Anda di halaman 1dari 158

DETEKSI DINI

POTENSI KENAKALAN REMAJA


(JUVENILE DELINQUENCY)
DAN SOLUSI
“Save Remaja Milenial”

Dr. Tri Anjaswarni, S.Kp. M.Kep.


Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)
Dr. Sri Widati, S.Sos, M.Si.
Dr. Ah. Yusuf, S.Kp. M.Kes.
DETEKSI DINI POTENSI KENAKALAN REMAJA
(JUVENILE DELINQUENCY) DAN SOLUSI
“Save Remaja Milenial”

Penulis : Dr. Tri Anjaswarni, S.Kp. M.Kep.


Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)
Dr. Sri Widati, S.Sos, M.Si.
Dr. Ah. Yusuf, S.Kp. M.Kes.

© 2019

Diterbitkan Oleh:

Cetakan Pertama, Agustus 2019


Ukuran/ Jumlah hal: 15,5x23 cm / 158 hlm
Layout : Wisnu
Cover: Wisnu

ISBN :
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dilarang keras
menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan


petunjuk-Nya, Buku Deteksi Dini Potensi kenakalan remaja
(Juvenile Delinquency) Dan Solusi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Buku ini membahas tentang faktor prediktor
yang digunakan untuk mendeteksi dan memprediksi potensi
Juvenile Delinquency. Buku ini dilengkapi dengan tool aplikasi
untuk melakukan deteksi dini potensi Juvenile Delinquency
dan manual penggunaannya.
Terima kasih dan penghargaan secara khusus kepada
kedua orang tua (almarhum) yang senantiasa menjadi
inspirasitor dalam perjuangan hidup saya. Mertua, Suami
tercinta Bpk Harsono dan ananda tercinta Aidah Amaliah Azhar
yang selalu memanjatkan doa, setia, sabar dan penyemangat
serta penuh pengorbanan dalam memberi dukungan.
Saudara-saudaraku yang selalu menjadi pendukung, penguat
dan penyemangat dalam setiap langkahku.
Terima kasih tak terhingga dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada yang terhormat Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs
(Hons), Dr. Sri Widati, S.Sos. M.Si. dan Dr. Ah. Yusuf, S.Kp.
M.Kes. yang senantiasa memberikan motivasi dan masukan
yang berharga untuk selesainya buku ini.

iii
Penghargaan dan ucapan terima kasih tak terhingga
kepada yang terhormat Kepala Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDMK)
Kementerian Kesehatan RI, yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk selalu berkarya dan
memfasilitasi studi lanjut sampai selesainya pendidikan
Doktor pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga.
Ucapan terimakasih yang tulus dan setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. M. Nasih, SE, MT., Ak. CMA, selaku Rektor
Universitas Airlangga Surabaya.
2. Budi Susatia, S.Kp. M.Kep. selaku Direktur Politeknik
Kesehatan Kemenkes RI Malang.
3. Prof. Dr. Tri Martina, dr., MS selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Dr. Santi Martini, dr., M.Kes. selaku
Wakil Dekan I, Dr. Thini Nurul Rochman, Dra. Ec., M.Kes
selaku Wakil Dekan II dan Dr. Ira Nurmala, SKM, MPH.,
Ph.D selaku Wakil Dekan III.
4. Dr. Nyoman Anita Damayanti, drg., M.S., selaku
Koordinator Program Studi S3 Kesehatan Masyarakat
yang selalu memberikan arahan dan motivasi.
5. Prof. Kuntoro, dr., MPH, Dr. PH, Dr. Rahmat Hargono, dr.
M.Kes., Dr. Shrimarti Rukmini Devy, Dra. M.Kes., Dr. Ahsan,
S.Kp. M.Kes., Dr. Esti Yunitasari, S.Kp. M.Kes. dan Dr. Sri
Utami, S.Kp. M.Kes. yang banyak memberikan masukan
yang berarti

iv
6. Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur, Kepala
Cabang Dinas Pendidikan Kota Malang, Batu dan
Kabupaten Malang, serta Kepala Dinas Pendidikan Kota
Malang yang telah memberikan ijin melakukan penelitian
di SMA, SMK dan SMP di Kota Malang untuk menemukan
faktor prediktor terjadinya juvenile delinquency.
7. Kepala Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Propinsi Jawa Timur dan Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Kota
Blitar yang telah memberikan ijin melakukan penelitian
untuk menemukan faktor prediktor terjadinya juvenile
delinquency.
8. Kepala SMP Negeri 4, SMP Negeri 11, SMP Negeri 20, SMP
Laboratorium, SMP Kartika IV-8, dan SMP Katolik Kolese
Santo Yusuf I Kota Malang serta guru-guru Bimbingan
Konseling dan penanggung jawab kesiswaan yang telah
memberikan ijin dan memfasilitasi untuk pengambilan
data.
9. Kepala SMP Negeri 5, SMP Negeri 7, SMP Negeri 24, SMP
Kartika IV-9, SMP Taman Siswa, SMP Islam Al-Amin, SMP
Islam, SMP Ma’Arif, SMP Muhamdyah 1, SMP Katolik
Santha Maria 2, SMP Kristen Aletheia, Kepala SMA Negeri
1, SMA Negeri 10, SMK Negeri 4, SMK Negeri 10, SMA
Panjura, SMK Grafika Karya Nasional, SMK YP 17-1, SMK
Pekerjaan Umum, SMK Muhamadyah 1, SMA Advent
Dwi Abdi Kota Malang, serta guru-guru Bimbingan
Konseling dan penanggung jawab kesiswaan yang telah
memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian.

v
10. Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK)
SMP Kota Malang (Tini Yunarita, S.Pd.), Ketua MGBK SMA
Kota Malang (Dra Tina Suprapti), dan Ketua MGBK SMK
Kota Malang (Dra. Kusrini Tri Wahyuni), serta perwakilan
guru-guru BK Kota Malang yang telah memfasilitasi dan
teribat dalam kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD).
11. Bpk Suyanto, S.Psi (Psikolog), Ibu Ida Nur Indriani, M.Psi
(Psikolog), dan Bpk Anang Nur Wiyono, S.Kp. M.Kep. Sp.
Jiwa, sebagai pakar yang terlibat dalam diskusi pakar dan
memberikan masukan berdasarkan pengalaman klinis,
serta membantu membuat keputusan yang relevan.
12. Dr. Achmad Zakaria, SKM, M.Kes dan Tim Teknologi dan
Informasi(TI) mas Achmad Riski Ramadhani, mas Adi
Maulana Rifa’i, dkk yang terlibat diskusi secara intensif
dan membantu mengembangkan tool aplikasi berbasis
web.
13. Kepala SMP Negeri 6, SMP Kartika IV-9, SMP Kristen
Aletheia, SMP Muhamadiyah 1, SMA Negeri 4, SMA Panjura,
SMA Katolik Frateran, SMK 4, dan SMK Muhamadiyah 1
yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi untuk uji
coba tool aplikasi deteksi dini kenakalan remaja.
14. Para sahabat (S3) program Doktor Kesehatan Masyarakat,
yang senantiasa saling memberikan dukungan dan
motivasi untuk “Berani Lulus Bareng” dan semua pihak
yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga buku ini bermanfaat dan dapat memberikan
sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dan praktik khususnya

vi
di bidang kesehatan dan keperawatan jiwa remaja. Kritik
dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan. Semoga
Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua. Amin.

Surabaya, Oktober 2019

Penulis

vii
DAFTAR ISI

COVER LUAR..............................................................
COVER DALAM.......................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................. viii
DAFTAR TABEL........................................................... xi
DAFTAR GAMBAR..................................................... xii
BAB 1 FENOMENA REMAJA SAAT INI.................... 1

BAB 2 REMAJA DAN PERMASALAHANNYA.......... 9


2.1 Remaja................................................................................ 9
2.2 Perkembangan Anak - Remaja.................................. 12
2.3 Respon Maladaptasi dan Gangguan Perilaku
Remaja ............................................................................... 18
2.4 Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency)........... 20
2.5 Proses Terjadinya Juvenile Delinquency................ 39
2.6 Multilevel Theory of Behavior Change:
Social-ecological Framework..................................... 42

BAB 3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


KENAKALAN REMAJA (JUVENILE
DELINQUENCY)......................................................... 51
3.1 Faktor Individu................................................................ 51
3.2 Faktor Mekanisme Koping.......................................... 63

viii
3.3 Faktor Keluarga............................................................... 67
3.4 Faktor Lingkungan Sekolah........................................ 75
3.5 Faktor Teman Sebaya.................................................... 76
3.6 Faktor Gaya Hidup......................................................... 79
3.7 Faktor Teknologi............................................................. 81

BAB 4 PENCEGAHAN JUVENILE DELINQUENCY... 85


4.1 Teori Pencegahan........................................................... 85
4.2 Upaya Pencegahan Juvenile Delinquency............. 92
4.3 Interprofesional Penanganan Anak-remaja
Delinkuen.......................................................................... 97

BAB 5 STRATEGI PENANGANAN MASALAH


ANAK BERFOKUS PADA DIRI ANAK DI
BERBAGAI SETTING.................................................. 99
5.1 Fokus pada Individu Anak.......................................... 102
5.2 Setting Lingkungan Keluarga.................................... 103
5.3 Setting Lingkungan Teman Sebaya......................... 103
5.4 Setting Lingkungan Sekolah...................................... 103

BAB 6 DETEKSI DINI KENAKALAN REMAJA


SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN............................... 105
6.1 Pengertian Deteksi Dini Kenakalan Remaja......... 105
6.2 Peran Teknologi dalam Bidang Kesehatan........... 107
6.3 Pengembangan Tool Aplikasi.................................... 110
6.4 Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni - Health of Millenial
Score”.................................................................................. 124

ix
Bab 7 Implementasi Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni
- Health of Millenial Score”..................................... 129
7.1 Hasil Penerapan Tool Aplikasi.................................... 129
7.2 Rekomendasi.................................................................... 131

DAFTAR PUSTAKA .................................................... 133


PROFIL PENULIS........................................................ 142

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Teori Remaja......................................................... 17


Tabel 6.1 Daftar Pertanyaan dan Penilaian
Berdasarkan Indikator...................................... 117
Tabel 7.1 Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja
dengan Tool Tri - Health Millenial Score... 130

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Fenomena Kenakalan remaja saat ini....... 1


Gambar 2.1 Gaya Remaja....................................................... 9
Gambar 2.2 Stimulasi Periode Emas Usia 4-5 thn........ 13
Gambar 2.3 Aktivitas Bermain Bagian Dari Stimuasi
Proses Tumbuh Kembang............................. 15
Gambar 2.4 Rentang Respon Perilaku Adaptif –
Maladaptif........................................................... 19
Gambar 2.5 “Gang” Remaja................................................... 23
Gambar 2.6 Perjudian di Kalangan Remaja..................... 24
Gambar 2.7 Remaja Berkumpul Setelah
Meninggalkan Rumah dan Membentuk
“Gang Punk”....................................................... 25
Gambar 2.8 Minuman Keras................................................. 26
Gambar 2.9 Pengguna Minuman Keras di Kalangan
Remaja.................................................................. 26
Gambar 2.10 Pengguna Zat di Kalangan Remaja......... 27
Gambar 2.11 Pengrusakan Properti Oleh Remaja........ 28
Gambar 2.12 Remaja ditilang tidak punya SIM &
Tidak Pakai Helm........................................... 28
Gambar 2.13 Ngebut-ngebutan di Jalan Raya.............. 29
Gambar 2.14 Meminta dengan Ancaman....................... 30
Gambar 2.15 Tawuran Remaja.............................................. 32
Gambar 2.16 Perilaku Merusak............................................ 33

xii
Gambar 2.17 Free Sex.............................................................. 34
Gambar 2.18 Sex Sesama Jenis............................................ 35
Gambar 2.19 Membawa Sajam Ke Sekolah.................... 36
Gambar 2.20 Kejahatan Internet......................................... 37
Gambar 2.21 Remaja “Punk”................................................. 39
Gambar 2.22 Remaja Jalanan “Antara Harapan dan
Kenyataan”....................................................... 39
Gambar 2.23 Cumulative Effect Model for Juvenile
delinquency..................................................... 41
Gambar 2.24 Bronfenbrenner’s Bio-ecological
SystemsTheory............................................... 44
Gambar 2.25 Juvenile Counseling and Assessment
Program Model (JCAPModel) ................. 47
Gambar 3.1 Pembelajaran Hard Skills “Bermain
Musik” dan “Menari”....................................... 53
Gambar 3.2 Soft Skills “Sopan dan Sabar”
Menunggu Giliran Pentas............................. 55
Gambar 3.3 Pembelajaran Agama sejak Dini................. 62
Gambar 3.4 Kemiskinan Sebagai Faktor Risiko
Kenakalan Remaja............................................ 68
Gambar 3.5 Komunikasi Sebagai Jembatan
Penghubung Orang Tua-Anak.................... 70
Gambar 3.6 Fungsi Keluarga................................................. 71
Gambar 3.7 Bonding Ibu - Bayi........................................... 74
Gambar 3.8 Teknologi Telah Menguasai Anak -
Remaja.................................................................. 83
Gambar 4.1 Level Pencegahan............................................. 85
Gambar 4.2 Model Sistem Neuman.................................. 88

xiii
Gambar 6.1 Kendalikan Perilaku Kenakalan Remaja
dengan Deteksi Dini....................................... 105
Gambar 6.2 Rentang Skor Potensi Kenakalan
Remaja (Juvenile delinquency).................... 122
Gambar 6.3 Splash screen Aplikasi “Tool Siswa”........... 125
Gambar 6.4 Tampilan Username dan Password Tool
siswa...................................................................... 125
Gambar 6.5 Splash Screen Aplikasi Tool BK.................... 126
Gambar 6.6 Tampilan Username dan Password Tool
BK........................................................................... 127

xiv
BAB 1
FENOMENA REMAJA SAAT INI

Gambar 1.1
Fenomena Kenakalan remaja
saat ini

Sumber: internet diakses 3 Nopember 2014

Anak dan remaja adalah aset bangsa dan merupakan salah


satu sumber daya manusia yang penting untuk meneruskan
cita-cita bangsa. Hal ini sesuai dengan Undang undang
Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa anak adalah
potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya
telah dilakukan oleh generasi sebelumnya (Presiden Republik
Indonesia, 1979). Anak dan remaja adalah generasi penerus
pada masa yang akan datang. Kualitas anak dan remaja pada
masa sekarang, menentukan kualias bangsa pada masa yang
akan datang (Anjaswarni, 2014).

1
Selama proses menuju pendewasaan, tidak semua
anak dan remaja dapat melaluinya dengan baik. Tidak
sedikit dari mereka yang gagal dalam menyelesaikan
tugas perkembangannya sehingga mereka gagal mencapai
kompetensi yang diharapkan, bahkan dapat terjadinya
penyimpangan perilaku (Anjaswarni, Nursalam, Widati,
& Yusuf, 2019). Salah satu masalah perilaku serius dan
perlu mendapat perhatian adalah kenakalan remaja yang
melibatkan hukum atau menjurus kepada tindakan kriminal
yang dikenal sebagai juvenile delinquency.
Juvenile delinquency semakin marak terjadi dan
cenderung semakin meningkat jumlahnya. Juvenile
delinquency tidak hanya menjadi permasalah di Indonesia
tetapi juga menjadi permasalahan dunia. Steketee &
Gruszczyńska (2010) dikutip Anjaswarni, Nursalam, Widati,
& Yusuf (2019) menjelaskan bahwa fenomena kenakalan
remaja terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, laki-laki
maupun perempuan, di kota maupun di desa, dari kalangan
sosial ekonomi tinggi maupun rendah. Durkheim dan Merton
dikutip oleh Badan Pusat Statistik (2010) Kenakalan dan
kriminalitas di kalangan remaja, umumnya dikategorikan
sebagai bentuk perilaku menyimpang yang diartikan sebagai
bentuk perlawanan terhadap aturan dan nilai-nilai normatif
yang berlaku di masyarakat.
Hasil studi di Uni Eropa (EU) yang dilakukan oleh
Steketee & Gruszczyńska (2010), terhadap siswa remaja di
enam negara anggota EU yang baru berhasil diidentifikasi
lima belas jenis kenakalan remaja yang dikelompokkan

2
menjadi empat yaitu (1) perilaku kekerasan, (2) pelanggaran
properti orang lain, (3) Penyalahgunaan zat, dan (4) hacking
atau kejahatan internet. Untuk jenis penyalahgunaan
zat yang menojol pada remaja, terdiri dari dua bentuk
yaitu menggunakan dan pengedaran narkoba. Hacking
atau kejahatan internet adalah perilaku yang cenderung
meningkat secara kuantitas dan kualitas (Anjaswarni et al.,
2019).
Mengutip hasil studi Badan Pusat Statistik (2010)
yang dilakukan di empat Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Anak di Palembang, Tangerang, Kutoarjo, dan Blitar berhasil
diidentifikasi lima jenis kenakalan terbanyak secara berturut-
turut adalah: (1) pencurian (60%), (2) narkoba (9,5%), (3)
kecelakaan lalu lintas fatal (5%), (4) perkosaan/ pencabulan
(4%) dan (5) penganiayaan (4%). Hasil studi menjelaskan
bahwa faktor pendorong terjadinya perilaku nakal adalah
dorongan kebutuhan uang atau barang dan pengaruh teman
(Anjaswarni et al., 2019).
Tingkat Propinsi khususnya di Jawa Timur, hasil studi
di Lembaga Pemasayarakat Khusus Anak (LPKA) Kota Blitar
pada tahun 2018, didapatkan bahwa dari 60 remaja di LPKA
didapatkan 5 jenis kenakalan terbanyak, yaitu penggunaan
Zat (NAPZA) (26,7%), perampokan atau pencurian (25%),
perkelahian atau tawuran atau tindak kekerasan (20%),
selanjutnya pencabulan (13,3%) dan pembunuhan (13,3%)
(Anjaswarni et al., 2019).
Studi lain terhadap remaja, dilakukan oleh Anjaswarni,
Nursalam, Widati, & Yusuf (2019) di beberapa SMP di salah

3
satu kota besar di Jawa Timur. Hasil studi berdasarkan catatan
Guru Bimbingan Konseling (BK) selama 3 tahun yaitu 2015,
2016 dan 2017 didapatkan bahwa jumlah siswa bermasalah
dihitung berdasar jumlah rata-rata kasus dalam tiga tahun
terakhir (695 kasus) dibandingkan jumlah rata-rata seluruh
siswa (4168 siswa) adalah 17%. Lebih lanjut diidentifikasi
bahwa perilaku remaja SMP yang masuk kategori nakal
dan melanggar aturan sekolah serta berpotensi melibatkan
hukum sejumlah 21,35%. Perilaku tersebut secara berturut-
turut mulai prevalensi tertinggi adalah membolos, merokok,
berkelahi, mencuri, pengrusakan, miras, pencabulan, dan
narkoba (Anjaswarni et al., 2019).
Fenomena yang terjadi pada anak remaja dewasa
ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara harapan
dan kenyataan dalam proses tumbuh kembang remaja.
Seyogyanya remaja yang berhasil dalam proses tumbuh
kembang akan menunjukkan perilaku adaptif, asertif,
komunikatif, produktif dan mampu menjalankan peran sosial
dengan baik. Kenyataannya, banyak remaja bermasalah
yang bersinggungan dengan hukum dan termasuk dalam
juvenile delinquency. Banyak hasil-hasil penelitian yang
mencoba mengungkapkan faktor risiko terjadinynya juvenile
delinquency.
Studi terkait faktor penyebab juvenile delinquency
dilakukan oleh Kim & Kim, 2008 (dikutip oleh Anjaswarni,
Nursalam, Widati, & Yusuf, 2019). Hasil studi menunjukkan
bahwa remaja nakal (juvenile delinquency) lebih banyak
terjadi pada pasangan orang tua yang memiliki tingkat

4
dinamika tinggi, keluarga disfungsional, keluarga miskin, dan
tingkat kekerasan yang tinggi. Juvenile delinquency juga lebih
banyak terjadi pada remaja yang mempunyai kepribadian
antisosial, serta gejala lain dan tingkat frustrasi psikosomatik
yang lebih tinggi.
Model The Juvenile Counseling and Assessment Model
and Program (JCAP) adalah model yang dikembangkan
oleh Calhoun, Glaser, & Bartolomucci (2011) dengan
menggunakan model Sosial Ekologis Bronfenbrenner
sebagai dasar untuk pengembangan model. Model JCAP
mencoba mengembangkan pendekatan teoritis untuk
mengkonseptualisasikan juvenile delinquency dan intervensi
yang diperlukan. Model JCAP bertujuan mengidentifikasi
penyebab dan intervensi perilaku juvenile delinquency.
Dalam model JCAP dijelaskan bahwa perilaku nakal
anak (delinkuen) berhubungan dengan faktor internal anak
sendiri dan variabel ekologi. Diri anak adalah faktor penting
yang berperan dalam menentukan perilaku delinkuen. Anak
berada dalan suatu lingkungan (ekologi) yang mempengaruhi
diri anak dan menjadi faktor risiko terjadinya juvenile
delinquency (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).
Dijelaskan bahwa anak adalah faktor risiko juvenile
delinquency yang bersumber dari diri anak sendiri. Faktor
anak ini meliputi genetik, herediter, dan gender, dimensi
kepribadian dan kecerdasan, kompetensi sosial (life skill),
serta proses kognitif. Respon maladaptif pada anak, akan
menimbulkan kurangnya kontrol diri dan harga diri rendah
yang menjadi risiko terjadinya masalah perilaku pada anak

5
(Stuart, 2013).
Faktor penting lain dalam diri anak yang perlu
diidentikasi yang juga berperan dalam perkembangan dan
kesehatan anak adalah self efficacy dan religi. Rendahnya
self efficacy, membuat anak tidak cukup percaya diri (Stuart,
2013). Keraguan, inkonsisten dan tidak adanya dukungan
beribadah sesuai agama, berpotensi terjadi konflik pada
diri remaja dan membuat anak melakukan tindakan dengan
control diri yang rendah (Leininger dikutip Alligood, 2014).
Ekologi (lingkungan) adalah situasi dan kondisi
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan dan
kesehatan anak. Dalam model JCAP dijelaskan ada empat
faktor ekologi yang berpengaruh terhadap terjadinya juvenile
delinquency yaitu ekologi keluarga, teman sebaya, sekolah
dan masyarakat. Juvenile delinquency terjadi karena adanya
interaksi di antara variabel tersebut dengan diri individu
(Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).
Juvenile delinquency penting mendapat perhatian
khusus karena berdampak luas bagi diri remaja, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Kegagalan mengatasi remaja
delinkuen, dapat mengakibatkan kehancuran bangsa karena
remaja adalah aset bangsa. Penanganan juvenile delinquency
harus secara komprehensif melalui berbagai faktor risiko
dan berfokus pada upaya pencegahan dengan melibatkan
multi disiplin dari berbagai praktisi meliputi keperawatan
jiwa masyarakat, praktisi pendidikan, psikologi, tokoh agama,
keluarga dan tokoh masyarakat serta pemerintah, bahkan
proaktif masyarakat (Howell, Lipsey, Wilson, & Howell, 2014).

6
Buku ini membahas tentang remaja dengan berbagai
permasalahan, faktor risiko yang berpengaruh terhadap
terjadinya juvenile delinquency, program intervensi pencegahan
dan deteksi dini potensi atau risiko juvenile delinquency pada
remaja dengan menggunakan tool aplikasi berbasis web “Tri
Anjaswarni Health of Milenial Score” atau “Tri Health Milenial
Score” . Secara detail pembahasan terkait faktor risiko, program
intervensi dan deteksi dini menggunakan tool aplikasi dibahas
pada bab 2, 3, 4, 5, 6 dan 7

7
8
BAB 2
REMAJA DAN
PERMASALAHANNYA

Sumber: Internet diakses 11 Oktober 2019

Gambar 2.1 Gaya Remaja

2.1 Remaja
Istilah remaja adalah konsep yang relatif  baru. Saat ini
belum ada undang-undang yang memberikan batasan tegas
terkait remaja. Di dalam Undang-Undang di berbagai Negara
di dunia, termasuk di Indonesia tidak mengenal istilah
remaja, karena termasuk rentang usia anak. Dijelaskan dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa anak adalah
seseorang yang berusia belum sampai 18 Tahun (Presiden
Republik Indonesia, 2002). Mengacu dari definisi tersebut

9
maka dapat dijelaskan bahwa remaja adalah anak dalam
kelompok usia tertentu yang merupakan fase akhir sebelum
masuk ke usia dewasa.
Berbeda dengan Undang-undang Perlindungan Anak,
dalam Undang-Undang hukum pidana memberikan batasan
18 tahun sebagai usia dewasa (atau 18 tahun tetapi sudah
menikah). Batasan usia ini mempunyai makna bahwa jika
remaja bertingkah laku dan melanggar hukum misalnya:
“mencuri”, atau “menganiaya”, maka hal tersebut belum
disebut kejahatan kriminal, akan tetapi disebut sebagai
kenakalan (delinquency).
Anak dan remaja adalah salah satu sumber daya
manusia yang penting untuk meneruskan cita-cita bangsa.
Mereka adalah aset bangsa yang perlu dibina dan dilindungi.
Dalam Undang Undang Kesejahteraan Anak dijelaskan bahwa
anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang
dasar-dasarnya telah dilakukan oleh generasi sebelumnya
(Presiden Republik Indonesia, 1979). Pembinaan dan
perlindungan anak dan remaja adalah penting dilakukan
agar mereka dapat berkembang menjadi orang dewasa yang
kompeten dan produktif.
Berikut ini Pasal 2 ayat 1, 2, 3 dan 4 Undang-undang
Nomor 4 tahun 1979 sebagai dasar hukum pentingnya
pembinaan dan perlindungan terhadap anak dan remaja:
Pasal 2 ayat 1:
“Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan
dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam
keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk

10
tumbuh dan berkembang dengan wajar.”
Pasal 2 ayat 2:
“ Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan
kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi
warga negara yang baik dan berguna.”
Pasal 2 ayat 3
“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan,
baik semasa dalam kandungan maupun sesudah
dilahirkan”.
Pasal 2 ayat 4
“Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar”
Tidak semua anak dan remaja dapat melalui setiap
tahap perkembangan dengan baik. Banyak diantara mereka
yang gagal dalam menyelesaikan tugas perkembangannya
sehingga gagal mencapai kompetensi yang diharapkan
sehingga mengalami masalah perilaku. Untuk anak yang
mempunyai masalah perilaku tersebut perlu mendapatkan
perlindungan dan pengasuhan agar mereka mampu menjadi
individu yang kompeten.
Remaja disebut sebagai masa transisi, yaitu suatu
masa dimana mereka tidak cukup matang untuk disebut
sebagai orang dewasa tetapi juga tidak layak untuk disebut
anak-anak. Masa transisi adalah masa yang serba sulit
bagi remaja. Dukungan lingkungan sangat berperan dalam
proses tumbuh kembang remaja. Jika mereka gagal melewati
masa ini, maka akan mengalami kegagalan adaptasi dan

11
menunjukkan perilaku menyimpang. Stimulasi yang kurang
adekuat dapat menimbulkan kesulitan atau masalah pada
anak ( Stuart, 2013; Anjaswarni, 2014). Batasan remaja
menurut Stuart (2013) adalah fase perkembangan yang unik
terjadi antara usia 11 sampai 20 tahun.
Para ahli perkembangan membagi usia remaja menjadi
3 kelompok dan sebelum masuk kelompok usia remaja, lebih
dahulu memasuki suatu masa yang disebut sebagai pra
remaja yaitu usia antara 10 – 12 tahun. Tiga kelompok usia
remaja menurut ahli adalah sebagai berikut:
1. Masa remaja awal (usia 12 – 15 tahun),
2. Masa remaja pertengahan (usia 15 -18 tahun)
3. Masa remaja akhir (usia 18 – 21 tahun).
Batasan remaja dalam makalah ini adalah anak yang sedang
mengalami masa transisi menuju dewasa berusia antara 12
sampai 19 tahun. Batasan ini sesuai dengan pakar psikologi
perkembangan “Adolescence—the transition period between
childhood and adult-hood—encompasses ages 12 to 19”
(Zgourides, 2000).

2.2 Perkembangan Anak-Remaja


Awal kehidupan seorang anak yang disebut sebagai
usia dini adalah masa keemasan atau “Golden Age”, yaitu masa
pertumbuhan dan perkembangan anak yang terjadi pada
usia 0 sampai 6 tahun Sit (2017). Batasan “Golden Age” ini
sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

12
Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (14) bahwa anak usia dini
adalah anak yang berusia 0 – 6 tahun. Masa ini disebut masa
keemasan karena terjadi perkembangan yang menakjubkan
dalam aspek fisik maupun psikolgis.
Pada periode “Golden Age”, otak dan mental emosional
anak mengalami perkembangan yang pesat. Masa emas
perkembangan anak adalah masa yang penting dan tidak
akan pernah kembali. Masa emas ini perlu diperhatikan dan
distimulasi oleh orang tua agar anak-anak dapat tumbuh
dan berkembang secara optimal. Terjadinya masalah
perkembangan pada periode ini disebabkan karena kegagalan
stimulasi.

Sumber: Dokumen pribadi

Gambar 2.2 Stimulasi Periode Emas Usia 4-5 thn

Perkembangan anak berdasarkan teori ekologi


Bronfenbenner menjelaskan bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh empat sistem lingkungan (ekologi) yaitu
microsystem, mesosystem, exosystem dan macrosystem

13
(Shumaker, Ockene & Riekert, 2009). Pembahasan secara
terperinci akan diuraikan pada bagian 2.6 tentang Multilevel
Theory of Behavior Change: Social-ecological Framework.
Masa remaja disebut sebagai masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja akan
mengalami perubahan yang luar biasa. Remaja mengalami
pertumbuhan fisik, emosional, dan intelektual dengan
kecepatan yang luar biasa. Perkembangan ini akan menantang
remaja untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan
fisik baru, identitas sosial, dan pandangan dunia yang luas
(Zgourides, 2000). Untuk mencapai tumbuh kembang yang
optimal dan menjadi individu yang kompeten, maka anak-
remaja membutuhkan stimulus yang adekuat ( Stuart, 2013).
Untuk perkembangan fisik, anak membutuhkan
asupan gizi cukup, bebas penyakit dan bebas dari trauma
fisik, serta bebas dari ancaman fisik. Untuk perkembangan
psikologis, anak butuh kasih sayang, perhatian, rasa aman
dan penerimaan dari orang tua. Anak juga perlu stimulasi
pendidikan yang memadai, perlu dihargai dan dihormati.
Untuk perkembangan sosial-kultural, anak butuh sosialisasi
dan penerimaan dari orang lain, anak juga butuh teman
untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. Anak juga
membutuhkan dukungan spiritual, pembelajaran nilai dan
tanggung jawab beragama (Stuart, 2013). Berbagai faktor
yang mendukukung proses tumbuh kembang ini, jika tidak
diberikan secara adekuat, akan menjadi penyebab terjadinya
masalah perilaku pada anak ( Stuart, 2013).

14
Stuart (2013) menjelaskan bahwa proses tumbuh
kembang adalah hasil kolaborasi antara sistem internal dan
eksternal, serta sebagai hasil dari proses pematangan dan
belajar, pengalaman budaya, pengalaman sosialisasi dan
hubungan interpersonal termasuk aktivitas bermain. Selama
periode perkembangan, anak dan remaja mempunyai tugas
yang harus diselesaikan. Kegagalan dalam menyelesaikan
tugas perkembangan akan mengakibatkan terjadinya regresi
dan respon koping yang maladaptif yang menghambat
perkembangan selanjutnya (Stuart, 2013).

Sumber: Dokumen pribadi

Gambar 2.3 Aktivitas Bermain


Bagian Dari Stimuasi Proses Tumbuh Kembang

Havighurst(1972)(dikutipStuart,2013mengidentifikasi
ada 7 tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh
remaja selama masa proses perkembangannya yaitu:
1. Menerima kematangan baru terkait usia pada jenis
kelamin yang berbeda.

15
2. Menerima sifat maskulin atau feminin sesuai peran sosial
3. Menerima pertumbuhan fisik dan menggunakan
tubuhnya secara efektif.
4. Ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan
orang dewasa lain
5. Menyiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga,
6. Menyiapkan karir untuk kehidupan yang akan datang,
7. Menerapkan sejumlah nilai dan sistem etik yang
membimbing perilaku dan perkembangan ideologinya.
Bagi remaja masa transisi adalah masa yang sulit karena
mereka menghadapi tuntutan adaptasi dalam perubahannya
dari masa anak-anak ke masa dewasa yang bertanggung
jawab. Ketidakmampuan orang tua memfasilitasi kebutuhan
dalam masa perkembangan remaja dan ketidakmampuan
mereka beradaptasi dapat mengakibatkan masalah atau
penyimpangan perilaku (Stuart, 2013).
Berikut ini 7 pandangan teori terkait remaja yang
penting dipahami dalam mengkawal tumbuh kembang
remaja:

16
Tabel 2.1 Teori Remaja
No Teori Penjelasan
Biologikal Teori ini menekanankan pada
pertumbuhan fisik, perilaku, dan
lingkungan, yang memengaruhi perasaan,
pikiran, dan tindakan remaja.
Psikoanalisis Teori ini menekankan pada masa pubertas
yang disebut sebagai tahap genital. Pada
tahap ini minat atau dorongan seksual
remaja bangkit dan akan mencari kepuasan
serta bereksplorasi. Perubahan biologis
mengganggu keseimbangan antara ego dan
id, dan solusi baru harus dinegosiasikan
Psikososial Teori menekankan pada upaya remaja
untuk membangun identitas dalam
lingkungan sosial. Mereka berusaha
mengoordinasikan keamanan diri,
keintiman, dan kepuasan seksual dalam
interaksinya.
Attachment Teori ini memfokuskan pada kualitas
kelekatan (bonding) yang diartikan sebagai
kerentanan remaja terhadap perubahan
perkembangan, dan memandang kelekatan
yang tidak aman sebagai faktor risiko
terjadinya respons maladaptif terhadap
kehilangan atau trauma.
Kognitif Teori ini menekankan pada tahap lanjut
fungsi kognitif atau kemajuan fungsi
kognitif dari berpikir secara objek konkret
pada masa kanak-kanak sekitar usia 12
tahun ke berpikir simbol atau abstraksi,
disebut berpikir formal.
Kultural Pertumbuhan dan perkembangan adalah
proses yang berkelanjutan dan menjadi
sebuah fenomena budaya, dan setiap orang
bereaksi terhadap harapan sosial. Semakin
banyak perubahan budaya, semakin besar
kesenjangan generasi terjadi. Teori ini
memandang remaja sebagai masa ketika
seseorang percaya bahwa hak istimewa
orang dewasa layak diterapkan tetapi
dikontrol. Tahap ini berakhir jika remaja
telah berstatus sebagai orang dewasa.

17
Multidimensional Teori multidimensi menjelaskan bahwa
padangan terhadap remaja, berfokus pada
tiga tema utama (meeks, 1990) yaitu:
1. Profle ego dan perkembangan moral
digunakan untuk menentukan
karakteristik remaja.
2. Memberikan perhatian pada integrasi
biologi, psikologi, sosiologi dan kultur,
dimana variabel ini akan merubah
remaja dengan cepat dan berdampak
pada perilaku serta pandangan
terhadap dirinya.
No Teori Penjelasan
3. Masalah perkembangan, kematangan
psikologi dan biologi adalah factor
yang mempengaruhi adaptasi dan
fungsi remaja.
Teori menekankan bahwa masa remaja
adalah proses adaptasi pada kontinum
perkembangan serta pengaruh biologis,
psikologis, dan lingkungan

Sumber: Stuard (2013)

2.3 Respon Maladaptasi dan Gangguan Perilaku


Remaja
Telah dijelaskan bahwa masa remaja adalah masa
transisi, yaitu masa peralihan yang serba sulit dan penuh
problematika yang perlu penyesuaian. Remaja mempunyai
banyak kebutuhan yang menuntut mereka untuk
memenuhinya. Tuntutan kebutuhan inilah yang menjadi
sumber dari problematika remaja. Jika mahasiswa berhasil
memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalahnya, maka
mereka akan menjadi individu yang sukses. Sebaliknya jika
mereka gagal memenuhi kebutuhan dan gagal menyelesaikan

18
masalahnya, maka terjadinya respon maladaptasi dan
mengakibatkan terjadinya perilaku menyimpang. Respon
perilaku ini berentang adaptif – maladaptive seperti pada
gambar 2.4

Sumber: diadaptasi dari Stuart (2013)

Gambar 2.4
Rentang Respon Perilaku Adaptif – Maladaptif

Banyak respon maladaptif secara spesifik sering


terjadi pada remaja yang menggambarkan perilaku yang
tidak tepat. Respon tersebut antara lain aktivitas sexual yang
tidak tepat, menjadi ibu di luar nikah, bunuh diri, melarikan
diri, gangguan tingkah laku, perilaku kekerasan, penggunaan
obat, preokupasi dengan tubuhnya, masalah berat badan,
keterlibatan dengan hal gaib atau ide-ide aneh. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa anak-anak bermasalah ini mengalami
kesulitan koping yang signifikan di keluarga, sekolah atau
masyarakat sehingga berdampak terjadinya gangguan
perilaku (Stuart, 2013).

19
Gangguan perilaku yang terjadi pada remaja sebagai
respon maladaptif tersebut di atas, ada yang berpotensi
bersinggungan dengan hukum atau melanggar norma yang
berlaku di masyarakat dan mengarah pada tindakan kriminal,
yaitu kenakalan remaja (juvenile delinquency). Gangguan ini
harus mendapatkan perhatian khusus karena merupakan
bentuk gangguan jiwa masyarakat serius yang berbahaya
bagi remaja sendiri dan masyarakat.

2.4 Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency)


Bagian ini menjelaskan teori perilaku yang relevan,
pengertian juvenile delinquency dan berbagai bentuk gangguan
perilaku yang diidentifikasi sebagai juvenile delinquency.
Teori perilaku yang relevan dengan terjadinya penyimpangan
perilaku remaja (juvenile delinquency) yang dijelaskan adalah
teori Multilevel Theory of Behavior Change: A Social Ecological
Framwork. Penggunaan teori ini cukup beralasan karena
juvenile delinquency merupakan gangguan perilaku yang
secara teori berhubungan dengan berbagai faktor dalam
berbagai tingkatan (level). Dalam model ekologi ini para
ilmuwan berkeyakinan bahwa masalah kesehatan, perilaku,
dan penyakit dipengaruhi oleh beragam faktor penyebab
yang terletak pada berbagai tingkatan analisis mulai dari
tingkatan molekuler dan genetik terhadap tingkat perilaku,
lingkungan, dan sosial (Shumaker, Ockene, Riekert, 2009).
Secara terperinci, teori ini akan dijelaskan pada bagian 2.6.

20
Juvenile delinquency berasal dari dua kata yaitu
juvenile yang artinya remaja atau anak muda, dan delinquency
yang berarti kenakalan atau kejahatan. Dengan demikian
Juvenile delinquency dapat diartikan sebagai kenakalan
yang dilakukan oleh orang muda (remaja). Istilah juvenile
delinquency sering digunakan kaitannya dengan perilaku
nakal remaja yang telah melibatkan hukum peradilan. Hal
ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Kratcoski &
Kratcoski (2004) bahwa juvenile delinquency adalah tindakan
yang dilakukan anak muda (remaja) dimana tindakannya
tersebut menyebabkan mereka berhubungan dengan
pengadilan remaja. Juvenile delinquency adalah remaja
berusia kurang dari 18 tahun yang menunjukkan perilaku
menyimpang dalam bentuk kenakalan yang yang mengarah
pada tindakan kriminal karena melanggar hukum atau kode
moral. Istilah lain juvenile delinquency yang sering digunakan
adalah juvenile offending atau youth crime.
Perilaku juvenile dilinquency, biasanya terjadi pada
remaja dengan kepribadian anti sosial, yaitu bentuk gangguan
kepribadian dimana remaja melakukan pelanggaran
moral secara aktif dan sudah meresahkan atau menggaggu
masyarakat. Perilaku antisosial dalam definisi tersebut
meliputi penyalahgunaan ruang publik, mengabaikan
keamanan masyarakat dan kesejahteraan pribadi, melakukan
tindakan yang ditujukan pada orang lain, dan melakukan
kerusakan lingkungan (Kenny, Blacker & Allerton, 2014).
Stuart (2013) & Burlian (2016) menjelaskan
bahwa orang dengan gangguan kepribadian antisosial

21
(antisocial personality disorder) secara persisten
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan
sering melanggar hukum. Mereka mengabaikan norma
dan konvensi sosial, impulsif, serta gagal dalam membina
hubungan interpersonal dan pekerjaan. Meski demikian
Remaja delinkuen sering menujukkan kharisma dalam
penampilan luar dan memiliki intelegensi di atas rata-rata.
Perilaku yang secara umum muncul dan tampak ektrim pada
individu dengan kepribadian antisosial ditunjukkan dengan
perilaku sebagai perampok, pembohong, homoseks dan
pembunuh.
Disamping gambaran perilaku tersebut di atas,
gejala perilaku lain yang muncul pada individu dengan
gangguan antisosial adalah sikap mengabaikan perasaan
orang lain,  sikap sangat tidak bertanggung jawab dan tidak
peduli terhadap norma, peraturan dan kewajiban sosial,
tidak mampu mempertahankan interaksi dengan cukup lama,
mudah frustasi dan agresif, melakukan tindak kekerasan,
tidak mampu belajar dari pengalaman, sangat cenderung
menyalahkan orang lain atau tidak mampu melakukan
rasionalisasi yang dapat diterima (Burlian, 2016).
Definisi lain juvenile delinquency diberikan oleh ahli
psikologi Kartono (2014), yaitu perilaku jahat (dursila)
atau kenakalan anak muda atau remaja yang merupakan
gejala patologis secara sosial yang disebabkan oleh satu
bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan
bentuk tingkah laku yang menyimpang. Lebih lanjut Kartono
menjelaskan bahwa anak delinkuen disebut sebagai anak sakit

22
mental atau cacat sosial yang disebabkan oleh pengaruh sosial
di masyarakat.
Kratcoski & Kratcoski, 2004 (dikutip Anjaswarni,
2014) mengidentifikasi bentuk-bentuk atau tipe perilaku
remaja yang termasuk kategori Juvenile delinquency, yaitu:
1. Meninggalkan Sekolah (Membolos)
Membolos sekolah termasuk perilaku yang
menyimpang karena remaja telah melanggar hukum dalam
hal ini aturan atau norma yang berlaku khusus di sekolah.
Perilaku membolos biasanya dilakukan karena mereka
merasa tidak nyaman dengan aturan sekolah. Remaja menilai
bahwa aturan membuat mereka tidak bebas sehingga
berusaha lari (mbolos) dari sekolah (Kratcoski & Kratcoski,
2004; Anjaswarni, 2014).

Sumber: internet diakses 3 Nopember 2014

Gambar 2.5 “Gang” Remaja

23
2. Melakukan panggilan telepon anonim
Melakukan panggilan telepon tanpa menyebutkan
nama termasuk dalam kenakalan, karena perilaku tersebut
dapat menimbulkan kebingungan dan ketakutan bagi
penerima. Perbuatan ini termasuk antisosial karena dapat
meresahkan masyarakat apalagi kalau disertai dengan
ancaman (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

3. Berjudi
Menggunakan uang dengan cara berjudi atau
berspekulasi dengan melakukan perjudian termasuk bentuk
juvenile delinquency. Judi adalah perbuatan yang dilarang
karena melanggar larangan agama, hukum dan norma sosial
di masyarakat (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni,
2014). Remaja melakukan judi biasanya karena dorongan
ingin mendapat uang banyak dalam waktu cepat untuk
mencukupi kebutuhannya, atau sekedar “iseng” besama
teman sebaya untuk coba-coba berentungan.

Gambar 2.6
Perjudian
di Kalangan
Remaja

Sumber: Internet diakses 9 September 201

24
4. Meninggalkan rumah

Meninggalkan atau Lari dari rumah termasuk perilaku


kenakalan karena perilaku remaja tersebut menimbulkan
keresahan orang tua. Remaja lari dari rumah, biasanya
karena merasa tidak nyaman, ada ketidakcocokan dengan
aturan di rumah, atau adanya pengaruh teman sebaya di
luar rumah. Para remaja biasanya berkumpul dengan teman
sebaya atau hidup di jalanan bersama kelompoknya untuk
mencari kesenangan dan kebebasan (Kratcoski & Kratcoski,
2004; Anjaswarni, 2014).

Gambar 2.7
Remaja
Berkumpul
Setelah
Meninggalkan
Rumah dan
Membentuk
“Gang Punk”

Sumber: Dokumen pribadi

5. Membeli atau minum minuman keras


Minuman keras dalam agama Islam hukumnya
adalah haram. Membeli dan mengkonsumsi minuman keras
termasuk dalam perilaku juvenile delinquency, karena dapat
meresahkan masyarakat. Dampak minuman keras bagi
pengguna adalah terjadinya gangguan kesadaran, bicara tidak
jelas, teriak, marah atau bahkan melakukan tindakan atau
perilaku agresif. Pengguna mungkin melakukan tindakan di

25
luar kesadaran seperti mengancam, melempar dan perilaku
lain yang berbahaya bagi orang lain (Kratcoski & Kratcoski,
2004; Anjaswarni, 2014).

Gambar: 2.8
Minuman Keras

Sumber: Internet diakses 9 September 2019

Sumber: Internet diakses 9 September 2019

Gambar: 2.9 Pengguna Minuman Keras di Kalangan Remaja

6. Membeli, menggunakan, atau menjual obat terlarang

Perilaku membeli, menggunakan atau menjual


obat terlarang adalah perilaku yang bertentangan dengan
hukum dan agama, dan termasuk dalam tindakan kriminal.
Bagi pengguna, dalam keadaan intoksikasi, maka akan

26
menunjukkan perilaku yang aneh dan membayakan diri
atau orang lain. Bagi penjual apa yang dilakukan adalah
kriminal karena dapat merusak generasi muda. Bagi pelaku
jual beli ‘drugs’ dapat terjadi dampak yang luas karena
dapat mengakibatkan kerusakan pada diri pengguna sendiri
maupun orang lain (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni,
2014).

Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014

Gambar 2.10 Pengguna Zat di Kalangan Remaja

7. Merusak bangunan atau properti lainnya


Perilaku merusak merupakan bentuk pelanggaran
sosial dan hukum karena dapat merugikan masyarakat.
Melakukan pengrusakan bangunan atau milik orang lain
adalah dilarang dan termasuk dalam tindakan kriminal
karena membahayakan diri dan orang lain (masyarakat)
(Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

27
Sumber: Internet diakses 9 September 2019

Gambar 2.11
Pengrusakan Properti Oleh Remaja

8. Mengendarai mobil tanpa Surat Ijin Mengemudi (SIM)

Perilaku berkendaraan tanpa mempunyai Surat Ijin


Mengemudi (SIM) termasuk dalam juvenile delinquency.
Hal ini cukup beralasan karena mengendarai mobil tanpa
SIM adalah tindakan illegal dan melawan hukum karena
melanggar aturan atau hukum Negara yang berlaku (Kratcoski
& Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

Gambar 2.12
Remaja ditilang
tidak punya
SIM & Tidak
Pakai Helm

Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019

28
9. Ngebut
Perilaku ngebut di jalan raya adalah bentuk perilaku
delinquency. Hal ini cukup beralasan karena aktivitas
tersebut melanggar hukum berlalu lintas karena perilaku
mereka mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat
pengguna jalan. Hal-hal yang dapat meresahkan masyarakat
akibat ngebut ngebutan di jalan raya antara lain suara
kendaraan yang keras, asap dan kecepatan berkendaraan
tinggi dapat menggangu dan membahayakan orang lain
misalnya kecelakaan atau menabrak orang lain (Kratcoski &
Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

10. Balapan Liar


Sama halnya ngebut ngebutan, balapan liar adalah
perilaku yang dilarang karena melanggar hukum dan
membahayakan diri remaja serta menggangu kententraman
masyarakat. Umumnya balapan liar menggunakan jalan
umum untuk masyarakat, tanpa mau memperhatikan
kenyamanan dan keselamatan orang lain (Kratcoski &
Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

Gambar 2.13
Ngebut-ngebutan
di Jalan Raya

Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014

29
11. Menggunakan Ancaman untuk Mendapatkan Sesuatu
dari Orang Lain
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
istilah ‘memalak’ berasal dari kata ‘palak’ yang artinya
sangat berani atau nekat. Kata memalak sering digunakan
untuk seorang yang meminta secara paksa bahkan mungkin
meminta dengan ancaman atau dengan kekerasan. Orang
yang memalak disebut pemalak atau pemeras. Memalak
ini termasuk bentuk penyimpangan perilaku sosial karena
menimbulkan rasa takut, meresahkan dan mengganggu
ketentraman masyarakat. Hal ini termasuk kriminal karena
memaksa hak orang lain dan melanggar hukum (Kratcoski &
Kratcoski, 2004).

Gambar 2.14
Meminta dengan
Ancaman

Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019

12. Mengendarai Mobil Orang Lain Tanpa Izin

Dalam dunia remaja pada umumnya, saling pinjam


barang bahkan kendaraan adalah hal yang biasa. Namun
demikian perlu diketahui bahwa memakai kendaraan orang
lain tanpa ijin, termasuk dalam perilaku Juvenile delinquency.
Memakai kendaraan orang lain tanpa ijin dapat membuat

30
pemilik kendaraan merasa khawatir. Perilaku tersebut
melanggar hukum dan tidak sesuai dengan norma sosial
(Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

13. Mencuri Barang di Toko

Dalam agama Islam mencuri adalah dosa besar,


sehingga Islam melarang umatnya untuk mencuri harta
milik orang lain dan memberikan hukuman yang berat
kepada orang yang mencuri, memotong tangannya sebagai
pembalasan bagi apa yang telah merekan lakukan. Mencuri
atau mengambil barang milik orang lain (termasuk
mengambil barang di toko tanpa membayar) dalam koridor
hukum Negara adalah termasuk tindakan kriminal dengan
sanksi hukum pidana. Dengan demikian bagi remaja, perilaku
mencuri ini termasuk juvenile delinquency karena melanggar
agama, hukum dan norma sosial (Kratcoski & Kratcoski,
2004; Anjaswarni, 2014).

14. Menentang Otoritas Orang Tua

Pola asuh yang diterapkan orang tua ada bermacam-


macam, salah satunya adalah pola asuh otoriter. Pola asuh
otoriter adalah pola asuh yang diterapkan dengan kontrol
yang ketat dimana anak harus mengikuti perintah orang tua
tanpa banyak alasan. Penerapan pola asuh demikian biasanya
bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan dan tanggung
jawab anak. Akan tetapi perlu diketahui bahwa menyatakan
bahwa orang tua otoriter dan melawan otoritas orang tua

31
adalah termasuk perilaku delinquency. Hal ini cukup beralasan
karena biasanya perlawanan remaja terhadap otoritas orang
tua pada dasarnya hanya karena mereka menginginkan
kebebasannya sendiri dan tidak mau diarahkan orang tua.
Anak dengan delinkuen, cenderung melawan pola aturan yang
ditetapkan orang tua atau masyarakat dan biasanya dikenal
sebagai anak yang suka membangkang atau menentang
(Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

15. Tawuran antar gang

Tawuran adalah aktivitas yang membahayakan diri


sendiri dan orang lain. Biasanya tawuran di antara remaja
terjadi karena rasa solidaritas antar kelompok (gang).
Mereka terlibat tawuran karena membela kelompok
walaupun mungkin mereka tidak mengetahui permasalahan
yang terjadi. Keterlibatan remaja dalam perkelahian antar
gang (tawuran) dapat meresahkan masyarakat dan termasuk
bentuk gangguan perilaku sosial. Perilaku ini termasuk
kriminal karena berpotensi terjadinya penganiayaan dan
pembunuhan (Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni,
2014).

Gambar 2.15
Tawuran Remaja

Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014

32
16. Menghancurkan barang milik orang lain

Perilaku merusak adalah termasuk criminal. Remaja


yang melakukan pengrusakan milik orang lain termasuk
dalam perilaku delinquency. Hal ini sangat beralasan karena
merusak property orang lain termasuk pelanggaran sosial,
norma dan hukum karena tanpa hak membuat orang
lain menderita kerugian (Kratcoski & Kratcoski, 2004;
Anjaswarni, 2014).

Gambar 2.16
Perilaku Merusak


Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019

17. Mengirimkan alarm kebakaran secara tidak tepat

Arti alarm secara umum adalah bunyi peringatan atau


pemberitahuan. Biasanya alarm berbunyi atau dibunyikaan
jika ada hal-hal yang perlu diwaspdai sebagai tanda
peringatan. Mengirimkan alarm yang tidak tepat pada orang
tanpa tujuan yang jelas termasuk dalam perilaku delinquency
karena apa yang mereka lakukan dapat mengganggu
ketentraman dan meresahkan orang lain. Bunyi alarm dapat
membuat orang merasa cemas atau menimbulkan rasa takut,
sehingga membunyikan alarm dengan tujuan tidak jelas atau
untuk menakut nakuti termasuk dalam tindakan kriminal

33
(Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

18. Melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis


(Tanpa Ikatan Perkawinan)
Free sex atau melakukan hubungan sexual tanpa status
jelas dengan lawan jenis adalah dosa besar. Agama Islam
melarang free sex dan hukuman yang pedih diberlakukan bagi
yang melakukannya. Free sex dikalangan remaja biasanya
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan
tanpa mau tanggung jawab. Perilaku free sex pada remaja
termasuk juvenile delinquency karena melanggar norma
agama, tata aturan dan norma sosial di masyarakat. Free sex
dapat merusak nilai-nilai agama dan anak bangsa. Dalam hal
kesehatan, free sex sangat berbahaya secara fisik, mental,
sosial dan spiritual. Free sex juga sangat meresahkaan
masyarakat karena berpotensi untuk terjadinya penularan
penyakit seksual dan menjadi penyakit sosial di masyarakat
(Kratcoski & Kratcoski, 2004; Anjaswarni, 2014).

Gambar 2.17
Free Sex

Sumber: Internet diakses 3 Nopember 2014

34
19. Hubungan Homoseksual

Melakukan seksual sesama jenis juga sangat dilarang


dalam ajaran agama Islam. Siksa yang pedih juga diberlakukan
bagi mereka yang melakukan sex sesame jenis. Melakukan
hubungan seksual sesama jenis termasuk dalam perilaku
delinquency karena mereka melakukan pelanggaran terhadap
norma agama dan norma sosial, karena perilaku ini tidak
lazim dan menyalahi kodrat manusia yang pada prinsipnya
adalah berpasang-pasangan (Kratcoski & Kratcoski, 2004;
Anjaswarni, 2014).

Gambar 2.18
Sex Sesama Jenis

Sumber: Internet diakses 12 Oktotober 2019

20. Membawa Senjata Tajam

Membawa senjata tajam di kalangan anak muda


(remaja) saat ini juga marak terjadi, antara lain pisau, clurit,
obeng dll. Mereka membawa senjata tajam ini biasanya
dengan alasan untuk menjaga diri jika terjadi kejahatan. Hal
ini berbeda dengan di Luar negeri yang dapat membawa
senjata dalam bentuk pistol atau senjata laras panjang.
Membawa senjata tajam termasuk juvenile delinquency,
karena berpotensi untuk disalahgunakan untuk melakukan
tindak kejahatan yang mengganggu masyarakat.

35
Gambar 2.19
Membawa Sajam Ke Sekolah

Sumber: Internet diakses 12 Oktotober 2019

Steketee & Gruszczyńska (2010) dalam studinya


mengidentifikasi dan mengelompokkan perilaku juvenile
delinquency menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Perilaku kekerasan. Termasuk dalam perilaku
kekerasan menurut Steketee & Gruszczyńska (2010)
adalah perkelahian, tawuran antar gang, penyerangan,
membawa senjata tajam dan vandalisme. Vandalisme
menurut KBBI adalah perbuatan merusak dan
menghancurkan hasil karya orang lain atau barang
berharga lainnya secara kasar dan brutal.

2. Perilaku pelanggaran atau pengrusakan properti


orang lain. Termasuk dalam perilaku pengrusakan
properti menurut Steketee & Gruszczyńska (2010) ada 8
jenis, yaitu (1) mengutil atau mencuri dalam jumlah kecil
yang tidak bermakna, (2) mengambil paksa milik orang
lain (jambret atau perampasan), (3) mengambil barang
milik orang lain dengan penyerangan, (4) meminta
dengan paksa atau memalak, (5) pencurian sepeda,

36
(6) pengrusakan mobil, (7) pencurian mobil, dan (8)
perampokan.

3. penyalahgunaan zat. Termasuk dalam


penyalahangunaan zat menurut Steketee & Gruszczyńska
(2010) adalah pengguna maupun pemakai zat adiktif
meliputi narkotika, alkohol, psikotropik dan zat adiktif
lainnya (NAPZA).

4. Kejahatan internet atau hecking. Termasuk dalam


Kejahatan internet atau hecking menurut Steketee &
Gruszczyńska (2010) yaitu kegiatan memasuki sistem
melalui sistem operasional yg lain. Dewasa ini, seiring
dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat,
semakin berkembang juga kejahatan yang dilakukan
dalam dunia maya yang bersifat merugikan. Pelaku
kejahatan dalam dunia maya disebut sebagai hacker.

Gambar 2.20
Kejahatan Internet

Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019

Berdasarkan ulasan terkait juvenile delinquency


tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa Juvenile delinquency
adalah salah satu bentuk gangguan kesehatan jiwa, yang

37
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi
derajat kesehatan jiwa masyarakat. Berbagai dampak dapat
terjadi akibat perilaku juvenile delinquency, baik dampak
jangka pendek maupun jangka panjang.
Dampak jangka pendek adalah membahayakan
kesehatan dirinya dan kelompoknya. Perkelahian, tawuran,
ngebut-ngebutan, berpotensi untuk terjadinya cidera bahkan
mungkin terjadinya kematian. Narkoba dapat mengakibatkan
gangguan mental dan pikiran, bahkan mengancam diri
individu pengguna dengan kematian. Narkoba juga menjadi
momok bagi masyarakat karena pengguna dan pengedarnya
masif berada ditengah-tengah masyakat tanpa diketahui.
Perilaku seks bebas berpotensi untuk terjadi penyakit
seksual menular (PSM) , Acquired Immunodeficiency
Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS),
serta dampak lain yang membahayakan. Perilaku anak-
remaja delinkuen dapat mengakibatkan kecemasan,
perasaan tidak aman, curiga, atau khawatiran di masyarakat.
Dampak jangka panjang adalah ancaman hilangnya masa
depan remaja yang pada akhirya mereka kelak tidak bisa ikut
ambil bagian dalam pembangunan bangsa. Ancaman fisik,
mental dan sosial akibat perilaku delinkuen remaja perlu
diwaspadai, tetapi mereka para remaja delinkuen juga perlu
diselamatkan karena remaja adalah aset bangsa yang akan
menjadi generasi penerus bangsa.
Juvenile delinquency merupakan salah satu bentuk
gangguan jiwa yang serius karena berbahaya bagi remaja dan
masyarakat luas. Gangguan perilaku ini perlu penanganan

38
serius karena berbahaya bagi kesehatan fisik, psikologis,
sosial dan spiritual remaja pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.

Gambar 2.21
Remaja “Punk”

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 2.22
Remaja Jalanan
“Antara Harapan dan
Kenyataan”

Sumber: Dokumen Pribadi

2.5 Proses Terjadinya Juvenile Delinquency

Banyak teori yang mencoba menjelaskan terjadinya


juvenile delinquency. Bagian ini akan menjelaskan proses
terjadinya juvenile delinquency menggunakan Model “Three
theoretical models for the development of criminal behaviour
from early childhood to adulthood”. Ketiga model teori tersebut
yaitu: 1) Simple Linier Model, 2) Multiple Pathways Model, dan
3) Cumulative Effect Model (Tremblay & Craig dalam Blanc,
2015), seperti pada gambar 2.23.

39
Teori pertama Simple Linier (Gottfredson dan Hirschi)
menjelaskan bahwa konsep sentral terjadinya perilaku
kriminal adalah pengendalian diri (dikutip oleh Tremblay
& Craig dalam Blanc, 2015). Individu yang mempunyai
kontrol diri kuat akan menolak peluang kriminal lebih
sering daripada mereka yang memiliki kontrol diri lemah.
Gottfredson dan Hirschi menyatakan pentingnya produk
pengendalian diri yang diperoleh pada masa kanak-kanak
atau pada masa perkembangan anak.
Teori kedua Multiple Pathways Model (Loeber),
menjelaskan ada tiga jenis pelanggaran yaitu agresif dan
penghancuran properti, pelanggar properti eksklusif,
dan penyalahgunaan zat. Jenis pelanggaran dibedakan
berdasarkan jenis masalah perilaku di masa kanak-kanak,
usia munculnya masalah perilaku, tingkat perkembangan
perilaku kriminal, dan probabilitas mereka akan berhenti
dari perilaku kriminal. Model jalur perkembangan kriminal
menggambarkan bahwa intervensi pencegahan harus
berfokus pada faktor risiko dan usia yang berbeda (dikutip
Tremblay & Craig dalam Blanc, 2015).
1. Simple Linier Model (Gottfredson and Hirschi)

2. Multiple Pathways Model (Loeber)
Aggression Poor relations School Problems
Aggression & Property crime
Lying Good peer relations Bad peer association
Property crimes

40
No problems No problems No problems
Substance abuser

3. Cumulative Effect Model (Yoshikawa)






Sumber: Tremblay & Craig dalam Blanc (2015)

Gambar 2.23 Cumulative Effect Model for Juvenile delinquency

Teori ketiga Cumulative Effect Model (Yoshikawa)


dijelaskan bahwa faktor kemiskinan dan ketidakmampuan
secara fisik dapat menyebabkan terjadinya tindakan
kriminal pada juvenile delinquency. Kemiskinan secara
langsung mengakibatkan pola asuh kurang, akibatnya ikatan
pengasuhan orang tua anak kurang sehingga mengakibatkan
tindakan kriminal. Keterbatasan fisik berpengaruh langsung
untuk terjadinya pola asuh yang kurang, selanjutnya ikatan
pengasuhan orang tua-anak kurang akan mengakibatkan
tindakan kriminal. Keterbatasan fisik secara langsung
juga mengakibatkan temperamen yang sulit dan gangguan
kognitif. Temperamen yang sulit mengakibatkan ikatan
orang tua anak dan ikatan sosial kurang serta bermasalah
di sekolah. Gangguan kognitif juga mengakibatkan terjadinya

41
masalah di sekolah. Kurangnya ikatan pengasuhan orang tua-
anak, hubungan sosial dan adanya masalah di sekolah dapat
mengakibatkan perilaku kriminal (Tremblay & Craig dalam
Blanc, 2015).

2.6 Multilevel Theory of Behavior Change: Social-


ecological Framework
Juvenile delinquency merupakan gangguan perilaku
yang secara teori berhubungan dengan berbagai faktor dalam
berbagai tingkatan (level) yang dikenal dengan Multilevel
Theory of Behavior Change: Social-ecological Framework.
Model ekologi kesehatan, perilaku, dan penyakit didorong
oleh keyakinan dan pengakuan ilmuwan yang menyatakan
bahwa etiologi masalah kesehatan masyarakat dipengaruhi
oleh beragam faktor penyebab yang terletak pada berbagai
tingkatan analisis mulai dari tingkatan molekuler dan
genetik terhadap tingkat perilaku, lingkungan, dan sosial.
Teori ini menyoroti asumsi dan prinsip utama analisis
ekologis bertingkat tentang perubahan perilaku kesehatan
dan kesehatan (Shumaker, Ockene, Riekert, 2009).
Schwartz, 1982; Stokols, 2000 (dikutip oleh Shumaker,
Ockene & Riekert, 2009) menjelaskan bahwa analisis ekologi
sosial memberikan penekanan lebih besar pada peran
kondisi lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan
seseorang atau kelompok. Pengaruh lingkungan terhadap
perilaku kesehatan, ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari baik pada tingkat mikro, misalnya di rumah atau tempat
kerja, maupun pada tingkat makro yang menyebar luas

42
dalam komunitas seseorang, misalnya tingkat sosial mulai
dari pengangguran, modal sosial, dan perbedaan pendapatan
yang ada dalam masyarakat tertentu.
Analisis ekologi sosial juga menekankan proses sistem
dalam kesehatan dan kondisi sakit, seperti cara paparan
kronis terhadap stresor lingkungan dan mengatasi tantangan
rusaknya fungsi imunologis. Sistem proses adaptasi,
homeostasis, dan perilaku mengatur individu untuk interaksi
dengan lingkungan sehari-hari mereka dan merupakan
aspek utama analisis ekologis tentang resistensi manusia dan
kerentanan terhadap penyakit (Shumaker, Ockene & Riekert,
2009).
Model ekologi sosial adalah perspektif meta-teoritis
yang mencakup beberapa tema dan strategi penelitian terkait
etiologi penyakit, perilaku kesehatan, dan kesejahteraan.
Model ini melakukan analisis kontekstual, berorientasi
sistem, interdisiplin, analisis penelitian multilevel yang
menggabungkan penelitian kualitatif dan kuatitatif
(Shumaker, Ockene & Riekert, 2009).
Perspektif ekologis sosial tentang perilaku kesehatan
juga secara inheren bersifat interdisipliner. Ekologi sosial
mencakup beberapa bidang yang berbeda, termasuk ilmu
saraf, kedokteran, epidemiologi, psikologi kesehatan,
sosiologi, antropologi, pendidikan kesehatan, dan promosi
kesehatan masyarakat. Analisis ekologi sosial juga
menekankan tidak hanya keputusan dan perilaku kesehatan
pribadi tetapi juga perilaku lainnya yang bersifat institusional
yang disebabkan oleh dokter, manajer kasus di organisasi

43
perawatan atau pelayanan kesehatan (Shumaker, Ockene &
Riekert, 2009). Model socio-ecology ini membahas intervensi
dalam rangka promosi kesehatan berdasarkan pada tingkatan
ekologi mulai tingkat individu, keluarga, kelompok, sekolah
dan masyarakat serta budaya.
Multilevel Theory of Behavior Change mengacu pada
teori Sistem Bioekologi Bronfenbrenner (Bronfenbrenner‘s
Bioecological Systems Theory) (1992) dalam Shumaker,
Ockene & Riekert (2009). Teori Sistem Bioekologi
Bronfenbrenner menjelaskan tentang perkembangan anak
dan faktor yang mempengaruhi. Dijelaskan bahwa faktor
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak
memiliki banyak “lapisan” yaitu 4 lapisan lingkungan yaitu:
microsystem, mesosystem, exosystem dan macrosystem,
seperti pada Gambar 2.24.

Sumber: Shumaker, Ockene & Riekert (2009)

Gambar 2.24 Bronfenbrenner’s Bio-ecological Systems Theory

44
Microsystem terkait dengan struktur dimana anak
memiliki kontak secara langsung. Struktur dalam microsystem
yang mempengaruhi perkembangan anak adalah lingkungan
keluarga, sekolah, atau lingkungan sekitar. Struktur ini pada
akhirnya membentuk perilaku anak.
Mesosystem adalah struktur kedua dalam sistem
sosial. Dalam struktur ini dijelaskan bahwa perkembangan
anak terkait dengan hubungan antara berbagai struktur di
dalam microsystem yaitu hubungan antara faktor lingkungan
keluarga, sekolah dan lingkungan sekitarnya (Shumaker,
Ockene & Riekert, 2009).
Exosystem adalah sistem sosial yang lebih besar
dimana anak tidak berinteraksi secara langsung, tetapi
dapat mempengaruhi mikrosistemnya. Termasuk exosystem
ini adalah kebijakan tempat kerja orang tua yang dapat
membatasi ketersediaan orang tua kepada anak selama
jam kerja. Termasuk juga Undang-undang Pendidikan, yang
tidak berinteraksi langsung dengan individu anak tetapi
berdampak pada perilaku.
Macrosystem adalah lapisan paling luar dalam system
sosial yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, meliputi
nilai budaya, adat istiadat, norma sosial dan hukum. Pengaruh
distal pada anak dimediasi oleh mikro, meso, dan eksosistem.
Secara keseluruhan model Bronfenbrenner ini merupakan
contoh yang baik untuk menggabungkan beberapa tingkat
sosial terkait faktor yang mempengaruhi perkembangan
anak (Shumaker, Ockene & Riekert, 2009).

45
Ahli lain yang menggunakan model sosial ekologis
Bronfenbrenner ini menganggap bahwa hasil perilaku adalah
produk interaksi terus menerus dalam domain individu,
interpersonal, organisasi, komunitas, dan antar budaya. Orang
tua perlu memfasilitasi perkembangan anak-anak mereka,
mulai dari keintiman dalam keluarga ke sistem sosial yang
kompleks dimana anak harus belajar untuk berfungsi dengan
baik. Karakteristik bawaan orang tua, pengalaman awal
kehidupan mereka, termasuk hubungan dengan pengasuh
mereka berinteraksi dengan pengalaman hidup saat ini yang
menentukan tingkat penyesuaian psikososial yang dapat
dicapai dan kemampuan untuk mengatasi masalah (Kenny,
Blacker & Allerton, 2014).
Mengacu pada konteks Bio-ecological, dikembangkan
model konseptual dan intervensi untuk juvenile delinquency.
Model konsep yang dikembangkan berdasarkan konteks Bio-
ecological ini adalah “The Juvenile Counseling and Assessment
Model and Program (JCAP Model): A Conceptualization and
Intervention for Juvenile delinquency”, seperti gambar 2.25.
Model JCAP menyediakan kerangka kerja terkait
dengan empat hal yaitu: (1) Etiologi kenakalan; (2) Strategi
penangan (merawat) anak nakal di berbagai setting; (3)
Strategi pendekatan, berdasarkan teori konseling, dan (4)
menggunakan penelitian untuk mengkaji faktor terkait
kenakalan remaja dan mengevaluasi penggunaan terapi
modalitas yang digunakan (Calhoun, Glaser & Bartolomucci,
2011).

46
Berdasarkan gambar 2.25 dapat dijelaskan bahwa
model JCAP menggambarkan hubungan empat faktor ekologi
yang saling terkait yaitu ekologi keluarga, sekolah, teman
sebaya dan komunitas. Model ini menjelaskan tentang
karakteristik anak (remaja) dalam konteks ekologikal dimana
remaja hidup, interaksi antar variabel yang mempengaruhi,
dan juga menjelaskan intervensi antar variabel. Model
menjelaskan bahwa intervensi untuk penanganan juvenile
delinquency dilakukan melalui berbagai variabel yang
ditampilkan dalam model (Calhoun, Glaser & Bartolomucci,
2011)




Sumber: Calhoun, Glaser & Bartolomucci (2011)

Gambar 2.25 Juvenile Counseling and Assessment Program Model (JCAP-


Model)

47
1. Variabel Individu Anak (Child Variables)

Berdasarkan teori bio-ecological dijelaskan bahwa


variabel anak merupakan faktor internal dalam diri anak
yang mempengaruhi terjadinya masalah perilaku (juvenile
delinquency). Gambar 2.16 menjelaskan bahwa variabel
anak sebagai individu yang berpengaruh terhadap terjadinya
juvenile delinquency ada empat, yaitu: (a) faktor genetik dan
herediter, (b) kompetensi sosial atau ketrampilan hidup
(life skill), (c) faktor kepribadian dan kecerdasan, serta (d)
variabel proses kognitif. Calhoun, Glaser & Bartolomucci
(2011).

2. Variabel Ekologikal (Ecological Variables)

Variabel ekologi (lingkungan) adalah situasi


dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan dan kesehatan anak. Variabel ekologikal yang
berpotensi mempunyai pengaruh terhadap perilaku remaja
ada empat, yaitu (a) ekologi keluarga (Family Ecology), (b)
ekologi teman sebaya (peer group ecology), (c) ekologi sekolah
(School Ecology), dan (d) ekologi masyarakat (Neighborhood
Ecology) (Calhoun, Glaser & Bartolomucci, 2011).
Dalam model JCAP dijelaskan bahwa faktor ekologi
keluarga yang berperan untuk terjadinya masalah perilaku
pada anak adalah kompetensi orang tua, fungsi keluarga,
pola pengasuhan anak (pola asuh) dan pengaruh Sibling.
Faktor ekologi teman sebaya yang berperan untuk terjadinya
masalah perilaku adalah adanya paparan drug atau alcohol,

48
sikap otoriter dari peer dan hubungan pertemanan. Faktor
ekologi sekolah yang berperan dalam masalah perilaku anak
adalah pola kedekatan pertemanan, hubungan guru dengan
murid, hubungan anak dengan sekolah, serta kompetensi
akademik. Faktor ekologi komunitas yang berperan dalam
terjadinya masalah perilaku anak adalah status social
ekonomi, religious atau spiritualitas, keterlibatan dalam
kasus polisi atau peradilan dan hubungan anak dengan
masyarakat.
Berdasarkan gambar 2.16 tampak bahwa individu anak
dan keempat faktor tersebut saling berhubungan satu sama
lain. Hal ini dapat dimaknai bahwa keempat faktor tersebut
saling menguatkan untuk terjadinya masalah perilaku anak
(juvenile delinquency). Semakin banyak faktor tidak baik
dalam diri individu dan semakin banyak factor lingkungan
yang tidak baik di sekitar individu anak, maka akan semakin
meningkatkan risiko terjadinya kenakalan.

3. Proses Interaksi (Interactive Processes)

Model JCAP tidak hanya menjelaskan variabel atau


faktor yang dipertimbangkan berpengaruh terhadap
terjadinya juvenile delinquency, tetapi juga menjelaskan
interaksi antar variabel sebagai kunci dari model JCAP.
Juvenile delinquency adalah hasil interaksi antara factor yang
ada dalam diri individu anak dengan variabel teman sebaya,
variabel sekolah, variabel keluarga dan masyarakat (Calhoun,
Glaser & Bartolomucci, 2011).

49
4. Komponen Intervensi JCAP (JCAP Intervention
Component)

Calhoun, Glaser & Bartolomucci, (2011) menjelaskan


bahwa pendekatan intervensi dan prevensi Model JCAP
meliputi beberapa strategi. Strategi yang digunakan yaitu:
kenseling individu, konseling kelompok, dan konsultasi
dengan sekolah dan keluarga sebagai pendekatan yang holistik
terhadap remaja. Semua strategi tersebut perlu dilakukan
untuk merubah pola perilaku kenakalan remaja.
Selain faktor individu, keluarga, sekolah dan teman
sebaya, faktor lain yang diuraikan dalam buku ini adalah
faktor gaya hidup dan faktor teknologi. Pada era global dewasa
ini faktor gaya hidup dan teknologi sangat dekat dengan
kehidupan anak remaja dan dapat menjadi faktor risiko
yang berpotensi terjadinya masalah perilaku pada remaja
(juvenile delinquency). Faktor gaya hidup dan teknologi saat
ini sudah menjadi budaya remaja yang penting di bahas
terkait perannya dalam terjadinya masalah perilaku juvenile
delinquency.

50
BAB 3
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
KENAKALAN REMAJA
(JUVENILE DELINQUENCY)

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan dalam teori


Bioekologikal Bronfenbrenner dan Model Juvenile Counseling and
Assessment Program Model (JCAPModel) bahwa ada beberapa
factor dalam diri individu dan lingkungan luar individu yaitu
factor lingkungan yang berpengaruh dalam perkembangan
anak remaja. Berbagai faktor ini akan menjadi faktor risiko
terjadinya gangguan perilaku juvenile delinquency jika dalam
kondisi individu dan lingkunga sekitarnya tidak baik.
3.1 Faktor Individu
Faktor individu yang akan dijelaskan pada bagian ini
meliputi empat aspek, yaitu kompetensi sosial atau kemampuan
hidup (life skill), self efficacy, religi dan faktor kecerdasan yang
diidentifikasi dari kemampuan akademik sebagai faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya juvenile delinquency (Stuart &
Laraia, 2005; Alligood, 2014, Calhoun, Glaser & Bartolomucci,
2011).

51
1. Life skill
Berdasarkan asal kata, life skill berasal dari dua kata
dasar, yaitu life yang berarti hidup dan skill yang berarti
ketrampilan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa life
skill adalah ketrampilan hidup atau kemampuan hidup atau
kecakapan hidup. Berdasarkan paduan kata tersebut maka
dapat didefinisikan bahwa life skill adalah kemampuan
atau kecakapan individu berupa ketrampilan tertentu yang
penting dikuasai untuk menjalankan kehidupan sosialnya.
Pengertian tersebut sesuai definisi yang diberikan
oleh World Health Organization (WHO) (1997), bahwa life
skill adalah kemampuan untuk berperilaku yang adaptif
dan positif yang membuat seseorang dapat menyelesaikan
kebutuhan dan tantangan sehari-hari dengan efektif
(Alfabetwritter, 2010). Life skill dapat diperoleh melalui
pendidikan, baik formal maupun non formal. Hal tersebut
sesuai dengan penjelasan Pasal 26 ayat 3 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 bahwa
Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan
yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial,
kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk
bekerja atau usaha mandiri. Berdasarkan penjelasan tersebut
dapat dijelaskan bahwa life skill, secara umum dibedakan
dua, yaitu life skill terkait kemampuan teknis (hard skill) dan
kemampuan hidup yang bersifat non teknis (soft skill).
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 mengartikan
kecakapan hidup Hard skill sebagai kecakapan vokasional atau
ketrampilan kerja. Robles (2012) menjelaskan bahwa: “Hard

52
skills are the technical expertise and knowledge needed for a
job”. Berdasarkan pendapat Robles tersebut dapat dijelaskan
bahwa supaya individu kompeten dalam pekerjaan, maka
harus mempunyai keahlian teknis dan pengetahuan tertentu
sebagai hal yang harus dikuasai.
Dalam kehidupan sehari-hari kecakapan hard skill ini
diperlukan untuk kebutuhan hidup. Hard skill dapat diamati,
dapat didefinisikan dengan jelas dan mudah diukur. Anak-
anak dapat mempelajari beberapa hard skill primer di sekolah.
Beberapa contoh hard skill yang dipelajari di sekolah antara
lain menulis, berhitung, bahasa, menyelesaikan proyek,
penelitian dan sebagainya. Ketrampilan hard lain sebagai
kegiatan ekstra kurikuler yang diajarkan di sekolah adalah
bermain musik, merajut, menjahit, melukis, bernyanyi dan
sebagainya.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.1 Pembelajaran Hard Skills “Bermain Musik” dan “Menari”

Berbeda dengan hard skill, kecakapan hidup Soft


skill adalah kualitas antar pribadi dan atribut pribadi yang
dimiliki seseorang. Soft skill adalah perilaku personal dan

53
interpersonal untuk mengembangkan dan memaksimalkan
penampilan atau kinerja manusia (Robles, 2012). Jika soft
skill baik maka akan meningkatkan kesuksesan individu,
sebaliknya jika soft skill buruk akan berakibat terjadinya
kegagalan individu, yang berpotensi untuk terjadinya
penyimpangan perilaku.
Berikut ini 10 atribut soft skill yang penting dimiliki
untuk menjadi individu sukses yang diidentifikasi Robles
(2012):
1. Integritas
2. Komunikasi
3. Kesopanan
4. Tanggung jawab
5. Keterampilan sosial
6. Sikap positif
7. Profesionalisme
8. Fleksibilitas
9. Kerja tim
10. Etika kerja

54
Gambar 3.2
Soft Skills “Sopan
dan Sabar”
Menunggu
Giliran Pentas

Sumber: Dokumen Pribadi

Duerden et al. (2012) mengidentifikasi ada sepuluh


(10) atribut Life skill yang mempengaruhi individu yaitu:
1. Kemampuan komunikasi (communication)
2. Berpikir kritis (critical thinking)
3. Pengambilan keputusan (decision making)
4. Penyelesaian masalah (problem solving).
5. kepemimpinan (leadership)
6. Harga diri (self esteem)
7. Tanggung jawab diri (self responsibility).
8. Sukarelawan (community volunteering),
9. Warga negara yang bertanggung jawab (responsible
citizenship)
10. kerja tim (teamwork).

55
Duerden et al. (2012) menjelaskan komunikasi
adalah kemampuan individu untuk bertukar pikiran, ide,
dan pesan, serta memberikan makna. Individu yang mampu
atau kompeten akan menunjukkan komunikasi dengan baik,
lancar, dan mudah dipahami. Individu yang kompeten akan
berkomunikasi dengan orang lain tanpa ada rasa takut atau
kekhawatiran.
Berpikir kritis (critical thinking) adalah kemampuan
berpikir dan melakukan tindakan sesuai dengan hasil
evaluasi. Problem solving adalah proses perilaku kognitif di
mana seseorang mencoba mengidentifikasi atau menemukan
cara-cara efektif atau adaptif untuk mengatasi masalah situasi
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pengambilan
keputusan (decision making) adalah kemampuan individu
untuk menentukan masalah, memilih berbagai alternatif,
mengidentifikasi risiko dan konsekuensi untuk setiap
alternatif, pemilihan alternatif, dan mengevaluasi (Duerden
et al., 2012).
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan
untuk berinteraksi dan memberikan pengaruh dalam
kelompok untuk untuk mencapai tujuan bersama
kelompok. Harga diri (self esteem) adalah persepsi diri
terkait ideal diri (harapan) dengan kenyataan berdasarkan
perbandingan dengan dan umpan balik dari orang lain.
Tanggung jawab diri (self responsibility) adalah kebiasaan
memiliki dan menerima konsekuensi dari tindakan pribadi.
Ada dua sub-domain yaitu tanggung jawab kepemilikan
(mengambil kepemilikan atas tindakan seseorang) dan

56
tanggung jawab koreksi (bersedia menerima koreksi dan
konsekuensi yang diakibatkan tindakan seseorang). Kerja
tim (teamwork) adalah kemampuan menjadi anggota tim
yang efektif berdasarkan pengetahuan, keterampilan, sikap,
atau perilaku yang tepat (Duerden et al., 2012). Hasil studi
yang dilakukan terhadap remaja nakal pengguna narkoba
menunjukkan bahwa program pelatihan kecakapan hidup
dapat memfasilitasi pencegahan kenakalan dan rehabilitasi
yang efektif bagi remaja nakal tersebut (Kenny, Blacker, &
Allerton, 2014).
Warga negara yang bertanggung jawab (responsible
citizenship) adalah kemampuan individu terlibat dalam
masyarakat sipil dan berdemokrasi, serta keinginan
memberikan kontribusi positif dan partisipasi kepada
masyarakat dalam kegiatan yang lebih baik. Termasuk dalam
kecakapan hidup menurut (Duerden et al., 2012) adalah
mampu menjadi sukarelawan masyarakat (community
volunteering). Kecakapan ini merupakan upaya memenuhi
kebutuhan masyarakat sesuai bakat dan keikhlasan
menyediakan waktu yang tidak terkompensasi kepada orang
lain.
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap
235 remaja di sekolah dan 60 remaja di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Kelas I Kota Blitar, mendapatkan bahwa
life skills remaja LPKA cenderung sama dengan remaja siswa.
Life skill yang diukur sebagai kecakapan individu meliputi
hard skill dan soft skill. Hard skill meliputi kemampuan
menulis, berhitung, bahasa, dan kemampuan menyelesaikan

57
proyek atau tugas, serta kemampuan dalam bidang seni dan
olah raga misal bermain musik, merajut, menjahit, melukis,
bernyanyi, sepak bola, basket dan yang lainnya. Soft skill yang
akan diukur meliputi: kemampuan komunikasi, berpikir
kritis, pengambilan keputusan, kepemimpinan, tanggung
jawab diri dan kerja tim. Hal ini menunjukkan bahwa remaja
siswa dan remaja LPKA mempunyai ketrampilan sosial yang
sama untuk menjalankan peran sosial di masyarakat.

2. Self Efficacy

Stuart and Laraia (2005) mendefinisikan “Self efficacy


is a belief in one’s personal capabilities”. Hal ini mempunyai
makna bahwa self efficacy merupakan keyakinan seseorang
akan kemampuan dirinya secara personal. Self-efficacy
adalah persepsi kemampuan diri meliputi kemampuan,
keyakinan, keefektifan terkait tingkat keterlibatan kognitif
individu dalam suatu tugas. Self efficacy adalah keyakinan
yang dimiliki seseorang terkait keberhasilannya dalam
menyelesaikan tugas khusus (Bandura, & Schunk dikutip
oleh Silver, Smith JR, & Greene, 2001). Model preventif
sebagai intervensi, perlu memperhatikan self efficacy anak
sebagai indikator dalam faktor individu yang mempengaruhi
perilaku dan perkembangan (Stuart & Laraia, 2005).
Sejalan dengan Bandura, pakar psikologi Alwisol
(2009) menjelaskan self efficacy  adalah persepsi individu
dalam menilai kemampuan dirinya untuk berfungsi dalam
situasi tertentu atau berhubungan dengan keyakinan diri
atas kemampuannya untuk melakukan tindakan sesuai yang

58
diharapkan.  Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan
bahwa Self efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang
akan kemampuan diri khususnya dalam mencapai suatu
tugas yang telah ditetapkan.
Tingkat self efficacy dapat berpengaruh terhadap
pikiran, motivasi, suasana hati, dan kesehatan fisik seseorang.
Self efficacy yang rendah cenderung untuk menghindari
tugas yang sulit. Mereka dengan self efficacy rendah akan
memfokuskan pada diri sendiri dalam keraguannya dan
tidak mampu berpikir bagaimana untuk menjadi orang
yang sukses. Mereka mudah menyerah dalam menghadapi
kesulitan, dan mudah menjadi korban depresi. Sebaliknya jika
self efficacy tinggi maka individu akan mampu menghadapi
tugas yang sulit. Mereka menilai bahwa tugas yang sulit
dianggap sebagai tantangan dan harus dikuasai (Bandura
dalam Zimmerman, 2014; Arnold and Boggs, 2016). Hal ini
mempunyai arti bahwa jika self efficacy seseorang tinggi maka
dia akan menjadi orang tangguh dan tidak mudah menyerah.
Jika self efficacy rendah maka akan cenderung menghindari
tugas dan menyerahkan tugas yang berat kepada orang
lain. Karena pentingnya self efficacy, maka perlu intervensi
untuk meningkatkannya. Intervensi self efficacy secara efektif
dapat membantu meningkatkan koping remaja, sehingga
mereka lebih adaptif dan mempunyai semangat juang untuk
berkompetisi (Brown, Malouff, & Schutte, 2013).
Hasil penelitian Efendi (2013) didapatkan bahwa
motivasi, kompetensi, niat, disiplin dan tanggung jawab
adalah faktor yang mempengaruhi self efficacy. Penelitian lain

59
menemukan bahwa semakin tinggi keyakinan self-efficacy
yang dimiliki oleh siswa maka akan semakin tinggi pula
motivasi berprestasi yang dimiliki oleh siswa tersebut dan
begitu pula sebaliknya (Novanda, Kurniati, & Rizmahardian,
2018).
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap
235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota
Blitar, didapatkan bahwa self efficacy remaja LPKA cenderung
kurang baik jika dibandingkan dengan remaja siswa. Self
efficacy dengan indikator kurang baik 43,3% terjadi pada
remaja LPKA dan 31,5% terjadi pada remaja siswa.

3. Religi dan Religiusitas

Thaha & Rustan (2017) menjelaskan bahwa agama


(religi) adalah fitrah dan penting bagi kehidupan manusia.
Agama adalah sumber nilai, petunjuk, dan pedoman yang
digunakan oleh manusia untuk menyelesaikan berbagai
masalah dalam kehidupan sehingga terbentuk motivasi,
tujuan hidup dan perilaku manusia yang lebih baik. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa sikap seseorang sangat erat
kaitannya dengan religiusitas. Orientasi religius merupakan
cara pandang individu mengenai agamanya dan bagaimana
menggunakan agama atau keyakinannya dalam kehidupan
sehari-hari. Tingkat religiusitas akan menyelaraskan
kehidupan dengan aturan agamanya sehingga individu patuh
dan berfikir positif bahwa segala yang telah ditetapkan oleh
Allah harus dilaksanakan (Thaha & Rustan, 2017).

60
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
religi (agama) adalah faktor yang penting dan tidak ada
keraguan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan
anak. Penanaman nilai-nilai religi sejak dini dalam
keluarga adalah hal yang penting dan dapat mempengaruhi
perkembangan religi anak pada masa yang akan datang.
Inkonsistensi dan tidak adanya dukungan kuat dalam
menjalankan ibadah sesuai agama, akan berpotensi untuk
terjadinya konflik pada diri remaja.
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap
235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota Blitar,
didapatkan bahwa remaja LPKA cenderung mempunyai religi
kurang baik jika dibandingkan dengan remaja siswa. Lebih
lanjut diketahui bahwa hasil uji regresi logistic didapatkan
bahwa religi berpengaruh secara signifikan terhadap
terjadinya Juvenile delinquency dengan P-value = 0,000 pada
α =0,05. Penanaman religi sejak dini adalah hal yang penting
untuk mencegah gangguan perilaku (kenakalan) pada anak
dan remaja. Faktor religi sebagai unit analisis yang diukur
dalam penelitian adalah keyakinan beragama dan ketaatan
dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.

61
Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.3 Pembelajaran Agama sejak Dini

4. Kompetensi Akademik

Faktor individu selanjutnya yang berpengaruh


terhadap terjadinya juvenile delinquency adalah kecerdasan.
Kompetensi akademik adalah bagian dari kecerdasan. Kata
kecerdasan berasal dari kata cerdas. Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) cerdas memiliki arti sempurna
dalam perkembangan akal budi seseorang manusia dalam
berfikir, mengerti, mempunyai pikiran yang tajam dan juga
sempurna pertumbuhan tubuhnya.
Kompetensi akademik atau kemampuan akademik
dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam bidang
akademik meliputi ilmu pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang dinilai dalam pendidikan formal. Kemampuan
akademis ini mengarah pada kemampuan kecerdasan atau
IQ yang dimiliki. Prestasi belajar sebagai hasil dari capaian

62
pembelajaran yang diraih siswa di sekolah, diwujudkan dalam
bentuk nilai atau angka kuantitif yang diperoleh tes atau
ujian baik ujian kognitif maupun praktik atau ketrampilan
tanpa mengabaikan capaian sikap dan tata nilai.
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya
terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA
Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa kompetensi akademik
remaja siswa mempunyai kecenderungan yang sama dengan
remaja LPKA. Hal ini mempunyai makna bahwa remaja
delinkuen juga mempunyai kemampuan akademik yang
tidak jauh beda dengan remaja siswa, dan dapat diartikan
mempunyai kecerdasan yang tidak jauh beda dengan remaja
siswa. Namun demikian hal ini perlu pembuktian dalam
penelitian ilmiah. Kecerdasan yang diukur dalam kompetensi
akademik adalah hasil capaian belajar meliputi prestasi yang
didapat, perolehan nilai, kejuaraan dibidang akademik yang
didapatkan.
Penelitian Anjaswarni et al. (2019) juga menemukan
bahwa secara keseluruhan berdasarkan hasil tabulasi silang
terkait faktor individu ketahui kenakalan remaja cenderung
terjadi pada individu dengan karakteristik yang kurang baik.
Semakin kurang baik faktor individu remaja, maka semakin
berpotensi terjadinya kenakalan.

3.2 Faktor Mekanisme Koping


Definisi mekanismen koping, banyak diberikan
ahli. Mekanisme koping biasanya dikaitkan dengan

63
stress. Folkman & Lazarus, 1980 (dikutip oleh Baqutayan,
2015) mendefinisikan koping adalah upaya kognitif dan
perilaku untuk menguasai, mengurangi, atau mentoleransi
tuntutan terhadap stress. Koping akan mencari cara untuk
meringankan dampak masalah yang terjadi akibat stress.
Lazarus dan Folkman menjelaskan ada dua jenis strategi
koping yaitu strategi yang berfokus pada masalah (problem-
focused coping) dan strategi yang berfokus pada emosi
(emotion-focused) (Baqutayan, 2015). Lebih lanjut Lazarus
dan Folkman menjelaskan bahwa problem-focused coping
ditujukan untuk memecahkan masalah atau melakukan
sesuatu untuk mengubah sumber stress. Sedangkan
emotion-focused coping adalah strategi yang ditujukan
untuk mengurangi atau mengelola tekanan emosional yang
berkaitan dengannya situasi.
Menurut Lazarus dan Folkman, problem focused coping
antara lain koping konfrontatif (mempertanyakan), mencari
dukungan sosial, merencanakan pemecahan masalah, dan
mencari dukungan Sosial. Emotional focused coping antara
lain kontrol diri, Mencari, membuat jarak (menjauh),
penilaian positif, menerima tanggung Jawab, dan melarikan
/ menghindari (Baqutayan, 2015).
Ahli lain menjelaskan mekanisme koping adalah usaha
langsung dalam mengelola stress untuk mempertahankan
diri supaya berperilaku adaptif. Mekanisme koping dapat
bersifat konstruktif atau destruktif. Mekanisme koping yang
konstruktif terjadi jika individu yang cemas merasakan
adanya tanda-tanda dalam dirinya, menerima respon tersebut

64
dan berusaha untuk menyelesaikan masalah. Koping yang
destruktif terjadi jika individu yang mempunyai masalah
tidak berusaha melakukan penyelesaian masalahnya dan
hanya menghindar dari masalah tersebut (Stuart & Laraia,
2005).
Stuart & Laraia (2005) menjelaskan ada 3 tipe
mekanisme koping yang digunakan individu dalam
menghadapi masalah yaitu :
1. Problem-focused coping mechanisms : termasuk
penyelesaian masalah dan usaha langsung misalnya
melalui negosiasi, konfrontasi dan nasehat.
2. Cognitively-focused Coping Mechanisms : Seseorang
berusaha mengontrol makna atau arti masalah dan
menetralkannya, termasuk ‘positive comparison’,
mengabaikan secara selektif, reward penggantian,
devaluasi terhadap obyek.
3. Emotion-focused coping mechanisms : berorientasi pada
emotional distress, termasuk penggunaan ‘ego defense
mechanisms’ seperti : denial, supresi, atau proyeksi, dsb.
Arnold & Boggs, (2016) menjelaskan bahwa pola
koping biasanya berkaitan dengan perilaku asertif. Perilaku
dan komunikasi asertif penting dalam kehidupan sehari-hari
dan sangat perlu dikembangkan untuk berinteraksi dengan
orang lain dan lingkungan. Lebih lanjut Arnold & Boggs
(2016) menjelaskan bahwa orang yang gagal asertif akan
menunjukkan koping yang tidak adekuat dan menjadi faktor
risiko Juvenile delinquency. Perilaku asertif mempunyai

65
hubungan kausatif dengan mekanisme koping individu.
Perilaku asertif akan mempengaruhi mekanisme koping
individu dan sebaliknya mekanisme koping individu akan
mempengaruhi perilaku asertif seseorang.
Hampir sama dengan Folkman & Lazarus dan Carver
dan Weintraub (dikutip oleh Baqutayan, 2015), dijelaskan
bahwa disamping problem-focused coping dan Emotion-
focused coping, dia menambahkan satu model lagi yang
disebut coping disfungsional. Problem-focused coping meliputi
koping aktif, perencanaan, pengendalian diri, mencari
dukungan sosial untuk alasan instrumental, dan penindasan
aktivitas yang bersaing. Emotion-focused coping meliputi
reinterpretasi dan pertumbuhan positif, agama, humor,
penerimaan, dan mencari dukungan sosial untuk alasan
emosional. Disfungsional coping, meliputi memfokuskan,
melampiaskan emosi, penolakan, pelepasan perilaku,
pelepasan mental, dan penggunaan alkohol / narkoba.
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya
terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas
I Kota Blitar, didapatkan bahwa remaja delinkuen cenderung
menggunakan koping disfungsional dan koping gabungan,
sedangkan remaja siswa cenderung menggunakan koping
berfokus pada masalah dan koping berfokus pada emosi.
Dalam penelitian tersebut, Anjaswarni et al. (2019)
memasukkan mekanisme koping gabungan di samping tiga
mekanisme koping yang merujuk pada pendapat Folkman
& Lazarus dan Carver &Weintraub (dikutip oleh Baqutayan,
2015) yaitu strategi koping yang berfokus pada masalah

66
(problem-focused coping), strategi yang berfokus pada emosi
(emotion-focused) dan koping yang disfungsi ( disfungsional
coping). Memasukkan mekanisme koping gabungan ini
dirasakan perlu karena tidak semua individu menggunakan
satu mekanisme koping secara dominan. Koping gabungan
digunakan jika responden cenderung kuat menggunakan 2
atau 3 jenis mekanisme koping.

3.3 Faktor Keluarga


Keluarga adalah sistem pendukung yang penting
bagi perkembangan remaja. Pola dukungan yang baik akan
menghasilkan perkembangan yang baik bagi remaja. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sancahya & Susilawati (2014)
bahwa perkembangan remaja berhubungan dengan keluarga
di setiap aspeknya. Keluarga adalah lingkungan sosial
pertama bagi remaja untuk berkembang. Rohmatun (2014)
memperjelas bahwa pendidik pertama bagi anak adalah
orang tua. Orang tua adalah guru pertama yang memberikan
pendidikan pada anak, yang disampaikan melalui pengasuhan
kepada anaknya.
Faktor ekologi keluarga yang berpengaruh terhadap
terjadinya kenakalan remaja yang dijelaskan dalam bagian
ini meliputi: status ekonomi keluarga, komunikasi dan
relasi keluarga, fungsi keluarga, pengasuhan (pola asuh)
dan kedekatan orang tua anak (bonding) (Calhoun, Glaser &
Bartolomucci, 2011; Henggeler, Edwards & Borduin, 1987;
Kim & Kim, 2008; Sriyanto et al, 2014).

67
1. Status ekonomi keluarga

Yoshikawa dikutip Tremblay & Craig dalam Blanc


(2015) dalam Model Cummulative Effect menjelaskan bahwa
kemiskinan (proverty) dapat mempengaruhi pola asuh dan
ikatan orang tua-anak (bonding). Kemiskinan dalam keluarga
mengakibatkan pola asuh buruk (poor parenting), dan pola
asuh yang buruk mengakibatkan ikatan ibu-anak menjadi
buruk (poor bonding). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ikatan
orang tua – anak yang buruk mengakibatkan relasi teman
sebaya dengan anak menjadi buruk, akhirnya terjadi perilaku
menyimpang (kriminal) (Tremblay & Craig dalam Blanc,
2015).

Sumber: Internet diakses 12 Oktober 2019

Gambar 3.4 Kemiskinan Sebagai Faktor Risiko Kenakalan Remaja

Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap


235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota
Blitar, didapatkan bahwa dalam status ekonomi keluarga
tidak ada beda antara remaja siswa dengan remaja LPKA. Hal

68
ini mempunyai makna bahwa, kenakalan tidak ditentukan
oleh faktor kemiskinan. Fenomena yang terjadi dewasa ini,
kenakalan remaja, banyak juga terjadi pada keluarga kaya.

2. Komunikasi dan relasi keluarga

(Anjaswarni, 2016) menjelaskan bahwa komunikasi


adalah bagian penting dalam kehidupan dan selalu menyatu
dalam kehidupan. Artinya bahwa kehidupan akan sepi
dan mati tanpa ada komunikasi. Individu setiap saat
berkomunikasi dan menggunakannya dalam berinteraksi
dengan individu lainnya. Kata-kata yang diucapkan secara
verbal adalah komunikasi, diam adalah komunikasi, tertawa
adalah komunikasi, dan menangis adalah komunikasi.
Komunikasi akan membuat kehidupan menjadi interaktif
dan lebih dinamis.
Komunikasi Komunikasi adalah jembatan penghubung
relasi antara orang tua dengan anak. Tanpa komunikasi
yang baik dalam hubungan orang tua dengan anak, dapat
mengakibatkan hubungan mereka menjadi buruk. Kondisi ini
sangat tidak nyaman bagi anak dan akhirnya anak mencari
komunikasi dan relasi yang menyenangkan di luar rumah.
Komunikasi adalah aspek penting dalam hubungan antara
orang tua dengan anak.

69
Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 3.5 Komunikasi Sebagai Jembatan Penghubung Orang Tua-Anak

Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap


235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota
Blitar, didapatkan bahwa bahwa komunikasi relasi remaja
LPKA cenderung kurang baik jika dibandingkan remaja
siswa. Hal ini mempunyai makna bahwa keluarga yang
mempunyai komunikasi relasi tidak baik akan berpotensi
untuk terjadinya kenakalan remaja. Komunikasi relasi yang
diukur dalam penelitian meliputi pola komunikasi yang
diterapkan dalam keluarga dan harmonisasi hubungan ayah
– ibu dengan anak.

3. Fungsi keluarga

Tanner-Smith dkk (2013) (dalam Howell et al.,


2014) menjelaskan bahwa faktor risiko yang berpengaruh
terhadap terjadinya juvenile delinquency adalah keterampilan
mengasuh anak dan kohesi keluarga. Terkait fungsi keluarga
dijelaskan bahwa keluarga yang disfungsional adalah

70
keluarga yang tidak mampu berfungsi dengan baik dalam
mengayomi anggotanya. Keluarga disfungsional ditunjukkan
dengan adanya perilaku kekerasan pada anggota keluarga,
hubungan orang tua anak yang buruk, pengawasan yang
buruk dan dukungan keluarga yang kurang. Situasi dan
kondisi yag demikian akan berpotensi terjadinya perilaku
menyimpang pada anak.

Sumber: internet diakses 13 Oktober 2018

Gambar 3.6 Fungsi Keluarga

Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap


235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota
Blitar, didapatkan bahwa fungsi keluarga remaja LPKA
cenderung kurang baik jika dibandingkan remaja siswa. Hal
ini mempunyai makna bahwa keluarga yang mempunyai
fungsi yang tidak baik akan berpotensi untuk terjadinya
kenakalan remaja.

71
4. Pola Asuh (Pengasuhan)
Parental Nurturance atau parenting dalam Bahasa
Indonesia sering disebut sebagai pola asuh atau pengasuhan.
Chapman (2012) menjelaskan bahwa pola asuh adalah pola
yang menggambarkan interaksi antara anak dengan orangtua.
Pola asuh berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik,
kebutuhan psikologis, serta sosialisasi norma-norma yang
berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungannya.
Chapman (2012) membagi pola asuh anak terdiri dari
empat gaya yang menggabungkan otoritas orang tua dengan
pengasuhan, yaitu:
a. Pola asuh berwibawa (otoritas tinggi dan pengasuhan
tinggi)

b. Pola asuh otoriter (otoritas tinggi dan pengasuhan rendah);

c. Pola asuh permisif (otoritas rendah dan pengasuhan tinggi)

d. Pola asuh acuh tak acuh atau lalai (otoritas rendah dan
pengasuhan rendah).

Beberapa tipe pola asuh yang umum dikenal adalah


pola asuh demokratis, otoriter, permisif dan otoritatif. Pola
asuh ini penting dalam rangka meningkatkan kompetensi
anak dalam kehidupannya.
Kenny, Blacker, & Allerton (2014) dalam studinya
menjelaskan bahwa pola asuh yang efektif ditunjukkan
sebagai kegiatan yang eksplisit seiring dengan pertumbuhan
anak dan akan direspon dengan cepat oleh mereka saat

72
tumbuh kembangnya dari keterantungan total masa bayi
menuju kemandirian di masa remaja. Kualitas perawatan
dini dan ikatan emosional yang dibangun orang tua dengan
anak, sangat penting untuk perkembangan pro-sosial yang
sehat. Ikatan orang tua dan anak ini akan menopang kualitas
keterikatan anak dengan orang tua, dan mempengaruhi
semua tahap perkembangan sepanjang masa kanak-kanak
sampai dengan remaja.
Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter akan
menghasilkan self – efficacy anak yang kurang berkembang
dengan optimal karena anak tidak mempunyai kesempatan
berpendapat atau mengemukakan ide, gagasan dan
pemikirannya. Otoriter juga menyebabkan inisitif anak
hilang sehingga mereka menjadi pribadi yang pesimis
dan mempunyai sikap yang tidak peduli terhadap sekitar
(Rohmatun, 2014). Pendapat ini sejalan dengan Chapman
(2012) dan Sari & Akmal, (2018) yang menjelaskan bahwa
otoritas orang tua dan bonding akan berdampak pada
kemampuan fungsional remaja. Segala bentuk interaksi
antara orangtua dengan bayi atau anak akan menjadi suatu
pengalaman bagi anak dan akan berkembang sebagai
hubungan kelekatan yang dapat mempengaruhi self-efficacy,
self-confidence, dan self-esteem yang semuanya penting untuk
keberhasilan akademik anak.
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap
235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota
Blitar, didapatkan bahwa pola asuh remaja LPKA cenderung
kurang baik jika dibandingkan remaja siswa. Indikator pola

73
asuh kurang baik 45% untuk remaja LPKA dan 25,5% untuk
remaja siswa. Hal ini mempunyai makna bahwa keluarga yang
pola asuhnya tidak baik akan berpotensi untuk terjadinya
kenakalan remaja.
5. Kedekatan Orang Tua Anak (Bonding)

Parentang bonding atau disingkat bonding adalah


hubungan antara seseorang dengan orang yang lain sehingga
terbentuk attachment (bonding attachment). Istilah Bonding
attachment sering dikaitkan dengan ikatan kasih sayang
antara bayi atau anak dengan orang tua. Bonding merupakan
kebutuhan yang sangat penting bagi bayi karena dengan
bonding maka bayi belajar mengembangkan rasa percaya
diri dan keterampilan dalam hubungan sosial. Dalam
implementasinya, bonding dapat diwujudkan dalam bentuk
kontak dini antara ibu dan bayi segera setelah bayi dilahirkan,
sentuhan, kontak mata, suara, dan kehangatan serta pelukan
di dada ibu (Chapman, 2012).

Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019

Gambar 3.7 Bonding Ibu - Bayi

74
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap
235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota
Blitar, didapatkan bahwa bonding remaja siswa cenderung
lebih baik daripada bonding remaja LPKA.
Penelitian Anjaswarni et al. (2019) juga menemukan
bahwa secara keseluruhan berdasarkan hasil tabulasi silang
terkait faktor keluarga ketahui bahwa kenakalan remaja
cenderung terjadi pada keluarga yang kurang baik. Semakin
tidak baik faktor keluarga, semakin berpotensi untuk
terjadinya kenakalan remaja.

3.4 Faktor Lingkungan Sekolah

Calhoun, Glaser & Bartolomucci (2011) menjelaskan


bahwa ekologi sekolah adalah lingkungan sekolah yang
mempengaruhi perilaku anak. Pola perilaku tersebut
meliputi pola kedekatan pertemanan, hubungan guru murid,
hubungan anak dengan sekolah dan kompetensi akademik.
Dalam lingkungan sekolah, unsur penting yang perlu
dimasukkan adalah kebijakan atau aturan sekolah. Hal ini
penting karena penerapan kebijakan yang bersifat mengikat
dapat menjadi faktor risiko terjadinya masalah remaja di
sekolah, misalnya tidak setuju atau berontak dari aturan
yang diterapkan.
Berdasarkan model Cummulative Effect Yoshikawa
dikutip oleh Tremblay & Craig dalam Blanc (2015) terkait
proses terjadinya juvenile delinquency dijelaskan bahwa
gangguan biologikal mengakibatkan terjadinya defisit fungsi

75
kognitif. Defisit fungsi kognitif mengakibatkan terjadinya
problem sekolah dan pada akhirnya terjadi perilaku kriminal
pada anak (remaja).
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya terhadap
235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA Kelas I Kota
Blitar, didapatkan bahwa remaja LPKA cenderung mempunyai
kategori kurang baik pada semua indikator dalam faktor
lingkungan sekolah yaitu kebijakan sekolah, pola kehadiran,
hubungan guru murid, dan hubungan anak dengan sekolah
untuk jika dibandingkan dengan remaja siswa.
Hasil analisis regresi logistik didapatkan pola kehadiran
dan hubungan guru - murid berpengaruh secara signifikan
terhadap terjadinya juvenile delinquency dengan P-value =
0,000 (pola kehadiran) dan P-value = 0,008 (hubungan guru –
muid). Berdasarkan hasil analisis tabulasi silang, didapatkan
bahwa kenakalan remaja cenderung terjadi pada lingkungan
sekolah yang kurang baik atau kurang kondusif bagi remaja.
Semakin tidak baik lingkungan sekolah bagi remaja, maka
semakin berpotensi untuk terjadinya kenakalan. sebaliknya
semakin baik lingkungan sekolah semakin tidak berpotensi
untuk terjadinya kenakalan (Anjaswarni et al., 2019).

3.5 Faktor Teman Sebaya

Calhoun, Glaser & Bartolomucci (2011) menjelaskan


bahwa ekologi teman sebaya adalah lingkungan teman sebaya
yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak. Lebih
terperinci Willis, (2017) menjelaskan bahwa pertemanan

76
sebaya biasanya dilakukan dalam bentuk kumpulan atau
kelompok anak-anak remaja yang mempunyai pemahaman
dan kebutuhan yang sama. Kelompok teman sebaya biasanya
dikenal dengan istilah ‘gang’ remaja. Ada dua macam ‘gang’
remaja, yaitu ‘gang’ remaja di sekolah dan ‘gang’ remaja di
luar sekolah
Lebih lanjut Willis (2017) menjelaskan bahwa ‘gang’
remaja di sekolah adalah kumpulan remaja di sekolah terdiri
dari 3 – 5 orang yang mempunyai kesamaan hobi, minat,
kesetiakawanan sebagai sahabat dan mempunyai motivasi
bersama dalam belajar. Kelompok gang’ remaja di sekolah
ini melakukan aktivitasnya dengan ngobrol bersama terkait
isu yang sedang tren, diskusi tentang hobi atau kesenangan,
‘cuhat’ masalah pribadi atau diskusi terkait mata pelajaran.
Kelompok gang’ remaja di sekolah ini akan bermanfaat jika
digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang
diberikan guru.
(Willis, 2017) selanjutnya menjelaskan bahwa ‘gang’
remaja di luar sekolah adalah kumpulan remaja yang tidak
betah tinggal di rumah karena banyak masalah. Pertemuan
remaja di luar rumah ini dilakukan karena kesamaan masalah
ekonomi (kemiskinan atau kekayaan), kesamaan masalah
orang tua, kurang perhatian karena kesibukan orang tua
dalam pekerjaan, atau kesamaan dalam kebutuhan. Biasanya
mereka berkumpul untuk mendapatkan kesenangan dan
kenyamanan psikologis.
Pertemanan sebaya adalah faktor dominan yang
menjadi faktor risiko terjadinya kenakalan remaja.

77
Pertemanan sebaya ini penting karena sangat menonjol
dikalangan remaja. Remaja dalam proses tumbuh
kembangnya, lebih nyaman bersama teman sebaya daripada
dengan keluarga. Hal ini cukup beralasan karena dengan
teman sebaya, mereka akan bebas berkomunikasi tanpa ada
aturan etika yang membatasi. Mereka bebas cerita, tertawa,
berdebat, berkumpul dan beraktivitas karena dalam level
perkembangan yang sama. Yoshikawa (dikutip oleh Tremblay
& Craig dalam Blanc, 2015), hubungan pertemanan yang
buruk dapat berakibat terjadinya masalah di sekolah yang
akhirnya dapat terjadi perilaku kriminal pada anak.
Pola pertemanan sebaya yang berisiko untuk terjadinya
kenakalan remaja dapat diidentifikasi dari pola relasi sebaya,
ada tidaknya paparan zat dalam lingkungan teman sebaya
dan sikap peer.
Anjaswarni et al. (2019) dalam penelitiannya
terhadap 235 remaja di sekolah dan 60 remaja di LPKA
Kelas I Kota Blitar, didapatkan bahwa terpapar zat (NAPZA)
remaja LPKA cenderung lebih tinggi jika dibandingkan
dengan remaja siswa, namun demikian sebagian dari remaja
siswa sudah terpapar zat dalam kategori cukup atau sedang
(54,9%). Sikap peer berupa tuntutan toleransi dan mengikuti
aturan peer cenderung tinggi pada remaja remaja LPKA
dibandingkan remaja siswa. Selanjutnya Anjaswarni et al.
(2019) menemukan bahwa terpapar zat dan sikap peer
berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya juvenile
delinquency.

78
Lebih lanjut Anjaswarni et al. (2019) menemukan
bahwa kenakalan remaja cenderung terjadi pada remaja
yang melakukan pertemanan sebaya dengan sangat kuat
(sangat solid). Semakin solid pertemanan sebaya, semakin
berpotensi untuk terjadinya kenakalan. Lebih lanjut
didapatkan bahwa remaja delinkuen di LPKA, terpapar zat
(NAPZA) lebih tinggi dibandingkan dengan remaja siswa di
sekolah, namun demikian sebagian dari remaja siswa sudah
terpapar zat dalam kategori cukup atau sedang (54,9).

3.6 Faktor Gaya Hidup (Life Style)


Gaya hidup (Life style) merupakan pola perilaku yang
sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan bagi individu.
Seorang psikolog Austria, Alfred Adler pada tahun 1929
mendefinisikan bahwa gaya hidup adalah bagian dari
kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah bergantung
zaman atau keinginan seseorang untuk mengubah gaya
hidupnya (Emanuel, 2018). Gaya hidup bersifat relatif
tergantung dari penilaian orang lain, ada gaya hidup baik dan
gaya hidup buruk.
Dewasa ini, kehidupan di jaman modern berbeda
dengan kehidupan masa lalu baik secara fisik maupun sosial.
Perbedaan lingkungan pada masa lalu dan masa sekarang
dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis manusia.
Berbagai perbedaan tersebut antara lain sarana transportasi,
penggunaan mesin-mesin, perkembangan teknologi. Hal-hal
tersebut akan menggantikan pola hidup yang alami menjadi
pola hidup yang modern (Heath & Berman, 2008).

79
Hasil penelitian Ilardi, Karwoski, Lehman, Stites,
dan Steidtmann, 2007 (dikutip oleh Heath & Berman,
2008), menyebutkan ada enam elemen gaya hidup yang
mempengaruhi kesehatan mental yaitu tidur, nutrisi
omega-3, olahraga, renungan, sinar matahari, dan sosialisasi.
Dijelaskan bahwa kesehatan mental dapat terganggu jika
kebutuhan akan gaya hidup ini tidak tercukupi. Gaya hidup
modern tidak lagi menyediakan enam kebutuhan gaya hidup
tersebut dalam jumlah yang cukup.
Gaya hidup baik antara lain pola aktivitas olah raga
yang teratur, pola makan sehat, pola istirahat dan lain lain
(Tomba, 2012; Emanuel, 2018). Gaya hidup baik akan
berpengaruh terhadap kesehatan (Tomba, 2012). Gaya hidup
buruk antara lain berbicara tidak sopan, makan sembarangan,
minum-minuman keras, istirahat (tidur) yang buruk dan
lain-lain (Emanuel, 2018). Terkait dengan pola istirahat
tidur dijelaskan bahwa gangguan tidur atau pola tidur yang
buruk akan menggangu stabilitas emosi, individu menjadi
iritabel dan mudah marah (Taylor, Lillis, LeMone, & Lynn,
2011). Gangguan emosi yang terjadi karena gangguan atau
pola tidur yang tidak baik akan berpotensi untuk terjadinya
kekerasan.
Gaya hidup lain yang menjadi budaya bagi individu
pada jaman modern ini adalah pemanfaatan waktu luang
dan rekreasi. Kedua bentuk gaya hidup ini merupakan
budaya baru di masyarakat yang dapat berhubungan dengan
juvenile delinquency yang perlu pembuktian (Tekin, 2010).
Pemanfaatan waktu luang dan budaya rekreasi yang kurang

80
tepat akan berdampak terhadap kesehatan.
Hasil penelitian yang dilakukan di Sekolah dan Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) menunjukkan bahwa
kenakalan remaja cenderung terjadi pada remaja dengan life
style yang kurang baik. Pola tidur dan pemanfaatan waktu
luang berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya
juvenile delinquency (Anjaswarni et al., 2019).

3.7 Faktor Teknologi

Dewasa ini, teknologi merupakan bagian penting


bagi kehidupan manusia dan sudah menjadi gaya hidup
yang sulit dipisahkan dari individu. Teknologi sudah
menjadi kebutuhan masyarakat untuk berbagai kepentingan.
Perkembangan teknologi terjadi sangat pesat dan menyebar
ke seluruh lapisan masyarakat di perkotaan maupun di
pedesaan.
Dalam kehidupan masyarakat modern yang serba
kompleks, serta hasil perkembangan teknologi modern dan
industri yang pesat, mengakibatkan perubahan kehidupan
sosial manusia. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang pesat serta fenomena masyarakat modern
yang tidak terbendung, dapat berdampak positif maupun
negative (DeLisi et al., 2012; Sriyanto et al., 2014).
Dampak positif perkembangan teknologi adalah
semakin cepatnya aksesibilitas informasi untuk berbagai
kepentingan diberbagai sektor antara lain di bidang
perekonomian, pendidikan, perdagangan, kesehatan dan

81
sebagainya. Dalam dunia kesehatan, teknologi sudah banyak
digunakan untuk kepentingan manajemen, pemeriksaan
kesehatan dan penyelesaian berbagai masalah kesehatan.
Teknologi yang dikembangkan bermanfaat sebagai tool atau
alat kerja. Dampak negative dari pemanfaatan teknologi
yang salah dan tak terkendali khususnya dalam penggunaan
gadget adalah terjadinya penyimpangan perilaku misalnya
pemarah, melakukan tindak kekerasan, dan lainnya sebagai
akibat terjadinya adiksi.
Hasil penelitian Sriyanto at al. (2014) pada
siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jawa Barat,
menunjukkan bahwa media massa berpengaruh secara
signifikan terhadap terjadinya juvenile delinquency. DeLisi et
al. (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa bermain
video game kekerasan berkorelasi dengan terjadinya agresi
pada remaja nakal yang dipenjarakan (juvenile delinquency).

Hasil penelitian Anjaswarni et al.(2019) yang


dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Lembaga Pembinaan Anak Khusus
(LPKA) menunjukkan bahwa kenakalan remja cenderung
terjadi pada remaja yang sering menggunakan teknologi
untuk hal yang tidak baik. Makin sering menggunakankan
teknologi untuk hal yang tidak baik, makin berpotensi terjadi
kenakalan. Lebih lanjut didapatkan bahwa remaja delinkuen
lebih sering menggunakan teknologi untuk tontonan negative
dan permainan video game. Kedua hal ini berpengaruh
secara signifikan terhadap terjadinya kenakalan remaja.

82
Sumber: Internet diakses 13 Oktober 2019

Gabar 3.8 Teknologi Telah Menguasai Anak - Remaja

83
84
BAB 4
PENCEGAHAN JUVENILE
DELINQUENCY

Sumber: internet diakses 13 Oktober 2019

Gambar 4.1 Level Pencegahan

4.1 Teori Pencegahan


Penanganan individu (remaja) juvenile delinquency
berfokus pada intervensi pencegahan dan dilakukan secara
komprehennsif dengan melibatkan berbagai disiplin praktik.
Konsep pencegahan dalam pembahasan ini menggunakan

85
Model Sistem dari Betty Neuman yang mengintegrasikan teori
model pencegahan yang dikembangkan oleh Caplan. Caplan
(dikutip oleh Gail W. Stuart & Laraia, 2005) menjelaskan
pomosi kesehatan mental (mental health promotion) dan
pencegahan sakit mental (mental illness prevention) adalah
bagian penting dari asuhan keperawatan psikiatri. Caplan
menjelaskan ada tiga tingkat intervensi pencegahan (three
levels of preventive intervention), yaitu pencegahan primer
(primary prevention), pencegahan sekunder (secondary
prevention) dan pencegahan tersier (tertiary prevention).
Model Sistem Neuman mengacu pada teori sistem
secara umum yang berfokus pada klien sebagai suatu sistem,
yaitu sebagai individu, keluarga, kelompok atau masyarakat
dan respon klien terhadap stressor. Sistem klien terdiri dari
lima variabel yaitu fisiologis, psikologis, sosial – budaya,
tumbuh kembang, dan spiritualits yang merupakan satu
bagian dari lingkaran konsentris. Stresor adalah stimulus
yang menekan individu yang bersifat intrapersonal,
interpersonal atau ekstrapersonal. Model Sistem Neuman
mempunyai bagian penting yaitu teori stabilitas klien dan
pencegahan sebagai suatu intervensi yang dilakukan secara
mutidisiplin (Alligood, 2014).
Teori pencegahan adalah pernyataan tentang
hubungan kausal antara eksposur atau faktor risiko dan
kejadian penyakit (pencegahan primer) dan perkembangan
(pencegahan sekunder). Lebih fokus definisi teori pencegahan
dalam perilaku kesehatan adalah sebagai pernyataan tentang
hubungan kausal antara perilaku kesehatan dan kejadian

86
penyakit dan perkembangan (Shumaker, Ockene & Riekert,
Sally et al., 2009).
Berdasarkan populasi sasaran, ada tiga tipe intervensi
preventif, yaitu (1) universal, (2) selective dan (3) indicated.
Universal adalah tipe intervensi preventif dengan target
kelompok populasi umum tanpa mempertimbangkan faktor
risiko. Selective adalah tipe intervensi preventif dengan target
individu atau kelompok yang mempunyai risiko tinggi secara
signifikan untuk terjadi gangguan. Indicated adalah tipe
intervensi preventif dengan target individu berisiko tinggi
yang mempunyai gejala mirip gangguan mental tertentu atau
tanda-tanda biologis yang menunjukkan kecenderungan
gangguan mental ( Stuart, 2013).
Pencegahan sebagai suatu intervensi menurut
Neuman adalah tindakan yang bertujuan membantu klien
mengatasi dan memelihara stabilitas sistem, yang dapat
terjadi sebelum maupun sesudah garis pertahanan dan garis
resistensi ditembus stresor. Neuman menyatakan bahwa
intervensi awal dilakukan jika ada stresor yang mencurigakan
atau dapat diidentifikasi sejak awal. Intervensi dilakukan
berdasarkan tingkat kemungkinan atau aktual suatu reaksi
(Alligood, 2014). Kegunaan pencegahan sebagai intervensi
adalah untuk memperoleh stabilitas pada sistem klien secara
maksimal, selanjutnya menggunakan proses keperawatan
dengan menempatkan klien sebagai penerima asuhan
keperawatan yang secara aktif berpartisipasi bersama
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (Alligood,
2014). Model Sistem Neuman seperti pada gambar 4.2.

87
Sumber: Alligood (2014)

Gambar 4.2 Model Sistem Neuman

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan yang digunakan
jika stresor telah dapat diduga atau diidentifikasi, reaksi
belum terjadi tetapi tingkat risiko sudah diketahui (Neuman
dikutip Alligood, 2014). Tujuan intervensi (1) menurunkan
74
faktor risiko atau angka kejadian penyakit atau masalah
kesehatan, (2) mencegah penyakit atau kondisi kesehatan
yang buruk melalui promosi kesehatan dan proteksi, (3)
mengurangi kasus baru melalui identifikasi kelompok

88
berisiko, (4) memanfaatkan strategi koping untuk mengatasi
stress atau menyelesaikan masalah, dan (5) menguatkan
kemampuan atau daya tahan terhadap stres (Stuart & Laraia,
2005; Nursalam, 2015; Anderson & McFarlane, 2011).
Karakteristik pencegahan primer adalah promosi
kesehatan untuk meningkatkan adaptasi melalui penggunaan
sumber-sumber koping untuk menjaga kesehatan mental
seseorang (Nursalam, 2015). Hal ini sesuai dengan
pendapat yang menjelaskan bahwa upaya preventif sebagai
intervensi dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan
(Health Education). Intervensi preventif terkait pendidikan
kesehatan dapat membantu individu khususnya remaja
untuk mengendalikan kehidupan mereka dan memulai
proses perubahan yang diatur sendiri dan dipandu oleh
rasa ketahanan (sense of resiliency) dan keampuhan pribadi
(personal atau self efficacy) (Gail W. Stuart & Laraia, 2005).

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah intervensi yang
dilakukan setelah munculnya gejala akibat stres yang terjadi.
Sumber daya internal dan eksternal klien digunakan untuk
memperkuat garis pertahanan resistensi internal, mengurangi
reaksi, dan meningkatkan faktor resistensi (Neuman dikutip
oleh Alligood, 2014). Adapun tujuan pencegahan sekunder
adalah:
a. Menurunkan prevalensi dan jumlah kasus
b. Menurunkan perkembangan penyakit atau masalah

89
kesehatan
c. Mencegah komplikasi dan disabilitas
d. Mencegah penyebaran penyakit.
Berdasarkan tujuan tersebut maka para ahli menyimpulkan
bahwa komponen penting dalam pencegahan sekunder
adalah temuan kasus dini (early case finding), screening,
diagnosis dan treatment yang tepat sesuai kasus atau
masalah (Stuart & Laraia, 2005; Nursalam, 2015; Anderson
& McFarlane, 2011). Terkait dengan kenakalan remaja, maka
temuan kasus dini (deteksi dini) dan screening penting
dilakukan pada kelompok remaja yang sudah atau sering
terpapar oleh faktor risiko. Hal ini penting dilakukan agar
segera dapat dilakukan pembatasan paparan faktor risiko
kenakalan remaja melalui edukasi dan promosi kesehatan
untuk menurunkan prevalensi dan jumlah kasus. JIka paparan
faktor sudah tinggi tetapi belum terjadi masalah perilaku
pada remaja, maka perlu dilakukan konseling pribadi,
meningkatkan ketahanan diri, pengobatan yang diperlukan
atau konsultasi untuk penyelesaian masalah.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah intervensi yang dilakukan


setelah tindakan aktif atau setelah tindakan tahap
pencegahan sekunder. Tindakan pencegahan tersier akan
mengarahkan klien kembali pada siklus pencegahan primer.
Tujuan intervensi tersier menurut Neuman dikutip oleh
Alligood (2014); Nursalam (2015); Shumaker, Ockene &

90
Riekert (2009); Anderson & McFarlane (2011) adalah:
a. Mempertahankan keadaan optimal dengan mencegah
reaksi berulang.
b. Mencegah komplikasi.
c. Menurunkan atau mengurangi ketidakmampuan atau
disabilitas sebagai dampak dari masalah kesehatan
d. Mencegah komplikasi melalui program rehabilitasi
Berdasarkan tujuan dalam pencegahan tersier,
dapat dijelaskan bahwa bentuk intervensi yang penting
dilakukan adalah melakukan treatmen secara intensif untuk
mencegah masalah semakin lebih berat dan komplikasi, serta
mengembalikan kemampuan fungsional individu melalui
program rehabilitasi. Hal ini bisa dilakukan melalui program
rujukan dan penanganan oleh ahli yang bekerjasama secara
interprofesional. Misal: remaja yang terpapar drug / zat dan
sudah mulai kecanduan, maka harus dilakukan penanganan
melalui program rujukan di rumah sakit. Untuk mengatasi
masalah fisik karena intoksikasi zat, maka perlu program
penghilang racun yang dilakukan oleh tim medis. Untuk
meningkatkan fungsi sosial, kemampuan kemandirian dan
meningkatkan kemampuan koping, diperlukan edukasi
dan pembelajaran oleh tim keperawatan. Untuk membantu
penyelesaian masalah psikologis perlu konseling individu
oleh psikolog atau psikiater. Mendatangkan ahli agama
sangat diperlukan untuk memulihkan kembali religiusitas
dan spiritualitas dalam beragama dan beribadah.

91
4.2 Upaya Pencegahan Juvenile Delinquency
Berdasarkan model konsep pencegahan Model Sistem
dari Betty Neuman yang mengintegrasikan teori model
pencegahan yang dikembangkan oleh Caplan, dapat dijelaskan
bahwa pencegahan sebagai suatu intervensi dilakukan
berdasarkan 3 level pencegahan yaitu pencegahan primer
terkait upaya promosi dan prevensi, pencegahan sekunder
terkait temuan dini dan penangan kasus, serta pencegahan
tersier terkait penangannan kasus untuk mencegah masalah
lebih berat melalui program rehabilitasi. Berikut ini upaya
yang penting dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja.

1. Promosi dan Edukasi Kesehatan (Health Promotion


and Education)

World Health Organization (WHO) mendefiniskan


bahwa promosi kesehatan adalah adalah suatu proses
membantu seseorang agar mampu meningkatkan kontrol
diri dan memperbaiki kesehatan mereka. Pendapat lain
menjelaskan bahwa promosi kesehatan adalah suatu
proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya
baik fisik, psikologis (mental) dan sosial.
Stuart (2013) menjelaskan bahwa strategi promosi
dan pendidikan kesehatan dalam pencegahan primer
dilakukan dengan cara memberikan penguatan
kompetensi individu dan kelompok. Hal ini dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa respon maladaptif adalah
hasil dari kurangnya kompetensi individu, kurangnya

92
kontrol diri, dan harga diri rendah. Willis (2017)
menjelaskan, termasuk dalam program edukasi adalah
pendidikan agama. Hal ini penting karena agama adalah
pedoman hidup yang membimbing perilaku setiap
individu dan memberikan arah dalam kehidupan.
Pendidikan kesehatan terkait membangun kompetensi
atau meningkatkan self efficacy ada empat aspek, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran diri akan kejadian yang
dialami terkait sehat dan sakit.
b. Meningkatkan pemahaman terkait stressor potensial,
kemungkinan akibat yang terjadi baik adaptif
maupun adaptif, dan meningkatkan penggunaan
koping alternatif.
c. Meningkatkan pengetahuan terkait sumber-sumber
yang diperlukan.
d. Meningkatkan kemampuan aktual individu
/ kelompok, antara lain meningkatkan atau
memaksimalkan ketrampilan koping seperti:
penyelesaian masalah, ketrampilan komunikasi,
toleransi terhadap stress, motivasi, pengharapan,
managemen marah dan harga diri.
2. Pemeriksaan Kesehatan fisik dan Jiwa Remaja
Pemeriksaan kesehatan jiwa remaja secara rutin perlu
dilakukan sebagai upaya pencegahan primer. Upaya ini
dilakukan melalui program kerjasama pihak sekolah,
baik melalui Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
atau Program Bimbingan Konseling (BK). Stuart (2013),

93
data yang penting dikumpulkan dalam pemeriksaan
kesehatan remaja adalah sebagai berikut:
a. Penampilan umum
b. Pertumbuhan dan perkembangan remaja
c. Status biofisikal (penyakit, kecelakaan, disabilitas)
d. Status emosi (interaksi, afek, dan status mental
termasuk mood dan temuan gangguan berpikir, iden
bunuh diri atau ide pembunuhan.
e. Latar belakang kultur, religi, dan sosial ekonomi
f. Penampilan aktivitas sehari-hari di rumah atau
sekolah.
g. Pola koping
h. Pola interaksi dengan keluarga, peer, atau masyarakat
i. Perilaku seksual
j. Penggunaan drug, alkohol atau zat adiktif lainnya.
k. Persepsi remaja dan kepuasannya terhadap
kesehatannya (masalah dan keluhan kesehatan)
l. Tujuan kesehatan jangka pendek dan panjang
m. Kemampuan menggunakan sumber-sumber: teman,
sekolah dan komunitas.
3. Deteksi Dini Potensi Kenakalan Remaja
Menurut KBBI, deteksi dini adalah usaha untuk
mengetahui ada atau tidaknya kelainan atau kerusakan
atau gangguan perkembangan mental atau perilaku

94
anak. Deteksi dini terkait potensi kenakalan remaja ini
perlu dilakukan dengan menggunakan alat atau tool yang
spesifik. Deteksi dini kenakalan remaja sebagai upaya
pencegahan sekunder dan tool aplikasi yang digunakan
akan di bahas secara khusus di Bab 6.
4. Konseling Remaja
Konseling adalah proses memberikan bantuan yang
dilakukan seorang ahli (konselor atau pembimbing)
kepada individu yang mengalami masalah (konseli)
untuk mengatasi masalah. Bimbingan dan konseling (BK)
adalah proses interaksi antara konselor dengan konseli,
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dalam
rangka membantu konseli agar dapat mengembangkan
potensi dirinya atau memecahkan masalahnya. Konseling
bisa dilakukan secara individu (konseling individu) atau
bersama kelompok (konseling kelompok). Konseling
individu dilakukan untuk membantu konseli dalam
mengatasi masalah yang bersifat pribadi. Konseling
kelompok adalah konseling dengan memanfaatkan
dinamika kelompok untuk mencapai tujuan individu atau
upaya bimbingan atau konseling individu yang dilakukan
melalui suasana kelompok.
5. Pembinaan
Pembinaan adalah suatu usaha, tindakan dan kegiatan
yang dilakukan agar memperoleh hasil dengan lebih
baik (berdaya guna dan berhasil guna). Permbinaan juga
diartikan sebagai perbaikan terhadap pola kehidupan
yang direncanakan. Untuk masalah anak-remaja

95
dengan kenakalan, yang dimaksud pembinaan adalah
usaha membina pribadi anak – remaja sesuai tumbuh
kembangnya agar mampu mandiri dan kompeten, serta
penuh tanggung jawab.
Anak-remaja delinkuen, akan berperilaku yang selalu
menantang atau melawan dan kurang bertanggung jawab.
Pembinaan pada anak-remaja delinkuen dilakukan agar
mereka mempunyai perbaikan kehidupan melalui tujuan
yang direncanakan, kompeten, mandiri dan bertanggung
jawab atas perilakunya.
6. Konsultasi
Konsultasi menurut KBBI adalah pertukaran pikiran
untuk mendapatkan saran, nasihat, atau masukan
yang sebaik-baiknya. Berkonsultasi adalah meminta
pertimbangan untuk membuat keputusan atau meminta
nasihat terkait masalah kesehatan, pendidikan, perilaku
dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut diketahu bahwa
konsultasi ini bersifat aktif dari individu yang mempunyai
masalah atau individu yang menginginkan saran atau
masukan buat dirinya. Pada anak-remaja yang delinkuen
upaya ini kurang tepat karena biasanya mereka bersikap
cuek terhadap apa yang terjadi pada dirinya.
7. Program Rujukan
Program rujukan adalah proses memberikan pelayanan
kepada individu dengan kualitas yang lebih baik.
Program rujukan biasanya dilakukan untuk penanganan

96
yang memerlukan bantuan ahli atau fasilitas yang lebih
memadai. Pada masalah juvenile delinquency, program
rujukan pelayanan kesehatan dilakukan pada kasus
remaja pengguna narkoba atau zat adiktif lain yang
sudah kecanduan atau mengalami intoksikasi, anak-
remaja yang mengalami game adiksi, agresif, marah tidak
terkontrol dan perilaku lain yang berbahaya bagi diri dan
orang lain. Program rujukan ini dilakukan sebagai upaya
pencegahan sekunder dan tersier agar anak-remaja tidak
mengalami masalah yang lebih berat.

4.3 Interprofesional Penanganan Anak-remaja


Delinkuen
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
pencegahan dan penanganan kenakalan remaja harus
dilakukan secara serius dengan melibatkan multidisplin
ilmu secara terintegrasi. Masing-masing praktisi berkerja
sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya dan secara
bersama-sama membantu individu mengatasi masalah yang
dialaminya. Berikut ini para professional yang diharapkan
dapat terlibat dalam pencegahan dan penangan kenakalan
remaja.
1. Praktisi Pendidikan (Guru Bimbingan Konseling dan
Konselor Sekolah):
Meliputi guru Bimbingan Konseling (BK) atau konselor
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
dan membantu pencapaian kompetensi anak-remaja

97
di sekolah. Guru BK juga berperan dalam membantu
mengatasi kesulitan belajar, mengatasi masalah siswa,
atau hal lain yang diperlukan.
2. Praktisi Kesehatan (Perawat, Psikolog, Dokter Jiwa):
Adalah seseorang yang karena keahliannya mempunyai
kewenangan memberikan pelayanan dibidang kesehatan
meliputi pelayanan keperawatan (oleh perawat),
pelayanan medis (oleh dokter), dan pelayanan psikologi
(oleh psikolog)
3. Ahli Agama:
Adalah orang yang mendalami ilmu agama dan
kompeten dalam memberikan nasihat nasihat terkait
agama, keimanan dan keyakinan. Ahli agama dalam
kesehariannya dikenal sebagai ulama, ustadz atau kyai.
4. Pekerja Sosial:
Adalah seseorang yang mempunyai keahlian tertentu
dan berwenang untuk melaksanakan berbagai upaya
untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuan
individu dalam melaksanakan fungsi sosialnya, misalnya
berkomunikasi dan membuat relasi dengan sekitarnya.

98
BAB 5
STRATEGI PENANGANAN
MASALAH ANAK
BERFOKUS PADA ANAK DAN
DI BERBAGAI SETTING

Telah dijelaskan tidak semua anak berhasil dalam


menyelesaikan tugas perkembangannya. Penanganan anak
- remaja bermasalah adalah kewajiban bersama pemerintah
dan masyarakat. Dasar hukum sebagai bentuk komitmen
pemerintah dalam menangani anak bermasalah adalah
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, pasal 16 ayat 1 dan 2
Pasal 16 ayat 1
“Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi
pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya
guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya”.

99
Pasal 16 ayat 2
“Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (1), juga diberikan kepada anak yang telah
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum
berdasarkan keputusan hakim”.
Undang-Undang tersebut dengan jelas menyebutkan
tentang komitmen pemerintah dalam memberikan
kesejahteraan pada anak melalui berbagai upaya agar
mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal
untuk menjadi penerus bangsa. Dasar kebijakan lain sebagai
komitmen pemerintah adalah Peraturan Menteri Kesehatan
(PMK) Nomor 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak,
Pasal 28 ayat 2.
PMK tersebut menjelaskan bahwa Pelayanan
Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja dilakukan dengan
tujuan agar mereka mempunyai keterampilan sosial yang
baik sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang
secara optimal yang akhirnya dapat menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas. Lebih lanjut pasal 28 menjelaskan
bahwa Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja
dilakukan melalui usaha kesehatan sekolah (UKS) dan
pelayanan kesehatan peduli Remaja (PKPR) yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan guru pembina
usaha kesehatan sekolah, guru bimbingan dan konseling,
kader kesehatan sekolah dan konselor sebaya.
Pasal 29 ayat 1 dijelaskan bahwa Usaha Kesehatan
Sekolah dilaksanakan melalui koordinasi dengan lintas
program dan lintas sektor. Pasal 30 ayat 1 dijelaskan bahwa

100
Pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan melalui pelayanan
konseling, pelayanan klinis medis, pelayanan rujukan,
pemberian komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan
Remaja, partisipasi Remaja, dan keterampilan sosial.
Pelayanan kepada remaja tersebut dapat dilakukan di dalam
atau di luar gedung untuk perorangan atau kelompok.
Berdasarkan Teori yang telah dijelaskan terkait faktor
penyebab, intervensi pencegahan dan dasar hukum tersebut,
maka perlu dikembangkan strategi yang penting dalam
penanganan anak – remaja bermasalah (juvenile delinquency).
Strategi penanganan maasalah anak-remaja berfokus pada
diri anak – remaja tersebut sebagai individu dan lingkungan
yang memberikan pengaruh kepada dirinya.
Strategi Komprehensif sebagai pendekatan praktis
untuk menurunkan gangguan perilaku remaja yang serius,
kekerasan dan kronis dikemukakan oleh (Wilson & Howell,
1993, 1994 dikutip oleh Howell, Lipsey, Wilson, & Howell,
2014). Strategi pada tingkat pertama dilakukan untuk
pencegahan perkembangan kenakalan remaja dan program
intervensi dini, agar remaja berisiko tidak masuk dalam
sistem peradilan anak-anak. Dalam kerangka Strategi
Komprehensif, komponen pengawasan dan kontrol dengan
tujuan untuk keselamatan publik dengan perkembangan
sosial individu (Howell, Lipsey, Wilson, & Howell, 2014).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa
intervensi dan pencegahan juvenile delinquency berfokus
pada remaja sebagai klien, yang dilakukan pada lapisan

101
sistem mikro (microsystem) dan meso (mesosystem). Secara
mikro intervensi diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
adaptasi melalui konseling individu untuk melakukan
koreksi terhadap self efficacy, religi, soft skill dan life skill.
Secara meso intervensi diarahkan untuk menyelesaikan
masalah dan memperbaiki hubungan anak di keluarga dan
sekolah melalui konseling dan konsultasi dengan sekolah dan
keluarga. Hal ini sesuai dengan komponen intervensi dalam
model JCAP bahwa strategi yang digunakan untuk intervensi
anak remaja juvenile delinquency meliputi beberapa strategi
yaitu: konseling individu, konseling kelompok, dan konsultasi
dengan sekolah dan keluarga sebagai pendekatan yang
holistik terhadap remaja (Calhoun, Glaser & Bartolomucci,
2011).

5.1 Fokus pada Individu Anak-Remaja


1. Meningkatkan kesadaran diri (Awareness)
sebagai individu yang berarti
2. Meningkatkan Tingkat Religiusitas
3. Meningkatkan Kemampuan penyelesaian masalah
4. Meningkatkan self efficacy
5. Meningkatkan Life skills
6. Meningkatkan kompetensi akademik
7. Pengendalian diri terhadap gaya hidup
8. Pengendalian dan Bijak dalam Memanfaatkan Teknologi

102
5.2 Setting Lingkungan Keluarga
1. Meningkatkan komunikasi dan relasi
2. Meningkatkan fungsi keluarga
3. Meningkatkan Pola asuh dan Bonding

5.3 Setting Lingkungan Teman Sebaya


1. Bijak dalam memilih teman sebaya
2. Bimbingan Kelompok Sebaya

5.4 Setting Lingkungan Sekolah


1. Kebijakan Pembelajaran dengan Enjoy Learning
2. Perbaikan hubungan Guru Murid
3. Perbaikan hubungan anak dengan sekolah

103
104
BAB 6
DETEKSI DINI KENAKALAN
REMAJA SEBAGAI UPAYA
PENCEGAHAN

Sumber: Internet diakses 13 Oktober2019

Gambar 6.1 Kendalikan Perilaku Kenakalan Remaja dengan Deteksi Dini

6.1 Pengertian Deteksi Dini Kenakalan Remaja


Deteksi dini atau early detection terdiri dari 2 kata,
yaitu deteksi dan dini. Deteksi menurut KBBI adalah usaha

105
untuk menemukan dan menentukan keberadaan, anggapan
atau kenyataan. Mendeteksi artinya adalah melacak atau
menemukan sesuatu. Dini artinya adalah awal atau lebih
awal atau secepatnya.
Berdasarkan dua kata tersebut maka deteksi dini
adalah usaha untuk menemukan, mengetahui, mendeteksi ada
atau tidaknya kelainan atau gangguan perkembangan mental
atau perilaku anak secara dini. Deteksi dini terkait potensi
kenakalan remaja pada bab ini adalah deteksi yang dilakukan
untuk mendetek atau menemukan ada atau tidaknya potensi
kenakalan pada remaja dengan menggunakan tool aplikasi
berbasis web. Tool aplikasi berbasis web ini dikembangkan
secara spesifik berdasarkan faktor risiko yang secara
bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
kenakalan remaja (juvenile delinquency). Tool aplikasi yang
digunakan untuk deteksi dini adalah bernama “Tri Anjaswarni
- Health of Millenial Score” atau “Tri Health Milenial Score”
secara terperinci diuraikan pada 6.3.
Pelaksanaan deteksi dini perilaku juvenile delinquency
ini penting untuk mengetahui sedini mungkin potensi
kenakalan pada remaja. Semakin dini ketahui adanya potensi
kenakalan, semakin cepat dilakukan upaya-upaya untuk
mencegah semakin beratnya masalah perilaku nakal pada
anak-remaja.

106
6.2 Peran Teknologi dalam Bidang Kesehatan
Dewasa ini peran teknologi sangat besar pengaruhnya
dalam kehidupan masyarakat. Pemanfaatan teknologi
semakin cepat dan luas dalam berbagai bidang dan dapat
diakses oleh siapa saja yang membutuhkan. Dalam bidang
kesehatan, teknologi banyak digunakan untuk kepentingan
manajemen dan berbagai informasi kesehatan. Pemanfaatan
teknologi juga banyak digunakan untuk berbagai pemeriksaan
dan penyelesaian berbagai masalah kesehatan dimana
teknologi dikembangkan sebagai tool atau alat kerja. Hal ini
sesuai pendapat Maftuhah, Suryanto & Esti (2009), bahwa
perkembangan teknologi informasi (TI) dapat menyebabkan
berbagai perubahan dalam kehidupan manusia dalam
berbagai bidang kehidupan yang harus dimanfaatkan secara
optimal.
Pemanfaatan teknologi pengembangan tool perangkat
lunak untuk deteksi dini kecenderungan gangguan kesehatan
masyarakat tertinggal dan daerah pesisir, dilakukan oleh
Ilham (2015). Tujuan penelitian adalah menghasilkan
model perangkat lunak yang mampu mendeteksi dini
kecenderungan risiko penyakit masyarakat desa tertinggal
dan pesisir yang memiliki pola hidup tidak sehat dalam
bentuk konstruksi struktur dan menghasilkan probibilitas
nilai kecenderungan penyakit yang ditimbulkan. Walaupun
demikian model struktur ini belum pernah diaplikasikan
secara langsung di lapangan.
Teknologi Informasi (TI) adalah istilah umum terkait
teknologi yang dimanfaatkan manusia untuk membantu

107
mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan / atau menyebarluaskan
informasi (Maftuhah, Suryanto, Esti, 2009). Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam bidang kesehatan
penting karena berperan besar dalam meningkatkan layanan
kesehatan dengan cepat, tepat dan akurat. Akselerasi
penggunaan TIK dalam dunia kesehatan semakin meningkat
dan mudah dengan adanya partisipasi Google Inc yang mulai
menyediakan layanan Medical Record Service.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
intercharge (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya (Maftuhah et
al., 2009).

Berdasarkan definisi di atas maka informasi elektronik bukan


hanya sekedar tulisan atau simbol yang di upload melalui
media elektronik tetapi lebih kepada bagaimana informasi
yang disampaikan dapat dipahami dan bermanfaat buat
orang lain.

Djalil, S.A., (2005) menjelaskan, secara umum peranan


teknologi dalam bidang kesehaan adalah: mengumpulkan
informasi, menyiapkan informasi, menyimpan dan
memproses informasi untuk dipublikasikan, menganalisis
dan mengumumkan informasi dan menyebarkan informasi.

108
Secara khusus peranan teknologi dalam bidang kesehatan
adalah:
1. Sebagai pusat informasi kesehatan yang menyimpan data
base kesehatan.
2. Sebagai penyedia informasi yang handal dan dapat
memberikan informasi tentang status kesehatan
masyarakat
3. Sebagai sarana untuk melakukan analisis kesehatan yang
bersumber dari masyarakat atau dari semua unit-unit
kesehatan.
4. Sarana komunikasi pusat dan daerah untuk melakukan
komando dalam menyelesaikan masalah kesehatan
masyarakat.
5. Sebagai sarana untuk memantau dan mengendalikan
masalah kesehatan melalui sistem monitoring yang
akurat dan dapat dipercaya.
6. Sebagai sarana untuk identifikasi masalah kesehatan
dan konsultan bagi masyarakat, baik secara online (web)
maupun off line.
Lebih lanjut Djalil, S.A., (2005) menjelaskan tujuan
penggunaan teknologi dalam bidang kesehatan adalah:
1. Meningkatkan kapasitas layanan informasi dan
pemberdayaan potensi masyarakat dalam rangka
mewujudkan masyarakat berbasis informasi.
2. Mempercepat informasi dari masyarakat ke pemangku
kepentingan dan dari pemangku kepentingan kepada

109
masyarakat.
3. Mempercepat akses layanan kesehatan kepada
masyarakat
4. Mendorong peningkatan aplikasi layanan publik dan
industri aplikasi untuk meningkatkan layanan melalui
industrasi aplikasi.
Berdasarkan uraian tentang peran teknologi dan tujuan
penggunaan teknologi di bidang kesehatan, maka sangat
penting mengembangkan tool baru berupa aplikasi berbasis
web untuk melakukan deteksi dini dan diagnosa juvenile
delinquency. Hal ini sebagai tindak lanjut dari pengembangan
indeks prediktor perilaku juvenile delinquency. Setelah
melakukan deteksi, tool akan mengarahkan rencana
intervensi yang harus dilakukan. Tool yang dikembangkan
ini memanfaatkan teknologi dalam bentuk software aplikasi
yang dapat digunakan remaja secara mandiri dalam rangka
menunjang program kesehatan jiwa remaja di fasilitas
kesehatan maupun sekolah melalui program bimbingan
konseling (BK).

6.3 Pengembangan Tool Aplikasi


Tool aplikasi yang digunakan untuk deteksi dini
potensi atau risiko kenakalan remaja (juvenile delinquency),
dikembangkan berdasarkan empat faktor risiko yang secara
bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap
terjadinya Juvenile delinquency (Anjaswarni et al., 2019).
Empat faktor ini diperoleh setelah bersama-sama dilakukan

110
analisis terhadap tujuh faktor risiko yang berpotensi
terhadap terjadinya Juvenile delinquency, yaitu faktor
individu, mekanisme koping, faktor keluarga, teman sebaya,
lingkungan sekolah, life style dan teknologi (Anjaswarni et
al.,2019).
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari tujuh faktor
risiko terjadinya juvenile delinquency, terdapat empat faktor
risiko yang berpengaruh secara signifikan secara berturut-
turut yaitu faktor teknologi, keluarga, teman sebaya dan
lingkungan sekolah. Keempat faktor merupakan faktor risiko
yang secara bersama-sama menentukan terjadinya juvenile
delinquency sebesar 80% sedangkan 20% dipengaruhi oleh
faktor lain (Anjaswarni et al.,2019).
Sebelum dilakukan pengembangan tool aplikasi,
dilakukan Foccus Group Discussion (FGD) dengan guru-
guru BK untuk mengklarifikasi hasil temuan penelitian
berdasarkan pengalaman mereka dalam menangani anak
bermasalah di sekolah. Hasil FGD dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Faktor Teknologi
Faktor teknologi saat ini adalah faktor yang paling
dominan sebagai penyebab masalah kenakalan pada anak
- remaja. Pemanfaatan teknologi yang salah dan tidak bijak
berpotensi terjadinya kenakalan remaja. Saat ini remaja lebih
senang menggunakan gadget untuk chating berjam jam dan
sulit dikendalikan. Gadget juga banyak digunakan untuk
bermain game on line, atau game kekerasan dan balap liar.
Pemanfaatan teknologi untuk tontonan yang berpeluang

111
untuk terjadinya kenakan remaja antara lain untuk menonton
adegan kekerasan dan melihat gambar atau adegan porno
(Anjaswarni et al.,2019).
Remaja bermasalah di sekolah banyak berkaitan
dengan penggunaan gadget yang tidak terkendali. Penggunaan
gadget oleh remaja, saat ini sudah sulit dikendalikan dan
bahkan sampai pada taraf kecanduan. Kondisi ini hampir
terjadi pada semua kelompok usia. Hal ini dapat berdampak
luas bagi individu dan masyarakat, tidak hanya berdampak
terhadap kesehatan fisik tetapi juga berdampak terhadap
psikologi, sosial dan spiritual. Faktor teknologi ini perlu
dikendalikan penggunaannya melalui pengawasan orang tua
bersama guru dan kontrol diri remaja untuk menggunakan
teknologi secara bijak (Anjaswarni et al.,2019).

2. Faktor teman Sebaya


Faktor teman sebaya adalah faktor kedua yang saat
ini menjadi faktor risiko kenakalan remaja. Hal ini cukup
beralasan karena pada usia remaja, mereka akan merasa
lebih nyaman dan senang dengan teman sebayanya daripada
dengan keluarga. Ikatan pertemanan yang kuat atau tinggi
(solidaritas yang tinggi) berpotensi kuat terjadinya kenakalan
remaja. Soliditas yang kuat membuat para remaja selalu
membela kelompoknya untuk menunjukkan kekompakan
dan dukungannya. Pertemanan sebaya di sekolah, di rumah
dan lingkungan remaja perlu mendapatkan perhatian guru
dan orang tua karena salah dalam memilih teman dapat
berdampak buruk bagi remaja (Anjaswarni et al.,2019).

112
3. Faktor keluarga
Faktor keluarga sebagai tempat belajar pertama bagi
anak, juga berperan penting sebagai penyebab kenakalan
anak. Keluarga adalah faktor risiko yang berperan dalam
terjadinya kenakalan remaja, tetapi saat ini factor yang lebih
berperan adalah teman sebaya disamping pemanfaatan
teknologi yang salah. Seyogyanya orang tua menjadi
contoh peran yang baik bagi anaknya, mempunyai ikatan
dan komunikasi yang baik. Penyebab anak bermasalah
(kenakalan) adalah karena kurangnya perhatian orang tua
dan tidak adanya contoh yang baik dari orang tua, contohnya
anak merokok karena sering melihat orang dekat (ayah) yang
merokok (Anjaswarni et al.,2019).

4. Faktor lingkungan sekolah


Faktor lingkungan sekolah juga perlu ditingkatkan
kondusifitasnya untuk anak belajar, karena inkonsistensi
kebijakan sekolah akan menjadi peluang bagi remaja untuk
berbuat nakal. Aturan sekolah yang ketat dan mengeluarkan
siswa dari kelas sebagai sanksi akan berpeluang bagi mereka
untuk bertemu teman sebayanya. Implementasi kurikulum
dan jadwal belajar yang padat juga menjadi peluang remaja
untuk menjadi nakal. Remaja akan banyak membuat alasan,
misalnya mengerjakan tugas-tugas hingga larut malam,
diskusi kelompok bersama teman dan sebagainya jika
mereka terlambat masuk sekolah karena terlambat bangun
tidur (Anjaswarni et al.,2019).

113
Setelah melakukan FGD dengan guru BK, hasil tersebut
didiskusikan kembali dengan tim pakar. Adapun hasil diskusi
pakar sebagai berikut:
1. Faktor Teknologi
Saat ini kasus anak bermasalah akibat penggunaan
HP meningkat terjadi pada anak mulai usia 7 tahun. Anak
menolak sekolah karena mengalami game adiksi yang
jumlahnya meningkat dan berakibat gangguan konsentrasi,
prestasi belajar menurun, dan dalam kondisi berat
anak mengalami gangguan mental (perilaku tantrum /
menyerang). Abused banyak disebabkan oleh penggunaan
teknologi yang salah. Anak yang terpapar gadget terus
menerus akan mengakibatkan penurunan komunikasi dan
interaksi. Anak akan terisolasi dan tersisih dari pergaulan
nyata. Faktor teknologi adalah prioritas pertama sebagai
penyebab kenakalan anak / remaja, menggeser faktor
keluarga (Anjaswarni et al.,2019).
2. Faktor Teman Sebaya
Tontonan dan game online bersama sebaya dapat
membentuk karakter yang kuat pada anak misal karakter
penyerang, pemarah, dsb. Pertemanan sebaya perlu
pengawasan orang tua karena kenakalan remaja sering
bersumber dari pertemanan yang terlalu solid. Orang tua
harus bisa menjadi sahabat remaja. Faktor teman sebaya
adalah prioritas kedua penyebab kenakalan anak / remaja
setelah faktor teknologi karena pertemenan yang solid di
luar rumah adalah akibat pola hubungan dalam keluarga
yang tidak baik (Anjaswarni et al.,2019).

114
3. Faktor Keluarga
Telah terjadi perubahan pola asuh orang tua, dengan
gadget sebagai media. Orang tua menggunakan fasilitas
HP sebagai sarana interaksi dan bermain anak. Hal ini
bertujuan agar mereka tenang dan anak tidak keluar rumah.
Penelantaran anak sering terjadi pada keluarga dengan
komunikasi dan interaksi yang tidak baik. Faktor keluarga
adalah prioritas ketiga sebagai penyebab kenakalan anak /
remaja setelah faktor teman sebaya (Anjaswarni et al.,2019).
4. Faktor Lingkungan sekolah
Permasalahan anak di sekolah bisa terjadi karena
hubungan yang tidak baik antara anak dengan guru,
perasaan takut atau tertekan sehingga merasa tidak nyaman
di sekolah. Tugas-tugas akademik dan tuntutan sekolah yang
berat adalah penyebab anak menjadi stress dan malas ke
sekolah. Faktor lingkungan sekolah adalah prioritas keempat
sebagai penyebab kenakalan anak / remaja setelah faktor
factor keluarga (Anjaswarni et al.,2019).
Anjaswarni et al. (2019) memberikan kesimpulan
dan rekomendasi berdasarkan hasil diskusi pakar dan FGD
adalah sebagai berikut:
1. Hasil FGD dan diskusi pakar memperkuat hasil analisis
bahwa ada empat faktor utama sebagai faktor risiko
yang menjadi prediktor terjadinya juvenile delinquency
berturut-turut dari faktor yang pengaruhnya paling
kuat yaitu faktor teknologi, teman sebaya, keluarga, dan
lingkungan sekolah.

115
2. Faktor teknologi adalah faktor paling dominan sebagai
penyebab juvenile delinquency dan menggeser peran
keluarga dan teman sebaya sebagai faktor yang
menyebabkan terjadinya kenakalan, selanjutnya faktor
teman sebaya, keluarga, dan lingkungan sekolah. Faktor
keluarga mulai berkurang pengaruhnya, fenomena
kenakalan remaja yang terjadi dewasa ini banyak
dipengaruhi oleh faktor teknologi, yaitu penggunaan
gadget yang tidak terkendali. Melalui gadget, anak
dapat memperoleh informasi apapun yang mereka
inginkan, dapat berkomunikasi dan berteman dengan
siapa saja yang mereka inginkan, dan dengan gadget
mereka dapat melakukan transaksi apapun yang mereka
inginkan. Pertengkaran dan tawuran bisa terjadi karena
kesalahpahaman dalam berkomunikasi dalam dunia
maya dengan fasilitas gadget.
3. Perlu upaya-upaya pencegahan agar anak remaja tidak
terjerumus dalam perilaku menyimpang (juvenile
delinquency), yaitu melalui deteksi dini potensi terjadinya
kenakalan remaja dengan menggunakan empat faktor
risiko yaitu teknologi, keluarga, teman sebaya dan
lingkungan sekolah. Deteksi dini merupakan salah satu
upaya pencegahan sekunder yang penting dilakukan,
agar dapat dilakukan tindakan nyata untuk mencegah
masalah semakin luas.

116
Tabel 6.1 Daftar Pertanyaan dan Penilaian Berdasarkan
Indikator

Indika-
No Skor Pernyataan STS TS S SS Formula
tor

A. Faktor 4 (Teknologi)

Peng- 9 HP selalu dekat


gunaan dengan saya dan
Gadget tidak pernah 4 3 2 1 Nilai =
(HP) lepas dari tangan
untuk Chatting (SP/4)
dan main-main x9
dengan teman

Pola Dengan hp yang


Relasi saya miliki, saya
elek- 5 dapat berinteraksi 4 3 2 1 Nilai =
tronik dengan teman
tanpa pilih pilih, (SP/4)
kapanpun dan di- x5
manapun dengan
perasaan senang
dan nyaman.

B. Faktor 3 (Teman Sebaya)

No Indika- Skor Pernyataan STS TS S SS Formula


tor
1. Terpa- 1. Saya sering
par zat bersama teman
adiksi 7 yang merokok, 4 3 2 1
minum-minu-
man keras atau Nilai =
menggunakan
narkoba. (SP/8)
x7
2. Saya sering
melihat iklan
rokok, atau 4 3 2 1
berita terkait
pengguna nar-
koba

117
2. Sikap Teman sebaya
peer mengharapkan
6 saya mempu- 4 3 2 1 Nilai =
nyai toleransi
dan solidaritas (SP/4)
tinggi, mengikuti x6
aturan mereka
dan melakukan
pembelaan atau
melakukan ses-
uatu bersama
kelompok
Ton- 7 Saya senang non- 4 5 2 1 Nilai =
tonan ton adegan film
Ber- kekerasan dari (SP/4)
sama HP, youtube atau x7
Sebaya video, dan senang
melihat gambar
porno dari gadget
atau internet ber-
sama teman atau
sendiri
Video Saya senang
game bermain game ke-
Sebaya 8 kerasan atau bal- 4 3 2 1 Nilai =
ap liar bersama
teman sebaya. (SP/4)
x8

C. Faktor Keluarga

Komu- 9 1. Ayah berbi-


nikasi cara dengan
dan lembut dan 1 2 3 4
Relasi berhubun-
Kelu- gan baik Nilai =
arga (harmonis)
dengan saya (SP/8)
x9

Indika-
No Skor Pernyataan STS TS S SS Formula
tor

2. Ibu berbicara
dengan lembut
dan berhu- 1 2 3 4
bungan baik
(harmonis)
dengan saya

118
Pola 8 1. Ayah adalah
Asuh pribadi yang
sabar, penuh 1 2 3 4
perhatian dan
kasih sayang,
selalu memoti-
vasi dan meng-
ajarkan saya
untuk mandiri.
2. Ayah / ibu
memberikan
kebebasan 1 2 3 4
kepada saya
untuk memilih
sekolah atau Nilai =
lainnya sesuai
keinginan saya, (SP/12)
tidak otoriter x8

Bon- 8 1. Ayah adalah


ding sahabat buat
saya, wajah dan 1 2 3 4
sikapnya meny-
enangkan, saya
merasa tenang
dan nyaman
bersa-ma ayah
dari-pada Nilai =
bersama orang
lain. (SP/12)
x8

2. Ibu adalah
sahabat buat
saya, wajah dan 1 2 3 4
sikapnya meny-
enangkan, saya
merasa tenang
dan nyaman
bersa-ma ibu
dari-pada ber-
sama teman
atau orang lain.
3. Saya merasa
nyaman di
da-lam rumah 1 2 3 4
ber-sama kelu-
arga daripada
di luar rumah
dengan teman

119
No Indika- Skor Pernyataan STS TS S SS Formula
tor
1. Suasana di
rumah menye-
4. Fungsi nangkan dan 1 2 3 4
Kelu- 6 tidak ada ke-
arga kerasan atau Nilai =
pemaksaan
2. Ayah dan ibu (SP/8)
x6
mengajak dis-
kusi jika saya 1 2 3 4
punya masalah
1. Orang tua
membe-likan
5. Status baju sesuai
eko- keinginan saya,
nomi menyediakan 1 2 3 4
ma-kanan
3 lengkap setiap
hari, tempat
tinggal yang
layak (dari tem-
bok, bersih,
lantai porselin,
ventilasi bagus,
luas), kamar
pribadi saya.
2. Orang tua
membiayai
sekolah tanpa 1 2 3 4
kesulitan dan
memberikan
uang saku
10.000 –
20.000 atau Nilai =
lebih tiap hari
(SP/8)
x3

D. Faktor Lingkungan Sekolah


Hubun- 7 Saya dapat ker-
gan jasama dan mem-
guru - punyai hubungan Nilai =
murid baik dengan
semua guru (tidak 1 2 3 4 (SP/4)
ber-musuhan / x7
tidak membenci/
tidak ada konflik),
taat perintah atau
tugas yang diberi-
kan guru.

120
Kebi- 8 Saya dapat
jakan mengikuti pendi-
sekolah dikan sesuai kuri- 1 2 3 4 Nilai =
kulum dan selalu
disiplin / patuh (SP/4)
terhadap tata ter- x8
tib sekolah.
No Indika- Skor Pernyataan STS TS S SS Formula
tor
Hubun- 7 Saya merasa nya- Nilai =
gan man di sekolah
anak dan sebagai 1 2 3 4 (SP/4)
sekolah tempat untuk x7
mengembangkan
kemampuan diri
Pola 3 Saya tidak pernah
kehadi- membolos atau
ran meninggalkan 1 2 3 4 Nilai =
jam belajar tanpa
alasan dan se- (SP/4)
lalu datang tepat x3
waktu.

(Anjaswarni et al.,2019)

STS = Sangat Tidak Setuju


TS = Tidak Setuju
S = Setuju

SS = Sangat Setuju

Hasil skoring dapat dibuat skala potensi terjadinya kenakalan


(delinquency) yang berentang dari adaptif sampai maladaptif.
Semakin tinggi skor penilaian semakin rendah potensi
terjadinya juvenile delinquency. Rentang skor potensi seperti
pada gambar 6.2

121
Tidak ada risiko/ Potensi Rendah Potensi Sedang Risiko / Potensi
Tinggi
Potensi

83 - 101 64 – 82 45 – 63 < 45
Risiko 0 Risiko 1 Risiko 2 Risiko 3
Sumber: Anjaswarni et al.(2019)

Gambar 6.2 Rentang Skor Potensi Kenakalan Remaja (Juvenile


delinquency)

Berdasarkan gambar 6.2 dapat diberikan penjelasan sebagai


berikut:
1. Tidak ada risiko atau tidak ada potensi (risiko 0) artinya
bahwa remaja tidak ada kecenderungan atau tidak ada
potensi untuk terjadinya juvenile delinquency. Reward
yang diberikan pada siswa adalah “Luar Biasa” atau
“Excellent”. Skor 83 – 101 menunjukkan bahwa perilaku
remaja adalah sehat jiwa atau tidak ada penyimpangan
perilaku sehingga mempunyai potensi untuk menjadi
remaja milenial yang sukses. Reward dan skor potensi
dapat dilihat dari tool aplikasi saat mereka mengakhiri
tes. Pada rentang potensi risiko 0 ini upaya yang dilakukan
guru BK adalah melakukan pencegahan primer melalui
promosi kesehatan dan bimbingan klasikal.
2. Potensi rendah (risiko 1) artinya bahwa remaja mempunyai
peluang rendah atau mempunyai kecenderungan rendah
untuk terjadinya juvenile delinquency. Reward yang
diberikan pada siswa adalah Baik – sangat baik (Good –
very good)). Skor 64 – 82 menunjukkan bahwa perilaku

122
remaja sedikit ada penyimpangan perilaku, akan tetapi
remaja masih mempunyai potensi untuk menjadi remaja
milenial yang sukses. Reward dan skor potensi dapat
dilihat dari tool aplikasi saat mereka mengakhiri tes.
Pada rentang potensi risiko 1 ini upaya yang dilakukan
guru BK adalah melakukan pencegahan primer melalui
promosi kesehatan dan bimbingan klasikal, serta lebih
intensif dengan bimbingan yang teratur dan lebih sering
dari pada siswa dengan risiko 0.
3. Potensi Sedang (risiko 2) artinya bahwa remaja
mempunyai peluang cukup kuat atau mempunyai
kecenderungan yang cukup kuat untuk terjadinya
juvenile delinquency. Reward yang diberikan pada siswa
adalah “Cukup”. Skor 45 - 63 menunjukkan bahwa
ada penyimpangan perilaku perilaku remaja. Pada
rentang potensi risiko 2 ini upaya yang dilakukan guru
BK adalah melakukan pencegahan sekunder melalui
melalui konseling individu dengan melibatkan orang
tua, dan atau melibatkan ahli untuk berkonsultasi dan
penanganan masalah.
4. Potensi Berat (risiko 3) artinya bahwa remaja mempunyai
peluang kuat atau kecenderungan kuat untuk terjadinya
juvenile delinquency. Reward yang diberikan pada siswa
adalah “Kurang”. Skor < 45 menunjukkan bahwa remaja
telah ada penyimpangan perilaku. Remaja memerlukan
penanganan khusus dengan melibatkan ahli untuk
membantu mengatasi masalahnya supaya tidak menjadi
masalah yang lebih luas. Pada rentang potensi risiko 3

123
ini upaya yang dilakukan guru BK adalah melakukan
pencehan tersier. Guru BK melibatkan orang tua secara
aktif untuk berkonsultasi kepada ahli dalam penanganan
masalah anak (terapi) dan program rehabilitasi yang
diperlukan di fasilitas kesehatan terdekat (Anjaswarni et
al.,2019).

Instrumen tersebut dimasukkan dalam sistem aplikasi


berbasis web sebagi tool untuk deteksi kenakalan remaja dan
diberi nama “Tri Anjaswarni - Health of Millenial Score” atau
disingkat “Tri Health of Milenial Score”.

6.4 Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni - Health of Millenial


Score”

Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni - Health of Millenial


Score” atau disingkat “Tri Health of Milenial Score” yang
dikembangkan dibagi menjadi dua bagian yaitu aplikasi yang
dibuat untuk siswa dengan nama Tool Siswa dan aplikasi
yang dibuat untuk guru bimbingan konseling (BK) dengan
nama Tool BK. Tool ini dibuat secara terintegrasi. Jika siswa
selesai mengisi pernyataan dalam tool maka secara otomatis
data tersimpan dalam tool guru BK sehingga guru BK dapat
mengetahui potensi kenakalan yang diukur. Kedua aplikasi ini
membutuhkan tidak lebih dari 3mb pada proses instalasinya
dan dapat di download di bk.zonain.id untuk Tool Siswa dan
bk.zonain.id/admin untuk Tool guru BK. (Anjaswarni et
al.,2019)..

124
1. Hasil pengembangan Tool Aplikasi Siswa
Cara kerja alat ini dimulai dengan melakukan instalasi
(pastikan terkoneksi jaringan internet. Setelah masuk
aplikasi “tool”, maka sistem akan mengarahkan ke splash
screen seperti gambar 6.3. dan selanjutnya memasukkan
username dan password seperti gambar 6.4

Gambar 6.3 Splash screen Aplikasi “Tool Siswa”

Gambar 6.4
Tampilan Username dan
Password Tool Siswa

125
Secara terperinci langkah-langkah penggunaan dapat dilihat
dalam buku saku Manual Penggunaan Tool Aplikasi “Tri
Anjaswarni-Health od Milenial Score”.

2. Hasil Pengembangan Tool Aplikasi BK

Gambar 6.5 Splash Screen Aplikasi Tool BK

Cara kerja tool aplikasi BK juga dimulai dengan


melakukan instalasi. Setelah masuk aplikasi “tool” BK, maka
sistem akan mengarahkan ke splash screen seperti gambar
6.5. dan selanjutnya login menggunakan username dan
password sekolah gambar 6.6.

126
Gambar 6.6
Tampilan Username dan
Password Tool BK

Sistem secara otomatis mengarahkan guru BK ke beranda


untuk melihat hasil siswa. Secara terperinci langkah-
langkah penggunaan dapat dilihat dalam buku saku Manual
Penggunaan Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni-Health od Milenial
Score”.

127
128
BAB 7
IMPLEMENTASI TOOL
APLIKASI
“TRI ANJASWARNI - HEALTH
OF MILLENIAL SCORE”

7.1 Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja


Menggunakan Tool Aplikasi “Tri Anjaswarni
Health of Milenial Score”
Anjaswarni et al. (2019) melakukan implementasi
untuk Uji coba tool pada kelompok risiko yaitu siswa di
sekolah dengan tujuan untuk melihat tingkat kemampuan
atau sensitivitas tool dalam mendeteksi tingkat risiko
terjadinya juvenile delinquency. Uji coba dilakukan di 8
sekolah menengah meliputi SMP, SMA dan SMK kota Malang
yang mewakili sekolah negeri, swasta umum, berbasis Agama
Islam dan Agama Kristen / Protestan. Jumlah responden yang
digunakan untuk masing-masing sekolah adalah 6 orang
sehingga jumlah seluruhnya adalah 48 orang siswa.

129
Pemilihan responden dilakukan secara inklusi yaitu
3 siswa termasuk anak tidak bermasalah dan 3 orang anak
bermasalah berdasarkan catatan guru BK. Berdasarkan
kriteria tersebut maka dari 8 sekolah yang digunakan untuk
melakukan uji coba, didapatkan jumlah siswa bermasalah
adalah 24 orang dan jumlah siswa tidak bermasalah adalah
24 orang. Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja seperti
tabel 7.1
Tabel 7.1 Hasil Deteksi Potensi Kenakalan Remaja dengan
Tool Tri - Health Millenial Score
No. Responden Persentase (%)
Status Siswa Jumlah Sesuai Tidak Sesuai
Bermasalah 24 (50%) 13 (27 %) 11 (23 %)
Tidak Bermasalah 24 (50%) 19 (40 %) 5 (10 %)
48 (100%) 32 (67%) 16 (33%)
Sumber: Anjaswarni et al. (2019)

Tabel 7.1 menunjukkan bahwa hasil implementasi tool


Aplikasi Tri Anjaswarni Health of Milenial Score” yang
dilakukan terhadap 48 siswa, mampu mendeteksi dengan
tepat (sesuai) sejumlah 32 orang siswa (67 %). Siswa tidak
bermasalah lebih banyak yang sesuai daripada siswa yang
bermasalah. Berdasarkan hasil klarifikasi dengan guru BK
diketahui bahwa adanya siswa tidak bermasalah tetapi dalam
hasil test menunjukkan bahwa mereka bermasalah karena
masalah siswa tersebut baru teridentifikasi dan belum
masuk dalam catatan BK. Adapun masalah yang dihadapi
siswa tersebut antara lain konflik atau perceraian orang

130
tua. Untuk siswa bermasalah tetapi hasil tes menunjukkan
bahwa mereka tidak bermasalah kemungkinan ada dua hal,
yaitu masalah sudah teratasi melalui program bimbingan
konseling di sekolah atau mereka takut jika masalahnya
diketahui oleh BK sehingga mereka memberikan jawaban
dengan tidak jujur Anjaswarni et al. (2019)

7.2 Rekomendasi
Sebagai tindak lanjut dari temuannya, Anjaswarni et
al. (2019) memberikan rekomendasi terkait hasil penerapan
atau penggunaan tool aplikasi “Tri Anjaswarni Health of
Millenial Score” sebagai berikut:
1. Tool aplikasi sangat mudah digunakan dan waktu
penggunaannya singkat sehingga mudah diterapkan di
sekolah-sekolah.
2. Tool aplikasi yang dikembangkan menjadi instrumen
baru yang dapat digunakan di masyarakat terutama di
sekolah-sekolah, agar sedini mungkin dapat diketahui
adanya potensi remaja bermasalah atau kenakalan yang
serius.
3. Tool aplikasi Tri - Health Millenial Score untuk mengukur
potensi juvenile delinquency penting diimplementasikan
di SMP, SMA dan SMK melalui Dinas Pendidikan yang
dimasukkan dalam program BK. Penggunaan tool ini
penting dilakukan saat awal penerimaan siswa baru
pada masa orientasi pendidikan, dan untuk mendeteksi
potensi terjadinya juvenile delinquency agar sedini

131
mungkin masalah remaja dapat diatasi sedini mungkin.
Penggunaan Tool ini dapat diulangi setiap tahun sebelum
memulai pembelajaran, untuk temuan dini pada remaja
yang belum terdeteksi pada test sebelumnya.
4. Dalam asuhan keperawatan, tool aplikasi berbasis web ini
penting digunakan untuk melakukan pengkajian asuhan
keperawatan jiwa di komunitas khususnya komunitas
sekolah dengan metode self assessment bagi remaja. Tool
sebagai alat kerja perawat, petugas kesehatan lainnya
atau mitra kerja bidang kesehatan untuk mendeteksi
secara dini risiko perilaku juvenile delinquency dalam
konteks perawatan jiwa remaja di masyarakat.
5. Reward dan rekomendasi dalam aplikasi setelah test
dilakukan adalah petunjuk penting untuk melakukan
penanganan remaja bermasalah dalam konteks
keperawatan jiwa masyarakat. Intervensi dapat
dilakukan secara primer melalui promosi kesehatan,
sekunder melalui penanganan dini remaja bermasalah
dan tersier melalui upaya rujukan dengan melibatkan
ahli.

132
DAFTAR PUSTAKA

Alfabetwritter. (2010). Apa itu life skill. Retrieved July 25, 2018,
from https://tbalfabet.wordpress.com/2010/05/24/
apa-itu-life-skill-adalah/
Alligood, M. R. (2014). Nursing theorists and their work. (M.
R. Alligood, Ed.) (8th ed.). St. Louis, Missouri: Elsiver
Mosby.
Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian (Edisi Revisi). Malang:
Universitas Muhamadyah Press.
Anderson, E. T., & McFarlane, J. (2011). Community as
partner: Theory and Practice in Nursing (Sixth Edition).
Philadelphia - New York - Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins.
Anjaswarni, T. (2014). Juvenile delinquency, kenakalan anak
remaja: Teori, hasil penelitian dan aplikasi asuhan
keperawatan (pertama). Sidoarjo: Zifatama Publisher.
Anjaswarni, T. (2016). Modul bahan ajar cetak keperawatan:
Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan ,
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber
Daya Manusia Kesehatan. Retrieved from http://
bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/ wp-content/

133
uploads/2017/08/Komunikasi-dalam-Keperawatan-
Komprehensif.pdf
Anjaswarni, T., Nursalam, Widati, S., & Yusuf, A. (2019).
Pengembangan indeks prediktor perilaku juvenile
delinquency. Universitas Airlangga Surabaya Indonesia.
Arnold, E. C., & Boggs, K. U. (2016). Interpersonal relationship
(7th Editio). St. Louis: Elsevier.
Badan Pusat Statistik. (2010). Profil kriminalitas remaja
2010: Studi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak
di Palembang, Tangerang, Kutoarjo, dan Blitar. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. Retrieved from https://www.
bps.go.id
Baqutayan, S. M. S. (2015). Stress and coping mechanisms :
A historical overview. Mediterranean Journal of Social
Sciences, 6(2), 479–488. https://doi.org/10.5901/
mjss.2015.v6n2s1p479
Blanc, M. Le. (2015). Identification of potential juvenile
offenders. ResearchGate: 94
European Journal on Criminal
Policy and Research, (Juni 1997), 33–49. https://doi.
org/10.1007/BF02677605
Brown, L. J., Malouff, J. M., & Schutte, N. S. (2013). Self-Efficacy
Theory (pp. 13–38). New England, Australia. https://
doi.org/10.1007/ 978-1-4419-6868-5_1
Burlian, P. (2016). Patologi sosial. (R. Damayanti, Ed.) (Edisi
Pert). Jakarta: Bumi Aksara.

134
Calhoun, G. B., Glaser, B. A., & Bartolomucci, C. L. (2001).
Practice & theory: The juvenile counseling and
assessment model and program: A conceptualization
and intervention for juvenile delinquency. Journal Of
Counseling & Development, 79, 3–13. Retrieved from
j.1556-6676.2001.tb01952.x
Calhoun, G. B., Glaser, B. A., & Bartolomucci, C. L. (2011).
The Juvenile Counseling and Assessment Model and
Program: A Conceptualization and Intervention for
Juvenile Delinquency. Wiley Online Library: Journal
of Counseling & Development, 1(online 23 December
2011). https://doi.org/10.1002/j.1556-6676.2001.
tb01952.x
Chapman, A. V. (2012). Parental authority , parental nurturance
, depression and self-Esteem among Latino Emerging
Adults. University Of MiamiL, Coral Gables, Florida.
Retrieved from https://scholarlyrepository.miami.
edu/cgi/ viewcontent.cgi?article=1916&context=oa_
dissertations
DeLisi, M., Vaughn, M. G., Gentile, D. A., Anderson, C. A., &
Shook, J. J. (2012). Violent video games , delinquency
, and youth violence : New evidence. Sage: Youth
Violence and Juvenile Justice, 11(2), 132–142. https://
doi.org/10.1177/1541204012460874
Duerden, M. D., Witt, P. A., Fernandez, M., Bryant, M.
J., & Theriault, D. (2012). Measuring life skills :
Standardizing the assessment of youth development
Indicators. Journal of Youth Development, (March), 99–

135
147. https://doi.org/10.5195/JYD.2012.155
Efendi, R. (2013). Self Efficacy: Studi Idigenous pada
Guru Bersuku Jawa. Journal of Social and Industrial
Psychologysychology, 2(2), 10–18. Retrieved from
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sip/ /
article/view 2595/2385
Emanuel. (2018). Gaya Hidup. Retrieved May 7, 2018, from
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gaya_Hidup
Heath, C. J., & Berman, J. S. (2008). Evolutionary lifestyle and
mental health. Evolutionary Psychology, 6(1), 67–76.
https://doi.org/10.1177/147470490800600107
Howell, J. C. (Buddy), Lipsey, M. W., Wilson, J. J., & Howell,
M. Q. (2014). A practical approach to evidence -based
juvenile justice system. Journal of Applied Juvenile
Justice Services, 1–21. Retrieved from JAJJS-Article-
Howell-et-al-edited-kd-2014
Ilham. (2015). Rekayasa perangkat lunak deteksi dini
kecenderungan gangguan kesehatan masyarakat
tertinggal dan pesisir dengan bayesian network. Jurnal
Informatika, 13(2), 39–43. https://doi.org/10.9744/
informatika.13.2.39-43
Kenny, D. T., Blacker, S., & Allerton, M. (2014). Reculer pour
mieux sauter: A review of attachment and other
developmental processes inherent in identified
risk factors for J juvenile delinquency and juvenile
offending. Laws, 3, 439–468. https://doi.org/10.3390/
laws3030439

136
Kim, H., & Kim, H. (2008). The Impact of family violence ,
family functioning, and parental partner dynamics on
korean juvenile delinquency. Child Psychiatry Hum Dev,
39, 439–453. https://doi.org/10.1007/s10578-008-
0099-4
Kratcoski, P. C., & Kratcoski, L. D. (2004). Juvenile delinquency
(5th Editio). New Jersey, Englewood Cliffs: Prentice-
Hall, Inc.
Maftuhah, A., Suryanto, S., & Esti, L. (2009). Undang-undang
ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). (Redaksi New
Merah Putih, Ed.) (1th ed.). Yogyakarta: New Merah
Putih.
Novanda, B. F., Kurniati, T., & Rizmahardian, A. K. (2018).
Hubungan Antara Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi
Siswa Kelas XI IPA dalam Mata Pelajaran Kimia Di SMA
Negeri 3 Pontianak. Ar-RaziJurnal Ilmiah, 6(2), 8–17.
https://doi.org/10.3975/cagsb.2015.05.08
Nursalam. (2015). Metodologi penelitian ilmu keperawatan
(Edisi 4). Jakarta: Salemba Medika.
Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak, Pub. L. No. Nomor 4 tahun 1979, 1 (1979).
Indonesia. Retrieved from file:///C:/Users/user/
Downloads/IDN91142 IDN (1).pdf
Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002: Tentang Perlindungan
Anak, Pub. L. No. Undang-undang Republik Indonesia

137
Nomor 23 Tahun 2002, 14 (2002). Indonesia. Retrieved
from http://www.kinerja.or.id/pdf/86547a83-b8d6-
461f-afae-f16f968fae8e.pdf
Robles, M. M. (2012). Executive perceptions of the Top 10
Soft Skills Needed in Today’s Workplace. Business
Communication Quarterly, 75(4), 453–465. https://doi.
org/10.1177/1080569912460400
Rohmatun. (2014). Hubungan antara pola asuh otoriter
dengan self-efficacy pada mahasiswa yang sedang
menyelesaikan di universitas islam sultan agung
semarang. Proveksi, 9(2), 1–14. Retrieved from http://
jurnal.unissula.ac.id/index.php/ proyeksi/article/
download/2873/2089
Sancahya, A. A. G. A., & Susilawati, L. K. P. A. (2014). Hubungan
Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Self Esteem
Pada Remaja Akhir Di Kota Denpasar. Jurnal Psikologi
Udayana, 1(3), 440–450. Retrieved from http://ojs.
unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/25126
Sari, R. N., & Akmal, S. Z. (2018). Hubungan gaya kelekatan
dengan self-efficacy akademik siswa SMA di Jakarta.
Insight : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi,
14(1), 37–48. https://doi.org/10.32528/ins.
v14i1.1054
Shumaker, S., A., Ockene, J., K., & Riekert, K., A. (2009). The
handbook of health behaviour change. (A. Shumaker,
Sally, K. Ockene, Judith, & A. Riekert, Kristin, Eds.) (3th
Editio). New York: Springer Publishing Company.

138
Silver, B. B., Smith JR, E. V., & Greene, B. A. (2001). A study strategies
self-efficacy instrumen for use with community college
students. Sage Publications, 61(5), 849–865. https://
doi.org/10.1177/00131640121971563
Sit, M. (2017). Psikologi perkembangan anak usia dini (Edisi
Pert). Depok: Kencana.
Sriyanto, Abdulkarim, A., Zainul, A., & Maryani, E. (2014).
Perilaku asertif dan kecenderungan kenakalan remaja
berdasarkan pola asuh dan peran media massa.
Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada, 41(1), 74–88. https://doi.org/http://dx.doi.
org/10.22146/jpsi.6959
Steketee, M., & Gruszczyńska, B. (2010). Juvenile delinquency
in six new EU member states. Springer: Eur J Crim Policy
Res, 16, 111–125. https://doi.org/10.1007/s10610-
010-9123-x
Stuart, Gail W., & Laraia, M. T. (2001). Principles and practice
of psychiatric nursing. (Gail W. Stuart & M. T. Laraia,
Eds.) (7th Editio). St. Louis: Mosby.
Stuart, Gail W., & Laraia, M. T. (2005). Principle and Practice of
Psychiatric Nursing. (Gail W. Stuart & M. T. Laraia, Eds.)
(8th Editio). St. Louis: Mosby.
Stuart, Gail Wiscarz. (2013). Principles and practice of
psychiatric nursing (10th ed.). St. Louis: Elsivier
Mosby. Retrieved from https://www.scribd.com/
document/401120906/Principles-and-Practice-of-
Psychiatric-Nursing-Stuart-Gail-Wiscarz-Stuart-PhD-

139
RN-FAAN-Principles-and-Practice-of-Psychiatric-
Nursing-10e-Mosb
Taylor, C., Lillis, C., LeMone, P., & Lynn, P. (2011). Fundamental
of Nursing: The art and science of nursing care. (C.
Brandon, Ed.) (7th Editio). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Tekin, A. (2010). Wild life recreation : Utilizing wilderness
adventure therapy to prevent delinquency in minors.
International Journal of Human Sciences, 7(2),
640–654. Retrieved from file:///C:/Users/user/
Downloads/1366-4109-1-PB.pdf
Thaha, H., & Rustan, E. (2017). Orientasi Religiusitas dan
Efikasi Diri dalam Hubungannya dengan Kebermaknaan
Pendidikan Agama Islam pada Mahasiswa IAIN Palopo.
Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, 13(2), 163–179.
https://doi.org/10.23971/jsam.v13i2.551}
Thornberry, T. P., & Krohn, M. D. (2017). The self-report method
for measuring delinquency and crime. Measurement
and Analysis of Crime and Juctice, 4(September), 33–
82. Retrieved from https://www.researchgate.net/
publication/237571868_The_Self-Report_Method_for_
Measuring_Delinquency_and_Crime
Tomba, E. (2012). Assessment of Lifestyle in relation to health
(Vol. 32, pp. 72–96). Laboratory of Psychosomatics and
Clinimetrics, Department of Psychology, University of
Bologna, Bologna, Italy Abstract. Retrieved from https://
www.karger.com/WebMaterial/ShowFile/881499

140
Tremblay, R. E., & Craig, W. M. (1995). Developmental juvenile
delinquency prevention. European Journal on Criminal
Policy and Research, 5(2), 33–49. Retrieved from
bf02677606
Willis, S. S. (2017). Remaja & Masalahnya: Mengupas
berbagai bentuk kenakalan remaja narkoba, freesex dan
pemecahannya. Bandung: Alfabeta.
Zgourides, G. (2000). Developmental psychology (Updated
Ed). New York, United States: Houghton Mifflin
Harcourt Publishing Company. Retrieved from http://
scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q
Zimmerman, B. J. (2014). Self-efficacy and educational
development. (A. Bandura, Ed.). Cambridge, New
York: ResearchGate: Cambridge University Press.
Retrieved from https://www.researchgate.net/
profile/Barry_Zimmerman/publication/247480203_
Self-efficacy_and_educational_ development/
links/549b67770cf2b80371371ad5/Self-efficacy-
and-educational-development.pdf

141
PROFIL PENULIS

Dr. Tri Anjaswarni, S.Kp. M.Kep., lahir


di Madiun / 19 Mei 1967 adalah putri
ketiga dari enam bersaudara dari
pasangan almarhum bpk Moesdjait
dan almarhumah Ibu D. Darmijati. Saat
ini sebagai Dosen Keperawatan pada
Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang dengan Jabatan Akademik
Lektor Kepala (Asosiate Professor)
Riwayat Pendidikan: Menamatkan Sekolah Dasar
Kestraian 5 Malang tahun 1980, SMP Islam Malang 1983,
SMA Negeri 2 Malang tahun 1986. Melanjutkan pendidikan
Diploma 3 Keperawatan di Akademi Keperawatan Malang
lulus tahun 1989, Program Sarjana Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung lulus tahun
1998, Program Magister Keperawatan Minat Kepemimpinan
dan Manajemen Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia Lulus 2002 dan Program Doktor
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga lulus tahun 2019.
Riwayat Organisasi: Penulis aktif sebagai Pengurus
Pusat Asosiasi Pendidikan Vokasi Keperawatan Indonesia

142
(AIPViKI) bidang Diklat dan menjadi Tim pengembang
Kurikulum Pendidikan Diploma 3 dan Diploma 4 Keperawatan.
Penulis juga menjadi Pengurus Himpunan Perawat Manajer
(HPMI) Jatim dan pengurus DPD PPNI Kota Malang.
Riwayat publikasi tiga tahun terakhir: Analyses of
factors related to Juvenile Delinquency at Juvenille Court Blitar
East Java –Indonesia. Publikasi: International Conference
on Public Health 2017 (oral Presentation), Kuala Lumpur,
Malaysia 27 – 29 July 2017; Early Marriage and Cultural
Stigma of Madurese Young Woman Based on Review of Socio-
Ecological Factors - ISOPH 2017 - The 2nd International
Symposium of Public Health (Publikasi: SCITEPRESS –
Science and Technology Publications, Lda); Analysis of Risk
Factors Occurrence of Juvenile Delinquency Behavior (Jurnal
Ners); dan Self Efficacy’s Model Development Within Junior
And Senior High School Students Based On Religion And
Family Determinants: A Cross Sectional Approach. Accepted.
Februari 2019 (International Journal of Adolescent Medicine
and Health (IJAMH)-Q3).
Produk buku lima tahun terakhir: 1) Juvenille
Delinquency: Kenakalan Anak Remaja: Teori, Penelitian
Dan Aplikasi Asuhan Keperawatan. Tahun 2014 (Zifatama
Publisher); 2) Komunikasi dalam Keperawatan: Modul Bahan
Ajar Cetak Keperawatan (Modul Teori dan Praktik). Tahun
2016 (Kemenkes RI Badan PPSDM Kesehatan); 3) Saunders
360 Review untuk Uji Kompetensi DIII Keperawatan
Indonesia (Edisi 1) Tahun 2016 (Elsivier Singapore); 4)
Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah tahun 2017 (AIPViKI);

143
5) Kurikulum Pendidikan Diploma III Keperawatan Indonesia
(Update 2018) 2018 (AIPViKI); 6) Saunders 360 Review
untuk Uji Kompetensi DIII Keperawatan Indonesia (Edisi 2)
tahun 2019 (Elsiver Singapura).

144

Anda mungkin juga menyukai