan ejaannya, keistimewaan dari bahasa Daya adalah ada huruf ġ
pada beberapa kata dan pengucapannyapun berbeda. Cara membaca
huruf ġ ini seperti membaca tiga huruf yang di jadikan satu yaitu rgh.
Misalnya dalam kata Lungsoġ ( baca : Lungsorgh ) atau jadi keġasan I (
baca : jadi kerghasan ). Pengucapan kata ini merupakan suatu
keistimewaan tersendiri yang di miliki oleh Orang Daya. Ada tingkatan
bahasa untuk penyampain dalam bahasa Daya, yaitu ketika berbicara
dengan orang tua akan menggunakan kata – kata yang lebih halus.
Namun kata – kata halus yang digunakan kepada orang yang lebih tua
hanya satu kata saja, sedangkan yang lain selebihnya tidak ada
perbedaan ketika berbicara dengan orang tua. Misalnya dalam menyebut
istilah Kamu, ketika berbicara dengan orang yang sebaya atau seumuran
menggunakan kata Niku. Namun ketika berbicara dengan orang yang
lebih tua, dengan menggunakan kata Gusi. Selain itu ada juga perbedaan
penyebutan antara laki-laki dan perempuan ketika menyebut Kakek dan
Nenek. Kalau orang laki-laki memanggil Nenek dengan sebutan Ajong,
kalau perempuan memanggil Nenek dengan sebutan Mbay. Kalau orang
laki-laki memanggil Kakek dengan sebutan Akas, sedangkan kalau
perempuan memanggil Kakek dengan sebutan Ajong.

89
BAB 3
POTRET KESEHATAN JALMA DAYA
3.1. Status Kesehatan
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan berada pada peringkat
439 dari sekitar 479 kabupaten di Indonesia berdasarkan penilaian
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) pada tahun
20131. Tentunya sudah banyak dilakukan perbaikan oleh
pemerintahan Kabupaten OKU Selatan yang baru memasuki usianya
yang kesepuluh tahun pada tahun 2015 ini. Pemekaran Kabupaten
OKU Selatan dengan Kabupaten OKU Induk dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten OKU Selatan.

3.1.1 Menyapa Pembaruan


Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) menjadi salah satu
indikator kesehatan suatu masyarakat. Hal ini karena PHBS mencakup
berbagai aspek pencegahan penyakit yang dapat meningkatkan
derajat hidup masyarakat.

3.1.1.1 Tiga Sumber Air


“Kalau air , idak (tidak) kekurangan”
Begitulah yang sering diungkapkan oleh masyarakat.
Bagaimana tidak, masyarakat memiliki 3 sumber air yang dapat
digunakan. Bebeapa masyarakat yang cukup mampu akan
menyambung pipa-pipa yang disalurkan ke rumah-rumah, sebagian
masyarakat yang tidak mampu tidak menggunakan air ini. Hal ini

1
Balitbangkes Kemenkes RI. 2014. Indeks Pembangunan Kesehatan
RI 2013. Balitbangkes RI

90
karena untuk menyambung pipa-pipa ini, masyarakat harus membeli
sendiri pipa yang menuju rumah masing-masing. Setiap bulan
masyarakat juga harus membayar biaya perawatan sebesar lima ribu
rupiah. Namun hal ini tidak menjamin air yang mengalir melalui sistem
perpipaan itu menjadi lancar terus.
Selain air perpipaan, hampir seluruh masyarakat menggunakan
air sungai. Sungai Semingkap seolah berjodoh dengan masyarakat
Padang Bindu. Pola pemukiman masyarakat Padang Bindu yang
mengikuti aliran sungai menjadikan sungai sebagai salah satu nadi
kehidupan bagi masyarakat Padang Bindu. Setiap pagi dan sore hari
masyarakat akan meramaikan aliran sungai dengan aktifitasnya, baik
dengan mencuci, mandi, atau mising (buang air besar atau BAB). Pada
siang hari, beberapa remaja akan ngawil (memancing) di sungai
tersebut. Tidak semua wilayah dapat dijadikan tempat mandi.
Terdapat beberapa pangkalan yang berbeda dan cenderung terdapat
di belakang rumah. Biasanya pangkalan yang untuk perempuan dan
laki-laki berbeda tempat.
Sungai bagi masyarakat Etnik Daya Desa Padang Bindu menjadi
bagian dari life cycle masyarakat. Kemampuan menyelam di sungai
atau bisa mandi sendiri di sungai menjadi salah satu indikator seorang
anak telah melewati masa bayi dan balita. Jika seorang anak telah
dapat menyelam atau mandi sendiri ke sungai, maka anak tersebut
tidak diharuskan lagi melakukan ritual petunggu setiap tahunnya. Jika
anak tersebut terkena njami2 (penyakit yang berulang ulang dan
rewel) maka penyakit njami yang dideritanya akan sembuh. Selain itu,
ibu yang melahirkan anak tersebut secara otomatis terbebas dari
ancaman penyakit morian3.

2
Penyakit pada bayi dan balita yang berulang-ulang.
3
Akan dijelaskan dalam bab selanjutnya

91
“Tergantung di anak- anak (kapan selesainya petunggu) apa anaknya kalau
sudah nyelam, kalau sudah bisa nyelam di air itu tutup petunggu. Idak lagi.”
Ibu ASW

Gambar 3.1 . Masyarakat mencuci piring di sungai


Sumber: Dokumentasi Peneliti 2015

Masyarakat menggunakan sumur untuk air yang dikonsumsi.


Pembangunan sumur ini sudah dilaksanakan sejak lama.
Pembangunan sumur ini dilakukan untuk mengantisipasi jika sungai
mengalami kekeringan. Masyarakat jarang menggunakan sumur untuk
mandi dan mencuci. Sumur digunakan untuk air minum dan memasak.
Tuan rumah juga menggunakan air sungai selain menggunakan air
sumur jika ada hajatan. Masa transisi benar-benar dialami oleh
masyarakat Desa Padang Bindu. Beberapa program pemerintah yang
pernah masuk di desa tersebut tidak serta merta diterima oleh
masyarakat setempat. Proyek Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Masyarakat (Pamsimas) yang pernah masuk tahun 2012 hanya

92
meninggalkan monumen-monumen yang tidak dapat mengeluarkan
air di beberapa titik di Desa Padang Bindu. Proyek Pamsimas tersebut
merupakan salah satu program pemerintah untuk menyediakan
sarana sanitasi untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di
desa-desa yang membutuhkan. Menurut masyarakat air tidak keluar
karena airnya tidak bisa naik.
Menurut ibu RTW, awalnya lokasi mandi-cuci-kakus (MCK)
yang dibangun oleh proyek Pamsimas tersebut berfungsi dan
masyarakat mandi di lokasi tersebut. Namun, saat ini banyak kran air
yang dicuri dan hilang sehingga tidak dapat digunakan kembali.

Gambar 3.2
Bangunan peninggalan Pamsimas yang tidak di gunakan oleh masyarakat.
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Dari obrolan ringan dengan beberapa masyarakat, Peneliti


mengetahui bahwa ada beberapa alasan masyarakat enggan
memanfaatkan sumber air Pamsimas. Air yang tidak naik dan letak
sumber air yang berada di pinggir jalan menyebabkan masyarakat
enggan mandi di lokasi tersebut karena akan terlihat orang lain.
Sedangkan jika mandi di sungai, lokasinya berada tersembunyi di

93
belakang rumah dan ada pemisahan antara lokasi laki-laki dan
perempuan.
Dari hasil observasi yang Peneliti lakukan di sungai saat
masyarakat mandi, penggunaan sabun dan shampoo untuk mandi
telah digunakan oleh masyarakat Desa Padang Bindu. Meskipun anak-
anak yang mandi sendiri sering hanya menggunakan sabun
sekadarnya.
“Mandi kebo (kerbau) kalau at (tidak) pakai sabun” Yuk DS

Gambar 3.3
Peta sanitasi yang dimiliki oleh desa Padang Bindu
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

3.1.1.2 Jamban
Beberapa rumah di Desa Padang Bindu telah memiliki jamban
di dalam rumahnya, tetapi masyarakat tetap melakukan aktivitas
buang air besar di sungai Semingkap. Menurut masyarakat, air sungai
Semingkap merupakan “way balak” atau air besar sehingga jika BAB di
sungai tidak akan mencemari sungai tersebut. Seperti rumah Bidan DS
yang memiliki jamban leher angsa, namun air yang masuk ke kamar
mandi sering tidak mengalir.

94
Menurut Bidan UM, yang lama pernah tinggal di Desa Padang
Bindu dan masih sering berinteraksi dengan masyarakat setempat,
mengatakan bahwa permasalahan jamban di Desa Padang Bindu
bukan karena permasalahan kurangnya uang untuk membangun
jamban, namun lebih kepada permasalahan perilaku dan kebiasaan
masyarakat sendiri.

“Permasalahan di daerah sini lebih cenderung ke masalah perilaku. (pemilik)


jamban memang kurang kan, tapi saya lihat orang yang udah punya aja tetep
ke Siring. Ini kan perilaku, bukan karena gak punya uang.” Bidan UM

Kebutuhan jamban tidak menjadi prioritas kebutuhan sanitasi


bagi masyarakat. Selain sumber air yang dibangun oleh Pamsimas, di
Desa Padang Bindu telah dibangun sarana MCK umum di dekat
kalangan. Namun, sejak dibangun hingga saat Peneliti tiba di Desa
Padang Bindu, sarana MCK tersebut tidak difungsikan. Tidak ada air
yang mengisi bak-bak MCK karena alasan kurang dana untuk
menyambungkan air perpipaan. Menurut Pak SFR, pembangunan itu
tidak perlu dilakukan sebab masyarakat lebih memerlukan
pembangunan sumur atau perpipaan yang dapat dialirkan ke rumah.
“Itukan mubasir jadinya. Kami idak (tidak) butuh itu. kalau mau mising (BAB)
di kali (sungai) kan bisa. dekat kali itu sama kita. itu dananya besak (besar)
tapi idak terpakai. Kalau buat air bersih kan bagus” Jelas Pak SFR

3.1.1.3 Cuci Tangan dalam Semangkuk Air


Kebiasaan cuci tangan memakai sabun masih tergolong
rendah. Kebiasaan makan bersama dengan menyediakan semangkuk
air pembasuh tangan di antara hidangan masih sering digunakan baik
untuk hidangan sehari-hari, upacara adat maupun ritual ritual
penyembuhan. Yuk RN , seorang ibu muda warga Desa padang Bindu,
hanya membasuh tangannya dengan air yang tersedia di ember
setelah membereskan Dek AU yang selesai BAB dan kemudian mulai

95
melanjutkan menggiling bumbu. Sudah menjadi hal yang biasa bagi
masyarakat, mereka hanya mencuci tangan di sungai sungai kecil
tanpa menggunakan sabun setelah melakukan aktivitas di kebun dan
langsung mengkonsumsi makanan di pondok.
Proyek Pamsimas yang masuk ke Desa Padang Bindu telah
membangun beberapa tempat untuk mencuci tangan di SD Negeri
Padang Bindu. Namun Ibu SYT yang merupakan wakil kepala sekolah
guru di SD Padang Bindu menilai program ini tidak berhasil. Hal ini
disebabkan air tidak bisa keluar dari kran tempat cuci tangan tersebut
karena air yang tidak bisa naik ke kran tempat cuci tangan. Kadang
kala air keluar dari kran tempat cuci tangan tapi airnya sangat kecil.
Peneliti juga melihat bahwa hampir seluruh fasilitas tersebut tidak lagi
memiliki kran air. Beberapa tempat cuci tangan hasil program
Pamsimas pada tahun 2012 tersebut malah justru menjadi sarang
nyamuk. Hal ini dikarenakan pada bagian yang menyerupai wastafel
tersumbat sampah atau sejumlah rumput sehingga saat hujan turun
air hujan akan menggenang di tempat cuci tangan tersebut.

Gambar 3.4. Bangunan wastafel yang tidak digunakan


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

96
3.1.2 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
3.1.2.1 Satu Bidan Satu Desa
Pemerintah menggalakkan penyebaran satu bidan untuk satu
desa. Dinas Kesehatan OKU Selatan melakukan program satu bidan
satu desa. Namun belum semua bidan desa tersebut tinggal diwilayah
kerjanya. Masyarakat Desa Padang Bindu memiliki 3 orang bidan yang
berdomisili di desa tersebut. Dua bidan merupakan bidan muda yang
bertugas untuk desa lain dan satu bidan adalah bidan desa
penanggung jawab Desa Padang Bindu. Bidan Desa Padang Bindu
menetap di Desa Padang Bindu. Dua bidan desa lain yang bertempat
tinggal di Desa Padang Bindu yaitu Bidan Mepi dan Bidan Desi, namun
Bidan Desi sudah baybay4 ke tempat suaminya. Masyarakat sudah
mengenal bidan sebagai salah satu penolong persalinan. Namun
masih banyak masyarakat yang melahirkan dengan dibantu oleh
dukun. Meskipun Desa Padang Bindu telah memiliki Polindes,
persalinan tetap dilakukan di rumah.
Polindes tidak digunakan selain untuk pelaksanaan posyandu
yang dibantu oleh lima orang kader Posyandu. Selama Peneliti berada
di lokasi penelitian, Polindes hanya dibuka pada saat pelaksanaan
Posyandu. Padahal selama Peneliti berada di Desa Padang Bindu
terdapat empat orang ibu bersalin, dua orang ditolong oleh dukun dan
dua orang lainnya ditolong oleh Bidan MP dan Bidan UM.
Desa Padang Bindu memiliki satu Polindes. Bangunan Polindes
ini seharusnya ditempati oleh Bidan Desa Padang Bindu yaitu Bidan
YN. Bidan YN tidak menempati Polindes sebagai tempat tinggalnya
karena Bidan YN sudah memiliki suami yang berasal dari Desa Padang
Bindu dan telah memiliki rumah sendiri di Desa Padang Bindu.
Polindes hanya digunakan sebagai tempat pelaksanaan Posyandu
Desa Padang Bindu. Posyandu juga dibantu dengan dana PNPM
generasi yang dikelola oleh suami ketua kader.

4
Jenis pernikahan dimana isteri ikut dengan suami

97
Posyandu di Desa Padang Bindu dilaksanakan setiap hari Kamis
sesuai dengan hari kalangan Hal ini bertujuan agar masyarakat yang
memiliki balita dan tinggal di talangan-talangan dapat hadir di Posyandu.
Prinsip lima meja tidak diterapkan di Posyandu Desa Padang Bindu. Peneliti
sempat mengikuti pelaksanaan Posyandu pada tanggal 14 Mei 2015.
Posyandu hanya melaksanakan pengisian buku KIA, penimbangan dan
pemberian suntik imunisasi pada hari itu. Biasanya ibu bayi tersebut tidak
akan datang lagi ke Posyandu setelah imunisasi pada bayi usia 5 bulan dan
baru datang kembali pada saat bayi berusia 9 bulan untuk imunisasi
selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma masyarakat mengenai
Posyandu lebih condong pada pemberian imunisasi. Seperti Ibu HSB yang
membawa cucung-nya ke Posyandu5. Setelah empat kali memperoleh
imunisasi, Ibu HSB tidak akan datang lagi ke Posyandu hingga bulan ke
sembilan baru akan datang lagi ke Posyandu.
“Sudah empat kali itu bilangnya ya sudah. Sembilan bulan nanti ya suntik lagi. Kalau sudah
empat kali idak lagi posyandu. Sudah sembilan bulan nanti datang lagi posyandu.” Ibu HSB
Tabel 3.1 Pemakaian Vaksin Di Puskesmas Buay Runjung pada
Tahun 2014
Jenis Vaksin Jumlah
BCG 248
Polio 1 235
Polio 2 240
Polio 3 220
Polio 4 200
DPT HB 1 260
DPT HB 2 265
DPT HB 3 200
Campak 110
TT 1 90
TT 2 95
Sumber: Profil Puskesmas Buay Runjung 2014

5
Anak perempuan ibu HSB, ibu dari cucung-nya, meninggal saat bayi tersebut
baru berusia 2 bulan.

98
3.1.2.2 Mbay, Dukun Bayi Padang Bindu
Peran dukun bayi masih cukup besar terasa di masyarakat
meskipun sudah ada 3 orang bidan yang berdomisili di desa tersebut.
Masyarakat pergi berkunjung ke dukun bayi untuk pijit atau urut
kehamilan maupun penolong persalinan.
Pemilihan penolong persalinan di Desa Padang Bindu masih
sangat dipengaruhi oleh mertua. Hal ini karena adanya budaya Etnik
Daya yaitu pasca menikah isteri akan ikut dengan suami (baybay6). Hal
inilah yang menyebabkan dukun beranak masih diminati untuk
menolong persalinan.

“Kalau melahirkan memang kita anjurkan ke tenaga kesehatan. Banyak kan


disini bidan. Tapi balik balik ke masalah perilaku kan. Kayak tadi kan padahal
ANC nya rajin sama saya. Dia maunya lahiran sama saya tapi akhirnya kan….
Saya saja baru tahu (Yuk Sari yang melahirkan dengan Dukun) . Sudah
banyak bidan. Tinggal pola pikir mertuanya kayaknya (sambil tertawa). Ibu
ibu kan biasanya ikut suami (baybay) yang tau kan biasanya kan mertua.”
Bidan UM

Salah satu contohnya adalah Yuk S. Yuk S yang baru saja


melahirkan anaknya dengan dibantu oleh Mbay D, salah satu dukun
bayi di Desa Padang Bindu. Yuk S melahirkan hari Selasa pagi. Yuk S
telah merasakan sakit pada kehamilannya sejak pukul 5 pagi.
Kemudian, suami Yuk S memanggil Mbay D di rumahnya untuk datang
ke rumah Yuk S. Mbay D tidak akan pergi ke kebun pada hari tersebut
jika Mbay D diminta untuk membantu menolong persalinan. Sebelum
menolong persalinan, perempuan berusia 60 tahun tersebut dapat
memperkirakan waktu lahirnya bayi tersebut dengan cara dijajak
(memeriksa posisi ketuban melalui jalan lahir bayi) menggunakan
tangan.

6
Jenis pernikahan dimana isteri ikut dengan suami

99
“Itukan nentukan jamnya mau turun di jajak itu kalau bahasa sini. Kalau lagi
begini (mau melahirkan) jam sepuluh siang itu masih segini (sepanjang jari
telunjuk dan jari tengah) bisa-bisa kalau sudah jam satu jam dua nanti
(lahirannya). Kalau cuma segini nah (satu ruas jari) paling satu jam dua jam.
Yang dulu-dulu dilihat itu ketubannya itu. Kena raba ini jari dua ini (jari
telunjuk dan jari tengah). Kalau satu senti dua senti itu hampir.” Mbay D

Mbay D menggunakan sarung tangan dalam proses menolong


persalinan. Sarung tangan karet tersebut diberi oleh Bidan MP, karena
Mbay D pernah bekerja sama dengan Bidan MP. Menurut Mbay D,
sarung tangan tersebut adalah pemberian bidan yang pernah bekerja
sama dengannya. Sarung tangan tersebut merupakan sarung tangan
disposable yang dipakai Mbay D berulang-ulang. Sarung tangan milik
Mbay D dicuci bersama dengan mencuci kain kain kotor yang
digunakan membantu persalinan.

“Itu pengenjuknya (pemberian) bidan. Itulah masih. Dikasi 2 biji. Anaknya


Pak NP itu yang ngenjuk (ngasi) aku. Dulunya itu Bidan UM itu lah, Siapa
yang kerjasama dengan bidan aku yang ngenjuknya (ngasinya).” Mbay D
Untuk memotong tali pusar bayi, dukun biasanya menggunakan
bambu yang telah di runcingkan dan diberi alas dengan biji kemiri.
“Kan kalau bidan pakai gunting, kalau aku idak (tidak) pakai gunting.
Diambilkan buluh (bamboo) ditetak diambilkan kemiring (kemiri), sudah
diikat dua (talipusarnya) maka ditetak (dipotong) dimandikan di tidurkan
sama ibuknya.”

Sementara untuk mengeringkan tali pusar bayi, Mbay D hanya


menggunakan air garam. Bayi Yuk SR yang ditolong Mbay D juga diberi
air garam untuk menyembuhkan tali pusarnya. Meskipun Mbay D
mengetahui bidan menggunakan obat untuk mengeringkan tali pusar
bayi, namun menurut Mbay D air garam lebih cepat mengeringkan tali
pusar bayi.

100
“Tu lah tali pusarnya itu, cuman garam tulah obatnya, tiga malam kalau rajin
ngobatnya itu sudah itu. Dibanyakkan garamnya itu. Tu lah yang cepat
obatnya tu.” Mbay D

Gambar 3.5 Tali pusar bayi Yuk SR yang diobati dengan air garam.
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Puskesmas Buay Runjung belum memiliki program kemitraan
dengan dukun, namun telah ditanamkan pada seluruh bidan untuk
dapat bekerja sama dengan dukun. Jika dukun merasa kesulitan dalam
menolong persalinan, dukun bayi yang berada di Desa Padang Bindu
tidak segan untuk memanggil bidan.

“Kalau kerjasama aku terus teranglah sering juga misalnya orang mau
melahirkan jemput aku. Misalnya orang yang mau melahirkan itu kurang
tenaga itu aku suruh manggil bidan, jemput bidan .kalau dia sehat ya akulah
sendiri. Sudah banyak itu, ada yang pantatnya duluan masih aku
sendirian.ada yang kakinya duluan, macam macam kan . Kalau idak sukar
nian nolongnya ya aku sendirian. Kalo udah ada kemajuan tenaga yang mau
melahirkan itu kurang, manggil bidan kataku.”Mbay D

101
Persalinan oleh bidan membayar sebesar 700-800 ribu rupiah.
Persalinan yang ditolong oleh dukun hanya membayar sebesar 300-
400 ribu rupiah ditambah dengan beberapa bahan makanan serta
sepotong kain. Menurut masyarakat hal tersebut lebih murah
dibandingkan dengan bidan. Selain itu, masyarakat yang tinggal di
sapo7 atau talang-talang8 akan lebih memilih memanggil dukun
karena dukun dapat dipanggil kapan saja. Di salah satu talang juga
terdapat seorang dukun beranak.

3.1.2.3 Budaya dan Adat pada Kehamilan dan Persalinan


Pengaruh budaya dan adat masih kental dalam proses
kehamilan dan persalinan. Keluarga ibu hamil biasanya akan
melakukan sedekah Koan Limau9menjelang persalinan dengan tujuan
untuk mengurangi resiko terjadi penyakit saat persalinan. Hal ini
dipercaya dapat mencegah datangnya mahluk dari neġeri tua yang
dapat mengganggu poses persalinan.

“Tanyo dia bagaimana aku ini mau ngerjakan sedekah, iya baguslah
sedekahlah dengan ayam tiga macam itu. Yo dengan jeruk itu jeruk nipis
katanya ya.
Dengan jeruk nipis itu tiga, alatnya sedekah tu. Ada yang telok (Telur).Ada
yang ayam itu.Tapinya harusnya ayam tiga macam.Ayam putih, ayam
kakinya itu kuning paguhnya itu kuning juga, kakinya itu putih paguhnya itu
putih juga.Itu.

7
Rumah kecil di tengah kebun. Tidak ada jaringan listrik serta sangat
mengandalkan sungai sebagai sumber air. Biasanya masyarakat yang tinggal di
sapo adalah keluarga kelurga kecil yang baru menikah dan belum mampu
membangun rumah di desa.
8
Talang-talang adalah kumpulan beberapa sapo yang berdekatan. Biasanya
karena letak kebun juga berdekatan. Talang-talang ini memiliki ketua.
9
Telah diterangkan pada Bab Life Cycle

102
Kalo sudah masak itukan namanya dikendurenkan aku inilah yang ucapkan
yang manggil itu kan. Kan ada ayam itamnya, ayam itam itu manggil dari
neġeri tua itu kalau bahasa sini. Misalnya orang ini mau melahirkan idak
sedekah dengan itu, sedekah Koan limau itu namanya. Waktu lahiran nanti,
Galak-galak dia datang nanti yang dari neġeri tua itu. Iyo mau menggigit itu
ya seperti kesurupan itu lah.Maka itu sedekahnya itu ayam hitam, ketan
hitam. Pekunduhan itu kalau bahasa sininya, yang ayam putih kaki putih
paguh putih , kalau ayam putih kuning” Mbay D
Ibu hamil yang melahirkan dengan ditolong oleh tenaga
kesehatan dianggap mampu menekan angka kematian ibu secara
signifikan dibandingkan dengan melakukan persalinan oleh dukun.
Namun, pemilihan penolong persalinan di Desa Padang Bindu masih
sangat dipengaruhi oleh mertua. Dalam budaya Etnik Daya, pasca
menikah isteri akan ikut dengan suami (baybay).

“Kalau melahirkan memang kita anjurkan ke tenaga kesehatan. Banyak kan


disini bidan. Tapi balik balik ke masalah perilaku kan. Kayak tadi kan padahal
ANC nya rajin sama saya. Dia maunya lahiran sama saya tapi akhirnya kan….
Saya saja baru tahu (Yuk Sari yang melahirkan dengan Dukun).Sudah banyak
bidan.Tinggal pola pikir mertuanya kayaknya (sambil tertawa).Ibu-ibu kan
biasanya ikut suami (baybay) yang tau kan biasanya kan mertua.” Bidan UM

Hal ini sesuai dengan informasi dari Puskesmas Buay Runjung


bahwa kunjungan K1 selalu lebih besar dari K4 perbulan. Hal ini
karena pada akhir masa kehamilannya ibu hamil cenderung tidak ke
periksa ke tenaga kesehatan lagi tapi lebih memilih dukun, seperti
tampak pada tabel 3.2

103
Tabel 3.2. Kunjungan K1 dan K4 di UPTD Puskesmas Buay Runjung Tahun
2014

K1 K4
Bulan
Jumlah Jumlah
Januari 33 30
Februari 30 28
Maret 28 20
April 36 34
Mei 42 38
Juni 38 35
Juli 44 42
Agustus 33 31
September 41 38
Oktober 49 47
November 43 40
Desember 44 43

Sumber : Profil UPTD Puskesmas Rawat Inap Buay Runjung Tahun 2014

Menurut Ajong CM, yang pernah menjabat menjadi kepala


desa selama delapan tahun, menyatakan bahwa dukun dan bidan
masing-masing memiliki kelebihan. Dukun mengerti mengenai lokasi
bayi dan memiliki kemampuan untuk membenarkan letak bayi yang
sungsang dangan cara diurut, sementara bidan mengetahui obat-
obatan medis.

“Jadi ada istilahnya kalau secara mediskan Cuma menunggau waktunya kan.
Kalo dukun itu dia misalnya kurang benar, masih kejepit atau msih salah
belok itu bisa melalui urut dia bisa luruskan sehingga tidak ada halangan si
bayi ini dia dak sampai tebalik. Alhamdulillah berkat adanya dukun bayi ini
jarang sekali yang sampai dioperasi.” Ajong CM.

104
Mbay SR, salah satu dukun urut di Desa Padang Bindu juga
dapat menolong persalinan. Yuk ASH yang tinggal di salah satu sapo
kebun melahirkan anaknya yang ketiga di sapo yang berada di tengah
kebuh kopi dengan dibantu oleh Mbay SR. Bayi perempuan yang
dilahirkannya bernama MLY. Yuk ASH mengatakan bahwa Mbay SR
menggunakan batang durian yang dibakar untuk mengeringkan tali
pusar dek MLY. Arang dari hasil pembakaran tersebut ditaburkan di
atas tali pusar.

Kepercayaan mayarakat pada keberhasilan dukun dalam


melakukan proses penyembuhan akan menyebabkan masyarakat
mengulangi kembali metode pengobatan yang sama. Seperti ibu SHN
yang menaburkan arang batang durian ke tali pusar anaknya,
meskipun proses persalinan anaknya dibantu oleh bidan dan telah
diberikan obat berupa betadine oleh bidan.

“Saya ingat yang MR ini yang sudah sama bidan (persalinannya). Tapi saya
masih ingat, walaupun dikasih bidan betadin itu, obat merah. Ya masih saya
ingat yang ajaran dukun yang sama MLI itu yang nyari batang duren itu.
Diarangkan, udah diarangkan diinikan (dihaluskan) dipiring itu. Nah dikasi
minyak. Cept kering. Udah dua malam udah lepas.”Ibu SHN

Pasca melahirkan, baik Mbay D maupun Mbay SR akan


melakukan urut pada ibu yang baru saja bersalin. Urut pasca
persalinan yang dilakukan Mbay D biasanya dilakukan selama 3 hari
pasca persalinan. Namun, hal ini tergantung dengan kekuatan ibunya.
Jika ibu yang baru bersalin sehat, urut hanya dilakukan sekali saja
untuk membetulkan posisi tempat anak yang berada di dalam perut si
ibu.

105
Gambar 3.6 Mbay D yang Melakukan Urut Pasca Persalinan
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Uniknya, meskipun Mbay D cukup dikenal hingga ke desa


tetangga dan sering di panggil untuk menolong persalinan di desa
tetangga, namun persalinan menantu Mbay D sendiri ditolong oleh
tenaga kesehatan. Mbay D enggan menjelaskan mengenai hal ini
kepada Peneliti. Mbay D hanya mengangkat bahu ketika ditanya
mengapa Mbay D tidak menolong persalinan menantunya tersebut.
Pasca persalinan, biasanya ibu akan diobati dengan kunyit yang
diparut kemudian dibakar dengan dibungkus oleh daun pisang.
Setelah panas, kunyit tersebut didekatkan dengan jalan lahir bayi. Uap
hangat dari kunyit yang dibakar ini dipercaya dapat menyembuhkan
jalan lahir bayi. Parutan kunyit ini dipakai selama tiga hari berturut-

106
turut dengan pemakaian sekali pakai setiap hari. Menurut Mbay D,
penggunaan parutan kunyit ini akan lebih baik bila diiringi dengan
membasuh jalan lahir dengan rebusan air sirih. Ibu yang persalinannya
ditolong dengan bidan juga tetap menggunakan obat ini. Peneliti
melihat pada saat Yuk MR pasca bersalin, ibu dan mertua Yuk SR
menyiapkan parutan kunyit tersebut. ibu bersalin akan meminum air
rebusan kabing salak. Kabing salak adalah sejenis rebung yang berasal
dari tumbuhan salak. Minuman ini diminum selama tiga hari pasca
melahirkan.

“Abis ngelahirkan itu kan ada minuman yang dikasih tau dukun itu di suruh
dia nyari batang salak itu untuk minuman kan. Malam ini ngelahir nah besok
pagi dia cari batang salak. Itu direbus. Cuma itu, direbus, diminum. Rasanya
kayak apa, pait. Obat orang kampong. Udah puas tiga hari udah.” Ibu SHN

Pasca menolong persalinan, keluarga ibu bersalin menyiapkan


satu buah kelapa muda yang digunakan untuk mencuci tangan dukun.
Mencuci tangan dengan air kelapa muda ini dianggap sebagai tanda
terima kasih kepada dukun yang telah membantu persalinan.
Menurut masyarakat hal ini harus dilakukan untuk membersihkan
tangan dukun setelah membantu proses persalinan sebab dukun yang
membantu menolong persalinan telah terkena darah persalinan yang
dianggap kotor oleh masyarakat. Jika ritual ini tidak dilakukan akan
menyebabkan dukun tersebut sakit. Namun ritual ini tidak hanya
dilakukan jika penolong persalinan seorang dukun. Ketika Peneliti
mengamati proses persalinan Yuk MR yang dibantu bidan UM, ritual
ini juga dilaksanakan. Setelah bayi dan Yuk MR dibersihkan, keluarga
mengupas sebuah kelapa muda yang masih berwarna hijau.
Kemudian, Yuk MR menuangkan air kelapa muda tersebut dan Bidan
UM mencuci tangannya dengan air kelapa yang dituang Yuk MR
tersebut.

107
Gambar 3.7 Proses cuci tangan pasca melahirkan
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Perawatan masa nifas pada Etnik Daya tidak terlalu banyak.


Selain parutan kunyit dan basuhan air sirih, perawatan nifas hanya
berupa urut selama tiga hari. Selain itu, untuk pencegahan morian
biasanya dilakukan dengan diurut pasca persalinan dengan tujuan
membersihkan darah di dalam perut yang dapat menyebabkan
morian.
Menurut Ibu BDR, sebenarnya sebelum 1 bulan pasca
persalinan seorang ibu bersalin tidak diijinkan untuk keluar rumah
meskipun hanya ke lantai bawah10. “di pucuk (di lantas atas) ini
ajalah.” kata Ibu BDR. Namun karena kebiasaan masyarakat yang
memiliki aktifitas yang tinggi, maka banyak ibu bersalin yang langsung

10
Rata-rata rumah masyarakat adalah rumah panggung

108
beraktifitas seperti biasa setelah dua atau tiga hari pasca melahirkan
dan merasa tubuhnya sudah sehat.

3.1.2.4 Bayi dan Balita


ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. Berdasarkan
pengamatan Peneliti banyak bayi yang mulai mengkonsumsi makanan
pendampig ASI (MP-ASI) sebelum usia 6 bulan. Ibu sudah memberikan
MP-ASI sebelum bayi berusia 6 bulan. Di Desa Padang Bindu masih
terdapat tradisi memberikan pisang kepada bayi. Masyarakat telah
menyadari pentingnya ASI bagi bayi namun pemberian pisang yang
telah dibakar sudah menjadi suatu kebiasaan di Etnik Daya.

“Asi eksklusif ndak jalan. Dari keturunan. Dikiranya itu kalau bayi itu kalau
ndak dikasi pisang itu kan bayi itu nangis terus kan. Dikiranya masih lapar.
Dikasi pisang di panggang terus dikeruk. Padahal sudah saya tekankan kalau
anak anak itu ususnya masih tipis. Jadi anak-anak disini itu saya pikir karna
itu, baru umur empat bulan nanti ada yang panas kena tipus. Soalnya kita
kasi obat tipus itu sembuh kan.” Bidan UM

Pemberian makanan pisang kepada bayi pertama kali biasanya


dilakukan setelah bayi berusia 40 hari ( ± usia 2 bulan). Jenis pisang
yang biasanya diberikan adalah pisang jantan (punti jantan) dan
pisang ambon. Pemberian pisang ambon kepada bayi dimaksudkan
agar pertumbuhan bayi tersebut tidak ketinggalan dengan teman-
temannya yang lain.“biar tidak ketinggalan dengan teman temannya”
begitu kata salah satu ibu yang mempunyai balita.
Ibu akan memberi makanan nasi yang dihaluskankepada bayi
setelah bayi berusia sekitar 3-4 bulan Beberapa masyarakat
memberikan makanan berupa nasi yang dihaluskan menggunakan
saringan tanpa tambahan sayur dan hanya diberi tambahan garam,
yang biasa di sebut nasi tim.

109
“Kalo pertama Dikasi pisang, pisang bakar. Satu minggu dikasi lagi ganti tapi.
Roti. Umur 3 bulan 4 bulan baru makan dia. Keliatan kalau dia mau makan
itu.kalau dia ngelihat orang makan mulutnya begini (gerak-gerak) udah mau
makan ” Ibu ASH

Pada saat anak berusia sekitar dua tahun Ibu akan memulai
proses penyapihan. Ibu akan membalurkan sesuatu yang pahit ke
puting susunya pada saat proses penyapihan. Hal ini dimaksudkan
supaya bayi tidak mau lagi menyusu karena puting susu ibu terasa
pahit. Anak akan mengkonsumsi makanan sehari-hari seperti orang
tuanya setelah disapih dari ibu.

Gambar 3.8 Langkut, makanan pelancar ASI


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Namun bagaimana jika ASI tidak keluar ketika bayi baru saja
dilahirkan? Keluarga ibu akan segera mencari langkut, yaitu sisa nasi
yang masih menempel di panci setelah memasak nasi pada ibu yang
ASI-nya tidak keluar. Panci dengan sisa nasi tersebut kemudian
ditambah dengan air hangat dan dimakan oleh ibu. Biasanya tidak
berapa lama kemudian ASI ibu akan keluar. “Keraknyo nasi dikasi air
dengan garam, terus di-inumkan ibuknya itu. Maka keluar” ujar Mbay
D. Seperti yang dialami oleh Yuk SR, pasca persalinan ASI-nya tidak

110
keluar sehingga Mbay D menyarankan untuk mengkonsumsi langkut.
Beberapa jam setelah mengkonsumsi langkut, ASI Yuk SR mulai keluar.
Masyarakat Desa Padang Bindu mengenal istilah njami pada
balita. Balita yang rewel biasanya disebut njami. Gejala rewel pada
balita sering kali mengindikasikan suatu masalah kesehatan pada
balita11. Njami sendiri mengacu pada penyakit yang berulang-ulang
dan tidak kunjung sembuh seperti batuk, demam atau sampot (bisul) .
Menurut masyarakat Daya, kata njami artinya berulang ulang dan
merunut pada istilah menanami kembali sawah setelah dipanen.
Selain rewel, balita njami dapat dikenali dengan tanda-tanda
lainnya seperti dadanya cekung. “Ciri-ciri budak itu, budak yang nangis
itu, sininya (dadanya) cekung. Agak kurus.” ujar Ibu SHN. Ibu SHN Juga
menambahkan bahwa anak yang menderita njami sering menggigil
serta kuping balita tersebut lebih tipis daripada biasanya.
“Ada yang penyakit namanya budak kecil itu njami yang masih umuran
empat tahun, tiga tahun itu kan sering nggigil, kedinginan dia, kupingnya
agak tipis. Seringnya wajahnya pucat itu njami namanya penyakitnya.
Ibu SHN
Menurut masyarakat, njami sangat sulit disembuhkan. “Njami
itu susah, di suntik dak sembuh” ujar ibu SHN. Njami hanya dapat
dikurangi frekuensi rewel dengan cara melakukan ritual petunggu.

11
Menurut dunia medis barat, tangisan dan rengekan pada anak-anak dikarenakan
kekurangan protein terutama pada saat anak tersebut dilepaskan dari susu
ibunya di sapih. (Foster dan Anderson, Antropologi Kesehatan)

111
Gambar 3.9 Njami sampot (bisul) pada balita
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Petunggu merupakan ritual yang dilakukan setiap tahun


sebelum seorang anak dapat menyelam sendiri, biasanya pada saat
anak berusia sekitar 3- 5 tahun. Petunggu dilakukan pada tanggal yang
sama setiap tahunnya. Ritual ini merupakan sebuah penebusan bagi
orang tua gaib anak. Menurut kepercayaan Etnik Daya, yang
menyebabkan balita rewel adalah adanya gangguan dari orang tua
gaib balita tersebut yang belum rela melepaskan anak kepada orang
tua yang ada di dunia. Petunggu dilakukan dengan cara menyembelih
dua ekor ayam putih dengan paruh putih pucat dan seekor ayam putih
dengan paruh putih kuning. Kedua ayam tersebut kemudian dibakar
dan disajikan bersama dengan dua gelas air cendana dan sirih.
Seorang dukun akan dipanggil untuk melakukan doa yang dipanjatkan
kepada Tuhan melalui puyang dengan diiringi membakar kemenyan.
“Namanya kan petunggu tu setahun sekali dibayarkan sampai dia bisa mandi
sendiri itu. Taroklah kira kira umur empat tahun lah itu.” Pak ALDN.
Jika petunggu sudah rutin diakukan dan anak tersebut masih
rewel, maka akan dilakukan sedekah besak (besar) dengan
menyembelih ayam hitam. Sedekah besak ini untuk menghilangkan

112
gangguan bujang taha yang mengganggu anak tersebut. Bujang Taha
adalah arwah manusia yang mninggal ketikan belum menikah namun
usianya sudah lanjut. Bujang taha dipercaya sering mengganggu balita
sehingga menyebabkan rewel.

“Kala petunggu sudah di tutup tapi masih sering nangis nangis itu nah ke
dukun itu, masih belum sehat taunya ada dukun lagi. Ini mau mintak
sedekahan ayam besar, bilagnya. Ayam besar itu kan ngidangnya dak
diwadahi piring dak. Langsung nasinya masih di periuk. Yang sayurnya masih
di ajan itulah.” Ibu SHN

Salah satu jenis njami adalah rewel yang disertai dengan batuk.
Masyarakat setempat biasa menyebut penyakit batuk menahun yang
biasa di derita oleh anak-anak dengan istilah hiyog megah. Mereka
biasanya mengobati hiyog megah dengan kayu mahang yang di
dalamnya ada semut hitam kecil. Semut hitam kecil biasanya sulit
diperoleh jika tidak di dalam kayu mahang. Batang kayu mahang
kemudian disumpal di kedua ujungnya dan kemudian dipanaskan
hingga semutnya mati. Semut yang mati di dalam kayu mahang
diambil dan di-oseng hingga menjadi arang. Setelah itu semut
dicampur dengan minyak dan diusapkan di leher penderita pada pagi
dan sore hari.
Salah satu balita yang mengalami njami ketika Peneliti berada
di lokasi penelitian adalah Dek AU. Sejak kembali dari pasar
(Muaradua) Dek AU menangis terus menerus sepanjang malam. Dek
AU yang biasanya terlihat ceria, selalu minta digendong oleh ibunya
atau ayahnya. Dek AU terlihat menderita flu, namun ibunya
membawanya ke Mbay D untuk diurut. Malam setelah Dek AU diurut,
Dek AU masih tetap rewel. Keesokan harinya ibunya meminta oat
kepada Bidan MP. Setelah mengkonsumsi obat yang berasal dari
Bidan MP, flu yang dialami Dek AU sudah mulai berkurang. Namun,
Dek AU masih rewel. Akhirnya Pak AD membawa Dek AU ke Desa

113
Sugih Waras untuk menemui salah satu tokoh agama yang dianggap
dapat mengobati Dek AU. Dek AU diharuskan mengenakan semacam
obat berupa kalung yang terbuat dari kain berwarna putih yang ditulisi
dengan bacaan Arab. Peneliti tidak dapat melihat dengan jelas bacaan
tersebut. Kalung tersebut dipakai Dek Au hingga Peneliti selesai
melakukan penelitian.

Gambar 3.10 Obat berupa kalung yang dipakai Dek Au.


Sumber: Dokumentasi Peneliti 2015

Malam harinya Yuk RN mengundang Peneliti untuk datang ke


rumahnya untuk melihat ritual petunggu yang rutin dilakukan untuk
Dek AU setiap tahunnya. Di rumah Yuk RN telah ada Pak ALDN yang
biasa memimpin acara ritual. Yuk RN telah mempersiapkan dua ekor
ayam panggang serta dua piring kan taboh (nasi uduk) dan dua piring
cambay (sirih) dengan segelas air cendana di masing-masing
piringnya. Pak ALDN membacakan doa yang cukup cepat. Peneliti
beberapa kali mendengar Pak ALDN mengucapkan kata puyang.

114
Gambar 3.11 Ritual petunggu Dek AU
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Kondisi njami perlu menjadi perhatian khusus bagi tenaga


kesehatan. Balita njami sering rewel dan sering kali disertai dengan
penyakit infeksi seperti demam, flu, dan batuk. Hal ini tentunya akan
mengganggu perkembangan balita pada masa emas pertumbuhannya
yaitu 1000 hari pertama. Tidak ada data balita gizi buruk atau gizi
kurang di Desa Padang Bindu sehingga perlu dilakukan pendataan
balita dan pengukuran antropometri yang baik pada saat pelaksanaan
posyandu. Sebab, menurut Ajong CM, mantan kepala Desa Padang
Bindu, njami pada balita termasuk dalam kondisi kurang gizi.
Pertumbuhan balita njami agak kurang normal karena sering sakit

3.1.3 Perilaku Merokok


Kebiasaan merokok berkontribusi besar pada peningkatan
penyakit tidak menular. Rokok masuk ke Desa Padang Bindu dan
dikenal oleh masyarakat masih belum terlalu lama. Hal ini terlihat
pada ritual-ritual seperti ruwahan, sedekahan, serta petunggu yang
menyajikan hidangan bagi yang ‘gaib’. Rokok jarang diikutsertakan

115
dalam hidangan tersebut. Masyarakat biasanya menyediakan sirih
sebagai hidangan penutup. Menurut penjelasan masyarakat hal ini
karena dulu sirih merupakan hal yang sering dikonsumsi oleh Jalma
Daya sebelum ada rokok. Selain itu, rokok yang dikonsumsi bukan
merupakan rokok di daerah sekitar OKU Selatan, namun masyarakat
cenderung mengkonsumsi rokok yang berasal dari Jawa bagian timur.

Gambar 3.12 Kebiasaan merokok di sekitar balita


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Masyarakat biasanya merokok dimana saja, baik di dalam


ruangan maupun di luar ruangan, sekalipun diruangan tersebut
dipenuhi oleh para tamu. Seperti pada saat Yuk DS ngemantu,
ruangan yang dipenuhi oleh tamu terlihat semakin temaram karena
dipenuhi oleh asap rokok. Tidak hanya pada saat acara acara sosial,
merokok juga dilakukan di rumah bersama keluarga. Remaja Desa
Padang Bindu sebagian besar adalah perokok. Kebiasaan merokok
mereka telah dilakukan sejak mereka masih kecil. Seperti JN, anak laki-
laki berusia sekitar 9 tahun tersebut sudah mulai merokok. Kedua
orang tua JN, Pak BRL dan Ibu MN adalah perokok. Kebiasaan orang
tua mereka yang merokok di depan anaknya kemudian dilihat dan
ditiru oleh anaknya. Rokok dapat diperoleh di kalangan dengan harga

116
yang cukup murah. Para remaja tersebut dapat membeli rokok
dengan uang yang didapat dari membantu beberapa kebun milik
warga setempat.

Gambar 3.13 Menikmati rokok di sapo


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Rokok yang dijual sebagian besar merupakan rokok yang


berasal dari Jawa, rokok linting serta rokok nipah yang berasal dari
daerah Ranau. Ibu-ibu di desa tersebut telah terbiasa menyisihkan
sebagian uang belanjanya untuk membeli rokok untuk suaminya.
Karena kalangan hanya dilaksanakan sekali seminggu, ibu-ibu
biasanya berbelanja di kalangan membeli rokok dalam jumlah banyak.
Masyarakat juga merokok sambil bekerja dikebun dengan
alasan asap rokok dapat mengusir nyamuk sehingga nyamuk tidak
menggangu pada saat bekerja.

“ Nah, disamping dia kecanduan juga. Kalau saya ke kebun itu nyamuk.
Mengusir nyamuk. Kalau kia idam merokok itu jong banyak. Dengan adanya
asap rokok, nyamuk itu kan idak berani. Sama dengan obat nyamuk itu saya
kira. “ Ajong CM.

117
Gambar 3.14 Penjual rokok di kalangan
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Kebiasaan merokok pada remaja di Desa Padang Bindu juga


merupakan hasil dari interaksi teman sebaya. Kita dapat melihat
kebiasaan tersebut pada acara muli-meranai atau biasa disebut acara
bujang-gadis di desa tersebut. Acara ini merupakan bagian dari
rangkaian budaya pernikahan Etnik Daya. Peneliti ikut serta pada
sebuah acara muli-meranai di dekat rumah tinggal. Menurut
pengalaman masyarakat Desa Padang Bindu, biasanya acara muli-
meranai dimulai sehabis Magrib dan selesai pada pukul 2 pagi jika
acara muli meranai hanya berupa kegiatan masak-memasak saja.
Namun, jika kegiatan tersebut dilengkapi dengan hiburan musik
tunggal, maka acara tersebut dapat dilaksanakan hingga pukul 3 pagi.
Pada acara tersebut para muli (perempuan) akan berdandan cukup
menarik, sehingga Peneliti berasumsi bahwa acara muli-meranai
merupakan sebuah momen bagi pemuda dan pemudi untuk dapat
saling mengenal.
Acara muli-meranai sudah banyak mengalami perubahan. Pada
jaman dahulu acara muli-meranai memang merupakan tempat
bertemunya para gadis dan bujang. Kegiatan yang dilakukan pada

118
saat itu adalah memainkan musik ribang12 dan tidak sampai larut
malam seperti saat ini. Pada acara tersebut, meranai (remaja laki-laki)
yang akan mengajak mengobrol seorang muli (perempuan) harus
mengenakan sarung dan kopiah terlebih dahulu. Menurut ibu AC yang
membuka kedai kecil di Desa Padang Bindu, ia akan menjual beberapa
jenis minuman keras yang cukup mahal seperti whisky jika ada
kegiatan muli-meranai. Namun untuk acara muli-meranai yang
dilakukan pada saat itu, ibu AC hanya menjual rokok dan bir biasa. Hal
ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok pada saat acara muli
meranai menjadi sebuah identitas sosial bagi para remaja.

3.1.4 Penyakit Menular


3.1.4.1 Penyakit Kusta dan TBC
OKU Selatan masih memegang status dengan kondisi penyakit
menular yang cukup tinggi pada laporan IPKM tahun 2013 lalu. Namun
pemerintah cepat tanggap mengantisipasi hal ini.Rumah sakit kusta di
provinsi langsung turun tangan untuk menyembuhkan penyakit kusta
di desa ini. Sekarang hanya tertinggal 2 orang penderita kusta dari
sekitar 20 penderita kusta. Menurut Ibu UM yang merupakan kepala
Puskesmas Buay Runjung, pertama kali diketahui ada kasus kusta di
desa ini dikarenakan salah satu penderita memiliki kusta yang
meradang dan berobat di pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan
yang mengetahui adanya penderita kusta langsung turun ke lapangan
untuk mencari penderita kusta lainnya. Dari hasil pelacakan petugas,
diketahui bahwa penderita kusta ini merupakan masyarakat yang
tinggal di talang-talang yang menggunakan sumber mata air yang
sama sebagai pemenuhan kebutuhan sehari hari.

“Penyakit TB banyak di wilayah Buay Runjung. Khusus untuk Desa Padang


Bindu banyak kusta, tapi sekarang sudah menurun hanya tinggal sekitar satu

12
Jenis musik tradisional berupa nyanyian yang diiringi petikan gitar tunggal.

119
dan dua orang. Dulu sempat terjadi kejadian luar biasa sampai orang dari
rumah sakit kustanya (RS Sungai Kundur di Palembang) sendiri turun ke
desa ini. Selebihnya hanya penyakit biasa seperti ISPA dan diare.” Bu UM

Kejadian penyakit TB di Kecamatan Buay Runjung lebih banyak


berada di Desa Blambangan. Kasus TB sudah dipahami oleh
masyarakat. Seperti saat Peneliti melihat Ajong SHR yang
mengeluhkan batuknya tak kunjung sembuh. Ajong mengatakan
bahwa itu batuk biasa dan bukan TB.

Tabel 3.3 Jumlah kunjungan pasien TB di UPTD Puskesmas Buay


Runjung tahun 2014
Jenis Penderita Jumlah
Jumlah Suspek 65
BTA (+) 10
BTA (-) 50
BTA (-) Rontgen (+) 5
Jumlah Penderita 15
Kategori I 12
Kategori II 3
Sembuh 10
Dalam Pengobatan 5
Pengobatan Lengkap 10
Sumber :Profil Puskesmas Buay Runjung, 2014

3.1.4.2 Wabah Chikungunya


Wabah cikungunya pernah melanda Desa Padang Bindu pada
tahun 2012. Hampir semua masyarakat menderita cikungunya. Bidan
Desa sering dipanggil ke talang-talang atau sapo untuk mengobati
seluruh anggota keluarga yang terkena cikungunya.Tidak ada anggota
keluarga yang dapat menjemput bidan. Menurut penuturan ibu RTW
yang juga menderita cikungunya pada saat itu, kejadian wabah saat
itu sangat mengerikan. Belum satu pun anggota keluarga yang

120
sembuh dari penyakit tersebut, sudah berpindah ke keluarga lainnnya.
Awalnya masyarakat hanya mengira sakit biasa. Namun ketika salah
satu masyarakat memeriksakan diri ke bidan, akhirnya masyarakat
mengetahui bahwa penyakit yang dideritanya disebut chikungunya.
Masyarakat langsung mencari tenaga kesehatan. Selain itu, dinas
kesehatan OKU Selatan juga turun tangan memberi pengobatan gratis
pada saat terjadinya wabah. Masyarakat tidak mengetahui bagaimana
datangnya penyakit tersebut ke Desa Padang Bindu.

“Cikungunya kemarin itu seluruh disini pernah .Gimana ya rasaknya badan ini
pegel semua, lemes, gitu ya.Gak tau gimana ceritaknya saya juga pernah
kenak itu kenak jugak saya. Gak taulah pokoknya gak enak gitu rasanya,
semuanya kek rasanya penyakit itu kumpul semua kebadan ini. Dari dusun
mana itu kedusun kami ini kenak semua.Bareng-bareng.Yang kekebun masih
tetap ke kekebun. Bu Umu ini sering dipanggil ke kebun orang ini sekeluarga
sakit, terus buk YN juga yakan. Orang mau pulang juga gimana orang
bapaknya juga sakit, ibunya juga sakit gak bisa pulang.Jadi buk bidan yang ke
kebun kemaren itu.Jauh-jauh lagi kebunnya kalau hujan becek (sekitar 5
tahun lalu).Kemarin itu pernah ada pengobatan gratis sejak kena cikungunya
itu.Di datengin gitu.Bareng-bareng sekeluarga gitu. Kalo satu aja yang sehat
kan bisa gerak kemana mana. Pertamanya satu dua ada yang kenak
langsung ke bidan gitu ya, terus bidan ngomong bilangnya penyakit
cikungunya. Makanya tau namanya cikungunya. Waktu penyakit cikungunya
masuk disini ini kek nular-nular gitu rasanya ya, soalnya bareng-bareng,
sekeluarga itu kenak, pindak kekeluarga lain, pindah lagi. Belum sembuh
betul di keluarga itu, pindah lagi. Cepet gitu (penularannya).“ Ibu RTW

3.1.4.3 Penyakit Kulit


Penyakit kulit menempati urutan keenam dalam daftar
sepuluh penyakit terbanyak di Puskesmas Buay Runjung. Hal ini
menjadi wajar jika penyakit kulit bukan merupakan penyakit tertinggi
di wilayah kerja Puskesmas Buay Runjung jika melihat kebiasaan
masyarakat yang memiliki jadwal mandi rutin pagi dan sore setiap

121
hari. Namun demikian, kualitas air di Desa Padang Bindu yang belum
memenuhi syarat kesehatan yang menyebabkan penularan penyakit
kulit cukup banyak.
Dari hasi observasi Peneliti, penyakit kulit seperti panu
biasanya diabaikan oleh penduduk. Terlihat ketika ibu MTNR mandi di
Siring, dengan mengenakan sarung sebagai basahan, beberapa bercak
putih terlihat ditubuhnya dan ibu-ibu lain yang mandi bersama pada
saat itu tetap mandi seperti biasa. Ibu MJ (yang menderita stroke)
ketika diurut oleh salah satu dukun, terlihat bercak putih hampir di
seluruh tubuhnya, dan Mbay D tetap mengurut ibu tersebut seperti
biasa. Masyarakat tidak menganggap penyakit kulit merupakan
penyakit yang berbahaya sehingga penularan penyakit kulit tidak
menjadi perhatian masyarakat.

3.1.5 Penyakit Tidak Menular (PTM)


Penyakit tidak menular, atau biasa disebut penyakit
degeneratif, biasanya diderita oleh masyarakat sedentarian yang
tingkat konsumsi lemak tinggi dan tingkat aktiftas fisik rendah. Tidak
demikian dengan keadaan Jalma Daya. Masyarakat Etnik Daya
mempunyai aktifitas fisik yang tinggi mengingat hampir setiap hari
mereka pergi ke kebun yang cukup jauh jaraknya sambil membawa
keranjang yag cukup berat. Konsumsi makanan tinggi lemak oleh
masyarakat Etnik Daya dapat dikatakan rendah. Namun pada indikator
IPKM 2013 kondisi PTM di OKU selatan tidak terlalu baik, cenderung
memburuk. Permasalahan PTM juga terlihat di Desa Padang Bindu.
Hasil diskusi Peneliti dengan tenaga kesehatan dan masyarakat
setempat menunjukkan bahwa ternyata angka kejadian hipertensi dan
rematik cukup tinggi di Desa Padang Bindu. Berdasarkan laporan
daftar 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Buay Runjung pada tahun
2014, peringkat pertama sampai ketiga didominasi oleh penyakit tidak
menular yaitu rematoid, gastritis dan hipertensi.

122
Tabel 3.4 Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Buay Runjung
Tahun 2014

Nama Penyakit Jumlah


Rematoid 250
Gastritis 145
Hipertensi 140
Febris 105
ISPA 100
Penyakit Kulit 98
Penyakit Telinga 75
Diare 70
Suspek Malaria 38
Suspek Tifoid 30
Sumber :Profil Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014

Perilaku konsumsi kopi dan merokok (ngudut) sangat tinggi


pada masyarakat Desa Padang Bindu. Konsumsi kopi serta ngudut
menjadi salah satu kebiasaan yang menyebabkan tingginya angka
kejadian penyakit tidak menular. Seperti berbagai ungkapan
masyarakat Daya saat menjelaskan betapa tingginya konsumsi kopi
dalam keseharian mereka. “Lemak ngopi daripada mengan” yang
berarti lebih baik minum kopi daripada makan.

3.1.5.1 Rematoid
Rematoid merupakan salah satu penyakit tertinggi di
kecamatan Buay Runjung. Berdasarkan hasil IPKM tahun 2013
prevalensi nyeri sendi untuk Kabupaten OKU Selatan sebesar 14,55.
Nilai tersebut menobatkan OKU Selatan menjadi kabupaten dengan
prevalensi nyeri sendi tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan.
Masyarakat Daya mengobati penyakit nyeri sendi dengan
menggunakan pengobatan medis dan terapi tradisional etnik Daya13.

13
Lebih lengkapnya akan dibahas di Bab Selanjutnya

123
3.1.5.2 Hipertensi dan Stroke
Angka kejadian darah tinggi atau hipertensi sangat tinggi di
Desa Padang Bindu. Pola konsumsi masyarakat Etnik Daya di Desa
Padang Bindu mempengaruhi tingginya penderita hipertensi.
Kebiasaan merokok dan minum kopi menjadi faktor pendukung
tingginya angka penyakit ini. Tidak hanya merokok dan minum kopi,
konsumsi durian pada masyarakat Desa Padang Bindu cukup tinggi.
Durian dapat diperoleh denngan mudah di kebun-kebun milik
masyarakat. Jika musim durian tiba masyarakat akan mengonsumsi
durian dalam jumlah banyak. Salah satu cara mengonsumsi durian
adalah dengan mencampurkan daging durian ke dalam kopi yang
masih panas. Selain dikonsumsi langsung, karena musim durian hanya
berlangsung setahun sekali, masyarakat akan menyimpan durian dan
mengawetkannya ke dalam toples-toples kecil yang disebut
tempoyak. Selanjutnya, tempoyak akan dijadikan salah satu bahan
dasar masakan baik untuk sambal, maupun gibor-gibor14 sehingga
durian tetap dapat dinikmati sepanjang tahun.
Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya stroke.
Tingginya angka kejadian hipertensi memungkinkan terjadinya
peningkatan angka kejadian stroke. Stroke ditandai degan
kelumpuhan anggota badan, bicara yang tidak dapat diungkapkan
dengan mudah dan gangguan proses berpikir seseorang. Stroke
tentunya akan mengurangi produktivitas seseorang. Berkurangnya
kemampuan anggota gerak ini juga akan menjadi beban bagi anggota
keluarga lainnya.
Salah satu penderita stroke di Desa Padang Bindu adalah Ibu
JZ, isteri Pak MJ. Menurut penuturan Ayuk J, anak bapak MJ, Ibu JZ
awalnya memang menderita tekanan darah tinggi. Bahkan tekanan
darah ibu JZ pernah cukup tinggi hingga mencapai 200/100,

14
Salah satu makanan khas Etnik Daya Padang bindu yang berupa tumisan ikan
dicampur dengan tempoyak. Ikan yang biasa digunakan adalah ikan Bawong.

124
sedangkan tekanan darah orang normal adalah 120/80. Namun hal
yang lebih parah lagi ketika tekanan darah ibu JZ tidak kunjung turun
selama hampir satu bulan. Keluarga ibu JZ terlebih dahulu menempuh
pengobatan medis. Ibu JZ sudah dibawa berobat ke Muara Dua hingga
ke Palembang. “Hampir sebuan kami di Palembang, sudah di-scan
juga” kata Ayuk J. Hingga sekitar setahun lalu15, pada bulan
Ramadhan, anak-anak ibu JZ hendak membangunkan beliau untuk
sahur. Ketika bangun, tiba-tiba ibu JZ tidak bisa berbicara dan tangan
kiri serta kaki kanannya sulit untuk digerakkan. Kelumpuhan ibu JZ
tidak didahului oleh jatuh, yang biasa menyebabkan kejadian stroke
pada penderita darah tinggi. Hingga saat ini, Ibu JZ hanya bisa duduk
di kursi roda. Ibu JZ masih mampu untuk menyalami tamu dan
berbicara sepatah dua patah kata ketika Peneliti datang, namun ibu JZ
sudah tidak mampu lagi untuk berjalan.
Terapi tradisional yang digunakan oleh Ibu JZ adalah urut.
Menurut Yuk J, Ibu JZ hanya cocok diurut oleh Mbay D dan salah satu
tukang urut yang berasal dari Kecamatan Kisam Ilir. “Cuma sama bibik
(panggilan Yuk J pada Mbay D) sama uwong (orang) dari Kisam itulah
dia cocok. Lebih lemak (enak pijitannya) katanya” kata Yuk J. Menurut
Yuk J, badan ibu JZ terasa lebih ringan dan segar serta tidurnya pun
lebih lemak jika sudah diurut oleh Mbay D atau tukang urut dari
Kecamatan Kisam. Proses urut yang diberikan oleh Mbay D dilakukan
dengan cara Ibu JZ disuruh berbaring telungkup di atas kasur tipis,
kemudian Mbay D mengurut Ibu JZ dimulai dari bagian punggungnya
dengan menggunakan minyak kelapa yang dibuat sendiri oleh Yuk J.
“Kalau stroke itu tegang-tegang uratnya. Ha… disini (sambil mencubit besar-
besar di pinggiran tulang belakang ibu JZ). Kalau stroke itu di sininya (pantat)
dan sini kakinya (bagian belakang lutut) yang perlu di urut.”Mbay D.

15
Peneliti mengunjungi ibu JZ pada Mei 2015

125
Menurut Mbay D, bagian tersebut adalah bagian yang paling
penting untuk di urut. Selain itu ibu JZ terlihat kesakitan ketika Mbay
D mengurut bagian tersebut. Mbay D juga terlihat melemaskan
beberapa bagian urat lainnya, seperti tangan dan kaki.

3.2 Sistem Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan
masyarakat. Ketersediaan dan akses pelayanan kesehatan akan
mempengaruhi pola pencarian pengobatan yang dilakukan oleh
masyarakat. Banyak hal yang mempengaruhi pola pencarian
pengobatan oleh suatu masyarakat. Menurut Wilkinson16 beberapa
hal yang akan mempengaruhi pola health seeking behavior antara lain
1) akses terhadap sarana kesehatan tersebut baik dari segi
pengetahuan maupun kemampuan mencapai sarana dan prasarana
tersebut, 2) utilisasi pelayanan kesehatan tersebut, 3) ketertarikan
pada suatu pelayanan kesehatan, 4) persepsi masyarakat terhadap
kualitas pelayanan kesehatan, 5) kepercayaan masyarakat.

3.2.1. Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Formal


Puskesmas Buay Runjung memiliki 33 tenaga kesehatan yang
terdiri dari 2 orang dokter umum, 2 orang sarjana kesehatan
masyarakat, 4 orang perawat, 22 orang tenaga bidan, serta 3 orang
lulusan SMA.

16
Wilkinson, 2001.

126
Tabel 3.5 Jumlah pegawai di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014

Status Jumlah
CPNS 2
PNS 14
PTT 11
ST 6
Sumber : Profil Puskesmas Buay Runjung tahun 2014,

Puskesmas Buay Runjung melakukan kegiatan pelayanan


kesehatan dalam gedung seperti pengobatan, pemeriksaan
kehamilan, dan imunisasi. Puskesmas Buay Runjung merupakan
puskesmas rawat inap, namun fasilitas rawat inap di puskesmas
tersebut masih belum memadai. Berdasarkan penjelasan kepala dinas
kesehatan Kabupaten OKU Selatan, seluruh Unit Pelaksana Teknis
Daerah (UPTD) Puskesmas di Kabupaten OKU Selatan memang sudah
memiliki payung hukum untuk melakukan pelayanan kesehatan rawat
inap. Hal ini ditujukan agar masyarakat dapat memperoleh pelayaan
kesehatan yang dekat dan memadai. Namun sebagian besar UPTD
puskesmas belum memiliki sarana rawat inap yang layak.

127
Gambar 3.15 Kondisi UPTD Puskesmas rawat inap Buay Runjung
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

UPTD Puskesmas Buay Runjung sudah memiliki status rawat


inap namun Puskesmas Buay Runjung belum memiliki fasilitas
Pelayanan Neonatal dan Obstetri Dasar (PONED). Padahal dengan
adanya fasilitas PONED di puskesmas, rujukan komplikasi dapat
ditangani dengan segera di puskesmas. Hal ini perlu mendapat
perhatian dari Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan. Melihat jarak
antara kecamatan dan Muara Dua cukup jauh dengan kondisi jalan
yang buruk maka pelayanan PONED pada Puskesmas Buay Runjung
perlu difasilitasi.
Puskesmas Buay Runjung juga melakukan kegiatan secara aktif
dengan mendatangi masyarakat secara langsung. Kegiatan yang
dilakukan antara lain adalah pemantauan pertolongan persalinan bagi
pasien yang tidak mampu ke puskesmas dan pertolongan persalinan
ke rumah untuk ibu bersalin yang berada di talang.
Potensi besar yang dimiliki oleh fasilitas kesehatan di Provinsi
Sumatera Selatan adalah adanya Jaminan Kesehatan Semesta yang

128
menjadi program Gubernur Sumatera Selatan. Jaminan kesehatan ini
memiliki administrasi sederhana yaitu dapat diperoleh hanya dengan
menyerahkan fotokopi KTP atau kartu keluarga kepada pihak
puskesmas untuk memperoleh pelayanan kesehatan gratis.
Admnistrasi yang tidak sulit ini sangat menguntungkan masyarakat
sehingga masyarakat tidak perlu takut jika akan berobat ke pelayanan
kesehatan.
Untuk BPJS sendiri masih belum banyak diketahui oleh
masyarakat. Selain itu sistem pendaftaran secara online dan
pembayaran secara online menyulitkan masyarakat. Salah satu yang
menjadi tantangan dalam program BPJS adalah akses msyarakat ke
Muara Dua untuk mendaftar BPJS serta kurangnya informasi yang
dimiliki masyarakat untuk ikut serta dalam program ini.
Pengobatan sendiri (self medication) juga dilakukan oleh
masyarakat. Pengobatan sendiri menjadi salah satu alternatif jika rasa
sakit yang dirasakan masih dapat dibawa bekerja. Masyarakat dapat
membeli obat di kalangan atau di warung kecil sekitar desa.
Masyarakat biasanya juga dapat menitipkan obat dari Muara Dua
kepada supir bus kecil yang lewat di desa tersebut.

“Kalau sakit perut paling maag, tifus udah makanya saya nggak maulah kalau
sakit perut (ke bidan) mending beli sendiri obatnya, kalau beli sendiri kan
murah. Kita ke bidan masa dia nanya dulu sakit apa.” Pak MT, Ketua
Kelompok Tani.

Di Desa Padang Bindu disediakan Polindes untuk membantu


pelayanan puskesmas. Namun Polindes hanya buka pada saat
Posyandu, yang seharusnya buka setiap hari. Menurut Kepala Bidang
Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan, bidan
desa seharusnya berada di Polindes selama 24 jam. Namun, jika tidak
bisa, setidaknya bidan desa berada di Polindes pada saat jam kerja.
Hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada

129
masyarakat. Ketersediaan Polindes serta beberapa bidan termasuk
bidan desa di Desa Padang Bindu merupakan sebuah potensi di
masyarakat desa untuk dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang
memadai.

Gambar 3.16 Polindes Desa Padang Bindu yang hanya digunakan untuk Posyandu
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Kalangan dan Pelayanan Kesehatan


Desa Padang Bindu Kec.Buay Runjung memiliki keunikan
tersendiri. Pada hari-hari biasa kita akan melihat desa ini cukup sepi
pada siang hari. Hanya ada beberapa anak sekolah, pemuda yang
sedang merapikan jemuran kopinya dan beberapa anjing penjaga
rumah yang sedang berjemur di jalan raya. Bus dan mobil yang lewat
hanya beberapa saja. Kita dapat merasakan denyut aktifitas di desa ini
pada pagi dan sore hari. Pagi hari para muli (gadis) dan ibu-ibu akan
keluar rumah satu persatu. Pada pukul 5 pagi hari sungai, atau biasa
disebut siring,akan disibukkan oleh ibu-ibu yang mencuci dan mandi.
Beberapa diantaranya menjauh dari kelompok untuk missing (BAB).
Sepulang dari siring dan selesai menyiapkan bekal, perempuan-

130
perempuan itu akan keluar dengan sab atau keranjang bulat bertali
satu yang ditahan dengan menggunakan kepala. Beberapa masyarakat
yang memiliki kebun yang dekat dengan desa akan menggunakan
sandal jepit biasa saat pergi ke kebun. Namun masyarakat yang
memiliki kebun yang cukup jauh dari desa akan menggunakan sepatu
karet untuk berjalan kaki ke kebunnya. Sepatu karet lengkap dengan
kaus kakinya dapat diperoleh di kalangan. Pada saat pagi hari jalan-
jalan desa akan ramai oleh orang-orang yang pergi ke kebun. Hal ini
terulang lagi di saat sore hari. Pukul 3 atau 4 sore jalan-jalan desa akan
kembali diramaikan oleh sapa riang mereka setelah seharian bekerja
di kebun. Mereka berjalan pulang dari kebun ke rumah dengan wajah
kelelahan. Gelapnya malam di Desa Padang Bindu akan melelapkan
mereka untuk melenyapkan kelelahan hari itu.
Aktivitas rutin sehari-hari ini akan berbeda pada hari kalangan.
Hari kalangan atau hari pasar di Desa Padang Bindu jatuh pada hari
Kamis. Jika kita ingin tahu alasan mengapa kalangan di desa ini pada
hari Kamis, masyarakat akan menjawabnya dengan sederhana.
“Karena hari lain sudah diambil oleh desa lain” begitu kata seorang
Ajong (panggilan seorang perempuan kepada seorang kakek). Pada
hari kalangan hampir semua warga ada dirumah. Para pria yang
biasanya menginap di sapo untuk menjaga kebun akan pulang ke
rumah. Keluarga-keluarga kecil yang tinggal di sapo atau talangan–
talangan akan datang ke Desa Padang Bindu atau menginap di rumah
saudara mereka di desa.
Hari kalangan merupakan hari libur di Desa Padang Bindu,
meskipun itu merupakan hari Kamis. Anak-anak sekolah tetap datang
ke kalangan pada saat jam istirahat. Sedangkan pada hari Minggu
masyarakat akan bekerja seperti biasanya. Pada hari kalangan
masyarakat pergi ke kalangan dan kerap meluangkan waktu untuk
bertegur sapa. Mereka juga mempersiapkan kebutuhan sehari-hari
untuk seminggu kedepan hingga hari kalangan berikutnya.

131
Petugas kesehatan di Kecamatan Buay Runjung tidak akan
menyia-siakan kesempatan pada hari kalangan ini. Bidan biasanya
membuka praktik di masing-masing desa pada hari kalangan atau
melaksanakan pelayanan posyandu. Ditengah tawar menawar penjual
dan pembeli, di tengah tegur sapa masyarakat Padang Bindu dan
Padang Sari, Bidan Desa Padang Bindu Ibu YN bergegas menuju
rumahnya membawa belanjaan sambil sesekali menjawab pertanyaan
ibu-ibu lainnya yang menanyakan pelaksanaan posyandu. Bidan YN
akan membuka praktik di dekat kalangan pada hari Kamis.
Ada 2 orang bidan yang membuka praktik pada saat kalangan
berlangsung di Desa Padang Bindu, yaitu Bidan UM dan Bidan YN.
Masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan kesehatan dapat
memilih tempat pengobatan dimana mereka merasa cocok dengan
pelayanan kesehatan yang diberikan bidan tersebut. Pengobatan yang
dilakukan pun bervarisi. Ada masyarakat yang ingin memeriksakan
tekanan darah, mempunyai keluhan badan lemah pusing, atau
sekedar suntik KB, bahkan tindakan operasi kecil seperti pengobatan
bisul pada balita. Bidan membawa obat-obatan dan perlengkapan
masing-masing. Bidan membuka praktiknya di bagian bawah rumah
(lantai dasar rumah masyarakat) yang berada dekat dengan kalangan.
Tempat praktik pun seadanya, hanya ada meja untuk tempat obat-
obatan, dipan dengan alas beberapa lembar selimut serta kursi
tempat tunggu.
Posyandu juga dilaksanakan pada hari kalangan dengan alasan
masyarakat lebih banyak berada dirumah pada saat kalangan, begitu
ungkapan Bidan YN. Posyandu dilakukan di Polindes Padang Bindu
yang terletak dekat dengan kalangan, sehingga ibu-ibu yang memiliki
balita dapat singgah sepulang dari kalangan. Posyandu sengaja
dilaksanakan sekitar pukul 12 siang untuk menunggu setelah kalangan
selesai.

132
Gambar 3.17 Praktik Bidan UM pada hari kalangan
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Jika pada hari kalangan minggu tersebut tidak bersamaan


dengan jadwal pelaksanaan posyandu, ibu-ibu di kalangan sering
sekali menanyakan kapan jadwal posyandu dan siapa yang mengurus
program pemberian makanan tambahan (PMT). Ibu-ibu yang memiliki
balita, atau mbay yang memiliki cucu balita dapat bertanya pada
Bidan YN (Bidan Desa Padang Bindu) atau Bidan DS (Bidan Desa
Padang Sari) yang memegang tanggung jawab Posyandu. Desa Padang
Sari dan Desa Padang Bindu memiliki jadwal posyandu yang sama.
Bidan UM juga membuka praktik di Desa Padang Bindu pada
hari kalangan. Lokasi praktik Bidan UM dan Bidan YN berdekatan.
Kedua lokasi tersebut dekat dengan kalangan. Sebagian besar
masyarakat Padang Bindu dan Padang Sari lebih banyak berobat ke
Bidan UM. Bidan UM merupakan salah satu bidan senior di desa
tersebut karena Bidan UM pernah tinggal di desa tersebut selama 8
tahun sebelum pindah ke desa tetangga. Oleh karena itu, masyarakat
yang sebelumnya pernah berobat ke Bidan UM dan merasa cocok

133
akan kembali mengunjungi Bidan UM untuk memperoleh pelayanan
kesehatan.

“Banyak yang cocok soalnya sama dia itu. Karena kalo ada yang sakit apa
mau suntik KB misalnya ya kalo dia (Bidan UM) nggak datang ditunda sama
orang. Nunggu dia datang. Kamis besok apa gitu. “ Ibu RTW

Setelah selesai praktek Bidan UM biasanya tidak langsung


pulang ke rumah. Masyarakat biasanya meminta kepada Bidan UM
untuk datang kerumahnya setelah kalangan selesai. Alasan mereka
mengundang Bidan UM datang ke rumah mungkin karena malu jika
diperiksa di tempat praktik Bidan UM atau karena merasa lebih
nyaman di rumah. Setelah kalangan selesai, sekitar pukul 12 siang
Bidan UM mulai menyusuri rumah-rumah warga yang memintanya
datang berkunjung. Rutinitas Bidan UM mengunjungi rumah-rumah
pasien ini biasanya berlangsung hingga malam hari. Seperti pada hari
Kamis kali itu17, Peneliti ikut melihat proses persalinan yang ditolong
oleh Bidan UM. Proses persalinan Yuk MR berlangsung cukup lama.
Hingga menjelang adzan Maghrib barulah Bidan UM bersiap untuk
pulang ke rumahnya.

3.2.2. Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan


Tradisional
Etnik Daya Desa Padang Bindu mengenal beberapa jenis
penyembuh tradisional dengan sebutan yang sama yaitu dukun.
Dukun tersebut dibedakan menjadi 2, dukun beranak dan dukun urut.
Meskipun di Desa Padang Bindu terdapat 3 orang bidan, namun
masyarakat tetap memilih ke dukun baik itu sakit ringan maupun sakit
berat seperti sulit punya anak. Kuantitas bidan di desa ternyata tidak

17
Kamis kedua bulan Mei 2015

134
terlalu mempengaruhi masyarakat terhadap pencarian pengobatan,
bahkan dikalangan keluarga bidan tersebut.
Hal ini terlihat ketika Dek AU terkena demam dan flu di suatu
18
sore . Dek AU adalah kerabat dekat salah satu bidan dimana Peneliti
tinggal. Ibu Dek AU membawa Dek AU ke dukun Mbay D untuk mencari
pengobatan meskipun ibu tersebut mempunyai kerabat tenaga
kesehatan. Sebenarnya masih ada Bidan YN yang rumahnya lebih
dekat dengan rumah Dek AU dibandingkan jarak rumah Dek AU
dengan rumah dukun Mbay D.
Sore itu hujan cukup deras mengguyur Desa Padang Bindu
disertai dengan angina yang cukup kencang. Dek AU mulai rewel.
Sebenarnya sejak malam sebelumnya Dek AU sudah rewel, menangis
sepanjang malam hingga membuat ibunya dan Mak Woh-nya tidak
bisa tidur. Kerewelan Dek AU berlanjut hingga selesai kalangan19.
Siang itu Dek AU meminta es, dan orang tuanya menuruti. Akhirnya
Mak-nya memutuskan membawa Dek AU ke Mbay D. Peneliti sempat
mengikuti ke rumah Mbay D. Di rumah Mbay D, Dek AU ditidurkan
dan diurut di perut, dada hingga punggung oleh Mbay D. Proses urut
tersebut tidak terlalu lama, hanya sekitar 5 menit. Setelah diurut,
Mbay D memberikan Dek AU sebungkus kecil air putih yang telah di-
jampi dan sebutir bawang putih. Air putih itu untuk diminum oleh Dek
AU dan bawang putih untuk dioleskan ke kepala Dek AU. Baru
keesokan harinya, ibu Dek AU berobat ke Bidan MP karena Bidan DS
(kerabat ibu Dek AU) tidak berada di rumah. Peneliti sempat terkejut
melihat ibu Dek AU yang masih sepupu dekat dengan Bidan DS
memilih pergi ke dukun Mbay D ketika Dek AU sakit.
Masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan tradisional
menurut kepercayaan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh mahluk
halus. Selain itu, keputusan berobat ke pengobat tradisional ini juga

18
Sekitar akhir April 2015
19
Hari Pasaran

135
didasari apabila telah melakukan pencarian pengobatan medis namun
penyakit tidak kunjung sembuh.

“Apalagi penyakitnya kan kita enggak tahu. Gak jelas kan penyaktnya, nggak
kejang-kejang kayak gitu kan istilahnya. Kalo dibawa ke dokter kan bisa
dikatakan percuma. Misalnya kemasukan setan, apa kena guna-guna itukan
masih makai sedekahan.” Pak ALDN

Selain itu beberapa penyakit seperti mual muntah, pasangan


yang sulit punya anak masih dapat diobati oleh pengobat tradisional.
Masyarakat akan mencoba pengobatan dengan dukun, jika dirasakan
penyakit yang dideritanya membaik maka pengobatan akan
dilanjutkan. Faktor kepercayaan pasien sangat berperan dalam
pencarian pengobatan. Masyarakat akan merekomendasikan dukun
tersebut kepada orang lain apabila dirasakan gejala yang mirip dengan
yang pernah disembuhkan oleh dukun tersebut.
Permasalahan akses masih menjadi salah satu alasan mengapa
peran dukun cukup penting bagi Etnik Daya di Desa Padang Bindu.
Menurut Ajong CM, karena kondisi desa yang cukup jauh serta
pelayanan kesehatan yang masih terbatas sehingga peran dukun
cukup penting bagi masyarakat.

“Istilahnya kalau di kampong ini jauh dari jangkauan yang memadai itu kan.
Rumah sakit masih jauh, adapun juga puskesmas pembantu pelayanannya
juga masih terbatas. Jadi kalau tidak ada jasa-jasa orang pintar itu (dukun)
mungkin masih banyak kesulitan-kesulitan.” Ajong CM. Mbay D

Perempuan berusia sekitar 60 tahunan itu sedikit menatap


awas pada kedua tamu yang baru ditemuinya malam itu. Tujuan
Peneliti mengunjunginya adalah untuk mencari tahu sistem
pengobatan yang dilakukannya. Perempuan tua itu bernama D.
Sesuai dengan kebiasaan masyarakat Etnik Daya yang menyebut
seorang perempuan tua dengan sebutan Mbay (nenek), maka

136
perempuan itu dipanggil Mbay D. Mbay D bukan merupakan
keturunan asli salah satu puyang Etnik Daya. Mbay D merupakan Etnik
Jawa kelahiran Lampung yang besar di Desa Padang Bindu dan
menikah dengan masyarakat asli Daya. Mbay D sudah tinggal di desa
tersebut hampir selama hidupnya sehingga Mbay D sangat fasih
menggunakan bahasa Daya sebagai bahasa sehari-hari. Mbay D
menjadi kerabat dekat masyarakat Desa Padang Bindu karena suami
Mbay D merupakan keturunan salah satu puyang Desa Padang Bindu
Pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki Mbay D sangat
dikenal oleh masyarakat Desa Padang Bindu. Mbay Dtidak hanya
menolong persalinan tapi juga melakukan pengobatan lain untuk sakit
rematik, mual, muntah , batuk, anak yang rewel (njami), pasangan
yang belum memiliki anak dan masih banyak lagi. Mbay D akan
meminta keluarga pasien untuk memanggil bidan jika Mbay D merasa
tidak mampu dalam proses menolong persalinan

Mbay SR
Mbay SR juga merupakan dukun urut yang juga dapat
menolong persalinan selain Mbay D. Perempuan tua yang selalu
tersenyum dan menyelipkan beberapa tawanya disetiap percakapan
masih rajin ke kebun. Jika malam tiba, pasien yang akan diurut datang
kerumahnya, biasanya Mbay SR tidak mengurut pada saat sore hari.
Pada saat sore hari Mbay SR mengaku masih merasa capek.
Mbay SR biasanya melakukan urut pada beberapa penyakit
yang berhubungan dengan salah urat seperti plintut dan kaki yang
keseleo. Seperti yang dialami oleh Kak DR yang mengalami sakit di
kakinya pasca kecelakaan. Mbay SR juga dapat membantu persalinan.
Persalinan Bu ASH dibantu oleh Mbay SR. Mbay SR dijemput dan
diajakk ke kebun, ke sapo ibu ASH. Pengobatan yang biasa dilakukan
Mbay SR biasanya hanya menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal
seperti daun pegagan, lungsoġ serta urut. Mbay SR tidak memberikan

137
air putih dan bawang putih yang telah di jampi seperti pengobatan
yang biasa dilakukan Mbay D.
Mbay SR merupakan kerabat dekat masyarakat Desa Padang
Bindu. Mbay SR adalah dukun asli yang merupakan keturunan
langsung salah satu puyang di Desa Padang Bindu. Mbay SR memiliki
banyak pengetahuan mengenai tumbuh-tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai ramuan obat. Sebagai seorang dukun atau tokoh
penyembuh, Mbay SR memiliki ramuan lungsoġ, yang dipercaya
masyarakat dapat mengobati penyakit morian20.

Ajong IS
Lelaki tua itu banyak dikenal masyarakat karena
kemampuannya menyembuhkan beberapa penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dengan urut. Meskipun saat ini pendengaran Ajong IS
sangat buruk, namun kepercayaan masyarakat terhadap
kemampuannya tidak berkurang. Penyakit yang biasa disembuhkan
oleh Ajong IS seperti sakit pada mata yang berupa bintik putih pada
mata. Penyakit kulit sejenis herpes dan njami sampot. Biasanya Ajong
IS menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut dengan cara dijilat.
Selain Ajong IS, isterinya juga dapat mengobati beberapa jenis
penyakit.
Pengobatan tradisional yang digunakan oleh masyarakat tidak
hanya berupa urut, namun juga berupa sedekahan. Sedekahan yang
dilakukan adalah memasak satu atau dua ekor ayam, baik dibakar atau
disayur. Sedekahan ini biasanya atas perintah dukun yang
mengganggap perlu melaksanakan sedekah untuk menghilangakan
gangguan makhluk gaib yang mengganggu dan menyebabkan sakit.

“Disini kan ada yang ke tempatya dukun. Kan disuruh sama dukun itu
sedekah katanya. Itukan makai itu disini. Ibaratnya kamu ada anak kamu

20
Tentang morian akan dibahas pada bab selanjutnya.

138
sakit kan ke saya, ibaratnya saya dukun. Umpama ya saya suruhkan sedekah
ayam ini, ayam ini, ayam ini. Ya kebanyakanlah yang makai (sedekah) itu
kalau dia ke dukun itu.” Pak ALDN

3.3 Pola Pencarian Pengobatan


Pola pencarian pengobatan masayarakat Desa Padang Bindu
tentunya dipengaruhi oleh faktor tingkat pengetahuan masyarakat
tesebut. Tak jarang meskipun masyarakat tersebut memiliki akses
yang cukup baik dalam memperoleh pelayanan kesehatan namun
pengobatan tradisional masih menjadi pilihan utama dalam suatu
kelompok masyarakat.
Masyarakat Etnik Daya tidak bisa dikatakan baru dalam
mengenal pelayanan kesehatan modern. Bidan telah ada di Desa
Padang Bindu lebih dari sepuluh tahun. Namun saat ini masih banyak
masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional. Pengobatan
tradisional yang dilakukan oleh dukun biasanya berupa urut atau
ritual-ritual yang berkaitan dengan makhluk halus. Dukun dan tukang
urut di Desa Padang Bindu cenderung mengacu pada pengobat
tradisional. Meskipun sebutan dukun pada masyarakat tradisional
biasanya digambarkan dengan sosok yang memiliki ilmu gaib dan
dapat berhubungan dengan dunia gaib. Namun menurut
Koncaraningrat21, meskipun banyak menggunakan ilmu gaib namun
dukun sering kali memiliki pengetahuan yang luas mengenai ciri-ciri
tubuh manusia serta posisi sistem urat dan sebagainya.
Keputusan melakukan pencarian pengobatan tentunya
dipengaruhi oleh konsep sehat dan sakit yang ada di masyarakat.
Menurut masyarakat Desa Padang Bindu, meskipun kondisi tubuh
kurang baik tetapi masih mampu ke kebun, maka masih belum
dikatakan sakit. Kondisi sakit adalah ketika kegiatan ke kebun
masyarakat mulai terganggu. Jika rasa sakit masih ringan biasanya

21

139
masyarakat masih mengupayakan pengobatan sendiri dengan
membeli obat di warung sekitar desa atau di kalangan. Jika sudah
mulai berat, seperti tidak dapat berjalan lagi, masyarakat akan
mendatangi bidan untuk berobat. Seperti yang di ungkapkan oleh
Bidan MP.

“Masalahnya kalau disini kan orang ini sibuk ya kan, jadi kalo masih
cuma meriang-meriang biasa kalau belum parah dibiarin dulu. Gak papa
dibawa kerja kata mereka kan, biar sehat. Tapi kalau udah parah nggak bisa
jalan baru (dibawa ke bidan), udah tekapar keknya istilahnya itu kan.” Bidan
MP

Kondisi desa dan jenis penyakit menentukan pola pencarian


pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Padang Bindu.
Masyarakat yang tinggal di talang-talang biasanya akan mencari
pengobatan tradisional seperti Mbay D atau Mbay SR. Hal ini
disebabkan masyarakat yang tinggal di talang biasanya merupakan
masyarakat menengah kebawah yang belum mampu membangun
rumah di desa, sehingga jika mereka sakit mereka lebih memilih
berobat ke dukun. Peneliti sempat mengunjungi rumah Mbay D. Mbay
D baru saja kedatangan tamu yang berasal dari sapo di dekat kebun
milik Pak BR. Seorang ibu muda mengeluh sakit perut dan muntah-
muntah setiap makan atau minum, biasa disebut kelimpuh. Mbay D
mengajak si ibu masuk ke ruang tengah rumahnya dan mengurut
badan ibu tersebut di bagian belakang tubuhnya, tujuannya untuk
menata urat-uratnya terlebih dahulu. Menurut Mbay D, jika akan
mengurut perut harus dimulai dari bagian belakang tubuh pasien. Ibu
muda tersebut merasa lebih enak setelah pertama kali diurut oleh
Mbay D. Kondisi ibu tersebut mulai membaik setelah diurut oleh
Mbay D dan sudah dapat menelan air, pisang goreng dan bubur. Si Ibu
tersebut datang kembali untuk diurut lagi oleh Mbay D setelah

140
beberapa hari karena merasa keadaannya membaik setelah diurut
Mbay D.
Menurut Mbay D, ibu muda tersebut galak muntah dan sakit
perut disebabkan oleh tray panas. Proses pengurutan yang dilakukan
oleh Mbay D bertujuan supaya diperoleh pasirnya dapat pada saat
diurut. “Kalau abis kena hujan panas itu, pasirnya dapat keluar dia.
Pasirnya tu pasir hitam dari badan tu lah” ujar Mbay D sambil
menunjukkan kotoran berwarna hitam yang diperoleh dari tubuh ibu
muda tersebut. Menurut Peneliti kotoran itu adalah kotoran tubuh biasa.

“Nah kalau kantong nasinya itu naik ke sini kan mau muntah makan
ndak enak. Sering dia naik ke sini, kalau sudah bawak berat kan galak naik.
Diturunkan supaya ada nafsu makan.” Mbay D.

Kantong nasi yang ditunjuk oleh Mbay D berada tepat di antara


perut dan dada. Menurut Mbay D, jika pasien memiliki maag tidak
boleh diurut hingga ke bagian kantong nasi tersebut.
Jika masyarakat yang tinggal di sapo sakit atau membutuhkan
sesuatu yang harus diperoleh di desa, dapat meminta tolong pada
pemilik kebun tetangganya atau pada masyarakat yang lewat agar
membawakan kebutuhan pada keesokan harinya. Seperti yang
dilakukan oleh Pak SBR yang meminta tolong pada ibu MM untuk
membelikan obat di desa dan Ibu MM membawakannya pada
keesokan harinya.

141
BAB 4
Lungsoġ Ramuan Pereda Nyeri
4.1. Lungsoġ Ramuan Pereda Nyeri
4.1.1 Lungsoġ dan Pembagiannya
Akses pelayanan kesehatan sudah cukup baik di Desa Padang
Bindu, namun penggunaan obat tradisional masih banyak digunakan
oleh masyarakat. Pengobatan tradisional menjadi salah satu bagian
dari kebudayaan yang tidak terpisahkan dari suatu masyarakat,
termasuk masyarakat Etnik Daya di Desa Padang Bindu. Biasanya
pengetahuan mengenai pengobatan tradisional diperoleh secara
turun temurun. Masyarakat Desa Padang Bindu juga memperoleh
pengetahuan tentang pengobatan tradisional dari nenek moyangnya
secara turun temurun. Beberapa ramuan obat tradisional yang dipakai
oleh pengobat tradisional juga didapat dari leluhurnya yang juga
berprofesi sebagai pengobat tradisional.
Salah satu obat tradisional yang masih sering digunakan oleh
masyarakat Etnik Daya di Desa Padang Bindu adalah lungsoġ. Istilah
lungsoġ digunakan untuk menyebut dua jenis pengobatan tradisional
yang berbeda, yaitu nyeri sendi dan penyakit ibu dengan anak balita.
Masyarakat Desa Padang Bindu menambahkan jenis peyakitnya pada
akhir kata lungsoġ, yaitu lungsoġ rematik atau lungsoġ moġian. Tidak
diketahui bagaimana silsilah dari istilah lungsoġ tersebut bisa
dikaitkan dengan dua penyakit yang sangat berbeda. Peneliti belum
bisa menemukan keterkaitan antara lungsoġ dengan kedua penyakit
itu meskipun sudah melakukan wawancara dengan beberapa
pengobat tradisional dan sesepuh desa.
Pengobatan dengan lungsoġ menggunakan berbagai jenis
tumbuhan sebagai bahan dasar ramuan. Terdapat dua jenis ramuan
lungsoġ yang masing-masing ramuan berbeda komposisi
penyusunnya, yaitu lungsoġ rematik dan lungsoġ moġian. Lungsoġ

142
rematik lebih cenderung menggunakan daun-daunan yang masih
segar sedangkan lungsoġ moġian cenderung menggunakan tumbuhan
yang sudah dikeringkan dan telah lama disimpan.

4.1.2 Manfaat Lungsoġ


Menurut beberapa pengobat tradisional yang menggunakan
pengobatan dengan lungsoġ, kedua jenis lungsoġ ini merupakan
terapi penyembuhan. Efek pengobatan yang dihasilkan oleh dua
ramuan lungsoġ ini berbeda. Lungsoġ rematik memiliki manfaat
untuk meredakan nyeri sendi yang biasa disebut rematik. Uap panas
yang dihasilkan dari rebusan ramuan lungsoġ rematik akan
mengurangi rasa sakit dan bengkak pada bagian tubuh manusia yang
terkena uap tersebut. Sedangkan lungsoġ moġian bermanfaat untuk
mencegah dan mengobati penyakit moġian. Khusus untuk lungsoġ
moġian ini, Peneliti belum bisa menjelaskan secara lebih detil tentang
penyakit moġian dan efek lungsoġ moġian terhadap penyakit moġian.

4.1.3 Ramuan Lungsoġ


Perbedaan sasaran penyakit yang diobati tentunya menjadikan
lungsoġ yang digunakan juga berbeda. Meskipun memiliki sebutan
yang sama, namun lungsoġ rematik dan lungsoġ moġian mempunyai
bahan dasar, pengolahan dan metode pengobatan yang jauh berbeda.
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai terapi lungsoġ yang dikenal
di masyarakat Etnik Daya Desa Padang Bindu.

4.2. Lungsoġ Rematik


4.2.1 Definisi dan Ciri Reumatik
Ogan Komering Ulu Selatan atau biasa disebut OKUS
menempati urutan ke 439 dari 497 kabupaten dari hasil IPKM 2013 di
Indonesia. Meskipun baru saja melepaskan status wilayah tertinggal
pada tahun 201422, namun kabupaten tersebut masih berbenah dalah

22
http://okes.co.id/?p=341 diakses pada tanggal 21 Juni 2015 pukul 13.59

143
meningkatkan derajat kesehatannya. Salah satu permasalahan
kesehatan yang masih tinggi di OKU Selatan adalah penyakit sendi.
Jika dilihat berdasarkan hasil IPKM 2013, OKU Selatan memiliki angka
prevalensi nyeri sendi tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan dengan
prevalensi 14,55, dibandingkan dengan nilai rata-rata provinsi 8,37.
Angka yang dimiliki oleh OKU Selatan ini juga lebih tinggi dari rata-rata
angka nasional yaitu 11,88.
Dalam penilaian IPKM 2007, penyakit sendi sendiri
didefinisikan dengan penduduk umur 15 tahun ke atas yang
didiagnosa menderita penyakit sendi/rematik /encok oleh tenaga
kesehatan atau pernah mengalami gejala sakit sendi/rematik/ encok.
Meskipun tidak menyebabkan kematian, namun nyeri sendi dapat
minimbulkan penderitaan yang berat, cacat permanen serta kematian
prematur23. Sakit akibat nyeri sendi juga dapat menurunkan
produktivitas masyarakat sebab penderita nyeri sendi akan sulit
beraktivitas.
Hal ini menjadi menarik adalah ketika Peneliti melihat sendiri
kondisi di lapangan terutama di Desa Padang Bindu Kecamatan Buay
Runjung. Bidan UM adalah kepala puskesmas Buay Runjung dan
membuka praktek di Desa Padang Bindu pada hari kalangan. Menurut
Bidan UM rematik atau nyeri sendi merupakan salah satu penyakit
terbanyak di Desa Padang Bindu.

“Rematik lah istilahnya, asam urat. Rematik itu hampir


seluruh orang kayaknya ya. Iya.. tua muda yang datang kesini,
yang datang ke kita gitu kan itu hampir semua mengeluh
rematik. Belum ke ini itu tukang obat (tukang obat di
kalangan) itu,” Bidan UM adalah tenaga pengobatan
tradisional masyarakat Desa Padang Bindu, membenarkan
bahwa penyakit yang paling sering diderita oleh
masyarakat Desa Padang Bindu adalah penyakit nyeri sendi

23
Joewono Soeroso dan Yuliasih. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam FK Universitas Airlangga. 2007. Airlangga University Press.

144
yang biasa disebut rematik. ”Tapi yang banyak itu sakit ini
lah (nunjuk kaki) maka duduk itu sulit. Gak tau lah kenapa.
Rematik katanya bidan tu” ujar Mbay D.

Populasi Etnis Daya tidak terlalu banyak, dan sebagian besar


menempati wilayah Kecamatan Buay Runjung. Keterkaitan antara sistem
mata pencaharian dengan angka penderita nyeri sendi yang cukup tinggi
ini akan dibahas lebih dalam. Tak hanya itu, masyarakat Etik Daya
memiliki cara tersendiri untuk mengurangi risiko akibat penyakit
tersebut.
Menurut masyarakat Etnik Daya Desa Padang Bindu terdapat
perbedaan antara rematik dengan asam urat. Rematik mengacu pada
nyeri sendi yang biasa. Sementara asam urat merupakan tingkatan lebih
tinggi dari penyakit rematik itu sendiri. Nyeri sendi yang lebih ringan
biasa disebut dengan jaġe, yaitu suatu kondisi dimana bagian bawah
tubuh terasa dingin sementara bagian atas tubuh terasa panas24.

Asam
Urat
Rematik
•Rematik
•Nyeri Sendi yang lebih
yang belum parah.
Jaġe parah
•Rematik
ringan
Gam
bar 4.1 Tingkatan nyeri sendi menurut masyarakat Etnik Daya
Sumber: Visualisasi Peneliti, 2015

24
Jaġe mirip dengan kepercayaan humoral Amerika- Spanyol yang menyatakan
bahwa masuknya udara dingin yang disebut aire ke tubuh melalui kaki yang dingin
dan basah sehingga menyebabkan panas tubuh di tekan oleh udara dingin
tersebut ke bagian atas. (Foster, Anderson. Antropologi Kesehatan)

145
4.2.2 Causa Reumatik, Demi Bulir Kopi
Beberapa orang menyebut kopi sebagai bahasa universal.
Bahkan kopi tak lagi sekedar minuman dan rasa namun sudah menjadi
sebuah paham atau aliran serta pembagian kelompok, pecinta kopi
atau bukan, penikmat atau maniak. Bahkan beberapa oang tidak bisa
hidup tanpa kopi, atau mungkin bahkan mereka hidup dari kopi.
Jalma Daya, sebutan untuk orang Etnik Daya yang diberikan
oleh salah satu peneliti. Dalam bahasa Daya kata “Jalma” sendiri
berarti orang- orang. Istilah Jalma Daya berarti orang Daya25. Jalma
Daya di Desa Padang Bindu ini tidak hanya memiliki mata pencaharian
dari kopi, namun juga hidup dari kopi.
Bagaimana tidak, kehidupan mereka dari awal bangun tidur
hingga tidur lagi, tidak lepas dari kopi. Selain karena desa ini dikelilingi
oleh ladang kopi yang berhektar-hektar luasnya, obrolan sehari-hari
pun tidak lepas dari kopi. Siapa saja yang mencoba menanam kopi
dengan cara baru, siapa yang butuh bantuan di ladang kopinya, siapa
yang akan mengantar kopi pada tengkulak, berapa kisaran harga kopi
panen kali ini atau sekedar menanyakan adakah air panas untk
membuat kopi. Peneliti merasakan kopi dalam kehidupan mereka.
Untuk mulai masuk mengenal masyarakat sendiri, mulailah dengan
membicarakan kebun kopi, mereka akan menyukainya karena itu
hidup mereka.
Percaya atau tidak hampir seluruh Jalma Daya di desa ini
pecinta kopi. Tidak ada rasa bosan pada kamus mereka terhadap kopi
meskipun setiap hari setiap malam dipertemukan dengan biji kopi
atau cairan hitam pekat yang terasa nikmat tersebut. Bahkan ada
seloroh di kalangan Jalma Daya yang mengatakan “Lebih baik idak
mengan daripada idak nginum kopi”.
Bulir-bulir biji kopi inilah yang membawa kaki kaki para Jalma
Daya untuk menapaki jalan setapak yang berlumpur dan becek saat

25
Pada Penelitian ini lebih spesifik Jalma Daya yang berada di desa padang bindu
Kec. Buay Runjung

146
pagi masih berselimut kabut. Dengan keranjang yang biasa disebut
sab yang dikaitkan di kepalanya atau ditarik talinya hingga ke dada,
pemilik kaki tersebut memberi senyum pada sesama masyarakat yang
hendak pergi ke kebun kopi. Terlebih lagi musim panen kopi yang
terjadi sekitar bulan 4 hingga bulan 6 setiap tahunnya.
Mata pencaharian sebagai petani kopi26 oleh sebagian besar
masyarakat Desa Padang Bindu dilakukan turun temurun dan sudah
sejak lama. Hari pertama Peneliti menikmati pagi di Desa Padang
Bindu, semangat menyambut bulir-bulir kopi telah terasa. Ya, waktu
itu memang sedang musim panen kopi. Senyum sumringah ibu-ibu
yang berjalan kaki menuju kebun, sekumpulan pemuda yang
di‘kontrak’ untuk memanen padi sudah bersiap-siap. Setiap pagi, saat
matahari masih enggan bersinar dan sisa dingin malam tadi masih
menyisakan kabut dapat dikalahkan dengan langkah kaki mereka.
Bukan jalan beraspal yang akan dilalui kaki-kaki itu, sebagian besar
merupakan jalan setapak di antara semak-semak pada lahan yang
belum diolah. Jalan setapak itu lebih sering becek, beberapa kali
melalui tanjakan dan turunan licin sehingga menggunakan sepatu
karet yang dapat dibeli di kalangan menjadi salah satu pilihan tepat
bagi masyarakat. Tidak semua masyarakat menggunakan sepatu karet
tersebut.

26
Telah dibahas di bab Unsur Budaya pada poin mata pencaharian.

147
Gambar 4.2 Sepatu karet untuk ke kebun
Sumber: Dokumentsi Peneliti, 2015

Waktu yang terpakai untuk menempuh perjalanan menuju


kebun bervariasi sekitar 20 menit hingga 2 jam. Pada masa panen,
seperti saat penelitian dilakukan27, sebagian besar pria Daya akan
tinggal di sapo dan kebun karena jarak antara kebun dan rumah cukup
jauh. Isteri atau anak-anak memilih untuk pulang pergi antara kebun
dan rumah, seperti ibu MM yang setiap hari pulang pergi ke kebun
yang berjarak 1 jam 30 menit dengan berjalan kaki. Sementara Pak B
memilih tinggal di sapo menunggui kopi agar tidak hilang. Tinggal di
sapo juga dinilai masyarakat untuk menghemat energi28.
Aktivitas inilah yang dinilai masyarakat sebagi penyebab nyeri
sendi atau biasa di sebut sakik cukut (sakit kaki). Menurut masyarakat

27
Penelitian dilakukan pada pertengahan April hingga Mei 2015.
28
Menurut Koncaraningrat, kebanyakan suku bangsa yang hidup berladang
biasanya tinggal dan menetap di suatu desa. Biasanya masyarakat tersebut
membangun rumah kecil yang sederhana di tengah kebun sebagai tempat tinggal
sementara selama masa sibuk seperti masa panen jika kebun dirasa cukup jauh.
Hal ini membuat mereka tidak perlu jauh untuk kembali ke rumah di desa yang
memakan banyak waktu dan jarak.

148
Desa Padang Bindu sakik cukut, atau biasa disebut Bidan dengan
rematik, disebabkan oleh udara dingin. Perjalanan jauh yang dilakukan
pagi hari saat embun dan kabut masih terasa di jalan setapak
menyebabkan udara dingin masuk ke dalam kaki hingga ke tulang.
“penyebab rematik yang pertama saya kira pengaruh cuaca.
Sebab cuaca di sini kan dingin jadi orang mau kerja itu pagi-
pagi kan. Nah, mungkin dari embun segala macam yang dari
rumput-rumputan itu kan. Masuk pagi-pagi itu.” Ajong CM.

Gambar 4.3 . Jalanan yang biasa dilalui warga desa menuju kebun
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Hal ini dibenarkan oleh petugas kesehatan Ibu UM dan Bidan MP.
“Kalo rematik itu aku kira dingin mungkin ya, cuaca dingin. Terus rata
rata orang sini kan ke kebunnya jalan kaki. Jauh….satu jam, ada yang
dua jam” ujar Bidan UM.
Selain petani kopi, sebagian masyarakat juga memiliki mata
pencaharian sebagai petani padi29. Biasanya lokasi sawah tidak terlalu

29
Telah di bahas dalam bab Unsur kebudayaan

149
jauh dari desa. Namun bukan berarti bersawah tidak berisiko
menyebabkan nyeri sendi. Udara dingin yang berasal dari air dan
lumpur di sawah dapat masuk dan menguap hingga ke dalam kaki.
Meskipun biasanya masyarakat bersawah menggunakan sepatu boot
justru sepatu tersebut menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya
nyeri sendi. Hal ini karena udara dingin yang masuk ke dalam kaki
tidak dapat di keluarkan dengan baik sehingga mengendap di kaki
tersebut.
“Idak tau aku apakah makanan, apakah agak dingin. Tapi
kata kawan sering makai sepatu boot katanya. Jadi idak nian
aku makai sepatu boot lagi sekarang. Karena walaupun
makai kaus katanya dinginnya itu idak keluar, jadi ngendap
di dalam ini, masuklah katanya. Waktu nyawah-nyawah itu
sepatu boot segini itu (selutut) bisa kita merumput di dalam
sawah, jadi kering. Tapi katanya sebab itu ngadakan uapan
dari dalam sepatu itu. Air itu ndak keluar jadi masuk lagi,
kan sakit.” Ajong MJ

Penyakit sendi menurut definisi Riskesdas 201330 adalah


suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh.
Gejala klinik penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada
persendian yang disertai kekakuan, merah dan pembengkakan yang
bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan dan berlangsung
kronis. Gangguan tersebut terutama muncul pada saat pagi hari.
Tingginya angka penderita nyeri sendi di Kecamatan Buay Runjung,
khususnya Desa Padang Bindu diakui oleh tenaga kesehatan yang
bekerja di wilayah desa tersebut. Meskipun nyeri sendi tidak
menyebabkan kematian namun nyeri sendi dapat menurunkan
produktivitas masyarakat. Masyarakat Etnik Daya hanya
mengandalkan hasil kebun kopinya yang hanya di panen setahun
sekali. Diluar masa panen masyarakat biasanya bekerja di kebun milik

30
Acuan ini dipakai untuk menyelaraskan antara nilai IPKM dengan definisi yang
digunakan pada saat Riskesdas.

150
orang lain untuk merumput. Oleh karena itu, nyeri sendi yang
menyebabkan masyarakat tidak dapat ke kebun dapat menyebabkan
kebun menjadi tidak terurus dan menghasilkan hanya sedikit biji kopi.
Selain itu, pada masa paceklik, nyeri sendi mengakibatkan masyarakat
tidak dapat bekerja di kebun orang lain untuk mendapatkan uang
harian. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ajong MJ, “Apalagi
kalau orang miskin ini, idak makan kalau idak merayap dulu. Ndak bisa
cari nafkah itu”.
Nyeri sendi atau rematik menganggu aktifitas fisik penderita
sebab ketika nyeri sendi tersebut datang, penderita tidak dapat
melakukan aktifitas ringan seperti berjalan. Seperti yang dikemukakan
oleh Ajong MJ yang mengalami sakit rematik atau asam urat selama
setahun terakhir bahwa jika sakit tersebut kambuh, Ajong MJ tidak
dapat berjalan. “Kalau sakit itu idak bisa jalan, iya idak bisa jalan” jelas
Ajong MJ.
Masyarakat akan berusaha melakukan aktifitasnya seperti
biasa, baik aktifitas rumah tangga maupun aktifitas ke kebun, jika
mereka dalam keadaan sakit tetapi masih bisa beraktifitas. Namun
hasil yang diperoleh tidak akan maksimal. Menurut Ajong MJ,
meskipun sakit tetap harus menghirup udara segar diluar, tidur
sebaiknya dikurangi.
“Ya kerja kerja sekedar kerja. Kalau badan ndak sehat
masakan sama kerjanya sehat sama ndak sehat . Tapi mau
dibaringkan nambah sakit. Walaupun sakit sakit kalau masih
bisa kita jalan jalan kita hindarkan mau tidur. Bukan ndak
boleh tidur karna hawa itu harus nyerap walaupun ndak
sehat” Ajong MJ.

Nyeri sendi yang dirasakan oleh Ibu BDR beberapa bulan lalu
juga mengganggu aktifitasnya sebab Ibu BDR harus menggunakan
tongkat untuk berjalan. “Jalannya pakai tongkat. Idak (tidak) ada
bengkak, ada yang nyut-nyut itu di dalam kakinya ini.” ujar ibu BDR
menjelaskan sakitnya. Tidak hanya mengganggu aktifitas berkebun,
nyeri sendi juga mengganggu aktifitas ibadah yang dilakukan oleh

151
Ajong MJ. “Maunya lagi kalau mau sembahyang itu udah ada sekali
dua sembahyang duduk itu. Idak (tidak) bisa bergerak” Ajong MJ.
Tidak ada istilah khusus Etnik Daya untuk menyebut penyakit nyeri
sendi sejenis rematik. Istilah rematik dan asam urat dikenal
masyarakat melalui bidan yang masuk ke desa tersebut. Masyarakat
mengenal istilah rematik untuk nyeri sendi biasa dan asam urat untuk
nyeri sendi yang lebih parah.

“Ditanyakan, taruklah bidan-bidan ah. Katanya rematik. Ada


rematik katanya kalau sederhana rematik. Kalau sudah agak
kuat katanya asam urat. Aku tau asam urat dengan rematik
itulah.” Ajong MJ

4.2.3 Obat Medis, Pengobatan Praktis Sementara.


Pengobatan rematik sendiri dapat dilakukan dengan berbagai
cara, baik dengan menggunakan obat medis maupun obat tradisional.
Penggunaan obat medis dapat diperoleh di pelayanan kesehatan.
Biasanya Bidan akan memberikan obat injeksi kepada pasien.
Masyarakat biasanya berobat ke Bidan jika dirasa penyakit yang
dideritanya sudah parah.
“Kalau udah parah baru mereka ke Bidan. Kalau mereka
kayaknya sehari-hari kan masih bisa jalan, masih mereka ke
kebon kan. Tapi kalau udah berat kaki mau jalan baru mereka
berobat (ke bidan)” Bidan MP
Selain ke bidan, orang yang sakit nyeri sendi juga dapat
memperoleh obat berupa bayer di penjual obat pada saat kalangan.
Hal ini biasanya dikarenakan alasan kepraktisan. Pemilihan obat
berupa pil atau bayer bisa langsung diminum dan keesokan harinya
nyeri tersebut sudah hilang sehingga dapat kembali bekerja di kebun.
Namun masyarakat menyadari bahwa obat praktis tersebut hanya
mengobati secara sementara.
“Tukang obat (tukang obat di kalangan) itu, lebih laris dari kita
itu. Dia kan murah lima ribu untuk sepasang jenis obat bisa

152
sampai satu bulan kan orang makannya. Disini paling laris itu
obat rematik.” Bidan UM

Gambar 4.4. Penjual obat bebas di kalangan


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Obat rematik atau asam urat yang dapat dibeli di kalangan


dengan harga cukup murah yaitu lima belas ribu rupiah. Dengan harga
yang cukup murah tersebut, penjual obat akan memberikan 2 jenis
obat. Obat rematik atau asam urat dengan pil pereda rasa nyeri.
Berbagai merk akan ditawarkan oleh penjual dan selalu
dikombinasikan dengan pil pereda rasa nyeri.

Gambar 4.5 Obat rematik yang dibeli di kalangan


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

153
Masyarakat cenderung menganggap pengobatan medis
sebagai pengobatan praktis. Dibandingkan dengan obat tradisional,
obat medis lebih cenderung menimbulkan efek yang cepat. Hal ini
pula yang mengurangi penggunan obat-obat tradisional pada generasi
tahun 90-an di desa ini. Namun menurut Mbay SR menggunakan obat
medis hanya memberikan kesembuhan sementara namun rasa sakit
dapat muncul lagi keesokan harinya. Pengalaman serupa juga dialami
oleh Ajong MJ, salah satu tokoh masyarakat yang cukup disegani oleh
masyarakat Desa Padang Bindu31. Ajong MJ mengeluhkan nyeri pada
kakinya setahun belakangan. Nyeri tersebut dirasakan di sekitar tumit
kaki hingga telapak kakinya. Ajong MJ telah beberapa kali berobat ke
dokter. Diberi obat berupa pil dan salep yang sering dibelinya lagi
tanpa resep atau petunjuk dokter jika sakit kakinya mulai kambuh.
Ajong MJ mengeluhkan bahwa setiap kali sakit, obat yang harus
dimakannya sebanyak empat sampai lima butir. Namun penyakit di
kakinya tidak kunjung sembuh, selang dua minggu nyeri di kakinya
akan datang lagi. “Bukan idak (tidak) mempan (berkhasiat). Idak lama
mempannya itu. Dua minggu satu bulan timbul lagi.” Ajong MJ.
Berdasarkan observasi Peneliti mengenai obat yang sering
dikonsumsi oleh masyarakat Desa Padang Bindu, jenis obat yang biasa
disarankan oleh penjal obat di kalangan dan dipakai oleh masyarakat
adalah obat pereda nyeri (analgesik) dan beberapa jenis obat yag
termasuk dalam obat NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug). Obat
obatan tersebut memiliki efek sistemik dalam tubuh. Jika obat
tersebut dikonsumsi secara terus menerus akan menimbulkan efek
samping seperti iritasi lambung atau biasa disebut maag. Konsumsi
obat-obat tersebut tanpa aturan dosis yang jelas dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan komplikasi parah, misalnya perforasi
lambung.

31
Ajong MJ tidak tinggal di wilayah administratif Desa Padang Bindu, namun secara
kependudukan Ajong MJ masih merupakan salah satu masyarakat Desa Padang
Bindu.

154
Meskipun belum dapat dipastikan apakah terdapat keterkaitan
antara penyakit maag dan rematik di Desa Padang Bindu, namun
berdasarkan keterangan tenaga kesehatan dan masyarakat diketahui
bahwa penyakit maag juga menjadi salah satu penyakit yang paling
banyak diderita oleh masyarakat Desa Padang Bindu.

4.2.4 Terapi Lungsoġ Rematik


Masyarakat Desa Padang Bindu sudah cukup mengenal obat
medis modern, namun penggunaan obat tradisional untuk meredakan
nyeri sendi masih sering digunakan. Pengobatan yang biasa digunakan
adalah terapi Lungsoġ. Menurut Mbay D, sakit rematik atau asam urat
tidak boleh diurut sehingga penggunaan lungsoġ menjadi salah satu
alternatif pengobatan tradisional yang baik.
“Kalo di pijit itu kan ndak bagus dia. Paling-paling itu carikan
itu kata orang sini be-Lungsoġ itu. Kan merebus itu ada
ramuan direbus. Kalo udah mendidih diambil itu dengan
baskom ya ditarokkan sini maka dibeginikan (diuapkan).
Maka keluar kan airnya dari badan tu. Abis itu enak lagi.
Itulah ramuan itu. Daun serai itu yang enak baunya itu
seperti sabun itu serai lawok, daun jahe, daun lengkuas
itulah direbus. Air masih panas, uap masih banyak. Keluaran
itu dia itu dinginnya itu.” Mbay D
Istilah lungsoġ pada pengobatan tradisional mengacu pada
ramuan dari tumbuh-tumbuhan yang direbus, sedangkan proses
pemanfaatan lungsoġ untuk tujuan pengobatan secara keseluruhan
disebut be-lungsoġ. Jadi yang biasa disebut lungsoġ oleh masyarakat
Desa Padang Bindu adalah jenis ramuan tumbuh-tumbuhan dan
prosesnya disebut be-lungsoġ.
Prinsip dari penggunaan terapi lungsoġ adalah untuk
mengeluarkan udara dingin yang mengendap di dalam kaki, yang
sering disebut keringat buntu dan menyebabkan rematik, dengan
menggunakan uap panas yang mengandung ramuan-ramuan yang
dipercaya dapat menghangatkan tubuh. Hal ini dibenarkan oleh

155
bapak MTD “ itu (Lungsoġ) mengeluarkan keringat buntu. Karena
kepuasan dari sawah, hujan, kan dingin.” Metode pengobatan
lungsoġ adalah dengan cara menguapi bagian yang sakit dengan uap
air dari rebusan rempah-rempah sehingga bagian yang sakit tersebut
akan mengeluarkan keringat. Proses mengeluarkan keringat ini biasa
disebut betangus oleh masyarakat Daya.
Pemilihan pengobatan lungsoġ sebagai obat untuk meredakan
nyeri sendi cenderung dipakai oleh masyarakat Etnik Daya yang asli
keturunan Padang Bindu. Peneliti menemukan bahwa warga
pendatang yang berasal dari daerah lain jarang menggunakan lungsoġ
sebagai pereda nyeri sendi meskipun mereka mengetahui istilah
lungsoġ rematik32.
Rempah yang digunakan untuk lungsoġ berupa daun-daunan
yang dipercaya dapat menimbulkan rasa hangat sehingga uap
hangatnya dapat mengeluarkan udara dingin yang mengendap di kaki
yang dipercaya sebagai penyebab rematik. Dedaunan yang dapat
menghasilkan rasa hangat itu antara lain adalah bulung kunyet (daun
kunyit), bulung lada (daun lada), bulung seġai (daun serai) serta
ditambahkan sedikit bubuk kopi pada saat proses perebusan.
Terdapat beberapa variasi jenis daun yang digunakan oleh masing-
masing dukun/pengobat tradisional lungsoġ. Banyaknya daun-daun
tersebut juga berbeda-beda sesuai selera dan ketersediaan pada saat
proses be-lungsoġ. Penambahan bubuk kopi pada ramuan tersebut
bertujuan agar hangat yang dihasilkan dapat lebih cepat meresap ke
dalam kaki.
Proses pembuatan lungsoġ cukup sederhana. Bahan-bahan
yang diperlukan dikumpulkan dulu, seperti daun lada, daun serai,
daun kunyit, daun laos dan daun jahe merah. Semua daun-daun
tersebut dimasukkan dalam panci, ditambah air secukupnya dan
direbus hingga mendidih. Setelah mendidih, rebusan tersebut

32
Pengetahuan mengenai Lungsoġ untuk rematik ini menurut peneliti diperoleh
setelah pendatang berinteraksi lama dengan masyarakat Desa Padang Bindu.
Namun pendatang sering kali tidak digunakan sebagai terapi pada rematik.

156
ditambah dengan sekitar dua sendok kopi bubuk dan diaduk rata.
Rebusan dibiarkan mendidih lagi selama beberapa saat. Setelah itu
ramuan lungsoġ dapat diangkat dan didinginkan sebentar untuk
mengurangi tingkat kepanasan uap lungsoġ. Kemudian di atas panci
yang masih panas tersebut diberi alas bambu sebagai tempat pijakan
kaki. Kaki yang sakit diletakkan di atas bambu tersebut agar uap dari
ramuan lungsoġ dapat menyerap ke dalam kaki. Di sekeliling kaki dan
panci ditutupi dengan kain dengan tujuan agar uap panas ramuan
lungsoġ tidak menguap dengan sia-sia.

Gambar 4.6 Bahan-bahan Lungsoġ


a) Bulung lada, b) Bulung lawos, c) Bulung serai, d) Bulung kunyet
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Tidak semua pengobat tradisional lungsoġ menggunakan


dedaunan. Mbay ASH melakukan lungsoġ dengan menggunakan
bubuk kopi saja sebagai bahan ramuannya. Bubuk kopi dididihkan dan
diuapkan ke kaki, kemudian bubuk kopi tersebut dibalurkan ke kaki
sambil dipijat pada bagian yang sakit. Menurut Mbay ASH,

157
penggunaan bubuk kopi ini lebih mudah dan hangatnya lebih mudah
diserap.
Selain jenis dedaunan diatas, beberapa masyarakat juga
menggunakan lungsoġ dengan bahan dasar daun capa. Metode yang
digunakan tetap sama yaitu dengan cara menghangatkan kaki dengan
uap panas yang dihasilkan dari rebusan daun capa tersebut. Menurut
Ajong CM, daun capa dapat digunakan untuk lungsoġ baik dalam
kondisi daun segar maupun setelah dikeringkan
“Lungsoġ itu termasuklah untuk penghangat kan. Biasanya
banyak itu lungsoġ bilang kita kan. Ada namanya capa kan,
ada juga dari jahe, jahe merah itu. Jadi dia itu direbus, kalau
malam itu digosokkan masih hangat-hangat itu. Ada juga itu
kan kayak terapi. Ini kan rebusan itu masih hangat-hangat,
ditumpangkan ditutupi kaki ini. Nah itu bisa menghilangkan
rematik itu.” Ajong CM.

Gambar 4.7 Daun Capa


Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Secara umum rematik bagi masyarakat Etnik Daya di Sumatera


Selatan termasuk dalam medis Naturalistik33. Berdasarkan definisi

33
Foter/Anderson, Antropologi Kesehatan.

158
penyebab yang dikemukakan oleh masyarakat bahwa rematik yang
terjadi adalah karena terjadinya ketidakseimbangan panas dan dingin
pada individu tersebut. Pada konsep medis Naturalistik mengenai
ketidakseimbangan panas-dingin, biasanya pengobatan yang
dilakukan adalah dengan menyeimbangkan kembali kondisi
tersebut34. Salah satu cara menyeimbangkan kondisi panas-dingin
tersebut adalah dengan menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan
yang sifatnya melawan penyakit tersebut. Ramuan yang digunakan
pada lungsoġ rematik merupakan daun-daunan yang dipercaya dapat
menghangatkan dan mengeluarkan keringat sehingga dapat
mengurangi dingin yang berada di dalam kaki

Gambar 4.8. Mbay SR dan Mbay ASH belungsoġ sepulang dari kebun
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

4.2.5 Rematik dan Lungsoġ Rematik dalam Pandangan Medis


Rematik menurut pandangan medis adalah penyakit yang
mengakibatkan nyeri atau radang di otot, persendian atau jaringan
lain di tubuh. Rematik sebagian besar diakibatkan oleh kelainan

34
Foter/Anderson, Antropologi Kesehatan.

159
autoimun. Terdapat banyak variasi klasifikasi spektrum penyakit
rematik. Secara garis besar pembagian penyakit rematik berdasarkan
gejala klinis yang tampak adalah osteoartritis (OA), artritis rematoid
(RA), lupus dan spondiloartropati. Pembagian ini ditentukan
berdasarkan lokasi sendi yang sakit, bentuk kelainan anatomis yang
ditemukan, waktu timbulnya gejala dan lamnya keluhan itu timbul.
Tingkat keparahan masing-masing penyakit bergradasi dari yang
paling ringan, berupa keluhan linu di anggota gerak, sampai yang
paling berat yaitu kelumpuhan2.
Terapi rematik terbagi menjadi dua, yaitu terapi simptomatis
dan terapi kausatif. Terapi simptomatis rematik adalah terapi yang
bertujuan untuk mengurangi keluhan dan gejala rematik, biasanya
dengan pemberian obat-obatan anti nyeri dan non steroid anti
inflammation drugs (NSAID). Sedangkan terapi kausatif rematik
bertujuan untuk menghilangkan penyebab rematik, misalnya dengan
obat-obatan penekan sistem kekebalan tubuh dan bahkan tindakan
operasi2.
Penggunaan obat-obatan anti nyeri dan NSAID bukannya
tidak mempunyai efek samping. Efek samping akan timbul jika
konsumsi obat-obatan tersebut tidak sesuai dengan anjuran dokter.
Efek samping yang sering timbul akibat konsumsi yang salah dari obat
anti nyeri dan NSAID adalah iritasi lambung (biasa disebut maag) atau
gastritis, perforasi lambung, gagal ginjal dan banyak lagi2.
Gastritis merupakan salah satu dari sepuluh penyakit
terbanyak berdasarkan data dari Puskesmas Buay Runjung. Hal ini juga
diperkuat oleh uraian Bidan MP. Menurut Bidan MP penyakit gastritis
disebabkan oleh konsumsi kopi dan tidak sarapan pagi. Namun
menurut Peneliti salah satu yang menyebabkan tingginya kejadian
gastritis di Desa Padang Bindu salah satunya adalah tingginya angka
konsumsi obat-obatan pereda nyeri.
“Dulu itu banyak penyakit itu dak (gak) ada itu. Darah tinggi
itu seingat saya ndak ada, maag itu ndak ada ginjal itu. Sering

160
aku dak (gak) ingat, kalau idak (tidak) sekarang. Selama
sepuluh tahun terakhir ini lah” Ajong MJ.
Lungsoġ sebagai salah satu bentuk pengobatan tradisional
cenderung memiliki efek samping yang lebih sedikit. Lungsoġ yang
digunakan terdiri dari berbagai jenis daun-daunan yang sudah tidak
asing lagi. Jenis daun-daunan tersebut dipercaya oleh beberapa etnik
memiliki khasiat untuk menghangatkan dan meredakan rasa nyeri,
misalnya seperti tanaman serai.
Tanaman serai menghasilkan citronella oil yang mengandung
senyawa geraniol dan citronella. Minyak tersebut berfungsi
menghangatkan badan dan menghilangkan pegal linu pada otot.
Selain itu, serai memiliki khasiat untuk menghangatkan badan serta
mengeluarkan keringat. Efek farmakologis lainnya dari serai adalah
sebagai anti radang dan menghilangkan rasa sakit (analgesik).
Penggunaan air rebusan serai dapat meredakan pegal-pegal di tubuh.
Menggosok minyak serai atau sereh pada bagian tubuh yang sakit
juga diyakini dapat meredakan nyeri sendi35.
Tanaman kunyit secara umum mengandung saponin,
flavonoida, polifenol dan minyak atsiri pada semua bagian
tanamannya. Bagian yang paling sering dimanfaatkankan untuk
pengobatan tradisional adalah bagian rimpang kunyit. Untuk
pengobatan lungsoġ, bagian tanaman kunyit yang digunakan adalah
daun. Tetap saja daun kunyit mengandung bahan-bahan tersebut
tetapi dalam kadar yang berbeda dibandingkan bagian tanaman yang
lain.
Bagian tanaman jahe yang paling sering dimanfaatkan adalah
juga bagian rimpang. Dalam terapi lungsoġ, bagian tanaman jahe yang
digunakan adalah daunnya. Jahe telah dikenal oleh masyarakat
Indonesia untuk menghangatkan tubuh. Rimpang laos sendiri memiliki

35
Wjayakusuma, Hembing dkk. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid II.
Pustaka Kartini. Jakarta

161
kandungan saponin, flavonoida, polifenol dan minyak atsiri36. Daun
laos juga mengandung bahan tersebut meskipun kadarnya berbeda.
Demikian halnya dengan lada, tumbuhan lada yang biasanya
digunakan adalah bijinya namun secara umum kandungan lada sama
dengan dengan kandungan kunyit yaitu saponin dan flavonoida. Buah
lada dipercaya dapat digunakan sebagai obat rematik (digunakan
sebagai obat luar)37.
Beberapa referensi menyebutkan bahwa terapi uap dapat
meredakan berbagai nyeri sendi akibat artritis, rematik, kejang otot
dan sebagainya. Hal ini dikarenakan uap yang diterima oleh tubuh
dapat melebarkan otot dan meningkatkan sirkulasi darah sehingga
aliran oksigen dapat sampai ke bagian tubuh yang sakit. Diharapkan
dengan lancarnya peredaran dan oksigenasi ke bagian tubuh yang
sakit, maka akan mempercepat proses penyembuhan. Pada
penggunaan lungsoġ yang menggunakan air rebusan serai, manfaat
pengobatan ini dapat lebih optimal karena serai memiliki efek
farmakologis sebagai anti radang, analgetik serta melancarkan
sirkulasi meridian dan darah38.
Lungsoġ untuk rematik sendiri mirip dengan terapi Oukup pada
masyarakat Karo yang juga menggunakan terapi penguapan. Teknik
penguapan ini sendiri merupakan salah satu cara untuk memperoleh
minyak esensial dari tumbuhan dengan cara pemanasan39.
Jika dilihat dari tingkat aktivitas fisik masyarakat Desa Padang
Bindu yang cukup tinggi, terdapat kaitan antara nyeri sendi dengan
kelelahan yang dirasakan oleh kaki. Menurut Jaelani (2009)40, minyak

36
Inventaris Tanaman Obat Indonesia I, Dra. Sri Sugiati Syamsuhidayat, Dr. Jhonny
Ria Hutapea. Depkes RI 1991.
37
Sastroamidjojo, A Seno Dr,. 2001. Obat Asli Indonesia. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta.
38
Wjayakusuma, Hembing dkk. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid II.
Pustaka Kartini. Jakarta
39
Jaelani, Aroma Terapi, Pustaka Populer Obor Jakata 2009
40
Jaelani, Aroma Terapi, Pustaka Populer Obor Jakata 2009

162
esensial yang terkandung dalam rempah-rempah yang digunakan
dalam terapi lungsoġ akan memilii butiran molekul yang sangat kecil
sehingga dapat diserap oleh tubuh dan dialirkan menuju bagian tubuh
yang sakit. Selain itu minyak esensial yang keluar dari rempah-
rempah, seperti serai dan daun jahe, dapat meredakan kelelahan otot
akibat bekerja dan berjalan jauh.
Tidak ada penyebab pasti serta cara pencegahan yang pasti
pada kasus rematoid. Penderita harus menjaga kesehatannya serta
mengurangi beban kerja bagi sendi kakinya. Istirahat yang cukup dan
aktivitas yang tidak berlebihan akan membantu mengurangi gejala
nyeri sendi. Penanganan yang lebih tepat pada penderita rematik
adalah dengan mengurangi gejala yang dirasakan. Namun pemberian
obat-obatan yang terus menerus memiliki efek samping. Mengurangi
gejala nyeri sendi dengan ‘mengeluarkan penyebab penyakit’ itu
sendiri, yaitu udara dingin, telah banyak dilakukan berbagai terapis di
dunia41.
Penggunaan lungsoġ sebagai pereda nyeri memiliki risiko yang
rendah. Hal ini dikarenakan daun-daunan dalam ramuan lungsoġ
memiliki kandungan yang dapat meredakan rasa nyeri secara lokal
sehingga tidak mengganggu sistem tubuh lainnya.

4.3 Lungsoġ Moġian


4.3.1 Moġian, Penyakit misterius
Masyarakat Desa Padang Bindu telah mengenal pengobatan
medis modern, namun masih banyak masyarakat yang menggunakan
pengobatan tradisional seperti lungsoġ. Lungsoġ tidak hanya
digunakan sebagai pereda nyeri sendi. Beberapa masyarakat yang
tinggal di Desa Padang Bindu menjelaskan arti yang berbeda tentang
lungsoġ saat Peneliti menanyakan mengenai penggunaan lungsoġ.
Beberapa warga desa menjawab bahwa lungsoġ hanya digunakan
untuk pengobatan penyakit moġian dan tidak dapat digunakan

41
Ed. Simon Mills MA, MNIMH, Pengobatan Alternatif. Dian Rakyat. 1996

163
sebagai obat rematik. Namun masyarakat lainnnya mengatakan
bahwa lungsoġ hanya dapat mengobati jaġe tapi tidak dapat
mengobati rematik. Definisi baru ini menjadikan istilah lungsoġ
semakin menarik untuk dipelajari.
Pertama kali Peneliti mendengar istilah moġian saat
mengamati proses persalinan Yuk MR yang ditolong oleh Ibu UM.
Mbay dari Yuk MR mengingatkan kepada Ibu UM mengenai moġian
saat Ibu UM menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan Peneliti
melihat proses persalinan Yuk MR. Saat itu Ibu UM hanya mengatakan
bahwa moġian adalah penyakit yang sering diderita oleh ibu pasca
persalinan. Awalnya, Peneliti tidak melihat hubungan antara moġian
dengan lungsoġ. Hingga pada suatu hari saat Peneliti menanyakan
pengobatan lungsoġ sebagai terapi rematik pada seorang warga,
orang tersebut spontan menjawab bahwa lungsoġ adalah obat untuk
moġian, bukan untuk rematik. Ternyata hal ini dibenarkan oleh Mbay
SR selaku dukun asli Etnik Daya. Mbay SR mengatakan bahwa ada
jenis lungsoġ lain yang dapat digunakan untuk penyakit moġian.
Berdasarkan persamaan istilah untuk obat tersebut, Peneliti
berusaha mencari titik temu yang menjadikan hal tersebut memiliki
kesamaan istilah tersebut. Namun hampir tidak ada yang sama pada
jenis penyakit maupun metode penyembuhannya. Moġian adalah
jenis penyakit yang hanya bisa dialami oleh ibu pasca persalinan, baik
persalinan dengan kondisi bayi hidup maupun mati. Jika ibu yang
mengalami persalinan dan bayinya kemudian meninggal, maka
disebut dengan moġian tinggal.

“Maafnya ya misalnya bayinya ninggal, masih bisa kena kita


namaknya itu moġian ketinggalan. Kalo bayinya ninggal,
soalnya ditinggalin penyakit gitu maksudnya. Tandanya
samak kayak moġian kering. Cumak makanya dibilang
ketinggalan karna ditinggalin gitu.” Ibu RTW.

Pada umumnya moġian sendiri terbagi atas 2 jenis yaitu


moġian basah dan moġian kering. Ciri-ciri ibu dengan moġian basah

164
adalah fisik ibu menjadi semakin gemuk namun ibu merasa badannya
tidak enak. Ibu dengan moġian kering ditandai dengan tubuh ibu yang
semakin kurus serta rambut yang semakin rontok sekalipun ibu
merasa baik-baik saja serta tidak kehilangan nafsu makan.

“Moġian kering kalok bahasa kami ini pacak (bisa) meninggal.


Sakit ini badannya ya kecil, makannya kuat, tidurnya kuat.
Tapi badannya ini agak kurus kering. Sampai Meninggal.” Bu
BDR.

Karena ciri-ciri tersebut, moġian hanya dapat diketahui oleh


orang lain karena orang lain yang mengamati ibu paska melahirkan,
sementara ibu tersebut merasakan baik-baik saja. Moġian dapat
sewaktu-waktu menyerang ibu hingga usia anak ibu tersebut
mencapai 5 tahun atau hingga anak tersebut sudah dapat menyelam
(mandi di sungai sendiri).
Terdapat ciri lain penderita moġian yang diungkapkan oleh
Mbay D, yaitu adanya kelainan pada mata penderita moġian. Menurut
Mbay D, bagian putih mata penderita moġian berwarna kuning dan
dapat menyebabkan rabun. Penderita moġian juga akan merasakan
dingin, namun jika tubuhnya dipegang terasa panas.

“Sakit kepala, matanya itu kuning juga. Masih idak bersih


darah putihnya itu. Naik lagi ke kepala, kemata. Perasaan itu
lah ingin selalu kalo darah putihnya belum bersih. Jangan-
jangan kena rabun itu mata itu kurang penglihatan kalau
darah putihnya dak bersih. Perasaan itu lah yang dingin.
Takut ma mandi. Sungkan dia itu mau mandi tapi kalau
diinikan (dipegang) panas.” Mbay D

Masyarakat Desa Padang Bindu menilai moġian sebagai salah


satu penyakit yang berbahaya sebab jika tidak segera disembuhkan
moġian dapat menyebabkan seorang ibu meninggal. “Jangan-jangan
kena moġian kering tu bawak nafas ibu kayak itu, matek” Mbay D.

165
Permasalahan tidak berhenti sampai saat itu saja. Jika ibunya
menderita moġian, anak yang dilahirkan tidak terurus.

4.3.2 Penyebab Moġian


Untuk melakukan suatu pencegahan penyakit, penyebab
penyakit tersebut harus lebih dulu diketahui. Beberapa masyarakat
yang Peneliti jumpai tidak mengetahui secara pasti mengenai
penyebab moġian tersebut sehingga cukup sulit untuk
mengidentifikasi jenis penyakit moġian. Beberapa masyarakat
mengatakan bahwa moġian disebabkan oleh darah yang membeku
yang tidak dikeluarkan paska melahirkan. Darah membeku tersebut
disebabkan karena ibu paska melahirkan tidak menjalani terapi ‘urut’.
Ada pula masyarakat yang mengatakan bahwa moġian disebabkan
karena ibu paska melahirkan kurang istirahat dan langsung
mengerjakan hal-hal yang berat. Hal ini dibenarkan oleh beberapa
masyarakat yang mengatakan bahwa pasca melahirkan, kalau
badannya terasa kuat dapat langsung bekerja. Kebiasaan untuk ibu
paska melahirkan yang berkembang di masyarakat Etnik Daya adalah
meskipun ada pantangan bagi ibu paska melahirkan untuk keluar
rumah namun biasanya ibu paska persalinan akan beraktifitas seperti
biasa dan mengerjakan hal-hal berat. Hal ini dikarenakan si ibu telah
terbiasa beraktifitas serta merasa tubuhnya sehat dan baik-baik saja.
Jika si ibu tersebut merasa tubuhnya tidak sehat, maka dia diharuskan
beristirahat di rumah saja.
Menurut Mbay D, salah satu dukun bayi di Desa Padang Bindu
menyatakan bahwa penyebab moġian dikarenakan adanya darah
putih yang naik ke kepala ibu pasca melahirkan.

“Disebut moġian itu kan darah putihnya orang baru


melahirkan itu kuat cekak di kepala ini. Sering sering galak
sakit kepala itu. Itulah jagalah supaya idak kena itu.” Mbay D

166
Salah satu warga yang pernah mengalami moġian adalah ibu
RTW. Pengalaman moġian pernah dialami oleh ibu RTW sebanyak 2
kali yaitu pada pasca persalinan anak pertama dan anak ke dua.
Moġian pertama diketahuinya setelah anak pertamanya berusia
sekitar satu tahun. Ibu RTW tidak merasakan keluhan apapun. Pusing
yang dirasakannya sering dianggap hanya pusing biasa. Namun
akhirnya salah satu tetangga ibu RTW menanyakan kepada ibu RTW
apakah ia menderita moġian karena menurut tetangga tersebut Ibu
RTW menjadi semakin kering (kurus). Setelah itu barulah Ibu RTW
berinisiatif mencari pengobatan dengan berbagai cara. Menurut Ibu
RTW obat yang digunakan untuk moġian itu bermacam-macam.
Berdasarkan penuturan Ibu RTW, moġian tidak tentu obatnya. Pada
beberapa ibu yang terkena moġian, penggunaan lungsoġ milik orang
tertentu bisa jadi cocok sehingga moġian yang dideritanya sembuh,
jika penderita moġian tidak cocok dengan satu jenis Lungsog dapat
mencoba lungsoġ milik orang lain. Namun tidak semua ibu yang
menderita moġian bisa sembuh dengan pengobatan lungsoġ moġian.
Ibu RTW sendiri mengaku sembuh dari moġian setelah mencoba
berbagai jenis lungsoġ moġian dan terapi urut. Hingga akhirnya,
moġian yang dideritanya sembuh setelah memakan Kabing Ǵisi42.

“Tauknya kenak moġian kan kita ini nggak ngerasa soalnya


perasaan kita ini sehat ya. Makan enak, tidur enak, kan
perasaan sehat. Tapi orng lain yang lihat kita. Kau ini kok
kurus betul. Kalau kamu ini kena moġian. Gak tau, bilang ku.
Coba kamu ini, berobat dulu ke mbay itu. Periksa ke dukun.
Tauknya bener kenak moġian gitu. Langsung kita mintak
diobatin. Nantik dia bilang, kamu ini cobak kamu suruh lakik
kamu atau kakek kamu ambil dulu kabing gisi, atau ya

42
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Kabing Gisi adalah sejenis rebung
yang berasal dari pohon salak. Namun menurut penuturan ibu RTW Kabing Gisi
yang dimakannya mirip dengan pohon aren. “Gisi itu batangnya kayak batag aren
tapi kecil daunnya juga kayak daun aren buahnya kayak buah aren tapi kecil.”
Ujar ibu RTW

167
misalnya kalau cocok cobak aku pakai lungsoġ dulu.
Diperiksa perutnya (kayak diurut).” Jelas Ibu RTW

Meskipun saat ini jumlah kematian ibu paska persalinan yang


diakibatkan oleh moġian sedikit, namun masih terdapat beberapa
masyarakat yang menderita moġian. Hari-hari terakhir Peneliti berada
di lokasi Desa Padang Bindu, lungsoġ moġian milik salah satu
pengobat tradisional di Desa Padang Bindu dipinjam oleh salah satu
mbay karena akan digunakan untuk mengobati saudaranya yang
terkena moġian di desa tetangga.
Belum ditemukan padanan penyakit moġian dalam istilah
kedokteran medis. Gejala dan keluhan dari beberapa ibu yang
dikatakan menderita moġian sangat banyak dan tidak spesifik. Moġian
lebih mengarah ke sekumpulan gejala, atau yang biasa dikenal dengan
istilah sindroma, yang tidak spesifik yang dialami oleh ibu setelah
melahirkan. Dari sudut pandang medis, penampakan ibu paska
melahirkan dengan moġian mengarah ke keadaan kurang gizi atau
kakeksia yang mungkin disebabkan karena asupan makanan ibu yang
tidak adekuat. Asupan makanan ibu paska melahirkan dan menyusui
haruslah lebih banyak porsinya dan mengandung zat gizi yang cukup
untuk kebutuhan ibu dan bayi. Hal ini masih belum bisa diterangkan
secara detil oleh Peneliti karena keterbatasan waktu dan sarana.

4.3.3 Moġian dalam Pandangan Medis


Peneliti belum dapat menemukan padanan penyakit yang
tepat untuk moġian berdasarkan gejala yang diungkapkan oleh
masyarakat mengenai moġian,. Moġian tidak dapat dimasukkan
dalam kategori permasalahan kesehatan ibu karena beberapa
kejadian moġian terjadi saat masa persalinan telah berlalu hampir
satu tahun hingga lima tahun. Bagian dari penyakit moġian yang
termasuk dalam permasalahan kesehatan ibu hanya mencakup
permasalahan yang terjadi akibat proses kehamilan hingga
berakhirnya masa nifas. Meskipun demikian, menurut masyarakat

168
penyakit moġian termasuk dalam pernyakit ibu paska melahirkan
karena penyakit ini disebabkan oleh proses kehamilan meskipun
dampak yang terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.
Saat ini penyakit moġian tidak banyak ditemui. Masyarakat
mulai melakukan tindakan pencegahan supaya penyakit moġian tidak
sampai terjadi. Tindakan masyarakat untuk mencegah terjadinya
penyakit moġian dengan mandi menggunakan air rebusan lungsoġ
moġian. Namun perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai
penyakit moġian.

4.3.4 Lungsoġ Moġian yang Diturunkan


Komposisi penyusun lungsoġ moġian terdiri dari beberapa
bagian tumbuhan yang dikeringkan. Tumbuhan yang digunakan untuk
lungsoġ moġian cenderung sulit ditemukan sehingga biasanya lungsoġ
moġian diwariskan turun temurun dari orang tua, terutama ibu.
Keluarga yang tidak memiliki warisan lungsoġ moġian dapat
meminjam lungsoġ moġian pada keluarga yang memilikinya.
Mbay SR adalah dukun di Desa Padang Bindu memiliki ramuan
lungsoġ moġian. Ramuan lungsoġ moġian milik Mbay SR terdiri dari
batang tumbuh-tumbuhan yang sudah mongering. Lungsoġ moġian
milik Mbay SR terdiri dari kulak, yaitu jamur yang berdiameter
sejengkal tangan dan telah mengeras; batang jeruk kerokan, yaitu
batang dari pohon jeruk yang buahnya kecil serta batangnya memiliki
duri; kayu singgah di batang bambu, yaitu tumbuhan seperti benalu
yang memiliki batang seperti kayu dan menempel di batang bamboo;
kayu singgah di batang kopi serta kayu cambay (batang sirih). Kayu
singgah yang dimaksud disini merupakan tumbuhan yang menempel
seperti benalu namun memiliki batang kayu dan berdaun seperti daun
lada tetapi lebih kecil. Menurut Mbay SR, ramuan lungsoġ moġian ini
tidak dapat dimiliki semua orang karena bahan-bahannya yang sulit
diperoleh. Salah satu tumbuhan yang sulit diperoleh adalah kayu
singgah di batang bambu.

169
Lungsoġ moġian yang dimiliki oleh Ibu ASW berbeda dengan
yang dimiliki oleh Mbay SR. Ibu ASW bukan penduduk asli Desa
Padang Bindu. Ibu ASW berasal dari Desa Madura namun telah tinggal
di Desa Padang Bindu selama sekitar tiga belas tahun karena
mengikuti suaminya yang merupakan seorang Raden di Desa Padang
Bindu. Ibu ASW memiliki penjelasan yang sedikit berbeda mengenai
moġian. Menurut ibu ASW, moġian terdiri dari 44 jenis. Pada saat
Peneliti bertanya pada Ibu ASW, hanya beberapa jenis yang diingat
oleh ibu ASW antara lain moġian kering, moġian tawa dan moġian
gila. Karena jenisnya yang terdiri dari 44 macam, maka lungsoġ
moġian yang terdiri dari ‘bait seribu macam’, yang artinya yaitu
berbagai tumbuhan berduri.

Gambar 4.9 Bahan lungsoġ


a) Kulak ; b) Kayu singgah di batang kopi ; c) Batang jeruk kerokan;
d) Kayu singgah di batang bambu; d) Kayu cambay
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

170
Gambar 4.10 Lungsoġ moġian milik Ibu Asr
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

Selain Mbay SR dan Ibu ASW, Yuk Erpi juga memiliki lungsoġ
moġian. Berdasarkan penjelasan Yuk Erpi, lungsoġ moġian yang
dimilikinya didapatkan dari ibunya sejak Yuk Erpi menikah. Lungsoġ
moġian milik Yuk Erpi sering dipinjam oleh warga lainnya. Lungsoġ
moġian milik Yuk Erpi terdiri dari sebuah bungkusan kain putih dan
beberapa ranting kayu yang diikat diluarnya. Menurut penuturan
beberapa warga, lungsoġ moġian milik Yuk Erpi terdiri dari beberapa
jenis tulang yang telah dikeringkan. Secara kasat mata, jenis ranting
yang diikat pada bagian luar bungkusan kain mirip dengan ranting
kayu singgah pada lungsoġ moġian milik Mbay SR. Yuk Erpi sendiri
tidak mengetahui apa saja bahan-bahan lungsoġ moġian tersebut.

171
Gambar 4.11 Lungsoġ moġian milik Yuk EP
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015

Terdapat beberapa jenis lungsoġ moġian, namun tujuan


penggunaan lungsoġ moġian tersebut sama. Lungsoġ moġian
digunakan untuk mengobati penyakit moġian pada ibu paska
persalinan. Lungsoġ moġian tersebut akan direbus terlebih dahulu
pada sore hari, kemudian didinginkan semalam. Keesokan harinya air
rebusan lungsoġ moġian yang sudah dingin diminum sedikit
(beberapa teguk) oleh penderita moġian, kemudian selebihnya
digunakan untuk mandi.
Pengobatan moġian dengan menggunakan lungsoġ jenis ini
dilakukan hingga moġian dinilai sembuh. Pengobatan ini juga diiringi
dengan urut oleh dukun untuk menghancurkan darah yang membeku
di dalam perut yang menyebabkan moġian. Jika pengobatan dengan
menggunakan salah satu jenis lungsog moġian tidak kunjung
membaik, maka akan dicari lungsoġ moġian jenis lain atau
pengobatan lain.

172
Beberapa masyarakat percaya bahwa moġian tidak dapat
disembuhkan oleh bidan atau dokter. Jika ibu yang menderita moġian
mencoba mencari upaya pengobatan ke tenaga kesehatan, moġian
akan semakin parah. Menurut Ibu BDR, salah satu penyebab moġian
adalah darah beku dikarenakan obat-obatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan.
Secara umum perbedaan antara lungsoġ moġian dan lungsoġ
rematik dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Perbandingan antara Lungsoġ Moġian dan Lungsoġ Rematik

Pembeda Lungsoġ Rematik Lungsoġ Moġian


Penyebab Udara dingin dan lembab - Sebagian tidak
yang masuk ke dalam kaki diketahui penyebabnya.
- Beberapa menyebutkan
bahwa penyebabnya
darah paska persalinan
yang membeku di
dalam perut
Penderita Penderita yang mengeluh Ibu paska persalinan baik
rematik lahir hidup atau lahir
mati.
Tujuan Kuratif Preventif dan kuratif
pengobatan
Rempah yang Daun serai, daun laos, Kayu singgah di batang
digunakan daun lada, daun kunyit kopi, kayu singgah di
batang bambu, kayu
jeruk kerokan, kayu
cambay, sejenis jamur
kering, ‘bait seribu
macam dll.
Bahan rempah Daun-daunan dan bubuk Jamur dan ranting kayu
yang digunakan kopi yang sudah dikeringkan
Metode Rempah direbus Rempah direbus,
pengobatan kemudian selagi hangat kemudian didinginkan
diuapkan di kaki (di- semalam, keesokan
betangaskan) paginya diminum sedikit
dan dipakai untuk mandi.

173
BAB 5
POTENSI DAN TANTANGAN
5.1. Sakai
“Itu arisan, tapi idak setiap hari. Ada hari-harinya. Dua hari
dalam satu minggu”. Begitu penjelasan para ibu-ibu maupun mbay-
mbay mengenai sakai. Budaya sakai dipakai para perempuan Daya.
Budaya sakai pada Etnik Daya Desa Padang Bindu menjadi sebuah
potensi sekaligus tantangan. Budaya sakai adalah suatu kebiasaan
masyarakat melakukan arisan kerja dimana anggotanya harus datang
pagi-pagi sekali ke kebun milik anggota sakai lainnya untuk menolong
pekerjaannya. Kegiatan sakai ini dilakukan dua hari dalam satu
minggu sehingga pada hari lainnya mereka dapat mengerjakan lahan
miliknya sendiri. Sakai menggunakan sistem kerja yang dihitung
berdasarkan jam kerja setiap harinya. Letak kebun yang berbeda dan
berjauhan seringkali memaksa masyarakat untuk berjalan jauh ke
kebun sebelum pukul setengah delapan pagi.
Dalam peningkatan kesehatan, organisasi kemasyarakatan
seperti sakai sangat berpotensi untuk memberdayakan masyarakat.
Anggota kelompok kecil ini biasanya merupakan teman dekat
sehingga untuk memberikan intervensi dan pendidikan kesehatan
dapat lebih efektif jika bisa mendekati beberapa kelompok sakai.
Selain itu budaya arisan dapat diterapkan pada pemberdayaan
masyarakat oleh tenaga kesehatan seperti upaya perbaikan gizi balita
atau pembangunan sarana MCK bersama.
Anggota kelompok sakai ini adalah perempuan, terutama ibu-
ibu yang sudah menikah dan mempunyai anak. Perempuan-
perempuan anggota sakai adalah teman dekat sehingga hubungan
antar anggota sakai cukup dekat. Diharapkan dengan kedekatan antar
anggota sakai bisa menjadi modal untuk mempermudah kerjasama

174
dan masuknya pesan-pesan di bidang kesehatan dari tenaga
kesehatan.

5.2. Talang-talang
Kondisi geografis di Kecamatan Buay Runjung menjadi salah
satu tantangan tersendiri bagi UPTD Puskesmas Buay Runjung. Hal ini
berkaitan dengan mata pencaharian sebagian besar masyarakat yaitu
petani, baik petani kopi maupun petani lainnya. Luasnya lahan yang
digunakan untuk lahan pertanian menyebabkan jarak yang cukup jauh
antara lahan pertanian dengan rumah penduduk di desa. Selain itu,
beberapa masyarakat yang belum dapat membangun rumah di
lingkungan desa akan tinggal di sapo yang dekat dengan kebun milik
mereka. Pada masa panen sebagian warga juga menjaga kebunnya
dengan tinggal di sapo juga.
Talangan merupakan ‘desa-desa’ kecil di sekitar lahan
perkebunan milik masyarakat. Seringkali jarak ke talangan cukup jauh
dari desa dengan kondisi jalan yang tidak mulus. Hal ini menyulitkan
masyarakat yang tinggal di sapo untuk mengakses pelayanan
kesehatan baik polindes mupun puskesmas. Seluruh bidan yang
berada di Desa Padang Bindu bertempat tinggal di desa, sehingga
belum terdapat bidan yang bisa melakukan pelayanan pengobatan di
talangan. Hal ini tidak aneh, melihat masyarakat yang tinggal di
kebun atau talangan merupakan pendatang maupun keluarga-
keluarga muda yang belum memiliki kemampuan ekonomi yang baik.
Penyediaan pos kesehatan di dekat talangan akan menjadi
salah satu solusi yang baik. Hal ini mengingat pandangan masyarakat
sudah cukup terbuka pada pengobatan medis. Cukup banyak warga
desa yang tinggal di talangan, baik untuk sementara maupun
permanen. Sebaiknya ada seorang bidan yang tinggal di os kesehatan
di sekitar talangan di tempati oleh seorang bidan sehingga jika
masyarakat yang tinggal di talangan sedang sakit atau akan
melahirkan akan segera mendapat pertolongan. Meskipun proses
persalinan masih lebih sering dilakukan di rumah dan ditolong oleh

175
mbay, keberadaan pos kesehatan akan meningkatkan kecenderungan
persalinan dengan penolong tenaga kesehatan. Selain menyediakan
pos kesehatan di dekat talangan, membangun kemitraan tenaga
kesehatan tradisional, seperti dukun atau mbay, dalam hal menolong
persalinan merupakan salah satu peluang besar.

5.3. Rematik dan Lungsoġ


Mata pencarian utama penduduk adalah petani kopi. Kebun
kopi milik masyarakat hanya dapat dipanen satu tahun sekali.
Masyarakat sering mengalami masa paceklik pada bulan September
hingga Desember. Masyarakat petani perlu mengenal tentang
manajemen keuangan untuk mengantisipasi masa paceklik.
Mata pencarian sebagai petani kopi menjadi penyebab utama
nyeri sendi masyarakat Desa Padang Bindu. Hubungan antara mata
pencarian dengan penyakit rematik saling mempengaruhi. Jika bekerja
setiap hari dengan beban kaki yang cukup berat, maka risiko
kambuhnya nyeri sendi akan meningkat. Semakin sering terjadi nyeri
sendi, produktivitas kerja akan menurun dan kebun kopi tidak terurus
yang nantinya berakibat hasil panen akan menurun.
Rematik merupakan penyakit yang salah satu penyebabnya
bisa karena kegagalan sistem imun dalam mengidentifikasi self dan
non-self sehingga sistem imun berbalik menyerang tubuh sendiri.
Penelusuran riwayat penyakit dalam silsilah keluarga perlu dilakukan
untuk memastikan adanya kegagalan sistem imun. Penyebab lain
rematik antara lain adalah karena aktivitas fisik yang berlebihan
sehingga membebani sendi, cuaca dingin dan sebagainya.
Istilah lungsoġ untuk pengobatan nyeri sendi itu sendiri
merupakan istilah asli Etnik Daya dan telah lama diketahui oleh
masyarakat setempat. Hal ini berbeda dengan istilah rematik dan
asam urat yang baru dikenal oleh masyarakat sejak kedatangan bidan
di desa tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa pengobatan dengan
terapi lungsoġ telah dikenal oleh masyarakat sejak dulu untuk
mengobati penyakit sejenis nyeri sendi.

176
5.4 Kalangan dan Penjual Obat
Kalangan menjadi sarana pemenuhan kebutuhan di Desa
Padang Bindu. Tak hanya sebagai tempat berjual beli, kalangan juga
menjadi sarana hiburan masyarakat. Sudah sejak lama keberadaan
kalangan menjadi tempat untuk bertukar informasi dan berkumpul43.
Kalangan menjadi tempat pertemuan bagi warga yang tinggal di desa
dan yang tinggal di sapo atau talang-talang.
Keberadaan kalangan menjadi suatu potensi yang dapat
digunakan untuk menghadapi kondisi penyebaran penduduk yang
tidak merata. Beberapa bidan telah memanfaatkan kondisi ini untuk
membuka praktek dan melaksanakan posyandu. Selain itu, kalangan
dapat difungsikan lebih maksimal lagi untuk melakukan pemeriksaan
ibu hamil. Selain itu penyampaian informasi kesehatan akan efektif
dilakukan pada hari kalangan.
Manfaat lainnya yang bisa diambil adalah pelaksanaan
pertemuan dengan masyarakat dapat dilakukan pada hari kalangan.
Sistem kekerabatan yang dikenal dengan pembagian kampong adat
membagi Desa Padang Bindu menjadi beberapa kampong. Hal ini
dapat dimanfaatkan dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Kekerabatan yang kuat ini dipimpin oleh seorang kepala adat yang
disebut Raden. Pendekatan advokasi dapat dilakukan melalui para
raden dan kepala desa. Beberapa tokoh masyarakat serta raden pada
hari-hari biasa biasanya sibuk dan tinggal di sapo. Mereka hanya
kembali ke desa pada hari kalangan.
Program kemitraan dengan dukun juga dapat dibantu dengan
adanya kalangan. Dukun-dukun yang biasanya pergi ke kebun jika
tidak sedang menolong persalinan, akan berada di rumah pada hari
kalangan. Puskesmas dapat memanfaatkan hal ini untuk melakukan

43
Makmoen, Abdullah dk. 1986. Sistem Ekonomi Tradisional Daerah Sumater
Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta

177
pendekatan atau pembinaan pada dukun. Salah satu contohnya
adalah mengadakan pertemuan rutin antara dukun dan tenaga
kesehatan untuk melakukan program pembinaan terhadap dukun.
Keberadaan kalangan diawali karena keterbatasan sarana
pasar dalam arti sebenarnya pada tingkatan desa. Kebutuhan akan
tempat jual beli serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dekat
dengan masyarakat menyebabkan keberadaan kalangan sangat
dibutuhkan. Dengan adanya kalangan, kebutuhan sandang-pangan
serta kebutuhan berkebun dapat diperoleh. Tak hanya itu, kebutuhan
kesehatan juga dapat diperoleh di kalangan.
Keberadaan penjual obat-obatan di kalangan tidak dapat
dipungkiri pengaruhnya. Seperti penjual lainnya, penjual obat di
kalangan menyediakan obat-obat bebas yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Tak hanya menjual obat, jamu juga disediakan di lapak
penjual obat. Dengan adanya penjual obat di kalangan, masyarakat
dapat dengan mudah membeli obat-obatan di kalangan. Hal ini
menyebabkan masyarakat dapat mengkonsumsi obat tanpa batas
pemakaian wajar dan tentunya dapat menimbulkan efek samping.
Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah
penyakit rematik, sehingga penjual obat sudah menjual memberikan
obat rematik tanpa memberikan penjelasan dan dosis yang benar.
Obat-obatan pereda nyeri selalu diberikan pada pembeli apabila
meminta obat untuk rematik tanpa menghiraukan efek samping yang
bisa timbul akibat pemakaian yang tidak sesuai petunjuk tenaga
kesehatan. Pemberian obat tanpa pengawasan tenaga kesehatan akan
menimbulkan efek samping sehingga hal ini perlu ditanggulangi
dengan segera. Sulit untuk melarang para penjual tersebut menjual
obat-obatan bebas karena penjual obat sudah merupakan bagian dari
kalangan. Tindakan pengawasan terhadap penjual obat juga
cenderung sulit untuk dilakukan karena terdapat tiga orang penjual
obat di kalangan.

178
Keberadaan polindes menjadi salah satu solusi. Mengaktifkan
polindes sebagai salah satu pusat pelayanan kesehatan desa akan
mengurangi kemungkinan masyarakat untuk memperoleh obat
obatan tanpa pengawasan tenaga kesehatan. Selain itu jaminan
kesehatan sosial semesta yang ada di Sumatera Selatan akan
meningkatkan pemilihan polindes sebagai tempat memperoleh
pelayanan kesehatan, sebab dengan adanya jaminan kesehatan
tersebut masyarakat akan memperoleh pengobatan gratis.

179
Daftar Pustaka
Anderson, Foster. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit
Universitas. Indonesia..
Balitbangkes Kemenkes RI. 2014. Indeks Pembangunan Kesehatan RI
2013. Balitbangkes RI
BPS Kabupaten OKU Selatan. 2012. OKU Selatan Dalam Angka. OKU
Selatan
Dinas Kesehatan OKU Selatan. 2014. Profil Dinkes OKU Selatan tahun
2014. Sumatera Selatan
Dirjen Kebudayaan. 1990. Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat
Akibat Pertumbuhan Industry di Daerah Sumatera Selatan..
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya 1989/1990 Depdikbud
Dirjen Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional . 1997.
Perubahan Lingkungan di Daerah Transmigrasi di Sumatera
Selatan. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan
Masa Kini. Jakarta 1996-1997. Depdikbud
Ed. Simon Mills MA, MNIMH. 1996. Pengobatan Alternatif. Dian
Rakyat.
http://okes.co.id/?p=341 diakses pada tanggal 21 Juni 2015 pukul
13.59
Inventaris Tanaman Obat Indonesia I, Dra. Sri Sugiati Syamsuhidayat,
Dr. Jhonny Ria Hutapea. Depkes RI 1991.
Jaelani. 2009. Aroma Terapi. Pustaka Populer Obor Jakata
Joewono Soeroso dan Yuliasih. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga. 2007. Airlangga
University Press.
Kontjaraningrat, 2010. Sejarah Teori Antropologi I, Penerbit
Universitas Indosia (UI-Press): Jakarta

180
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek IDKD . 1981. Sistem
Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sumatera Selatan.
Depdikbud 1980/1981
Sastroamidjojo, A Seno Dr,. 2001. Obat Asli Indonesia. Penerbit Dian
Rakyat. Jakarta.
Spradley. James. P, 2006. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari The
Ethnographic Interview. Penerbit: Tiara Wacana: Yogyakarta
Wjayakusuma, Hembing dkk. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di
Indonesia Jilid II. Pustaka Kartini. Jakarta

181
Indeks

182
F
A
fasilitas kesehatan · 16, 22, 165

adat · 15, 16, 17, 23, 24, 25, 41, 43, 45,
69, 70, 73, 105, 106, 108, 109, 111,
G
112, 113, 126, 134
Adok · 106, 108, 109, 114
Ġadja Penanggungan · 40, 43
arisan · 100, 254
gelar · 106, 107, 108
ASI · 141, 143

B H
hipertensi · 19, 157, 159
Bahasa · 118
Balita · 141, 143, 145, 148, 150
bidan · 19, 83, 116, 127, 129, 130, 131,
132, 133, 135, 136, 137, 139, 140, 155,
K
162, 166, 169, 171, 172, 175, 178
kabing salak · 139
buang air besar · 66, 120, 124
kalangan · 50, 54, 55, 85, 93, 97, 98, 99,
Buay Runjung · 15, 23, 27, 35, 50, 129,
116, 125, 128, 150, 151, 166, 168, 169,
133, 135, 136, 153, 154, 155, 156, 157,
170, 171, 172, 178
158, 162, 163, 164, 165, 167, 169
Kalangan · 19, 54, 152, 167, 170
kehamilan · 69, 70, 130, 134, 163
C Kepercayaan · 66, 74, 76, 137
Kepuyangan
kepuhyangan · 35
Cik Raden · 42, 47, 48, 106
kopi · 17, 18, 19, 52, 53, 61, 80, 83, 84, 85,
cikungunya · 155, 156
86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96,
97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 111,
D 137, 158, 159
Kriyo · 46
kurang gizi · 149
dukun · 56, 95, 128, 129, 130, 131, 133,
135, 136, 137, 139, 145, 146, 157, 172,
173, 174, 175, 177, 179
L

E Lungsoġ · 19, 20, 118


lungsoġ moġian · 181, 182, 209, 210, 211,
212, 214, 215, 217, 218, 219, 245, 246,
Etnis Daya · 15, 23, 101
247, 248, 249, 250, 251, 252

183
perilaku · 15, 16, 17, 21, 24, 25, 116, 125,
M
130, 135
pernikahan · 17, 45, 55, 73, 103, 106, 108,
mandi · 20, 36, 50, 60, 66, 71, 73, 116,
109, 111, 112, 113, 114, 117, 127, 130,
120, 121, 122, 123, 124, 125, 145, 156,
152
167
perpipaan · 120, 125
Mangkubumi · 41, 42, 43
persalinan · 20, 127, 130, 131, 133, 134,
mata pencaharian · 17, 21, 83, 85
135, 136, 137, 138, 139, 141, 143, 165,
Merokok · 149, 150
171, 174, 175
minuman keras · 153
petulong · 73
mising · 120, 125
petunggu · 70, 72, 121, 144, 145, 146,
moġian · 121, 182, 205, 206, 207, 208,
148, 149
209, 210, 211, 212, 214, 215, 218, 241,
pondok · 18, 94, 97, 126
242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 250,
Puhyang
251, 252
Puyang · 35, 37, 40, 41, 43, 70
Muara Dua · 14, 22, 29, 30, 32, 34, 56,
pupuan · 49
160, 165, 166
Puskesmas · xii, 19, 23, 55, 56, 129, 133,
135, 136, 153, 154, 155, 156, 157, 158,
162, 163, 164, 165, 201, 238, 255, 258
N
njami · 70, 121, 143, 144, 146, 147, 148, R
174, 176
nyeri sendi · 19
Raden · 47, 48, 106, 107, 108, 113
Remathoid · 158
rematik · 19, 20, 157, 174
O Ribang · 116, 117
Riya Dendam · 35, 36, 37
obat anti rematik · 257
Ruwahan · 74, 75
Ogan Komering Ulu Selatan · xii, 14, 15,
21, 22, 24, 29, 32, 33, 34, 119
OKU Selatan · 14, 15, 22, 26, 29, 31, 32, S
33, 34, 49, 86, 117, 119, 127, 149, 153,
155, 158, 163, 165, 166
Sakai · 99, 100, 101, 102
sapo · 86, 93, 94, 95, 96, 98, 133, 134,
137, 155, 168, 175, 179, 180
P Sedekahan · 69, 70, 71, 73, 74, 177
sehat · 15, 16, 18, 21, 115, 116, 120, 133,
Pamsismas · 49
137, 141, 146, 156, 178
Patih Mapak · 37, 39, 40, 41
Semingkap · 43, 44, 53, 54, 58, 60, 120,
Penyakit · 19, 21, 70, 121, 153, 154, 156,
124
157, 158, 176
Stroke · 159
penyakit kulit · 156
suku · 15, 16, 17, 21, 23, 27, 31, 37, 43,
Penyakit menular · 21
55, 61, 118

184
Sunor
sunur · 35

T
talang · 95, 133, 134, 154, 155, 165, 179
tali pusar · 131, 132, 137
TB · 19, 154
tenaga kesehatan · 16, 22, 55, 130, 135,
138, 148, 155, 157, 162, 172
Tiu Taha · 44

U
uap · 19, 20
Upungan · 80, 81, 82

185
Glosarium

Ajong Sebutan Nenek, bila yang memanggil laki – laki.


Sebutan Kakek, bila yang memanggil perempuan.
Abang Merah
Anak kampuk Anak bayi
At pandai Tidak tahu
Ali bangbang Anak ayam
Ayuk Kakak Perempuan
Bahan Rumah
Bangik Senang
Banguh Mulut
Basoh Basah
Baybay taha Ibu tua
Begawe Kerja
Beguġau Bercanda
Belajaġ Belajar
Besi Pisau
Bilah Setelah bambu di belah jadi dua
Bintuk Pilek
Bloor Senter
Buluh Bambu
Bungkang Perut
Buwok Rambut
Cambay Sirih
Cik ricik Hujan agak besar
Cing cing pay Bawa dulu
Cirik Ceret
Cukut Kaki
Culuk Tangan

186
Cuping Telinga
Di dipa Kemana
Di japai Sini dulu
Dipa Mana
Dugan Kelapa muda
Gadu Sudah
Gahru Alat untuk mengaduk nasi
Gak gak Bebek
Galak mising Mencret
Gegoġ Geluduk
Ġehang ġenang Bagus
Gelaġ Nama
Gelumpai Atap dari bambu
Gibor-gibor Makanan khas Orang Daya yang bahannya
dari Ikan patin dengan kuah tempoyak
Ġak Dahak
Gringsing Tempat untuk memasak nasi
Gua pi Untuk apa
Guay gapi Untuk apa
Gulai sisui Lauk ayam
Ġuruk Keruh
Ġuwah Dua
Halom Hitam
Hapoy Hampelot
Helau Bagus
Hanau Aren
Helau nipon mu Bagusnya gigimu
Hidong Tahi lalat
Hikam Kami
Hikam jak daya Kami dari daya
Hiyok Batuk
Hulu Kepala
Idak Tidak

187
Igung Hidung
Ijan Tangga
Ilir Hilir
Ipon Gigi
Iwa Ikan
Jahat Jelek
Jak Sudah
Jak dipa Darimana
Jalma Orang
Jalma daya Orang daya
Jalma lawangan Orang gila
Jeramban Jembatan
Jerangau Tumbuhan yang di bentuk sebagai gelang
Atau kalung yang di pakai oleh bayi dan
Anak – anak untuk melindungi dari
Gangguan roh halus
Jelajah Ayam Jantan masih kecil
Jerih Sedih
Jo ipa cagane Bagaimana caranya
Kampuk Bayi
Kantik Teman
Kantikku Temanku
Kanyap Tidur
Karaw Garpu
Kebayan Mempelai
Kedok Hujan deras
Kelabay Ayam betina
Kelom Gelap
Kilap Petir
Kok kudo uni Sudah berapa lama
Kudo uni Berapa lama
Kung Belum
Lagak lagak Ganteng2 atau cantik2

188
Lalak Pedas
Lalang Tertawa
Lambung Atas
Landai Parang
Lang baling Entok laki – laki
Langok Kering
Langui Mandi
Lani Apa
Lani gawoh Apa saja
Lani kabaġmu Apa kabarmu
Lijung Pergi
Limuli Ayam betina masih kecil
Mag Lidah
Maho Haus
Maring tegak Sakit parah
Mengan Makan
Menghili Mengalir
Meranai Bujang
Muli Gadis
Muli Kemġanjak Remaja Perempuan
Nasak Masak
Nasak nggulai Masak sayur
Ngajong Menikah
Ngapi Kenapa
Ngapi niku Kenapa kamu
Ngawil Memancing
Nginum Minum
Nginum pai Minum dulu
Ngisom Dingin
Ngiwi Kelapa
Ngraga Jari
Niku Kamu
Niku haġak Kamu mau

189
Niku halom Kamu hitam
Niku handak Kamu putih
Niku inguan Kamu ingusan
Niku kamak Kamu kotor
Niwang Nangis
Nyanglai kawah Menggoreng kopi
Nyarenyai Gerimis
Pagri Padi
Pan Panci
Pengerit Alat untuk mengatur kopi
Penyungkan Malas
Panas kena apoy Panas kena api
Pira Berapa
Punti Pisang
Qag ngobrol Pingin ngobrol
Sab Keranjang
Sabah Sawah
Sabungan Ayam jago
Sakik bungkang Sakit perut
Sanak Anak kecil yang berumur 1 tahun ke atas
Sanak renik Anak kecil
Sapa Siapa
Sapo Pondok
Say Satu
Serati Bebek kecil
Siring Sungai
Sisui Ayam
Sudu Sendok
Tanggui Kuku
Teġai Hujan
Telu Tiga
Tiung Terong
Ulu Unggak/ hulu

190
Usung pay Bawa dulu
Wawa Terang
Way Air
Way yos Air putih

191
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur Alhamdulillah, Peneliti panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala berkah dan perlindungan-Nya sehingga Peneliti dapat
menyelesaikan riset etnografi kesehatan.
Kami menyadari tidak akan dapat berbuat banyak tanpa
bantuan, dukungan, dan masukan dari berbagai pihak mulai dari
proposal penelitian sampai dengan penyelesaian penyusunan naskah
buku ini. Untuk itu, kami sampaikan secara tulus ucapan terima kasih
dan penghargaan kepada yang terhormat :
1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI beserta jajarannya.
2. Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan masyarakat Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, beserta
jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada kami
untuk melaksanakan penelitian sampai penyusunan naskah
buku ini.
3. Penanggung jawab, Ketua Pelaksana, beserta Tim Teknis.
4. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan, beserta
jajarannya
5. Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Bapak
Arson Abadi selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Komering Ulu Selatan beserta jajarannya, Kepala Badan
Kesbangpol Komering Ulu Selatan yang telah mengizikan kami
untuk melakukan kegiatan penelitian di Kabupaten Komering
Ulu Selatan.
6. Kepala Puskesmas Ibu Ummu Manazilawati beserta staf
puskesmas yang telah banyak membantu kami selama
dilapangan.
7. Kepala Desa Padang Bindu Bapak Mustakim beserta seluruh
masyarakat Kampung Desa Padang Bindu yang terlibat dalam
penelitian ini.

192
8. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persattu yang
telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak
langsung selama penelitian ini dilaksanakan.
Kami senantiasa memanjatkan doa, semoga Allah SWT
berkenan membalas dengan pahala yang sebesar-besarnya. Akhirnya,
kami berharap semoga buku ini dapat menambah khasanah ilmu yang
bermanfaat. Amin.

Penulis

193
Komponen Strength Weakness Opputunity Threatening
Sakai Budaya arisan Kebiasaan ini
dapat diterapkan pada menyebabkan
pemberdayaan masyarakat rutinitas ke kebun
oleh tenaga kesehatan, menjadi lebih padat
seperti perbaikan gizi karena ada tanggug
balita atau pembangunan jawab sebagai
sarana MCK bersama anggota kelompok
untuk bekerja sejak
pagi hingga sore.
Mata Mata
pencaharian pencaharian utama
penduduk adalah
petani kopi. Kebun
kopi milik
masyarakat hanya
dapat dipanen satu
tahun sekali.
Masyarakat sering
mengalami masa

194
paceklik pada bulan
9 hingga bulan 12.
Perlu manajemen
keuangan untuk
mengantisipasi masa
paceklik.

Mata
pencaharian
menjadi penyebab
utama nyeri sendi di
Desa Padang Bindu.
Hal ini merupakan
hubungan yang
saling
mempengaruhi
antara mata
pencaharian dngan
penyakit rematik itu
sendiri. Jika bekerja
setiap hari dengan

195
beban kaki yang
cukup berat, risiko
kambuhnya nyeri
sendi akan
meningkat. Semakin
sering terjadi nyeri
sendi, produktivitas
menurun dan kebun
tidak dapat diurus
sehingga hasil panen
menurun.
Sistem Sistem kekerabatan
kekerabatan yang dikenal dengan
pembagian kampung adat
membagi Desa Padang
Bindu menjadi kampung.
Hal ini dapat dimanfaatkan
dalam pendekatan
pemberdayaan
masyarakat. Kekerabatan
yang kuat ini dipimpin oleh

196
seorang kepala adat yang
disebut raden. Pendekatan
advokasi dapat dilakukan
melalui para raden daan
kepala desa.
Pelayanan Jaminan
kesehatan kesehatan sosial
semesta yang
digagas oleh
Gubernur Sumatera
dapat dinikmati
dengan mudah oleh
masyarakat hanya
dengan
menunjukkan
fotokopi KTP atau
KK.
Kalangan Hari Penjual obat
kalangan di kalangan
merupakan hari menjadi tantangan
libur yang tenaga kesehatan

197
dimanfaatkan oleh tersendiri.
tenaga kesehatan, Pemberian obat-
baik untuk obat tanpa
Posyandu maupun pengawasan
untuk pengobatan. tenaga kesehatan
Kalangan menjadi suatu hal
dapat juga yang biasa di
dimanfaatkan oleh kalangan.
para bidan untuk
melakukan
pemeriksaan ibu
hamil.
Talang- Kondisi talang
talang yang cukup berjauhan
dari desa
menyebabkan suitnya
penduduk yang
tinggal di talang-
talang untuk dapat
memperoleh
pelayanan kesehatan

198
Tenaga Dukun bayi sudah
kesehatan mulai terbuka dengan
tradisional kehadiran bidan desa.
Saling memahami
keberadaan masing-
masing menjadi suatu
kekuatan untuk menjalin
kemitraan dengan tenaga
kesehatan tradisonal.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa dukun masih
diminati di desa ini.

199

Anda mungkin juga menyukai