Anda di halaman 1dari 177

Potret Pola Asuh

‘Anak Noken’ :
Dalam Budaya Lani
Etnik Lani – Kabupaten Tolikara

Ari Wahyudi.S.
Arih Dianing.I.
Agung Dwi.L.

Penerbit
Unesa University Press

1
Ari Wahyudi S., dkk

Potret Pola Asuh


‘Anak Noken’ :
Dalam Budaya Lani
Etnik Lani – Kabupaten Tolikara

Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 – 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com

Bekerja sama dengan:


PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xv, 161 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN : 978-979-028-969-7

copyright © 2016, Unesa University Press

All right reserved


Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik
cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

2
SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)
Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes
Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH
drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat : Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE

iii
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna

iv
KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat


di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.

v
Surabaya, Nopember 2015
Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, MKes

vi
DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ..................................................................... iii


KATA PENGANTAR .............................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................... vii
DAFTAR TABEL..................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................... xii
DAFTAR BAGAN................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................ 1
1.1. Pendahuluan .......................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................... 4
1.3. Metode ................................................................. 4
1.4. Sistematika Buku ................................................... 5
BAB 2 KONTEKS WILAYAH PENELITIAN .............................. 7
2.1. Sejarah Bokondini .................................................. 7
2.2. Geografi dan Kependudukan ................................. 12
2.2.1 Geografi .......................................................... 12
2.2.2 Kependudukan ................................................ 13
2.3. Pola Pemukiman dan MCK ................................... 15
2.4. Religi ...................................................................... 18
2.5. Organisasi Sosial dan kemasyarakatan.................. 22
2.5.1 Sistem Pemerintahan ..................................... 22
2.5.2 Sistem Kekerabatan ........................................ 30
2.6. Pengetahuan ......................................................... 33
2.6.1 Konsep tentang sehat sakit ............................ 33
2.6.2 Penyembuhan Tradisional .............................. 37
2.6.3 Pengetahuan tentang makanan dan minuman 38
2.6.4 Pengetahuan tentang yankes ......................... 39
2.6.5 Health Seeking Behaviour............................... 41
2.7. Bahasa ................................................................... 42
2.8. Kesenian ................................................................ 42
2.9. Mata Pencaharian ................................................. 43
2.10 Teknologi dan Peralatan ...................................... 45
2.11 Orang Lani dalam Perspektif Pendatang .............. 50
2.11.1 Masyarakat yang terbuka dan ramah .......... 51

vii
2.11.2 Denda Adat dan Kesulitan Ekonomi.............. 52
2.11.3 Etnis yang Dinamis dan Bersemangat ........... 53
2.11.4 Riwayat Perang Suku , Primordialisme
dan Impian untuk Hidup Sejahtera .............. 54
BAB 3 KONTEKS MASALAH KESEHATAN ............................. 58
3.1. Sejarah Puskesmas ................................................. 58
3.2 Kesehatan Anak ...................................................... 61
3..2.1 ISPA dan DIare ................................................ 61
3.2.2 Stunting dan Usia Pernikahan dini ................. 62
3.2.3 Caries Dentis dan Pulpitis ................................ 63
3.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................. 66
3.3.1 ASI Eksklusif .................................................... 67
3.3.2 Kebiasaan Merokok dan Makan Pinang .......... 68
3.3.3 Buang Air Besar Di Jamban ............................. 70
3.3.4. Aktivitas Fisik Yang Cukup .............................. 71
3.3.5. Imunisasi ........................................................ 72
3.4. Penyakit Menular ................................................... 72
3.4.1. Malari ............................................................. 72
3.4.2. Dermatitis dan Pioderma ( Penyakit Kulit ) .... 73
3.4.3 HIV/AIDS dan IMS............................................ 74
3.4.4 Helminthiasis ( Penyakit Kecacingan) ............. 76
3.5. Penyakit Tidak Menular ......................................... 76
3.5.1 Diabetes Melitus dan HIpertensi .................... 77
3.5.2 Kanker ............................................................. 77
3.5.3 Arthritis ( Nyeri Sendi) ..................................... 77
3.5.4 Dispepsia ( Sakit Maag) ................................... 78
3.5.5 Vulnus Laceratum, Vulnus Exoriasi dan
Trauma Tumpul ( Luka Robek) ........................ 78
3.6 Kesehatan Reproduksi ............................................ 79
3.7 Keluarga Berencana ................................................ 80
3.8 Sistem Pelayanan Kesehatan ................................. 81
3.8.1 Pelayanan Kesehatan ............................................. 82
3.8.2 Tenaga Kesehatan................................................... 82
3.8.3 Informasi Kesehatan ............................................... 83
3.8.4 Hubungan Pasien Dokter ........................................ 84
3.8.5 Produk medis dan Teknologi Vaksin ....................... 86
3.8.6 Pembiayaan Kesehatan .......................................... 87

viii
3.8.7 Kepemimpinan dan Kebijakan Pemerintah ............ 89
BAB 4 ANAK NOKEN DALAM BUDAYA LANI ...................... 91
4.1. Kelahiran anak pada Etnis Lani. ............................. 91
4.1.1 Persalinan dengan Cara Jongkok .................... 91
4.1.2 Pemotongan Tali Pusat ................................... 93
4.1.3 Rahu – rahu ( Budaya pada etnis Lani) ........... 94
4.2. Konsep Anak dalam etnis Lani ............................... 97
4.2.1 Nilai anak perempuan dalam lani ................... 103
4.3 Posyandu, Imunisasi dan Balita Stunting ............... 106
4.4. Pola Asih ................................................................ 112
4.4.1 Pemenuhan Kebutuhan Jasmani .................... 115
4.4.1.1 Pemberian Makanan pada Anak ............. 115
4.4.1.2 Pemenuhan Kebutuhan Sandang pada Anak 118
4.4.2 Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Pada Balita
(ISPA dan Diare Balita).................................... 120
4.4.3 Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan pada Anak .. 121
4.5 Pola Asuh (Pembiasaan dalam PHBS Anak)............ 123
4.5.1 Kebiasaan konsumsi makanan sehat .............. 123
4.5.2 Kebiasaan Buang Air Besar (BAB) ................... 124
4.5.3 Kebiasaan Mandi ............................................ 127
4.5.4 Kebiasaan Cuci Kaki dan Cuci Tangan ............. 128
4.5.5 Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki ........ 129
4.5.6 Kebiasaan menggosok gigi
(Caries dentis dan Pulpitis) ............................. 130
4.6 Pola Asah ................................................................ 133
4.6.1 Anak perempuan dengan noken dan kebun .. 135
4.6.2 Anak laki laki dengan parang .......................... 136
4.7 Anak Rumput .......................................................... 138
4.7.1 Istilah Anak Rumput ....................................... 138
4.7.2 Hak Asuh Anak Rumput .................................. 139
4.7.3 Hak Pendidikan dan Kesehatan bagi anak rumput 139
4.8 Edukasi kesehatan Reproduksi ............................... 141
4.8.1 Fenomena Goyang Oles di Kalangan Anak Remaja 142
4.8.2 Legalitas Kawin Cerai di Etnis Lani .................. 144
4.8.3 Peran Orang Tua pada penyampaian info kespro
Pada remaja putri.............................................. 145

ix
4.8.4 Peran orang tua pada penyampaian info kepada
anak tentang perilaku seks.................................. 146
4.9 Potensi dan Tantangan .......................................... 149
4.9.1 Potensi strategis dalam pemecahan masalah. 149
4.9.1.1 Karakter masyarakat Lani yang dinamis .. 149
4.9.1.2 Adanya struktur social yang berperan
Dalam menjaga norma ............................ 150
4.9.1.3 Adanya puskesmas sebagai ujung tombak
Pelayanan kesehatan .................................. 150
4.9.1.4 Adanya LSM dan NGO dalam berbagai
Program kesehatan .................................. 150
4.9.1.5 Adanya lembaga pendidikan dengan Kepedulian
terhadap pembentukan karakter anak........... 150
4.9.1.6 Adanya kader yang sangat peduli dengan
Derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik ........ 150
4.9.2 Tantangan yang dihadapi dalam pemecahan
Masalah ......................................................... 151
4.9.2.1 Tradisi Goyang oles sebagai alternatif
Hiburan masyarakat ......................................... 151
4.9.2.2 Kepedulian yang kurang nyata dari orang tua
Terhadap pendidikan seks dan kesehatan
reproduksi pada anak........................................ 151
4.9.2.3 Persebarangeografisdankonturwilayahpegunungan.. 152
4.9.2.4 Kebijakan yang kurang mendukung
dalam penurunan angka HIV/AIDS ................. 152
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .......................... 154
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 158
GLOSARIUM ......................................................................... 154
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................... 156

x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Sungai Bogo di Bokondini ........................ 8
Gambar 2.2. Situs Injil di Klasis Bogoga ....................... 9
Gambar 2.3. Gedung Sekolah YPPGI dan rumah dinas...... 10
Gambar 2.4. Kolam Pembaptisan pada masa Misionaris... 11
Gambar 2.5. Profile tank di Bokondini dan Mata air ... 13
Gambar 2.6. Rumah adat Honai dan rumah papan ..... 16
Gambar 2.7. Bak penampungan dan closet leher angsa .. 17
Gambar 2.8. Tugu Salib (tempat peringatan 1 Mei) .... 19
Gambar 2.9. Bentuk kuburan di Bokondini.................. 20
Gambar 2.10. Kayu Game .............................................. 21
Gambar 2.11. Kantor Distrik Bokodini ........................... 23
Gambar 2.12. Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga.. 23
Gambar 2.13. Ninggi Bangge (mutilasi jari) orang Lani.. 26
Gambar 2.14. Pusat Pelatihan Masyarakat Eruwok
di Bokondini............................................. 27
Gambar 2.15. Kegiatan pengkaderan HIV di Bokondini . 29
Gambar 2.16. Foto Mama, anak dan babi di honai yang sama ... 36
Gambar 2.17. Kegiatan pasar di Bokondini .................... 44
Gambar 2.18. Bandar udara di Bokondini ...................... 46
Gambar 2.19. Peralatan dapur dan kuali ....................... 50
Gambar 3.1. Puskesmas Bokondini .............................. 58
Gambar 3.2. Puskesmas baru Bokondini ..................... 60
Gambar 3.3. Kegiatan pengukuran tinggi badan ......... 63
Gambar 3.4. Kondisi jalan di Bokondini ....................... 69
Gambar 4.1. Contoh tali karung untuk ikat tali pusat.. 94
Gambar 4.2. Kegiatan posyandu di Puskesmas ........... 108
Gambar 4.3. Penimbangan anak di Puskesmas ........... 109
Gambar 4.4. Program 1000 Hari di Puskesmas Karubaga 111
Gambar 4.5. Menu makanan pada Program 1000 Hari
di Puskesmas Karubaga ........................... 112
Gambar 4.6. Bayi dalam noken .................................... 113
Gambar 4.7. Anak konsumsi mi instan......................... 117
Gambar 4.8. Rumput sebagai tempat jemur ............... 119
Gambar 4.9. Ibu dan anak di pasar .............................. 122

xi
Gambar 4.10. SD Inpres 1 Bokondini .............................. 123
Gambar 4.11. Anak mandi di sungai ............................... 128
Gambar 4.12. Anak dengan contoh kaki ........................ 129
Gambar 4.13. Beberapa anak tanpa alas kaki ................ 130
Gambar 4.14. Anak-anak jualan di pasar ........................ 134
Gambar 4.15. Anak dan parang ...................................... 137

xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Menu Makanan Etnis Lani di Bokondini .. 116
Tabel 4.2. Pergeseran Budaya Tukar gelang
ke Budaya Goyang Oles ........................... 143

xiii
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 3.1. Pergeseran budaya konsumsi makanan
dan perilaku gosok gigi Masyarakat Lani 66
Bagan 4.1. Pergeseran Paradigma Jumlah Anak
Ideal Etnis Lani......................................... 100

xv
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Pendahuluan
Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan proses besar
menuju status derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Pencapaian
indikator kesehatan mengerucut pada tingginya angka harapan hidup
dimana angka morbiditas dan angka mortalitas menjadi acuan penting
dalam evaluasi. Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka Kematian Balita (AKABA) di Propinsi Papua yang diakibatkan oleh
multifaktor yang kompleks. AKI yang tinggi di Papua tidak hanya disebabkan
oleh adekuasi pelayanan kesehatan maternal, tetapi juga banyak faktor
seperti tingginya fertililitas dan pernikahan usia muda. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat menempatkan Kabupaten Tolikara pada peringkat
terakhir dari 497 kabupaten di Indonesia.
Faktor penyebab tingginya angka kematian di Papua memang cukup
kompleks. Tidak hanya menyangkut aspek kedokteran (biologis-medis) dan
pelayanan kesehatan semata, tetapi juga mencakup aspek sosial budaya,
ekonomi, politik, lingkungan, tingkah laku, interaksi diantara aspek-aspek
tersebut membentuk mata rantai kematian pada masyarakat Papua.
Menurut Giyai (2012) ada 5 faktor utama penyebab tingginya angka
kematian di Papua, yaitu : politik dan kekerasan, budaya dan pemahaman,
stress akibat Otsus, miras dan KDRT serta penyakit.
Tingginya angka morbiditas masih didominasi oleh penyakit menular
seperti, malaria, TB Paru, HIV/AIDS, diare, filaria,DBD, ISPA, Pneumonia,
campak dan kusta.
Tingginya temuan kasus HIV/AIDS merupakan salah satu hal yang
meresahkan berbagai pihak pemangku kepentingan di Papua. Data resmi
menunjukkan adanya temuan kasus HIV AIDS yang menembus angka 10.000
kasus pada periode Tahun 2011. Beberapa kabupaten di wilyah pegunungan
tengah Papua disinyalir memberikan kontribusi sebagai kantong ketiga

1
jumlah penderita HIV/AIDS tertinggi di Papua setelah Kabupaten Mimika dan
Kota Jayapura.
Menurut HL Blum terdapat 4 faktor yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat, yaitu : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan
dan genetika. Faktor lingkungan adalah faktor yang paling dominan (40%)
yang mencakup penyediaan lingkungan yang sehat, perumahan yang sehat
dan makanan yang sehat. Faktor perilaku memberikan kontribusi sebesar
30% dalam penentuan status kesehatan masyarakat yang erat kaitannya
dengan kebiasaan keluarga dan budaya masyarakat. Faktor pelayanan
kesehatan adalah faktor ketiga. Semakin baik sebuah sistem pelayanan
kesehatan maka idealnya semakin tinggi derajat kesehatan masyarakat di
suatu daerah. Faktor genetik memberikan kontribusi paling kecil terhadap
status kesehatan masyarakat.
Budaya memberikan pengaruh terhadap pembentukan persepsi
terhadap konsep sehat dan sakit dan berkontribusi kepada pembiaran
terhadap norma berperilaku tidak sehat. Perilaku kesehatan mempunyai
kemungkinan yang sangat besar untuk mempengaruhi capaian derajat
kesehatan masyarakat. Dari sisi perilaku pada Riskesdas memperlihatkan
bahwa persentase penduduk umur 10 tahun keatas yang merokok setap hari
sebesar 22%, prevalensi kurang konsumsi sayur dan buah sebesar 89,7%,
prevalensi peminum alkohol sebesar 66,5%, 40,1% penduduk berperilaku
tidak benar dalam BAB daan hanya 22,4% saja yang berperilaku mencuci
tangan dengan benar. (Riskesdas 2010)
Perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang dibentuk
dan dipelajari. Ada 3 cara membentuk perilaku manusia, yaitu dengan cara
membentuk perilaku berdasarkan kebiasaan (conditioning), dengan cara
memberikan pengertian (insting) dan dengan cara menggunakan contoh
peran atau model perilaku. Pembentukan perilaku hidup bersih dan sehat
salah satunya dipengaruhi oleh Pola asuh orang tua kepada anak-anaknya.
Perilaku dibentuk dari beberapa hal yang salah satunya adalah
pembentukan norma yang dapat dibentuk sejak dini melalui serangkaian
pola asih, pola asuh dan pola asah yang baik. Pola asuh orang tua menurut
Casmini adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik,

2
membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam proses
kedewasaan hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang
diharapkan masyarakat secara umum. (Emotional Parenting, Yogyakarta,
P_idea). Adapula pendapat yang mengemukakan pola asuh sebagai periaku
yang digunakan orang tua untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan
anak-anak (Sugihartono, 2007)
Pola asih adalah cara orangtua mencurahkan kasih sayang dan
perlindungan kepada anaknya melalui serangkaian pemenuhan kebutuhan
anak baik pemenuhan kebutuhan akan jasmani maupun rohani, baik
sandang, pangan, papan ataupun kesehatan dan perlindungan serta hal-hal
lainnya yang bersifat non fisik.
Pola asuh adalah cara orang tua untuk mengajarkan kepada anak-
anaknya tentang norma berperilaku dalam kelompoknya. Misalnya adalah
pola asuh yang membiasakan anak-anak untuk menggosok gigi sehabis
makan dan sebelum tidur, kebiasaan mandi secara teratur, BAB dengan
benar di jamban maupun kebiasaan mencuci kaki dan tangan secara benar.
Pola asah adalah cara orangtua melatih kemandirian anak-anak agar
dapat bertahan dalam kehidupan di suatu wilayah tempat mereka tinggal`
Pedoman berperilaku dan pembentukannya sangat dipengaruhi oleh
konteks budaya yang berbeda. Lingkungan sosial budaya memberikan
kontribusi terhadap pola asuh orangtua terhadap anak. Pergeseran tatanan
budaya dan stuktur pembentukan norma dalam sebuah kelompok etnis
mempengaruhi pembentukan perilaku masyarakat, utamanya perilaku
hidup yang bersih dan sehat.
Pola asuh pada sebuah kelompok masyarakat tergantung pada
persepsi masyarakat terhadap nilai anak. Nilai anak pada masyarakat
berbasis agraris tentu saja berbeda dengan masyarakat berbasis industri.
Nilai anak pada masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah kebawah
tetntu saja berbeda dengan masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas.
Eksplorasi untuk mengenal perspektif nilai anak dan pola asuh pada
Etnis Lani diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang bagaimana
mereka dapat memberikan pedoman nilai terhadap generasi berikutnya
dalam berperilaku hidup bersih dan sehat dan akhirnya bermuara terhadap

3
peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Kabupaten Tolikara dan
ropinsi Papua pada umumnya.
Serangkaian kebijakan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat di Kabupaten Tolikara telah digulirkan. Terobosan – terobosan
inovatif pada sistem kesehatan daerah telah dilakukan. Akan tetapi belum
mampu mendongkrak status derajat kesehatan masyarakat di Kabupaten
Tolikara. Pendekatan kontekstual diperlukan untuk dapat mengenali
masyarakat Etnis Lani secara komprehensif. Perlu dilakukan studi untuk
mengeksplorasi unsur budaya yang mempengaruhi pembentukan pola asuh
anak pada etnis Lani.

1.2. Tujuan
Tujuan dari riset etnografi kesehatan ini adalah :
1. Mengetahui Pola asuh anak dalam Budaya masyarakat Etnis Lani di
Kabupaten Tolikara
2. Mengetahui Nilai Budaya yang mempengaruhi Pola asuh anak dalam
Budaya masyarakat Etnis Lani di Kabupaten Tolikara

1.3. Metode
Riset Etnografi Kesehatan ini dilakukan secara bersama-sama di
beberapa daerah kabupaten di Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk
melihat dan memahami kaitan nilai budaya yang membalut kondisi dan
perilaku kesehatan sebuah etnis atau masyarakat. Dari penelitian ini
nantinya dapat diketahui bahwa budaya lokal sangat mempengaruhi
masyarakat dalam kaitannya dengan kesehatan.
Kondisi kesehatan suatu etnis tentunya tidak lepas dari beberapa hal,
seperti masalah kesehatan, pengambilan keputusan kesehatan, konsep
sehat sakit dan lainnya. Karena penelitian berjudul riset etnografi kesehatan,
maka etnografi dalam hal ini digunakan sebagai sudut pandang peneliti
untuk memotret kondisi kesehatan yang ada.
Etnografi sendiri memiliki definisi sebagai suatu deskripsi mengenai
kebudayaan suatu bangsa (Koentjaraningrat, 2009). Oleh karena itu,

4
etnografi kesehatan dapat diartikan sebagai sebuah deskripsi kebudayaan
suatu bangsa dalam kaintannya dengan aspek kesehatan.
Selain hal tersebut, penelitian ini juga bermaksud untuk mencari data-
data mengenai konsepsi dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
keberadaam dukun, pengobatan tradisional, teknologi-teknologi yang
memiliki pengaruh terhadap perkembangan kesehatan suatu etnis di suatu
daerah. Di lain sisi, penelitian ini juga akan mengungkap masalah-masalah
kesehatan mulai dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), penyakit
menular (PM), penyakit tidak menular (PTM), dan kesehatan ibu dan anak
(KIA).
Pemilihan Kabupaten Tolikara sebagai lokasi studi penelitian
didasarkan pada hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)
pada tahun 2013. Hasil tersebut mengatakan bahwa Kabupaten Tolikara
berada pada posisi 497 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 40 hari (April-Juni). Selain
etnografi, penelitian ini juga menggunakan metode live-in, observasi dan
kajian pustaka.
Metode live-in yang dimaksud adalah sebuah metode dimana peneliti
tinggal bersama masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
peneliti agar masuk atau membaur dengan masyarakat setempat. Sehingga
data-data yang diperlukanlai dapat diperoleh dengan baik. Selain live-in,
peneliti juga menggunakan observasi sebagai salah satu cara untuk
memperoleh data-data lainnya.
Kajian pustaka dilakukan untuk meperkuat data-data atau realita yang
terjadi selama peneilitian. Kajian pustaka tersebut dapat berupa buku,
artikel, jurnal, dan sebaganya.

1.4. Sistematika Buku


Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai urutan yang ada pada
buku. Buku ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama untuk pedahuluan, bab kedua
untuk budaya, bab ketiga untuk kesehatan. Selanjutnya bab keempat lebih
spesifik membahas tentang pola asuh dan nilai anak perempuan dalam etnis
Lani dan bab 5 untuk kesimpulan dan rekomendasi.

5
Untuk bab 1 menjelaskan tentang latar belakang pemilihan lokasi dan
tematik penelitian yang diambil. Selain hal tersebut, dijelaskan juga
beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab 2 menjelaskan asal usul daerah penelitian, perkembangan yang
terjadi, budaya-budaya lokal yang saat ini masih digunakan, hingga
teknologi-teknologi yang mulai masuk di daerah Bokondini.
Pada bab 3 lebih menjelaskan kepada kondisi kesehatan yang ada di
Bokondini. Sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan di Bokondini. Selain itu, bab ini juga mendeskripsikan mengenai
sejarah Puskesmas secara singkat.
Bab 4 akan dijelaskan mengenai nilai anak perempuan etnis Lani.
Status anak perempuan yang dianggap sebagai modal bagi keluarganya.
Selain itu, juga dipaparkan tentang pola asuh, asah, asih orangtua Lani
kepada anaknya. Dalam bab ini peneliti juga memberikan beberapa contoh
kasus yang ada di Bokondini.
Bab 5 dalam buku ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan yang
dibuat oleh peneliti tentang keterkaitan antara budaya dengan kesehatan.
Hal tersebut juga menajadi dasar bagi peneliti untuk memberikan
rekomendasi yang sesuai dengan kondisi lokal yang ada.

6
Bab 2
Konteks Wilayah Penelitian
2.1. Sejarah Bokondini
Distrik Bokondini adalah salah satu distrik yang secara administratif
berada di bawah pemerintahan Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua.
Untuk menuju ke distrik tersebut, kita harus menempuh jarak dengan
waktu tempuh sekitar 2,5 jam dengan menggunakan sepeda motor atau
mobil dengan tipe double gardan. Perjalanan tersebut ditempuh melalui
Wamena dengan kondisi jalan yang masih berupa makadam atau sirtu.
Secara historis, Distrik Bokondini dimiliki oleh pemerintahan
Kabupaten Jayawijaya. Namun tepatnya pada tahun 2003, Kabupaten
Tolikara mengalami pemekaran yang secara tidak langsung juga
berdampak pada Distrik Bokondini. Distrik Bokondini secara administratif
terbagi dalam 10 kampung dan 1 kelurahan. Kampung Mingganggo,
Apiam, Umaga, Galala, Mairini, Tenggagama, Kolugume, Lambogo,
Dunduma, Yawalani dan Kelurahan Bokondini merupakan 11 lokasi
administrasi yang terletak di Bokondini. Distrik Bokondini memiliki
wilayah seluas 445 km² dari keseluruhan wilayah kabupaten Tolikara
seluas 5.234 km². (Tolikara dalam Angka 2014, BPS)
Distrik Bokondini pada awalnya memiliki nama Bogondini. Bogo
adalah nama sungai di Bokondini dan Ndini yang berarti tempat yang
datar. Bogondini adalah sungai Bogo yang terleta di tempat yang datar.
Seperti apa yng telah dijelaskan oleh Mama On (umur 40 tahun) :

…..“Bogo itu nama sungai, Ndini berarti di tempat yang


datar,”……“Bogondini pu arti sungai Bogo di tempat yang
datar, karena misionaris datang, dan biar mudah eja, sering
mereka sebut Bokondini sudah…..”, jelasnya

7
Gambar 2.1.
Sungai Bogo di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, Distrik


Bokondini merupakan tempat pertama masuknya Injil di Papua pada tanggal
1 Mei 1956. Power Erickson adalah seorang misionaris yang pertama kali
masuk di Bokondini. Pada awalnya masyarakat merasa ketakutan, karena
mereka terlihat jauh berbeda secara fisik. Waktu itu masyarakat
memberikan makanan yang sama untuk dapat dikonsumsi oleh misionaris
tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui mereka sebagai manusia
yang sama. Seperti yang diutarakan oleh Mama On :
“badan putih, rambut putih, hantu kah atau manusia?, biar
tahu, masyarakat coba kasih singkong, dia makan, kasih air, dia
minum, baru kasih wam (babi), dia makan juga, begitu baru
masyarakat percaya kalo dia bukan hantu,” jelas Mama On
Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya tugu dan situs-situs
lainnya yang menjadi penanda masuk Injil pertama di Bokondini. Adanya
kolam pembaptisan, tugu penanda, dan bandar udara.

8
Gambar 2.2.
Situs Injil di Klasis Bogoga
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Peristiwa tersebut pada akhirnya menjadi cikal bakal sejarah


berdirinya Distrik Bokondini. Waktu itu, para misionaris mengerahkan
tenaga masyarakat untuk membuat bandar udara yang hingga saat ini
dapat terus digunakan. Pembuatan tersebut difungsikan untuk
memudahkan mobilitas misionaris dalam melakukan penyebaran agama.
Saat itu pembuatan bandar udara tersebut hanya menggunakan linggis
dan sekop dalam kurun waktu selama 2 minggu. Paska pembuatan,
masyarakat menerima kulit bia (kerang/keong) sebagai upah untuk
pembuatan bandar udara tersebut. Selain bandar udara, ada bangunan
sekolah yang waktu itu juga dibangun oleh misionaris.
Sekolah dasar swasta Yayasan Pendidikan Penginjilan Gereja
Indonesia (SDS YPPGI) adalah sekolah pertama yang dibangun oleh
misionaris pada tahun 1956 di Distrik Bokondini. Namun karena suatu
perkembangan yang melahirkan adanya sebuah perubahan, SDS YPPGI
tersebut sekarang sudah tidak aktif lagi. Latar belakang pendidikan yang
berbeda antara dahulu dengan sekarang menjadi salah satu faktornya.
Lulusan guru pada saat itu hanya berasal dari Sekolah Pendidikan
Guru (SPG) yang mana mereka disekolahkan oleh Gereja. Realita yang

9
terjadi saat ini di mana banyaknya sekolah negeri dan swasta yang
mayoritas gurunya lulusan sarjana (S1). Sekolah dasar negeri tersebut
adalah SDN Inpres 1 Bokondini yang terletak di Galala (dahulu Kota
Lama). Sedangkan untuk swasta, yaitu SD Obanggen yang terletak di
Kelurahan Bokondini. Kondisi tersebut senada dengan yang disampaikan
oleh Mama Ic (umur 44 tahun) :

….“sekolah ini su lama, saya jadi guru tahun 93 begitu sampai


2000, baru setelah itu pindah ke TK to, sekarang murid su
sedikit, mulai 2010 itu su mulai berkurang, lagi, lagi, sampai
sekarang su tidak ada, banyak sekarang guru-guru S1, jadi
dong pilih lebih bagus, di sini dulu hanya lulusan SPG saja”…,
ungkap Mama Ic

Gambar 2.3.
Gedung Sekolah YPPGI dan rumah dinas
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Selain SDS YPPGI dan bandar udara, pada masa misionaris juga
terdapat kolam pembaptisan. Kolam tersebut digunakan untuk
membaptis atau mengangkat para warga untuk berpindah kepercayaan
dari animisme menjadi agama Kristen Protestan. Kolam tersebut terletak
tidak jauh dari lokasi Puskesmas dan saat ini digunakan sebagai tempat
pemancingan kecil oleh warga sekitar.

10
Seperti yang telah diceritakan oleh Mama On bahwa sempat ada
wacana perlebaran jalan menuju Puskesmas. Wacana tersebut pada
akhirnya tidak disetujui karena akan menimbun kolam tersebut dengan
bahan-bahan material. Tentunya kolam tersebut secara historis memiliki
nilai agamis yang sangat kuat. Hal ini senada dengan yang diungkapkan
oleh Mama On bahwa, “eh tidak, tidak, itu kolam ada makna, saya tidak
setuju misal mau ada perlebaran jalan buat ke puskesmas begitu”,
ungkap Mama On.

Gambar 2.4.
Kolam Pembaptisan pada masa Misionaris
Sumber : Dokumentasi peneliti, April 2015

Masyarakat Bokondini saat itu belum mengenal sistem pemerintahan.


Selain persebaran penduduk yang belum berkoloni, belum adanya
bangunan-bangunan perkantoran seperti kantor distrik, masyarakat yang
masih buta huruf dan tulis menjadi salah satu penyebabnya.
Empat tahun berselang sekitar tahun 1960, pemerintah kolonial
Belanda masuk dan mulai menduduki Papua. Pada saat itu, sistem
pemerintahan baru dibuat yang setingkat kecamatan. Namun keadaan
tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1962, pemerintah Indonesia dapat
merebut kembali Papua dari tangan kolonial Belanda. Pada tanggal 15 Mei
1969, pemerintahan kolonial Belanda meninggalkan Papua. Semenjak

11
mengalami peralihan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan
Indonesia, pada tahun 1972 dibentuk sebuah pemerintahan yang disebut
KPS (Kepala Pemerintahan Setempat). Empat tahun setelahnya, baru dikenal
dengan sebutan distrik yang dipimpin oleh seorang camat.

2.2. Geografi dan Kependudukan


2.2.1. Geografi
Pegunungan dan perbukitan menjadi panorama utama yang terdapat
di Bokondini. Kondisi tersebut menjadikan Bokondini memiliki udara yang
sejuk dan bebas polusi. Banyak jenis tanaman, pepohonan, dan perkebunan
yang tumbuh dengan bebas di daerah pegunungan ini. Secara geografis,
Bokondini berbatasan dengan wilayah Distrik Bewani di Utara, Selatan
dengan Distrik Kamboneri, Barat dengan Distrik Kanero, dan Timur dengan
Distrik Kelila (Kabupaten Mamberamo Tengah).
Lokasi distrik yang terletak di dataran tinggi menyebabkan Distrik
Bokondini memiliki curah hujan tinggi. Pada umumnya, Bokondini memiliki
dua musim, yaitu musim hujan dan panas. Namun kedua musim tersebut
tidak dipastikan secara berkala terjadi pada bulan tertentu. Realita yang
terjadi menyebutkan bahwa saat musim hujan kadang ada panas dan
sebaliknya. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Kak Robin (umur
33 tahun) bahwa :

……“di sini ini begini, walau kemarau, dia tetap ada hujan,
begitu juga waktu hujan, dia tetap ada panas, cuaca di sini
tidak menentu, tidak dapat dipastikan, baru pernah tidak ada
hujan satu minggu saja dong juga sebut musim kemarau….”,
jelas Kak Robin

Kondisi geografis seperti itu berdampak pada melimpahnya air di


Bokondini. Sumber air di Bokondini berasal dari pegunungan. Air tersebut
dialirkan melalui pipa dan selang. Aliran air tersebut akhirnya ditampung
dalam sebuah profil tank yang saat ini mulai digunakan oleh masyarakat
di kota. Untuk masyarakat yang berada di kampung, mayoritas mereka
hanya menggunakan selang untuk memanfaatkan air tersebut. Sumber

12
air di Bokondini biasa digunakan masyarakat untuk mandi, minum,
mencuci dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Selain hal tersebut,
Masyarakat Bokondini terbiasa meminum air langsung tanpa dimasak
terllebih dahulu. Merka meyakini bahwa kondisi air dari mata air
pegunungan masih bersih dan layak dikonsumsi secara langsung.

Gambar 2.5.
Profle tank di Bokondini (kiri), Mata air (kanan)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

2.2.2. Kependudukan
Berdasarkan data BPS tahun 2013, jumlah penduduk yang berada
di Bokondini sekitar 6.005 jiwa. Jumlah tersebut terbagi dalam 3.189 jiwa
untuk laki-laki dan 2816 jiwa untuk perempuan. Jumlah tersebut
tentunya tersebar di 11 lokasi administratif yang berada di Bokondini.
Secara administratif, tidak ada data monografi yang tercatat baik di
distrik maupun di kampung.
Data lain yang berhubungan dengan jumlah penduduk hanya
terdapat di Puskesmas. Data per 1 Januari 2014 menunjukkan bahwa
jumlah penduduk Bokondini adalah 3.425 jiwa yang terbagi laki-laki 1.747
jiwa dan perempuan 1.678 jiwa. Realita yang terjadi bahwa tidak ada
angka yang dapat menunjukkan jumlah penduduk secara pasti. Mulai dari
jumlah penduduk dilihat dari pekerjaan, melek huruf dan pendidikan.

13
Kondisi ini tentunya dapat berdampak pada perkembangan distrik,
khususnya dibidang kesehatan yaitu promosi kesehatan. Tidak adanya
data yang valid tentunya dapat berakibat pada tidak maksimalnya
program tersebut.
Berdasarkan jumlah etnis, Distrik Bokondini dapat dikatakan
menjadi distrik multietnis. Hal ini dapat dilihat dari cukup banyaknya
etnis yang tinggal di Bokondini. Dalam hal ini, etnis Lani menjadi
mayoritas etnis yang mendiami wilayah tersebut. Sedangkan untuk etnis
seperti Jawa, Bugis, Toraja, Ambon, Minang, Batak dan Buton lebih
sebagai pendatang. Mayoritas dari etnis pendatang bekerja sebagai
pedagang kios di pasar, PNS baik kesehatan ataupun pendidikan.
Sebagai pendatang tentunya memiliki pandangan yang tersendiri
terhadap etnis Lani sebagai etnis pribumi. Perbedaan latar belakang
pekerjaan dan pendidikan pada setiap individu tentunya memiliki
pandangan yang berbeda pula terhadap sesuatu hal. Berikut adalah
beberapa testimoni mengenai orang Lani dari beberapa informan yang
memiliki perbedaaan latar belakang. Ibu Nao (umur 50 tahun) adalah
seorang staf NGO berpendapat bahwa :

……“orang Lani itu di sini, dia punya, dia punya tubuh itu
kuat, cepat bergerak kalau ada sesuatu yang menarik, tapi
kadang dia juga bisa lompat begitu, maksudnya mereka
sedang ada buat ini, lalu ada ini, baru, yang tadi itu mereka
kasih tinggal, jadi belum selesai sudah ada buat baru”…., jelas
Ibu Nao

Pernyataan tersebut senada dengan yang disampaikan oleh salah


satu dokter PTT di Bokondini, yaitu dokter Tar (umur 28 tahun) bahwa :

….“di sini orang sudah bisa dibilang diajak maju, maju ya


sudah lancar bahasa Indonesia, distribusi honai di kota sudah
jarang, mereka di sini mau diajak berkembang, dilihat sudah
pakai sandal, jarang ada yang mabuk, baru mereka
religius”…., cerita dokter Tar

14
Hal ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Kak Hab M (umur
23 tahun) yang berprofesi sebagai nakes honorer bahwa :

…..“orang sini itu ramah, dia selalu bilang selamat pagi, selamat
sore, selamat malam, kalau bertemu begitu, tapi memang kita
tetap harus hati-hati, namanya juga tetpa pendatang to, apalagi
kalau sudah dengan masalah adat begitu, mereka bisa beda”….,
ungkap Kak Hab M

Pandangan tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Bud Karm


(66 tahun) yang seorang pedagang bahwa, “nggih tiyang mriki niku ramah”,
cerita Bud Karm.
Beberapa testimoni tersebut tentunya dapat dikatakan bahwa
mayoritas orang Lani memiliki keramahan kepada setiap pendatang. Hal ini
tentunya dapat menimbulkan rasa nyaman bagi para pendatang yang tinggal
di Bokondini.
Di sisi lain, para pendatang secara tidak langsung tentunya memiliki
dampak yang baik bagi perkembangan kampung Bokondini sendiri. Seperti
yang dijelaskan oleh tim peneliti Unesco bahwa pendatang memiliki
kontribusi kepada kehidupan keluarga, pemerintahan, non-pemerintahan,
pendidikan, dan ekonomi (Oscar Handlin dkk, 1955)

2.3. Pola Pemukiman dan MCK


Pola pemukiman penduduk Distrik Bokondini terbagi di beberapa
wilayah. Untuk wilayah kota distrik, pola pemukiman sudah berkumpul.
Beberapa bangunan seperti rumah dan kantor-kantor pemerintahan sudah
menghiasi setiap ruas jalan di Bokondini. Mayoritas rumah menghadap ke
Utara dan Selatan. Kondisi tersebut berbeda dengan pola pemukiman di
kampung. Pola pemukiman di kampung tetap berkelompok dalam satu area.
Namun dalam area tersebut, antara rumah yang satu dengan yang lain
biasanya memiliki hubungan keluarga.
Pada umumnya rumah warga di Kelurahan Bokondini terbuat dari
kayu. Dinding dan alas rumah tersebut terbuat dari kayu. Kayu yang
digunakan pun memiliki kualitas yang bagus, seperti kayu gap, ip, eriboni

15
dan apea. Masyarakat Bokondini biasa menyebutnya dengan istilah kayu
besi, karena kayu tersebut bagus dan kuat. Namun, ada beberapa warga
yang masih banyak menggunakan honai sebagai rumah tinggalnya,
khususnya di perkampungan.
Secara kultur, honai yang sudah ada sejak nenek moyang tersebut
tentunya memiliki nilai yang berbeda dengan rumah papan. Namun tidak
dapat dipungkiri bahwa rumah papan saat ini juga sudah mulai digunakan.
Kondisi tersebut berdampak pada pola pemukiman warga. Ada beberapa
warga yang memiliki dua bangunan tempat tinggal, yaitu honai dan rumah
papan. Seperti yang telah disampaikan oleh Kak Pan E (umur 35 tahun)
bahwa :

…..“dia, honai itu tetap kita pakai, karena orang tua memang
senang di honai, dari dulu su pakai honai to, dong bilang
lebih nyaman beristirahat di honai, baru kalau honai laki-laki
itu monekme, perempuan tidak boleh masuk, kasih makan
dari luar, baru misal mau buat sesuatu, baru dia di rumah
papan”…., ungkap Kak Pan E

Gambar 2.6.
Rumah adat Honai (kiri), Rumah papan (kanan)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

16
Pola pemukiman yang bervariatif tentunya juga berdampak pada
pola MCK yang digunakan. Mayoritas masyarakat di Bokondini belum
semua memiliki MCK yang menjadi satu dengan rumah. Hanya beberapa
bangunan saja yang memiliki pola MCK di dalam rumah, seperti rumah
dinas dokter, rumah dinas Puskesmas, dan rumah LSM. Pola MCK yang
digunakan saat ini umunya terletak secara terpisah dengan rumah
tinggal.
Mayoritas warga menggunakan jenis leher angsa untuk MCK-nya
dan drum sebagi bak penampungan air. Sumber air yang ditampung
dalam profile tank kemudian dialirkan dengan menggunakan selang ke
bak tersebut.

Gambar 2.7.
Bak penampungan (kir), Closet leher angsa di Bokondini (kanan)
Sumber ; Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Kondisi tersebut berbeda halnya dengan pola MCK bagi mereka


yang berada di perkampungan. Mayoritas mereka masih belum
menggunakan MCK. Kebutuhan BAB dan sebagainya biasa mereka
lakukan di sungai. Pada dasarnya baik dari pemerintah ataupun LSM yang
telah memberikan bantuan berupa MCK umum. Namun, karena jarang
digunakan oleh masyarakat, MCK umum tersebut terlihat kurang bagus.

17
Kondisi tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Mama On (umur
40 tahun) bahwa :

….”kebanyakan MCK di kota distrik sudah menggunakan MCK


tertutup dan memiliki cemplung, baru di beberapa kampung
yang dia cukup jauh dari kota distrik, umumnya dong masih
belum menggunakan MCK seperti di kota….”, jelas Mama On

Kondisi tersebut tentunya berpengaruh perilaku hidup bersih dan


sehat masyarakat sehari-hari. Pengaruh itu nantinya dapat membawa
masyarakat pada penyakit tertentu.
Adapun bangunan lain yang terdapat di Bokondini selain
pemukiman penduduk dan MCK. Bangunan-bangunan tesebut seperti
halnya gereja, kantor polisi, masjid, kantor kodim, dan sekolah.

2.4. Religi
Menganut kepercayaan ataupun agama adalah hak setiap warga
negara di Indonesia, seperti yang telah diatur dalam UUD 1945.
Mayoritas masyarakat Bokondini menganut agama Kristen Protestan.
Ada juga beberapa penganut agama Islam yang berada di Bokondini. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya bangunan gereja di Bokondini.
Sedangkan untuk penganut agama Islam, hanya terdapat sebuah masjid
di kota Distrik Bokondini. Gereja biasanya digunakan pada hari Minggu
untuk beribadah bagi umat Kristen Protestan. Sedangkan masjid hanya
digunakan setiap hari Jumat bagi umat Islam.
Gereja biasanya juga digunakan pada hari besar-besar lainnya,
seperti kenaikan Isa Al-Masih atau peringatan masuknya Injil pertama
pada tanggal 1 Mei. Kain-kain indah yang membalut tubuh mereka
menjadi pertanda bahwa mereka, yaitu para jemaat akan pergi
beribadah. Khususnya pada hari peringatan masuknya Injil, selain berdoa
kepada Tuhan, mereka juga melakukan tradisi bakar batu. Dalam hal ini
mereka menggunakan wam (babi) sebagai menu utamanya. Sebagian
dari mereka saling bantu-membantu menyumbangkan wam-nya untuk

18
dinikmati bersama pada hari tersebut. Kegiatan 1 Mei tersebut pada
waktu lalu dilakukan mulai dari jam 8 sampai dengan jam 16 WIT.

Gambar 2.8.
Tugu Salib (tempat peringatan 1 Mei)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Juni 2015

Hal itu juga serupa dilakukan oleh umat Islam dalam perayaan Isra
Mi’raj. Masjid Muthmainah menjadi tempat berkumpulnya mereka
dalam peringatan tersebut. Dengan membawa berbagai jenis makanan,
mulai makanan ringan hingga makanan berat. Para pendatang di
Bokondini waktu itu mengundang seorang ustadz untuk berceramah
dalam kegiatan Isra Mi’raj. Ustadz tersebut berasal dari Purwokerto dan
sudah lama tinggal di Wamena sejak tahun 2003. Secara tradisi, kegiatan
tersebut dimulai sehabis waktu sholat dzuhur hingga waktu sholat ashar,
sekitar jam 12 hingga jam 15.
Dalam konteksnya, masyarakat Bokondini juga memiliki
kepercayaan terhadap orang yang sudah mati yang terjadi di masyarakat
Lani. Hal tersebut dapat dilihat di kuburan-kuburan yang selalu
dibangunkan sebuah rumah. Rumah tersebut diasumsikan sebagai
perlindungan bagi sang mati. Perlindungan dari cuaca panas dan hujan,
sehingga merasa teduh di alam sana.

19
Gambar 2.9.
Bentuk kuburan di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Selain pemberian rumah, pemberian makanan terhadap si mati


juga biasa dilakukan. Namun dengan adanya pencerahan dari Hamba-
hamba Tuhan seperti Gembala dan Pendeta, kebiasaan tersebut mulai
menghilang. Seperti yang sempat diceritakan oleh Mama On yang pernah
terjadi dalam kaitannya dengan pemberian makanan si mati :

…“hei, jangan gerak, dia sedang makan, mereka semua


diam, takut, padahal yang makan tikus, tapi itu sekarang
hanya beberapa tempat saja”…, jelas Mama On.

Selain hal tersebut, masyarakat masih mempercayai hal-hal gaib,


seperti seekor burung hitam yang mengelilingi rumah seorang warga, maka
salah satu anggota keluarga dari warga tersebut nantinya akan mengalami
sakit atau mati. Hal tersebut sependapat dengan yang telah diutarakan oleh
Mama On :

“hee, kemaren ko(kamu) tidak dengar suara burung kah? Dia


ada putar-putar di ko pu rumah, hati-hati nanti sakit atau
mati begitu, cepat bayar ko pu utang, jangan sampai su tidak
ada, utang belum bayar,” kata Mama On

20
Dalam konteksnya, masih ada tradisi yang menurut kepercayaan
dapat mengusir atau memperlancar perjalanan terhadap gangguan gaib.
Masyarakat Bokondini masih menggunakan sebuah kulit kayu yang biasa
dikenal kayu game. Kulit kayu tersebut biasa diolah menjadi gantungan
dan dikalungkan. Hal ini sependapat dengan yang disampaikan oleh
Bapak Yul B (umur 46 tahun) :

….“kayu game ini kita bikin dia seperti kalung begitu, baru
misal ada rasa ganggu begitu, kita gigit kayu game itu, baru
semburkan tadi dimana kita rasa ada ganggu tadi, hilang
pasti, baru boleh jalan…”, cerita Bapak Yul B

Gambar 2.10.
Kayu Game
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Selain hal tersebut, kayu game dalam keseharian masyarakat


Bokondini juga dikenal sebagai obat untuk penyakit epilepsi. Biasanya
penderita epilepsi yang sering kambuh akan diberikan Kayu Game dalam
bentuk lebih kecil dalam wujud kalung yang diragkaikan dengan tali di
lehernya. Kayu Game tersebut akan digigit ketika serangan kejang datang.
Kepercayaan pengobatan Kayu Game tersebut berangkat dari pemahaman
masyarakat bahwa epilepsi atau ayan adalah salah satu penyakit yang

21
disebabkan oleh gangguan roh halus. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Bapak Noa P (umur 75 tahun) bahwa :

…”biasa orang yang sering kejang-kejang macam kerasukan


begitu dia pakaikan game untuk kasih kalung, jadi kalau
kejang-kejang su terasa mau datang, dia bisa gigit game”…,
jelas Bapak Noa P

2.5. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan


2.5.1. Sistem Pemerintahan
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya tidak lepas dari norma-
norma atau kaidah-kaidah yang berlaku. Realita yang ada di Bokondini
terdapat beberapa aturan-aturan sosial dan adat. Aturan-aturan tersebut
dibentuk oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh di Bokondini. Misalnya,
pendeta (klasis), kepala Lembaga Masyarakat Adat (LMA), kepala suku, dan
kepala kampung.
Aturan tersebut dibuat dengan tujuan agar masyarakat setempat
dapat hidup berdampingan dengan selaras, serasi dan seimbang. Tidak ada
peperangan ataupun konflik antar warga atau kampung.
Secara administratif, Distrik Bokondini dipimpin oleh seorang
camat/kepala distrik. Kepala distrik dibantu oleh sekretaris distrik dan aparat
pemeritahan distrik lainnya. Realita yang terjadi selama kami berada di sana,
kegiatan pemeritahan di distrik tidak terlalu berjalan dengan aktif. Kami
hanya dapat bertemu dengan sekretaris distrik pada minggu pertama kami
tiba. Paska tersebut hingga saat kami hendak pulang, kami tidak dapat
bertemu lagi dengan sekretaris distrik atau para staf distrik lainnya.

22
Gambar 2.11.
Kantor Distrik Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, April 2015

Kondisi yang terjadi mungkin disebabkan oleh adanya isu-isu yang


berkembang bahwa Bokondini akan menjadi sebuah kabupaten. Hal ini
tampak jelas pada papan nama yang terdapat di belakang kantor distrik,
yaitu Kantor Persiapan Kabupaten Bogoga.
Isu pemekaran saat ini menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan
di kalangan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang terlibat dalam
pembentukan Kabupaten Bogoga tersebut.

Gambar 2.12.
Kantor Bupati Persiapan Kabupaten Bogoga
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

23
Isu tersebut tentunya mendapat tanggapan dari beberapa elemen
masyarakat baik yang berkepentingan ataupun tidak. Tanggapan para
masyarakat sangat variatif, sebagian ada yang mendukung dan sebagian
bersikap sebaliknya. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Kak Wep
W (umur 36 tahun) bahwa :

….“nanti jadi banyak pabrik, udara dan tanah tidak lagi sama,
buah-buah harus kasih semprot, kalo su semprot rasa tidak
semanis sekarang, baru kita pu rumah ini bisa jadi digusur
karena dong pasti mu bikin bagus to, baru kita ini mau tinggal
dimana kalau sudah sperti itu’…, ungkap Kak Wep W

Pendapat di atas tentunya berbeda dengan warga lainnya, terlepas


berkepentingan atau tidaknya warga tersebut. Hal ini seperti yang
disampaikan oleh Bapak Yev Ab (umur 47 tahun) :

…..“kita pu bangunan-bangunan dulu semua dari Jayawijaya,


rumah sakit, rumah dokter, perpustakaan, itu saja yang baru
dari Tolikara, makanya kita mau sama-sama dirikan kabupaten
saja, dong tidak ada perhatian dengan kita, kita pu
kesejahteraan juga kurang”…., jelas Bapak Yev Ab

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Mama Men (umur 43
tahun) terkait dengan pemekaran kabupaten :

“kita senang, karena saya ke Karubaga bisa hitung jari, harus


putar-putar, misal ada dinas, harga barang juga mahal, semua
naik dan gaji berapa, baru anak-anak makan apa, uang habis
ditransport, saya senang bisa bangun saya pu daerah, apa yang
kurang dari kabupaten sekarang bisa dibikin di kabupaten baru
nanti”, jelas Mama Men

Begitu juga dengan yang disampaikan oleh Kak Pan E (umur 36 tahun)
tentang pemekaran kabupaten bahwa :

24
“kalau memang betul jadi kabupaten, kita senang, kita orang di
sini bisa punya pekerjaan, biar bisa berkembang to, soalnya
dong di atas ini tidak ada perhatikan kita, siapa tahu nanti saya
ini bisa jadi anggota DPR to”, jelas Kak Pan E

Selain distrik, keberadaan klasis juga menjadi salah satu hal yang
penting dalam kaitannya dengan perkembangan distrik. Dalam hal ini klasis
lebih fokus kepada hal-hal yang sifatnya agamis. Klasis dipimpin oleh seorang
ketua dan beberapa anggota lainnya yang tediri dari wakil ketua, sekretaris,
wakil sekretaris , bendahara 1, dan bendahara 2. Klasis yang terdapat di
Bokondini adalah klasis Bogoga, yang mana klasis tersebut membawahi lebih
dari 21 gereja. Hal ini senada dengan yang diucapkan oleh Bapak Yev Ab,
“satu klasis itu 21 gereja lebih, karena dia masih ada beberapa gereja yang
dia baru persiapan, belum jadi gereja tapi akan jadi gereja”, jelas Bapak Yev
Ab.Dalam klasis terdapat 1 koordinator wilayah yang bertanggungjawab di
beberapa klasis. Sebuah klasis terdapat beberapa koordinator daerah dan
tingkatan paling bawah adalah gembala jemaat yang ada pada setiap gereja.
Seperti yang telah disampaikan oleh Bapak Yev Ab bahwa :

….“dibawah klasis itu koordinator daerah, di atas itu wilayah


baru klasis, koordinator daerah, baru gereja, koordinator
daerah juga biasa disebut gembala daerah, terus gembala
jemaat”….” Gembala jemaat itu setiap gereja, biasa dia tiga
sampai empat orang, baru satu koordinator daerah itu
merangkul lima sampai enam gereja”…, jelas Bapak Yev Ab

Pada umumnya klasis turut berperan serta dalam menetapkan


sesuatu yang baik dan tidak baik. Seperti contoh, wam yang tidak boleh
berkeliaran di kota, tidak boleh meludah pinang, mutilasi anggota tubuh dan
pembatasan wam sebagai mas kawin. Seperti yng diceritakan oleh Bapak Uk
Ag (umur 65 tahun) bahwa :

….“jari telunjuk potong karena ada kugi(penyakit) waktu itu,


kalau Bapak Marten punya itu karena dia pu(punya) anak

25
meninggal, jadi potong jari satu, dulu sepeti itu, sekarang tidak
boleh, klasis ada larang begitu”…, jelas Pak Uk Ag

Gambar 2.13.
Ninggi Bangge (mutilasi jari) orang Lani
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Sedangkan LMA (Lembaga Masyarakat Adat) tentunya juga memiliki


peran yang sangat penting dalam menata kehidupan bermasyarakat.
Biasanya LMA lebih fokus kepada hal-hal mengenai budaya. LMA dipimpin
oleh seorang yang telah dipilih oleh masyarakat. Saat ini lembaga tersebut
dipimpin oleh Bapak Konstan Baminggen. Masa jabatannya sudah sejak
tanggal 1 Januari 1995 hingga sekarang. Keberadaan LMA tentunya menjadi
tempat bagi masyarakat Lani dalam membantu menyelesaikan
permasalahannya. Misalnya permasalahan seperti kepemilikan lahan kebun,
pernikahan, peperangan, dan lain-lain. Dalam kesehariannya, apabila ada
yang tidak melaksanakannya, nantinya akan dikenakan sebuah sanksi
berupa denda adat. Denda adat biasanya berbentuk uang atau wam. Wam
atau babi dalam hal ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Masyarakat
Pegunungan Tengah khususnya menilai wam sebagai mas kawin, alat
perdamaian, acara adat, acara bakar batu, dan lainnya.
Selain Klasis dan LMA, terdapat beberapa organisasi atau aparat
lainnya, seperti pusat pelatihan masyarakat Eruwok, Polisi, dan lain-lain.
Pusat pelatihan Eruwok sendiri memiliki fokus dalam hal ekonomi,

26
kehutanan, dan kesehatan. Eruwok berada di bawah LSM yang bernama
Yasumat (Yayasan Sosial untuk Masyarakat Terpencil). Saat melakukan
penelitian, kami hanya melihat beberapa kegiatan yang berfokus pada
bidang kesehatan, komputer, dan ekonomi.

Gambar 2.14.
Pusat Pelatihan Masyarakat Eruwok di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Pelatihan penggunaan komputer dimaksudkan agar para warga dapat


memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Dengan memiliki ketrampilan
khusus tentunya menjadi nilai lebih. Hal tersebut dirasa penting bagi
perkembangan sumber daya manusia di Bokondini. Hal ini sama seperti yang
diutarakan oleh Bapak Yev Ab (umur 47 tahun) bahwa :

…..“kita di sini komputer baru mau belajar, padahal yang lain


sudah oke-oke, di sini baru sanggup belajar-belajar seperti itu,
kasih kumpul pemuda-pemuda, pengangguran terlalu banyak,
jadi kasih pekerjaan seperti itu”….“akibat itu banyak gejolak
sosial yang muncul, itu akibatnya itu saja,”…, jelas Bapak Yev Ab

Implementasi terhadap bidang ekonomi lebih menitikberatkan pada


kegiatan simpan pinjam. Istilah simpan pinjam diganti dengan istilah bank

27
agar masyarakat lebih mudah dalam memahaminya. Bank yang dimaksud
adalah Bank Yaruwok. Yaruwok dalam bahasa Lani berarti “mari menanam”.
Asumsinya kegiatan tersebut mengajak masyarakat setempat untuk
menyisihkan sebagian pendapatannya untuk keperluan ke depan, seperti
biaya kesehatan , pendidikan atau biaya tak terduga lainnya.
Saat ini Bank Yaruwok telah memiliki 317 rekening warga dari
berbagai wilayah di sekitar Bokondini. Sistem yang diterapkan adalah
simpanan tanpa bunga dan biaya administrasi layaknya bank konvensional
pada umumnya. Dalam setiap minggu hanya ada dua hari untuk transaksi,
yaitu hari Rabu dan Kamis. Transaksi tersebut hanya sebatas menyimpan
dan menarik uang apabila memang dibutuhkan.
Uang yang sudah disimpan dapat ditarik kembali dengan catatan
untuk keperluan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Misalnya pelunasan
biaya sekolah anak, biaya kesehatan anak, dan lain-lain. Seandainya
penarikan tersebut digunakan untuk pelunasan pembayaran denda, maka
tidak diperbolehkan oleh pihak bank Yaruwok tersebut. Hal ini senda dengan
yang disampaikan oleh Let Ka (umur 26 tahun) bahwa :

….“boleh diambil kalau memang ada kebutuhan, buat bayar


sekolah kah, kesehatan begitu, tapi dia kalau buat bayar
masalah, seperti denda begitu tidak boleh”…., jelas Kakak Let Ka

Pada umumnya masyarakat Bokondini menabung dari 50%


penghasilan mereka. Seperti yang dilakukan oleh Kakak Let Kar, dimana biasa
menabung sebanyak Rp 50.000, dari total penghasilan penjualan di pasar.
Biasanya hasil penjualan di pasar sekitar Rp 75.000, sampai dengan Rp
100.000. Dalam konteksnya dapat dilihat bahwa sebagian masyarakat di
Bokondini telah memiliki keinginan untuk menabung. Hal tersebut secara
tidak langsung akan berdampak pada pentingnya manfaat menabung bagi
kehidupan anak-cucunya.
Kondisi tersebut senada dengan yang telah dipaparkan oleh Michael
Blim bahwa manusia memiliki nilai-nilai dan dugaan-dugaan apa yang bagus
atau layak dan apa yang kurang baik atau tidak layak dalam kehidupan
manusia (M. Blim dalam James G. Carrier, 2005). Mengacu pada yang
telah dikatakan Michael Blim, secara tidak langsung mayoritas orang Lani

28
di Bokondini telah memiliki pemahaman terhadap kehidupan di masa
mendatang. Oleh karenanya, mereka berinisiatif untuk menabung demi
kelangsungan hidup anak-anaknya di masa mendatang.
Selain ekonomi, terdapat juga bidang kesehatan yang diwujudkan
dalam berbagai kegiatan seperti pembentukan kader misi, dan lainnya.
Saat ini sedang berlangsung kegiatan pengkaderan untuk HIV-AIDS. Para
peserta berasal dari beberapa jamaat. Sebagian berpendapat penyakit
HIV-AIDS adalah suatu cara untuk mengurangi dan memusnahkan
populasi orang Papua. Seperti yang diutarakan oleh salah satu peserta,
yaitu Kakak Yul W (umur 34 tahun) bahwa, “di Papua dulu tidak ada
HIV/AIDS, baru banyak pendatang masuk begitu, kita semua baru kenal
HIV”, papar Kakak Yul W.
Kegiatan pengkaderan dilakukan setiap minggu pada hari Rabu. Inti
dari kegiatan tersebut adalah memberikan pemahaman terhadap para
peserta tentang penyakit HIV. Mulai dari cara penularannya, terapi
pengobatan, dan pencegahannya.

Gambar 2.15.
Kegiatan pengkaderan HIV di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Kegiatan tersebut diharapkan agar para peserta yang terlibat dapat


mensosialisasikan masyarakat pada umumnya dan keluarga pada

29
khususnya. Cara yang digunakan adalah dengan menggunakan gereja
sebagai media sosialisasi kepada jemaat gereja di setiap wilayah.
Alison (2007) menemukan bahwa penguatan peran perempuan
sebagai kader gereja memberian kontribusi yang baik terhadap kegiatan
pendampingan ODHA di Papaua New Guinea.

2.5.2. Sistem Kekerabatan


Dalam masyarakat suku Lani terdapat beberapa istilah
kekerabatan, misalnya tanta, bapak adik, tetek (kakek atau nenek), bapak
tua, dan mama tua. Sebutan tanta dan bapak adik lebih mengacu kepada
adik dari ibu atau bapak dalam sebuah keluarga. Sedangkan, untuk bapak
tua dan mama tua lebih mengacu kepada kakak dari ibu atau bapak.
Dalam hal ini suku Lani tidak mengenal konsep nuclear family,
dimana dalam sebuah rumah terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak.
Mereka lebih bersifat komunal (extended family), dimana dalam sebuah
rumah terdiri dari beberapa anggota keluarga lainnya. Sebagai contoh,
dalam rumah Bapak Yul B terdiri dari beberapa anggota keluarga lainnya
di luar dari keluarga inti. Mulai dari adiknya, keponakannya, Suku Lani
menganut sistem patrilineal, dimana seorang anak megikuti garis
keturunan laki-laki.
Saat seorang laki-laki dan perempuan menikah dan pada akhirnya
memiliki seorang anak, maka anak tersebut akan memiliki marga atau
fam ayahnya. Sebagai contoh, apabila ayahnya memiliki fam Baminggen,
maka anaknya akan ber-fam Baminggen juga. Hal tersebut senada
dengan yang disampaikan oleh Mama Sir Ko (umur 47 tahun) bahwa, “itu
dia fam Bapak, macam di rumah sini, saya pu keluarga, Mama Kogoya,
Bapak Penggu, jadi saya punya anak-anak itu Penggu semua sudah”, jelas
Mama Sir Ko.
Dalam konteks budaya, pernikahan tentunya memiliki pemaknaan
yang berbeda–beda. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki
beraneka ragam suku. Mulai dari Batak, Jawa, Bugis, Dayak, Lani, dan
lain–lain. Perbedaan tersebut dinilai sebagai sebuah kekayaan budaya
yang saat ini masih dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mulai dari mas kawin,
tata cara pernikahan, hingga perayaannya. Pernikahan orang Lani

30
terdahulu lebih menitikberatkan kepada bia (kerang) sebagai mas
kawinnya. Namun mas kawin telah berganti menjadi wam (babi) pada
saat ini. Zaman dahulu biasanya sekitar 10-15 ekor. Namun angka
tersebut sudah menurun menjadi 4-5 ekor, 1 ekor untuk pendeta dan
sisanya untuk keluarga perempuan. Penurunan tersebut dikarenakan
kondisi ekonomi yang menurun dan adanya aturan yang telah ditetapkan
oleh Klasis sejak 15 tahun yang lalu. Pernikahan suku Lani biasanya
diresmikan di gereja dan juga secara adat. Perayaan pada umumnya
dilakukan hanya selama 1 hari saja. Dalam hal ini pihak perempuan
menyediakan wam yang akan digunakan untuk perayaan.
Gereja merupakan tempat yang digunakan untuk menikah bagi
mereka yang belum melakukan hubungan pranikah. Mereka hanya akan
melakukan pernikahan secara adat saja, bagi mereka yang sudah
melakukan hubungan pranikah. Denda adat pun secara tidak langsung
sudah melekat dalam konteks tersebut. Hal tersebut serupa dengan yang
disampaikan oleh Bapak Pet B (umur 35 tahun) tentang denda adat
dalam pernikahan :

….“jadi dikumpulkan mereka, ditanya apakah kamu sudah


berhubungan, jika ya dan suka sama suka itu langsung, jika
tidak, ditanya sudah berapa kali, kalau satu kali, itu satu ekor
wam, kalau dua kali, itu dua ekor wam”…., jelas Bapak Pet B

Seiring dengan perubahan yang terjadi, pernikahan secara tidak


langsung telah mengalami pergeseran makna. Zaman dahulu pernikahan
lebih kepada sebuah perjodohan, misalnya anak kepala suku dengan
anak kepala suku lain. Selain itu, ada juga orang yang menikah sebagai
syarat agar dia bisa disekolahkan dan mengajar. Zaman terdahulu
pernikahan bisa dilakukan lebih satu kali karena adanya suatu kondisi
tertentu. Misalnya ada kakak dan adik yang masing-masing sudah
memiliki istri, kemudian salah satu dari mereka ada yang meninggal,
maka istri tersebut akan dinikahi oleh kakak atau adiknya, tentunya
dengan persetujuan sang istri. Seperti yang telah dijelaskan oleh Men
sebagai berikut :

31
…..“harus kawin dengan adik atau kakak, karena waktu itu
sudah bayar mas kawin to, jadi tidak boleh orang lain ambil,
kasian nanti dia pu anak bagaimana siapa bantu kebun,”
tutur Men

Kondisi tersebut jauh berbeda apabila dibandingkan dengan


sekarang. Pernikahan lebih dari satu atau seorang perempuan dilakukan
karena kurang puas terhadap kehidupan seksual setelah menikah. Selain
itu biasanya juga disebabkan karena menikah terlalau dini dengan
pasangan dan pertarungan gengsi antara laki-laki satu dengan yang lain.
Hal ini senada dengan yang diucapkan Mama Men, “ah, dia saja bisa,
kenapa saya tidak,” jelas Men.
Makna pernikahan yang bervariatif pada akhirnya tetap bermuara
pada keturunan dalam sebuah keluarga, yaitu anak. Makna pernikahan
yang mengalami pergeseran tentunya juga berdampak pada perbedaan
keturunan yang dihasilkan. Dalam hal ini jumlah keturunan juga
mengalami perbedaan antara dahulu dan sekarang. Dahulu hanya sekitar
1 atau 2 saja, sedangkan saat ini berjumlah sekitar 4-6 anak. Hal itu
disebabkan karena pergeseran makna tentang nilai anak di konteks adat
suku Lani. Seperti yang telah diutarakan oleh Mama Men bahwa :

…..“ya dulu sedikit karena sering perang to, jadi kalau cuma
satu bawa mudah, kalau banyak bawa susah, mau bawa
bagaimana lagi,” jelasnya. “kalau sekarang banyak anak
bagus, soal dia kalau nanti ada apa-apa banyak yang bantu
to, misal dia mau nikah, atau ada denda begitu”…, tambah
Mama Men.

Hal tersebut juga didukung oleh Don yang berpendapat bahwa


banyaknya anak sekarang karena sudah sedikitnya perang yang terjadi,
“sekarang su damai, tidak ada perang begitu, jadi bapak bikin mama
senang, mama bikin bapak senang, saling bantu, jadi anak banyak”, jelas
Don.

32
2.6. Pengetahuan
2.6.1. Konsep tentang sehat sakit
Disadari atau tidak faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan
budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan
sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan
ketidaktahuan seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif
terhadap kesehatan ibu dan anak (Maas, 2004).
Pada beberapa informan ditemukan informasi bahwa penyakit HIV
AIDS adalah disebabkan karena penyakit kutukan atau penyakit kiriman,
Mereka menganggap bahwa penyakit ini adalah penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, mereka mengatakan ini sebagai penyakit “tinggal menunggu
waktu”. Keluarga ODHA juga memperlakukan pasien dengan kurang baik,
misalnya dengan tidak memberikannya makan dan minum, tidak
mengindahkan kesakitannya dan tidak mengurus segala hal yang bersifat
hygiene personal si sakit. Setelah ODHA tersebut meninggal pun
diperlakukan dengan cara membakar jenazah dan segala perlengkapan yang
dipergunakannya semasa hidup. Tetapi ada juga keluarga yang tetap
memperlakukan ODHA dengan baik, mendukung upaya pengobatannya
dengan disiplin dalam PMO ARV. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Yev Ab
(umur 47 tahun) bahwa :

….“kita ini harus bantu mereka, biar mereka itu tidak tambah
sakit, butuh bantuan, dukungan to, tapi orang yang tidak
tahu malah kasih jauh dia, tidak kasih bantu dia, begitu”…,
jelas Bapak Yev Ab

Beberapa informan yang ditemui sedang berobat ke Puskesmas


mengaku merasakan sakit yang diderita dalam jangka waktu lama sebelum
akhirnya memutuskan untuk pergi untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan di Puskesmas. Ada yang merasakan demam selama 1-3 minggu
baru kemudian memeriksakan diri. Masyarakat cenderung menganggap
demam sebagai gejala penyakit yang memiliki tahapan severity (keparahan)
yang ringan. Gejala atau penyakit yang menurut mereka memiliki tahapan
severity sedang atau berat adalah pada keadaan luka terbuka yang

33
mengeluarkan darah (vulnus laceratum). Hal tersebut senada dengan yang
disampaikan oleh salah satu pasien di Puskesmas bahwa :

….“ini begini sudah, dikira kemaren hanya luka biasa saja begitu,
baru ikat dengan plastik hitam to, biar tidak hinggap lalat, baru
lama-lama belum sembuh dan rasa tidak enak, jadi bawa ke pak
dokter”… jelasnya

Setiap orang tentunya memiliki ukuran yang berbeda tentang sehat


dan sakit. Hal ini bisa dilihat dari kekebalan tubuh seseorang dalam
kaitannya dengan pola makan, adaptasi alam, dan aktivitas sehari-hari.
Dalam etnis Lani khusunya di Bokondini sakit diartikan sebagai rasa lelah
atau capek. Hal tersebut sama seperti yang diceritakan oleh dokter Tar
(umur 28 tahun) bahwa :

“mereka di sini secara langsung belum bisa mendefinisikan


capek dan sakit, di sini itu kalau capek ya sakit, ya seperti misal
saya sesak napas baru jalan naik turun, itu kan sudah biasa”,
jelas dokter Tar

Kondisi PHBS juga mendapat perhatian dari dokter Tar selaku tenaga
kesehatan di puskesmas Bokondini bahwa :

“sehari-hari biasa makan 2 kali, siang dengan malam,kalau pagi


biasanya hanya minum kopii, kalau sudah seperti itu hanya
masalah personalhygiene, biasanya lebih kepada mandi dan
sikat gigi”, ungkap dokter Tar

Selain itu, kondisi sehat dan sakit secara tidak langsung akan
berdanpak pada kegiatan produksi dalam kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Sebuah populasi yang sehat tentunya akan
menjadi populasi yang produktif (Marjorie Mayo, 2000)
Selain sehat dan sakit, setiap individu tentunya memiliki konsep panas
atau dingin yang berbeda. Kondisi tersebut mayoritas diartikan sebagai
penyakit malaria. Ketika ada anggota keluarga yang menderita demam atau
panas, masyarakat langsung beranggapan bahwa mereka menderita

34
malaria, tanpa melakukan pemeriksaan di puskesmas untuk menegakkan
diagnosis.
Sama seperti halnya panas dan dingin, konsep bersih dan kotor dalam
konteks etnis Lani memiliki nilai tersendiri. Dunia kesehatan memandang
konsep bersih dan kotor dalam batasan yang tegas. Bersih adalah segala hal
yang berkaitan dengan konsep bebas dari dari segala kuman penyakit,
sedangkan kotor identik dengan segala hal yang disukai oleh semua bakteri
dan mikroorganisme penyebab penyakit.
Mama Et membedakan konsep bersih dan kotor melalui konsep
hunian. Menurut beliau rumah papan itu adalah rumah yang bersih dan
rumah honai adalah rumah yang kotor, walaupun saat ini beliau masih
tinggal di honai, tapi beliau menyimpan keinginannya untuk dapat memiliki
rumah papan sebagai tempat hunian barunya.
Masayarakat Lani utamanya kaum perempuan mempunyai kebiasaan
masuk rumah dan beristirahatsepulang dari beraktivitas di luar tanpa
memberihkan kaki dan tangannya. Akan tetapi bekas tanah yang berlepotan
di kedua kaki dan tangannya bukanlah sesuatu yang mereka anggap kotor.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Mama Han (46 tahun) bahwa :

…”itu tanah, bukan kotoran, jadi tidak apa-apa tidak perlu


dibersihkan, biasa perempuan dulu seharian ada di honai
perempuan, memasak makanan dan urus babi, baru kalau su
malam makanan su siap, bawa ke honai keluarga semua
berkumpul, makan dan tidur bersama sama”…, jelas Mama
Han

35
Gambar 2.16.
Foto Mama, anak dan babi di honai yang sama
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Selain itu ada juga beberapa kepercayaan masyarakat terhadap


suatu penyakit yang terjadi. Misalnya gila, sakit jiwa atau semacamnya.
Seseorang dikatakan menderita sakit Gila apabila dianggap telah
melanggar pantangan adat. Misalnya melanggar larangan untuk
melakukan hubungan suami istri di luar rumah, mereka mengatakan hal
itu dapat “Ditiru oleh Tuan Tanah” dan akhirnya menjadi gila.
Menurut cerita yang dikisahkan oleh Men, dahulu sempat terjadi
“gila musiman” di Bokondini. Secara historis, penyakit tersebut tidak
begitu jelas berasal dari mana, ada yang mengatakan karena guna-guna
atau penyakit kiriman.

….“gila musiman begitu, sampai dia ada kecoa keluar dari


hidung, telinga, sampai saudara pun tidak tahu, maka biasa
jadi patung, biar aman begitu”, cerita Men. “biasa dia 2-3
minggu begitu dia baru sadar, tidak tahu juga kenapa,
pokoknya kalau dia su mulai gila itu gemetar, gemetar
begitu, sudah gila itu berarti, dia hanya dikasih kurung saja
to, kalau tidak ganggu-ganggu orang, bisa kena denda juga
to, keluarga repot, jadi kasih kurung sudah”…., tambah
Mama Men

36
2.6.2. Penyembuhan Tradisional
Sebelum masuknya Injil ke wilayah ini, masyarakat memegang
kepercayaan Dinamisme dan Animisme dengan menjadikan Gunung
Wanui sebagai tempat keramat di daerah ini. Sampai saat ini, masyarakat
masih memiliki kepercayaan terhadap orang pintar yang dikenal dengan
sebutan Yale (dukun laki2) dan Yalegue (dukun perempuan). Kemampuan
mereka diperoleh secara turun temurun, walaupun keberadaan mereka
saat ini tidak dikenal secara terang – terangan. Dukun Yale tersebut
memperoleh kemampuannya secara turun temurun.
Selain kepercayaan terhadap Yale sebagai orang yang dapat
menyembuhkan penyakit, etnis Lani di Bokondini juga masih
menggunakan hewan sebagai alat untuk mendeteksi penyakit, misalnya
penggunaan babi pada tradisi Peker-peker.
Sampai saat ini, tradisi Peker–peker masih dilakukan, yakni tradisi
menemukan penyakit seseorang dengan melihat organ pada babi. Babi
yang dinilai sehat dipilih untuk dibunuh, dan dilihat organ dalam nya.
Ketika menemukan organ yang tidak normal, maka keluarga akan
menyimpulkan kelainan yang terjadi pada anggota keluarga yang sakit.
Hal ini dilanjutkan dengan membersihkan organ babi dengan air panas
dengan asumsi sebagai upaya menghilangkan penyakit pada si sakit.
Selain peker-peker, mereka juga menggunakan hewan lainnya,
yaitu lintah. Isitlah ini dikenal dengan sebutan Mole, sebuah pengobatan
tradisional yang dilakukan dengan cara meletakkan lintah pada luka atau
sakit yang diderita. Lintah tersebut secara tidak langsung akan menghisap
darah tersebut sehingga terasa segar kembali.
Selain kedua cara tersebut, masih ada beberapa warga yang
menggunakan Pok Ndok. Pok Ndok merupakan salah satu pengobatan
tradisional yang hingga saat ini masih digunakan oleh masyarakat
setempat. Dalam konteksnya, Pok Ndok dilakukan dengan cara melukai
diri sendiri tepatnya dimana letak rasa sakit tersebut. Asumsinya darah
yang nantinya keluar dari letak sakit tersebut berdampak pada
kesembuhan.

37
Beberapa tanaman berikut juga dipercaya masyarakat untuk dapat
mengobati gejala sakit yang mereka rasakan, yaitu :

1. Sayur gedih, atau dikenal dengan tapengga dikonsumsi oleh ibu hamil
untuk mempelancar persalinan
2. Daun Dolungga dimanfaatkan untuk menghentikan perdarahan pasca
persalinan, dengan cara mengambil beberapa helai daun dan
menjadikannya sebagai alas panggul Ibu yang selesai bersalin dan dipakai
sampai pendarahan berhenti.
3. Daun Ponim atau dikenal dengan sebutan daun gatal dimanfaatkan
warga untuk meringankan penyakit Alokndu (rasa pegal – pegal di badan
/ mialgia). Caranya dengan mengusapkan bagian belakang daun yang
berbulu ke bagian tubuh yang sakit.
4. Daun Kobeangga dimanfaatkan untuk penyakit dermatitis atau dikenal
masyarakat dengan Nggibi – Nggimbi
5. Pada kasus Frambusia (pioderma) atau yang dikenal dengan penyakit
Malagor. Masyarakat sering menempelkan daun atmaga yang
selanjutnya diletakkan batu yang sudah dipanaskan di atasnya. Akan
tetapi sebelumnya, masyarakat menggunakan abu di dalam honai yang
dibasahi air liur kemudian menempelkannya pada bagian yang sakit
dengan harapan kesembuhan dari Yale (roh / hantu yang dianggap bisa
menyembuhkan)
6. Kayu Game yang banyak terdapat di kaki gunung Wanui dipercaya bisa
mencegah timbulnya penyakit ayan, dengan cara menggantungkan kayu
game sebagai aksesoris kalung, dan menggigitnya apabila timbul gejala.

2.6.3. Pengetahuan tentang makanan dan minuman


Seperti yang telah dikemukakan oleh Foster dan Anderson, makanan
merupakan suatu konsep budaya, sebuah pernyataan yang sesungguhnya
mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita”(Foster & Anderson,
1986). Makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Lani awalnya hanyalah
ubi jalar (erom), singkong (kasbi) dan jagung sebagai sumber karbohidrat.
Sayuran yang lazim dikonsumsi daun singkong (Kasbi), Daun Labu siam
(Yilipingga), Labu siam, Daun ubi jalar (Daun erom), sayur lilin, kol, buncis,

38
mentimun, wortel, daun bayam, dan kangkung. Sebagai sumber vitamin,
masyarakat mengkonsumsi beragam buah seperti nenas, jeruk, pepaya,
nangka, durian, rambutan, markisa, alpokat, terong belanda, Buah merah
dan pisang yang dihasilkan dari kebun sendiri. Daging babi (wam),ayam,
ikan, tahu, tempe dan telur menjadi sumber protein. Beberapa sumber
protein merupakan produk dari Wamena. Penggunaan garam, vetsin,
minyak goreng dan bumbu lainnya baru saja digunakan pada generasi Lani
saat ini.
Proses memasak makanan di Pegunungan tengah Papua, termasuk
suku Lani adalah menggunakan bakar batu, akan tetapi pada era saat ini,
proses bakar batu hanya digelar pada acara acara besar suka cita dan
acara acara keagamaan. Proses memasak batu dilakukan dengan cara
memanaskan batu terlebih dahulu dengan menggunakan kayu. Kayu
tersebut diletakkan di atas dan bawah batu hingga terbakar menjadi abu.
Saat ini masyarakat Lani telah mengenal beberapa peralatan
memasak seperti, Belanga dan Kuali, selain metode membakar mereka telah
mengenal metode merebus dalam proses pengolahan makanan kelurga.
Jenis makanan baru yang saat ini dikenal oleh masyarakat adalah mie
instant, sarden dan aneka jajanan instant yang bisa mereka dapatkan di kios
dekat pasar.
Prioritas pembagian makanan adalah untuk kepala keluarga terlebih
dahulu, baru kemudian ibu, anak dan anggota keluarga lainnya, tetapi tidak
ada perbedaan jenis makanan yang tersaji.

2.6.4. Pengetahuan tentang yankes


Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa
masyarakat Lani mengenal tradisi Peker-Peker, Mole, dan Pok Ndok.
Tradisi tersebut sudah mulai ada sejak zaman dahulu.
Tradisi tersebut pun hingga saat ini masih dapat dijumpai di
masyarakat. Karena akses pelayanan kesehatan yang cukup jauh sehingga
tidak semua masyarakat dapat menjangkaunya. Terlebih wilayah kerja
Puskesmas sampai dengan 4 wilayah.

39
Puskesmas Bokondini sendiri telah dilengkapi dengan laboratorium
sederhana, termasuk adanya pemeriksaan TB, HIV/AIDS dan IMS, serta
fasilitas rawat inap, lengkap dengan EKG, Fasilitas persalinan, bedah
minor, dan keberadaan freezer untuk penyimpanan vaksin. Kebutuhan
listrik hanya di supply dengan menggunakan solar cell. Selain pengobatan
tradisional dan modern (Puskesmas), masyarakat di Bokondini juga sudah
muali menggunakan obat-obat generik yang diperjualbelikan di toko-
toko.
Hal ini dapat dijumpai pada beberapa warung yang menjual
kebutuhan masyarakat. Terlihat sangat banyak ditemui beberapa jenis
obat obatan, seperti minyak tawon, puyer Bintang 7, minyak kayu putih,
Salonpas, handyplast. Beberapa pemilik kios di Kota Bokondini yang kami
temui mengaku tidak berani untuk menyediakan berbagai macam obat-
obatan sebagai kelengkapan dagangannya. Mereka berdalih takut bila
obat obat tersebut terbeli dan digunakan oleh masyarakat dan tidak
berdampak baik terhadap kesembuhan atau malah sebaliknya, maka
merekalah yang nanti akan dituntut denda oleh masyarakat asli. Hal ini
senada dengan yang diutarakan oleh Mbak At (umur 28 tahun) bahwa :

…”di sini itu begitu sudah, Mbak, kita sudah kasih tahu cara
minum obat to, sudah sesuai dengan yang dia minta, baru
besok-besok tidak sembuh dan tambah sakit berat begitu,
kita yang kena, mereka tanya kita kasih obat apa, jadi seperti
minta tanggungjawab begitu”…, jelas Mbak At

Mayoritas warga berpendapat bahwa pelayanan yang disediakan


oleh Puskesmas sudah cukup bagus. Hal Walaupun ada beberapa
pendapat yang negatif. Ada masyarakat yang mengaku sangat senang
dengan peningkatan pelayanan kesehatan di Bokondini. Beberapa tes
pemeriksaan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Bokondini, meliputi tes
laboratorium untuk pemeriksaan TB, HIV/AIDS dan IMS dinilai cukup
signifikan menekan angka kematian akibat penyakit tersebut. Berdasarkan
kondisi tersebut, Puskesmas di Bokondini sebenarnya sudah memiliki
fasilitas pelayanan yang cukup bagus. Hal ini tentunya dapat dimanfaatkan

40
oleh masyarakat sekitar terkait dengan pelayanan kesehatan setempat. Hal
ini senada dengan salah satu nforman, yaitu Bapak Yev A (umur 47 tahun)
bahwa, “pelayanan su bagus, dokter suster baik, mereka sapa sopan,
pemeriksaan baik, kalau pelayanan itu sudah baik”, jelas Yev A

2.6.5. Health Seeking Behaviour


Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi pelayanan
kesehatan, dapat dilihat bahwa masyarakat Lani di Bokondini memiliki
beberapa cara atau tradisi atau kepercayaan untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya.
Mulai dari penggunaan pengobatan tradisional, seperti peker-
peker, pok ndok, mole. Beberapa warga juga ada yang ingin mendapatkan
pelayanan di Puskesmas. Atau mereka ingin menggunakan obat-obat
generik yang diperjualbelikan di kios-kios yang ada di pasar.
Secara tidak langsung, kondisi tersebut membawa kepada sebuah
realita bahwa perilaku pencarian pengobatan oleh masyarakat Bokondini
dipengaruhi persepsi mereka terhadap nilai ketuhanan dari agama yang
mereka anut. Mereka mempercaya benar bahwa kesembuhan itu datang
dari Tuhan saja.. Pengobatan apapun yang mereka upayakan harus
berlandas pada sebuah keyakinan bahwakesembuhan itu adalah
anugerah Tuhan. Hal ersebut juga menjadi salah satu semboyan dari
Puskesmas Bokondini. Hal ini sama seperti yang disampaikan oleh Mama
Men (umur 43 tahun) bahwa :

…..“sering kami kehabisan obat, tapi pasien tidak perlu tahu


karena mereka tidak akan mengerti, mereka cukup tahu
mreka berobat ke Puskesmas, pulang dapat obat, mereka
minum obat pu sakit hilang, sembuh”…”jadi kalau obat yang
dimaksud itu tidak ada maka kami berikan obat lain,
walaupun sebenarnya itu bukan obatnya, tapi kita berikan
keyakinan minum saja sudah, Tuhan yang kasih sembuh”….,
jelas Mama Men

41
2.7. Bahasa
Masyarakat Bokondini sehari-hari menggunakan bahasa Lani
sebagai bahasa percakapan. Bahasa tersebut digunakan oleh semua
orang Lani di Bokondini. Namun, beberapa orang juga dapat berbahasa
Indonesia pada umumnya. Para pendatang biasanya menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dengan orang Lani di
Bokondini. Para pendatang pada umumnya hanya mengerti beberapa
kata sederhana, misalnya pagi, siang, sore, malam, tidak, dan terima
kasih.
Seperti yang dialami oleh Bud Karm (umur 66 tahun), dimana dia
adalah seorang pedagang kelontong dari Pacitan. Sehari-hari dalam
melayani pembeli kadang dia hanya merespon dengan kata “leg” (tidak)
apabila barang yang ingin dibeli sedang habis.
Hal itu juga dialami oleh Hab M yang seorang pedagang kios di
pasar dan honorer di Puskesmas. Saat bekerja sebagai staf honorer, dia
membantu di bagian farmasi dan memberikan panduan untuk obat yang
diberikan. Agar mudah dimengerti dia menggunakan kata “kuben”(pagi),
“lingge” (siang), “kiyama” (sore), “kik me” (malam) untuk pasien
tersebut.

2.8. Kesenian
Setiap etnis tentunya memiliki kesenian yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Mulai dari alat musik yang digunakan hingga rangkaian
nada yang dihasilkan. Dalam budaya Lani, khususnya pada masyarakat
Bokondini mengenal beberapa alat musik dan lagu, seperti seki-seki,
Besek, dawe-dawe, yosim (alat musik seperti gitar dengan senar
maksimal sejumlah 16), tifa dan lok nggih (alat musik tiup). Lok Nggih
biasanya digunakan pada saat akan menjemput tamu.
Selain alat musik dan lagu, masyarakat Lani memiliki semacam
prosesi pada saat acara kematian yang biasa disebut lendawe. Lendawe
adalah suatu kegiatan tanya jawab yang dilakukan secara bergantian
pada saat acara kematian sedang berlangsung.

42
“mereka biasa berlendawe begitu, tanya jawab begitu, ada
yang datang begitu dia bertanya baru yang su lama ada, dia
jawab, biasa orang juga jadi ikut sedih”, jelas Mama Men

Kegiatan lendawe tersebut akan terasa berbeda jika yang


meninggal adalah orang yang berstatus ODHA. Hal ini senada dengan
yang disampaikan oleh Mama Sir Ko bahwa :

….“itu kalau yang meninggal orang yang kena penyakit


menunggu waktu, keluarga itu cepat-cepat kasih selesai,
kasih bakar, dong malu to, beda kalau dengan yang tidak
kena, biasa lebih lama juga dong berlendawe….” Cerita
Mama Sir Ko

Saat orang ODHA meninggal, para pelayat biasanya akan saling


berlendawe saat jasad tersebut sudah menjadi abu. Dan sebaliknya, saat
yang meninggal itu orang berstatus non ODHA, biasanya mereka akan
berlendawe saat upacara tersebut akan dimulai.

2.9. Mata Pencaharian


Mayoritas mata pencaharian masyarakat di Bokondini adalah
sebagai petani atau pekebun. Aneka ragam buah-buahan seperti nanas,
jeruk, pisang dan markisa menjadi salah satu sumber ekonomi mereka.
Selain itu, sayur-sayuran juga menjadi sumber ekonomi sehari-hari.
Sayur-sayuran seperti daun singkong, daun labu siam, dan lain-lain. Buah-
buah dan sayur-sayur tersebut mereka jual pada saat hari pasar. Dalam
seminggu ada tiga hari pasar, yaitu Selasa, Kamis, dan Sabtu. Harga yang
ditawarkan pun sangat variatif, seperti 7 ikat markisa dengan harga Rp.
5000,-, 5 buah erom juga dengan harga yang sama, satu ikat buah merah
dengan harga Rp. 10.000,-, dan nanas dengan variasi harga yang berbeda
tergantung dari ukurannya. Dalam proses jual beli di pasar, masyarakat
Bokondini tidak mengenal transaksi dengan menggunakan pechan uang
logam. Mereka hanya menerima pecahan uang kertas saja dalam
transaksi jual beli.

43
Gambar 2.17.
Kegiatan pasar di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Pasar tersebut terletak tidak jauh dari lokasi Puskesmas. Aktivitas


jual-menjual tersebut dimulai dari pukul 08.30 hingga 11.30 WIT. Pasar
tersebut digunakan oleh masyarakat kampung di Bokondini. Lokasi
penjual dibagi berdasar asal kampung. Seperti contoh, di bagian Barat
digunakan oleh masyarakat kota dan sekitarnya, bagian Utara digunakan
masyarakat dari kampung Bewani dan Bilu, serta sebelah Selatan
diperuntukkan bagi masyarakat kampung Tenggagama dan Yawalani.
Untuk bagian Timur pasar dibangun kios untuk para pendatang.
Bangunan kios tersebut tentunya berstatus sewa. Harga sewa mayoritas
pada nominal 3 juta hingga 6 juta rupiah, tergantung dari luas kios
tersebut. Biasanya untuk pemenuhan kebutuhan kios, para pendatang
membeli kebutuhannya di Wamena. Mereka pada umumnya menitipkan
catatan belanja kepada sopir angkutan umum yang akan berangkat ke
Wamena.
Biasanya yang terjadi pada hari pasar adalah pelayanan di
Puskesmas menjadi meningkat dibandingkan denga hari-hari biasa. Hal
tersebut dikarenakan beberapa warga yang berjualan di pasar juga
langsung datang ke Puskesmas. Lokasi pemukiman beberapa warga yang
terletak di balik pegunungan menjadi salah satu faktor penyebabnya.

44
Tidak hanya pasar di distrik, beberapa warga juga ada yang menjual
hasil kebunnya di pasar yang terdapat di Wamena. Mereka juga biasanya
menggunakan angkutan umum untuk mencapai Wamena. Harga barang
tentunya mengalami kenaikan apabila dijual di Wamena.
Selain berkebun atau bertani, beberapa juga ada yang bekeja
sebagai tenaga pendidikan, kesehatan dan aparat pemerintahan Distrik
Bokondini. Untuk tenaga kesehatan sendiri jika dilihat dari sumber daya
manusianya sudah mengalami peningkatan. Putra-putri daerah sudah
mulai berperan dalam perkembangan kesehatan di Bokondini. Hal ini
serupa dengan yang disampaikan oleh Bapak Sim D (umur 58 tahun)
selaku pensiunan TNI yang sudah tinggal sejak tahun 1977 bahwa :

….“ya baik saja, baik-baik, kan dulu-dulunya rata-rata


pendatang, satu-satu saja putra daerah, pelayanan baik
terhadap ke masyarakat, baru yang putra daerah itu baru
muncul saja to satu-satu diambil jadi pegawai”…., cerita
Bapak Sim D

2.10. Teknologi dan Peralatan


Mobilitas penduduk di Bokondini terbilang cukup tinggi. Hal ini
terlihat sudah ada sarana transportasi yang dapat digunakan. Kendaraan
bermotor, bermobil, angkutan umum dan pesawat udara jenis ATR.
Kehadiran MAF di beberapa titik wilayah di Papua dianggap memberikan
andil terhadap penguatan peran politik dan sosial di daerah daerah
terisolasi jalur darat (Zibel & Michael,2001). Pada umumnya, masyarakat
menggunakan angkutan umum berbentuk kendaraan roda empat jenis
double gardan sebagai salah satu sarana transportasi. Hal tersebut
dikarenakan beroperasi setiap hari dan cukup ekonomis. Angkutan umum
tersebut hanya memiliki tujuan ke Wamena. Biaya yang dikeluarkan
kurang lebih Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk sekali jalan menuju
Wamena. Menurut salah satu informan yaitu Bapak Yev Ab menceritakan
bahwa akses darat mulai ada di Bokondini sejak tahun 1997. Saat itu
masih berbentuk tanah merah dan belum ada pengerasan. Sekitar tahun
1994-1996 para warga menggunakan transportasi udara untuk ke

45
Wamena. Akhir tahun 1996, akses darat sedikit demi sedikit sudah mulai
dikerjakan oleh pemerintah Jayawijaya dan masyarakat. Pesawat udara
jenis ATR menjadi alternatif lain bagi masyarakat Bokondini pada saat itu.
Namun saat ini transportasi tersebut hanya dapat digunakan apabila
disewa. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Bapak Yev Ab (umur
47 tahun) bahwa :

“dulu harga pesawat 1500, itu untuk utusan misionaris, kalau


umum dia pu harga 2000, baru jalan dulu itu masih tanah
merah, jadi macam lumpur begitu kalau hujan, sekarang su
bagus, masih hard-top atau kijang begitu”, cerita Bapak Yev
Ab

Kondisi tersebut tentunya dapat berdampak pada pelayanan


kesehatan yang ada di Bokondini. Masih minimnya transportasi pada
waktu menjadi salah satu kendala terhambatnya pelayanan Puskesmas.
Seperti contoh apabila hendak melakukan rujukan ke rumah sakit
Wamena.

Gambar 2.18.
Bandar Udara di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

46
Saat ini kondisi tersebut telah mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Mulai dari aksesibiltas dan transportasi yang sudah cukup
memadai sehingga memudahkan para nakes dan masyarakat untuk
melakukan mobilisasi.
Komunikasi mulai masuk di Bokondini pada tahun 2012. Provider
yang bernama Tier yang dikelola oleh misionaris. Provider tersebut saat
ini telah bekerja sama dengan provider swasta, yaitu Indosat. Sebelum
ada jaringan tersebut, masyarakat biasanya menggunakan kode-kode
khusus untuk saling berkomunikasi. Seperti yang disampaikan oleh Kak
Rus P (umur 27 tahun) :

…..“jadi kalo ada yang meninggal hanya dengan suara uuk-


uuk dan sekali saja, tapi kalo ada perang kah atau sesuatu
begitu suara terdengar rame-rame dengan nada beda
secara bergantian”…., jelas Kak R

Selain itu, bila ada acara adat biasanya saling mendatangi dari
rumah ke rumah untuk menyampaikan pesan. Cara tersebut hingga saat
ini masih tetap dilakukan. Realita yang terjadi menunjukkan bahwa tidak
semua masyarakat memiliki alat komunikasi seperti handphone untuk
digunakan.
Dalam hubungannya dengan sandang, mayoritas masyarakat sudah
menggunakan pakaian pada umumnya. Pakaian adat seperti koteka dan
sali biasanya hanya digunakan pada acara tertentu, seperti pesta adat di
lembah Baliem dan lainnya. Terkait dengan hal tersebut, realita yang ada
menunjukkan bahwa anak-anak di Bokondini sekitar umur 2-3 tahun
masih ada beberapa yang terlihat belum menggunakan baju. Keadaan
tersebut disebabkan karena kondisi ekonomi yang sedang menurun,
sehingga hanya sedikit memiliki baju untuk anaknya. Ada juga beberapa
informan yang menceritakan bahwa kondisi tersebut sudah ada sejak
nenek moyang kita dahulu. Seperti yang sudah disampaikan oleh Mama
On (umur 40 tahun) bahwa :

….“jadi memang begitu, orang dulu dia memang cuma pakai


koteka dan sali, baru sekarang ekonomi sedang turun to,
kadang dia hanya punya satu, misal cuci, tidak ada baju to,

47
telanjang sudah”,…..“baru nanti cacing nanti ada masuk
pantat, ah, capek sudah cuci baju, ada juga yang bilang
seperti itu”, cerita Mama On.

Kondisi di atas senda dengan yang diceritakan oleh Mama Men


(umur 43 tahun) dalam kaitannya dengan sandang, bahwa :

“kalau itu biasa masalah ekonomi sudah, penghasilan tidak


bagus begitu, baju satu to, waktu cuci kasih jemur, baru
selama itu tidak ada pakai, bagaimana mau pakai, baju hanya
satu begitu”…., jelas Mama Men

Sandang dalam hal ini juga meliputi alas kaki, seperti sandal atau
sepatu. Secara faktual, kondisi yang terjadi di Bokondini belum semua
anggota masyarakat menggunakan alas kaki. Menurut salah satu warga
yang waktu itu tidak sengaja berjalan dengan kami mengatakan bahwa
masyarakat di sini lebih merasa nyaman dan enak saat tidak beralas kaki.
Menurutnya dengan kebiasaan tersebut kaki kita akan menjadi kuat dan
dapat berjalan jauh. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Kak Yul
W (umur 34 tahun) bahwa :

….“budaya kami memang larang untuk kasih pakai alas kaki


atau sepatu, karena mereka punya apa telapak kaki bisa jadi
apa, tipis kah, tidak bisa jalan to, tidak bisa jalan
jauh”….,”kalau mereka pakai alas kaki, kalau buka baru suruh
jalan, mereka agak kaku, jadi memang itu sudah kebiasaan
kami, jadi kami tidak pernah pakai supaya mereka punya
telapak kaki ini, harus kuat”…, jelas Kak Yul W

Selain sandang, masyarakat Lani pada zaman dahulu dalam


menggunakan sabun masih berupa gene-gene. Hal tersebut dikarenakan
karena pada waktu itu mereka belum mengenal sabun. Gene-gene
merupakan daun dari sebuah pohon yang jika digosok-gosok akan
mengeluarkan busa seperti sabun. Deskripsi di atas serupa dengan yang
disampaikan oleh Mama Sir Ko (umur 47 tahun) bahwa :

48
….“itu karena tidak ada sabun, jadi itu dia punya itunya kan
seperti busa, dia punya apa, kalau kita ambil daunnya, gosok
begini, di badan seperti busa begitu”…, ungkap Mama Sir Ko

Saat ini hampir seluruh masyarakat Lani di Bokondini sudah beralih


menggunakan sabun. Sabun tersebut mereka peroleh dengan cara
membeli dari kios yang ada di pasar. Sabun mandi seperti lifeboy,lux,
B29, rinso, dan merek lainnya. Hal tersebut senada dengan yang
diucapkan oleh Kakak Wep W (umur 36 tahun) bahwa :

…..“kalau pakai rinso, badan bisa bersih, kalo sabun mandi


dia masih abu-abu, tidak tahu sudah dorang dapat pelajaran
dari mana, biar begitu ada juga yang pakai lifeboy, senang di
pu busa lembut, kulit rasa bagus, sering dipakai sudah”…,
jelas Kakak Wep W

Tradisi bakar batu pada etnis Lani atau masyarakat Bokondini pada
umumnya telah digunakan sebelum adanya peralatan masak memasak.
Bahkan setelah masuk peralatan masak memasak, seperti belanga, kuali
dan lainnya, tradisi bakar batu tetap digunakan hingga saat ini. Tradisi
tersebut biasanya digunakan pada saat acara adat seperti pesta, hari
besar agama, kematian dan lainnya.
Belanga, kuali dan lainnya mulai masuk di Bokondini pada tahun
1997, yaitu pada saat jalan darat sudah mulai dibangun untuk tujuan
Wamena. Hingga saat ini masyarakat Bokondini telah menggunakan
beberapa alat masak yang umumnya digunakan oleh masyarakat
perkotaan.

49
Gambar 2.19.
Peralatan dapur (kiri), Kuali (kanan)
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Menurut kisah yang diceritakan oleh Men bahwa para ibu di sini
sudah mulai mengenal atau belajar membuat kue. Keadaan tersebut
mulai hilang ketika Kabupaten Tolikara telah mengalami pemekaran.
Kondisi tersebut juga menjadi perhatian penting bagi Mama Men (umur
43 tahun), yang menyatakan bahwa :

….“dulu itu mama-mama di sini sudah mulai tahu cara bikin


kue, waktu itu belum pemekaran, kegiatan PKK begitu, baru
setelah pemekaran, dia hilang, haduh, politik itu bisa hambat
kita pu (punya) perkembangan desa”….., jelas Mama Men

Selain itu, peran LSM dalam permberdayaan ekonomi keluarga


terlihat nyata ketika distrik sebagai perpanjangan pemerintah tidak lagi
berfungsi. Beberapa kursus memasak pernah diberikan oleh LSM kepada
ibu ibu di daerah Bokondini.

2.11. Orang Lani dalam Perspektif Pendatang


Masyarakat Lani yang tinggal di wilayah Bokondini adalah
masyarakat yang mudah menerima perubahan. Masyarakat pendatang
pun telah hidup berbaur dengan baik dengan masyarakat Lani. Bud Karm

50
(umue 66 tahun) adalah seorang pendatang yang pertama kalinya
menjual aneka kebutuhan sandang dan mengenalkannya kepada
masyarakat Lani di Bokondini. Masyarakat Lani. Beliau mengungkapkan
bentuk terimakasih masyarakat dengan perhatian dan perlindungan yang
diberikan tetua adat disana pada masa masa sulit. Seperti yang sudah
disampaikan olehnya bahwa :

…“waktu itu karena mushola sedang dalam tahap


pembangunan jadi saya harus numpang di tanah sebelahnya,
tetua adat membantu saya agar saya dapat tinggal dan
membangun kios kecil disana...padahal saya sudah
pasrah...kalau ndak boleh ya saya tak pulang ke Jawa saja...”,
jelas Bud Karm

Hal ini tentunya mendapat perhatian dari beberapa warga yang


ada di Bokondini. Salah satunya adalah Mama Ic (umur 44 tahun) yang
berpendapat bahwa :

…“semua masyarakat disini sayang Bude (Bud Karm), tidak


akan pernah lupa jasa Bude, rela jalan jauh ke Wamena, jual
baju untuk anak anak kami...”, ungkap Mama Ic

2.11.1. Masyarakat yang terbuka dan ramah


Orang Lani adalah etnis yang sangat terbuka. Mereka akan dengan
sukarela menceritakan hal apapun bahkan dengan orang atau pendatang
yang baru saja mereka kenal, bahkan untuk hal yang bersifat pribadi
sekalipun. Seorang pasangan suami istri yang merupakan informan
penelitian sempat kami tanyai tentang penyebab kematian bayinya. Sang
suami tersebut dengan ringan dalam mengungkapkan kisahnya kepada
kami bahwa :

…”anak ke 3 kami itu meninggal ketika usia 9 bulan...mungkin


karena waktu itu saya tinggal selingkuh dengan wanita lain,
jadi mamaknya sakit hati, anak kecil juga ikut sakit..”, ungkap
Kak Pan E (umur 36 tahun)

51
Sikap yang ramah dan terbuka juga mereka tunjukkan pada kami
(peneliti) dengan tak segan mengajarkan pada kami beberapa istilah
Bahasa Lani yang kami anggap perlu dalam menggali informasi penelitian.
Sapaan hangat selalu mereka lontarkan pada setiap kesempatan.

2.11.2. Denda Adat dan Kesulitan Ekonomi


Namun demikian tali persaudaraan diantara masyarakat Lani
seringkali renggang ketika bertemu dengan permasalahan denda adat.
Denda Adat adalah sebuah aturan yang disepakati secara bersama untuk
diterapkan dalam rangkaian penyelesaian permasalahan di masyarakat
Lani. Seorang pendatang menceritakan tentang permasalahan yang dia
hadapi yang berakibat pada jatuhnya denda adat. Hal ini senada dengan
yang diungkapkan oleh Hab M (umur 23 tahun) bahwa :

…”pernah pagar disamping rumah saya ada yang tabrak


malam malam, mungkin dia melintas tidak tau ada pagar
disitu, jadi kena ada luka lecet di dahi, saudara saudaranya
saya kenal baik karena hampir setiap hari ketemu ngobrol,
sudah seperti kawan baik saja, tapi pada saat kejadian
dengan adiknya itu, mereka seperti tidak lagi kenal saya,
tidak bela saya padahal saya jelas tidak bersalah to, pake
acung acung parang ke leher saya untuk bayar denda, setelah
saya bayar denda, eh paginya dia datang lagi belanja ke
warung saya, pake uang denda itu, macam sudah lupa
kemaren acung-acung parang ke leher saya..”, jelas Hab M

Penyelesaian sengketa kepemilikan atau perseteruan fisik yang


berujung hilangnya nyawa atau cacat fisik seringkali diselesaikan di
Lembaga Adat dengan pembayaran denda. Adapun jumlah denda yang
dibayarkan adalah sesuai dengan aerugian akibat perseteruan dan sesuai
dengan kesepakatan pihak pihak yang berselisih. Pembayaran denda
dilaksanakan dengan menghimpun denda dari sumbangan para sanak
saudara dan kerabat dekat. Hal ini yang diceritakan oleh Kalema (36
tahun) bahwa :

52
….“kemaren ada yang berkelahi gara gara perempuan, satu
orang dari wamena itu putus tangannya, keluarga minta
denda 300 wam, tetapi masih ditawar lagi oleh keluarga
disini, sambil minta waktu untuk kumpulkan sumbangan
wam dulu dari keluarga..”, jelas Kalema

2.11.3. Etnis Lani yang Dinamis dan Bersemangat


Pendatang mengenal masyarakat Lani sebagai masyarakat yang
dinamis dan mudah diarahkan untuk maju. Xav, seorang aktivis
pemberdayaan ekonomi masyarakat menceritakan antusiasme
masyarakat Lani untuk belajar dan memperoleh kehidupan yang lebih
baik. Dia menceritakan perjuangannya untuk menggerakkan masyarakat
untuk mau bergerak dan belajar untuk kebaikan mereka sendiri. Seperti
yang telah disampaikan bahwa :

….“kami berhadapan dengan masyarakat yang terlalu lama


dibuai oleh bermacam kebijakan pemerintah yang
menempatkan merek sebagai objek pembangunan. Otsus
dan trilyunan dana tertumpah hanya untuk mereka nikmati
sesaat. Itu buat mereka malas dan tidak mau kenal yang
namanya proses, mereka kenal beras tanpa tahu padi,
mereka makan roti tanpa tahu apa itu gandum, mereka tahu
pemberitaan media tentang rumah rumah bagus di Jawa
tanpa tau bahwa untuk bisa bangun itu teman teman di Jawa
pun berproses, jadi sekarang kami coba mereka untuk bikin
bank, tapi mereka harus mau belajar komputer dan
matematika, kami bilang, kalau kami sudah pasti tidak
selamanya bisa dampingi dan layani mereka, jadi mereka
sendri harus bisa buat jalankan bank..” jelas Xav (umur 56
tahun)

Seorang penggerak masyarakat dari sebuah NGO yang bergerak di


bidang kesehatan menceritakan sisi baik dari masyarakat Lani yang
dinamis dan mudah digerakkan. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Nao
(umur 50 tahun) bahwa :

53
….“kita harus bisa push their button, kita kunci dulu manfaat
apa yang bisa mereka peroleh kalau mau jalankan satu
kegiatan..apapun kegiatan itu, kalau mereka sudah dapat
clue nya, pasti mereka mau bergerak, kita kunci dulu bahwa
perlakuan mereka terhadap penderita AIDS itu tidak baik,
tidak sesuai dengan perintah Tuhan untuk saling mengasihi,
baru mereka mau menerima program pembentukan konselor
pendamping HIVAIDS”…, jelas Ibu Nao

2.11.4. Riwayat Perang Suku, Primordialisme dan Impian untuk Hidup


Sejahtera
Riwayat perang suku yang panjang pada masyarakat Papua secara
umum menyisakan luka dan trauma mendalam dan terbentuk hingga saat
ini. Perang suku dipastikan berangsur angsur membaik sejak masuknya
Agama Kristen ke Papua. Seperti yang telah diceritakan oleh Bapak Mar
(umur 60 tahun) bahwa :

…“Kami rasa damai itu sejak masuk injil, perang su tidak ada
lagi, tete moyang cerita saat itu yang diperlukan hanya rasa
damai antar suku dan misionaris bisa mendamaikan para
kepala suku, sa rasa kalau Islam yang pertama masuk dan
kasih kenal pada kami waktu itu, mungkin kami akan peluk
agama Islam, agama apapun itu yang pasti bisa kasih kami
damai..”, jelas Bapak Mar

Peristiwa perang berikutnya adalah perang antara OPM dengan


warga masyarakat dan TNI. Pergolakan hampir terjadi di setiap wilayah di
Papua.Masyarakat Bokondini mengenal pergolakan di wilayahnya
dengan sebutan “Bokondini Berdarah 77”. Pergolakan memanas pada
tahun 2000 an yang mengakibatkan evakuasi besar besaran masyarakat
pendatang. Hingga saat ini pertikaian pertikaian antara OPM dengan TNI
dan masyarakat masih sering terjadi di beberapa wilayah di pegunungan
tengah. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Ibu Ar (umur 49
tahun) bahwa :

54
….”kerusuhan OPM pada sekitar tahun 2000-2002
menyebabkan banyak pendatang yang trauma, sebagian
ngungsi di Kodim, banyak lagi yang lari pulang ke tempat
asalnya terus nggak balik balik lagi kesini, rumah warung
semuanya dijarah habis kami sudah nggak peduli lagi, sing
penting slamet mbak...” Bu Ar

Kondisi tersebut juga serupa dengan yang disampaikan oleh Bapak


Sim D (umur 58 tahun) bahwa :

….“ada beberapa tokoh “tiga huruf” yang tinggal di sini, anda


juga sering lewat depan rumahnya juga to, tapi selama ini
kami damai-damai saja, aparat keamanan harus bisa
bersahabat dengan masyarakat, kan dari mereka kami tahu
setiap info konflik sekecil apapun di masyarakat...”, jelas
Bapak Sim D

Sikap primordialisme yang ada saat ini merupakan manifestasi sikap


sikap kesukuan dan perlindungan penguasaan hak ulayat pada wilayahnya
masing masing Hal ini yang mungkin mendasari seringnya terjadi
pemalangan jalan di beberapa wilayah apabila ada kebijakan pemeritah yang
dinilai merugikan suatu pihak atau golongan. Perilaku mabuk di muka umum
sering ditemukan di beberapa wilayah di Tolikara. Pemandangan orang
mabuk seperti itu tidak akan ditemui di Bokondini karena Klasis dan gereja
melarang tegas perilaku tersebut. Kondisi tersebut sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Kev (umur 39 tahun) bahwa :

…“masyarakat disini gampang sekali terhasut dan iri hati,


apalagi mereka yang suka mabuk, gara-gara bupatinya lebih
memilih merayakan natal dengan keluarganya di kabupaten
sebelah saja, mereka langsung pasang penghalang di jalan
keluar masuk kabupaten, mobil lewat suruh berhenti, lalu
mereka pukuli penumpang dan supirnya, tidak peduli laki-laki
perempuan”….”masyarakat disini biasa main pukul dulu baru
bertanya apa masalahnya, bukan sebaliknya tanya dulu baik

55
baik ada apa masalahnya, baru nanti kita yang pukul, nanti kita
yang kena denda”…, jelas Kev

Selain itu, menurut Kev laki-laki di sini memiliki karateristik yang


hampir sama dengan laki-laki pada etnis Papua lainnya. Hal ini senada
dengan yang diungkapkannya bahwa :

….”perilaku laki-laki di Lani masih sama dengan perilaku Laki-laki


pada banyak etnis di Papua zaman dahulu. Kalau anda lihat, laki-laki
disini lebih banyak jalan-jalan daripada mengerjakan pekerjaan kebun
atau hal hal yang sifatnya ekonomi, mereka bergerak dalam
pengawasan teritorial, berjaga apabila ada bahaya dan segera bergerak
untuk melakukan gerakan baik yang bersifat ofensif maupun
defensif”…, jelas An Bam

Pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi yang peneliti temui di Bokondini.


Kaum laki-laki lebih banyak terlihat tidak melakukan pekerjaan yang bernilai
ekonomi. Banyak dari mereka yang sebenarnya tercatat sebagai Pegawai
Negeri Sipil tetapi tidak beraktivitas sesuai dengan tanggung jawabnya.
Karena SK yang keluar tidak disertai pendirian fisik struktur kantornya, hanya
sekedar selembar SK yang menunjukkan adanya aktivitas pemerintahan di
Bokondini.

“….mereka tidak jelas kerjanya tiap hari itu apa, tapi mereka
terima gaji...disini pengangkatan PNS berdasarkan
pembagian seluruh fam dan sifatnya bisa diturunkan ke
orang yang dianggap mampu atau lebih dipercaya di fam itu,
Misal ada 20 lowongan PNS maka dibagi ke misal 10 fam
yang ada di wilayah tersebut..dan kalau ada yang meninggal
nantinya bisa diwariskan ke anakknya atau siapa yang bisa
dianggap mampu oleh kepala suku. Kantornya tidak ada tapi
mereka terima gaji PNS tiap bulan”…, jelas An Bam

56
Hal ini menjelaskan adanya salah satu sumber pendapatan keluarga
di Bokondini. Terutama sumber pendapatan yang diperoleh dari kaum
laki-laki.

57
Bab 3
Konteks Masalah Kesehatan
3.1. Sejarah Puskesmas
Secara historis, Puskesmas Bokondini telah mengalami dua kali
relokasi gedung. Pada saat pemerintahan Belanda, puskesmas pada
waktu itu lebih dikenal sebagai Balai Pengobatan (BP). Tahun 1977 adalah
tahun pertama kali puskesmas dipindah dari Kota Lama (sekarang Galala)
ke Kota Baru (kota Bokondini). Hal tersebut dikarenakan adanya gejolak
antara masyarakat setempat dengan pemerintah Indonesia.

Gambar 3.1.
Puskesmas Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Gejolak tersebut bermula dari perang suku antar suku. Hal tersebut
mendorong pasukan TNI untuk campur tangang mendamaikan suku
tersebut. Namun pada kenyataannya, panah yang berasal dari suku
tersebut mengenai pasukan TNI. Akhirnya timbul konflik antara TNI
dengan suku setempat. Hal terebut senada dengan yang diceritakan oleh
Bapak Sim D (umur 58 tahun) bahwa :

58
….“yang disebut tahun 77 berdarah itu antara suku dengan
suku, tapi pihak tentara, polisi, brimob, apa segala macam itu
mengamankan, tapi malah nyasar panahnya ke tentara,
nyasar antara masyarakat dengan TNI, polisi apa ssegala itu,
sudah nyasar, akhirnya timbul antara masyarakat dengan
TNI, maksudnya masyarakat itu maunya minta M,
merdeka”…, cerita Bapak Sim D

Gedung tersebut bertahan hingga tahun 2013 yang waktu itu


dikepalai oleh Ibu Siria Kogoya. Saat itu beliau hendak meminta gedung
tambahan pada bagian rawat inap. Seperti yang telah dijelaskan oleh Ibu
Siria Kogoya :

…..“itu waktu itu saya minta karena saya pu ruangan apa,


inap, rawat inap itu kecil, akhirnya saya minta tambah, minta
gedung tambah, sedikit, tapi dari Dinas bangun di sana, jadi
lebih baik kita pindah puskesmas ke sana begitu”…., jelas Ibu
Siria

Tidak menunggu lama, pada tahun 2014 Puskesmas Bokondini


berelokasi untuk kedua kalinya. Puskesmas tersebut tentunya memiliki
fasilitas yang lebih baik daripada sebelumnya dan bertahan hingga saat
ini. Selain fasiitas yang lebih baik, Puskesmas sekarang juga memiliki
rumah dinas. Rumah dinas tersebut biasa digunakan jika sedang ada
tamu yang berkunjung.
Selain dari segi fasilitas, lokasi pembangunan tersebut juga sangat
dekat dengan pasar. Kondisi tersebut sangat memudahkan nakes untuk
mencari pasien yang juga sedang berjualan di pasar.

59
Gambar 3.2.
Puskesmas baru Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Sebelum tahun 2014, pelayanan di Puskesmas tidak dibuka secara


rutin. Pelayanan kesehatan waktu itu hanya dibuka dengan frekuensi 2-3
hari dalam seminggu. Pelayanan kesehatan pada waktu itu dipusatkan di
rumah dokter. Pelayanan Puskesmas Bokondini mulai berjalan rutin sejak
tahun 2014. Bersamaan dengan datangnya beberapa tenaga kesehatan,
yaitu perawat dan bidan honorer dari Toraja. Kepala Puskesmas yang
baru waktu itu menetapkan 5 hari pelayanan dalam seminggu yaitu hari
senin-jumat dengan jam pelayanan antara jam 08.00-14.00. Untuk
pelayanan kesehatan di luar jam kerja tersebut dapat dilayani oleh dokter
di rumah dokter.
Salah satu terobosan inovatif yang mulai dilakukan oleh
Puskesmas Bokondini adalah dibukanya layanan VCT dan IMS,
pemeriksaan TB, Rawat inap dengan 3 tempat tidur, pengaktifan
puskesmas keliling dan program garden visit. Garden visitmerupakan
upaya Puskesmas untuk menjangkau masyarakat di pelosok yang
membutuhkan pelayanan kesehatan. Garden visit dan puskesmas keliling
tidak bersifat rutin, kegiatan tersebut dilakukan apabila ada anggaran
untuk pembiayaan program tersebut.

60
3.2. Kesehatan Anak
Secara umum data kesehatan anak tidak terekam dengan baik di
Puskesmas. Hal tersebut karena data morbiditas dan mortalitas pada
anak menjadi satu bagian dengan data besar. Data kesehatan anak dari
bagian KIA hanya berupa data penimbangan saja tanpa interpretasi hasil.
Sehingga secara umum data sekunder tentang kesehatan anak yang
tersedia tidak dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan anak di
Bokondini.
Kondisi tersebut secara tidak langsung akan berdampak pada
tidak maksimalnya implementasi program kesehatan. Hal tersebut
nantinya juga berdampak kepada tidak semua anak dapat merasakan
manfaat program tersebut.

3.2.1. ISPA dan Diare


Data menunjukkan bahwa ISPA merupakan peringkat 1 dari 10
besar penyakit di Bokondini. Walaupun menurut informan gambaran
data 10 besar penyakit tersebut juga merupakan gambaran secara umum
kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Tolikara. ISPA tidak hanya
diderita oleh balita saja tetapi oleh semua kelompok umur di Bokondini.
Sebaran penderita mayoritas ada pada umur produktif 15-44 tahun.
Penderita yang mengeluhkan ISPA nya dan mendapatkan pelayanan
kesehatan di puskesmas adalah penderita yang mengeluhkan pusing dan
demam yang menyertai ingus yang selalu keluar setiap saat dari hidung
mereka. Apabila keluarnya ingus tidak disertai dengan pusing atau
demam dan tidak mengganggu aktivitas harian maka mereka tidak akan
pergi berobat ke puskesmas. Hal ini senada dengan yang disampaikan
oleh Ibu Nao (umur 50 tahun) bahwa :

….“merek di sini begitu, ingus sudah bentuk angka 11, tapi


belum kasih berobat di Puskesmas, mereka biasa akan ke
Puskesmas kalau anak sudah mulai rasa demam, panas dingin
begitu”…, jelas Ibu Nao

61
Selain ISPA juga didapatkan data kasus gangguan infeksi pada
saluran telinga dalam yaitu otitis media. Yaitu kondisi dimana telinga
mengeluarkan cairan berbau busuk. Otitis media adalah manifestasi
lanjut dari ISPA menahun yang tidak segera mendapat pengobatan.
Kondisi infeksi pada saluran hidung dan tenggorokan dalam jangka waktu
yang lama mengakibatkan mudahnya kuman penyakit untuk masuk
dalam saluran telinga. Kondisi otitis media seringkali dirasakan berubah
menjadi lebih parah pada penderita yang menjalani pengobatan malaria.

3.2.2. Stunting dan usia pernikahan dini


Secara umum penduduk di Bokondini mayoritas memiliki postur
tubuh pendek pada setiap kelompok umur. Kegiatan Posyandu di
Puskesmas tidak pernah melakukan pengukuran tinggi badan untuk
mendeteksi kondisi gizi stunting pada masyarakat. Menurut bidan dan
perawat disana memang tidak pernah ada prosedur yang ditetapkan
untuk melakukanpengukuran tinggi badan. Mikrotois yang terpasang di
ruangan KIA Puskesmas adalah pemberian dari sebuah LSM kesehatan
pada periode lalu.
Peneliti mencoba untuk melakukan pengukuran pada 31 balita
pada hari pasar dan kegiatan posyand. Balita yang hari itu berkunjung ke
pasar diarahkan agar mau berkunjung sebentar ke puskesmas untuk
diukur tinggi badannya. Kepala puskesmas pun dengan memberikan
dukungan dengan memberikan arahan dokter agar pasien balita atau
pasien yang membawa balita diberikan pengantar agar mereka masuk ke
ruangan KIA sebelum mereka mengambil obat. Kepala puskesmas
menyediakan biskuit MP ASI sebagai stimulan agar mereka mau
berkunjung. Masyarakat pada waktu itu dapat dibilang cukup kooperatif.
Sehingga pada saat pelaksanaan pengukuran tingga badan anak tidak
mengalami masalah yang berarti.

62
Gambar 3.3.
Kegiatan pengukuran tinggi badan
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Dalam kegiatan tersebut kami mendapatkan data tinggi badan


dari 31 balita dalam seminggu. Jumlah balita tersebut melampaui jumlah
balita yang datang ke posyandu 2 minggu sebelumnya yang hanya sekitar
22 balita saja.Dari hasil olah data tersebut didapatkan bahwa 14 balita
berstatus sangat pendek, 14 balita berstatus pendek dan hanya 3 balita
yang berstatus tinggi badan normal. Data tersebut cukup mewakili
fenomena stunting pada balita etnis Lani.
Salah satu faktor yang kemungkinan berkontribusi terhadap
kondisi stunting di Etnis Lani adalah usia pernikahan ideal pada
perempuan. Usia ideal menikah di Lani berkisar antara 15- 16 tahun.
Pada saat penelitian dilakukan bahkan kami menjumpai beberapa ibu
muda berusia di bawah 15 tahun yang sedang memeriksakan
kehamilannya di puskesmas.

3.2.3. Caries Dentis dan Pulpitis


Selain data 10 besar penyakit juga ditemukan data morbiditas
lainnya yang diantaranya adalah adanya keluhan caries dentis dan
pulpitis. Caries dentis adalah keluhan nyeri atau ngilu pada gigi akibat

63
gangguan pada email gigi. Sedangkan pulpitis adalah infeksi pada gigi
yang ditandai dengan keadaan gigi yang berlubang, bahkan infeksi bisa
menjangkau sampai ke pulpa dan ditandai dengan rasa nyeri dan
bengkak pada gusi.
Ketidakberadaan dokter gigi dan layanan Balai Pengobatan Gigi
(BPG) di Puskesmas Bokondini menyebabkan tidak adanya pelayanan
khusus untuk menangani keluhan akibat gangguan kesehatan pada gigi.
Keluhan pada gigi biasanya hanya diberikan pengobatan dengan
analgesik dan antibiotik sesuai dengan stok persediaan obat puskesmas.
Keluhan pada gigi kemungkinan diakibatkan oleh perubahan
konsumsi makanan pada Etnis Lani. Pola konsumsi masyarakat Etnis Lani
pada zaman dahulu dengan zaman sekarang.
Pada era sebelumnya masyarakat Lani mengolah makanan
mereka tanpa menggunakan bahan makanan tambahan. Mereka
mengolah makanan dengan cara membakar ataupun dengan metode
bakar batu. Mereka banyak mengkonsumsi epere, erom dan kasbi
sebagai bahan sumber karbohidrat dan sayur serta buah sebagai sumber
vitamin dan mineral. Sumber protein mereka peroleh dari jamur hutan,
telur ayam hutan dan ayam peliharaan. Babi bukanlah jenis ternak yang
bisa diandalkan sebagai sumber protein. Ternak babi di Lani dan
masyarakat Papua pada umumnya merupakan nilai ekonomis yang tinggi
sebagai simbol pembayaran denda. Penjualan babi dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sekunder dan bahkan tersier. Hal tersebut
serupa dengan yang diutarakan oleh Bapak Yul B (umur 46 tahun) bahwa :

….“kita jual babi itu kita baru bisa dapat jutaan, artinya
puluhan juta, kalau lewat gaji kita siapkan untuk anak-anak
tidak pas karena kebutuhan di rumah juga ada seperti beli
vetsin, garam, sabun, apa seperti itu”…., jelas Bapa Yul B

Garam adalah salah satu bahan makanan tambahan yang


dikenalkan misionaris pada tahun 1957 bersamaan dengan masuknya
injil. Pada etnis Mee di Paniai, keberadaan supermi dan sarden

64
merupakan bahan makanan tambahan yangdianggap mewah dan mahal
yang hanya bisa mereka jumpai pada saat Natal (Giyai 2012).
Seiring terbukanya jalur transportasi dan perkembangan pusat
pemerintahan Kabupaten Tolikara, masyarakat Lani mulai mengenal
aneka jajanan, bahan tambahan makanan dan aneka minuman. Mereka
mulai mengenal gula dan kopi, minyak goreng, minuman softdrink, aneka
biskuit, aneka gula-gula atau permen, mie instan, sarden dan aneka
bumbu lainnya.
Pergeseran pola konsumsi tersebut tidak disertai dengan
perubahan perilaku mereka untuk menjaga hygiene personal terkait
kebersihan gigi. Masyarakat etnis Lani tidak mengenal budaya
menggosok gigi. Dahulu mereka kerap mengunyah tebu untuk
membersihkan gigi, mereka menyebutnya dengan istilah cuci gigi.
Mereka merasakan sensasi gigi yang lebih bersih setelah mengunyah
tebu dan menghisap sari tebu yang manis tersebut. Budaya cuci gigi tidak
terjadwal rutin sebagai upaya membersihkan gigi dalam keseharian Lani
kala itu. Biasanya potongan tebu yang tersaji dalam piring merupakan
makanan yang disuguhkan tuan rumah kepada tamu yang berkunjung ke
rumahnya. Akan tetapi saat ini sudah jarang ditemui seiring dengan
banyaknya ragam jajanan dari luar daerah. Lagipula saat ini tidak banyak
lagi masyarakat Lani yang menanam tebu di kebun mereka.
Menggosok gigi mulai dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di
Kota Bokondini yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih dan mereka
yang telah terpapar oleh budaya pendatang. Hal ini senada dengan yang
telah diceritakan oleh Kakak Yul W (umur 34 tahun) bahwa :
…..“kalau gosok gigi, aa di kampung sini jarang pakai sikat
gigi, jadi mungkin mereka sudah mengerti kalau orang tua
mampu kan biasa juga orang tua sikat gigi”….,”tapi sekarang
sudah banyak, arti mereka sudah bisa beli sikat gigi, baru
sikat gigi, cuma budaya kami yang dulu itu jarang orang
begitu, jadi kami selesai makan, kalau siang itu bisa tebu itu,
biasa orang bilang cuci gigi, tapi sekarang sudah ada gula ini,
jarang tanam tebu juga”…., cerita Kakak Yul W

65
Masyarakat pendatang memang merupakan kelompok yang
terkonsentrasi di Kota Bokondini. Rata-rata mereka adalah pedagang,
pemilik usaha sewa mobil serta pegawai pada puskesmas dan sekolah.

Jenis Konsumsi Jenis Konsumsi


Makanan Makanan
generasi tua generasi muda

Tidak ada budaya gosok Tidak ada budaya gosok gigi


gigi
Ada kebiasaan cuci gigi
Belum ada Meningkatnya kasus Caries
Pelayanan BPG di Dentis dan Pulpitis
Puskesmas

Bagan 3.1. Pergeseran budaya konsumsi makanan dan perilaku


gosok gigi Masyarakat Lani

3.3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Berperilaku hidup bersih dan sehat adalah pedoman dalam
perjalanan menuju masyarakat dengan derajat kesehatan yang lebih baik.
Persalinan oleh tenaga kesehatan adalah salah satu komponen dalam
indikator PHBS. Masyarakat Lani padaumumnya tidak melahirkan di
fasilitas kesehatan (Puskesmas). Mereka lebih nyaman untuk bersalin di
tempat tinggalnya sendiri dengan bantuan saudara, orangtua atau
tetangga. Pertolongan oleh tenaga kesehatan hanya diberikan pada
masyarakat yang tinggal dengan radius tidak jauh dari wilayah Kota
Bokondini. Data KIA Puskesmas Bokondini menunjukkan bahwa jumlah
persalinan di yang dilakukan di puskesmas hanya berkisar antara 1-2
persalinan dalam 1 bulan. Hal ini sama seperti yang disampaikan oleh
salah satu dokter PTT, yaitu Po Ka (umur 28 tahun) bahwa :

66
….“jarang mereka mau bersalin disini (Puskesmas), paling
dalam 1 bulan ada 1-2 orang saja...pernah sampai 1 bulan
ada 5 orang bersalin, pas bulan mei kalau tidak salah”….,
tutur Po Ka

Kondisi tersebut secara tidak langsung mengatakan bahwa


ketersediaan Puskesmas pada dasarnya belum menjadi sebuah jaminan
bagi berkembangnya kondisi kesehatan di suatu daerah. contoh yang
terdapat di Bokondini belum semua masyarakat menggunakan fasilitas
Puskesmas secara maksimal. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh
Mama Yev (umur 43 tahun) bahwa :

…..“di sini ada dukun terlatih, boleh dia bantu kasih lahir
anak kalau susah, ada Wep, Makowa Pagawak”….“kalau lahir,
dong (mereka) biasa dirumah, dibantu keluarga, kalau susah,
dibantu dukun terlatih, kalau tidak bisa baru bawa ke suster,
dokter, dokter ini bantu, susah lahir”, tambah Mama Yev

3.3.1. ASI Eksklusif


Pemberian ASI merupakan kewajiban orangtua Lani terhadap
anak anaknya. Selama penelitian berlangsung peneliti tidak mendapati
adanya pemberian susu formula dengan botol kepada anak anak Lani.
Tidak hanya Ibu, bapak juga ikut diberi kewajiban secara adat untuk
menjaga kelangsungan pemberian ASI kepada anak.
Tidak ada pemberian kolostrum dalam budaya Lani. Bahkan
Kolosrum dianggap sebagai cairan yang kotor dan apat menyebabkan
bayi sakit . Mereka membuang kolostrum dengan cara memeras
kolostrum dan meneteskannya langsung pada batu panas. Hal ini senada
dengan yang disampaikan oleh Mama Sir Ko (umur 47 tahun) bahwa :

…..“mereka biasa buang kolostrum itu dengan kasih tetes ke


batu panas diperapian sampai berbunyi dan berbercak di
batu itu...kalau kasih minum bayi pakai kolostrum..mereka
bilang bayinya jadi sakit”…., jelas Mama Sir Ko

67
Tidak ada budaya menyapih ASI seperti pada Etnis Jawa. Anak
Lani akan mendapatkan ASI sampai dia besar dan memutuskan untuk
tidak mau lagi menyusu pada ibunya. Sering ditemukan anak dengan usia
2 tahun yang masih menyusu. Adanya budaya pantang sanggama selama
ibu menyusui wajib dipatuhi oleh orang tua di Lani. Kondisi tersebut
sama seperti yang dijelaskan oleh Mama Men (umur 43 tahun) bahwa :

…”itu sudah, waktu kasih ASI memang tidak boleh buat


sesuatu, baru kalau su begitu, lahir adik baru, ASI belum
selesai, kasian anak yang pertama to, itu kalau begitu dong
bisa kena denda”…, jelas Mama Men

Namun pemberian ASI pada masyarakat Lani masih disertai


dengan pemberian makanan tambahan yang terlalu dini. Bayi yang masih
berusia 2-3 bulan sudah diberikan pisang bakar atau erom bakar yang
sudah dihaluskan terlebih dahulu. Mama Men juga menjelaskan ciri-ciri
anak pada saat dia ingin makan, “kalau bayi su nangis, baru dia ada
keluar ludah begitu, kasih makan sudah tandanya”, jelas Men.
Orangtua di Lani juga beranggapan bahwa pemberian makanan
tambahan secara dini pada bayi pada zaman nenek moyang juga tidak
memberikan efek bahaya terhadap kesehatan bayi, bahkan bayi menjadi
lebih tenang tidur karena perutnya kenyang. Hal ini serupa dengan yang
dijelaskan oleh Mama On (umur 40 tahun) bahwa :

….“bayi di sini biasa diberi pisang begitu, kalau memang


rewel, dia langsung diam habis itu”….”kadang kalo dia
pengen makan makanan orang dewasa, Mama kasih kunyah
dulu, baru disuapkan ke bayi begitu”…., jelas Mama On

3.3.2. Kebiasaan Merokok dan Makan Pinang


Seperti masyarakat di Indonesia Timur pada umumnya,
masyarakat Lani pun lekat dengan pinang. Mereka makan pinang disetiap
kesempatan. Hanya saja ketika masuk ke wilayah Bokondini, tepatnya di

68
perbatasan Kampung Yawalani dengan Bokondini, kita akan melihat
jalanan yang bersih, bebas dari kotoran babi, kotoran anjing dan sisa
ludah dari orang yang makan pinang.

Gambar 3.4.
Kondisi jalan di Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Klasis Bogoga dan LMA Distrik Bokondini membuat aturan yang


disepakati oleh masyarakat, yaitu aturan tentang larangan makan pinang
dan larangan membiarkan babi bebas berkeliaran di wilayah Kota
Bokondini.
Fenomena merokok pada anak sudah mulai merebak di
Bokondini. Ada orangtua yang membiarkannya saja dan ada pula
orangtua yang mulai memproteksi anaknya untuk tidak bergaul dengan
temannya yang sudah mulai merokok. Kebiasaan tersebut sudah terlihat
pada keluarga Kak Wep W (umur 36 tahun) bahwa :
….”kalau An tidak boleh masuk kesini, karena dia sudah
berani merokok, Bc tidak boleh dekat dekat...macam dia
sudah punya kerja dan punya uang sendiri saja”…., jelas Kak
Wep W

69
Pola asuh yang bersifat otoritas masih menjadi pilihan bagi
beberapa informanyang kami temui. Pembatasan wilayah bermain dan
pembatasan kelompok pergaulan mereka lakukan dengan memberikan
batasan tentang aturan - aturan dalam keluarga.

3.3.3. Buang air besar di Jamban


Beberapa program dari pemerintah terkait peningkatan sanitasi
personal dan sanitasi komunal telah dikucurkan. Baik program yang
bersifat fisik dan non fisik. Pembangunan jamban atau WC umum kami
dapati berdiri pada beberapa lokasi. Antara lain di pasar, kantor distrik
dan gereja. Namun jamban-jamban tersebut selalu kami dapati dalam
keadaan terkunci alias tidak pernah dipergunakan oleh masyarakat.
Perilaku Buang Air Besar (BAB) di jamban bervariasi pada
beberapa informan. Pembangunan fisik jamban tidak disertai dengan
promosi kesehatan tentang cara penggunaan jamban. Sehingga tidak
semua masyarakat paham bagaimana menggunakan jamban yang ada.
Pada masyarakat di luar kota Bokondini, BAB masih mereka lakukan di
semak semak rerumputan, di sungai maupun dengan menggunakan
jamban cemplung. Bahkan ada beberapa kampung yang
menggunakanjamban jurang. Hal ini senada dengan yang diceritakan oleh
Mama On (umur 40 tahun) bahwa :

…..“kalau di bokondini masih bagus....mereka sudah tahu dan


bikin wc...di balik bukit ini masih di baliknya lagi saya pernah
kesana tidak jadi BAB saya...jambannya itu di dahan pohon
besar dekat jurang..mereka hanya kasih papan-papan
saja..kotorannya langsung jatuh ke jurang”…., ungkap Mama
On

Asian Pasific Christian Mission (APCM) merupakan salah satu


organisasi nirlaba bidang keagamaan di Bokondini. APCM mencoba untuk
memberikan promosi terkait penggunaan jamban pada masyarakat. Pada
setiap pelatihan yang digelar APCM terkait pemberdayaan masyarakat,

70
mereka selalu mengadakan pelatihan penggunaan toilet di awal kegiatan.
Mereka menempatkan 1 orang kader di depan pintu kamar mandi atau
WC sebagai pemandu ketika ada orang yang mau menggunakan WC. Hal
ini sama seperti yang dijelaskan oleh Ibu Nao (umur 50 tahun) bahwa :

…..“pemerintah hanya kasih bangun saja wc


umum...masyarakat perlu tahu bagaimana cara pakai, jadi
setiap ada pelatihan kader kita kasih penjelasan letak toilet,
wc ada dimana bagaimana cara pakai dan kalau mereka
belum jelas mereka bisa tanya kepada teman yang sudah
bisa, kita sebutkan siapa kader yang bertugas untuk kasih
tahu teman yang lain”…., jelas Ibu Nao

3.3.4. Aktifitas fisik yang cukup


Data 10 besar penyakit di Puskesmas Bokondini menempatkan
myalgia atau pegal-pegal dalam peringkat 2 besar. Tenaga kesehatan di
puskesmas pun acapkali mendapati pasien yang datang berobat
mengeluhkan pegal-pegal di pinggang, kaki dan tangan, atau bahkan di
seluruh badan. Bahkan di musim tanam terkadang ada yang mendatangi
puskesmas 2 kali dalam seminggu dengan keluhan yang sama. Bahkan
beberapa menyampaikan keluhan terhadap rasa pegal yang tidak
kunjung mereda walaupun telah berobat beberapa kali ke puskesmas.
Mereka merasa obat yang diberikan kurang berpengaruh terhadap rasa
pegal yang mereka rasa. Menurut salah satu dokter PTT, yaitu Po Ka
menjelaskan bahwa kondisi geografis dan kebiasaan jalan jauh yang
sehari-hari mereka lakukan menjadi salah satu penyebab rasa pegal
tersebut. Sepeti yang telah disampaikan oleh Po Ka (umur 28 tahun)
bahwa :

….“saya bilang to, bagaimana Mama tidak pegal-pegal, badan


Mama pake jalan jauh, saya juga kalau jalan-jalan jauh begitu
sudah pasti pegal-pegal juga badan”…., cerita Po Ka

71
Aktivitas fisik yang berat disinyalir merupakan faktor yang
berkontribusi terhadap tingginya angka myalgia atau pegal-pegal di
wilayah kerja Puskesmas Bokondini. Aktivitas fisik yang tergolong berat
pada masyarakat antara lain adalah berjalan kaki untuk mobilitas utama
di wilayah berkontur pegunungan dan kegiatan kebun sepanjang hari.

3.3.5. Imunisasi
Kegiatan imunisasi dilakukan setiapbulan sekali sebagai salah satu
kegiatan dalam posyandu. Tenaga kesehatan di Puskesmas Bokondini
selalu mengingatkan masyarakat agar membawa bayinya imunisasi di
puskesmas. Mereka selalu mengingatkan ibu-ibu yang kebetulan
dijumpai di pasar, Puskesmas maupun di perjalanan untuk membawa
bayinya imunisasi pada saat posyandu tiba.
Lokasi Puskesmas yang dekat dengan pemukiman belum menjadi
jaminan bagi seluruh warga untuk datang berobat. Hal ini terbukti pada
saat kegiatan Posyandu, ada seorang Ibu yang datang untuk imunisasi
anaknya. Setelah melihat rekam medis, anak tersebut tidak ada dalam
daftar. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan Ibu tersebut terhadap kegiatan
Puskesmas. Setelah ditanyakan, Ibu tersebut sudah 6 bulan
mengimunisasikan anaknya di Puskesmas. Realita yang ada bahwa lokasi
rumah dari Ibu tersebut adalah di sekitaran Kelurahan Bokondini. Ini
artinya sangat dekat dengan Puskesmas berada.

3.4. Penyakit Menular


Penyakit menular masih mendominasi 10 besar penyakit di
wilayah kerja Puskesmas Bokondini. Malaria dan HIV/AIDS merupakan 2
penyakit menular yang terbesar. Data insiden TB tidak didapatkan. Hanya
ISPA yang masih merebak seperti halnya pola 10 besar penyakit di
propinsi propinsi lainnya di Indonesia.

3.4.1. Malaria
Data Puskesmas Bokondini tahun 2014 menunjukkan angka
kesakitan yang cukup tinggi untuk kasus malaria. Tercatat 39 kasus
malaria tropika, 40 kasus malaria tertiana dan 12 kasus malaria mix

72
infection. Malaria adalah istilah yang akrab digunakan masyarakat Lani
untuk menyebut istilah kesakitan dengan gejala demam dan sakit kepala
dalam waktu lama. Peneliti sempat menjumpai seorang perempuan yang
sedang sakit di honai di Kampung Mairini dan menanyakan tentang
sakitnya. Adik laki-lakinya menjelaskan bahwa Kakak perempuannya
sedang sakit malaria. Peneliti menanyakantentang cara mereka tahu
kalau si kakak tersebut sakit malaria. Hal ini diutarakan oleh Do bahwa,
“belum dibawa ke puskesmas, tahu saja kalau badan panas lama itu sakit
malaria”…., cerita Do
Berbeda cerita dengan yang dialami oleh Kak Lusi B (umur 26
tahun), dia menceritakan tentang ayahnya yang sudah 3 minggu
terbaring sakit dan dia mencoba mendiagnosis sendiri bahwa ayahnya
terkena malaria. Hal ini diucapkan sendiri oleh Kak Lusi B :
….“bapak itu ada demam tidak bisa bangun sampai 2 kali
dokter ada periksa ke rumah, dokter su kasih obat tapi tidak
sembuh juga, dokter tidak periksa darah juga, sa coba beli
obat maaria ke suster, kasih minum,sekarang sudah agak
baikan, itu ternyata malaria tapi dokter tidak tahu”…., cerita
Kak Lusi B
Kedekatan masyarakat Lani di Bokondini terhadap istilah malaria
secara tidak langusng menunjukkan bahwa malaria merupakan salah satu
jenis penyakit yang sering diderita oleh masyarakat Bokondini.

3.4.2.Dermatitis dan Pioderma (Penyakit Kulit)


Dermatitis dan Pioderma adalah penyakit kulit yang paling sering
diderita oleh masyarakat Lani di Bokondini. Jumlah kasus Dermatitis
sepanjang tahun 2014 adalah sebesar 267 kasus sedangkan jumlah
kasus Pioderma sepanjang 2014 adalah sebesar 542 kasus.
Pioderma adalah infeksi kulit yang disebabkan karena personal
hygiene yang kurang, biasanya disebabkan karena kurangnya menjaga
kebersihan tubuh. Sedangkan Dermatitis adalah jenis radang kulit yang
ddiakibatkan karena alergi dan higiene sanitasi personal yang buruk.

73
Kebiasaan masyarakat mandi menggunakan deterjen pencuci
pakaian juga dianggap sebagai salah satu penyebab penyakit pada kulit
tersebut. Seperti yang sudah diceritakan pada bab sebelumnya oleh Kak
Wep W (umur 36 tahun) bahwa :

…..“kalau pakai rinso, badan bisa bersih, kalo sabun mandi


dia masih abu-abu, tidak tahu sudah dorang dapat pelajaran
dari mana, biar begitu ada juga yang pakai lifeboy, senang di
pu busa lembut, kulit rasa bagus, sering dipakai sudah”…,
jelas Kakak Wep W

3.4.3. HIV /AIDS dan IMS


Program VCT dan IMS baru dibuka pada awal tahun 2014 Data
HIV/AIDs menunjukkan upaya yang luar biasa dari puskesmas dalam
deteksi dini HIV/AIDS dan IMS di Bokondini Tercatat sebanyak 667 PITC
dengan inisiatif petugas dan 183 VCT. Dalam periode 2014 ditemukan 32
pasien positif HIV.
Pada Periode 2015, Data Januari-Mei menunjukkan adanya insiden
42 pasien positif HIV. Temuan yang fantastis untuk pelayanan kesehatan
setingkat puskesmas.
Temuan kasus IMS meningkat seiring dengan peningkatan temuan
HIV/AIDS. Data kasus pada periode Januari-Mei tahun 2015 menunjukan
insiden sebesar 34 kasus. Kondisi tersebut berdampak pada pandangan
masyarakat tentang keberadaan penyakit tersebut.
Dalam istilah Lani di khsususnya di Bokondini, masyarakat setempat
menyebutnya sebagai penyakit “menunggu waktu”. Sebagian masyarakat
menduga bahwa penyakit tersebut mulai ada karena banyak pendatang
yang tinggal di Bokondini. Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh
Po Ka (umur 28 tahun) bahwa :

….”jadi menurut mereka itu sebelum ada pelayanan, tidak


ada HIV, baru setelah kita buka pelayanan itu, cukup banyak
yang terkena virus itu, kita lah pendatang yang kena waktu

74
itu, mereka bilang, dulu sebelum dokter datang tidak ada
penyakit ini, baru setelah datang kita kenal penyakit ini”..
cerita Po Ka

Penelitian yang dilakukan oleh Butt (2013) menemukan beberapa


faktor yang berperan penting pada terjadinya fenomena tingginya angka
kematian ODHA dalam beberapa minggu setelah deteksi HIV positif.
Penelitian awal Butt menemukan banyaknya kasus kematian HIVAIDS
yang cepat ini pada beberapa kasus yang tersebar di wilayah pegunungan
Papua. Faktor pertama adalah adanya self-stigmatizing responses
terhadap nilai budaya. Respon pertama dari seseorang ketika
mengetahui bahwa dirinya menderita HIV adalah membentuk stigma
pengucilan dari dalam dirinya sendiri. Dia akan cenderung menarik diri
dari lingkungan, menjauhkan diri dari pergaulan sampai pada upaya
mengasingkan diri karena menganggap dirinya kotor dan tidak pantas
hidup dalam keluarga dan masyarakat lagi. Secara psikis hal ini
menghambat segala upaya pengobatan yang seyogyanya dapat
membeikan kesempatan hidup yang lebih berkualitas selama dia
menderita HIV/AIDS. Faktor kedua adalah dampak konteks politik
terhadap institusi pelayanan kesehatan. Adanya dukungan politik lokal
terhadap institusi pelayanan kesehatan dalam peningkatan deteksi dini
HIV/AIDS seharusnya diartikan sebagai peluang untuk mengenali resiko
penularan untuk dapat mengeliminasi tingginya angka insiden HIV/AIDS.
Hal ini sepertinya tidak didapati pada masyarakat Papua. Masyarakat
Papua cenderung menganggap temuan HIV/AIDS di wilayahnya sebagai
sebuah aib yang harus ditutupi kebenarannya. {adahal hal tersebut
semakin memperparah kondisi penyebaran dan penularan HIV/AIDS di
Papua. Faktor ketiga adalah beratnya perjuangan masyarakat Papua,
terutama mereka yang tinggal di daerah pelosok dalam upaya
mendapatkan pengobatan terbaik. Suplai obat ARV yang tidak adekuat
dan keterbatasan infrastruktur akses jalan darat mempersulit masyarakat
Papua untuk mendapatkan pengobatan terbaik untuk memperpanjang
hidupnya dalam HIV/AIDS. Penelitian yang dilakukan di wilayah

75
pegunungan Papua New Guinea oleh Janet et al (2015) menemukan
bahwa 51,6% penderita HIV/AIDS adalah berstatus menikah atau tinggal
bersama. Sebanyak 52,6% adalah berusia 20-30 tahun. Mereka
menemukan bahwa kendati obat telah terdistribusi dengan baik
seringkali ODHA tidak meneruskan pengobatan karena lupa(42,6%) dan
karena terlalu sibuk dengan pekerjaan (27,7%).
Lebih jauh dijelaskan oleh Gregson(2011) bahwa persoalan
stigma bukanlah hal yang utama dalam tingginya angka HIV/AIDS di
Papua. Kompleksitas penyediaan pelayanan kesehatan dan konteks
ragam budaya di Papua memberikan andil besar terhadap upaya
penurunan angka HIV/AIDS.

3.4.4 Helminthiasis (Penyakit Kecacingan)


Penyakit cacingan ditemukan sebanyak 165 kasus sepanjang
2014. Keluhan cacingan dirasakan oleh masyarakat dengan kelompok
umur 1-44 tahun. Pemeriksaan feses tidak dilakukan dalam penegakan
diagnosis helminthiasis. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan alat dan
tenaga. Saat ini penegakan diagnosis helminthiasis hanya berdasarkan
pada keluhan yang dirasakan saja. Konsumsi daging babi dianggap
memberikan andil terhadap tingginya insiden helminthiasis. Sebuah
penelitian di wilayah Suku Genyem di wilayah utara Papua menemukan
bahwa komposisi makanan dalam menu harian mereka sebesar 51,6%
adalah babi sebagai asupan protein hewani, sayuran hanya lah sebesar
16%. Pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani didapatkan
dengan cara berburu (Pangau -Adam, 2012)

3.5. Penyakit Tidak Menular


Secara umum angka kejadian penyakit tidak menular seperti
diabetes melitus, hipertensi dan kanker tidak menunjukkan jumlah yang
besar pad populasi masyarakat Bokondini. Tingginya kasus Dispepsia dan
Myalgia patut mendapatkan perhatian. Sayangnya belum ditemukan riset
terdahulu yang secara detail mengungkap penyebab tingginya angka
morbiditas ini.

76
3.5.1. Diabetes Melitus dan Hipertensi
Tidak diketemukan adanya kunjungan pasien dengan kasus
Diabetes Melitus sepanjang tahun 2014 sampai pertengahan tahun 2015
ini. Kasus hipertensi pun hanya terbilang 5 kasus sepanjang tahun 2014.
Pola konsumsi dan aktivitas fisik diduga memberikan kontribusi terhadap
rendahnya angka DM dan hipertensi di Bokondini.
Hal ini dapat dilihat pada saat pagi hari, mayoritas masyarakat di
Bokondini memiliki kebiasaan meminum kopi. Konsumsi nasi hanya
dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari dan dengan intensitas waktu yang
tidak menentu. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Kak Yul W
(umur 34 tahun) bahwa :

…..”kami ini sering minum gula, tapi di kampung sudah


terbiasa, pokoknya tiap hari mau suruh orang kerja, bikin
gula itu, itu sudah ada baru mereka bisa kerja, kalau tidak
ada, mereka tidak mau kerja”….”biasakan suruh orang kerja,
harus bikin gula, untuk layani mereka, ke kampung-kampung
kalau ada uang itu mereka makan gula itu, kopi, baru mereka
bawa pulang, baru makan bisa dua kali atau sekali begitu”…,
kata Kak Yul W

3.5.2. Kanker
Sepanjang tahun 2014 hanya ditemukan 1 kasus kanker payudara
pada stadium lanjut dan telah mendapatkan pembiayaan Jamkespa
untuk berobat ke RSUP Sardjito Yogyakarta.

3.5.3. Arthritis (Nyeri Sendi)


Jumlah kasus arthritis pada sepanjang tahun 2014 adalah sebesar
503 kasus. Gout Arthritis (nyeri sendi karena asam urat) adalah jenis yang
paling banyak diderita oleh masyarakat Bokondini. Belum diketahui pasti
sumber makanan yang menyebabkan tingginya kadar asam urat
masyarakat Bokondini.
Sebuah studi mengatakan bahwa asam urat terjadi pada
konsumsi daging babi yang berlebihan. Tetapi pada Suku Lani di

77
Bokondini, babi bukanlah sumber protein yang dapat dengan mudah
dikonsumsi dalam menu makanan harian. Makna babi sebagai harta
pembayar denda dan mas kawin dalam setiap sendi kehidupan adat Lani
menempatkan babi pada nilai ekonomis yang tinggi, jauh dari sekedar
sumber asupan protein. Babi hutan hasil perburuan sajalah yang akan
digunakan sebagai pemenuhan konsumsi protein hewani.

3.5.4. Dispepsia (Sakit Maag)


Dispepsia banyak diderita oleh perempuan dan anak-anak.
Dispepsia adalah gangguan pada saluran pencernaan. Jumlah kasus
Dispepsia menduduki peringkat 3 dalam 10 besar penyakit dengan 466
kasus. Pola makan yang kurang teratur dan kurangnya gizi makana pagi
pada budaya Lani dianggap menjadi penyebab utama dispepsia. Kondisi
tersebut ditambah dengan aktivitas fisik yang cukup berat pada
masyarakat Lani di Bokondini.

3.5.5. Vulnus Laceratum, Vulnus Exoriasi dan Trauma Tumpul (Luka


Robek)
Pada tahun 2014, Jumlah kasus Vulnus Laceratum atau luka robek
adalah sebesar 202 kasus, sedangkan jumlah kasus vulnus exoriasi (luka
lecet) adalah sebesar 139 kasus. Trauma tumpul berjumlah 133 kasus.
Penyebab dari ke 3 hal tersebut adalah kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT), kecelakaan kerja dan kecelakaan di jalanan akibat
berkendara. Selain 3 hal tersebut, terdapat juga anak-anak dengan umur
sekitar 6-9 tahun sudah mulai menggunakan parang tanpa
pendampingan orang tua. Hal ini tentunya dapat menjadi kemungkinan
penyebab tinggi kasus luka robek yang ada di Bokondini.
KDRT dan Mnuman keras (Miras) merupakan potret yang lekat
dengan kehidupan masyarakat Papua secara umum. Pada masyarakat di
Tolikara mereka biasa memakai minuman tertentu untuk mabuk. Ada
yang membuat miras dengan cara menginapkan air perasan nanas
sampai 3 hari, atau dengan cara membubuhkan bubuk pengembang kue
pada air cucian beras yang diinapkan. Hal ini sejalan dengan yang
disampaikan oleh Kak Yul Bi (umur 26 tahun) bahwa :

78
….”orang mabuk disini bisa buat sendiri pakai air nanas yang
didiamkan 3-4 hari...atau bisa juga air bekas cuci beras itu
mereka kasih Fer***** lalu diamkan saja semalam”…, jelas
Kak Yul Bi

Luka gores atau luka lecet (vulnus exoriasi) adalah sebuah kasus
yang khas terjadi di wilayah pegununngan tengah. Luka lecet yang terjadi
dalam aktivitas keseharian masyarakat menjadi sulit sekali sembuh.
Bahkan cenderung melebar dan bernanah. Peneliti sempat mengalami
luka lecet yang makin melebar tak kunjung sembuh sampai 2 minggu.

3.6. Kesehatan Reproduksi


Kesehatan reproduksi pada masyarakat Etnis Lani di Bokondini
didominasi oleh tingginya angka kesakitan IMS dan HIV AIDS akibat
perilaku seks bebas. Pendidikan Kespro (Kesehatan reproduksi) pada
remaja belum menjadi prioritas utama keluarga.
Beberapa remaja putri bahkan tidak mengetahui bahwa
menstruasi adalah sebuah proses biologis yang akan dialamioleh semua
perempuan. Mereka akhirnya terkejut ketika harus mengalami nyeri haid
untuk pertama kalinya. Orang tua cenderung sungkan untuk
mengkomunikasikan konsekuensi konsekuensi yang akan dialami anak
perempuannya ketika mereka telah mengalami proses ovulasi dan
menstruasi. Mereka beranggapan bahwa tanpa diberikan informasi
apapun pastilah anak-anak itu akan tahu dari temannya, saudaranya atau
dari sumber informasi lainnya. Hal ini senada dengan yang diucapkan
oleh Mama Men (umur 44 tahun) bahwa :

….“kalau dulu dong belum paham, ada kaget, mereka pikir


kenapa, di dalam tubuhnya ada apa, kemudian kurung diri
karena takut atau malu dilihat dengan teman”…, jelas Mama
Men

79
Pendidikan Kespro remaja yang kurang ini dapat memberikan
kontribusi terhadap maraknya perilaku seks bebas, kehamilan di luar
lembaga pernikahan, HIV /AIDS, IMS dan dampaknya terhadap disfungsi
alat reproduksi sampai berakhir kepada kematian

3.7. Keluarga Berencana


Program Keluarga Berencana merupakan salah satu dari sekian
program yang tidak berjalan dengan baik di Tolikara` Pada kondisi di
daerah, masyarakat khususnya di desa ataupun pelosok pelosok yang
mengambil keputusan untuk tidak mengikuti program KB, biasanya
disebbkan karena pemikiran pemikiran yang cenderung masih tradisional.
Berikut adalah bagan yang dapat menggambarkan kondisi
program KB di Distrik Bokondini.

Retensi Kebijakan : Budaya Pantang


sanggama selama ibu Suami
 Siklus haid tidak Selingkuh
menyusui
lancar
mengakibatkan sakit
pada ibu dan bayi yg
disusui
 Membuat badan ibu IMS meningkat
gemuk
 Menyebabkan Infertilitas
infertilitas
 Membunuh calon Budaya
bayi Berganti
 Politik untuk PROGRAM KB Pasangan dan
menurunkan Budaya Kawin
populasi Orang Asli cerai
Papua
Menurut Bapak Mar (60 tahun) kontrasepsi KB pada perempuan
mengakibatkan beberapa dampak terhadap perubahan bentuk badan
perempuan yang cenderung menjadi gemuk dan tidak menarik lagi.
Bahkan kontrasepsi pada ibu menyusui menurut beliau dapat
menimbulkan penyakit kepada ibu dan bayi yang disusui. KB dianggap

80
menyalahi firman Tuhan karena dapat membunuh calon bayi yang
harusnya ada di perut ibunya.
Ada pula yang mengatakan bahwa kehadiran program KB dan
kehadiran penyakit HIV AIDS adalah sebagai salah satu alat politik untuk
menurunkan bahkan menghilangkan populasi Orang Asli Papua (OAP) di
tanah kelahirannya sendiri.
Selain firman Tuhan, adanya seruan Bupati untuk memperbanyak
jumlah anak juga akhirnya berkontribusi terhadap sedikitnya animo
masyarakat untuk mengikuti program ini. Seorang dokter menceritakan
bahwa Bupati Tolikara pernah mengeluarkan seruan akan memberikan
penghargaan berupabantuan modal usaha sebesar 100 juta rupiah
kepada keluarga yang memiliki anak lebih dari 10 orang. Pola pikir
tradisonal yang berkembang pada masyarakat agraris adalah adanya
keyakinan bahwa kehadiran anak dianggap dapat membantu orangtua
kelak dalam mencari nafkah. Anak merupakan simbol kebanggan
orangtua. Keyakinan itu kemudian memicu terjadinya sekuel lanjutan
yaitu maraknya pernikahan usia muda (Anindita,2013)
Upaya sosialisasi program KB akan efektif bila didukung oleh
faktor komunikasi dan faktor sumber daya yang adekuat . Komunikasi
yang jelas dan proporsional kepada masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam ber KB.
Sementara hal tersebut akan berhasil jika ddukung dengan ketersediaan
sumber daya yang kuat. Ketersediaan alat kontrasepsi, ketersediaan alat
promosi KB dan ketersediaan tenaga trampil dalam pemasangan
kontrasepsi KB (Merryence & Hidir,2013)

3.8. Sistem Pelayanan Kesehatan


Komponen dalam sebuah sistem pelayanan kesehatan daerah
menentukan output capaian derajat kesehatan masyarakat di suatu
wilayah. Dengan sistem kesehatan daerah yang baik akan tercapai
efektifitas dan efisiensi program dan kepuasan masyarakat terhadap
layanan kesehatan. Menurut WHO (2007) komponen dalam sistem
kesehatan meliputi 6 aspek yang biasa disebut dalam six building block,

81
yaitu meliputi : pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, informasi
kesehatan, produk medis dan teknologi vaksin, pembiayaan kesehatan,
kepemimpinan dan pemerintah.

3.8.1. Pelayanan Kesehatan


Wilayah kerja Puskesmas Bokondini mencakup 4 daerah, yaitu
Kampung Bewani, Bokoneri, Bokondini, dan Kamboneri. Pelayanan
kesehatan berjenjang yang dilakukan di Puskesmas Bokondini adalah
rujukan ke RSU Wamena di Kabupaten Jayawijaya serta RSUP Jayapura di
Provinsi Papua. Fasilitas layanan rujukan tidak diarahkan ke Kabupaten
Tolikara. Selain jarak yang jauh dan berliku yang berdampak pada biaya
transportasi, Kabupaten Tolikara saat ini belum mempunyai RS.
Kondisi tersebut juga berdampak kurangnya pemahaman
pentingnya rujukan untuk sebuah penyakit. Rujuk/rujukan dimaksudkan
agar pasien mendapatkan pelayanan yang lebih bagus dengan fasilitas
yang lebih lengkap. Hal ini senada dengan yang diceritakan oleh Mama
On bahwa :

“….tidak semua ingin rujuk, karena selain kendala ekonomi,


mereka kadang khawatir makan anti bagaimana, lalu pernah
ada juga yang bilang, dokter, nanti kalau sembuh sukur, kalo
tidak ya sama saja jadi mayat sudah”….“nanti rujuk, misal dia
pulang lalu susah kendaraan, biar sudah, lebih baik tidak
usah rujuk to”…, jelas Mama On

Pelayanan kesehatan yang tersedia : BP, KIA/KB dan Gizi, Inst.


Farmasi, Lab, IGD dan Rawat Inap, Unit Pengendalian Penyakit Menular
(TB, HIV/AIDS, IMS dan Imunisasi).

3.8.2. Tenaga Kesehatan


Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas Bokondini dipimpin
oleh kepala Puskesmas dengan pendidikan Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM). Pada daftar staf puskesmas terdapat 25 orang yang

82
terdiri dari dokter, bidan, perawat dan kader kesehatan. Tetapi yang
tampak setiap harinya hanya sekitar 12-15 orang saja yang melakukan
pelayanan.
Ada ditemukan rendahnya motivasi kerja PNS dibanding tenaga
honorer. Beberapa tenaga PNS dijumpai tidak melakukan pelayanan di
puskesmas, justru tenaga honorer-lah yang menjadi ujung tombak dalam
pemberian layanan kesehatan di Puskesmas. Akan tetapi pengabdian
para tenaga honorer ini sering tidak disertai dengan pembayaran honor
rutin setiap bulannya. Bahkan ada yang bertutur bahwa mereka
terkadang baru menerima pembayaran gaji setelah lebih dari 4 bulan. Hal
ini sama seperti yang diceritakan oleh Hab M (umur 23 tahun) bahwa :

…“aduh, di sini itu kita memang harus pikir cara biar bisa
bertahan, gaji juga baru dikasih ke kami tidak tentu, contoh
sekarang saja, dari Januari sampai sekarang, kami ini yang
honorer belum terima gaji”…., jelas Hab M

3.8.3. Informasi Kesehatan


Informasi kesehatan yang tidak baik menyebabkan banyak data
yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Manajemen data yang kurang
baik menyebabkan pencatatan dan pelaporan yang tidak adekuat sampai
ke level propinsi. Seperti yang diceritakan oleh Po Ka (umur 28 tahun)
bahwa :

….“kami selalu kirimkan data-data kami setiap bulan ke dinas,


tapi selang beberapa waktu dinas pasti minta lagi dengan
alasan data dari kami hilang, padahal kakak, puskesmas kami
paling rajin untuk data program dan hanya ada 2 puskesmas
yang datanya selalu terkumpul di Tolikara, mungkin itu yang
buat angka capaian kami terlihat rendah dibanding
kabupaten lain”…., jelas Po Ka

Manajemen logistik yg kurang tertata menyebabkan kekurangan


logistik bahan habis pakai dan kelangkaan obat atau bahkan penemuan

83
obat kadaluarsa akibat pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan. Data
Puskesmas masih menggunakan data absolut sehingga tidak bisa
digunakan untuk mengevaluasi kinerja program kesehatan

3.8.4. Hubungan Pasien-Dokter


Ditemukan hambatan dalam hubungan komunikasi medis pasien-
nakes karena faktor bahasa mempengaruhi hubungan dokter dengan
pasien. Mayoritas penduduk Lani tidak fasih dalam berbahasa Indonesia.
Sehingga terkadang tenaga kesehatan masih menggunakan penduduk asli
untuk menerjemahkan bahasa mereka, khususnya pada saat anamnesa.
Dokter mengaku kesulitan untuk menegakkan diagnosis berdasar keluhan
pasien. Keluhan komunikasi ini juga dirasakan oleh pasien.
Ibu Nao (50 tahun) menjelaskan bahwa ada kecenderungan
masyarakat untuk kurang mempercayai tenaga kesehatan dalam hal
pengobatan kesehatan. Hal ini salah satunya adalah adanya riwayat
perang yang panjang. Selain perang antar suku, perang dengan Indonesia
waktu itu masih menyisakan trauma bagi sebagian besar masyarakat.
Apalagi mayoritas tenaga kesehatan di puskesmas adalah masyarakat
pendatang.
Dalam konteksnya, pendatang hanya menggunakan beberapa istilah
dalam bahasa Lani, seperti “kuben”, “lingge”, “kiyama”, “kik me”, dan
lainnya. Istilah tersebut biasa digunakan dalam memberikan obat kepada
pasien.
Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap efektifitas pengobatan
puskesmas juga masih dijumpai. Kebiasaan masyarakat adalah
mendapatkan pelayanan suntik setiap kali sakit dan mereka menuntut
pelayanan kepada Puskesmas. Puskesmas telah memberikan pengertian
kepada masyarakat bahwa tidak semua penyakit membutuhkan injeksi
intra muscular atau .
Beberapa informasi didapatkan terkait komunikasi pasien dengan
dokter. Hasil triangulasi mendapatkan gambaran bahwa komunikasi yang
kurang baik antara pasien dan dokter seringkali menimbulkan hal-hal
yang mempengaruhi efektivitas pengobatan antara lain yatu :

84
a. Pasien merasa dokter marah-marah ketika memberitahukan hal-hal
terkait pengobatan penyakitnya Menurut tenagakesehatan
sebenarnya hanya masalah logat bahasa saja yang berbeda,
sebenarnya tidak ada niatan marah-marah hanya saja logat bahasa
mereka yang mungkin terdengar agak keras.
b. Pasien sering tidak melanjutkan pengobatan antibiotik karena pesan
dokter/perawat untuk menghabiskan dosis pengobatan tidak
tersampaikan.
c. Pasien sering tidak melanjutkan pengobatan karena sudah merasakan
perbaikan kondisi pada tubuhnya.
d. Pasien serng tidak melanjutkan pengobatan karena merasa tidak ada
perbaikan pada kondisi kesehatannya dalam 1-2 hari pertama
pengobatan
e. Pasien menghabiskan obat melebihi dosis agar kesembuhan bisa
segera dirasakan
f. Pasien salah menerjemahkan perintah untuk menghabiskan obat
antibiotik, yaitu dengan cara menghabiskan obat antibiotik langsung
sekaligus.

Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Po Ka (28 tahun) bahwa :

….“pernah dulu ada dokter PTT yang bertugas disini kasih


resep antibiotik, sudah itu dia hanya bilang ‘bapak, nanti
jangan lupa obat yang ini diminum sampai habis e’, maksud
dokter itu obat dihabiskan dalam 5 hari, kalau sudah sembuh
pun harus dilanjutkan sampai 5 hari sesuai dosis 3 kali sehari,
tapi si bapak salah mengerti, sesampainya di rumah, obat 5
hari itu dia habiskan langsung, jadilah dia keracunan obat”…,
tutur Po Ka

Mayoritas tenaga kesehatan di Puskesmas Bokondini adalah


berasal dari Makasar. Hanya ada beberapa staf yang merupaka penduduk
asli Papua. Sehingga faktor bahasa menjadi salah satu kendala dalam
proses anamnesa dan pemberian pengobatan. Faktor bahasa dengan

85
perbedaan dialek pada pengucapan bahasa Indonesia pun menjadikan
hubungan dokter dan pasien menjadi kurang baik. Hal ini senada dengan
yang diceritakan oleh Ibu Nao (50 tahun) bahwa :

…..“pernah ada murid-murid sekolah yang pergi berkunjung


kesana (puskesmas) untuk mendapatkan penyuluhan tentang
perilaku sehat...mereka bilang ada murid yang menangis
karena dimarahi oleh dokter...ternyata kukunya panjang dan
hitam..padahal mungkin maksudnya baik hanya saja
penyampaiannya tidak dirasa baik oleh masyarakat”…, jelas
Ibu Nao
Hal tersebut jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh Hab M
(23 tahun) bahwa :

…..“sebenarnya itu bukan kami memarahi...mungkin nada


bahasa kami saja yang berbeda sedikit lebih keras..jadi
mereka mengira kalau kami marah-marah”…, jelas Hab M

Kondisi di atas membawa pada sebuah realita bahwa terdapat


beberapa perbedaan kebudayaan antara pasien dan tenaga kesehatan.
Seperti yang dijelaskan oleh Michael Winkelman bahwa perbedaan
budaya antara dokter dan pasiennya membuat kesalahpahaman yang tak
terhindarkan mengenai persilangan budaya. Pasien dan tenaga
kesehatan perlu mengetahui hubungan budaya dengan kesehatan,
karena budaya adalah landasan pengetahuan dan perilaku kesehatan
setiap orang. (Winkelman, 2009)

3.8.5. Produk medis dan Teknologi vaksin


Distrik Bokondini adalah daerah yang masih bermasalah dengan
ketersediaan listrik. Solar cell adalah salah satu alternatif untuk
memenuhi kebutuhan listrik di Bokondini. Wacana PLTA sebagai upaya
penyediaan listrik masih dalam tahap percobaan. Kondisi listrik yang
belum stabil menyebabkan pelayanan Puskesmas menjadi terganggu.
Beberapa kegiatan laboratorium yang memerlukan listrik pun akhirnya
menggunakan mekanisme manual. Dan hal itu menyebabkan lamanya

86
waktu pelayanan. Listrik juga dibutuhkan untuk menjamin kestabilan
suhu vaksin yang tersimpan di Puskesmas. Hal ini sama seperti yang
diceritakan oleh Hab M bahwa :

….“terpaksa sentrifuge saya putar putar pake tangan sampai


lama sekali, sampai pegal, hehehehe, itu sebabnya kadang
pasien menunggu lama untuk tahu hasilnya“…., jelas Hab M

Keluhan akan seringnya obat kadaluarsa juga disampaikan oleh


pihak Puskesmas. Terutama adalah pil KB dan Depo Provera injeksi.
Bahkan peneliti sempat melihat kader kesehatan membakar sisa-sisa
obat kadaluarsa tersebut di halaman Puskesmas. Ada 2 hal yang
menyebabkan obat obat ini menjadi kadaluarsa, yaitu distribusi obat dan
alkes dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara tidak sesuai dengan ajuan
permintaan kebutuhan dari Puskesmas Bokondini dan kurangnya minat
masyarakat untuk mengikuti kontrasepsi KB.

3.8.6. Pembiayaan Kesehatan


Kebutuhan pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat
Papua telah mendapat pembiayaan dari skemaJaminan Kesehatan Papua
(Jamkespa). Jamkespa hanya berlaku bagi Orang Asli Papua (OAP).
Pembiayaan kesehatan oleh Jamkespa meliputi pembiayaan kesehatan
rawat jalan tingkat pertama di puskesmas dan rawat jalan maupun rawat
inap di rumah sakit.
Selain Jamkespa, JKN melalui BPJS juga memberikan pembiayaan.
Akan tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang coordination of benefit
dari kedua skema besar tersebut. Pihak puskesmas pun tidak tahu
menahu tentang aliran dana secara rinci dari Jamkespa dan JKN.
Puskesmas memberikan daftar pasien yang terlayani berikut diagnosanya
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK)
Fasilitas jaminan kesehatan ini dikeluhkan oleh para honorer non
OAP di Puskesmas Bokondini. Jamkespa tidak memberikan jaminan
kesehatan kepada tenaga kesehatan honorer yang mengabdi di

87
Puskesmas. Kondisi tersebut sama seperti yang diceritakan oleh Hab M
bahwa :

….“saya harus mendaftar sendiri ke BPJS di Wamena, ikut


yang bayar tiap bulan, padahal kan seharusnya itu jadi
fasilitas prioritas honorer di puskesmas, kami kerja melayani
disana, kan lebih rentan tertular penyakit”…., jelas Hab M

Pada kenyataannya, masyarakat dapat memperoleh pelayanan


kesehatan tanpa menunjukkan kartu apapun. Mereka tidak mempunyai
kartu BPJS maupun Kartu Jamkespa. Bahkan tidak semua penduduk di
Bokondini memiliki dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Hal ini senada dengan yang diucapkan oleh Po Ka bahwa
:

….“memang seperti itu Kakak, mereka tidak pernah bawa


kartu apapun ke Puskesmas, mereka hanya sebutkan fam
dan nama, langsung kami carikan RM nya (Rekam Medis),
kami tidak pakai sistem lokasi untuk manajemen RM karena
mereka sering pindah pindah, mau pake KTP juga tidak
mungkin....90 % masyarakat tidak punya KTP, jadi Kak, kalo
mereka ditanya, Bapak punya jaminankah tidak?, mereka
pasti jawab mereka tidak punya, karena mereka tidak tahu
jaminan apa maksudnya”…, jelas Po Ka

Dalam hal pembiayaan pun, Puskesmas Bokondini tidak


melakukan penarikan bayaran untuk setiap pelayanan yang diberikan.
Seperti yang telah disampaikan oleh Po Ka bahwa :

….”kami tidak pernah menarik biaya dari masyarakat,


berobat di Puskesmas atau langsung ke rumah dokter, bidan
ke rumah untuk bersalin, semuanya masyarakat tidak bayar
lagi”…“ kami kesulitan untuk merujuk pasien dengan alasan
biaya transportasi ke Wamena yang tidak semua keluarga
pasien mampu, kalau dari BOK tersedia anggaran biasanya

88
bisa pakai mobil Puskesmas, tapi yang sering dana tidak ada,
jadi kalau merujuk, pasien sendiri cari mobil”…, jelas Po Ka

Selain Jamkespa dan JKN, terdapat anggaran dari BOK.


Penggunaan anggaran BOK digunakan untuk pembiayaan kegiatan
pusling, transport rujukan ke RS, transport dan pemeliharaan kendaraan,
pembiayaan kegiatan inovatif puskesmas seperti garden visite dan VCT
mobile.

3.8.7. Kepemimpinan dan Kebijakan Pemerintah


Keberadaan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam masyarakat
juga merupakan komponen penting dalam penggerakan dan
pemberdayaan masyarakat. Program kesehatan apapun akan dapat
berjalan baik dengan menggandeng LMA dalam pelaksanaannya. Pihak
Puskesmas meminta bantuan kepada ketua LMA untuk menerjemahkan
ajakan untuk memeriksakan kesehatan ke Puskesmas dengan bahasa
Lani.
Klasis merupakan struktur keagamaan yang mengatur tentang
situasi dan kondisi secara agamis yang berlangsung damai di masyarakat.
Aturan klasis merupakan aturan tertinggi yang harus dipatuhi oleh
masyarakat Bokondini. Walaupun sebenarnya, Bokondini bukanlah
contoh yang representatif yang bisa dianggap mewakili populasi Lani di
Kabupaten Tolikara. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh dokter
Tar (umur 28 tahun) bahwa :

….“masyarakat Bokondini merupakan anomali dari


masyarakat Lani di Tolikara, disini jarang ada orang mabuk,
jalanan juga bersih, orang begitu taat ke gereja setiap
minggu, di tempat lain (di Tolikara) tidak ada yang seperti
ini”…., jelas dokter Tar

Kepemimpinan yang baik akan mampu mengakomodir semua


kepentingan lembaga dibawahnya. Unsur kepemimpinan yang
diharapkan oleh program kesehatan adalah kepemimpinan yang mampu

89
memberikan dukungan terhadap pelaksanaan program kesehatan
melalui serangkaian peraturan dan kebijakan yang selaras. Puskesmas
Bokondini mengharapkan dukungan penuh pemerintah Kabupaten
Tolikara untuk setiap program inovasi yang akan mereka kerjakan. Hal ini
serupa dengan yang diutarakan oleh Po Ka bahwa :

……“kami sudah tawarkan program inovatif seperti VCT ke


semua Puskesmas di Tolikara, tapi banyak kepala Puskesmas
yang menolak, mereka takut, takut kalau ternyata dengan
VCT jadi banyak yang ketahuan AIDS, selain karubaga, hanya
Bokondini saja yang kepala Puskesmasnya mau jalan”…, jelas
Po Ka

Adanya persepsi tentang kepemimpinan yang baik adalah


kepemimpinan tanpa resiko dan keberhasilan program tanpa cacat
harusnya mendapatkan perhatian bersama para putra daerah, karena
HIV/AIDS bukanlah kasus yang harus ditutup tutupi karena stigma negatif
masyarakat. Para pemangku kepentingan selayaknya menyadari bahwa
selain upaya eliminasi terhadap penularan HIV/AIDS harus pula dilakukan
pendekatan manusiawi kepada ODHA dengan memberikan harapan
bahwa mereka pun bisa tetap bertahan hidup dengan produktif dengan
pengobatan yang rutin, semangat berkarya dan dukungan dari orang
orang terdekat.

90
Bab 4
Anak Noken dalam Budaya Lani

4.1. Kelahiran anak pada Etnis Lani


Walaupun tidak ada data sekunder yang akurat menggambarkan
kondisi Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi Balita
(AKB/AKABA) pada tingkat kabupaten tetapi peneliti menjumpai
beberapa cerita kematian bayi dan kematian ibu hampir pada semua
keluarga informan. Bagi mereka kehamilan dan persalinan pada
perempuan Lani bukanlah suatu hal yang patut untuk menjadi
kekhawatiran. Hal itu mungkin yang mendasari anggapan bahwa ibu yang
sedang hamil tetap mempunyai kewajiban untuk pergi berkebun, tetapi
dengan beban pekerjaan yang disesuaikan dengan kondisi tubuh dan
kehamilannya, mereka akan beristirahat sejenak ketika lelah. Perempuan
hamil di Lani tetap akan beraktivitas di kebun hingga menjelang kelahiran
bayinya. Hal tersebut dikarenakan perempuan Lani memiliki porsi yang
lebih besar dibandingkan dengan laki-laki dalam hal pembagian kerja.

4.1.1. Persalinan dengan Cara Jongkok


Persalinan di Etnis Lani lebih sering dilakukan di rumah dengan
bantuan tenaga kesehatan, kader atau tetangga dan saudara. Mereka
mengatakan bahwa melahirkan di rumah memberikan rasa nyaman dan
aman, terlebih banyak saudara yang akan mendampingi. Mereka
menyatakan bahwa mereka takut bila harus melahirkan di Puskesmas
karena akan dilihat oleh orang lain (tenaga kesehatan terutama laki laki
yang tidak mereka kenal dengan baik) serta kekhawatiran mereka bahwa
melahirkan di Puskesmas dengan posisi litotomi tidak akan mempercepat
proses kelahiran bayi. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh
Mama Sir Ko (47 tahun) bahwa :

….“itu mereka memang biasa begitu, tidak biasa sudah yang


tidur begitu, tapi biasa kalo ada suster bantu mereka ikut
saja, karena takut marah mereka to, tapi waktu sudah pergi,
kembali lagi seperti tadi…”, jelas Mama Sir Ko

91
Selain itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat
khususnya para Ibu untuk tidak melakukan persalinan di Puskesmas,
seperti lokasi Puskesmas yang jauh, kemudahan dalam melahirkan dan
lainnya. Hal ini sama seperti yang diutarakan oleh Mama Yev (43 tahun)
bahwa :

....”melahirkan di rumah saja, ada mama kasih keluar baik,


kalau ke rumah sakit (puskesmas) itu jauh, harus jalan
jauh”…,“kalau di rumah sakit (Puskesmas) mereka kasih kita
tidur, bayi tidak keluar-keluar, lama, tapi kalau kita di rumah,
jongkok saja sebentar bayi keluar”…, jelas Mama Yev

Perempuan Lani melahirkan bayinya dengan cara berjongkok,


biasanya Ibu akan berpegangan pada tali atau kain yang telah dikaitkan
dengan balok kayu di langit-langit rumah kayu atau honai. Ibu memakai
alas noken tua untuk bersalin dan meletakkan bayinya yang akan lahir.
Bayi yang lahir akan disambut dengan tangan Ibu sendiri atau tangan si
penolong persalinan. Pada umunya mereka merasakan sakit di perut,
keadaan tersebut dirasa seperti ingin BAB. Saat sudah mulai keluar,
mereka lalu beranjak karena yang keluar adalah kepala dari sang bayi. Hal
ini senada dengan yang diceritakan oleh Mama Sir Ko (47 tahun) bahwa :

….”biasa jongkok begitu, mama kasih noken tua dibawah,


kalau kepala bayi sudah keluar, baru kasih pegang bayi
sampai dia keluar, bayi taruh di noken tua yang sudah isi
dengan daun yalingga atau kain begitu”…., jelas Mama Sir Ko

Perempuan Lani yang memutuskan untuk melahirkan ke


Puskesmas pun tidak pernah sampai menjalani observasi masa nifas oleh
tenaga kesehatan. Biasanya mereka akan kembali pulang berjalan kaki
dengan menggendong bayinya kurang lebih 1-2 jam setelah melahirkan.
Padahal diantara mereka ada yang harus menempuh 2-3 jam perjalanan
untuk kembali ke rumah. Hal ini sama seperti yang disampaikan oleh Hab
M (23 tahun) bahwa :

92
….”perempuan disini itu kuat-kuat mbak, ada pernah mereka
jalan dari Bewani sana, yang dibalik gunung itu, sudah
langsung melahirkan disini (Puskesmas), baru mereka
langsung pulang jarak 1 jam setelah melahirkan, jalan kaki
dengan bawa bayinya di noken”…., jelas Hab M

4.1.2. Pemotongan Tali Pusat


Pemotongan tali pusat pada bayi baru lahir seringkali dilakukan
dengan menyisakan tali pusat lebih panjang dari umumnya, mereka
mempercayai bahwa dengan meyisakan tali pusat yang lebih panjang (20-
30 cm) maka tali pusat akan dapat terbentuk dengan baik, karena mereka
menganggap tali pusat tidak masuk kembali ke dalam perut bayi.
Infeksi pada tali pusat sering terjadi pada bayi yang persalinannya
ditolong oleh kader kesehatan. Menurut bidan Puskesmas Yul (28 tahun),
hal tersebut disebabkan kebiasaan kader untuk mengikat tali pusat bayi
baru lahir dengan menggunakan tali karung. Hal ini sama dengan yang
disampaikan oleh Yul bahwa :

…..“yang beda disini mereka biasa minta tali pusatnya


dipotong agak panjang, biasa sampai 20-30 senti begitu,
hanya saja disini kalau kader yang tolong, mereka ada ikat itu
dengan tali karung, itu yang kakak biasa lihat di pasar untuk
ikat markisa, sering ada kejadian bayi 1 minggu dibawa ke
puskesmas demam, ternyata itu sudah merah bernanah
begitu saya bilang kenapa baru bawa kesini, sudah kasih tau
to, kalau tolong melahirkan di rumah harus langsung bawa
bayi dan ibu kesini”…., tegas Yul

93
Gambar 4.1.
Contoh tali karung untuk ikat tali pusat
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Selain hal di atas, mayoritas masyarakat Lani di Bokondini dahulu


memotong tali pusar dengan menggunakan kepala busur panah, yang
biasa dikenal dengan istilah pik nde. Saat ini tentunya berganti kepada
yang sifatnya lebih modern,yaitu silet. Hal tersebut sama seperti yang
disampaikan oleh Mama Sir Ko :

…“pik nde itu untuk potong tali pusar, dia itu macam anak
panah yang ada di ujung begitu, kecil saja dia, baru mereka
ambil untuk potong itu tali pusar, sekarang juga masih pakai,
tapi beberapa su ada yang pakai silet…”, jelas Mama Sir Ko

4.1.3. Rahu-Rahu : Budaya Pijat Bayi pada Etnis Lani


Perawatan pada bayi baru lahir pun dilakukan sendiri tanpa
bantuan dukun bayi atau kader kesehatan. Biasanya kader kesehatan
yang dekat dengan bidan atau Puskesmas akan membawa bayi baru lahir
tersebut untuk segera mendapatkan HB0, tetapi bagi mereka yang
rumahnya jauh maka imunisasi awalpun tidak mereka dapatkan. Ada
yang menceritakan bahwa bayi yang baru lahir harus segera dimandikan
dengan air dingin dan dimasukan dalam noken yang sudah dilapisi

94
dengan kain atau daun yalingga. Tetapi ada pula yang menceritakan
bahwa setelah bayi lahir maka dia akan memperoleh pemijatan selama 7
hari oleh ibunya sendiri. Hal ini sama seperti yang diceritakan oleh Mama
On (umur 40 tahun) bahwa :

…..“kita biasa kasih yalingga untuk alas bayi, yalingga itu


lembut untuk kulit bayi, semacam ada lapisan halus di atas
daun yalingga, kalau bayi kincing atau buang air besar di atas
yalingga, kulitnya tidak merah merah seperti kalau kita kasih
mereka kain baju”…., jelas Mama On

Rahu-rahu adalah teknik memijat sekaligus menghangatkan bayi


baru lahir yang masih sering dilakukan oleh Etnis Lani. Biasanya ibu yang
telah melahirkan akan duduk di depan perapian yang menyala di dalam
honai. Bayi baru lahir diletakkan di pangkuan ibu. Ibu akan memanaskan
daun dolungga hingga berair dengan asap perapian. Setelah itu baru
daun tersebut digunakan untuk memijat bayi. Pemijatan dilakukan
dengan menempelkan daun kebagian tubuh bayi dengan gerakan
memijat mulai dari dada, perut, kaki,tangan dan punggung bayi secara
berurutan. Apabila daun dirasa tidak lagi menyimpan panas, maka daun
tersebut kembali didekatkan pada perapian. Pada pemijatan bagian
kepala, ibu menggunakan telapak tangannya langsung untuk dihangatkan
dengan didekatkan pada perapian, kemudian tangan tersebut digunakan
untuk mengepal-ngepal kepala bayi, memijat pipi, dahi dan hidung bayi
secara bergantian. Sama dengan daun dolungga, bila ibu merasa
tangannya tidak lagi hangat maka ibu akan mendekatkan kembali
tangannya ke perapian, demikian seterusnya dilakukan pagi dan sore
sampai 7 hari setelah kelahiran. Baru setelah itu bayi boleh dimandikan
dengan air dingin. Hal ini sama dengan yang diutarakan oleh Mama Sir Ko
bahwa :

….“kalau Lani asli yang masih ada di gunung-gunung sana


masih suka kasih mandi bayi 7 hari itu dengan air dingin,
kalau mama-mama yang di kota mereka sudah kita bagi tahu

95
jadi mereka rebus air untuk kasih mandi bayi,ada juga tete
moyang yang mereka ada tinggal dekat air jatuh (air
terjun.pen), mama yang baru melahirkan kasih mandi dengan
duduk dibawah air jatuh”…. jelas Mama Sir Ko

Ibu nifas pun akan memakai daun dolungga yang telah


dilemaskan dan dihangatkan oleh api dari perapian untuk ditempelkan di
perut dan vagina. Daun dolungga pada ibu nifas tidak hanya berfungsi
sebagai pembalut, tetapi juga sebagai pengobatan untuk mempercepat
keluarnya darah nifas,merapatkan kembali vagina dan mengembalikan
perut kembali ke ukuran semula sebelum hamil dan melahirkan.
Selain hal itu dalam konteks budaya Lani, plasenta anak yang baru
lahir akan dibakar agar hangus dan hilang hingga menjadi abu. Ada
sebuah pandangan yang mana bila dikubur akan menyebabkan sakit pada
si anak. Hal ini senada dengan yang dijelaskan oleh Mama Men (43
tahun) bahwa :

….“itu sudah begitu, kalau dikubur misal cacing ada makan


to, bisa bayi nangis atau sakit begitu, supaya tidak begitu
maka dia pu plasenta kasih bakar, biar hangus hilang, jadi
cacing atau apakah begitu tidak bisa makan, jadi bayi tidak
rasa sakit, itu sudah kepercayaan”…., jelas Mama Men

Dalam masyarakat Lani, ibu nifas tidak memiliki periode istirahat


yang panjang. Ketika pusat bayi telah tanggal, kurang lebih ketika bayi
berusia 5-7 hari, maka ibu dan bayi yang baru lahir tersebut mempunyai
kewajiban untuk segera berkebun kembali. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Kakak Et Pe (25 tahun) bahwa :

….“begitu sudah dolungga itu, biasa memang buat kasih


berhenti darah kotor, sehari itu bisa 3 sampai 4 kali ganti,
baru itu sampai 3 hari baru bersih sudah, lalu seminggu habis
kasih lahir anak, biasa sudah kerja kembali….”, cerita Kakak
Et Pe

96
Pada umumnya, masyarakat Lani memberikan pesta terhadap
kelahiran anak tersebut. Biasanya 1 minggu setelah hari kelahiran yang
disebut enege ina leknggen. Istilah Lanitersebut bermakna sebagai wujud
rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberi anggota baru dalam
keluarga. Setelahnya, untuk pemberian nama bayi tersebut juga memiliki
istilah yang biasa disebut endaga tong nggowe. Hal ini seperti yang
disampaikan oleh Mama Yev (43 tahun) bahwa :

....“endaga tong nggowe itu kita pesta..kasih nama dan fam


anak, ada yang baru kasih 1 minggu, ada yang kasih 1 bulan,
kalau mampu dong bisa potong babi, ulang tahun anak itu
juga namanya endaga ina leknggen”…., jelas MamaYev

4.2. Konsep anak dalam Etnis Lani : Pergeseran paradigma jumlah


anak ideal
Kelahiran anak adalah suatu kebahagiaan bagi masyarakat Lani.
Terutama di wilayah kota Bokondini yang sangat agamis. Ajaran Kristen
menganjurkan mereka untuk menyebar di permukaan bumi dan
berkembang biak, memperbanyak keturunan. Kehadiran anak dalam
sebuah keluarga merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Bertambahnya
jumlah anak dalam sebuah etnis menandakan kekuatan sebuah suku atau
etnis bangsa. Hal ini seperti yang diceritakan oleh Mama On bahwa :

…..“heh, agama tidak larang batasi anak, Tuhan malah suruh


kita agar berkembang biak, iyo, kalau ko pu pasangan masih
bagus, oke, kalau tidak mati sudah, orang di sini hampir
semua begitu, kita ini mau tolong mereka”…., cerita Mama
On

Ada pergeseran jumlah anak ideal pada Etnis Lani. Pergeseran


tersebut terjadi pada range generasi umur yang berbeda. Pada generasi
nenek moyang terdapat persepsi jumlahanak ideal yang dimiliki seorang
ibu adalah 1-2 orang. Pertimbangan jumlah anak tersebut didasari oleh
aturan adat yang mengatur bahwa tanggung jawab untuk mengasuh anak

97
adalah pada ibu, terutama ketika anak tersebut masih balita. Pada waktu
itu ada pantangan bahwa suami tidak boleh terkena air kencing anaknya.
Air kencing bayi bisa membuat lemah badan dari para laki-laki dewasa
yang harus selalu dalam keadaan siaga berperang. Ibu bertanggungjawab
untuk bekerja di kebun, mengurus anak dan menyiapkan makanan untuk
keluarga.Karena faktor keamanan pada masa itu yang identik dengan
perang suku. Jumlah anak yang sedikit dianggap dapat memudahkan
mereka berlari dalam pengungsian ke dalam hutan pegunungan ketika
perang suku pecah. Hal tersebut sama seperti yang telah diceritakan oleh
Mama Men (umur 43 tahun) bahwa :

…..“ya dulu sedikit karena sering perang to, jadi kalau cuma
satu bawa mudah, kalau banyak bawa susah, mau bawa
bagaimana lagi,…. “baru karena kalau perang, bawa anak,
kemudian anak ada kencing kah, menangis begitu, bisa jadi
lemas kita pu badan”….,cerita Mama Men

Perang suku pada zaman itu mudah sekali tersulut terutama


terpicu oleh masalah perebutan babi dan perempuan. Riwayat perang
suku yang berkepanjangan pada waktu itu disebut sebagai salah satu
faktor yang menyebabkan populasi Orang Asli Papua (OAP) menurun jauh
dibanding populasi orang PNG (Papua New Guinea) (Giyai, 2012). Secara
psikologis dampak perang suku masih terasa sampai saat ini yaitu masih
adanya primordialisme yang masih kental pada masyarakat antar
kabupaten di pegunungan tengah. Perseteruan warga antar kabupaten
masih sering terjadi karena terpicu oleh hal-hal kecil. Bentukperseteruan
tersebut bisa berupa pemalangan jalan ataupun penyerangan secara
fisik.
Pergeseran paradigma terjadi pada saat injil mulai masuk ke
Bokondini. Perang antar suku tidak banyak terjadi, faktor keamanan
memberikan kenyamanan dan keinginan untuk memperbanyak jumlah
anak. Hal tersebut juga didukung oleh Don yang berpendapat bahwa
banyaknya anak sekarang karena sudah sedikitnya perang yang terjadi,
“sekarang su damai, tidak ada perang begitu, jadi bapak bikin mama

98
senang, mama bikin bapak senang, saling bantu, jadi anak banyak”, jelas
Don.
Mereka berpendapat bahwa dengan mempunyai banyak anak
maka dalam keluarga tersebut akan dapat saling membantu dalam
keadaan suka maupun duka. Apabila anaknya berjumlah sedikit maka
kelak anak-anak mereka tidak lagi mempunyai tempat berbagi ketika
mereka dalam keadaan susah. Hal ini senada dengan yang diutarakan
oleh Mama Men, “kalau sekarang banyak anak bagus, soal dia kalau nanti
ada apa-apa banyak yang bantu to, misal dia mau nikah, atau ada denda
begitu”, tambah Men.
Firman Tuhan dalam Injil pun mengajarkan mereka untuk
memperbanyak jumlah keturunan. Jumlah anak waktu itu antara 6-10
untuk seorang ibu. Beban kerja ibu semakin bertambah seiring
banyaknya jumlah anak. Hal tersebut dikarenakan suami masih tidak
terlibat dalam kegiatan perekonomian keluarga ataupun mengurus anak -
anaknya. Kepala keluarga dalam hal ini suami masih terikat dengan
kebiasaan zaman perang yaitu berperan dalam menjaga teritorial
wilayah. Pembagian peran mengurus rumah dan kebun akhirnya terbagi
pada anak anak tertua. Terkadang anak 5 tahun pun harus mendapat
peran untuk menjaga adiknya yang masih bayi sementara kakak-
kakaknya harus membantu bekerja di kebun atau mencari kayu bakar.
Hak kesehatan dan pendidikan bagi anak menjadi terabaikan. Hal ini yang
mendasari aturan usia masuk sekolah yang berbeda antara Papua dengan
daerah lain. Yaitu sedikitlebih tua dibanding usia standar secara nasional.
Misalnya aturan umur masuk untuk SMU adalah memakai batas
maksimal 21 tahun untuk bisa mendaftar sebagai siswa. Kepala sekolah
SMU Bokondini, Bapak Ar (umur 52 tahun) menjelaskan beberapa aturan
terkait syarat masuk SMU di Bokondini bahwa :

…..”kalau disini ada syarat kalau mau mendaftar masuk SMU,


usia maksimalnya 21 tahun dan membuat pernyataan tidak
akan hamil selama menjalani studi, nggak seperti di Jawa to
mbak”…., jelas Bapak Ar

99
Zaman Perang Dahulu Sekarang

Jumlah anak << Jumlah anak >> Jumlah anak <

Aturan Adat Faktor Keamanan Opsi yang lebih


Faktor Keamanan yang baik demokratis
yang kurang baik Firman Tuhan Faktor Ekonomi
Kenyamanan
keluarga besar

Tingkat Pendidikan
Tingkat Sosioekonomi
Konteks Sosiobudaya

Bagan 4.1.
Pergeseran Paradigma Jumlah Anak Ideal Etnis Lani
Sumber : Hasil Olahan Peneliti

Pada periode tahun 1990-an paradigma ini berubah. Peran suami


untuk mengurus keluarga lebih terlihat. Mereka mau untuk mengurus
anak anak, menggendong anak dan memberi makan. Membawa anak-
anaknya pergi berobat ke Puskesmas atau rumah dokter untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan ketika mereka sakit. Beberapa
bahkan bekerja sebagai pegawai di kabupaten.
Tingkat pendidikan, kondisi ekonomi dan budaya berkontribusi
pada pilihan sebuah keluarga untuk menentukan jumlah anak yang akan
mereka miliki. Let Kar (umur 26 tahun) adalah salah satu orangtua yang
memilih untuk tidak memiliki anak dalam jumlah banyak. Saat ini Let
hanya memiliki 1 orang anak berusia 8 tahun. Suaminya bekerja di
Wamena dan masih menyelesaikan kuliahnya. Menurutnya lebih baik

100
memiliki sedikit anak tapi mempunyai jaminan untuk bisa membiayai
pendidikan dan biaya kesehatan anaknya.
Lain lagi dengan Mama On (40 tahun) yang mengatakan bahwa
jumlah anak yang ideal itu antara 6-7 orang. Lebih dari itu kurang baik
terhadap kesehatan perempuan. Jumlah tersebut menurut beliau adalah
ideal karena sesuai dengan kemampuan fisik dan ekonominya untuk
membiayai anak-anak serta tidak menyalahi firman Tuhan untuk
memperbanyak jumlah anak. Beliau menambahkan, “kalau sudah 6-7
anak baru stop dengan KB,kalau masih 2-3..jalan terus”, jelas Mama On
Perbedaan persepsi pada jumlah anak ideal pada saat ini juga
merupakan tantangan tersendiri bagi program KB di Wilayah kerja
Puskesmas Bokondini. Adanya retensi masyarakat terhadap program KB
berdampak kepada indikator jumlah capaian kontrasepsi PUS.
Program KB di dalam keluarga tentunya menjadi keputusan
bersama. Namun pada kenyataannya di masyarakat Lani di Bokondini,
mayoritas menjadi keputusan suami. Kesehatan, pendidikan, dan
ekonomi selanjutnya menjadi keputusan bersama. Menurut salah satu
informan, bahwa sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menurutnya kondisi tersebut terjadi pada saat istri menolak ajakan suami
untuk berhubungan. Namun, dalih yang digunakan suami bahwa istri
tidak dapat menyediakan makanan dengan cepat. Hal tersebut seperti
yang telah disampaikan oleh Kakak Wep W (36 tahun), “laki-laki sekarang
tidak sayang anak istri, dong tidak ikuti jalur, tahu buat anak saja, tidak
pu kerja, tidak pikir masa depan nanti bagaimana begitu”, jelas Wep W.
Hal tersebut didukung oleh data Puskesmas Bokondini dengan
tingginya angka vulnus laceratum (luka robek) pada perempuan Lani yang
diakibatkan sabetan parang suamiya ketika ada perseteruan dalam
rumah tangga mereka.
Menurut Bapak Mar (60 tahun) kontrasepsi KB pada perempuan
mengakibatkan beberapa dampak terhadap perubahan bentuk badan
perempuan yang cenderung menjadi gemuk dan tidak menarik lagi.
Bahkan kontrasepsi pada ibu menyusui menurut beliau dapat
menimbulkan penyakit kepada ibu dan bayi yang disusui. KB dianggap

101
menyalahi firman Tuhan karena dapat membunuh calon bayi yang
harusnya ada di perut ibunya.
Ada pula yang mengatakan bahwa kehadiran program KB dan
kehadiran penyakit HIV AIDS adalah sebagai salah satu alat politik untuk
menurunkan bahkan menghilangkan populasi orang asli papua di tanah
kelahirannya sendiri. Seperti yang sudah diutarakan pada bab 2 oleh
Kakak Yul W (34 tahun) bahwa :

…. “HIV/AIDS itu politik dari luar untuk bikin hancur orang


Papua, biar orang Papua ini banyak yang habis, mati begitu
karena AIDS”…, jelas Kakak Yul W

Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh Bapak Mar B (umur
60 tahun) bahwa :

….“kami punya tanah luas, kenapa ada KB masuk dan batasi


anak, KB buat mama - mama pu badan disini jadi gemuk
begitu, bayi yang masih disusui jadi sakit, dulu Puskesmas di
bawah belum ada, masyarakat Bokondini sehat-sehat, tidak
ada sakit, tidak ada AIDS, tidak ada penyakit kelamin, itu ada
orang bawa masuk penyakit ke sini, itu bukan penyakit asli di
Bokondini”…., jelas Bapak Mar B

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Butt (2005) menemukan


bahwa telah sejak lama berkembang isu tentang penyebaran yang sangat
cepat enyakit HIVAIDS di Papua. Isu yang berhembus menceritakan
bahwa Pemerintah Indonesia telah mendatangkan banyak wanita
penghibur di kota-kota besar di Papua yang siapapun dapat berhubungan
seks dengan mereka. Perempuan-perempuan itu telah membawa
penyakit HIV/AIDS untuk ditularkan kepada seluruh penduduk Papua.
Menurut isu tersebut, itu adalah salah satu cara Pemerintah Indonesia
untuk menghabiskan populasi Orang Asli Papua (OAP) dan menguasai
tanah Papua yang kaya berlimpah. Selain firman Tuhan, adanya seruan
Bupati untuk memperbanyak jumlah anak juga akhirnya berkontribusi
terhadap sedikitnya animo masyarakat untuk mengikuti program ini.

102
Seorang tenaga kesehatan di Puskesmas menceritakan bahwa Bupati
Tolikara pernah mengeluarkan seruan akan menmberikan penghargaan
berupa bantuan modal usaha sebesar 100 juta rupiah kepada keluarga
yang memiliki anak lebih dari 10 orang. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh dokter Tar (28 tahun) bahwa :

…..“ini upaya untuk memperbesar populasi orang asli Papua,


Bupati memberi semacam seruan bahwa dia akan kasih 100
juta untuk modal usaha pada masyarakat yang punya anak
lebih dari 10, tidak sampai keluar Perda, hanya saja itu
pernah dimuat di det**.com”… jelas dokter Tar

4.2.1. Nilai anak perempuan dalam Lani


Konon ada dua hal yang paling sering menyulut perselisihan antar
etnis di Papua, yaitu perempuan dan babi. Perempuan mempunyai nilai
secara ekonomis bagi Etnis Lani. Nilai perempuan di Etnis lani mendasari
berbagai bentuk struktur sosial dan norma berperilaku. Nilai perempuan
pada Etnis Lani berpijak pada peran perempuan secara ekonomi dan
sosial. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Nao (50 tahun)

….“perempuan di Lani itu perempuan tangguh dengan


banyak peran dia berkewajiban melahirkan anak dalam
jumah banyak, merawat mereka, menyediakan makanan
untuk mereka, mengurus kebun, mengurus ternak dan
membawa hasil kebun ke pasar”…., cerita Ibu Nao

Pada zaman dahulu, Peran perempuan berbanding lurus dengan


harta yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Semakin banyak ternak babi
yang mereka miliki, semakin banyak istri yang dimiliki, semakin luas
kebun yang mereka miliki, semakin banyak istri yang harus mereka punya
untuk bisa mengurus itu semua. Semakin banyak harta yang dimiliki laki
laki, semakin besar kemungkinan mereka untuk bisa membayar mas
kawin untuk beberapa perempuan yang akan dia kawini.

103
Nilai perkawinan tersebut merupakan nilai ekonomis bagi keluarga
yang mempunya anak perempuan. Semakin banyak anak perempuan
yang mereka miliki, maka semakin banyak mas kawin yang bisa diperoleh
oleh keluarga tersebut dari keluarga yang mempunyai anak laki-laki.
Anak perempuan merupakan aset yang bernilai ekonomis bagi
sebuah keluarga. Realita tersebut secara tidak langsung berdampak pada
pola asuh orangtua terhadap anak perempuannya. Selain ekonomi, anak
perempuan secara sosial juga memiliki makna tersendiri.
Secara sosial, anak perempuan Lani tentunya akan juga berperan
sebagai ibu rumah tangga pada nantinya. Hal ini dapat dilihat dari
pembagian kerja yang berbeda antara anak perempuan dan anak laki-
laki. Untuk anak laki-laki lebih kepada mencari kayu bakar, berlatih
membuat rumah, menebang pohon, membuat pagar, dan membuat
kebun. Sedangkan untuk anak perempuan lebih kepada membantu
ibunya. Antara lain menanam di kebun, merawat, memanen hasil kebun
kemudian mejualnya di pasar, memasak, mencuci, dan merawat anak-
anaknya.
Kondisi tersebut secara tidak langsung akan berdampak pada
regenerasi peran dalam sebuah keluarga atau bagi mereka yang akan
menikah. Hal ini senada yang telah disampaikan oleh Mama Men (43
tahun) bahwa :

“kalau laki-laki di sini bisa menikah misal dia, kumis su


tumbuh, bisa berkebun, bikin kebun begitu, bisa bantu
orangtua, baru kalau perempuan dia bisa bawa hasil panen,
rawat begitu dan sudah mampu seperti mama”…, jelas
Mama Men

Kondisi di atas secara langsung tentunya berdampak pada


pergaulan di lingkungan sekitar. Akan menjadi berbeda bagi mereka yang
bisa sekolah di luar Bokondini dan di Bokondini sendiri. Faktor lingkungan
sekitar tentunya berpengaruh pada karakter anak. Pergaulan dan
lingkungan yang kurang mendukung tentunya akan membentuk karakter
anak yang kurang baik jika tidak diimbangi dengan perhatian orangtua.

104
Hal ini serupa dengan yang diutarakan oleh Kak Wep W (36 tahun)
bahwa:
“di sini kami itu tidak tahu apa-apa to, biasa mereka yang pi
sekolah di Wamena atau di mana begitu, itu kadang yang
bawa hal kurang baik, kasih musik nyala kencang-kencang,
tidak tahu waktu”….”Ria ini su kita kasih tahu, maen tidak
boleh jauh-jauh, dekat-dekat saja, dia sekolah to, jangan
sampai dia pu sekolah itu berhenti karena buat sesuatu”….,
cerita Kak Wep W

Namun realita yang ada mengatakan bahwa tidak sedikit juga


anak-anak khususnya perempuan yang bergaul dengan bebas di
Bokondini. Hal tersebut tentunya sudah mendapat perhatian dari
orangtua untuk terus diberitahukan kepada anak-anaknya. Pergaulan
yang bebas tersebut juga berdampak pada pendidikan dan kesehatan
anak. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Bapak Yul B (46 tahun)
bahwa :

…..“apa, kasih pemahaman, pengertian, pengalaman yang


saya alami seperti itu saya sudah kasih keterangan sama
anak-anak, nanti akan begini jadinya begini, kalau begini
jadinya begini, itu saya sudah kasih tahu, ada yang baik dan
buruk, tapi mereka tidak dengar saya, jadi ini mereka sudah,
sekolah itu kesempatan mereka buat jadi apa hubungan
dengan mereka bebas bicara di sana, bebas pacar di sana,
setelah kembali, waktu dan tempat sudah mereka tentukan,
jadi orang tua tidak tahu”…, jelas Bapak Yul B

Pergaulan bebas tersebut secara tidak langsung akan merugikan


semua pihak, khususnya perempuan. Kehamilan di luar nikah dan saat
masih bersekolah, tentunya akan berakibat pada status pendidikannya.
Dalam artian bahwa anak perempuan tersebut tidak bisa melanjutkan
pendidikan di sekolah tersebut lantaran sedang mengandung anak. Hal
ini sejalan dengan yang diceritakan oleh Bapak Yul B bahwa :

105
….“dan itu sewaktu dia SMP sudah kabur dengan, sudah baku
bawa dengan aa laki-laki, itu saya dari awal sejak sebelum
terjadi itu saya sudah, sudah marah-marah, sudah kasih tahu
jangan seperti ini seperti itu, nanti akibatnya begini saya
sudah kasih tahu”….“ya orang hamil kan tidak mungkin
sekolah, jadi dari sekolah sudah diberhentikan, jadi yang
kami, termasuk saya merasa dirugikan orangnya yang dia
punya pacar itu, itu sedikit apa pengalaman yang saya bisa
cerita”….., cerita Bapak Yul B

Hal tersebut senada dengan yang telah dijelaskan dalam buku


yang berjudul A Companion to Psychological Anthropology bahwa :

…”the psychocultural anthropology of childhood asks how


children and adolescents around the world acquire,
transform, share, integrate, and transmit cultural
knowledge”….

Berdasar quote di atas dan melihat budaya yang berkembang di


Bokondini secara tidak langsung akan berdampak pada tumbuh kembang
anak-anak khususnya remaja. Seperti yang telah dijelaskan oleh Thomas
S. Weiner dan Edward D. Lowe dalam Globalization, Childhood, and
Psychological Anthropology bahwa budaya adalah sebuah alat yang
unggul dimana remaja belajar menggunakan untuk adaptasi ke
kehidupan. Situasi lokal terdiri dari rutinitas dan aktivitas dari sebuah
komunitas budaya. Tulisan-tulisan, rencana-rencana, dan tujuan-tujuan
orangtua dan anak di semua komunitas budaya sangat penting dalam
memahami pola dari kepribadian dan perilaku yang menghasilkan. (Casey
dan Edgerton dkk, 2005)

4.3. Posyandu, Imunisasi dan Balita Stunting


Kegiatan Posyandu di Distrik Bokondini berlangsung sebulan
sekali di satu lokasi, yaitu di Puskesmas. Pemberitahuan adanya
Posyandu disampaikan oleh kepala Puskesmas kepada para kader
kesehatan di kampung-kampung melalui surat. Para kader itu yang
kemudian akan menyampaikan hal tersebut kepada warga. Posyandu

106
dilaksanakan pada saat hari pasar. Seperti yang sudah dijelaskan pada
bab 2, kegiatan pasar dilakukan 3 kali dalam seminggu. Yaitu di hari
Selasa, Kamis dan Sabtu. Alasan dilaksanakan pada hari pasar adalah
karena hanya pada hari pasar ibu-ibu mempunyai kesempatan untuk
pergi ke Kota Bokondini untuk menjual hasil kebun atau mencari bahan
makanan lainnya. Itupun tidak semua ibu balita dan ibu hamil mau untuk
berkunjung ke Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan Posyandu.
Terkadang bahkan petugas Puskesmas harus turun ke pasar untuk
mengajak mereka untuk datang ke Puskesmas. Hal ini senada dengan
yang diceritakan oleh Mama Men (umur 43 tahun) bahwa :

…“pasar itu kan berdekatan dengan puskesmas to, kalau hari


pasar pasti mereka yang diatas turun ke pasar, jadi mama
bisa sekalian timbang bayinya, nanti bidan bisa kasih tau
mama mama di pasar untuk kasih timbang bayi ke Puskesmas
sebentar”,….jelas Mama Men

Pada saat penelitian sempat dilaksanakan 1 kali Posyandu pada


Bulan Mei 2015 di Puskesmas Bokondini. Jumlah balita yang datang pun
tidak banyak hanya 26 balita saja. Kegiatan Posyandu yang dilaksanakan
adalah penimbangan berat badan balita, imunisasi dan pemeriksaan ibu
hamil. Tidak dijumpai kegiatan penyuluhan dan pemberian makanan
tambahan.

107
Gambar 4.2.
Kegiatan Posyandu di Puskesmas
Simber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Laporan Posyandu ke Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) setiap


bulannya dilengkapi dengan mengerahkan para kader kesehatan untuk
melakukan penimbangan balita di gereja. Hal tersebut karena data
penimbangan balita di Puskesmas sangat sedikit. Ada kegiatan
penimbangan oleh kader di gereja di hari Minggu pada setiap bulan.
Penimbangan di gereja dilakukan dengan menggunakan alat timbangan
dacin ukuran 100 kg. Alat timbangan tersebut digunakan secara bergiliran
oleh para kader kesehatan untuk melakukan penimbangan balita di 5
gereja di wilayah Bokondini.

108
Gambar 4.3.
Penimbangan anak di Puskesmas
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Kondisi geografis di Bokondini menjadi salah satu penyebab tidak


banyaknya ibu-ibu yang datang untuk mengikuti kegiatan Posyandu.
Sehingga hal tersebut berdampak pada sedikitnya data tentang berat
badan anak di Bokondini. Seperti yang telah disampaikan oleh Mama On
(40 tahun) bahwa :
….“tidak tahu kenapa, kita sudah ajak mereka datang ke
Puskesmas untuk Posyandu, tapi mereka tidak datang,
mungkin terlalu jauh atau bagaimana, jadi kader di kampung-
kampung saya tugaskan untuk lengkapi data penimbangan
per gereja, kalau hari minggu pasti mereka datang ke gereja
to, kalau tidak pasti gembala ada kejar mereka ke rumah-
rumah”…, jelas Mama On

Walaupun tidak banyak, cara tersebut terbilang cukup berhasil.


Seperti yang telah disampaikan pada bab 2, gereja di Bokondini juga
merupakan sebuah media komunikasi masyarakat. Hal ini sama seperti
yang disampaikan oleh Mama Es (45 tahun) bahwa :

109
….”sebulan sekali saja tidak tentu, bawa timbangan panjang
(dacin 100 kg),itu dari rumah ke Maga (nama gereja.pen)
berat sekali, kadang bapak ada bantu bawa”…, jelas Mama Es

Peneliti sempat menanyakan kepada beberapa ibu tentang alasan


mereka tidak datang secara rutin ke Posyandu di Puskesmas Bokondini.
Mereka beralasan jarak yang jauh ke Puskesmas. Mereka hanya datang
ke Puskesmas apabila anak mereka sakit dan membutuhkan pelayanan
pengobatan dari dokter. Dokter dan bidan sering mengingatkan ibu-ibu
untuk pergi ke Posyandu untuk mendapatkan pelayanan imunisasi. Hal ini
senada dengan yang disampaikan oleh Mama Es bahwa :

…”dokter sering kasih ingat bawa anak ke puskesmas, tapi


sering lupa juga, baru kalau hari pasar ketemu dengan
dokter, pasti dikasih ingat lagi”…, jelas Mama Es

Hal tersebut serupa dengan yang dialami oleh salah satu ibu yang
saat itu sedang datang ke Puskesmas bahwa :

….”anak tidak pernah sakit, jadi sa tidak pernah bawa ke


puskesmas, kemaren dia ada demam jadi baru sa bawa kesini
(Puskesmas), iya, su 6 bulan belum pernah ada sakit, tidak
tahu kalau harus ikut imunisasi”…, jelas sang ibu.

Data Stunting didapatkan dari hasil olah data primer. Peneliti


melakukan pengukuran tinggi badan pada balita yang kebetulan
berkunjung ke pasar. Mereka dibawa ke Puskesmas untuk diukur tinggi
badan dan berat badannya. Dari 31 balita yang kami ambil datanya, 14
anak termasuk balita pendek, 14 anak lagi termasuk balita sangat pendek
dan hanya 3 anak saja yang termasuk balita dengan tinggi badan normal.
Indikator stunting adalah salah satu indikator status kesehatan anak yang
dipertimbangkan dalam mengukur indeks kesehatan masyarakat saat ini.
Stunting menggambarkan kondisi malnutrisi jangka panjang dari ibu
dan bayi selama dalam kandungan. Salah satu faktor yang berkontribusi
terhadap stunting ini antara lain adalah karena usia pernikahan dini di

110
Kabupaten Tolikara. Beberapa informan mengaku telah melahirkan anak
pertamanya ketika berusia 15 tahun. WHO(2012) menyebutkan bahwa
usia melahirkan untuk yang pertama kali adalah usia 20 tahun.
Faktor resio stunting antara lain adalah riwayat Malaria dan anemia
atau inflamasi kronis lainnya yang telah diderita ibu selama kehamilan
ataupun pada bayi sampai usia 2 tahun (Senn et al,2013 ; Prendergast et
al, 2014)). Penelitian De Onis et al(2011) mendapatkan angka insiden
stunting yang cenderung stagnan pada ras penduduk di afrika, hal
tersebut menerangkan jumlah insiden stunting di Papua New Guinea
yang stagnan di angka 44% di tahun 2005)
Sebenarnya Pemerintah Kabupaten Tolikara melalui Dinas
Kesehatannya telah menjalankan program pemberian makanan
tambahan bagi ibu hamil dan baduta selama 1000 hari pertama. Hanya
saja saat ini program tersebut baru dilaksanakan di Distrik Karubaga,
Ibukota Kabupaten Tolikara. Program Gizi 1000 hari ini mempunyai target
sasaran hanya kepada 100 ibu hamil saja. Program ini tidak secara
signifikan mengukur kondisi stunting pada balita. Sebuah studi di
Palestina menggambarkan bahwa kesenjangan pada keamanan pangan di
suatu wilayah merupakan salah satu penyebab langsung kejadian
stunting(Gordon dan Halileh, 2013)

Gambar 4.4.
. Kegiatan Pemberian Makanan Ibu Hamil pada Program 1000 Hari di Puskesmas
Karubaga
Sumber : DKK Tolikara

111
Tim dari Kementerian Kesehatan sebelumnya telah mengadakan
studi evaluasi terkait efisiensi program dan mereka menemukan bahwa
program tersebut hanya memiliki daya ungkit terhadap 100 orang ibu
namun menelan anggaran sebesar 60 juta rupiah per ibu hamil. Tingginya
unit cost program disinyalir dikarenakan salah satunya adalah pengadaan
bahan makanan dari luar wilayah Kabupaten Tolikara
Hal tersebut mengingat pad bab 2 sebelumnya bahwa kondisi
geografis di Tolikara yang berupa gunung dan perbukitan, menjadikan
segala kebutuhan hidup harus dibawa dengan menggunakan transportasi
udara atau darat.

Gambar 4.5.
Contoh Menu Makanan pada Program 1000 Hari
di Puskesmas Karubaga
Sumber : DKK Tolikara

4.4. Pola Asih: Noken dan Balita dalam Keseharian Perempuan Etnis
Lani
Noken merupakan bentuk tanggung jawab seorang wanita ketika
dia sudah mempunyai suami. Dia akan bertanggung jawab dalam
mengurus kebun, melahirkan dan mengurus anak dan menyiapkan
makanan bagi keluarganya. Pada acara penikahan adat atau gereja

112
keluarga dan tetangga akan memberikan noken sebagai salah satu
hadiah. Pemberian noken ini bernilai simbolis. Mereka akan
mengalungkan noken pada kepala pengantin perempuan dan pengantin
perempuan tersebut tidak boleh meletakkan noken pemberian tersebut
sampai acara atau prosesi selesai. Walaupun terkadang pengantin
tersebut harus menahan beban lebih dari 20 lapis noken di kepalanya
hingga kepalanya miring karena tidak kuat menahan beban noken
tersebut, mereka tetap tidak diperbolehkan untuk menaruh noken.
Biasanya bila noken pemberian tersebut sangat banyak maka pengantin
perempuanakan dibantu oleh beberapa saudara perempuannya untuk
ikut berdiri di sebelahnya agak dibelakang pengantin untuk ikut
menerima noken dengan kepala mereka masing-masing.
Pada keseharian ibu dan bayinya pun beraktivitas dengan
menggunakan noken. Etnis Lani terbiasa membawa bayinya dalam
noken. Bayi diletakkan pada kotak semacam kardus yang dibentuk dan
disesuaikan dengan panjang badan bayi, baru kemudian ditaruh di dalam
noken dan dialasi dengan kain-kain atau noken tua, setelah itu bayi
ditidurkan di dalam noken. Noken berisi bayi didukung dengan kepala
sang ibu dan kemudian akan dilapisi lagi dengan pemakaian beberapa
helai noken lagi diatasnya, terkadang 3-5 helai noken.

Gambar 4.6.
Bayi dalam noken
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

113
Pelapisan beberapa helai noken bertujuan agar bayi tidak
kepanasan atau kedinginan ketika harus dibawa berjalan keluar rumah.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Kak Wep W (36 tahun)
bahwa :

….”itu sudah begitu, anak biar terasa sejuk to, biar dia
kembang bagus, baru waktu kita jalan jauh tidak terasa lelah
dengan anak bisa tertidur dengan nyaman begitu”…., jelas
Kak Wep W

Kondisii tersebut didukung oleh salah satu pegawai Puskesmas, yaitu


Mama Han (46 tahun) bahwa :

…..“itu sudah, memang dari dulu nenek moyang su begitu,


dia tidak pu arti, baru nama cara bawa itu amuli, bisa taruh
bayi, buah, sayur, erom begitu kah, jadi dia tidak ada arti,
memang sudah begitu”…, jelas Mama Han

Membawa bayi dengan noken ketika ibu beraktivitas di rumah dan di


luar rumah diyakini ibu akan memberikan kenyamanan pada bayi mereka
menjadi lebih nyenyak tidur. Ketenangan bagi sang ibu karena selalu
mengetahui kondisi sang bayi dimanapun ibu beraktivitas. Bahkan
merupakan larangan bagi ibu yang bekerja di kebun untuk meninggalkan
anaknya disuatu tempat ketika ibu beraktivitas kebun. Hal ini sama
seperti yang telah diutarakan oleh Kak Wep W bahwa :

…..“kalau kasih gantung, dia nanti ada ditukar dengan tuan


tanah, kalau sudah ditukar begitu, dia nanti jadi sakit baru
meninggal, biasa juga dalam mulutnya bisa keluar api”….,
kata Kak Wep W

Hal tersebut disebabkan karena tidak ada yang menjaga bila


ditinggalkan di rumah. Nokentersebut tidak boleh digantungkan di pohon
atau semacamnya. Hal itu nantinya menyebabkan dapat dipengaruhi oleh
hal-hal gaib.

114
4.4.1. Pemenuhan Kebutuhan Jasmani
Pemenuhan kebutuhan jasmani meliputi pemberian makanan
pada balita, pemberian kebutuhan sandang atau pakaian dan asesoris
kepada anak anaknya.

4.4.1.1. Pemberian Makanan pada Anak


Budaya Lani mengharuskan ibu untuk tetap memberikan ASI
sampai waktu yang tidak terbatas. Seringkali anak yang sudah berusia 3-4
tahun pun masih mendapatkan ASI dari ibunya. Tidak ada batasan jelas
kapan pemberian ASI dihentikan. Menurut mereka selagi anak-anak
masih membutuhkan ASI selama itu juga ibu wajib memberikannya
kepada anak. Hanya saja pemberian ASI ini belum sesuai dengan
panduan ASI Eksklusif. Kenyataannya di lapangan masih banyak
ditemukan beberapa ibu yang memberikan makanan tambahan kepada
bayinya yang mulai berusia 3-4 bulan. Bayi diberikan makanan tambahan
berupa pisang yang telah dibakar terlebih dahulu, kemudian dihaluskan
dengan cara dikerok atau dilumatkan. Metode pembakaran pisang ini
berbeda dengan metode PMT dini di beberapa daerah di Jawa. Pada Etnis
Jawa mereka akan memberikan PMT pisang yang dikerok atau dihaluskan
pada bayinya secara langsung. Metode pembakaran pisang dalam PMT
dini pada bayi dianggap dapat menghilangkan getah pada pisang yang
seringkali membuat bayi mengalami diare atau gangguan pencernaan
lainnya. Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh Mama Men (umur
43 tahun) bahwa :

…..“dengan ASI saja mereka masih lapar, biasa dong kasih


pisang yang sudah dibakar, baru dihaluskan sudah itu
langsung kasih makan bayi, kalau pisang tidak dibakar sama
dengan kita kasih makanan mentah ke bayi, dia bisa sakit
perut, diare atau tidak bisa buang air, biasa kalau sudah kasih
makan dengan pisang mereka diam, tidur tidak lagi menangis
kelaparan”…, jelas Mama Men

115
Kebutuhan makanan pada balita pada Etnis Lani disediakan ibu di
rumah. Bahan makanan yang sering diolah adalah epere, erom dan kasbi
serta beberapa macam sayuran seperti daun epere, daun erom dan buah
merah. Pada masyarakat pendatang atau masyarakat Bokondini yang
telah terpapar oleh budaya diluar Bokondini, jenis sayuran yang diolah
lebih variatif macamnya.
Ibu biasa menyiapkan makanan 2 kali dalam sehari, yaitu di siang
hari dan di sore atau malam hari. Adapun makanan utama hanya dimasak
1 kali pada siang hari atau malam hari.

Tabel 4.1. Menu Makanan Etnis Lani di Bokondini


Menu makan Pagi Epere atau erom sisa makanan
semalam
Menu makan Siang Nasi, sayur dan lauk dalam porsi besar
Menu makan Sore atau Epere atau erom
Malam
Sumber : Data Primer

Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan


budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan,
hubungan sebab akibat antaramakanan dan kondisi sehat-sakit,
kebiasaan dan ketidaktahuan seringkali membawa dampak baik positif
maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak (Linda, 2004)
Kasus dispepsia mayoritas dialami oleh ibu dan anak anak.
Kebiasaan ibu untuk berangkat ke kebun di pagi hari terkadang tidak
memungkinkan mereka untk makan pagi` Adanya keluhan dari pihak
sekolah tentang seringnya murid pingsan di sekolah atau tidak
bersemangat dalam mengikuti pembelajaran karena tidak makan pagi.
Pada orangtua yang mampu mereka hanya membekali anak-anaknya
jajanan seperti, softdrink, aneka wafer dan biskuit.
Respon masyarakat terhadap bahan makanan dari luar sangat
beragam. Pada anak misalnya lebih senang dengan permen (gula-gula)
dan mi instan. Cara mengkonsumsi mi instan pada balita adalah dengan

116
cara memakannya langsung tanpa dimasak terlebih dahulu. Masyarakat
Lani di Bokondini lebih mengenalnya sebagai main mulut. Dalam aritan
bahwa hanya sebagai cemilan yang dikonsumsi sambil lalu. Selain itu
balita sangat menyukai minuman softdrink yang dijual di warung-warung.

Gambar 4.7.
Salah satu anak mengkonsumsi mi instan
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Pemilihan makanan tersebut tentunya dapat berdampak pada


pertumbuhan seorang anak nantinya. Di sisi lain, makanan-makanan
tersebut tentunya secara tidak langsung akan menjadi kegemarannya
pada saat dewasa nanti. Hal ini senada dengan yang telah dipaparkan
oleh Foster dan Anderson bahwa pengalaman-pengalaman masa kecil,
sebagaimana yang kita catat, banyak mempengaruhi kegemaran kita
pada usia dewasa, makanan yang kita kenal semasa kanak-kanak tetap
menarik kita, sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih
mudah untuk ditolak. (Foster & Anderson, 1986)

117
4.4.1.2. Pemenuhan Kebutuhan Sandang pada Anak
Pemberian pakaian pada bayi Etnis Lani dilakukan pada umur 1
tahun atau pada saat bayi sudah bisa berjalan. Pada zaman perang jarang
sekali anak kecil memakai pakaian. Pakaian yang tersedia waktu itu hanya
berupa keboak (koteka) bagi laki laki dan sali bagi perempuan. Pada saat
ini pemenuhan kebutuhan sandang pada bayi hanyalah dengan
menyediakan 2-3 helai pakaian saja sampai dia berumur 1 tahun atau
sudah bisa berjalan.
Hasil observasi menunjukkan beberapa bayi dan balita bermain
tanpa mengenakan pakaian, ternyata memang karena jumlah baju
mereka hanya sedikit sehingga bila sudah kotor maka mereka harus
menunggu sampai baju selesai dicuci dan kering dan siap untuk mereka
kenakan kembali. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Mama
Han (umur 46 tahun) bahwa :

…..“mereka (anak balita) itu bukan tidak kasih baju, tapi


memang baju mereka cuma 2 atau 3, kalau su kotor dong
harus tunggu mama selesai keringkan baju, kadang kadang
mama yang malas atau tidak ada waktu cuci baju”…., jelas
Mama Han

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab 2 bahwa sandang pada


anak di Bokondini merupakan hal yang patut menjadi perhatian. Seperti
yang sudah disampaikan oleh Mama Men pada bab 2 bahwa :

….“kalau itu biasa masalah ekonomi sudah, penghasilan tidak


bagus begitu, baju satu to, waktu cuci kasih jemur, baru
selama itu tidak ada pakai, bagaimana mau pakai, baju hanya
satu begitu”…., jelas Mama Men

Kebiasaan masyarakat di Bokondini adalah menjemur atau


mengeringkan baju yang telah dicuci dengan cara merentangkan baju di
rerumputan tanpa alas, atau pada bebatuan besar di pinggir sungai.
Promosi kesehatan telah dilakukan oleh pihak Puskesmas. Rerumputan

118
disekitar rumah dan bebatuan di sekitar sungai adalah area yang sering
dilalui binatang ternak seperti babi.
Babi seringkali dibiarkan lepas pada pagi hari dan akan
dimasukkan lagi ke kandang pada sore hari. Babi pada saat di luar
kandang dapat membuang kotoran dimanapun termasuk rerumputan di
sekitar rumah tempat mereka menjemur baju. Selain babi, kadang juga
terdapat hewan lainnya seperti anjing. Anjing kadang-kadang juga
terlihat BAB dan BAK di sembarang tempat, biasanya di sekitar area
halaman rumah.
Area tersebut selain sering terpapar oleh kotoran babi juga sering
terpapar oleh kotoran manusia. Hal tersebut dikarenakan perilaku BAB
pada balita yang masih disembarang tempat.
Menurut pihak Puskesmas, kebiasaan menjemur baju di area
tersebut menyebabkan tingginya penyakit kulit seperti pioderma dan
dermatitis pada masyarakat terutama balita. Pioderma dan dermatitis
menempati 10 besar penyakit di wilayah kerja Puskesmas Bokondini.

Gambar 4.8.
Rumput sebagai tempat menjemur
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

119
Kebiasaan tersebut tentunya patut menjadi perhatian Puskesmas
sebagai penyedia pelayanan kesehatan. Dalam hal ini tentunya
Puskesmas dapat menjalin kerja sama dengan Klasis dan LMA untuk
mengubah kebiasaan tersebut agar lebih baik bagi masyarakat Bokondini,
khususnya anak-anak.

4.4.2. Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan pada Balita (Ispa dan Diare


Balita)
ISPA adalah penyakit dengan peringkat pertama dalam 10 besar
penyakit. Masyarakat yang mengalami ISPA dengan derajat keluhan
seperti demam dan sakit kepala akan dirasakan sebagai penyakit yang
harus dibawa berobat ke Puskesmas. Pada anak bayi dan balita, ISPA
ditandai dengan pilek, demam dan tidak bisa tidur, mereka akan gelisah
dan menangis. Apabila ISPA hanya berupa pilek saja tanpa keluhan lain
dan hal itu tidak mengganggu aktivitas keseharian maka penderita tidak
akan perlu untuk memperoleh pelayanan pengobatan di Puskesmas. Hal
ini sependapat dengan yang disampaikan oleh Kak Robin (umur 33 tahun)
bahwa :

……“Pilek saja itu bukan penyakit, hanya akibat dari


kelembaban saja....hawa dingin to?...dan itu tidak
mengganggu mereka bermain...jadi tidak perlu diobati”…..,
jelas Kak Robin

Budaya rahu-rahu pun disinyalir memberikan kontribusi terhadap


tingginya angka ISPA dan kematian pada bayi. Rahu Rahu dilakukan
dengan menempatkan bayi baru lahir dalam honai dengan perapian yang
selalu menyala. Ditambah lagi ventilasi honai yang rapat dengan 1 pintu
saja.
Kondisi ini masih banyak terjadi di daerah luar Kota Bokondini.
Pengenalan honai sehat pun saat ini terus dilakukan dan mulai
menampakkan hasil berupa modifikasi honai menjadi hunian berventilasi.
Beberapa warga sudah mulai berpindah atau berusaha untuk

120
membangun rumah papan layaknya mereka yang tinggal di Kota
Bokondini.
Diare menempati peringkat keempat pada 10 besar penyakit.
Diare menular akibat sanitasi personal dan sanitasi lingkungan yang
kurang baik. Halaman rumah yang mayoritas tertutup oleh rerumputan
adalah area yang sering dimanfaatkan masyarakat untuk bermain atau
sekedar duduk melepas penat.
Namun area itu juga dipakai untuk aktivitas ternak babi
membuang kotoran dan aktivitas balita yang BAB disela kegiatan
bermainnya. Sanitasi personal yang kurang baik dapat dilihat dari
kebiasaan mereka yang tidak beralas kaki dan kebiasaan untuk tidak
mencuci tangan sebelum makan.

4.4.3. Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan pada Anak


Pada satu kesempatan di hari pasar kami menjumpai seorang ibu
dengan 2 orang anak laki- lakinya. Hari itu mereka datang dengan
berjalan kaki membawa beberapa 1 noken besar berisi erom dan 2 noken
agak kecil berisi epere engga dan gilipi engga. Rumah mereka ada di atas
perbukitan Bewani yang kurang lebih menempuh perjalanan selama 1-2
jam untuk bisa sampai ke pasar. Anak yang besar berusia 8 tahun dan
yang kecil baru berusia 4 tahun. Selain 2 orang anak itu, masih ada 4
orang anak lagi di rumah. Menurut sang ibu, anak-anaknya tidak
bersekolah karena mereka malas, jarak dari rumah ke sekolah sangat
jauh bagi mereka.
Kurangnya pemahaman mengenai pendidikan anak sejak dini
tentunya berakibat pada pola pikir anak tersebut. Hal ini tampak jelas
pada perilaku anak yang menemani ibunya berjualan di pasar. Motivasi
dari orangtua sangat diperlukan dalam kaitannya dengan perkembangan
anak di sekolah ataupun lingkungan sekitar.
Tidak sedikit juga anak-anak yang mengalami keadaan tersebut.
Suatu ketika pernah peneliti menjumpai anak yang datang berobat ke
Puskesmas. Kaki anak tersebut terlihat sedikit terluka dan mulai
mendapat perawatan dari perawat. Anak tersebut berumur 8 tahun dan

121
kami sempat melakukan percakapan ringan terhadap anak tersebut.
Berikut adalah jawaban yang disampaikan olehnya ketika kami
menanyakan alasan dia tidak sekolah, ”tidak sekolah, kita dirumah jaga
adik, baru ini tadi bantu mama ada di pasar dukung erom”, jelasnya.

Gambar 4.9.
Ibu dengan 2 anak sedang di pasar
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Penuturan berbeda kami dapatkan dari informan yang rumahnya


dekat dengan pusat Kota Bokondini. Mereka menuturkan bahwa anak-
anaknya bersekolah, hanya saja mereka datang ketika ujian kenaikan
saja. Hal ini serupa yang disampaikan oleh Kak Robin bahwa :

….“anak anak ini berangkat sekolah kalau ada ujian kenaikan


saja, biasa ibu guru datang kesini bagi tahu...kalau hari biasa
mereka tidak berangkat sekolah...yang sering juga guru guru
tidak datang mengajar ke sekolah” (Rob, 30 tahun)

Ketersediaan sarana pendidikan di Distrik Bokondini terdiri dari


adanya SD, SMP dan SMU. Yaitu : SD Inpres 1 Bokondini, SMP Bokondini
dan SMU Bokondini. Selain institusi pendidikan dari pemerintah.
Terdapat juga institusi pendidikan swasta yaitu SD Ob Anggen. Ketika

122
penelitian berlangsung juga telah dilakukan persiapan pembangunan
SMP Ob Anggen. Lokasi sd swasta tersebut sangat dekat dengan pusat
Kota Bokondini.

Gambar 4.10.
SD Inpres 1 Bokondini
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

4.5. Pola Asuh : Pembiasaan dalam PHBS anak (sosial)


Pola asuh dalam hal ini adalah pola pembiasaan anak terkait
perilaku hidup bersih dan sehat. Yang terpotret pada peneltian ini adalah
kebiasaan konsumsi makanan sehat, Kebiasaan buang air besar,
kebiasaan mandi, kebiasaan cuci kaki dan tangan, kebiasaan tidak
memakai alas kaki dan kebiasaan menggosok gigi.

4.5.1. Kebiasaan konsumsi makanan sehat


Pada dasarnya dalam mengolah makanan sehari-hari, masyarakat
Lani tidak banyak menggunakan aneka bahan makanan tambahan.
Mereka hanya menggunakan garam, vetsin dan minyak goreng untuk
mengolah lauk dan memasak sayur. Apabila mereka memasak buah
merah bahkan minyak goreng tidak lagi mereka perlukan. Bokondini

123
adalah salah satu daerah pertanian penghasil sayuran dan buah terbaik di
pegunungan tengah. Sayur dan buah yang berlimpah ini dimanfaatkan
dengan baik untuk konsumsi harian masyarakat. Babi bukanlah sumber
protein utama karena harganya yang sangat mahal. Terkadang ada yang
menjual daging babi hutan hasil perburuan atau tak sengaja tertangkap
karena merusak kebun warga. Sumber protein yang tersedia adalah tahu,
tempe dan telur. Hanya masyarakat dengan tingkat ekonomi yang baik
saja yang bisa menikmati makanan bersumber protein. Karena bahan
makanan ini harus didatangkan dari Wamena sehingga harganya pun
menjadi tidak murah bagi sebagian besar masyarakat.
Kebiasaan mengkonsumsi kopi dengan gula yang berlebihan
menjadi kesukaan masyarakat Bokondini. Kopi manis dinikmati bersama
ketika ada tamu atau keluarga yang datang, terkadang kopi manis juga
diberikan kepada para pekerja kebun ketika mereka bekerja bersama-
sama untuk membuka kebun baru.
Biskuit, wafer dan aneka permen yang dijual masyarakat
pendatang di warung pun disukai oleh masyarakat Lani. Biasanya mereka
akan memakannya dalam perjalanan dari warung menuju ke rumahnya.
Akibatnya adalah sampah plastik pun bertebaran tanpa ada yang merasa
bertanggungjawab untuk membersihkannya.
Anak Lani senang sekali memakan mi instan secara langsung
tanpa memasaknya terlebih dahulu. Mereka akan menghancurkan mi
dalam keadaan kemasan yang masih tertutup, yaitu dengan cara
meremas remasnya, kemudian baru kemasan dibuka dan mereka
langsung memakannya tanpa bumbu. Tetapi ada masyarakat yang
mengolah mi instan dengan cara memasaknya menjadi sayur berkuah
dengan menambahkan sayuran hijau seperti daun epere dalam jumlah
banyak.

4.5.2.Kebiasaan Buang Air Besar (BAB)


Pembiasaan Buang Air Besardi WC pada anak Lani dilakukan
secara bertahap. Pada bayi lahir hingga berumur 6 bulan, BAB dilakukan
di atas pangkuan ibunya. Kaki ditekuk keatas dan bayi akan BAB dipaha

124
sang ibu tanpa diberi alas apapun. Setelah itu baru ibu akan membuang
kotoran bayinya itu kehalaman atau ke semak semak rerumputan di
halaman rumah.
Pada usia bayi mulai merangkak dan belajar berjalan yaitu umur
7-12 bulan, bayi akan mempunyai mobilitas yang lebih tinggi. Mereka
akan dengan mudah menjangkau sudut-sudut rumah, atau bahkan mulai
menjelajahi halaman rumah. Mereka tidak akan tenang BAB lagi pada
pangkuan ibunya. BAB akan dilakukan kapanpun dan dimanapun mereka
berada. Ibu akan membiarkannya. Bila BAB telah selesai maka ibu akan
bergegas membersihkannya. Masyarakat yang tinggal jauh dari sumber
air akan membersihkan bagian tubuh bayi dari sisa kotoran dengan
menggunakan kain atau daun-daun yang ada disekitar rumah. Apabila
mereka tinggal didaerah dengan akses air yang baik maka mereka akan
segera membersihkan bayinya. Mereka tidak membersihkan bagian
tubuh bayi tersebut dengan sabun, hanya dengan air saja.
Pada usia 1-3 tahun balita mulai diajarkan untuk BAB di WC.
Mereka telah mempunyai kemampuan verbal dan non verbal untuk
memberikan isyarat kepada orang disekitarnya bahwa dia berkebutuhan
untuk melakukan BAB. Apabila mereka tidak mempunyai jamban, maka
BAB tetap akan dilakukan di tempat terbuka, hanya saja pada usia
mereka sudah dapat diberikan arahan agar tidak BAB di dekat area jalan
yang sering dilalui orang atau tidak BAB di area yang sering dipakai untuk
aktivitas bersama keluarga.
Untuk keluarga yang telah mempunyai jamban leher angsa maka
balita biasanya sudah mulai diajarkan untuk BAB di jamban atau WC.
Beberapa warga di luar kota Bokondini mempunyai jamban cemplung.
Mereka belum berani untuk melatih balitanya agar BAB di jamban
cemplung karena alasan keselamatan.

125
Studi Kasus 1
Pola asuh balita: Pembiasaan BAB di Jamban
Cemplung

Eta Penggu (24 tahun) adalah ibu dari 3 orang anak.


Berbagi pengalaman tentang cara membiasakan anak
anaknya untuk BAB di WC. Pada usia bayi sampai anak
berusia 4 bulan, bayi BAB tanpa alas di pangkuan atau
paha ibunya. Kemudian ketika dia sudah bisa merangkak
atau berjalan keluar rumah, yaitu kira-kira usia 3 tahun,
anak akan BAB disembarang tempat di halaman terbuka.
Mereka belum berani untuk membiasakan balitanya untuk
BAB di WC karena jamban mereka adalah Jamban
Cemplung yang diameternya lebih dari 30 cm.
Membiarkan mereka untuk BAB di atas jamban cemplung
dianggap beresiko terhadap keselamatan anak. Ketika
berusia 4-5 tahun biasanya mereka kita arahkan untuk
tidak BAB di jalan terbuka yang sering dilalui orang. Pada
Usia 6-7 tahun baru mereka berani untuk BAB di Jamban
cemplung.

Kondisi tersebut hampir serupa dengan yang dijelaskan oleh Kak


Yul W (umur 34 tahun) terkait pola BAB pada anak :

….”mungkin 2 tahun, masuk 2 tahun, itu mereka sudah


mengerti, jadi kami bisa suruh mereka buang air jauh dari
halaman, kalau ke WC itu belum bisa, jadi cuma jauh dari
halaman, itu yang bisa kami ajak mereka, kalau mau ke WC
itu umur tiga tahun kah empat, itu baru bisa, karena ada
lobang to, ya seperti pot-pot yang ada di kota, di sini kan
dikasih lobang, jadi anak itu bisa jatuh di bawah”…” “kalau
dia sendiri macam rasa buang air besar, mereka lihat-lihat
lobang, kan tidak mengerti itu, kalau buang WC to, namanya
anak jadi mereka bisa turun lihat-lihat, jadi umur-umur ya

126
kelompok tiga tahun itu bisa mengerti, kalau dua tahun kami
tidak bisa ajak mereka ke WC”…, jelas Kak Yul W

4.5.3. Kebiasaan Mandi : Tingginya Pioderma dan Dermatitis)


Kebiasaan mandi di Bokondini sangat beragam. Pada bayi mereka
akan dimandikan 1-2 hari sekali, tergantung pada kondisi udara dan
ketersediaan air. Apabila kondisi udara sangat dingin dan hujan
sepanjang hari terus mengguyur, maka bayi hanya akan dimandikan 1 kali
dalam sehari. Pada beberapa keluarga ada yang selalu meluangkan waktu
untuk merebus air hangat untuk mandi bayi dan balitanya, terutama
untuk mandi di pagi hari sebelum mereka beraktivitas. Pada anak usia 5
tahun ke atas mereka harus mandi sendiri tanpa bantuan orangtua atau
saudara. Mereka mandi sesuai dengan kebutuhan mereka. Terkadang
mereka tidak mandi pagi tetapi siangnya mandi dan bermain bersama
teman - teman di sungai seusai pulang dari sekolah.
Pada masyarakat yang tinggal dekat aliran sungai, aktivitas
mencuci pakaian di sungai pun dapat diteruskan dengan aktivitas mandi.
Pada beberapa anak dijumpai bahwa mereka mandi tanpa pola yang
baku, terkadang 1-2 hari mereka tidak mandi, ketika tubuh terasa lemas
dan tidak bersemangat mereka baru berangkat mandi. Tapi sering juga
mereka mandi sampai 3-4 kali dalam sehari. Mereka membersihkan
badan dengan menggunakan sabun mandi yang mengandung antiseptik
dan terkadang menggunakan deterjen pencuci pakaian untuk mandi dan
keramas, tapi beberapa mengaku tidak menggunakan sabun apapun
hanya mandi dan berendam diri di sungai.

127
Gambar 4.11.
Anak mandi di sungai
Sumber ; Dokumentasi peneliti, Mei 2015

4.5.4. Kebiasaan Cuci kaki dan cuci tangan


Cuci kaki dan cuci tangan setelah bermain dan sebelum makan
belum menjadi aktivitas rutin bagi anak Lani. Ada orangtua yang sudah
mulai mengerti akan pentingnya kesehatan maka mereka akan menyuruh
anak-anaknya untuk mencuci tangan dan kaki. Ada yang sudah
menggunakan sabun dan ada pula yang belum.

128
Gambar 4.12.
Anak tertidur dengan kaki kotor
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

4.5.5. Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki


Pada usia balita, anak telah dibiasakan untuk berjalan jauh tanpa
menggunakan alas kaki. Ada anggapan bahwa kebiasaan memakai alas
kaki membuat kulit telapak kaki menjadi tipis dan tidak kuat berjalan
jauh. Apalagi memang dengan kontur wilayah pegunungan, pemakaian
alas kaki dianggap tidak efisien. Sandal biasanya akan rusak setelah 1-2
hari pemakaian. Beberapa bantuan dari luar pernah memberikan sandal
dan sepatu untuk anak anak Bokondini, tetapi baru dipakai beberapa hari
san sandal itu menjadi rusak dan tidak bisa dipergunakan kembali. Anak
anak menjadi sangat sayang kepada sandal atau sepatu yang dibelinya
kemudian. Mereka rela berjalan sambil menenteng sandal atau
mengalungkan sepatunya di leher daripada harus memakainya dan
mendapati sandal atau sepatu mereka rusak kemudian.

129
Gambar 4.13.
Beberapa anak tanpa alas kaki
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

4.5.6. Kebiasaan Menggosok gigi (caries dentis dan pulpitis)


Masyarakat Etnis Lani tidak mempunyai budaya untuk
menggosok atau membersihkan gigi. Tidak seperti Etnis Gem di
Mamberamo tengah yang mempunyai sejenis daun-daunan untuk
membersihkan gigi. Seperti yang diutarakan oleh Kakak Yul W (umur 34
tahun) bahwa :

“itu tidak biasa, tidak ada, itu ada satu, itu kan termasuk
makanan selesai makan sayur mereka biasa tapi itu budaya,
bukan budaya kami itu budaya orang Gem, bagian bawah, itu
ada satu makanan, itu kayak daun di sini tidak ada, itu selesai
makan biasa kunyah-kunyah, untuk membersih gigi, itu
budaya mereka, tapi mungkin kami tidak ada”…., jelas Kakak
Yul W.

Untuk membersihkan gigi mereka kerap mengunyah tebu yang


banyak ditanam di kebun. Tapi sejak masuknya sikat dan pasta gigi yang
banyak dijual warung-warung ada beberapa masyarakat yang

130
mempunyai kemampuan ekonomi lebih datang dan membelinya.
Perubahan pola konsumsi makanan manis seperti permen (gula-gula) dan
minuman kemasan pada balita saat ini membutuhkan perubahan
perawatan pada kebersihan gigi. Tapi kebiasaan menggosok gigi pada
mereka belum terlihat. Akibatnya banyak ditemukan kasus caries dentis
dan pulpitis tidak hanya pada anak anak tapi juga pada orang dewasa.
Upaya untuk mengenalkan budaya sikat gigi diberikan kepada
anak - anak usia sekolah melalui praktek langsung mencuci gigi yang baik
dan benar secara bersama sama. Akan tetapi sebuah perilaku sehat
memerlukan pendekatan berulang dan berkesinambungan dengan
dukungan berbagai pihak, tidak hanya melibtakan sekolah dan
puskesmas saja. Upaya penyampaian pesan bergambar kesehatan gigi
dan perawatannya akan lebih bisa diterima oleh ibu di rumah dalam
mengajarkan cara merawat gigi yang benar pada anak-anak usia
prasekolah (Arora et al, 2012)
Cerita berikut ini adalah sebuah kisah nyata dari seorang anak
yang dibesarkan tanpa kasih sayang seorang Ibu. Bidadari kecil itu
bernama Olin (5 tahun)` Dia gadis yang sangat ceria. Senyumnya selalu
mengembang di wajah cantiknya setiap kali kami datang. Pertanyaan dan
sapaan ringan selalu disambutnya dengan ceria. Mama Olin telah
meninggal 1 tahun yang lalu karena sesak nafas. Papa Olin sebenarnya
sudah berinisiatif untuk membawa istrinya ke rumah sakit di Wamena
kala itu. Tetapi pihak keluarga perempuan tidak mengijinkan. Papa Olin
tidak mempunyai hak untuk mengambil keputusan terkait kebutuhan
berobat istrinya. Hal tersebut karena secara adat, Papa Olin belum
membayar mas kawin yang telah dijanjikan kepada pihak keluarga
perempuan. Akhirnya Mama Olin meninggal tanpa mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan sakitnya. Hak Pengasuhan kini
jatuh di tangan Papa Olin.

131
Studi Kasus 2
Pola Asih : Membesarkan Olin Tanpa Kehadiran Mama

Black Sweet (36 tahun) adalah seorang duda dengan 1 anak


gadis bernama Olin (5 tahun). Istrinya meninggal 1 tahun yang
lalu akibat sakit. Setelah itu dia mengambil ijin untuk tidak
terlibat banyak dalam pekerjaan kantornya dan lebih memilih
untuk menghabiskan waktu menemani dan merawat Olin di
rumah. Dia mengakui banyak hal yang sangat sulit dia
lakukan dalam perannya sebagai singleparent, menyiapkan
makanan untuk Olin, memandikan dan menganyam
rambutnya adalah hal yang paling sulit dia lakukan. Walapun
demikian Blacksweet mengataan bahwa saat ini dia belum
berpikir untuk mencari ibu pengganti buat si kecil Olin. Saat ini
Olin sudah terbiasa untuk melakukan beberapa hal sendiri
atau bersama teman. Olin anak yang ramah dan periang.
Seperti halnya anak anak di Bokondini, Olin sangat suka
memakan mie instan langsung dari bungkusnya tanpa
dimasak terlebih dahulu. Ketika ditanya tentang makanan
favorit, Dia menjawab bahwa makanan kesukaan Olin adalah
nasi dan sayur..

Berdasarkan studi kasus tersebut bahwa secara historis laki-laki


dalam konteks budaya Lani memang tidak pernah mengasuh anak. Dalam
hal ini perempuan lah yang memiliki peranan besar dalam mengasuh
anak. Menurut kepercayaan orang terdahulu, seorang laki-laki bisa cepat
tua karena mengurus anaknya. Kondisi tersebut juga didukung dengan
sering terjadinya perang pada zaman dahulu. Namun hal tersebut sudah
berbeda dengan sekarang, dimana laki-laki sudah mulai membantu
dalam hal mengasuh anak.
Studi kasus tersebut didukung oleh pernyataan yang diutarakan
oleh Black Sweet bahwa :

“istri su meninggal, pekerjaan anak semua saya, itu yang


tertekan itu, waktu kasih mandi, pakaian, baru anyam
rambut, itu sudah, beban sekali, baru dia minta makan, saya

132
belum masak, tertekan sudah, kita laki-laki tidak biasa seperti
itu to”…, cerita Black Sweet

4.6. Pola Asah : Menanam Kemandirian pada anak Etnis Lani


Kemandirian pada etnis Lani diartikan sebagai tahapan dimana
seorang manusia sudah mengenali keadaan atau resiko yang mengancam
keselamatan dan kehidupannya. Tahapan dimana seorang anak tak lagi
bergantung penuh kepada orangtua. Tahapan dimana seorang anak
sudah mulai dapat mengemban tanggung jawab meskipun untuk hal - hal
yang sederhana nilainya.
Pada zaman dahulu salah satu cara yang digunakan untuk
mengetahui kemandirian seorang anak adalah dengan cara memberikan
dia nyala api. Apabila anak takut dan menghindar dari api, hal tersebut
menandakan bahwa anak telah memasuki tahapan kemandirian. Dan
sudah mulai dapat diserahi tanggungjawab, paling tidak tanggung jawab
untuk menjaga dirinya sendiri dan tidak bergantung penuh kepada
orangtua. Seperti yang disampaikan oleh Mama Men (umur 43 tahun)
dalam kaitannya dengan kemandirian anak bahwa :

…..“misal dia belum pu adik biasa dia selalu gendong, baru


jalan jauh to, lalu misal dia su pu adik, kita selalu bilang ko
jalan kaki, ini mama su dukung adik, ini tangan bawa erom,
baru ko mau dimana”…., jelas Mama Men

Ada beberapa cara yang diajarkan oleh orangtua kepada anaknya


agar nantinya dapat bertahan hidup. Salah satu contohnya adalah
mengajarkan kepada anak-anak cara memenuhi kebutuhan hidup dengan
berkebun dengan tetap menjaga alam dan budaya. Karena secara tidak
langusng anak-anak lah yang kelak akan melanjutkan kehidupan dan
mengajarkan cara bertahan dan hidup bergantung pada alam
pegunungan tengah dari generasi ke generasi berikutnya.
Salah satu diantara upaya mengasah kemandirian anak adalah
memberi kepercayaan mereka untuk menjualkan hasil kebun ke pasar,
tidak hanya membawa hasil kebun ke pasar, mereka juga belajar menata

133
dagangan dan melakukan transaksi penjualan di pasar. Anak dengan
umur 8 sampai 17 tahun sudah mulai belajar berjualan di pasar. Mereka
berkomunikasi dengan para pembeli yang mayoritas adalah pendatang.

Gambar 4.14.
Anak-anak jualan di pasar
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Selain mengajarkan untuk berkebun masih terdapat beberapa


cara yang diajarkan oleh orangtua. Seperti cara memasak, memotong
kayu untuk membuat rumah atau mencari kayu bakar. Ha; tersebut
serupa dengan yang disampaikan oleh Kak Pan E (umur 35 tahun) bahwa
:

…..“biasa dia sekitar umur 5 tahun begitu, su mulai ikut-ikut


masak, baru 8 tahun su bisa masak, seperti anak saya yang
nomor 2 ini, dia su jago masak, baru kalau dia su bisa kerja di
luar, kerja di dalam pasti juga su bisa”…, jelas Kak Pan E

134
4.6.1. Anak perempuan dengan noken dan kebun
Kemandirian pada anak perempuan diarahkan kepada
penguasaan kemampuan mereka kepada hal-hal yang harus dimililiki
oleh perempuan dewasa di Suku Lani. Perempuan Lani adalah sosok
tangguh yang mempunyai banyak peran. Tidak hanya peran sebagai ibu
dalam tanggung jawab mengurus rumah, tetapi juga peran secara
ekonomi. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya,
perempuan Lani mempunyai tanggungjawab untuk mengurus kebun,
memanen hasilnya dan menjualnya ke pasar. Uang hasil penjualan
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga, membiayai
pendidikan dan kesehatan buah hatinya. Keterikatan budaya yang begitu
kuat masih menyelipkan peran untuk menjaga tradisi menganyam
rambut dan merajut noken.
Menjadi sosok tangguh seperti itu membutuhkan tahapan proses
pembelajaran sejak dini, baik secara fisik maupun secara psikis. Tahapan
itu dimulai sejak mereka lahir. Sejak balita mereka dilatih untuk merajut
noken. Dalam keseharian mereka juga telah akrab dengan aneka
anyaman rambut yang dirangkaikan kakak atau ibu di rambutnya. Mereka
mulai berlatih menggulung benang untuk membuat noken, bahkan pada
usia 7-8 tahun mereka telah mempunyai kemampuan membuat noken.
Pada usia 8 tahun mereka sudah mulai diajak untuk berjalan ke
kebun, melihat ibunya memetik sayuran dan mengikatnya. Mereka
belajar untuk membawa beberapa erom dan beberapa ikat sayur dalam
nokennya. Mereka belajar bagaimana memikul ikatan kecil kayu bakar di
kepalanya. Mereka berlatih untuk menjadi perempuan Lani yang
tangguh. Seperti yang dituturkan Deb Pg (umur 8 tahun) berikut ini :

….“kalau su biasa jalan jauh ikut mama ke kebun di


Tenggagama, tidak pakai sandal sudah biasa, mama biasakan
cuci baju mulai umur 6 tahun, belajar kasih kering saja (jemur
baju), baru 7 tahun su bisa cuci sendiri”…, jelas Deb Pg

Memasak bukanlah ketrampilan yang hanya diajarkan pada anak


perempuan, tetapi juga pada anak laki-laki. Anak perempuan mulai

135
mengenal dapur dan aktivitas memasak. Mereka dapat membantu
memotong sayuran dan bahkan belajar memasaknya dalam kuali.
Memasukkan ubi dalam perapian ataupun sekedar merebus air.

4.6.2. Anak laki-laki dengan parang


Dalam kesehariannya anak laki-laki Lani tidak jauh berbeda
dengan anak perempuan. Mereka sama-sama membantu kedua
orangtuanya. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya
bahwa anak laki-laki Lani memiliki pekerjaan yang berbeda. Anak laki-laki
Lani biasanya bertugas mencari kayu bakar, membantu babat kebun, dan
lainnya.
Dalam prosesnya, anak laki-laki di Lani khususnya di Bokondini
dibekali dengan sebuah parang. Parang tersebut tentunya digunakan
untuk membantu meyelesaikan pekerjaannya. Seperti yang telah
dipaparkan di atas, mulai dari mencari kayu bakar hingga membantu
membabat kebun.
Selain itu parang juga digunakan untuk membuat kandesten.
Umumnya permainan tersebut terbuat dari sandal yang mana hanya
mengambil sedikit dari bagian sandal tersebut. Bagian tersebut dibentuk
seperti lingkaran dan dengan menggunakan parang sebagai alatnya.
Hal tersebut sudah biasa ditemui pada masyarakat di Bokondini.
Mayoritas semua laki-laki mulai dari anak-anak hingga dewasa terbiasa
membawa dan menggunakan parang. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Bapak Yul B (umur 46 tahun) bahwa :

…..“tapi di sini kami, seperti kembar itu, sudah pegang


parang, jadi mereka pegang parang, main di tempat mana
kalau ketemu kayu api apa, mereka ambil pakai itu parang,
jadi umur dari kembar itu sudah bisa pegang parang, sekitar
9 tahun”…, jelas Bapak Yul B

136
Gambar 4.15.
Anak sedang membuat kandasten dengan parang
Sumber : Dokumentasi peneliti, Mei 2015

Yuli dan Panias adalah contoh dari orangtua Etnis Lani yang mulai
mengajarkan kemandirian pada buah hatinya sejak dini. Membiasakan
mereka berjalan jauh tanpa alas kaki sejak balita, mengajari anak laki laki
mereka tentang cara menggunakan parang untuk mencari kayu,
mendidik anak perempuanya untuk memetik sayur, menganyam noken
dan menganyam rambut sejak dini. Hal tersebut sama seperti yang
diutarakan oleh Kak Yul W (umur 34 tahun) bahwa :

….“mereka harus tahu ini kebun mereka, ini tanah mereka,


tempat mereka akan bergantung untuk bisa hidup, Mereka
harus mengenal baik bagaimana hidup dengan alam
pegunungan seperti ini”…., cerita Kak Yul W

Berbagai gambaran di atas patutnya menjadi perhatian penting


bagi orangtua di Bokondini. Hal tersebut dapat dilihat bahwa umur
sekitar 9 tahun sudah dapat menggunakan parang dalam kesehariannya.

137
Kondisi ini tentunya secara mendapat perhatian dan pendidikan dari
orangtua agar nantinya parang tersebut tidak disalahgunakan.
Keluarga Panias adalah salah satu dari keluarga yang
mementingkan perkembangan anak. Hal ini dimaksudkan agar nantinya
anak tersebut ketika dewasa dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik.

4.7. Anak Rumput : Fenomena Pergaulan Bebas pada Masyarakat Lani.


4.7.1. Istilah Anak Rumput
Istilah Anak rumput digunakan untuk menyebut anak hasil dari
hubungan di luar pernikahan atau anak hasil perselingkuhan atau anak
hasil hubungan dengan beberapa laki-laki sehingga tidak jelas siapa
bapak biologis dari anak tersebut. Arti dari kata rumput pada istilah anak
rumput adalah menggambarkan bahwa anak tersebut dihasilkan dari
hubungan suami istri yang tidak sah antara laki - laki dan perempuan.
Kata rumput dalam istilah ini diartikan sebagai liar. Seorang anak rumput
yang dihasilkan dari kawin rumput. Kondisi tersebut secara tidak
langsung membawa kita pada sebuah kenyataan bahwa hubungan
tersebut dilakukan di rerumputan atau semak-semak.
Kondisi di atas serupa dengan yang disampaikan oleh Bapak Yul B
(umur 46 tahun) bahwa :

…..“itu kawin rumput, artinya tanpa seketahui orang tua,


artinya baku lari dengan dia punya pacar, tapi tidak jelas,
sempat dia sebut atau ada yang lain, saya tidak tahu”….“itu
kan Cuma bicara saja itu, tidak mungkin juga di rumput,
hanya istilah saja, kawin liar begitu, bahasa kasarnya saja”…,
cerita Bapak Yul B

Realita secara tidak langsung akan berdampak pada hak-hak


hidup anak rumput tersebut, seperti hak asuh, pendidikan, dan
kesehatan. Kondisi ini tentunya secara tidak langsung akan merugikan
anak rumput tersebut dalam kaitannya dengan tumbuh dan kembang
anak.

138
4.7.2. Hak asuh anak rumput
Seperti yang sudah di jelaskan pada bab 2 bahwa etnis Lani
memiliki garis keturunan patrilineal. Dalam konteks ini, anak rumput
memiliki perbedaan fam. Mereka akan mengambil dari marga
perempuan/ibu atau yang biasa disebut dengan matrilineal. Hal ini
dikarenakan belum jelasnya bapak dari anak tersebut.
Biasanya seorang perempuan yang hamil tanpa suami akan
melahirkan dan membesarkan anak tersebut dalam keluarga si
perempuan. Anak tersebut dianggap sebagai anak rumput. Anak tersebut
akan mendapatkan fam dari ibunya. Apabila kemudian perempuan
tersebut menikah dan suaminya bersedia untuk menerima anak rumput
itu sebagai anak kandungnya, maka anak tersebut bisa menggunakan fam
ayah tirinya tersebut di belakang namanya. Biasanya calon suami berjanji
akan menerima dan memperlakukan si anak rumput layaknya seperti
anak kandungnya sendiri kelak. Hak asuh anak rumput tersebut ada pada
ibu dan pasangan suaminya.
Pernyataan ini sama seperti yang telah disampaikan oleh Mama
Men (umur 43 tahun) bahwa :

….”itu dia ikut fam mamanya to, baru misal mama su


menikah, dia tanya dulu begitu, boleh tidak ini dia pu anak
ikut fam bapak, soalnya laki-laki itu tahu, itu anak bukan dari
dia to, wwuuhh”…., jelas Mama Men

Akan tetapi pada prakteknya ada beberapa yang informan yang


mengatakan bahwa perlakuan orangtua terhadap anak rumput berbeda
dengan perlakuan mereka terhadap anak kandungnya. Apabila calon
suami tidak mau menerima anak rumput sebagai bagian dair
keluarganya, maka hak asuh anak rumput akan ada pada orang tua si
perempuan, yaitu kakek dan nenek si anak rumput.

4.7.3. Hak pendidikan dan kesehatan bagi anak rumput


Hak mendapatkan pendidikan dan perlindungan kesehatan bagi
anak rumput sangat tergantung pada kondisi sosial ekonomi pemegang

139
hak asuhnya. Bila hak asuh anak rumput jatuh pada ibu dan pasangan
suaminya, bisa jadi mereka akan memperoleh hak pendidikan dan
pemenuhan kebutuhan kesehatan yang sama dengan anak-anak kandung
yang lain. Walaupun pada beberapa informan ditemukan bahwa ada
perbedaan perlakuan dimana anak rumput tidak mendapatkan hak yang
sama dengan anak kandung terkait hak mengenyam pendidikan dan
pemenuhan kebutuhan kesehatan. Terkadang si anak rumput sudah
dibebani dengan tanggungjawab kebun, menjaga adik-adiknya dan
aktivitas domestik lainnya sehingga tidak diberikan kesempatan padanya
untuk dapat memperoleh pendidikan yang layak.

Studi Kasus 4
Hak Pendidikan bagi Anak Rumput

Wepek Wan (37 tahun) adalah seorang istri dan ibu dari 4 orang
anak, dengan segala keterbatasan dia selalu berusaha
memberikan yang terbaik yang menjadi kebutuhan keempat
buah hatinya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan
sanitasi, pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pemenuhan
kebutuhan kesehatan. Ri, anak sulungnya(18 tahun) saat ini
tengah menempuh pendidikan di SMA, Bac(10tahun) dan Ber(8
tahun) duduk di kelas 5 dan kelas 2 SD, sementara si bungsu
Chel(2 tahun) lebih banyak menghabiskan waktu di rumah
bersama ibunya.
Suami Wepek mempunyai 3 anak dari perempuan lain,
Perempuan tersebut meninggal saat melahirkan bayi kembarnya
(anak ke 4 dan ke 5 yang akhirnya juga meninggal tak lama
setelah dilahirkan). Ke 3 anak tiri Wepek ini tinggal bersama
mertua Wepek yang berjarak 2 rumah dari rumahnya.
Sangat berbeda dengan kondisi anak kandung Wepek, ketiga
anak tiri yang semuanya adalah perempuan ini tidak
seberuntung keempat anak Wepek. Mereka tidak diberikan
kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Setiap
harinya kepada mereka diberikan kewajiban untuk membantu
mengurus kebun dan mencari kayu bakar untuk kebutuhan
domestik anggota keluarga. Bahkan mereka tidak pernah diajak
untuk berkumpul bersama dalam acara ulangtahun Bac yang ke
10 Mei lalu.

140
Kondisi di atas senada dengan yang diutarakan oleh Nitnit (umur
14 tahun) bahwa :

….“sa tidak sekolah dari kecil, mama tidak kasih sekolah


seperti kakak Ri dan adik-adik yang lain (mama tiri dan
saudara tiri. pen) sama dengan 2 kakak perempuan, tidak
sekolah, Mama We tidak kasih kami tinggal dirumah, kami
tinggal di rumah tetek, kalo sore sa bantu urus makan babi,
kakak-kakak bantu kebun”…., jelas Nitnit

Kondisi tersebut diketahui oleh peneiliti secara tidak sengaja.


Waktu itu peneliti berjalan bersama dan saling berbincang dengan Nitnit.
Peneliti meminta untuk menghapalkan beberapa nama, namun dengan
sangat susah Nitnit selalu lupa nama-nama tersebut. Dari kejadian itulah
peneliti tahu kondisi Nitnit mulai dari alasan dia tidak sekolah dan selalu
membantu berkebun untuk dijual di pasar.
Studi kasus 4 dan kondisi Nitnit merupakan salah satu contoh
kasus anak rumput yang tidak mendapatkan hak pendidikannya. Adanya
perbedaan kasih sayang dan perhatian antara anak kandung dan bukan
anak kandung menjadi salah satu penyebabnya. Tanpa adanya
pendidikan yang pasti tentunya dapat berdampak pada pola pikir anak
nantinya ketika dewasa. Dalam konteksnya dengan anak rumput,
pendidikan juga dapat membantu mengurangi fenomena yang sedang
terjadi. Setidaknya anak-anak akan mengerti bahwa perilaku tersebut
tidak baik untuk dilakukan. Karena pada nantinya akan berdampak pada
masyarakat, keluarga dan dirinya sendiri.
4.8. Edukasi Kesehatan Reproduksi : Hubungan Orangtua dan anak
dalam pencegahan HIV/AIDS
Komunikasi dalam pola asih, asuh dan asah orangtua terhadap
anak berperan penting dalam penyampaian pesan terkait pembentukan
nilai perilaku hidup bersih dan sehat kepada anak. Edukasi merupakan
upaya untuk memberikan pemahaman kepada anak untuk memproteksi
anak terhadap kemungkinan penyimpangan norma perilaku terkait
munculnya penyakit-penyakit dalam konteks kehidupan bermasyarakat.

141
Kota Bokondini adalah salah satu ibukota distrik di Tolikara yang telah
terjamah oleh peradaban dan budaya dari masyarakat pendatang.
Kehadiran pendatang ada dalam konteks penyediaan kebutuhan fisik dan
non fisik. Seperti pasar, sanadang pangan dan lainnya.
Pendatang memberikan kebutuhan informasi dan budaya-budaya
baru. Proses akulturasi budaya yang terjadi saat ini pada masyarakat Lani
kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap perilaku masyarakat,
utamanya dalam bidang kesehatan. Setiap budaya baru tentunya akan
membawa kepada sebuah perubahan, baik di masyarakat atau individu.
Perubahan tersebut tentunya dapat membawa kemajuan atau
berkembang suatu daerah atau mungkin sebaliknya.

4.8.1. Fenomena Goyang Oles di Kalangan Anak Remaja


Upaya untuk menurunkan jumlah temuan kasus baru HIV/AIDS di
Bokondini memerlukan pemetaan kontekstual terhadap budaya
berperilaku Etnis Lani, utamanya adalah budaya yang bersentuhan
denganfaktor resiko tinggi penularan HIV/AIDS, yaitu perilaku seks bebas.
Perilaku seks bebas merupakan budaya yang secara umum ada
secara sporadis di Papua. Budaya tersebut ada sejak jaman nenek
moyang. Bentuk dan namanya sangat beragam ada pada etnis - etnis di
Papua.
Budaya Tukar Gelang adalah prosesi mengenal pasangan sebelum
menikah dalam budaya Lani, Pada prosesnya akan diadakan semacam
pesta dengan keramaian orang. Sekelompok laki-laki dan perempuan
memilih pasangan dalam sebuah perayaan. Tradisi ini yang pada saat ini
diplintir oleh sekelompok masyarakat sebagai Tradisi goyang oles. Tradisi
goyang oles diyakini oleh masyarakat sebagai penyimpangan dari Budaya
Tukar gelang. Budaya Tukar gelang bertujuan untuk mencari pasangan
yang setelahnya akan dinikahi, sedangkan tradisi Goyang Oles hanya
untuk mencari kepuasan seks semata.
Berikut merupakan tabel yang menjelaskan tentang pergeseran
budaya Tukar Gelang ke budaya Goyang Oles :

142
Tabel 4.2. Pergeseran Budaya Tukar gelang ke Budaya Goyang Oles

Budaya Tukar Gelang Tradisi Goyang Oles


Tujuan: Untuk Tujuan : Untuk memperoleh kepuasan
mendapatkan pasangan seks
suami atau istri

Dilaksanakan di dalam Dilakukan di lapangan atau halaman


Honai rumah

Musik menggunakan alat Musik menggunakan musik dari VCD


musik petik tradisional
Yosimpancar

Ada sejak jaman nenek Ada sejak tahun 2000 an


moyang

Hubungan seks dilakukan Hubungan seks bisa dilakukan berkali


oleh pasangan muda mudi kali dengan berganti pasangan, dalam 1
yang sudah saling cocok malam bahkan bisa berganti sampai 6
orang yang berbeda

Tidak banyak orang yang Banyak orang yang datang melihat dari
datang melihat bayi, balita, anak remaja hingga dewasa

Sumber : Data Primer

Goyang oles biasa dilakukan pada malam hari. Pada saat itu
peneliti observasi kegiatan tersebut. Mereka sudah mulai
mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan pada pukul 8 malam WIT.
Tempat yang digunakan biasanya adalah tempat umum, seperti pasar,
area bandara atau lapangan. Alat-alat yang digunakan pun cukup mudah.
Mereka hanya menggunakan sound system dengan speaker yang besar
dan dengan diiringi oleh lagu-lagu trance atau house music.

143
Biasanya mereka baru mulai sekitar pukul 10 malam hingga pukul
5 pagi. Remaja-remaja biasanya melakukan goyang oles pada suatu
kondisi tertentu. Seperti acara kelulusan sekolah, pernikahan, kedukaan,
atau sekedar ingin senang-senang saja. Hal ini senada dengan yang
diceritakan oleh Bapak Yul B (umur 46 tahun) bahwa :

“itu mereka seperti itu biar senang-senang saja, biasa juga


waktu-waktu begini, habis lulus sekolah to, baru misal ada
nikah, ada orang duka to, biar tidak lama, bikin pesta biar
senang lagi, tidak sedih begitu, sebenarnya ini bukan tradisi
kita, dia dari Wamena”…, jelas Bapak Yul B

Pelaku goyang oles sangat bervariasi antara pelajar SMP sampai


yang sudah tamat SMP. Peneliti pada saat itu tidak bisa
mendokumentasikan kegiatan tersebut karena kurangnya faktor cahaya
yang tersedia.
Seorang informan menyatakan dengan yakin bahwa remaja
berusia 10-12 tahun ke atas di daerah Tolikara pasti sudah pernah
melakukan hubungan seks dengan pasangannya. Alasan yang mendorong
mereka untuk melakukan hubungan seks pra nikah adalah karena
terpengaruh oleh acara goyang oles yang pernah mereka ikuti atau
mereka sekedar tonton dan juga adanya pengaruh melihat video porno di
laptop dan di HP atau mendengar cerita teman atau saudara.

….“tahun 2000 ke atas, umur 10 tahun ke atas secara rahasia


biasanya anak anak SMP kalau su mau sama mau, biasanya
mereka tahu dari HP atau dengar cerita teman atau
kakak”…., jelas (Lekis Pagawak, ODHA, 35 tahun)
….“Umur 12 tahun dan SMP itu pasti su pernah hubungan
seks biasanya sama cowoknya”…, jelas (Mariana Pagawak,
ODHA, 29 tahun)

4.8.2. Legalitas Kawin Cerai di Etnis Lani


Fenomena perilaku seks bebas pada etnis Lani tidak hanya
dijumpai pada remaja pra nikah, tetapi juga ditemui terjadi pada

144
pasangan yang sudah menikah. Budaya berganti pasangan dan kawin
cerai didukung dengan begitu mudahnya adat dan klasis menetapkan
aturan pernikahan. Legalitas menikah secara adat tidak diperkuat oleh
dokumen apapun yang dapat mengikat hak dan kewajiban pasangan
suami istri secara hukum negara. Hukum adat hanya mengatur
pembayaran mas kawin yang harus dibayarkan oleh keluarga laki laki
kepada keluarga perempuan agar supaya seorang laki-laki mempunyai
hak sepenuhnya terhadap seorang wanita. Demikian pula halnya dengan
legalitas perceraian. Hukum adat hanya mengatur pengembalian mas
kawin yang harus dibayarkan keluarga suami kepada keluarga istri
apabila istri menggugat cerai.

4.8.3. Peran orangtua pada penyampaian info kespro pada remaja putri
Orangtua seharusnya bisa memegang peranan kunci terkait
pengenalan kesehatan reproduksi pada anak remaja baik putra maupun
putri. Beberapa informan mengaku tidak pernah membicarakan tentang
peristiwa menstruasi dan konsekuensi perubahan yang akan dihadapi
oleh seorang remaja putri yang telah mendapatkan menstruasi. Mereka
berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah hal yang harus diberitahukan
orang tua kepada anak perempuannya. Hal tersebut adalah hal alamiah
yang lambat laun akan dihadapi oleh semua perempuan. Informasi
tentang menstruasi dan fungsi alat reproduksi, hubungan seks dan
kehamilan akan mereka ketahui sendiri melalui informasi sesama teman.
Sehingga ibu tidak perlu lagi memberitahukannya pada anak
perempuannya.
“mereka pasti su tau dari teman-teman apa itu men, cepat
atau lambat pasti mereka akan mengalami to, Nenek moyang
kami tidak pernah memberitahukan kepada nona-nona
tentang men. Nona nona jaman dahulu bahkan tidak tahu
bahwa mereka akan men dan bisa hamil bila berhubungan
dengan pria, dong tidak tahu apa itu kawin, ada bahkan
harus dipaksa untuk kawin sampai menangis”…, jelas Mama
Sir Ko (42 tahun)

145
Pada beberapa informan ditemukan bahwa anak perempuan
mereka mengalami reaksi kaget dan panik ketika mendapati dirinya
mendapatkan menstruasi untuk pertamakalinya. Ada yang mengurung
diri dan ada yang berusaha menyembunyikan atau membuang bekas
darah menstruasinya karena takut dan menganggap darah menstruasnya
sebagai tanda akan adanya penyakit berbahaya yang mereka derita.

“sa herankan kenapa nona berdiam murung seharian


didalam kamar tidak keluar keluar, baru itu dia ada buang
kain dan celana dia pu darah dari jendela kamar, baru sa tahu
nona su dapat men, sa bilang itu wajar saja bukan penyakit
yang harus ditakutkan....”

4.8.4. Peran orangtua pada penyampaian info kepada anak tentang


perilaku seks
Adanya pergeseran perilaku seks saat ini, kalau dulu perempuan
Lani begitu takutnya untuk menikah, bahkan beberapa harus dipaksa
agar mau bersetubuh dengan suaminya. Namun sekarang para pemuda
dan pemudi malh tidak mengindahkan larangan gereja untuk tidak
melakukan seks bebas di usia muda

...”anak-anak kami itu cantik-cantik, pandai-pandai tetapi


akhirnya mati juga karena kawin di luar jalan, sudah kami
kasih tahu...tapi mereka pikir kawin di mulut (oral sex) tidak
buat mereka sakit (HIV/AIDS)...ah..tetap saja mereka
menyusul teman-temannya berbaris di bandara (kuburan
dekat bandara.pen)”

Banyak kasus kematian terjadi akibat perilaku seks bebas,


larangan dari klasis dan gereja pun telah diberikan, penyuluhan
kesehatanpun telah dilakukan gencar oleh Puskesmas dan LSM lokal
maupun NGO akan tetapi pelanggaran terhadap norma ini masih saja
terjadi.
….“sebelum kita dengar tentang HIV itu bebas, lalu kita
dengar informasi dari Puskesmas tentang HIV...kalau kita su

146
punya istri, pergi ke tempat goyang, baku naik disana, pasti
nanti saya kasih penyakit ke istri..yang belum kawin, kita su
dengar dari kesehatan tentang HIV, kalau dia punya rasa
takut, dia menghindar...kalau sudah nekat bisa hantam saja”
…”sebenarnya (di) agama kristen dilarang, tapi karena sudah
jadi kebiasaan, tapi ini sudah kemauan keras anak muda
punya ingin, pihak gereja su larang, dimana tempat jauh dari
gereja mereka buat agar gereja tidak larang”

Selama observasi kami mendapati bahwa Tradisi Goyang Oles


diadakan 3 kali diwilayah Kota bokondini, di daerah PKT oleh anak anak
SMA sebagai ungkapan suka cita kelulusan mereka, kemudian dilanjutkan
dengan acara yang sama selang 3 hari kemudian bertempat di pasar Kota,
Beberapa hari kemudian dilakukan didaerah sekitar pusat Klasis Bogoga.

Studi kasus 5
Pola Asih : Antara pembentukan norma dan overprotektif

Wepek (37 tahun) mempunyai anak gadis yang sudah duduk


di bangku SMA. Suami Wepek bekerja di kabupaten tetangga
yang jaraknya tidak memungkinkan untuk bisa pulang setiap
saat. Oleh karena itu Wepek merasa bertanggung jawab
terhadap kebaikan buah hatinya, termasuk pada anak
gadisnya yg telah berusia 18 tahun. Wepek memberikan
sejumlah larangan untuk keluar rumah melebihi area tertentu.
Menurutnya bila anak gadisnya keluar bersama temannya,
maka akan ada pengaruh negatif dari teman dan bisa
meyebabkan kehamilan akibat pergaulan bebas. “sudah
banyak contohnya di sini yang hamil sebelum menikah, Dia
harus selesaikan dulu sekolah baru boleh menikah dan punya
anak”.

Kisah di atas merupakan sebuah kisah nyata dari seorang Ibu


tangga yang bernama Wepek (37 tahun). Aku seorang ibu rumah tangga
biasa. Sehari-hari aku sudah terbiasa dengan mengurus rumah, merawat
anak, mengurus kebun dan babi.

147
Bagiku, Bokondini adalah rumah yang selalu memberikan rasa
aman dan nyaman. Alam pegunungan tengah adalah halaman tempat
anak anak kami bermain. Mata air dan tanahnya yang subur selalu
memberikan apa yang kami butuhkan. Sayuran segar, Nanas terbaik,
Erom dan Kasbi yang melimpah sepanjang musim.
Banyak sekali anak remaja di daerahku yang terbiasa dengan
pergaulan bebas. Hubungan seks dengan lawan jenis bahkan bukanlah
hal yang aneh dilakukan oleh remaja usia 11-12 tahun. Entah mereka
tahu darimana, siapa yang memberi contoh, dimana dan kapan mereka
berencana melakukan hubungan itu. Yang pasti, aku tidak mau anak-
anakku menjadi seperti itu. Mereka harus bisa bersekolah dengan baik.
Mereka harus mendapatkan pendidikan terbaik dan pekerjaan yang baik.
Baru setelah itu mereka akan mendapatkan uang untuk memenuhi
kebutuhannya.
Untuk memastikan anak-anakku tidak berbuat seperti yang
dilakukan oleh teman-temannya tersebut, aku selalu memberikan aturan
aturan yang harus mereka patuhi. Aku melarang anak gadis 18 tahun ku
untuk pergi tanpa dampingan orangtua melebihi garis batas desa.
Mereka harus ditemani oleh teman mereka yang selama ini mempunyai
perilaku yang baik dan santun. Aku tidak mau anak gadisku hamil diluar
pernikahan. Dia harus menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan kuliah
ke kota. Dia harus bisa mencapai apa yang dicitacitakannya. Setelah itu
baru dia boleh menikah dan mempunyai anak.
Aku juga melarang teman teman Bac (10 tahun) yang sudah
merokok untuk masuk ke dalam rumah. Aku ingin Bac tahu bawa
mamanya tidak suka dengan anak kecil yang sudah mulai merokok.
Mereka boleh merokok kalau mereka sudah mempunyai penghasilan
sendiri.
Berbagai studi menemukan adanya hubungan antara sikap
orangtua dengan tindakan orang tua dalam pemerian pendidikan seks
pada anak remajanya (Anugeraheni, dkk, 2012). Selain itu terdapat 64,9
% faktor lain yang mempengaruhi perilaku seks bebas, diluar faktor
pengetahuan seksualitas dan kualitas komunikasi orang tua dan anak

148
(Mertia, dkk, 2011). Pembiaran terhadap paparan goyang oles sejak dini
mungkin merupakan salah satu dari faktor tersebut
Klasis, gereja dan Lembaga masyarakat adat (LMA) yang selama
ini memiliki potensi sebagai penegak aturan dalam sosiobudaya Etnis Lani
belum bisa memberikan keterikatan masyarakatnya terhadap sebuah
aturan, Sebuah tantangan bagi lembaga ini untuk bisamemberikan sanksi
tegas yang bisa diberikan secara nyata dalam jangka pendek selain
hukuman dari Tuhan.

4.9. Potensi dan Tantangan


Penguatan terhadap peran orangtua dalam peningkatan kualitas
pola asuh sangat diperlukan, terutama pada pembentukan karakter dan
norma dalam upaya penurunan angka kesakitan dan angka kematian
pada HIV/AIDS. Diperlukan pemetaan terhadap seluruh potensi dan
pengenalan terhadap tantangan untuk dapat memberikan rekomendasi
optimal yang berdaya ungkit terhadap pemecahan masalah di Wilayah
Bokondini secara khusus dan Kabupaten Tolikara pada umumnya.

4.9.1. Potensi strategis dalam pemecahan masalah


Pengenalan yang cermat terhadap potensi memudahkan
stakeholder untuk menentukan rekomendasi yang efisien dan efektif
yang secara lokal spesifik akan dapat memberikan pemecahan masalah.

4.9.1.1. Karakter masyarakat Lani yang dinamis


Masyarakat Lani secara umum mempunyai karakteristik dinamis,
mereka dapat bergerak dengan cepat dalam suatu perubahan apabila
tujuan yang dijanjikan dalam suatu proses dapat memberikan manfaat
secara nyata kepada mereka. Apabila suatu program dapat menyentuh
kesadaran mereka terhadap manfaat nyata yang akan mereka terima,
maka masyarakat akan antusias menerima dan mengadopsi program
atau perubahan yang ditawarkan.

149
4.9.1.2. Adanya struktur sosial yang berperan dalam menjaga norma
Keberadaan Klasis dan LMA dalam masyarakat Bokondini
mencerminkan adanya kebutuhan masyarakat Lani terhadap pedoman
perilaku dalam tatanan kehidupan agamis dan kemasyarakatan. Klasis
dan LMA secara sinergis mampu memberikan batasan dalam menjaga
norma norma yang ada.

4.9.1.3. Adanya Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan


Puskesmas Bokondini adalah Puskesmas percontohan yang selalu
mengedepankan inovasi baru dalam rangka peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Dengan segala keterbatasan yang ada, perbaikan
program dan pelayanan kesehatan selalu dikedepankan dalam rangka
menyediakan kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang
berkualitas.

4.9.1.4. Adanya LSM dan NGO dalam berbagai program kesehatan


Keberadaan LSM dan NGO di Papua tentulah bukan hal yang
baru. Sepak terjang mereka selama ini, khususnya di bidang kesehatan
harus diakui banyak memberikan pemenuhan kesenjangan kebutuhan
pelayanan kesehatan di Papua. Menggandeng LSM dan NGO dalam
rekomendasi perbaikan kebijakan sangat patut dipertimbangkan.

4.9.1.5. Adanya lembaga pendidikan dengan kepedulian terhadap


pembentukan karakter anak
Selain lembaga pendidikan negeri seperti SD, SMP dan SMA, ada
pula lembaga pendidikan swasta yang memakai kurikulum internasional.
Keberadaan lembaga pendidikan ini merupakan potensi dalam
pembentukan karakter anak yang lebih kuat.

4.9.1.6. Adanya kader yang sangat peduli dengan derajat kesehatan


masyarakat yang lebih baik
Kader kesehatan yang ada di Wilayah Bokondini terdiri dari 2
jenis, yaitu kader kesehatan dibawah koordinasi Puskesmas yang

150
membantu Puskesmas dalam pelaksanaan program kerja dan pelayanan
kesehatan. Yang kedua, yaitu kader kesehatan binaan LSM, yang terdiri
dari kader kader yang peduli terhadap kesehatan masyarakat Bokondini
khususnya.

4.9.2. Tantangan yang dihadapi dalam pemecahan masalah


Identifikasi yang baik terhadap tantangan memungkinkan
stakeholder untuk menyusun rekomendasi yang dapat menjembatani
berbagai kepentingan dan memberikan banyak manfaat kepada
masyarakat

4.9.2.1. Tradisi Goyang oles sebagai alternatif hiburan masyarakat


Adanya anggapan bahwa tradisi goyang oles, lepas dari
kontribusinya terhadap perilaku seks bebas di Bokondini, musik dan
keramaian yang menyertai prosesi ini adalah salah satu hiburan yang bisa
dinikmati oleh masyarakat yang tinggal jauh dari hingar bingar hiburan
kota. Sehingga hampir di setiap perhelatannya, tradisi goyang oles
mampu menjadi magnet daya tarik semua kalangan umur di komunitas
Lani untuk datang dan menyaksikan. Fenomena ini adalah sebuah
tantangan yang harus bisa disikapi secara oportunistik, yaitu sebagai
media komunikasi masyarakat di Bokondini Kabupaten Tolikara yang bisa
dimanfaatkan untuk memberikan informasi kesehatan. Seperti halnya
pemasangan iklan pemakaian kondom sebagai pengaman terhadap
HIV/AIDS yang diselipkan dalam Liga pertandingan Rugbi di Papaua New
Guinea. Terobosan tersebut walaupun mendapatkan kritikan dari gereja
kristen tetap mempunyai dampak positif terhadap gerakan sadar kondom
di PNG (Wide, 2007)

4.9.2.2. Kepedulian yang kurang nyata dari orang tua terhadap


pendidikan seks dan kesehatan reproduksi pada anak
Keseharian orangtua di Lani lebih banyak dihabiskan untuk
pemenuhan kebutuhan fisik, Tidak semua orangtua mempunyai
kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan non fisik anak-anak mereka.

151
Terutama dalam menjembatani kebutuhan anak anak akan informasi
yang baik tentang kesehatan reproduksi serta pembentukan karakter dan
norma terhadap pencegahan HIV/AIDS. Persepsi terhadap pendidikan
seks yang baik harus diungkapkan melalui riset-riset di kemudian hari.
Pendekatan terhadap persepsi nilai anak dan pendidikan seks akan
memberikan arahan terhadap program intervensi kesehatan, terutama
dalam kapasitas.ggugah kepedulian orang tua untuk memberikan ola
asuh yang baik .

4.9.2.3. Persebaran geografis dan kontur wilayah pegunungan


Salah satu tantangan utama dari pelaksanaan program kesehatan
di pegunungan tengah Papua adalah luas wilayah dan kontur
pegunungan yang menyebabkan akses pelayanan kesehatan tidak
maksimal. Pembangunan infrastruktur yang terhambat akibat
perkembangan otonomi khusus yang tidak terarah merupakan salah satu
yang harus terus menerus diserukan kepada stakeholder. Tantangan
program adalah bagaimana menemukan potensi dengan segala sumber
daya yang mungkin bisa dimanfaatkan. Mendatangkan sumber daya dari
luar daerah akan menelan banyak biaya. Infrastruktur moda darat belum
bisa menjangkau perifer perekonomian masyarakat di pelosok
pegunungan tengah Papua
4.9.2.4. Kebijakan yang kurang mendukung dalam penurunan angka
HIV/AIDS
Hubungan yang baik antara Pemerintah Kabupaten Tolikara dengan
SKPD multisektor dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang
berakselerasi dalam mendukung program-program peningkatan kesehatan
masyarakat. Secara berkelanjutan hal ini dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan Pemerintah daerah dan mendorong
kepada munculnya dukungan masyarakat terhadap program-program
peningkatan kesehatan masyarakat. Beragam stigma yang muncul di
masyrakat Papua memberikan pengaruh terhadap munculnya kebijakan
kebijakan di tingkat mikro yang kurang mendukung terhadap pencapaian
penurunan angka HIV/AIDS. Keengganan akan predikat atau citra buruk

152
sebagai wilayah dengan prevalensi HIV /AIDS yang tinggi seharusnya bukan
alasan untuk pemerintah di daerah untuk menggalakkan program -program
terobosan guna meningkatkan deteksi dini HIV/AIDS, penelolaan
manajemen PMO, Penggalangan conselor HIV/AIDS dari kader dan
terobosan unggulan di bidang promotif dan preventif lainnya.

153
Bab 5
Kesimpulan dan Rekomendasi

Nilai anak dalam Etnis Lani membentuk struktur sosial yang


menempatkan anak perempuan sebagai modal utama dalam keluarga.
Secara umum masyarakat Etnis Lani memaknai kehadiran anak-anak
mereka sebagai bentuk kepatuhan terhadap ajaran Injil.
“Berkembangbiaklah dan penuhi muka bumi ini” demikian perintah Allah
dalam Injil.
Konteks politik dan tingginya angka kematian OAP (orang asli
Papua) turut menghangatkan isu yang makin merebak. Yaitu isu tentang
kematian HIV/AIDS dan senjata genoside hasil konspirasi politik
Pemerintah Indonesia untuk menumpas OAP. Multifaktor inilah yang
merangkai kompleksitas gagalnya program KB di Kabupaten Tolikara.
Adanya tuntutan melahirkan anak yang banyak tidak disertai
upaya pemeliharaan kesehatan masyarakat yang baik menimbulkan
tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi/Balita. Studi di
beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kendati seluruh
komponen indikator Pelayanan KIA telah meningkat namun AKI dan AKB
justru mengalami peningkatan signifikan (Profil Kemenkes RI,2013).
Tingginya angka penyakit menular, kondisi geografis dan
keterbatasan akses pelayanan tidak disikapi dengan pembentukan Pola
asuh yang baik terhadap anak-anak Etnis Lani. Sementara program-
program yang ditawarkan selama ini belum menyentuh aspek pentingnya
pendidikan terkait pola asuh orangtua terhadap anak.
Potret Pola asuh Anak Lani
Secara umum ruang lingkup pola asuh di Etnis Lani belum
menerapkan asuhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan baik.
Tingginya arus informasi media dan perubahan gaya hidup dan
pergeseran komposisi makanan tidak diimbangi dengan pengetahuan
tentang bagaimana menjaga kesehatan anak.

154
Tingginya angka morbiditas Dispepsia pada anak usia sekolah,
Caries gigi dan tingginya angka stunting pada balita di Bokondini
mencerminkan adanya permasalahan pada asupan gizi dan pola makan
anak. Perawatan kebersihan gigi belum menjadi perilaku keseharian pada
masyarakat Etnis Lani.

Pola Asah Anak Lani : Berdamai dengan Alam pegunungan Papua


Pembiasaan anak untuk beradaptasi dengan kondisi geografis
alam pegunungan tengah Papua dilakukan sejak anak usia Dini.
Pengenalan kondisi wilayah dan pembiasaan penggunaan benda tajam
merupakan contoh pembiasaaan anak terhadap kondisi alam tempat
mereka bergantung hidup dimasa yang akan datang. Anak Lani terbiasa
berjalan tanpa alas kaki sebagai bagian dari proses daptasi terhadap
kontur alam pegunungan.

Dukungan Noken : Simbol Pola Asih Mama di Lani


Penggunaan noken untuk membawa bayi dan balita dalam
aktivitas harian di Etnis Lani juga ada pada etnis lain di pegunungan
tengah Papua
Kasih orangtua masih berada pada tataran kasih secara fisik.
Dalam hal ini orangtua juga harus melakukan pendekatan secara
emosional pada anak tersebut. Hal tersebut dimaksudkan agar anak pada
nantinya dapat berkembang dengan baik dan seimbang antara
kebutuhan fisik dan emosional. Pemenuhan kebutuhan tentang
kesehatan reproduksi yang baik seharusnya mampu berkontribusi
terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS pada remaja di Bokondini.

Rekomendasi untuk Anak Negeri


1. Pengayaan masyarakat terhadap materi pola asuh yang baik
diperlukan dalam upaya membentuk perilaku hidup bersih dan sehat
sejak dini. Hal ini dapat dilakukan secara terintegrasi dengan
melibatkan seluruh komponen masyarakat.

155
a. Klasis melalui jemaat dan kader gereja dapat memberikan pesan
pesan kesehatan terkait pola asuh yang baik. Pembentukan kader
kesehatan gereja harusnya bisa berkontribusi terhadap peningkatan
kesadaran masyarakat untuk mulai menata pola asuh yang baik bagi
anak-anak Lani.
b. Masyarakat dan Lembaga adat dapat menerapkan aturan denda
adat kepada masyarakat yang tidak menerapkan pola asuh yang baik
kepada anak-anak Lani. Misalnya : Penetapan aturan denda adat
bagi orang tua yang membiarkan anak di bawah umur untuk
menonton Goyang Oles
c. Lembaga pendidikan harus senantiasa memberikan contoh PHBS
pada anak usia sekolah. Misalnya dengan menjadwalkan gosok gigi
bersama setiap minggu.

2. Penguatan hubungan Pemerintah Kabupaten dengan Dinas Kesehatan


dan SKPD lainnya diharapkan dapat memberikan arah terhadap
kebijakan pembangunan kesehatan masyarakat di semua wilayah.
a. Koordinasi yang baik secara hirarkikal pada institusi layanan
kesehatan dan Pemerintah Kabupaten Tolikara diharapkan dapat
menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
secara berkesinambungan. Misalnya dengan perencanaan logistik
dan koordinasi yang baik diharapkan tidak ada lagi kelangkaan obat
dan bahan habis pakai lain di tingkat distrik.
b. Kebijakan yang diambil dengan mempertimbangkan potensi dan
karakteristik wilayah sasaran diharapkan dapat mempermudah
implementasi program-program kesehatan. Misalnya dengan
mempertimbangkan potensi kader kesehatan yang sangat aktif di
Bokondini akan memberikan dampak terhadap status kesehatan
balita yang lebih baik. Ketrampilan kader dalam mengolah hasil
pertanian Bokondini menjdi makanan yang sehat dan bergizi
diharapkan mampu memicu pergerakan serupa di distrik lainnya.
c. Perlunya dukungan lintas sektor guna sebesar besarnya
pemanfaatan sumber daya lokal sebagai sumber asupan gizi sehat

156
seimbang bagi masyarakat. Misalnya dengan melipbatkan
pendanaan pihak ketiga dan sumber pendanaan lain agar program
peningkatan gizi tidak berjalan sendiri sendiri, akan tetapi dapat
bersinergi dengan baik dengan hasil sesuai dengan rencana capaian.

157
Daftar Pustaka

Anindita AR
(2013), Studi Kasus tentang Pola Berpikir Tradisional pada
Pasangan Suami Istri Yang Tidak Mengikuti Keluarga Berencana. Artikel
Penelitian
Arora A, Bedros D Bhole S, Eastwood J, Moody G
(2012), A Qualitative Evaluation of The Views of Childhood Oral
Health education Materials in New South Wales Australia. Health
Promotion Journal Australia 2012;23:112-6
Butt L
(2013), Local Biologies and HIV/AIDS in Highland Papua Indonesia.
Cultural Medicine Psychiatry 2013;37:179-194
(2005), “Lipstic Girls” and “Fallen women” : AIDS and
Conspiratorial Thinking in Papua,Indonesia. Cultural Anthropology;Aug
2005;20.3;Proqest. Pg.412
Carrier James G
(2005), A Handbook of Economic Anthropology. USA: Edward
Elgar
Casey C and Edgerton Robert B
(2007), A Companion to Psychological Anthropology: Modernity
and Psychocultural Change. Australia: Blackwell Publishing
De Onis M, Blossner M, Borghi E
(2011), Prevalence and Trend of Stunting Among Pre School
Children 1990-2020. Public Health Nutrition:15(1)142-148
Diana FM
(2006), Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Batita di
Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2004.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. September 2006 I(1)
Dundon A
(2007), Warrior Women, The Holy Spirit and HIV/AIDS in Rural
Papua New Guinea. Oceania. Maret 2007;77.1:Proquest. Pg.29

158
Foster GM dan Anderson BG
(1986), Antropologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia
Giyai A
(2012), Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua..
Bercermin pada Fakta RSUD Abepura. Papua Pustaka Raya
Gordon NH, Halileh S
(2013), An Analysis of Cross Sectional Survey Data of Stunting
Among Palestinian Children Less Than Five Years of Age. Maternal Child
Health Journal 2013.17:1288-1296
Gregson K
(2011), “There’s No Stigma Here” : The Complexity of Stigma
Among Healthcare Providers in Wamena, Papua. Theses. University of
Victoria
Janet G, Angela KH, Claire ER, Matthew D, Petronia K
(2015), Factors Influencing Antiretroviral Adherence and
Virological Outcomes in People Living with HIV in The Highlands of Papua
New Guinea. PlosOne10.8(Aug2015)
Kementerian Kesehatan RI
(2013), Profil kementerian Kesehatan 2012.Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI
Koentjaraningrat
(2009), Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi 2009. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Maas LT
(2004), Kesehatan Ibu dan Anak : Persepsi Budaya dan Dampak
Kesehatannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeritas Sumatera
Utara
Mayo M
(2000), Cultures, Communities, Identities: Cultural Strategies for
Participation and Empowerment. UK: Palgrave Macmillan
Merrynce dan Hidir A
(2013), Efektivitas Pelaksanaan Program Keluarga Berencana.
Jurnal Kebijakan Publik Vol 4, Nomor 1, Maret 2013. Hal 1-118.

159
Nursal D
(2008), Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual
Murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Maret-September 2001 II(2)
Pangau-Adam M, Noske R, Muehlenberg M
(2012), Wildmeat or Bushmeat? Subsistence Hunting and
Commercial Harvesting in Papua (west New Guina) Indonesia. Human
Ecology 40.4 (Aug 2012):611-621
Prendergast AJ, Rukobo S, Chasekwa B, Mutasa K, Ntozini R, Mbuyu MN,
Jones A, Mouton L, Stollzfus RJ, Humprey JH
(2014), Stunting is Characterized by Chronic Inflamation in
Zimbabwean Infants. PlosOne February 2014 Vol 9 Issue 2 ie86928
Senn N, Maraga S, Sie A, Rogerson SJ, Reeder JC, Siba P, Mueller I
(2013), Population Hemoglobin Mean and Anemia Prevalence in
Papua New Guinea: New Metric for Defining Malaria Endemicity
Soejoeti S.,
Konsep Sehat Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya.
Depkers RI, Jakarta.
Sugiarti E
(2007), Marginalisasi Wanita Madura : Implikasi program Keluarga
Berencana diDesa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains). Mozaik, Jurnal
Ilmu Humaniora. Vol 2 No2 Juli-Desember 2007
UNESCO
(1955), The Positive Contribution by Immigrants. Paris
Wide C
(2007), “Turning Sex into a Game” : Gogodala Men’s Response to
The AIDS Epidemic and Condom Promotion in Rural Papua New Guinea.
Oceania, Maret 2007: 77.1 Proquest. Pg 58
Winkelman M
(2009), Culture and Health: Applying Medical Anthropology. San
Fransisco: Jossey-Bass
WHO

160
(2012), Early Marriage, Adolescent an Young Pregnancies for The
Sixty Fifth World Health Assembly. WHO.Geneva
Zibel, Scott M
(2001), Only by Air : The Effect of Mission Aviation. Proquest
Dissertations and Theses 2001

161

Anda mungkin juga menyukai