Karlina
Ahmad Erlan
FX. Sri Sadewo
Penerbit
Karlina, dkk.
Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com
Bekerja sama dengan:
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
xv, 192 hal., Illus, 15,5 x 23
ISBN: 978-979-028-958-1
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun
baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari
penerbit
iii
SUSUNAN TIM
Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari
2015, dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina
Penanggung Jawab
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE
iii
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor
Tengah Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan,
Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Tolitoli, Kab. Muna
iv
KATA PENGANTAR
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset
etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta
kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi
untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki
(sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness)
dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku
seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015yang dilaksanakan di
berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun
agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.
vi
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ..........................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................
DAFTAR TABEL ..........................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
iii
v
iv
xi
xiii
1
1
7
7
10
10
11
14
13
19
21
22
23
24
24
27
29
33
35
37
37
42
42
vii
2.4.
2.5.
2.6.
2.7.
2.8.
2.9.
43
44
44
46
48
53
55
56
56
58
59
64
64
65
66
67
67
67
67
73
73
75
108
108
110
113
114
115
115
116
117
118
120
121
121
126
129
131
134
135
139
139
143
152
154
154
154
157
158
ix
161
163
164
164
178
178
182
185
187
191
169
170
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Tabel 2.1
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 4.1
Tabel 4.2
4
29
80
122
122
124
133
168
xi
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 2.10
Gambar 2.11
Gambar 2.12
Gambar 2.13
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
2
3
10
12
15
26
27
30
36
66
69
70
71
74
76
80
80
89
95
98
xiii
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 3.13
Gambar 3.14
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
xiv
102
111
112
113
116
119
121
128
129
144
145
151
155
160
165
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
167
168
172
174
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Gambar 1.1.
Tingkat Prevalensi TB per 100.000 penduduk di Indonesia
Sumber: WHO (2014)
Gambar 1.2.
Tingkat Prevalensi TB per 100.000 penduduk di Indonesia
Sumber: WHO (2014)
Diagnosis TB
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
0,3
0,2
0,2
0,1
0,2
0,2
0,2
0,1
0,3
Gejala TB paru
Batuk Darah
Batuk > 2 mgg
4,2
3,5
3,8
2,7
3,2
3,0
1,8
2,5
2,7
2,7
3,2
2,8
3,2
1,8
2,5
2,2
3,8
2,2
Kepulauan Riau
0,2
DKI Jakarta
0,6
Jawa Barat
0,7
Jawa Tengah
0,4
DI Yogyakarta
0,3
Jawa Timur
0,2
Banten
0,4
Bali
0,1
Nusa Tenggara Barat
0,3
Nusa Tenggara Timur
0,3
Kalimantan Barat
0,2
Kalimantan Tengah
0,3
Kalimantan Selatan
0,3
Kalimantan Timur
0,2
Sulawesi Utara
0,3
Sulawesi Tengah
0,2
Sulawesi Selatan
0,3
Sulawesi Tenggara
0,2
Gorontalo
0,5
Sulawesi Barat
0,3
Maluku
0,3
Maluku Utara
0,2
Papua Barat
0,4
Papua
0,6
Indonesia
0,4
Sumber : Balitbangkes, 2013
2,3
4,2
3,3
3,8
4,9
5,0
2,7
4,0
4,4
8,8
2,8
3,2
4,4
2,5
4,1
4,9
6,6
4,3
4,6
4,6
3,4
4,7
3,5
5,1
3,9
2,5
1,9
2,8
3,0
0,9
2,4
3,2
2,5
3,8
4,0
3,0
2,8
3,1
1,6
3,7
3,7
3,3
4,4
4,8
3,1
3,8
4,3
2,7
4,5
2,8
Tujuan
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
deskripsi secara etnografi terkait masalah TB Paru pada etnik
Muna, Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Tujuan kedua
adalah menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk
menanggulangi permasalahan TB Paru pada etnis Muna di
Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.3.
Metode
Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan ranking Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2013. Berdasarkan
IPKM, ranking Provinsi Sulawesi Tenggara, berada di urutan ke-22
dari 33 provinsi di Indonesia. Sedangkan Kabupaten Muna dipilih
karena berada di urutan 419 secara nasional dan urutan ke-12 dari
12 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara. Di Kabupaten
Muna, Kecamatan Watopute merupakan kecamatan dengan
jumlah penderita TB terbesar. Berdasarkan data Profil Kesehatan
Kabupaten Muna 2014, tercatat bahwa penderita TB yang berobat
ke Puskesmas Dana adalah sebesar 194 kasus.
Meskipun begitu, awalnya, dalam persiapan lapangan, Desa
Wakadia bukanlah desa yang dipilih. Atas rekomendasi dari pihak
Dinas Kesehatan, Desa Bonelolibu digunakan sebagai lokasi
penelitian dengan alasan bahwa animo masyarakat masih tinggi
terhadap tenaga kapuntori/ penyembuh tradisional (traditional
healer), ketika mencari kesembuhan. Beberapa hari pertama dalam
pengumpulan data, tim peneliti pindah ke Desa Wakadia. Ada
beberapa alasan melatarbelakangi kepindahan tersebut. Pertama,
perilaku mencari kesembuhan pada penyembuh tradisional
BAB 2
Sowite Muna, Ragam Cerita dari Tanah Berbunga
2.1. Sejarah
2.1.1. Legenda Masyarakat:
Dari Nabi Muhammad Hingga Keturunan Majapahit
Ada sejumlah legenda tentang asal usul Pulau Muna. Legenda
pertama adalah asal kata Muna. Muna berasal dari kata wuna. Dalam
Bahasa Muna, wuna berarti bunga. Hal ini mengacu pada kontu
kawuna yang berarti batu berbunga. Batu Berbunga adalah
sebongkah batu di atas bukit yang terletak di Kecamatan Tongkuno.
Kecamatan itu dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 2
jam perjalanan dari Raha (ibu kota Kabupaten Muna). Batu ini
memiliki tinggi sekitar 5 m. Bagian atas batu itu, tepatnya di bagian
pinggiran, ditumbuhi bunga-bunga berwarna putih. Di sekitar batu
berbunga inilah, konon pemukiman pertama penduduk Pulau Muna
didirikan. Hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya berbagai
situs sejarah tak jauh dari lokasi Batu Berbunga.
Gambar 2.1.
Batu Berbunga (kiri) dan bunga yang tumbuh di batu berbunga (kanan)
(Sumber foto: Dok. Peneliti 2015)
10
Kemungkinan sebagai asal kata buton sementara Muna, sering juga dianggap
berasal dari kata munajat
3
J. Couvreur, 2001, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Kupang: Artha
Wacana Press.
4
Covreur menulis Sawirigadi/Sawerigading, namun di kalangan masyarakat
Muna dikenal nama Sawerigadi, yang namanya bahkan menjadi salah satu
nama kecamatan di Kabupaten Muna (sejak tahun 2014 masuk wilayah
Kabupaten Muna Barat). Karenanya, selanjutnya penulis akan menulis
Sawerigadi berdasarkan yang dikenal masyarakat Muna saat ini.
11
12
13
Meski begitu, penulis belum menemukan literatur yang memadai tentang buktibukti sejarah adanya pengaruh Majapahit di Kerajaan Muna.
14
Gambar 2.3.
Aneka gambar prasejarah di dinding gua di situs Liangkabori
(Sumber: Dokumentasi Peneliti)
Sementara itu, di situs yang lain yang ada di Gua Sugi Patani,
Gua Poninsa, Gua La Kalombo, Ceruk Pinda dan Ceruk Kimba,
didapati lukisan dinding yang agak berbeda. Hereka melukis
gambar umbi-umbian, kelapa dan jagung. Gambar itu merupakan
produk dan makanan yang dikonsumsi. Hal ini menandakan sudah
adanya perubahan mata pencaharian, dari berburu ke bercocok
tanam. Ada pula gambar layang-layang (kaghati). Fungsi permainan
layang-layang ini pada mata pencaharian tidak diketahui dengan
jelas. Namun, hingga sekarang permainan ini masih ada di Muna,
dan merupakan aktivitas bermain yang biasanya dilakukan sembari
menunggui ladang. Layang-layang tradisional Muna dibuat dari
daun-daun kering.
Karena tidak diketemukannya alat logam atau tengkorak
manusia di sekitar situs-situr tersebut, identifikasi tentang jenis
manusia yang menghuni gua-gua tersebut juga tidak bisa diketahui
15
dengan pasti.8 Namun begitu, dilihat dari bahan dan motif situs
yang dianggap masih muda, diperkirakan bahwa kehidupan
prasejarah di Muna berlangsung pada zaman Neolotikum.9
Dari bukti-bukti prasejarah dan legenda yang dikenal di
masyarakat, kemungkinan penduduk Pulau Muna adalah campuran
antara penghuni pertama pulau ini dengan pendatang. Kedatangan
manusia pertama di Pulau Muna berkaitan dengan arus migrasi
zaman Prasejarah (Sumaryo, 2011). Menurut Tamburaka (1989,
dalam Sumaryo, 2011), proses persebaran penduduk pertama di
Pulau Muna terjadi melalui dua arah dan empat gelombang. Tiga
gelombang pertama berasal dari arah utara. Gelombang 1 dan 2
merupakan ras Mongoloid dari Cina Selatan dan Kepulauan Riukyu
Jepang. Mereka datang melalui Vietnam, Filipina, Sulawesi Utara,
Halmahera, Sulawesi bagian Timur hingga ke Sulawesi bagian
tenggara termasuk Pulau Muna dan pulau-pulau sekitarnya.
Gelombang ketiga, adalah gelombang Deutro Melayu (Buhlern
et.al, 1960 dalam Sumaryo, 2011). Terakhir, gelombang ke-4,
adalah ras Austro-Melanesoid dari Australia Utara yang datang
melalui kepulauan Maluku Tenggara, Irian bagian Selatan, NTT
hingga ke Pulau Muna, Buton, dan sekitarnya. Berdasarkan ciri-ciri
fisik, penduduk Pulau Muna dan Buton memang didominasi ras
Austro-Melanesoid yang bercampur dengan ras Mongoloid
(Tamburaka, 1989 dalam Sumaryo, 2011).
Dari bukti-bukti sejarah di atas, diperkirakan bahwa Pulau
Muna pertama kali dihuni oleh manusia sudah sejak zaman
prasejarah. Sementara itu, dalam legenda yang dikenal di
masyarakat, kehidupan di Pulau Muna juga berkaitan dengan
legenda Sawerigadi yang konon berasal dari Luwu. Peristiwa ini,
diperkirakan terjadi pada sekitar abad ke 15. Jika dikaitkan dengan
bukti-bukti sejarah, hal ini menjadi kurang cocok. Kemungkinan,
8
9
16
17
18
19
21
22
dari 4 distrik, yakni Katobu, Lawa, Kabawo dan Tongkuno. Masingmasing distrik dikepalai oleh seorang kepala distrik.
Sejak masuknya pemerintahan Belanda, Belanda banyak
ikut campur dalam mengendalikan pemerintahan sehingga sering
terjadi perselisihan. Setelah pemerintahan La Ode Dika (19301938), Muna bahkan berada di bawah pemerintahan Belanda
hingga masuknya Jepang pada tahun 1941. Pada masa penjajahan
Jepang, sebagai mana di tempat lain, di Muna juga
diberlangsungkan sistem kerja paksa (romusha). Lalu, pada tahun
1946, NICA mengambil alih kekuasaan Jepang di Muna.
2.1.7. Muna Setelah Kemerdekaan RI
Setelah kemerdekaan RI pada tahun 1947, dibentuk New
Swap Raja di Sulawesi Tenggara dan La Ode Pandu dilantik sebagai
Raja Muna.15 Berdasarkan Undang-Undang No. 59 tahun 1959
tentang pembentukan kabupaten, Sulawesi Tenggara dibagi dalam
empat Kabupaten, yakni Kendari, Kolaka, Buton dan Muna.
Kabupaten Muna membawahi 4 distrik yakni Tongkuno, Kabawo,
Lawa dan Katobu. Bupati pertama adalah La Ode Abdul Kudus yang
diangkat pada tanggal 2 Maret 1960. Bersamaan dengan itu, terjadi
penambahan 3 distrik baru, yakni; Kalisusu, Wakorumba dan
Tiworo yang terletak di daratan Buton Utara.
Pemerintahan La Ode Kudus hanya berlangsung satu tahun
karena keadaan politik yang belum stabil. Sebagai penggantinya,
diangkat, Lettu Inf. M Thalib. Saat itu, terjadi gejolak politik di
Muna akibat adanya pemberontakan DI/TII dan juga G 30 S/PKI.
Pasca G30S yang menandai awalnya pemerintahan Orde Baru,
dilakukan pergantian kekuasaan di Muna. Sebagai bupati, diangkat
La Ode Rasyid yang memerintah hingga tahun 1970. Berturut-turut
kemudian; Drs. La Ute (1970 1974), Drs. H. La Ode Kaimuddin
15 La Oba, Muna Dalam Lintasan Sejarah. Sinyo MP Bandung (tanpa tahun)
23
24
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Kecamatan Lasalepa
Kecamatan Watopute
Kecamatan Batalaiworu
Kecamatan Duruka
Kecamatan Lohia
Kecamatan Tongkuno
Kecamatan Tongkuno Selatan
Kecamatan Kabawo
Kecamatan Kontu Kowuna
Kecamatan Kabangka
Kecamatan Parigi
Kecamatan Marobo
Kecamatan Bone
Kecamatan Maligano
Kecamatan Batukara
Kecamatan Wakorumba Selatan
Kecamatan Pasir Putih
Kecamatan Pasikolaga
Kecamatan Kontunaga
Kabupaten Muna memiliki batas-batas wilayah. Di sebelah
Utara, kabupaten ini berbatasan dengan Selat Spelman dan di
sebelah Selatan, berhadapan dengan Kabupaten Buton. Di bagian
Timur, kabupaten ini bersebelahan dengan Kabupaten Buton Utara.
Kabupaten Buton Utara merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Buton. Di bagian Barat, kabupaten ini berhadapan
dengan Kabupaten MunA Barat dan Selat Tiworo.
Luas Kabupaten Muna sebelum terjadi pemekaran adalah
2.963,97 km dan setelah pemekaran menjadi sekitar 2057,69 km.
Ketinggian daratan di kabupaten Muna bervariasi, antara 0->1000
m dpl. Namun umumnya berada pada ketinggian 25-100 mdpl
dengan tingkat kemiringan tertinggi 0-2% yakni 53,40%.
25
Gambar 2.4.
Hasil Pertanian Kabupaten Muna tahun 2014
(Sumber: BPS Muna, 2014a)
Gambar. 2.5.
Peta Kecamatan Watopute. Dalam peta di atas Desa Wakadia dan Desa
Lakapodo masih bertukar nama.
(Sumber: BPS Muna 2014b)
27
17
28
Tabel. 2.1.
Tabel luas wilayah per desa dan jumlah penduduk Kecamatan Watopute.
No
Nama Desa
Luas
Wilayah Jumlah Penduduk
(km)
1.
Labaha
5.10
974
2
Wali
6.82
2.320
3.
Bangkali
4.14
1.491
4.
Lakauduma
2.50
907
5.
Dana
13.90
2.962
6.
Lakapodo*
13.04
1.083
7.
Wakadia*
38.45
1.678
8.
Matarawa
16.17
775
Total
100.12
12.190
Sumber: BPS Muna 2014: Kecamatan Watopute Dalam Angka 2014
*) Pada profil tahun 2014, masih tercantum Desa Lakapodo sebagai Desa
Wakadia dan sebaliknya. Untuk memudahkan pemahaman, penulis
melakukan perubahan penulisan nama sesuai dengan kondisi sekarang.
29
Gambar 2.6.
Peta Desa Wakadia (Sumber: Dok. Desa Wakadia)
30
31
19 Keturunan Mapantari saat ini masih ada di Desa Wakadia, namun juga sudah
tidak memahami sejarah desa.
32
33
bahwa meski tidak ada yang sampai dibunuh, tapi kerja paksa itu
lebih kejam dari zaman Jepang.
Pergolakan politik lain adalah adanya pemberontakan DI/TII.
Meski bukan menjadi basis, tapi para gerombolan itu sering datang
ke kampung-kampung untuk meminta bekal makanan dan kadang
dengan cara memaksa hingga membakar kampung. Namun tidak
sampai terjadi pembakaran di Desa Wakadia karena pemimpin
desa kala itu berinisiatif mengumpulkan uang dari masyarakat
sebagai semacam sogokan agar para gerombolan ini tak membakar
kampung.
Dalam perkembangannya, Desa Wakadia sempat bertukar
nama dengan Desa Lakapodo. Desa Lakapodo terletak
bersebelahan dengan Desa Wakadia. Desa Wakadia menjadi Desa
Lakapodo kampung Wakadia, sedangkan Desa Lakapodo menjadi
Desa Wakadia kampung Lakapodo. Pertukaran nama ini terjadi
pada sekitar pertengahan tahun 90-an. Menurut salah seorang
tokoh desa, ada hal politis yang melatarbelakangi pertukaran nama
ini.
Kala itu, masih pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden
Suharto. Desa-desa yang menjadi kesayangan pemerintah adalah
desa-desa yang 100% memilih Golkar, partai presiden. Namun di
Desa Wakadia muncul tokoh dari partai lain, yakni PDI dan berhasil
menarik massa. Ketika Pemilu, suara yang didapat terpecah antara
Golkar dan PDI. Hal ini kemudian ternyata berkonsekuensi pada
proyek pembangunan desa. Jatah pengaspalan jalan untuk Desa
Wakadia kemudian dialihkan untuk pembangunan area pacuan
kuda. Jalan di Desa Wakadia pun batal diaspal.
Untuk mengakali hal itu, kemudian disepakati untuk
melakukan pertukaran nama dengan Desa Lakapodo. Ketika ada
proyek pengaspalan jalan, karena Desa Lakapodo sudah teraspal,
proyek pun dialihkan ke Desa Wakadia yang kemudian berganti
nama menjadi Desa Lakapodo. Pengaspalan pun dilakukan di Desa
34
Sistem Religi
Bisa dikatakan bahwa penduduk Desa Wakadia 100 %
beragama Islam. Namun begitu, pengaruh dari kepercayaan lokal
yang berbau animisme-dinamisme masih sangat kuat. Unsur-unsur
animisme-dinamisme ini bisa dilihat dari penggunaan berbagai
sesaji dalam setiap ritual, dan juga bakar dupa (olili), yang
dimaksudkan bahwa roh-roh nenek moyang (semanga) juga turut
dimintakan keselamatan dan keberkahan.
Masyarakat Desa Wakadia masih percaya atas keberadaan
makhluk-makluk halus seperti setani (setan), semanga (roh nenek
moyang),
detungguno
(penunggu
tempat
keramat),
ladula/parakang (makhluk jejadian), kahanda (pocong),
kandoli/kabuna (kuntilanak) dan bhinte/kobhinteno. Bhinte adalah
makhluk halus semacam tuyul yang suka menyembunyikan anakanak. Tempat tinggal bhinte dipercayai adalah gunung kecil yang
terletak di belakang desa. Karenanya, tempat tersebut kemudian
dikenal sebagai kobhinteno (tempat tinggal bhinte). Tak jelas
darimana asal-usul bhinte ini dan dipercaya sejak dulu sudah ada di
sana. Selain itu, ada juga kuburan lama di atas gunung dan
tumpukan kulit kerang. Ada kemungkinan, tempat tersebut dahulu
kala sebenarnya adalah lautan. Hal-hal mistis sering terjadi ketika
orang pergi ke tempat ini, seperti tersesat dan kebingungan
mencari jalan pulang, padahal lokasinya tidak terlalu luas.
35
Gambar. 2.7.
Salah satu acara baca-baca pada acara peringatan Isra Miraj
(Sumber: dok. Peneliti)
acara-acara yang lebih besar biasanya lebih dari satu orang. Berikut
beberapa ritual religius yang biasa diadakan di Desa Wakadia:
2.3.1. Kafodaho
37
38
39
41
43
45
16. Kemenakan
46
47
2.4.3. Pernikahan
Usia pernikahan rata-rata masyarakat Desa Wakadia adalah
sekitar usia 20 tahun. Meski dijumpai juga beberapa yang menikah
muda (di bawah 18 tahun), namun jarang terjadi. Hal ini di
karenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk melanjutkan
pendidikan sudah cukup tinggi. Untuk generasi muda saat ini,
setidaknya pendidikan terendah adalah tingkat SMA. Hal ini berlaku
baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Keputusan untuk menikah biasanya dilakukan setelah kedua
calon saling mengenal terlebih dahulu (pacaran) dan hampir tidak
ada pernikahan yang terjadi karena dijodohkan. Ada dua jenis
pernikahan yang dikenal di masyarakat Desa Wakadia, yakni
pernikahan biasa (angkamata) dan pernikahan kawin lari
(kafuleigho).
1. Pernikahan Angkamata.
Adalah pernikahan biasa, mengikuti proses yang diatur
dalam adat Muna. Pernikahan ini diawali dengan acara yang
disebut mpali-mpali. Arti harafiahnya adalah jalan-jalan. Mpalimpali adalah semacam ajang silaturahmi pihak laki-laki ke keluarga
perempuan. Mpali-mpali biasanya sudah diawali dengan proses
saling mengenal (pacaran) terlebih dahulu. Pihak laki-laki biasanya
akan mengajak anggota keluarganya, entah orang tua atau
saudaranya.
Sebelum dilakukan mpali-mpali, si lelaki akan
memberitahukan rencana kedatangannya kepada si perempuan. Si
perempuan kemudian akan memberitahukan orangtuanya. Kadang,
juga disertai dengan pemberian sejumlah uang untuk membeli
suguhan ketika mereka datang nanti.
Pada hari-H, si lelaki dan keluarganya akan datang untuk
memperkenalkan diri, dan tidak menyebutkan bahwa tujuannya
adalah ingin melamar atau menikahi si perempuan. Pada acara ini,
48
pembicaraan hanya berisi obrolan biasa yang kadang penuh basabasi (palenda-lenda). Namun, pihak orang tua perempuan
sebenarnya sudah paham maksud dan tujuan si lelaki. Kunjungan
ini biasanya diakhiri dengan pemberitahuan bahwa si lelaki akan
datang lagi, namun waktunya belum ditentukan. Pemberitahuan
mengenai kapan waktunya, akan diberitahukan melalui seorang
kurir (polele).
Proses selanjutnya adalah defenagho tungguno karete atau
menanyakan siapa penjaga bunga-bunga di halaman. Acara ini
diartikan sebagai menanyakan apakah si perempuan yang dikiaskan
sebagai bunga-bunga sudah memiliki penjaga (calon suami)
atau belum. Pada kedatangan kali ini, si lelaki tidak akan ikut dan
hanya diwakili oleh rombongan tetua adat yang jumlahnya kadang
hingga puluhan orang. Pemimpin rombongan kemudian bertugas
menjadi penanya kepada keluarga perempuan yang biasanya juga
diwakili oleh para tetua setempat.
Bahasa yang digunakan dalam proses tanya jawab ini adalah
bahasa-bahasa kiasan. Jika pihak perempuan menyatakan bahwa
belum ada penunggu bunga, pihak laki-laki akan meminta ijin
untuk menjadi si penjaga bunga. Perwakilan dari pihak
perempuan kemudian akan menanyakan kesediaan si gadis, jika si
gadis menyatakan kesediaannya, maka tercapailah tujuan pihak
laki-laki. Jika sudah demikian, biasanya dilanjutkan dengan membicarakan rencana pinangan dan pernikahan termasuk jumlah
kafuampe (uang yang dimakan api: biaya pesta pernikahan).
Namun pembicaraan serius mengenai hal itu, biasanya akan
dibahas lagi pada pertemuan-pertemuan berikutnya.
Setelah tanggal dan jumlah kafuampe disepakati, proses
selanjutnya adalah kafeena atau pinangan. Acara ini biasanya
dilakukan pada hari pernikahan sebelum ijab kabul dilakukan.
Pembawa pinangan berjumlah 13 orang, yang terdiri dari 1 orang
laki-laki dan 12 perempuan. Laki-laki yang bertugas membawa
49
cincin dan sirih-pinang berjalan paling depan. Di belakangnya, ke12 perempuan mengikuti, dan masing-masing membawa aneka
perlengkapan pinangan, yang dibungkus dalam wadah-wadah
khusus dan dihias seindah mungkin. Perlengkapan itu terdiri dari
aneka kebutuhan calon mempelai perempuan, dari ujung kepala
sampai ujung kaki.
Usai acara pinangan, kemudian dilanjutkan dengan
defoampe adhati atau naik adat yakni membicarakan jumlah
bhoka. Bhoka adalah jumlah uang adat yang harus dibayarkan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Di masalalu, nilai 1 bhoka
adalah 2 rupiah 4 sen dan saat ini, 1 bhoka: Rp. 24.000. Besaran
bhoka ditentukan oleh status golongan mereka. Dalam situasi
inilah, penggolongan masyarakat pada masa kerajaan dulu kembali
dipergunakan. Penelusuran silsilah keturunan menjadi penting.
Besaran bhoka yang dikenal di Desa Wakadia adalah: 7 bhoka 2
suku, 15 bhoka, 20 bhoka, 35 bhoka dan paling tinggi, 75 bhoka.
Pernikahan antara sesama golongan orang biasa nilainya
adalah 15 bhoka, bisa lebih rendah jika tidak mampu. Untuk
pernikahan antara sesama golongan bangsawan, jumlahnya
sebesar 20 bhoka. Bhoka menjadi tinggi jika laki-laki golongan
biasa hendak menikah dengan perempuan golongan bangsawan.
Namun demikian, jika pihak laki-laki adalah golongan bangsawan
hendak menikahi perempuan dari golongan biasa, maka pihak lakilaki akan membawa adatnya (20 bhoka).
Penghitungan bhoka adalah hal rumit dan seringkali
menimbulkan perdebatan alot di antara para tetua. Kemampuan
berargumen dan kecakapan dalam adat istiadat menjadi penting.
Karenanya, diperlukan para tetua yang benar-benar paham soal
adat dan silsilah keturunan calon mempelai setidaknya hingga 4
generasi sebelumnya. Jumlah bhoka bukan hanya persoalan
besaran jumlah uang yang harus dibayarkan, tapi di atas itu adalah
persoalan gengsi dan harga diri.
Pada situasi ini, tingkat
50
51
52
53
55
melakukan aktivitas apa saja tanpa ada keluhan, kuat bekerja dan
kuat makan. Seperti yang diungkapkan Pak LH (38 tahun), berikut:
noghosa itu kuat bekerja, kuat makan. Kalau orang sakit kan tidak
enak makan. Sehat sudah kuat makan
Atau juga Ibu WR (43 tahun), seorang ibu rumah tangga
yang menyatakan bahwa sehat adalah bisa bekerja, bisa
melakukan apa saja. Noghosa. Tiada penyakit. Tidak ada dirasa
sakit di dada, di badan.
Berat dan ringannya suatu penyakit didefinisikan dari
tingkat ketidakmampuan fisik dalam beraktivitas. Sakit berat adalah
suatu kondisi dimana badan nyaris tidak bisa melakukan aktivitas
fisik seperti tidak bisa bangun dan tidak bisa makan. Sementara itu,
penyakit ringan adalah ketika kondisi badan merasa tidak nyaman,
tapi masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
Penyakit yang digolongkan sebagai penyakit ringan seperti
flu, batuk-pilek, sakit kepala ringan, atau demam ringan. Penyakit
dianggap ringan ketika sembuh dalam waktu cepat dan tidak
memerlukan pengobatan yang intensif. Penyakit dianggap berat
jika mengharuskan si penderita berobat secara serius hingga
dirawat di rumah sakit. Beberapa penyakit yang dianggap berat
oleh masyarakat adalah asma atau sesak napas (hosa), muntaber
(dedea), kanker, dan batuk darah (hodagho rea). Jenis penyakit
yang sering dialami oleh masyarakat Desa Wakadia adalah dowule,
atau lelah karena banyak berkerja di kebun yang ditandai dengan
kondisi badan yang pegal-pegal.
57
Bahasa
Masyarakat Desa Wakadia, mayoritas adalah Suku Muna.
Dalam komunikasi sehari-hari, bahasa yang digunakan adalah
Bahasa Muna (Wamba Wuna). Bahasa Muna adalah bahasa yang
khas dan rumit. Penutur Bahasa Muna tersebar di Pulau Muna dan
juga sebagian Pulau Buton.
59
60
61
62
Bahasa Muna
Suere
Hoda
Hodagho rea
Kabu
Notora
Kawio
Wente-wente
Nokorea
Nokotoli
Haciho
Wisio
Bhongo
Kawisu
Kapilo
Kafeompuha
Nokoluwe
Kabhori
Nowule
Hohodu
Nelangke rea
Noredu
Deadea
Matemanu
Noferenee/
Noparangara
Kamoito
Kabhe
Nuraga/Balakea
Wengge/ Wuho
Notolua
Kalololu
Nondawu
Soua
Nama Penyakit
Kurap
Kutu Air
Lecet
Lemas-lemas
Luka
Luka busuk
Lumpuh
Mata Merah
Memar
Menstruasi
Menular
Mimisan
Muntah
Obat
Panas Dalam
Panas/ Demam
Panu
Patah tulang
Pegal-pegal
Pikun
Pingsan
Pusing
Sakit
Bahasa Muna
Wasi
Nufumae oe
Notikuru
Malusa
Kabhela
Kanda
Kakempa
Pioho
Noranda
Noforato
Fotaeri
Neneho
Tongka
Kaago
Nopana Welalo
Nosodo
Opanu
Katampu
Kolelea
Nolimpu-limpu
Siwowale
Noghoghomata
Nosaki/ Nolea
Sakit Gigi
Noleawangka
Sakit Gula/ DM
Sakit Hati
Sakit Kepala
Sakit Mag
Sakit Perut
Sakit Pinggang
Sariawan
Sehat
Dokogola
Nolelalalo
Noleafotu
Tumba
Noleataghi
Noleaaa
Solora
Noghosa
24 Rene van den Berg, Forestry, Injections and Cards: Dutch Loans in Muna.
dalam Connie Baak, et.al (eds) Tales From a Concave World. Liber amicorum
Bert Voorhoeve, 191-215, Leiden. Projects Division Department of Languages
and cultures of South East Asia and Oceania. 1995.
63
65
Gambar.2.8.
Tari Linda yang ditarikan pada acara karia
(Sumber: Dokumentasi Peneliti)
66
Mata Pencaharian
67
68
Gambar 2.9.
Jagung sebagai tanaman pokok petani Wakadia
(Sumber: dok. Peneliti)
69
Gambar 2.10.
Padi Muna (kiri) dan jagung (kanan) sebagai hasil pertanian utama
penduduk Desa Wakadia (Sumber foto: dok. Peneliti)
Pun demikian dengan kayu jati. Kayu jati merupakan salah satu
hasil hutan andalan Kabupaten Muna. Jati disebut masyarakat
Muna sebagai kulidawa, yang berarti kulit jawa. Konon, kayu jati
di Muna di bawa dari Jawa pada jaman penjajahan Belanda dan
kemudian dibudidayakan secara massal di Muna.
Beberapa tahun yang lalu, Desa Wakadia adalah salah satu
penghasil utama jati di Kabupaten Muna. Jati menjadi sumber
penghasilan utama masyarakat. Namun, belakangan produksi jati
sudah semakin berkurang. Jati-jati lama sudah dipanen, dan
sekarang masyarakat tak terlalu berminat lagi menanami kebunnya
dengan jati. Jika menanam pun biasanya dalam jumlah yang tak
terlalu luas. Faktor panjangnya masa panen jati menjadi
pertimbangan. Meskipun hasilnya cukup menjanjikan, tapi kebun
jati baru bisa dipanen setidaknya setelah berumur 15 tahun. Jenis
jati yang ditanam adalah jati kuning dan jati putih. Jati kuning
memiliki masa panen lebih lama dibanding jati putih, tapi juga
memiliki harga yang lebih tinggi.
71
waktu jika ada kebutuhan. Harga jual satu ekor sapi di Desa
Wakadia termasuk murah, yakni sekitar Rp.5000.000 Rp.
8000.000/ ekor.
2.9. Teknologi & Peralatan
2.9.1. Sarana dan Prasarana
Desa Wakadia adalah desa yang sudah relatif maju dan
bernuansa semi urban. Hal ini tak terlepas dari letaknya yang
memang cukup dekat dengan ibukota Kabupaten, Raha. Dengan
menggunakan kendaraan bermotor, hanya diperlukan waktu tak
lebih dari 1 jam untuk ke kota kabupaten. Jarak tempuh dari Kota
Raha ke Desa Wakadia adalah sekitar 15 km. Akses jalan
penghubung adalah jalan antar kecamatan yang kondisinya relatif
bagus. Meski begitu, sekitar 3 km jalan masuk desa berupa jalan
beraspal yang sudah rusak dan berbatu-batu. Namun, masih bisa
dilewati kendaraan roda dua maupun roda empat.
Jalan desa ini konon sudah ada sejak jaman Belanda. Jalan
mengalami pengerasan ketika jaman penjajahan Jepang. Setelah
masa itu, jalan tersebut sudah dua kali diaspal. Namun karena
kualitas aspal yang kurang bagus ditambah bentang alam jalan yang
memudahkan erosi di musim penghujan, jalan tersebut rawan
rusak.
Angkutan umum berupa mobil angkutan desa beroperasi
setiap hari dari pagi hingga sore hari. Selain itu, kepemilikian
sepeda motor maupun mobil adalah hal yang umum bagi
masyarakat desa. Hal terebut sangat memudahkan masyarakat
dalam melakukan mobilitas.
Listrik mengaliri hampir semua rumah warga. Listrik di desa
ini dipasang sejak tahun 1996. Sementara sarana telekomunikasi
yang ada adalah jaringan telepon seluler dengan kondisi sinyal yang
relatif baik, terutama operator besar seperti Telkomsel dan XL.
Hampir semua rumah tangga memiliki paling sedikit 1 buah telepon
73
Gambar. 2.12.
Suasana pasar Desa Wakadia (sumber foto: dok. Peneliti)
Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, pasar desa
beroperasi dua kali seminggu, yakni setiap hari Selasa dan Sabtu.
Pada hari-hari pasar ini, biasanya masyarakat akan datang
berduyun-duyun ke pasar untuk membeli aneka kebutuhan rumah
tangga. Pasar dimulai sejak pagi-pagi sekali hingga menjelang
tengah hari. Barang utama yang diperdagangkan di pasar adalah
ikan, aneka sayur mayur, pisang, aneka penganan seperti aneka
kue dan lapa-lapa, aneka kebutuhan rumah tangga seperti sabun,
jajanan, mainan anak-anak dan baju-baju. Para pedagang
umumnya adalah penduduk desa yang menjual hasil kebunnya,
74
75
Gambar. 2.13.
Kambiu atau keranjang anyaman dari daun palem (Sumber: dok. Peneliti)
76
77
Bab 3
Gambaran Umum Situasi Kesehatan di Desa Wakadia
78
Tabel. 3.1.
Skor Indikator IPKM 2013 Kabupaten Muna
Indikator
Muna
Sulawesi
Tenggara
Nasional
Kesehatan Balita
0.6403
Kesehatan Reproduksi
0.4756
Pelayanan Kesehatan
0.3808
PHBS
PTM
PM
Kesling
0.3652
0.6508
0.8064
0.3847
0.4751
0.6267
0.7507
0.5430
79
120
100
89,8
98,2
93,3
73,9
80
60
40
73
92,8 92,4
63,4
Puskesmas Dana
20
0
Kab. Muna
Gambar. 3.1.a
Diagram cakupan KIA di Kabupaten Muna dan Puskesmas Dana,
Kecamatan Watoupte
(Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Muna 2013)
Gambar. 3.2
Cakupan KIA di Desa Wakadia (Sumber : Profil Kesehatan Puskesmas Dana 2014)
80
81
83
anak-anak yang sudah di-katoba dinggap telah sah dan sungguhsungguh memeluk agama Islam. Dan bahwa, pengajaran yang
diberikan selama katoba, juga dimaksudkan sebagai bekal atau
pedoman hidup dalam memasuki usia selanjutnya.
Seperti halnya kangkilo, katoba juga melibatkan sesaji, doadoa dan pesta, yang besarnya kecilnya pesta tergantung
kemampuan tiap-tiap keluarga. Seringkali, katoba dilakukan
bersama-sama oleh beberapa keluarga sekaligus.
Prosesi katoba dipimpin oleh imam dan diawali dengan
anak-anak dimandikan dengan air yang sudah dibacakan doa dan
kemudian disuruh mengenakan pakaian adat. Anak-anak tersebut
kemudian diminta duduk di atas sajadah di depan imam.
Selanjutnya, imam akan memberikan nasehat atau bimbingan
katoba. Nasehat-nasehat ini berisi tentang perilaku untuk selalu
bertakwa kepada Tuhan YME, menghormati orang tua serta
melakukan kebaikan di masyarakat.
Setelah nasehat disampaikan, anak-anak yang di-katoba,
dengan bimbingan imam, akan mengucapkan ikrar katoba. Setiap
imam (biasanya imam yang datang lebih dari satu) akan
membacakan ikrar yang sama dan anak-anak tersebut akan
mengulangi hingga selesai.
3. Karia
Karia adalah tradisi pingit yang dilakukan oleh setiap
perempuan Suku Muna sebelum menikah. Meskipun tidak ada
keharusan, tapi masyarakat Muna hampir selalu melakukan karia
sebelum pernikahan. Melaksanakan karia adalah tanggung jawab
orang tua dan tidak melakukan karia dianggap bisa menimbulkan
hal-hal buruk.
Menurut sejarah, konon upacara karia pertama kali
diadakan pada masa pemerintahan Raja La Ode Husein (Omputo
Sangia) terhadap putrinya, Wa Ode Kamomono Kamba. Konon,
85
87
88
Gambar 3.3.
Peserta karia yang didampingi pembawa sulutaru
Sumber foto: Dokumentasi peneliti
89
90
3.1.2. Hamil
Usia pernikahan rata-rata di Desa Wakadia adalah di atas
umur 18 tahun atau setelah menamatkan sekolah menengah.
Terutama pada generasi tua, pernikahan poligami sering terjadi,
dimana seorang suami memiliki lebih dari satu.
Setelah menikah, memiliki keturunan merupakan keinginan
hampir semua pasangan. Namun, ada kalanya meski sudah
menikah selama bertahun-tahun , mereka tak kunjung memilki
keturunan. Maka berbagai upaya pun biasanya dilakukan.
Ibu WI, misalnya, yang sudah menikah selama 20 tahun dan
tak kunjung mendapatkan momongan. Upaya yang dilakukan oleh
Ibu WI dan suaminya adalah pergi ke orang pintar. Sudah banyak
orang pintar yang Ibu WI dan suaminya kunjungi, namun tak
kunjung memiliki anak. Pengobatan yang dilakukan adalah dipijat
hingga minum aneka ramuan tradisional. Selain itu Ibu WI juga
berusaha menjaga aktivitas seperti tidak bekerja keras dan tidak
sering-sering mengendarai sepeda motor. Ibu WI pernah
memeriksakan diri ke dokter, dan menurut dokter, ia masih
memiliki kemungkinan untuk hamil.
Ibu WO adalah seorang sando, yang biasa dimintai
pertolongan untuk melakukan pijat agar mendapatkan keturunan.
Menurutnya, pijat untuk mendapatkan keturunan dilakukan
dengan cara memperbaiki kandungan, agar janin mau tertinggal di
rahim (furui kaenteha/furempo kaenteha). Selain itu, juga
dibacakan doa dan ditiup-tiup. Seseorang tidak segera hamil,
biasanya disebabkan karena kandungan tidak bagus dan tidak
nyaman untuk tinggal janin (minanaokesa kaenteha). Urut
semacam ini, biasanya dilakukan 4 kali baru berhasil dan tidak
boleh berturut-turut. Proses dari dipijat hingga hamil, biasanya
memerlukan waktu sekitar dua bulan. Kadang dua bulan baru
tinggal, tapi kalau yang maha kuasa tidak mengijinkan. Ujar Ibu
WO.
91
93
Gambar 3.4.
Kasambu, tradisi 7 bulanan pada Suku Muna (Sumber: Dok. Peneliti)
95
97
Gambar 3.5.
Sando yang tengah memandikan bayi (atas) dan memandikan ibu dengan air
panas (bawah)
99
101
Gambar 3.6.
Barasandi pada kampua (atas) dan cukur rambut (bawah)
(Sumber: Dok. Peneliti)
102
103
104
3.2.
Penyakit Menular
Berdasarkan data di Puskesmas Dana, penyakit menular
yang ada di desa-desa wilayah kerja puskesmas adalah malaria,
diare, Ispa, TB paru, dan kecacingan. Ispa menduduki peringkat
tertinggi (1846 kasus) disusul diare (560), kecacingan (180), TB Paru
(59), diare (40) malaria (7). Penyakit seperti frambusia, filariasis
meski ada dalam program puskesmas, namun belum ditemukan
kasus.
Sementara di Desa Wakadia, penyakit menular yang ada di
masyarakat adalah ISPA, TB Paru, kecacingan, diare/muntaber dan
malaria. ISPA biasanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti
musim pergantian antara musim hujan dan musim kemarau.
Demikian juga dengan diare/muntaber. Diare/muntaber cukup
sering terjadi di Desa Wakadia, hal ini kemungkinan berkaitan
dengan PHBS seperti banyak warga yang masih buang air di tempat
terbuka, namun tidak sampai berakibat fatal.
Kecacingan biasa diderita anak-anak dan tidak terlalu
dianggap sebagai penyakit serius. Malaria, berdasarkan catatan
bidan desa hanya ada 1 kasus, hal itu juga diderita pasien sepulang
ia dari merantau di Kalimantan. Diasumsikan bahwa pasien
tersebut mendapatkan penyakit tersebut ketika berada di
Kalimantan, karena sebelumnya jarang ada kasus malaria di Desa
Wakadia.
Penyakit menular yang menonjol adalah TB Paru. Pada
tahun 2014, tercatat ada 8 penderita TB Paru di Desa Wakadia dan
pada tahun 2015, ada 4 kasus baru. Semua penderitanya adalah
orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan dan tidak
ditemukan kasus TB pada anak-anak. Dari 12 kasus yang ada,
semuanya mendapatkan pengobatan di puskesmas. Lebih jauh
tentang TB Paru akan dibahas dalam Bab 4, sebagai bahasan
tematik dalam buku ini.
105
3.3.
107
108
109
26
110
Gambar 3.7.
Penimbangan balita di
Posyandu
(Sumber: Dok.
Peneliti 2015).
111
Gambar 3.8.
Seorang anak yang tengah diimuniasi (kiri) dan kemudian diolesi getah ubi jalar
agar tidak demam(kanan) (Sumber: Dok. Peneliti)
112
82
Imunisasi DPT HB II
Imunisasi Polio IV
82
79
Imunisasi Campak
Gambar 3.9.
Cakupan imunisasi di Desa Wakadia tahun 2014
Sumber: Profil Puskesmas Dana tahun 2014
113
boleh. Berlebihan tidak boleh. Daging boleh. Kalau daging bersantan tidak
boleh. Daging sapi tidak boleh. Langsat tidak boleh banyak getahnya
katanya, mangga. Tidak tahu mi pantangan katanya, harus satu tahun
melahirkan. Satu tahun baru boleh makan pisang sama ubi-ubian. Waktu
habis melahirkan itu juga tidak boleh makan kelor sampai satu minggu
mungkin. Supaya dia kuat tulangnya katanya. Pakai sayur saja bayam,
cambah, terong.. (Ibu WV)
115
Gambar 3.10.
Sayur daun kelor yang menjadi menu sehari-hari masyarakat Desa Wakadia (kiri)
dan langsat, buah musiman yang banyak terdapat di Desa Wakadia. (Sumber:
Dok. Peneliti)
116
117
Gambar 3.11.
Mata Air mengalir sumber air bersih masyarakat di Desa Wakadia.
(Sumber: Dok. Peneliti)
119
yang tidak dimasak karena rasanya enak, kalau saya minum air
yang dimasak rasanya tidak enak dan selalu merasa haus (Pak LH,
38 tahun)
Selain menggunakan air dari mata air, biasanya penduduk
juga memanfaatkan air hujan. Terutama untuk mencuci, kadangkadang juga untuk memasak, terutama memasak kambuse (jagung)
karena dianggap bisa membuat rasanya lebih enak. Meski begitu,
air hujan tidak digunakan untuk air minum.
3.4.10. Memberantas Jentik Nyamuk
Beberapa penyakit berbahaya seperti malaria, demam
berdarah dan filariasis, merupakan penyakit yang vektor penularan
dan penyebarannya adalah nyamuk. Tempat-tempat penampungan
air seperti ember, jerigen, bak mandi dan drum adalah tempat yang
sangat ideal bagi perkembangbiakan nyamuk. Selain itu, genangan
air pada sampah plastik seperti gelas minuman, merupakan tempat
perindukan nyamuk. Untuk mencegahnya, perlu untuk selalu
membersihkan tempat-tempat tersebut secara berkala.
Pemeriksaan jentik berkala dan pemberantasan sarang nyamuk
melalui kegiatan 3 M (menguras, mengubur dan menutup) adalah
kebiasaan baik yang dapat memutus perkembangbiakan nyamuk
sebagai vektor penyakit.
Karena keterbatasan air, hampir semua rumah tangga di
Desa Wakadia mempunyai tempat penyimpanan air , baik berupa
ember, maupun jerigen. Namun, biasanya tempat-tempat tersebut
dalam keadaan tertutup. Selain itu, biasanya juga tidak sampai
menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk karena
setidaknya dalam seminggu air-air tersebut sudah habis dan
diganti.
Beberapa rumah biasanya juga menampung air hujan di
dalam drum atau tempat penampungan lainnya. Tempat
120
Gambar 3.12.
Drum penampung air hujan yang biasa menjadi tempat berkembang biak jentik
nyamuk. (Sumber: Dok. Peneliti)
121
365
42
65
13
No.
1
2
3
4
122
Tabel.3.3.
Jumlah Tenaga Kesehatan di Kabupaten Muna
JENIS TENAGA
JUMLAH
Dokter Spesialis
10 orang
Dokter Umum
33 orang
Dokter Gigi
20 orang
Bidan
118 orang
5
6
7
8
9
10
11
12
Perawat
Perawat Gigi
Tng Kefarmasian
Apoteker
Kesmas
Kesling
Nutrisionis
Tenaga Keterapian Fisik
333
10
20
17
113
48
55
1
orang
orang
orang
orang
orang
orang
orang
orang
123
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
124
125
127
Gambar 3.13. Daun rolibo yang digunakan untuk metode pengobatan katunda.
(Sumber: Dok. Peneliti)
Gambar 3.14.
Campuran santan dan ramuan dedaunan sebagai obat demam pada anak.
(Sumber: Dok. Peneliti)
129
Beberapa jenis tanaman yang sering digunakan untuk obatobatan adalah ropoopasa, kambadawa (turi), rogo, daun serikaya,
daun paria (pare), patiwala (tahi ayam), akar kalomembe, akar
puta, radawali (brotowali), dampaka, kaembu-embu, sampalu,
rontamate (daun tomat), lohia (jahe) dariangu (dlingo), duku
(kencur), roro (sirih) dan banyak lagi. Aneka tetumbuhan itu sangat
mudah ditemukan di lingkungan sekitar desa, karena memang
masih banyak hutan di sekitar Desa Wakadia.
Ibu WJ misalnya, ketika anaknya yang berumur sekitar 2
tahun demam, biasanya ia akan membuatkan ramuan yang
diraciknya sendiri. Ramuan tersebut terdiri dari daun ropoopasa,
daun serikaya dan daun rogo yang diremas bersama air santan.
Campuran santan dan aneka dedaunan tersebut dibalurkan ke
seluruh tubuh si anak. Selain itu, untuk mengobati batuk biasanya
Ibu WJ juga membuat ramuan berupa daun ropoopasa yang
diremas dengan air masak, disaring dan dicampurkan dengan
madu, kemudian diminumkan kepada anak yang sakit.
130
BAB 4
HODAGHO REA, DERITA PENGIDAP TB
131
132
Tabel. 4.1.
30
NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20
21.
22.
30 Jumlah ini masih merupakan gabungan dari Kabupaten Muna & Kabupaten
Muna Barat, karena Kabupaten Muna Barat baru definitif menjadi kabupaten
pada akhir tahun 2014.
133
JUMLAH
650
DIPINDAHKAN KE HALAMAN 153
NO
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
NAMA KECAMATAN
PINDAHAN
LOHIA
NAMA PUSKESMAS
LOHIA
WAARA
WAPUNTO
BATALAIWORU
TAMPO
LASALEPA
KAMBIKUNO
TOWEA
WOKURAMBA SELATAN
PASIR PUTIH
PASIKOLAGA
MALIGANO
BATUKARA
DURUKA
BATALAIWORU
NAPABALANO
LASALEPA
NAPANOKUSAMBI
TOWEA
WOKURAMBA SELATAN
PASIR PUTIH
PASIKOLAGA
MALIGANO
BATUKARA
KESELURUHAN
SUMBER : PROFIL KESEHATAN KABUPATEN MUNA 2014
4.1.
JUMLAH KASUS
650
38
15
13
30
39
34
23
0
13
28
0
2
0
829
Penyebutan
Di Desa Wakadia, penyakit TBC dikenal dengan sebutan
hodagho rea atau hoda-hodagho rea yang diartikan sebagai batuk
darah/batuk-batuk darah (hoda: batuk, rea: darah). Hal ini
mengacu pada gejala yang ditimbulkan penyakit ini, yakni batuk
hingga mengeluarkan darah. Meski begitu, ada juga kasus TB yang
tidak mengeluarkan darah dan biasanya disebut hoda saja atau
hoda-hoda (batuk-batuk). Jika kondisi batuk sudah parah dan berat,
disebut kabu. Namun begitu, karena penderita TB di Desa Wakadia
umumnya mengalami batuk darah, dalam tulisan ini, penyakit TB
kemudian akan disebut sebagai batuk darah/ hodagho rea.
Dalam penelitian ini, informan disebut sebagai penderita
TBC, berdasarkan data dari puskesmas. Artinya, sudah dinyatakan
134
135
136
4. WN, 18 tahun.
WN baru berusia sekitar 10 tahun ketika ia mulai jatuh
sakit. Awalnya, ia terjatuh di tangga rumahnya. Setelah itu, ia
mulai batuk dan sesak napas. Karena sakitnya, WN nyaris tidak
bisa melakukan aktivitas normal. Ia sudah berhenti sekolah sejak
beberapa tahun lalu. Sehari-hari ia hanya tinggal di rumah,
membantu pekerjaan rumah tangga seperti memasak atau
mencuci piring. Namun ia tak bisa bekerja terlalu keras, karena
jika bekerja sedikit berat saja ia langsung merasa lemas dan
sesak napas hingga mengeluarkan bunyi (mengi). Selain WN,
anggota keluarga lain yang juga mengalami batuk darah adalah
dua nenek WN. Satu neneknya tinggal di depan rumahnya, satu
yang lain tinggal agak berjauhan.
5. Pak LA, 53 tahun.
Pak LA jatuh sakit sekitar 1,5 tahun yang lalu, meski ia
mulai sering batuk-batuk sejak 3 tahun yang lalu. Batuk ini
mengganggu pekerjaannya. Setiap hari ia berkebun dan
seringkali harus mengangkut kayu.
Seperti kebanyakan lelaki dewasa di desa, Pak LA juga
memiliki kebiasaan minum Kameko. Dulu, ia kuat minum
Kameko hingga bergelas-gelas dan hampir setiap hari. Namun
setelah sakit, ia berhenti minum Kameko. Pak LA juga perokok.
Meski dianjurkan untuk tidak merokok setelah sakit, namun Pak
LA belum tidak bisa berhenti merokok hingga saat ini. Meski ia
tahu bahwa kemungkinan ia batuk karena rokok.Orang lain
daripada lepas merokok lebih baik lepas minum. Saya daripada
lepas merokok lebih baiklepas minum. ujarnya.
Selain Pak LA, ada anggota keluarganya menderita batuk
darah. Ia adalah anak kedua Pak LA yang berusia sekitar 19
tahun. Tidak tahu, siapa menularkan TB terlebih dahulu.
137
138
139
bisa disembuhkan, tapi tak sedikit juga yang berakhir kematian, dan
anggapannya, selalu dikarenakan racun/guna-guna.
Sebab seseorang diracun/diguna-guna bermacam-macam.
Ada yang karena sakit hati, iri hati, atau sekadar ingin mencoba
ilmu (tesi kapandean). Suku Muna memang masih sangat percaya
pada
ilmu
dalam
bentuk
kesaktian
seseorang
membuat/melakukan sesuatu. Seseorang bisa tidak mempan
terkena racun/guna-guna jika ia memiliki penangkalnya (kasumpu)
yang juga berbentuk doa-doa.
Racun /guna-guna ini tidak melibatkan obyek yang kasat
mata. Caranya adalah dengan membacakan doa-doa atau mantra
dan kemudian ditiupkan ke dalam minuman/makanan yang
diberikan kepada orang yang hendak diracun/diguna-guna. Pakai
doa-doa bukan benda macam racunnya tikus atau racun segala
binatang. Cuma doa doa saja. Doanya difui-fui (ditiup-tiup). Ujar
Pak LA.
Di antara kedua jenis perantara guna-guna tersebut,
minuman lah yang lebih sering dianggap sebagai media untuk
mengirim racun/guna-guna. Semua jenis air minum bisa digunakan
untuk media guna-guna. Baik itu air putih, teh, kopi dan terutama,
Kameko (minuman keras). Ibu WR, salah seorang informan
mengatakan bahwa air yang biasa diracun/diguna-guna adalah air
yang diletakkan di tempat terbuka. Biasanya, proses guna-guna
terjadi ketika dalam situasi sedang berkumpul, seperti dalam
kegiatan berkebun atau kumpul-kumpul minum Kameko.
Kalau misalnya ada air di rumah-rumah, dikebunlah, mayoritas di kebun
itu. Kan ada air di situ, kalau orang berkebun simpan air di jergen, di
botol, jangan sampai mereka tidak tahu dia mau ini. Banyak kejadian di
kebun. Dia kan tidak ditahu. Baru minum dia rasa-rasakan. (Ibu WR)
140
Hal itu lah yang dialami oleh Ibu WH. Waktu itu, ia sedang
bergotong royong membabat kebun bersama beberapa tetangga.
Ketika istirahat, ia minum air putih dari dalam jerigen. Setelah itu,
ia tiba-tiba mulai batuk setelah minum air putih.
Sakit dadaku dulu, habis itu saya batuk mi, tidak cukup satu minggu
keluar darah. Sa tidak bisa kerja dulu. Sedangkan keluar darah itu satu
tahun sa baru bisa kerja. Perasaan tidak sakit. Itu saja, lemas saja, tapi
tidak sakit. Malusa. Kalau sa masih sakit itu sa tidak bisa jalan. Sa dudukduduk begini saja. Sa baring ka mau keluar lagi. Sa jalan begini, tunduk,
tidak bisa di atas. Pusing. Tidak sesak napas. Hanya ini saja, di belakang,
kanan kiri punggung. Itu mi sa tidak bisa bangun. Ada panas rasa dada.
Panas yo, panas. Tapi sudah keluar itu, tidak mi. Sa batuk dulu baru panas
mi, keluar itu tidak mi.
Bu WH mengaku bahwa sebenarnya ia tahu siapa yang kirakira mengguna-gunainya. Ia berpikir bahwa orang tersebut
melakukan hal tersebut karena mungkin sakit hati. Ia memang
sering marah ketika ada orang yang mengolok-oloknya (pare-pare).
Sebelum jatuh sakit, Bu WH yang terkenal ulet dan rajin bekerja
141
Selain air, media lain seperti makanan atau rokok juga bisa
digunakan untuk meracun atau mengirim guna-guna. Ibu WI
misalnya, yang terkena batuk darah sekitar dua tahun yang lalu,
merasa bahwa ia diguna-guna melalui rokok. Ibu WI memang
seorang perokok. Suatu hari, setelah menerima pemberian rokok
dari seseorang, ia merasa sesak napas, dada sakit dan batuk parah.
Hal yang hampir mirip dialami oleh Ibu WS, yang mengalami batuk
darah setelah makan rambutan yang dipetik di kebun. Menurutnya,
142
tempat
terbuka,
sudah
"Pertama mulai, tidak batuk, tidak sakit, langsung itulah di kebun, tibatiba sa batuk itu langsung ada darahnya. Tapi sa panas, kaya orang lari
siang-siang begitu. Pas sa batuk langsung ada darahnya. Sa dari kebun
mamaku, sa pergi ke belakang, langsung tiba-tiba saja dadanya panas.
Keluar darah. Sa baru makan rambutan dari kebun mamaku." (Ibu WS)
143
Gambar 4.1.
Pohon enau (kowala) yang banyak terdapat di Desa Wakadia sebagai sumber
pembuat nira untuk Kameko. (Sumber: Dok. Peneliti)
jauh dari desa. Satu ikat kulit kayu buli berisi sekitar 3 potong kulit
kayu, dihargai Rp. 10.000. seringkali, masyarakat membuat Kameko
sendiri dan hanya membeli kayu bulinya saja.
Gambar 4.2.
Kayu buli (kiri) dan Kameko (kanan) (Sumber: Dok. Peneliti)
145
147
Meski begitu, Pak LP tidak tahu siapa yang menggunagunainya, Ketika hal tersebut ia tanyakan ke orang pintar, si orang
pintar juga tidak tahu. mungkin pada saat dia ambil gelas itu dia
baca-baca mi dan saya tidak tau bawa ada guna-gunanya di dalam.
Ujar Pak LP. Bagaimana kita sudah mabuk, siapa mau tahu. Kita
kan sudah mabuk. Pokoknya sudah mabuk. Tidak tau, banyak orang
begitu kita mau tunjuk siapa juga.
Pak LT dan Pak LN juga merasa bahwa sebab penyakitnya
adalah diguna-guna ketika minum Kameko. Di masalalu, keduanya
adalah peminum yang kuat (Kameko). Hampir setiap hari ia minum
149
150
Gambar 4.3.
Baku tukar gelas dalam acara minum Kameko
151
153
155
31
Jerome D. Fran, MD. Foreword in Magic, Faith and Healing. Ari Kiev (ed) The
Free Press: New York, USA. 1964
157
158
32 Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1), Dra. Sri Sugati Syamduhidayat & Dr.
Johnny Ria Hutapea, Depkes RI,Balitbangkes 1991
159
penyakit, di antaranya batuk, obat luka, peluruh air seni dan obat
bengkak.
Kandungan yang hampir sama juga terdapat pada daun
tomat (Solanum lycopersicum L.) yang juga daunnya juga
mengangun alkaloida, saponin, flavonoids dan polifenol. Jarak
pagar (Jatropha curcas L.), mengandung saponin dan flavonoida.
Demikian halnya dengan daun pare (Momordica charantia. L) yang
bisa digunakan antara lain untuk obat batuk, obat cacing dan
malaria.
Gambar 4.5.
Daun patiwala (kiri) dan daun ropoopasa sebagai obat batuk darah.
(Sumber: Dok. Peneliti)
160
161
harus minum obat yang 6 bulan. Pertamanya yang warna merah, setelah
tiga bulan yang merah, saya dikasihkan warna kuning sampai tiga bulan
lagi. Jadi 6 bulan mi. Enam macam. Pak LA .
162
163
164
Gambar 4.6.
Pemukiman Desa Wakadia (Sumber: Dok. Peneliti)
165
selera dan kemampuan masing-masing rumah tangga. Aturanaturan khusus biasanya hanya terkait pada hari baik membangun
rumah, letak dan arah hadap pintu, memerlukan pertimbangan dari
orang pintar yang paham tentang hal-hal seperti itu. Jika
mengabaikan hal-hal tersebut, masyarakat percaya bisa
menimbulkan hal-hal negatif. Salah letak pintu, misalnya, bisa
menyebabkan si penghuni sakit-sakitan.
Kalau pintu ada aturannya mi. Harus tanya orang pintar untuk
menghindari orang yang sakit-sakitan dalam rumah. Biasanya kalau salah
letak pintu yang dibikin, belum lama ditempati rumahnya, yang punya
rumah langsung sakit-sakitan atau cepat meninggal. Ada juga belum lama
ditinggali mati, salah letak pintu. (Pak LJ)
Posisi tiang kayu dan dinding papan juga tidak boleh dalam
posisi terbalik (atas-bawah). Selain itu, sebelum membangun
rumah biasanya juga dilakukan ritual baca-baca doa dan peletakan
sesaji (karanu) di bawah tiang utama rumah (gambiri). Karanu
terdiri dari garam, gula, 2 keping uang logam, satu keping pecahan
kuali yang kemudian dibungkus dengan kain putih. Tujuannya
adalah untuk menolak hal-hal buruk bagi penghuni yang akan
meninggali rumah tersebut.
Selanjutnya, ketika tiang rumah sudah berdiri, maka akan
diazankan oleh imam. Pun ketika rumah sudah jadi dan siap huni,
biasanya juga dilakukan lagi doa-doa sebagai syukuran dan
selamatan sebelum ditinggali. Selain itu, juga umum dijumpai
semacam jimat yang disebut kataghombi no lambu (penangkal
rumah). Jimat ini umumnya digantung di atas pintu utama,
biasanya berupa air atau bubuk tertentu dan terlah dibacakan doadoa oleh orang pintar. Tujuannya, adalah untuk menangkal hal-hal
buruk.
166
Gambar 4.7.
Salah satu bentuk rumah tradisional di Desa Wakadia
(Sumber: Dok. Peneliti)
167
Gambar 4.8.
Kondisi dapur salah satu pasien TB (Sumber: Dok. Peneliti)
168
Informan
Ibu WM
Ibu WI
Ibu WH
Ibu WS
WN
6 m x 10 m/ panggung
5 m x 7 m/ panggung
4 m x 5 m/ panggung
4 x 6 m/ panggung
4 m x 5 m/ panggung
Jumlah
Kamar
4
2
1
2
1
Jumlah
penghuni
5
2
2
4
3
Ket.
dulu 7 org
6.
7.
8.
9
Pak LT
Pak LP
Pak LA
Pak LN
6 m x 8 m / panggung
5 m x 6 m/ panggung
5 m x 6 m / panggung
5 m x 6 m / lantai semen
4
2
3
2
4
2
2
2
dulu 8 org
dulu 7 org
dulu 5 org
dulu 11 org
169
171
Gambar 4.9.
Mikroskop untuk memeriksa dahak (Sumber: Dok. peneliti)
172
173
174
175
177
Bab 5
Penutup
5.1.
Kesimpulan
Seperti diketahui, penyakit TBC atau tuberkulosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh kuman/bakteri mycobacterium
tuberculosis. Kuman TBC berbentuk batang dan tahan terhadap
asam pada pewarnaan sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam
(BTA).34 Karenanya, seseorang yang positif mengidap penyakit ini
dalam istilah kesehatan disebut TBC BTA positif (TBC BTA +).
Penyakit TBC sangat mudah menular, terutama melalui
percikan ludah atau dahak (droplet) yang dilepaskan ke udara
ketika seseorang penderita batuk atau bersin. Dalam suhu kamar,
kuman bisa bertahan di udara selama beberapa jam dan infeksi
terjadi jika kuman terhirup ke saluran pernapasan. Organ tubuh
yang sering terserang adalah paru-paru, namun tidak menutup
kemungkinan menyebar ke organ tubuh lain karena terbawa
pembuluh darah dan saluran getah bening. Tidak semua orang
yang terinfeksi kuman TB akan menjadi TB positif. Kuman bisa
bertahan dan tidur (dormant) di dalam tubuh seseorang selama
beberapa tahun hingga seumur hidup. Daya tahan tubuh seseorang
yang
lemah merupakan faktor utama yang menyebabkan
seseorang menjadi penderita.
Penyakit TBC di Desa Wakadia umumnya adalah jenis TB
Paru. Dari 12 penderita yang tercatat di puskesmas, hanya 1 orang
yang mengalami TB pada bagian kelenjar35. Meski begitu cara
penularan dan pengobatannya sama saja. Tingginya angka
penderita TB di Desa Wakadia tak lepas dari faktor-faktor yang
mendukung terjadinya penularan. Berbagai perilaku dan kebiasaan34
178
179
181
Rekomendasi
Dari paparan di atas, bisa dilihat bahwa faktor utama
penyebab peningkatan TB adalah ketidakpahaman masyarakat
tentang apa itu penyakit TB, berikut faktor-faktor yang mendukung
penularannya. Untuk itu, kegiatan promosi kesehatan berupa
penyuluhan terkait penyakit TB perlu dilakukan dengan lebih
serius. Program promosi kesehatan lebih fokus pada penyuluhan
dan sosialisasi terkait apa itu TB paru, apa penyebabnya,
bagaimana cara penularannya dan bagaimana cara mencegahnya.
182
183
184
Daftar Pustaka
Arnadottir, Thruridur. Tuberculousis and Public Health: Policy and
Principles in Tuberculousis Control. The Union Paris:
Perancis. 2009
Batoa, Drs. La Kimi. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha, 1991
Couvreur, J. Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Artha
Wacana Press: Kupang, 2001
Fran, MD, Jerome D. Foreword in Magic, Faith and Healing. Ari
Kiev (ed) The Free Press: New York, USA, 1964
Foster, George M. Antropologi Kesehatan. UI Press: Jakarta. 1986
Oba, Drs. La. Muna Dalam Lintasan Sejarah. Penerbit Sinyo Mp:
Bandung, (tanpa tahun)
Oba, La. Dkk. Upacara Adat Kariya (Pingitan) Sebagai Tutura
Masyarakat Muna. Percetakan Sultra: Kabupaten Muna,
2008
Van den Berg, Rene. Muna Historical Phonology. Hasanuddin
University & Summer Institute of Linguistics (tanpa tahun)
Van den Berg, Rene. Muna Dialects & Munci Languages: Towards
a Reconstruction. Dalam VICAL 2 Western Austronesian &
Contact Languaged dalam Linguistic Society of New
Zealand. Ray Harlow (ed.) Auckland: New Zealand, 1991
Van den Berg, Rene. Forestry, Injections and Cards: Dutch Loans
in Muna. dalam Tales From a Concave World. Connie Baak,
et.al (eds). Liber amicorum Bert Voorhoeve, 191-215,
Leiden. Projects Division Departmen of Languages and
cultures of South East Asia and Oceania, 1995.
Sumaryo. Sikap dan Perilaku Warga Masyarakat Muna Sesuai
Makna Bimbingan Katoba. FKIP Unhalu: Kendari, 2011
Syamsuhidayat, Dra. Sri Sugati, & Dr. Johnny Ria Hutapea.
Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1).
Depkes RI:
Balitbangkes, 1991
185
Thomas,
Daniel. The History of Tuberculosis. 2006.
http://www.resemdjournal.com//
Tarmudji dan Supar, "Tuberkulosis pada Sapi, Suatu Penyakit
Zoonosis", (makalah pada Balai Besar Penelitian Veteriner,
Bogor), 2008.
Wijayakusuma, H.M. Hembing , dkk.
Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Pustaka Kartini: Jakarta,
1993
Global Tubercoulosis Report. WHO 2014
Kecamatan Watopute Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Muna, 2014
Kabupaten Muna Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Muna, 2014
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2002
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian
Kesehatan RI. 2011
Profil Kesehatan Kabupaten Muna Tahun 2013. Dinas Kesehatan
Kabupaten Muna 2013
Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Muna Tahun 2014.
Dinas Kesehatan Kabupaten Muna 2013
Profil Kesehatan Puskesmas Dana 2014. Puskesmas Dana,
Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, 2014
Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.
Kementerian Kesehatan RI. 2011
186
Glosarium Muna
Anakodha
angkamata
balakia
banggai
basanodoa
bhoka
dariango
desalokabarakati
detungguno
doforabu-rabu
duku
fatano liwu
fiu-fiu
furui
gambusu
ghoera
hodaghorea
Imamonoliwu
kaago-ago
kabhawo
kadiukafanahi
kafodaho
187
kafongkara
kafuampe
kafuleigho
kaghabui
kaghati
kaghombo
kahitela
kalambu
kambuse
kameko
kampua
kangkilo
kapuntori
karatoha
karia
kasambu
katanda
katoba
katumbu
katunda
kedukaan
188
:
:
:
:
kobhinteno
komakulanoliwu
komeagha
kulidawa
La
La Ode
ladula
lakina
linda
liwu
lohia
malulo
mieno
Modhinoliwu
Nofokantibarasu
Nukiliwu
ogalu
omputo
parakang
parapu
sampuha
sando
setani
Sugi
Sulutaru
Wa
Wa Ode
189
wamba
wuna
190
:
:
bangsawan Muna
bahasa
bunga
191
10) Intan Ratna Dewi, Amd.Keb. selaku asisten peneliti yang telah
membantu dalam komunikasi dan translasi selama penelitian,
11) Seluruh informan yang membantu dalam pengumpulan data
dilapangan.
12) Semua pihak yang telah membantu terlaksananya riset ini baik
secara langsung dan tidak langsung mulai dari persiapan
sampai dengan tersusunnya buku ini, yang tidak dapat kami
sebutkan satu per satu.
Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi
mahasiswa, peneliti dan berbagai pihak yang membutuhkan kajian
budaya. Buku ini juga dapat dimanfaatkan oleh para pengambil
kebijakan kesehatan bagaimana mengintervensi masyarakat etnik
Muna untuk meningkatkan derajat kesehatannya dan terbebas
sebagai Daerah Bermasalah Kesehatan.
31 Agustus 2015
Tim Peneliti
192